Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

28
Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430 Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam Nirwan Syafrin ISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia Email: [email protected] Abstract The movement of liberalism in Islamic world at the time being has made the Islamic syari’ah as the object of criticism which must be banned because it considered as the problem of history. Strangely, they always proud on what they have done as interpretation and renovation. In Indonesia liberalism movement factually not without the chesing scenario of politics and world intellects. It is really difficult to avoid the influence of America and its campaign against terrorism in this movement. They try to raise a positive image then what has been presented by the groups of radicalism, fundamentalism, and conservatism, they seem like to change this image, but finally they changed their own image which tend to be more Westernised than the West itself. At least there are three categories, the argumentation of the liberalist against the enforcement of Islamic syariat, that is: historical argumentation, with consideration on Shariah purposes and human right. This article elaborates the position of liberalism view in contemporary Islamic thought, retrieves the process of liberalism in the view of Syari’ah modernisation and criticism toward argumentations of liberalists. Keywords: liberalisme, maqa>s}id al-syari>’at, nasakh, fiqh, hermeneutik Pendahuluan K ehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Islam liberal,’ dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-

Transcript of Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Page 1: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

Kritik TerhadapPaham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan SyafrinISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia

Email: [email protected]

Abstract

The movement of liberalism in Islamic world at the time being hasmade the Islamic syari’ah as the object of criticism which must be bannedbecause it considered as the problem of history. Strangely, they always proudon what they have done as interpretation and renovation. In Indonesia liberalismmovement factually not without the chesing scenario of politics and worldintellects. It is really difficult to avoid the influence of America and its campaignagainst terrorism in this movement. They try to raise a positive image thenwhat has been presented by the groups of radicalism, fundamentalism, andconservatism, they seem like to change this image, but finally they changed theirown image which tend to be more Westernised than the West itself. At leastthere are three categories, the argumentation of the liberalist against theenforcement of Islamic syariat, that is: historical argumentation, withconsideration on Shariah purposes and human right. This article elaborates theposition of liberalism view in contemporary Islamic thought, retrieves theprocess of liberalism in the view of Syari’ah modernisation and criticism towardargumentations of liberalists.

Keywords: liberalisme, maqa>s }id al-syari>’at, nasakh, fiqh, hermeneutik

Pendahuluan

Kehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenaldengan sebutan ‘Islam liberal,’ dalam dunia pemikiran Islamakhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan

kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dangagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-

Page 2: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin52

Jurnal TSAQAFAH

prinsip dasar aqidah dan syariat Islam. Di antara ide yang palingmenonjol adalah seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitasal-Qur’an;1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya,menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan paraulama. Umumnya pendukung liberal ini menolak penerapan syari’atIslam secara formal oleh negara. Untuk tujuan ini mereka mencobamereka-reka berbagai alasan. Ada alasan budaya, HAM, tidakprinsip, dan lain-lain.

Inilah beberapa masalah keislaman yang belakangan inimencuat dalam wacana pemikiran Islam di dunia pada umumnyadan di Indonesia pada khususnya yang sempat menimbulkankeresahan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam. Artikel inimencoba untuk mengeksplorasi dan sekaligus mengkritisi beberapapandangan pemikiran liberal tentang sejumlah isu yang terkaitdengan syariat Islam. Namun sebelum membahas topik tersebut,penulis akan menjelaskan makna liberal dan isu-isu yang terkaitdengannya.

Wacana Liberalisme dalam Pemikiran Islam Kontemporer

Trend pemikiran Islam liberal merupakan fenomena globalyang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahandunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupanmasyarakat Muslim pada khusunya seiring dengan derasnyaekspansi neo-imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasidan perang melawan terorisme. Di Indonesia trend ini selalu

1Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudahpuluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidangkajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun,Al-Fikr al-Isla >mi: Qira >’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawru>ts ila > tahlil al-Khit }a >b al-Dini,terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Ta >rikhiyyah al-Fikr al-Islami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’a>s}ir, no. 115,2005, p. 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al-Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishra >qibayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’),p. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, HistoricistApproach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of TwoMuslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoraldi International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibeldalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 63-69.

Page 3: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 53

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidakseluruh orang-orang yang berpikiran liberal yang ada di Indonesiatergabung secara formal dalam Jaringan ini. Trend ini menyebar diberbagai institusi perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan jugaLSM.

Bila diteliti dengan cermat, hampir seluruh gerakan liberal didunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologisterhadap berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang sedangmelanda masyarakatnya. Kelompok ini berusaha ingin membuatterobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat merekayang telah jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Barat. Dan,terobosan itu, kata mereka, hendaklah dimulai dari Agama. KarenaAgama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan danakselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat Arab danMuslim. Keyakinan inilah yang dapat direkam dari seorang pemikirArab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwayhi.2 Dalamartikelnya dia menyatakan, “kalau kita betul serius ingin berusahamencapai “Revolusi Budaya Arab Komprehensif”, maka kita harusmemulainya untuk berhadapan dengan fakta, bahwa penghalangpertama perjalanan ini adalah Agama. Pernyataan yang sama jugaterdengar dari budayawan Lebanon, Adonis. Tokoh ini begitu“jengkel” dengan peran yang dimainkan Agama (Islam) dalammembentuk kebudayaan Arab. Karena menurutnya Agama inilahyang telah mendorong masyarakat Arab menjadi statis, tidak dinamisdan kreatif; hanya bergantung pada hal-hal yang absolut, fixed danpermanen.3 Baik Adonis maupun Nuwayhi sepertinya lupa atausengaja melupakan bahwa sesungguhnya kemajuan dan kege-milangan yang pernah digapai dan diraih Peradaban Islam selamasekian abad tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh AgamaIslam.

Di Indonesia kemunculan gerakan liberalisasi ini juga takterlepas dari persoalan multi dimensi yang sedang melilit masyarakat

2Muhammad Nuwayhi “A Revolution in Religious Thought,” in John J. Donohueand John L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Muslim Perspectives (New York and Oxford:Oxford University Press, 1982), p. 106.

3Monah A. Khouri, “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate of a NewArab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim M. Oweiss (ed.), Arab Civilization:Challenges and Responses, studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: StateUniversity of New York, 1988), p. 183-207.

Page 4: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin54

Jurnal TSAQAFAH

Indonesia hari ini. Dan secara khusus kelompok ini telah menem-patkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baruyang mereka beri label sebagai ‘radikalisme dan fundamentalismeIslam’ yang mulai marak seiring dengan jatuhnya rezim peme-rintahan Orde Baru. Yang mereka maksudkan dengan kelompokterakhir ini adalah mereka yang secara getol berusaha untukmenerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam sistempemerintahan Indonesia. Ada yang melihat gerakan liberal ini taklain hanya merupakan kelanjutan dari usaha ‘pembaruan’ yangpernah digagas Nucholish Madjid, Abdurrahman Wahid, AhmadWahib, Djohan Effendi, Harun Nasution dan lain-lain.4 Tapi bukantidak mungkin gerakan liberal ini juga sebuah ungkapan ketidak-berdayaan para pendukungnya dalam berhadapan dengan fenomenaglobal yang saat ini didominasi dan dihegemoni oleh peradaban Barat.Mereka merasa begitu rendah diri sekali (inferior) serta sangat silaudengan kemajuan yang diraih Barat sehingga timbul keyakinanbahwa bila umat Islam ingin maju maka mereka harus mengikutisetiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi demokrasi,kebebasan agama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-lakidan wanita, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya.Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akanterlepas dari keterpurukan yang sedang mereka alami.

Tidak dapat dinafikan bahwa dunia Islam saat ini memangsedang dalam krisis yang sangat dalam. Ungkapan Isma‘il Faruqimungkin sangat tepat menggambarkan keberadaan umat Islam hariini: The world-ummah of Islam stands presently at the lowest rung ofthe ladder of nations. In this century, no other nation has been subjectedto comparable defeat or humiliation.5

Dalam kolom khusus di harian al-Ahram,6 Ridwan al-Sayyid,pemikir Islam asal Lubnan, sempat dikutip seperti berikut. Diamengatakan: “the Middle East region seems to me to be the only placein the world which has witnessed the return of colonialism in its oldestruthless form- direct military intervention.” Dia lantas memperkuat

4Untuk keterangan lanjut tentang proses lahir dan berkembangnya Jaringan ini bisadibaca pada Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in ContemporaryIndonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005, p. 1-27.

5Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan(Virginia, Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1982), p. 1.

64-10 November, no. 715

Page 5: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 55

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

pendapatnya ini dengan menunjukkan fakta lapangan kehadiranmiliter asing pada lebih kurang tujuh atau delapan negara Arab baikdalam bentuk kamp militer atau konsesi teritori. Keadaan duniaIslam sangat memilukan hari ini. Oleh sebab itu jika pada batas-batas tertentu dunia Islam memang sangat perlu sekali untukmengkaji ulang kembali beberapa kebijakan mereka terkait isu-isukebebasan berpendapat, hak wanita, kebebasan dan lain sejenisnya.

Tetapi melakukan penjiplakan membabi buta atas konsep Baratuntuk menyelesaikan persoalan ini tanpa kritis bukanlah langkah yangbijak. Fazlur Rahman sendiri, yang idenya banyak diserap dan dijadikanrujukan kelompok liberal di Indonesia, menyadari bahwa sikappenjiplakan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu titik kelemahangerakan modernis Muslim sehingga mereka gagal untuk membawamasyarakat pada cita-cita yang mereka inginkan. Kata Rahman:

the ad hoc issues the Modernists chose were, in the nature of case, those that hadbecome issues in and for the West. Although the Modernists were sincere both inadopting them, their ad hoc character left strong impression that the Modernistswere both Westernized and Westernizers.”7

Sayangnya Rahman sendiripun terjebak dalam kelemahan ini.Dalam beberapa karyanya, dia juga turut terlibat aktif dalammengangkat isu yang menjadi concern masyarakat Barat.

Perlu dicatat bahwa gerakan liberalisme Islam di Indonesia yangberkembang belakangan ini sebenarnya tidak lepas dari skenariopercaturan politik dan intelektual dunia. Sulit untuk menafikankuatnya dampak kebijakan Amerika dalam kampanyenya melawanterorisme atas gerakan ini. Para pendukungnya mencoba inginmemberikan citra yang sedikit positif tentang Islam ketimbang apayang dipersembahkan oleh kelompok yang mereka sebut “radikal,fundamentalis, dan konservatif”. Alih-alih ingin merubah citratersebut, akhirnya mereka telah merubah citra mereka sendiri yangterkadang lebih Barat dari Barat. Seperti orientalis yang “mengobok-obok” ajaran Islam, kelompok Muslim liberal ini mengikut gerakyang sama, dan menari dengan nada yang dimainkan oleh paraorientalis. Mereka meyerang al-Qur’an sebagai produk rekayasa

7Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch danPierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: EdinburghUniversity Press, 1979), p. 324.

Page 6: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin56

Jurnal TSAQAFAH

politik kaum Quraysh, menuduh hukum-hukum yang terkandungdi dalamnya sangat tidak humanis dan seterusnya.

Liberalisasi atau Pembaruan Syari’ah?

Gerakan Liberalisasi yang berkembang di dunia Islam saat initelah menjadikan syariat Islam sebagai objek kritik yang perludihabisi karena dianggap sebagai beban sejarah yang menghalangperkembangan dan pembangunan masyarakat yang menganutnya.Anehnya mereka selalu mendabik dada bahwa apa yang merekalakukan tersebut adalah bagian dari ijtiha >d dan tajdi >d.8 Benarkahdemikian, tentu perlu dikaji lebih mendalam.

Wacana pembaruan atau sering disebut dengan tajd >id, is }la >h},atau ih }ya >’ (renewal, reform) bukanlah barang baru dalam Islam; iamerupakan built-in-system dalam dunia intelektual Islam. Rasullullahsendiri sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya pembaruanini dalam sabdanya: “sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiappangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharuiagamaNya”. Menurut data yang diberikan Ibn Athir dan Suyuti,program pembaruan sudah berjalan sejak awal abad pertamahijriyah. Ini terbukti dengan tersenarainya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azizdan Imam Syafi‘i sebagai pembaharu abad pertama dan kedua.9

Hanya saja persoalan pembaruan menjadi kritis ketika duniaIslam memasuki abad ke-18 di mana ketika itu kebanyakan duniaIslam mulai jatuh satu persatu ke tangan imperialisme Barat sehinggamencapai titik kulminasinya tahun 1798 di saat Napoleon dengankekuatan militernya menaklukkan Mesir, yang saat itu masih menjadibagian dari kerajaan Uthmaniyyah di Turki. Kehadiran Barat dengansegala perangkat modernitasnya telah menimbulkan berbagaipersoalan bagi dunia Islam. Para pemimpin dan pemikir Muslimketika itu mulai bertanya: kenapa bangsa Arab yang dulunyamenguasai peradaban dunia ini kalah tertunduk di hadapan bangsaBarat? Sebuah pertanyaan yang kemudian diformulasikan SakibArsalan menjadi judul bukunya limaa >dha > ta’akhkhara al-muslimu >n

8Lihat misalnya karya Mohammad Arkoun, Min al-Ijtiha >d ila > Naqd al-‘Aql al-Isla >mi,terj. Hashim Saleh (London: Dar al-Saqi,19910; idem, al-Fikr al-Isla >mi: naqd wa ijtiha >d(London: Dar al-Saqi, 1998).

9Bustami Muhammad Sa’id, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), p.40, 41, dan 43.

Page 7: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 57

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

wa taqaddama ghayruhum? Bisakah umat Islam sukses seperti Barat?Apakah Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai modernsekular Barat?

Awal abad kedelapan belas beberapa tokoh reformis Muslimmulai tampil untuk menjawab persoalan ini dan Muhammad bin‘Abdul Wahhab (m. 1792) terhitung sebagai tokoh yang paling awalmencanangkan pembaruan Islam dalam sejarah modern Islam.10

gerak langkahnya kemudian diikuti oleh beberapa tokoh Islam diberbagai belahan dunia lain seperti di Indonesia oleh kaum Paderidan di Sudan oleh kelompok Mahdi. Gerakan ini berlanjut terusseiring dengan semakin kuatnya dominasi Barat atas beberapa bagiandunia Islam. Bermula dia Syria, gerakan apa yang disebut denganNahd }ah ini berkembang dan mendapat momentumnya di Mesir.Lahirlah tokoh-tokoh seperti Rifa’ah Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani,Muhammad ‘Abduh, Rashid Ridha di Mesir, dan lain-lain.

Usaha yang dirintis oleh para tokoh reformis tersebut ternyatabelum menemukan titik terangnya. Hingga pertengahan abad keduapuluh yang lalu, ketika hampir kebanyakan dunia Islam secara politisterlepas dari cengkeraman penjejah, dunia Arab periode inimemasuki periode Revolusi (‘as }r al-tsawrah) menggantikan periodesebelumnya yang dikenal dengan ‘as }r al-nahd }ah. Di bawah pimpinanGamal ‘Abd al-Nasser, gerakan ini tampaknya mendapat sambutanhebat. Ada dua ideologi besar yang berkembang saat itu, yaitu:nasionalisme dan sosialisme. Akan tetapi kedua ideologi itu akhirnyamendapat pukulan telak menyusul terjadinya perang enam harimelawan Israel tahun 1967 yang menyaksikan kekalahan negaraArab di negara kecil yang baru berdiri itu. Persoalan yang pernahmengemuka pada awal abad sembilan belas di atas kembalimenggema hingga hari ini. Tapi kali ini pertanyaan itu tampaknyalebih serius mengingat kekalahan ini terjadi setelah dunia Arab secarabesar-besaran melakukan modernisasi dalam pelbagai hal: militer,ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah maka IssaJ. Boullata menyebut peristiwa ini ujian pahit bagi modernisasi bangsaArab (it is the acid test of Arab modernization).11

10Tapi bagi Fazlur Rahman tokoh reformis Muslim abad modern adalah Ahmad Sirhindi(m. 1625). Lihat Fazlur Rahman, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton,and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1970), 2: 673.

11Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought (Albany: StateUniversity of New York, 1990), p. 1.

Page 8: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin58

Jurnal TSAQAFAH

Kekalahan ini telah memberi angin segar bagi kelompok Islamyang menilai pemerintahan berideologi sekuler telah gagal bukansaja untuk memperbaiki tarap hidup rakyatnya tapi juga gagal mem-pertahankan wilayah kekuasaannya. Sejak itulah gema kebangkitanIslam menyapa persada dunia Arab dan lambat laun hampir seluruhdunia Islam. Mereka menuntut agar syariat Islam diterapkan sebagaijalan keluar untuk menyelesaikan problema yang sedang merekahadapi. Karena didukung oleh massa yang banyak, gerakan ini padatahap tertentu berhasil juga mempengaruhi banyak kebijakanpemerintah Arab. Ibrahim Abu Rabi’ menulis: “One can convingcinglyargue that 1967 paved the way for various Islamic movements andideologues to reformulate an alternative to the crisis of the nation/stateand the social and political vacuum from the defeat,”12

Ide penerapan syariat ini bagaimanapun tidak sepenuhnyamendapat dukungan dari semua kalangan Muslim. Beberapa sarjanadan cendikiawan Muslim sebaliknya mengecam dan mencemooh-kan kelompok yang memperjuangkan ide ini, seperti yang dilakukanFaraj Fawdah. Fawdah memang bukan cendikiawan yang berlatarbelakang pendidikan syariat. Bidang studi garapannya adalah TeknikPertanian (agricultural engineering), tapi dia sangat keras menentanggerakan Islam dan mereka yang menginginkan penerapan syariatIslam. Dia selalu menantang kelompok ini untuk berdebat dan per-debatannya yang terakhir adalah pada Pameran Buku Kairo 1992dengan Muhammad al-Ghazali. Dalam perdebatan tersebut diamenyatakan: “saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah iadilakukan sekaligus atau secara bertahap... karena saya melihat dalampenerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negaraagama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sen-dirinya dapat menerima aplikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa me-nolaknya maka dia menolak penerapan Syari’at Islam.”13 RingkasnyaFawdah mendukung sekularisme dan menolak campur tanganagama dalam urusan pemerintahan. Di Mesir ide seperti ini tentunyatidak baru, ia pernah dilontarkan ‘Ali ‘Abd al-Raziq dalam bukunyaal-Isla >m wa Us }u >l al-H }ukm.

Fawdah kerap memperolok-olokan kelompok Islam yang inginmembentuk negara Islam. Menurutnya tidak ada satu pun negara

12Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World(Albany: State University of New York Press, 1966), p. 262.

13Ahmad Jawdah, H }iwa >ra >t H }awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), p. 14.

Page 9: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 59

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

Islam ideal yang dapat dijadikan contoh. Dia sering menuduh kaumMuslim itu terlalu mengagungkan sejarah masa silam. Padahalungkapnya sejarah masa silam Islam tidaklah seindah yang merekasangkakan; ia sesungguhnya penuh dengan noda dan dosa. SejarahIslam adalah sejarah tragis umat manusia yang dibayangi perkelahiandan pertumpahan darah, tandas Fawdah. Untuk memperkuatargumentasinya dia kemudian merujuk pada kasus kematian tigaal-khulafa >’ al-ra >shidu>n yang meninggal akibat pembunuhan. Dengancara ini, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa penerapan syariatIslam belum tentu dapat menjamin seluruh persoalan umat dapatselesasi. Banyak peristiwa tragis dan memalukan di masa lalu berlakubahkan ketika syariat Islam masih diterapkan. Misalnya skandalpolitik para sahabat ternama seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Talhah ibn‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf. Ia bahkan menuduh Ibn‘Abbas terlibat korupsi.14

Selain Fawdah, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi juga terhitungsebagai cendikiawan Muslim Mesir yang keras menentangpenerapan syariat. Menurut As’ad Abukhalil, Fawdah sendirisebenarnya banyak terinspirasi oleh tokoh ini.15 Berbeda denganFawdah, ‘Ashmawi memang memiliki kepakaran dalam bidanghukum. ‘Ashmawi kerap mengkritik gerakan Islam sehinggamenyebabkannya beberapa kali mendapat ancaman bunuh. Diasempat mencetuskan polemik dengan al-Azhar karena mengkritiklegalitas yang diberikan kepada institusi ini untuk menyensor musik,film dan video. Kritiknya ini telah menimbulkan kemarahan ulamaal-Azhar sehingga sempat melarang peredaran beberapa bukunya.Pelarangan itu ditarik kembali setelah intervensi Presiden MesirHusni Mubarak.16

Dalam karyanya ‘Ashmawi selalu membedakan dua tipe Islam.Pertama apa yang disebutnya dengan “political Islam” dan yang

14Issa J. Boullata, Trends and Issues, p. 157-159; Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins,p. 256-257; As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies inContemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman(eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and CambridgeUniversity Press, 2001), p. 117 – 120.

15Lihat catatan kaki no. 31 dari tulisan As’ad Abukhalil, “Against the Taboos ofIslam”, p. 123.

16William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of theShari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February1996, p. 42-43.

Page 10: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin60

Jurnal TSAQAFAH

kedua “enlightened Islam” (Islam yang tercerahkan). Dia memasuk-kan gerakan Islam pada kelompok pertama. Karena tuntutanpenerapan syariat (tat }bi >q al-shari’ah) atau enakmen syari’at (taqni >nal-shari’ah) tidak lebih dari hanya slogan politik semata yangbertujuan meraih dukungan politik.17 Dia berpendapat bahwa tidaksatu pun perkataan syariat dalam al-Qur’an yang berkonotasi hukum(qa >nu >n ataupun tashri >’) yang menjadi tanggung jawab umat untukmelaksanakannya. Hanya ada satu ayat yang menyebut perkataansyariah surah 45: 18, itupun tidak berarti hukum tetapi ‘jalan’ (t }ari >q,sabi >l, atau manhaj), jelas ‘Ashmawi. Jadi syariat Islam berarti JalanIslam atau Jalan Allah. Karena itu, dia menyimpulkan, isu penerapansyariat Islam tak lain hanya rekaan manusia semata. ‘Ashmawimenerangkan bahwa pada awalnya perkataan syariat bermaksudaturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah berkenaanibadah dan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnyaperkataan ini melebar sehingga mencakup ijtihadnya para ulama.Padahal yang terakhir ini lebih tepat disebut fiqh bukan syari’at.Mereka yang menuntut penerapan syari’ah, katanya, sesungguhnyabukan menuntut pengaplikasian Islam secara utuh tapi menuntutpenerapan ijtihad-ijtihad ‘ulama seperti yang tercantum dalam kitabfiqh klasik.18

Perbedaan antara syariat dengan fiqh bukanlah barang barudalam wacana pemikiran Islam. Para ulama sejak dulu sudahmembahas persoalan ini dengan sangat detail. Memang perkataansyariat telah mengalami penyempitan. Semula ia mencakup seluruhaspek Islam: hukum, ‘aqidah dan juga akhlaq tapi kemudianmenyempit dan identik dengan Islam. Kata Ibn Athir, Syariat adalahketentuan agama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya.19

Artinya syariat adalah Islam itu sendiri. Sebagaimana syariat, istilahfiqh juga mengalami perkembangan yang sama. Pada awal per-kembangan pemikiran Islam, kata fiqh mencakup seluruh keilmuanIslam. Imam Abu Hanifah misalnya menggunakan istilah fiqh untukbukunya yang membahas tentang persoalan aqidah (us }u >l al-di >n)dengan menamakan bukunya al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi istilahini kemudian menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah-

17Ibid., p. 43.18Ibid., 43 dan 44; As’ad Abukhlail, “Against the Taboo of Islam”, p. 125-126.19Dikutip dari Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa >s }id al-‘A<mmah li Shari >’ah al-Isla >miyyah

(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991), p. 20.

Page 11: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 61

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

masalah hukum seperti yang terlihat dari definisi yang diberikanpara ulama bahwa fiqh adalah “pengetahuan tentang hukum-hukumpraktis berkenaan dengan syara’ beserta dengan dalil-dalilnya yangterperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”20

Lantas apa hubungan syariat dengan fiqh? Apakah keduanyasama sekali tidak berhubungan? Apakah fiqh tidak memiliki nilaisyariat? Banyak kalangan pemikir Muslim hari ini melihat fiqhseolah-olah sebagai produk pemikiran semata, hasil kontemplasitidak ada hubungannya dengan syari’ah. Maksudnya jika seseorangulama mujtahid mengatakan bahwa hukum A atau B haram atauhalal, maka hukum tersebut adalah hasil ijtihadnya, atau dengankata lain buah pikirannya. Pendapat ini mengisyaratkan seolah-olahfiqh tidak memiliki nilai syari’at. Maka oleh sebab itu ia tidakmengikat. Siapapun boleh mengikuti atau meninggalkannya.Pendapat ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kitamengkonsepsikan Agama. Andaikan pendapat ini dipertahankan,sama artinya kita mengatakan bahwa agama ini adalah hasil rekayasamanusia. Ini karena kebanyakan sendi-sendi ibadah yang kitalakukan hari ini tak lepas dari ijtihadnya Imam Abu Hanifah, Malikbin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Sebagai contoh,dalam mazhab Syafi’i niat shalat atau wudlu adalah merupakanrukun ibadah ini. Demikian juga mazhab Syafi’i mengatakan bahwabismillah adalah bagian dari al-fa >tih }ah dan oleh sebab itu ia wajibdibaca. Kedua pendapat ini adalah ijtihad para ulama syafi’iyah.Lantas apakah orang yang berpegang dengan pendapat ini, iadikatakan berpegang pada pendapat Syafi’i, bukan berpegang padaperintah Allah? Kalaulah pendapat yang terakhir ini kita pegangi,sama artinya kita mengatakan bahwa Syafi’i telah mereka-rekaibadah salat. Dalam konteks ini menarik untuk menyimakungkapan Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa menyatakan:

Adapun nabi, sultan, tuan (kepada hamba sahaya), ayah, suami,apabila mereka memerintahkan dan mewajibkan (sesuatu), ia tidakmenjadi wajib disebabkan oleh mereka mewajibkannya, akan tetapikarena Allah mewajibkan untuk menta’ati (mematuhi) mereka.Karena kalau demikian (kewajiban itu disebabkan perintah mereka), niscayasetiap orang akan mewajibkan sesuau terhadap orang lain. Dan orangyang diperintahkan tersebut juga berhak untuk menuntut hal yang

20‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us }u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22.

Page 12: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin62

Jurnal TSAQAFAH

sama dari orang yang memberikan perintah tadi, karena dasarnyatidak diantara keduanya yang lebih utama dari yang lain. Oleh sebabitu, kewajiban itu adalah menta’ati Allah, dan juga menta’ati orangyang diwajibkan Allah untuk menta’atinya.21

Memang fiqh merupakan hasil ijtihad para ‘ulama, oleh sebabitu ia terkadang berubah sesuai dengan dalil dan juga kondisi nyatayang berlaku ditengah masyarakat. Namun demikian, ini bukanberarti bahwa fiqh merupakan produk pikiran manusia semata atauhasil rekayasa para fuqaha’. Karena fiqh seperti dikatakan al-Asmandiadalah “al-ah }ka >m al-mustafa >dah bi al-syara’ la al-ah }ka >m al-mudrikahbi al-‘aql” (hukum-hukum yang diambil dari syara’ bukan yangdiperoleh melalu akal).22 Dalam mendefinsikan fiqh, para ‘ulamalazimnya menggunakan dua perkataan berikut: “istinba >t al-ah }ka >m”atau “ma’rifah al-ah }ka >m”.23 Kedua perkataan ini mengisyaratkanbahwa tugas para fuqaha hanyalah menderivasi atau mengetahuihukum saja. Artinya para fuqaha tersebut berusaha dengan sedayaupaya mereka untuk mengetahui ataupun menderivasi hukum yangpada prinsipnya sudah ada dalam teks-teks aslinya. Akan tetapihukum tersebut tidak dapat ditangkap dengan mudah olehkebanyakan orang. Makanya ia disebut fiqh yang oleh Abu Muzaffaral-Sam’ani dikatakan “istinba >t } h }ukm al-musykil min al-wa >d }ih”(mengeluarkan hukum yang rumit dari sesuatu yang jelas).24 Olehsebab itulah makanya para ‘ulama berbeda pendapat perihalhukum-hukum yang secara gamblang dapat ditangkap sepertiibadah salat, puasa, haji, hukum qisas, hudud, dan lain sebagainyayang dalam dalam Ilmu Usul Fiqh disebut dengan al-qat }’iyya >t ataual-ma’lu >m min al-d }i >n bi al-d }aru >rah. Para ‘ulama berbeda pendapat;

21Al-Ghazali, Al-Mustasfa, di edit oleh Hamzah Zuhayr Hafidh, 1, p. 273, 276. Dikutipdari Yusuf al-Qardawi, al-Siya >sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), p. 18.

22Muhammad bin ‘Abd al-Hamid al-Asmandi, Badhl al-Naz}ar fi al-Us}u>l, ed. MuhammadZaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992), p. 6.

23Para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalamdefinisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pastidan yakin (al-qaÏ‘)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat zann. Oleh sebab itu Abu Ishaqal-Syirazi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ah }ka >m. Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w. 393), Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989) 1, p. 158-9. Seperti Syirazi, Sadr al-Shari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama.Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma > lahu wa ma > ‘alayh”. Al-Talqi >h Syarh al-Tanqi >h,diedit oleh Najm al-Din Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.

24Abu Muzaffar al-Sam’ani (426-489), Qawa >t }i’ al-Adillah fi al-Us }u >l, ed. MuhammadHasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996), p. 33.

Page 13: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 63

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

ada yang mengatakan bahwa ini termasuk bagian fiqh, ada juga yangmengatakan sebaliknya.25 ‘Umar Sulayman al-Ashqar menjelaskanbahwa fiqh adakalanya bisa menjadi syariat yaitu ketika ijtihad yangdilakukan ulama tersebut mengenai sasaran sesuai dengan ketetapanAllah. Tapi ada kalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh tetapsebagai fiqh tidak berubah menjadi syariat.26

‘Ashmawi selanjutnya menegaskan agar kita membedakanantara agama dan pemikiran keagamaan. Agama merupakanseperangkat prinsip yang disampaikan oleh nabi atau rasul, tapipemikiran keagamaan adalah metode dalam memahami danmengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman ataupenafsiran atas teks keagamaan adalah pemikiran keagamaan bukanagama. Sebagai pemikiran ia bisa saja sesuai dengan inti ajaranagama, tapi bisa juga tidak.27 Pendapat ini sama dengan yangditegaskan Nasr Hamid dalam karyanya Naqd al-Khit }a >b al-Di >ni.Menurutnya salah satu kesalahan kelompok Islamis adalah merekatidak bisa membedakan antara al-din dan al-fikr al-di >ni. Akibatnyamereka terjerumus pada pensucian pemikiran (taqdi >s al-afka >r).28

Terhadap pendapat kedua pemikir liberal ini, ada beberapapersoalan yang perlu dipertanyakan. Apakah kriteria yang dapatdijadikan ukuran untuk membedakan ‘agama’ dan ‘pemikirankeagamaan’? Hal ini perlu dipertanyakan karena kekeliruanmemahami kedua hal tersebut dapat mengakibatkan problem yangsangat fatal lagi. Menganggap pemikiran keagamaan sebagai agamaadalah salah, tapi demikian juga sama salahnya mereka yangmenganggap agama sebagai pemikiran keagamaan. Kalau kelompokkonservatif dituduh oleh orang liberal jatuh pada kesalahan pertama,kebanyakan orang liberal melakukan kesalahan kedua: merekamenyamaratakan agama dengan pemikiran keagamaan. Maka takheran jika belakangan ini kita mendengar suara-suara dari kalanganliberal hari ini yang mereduksi ajaran Islam menjadi sekedar budaya

25Untuk penjelasan lanjut dapat dibaca ‘Abid bin Muhammad Sufyan, al-Tsaba>t wa al-Syumu >l fi al-Syari >’ah al-Isla >miyyah, p. 63-73.

26Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’at lihat ‘Umar Sulaymanal-Asyqar, Tari >kh al-Fiqh al-Isla >mi, p. 17-19.

27Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Us }u >l al-Shari’ah (al-Qahirah: Sina, 1992), 28sebagaimana yang dikutp oleh As’ad Abu Khalil, “Against the Taboo of Islam”, p. 125.

28Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit }a >b al-Dini, cet. 3 (al-Qahirah: Madbuli, 1995),67ff.

Page 14: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin64

Jurnal TSAQAFAH

Arab. Pemakaian jilbab, hukum waris, hukum potong tangan bagipencuri, qis }a >s }, rajam dan lain sebagainya dianggap budaya Arab,bukan hukum Islam. Karena dianggap budaya Arab, maka akhirnyahukum-hukum tersebut dianggap tidak lagi relevan. Lebih ekstremlagi ada yang menilai shalat yang dilakukan dalam bahasa Arab punsebagai bagian dari budaya Arab. Makanya salah seorang liberalIndonesia mengatakan bahwa “Andaikata dia (red. Nabi Muhammadsaw) diutus di Tanah Jawa, sudah pasti dia akan shalat dengan bahasaJawa. Jadi faktor bahasa hanyalah faktor budaya dan bukan bagianinti dari ibadah.”29

Lebih lanjut lagi, bagi Nasr Hamid sendiri sesungguhnya sudahtidak ada lagi apa yang disebut sebagai agama yang bersifat suci danmutlak. Hatta al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ini puntidak dianggapnya sebagai ‘Agama’ dalam arti turun langsung dariAllah. Ini karena dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an yang adadi tangan kita sekarang inipun produk “pemahaman manusia”, yaitupemahaman Nabi Muhammad saw. Dia menyatakan bahwa apa yangdisebut Suci itu hanya sebuah wujud metafisis yang tak dapatdijangkau manusia. Berikut petikan dari Nasr Hamid Abu Zayd:

Wa min al-d }aru >ri > huna > an nu’akkida anna h }a>lah al-nas |s } al-muqaddas h }a>lahmitafiziqiyyah la > nadri ‘anha > shay’an illa ma > dhakarahu al-nas }s } ‘anha > wanafhamuhu bi al-d }aru >rah min za >wiyah al-insa >n al-mutaghayyir al-nisbi. al-nas }s } mundhu lah }z}ah nuzu >lihi al-u >la > –ayy, mundhu qira >’ah al-nabi lahu lahdhaal-wahy – tah }awwal min kawnihi (nas }s }an ila >hiyyan) wa s }a>ra fahman (nas }s }aninsa >niyyan), liannahu tah }awwal min al-tanz }il ila al-ta’wi >l.30

Artinya, Nasr Hamid Abu Zayd seolah-olah mengatakan bahwaal-Qur’an itu bukan Nas Allah lagi tapi sudah menjadi nas (teks)nyamanusia karena ia telah bersentuhan dengan Rasul.

Dari Sudan – tepatnya dari Amerika, karena Na’im sekarangberdomisili di Amerika Serikat — penentangan terhadap Syariatdisuarakan oleh Abdullah Ahmad an-Na’im. Agak sedikit berbedadengan kebanyakan pemikir lainnya, Na’im menafikan kesakralan(divine) syariat, karena ia bukan wahyu yang langsung datang dariAllah. Syari’at, katanya, adalah “the product of a process of inter-pretation of, analogical derivation from, the text of the Qur’an and Sunna

29Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Intidari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.

30Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit }a >b al-Di >ni, p. 126.

Page 15: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 65

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

and other tradition.”31 Ia menamakan syari’at ini dengan historicalshari’ah (syari’ah historis). Dengan mengutip pandangan John L.Esposito, Na’im menyatakan kekurang setujuannya atas perbedaanyang dibuat oleh Muslim modernis antara syariat dan fiqh, karenadalam prakteknya perbedaan ini kurang signifikan.32

Pandangan Na’im ini jelas bertentangan dengan mainstreampemikiran Islam seperti yang dijelaskan di atas, yang selama ini selalumembedakan antara syariat dengan fiqh. Penyamaan ini jelas dapatmenimbulkan implikasi fatal dalam kehidupan beragama. Ia dapatmenghilangkan nilai sakralitas syariat, karena dianggap bukan dariAllah, dan dengan demikian akan dapat menyebabkan rendahnyatingkat kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan syariat, karenadinilai produk manusia.

Na’im tampaknya tidak peduli dengan implikasi di atas. Diamalah menyerukan perubahan hukum Islam yang terkait dengankonstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, danHak-hak Asasi Manusia (HAM) yang sebagiannya telah diputuskansecara qat’iy dalam al-Qur’an. Alasan perubahan ini sangat sederhana:karena hukum-hukum itu dianggap bertentangan dengan prinsipHak Asasi Manusia dan standar hukum international. Sebagai contoh,kasus perbudakan. Menurutnya meskipun perbudakan dikecamkebanyakan intelektual Muslim, secara teori Islam masih mengakuilegalitas hukum ini. Pengakuan inilah yang dianggapnya melanggarprinsip fundamental dan universal Hak Asasi Manusia.33 Na’imselanjutnya menyatakan “...some definite and generally agreedprinciples of Shari’a are in clear conflict with corresponding principlesof international law,”34 Kedua hukum tersebut tidak mungkin dapathidup berdampingan, jelas Na’im.35 Andaikan kaum Muslim tetapmemaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, kata Na’imlagi, mereka akan mengalami kerugian karena tidak dapat mengecapmanfaat sekularisasi (If historical shari’a is applied today, the populationof Muslim countries would lose the most significant benefits ofsecularisation).36

31Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York:Syracuse University Press, 1990), p. 11.

32Ibid., p. 50 dan xiv33Ibid., p. 177.34Ibid., p. 151.35Ibid., p. 8.36Ibid.

Page 16: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin66

Jurnal TSAQAFAH

Sepertinya Na’im memberikan propaganda buruk tentangsyari’at Islam ke masyarakat dunia. Dia sepertinya sedang melakukanapa yang biasanya dilakukan oleh para orientalis Barat yangmenanam rasa kebencian pada Islam. Kecamannya persis denganapa yang pernah diungkapkan Elizabeth Meyer dan Donna Arztdalam tulisan mereka bahwa syari’at Islam bersifat diskriminatifterhadap non-Muslim,37 memperlakukan ahl al-dhimmah sebagaimasyarakat kelas dua serta menyekat hak mereka untuk ber-partisipasi mengatur negara.38 Jadi diam-diam Na’im telah me-masukkan kerangka pemikiran Barat ke dalam alam bawah sadarnya.

Bagi Na’im hanya ada satu cara agar syariat Islam tetap eksisdalam dunia modern ini yaitu dengan mereformasinya. Tapi iamenolak reformasi ini dilakukan dalam framework syariat yang ada.Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku padahukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitif. Sementarahukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yangmasuk kategori ini seperti hukum h}u>dud dan qis }a >s }, status wanitadan non-Muslim, hukum waris dan seterusnya.39 Inilah dilematisyang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im. Di satusisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalangoleh ketentuan usul fiqh klasik “la ijtiha >d fi > mawrid al-nas }s }.” Olehsebab itu apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi.Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi denganmenempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untukitu, ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untukmembaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’ansebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membacaKitab Bibel mereka,40 tanpa menghiraukan perbedaan fundamentalyang dimiliki kedua Kitab suci. Pada titik ini, ide Na’im sama sajadengan Muslim kontemporer lain seperti Fazlur Rahman, Hassan

37Ann Elizabeth Meyer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulderand San Francisco: Westview Press, 1991), p. 98; Donna Arzt, “The Treatment of ReligiousDissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), ReligiousHuman Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus NijhoffPublishers, 1996), p. 413-416.

38Donna Azrt, Ibid., p. 412-414.39Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation, p. 49-50.40Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam

John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective:Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), p. 70.

Page 17: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 67

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah

pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’,sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembang-kan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risa >lah al-Tsa >niyah. 41 Esensi pendekatan ini adalah “...reversing theprocess of naskh or abrogation so that those texts which were abrogatedin the past can be enacted into law now, with the consequent abrogationof text that used to be enacted as Shari’a.”42

Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyahbukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yangditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurut-nya, tidak semestinya merefleksikan pesan ayat-ayat Makkiyyah.43

Lagi-lagi Na’im melawan arus pemikiran yang sudah mapandalam dunia pemikiran. Persoalannya bukan karena Na’im melawanmainstream pemikiran yang sudah mapan, tapi karena pendekatanini dapat menimbulkan persoalan metodologis yang lebih akut.Mungkin orang akan mempertanyakan atas dasar apa ayat Makkiyahbisa menasakhkan ayat Madaniyyah. Jawabannya sudah tentu bukanatas dasar kronologis seperti yang selama ini dipahami, sebab kalauatas dasar ini sudah pasti yang terakhir (ayat-ayat Madaniyyah) yangakan jadi nasikh kepada yang lebih awal (ayat-ayat Makkiyyah).Adapun jika berdasarkan pesan dan kandungannya seperti yangtersirat dalam argumentasinya di atas, permasalahan yang timbultentu lebih rumit. Karena Na‘im seolah-olah menolak adanya kon-sistensi dan kesinambungan antara ayat Makkiyah dengan ayatMadaniyyah. Ini terbukti dari pernyataannya bahwa “the specificpolitical and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did notalways reflect the exact meaning and implications of the message asrevealed in Mecca.”44

41Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada MohamedMahmoud, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His ModernistProject,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam andModernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998), p. 105-128.

42Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, p. 56 dan 180.43Ibid., p. 13.44Ibid., p. 13.

Page 18: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin68

Jurnal TSAQAFAH

Persoalan yang tak kalah pentingnya sesungguhnya terletakpada soal nasakh itu sendiri. Na’im sepertinya masih berpegangdengan pandangan mayoritas ulama klasik yang mengakui adanyanasakh. Pada titik ini Na’im kelihantanya tidak reformatif. Padahalkebanyakan cendikiawan dan pemikir Muslim hari ini sudah mulaimeninggalkan pendapat tentang nasakh tersebut tentunya denganalasan yang bervariasi. Dan masih banyak lagi persoalan nasakh yangperlu di ungkap sebelum konsep ini di aplikasikan.

Andaikan metodologi nasakh terbalik ini dipraktikkan, makabanyak hukum-hukum Islam yang sudah tidak layak dipraktekkan.Ini karena hukum-hukum seperti salat, zakat, haji, perkawinan, riba,dan lain-lain yang hampir keseluruhannya terkandung dalam ayat-ayat Madaniyyah. Apakah hukum-hukum ini pun harus diabaikan?Kalau Na’im konsisten dengan metodologinya maka jawabannyasudah pasti affirmatif.

Beberapa Catatan Kritis atas Pengkritik Syari’at Islam

Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolakpenerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama,argumentasi historis. Kedua, berdasarkan pertimbangan maqa >s }idsyari’at. Dan ketiga, atas pertimbangan Hak Asasi Manusia. Ketigaargumen ini berkaitan saling berkaitan satu dengan yang lain.

1. Argumentasi HistorisArgumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang

adalah produk abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latarbelakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakansebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saatitu. Menurut Fazlur Rahman: “The Qur’an is the divine response toQur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situationof the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercialMeccan society of his day.”45

Karena itulah, kata mereka, tidak menutup kemungkinanbahwa hukum Islam pun dipengaruhi sistem budaya, politik, danideologi yang berlaku ditengah-tengah masyarakat waktu itu.Menurut Khalil ‘Abdul Karim, pemikir liberal Mesir, banyak hukum-

45Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), p. 2.

Page 19: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 69

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

hukum pra-Islam yang telah diadopsi Islam bahkan dalam bidangibadah.46 Para pengkritik hukum Islam selalu mengatakan banyakproduk hukum Islam khususnya yang terkait dengan perempuanterinspirasi oleh budaya patriarki Arab abad ke tujuh. Dalamwawancaranya dengan The Jakarta Post, Musdah Mulia, salah seorangyang bertanggung jawab dalam Tim Pengarusutamaan Gendermengatakan “Because Islam descends from the very patriarchal Arabsociety, so a patriarchal interpretation is inevitable.”47 Amina Wadudjuga melontarkan pernyatan yang sama. Katanya, “The establishedorder within the Arabian penisula at the time of the revelation waspatriarchial; a ‘culture built on a structure of domination andsubordination...’ which demands hierarchy.”48

Salah satu contoh yang selalu diangkat dalam konteks iniadalah hukum waris. Menurut kaum liberalis, laki-laki diberikanporsi yang lebih banyak dari perempuan karena ketika itu merekamemiliki tanggung jawab yang lebih besar, baik terhadap keluargamaupun kelompok sukunya. Akan tetapi corak kehidupanmasyarakat hari ini sudah berubah. Wanita bukan lagi sekedar bebankepada keluarga tapi juga menjadi tonggak penyangga utama dalamkehidupan rumah tangga. Maka wajar jika hukum 2:1 ini ditinjaukembali.49

Persoalan ‘iddah pun dikatakan sebagai konstruk budaya Arabketujuh. Salah seorang penulis menyatakan “’Iddah sebagai konsepkeagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaranagama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek adatidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istripada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yangdipakai sebagai alasan keagamaan.”50 Oleh sebab itu, maka konsep‘iddah pun harus direvisi.

Secara ringkas argumen di atas ingin menegaskan bahwasyariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena ia

46Lihat misalnya Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj.Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)

47The Jakarta Post, 3 October 2004.48Amina Wadud, Qur’an and Women, p. 80.49Lihat ‘Abd al-Hadi ‘Abd al-Rahman, Sultah al-Nass: qiraa’t fi tawzif al-nass al-dini

(Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 152-153; Fazlur Rahman, A Survey ofModernization, p. 463.

50Mufidah Ch, Paradigma Gender, p. 190.

Page 20: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin70

Jurnal TSAQAFAH

tidak merefleksikan kepentingan masyarakat hari ini. Ketikamengomentari hukum publik Islam, Abdullah Ahmad an-Na’immengatakan: “the public law of Shari’a was fully justified and consistentwith historical context. But it does not make it justified and consistentwith present context. Furthermore, given the concrete realities of themodern nation-state and present international order, these aspects of thepublic law of Shari’a are no longer politically tenable.”51

Argumen semacam ini menyisakan beberapa persoalan.Pertama, argumen ini telah menghilangkan nilai universalitas hukumIslam, karena ia dianggap hanya berlaku untuk masyarakat Arababad ketujuh. Dan kedua, argumen ini telah mereduksi Islam menjadisekedar budaya Arab. Kelompok ini bagaimana pun menolakkesimpulan ini, karena bagi mereka yang universal dan permanenitu bukan bentuk legal formalnya tapi objektif yang ingin ditujunya.Dari sini mereka kemudian mengembangkan argumen kedua yangdibangun atas konsep maqasid syari’ah.

2. Argumentasi Berdasarkan Maqa >s }id al-Syari <’ahArgumen ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai

objek/maqasid utamanya sendiri. Objek utama syariat Islam secaraumum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Ribadiharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah danmiskin dari eksploitasi kelompok kapitalis. Hudud disyariatkanuntuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat disamping untuk menciptakan rasa adil di tengah masyarakat. Akantetapi menurut kelompok liberal konsep maslahah itu sendiriberubah seiring dengan berputarnya waktu. Apa yang dianggapmas }lah }ah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu belumtentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktuyang lain. Jadi, apa yang dianggap masyarakat Arab abad ketujuhsebagai mas }lah }ah, belum tentu demikian bagi masyarakat hari ini.Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagipezina, hukum waris dan lain sebagainya meskipun sesuai denganmasyarakat Arab ketika itu, belum tentu dapat menimbulkanmaslahah bagi masyarakat hari ini.

51Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: SyracuseUniversity Press, 1990), p. 59.

Page 21: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 71

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

Kajian maqa >s }id al-syari >’ah dalam pemikiran Islam, sama sekalibukan merupakan topik baru. Ia sudah dibahas bahkan seawal al-Turmudzi (w. 3 H). Tirmidzi telah menggunakan istilah maqasiduntuk judul bukunya al-S }ala >h wa Maqa >s }iduha >. Ide ini kemudiandikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansural-Maturidi (w. 333H0, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyhi (w.365), AbuBakar al-Abhari (w. 375H), Imam al-Baqillani (w. 403H), ImamJuwaini hingga Ibn taymiyyah. Al-Ghazali (w. 505H), murid Juwayni,kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepadatiga kategori: d }aru >riyya >t, h }a >jiyya >t, dan tah }siniyya >t atau tazyi >niyya >t.Kemudian Fakhruddin al-Razi (w.606) yang telah bersungguh-sungguh mempertahankan rasionalisasi hukum (ta’lil al-ahkam),ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasinya.52 Popularitaskonsep ini mencapai klimaksnya di tangan Imam Abu Ishaq al-Shatibi melalui karyanya al-Muwa >faqa >t fi Us }u >l al-Shari >’ah. JejakShatibi diikuti Ibn ‘Ashur dengan bukunya Maqa >s }id al-Syari >’ah dan‘Alal al-Fasi melalui karyanya Maqa >s }id al-Syari >’ah wa Maka >rimuha >.

Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, prinsip maqa >s }idal-syari’ah memang telah menjadi rujukan utama dalam meresponisu-isu kontemporer. Ia digunakan oleh para ulama dan juga paracendikiawan liberal. Akan tetapi sangat disayangkan, ketika konsepini jatuh ketangan kaum liberal, ia menjadi entry point untuk men-dekonstruksi seluruh tatanan hukum Islam. Maka tidak heran bilaada orang yang menggunakan maqa >s }id untuk menggugurkanwajibnya memakai jilbab (bagian dari penutupan aurat bagi perem-puan), karena melihat “jilbab pada intinya adalah mengenakanpakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (publicdecency).” Kepantasan umum tentu bersifat fleksibel dan berkem-bang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.”53 Tentu bisadipertanyakan, bagaimana bila konsep “kepantasan umum” masya-rakat itu bertentangan dengan prinsip syariat? Misalnya, bagimasyarakat India, bagian perut wanita tidak dianggap ‘awrat yangharus ditutup. Apakah ‘kepantasan’ ini bisa dijadikan acuan? Begitujuga kepantasan umum bagi masyarakat Barat apakah ia bisadijadikan ukuran untuk dijadikan landasan hukum?

52Lihat Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqa >s }id ‘Ind al-Ima >m al-Sha >t }ibi (Virginia:The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)

53Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18November 2002.

Page 22: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin72

Jurnal TSAQAFAH

Atas nama maqa >s }id juga seorang cendikiawan di Indonesiamembolehkan salat dengan menggunakan dwi bahasa (bahasa Arabdan Indonesia) karena “Inti salat adalah bagaimana orang bisaberkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanyadiungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati.Inti dari ibadah sebetulnya hati.”54 Atas alasan maqa >s }id juga, akhirnyahukum hudud, qisas, rajam, waris, ‘iddah, dan lain sebagainya tidaklagi penting selagi objektif yang dimaksudkan dari hukum tersebutdapat dicapai. Padalah kebanyakan studi dan riset yang dilakukanpara peniliti lebih dari enam tahun yang lalu menyatakan bahwahukum mati dapat memberikan efek jera kepada pembunuh.Mereka menghitung bahwa antara tiga hingga delapan nyawa dapatdiselamatkan dengan mengeksekusi setiap pembunuh yang ditetap-kan bersalah.55 Kalau demikian, benarkah hukum pidana Islam tidakdapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat hari ini?

Persoalannya adalah apakah sesungguhnya yang di maksud-kan dengan maslahah oleh para kelompok liberal ini? Apakahmaslahah merupakan konsep relatif? Bagaimana bila terjadi konflikdi tengah masyarakat dalam mempersepsikan maslahah? Paraliberalis perlu menjawab persoalan ini sebelum mereka mengguna-kan konsep ini sebagi bumper menjustifikasikan ide-ide ‘nyeleneh’mereka. Melihat penggunaan konsep ini secara gegabah oleh parapemikir liberal, tidak salah kiranya bila Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajmengatakan bahwa konsep maqa >s }id al-syari >’ah telah menjadi“kalimat al-h }aq yuri >du biha > al-ba >t }il”.56

Sesungguhnya bila konsep maslahah ini diaplikasikanmenurut hawa nafsu saja, seperti yang selalu mengemuka dalampelbagai pembahasan, maka bukan hanya hukum Islam yang akanruntuh, agama pun akan menjadi absurd dan tidak berarti lagi(meaningless). Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragamaadalah untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraanbagi manusia dan juga untuk mencapai ketenangan dan kebahagia-an, bila seseorang dapat mencapai tujuan ini tanpa melalui agama,maka dia tidak perlu lagi beragama. Musdah Mulia, aktivis

54Wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,”16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.

55Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National Writer.56Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Al-Madkhal al-Maqa>s}idi li al-Khit}a>b la-‘Ilmani: dirasah

naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004, p. 21.

Page 23: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 73

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

perempuan yang mengetuai Tim Pengarusutamaan Gender, DepagRI dan juga pemegang gelar Doktor dari UIN Jakarta ini, tampaknyamembenarkan seperti ini. Ketika ditanya apakah agama masihdiperlukan, dia mengatakan, “If he or she thinks religion doesn’t bringpeace of mind, then there’s no use in having a religion. Just follow yourconscience, seriously.”57

3. Argumentasi Atas Nama Hak Asasi ManusiaArgumen ketiga ini menjadi salah satu argumen favorit para

penghujat hukum Islam. Argumen ini biasanya banyak digunakanoleh kalangan orientalis Barat. Tapi belakangan ini cendekiawanliberal pun banyak menggunakan dalih yang sama untuk menghujathukum Islam. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang diusung oleh Tim Pengarusutamaan Gender pun berpijakatas dasar ini. Salah seorang tim penyusun ini mengatakan, “KHItidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukumnasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteksinternasional, juga bertentangan dengan Konvensi PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yangtelah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan danperlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948),Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966).”58

Kesalahan kelompok ini adalah mereka terlalu mengagungkanHAM, seolah mereka telah menempatkannya sebagai ‘Kitab Suci’yang tanpa cacat, menjadi acuan untuk menakar dan menilai segala-galanya. Kebenaran dan kesalahan ditakar sejauh mana ia sesuaidengan ketentuan HAM. Sehingga ketika syariat yang dianggapbertabrakan dengan prinisp HAM, maka harus diubah dandisesuaikan dengan HAM. Persoalannya adalah apakah yangdimaksud dengan Hak Asasi Manusia tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa HAM bukan konsep netral; iadibangun atas landasan filosofis dan pandangan hidup (worldview)masyarakat Barat sekuler yang secara diametral bertentangan denganpandangan hidup Islam. Dalam pandangan hidup Barat manusia

57Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.org/english/newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549

58Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774

Page 24: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin74

Jurnal TSAQAFAH

merupakan pusat segala-galanya. Ia memiliki otoritas penuh untukmenentukan baik dan buruk bagi dirinya. Tidak ada institusi lainyang dapat mengatur hidup dan kehidupannya. Dia memilikikekebebasan mutlak. Bahkan Tuhan pun tidak berhak untuk turutcampur mengaturnya. Benarlah apa yang dikatakan SyedMuhammad Naquib al-Attas bahwa di Barat “Man is deified, Deityhumanized.”59 (Manusia diTuhankan sementara Tuhan dimanusia-kan). Konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep manusiaIslam. Dalam framework Islam, manusia adalah makhluk ciptaanAllah yang diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah. Sebagaikhalifah, tugasnya adalah taat dan patuh menjalankan perintah sangpenciptanya untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Oleh sebab itumenggunakan HAM untuk mengkritik hukum Islam bukan hanyatidak tepat tapi juga merupakan sebuah kekeliruan besar.

Selanjutnya beberapa pertanyaan berikut pun bisa diajukankepada para pemikir liberal di atas. Bila hukum Islam dikatakandipengaruhi oleh budaya Arab abad pertengahan, bukankah HAMyang dibentuk atas dasar filosofis sekuler Barat juga dipengaruhioleh nilai dan budaya Barat? Kalau demikian, kenapa HAM semacamitu harus diterapkan ke masyarakat Islam yang struktur dankeperluan masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Barat? Kitatidak menafikan bahwa ada beberapa unsur dalam HAM yangbersifat universal. Akan tetapi menjadikan HAM sebagai standarmutlak untuk mengukur kebenaran dan kesalahan adalahpemikiran dan perbuatan yang keliru.

Penutup

Gerakan liberalisasi Islam dengan menjadikan Barat sebagairujukan utama sebenarnya sudah lama dipraktikkan beberapa duniaIslam. Benihnya bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyyah mulaimengadopsi beberapa pemikiran Barat, yang bermulan saat KamalAttaturk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Uthmaniyyah danmendirikan negara Turki berideologi sekularisme. Proses westernisasipun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hampirsatu abad negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini

59Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (KualaLumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 87.

Page 25: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 75

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

tetap tidak ada bedanya dengan negara dunia ketiga yang lain,terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.

Kasus Turki itu mestinya memberikan ‘itibar bahwasekularisasi dengan mencontoh dan mengikuti Barat secara membabibuta bukanlah jalan keberhasilan untuk menggapai kemajuan.Mungkin kita bisa bertanya: apakah dengan diharamkannyapoligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki danperempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yangdiinginkan para pemikir Muslim kontemporer, masyarakat Islamakan menjadi lebih mulia dan terhormat, dihargai dan disanjung,menjadi lebih maju dan berkembang?

Sesungguhnya sejak zaman kolonialisme umat Islam telah jauhmeninggalkan syariat Islam. Mereka telah mengadopsi hukum Baratuntuk diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Hingga hariini, negeri-negeri Muslim itu bukannya bertambah maju. Sebagian-nya malah menjadi lebih sengsara. Maka, kita bertanya, apakah hu-kum Islam yang tidak diterapkan itu yang salah, atau justru hukummodel Barat yang menjadi biang kehancuran umat hari ini?[]

Daftar Pustaka

Abdalla, Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,”Kompas, 18 November 2002.

Abukhalil, As’ad, “Against the Taboos of Islam: Anti-ConformistTendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalamCharles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Betweenthe State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Pressand Cambridge University Press, 2001)

Al-‘Ashmawi, Muhammad Sa’id, Us}u>l al-Shari>’ah (al-Qahirah: Sina, 1992)Al-Asmandi, Muhammad bin ‘Abd al-Hamid, Badhl al-Naz }ar fi al-

Us }u>l, ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabahDar al-Turath, 1992)

Al-Asyqar, ‘Umar Sulayman, Ta >rikh al-Fiqh al-Isla >mi, (?)Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics

of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of IslamicThought and Civilization, 1995)

Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamization of Knowledge: General Principlesand Workplan (Virginia, Herndon: The International Institute

Page 26: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin76

Jurnal TSAQAFAH

of Islamic Thought, 1982)Al-Hajj, Ahmad Idris al-Ta’an, “Al-Madkhal al-Maqa >s}idi li al-Khita >b

la-‘Ilma >ni: dirasah naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’a >s }ir, no. 114,Oktober-Nov.-Des 2004

_________, “Intihak Qada >sah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’a >s }ir, no. 115, 2005

Al-Ahram, 4-10 November, no. 715Ali, Muhamad, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in

Contemporary Indonesia,” American Journal of Islamic SocialSciences, vol. 22, no. 1, 2005

Al-Qardawi, Yusuf, al-Siya >sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000)

Al-Rahman, ‘Abd al-Hadi ‘Abd, Sultah al-Nass: qira >’at fi tawzif al-nas }s } al-di >ni (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993)

Al-Sam’ani, Abu Muzaffar, Qawa >ti’ al-Adillah fi al-Us }u >l, ed.Muhammad Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996).

Al-Samarra’I, Nu’man ‘Abd al-Razzaq, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikral-Ishtishra >qi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id(Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’)

Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim, Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘AbdulMajid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989)

An-Na’im, Abdullah Ahmad, “Islamic Foundations of Islamic HumanRights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.),Religious Human Rights in Global Perspective: ReligiousPerspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996)

_________, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York:Syracuse University Press, 1990)

Arkoun, Mohammad, al-Fikr al-Islami: naqd wa ijtihad (London:Dar al-Saqi, 1998).

_________, Al-Fikr al-Islami: Qira >’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996)

_________, Al-Qur’a>n min al-Tafsi>r al-Mawru>ts ila> tah}lil al-Khit}a>b al-Di>ni,terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr)

_________, Min al-Ijtiha >d ila Naqd al-‘Aql al-Isla >mi, terj. HashimSaleh (London: Dar al-Saqi,19910

Page 27: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 77

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430

_________, Ta >rikhiyyah al-Fikr al-Isla >mi, terj. Hashim Saleh (Beirut:Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996).

Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis(Jakarta: Gema Insani Press, 2005)

Arzt, Donna, “The Treatment of Religious Dissidents under IslamicLaw,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.),Religious Human Rights in Global Perspective: ReligiousPerspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996)

Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought(Albany: State University of New York, 1990)

Ghazali, Abd Moqsith, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.

org/english/newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549Jawdah, Ahmad, H }iwa >ra >t H }awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr,

1990)Karim, Khalil Abdul, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj.

Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Us }u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968).Khouri, Monah A., “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate

of a New Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan IbrahimM. Oweiss (ed.), Arab Civilization: Challenges and Responses,studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: StateUniversity of New York, 1988), p. 183-207.

Mahmoud, Mohamed, “Mahmud Muhammad Taha’s SecondMessage of Islam and His Modernist Project,” dalam JohnCoper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islamand Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and NewYork: I.B Tauris, 1998).

Meyer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions and Politics(Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991)

Mufidah Ch, Paradigma Gender, (?)Nuwayhi, Muhammad, “A Revolution in Religious Thought,” in John

J. Donohue and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition:

Page 28: Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam

Nirwan Syafrin78

Jurnal TSAQAFAH

Muslim Perspectives (New York and Oxford: Oxford UniversityPress, 1982)

Rabi’, Ibrahim Abu, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in theArab World (Albany: State University of New York Press, 1966)

Rahman, Fazlur, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam AlfordT. Welch dan Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and PresentChallenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979)

_________, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S.Lambton, and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History ofIslam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970)

_________, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979)Raysuni, Ahmad, Naz}ariyyah al-Maqa>s}id ‘Ind al-Ima>m al-Sha>t}ibi (Virginia:

The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National

Writer.Sa’id, Bustami Muhammad, Mafhu>m Tajdi >d al-Di >n (Kuwait: Dar al-

Da’wah, 1984)Shepard, William E., “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The

Application of the Shari’a in Eypt”, dalam International Journalof Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February 1996.

Solihu, Abdul Kabir Hussain, Historicist Approach to the Qur’an:Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writingsof Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun(Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International IslamicUniversity Malaysia (IIUM), 2003)

Sufyan, ‘Abid bin Muhammad, al-Tsaba >t wa al-Syumu >l fi al-Syari >’ahal-Isla >miyyah.

The Jakarta Post, 3 October 2004.Wadud Amina, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a

Woman’s Perspective, (New York, Oxford: Oxford UniversityPress,1999)

Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991).

Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khit }a >b al-Di >ni, cet. 3 (al-Qahirah:Madbuli, 1995)