MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Transcript of MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
1
MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Oleh Tasman Hamami
Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kaligjaga YogyakartaEmail: [email protected]
ABSTRACTBeside stands as one of Muhammadiyah establishment factors, Muhammadiyah education was alsoborn as an effect of Dutch politic which placed general and religious knowledge dichotomicaly. Thereis indication of Islamic knowledge education shifting, from its role and function. It was a fundamentalstructure of Muhammadiyah education ideology, but in recent time, many Muhammadiyah school'sorganizer supposed and placed it as complement factor. Therefore, the spirit of MuhammadiyahEducation must be revitalized, till the orientation of its education won't be trapped into positivisticeducation system.Keywords: Knowledge integration, Vision and Mission of Muhammadiyah Education, spirit of
Muhammadiyah Education.
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu variabel kehidupan yang memiliki daya
pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perkembangan dan tingkat kemajuan
individu, masyarakat, dan bangsa. Pendidikan memiliki peranan sangat besar dalam
merekayasa masa depan umat. Karena itu, M. Natsir (1974: 77) melalui tulisannya
berjudul “Ideologi Pendidikan Islam” menegaskan bahwa maju mundurnya salah satu
kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku di
kalangan mereka itu. Atas dasar kesadaran akan fungsi dan peran pendidikan bagi
kemajuan bangsa pada umumnya dan umat Islam secara khusus, Muhammadiyah
sebagai persyarikatan dan gerakan Islam modern sejak awal tumbuh dan berdirinya
melakukan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar melalui pendidikan.
Sejarah perjalanan bangsa ini telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah mulai
melakukan gerakan pendidikan lebih awal dari pada upaya yang dilakukan oleh
organisasi lain. Bahkan, gerakan pendidikan yang dibangun Muhammadiyah tersebut
lebih mendahului pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kenyataan
sejarah tersebut berarti bahwa Muhammadiyah telah mendirikan sekolah jauh
sebelum negara Indonesia berdiri dan mendeklarasikan misinya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.
2
Menurut catatan Karel A Steenbrink (1994: 52), K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
madrasah sebelum Muhammadiyah berdiri. Di dalam madrasah tersebut memakai
bahasa Arab sebagai pengantar,... selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 beliau
(K.H. Ahmad Dahlan) mendirikan sekolah dasar di lingkungan Kraton Yogyakarta
dengan mengajarkan mata pelajaran umum.
Sekolah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan berbentuk sistem pendidikan
modern yang kemudian dikembangkan secara luas setelah Muhammadiyah berdiri
pada tahun 1912. Di dalam Kraton Yogyakarta, pendidikan Muhammadiyah
merupakan salah satu elemen modern yang oleh Steenbrink disebut sebagai “ultra
konservatif”. Oleh karenanya, pendidikan Muhammadiyah secara konsisten terus
berkembang dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas.
Sistem Pendidikan Muhammadiyah merupakan respon terhadap tuntutan
perkembangan zaman. Respon tersebut ditujukan untuk menyiapkan kader-kader
persyarikatan dan umat Islam sesuai dengan perkembangan zamannya. Pada saat itu,
di Indonesia telah ada sistem pendidikan Islam yang berbentuk pondok pesantren.
Namun, lembaga pendidikan Islam tersebut hanya mengajarkan pengetahuan agama
dan cenderung tidak responsif terhadap perubahan zaman. Karena itu sebagian
kalangan memandang bahwa pondok pesantren kurang mampu dalam mendidik
generasi umat Islam yang siap mengemban misi selaku khalifatullah fil ardl dengan
baik.
Realitas kesejarahan dan pemikiran itulah yang kemudian mendorong K.H.
Ahmad Dahlan dalam mendirikan pendidikan Islam modern dengan muatan ilmu
agama Islam dan pengetahuan umum. Pendidikan yang mengintegrasikan kedua ilmu
tersebut diharapkan mampu melahirkan manusia yang bertakwa kepada Allah, cerdas
dan juga terampil. Integrasi sistem dan hasil pendidikan yang menggabungkan ilmu
agama Islam dan pengetahuan umum pada hakikatnya merupakan pemikiran filosofis
serta visi pendidikan Muhammadiyah.
Pendidikan Muhammadiyah yang telah berlangsung hampir satu abad ini
mengalami perkembangan secara terus menerus, baik dalam segi kuantitas maupun
3
kualitasnya. Namun demikian, pendidikan Muhammadiyah dalam tahapan proses
perkembangannya justru menghadapi kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan.
Indikasi tersebut tiada lain adalah munculnya gejala bahwa pendidikan ilmu agama
Islam yang secara historis merupakan struktur fundamental dalam konstruksi
ideologis pendidikan Muhammadiyah telah mengalami pergeseran peran dan
fungsinya, bahkan terjadi degradasi.
Fenomena tersebut antara lain disebabkan karena komitmen serta pemahaman
para pengelola dan pelaksana pendidikan Muhammadiyah yang relatif masih rendah.
Rendahnya komitmen dan pemahaman pengelola pendidikan terhadap filosofi
pendidikan Muhammadiyah dapat dilihat dari pengelolaan madrasah dan sekolah
yang lebih berorientasi pada pengembangan ilmu secara dikotomis. Terdapat
kecenderungan umum dari sebagian pengelola madrasah dan sekolah (karena alasan
praktis) lebih mengutamakan pendidikan ilmu pengetahuan umum, sementara
pendidikan Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) diposisikan
sebagai pelengkap.
Lebih dari itu, kondisi yang memprihatinkan lagi, sebagaimana ditengarai oleh
Haedar Nashir (2007: ix-x) ialah adanya orang-orang yang memanfaatkan lembaga
pendidikan Muhammadiyah sebagai ladang menyemai ideologi lain. Apabila
fenomena tersebut dibiarkan, maka pada saatnya nanti tidak mustahil jika pendidikan
Muhammadiyah akan kehilangan peran dan fungsinya, bahkan eksistensinya juga
dapat terancam.
Berdasarkan pemikiran dan fenomena di atas, perlu dilakukan pemurnian kembali
(purifikasi) terhadap visi dan ideologi pendidikan Muhammadiyah. Pemurnian itu
dilakukan untuk membebaskan pendidikan Muhamadiyah dari “para penumpang”
yang memiliki kepentingan dan tujuan-tujuan tertentu. Oleh sebab itu, ruh pendidikan
Muhammadiyah harus segera dihidupkan kembali. Pembahasan dalam artikel ini
merupakan autokritik serta refleksi terhadap arah perkembangan pendidikan
Muhammadiyah.
4
B. Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten
melakukan gerakan-gerakan dakwah dan pembaharuan pemikiran, baik dalam bidang
ke-Islaman, pemikiran sosial serta pengembangan sumber daya umat dan kader
melalui pendidikan. Semua gerakan Muhammadiyah tersebut tentunya bermuara pada
perwujudan cita-cita dari maksud dan tujuan Muhammadiyah sendiri, yaitu;
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat
utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta’ala (Musthafa Kamal
Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2005: 112). Maksud dan tujuan Muhammadiyah
sengaja di desain agar menetes dan memancar ke dalam semua bidang gerakan serta
amal usaha, termasuk sebagai visi dan misi di amal usaha pendidikan.
Muhammadiyah berpandangan bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang
kehidupan yang sangat strategis, sehingga wilayah tersebut seringkali mendapatkan
perhatian sangat besar. Munculnya perhatian itu tentunya sangat wajar, karena
perjalanan sejarah persyarikatan telah menunjukkan bahwa pendidikan merupakan
faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Pada waktu itu, K.H. Ahmad
Dahlan merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi pendidikan Islam
(tradisional) yang memberikan pengajaran agama Islam secara terbatas. Pendidikan
tradisional pada umumnya berbentuk pesantren yang lebih menekankan pada
pengembangan pengetahuan dan keterampilan agama untuk kepentingan ibadah
praktis.
Karena pendidikan pesantren lebih menekankan pada pengembangan pengetahuan
dan keterampilan agama yang diselenggarakan dengan sederhana serta dilakukan
secara apa adanya, maka pendidikan Islam di pondok pesantren lazim disebut sebagai
pendidikan Islam yang tradisional (Abdul Malik Fadjar, 1998: 19-21, dan Azyumardi
Azra, 1996: 37-38). Pendidikan Islam yang bersifat tradisional ini telah berlangsung
lama dan memberikan sumbangan bagi kemajuan umat Islam yang cukup signifikan,
khususnya dalam bidang pengajaran agama Islam.
5
Akan tetapi, dalam pandangan dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan (konteks
sosiologis) pendidikan Islam tradisional justru tidak dapat mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat dan kebudayaan. Karena
itu, pendidikan Islam tradisional tersebut dinilai belum mampu mendidik generasi
umat Islam yang siap mengemban misi selaku khalifatullah fil ardl. Pada lain pihak,
pemerintah dengan penerapan pendidikan model gubernement yang sekuler sehingga
terjadilah dikotomisasi pendidikan dalam sepanjang sejarah penjajahan Belanda,
bahkan berlanjut pada masa sesudah Indonesia merdeka.
Selama masa penjajahan Belanda, pendidikan Islam selalu saja gagal untuk masuk
ke dalam sistem pendidikan umum. Sementara, sekolah-sekolah Zending (Kristen)
dapat memasuki sistem pendidikan umum gubernement. Dampak terjadinya politik
pendidikan tersebut ialah adanya pola pendidikan yang dualistik di Indonesia, yaitu
pendidikan keagamaan di satu pihak dan pendidikan umum di pihak lain. Mulai saat
itu pendidikan Islam mengambil jalan sendiri dan mengembangkan model pendidikan
yang berbeda dengan pendidikan kolonial maupun pendidikan yang dilaksanakan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Karel A. Steenbrink, 1994:
7). Melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang cenderung dikotomis semacam itu
telah menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sungguh sangat gelisah.
Dalam perspektif sejarah, fenomena keragaman lembaga pendidikan Islam di
samping sebagai manifestasi keragaman dalam memahami Islam, juga sebagai akibat
politik diskriminatif kolonial Belanda yang waktu itu mengakibatkan reaksi umat
Islam berbeda-beda. Sebagian di antara umat Islam menolak sama sekali dan yang
lainnya cenderung melakukan persaingan maupun imitasi terhadap sistem pendidikan
kolonial. Azyumardi Azra (1996: 10) mencatat bahwa modernisasi pendidikan Islam
mengarah pada dua kecenderungan pokok, yaitu; pertama, adopsi sistem dan lembaga
pendidikan modern, dan kedua, eksperimen yang bertitik tolak dari sistem dan
kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu
dari pendidikan modern.
6
Di tengah-tengah terjadinya pergolakan ideologis dari sistem pendidikan yang
dikotomis itulah K.H. Ahmad Dahlan secara kreatif melakukan ijtihad kebudayaan
dan transformasi sosial dengan mendirikan pendidikan Islam modern. Pendidikan
Islam modern tersebut difungsikan untuk mengintegrasikan ilmu agama Islam dengan
ilmu umum dan memadukan antara dimensi normatif dengan dimensi historis dalam
sebuah sistem pendidikan yang integralistik. Formulasi gagasan K.H. Ahmad Dahlan
tersebut diwujudkan dalam bentuk ”karya amaliah”, yaitu membangun sistem
pendidikan Islam modern yang integratif dan berupa pendirian sekolah-sekolah
umum yang mengintegrasikan ilmu-ilmu agama Islam, serta pendirian madrasah-
madrasah yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum.
Sistem pendidikan ini diharapkan mampu mendidik kader-kader umat Islam yang
siap mengemban misi tersebut dengan baik. Agar pendidikan yang dirintis itu dapat
dikelola dan dikembangkan secara simultan, maka diperlukan organisasi yang tertib
dan teratur. Atas dasar pemikiran tersebut dan saran dari murid-muridnya, K.H.
Ahmad Dahlan yang nama aslinya Muhammad Darwisy, tahun 1912 mendirikan
persyarikatan Muhammadiyah. Berdasarkan hal itu maka pendidikan Muhammadiyah
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan Muhammadiyah. Di
samping itu, pendidikan Muhammadiyah justru menjadi core bussiness-nya
Muhammadiyah, selain bidang kesehatan dan pelayanan sosial. Sehingga menjadi
wajar apabila masyarakat lebih mengidentikkan Muhammadiyah dengan lembaga
pendidikan dan kesehatan, karena gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar-nya
sangat efektif dijalankan lewat dunia pendidikan dan kesejahteraan sosial (Imam
Prihadiyoko, dkk., 2000: 1). Pemikiran pendidikan Islam integratif K.H. Ahmad
Dahlan yang diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam modern
pada hakikatnya adalah hasil refleksi dari pemikiran Islam rasional-kontekstual atas
fenomena modernisasi dalam semua aspek kehidupan.
Pendidikan Muhammadiyah yang merupakan bagian dari akar sejarah berdirinya
Muhammadiyah berarti bahwa visi dan cita-cita pendidikan yang akan dicapai harus
paralel serta sejalan dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah. Visi dan misi
7
pendidikan Muhammadiyah adalah menyiapkan kader-kader persyarikatan dan umat
Islam yang siap untuk mengemban amanat sebagai khalifah Allah di muka bumi
(khalifatullah fil Ardl). Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya untuk menyiapkan
kader-kader tersebut dapat diwujudkan apabila terjadi pengintegrasian sistem
pendidikan sekolah modern dengan pesantren. Untuk itu, cara yang ditempuh olehnya
adalah (1) mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengintegrasikan ilmu umum
dengan ilmu agama Islam, dan (2) mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi
pendidikan pengajaran ilmu-ilmu umum (Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, 2005: 118).
Konsep integrasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dapat
diartikan bahwa di dalam pendidikan Muhammadiyah tidak ada pemisahan antara
ilmu agama Islam dan ilmu umum. Muhammadiyah menganggap bahwa keduanya
memiliki kedudukan yang sama dan berada dalam naungan Islam. Dalam pandangan
integrasi keilmuan, hal tersebut bukan hanya berarti adanya kesetaraan kedudukan
dan fungsi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum, tetapi juga dapat dimaknai
bahwa masing-masing merupakan kesatuan yang saling melengkapi antara satu
dengan yang lain. Mengapa demikian? Karena dalam realitasnya, problem kehidupan
manusia bersifat sangat kompleks sehingga memerlukan penyelesaian melalui
keduanya secara integratif. Oleh sebab itu, untuk menjadi seorang khalifah Allah
yang baik tidak hanya cukup dengan penguasaan salah satu bidang ilmu saja,
melainkan harus menguasai keduanya secara terpadu.
Upaya untuk menyiapkan khalifah Allah yang mampu mengemban tugas dalam
mewujudkan masyarakat utama diperlukan suatu pendidikan yang berorientasi pada
pencapaian visi keunggulan dalam kepribadian (iman dan takwa serta akhlak mulia),
kompetensi keilmuan dan keterampilan. Ketiga ranah keunggulan tersebut dapat
diwujudkan apabila pendidikan Muhammadiyah memiliki misi utama, yakni; pertama,
mengajarkan pendidikan ISMUBA. Pendidikan ISMUBA dimaksudkan untuk
membentuk kepribadian Islam yang kuat, memberikan kemampuan ilmu agama Islam,
kemandirian dan tanggungjawab bagi lulusan pendidikan Muhammadiyah. Kedua,
8
mengajarkan pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Pendidikan
ini dimaksudkan untuk menyiapkan lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah
yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta wawasan
kebudayaan. Ketiga, mengajarkan pendidikan keterampilan untuk menyiapkan kader
Muhammadiyah yang memiliki kecakapan hidup (life skill). Penguasaan ketiga ranah
kemampuan itu diperlukan untuk menyiapkan kader-kader yang dapat menjalankan
tugas sebagai khalifah Allah dengan baik.
Konsep filosofis yang menjadi visi pendidikan Muhammadiyah tentunya tetap
relevan dengan konsep pendidikan Islam modern, meskipun dengan formulasi konsep
yang berbeda. Naquib Al-Attas (1979: 2) menyebut pendidikan Islam dengan istilah
ta'dib. Sebab dimensi utama pendidikan Islam adalah menjadikan manusia beradab
(orang yang baik) yang terkandung dalam istilah ta'dib tersebut. Konsep beradab
mengandung makna penguasaan pengetahuan secara kognitif dan sekaligus
melakukan amal perbuatan yang baik sesuai dengan pengetahuannya. Kata ta'dib
mengandung arti pendidikan dalam mengantarkan peserta didik agar memiliki
pengetahuan dan melakukan perbuatan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya
(Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 174-188).
Di samping itu, Anwar Jundi (1975: 7-8) menegaskan bahwa esensi pendidikan
Islam adalah menumbuhkan manusia secara terus-menerus dari sejak lahir sampai
meninggal dunia. Pendidikan Islam merupakan suatu pendidikan secara utuh dan
sempurna yang meliputi seluruh dimensi manusia. Seluruh dimensi tersebut adalah;
pendidikan akal dengan ilmu pengetahuan (ma’rifah), pendidikan jasmaniyah dengan
olah raga (al-riyadah), dan pendidikan jiwa dengan iman (al-iman). Pengembangan
ketiga dimensi manusia secara selaras dan harmonis tentu akan mampu mengantarkan
terbentuknya kepribadian muslim yang utuh. Dalam konsep Munir Mursi (1975: 215),
pendidikan Islam harus didasarkan atas hakikat manusia yang difungsikan untuk
mengembangkan semua dimensi kepribadiannya secara totalitas, sehingga pendidikan
Islam merupakan pendidikan yang sempurna.
9
Dalam rangka perwujudan pendidikan tersebut di atas, seperti diuraikan Roichan
Achwan (1991: 40-51) dengan merujuk pendapat Munir Mursi, pendidikan Islam
harus dibangun atas sepuluh asas (prinsip dasar), yaitu; (1) pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang utuh dan mendidik kesempurnaan kepribadian (jasmani,
jiwa dan akal) secara terpadu; (2) pendidikan Islam berorientasi pada integritas sikap
dan perbuatan sebagai refleksi dari iman dan Islam yang menuntut satunya ucapan
dengan perbuatan; (3) pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
berkesinambungan antara kehidupan dunia dengan akhirat; (4) pendidikan Islam
sebagai kesatuan antara pendidikan individu dan sosial yang secara simultan
menuntut pengembangan individu dan tanggungjawab sosial; (5) pendidikan Islam
adalah pendidikan hati nurani manusia; (6) pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah
dan manusiawi; (7) pendidikan Islam berorientasi pada nilai baik dan maslahah; (8)
pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlangsung sepanjang hidup manusia;
(9) pendidikan Islam memelihara internasionalisme; dan (10) pendidikan Islam
memelihara nilai-nilai luhur dan mengembangkan nilai-nilai inovatif.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut mengandung nilai-nilai fundamental
yang berfungsi sebagai kerangka pengembangan pendidikan Islam. Nilai-nilai
tersebut adalah; pertama, nilai ideal, yaitu nilai yang memberikan acuan tentang
pendidikan Islam secara utuh dan menyeluruh serta bersifat integratif antara
pengetahuan, sikap dan perbuatan. Kedua, nilai spiritual, ialah nilai yang menjadi
acuan bahwa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hidup manusia (long life
education) dan memiliki kesinambungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga,
nilai humanistik, yaitu acuan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan hati nurani
dan fitrah manusia. Keempat, nilai dinamis sebagai acuan bahwa pendidikan Islam
senantiasa mengintegrasikan pengembangan individu dan sosial, berorientasi pada
kebaikan (maslahah), memelihara nilai luhur dan inovatif serta menjaga
internasionalisme.
Prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di
atas menunjukkan bahwa pendidikan Islam didasarkan atas prinsip, misi dan orientasi
10
yang sesuai nilai-nilai ideal serta spiritualitas Islam dengan nilai-nilai empiris-historis.
Paradigma pendidikan Islam yang berlangsung sepanjang hidup untuk kehidupan
dunia dan akhirat tersebut tentunya sangat berbeda dengan konsep pendidikan pada
umumnya yang hanya berorientasi pada pembangunan kehidupan di dunia saja.
Pemikiran Syafi’i Ma’arif yang dikutip oleh Muhaimin (2005: 2) menyebutkan bahwa
visi dan misi pendidikan Islam didasarkan atas nilai-nilai etis dan spiritualitas Islam
yang diorientasikan untuk mengintegrasikan dimensi manusiawi dengan dimensi
ilahiy, sehingga pendidikan Islam bersifat “theo-anthropo sentris”. Visi, misi dan
orientasi pendidikan tersebut diarahkan untuk mencapai hasil (out put) terbentuknya
kepribadian muslim yang bertakwa dan memiliki keterampilan hidup.
Pendidikan Islam memiliki sasaran yang bersifat komprehensif, yaitu meliputi
seluruh aspek kepribadian manusia. Proses pendidikan Islam bukan hanya didasarkan
pada landasan kependidikan semata. Akan tetapi, pendidikan Islam juga didasarkan
pada norma-norma, nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang bersumber pada Al-
Qur’an dan Al-Hadist. Fungsi pendidikan Islam adalah mendidik seluruh potensi
manusia untuk mencapai hasil pendidikan Islam demi terwujudnya integritas pribadi
muslim yang bertakwa, yaitu sosok pribadi lulusan yang memiliki visi rabbani
(Abbas Mahjub, 1987: 16), sehat jasmani, cerdas intelektual, emosional dan sosial
serta memiliki kemandirian. Berdasar pada landasan tersebut maka para lulusan
pendidikan Islam memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi hidupnya sebagai
khalifah dan hamba Allah dengan baik.
Telaah di atas memperlihatkan bahwa visi dan misi pendidikan Muhammadiyah
yang dicita-citakan oleh K.H. Ahmad Dahlan sungguh sangat paralel dengan konsep
pendidikan Islam modern. Konsep pendidikan tersebut implementasinya dilakukan
dalam sistem integrasi antara pendidikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu
agama Islam. Di setiap satuan pendidikan Muhammadiyah mengembangkan integrasi
pengetahuan tersebut sebagai standar isi kurikulumnya. Dalam struktur kurikulum
pendidikan Muhammadiyah telah memuat pelajaran wajib pendidikan ISMUBA serta
11
pelajaran wajib yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan jenis dan jenjang
pendidikan masing-masing.
Di samping itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana kaderisasi
juga wajib menyelenggarakan kegiatan pembinaan kepanduan Muhammadiyah
(Hizbul Wathan) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Apabila lembaga-
lembaga pendidikan Muhammadiyah secara konsisten menerapkan sistem pendidikan
yang integratif (sebagaimana dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan) dan dikelola sesuai
dengan amanat persyarikatan, niscaya madrasah dan sekolah Muhammadiyah mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi,
ilmu agama Islam serta keterampilan dengan baik. Dengan kemampuan-kemampuan
tersebut maka lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah akan dapat melaksanakan
fungsinya sebagai khalifah Allah dengan baik.
C. Pendidikan Muhammadiyah dalam Realita
Gerakan pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah merupakan amal usaha
yang sangat vital dan strategis. Karena itu, Muhammadiyah sebagai salah satu
organisasi Islam terbesar di nusantara sejak awal keberadaannya secara konsisten
mengembangkan pendidikan Islam modern, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai
dengan Perguruan Tinggi, di seluruh Indonesia. Bersamaan dengan berdirinya
organisasi Muhammadiyah di setiap tempat, maka didirikan pula madrasah dan
sekolah Muhammadiyah. Mata rantai tersebut menjadikan lembaga pendidikan
Muhammadiyah dalam waktu relatif singkat terus mengalami perkembangan yang
sangat cepat dan mengesankan.
Karel A Steenbrink (1994: 57) mencatat bahwa setiap mendirikan Cabang
(Muhammadiyah) Baru, Muhammadiyah sangat identik dengan pendirian sekolah
baru. Pada tahun 1932, Muhammdiyah di Jawa Tengah telah mempunyai 165 sekolah
umum, di samping 68 sekolah agama. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah
merupakan organisasi Islam yang memiliki amal usaha pendidikan paling banyak di
antara organisasi Islam lainnya. Dengan demikian, jumlah lembaga pendidikan yang
12
dimiliki dan dikelola Muhammadiyah tidak tertandingi oleh organisasi sosial
manapun.
Menurut data dalam Profil Muhammadiyah tahun 2000, “sekolah umum” yang
dimiliki Muhammadiyah adalah; Sekolah Dasar sebanyak 1128, Sekolah Menengah
Pertama 1179, dan Sekolah Menengah Atas 509. Kontribusi Muhammadiyah
terhadap total pendidikan yang diselenggarakan lembaga swasta dan berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional untuk Sekolah Dasar mencapai 10,98%,
Sekolah Menengah Pertama 11,14% dan Sekolah Menengah Umum 9,90% (Said
Tuhuleley, 2003: xii-xiii).
Secara kuantitatif, jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY) juga sangatlah
besar. Pada tahun 2007, PWM DIY memiliki 437 buah satuan pendidikan yang terdiri
dari; Sekolah Dasar sebanyak 232 buah, Madrasah Ibtidaiyah 22 buah, Sekolah
Menengah Pertama 86 buah, Madrasah Tsanawiyah 15 buah, Sekolah Menengah Atas
27 buah, Sekolah Menengah Kejuruan 41 buah, Madrasah Aliyah 2 buah, dan Pondok
Pesantren sejumlah 12 buah. Di samping itu, potensi Sumber Daya Manusia (SDM)
yang dimiliki Muhammadiyah juga sangat besar. Pada tahun yang sama,
Muhammadiyah DIY memiliki guru sebanyak 6.848 orang dan siswanya sejumlah
77.561 orang. Muhammadiyah DIY juga memiliki aset tanah seluas 666.207 m²
dengan luas bangunan 264.089 m².
Perkembangan lembaga pendidikan tersebut tentunya tidak terlepas dari nama
besar Muhammadiyah yang telah dikenal oleh masyarakat luas, baik ditingkat
nasional maupun internasional. Artinya, gerakan dan amal usaha Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan telah diakui masyarakat yang bukan hanya warga
Muhammadiyah saja, tetapi juga oleh sebagian masyarakat diseluruh dunia. Pada
tingkat lokal, kenyataan tersebut sangat membantu keberadaan pendidikan
Muhammadiyah untuk dapat dipercaya dan diterima masyarakat luas. Besarnya
pengakuan dan kepercayaan masyarakat tersebut dapat dilihat dari latarbelakang
13
siswa madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang cenderung bersifat “multi
kultural”.
Terkait dengan itu, Imam Prihadiyoko, dkk., menegaskan bahwa adanya
kepemilikan amal usaha pendidikan yang sedemikian besar, kini boleh dikatakan
Muhammadiyah merupakan "raksasa" pendidikan. Muhammadiyah tumbuh menjadi
organisasi yang besar dan rimbun, sehingga banyak orang yang menggantungkan
pengembangan pribadi serta pengetahuan anak-anaknya kepada lembaga pendidikan
Muhammadiyah. Ribuan kader persyarikatan dan anggota masyarakat hingga saat
sekarang telah tercatat sebagai bagian dari hasil keluaran pendidikan Muhammadiyah.
Tetapi seringkali kuantitas pendidikan tidak selalu berjalan seiring dengan
kualitas. Jika dilihat dari aspek kualitas, seiring dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kondisi masyarakat yang terus berubah, maka
pendidikan Muhammadiyah belum sepenuhnya dapat mewujudkan visi dan misi yang
diharapkan. Meskipun gerakan peningkatan mutu pendidikan Muhammadiyah telah
dilakukan secara terus-menerus, tetapi dalam praktiknya, upaya peningkatan mutu
pendidikan memang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang
berpengaruh dan problem-problem yang dihadapinya cenderung bersifat kompleks.
Secara obyektif, mutu pendidikan Muhammadiyah memiliki rentang variasi yang
sangat beragam. Di antara ribuan sekolah Muhammadiyah terdapat sejumlah sekolah
yang mutunya dapat dibanggakan. Sebaliknya, di antara sekolah-sekolah tersebut juga
masih banyak lagi yang memiliki mutu rendah dan kondisinya cukup memprihatinkan.
Realitas tersebut tentu saja dapat dipahami, karena suatu amal usaha dengan jumlah
besar pasti di antaranya terdapat sejumlah "produk” yang gagal. Sehingga hal itu
menyebabkan terjadinya mutu produk rata-rata atau secara keseluruhan menjadi
menurun. Tetapi, realitas itu tentunya tidak dapat dijadikan sebagai alasan apologis
terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Apapun alasannya, secara faktual
masih terdapat sekolah Muhammadiyah yang belum dapat memenuhi standar
pendidikan dengan baik dan perlu ditingkatkan lagi mutunya.
14
Dalam tata kehidupan masyarakat yang terus berkembang muncul pelbagai
tuntutan dari masyarakat terhadap penyediaan jasa, termasuk jasa pendidikan. Ketika
masyarakat menuntut pelayanan pendidikan yang lebih baik, secara otomatis akan
menimbulkan kompetisi dalam pendidikan. Sehingga eksistensi sebuah lembaga
pendidikan sangat tergantung pada tingkat kemampuannya untuk saling berkompetisi.
Faktor penentu kemenangan dalam kompetisi pendidikan tersebut ialah adanya
jaminan kualitas dan nilai lebih yang menjadi daya tarik dari pendidikan itu sendiri.
Untuk memasuki era kompetisi seperti itu, pendidikan Muhammadiyah secara
filosofis telah memiliki pelbagai kekuatan dan kelebihan. Hal itu di antaranya adalah
kekuatan ideologis dan historis di samping kekuatan filosofis dengan paradigma
pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama Islam.
Sepanjang perjalanan sejarah, paradigma integrasi dalam pendidikan Muhammadiyah
merupakan icon pendidikan Islam modern yang dapat dijadikan sebagai daya tarik
bagi masyarakat. Sistem pendidikan Muhammadiyah yang dipandang masyarakat
memiliki nilai lebih justru karena perpaduan dimensi material dengan spiritual,
rasional dengan emosional, serta dimensi normatif dengan sosiologis.
Masyarakat mempercayai dan memilih pendidikan Muhammadiyah lebih
disebabkan karena mereka memiliki sejumlah harapan besar terhadap lulusan yang
berkepribadian baik, menguasai ilmu agama Islam, memiliki kompetensi dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan, kemampuan untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kecakapan hidup. Di samping itu, banyak
juga masyarakat yang memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah karena alasan
ideologis dan spirit Islam. Mereka tentu merasa lebih yakin dan aman untuk
menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal itu
disebabkan adanya harapan bahwa lulusan sekolah Muhammadiyah memiliki
kemampuan ilmu umum yang setara dengan sekolah lain dan sekaligus memiliki
kemampuan ilmu agama Islam yang lebih baik.
Preferensi orang tua siswa dalam memilih sekolah Muhammadiyah telah
menempatkan mata pelajaran ISMUBA sebagai daya tarik yang dimiliki oleh
15
lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal itu dapat dimaknai bahwa ruh yang
menjadi sumber kekuatan terbesar di sekolah Muhammadiyah justru terletak pada
pengembangan ilmu agama Islam, kepribadian dan akhlak mulia melalui pendidikan
ISMUBA. Oleh sebab itu, sekolah Muhammadiyah tanpa pendidikan ISMUBA akan
terjebak dalam kubangan pendidikan sekarang yang berakar dari paradigma
positivistik yang lebih mengutamakan hal-hal bersifat materiil-ekonomi dan
mengabaikan dimensi non-materiil.
Filosofi pendidikan Muhammadiyah tersebut merupakan cita-cita ideal yang
memerlukan konsep-konsep operasional dalam menunjang kebutuhan tersebut.
Eksistensi pendidikan Muhammadiyah tergantung pada bagaimana menerapkan
konsep filosofis itu dalam proses pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan
pendidikan madrasah dan sekolah. Pertanyaannya adalah, apakah madrasah dan
sekolah Muhammadiyah telah mewujudkan visi dan misi pendidikan Muhammadiyah
secara efektif? Efektifitas pendidikan pada madrasah dan sekolah Muhammadiyah
dapat dilihat melalui output dan outcome yang dihasilkannya. Dalam arti lain, lulusan
sekolah dan madrasah Muhammadiyah memiliki integrasi kemampuan kepribadian,
ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum serta menjadi kader persyarikatan
yang dapat menunaikan tugas sebagai khalifah Allah dengan baik.
Secara empiris, nampak bahwa proses pengelolaan dan perkembangan madrasah
dan sekolah Muhammadiyah terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan
adanya pergeseran idealisme. Terdapat pertanyaan mendasar dalam masyarakat
tentang eksistensi madrasah dan sekolah Muhammadiyah, yaitu; apakah karakter
pembeda (distingsi) antara madrasah dan sekolah Muhammadiyah dengan lembaga
pendidikan lainnya? Pertanyaan itu menunjukkan adanya kegelisahan dan sekaligus
harapan masyarakat terhadap eksistensi madrasah dan sekolah Muhammadiyah.
Mereka sangat mendambakan pendidikan Muhammadiyah mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki integrasi kompetensi ilmu umum dan ilmu agama Islam yang
baik.
16
Kompetensi lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah dalam penguasaan
ilmu umum diharapkan dapat setara dengan lulusan madrasah dan sekolah lain, dan
sekaligus memiliki kelebihan kemampuan dalam ilmu agama Islam. Apabila
madrasah dan sekolah Muhammadiyah dikelola dengan baik dan oleh orang-orang
yang memiliki komitmen Muhammadiyah yang kompeten, niscaya harapan tersebut
dapat diwujudkan.
Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua madrasah dan sekolah Muhammadiyah
dapat menghasilkan lulusan (outcome) seperti yang diharapkan. Misalnya,
masyarakat mengharapkan lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah memiliki
kemampuan agama Islam yang lebih baik secara ilmiah maupun amaliah. Namun
dalam realitasnya, terdapat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (tujuan dan
hasil). Terjadinya kesenjangan (disparitas) antara penguasaan ilmu agama Islam dan
pengamalannya, oleh Mochtar Buchori (1991: 289) disebut sebagai kesenjangan
antara gnosis dengan praxis.
Muhammad Ali dan Marpuji Ali telah mengidentifikasi adanya problem-problem
pendidikan Muhammadiyah, antara lain; (1) berkenaan dengan belum tercerminnya
nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, (2) belum sanggup menciptakan
kultur Islami yang representatif sampai dengan kehilangan identitasnya, dan (3)
masih ada di antara madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang nyaris tidak ada
bedanya dengan madrasah dan sekolah lain. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah
selama ini telah menghasilkan lulusan yang secara kognitif relatif baik, tetapi
penguasaan tentang ilmu agama Islam tersebut tidak secara otomatis diwujudkan
dalam sikap dan perilaku. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pendidikan
Muhammadiyah belum efektif dalam mengintegrasikan kemampuan ilmu agama
Islam dengan pengamalannya. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang seperti
itu berarti telah kehilangan ruh serta peranan dan fungsinya sebagai amal usaha
Muhammadiyah.
Mengapa hal itu terjadi? Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab
secara pasti. Tetapi melalui pertanyaan tersebut dapat dikemukakan beberapa ilustrasi
17
yang didasarkan atas realitas dan kecenderungan yang ada di madrasah dan sekolah
Muhammadiyah. Fenomena dan problem yang dikemukakan di atas nampaknya dapat
ditelaah dari pelbagai aspek. Secara filosofis, hal itu terjadi karena di antara madrasah
dan sekolah Muhammadiyah terjebak dalam arus perkembangan pendidikan sekarang
yang didasarkan atas akar pemikiran positivistik, sehingga dengan sadar atau tidak
sadar mereka telah kehilangan idealismenya.
Di samping itu, para pengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah kadang-
kadang hanya berpikir praktis dan jangka pendek, bahkan pragmatis. Idealisme yang
menjadi landasan filosofis sistem pendidikan Muhammadiyah yang telah dirintis oleh
K.H. Ahmad Dahlan yang seharusnya menjadi kerangka acuan, pemberi arah, dan
sasaran yang akan dituju sering diabaikan karena alasan kebutuhan praktis. Dalam hal
ini, dapat dilihat pada contoh kasus, yaitu; terdapat sebagian sekolah Muhammadiyah
yang seharusnya menjadikan mata pelajaran pendidikan ISMUBA sebagai mata
pelajaran pokok dan wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Majelis Dikdasmen justru tidak dijalankan dengan baik. Karena alasan pragmatis,
dengan serta-merta sebagian sekolah Muhammadiyah tersebut justru mengurangi
alokasi jam pelajaran ISMUBA hanya untuk menambah mata pelajaran yang diujikan
Nasional. Pengelola madrasah dan sekolah beranggapan bahwa lulus Ujian Nasional
(UN) merupakan target utama, dan di sisi lain pendidikan ISMUBA diposisikan
sebagai pelengkap. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang demikian telah
tercerabut dari akar filosofis dan idealismenya, sehingga pada saatnya nanti mereka
akan kehilangan ruh dan identitasnya. Kenyataan itu tentu sangat ironis!
Problem idealisme para pengelola pendidikan Muhammadiyah secara langsung
berimplikasi pada pengelolaan madrasah dan sekolah Muhammadiyah di tingkat
operasional. Ketentuan-ketentuan normatif yang telah ditetapkan oleh Majelis
Dikdasmen sebagai penyelenggara, dan persyarikatan sebagai pemilik madrasah dan
sekolah Muhammadiyah seharusnya merupakan pedoman operasional yang wajib
ditaati oleh setiap pelaksana pendidikan, baik di madrasah maupun sekolah. Tetapi
dalam kenyataannya, para pengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah banyak
18
yang mengabaikannya. Beberapa kenyataan yang menunjukkan kecenderungan
tersebut dapat dikemukakan, antara lain; para pengelola madrasah dan sekolah
Muhammadiyah tidak melaksanakan standar kurikulum dan pembelajaran ISMUBA,
standar administrasi dan manajemen pendidikan Muhammadiyah, serta kalender
pendidikan dengan konsisten.
Melemahnya idealisme dan ruh pendidikan Muhammadiyah yang ditunjukkan
oleh para pengelola madrasah dan sekolah disebabkan karena rendahnya komitmen
terhadap persyarikatan Muhammadiyah. Berkaitan dengan hal itu, Haedar Nashir
(2007: x) menengarai adanya orang-orang yang berada pada amal usaha
Muhammadiyah (madrasah dan sekolah) yang tidak berideologi Muhammadiyah, dan
bahkan mereka justru menyebarkan paham lain di lembaga pendidikan
Muhammadiyah. Jika hal itu tidak segera di atasi, bukan mustahil pada saatnya nanti
madrasah dan sekolah hanya tinggal nama, sedang isi dan orientasinya telah bergeser
untuk kepentingan orang atau organisasi lain.
D. Menghidupkan Kembali Ruh Pendidikan Muhammadiyah
Sebagian orang mempertanyakan tentang kerangka filosofis dan konstruksi teori
yang dijadikan dasar berdiri dan berkembangnya pendidikan Muhammadiyah.
Pertanyaan itu wajar, karena K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembangun sistem
Muhammadiyah memang tidak banyak meninggalkan warisan karya tulis. Pemikiran-
pemikirannya lebih banyak dituangkan dalam bentuk perbuatan nyata (amaliah).
Dalam bahasa lain, pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam juga
tidak ditulis dalam bentuk ”karya ilmiah”, tetapi ditulis dalam ”karya amaliah”.
Meski demikian, dari karya amaliahnya termasuk dalam bidang pendidikan dapat
dikonstruksikan menjadi konsep atau teori. Selain karya amaliah, dalam penelusuran
Mohamad Ali dan Marpuji Ali tentang “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah:
Tinjauan Historis dan Praksis”, didapatkan naskah pidato terakhir K.H. Ahmad
Dahlan yang berjudul ”Tali Pengikat Hidup”. Naskah pidato tersebut tentunya dapat
dijadikan sebagai acuan dalam memahami pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang
19
pendidikan. Percikan konsep dari pidato tersebut antara lain penegasan bahwa
pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai
melalui sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah
terhadap kebenaran akali yang di dasari hati yang suci.
Konsep yang termuat dalam ungkapan tersebut ialah pengetahuan tertinggi dalam
pandangan K.H. Ahmad Dahlan yaitu ”pengetahuan tentang kesatuan hidup”.
Pandangan ini memuat konsep integrasi secara luas yang kemudian dapat
ditransformasikan ke dalam pelbagai konsep, antara lain konsep integrasi pendidikan
yang digagasnya. Konsep integrasi pendidikan yang digagas K.H. Ahmad Dahlan
merupakan interpretasi terhadap pengalaman empiris dan kekuatan akal yang
dibimbing dengan petunjuk Allah s.w.t. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia,
dan logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia, tetapi akal itu harus selalu
berada dalam bimbingan petunjuk Allah s.w.t.
Pandangan integrasi itu juga telah dijalankan Muhammadiyah dalam bentuk
penyatuan dimensi prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan dimensi
ijtihad dan tajdid. Implementasi dari pandangan ini adalah ijtihad pendidikan yang
dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yaitu dengan sadar mengadaptasi sistem
pendidikan Barat yang diintegrasikan dengan muatan ajaran agama Islam. Dalam
pengelolaan pendidikan, Muhammadiyah di samping menerapkan prinsip organisasi
dan tata kelola yang baik, juga bersikap responsif dan akomodatif terhadap tuntutan
dan perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan Muhammadiyah memiliki
peranan yang sangat besar sebagai penggerak dan pengawal pembinaan kehidupan
beragama dan akhlak serta sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Filosofi dan idealisme pendidikan Muhammadiyah dalam perkembangannya, baik
pada tingkat struktural dan operasional menghadapi pelbagai problem dan tantangan.
Pada tingkat struktural kelembagaan, problem dan tantangan utama yang dihadapi
pendidikan Muhammadiyah bersumber dari pergeseran orientasi pendidikan.
Idealisme pendidikan Muhammadiyah yang diformulasikan dalam konsep pendidikan
integratif nampaknya harus berhadapan dengan ancaman arus besar sekularisme-
20
materialisme yang secara sadar atau tidak menggoda komitmen ber-Muhammadiyah
(Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005: 48). Pendidikan Muhammadiyah yang
terkena imbas dari arus sekularisme-materialisme dapat kehilangan idealisme, visi
dan misi yang seharusnya merupakan dasar berpijak dan arah pelaksanaan pendidikan.
Di lapangan, sebagian madrasah dan sekolah Muhammadiyah juga belum mampu
membentengi percepatan arus kehidupan konsumeristik-materialistik yang didasarkan
atas pemikiran positivistik. Akibatnya, madrasah dan sekolah Muhammadiyah
terjebak dalam arus tersebut dan pada saat itu pula berarti madrasah dan sekolah
Muhammadiyah berkembang keluar dari idealisme serta visi dan misi
Muhammadiyah. Pada tingkat operasional, perubahan arah perkembangan madrasah
dan sekolah Muhammadiyah seringkali diwujudkan melalui beberapa bentuk,
misalnya; ”pengkerdilan” pendidikan ISMUBA, lemahnya pembinaan Pelajar
Muhammadiyah (IPM), bahkan rendahnya tingkat loyalitas terhadap persyarikatan
Muhammadiyah.
E. Penutup
Semua problem-problem tersebut di atas bermuara pada rendahnya komitmen
terhadap pengembangan pendidikan Muhammadiyah, baik di tingkat Kepala
sekolah/madrasah, Majelis Dikdasmen, bahkan pimpinan persyarikatan sendiri.
Persoalan mengenai sebagian madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang ditengarai
adanya sejumlah orang yang memiliki ideologi dan kepentingan lain harus di atasi
dengan pelbagai upaya secara komprehensif, mulai dari aspek fundamental dan
struktural sampai dengan tingkat operasionalnya. Madrasah dan sekolah
Muhammadiyah harus segera dikembalikan kepada idealisme dan kerangka filosofis
pendidikan Muhammadiyah serta dibebaskan dari segala macam bentuk
pendangkalan ideologi Muhammadiyah.
Secara struktural, diperlukan reorganisasi dan tata kelola pendidikan
Muhammadiyah, baik pada tingkat amal usaha (madrasah dan sekolah), Majelis
Dikdasmen, bahkan juga persyarikatan Muhammadiyah. Pada tingkat persyarikatan
21
dan Majelis Dikdasmen diperlukan sosok pimpinan yang visioner tentang pendidikan
dan didukung oleh orang-orang yang mengurus amal usaha pendidikan yang memiliki
kompetensi, (1) ke-Islaman dan kepribadian, (2) komitmen dan pemahaman yang
baik terhadap Muhammadiyah, (3) organisasi, manajemen, dan kependidikan.
Pada level amal usaha, pengelolaan harus dilaksanakan dan dikembangkan secara
konsisten. Hal itu tentunya sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan arah kebijakan
persyarikatan sebagai standar pendidikan Muhammadiyah. Tata kelola madrasah dan
sekolah harus didasarkan pada Qaidah dan Pedoman Pendidikan Muhammadiyah
serta kebijakan persyarikatan maupun Majelis Dikdasmen. Di dalam Qaidah dan
Pedoman Pendidikan Muhammadiyah telah mengatur batas-batas kewenangan dan
tanggungjawab antara Kepala madrasah/sekolah, Majelis Dikdasmen dan
persyarikatan Muhammadiyah.
Kepala madrasah/sekolah yang melakukan pengembangan lembaganya secara
kreatif dan inovatif seharusnya tetap dilakukan dalam batas-batas kewenangannya
dengan mentaati ketetapan dan kebijakan Majelis Dikdasmen maupun persyarikatan
Muhammadiyah. Untuk mewujudkan tata kelola tersebut diperlukan adanya Kepala
madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang memiliki kualifikasi kompetensi sebagai
berikut; (1) ke-Islaman, (2) kepribadian, (3) ke-Muhammadiyahan, (4) manajerial, (5)
kewirausahaan (sosial), dan (6) sosial serta kerjasama.
Di samping itu, Kepala madrasah/sekolah Muhammadiyah tidak cukup hanya
dengan kemampuan 5 (lima) dimensi kompetensi, sebagaimana model pemerintah
(2007: 8-12), yaitu kompetensi: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi,
dan Sosial. Sebagai Kepala madrasah/sekolah Muhammadiyah juga harus memiliki
kompetensi ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan. Demikian pula dengan guru
madrasah dan sekolah Muhammadiyah. Di samping mereka memiliki kualifikasi dan
empat kompetensi di atas, para guru juga harus memiliki kompetensi ke-Islaman dan
ke-Muhammadiyahan yang baik.
Dalam rangka menghidupkan kembali ruh pendidikan Muhammadiyah yang
integralistik dengan tetap mengembangkan spirit ijtihad dan tajdid, diperlukan
22
beberapa kebijakan untuk meningkatkan peran dan fungsi pendidikan
Muhammadiyah. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud, meliputi; (1) revitalisasi
pendidikan ISMUBA sebagai ciri khusus Pendidikan Muhammadiyah, (2)
mengembangkan penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan pada madrasah
dan sekolah Muhammadiyah, (3) mengembangkan lingkungan serta kehidupan
madrasah dan sekolah Muhammadiyah dengan norma-norma, nilai-nilai, dan budaya
Islami, (4) meningkatkan peran dan fungsi madrasah dan sekolah Muhammadiyah
sebagai wahana kaderisasi Muhammadiyah, (5) menciptakan tata kelola madrasah
dan sekolah yang baik (good school governance).
Semua persoalan pendidikan Muhammadiyah sebagaimana dikemukakan di atas
memang bukan masalah yang ringan dan mudah. Tetapi, dengan komitmen yang
tinggi, semangat ijtihad dan tajdid yang kuat, serta budaya organisasi yang baik
niscaya tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Janganlah kita menjadi seorang
pecundang dalam mengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang selalu
mengatakan bahwa “ini mungkin, tapi sulit!”. Akan tetapi, marilah kita menjadi
seorang pendaki yang tangguh dan pemenang, dengan biasa mengatakan “ini sulit,
tapi mungkin!”. Semoga pertolongan Allah s.w.t. senantiasa menyertai kita.
23
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, M. Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: KingAbdul Aziz University. Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat DanPraktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. (Terj.) Hamid Fahmy,dkk. Bandung: Mizan
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi MenujuMelenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
______. dalam Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam.Jakarta: CV. Amisco
Barnadib, Imam. 1988. Ke arah Perspektif Baru Pendidikan. Jakarta: P2LPTK DitjenDikti Depdikbud
Buchori, Mochtar. 1991. Upaya Penegakan Disiplin Nasional dalam Kerangka Nilai-Nilai Sosial Budaya Indonesia Suatu Analisa Psikososial dalam HimpunanPrasaran dalam Seminar POLRI. Jakarta: PTIK
_______. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Fadjar, Abdul Malik. 1998. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: PenerbitMizan
Jundi, Anwar. 1975. Al-Tarbiyah wa Bina al-Ajyal fi Dlau’ al-Islam. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani
Mahjub, Abbas. 1987. Ushul al Fikr at Tarbawi fi al Islami. Beirut: al Imarat al Arabiyahal Muttahidah
Mukti, Abdul dan Ismail SM. (ed). 2000. Pendidikan Islam Demokratisasi danMasyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mursi, Muhammad Munir. 1975. al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha waTatawwaruha fil Bilad al-‘Arabiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
Natsir, Muhammad. 1974. Capita Selekta. Jakarta: Bulan Bintang
Pasha, Musthafa Kamal dan A Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagaiGerakan Islam. Yogyakarta: Citra Karya Mandiri
Rahman, Fazlur. 1980. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalamKehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan
_______. 1997. Wawasan Al-Qur’an Tafsr Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung: Penerbit Mizan
24
Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam DalamKurun Modern. Jakarta: LP3ES
Tilaar. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam PerspektifAbd 21, Jakarta: Penerbit Tera Indonesia
Tuhuleley, Said. 2003. Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan.Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah