KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK AGRIBISNIS KELAPA ...digilib.unila.ac.id/55003/3/TESIS TANPA...
Transcript of KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK AGRIBISNIS KELAPA ...digilib.unila.ac.id/55003/3/TESIS TANPA...
KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK
AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA
PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG (TESIS)
YUNI ELMITA SARI
PASCASARJANA AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
ABSTRACT
INSTITUTIONAL PERFORMANCE AND SUPPLY CHAIN OF
AGRIBUSINESS PALM OIL IN EFFORTS TO INCREASE FARMING
INCOME AND WELFARE IN TULANG BAWANG DISTRICT
By
YUNI ELMITA SARI
The research aims to determine : (1) institutional performance of oil palm
plantations,(2) fresh palm plantation supply chain, (3) transaction cost incurred by
oil palm farmer, (4) income earned by oil palm farmers, (5) welfare of palm oil
farmers. The research was conduced on august to September 2017 on Tulang
Bawang distric. The samples are taken from one hundred fiftytwo farmers who
take seventysix self-help palm oil farmers and seventysix plasma oil palm farmers
with proportional random sampling. The measurement of this study uses
quantitative descriptive analysis based on cooperative ranking guidelines. Supply
chains, revenues, transaction costs, and the level of welfare of people's palm oil
agribusiness were measured using quantitative desktiptif analysis. To compare the
pattern of plasma farmers and the patterns of independent smallholders, the level
of income and transaction costs are compared using a different test (t-test) while
the welfare level is compared using the mann whitneyy test. The results of the
research indicate that: 1) performance assessment of KUD palm oil included into
the less qualified cooperative type with total value of 253, (2) supply chain system
consisting of 3 streams ie flow of goods, the flow of money and the flow of
information, (3) plasma farmers incur smaller transaction costs than self-help
farmers, (4) plasma farmer's income is greater than self-help farmers because the
smallholders of the plantation management business are managed by the company
well with the payment system of cooperation that has been set so plasma farmers
have a certainty in obtaining the results of the agreement with the company, (5)
farmers self-help and plasma farmers are farmers who categorized prosperous
families.
Keywords: Institutional, cooperative, income, transaction costs, welfare.
ABSTRAK
KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK
AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA
PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG
Oleh
YUNI ELMITA SARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : (1) kinerja kelembagaan kelapa sawit
rakyat, (2) sistem rantai pasok tandan buah segar kelapa sawit rakyat, (3) biaya
transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat, (4) pendapatan yang
diperoleh petani kelapa sawit rakyat dan (5) kesejahteraan petani kelapa sawit
rakyat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan
September 2017. Jumlah responden sebanyak 152 petani yang terdiri dari 76
petani swadaya dan 76 petani plasma yang diambil secara acak. Pengukuran
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif berdasarkan pedoman
pemeringkatan koperasi. Rantai pasok, pendapatan, biaya transaksi, dan tingkat
kesejahteraan agribisnis kelapa sawit rakyat diukur menggunakan analisis
desktiptif kuantitatif. Untuk membandingkan pola petani plasma dan pola petani
swadaya maka tingkat pendapatan dan biaya transaksi dibandingkan
menggunakan uji beda (t-test) sedangkan tingkat kesejahteraan dibandingkan
menggunakan uji mann whitneyy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1)
penilaian kinerja KUD yang mengelola kelapa sawit di Kabupaten Tulang
Bawang termasuk kedalam jenis koperasi yang kurang berkualitas dengan jumlah
total penilaian sebesar 253, (2) sistem rantai pasok TBS kelapa sawit petani
plasma di Kabupaten Tulang Bawang lebih efektif dan efisien dibandingkan
petani swadaya baik dalam aliran barang, aliran uang maupun aliran informasi,
(3) petani plasma mengeluarkan biaya transaksi lebih kecil dari petani swadaya,
(4) pendapatan petani plasma lebih besar daripada petani swadaya karena petani
plasma pengelolaan usaha perkebunannya dikelola oleh perusahaan dengan baik
dengan sistem pembayaran kerjasama yang telah ditetapkan sehingga petani
plasma memiliki kepastian dalam memperoleh hasil dari kesepakatan dengan
perusahaan,(5) petani swadaya dan petani plasma merupakan petani yang
dikategorikan keluarga sejahtera.
Kata kunci : kinerja, koperasi, pendapatan, biaya transaksi,kesejahteraan.
KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK
AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA
PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG
Oleh
YUNI ELMITA SARI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS (M.Si.)
Pada
Program Studi Magister Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar Lampung, pada tanggal 07 Juni 1992 dari pasangan
Edward Kholik dan Milianah. Penulis adalah anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Dasar di SD N 5 Kelapa
Tujuh Kecamatan Kotabumi Selatan pada tahun 2004, tingkat Sekolah Menengah
Pertama di SMP N 7 Kotabumi pada tahun 2007, tingkat Sekolah Menengah Atas
di SMA N 2 Kotabumi pada tahun 2010, dan memasuki kuliah di Universitas
Lampung Fakultas Pertanian, Program Studi Agribisnis pada tahun 2010 dengan
jalur PKAB. Penulis menyelesaikan studi (S1) di jurusan Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2014. Kemudian tahun 2015 kembali
melanjutkan studi (S2) di Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas
Lampung.
Pada tahun 2017 penulis diterima bekerja sebagai Constumer Service Bank
Rakyat Indonesia. Kemudian di tahun 2017 penulis mendapatkan Beasiswa Tesis
dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas
Lampung.
SANWACANA
Bismillahirohmanirrahim,
Alhamdullilahirobbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunia NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Sholawat beriring
salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW teladan bagi
seluruh umat manusia, semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya.
Banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasehat, serta saran-
saran yang membangun dalam penyelesaian tesis ini, yang berjudul “Kinerja
Kelembagaan dan Rantai Pasok Agribisnis Kelapa Sawit Rakyat dalam
Upaya Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani di Kabupaten
Tulang Bawang ”. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis mengucapkan
terimah kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.,sebagai Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung yang telah memberikan motivasi selama proses
penyelesaian tesis;
2. Prof. Dr. Mustofa Usman., Ph.D., sebagai Direktur Pascasarjana Universitas
Lampung yang telah memberikan motivasi selama proses penyelesaian tesis;
3. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., sebagai Ketua Program Studi
Pascasarjana Magister Agribisnis yang telah memberikan motivasi selama
proses penyelesaian tesis;
4. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.P., sebagai Dosen Pembimbing
pertama dan Dosen Pembimbing Akademik terbaik yang telah memberikan
bimbingan, motivasi, bantuan dan nasihatnya selama proses penyelesaian
tesis,
5. Dr. Ir. Dyah Aring Hepiana Lestari, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing
ke dua yang terbaik dan Kepala Laboratorium Analisis Agribisnis, yang telah
memberikan bimbingan, motivasi,bantuan dan nasihatnya selama proses
penyelesaian tesis;
6. Dr. Ir. R. Hanung Ismono, M.P., sebagai Dosen Penguji atas segala saran,
arahan dan motivasi yang telah diberikan untuk penyelesaian tesis;
7. Mama, Bapak, Suami, Mama Mertua dan Papa Mertua serta adik-adik yang
telah memberikan kasih sayang serta senantiasa memberikan doa-doa terbaik
di setiap sholatnya.
8. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) yang telah
memberikan beasiswa hibah pasca untuk penelitian tesis;
9. Seluruh dosen dan karyawan di Program Studi Magister Agribisnis Fakultas
Pertanian (Mbak Ayi, Mbak Anisa, Mbak Iin, Mas Edi, , Mas Boim dan Mas
Riyadi) atas semua bantuan yang telah diberikan;
10. Seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Agribisnis
Angkatan 2014, 2015, 2016 (Ayas, Mbak Ulfa, Bang Fikri,Bang Berlian,
Bang Raden, Bang Ewin, Mbak oni, Mbak Bina, Andini) serta adik-adik
Agribisnis atas kebersamaan dan bantuan selama menuntut ilmu di almamater
tercinta Universitas Lampung;
11. Semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya tesis ini akan tetapi
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Mohon maaf atas segala kesalahan selama proses penulisan tesis ini. Semoga
Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan
Bandar Lampung, 16 Agustus 2018
Penulis
Yuni Elmita Sari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 12
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 14
1. Sistem Agribisnis ............................................................................ 14
2. Sistem Kelembagaan Agribisnis ...................................................... 17
3. Kemitraan ......................................................................................... 20
4. Kinerja Kelembagaan ....................................................................... 23
5. Koperasi ........................................................................................... 24
6. Sistem Rantai Pasok (Supply Chain) ............................................... 29
7. Pendapatan Usahatani ...................................................................... 32
8. Teori Biaya ....................................................................................... 33
9. Teori Biaya Transaksi ...................................................................... 35
10. Teori Kesejahteraan ......................................................................... 38
11. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 40
B. Kerangka Berpikir .................................................................................. 45
C. Hipotesis ................................................................................................ 49
III. METODE PENELITIAN
A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ................................................ 51
B. Metode, Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 55
C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ........................................... 57
ii
D. Metode Analisis Data ............................................................................. 57
VI. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Gambaran Umum Daerah Kabupaten Tulang Bawang ......................... 68
B. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Penawartama ............................ 70
C. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Gedung Aji Baru ...................... 71
D. Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Lampung ....................................... 73
E. Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera ...................................................... 75
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Responden ................................................................ 79
1. Umur Petani Responden ................................................................. 79
2. Pengalaman Berusahatani Kelapa Sawit Petani Responden ............ 80
3. Pekerjaan Sampingan Petani Responden ........................................ 81
4. Luas Lahan dan Status Kepemilikan Lahan Petani Responden ...... 82
5. Tanaman yang Diusahakan Petani .................................................. 83
6. Umur Tanaman Kelapa Sawit yang Diusahakan Petani ................. 84
B. Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten
Tulang Bawang ....................................................................................... 85
C. Kinerja Koperasi di Kabupaten Tulang Bawang .................................... 90
D. Sistem Rantai Pasok Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Rakyat
di Kabupaten Tulang Bawang ............................................................... 102
E. Biaya Transaksi yang Dikeluarkan oleh Petani Kelapa Sawit
Rakyat di Kabupaten Tulang Bawang .................................................. 108
F. Pendapatan Usahatani yang Diperoleh Petani Kelapa Sawit
Rakyat di Kabupaten Tulang Bawang ................................................... 112
G. Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten
Tulang Bawang ...................................................................................... 123
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................... 129
B. Saran ..................................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas lahan dan produksi kelapa sawit Pulau Sumatera tahun 2014 ............ 2
2. Jumlah petani pekebun swadaya di Provinsi Lampung tahun 2015 ............ 5
3. Luas areal dan produksi kelapa sawit menurut kabupaten/kota
di Provinsi Lampung tahun 2015 ................................................................. 6
4. Produksi Perkebunan Rakyat (PR) Kabupaten Tulang Bawang
tahun 2015 .................................................................................................... 7
5. Perbandingan efisiensi biaya transaksi melalui pasar
dan melalui koperasi .................................................................................... 37
6. Penelitian terdahulu ..................................................................................... 41
7. Indikator sosiometrik ................................................................................... 67
8. Aset yang dimiliki oleh KUD Krida Sejahtera pada tahun 2016 ................. 76
9. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan kelompok
umur di Kabupaten Tulang Bawang ............................................................ 79
10. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan lama
berusahatani di Kabupaten Tulang Bawang ................................................. 81
11. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan
pekerjaan sampingan di Kabupaten Tulang Bawang ................................... 83
12. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan
luas lahan di Kabupaten Tulang Bawang ..................................................... 82
13. Sebaran petani kelapa sawit berdasarkan tanaman yang diusahakan
di Kabupaten Tulang Bawang ...................................................................... 84
14. Sebaran petani kelapa sawit berdasarkan umur tanaman yang
diusahakan di Kabupaten Tulang Bawang ................................................... 85
15. Pengelolaan perkebunan petani swadaya dan petani plasma
di Kabupaten Tulang Bawang ...................................................................... 89
16. Penyelenggaraan rapat di KUD Krida Sejahtera .......................................... 90
17. Struktur permodalan KUD Krida Sejahtera ................................................. 93
18. Rasio likuiditas KUD Krida Sejahtera ......................................................... 94
iv
19. Rasio solvabilitas pada KUD Krida Sejahtera ............................................. 95
20. Penilaian kinerja KUD Krida Sejahtera ....................................................... 101
21. Prilaku pasar perkebunan kelapa sawit swadaya dan perkebunan
kelapa sawit plasma tahun 2017 ................................................................... 107
22. Biaya transaksi petani plasma dan petani swadaya selama
satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang ..................................................... 110
23. Hasil analisis uji beda (independent T-test) biaya transaksi petani
kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ................................ 112
24. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Desa Makartitama
periode Juli 2017 ........................................................................................... 113
25. Rincian biaya perkebunan petani plasma Desa Makartitama
periode Juli 2017 .......................................................................................... 113
26. Perincian hutang-hutang petani plasma Desa Makartitama
periode Juli 2017 ........................................................................................ 114
27. Pendapatan perkebunan kelapa sawit plasma Desa Makartitama
periode Juli 2017 .......................................................................................... 115
28. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usaha perkebunan
kelapa sawit petani swadaya di Kabupaten Tulang Bawang ....................... 117
29. Rata-rata penerimaan, biaya, dan pendapatan petani kelapa sawit
swadaya selama satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang .......................... 120
30. Rata-rata pendapatan per hektar petani plasma dan petani swadaya
selama satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang ........................................ 121
31. Hasil analisis uji beda (independent T-test) tingkat pendapatan
petani kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ...................... 122
32. Sebaran tingkat kesejahteraan petani plasma dan petani swadaya
di Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan indikator sosiometrik .............. 127
33. Hasil analisis uji Mann Whitney tingkat kesejahteraan petani
kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ................................ 128
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram sistem agribisnis menurut Saragih (2010). .................................... 16
2. Kerangka berpikir kinerja kelembagaan dan rantai pasok
sistem agribisnis kelapa sawit rakyat dalam upaya peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani di Kabupaten Tulang Bawang .......... 50
3. Struktur Organisasi KUD Krida Sejahtera .................................................... 77
4. Alur aliran barang TBS (Tandan Buah Segar) perkebunan swadaya .......... 103
5. Alur aliran barang TBS (Tandan Buah Segar) perkebunan plasma ............. 103
6. Aliran uang pola perkebunan swadaya ........................................................ 104
7. Aliran uang pola perkebunan plasma ........................................................... 104
8. Aliran informasi perkebunan swadaya ......................................................... 105
9. Aliran informasi perkebunan plasma ........................................................... 105
10. Saluran tataniaga perkebunan kelapa sawit tahun 2017 ............................... 106
11. Perkembangan produksi per hektar dan harga Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit petani swadaya di Kabupaten Tulang Bawang ....................... 118
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada akhir dekade ini
menjadi salah satu titik perhatian pemerintah Indonesia. Pemerintah
menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sumber devisa
negara. Hal tersebut dikarenakan perkebunan kelapa sawit mampu
menciptakan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan petani, dan daya
saing penyediaan bahan pangan. Menurut Kementerian Pertanian (2008),
secara umum dapat diindikasikan bahwa pengembangan agribisnis kelapa
sawit masih mempunyai prospek, ditinjau dari harga, ekspor dan
pengembangan produk.
Di Indonesia ada tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan
rakyat, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta
dengan total luas areal tahun 2014 luas kebun kelapa sawit 10.754.801
hektar (Tabel 1). Pulau Sumatera berperan penting terhadap suplai kelapa
sawit di Indonesia dan dunia. Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia
Tahun 2014 sebesar 63,26 persen berada di Pulau Sumatera. Persentase
produksi Pulau Sumatera berbanding dengan total wilayah seluruh Indonesia
adalah sebesar 68,7 persen (Tabel 1).
2
Tabel 1. Luas lahan dan produksi kelapa sawit Pulau Sumatera tahun 2014
No Provinsi
Jumlah/Total
Luas areal (ha) Produksi (ton)
1 Aceh 420.173 945.617
2 Sumatera Utara 1.396.273 4.870.202
3 Sumatera Barat 376.474 924.813
4 Riau 2.290.736 6.993.241
5 Kepulauan Riau 19.001 45.001
6 Jambi 692.967 1.773.735
7 Sumatera Selatan 923.002 2.791.810
8 Kep. Bangka Belitung 206.207 516.597
9 Bengkulu 293.800 798.818
10 Lampung 184.914 455.904
Wilayah Sumatera 6.803.547 20.115.744
Total Indonesia 10.754.801 29.278.189
Persentase Lampung-Indonesia % 1,719 1,557
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2015.
Pada dasarnya pengembangan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit
di Pulau Sumatera memiliki tiga konsep, yaitu pola Perkebunan Inti Rakyat
(PIR), pola Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP), dan terakhir adalah
pola swadaya (Wahyuningsih, 2007). Pola PIR adalah pola pengembangan
perkebunan perkebunan rakyat dan pemasaran hasil dalam satu sistem
kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar
bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat
sebagai plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri
juga berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi
kebun plasma untuk diolah lebih lanjut.
Penerapan proyek PIR dengan berbagai bentuk atau pola pada dasarnya
bertujuan memecahkan masalah kemiskinan yang dihadapi perkebunan
rakyat yaitu: (1) miskin aset diatasi dengan mengadakan pembagian tanah
3
kepada masing- masing petani (untuk tanaman perkebunan seluar 2 hektare
dan untuk perumahan/pekarangan seluas 1 hektare), (2) miskin modal diatasi
dengan penyediaan paket kredit yang mempunyai prosedur sederhana dan
bersyarat lunak, (3) miskin sifat pioner diatasi dengan menggerakkan dan
mengarahkan petani ikut serta membangun kebun melalui proyek PIR, (4)
miskin iptek diatasi dengan memberi bimbingan dan pelatihan intensif
kepada petani peserta dalam rangka mengembangkan kegiatan usaha
perkebunannya, (5) miskin akses diatasi dengan menghubungkan petani ke
berbagai lembaga terkait dengan bantuan organisasi proyek, dan (6) miskin
motif ekonomi diatasi dengan membimbing dan menerapkan peraturan
pengembalian kredit, sertifikasi tanah (Ahmad, 1998).
Pada dasarnya baik perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta masih
terkendala dalam hal kinerja. Kinerja kelembagaan dinilai lemah karena
pada dasarnya peran serta kelembagaan dalam pendorong produksi dan
pendapatan petani masih rendah. Menurut Wahyuningsih (2007)
ditetapkannya pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dalam pengembangan
agribisnis dimana, terdapat perusahaan inti yang membangun usaha dan
fasilitas untuk petani plasma, mengolah dan memasarkan hasil produksi
petani plasma. Petani plasma berkewajiban mengelola usahanya dengan
sebaik-baiknya dengan koperasi sebagai mitra yang menjalankan
usahataninya seperti pemupukan, pemeliharaan kebun dan pemanenan,
menjual hasil kepada perusahaan inti melalui koperasi, pembayaran hasil
produksi kebun melalui koperasi serta membayar hutang yang telah
4
dibebankan kepadanya juga melalui koperasi. Pada pelaksanaannya pola
PIR banyak mengalami hambatan terutama hambatan non teknis.
Kelembagaan sangat berperan penting dalam sistem agribisnis kelapa sawit.
Menurut Wahyuningsih (2007) begitu panjang rantai pemasaran dari
produsen agar produk sampai ke konsumen melewati banyak lembaga dari
tempat penyimpanan, trasportasi, bongkar muat, pedagang besar, pengecer,
dan konsumen. Hal ini mengakibatkan biaya pemasaran menjadi tinggi,
sehingga produk menjadi mahal sampai ke tangan konsumen. Tingginya
harga akan mengurangi daya saing produk tersebut di pasaran. Tanpa
mempertentangkan antara prinsip ”ekonomi pasar” dengan ”intervensi
pemerintah” sektor pertanian Indonesia masih memerlukan perlindungan
pemerintah menghadapi pelaku bisnis kuat dan pasar bebas.
Provinsi Lampung juga berkontribusi terhadap produksi kelapa sawit
nasional yang dapat dilihat pada Tabel 1. Persentase luas lahan dan produksi
Provinsi Lampung terhadap nasional kelapa sawit hanya sebesar 1,7 persen.
Walaupun persentase tersebut masih terbilang kecil, namun kontribusi
ekspor minyak kelapa sawit dibandingkan komoditas perkebunan lainnya
untuk Provinsi Lampung cukup besar yakni sebesar 31 persen (BAPPEDA
Provinsi Lampung, 2014).
Petani di Provinsi Lampung terdiri dari tiga yaitu petani yang mengolah
sendiri kebun kelapa sawitnya tanpa campur tangan pihak lain; petani yang
kebunnya diolah oleh koperasi sebagai mitra; serta petani yang ikut bermitra
5
dengan koperasi namun tetap menjadi buruh diperkebunan untuk menambah
penghasilannya. Jumlah petani dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah petani pekebun swadaya di Provinsi Lampung tahun 2015
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2015.
Jumlah pekebun kelapa sawit di Provinsi Lampung yakni sebanyak 98.978
petani terlihat pada Tabel 2. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa tidak
sedikit warga di Provinsi Lampung yang menggantungkan hidupnya dari
pendapatan perkebunan kelapa sawit.
Potensi perkebunan kelapa sawit berdasarkan luas dan jumlah produksi di
Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 3. Kabupaten yang memiliki
luas lahan kelapa sawit terbesar terdapat di tiga kabupaten yaitu Mesuji,
Tulang Bawang, dan Lampung Tengah. Berdasarkan potensi daerah maka
No. Kabupaten Luas areal (ha) Jumlah
(ha)
Produksi
(ton)
Jumlah
Petani
(orang) TBM TM TR
1 Lampung Selatan 1.222 7.490 25 8.737 17.032 8.762
2 Lampung Tengah 3.290 15.583 262 19.135 45.773 16.608
3 Lampung Timur 3.931 3.043 541 7.515 8.955 6.639
4 Lampung Utara 2.255 5.399 374 8.028 4.555 2.509
5 Way Kanan 8.774 5.572 29 14.375 14.697 20.536
6 Lampung Barat 17 9 0 26 16 26
7 Tulang Bawang 3.890 14.937 95 18.922 38.992 12.409
8 Tanggamus 15 12 0 27 36 26
9 Bandar Lampung 15 48 1 64 144 3.000
10 Pesawaran 71 504 0 575 614 176
11 Pringsewu 439 698 176 1.313 1.566 1.807
12 Tulang Bawang
Barat 1.160 3.338 1 4.499 5.217 5.500
13 Mesuji 6.606 14.980 0 21.586 23.081 14.392
14 Metro 0 2 0 2 3 6
15 Pesisir Barat 264 6.286 32 6.582 14.380 6.582
Provinsi Lampung 31.949 77.901 1.536 111.386 175.061 98.978
6
penelitian ini mengambil Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah
penelitian.
Tabel 3. Luas areal dan produksi kelapa sawit menurut kabupaten/kota di
Provinsi Lampung tahun 2015
Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2015.
Pertimbangan memilih Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah penelitian
karena berdasarkan hasil survei Kabupaten Tulang Bawang memiliki dua
pola kelembagaan dalam pengusahaan kelapa sawit yakni petani swadaya
dan petani plasma. Pola petani plasma yang ada di Kabupaten Tulang
Bawang ini adalah petani kelapa sawit yang bermitra dengan PKS Sumber
Indah Perkasa dan dikelola oleh KUD Krida Sejahtera dengan jumlah petani
plasma yakni 17.255 anggota.
Berdasarkan data BPS (2015) dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa, jumlah keseluruhan total produksi di Kabupaten Tulang Bawang
sebesar 38.992 ton. Penelitian ini selanjutnya mengambil kecamatan yang
No Kabupaten/Kota Jumlah luas areal Jumlah produksi
(ha) (ton)
1 Mesuji 78.161 218.238
2 Tulang Bawang 36.672 95.548
3 Lampung Tengah 33.267 90.589
4 Way Kanan 28.765 41.617
5 Lampung Selatan 13.652 35.331
6 Lampung Utara 19.186 19.757
7 Pesisir Barat 6.582 14.379
8 Tulang Bawang Barat 7.643 10.732
9 Lampung Timur 7.592 8.897
10 Lampung Barat 2.480 6.333
11 Pesawaran 1.587 3.172
12 Pringsewu 1.337 1.562
13 Bandar Lampung 64 48
14 Tanggamus 30 36
15 Metro 1 3
Total 237.019 546.242
7
memiliki potensi terbesar yang ada di Kabupaten Tulang Bawang yaitu di
Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan Gedung Aji Baru.
Tabel 4. Produksi Perkebunan Rakyat (PR) KabupatenTulang Bawang tahun
2015
No Kecamatan
Luas
Lahan
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah
Petani
(orang)
1 Menggala 202 212 2.232 132
2 Gedung Aji Baru 1.994 5.219 2.678 1.303
3 Banjar Agung 625 1.561 2.530 408
4 Gedong Aji 948 2.138 2.689 620
5 Gedong Meneng 1.133 2.795 2.586 741
6 Penawar Tama 5.003 11.898 2.686 3.270
7 Rawa Jitu Selatan 252 665 2.639 165
8 Meraksa Aji 462 1.275 3.000 302
9 Banjar Margo 858 2.096 2.443 571
10 Penawar Aji 893 971 2.848 594
11 Dente Teladas 1.893 1.983 2.479 1.247
12 Rawa Pitu 1.520 2.471 2.271 993
13 Menggala Timur 1.687 3.611 2.841 1.113
14 Banjar Baru 1.452 2.097 2.240 950
Jumlah 18.922 38.992 36.162 12.409
Sumber : Badan Pusat Statistik , 2016.
B. Rumusan Masalah
Pengembangan kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung dimulai pada tahun
1990–an yang dikaitkan dengan program transmigrasi lokal. Pengembangan
kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang dimulai pada tahun 1993,
melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan sebagai inti adalah
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sumber Indah Perkasa. Namun, pengembangan
kelapa sawit rakyat selanjutnya setelah tahun 2000-an program PIR sudah
ditiadakan didaerah penelitian dan hanya menyisakan anggota petani PIR
8
lama yang masih bermitra dan petani yang baru mengusahakan kelapa sawit
hanya berupa petani pola swadaya atau mandiri.
Pada pola plasma, petani tidak perlu menyediakan modal usahatani. Petani
cukup menyediakan lahan usahatani. Petani dalam menjalankan
usahataninya memperoleh bantuan dari perusahaan inti berupa bibit, pupuk,
pestisida dan memperoleh bimbingan dari perusahaan inti, tetapi hasil
produk kelapa sawitnya harus dijual ke perusahaan inti. Pada pola swadaya
maka semua modal usahatani bersumber dari petani sendiri dan petani
mempunyai kebebasan untuk menjual hasil berupa Tandan Buah Segar
(TBS) kelapa sawit kepada pedagang. Hal tersebut berakibat produktivitas
kelapa sawit rakyat lebih rendah dibanding produktivitas perkebunan besar.
Produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibanding
produktivitas kelapa sawit kebun petani swadaya. Berbeda dengan petani
plasma yang memperoleh dukungan dari perusahaan inti, umumnya petani
swadaya membudidayakan sawitnya tanpa kerjasama dengan pihak lain.
Pada proses pemasaran TBS kelapa sawit, PKS adalah konsumen akhir.
Berbeda dengan petani plasma yang sudah ada ikatan penjualan hasil dengan
perusahaan inti dan penetapan harga jual TBS ditentukan berdasarkan
peraturan dan melibatkan pemerintah daerah (Dinas Perkebunan). Pada
petani swadaya harga yang diterima petani sangat tergantung dari harga beli
dari pedagang pengumpul atau di Lampung yang sering disebut “agen”.
Rantai pemasaran TBS petani plasma lebih pendek yaitu TBS dari kebun
petani dibawa ke koperasi dan langsung ke PKS. Dengan demikian ada
9
distorsi harga antara harga TBS yang diterima petani plasma dengan harga
yang diterima petani swadaya. Untuk itu perlu dianalisis bagaimana supply
chain TBS kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung.
Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai pasok yakni
hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling
mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu
komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup
pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi
antar pelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas
maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.
Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola
perdagangan umum dan pola kemitraan. Penelitian ini membatasi
kelembagaan yakni berupa koperasi yang bermitra dengan petani plasma
yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) Krida Sejahtera milik PKS Sumber Indah
Perkasa yang ada di daerah penelitian. Pola kelembagaan yang berbeda di
Kabupaten Tulang Bawang akan berakibat pada perbedaan biaya yang
dibutuhkan untuk pengeluaran usahatani kelapa sawit di daerah tersebut.
Perbedaan biaya tersebut dikarenakaan adanya perbedaan pola rantai pasok
(supply chain) pada masing-masing petani baik petani swadaya dan petani
plasma. Perbedaan rantai pasok (supply chain) ini akan berdampak pada
berbedanya struktur, perilaku, dan keragaan pasar Tandan Buah Segar
kelapa sawit di Kabupaten Tulang Bawang.
10
Alur rantai pasok yang panjang akan menambah biaya pengusahaan kelapa
sawit. Dalam teori biaya dikenal pula konsep biaya transaksi dimana konsep
biaya transaksi ini adalah jumlah biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam
setiap transaksi. Hendar dan Kusnadi (2002) menyatakan bahwa biaya
transaksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal lembaga
dimana dalam penelitian ini baik berupa petani swadaya ataupun petani
plasma yang bermitra dengan koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak
dapat dipandang dari sudut efisiensi yang berhubungan dengan biaya
produksi, tetapi lebih mengarah pada efisiensi yang berhubungan dengan
biaya transaksi. Jika dengan adanya koperasi sebagai lembaga yang terkait
mampu mengurangi biaya transaksi maka peluang petani masuk kepasar
dengan harga yang bersaing lebih besar. Dengan adanya koperasi
diharapkan petani dapat menekan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan
untuk mengusahakan kelapa sawit, dalam penelitian ini maka akan dilihat
bagaimana kinerja kelembagaan terhadap besarnya biaya transaksi yang
dikeluarkan oleh petani baik petani swadaya dan petani plasma.
Jika biaya yang dikeluarkan oleh petani berbeda-beda hal tersebut juga akan
berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diperoleh petani.
Pendapatan diperoleh dari penerimaaan dikurangi oleh biaya- biaya selama
proses produksi. Biaya dalam penelitian ini adalah total keseluruhan biaya
yang dikeluarkan dimana terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan biaya
transaksi. Teori pendapatan merupakan alat analisis yang digunakan untuk
melihat apakah usahatani kelapa sawit yang berkembang selama ini sudah
11
dapat dikatakan menguntungkan berkaitan dengan adanya kelembagaan
yang berkembang di Kabupaten Tulang Bawang.
Pendapatan yang diperoleh oleh petani juga akan berpengaruh dengan
tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang
Bawang. Pendapatan yang tinggi akan membuat petani dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang layak dirinya dan anggota keluarganya.
Setelah munculnya permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1) Bagaimanakah pengelolaan perkebunan petani kelapa sawit rakyat di
Kabupaten Tulang Bawang?
2) Bagaimanakah kinerja koperasi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang?
3) Bagaimanakah sistem rantai pasok Tandan Buah Segar kelapa sawit
rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani
plasma) di Kabupaten Tulang Bawang?
4) Berapakah biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit
rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani
plasma di Kabupaten Tulang Bawang?
5) Berapakah pendapatan usahatani yang diperoleh petani kelapa sawit
rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani
plasma) di Kabupaten Tulang Bawang?
6) Bagaimanakah kesejahteraan petani kelapa sawit rakyat dengan pola
perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani plasma) di
Kabupaten Tulang Bawang?
12
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1) Mengkaji pengelolaaan perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di
Kabupaten Tulang Bawang.
2) Mengkaji kinerja koperasi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.
3) Mengkaji sistem rantai pasok Tandan Buah Segar kelapa sawit rakyat
dengan pola perkebunan yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.
4) Mengkaji biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit
rakyat dengan pola perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani
plasma) di Kabupaten Tulang Bawang.
5) Mengkaji pendapatan usahatani yang diperoleh petani kelapa sawit
rakyat dengan pola perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani
plasma) di Kabupaten Tulang Bawang.
6) Mengkaji kesejahteraan petani kelapa sawit rakyat dengan pola
perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani plasma) di Kabupaten
Tulang Bawang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi
berbagai lembaga yang terkait dengan agribisnis kelapa sawit :
1) Bagi masyarakat diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai pola
pengusahaan kelapa sawit yang menguntungkan sehingga dapat
membantu mengsejahterakan masyarakat khususnya petani kelapa sawit
di Kabupaten Tulang Bawang.
13
2) Bagi pemerintah diharapkan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan
kebijakan program pengembangan agribisnis kelapa sawit serta
memberikan dan menciptakan informasi yang lebih baik untuk penelitian
selanjutnya yang menitikberatkan pada kelembagaan agribinis kelapa
sawit.
3) Bagi peneliti lain dapat memberikan gambaran dan sumbangan
pengetahuan mengenai kinerja kelembagaan agribisnis kelapa sawit
dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di
Kabupaten Tulang Bawang.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Agribisnis
Agribisnis merupakan suatu model yang mencakup sistem dari kegiatan pra-
dan budidaya, panen, pasca panen dan pemasaran serta sektor penunjangnya
sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi kuat satu dan lainnya serta sulit
dipisahkan. Agribisnis mencakup tiga hal, yaitu agribisnis hulu, on-farm
agribisnis, dan agribisnis hilir. Agribisnis hulu adalah industri- industri
yang menghasilkan sarana produksi (input) pertanian, seperti industri
agrokimia, industri agrootomotif dan industri pembibitan. On-farm
agribisnis adalah pertanian tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman
obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan air tawar serta
kehutanan. Industri hilir pertanian atau disebut juga agribisnis hilir adalah
kegiatan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi produk- produk
olahan, baik produk antara maupun produk akhir (Saragih, 2010).
Adapun kelima mata rantai atau subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, seperti bibit,
pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian. Subsistem penyediaan
sarana produksi menyangkut kegiatan pengadaan dan penyaluran.
15
Kegiatan ini mencakup perencanaan, pengelolaan dari sarana produksi,
teknologi dan sumberdaya agar penyediaan sarana produksi atau input
budidaya memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat
mutu dan tepat produk. Kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana
produksi dilakukan oleh perseorangan, pengusaha swasta, koperasi, dan
lembaga pemerintah.
2) Subsistem usahatani
Subsistem usahatani menghasilkan produk pertanian berupa bahan
pangan, hasil perkebunan, buah-buahan, hasil ternak, bunga dan tanaman
hias. Pelaku dalam subsistem ini adalah produsen yang terdiri dari
petani, peternak, pengusaha tambak, pengusaha perkebunan, dan
pengusaha tanaman hias.
3) Subsistem Pemasaran
Subsistem pemasaran mencakup pemasaran hasil-hasil budidaya dan
agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama
subsistem ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan
market intelligence pada pasar domestik dan pasar luar negeri.
4) Subsistem Agroindustri/ pengolahan hasil
Lingkup kegiatan ini tidak hanya aktivitas pengolahan sederhana di
tingkat petani tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari
penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat
pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added atau
nilai tambah dari produksi primer tersebut. Dengan demikian proses
16
pengupasan, pembersihan, pengekstraksian, penggilingan, pembekuan,
pengeringan, dan peningkatan mutu.
5) Subsistem Penunjang
Subsistem ini merupakan penunjang kegiatan pra panen dan pasca panen
yang meliputi : pasar, sarana tataniaga , perbankan/ perkreditan,
penyuluhan agribisnis , kelompok tani, infrastruktur agribisnis, koperasi
agribisnis, BUMN, swasta, penelitian dan pengembangan , pendidikan
dan pelatihan
Sistem agribisnis merupakan sistem yang terpadu dan terkait antara satu
subsistem dengan subsistem lain dalam agribisnis. Keterkaitan antar
subsistem meliputi keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan
ke belakang (backward linkage). Bila satu subsistem terganggu, maka
keseluruhan sistem tidak berfungsi dengan baik (Saragih, 2010). Diagram
sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram sistem agribisnis menurut Saragih (2010).
Subsistem V
Lembaga Penunjang Agribisnis
Subsistem I
Pengadaan
dan
Penyaluran
Sarana
Produksi
Subsistem
II
Usahatani
Subsistem
III
Pengolahan
Subsistem
IV
Pemasaran
17
2. Sistem Kelembagaan Agribisnis
Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1)
kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3)
kelembagaan penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan air,
5) kelembagaan usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani, 7)
kelembagaan pemasaran, 8) kelembagaan penyedia informasi (Basuki et al.
2006). Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai
pasok yakni hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan
saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu
komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup
pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi
antarpelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas
maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.
Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola
perdagangan umum dan pola kemitraan. Ikatan antara petani dan pedagang
umumnya ikatan langganan, tanpa adanya kontrak perjanjian yang mengikat
antarkeduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan. Petani dan pedagang
pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman modal. Sedangkan
pola kemitraan rantai pasok pertanian adalah hubungan kerja di antara
beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau
kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat
kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan kewajiban pihak-
piihak yang terlibat (Marimin dan Maghfiroh, 2010).
18
Dalam bidang ilmu ekonomi, kelembagaan lebih banyak dilihat dari sudut
biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action).
Secara konsepsi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial yang
sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal
ini, ada dua pengertian kelembagaan yang sering digunakan oleh ahli dari
berbagai bidang, yaitu yang disebut institusi atau pranata dan organisasi.
Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu badan/ lembaga/
organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu, proses-proses kerja
dan budaya kerja yang erat dengan keterampilan dan kualifikasi individu
berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja dari individu-individu
yang mendukung kelembagaan tersebut. Beberapa lembaga pendukung
pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah:.
(a) Pemerintah
Lembaga pemerintah mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah,
memiliki wewenang, regulasi dalam menciptakan lingkungan agribinis
yang kompetitif dan adil.
(b) Lembaga pembiayaan
Lembaga pembiayaan memegang peranan yang sangat penting dalam
penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor hulu
sampai hilir. Penataan lembaga ini segera dilakukan, terutama dalam
membuka akses yang seluas-luasnya bagi pelaku agribisnis kecil dan
menengah yang tidak memilki aset yang cukup untuk digunkan guna
memperoleh pembiayaan usaha.
19
(c) Lembaga pemasaran dan distribusi
Peranan lembaga ini sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan
agribinis, karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan
antara defisit unit (konsumen pengguna yang membutuhkan produk)
dan surplus unit ( produsen yang menghasilkan produk).
(d) Koperasi
Peranan lembaga ini dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyalur
input-input dan hasil pertanian. Pada perkembangannya di Indonesia
KUD terhambat karena KUD dibentuk hanya untuk memenuhi
keinginan pemerintah, modal terbatas, pengurus dan pegawai KUD
kurang profesional.
(e) Lembaga Penyuluhan
Keberhasilan Indonesia berswasembada beras selama kurun waktu 10
tahun (1983-1992) merupakan hasil dari kerja keras lembaga ini yang
konsisiten memperkenalkan berbagai program, seperti Bimas, Inmas,
Insus, dan Supra Insus. Peranan lembaga ini akhir-akhir ini menurun
sehingga perlu penataan dan upaya pemberdayaan kembali dengan
deskripsi yang terbaik. Peranannanya bukan lagi sebagai penyuluh
penuh, melainkan lebih kepada fasilitator dan konsultan pertanian
rakyat.
(f) Lembaga Riset Agribinis
Lembaga ini jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan negara lain
yang dahulunya berkiblat ke Indonesia. Semua lembaga riset yang
terkait dengan agribinis harus diperdayakan dan menjadikan ujung
20
tombak untuk menghasilkan komoditas yang unggul dan daya saing
tinggi.
(g) Lembaga penjamin dan penanggungan resiko.
Resiko dalam agribisnis tergolong besar, namun hampir semuanya
dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang handal. Instrumen
heading dalam bursa komoditas juga perlu dikembangkan guna
memberikan sarana penjaminan bebagai resiko dalam agribisnis dan
industri pengolahannya.
3. Kemitraan
Memasuki era perdagangan bebas sekarang ini, pola kemitraan merupakan
salah satu konsep dalam melakukan kerjasama dalam melakukan usaha yang
sudah mulai dilakukan di banyak Negara. Peran pemerintah dalam
mengatur dan menjembatani pola kemitraan antara penguasaha besar,
menengah dan kecil diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan yang
menyebutkan bahwa. Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar
dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan
saling menguntungkan.
Kemitraan mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha
menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya
agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra
21
yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan. Syarat suatu
kemitraan itu sendiri terjadi dikarenakan kemitraan usaha haruslah
berdasarkan atas sukarela dan suka sama suka. Oleh karena itu, pihak- pihak
yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya
maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir
sebagai penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak
bisa jalan. Artinya, harapan yang satu terhadap yang lain tidak dapat
terpenuhi.
Pola kemitraan di Indonesia lebih banyak digunakan disektor perkebunan
dalam pengelolaan usahanya. Undang- Undang No.18 Tahun 2004 tentang
perkebunan menjelaskan yang dimaksud dengan perkebunan adalah segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media
tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan
barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan pengetahuan dan
teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dimuali sekitar tahun 1970-an
dengan dikembangkannya program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dalam
rangka akselerasi pembangunan perkebunan. Istilah yang digunakan adalah
Nubleus Estate Smallholder (NES). Kemudian istilah tersebut berubah
menjadi Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN), PIR-Trans dan
KKPA (Koperasi Kredit Primer untuk Anggota). Ketentuan Umum
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman
22
Perijinan Usaha Perkebunan Pasal 1 ayat 20, ayat 21 dan ayat 22
menjelaskan. Perusahaan Inti Rakyat, Perusahaan Inti Rakyat- Transmigrasi
selanjutnya disebut PIR-TRANS, Perusahaan Inti Rakyat- Kredit Koperasi
Primer untuk Anggota selanjutnya disebut PIR- KKPA.
Membangun perkebunan kelapa sawit, perusahaan sawit diwajibkan untuk
menggunakan pola kemitraan. Pola kemitraan usaha perkebunan sendiri
diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No 940/Kpts/OT.210/10/1997
tentang pedoman kemitraan usaha petanian. Keputusan Menteri Pertanian
ini menjelaskan bahwa kemitraan usaha pertanian dapat dilakukan dengan
pola: inti plasma, sub kontrak dagang umum, keagenan, pola KOA. Pola
kemitraan dilakukan dengan berbagai pola, yaitu:pola koperasi usaha
perkebunan 100 persen, pola patungan 65- 35 persen, pola patungan 80-20
persen, pola BOT (Bulid, Operate, Transfer), pola BTN , pola-pola
pembangunan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat,
membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.
Mitra usaha dalam pengembangan perkebunan adalah perusahaan besar
swasta, BUMN, maupun BUMD yang berbadan hukum dan bergerak
dibidang perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau
Izin Usaha Industri yang telah dikeluarkan oleh Menteri Pertanian atau
Bupati, dan atau Perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha atau dalam
proses.
Kewajiban dari mitra usaha adalah melaksanakan pembangunan kebun
petani sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan Kementerian
23
Pertanian. Selain itu mitra usaha wajib untuk mengelola areal kebun
kemitraan, yang mencakup kegiatan pemeliharaan kebun, pemetikan,
pemanenan, dan pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Mitra usaha juga
wajib membeli hasil kebun dengan harga yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dan koperasi. Hak
dari mitra usaha adalah mengelola, memelihara areal kebun kemitraan yang
meliputi kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pengangkutan TBS sampai
dengan jangka waktu perjanjian.
4. Kinerja Kelembagaan
Suatu kelembagaan dapat berupa individu-individu atau interaksi berbagai
lembaga. Kelembagaan harus memenuhi persyaratan antara lain memiliki
tujuan, struktur, anggota, aturan, norma serta penghargaan dan sanksi sosial.
Kelembagaan mempunyai hubungan sosial baik vertikal maupun horizontal.
Contoh hubungan vertikal adalah tataniaga produk pertanian, sedangkan
hubungan horizontal pada kelompok tani dan koperasi. Setiap kelembagaan
dapat dibagi menjadi aspek kelembagaan dan aspek organisasian. Konsep
operasional dari aspek kelembagaan adalah mengkaji perilaku yang
menggunakan nilai,norma dan aturan, sedangkan dari aspek keorganisasian
lebih memfokuskan kepada kajian struktur dan peran.
Kinerja suatu usaha merupakan dampak bekerjanya lembaga dan
kelembagaan yang ada, sehingga kelembagaan tersebut harus cukup mapan
selama periode tertentu agar dapat berfungsi dengan baik dan mempengaruhi
arah serta laju perkembangan teknologi. Kinerja kelembagaan adalah
24
kemampuan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara
efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan
dengan kebutuhan pengguna. Kinerja kelembagaan dapat dinilai dari
produksinya sendiri dan dari faktor manajemen yang membuat produk
tersebut bisa dihasilkan. Kinerja suatu lembaga diukur dengan variabel yang
berkaitan dengan siapa yang mendapat dan siapa yang membiayai. Kinerja
kelompok tertentu dapat dirincikan dari level hidupnya, keamanan, kualitas
lingkungan dan kualitas hidupnya.
Pengukuran kinerja dilakukan untuk menekan perilaku yang tidak
semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang
semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktu
penghargaan baik yang bersifat interinsik maupun eksterinsik. Pada
dasarnya perbedaan kelembagaan akan mempengaruhi kinerja dari berbagai
aspek dengan tingkat yang berbeda yaitu : (1) aspek ekonomi, berupa
efisiensi, (2) aspek sosial berupa pemerataan dan (3) aspek keadilan.
Analisis aspek-aspek kelembagaan umumnya dilakukan melalui pendekatan
kualitatif tetapi dampak dari bekerjanya sistem kelembagaan tersebut,
misalnya untuk mengetahui berapa besar perubahan kinerja ekonominya
dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif.
5. Koperasi
a. Pengertian Koperasi
Definisi koperasi di Indonesia termuat dalam UU No. 25 tahun 1992
tentang Perkoperasiaan yang menyebutkan bahwa koperasi adalah badan
25
usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi
dapat diartikan sebagaiperkumpulan orang atau badan usaha yang memiliki
tujuan yang sama yaitu mencapai kesejahteraan ekonomi yang berlandaskan
asas kekeluargaan.
Koperasi memiliki prinsip yang menjadi sumber inspirasi dan menjiwai
secara keseluruhan organisasi dan kegiatan usaha koperasi sesuai dengan
maksud dan tujuan pendiriannya. Koperasi melaksanakan prinsip koperasi
yang meliputi: (1) keanggotaan bersifat sukareladan terbuka; (2) pengelolaan
dilakukan secara demokratis; (3) pembagian sisa hasil usaha dilakukan
secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
(4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (5) kemandirian.
b. Manajemen Koperasi
Manajemen koperasi diselenggarakan oleh orang-orang yang bertanggung
jawab untuk mengelola koperasi, nilai-nilai dan kekayaannya. Manajemen
koperasi adalah kegiatan profesional yang dilakukan koperasi untuk
membantu seluruh keanggotaan koperasi di dalam mencapai tujuannya.
Manajemen koperasi tidak didasarkan pada pemaksaan wewenang,
melainkan melalui keterlibatan dan partisipasi. Para manajer profesional
koperasi menggunakan metode yang sama seperti manajemen pada
umumnya. Tugas pengurus koperasi adalah menyelenggarakan rapat
anggota, menggunakan rancangan kerja, mengelola koperasi dan usahanya,
26
menjaga dan memelihara daftar buku anggota dan pengurus, mengajukan
laporan keuangan koperasi dan pertanggung jawaban, menyelenggarakan
pembukuan keuangan dan inventaris koperasi secara tertib. Sedangkan
wewenang pengurus koperasi adalah mewakili koperasi di dalam dan di luar
pengadilan; melakukan tindakan dan upaya bagi kemajuan, kepentingan serta
pemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawab yang diperoleh dari
rapat anggota; memutuskan pada penerimaan dan penolakan anggota baru;
memutuskan pada anggota baru koperasi; pemberhentian anggota koperasi
sesuai dengan anggaran dasar, pengurus koperasi dapat mengangkat
pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola yang dapat
bertanggung jawab sesuai dengan keputusan rapat anggota.
c. Kinerja Koperasi
Pengukuran kinerja perusahaan ataupun badan usaha, seperti koperasi
adalah hal yang sangat penting dalam proses perencanaan, pengendalian serta
proses transaksional yang lain, karena dengan pengukuran kinerja pengelola
koperasi dapat mengetahui efektivitas dan efisiensi revenue cost, penggunaan
aset, proses operasional organisasi manajemen dari koperasi, selain itu
pengelola juga memperoleh informasi manajemen yang berguna untuk
umpan balik dalam rangka perbaikan koperasi yang menyimpang kemudian
dengan pengukuran kinerja koperasi dapat membantu pengambilan
keputusan mengenai kebutuhan pendidikan pelatihan sumber daya manusia
(SDM), perencanaan dan pengendalian dalam proses manajemen koperasi
lebih lanjut.
27
Pemeringkatan koperasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap kondisi dan
atau kinerja koperasi melalui sistem pengukuran yang obyektif dan transparan
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang dapat menggambarkan tingkat
kualitas dari suatu koperasi. Pedoman pemeringkatan dilihat dari berbagai
aspek menurut buku pedoman Pemeringkatan Koperasi, 2008, Kep Men &
UKM RI, yaitu:.
1) Aspek , ditunjukkan dengan berjalannya mekanisme manajemen
koperasi, seperti Rapat Anggota Tahunan (RAT), audit, proses
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan, aktivitas
bisnis berjalan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan yang
berlaku.
2) Aspek kinerja usaha yang semakin sehat, ditunjukkan dengan
membaiknya struktur permodalan, kondisi kemampuan penyediaan dana,
penambahan aset, peningkatan volume usaha, peningkatan kapasitas
produksi, dan peningkatan keuntungan.
3) Aspek kohesitas dan partisipasi anggota, ditunjukkan dengan keterikatan
anggota terhadap anggota lain maupun terhadap organisasi, dalam hal
rasa tanggung renteng atau kemauan untuk berbagi resiko (risk sharing),
tingkat pemanfaatan pelayanan koperasi, serta ukuran-ukuran kuantitatif
lainnya, seperti peningkatan jumlah anggota, persentase kehadiran dalam
rapat anggota, prosentase pelunasan simpanan wajib, dan persentase
besaran simpanan sukarela.
4) Aspek orientasi kepada pelayanan anggota, ditunjukkan dengan beberapa
hal, seperti keterkaitan antara usaha koperasi dengan usaha anggota,
28
kegiatan penerangan dan penyuluhan terkait dengan usaha anggota,
kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi anggota serta besaran transaksi
usaha yang dilakukan antara koperasi dengan usaha anggotanya.
5) Aspek pelayanan kepada masyarakat, ditunjukkan dengan seberapa jauh
usahayang dijalankan koperasi dapat menyerap tenaga kerja setempat
serta seberapa banyak jumlah layanan koperasi yang dapat dinikmati
oleh masyarakat umum termasuk peran koperasi ikut mereduksi
kemiskinan masyarakat setempat.
6) Aspek kontribusi terhadap pembanguan daerah, ditunjukkan dengan
ketaatan koperasi sebagai wajib pajak dalam membayar pajak serta
berbagai bentuk dukungan sumber daya terhadap kegiatan pembangunan
daerah (Kep Men Koperasi No.06/Per/M. KUKM/III/2008).
Dalam menilai kondisi atau kinerja suatu koperasi dalam suatu periode
tertentu diperlukan kriteria atau standar penilaian. Masing-masing kriteria
tersebut telah ada indikator dan standar penilaiannya masing-masing kriteria
sehingga bisa dianalisis. Hasil pemeringkatan koperasi telah ditetapkan
dalam 5 (lima) klasifikasi kualitas, yaitu:
1) Koperasi dengan kualifikasi “Sangat Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian diatas 419.
2) Koperasi dengan kualifikasi “Berkualitas”, dengan jumlah penilaian
340 sampai dengan 419.
3) Koperasi dengan kualifikasi “Cukup Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian 260 sampai dengan 339.
29
4) Koperasi dengan kukalifikasi “Kurang Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian 180 sampai dengan 259.
5) Koperasi dengan kualifikasi “Tidak Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian kurang dari 180.
Keputusan hasil pemeringkatan koperasi bersifat final dan berlaku untuk
satu periode tertentu dalam jangka waktu paling lama dua tahun ( Buku
Pedoman Pemeringkatan Kop & UKM, 2008).
6. Sistem Rantai Pasok (Supply Chain)
Menurut Indrajit (2002), rantai pasok (Supply Chain) adalah suatu tempat
untuk sistem organisasi menyalurkan hasil produksinya baik berupa barang
maupun jasa kepada para konsumennya, dimana rantai ini merupakan
jaringan dari berbagai organisasi terkait yang saling terhubung baik secara
langsung maupun tidak langsung dan memiliki tujuan yang sama, yaitu
menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang.
Rantai pasok adalah rangkaian aktivitas (secara fisik dan pembuatan
keputusan) yang dihubungkan oleh aliran material, aliran informasi, aliran
finansial, dan hak milik terhadap lintas kebutuhan organisasi. Rantai pasok
tidak hanya terdiri oleh manufaktur dan pemasoknya tetapi juga transportasi,
retailer, warehouse, pelayanan organisasi dan konsumennya (Van Der Vorst,
2006).
30
Menurut Pujawan (2005), rantai pasok terdiri atas tiga macam aliran yang
harus dikelola, yaitu :
1) Aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream).
Contohnya bahan baku yang dikirim dari pemasok ke pabrik. Setelah
produk selesai diproduksi, produk dikirim ke distributor lalu ke pengecer
atau ritel, kemudian ke konsumen akhir.
2) Aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu.
3) Aliran informasi yang dapat terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.
Informasi tentang persediaan produk yang masih ada di masing-masing
outlet penjualan dibutuhkan oleh distributor maupun pabrik. Informasi
tentang ketersediaan kapasitas produksi yang dimiliki oleh pemasok
juga dibutuhkan oleh pabrik. Informasi tentang status pengiriman bahan
baku dibutuhkan oleh perusahaan yang mengirim maupun yang akan
menerima. Menurut Chopra dan Meindle (2004), rantai pasok
melibatkan variasi tahapan-tahapan berikut :
a. Rantai 1 : Pemasok.
Rantai pertama merupakan sumber sebagai penyedia bahan awal
dimana mata rantai penyaluran barang dimulai. Bahan pertama ini
dapat berupa bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan
dagangan, penggabungan dan sebagainya.
b. Rantai 2 : Manufaktur.
Rantai pertama dihubungkan dengan rantai ke dua, yaitu manufaktur
yang memiliki tugas melakukan pekerjaan pabrik, merakit dan
menyelesaikan barang hingga menjadi produk jadi.
31
c. Rantai 3 : Distributor.
Barang yang sudah selesai dipabrikasi akan didistribusikan ke gudang
atau disalurkan ke gudang milik distributor atau pedagang besar dalam
jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan
dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailer (pengecer).
d. Rantai 4: Retailer.
Pengecer berfungsi sebagai rantai pasok yang ada di antara distributor
yang pada umumnya pedagang besar ke pedagang kecil (pengecer).
Pengecer berupa gerai seperti toko, warung, departement store,
koperasi, club stores, dan sebagainya.
e. Rantai 5: Pelanggan.
Dari distributor, barang ditawarkan langsung kepada pelanggan
sebagai pengguna barang tersebut. Saat pelanggan atau konsumen
menggunakan produk tersebut maka dapat dikatakan bahwa ini
merupakan akhir dari mata rantai pasok.
Menurut Aramyan (2006) yang membuat rantai pasok produk pertanian
berbeda dengan rantai pasok lainnya adalah :
1) Produksi alami yang sebagian berdasarkan proses biologis yang
meningkatkan resiko dan variabilitas.
2) Produk alami, yang memiliki karakter yang spesifik seperti mudah rusak
yang membutuhkan jenis rantai pasok yang tepat.
3) Kemasyarakatan dan perilaku konsumen terhadap isu seperti keamanan
pangan, kesejahteraan hewan dan tekanan alam.
32
7. Pendapatan Usahatani
Penghasilan petani merupakan selisih penerimaan dengan biaya atau
pengeluaran yang dikeluarkan dalam usahatani. Menurut Suratiyah (2006),
penerimaan atau pendapatan kotor adalah jumlah produksi dikalikan harga
per satuan. Lebih rinci Soekartawi (2005) menyatakan pendapatan kotor
usahatani dihitung dari nilai produksi baik dalam bentuk tunai maupun tidak
tunai atau nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu (biasanya
satu tahun). Selisih pendapatan kotor dengan pengeluaran total usahatani
merupakan pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani
dikurangi bunga pinjaman adalah penghasilan bersih usahatani.
Menurut Hernanto (1994), besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari
suatu kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya, seperti luas lingkup pekerjaan,tingkat produksi, identitas
juragan, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan
usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga
kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Harga dan produktivitas
merupakan sumber dari faktor ketidakpastian, sehingga bila harga dan
produksi berubah, maka pendapatan yang diterima petani juga berubah
(Soekartawi, 2005).
Pendapatan petani merupakan selisisih antara pendapatan dan semua biaya,
dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor dan penerimaan total
dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor atau penerimaan total adalah nilai
33
produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya
produksi (Rahim dan Hastuti, 2008).
Menurut Soekartawi (2005), pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan
pengurangan dari penerimaan dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga
adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ditambah dengan
pendapatan yang berasal dari kegiatan diluar usahatani. Pendapatan
usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya produksi
(input) yang dihitung per bulan, per musim, dan pertahun. Pendapatan luar
usahatani adalah pendapatan yang diperoleh sebagai akibat melakukan
kegiatan diluar usahatani, seperti berdagang, mengojek, kuli, dan sebagainya.
Pendapatan dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Suratiyah
(2006), sebagai berikut :
π = Y. Py-∑ Xi.Pxi…….........................................................................(1)
keterangan:
π = pendapatan(Rp)
Y = hasil produksi (kg)
Py = harga hasil produksi (Rp)
∑Xi = jumlah faktor produksi (i1,2,3,....,n)
Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp)
8. Teori Biaya
Biaya adalah semua pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses
produksi, yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar yang
berlaku, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Menurut Carter
(2009), mendefinisikan “biaya sebagai suatu nilai tukar, pengeluaran, atau
pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat”.
34
Menurut Siregar dkk (2013) “biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi
untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat
sekarang atau masa yang akan datang”. Berdasarkan definisi biaya dapat
disimpulkan bahwa biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomis yang
diukur dengan satuan uang,untuk memperoleh barang atau jasa yang
diharapkan memberikan manfaat saat ini maupun akan datang.
Adapun biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua (Soekartawi,
2005), yaitu :
a. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlah totalnya tetap konstan,
tidak dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan atau aktivitas sampai
dengan tingkatan tertentu. Biaya tetap per unit berbanding terbalik secara
proporsional dengan perubahan volume kegiatan atau kapasitas. Semakin
tinggi tingkat kegiatan, maka semakin rendah biaya tetap per unit.
Semakin rendah tingkat kegiatan, maka semakin tinggi biaya tetap per
unit. Biaya tetap ini biasayanya didefinisikan sebagai biaya yang relatif
tetap jumlahnya terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit. Contoh biaya untuk alat dan mesin pertanian.
b. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya
berubah secara sebanding (proporsional) dengan perubahan volume
kegiatan. Semakin tinggi volume kegiatan atau aktivitas, maka secara
proporsional semakin tinggi pula total biaya variabel. Semakin rendah
volume kegiatan, maka secara proporsional semakin rendah pula total
biaya variabel. Variabel cost biasanya didefenisikan sebagai biaya yang
35
besarnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contoh biaya
sarana produksi.
Menghitung besarnya biaya yang dikeluarkan, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus perhitungan biayamenurut Suratiyah (2006), sebagai
berikut: TC = TFC + TVC …………………………………………..…....(2)
Keterangan:
TC = Total biaya (Total cost);
TFC = Total biaya tetap (Total fixed cost);
TVC = Total biaya variabel (Total variable cost);
9. Teori Biaya Transaksi
Biaya transasksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal
koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak dapat dipandang dari sudut
efisiensi yang berhubungan dengan biaya produksi, tetapi lebih mengarah
pada efisiensi yang berhubungan dengan biaya transaksi. Biaya produksi di
sini diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi, dari
membeli input, membayar tenaga kerja dan membiayai overhead pabrik.
Biaya transaksi akan terdiri atas :
1) Biaya mencari pemasok dari input-nya
2) Biaya informasi mengenai kualitas dan harga
3) Biaya tawar menawar
4) Biaya monitor kontrak dengan pemasok input
5) Biaya legal jika kontrak dilanggar
6) Kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat investasi pada aset yang
sangat khusus atau aset yang mempunyai kisaran penggunaaan sangat
banyak.
36
Olilla-Nilsson (Szabo, 2002) menyatakan biaya transaksi dapat dibagi dalam
tiga kategori yaitu biaya informasi, biaya kontrak dan biaya pengawasan
pelaksanaan. Menurut Hendar dan Kusnadi (2002) anggapan ini didasarkan
pada pemikiran bahwa untuk membandingkan koperasi dengan perusahaan
lain yang nonkoperasi harus diletakkan pada kondisi yang sama. Bila
koperasi dan perusahaan nonkoperasi menggunakan teknologi dengan
kualitas yang sama, maka produktivitasnya pun akan tidak jauh berbeda.
Jadi yang memberakan buka biaya produksinya, melainkan biaya
transaksinya.
Pembahasan ekonomi biaya transasksi diarahkan pada upaya penghematan
biaya transaksi dan peranan biaya tersebut dalam mengendalikan
ketidakpastian. Suatu lembaga akan bertahan atau berkembang karena
berhasil dalam mengendalikan ketidakpastian sehingga meminumkan biaya
transaksi. Sebaliknya lembaga yang tidak mampu mengendalikan
ketidakpastian dan mereduksi biaya transaksi akan mudah runtuh.
Perusaahaan yang mampu mereduksi biaya transaksi akan mempunyai
keunguulan bersaing dalam pasar yang kompetitif. Biaya transaksi akan
menentukan kelangsungan jangka panjang perusahaan (Ropke, 1987 dalam
Hendar dan Kusnadi, 2002).
Biaya transaksi muncul ketika input (tenaga kerja tanah, modal, keahlian
wirausaha) digunakan untuk menghasilkan pertukaran. Jika seorang
produsen memproduksi barang untuk dikonsumsi sendiri, biaya transaksi
tidak akan muncul. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya-biaya perolehan dan
37
pengiriman informasi, biaya pembuatan dan perubahan kontrak, biaya
pengawasan dan pembuatan kebijakan hak-hak kontrak, biaya peradilan jika
terjadi pelanggaran kontrak, dan lain-lain. Bila dianggap bahwa biaya yang
dikeluarkan oleh suatu perusahaan terdiri atas biaya produksi dan biaya
transaksi, maka tingkat efisiensi koperasi dengan tingkat efisiensi pasar.
Tabel 5. Perbandingan efisiensi biaya transaksi melalui pasar dan melalui
koperasi
Jenis biaya Melalui pasar Melalui koperasi Perbedaan harga
Biaya produksi Pm Pc Pm-Pc = ∆ P
Biaya transaksi Tm Tc Tm-Tc = ∆ T
Biaya total Pm+Tm Pc+Tc -
Biaya total dalam menggunakan pasar terdiri atas biaya produksi ditambah
biaya transaksi (Pm+Tm). Biaya produksi dengan memanfaatkan pasar akan
terdiri atas membeli input untuk kebutuhannya, sedangkan biaya transaksi
akan terdiri atas mencari atas mencari pemasok dari input yang dibutuhkan,
biaya informasi mengenai kualitas dan harga, biaya tawar-menawar, biaya
memonitor kontrak dengan pemasok input, serta biaya legal jika kontrak
dilanggar.
Biaya total untuk pilihan kedua yang nonpasar seperti koperasi dapat terdiri
atas biaya produksi dan transaksi untuk koperasi (Pc+Tc). Biaya produksi
akan terdiri atas membeli input dari dan menjual produk lewat koperasi dan
biaya transaksi akan terdiri atas biaya penelitian, informasi, monitoring,
pastisipasi, dan lain-lain sebagai anggota koperasi. Pilihan mana seseorang
akan memilih masuk koperasi atau pasar, akan tergantung pada tingkat
efisiensi kedua institusi tersebut. Dia akan memilih pasar atau koperasi
38
tergantung pada mana yang dapat meminimumkan biaaya-biayanya. Dia
akan memilih pasar jika Pm+Tm < Tm+Tc atau dengan transpormasi lain
jika (Pm-Pc) + (Tm-Tc) < 0. Jika Pm-Pc = ∆C maka seseorang akan
memilih pasar apabila (∆P+∆T) < 0 karena pasar lebih efisien, dan akan
memilih koperasi bila (∆P+∆T) > 0 karena koperasi lebih efisien.
Menurut Mburu, biaya transaksi adalah: (1) biaya pencarian dan informasi;
(2) biaya negosiasi (bargaining) dan keputusan atau mengeksekusi kontrak;
dan (3) biaya pengawasan (monitoring), pemaksaan, dan pemenuhan/
pelaksanaan (compliance). Secara lebih detail, proses negosiasi sendiri bisa
sangat panjang dan memakan banyak biaya. Seluruh pelaku pertukaran
harus melakukan tawar-menawar antara satu dengan lainnya. Furubotn dan
Richter menunjukkan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk
menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya melakukan hak
untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerial transaction
costs). Di samping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk
menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan
(political transaction costs).
10. Teori Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan
hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri
dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang
39
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial (UU No 11 Tahun 2009 pasal 1dan 2).
Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga setiap
keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan,dan cara
hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-
faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (BKKBN 1992, diacu oleh
Nuryani 2007). Kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2007) adalah
suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah
tangga tersebut dapat dipenuhisesuai dengan tingkat hidup. Kesejahteraan
adalah sebuah tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun
spiritual yang diikuti dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman
diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yangmemungkinkan
setiap warga negara dapat melakukan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri,rumah tangga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe, 2004).
Arthur Dunham dalam Sukoco (1991) mendefinisikan kesejahteraan sosial
sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti
kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu
senggang, standar-standar kehidupan, dan hubungan-hubungan sosial.
Indikator sosiometrik mengklasifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan 8
komponen kesejahteraan yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan
40
kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, butahuruf, dan
kerawanan dalam keluarga tersebut. Keluarga tergolong sebagai keluarga
tidak sejahtera (miskin) apabila tidak dapat memenuhi sebagian besar dari
delapan komponen kesejahteraan secara layak. Pengklasifikasian indikator
dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan kondisi aktual yang dialami
oleh keluarga (skor dari 1 sampai dengan 4). Selanjutnya, skor dari masing
– masing aspek tersebut dijumlahkan dan diperoleh klasifikasi dengan
kisaran 8 – 15 : tidak miskin, 16 – 23 : miskin, 24 – 32 : sangat miskin.
11. Penelitian Terdahulu
Adapun kajian penelitian terdahulu, yang relevan terhadap penelitian
terdapat pada Tabel 6. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah penelitian ini mengambil komoditas yang sama yakni
tanaman perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan yakni
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif berupa analisis pendapatan dan
analisis statistik uji beda dua sampel bebas (independent sampel t-test).
Kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini membandingkan pola kelembagaan kelapa sawit yang ada di
Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Penelitian ini juga
membahas mengenai bagaimana sumbangan atau kontribusi biaya transaksi
terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pada kedua pola kelembagaan
di Kabupaten Tulang Bawang.
41
Tabel 6. Penelitian Terdahulu
No Judul penelitian dan peneliti Metode
Analisis
Kesimpulan Penelitian
1. Analisis komparatif
pendapatan usahatani kelapa
sawit kelompok iga dan
plasma di Desa Gunungsari
Kec.Pasangkayu Kab.
Mamuju Utara.
Mustapa (2013)
Analisis
pendapatan
dan
komparatif.
Jumlah rata-rata pendapatan 1 ha petani kelapa sawit kelompok iga
lebih besar dibandingakan rata-rata pendapatan petani kelapa sawit
kelompok plasma.
Hal ini disebabkan jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani
kelapa sawit kelompok Iga lebih tinggi dari pada jumlah produksi
yang dihasilkan oleh petani kelapa sawit kelompok Plasma.
Penyebab lainnya adalah jarak tanam yang terlalu dekat, kondisi
lahan yang kurang baik atau berbukit dan berair, sehingga
memerlukan biaya yang tinggi dalam mengelola usahatani kelapa
sawit.
Perbandingan pendapatan petani kelapa sawit kelompok Iga dan
petani kelapa sawit kelompok Plasma di Desa Gunungsari diperoleh
nilai t-hitung sebesar 19,356 teruji kebenarannya bahwa terdapat
perbedaan yang sangat nyata antara pendapatan petani kelapa sawit
kelompok Iga dengan petani kelapa sawit kelompok Plasma.
2. Model Kelembagaan Petani
Plasma Bersertifikat RSPO
dan non RSPO dalam
pengelolaan perkebunan
sawit di Kabupaten Musi
Banyuasin.
Malini dan Aryani (2016)
Deskriptif dan
logistic
regression
model
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kontrak pertanian yang
dilakukan petani, baik pada lapisan 1 maupun pada lapisan 2 dengan
perusahaan Inti adalah melalui ikatan modal pendahuluan berupa
pinjaman untuk investasi awal kebun kelapa sawit dan sarana
produksi, serta kontrak kerjasama pemasaran hasil produksi (TBS),
dan umunya tidak menemukan masalah berarti. Pedagang
pengumpul, petani umumnya hanya melakukan kontrak kerjasarna
pemasaran.
42
No Judul penelitian dan peneliti Metode
Analisis
Kesimpulan Penelitian
3. Penataan kelembagaan
kelapa sawit dalam upaya
memacu percepatan
ekonomi di pedesaan.
Syahza dan Suarman (2014)
Metode Rapid
Rural
Appraisal
(RRA)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelapa sawit telah memberikan
tingkat kesejahteraan yang tinggi di pedesaan. Aktivitas kelapa sawit
juga menciptakan multiplier effect ekonomi di pedesaan.
Percepatan pembangunan ekonomi pedesaan dilakukan dengan
pengembangan konsep kemitraan dengan pemilik modal.
Mitra yang dibangun adalah PKS yang dapat menampung TBS
petani swadaya. Sistem mitra tersebut melibatkan tiga komponen,
yaitu: Petani melalui kelompok tani dan koperasi, perusahaan
pengembang (investor), dan Lembaga Penelitian Universitas Riau.
Ketiga komponen ini membangun mitra usaha dalam konsep
kebersamaan yaitu agroestate berbasis kelapa sawit.
4. Kinerja Perusahaan Inti
Rakyat kelapa sawit di
Sumatera Selatan : Analisis
kemitraan dan ekonomi
rumah tangga petani.
Husin (2007).
Deskriptif dan
tabulasi
Struktur kemitraan dalam pola perusahaan inti rakyat (pola PIR) dan
perilaku peserta PIR kelapa sawit di Sumatera Selatan (inti, petani
plasma dan koperasi ) umunya telah sesuai dengan pedoman tentang
tugas peserta proyek PIR serta kewajiban dan hak peserta sebagai
peserta proyek PIR.
Berdasaran kriteria kelayakan finansial maka kinerja ketiga pola PIR
kelapa sawit masih menguntungkan, berdasarkan kriteria kelayakan
teknis maka pola PIR-Trans relatif lebih baik dibandingkan pola PIR
lainnya.
Struktur pasar dengan kemitraan PIR kelapa sawit cenderung tidak
kompetitif yang dicirikan dengan lebih rendahnya posisi tawar
petani daripada inti sehingga jenis kemitraan pola PIR ini belum
mampu memberikan manfaat setara bagi peserta dimana cenderung
merugikan petani plasma dan menguntungkan inti.
43
No Judul penelitian dan peneliti Metode
Analisis
Kesimpulan Penelitian
5. Analisis perbandingan
pendapatan usahatani kelap
sawit pola Koperasi Kredit
Primer Untuk Anggotannya
(KKPA) dengan petani
swadaya di Desa Kepayang
Kecamatan Kepenuhan
Hulu.
Suwandi dkk (2015)
Independent
sampel test
Hubungan kemitraan dibidang perkebunan adalah hubungan kerja
dibidang pengembangan usaha inti diserta pembinaan perusahaan
inti kepada KUD yang dijiwai prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan
Besarnya pendapatan usahatani KKPA adalah Rp 14.243.580,90 dan
petani swadaya Rp 11.408.056,00 .
Berdasarkan hasil analisis uji-t diperoleh nilai sig 0,004< 0,05, hal
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan usahatani
petani KKPA dan petani swadaya
Perbedaan pendapatan petani KKPA dan petani swadaya disebabkan
karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya
angsuran bunga pada pola KKPA.
6.
Analisis sosial ekonomi
usahatani kelapa sawit di
Desa Suliliran Baru
Kecamatan Pasir
Belengkong Kabupaten
Paser.
Wijayanti (2010)
Analisis
pendapatan,
t-test dan
regresi linier
berganda
Pendapatan yang diperoleh untuk petani plasma rata-rata sebesar Rp
7.517.095,12/ha/tahun dan petani swadaya rata-rata sebesar Rp
10.644.557,74/ha/tahun..
Pendapatan usahatani kelapa sawit antara petani plasma dengan
petani swadaya terdapatan perbedaan berdasarkan uji-t diperoleh
thitung = 3,53 sedangkan t table (α = 0,05) sebesar 1,681 sehingga
thitung> t table, maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Berdasarkan hasil regresi linier berganda pendapatan usahatani, luas
lahan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan umur
petani secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap keputusan
petani plasma dan petani swadaya mengusahakan petani kelapa
sawit.
44
No Judul penelitian dan peneliti Metode
Analisis
Kesimpulan Penelitian
7. Analisis pendapatan dan
pola konsumsi petani kelapa
sawit di Desa Sumber
Makmur Kecamatan
Tapung Kabupaten Kampar.
Wulandari (2014)
Deskriptif dan
kuantitatif
Pendapatan yang diperoleh petani sawit di Desa Sumber Makmur
dalam satubulan yaitu rata-rata sebesar Rp.5.269.412
Pola konsumsi petani sawit di DesaSumber Makmur untuk konsumsi
panganrata-rata sebesar Rp.1.527.650,- dan untukkonsumsi non
pangan rata-rata sebesarRp.2.288.978,- . Pemenuhan konsumsi
nonpangan lebih besar dibandingkanpemenuhan konsumsi pangan.
Hal inimenunjukkan bahwa petani sawit sudahmampu mencukupi
kebutuhan konsumsipangan maupun non pangan.
8. Analisis kelembagaan
perkebunan kelapa sawit
rakyat pola plasma
menghadapi pasar global di
Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan.
Ndraha dkk (2014).
Deskriptif
kualitatif
Lembaga yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit rakyat pola
plasma adalah PT.Inti Indosawit Subur, KUD Bakti, Bank,
Pemerintah Daerah, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, BPN,
tengkulak, WWF dan ketua kelompok tani.
Masing-masing lembaga berperan dalam penyediaan akses input
perkebunan kelapa sawit, akses finansial, akses kelembagaan, akses
lahan (legalitas lahan), akses informasi dan teknologi, penyediaan
akses pasar.
9. Pengelolaan rantai pasok
daya saing kelapa sawit di
Aceh.
Jakfar, Romano, Nurcholis
(2015)
Kualitatif dan
kuantitatif
Ada 3 pola rantai pasok yang menentukan aliran Tandan Buah Segar
ke pabrik kelapa sawit.
Peran pemangku kepentingan dalam rantai pasok kelapa sawit di
wilayah ini sangat menentukan volume pasokan, keuntungan, dan
nilai tambah yang terbentu.
Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pemangku kepentingan
dan peningkatan keunggulan kompetitif adalah produktivitas kebun
kelapa sawit, alokasi biaya investasi dan operasi, kapasitas PKS dan
rendemen CPO.
45
No Judul Penelitian Metode
Analisis
Kesimpulan Penelitian
10.
Analisis
perbandingan
tingkat
pendapatan
usahatani pola
diversifikasi
dengan
monokultur pada
lahan sempit
(Natalia dan
Salmiah, 2013)
Analisis
statistik uji
beda rata-rata
dua
sampel bebas
(independent
sampel t-test)
Total biaya produksi pada usahatani
pola diversifikasi lebih dari pada
monokultur, penerimaan pada
usahatani pola diversifikasi lebih
besar daripada monokultur,
pendapatan pada usahatani pola
diversifikasi lebih besar dari pada
monokultur dannilai R/C ratio pada
usahatani pola monokultur dan
diversifikasi >1, yang
artinyausahatani yang dilakukan
pada pola monokultur dan
diversifikasi layak atau
menguntungkan bagi petani.
B. Kerangka Berpikir
Pengembangan kelapa sawit rakyat di Lampung dimulai pada tahun 1990–an
yang dikaitkan dengan program transmigrasi lokal. Di Kabupaten Tulang
Bawang pengembangan kelapa sawit rakyat dimulai pada tahun 1993, melalui
program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan sebagai inti adalah PKS SIP
(Sumber Indah Perkasa). Namun, pengembangan kelapa sawit rakyat
selanjutnya setelah tahun 2000-an program PIR sudah ditiadakan didaerah
penelitian dan hanya menyisakan anggota petani PIR lama yang masih bermitra
dan petani yang baru mengusahakan kelapa sawit hanya berupa petani pola
swadaya atau mandiri. Sehingga penelitian ini mengkaji bagaimana pengelolaan
perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Kinerja kelembagaan adalah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya yang
dimilikinya secara efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan
tujuannya dan relevan dengan kebutuhan penggunanya. Pola PIR adalah pola
46
pengembangan perkebunan perkebunan rakyat dan pemasaran hasil dalam satu
sistem kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar
bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat sebagai
plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri juga
berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi kebun
plasma untuk diolah lebih lanjut.
Kelembagaan mempunyai hubungan sosial baik vertikal maupun horizontal.
Contoh hubungan vertikal adalah tataniaga produk pertanian, sedangkan
hubungan horizontal pada kelompok tani dan koperasi. Penelitian ini membatasi
kelembagaan yakni berupa koperasi yang bermitra dengan petani plasma yaitu
KUD Krida Sejahtera milik PKS Sumber Indah Perkasa. Pada pola plasma,
petani tidak perlu menyediakan modal usahatani. Petani cukup menyediakan
lahan usahatani. Petani dalam menjalankan usahataninya memperoleh bantuan
dari perusahaan inti berupa bibit, pupuk, pestisida dan memperoleh bimbingan
dari perusahaan inti, tetapi hasil produk kelapa sawitnya harus dijual ke
perusahaan inti itu juga. Pada pola swadaya maka semua modal usahatani
bersumber dari petani sendiri dan petani mempunyai kebebasan untuk menjual
hasil sawitnya (TBS) kepada pedagang. Hal tersebut berakibat produktivitas
kelapa sawit rakyat lebih rendah dibanding produktivitas perkebunan besar.
Produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibanding produktivitas
kelapa sawit kebun petani swadaya. Berbeda dengan petani plasma yang
memperoleh dukungan dari perusahaan inti, umumnya petani swadaya
membudidayakan sawitnya tanpa kerjasama dengan pihak lain.
47
Pada proses pemasaran TBS kelapa sawit, PKS adalah konsumen akhir. Berbeda
dengan petani plasma yang sudah ada ikatan penjualan hasil dengan perusahaan
inti dan penetapan harga jual TBS ditentukan berdasarkan peraturan dan
melibatkan pemerintah daerah (Dinas Perkebunan) pada petani swadaya,harga
yang diterima petani sangat tergantung dari harga beli dari pedagang pengumpul
atau di Lampung yang sering disebut “agen”. Rantai pemasaran TBS petani
plasma lebih pendek yaitu dari petani dibawa ke koperasi dan langsung ke PKS.
Dengan demikian ada distorsi harga antara harga TBS yang diterima petani
plasma dengan harga yang diterima petani swadaya. Untuk itu perlu dianalisis
bagaimana supply chain kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung.
Pola kelembagaan yang berbeda di Kabupaten Tulang Bawang akan berakibat
pada perbedaan biaya yang dibutuhkan untuk pengeluaran usahatani kelapa
sawit di daerah tersebut. Perbedaan biaya tersebut dikarenakaan adanya
perbedaan pola rantai pasok pada masing-masing petani baik petani swadaya
dan petani plasma. Perbedaan rantai pasok ini akan berdampak pada
berbedanya struktur, prilaku, dan keragaan pasar Tandan Buah Segar kelapa
sawit di Kabupaten Tulang Bawang. Pada penelitian ini sistem rantai pasok
(supply chain) terdiri dari aliran barang, aliran uang, aliran informasi.
Alur rantai pasok yang panjang akan menambah biaya pengusahaan kelapa
sawit. Dalam teori biaya dikenal pula konsep biaya transaksi dimana konsep
biaya transaksi ini adalah jumlah biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam
setiap transaksi. Jika dengan adanya koperasi sebagai lembaga yang terkait
mampu mengurangi biaya transaksi maka peluang petani masuk kepasar dengan
48
harga yang bersaing lebih besar. Dengan adanya koperasi diharapkan petani
dapat menekan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan untuk mengusahakan
kelapa sawit, dalam penelitian ini maka akan dilihat bagaimana kinerja
kelembagaan terhadap besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani
baik petani swadaya dan petani plasma. Biaya transaksi terdiri dari biaya
penelitian, biaya informasi, biaya monitoring, dan biaya partisipasi. Setelah
diketahui antara biaya transaksi petani swadaya dan petani plasma maka akan
dibandingkan dengan menggunakan uji beda (t-test).
Jika biaya yang dikeluarkan oleh petani berbeda-beda hal tersebut juga akan
berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diperoleh petani. Pendapatan
diperoleh dari penerimaaan dikurangi oleh biaya- biaya selama proses produksi.
Biaya dalam penelitian ini adalah total keseluruhan biaya yang dikeluarkan
dimana terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan biaya transaksi. Teori
pendapatan merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat apakah
usahatani kelapa sawit yang berkembang selama ini sudah dapat dikatakan
menguntungkan berkaitan dengan adanya kelembagaan yang berkembang di
Kabupaten Tulang Bawang. Setelah diketahui besarnya pendapatan petani
swadaya dan petani plasma maka selanjutnya akan dibandingkan dengan
menggunakan uji beda (t-test).
Pendapatan yang diperoleh oleh petani juga akan berpengaruh dengan tingkat
kesejahteraan petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.
Pendapatan yang tinggi akan membuat petani dapat memenuhi kebutuhan
hidupyang layak dirinya dan anggota keluarganya. Penelitian ini juga
49
membandingkan antara kesejahteraan petani plasma dan petani swadaya dengan
menggunakan uji Mann Whitney.
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan permasalahan yang ada, maka dalam
penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
1) Diduga biaya transaksi petani swadaya tidak sama dengan biaya transaksi
petani plasma
2) Diduga pendapatan usahatani petani swadaya tidak sama dengan pendapatan
usahatani petani plasma.
3) Diduga kesejahteraan petani swadaya tidak sama dengan kesejahteraan
petani plasma.
Gambar 2. Kerangka berpikir kinerja kelembagaan dan rantai pasok sistem agribisnis kelapa sawit rakyat dalam upaya peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan petani di Kabupaten Tulang Bawang
III. METODE PENELITIAN
A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional
Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan
untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan
penelitian.
Petani swadaya adalah petani yang memiliki kebun kelapa sawit yang
pengusahaannya dengan swadaya atau secara mandiri mulai dari kepemilikan,
permodalan, pengolahan sampai dengan panen.
Petani plasma adalah petani yang memiliki kebun kelapa sawit yang bermitra
dengan KUD Krida Sejahtera yang pengelolaan kebunnya dilakukan oleh
koperasi.
KUD Krida Sejahtera adalah koperasi yang dibentuk sebagai bagian dari
kemitraan perusahaan dengan petani kelapa sawit milik PKS Sumber Indah
Perkasa.
Kinerja kelembagaan adalah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya
yang dimilikinya secara efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan
tujuannya dan sesuai dengan kebutuhan . Kinerja kelembagaan dalam
52
penelitian ini yaitu kinerja lembaga penunjang berupa kinerja KUD Krida
Sejahtera yang diukur menggunakan pedoman pemeringkatan koperasi.
Tandan Buah Segar adalah buah kelapa sawit yang telah masak ditandai
dengan buah yang berwarnah merah dan jatuh ± 5-10 buah yang dihitung
dalam satuan kilogram (kg).
Pendapatan petani swadaya dan plasma adalah pendapatan usahatani yang
diterima dari usaha kelapa sawit berdasarkan penerimaan dan penjualan TBS
dikurangi dengan biaya total produksi yang dihitung dalam satuan rupiah per
hektar yang di ukur dalam satu tahun (Rp/ha/tahun).
Luas lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden yang digunakan
untuk menanam kelapa sawit yang dihitung dalam satuan hektar (ha).
Hasil produksi kelapa sawit adalah buah sawit dalam bentuk TBS (Tandan
Buah Segar) yang telah masak yang dihitung dalam satuan kilogram per hektar
per tahun (kg/ha/tahun).
Harga adalah harga TBS (Tandan Buah Segar) yang terjadi di lokasi penelitian
berdasarkan kesepakatan petani dengan pedagang atau petani dengan koperasi
yang dihitung dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi
dan dinyatakan dengan uang yang dihitung dalam satuan rupiah per hektar per
tahun (Rp/ha/tahun).
53
Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses pemasaran
meliputi biaya angkut, penyusutan, dan lainnya, yang diukur dalam satuan
rupiah per kilogram (Rp/kg).
Pedagang pengumpul I adalah pedagang yang langsung menerima penjualan
TBS dari petani dan biasanya disebut sebagai agen desa. Biasanya pedagang
pengumpul I mengambil TBS di rumah petani, dan transaksinya dilakukan di
tempat petani produsen serta pembayaran secara tunai.
Pedagang pengumpul II adalah pedagang yang menerima hasil penjualan dari
Pedagang pengumpul I serta pembayaran dilakukan secara tunai. Pedagang
pengumpul II biasanya sering disebut dengan lapak.
Pedagang besar adalah pedagang yang menerima hasil penjualan dari petani
dan atau dari pedagang pengumpul I dan dari pedagang pengumpul II yang
memiliki kerjasama dengan perusahaan atau memiliki D.O pabrik.
Konsumen akhir adalah lembaga pemasaran terakhir yang membeli TBS yaitu
Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma
untuk melakukan penelitian, mencari informasi, melakukan monitoring dan
melakukan partisipasi. Satuan yang digunakan adalah rupiah per tahun
(Rp/tahun).
Biaya penelitian adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma
untuk mengetahui ketersediaan sarana produksi, kredit, dan pelayanan lain
54
yang terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi, dan fee yang
diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).
Biaya informasi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma
untuk mengetahui kualitas dan harga Tandan Buah Segar. Biaya informasi
terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee yang diukur
dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).
Biaya monitoring adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani
plasma untuk melakukan pengawasan kontrak dengan koperasi atau pedagang,
terdiri dari terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee
yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).
Biaya partisipasi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma
untuk menghadiri musyawarah antar kelompok tani atau koperasi, terdiri dari
terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee yang diukur
dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).
Biaya transportasi adalah biaya pembelian bensin atau sewa kendaraan yang
dikeluarkan oleh petani swadaya/ petani plasma selama dalam proses
produksi, pemeliharaan dan monitoring ataupun pada saat panen.
Biaya komunikasi adalah biaya pembelian pulsa yang dipakai oleh petani
swadaya/ petani plasma selama dalam proses produksi, pemeliharaan dan
monitoring ataupun pada saat panen.
55
Biaya Alat Tulis Kantor (ATK) adalah biaya pembelian alat tulis kantor untuk
keperluan petani swadaya/ petani plasma selama dalam proses produksi,
pemeliharaan monitoring ataupun pada saat panen.
fee adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma selama
dalam proses produksi, pemeliharaan dan monitoring ataupun pada saat panen
untuk oknum-oknum yang meminta uang selama diperjalanan.
B. Metode, Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei. Menurut
Singarimbun dan Effendi (1995), metode survei dibatasi pada penelitian yang
datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh
populasi melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.
Pada penelitian ini, kabupaten yang diambil adalah Kabupaten Tulang
Bawang berdasarkan pertimbangan potensi daerah yang dapat dilihat dari
luas areal kelapa sawit, jumlah produksi, jumlah petani dan jumlah pabrik
kelapa sawit yang banyak (Dinas Perkebunan, 2015). Penelitian ini
dilaksanakan di Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan Gedung Aji Baru.
Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa petani di Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan
Gedung Aji Baru merupakan kecamatan yang petaninya memiliki pola
swadaya dan plasma berdasarkan hasil survei di Kabupaten Tulang Bawang.
Responden penelitian adalah petani kelapa sawit swadaya dan petani plasma.
Responden petani kelapa sawit dipilih responden petani kelapa sawit dipilih
secara acak (Simple Random Sampling). Perhitungan ukuran sampel petani
56
kelapa sawit pola swadaya dan petani plasma dilakukan dengan rumus
perhitungan sampel menurut Sugiarto (2003):
n =
......................................................................................(3)
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
S² = variasi sampel (5% = 0,05)
Z = tingkat kepercayaan (95% = 1,96)
d = derajat penyimpangan (5% = 0,05)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus Sugiarto (2003), maka
jumlah sampel adalah :
n =
.......................................................................................(4)
n =
n =
n = 76,33≈ 76 petani
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus maka diperoleh jumlah
responden sebagai sampel sebanyak 76 petani kelapa sawit. Dengan
perbandingan jumlah yang sama maka responden petani plasma dan
responden petani swadaya masing-masing diambil dalam jumlah 76 petani.
Pengambilan secara keseluruhan total jumlah petani responden dalam
penelitian ini adalah 152 reponden. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Agustus sampai dengan September 2017.
57
C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan pengamatan
langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan petani responden menggunakan kuesioner
(daftar pertanyaan) yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari
lembaga atau instansi terkait, jurnal, skripsi, publikasi, dan pustaka lainnya
yang terkait dan relevan dengan penelitian ini.
D. Metode Analisis Data
1) Tujuan Pertama
Untuk menjawab tujuan pertama tentang pengelolaan perkebunan kelapa
sawit rakyat digunakan analisis deskriptif. Penelitian ini melihat bentuk-
bentuk pengelolaan yang tersedia dan bagaimana pelaksanaannya untuk
petani plasma dan petani swadaya di daerah penelitian.
2) Tujuan Ke Dua
Untuk menjawab tujuan kedua yaitu kinerja kelembagaan kelapa sawit
rakyat yang ada di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Kinerja koperasi akan dianalisis dengan evaluasi
keberhasilan koperasi. Variabel untuk menilai penerapan pengukuran
kinerja koperasi sesuai dengan Pedoman Pemeringkatan Koperasi (KEP
MEN No. 06/Per/M. KUKM/III/2008), yaitu:
1) Badan usaha aktif, dengan substansi penilaian:
a) Penyelenggaraan RA dan Rapat Pengurus/Pengawas sesuai
ketentuan & kebutuhan
58
b) Manajemen pengawasan
c) Keberadaan & tingkat realisasi Rencana Kegiatan dan Rencana
Anggaran Pendapatan & Belanja
d) Rasio kondisi operasional kegiatan/usaha yg dilakukan
e) Kinerja kepengurusan
f) Tertib administrasi (organisasi, usaha, keuangan)
g) Keberadaan sistem informasi
h) Kemudahan untuk mendapatkan (akses) informasi
2) Kinerja usaha yang semakin sehat, dengan substansi penilaian:
a) Struktur permodalan
b) Likuiditas
c) Solvabilitas
d) Profitabilitas
e) Aktivitas (rasio perputaran piutang)
f) Kemampuan bersaing koperasi
g) Strategi bersaing koperasi
h) Inovasi yang dilakukan
3) Kohesivitas dan partisipasi anggota, dengan substansi penilaian:
a) Rasio transaksi anggota (partisipasi bruto) dibandingkan non-
anggotapada Koperasi
b) Rasio besaran SHU terhadap transaksi usaha anggota
c) Rasio peningkatan jumlah anggota
d) Persentase jumlah anggota yang melunasi simpanan wajib
59
e) Persentase besaran simpanan selain simpanan pokok dan
simpanan wajib
f) Rasio peningkatan jumlah penyertaan modal anggota kepada
koperasi
g) Tingkat pemanfaatan pelayanan koperasi oleh anggota
h) Pola pengkaderan
4) Orientasi kepada pelayanan anggota, dengan substansi penilaian:
a) Model pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
b) Banyaknya jenis pendidikan dan pelatihan yang dilakukan dalam
satu tahun terakhir
c) Rasio anggota yang mengikuti pendidikan dan pelatihan
d) Keterkaitan antara usaha koperasi dengan usaha/kegiatan anggota
e) Transaksi usaha koperasi dengan usaha/kegiatan anggota
f) Tingkat kepuasan anggota terhadap pelayanan yang diberikan
koperasi
5) Pelayanan terhadap masyarakat, dengan substansi penilaian:
a) Pelayanan usaha koperasi yang dapat dinikmati masyarakat non-
anggota
b) Persentase besaran dana yang disisihkan untuk pelayanan sosial
yang dapat dinikmati masyarakat
c) Kemudahan masyarakat untuk mendapatkan informasi bisnis yang
disebarkan oleh koperasi
d) Tanggapan masyarakat sekitar terhadap keberadaan koperasi
60
6) Kontribusi koperasi terhadap pembangunan daerah, dengan substansi
penilaian:
a) Ketaatan koperasi dalam pembayaran pajak
b) Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja koperasi
c) Tingkat upah karyawan
Masing-masing kriteria tersebut telah ada indikator dan standar
penilaiannya masing-masing kriteria sehingga bisa dianalisis. Hasil
pemeringkatan koperasi telah ditetapkan dalam 5 (lima) klasifikasi
kualitas, yaitu:
1) Koperasi dengan kualifikasi “Sangat Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian diatas 419.
2) Koperasi dengan kualifikasi “Berkualitas”, dengan jumlah penilaian
340 sampai dengan 419.
3) Koperasi dengan kualifikasi “Cukup Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian 260 sampai dengan 339.
4) Koperasi dengan kukalifikasi “Kurang Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian 180 sampai dengan 259.
5) Koperasi dengan kualifikasi “Tidak Berkualitas”, dengan jumlah
penilaian kurang dari 180.
Keputusan hasil pemeringkatan koperasi bersifat final dan berlaku untuk
satu periode tertentu dalam jangka waktu paling lama dua tahun (Buku
Pedoman Pemeringkatan Kop & UKM, 2008).
61
3) Tujuan Ke Tiga
Untuk menjawab tujuan ketiga mengenai sistem rantai pasok TBS kelapa
sawit rakyat dengan pola perkebunan di Kabupaten Tulang Bawang
digunakan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis rantai pasok pada
tujuan ketiga adalah terdiri dari aliran barang, aliran uang dan aliran
informasi dalam tataniaga pemasaran Tandan Buah Segar kelapa sawit.
Analisis dengan model S-C-P (structure, conduct, dan performance)
digunakan untuk menganalisis organisasi pasar berdasarkan alur, pelaku
dan pangsa pasar dalam pemasaran Tandan Buah Segar kelapa sawit.
Pada dasarnya, model S-C-P dikelompokkan ke dalam tiga komponen,
yakni :
a. Struktur pasar
Struktur pasar merupakan gambaran hubungan antara penjual dan
pembeli yang dilihat dari jumlah lembaga perantara, diferensiasi
produk dan kondisi keluar masuk pasar. Struktur pasar dikatakan
bersaing bila jumlah pembeli dan penjual banyak, tidak dapat
mempengaruhi harga pasar, tidak ada gejala konsentrasi, produk
yang dijual bersifat homogen dan bebas untuk keluar masuk pasar.
Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna terjadi pada pasar
monopoli, monopsoni, pasar oligopoli dan pasar oligopsoni.
b. Prilaku pasar
Perilaku pasar merupakan gambaran tingkah laku lembaga perantara
(petani sebagai produsen, lembaga perantara atau pedagang dan
konsumen) dalam menghadapi struktur pasar untuk memperoleh
62
keuntungan sebesar-besarnya yang meliputi kegiatan pembelian,
penjualan dan pembentukan harga. Perilaku pasar juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain faktor budaya, faktor sosial
(kelompok acuan, keluarga, peran dan status), faktor pribadi (umur,
situasi ekonomi, gaya hidup), serta faktor psikologis (motivasi,
persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap) (Kotler dan Amstrong,
2001).
c. Keragaan pasar
Keragaan pasar merupakan gambaran gejala pasar yang tampak
akibat interaksi antara struktur pasar dan perilaku pasar. Interaksi
antara struktur dan perilaku pasar cenderung bersifat kompleks dan
saling mempengaruhi secara dinamis.
4) Tujuan Ke Empat
Untuk menjawab tujuan ke empat yaitu biaya transaksi yang dikeluarkan
oleh petani kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan
analisis deskriptif kuantitatif. Biaya-biaya transaksi yang dikeluarkan
oleh petani swadaya dan petani plasma meliputi biaya penelitian, biaya
informasi, biaya monitoring dan biaya partisipasi (Hendar dan Kusnadi,
2002). Oleh karena itu biaya transaksi dihitung dengan rumus :
BTi = BPen +Binf +Bmon +Bpar …………………………….…….....… (5)
Keterangan :
BT1 = biaya transaksi petani swadaya
BT2 = biaya transaksi petani plasma
BPen = biaya penelitian (Rp/tahun)
Binf = biaya informasi (Rp/tahun)
Bmon = biaya monitoring (Rp/tahun)
Bpar = biaya partisipasi (Rp/tahun)
63
Setelah diketahui biaya transaksi bagi petani swadaya dan petani mitra,
selanjutnya dilakukan uji beda. Pada penelitian ini peneliti
membandingkan rata-rata biaya transaksi antara petani swadaya dan
petani plasma. Analisis statistik uji beda rata-rata atau t-hitung
(independent sample t-test) dengan uji satu arah yang digunakan untuk
penelitian yang membandingkan dua variabel. Menurut Sugiyono
(2010) bila jumlah sampel berbeda (n1 ≠ n2) dan varians homogen
( =
) sehingga dapat digunakan rumus pooled varian,derajat
kebebasan (dk) = n1 + n2-2 .Secara matematis rumus pooled varian
adalah :
………………...........................….(6)
Keterangan :
dan = Rata-rata data pertama dan data kedua
dan
= Estimasi perbedaan kelompok
n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok pertama
n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok kedua
Dengan kriteria uji :
Jika t-hitung ≤ t-tabel, maka Ho diterima dan H₁ tidak diterima.
Jika t-hitung > t-tabel, maka Ho tidak diterima dan H₁ diterima.
Dimana :
Ho : µ1 ≠µ2...............................................................................................(7)
H₁ : µ1 ≠µ2.......................................................................................... ...(8)
Keterangan :
µ1= Rata-rata variabel 1 (petani swadaya)
µ2 = Rata-rata variabel 2 (petani plasma)
64
5) TujuanKe Lima
Untuk menjawab tujuan kelima tentang pendapatan yang diperoleh petani
kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis
kuantitatif. Pendapatan diperoleh dengan menghitung selisih antara
penerimaan yang diterima dari hasil usaha dengan biaya produksi yang
dikeluarkan dalam satu tahun, dirumuskan sebagai:
π = Y. Py-∑ Xi.Pxi – Btransaksi………………....................................(9)
keterangan:
π = pendapatan(Rp)
Y = hasil produksi (kg)
Py = harga hasil produksi (Rp)
∑Xi = jumlah faktor produksi (i 1,2,3,....,n)
Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp)
Bvariabel = biaya variabel (Rp)
Btransaksi = biaya transaksi (Rp)
Pada penelitian ini peneliti membandingkan rata-rata pendapatan
antara petani swadaya dan petani plasma. Analisis statistik uji beda
rata-rata atau t-hitung (independent sample t-test) dengan uji satu arah
yang digunakan untuk penelitian yang membandingkan dua variabel.
Menurut Sugiyono (2010) bila jumlah sampel berbeda (n1 ≠ n2) dan
varians homogen ( =
) sehingga dapat digunakan rumus pooled
varian,derajat kebebasan (dk) = n1 + n2-2. Secara matematis rumus
pooled varian adalah :
…………….........................…. (10)
Keterangan :
dan = Rata-rata data pertama dan data kedua
dan
= Estimasi perbedaan kelompok
65
n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok pertama
n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok kedua
Dengan kriteria uji :
Jika t-hitung ≤ t-tabel, maka Ho diterima dan H₁ tidak diterima.
Jika t-hitung > t-tabel, maka Ho tidak diterima dan H₁ diterima.
Dimana :
Ho : µ1 ≠ µ2..........................................................................................(11)
H₁ : µ1≠ µ2.........................................................................................(12)
Keterangan :
µ1 = Rata-rata variabel 1 (petani swadaya)
µ2 = Rata-rata variabel 2 (petani plasma)
6) Tujuan Ke Enam
Untuk menjawab tujuan ke enam mengenai kesejahteraan petani kelapa
sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis tingkat
kesejahteraan petani menggunakan indikator sosiometrik Indikator
sosiometrik mengklasifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan 8
komponen kesejahteraan yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan
kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, buta huruf, dan
kerawanan dalam keluarga tersebut. Keluarga tergolong sebagai
keluarga tidak sejahtera (miskin) apabila tidak dapat memenuhi sebagian
besar dari delapan komponen kesejahteraan secara layak.
Pengklasifikasian indikator dilakukan dengan pemberian skor
berdasarkan kondisi aktual yang dialami oleh keluarga (skor dari 1
sampai dengan 4). Selanjutnya, skor dari masing – masing aspek
tersebut dijumlahkan dan diperoleh klasifikasi dengan kisaran 8 – 15 :
tidak miskin, 16 – 23 : miskin, 24 – 32 : sangat miskin.
66
Pada penelitian ini peneliti juga membandingkan kesejahteraan antara
petani swadaya dan petani plasma. Analisis statistik menggunakan uji
Mann Whitney dalam rangka untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
rata-rata (mean) dua data sampel yang tidak berpasangan. Syarat uji
Mann Whitney ini adalah data berskala ordinal, interval atau rasio, terdiri
dari 2 kelompok yang independent atau saling bebas, data kelompok I
dan kelompok II tidak harus sama banyaknya, data tidak harus
berdistribusi normal. sehingga tidak perlu uji normalitas.
67
Tabel 7. Indikator sosiometrik
Indikator Skor
1 2 3 4
Ketahanan
pangan
Keluarga yang
selalu mempunyai
pangan dalam
jumlah yang cukup
dan jenis yang
diinginkan
Keluarga selalu
mempunyai
pangan dalam
jumlah yang
cukup tetapi tidak
selalu jenis yang
diinginkan
Keluarga
terkadang tidak
mempunyai
pangan dalam
jumlah yang
cukup untuk
konsumsi
Keluarga sering
tidak mempunyai
pangan dalam
jumlah yang
cukup untuk
konsumsi
Pendidikan Keluarga dapat
mendukung
pendidikan untuk
anak sampai
pendidikan tinggi
dan universitas
Keluarga dapat
mendukung
pendidikan untuk
anak sampai
pendidikan
menengah
Keluarga dapat
mendukung
pendidikan
anak sampai
tingkat dasar
Keluarga tidak
dapat mendukung
pendidikan untuk
anak meskipun
pada tingkat dasar
Pelayanan
kesehatan
Keluarga selalu
mampu untuk
memperoleh obat-
obatan dan
pelayanan
kesehatan yang
dibutuhkan
Keluarga
biasanya mampu
untuk
memperoleh
obat-obatan dan
pelayanan
kesehatan yang
mereka butuhkan
Keluarga
kadang tidak
mampu untuk
memperoleh
obat-obatan dan
pelayanan
kesehatan yang
mereka
butuhkan
Keluarga tidak
pernah mampu
untuk
memperoleh
obat-obatan dan
pelayanan
kesehatan yang
mereka butuhkan
Peralatan
rumah
tangga
Keluarga
mempunyai seluruh
perlengkapan
moderen termasuk
pompa air, listrik,
sepsitctank, dan
telepon
Keluarga
mempunyai 3 dari
4 perlengkapan
yang ada
Keluarga
mempunyai 2
dari 4
perlengkapan
yang ada
Keluarga hanya
mempunyai 1 dari
4 perlengkapan
yang ada.
Modal sosial Selalu terlibat dalam
aktivitas masyarakat
Terkadang terlibat
dalam aktivitas
masyarakat
Jarang terlibat
dalam aktivitas
masyarakat
Tidak pernah
terlibat dalam
aktivitas
masyarakat
Pemberda-
yaan
Selalu merasa
dihormati
Terkadang
merasa dihormati
Jarang merasa
dihormati
Tidak pernah
merasa dihormati
Kemampu-
an baca tulis
Dapat membaca,
menulis, dan
berhitung dasar
Dapat melakukan
2 dari 3
kemampuan yang
ada
Hanya dapat
melakukan 1
kemampuan
yang ada
Tidak dapat
melakukan ketiga
kemampuan yang
ada
Kerawanan Keluarga tidak
mempunyai
kerawanan (balita,
lansia, anggota
keluarga
berpenyakit kronis)
Keluarga
mempunyai 1 dari
3 kerawanan
yang ada
Keluarga
mempunyai 2
dari 3
kerawanan
yang ada
Keluarga
mempunyai 3
kerawanan yang
ada
VI. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Gambaran Umum Daerah Kabupaten Tulang Bawang
Kabupaten Tulang Bawang merupakan merupakan salah satu dari 14
Kabupaten/Kota yang berada di bawah wilayah administrasi Provinsi
Lampung. Dalam kebijakan penataan ruang nasional (PP No. 26 Tahun 2008
tentang RTRWN), Menggala sebagai ibukota kabupaten ditetapkan sebagai
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), juga dilewati jaringan jalan nasional (Jalur
Lintas Timur Pulau Sumatra). Jumlah penduduk 362.427 jiwa (2009), dengan
luas wilayah 346.632 ha memiliki tingkat kepadatan penduduk yang relatif
rendah yaitu 1,05 jiwa/ha.
Pendapatan daerah Kabupaten Tulang Bawang mengandalkan pemasukan
dari komoditas pangan, perkebunan dan perikanan yang menjadi sektor
unggulan. Komoditas pangan terutama ubi kayu digunakan untuk memasok
industri tapioka, sedangkan komoditas perkebunan adalah karet, kelapa sawit
dan tebu, selanjutnya komoditas perikanan banyak didominasi oleh budidaya
tambak udang yang memang sejak lama telah menjadi produk ekspor.
Kondisi infrastruktur yang belum merata ke seluruh wilayah Kabupaten
Tulang Bawang menjadi kendala pembangunan wilayah. Koneksi antar
wilayah secara internal belum cukup memadai, sistem jaringan transportasi
69
yang menjadi kerangka pengembangan wilayah juga diperlukan peningkatan
secara kualitasnya. Kondisi ini kurang memberikan multiplier effect bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga akumulasi nilai tambah
wilayah relatif kecil.
Administrasi pemerintah Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2010 terdiri
dari 15 (lima belas) kecamatan dan 151 kampung/kelurahan dengan luas
wilayah sebesar 3.466,32 Km2 . Batas batas wilayah administrasi Kabupaten
Tulang Bawang adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Mesuji
Sebelah Selatan : Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur
Sebelah Timur : Kawasan pantai (Laut Jawa)
Sebelah Barat : Kabupaten Tulang Bawang Barat
Visi Kabupaten Tulang Bawang adalah terwujudnya pertanian/perkebunan
yang unggul dan hutan yang lestari menuju masyarakat sejahtera dan mandiri
melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang berwawasan lingkungan.
Untuk mencapai visi tersebut, dinas Pertanaian dan Kehutanan Kabupaten
Tulang Bawang memiliki misi :
1) Mewujudkan agribisnis yang produktif, efisien dan berdaya saing tinggi
2) Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing
tinggi
3) Mewujudkan kelestarian hutan untuk kemakmuran rakyat.
4) Mewujudkan peluang investasi dengan menciptakan iklim yang kondusif.
70
Potensi wilayah pertanian seluas 149.420 ha, terdiri dari lahan basah 149.420
ha, lahan kering 102.104 ha, didukung keluarga tani sebanyak 79.709
keluarga dan 1.184 kelompok tani, hal ini yang mendasari program kerja
dinas pertanian Kabupaten Tulang Bawang pada sektor pertanian yaitu,
program pengembangan agribisnis yakni program peningkatan produksi
pertanian tanaman pangan.
Kabupaten Tulang Bawang mempunyai kecamatan terluas dan terkecil,
Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dentes Teladas (± 19,57 persen),
sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Meraksa Aji (± 2,75 persen).
Akan tetapi dari segi kepadatan penduduk eksisting, penduduk lebih
terkonsentrasi di pusat-pusat kegiatan, seperti di Kecamatan Banjar Agung,
Kecamatan Banjar Margo, Kecamatan Rawajitu Selatan serta Kecamatan
Menggala. Sedangkan kecamatan lainnya masih rendah, yang menandakan
perlunya suatu intervensi perencanaan untuk mencapai efisiensi penggunaan
sumber daya dan efisiensi alokasi distribusi sumber daya.
B. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Penawartama
Kecamatan Penawartama adalah sebuah kecamatan perwakilan yang
merupakan kepanjangan tangan dari Kecamatan Menggala. Pada tahun 1999
di lanjutkan menjadi kecamatan pembantu yang merupakan pemekaran dari
Kecamatan Menggala .
Kecamatan Penawartama pada tanggal 26 Pebruari 2001 melalui Perda No 1
tahun 2001,diresmikan oleh Bupati Tulang Bawang menjadi kecamatan
devinitif membawahi 17 kampung, dengan jumlah penduduk 57.323 jiwa dan
71
jumlah KK sebanyak 15.392 Kepala Keluarga. Perkebunan kelapa sawit dan
karet merupakan penghasilan utama selain tanaman singkong. Adapun
berbagai mata pencaharian penduduk adalah:
1. Usaha Pertanian
2. Usaha Perkebunan karet dan sawit
3. Karyawan PT
4. Pedagang
5. Usaha industri Kecil
6. Buruh
Selain itu ada potensi wilayah yang sangat strategis hanya saja belum tergarap
secara optimal yaitu peternakan kambing dan sapi. Sebagian besar wilayah
penawartama terdiri dari perkebunan yang menyediakan pakan ternak yang
berlimpah. Wilayah selatan penawartama terdiri dari lahan rawa yang luasnya
ribuan hektare dimana tempat tersebut menyediakan pakan selama musim
kemarau, bahkan ketika kemarau panjang banyak warga dari Kecamatan
Banjar Margo dan Banjar Agung merumput di lahan tersebut. Belum
tergarapnya potensi tersebut dikarenakan tidak adanya modal untuk membeli
bibit ternak unggul. Tingkat parstisipasi masyarakat Penawartama dalam
pembangunan sangat tinggi, hal ini dibuktikan dengan pesatnya tingkat
pembangunan di Penawartama.
C. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Gedung Aji Baru
Kecamatan Gedung Aji Baru merupakan salah satu kecamatan diantara 15
kecamatan yang ada di Kabupaten Tulang Bawang. Kecamatan Gedung Aji
Baru merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Penawar Tama yang
72
disahkan dalam Perda No. 01 Tahun 2007, beribukota di Kampung Sidomukti,
yang berbatasan dengan:
Sebelah utara : Kecamatan Rawa Jitu Utara (Kabupaten Mesuji)
Sebelah selatan : Sungai Pidada (Kecamatan Rawa Pitu)
Sebelah barat : Kecamatan Penawar Tama
Sebelah timur : Kecamatan Rawa Jitu Selatan
Wilayah Kecamatan Gedung Aji Baru memiliki luas wilayah 9.617,59 Ha atau
2,79 persen dari luas Kabupaten Tulang Bawang. Kecamatan Gedung Aji
Baru merupakan daerah agraris Kabupaten Tulang Bawang dengan mata
pencaharian pokok penduduknya berada disektor pertanian.Industri, Koperasi,
dan usaha-usaha sektor ekonomi yang memegang peranan penting dalam
bidang ekonomi di Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang Bawang
yaitu di bidang usaha-usaha ekonomi.
Usaha-usaha ekonomi itu meliputi pasar sebanyak 3 unit, toko/kios/warung
sebanyak 240 unit, rumah makan/warung makan sebanyak 16 unit, dan hotel.
Sementara itu, belum terdapat sektor industri dan koperasi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru saat ini,
sehingga kedepanya perlu menciptakan lapangan pekerjaan baru atau koperasi
yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk. Hal ini sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Kecamatan Gedung Aji Baru, terutama sektor industri-
industri kecil, karena mampu menyerap tenaga kerja secara maksimal.
Hasil estimasi penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang
Bawang tahun 2011, penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru mencapai 20.730
73
jiwa, dengan luas wilayah sebesar 95,36 km2. Kepadatan penduduk
Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang Bawang sebesar 217
jiwa/km2. Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan
distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diutamakan dalam proses
pembangunan daerah. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi kelebihan
bagi suatu daerah dan dapat pula menjadi kekurangan bagi suatu daerah
apabila jika penduduk berkualitas rendah dan tidak mampu bersaing dengan
penduduk daerah lain.
D. Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Lampung
Kelapa sawit adalah tumbuhan industrial penting penghasil minyak masak,
minyak industri maupun bahan bakar. Sejarah perkembangan perkebunan
kelapa sawit Provinsi Lampung dimulai sejak Tahun 1995. Awal mula
penanaman adalah dengan pembukaan lahan transmigrasi lokal untuk wilayah
Tulang Bawang, Mesuji dan Way Kanan yang pada saat itu masih menjadi
satu Kabupaten yakni Kabupaten Lampung Utara. Petani menjalin kemitraan
plasma dengan pihak pabrik kelapa sawit dalam bentuk koperasi. Setiap tahun
semakin berkembang dengan bertambahnya luas lahan dan jumlah petani yang
menanam kelapa sawit.
Di Provinsi Lampung, pengembangan kelapa sawit rakyat dimulai sejak
adanya kebijakan PIR dan PRPTE. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan
salah satu pola pengembangan perkebunan rakyat yang masih relatif baru.
Dalam pola ini, PTPN ataup PBS yang memiliki kemampuan tinggi diberikan
tugas untuk membangun suatu perkebunan termasuk pabrik pengolahannya.
74
Perkebunan tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagian
diserahkan kepada petani pekebun dan sebagian lagi berikut sarana
pengolahannya menjadi milik perusahaan pembangunnya. Petani pekebun
tersebut diartikan sebagai peserta PIR. Bagian yang diserahkan kepada petani
atau peserta PIR disebut sebagai “plasma”, sedangkan yang menjadi milik
perusahaan disebut sebagai “inti”. Kedua hubungan tersebut dapat
digambarkan bahwa pola PIR adalah keadaan sosial ekonomi peserta dan
didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai
kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan
perusahaan yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan.
Pelaksanaan program PIR membutuhkan petani (peserta) dalam jumlah besar
dan hal ini menjadi komponen terpenting dalam pola PIR. Perusahaan inti
akan mengembangkan sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melalui
proses alih teknologi dari perusahaan inti kepada petani dan adanya
pembinaan kewirausahaan. Tidak hanya itu, berbagai pekerjaan yang
menyangkut semua unit plasma, seperti pendistribusian sarana produksi,
pemeliharaan tanaman sampai dengan pengumpulan Tandan Buah Segar
(TBS) dapat dilaksanakan secara efisien. Hal ini dikarenakan, kebun inti dan
plasma terletak di satu lokasi sehingga pembinaan organisasi petani relatif
mudah.
Petani mandiri atau swadaya mulai mengikuti perkembangan komoditas
tanaman yang ada di wilayah mereka. Hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki
petani telah dikelilingi oleh tanaman kelapa sawit sehingga mau tidak mau
mereka harus menanam kelapa sawit agar tidak kalah dalam perebutan unsur
75
hara tanaman. Petani mengganti tanaman sebelumnya karena menurut petani
tanaman sebelumnya tidak menghasilkan dan dinilai belum menguntungkan.
Provinsi lampung memiliki potensi dibidang kelapa sawit. Potensi ini dapat
dilihat dengan jumlah luasan dan produksi kelapa sawit yang tinggi di
Provinsi lampung. Kabupaten Tulang Bawang memiliki peluang yang cukup
tinggi karena, kabupaten merupakan daerah sekitar rawa sehingga kebutuhan
utama tanaman kelapa sawit yakni air dapat terpenuhi.Kabupaten Tulang
Bawang merupakan kabupaten dengan produksi dan luas terbesar kedua di
Provinsi Lampung yakni 36.672 ha dengan produksi 95.548 pada tahun 2015.
Kelapa sawit yang dibudidayakan di Kabupaten Tulang Bawang adalah jenis
dura dan pisifera. Tipe kelapa sawit tersebut dibedakan berdasarkan ketebalan
cangkang yang masing-masing jenis memiliki keunggulan yang berbeda-beda.
E. Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera
Koperasi Unit Desa (KUD) Krida Sejahtera yang beralamat di jalan lintas
Rawajitu Kampung Bogatama Kec. Penawar Tama Kab. Tulang Bawang
merupakan koperasi yang bergerak dibidang koperasi plasma dan replanting
kelapa sawit. Koperasi Unit Desa (KUD) berdiri pada tanggal 14 april 1994.
Badan hukum koperasi telah disahkan oleh menteri koperasi dan pembinaan
pengusaha kecil RI dalam Surat Keputusan No. 100/Kep/BH/ KWK.7/ VI/
1994 tanggal 1 juni 1994. Anggaran dasar koperasi telah mengalami beberapa
kali perubahan, terakhir berdasarkan keputusan mendapat rapat anggota
khusus taggal 28 maret 2001. Perubahan anggaran dasar tersebut telah
mendapat persetujuan dari Menteri Negara Urusan Koperasi, Usaha Kecil dan
76
Menengah Republik Indonesia dalam Surat Keputusan
No.060/12/PAD/D.6/TB/2002 tanggal 15 Februari 2002.
Jumlah pengurus koperasi berjumlah 5 orang yang terdiri dari Ketua I, Ketua
II, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara dan memiliki 15 orang karyawan
untuk membantu kegiatan operasional koperasi pada tahun 2015.Ketua KUD
Krida Sejahtera adalah bapak Misery Al Aminanto, S.Pd. Jumlah anggota
KUD Krida Sejahtera adalah 17.258 orang yang terbagi menjadi tiga wilayah
yaitu GABA (Gedung Aji Baru), GALA (Gedung Aji Lama) dan Mesuji.
Secara keseluruhan luasan tanah anggota petani anggota koperasi adalah
14.886,175 ha.
Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera bergerak pada unit usaha plasma dan
replanting, percetakan, simpan pinjam dan WASERDA yang kini hanya
menyediakan beras untuk keperluan perusahaan. Koperasi Unit Desa Krida
Sejahtera mendapatkan penghargaan dari ISCC ( International Sustainability
and Carbon Certification) berupa sertifikat ISCC. Adanya sertifikat ISCC
artinya petani anggota koperasi yang tergabung kedalam petani plasma sudah
bersertifikasi.
Tabel 8. Aset yang dimiliki oleh KUD Krida Sejahtera pada tahun 2016
Keterangan Lokasi
Gedung yang terdiri dari kantor KUD , aula
pertemuan, percetakan, pos jaga, perumahan
karyawan, rumah ganzet.
Bogatama
Alat- alat elektronik, funiture dan inventaris kantor
penunjang kegiatan operasional
Bogatama
Gudang penyimpanan beras dan garasi Bogatama
Kendaraan: 3 unit motor honda supra X, 2 unit
mobil panther
Bogatama
Sumber : Rapat Akhir Tahun, 2016.
77
Koperasi Unit Desa Krida Sejatera melaksanakan tertib administrasi
perkoperasian dan administrasi unit-unit usaha yang meliputi :
1. 16 buku pokok KUD
2. Buku anggota / kartu pengambilan hasil TBS
3. Buku kas, buku bank, kartu gudang, buku penjualan, buku pembelian, serta
buku pendukung lainya yang tertuang dalam buku RAT.
Total aset lancar KUD adalah sebesar Rp 37.173.413.301 dan total aset tidak
lancar sebesar Rp 92.317.112.325 sehingga total aset yang dimilki KUD Krida
Sejahtera adalah sebesar Rp 129.490.525.626. Koperasi mengukur aset
tetapnya dengan menggunakan model biaya. Berdasarkan model biaya, aset
tetap, kecuali tanah yang tidak di amortisasi, dicatat sebesar biaya perolehan
dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian penurunan nilai aset.
Persediaan diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, dimana yang
lebih rendah.
Sejak tahun 2010, KUD Krida Sejahtera mengelola pemupukan dana dari
anggotanya yang bertujuan untuk mendanai program penanaman kembali
tanaman kelapa sawit pada kebun-kebun milik anggota koperasi di masa yang
akan datang. Pemupukan dana berasal dari pemotongan hasil penjualan TBS
kelapa sawit milik anggota. Jumlah kumulatif pemotongan hasil penjualan
TBS kelapa sawit untuk tujuan pemupukan dana tersebut sebesar
Rp 102.153.961.526 pada tanggal 31 Desember 2015.
78
Sumber : KUD Krida Sejahtera, 2017.
Gambar 3. Struktur Organisasi KUD KRIDA SEJAHTERA Tahun 2017
PENGURUS
KETUA I : Misery Al Aminanto, S.Pd
KETUA II : Syamsudin
SEKRETARIS I : Antuk Yuwono, SE
SEKRETARIS II : Ahmad Bukhori
BENDAHARA : Drs.Sujoko
PENGURUS
KETUA : Kamso Dalimin
Anggota : M.Kamaludin
Anggota : Agus Nahmud
KASIE
KARYAWAN
Percetakan Plasma dan Replanting Simpan Pinjam
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah
1. Pola perkebunan yang lebih baik adalah pola perkebunan plasma karena
dari tahap pengelolaan sampai dengan penjualan hasil panen sudah
diatur dan tersedia sedangkan petani swadaya harus mengusahakan
sendiri kebunnya. Adapun kekurangan pola perkebunan plasma adalah
adanya aturan yang harus diikuti oleh petani berupa hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh petani plasma sehingga memberatkan petani.
2. Penilaian kinerja KUD Krida Sejahtera berdasarkan pedoman
pemeringkatan koperasi maka KUD Krida Sejahtera termasuk ke dalam
jenis koperasi yang kurang berkualitas dengan jumlah total penilaian
sebesar 253.
3. Terdapat perbedaan pada sistem rantai pasok TBS kelapa sawit di
Kabupaten Tulang Bawang dimana rantai pasok TBS kelapa sawit petani
swadaya lebih panjang dibandingkan rantai pasok TBS kelapa sawit
petani plasma. Perbedaaan tersebut menjadikan rantai pasok TBS petani
plasma lebih efisien dan efektif baik dalam aliran barang, aliran uang
maupun aliran informasi.
130
4. Petani plasma mengeluarkan biaya transaksi lebih kecil dari petani
swadaya dengan rata-rata biaya transaksi yang dikeluarkan selama satu
tahun terakhir masing-masing sebesar Rp 66.796,05 dan Rp 217.250,00.
Biaya transaksi petani swadaya lebih besar dibandingkan dengan petani
plasma karena petani swadaya pengusahaan usaha perkebunannya
dilakukan dengan swadaya atau secara mandiri mulai dari kepemilikan,
permodalan, pengolahan sampai dengan panen sehingga biaya transaksi
yang dikeluarkan baik untuk biaya penelitian, informasi, dan monitoring
lebi besar. Hal ini berbeda dengan petani plasma yang biaya
transaksinya lebih kecil karena petani plasma bermitra dengan KUD
Krida Sejahtera yang pengelolaan kebunnya dilakukan oleh KUD,
sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan dapat dikurangi.
5. Tingkat pendapatan petani kelapa sawit plasma lebih besar dibandingkan
swadaya. Rata-rata pendapatan untuk petani plasma sebesar
Rp 22.220.785,74 per hektar per tahun, sedangkan pendapatan petani
swadaya sebesar Rp16.913.774,53 per hektar per tahun. Pendapatan
petani plasma lebih besar daripada petani swadaya karena petani plasma
pengelolaan usaha perkebunannya dikelola oleh perusahaan dengan baik
dengan sistem pembayaran kerjasama yang telah ditetapkan sehingga
petani plasma memiliki kepastian dalam memperoleh hasil dari
kesepakatan dengan perusahaan. Berbeda dengan petani swadaya yang
setiap pengelolaannya dilakukan secara mandiri baik dari memperoleh
sarana produksi, mengelola usaha perkebunanya mulai dari pengolahan
tanah hingga panen, dan pemasarannya.
131
6. Berdasarkan hasil analisis menggunakan indikator sosiometrik diperoleh
bahwa rata-rata petani swadaya dan petani plasma merupakan petani
yang dikategorikan keluarga sejahtera dengan rata-rata perolehan skor
yang sama yakni 11.
B. SARAN
1. Sebaiknya ada perbaikan manajemen dan kinerja koperasi sehingga
KUD Krida Sejahtera dapat meningkatkan peringkat menjadi koperasi
yang berkualitas sehingga lebih berkontribusi untuk membantu petani
dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
2. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan harga yang berlaku dipasar
sehingga petani mendapatkan harga yang layak untuk meningkatkan
kesejahteraan petani kelapa sawit.
3. Sebaiknya peneliti lain dapat mempergunakan indikator lain untuk
menganalisis kesejahteraan, indikator sosiometrik dinilai belum dapat
menggambarkan secara mendetail mengenai kesejahteraan petani di
suatu wilayah jika hanya dilihat menggunakan delapan indikator.
132
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,R. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR. Cetakan Pertama. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Andriati dan I Gusti P.W. 2011. Penguatan Aspek Kelembagaan Program
Revitasilasi Perkebunan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma.
Jurnal Agro Ekonomi Volume 29 No. 2 Oktober 2011: 169-190. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2015. Lampung dalam Angka. BPS Provinsi Lampung.
Bandar Lampung
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2014. Statistik
Perekonomian Lampung Tahun 2013. BAPPEDA Provinsi Lampung.
Bandar Lampung.
Basuki,I, dkk. 2006. Model Hubungan Inovasi & Kelembagaan di Desa
Genggelang Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
Lombok Barat.
Carter, William K dan Usry, Mitton F. 2009. Akuntansi Biaya II. Edisi 14.
Salemba Empat. Jakarta.
Chopra S and Middle. 2004. Supply chain Mangement:Strategy, Planning and
Operation. Pearson Prentice Hall.
Darmosarkoro, W., E.S. Sutarta dan Winarna. 2003. Teknologi Pemupukan
Tanaman Kelapa Sawit. Dalam Lahan Dan Pemupukan Kelapa Sawit.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM. 2013. Pedoman
Pemeringkatan Koperasi. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah. Jakarta.
Dinas Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Provinsi Lampung. Lampung.
133
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa
Sawit 2014 - 2016. Jakarta
Erani, A.Y. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Definis, Teori dan Strategi.
Erlangga. Jakarta.
Gurajati, D. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Ed ke-3. Erlangga. Jakarta.
Hamid,E. Implementasi Kemitraan Agribisnis Kelapa Sawit Di Provinsi Jambi.
Jurnal. Universitas Jambi. Jambi
Hendar dan Kusnadi. 2002. Ekonomi Koperasi untuk Perguruan Tinggi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Hermanto. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani dalam Implementasi Prima Tani
di Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No.
2, Juni 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera
Selatan. Palembang.
Hernanto, F. 1994. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Husin, L.B. 2007. Kinerja Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit di Sumatera
Selatan: Analisis Kemitraan dan Ekonomi Rumahtangga Petani. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses : 7 April 2017
Indrajit, R.E, Djokopranoto R. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Jakfar, F, Romano, Nurcholis. 2015. Pengelolaan Rantai Pasok dan Daya Saing
Kelapa Sawit di Aceh. Jurnal Unsyiah Vol.1 No.2 Juli 2015. Universitas
Syiah Kuala. Aceh.
Malini, H., dan D. Aryani. 2016. Model Kelembagaan Petani Plasma Bersertifikat
RSPO dan Non RSPO dalam Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kabupaten
Musi Banyuasin. Makalah, Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan.
http://eprints.unsri.ac.id/260/2/0000031506-
MakalahHennyRevisiSeminarMaksi.pdf. Diakses pada tanggal 4
November 2016.
Mangkuprawira, S. 1996. Hubungan Kelembagaan dalam Agribisnis. Jurnal
Volume 2 No. 2 September 1996. IPB Press. Bogor.\
Marimin dan Magfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. Bogor. Unit Penerbit dan Percetakan IPB
Press.
134
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES) Edisi ke-3.
Jakarta.
Mustapa, I W. 2013. Analisis Komparatif Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit
Kelompok Iga dan Plasma di Desa Gunungsari Kec.Pasangkayu Kab.
Mamuju Utara. E-J.Agrotekbis 1(2) : 153-158, Juni 2013 Vol 1 No 2.
Universitas Tadulako. Palu.
Nazir,M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ndraha, M D, Hutabarat S, Kausar. 2014. Analisis Kelembagaan Perkebunan
Kelapa Sawit Rakyat Pola Plasma Menghadapi Pasar Global di Kecamatan
Ukui Kabupaten Pelalawan. Jom Faperta Vol 1 No 2 Oktober 2014.
Universitas Riau. Riau.
Nuryani, N. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi
Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan
Kesejahteraan Keluarga. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 1992. Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta.
Kuncoro, M. 2004. Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan
Ekonomi Edisi kedua. AMP YKPN. Yogyakarta.
Pujawan. I.N. 2005. Supply Chain Management. Penerbit Guna Widya. Surabaya.
Rahim, A dan Hastuti, D.R. 2007. Pengantar teori dan kasus. Ekonomika
Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta:
Rambe, A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat .Kesejahteraan
(Kasus di Kecamatan Medan, Kota Sumatra Utara). Tesis. Pascasarjana
IPB. Bogor.
Reksoprayitno. 2004. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Bina Grafika.
Jakarta
Saragih, B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian. IPB Press. Bogor
Singarimbun, M.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S. Jakarta.
135
Siregar, Baldric, dkk. 2013. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.
Soekartawi. 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sukoco, H D. 1995. Introduction To Social Work Practice. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Supranto, J. 1998. Teknik Pengambilan Keputusan. Rineka Cipta. Jakarta
Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suwandi, Ikhsan G, Defidelwina. 2015. Analisis Perbandingan Pendapatan
Usahatani Kelapa Sawit Pola Koperasi Kredit Untuk Anggotannya
(KKPA) dengan Petani Swadaya di Desa Kepayang Kecamatan
Kepenuhan Hulu. Jurnal. Universitas Pasir Pengaraian. Pasir
Pengaraian.
Syahza, A dan Suarman. 2014. Penataan Kelembagaan Kelapa Sawit dalam
Upaya Memacu Percepatan Ekonomi Di Pedesaan. Lembaga Penelitian
Universitas Riau. Riau.
Van Der Vorst. 2006. Performance Measurement in Agri-Food Supply-Chain
Networks. Hollandseweg Netherlands : Logistics and Operations Research
Group, Wageningen University, Hollandseweg Wageningen. Netherlands.
Wahyuningsih, S. 2007. Pengembangan Agribisnis Ditinjau Dari Kelembagaan.
Mediagro Vol. 3 No. 1,2007 Hal 9-20. Universitas Wahid Hasyim.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN.
Yogyakarta.
Wijayanti, T. 2010. Analisis Sosial Ekonomi Usahatani Kelapa Sawit di Desa
Suliliran Baru Kecamatan Pasir Belengkong Kabupaten Paser. Ziraa’ah
Volume 27 No 1 februari 2010. Universitas Mulawarman. Samarinda.
Winarno, WW. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.
STIM YKPN. Yogyakarta.
Wulandari. 2014. Analisis Pendapatan Dan Pola Konsumsi Petani Kelapa Sawit
Di Desa SumberMakmur Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar. Jom
Fekon Vol. 1 No. 2 Oktober 2014. Universitas Riau. Pekanbaru.