Makalah Fiqh Indonesia

28

Click here to load reader

Transcript of Makalah Fiqh Indonesia

Page 1: Makalah Fiqh Indonesia

MULTI LEVEL MARKETING DALAM TINJAUAN FIKIH

INDONESIA DAN FIQIH KLASIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Perbankan Syari’ah

Dosen Pengampu : Faisol SE

Disusun oleh:

Abu Hanifah I 000040037

JURUSAN SYARI’AH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2009

Page 2: Makalah Fiqh Indonesia

PENDAHULUAN

Adalah bukan suatu kebetulan semata, jika Al-Qur’an maupun al-Sunnah sebagai

sumber utama hukum Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci dalam

masalah mu’malah, kecuali hanya sebagian kecil saja. Al-Qur’an maupun al-

Sunnah, secara umum, hanya menetapkan pokok-pokoknya saja, dan tidak

memerincinya terlalu detail, karena tahu bahwa yang namanya mu’amalah akan

terus mengalami perkembangan seiring dengan gerak perkembangan zaman.

Pokok-pokok ajaran yang telah diajarkan tentang mu’amalah tersebut kemudian

dijabarkan oleh para ulama fikih selama sekian abad dalam berbagai kitab-kitab

fikih, dimana kebanyakan pembahasanya sudah dikaitkan dengan jenis transaksi

tertentu. Kita bisa melihat berbagai macam transaksi di dalam kitab-kitab fikih,

seperti rahn, ju’alah, ijarah, bai’, wadi’ah, muzara’ah, dan lain-lainnya, yang

kesemuanya merupakan jenis transaksi yang berkembang semasa sang pengarang

kitab hidup. Karena sang pengarang dalam mengaplikasikan pokok ajaran hanya

dikaitkan dengan praktek yang ada pada zamannya, kita tidak akan mungkin bisa

menemukan transaksi seperti leasing, jual beli saham, ataupun jenis transaksi-

transaksi kontemporer lainnya, yang saat itu belum muncul.

Tidak adanya jenis transaksi modern dalam kitab-kitab fikih masa lalu, bukan

berarti bahwa kitab-kitab fikih tersebut sudah benar-benar lapuk untuk berbicara

transaksi kontemporer. Ada beberapa memang, yang sama sekali tidak bisa dicari

padanannya dalam kitab fikih, sehingga untuk mengetahui status hukumnya harus

dilakukan suatu ijtihad dalam arti yang sebenarnya. Namun masih banyak juga

yang ternyata masih bisa dicari padannya dan disamakan dengan beberapa jenis

transaksi yang telah dibahas dalam kitab fikih.

Salah satu jenis transaksi yang belum ada pembahasannya secara eksplisit dalam

fikih adalah MLM (multi level marketing). MLM adalah salah satu jenis bisnis

baru yang terus mengalami perkembangan dan semakin banyak peminatnya di

Indonesia. Sebutlah nama-nama seperti Tianshi, Life Asia, UFO, dan yang

lainnya, yang semakin merebak dalam kehidupan perekonomian umat. Ada pula

nama-nama yang mengaku telah disyari’atkan sistemnya, seperti Ahad Net dan

MQ-Net. Munculnya nama-nama yang mengaku telah disyari’atkan ini tentu akan

Page 3: Makalah Fiqh Indonesia

mengundang suatu pertanyaan besar: kenapa bentuknya harus disyari’atkan?

Apakah MLM konvensional tidak sesuai dengan syari’at, atau, dengan kata lain,

haram hukumnya?

Oleh karena itulah, mengingat MLM telah berkembang sedemikian rupa dalam

kehidupan umat dan hukumnya masih menjadi pertanyaan besar bagi kita,

pembicaraan mengenai status hukum MLM menurut syari’at pun menjadi sangat

penting. Berangkat dari kenyataan inilah, maka dalam makalah ini penulis akan

membahas hukum dari MLM menurut pandangan fiqih hukum Islam serta

perspektif fiqih Indonesia. Agar memudahkan dan lebih menfokuskan

pembahasan, pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan satu masalah

saja, yaitu mengenai akad yang ada dalam sistem MLM bila ditinjau dari

pandangan fikih. Ketika berbicara tentang akad dalam MLM, maka secara

otomatis akan menyangkut dua permasalahan, yaitu:

1. Apa jenis akad yang terjadi dalam MLM?

2. Bagaimana hubungan hukum yang terjadi antara pihak perusahaan dengan

member, dan antara para member sendiri, sebagai akibat hukum dari akad

tersebut?

Page 4: Makalah Fiqh Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. SISTEM DALAM MLM

MLM adalah suatu jenis bisnis yang dalam prakteknya sangat bervariasi. Varian

yang ada dalam MLM tersebut terjadi secara alamiah, karena masing-masing

MLM ingin unggul dari yang lainnya, baik dari segi sistem maupun dari segi

keuntungannya, sehingga selalu akan ada sistem-sistem baru. Maka dari itu,

menjelaskan sistem-sistem yang ada dalam MLM secara detail satu per satu

adalah sangat sulit. Dalam makalah ini hanya akan diungkapkan sistem yang ada

di MLM pada umumnya, dan yang berkaitan dengan pokok pembahasan saja.

Berikut ini adalah dua sistem yang secara umum ada dalam MLM:

Pertama, ada MLM yang membuka pendaftaran keanggotaan (member), yang

untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah

uang tertentu untuk menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi

ataupun yang lain – dan orang tersebut akan menerima suatu produk tertentu yang

diberikan oleh pihak perusahaan. Ini berarti, terjadi pembayaran dari satu pihak

yang kemudian diikuti oleh pemberian barang dari pihak lainnya, yang kemudian

menyebabkan perpindahan kepemilikan barang, sehingga terjadi akad bai’ (jual

beli). Pada waktu yang bersamaan dengan dia menjadi member, dia secara

otomatis juga mendapat kesempatan untuk mencari sejumlah orang yang akan

menjadi down line-nya. Jika dia berhasil mencari sejumlah down line (sesuai

kesepakatan dengan perusahaan), maka dia berhak atas bonus dari perusahaan.

Pencarian orang ini sifatnya tidak mengikat, artinya si member tidak berkewajiban

untuk itu, hanya sebatas berhak saja. Bila ingin mendapatkan bonus, maka tentu

dia harus mencari down line, tapi bila tidak juga tidak apa-apa.

Kedua, ada MLM yang membuka pendaftaran member dengan tanpa harus

membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah

uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama, membership

(keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari

pembelian yang dilakukannya sendiri di kemudian hari maupun dari jaringan di

Page 5: Makalah Fiqh Indonesia

bawahnya. Pada saat yang sama, si member punya kesempatan mendapatkan

bonus jika dia berhasil merekrut down line, dimana keaktifan down line-nya ini

akan berpengaruh pada bonus yang diterimanya.

B. JENIS AKAD YANG TERJADI DALAM MLM

Ketika berbicara tentang hukum suatu jenis muamalah, kita tidak mungkin lepas

dari berbicara mengenai jenis akadnya. Dalam buku An-Nadzariyyat al-

Fiqhiyyah, Dr. Muhammad Al-Zuhaily (Dekan fakultas Syari’ah Damascus

University) menyatakan bahwa dalam akad, ada syarat-syarat umum yang berlaku

bagi semua akad, dan ada pula syarat-syarat tertentu yang berlakunya adalah bagi

akad tertentu saja, dan tidak bagi yang lainnya.

Syarat-syarat yang ada pada suatu akad -- terutama syarat-syarat yang hanya

berlaku khusus baginya, akan menjadi standar penilaian sah atau tidaknya akad,

dan juga haram atau tidaknya suatu akad. Maka, karena syarat-syarat yang ada

dalam setiap akad berbeda-beda, sebelum menentukan apa hukum dari MLM,

yang pertama kali harus dilakukan adalah mengkualifikasikan MLM termasuk

dalam jenis akad apa dulu.

Bila dilihat dari sudut pandang fikih, ada tiga jenis akad yang potensial terjadi

dalam MLM, yaitu akad bai’ (jual beli), ju’alah (pengupahan), dan samsarah

(makelar). Dikatakan bahwa dalam MLM terjadi akad bai’ karena dalam praktek

MLM, ada pembayaran yang dilakukan oleh pendaftar dan ada pemberian barang

yang dilakukan oleh perusahaan MLM, yang berakhir dengan berpindahnya

kepemilikan barang. Apalagi ada MLM yang secara tegas menyatakan bahwa bila

ingin jadi anggota, pendaftar harus membeli produk terlebih dahulu. Pembelian

produk ini kemudian akan secara otomatis dimaknai sebagai pendaftaran.

Dikatakan bahwa dalam MLM potensial terjadi akad ju’alah, karena disitu

terdapat pengupahan (berupa bonus) atas prestasi yang telah dilakukan member

(merekrut orang lain yang kemudian menjadi down line-nya). Sedangkan indikasi

adanya akad samsarah (makelar) pada MLM terlihat dengan peran dari member

dalam hal menghubungkan calon pembeli (bisa juga berarti calon member)

dengan pihak perusahaan dimana ia bergabung.

Untuk menentukan secara pasti jenis akad apa yang terjadi dalam MLM, maka,

Page 6: Makalah Fiqh Indonesia

mengingat bahwa sistem dari MLM ada dua macam sebagaimana telah disebutkan

diatas, penentuannya pun harus dirinci (tafshil). Untuk sistem yang pertama, akad

yang terjadi adalah jual beli (bai’) dan pengupahan (ju’alah). Beberapa orang,

seperti Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. dan Dr. Setiawan Budi Utomo, Lc., MA.,

menyatakan bahwa akad yang terjadi dalam sistem MLM tipe pertama adalah

akad jual beli dan samsarah (makelar). Alasannya, ketika si member mencari

down line, berarti dia sedang berada dalam kondisi menghubungkan dua pihak

(penjual dan pembeli; perusahaan dan calon member baru yang menjadi down

line). Tindakan seperti ini termasuk dalam akad samsarah, yang oleh al-Sarkhasi

didefinisikan:

æÇáÓãÓÇÑ ÇÓã áãä íÚãá ááÛíÑ ÈÇáÃÌÑ ÈíÚÇð æÔÑÇÁð

(Simsar adalah nama untuk orang yang bekerja pada orang lain dengan upah, baik

itu untuk menjualkan atau membelikan).

Sekilas, apa yang terjadi dalam MLM memang mirip samsarah, tapi sejatinya

tidak. Alasan keberatan penulis adalah, menurut jumhur ulama, samsarah

termasuk dalam jenis akad ijarah, sehingga didalamnya juga berlaku ketentuan-

ketentuan umum akad ijarah. Diantara syarat dalam akad ijarah, sebagaimana

dikatakan oleh Dr. Sa’id Ramadlan al-Buthi, adalah adanya tauqit (batasan

waktu). Logikanya, karena termasuk ijarah, maka dalam samsarah pun harus ada

batasan waktunya. Batasan waktu ini ternyata tidak tampak dalam MLM, karena

member tidak terikat waktu sampai kapan ia dapat mencari down line, sehingga

tidak benar jika kemudian dikatakan bahwa dalam MLM terjadi akad samsarah.

Selain itu, akad ijarah -- dimana samsarah termasuk di dalamnya, bersifat

mengikat (luzum) terhadap kedua belah pihak. Artinya, salah satu pihak tidak bisa

keluar dari akad begitu saja, tapi harus menepati apa yang diakadkan sampai

tujuan akad selesai. Sifat yang mengikat seperti ini tidak tampak dalam MLM,

karena pihak member punya kebebasan untuk mencari down line atau tidak; bila

berhasil mendapatkan down line berarti dia mendapat bonus, tapi kalau tidak

mencari juga tidak apa-apa dan tidak ada akibat hukumnya. Fakta ini semakin

memperkuat bahwa dalam MLM tidak terjadi akad samsarah.

Yang sebenarnya terjadi dalam MLM adalah akad ju’alah. Dalam terminologi

Page 7: Makalah Fiqh Indonesia

fikih, ju’alah didefinisikan: suatu tanggung jawab dalam bentuk janji memberikan

imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan

perbuatan atau memberi jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan

sesuai dengan yang diharapkan. Ulama Syafi’i, sebagaimana dalam kitab Al-

Majmu’, mendefinisikan ju’alah sebagai:

Ãóäú íóÈúÐõáó ÇáÌõÚúáó áöãóäú Úóãöáó áóåõ ÚóãóáÇðº ãöäú ÑóÏøö

ÖóÇáøóÉò æóÑóÏøö ÂÈöÞò¡ æóÈöäóÇÁö ÍóÇÆöØò¡ æóÎöíóÇØóÉö

ËóæúÈò¡ æóßõáøö ãóÇ íõÓúÊóÃúÌóÑõ Úóáóíúåö ãöäó ÇáÃóÚúãóÇá

(Seseorang memberikan upah kepada orang lain yang telah melakukan suatu

pekerjaan untuknya, berupa mengembalikan yang tersesat dan mengembalikan

budak yang lari, membangun tembok, menjahit baju, dan semua pekerjaan yang

dapat dipekerjakan kepadanya).

Bila dibandingkan dengan ijarah, ju’alah lebih longgar ketentuannya. Dalam kitab

Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab dikatakan:

åí ÃæÓÚ ÍßãÇð ãä ÇáÅÌÇÑÉ¡ áÃäåÇ ÊÌæÒ ãä ÛíÑ Ãäú íÚíøä ÇáÚÇãáõ

ÝíåÇ¡ æãÚ ÇáÌåá ÈÇáÚãá ÇáãÞÕæÏ¡ æáÇ ÊÕÍøõ ÇáÅÌÇÑÉ Úáì ãÌåæá¡ æÚáì

ÛíÑ ãÚíøä¡ ÝßÇäÊ ÃÖíÞ ÍßãÇð

(Ju’alah lebih lebih longgar hukumnya bila dibandingkan dengan ijarah, karena di

dalamnya diperbolehkan tidak ditentukannya orang yang melakukan, dan juga

ketidakjelasan mengenai pekerjaan yang dimasudkan. Sedangkan Ijarah tidak sah

dilakukan atas sesuatu yang tidak jelas dan tidak spesifik, sehingga lebih sempit

hukumnya).

Diantara ciri akad ju’alah adalah, upah tidak diberikan sebelum apa yang

dipersyaratkan benar-benar tercapai dan selesai. Masih dalam kitab al-Majmu’, di

situ disebutkan:

ÞÇá ÇáãÕäøÝ ÑÍãå Çááå: (æáÇ íÓÊÍÞøõ ÇáÚÇãáõ ÇáÌÚáó ÅáÇ ÈÇáÝÑÇÛö ãä

ÇáÚãáö. ÝÅä ÔÑØó áå ÌÚáÇð Úáì ÑÏøö ÇáÂÈÞö¡ ÝÑÏøóå Åáì ÇáÏÇÑ¡ ÝÝÑøó

ãäå Ãæ ãÇÊó ÞÈá Ãä íÓáøöãóåõ¡ áã íÓÊÍÞøó ÔíÆÇð ãä ÇáÌÚáö¡ áÃä

ÇáãÞÕæÏó åæ ÇáÑÏøõ æÇáÌÚáõ Ýí ãÞÇÈáÊåö¡ æáã íæÌÏú ãäå ÔíÁ.

[Imam Mushonnif mengatakan: (dalam ju’alah) orang yang melakukan pekerjaan

Page 8: Makalah Fiqh Indonesia

tidak berhak atas upah/hadiah kecuali karena selesainya pekerjaan. Jika seseorang

menetapkan hadiah atas pengembalian budak yang hilang, kemudian ada orang

yang mengembalikannya ke pintu rumah, tapi budak tersebut lari atau mati

sebelum diterima oleh pemiliknya, maka orang yang mengembalikan tadi tidak

berhak sesuatu pun dari upah/hadiah. Karena, yang dimaksud adalah

pengembalian budak dan upah/hadiah adalah imbalannya, sedangkan dalam hal

ini tujuan tersebut tidak terwujud].

Apabila kita cermat dalam memahami penjelasan tersebut, maka dapat

disimpulkan dua hal yang menjadi ciri ju’alah: (a) upah tidak boleh diberikan di

awal ataupun ditengah -- harus di akhir akad, dan (b) proses tidak dihargai sama

sekali, yang dinilai adalah hasilnya.

Ketentuan ini tidak berlaku dalam ijarah, sehingga tidak berlaku juga dalam

samsarah – karena samsarah termasuk dalam ijarah. Artinya, dalam samsarah

dimungkinkan diberikannya upah di awal atau sebelum selesainya pekerjaan, dan

yang dihargai bukan hanya hasilnya saja, tapi juga proses. Sehingga, jika akad

samsarah ingin dihentikan oleh salah satu pihak, maka si pekerja sudah berhak

atas upah, meski hasil pekerjaannya belum ada, karena dia sudah melakukan

proses.

Bila ini kita kaitkan dengan MLM, maka akan semakin jelas bahwa dalam MLM

tidak terjadi akad samsarah, tapi ju’alah. Alasannya, dalam MLM, pihak member

belum berhak menerima upah sebelum dia berhasil merekrut down line. Bila

member sudah berusaha dan berproses untuk merekrut down line tapi tidak

berhasil, dia juga belum berhak atas upah/bonus. Seandainya dalam MLM terjadi

akad samsarah, maka usaha pihak member untuk mencari down line ini harus

dihargai dan diberi upah/bonus. Tapi pada kenyataannya tidaklah demikian;

member berhak atas upah/bonus hanya ketika dia sudah berhasil merekrut down

line dalam jumlah tertentu.

Sedangkan dalam sistem MLM tipe kedua, akad yang terjadi adalah akad

keanggotaan (membership) dan ju’alah. Pendaftaran member tersebut merupakan

akad tersendiri, karena punya akibat hukum. Pada saat yang sama, terjadi pula

akad ju’alah, karena si member punya kesempatan mendapatkan bonus jika dia

Page 9: Makalah Fiqh Indonesia

berhasil merekrut down line, dimana keaktifan down line-nya ini akan

berpengaruh pada bonus yang diterimanya.

Dari sistem yang ada dalam MLM tersebut, maka terciptalah hubungan hukum

yang terjadi antara pihak perusahaan dan pihak member, juga hubungan hukum

antara member yang satu dengan yang lainnya. Hubungan hukum tersebut terjadi

sebagai akibat hukum dari adanya akad yang telah dilakukan.

Hubungan Hukum Antara Member Dengan Perusahaan

Dari sistem MLM yang ada – baik sistem yang pertama maupun yang kedua,

timbul hubungan hukum antara pihak perusahaan dengan member. Hubungan

hukum yang terjadi sebagai akibat dari kedua sistem MLM tersebut adalah,

perusahaan berkewajiban untuk memberikan upah/bonus, dan member berhak

untuk mendapatkan bonus/upah dari pihak perusahaan, apabila syarat-syarat yang

ada telah terpenuhi. Hubungan hukum ini terjadi sebagai akibat dari perbuatan

hukum yang dilakukan oleh perusahaan dan member, yaitu pada saat member

mendaftar.

Hubungan Hukum Antara Para Member

Selain adanya hubungan hukum antara perusahaan dengan member, kedua sistem

MLM tersebut juga menimbulkan hubungan hukum antara para member sendiri,

yaitu antara member yang menjadi up line dan member yang menjadi down line.

Up line berhak untuk mendapatkan bonus dari prestasi yang telah dilakukan oleh

down line-nya yang bisa mencari down line baru/lain atau membeli produk.

Tetapi, down line tidak mendapatkan hak atau keuntungan apapun dari pihak up

line. Hubungan hukum yang timbul antara up line dan down line ini tidak jelas

dari mana sumbernya, karena up line dan down line tidak pernah melakukan

perbuatan hukum yang secara khusus sengaja dilakukan untuk menimbulkan

akibat hukum tersebut.

Di sini terjadi kekaburan dan ketidakjelasan mengenai ‘sumber dari hubungan

hukum tersebut’. Satu-satunya kemungkinan adalah, hubungan hukum tersebut

terjadi akibat perbuatan hukum yang dilakukan secara sepihak oleh down line

pada saat ia mendaftar menjadi member. Saat mendaftar menjadi member, dari

penjelasan/presentasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan, down line tahu

Page 10: Makalah Fiqh Indonesia

bahwa pendaftarannya itu -- dan juga prestasi yang dilakukannya nanti, akan

menguntungkan up line-nya. Ketika dia memutuskan untuk mendaftar, maka

dapat disimpulkan bahwa ia telah ‘rela’ jika pendaftaran dia saat itu -- dan prestasi

yang dilakukannya nanti, akan menimbulkan akibat hukum berupa keuntungan

bagi up line.

Dan pertanyaan besar pun muncul, apakah semua down line benar-benar rela

dengan itu? Seandainya dia diberi pilihan, apakah keuntungan yang akan mengalir

untuk up line akan diberikan pada up line atau untuk dirinya sendiri, apakah ia

pasti memilih memberikannya pada up line? Hubungan hukum yang lahir dari

perbuatan hukum sepihak yang kabur seperti ini jelas akan menjadi masalah besar

dalam fikih.

C. HUKUM MLM DALAM FIKIH

Ä Terjadinya Akad Bai’ dan Ju’alah dalam Satu Transaksi

Dalam MLM tipe pertama, terjadi dua akad dalam waktu yang bersamaan: akad

bai’ dan akad ju’alah. Berkaitan dengan terjadinya dua akad pada satu transaksi

dalam waktu yang bersamaan, menurut Drs. Hafiz Abdurrahman, MA., terdapat

hadis Nabi yang melarangnya, yaitu:

«äóåóì ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÂáöåö æóÓóáøóãó Úóäú

ÈóíúÚóÊóíúäö Ýöí ÈóíúÚóÉò» ÑæÇå ÃÍãÏ æÇáäÓÇÆí æÇáÊÑãÐí æÕÍÍå

“Rasulullah melarang dua pembelian dalam satu pembelian” (Diriwayatkan oleh

Ahmad, Nasa’I, Tirmidzi dan dishahihkannya)

Mengenai maksud “bai’atain fi bai’atin”, Imam Syafi’i memberikan dua contoh,

diantaranya:

Ãä íÞæá: ÈÚÊß ÐÇ ÇáÚÈÏ ÈÃáÝ Úáì Ãä ÊÈíÚäí ÏÇÑß ÈßÐÇ¡ Ãí ÅÐÇ æÌÈ áß

ÚäÏí æÌÈ áí ÚäÏß

(Seseorang mengatakan: saya jual budak itu kepadamu seharga seribu, dengan

syarat kamu menjual harga rumahmu dengan harga segini. Maksudnya, jika kamu

menetapkan milikmu menjadi milikku, maka aku pun menetapkan milikku jadi

milikmu)

Drs. Hafiz Abdurrahman, MA. kemudian mengatakan bahwa maksud dari hadis

Page 11: Makalah Fiqh Indonesia

tersebut adalah ‘larangan terjadinya dua akad dalam satu transaksi’. Jadi, tidak

harus jual beli dan jual beli saja, tapi bisa juga jual beli dengan akad yang lainnya.

Sehingga, berdasarkan pada hadis tersebut, Hafiz akhirnya mengatakan bahwa

MLM haram hukumnya, karena di dalamnya terjadi dua akad dalam satu

transaksi, yaitu bai’ dan samsarah.

Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaily, ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari

‘bai’atani fi bai’atin’. Wahbah kemudian memberikan contoh-contoh untuk itu,

dengan mengutip pendapat beberapa ulama. Yang perlu dicermati adalah, contoh-

contoh yang dipaparkan Wahbah, semuanya masih dalam lingkup transaksi jual

beli, dan tidak ada satu pun contoh berkumpulnya akad jual beli dengan akad yang

lainnya. Maka, apa yang dikatakan oleh Drs. Hafiz Abdurrahman, MA. -- bahwa

MLM haram karena terjadi dua akad, yaitu bai’ dan samsarah, sehingga termasuk

“bai’atain fi bai’atin” yang dilarang oleh Rasulullah -- menurut penulis tidak

tepat.

Lalu bagaimana jika akad bai’ dan ju’alah terjadi dalam waktu yang bersamaan

pada satu transaksi? Dalam hal ini, Sahnun, ulama mazhab Maliki, dalam Al-

Mudawwanah al-Kubra meriwayatkan pendapat dari Imam Malik mengenai

berkumpulnya akad bai’ dan ju’alah dalam satu transaksi:

ÝÅÐÇ æÞÚ ãÚ åÐÇ ÇáÌÚá ÈíÚ Ýí ÕÝÞÉ æÇÍÏÉ áã íÕáÍ åÐÇ ÚäÏ ãÇáß

(Jika beserta pengupahan (ju’alah) ini terjadi juga akad bai’ dalam satu transaksi,

maka ini tidak sah menurut Imam Malik)

Kesimpulan penulis ini diperkuat dengan paparan dari Wahbah al-Zuhaily.

Menurut Wahbah, diantara jual beli yang dipandang rusak (fasidah) oleh ulama

Malikiyyah adalah berkumpulnya jual beli dengan salah satu enam akad, yang

diantaranya adalah ju’alah, secara bersamaan dalam satu transaksi.

Konsekuensinya, karena akadnya dianggap rusak (fasid), maka akadnya pun

menjadi terlarang. Kesimpulan yang demikian ini adalah bila dilihat dari segi

berkumpulnya akad bai’ dan ju’alah dalam satu transaksi.

Ä Analisis Atas Masing-Masing Akad yang Terjadi dalam MLM

Bila kita memandang dari sudut pandang masing-masing akad yang terjadi dalam

Page 12: Makalah Fiqh Indonesia

MLM, ternyata masih ada masalah lagi. Khusus untuk akad jual belinya (bai’),

ada beberapa MLM yang bai’-nya terancam rusak (fasid). Ini terjadi dalam MLM

yang tidak secara tegas menyatakan syarat pembelian produk untuk menjadi

member, tapi pada prakteknya ternyata mirip jual beli. Pendaftar membayar biaya

pendaftaran dan perusahaan memberinya produk tertentu dan kemudian terjadi

perpindahan hak milik, sehingga secara lahiriah adalah jual beli. Tapi, pihak

pendaftar ketika memberikan uang tidak berniat membeli barang (niatnya adalah

menjadi member), sehingga “ijab” dari pihak member ini kabur. Maka dari itu,

jual belinya rusak, karena terdapat kerancuan dalam salah satu rukunnya yang

paling penting, ijab-qabul.

Kalaupun akad jual beli itu dinyatakan secara tegas, masalah lain pun timbul,

yaitu kerelaan (ridlo) dari pihak member yang mendaftar. Karena, bisa jadi, si

member sebenarnya tidak ingin membeli produk tersebut – yang harganya

biasanya mahal dan belum tentu bermanfaat bagi si member sendiri. Tapi karena

dia punya keinginan untuk menjadi member, sedangkan syarat untuk menjadi

member adalah membeli produk terlebih dahulu, maka si member ini pun

‘terpaksa’ membelinya. Padahal, unsur kerelaan adalah unsur yang paling penting

dalam setiap transaksi, termasuk jual beli.

Dalam akad ju’alah-nya juga terjadi kekacauan. Dalam ju’alah, pihak yang berhak

mendapatkan keuntungan adalah hanya pihak yang berhasil memenuhi suatu tugas

tertentu saja, selainnya tidak. Dalam Al-Majmu’ disebutkan:

æáæ ÞÇá: íÇ ÒíÏ Åä ÌÆÊäí ÈÚÈÏí Ýáß ÏíäÇÑ¡ ÝÌÇÁ Èå ÛíÑå¡ áã íÓÊÍÞ

ÇáÏíäÇÑ. æáæ ÌÇÁ Èå ÒíÏ æÚãÑæ¡ ÞÇá ÇáãÇæÑÏí: äÙÑ Ýí ÚãÑæ¡ ÝÅä ÞÇá:

ÌÆÊõ Èå ãÚíäÇð áÒíÏ¡ ÝáÒíÏ ÌãíÚ ÇáãÇá æáÇ ÔíÁ áÚãÑæ. æÅä ÞÇá ÚãÑæ:

ÌÆÊõ Èå áäÝÓí ØáÈÇð áÃÌÑÊå¡ ÝáÒíÏ äÕÝ ÇáÏíäÇÑ¡ áÃä áå äÕÝ ÇáÚãá

[Seandainya (seorang pemilik budak) berkata: “Wahai Zaid, jika kamu (bisa)

mendatangkan budakku (yang lari/hilang), maka kamu mendapat satu dinar”,

kemudian yang mendatangkannya (ternyata) adalah orang lain, maka Zaid tidak

tidak berhak atas dinar tersebut. Kalau yang mendatangkan adalah Zaid dan 'Amr,

Imam Mawardi berkata: Dilihat dulu (kapasitas) 'Amr. Jika 'Amr berkata: Saya

mendatangkannya karena menolong Zaid, maka semua harta (yang dijanjikan

Page 13: Makalah Fiqh Indonesia

untuk hadiah) adalah untuk Zaid, dan 'Amr tidak mendapat apapun. Tapi jika

'Amr berkata: Saya mendatangkannya untuk (kepentingan) diri saya sendiri

karena ingin mendapatkan upahnya, maka Zaid berhak separuh dinar, karena dia

telah melakukan sebagian pekerjaan].

Dalam contoh kasus pertama, yang diperintah mendatangkan budak yang hilang

dan dijanjikan upah sebenarnya adalah Zaid. Tapi karena Zaid tidak bisa

memenuhi apa yang diinginkan pemilik budak, maka dia tidak berhak atas upah,

dan yang berhak adalah orang lain yang berhasil mendatangkan. Apa yang

disebutkan dalam al-Majmu’ ini menunjukkan, bahwa dalam akad Ju’alah, orang

yang tidak melakukan tugas, atau tidak terlibat sama sekali dalam suatu tugas,

tidak berhak atas upah.

Bila ini kita kaitkan dengan MLM, maka sangat kontras sekali perbedaannya.

Ketika seorang member terlibat akad ju’alah dengan perusahaannya, dan

kemudian dia berhasil memenuhi tugas (yaitu merekrut sejumlah orang untuk

menjadi member), maka yang akan menerima hadiah/bonus bukan hanya dia

sendiri, tetapi semua orang yang ada dalam jaringan diatasnya. Padahal, orang-

orang diatasnya sama sekali tidak terlibat dalam perekrutan orang yang dilakukan

si member tadi. Artinya, dalam ju’alah yang seperti ini, ada orang yang

sebenarnya tidak berhak menikmati upah/bonus, tapi ikut menikmatinya.

Akibatnya, ju’alah yang seperti ini adalah rusak (fasidah).

Kemudian, akad membership. Akad ini jelas mengundang pertanyaan besar,

karena obyeknya bukan zat ataupun jasa. Tujuan dari akad ini adalah untuk

mendapatkan bonus jika nanti membeli suatu barang, yang hal ini belum tentu

akan terlaksana, karena tergantung apakah nantinya member membeli produk atau

tidak. Ini mirip dengan orang yang mendaftar menjadi anggota asuransi untuk

mendapatkan jaminan asuransi dari pihak yang menyelenggarakan asuransi, meski

tidak sepenuhnya sama.

Yang jelas, akad membership merupakan akad yang menggantungkan pada

sesuatu di masa yang akan datang yang belum pasti akan terjadi. Oleh karena itu,

akad ini merupakan akad yang dilarang dalam Islam, karena mengandung unsur

untung-untungan. Pihak member tidak akan bisa merasakan manfaat nyata berupa

Page 14: Makalah Fiqh Indonesia

keuntungan/bonus apapun, sebelum ia membeli produk. Sehingga, dengan bahasa

yang sederhana dapat dikatakan bahwa akad membership adalah akad yang

sebenarnya berisi ‘pembelian hak untuk mendapatkan bonus’. Hanya sebatas hak,

karena teralisasi atau tidaknya hak ini digantungkan ke masa yang akan datang.

Berdasarkan paparan diatas, jelaslah bahwa telah terjadi kerancuan dalam akad-

akad yang terjadi dalam MLM. Padahal, maksud diaturnya akad secara ketat

dalam fikih mu’amalah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menutup

kemungkinan terjadinya gharar (tipuan), dlarar (kerugian), jahalah

(ketidakjelasan), ataupun dzulm (kezaliman terhadap pihak lain), sehingga dapat

meminimalisir persengketaan antara para pihak dan menyelamatkan masing-

masing pihak dari kerugian. Maka dari itu, karena dalam bisnis MLM terjadi akad

yang mengandung kerancuan, bisnis ini potensial bagi terjadinya gharar.

Sedangkan, dalam hadis nabi dikatakan:

Úä ÃÈí åÑíÑÉ: «Ãäøó ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÂáöåö

æóÓóáøóãó äóåóì Úóäú ÈóíúÚö ÇáúÍóÕóÇÉö æóÚóäú ÈóíúÚö ÇáúÛóÑóÑö»

ÑæÇå ÇáÌãÇÚÉ ÅáÇ ÇáÈÎÇÑí

Dari Abu Hurairah: “Rasulullah melarang jual beli dengan lemparan batu dan jual

beli yang mengandung tipuan” (Diriwayatkan oleh Jama’ah (para perawi hadis)

kecuali Bukhari)

Fakta lain yang terjadi dalam MLM adalah adanya penerimaan bonus oleh up line,

sebagai imbalan atas prestasi down line-nya. Ini terjadi karena rusaknya akad

ju’alah yang terjadi dalam MLM, sehingga pihak up line menikmati suatu

kemanfaatan yang bukan dari usahanya sendiri. Prestasi yang dilakukan down line

akan secara otomatis mengakibatkan keuntungan up line-nya. Padahal, bisa jadi,

antara up line dan down line tidak saling kenal dan tidak tahu aktifitasnya.

Apalagi bagi up line yang down line-nya sudah banyak, dia bisa sama sekali tidak

tahu mengenai down line-nya. Tahu-tahu sudah untung dan bonusnya terus

bertambah, seiring bertambahnya down line dan prestasi yang dilakukan down

line.

Logika MLM pasti selalu mengharuskan adanya pihak down line yang dirugikan

untuk keuntungan up line - up line yang berada diatasnya. Terlepas dari persoalan

Page 15: Makalah Fiqh Indonesia

apakah down line ini kemudian akan mencari ‘mangsa’ lain agar bisa naik jadi up

line sehingga yang menderita kerugian adalah yang dibawahnya atau tidak. Yang

jelas, setiap MLM pasti selalu menuntut dan meniscayakan adanya “orang-orang

paling bawah” yang akan menjadi sumber keuntungan bagi “orang-orang di

atasnya”. Islam tidak pernah mengajarkan kondisi demikian, karena setiap orang

hanya berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Dalam Surat Al-Muthaffifiin:26 Allah berfirman, yang artinya: "Dan untuk

(memperoleh keni'matan surga dan macam-macamnya) itu hendaknya orang

berlomba-lomba". Allah juga berfirman dalam Surat An-Najm:39, yang artinya:

"Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya". Berdasarkan ayat ini, setiap orang muslim hendaknya bekerja

keras dan berusaha, karena dia tidak selayaknya mendapatkan suatu keuntungan

yang bukan dari pekerjaannya sendiri.

Rasulullah juga pernah menampakkan sikap tidak senang terhadap mereka yang

sukanya mendapatkan keuntungan besar tanpa usaha yang keras. Dalam sebuah

riwayat, disebutkan bahwa Ibnu Lutaibah pernah menjadi staf Rasulullah yang

mengurusi harta Zakat dan Sadaqah, kemudian ia mendapatkan pemberian dan

hadiah dari orang-orang yang dilayaninya. Ketika Rasulullah mendengar hal

tersebut, beliau marah lalu berkhotbah "Saya telah mengangkat salah satu dari

kalian untuk menjalankan pekerjaan (mengumpulkan zakat), kemudian dia datang

kepada saya dan berkata "Ini untukmu dan ini dihadiahkan kepadaku". Kenapa dia

tidak duduk di rumah ayah atau ibunya (maksudnya tidak usah bekerja), apakah

hadiah itu bisa datang kepadanya bila ia benar?. Demi Allah janganlah kalian

mengambil apa yang tidak menjadi hak kalian, kecuali kalian akan datang di hari

kiamat menghadap Allah dengan membawa apa yang diambilnya (Hadis Riwayat

Bukhari Muslim).

Ä Keluar Dari Perbedaan Adalah Lebih Utama

Dari paparan diatas jelaslah bahwa sistem akad yang ada dalam MLM

mengandung masalah dari sudut pandang fikih. Dalam MLM tipe pertama,

diantara masalahnya ada pada berkumpulnya bai’ dan ju’alah dalam satu

transaksi. Menurut pendapat yang masyhur dari kalangan Malikiyyah, yang

Page 16: Makalah Fiqh Indonesia

seperti itu adalah dilarang oleh syara’. Meskipun hal ini masih menjadi

perselisihan, sikap yang terbaik adalah menghindarinya, sesuai kaidah fikih:

íÓÊÍÈ ÇáÎÑæÌ ãä ÇáÎáÇÝ

(Dianjurkan untuk keluar dari perbedaan)

Dalam hal yang keharamannya masih diperselisihkan, realisasi dari kaidah ini

adalah dengan menjauhi hal yang masih diperselisihkan tersebut. Al-Zarkasyi

mengatakan: “dianjurkan untuk keluar dari khilaf. Caranya, adalah dengan

menjauhi hal yang keharamannya masih diperselisihkan, dan dengan

melaksanakan hal yang masih diperselisihkan keharusannya (wajib atau

tidaknya)”.

Berdasarkan kaidah ini, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa

berkumpulnya akad bai’ dan ju’alah dalam satu transaksi adalah terlarang, maka

meskipun ada juga yang membolehkannya, bisnis yang mengandung transaksi

yang demikian itu sebaiknya dihindari. Belum lagi kalau dilihat dari sudut

pandang masing-masing akadnya yang memang banyak yang rusak (fasid).

Sedangkan dalam MLM tipe kedua, masalah timbul dari adanya akad membership

(keanggotaan), yang sebagaimana telah dijelaskan didepan, merupakan akad yang

dilarang oleh syara’, karena mengandung unsur untung-untungan. Akad yang di

dalamnya mengandung untung-untungan, jelas tidak diperbolehjkan oleh syara’,

sebagaimana yang tampak dari pendapat para ulama pada saat berbicara tentang

asuransi (al-ta’min).

BAB III

KESIMPULAN

Dalam mu’malah memang ada kaidah: al-ashlu fi al-mu’amalati shihhatun, hatta

yaquma dalilun dalla ‘ala tahrimiha {hukum asal dari mu’amalah adalah sah

(boleh), sampai dalil yang menunjukkan keharamannya}. MLM yang termasuk

dalam kategori mu’amalah merupakan suatu jenis bisnis baru yang munculnya

belum lama. Karena itu, bisnis ini tidak pernah secara eksplisit dibicarakan dalam

Qur’an, Sunnah, maupun dalam kitab-kitab fikih klasik -- bahkan yang

kontemporer — yang isinya adalah penjabaran dari prinsip-prinsip yang diberikan

Page 17: Makalah Fiqh Indonesia

oleh Qur’an dan Sunnah. Sehingga, banyak yang kemudian menyimpulkan

dengan begitu mudahnya, bahwa hukumnya adalah boleh, karena dianggap tidak

ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

MLM memang belum dibicarakan secara eksplisit dalam Qur’an, Sunnah,

maupun kitab-kitab fikih. Meskipun demikian, sistem yang ada dalam bisnis ini

ternyata bisa dicari hukumnya dalam kitab-kitab fikih tersebut, karena

mengandung akad-akad yang telah dibahas rinci oleh kitab-kitab fikih. Sistem

yang ada dalam MLM sangat bervariasi, tapi secara umum bisa dikelompokkan

menjadi dua: sistem yang di dalamnya terdapat perkumpulan akad bai’ dan ju’alah

dalam satu transaksi, dan sistem yang didalamnya terdapat akad membership

(keanggotaan) dan ju’alah.

MLM tipe pertama, yang menggabungkan bai’ dan ju’alah secara bersamaan,

menurut pendapat yang masyhur dari kalangan Malikiyyah tidak diperbolehkan

dalam syara’. Larangan ini memang belum disepakati oleh para ulama, karena

masih ada juga beberapa yang membolehkannya. Tapi berdasarkan kehati-hatian,

sebaiknya dihindari saja. Ini kalau dilihat dari segi perkumpulan bai’ dan ju’alah-

nya. Sedangkan kalau dilihat dari masing-masing akad yang ada, bai’ dan ju’alah

yang ada dalam MLM tipe pertama ternyata rusak (fasid).

Sedangkan MLM tipe kedua, yang menggabungkan akad membership dan ju’alah,

masing-masing akadnya juga bermasalah. Akad membership adalah akad yang

tidak diperbolehkan oleh syara’, karena mengandung unsur ketidakpastian dan

untung-untungan. Untuk ju’alah-nya, akad ini juga fasid, sebagaimana akad

ju’alah dalam MLM tipe pertama. Karena akad-akad yang ada dalam MLM, baik

tipe pertama maupun yang kedua, adalah fasid (rusak), maka hukum dari bisnis

MLM adalah haram menurut tinjauan fikih.

Kesimpulan hukum haram di sini tidak bisa digeneralisir atau dipukul ratakan

terhadap semua MLM yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Karena,

sebagaimana telah diungkapkan di depan, bisnis MLM adalah bisnis yang sangat

bervariasi dalam prakteknya. Sehingga, hukum haram di sini berlaku sepanjang

fakta-faktanya sama, yaitu jika MLM yang ada mengikuti salah satu dari dua

sistem MLM yang telah dipaparkan dalam makalah ini. Terhadap MLM yang

Page 18: Makalah Fiqh Indonesia

ternyata sistemnya tidak termasuk salah satu dari dua sistem tersebut, maka

ketentuan hukum yang ada dalam makalah ini tidak bisa secara otomatis berlaku.

Untuk menentukan hukumnya, harus dilakukan penelitian tersendiri, bukan hanya

sekedar membolehkan berdasarkan kaidah al-ashlu fi al-mu’amalati shihhatun,

hatta yaquma dalilun dalla ‘ala tahrimiha, tanpa melakukan penelusuran ada atau

tidaknya dalil yang mengharamkannya secara cermat, sebagaimana yang sering

dilakukan oleh beberapa orang yang ceroboh dalam masalah agama.

Sebagai penutup, ada baiknya kita ingat lagi pesan Rasulullah: “Sesungguhnya

yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal

yang syubhat dimana sebagian besar manusia tidak tahu. Barang siapa menjaga

dari syubhat maka telah menjaga agama dan kehormatannya dan barang siapa

yang jatuh pada syubhat berarti telah jatuh pada yang haram” (HR. Bukhari dan

Muslim). Beliau juga pernah berpesan: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan

untuk melakukan sesuatu hal yang tidak meragukan (Riwayat Tirmidzi, dan

dikatakan: Hasan Shahih).