Latihan 1 - Web viewBersama-sama dalam kelas, bacalah teks di bawah ini dengan cermat....

126
LATIHAN 1 Bersama-sama dalam kelas, bacalah teks di bawah ini dengan cermat. Tentukanlah unsur-unsur yang menandai teks ini sebagai sebuah karya ilmiah. Ujian Nasional (UN): Harapan, Tantangan, dan Peluang ABSTRACT The National Examinatioll (NE) has bew conducted for several times nationwide. However, public debates always emerge over the importance of NE prior to the annual excecution of the examination. The goverments policy to raise the passing standard under the pretext of improving the quality of the national education has commonly triggered a heated controversy. This paper discusses the NE from the perspectives of expectations, challenges and opportunities. It attempts to provide an objective picture as to the need to hold NE. As such, it puts the attempts to improve the quality of the national education trough NE in a proportionately wider perspective. KEYWORDS national examination, national education, quality of national education Peluncuran Keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 Tanggal140ktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional (selanjulnya disingkat UN) untuk tahun pelajaran 2003/2004 sebagai kebijakan pemerintah yang diberlakukan secara nasional telah mengundang berbagai reaksi negatif dari berbagai kalangan. Reaksi negatif yang ada pada umumnya memunculkan sikap pesimis. Husnawati (2004), misalnya, melontarkan beberapa pandangan negatifnya. Dengan UN 2004, siswa akan belajar seperti mesin dalam rangka pencapaian target yang ditentukan saja, semen tara itu kemampuan yang lain terabaikan. Selain itu, penentuan passing grade dapat merupakan stressor yang berpotensi menghantui siswa. Juga, dikatakannya bahwa soal-soal UN berpeluang menghambat perkembangan muliple intellegence siswa. Selanjutnya, Santoso (2004) juga melontarkan pesimismeya, sebagai berikut. Butir- butir soal UN hanya berdimensi akademis pedagogis saja dan tidak berorientasi membebaskan siswa dari ketidakpekaan terhadap lingkungannya. Juga, dikatakannya bahwa matauji dan butir-butir UN tidak mengembangkan logika, inovasi, dan daya tahan emosi siswa. Selain komentar-komentar tersebut, pembahasan yang bersifat akademis pun pemah dilakukan. Dalam suatu seminar yang diselenggarakan do Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 1 April 2004, nada negatif juga muncul,

Transcript of Latihan 1 - Web viewBersama-sama dalam kelas, bacalah teks di bawah ini dengan cermat....

LATIHAN 1Bersama-sama dalam kelas, bacalah teks di bawah ini dengan cermat. Tentukanlah unsur-unsur yang menandai teks ini sebagai sebuah karya ilmiah.

Ujian Nasional (UN): Harapan, Tantangan, dan Peluang

ABSTRACT The National Examinatioll (NE) has bew conducted for several times nationwide. However, public debates always emerge over the importance of NE prior to the annual excecution of the examination. The goverments policy to raise the passing standard under the pretext of improving the quality of the national education has commonly triggered a heated controversy. This paper discusses the NE from the perspectives of expectations, challenges and opportunities. It attempts to provide an objective picture as to the need to hold NE. As such, it puts the attempts to improve the quality of the national education trough NE in a proportionately wider perspective. KEYWORDS national examination, national education, quality of national education

Peluncuran Keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 Tanggal140ktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional (selanjulnya disingkat UN) untuk tahun pelajaran 2003/2004 sebagai kebijakan pemerintah yang diberlakukan secara nasional telah mengundang berbagai reaksi negatif dari berbagai kalangan. Reaksi negatif yang ada pada umumnya memunculkan sikap pesimis. Husnawati (2004), misalnya, melontarkan beberapa pandangan negatifnya. Dengan UN 2004, siswa akan belajar seperti mesin dalam rangka pencapaian target yang ditentukan saja, semen tara itu kemampuan yang lain terabaikan. Selain itu, penentuan passing grade dapat merupakan stressor yang berpotensi menghantui siswa. Juga, dikatakannya bahwa soal-soal UN berpeluang menghambat perkembangan muliple intellegence siswa. Selanjutnya, Santoso (2004) juga melontarkan pesimismeya, sebagai berikut. Butir-butir soal UN hanya berdimensi akademis pedagogis saja dan tidak berorientasi membebaskan siswa dari ketidakpekaan terhadap lingkungannya. Juga, dikatakannya bahwa matauji dan butir-butir UN tidak mengembangkan logika, inovasi, dan daya tahan emosi siswa. Selain komentar-komentar tersebut, pembahasan yang bersifat akademis pun pemah dilakukan. Dalam suatu seminar yang diselenggarakan do Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 1 April 2004, nada negatif juga muncul, antara lain disebutkan bahwa UN memerkosa hak-hak siswa. Bahkan, nada pesimis juga bergaung dari gedung DPR. Dalam dengar pendapat antara Komisi VI yang membidangi masalah pendidikan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengemuka pesimisme yang senada dengan pandangan yang disebut sebelumnya. Bahkan, ada desakan kuat agar UN dihapus di tahun ajaran berikutnya. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penghapusan tersebut, yaitu standar passing grade 4.01 dinilai memberatkan siswa; siswa belum memiliki kesiapan yang minim; kualitas guru yang belum memadai; anggaran penyelenggaraan terlalu besar; dan pengujian dilakukan pada aspek kognitif siswa saja; bahkan ada pandangar, bahwa UN melanggar UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 (Jawa Pos, 5 Mei 2004).

Sementara itu, pandangan yang mendukung pelaksanaan UN juga bergaung dari berbagai kalangan. Musthofa (2004) menyatakan bahwa UN perlu didukung karena beberapa alasan berikut. UN merupakan bentuk idealisasi bangsa yang akan mampu mengikis pelecehan rendahnya mu tu pendidikan nasional di tingkat global. UN dapat berperan sebagai motivator belajar siswa dan mengembangkan semangat kompetisi siswa. UN akan menggugah semangat dan motivasi guru untuk mengajar lebih baik lagi. Selain itu, penentuan tiga matauji UN, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika dipandang strategis dalam menjawab tantangan global. Senada dengan pendapat Musthofa tersebut, Prameswari (2004) berpandangan bahvla UN akan mampu menepis kesenjangan

antarsekolah dan antardaerah apabila dilaksanakan dengan konsekuen. dan menjadi langkah awal untuk membenahi dunia pendidikan agarmenjadi lebih baik lagi.

Dari berbagai reaksi yang muncul tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa meskipun mendapatkan dukungan, pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional menuai kritik yang cukup pedas dengan kebijakan meluncurkan keputusan tentang UN pada tahun 2003/2004. Meskipun demikian, pemerintah tetap bersikukuh pada keputusannya, yaitu tetap melaksanakan UN tahun. 2003/2004 Itu terbukti dari penyelenggaraan uN yang dimulai pada bulan Mei yang baru lalu.

UN bukanlah ”barang" baru dalarn wacana nasional. Sebenarnya telah ada pengalaman pelaksanaan UN tahun lalu. Sebagai catatan: UN telah mulai diberlakukan sejak tahun ajaran 2002/2003. Namun, peluncuran Keputusan Dependiknas Nomor 153/U/2003 Tanggal 14 Oktober 2003 ini nampaknya memicu reaksi yang semarak. Dua faktor berikut dapat menjelaskan keadaan ini. Faktor pertama adalah adanya kenaikan standar batas minimal kelulusan dari 3,1 poin menjadi 4,1 poin, dan kemudian untuk UN tahun 2006 dinaikkan rnenjadi 4,25. Kenaikan standar batas minimal kelulusan ini mengundang reaksi yang beragam. Bagi sekolah yang secara akademik "mapan" dan telah memiliki kesiapan untuk mengantarkan siswanya menghadapi UN, kenaikan standar ini bukanlah sesuatu yang terlalu dirisaukan; bahkan rnungkin sekolah-sekolah tersebut beranggapan bahwa standar kelulusan 4,25 adalah sesuatu yang "keci!". Akan tetapi, bagi sekolah-sekolah lain yang belum "siap", masalah kenaikan standar ini dapat merupakan "beban moral" yang amat berat untuk ditanggungnya. Jangankan untuk mencapai 4,0, untuk memenuhi standar 3,0 saja, bagi mereka masih merupakan perjuangan berat tersendiri.

Faktor kedua adalah pemerintah terkesan tidak sensitif terhadap keadaan sekolah yang sesungguhnya sehingga kebijakan pemerintah ini terkesan tergesa-gesa. Faktor dominan yang terkait dengan keadaan sekolah yang pada umumnya masih memprihatinkan adalah belum memadainya kondisi atau fasilitas pemelajaran sekolah. Keadaan lain adalah keberadaan sumber daya guru maupun sumber pus taka yang ada belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan baik ditinjau dari sudut kuantitas maupun kualitas. Masalah lain sebagai dampak dua keadaan terse but adalah belum memadainya mutu proses dan kegiatan pemelajaran yang diselenggarakan (Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah 2004:2; Kebijakan Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama 2004:2). Memang, telah dilakukan berbagai upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut melalui berbagai kebijakan, misalnya Wajib Belajar 9 Tahun dengan berbagai kegiatan di dalamnya. Meskipun begitu, upaya tersebut masih belum berjalan mulus, apalagi setelah terjadi krisis moneter yang berkepanjangan sejak 1997. Keadaan ini nlemaksa pencapaian target pencanangan pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama 2004:2) meleset.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang tetap menyelenggarakan UN memiliki alasan kuat. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2004:2) menyatakan bahwa UN adalah bagian dari upaya untuk menlperbaiki mutu pendidikan nasional yang hingga kini dipandang masih buram. Dinyatakan pula bahwa dalam kurikulum, sistem pendidikan ujian perlu diadakan untuk mengukur proses pencapaian standar yang ditentukan, Ujian merupakan bentuk pertanggungjawaban. Selain itu, ujian adalah bagian dari sistem yang dapat mendorong proses pengajaran guru dan pemelajaran siswa. Ujian memiliki fungsi korektif yang berdampak pada kegiatan mengajar guru dan kegiatan belajar siswa.

Alasan yang dikemukakan tersebut terkesan normatif. Namun demikian, sebenarnya alasan tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk penjabaran konsep pendidikan dalam implementasinya. Ujian memiliki peranan yang penting dalam pendidikan meskipun banyak yang belum memahaminya dengan benar (Athanasou dan Lamprianou 2002: 1). Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional beserta segenap jajaran di bawahnya memiliki kewajiban untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, alasan di atas pun sebenarnya dapat

didudukkan pada porsinya sehingga dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh semua pihak.

Uraian di atas menyiratkan adanya pertentangan pendapat antara Departemen Pendidikan Nasional sebagai instrumen pemerintah yang mendapatkan amanat untuk menjalankan pembangunan pendidikan nasional dan masyarakat yang sebenarnya merupakan sasaran pembangunan pendidikan. Dalam kebidupan masyarakat demokrasi, pertentangan pendapat dalam masalah UN tersebut adalah hal yang wajar dan justru diperlukan. Pertentangan dalam wacana semacam ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dinamika masyarakat demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang ditandai dengan ciri "punya suara yang berhak disuarakan dan didengar". Selama ada aksi yang kemudian ditanggapi reaksi dengan itikad membangun (constructive remarks), dinamika demokratis semacam ini akan merupakan kendali (kontrol) yang sehat agar semua pihak dapat saling mendengar, memahami, dan berbuat untuk kebajikan bersama. Bukannya suatu bentuk "pengototan" untuk menang sendiri, apalagi mencari-cari kesalahan pihak lain. Sistem pengujian nasional akan dapat diselenggarakan dengan berhasil guna, yaitu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional, apabila penyelenggaraannya didasarkan pada kajian-kajian yang mendalam dan sistematis, dan perencanaannya dilakukan secara konseptual akademik dengan ide yang inovatif.

Tulisan ini dikembangkan dalam upaya untuk menyajikan suatu bentuk pemikiran yang diharapkan dapat memberikan masukan pada penyelenggaraan UN pada masa mendatang. Untuk mencapai tujuan penulisan ini, tulisan ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian I menyajikan latar belakang dan tujuan penulisan. Bagian II membahas Ujian Akhir N asional (UN) dengan fokus pada perkembangan sistem pengujian nasional, kajian yuridis dan teoritis. Bagian III membahas keadaan dan masalah pendidikan nasional yang ada pada saat ini;Bagian IV memaparkan beberapa hal yang perlu dilakukan ke depan terkait dengan UN.

SISTEM PENGUJIAN NASIONAL: PERSPEKTIF PERKEMBANGAN SEJARAHNYA UN sebagai suatu kebijakan pemerintah bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja dari Departemen Pendidikan NasionaL Sepanjang sejarah kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah memberlakukan beberapa kebijakan yang diarahkan pada upaya-upaya untuk menjaga mutu pendidikan. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2004:2) menyatakan bahwa sejak tahun 1945 setidaknya telah ada tiga periode yang telah dilalui oleh pemerintah dalam upaya menjaga mutu pendidikan rnelalui berbagai bentuk kebijakan sistem ujian. Ketiga periode itu adalah periode sistem ujian negara, periode ujian sekolah penuh, dan periode evaluasi belajar tahap akhir nasional. Ketiga periode tersebut muncul dalam dinamika pencarian format dengan pengujian yang akuntabel dan sahih.

Periode sistem ujian negara berlangsung hampir selama dua dasawarsa, yaitu sejak tahun 1945 hingga tahun 1964. Pacia periode ini, semua siswa menempuh ujian akhir untuk menyelesaikan jenjang pendidikannya dalam bentuk ujian yang disebut ujian negara. Sesuai dengan namanya, yaitu ujian negara, semua piranti ujian dipersiapkan oleh negara. Semua mata pelajaran yang akan diujikan dan semua soal yang ditanyakan berdasarkan mata pelajaran yang diujikan ditentukan dan disiapkan oleh negara. Demikian juga dalam penyelenggaraannya, peran negara sangat dominan dan ketat. Singkatnya, pada petiode ini suasana sentralisasi pelaksanaan ujian sangat terasa.

Ada kelemahan dan keunggulan dengan penyelenggaraan sistem ujian negara tersebut. Kelemahannya sekaligus merupakan keunggulannya. Oleh karena kendali pemerintah yang sangat ketat, sekolah hampir tidak memiliki kewenangan apalagi campur tangan untuk menentukan kelulusan siswa mereka. Selain itu, kuantitas siswa yang tersaring ujian pada umumnya dapat dikatakan kecil. Namun demikian, mereka yang berhasil lolos ujian negara pada umumnya memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Kualitas kelulusan dengan model ujian negara dapat dikatakan tinggi. Tingginya mutu lulusan model ujian negara ini menyebabkan tidak diperlukannya seleksi terhadap siswa agar dapat mengikuti

jenjang pendidikan berikutnya. Namun sistem ujian negara ini dengan segala kelebihan dan kekurangan tersebut

dianggap tidak adil karenadipandang tidak memperhatikan kondisi daerah yang memiliki keragaman penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, sistem ini kemudian diganti dengan yang lain, yaitu· sistem ujian sekolah penuh.

Periode ujian sekolah penuh kemudian menggantikan sistem ujian negara. Sistem ini berlangsung hampir dua dasawarsa, yaitu mulai 1965 hingga 1982. Tidak seperti periode ujian negara yang lebih sentralistis, praktik penyelenggaraan ujian pada periode ujian sekolah sepenuhnya dikendalikan oleh sekolah. Sekolah diberi wewenang penuh untuk mengembangkan piranti ujian dan melaksanakannya. Sekolah juga diberi wewenang untuk nlenentukan kelulusan Akan tetapi, kewenangan penuh yang diberikan kepada sekolah tidak otomatis diikuti dengan naiknya mutu lulusan secara kualitatif. Secara kuantitatif, memang kelulusannya dapat dikatakan amat memuaskan karena semua siswa lolos ujian akhir. Akan tetapi, pada periode ini terjadi kemerosotan mutu lulusan. Mutu lulusan ujian sekolah penuh menjadi rendah.

Dari segi kuantitas, sistem ujian sekolah memang unggul. Akan tetapi, sistem ini lemah dari segi kualitas lulusarmya. Rendahnya mutu lulusan pada sistem ujian sekolah mengundang berbagal kritikan pedas. Ada desakan agar sistem ini dikembalikan kepada sistem ujian negara seperti sistem yang perlama dengan alasan mendongkrak kualitas lulusan.

Pada periode berikutnya, diperkenalkan sistem baru, yaitu sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang dikenal dengan akronim EBTANAS. Sistem EBT AN AS berlangsung selama dua dasawarsa, terhitung mulai 1982 hingga tahun 2002. Pada tataran konsep, sistem EBTANAS merupakan gabungan dua sistem ujian yang pernah berlaku sebelumnya, yaitu sistem ujian negara dan sistem ujian sekolah. Kombinasi ini tercermin pada tata cara penilaian yang memperhatikan hasil nilai ujian sekolah dan ujian negara. Diharapkan bahwa sistem ini dapat mengoreksi kelemahan pada sistem pengujian yang pernah diberlakukan sebelumnya. Namun kenyataannya, sekali lagi sistem ini juga mengulangi kelemahan yang terjadi pada sistem ujian sekolah penuh. Seeara. kualitas, mutu lulu san dengan sistem EBT ANAS pun dipandang rendah. Disinyalir terjadi pendongkrakan (mark up) nilai siswa yang mestinya rendah menjadi lulus. Ada pandangan yang menyatakan bahwa guru berpeluang mendongkrak nilai siswa karena ujian praktik dan teori digabungkan untuk penentuan nilai akhir siswa (Winoto 2004).

Tahun 2002, EBTANAS diganti dengan sistem Ujian Akhir Nasional atau disingkat UN. Sistem inilah yang hingga kini berlangsung dan yang akhirakhir ini menimbulkan kontroversi yang meluas dalam masyarakat. Apabila diamati, perkembangan sistem ujian nasional sebenamya bertumpu pada upaya peningkatan mutu keluaran hasil pendidikan. Hingga saat ini, pencarian pemerintah atas sistem yang benar-benar dapat menjamin mutu pendidikan melalui sistem pengujian belum berakhir. Pemerintah masih mencari bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara teoretis konseptual, yuridis formal, maupun sosial. lni wajar, apalagi dinamika masyarakat dan perkembangan IPTEK berlangsung pesat. Ketika satu permasalahan dapat teratasi, tetapi belum sempat menghasilkan pemecahan yang memuaskan, muncul masalah baru lain yang juga memerlukan perhatian pemecahannya. Tampaknya hal ini juga dihadapi dalam sejarah sistem pengujian nasional. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran-pemikiran inovatif dan konseptual yang dikaji dan dikembangkan terus menerus.

DASAR PEMIKIRAN UJIAN NASIONAL (UN) Dalam pernyataannya, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2004:2) mengatakan bahwa UN adalah salah satu upaya pembenahan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. lni dilakukan dengan memasang standar nilai minimal yang harus diraih oleh siswa. Dengan mencanangkan nilai minimal sebagai batas kelulusan, diharapkan bahwa ini tidak hanya merupakan tantangan

bagi siswa saja, tetapi juga merupakan washback effect yang positif bagi semua pihak, terutama guru dan orang tua. Guru diharapkan dapat menjalankari fungsi pengajaran dengan lebih bersungguh-sungguh sehingga dapat mengantarkan siswa dalam kegiatan pemelajaran.

Demikian juga orang tua, mpreka diharapkan akan lebih memperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan pemelajaran anak mereka. Mereka diharapkan akan dapat lebih mengawasi dan mendorong anak-anak mereka dalam belajar. Keterlibatan orang tua dalam hal tersebut mengandung maksud bahwa tugas mendidik itu tidak hanya merupakan monopoli sekolah sebagai lembaga format tetapi masyarakat pun diharapkan berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan anak meskipun dalam bentuk dan tanggung jawab yang berbeda.

Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasionai Republik Indonesia Nomor 114/U/2001 tentang Penilaian Hasil Belajar Secara Nasionat UN sebagai salah satu bentuk sarana untuk menilai hasil belajar siswa diselenggarakan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut. Pertama, penilaian tingkat nasional yang diselenggarakansecara sistematis dan berkala perlu dilaksanakan guna memantau, mengendalikan, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah secara nasional. Kedua, penilaian merupakan cara untuk mengetahui apakah siswa telah belajar sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga, setiap warga negara berhak mendapatkan penilaian atas hasil belajamya yang diperoleh melalui satuan pendidikan.

Sementara itu, menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 153/U/2003 Tanggal14 Oktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pe]ajaran 2003/2004, pertimbangan penyelenggaraan UN, antara lain adalah sebagai berikut ”” ... untuk mengetahui hasil belajar peserta didik dan untuk memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan ... ”” pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Selain itu, penyelenggaraan UN sebagai sarana penjamin ”” adanya standar mutu pendidikan yang terukur secara nasional, juga didasarkan atas pertimbangan ' untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ..”.

TUJUAN DAN FUNGSI UNKeputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 114/U/2001 tentang Penilaian Hasil Belajar Secara Nasional menyatakan bahwa penilaian hasil belajar secara nasional, yang antara lain mencaku p UN (pasal 3 ayat 1) bertujuan untuk ”mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik dan mengetahui mutu pendidikan", Sementara itu, fungsinya adalah sebagai

(a) alat pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan; (b) bahan pertimbangan dalam penentuan tamat belajar peserta didik pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; (c) bahan pertimbangan dalam penerimaan peserta didik pada setiap jenis, jalur, danjenjang pendidikan; dan (d) umpan balik perbaikan program pemelajaran.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 153/1J/2003 Tangga114 Oktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional tahun Pelajaran 2003/2004 bertujuan N asional untuk

(a) mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; (b) mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, cian sekolah/ madrasah; (c) mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/ madrasah kepada masyarakat. Adapun fungsi UN adalah sebagai (a) alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; (b) pendorong peningkatan mutu pendidikan; (c) bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik; dan (d) bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru pada

jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Berdasarkan uraian tentang latar belakang, tujuan dan fungsi ujian nasional tersebut di atas dapat dikatakan bahwa UN pada dasarnya adalah salah satu cara yang digunakan untuk penggalian informasi tentang kualitas pendidikan nasional. Penggalian informasi inidilakukan dengan menggunakan seperangkat ujian dan dengan menggunakan siswa sebagai sumber data informasi tersebut. Informasi tentang mutu ini diharapkan merupakan cerminan bagaimana manajemen berbasis sekolah itu diselenggarakan di tiap-tiap sekolah. Akan tetapi, tujuan dan flingsi UN yang telah dirumuskan tersebut tidak semuanya dipahami atau diketahui secara umum. Dalam pengertian apakah semua tujuan dan fungsi yang dicanangkan benar-benar direalisasikan oleh Pemerintah. Satu hal yang paling menyentuh masyarakat terkait dengan UN adalah tujuan ”mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik” dan fungsi "bahan pertimbangan dalam penentuan tamat belajar peserta didik pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan”. Dalam kedua segi ini, masyarakatmerasakan langsung dampak yang muncul sebagai akibat dari keputusan yang diambil dari hasil pengukuran hasil belajar siswa. Bagi khalayak, ini lebih dominan dibandingkan dengan masalah-masalah lain dalam pendidikan yang juga penting untuk dikritik misalnya fungsionalitas keberadaan sarana dan prasarana, kualitas kegiatan belajar-mengajar di kelas, dan sebagainya.

MEKANISME UN 2003/2004 Tidak seperti sistem ujian nasional yang berlaku sebelumnya, pada UN 2003/2004 hanya ada tiga mata pelajaran yang dikembangkan dan diujikan serta dinilai dengan standar nasional, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Mata pelajaran lain diujikan secara lokal. Selain itu, penentuan kelulusan adalah minimum 4,01 untuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional, baik untuk nilai ujian teori maupun praktik. Kriteria nilai rerata mata pelajaran lain yang diujikan minimal 6, seperti pada UN 2002/2003 dihapuskan. Tidak seperti UN 2002/2003, UN 2003/2004 memisahkan nilai teori dan nilai praktik dari mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Tuntutan semacam tersebut diharapkan mampu mengatrol kualitas penye1enggaraan pendidikan apabila semua yang terlibat daJam penyelenggaraan UN 2003/2004 mempunyai komitmen yang tinggi sesuai ketentuan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang telah digariskan pemerintah (Winoto 2004).

UN DALAM PERSPEKTIF TEORI PENGUJIAN Secara fisik, UN berupa seperangkat alat pengujian untuk pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Alat pengujian itu terdiri dari butirbutir tes yang mengukur aspek isi penguasaan siswa dalam pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika tersebut, yang masing-masing mengandung dimensi sasaran ukur (Naga 1992:164). Dengan demikian, pada UN ada tigaperangkat alat uji yang diujikan secara nasionaI, beserta sasaran ukur yang telah ditentukan (Lampiran I dan V Surat Keputusan Mendiknas, No. 153/U/2003 Tanggal14 Oktober 2003).

Mengapa alat uji seperti UN periu diadakan? Ujian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pemelajaran-pengajaran (misal, Lewy 1977:11; Stiggins 1994:42-57; Nitko 1996:1-20). Setiap kegiatan pemelajaran dan pengajaran diikuti dan atau diiringi dengan suatu kegiatan yang tak terpisahkan lainnya, yaitu ujian. Ujian semacam ini dapat dirancang untuk mengukur setidaknya dua hal (Athanasou, J. dan I. Lamprianou 2002:8), yaitu kemajuan hasil belajar siswa dan keefektifan pengajaran. Tujuan pengukuran hasilbelajar sering disebut sebagai achievement orientation, sedangkan tujuan pengukuran keefektivan pengajaran dapat dikategorikan.

Sebagai program evaluation orientation dan kaitannya dengan UN, tersirat adanya dua

macam orientasi tersebut, seperti yang tertuang dalam Keputu.san Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomar 114/U /2001 tentang Penilaian HasH Belajar Secara Nasional, khususnya pasal 3 ayat 1, "mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; dan mengetahui mutu pendidikan ... " dan fungsi memberi "umpan balik perbaikan program pemelajaran". Oleh karena itu, secara teoretis konseptual, nampaknya tujuan dan fungsi yang dijadikan landasan dalam UN memiliki dasar rujukan. Akan tetapi, dalam perspektif ini, yang lebih mendapatkan porsi adalah tujuan "mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik"; sedangkan fungsi memberi "umpan balik perbaikan program pemelajaran" dalam sejarah pengujian nasional nampaknya belum pernah dipublikasikan secara luas.

Sebagai alat ukur, tes atau perangkat pengujian harus berkualitas baik (Bachman 1990). Kualitas. baik ini perlu karena akurasi dan kualitas informasi yang akan diberikan dan tes (Naga 1992:306) akan bergantung pada kualitas tes atau alat uji yang dikembangkan tersebut. Kualitas informasi ini akan berpengaruh terhadap tindak lanjut yang diambil (Nitko 1996: 9-13). Syarat yang perlu dimiliki sebuah tes atau perangkat uji antara lain reliabilitas, validitas, dan kepraktisannya yang memadai. Secara teoretis, pengujian kualitas tes atau alat uji ini melalui prosedur yang cukup pelik dan memerlukan ketelitian tinggi. UN sebagai alat ukur tentunya perlu melalui prosedur ’standar’ pengembangan dan pengujian tes sebelum benar-benar digunakan sebagai alat ukur. Sayangnya, informasi semacam ini tidak mudah untuk diakses secara umum. Akibatnya, yang terkait dengan pengembangan UN adalah asumsi bahwa langkah standar telah dilakukan untuk pengembangannya.

Dalam konsep dikenal adanya istilah tes, pengukuran dan evaluasi (Pedhazur dan Schmelkin, 1991). Ketiga terminologi tersebutmengacu pada konsep yang berbeda. Tes dapat dirujuk sebagai seperangkat prosedur (Bachman 1990) atau butir tes atau seperangkat uji tes (Naga 1992). Bachman (1990) membatasi pengukuran sebagai proses mengkuantifikasikan atribut sasaran ukur dengan menggunakan seperangkat aturan tertentu; sedangkan evaluasi dapat dibatasi sebagai proses pengumpulan dan penganalisisan informasi untuk pengambilan keputusan. Dari perspektif konsep dan terminologi tersebut nampaknya ada ketidaktegasan acuan dalam UN. Rancangan istilah UN nampaknya mengacu kepada evaluasi karena di dalanmya ada proses pengambilan keputusan; sedangkan secara bentuk, UN nampaknya menunjuk pada butir-butir tes. Memang dimungkinan bahwa dalam suatu evaluasi melibatkan penggunaan butir tes; namun tidak semua bentuk evaluasi harus menggunakan tes. Istilah assesmen dapat digunakan untuk menggambarkan semangat yang tertuang pada istilah UN. Athanasou J. dan I. Lamprianou (2002:3) memberi batasan assesmen sebagai "the process or the processes of collecting and combining infonmation from tasks (e.g. tests on performance or learning) with a view to making a judgement about a person or making a comparison against an established criterion".

Istilah ini pun tidak begitu tepat untuk menggambarkan nuansa yang diharapkan pada UN karena ibarat alat potret, UN hanya digunakan untuk ’memotret' kemampuan sesaat siswa saja. Pemotretan keadaan sesaatterhadap seseorang tentu saja tidak dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan utuh seseorang. Sementara itu, konsep assesmen yang utuh, seperti batasan di atas, mengisyaratkan adanya "pemotretan" yang dilakukan berkali-kali, dari sudut yang berbeda-beda, dan bahkan dilakukan dengan menggunakan alat yang beragam.

MENGANALISIS KURIKULUM NASIONAL Dalam sistem ketatanegaraan, kurikulum mungkin dapat dipadankan dengan garis besar haluan negara. Dengan garis besar haluan negara, pemerintah memiliki target yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Demikian juga, dengan kurikulum, pengelola pendidikan memiliki target yang akan dicapai dengan pemelajaran anak didik.

Satu permasalahan dalam kurikulum nasional adalah bahwa kurikulum yang digunakan terlalu sarat dengan beban dan amat terstruktur. Ini bcrdampak buruk terhadap kegiatan pemelajaran di kelas. Kurikulum yang sarat dengan beban menjadikan guru

berupaya mencapai target beban pencapaian kurikulum dengan berbagai cara. Dampaknya adalah pengajaran menjadi tidak dapat berkembang dengan baik. Pada kondisi seperti ini, guru hanya berupaya mencapai "setoran" sesuai target kurikulum. Guru menjadi tidak kratif atau inovatif karena saratnya beban yang harus dipikul. Cara yang paling mudah untuk itu adalah metode transfer of knowledge: Guru aktif bicara sementara siswa duduk mendengarkan. Yang terkena imbas adalah siswa. Siswa menjadi terpasung dalam ketidakberdayaan. Kreativitas mereka tidak berkembang, apalagi daya penalaran mereka. Selain itu, kurikulum yang terlalu terstruktur menjadikan pemelajaran tidak luwes dan tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi amat cepat dalam IPTEKS. Pemelajaran menjadi ritual yang tidak memiliki makna karena harus sesuai dengan isi kurikulum. Akibatnya, profesionalisme guru tidak berkembang dengan baik; pemelajaran menjadi monoton dan membosankani proses penilaian hasil belajar menjadi terlalu normatifi dan akhimya siswa mati kutu.

Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh Depdiknas untuk membenahi kurikulum. Upaya-upaya yang dilakukan adalah untuk merampingkan isi, juga untuk membenahi orientasi proses dan hasil belajar siswa (Suyanto 1995b). Namun, dari pengalaman implementasi kurikulum sebelumnya, permasalahan muncul tidak hanya bersumber dari guru, tetapi juga dari kurikulum itu sendiri. Masalah klasik yang muncul adalah seperti yang dipaparkan di atas, yaitu isi kurikulum yang terlalu sarat dan sebagai kurikulum yang tidak terlalu memihak pada guru sebagai orang lapangan. Akibatnya, guru kesulitanmenginterpretasikan dan mengimplementasikannya di dalam kegiatan pemelajaran dan pengajaran di kelas. Kendala ini dapat dibaca sebagai langkah awal yang tidak menguntungkan guru untuk menjalankan fungsinya di kelas, termasuk tata cara dan interpretasi pengujian hasil belajar siswa.

BELAJAR MENERAPKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pengguliran manajemen berbasis sekolah merupakan suatu langkah yang seiring dengan kebijakan Pemerintah dalam hal pemberian kewenangan untuk "mengatur" sendiri dalam kerangka konsep otonomi. Untuk jenjang sekolah dasar, kebijakan ini dikenal dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), sedangkan untuk jenjang sekolah menengah pertama, kebijakan ini dikenal sebagai MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah).

Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional dalam hal manajemen berbasis sekolah secara teoretis nampaknya dapat ditarik dati perspektif perlunya perubahan-perubahan di sekolah untuk peningkatan mutu pendidikan. Perubahan semacam ini menuntut sinerginya beberapa faktor, seperti berfungsinya kepernimpinan (leadership), pengembangan staf, nilai dan gagasan inovatif, materi dan program yang berkualitas, dan yang paling penting adalah adanya tuntutan bahwa perubahan itu diharapkan dan efektif (Fullan 1982:x). Di antara faktor-faktor tersebut, ada satu faktor yang dominaf'. Faktof yang dimaksud adalah kepemimpinan (Gunther 2001). Kepala sekolah diharapkan memiliki kualitas kepemimpinan yang dapat diteladani dan menonjol yang akan berperan sebagai lokomotif penggerak rangkaian program dan sumber yang ada di sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Akan tetapi, kepernimpinan dalam konteks ini tidak hanya mengacu kepada kepala sekolah saja. Kepernimpinan bisa juga mengacu pada guru dalam konteks kelasnya. Mereka adalah para pemimpin yang akan mampu mewarnai "budaya kelas dan sekolah" dengan nuansa inovatif untuk kemajuan sekolah. Pernimpin yang berkualitas diharapkan mampu mengelola perencanaan, menggunakan strategi untuk mencapai sasaran, membawa perubahan yang bermakna di sekolah melalui manajemen berhasis sekolah yang dikemhangkannya (West-Burnham 1997).

Bagaimana dengan manajemen berb, sis sekolah di dalam konteks pendidikan nasional? Sebagai suatu inovasi dalam pendidikan, manajemen berbasis sekolah dapat

ditinjau dari berbagai tataran. Tataran yang paling tinggi adalah tataran konsep. Manajemen berbasis sekolah dalam hal ini berkutat dengan teori tentang pengelolaan sekolah. Tataran di bawahnya adalah tataran kebijakan. Ini adalah tafsiran konsep manajemen berbasis sekolah untuk konteks setempat. Biasanya ini dapat dilihat dari keberadaan dokumen yang dikembangkan oleh pemerintah berkaitan dengan tata cara dan strategi implementasi manajemen berbasis sekolah. Tataran ketiga adalah tataran implementasi. Ini adalah manajemen berbasis sekolah yang b'enarbenar terjadi di sekolah.

Dalam konteks pendidikan nasional, manajemen berbasis sekolah masih berada dalam tataran dokumen yang terus-menerus diupayakan sosialisasinya melalui berbagai proyek, misalnya melalui Basic Education Project, II, III maupun IV. Di tingkat sekolah dasar, misalnya, dokumen Paket Pelatihan Awal untuk MBS (Direktorat TK dan SD, UNESCO, UNICEF, dan NZAID, 2003) telah diterbitkan dan disosialisasikan di beberapa sekolah dasar pilot project di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Tilnur. Demikian juga untuk tingkat SMP, telah diterbitkan seperangkut dokumen (Buku 1 sd buku 5) tentang manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, dan dokumen lain yang juga mulai disosialisasikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks manajemen berbasis sekolah, dalam banyak kasus, pembentukan komite sekolah sebagai mitra kepala sekolah dalam mengelola pendidikan dalam rangka kemajuan sekolah, masih belum dipahami secara proporsional. Akibatnya, masih banyak dijumpai ketimpangan dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah. Ada pembentukan komite sekolah yang hanya merupakan syarat karena itu perlu ada di dalam suatu sekolah. Sementara itu, kinerja yang diharapkan belum ada. Ada juga sekolah yang masih menggunakan pola kerja BP3 dalam pemberdayaan komite sekolahnya. Sementara itu, pada sekolah yang telah memiliki komite sekolah yang aktif, malah terjadi tarik-menarik kepentingan, bahkan persaingan antara komite sekolah dan kepala sekolah dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Singkatnya dapat dikatakan bahwa komite sekolah yang diharapkan dapat memberdayakan sekolah melalui partisipasi masyarakat masih belum optimal.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa sekolah sebenamya sedang dalam tahap mengenali inovasi baru baik dan tingkat pengelolaan pendidikan yang diharapkan akan mampu membawa pada peningkatan mu tu pendidikan. Berbagai konsep pengiring manajemen berbasis sekolah juga diperkenalkan, misalnya, pemelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan pemelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (Active Joyful Effective Learning). Ada pula sekolah yang sudah mencoba. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan melalui diskusi dalam berbagai kesempatan penataran,masih hanyak terdapat terminologi yang tidak jelas lapangan seiring dengan implimentasi manajemen berbasis sekolah di antarapengelola pendidikan sendiri, termasuk istilah KBK, portofolio, penilaian otentik, dan masih banyak lagi konsep baru.

VARIABILlTAS KARAKTERISTIK GURU Pemelajaran di kelas dipandang terlalu berorientasi teoretis. Penguasaan teoretis mendominasi kegiatan pernelajaran siswa. Dernikian pula, kegiatan menghafal yang terjadi pada hampir semua illata pelajaran (Khomsan 1995). Kemampuan semacam ini, menurut taksonomi Bloom (Anderson dan Krath\vohl 2001) hanya rnengajarkan kemampuan dasar kognitif saja, yaitu pengetahuan (knowledge) saja, atau pun kalau ada kemampuan pem.ahaman (comprehensive). Akibatnya, kemampuan siswa yang lebih tinggi lainnya seperti. analisis, aplikasi (application), sintesis (synthesis), dan analisis serta ranah (domain) lainnya seperti afektif dan psikomotor, tidak berkembang dengan baik. Lebih jauh, Pujihastuti (1995) menengarai terjadinya kemandekansiswa dalam berfikir kreatif. Hal ini hanya akan menghasilkan output pendidikan dengan dara saing siswa yang rendah.

Penyebab keadaan tersebut dapat dilacak dan berbagai sumber, namun salah satu sumber yang berkaitan langsung dengan kegiatan pemelajaran siswa di kelas adalah guru. Ini dapat dimengerti karena guru merupakan unsur penting dalam proses pendidikan. Para gurulah yang berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses pemelajaran mereka. Walaupun ada kuaIitas unsur lain seperti kurikulum, media pemelajaran, atau sumber belajar lain, pada tataran implementasi, gurulah yang memegang peranan penting dalam mendayagunakan sumber-sumber yang ada dalam kegiatan pemelajaran peserta didik.

Kemampuan guru dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah latar belakang pendidikan yang pernah diperolehnya. Hasil survei yang dilakukan oleh Balitbangdiknas (Badan Penelitian dan Pengernbangan Pendidikan Nasional) mengungkapkan banyaknya guru SD dan SMP yang memiliki latar belakang pendidikan yang belum memadai. Tabel 2:1 menyajikan ringkasan hasil analisis yang dimaksud. Provinsi Guru SD (%) GuruSMP(%)

<D2 >D2 <D3 ~D3 DKITakarta 22.49 77.51 32.02 67.98

I Tawa Barat 29.73 70.27 26.67 73.33 Banten 32.35 67.65 26.84 73.16

Tawa Tengah 37.43 62.57 31.22 68.78 DJ Y ogyakarta 38.30 61.70 34.88 65.12

I Jawa Timut 35.88 64.12 19·65 80.35 N. Aceh Darussalam 69.76 30.24 44.92 55.08 Sumatera Utara 7207 27.93 40.73 59.27

5umatera Barat 51.31 48.69 34.28 65.72 Riau 61.66 38.34 32.95 67.05

IJambi 60.19 39.81 43.91 56.09 Sumatera Selatan 67.45 32.55 38.71 61.29 Bangka Belitung 57.75 42.25 38.65 61.35 Bengkulu 53.69 46.31 34.77 65.23 Lampung 67.73 32.27 40.56 59.44 Kalimantan Barat 73.96 26.04 54.42 45.58 Kalimantan Tengah 68.22 31.78 34.65 65.35 Kalimantan Selatan 55.86 44.14 37.49 62.51 Kalimantan Timur 64.79 35.21 47.83 52.17 Sulawesi Utara 77.94 22.06 49.92 50.08 Gorontalo 78.50 21.50 47.78 52.22 Sulawesi Tengah 72.77 27.23 50.30 49.70 Sulawesi Selatan 64.79 35.21 45.88 54.12 Sulawesi Tenggara 71.47 28.53 41.07 58.93 Maluku 65.63 34.37 37.83 62.17 Maluku Utara 83.50 16.50 25.20 74.80 Bali 46.53 53.47 35.76 64.24 Nusa Tenggara Barat 63.56 36.44 22.49 77.51 Nusa Tenggara Timur 74:39 25.61 51.67 48.33

Papua 76.26 23.74 50.88 49.12 Rata-rata Nasional 50/51 49,49 33,67 66,33

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa masih guru SD berlatar belakang pendidikan lebih rendah dari Program Diploma II. Bahkan pada banyak provinsi persentasenya melebihi jumlah rata-rata nasional (50/51). Hal yang mirip juga terjadi di jenjang SMP. Masih ada guru yang mengajar di bawah standar muumum yang ditentukan, yaitu Program Diploma III. Sementara itu, pada beberapa provinsi, persentasenya melebihi rata-rata nasionalnya (33,67). Keadaan yang tidak jauh berbeda. dapat diduga juga t€'rjodj pacia jenjang SMA.

Apabila latarbelakang pendidikan guru dijadikan salah satu faktor yang menentukan kualitas pendidikan, data di atas menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bervariasinya kualitas latar belakang pendidikan gu.ru di berbagai daerah. Selain itu, juga dapat dikatakan bahwa masih banyak guru yang memiliki syarat kompetensi mengajar di bawah standar yang dipersyaratkan untuk sebuah jenjang pendidikan. Keadaan latar belakang pendidikan guru yang seperti itu tentu saja masih belum memenuhi harapan minimal yang ditentukan. Apabila jenjang pendidikan diduga memiliki kontribusi terhadap berbagai aspek karakteristik guru, seperti penguasaan materi pelajaran atau kompetensi mengajar di kelas, dapat diduga kompetensi pada aspek tersebut juga akan berkualitas rendah. Basil penelitian yang dilakukan oleh Suryadi (1989) mengungkapkan sisi negatif kualitas guru SD di wilayah perkotaan dan daerah dilihat dari penguasaan materi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Terungkap bahwa penguasaan guru terhadap matematika, bahasa Indonesia, dan sains tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel2.2.

Tabel2.2 Kualitas Guru SD di Perkotaan dan Daerah terhadap matematika, B. Indonesia, dan Sains. Variabel Fenguasaan Asal I

Daerah (n=1115) Perkotaan (n=4533)

Matematika M = 42,3; SD = 8,2 l-.1 = 44,7 ; SD = 8 A

B. Indonesia M = 34,3 ; SD = 6,2 M = 36,1 ; SD = 5,7

Sains M = 22A ; SD = 5,1 1'1 = 22,7 ; SD = 5A

Permasalahan terkait dengan karakteristik guru tidak berhenti di sini. Guru sebagai unsur penting dalam pendidikan memang dituntut memiliki kualitas yang tinggi karena ada harapan bahwa guru yang berkualitas akanmampu mengelola pendidikan secara memadai di ke1as. Pertanyaan lain yang layak dijawab adalah kreativitas dan inovasi guru di kelas. Sutejo (1995) menengarai balnva dua tuntutan kualitas yang perlu dimiliki guru tersebut, kreativitas dan inovasi guru di kelas, merupakan "barang langka". Artinya, hanya sedikit saja guru yang benar-benar kreatif dan inovatif di kelas. Ada beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya keadaan yang memprihatinkan ini. Salah satu faktor penting adalah kurang profesionalnya guru. Ini terjadi karena guru tidak sempat duduk berpikir untuk meningkatkan kualitas profesinya. Ditengarai bahwa waktu guru banyak terkuras untuk mencari tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan dasar yang sering tidak mencukupi. Dari iklim seperti ini, dapatkah diharapkan lahimya kreativitas dan inovasi guru di kelas? Inl belum berbicara tentang tuntutat agar guru benar-benar menjadi guru yang retlektif. Guru, menurut Supriyanto (1995) setidaknya mampu melakukan tiga pilar peranannya: (a) menumbuhkan sikap ilmiah, (b) membiasakan siswa dalam nlenggunakan metode ilmiah, dan (c) peka terhadap

perkembangan IPTEKS. Menurut Suyanto (1995), guru harus memahami penelitian dalam konteks profesinya, setidaknya melalui penelitian tindakan kelas.

Berdasarkan data di atas, dapat dinyatakan bahwa kondisi kualitas guru dapat dikategorikan rendah dan bervariasi. Apabila hal yang utama dari seorang guru, yaitu penguasaan materi pelajaran atau kompetensi mengajar di kelas rendah, dapatkah diharapkan terjadinya pemelajaran yang bermutu di kelas yang menuju terbentuknya penguasaan siswa yang juga bermutu?

DISPARITAS KONDISI FASILITAS PENDIDIKAN Fasilitas pendidikan juga dipandang merupakan unsur penunjang proses pendidikan. Artinya, kualitas proses pendidikan di kelas sedikit ban yak akan terpengaruhi oleh fungsionalitas fasilitas pendidikan yang ada. Bagaimanakah kondisi fasilitas pendidikan yang ada di lapangan?

Fasilitas pendidikan dapat diartikan sebagai sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini dapat ditinjau dari berbagai segi. Suryadi (tanpa tahun) mengkaji aspek ini dari segi fasilitas sekolah, peralatan kelas, dan buku yang ada di sekolah-sekolah dasar di daerah dan perkotaan di provinsi Jawa Barat Sulawesi Selatan dan NTB. Hasil kajian yang dilakukannya dipaparkan pada Tabel 2.3

Sarana dan Prasarana Persentase Wilayah Daerah VVilayah Perkota- (n=1115) an (n=4537)

1. Fasilitas Sekolah: 1.1. Ruang guru 37 43 1.2. Perpustakaan 26 36,6

1.3. Laboratorium 5,1 6,1 1.4. Kafetaria 8 14 1.5. Kamar Keeil 59 73,5

2. Peralatan Kelas 2.1. Meia Siswa 35,1 43,6 2.2. Meja Guru 36,1 55,2 2.3. Papan Tulis 67,6 78,2

3. Buku 3.1. Buku Kelas 1--VI (rerata) 4652 53

- 3.2. Buku Pegangan Guru 47,20 54

Data pada tabel 2.3 menunjukkan bahwa fasilitas sekolah, peralatan ki?las; dan bukubaik di sekolah dasar di daerah perkotaan maupun di daei:ah belum mencukupi. Artinya, sekolah dasar di provinsi Jawa Barat, Sulav;esi Selatan, dan Jawa Barat, belum semua memiliki fasilitas sekolah, peralatan kelas, dan buku. Keadaan serupa diduga juga terjadi di provinsi-provinsi lainnya.

Bagaimana dengan kondisi sarana dan prasarana yang lebih besar lagi, yaitu ruang kelas? Ruang kelas yang baik merupakan sarana yang menunjang terjadinya pemelajaran yang bermutu di kelas. Apakah ruang kelas yang baik kondisinya telah dapat dipenuhi oleh senlua sekolah? Berikut adalah data yang dikumpulkan oleh Balitbang Diknas.

Tabel 2.4 Kondisi Ruang Kelas tiap Provinsi

Provinsi SD/MI SMP/MTs Rusak Rusak Baik Rusak Rusak Baik Berat Ringan (%) Berat Ringan (%)

,

(%) (%) (%) (%) DKI Jakarta 4.48 14.64 80.88 2.26 9.76 87.98

awa Barat 32.40 36.45 31.15 5.20 10.92 83.88 Banten 25.74 28.25 46.00 4.93 10.59 84.48 Jawa Tengah 18.94 38.37 42.69 1.49 7.76 90.74 DI Yogyakarta 14.13 40.70 45.17 2.38 8.40 89.21 Jawa Timur 17.55 36.87 45.58 1.96 6.37 91.67 N. Aceh Darussalam 23.25 34.91 41.84 4.21 10.93 84.86 Sumatra Utara 20.22 38.64 41.14 3.74 9.65 86.61 Sumatra Barat 18.24 38.88 42.89 4.47 10.99 84.54 Riau 30.54 28.62 40.84 0.92 4.20 94.88

ambi 22.26 25.61 52.12 3.48 9.14 87.38 Sumatra Selatan 21.74 33.17 45.09 1.90 6.50 91.60 Bangka Belitung 13.26 29.93 56.81 1.95 6.56 91.50 Bengkulu 31.56 35.66 32.78 6.61 14.08 79.32 Lampung 28.70 45.60 25.70 2.86 8.83 88.31 Kalimantan Barat 28.39 33.32 38.29 2.87 9.67 87.46 Kalimantan Tengah 30.92 31.47 37.61 1.83 3.48 94.69 Kalimantan Selatan 27.52 33.18 39.30 3.40 11.01 85.58 Kalimantan Timur 22.31 36.00 41.70 3.42 9.29 87.29 Sulawesi Utara 17.16 33.04 49.79 7.23 17.40 75.37 Gorontalo 21.86 32.95 45.19 7.54 12.87 79.59 Sulawesi Tengah 34.03 33.00 32.97 3.53 6,85 89.62 Sulawesi Selatan " 19.69 31.52 48.78 4.08 11.08 84.83 S.wesi Tenggara 31.99 33.12 34.89 3.74 9.01 87.25 Maluku 36.24 30.98 32.78 ._ 9.57 13.74 76.69 Maluku Utara 38.07 29.50 32.43 ·~9.46 18.72 71.82 Bali 20.08 35.33 44.59 4.79 10.33 84.88 NTB 16.64 32.97 50.39 1.68 9.63 88.69 NIT 36.68 29.37 33.96 7.40 11.94 86.66 Papua 23.42 25.49 51.09 9.47 8.38 82.15 Rata-rata Nasional 24.27 32.92 42.82 4.28 9.94 85.78

Data pada Tabel 2.4 menunjukkan bahwa jenjang SD maupun SMP memiliki kondisi ruang kelas sekolah yang bervariasi mulai dan rusak. rusak ringan, dan baik. Kondisi kerusakan nampaknya 1ebih banyak terjadi di SD dibandingkan di SMP. Selain itu, terlihat bahwa masih ada sekolah, baik SD maupun SMP, yang kondisi ruang kelasnya be1um memadai untuk kegiatan pemelajaran siswa.

FAKTA EMPIRIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA Yang dimaksud dengan fakta empiris pada bagian ini ada1ah skor hasil tes dan Nilai Ebtanas Mumi dan Ujian Akhir Nasional. Skor hasil tes bersumber dari penelitian Suryadi; sedangkan nilai Ebtanas Murni bersumber dad Pusat Sistem Pengujian, Depdiknas dari data hasil ujian yang dikumpu1kan pada tahun 2003.

Penelitian Suryadi pada tahun 1989 mengungkapkan temuan yang memprihatinkan tentang hasi1 belajar siswa SD pada tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa

Indonesia, dan Sains. Penelitian yang dilakukan di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan NTB, mengungkapkan rendahnya rerata hasil be1ajar siswa pada tiga mata pe1ajaran tersebut (matematika = 27,7; Bahasa Indonesia = 21,6; dan sains = 24,2). Hasil belajar ini tidak jauh berbeda dengan hasil belajar siswa SD yang ditemukan oleh peneliti lain pada 1ebih sepuluh tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Penelitian Th. 1989 Mata Pelalaran B. Indonesia Matematika Sains

Rerata 27,7 21,6 24,2 SD 7,9 8,7 6,8 Total Butir 47 49 47,0 % J awaban Benar 58,9 44,1 52,5

Penelitian Th. 1976 Rerata 35,0 33,0 27,0 . SD 12,0 9,0 8.0 Total Butir 60 60 60 % Jawaban Benar 49,0 55,0 45,0

Data nilai EBTANAS tahun 2000/2001 untuk jenjang SMP / MTs. (Kebijakan Direktorat PLP, 2004:17-18) dapat disarikan sebagai berikut: 1. SMP yang memiliki kategori EBTANAS baik sekali ada O,03% (EBTANAS> 7,5); 2. SMP yang memiliki kategori EBTANAS baik (EBTANAS 6,5 - < 7,5) ada 2,14%;

3. SMP yang memiliki EBTANAS sedang ada 21,95% (EBTANAS 5,5 - < 6,5); 4. SMP yang memiliki EBT ANAS kurang (EBTANAS 4,5 - < 5,5) ada 68,37%, dan

5. SMP yang memiliki EBTANAS sangat kurang ada 7,46% (EBTANAS < 4,5).

Data tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar siswa apabila diukur dengan menggunakan EBTANAS, secara untum masih tergolong memprihatinkan. Sementara itu, terlepas dari berbagai kontroversi yang berkembang di masyarakat, nilai ujian akhir nasional memang dapat digunakan sebagai cerminan masalah yang terjadi dalam pendidikan. Tabel 2.6 menunjukkan ringkasan rata-rata hasil UN SMP antarprovinsi.

Provinsi Nilai ~5,93 <5,93

DKI 6,22 Jabar 5,96 Banten 5,93 Jateng 5,93 DIY 6,41 Jatim 6,41 NAD 5Al Sumut 5,76

Sumbar 6,24 Riau 5,11 Jambi 5,78 Sumsel 5,73 Bangka Belitung: 5,93 Bengkulu 4,86 Lampung 5,74 Kalbar 5,56 Kalteng 5,51 Kalsel 5,56 Kaltim 5,76 Sulut 5,53 Gorontalo 5,53 Sulteng 5,74 Sulsel 6,30 Sultra 5,80 Maluku 4,23 Maluku Utara 6,00

Provinsi Nilai >5,93 <5,93

Bali 6,18NTB 4,03NTT 5,46Papua 4,72

Data pada Tabel 2.6 memperlihat bahwa hanya 7 (tujuh) provinsi (25,93%) yang memiliki nilai UN yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tingkat nasiona1 (> 5,93 poin). Ketujuh provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Bali. Sementara itu, sebagian besar provinsi lai11nya (74,07%) memiliki nilai UN yang berada di bawah standar nilai nasional « 5,93 pain). Informasi ini mengisyaratkan bahwa hasil belajar akhir siswa masih rendah.

Berdasarkan pembahasan terse but, terlihat bahwa aspek pengelolaan kurikulum, pengelolaan sekolah melalui manajemen berbasis sekolah, karakteristik guru, fasilitas pendidikan yang ada, dan siswa sebagai cerminan hasil pendidikan masih memiliki tantangan yang perlu mendapatkan perhatian. Intensitas perhatian dan tindak lanjut ini nampaknya lebih mengarah pada terpenuhinya syaratkebutuhan pengajaran dan pemelajaran minimal yang baik. lni bukan berarti bahwa evaluasi tidak penting. Dalam konteks ini diperlukan prioritas penanganan untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi secara nasional tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik secara uang, tenaga maupun pikiran. Biaya tersebut kemungkinan akan lebih efektif dan efisien apabila dialokasikan terlebih dahulu untuk pemenuhan kebutuhan "fisik minimal" pengajaran dan pemelajaran di kelas atau sekolah dalam skala lokal.

BEBERAPA AGENDA KE DEPAN: KERANGKA DASAR PEMIK1RAN Terkait dengan UN yang menimbulkan kontroversi seperti yang dipaparkan di atas, nampaknya diperlukan suatu kerangka pemikira:n yang dapat digunakan sebagai landasan untuk pembangunan pendidikan nasional khususnya melalui UN. Oleh karena itu, diperlukan strategi penataan pola pikir. Penataan pola pikir ini m~rupakan sarana untuk merumuskan dan mendudukkan masalah pada tempatnya. Selanjutnya, berdasarkan permasalahan yang tcridentifikasi, kemudian diidentifikasi pendekatan pemecahan masalah yang dapat dilakukan beserta caranya jika pendekatan yang dilakukan selama ini tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) memberikan output yang tidak instan atau langsung dan dapat dilihat hasilnya secara konkret, seperti dampak pembangunan fisik lainnya. Diperlukan jangka panjang untuk melihat dampak output pendidikan manusia sehingga menjadi outcome fungsional yang sebenarnya seperti yang diharapkaan. Selain itu, pembangunan SDM memerlukan sumber dana dan sumber daya yang besar. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan yang akan berakibat pada penghamburan dana dan kesia-siaan program pembangunan pendidikan, terutama yang berkait dengan UN, perlu dilakukan pentahapan penataan sistem pengujian. Ada tiga tahap yang dapat dilakukan, yaitu tahap konsolidasi (consolidation stage), tahap pemantapan (establishment stage), dan tahap pengembangan (development stage). Ketiga tahap tersebut masing masing perlu diproyeksikan secara akurat dalam kerangka acuan waktu sebagai jangka pendek, menengah, dan panjang.

Tahap konsolidasi adalah tahap pertama yang perludilakukan. Sesuai dengan namanya, tahap ini ditujukan untuk mengkaji ulang permasalahan-permasalahan yang ada terkait dengan otonomi pendidikan. Terutama masalah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan pendidikan minimal, baik ditinjau dari segi sarana, prasarana, maupun proses pendidikan. Pada tahap ini akan perlu diidentifikasi sekolah-sekolah yang telah maupun yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan secara memadai. Output tahap ini adalah daftar sekolah sesuai dengan klasifikasinya. Acuan formal dasar untuk mengklasifikasikan sekolah-sekolahadalah Bab IX Pasal 35 UU RI No. 20. Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Juga perlu diidentifikasi kelemahan dan kelebihan masing-masing daerah terkait dengan penyelenggaraan sistem pengujian hasil belajar siswa. Pada tahap ini akan teridentifikasi sekolah-sekolah yang belum atau yang sudah mampu secara akademis dengan prosedur yang benar untuk menyelenggarakan sistem ujian hasil belajar siswa, termasuk jangkauan kelemahan atau kelebihan tiap-tiap sekolah. Dengan demikian, akan teridentifikasi kelompok-kelompok sekolah dengan karakteristiknya pada suatu wiiayah atau daerah tertentu untuk penyelenggaraan pengujian hasil belajar siswa. Karakteristik ini akan mencerminkan jenjang kemampuan masing-masing, mulai dari jenjang yang paling bawah hingga jenjang yang paling atas, yaitu sekolah yang memenuhi standar nasional dalam kerangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Selain itu, perlu dikaji sistem pengujian yang pemah dilakukan di daerah dan diidentifikasi tingkat keberhasilan dan kegagalannya. lni penting karena sistem tersebut mungkinakan berguna sebagai dasar untuk pembenahan pada tahap selanjutnya. Kegiatan-kegiatan pada tahap konsolidasi ini dilakukan untuk program jangka pendek, mungkin satu atau dua tahun.

Tahap selanjutnya adalah pemantapan sistem pengujianhctsil belajar siswa.Setelah sekolah-sekolah dengan berbagai karakteristiknya teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah perlunya pemantapan sistem pengujian. Yang dimaksud dengan pemantapan sistem pengujian adalah penerapan sistem pengujian sesuai dengan karakteristik sekolah. Ini berarti bahwa sesuai dengan prinsip otonomi sekolah dalam wadah manajemen berbasis sekolah (MBS), penyelenggaraan pengukuran hasil belajar siswa untuk sekolah yang berbcda akan menerapkan sistem yang berbeda pula, tetapi

masih dalam koridor ketentuan nasional yang berlaku. Dalam konteks seperti ini, sekolah yang memiliki ”kelebihan" akan menyelenggarakan pengujian hasil belajar siswanya berbeda dengan sekolah yang masih "lemah" .

Tahap pemantapan ini perlu dilakukan dengan as as provisional, dinamis, dan progresif. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian secara berkala pada sekolah-sekolah sebagai sistem penyelenggara pendidikan secara berkala untuk menentukan status kemampuan tiap-tiap sekolah. Ini dapat dilakukan melalui evaluasi diri yang diikuti dengan kunjungan lapangan. Sekolah yang berstatus lemaht tetapi memiliki penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah yang baik, akan mengalami peningkatan status. Sebaliknya, sebuah sekolah yang pada awalnya dikategorikan baik sangat mungkin akan turun kedudukannya karena penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah yang kurang memadai. Sistem pengujian hasil belajar siswa pada masing-masing sekolah, itu akan bersifat sementara (provisional) bergantung pada status predikat setelah, dan ini akan terus berkembang (dinamis) dari waktu ke "vvaktu, untuk mencapai tingkat kemajuan (progresif) sesuai yang diisyaratkan pada Bab IX Pasa135 UU Rl No. 20. Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan tentang Standar Pendidikan Nasional. Tahap ini dapat diselenggarakan setelah tahap konsolidasi dalam kurun waktu lima tahunan.

Tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah tahap pengembangan. Tahap ini difokuskan pada kualitas penyelenggaraan dan pemberdayaan hasil pengujian. Asas yang digunakan untuk melaksanakan tahap pengembangan ini adalah selektif, komprehensif, dan fungsional. Pada tahap ini, tidak semua sekolah akan diukur hasil belajar siswanya. Sekolah-sekolah yang benar-benar memenuhi standar sesuai dengan yang diisyaratkan pada Bab IX Pasa135 UU Rl No. 20. Th. 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional, tentang Standar Pendidikan Nasional itulah yang akan diuji. Sekolah-sekolah yang belum memenuhi ketentuan akan diberikan peluang untuk mengembangkan diri sehingga mencapai standar nasional. Aspek yang dinilai hendaknya komprehensif, mencakup semua pelajaran yang benar-benar menjadi fokus garapan pada suatu Garis-garis Besar HaIuan N egara, sesuai perkembangan IPTEKS. Penilaiannya pun bukan untuk mengevaluasi siswa, tetapi lebih diarahkan pada penilaian sekolah sebagai suatu sistem penyelenggara pendidikan. Hasil pengujian akan dimanfaatkan sebagai balikan bagi sekohh unttlk secara sistematis dan fungsional rnemperbaiki kelemahan dan rneningkatkan kualitas kinerjanya. Tahap ini sebaiknya sudah ditangani oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) atau lembaga independen lain yang bergerak dalam bidang evaluasi untuk menilai penyelenggaraan pendidikan.

REDEFINISI DAN REPOSISI TUJUAN DAN FUNGSI UN SERTA TRANSPARANSI DARI INPLEMENTASINYASeperti yang dipaparkan pada bagian terdahulu, tidak semua tujuan maupun fungsi UN, baik yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nvmor 114/U /2001 tentang Penilaian Basil Belajar Secara Nasional, maupun dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia N omor 153/ U /2003 Tanggal 14 Oktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, dapat diketahui secara luas oleh publik. Tujuan yang diketahui secara luas karena menyentuh kepentingan masyarakat adalah tujuan untuk

(a) mengukur pencapaian hasH belajar peserta didik. TUjuan-tujuan lain seperti (b) mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten kota, dan sekolah/madrasah; (c) mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah kepada masyarakat tidak bergaung dalam masyarakat.

Sementara itu, fungsi (C) tampaknya di luar perhatian masyarakat luas. 'Bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik' juga lebih diketahui masyarakat karena ini menyentuh kehidupan mereka. Fungsi Iainnya, seperti UN sebagai

(a) alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; (b) pendorong peningkatan mutu pendidikan; dan (c) bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Ini diduga karena fungsi UN tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik dan secara konsep kemungkinan tidak mudah untuk diketahui realisasinya.

Terkait dengan masalah ini nampaknya periu dilakukan redefinisi, reposisi dan transparansi dari implementasi tujuan dan fungsi UN. Pertama, salah satu hal yang penting yang terungkap dalam pembahasan di atas adalah kekurang tepatan penggunaan istiiah. Istilah yang mungkin mendekatinuansa UN adalah assesmen. Dengan demikian, UN dapat diberi batasan ulang sebagai assesmen akhir nasional, yaitu proses menyeluruh yang bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data yang dikumpulkan melalui berbagai cara dengan tujuan untuk membuat keputusan mengenai sekolah sebagai penyelenggara pendidikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditentukan secara nasional dalam kerangka manajemen berbasis sekolah.

Apabiia definisi ini telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menempatkan kembali tujuan dan fungsi assesmen nasional. Dalam assesmen nasionaI semacam im, tujuan utama bukan (a) mengukur pencapaian hasil belajar peseda didik tetapi lebih pada 'mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasahkepada masyarakat, yaitu berturut-turut tujuan (b) dan (c) dari UN. Sementara itu,tujuan mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik diserahkan kepada sekolah masing-masing. Tentu saja dalam skema peringkat manajemen berbasis sekolah dari masing-masing sekolah seperti yang telah dipaparkan di bagian kerangka dasar pemikiran di atas. Sementara itu fungsi assesmen nasional juga seiring dengan tujuannya. Dengan demikianJ fungsi-fungsi (c) bahan da1am menentukan kelulusan peserta didik dan (d) bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru padajenjangpendidikan yang lebih tinggi dapatdikesanlpingkan. Jadi fungsi assesmen nasional adalah (a) alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; dan (b) pendorong peningkatan mutu pendidikan.

Langkah konkret yang perIu dilakukan selanjutnya, apabila redefinisi dan reposisi tujuan dan fungsi telah dilakukanJ adalah aktualisasi tujuan dan fungsi assesmen nasional tersebut secara konkretdan konsisten. Dengan kata lain, perlu ada transparansi dalam implementasi tujuan dan fungsi assesmen nasional tersebut kepada publik. rni tentu saja perlu dilakukan pertama-tama dengan sosialisasi program secara intensif dan ekstensif kepada seluruh masyarakat. Tujuannya adalah memahami konsep assesmen nasional secara benar sehingga program ini akan memperoleh' dukungan masyarakat secara luas. Hal lain yang penting dilakukan dalam skema assesmen nasional adalah transparansi dalam implementasi program dan hasil assesmennya.

PEMBERDAYAAN ASSESMEN HASIL BELAJAR BERBASlS KELAS Ada pelajaran yang amat berharga dari penyelenggaraan SPMB atau UMPTN yang kiranya dapat digunakan sebagai cerminan apabila UN masih diselenggarakan dalam format seperti yang dilakukan seperti sekarang ini. Pengalaman pertanla adalah apa yang disebut negative backwash effect. Backwash effect dalam konteks tes merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan (Bachman 1990). Efek cuci balik ini maksudnya adalah dampak balik tes terhadap setidaknya dua hat yaitu pemelajaran siswa dan aktivitas pengajaran siswa.

Seperti yang telah diketahui secara umum, SPMB atau UMPTN telah melahirkan berbagai lembaga pendidikan di luar sekolah yang menjanjikan bantuan belajar kepada calon peserta SPMB atau UMPTN agar mereka berhasil lolos dalam ujian. Praktik yang dilakukan dalam pemberian bantuan adalah pemecahan soal-soal yang mirip dengan soal SPMB atau UMPTN. Pemelajaran semacam ini yang berorienlasi pada pemenuhan kebutuhan sesaat akan cenderung menggiring peserta untuk tidak mempelajari esensi materi, tetapi lebih pada strategi agar lolos ujian. Akibatnya, semua kegiatan pemelajaran diarahkan pada strategi lolos ujian, yaitu dengan menggunakan berbagai carabelajar yang mengarah pada bentuk soal yang akan diujikan. Ini, kalau tidak dipahami dengan benar, akan berpotensi menjerumuskan siswa karena kemampuan berfikir lain tidak berkembang. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh guru. Guru akan mengajarkan materi-materi yang sekiranya hanya akan diujikan saja dengan bentuk pemecahan masalah, seperti format yang digunakan dalam ujian. Apabila situasi ini terjadi, maka akan terjq.di proses sinkretisasi dalam pendidikan nasional. Hal ini berbahaya bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia, yang gejala-gejalanya nampaknya mulai dapat dilihat sekarang: menggunakan berbagai cara yang tidak benar untuk mencapai tujuan.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa? Sesuai dengan jiwa otonomi, satu langkah strategis adalah pemberdayaan evaluasi hasil belajar berbasis kelas. Dalam kerangka evaluasi hasil belajar berbasis kelas, guru memiliki kewenangan yang lebih untuk menilai hasil belajar siswanya. Ini relevan karena dalam kesehariannya gurulah yang bergaul dalam proses pemelajaran dengan siswa. Dengan demikian, guru benar-benar memahami kelemahan dan kelebihan siswa. Semua ini tentu saja dilakukan dalam kerangka manajemen berbasis sekolah. Guru memang berwenang penuh, namunia tidak dapat semata-mata berbuat sesuka hatinya. Ada mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat. Jadi, guru akan bertanggung jawab kepada masyarakat atas penilaian yang dilakukannya kepada siswa. la harus mampu menjelaskan makna kemajuan belajar siswa kepada orang tua siswa.

Penilaian berbasis kelas kelihatannya merupakan jawaban yang hampir adil. Akan tetapi, secara konsep, penilaian berbasis kelas ini memerlukan komitmen dan profesionalisme yang baik. Penilaian bukan dalam kerangka penentuan naik tidak, tetapi pada bantuan belajar apa yang dapat dilakukan pada siswa. Seorag guru benar-benar dituntut untuk bersungguh-sungguh mengenali kelebihan dan kekurangan masing-masing individu siswanya. Tanpa ini, nampaknya akan sulit mengimplementasikan penilaian berbasis kelas. Selain itu, guru juga dituntut profesional. la harus benar-benar menguasai materi, kurikulum, prinsip pemelajaran, dan asses men secara mantap (Stiggins, 1994).

Hal lain yang penting yang dapat mendukung kinerja profesionalisme guru dalam konteks penilaian berbasis kelas adalah perlu adanya perampingan muatan kurikulum nasional. Pemerintah pusat hendaknya mampu mengembangkan semacam national outcomes of education sebagai penjabaran yang lebih operasional dari Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). National outcomes ini akan berfungsi semacam petujuk arah (signpost) yang akan mengarahkan daerah-daerah dalam pencapaian kompetensi-kompetensi yang ditetapkan secara nasional. Dengan tetap mengacu pada national outcomes of education, daerah diberi kebebasanuntuk menerjemahkan sendiri-sendiri kebutuhan setempat sesuai dengan kondisi, kelemahan, dan kelebihan daerah masing-masing. Seperti penilaian berbasis kelas, pencapaian tujuan lokal ini juga berlandaskan acuan manajemen berbasis sekolah.

PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional mela1ui assesmen nasional perlu dilakukan pembenahandi semua ini. Selain itu, perlu upaya yang dilakukan secara berjenjangdalamkonsep manajemen berbasis sekolah. Satu program pendidikan nasional yang berpotensi sebagai andalan adalah program Wajib Belajar (W AJAR) 9 Tahun (Forum Koordinasi Nasional

Pendidikan untuk Semua, 2004) yang perlu diperkuat dan dikoordinasikan dalam kerangka UN.

Yang jadi pertanyaan. Siapa yang membenahi? Pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Sebenarnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat salingmembentuk jaringan sinergis. Pemerintah pusat-sesuai peran, kedudukan, dan tanggungjawabnya- perlu membuat national guidelines yang ramping dan visioner. ltu adalahkewajiban yang tidak dapat ditawar. National guidelines akan menjadi semacam acuan nasional bagi semua penyelenggara pendidikan di daerah. Satu hal yang perlu disadari ialah national guidelines berperan sebagai guidepost, yakni semacam garis besar haluan negara atau rambu-rambu yang memberi visi arahan yang tidak bersifat preskriptif atau memaksa.

Peran dan tanggung jawab pemerintah daerah hendaknya dilihat dalam perspektif otonomi daerah. Mereka bukanlah sekadar pelaksana kebijakan pusat (to implement) yang hidup matinya bergantung pada kebijakan pusat. Namun, mereka adalah pembuat sekaligus pelaksana kebijakan yang diimplemententasikan dalam koridor rambu-rambu nasional. Dalam kerangka otonomi daerah, jika benar bahwa sumber daya keuangan ada di daerah dan daerah merniliki aspirasi yang jelas ten tang apa yang dapat mereka kembangkan sesuai dengan kondisi setempat masing-masing, termasuk masalah pendidikan warganya, pembagian peran dan tanggung jawab semacam ini menjadi adil. Pemerintah pusat memberi rambu-rambu dan dukungan teknis, pemerintah daerah membangun dirinya sesuai dengan potensinya sendiri. Jadi, sangat mungkin UN ini adalah salah satu strategi pemerintah pusat untuk lebih memacu pemberdayaan daerah dalam pendidikan warga negara, meskipun idealnya kegia tan semacam ini dilakukan oleh suatu badan independen penjamin mutu pendidikan.

Dengan demikian, UN adalah salah satu cara bimbingan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah pusat pada daerah dengan cara memberikan shock therapy. Mestinya, pemerintah daerah dap~t lebih memanfaatkan balikan dan merefleksikan hasil dati UN ini bukan malah menyikapinya secara negatif. Ibaratnya, pemerintah pusat dalam hal ini sedang memotret. Jadibagus tidaknya objek pemotretan bukan semata-mata kesalahan si pemotret. Pemerintah pusat hanya mengungkapkan dan menunjukkan fakta keadaan daerah, pemerintah daerahlah yang akan menyikapinya. Apabila sudut pandang inibenar, maka UN bernilai positif. Namun, jika hal itu tidak benar, UN tidak jauh berbeda dengan kegiatan menginterogasi pesakitan tanpa ada hak jawab dan penjelasan dari si pesakitan. Dengan demikian, harapan, tantangan, dan peluang UN sebenarnya masih ada, dan UN mestinya dipandang dengan sikap positif dan optimisme untuk lebih memacu daerah agar lebih bergerak maju dalam koridor rambu-rambu pembangunan nasional, bukan sikap defensif tanpa dasar. ltu dilakukan sambil melakukan pembenahan teknis pad a UN sebagai sistem pengujian.DAFTAR ACUAN Anderson, O. W. dan D. R. Krathwohl, Eeds. 2001 A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing Ne'N

York: Addison Wesley Longman, Inc. Athanasou, J. dan 1. Lamprianou. 2002. A Teacher's Guide to Assesmen. Tuggerrah, NSW: Social Science

Press. Bachman, L. F. 1990. Fundamental Considerations in Language Testing. New York: Longman. Fullan, M. 1982. The Meaning of Educational Change. New York: Teachers College Press, Columbia

Universi ty . Gunther, H. M. 2001. Leaders and Leadership in Education. London: Paul Chapman Publishing. Husnawati, R. 2004. "Peningkatan Semu Mutu Pendidikan". Jawa Pos, 6 Mei 2004. Departemen Pendidikan NasionaI. 2003. Ujian Akhir Nasional T4hun Ajaran 2003/2004. Keputusan

Mendiknas Nomor 153/U /2003 TanggaI 14 Oktober. Jakarta: Departemen Pendidibn NasionaJ Direktur JenderaI Pendidikan Dasar dan Menengah. 2004. "Memperbaiki Kelemahan Masa Lalu".

Republika, Ahad, 30 Mei 2004. Direktorat TK/SD. 1999. Nilai Ebtanas Murni SOjMI Tahun 1999. Jakarta: Direktorat TK/SD Departemen

Pendidikan NasionaI. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2004. Kebijakan Oirektorat Pendidikan Pertama.

Jakarta: Direktorat JenderaI Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan NasionaI Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2001. Penilaian Berbasis Kelas~ Jakarta; Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan N asional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan NasionaI

Forum Koordinasi NasionaI Pendidikan untuk Semua. 2004. Kerangka Acuan lnduk Kegiatan Pendidikan untuk Semua. Jakarta: Departemen Pendidikan NasionaI.

Jawa Pos. 2004. ""DPR: Hapus UAN Tahun Depan''''. Edisi 5 Mei 2004. Khomsan, A. 1995. "PermasaIahan Pendidikan Dasar""". Suara Karya, 18 April 1995. Lewy, A. 1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris: UNESCO. Musthofa, Z.A. 2004. ""Berfikir Global Bertindak LokaI"'~. Jawa POS, 5 Mei 2004. Nitko, J.A.1996. Educational Assesmen of Students. Englewood Cliffs. New York: Merril, an Imprint of

Prentice Hall. Pedhazur, E.J. dan L.P. Schmelkin. 1991. Measurement, Design and Analysis. Hillsdale, New York:

Lawrence Erlbaum Associates Publihers.Prameswari, U. 2004. "IILangkah Awal Majukan Pendidikan".". Jaw!1 Pos, 4 Mei 2004. Pujihastuti, U

1995 'Stagnasi Berfikir Kreatif dan Sistem Pendidikan Kita"". Republika, Jumat 7ApriJ 1995 Pusat Data dan Informasi Pendidikan. 2002. Statistik Persekolahan SD 2001/2002. Pusat Data dan

Informasi Pendidikan. Balitbang, Depdiknas, 2002. -------. Statistik Persekolahan SLTP 2001/2002. Pusat Data dan Informasi Pendidikan. Balitbang,

Depdiknas, 2002. ------. Proyeksi Pendidikan (TK, SLB, SO, SLTP, SM, PY, dan PLS) Tahun 2002/2003- 2009/2()10.

Pusat Data dan Informasi Pendidikan. BaIitbang, Depdiknas, 2003. Pusisjian, 2003. Rata-rata NUAN SLTP Negeri/Swasta Tahun 2002/2003. Pusisjian, Depdiknas, 2003. Santoso, S.H. 2004. ""UAN itu Perlu, tapi ... ''' Jawa Pos,8 Mei 2004 Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assesmen New York. New :Mcmillan College Publishing

Company. Supriyanto. 1995. "Guru, Kaum Muda, dan Masa Depan IPTEK". Pikiran Rakyat, 29 Januari 1995. Sutejo. 1995. ""Guru dan Minusnya Kreatifitas"". Suara Karya, 23 Januari 1995. Suyanto. 1995a. ""Guru Masa Depan Hams Paham Penelitian"" Surabaya Post, 25 Januari 1995 Suyanto. 1995b. ""Kendalabagi Guru SMA dalam MeIaksanakan Kurikulum 1994"Kompas, 7 April

1995. West-Burnham, J. 1997. Managing Quality in Schools 2"d £ditz'on: Effective Strategies for QualityBased

School Improvement. London: Pearson Education. Winoto,S. 2004. ""Transparansi Penyelenggaraan Pendidikan"” ]awa Pos, 14 April 2004.

LATIHAN 2

Bersama-sama dalam kelas, bacalah teks di bawah ini dengan cermat. Tentukanlah unsur-unsur yang menandai teks ini sebagai sebuah karya ilmiah.============================================================

Seputar UNAS oleh Supriyadi

Guru SMA Negeri 1 Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah Anggota FKPPG PGRI Banjarnegara Jawa Tengah

Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan (Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah, namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara itu, Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Awal standar kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Akan tetapi, pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003.

Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak sesuai dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya, standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00, mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini? Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah.

Penyebab kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari persentase kelulusannya. Oleh karena itu, sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Dengan demikian, terjadilah manipulasi niloi yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengon kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas, 3/3/04).

Problematika Sekitar UAN

Penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanyatiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan

menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari.

Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, Kimia, dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sementara itu, masalah penilaian mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur.

Konskuensi logis terhodap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa.

Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih risiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian, kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN dan sekolah tidak merasa punya beban.

Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalon hidup selesai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh, dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi ke seluruh penjuru Nusantara.

Hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinuitas antara SMA dan perguruan tinggL mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Notabene naskah mape yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat. hanya sekadar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek.

Pelaksanaan UAN

Dana ratusan millar rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimalkon dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkret yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket, sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Selain itu, koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di provinsi karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.

Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkon oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya roh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antarsiswa serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IP A, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaannya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi. tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu, UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Oengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains.

UAN Diperlukan

Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMOK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indeks prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang dlujikan, sebaliknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Oleh karena itu, tidak diperlukan batas ambang, berapa pun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun, hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah.

Yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapa pun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Akan tetapi, bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Dengan demikian, yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Akan tetapL ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang profesional, bukan generalis yang canggung. Sebaliknya, dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki.

UAN sebagai alat kontrol sekolah padaera otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Akan tetapi, mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekoldh secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Selain itu, kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas.

Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Sudah barang

tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT. Konsekuesinya, tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan.

Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standardisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antarsekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun, hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekoiah (Kompas, 29/1/2005). Hal ini bukan sebuah dilema, tetapi sebuah persoaJan yang menarik untuk selalu dicermati.

UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.

LATIHAN 3

A. Bacalah kutipan-kutipan berikut dengan cermat.B. Tentukanlah bidang laras ilmiah yang terdapat dalam setiap kutipan.C. Catatlah peristilahan yang digunakan dalam setiap bidang ilmu.============================================================

1. Bahasa asing mempunyai peranan penting dalam perkembangan bahasa Indonesia. Proses globalisasi dan dinamika sosial budaya, misalnya, berimplikasi pada masuknya sejumlah istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tidak akan mengurangi pamor bahasa Indonesia jika dilakukan upaya untuk tetap memelihara bahasa Indonesia. Saat ini, bahasa Indonesia memang terus berkembang dalam konteks transformasi budaya yang sangat cepat dan tidak bisa lepas dari arus globalisasi. Akan tetapi, bahasa Indonesia dan bahasa daerah diyakini akan dapat tetap bertahan menghadapi masuknya istilah-istilah asing tersebut.

2. Segar sekali meminum es cincau di siang hari, apalagi harganya murah dan enak. Selain itu, cincau dipercaya bisa mendinginkan "panas dalam". Nah, apakah Anda salah satu penggemar cincau hijau? Jika ya, ada berita baik bagi Anda. Menurut penelitian tim dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor bersama Bagian Anatomi Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, cincau hijau mempunyai aktivitas antioksidan dan mampu memastikan sel kanker.

3. Banyak yang menilai bahwa budaya dan kesadaran membaca di kalangan peserta akademis Indonesia sangatlah minim apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hemat penulis, selain tidak ditumbuhkembangkannya "kampanye" budaya membaca sejak dini, baik dari tingkat keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, hingga tampuk kepemimpinan di pemerintahan kita sendiri, minimnya fasilitas pendukung pun juga memberikan andil terhadap rendahanya soft power bangsa ini. Misalnya, jurang pemisah antara harga buku-buku terhadap kemapuan dan daya beli masyarakat cukuplah besar. Jumlah perpustakaan yang memiliki koleksi buku lengkap masihlah sangat minimnya. Akses internet untuk mencari sumber bacaan ataupun informasi terbaru tidak tersedia. Akses dan dana untuk berlangganan jurnal online dari para penerbit jurnal internasional ternama juga tidak tersedia.

4. Belum hilang dari ingatan bersama, di wilayah Provinsi Banten ini sudah tercatat beberapa kali terungkap kasus narkoba, baik itu peredaran maupun produksi gelap barang haram tersebut. Misalnya di Cikande, salah satu bukti pengungkapan adanya kasus pabrik ekstasi yang sangat menonjol di daerah tersebut. Begitu pula kasus-kasus lain yang terjadi, semakin menguatkan Tangerang ini termasuk daerah yang cukup rawan narkoba. Secara geografis, daerah tersebut memiliki potensi yang bias dimanfaatkan para sindikat untuk beraksi, baik dari Pelabuhan Merak maupun Bandara Sukarno-Hatta.

5. Kebijakan Ujian Nasional secara sistematis telah memaksa guru memikul beban berat di luar tanggung jawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan

siswa. Kebijakan Ujian Nasional memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya diberlakukan di negara yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

6. Pada perkembangan teknologi web saat ini, penggunaan teknik pemrograman semakin kompleks. Sebuah situs tidak cukup hanya menghadirkan interaktivitas. Situs web secara lebih dinamis juga harus mampu menangani database dan memperhatikan faktor keamanan. Teknologi server-side seperti ASP dan PHP hadir untuk menangani hal-hal tersebut. Namun demikian pada pengimplementasiannya, pemrograman berbasis teknologi tersebut masih dirasa cukup merepotkan bagi sebagian pengembang dan pengelola situs web. Hal ini mengingat banyak faktor yang harus dipersiapkan agar sebuah situs web dapat terpublikasikan dan berdaya guna.

7. Peran utama manajer ekonomi dalam suatu perusahaan adalah meningkatkan nilai (value) dalam perusahaan yang dipimpinnya dan meningkatkan kekayaan (wealt) dari pemegang saham perusahaan itu sekaligus mengupayakan secara maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan karyawannya, dengan demikian manajer ekonomi harus benar-benar memahami alokasi yang tersedia, mamahami pasar yang ada, memahami kekuatan pesaing dari produk yang dihasilkan, serta menciptakan strategi baru dalam menembus pasar dan konsumen.

8. Anak jalanan, sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita masing-masing, bahkan hampir setiap saat hari kita melihat dan menyaksikan anak jalanan. Kalau saya ditanya apa yang terlintas dari perkataan anak jalanan. Adalah anak-anak yang kotor, dekil, yang terkadang menggangu kita dengan suara mereka yang sumbang di perempatan lampu merah untuk mengamen, meminta atau kegiatan lainya.Beberapa orang tidak memedulikan anak-anak ini, tetapi ada juga pengendara motor yang merogoh kantong atau pengendara mobil yang merogoh tempat uang receh di pintu mobilnya. Uang yang memang sudah dipersiapkan untuk keperluan seperti ini, ataupun keperluan lain juga.

9. Sebuah studi baru menunjukkan bahwa latihan yang sangat sedikit dalam seminggu sudah cukup untuk menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kondisi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Laporan yang diperoleh dari hasil studi tersebut menyatakan bahwa berjalan kaki selama 30 menit sehari, 3 kali dalam seminggu, ataupun jika 30 menit tersebut dibagi-bagi menjadi hingga hanya 10 menit, sebanyak 3 kali, yang masing-masingnya dilakukan sepanjang hari, sudah cukup untuk memberi pengaruh yang sehat bagi tekanan darah dan efek yang sangat bagus terhadap ukuran pinggang dan pinggul seseorang. Para peneliti kemudian menyatakan bahwa hasil studi ini akan dapat membantu memotivasi masyarakat untuk melakukan olahraga sekecil apa pun yang bisa dan sempat mereka lakukan demi kebaikan mereka sendiri. Sedikit latihan di sini dan di sana mungkin dapat memberi harapan hidup dan kesehatan yang lebih baik bagi mereka.

10. Selama ini sebagian besar masyarakat di Indonesia menilai sampah sebagai sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Memiliki sudut pandang seperti itu menyebabkan mayoritas masyarakat tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan limbah tersebut, bahkan cenderung tidak peduli bagaimana membuangnya secara benar. Meskipun sebenarnya sampah atau limbah seperti kertas, kayu reng, daun, ranting pohon, dan tripleks, yang semula tidak berharga dan dipandang sebelah mata, ternyata bisa menjadi produk bernilai jika pandai mengolahnya. Sehubungan dengan itu, jangan menganggap remeh hasil dari limbah.

Diambil dan diolah dari berbagai sumber.

Latihan 4: Borang Diskusi 1

Perhatikan borang berikut ini. Perhatikan ruang-ruang yang harus diisi. Bersama-sama dalam kelas, bahaslah tata cara pengisian Borang diskusi 1 berikut.

Kelas : .................................. Fakultas : ........................................Kelompok : .................................. Topik : ........................................

1. ............................................................. 4. .............................................................2. ............................................................. 5. .............................................................3. ............................................................. 6. .............................................................

Definisi masalah (untuk PBL) Subpokok lingkup bahasan (untuk CL)

Hal baru yang perlu diketahui dan dipelajari

Hal yang sudah diketahui, tetapi perlu dipelajari kembali

Materi bahasan yang harus dipelajari Oleh

Keterangan1. Borang ini diparaf oleh fasilitator setelah diperiksa kesesuaiannya dengan tugas

diskusi.2. Setelah diparaf, borang dikembalikan kepada setiap kelompok3. Pada waktu pengumpulan tugas mandiri, borang ini dilampirkan4. Untuk CL, semua materi bahasan fokus group dipelajari setiap anggota

LATIHAN 5

A. Berkumpullah dalam kelompok. Bahaslah topik pekan ini mengenai ”Pendidikan Nasional”.

B. Bahaslah berbagai kemungkinan memperoleh informasi yang berkaitan dengan topik ”Pendidikan Nasional”.

C. Buatlah daftar sumber informasi yang akan digunakan baik dalam tugas mandiri maupun tugas kelompok. Daftar sumber informasi itu akan tercantum dalam bagian Daftar Pustaka makalah kelompok yang akan dipresentasikan.

LATIHAN 6

Bacalah teks berikut ini dengan cermat. Berdasarkan teks tersebut, buatlah bahan-bahan penunjang penyajian lisan.============================================================

Ke Mana Setelah Lulus SMA

Langkah yang akan ditempuh seseorang begitu dinyatakan lulus SMA sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya ke depan. Langkah yang tepat tentu akan disyukuri, namun tak jarang kebingungan, bahkan kesemberonoan yang berakibat penyesalan menjadi kisah yang kerap terdengar. Apa saja yang sebaiknya dipertimbangkan mereka yang baru lulus SMA sebelum melangkah ke depan?

Para psikolog dan konselor kerap menyebut "pengenalan diri" sebagai kunci keberhasilan seseorang. Banyak siswa SMA yang mengalami kebingungan dalam melangkah karena kurangnya pengenalan akan minat dan kemampuan diri. Inti pengenalan diri adalah pengetahuan akan minat atau hal-hal apa yang disukai oleh diri sendiri. Orang yang memiliki pengetahuan ini bisa membedakan mana yang merupakan minat sesungguhnya dan mana yang merupakan keinginan.

Minat dan keinginan sama-sama merupakan sesuatu yang disukai, karena itu diinginkan. Bedanya, jangka waktu keinginan biasanya pendek dan langsung memuaskan bila terpenuhi, sedangkan jangka waktu minat relatif lebih lama dah menetap. Adalah penting untuk mengenali kekuatan dan kelemahan fisik, kepribadian dan intelektual. Bagaimana caranya? Kekuatan dan kelemahan fisik lebih mudah dikenali. Kepribadian dapat diketahui dari refleksi diri dan umpan balik orang-orang terdekat atau melalui psikolog. Sedangkan in-telektualitas seseorang bisa dikenali antara lain memalui nilai rapor.

Pengenalan diri ini masih harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan eksternal seperti tingkat ekonomi dan masih banyak lagi. Sering-seringlah membaca, serta bertukar pikiran dengan keluarga, sahabat dan teman-teman lain, terutama para senior yang telah lebih dulu melangkah, karena dari situ akan didapat gambaran yang lebih lengkap tentang dunia di depan. Berbekal wawasan inilah, seseorang bisa menentukan cita-citanya dan melangkah ke depan untuk mewujudkannya.

Jika langkah yang ditempuh adalah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, pastikan bahwa institusi pendidikan yang dipilih dapat memfasilitasi cita-cita tersebut. Saat ini ada begitu banyak perguruan tinggi di seluruh Indonesia, terutama perguruan tinggi swasta (PTS). Bentuknya pun bermacam-macam, ada universitas, sekolah tinggi, akademi dan lain-lain.

Di samping faktor minat dan kemampuan ekonomi, pemilihan perguruan tinggi yang akan dijadikan sarana meraih cita-cita tersebut harus didasarkan pula pada prospek ke depannya, paling tidak selama 4--7 tahun ke depan. Misalnya saja, dengan fakta bahwa saat ini bangsa Indonesia.baru dibangkitkan kesadarannya untuk menggarap potensi kelautan dan. pertanian, maka mencari perguruan tinggi yang "fasih" mengajarkan teknologi pertani-an/kelautan adalah langkah yang bersifat antisipatif karena memiliki prospek yang baik.

Contoh lain adalah globalisasi dan perdagangan bebas yang diyakini bakal menentukan wajah dunia masa depan, karenanya pekerja masa depan dituntut untuk menguasai bahasa asing (bukan hanya bahasa Inggris), perdagangan internasional, ling-kungan, peralatan berteknologi tinggi, komputer, internet, dan masih banyak lagi. Pilihlah perguruan tinggi yang juga siap mengantisipasi hal ini.

Salah satu universitas yang spesialis mengajarkan bidang teknologi, khususnya

information and communication technology (ICT) adalah Universitas Multimedia Nusantara (UMN). UMN memiliki ambisi menjadi pusat pendidikan ICT kelas dunia, untuk mempersiapkan Indonesia menjadi negara berbasis teknologi di tahun 2020.

UMN akan mendidik para mahasiswa untuk menjadi tenaga ahli dj bidang ICT dengan kompetensi tinggi, yang siap untuk memegang peranan penting dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan dibekali jiwa technoprenuer, lulusan UMN diharapkan justru mampu meneiptakan lapangan kerja.

Universitas yang akan membangun kampus modern baru di Summarecon Serpong ini menempatkan diri sebagai sebuah center of excellence, "kawah candradimuka" bagi pengembangan sumber daya manusia andal dalam bidang ICT di Indonesia. Selain sarana kampus yang modern, UMN menerapkan experienced based learning dengan menghadirkan para ahli dan profesional yang berpengalaman sebagi tenaga pengajar. Dengan dukungan dari Kompas Gramedia, mahasiswa mendapatkan kesempatan magang yang luas dan peluang kerja.

Masih banyak perguruan tinggi lain dengan berbagai kekhasan masing-masing dan memiliki prospek yang baik. Tinggal bagaimana calon mahasiswa rajin mencari informasi selengkap mungkin sehingga bisa mendapatkan perguruan tinggi yang paling sesuai.

(Kompas, 5 Mei 2008, 36)

LATIHAN 7Perhatikan berbagai daftar pustaka dari berbagai bidang ilmu berikut. Tentukan unsur-unsur pokok yang harus tercantum dalam daftar pustaka (nama penulis, judul tulisan, dan data publikasi). Tandai perbedaan penyusunan dari setiap bidang ilmu berikut.

HUKUM

Akers, Ronald L. Criminologycal Theories. United States of Anerica: Roxbury Publishing Company. 1999.

Apeldoorn, L. J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetario Sadino. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2000.

Asshidiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Loqman, Loebby. HAM (Hak Asasi Manusia) dalam HAP (Hukum Acara Pidana). Jakarta: Datacom. 2002.

Makarao, Muhammad Taufik. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. 2005.

TEKNOLOGI

1. Banerjee, S.C., Spontaneus Combustion of Coal and Mine Fire, Alkema, Rotterdam, 1985.

2. Beamish, Basil B., Barakat, M.A., George, D. St., Spontaneous—Combustion Propensity of New Zealand Coals Under Adiabatic Conditions, Coal Geology, Elsivier, 2000.

3. Nugroho, Y.S., and Yanuar., Thermal Safety of Coal During Transportation and Strorage: Effect of Coal Pile Sizes on Imes to Ignition, Coal—Tech, 2002.

4. Wang, H., Dlugogorsky, B.2., and Kennedy, E.M., Examination of CO2, CO, and H2O Formation during Low-Temperature Oxidation of a Bituminous Coal, Energy & Fuel, 2002.

5. Abu-Khmasin, S.A., Iddris, A. and Aggour M.A., The Spontaneous Ignition Potential of a Super-Light Crude Oil, Fuel, 2001.

KESEHATAN MASYARAKAT

1. Sani, Aulia. Penyakit kardiovaskuler, Pembunuh Nomor Wahid, www.kompas.com. Diakses tanggal 5 Februari 2005 jam 19.54; 2000.

2. Departemen KesehatanRepublik Indonesia. Survei Kesehatan Nasional 2001: Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia, Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan, Jakarta; 2002; 76 hlm.

3. Bronson, Ross C et all, 1993, Chronic Diseaser Epidemiology and Control, American Public Health Association.

4. Bustan, M.N., Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta; 2000:134 hlm.

5. Heller, R.F. 2001. Trends in the hospital management of unstable angina. Journal Epidemiol Community Health: 483—486

BUDAYA

A’la, Abd. 2003. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Anshor, Maria Ulfah. 2003. “Poligami dalam UU Perkawinan: Perlu Sanksi Hukum”, (www.kompas.com), diakses 13 Oktober.

Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity.

Halliday, M.A.K. dan Christian Mathiessen. 1994. An Introduction to Functional Grammar. Cetakan kedua. London: Arnold. (Cetakan pertama 1984).

Hodge, B. dan G. Kress. 1993. Language as Ideology. London/New York: Routledge.

LATIHAN 8

A. Buatlah daftar pustaka dengan sistem MLA atau APA berdasarkan data di bawah ini. Perhatikan ejaan dan pungtuasinya.

1. Buku berjudul sastra kita numpang nampang ini ditulis oleh sunaryono basuki ks . Buku ini diterbitkan oleh pinus book publisher tahun 2005.

2. Ulil Abshar Abdala menulis sebuah artikel yang dimuat dalam kompas pada 18 november 2002. Artikel yang ditulis olehnya berjudul menyegarkan kembali pemahaman islam.

3. Artikel berjudul kritik sosial dalam sastra indonesia dengan sub judul lebah tanpa sengat ini terdapat dalam buku kesusatraan indonesia modern beberapa catatan yang diterbitkan oleh pt gramedia pustaka utama di jakarta pada tahun 1983. Penulis artikel itu adalah sapardi djoko damono.

4. Tradisi sufisme dalam karya-karya k h a mustofa bisri yang ditulis oleh ida nurul chasanah dimuat dalam basis no 3—4 tahun 55 pada bulan maret—april 2006.

5. penulis makalah ini mengambil sebuah artikel yang berjudul lukisan kaligrafi gus mus raih hadiah mastera dari www. nu.or.id pada tanggal 5 desember pukul 21.00 2005.

B. Susunlah sebuah daftar pustaka berdasarkan informasi berikut. Perhatikan ejaan dan pungtuasinya. Seorang ahli kesehatan masyarakat menulis sebuah karya ilmiah dengan merujuk pada pustaka berikut.

1. Buku berjudul preventing maternal deaths yang ditulis oleh erica royston dan sue amstrong ini dialihbahasakan oleh farida zaman dengan judul pencegahan kematian ibu. Buku ini diterbitkan di jakarta oleh penerbit binarupa aksara pada tahun 1994.

2. Rina a anggrorodi menulis sebuah skripsi berjudul pantangan makan pada orang sunda di kabupaten subang pada tahun 1986. Skripsi ini terdapat pada perpustakaan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas indonesia.

3. Abdul s bari, george adrians, gulardi w hanifa, dan joko waspodo menyusun sebuah buku acuan yang berjudul buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal neonatal. Buku ini merupakan buku edisi pertama yang telah dicetak 3 kali. Buku ini diterbitkan oleh yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo di jakarta pada tahun 2002.

4. Health promoting planning adalah buku yang ditulis oleh l green pada tahun 1991. Buku ini diterbitkan oleh mayfield publishing company di new york.

5. H. abdul bari saiffudin dan trijatmo rachimhadhi menulis sebuah buku yang berjudul ilmu kebidanan. Buku ini merupakan buku edisi 3 dan cetakan ketujuh. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh yayasan bina pustaka pada tahun 2005.

LATIHAN 9Bacalah teks berikut dengan teliti secara bersama di dalam kelas. Tentukan topik, tujuan penulis, dan tesis teks tersebut.

Ekonomi-Politik Setelah 10 Tahun Reformasioleh Hery Nugroho dan Edi Junaedi*

Meskipun keadilan sosial dan kemaslahatan rakyat belum terjangkau, namun 10 tahun reformasi sudah mengubah wajah politik dan ekonomi negeri ini. Mantan Ketua MPR M. Amien Rais boleh saja menganggap pemerintah gagal menjalankan amanah reformasi. Akan tetapi fakta menunjukkan, telah banyak perubahan digelindingkan dalam tataran berdemokrasi di negeri ini, khususnya di bidang ekonomi dan politik.

Hal tersebut terlihat pemilihan bupati sampai presiden yang kini dipilih langsung oleh rakyat. Otonomi memungkinkan daerah mengatur rumah tangganya sendiri. Panggung politik lokal memunculkan sederet pemain baru. Mereka datang dari berbagai macam profesi, seperti pengusaha, politisi, LSM, dan intelektual, bahkan sampai preman.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Prof. Richard Robison dan Prof. Vedy R Hadiz, oligarki lama tetap dominan di panggung bisnis dan politik. Mereka kini menguasai urat nadi ekonomi politik bangsa ini. Namun, kini dunia bisnis ikut berputar. Liberalisasi dan deregulasi membuat kompetisi makin terbuka. Liberalisasi dan perubahan dunia bisnis di Indonesia juga mengundang masuk perusahaan asing. Di tengah gelanggang, publik memang masih menjumpai nama-nama lama. Mereka sudah terlatih, sehingga tidak mudah tergelincir. Merekalah yang kini menuai buah reformasi. Merekalah pemegang kunci. Satu dua pemain baru pun ternyata tumbuh dari akar masa lalu.

Sepuluh tahun berlalu, ternyata peta penguasaan ekonomi tak banyak berubah. Gadjah Tunggal Group, misalnya, kini kembali berjaya. Di tangan Sjamsul Nursalim, kelompok bisnis ini terus berkibar setelah sempat tiarap akibat belitan utang. Pada bagian lain, Salim Group sebagai kelompok perusahaan yang pernah jadi yang terbesar di Indonesia, mengakuisi perusahaan minyak sawit London Sumatera Plantations senilai Rp 8,4 triliun. Salim juga sedang membangun pabrik gula di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, dengan investasi Rp 2 triliun.

Itulah "keajaiban" Indonesia, padahal negeri ini didera krisis moneter paling dahsyat dibandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan. Bayangkan, setahun diamuk krisis, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjungkal sampai 80 persen. Inflasi merajalela sampai 86 persen. Ekonomi mundur 13 persen, prestasi terburuk sepanjang sejarah Orde Baru.

Bisnis Konglomerat

Dalam 10 tahun perjalanan reformasi, dunia usaha maju pesat berkat aksi para konglomerat. Sayangnya, nasib rakyat golongan bawah belum terangkat. Yang terjadi justru lonjakan harga minyak dan bahan pangan membuat hidup mereka kian terjerat. Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 memang sempat menimbulkan gejolak. Akan tetapi, politik segera menemukan keseimbangannya. Demokratisasi politik terjadi, diikuti perbaikan di bidang ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi terus berjalan meski belum semulus sebelum krisis. Nilai tukar rupiah dan inflasi hanya satu digit. Pendapatan per kapita malah lebih tinggi dari 1998. Ketika Orde Baru runtuh, yang limbung ternyata bukan hanya anggaran negara, tetapi juga para pengusaha. Ribuan pengusaha ambruk lantaran dijangkiti utang besar. Yang lain diambil alih pemerintah akibat kepemilikan mereka di beberapa bank ikut jatuh.

Kredit macet di bank hampir Rp 300 triliun. Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengucur sampai Rp 140 triliun untuk menyelamatkan bank-bank yang digerogoti pemiliknya sendiri. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pun jadi timbunan sampah kredit macet. Celakanya lagi, bermacam aset yang diserahkan pemilik bank sebagai ganti bantuan likuiditas banyak yang bodong. Sampai Februari 2004, ketika BPPN ditutup, aset-aset itu hanya bisa dijual dengan harga 29 persen dari taksiran harga beli pemerintah. Sisanya harus ditutup dari anggaran pemerintah. Entah sampai kapan dana penyelamatan ekonomi Rp 600 triliun itu tidak lagi jadi beban negara. Diperkirakan baru pada 2033 BLBI bisa dilunasi oleh negara dengan memakai uang rakyat.

Dengan kata lain, anggaran negara bocor berat. Sementara, uang pengusaha pulih cepat. Berbarengan dengan tutupnya BPPN, para pengusaha yang dulunya jatuh seakan bangkit dari kubur. Mereka hanya butuh waktu empat tahun untuk kembali ke panggung utama dalam percaturan bisnis Indonesia. Tentu, kondisi politik ikut mempengaruhi keadaan yang berkembang kondusif ini.Gerak ekspansi merupakan "menu" harian para konglomerat Indonesia belakangan ini. Akuisisi bukan lagi berita besar. Dengan kata lain, strategi tumbuh dan berkembang sedang terus digencarkan.

Ini sebuah periode terbalik dibandingkan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada Juli 1997 dan semua pengusaha memilih strategi bertahan. Mereka memangkas cabang bisnis yang tak menguntungkan. Jatuhnya sejumlah grup bisnis besar pada masa krisis sudah terkubur bersama masa lalu. Laporan majalah Tempo (13/5) mencatat, prestasi terbaik bidang ekonomi adalah dihapusnya sejumlah konsesi dan monopoli, baik yang dilakukan perusahaan negara maupun swasta. Banyak sektor mengalami deregulasi dan desentralisasi.

Undang-undang dan lembaga baru dibentuk untuk menjamin berlangsungnya kompetisi yang lebih terbuka dan sehat. Otonomi daerah juga membuka peluang bagi para pengusaha untuk melebarkan sayap. Di tengah perubahan besar itu, para pengusaha lama tak ubahnya penunggang gelombang di pentas selancar. Merekalah yang paling menikmati situasi pascareformasi.

Menarik menyaksikan kelompok usaha seperti Salim (Liem Sioe Liong), Sinarmas (Eka Tjipta Widjaja), Djarum (keluarga Hartono), Radja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), atau Bakrie (keluarga Bakrie). Lebih dari sebatas eksis, mereka bahkan makin tajir saja. Muka baru yang berani menantang para old-track itu bisa dihitung dengan jari. Sebut saja keluarga Katuari (Wings), Arifin Panigoro (Medco Energi), Hary Tanoesoedibjo (Bhakti Investama), Chairil Tanjung (Grup Para-Mega), atau Trihatma Haliman (Agung Podomoro). Dunia usaha terus melaju, tapi ekonomi rakyat masih seperti kata pepatah "hidup segan, mati pun enggan".

Bangsa ini memang masih butuh waktu dan kerja lebih keras untuk bangkit bersama dengan lebih kencang. Lebih nyaman bagi semua anak bangsa tersenyum lagi, bahkan beberapa di antaranya termasuk rajin berbagi dengan kaum tak berpunya. Sejarah masa depan masih menyiratkan harapan.

*Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dan Freedom Foundation

Dikutip dengan perubahan dari http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/22/Editor/edit01.htm Diakses pada tanggal 30 Juli 2008.

LATIHAN 10Bacalah teks berikut dengan teliti. Tentukan topik, tujuan penulis, dan tesis teks tersebut.

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia sebagai Bagian Terpenting Komponen Pertahanan Nirmiliter

oleh Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah

Pendahuluan Istilah “Pertahanan Nirmiliter” (Hannirmil) akhir-akhir muncul menjadi suatu topik yang mewacana di kalangan terbatas. Pertama kali istilah tersebut digulirkan oleh Menteri Pertahanan dalam suatu media cetak (Kompas, 20/9/2005). Istilah hannirmil didasarkan pada Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Hanneg) pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan: Komponen pendukung hanneg terdiri atas warga negara (sumber daya manusia/SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), prasarana /sarana nasional (prasnas) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Peranan komponen pendukung hanneg ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam usaha hanneg baik di masa damai maupun di masa perang. Di masa damai, pembangunan dan pembinaan SDM, SDA, SDB, dan prasnas merupakan elemen-elemen pokok dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara berkesinam-bungan. Hasil dari pembangunan dan pembinaan bidang-bidang tersebut akan memperkuat basis ketahanan nasional (tannas).

Pada masa perang, hasil pembangunan dan pembinaan elemen-elemen komponen pendukung tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap daya tangkal (detterent effect) terhadap serangan lawan. Mengapa demikian, karena pembangunan dan pendayagunaan sumber daya nasional yang berhasil, akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang sejahtera merupakan modal utama untuk proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Rakyat yang sejahtera juga akan melahirkan masyarakat yang semakin cerdas yang mampu mengelola SDA secara arif, efektif, dan efisien. Rakyat yang cerdas akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai prasyarat dan sekaligus prasarana pembangunan masyarakat maju/modern.

Wacana yang berkembang tentang pentingnya mengembangkan hannirmil telah menyadarkan kalangan yang cerdas bahwa selama ini konsep pertahanan dan keamanan rakyat semesta (hankamrata) sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 30 ayat 2) yang menyatakan bahwa dalam usaha hankamneg TNI dan Polri sebagai komponen utama dan rakyat sebagai komponen pendukung. Dalam implementasinya, pember-dayaan rakyat sebagai komponen pendukung untuk kepentingan hanneg sedikit sekali usaha-usaha yang telah dilakukan ke arah itu. Dephan selaku penjuru dalam usaha pendayagunaan komponen pendukung ini mengalami banyak kendala.

Pertama, tidak memiliki aparat di daerah (dalam hal ini) Kantor Wilayah (Kanwil) Dephan. Kodam yang selama ini mengemban pelaksana tugas dan fungsi (PTF) Dephan, setelah era reformasi tidak dapat melaksanakan tugas secara optimal, dikarenakan menghadapi tugas pokoknya yakni pembinaan satuan yang ada di daerahnya. Selain itu, Kodam juga tidak lagi berperan “di depan” dalam urusan pemerintahan karena setelah era reformasi tidak memiliki kewenangan (Widjojo, 2001). Padahal urusan yang menyangkut pertahanan berhubungan hampir dengan setiap kelembagaan baik departemen, nondepartemen maupun masyarakat. Dalam hal ini Dephan selaku penjuru pemberdayaan potensi sumdanas memikul tugas dan tanggung jawab yang berat. Mungkinkah misi tersebut dapat dilaksanakan tanpa keberadaan Kanwil di daerah dan ketika Pemda hanya konsentrasi pada urusan lain (nonpertahanan)?

Kedua, Dephan belum memiliki perangkat peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pertahanan Negara seperti Undang-Undang Komponen Cadangan, Undang-Undang Komponen Pendukung, Undang-Undang Latihan Dasar Militer Secara Wajib, dan Undang-Undang Pengabdian Warga Negara Sesuai Profesi yang diatur dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Seperti halnya, PP mengenai sumber daya nasional (Sumdanas) yang terdiri dari sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), prasarana dan sarana (prasnas) nilai-nilai serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).

Ketiga, Dephan belum memiliki sarana dan media komunikasi yang kuat dan aktif menjalin komunikasi antara Dephan dengan semua stake holder pertahanan, baik dari kalangan pemerintahan, organisasi nonpemerintah maupun anggota masyarakat orang per orang. Media komunikasi yang perlu dibangun dalam suatu sistem informasi pertahanan negara (Sisfohanneg) yang berfungsi mensosialisasikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta mengumpulkan dan mengolah data sumber daya pertahanan (sumdahan) dari setiap daerah. Karena data sumdahan ini tersebar di seluruh wilayah negara yang dapat berubah setiap saat maka sebaiknya sumdahan tersebut disajikan dalam bentuk sistem informasi geografi (SIG hanneg). Dalam ilmu (studi) teritorial, sumdanas tersebut meliputi astagatra (trigatra + pancagatra). Trigatra terdiri dari aspek: geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA). Pancagatra terdiri dari aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (ipoleksosbud). Sebagai suatu kondisi, ipoleksosbud sering disebut kondisi sosial (Konsos). Pertahanan nirmiliter, pada hakekatnya adalah pertahanan yang didasarkan dan atau mengandalkan pada potensi dan kekuatan dari semua aspek astagatra yang pembangunan dan pendaya-gunaannya amat tergantung pada kualitas SDM-nya. Dalam hal ini, SDM berperan sebagai subyek dan obyek yang sangat menentukan tingkat kemajuan bangsa. SDM merupakan unsur paling penting dalam pemberdayaan hannirmil, karena SDM menjadi subyek dan faktor penentu (dominant factor) atas penggunaan unsur sumber daya lainnya. Ada dua hal pokok yang menjadi tujuan pember-dayaan SDM, yaitu kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional-spiritual (ESQ). Pember-dayaan dua hal tersebut harus berjalan seimbang untuk membentuk karakter bangsa yang berkualitas. Kecerdasan intelektual meliputi kemampuan dari yang paling sederhana: membaca, menulis, berhitung sampai dengan kemampuan analisis dan sintesis. Sementara itu, kecerdasan emosional-spiritual meliputi hal-hal yang berhubungan dengan aspek moral, seperti: kesabaran, kemarahan, kejujuran, keramahan, kearifan, keadilan, kedermawanan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Untuk membentuk masyarakat Indonesia yang cerdas harus diupayakan melalui pendidikan dengan pendekatan secara konsepsional, komprehensif dan integral.

Seseorang yang cerdas intelektual tetapi tidak diimbangi dengan moral yang baik, dia potensial menjadi orang yang sombong, egois, dan berbuat sesuatu yang lebih menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain. Sebaliknya, seseorang yang bermoral namun bodoh, cenderung apatis introvert dan pengalah. Berdasarkan hasil survey kemampuan SDM, peringkat indeks pengembangan SDM (IPSM/HDI) Indonesia di lingkungan regional Asia menempati peringkat 117 jauh di bawah negara tetangga Malaysia, Brunei, dan Singapura. Peringkat yang paling dekat dengan Indonesia adalah Filipina (66) dan Vietnam (60). Demikian pula dalam persaingan dunia (World Competitiveness) 2003 ekonomi negara-negara Asia Tenggara menunjukkan tingkat persaingan yang baik (10 besar) kecuali Indonesia dan Filipina. Malaysia peringkat 4, Thailand peringkat 10, Singapura peringkat 3, Filipina peringkat 22 dan paling belakang Indonesia peringkat 28 (Hidayat, 2004).

Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan SDM kita selama ini kurang berhasil. Mengapa demikian, padahal mission mencerdaskan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sebagaimana diamanatkan sejak NKRI dibentuk (dalam Pembukaan UUD 1945). Hal ini disebabkan -salah satunya- oleh tidak adanya tujuan, sasaran dan strategi serta roadmaps pendidikan nasional jangka panjang yang jelas dan terarah sehingga setiap ganti pemerintahan terjadi “bongkar pasang” kurikulum yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat (lingkungan). Program pembangunan lima tahunan di era Orba yang lebih diarahkan pada target-target yang bersifat materiil juga berpengaruh terhadap lemahnya kepekaan hati nurani bangsa.

Degradasi dalam muatan pendidikan moral dan agama lebih terasa, selama lebih dari 3 dekade yang lalu pendidikan budi pekerti tidak ada lagi. Sementara itu pendidikan agama sekalipun masih ada tetapi lebih bersifat pengajaran semata-mata (penyampaian materi ajaran agama) dengan jumlah jam pengajaran yang terbatas. Sebagian besar guru tidak lagi menjadi figur yang berwibawa karena guru tidak lagi menampilkan sosok teladan dalam perilakunya di hadapan anak didik. Mengapa demikian, karena gaji guru yang rendah sehingga tidak menjamin kesejahteraannya. Untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya guru banyak yang nyambi mengajar di sekolah lain atau pekerjaan lain seperti ngojeg, menjual jasa tulisan, jual beli buku dan lain-lain. Rendahnya kesejahteraan guru tidak memungkinkan mereka dapat berkonsentrasi dalam menunaikan tugasnya. Tidak mungkin guru dapat menerapkan ilmu mendidik yang notabene menjadi ilmu dasar seorang guru. Padahal justru hasil terapan ilmu mendidik (paedagogic) inilah yang akan mewarnai karakter bangsa sebagaimana yang dicita-citakan.

Masalah guru bukan satu-satunya di bidang pendidikan, sarana dan prasarana (bangunan sekolah, alat peraga, buku, dan lain-lain.) yang terbatas (kualitas dan kuantitas) sistem, metoda, dan proses pembelajaran yang dirasakan belum sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Semua itu terjadi karena dukungan anggaran pendidikan yang sangat rendah sebagai cermin rendahnya kesadaran kita terhadap betapa pentingnya pendidikan untuk suatu bangsa.

Permasalahan di bidang pendidikan merupakan hal yang mendasar yang harus mendapat prioritas penanganannya, karena hanya pendidikan yang bermutu yang akan menghasilkan generasi yang cerdas yang akan mampu menghadapi derasnya tantangan di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi di masa yang akan datang. Langkah pemerintah yang akan menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan pendapatan guru secara signifikan sudah tepat. Tetapi hendaknya diikuti dengan pembenahan kembali sistem pendidikan dan kurikulum agar pendidikan dapat menciptakan SDM yang kreatif, inovatif, memiliki kepedulian sosial/lingkungan, mampu menyerap dan mengembangkan Iptek modern namun tetap berkepribadian Indonesia yang santun. Dari studi World Bank pada 2002 menempatkan Indonesia pada peringkat 12 dari 12 negara yang dijadikan sampel sistem pendidikan nasionalnya (Vincent DWA, 2005). Pemberdayaan pertama dimulai dari kompetensi guru. Dari 1,6 juta anggota PGRI, kurang lebih 50% belum memiliki kompetensi mengajar yang memadai (hanya tamatan SPG dan PGSD). Guru yang kurang kompeten wawasan pendidikannya kurang, sehingga dalam mengajar cenderung dangkal dan otoriter. Sementara itu, orang tua cenderung melimpahkan pengasuhan dan pendidikan anaknya kepada guru karena mereka sibuk bekerja. Setelah pendapatan guru naik dan memiliki kompetensi diharapkan guru dapat bekerja betul-betul profesional (Surya, 2005).

Dalam masa transisi, ketika kemampuan finansial pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan dan gaji guru masih terbatas, langkah terobosan yang dapat ditempuh adalah pemberdayaan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam membantu pendidikan dasar dan

menengah. Salah satu cara adalah membuka/memperluas kesempatan bagi siswa SMK untuk “magang” di perusahaan. Selain itu, pembangunan/perbaikan ruang belajar, alat peraga, penyediaan buku dan membuka lapangan kerja serta pemberian beasiswa untuk anak cerdas yang kurang mampu.

Penguatan Pendidikan Agama/Budi Pekerti Perlu ada upaya penguatan pendidikan agama secara mendasar, yakni melalui perbaikan kurikulum dari hasil evaluasi dan pengkajian sistem dan metoda pendidikan. Pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah sekarang ini cenderung hanya bersifat pengajaran materi ajaran agama sehingga hanya dapat memenuhi ranah kognitif (cognitive domain) yang bersifat hafalan. Seharusnya pendidikan juga dapat memenuhi kebutuhan ranah afektif (affective domain) yang berhubungan dengan perasaan (sikap, apresiasi/ penghargaan, penerimaan, dan penghayatan); ranah psikomotorik (psychomotor domain) yang berhubungan dengan perilaku sebagai implementasi ajaran agama yang nampak dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran yang meliputi ketiga ranah tersebut berlaku juga pada sekolah umum. Pendidikan agama yang meliputi ketiga ranah tersebut di atas sangat penting mengingat hanya sebagian kecil peserta didik (murid/siswa) di sekolah yang memiliki kesempatan sekolah agama. Bahkan di kalangan rakyat miskin jarang sekali anak-anak sekolah agama secara khusus, bagi mereka untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah umum saja sangat dirasakan berat. Sementara itu, pendidikan agama secara dini yang memadai sangat penting untuk memberikan fondasi sikap mental dan moral serta budi pekerti dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat serta fenomena bunuh diri karena putus asa dalam menghadapi kesulitan hidup yang semakin marak, diharapkan akan berkurang bilamana sejak dini anak-anak mendapat bekal pendidikan agama dan budi pekerti yang memadai. Pendidikan yang benar tentang agama juga akan memperkuat kesadaran warga bangsa akan jati diri kemanusiaannya (insan kamil), sehingga tidak mudah terhanyut dengan kehidupan hedonistik yang mengutamakan kenikmatan duniawi dan merupakan tugas serta tanggung jawab kemanusiaannya selaku khalifah (pemimpin) di muka bumi.

Indikasi minimnya pendidikan agama dan budi pekerti dapat kita saksikan dalam peristiwa: tawuran pelajar/mahasiswa/antar kelompok masyarakat, kriminalitas (pembunuhan, minuman keras, narkoba, pencurian dll.) yang semakin marak serta adanya gejala bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak. Indikasi lain, ketika bangsa ini menghadapi banyak masalah seperti: banyak rakyat mengalami kelaparan, pengangguran/PHK, banyak perusahaan yang bangkrut, bencana alam terjadi di mana-mana, justru banyak pejabat (birokrat dan parlemen) meminta gajinya yang sudah besar dinaikkan sampai puluhan juta rupiah. Bilamana kita melihat panorama hutan di sepanjang zona perbatasan Kalimantan-Serawak/Kuching (Malaysia), betapa porak porandanya hutan kita, sangat kontras berbeda dengan hutan negara tetangga. Itulah bukti-bukti -yang menurut Nurcholish Madjid- disebut “kebangkrutan moral dan spiritual” yang menyebabkan hati para pelakunya tidak memiliki kepekaan membedakan perbuatan baik dan buruk (Madjid, 2002). Semua itu merupakan bukti adanya degradasi moral bangsa yang sangat memprihatikan. Keseimbangan pendidikan umum (Iptek) dan pendidikan agama/ moral spiritual akan melahirkan insan berkepribadian baik dan arif-bijaksana dalam menyikapi serta menghadapi setiap permasalahan dan kreatif mencari solusi terbaik dalam menghadapi masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Orang-orang seperti itu yang diprediksikan mampu menghadapi persaingan global dalam perang ekonomi berbasis informasi (economic information warfare) dan perang isu/propaganda (psychologic warfare) yang dikembangkan

negara-negara maju, peka serta peduli terhadap kejahatan/kerusakan lingkungan (alam dan sosial).

Reformasi BirokrasiEra komputerisasi, otonomi daerah (otda), krisis ekonomi yang belum pulih dan lambat serta besarnya biaya penyelesaian ijin usaha, menjadi dasar pemikiran tentang perlunya reformasi birokrasi pemerintahan yang menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian dan terutama pelayanan publik. Dalam aspek kelembagaan, terkesan ada fungsi-fungsi tertentu yang tumpang tindih (overlapping) antara satu departemen dengan departemen lain atau dengan lembaga pemerintah non departemen (LPND). Dalam rangka membangun birokrasi yang ramping, efektif, dan efisien semestinya tumpang tindih fungsi tidak ada lagi.

Di era otonomi daerah sekarang ini seharusnya ada keseimbangan pegawai di pusat dengan di daerah baik dalam kualitas maupun kuantitas, demikian juga antara satu daerah otonom dengan daerah otonom lain yang setingkat. Kondisi sekarang menunjukkan kekuatan SDM birokrasi (pegawai) lebih dominan di pusat. Memang tidak mudah memindahkan personil terutama personil ahli dari pusat ke daerah karena terkait kemampuan daerah untuk memberikan gaji yang besarnya sama dengan di pusat (kecuali daerah yang kaya). Penguatan pegawai di daerah akan berdampak positif pada pemberdayaan daerah yang pada gilirannya dapat memperkuat ketahanan nasional.

Penggunaan komputer dalam pekerjaan administrasi perkantoran telah begitu banyak menyingkat waktu sehingga tidak diperlukan lagi banyak orang dalam pekerjaan tersebut. Faktanya, rata-rata setiap kantor pemerintahan kelebihan personil administrasi sehingga terjadilah pemborosan. Penempatan personil; birokrasi Indonesia sangat toleran dengan penempatan pegawai pada jabatan yang tidak sesuai dengan dasar pendidikan dan pengalaman kerja seseorang. Hal ini bertentangan dengan prinsip the right man on the right job. Akibatnya, terjadilah ketidakefektifan, dan inefisiensi dalam penyelesaian tugas bahkan sering terjadi kemandegan pelaksanaan tugas.

Tatalaksana birokrasi; pola jaringan birokrasi dalam penyelesaian tugas-tugas yang berhubungan dengan urusan kemasyarakatan/publik -dalam proses perizinan misalnya, masih terkesan terlalu panjang dan berliku sehingga diperlukan waktu yang relatif lama. Hal ini dianggap sebagai suatu kendala yang menghambat akselerasi pembangunan, khususnya di bidang ekonomi dan merupakan iklim kerja birokrasi yang tidak kondusif dengan kebutuhan bidang investasi. Pelayanan publik, pegawai negeri (public/civil servants) sebagai personil yang mengawaki birokrasi pemerintahan seharusnya mengutama-kan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi, pada umumnya pegawai negeri mengapresiasi dirinya sebagai pegawai pemerintahan dan konotasi dari sebutan itu terkandung hasrat untuk mengatur, ingin dilayani dan kecenderungan mengeksploitasi publik.

Gejala tersebut muncul tak lepas dari kecilnya gaji pegawai negeri. Untuk mengubah persepsi para pegawai negeri yang demikian kepada proporsi yang sewajarnya sebagai pelayan publik tidak mudah, dalam hal ini diperlukan reformasi sikap yang mendasar disertai peraturan yang harus disosialisasikan secara terprogram. Pelayanan birokrasi kepada masyarakat dalam segala urusan selama ini masih dirasakan sulit dan justru menjadi salah satu faktor penghambat. Seharusnya birokrasi dirancang efektif dan efisien, ramping dalam struktur (lean in structure), namun sesuai dan tepat memenuhi kebutuhan ( fit in function) (Widodo, 2004).

Di antara negara-negara berkembang, pelayanan publik birokrasi Indonesia termasuk salah satu yang sangat lambat. Oleh karena itu, dapat dipahami kalau ada tuntutan reformasi

birokrasi. Dalam reformasi birokrasi, khusus yang berhubungan pelayanan publik, Indonesia patut berguru pada RRC, yang telah berhasil membangun birokrasi yang efektif dan efisien. Hasrat dan sikap melayani kepentingan publik hanya mudah dilakukan oleh seseorang pegawai yang memiliki kesadaran bahwa dalam pelayanan publik tersebut terkandung nilai ibadat yang tinggi. Kesadaran seperti itu hanya mungkin dimiliki oleh seseorang yang mendapatkan pendidikan umum yang seimbang dengan pendidikan agama dan atau budi pekerti.

Tantangan dan Ancaman NirmiliterAda sejumlah masalah yang menjadi tantangan bangsa kita, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Yang bersifat eksternal adalah globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Globalisasi, terutama di bidang informasi, telah menyebabkan dunia seolah tanpa batas. Suatu peristiwa yang terjadi di suatu tempat dengan cepat akan tersebar informasinya ke seluruh penjuru dunia, menjadi isu global. Hal itu terjadi berkat kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi (TI). Siapa yang menguasai TI berpeluang memenangkan persaingan global, karena melalui internet (sebagai sarana informasi global) orang bisa berhubungan dimana saja (tidak terikat ruang), kapan saja (tidak terikat waktu) dan tidak terikat birokrasi. Dengan TI, spektrum informasi begitu luas, dinamik dan interaktif. Orang yang bekerja dengan internet, dia bekerja secara kompetitif, namun karena bangsa Indonesia sangat sedikit yang bekerja dengan menggunakan bantuan internet (0,01%), maka dalam persaingan global, Indonesia dalam posisi lemah (Purbo, 1998). (Sekarang angka < 0,1% diprediksi belum bergerak jauh, karena antara tahun 1998—2005 tidak ada perkembangan yang signifikan).

Tantangan eksternal kedua adalah liberarisasi ekonomi (libek) yang akan dihadapi Indonesia yang telah menerima kesepakatan berlakunya AFTA pada tahun 2003 dan APEC tahun 2020. Dengan libek produk barang dan jasa dapat dipasarkan secara bebas antar negara tanpa hambatan yang berarti, dengan demikian yang diuntungkan adalah produsen barang dan jasa yang berkualitas serta murah. Bagaimana dengan kita? Kondisi kemampuan Indonesia masih jauh di bawah negara maju, bahkan dengan negara tetangga Malaysia, Thailand, Vietnam kita masih kalah bersaing. Sejak tahun 2003 kita sudah mulai masuk era perdagangan bebas (di lingkungan Aspac), yang membuka peluang pasar lebih luas. Tetapi sayangnya bangsa kita belum siap bersaing, alih-alih, malah kita dibanjiri produk asing yang selain kualitasnya lebih bagus, harganya juga lebih murah. (contoh produk RRC). Dampaknya, industri kita yang menghasilkan barang yang sama banyak yang “gulung tikar” karena kalah bersaing. Akibat lebih lanjut terjadilah PHK di setiap daerah, sehingga angka pengangguran makin membengkak. Libek sudah kita masuki, suka tidak suka kita harus menghadapinya dengan, bagaimana menyiasatinya dengan langkah yang tepat. Dalam hal ini hanya SDM yang menguasai iptek dan imtaq (beriman dan bertakwa) yang dapat diandalkan.

Tantangan internal; kualitas SDM yang rendah merupakan tantangan internal yang paling mendasar, karena dengan rendahnya kualitas SDM ini menjadi penyebab rendahnya kemampuan bersaing di pasaran kerja, kemampuan berkreasi dalam mencari solusi masalah, kemampuan ciptakan peluang & lapangan kerja, kemampuan bernegosiasi dengan saingan atau partner kerja (harga diri), dan lain sebagainya. Untuk mengatasi semua itu, terpulang pada perlunya peningkatan pemberdayaan SDM melalui pendidikan dan pelatihan vokasional.

Sementara itu, spektrum ancaman nir militer sangat variatif dan cenderung semakin berkembang baik dalam kualitas maunpun kuantitasnya. Ada yang kasat mata, tapi lebih banyak yang tidak tampak. Yang kasat mata seperti kriminalitas biasa. Contoh: penyelundupan, illegal logging, illegal fishing, dan lain-lain. Yang tidak tampak adalah kejahatan yang menggunakan rekayasa teknologi canggih, seperti korupsi, pencurian uang via transfer ilegal, penyadapan informasi rahasia, persekongkolan jahat, dan lain sebagainya.

Dengan bantuan teknologi informasi, ancaman nirmiliter semakin terbuka luas. Bentuk lain seperti blokade informasi ekonomi, informasi terorisme, serangan jaringan komputer, semantic attacks (Purbo, 1998). Pencurian data rahasia yang tersebar di permukaan bumi seperti lokasi obyek-obyek vital strategis melalui perangkat teknologi penginderaan jarak jauh (inderaja) yang semakin canggih telah dapat mendeteksi instalasi senjata dan gudang peluru bahkan benda-benda kecil seperti kendaraan tempur (Ranpur). Penggunaan satelit inderaja generasi terbaru yang beresolusi tinggi memungkinkan wilayah suatu negara tampak seperti “telanjang”. Bahkan beberapa sumber bahan tambang di bawah permukaan bumi dapat dideteksi sehingga menjadi data intelijen sumber daya alam. Menghadapi ancaman melalui wahana dan sarana berteknologi canggih hanya mungkin dapat dilawan dengan menggunakan sarana berteknologi yang canggih pula. Untuk itu, diperlukan SDM yang mampu dan menguasai Iptek di bidang tersebut. Hingga saat ini, kita hanya menduga-duga ada apa dibalik peristiwa Ambon, Poso, dan Papua. Diprediksi ada kekuatan asing yang berkonspirasi dengan unsur-unsur dalam negeri untuk menciptakan kondisi yang menghambat proses pemulihan krisis ekonomi atau mengkondisikan Indonesia tetap dalam situasi krisis dengan tujuan agar tetap sebagai negara konsumen (dependent country ). Bahkan mungkin tujuan yang lebih jauh menj adikan NKRI tercerai-berai seperti halnya Yugoslavia dan negara-negara Balkan (Bagir, 2004). Untuk mengetahui dan membuktikan sinyalemen tersebut di atas diperlukan operasi intelijen dan kontra intelijen. Untuk operasi tersebut, kita dihadapkan pada terbatasnya personil intel yang handal dan biaya operasi yang besar

Strategi Pemberdayaan : Konsepsi-onal-Komprehensif-SinergisPemberdayaan SDM dalam mengha-dapi tantangan dan ancaman tersebut di atas yang begitu berat harus dilakukan secara akseleratif dengan metode, sistem dan langkah-langkah konsepsional. Ada kebijakan, tujuan dan sasaran yang jelas. Bagaimana suatu kebijakan disusun secara cermat sehingga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat, dan dampak negatif sekecil mungkin, tidak tumpang tindih dan bisa diimplemen-tasikan dengan mudah dan lancar (efektif, efisien). Bagaimana strategi untuk melaksanakan kebijakan itu dan bagaimana penjabarannya pada langkah-langkah operasional yang tepat guna mencapai sasaran.

Sekalipun pemberdayaan SDM tersebut tidak dibatasi waktu, tetapi tetap harus dibuat kerangka waktu jangka pendek, jangka sedang dan jangka panjang. Sasaran ditentukan secara bertingkat mulai sasaran antara (sasan) satu, sasan dua, dst. menuju pencapaian tujuan akhir yakni terciptanya SDM Indonesia yang mampu berkompetisi dalam persaingan global dan meniadakan segala ancaman nirmiliter baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ada suatu pertanyaan terkait dengan hal kebijakan ini: “Indonesia sebagai negara agraris yang penduduknya +70% bergerak di bidang pertanian, tanahnya luas dan subur, curah hujan dan sinar matahari mendukung, tetapi mengapa menjadi importir beras terbesar di dunia ?” “Mengapa puluhan juta orang menganggur sementara ribuan hektar lahan kosong tidak dimanfaatkan padahal di sisi lain diantara para penganggur itu adalah sarjana pertanian ?”

Pemberdayaan SDM tidak hanya menyangkut aspek intelektual tetapi juga emosional dan spiritual (moral, motivasi dan budi pekerti). Tidak hanya menciptakan orang-orang yang menguasai teori, tetapi juga orang-orang yang mahir dalam praktek (teknokrat dan praktisi). Tidak hanya menyangkut profesi tetentu, tetapi semua profesi dan bidang kehidupan. Namun demikian, tetap perlu memperhatikan skala prioritas sesuai ancaman nyata dan intensitas serta urgensi tantangan. Dari segi urgensinya; masalah pendidikan, penegakan hukum, dan pemberantasan KKN patut menempati prioritas utama karena ketiga masalah itulah yang telah membuat bangsa ini terpuruk dan sulit bergerak maju.

Dalam mengejar ketertinggalan dan mengatasi tantangan serta ancaman yang multi dimensi tidak mungkin dapat diatasi sendiri-sendiri, tetapi harus dengan kebersamaan. Pada jaman pra-kemerdekaan, Indonesia berhasil mencapai tujuan karena terjalinnya persatuan dan kesatuan (gotong royong). Tetapi setelah merdeka, istilah gotong royong sangat langka diucapkan/kedengaran, karena masyarakat cenderung berubah menjadi individualis dan komersil. Seyogianya ada sinergitas dalam mengatasi suatu masalah, siapa berbuat apa. Semua sumberdaya dikerahkan dan dikonsentrasikan guna mencapai penyelesaian masalah. Setiap strata sosial harus memiliki fungsi dan peran sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan demikian, kebersamaan akan terjalin, kesenjangan sosial yang kini semakin melebar akan dapat dipersempit dan tidak ada satu kelompok masyarakat pun yang merasa dimarginalkan.

KesimpulanSDM merupakan sumberdaya prima causa dalam pemberdayaan Sumdanas karena memiliki fungsi ganda sebagai subyek dan obyek. Sebagai subyek, SDM agar mampu berperan optimal harus dibekali dengan pendidikan moral/spiritual/budi pekerti (pendidikan agama) dan intelektual (pendidikan umum) untuk mempersiapkan SDM yang menguasai iptek namun juga beriman dan bertaqwa (Imtaq) kepada Tuhan YME. Untuk menghadapi tantangan dan ancaman Nirmiliter yang bersifat multi dimensi, harus dihadapi dengan upaya yang serius, konsepsional, komprehensif dan sinergis sehingga terjadi akselerasi pemberdayaan semua aspek Sumdanas yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan rakyat dan ketahanan nasional (Tannas). Kesejahteraan rakyat dan Tannas yang tinggi akan membentuk pertahanan nirmiliter yang tangguh. Dua hal tersebut di atas hanya mungkin terjadi bilamana ada komitmen dan akselerasi pemberdayaan SDM yang diarahkan untuk memberantas KKN dan penegakkan hukum secara konsisten.

Dikutip dengan perubahan dari http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=15&mnorutisi=8 Diakses pada tanggal 13 Agustus 2008.

LATIHAN 11Bacalah teks berikut dalam kelompok. Susunlah bahan penyajian lisan. Pilihlah sebuah kelompok untuk menyajikan bahan itu di kelas, kemudian bahaslah hasil penyajian itu.

Setelah 10 Tahun Reformasi, Apa Yang Berubah?oleh Moch. Nurhasim*

Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Pada mulanya, agenda yang diusung cukup beragam, dari tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN); Soeharto harus lengser; re-demokratisasi dari sistem otoriter, pencabutan dwifungsi ABRI, pemulihan krisis politik-ekonomi, serta sejumlah agenda politik lainnya. Lantas, setelah 10 tahun berjalan, kemajuan dan kemunduran apa yang patut kita catat? Selanjutnya, pelajaran apakah yang dapat kita ambil?

Politik di Indonesia pascajatuhnya Soeharto terjadi dalam suasana change to change, yang sifatnya bukan lagi transisional, tetapi dapat disebut sebagai transaksional.Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim "baru," berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.

Kekuatan politik (partai politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir pada masa reformasi, apakah itu PAN, PDIP, PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain, kurang mampu mendorong gerbong perubahan yang lebih terarah. Wajah politik Indonesia justru terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan. Ciri ini mirip dengan anomali politik, ketika sistem politik yang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi. Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.

Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi. Kedua, terjadi kontradiksi aturan main antara pusat dan daerah, kepastian hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan. Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila pada masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patron, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis.

Bentuk-bentuknya berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya. KKN justru semakin terjadi secara transparan padahal isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998.

Keempat, kita menyaksikan fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan" di televisi dan tidak punya rasa malu. Sementara persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah. Akan tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. Aji mumpung menjadi fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu.

Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan, bahkan kini muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan. Di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi.

Tidak heran bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatif. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan. Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).

*Moch. Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta (Email: [email protected])

Dikutip dengan perubahan dari www.jawapos.com. Diakses pada tanggal 25 Juli 2008.

LATIHAN 12

Bacalah teks berikut bersama di kelas! Tentukanlah kerangka tulisan dan jenis tulisan teks ini.

Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan Harus Bagaimanaoleh Yuli Setyo Indartono

1. PendahuluanLonjakan harga minyak hingga US$ 70/barel mempengaruhi aktivitas perekonomian di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, kemelut tersebut diperparah dengan maraknya penyelundupan minyak yang ditengarai merugian negara hingga 8.8 trilyun rupiah per tahun. Penerapan UU Migas No 22 Tahun 2001 juga dituding sebagai penyebab menurunnya kemampuan Pertamina dalam menyediakan BBM. Maka kelangkaan BBM merupakan pemandangan yang bisa dijumpai di berbagai daerah di tanah air. Dari segi APBN, subsidi BBM yang mencapai 25% dinilai sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memberatkan. Krisis BBM ini disinyalir merupakan penyebab melemahnya rupiah terhadap dolar. Tulisan ini membahas bahaya ketergantungan terhadap BBM dan analisis sumber energi terbarukan yang layak dipergunakan di Indonesia.

Untuk Indonesia, ada tiga data yang sebenarnya bisa digunakan untuk memprediksi kemelut BBM saat ini, yakni: (1) Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia terus menurun; dari hampir 1.6 juta barel/hari [12], saat ini hanya 1.2 juta barel/hari [15, 6], (2) Pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang mencapai 10% per tahun [12], dan (3) Kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat setelah krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998 [3].

Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: (1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru), (2) Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan (3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO2 saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125,000 tahun belakangan [13]. Bila ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara.

Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan berbagai peraturan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (misalnya: Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1980 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 996.K/43/MPE/1999 tentang pioritasi penggunaan bahan bakar terbarukan untuk produksi listrik yang hendak dibeli PLN). Namun, pada tataran implementasi belum terlihat adanya usaha serius dan sistematik untuk menerapkan energi terbarukan guna substitusi bahan bakar fosil.

2. Potensi Sumber Energi Terbarukan di Indonesia

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: bioethanol sebagai pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut sudah dicoba diterapkan dalam skala kecil di tanah air. Momentum krisis BBM saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menata dan menerapkan dengan serius berbagai potensi tersebut. Meskipun saat ini sangat sulit untuk melakukan substitusi total terhadap bahan bakar fosil, implementasi sumber energi terbarukan sangat penting untuk segera dimulai. Di bawah ini dibahas secara singkat berbagai sumber energi terbarukan tersebut.

2.1 BioethanolBioethanol adalah ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Brazil, dengan 320 pabrik bioethanol, adalah negara terkemuka dalam penggunaan serta ekspor bioethanol saat ini [5]. Di tahun 1990-an, bioethanol di Brazil telah menggantikan 50% kebutuhan bensin untuk keperluan transportasi [8]; ini jelas sebuah angka yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bioethanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun dia mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18% di Brazil. Dalam hal prestasi mesin, bioethanol dan gasohol (kombinasi bioethanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin; bahkan dalam beberapa hal, bioethanol dan gasohol lebih baik dari bensin. Pada dasarnya pembakaran bioethanol tidak menciptakan CO2 neto ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioethanol. Bioethanol bisa didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, singkong, ubi, dan sagu; ini merupakan jenis tanaman yang umum dikenal para petani di tanah air. Efisiensi produksi bioethanol bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan bagian tumbuhan yang tidak digunakan sebagai bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik.

2.2 BiodieselSerupa dengan bioethanol, biodiesel telah digunakan di beberapa negara, seperti Brazil dan Amerika, sebagai pengganti solar. Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, dan sebagainya [4]. Beberapa lembaga riset di Indonesia telah mampu menghasilkan dan menggunakan biodiesel sebagai pengganti solar, misalnya BPPT serta Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB. Kandungan sulfur yang relatif rendah serta angka cetane yang lebih tinggi menambah daya tarik penggunaan biodiesel dibandingkan solar. Seperti telah diketahui, tingginya kandungan sulfur merupakan salah satu kendala dalam penggunaan mesin diesel, misalnya di Amerika. Serupa dengan produksi bioethanol, pemanfaatan bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi biodiesel perlu mendapatkan perhatian serius. Dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, industri, dan masyarakat, bioethanol dan biodiesel merupakan dua kandidat yang bisa segera diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

2.3 Tenaga Panas BumiSebagai negara yang terletak di daerah ring of fire, Indonesia diperkirakan memiliki cadangan tenaga panas bumi tak kurang dari 27 GW [16]. Jumlah tersebut tidak jauh dari daya total pembangkitan listrik nasional yang saat ini mencapai 39.5 GW [14]. Pemanfaatan tenaga panas bumi di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 3% [16]. Tenaga panas bumi berasal dari magma (yang temperaturnya bisa mencapai ribuan derajad celcius). Panas tersebut akan mengalir menembus berbagai lapisan batuan di bawah tanah. Bila panas

tersebut mencapai reservoir air bawah tanah, maka akan terbentuk air/uap panas bertekanan tinggi. Ada dua cara pemanfaatan air/uap panas tersebut, yakni langsung (tanpa perubahan bentuk energi) dan tidak langsung (dengan mengubah bentuk energi). Untuk uap bertemperatur tinggi, tenaga panas bumi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dan generator yang selanjutnya menghasilkan listrik. Sedangkan uap/air yang bertemperatur lebih rendah (sekitar 100 oC) bisa dimanfaatkan secara langsung untuk sektor pariwisata, pertanian, industri, dan sebagainya. Dengan adanya UU No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi serta inventarisasi data panas bumi yang telah dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [16], maka eksploitasi tenaga panas bumi ini dapat segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

2.4 MikrohidroMikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil (bisa mencapai beberapa ratus kW). Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro (dibandingkan dengan PLTA skala besar) berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal tanah yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Mikrohidro cocok diterapkan di pedesaan yang belum terjangkau listrik dari PT PLN. Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu. Energi tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin yang dihubungkan dengan generator listrik. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 m bisa dihasilkan listrik 400 W [7]. Potensi pemanfaatan mikrohidro secara nasional diperkirakan mencapai 7,500 MW, sedangkan yang dimanfaatkan saat ini baru sekitar 600 MW [1]. Meskipun potensi energinya tidak terlalu besar, mikrohidro patut dipertimbangkan untuk memperluas jangkauan listrik di seluruh pelosok Nusantara.

2.5 Tenaga SuryaEnergi yang berasal dari radiasi matahari merupakan potensi energi terbesar dan terjamin keberadaannya di muka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi matahari bisa dijumpai di seluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulkan polusi ke atmosfer. Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga angin, bio-fuel, tenaga air, dan sebagainya, sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis, yakni termal dan photovoltaic. Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sementara pada sistem photovoltaic, radiasi matahari yang mengenai permukaan semikonduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan arus listrik. Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, sistem photovoltaic lebih banyak digunakan. Sebagai negara tropis, Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun, yakni dengan intensitas harian rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 [2]. Meski terbilang memiliki potensi yang sangat besar, namun pemanfaatan energi matahari untuk menghasilkan listrik masih dihadang oleh dua kendala serius: rendahnya efisiensi (berkisar hanya 10%) dan mahalnya biaya per-satuan daya listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 - 0.5 / kWh, bandingkan dengan tenaga angin yang US $ 0.05 - 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 - 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 - 0.025 / kWh [13]. Pembangkit lisrik tenaga surya ini sudah diterapkan di berbagi negara maju serta terus mendapatkan perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalkan kendala yang ada.

2.6 Tenaga AnginPembangkit listrik tenaga angin disinyalir sebagai jenis pembangkitan energi dengan laju pertumbuhan tercepat di dunia dewasa ini. Saat ini kapasitas total pembangkit listrik yang berasal dari tenaga angin di seluruh dunia berkisar 17.5 GW [17]. Jerman merupakan negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin terbesar, yakni 6 GW, kemudian disusul oleh Denmark dengan kapasitas 2 GW [17]. Listrik tenaga angin menyumbang sekitar 12% kebutuhan energi nasional di Denmark; angka ini hendak ditingkatkan hingga 50% pada beberapa tahun yang akan datang. Berdasar kapasitas pembangkitan listriknya, turbin angin dibagi dua, yakni skala besar (orde beberapa ratus kW) dan skala kecil (dibawah 100 kW). Perbedaan kapasitas tersebut mempengaruhi kebutuhan kecepatan minimal awal (cut-in win speed) yang diperlukan: turbin skala besar beroperasi pada cut-in win speed 5 m/s sedangkan turbin skala kecil bisa bekerja mulai 3 m/s. Untuk Indonesia dengan estimasi kecepatan angin rata-rata sekitar 3 m/s, turbin skala kecil lebih cocok digunakan, meski tidak menutup kemungkinan bahwa pada daerah yang berkecepatan angin lebih tinggi (Sumatra Selatan, Jambi, Riau [10], dan sebagainya) bisa dibangun turbin skala besar. Perlu diketahui bahwa kecepatan angin bersifat fluktuatif, sehingga pada daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata 3 m/s, akan terdapat saat-saat dimana kecepatan anginnya lebih besar dari 3 m/s - pada saat inilah turbin angin dengan cut-in win speed 3 m/s akan bekerja. Selain untuk pembangkitan listrik, turbin angin sangat cocok untuk mendukung kegiatan pertanian dan perikanan, seperti untuk keperluan irigasi, aerasi tambak ikan, dan sebagainya.

3. KesimpulanKrisis energi saat ini sekali lagi mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa usaha serius dan sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil perlu segera dilakukan. Penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga berarti menyelamatkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM. Terdapat beberapa sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan yang bisa diterapkan segera di tanah air, seperti bioethanol, biodiesel, tenaga panas bumi, tenaga surya, mikrohidro, tenaga angin, dan sampah/limbah. Kerjasama antar Departemen Teknis serta dukungan dari industri dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan implementasi sumber energi terbarukan tersebut.

4. Daftar Pustaka

1. Anonim, Pembangkit listrik mikrohidro Cinta Mekar, http://www.wwf.or.id/powerswitch/suara_komunitas/cinta_mekar/.

2. Anonim, Sumber energi terbarukan untuk antisipasi krisis BBM?, http://www2.dw-world.de/indonesia/wissenschaft_Technik/1.151686.1.html.

3. Anonim, GALFAD Ubah Sampah Jadi Listrik, Bali Post, 15 Februari 2005. 4. Anonim, Biodiesel, energi alternatif, Pikiran Rakyat, 13 Juli 2005. 5. Anonim, "Raja Minyak" Baru itu Bernama Brazil, Kompas, 18 Agustus 2005. 6. Anonim, Soal BBM jangan saling menyalahkan, Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2005. 7. Anonim, Di Mana Air Mengalir, Listrik bisa Dihasilkan, Kompas, 15 September

2005.

8. Goldemberg, J., Macedo, IC., Brazilian alcohol program: An overview, Energy for Sustainable Development, Vol 1 No 1, May 1994.

9. Panaka, P., Technology Waste Conversion into Energy, Integrated Capacity Strengthening ICS-CDM/JI Project Waste to Energy, B2TE-BPPT, Jakarta, 2004.

10. PSE-UI, INDONESIA ENERGI Outlook & Statistics 2000, PSE-UI Jakarta 2002. 11. Rahman, B., Biogas, Sumber Energi Alternatif, Kompas, 8 Agustus 2005. 12. Sari, AP., Kehidupan tanpa minyak: masa depan yang nyata, Pelangi,

www.pelangi.or.id . 13. Service, RF., Is it time to shoot for the Sun?, Science Vol 309, July 22, 2005, 548-

551. 14. Seymour, F., Sari, AP., Restrukturisasi di tengah reformasi, dalam: Sari, AP., Salim,

N., Elyza, R., Listrik Indonesia: Restrukturisasi di tengah reformasi, Pelangi, www.pelangi.or.id .

15. Tobing, M., Bencana BBM menunggu di depan, Kompas, 11 Juli 2005. 16. Wahyuningsih, R., Potensi dan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di

Indonesia, Direktorat Inventarisasi Mineral, Energi dan Sumber Daya Mineral, www.dim.esdm.org.id.

17. World Energy Survey, 2001 Survey of Energy Resources, WEC 2001.

Dikutip dari http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=104 (24 Juli 2008: 16.45)

LATIHAN 13Dalam kelompok, tentukanlah kerangka tulisan teks ini dan tetapkanlah jenis karangan dan perkembangan tulisan teks berikut ini!

Krisis Pangan di Negeri Agrarisoleh Heru Pamuji

Gemah ripah rapuh. Kalimat yang pernah menjadi tagline edisi khusus Gatra beberapa tahun lalu itu makin menjadi kenyataan. Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris yang gemah ripah, ternyata rapuh dalam soal ketahanan pangan. Itu terbukti pada laporan UN World Food Program (WFP), yang dirilis Jumat dua pekan lalu, yang melengkapi laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada awal Maret.

Dua lembaga PBB yang mengurusi pangan itu mengungkapkan, akibat kenaikan harga minyak yang menembus US$ 100 per barel pada akhir tahun lalu, harga pangan dunia meroket hingga rata-rata 40%. Lonjakan harga ini terjadi pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Harga jagung bahkan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Begitu juga harga kedelai, yang mencetak rekor puncak dalam 35 tahun terakhir.

WFP pun menyebutkan, pada saat ini stok beras dunia mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga ke level tertinggi selama 20 tahun terakhir. Sementara itu, stok gandum berada di titik nadir selama 50 tahun terakhir.Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System yang dibangun FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu. Selain Indonesia, di kawasan Asia ada delapan negara lagi yang mengalami krisis pangan. Yakni Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.

Selain dipicu kenaikan harga bahan pangan, krisis pangan juga disebabkan adanya konflik, banjir, gempa, dan perubahan iklim. Krisis pangan yang dimulai dari lonjakan harga pangan dunia itu pun mengancam negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti negara-negara maju. Pada saat yang sama, produksi beberapa komoditas pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007 sedangkan produksi gula dunia meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu.

Angka cukup mencengangkan ditunjukkan pada produksi jagung, yang tahun 2007 mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton dari total produksi tahun sebelumnya. Penurunan produksi sebesar 17% hanya terjadi pada produksi kedelai. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15% untuk proyek biofuel.

Sejumlah kalangan memprediksi, gejolak harga komoditas pangan dunia belum mereda hingga akhir 2008. Para spekulan dan pemilik modal bakal terus memainkan harga di bursa komoditas global. Aksi borong masih mewarnai sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, kedelai, gula, dan jagung. Kondisi itu berimbas pada situasi pangan di Indonesia. “Ketahanan pangan di Indonesia sangat rentan karena negeri ini masih mengandalkan bahan pangan dari impor,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu, Natsir Mansur. Celakanya, pemerintah tidak memiliki insentif impor yang memadai, seperti diterapkan Tiongkok dan India.

Nastir juga menjelaskan bahwa manajemen pangan di Indonesia kini makin amburadul. Yang terjadi pada saat ini adalah manajemen panik, sehingga memerlukan biaya tinggi karena tidak ada perencanaan stok dan distribusi bahan pangan. Jika tidak segera ditata secara terpadu, krisis pangan di negeri agraris ini menjadi sebuah ironi, ibarat tikus mati di lumbung padi.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, fenomena menyedihkan ini akibat kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas akibat tekanan WTO. Akibatnya, “Petani padi, jagung, kacang kedelai, dan buah-buahan hancur semua,” kata Henry.

Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahaan menggenjot produksi pangan yang berorientasi ekspor. Akibatnya, surplus pangan dari negara-negara maju berbalik ke pasar nasional. Pada saat yang sama, pemerintah malah menggenjot produksi hasil perkebunan berorientasi ekspor, seperti terjadi pada tata niaga CPO. Produksi tanaman pangan di dalam negeri pun jadi terbengkalai.

Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan. Ujung-ujungnya, sektor pangan sangat bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa. Kondisi ini diperparah dengan program privatisasi sektor pangan, yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat.

Sebagai contoh, Bulog selaku lembaga pengontrol harga diprivatisasi menjadi entitas bisnis. Demikian pula industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi konsumen atau end-user. “Akhirnya sektor pangan mengarah ke sistem monopoli atau oligopoli (kartel),” ungkap Henry.

Krisis pangan juga disebabkan kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan pada pasar (1998, letter of intent IMF) serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, agreement on agriculture, WTO). Akses pasar Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0%, seperti kedelai (1998, 200 dan beras (1998). Sementara itu, subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi, maupun insentif harga.

Di sisi lain, subsidi ekspor dari negara-negara overproduksi pangan seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa –beserta perusahaan-perusahaannya– malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik hancur sejak 1995 hingga saat ini. “Hal ini jelas membunuh petani kita,” kata Henry.Beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Misalnya Undang-Undang (UU) Nomor 1/1967 tentang PMA, UU Nomor 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU Nomor 18/2003 tentang Perkebunan, dan yang terakhir UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Dengan kemudahan regulasi itu, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan makin terbuka. Hal ini kian parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan.Dengan sistem kebijakan dan praktek itu, Indonesia kini bergantung pada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, negeri ini langsung terkena dampaknya.

Henry menegaskan, jalan keluar krisis harga pangan itu adalah menegakkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti memberikan hak pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata pertanian di tiap-tiap negara. Negara harus memproteksi petani dari gempuran pasar bebas. Produksi pertanian harus ditujukan pada pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya menguntungkan perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus memprioritaskan pemenuhan pasar lokal dan nasional serta memberdayakan petani kecil di pedesaan.

Dikutip dengan perubahan dari Gatra Nomor 20 Beredar Kamis, 27 Maret 2008.

LATIHAN 14 Bacalah teks berikut, kemudian tentukanlah jenis tulisan setiap paragraf.

Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang HilangOleh Yetty Nency, MD, DSA dan Muhamad Thohar Arifin, MD*

PendahuluanBerita merebaknya temuan gizi buruk, sangat mengejutkan di negara tercinta yang terkenal subur makmur ini. Kasus ini bisa jadi tidak hanya momok bagi para balita namun juga bagi pemerintah. Bahkan di era pemerintahan suharto, pejabat daerah sangat ketakutan jika sampai didapati kasus gizi buruk di wilayahnya, cerminan buruknya performa dalam menyejahterakan raknyatnya; Bukti lemahnya infrastruktur kesehatan dan pangan; Dan aneka polemik mencari biang keladipun muncul ke permukaan. Kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik menjadi semakin sering diperbincangkan. Bisa jadi hanya sedikit yang memikirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya, jika hal ini tidak ditangani dengan serius. Seperti layaknya fenomena gunung es, bahwa ancaman yang sebenarnya jauh lebih besar dan perlu segera diambil langkah langkah antisipasinya dari sekarang. Karena kelainan ini menyerang anak-anak, generasi penerus, yang sedang dalam 'golden period' pertumbuhan otaknya.

Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (=>30%).

Status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Namun penghitungan berat badan menurut panjang badan lebih memberi arti klinis. Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih seperti anak-anak lain, beraktivitas , bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya (akibat atrophy/pengecilan organ tersebut).

Diagnosis kurang gizi selain ditegakkan melalui pemeriksaan antropometri (penghitungan berat badan menurut umur /panjang badan) dapat melalui temuan klinis dijumpainya keadaan klinis gizi buruk yang dapat dibagi menjadi kondisi marasmus, kwasiorkor dan bentuk campuran (marasmik kwasiorkor). Tanda tanda marasmus adalah anak kurus, kulitnya kering, didapatkan pengurusan otot (atrophy) sedangkan kwasiorkor jika didapatkan edema ( bengkak) terutama pada punggung kaki yang tidak kembali setelah dilakukan pemijitan (pitting edema), marasmik kwasiorkor adalah bentuk klinis campuran keduanya.Pengertian di masyarakat tentang "Busung Lapar" adalah tidak tepat. Sebutan "Busung Lapar" yang sebenarnya adalah keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu tertentu pada satu wilayah, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi status gizi menjadi kurang atau

buruk dan keadaan ini terjadi pada semua golongan umur. Tanda-tanda klinis pada "Busung Lapar" pada umumnya sama dengan tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor.

Penyebab Gizi BurukGizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit / terkena infeksi.Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :

1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat Tidak tersedinya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.

2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.

3. Pola makan yang salah Suatu studi "positive deviance" mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk.Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup

Sering sakit (frequent infection) Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygine yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik seperti misalnya tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan

meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

Konsekuensi gizi buruk, loss generation?Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri.Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan system, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/ makro nutien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan system pertahanan tubuh terhadap microorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di-follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat 'catch up' dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi 'stunting' (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, perkembangan anak pun terganggu.

Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi gizi buruk terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun), dapat dibayangkan jika otak tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan irreversible (sulit untuk dapat pulih kembali). Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi vital karena otak adalah salah satu 'aset' yang vital bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang berkualitas di kemudian hari.Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi akademik di sekolah. Kurang Gizi berpotensi menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber daya manusia dan produktivitas. Tidak heran jika gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa.

Pentingnya Deteksi dan Intervensi Dini Mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis, namun juga pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat maupun agama dan pemerintah. Langkah awal pengelolaan gizi buruk adalah mengatasi kegawatan yang ditimbulkannya, dilanjutkan dengan "frekuen feeding" ( pemberian makan yang sering, pemantauan akseptabilitas diet (penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan), pengelolaan infeksi dan pemberian stimulasi. Perlunya pemberian diet seimbang, cukup kalori dan protein serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak, Pada daerah endemis gizi buruk perlu distribusi makanan yang memadai.

Posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining / deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini.Penggunaan

kartu menuju sehat dan pemberian makanan tambahan di posyandu perlu digalakkan lagi. Tindakan cepat pada balita yang 2x berturut-turut tidak naik timbangan berat badan untuk segera mendapat akses pelayanan dan edukasi lebih lanjut, dapat menjadi sarana deteksi dan intervensi yang efektif. Termasuk juga peningkatan cakupan imunisasi untuk menghindari penyakit yang dapat dicegah, serta propaganda kebersihan personal maupun lingkungan. Pemuka masyarakat maupun agama akan sangat efektif jika mau membantu dalam pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos-mitos yang salah pada pemberian makan pada anak. Kasus gizi buruk mengajak semua komponen bangsa untuk peduli, berrsama kita selamatkan generasi penerus ini untuk menjadi Indonesia yang lebih baik. (edited by T404AR?)

*Yetty Nency, MD, DSA, Dokter Spesialis Anak pada RS Dr. Karyadi Semarang. Muhamad Thohar Arifin, MD, Bagian Anatomi dan Bedah Saraf FK UNDIP, Semarang

Sumber: Jurnal KESEHATAN, Edisi Vol.5/XVII/November 2005

LATIHAN 15Bacalah kutipan-kutipan di bawah ini dan tentukan jenis tulisannya! Tentukan juga letak kalimat topik setiap kutipan.

1. Multikulturalisme saat ini merupakan sebuah isu yang hidup. Secara akademis, banyak diskusi dan penerbitan mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme juga dianggap penting secara politis. Di dalam satu masyarakat yang plural, dengan kebudayaan yang heterogen, perlu pemahaman yang didasarkan pada perspektif multikultural. (http://www.kompas.com)

2. Untuk meningkatkan kinerja otak, dr. Daniel G. Amen, penulis buku Making Good Brain Great Here, memberikan tujuh tips. Pertama, kita harus meningkatkan asupan air hangat karena dehidrasi ringan dapat meningkatkan produksi hormon stres yang dapat merusak otak. Kedua, kita harus membatasi asupan kalori. Penelitian membuktikan bahwa diet dengan kalori terbatas baik bagi otak dan memperpanjang usia. Ketiga, kita juga lebih baik mengkonsumsi ikan dan DHA yang merupakan salah satu bentuk asam lemak omega-3. Penelitian dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa diet yang kaya asam lemak omega-3 membantu meningkatkan keseimbangan emosional dan mood yang sehat. Tips keempat adalah mengkonsumsi makanan sumber antioksidan. Kelima, kita harus mengkonsumsi protein, lemak baik, dan karbohidrat dalam porsi seimbang. Tips yang lain adalah memasukkan 24 bahan pangan sehat dalam diet harian. Terakhir adalah mengkonsumsi camilan rendah kalori. (Intisari, Agustus 2007)

3. Obat tradisional herbal Indonesia, atau jamu, bersifat preventif sehingga memberikan kesempatan mengurangi penyebaran virus flu burung. Obat herbal yang berasal dari berbagai tumbuhan, diyakini bisa menjadi solusi atas wabah flu burung. Pasalnya, sifat obat-obatan tersebut cenderung mempertahankan kondisi kesehatan seseorang. Menurut pendapat HM Sampoerno, obat herbal yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki potensi untuk mencegah penyebaran flu burung. Hal ini bisa terjadi lantaran sifat obat tersebut yang cenderung preventif atau mencegah. Saat ini, cara terampuh untuk menangkal flu burung menyebar adalah dengan mempertahankan kondisi fisik sebaik-baiknya. (http://www.sinarharapan.co.id)

4. Di samping tanaman-tanaman “keji” yang digunakan dengan sengaja untuk membunuh, ada juga beberapa tanaman yang “membunuh” secara diam-diam. Tanaman tersebut ada di sekitar kita. Misalnya daun ketela pohon (Manihot esculenta) yang mengandung sianida. Untuk beberapa varietas, konsentrasinya tinggi. Oleh karena itu, sebelum dikonsumsi harus direbus dengan air mendidih. Selain itu, ada daun keladi (Colocasia esculenta). Daun ini mengandung kalsium oksalat yang membahayakan jika dikonsumsi. Bayam (Spinacia oleracea) pun bisa menjadi sayur yang bermanfaat tetapi juga petaka. Jika dimasak berlebihan, akan menyebabkan pembentukan batu oksalat pada kandung kemih dan ginjal. (Intisari, Agustus 2007)

5. Keberadaan hutan lindung di  wilayah Indonesia dari hari ke hari semakin terancam keberadaannya. Luas hutan lindung di Indonesia semakin berkurang dengan adanya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia sering diakibatkan kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik pemekaran provinsi ataupun kabupaten/kota. Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi sering terancam akibat pemekaran wilayah. Di Pulau Bintan, wilayah hutan lindung justru masuk sebagai daerah yang akan dijadikan ibu kota. (www.kompas.com)

6. Dugaan adanya suap dalam proses alih fungsi hutan mangrove menjadi pelabuhan internasional Tanjung Api-Api, Sumatra Selatan makin menguat. Anggota Komisi Kehutanan, Mufid Busyairi, mengaku menerima traveler cek Rp 35 juta saat melakukan kunjungan ke Sumsel. Sebelumnya hutan tersebut menjadi area konservasi pencegah banjir dan cadangan air. Namun, hutan seluas 600 hektare ini rusak dan akan dijadikan pelabuhan. Dinas Perhubungan Sumsel mengklaim telah mendapat izin prinsip alih fungsi dari Departemen Kehutanan dan Komisi Kehutanan. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus ada unsur suap dan penyelewengan di dalamnya. (http://www.liputan6.com)

LATIHAN 16Tentukan letak kalimat topik dalam paragraf-paragraf berikut!

1. Kepercayaan pada masa kehamilan yang berlaku pada masyarakat Suku Dayak sanggau dapat dibedakan atas pantangan dan anjuran. Pantangan pada ibu hamil meliputi pantang makan dan pantang perbuatan. Pantangan makan ternyata tidak terlalu banyak, mereka hanya melarang ibu hamil untuk tidak makan daging binatang yang hidup di dalam lobang, seperti trenggiling, daging ular dan daging labi-labi (sejenis kura-kura). Tujuan pantang tersebut selain takut akan terjadi hambatan pada persalinan, juga takut kalau anak yang dilahirkan akan memiliki sifat seperti hewan tersebut. Pantang tersebut secara langsung tidak berdampak pada kesehatan ibu. Pantangan yang ditujukan pada dan suami bertujuan untuk memperlancar proses kehamilan. Pantang tersebut bersifat netral karena tidak berpengaruh langsung terhadap kesehatan ibu. Anjuran pada ibu hamil meliputi pengurangan waktu dan banyak melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti ke sawah, mencari kayu, dan menyadap karet. Hal tersebut bertujuan agar bayi dalam kandungan tidak lengket pada tulang belakang ibu sehingga mengalami kesulitan pada saat melahirkan. Hal ini dapat membahayakan kandungan dan kesehatan ibu. 1(Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 1, No. 3, Desember 2006.)

2. Melalui karya-karya fiksinya, Kollontai berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai moral yang baru, khususnya bagi kaum proletar Uni Soviet. Salah satu nilai baru yang ditawarkan oleh Kollontai, yaitu rekonstruksi feminitas pada masyarakat komunis Uni Soviet. Kollontai dan isu seputar reksonstruksi feminitas Rusianya telah banyak dibahas oleh para peneliti dalam kajian Rusia, khususnya pemerhati sastra feminis. Namun, belum banyak yang mengupas nilai-nilai maskulinitas ideal yang dipropagandakan dalam karya-karyanya. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan menganalisis maskulinitas dalam salah satu karyang, yaitu Vasilisa Maligina (1923).2

3. Secara umum, permasalahan narkoba terbagi dalam tiga aspek yang saling terkait. Pertama, produksi narkoba secara gelap. Kedua, perdagangan gelap narkoba dan ketiga, penyalahgunaan narkoba. Ketiga hal itulah yang menjadi target perang gerakan antimadat sedunia, sekaligus menjadi indikator seberapa kuat upaya yang dilakukan suatu bangsa untuk menumpas penyalahgunaan narkoba.3

4. Aku tahu persis caranya sebab aku paham saat ini kebahagiaan Arai sesusngguhnya terperangkap dalam sebuah peti. Kunci peti itu berada di tangan wanita ini: Zakiah Nurmala binti Berahim Matarum. Cinta Arai pada Nurmala adalah salah satu dari

1 dicuplik dari “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan, dan Niifas pada Suku Dayak Sanggau Tahun 1006” yang ditulis oleh Edy Suprabowo dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 1, No. 3, Desember 2006.

2 dicuplik dari ”Vasilisa Maligina karya A.M. Kollontai; sebuah rekonstruksi atas konsep maskulinitas Rusia” yang ditulis oleh Mina Elfira dalam Wacana, Vol. 10 No. 1, April 2008, hlm. 40—49) 3 dikutip dengan modifikasi dari Media Indonesia, 1 Juli 2008.

kisah cinta yang paling menyedihkan di muka bumi ini. Cinta yang patah berkeping-keping karena pengkhianatankah yang paling menyakitkan? Bukan. Cinta yang diputus karena perbedaan status, harta benda, dan agamakah yang paling menyesatkkan? Masih bukan. Cinta yang menjadi dingin karena penyakit, penganiayaan, dan kebosanankah yang paling menyiksa? Tidak. Atau cinta yang terpisahkan samudra, lembah, dan gunung-gemunung yang paling pilu? Sama sekali tidak. Bagaimanapun pedih dilalui kedua sejoli dalam empat keadaan itu, mereka masih dapat saling mencinta atau saling membenci. Namun, yang paling memilukan adalah cinta yang tak peduli. Karena itu, seorang filsuf yang siang malam merenungkan seni mencinta telah menulis “love me or just hate me, but spare me with your indifference” ‘cintai aku atau sekalian benci aku, asal jangan tak acuhkan aku’. Malangnya, yang terakhir itulah yang dialami Arai.4

5. Penyelamatan terumbu karang juga dapat dilakukan dengan mendorong pembentukan kawasan lindung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh DGR Wiadnya, Rili Djohani, Mark Erdmann, Lida Pet-soede, Jos Pet, Peter Mous, dan rekan-rekannya menyebutkan bahwa pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring kawasan perlindungan laut (KPL) dapat berfungsi sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumber daya hayati. KPL juga dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan ke dalam perencanaan pesisir terpadu.5

6. Anekdot mahasiswa adalah anekdot yang sasarannya atau pelakunya mahasiswa. Anekdot ini berasal dari mahasiswa. Di kalangan mahasiswa sendiri, kemunculan anekdot ini biasanya dilatarbelakangi oleh perilaku mahasiswa tertentu yang kemudian menjadi sasaran anekdot. Biasanya mahasiswa yang dimaksud adalah mahasiswa yang cukup menonjol di kelas atau di kampus, seperti seorang aktivis. Perilaku yang menjadikan munculnya anekdot adalah perilaku yang kurang disenangi oleh mahasiswa lain atau perilaku yang dirasa aneh atau di luar kelaziman. Bisa saja perilaku yang dimaksud merupakan kebiasaan mahasiswa yang bersangkutan atau juga pembawaan mahasiswa yang bersangkutan.6

LATIHAN 17

4 dicuplik dari Sang Pemimpi oleh Andre Hirata, 2007. 5 Dicuplik dari “Menyelamatkan Si Umbu” oleh Leonas Chatim dalam National Geographic Indonesia, September 2007.

6 Dicuplik dari “Corak Anekdot Indonesia” yang ditulis oleh Mukh Doyin dalam Litera, Volume 5, No. 1, Januari 2006.

Bacalah paragraf-paragraf di bawah ini dan tentukan pola pengembangannya.

1. Kekurangan gizi pada remaja putri sering terjadi sebagai akibat dari body image (citra tubuh) keliru yang diikuti oleh pembatasan konsumsi makanan dengan tidak memperhatikan kaidah gizi dan kesehatan. Akibatnya, asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan Angka Kecukupn Gizi (AKG) yang dianjurkan. AKG rata-rata yang dianjurkan untuk putri Indonesia berumur rata-rata 16—18 tahun dengan berat badan rata-rata 50 kg dan tinggi badan 154 cm adalah sekitar 2200 kalori energi dan 50 gr protein per hari. Penelitian di Padang menemukan asupan energi dan protein remaja putri di dua Sekolah Menengah Atas di Padang adalah 74,7% dan 56%. Sementara itu, di SMUN 2 Bukittinggi, asupan energi dan protein tersebut adalah 71,3% dan 69,3% dari AKG.7

2. Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menemukan etanol untuk bahan bakar pengganti minyak tanah yang berasal dari tanaman, seperti singkong, tebu, atau jenis lain, dan limbah rumah tangga yang mengandung karbohidrat. Proses pembuatan etanol ini cukup sederhana. Singkong atau bahan-bahan lain tersebut dihaluskan, lalu direbus. Kemudian ditambahkan enzim amilase dan diberi ragi. Larutan ini didiamkan selama tiga atau empat hari agar terjadi proses fermentasi untuk mendapatkan etanol.8

3. Istilah ’benteng’ mengingatkan kita pada suatu konteks pertahanan dan peperangan, khususnya yang terjadi pada masa lalu. Konotasi ini memiliki makna yang ternyata lebih luas daripada arti sebenarnya ketika mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan kota di Indonesia. benteng dalam konteks tata ruang kota di Indonesia memegang peranan penting. Bahkan ada dugaan bahwa beberapa kota di Indonesia menjadi tumbuh dan berkembang dengan bangunan benteng sebagai sentralnya.9

4. Batas antarjenis anekdot tidak bersifat mutlak. Artinya, satu anekdot dimungkinkan dapat dimasukkan ke dalam beberapa jenis anekdot. Sebagai contoh, anekdot yang berjudul ”sebab tidak jadinya merger empat bank” pada satu sisi dapat dipandang sebagai anekdot keluarga/kroni pejabat, pada sisi lain dapat dipandang sebagai anekdot seks, anekdot dari dalam, dan anekdot yang bersifat eksoteris. Contoh lain adalah anekdot berjudul ”Tidak Tahu Barang Enak”. Pada satu sisi, anekdot ini dapat dianggap sebagai anekdot seks, anekdot politik, atau anekdot agama.10

7 dicuplik dari “Determinan Indeks Massa Tubuh Remaja Putri di Kota Bukit Tinggi Tahun 2006” yang ditulis oleh Rini Santy dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 1, No. 3, Desember 2006.

8 dikutip dengan modifikasi dari Media Indonesia, 1 Juli 2008.

9 dicuplik dari ”Perubahan peran dan fungsi benteng dalam tata ruang kota” yang ditulis oleh Djoko Marihandono dalam Wacana, Vol. 10 No. 1, April 2008, hlm.144—160)

10 Dicuplik dengan modifikasi dari “Corak Anekdot Indonesia” yang ditulis oleh Mukh Doyin dalam Litera, Volume 5, No. 1, Januari 2006.

5. Kondisi pendidikan perempuan pada zaman Kartini sangatlah berbeda dengan zaman sekarang. Kartini sangat menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi perempuan untuk membuka kebodohan dan keterbelakangannya. Pendidikan formal, menurut Kartini menjadi faktor penting untuk memajukan perempuan sebagai upaya yang lebih luas untuk memajukan bangsa. Oleh karena itu, menurutnya pula, pendirian sekolah-sekolah formal menjadi sangat penting dan untuk itu dia memperjuangkan berdirinya sekolah-sekolah formal.11

6. Bahasa dan kebudayaan sangat erat kaitannya. Setiap bahasa pasti mencerminkan kebudayaan setempat dan memiliki ucapan-ucapan yang tidak masuk akal apabila diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain. Sebaliknya dapat juga terjadi suatu kebudayaan dipengaruhi bahasa yang ditampunginya. Misalnya adalah kata rice. Sewaktu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rice sering diterjemahkan dengan nasi walaupun pemahaman ini jauh dari memuaskan. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia, dikenal bermacam kata untuk menggantikan rice, yaitu padi, gabah, dan beras. Contoh lain adalah salju. Dalam bahasa Indonesia, hanya terdapat satu kata untuk menggambarkan bahan dingin tersebut. Berbeda dengan orang Eskimo. Konon, dalam bahasa Inuit (yang lazim juga disebut Eskimo) terdapat puluhan kata untuk salju-nya bahasa Indonesia.12

LATIHAN 18Bacalah teks berikut dengan baik, kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di akhir teks!

11 Dicuplik dari “Ketimpangan Gender pada pembelajaran Bahasa Inggris Tingkat SD, SMP, SMA” oleh Sri Hardiningsih H. S. dalam Litera, Volume 5, No. 1, Januari 2006.

12 Dikutip dengan modifikasi dari “Pentingnya Nasi dan Salju” oleh André Möller dalam Inul itu Diva? Kumpulan Rubrik Bahasa Kompas, September 2003.

Saatnya Menerapkan Pendidikan Multikultural13

oleh: Husamah

Masalah integrasi dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti serigala berbulu domba atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomance-nya menampakkan sebuah keseimbangan (equillibrium) di antara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai. Inilah fakta Indonesia.

Usman (2004) berpendapat bahwa negara keempat terbesar di dunia dengan masyarakat yang paling plural ini selalu dihantui ancaman disintegrasi bangsa dan gerakan separatisme. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Tidak mengherankan jika sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong isu disintegrasi, gerakan separatisme, anarkisme massa, konflik antaras, suku dan agama.

Kenyataan buruk ini harus segera diakhiri. Dalam tulisannya Suparlan (2002) mengingatkan bahwa cita-cita reformasi adalah membangun kembali keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat yang telah diruntuhkan oleh Orde Baru. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya sebuah masyarakat multikultural Indonesia adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengangungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual, sosial dan kebudayaan (Watson, 2000). Dalam multikulturalisme, penekanannya bukan hanya kesederajatan dalam perbedaan, tetapi juga pada upaya melindungi keanekaragaman kebudayaan termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong minoritas.

Wadah pertama dan paling potensial yang dapat digunakan untuk mengusung dan selanjutnya menanamkan serta menerapkan konsep multikulturalisme di Indonesia adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati. Dalam pandangan Daud Joesoef (2001) kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah diperbaharui ini masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekedar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya.

Dalam hubungannya dengan multikulturalisme, pendidikan merupakan wahana sentral dalam menterjemahkan gagasan multikulturalisme menjadi kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda. Pendekatan multikulturalisme harus disosialisasikan dan dikelola secara konsisten dalam pendidikan nasional. Pengelolaan sistem pendidikan ini dapat dilakukan melalui sebuah revisi kurikulum yang mengacu pada upaya mengapresiasi perbedaan yang ada dan mengembangkan sikap kesederajatan dan toleransi.

Menurut Musa Asyâarie (2004), pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial sehingga 13 Diolah dari “Saatnya menerapkan pendidikan multikultural” oleh Husamah dalam Koran Pendidikan, http://www.koranpendidikan.com/versi_cetak-1172.html, diakses pada 17 Agustus 2008 pukul 16.25.

persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul akibat transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Melalui pendidikan multikultural, siswa dapat diajak untuk melihat contoh-contoh konkret bahwa kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan merupakan suatu proses yang terus terjadi. Kebudayaan merupakan suatu wilayah yang batasnya terbuka terhadap berbagai pengaruh, interaksi, percampuran dan peleburan.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah saatnya memahami dan mengimplementasikan wacana tersebut. Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut, sebaiknya Departemen Pendidikan mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

Tuliskan jawaban pertanyaan berikut pada beningan!1. Apa yang menjadi gagasan utama paragraf pertama?2. Salinlah kalimat topik setiap paragraf bacaan di atas!3. Nyatakan gagasan bawahan yang mendukung gagasan utama tiap-tiap

paragraf.4. Kata kunci manakah yang menyatakan perpautan gagasan utama dan gagasan

bawahan dalam paragraf 3, 4, dan 5?5. Bagaimana pengembangan logika dalam setiap paragraf.

LATIHAN 19Bacalah teks di bawah ini dengan cermat! Buatlah ringkasan atas bacaan tersebut! Panjang ringkasan tidak lebih dari dua lembar beningan!

Paradigma Multikultural14

oleh M. Khoirul Muqtafa

Paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diwujudkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, dalam tindakan praksis. Seperti fenomena (di)muncul(kan)nya UU ”kontroversi” Sisdiknas yang sengaja didesakkan ”kelompok mayoritas”. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang dipeluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi.

Kasus RUU Kerukunan Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi negara yang deterministik dalam kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multikultural dalam benak bangsa ini. Perihal di atas sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologisantropologis bangsa ini.

Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai ”Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Secara vertikal berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar mode of production yang bermuara pada perbedaan daya adaptasinya.

Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain. Akan tetapi, upaya untuk ”mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.

Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Politik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme, makin menguat. Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semu belaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengesampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang, suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana ”toleransi” dalam menyikapi realitas multikultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya.

Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam ”toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun malah situasi acuh tak acuh (indifference).

14 Diolah dari www. sinarharapan.co.id. Diakses tanggal 17 Agustus 2008, pukul 16.30

Pendidikan Multikultural

Sampai di sini, kita layak meneguhkan kembali paradigma multikultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan kepada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak kepada aspek psikomotorik. Peneguhan ini bermaksud mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap oleh Goodenough (1976) adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, pragmatis, terintegrasi, dan berkesinambungan. Di sinilah fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.

Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multikultural ini adalah pertama, pendidikan multikultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan juga bermaksud membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada di tangan mereka melainkan tanggung jawab semua pihak.

Kedua, pendidikan ini juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini disebabkan seringnya para pendidik, secara tradisional, mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi di mana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang individu secara stereotip menurut identitas etnik mereka. Malah akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak-didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara konseptual antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial primer dalam kelompok etnik tertentu.

Keempat, kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dari konsep dwi-budaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Oleh karena dikotomi semacam ini bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini, mesti dikembangkan prinsip solidaritas, yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

LATIHAN 20

Bacalah dua teks di bawah ini! Bandingkanlah dan tandailah unsur-unsur informasi yang sama dalam kedua bacaan berikut!TEKS 1

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN15

Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

Menurut pengamat pendidikan, Prof. Dr. HAR Tilaar, pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan. Tilaar menjelaskan bahwa banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan bahwa siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut. Menurutnya pula, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.

Sementara itu, Yon Sugiono menjelaskan bahwa untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural. Pada model pendidikan ini, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. Hal tersebut karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa.

Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan bahwa melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter. Dengan demikian, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini sehingga bisa menghambat terjadinya konflik.

15 Diolah dari “Pendidikan Multikultural Tanamkan Sikap Menghargai Keberagaman”. http://www.atmajaya.ac.id/. Diakses pada 17 Agustus 2008, pukul 16.26.

TEKS 2

Pendidikan Multikultural16

oleh Mochtar Buchori

Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat inisering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.

Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia, tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Namun, di Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan dalam kehidupan sosial.

Mengapa demikian?

Karena dalam setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka yang memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk. Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang perangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi, misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan sebaliknya. Golongan penduduk Islam menyimpan sejumlah prasangka terhadap golongan Kristen, dan sebaliknya.

Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat langgeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah. Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.

Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.

16 Diolah dari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/12/opini/3232252.htm. Diakses pada 17 Agustus pukul 16.28.

LATIHAN 21Dalam kelompok, susunlah sebuah sintesis berdasarkan teks pada latihan 12, 13, dan 14!

Latihan 22

Bacalah makalah yang berjudul ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” di bawah ini. Berilah tanda pada bagian-bagian yang merupakan kutipan dalam teks itu dan klasifikasikanlah jenis kutipan yang kalian temukan.==================================================================

Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan Kushartanti

Indonesia adalah negara diglosik, yang memiliki bahasa nonstandar yang dipakai dalam situasi nonforma dan bahasa standar yang dipakai dalam situasi formal. Bentuk bahasa nonstandar di Indonesia beragam. Ada bahasa daerah (yang beberapa di antaranya bahkan menjadi bahasa standar di daerahdaerah tertentu, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa Makasar) yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu, dan ada bahasa Indonesia nonstandar yang dipengaruhi oleh bahasa Jakarta, yang dipakai di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Medan.

Situasi diglosik ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi anak-anak Indonesia. Pada umumnya mereka memperoleh bahasa nonstandar sebagai bahasa pertama, kemudian belajar bahasa standar di sekolah. Dewasa ini, banyak pula orang tua di kota besar yang menginginkan anak mereka untuk menguasai bahasa asing, terutama Inggris dan Mandarin. Karena itu, ada pula anak-anak yang menguasai kedua bahasa itu sebagai bahasa pertama.

Dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bagi sebagian besar anak di Indonesia. Bahasa Indonesia secara formal mulai dipelajari ketika mereka duduk di bangku sekolah dasar. Di sekolah, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara lisan dan tertulis, dan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Indonesia.

Bagi guru, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri, mengingat bahwa bahasa ini -- bagi sebagian besar sekolah di Indonesia -- merupakan bahasa pengantar yang dipakai untuk menyampaikan materi pelajaran yang lain. Pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai sarana untuk membantu peserta didik mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif (Depdiknas 2006).

Menurut ScWeppegrell (2004), sekolah perlu meningkatkan kesadaran peserta didik mengenai kekuatan pilihan kata dalam penafsiran berbagai makna dan beragam konteks sosial. Apa yang dikemukakan Schleppergrell ini pun relevan dengan tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Di sekolah, guru menghadapi peserta didik dengan berbagai latar belakang sosial-budaya. Tantangan guru tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia untuk mengarahkan peningkatan kemampuan berbahasa, tetapi juga membentuk sikap mereka terhadap bahasa Indonesia. Untuk itu diperlukan strategi guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan kognitif mereka, melainkan juga untuk meningkatkan apresiasi mereka terhadap seni - dalam hal ini adalah kesusastraan.

Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru mempunyai keleluasaan untuk menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didik. Namun,

sejauh mana keleluasaan guru mengatur bahan ajar kebahasaan ini? Hal apa yang diperlukan oleh guru dalam penentuan bahan ajar? Benarkah harus ada pemisahan yang jelas antara pendidikan bahasa dan sastra di sekolah?

Secara khusus, makalah ini akan menyoroti pengajaran bahasa dan sastra di sekolah dasar dan kaitannya dengan strategi guru menghadapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Alasan yang mendasari penulis menyoroti pengajaran bahasa dan sastra di sekolah dasar adalah karena tahun-tahun pertama di sekolah dasar merupakan waktu yang sangat penting dalam peningkatan keterampilan menggunakan bahasa Indonesia. Karena itu, guru mempunyai peran penting dalam meningkatkan keterampilan ini.

Di dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan, dan hubungan antara perkembangan bahasa dan pengajaran bahasa serta pengajaran sastra. Makalah ini akan ditutup dengan saran bagi guru untuk menyiasati Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.

KBK DAN KTSP Sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi banyak masalah dalam bidang pendidikan. Tilaar (1998) mengungkapkan bahwa paling tidak ada tujuh masalah pokok dalam sistem pendidikan nasional, yaitu menurunnya akhlak dan moral peserta didik, pemerataan kesempatan belajar, masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, status kelembagaaan, manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan sumber daya yang belum profesional.

Masalah yang pertama, dekadensi moral dan akhlak peserta didik, sedikit banyak banyak dipengaruhi oleh faktor latar belakang para peserta didik. Sementara itu, masalah-masalah lain dalam pendidikan nasional menyangkut institusi pembelajaran.

Dapat dikatakan bahwa sampai saat ini mutu pendidikan di Indonesia memang tidak mengalami peningkatan yang merata. Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini. Yang pertama adalah kurangnya perhatian terhadap proses dalam pendidikan; sebagian besar institusi pendidikan lebih mementingkan hasil pendidikan. Yang kedua adalah sangat kuatnya peran institusi pemerintah dalam kebijakan pendidikan, yang menyebabkan banyak sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya. Yang ketiga adalah kurangnya peran serta orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan.

Faktor-faktor penyebab masalah pendidikan, seperti disebutkan di atas, sudah lama disadari oleh Departemen Pendidikan Nasional. Untuk memperbaiki keadaan ini, pemerintah menyusun kurikulum yang lebih menekankan kemampuan peserta didik dalam belajar, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Selain itu, pemerintah juga melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.

KBK merupakan sebuah kurikulum yang menekankan pengembangan kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar kinerja tertentu. Depdiknas (2002, seperti dikutip dalam Mulyasa 2006: 42) mengemukakan bahwa KBK memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun secara

klasikal. 2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. 3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan metode yang bervariasi. 4. Sumbernya bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur

edukatif. 5. Penilaianmenekankan pada proses belajar danhasil belajar dalam upaya penguasaan atau

pencapaian suatu kompetensi.

Walaupun kurikulum ini sudah dicanangkan pemerintah, sejumlah masalah masih tetap bermunculan. Keterbacaan kurikulum ini merupakan kendala yang utama. Masih banyak penyelenggara pendidikan yang masih kurang memahami hakikat kurikulum ini. Selain itu,

kewenangan guru untuk menjabarkan kurikulum ini sebagai acuan dalam pembelajaran masih sangat terbatas. Untuk meningkatkan peran guru dalam pelaksanaan kurikulum, pemerintah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih dekat dengan guru (Mulyasa 2006:9). Dengan KTSP, penyelenggara pendidikan, terutama guru, akan banyak dilibatkan dan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Alwasilah (2006) mengungkapkan sejumlah ciri penting KTSP ini sebagai berikut. 1. KTSP menganut prinsip fleksibilitas; sekolah diberi kebebasan untuk memberi tambahan

empat jam per minggu, yang dapat diisi dengan muatan lokal maupun pelajaran wajib. 2. KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan

lama, yaitu kebergantungan pada birokrat. 3. Guru kreatif dan siswa aktif. 4. KTSP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi; sekolah berperan sebagai "makelar"

kearifan lokal. 5. Komite sekolah bersama dengan guru mengembangkan kurikulum. 6. KTSP tanggap terhadap iptek da seni, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan,

dan kepentingan peserta didik dan lingkungan. 7. KTSP beragam dan terpadu; walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya,

sekolah tetap mengikuti Ujian Nasional.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut (Mulyasa 2006:20). 1. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik

daerah, latar sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. 2. Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan

silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.

Dapat dikatakan bahwa tujuan penyusunan KTSP sangat mulia, yaitu meningkatkan peran serta penyelenggara pendidikan dan masyarakat-dalam hal ini diwakili oleh Dewan Sekolah-dalam proses belajar mengajar. Namun, sekali lagi, kemampuan ”menerjemahkan” dan melaksanakan kurikulum ini menjadi sangat penting. Jika dikaitkan dengan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, pemahaman mengenai hakikat pemerolehan, pemelajaran, dan pengajaran bahasa menjadi sangat penting.

PEMEROLEHAN, PEMELAJARAN, PEMBELAJARAN BAHASA: BERBICARA, MENDENGARKAN, MEMBACA, DAN MENU LIS Istilah pemerolehan bahasa dibedakan dari pemelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama, yaitu proses perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak ia lahir. Pemelajaran bahasa adalah proses mempelajari bahasa, yang dipakai dalam proses belajar bahasa (umumnya bahasa yang dipelajari secara formal di sekolah atau bahasa asing) yang dialami oleh seorang anak atau orang dewasa setelah ia menguasai bahasa pertama (Darmojuwono dan Kushartanti 2005:24). Menurut Oxford (1990), pemerolehan bahasa muncul secara spontan dan secara tidak disengaja. Sementara itu, pemelajaran bahasa dimunculkan secara sadar; pemelajaran dipelajari dengan instruksi formal.

Proses pemerolehan bahasa bukanlah sesuatu yang sederhana. Di dalam pengalaman setiap manusia yang normal, berbahasa adalah proses kognitif yang rumit. Proses ini mensyaratkan kematangan otak dan kematangan alat-alat ucap. Ada sejumlah tahap yang terjadi dalam otak manusia sampai ia menghasilkan ujaran. Di dalam hal ini, tingkat kemampuan memahami pada manusia jauh lebih besar daripada kemampuannya untuk memproduksi bahasa. Dengan demikian, kemampuan mereka untuk menghasilkan ujaran terjadi lebih belakangan dibandingkan dengan kemampuan mereka memahami ujaran.

Salah satu fase penting dalam pemerolehan bahasa yang berkaitan erat dengan pembelajaran bahasa adalah fase imitasi. Pada fase imitasi, anak-anak akan meniru orang-orang di sekitarnya untuk berbicara. Dalam fase inilah anak-anak mengasah keterampilan

mereka dalam bercerita. Cerita, mendengarkan cerita, dan bercerita adalah aspek yang sangat penting dalam

pemerolehan bahasa. Keakraban anak pada bentukbentuk cerita merupakan nilai penting dalam proses pemerolehan bahasa. Pengalaman anak yang diperoleh dengan mendengarkan cerita dapat memperkaya perbendaharaan kata. Selain itu, anak juga memperoleh pengetahuan mengenai ragam bahasa, dalam hal ini ada ragam formal yang biasanya terdapat dalam bahasa tulis, dan ragam informal dalam bahasa lisan. Keterampilan bercerita, seperti menyampaikan informasi faktual secara jelas, merupakan keterampilan yang tidak diperoleh dengan sendirinya. Keterampilan ini menjadi bagian dari pembelajaran bahasa oleh guru.

Bercerita menjadi sangat penting dalam proses pemerolehan bahasa karena melalui bercerita anak-anak dapat mengolah kembali semua bentuk pengalaman mereka dalam bahasa. Melatih anak untuk bercerita berarti melatih mereka untuk berani berbicara di depan orang lain. Menurut Wray dan Medwell (1991), dengan bercerita, atau merangkai peristiwa dalam ujaran, anak-anak memperoleh kesempatan mengungkapkan hal yang sudah terjadi, menyampaikan apa yang sedang terjadi, dan meramalkan apa yang akan terjadi.

Dengan bercerita, anak-anak juga belajar menyesuaikan persepsinya dengan persepsi orang lain. Pada saat yang sarna, anak-anak lain berlatih untuk menyimak cerita. Keterampilan ini tampaknya mudah, namun dalam pelaksanaannya dapat menjadi sangat sulit untuk dimulai. Di sinilah peran guru untuk mendorong anak agar belajar menghormati orang yang sedang berbicara.

Proses belajar bahasa pada anak di sekolah sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka sebelumnya, yaitu sebelum mereka menginjak bangku sekolah formal. Kesenangan belajar bahasa pada dasarnya berasal dari pengalaman yang menyenangkan. Misalnya, ketika anak diperkenalkan pada bentuk-bentuk tulisan dan gambar. Kesadaran mereka akan hubungan antara sesuatu yang tertulis dengan sesuatu yang diujarkan merupakan langkah awal yang baik untuk memperkenalkan bentuk pengungkapan bahasa yang lain, yaitu membaca dan menulis.

Kesadaran mengenai hubungan antara sesuatu yang tertulis dan sesuatu yang diujarkan mereka dapatkan ketika mereka mengetahui adanya hubungan antara gambar dan cerita dalam buku cerita. Karena itu, sudah sering pula kita mendengar bahwa memperkenalkan anak pada buku-buku cerita bergambar sebelum mereka siap untuk membaca dan menulis adalah hal yang sangat penting.

Belajar membaca dan menulis di sekolah merupakan hal yang tidak dapat dielakkan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Pada tingkat-tingkat awal, anak-anak didorong untuk mampu membaca dan menulis kalimat-kalimat sederhana. Pada tingkat selanjutnya anak-anak harus memahami penanda-penanda hubungan logis. Hal ini perlu disadari benar oleh guru, karena berpikir logis inilah yang akan menjadi landasan penting dalam pemahaman mata pelajaran yang lain. Seperti halnya bercerita secara logis, menulis secara logis pun merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh pemelajar.

Dapat dikatakan bahwa pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah proses untuk mencapai empat kompetensi komunikatif. Menurut Oxford (1990:7) keempat kompetensi komunikatif tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kompetensi gramatikal, yaitu penguasaan tanda-tanda bahasa, termasuk kosakata, tata

bahasa, pelafalan, ejaan, dan pembentukan kata. 2. Kompetensi sosiolinguistis, yaitu kemampuan menggunakan ujaran dalam konteks so

sial yang bervariasi, termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai pertuturan seperti membujuk, meminta maaf, atau menjelaskan.

3. Kompetensi wacana, yaitu kemampuan untuk menggabungkan gagasangagasan untuk mencapai kesatuan dan kepaduan pikiran dalam satuan bahasa di atas kalimat.

4. Kompetensi strategis, yaitu kemampuan menggunakan strategi untuk engatasi keterbatasan pengetahuan bahasa.

BERSASTRA: PENGAJARAN KREATIVITAS BERBAHASA Sering kali, pengajaran sastra terabaikan karena ada sejumlah pelajaran lain yang dianggap lebih penting. Padahal, pengajaran sastra sangat penting dalam perkembangan manusia, bukan

hanya penting sebagai sesuatu yang ”terbaca” melainkan juga sebagai sesuatu yang memotivasi kita untuk berbuat.

Norton (1983), Hucks dkk. (1987), Wray dan Medwell (1991), seperti juga Alwasilah (2006), mengungkapkan pentingnya memasukkan pengajaran sastra di sekolah karena sejumlah alasan sebagai berikut. Karya sastra menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Melalui karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman orang lain dalam menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif -- harus begini, jangan begitu -- tetapi dengan membebaskan pembaca mengambil manfaatnya dari sudut pandang pembaca itu sendiri melalui interpretasi. Melalui karya sastra pula peserta didik ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya memperkaya perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi.

Di dalam KTSP telah dinyatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia mempunyai tujuan agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara

lisan maupun tertulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan

bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk

berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta

kematangan emosional dan sosiaL 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus

budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan

intelektual manusia Indonesia.

Di dalam KTSP dengan jelas diungkapkan bahwa salah satu tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah agar peserta didik secara kreatif menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan. Kreativitas berbahasa dapat dipakai pula untuk mengekspresikan diri. Dalam hal ini, peserta didik bersinggungan dengan sastra.

Sudah seharusnya guru memperkenalkan karya sastra sebagai suatu bentuk seni (yang erat kaitannya dengan kreativitas) berbahasa. Pengajaran sastra ditekankan pada bagaimana mengapresiasikan karya, bukan pada menghafal karya sastra. Dorongan guru kepada peserta didik untuk bercerita, seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya, sebaiknya juga dikaitkan dengan pembelajaran sastra. Peserta didik perlu diperkenalkan pada fungsi sastra sebagai alat mengekspresikan diri, baik dalam bentuk cerita, puisi, dan drama (yang mula-mula diperkenalkan sebagai bermain pura-pura).

Menurut Sumardi (2000), agar anak dapat memperoleh kesenangan dan manfaat dalam membaca karya sastra itu, kunci utama yang perlu dipikirkan dalam buku pelajaran adalah menyediakan karya sastra anak yang unggul yang sesuai dengan minat dan kematangan jiwa anak. Untuk memilih karya sastra anak yang unggul, diminati, dan sesuai dengan kematangan jiwa anak, dapat digunakan acuan ilmu-ilmu yang relevan seperti ilmu sastra dan psikologi perkembangan. Huck dkk. (1987) mengungkapkan bahwa ciri esensial karya sastra anak adalah penggunaan pandangan anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner. Karena itu pulalah, guru perlu benar memahami dunia ini.

STRATEGI GURU BAHASA INDONESIA DALAM MENYIKAPI KTSP

Menurut Cunningsworth (1995) ada dua dimensi konteks belajar bahasa, yaitu konteks bahasa dan konteks anak. Konteks bahasa antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus utuh, tidak lepas-Iepas, dan jelas ragamnya. Konteks anak antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus sesuai dengan lingkungan, kebutuhan bahasa, kematangan jiwa, dan minat anak. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Cunningsworth tersebut, pemilihan bahan ajar sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua konteks tersebut. Nunan (1995) juga mengungkapkan bahwa bahan atau wacana pembelajaran bahasa sebaiknya dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya, kebahasaan, dan kehidupan siswa.

Keleluasaan guru untuk memilih apa yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia sebaiknya dilandasi oleh pertimbangan mengenai apa yang diungkapkan oleh Cunningsworth dan Nunan di atas. Karena pembelajaran bahasa berkaitan dengan pembelajaran budaya, maka sebaiknya guru juga mempertimbangkan aspek-aspek budaya yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, kekuatan karya sastra dapat dimanfaatkan.

Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana mendorong anak untuk menyukai karya sastra dalam proses pemelajaran bahasa? Wray dan Medwell (1991: 56--63) menyarankan sejumlah strategi untuk mendorong anak berinteraksi dengan kesusastraan. Strategi itu adalah pilihan (choice) yang diberikan oleh guru kepada peserta didik, kesempatan (opportunihJ) untuk membaca, suasana (atmosphere) yang dibangun dalam menikmati karya sastra, contoh (model) yang dapat ditiru oleh peserta didik dalam budaya membaca, dan berbagi (sharing) informasi mengenai apa yang sudah dibaca. Strategistrategi ini dapat diterapkan oleh pengelola pendidikan sebagai langkah pelaksanaan KTSP ini sebagai berikut.

Guru dapat memberi kesempatan peserta didik untuk memilih bacaan yang disukainya. Mungkin, pada mulanya bacaan itu bukanlah bacaan yang dinilai baik oleh guru. Namun, denganmemberi kebebasan peserta didik untuk memilih dan menikmati bacaan pilihannya, guru dapat memperkenalkan peran bacaan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan. Setelah itu, guru dapat meminta peserta didik untuk memilih bacaan yang temanya sudah ditentukan oleh guru.

Peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-Iuasnya untuk membaca secara individuaL Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca.

Suasana menyenangkan perlu dibangun di sekolah. Suasana dapat dibedakan menjadi suasana fisik dan suasana sosiaL Suasana fisik berkaitan dengan penempatan buku yang rapi dan menarik. Suasana sosial dapat dibangun di kelas dengan menciptakan iklim persaingan sehat dalam membaca buku. Misalnya saja, anak-anak diminta untuk membaca buku yang berhubungan dengan sastra sebanyak-banyak dalam waktu tertentu, dan siapa yang paling banyak membaca akan mendapatkan hadiah.

Tidak dapat dimungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan anak untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan.

Melalui karya sastra, anak juga dapat berbagi pengalaman dan perasaan. Menceritakan pengalaman yang hampir mirip atau sama sekali berbeda berdasarkan buku yang dibaca merupakan kegiatan yang seharusnya menambah minat peserta didik dalam belajar berbahasa. Selain itu mendorong anak untuk menciptakan puisi sebagai bentuk ekspresi pengalaman dan perasaan juga penting. Namun, pedu diingat bahwa setiap anak mempunyai minat yang berbeda mengenai hal ini. Memaksa anak untuk menciptakan suatu

bentuk ekspresi bahasa bukanlah tindakan yang bijaksana.

BEBERAPA SARAN UNTUK PENGELOLA PENDIDIKAN Seperti telah diungkapkan pada bagian kedua makalah ini, KTSP mempunyai tujuan yang mulia untuk mencerdaskan bangsa dengan meningkatkan peran pengelola sekolah, guru, dan komite sekolah ditingkatkan. Namun, tujuan mulia ini tidak akan tercapai jika pihak-pihak ini tidak menyadari hakikat dan tujuan pembelajaran bahasa. Ada sejumlah saran yang kiranya dapat menjadi pertimbangan bagi pengelola pendidikan. 1. Guru bahasa Indonesia sebagai pelaksana pembelajaran perlu terusmenerus

mengembangkan diri, memperkaya ilmu pengetahuan. Karena pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran budaya, maka guru perlu memahami budaya peserta didik, dengan tidak melupakan tujuan pengajaran, yang salah satunya adalah menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

2. Pengelola sekolah perlu meningkatkan pemanfaatan perpustakaan. Buku-buku bacaan di perpustakaan harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan belajar dan mengajar. Guru sebaiknya merancang waktu yang cukup banyak untuk kunjungan ke perpustakaan dan waktu untuk mendiskusikan bacaan, baik secara lisan maupun secara tertulis.

3. Seyogianya, guru bahasa Indonesia bukan saja mempunyai wawasan ilmu linguistik dan pengajaran bahasa, namun juga mempunyai wawasan yang luas mengenai kesusastraan Indonesia, khususnya sastra anak dan wawasan mengenai psikologi anak.

4. Guru bahasa Indonesia perlu terus-menerus berkoordinasi dengan guru mata pelajaran yang lain, sehingga pengembangan keterampilan berbicara, menyimak, membaca, dan menulis tidak hanya terjadi di dalam kelas Bahasa Indonesia, melainkan juga di kelas-kelas yang lain.

5. Peran guru tidak lagi menjadi "penceramah", melainkan menjadi fasilitator. Dengan cara ini, peserta didik akan terus-menerus dipacu untuk berusaha mencari informasi secara aktif.

6. Sejalan dengan saran nomor 5 di atas, peserta didik perlu terus didorong untuk berani bertanya, mengungkapkan pendapat, dan mampu menjadi pendengar yang baik ketika orang lain berbicara. Salah satu cara untuk mengukur kemampuan menyimak adalah dengan meminta peserta didik untuk menceritakan kembali apa yang telah didengarnya ketika orang lain berbicara.

7. Komite sekolah perlu dilibatkan dalam kegiatan belajar-mengajar. KTSP sudah menyarankan hal ini, namun dalam pelaksanaannya, banyak sekolah yang belum memberdayakan komite sekolah. Untuk itu diperlukan koordinasi dan komunikasi yang baik antara komite sekolah dengan pengelola sekolah. Komite sekolah, yang anggotanya adalah orang tua peserta didik, perlu menyadari bahwa prestasi hendaknya bukan hanya diukur dari prestasi nilai, tetapi juga prestasi proses. Karena itu, hendaknya pandangan ini perlu disadari benar oleh Komite Sekolah yang menjadi jembatan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua.

DAFTAR ACUAN Alwasilah, A. Chaedar. 2006. "Kurikulum Berbasis Sastra." Makalah dalam Seminar Nasional

Kondisi Bahasa Indonesia Masa Kini. Jakarta, 16 Desember 2006. Cunningsworth, Allan. 1995. Choosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann. Darmojuwono, Setiawati dan Kushartanti.2005. " Aspek Kognitif Bahasa" dalam Kushartanti, Untung

Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (peny.) PesonaBahasa: LangkahAwal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia PustakaUtama.

Huck, Charlotte S., Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children's Literature. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Kushartanti. 2005. "Adek Bayi Di-pake-sepatu-in Dulu" dalam Totok Suhardiyanto, Untung Yuwono,

dan Syahrial (peny.), Dari Kampus ke Kamus: 65 Tahun Program Studi Indonesia. Depok: Program Studi Indonesia FIB-UI, hIm. 69-82.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Norton, Donna E.1983. Through the Eyes ofa Child: An Introduction to Children's Literature. Ohio: Charles E. Merril Publishing Co. Nunan, David. 1993. Introducing Discourse Analysis. London: Penguin. -----.1995. Language Teaching Methodology: A Textbookfor Teachers. New York: Phoenix. Oxford, Rebecca L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know.

New York: Newburry House Publishers. Schleppegrell, Mary J. 2004. The Language of Schooling: A Functional Linguistics Perspective.

Mahwah, New Jersey, London: Lawrence Erlbaum Associates. Sumardi. 2000. Panduan Penelitian, Pemilihan, Penggunaan, dan Penyusunan: Buku Pelajaran

Bahasa Indonesia SD sebagai Sarana Pengembangan Kepribadian,Penalaran, Kreativitas, dan Keterampilan Berkomunikasi Anak. Jakarta: Grasindo.

Tilaar, HAR. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wray, David, dan Jane Medwell. 1991. Literacy and Language in the Primary Years. London dan New York: Routledge.

Latihan 23

Bacalah makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (Latihan 22), lalu buatlah abstraknya. Tandailah bagian-bagian teks tersebut yang dapat dikategorikan ke dalam unsur-unsur pembentuk karya ilmiah (Pendahuluan, Metode, Hasil, Pembahasan).

Latihan 24Dalam kelompok, lihatlah kembali makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. Bacalah bagian “Pendahuluan” makalah tersebut, kemudian carilah unsur-unsur pendahuluan yang terdapat dalam “Pendahuluan” tersebut. Ikuti langkah-langkah berikut.============================================================

Langkah Kerja1. Bacalah secara kritis bagian “Pendahuluan” dari makalah ”Strategi Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”.

2. Hitunglah jumlah paragraf. Catatlah gagasan utama setiap paragraf pada kertas buram3. Bandingkanlah gagasan utama itu dengan unsur-unsur yang harus terdapat dalam

bagian pendahuluan makalah.4. Tulislah pada beningan hasil bandingan kelompok kalian.5. Bacalah kembali tulisan kalian untuk memeriksa (1) kepaduan tulisan, (2) kelogisan

kalimat, (3) penggunaan kata penghubung dan kata depan, (4) ejaan dan tanda baca.

Latihan 25

Dalam kelompok, lihatlah kembali makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. Bacalah bagian “Isi” makalah tersebut, kemudian carilah unsur-unsur pendahuluan yang terdapat dalam “Isi” tersebut. Ikuti langkah-langkah berikut.

Langkah Kerja1. Bacalah secara kritis bagian “Isi” dari makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”.

2. Hitunglah jumlah subjudul dan paragraf dalam makalah tersebut. Ubahlah subjudul menjadi pertanyaan. Catatlah gagasan utama setiap paragraf pada kertas buram.

3. Bandingkanlah gagasan utama itu dengan unsur-unsur yang harus terdapat dalam bagian isi makalah.

4. Tulislah pada beningan hasil bandingan kelompok kalian.5. Bacalah kembali tulisan kalian untuk memeriksa (1) kepaduan tulisan, (2) kelogisan

kalimat, (3) penggunaan kata penghubung dan kata depan, (4) ejaan dan tanda baca.

Latihan 26

Dalam kelompok, lihatlah kembali makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. Bacalah bagian “Penutup” makalah tersebut, kemudian carilah unsur-unsur pendahuluan yang terdapat dalam “Penutup” tersebut. Ikuti langkah-langkah berikut.________________________________________________________________________

Langkah Kerja1. Bacalah secara kritis bagian “Penutup” dari makalah ”Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”.2. Hitunglah jumlah subjudul dan paragraf dalam makalah tersebut. Ubahlah subjudul menjadi pertanyaan. Catatlah gagasan utama setiap paragraf pada kertas buram.3. Bandingkanlah gagasan utama itu dengan unsur-unsur yang harus terdapat dalam bagian isi makalah.4. Tulislah pada beningan hasil bandingan kelompok kalian.5. Bacalah kembali tulisan kalian untuk memeriksa (1) kepaduan tulisan, (2) kelogisan kalimat, (3) penggunaan kata penghubung dan kata depan, (4) ejaan dan tanda baca.