KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK AGRIBISNIS KELAPA ...digilib.unila.ac.id/55003/3/TESIS TANPA...

102
KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG (TESIS) YUNI ELMITA SARI PASCASARJANA AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2018

Transcript of KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK AGRIBISNIS KELAPA ...digilib.unila.ac.id/55003/3/TESIS TANPA...

KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK

AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA

PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN

PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG (TESIS)

YUNI ELMITA SARI

PASCASARJANA AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018

ABSTRACT

INSTITUTIONAL PERFORMANCE AND SUPPLY CHAIN OF

AGRIBUSINESS PALM OIL IN EFFORTS TO INCREASE FARMING

INCOME AND WELFARE IN TULANG BAWANG DISTRICT

By

YUNI ELMITA SARI

The research aims to determine : (1) institutional performance of oil palm

plantations,(2) fresh palm plantation supply chain, (3) transaction cost incurred by

oil palm farmer, (4) income earned by oil palm farmers, (5) welfare of palm oil

farmers. The research was conduced on august to September 2017 on Tulang

Bawang distric. The samples are taken from one hundred fiftytwo farmers who

take seventysix self-help palm oil farmers and seventysix plasma oil palm farmers

with proportional random sampling. The measurement of this study uses

quantitative descriptive analysis based on cooperative ranking guidelines. Supply

chains, revenues, transaction costs, and the level of welfare of people's palm oil

agribusiness were measured using quantitative desktiptif analysis. To compare the

pattern of plasma farmers and the patterns of independent smallholders, the level

of income and transaction costs are compared using a different test (t-test) while

the welfare level is compared using the mann whitneyy test. The results of the

research indicate that: 1) performance assessment of KUD palm oil included into

the less qualified cooperative type with total value of 253, (2) supply chain system

consisting of 3 streams ie flow of goods, the flow of money and the flow of

information, (3) plasma farmers incur smaller transaction costs than self-help

farmers, (4) plasma farmer's income is greater than self-help farmers because the

smallholders of the plantation management business are managed by the company

well with the payment system of cooperation that has been set so plasma farmers

have a certainty in obtaining the results of the agreement with the company, (5)

farmers self-help and plasma farmers are farmers who categorized prosperous

families.

Keywords: Institutional, cooperative, income, transaction costs, welfare.

ABSTRAK

KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK

AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA

PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN

PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG

Oleh

YUNI ELMITA SARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : (1) kinerja kelembagaan kelapa sawit

rakyat, (2) sistem rantai pasok tandan buah segar kelapa sawit rakyat, (3) biaya

transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit rakyat, (4) pendapatan yang

diperoleh petani kelapa sawit rakyat dan (5) kesejahteraan petani kelapa sawit

rakyat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan

September 2017. Jumlah responden sebanyak 152 petani yang terdiri dari 76

petani swadaya dan 76 petani plasma yang diambil secara acak. Pengukuran

penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif berdasarkan pedoman

pemeringkatan koperasi. Rantai pasok, pendapatan, biaya transaksi, dan tingkat

kesejahteraan agribisnis kelapa sawit rakyat diukur menggunakan analisis

desktiptif kuantitatif. Untuk membandingkan pola petani plasma dan pola petani

swadaya maka tingkat pendapatan dan biaya transaksi dibandingkan

menggunakan uji beda (t-test) sedangkan tingkat kesejahteraan dibandingkan

menggunakan uji mann whitneyy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1)

penilaian kinerja KUD yang mengelola kelapa sawit di Kabupaten Tulang

Bawang termasuk kedalam jenis koperasi yang kurang berkualitas dengan jumlah

total penilaian sebesar 253, (2) sistem rantai pasok TBS kelapa sawit petani

plasma di Kabupaten Tulang Bawang lebih efektif dan efisien dibandingkan

petani swadaya baik dalam aliran barang, aliran uang maupun aliran informasi,

(3) petani plasma mengeluarkan biaya transaksi lebih kecil dari petani swadaya,

(4) pendapatan petani plasma lebih besar daripada petani swadaya karena petani

plasma pengelolaan usaha perkebunannya dikelola oleh perusahaan dengan baik

dengan sistem pembayaran kerjasama yang telah ditetapkan sehingga petani

plasma memiliki kepastian dalam memperoleh hasil dari kesepakatan dengan

perusahaan,(5) petani swadaya dan petani plasma merupakan petani yang

dikategorikan keluarga sejahtera.

Kata kunci : kinerja, koperasi, pendapatan, biaya transaksi,kesejahteraan.

KINERJA KELEMBAGAAN DAN RANTAI PASOK

AGRIBISNIS KELAPA SAWIT RAKYAT DALAM UPAYA

PENINGKATAN PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN

PETANI DI KABUPATEN TULANG BAWANG

Oleh

YUNI ELMITA SARI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER SAINS (M.Si.)

Pada

Program Studi Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada tanggal 07 Juni 1992 dari pasangan

Edward Kholik dan Milianah. Penulis adalah anak pertama dari empat

bersaudara. Penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Dasar di SD N 5 Kelapa

Tujuh Kecamatan Kotabumi Selatan pada tahun 2004, tingkat Sekolah Menengah

Pertama di SMP N 7 Kotabumi pada tahun 2007, tingkat Sekolah Menengah Atas

di SMA N 2 Kotabumi pada tahun 2010, dan memasuki kuliah di Universitas

Lampung Fakultas Pertanian, Program Studi Agribisnis pada tahun 2010 dengan

jalur PKAB. Penulis menyelesaikan studi (S1) di jurusan Agribisnis Fakultas

Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2014. Kemudian tahun 2015 kembali

melanjutkan studi (S2) di Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lampung.

Pada tahun 2017 penulis diterima bekerja sebagai Constumer Service Bank

Rakyat Indonesia. Kemudian di tahun 2017 penulis mendapatkan Beasiswa Tesis

dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas

Lampung.

SANWACANA

Bismillahirohmanirrahim,

Alhamdullilahirobbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat dan

karunia NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Sholawat beriring

salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW teladan bagi

seluruh umat manusia, semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya.

Banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasehat, serta saran-

saran yang membangun dalam penyelesaian tesis ini, yang berjudul “Kinerja

Kelembagaan dan Rantai Pasok Agribisnis Kelapa Sawit Rakyat dalam

Upaya Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani di Kabupaten

Tulang Bawang ”. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis mengucapkan

terimah kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.,sebagai Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung yang telah memberikan motivasi selama proses

penyelesaian tesis;

2. Prof. Dr. Mustofa Usman., Ph.D., sebagai Direktur Pascasarjana Universitas

Lampung yang telah memberikan motivasi selama proses penyelesaian tesis;

3. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., sebagai Ketua Program Studi

Pascasarjana Magister Agribisnis yang telah memberikan motivasi selama

proses penyelesaian tesis;

4. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.P., sebagai Dosen Pembimbing

pertama dan Dosen Pembimbing Akademik terbaik yang telah memberikan

bimbingan, motivasi, bantuan dan nasihatnya selama proses penyelesaian

tesis,

5. Dr. Ir. Dyah Aring Hepiana Lestari, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing

ke dua yang terbaik dan Kepala Laboratorium Analisis Agribisnis, yang telah

memberikan bimbingan, motivasi,bantuan dan nasihatnya selama proses

penyelesaian tesis;

6. Dr. Ir. R. Hanung Ismono, M.P., sebagai Dosen Penguji atas segala saran,

arahan dan motivasi yang telah diberikan untuk penyelesaian tesis;

7. Mama, Bapak, Suami, Mama Mertua dan Papa Mertua serta adik-adik yang

telah memberikan kasih sayang serta senantiasa memberikan doa-doa terbaik

di setiap sholatnya.

8. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) yang telah

memberikan beasiswa hibah pasca untuk penelitian tesis;

9. Seluruh dosen dan karyawan di Program Studi Magister Agribisnis Fakultas

Pertanian (Mbak Ayi, Mbak Anisa, Mbak Iin, Mas Edi, , Mas Boim dan Mas

Riyadi) atas semua bantuan yang telah diberikan;

10. Seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Agribisnis

Angkatan 2014, 2015, 2016 (Ayas, Mbak Ulfa, Bang Fikri,Bang Berlian,

Bang Raden, Bang Ewin, Mbak oni, Mbak Bina, Andini) serta adik-adik

Agribisnis atas kebersamaan dan bantuan selama menuntut ilmu di almamater

tercinta Universitas Lampung;

11. Semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya tesis ini akan tetapi

tidak dapat disebutkan satu per satu.

Mohon maaf atas segala kesalahan selama proses penulisan tesis ini. Semoga

Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan

Bandar Lampung, 16 Agustus 2018

Penulis

Yuni Elmita Sari

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12

D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 14

1. Sistem Agribisnis ............................................................................ 14

2. Sistem Kelembagaan Agribisnis ...................................................... 17

3. Kemitraan ......................................................................................... 20

4. Kinerja Kelembagaan ....................................................................... 23

5. Koperasi ........................................................................................... 24

6. Sistem Rantai Pasok (Supply Chain) ............................................... 29

7. Pendapatan Usahatani ...................................................................... 32

8. Teori Biaya ....................................................................................... 33

9. Teori Biaya Transaksi ...................................................................... 35

10. Teori Kesejahteraan ......................................................................... 38

11. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 40

B. Kerangka Berpikir .................................................................................. 45

C. Hipotesis ................................................................................................ 49

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ................................................ 51

B. Metode, Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 55

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ........................................... 57

ii

D. Metode Analisis Data ............................................................................. 57

VI. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Gambaran Umum Daerah Kabupaten Tulang Bawang ......................... 68

B. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Penawartama ............................ 70

C. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Gedung Aji Baru ...................... 71

D. Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Lampung ....................................... 73

E. Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera ...................................................... 75

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Responden ................................................................ 79

1. Umur Petani Responden ................................................................. 79

2. Pengalaman Berusahatani Kelapa Sawit Petani Responden ............ 80

3. Pekerjaan Sampingan Petani Responden ........................................ 81

4. Luas Lahan dan Status Kepemilikan Lahan Petani Responden ...... 82

5. Tanaman yang Diusahakan Petani .................................................. 83

6. Umur Tanaman Kelapa Sawit yang Diusahakan Petani ................. 84

B. Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten

Tulang Bawang ....................................................................................... 85

C. Kinerja Koperasi di Kabupaten Tulang Bawang .................................... 90

D. Sistem Rantai Pasok Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Rakyat

di Kabupaten Tulang Bawang ............................................................... 102

E. Biaya Transaksi yang Dikeluarkan oleh Petani Kelapa Sawit

Rakyat di Kabupaten Tulang Bawang .................................................. 108

F. Pendapatan Usahatani yang Diperoleh Petani Kelapa Sawit

Rakyat di Kabupaten Tulang Bawang ................................................... 112

G. Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten

Tulang Bawang ...................................................................................... 123

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ........................................................................................... 129

B. Saran ..................................................................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas lahan dan produksi kelapa sawit Pulau Sumatera tahun 2014 ............ 2

2. Jumlah petani pekebun swadaya di Provinsi Lampung tahun 2015 ............ 5

3. Luas areal dan produksi kelapa sawit menurut kabupaten/kota

di Provinsi Lampung tahun 2015 ................................................................. 6

4. Produksi Perkebunan Rakyat (PR) Kabupaten Tulang Bawang

tahun 2015 .................................................................................................... 7

5. Perbandingan efisiensi biaya transaksi melalui pasar

dan melalui koperasi .................................................................................... 37

6. Penelitian terdahulu ..................................................................................... 41

7. Indikator sosiometrik ................................................................................... 67

8. Aset yang dimiliki oleh KUD Krida Sejahtera pada tahun 2016 ................. 76

9. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan kelompok

umur di Kabupaten Tulang Bawang ............................................................ 79

10. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan lama

berusahatani di Kabupaten Tulang Bawang ................................................. 81

11. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan

pekerjaan sampingan di Kabupaten Tulang Bawang ................................... 83

12. Sebaran responden petani kelapa sawit berdasarkan

luas lahan di Kabupaten Tulang Bawang ..................................................... 82

13. Sebaran petani kelapa sawit berdasarkan tanaman yang diusahakan

di Kabupaten Tulang Bawang ...................................................................... 84

14. Sebaran petani kelapa sawit berdasarkan umur tanaman yang

diusahakan di Kabupaten Tulang Bawang ................................................... 85

15. Pengelolaan perkebunan petani swadaya dan petani plasma

di Kabupaten Tulang Bawang ...................................................................... 89

16. Penyelenggaraan rapat di KUD Krida Sejahtera .......................................... 90

17. Struktur permodalan KUD Krida Sejahtera ................................................. 93

18. Rasio likuiditas KUD Krida Sejahtera ......................................................... 94

iv

19. Rasio solvabilitas pada KUD Krida Sejahtera ............................................. 95

20. Penilaian kinerja KUD Krida Sejahtera ....................................................... 101

21. Prilaku pasar perkebunan kelapa sawit swadaya dan perkebunan

kelapa sawit plasma tahun 2017 ................................................................... 107

22. Biaya transaksi petani plasma dan petani swadaya selama

satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang ..................................................... 110

23. Hasil analisis uji beda (independent T-test) biaya transaksi petani

kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ................................ 112

24. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Desa Makartitama

periode Juli 2017 ........................................................................................... 113

25. Rincian biaya perkebunan petani plasma Desa Makartitama

periode Juli 2017 .......................................................................................... 113

26. Perincian hutang-hutang petani plasma Desa Makartitama

periode Juli 2017 ........................................................................................ 114

27. Pendapatan perkebunan kelapa sawit plasma Desa Makartitama

periode Juli 2017 .......................................................................................... 115

28. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usaha perkebunan

kelapa sawit petani swadaya di Kabupaten Tulang Bawang ....................... 117

29. Rata-rata penerimaan, biaya, dan pendapatan petani kelapa sawit

swadaya selama satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang .......................... 120

30. Rata-rata pendapatan per hektar petani plasma dan petani swadaya

selama satu tahun di Kabupaten Tulang Bawang ........................................ 121

31. Hasil analisis uji beda (independent T-test) tingkat pendapatan

petani kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ...................... 122

32. Sebaran tingkat kesejahteraan petani plasma dan petani swadaya

di Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan indikator sosiometrik .............. 127

33. Hasil analisis uji Mann Whitney tingkat kesejahteraan petani

kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit swadaya ................................ 128

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram sistem agribisnis menurut Saragih (2010). .................................... 16

2. Kerangka berpikir kinerja kelembagaan dan rantai pasok

sistem agribisnis kelapa sawit rakyat dalam upaya peningkatan

pendapatan dan kesejahteraan petani di Kabupaten Tulang Bawang .......... 50

3. Struktur Organisasi KUD Krida Sejahtera .................................................... 77

4. Alur aliran barang TBS (Tandan Buah Segar) perkebunan swadaya .......... 103

5. Alur aliran barang TBS (Tandan Buah Segar) perkebunan plasma ............. 103

6. Aliran uang pola perkebunan swadaya ........................................................ 104

7. Aliran uang pola perkebunan plasma ........................................................... 104

8. Aliran informasi perkebunan swadaya ......................................................... 105

9. Aliran informasi perkebunan plasma ........................................................... 105

10. Saluran tataniaga perkebunan kelapa sawit tahun 2017 ............................... 106

11. Perkembangan produksi per hektar dan harga Tandan Buah Segar (TBS)

kelapa sawit petani swadaya di Kabupaten Tulang Bawang ....................... 118

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada akhir dekade ini

menjadi salah satu titik perhatian pemerintah Indonesia. Pemerintah

menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sumber devisa

negara. Hal tersebut dikarenakan perkebunan kelapa sawit mampu

menciptakan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan petani, dan daya

saing penyediaan bahan pangan. Menurut Kementerian Pertanian (2008),

secara umum dapat diindikasikan bahwa pengembangan agribisnis kelapa

sawit masih mempunyai prospek, ditinjau dari harga, ekspor dan

pengembangan produk.

Di Indonesia ada tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan

rakyat, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta

dengan total luas areal tahun 2014 luas kebun kelapa sawit 10.754.801

hektar (Tabel 1). Pulau Sumatera berperan penting terhadap suplai kelapa

sawit di Indonesia dan dunia. Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia

Tahun 2014 sebesar 63,26 persen berada di Pulau Sumatera. Persentase

produksi Pulau Sumatera berbanding dengan total wilayah seluruh Indonesia

adalah sebesar 68,7 persen (Tabel 1).

2

Tabel 1. Luas lahan dan produksi kelapa sawit Pulau Sumatera tahun 2014

No Provinsi

Jumlah/Total

Luas areal (ha) Produksi (ton)

1 Aceh 420.173 945.617

2 Sumatera Utara 1.396.273 4.870.202

3 Sumatera Barat 376.474 924.813

4 Riau 2.290.736 6.993.241

5 Kepulauan Riau 19.001 45.001

6 Jambi 692.967 1.773.735

7 Sumatera Selatan 923.002 2.791.810

8 Kep. Bangka Belitung 206.207 516.597

9 Bengkulu 293.800 798.818

10 Lampung 184.914 455.904

Wilayah Sumatera 6.803.547 20.115.744

Total Indonesia 10.754.801 29.278.189

Persentase Lampung-Indonesia % 1,719 1,557

Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2015.

Pada dasarnya pengembangan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit

di Pulau Sumatera memiliki tiga konsep, yaitu pola Perkebunan Inti Rakyat

(PIR), pola Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP), dan terakhir adalah

pola swadaya (Wahyuningsih, 2007). Pola PIR adalah pola pengembangan

perkebunan perkebunan rakyat dan pemasaran hasil dalam satu sistem

kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar

bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat

sebagai plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri

juga berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi

kebun plasma untuk diolah lebih lanjut.

Penerapan proyek PIR dengan berbagai bentuk atau pola pada dasarnya

bertujuan memecahkan masalah kemiskinan yang dihadapi perkebunan

rakyat yaitu: (1) miskin aset diatasi dengan mengadakan pembagian tanah

3

kepada masing- masing petani (untuk tanaman perkebunan seluar 2 hektare

dan untuk perumahan/pekarangan seluas 1 hektare), (2) miskin modal diatasi

dengan penyediaan paket kredit yang mempunyai prosedur sederhana dan

bersyarat lunak, (3) miskin sifat pioner diatasi dengan menggerakkan dan

mengarahkan petani ikut serta membangun kebun melalui proyek PIR, (4)

miskin iptek diatasi dengan memberi bimbingan dan pelatihan intensif

kepada petani peserta dalam rangka mengembangkan kegiatan usaha

perkebunannya, (5) miskin akses diatasi dengan menghubungkan petani ke

berbagai lembaga terkait dengan bantuan organisasi proyek, dan (6) miskin

motif ekonomi diatasi dengan membimbing dan menerapkan peraturan

pengembalian kredit, sertifikasi tanah (Ahmad, 1998).

Pada dasarnya baik perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta masih

terkendala dalam hal kinerja. Kinerja kelembagaan dinilai lemah karena

pada dasarnya peran serta kelembagaan dalam pendorong produksi dan

pendapatan petani masih rendah. Menurut Wahyuningsih (2007)

ditetapkannya pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dalam pengembangan

agribisnis dimana, terdapat perusahaan inti yang membangun usaha dan

fasilitas untuk petani plasma, mengolah dan memasarkan hasil produksi

petani plasma. Petani plasma berkewajiban mengelola usahanya dengan

sebaik-baiknya dengan koperasi sebagai mitra yang menjalankan

usahataninya seperti pemupukan, pemeliharaan kebun dan pemanenan,

menjual hasil kepada perusahaan inti melalui koperasi, pembayaran hasil

produksi kebun melalui koperasi serta membayar hutang yang telah

4

dibebankan kepadanya juga melalui koperasi. Pada pelaksanaannya pola

PIR banyak mengalami hambatan terutama hambatan non teknis.

Kelembagaan sangat berperan penting dalam sistem agribisnis kelapa sawit.

Menurut Wahyuningsih (2007) begitu panjang rantai pemasaran dari

produsen agar produk sampai ke konsumen melewati banyak lembaga dari

tempat penyimpanan, trasportasi, bongkar muat, pedagang besar, pengecer,

dan konsumen. Hal ini mengakibatkan biaya pemasaran menjadi tinggi,

sehingga produk menjadi mahal sampai ke tangan konsumen. Tingginya

harga akan mengurangi daya saing produk tersebut di pasaran. Tanpa

mempertentangkan antara prinsip ”ekonomi pasar” dengan ”intervensi

pemerintah” sektor pertanian Indonesia masih memerlukan perlindungan

pemerintah menghadapi pelaku bisnis kuat dan pasar bebas.

Provinsi Lampung juga berkontribusi terhadap produksi kelapa sawit

nasional yang dapat dilihat pada Tabel 1. Persentase luas lahan dan produksi

Provinsi Lampung terhadap nasional kelapa sawit hanya sebesar 1,7 persen.

Walaupun persentase tersebut masih terbilang kecil, namun kontribusi

ekspor minyak kelapa sawit dibandingkan komoditas perkebunan lainnya

untuk Provinsi Lampung cukup besar yakni sebesar 31 persen (BAPPEDA

Provinsi Lampung, 2014).

Petani di Provinsi Lampung terdiri dari tiga yaitu petani yang mengolah

sendiri kebun kelapa sawitnya tanpa campur tangan pihak lain; petani yang

kebunnya diolah oleh koperasi sebagai mitra; serta petani yang ikut bermitra

5

dengan koperasi namun tetap menjadi buruh diperkebunan untuk menambah

penghasilannya. Jumlah petani dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah petani pekebun swadaya di Provinsi Lampung tahun 2015

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2015.

Jumlah pekebun kelapa sawit di Provinsi Lampung yakni sebanyak 98.978

petani terlihat pada Tabel 2. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa tidak

sedikit warga di Provinsi Lampung yang menggantungkan hidupnya dari

pendapatan perkebunan kelapa sawit.

Potensi perkebunan kelapa sawit berdasarkan luas dan jumlah produksi di

Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 3. Kabupaten yang memiliki

luas lahan kelapa sawit terbesar terdapat di tiga kabupaten yaitu Mesuji,

Tulang Bawang, dan Lampung Tengah. Berdasarkan potensi daerah maka

No. Kabupaten Luas areal (ha) Jumlah

(ha)

Produksi

(ton)

Jumlah

Petani

(orang) TBM TM TR

1 Lampung Selatan 1.222 7.490 25 8.737 17.032 8.762

2 Lampung Tengah 3.290 15.583 262 19.135 45.773 16.608

3 Lampung Timur 3.931 3.043 541 7.515 8.955 6.639

4 Lampung Utara 2.255 5.399 374 8.028 4.555 2.509

5 Way Kanan 8.774 5.572 29 14.375 14.697 20.536

6 Lampung Barat 17 9 0 26 16 26

7 Tulang Bawang 3.890 14.937 95 18.922 38.992 12.409

8 Tanggamus 15 12 0 27 36 26

9 Bandar Lampung 15 48 1 64 144 3.000

10 Pesawaran 71 504 0 575 614 176

11 Pringsewu 439 698 176 1.313 1.566 1.807

12 Tulang Bawang

Barat 1.160 3.338 1 4.499 5.217 5.500

13 Mesuji 6.606 14.980 0 21.586 23.081 14.392

14 Metro 0 2 0 2 3 6

15 Pesisir Barat 264 6.286 32 6.582 14.380 6.582

Provinsi Lampung 31.949 77.901 1.536 111.386 175.061 98.978

6

penelitian ini mengambil Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah

penelitian.

Tabel 3. Luas areal dan produksi kelapa sawit menurut kabupaten/kota di

Provinsi Lampung tahun 2015

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2015.

Pertimbangan memilih Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah penelitian

karena berdasarkan hasil survei Kabupaten Tulang Bawang memiliki dua

pola kelembagaan dalam pengusahaan kelapa sawit yakni petani swadaya

dan petani plasma. Pola petani plasma yang ada di Kabupaten Tulang

Bawang ini adalah petani kelapa sawit yang bermitra dengan PKS Sumber

Indah Perkasa dan dikelola oleh KUD Krida Sejahtera dengan jumlah petani

plasma yakni 17.255 anggota.

Berdasarkan data BPS (2015) dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukkan

bahwa, jumlah keseluruhan total produksi di Kabupaten Tulang Bawang

sebesar 38.992 ton. Penelitian ini selanjutnya mengambil kecamatan yang

No Kabupaten/Kota Jumlah luas areal Jumlah produksi

(ha) (ton)

1 Mesuji 78.161 218.238

2 Tulang Bawang 36.672 95.548

3 Lampung Tengah 33.267 90.589

4 Way Kanan 28.765 41.617

5 Lampung Selatan 13.652 35.331

6 Lampung Utara 19.186 19.757

7 Pesisir Barat 6.582 14.379

8 Tulang Bawang Barat 7.643 10.732

9 Lampung Timur 7.592 8.897

10 Lampung Barat 2.480 6.333

11 Pesawaran 1.587 3.172

12 Pringsewu 1.337 1.562

13 Bandar Lampung 64 48

14 Tanggamus 30 36

15 Metro 1 3

Total 237.019 546.242

7

memiliki potensi terbesar yang ada di Kabupaten Tulang Bawang yaitu di

Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan Gedung Aji Baru.

Tabel 4. Produksi Perkebunan Rakyat (PR) KabupatenTulang Bawang tahun

2015

No Kecamatan

Luas

Lahan

(ha)

Produksi

(ton)

Produktivitas

(ton/ha)

Jumlah

Petani

(orang)

1 Menggala 202 212 2.232 132

2 Gedung Aji Baru 1.994 5.219 2.678 1.303

3 Banjar Agung 625 1.561 2.530 408

4 Gedong Aji 948 2.138 2.689 620

5 Gedong Meneng 1.133 2.795 2.586 741

6 Penawar Tama 5.003 11.898 2.686 3.270

7 Rawa Jitu Selatan 252 665 2.639 165

8 Meraksa Aji 462 1.275 3.000 302

9 Banjar Margo 858 2.096 2.443 571

10 Penawar Aji 893 971 2.848 594

11 Dente Teladas 1.893 1.983 2.479 1.247

12 Rawa Pitu 1.520 2.471 2.271 993

13 Menggala Timur 1.687 3.611 2.841 1.113

14 Banjar Baru 1.452 2.097 2.240 950

Jumlah 18.922 38.992 36.162 12.409

Sumber : Badan Pusat Statistik , 2016.

B. Rumusan Masalah

Pengembangan kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung dimulai pada tahun

1990–an yang dikaitkan dengan program transmigrasi lokal. Pengembangan

kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang dimulai pada tahun 1993,

melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan sebagai inti adalah

Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sumber Indah Perkasa. Namun, pengembangan

kelapa sawit rakyat selanjutnya setelah tahun 2000-an program PIR sudah

ditiadakan didaerah penelitian dan hanya menyisakan anggota petani PIR

8

lama yang masih bermitra dan petani yang baru mengusahakan kelapa sawit

hanya berupa petani pola swadaya atau mandiri.

Pada pola plasma, petani tidak perlu menyediakan modal usahatani. Petani

cukup menyediakan lahan usahatani. Petani dalam menjalankan

usahataninya memperoleh bantuan dari perusahaan inti berupa bibit, pupuk,

pestisida dan memperoleh bimbingan dari perusahaan inti, tetapi hasil

produk kelapa sawitnya harus dijual ke perusahaan inti. Pada pola swadaya

maka semua modal usahatani bersumber dari petani sendiri dan petani

mempunyai kebebasan untuk menjual hasil berupa Tandan Buah Segar

(TBS) kelapa sawit kepada pedagang. Hal tersebut berakibat produktivitas

kelapa sawit rakyat lebih rendah dibanding produktivitas perkebunan besar.

Produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibanding

produktivitas kelapa sawit kebun petani swadaya. Berbeda dengan petani

plasma yang memperoleh dukungan dari perusahaan inti, umumnya petani

swadaya membudidayakan sawitnya tanpa kerjasama dengan pihak lain.

Pada proses pemasaran TBS kelapa sawit, PKS adalah konsumen akhir.

Berbeda dengan petani plasma yang sudah ada ikatan penjualan hasil dengan

perusahaan inti dan penetapan harga jual TBS ditentukan berdasarkan

peraturan dan melibatkan pemerintah daerah (Dinas Perkebunan). Pada

petani swadaya harga yang diterima petani sangat tergantung dari harga beli

dari pedagang pengumpul atau di Lampung yang sering disebut “agen”.

Rantai pemasaran TBS petani plasma lebih pendek yaitu TBS dari kebun

petani dibawa ke koperasi dan langsung ke PKS. Dengan demikian ada

9

distorsi harga antara harga TBS yang diterima petani plasma dengan harga

yang diterima petani swadaya. Untuk itu perlu dianalisis bagaimana supply

chain TBS kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung.

Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai pasok yakni

hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling

mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu

komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup

pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi

antar pelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas

maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.

Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola

perdagangan umum dan pola kemitraan. Penelitian ini membatasi

kelembagaan yakni berupa koperasi yang bermitra dengan petani plasma

yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) Krida Sejahtera milik PKS Sumber Indah

Perkasa yang ada di daerah penelitian. Pola kelembagaan yang berbeda di

Kabupaten Tulang Bawang akan berakibat pada perbedaan biaya yang

dibutuhkan untuk pengeluaran usahatani kelapa sawit di daerah tersebut.

Perbedaan biaya tersebut dikarenakaan adanya perbedaan pola rantai pasok

(supply chain) pada masing-masing petani baik petani swadaya dan petani

plasma. Perbedaan rantai pasok (supply chain) ini akan berdampak pada

berbedanya struktur, perilaku, dan keragaan pasar Tandan Buah Segar

kelapa sawit di Kabupaten Tulang Bawang.

10

Alur rantai pasok yang panjang akan menambah biaya pengusahaan kelapa

sawit. Dalam teori biaya dikenal pula konsep biaya transaksi dimana konsep

biaya transaksi ini adalah jumlah biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam

setiap transaksi. Hendar dan Kusnadi (2002) menyatakan bahwa biaya

transaksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal lembaga

dimana dalam penelitian ini baik berupa petani swadaya ataupun petani

plasma yang bermitra dengan koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak

dapat dipandang dari sudut efisiensi yang berhubungan dengan biaya

produksi, tetapi lebih mengarah pada efisiensi yang berhubungan dengan

biaya transaksi. Jika dengan adanya koperasi sebagai lembaga yang terkait

mampu mengurangi biaya transaksi maka peluang petani masuk kepasar

dengan harga yang bersaing lebih besar. Dengan adanya koperasi

diharapkan petani dapat menekan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan

untuk mengusahakan kelapa sawit, dalam penelitian ini maka akan dilihat

bagaimana kinerja kelembagaan terhadap besarnya biaya transaksi yang

dikeluarkan oleh petani baik petani swadaya dan petani plasma.

Jika biaya yang dikeluarkan oleh petani berbeda-beda hal tersebut juga akan

berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diperoleh petani.

Pendapatan diperoleh dari penerimaaan dikurangi oleh biaya- biaya selama

proses produksi. Biaya dalam penelitian ini adalah total keseluruhan biaya

yang dikeluarkan dimana terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan biaya

transaksi. Teori pendapatan merupakan alat analisis yang digunakan untuk

melihat apakah usahatani kelapa sawit yang berkembang selama ini sudah

11

dapat dikatakan menguntungkan berkaitan dengan adanya kelembagaan

yang berkembang di Kabupaten Tulang Bawang.

Pendapatan yang diperoleh oleh petani juga akan berpengaruh dengan

tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang

Bawang. Pendapatan yang tinggi akan membuat petani dapat memenuhi

kebutuhan hidup yang layak dirinya dan anggota keluarganya.

Setelah munculnya permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1) Bagaimanakah pengelolaan perkebunan petani kelapa sawit rakyat di

Kabupaten Tulang Bawang?

2) Bagaimanakah kinerja koperasi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang?

3) Bagaimanakah sistem rantai pasok Tandan Buah Segar kelapa sawit

rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani

plasma) di Kabupaten Tulang Bawang?

4) Berapakah biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit

rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani

plasma di Kabupaten Tulang Bawang?

5) Berapakah pendapatan usahatani yang diperoleh petani kelapa sawit

rakyat dengan pola perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani

plasma) di Kabupaten Tulang Bawang?

6) Bagaimanakah kesejahteraan petani kelapa sawit rakyat dengan pola

perkebunan yang berbeda (petani swadaya dan petani plasma) di

Kabupaten Tulang Bawang?

12

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1) Mengkaji pengelolaaan perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di

Kabupaten Tulang Bawang.

2) Mengkaji kinerja koperasi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.

3) Mengkaji sistem rantai pasok Tandan Buah Segar kelapa sawit rakyat

dengan pola perkebunan yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.

4) Mengkaji biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa sawit

rakyat dengan pola perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani

plasma) di Kabupaten Tulang Bawang.

5) Mengkaji pendapatan usahatani yang diperoleh petani kelapa sawit

rakyat dengan pola perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani

plasma) di Kabupaten Tulang Bawang.

6) Mengkaji kesejahteraan petani kelapa sawit rakyat dengan pola

perkebunan yang ada (petani swadaya dan petani plasma) di Kabupaten

Tulang Bawang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi

berbagai lembaga yang terkait dengan agribisnis kelapa sawit :

1) Bagi masyarakat diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai pola

pengusahaan kelapa sawit yang menguntungkan sehingga dapat

membantu mengsejahterakan masyarakat khususnya petani kelapa sawit

di Kabupaten Tulang Bawang.

13

2) Bagi pemerintah diharapkan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan

kebijakan program pengembangan agribisnis kelapa sawit serta

memberikan dan menciptakan informasi yang lebih baik untuk penelitian

selanjutnya yang menitikberatkan pada kelembagaan agribinis kelapa

sawit.

3) Bagi peneliti lain dapat memberikan gambaran dan sumbangan

pengetahuan mengenai kinerja kelembagaan agribisnis kelapa sawit

dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di

Kabupaten Tulang Bawang.

14

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Agribisnis

Agribisnis merupakan suatu model yang mencakup sistem dari kegiatan pra-

dan budidaya, panen, pasca panen dan pemasaran serta sektor penunjangnya

sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi kuat satu dan lainnya serta sulit

dipisahkan. Agribisnis mencakup tiga hal, yaitu agribisnis hulu, on-farm

agribisnis, dan agribisnis hilir. Agribisnis hulu adalah industri- industri

yang menghasilkan sarana produksi (input) pertanian, seperti industri

agrokimia, industri agrootomotif dan industri pembibitan. On-farm

agribisnis adalah pertanian tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman

obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan air tawar serta

kehutanan. Industri hilir pertanian atau disebut juga agribisnis hilir adalah

kegiatan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi produk- produk

olahan, baik produk antara maupun produk akhir (Saragih, 2010).

Adapun kelima mata rantai atau subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

1) Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, seperti bibit,

pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian. Subsistem penyediaan

sarana produksi menyangkut kegiatan pengadaan dan penyaluran.

15

Kegiatan ini mencakup perencanaan, pengelolaan dari sarana produksi,

teknologi dan sumberdaya agar penyediaan sarana produksi atau input

budidaya memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat

mutu dan tepat produk. Kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana

produksi dilakukan oleh perseorangan, pengusaha swasta, koperasi, dan

lembaga pemerintah.

2) Subsistem usahatani

Subsistem usahatani menghasilkan produk pertanian berupa bahan

pangan, hasil perkebunan, buah-buahan, hasil ternak, bunga dan tanaman

hias. Pelaku dalam subsistem ini adalah produsen yang terdiri dari

petani, peternak, pengusaha tambak, pengusaha perkebunan, dan

pengusaha tanaman hias.

3) Subsistem Pemasaran

Subsistem pemasaran mencakup pemasaran hasil-hasil budidaya dan

agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama

subsistem ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan

market intelligence pada pasar domestik dan pasar luar negeri.

4) Subsistem Agroindustri/ pengolahan hasil

Lingkup kegiatan ini tidak hanya aktivitas pengolahan sederhana di

tingkat petani tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari

penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat

pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added atau

nilai tambah dari produksi primer tersebut. Dengan demikian proses

16

pengupasan, pembersihan, pengekstraksian, penggilingan, pembekuan,

pengeringan, dan peningkatan mutu.

5) Subsistem Penunjang

Subsistem ini merupakan penunjang kegiatan pra panen dan pasca panen

yang meliputi : pasar, sarana tataniaga , perbankan/ perkreditan,

penyuluhan agribisnis , kelompok tani, infrastruktur agribisnis, koperasi

agribisnis, BUMN, swasta, penelitian dan pengembangan , pendidikan

dan pelatihan

Sistem agribisnis merupakan sistem yang terpadu dan terkait antara satu

subsistem dengan subsistem lain dalam agribisnis. Keterkaitan antar

subsistem meliputi keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan

ke belakang (backward linkage). Bila satu subsistem terganggu, maka

keseluruhan sistem tidak berfungsi dengan baik (Saragih, 2010). Diagram

sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram sistem agribisnis menurut Saragih (2010).

Subsistem V

Lembaga Penunjang Agribisnis

Subsistem I

Pengadaan

dan

Penyaluran

Sarana

Produksi

Subsistem

II

Usahatani

Subsistem

III

Pengolahan

Subsistem

IV

Pemasaran

17

2. Sistem Kelembagaan Agribisnis

Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1)

kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3)

kelembagaan penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan air,

5) kelembagaan usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani, 7)

kelembagaan pemasaran, 8) kelembagaan penyedia informasi (Basuki et al.

2006). Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai

pasok yakni hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan

saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu

komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup

pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi

antarpelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas

maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.

Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola

perdagangan umum dan pola kemitraan. Ikatan antara petani dan pedagang

umumnya ikatan langganan, tanpa adanya kontrak perjanjian yang mengikat

antarkeduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan. Petani dan pedagang

pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman modal. Sedangkan

pola kemitraan rantai pasok pertanian adalah hubungan kerja di antara

beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau

kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat

kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan kewajiban pihak-

piihak yang terlibat (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

18

Dalam bidang ilmu ekonomi, kelembagaan lebih banyak dilihat dari sudut

biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action).

Secara konsepsi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial yang

sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal

ini, ada dua pengertian kelembagaan yang sering digunakan oleh ahli dari

berbagai bidang, yaitu yang disebut institusi atau pranata dan organisasi.

Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu badan/ lembaga/

organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu, proses-proses kerja

dan budaya kerja yang erat dengan keterampilan dan kualifikasi individu

berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja dari individu-individu

yang mendukung kelembagaan tersebut. Beberapa lembaga pendukung

pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah:.

(a) Pemerintah

Lembaga pemerintah mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah,

memiliki wewenang, regulasi dalam menciptakan lingkungan agribinis

yang kompetitif dan adil.

(b) Lembaga pembiayaan

Lembaga pembiayaan memegang peranan yang sangat penting dalam

penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor hulu

sampai hilir. Penataan lembaga ini segera dilakukan, terutama dalam

membuka akses yang seluas-luasnya bagi pelaku agribisnis kecil dan

menengah yang tidak memilki aset yang cukup untuk digunkan guna

memperoleh pembiayaan usaha.

19

(c) Lembaga pemasaran dan distribusi

Peranan lembaga ini sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan

agribinis, karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan

antara defisit unit (konsumen pengguna yang membutuhkan produk)

dan surplus unit ( produsen yang menghasilkan produk).

(d) Koperasi

Peranan lembaga ini dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyalur

input-input dan hasil pertanian. Pada perkembangannya di Indonesia

KUD terhambat karena KUD dibentuk hanya untuk memenuhi

keinginan pemerintah, modal terbatas, pengurus dan pegawai KUD

kurang profesional.

(e) Lembaga Penyuluhan

Keberhasilan Indonesia berswasembada beras selama kurun waktu 10

tahun (1983-1992) merupakan hasil dari kerja keras lembaga ini yang

konsisiten memperkenalkan berbagai program, seperti Bimas, Inmas,

Insus, dan Supra Insus. Peranan lembaga ini akhir-akhir ini menurun

sehingga perlu penataan dan upaya pemberdayaan kembali dengan

deskripsi yang terbaik. Peranannanya bukan lagi sebagai penyuluh

penuh, melainkan lebih kepada fasilitator dan konsultan pertanian

rakyat.

(f) Lembaga Riset Agribinis

Lembaga ini jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan negara lain

yang dahulunya berkiblat ke Indonesia. Semua lembaga riset yang

terkait dengan agribinis harus diperdayakan dan menjadikan ujung

20

tombak untuk menghasilkan komoditas yang unggul dan daya saing

tinggi.

(g) Lembaga penjamin dan penanggungan resiko.

Resiko dalam agribisnis tergolong besar, namun hampir semuanya

dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang handal. Instrumen

heading dalam bursa komoditas juga perlu dikembangkan guna

memberikan sarana penjaminan bebagai resiko dalam agribisnis dan

industri pengolahannya.

3. Kemitraan

Memasuki era perdagangan bebas sekarang ini, pola kemitraan merupakan

salah satu konsep dalam melakukan kerjasama dalam melakukan usaha yang

sudah mulai dilakukan di banyak Negara. Peran pemerintah dalam

mengatur dan menjembatani pola kemitraan antara penguasaha besar,

menengah dan kecil diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan yang

menyebutkan bahwa. Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil

dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan

pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar

dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan

saling menguntungkan.

Kemitraan mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha

menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya

agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra

21

yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan. Syarat suatu

kemitraan itu sendiri terjadi dikarenakan kemitraan usaha haruslah

berdasarkan atas sukarela dan suka sama suka. Oleh karena itu, pihak- pihak

yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya

maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir

sebagai penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak

bisa jalan. Artinya, harapan yang satu terhadap yang lain tidak dapat

terpenuhi.

Pola kemitraan di Indonesia lebih banyak digunakan disektor perkebunan

dalam pengelolaan usahanya. Undang- Undang No.18 Tahun 2004 tentang

perkebunan menjelaskan yang dimaksud dengan perkebunan adalah segala

kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media

tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan

barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan pengetahuan dan

teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan

bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit dimuali sekitar tahun 1970-an

dengan dikembangkannya program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dalam

rangka akselerasi pembangunan perkebunan. Istilah yang digunakan adalah

Nubleus Estate Smallholder (NES). Kemudian istilah tersebut berubah

menjadi Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN), PIR-Trans dan

KKPA (Koperasi Kredit Primer untuk Anggota). Ketentuan Umum

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman

22

Perijinan Usaha Perkebunan Pasal 1 ayat 20, ayat 21 dan ayat 22

menjelaskan. Perusahaan Inti Rakyat, Perusahaan Inti Rakyat- Transmigrasi

selanjutnya disebut PIR-TRANS, Perusahaan Inti Rakyat- Kredit Koperasi

Primer untuk Anggota selanjutnya disebut PIR- KKPA.

Membangun perkebunan kelapa sawit, perusahaan sawit diwajibkan untuk

menggunakan pola kemitraan. Pola kemitraan usaha perkebunan sendiri

diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No 940/Kpts/OT.210/10/1997

tentang pedoman kemitraan usaha petanian. Keputusan Menteri Pertanian

ini menjelaskan bahwa kemitraan usaha pertanian dapat dilakukan dengan

pola: inti plasma, sub kontrak dagang umum, keagenan, pola KOA. Pola

kemitraan dilakukan dengan berbagai pola, yaitu:pola koperasi usaha

perkebunan 100 persen, pola patungan 65- 35 persen, pola patungan 80-20

persen, pola BOT (Bulid, Operate, Transfer), pola BTN , pola-pola

pembangunan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat,

membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.

Mitra usaha dalam pengembangan perkebunan adalah perusahaan besar

swasta, BUMN, maupun BUMD yang berbadan hukum dan bergerak

dibidang perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau

Izin Usaha Industri yang telah dikeluarkan oleh Menteri Pertanian atau

Bupati, dan atau Perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha atau dalam

proses.

Kewajiban dari mitra usaha adalah melaksanakan pembangunan kebun

petani sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan Kementerian

23

Pertanian. Selain itu mitra usaha wajib untuk mengelola areal kebun

kemitraan, yang mencakup kegiatan pemeliharaan kebun, pemetikan,

pemanenan, dan pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Mitra usaha juga

wajib membeli hasil kebun dengan harga yang sesuai dengan ketentuan yang

berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dan koperasi. Hak

dari mitra usaha adalah mengelola, memelihara areal kebun kemitraan yang

meliputi kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pengangkutan TBS sampai

dengan jangka waktu perjanjian.

4. Kinerja Kelembagaan

Suatu kelembagaan dapat berupa individu-individu atau interaksi berbagai

lembaga. Kelembagaan harus memenuhi persyaratan antara lain memiliki

tujuan, struktur, anggota, aturan, norma serta penghargaan dan sanksi sosial.

Kelembagaan mempunyai hubungan sosial baik vertikal maupun horizontal.

Contoh hubungan vertikal adalah tataniaga produk pertanian, sedangkan

hubungan horizontal pada kelompok tani dan koperasi. Setiap kelembagaan

dapat dibagi menjadi aspek kelembagaan dan aspek organisasian. Konsep

operasional dari aspek kelembagaan adalah mengkaji perilaku yang

menggunakan nilai,norma dan aturan, sedangkan dari aspek keorganisasian

lebih memfokuskan kepada kajian struktur dan peran.

Kinerja suatu usaha merupakan dampak bekerjanya lembaga dan

kelembagaan yang ada, sehingga kelembagaan tersebut harus cukup mapan

selama periode tertentu agar dapat berfungsi dengan baik dan mempengaruhi

arah serta laju perkembangan teknologi. Kinerja kelembagaan adalah

24

kemampuan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara

efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan

dengan kebutuhan pengguna. Kinerja kelembagaan dapat dinilai dari

produksinya sendiri dan dari faktor manajemen yang membuat produk

tersebut bisa dihasilkan. Kinerja suatu lembaga diukur dengan variabel yang

berkaitan dengan siapa yang mendapat dan siapa yang membiayai. Kinerja

kelompok tertentu dapat dirincikan dari level hidupnya, keamanan, kualitas

lingkungan dan kualitas hidupnya.

Pengukuran kinerja dilakukan untuk menekan perilaku yang tidak

semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang

semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktu

penghargaan baik yang bersifat interinsik maupun eksterinsik. Pada

dasarnya perbedaan kelembagaan akan mempengaruhi kinerja dari berbagai

aspek dengan tingkat yang berbeda yaitu : (1) aspek ekonomi, berupa

efisiensi, (2) aspek sosial berupa pemerataan dan (3) aspek keadilan.

Analisis aspek-aspek kelembagaan umumnya dilakukan melalui pendekatan

kualitatif tetapi dampak dari bekerjanya sistem kelembagaan tersebut,

misalnya untuk mengetahui berapa besar perubahan kinerja ekonominya

dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif.

5. Koperasi

a. Pengertian Koperasi

Definisi koperasi di Indonesia termuat dalam UU No. 25 tahun 1992

tentang Perkoperasiaan yang menyebutkan bahwa koperasi adalah badan

25

usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan

melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai

gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi

dapat diartikan sebagaiperkumpulan orang atau badan usaha yang memiliki

tujuan yang sama yaitu mencapai kesejahteraan ekonomi yang berlandaskan

asas kekeluargaan.

Koperasi memiliki prinsip yang menjadi sumber inspirasi dan menjiwai

secara keseluruhan organisasi dan kegiatan usaha koperasi sesuai dengan

maksud dan tujuan pendiriannya. Koperasi melaksanakan prinsip koperasi

yang meliputi: (1) keanggotaan bersifat sukareladan terbuka; (2) pengelolaan

dilakukan secara demokratis; (3) pembagian sisa hasil usaha dilakukan

secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

(4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (5) kemandirian.

b. Manajemen Koperasi

Manajemen koperasi diselenggarakan oleh orang-orang yang bertanggung

jawab untuk mengelola koperasi, nilai-nilai dan kekayaannya. Manajemen

koperasi adalah kegiatan profesional yang dilakukan koperasi untuk

membantu seluruh keanggotaan koperasi di dalam mencapai tujuannya.

Manajemen koperasi tidak didasarkan pada pemaksaan wewenang,

melainkan melalui keterlibatan dan partisipasi. Para manajer profesional

koperasi menggunakan metode yang sama seperti manajemen pada

umumnya. Tugas pengurus koperasi adalah menyelenggarakan rapat

anggota, menggunakan rancangan kerja, mengelola koperasi dan usahanya,

26

menjaga dan memelihara daftar buku anggota dan pengurus, mengajukan

laporan keuangan koperasi dan pertanggung jawaban, menyelenggarakan

pembukuan keuangan dan inventaris koperasi secara tertib. Sedangkan

wewenang pengurus koperasi adalah mewakili koperasi di dalam dan di luar

pengadilan; melakukan tindakan dan upaya bagi kemajuan, kepentingan serta

pemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawab yang diperoleh dari

rapat anggota; memutuskan pada penerimaan dan penolakan anggota baru;

memutuskan pada anggota baru koperasi; pemberhentian anggota koperasi

sesuai dengan anggaran dasar, pengurus koperasi dapat mengangkat

pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola yang dapat

bertanggung jawab sesuai dengan keputusan rapat anggota.

c. Kinerja Koperasi

Pengukuran kinerja perusahaan ataupun badan usaha, seperti koperasi

adalah hal yang sangat penting dalam proses perencanaan, pengendalian serta

proses transaksional yang lain, karena dengan pengukuran kinerja pengelola

koperasi dapat mengetahui efektivitas dan efisiensi revenue cost, penggunaan

aset, proses operasional organisasi manajemen dari koperasi, selain itu

pengelola juga memperoleh informasi manajemen yang berguna untuk

umpan balik dalam rangka perbaikan koperasi yang menyimpang kemudian

dengan pengukuran kinerja koperasi dapat membantu pengambilan

keputusan mengenai kebutuhan pendidikan pelatihan sumber daya manusia

(SDM), perencanaan dan pengendalian dalam proses manajemen koperasi

lebih lanjut.

27

Pemeringkatan koperasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap kondisi dan

atau kinerja koperasi melalui sistem pengukuran yang obyektif dan transparan

dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang dapat menggambarkan tingkat

kualitas dari suatu koperasi. Pedoman pemeringkatan dilihat dari berbagai

aspek menurut buku pedoman Pemeringkatan Koperasi, 2008, Kep Men &

UKM RI, yaitu:.

1) Aspek , ditunjukkan dengan berjalannya mekanisme manajemen

koperasi, seperti Rapat Anggota Tahunan (RAT), audit, proses

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan, aktivitas

bisnis berjalan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan yang

berlaku.

2) Aspek kinerja usaha yang semakin sehat, ditunjukkan dengan

membaiknya struktur permodalan, kondisi kemampuan penyediaan dana,

penambahan aset, peningkatan volume usaha, peningkatan kapasitas

produksi, dan peningkatan keuntungan.

3) Aspek kohesitas dan partisipasi anggota, ditunjukkan dengan keterikatan

anggota terhadap anggota lain maupun terhadap organisasi, dalam hal

rasa tanggung renteng atau kemauan untuk berbagi resiko (risk sharing),

tingkat pemanfaatan pelayanan koperasi, serta ukuran-ukuran kuantitatif

lainnya, seperti peningkatan jumlah anggota, persentase kehadiran dalam

rapat anggota, prosentase pelunasan simpanan wajib, dan persentase

besaran simpanan sukarela.

4) Aspek orientasi kepada pelayanan anggota, ditunjukkan dengan beberapa

hal, seperti keterkaitan antara usaha koperasi dengan usaha anggota,

28

kegiatan penerangan dan penyuluhan terkait dengan usaha anggota,

kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi anggota serta besaran transaksi

usaha yang dilakukan antara koperasi dengan usaha anggotanya.

5) Aspek pelayanan kepada masyarakat, ditunjukkan dengan seberapa jauh

usahayang dijalankan koperasi dapat menyerap tenaga kerja setempat

serta seberapa banyak jumlah layanan koperasi yang dapat dinikmati

oleh masyarakat umum termasuk peran koperasi ikut mereduksi

kemiskinan masyarakat setempat.

6) Aspek kontribusi terhadap pembanguan daerah, ditunjukkan dengan

ketaatan koperasi sebagai wajib pajak dalam membayar pajak serta

berbagai bentuk dukungan sumber daya terhadap kegiatan pembangunan

daerah (Kep Men Koperasi No.06/Per/M. KUKM/III/2008).

Dalam menilai kondisi atau kinerja suatu koperasi dalam suatu periode

tertentu diperlukan kriteria atau standar penilaian. Masing-masing kriteria

tersebut telah ada indikator dan standar penilaiannya masing-masing kriteria

sehingga bisa dianalisis. Hasil pemeringkatan koperasi telah ditetapkan

dalam 5 (lima) klasifikasi kualitas, yaitu:

1) Koperasi dengan kualifikasi “Sangat Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian diatas 419.

2) Koperasi dengan kualifikasi “Berkualitas”, dengan jumlah penilaian

340 sampai dengan 419.

3) Koperasi dengan kualifikasi “Cukup Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian 260 sampai dengan 339.

29

4) Koperasi dengan kukalifikasi “Kurang Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian 180 sampai dengan 259.

5) Koperasi dengan kualifikasi “Tidak Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian kurang dari 180.

Keputusan hasil pemeringkatan koperasi bersifat final dan berlaku untuk

satu periode tertentu dalam jangka waktu paling lama dua tahun ( Buku

Pedoman Pemeringkatan Kop & UKM, 2008).

6. Sistem Rantai Pasok (Supply Chain)

Menurut Indrajit (2002), rantai pasok (Supply Chain) adalah suatu tempat

untuk sistem organisasi menyalurkan hasil produksinya baik berupa barang

maupun jasa kepada para konsumennya, dimana rantai ini merupakan

jaringan dari berbagai organisasi terkait yang saling terhubung baik secara

langsung maupun tidak langsung dan memiliki tujuan yang sama, yaitu

menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang.

Rantai pasok adalah rangkaian aktivitas (secara fisik dan pembuatan

keputusan) yang dihubungkan oleh aliran material, aliran informasi, aliran

finansial, dan hak milik terhadap lintas kebutuhan organisasi. Rantai pasok

tidak hanya terdiri oleh manufaktur dan pemasoknya tetapi juga transportasi,

retailer, warehouse, pelayanan organisasi dan konsumennya (Van Der Vorst,

2006).

30

Menurut Pujawan (2005), rantai pasok terdiri atas tiga macam aliran yang

harus dikelola, yaitu :

1) Aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream).

Contohnya bahan baku yang dikirim dari pemasok ke pabrik. Setelah

produk selesai diproduksi, produk dikirim ke distributor lalu ke pengecer

atau ritel, kemudian ke konsumen akhir.

2) Aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu.

3) Aliran informasi yang dapat terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.

Informasi tentang persediaan produk yang masih ada di masing-masing

outlet penjualan dibutuhkan oleh distributor maupun pabrik. Informasi

tentang ketersediaan kapasitas produksi yang dimiliki oleh pemasok

juga dibutuhkan oleh pabrik. Informasi tentang status pengiriman bahan

baku dibutuhkan oleh perusahaan yang mengirim maupun yang akan

menerima. Menurut Chopra dan Meindle (2004), rantai pasok

melibatkan variasi tahapan-tahapan berikut :

a. Rantai 1 : Pemasok.

Rantai pertama merupakan sumber sebagai penyedia bahan awal

dimana mata rantai penyaluran barang dimulai. Bahan pertama ini

dapat berupa bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan

dagangan, penggabungan dan sebagainya.

b. Rantai 2 : Manufaktur.

Rantai pertama dihubungkan dengan rantai ke dua, yaitu manufaktur

yang memiliki tugas melakukan pekerjaan pabrik, merakit dan

menyelesaikan barang hingga menjadi produk jadi.

31

c. Rantai 3 : Distributor.

Barang yang sudah selesai dipabrikasi akan didistribusikan ke gudang

atau disalurkan ke gudang milik distributor atau pedagang besar dalam

jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan

dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailer (pengecer).

d. Rantai 4: Retailer.

Pengecer berfungsi sebagai rantai pasok yang ada di antara distributor

yang pada umumnya pedagang besar ke pedagang kecil (pengecer).

Pengecer berupa gerai seperti toko, warung, departement store,

koperasi, club stores, dan sebagainya.

e. Rantai 5: Pelanggan.

Dari distributor, barang ditawarkan langsung kepada pelanggan

sebagai pengguna barang tersebut. Saat pelanggan atau konsumen

menggunakan produk tersebut maka dapat dikatakan bahwa ini

merupakan akhir dari mata rantai pasok.

Menurut Aramyan (2006) yang membuat rantai pasok produk pertanian

berbeda dengan rantai pasok lainnya adalah :

1) Produksi alami yang sebagian berdasarkan proses biologis yang

meningkatkan resiko dan variabilitas.

2) Produk alami, yang memiliki karakter yang spesifik seperti mudah rusak

yang membutuhkan jenis rantai pasok yang tepat.

3) Kemasyarakatan dan perilaku konsumen terhadap isu seperti keamanan

pangan, kesejahteraan hewan dan tekanan alam.

32

7. Pendapatan Usahatani

Penghasilan petani merupakan selisih penerimaan dengan biaya atau

pengeluaran yang dikeluarkan dalam usahatani. Menurut Suratiyah (2006),

penerimaan atau pendapatan kotor adalah jumlah produksi dikalikan harga

per satuan. Lebih rinci Soekartawi (2005) menyatakan pendapatan kotor

usahatani dihitung dari nilai produksi baik dalam bentuk tunai maupun tidak

tunai atau nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu (biasanya

satu tahun). Selisih pendapatan kotor dengan pengeluaran total usahatani

merupakan pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani

dikurangi bunga pinjaman adalah penghasilan bersih usahatani.

Menurut Hernanto (1994), besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari

suatu kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang

mempengaruhinya, seperti luas lingkup pekerjaan,tingkat produksi, identitas

juragan, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan

usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga

kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Harga dan produktivitas

merupakan sumber dari faktor ketidakpastian, sehingga bila harga dan

produksi berubah, maka pendapatan yang diterima petani juga berubah

(Soekartawi, 2005).

Pendapatan petani merupakan selisisih antara pendapatan dan semua biaya,

dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor dan penerimaan total

dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor atau penerimaan total adalah nilai

33

produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya

produksi (Rahim dan Hastuti, 2008).

Menurut Soekartawi (2005), pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu

pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan

pengurangan dari penerimaan dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga

adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ditambah dengan

pendapatan yang berasal dari kegiatan diluar usahatani. Pendapatan

usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya produksi

(input) yang dihitung per bulan, per musim, dan pertahun. Pendapatan luar

usahatani adalah pendapatan yang diperoleh sebagai akibat melakukan

kegiatan diluar usahatani, seperti berdagang, mengojek, kuli, dan sebagainya.

Pendapatan dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Suratiyah

(2006), sebagai berikut :

π = Y. Py-∑ Xi.Pxi…….........................................................................(1)

keterangan:

π = pendapatan(Rp)

Y = hasil produksi (kg)

Py = harga hasil produksi (Rp)

∑Xi = jumlah faktor produksi (i1,2,3,....,n)

Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp)

8. Teori Biaya

Biaya adalah semua pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses

produksi, yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar yang

berlaku, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Menurut Carter

(2009), mendefinisikan “biaya sebagai suatu nilai tukar, pengeluaran, atau

pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat”.

34

Menurut Siregar dkk (2013) “biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi

untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat

sekarang atau masa yang akan datang”. Berdasarkan definisi biaya dapat

disimpulkan bahwa biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomis yang

diukur dengan satuan uang,untuk memperoleh barang atau jasa yang

diharapkan memberikan manfaat saat ini maupun akan datang.

Adapun biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua (Soekartawi,

2005), yaitu :

a. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlah totalnya tetap konstan,

tidak dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan atau aktivitas sampai

dengan tingkatan tertentu. Biaya tetap per unit berbanding terbalik secara

proporsional dengan perubahan volume kegiatan atau kapasitas. Semakin

tinggi tingkat kegiatan, maka semakin rendah biaya tetap per unit.

Semakin rendah tingkat kegiatan, maka semakin tinggi biaya tetap per

unit. Biaya tetap ini biasayanya didefinisikan sebagai biaya yang relatif

tetap jumlahnya terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh

banyak atau sedikit. Contoh biaya untuk alat dan mesin pertanian.

b. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya

berubah secara sebanding (proporsional) dengan perubahan volume

kegiatan. Semakin tinggi volume kegiatan atau aktivitas, maka secara

proporsional semakin tinggi pula total biaya variabel. Semakin rendah

volume kegiatan, maka secara proporsional semakin rendah pula total

biaya variabel. Variabel cost biasanya didefenisikan sebagai biaya yang

35

besarnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contoh biaya

sarana produksi.

Menghitung besarnya biaya yang dikeluarkan, dapat dihitung dengan

menggunakan rumus perhitungan biayamenurut Suratiyah (2006), sebagai

berikut: TC = TFC + TVC …………………………………………..…....(2)

Keterangan:

TC = Total biaya (Total cost);

TFC = Total biaya tetap (Total fixed cost);

TVC = Total biaya variabel (Total variable cost);

9. Teori Biaya Transaksi

Biaya transasksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal

koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak dapat dipandang dari sudut

efisiensi yang berhubungan dengan biaya produksi, tetapi lebih mengarah

pada efisiensi yang berhubungan dengan biaya transaksi. Biaya produksi di

sini diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi, dari

membeli input, membayar tenaga kerja dan membiayai overhead pabrik.

Biaya transaksi akan terdiri atas :

1) Biaya mencari pemasok dari input-nya

2) Biaya informasi mengenai kualitas dan harga

3) Biaya tawar menawar

4) Biaya monitor kontrak dengan pemasok input

5) Biaya legal jika kontrak dilanggar

6) Kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat investasi pada aset yang

sangat khusus atau aset yang mempunyai kisaran penggunaaan sangat

banyak.

36

Olilla-Nilsson (Szabo, 2002) menyatakan biaya transaksi dapat dibagi dalam

tiga kategori yaitu biaya informasi, biaya kontrak dan biaya pengawasan

pelaksanaan. Menurut Hendar dan Kusnadi (2002) anggapan ini didasarkan

pada pemikiran bahwa untuk membandingkan koperasi dengan perusahaan

lain yang nonkoperasi harus diletakkan pada kondisi yang sama. Bila

koperasi dan perusahaan nonkoperasi menggunakan teknologi dengan

kualitas yang sama, maka produktivitasnya pun akan tidak jauh berbeda.

Jadi yang memberakan buka biaya produksinya, melainkan biaya

transaksinya.

Pembahasan ekonomi biaya transasksi diarahkan pada upaya penghematan

biaya transaksi dan peranan biaya tersebut dalam mengendalikan

ketidakpastian. Suatu lembaga akan bertahan atau berkembang karena

berhasil dalam mengendalikan ketidakpastian sehingga meminumkan biaya

transaksi. Sebaliknya lembaga yang tidak mampu mengendalikan

ketidakpastian dan mereduksi biaya transaksi akan mudah runtuh.

Perusaahaan yang mampu mereduksi biaya transaksi akan mempunyai

keunguulan bersaing dalam pasar yang kompetitif. Biaya transaksi akan

menentukan kelangsungan jangka panjang perusahaan (Ropke, 1987 dalam

Hendar dan Kusnadi, 2002).

Biaya transaksi muncul ketika input (tenaga kerja tanah, modal, keahlian

wirausaha) digunakan untuk menghasilkan pertukaran. Jika seorang

produsen memproduksi barang untuk dikonsumsi sendiri, biaya transaksi

tidak akan muncul. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya-biaya perolehan dan

37

pengiriman informasi, biaya pembuatan dan perubahan kontrak, biaya

pengawasan dan pembuatan kebijakan hak-hak kontrak, biaya peradilan jika

terjadi pelanggaran kontrak, dan lain-lain. Bila dianggap bahwa biaya yang

dikeluarkan oleh suatu perusahaan terdiri atas biaya produksi dan biaya

transaksi, maka tingkat efisiensi koperasi dengan tingkat efisiensi pasar.

Tabel 5. Perbandingan efisiensi biaya transaksi melalui pasar dan melalui

koperasi

Jenis biaya Melalui pasar Melalui koperasi Perbedaan harga

Biaya produksi Pm Pc Pm-Pc = ∆ P

Biaya transaksi Tm Tc Tm-Tc = ∆ T

Biaya total Pm+Tm Pc+Tc -

Biaya total dalam menggunakan pasar terdiri atas biaya produksi ditambah

biaya transaksi (Pm+Tm). Biaya produksi dengan memanfaatkan pasar akan

terdiri atas membeli input untuk kebutuhannya, sedangkan biaya transaksi

akan terdiri atas mencari atas mencari pemasok dari input yang dibutuhkan,

biaya informasi mengenai kualitas dan harga, biaya tawar-menawar, biaya

memonitor kontrak dengan pemasok input, serta biaya legal jika kontrak

dilanggar.

Biaya total untuk pilihan kedua yang nonpasar seperti koperasi dapat terdiri

atas biaya produksi dan transaksi untuk koperasi (Pc+Tc). Biaya produksi

akan terdiri atas membeli input dari dan menjual produk lewat koperasi dan

biaya transaksi akan terdiri atas biaya penelitian, informasi, monitoring,

pastisipasi, dan lain-lain sebagai anggota koperasi. Pilihan mana seseorang

akan memilih masuk koperasi atau pasar, akan tergantung pada tingkat

efisiensi kedua institusi tersebut. Dia akan memilih pasar atau koperasi

38

tergantung pada mana yang dapat meminimumkan biaaya-biayanya. Dia

akan memilih pasar jika Pm+Tm < Tm+Tc atau dengan transpormasi lain

jika (Pm-Pc) + (Tm-Tc) < 0. Jika Pm-Pc = ∆C maka seseorang akan

memilih pasar apabila (∆P+∆T) < 0 karena pasar lebih efisien, dan akan

memilih koperasi bila (∆P+∆T) > 0 karena koperasi lebih efisien.

Menurut Mburu, biaya transaksi adalah: (1) biaya pencarian dan informasi;

(2) biaya negosiasi (bargaining) dan keputusan atau mengeksekusi kontrak;

dan (3) biaya pengawasan (monitoring), pemaksaan, dan pemenuhan/

pelaksanaan (compliance). Secara lebih detail, proses negosiasi sendiri bisa

sangat panjang dan memakan banyak biaya. Seluruh pelaku pertukaran

harus melakukan tawar-menawar antara satu dengan lainnya. Furubotn dan

Richter menunjukkan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk

menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya melakukan hak

untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerial transaction

costs). Di samping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk

menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan

(political transaction costs).

10. Teori Kesejahteraan

Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan

hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri

dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,

pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang

39

meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan

perlindungan sosial (UU No 11 Tahun 2009 pasal 1dan 2).

Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga setiap

keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan,dan cara

hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-

faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (BKKBN 1992, diacu oleh

Nuryani 2007). Kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2007) adalah

suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah

tangga tersebut dapat dipenuhisesuai dengan tingkat hidup. Kesejahteraan

adalah sebuah tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun

spiritual yang diikuti dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman

diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yangmemungkinkan

setiap warga negara dapat melakukan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,

rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri,rumah tangga, serta

masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe, 2004).

Arthur Dunham dalam Sukoco (1991) mendefinisikan kesejahteraan sosial

sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan

kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti

kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu

senggang, standar-standar kehidupan, dan hubungan-hubungan sosial.

Indikator sosiometrik mengklasifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan 8

komponen kesejahteraan yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan

40

kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, butahuruf, dan

kerawanan dalam keluarga tersebut. Keluarga tergolong sebagai keluarga

tidak sejahtera (miskin) apabila tidak dapat memenuhi sebagian besar dari

delapan komponen kesejahteraan secara layak. Pengklasifikasian indikator

dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan kondisi aktual yang dialami

oleh keluarga (skor dari 1 sampai dengan 4). Selanjutnya, skor dari masing

– masing aspek tersebut dijumlahkan dan diperoleh klasifikasi dengan

kisaran 8 – 15 : tidak miskin, 16 – 23 : miskin, 24 – 32 : sangat miskin.

11. Penelitian Terdahulu

Adapun kajian penelitian terdahulu, yang relevan terhadap penelitian

terdapat pada Tabel 6. Persamaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya adalah penelitian ini mengambil komoditas yang sama yakni

tanaman perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan yakni

analisis deskriptif dan analisis kuantitatif berupa analisis pendapatan dan

analisis statistik uji beda dua sampel bebas (independent sampel t-test).

Kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah

penelitian ini membandingkan pola kelembagaan kelapa sawit yang ada di

Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Penelitian ini juga

membahas mengenai bagaimana sumbangan atau kontribusi biaya transaksi

terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pada kedua pola kelembagaan

di Kabupaten Tulang Bawang.

41

Tabel 6. Penelitian Terdahulu

No Judul penelitian dan peneliti Metode

Analisis

Kesimpulan Penelitian

1. Analisis komparatif

pendapatan usahatani kelapa

sawit kelompok iga dan

plasma di Desa Gunungsari

Kec.Pasangkayu Kab.

Mamuju Utara.

Mustapa (2013)

Analisis

pendapatan

dan

komparatif.

Jumlah rata-rata pendapatan 1 ha petani kelapa sawit kelompok iga

lebih besar dibandingakan rata-rata pendapatan petani kelapa sawit

kelompok plasma.

Hal ini disebabkan jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani

kelapa sawit kelompok Iga lebih tinggi dari pada jumlah produksi

yang dihasilkan oleh petani kelapa sawit kelompok Plasma.

Penyebab lainnya adalah jarak tanam yang terlalu dekat, kondisi

lahan yang kurang baik atau berbukit dan berair, sehingga

memerlukan biaya yang tinggi dalam mengelola usahatani kelapa

sawit.

Perbandingan pendapatan petani kelapa sawit kelompok Iga dan

petani kelapa sawit kelompok Plasma di Desa Gunungsari diperoleh

nilai t-hitung sebesar 19,356 teruji kebenarannya bahwa terdapat

perbedaan yang sangat nyata antara pendapatan petani kelapa sawit

kelompok Iga dengan petani kelapa sawit kelompok Plasma.

2. Model Kelembagaan Petani

Plasma Bersertifikat RSPO

dan non RSPO dalam

pengelolaan perkebunan

sawit di Kabupaten Musi

Banyuasin.

Malini dan Aryani (2016)

Deskriptif dan

logistic

regression

model

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kontrak pertanian yang

dilakukan petani, baik pada lapisan 1 maupun pada lapisan 2 dengan

perusahaan Inti adalah melalui ikatan modal pendahuluan berupa

pinjaman untuk investasi awal kebun kelapa sawit dan sarana

produksi, serta kontrak kerjasama pemasaran hasil produksi (TBS),

dan umunya tidak menemukan masalah berarti. Pedagang

pengumpul, petani umumnya hanya melakukan kontrak kerjasarna

pemasaran.

42

No Judul penelitian dan peneliti Metode

Analisis

Kesimpulan Penelitian

3. Penataan kelembagaan

kelapa sawit dalam upaya

memacu percepatan

ekonomi di pedesaan.

Syahza dan Suarman (2014)

Metode Rapid

Rural

Appraisal

(RRA)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelapa sawit telah memberikan

tingkat kesejahteraan yang tinggi di pedesaan. Aktivitas kelapa sawit

juga menciptakan multiplier effect ekonomi di pedesaan.

Percepatan pembangunan ekonomi pedesaan dilakukan dengan

pengembangan konsep kemitraan dengan pemilik modal.

Mitra yang dibangun adalah PKS yang dapat menampung TBS

petani swadaya. Sistem mitra tersebut melibatkan tiga komponen,

yaitu: Petani melalui kelompok tani dan koperasi, perusahaan

pengembang (investor), dan Lembaga Penelitian Universitas Riau.

Ketiga komponen ini membangun mitra usaha dalam konsep

kebersamaan yaitu agroestate berbasis kelapa sawit.

4. Kinerja Perusahaan Inti

Rakyat kelapa sawit di

Sumatera Selatan : Analisis

kemitraan dan ekonomi

rumah tangga petani.

Husin (2007).

Deskriptif dan

tabulasi

Struktur kemitraan dalam pola perusahaan inti rakyat (pola PIR) dan

perilaku peserta PIR kelapa sawit di Sumatera Selatan (inti, petani

plasma dan koperasi ) umunya telah sesuai dengan pedoman tentang

tugas peserta proyek PIR serta kewajiban dan hak peserta sebagai

peserta proyek PIR.

Berdasaran kriteria kelayakan finansial maka kinerja ketiga pola PIR

kelapa sawit masih menguntungkan, berdasarkan kriteria kelayakan

teknis maka pola PIR-Trans relatif lebih baik dibandingkan pola PIR

lainnya.

Struktur pasar dengan kemitraan PIR kelapa sawit cenderung tidak

kompetitif yang dicirikan dengan lebih rendahnya posisi tawar

petani daripada inti sehingga jenis kemitraan pola PIR ini belum

mampu memberikan manfaat setara bagi peserta dimana cenderung

merugikan petani plasma dan menguntungkan inti.

43

No Judul penelitian dan peneliti Metode

Analisis

Kesimpulan Penelitian

5. Analisis perbandingan

pendapatan usahatani kelap

sawit pola Koperasi Kredit

Primer Untuk Anggotannya

(KKPA) dengan petani

swadaya di Desa Kepayang

Kecamatan Kepenuhan

Hulu.

Suwandi dkk (2015)

Independent

sampel test

Hubungan kemitraan dibidang perkebunan adalah hubungan kerja

dibidang pengembangan usaha inti diserta pembinaan perusahaan

inti kepada KUD yang dijiwai prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat dan saling menguntungkan

Besarnya pendapatan usahatani KKPA adalah Rp 14.243.580,90 dan

petani swadaya Rp 11.408.056,00 .

Berdasarkan hasil analisis uji-t diperoleh nilai sig 0,004< 0,05, hal

ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan usahatani

petani KKPA dan petani swadaya

Perbedaan pendapatan petani KKPA dan petani swadaya disebabkan

karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya

angsuran bunga pada pola KKPA.

6.

Analisis sosial ekonomi

usahatani kelapa sawit di

Desa Suliliran Baru

Kecamatan Pasir

Belengkong Kabupaten

Paser.

Wijayanti (2010)

Analisis

pendapatan,

t-test dan

regresi linier

berganda

Pendapatan yang diperoleh untuk petani plasma rata-rata sebesar Rp

7.517.095,12/ha/tahun dan petani swadaya rata-rata sebesar Rp

10.644.557,74/ha/tahun..

Pendapatan usahatani kelapa sawit antara petani plasma dengan

petani swadaya terdapatan perbedaan berdasarkan uji-t diperoleh

thitung = 3,53 sedangkan t table (α = 0,05) sebesar 1,681 sehingga

thitung> t table, maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Berdasarkan hasil regresi linier berganda pendapatan usahatani, luas

lahan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan umur

petani secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap keputusan

petani plasma dan petani swadaya mengusahakan petani kelapa

sawit.

44

No Judul penelitian dan peneliti Metode

Analisis

Kesimpulan Penelitian

7. Analisis pendapatan dan

pola konsumsi petani kelapa

sawit di Desa Sumber

Makmur Kecamatan

Tapung Kabupaten Kampar.

Wulandari (2014)

Deskriptif dan

kuantitatif

Pendapatan yang diperoleh petani sawit di Desa Sumber Makmur

dalam satubulan yaitu rata-rata sebesar Rp.5.269.412

Pola konsumsi petani sawit di DesaSumber Makmur untuk konsumsi

panganrata-rata sebesar Rp.1.527.650,- dan untukkonsumsi non

pangan rata-rata sebesarRp.2.288.978,- . Pemenuhan konsumsi

nonpangan lebih besar dibandingkanpemenuhan konsumsi pangan.

Hal inimenunjukkan bahwa petani sawit sudahmampu mencukupi

kebutuhan konsumsipangan maupun non pangan.

8. Analisis kelembagaan

perkebunan kelapa sawit

rakyat pola plasma

menghadapi pasar global di

Kecamatan Ukui Kabupaten

Pelalawan.

Ndraha dkk (2014).

Deskriptif

kualitatif

Lembaga yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit rakyat pola

plasma adalah PT.Inti Indosawit Subur, KUD Bakti, Bank,

Pemerintah Daerah, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, BPN,

tengkulak, WWF dan ketua kelompok tani.

Masing-masing lembaga berperan dalam penyediaan akses input

perkebunan kelapa sawit, akses finansial, akses kelembagaan, akses

lahan (legalitas lahan), akses informasi dan teknologi, penyediaan

akses pasar.

9. Pengelolaan rantai pasok

daya saing kelapa sawit di

Aceh.

Jakfar, Romano, Nurcholis

(2015)

Kualitatif dan

kuantitatif

Ada 3 pola rantai pasok yang menentukan aliran Tandan Buah Segar

ke pabrik kelapa sawit.

Peran pemangku kepentingan dalam rantai pasok kelapa sawit di

wilayah ini sangat menentukan volume pasokan, keuntungan, dan

nilai tambah yang terbentu.

Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pemangku kepentingan

dan peningkatan keunggulan kompetitif adalah produktivitas kebun

kelapa sawit, alokasi biaya investasi dan operasi, kapasitas PKS dan

rendemen CPO.

45

No Judul Penelitian Metode

Analisis

Kesimpulan Penelitian

10.

Analisis

perbandingan

tingkat

pendapatan

usahatani pola

diversifikasi

dengan

monokultur pada

lahan sempit

(Natalia dan

Salmiah, 2013)

Analisis

statistik uji

beda rata-rata

dua

sampel bebas

(independent

sampel t-test)

Total biaya produksi pada usahatani

pola diversifikasi lebih dari pada

monokultur, penerimaan pada

usahatani pola diversifikasi lebih

besar daripada monokultur,

pendapatan pada usahatani pola

diversifikasi lebih besar dari pada

monokultur dannilai R/C ratio pada

usahatani pola monokultur dan

diversifikasi >1, yang

artinyausahatani yang dilakukan

pada pola monokultur dan

diversifikasi layak atau

menguntungkan bagi petani.

B. Kerangka Berpikir

Pengembangan kelapa sawit rakyat di Lampung dimulai pada tahun 1990–an

yang dikaitkan dengan program transmigrasi lokal. Di Kabupaten Tulang

Bawang pengembangan kelapa sawit rakyat dimulai pada tahun 1993, melalui

program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan sebagai inti adalah PKS SIP

(Sumber Indah Perkasa). Namun, pengembangan kelapa sawit rakyat

selanjutnya setelah tahun 2000-an program PIR sudah ditiadakan didaerah

penelitian dan hanya menyisakan anggota petani PIR lama yang masih bermitra

dan petani yang baru mengusahakan kelapa sawit hanya berupa petani pola

swadaya atau mandiri. Sehingga penelitian ini mengkaji bagaimana pengelolaan

perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Kinerja kelembagaan adalah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya yang

dimilikinya secara efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan

tujuannya dan relevan dengan kebutuhan penggunanya. Pola PIR adalah pola

46

pengembangan perkebunan perkebunan rakyat dan pemasaran hasil dalam satu

sistem kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar

bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat sebagai

plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri juga

berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi kebun

plasma untuk diolah lebih lanjut.

Kelembagaan mempunyai hubungan sosial baik vertikal maupun horizontal.

Contoh hubungan vertikal adalah tataniaga produk pertanian, sedangkan

hubungan horizontal pada kelompok tani dan koperasi. Penelitian ini membatasi

kelembagaan yakni berupa koperasi yang bermitra dengan petani plasma yaitu

KUD Krida Sejahtera milik PKS Sumber Indah Perkasa. Pada pola plasma,

petani tidak perlu menyediakan modal usahatani. Petani cukup menyediakan

lahan usahatani. Petani dalam menjalankan usahataninya memperoleh bantuan

dari perusahaan inti berupa bibit, pupuk, pestisida dan memperoleh bimbingan

dari perusahaan inti, tetapi hasil produk kelapa sawitnya harus dijual ke

perusahaan inti itu juga. Pada pola swadaya maka semua modal usahatani

bersumber dari petani sendiri dan petani mempunyai kebebasan untuk menjual

hasil sawitnya (TBS) kepada pedagang. Hal tersebut berakibat produktivitas

kelapa sawit rakyat lebih rendah dibanding produktivitas perkebunan besar.

Produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibanding produktivitas

kelapa sawit kebun petani swadaya. Berbeda dengan petani plasma yang

memperoleh dukungan dari perusahaan inti, umumnya petani swadaya

membudidayakan sawitnya tanpa kerjasama dengan pihak lain.

47

Pada proses pemasaran TBS kelapa sawit, PKS adalah konsumen akhir. Berbeda

dengan petani plasma yang sudah ada ikatan penjualan hasil dengan perusahaan

inti dan penetapan harga jual TBS ditentukan berdasarkan peraturan dan

melibatkan pemerintah daerah (Dinas Perkebunan) pada petani swadaya,harga

yang diterima petani sangat tergantung dari harga beli dari pedagang pengumpul

atau di Lampung yang sering disebut “agen”. Rantai pemasaran TBS petani

plasma lebih pendek yaitu dari petani dibawa ke koperasi dan langsung ke PKS.

Dengan demikian ada distorsi harga antara harga TBS yang diterima petani

plasma dengan harga yang diterima petani swadaya. Untuk itu perlu dianalisis

bagaimana supply chain kelapa sawit rakyat di Provinsi Lampung.

Pola kelembagaan yang berbeda di Kabupaten Tulang Bawang akan berakibat

pada perbedaan biaya yang dibutuhkan untuk pengeluaran usahatani kelapa

sawit di daerah tersebut. Perbedaan biaya tersebut dikarenakaan adanya

perbedaan pola rantai pasok pada masing-masing petani baik petani swadaya

dan petani plasma. Perbedaan rantai pasok ini akan berdampak pada

berbedanya struktur, prilaku, dan keragaan pasar Tandan Buah Segar kelapa

sawit di Kabupaten Tulang Bawang. Pada penelitian ini sistem rantai pasok

(supply chain) terdiri dari aliran barang, aliran uang, aliran informasi.

Alur rantai pasok yang panjang akan menambah biaya pengusahaan kelapa

sawit. Dalam teori biaya dikenal pula konsep biaya transaksi dimana konsep

biaya transaksi ini adalah jumlah biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam

setiap transaksi. Jika dengan adanya koperasi sebagai lembaga yang terkait

mampu mengurangi biaya transaksi maka peluang petani masuk kepasar dengan

48

harga yang bersaing lebih besar. Dengan adanya koperasi diharapkan petani

dapat menekan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan untuk mengusahakan

kelapa sawit, dalam penelitian ini maka akan dilihat bagaimana kinerja

kelembagaan terhadap besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani

baik petani swadaya dan petani plasma. Biaya transaksi terdiri dari biaya

penelitian, biaya informasi, biaya monitoring, dan biaya partisipasi. Setelah

diketahui antara biaya transaksi petani swadaya dan petani plasma maka akan

dibandingkan dengan menggunakan uji beda (t-test).

Jika biaya yang dikeluarkan oleh petani berbeda-beda hal tersebut juga akan

berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diperoleh petani. Pendapatan

diperoleh dari penerimaaan dikurangi oleh biaya- biaya selama proses produksi.

Biaya dalam penelitian ini adalah total keseluruhan biaya yang dikeluarkan

dimana terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan biaya transaksi. Teori

pendapatan merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat apakah

usahatani kelapa sawit yang berkembang selama ini sudah dapat dikatakan

menguntungkan berkaitan dengan adanya kelembagaan yang berkembang di

Kabupaten Tulang Bawang. Setelah diketahui besarnya pendapatan petani

swadaya dan petani plasma maka selanjutnya akan dibandingkan dengan

menggunakan uji beda (t-test).

Pendapatan yang diperoleh oleh petani juga akan berpengaruh dengan tingkat

kesejahteraan petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tulang Bawang.

Pendapatan yang tinggi akan membuat petani dapat memenuhi kebutuhan

hidupyang layak dirinya dan anggota keluarganya. Penelitian ini juga

49

membandingkan antara kesejahteraan petani plasma dan petani swadaya dengan

menggunakan uji Mann Whitney.

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dan permasalahan yang ada, maka dalam

penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

1) Diduga biaya transaksi petani swadaya tidak sama dengan biaya transaksi

petani plasma

2) Diduga pendapatan usahatani petani swadaya tidak sama dengan pendapatan

usahatani petani plasma.

3) Diduga kesejahteraan petani swadaya tidak sama dengan kesejahteraan

petani plasma.

Gambar 2. Kerangka berpikir kinerja kelembagaan dan rantai pasok sistem agribisnis kelapa sawit rakyat dalam upaya peningkatan pendapatan

dan kesejahteraan petani di Kabupaten Tulang Bawang

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional

Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

penelitian.

Petani swadaya adalah petani yang memiliki kebun kelapa sawit yang

pengusahaannya dengan swadaya atau secara mandiri mulai dari kepemilikan,

permodalan, pengolahan sampai dengan panen.

Petani plasma adalah petani yang memiliki kebun kelapa sawit yang bermitra

dengan KUD Krida Sejahtera yang pengelolaan kebunnya dilakukan oleh

koperasi.

KUD Krida Sejahtera adalah koperasi yang dibentuk sebagai bagian dari

kemitraan perusahaan dengan petani kelapa sawit milik PKS Sumber Indah

Perkasa.

Kinerja kelembagaan adalah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya

yang dimilikinya secara efisien yaitu menghasilkan output yang sesuai dengan

tujuannya dan sesuai dengan kebutuhan . Kinerja kelembagaan dalam

52

penelitian ini yaitu kinerja lembaga penunjang berupa kinerja KUD Krida

Sejahtera yang diukur menggunakan pedoman pemeringkatan koperasi.

Tandan Buah Segar adalah buah kelapa sawit yang telah masak ditandai

dengan buah yang berwarnah merah dan jatuh ± 5-10 buah yang dihitung

dalam satuan kilogram (kg).

Pendapatan petani swadaya dan plasma adalah pendapatan usahatani yang

diterima dari usaha kelapa sawit berdasarkan penerimaan dan penjualan TBS

dikurangi dengan biaya total produksi yang dihitung dalam satuan rupiah per

hektar yang di ukur dalam satu tahun (Rp/ha/tahun).

Luas lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden yang digunakan

untuk menanam kelapa sawit yang dihitung dalam satuan hektar (ha).

Hasil produksi kelapa sawit adalah buah sawit dalam bentuk TBS (Tandan

Buah Segar) yang telah masak yang dihitung dalam satuan kilogram per hektar

per tahun (kg/ha/tahun).

Harga adalah harga TBS (Tandan Buah Segar) yang terjadi di lokasi penelitian

berdasarkan kesepakatan petani dengan pedagang atau petani dengan koperasi

yang dihitung dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).

Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi

dan dinyatakan dengan uang yang dihitung dalam satuan rupiah per hektar per

tahun (Rp/ha/tahun).

53

Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses pemasaran

meliputi biaya angkut, penyusutan, dan lainnya, yang diukur dalam satuan

rupiah per kilogram (Rp/kg).

Pedagang pengumpul I adalah pedagang yang langsung menerima penjualan

TBS dari petani dan biasanya disebut sebagai agen desa. Biasanya pedagang

pengumpul I mengambil TBS di rumah petani, dan transaksinya dilakukan di

tempat petani produsen serta pembayaran secara tunai.

Pedagang pengumpul II adalah pedagang yang menerima hasil penjualan dari

Pedagang pengumpul I serta pembayaran dilakukan secara tunai. Pedagang

pengumpul II biasanya sering disebut dengan lapak.

Pedagang besar adalah pedagang yang menerima hasil penjualan dari petani

dan atau dari pedagang pengumpul I dan dari pedagang pengumpul II yang

memiliki kerjasama dengan perusahaan atau memiliki D.O pabrik.

Konsumen akhir adalah lembaga pemasaran terakhir yang membeli TBS yaitu

Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma

untuk melakukan penelitian, mencari informasi, melakukan monitoring dan

melakukan partisipasi. Satuan yang digunakan adalah rupiah per tahun

(Rp/tahun).

Biaya penelitian adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma

untuk mengetahui ketersediaan sarana produksi, kredit, dan pelayanan lain

54

yang terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi, dan fee yang

diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).

Biaya informasi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma

untuk mengetahui kualitas dan harga Tandan Buah Segar. Biaya informasi

terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee yang diukur

dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).

Biaya monitoring adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani

plasma untuk melakukan pengawasan kontrak dengan koperasi atau pedagang,

terdiri dari terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee

yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).

Biaya partisipasi adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma

untuk menghadiri musyawarah antar kelompok tani atau koperasi, terdiri dari

terdiri dari biaya transport, komunikasi, ATK, konsumsi dan fee yang diukur

dalam satuan rupiah per tahun (Rp/tahun).

Biaya transportasi adalah biaya pembelian bensin atau sewa kendaraan yang

dikeluarkan oleh petani swadaya/ petani plasma selama dalam proses

produksi, pemeliharaan dan monitoring ataupun pada saat panen.

Biaya komunikasi adalah biaya pembelian pulsa yang dipakai oleh petani

swadaya/ petani plasma selama dalam proses produksi, pemeliharaan dan

monitoring ataupun pada saat panen.

55

Biaya Alat Tulis Kantor (ATK) adalah biaya pembelian alat tulis kantor untuk

keperluan petani swadaya/ petani plasma selama dalam proses produksi,

pemeliharaan monitoring ataupun pada saat panen.

fee adalah biaya yang dikeluarkan petani swadaya/ petani plasma selama

dalam proses produksi, pemeliharaan dan monitoring ataupun pada saat panen

untuk oknum-oknum yang meminta uang selama diperjalanan.

B. Metode, Lokasi dan Waktu Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survei. Menurut

Singarimbun dan Effendi (1995), metode survei dibatasi pada penelitian yang

datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh

populasi melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.

Pada penelitian ini, kabupaten yang diambil adalah Kabupaten Tulang

Bawang berdasarkan pertimbangan potensi daerah yang dapat dilihat dari

luas areal kelapa sawit, jumlah produksi, jumlah petani dan jumlah pabrik

kelapa sawit yang banyak (Dinas Perkebunan, 2015). Penelitian ini

dilaksanakan di Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan Gedung Aji Baru.

Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

pertimbangan bahwa petani di Kecamatan Penawar Tama dan Kecamatan

Gedung Aji Baru merupakan kecamatan yang petaninya memiliki pola

swadaya dan plasma berdasarkan hasil survei di Kabupaten Tulang Bawang.

Responden penelitian adalah petani kelapa sawit swadaya dan petani plasma.

Responden petani kelapa sawit dipilih responden petani kelapa sawit dipilih

secara acak (Simple Random Sampling). Perhitungan ukuran sampel petani

56

kelapa sawit pola swadaya dan petani plasma dilakukan dengan rumus

perhitungan sampel menurut Sugiarto (2003):

n =

......................................................................................(3)

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

S² = variasi sampel (5% = 0,05)

Z = tingkat kepercayaan (95% = 1,96)

d = derajat penyimpangan (5% = 0,05)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus Sugiarto (2003), maka

jumlah sampel adalah :

n =

.......................................................................................(4)

n =

n =

n = 76,33≈ 76 petani

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus maka diperoleh jumlah

responden sebagai sampel sebanyak 76 petani kelapa sawit. Dengan

perbandingan jumlah yang sama maka responden petani plasma dan

responden petani swadaya masing-masing diambil dalam jumlah 76 petani.

Pengambilan secara keseluruhan total jumlah petani responden dalam

penelitian ini adalah 152 reponden. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Agustus sampai dengan September 2017.

57

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan pengamatan

langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data primer diperoleh melalui

wawancara langsung dengan petani responden menggunakan kuesioner

(daftar pertanyaan) yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari

lembaga atau instansi terkait, jurnal, skripsi, publikasi, dan pustaka lainnya

yang terkait dan relevan dengan penelitian ini.

D. Metode Analisis Data

1) Tujuan Pertama

Untuk menjawab tujuan pertama tentang pengelolaan perkebunan kelapa

sawit rakyat digunakan analisis deskriptif. Penelitian ini melihat bentuk-

bentuk pengelolaan yang tersedia dan bagaimana pelaksanaannya untuk

petani plasma dan petani swadaya di daerah penelitian.

2) Tujuan Ke Dua

Untuk menjawab tujuan kedua yaitu kinerja kelembagaan kelapa sawit

rakyat yang ada di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis

deskriptif kuantitatif. Kinerja koperasi akan dianalisis dengan evaluasi

keberhasilan koperasi. Variabel untuk menilai penerapan pengukuran

kinerja koperasi sesuai dengan Pedoman Pemeringkatan Koperasi (KEP

MEN No. 06/Per/M. KUKM/III/2008), yaitu:

1) Badan usaha aktif, dengan substansi penilaian:

a) Penyelenggaraan RA dan Rapat Pengurus/Pengawas sesuai

ketentuan & kebutuhan

58

b) Manajemen pengawasan

c) Keberadaan & tingkat realisasi Rencana Kegiatan dan Rencana

Anggaran Pendapatan & Belanja

d) Rasio kondisi operasional kegiatan/usaha yg dilakukan

e) Kinerja kepengurusan

f) Tertib administrasi (organisasi, usaha, keuangan)

g) Keberadaan sistem informasi

h) Kemudahan untuk mendapatkan (akses) informasi

2) Kinerja usaha yang semakin sehat, dengan substansi penilaian:

a) Struktur permodalan

b) Likuiditas

c) Solvabilitas

d) Profitabilitas

e) Aktivitas (rasio perputaran piutang)

f) Kemampuan bersaing koperasi

g) Strategi bersaing koperasi

h) Inovasi yang dilakukan

3) Kohesivitas dan partisipasi anggota, dengan substansi penilaian:

a) Rasio transaksi anggota (partisipasi bruto) dibandingkan non-

anggotapada Koperasi

b) Rasio besaran SHU terhadap transaksi usaha anggota

c) Rasio peningkatan jumlah anggota

d) Persentase jumlah anggota yang melunasi simpanan wajib

59

e) Persentase besaran simpanan selain simpanan pokok dan

simpanan wajib

f) Rasio peningkatan jumlah penyertaan modal anggota kepada

koperasi

g) Tingkat pemanfaatan pelayanan koperasi oleh anggota

h) Pola pengkaderan

4) Orientasi kepada pelayanan anggota, dengan substansi penilaian:

a) Model pelaksanaan pendidikan dan pelatihan

b) Banyaknya jenis pendidikan dan pelatihan yang dilakukan dalam

satu tahun terakhir

c) Rasio anggota yang mengikuti pendidikan dan pelatihan

d) Keterkaitan antara usaha koperasi dengan usaha/kegiatan anggota

e) Transaksi usaha koperasi dengan usaha/kegiatan anggota

f) Tingkat kepuasan anggota terhadap pelayanan yang diberikan

koperasi

5) Pelayanan terhadap masyarakat, dengan substansi penilaian:

a) Pelayanan usaha koperasi yang dapat dinikmati masyarakat non-

anggota

b) Persentase besaran dana yang disisihkan untuk pelayanan sosial

yang dapat dinikmati masyarakat

c) Kemudahan masyarakat untuk mendapatkan informasi bisnis yang

disebarkan oleh koperasi

d) Tanggapan masyarakat sekitar terhadap keberadaan koperasi

60

6) Kontribusi koperasi terhadap pembangunan daerah, dengan substansi

penilaian:

a) Ketaatan koperasi dalam pembayaran pajak

b) Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja koperasi

c) Tingkat upah karyawan

Masing-masing kriteria tersebut telah ada indikator dan standar

penilaiannya masing-masing kriteria sehingga bisa dianalisis. Hasil

pemeringkatan koperasi telah ditetapkan dalam 5 (lima) klasifikasi

kualitas, yaitu:

1) Koperasi dengan kualifikasi “Sangat Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian diatas 419.

2) Koperasi dengan kualifikasi “Berkualitas”, dengan jumlah penilaian

340 sampai dengan 419.

3) Koperasi dengan kualifikasi “Cukup Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian 260 sampai dengan 339.

4) Koperasi dengan kukalifikasi “Kurang Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian 180 sampai dengan 259.

5) Koperasi dengan kualifikasi “Tidak Berkualitas”, dengan jumlah

penilaian kurang dari 180.

Keputusan hasil pemeringkatan koperasi bersifat final dan berlaku untuk

satu periode tertentu dalam jangka waktu paling lama dua tahun (Buku

Pedoman Pemeringkatan Kop & UKM, 2008).

61

3) Tujuan Ke Tiga

Untuk menjawab tujuan ketiga mengenai sistem rantai pasok TBS kelapa

sawit rakyat dengan pola perkebunan di Kabupaten Tulang Bawang

digunakan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis rantai pasok pada

tujuan ketiga adalah terdiri dari aliran barang, aliran uang dan aliran

informasi dalam tataniaga pemasaran Tandan Buah Segar kelapa sawit.

Analisis dengan model S-C-P (structure, conduct, dan performance)

digunakan untuk menganalisis organisasi pasar berdasarkan alur, pelaku

dan pangsa pasar dalam pemasaran Tandan Buah Segar kelapa sawit.

Pada dasarnya, model S-C-P dikelompokkan ke dalam tiga komponen,

yakni :

a. Struktur pasar

Struktur pasar merupakan gambaran hubungan antara penjual dan

pembeli yang dilihat dari jumlah lembaga perantara, diferensiasi

produk dan kondisi keluar masuk pasar. Struktur pasar dikatakan

bersaing bila jumlah pembeli dan penjual banyak, tidak dapat

mempengaruhi harga pasar, tidak ada gejala konsentrasi, produk

yang dijual bersifat homogen dan bebas untuk keluar masuk pasar.

Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna terjadi pada pasar

monopoli, monopsoni, pasar oligopoli dan pasar oligopsoni.

b. Prilaku pasar

Perilaku pasar merupakan gambaran tingkah laku lembaga perantara

(petani sebagai produsen, lembaga perantara atau pedagang dan

konsumen) dalam menghadapi struktur pasar untuk memperoleh

62

keuntungan sebesar-besarnya yang meliputi kegiatan pembelian,

penjualan dan pembentukan harga. Perilaku pasar juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain faktor budaya, faktor sosial

(kelompok acuan, keluarga, peran dan status), faktor pribadi (umur,

situasi ekonomi, gaya hidup), serta faktor psikologis (motivasi,

persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap) (Kotler dan Amstrong,

2001).

c. Keragaan pasar

Keragaan pasar merupakan gambaran gejala pasar yang tampak

akibat interaksi antara struktur pasar dan perilaku pasar. Interaksi

antara struktur dan perilaku pasar cenderung bersifat kompleks dan

saling mempengaruhi secara dinamis.

4) Tujuan Ke Empat

Untuk menjawab tujuan ke empat yaitu biaya transaksi yang dikeluarkan

oleh petani kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan

analisis deskriptif kuantitatif. Biaya-biaya transaksi yang dikeluarkan

oleh petani swadaya dan petani plasma meliputi biaya penelitian, biaya

informasi, biaya monitoring dan biaya partisipasi (Hendar dan Kusnadi,

2002). Oleh karena itu biaya transaksi dihitung dengan rumus :

BTi = BPen +Binf +Bmon +Bpar …………………………….…….....… (5)

Keterangan :

BT1 = biaya transaksi petani swadaya

BT2 = biaya transaksi petani plasma

BPen = biaya penelitian (Rp/tahun)

Binf = biaya informasi (Rp/tahun)

Bmon = biaya monitoring (Rp/tahun)

Bpar = biaya partisipasi (Rp/tahun)

63

Setelah diketahui biaya transaksi bagi petani swadaya dan petani mitra,

selanjutnya dilakukan uji beda. Pada penelitian ini peneliti

membandingkan rata-rata biaya transaksi antara petani swadaya dan

petani plasma. Analisis statistik uji beda rata-rata atau t-hitung

(independent sample t-test) dengan uji satu arah yang digunakan untuk

penelitian yang membandingkan dua variabel. Menurut Sugiyono

(2010) bila jumlah sampel berbeda (n1 ≠ n2) dan varians homogen

( =

) sehingga dapat digunakan rumus pooled varian,derajat

kebebasan (dk) = n1 + n2-2 .Secara matematis rumus pooled varian

adalah :

………………...........................….(6)

Keterangan :

dan = Rata-rata data pertama dan data kedua

dan

= Estimasi perbedaan kelompok

n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok pertama

n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok kedua

Dengan kriteria uji :

Jika t-hitung ≤ t-tabel, maka Ho diterima dan H₁ tidak diterima.

Jika t-hitung > t-tabel, maka Ho tidak diterima dan H₁ diterima.

Dimana :

Ho : µ1 ≠µ2...............................................................................................(7)

H₁ : µ1 ≠µ2.......................................................................................... ...(8)

Keterangan :

µ1= Rata-rata variabel 1 (petani swadaya)

µ2 = Rata-rata variabel 2 (petani plasma)

64

5) TujuanKe Lima

Untuk menjawab tujuan kelima tentang pendapatan yang diperoleh petani

kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis

kuantitatif. Pendapatan diperoleh dengan menghitung selisih antara

penerimaan yang diterima dari hasil usaha dengan biaya produksi yang

dikeluarkan dalam satu tahun, dirumuskan sebagai:

π = Y. Py-∑ Xi.Pxi – Btransaksi………………....................................(9)

keterangan:

π = pendapatan(Rp)

Y = hasil produksi (kg)

Py = harga hasil produksi (Rp)

∑Xi = jumlah faktor produksi (i 1,2,3,....,n)

Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp)

Bvariabel = biaya variabel (Rp)

Btransaksi = biaya transaksi (Rp)

Pada penelitian ini peneliti membandingkan rata-rata pendapatan

antara petani swadaya dan petani plasma. Analisis statistik uji beda

rata-rata atau t-hitung (independent sample t-test) dengan uji satu arah

yang digunakan untuk penelitian yang membandingkan dua variabel.

Menurut Sugiyono (2010) bila jumlah sampel berbeda (n1 ≠ n2) dan

varians homogen ( =

) sehingga dapat digunakan rumus pooled

varian,derajat kebebasan (dk) = n1 + n2-2. Secara matematis rumus

pooled varian adalah :

…………….........................…. (10)

Keterangan :

dan = Rata-rata data pertama dan data kedua

dan

= Estimasi perbedaan kelompok

65

n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok pertama

n1 = banyaknya sampel pengukuran kelompok kedua

Dengan kriteria uji :

Jika t-hitung ≤ t-tabel, maka Ho diterima dan H₁ tidak diterima.

Jika t-hitung > t-tabel, maka Ho tidak diterima dan H₁ diterima.

Dimana :

Ho : µ1 ≠ µ2..........................................................................................(11)

H₁ : µ1≠ µ2.........................................................................................(12)

Keterangan :

µ1 = Rata-rata variabel 1 (petani swadaya)

µ2 = Rata-rata variabel 2 (petani plasma)

6) Tujuan Ke Enam

Untuk menjawab tujuan ke enam mengenai kesejahteraan petani kelapa

sawit rakyat di Kabupaten Tulang Bawang digunakan analisis tingkat

kesejahteraan petani menggunakan indikator sosiometrik Indikator

sosiometrik mengklasifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan 8

komponen kesejahteraan yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan

kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, buta huruf, dan

kerawanan dalam keluarga tersebut. Keluarga tergolong sebagai

keluarga tidak sejahtera (miskin) apabila tidak dapat memenuhi sebagian

besar dari delapan komponen kesejahteraan secara layak.

Pengklasifikasian indikator dilakukan dengan pemberian skor

berdasarkan kondisi aktual yang dialami oleh keluarga (skor dari 1

sampai dengan 4). Selanjutnya, skor dari masing – masing aspek

tersebut dijumlahkan dan diperoleh klasifikasi dengan kisaran 8 – 15 :

tidak miskin, 16 – 23 : miskin, 24 – 32 : sangat miskin.

66

Pada penelitian ini peneliti juga membandingkan kesejahteraan antara

petani swadaya dan petani plasma. Analisis statistik menggunakan uji

Mann Whitney dalam rangka untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

rata-rata (mean) dua data sampel yang tidak berpasangan. Syarat uji

Mann Whitney ini adalah data berskala ordinal, interval atau rasio, terdiri

dari 2 kelompok yang independent atau saling bebas, data kelompok I

dan kelompok II tidak harus sama banyaknya, data tidak harus

berdistribusi normal. sehingga tidak perlu uji normalitas.

67

Tabel 7. Indikator sosiometrik

Indikator Skor

1 2 3 4

Ketahanan

pangan

Keluarga yang

selalu mempunyai

pangan dalam

jumlah yang cukup

dan jenis yang

diinginkan

Keluarga selalu

mempunyai

pangan dalam

jumlah yang

cukup tetapi tidak

selalu jenis yang

diinginkan

Keluarga

terkadang tidak

mempunyai

pangan dalam

jumlah yang

cukup untuk

konsumsi

Keluarga sering

tidak mempunyai

pangan dalam

jumlah yang

cukup untuk

konsumsi

Pendidikan Keluarga dapat

mendukung

pendidikan untuk

anak sampai

pendidikan tinggi

dan universitas

Keluarga dapat

mendukung

pendidikan untuk

anak sampai

pendidikan

menengah

Keluarga dapat

mendukung

pendidikan

anak sampai

tingkat dasar

Keluarga tidak

dapat mendukung

pendidikan untuk

anak meskipun

pada tingkat dasar

Pelayanan

kesehatan

Keluarga selalu

mampu untuk

memperoleh obat-

obatan dan

pelayanan

kesehatan yang

dibutuhkan

Keluarga

biasanya mampu

untuk

memperoleh

obat-obatan dan

pelayanan

kesehatan yang

mereka butuhkan

Keluarga

kadang tidak

mampu untuk

memperoleh

obat-obatan dan

pelayanan

kesehatan yang

mereka

butuhkan

Keluarga tidak

pernah mampu

untuk

memperoleh

obat-obatan dan

pelayanan

kesehatan yang

mereka butuhkan

Peralatan

rumah

tangga

Keluarga

mempunyai seluruh

perlengkapan

moderen termasuk

pompa air, listrik,

sepsitctank, dan

telepon

Keluarga

mempunyai 3 dari

4 perlengkapan

yang ada

Keluarga

mempunyai 2

dari 4

perlengkapan

yang ada

Keluarga hanya

mempunyai 1 dari

4 perlengkapan

yang ada.

Modal sosial Selalu terlibat dalam

aktivitas masyarakat

Terkadang terlibat

dalam aktivitas

masyarakat

Jarang terlibat

dalam aktivitas

masyarakat

Tidak pernah

terlibat dalam

aktivitas

masyarakat

Pemberda-

yaan

Selalu merasa

dihormati

Terkadang

merasa dihormati

Jarang merasa

dihormati

Tidak pernah

merasa dihormati

Kemampu-

an baca tulis

Dapat membaca,

menulis, dan

berhitung dasar

Dapat melakukan

2 dari 3

kemampuan yang

ada

Hanya dapat

melakukan 1

kemampuan

yang ada

Tidak dapat

melakukan ketiga

kemampuan yang

ada

Kerawanan Keluarga tidak

mempunyai

kerawanan (balita,

lansia, anggota

keluarga

berpenyakit kronis)

Keluarga

mempunyai 1 dari

3 kerawanan

yang ada

Keluarga

mempunyai 2

dari 3

kerawanan

yang ada

Keluarga

mempunyai 3

kerawanan yang

ada

VI. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Gambaran Umum Daerah Kabupaten Tulang Bawang

Kabupaten Tulang Bawang merupakan merupakan salah satu dari 14

Kabupaten/Kota yang berada di bawah wilayah administrasi Provinsi

Lampung. Dalam kebijakan penataan ruang nasional (PP No. 26 Tahun 2008

tentang RTRWN), Menggala sebagai ibukota kabupaten ditetapkan sebagai

Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), juga dilewati jaringan jalan nasional (Jalur

Lintas Timur Pulau Sumatra). Jumlah penduduk 362.427 jiwa (2009), dengan

luas wilayah 346.632 ha memiliki tingkat kepadatan penduduk yang relatif

rendah yaitu 1,05 jiwa/ha.

Pendapatan daerah Kabupaten Tulang Bawang mengandalkan pemasukan

dari komoditas pangan, perkebunan dan perikanan yang menjadi sektor

unggulan. Komoditas pangan terutama ubi kayu digunakan untuk memasok

industri tapioka, sedangkan komoditas perkebunan adalah karet, kelapa sawit

dan tebu, selanjutnya komoditas perikanan banyak didominasi oleh budidaya

tambak udang yang memang sejak lama telah menjadi produk ekspor.

Kondisi infrastruktur yang belum merata ke seluruh wilayah Kabupaten

Tulang Bawang menjadi kendala pembangunan wilayah. Koneksi antar

wilayah secara internal belum cukup memadai, sistem jaringan transportasi

69

yang menjadi kerangka pengembangan wilayah juga diperlukan peningkatan

secara kualitasnya. Kondisi ini kurang memberikan multiplier effect bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga akumulasi nilai tambah

wilayah relatif kecil.

Administrasi pemerintah Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2010 terdiri

dari 15 (lima belas) kecamatan dan 151 kampung/kelurahan dengan luas

wilayah sebesar 3.466,32 Km2 . Batas batas wilayah administrasi Kabupaten

Tulang Bawang adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Mesuji

Sebelah Selatan : Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur

Sebelah Timur : Kawasan pantai (Laut Jawa)

Sebelah Barat : Kabupaten Tulang Bawang Barat

Visi Kabupaten Tulang Bawang adalah terwujudnya pertanian/perkebunan

yang unggul dan hutan yang lestari menuju masyarakat sejahtera dan mandiri

melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang berwawasan lingkungan.

Untuk mencapai visi tersebut, dinas Pertanaian dan Kehutanan Kabupaten

Tulang Bawang memiliki misi :

1) Mewujudkan agribisnis yang produktif, efisien dan berdaya saing tinggi

2) Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing

tinggi

3) Mewujudkan kelestarian hutan untuk kemakmuran rakyat.

4) Mewujudkan peluang investasi dengan menciptakan iklim yang kondusif.

70

Potensi wilayah pertanian seluas 149.420 ha, terdiri dari lahan basah 149.420

ha, lahan kering 102.104 ha, didukung keluarga tani sebanyak 79.709

keluarga dan 1.184 kelompok tani, hal ini yang mendasari program kerja

dinas pertanian Kabupaten Tulang Bawang pada sektor pertanian yaitu,

program pengembangan agribisnis yakni program peningkatan produksi

pertanian tanaman pangan.

Kabupaten Tulang Bawang mempunyai kecamatan terluas dan terkecil,

Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dentes Teladas (± 19,57 persen),

sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Meraksa Aji (± 2,75 persen).

Akan tetapi dari segi kepadatan penduduk eksisting, penduduk lebih

terkonsentrasi di pusat-pusat kegiatan, seperti di Kecamatan Banjar Agung,

Kecamatan Banjar Margo, Kecamatan Rawajitu Selatan serta Kecamatan

Menggala. Sedangkan kecamatan lainnya masih rendah, yang menandakan

perlunya suatu intervensi perencanaan untuk mencapai efisiensi penggunaan

sumber daya dan efisiensi alokasi distribusi sumber daya.

B. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Penawartama

Kecamatan Penawartama adalah sebuah kecamatan perwakilan yang

merupakan kepanjangan tangan dari Kecamatan Menggala. Pada tahun 1999

di lanjutkan menjadi kecamatan pembantu yang merupakan pemekaran dari

Kecamatan Menggala .

Kecamatan Penawartama pada tanggal 26 Pebruari 2001 melalui Perda No 1

tahun 2001,diresmikan oleh Bupati Tulang Bawang menjadi kecamatan

devinitif membawahi 17 kampung, dengan jumlah penduduk 57.323 jiwa dan

71

jumlah KK sebanyak 15.392 Kepala Keluarga. Perkebunan kelapa sawit dan

karet merupakan penghasilan utama selain tanaman singkong. Adapun

berbagai mata pencaharian penduduk adalah:

1. Usaha Pertanian

2. Usaha Perkebunan karet dan sawit

3. Karyawan PT

4. Pedagang

5. Usaha industri Kecil

6. Buruh

Selain itu ada potensi wilayah yang sangat strategis hanya saja belum tergarap

secara optimal yaitu peternakan kambing dan sapi. Sebagian besar wilayah

penawartama terdiri dari perkebunan yang menyediakan pakan ternak yang

berlimpah. Wilayah selatan penawartama terdiri dari lahan rawa yang luasnya

ribuan hektare dimana tempat tersebut menyediakan pakan selama musim

kemarau, bahkan ketika kemarau panjang banyak warga dari Kecamatan

Banjar Margo dan Banjar Agung merumput di lahan tersebut. Belum

tergarapnya potensi tersebut dikarenakan tidak adanya modal untuk membeli

bibit ternak unggul. Tingkat parstisipasi masyarakat Penawartama dalam

pembangunan sangat tinggi, hal ini dibuktikan dengan pesatnya tingkat

pembangunan di Penawartama.

C. Gambaran Umum Daerah Kecamatan Gedung Aji Baru

Kecamatan Gedung Aji Baru merupakan salah satu kecamatan diantara 15

kecamatan yang ada di Kabupaten Tulang Bawang. Kecamatan Gedung Aji

Baru merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Penawar Tama yang

72

disahkan dalam Perda No. 01 Tahun 2007, beribukota di Kampung Sidomukti,

yang berbatasan dengan:

Sebelah utara : Kecamatan Rawa Jitu Utara (Kabupaten Mesuji)

Sebelah selatan : Sungai Pidada (Kecamatan Rawa Pitu)

Sebelah barat : Kecamatan Penawar Tama

Sebelah timur : Kecamatan Rawa Jitu Selatan

Wilayah Kecamatan Gedung Aji Baru memiliki luas wilayah 9.617,59 Ha atau

2,79 persen dari luas Kabupaten Tulang Bawang. Kecamatan Gedung Aji

Baru merupakan daerah agraris Kabupaten Tulang Bawang dengan mata

pencaharian pokok penduduknya berada disektor pertanian.Industri, Koperasi,

dan usaha-usaha sektor ekonomi yang memegang peranan penting dalam

bidang ekonomi di Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang Bawang

yaitu di bidang usaha-usaha ekonomi.

Usaha-usaha ekonomi itu meliputi pasar sebanyak 3 unit, toko/kios/warung

sebanyak 240 unit, rumah makan/warung makan sebanyak 16 unit, dan hotel.

Sementara itu, belum terdapat sektor industri dan koperasi yang dapat

meningkatkan kesejahteraan penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru saat ini,

sehingga kedepanya perlu menciptakan lapangan pekerjaan baru atau koperasi

yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk. Hal ini sangat dibutuhkan

oleh masyarakat Kecamatan Gedung Aji Baru, terutama sektor industri-

industri kecil, karena mampu menyerap tenaga kerja secara maksimal.

Hasil estimasi penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang

Bawang tahun 2011, penduduk Kecamatan Gedung Aji Baru mencapai 20.730

73

jiwa, dengan luas wilayah sebesar 95,36 km2. Kepadatan penduduk

Kecamatan Gedung Aji Baru Kabupaten Tulang Bawang sebesar 217

jiwa/km2. Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan

distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diutamakan dalam proses

pembangunan daerah. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi kelebihan

bagi suatu daerah dan dapat pula menjadi kekurangan bagi suatu daerah

apabila jika penduduk berkualitas rendah dan tidak mampu bersaing dengan

penduduk daerah lain.

D. Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Lampung

Kelapa sawit adalah tumbuhan industrial penting penghasil minyak masak,

minyak industri maupun bahan bakar. Sejarah perkembangan perkebunan

kelapa sawit Provinsi Lampung dimulai sejak Tahun 1995. Awal mula

penanaman adalah dengan pembukaan lahan transmigrasi lokal untuk wilayah

Tulang Bawang, Mesuji dan Way Kanan yang pada saat itu masih menjadi

satu Kabupaten yakni Kabupaten Lampung Utara. Petani menjalin kemitraan

plasma dengan pihak pabrik kelapa sawit dalam bentuk koperasi. Setiap tahun

semakin berkembang dengan bertambahnya luas lahan dan jumlah petani yang

menanam kelapa sawit.

Di Provinsi Lampung, pengembangan kelapa sawit rakyat dimulai sejak

adanya kebijakan PIR dan PRPTE. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan

salah satu pola pengembangan perkebunan rakyat yang masih relatif baru.

Dalam pola ini, PTPN ataup PBS yang memiliki kemampuan tinggi diberikan

tugas untuk membangun suatu perkebunan termasuk pabrik pengolahannya.

74

Perkebunan tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagian

diserahkan kepada petani pekebun dan sebagian lagi berikut sarana

pengolahannya menjadi milik perusahaan pembangunnya. Petani pekebun

tersebut diartikan sebagai peserta PIR. Bagian yang diserahkan kepada petani

atau peserta PIR disebut sebagai “plasma”, sedangkan yang menjadi milik

perusahaan disebut sebagai “inti”. Kedua hubungan tersebut dapat

digambarkan bahwa pola PIR adalah keadaan sosial ekonomi peserta dan

didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai

kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan

perusahaan yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan.

Pelaksanaan program PIR membutuhkan petani (peserta) dalam jumlah besar

dan hal ini menjadi komponen terpenting dalam pola PIR. Perusahaan inti

akan mengembangkan sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melalui

proses alih teknologi dari perusahaan inti kepada petani dan adanya

pembinaan kewirausahaan. Tidak hanya itu, berbagai pekerjaan yang

menyangkut semua unit plasma, seperti pendistribusian sarana produksi,

pemeliharaan tanaman sampai dengan pengumpulan Tandan Buah Segar

(TBS) dapat dilaksanakan secara efisien. Hal ini dikarenakan, kebun inti dan

plasma terletak di satu lokasi sehingga pembinaan organisasi petani relatif

mudah.

Petani mandiri atau swadaya mulai mengikuti perkembangan komoditas

tanaman yang ada di wilayah mereka. Hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki

petani telah dikelilingi oleh tanaman kelapa sawit sehingga mau tidak mau

mereka harus menanam kelapa sawit agar tidak kalah dalam perebutan unsur

75

hara tanaman. Petani mengganti tanaman sebelumnya karena menurut petani

tanaman sebelumnya tidak menghasilkan dan dinilai belum menguntungkan.

Provinsi lampung memiliki potensi dibidang kelapa sawit. Potensi ini dapat

dilihat dengan jumlah luasan dan produksi kelapa sawit yang tinggi di

Provinsi lampung. Kabupaten Tulang Bawang memiliki peluang yang cukup

tinggi karena, kabupaten merupakan daerah sekitar rawa sehingga kebutuhan

utama tanaman kelapa sawit yakni air dapat terpenuhi.Kabupaten Tulang

Bawang merupakan kabupaten dengan produksi dan luas terbesar kedua di

Provinsi Lampung yakni 36.672 ha dengan produksi 95.548 pada tahun 2015.

Kelapa sawit yang dibudidayakan di Kabupaten Tulang Bawang adalah jenis

dura dan pisifera. Tipe kelapa sawit tersebut dibedakan berdasarkan ketebalan

cangkang yang masing-masing jenis memiliki keunggulan yang berbeda-beda.

E. Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera

Koperasi Unit Desa (KUD) Krida Sejahtera yang beralamat di jalan lintas

Rawajitu Kampung Bogatama Kec. Penawar Tama Kab. Tulang Bawang

merupakan koperasi yang bergerak dibidang koperasi plasma dan replanting

kelapa sawit. Koperasi Unit Desa (KUD) berdiri pada tanggal 14 april 1994.

Badan hukum koperasi telah disahkan oleh menteri koperasi dan pembinaan

pengusaha kecil RI dalam Surat Keputusan No. 100/Kep/BH/ KWK.7/ VI/

1994 tanggal 1 juni 1994. Anggaran dasar koperasi telah mengalami beberapa

kali perubahan, terakhir berdasarkan keputusan mendapat rapat anggota

khusus taggal 28 maret 2001. Perubahan anggaran dasar tersebut telah

mendapat persetujuan dari Menteri Negara Urusan Koperasi, Usaha Kecil dan

76

Menengah Republik Indonesia dalam Surat Keputusan

No.060/12/PAD/D.6/TB/2002 tanggal 15 Februari 2002.

Jumlah pengurus koperasi berjumlah 5 orang yang terdiri dari Ketua I, Ketua

II, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara dan memiliki 15 orang karyawan

untuk membantu kegiatan operasional koperasi pada tahun 2015.Ketua KUD

Krida Sejahtera adalah bapak Misery Al Aminanto, S.Pd. Jumlah anggota

KUD Krida Sejahtera adalah 17.258 orang yang terbagi menjadi tiga wilayah

yaitu GABA (Gedung Aji Baru), GALA (Gedung Aji Lama) dan Mesuji.

Secara keseluruhan luasan tanah anggota petani anggota koperasi adalah

14.886,175 ha.

Koperasi Unit Desa Krida Sejahtera bergerak pada unit usaha plasma dan

replanting, percetakan, simpan pinjam dan WASERDA yang kini hanya

menyediakan beras untuk keperluan perusahaan. Koperasi Unit Desa Krida

Sejahtera mendapatkan penghargaan dari ISCC ( International Sustainability

and Carbon Certification) berupa sertifikat ISCC. Adanya sertifikat ISCC

artinya petani anggota koperasi yang tergabung kedalam petani plasma sudah

bersertifikasi.

Tabel 8. Aset yang dimiliki oleh KUD Krida Sejahtera pada tahun 2016

Keterangan Lokasi

Gedung yang terdiri dari kantor KUD , aula

pertemuan, percetakan, pos jaga, perumahan

karyawan, rumah ganzet.

Bogatama

Alat- alat elektronik, funiture dan inventaris kantor

penunjang kegiatan operasional

Bogatama

Gudang penyimpanan beras dan garasi Bogatama

Kendaraan: 3 unit motor honda supra X, 2 unit

mobil panther

Bogatama

Sumber : Rapat Akhir Tahun, 2016.

77

Koperasi Unit Desa Krida Sejatera melaksanakan tertib administrasi

perkoperasian dan administrasi unit-unit usaha yang meliputi :

1. 16 buku pokok KUD

2. Buku anggota / kartu pengambilan hasil TBS

3. Buku kas, buku bank, kartu gudang, buku penjualan, buku pembelian, serta

buku pendukung lainya yang tertuang dalam buku RAT.

Total aset lancar KUD adalah sebesar Rp 37.173.413.301 dan total aset tidak

lancar sebesar Rp 92.317.112.325 sehingga total aset yang dimilki KUD Krida

Sejahtera adalah sebesar Rp 129.490.525.626. Koperasi mengukur aset

tetapnya dengan menggunakan model biaya. Berdasarkan model biaya, aset

tetap, kecuali tanah yang tidak di amortisasi, dicatat sebesar biaya perolehan

dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian penurunan nilai aset.

Persediaan diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, dimana yang

lebih rendah.

Sejak tahun 2010, KUD Krida Sejahtera mengelola pemupukan dana dari

anggotanya yang bertujuan untuk mendanai program penanaman kembali

tanaman kelapa sawit pada kebun-kebun milik anggota koperasi di masa yang

akan datang. Pemupukan dana berasal dari pemotongan hasil penjualan TBS

kelapa sawit milik anggota. Jumlah kumulatif pemotongan hasil penjualan

TBS kelapa sawit untuk tujuan pemupukan dana tersebut sebesar

Rp 102.153.961.526 pada tanggal 31 Desember 2015.

78

Sumber : KUD Krida Sejahtera, 2017.

Gambar 3. Struktur Organisasi KUD KRIDA SEJAHTERA Tahun 2017

PENGURUS

KETUA I : Misery Al Aminanto, S.Pd

KETUA II : Syamsudin

SEKRETARIS I : Antuk Yuwono, SE

SEKRETARIS II : Ahmad Bukhori

BENDAHARA : Drs.Sujoko

PENGURUS

KETUA : Kamso Dalimin

Anggota : M.Kamaludin

Anggota : Agus Nahmud

KASIE

KARYAWAN

Percetakan Plasma dan Replanting Simpan Pinjam

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1. Pola perkebunan yang lebih baik adalah pola perkebunan plasma karena

dari tahap pengelolaan sampai dengan penjualan hasil panen sudah

diatur dan tersedia sedangkan petani swadaya harus mengusahakan

sendiri kebunnya. Adapun kekurangan pola perkebunan plasma adalah

adanya aturan yang harus diikuti oleh petani berupa hak dan kewajiban

yang harus dipenuhi oleh petani plasma sehingga memberatkan petani.

2. Penilaian kinerja KUD Krida Sejahtera berdasarkan pedoman

pemeringkatan koperasi maka KUD Krida Sejahtera termasuk ke dalam

jenis koperasi yang kurang berkualitas dengan jumlah total penilaian

sebesar 253.

3. Terdapat perbedaan pada sistem rantai pasok TBS kelapa sawit di

Kabupaten Tulang Bawang dimana rantai pasok TBS kelapa sawit petani

swadaya lebih panjang dibandingkan rantai pasok TBS kelapa sawit

petani plasma. Perbedaaan tersebut menjadikan rantai pasok TBS petani

plasma lebih efisien dan efektif baik dalam aliran barang, aliran uang

maupun aliran informasi.

130

4. Petani plasma mengeluarkan biaya transaksi lebih kecil dari petani

swadaya dengan rata-rata biaya transaksi yang dikeluarkan selama satu

tahun terakhir masing-masing sebesar Rp 66.796,05 dan Rp 217.250,00.

Biaya transaksi petani swadaya lebih besar dibandingkan dengan petani

plasma karena petani swadaya pengusahaan usaha perkebunannya

dilakukan dengan swadaya atau secara mandiri mulai dari kepemilikan,

permodalan, pengolahan sampai dengan panen sehingga biaya transaksi

yang dikeluarkan baik untuk biaya penelitian, informasi, dan monitoring

lebi besar. Hal ini berbeda dengan petani plasma yang biaya

transaksinya lebih kecil karena petani plasma bermitra dengan KUD

Krida Sejahtera yang pengelolaan kebunnya dilakukan oleh KUD,

sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan dapat dikurangi.

5. Tingkat pendapatan petani kelapa sawit plasma lebih besar dibandingkan

swadaya. Rata-rata pendapatan untuk petani plasma sebesar

Rp 22.220.785,74 per hektar per tahun, sedangkan pendapatan petani

swadaya sebesar Rp16.913.774,53 per hektar per tahun. Pendapatan

petani plasma lebih besar daripada petani swadaya karena petani plasma

pengelolaan usaha perkebunannya dikelola oleh perusahaan dengan baik

dengan sistem pembayaran kerjasama yang telah ditetapkan sehingga

petani plasma memiliki kepastian dalam memperoleh hasil dari

kesepakatan dengan perusahaan. Berbeda dengan petani swadaya yang

setiap pengelolaannya dilakukan secara mandiri baik dari memperoleh

sarana produksi, mengelola usaha perkebunanya mulai dari pengolahan

tanah hingga panen, dan pemasarannya.

131

6. Berdasarkan hasil analisis menggunakan indikator sosiometrik diperoleh

bahwa rata-rata petani swadaya dan petani plasma merupakan petani

yang dikategorikan keluarga sejahtera dengan rata-rata perolehan skor

yang sama yakni 11.

B. SARAN

1. Sebaiknya ada perbaikan manajemen dan kinerja koperasi sehingga

KUD Krida Sejahtera dapat meningkatkan peringkat menjadi koperasi

yang berkualitas sehingga lebih berkontribusi untuk membantu petani

dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

2. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan harga yang berlaku dipasar

sehingga petani mendapatkan harga yang layak untuk meningkatkan

kesejahteraan petani kelapa sawit.

3. Sebaiknya peneliti lain dapat mempergunakan indikator lain untuk

menganalisis kesejahteraan, indikator sosiometrik dinilai belum dapat

menggambarkan secara mendetail mengenai kesejahteraan petani di

suatu wilayah jika hanya dilihat menggunakan delapan indikator.

132

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,R. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR. Cetakan Pertama. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Andriati dan I Gusti P.W. 2011. Penguatan Aspek Kelembagaan Program

Revitasilasi Perkebunan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma.

Jurnal Agro Ekonomi Volume 29 No. 2 Oktober 2011: 169-190. Balai

Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2015. Lampung dalam Angka. BPS Provinsi Lampung.

Bandar Lampung

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2014. Statistik

Perekonomian Lampung Tahun 2013. BAPPEDA Provinsi Lampung.

Bandar Lampung.

Basuki,I, dkk. 2006. Model Hubungan Inovasi & Kelembagaan di Desa

Genggelang Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.

Lombok Barat.

Carter, William K dan Usry, Mitton F. 2009. Akuntansi Biaya II. Edisi 14.

Salemba Empat. Jakarta.

Chopra S and Middle. 2004. Supply chain Mangement:Strategy, Planning and

Operation. Pearson Prentice Hall.

Darmosarkoro, W., E.S. Sutarta dan Winarna. 2003. Teknologi Pemupukan

Tanaman Kelapa Sawit. Dalam Lahan Dan Pemupukan Kelapa Sawit.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM. 2013. Pedoman

Pemeringkatan Koperasi. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah. Jakarta.

Dinas Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Provinsi Lampung. Lampung.

133

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa

Sawit 2014 - 2016. Jakarta

Erani, A.Y. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Definis, Teori dan Strategi.

Erlangga. Jakarta.

Gurajati, D. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Ed ke-3. Erlangga. Jakarta.

Hamid,E. Implementasi Kemitraan Agribisnis Kelapa Sawit Di Provinsi Jambi.

Jurnal. Universitas Jambi. Jambi

Hendar dan Kusnadi. 2002. Ekonomi Koperasi untuk Perguruan Tinggi.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Hermanto. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani dalam Implementasi Prima Tani

di Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No.

2, Juni 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera

Selatan. Palembang.

Hernanto, F. 1994. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Husin, L.B. 2007. Kinerja Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit di Sumatera

Selatan: Analisis Kemitraan dan Ekonomi Rumahtangga Petani. Disertasi.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses : 7 April 2017

Indrajit, R.E, Djokopranoto R. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain. PT

Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Jakfar, F, Romano, Nurcholis. 2015. Pengelolaan Rantai Pasok dan Daya Saing

Kelapa Sawit di Aceh. Jurnal Unsyiah Vol.1 No.2 Juli 2015. Universitas

Syiah Kuala. Aceh.

Malini, H., dan D. Aryani. 2016. Model Kelembagaan Petani Plasma Bersertifikat

RSPO dan Non RSPO dalam Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kabupaten

Musi Banyuasin. Makalah, Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan.

http://eprints.unsri.ac.id/260/2/0000031506-

MakalahHennyRevisiSeminarMaksi.pdf. Diakses pada tanggal 4

November 2016.

Mangkuprawira, S. 1996. Hubungan Kelembagaan dalam Agribisnis. Jurnal

Volume 2 No. 2 September 1996. IPB Press. Bogor.\

Marimin dan Magfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam

Manajemen Rantai Pasok. Bogor. Unit Penerbit dan Percetakan IPB

Press.

134

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES) Edisi ke-3.

Jakarta.

Mustapa, I W. 2013. Analisis Komparatif Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit

Kelompok Iga dan Plasma di Desa Gunungsari Kec.Pasangkayu Kab.

Mamuju Utara. E-J.Agrotekbis 1(2) : 153-158, Juni 2013 Vol 1 No 2.

Universitas Tadulako. Palu.

Nazir,M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Ndraha, M D, Hutabarat S, Kausar. 2014. Analisis Kelembagaan Perkebunan

Kelapa Sawit Rakyat Pola Plasma Menghadapi Pasar Global di Kecamatan

Ukui Kabupaten Pelalawan. Jom Faperta Vol 1 No 2 Oktober 2014.

Universitas Riau. Riau.

Nuryani, N. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi

Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan

Kesejahteraan Keluarga. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Bogor.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 1992. Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta.

Kuncoro, M. 2004. Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan

Ekonomi Edisi kedua. AMP YKPN. Yogyakarta.

Pujawan. I.N. 2005. Supply Chain Management. Penerbit Guna Widya. Surabaya.

Rahim, A dan Hastuti, D.R. 2007. Pengantar teori dan kasus. Ekonomika

Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta:

Rambe, A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat .Kesejahteraan

(Kasus di Kecamatan Medan, Kota Sumatra Utara). Tesis. Pascasarjana

IPB. Bogor.

Reksoprayitno. 2004. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Bina Grafika.

Jakarta

Saragih, B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis

Pertanian. IPB Press. Bogor

Singarimbun, M.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S. Jakarta.

135

Siregar, Baldric, dkk. 2013. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.

Soekartawi. 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Sukoco, H D. 1995. Introduction To Social Work Practice. PT. Remaja

Rosdakarya. Bandung.

Supranto, J. 1998. Teknik Pengambilan Keputusan. Rineka Cipta. Jakarta

Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suwandi, Ikhsan G, Defidelwina. 2015. Analisis Perbandingan Pendapatan

Usahatani Kelapa Sawit Pola Koperasi Kredit Untuk Anggotannya

(KKPA) dengan Petani Swadaya di Desa Kepayang Kecamatan

Kepenuhan Hulu. Jurnal. Universitas Pasir Pengaraian. Pasir

Pengaraian.

Syahza, A dan Suarman. 2014. Penataan Kelembagaan Kelapa Sawit dalam

Upaya Memacu Percepatan Ekonomi Di Pedesaan. Lembaga Penelitian

Universitas Riau. Riau.

Van Der Vorst. 2006. Performance Measurement in Agri-Food Supply-Chain

Networks. Hollandseweg Netherlands : Logistics and Operations Research

Group, Wageningen University, Hollandseweg Wageningen. Netherlands.

Wahyuningsih, S. 2007. Pengembangan Agribisnis Ditinjau Dari Kelembagaan.

Mediagro Vol. 3 No. 1,2007 Hal 9-20. Universitas Wahid Hasyim.

Widarjono, A. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN.

Yogyakarta.

Wijayanti, T. 2010. Analisis Sosial Ekonomi Usahatani Kelapa Sawit di Desa

Suliliran Baru Kecamatan Pasir Belengkong Kabupaten Paser. Ziraa’ah

Volume 27 No 1 februari 2010. Universitas Mulawarman. Samarinda.

Winarno, WW. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.

STIM YKPN. Yogyakarta.

Wulandari. 2014. Analisis Pendapatan Dan Pola Konsumsi Petani Kelapa Sawit

Di Desa SumberMakmur Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar. Jom

Fekon Vol. 1 No. 2 Oktober 2014. Universitas Riau. Pekanbaru.

136

Yusuf, R. 2010. Kajian Model Inovasi Terknologi Dan Kelembagaan Petani

Dalam Mendukung Penumbuhan Perekonomian Pedesaan Berbasis

Kelapa Sawit. BBP2TP KEMENTAN. Riau.