Korupsi Dan Akibatnya

35
KORUPSI DAN AKIBATNYA: ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Nur KholisÒ Abstract This article explains the problem of corruption in general and its negative impact to society, individu, politics, economy, and bureaucracy from an anlytical Islamic economic viewpoint. This article finds that corruption is a complex phenomenan. It is the outcome of the interaction between social, cultural, economic, and political factors. It cripples all aspects of social life. Corruption makes society disintegrated, politics chaotic, economy sluggish nonproductive and bureaucracy inefficient. The Quran and The Sunnah as the primary sources of Islamic economic provide rich vocabularies, teachings and context forbid and harm corruption. Corruption is forbidden and Allah SWT does not love corruption and has threatened the corruptible with a heavy punishment. Kata kunci: korupsi, akibat korupsi, ekonomi Islam. 1. PENDAHULUAN Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dari berbagai aspeknya, terbukti bahwa korupsi adalah fenomena yang memberikan implikasi negatif terhadap kehidupan manusia, baik di negara telah maju maupun di negara sedang berkembang.[1] Isu korupsi mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan sosial berbagai bidang, baik sosiolog, pakar politik, legislator, ekonom dan lain-lain. Bahkan institusi dan organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), The United Nations Development Program (UNDP), dan agensi-agensi khusus anti korupsi tingkat international maupun lokal seperti Transparency International (TI) yang berpusat di Berlin, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan Indonesian Coruption Watch (ICW). Mereka memberikan perhatian khusus terhadap isu korupsi, baik secara teori maupun aspek teknik penanggulangan dan pemecahannya. Semua masyarakat manusia dibelahan bumi manapun mencela korupsi. Agama-agama besar dunia pun mengutuk korupsi, tidak terkecuali agama Islam. Dalam artikel ini akan dianalisis korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya dari perspektif ekonomi Islam. 2. KORUPSI: MAKNA, KARAKTERISTIK, BENTUK DAN AKIBATNYA

Transcript of Korupsi Dan Akibatnya

Page 1: Korupsi Dan Akibatnya

KORUPSI DAN AKIBATNYA:ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM 

Nur KholisÒAbstract

This article explains the problem of corruption in general and its negative impact to society, individu, politics, economy, and bureaucracy from an anlytical Islamic economic viewpoint. This article finds that corruption is a complex phenomenan. It is the outcome of the interaction between social, cultural, economic, and political factors. It cripples all aspects of social life. Corruption makes society disintegrated, politics chaotic, economy sluggish nonproductive and bureaucracy inefficient. The Quran and The Sunnah as the primary sources of Islamic economic provide rich vocabularies, teachings and context forbid and harm corruption. Corruption is forbidden and Allah SWT does not love corruption and has threatened the corruptible with a heavy punishment. 

Kata kunci: korupsi, akibat korupsi, ekonomi Islam.1. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dari berbagai aspeknya, terbukti bahwa korupsi adalah fenomena yang memberikan implikasi negatif terhadap kehidupan manusia, baik di negara telah maju maupun di negara sedang berkembang.[1] Isu korupsi mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan sosial berbagai bidang, baik sosiolog, pakar politik, legislator, ekonom dan lain-lain. Bahkan institusi dan organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), The United Nations Development Program (UNDP), dan agensi-agensi khusus anti korupsi tingkat international maupun lokal seperti Transparency International (TI) yang berpusat di Berlin, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan Indonesian Coruption Watch (ICW). Mereka memberikan perhatian khusus terhadap isu korupsi, baik secara teori maupun aspek teknik penanggulangan dan pemecahannya.Semua masyarakat manusia dibelahan bumi manapun mencela korupsi. Agama-agama besar dunia pun mengutuk korupsi, tidak terkecuali agama Islam. Dalam artikel ini akan dianalisis korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya dari perspektif ekonomi Islam.

2.      KORUPSI: MAKNA, KARAKTERISTIK, BENTUK DAN AKIBATNYA2.1. Pengertian dan Karakteristik KorupsiDefinisi korupsi sangat beragam, tergantung pada latar belakang disiplin ilmu orang yang mendefinisikannya. Oleh karena itu, definisi korupsi manurut sosiolog, ilmuwan politik, ekonom, ilmuwan hukum, birokrat dan lain-lain bisa berbeda. Mereka mempunyai sudut pandang tersendiri dalam mendefinisikan korupsi, sesuai dengan bidang masing-masing. Uniknya, tidak semua ensiklopedi maupun kamus yang dianggap sebagai referensi utama oleh berbagai kalangan tidak mencantumkan entri corruption.[2]The Encyclopedia Americana mendefinisikan korupsi sebagai “a general term for the misuse of public position of trust for private gain. Its specific definition and application vary according to time, place and culture…political corruption concerns the illegal pursuit or misuse of public office”.[3] Sedangkan The Harper Collin Dictionary of Sociology mendefinisikan korupsi sebagai “the abandonment of expected standards of behavior by those in authority for the sake of unsanctional personal advantage”.[4] Menurut Bank Dunia, korupsi adalah “the abuse of public

Page 2: Korupsi Dan Akibatnya

power for private benefit”.[5] Dari aspek hukum, korupsi merupakan “all illegal or unethical use of governmental authority as result of considerations of personal or political gain”.[6] Dari paparan tersebut di atas, dapat ditarik benang merah yang jelas, bahwa dalam korupsi terdapat dua unsur utama, yaitu: (1) penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara (2), mengutamakan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Dengan demikian, korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah. Dalam konteks ini termasuklah perilaku penyogokan atau penyuapan, memberikan upah tertentu untuk melindungi diri dari hukum, nepotisme, dan lain-lain.[7]Tidak diragukan bahwa korupsi dalam berbagai bentuk dan macamnya, dalam arti luas, ada di manapun negara di bumi ini.[8] Menurut Alatas, karakteristik korupsi adalah sebagai berikut: (1). Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. (2) Secara keseluruhan, korupsi melibatkan rahasia di antara mereka yang terlibat. (3) Korupsi mempunyai unsur tanggung jawab bersama dan keuntungan bersama. (4) Pelaku korupsi biasanya berusaha mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi dengan hukum. (5). Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan tersebut. (6). Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat. (7). Korupsi melibatkan kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang jabatan publik dan sebagai individu. (8). Korupsi mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kewajiban tugas.[9]2.2. Bentuk Korupsi dan Sebab Terjadinya KorupsiBentuk-bentuk korupsi adalah seperti berikut:

1.      Penyuapan atau penyogokanBentuk korupsi ini merupakan yang terbanyak. Bahkan kebanyakan masyarakat menganggapnya sinonim dengan korupsi itu sendiri. Penyuapan adalah “any valuable thing given or promised, or any preferment, advantage, privelege or emolument, given or promised corruptly and against law as an inducement to any person acting in official or public capacity to violate or forbear for his duty, or to improperly influence his behavior in the performance of his duty”.[10]Bentuk pembayaran penyuapan bisa berupa uang cash, hadiah barang kekayaan (emas perhiasan, jam, lukisan, free samples, dan lain-lain), hadiah berupa pelayanan (services) (penggunaan mobil, tiket pesawat terbang, mencarikan tempat tinggal, membayar bil rumah, dan lain-lain), pembayaran biaya jalan-jalan dan berhibur, menyediakan beasiswa untuk anak atau saudara pihak yang disuap dan lain-lain. Walaupun penyuapan ini dianggap sebagai kriminal oleh berbagai peraturan perundangan di seluruh dunia, tetapi ia berkembang sangat luas, terutama di birokrasi negara sedang berkembang, sehingga seakan-akan menjadi kepercayaan bahwa orang dapat membeli apa saja yang ia mau dan ia suka dengan uang (suap).[11]

2.      Nepotisme, kronisme dan favoritism.Ini merupakan bentuk korupsi utama yang merajalela di negara belum berkembang dan sedang berkembang. Nepotisme adalah “the practice among people with power or influence of favoring their own relatives, especially by giving them jobs”.[12]Alatas mendefinisikannya dengan “a term that refers to the appointment of relatives or friends to positions for which they are not qualified, thereby injuring the interest of institution and those who are qualified”.[13] Memberikan pekerjaan kepada teman atau saudara yang memenuhi kualifikasi pun juga bisa dianggap sebagai nepotisme, walaupun dari segi manajemen tidak besar resikonya bagi birokrasi institusi berkenaan daripada memberikannya kepada yang tidak memenuhi kualifikasi.

Page 3: Korupsi Dan Akibatnya

Sebenarnya nepotisme tidak terbatas hanya pada pemberian pekerjaan saja, tetapi meliputi semua bentuk transaksi dalam hal urusan publik yang didasarkan pada unsur perasaan (sentiments) dan kesukaan daripada faktor hukum dan perundangan.[14]

3.      Penggelapan, kecurangan/penipuan, dan pemerasanBentuk korupsi ini biasanya hanya melibatkan individu itu sendiri, tidak melibatkan sesama pegawai atau antara pegawai dengan klien. Pelakunya biasanya orang yang berkedudukan tinggi atau cukup tinggi dan berkekuasaan seperti bos, presiden, perdana menteri, rektor perguruan tinggi, dekan, dan lain-lain. Biasanya untuk menutupi perbuatan korupnya, si pelaku menggunakan bentuk korupsi yang lain yaitu penyuapan atau nepotisme agar tindakan korupnya tidak diketahui pihak luar. Si pelaku menggunakan kekayaan publik untuk memperkaya diri sendiri, misalnya menggunakan fasilitas kantor seperti mobil, komputer, telepon, fax, mesin foto kopi dan lain-lain untuk kepentingan pribadi. Bentuk lain misalnya melebihkan budget kantor, membeli peralatan kantor (furniture, mesin, kendaraan, meja, dan lain-lain) yang tidak perlu, atau memungut pajak untuk dimasukkan ke kantong sendiri dan lain-lain.[15]Berbicara tentang sebab terjadinya korupsi, banyak faktor yang perlu mendapat perhatian. Kejahatan korupsi tidak sekonyong-konyong muncul, tetapi ada sebab-sebab yang melatarinya, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan tidak dalam keadaan korupsi.[16] Adapun sebab-sebab utama terjadinya korupsi dapat diringkaskan sebagai berikut[17]: (1) Ingin hidup mewah dan bermegah-megah. (2) Kurangnya penghayatan terhadap nilai-nalai agama dan moral. (3) Kelemahan peraturan atau sistem kerja. (4) Sosial dan kebudayaan[18] (5) Kekuasaan politik. Lord Acton berkata: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, seperti dikutip oleh K.A Abbas.[19] (6) Birokrasi yang berliku dan panjang. Walaupun tidak selalu menjadi faktor penentu tetapi paling tidak dengan birokrasi yang panjang semakin memungkinkan korupsi.[20] (8) Gaji yang diterima tidak mampu menutupi kebutuhan biaya hidup. 2.3. Akibat-akibat KorupsiKorupsi berakibat sangat berbahaya begi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi,[21] dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus.[22] Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:

a.       Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness.[23] Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara[24] dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.[25] Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.[26] Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berfikir tentang dirinya sendiri semata-mata.

Page 4: Korupsi Dan Akibatnya

[27] Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

b.      Bahaya korupsi terhadap generasi muda.Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab.[28] Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.

c.       Bahaya korupsi terhadap politik.Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka.[29] Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan  dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter)[30] atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.[31]Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.[32]

d.      EkonomiKorupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa.[33] Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.[34] Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya kecil.[35]

e.       BirokrasiKorupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap.[36] Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.[37]

3.      EKONOMI ISLAM

Page 5: Korupsi Dan Akibatnya

3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi IslamPara pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[38] Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[39] 

Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[40] Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut  Umer Chapra[41] adalah sebagai berikut:

1.      Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.2.      Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.3.      Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

3.2. Tujuan Ekonomi IslamTujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[42] menegaskan yang artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan yang artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”. [43]Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[44] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[45]Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya

Page 6: Korupsi Dan Akibatnya

secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[46]

3.3. Metodologi Ekonomi IslamPara pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Chaoudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[47]:

1.      Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[48] 2.      Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.3.      Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.4.      Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif. 5.      Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.    4.      ANALISIS KORUPSI DAN AKIBATNYA DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

 Substansi korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah, sebagaimana penjelasan di atas, karena pada intinya ia mengandung dua unsur utama yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum dan pengutamaan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik oleh aparatur negara. Dengan demikian, korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri secara zalim yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan ekonomi Islam, karena al-Quran yang merupakan sumber utama doktrin ekonomi Islam menyatakan, yang artinya, “Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, lakukan secara adil…”. (Terjemahan Q.S. al-Nisa’ (4): 58).     Para aparatur negara, sebelum memegang jabatan tertentu,[49] mereka disumpah setia untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanahnya, akan tetapi ketika mereka melakukan korupsi berarti mereka mungkir terhadap janji mereka sendiri. Tindakan ini bertentangan dengan firman Allah SWT[50] yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban”. (Terjemahan Q.S. al-Isra’ (17): 34).Dua ayat tersebut secara gamblang memerintahkan untuk melaksanakan amanah, memenuhi janji dan berlaku adil. Pengkhianatan terhadap suatu amanah dan janji merupakan satu kesalahan yang bisa dituntut di pengadilan. Ini artinya pelaksanaan amanah dan pemenuhan janji merupakan ajaran yang sangat penting dalam ekonomi Islam.Dalam rangka pelaksanaan amanat oleh penguasa, Al-Quran memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan amanat itu. Hal ini tertuang dalam Q.S. Al-‘Asr: 3 yang memerintahkan untuk saling menasehati dalam menegakkan kebenaran. Implikasi konkrit dari prinsip ini, rakyat bebas melakukan pengawasan terhadap penguasa yang diwujudkan dalam bentuk kritik, nasehat dan lain-lain. Fungsi pengawasan ini terbuka untuk siapa saja yang mau dan mampu memberikan kritik dan saran pada penguasa. Tersedianya ruang bagi publik untuk terlibat dalam politik secara aktif semacam ini merupakan ciri dari masyarakat yang diprofilkan al-Quran.[51]

Page 7: Korupsi Dan Akibatnya

Bahkan Al-Quran juga menyatakan bahwa kehancuran suatu masyarakat (akibat dari perilaku jahat dan zalim individu di dalamnya seperti korupsi dan lain-lain) tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang yang berbuat zalim, tetapi juga akan menimpa seluruh individu dalam masyarakat itu. (Q.S. 8: 25). Dengan demikian membiarkan sebagian anggota masyarakat melakukan korupsi, sama artinya menggali jurang kebinasaan bagi mereka semua. Korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan efek negatif terhadap perkembangan politik, birokrasi, ekonomi dan bahkan masyarakat dan individu. Hal ini menunjukkan sikap tidak bertanggungjawabnya pemerintahan korup tersebut terhadap tugas dan kewajibannya sebagai aparatur negara. Padahal dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tugas dan fungsi yang luas, di antaranya adalah tugas dan fungsi dalam bidang ekonomi, yaitu mengkurangkan kemiskinan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan, menciptakan keadilan sosio-ekonomi, menjaga stabilitas keuangan, menegakkan hukum dan peraturan dan lain-lain.[52]      Al-Quran, salah satu sumber hukum utama ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi yang menumbuhkembangkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism[53] dalam masyarakat, menjadikan masyarakat itu bertentangan secara diametral dengan profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran[54] yaitu masyarakat yang bercirikan: (1). Tauhidullah/mengesakan Allah (Q.S. 112: 1-4) (2). Diliputi Ukhuwah/persaudaraan (Q.S. 49:10) (3). Musawah/persamaan (Q.S. 49:13) (4). Bersatu dalam ikatan tali Allah (Q.S. 3:103) (5). Tolong-menolong (Q.S. 5:2) (6). Berkeadilan (Q.S. 6:152) (7). Musyawarah (Q.S. 42: 38) (8). Ada tangungjawab sosial (Q.S. 3:104) (9). Berlomba dalam kebajikan (Q.S. 5:48) (10). Toleransi (Q.S. 109:1-6) (11). Kebebasan (Q.S. 2:256) (12). Berwajah ramah dan anggun (Q.S. 49:10; Q.S. 6:152) (13). Menegakkan dan membela kebenaran (Q.S. 5:35). Untuk mendukung terwujudnya profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran, Islam mempunyai institusi sosial security yaitu zakat,[55] ia berfungsi sebagai salah satu media untuk distribusi keadilan sosio-ekonomi[56] dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan orang miskin.[57] Bentuk sosial security yang diperankan oleh zakat adalah dengan menyediakan bantuan material kepada orang miskin dan pihak yang membutuhkan lain (asnaf delapan). Bentuk lainnya adalah dengan menyediakan bantuan material kepada anak yatim piatu, janda, orang tua dan lain-lain. Di samping itu, zakat juga berperan sebagai ekspresi persaudaraan, goodwill, kerjasama dan sikap toleran dalam masyarakat.[58]Dalam termonologi al-Quran, korupsi dipersamakan dengan fasad dalam maknanya yang luas dan umum. Kata fasad dan derivasinya, diulang 47 kali dalam Al-Quran, dan 82 kali dalam hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah urus, anarki, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia-nyiaan, penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Al-Quran dalam menjelaskan korupsi (fasad) biasanya bersifat umum, walau ada juga yang khusus, seperti ketika al-Quran melarang semua transaksi yang melibatkan penyuapan di dalamnya (Q.S. 2: 188). Sedangkan hadis Nabi lebih bersifat khusus, di antaranya disebutkan kata rasywah yang berarti penyuapan. Menurut hadis pelaku dan penerima rasywah adalah sama-sama di neraka.[59] Al-Quran juga mendorong upaya penegakan hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan (Q.S. 4: 135). Keadilan merupakan unsur penting dalam materi hukum dan penegakan hukum sehingga tidak heran kalau Al-Quran menekankan agar keadilan itu tetap ditegakkan walaupun  pada  kerabat, bahkan  kepada diri sendiri (Q.S. 6: 152). Al-Quran memandang supremasi hukum

Page 8: Korupsi Dan Akibatnya

harus betul-betul ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan harus ditegakkan di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas (Q.S. 2: 286). Dalam sejarah Islam kita mendapati fenomena bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membedakan  antara “orang  atas”, “orang bawah”, atau  keluarganya  sendiri dalam  menegakkan  hukum,  karena  beliau memandang  bahwa  penegakan  hukum merupakan sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dalam menjaga stabilitas suatu bangsa. Oleh karenanya beliau pernah bersabda bahwa kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah karena, jika “orang atas” berbuat kejahatan dibiarkan saja, sementara kalau “orang bawah” berbuat kejahatan pasti dihukum. Bahkan dalam hadis itu, Nabi juga menegaskan bahwa kalau andai saja yang berbuat kejahatan (mencuri) itu adalah Fatimah (puterinya tercinta), pasti akan dipotong tangannya.[60] Untuk memperbaiki masyarakat yang telah dirasuki korupsi, al-Quran memperkenalkan konsep al-amru bi al-ma‘ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat serius memperhatikan masalah kehidupan moral (akhlak) manusia dalam masyarakat.[61] Anwar Harjono menilai bahwa konsep amar ma‘ruf nahi munkar merupakan kewajiban asasi yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Quran.[62] Kuntowijoyo[63] menyatakan bahwa cita-cita penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kerangka keimanan merupakan akar semangat transformasi sosial secara terus menerus. Oleh karena itu, semua pihak harus mengambil peranan untuk memberantas korupsi. Misalnya, pemerintah memiliki peran yang strategis, yaitu dengan membuat peraturan antikorupsi, memperbanyak lembaga antikorupsi, penegakan hukum, dan pemberian gaji yang cukup kepada pegawai. Institusi keagamaan harus lebih proaktif dan efektif dalam menyadarkan umatnya tentang larangan korupsi dalam agama dan hukumannya yang berat di akhirat. Media massa berperan dalam menggiring opini publik untuk memerangi korupsi serta mendidik publik untuk menjauhi korupsi. NGO memobilisasi opini publik untuk melawan korupsi. Lembaga pendidikan memberikan penyadaran pada generasi muda tentang bahaya korupsi bagi kehidupan manusia. Masyarakat berkomitmen untuk memilih pemimpin yang bersih dan mengawasi pemerintahan dari praktek korupsi.

5.      PENUTUPBerdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa korupsi membawa efek negatif yang sangat membahayakan bagi masyarakat, individu, perkembangan politik, birokrasi, dan perkembangan generasi muda. Ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi merupakan tindakan pengkhianatan terhadap amanah yang harus dieliminir bersama-sama, karena korupsi adalah musuh bersama yang membasminya harus dengan peran semua pihak. Sebagai spirit untuk memberantas korupsi, perlu diingat firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu  kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka”. (Q.S. 13: 11).[64]

DAFTAR PUSTAKAAl-Qur’an al-KarimAbbas, K.A (1975), “The Cancer of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.Abdul Aziz, Tunku (2005), Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer Foundation. AbulHasan M. Sadeq (1992), “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.

Page 9: Korupsi Dan Akibatnya

Ahmad, Khursid (1992) dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.Ahmad Syafi’i Ma’arif (1996), Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES.Alatas, Syed Hussein (1975), The Sociology of Corruption, ed. 2, Singapore: Delta Orient Pte. Ltd._________________ (1995), Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka._________________ (1999), Corruption and The Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. dan Simon & Schuster (Asia) Pte.Ltd.Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.Anwar Harjono (1997), Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press.B. Soedarso (1969), Korupsi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara Jakarta.Blacks’ Law Dictionary (1968), ed. 3, St. Paul: Mint West.Chalmers, David M. (1990), The Encyclopedia Americana, Vol. 8, International Edition, USA: Grolier Incorporated.Chapra, M. Umer (1995), Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.Deliar Noor, “Etika Politik dalam Negara Demokrasi”, dalam Jurnal UNISIA, No. 35 / XX / III / 1997Emil Salim (1994), “Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Paramadina Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), “Corruption: A Sociological Interpretative Study with Special Reference to Selected Southeast Asian Case”, Disertasi Doktor Philosophy, Department of Antropology and Sociology, Faculty of Arts and Sosial Sciences, University of Malaya, Kuala Lumpur.Green, David Jay (2004), “Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia”, Journal of Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick: Rutger University, Elsevier Group.Jary, David Jary and Julia (1991), The Harper Collin Dictionary of Sociology, USA: Harper Collins Publishers.Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.___________________ (2002), “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.Kahf, Monzer (1989), “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications. ___________ (1991), “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.Khan, Muhammad Akram (1989), “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.____________ (1994), An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan.

Page 10: Korupsi Dan Akibatnya

Kohli, Suresh (1975), “The Psychology of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Kuntowijoyo (1994), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.Lambsdorff, Johan Graf (1999), Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency International Working Paper, November 1999.M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIAMahathir Mohamad (1986), The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd.Maksun (1998), “Paradigma ‘Civil Society’ yang Profetik”, dalam Media Indonesia, Jakarta, 11 September 1998.Mannan, M. Abdul (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd.Mohammad Daud Ali (1988), Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.Mohd. Ma’sum Billah (2003), Institution of Zakat and The Modern Sosial Security System, ed. 2, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers.Myrdal, Gunnar (1978), “Corruption, Its Cause and Effects”, dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Readings in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.Nik Mustapha Hj. Nik Hassan (1991), “Zakat in Malaysia: Present and Future Status”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.Nomani, Farhad dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd.Nurcholish Madjid (1998), “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan.Nye, J. S. (1978), “Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis” dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Reading in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.Palmier, Leslie (2003), “Corruption in Context”, dalam John Kidd et al. (eds.), Fighting Corruption in Asia, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.Pincus, Jonathan R. dan Rizal Ramli (2004), “Deepening or Hollowing Out? Financial Liberation, Accumulation and Indonesia’s Economic Crisis”, dalam K.S. Jomo (ed.), After the Storm; Crisis, Recovery and Sustaining Development in Four Asian Economics, Singapore: Singapore University Press.Qaradawi, Yusuf al- (1973), Fiqh al-Zakah, ed. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah.________________ (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.Quraish Shihab (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan. Rahman, Afzalur (1979), Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust.Rauch, Gerald M. Meier dan James E. (2005), Leading Issues in Economic Development, ed. 8, Oxford: Oxford University Press.Sashi, M.P (2000), Crime and Corruption in Digital Age, Delhi: Authorpress. Scott, James C. (1972), Comparative Political Corruption, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Page 11: Korupsi Dan Akibatnya

Siddiqi, Muhammad Nejatullah (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.Singh, Khushwant (1975), “Are We a Corrupt People?”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.Sukardi Rinakit (2005), The Indonesian Military After The New Order, Copenhagen S, Denmark: NIAS Press.Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. (2005), Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.The Oxford Advanced Learners Dictionary (1989), ed. 4, Oxford: Oxford University Press.The World Bank Report (1997), Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank. Theobald, Robin (1990), Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan Press Ltd.Zarqa’, Anas  (1989), “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications

 

Ò Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi pascasarjana di Syariah and Economics Department, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. [1] M.P Sashi (2000), Crime and Corruption in Digital Age, Delhi: Authorpress, h. 1; Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), “Corruption: A Sociological Interpretative Study with Special Reference to Selected Southeast Asian Case”, Disertasi Doktor Philosophy, Department of Antropology and Sociology, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya, Kuala Lumpur, h. 28.[2] Misalnya The Encyclopedia Britannica, The Encyclopedia of Government and Politics (Mary Hawkes Worth dan Maurice Kogan), A Dictionary of Modern Politics (David Roberston).[3] David M. Chalmers (1990), The Encyclopedia Americana, Vol. 8, International Edition, USA: Grolier Incorporated, h. 22.[4] David Jary and Julia Jary (1991), The Harper Collin Dictionary of Sociology, USA: Harper Collins Publishers, h. 88.[5] The World Bank Report (1997), Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank, h. 20. [6] James C. Scott (1972), Comparative Political Corruption, New Jersey: Prentice Hall Inc., h. 4.[7] J. S. Nye (1978), “Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis” dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Reading in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books, hh. 566-567.[8] Suresh Kohli (1975), “The Psychology of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications, h. 32.[9] Syed Hussein Alatas (1975), The Sociology of Corruption, ed. 2, Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.,      hh. 13-15. Lihat pula Leslie Palmier (2003), “Corruption in Context”, dalam John Kidd et al. (eds.), Fighting Corruption in Asia, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., hh. 75-76.[10] Blacks’ Law Dictionary (1968), ed. 3, St. Paul: Mint West, h. 250.[11] Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., hh. 89-91.[12] The Oxford Advanced Learners Dictionary (1989), ed. 4, Oxford: Oxford University Press, h. 830.[13] Syed Hussein Alatas (1999), op.cit., h. 49.[14] Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., h. 92.[15] Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., hh. 94-97.[16] Suresh Kohli (1975), op.cit., h. 32.

Page 12: Korupsi Dan Akibatnya

[17] Lihat Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., hh. 108-138; M. Umer Chapra (1995), Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation, hh. 180, 220, 228, 308-309; Syed Hussein Alatas (1999), Corruption and The Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. dan Simon & Schuster (Asia) Pte.Ltd., hh. 25, 34-35, dan 41.[18] Menurut B. Soedarso korupsi di Indonesia mungkin disebabkan oleh sejarah perkembangan masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan dan zaman penjajahan, model struktur sosial masyarakat Indonesia, tata cara dan sikap hidup bangsa Indonesia dan pola kulturalnya. Untuk lebih lengkapnya lihat dan baca secara   tuntas B. Soedarso (1969), Korupsi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara Jakarta, hh. 9-96.[19] K.A Abbas (1975), “The Cancer of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications, h. 26.[20] B. Soedarso (1969), op.cit., h. 13.[21] Sejak tahun 1960-an telah muncul beberapa pandangan tentang pengaruh korupsi terhadap ekonomi. Umumnya berpendapat korupsi mempunyai pengaruh negatif terhadap ekonomi, corruption is toxic rather than a tonic. Akan tetapi ada pendapat yang berbeda, yaitu bahwa korupsi, dalam situasi dan keadaan tertentu serta dalam tahap tertentu dapat memberikan peran positif terhadap ekonomi, misalnya sebelum tahun 1997, Indonesia dan Thailand adalah negara yang sangat cepat perkembangan ekonominya, walaupun tingkat korupsinya sangat tinggi. Pandangan ini dikemukakan oleh Nathaniel H. Leff, J.S. Nye, David H. Bayley, dan Samuel Huntington. Lihat Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., hh. 140-149. [22] K.A Abbas (1975), op.cit., h. 26; Khushwant Singh (1975), “Are We a Corrupt People?”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications, h. 10.[23] M. Umer Chapra (1995), op.cit., h. 220.[24] Misalnya penelitian di 37 negara Tahun 1998 oleh Gupta, Davoodi dan Alonso mendapati bahwa korupsi mempunyai dampak signifikan terhadap ketidaksetaraan sosial, baik dalam hal pendidikan, distribusi pertanahan dan pendapatan. Bahkan dampak korupsi terhadap pendapatan lebih kuat. Lihat Johan Graf Lambsdorff (1999), Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency International Working Paper, November 1999, hh. 8-9.[25] Mahathir Mohamad (1986), The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd., h. 144.[26] Robin Theobald (1990), Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan Press Ltd., h. 112; Syed Hussein Alatas (1995), Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, h. 183.[27] Sebagaimana dikutip oleh Fethi Ben Jomaa dari Chandra Muzaffar (1998), New Straits Time, 23 Mei 1998, h. 8.[28] Syed Hussein Alatas (1999), op.cit., h. 62.[29] Mahathir Mohamad (1986), op.cit., h. 143; Syed Hussein Alatas (1999), op.cit., hh. 62-65.[30] Pendekatan seperti ini juga berakibat pada: penghargaan terhadap HAM kurang terjamin, ada kecenderungan untuk menciptakan homogenitas pemikiran, berkembangnya nepotisme, dan tuduhan adanya invisible hand (tangan-tangan setan) atas kejadian yang tidak mendukung harmoni. Susetiawan (1997), “Harmoni, Stabilitas Politik dan Kritik Sosial”, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta: UII Press, hh. 17-18.[31] Robin Theobald (1990), op.cit., h. 128; Emil Salim (1994), “Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Paramadina, hh. 157-159.[32] Sukardi Rinakit (2005), The Indonesian Military After The New Order, Copenhagen S, Denmark: NIAS Press, hh. 67-73; Mahathir Mohamad (1986), op.cit., h. 143.[33] Tunku Abdul Aziz (2005), Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer Foundation, h. 61.[34] Gerald M. Meier dan James E. Rauch (2005), Leading Issues in Economic Development, ed. 8, Oxford: Oxford University Press, hh. 508-509; Jonathan R. Pincus dan Rizal Ramli (2004), “Deepening or Hollowing Out? Financial Liberation, Accumulation and Indonesia’s Economic Crisis”, dalam K.S. Jomo (ed.), After the Storm; Crisis, Recovery and Sustaining Development in Four Asian Economics, Singapore: Singapore University Press, h. 116.[35] David Jay Green (2004), “Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia”, Journal of Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick: Rutger University, Elsevier Group, h. 299.[36] Gunnar Myrdal (1978), “Corruption, Its Cause and Effects”, dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Readings in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books, h. 541; Gerald M. Meier dan James E. Rauch (2005), op.cit., h. 536.[37] Tunku Abdul Aziz (2005), op.cit., h. 60.

Page 13: Korupsi Dan Akibatnya

[38] M. Abdul Mannan (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd., h. 18.[39] Muhammad Nejatullah Siddiqi (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, h. 21. Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Akram Khan, “Islamic economics aims at the study of human falah [well-being] achieved by organizing the resources of the earth on the basis of cooperation and participation”. Lihat Muhammad Akram Khan (1994), An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan, h. 33. Dan juga definisi Khurshid Ahmad, ekonomi Islam adalah “a sistematic effort to try to understand the economic problems and man’s behaviors in relation to that problem from an Islamic perspective”. Khursid Ahmad (1992) dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB, h. 19.[40] Lihat M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, hh. 10-11; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. (2005), Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd., h. 50; Mohammad Daud Ali (1988), Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, h. 18.[41] M. Umer Chapra (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hh. 202-206.   [42] Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2, h. 19.[43] Yusuf al-Qaradawi (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami, h. 68.[44] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga, yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi, (3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto (2003), op.cit., h. 7.[45] Muhammad Akram Khan (1989), “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, h. 59; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. (2005), op.cit., h. 53; M. B. Hendrie Anto (2003), op.cit., h. 7.[46] Anas Zarqa’ (1989), “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hh. 29-38.[47] Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hh. 77-83; Farhad Nomani dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd., hh. 2-19; Muhammad Akram Khan (1989), op.cit., hh. 53-60; Monzer Kahf (1989), “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hh. 43-48. [48] M. Abdul Mannan (1986), op.cit., hh. 13-27.[49] Menurut Al-Quran anugerah untuk memimpin berupa kekuasaan politik adalah karunia Allah bagi manusia (Q.S. 11: 61; Q.S. 2: 30). Penganugerahan ini dilakukan melalui suatu ikatan perjanjian, baik antara penguasa dengan Allah (al-‘ahd) (Q.S. 2: 124) maupun dengan masyarakat (bai‘at) (Q.S. 60: 12). Perjanjian itu merupakan amanat yang harus ditunaikan. Atas dasar ini, tidak heran jika perintah taat pada penguasa didahului dengan perintah menunaikan amanah, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’: 58-59.[50] Lihat juga Q.S. 5: 1; Q.S. 2: 177; Q.S. 8: 55-56; Q.S. 13: 25.[51] Nurcholish Madjid (1998), “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan, h. 121; Deliar Noor, “Etika Politik dalam Negara Demokrasi”, dalam Jurnal UNISIA, No. 35 / XX / III / 1997, h. 7.[52] Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hh. 80-90.[53] Robin Theobald (1990), op.cit., h. 112; Chandra Muzaffar (1998), op.cit., h. 8.[54] Al-Quran menyebut masyarakat yang baik dan berperadaban dengan tiga ungkapan, yaitu: (1). Khairu ummah (masyarakat terbaik), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 110. (2). Ummah wasat (masyarakat pertengahan dan masyarakat seimbang, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 143 (3). Ummah muqtasidah (masyarakat pertengahan/moderat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al- Ma’idah: 66.

Page 14: Korupsi Dan Akibatnya

[55] AbulHasan M. Sadeq (1992), “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd., h. 9; Afzalur Rahman (1979), Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust, hh. 252-264. Institusi lain yang mendukung zakat sebagai social security adalah infaq dan sedekah.[56] Monzer Kahf (1991), “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, h. 174.[57] Yusuf al-Qaradawi (1973), Fiqh al-Zakah, ed. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah, hh. 37-38; Nik Mustapha Hj. Nik Hassan (1991), “Zakat in Malaysia: Present and Future Status”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, hh. 214-215.[58] Mohd. Ma’sum Billah (2003), Institution of Zakat and The Modern Social Security System, ed. 2, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, hh. 244-245.[59] Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), op.cit., hh. 66-67 dan 82.[60] Maksun (1998), “Paradigma ‘Civil Society’ yang Profetik”, dalam Media Indonesia, Jakarta, 11 September 1998.[61] Ahmad Syafi’i Ma’arif (1996), Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, h. 174.[62] Anwar Harjono (1997), Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press, h. 148.[63] Kuntowijoyo (1994), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, h. 338.[64] Menurut Quraish Shihab, ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku, (1) perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan (2) perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Ayat  ini  berbicara  tentang  manusia  dalam  keutuhannya  dan dalam kedudukannya sebagai kelompok, bukan sebagai wujud individual. Dipahami demikian karena damir hum pada ayat itu tertuju pada kata qaum. Ini berarti, betapapun hebatnya seseorang tidak akan dapat melakukan perubahan kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya akan menimbulkan movement dalam masyarakat. Lihat Quraish Shihab (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, h. 246.

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University

BELUM lama kita mendengar serangkaian kasus korupsi yang semakin menghangatkan suhu politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Pertama-tama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dinyatakan sebagai tersangka korupsi kasus impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama sesudahnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang. Tentu saja, dari sudut pandang normatif, ini merupakan suatu pertanda buruk dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tetapi untuk memahami permasalahan ini, sekaligus merumuskan sebuah solusi yang masuk akal, dibutuhkan lebih dari sekedar panggilan normatif. Kali ini, saya berargumen bahwa analisa struktural merupakan sebuah konsekuensi logis bagi kita untuk memahami persoalan korupsi dan politik Indonesia secara lebih baik dan mendalam.

Kasus Korupsi dan Kondisi Politik Tanah Air

Kasus LHI dan AU tentu bukan kasus korupsi yang pertama kali di Indonesia. Korupsi seakan-akan sudah menjadi persoalan klasik dan fitur utama dalam politik di tanah air. Ironisnya,  para politisi, pejabat publik, dan tokoh masyarakat yang tersangkut kasus korupsi juga memiliki latar belakang dalam Islam Politik – sebuah ironi karena tendensi politik yang koruptif justru lahir dari sebuah pemikiran dan aliran politik yang sempat digadang-gadang memiliki potensi memperjuangkan proses politik yang lebih bersih.

Page 15: Korupsi Dan Akibatnya

Yang tidak kalah menarik dari dua kasus korupsi terbaru ini adalah analisa terhadap kasus-kasus tersebut. Setidaknya dalam pengamatan saya, seringkali kita tergelincir ke dalam dua pandangan simplistik dalam analisa korupsi dan politik di Indonesia pada umumnya: pertama, pandangan ‘moralisasi’; dan kedua, pandangan yang terlalu menekankan pada agency atau peranan aktor politik. Terkadang, pandangan-pandangan ini juga tergelincir dalam ‘teori konspirasi’ atas politik Indonesia, yang meskipun mungkin saja memiliki sejumlah nilai kebenaran, tidak memiliki daya analitik yang kuat dalam menjawab persoalan. Pandangan-pandangan ini bermasalah setidaknya dalam tiga aspek. Pertama, ia cenderung mengalihkan perhatian dan mengaburkan pandangan kita akan inti persoalan. Kedua, pandangan-pandangan ini cenderung ahistoris dalam konteks tertentu. Dan ketiga,  pandangan-pandangan ini juga abai pada konteks dan pengaruh struktural di mana para aktor politik memainkan peranannya.

Persoalan pertama dapat segera terlihat dalam kecenderungan kita untuk memotret persoalan korupsi sebagai kasus ‘kurangnya moral dan akhlak’ dari ‘segelintir elit’ yang karena ‘nafsu kekuasaan’ terjerumus dalam praktek korupsi dan jenis-jenis politik yang merugikan masyarakat. Moral, dalam artiannya yang paling abstrak, memang diperlukan oleh manusia. Tetapi moralisasi dalam analisa politik menjadi suatu hal yang bukan hanya problematik namun juga berbahaya, karena perspektif ini cenderung mengabaikan akar permasalahan, mendiskon semua penjelasan menjadi penjelasan tentang human nature atau fitrah manusia yang pada dasarnya buruk, dan karenanya ‘nilai-nilai’ berpolitik yang baik perlu dipromosikan. Ini tak ubahnya khutbah Jumat atau ceramah Minggu yang dogmatis dan diulang-ulang, tidak menjawab persoalan dan justru menumpulkan daya analisa kita.

Kedua, perspektif moralistis dan agency-oriented dalam analisa kasus korupsi dan fenomena politik lainnya cenderung ahistoris dalam dua aspek, yaitu kecenderungan untuk melihat proses-proses sejarah di balik munculnya sebuah fenomena politik dan juga kecenderungan melihat proses sejarah sebagai rangkaian-rangkaian episodik yang atomistis, bisa dipecah dan dilihat trennya dalam analisa statistik, sembari melupakan interaksi kompleks atas berbagai faktor politik, ekonomi, dan sosial yang melatarbelakangi suatu peristiwa politik. Pemahaman akan sejarah politik kita menjadi sebuah bekal yang penting untuk melihat bagaimana kontinuitas dan perubahan terjadi dalam politik kita dalam kurun waktu tertentu. Kesadaran akan sejarah ini menjadi penting bagi siapa saja, tidak hanya terbatas untuk kalangan ilmuwan politik maupun politisi; dalam konteks ini kita perlu mengingat orang-orang seperti Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki pemahaman sejarah yang kuat berdasarkan riset dan studi mendalam akan sejarah Indonesia.

Ketiga, kelemahan lain atas perspektif moralis dan bias aktor politik ini terlihat dalam abai atau enggannya melihat faktor-faktor struktural dalam memahami fenomena politik. Kasus korupsi juga perlu dilihat dalam kacamata struktural untuk membantu kita memahami lebih dalam mengapa setelah sekian tahun proses reformasi politik berjalan, korupsi masih menjadi permasalahan utama yang juga merambat ke sektor-sektor lain seperti politik lokal, kebijakan desentralisasi, hubungan agama-negara, profesionalisasi partai politik dan masih banyak bidang-bidang lain.

Page 16: Korupsi Dan Akibatnya

Di tengah kelemahan perspektif moralis ini, suatu pemahaman struktural akan korupsi bisa membantu kita lebih memahami merajalelanya praktek korupsi dan imbasnya terhadap memajukan praktek demokrasi di tanah air.

Dalam kaitannya dengan kasus LHI dan AU, analisa struktural diperlukan untuk lebih memahami persoalan ini secara lebih jernih. Sembari tetap mengawasi proses hukum dan kontestasi politik yang berkaitain dengan kedua kasus ini secara seksama, sebuah analisa structural, yang juga memperhatikan aspek kesejarahan, dapat membantu kita untuk memahami persoalan-persoalan seperti dinamika antar elit dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD), basis dukungan atas LHI dan AU dalam partai mereka masing-masing, latar belakang keorganisasian dari kedua tokoh tersebut, dan hubungan politik patronase dan bentuk-bentuk praktek politik yang berpotensi mempromosikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) oleh dua aktor politik tersebut. Tentu saja, tugas ini tidak mudah, terutama di tengah berbagai pemberitaan oleh media massa mainstream yang mewakili pengaruh kapital dan kepentingan politik tertentu.

Analisa Stuktural-Historis atas Korupsi dan Berbagai Fenomena Politik Lainnya

Beberapa studi terbaru dalam ilmu politik, terutama dalam konteks politik negara berkembang, sesungguhnya sudah menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek struktur dan sejarah atas proses-proses politik, karena aktor-aktor politik tidak muncul secara tiba-tiba dari kevakuman sejarah dan lepas dari konteks struktural. Sebaliknya, aktor-aktor politik selalu terkait dengan konteks struktural dan sejarah di mana mereka berpolitik.

Studi Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy, misalnya, menekankan bagaimana oligarki dapat bertahan dalam struktur politik yang demokratis. Menurut Winters, oligarki, yang diartikan sebagai politics of wealth defense, atau politik pembelaan dan perlindungan atas kekayaan dan harta yang dilakukan oleh para oligark, atau lapisan super kaya dalam sebuah masyarakat, dapat eksis dalam berbagai jenis rejim politik sepanjang sejarah, baik otoriter maupun demokratis, dari mulai zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi hingga zaman politik modern di Amerika Serikat maupun Indonesia. Perilaku koruptif para elit politik, dalam kacamata ini, dapat dilihat sebagai tendensi para elit politik untuk menjadi bagian dari oligarki itu sendiri atau untuk menjadi proxy atau perantara atas kepentingan para oligark.

Yang tidak kalah penting dari aspek struktural dalam analisa politik adalah aspek material dalam konteks struktural, seperti akses ke uang dalam proses politik, seperti untuk pendanaan kampanye dan biaya operasional berpolitik. Dalam suatu wawancara, ilmuwan politik Marxis-Empirisis terkemuka Adam Przeworski (2003) menyatakan bahwa dalam mempelajari demokrasi, salah satu hal yang terpenting adalah mempelajari bagaimana akses ke uang dalam proses politik. Menurut Przeworski, kekuatan ekonomi (economic power) baik dalam bentuk akses dan penguasaan kapital dapat diubah menjadi kekuatan politik (political power), dan juga sebaliknya, memperlihatkan keterkaitan antara kedua faktor tersebut. Kemudian, perlu diingat bahwa sumber daya material dalam sebuah arena politik tidaklah sama bagi tiap-tiap kelompok, dan pemahaman ini menjadi penting dalam memahami pertarungan antar para aktor politik dalam merebut kuasa.

Page 17: Korupsi Dan Akibatnya

Sedangkan dari aspek kesejarahan, studi Dan Slater (2010) dalam bukunya Ordering Power, menunjukkan bagaimana respon elit terhadap gejolak politik massa menentukan bentuk rejim politik negara-negara di Asia Tenggara. Ketakutan para elit atas gejolak politik massa yang menuntut kebijakan-kebijakan redistribusionis, misalnya, akan mendorong para elit untuk menguatkan aliansi di antara mereka dan membentuk rejim otoriter. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi, kita dapat menggunakan kesadaran kesejarahan semacam ini untuk melihat bagaimana perilaku elit politik kita menanggapi berbagai gerakan sosial yang mendukung pemerintahan bersih dan tekanan publik atas para elit politik. Secara jangka panjang, kita perlu melihat pola interaksi antara negara, elit politik, dan masyarakat berkaitan dengan tindakan atas kasus korupsi. Bagi massa dan gerakan sosial, tentu saja ini penting untuk merumuskan strategi politik seperti apa yang efektif untuk tidak hanya menekan para elit, tetapi juga memberlakukan batasan-batasan struktural yang efektif atas perilaku koruptif mereka.

Dalam konteks politik lokal dan reformasi institusi atau kelembagaan, fenomena korupsi ini juga membuat pesan Vedi Hadiz (2004) dalam artikelnya berjudul Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspective  menjadi semakin relevan. ‘Demokratisasi,’ dalam artiannya yang teknis, ‘non-partisan,’ teknokratis, dan seringkali diboncengin oleh agenda-agenda ekonomi Neoliberal tidaklah cukup. Elitisme di tingkat lokal dan nasional, marginalisasi aspirasi-aspirasi rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan, terutama di tingkat lokal, merupakan segelintir agenda yang tidak tersentuh oleh reformasi kelembagaan. Dengan kata lain, reformasi kelembagaan saja tidak cukup. Eksistensi partai politik dan adanya mekanisme politik elektoral per se, bukan berarti selesainya masalah jikalau elit-elit tertentu masih mendominasi proses politik, patrimonialisme dan patronase masih bercokol, serta negara dan partai politik masih didominasi oleh agenda-agenda elitis dan logika kuasa dan kapital yang oligarkis.

Penutup

Kasus korupsi LHI dan AU hanya merupakan puncak dari ‘Gunung Es’ permasalahan politik di Indonesia. Andaikata media massa seperti televisi dan surat kabar memiliki kolom yang lebih realistis, seperti laporan tentang kesenjangan sosio-ekonomi dan daftar nama para aktor politik yang bermasalah, tentu kita dapat lebih menyadari bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan panjang.

Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa kasus korupsi LHI dan AU ini. Pertama, membangun partai politik bukanlah sebuah hal yang mudah, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini. Partai politik dari berbagai spektrum perlu belajar mengenai bagaimana membangun gerakan politik dan tidak hanya hadir dalam pemilu atau proses-proses politik yang bersifat seremonial belaka. Parpol juga perlu berbenah diri dalam memerangi praktek korupsi, memperluas basis keanggotaan dan dukungan di akar rumput, serta sumber-sumber pendanaan yang mandiri, lebih akuntabel, dan demokratis.

Kedua, kondisi politik di Indonesia menyadarkan kita bahwa semakin penting untuk menyadari dan memahami secara serius negara dan partai sebagai situs perjuangan kelas. Literatur-literatur filsafat dan politik Kiri-progresif sudah mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan merebut negara dan proses politik elektoral. Indonesia pasca-Order Baru yang sedang menjalani

Page 18: Korupsi Dan Akibatnya

proses demokratisasi menjadi sebuah kesempatan dan laboratorium untuk menguji dan merefleksikan kembali pemahaman-pemahaman kita atas sebuah visi politik yang progresif dan emansipatoris.

Ketiga, yang terakhir dan tidak kalah penting, sebelum ‘merebut negara’ dan menggunakan kesempatan proses demokrasi elektoral (baca: borjuis), gerakan sosial dan massa pertama-tama perlu menyadari dan me-ruqyah, mengusir tendensi koruptif dan oligarkis dalam gerakan sendiri. Robert Michels (1911) menunjukkan tendensi tersebut hadir dalam beberapa partai-partai sosialis dan gerakan buruh di Eropa. Dalam konteks kita, sudah menjadi rahasia umum bahwa benih-benih tindakan korupsi terlihat dan bahkan dipupuk dalam banyak organisasi pelajar ekstra kampus dan dunia masyarakat sipil (civil society).

Dalam proses mengatasi masalah dan gejala korupsi, kita sebagai bagian dari massa bisa berkontribusi dalam proses tersebut dengan memulai membersihkan halaman belakang kita sendiri dulu.***

Penulis berterima kasih atas diskusi dan masukan dari rekan Coen Husain Pontoh mengenai pentingnya perspektif struktural dalam analisa politik.

KORUPSI SEBAGAI SEBUAH BUDAYA? ( Sebuah Telaah Filosofis Atas Fenomena Korupsi Di Indonesia) oleh Furmensius Andi (Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang): 01-07-2010, Dibaca: 6523kali

Pengantar

Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.  

Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih  di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi seolah-olah bukanlah sebuah lagi sebuah tindakan yang diharamkan

Page 19: Korupsi Dan Akibatnya

oleh agama manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang.

Dalam tulisan ini, Penulis mau mengkaji korupsi sebagai sebuah budaya. Mari’e Muhammad(Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VI pada masa Pemerintahan Orde Baru) mengatakan bahwa tindakan korupsi di Indonesia menjadi sebuah budaya.[1] Mungkin banyak orang yang menyetujui dan memiliki pemahaman yang sama dengan Mari’e. Sejauhmana korupsi itu bisa dikatakan sebagai sebuah budaya? Apakah pernyataan Mari’e di atas jika ditelaah secara filosofis bisa dibenarkan?   Apakah korupsi yang membudaya itu tidak bisa dikikis oleh nilai-nilai kebudayaan lain seperti agama, etika politik yang baik dan lain-lain?   

 

 Pengertian Korupsi dan Kebudayaan

Korupsi berasal dari kata corrupti(Latin) yang berarti  busuk, rusak atau dalam bentuk kata kerja corrumpere yang berarti  menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.  Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur : perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.[2]

Dengan demikian korupsi merupakan tindakan seorang pejabat publik untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tindakan itu justeru merugikan pihak lain atau umum(negara). Pejabat publik melakukan tindakan korupsi dengan sebuah kesadaran yang dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk membahagiakan dirinya atau kelompoknya.  Masalah  korupsi telah lama menimpa bangsa Indonesia.   

Kebudayaan memiliki beranekaragam pengertian bergantung pada sudut pandang masing-masing individu untuk menemukan sebuah pemahaman. Misalnya pertama, menurut Iris Varner dan Linda Beamer, kebudayaan adalah pandangan yang koheren tentang sesuatu: dasar hidup manusia, sikap mereka terhadap lingkungannya. Kedua, kebudayaan juga diartikan

Page 20: Korupsi Dan Akibatnya

sebagai totalitas dari sesuatu yang dipelajari yang muncul dalam tingkah laku. Ketiga, kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaaan, nilai dan simbol-simbol yang akan diteruskan dari generasi ke generasi. Keempat, kebudayaan terdiri dari pola-pola yang eksplisit dan implisit yang kemudian tercermin dalam simbol-simbol: tingkah laku, karya seni, dan lain-lain.[3]  

Namun para ahli filsafat, kebudayaan memiliki  aspek normatif  dan pembinaan nilai serta realisasi cita-cita hidup manusia.[4] Kebudayaan pada hakekatnya melekat dalam hakekat dan eksistensi dari manusia itu. Kebudayaan juga mencerminkan sifat esensi dari manusia yang melampaui batas-batas ruang dan waktu, yang tidak terikat pada sejarah dan tempat.[5] Jadi secara filosofis,  nilai-nilai sebagai yang khas dari manusia merupakan inti dari sebuah kebudayaan. Nilai-nilai yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh manusia menjadi sebuah kebudayaan baik bagi individu itu secara personal maupun kelompoknya. Kemudian usaha untuk merealisasikan cita-cita yang nampak dalam cara, strategi, jalan untuk mewujudkan cita-cita itu sendiri. Dengan demikian kebudayaan dalam arti filosofis sangat luas dan mulia. 

Dari definisi-definisi  kebudayaan di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan nilai-nilai hidup manusia dan norma-norma dalam masyarakat yang terungkap dalam simbol-simbol seperti ide, karya seni(patung, puisi), tata hukum, gaya hidup dan lain-lain. Pada dasarnya tingkah laku itu adalah khas untuk individu tertentu maupun untuk kelompok tertentu.  

 

Korupsi sebagai Budaya? 

Franz Magnis-Suseno mengemukakan hubungan antara korupsi dan nilai-nilai kebudayaan.  Korupsi  dapat dicari penyebabnya dalam nilai-nilai budaya tradisonal yang berkembang di masyarakat atau negara itu. Selanjutnya dia memberikan dua nilai budaya yang menunjang terjadinya korupsi yaitu personalistik dan rasa kekeluargaan, dan pengaruh feodalisme.[6] Nilai personalistik dan feodalisme tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat tertentu maka konsekuensinya korupsi yang ada dalam masyarakat itu akan tertanam kuat juga dan sulit untuk dihilangkan. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi nilai yang sungguh kental dalam masyarakat Indonesia. Rasa kekeluargaan yang tinggi melahirkan perilaku korupsi  di Indonesia seperti perilaku Soeharto dan keluarganya. Meskipun pada akhirnya Magnis-Suseno juga membantah pendapatnya  sendiri bahwa  pengembalian korupsi pada nilai-nilai budaya korupsi merupakan sebuah bentuk rasionalisasi. Sebab korupsi juga terjadi di zaman

Page 21: Korupsi Dan Akibatnya

modern ini(nilai-nilai modern telah berkembang). Namun Ia menganggap nilai-nilai tradisional hanya menentukan bentuk dan pola dari korupsi itu.[7] 

Kebudayaan juga bercirikan  turun-temurun  dari satu generasi ke generasi(pengertian kebudayaan bagian keempat di atas). Kebudayaan adalah hasil bersama yang melibatkan banyak generasi sebagai pendukung dan pengembangnya.[8] Korupsi yang telah terjadi di Indonesia berlangsung sejak masa pemerintahan Soeharto atau bahkan pada masa pemerintahan Soekarno. Sekarang korupsi tidak berkurang meskipun sebuah generasi baru muncul(reformasi) bahkan korupsi di era refomasi semakin besar. Boleh dikatakan korupsi merupakan warisan kebudayaan orde baru yang terus melekat dalam generasi reformasi sekarang ini. Soejanto Poespowardojo mengatakan bentuk-bentuk kebudayaan memiliki nilai relatif bukan hanya mengandung hal-hal yang sehat dan membangun hidup manusia tetapi juga mengandung unsur-unsur yang menghambat dan bahkan menghancurkan kehidupan masyarakat itu.[9]  Keinginan untuk memeroleh kehidupan pribadi seorang koruptor dengan menjalankan tindakan korupsi merupakan sebuah unsur budaya yang kurang sehat.  Sebab pada dasarnya perilaku korupsi bisa menghancurkan masyarakat baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budayanya. Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, moralitas para politisi yang kurang baik dan lain-lain.  

Selain itu kebudayaan juga memiliki nilai yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Misalnya sebuah barang peninggalan budaya masa lampau akan tetap terpelihara dalam masyarakat sekarang ini jika nilai kebudayaan itu menunjang kehidupan mereka. Korupsi didasarkan pada sebuah mentalitas untuk memeroleh kekayaan yang berlimpah dengan mudah dan dalam waktu yang cepat. Mentalitas instan seperti ini merupakan produk dari kebudayaan modern. Manusia memeroleh segala sesuatu dengan mudah dan cepat. Boleh dikatakan bahwa korupsi merupakan sebuah produk dari kebudayaan modern.  

Namun jika kita melihat pengertian kebudayaan dalam pemahaman  filosofis sangat berbeda. Soejanto Poespowardojo mengatakan kebudayaan pada hakikatnya adalah humanisasi yaitu proses peningkatan hidup yang lebih baik dalam lingkungan masyarakat yang manusiawi. Oleh karena itu nilai-nilai manusiawi menjadi dasar dan ukuran untuk langkah-langkah perkembangan dan pembangunan[10]. Jika pemahaman filosofis ini membedah perilaku korupsi sebagai sebuah budaya tidak akan menemukan benang merah yang jelas dan pasti. Korupsi merupakan sebuah perilaku yang melanggar tatanan nilai yang ada dalam masyarakat misalnya nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, kedamaian dan lain-lain. Nilai kejujuran yang telah berkembang dalam masyarakat bangsa Indonesia telah digantikan oleh sikap baru yaitu berbohong dan lain-lain. Nilai keadilan yang juteru menjadi salah  satu dasar dari kelima sila Pancasila telah digantikan sikap baru yaitu  mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dan

Page 22: Korupsi Dan Akibatnya

mengabaikan kepentingan umum. Sikap-sikap ketidakjujuran, egoistik adalah sebuah tindakan yang telah menghancurkan nilai-nilai kebudayaan nasional bangsa Indonesia.

Namun jika kita menelisik motif dari perilaku korupsi maka akan menemukan hubungannya meskipun secara tidak langsung. Korupsi pada dasarnya sebuah tindakan kriminal baik terhadap hukum maupun terhadap nilai yang ada dalam masyarakat. Sedangkan kebudayaan adalah sebuah nilai etis untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian tindakan korupsi dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.   Pada umumnya setiap orang yang melakukan korupsi dilatarbelakangi oleh keinginan personal atau kelompok tertentu untuk memeroleh bahagiaan(Bandingkan dengan pengertian dan motif  korupsi di atas). Kebahagiaan yang merupakan nilai diperjuangkan dan dicita-citakan oleh setiap orang agar ia memeroleh hidup yang layak sebagai seorang manusia. Maka korupsi merupakan instrumen untuk mengejar nilai  kebahagiaan itu. Keinginan untuk melakukan  korupsi salah satu sarana untuk merealisasikan cita-cita kebahagiaan hidupnya meskipun jalan yang ditempuh justru melanggar norma atau nilai yang ada dalam masyarakat itu. Jika kita menyimak motif korupsi ini maka kita akan menemukan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Unsur-unsur itu adalah nilai kebahagiaan yang justeru melekat dalam diri manusia itu sendiri dan adanya usaha untuk merealisasikan cita-cita kebahagiaan hidup. 

Korupsi juga telah melanggar etika politik itu sendiri. Etika politik merupakan salah satu segi nilai kebudayaan yang patut dikembangkan dalam sebuah negara. Jika para pejabat negara tidak mampu mencitptakan sebuah kebudayaan politik yang baik maka kebudayaan politik akan menjadi rusak. Sebuah cita-cita politik yang etis harus mampu menciptakan sebuah masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan bukan hanya monopoli orang-orang tertentu, kelompok atau etnis tertentu tetapi seluruh rakyat. Korupsi sebagai salah satu bentuk penyelewengan terhadap cita-cita sebuah masyarakat yang sejahtera dan merata. Sebab korupsi menciptakan penumpukkan kekayaan pada pribadi, kelompok tertentu.  Hanya pihak-pihak atau orang tertentulah yang mampu menikmati kelimpahan kekayaan.

Selain itu mentalitas korupsi yang mendarah daging bukanlah sifat hakiki yang ada dalam manusia. Mentalitas korupsi pada dasarnya tercipta oleh mentalitas modern seperti budaya konsumtif, easy going, tidak mau bekerja keras dan lain-lain. Sebagai sebuah mentalitas yang ditambahkan korupsi bisa dihilangkan dengan mengembangkan sebuah budaya tandingan seperti nilai-nilai agama. Setiap agama pasti mengembangkan nilai-nilai kerja keras, tanggung jawab, rasa bersalah dan lain-lain. Setiap orang harus mengusahakan nilai kerja keras untuk memeroleh kebahagiaan. Setiap orang akan merasa bahagia jika ia bisa menikmati hasil jerih payah yang merupakan buah dari kerja kerasnya sendiri.

Page 23: Korupsi Dan Akibatnya

 

Penutup

            Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki  diartikan sebagai sebuah tingkah laku  yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa Indonesia.  Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak  bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu.  

 

 

 

 

[1]Peringatan ini disampaikan Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia Mari’e Muhammad, tatkala membedah buku ‘Membasmi Korupsi’, karya Robert Klitgaard (17 Sept.1998) dalam http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html diakses 20 Mei 2010 

 

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemberantasan_korupsi_di_Indonesia diakses tanggal 20 Mei  2010  

[3] Bdk. Dr. Alo Liliweri, M.S, Makna Budaya Dalam Komunikasi AntarBudaya,Yogyakarta : LKIS, 2003, hal. 8-10.

Page 24: Korupsi Dan Akibatnya

[4] J W M Bakker, SJ, Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Kanisius, 1992, hal. 27.  

[5] Ibid., hal 134

[6] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal 126.

[7] Ibid., hal 128.

[8] Soerjanto Poespowardojo, Stategi Kebudayaan ; Suatu Pendekatan Filosofis, Jakarta : PT Gramedia, 1989, hal 220

[9] Ibid.,  hal 228.

[10] Ibid., hal. 220