KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN...

30
261 KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN (ALSINTAN) Supena Friyatno, Handewi P. Rachman dan Supriyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Agricultural equipments and machineries are the production factors affecting rice yield. The paper aims to analyze institution of agricultural equipments and machineries service in rice farming in some provinces in Indonesia. Results of the study showed that: (a) irrigating pumps, tractors and power threshers were still used by the farmers in case of water and labor scarcity, for examples during land cultivation and harvest periods; (b) participation rate of pump irrigation during wet season in East Java (77%) was higher than that in West Java (22%), but the participation rate increased during dry season in both provinces, i.e., 82 and 26 percent in East Java and West Java, respectively; (c) participation rate of tractor use varied from 25-97 percent during wet season and 25-96 percent during dry season; (d) participation rate of power thresher use correlated with labor scarcity, for example in Sidrap, South Sulawesi; (e) pricing system of pump irrigation varied among regions and depended on sources of wate, types of pumps, pump ownership, and local culture; (f) rental business of agricultural equipments and machineries was relatively profitable indicated by R/C ratio of greater than one; (g) main problem of the farmers was capital access for purchase of agricultural equipments and machineries. It is necessary to provide credit program or to subsidize the agricultural machineries industry such that selling price of the products becomes cheaper. Key words: institution, equipment, agricultural machineries, service PENDAHULUAN Seiring dengan perubahan lingkungan biofisik dan sosial budaya, maka penggunaan alat-alat mesin pertanian (alsintan) di pedesaan Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perubahan biofisik ling- kungan seperti ketersediaan sumberdaya air permukaan yang semakin terbatas di satu sisi dan kebutuhan air yang semakin meningkat di sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah mendorong penggunaan pompa untuk memanfaatkan air bawah tanah. Pembangunan ekonomi nasional yang telah terjadi beberapa dekade, telah berhasil meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian yang pada gilirannya ketersediaan tenaga kerja di daerah- daerah pertanian tertentu menjadi kekurangan. Di sisi lain pembangunan sarana dan prasarana irigasi telah merubah pola dan jadwal tanam menjadi jadwal tanam yang serempak sehingga waktu pengolahan lahan, penyiangan dan panen sangat ketat, dan mengakibatkan permin- taan tenaga kerja relatif tinggi dalam waktu yang singkat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif penggganti kekurangan tena- ga kerja dengan menggunakan alat-alat mesin pertanian seperti traktor, power thresser dan alat lain. Todaro (1983) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi termasuk alsintan adalah merupakan salah satu faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan populasi. Dalam kondisi dimana tenaga kerja sudah langka dan mahal, maka azas penggunaan alsintan adalah dalam rangka penghematan/efisiensi tenaga kerja untuk mencapai output yang sama atau lebih tinggi. Namun pada umumnya yang terjadi, introduksi teknologi sangat jarang mengakibat- kan penghematan “modal”, karena disamping rekayasa teknologi itu sendiri memerlukan modal yang tinggi sehingga biasanya negara- negara maju yang mampu merekayasa tekno- logi tersebut, juga untuk investasi ditingkat pengguna memerlukan modal dan ketrampilan yang relatif cukup tinggi. Dalam melihat keragaan alsintan baik berupa traktor, pompa irigasi, power thresher, maupun rice milling unit, di pedesaan tentunya meliputi beberapa cakupan yaitu populasi jumlah, pengadaan teknologi itu sendiri, kepemi- likan, pengelolaan, penggunaan dan penjualan jasa. Kesemua itu akan dapat ditangkap dalam dimensi kelembagaan alsintan. Naskah disusun

Transcript of KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN...

Page 1: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

261

KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN (ALSINTAN)

Supena Friyatno, Handewi P. Rachman dan Supriyati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Agricultural equipments and machineries are the production factors affecting rice yield. The paper aims to analyze institution of agricultural equipments and machineries service in rice farming in some provinces in Indonesia. Results of the study showed that: (a) irrigating pumps, tractors and power threshers were still used by the farmers in case of water and labor scarcity, for examples during land cultivation and harvest periods; (b) participation rate of pump irrigation during wet season in East Java (77%) was higher than that in West Java (22%), but the participation rate increased during dry season in both provinces, i.e., 82 and 26 percent in East Java and West Java, respectively; (c) participation rate of tractor use varied from 25-97 percent during wet season and 25-96 percent during dry season; (d) participation rate of power thresher use correlated with labor scarcity, for example in Sidrap, South Sulawesi; (e) pricing system of pump irrigation varied among regions and depended on sources of wate, types of pumps, pump ownership, and local culture; (f) rental business of agricultural equipments and machineries was relatively profitable indicated by R/C ratio of greater than one; (g) main problem of the farmers was capital access for purchase of agricultural equipments and machineries. It is necessary to provide credit program or to subsidize the agricultural machineries industry such that selling price of the products becomes cheaper.

Key words: institution, equipment, agricultural machineries, service

PENDAHULUAN

Seiring dengan perubahan lingkungan biofisik dan sosial budaya, maka penggunaan alat-alat mesin pertanian (alsintan) di pedesaan Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perubahan biofisik ling-kungan seperti ketersediaan sumberdaya air permukaan yang semakin terbatas di satu sisi dan kebutuhan air yang semakin meningkat di sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah mendorong penggunaan pompa untuk memanfaatkan air bawah tanah.

Pembangunan ekonomi nasional yang telah terjadi beberapa dekade, telah berhasil meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian yang pada gilirannya ketersediaan tenaga kerja di daerah-daerah pertanian tertentu menjadi kekurangan. Di sisi lain pembangunan sarana dan prasarana irigasi telah merubah pola dan jadwal tanam menjadi jadwal tanam yang serempak sehingga waktu pengolahan lahan, penyiangan dan panen sangat ketat, dan mengakibatkan permin-taan tenaga kerja relatif tinggi dalam waktu yang singkat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat

mencari alternatif penggganti kekurangan tena-ga kerja dengan menggunakan alat-alat mesin pertanian seperti traktor, power thresser dan alat lain.

Todaro (1983) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi termasuk alsintan adalah merupakan salah satu faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan populasi. Dalam kondisi dimana tenaga kerja sudah langka dan mahal, maka azas penggunaan alsintan adalah dalam rangka penghematan/efisiensi tenaga kerja untuk mencapai output yang sama atau lebih tinggi. Namun pada umumnya yang terjadi, introduksi teknologi sangat jarang mengakibat-kan penghematan “modal”, karena disamping rekayasa teknologi itu sendiri memerlukan modal yang tinggi sehingga biasanya negara-negara maju yang mampu merekayasa tekno-logi tersebut, juga untuk investasi ditingkat pengguna memerlukan modal dan ketrampilan yang relatif cukup tinggi.

Dalam melihat keragaan alsintan baik berupa traktor, pompa irigasi, power thresher, maupun rice milling unit, di pedesaan tentunya meliputi beberapa cakupan yaitu populasi jumlah, pengadaan teknologi itu sendiri, kepemi-likan, pengelolaan, penggunaan dan penjualan jasa. Kesemua itu akan dapat ditangkap dalam dimensi kelembagaan alsintan. Naskah disusun

Page 2: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

262

untuk menjawab beberapa pertanyaan diantara-nya bagaimana perkembangan jumlah alsintan, bagaimana cara pengadaan alsintan tersebut, bagaimana cara pengelolaannya yang meliputi aturan main antara operator dan pemilik, bagai-mana sistem kepemilikannya, bagaimana cara penggunaannya, serta berapa harga pelayanan jasanya.

Kondisi sumberdaya, baik sumberdaya alam, kapital dan manusia di lokasi penelitian adalah sangat beragam, oleh karena itu secara apriori dapat dikatakan bahwa, dimensi ke-lembagaan alsintan akan bervariasi antara lokasi penelitian. Seperti yang dikemukakan Sumaryanto et al. (1995), bahwa latar belakang inisiatif pembangunan irigasi pompa cukup beragam, tergantung faktor sosial ekonomi calon pemrakarsa, pengguna, dan ketersediaan sumberdaya baik volume air itu sendiri maupun topografi dan teknologi yang terjangkau.

Di Kiarasari Jawa Barat misalnya, pembangunan irigasi pompa berawal dari keinginan masyarakat untuk menanggulangiketersediaan air gravitasi yang sangat terbatas, sehingga masih ada 82 hektar (13%) dari 620 hektar yang terairi. Sedangkan di Sidajaya, Indramayu, pengembangan irigasi pompa meru-pakan prakarsa dari LSM, karena LSM memandang ada sumberdayanya dan masya-rakat perlu didorong untuk menanggulangi kera-wanan pangan di daerah tersebut. Sedangkan di Sidowareg Jawa Timur, Bulay Mudura, Jawa Timur, Playen, Gunung Kidul; pengembangan irigasi pompa lebih ditentukan oleh Pemerintah (c.q. PU Pengairan melalui proyek P2AT), karena pada daerah-daerah tersebut potensi luas hamparan sawah yang kekurangan airnya cukup luas serta potensi air tanah berupa “air tanah dalam” (deep aquifer).

Berdasarkan latarbelakang tersebut, suatu penelitian dilaksanakan untuk mempela-jari keragaan variasi kelembagaan alsintan di lokasi penelitian, terutama mengenai perkem-bangan jumlah alsintan, pengadaan kepemi-likan, pengelolaan penggunaan, sistem penjual-an jasa (harga jasa) dan kelembagaan lainnya. Sehingga dari informasi tersebut, diharapkan dapat diketahui sejauh mana keberadaan alsintan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi dan efisiensi usahatani-nya. Apabila ada benefit yang lebih baik dari informasi tersebut juga dapat memberikan arah-an bagaimana pengembangan alsintan dalam

rangka menunjang peningkatan produksi dan efisiensi usaha.

METODE PENELITIAN

Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian

Suatu penelitian dilaksanakan atas kerja-sama antara Pusat Penelitian dan Pengemba-ngan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Development Alternatif Inc. (DAI) melalui proyek “Food Policy Support Activity”. Pada tahap pertama, penelitian dilaksanakan di lima kabu-paten yang masing-masing kabupaten mewakili provinsi. Lokasi (kabupaten) contoh berturut-turut yaitu Kabupaten Majalengka, Jawa Barat; Klaten, Jawa Tengah; Kediri, Jawa Timur; Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan. Sedangkan pada tahap kedua, ditam-bah dua kabupaten yaitu Indramayu, Jawa Barat dan Ngawi, Jawa Timur.

Waktu pelaksanaan tahap pertama yaitu tahun 1999 dan 2000, sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada tahun 2000 dan 2001 yang dikelompokkan ke dalam musim hujan dan musim kemarau. Sedangkan jenis alsintan yang dianalisis adalah jenis traktor, pompa air irigasi, power thresser. Penelaahan topik alsintan khususnya traktor lebih banyak terjadi pada komoditi padi, sedangkan pompa selain padi juga untuk komoditi lain seperti cabe, kedelai, melon. Sedangkan power thresser biasanya digunakan untuk padi dan kedelai.

Analisis Data

Untuk data yang bersifat kuantitatif, dianalisis dengan menggunakan analisis tabu-lasi sederhana (cross tabulation) yang selanjut-nya diinterpretasikan. Sedangkan data yang bersifat kualitatif, dianalisis dengan cara inter-pretasi dari fenomena yang ada (interpretation analysis). Fokus analisis yang dilakukan adalah mengenai dimensi-dimensi pengadaan, kepemi-likan, penggunaan dan harga penjualan jasa alsintan tersebut.

Pemilihan Kecamatan dan Desa

Pemilihan kecamatan dan desa di ma-sing-masing kabupaten dilaksanakan dengan metode yang sama, yakni dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (a) berdasarkan luasan

Page 3: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

263

absolut dan persentase lahan sawah terbesar menurut klasifikasi definisi Dinas PU Pengairan, (b) berdasarkan ketersediaan air, dan (c) berda-sarkan keadaan diversifikasi tanaman yang diusahakan oleh petani.

Dalam studi ini ini dipertimbangkan pula aspek ketersediaan air yang meliputi dimensi jumlah dan waktu ketersediaan air berdasarkan keadaan sebenarnya di lapangan, seperti yang terinci pada Tabel 1.

Dengan tiga pendekatan tersebut, maka tahap pertama dalam pemilihan kecamatan adalah: (1) meranking urutan kecamatan ber-dasarkan absolut luasan irigasi; (2) melakukan pengecekan ketersediaan air; dan (3) meranking berdasarkan tingkat diversifikasi.

Setelah melakukan ranking, maka diten-tukan empat kecamatan nominator pada masing-masing tipe irigasi, dilakukan penge-cekan untuk membuktikan konsistensi antara kondisi fisik bangunan irigasi dengan keterse-diaan airnya. Dengan asumsi bahwa kondisi ketersediaan air dan bangunan fisik irigasi dapat mempengaruhi pola tanam, maka semakin baik kondisi bangunan irigasi dan ketersediaan air, petani semakin dapat merencanakan pola tanam, dan jenis tanaman sesuai dengan kehendak petani itu sendiri. Oleh karena itu selain dua faktor tadi juga keragaman diver-

sifikasi pada keempat kecamatan yang akan terpilih juga menjadi pertimbangan. Dan sejak awal telah dirancang bahwa penelitian ini ditujukan untuk membandingkan daya saing antara padi dan pesaingnya, sehingga kebera-gaman jenis dan pola tanam menjadi sangat penting.

KERAGAAN UMUM JUMLAH ALSINTAN DI TUJUH KABUPATEN

Keragaan Jumlah Pompa

Perkembangan jumlah pompa di Indone-sia telah terjadi sejak lama, sejalan dengan perubahan fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Dengan adanya perubahan iklim global dimana terjadi musim kemarau yang panjang dan perubahan inovasi teknologi pertanian dan perubahan sosial ekonomi dan budaya, maka inisiasi petani akan investasi terhadap pompa semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Survei Pertanian yang dilaksanakan oleh BPS Jakarta, menunjukkan bahwa dari tahun 1995 sampai tahun 2000, perkembangan pom-pa di Jawa Barat dan Sulawesi selatan (Sidrap) cenderung menurun secara tajam, sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah cenderung me-

Tabel 1. Kriteria Irigasi yang Digunakan dalam Penelitian

Tipe irigasi definisi penelitianKarakteristikBaik Sedang Kurang Tadah hujan

Sumber air Ya Ya Ya TidakKetersediaan air :- Keberlangsungan Sepanjang tahun Sepanjang tahun Tidak sepanjang

tahunMusiman

- Kecukupan untuk padiPadi sepanjang tahun, atau lebih dari 2 kali padi

Beberapa musim padi, atau dua kali padi

Semusim padi, atau satu kali padi

Semusim, atau satu kali padi

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pompa Irigasi, pada Tujuh Kabupaten Lokasi Penelitian, t995 – 2000

Lokasi 1995 2000 Perubahan (%)

Indramayu, Jawa Barat 1862 1027 -45

Majalengka, Jawa Barat 809 134 -83Klaten, Jawa Tengah 447 996 123

Kediri, Jawa Timur 1856 3659 97Ngawi, Jawa Timur 4043 4093 1Agam, Sumatera Barat 7 38 443

Sidrap, Sulawesi Selatan 204 156 24Sumber: Survei Pertanian, 1995 dan 2000, BPS. Jakarta

Page 4: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

264

ningkat. Hal ini diduga lebih banyak disebabkan oleh faktor teknis yaitu ketersediaan sumber-daya air tanah maupun air permukaan di Jawa Barat dan Sidrap relatif kurang, disamping karena di Jawa Barat curah hujan relatif lebih stabil dibanding dengan di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Hal lain juga luas hamparan sawah di Jawa Barat relatif tidak seluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang layak dikembang-kan oleh irigasi pompa, sehingga tuntunan masyarakat akan penggunaan pompa di Jawa Barat relatif rendah. Perkembangan jumlah pompa irigasi di tujuh kabupaten dapat disimak pada Tabel 2.

Karena lokasi penelitian cakupannya adalah empat desa dalam satu kabupaten yang mereprestasikan tipe irigasi, maka keberadaan pompa tidak ditemukan pada seluruh tipe irigasi atau desa. Keberadaan pompa pada masing-masing tipe irigasi setelah diidentifikasi tertera seperti pada Tabel 3.

Dari tabel tersebut tampak bahwa di lo-kasi penelitian di Kabupaten Indramayu, pompa hanya ditemukan pada daerah irigasi yang kurang (sederhana) dan pada daerah tadah hujan, sedangkan di Majalengka ditemukan pada daerah irigasi baik dan tadah hujan. Berdasarkan potensi sumber air, Jawa Barat secara umum potensi sumber air yang paling besar adalah berasal dari sumber air gravitasi, karena curah hujan di Jawa Barat relatif lebih tinggi dibanding Jawa bagian Timur termasuk Madura (Direktorat Pengairan, PU. 1995). De-ngan demikian adalah logis, penggunaan pom-pa di Jawa Barat lebih banyak diterapkan pada daerah yang kurang air (irigasi sederhana) dan tadah hujan. Di Majalengka penggunaan pompa ditemukan pada daerah irigasi yang baik (Keca-

matan Rajagaluh), pertimbangan petani meng-gunakan pompa pada daerah ini adalah untuk membantu kekurangan air terutama pada mu-sim kemarau, artinya penggunaan pompa ber-fungsi sebagai suplesi bukan substitusi. Me-mang walaupun Rajagaluh sebagai daerah iriga-si teknis, namun keterjaminan air pada musim kemarau tidak bisa dijamin, mungkin daerah resapan airnya sudah terganggu.

Di Klaten, Jawa Tengah penggunaan pompa hanya ada pada daerah yang kondisi irigasi baik dan sedang, sementara pada daerah yang beririgasi kurang dan tadah hujan tidak ditemukan. Hal ini perlu dijelaskan bahwa khusus di daerah tadah hujan memang tidak memungkinkan dikembangkan irigasi pompa yang inisiasinya dari masyarakat (sumur dangkal), karena daerah ini betul-betul daerah kering yang terletak dengan perbatasan dengan Gunung Kidul. Disamping itu pada kedua daerah ini, dengan kondisi yang ada masyakarat

lebih suka merekayasa pola tanam dengan cara menggeser waktu tanam. Misalnya di daerah tadah hujan pada musim hujan tanam padinya menjadi Gogo Rancah, yang dipadukan dengan tumpang sari seperti padi + jagung atau padi + kacang tanah dan lain-lain. Dengan demikian dalam satu tahun tetap dapat ditanami dengan dua kali tanam. Sedangkan pada daerah irigasi sederhana petani mengembang-kan tanaman yang membutuhkan air sedikit seperti tembakau yang ditanam menjelang musim kemarau.

Di Kabupaten Agam agak unik, sama sekali tidak ditemukan adanya pengunaan irigasi pompa. Dari pengamatan di lapangan dapat dijelaskan, bahwa di daerah irigasi teknis di Kecamatan Palembayan dan setengah teknis

Tabel 3. Keberadaan Penggunaan Pompa menurut Tipe Irigasi, pada Desa Penelitian, 2002

Ketersediaan airLokasiBaik Sedang Kurang Tadah hujan

Indramayu, Jawa Barat tidak tidak ada adaMajalengka, Jawa Barat ada tidak Tidak adaKlaten, Jawa Tengah ada ada Tidak TidakKediri, Jawa Timur ada ada ada adaNgawi, Jawa Timur ada ada ada adaAgam, Sumatera Barat tidak tidak Tidak TidakSidrap, Sulawesi Selatan tidak ada Tidak adaJumlah keberadaan 4 3 3 5

Sumber : Hasil Pengamatan di lokasi Penelitian, 2002

Page 5: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

265

di Kecamatan Lubuk Basung, sumber airnya masih relatif banyak yaitu dari Danau Maninjau untuk Lubuk Basung dan pegunungan sekitar Kecamatan Palembayan untuk Pelembayan. Disamping itu curah hujan pada kedua daerah ini relatif tinggi dan merata sepanjang tahun. Hal ini secara empirik dapat dibuktikan dengan ada-nya pola tanam yang tidak teratur atau terjadi hampir sepanjang tahun karena keterjaminan pasokan air irigasi. Sedangkan pada daerah yang airnya kurang dan tadah hujan, kendatipun sumber air relatif kurang, karena kedua lokasi berada di daerah Bukit Tinggi, mereka sangat memungkinkan untuk mengadaptasi kekurang-an air dengan menanam sayuran seperti tomat dan cabe.

Di Kabupaten Sidrap, penggunaan pompa ditemukan di daerah irigasi sedang dan tadah hujan. Dari informasi yang dikumpulkan sebe-narnya masyarakat lain pada daerah irigasi baik dan sedang pun ada yang menggunakan pompa dengan cara pembayaran per jam, namun di kedua daerah tersebut informasi mengenai penggunaan pompa tidak tertangkap oleh petani contoh. Rendahnya penggunaan jasa pompa di kabupaten Sidrap disebabkan oleh faktor-faktor: (a) Luas areal sawah yang relatif luas, tidak menuntut petani di Sidrap untuk berfikir merekayasa pola tanam, karena dengan intensitas tanam dua kali dalam satu tahun pun mereka sudah merasa cukup, sehingga kebutuhan air tidak menjadi kendala. (b) Potensi sumberdaya air di Kabupaten Sidrap cukup besar yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Wajo Sidrap dan Enrekang dengan jumlah lima sungai, dengan panjang sungai 156 km dan DAS Pinrang Sidrap dan Polmas dua sungai, dengan panjang sungai 214 Km. Di samping itu di Kabupaten Sidrap terdapat satu

buah danau yaitu danau Sidenreng dengan luas 15000 ha dengan kedalaman 2-4 m. Dengan ketersediaan sumberdaya air seperti di atas dan adanya pola curah hujan dengan dua puncak musim hujan (Januari-Februari) dan (Juni-Juli) maka ketersediaan air cukup baik. Sumber pengairan lahan sawah yang ada di Kabupaten Sidrap berasal dari bendung Sadang dan beberapa bendung lokal yang berskala kecil, dari yang sangat sederhana (Bendung Boto) hingga yang cukup permanen (Bendung Biloka). (c) Di Kabupaten Sidrap terdapat ku-rang lebih 60 kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan kurang lebih delapan P3A Gabungan. P3A ini dikhususkan dalam pengelolaan air pada lahan sawah beririgasi, sehingga kelembagaan P3A ini relatif eksis pada desa-desa lahan sawah irigasi teknis, semi teknis, maupun irigasi sederhana. Di samping itu juga terdapat pompa air baik dengan sumber air berasal dari saluran irigasi dan sungai maupun pompa pantek.

Keragaan Jumlah Traktor dan Thresher

Introduksi alsintan pada usahatani tana-man pangan dimulai sekitar tahun 1950. Dalam perkembangannya, alsintan yang berkembang pesat pada usahatani padi adalah traktor roda dua dan penggilingan padi (Simatupang, 1995; Soentoro, 1998). Namun keragaan alsintan di tujuh kabupaten contoh bervariasi, hal ini diduga karena kebutuhan jenis alsintan berbeda antar lokasi sesuai dengan sumberdaya lahan, sumberdaya air, dan ketersediaan tenaga kerja. Keragaan jumlah dan jenis alsintan di kabupa-ten contoh terlihat pada Tabel 4.

Traktor roda empat di semua lokasi jumlahnya relatif kecil dan kurang berkembang

Tabel 4. Keragaan Jumlah Traktor, Thresher dan RMU di Lokasi Penelitian

Traktor ThresherKabupaten1995 2000 Perubahan 1995 2000 Perubahan

Indramayu 2197 1038 -1159 200 208 8

Majalengka 701 203 -498 96 122 26

Klaten 478 813 335 1356 1840 484

Kediri 240 723 483 697 809 112

Ngawi 443 700 257 13790 12519 1271

Agam 128 272 144 329 396 67

Sidrap 1344 1504 160 773 771 -2Sumber: Survei Pertanian, 1995 dan 2000, BPS. Jakarta

Page 6: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

266

karena ada kendala faktor teknis dan ekonomis. Berbeda halnya dengan traktor roda 2 yang jumlahnya jauh lebih besar dari traktor roda 4, menurut Simatupang (1989), penggunaan trak-tor secara implisit bukan merupakan substitusi bagi tenaga kerja manusia, melainkan saling membutuhkan. Dari tujuh kabupaten contoh, terlihat bahwa jumlah traktor di Indramayu dan Majalengka pada tahun 2000 telah terjadi penurunan jumlah dibanding dengan tahun 1995, sementara di kabupaten lainnya Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap terjadi peningkatan sekitar 150-500 unit dalam kurun waktu lima tahun. Kendatipun demikian, dari segi jumlah di Indramayu tetap paling tinggi yaitu 1038 unit dan di luar Jawa (Sidrap) menca-pai 1504 unit. Hal ini erat kaitannya dengan luas lahan sawah, ketersediaan tenaga kerja manu-sia, tenaga kerja ternak dan introduksi awal. Temuan dari beberapa desa contoh seperti Majalengka, Klaten, Ngawi dan Agam menun-jukkan bahwa pengolahan lahan di desa-desa tersebut masih menggunakan tenaga kerja ternak. Tingginya jumlah traktor di Sidrap menu-rut Simatupang (1995) terkait dengan potensi lahan sawah yang besar di daerah ini, disam-ping juga sebagai pemecahan masalah kelang-kaan tenaga kerja pada saat pengolahan lahan.

Sedangkan thresher, hampir di semualokasi menunjukkan peningkatan, kecuali di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Baik dari segi jumlah maupun perkembangannya di Kabupaten Ngawi, menunjukkan perkembangan yang relatif tajam yaitu sampai 1271 unit dalam kurun waktu lima tahun. Di Majalengka dan Indramayu kurang berkembang dibandingkan dengan Klaten dan Ngawi. Hal ini disebabkan karena di Jawa Barat secara umum tenaga kerja panen masih melimpah, belum berkembang sistem tebasan, adanya sistem ceblokan dantingkat kepedulian sosial masih relatif tinggi. Suatu hal yang menarik adalah berkembangnya pedal thresher di kabupaten Ngawi, hal ini didorong oleh keterbatasan tenaga panen.

Informasi lain yang menarik adalah bahwa hampir di setiap lokasi penelitian terjadi pergeseran jumlah thresher dan yang bermesin (power thresher) ke thresher pedal, seperti yang terjadi di Agam, Ngawi, Indramayu. Dari hasil wawancara mereka mengemukakan bahwa Power Thresher kurang begitu praktis, semen-tara topografi dan masa panen tidak serempak, sehingga lebih mudah memindah-mindahkan thresher pedal. Sedangkan untuk traktor dan

RMU tidak berpola, pada lokasi tertentu bertam-bah dan pada lokasi lain berkurang. Untuk traktor di Indramayu dan Majalengka cenderung berkurang. Dalam penggunaan alsintan, khu-susnya traktor dan thresher pertimbangan petani tidak semata-mata mengganti tenaga kerja manusia karena upahnya terlalu mahal, akan tetapi sampai saat ini masih sebagai tambahan kekurangan tenaga kerja manusia terutama pada masa-masa puncak permintaan tenaga kerja seperti pada masa pengolahan lahan, atau pada masa panen raya. Pada daerah-daerah tertentu dimana jumlah air terbatas, maka untuk mengejar waktu dan keserempakan tanam, waktu pengolahan lahan menjadi sangat ketat dan singkat, oleh karena itu petani memanfaatkan tenaga mekanis seba-gai tambahan tenaga yang kurang. Walaupun menggunakan mekanisasi tetap tenaga manusia tidak dapat dihapuskan sepenuhnya, karena pada kegiatan tertentu mekanisasi tidak bisa menggantikan manusia. Begitu pula pengguna-an thresher, pada saat panen raya tenaga ma-nusia hanya mampu memotong dan mengum-pulkan, sementara untuk mengejar waktu pemanenan petani menggunakan tambahan tenaga dengan menggunakan thresher. Dengan demikian baik traktor maupun thresher sebe-narnya merupakan tenaga tambahan terhadap tenaga kerja manusia (complement) pada masa-masa kegiatan puncak.

Disamping data empiris seperti itu, data yang dikumpulkan oleh BPS menunjukkan hal yang sama, dimana upah riil buruh pertanian yang dideplasi oleh harga gabah GKG di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur sejak tahun 1980 sampai dengan 2002 menunjukkan kecenderungan yang meningkat sebesar 40-60 persen (Tabel 5 dan Gambar 1). Hal ini menun-jukkan secara teoritis bahwa tidak terjadinya penggantian (substitution) tenaga kerja manusia oleh alsintan, tetapi lebih bersifat melengkapi (complement), karena apabila terjadi substitu-tion, maka akan diindikasikan oleh kecenderu-ngan upah riil yang konstan atau menurun.

KELEMBAGAAN JASA IRIGASI POMPA

Partisipasi Pengguna Jasa Pompa

Derajat penggunaan irigasi pompa oleh petani sangat tergantung kepada kondisi sum-berdaya air, jenis tanaman dan pola tanam. Di lokasi penelitian tingkat partisipasi penggunaan

Page 7: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

267

Tabel 5. Upah Riil Buruh Pertanian di Empat Provinsi Jawa, 1980 – 2001 (kg GKG/setengah hari)

Tahun Jawa Barat

Jawa Tengah

Yogya Jawa Timur

1980 3,93 2,54 1,76 3,021981 4,22 2,81 1,89 3,521982 4,21 2,93 1,86 3,771983 4,26 2,87 1,97 4,071984 4,59 3,11 2,06 4,451985 5,33 3,78 2,54 5,161986 4,92 3,75 2,53 4,771987 4,88 3,61 2,36 4,391988 4,43 3,09 2,12 3,981989 4,56 3,29 2,33 4,251990 4,45 3,36 2,33 4,311991 4,53 3,28 2,31 4,391992 5,12 3,65 2,40 4,771993 6,48 4,47 2,67 5,771994 6,05 4,13 2,27 5,361995 5,71 3,91 2,16 5,431996 6,14 4,34 2,31 6,131997 5,96 4,39 2,27 5,841998 4,17 3,36 1,73 4,491999 3,82 3,47 1,80 4,272000 6,06 4,72 3,44 5,672001 6,32 4,78 3,55 6,03

Pertum-buhan*)

0,43 0,49 0,22 0,51

*) Pertumbuhan 1980 – 1984 sampai 1993 – 1997Sumber: BPS, Jakarta (diolah)

irigasi pompa secara rinci dapat disimak pada Tabel 6. Dari tabel tersebut tampak bahwa, baik pada musim hujan maupun musim kemarau tingkat partisipasi penggunaan irigasi pompa

tertinggi adalah di Jawa Timur yaitu Kabupaten Ngawi dan Kediri. Di Ngawi jumlah pengguna irigasi pompa pada musim hujan adalah 47 persen pada irigasi baik, 89 persen pada irigasi sedang, 100 persen pada irigasi kurang dan 73 persen pada tadah hujan, sedangkan pada musim kemarau 60 persen pada irigasi baik, 84 persen pada irigasi sedang, 84 persen pada irigasi kurang dan 100 persen pada tadah hujan.

Partisipasi di Kediri agak unik justru pada kondisi irigasi yang baik yang banyak menggu-nakan irigasi pompa baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Perlu diketahui bahwa secara empiris penggunaan pompa baik di Kediri maupun di Ngawi pada musim hujan lebih banyak digunakan untuk masa pengolahan lahan untuk mengejar tanam lebih awal, kecuali pada musim kemarau baik pada irigasi baik maupun tidak pompa biasanya digunakan untuk membantu kekurangan irigasi gravitasi (conjunctive use), sedangkan di daerah tadah hujan irigasi pompa merupakan pengganti irigasi gravitasi (substitute).

Tingkat partisipasi penggunaan pompa di Jawa Barat, terutama di Indramayu baik pada musim hujan maupun kemarau banyak ditemu-kan pada petani daerah irigasi kurang dan tadah

hujan. Sedangkan di kabupaten Majalengka digunakan pada musim hujan di irigasi baik, sedangkan pada musim kemarau pada tadah hujan. Hal yang sama dengan daerah lain bah-

0

1

2

3

4

5

6

7

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

1994

1996

1998

2000

Tahun

Kg

GK

G/s

eten

gah

har

i

Jaw a Barat Jaw a Tengah DIY Jaw a Timur

Gambar 1. Perkembangan Upah Riil Buruh Pertanian di Empat Provinsi di Jawa, 1980-2002

Page 8: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

268

Tabel 6. Tingkat Partisipasi Rumahtangga, Pengguna Pompa di Tujuh Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, 2002

Ketersediaan air

Lokasi

Baik

Sedang

Kurang

Tadah

hujan

Rataan

Musim Hujan 2000/2001:

Indramayu, Jawa Barat

-

-

20 67

22

Majalengka, Jawa Barat

6

-

- - 2

Klaten, Jawa Tengah

-

-

- - -

Kediri, Jawa Timur

7

20 -

- 7Ngawi, Jawa Timur

47

89

100 73

77

Agam, Sumatera Barat

-

-

- - -

Sidrap, Sulawesi Selatan

-

6 -

- 2 Musim Kemarau 2001

Indramayu, Jawa Barat

-

-

31 71

26

Majalengka, Jawa Barat

-

-

- 13 3

Klaten, Jawa Tengah

13 -

- - 3

Kediri, Jawa Timur

40

29

29

-24

Ngawi, Jawa Timur

60

84

84 10

082

Agam, Sumatera Barat

-

-

- - -

Sidrap, Sulawesi Selatan

-

6

- 10 4

Sumber: data primer (diolah), 2002

Page 9: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

269

wa penggunaan pompa pada musim hujan adalah dalam upaya menggeser waktu agar dapat tanam lebih awal. Perlu ditekankan bah-wa perbedaan penggunaan irigasi pompa antara di Jawa Barat dengan Jawa Tengah atau Jawa Timur terletak pada perbedaan sumber sada-pan, dimana di Jawa Barat sebagian besar pom-pa umumnya menggunakan sumber sadapan dari air permukaan (surface water), sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak menggunakan air tanah baik dangkal (shallow water aquifer) maupun air tanah dalam (deep water aquifer).

Kepemilikan dan Latarbelakang Pemilikan Pompa

Kepemilikan irigasi pompa pada lokasi penelitian relatif beragam antar lokasi, namun pada setiap desa untuk pompa kecil umumnya dimiliki oleh perseorangan, kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Secara rinci bentuk kepemilikan pompa tertera pada Tabel 7. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa di lokasi penelitian umumnya pemilikan pompa adalah secara perorangan, kelompok, milik LSM dan P2AT.

Di Indramayu dan Sidrap hampir sebagian besar pompa perorangan menggunakan air sadapan dari air permukaan (sungai). Sedang-

kan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dominan adalah air sadapan dari air tanah de-ngan menggunakan sumur pantek. Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian terdahulu (Pakpahan et al., 1992) bahwa semakin menga-rah kebagian Timur Jawa potensi air tanah semakin baik dan semakin ke arah Barat po-tensi curah hujan semakin besar.

Di Sumatera Barat, kendatipun pada petani contoh tidak ditemukan adanya penggu-naan pompa, namun dari informasi yang terkumpul dalam lingkup kabupaten Agam pada tahun 2000 tercatat ada 38 unit. Di Sumatera Barat pengembangan alsintan secara intensif baru dimulai pada tahun 1990-an melalui proyek Angkatan Muda Terdidik (AMT) serta Second Kennedy Round yang berasal dari bantuan Jepang, itu pun lebih banyak kepada introduksi alsintan berupa hand tractor, thresher, hydro tiller, corn sheller, win blower, hand sprayer dan trailer (Agusli Taher, 1998).

Latar belakang dan motivasi pengadaan irigasi pompa, dapat diungkap dari kasus di Kabupaten Ngawi, yaitu di Desa Tawun (semi teknis) dan Desa Kalang (tadah hujan). Latar belakang pengadaan pompa perorangan di De-sa Tawun adalah bahwa sebelum tahun 1998 sawah Desa Tawun memperoleh pengairan dari

Page 10: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

270

irigasi “Kedung Bendo”, namun setelah adanya pembangunan pasar, maka ada saluran yang diperdalam disekitar pasar, tanpa disadari pendalaman saluran tersebut menyebabkan saluran menjadi lebih rendah sehingga air tidak bisa mengalir ke sawah di desa tersebut yang luasnya mencapai 30 ha. Namun apabila salu-ran dipindahkan dengan cara membuat pintu bagi baru yang lurus dengan desa tersebut, sebenarnya luas lahan sawah sudah bisa diairi bisa mencapai 10 ha. Dengan kondisi inilah, maka petani di Desa Tawun berinisiatif untuk membeli pompa pada tahun 1998. Mesin pompa yang dibeli adalah jenis KUBOTA dan pompa EBARA seharga Rp 1.500.000.

Jumlah pompa di desa Tawun 21 unit yang terdiri dari 8 unit dengan mesin penggerak KUBOTA dan 13 unit menggunakan mesin penggerak “Dong Feng”. Dari sini tampak bah-wa mesin penggerak pompa yang banyak dimi-nati adalah “Dong Feng” buatan Cina, kendatipun kualitasnya lebih rendah dibanding dengan KUBOTA. Pertimbangan petani membeli “Dong Feng” adalah: (a) harganya jauh lebih murah, sehingga terjangkau oleh petani, (b) lebih aman dari kehilangan, karena bobot fisiknya sangat berat, (c) tenaganya sama dengan KUBOTA. Sementara KUBOTA, sekalipun kualitasnya ba-gus, menurut petani memiliki kelemahan yaitu harganya mahal dan mudah dicuri orang (resiko hilang sangat tinggi).

Tabel 7. Bentuk Kepemilikan Pompa di Kabupaten Contoh, menurut Ketersediaan Air, 2002

Ketersediaan airLokasi

Baik Sedang KurangTadah hujan

Indramayu, Jawa Barat Tidak tidak

Perorangan

Sungai, pantek

Perorangan

Sungai,

Majalengka, Jawa Barat

PeroranganPantek,Sungai

tidak TidakPeroranganPantek

Klaten, Jawa Tengah

Peroranganpantek,kelompok

PeroranganPantek, airpermukan

Tidak Tidak

Kediri, Jawa Timur

Peroranganpantek, P2ATKelompok

Peroranganpantek, P2ATKelompok

PeroranganPantek

PeroranganAir permukaan

Ngawi, Jawa Timur

Peroranganpantek,kelompok

PeroranganPantek,Air permukaan

PeroranganPantek,

PeroranganAir permukaan,Pantek

Agam, Sumatera Barat

Tidak tidak Tidak Tidak

Sidrap, Sulawesi Selatan

Tidak

PeroranganAir permukaan

Tidak

PeroranganAir permukaan

Sumber : Hasil Pengamatan di lokasi Penelitian, 2002

Page 11: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

271

Di daerah tadah hujan Kabupaten Ngawi, latar belakang pemilikan pompa berbeda. Sebe-lum tahun 1988, lahan di Desa Kalang (tadah hujan) hampir seluruhnya merupakan sawah tadah hujan dan lahan kering, kecuali hanya sedikit lahan pinggir-pinggir sungai yang bisa diairi oleh irigasi pompa pribadi (kecil-kecil). Pada tahun 1988 pemilik modal dari Madiun yang melakukan investasi usaha jasa irigasi pompa, dan karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka diijinkan untuk beroeprasi selama 5 tahun. Mesin penggerak pompa yang digunakan adalah “Thames” dengan kekuatan +150 PK dengan menggunakan pompa 8 dim. Sesuai dengan kondisi topografi yang ada, areal yang diairi berkembang dari waktu ke waktu sehingga pada tahun 1999 mencapai 25 ha.

Dua tahun setelah pompa milik pribadi berkembang (1999) maka pompa besar tersebuttidak mampu bertahan lagi sehingga usaha pompanya berhenti, dengan alasan: (a) luas areal yang dioncori semakin berkurang, sehing-ga menjadi tidak efisien lagi bagi usaha jasa pompa, (b) harga solar pada waktu itu menga-lami kenaikan yang sangat tajam, (c) harga suku cadang meningkat. Namun demikian, dampak dari berhentinya usaha pompa besar tersebutadalah kembalinya lahan sawah irigasi pompa ke lahan tadah hujan sekitar 10 ha, karena sawah ini letaknya jauh dari sungai Bengawan Solo sehingga apabila memakai pompa kecil pun lahan lebih tidak efisien.

Pada saat ini (2002) jumlah pompa di Desa Kalang ada 25 unit dengan daya mesin penggerak berkisar antara 10-12 PK, dengan rata-rata oncoran 2 ha/unit pompa. Luas luas lahan yang bisa diairi oleh pompa sekitar 50 ha, namun luas lahan sawah di desa Kalang ini ada 90 ha sehingga masih ada 40 ha yang belum bisa diairi oleh pompa, karena topografinya yang tidak terjangkau dan terpencar-pencar.

Pengusahaan lahan yang tidak memung-kinkan memakai pompa, biasanya petani menyewakan lahannya kepada Pabrik Gula (PG)/juragan dengan harga sewa lahan berkisar antara Rp.2–Rp.4 juta/umur tebu/ha (18 bulan), sedangkan nilai sewa lahan sawah untuk tana-man padi berkisar antara Rp. 400.000 – Rp.500.000/per 0,25 ha per tiga bulan.

Silvia (1993) mengemukakan hasil studi-nya bahwa dalam pengembangan irigasi pompa menghadapi kendala-kendala sebagai berikut : (a) kemungkinan tidak semua daerah baik pada

daerah tadah hujan maupun non tadah hujan memiliki sumberdaya air yang sama, (b) ke-mampuan sumber permodalan petani yang masih lemah untuk melakukan investasi irigasi pompa, dan (c) apabila pemompaan air bawah tanah sudah berkelebihan (over pumping), maka akan menimbulkan konflik baru dalam penggu-naan air bawah tanah.

Kekhawatiran kendala pada tahun 1993-an tersebut apabila di amati pada tahun 2002-an tidak terbukti. Secara empiris hal ini tergali dari penelitian ini bahwa para petani cenderung melakukan investasi pompa pada kondisi seba-gai berikut: (a) apabila petani memiliki luasan sawah lebih dari 1 - < 2 hektar, maka investasi pembelian pompa selain untuk sendiri juga untuk disewakan kepada petani lain. Sedangkan apabila petani memiliki lebih dari 2 hektar biasa-nya pembelian pompa hanya untuk digunakan sendiri. (b) dengan adanya mesin penggerak pompa impor dari Cina serti Dong Feng yang harganya seperlima dari harga mesin penggerak pompa buatan Jepang, maka membuka pilihan yang lebar bagi petani yang memiliki modal terbatas dapat membeli pompa, (c) setetah lepas dari masa krisis ekonomi dan terjadi perubahan beberapa harga komoditi pertanian, maka petani mengakui bahwa pendapatannya meningkat sehingga daya belipun meningkat.

Selain faktor luas lahan dan rasa keterja-minan memperoleh air, latar belakang petani untuk memutuskan membeli pompa juga atas pertimbangan untung-rugi. Seperti kasus yang terjadi di Desa Kalang (tadah hujan) Kabupaten Ngawi, menunjukkan bahwa dengan memiliki lahan garapan satu hektar, memiliki pompa sendiri, biaya air irigasi pompa lebih rendah 47 persen dibanding dengan harus menyewa dari pihak lain. Namun demikian hal ini tidak dapat disimpulkan untuk umum, karena besarnya biaya air yang harus dibayar tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, jarak dari sumber air dan kedalaman sumur.

Sistem Pembayaran, Harga Jasa Pompa dan Sistem Pengelolaannya

Sistem pembayaran dan harga jasa irigasi pompa bervariasi antara lokasi bahkan antar tipe irigasi. Variasi ini tergantung kepada beberapa hal diantaranya: (a) Asal sumber air terutama yang menyangkut sumber sadapan, sungai atau air tanah, kedalaman sumur dan

Page 12: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

272

lain-lain, (b) Jenis pompa, (c) Kepemilikan apa-kah perorangan atau kelompok, (d) Kultur sosial yang berlaku.

Berdasarkan informasi yang tertangkap dari studi ini, untuk Kabupaten Ngawi pada daerah yang beririgasi baik bagi petani yang mau menanam padi pada MK1 dan MK2 terpaksa harus membayar biaya air irigasi pompa lebih mahal. Dengan kedalaman air sumur untuk irigasi pompa berkisar antara 35-40 m biaya sewa pompa untuk mengairi sawah adalah Rp 2.500 – 3.000 per jam untuk musim MH dan MK1, sedangkan untuk MK2 akan mengalami kenaikan menjadi Rp 4.000-Rp 4.500 per jam, dengan cacatan biaya solar dan olie menjadi tanggungjawab pemilik pompa. Sedangkan apabila mau membayar bulanan harganya adalah Rp 400.000,- per bulan serta solar dan olie pelumas menjadi tanggungjawab penyewa.

Sedangkan di Desa Tawun irigasi sedang sistem menyewakan pompa dilakukan dengan cara “harian” (12 jam) sebesar Rp.20.000, de-ngan perjanjian solar ditanggung oleh penyewa dan pemilik pompa bertanggung jawab menga-wasi pompa dan air. Kapasitas mengairi dari masing-masing pompa bervariasi menurut daya-nya. Menurut pengalaman petani daya mesin penggerak pompa 7,5 – 12 PK dapat mengairi 5-6 ha per musim (MK-1 dan MK-2). Sedangkan 5 - 6,5 PK dapat mengairi 2 – 2,5 ha per musim (MK-1 dan MK-2).

Di Desa Kalang Kabupaten Ngawi yang merupakan desa contoh tadah hujan, terdapat dua sistem menyewakan pompa air yaitu de-ngan sewa jam-jaman dan sistem bagi hasil. Besarnya bagi hasil adalah 25 persen dari hasil kotor setelah dikurangi bawon untuk MH dan MK-2, sedangkan untuk MK-1 sebesar 20 persen. Sejalan dengan berkembangnya jenis mesin penggerak pompa yang harganya lebih murah, sejak tahun 1998, maka sebagian ma-syarakat mulai berinisiasi untuk membeli pompa Dong Feng baik untuk digunakan sendiri mau-pun untuk disewakan ke orang lain. Pertim-bangan membeli pompa sendiri-sendiri ini adalah: (a) petani memandang dengan harga pompa yang ada biaya air irigasi akan lebih efisien, dan (b) keterjaminan mempeorleh air menjadi lebih pasti.

Di Desa Tirak (Irigasi sederhana) Kabu-paten Ngawi, penggunaan pompa sebagai alat

untuk membatu pengairan, dilakukan terutama pada awal musim hujan dan MK2, biaya irigasi dengan menggunakan pompa dilakukan dengan sistem per jam, yaitu Rp 3000 per jam, Biaya irigasi pompa usahatani padi sangat tergantung kepada, jenis lahan dan curah hujan kisaran biaya irigasi pompa perha pada MK2 bisa mencapai Rp 1.000.000,-. Hal ini jelas secara finansial akan menyebabkan petani menjadi rugi, karena dari analisis finansial usahatani per hektar pada daerah irigasi sederhana, pada MK2 dengan rata-rata penerimaan Rp 5,7 juta, total biaya mencapai Rp 5,08 juta (didalamnya termasuk biaya irigasi pompa Rp 604 ribu) keuntungan diperoleh sekitar Rp 600 ribu. Berarti apabila petani tersebut membayar biaya irigasi pompa sampai satu juta rupiah, maka kerugian petani tersebut sekitar Rp 400 ribu. Namun dalam kondisi seperti ini, yang diper-timbangkan oleh petani bukan kerugian yang Rp 400 ribu, tetapi kalau petani memutuskan untuk berhenti mengairi sawahnya, maka kerugian petani bisa mencapai Rp 5,08 juta karena kegagalan panen.

Di Sidrap besarnya iuran air irigasi pada irigasi sedang dan baik sebesar Rp. 25.000/ha/musim yang terdiri dari iuran HIPPAIR 18.000/ha/musim dan iuran untuk menggaji pe-ngurus P3A sebesar Rp. 7000 /ha/musim. Se-mentara itu ada keragaman dalam sistem sewa untuk irigasi pompa, antara lain: (1) Persatuan waktu, yaitu sebesar Rp. 8.000-15.000/jam, khusus pada lahan sawah irigasi teknis dan semi teknis; (2) Berdasarkan jumlah bahan bakar yang digunakan, di mana penyewa membayar bahan bakar yang digunakan dan nilai sewa dihitung per liter bahan bakar, kasus pada lahan sawah irigasi sederhana, kurang lebih 3000-5000/liter bahan bakar; (3) Dengan sistem bagi hasil, yaitu 4:1 hingga 5:1, kasus pada lahan sawah irigasi sederhana dan pada lahan sawah tadah hujan yang sudah berkem-bang sistem pompa.

Di Klaten, ketersediaan pompa air di desa contoh irigasi teknis Desa Jatipuro Kecamatan Trucuk sebanyak 12 unit pompa (10 milik petani secara individu dan dua milik kelompok); di desa contoh irigasi setengah teknis Desa Daleman, Kecamatan Tulung sebanyak empat unit pompa yang secara keseluruhan milik kelompok; di Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo terda-pat empat pompa air milik kelompok, dan di

Page 13: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

273

desa contoh tadah hujan Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat hanya ada satu pompa milik perorangan. Rata-rata kemampuan pompa air mengairi lahan sawah adalah 5-6 jam perpathok (0,20 ha) dengan kebutuhan bahan bakar solar 1,5 – 2 liter.

Adanya kekurangan air pada daerah-daerah tertentu telah menyebabkan air mempu-nyai nilai ekonomis, baik pada daerah irigasi teknis bagian hilir, irigasi setengah teknis, dan pada irigasi sederhana, serta pada lahan sawah tadah hujan. Sebagai ilustrasi, pengelolaan pompa air untuk lahan sawah pada irigasi se-tengan teknis, kasus Desa Daleman Keca-matan Tulung, menunjukkan besarnya iuran air irigasi pompa milik kelompok adalah Rp. 3.500/jam. Namun demikian tidak dijumpai adanya sistem bagi hasil antara pemilik lahan sawah dengan pengusaha jasa pompa air yang menun-jukkan masih relatif tersedianya sumber-sumber air.

Di Kediri, air merupakan salah input pen-ting dalam kegiatan produksi. Tersedianya air secara memadai baik dari segi kuantitas mau-pun kualitas tidak hanya berpengaruh terhadap produksi juga berpengaruh terhadap harga dan sewa lahan yang berlaku. Hasil penelitian di empat lokasi di Kabupaten di Jawa Timur menunjukkan bahwa kecuali pada petani di lahan sawah tadah hujan ketersediaan air cukup memadai. Sedangkan pada lahan sawah tadah hujan walaupun pada musim hujan masih banyak petani yang memanfaatkan jasa pompa air. Pada musim MK kecuali pada petani lahan sawah irigasi sederhana, pada umumnya keter-sediaan air kurang, karena pada saat itu debit air sungai mulai menurun. Selain meman-faatkan jasa pompa air, salah satu cara yang dilakukan petani dalam mengatasi kelangkaan air yaitu dengan cara penjadwalan gilir air dengan lama dan urutan sesuai kesepakatan. Sedangkan di Desa Punjul walaupun secara teknis merupakan lahan sawah dengan tipe irigasi sederhana, karena lokasi ini airnya ber-sumber dari pegunungan maka pada musim kemaraupun ketersediaan airnya relatif me-madai.

Ketersediaan mesin pompa air di semua lokasi penelitian di Kabuapaten Kediri cukup memadai, dengan sewa Rp 4.000/jam untuk kapasitas 4 dim. Besarnya sewa ini berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan

harga gabah dan biaya hidup. Mobilitas pasar jasa pompa air antar desa juga berjalan cukup baik. Kelembagaan pengelolaan jasa air pompa sudah berkembang namun pengelolaannya masih bersifat perorangan, kecuali pada petani lahan sawah tadah hujan, masih sebatas pada P2AT. Analisis kelayakan jasa pengelolaan air pompa menunjukkan bahwa usaha pengelolaan jasa pompa air mampu memberikan pendapatan sebesar Rp 1,6 juta per tahun. Kapasitas pompa air adalah 28 jam untuk mengairi lahan seluas satu hektar, dan efektif beroperasi sekitar 900 jam dalam setahun. Sedangkan aturan main dalam pembagian hasil adalah 87,5 persen untuk pemilik dan 12,5 persen untuk operator.

Kecuali pada petani lahan sawah irigasi sederhana, kelembagaan P3A sudah ada, namun demikian dilihat dari partisipasi anggota-nya baik dalam membayar iuran irigasi, perte-muan maupun dalam gotong royong memper-baiki saluran irigasi masih kurang. Sementara itu pada petani lahan sawah irigasi sederhana yang airnya tersedia sepanjang tahun belum ada organisasi P3A. Kehadiran organisasi P3A di lokasi ini tidak begitu penting, karena petani melihatnya tanpa diaturpun air itu sudah dengan lancar sampai pada petakan sawah petani.

Adanya perubahan harga sewa pompa air dan mobilitas jasa pengelolaan air antar desa menunjukkan bahwa pasar air melalui jasa pengelolaan pompa air irigasi sudah berjalan cukup baik, namun demikian untuk pasar air irgasi yang bersumber dari sungai maupun pegunungan tidak berjalan secara aktif. Adanya pemikiran petani bahwa air itu merupakan barang umum sehingga tidak perlu dibayar, dan pemakaiannya yang cenderung boros pada saat MH merupakan faktor-faktor yang menghambat bekerjanya pasar air non pompa air berjalan dengan baik.

Sedangkan di Majalengka pengelolaan pompa agak berbeda dengan daerah lain, pelayanan jasa pompa air memiliki karakteristik yang berbeda dengan jasa alsintan di pedesaan yang lain. Untuk pompa portable umumnya tidak memiliki tenaga operator, dalam hal ini pompadioperasionalkan sendiri oleh pemiliknya. Na-mun untuk pompa tetap, memiliki susunan kepe-ngurusan tersendiri, karena cakupan pelayanan yang luas dan pengelolaan yang cukup besar. Pompa air besar ini dikelola oleh kelompok tani, kepengurusannya terdiri dari ketua, sekretaris,

Page 14: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

274

bendahara, pengatur air dan operator pompa. Masing-masing pengurus memiliki tugas dan tanggungjawab. Pengatur air bertanggungjawab untuk mendistribusikan air pada areal tanggung jawabnya. Operator pompa bertanggung jawab pada operasionalisasi pompa air, sementara ketua, sekretaris dan bendahara menangani manajemen kelompok.

Di Indramayu sistem pembayaran jasa pompa ada yang per jam. Sebagai contoh, untuk pompa portable ukuran 3” , tingkat sewa per jam senilai Rp. 5.000-Rp.6.000. Untuk areal satu bau diperlukan waktu dua sampai tiga hari “oncoran” dengan durasi masing-masing 10 jam. Dalam satu musim panen diperlukan kurang lebih 5–10 oncoran, tergantung pada curah hu-jan. Dengan perbandingan ini sewa pompa besar jauh lebih murah dibandingkan dengan pompa portable.

Di Desa Wanakaya Kabupaten Indra-mayu, hampir setiap KK mempunyai pompa air portable dengan sumber air permukaan. Kasus pompa air merek ‘Honda’ kapasitas 3”, harga pompa pada tahun 1999 adalah Rp 2.300.000. Pompa tersebut dipakai untuk menyedot air tanah dengan membangun sumur pantek de-ngan biaya pembuatan sumur Rp 200.000 pada tahun 1999. Mesin pompa ini tidak disewakan kepada orang lain tetapi digunakan untuk mengairi lahan sawah yang disewa seluas 6 bau (sekitar 3,5 ha). Untuk mengairi sawah seluas 3,5 ha tersebut, pada MH diperlukan pemom-paan air sebanyak 4 kali setiap kali pemompaan diperlukan waktu pengairan 2 hari 2 malam. Sedangkan pada MK frekuensi pemompaan meningkat sampai 8 kali. Untuk setiap pemom-paan air diperlukan bahan bakar sebanyak 1,5 liter bensin/2 jam (@ Rp 2.200/lt) dan olie sebanyak satu liter senilai Rp 18.000/10 jam dan tenaga operator dengan upah (diperhitung-kan) Rp 15.000 + makan 3 x /10 jam atau seki-tar Rp 20.000/10 jam tanpa makan.

Penggunaan pompa untuk irigasi banyak dilakukan oleh petani di Desa Jambak, desa contoh irigasi ½ teknis di Kabupaten Indramayu. Pada MH pompa digunakan untuk persemaian, karena persemaian padi dilakukan pada saat hujan belum turun. Pada MK-1 umumnya tidak diperlukan pompa, namun pada MK-2 kadang-kadang diperlukan pompa untuk membuang kelebihan air, dan untuk mengairi bagi petani yang lahan sawahnya jauh dari saluran irigasi.

Sewa pompa umumnya dilakukan dengan sistem harian ( Rp. 10. 000–Rp. 15.000 per hari, dari jam 07.00 – 17.00) dengan biaya bahan bakar ditanggung penyewa. Apabila mesin pompa merek Honda 5.5 PK dan diameter 3 inci digunakan untuk menyedot sumur pantek (air tanah) diperlukan bahan bakar bensin 6 – 7 liter/10 jam/200 bata, namun bila digunakan untuk menyedot air dari sungai dibutuhkan 5 liter bensin. Harga bensin eceran di desa saat ini (Juli 2002) adalah Rp.2.100/liter. Selain bensin pengoperasian pompa juga memerlukan olie sebanyak 0,7 liter ( Rp 15.000/liter)/7 HOK pompa. Untuk mengoperasikan pompa juga diperlukan tenaga yang menunggu dengan upah Rp 15.000/hari ditambah 3x makan atau Rp 20.000/ hari tanpa makan.

Analisis Finansial Usaha Pompa

Hasil studi Sumaryanto et al. (1997) me-nyimpulkan bahwa, keberlangsungan usaha pompa di pedesaan sangat tergantung kepada beberapa faktor diantaranya : (a) Jaminan luas oncoran pengairan pompa, (b) Kelancaran pembayaran iuran air, sebagai jaminan kemam-puan pembiayaan operasional dan pemeliharan, (c) Jaminan ketersediaan sumber air sadapan baik dari air permukaan maupun air bawah tanah. Kesemuanya ini akan menentukan ting-kat viabilitas usaha pompa secara finansial.

Namun bagi petani, keputusan untuk investasi irigasi pompa kadang-kadang tidak semata-mata atas pertimbangan kelayakan ekonomi akan tetapi ada pertimbangan lain seperti: (a) Jaminan memperoleh air, (b) Jamin-an keberhasilan panen yang identik dengan jaminan terhindar dari kebanjiran dan keke-ringan.

Dari hasil analisis viabilitas finansial, Silvia (1993) menyimpulkan bahwa investasi irigasi pompa pada daerah tadah hujan memiliki viabilitas finansial pada masa yang akan datang mengingat: (a) Berdasarkan hasil analisis finansial investasi irigasi pompa pada daerah tadah hujan menunjukkan variasi kelayakan yang cukup baik, seperti gross BCR 1.3 – 1.6, net BCR 2,9 – 5,2, NPV Rp 1,2 – Rp 2,6 juta dan IRR 66 – 135 persen. (b) Pemakaian irigasi pompa berdampak positif terhadap perubahan pola dan intensitas tanam, pendapatan dan resiko kegagalan panen baik akibat kebanjiran

Page 15: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

275

maupun kekeringan, (c) Kedua faktor tersebut memerlukan dukungan fasilitas-fasilitas dalam pelaksanaan irigasi pompa, mulai dari potensi daerah terutama sumber air, adanya motivasi petani, peranan pemerintah daerah dan adanya kredit dengan suku bunga yang rendah.

Hasil analisis viabilitas usaha pompa yang telah dilakukan oleh Sumaryanto et al. (1999) baik usaha pompa sebagai usaha yang terpisah dari usahatani padi, maupun pengusahaan pom-pa merupakan bagian integral dengan usahatani padi, kedua-duanya dengan kondisi perekonomi pada saat itu (sebelum krisis) memiliki derajat viabilitas usaha yang cukup memadai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai B/C rasio sebesar 1,52 dan IRR sebesar 60,7 persen untuk usaha pom-pa terpisah dari usahatani. Sedangkan untuk usaha pompa yang tertintegrasi dengan usaha-tani padi B/C rasio 2,16 dan IRR 125,6 persen.

Fenomena analisis finansial usaha pompa di desa contoh tadah hujan di Kabupaten Ngawi dapat disimak pada Tabel 8. Tabel tersebut

menginformasikan bahwa tingkat keun-tungan finansial usaha pompa tidak berbanding lurus dengan luas oncorannya, bahkan tingkat profitabilitas finansialnya berbanding terbalik dengan luas oncorannya. Artinya semakin besar luas oncoran yang dilayani, maka semakin rendah R/Cnya. Hal ini diduga bahwa dalam pengusahaan irigasi pompa memiliki tingkat kelayakan luas oncoran yang optimum.

KELEMBAGAAN JASA TRAKTOR

Partisipasi Pengguna Jasa Traktor

Penggunaan traktor pada usahatani padi di Indonesia baru berkembang sejak tahun 1970-an, dan perkembangannya cukup pesat, terutama perkembangan traktor roda dua. Dalam periode tahun 1981–1995, perkemba-ngan traktor roda 2 cukup besar yaitu 19 persen per tahun (Soentoro, 1998). Faktor-faktor pen-dorong perkembangan traktor antara lain : me-ningkatkan produktivitas, mempercepat waktu pengolahan lahan dan lebih ekonomis (Bagyo,

Tabel 8. Analisis Finansial Usaha Pompa pada Berbagai Kasus Luas Oncoran di Kabupaten Ngawi dan Indramayu, 2002

NgawiUraian Oncoran 1

haOncoran 4

ha

IndramayuOncoran 71

haPenerimaan

Biaya a. Tenaga kerja b. Bahan bakar (Solar) c. Minyak pelumas (olie) d. Perbaikan e. Penyusutan

Keuntungan

R/C rasio

3.465.000

1.651.600

519.750

261.000

100.000

128.000

642.850

1.813.400

2,10

14.970.000

10.627.000

2.227.500

6.292.000

460.000

900.000

747.500

4.343.000

1,41

36.000.000

31.075.000

11.400.000

17.040.000

960.000

500.000

1.175.000

4.925.000

1,16

Sumber : Data primer (diolah), 2002.

Page 16: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

276

1983; Simatupang, 1989 dan Soentoro, 1998). Walau demikian, secara teknis tidak semua lahan dapat diolah dengan traktor. Tingkat partisipasi pengguna traktor di tujuh kabupaten contoh bervariasi, rendahnya tingkat partisipasi di beberapa desa contoh lebih disebabkan karena faktor teknis lahan sawah, misalnya topografi lahan berlereng dan petakan sawah kecil-kecil.

Secara rataan tingkat partisipasi peng-guna traktor (Tabel 9) yang relatif tinggi terjadi di Kabupaten Indramayu, Ngawi dan Sidrap. Lambatnya perkembangan penggunaan traktor di beberapa desa contoh terkait dengan topo-grafi tanah yang berlereng sehingga sulit menerapkan mekanisasi dalam pengolahan tanah. Pada desa-desa yang belum mene-rapkan mekanisasi dalam pengolahan lahan, pengolahan lahan dilakukan dengan ternak dan atau tenaga kerja manusia. Namun akhir-akhir ini, khususnya di desa dengan irigasi sedang di Kabupaten Majalengka sudah nampak perge-seran penggunaan traktor di sebagian areal yang dapat dijangkau. Perkembangan traktor di desa tersebut baru satu tahun yang lalu dengan adanya bantuan alsintan dari pemerintah, kemu-dian ditambah dengan jasa traktor yang berasal dari luar desa. Kasus di Kabupaten Kediri, pada lahan tadah hujan, jumlah petani yang meng-gunakan ternak dan traktor dalam kegiatan mengolah lahan hampir berimbang. Pengunaan

traktor di lokasi ini kurang berkembang karena memang banyak lahan yang relatif sulit dijang-kau dengan traktor, disamping di lokasi ini peta-ni masih relatif banyak yang memiliki ternak sapi. Sementara itu, pengolahan lahan dengan tenaga kerja manusia (cangkul) sudah lama tidak ada, tergeser oleh perkembangan traktor yang sangat pesat.

Kepemilikan Traktor

Menurut kepemilikannya, secara garis besar traktor dibagi dalam tiga kelompok kepemilikan yaitu Dinas (dalam hal ini khusus dinas-dinas di lingkup Direktorat Jenderal Per-tanian Tanaman Pangan), petani/kelompok tani dan usaha jasa sewa. Namun, ketersediaan data traktor menurut kepemilikan untuk masing-masing kabupaten belum tersedia. Satu kasus yang dapat dikemukakan adalah kepemilikan traktor di Indramayu, tahun 2000, nampaknya kepemilikan traktor didominasi oleh petani yang mencapai 97 persen, sementara kepemilikan oleh Dinas hanya mencapai tiga persen, semen-tara usaha jasa sewa belum berkembang di Indramayu.

Menurut Simatupang (1995), kepemilikan traktor menurut povinsi bervariasi, di Jawa Barat 96 persen kepemilikan traktor oleh petani dan kepemilikan Dinas sekitar empat persen. Se-

Page 17: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

277

mentara di Jawa Tengah, 32 persen kepe-milikan dikuasai oleh petani dan 68 persen merupakan usaha jasa sewa. Fenomena di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kepemi-likan traktor oleh Dinas hanya sekitar satu persen, sebagian besar (91%) adalah kepe-milikan oleh petani, dan 8 persen adalah usaha

jasa traktor. Kasus di Sulawesi Selatan, pemi-likan traktor oleh kelompok tani memegang peranan penting bukan saja dalam perbaikan tingkat persaingan antar pasar tenaga kerja mekanik pengolahan lahan, tetapi juga dalam memberikan fasilitas kemudahan pembayaran kepada anggota kelompok tani.

Tabel 9. Tingkat Partisipasi Rumahtangga Pengguna Traktor di Tujuh Kabupaten Contoh Menurut Ketersediaan Air, 2002

Ketersediaan airLokasi

Baik SedangKurang Tadah hujan

Rataan

Musim Hujan 2000/2001:

Indramayu, Jawa Barat

100

100

87

100

97

Majalengka, Jawa Barat

88 -

60

80

57

Klaten, Jawa Tengah

100 -

25

14

35

Kediri, Jawa Timur

80

67

100 8

64

Ngawi, Jawa Timur

93

94

100

93

95

Agam, Sumatera Barat -

93 - -

23

Sidrap, Sulawesi Selatan

94

88

88

88

90

Musim Kemarau 2001

Indramayu, Jawa Barat

100

100

85

100

96

Majalengka, Jawa Barat

94 -

57

80

58

Klaten, Jawa Tengah

100 -

13

100

53

Kediri, Jawa Timur

80

79

100 -

65

Ngawi, Jawa Timur

100

84

93

93

93

Agam, Sumatera Barat -

100 - -

25

Sidrap, Sulawesi Selatan

100

50

100

83

83

Sumber: Data primer (diolah), 2002

Page 18: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

278

Harga Jasa Traktor dan Sistem Pembayaran

Pada umumnya sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas, kecuali di desa dengan irigasi sedang (irigasi setengah teknis) di kabupaten Agam masih ada sistem pengupahan harian. Pada kasus terakhir, upah traktor harian mengacu pada upah ternak harian. Harga jasa penyewaan traktor atau ongkos sewa traktor bervariasi antar kabupaten, bahkan di kabupaten Indramayu, Majalengka dan Kediri ada variasi antar desa. Ongkos sewa traktor di tujuh kabupaten contoh ditampilkan pada Tabel 10.

Sewa jasa traktor di Indramayu pada MK 2002 meningkat (berkisar antara 15 – 20%) dibandingkan dengan musim-musim sebelum-nya, peningkatan sewa jasa traktor disebabkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM. Pada saat ini sewa jasa traktor di desa irigasi teknis, irigasi setengah teknis dan tadah hujan berkisar antara Rp. 250.000 – Rp. 300.000 per ha. Sewa jasa traktor di desa irigasi sederhana relatif mahal, yaitu antara Rp 700 – Rp 1.000 per bata atau Rp. 490.000–Rp. 700.000 per ha sampai siap tanam, tergantung lokasi lahan. Tingginya sewa jasa traktor di desa ini dibandingkan dengan desa contoh lain disebabkan karena kondisi lahan sawah yang berbeda. Lahan sawah di desa ini terdiri atas petakan kecil-kecil dengan topografi berlereng, sehingga banyak menyita waktu dan tenaga untuk pindah petakan. Atau dengan kata lain untuk mengolah

lahan satu ha diperlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan desa lain.

Sewa traktor di Majalengka per hektar siap tanam berkisar antara Rp.315.000-Rp. 420.000. Pada MT 2001/2002 terjadi kecende-rungan peningkatan sewa traktor yang dise-babkan karena kebijaksanaan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah, peningkatan sewa traktor berkisar antara 17-22 persen. Pada kasus Desa Maja Utara, traktor baru masuk MH

2001 /2002. Sebagai bahan perbandingan upah olah tanah dengan ternak yang berlaku sebesar Rp 470.000 rupiah, lebih mahal dari upah traktor sebesar Rp. 360.000/ha, sehingga petani mulai beralih menggunakan traktor dan meninggalkan ternak. Penggunaan ternak kerja sebagian be-sar untuk lahan milik sendiri, saudara atau yang tidak dapat dijangkau dengan traktor.

Sistem upah pengolahan tanah dengan traktor sampai siap tanam di Klaten berkisar antara Rp. 55.000 sampai dengan Rp. 60.000 per patok atau sekitar Rp. 275.000 sampai dengan Rp 300.000 per hektar pada MH 2001/2002, sementara itu pada MK I 2002 mengalami kenaikan rata-rata naik Rp 5.000-10.000/patok yaitu Rp. 60.000-Rp. 70.000/pathok atau rata-rata Rp. 300.000-Rp. 320.000 per hektar atau meningkat sekitar tujuh sampai sembilan per-sen. Sementara itu di Kediri, sewa traktor ber-variasi antar wilayah yaitu berkisar Rp 315.000 – Rp 420.000 per hektar. Bervariasinya besar sewa traktor disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (a) topografi sawah, (b) kondisi tanah itu

Tabel 10. Sistem Pengupahan dan Harga Jasa Traktor di Lokasi Penelitian menurut Ketersediaan Air, Tahun 2002. (Rp 000/ha)

Ketersediaan airKabupaten, sistem upah,

hargaBaik

Sedang

Kurang

Tadah

hujan

Indramayu250-260

280-300

490-700

250-300

Majalengka 420 360 420 385

Klaten275-360 -

275-320

275-320

Kediri 420 315 315 315

Ngawi340-360

200-280

200-280

200-280

Agam -400-720 - -

Sidrap350-400

350-400

350-400

350-400

Sumber: Data primer (diolah), 2002

Page 19: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

279

sendiri, sehingga memungkinkan traktor meng-gunakan rotary atau bajak, (c) jauh dekatnya dari jalan usahatani.

Ongkos sewa traktor di Ngawi berkisar antara Rp 340.000 – Rp 360.000 per hektar sampai siap tanam pada tahun 2002 meningkat dari Rp 200.000 - Rp 280.000 per hektar pada tahun sebelumnya. Besarnya sewa traktor di Agam pada periode 2000-2001 berkisar antara Rp. 300.000– 350.000/ha tergantung jarak lahan sawah terhadap jalan serta sistem pembayaran-nya, kemudian meningkat menjadi berkisar antara Rp.350.000 - Rp.650.000/ha (2001-2002) atau meningkat 14–17 persen.

Hal menarik di Desa Gumarang (irigasi teknis) Kabupaten Agam adalah disamping traktor, tenaga ternak untuk pengolahan lahan juga masih digunakan. Hal ini terkait dengan kondisi teknis lokasi sawah yang sulit dan umumnya petani memiliki ternak sendiri. Per-bandingan hari kerja pengolahan traktor dan ternak adalah 7 hari kerja ternak setara dengan 1 hari kerja traktor. Upah tenaga ternak saat ini Rp 20.000/hari. Biaya pengolahan lahan dengan ternak Rp 20.000 (+ makan 2x) selama 10 hari dan tiga kali pengolahan sampai siap tanam atau sekitar Rp 600.000/ha sampai siap tanam. Sementara pengolahan dengan traktor biayanya adalah Rp 80.000/0,3 ha dengan tiga kali pe-ngolahan sampai siap tanam atau Rp 240.000/0,3ha atau Rp 720.000/ha. Biaya pengolahan dengan ternak lebih murah secara tunai namun masih harus menanggung makan dua kali per hari selama 30 hari (tiga kali masing-masing 10 hari).

Besarnya tingkat upah untuk pengolahan tanah dengan traktor di Sidrap pada periode 2000-2001 berkisar antara Rp 300.000-350.000/ha tergantung jarak lahan sawah dari jalan serta sistem pembayarannya, kemudian meningkat menjadi berkisar antara Rp 350.000-400.000/ha (2001-2002).

Kenaikan sewa traktor yang diakibatkan kebijakan kenaikan harga BBM, terutama harga solar di Klaten relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain. Hasil penelitian Simatupang (1994) menunjukkan bahwa elastisitas sewa traktor terhadap harga solar sebesar 0,4160 artinya kalau harga solar meningkat satu persen, sewa traktor akan meningkat sebesar 0,416 persen. Kenaikan harga solar pada bulan Februari sebesar 31,8 persen akan mengaki-batkan sewa traktor meningkat sebesar 13,2

persen. Kecuali di Klaten, kenaikan sewa traktor pada MT 2002 lebih besar dari yang seharus-nya. Dengan kenaikan harga solar petani menanggung kenaikan sewa traktor yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa posisi petani lebih lemah dibanding pemilik traktor.

Sistem pembayaran upah sewa traktor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: (a) bayar langsung, (b) ada tenggang waktu, umumnya sekitar satu minggu, (c) bayar setelah tanam, dan (d) bayar setelah panen. Tidak ada perbedaan upah antara keempat cara pemba-yaran tersebut, sistem pembayaran yang umum dilakukan petani adalah bayar setelah tanam. Sistem pembayaran mencakup beberapa alter-natif, yaitu: (a) Bayar tunai dengan biaya yang lebih rendah dari pasaran umum, yaitu Rp 300.000/ha; (b) Bila pembayaran 50 persen tunai, nilai sewa diperhitungkan sebesar Rp 350.000/ha; (c) Bila pembayaran sewa traktor dilakukan setelah panen (yarnen), maka nilai sewa sebesar Rp 400.000/ha yakni sama dengan nilai sewa tunai bila menyewa traktor diluar kelompok tani.

Sistem hubungan kerja antara pemilik traktor dan operator sebagian besar adalah bagi hasil (dengan proporsi yang bervariasi), semen-tara sistem hubungan kerja harian ditemui di Kabupaten Majalengka. Pembagian hasil antara pemilik traktor dan operator di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, pemilik memper-roleh 70 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional dan operator memperoleh 30 persen dari penda-patan kotor. Di Majalengka, pada sistem harian upah operator traktor umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan upah harian tenaga kerja pertanian. Hal ini dapat dimengerti karena operator traktor memerlukan keahlian tersendiri. Satu unit traktor tangan (hand tractor) dioperasi-kan oleh dua orang operator, dengan upah harian sebesar Rp 30.000/hari/orang. Jam kerja operator umumnya sekitar 12 jam per hari. Pada musim-musim mendesak tanam biasanya harus kerja lembur pada malam hari. Upah kerja malam diperhitungkan setara dengan kerja siang hari. Apabila dibandingkan antara sistembagi hasil dan harian, kedua sistem relatif sama, hanya saja sistem bagi hasil lebih mendorong operator untuk bekerja keras dibandingkan dengan sistem harian. Pembayaran kepada operator, baik dengan sistem harian maupun bagi hasil dilakukan setelah pemilik traktor memperoleh pembayaran dari penyewa, yang

Page 20: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

280

umumnya dibayar setelah kegiatan tanam sele-sai. Namun dimungkinkan operator mengambil uang muka jika memerlukan dari pengusaha traktor.

Di Klaten ditemui dua variasi sistem bagi hasil, yang pertama pemilik memperoleh 60 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional (seperti halnya di Kediri), dan yang kedua baik pendapatan kotor maupun biaya operasional dibagi dua masing-masing 50 persen. Berbeda dengan Klaten dan Kediri, di Ngawi dan Agam, pemilik maupun operator sama-sama memperoleh 50 persen dari pendapatan kotor dan sementara biaya operasional ditanggung oleh operator. Di kabupaaten Sidrap, pemilik memperoleh 70-80 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional, dan operator memperoleh 20–30 persen dari pendapatan kotor. Perbedaan hasil yang diterima operator tergantung oleh tingkat kesulitan pengolahan lahan. Apabila tingkat kesulitan pengolahan lahan cukup tinggi, operator akan memperoleh bagi hasil yang lebih tinggi dan sebaliknya. Sistem hubungan kerja di tujuh kabupaten contoh ditampilkan pada Tabel 11.

Analisis Finansial Usaha Traktor

Keuntungan usaha jasa traktor antara lain dipengaruhi oleh nilai sewa traktor, tenaga traktor (PK), umur traktor, jumlah traktor yang beroperasi dan ketrampilan operator. Analisis finansial usaha jasa traktor di beberapa desa contoh (Tabel 12) menunjukkan bahwa usaha jasa traktor masih memberikan keuntungan per ha berkisar antara Rp.120.000–Rp.390.000. Penerimaan bersih yang cukup tinggi terjadi untuk kasus di Kabupaten Agam, hal ini diduga disebabkan karena ongkos traktor yang relatif tinggi. Pada kasus di Kabupaten Agam, ongkos traktor dibayar secara harian, sebesar Rp 70.000 per hari, dengan kapasitas olah 0,3 ha per hari dan diperlukan tiga kali pengolahan untuk sampai siap tanam. Dengan demikian ongkos traktor sebesar Rp.210.000/0,3 ha atau Rp 630.000/ha. Sementara usaha jasa traktor dengan penerimaan bersih per ha yang terkecil terjadi pada kasus di Kabupaten Kediri. Hal ini antara lain disebabkan karena, proporsi bagi hasil operator di Kabupaten Kediri relatif besar yaitu 40 persen dari pendapatan kotor, semen-tara di Indramayu dan Majalengka hanya 30 persen.

Page 21: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

281

Tabel 11. Sistem Hubungan Kerja antara Pemilik dan Operator Traktor Tahun 2002

Bagian (%)Lokasi penelitan, alternatif

Sistem

Pemilik Operator

Tanggunganbiaya OP

Indramayu, Jawa Barat

a. Sistem IBagi hasil

70 30 Pemilik

b. Sistem II - - - - Majalengka, Jawa Barat

a. Sistem IHaria

n -

Rp 3000/hr/

org Pemilik

b. Sistem IIBagi hasil

70 30 Pemilik

Klaten, Jawa Tengah

a. Sistem IBagi hasil

60 40 Pemilik

b. Sistem IIBagi hasil

50 50

Pemilik+Ope

Kediri, Jawa Timur

a. Sistem IBagi hasil

60 40 Pemilik

b. Sistem II - - - - Ngawi, Jawa Timur

a. Sistem IBagi hasil 50 50

Operator

b. Sistem II - - - - Agam, Sumatera Barat

a. Sistem IBagi hasil 50 50

Operator

b. Sistem II - - - - Sidrap, Sulawesi Selatan

a. Sistem IBagi hasil

70 -80 20 - 30 Pemilik

b. Sistem II - - - -Sumber: Data primer (diolah), 2002

Tabel 12. Analisis Finansial Usaha Jasa Traktor per Ha di Beberapa Kabupaten Contoh, Tahun 2002

KabupatenUraian Indram

ayuMajalen

gka Kediri Agam

Penerimaan kotor (Rp)

280.0

00

420.0

00

315.00

0

630.00

0

Biaya-biaya (Rp) :

a. Solar

19.50

0

22.75

0

33.000

63.518

b. Olie

3.600

6.750

2.100

10.318

c. Operator

84.00

0

126.0

00

140.00

0

315.00

0 d. Perbaikan/Perawatan

18.00

0

26.25

0

9.770

6.121

e. Penyusutan

14.06

2

36.48

6

20.571

89.763

f. Total biaya

139.1

62

218.2

36

205.44

1

484.72

0

Penerimaan bersih (Rp)

140.8

38

201.7

64

109.55

9

145.28

0

R/C

2,01

1,92

1,53

1,30

Page 22: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

282

Kapasitas olah atau kemampuan mengo-lah lahan dari traktor contoh bervariasi dari 8,86 – 43,5 ha, sehingga keuntungan usaha jasa traktor per musim berkisar antara Rp 3,46 – Rp 5,63 juta. Kasus di Kediri, walau penerimaan bersih per hektar relatif kecil namun penerimaan per musimnya cukup besar. Hal yang sama dikemukakan oleh Simatupang (1995) dan Soentoro (1998), dimana usaha jasa traktor milik perorangan di Deli Serdang, Karawang, Subang, Ciamis, Indramayu, Ngawi, Jember, Wajo dan Sidrap masih memberikan keun-tungan dan layak diusahakan. Lebih lanjut Simatupang (1994) mengemukakan bahwa de-ngan adanya kenaikan harga solar keuntungan pemilik jasa traktor bertambah. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kenaikan ongkos sewa traktor akibat kenaikan harga solar seluruhnya ditanggung oleh petani.

Kinerja pengusahaan traktor di beberapa kabupaten contoh adalah sebagai berikut: (1) Wilayah operasi traktor mencakup beberapa desa dalam satu kecamatan yang sama atau di luar kecamatan yang berbatasan; (2) Masa operasi dalam satu musim pengolahan tanah kurang lebih 20-30 hari, bahkan ada yang 30 hari siang dan malam (kasus di Indramayu kalau terjadi kekurangan traktor); (3); Kemampuan olah traktor per hari (7 JK) bervariasi antara 0,3 –0,6 ha sampai siap tanam dan (4) Traktor bersifat serbaguna, di samping untuk membajak juga dapat dimanfaatkan sebagai alat pengang-kut saprodi dan hasil pertanian.

KELEMBAGAAN JASA THRESHER

Dalam usahatani padi, thresher meru-pakan alat untuk merontokkan padi menjadi gabah. Alat ini merupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan gabah dengan jeraminya. Terdapat variasi kegiatan dalam penggunaan thresher. Di beberapa desa peng-gunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen, namun di desa lain penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga pemanen. Terdapat dua jenis thresherberdasar alat penggeraknya yaitu: (1) dige-rakkan secara manual dengan menggunakan pedal (selanjutnya disebut thresher pedal); dan (2) digerakkan dengan mesin (selanjutnya disebut power thresher).

Penggunaan thresher untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkem-bangan varietas unggul baru berumur pendek dan mudah rontok. Penggunaan thresher di Jawa Tengah diawali dengan penggunaan sabit untuk memanen dan merontok padi dengan memukulkan batang padi, kemudian berkem-bang perontok manual (thresher pedal) dan penggunaan alat ini terkait erat dengan adanya sistem tebasan dalam penjualan padi (Soentoro, 1998). Sementara itu berdasar studi Soentoro tersebut, penyebar luasan thresher di Jawa Timur diawali adanya kelompok panen dan ada-nya sistem hubungan kerja kedokan. Sedang-kan di Sulawesi Selatan, jenis thresher yang berkembang hampir seluruhnya berupa power thresher dan hal ini diikuti oleh tumbuhnya kelompok panen yang diorganisasikan oleh pemilik thresher.

Partisipasi Pengguna Jasa Thresher

Tingkat partisipasi petani pengguna jasa thresher di tujuh kabupaten lokasi penelitian dapat disimak pada Tabel 13 dan Tabel 14, masing-masing untuk partisipasi penggunaan thresher pedal dan penggunaan power thresher. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat parti-sipasi pengguna thresher di desa-desa peneli-tian bervariasi antar musim dan antar lokasi, secara umum partisipasi pengguna jasa power thresher lebih tinggi dari pada pengguna pedalthresher.

Untuk jenis thresher pedal (Tabel 13) pada musim hujan, alat ini digunakan sekitar 20 persen sampai 47 persen petani di desa-desa contoh Kabupaten Ngawi, sementara di Kabupaten Agam tingkat partisipasi petani yang memakai pedal thresher sekitar 17 sampai 53 persen, sedangkan di Kabupaten Sidrap parti-sipasi yang menggunakan jasa pedal threshersekitar enam persen sampai 32 persen. Pada musim kemarau, partisipasi petani pengguna jasa pedal thresher di Kabupaten Ngawi, Agam dan Sidrap berturut-turut rataannya sebesar 24, 24 dan 29 persen, sementara di Kabupaten Klaten partisipasi petani pengguna alat ini sebesar 23 persen. Petani contoh di desa-desa di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan Kediri baik pada musim hujan maupun kemarau tidak menggunakan pedal thresher. Di desa-desa penelitian Indramayu dan Majalengka peron-tokan padi masih menggunakan tenaga manu-

Page 23: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

283

sia dengan membanting atau istilah lainnya adalah digebot.

Berbeda keragaannya untuk pengguna jasa power thresher, pengguna jasa ini pada musim hujan secara rataan di Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap bertu-

Page 24: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

284

Tabel 13. Tingkat Partisipasi Pengguna Thresher Pedal di Tujuh Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, 2002 (%)

Ketersediaan airMusim/kabupaten Baik Sedan

gKuran

gTadah hujan

Rataan

Musim hujan

Indramayu 0 0 0 0 0Majalengka 0 0 0 0 0

Klaten 0 0 0 86

24

Kediri 0 0 0 0 0Ngawi 2

022 4

727

29

Agam 33

53 21

17

31

Sidrap 6 31 6 24

16

Musim kemarau

Indramayu 0 0 0 0 0

Majalengka 0 0 0 0 0

Klaten 0 0 6 76

23

Kediri 0 0 0 0 0

Ngawi 20

11 43

29

24

Agam 33

54 13

0 29

Sidrap 9 50 0 50

24

Tabel 14. Tingkat Partisipasi Rumahtangga Pengguna Power Thresher di Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, Tahun 2002 (%)

Ketersediaan airMusim/kabupaten

Baik Sedang Kurang Tadahhujan

Rataan

Musim hujan

Indramayu 0 0 0 0 0

Majalengka 0 0 0 0 0

Klaten 63 53 75 0 43

Kediri 93 93 29 0 60

Ngawi 80 0 53 0 32

Agam 7 0 0 0 2

Sidrap 89 63 100 76 82

Musim kemarau

Indramayu 0 0 0 0 0

Majalengka 0 0 0 0 0

Klaten 81 50 63 0 48

Kediri 90 100 17 0 80

Ngawi 80 16 57 0 37

Agam 0 8 0 0 2

Sidrap 91 50 100 50 76Sumber: Data primer (diolah), 2002

Page 25: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

285

turut-turut sebesar 43 persen, 60 persen, 32 persen, dua persen dan 82 persen. Rendahnya partisipasi pengguna alat ini di Kabupaten Agam karena desa beririgasi baik (Desa Gumarang, Kecamatan Palembayan) thresher yang umum digunakan adalah pedal thresher. Di Kabupaten Indramayu dan Majalengka power thresher juga tidak digunakan oleh petani contoh di desa-desa penelitian. Pada musim kemarau, partisipasi pengguna jasa power thresher di Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap berturut-turut sebesar 48 persen, 80 persen, 37 persen, 2 persen dan 76 persen. Dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Darwanto (1998) partisipasi pengguna jasa power thresherdi desa-desa di lima kabupaten penelitian tersebut menujukkan adanya peningkatan.Hasil studi Darwanto secara nasional, rata-rata peng-guna jasa power thresher pada tahun 1993 barumencapai sekitar 26,5 persen. Padahal berda-sar hasil studi Reddy et al. (1985) dalamPakpahan et al. (1990) penggunaan mesin pe-rontok padi dapat menurunkan penggunaan tenaga kerja panen sebesar 32,6 persen atau sekitar 10 persen dari total tenaga kerja dalam usahatani padi. Sementara itu studi Soentoro (1998) menyebutkan bahwa penggunaan thresher oleh petani di Kabupaten Jombang dapat meningkatkan hasil produksi (karena menekan kehilangan hasil) antara lima sampai delapan kuintal per hektar.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan petani mengapa tidak menggunakan jasa perontok padi. Di desa-desa contoh Kabupaten Indramayu misalnya, petani mengatakan bahwa penggunaan jasa perontok padi akan mengu-rangi pendapatan para buruh panen dimana sebagian besar para buruh tersebut juga para tetangga pemilik sawah. Penggunaan jasa perontok padi dikawatirkan oleh para pemilik lahan akan dapat mengurangi ‘rezeki’ tetangga. Selain itu, perontokan padi dengan alat tidak dapat dilakukan oleh seluruh tenaga kerja yang ada dalam kelompok pemanen karena dalam satu kelompok umumnya hanya digunakan satu alat perontok. Hal ini menurut para pemanen kurang sesuai, bila padi digebot maka semua tenaga pemanen dapat melakukan kegiatan tersebut secara bersama-sama.

Berbeda dengan di Kediri, kurang ber-kembangnya thresher di desa contoh tadah hujan di Kabupaten Kediri mengingat petani menghadapi masalah dalam penyediaan rumput alam untuk ternaknya, sehingga kekurangannya

disuplai dari jerami bekas panen. Menurut petani, jerami dari panen yang menggunakan thresher tidak disukai ternak sapi karena bau oli dan mesin.

Sistem Pembayaran dan Harga Jasa Thresher

Secara umum penggunaan thresher da-lam operasinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) thresher merupakan satu kesatuan dalam kelompok kerja pemanen, dan (2) usaha jasa thresher terpisah dengan kelompok pema-nen. Pada usaha thresher yang (1) dapat pula diartikan bahwa kelompok kerja pemanen padi melakukan kegiatan menyabit, merontok dan atau tidak mengangkut. Sementara pada usaha jasa thresher yang (2) berarti para tenaga pemanen hanya berkewajiban menyabit padi, sedangkan perontokan dilakukan oleh pemilik thresher dimana dalam operasionalnya para pemilik ini mempercayakan pengoperasiannya kepada para operator. Di Kabupaten Ngawi, pengupahan mesin perontok gabah tersebut umumnya diperlakukan sebagai tim kerja dalam tenaga pemanen dengan bagi hasil perolehan gabah (bawon) yang bervariasi antar desa. Di desa Tawun (desa irigasi setengah teknis atau ketersediaan air sedang) alat perontok ini mendapat dua bagian untuk pedal thresher, dan tiga bagian untuk power thresher (satu bagian untuk alat, satu bagian untuk operator dan satu bagian untuk bahan bakar atau solar). Di desa Kasreman (desa irigasi teknis atau ketersediaan air baik), bagian untuk alat perontok (powerthresher) adalah lima bagian. Perolehan bawon dalam kelompok tenaga kerja pemanen dibagi rata antar pekerja dan power thresher mendapat bagian setara dengan lima orang tenaga kerja.

Hubungan Kerja Pemilik Power Thresher dan Kelompok Pemanen

Kasus usaha jasa power thresher di desa irigasi tektis Kabupaten Ngawi alat yang dipakai adalah sebuah power thresser Mitsubishi yang dibeli tahun 2001 dalam kondisi bekas dengan harga Rp.1.250.000. Erek dan terpal tahun 1998 dibeli dengan harga masing-masing Rp 80.000 dan Rp.75.000. Kelompok pemanen berjumlah 25 orang (24 orang didatangkan dari luar desa ditambah satu orang pemilik thresher yang ikut sebagai pekerja pemanen). Dari 25 orang terse-but, enam orang diantaranya adalah wanita. Pekerja didatangkan dari luar desa yaitu Desa

Page 26: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

286

Panekan Kabupaten Magetan dengan biaya transportasi Rp3.000 per orang dan ditanggung oleh masing-masing pekerja. Pekerja ini sudah menjadi tim yang tetap setiap musim panen padi di Ngawi. Selama bekerja di Kasreman, para pekerja menginap di rumah pemilik thresher, sedangkan makanan mereka ditanggung oleh pemilik lahan yang sawahnya dipanen para pekerja tersebut (sistem bawon yang berlaku ditambah makan tiga kali dan kopi serta ma-kanan ringan).

Berdasarkan sistem yang berlaku, dari jumlah bawon yang diterima akan dibagi menja-di 30 bagian, masing-masing orang memperoleh satu bagian sedangkan power thresher mem-peroleh lima bagian (jika pedal thresherbiasanya tiga bagian). Rata-rata thresher bisa memperoleh sekitar dua sampai tiga kuintal GKP pada MH dan sekitar dua kuintal pada MK1 (selama10 hari dalam satu musim panen). Jika dilihat dari luasan, masing-masing pekerja panen dari luar desa tersebut memperoleh sekitar 50 kg GKP per ha lahan. Pada MK2 kelompok panen tidak aktif karena hanya sedikit petani yang menanam padi.

Secara umum tenaga pemanen dapat memperoleh 150 kg GKP/musim (10 hari). Gabah yang diperoleh pekerja jarang sekali yang dijual. Mereka biasanya pulang dengan menyewa truk seharga Rp.120.000 karena ha-rus membawa gabah. Dalam keseharian, para pekerja dari Desa Panekan tersebut mengkon-sumsi jagung sebagai makanan pokok. Gabah yang diperoleh dari berburuh panen baru akan dikonsumsi jika sudah tiba musim panen beri-kutnya atau saat akan bekerja panen lagi. Me-nurut informasi pemilik thresher terlihat adanya perasaan bangga dan terhormat dari para pekerja tersebut saat bisa mengkonsumsi beras.

Saat ini lebih banyak ditemukan power thresher dalam kegiatan panen di wilayahNgawi, setidaknya di desa Kasreman, sedang-kan penggunaan pedal thresher hampir hilang. Pedal dipandang kerja lebih lambat sehingga produktivitas alat sangat rendah. Akibatnya per-olehan upah pada sistem bertani serentak seka-rang ini akan lebih kecil. Artinya, inovasi power thresher dapat meningkatkan produktivitas pe-kerja dan memperpendek masa panen per musim.

Di Klaten, untuk merontokkan padi umum-nya sudah menggunakan perontok mesin (power thresher), kecuali di desa Ngerangan

(desa tadah hujan) masih menggunakan perontok manual (pedal threhser). Sistem upah untuk merontokkan dengan mengggunakan power thresher umumnya borongan. Ada variasi sistem upah borongan antar lokasi contoh, misalnya upah merontok di desa contoh irigasi teknis berlaku borongan per satuan luas. Sedangkan di desa contoh irigasi setengah tek-nis, sederhana dan tadah hujan menggunakan sistem borongan per satuan berat. Hal ini nampaknya terkait dengan tingkat homogenitas dari hasil panen, dimana pada lahan sawah tipe irigasi teknis tingkat produktivitas relatif homo-gen dibandingkan pada tipe irigasi lainnya.

Seperti halnya traktor, ketersediaan thresher di dalam desa-desa penelitian di Kabu-paten Klaten tidak mencukupi untuk melayani kebutuhan dalam desa karena saat panennya hampir bersamaan. Penggunaan thresher ini baru dimulai sekitar tahun 1980-an, dan mulai berkembang pesat setelah tahun 1990-an. Sebelumnya petani menggunakan sistem gebot. Perubahan teknologi tersebut umumnya tidak merubah sistem bawon yang berlaku. Dari sisi pemilik lahan ada tambahan biaya sewa alat perontok, dan ini dikompensasi dengan kehi-langan hasil (tercecer) yang relatif lebih rendah dan waktunya lebih singkat.

Di desa-desa penelitian di Kabupaten Sid-rap, pembagian insentif kelompok pemanen (termasuk perontokan dengan power thresher) adalah sebagai berikut: (1) Biasanya jumlah anggota kelompok kerja panen terdiri dari 6-12 orang operator mesin dan 24 - 48 orang tukang sabit dan angkut; (2) Sebelum hasil dibagi maka dikeluarkan dulu untuk mesin yaitu sebesar 20 persen dari hasil; (3) Selanjutnya dari 80 persen hasil tersebut dikeluarkan dalam bentuk uang Rp. 3.000/orang khusus kepada operator (mesin sebagai pembeda dengan anggota lainnya); (4) Sisa hasil selanjutnya dibagi kepada seluruh anggota penderos (kelompok pemanen) dengan bagian yang sama antara operator, penyabit maupun tenaga angkut.

Adanya mesin perontok di desa-desa contoh di Kabupaten Kediri mendorong berkem-bangnya sistem panen tebasan ataupun boro-ngan. Dalam penggunaan thresher, umumnya menggunakan sistem upah borongan. Di Kabu-paten Kediri sistem tebasan sudah mendomi-nasi petani dalam menjual hasil panennya. Sekitar 50 - 70 persen petani menjual padinya dalam bentuk tebasan. Kecuali petani pada lahan sawah tadah hujan, penggunaan thresher

Page 27: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

287

hampir 100 persen terutama pada MH. Sedang-kan pada petani lahan tadah hujan penggunaanthresher baru mencapai 10,0 persen, dan sisanya sebanyak 90 persen petani melakukan pemanenan secara manual atau digebot.

Analisis Finansial Usaha Jasa Power Thresher

Kasus usaha jasa thresher di Desa Balai Ahad, Kecamatan Lubuk Basung dan Desa Gumarang,Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam diuraikan sebagai berikut. Responden di Desa Balai Ahad memiliki dua buah power thresher dengan kekuatan masing-masing 4.5 PK. Mesin pertama dibeli 12 tahun yang lalu seharga Rp 800.000 dan diperbaiki mengha-biskan biaya Rp 2,5 juta; sementara mesin lainnya merk Yanmar dibeli tahun 2002 seharga Rp 8 juta (diperkirakan umur teknisnya 6 – 7 tahun, nilainya tinggal 10 persen dari harga beli). Hari kerja efektif power thresher adalah lima hari/minggu dan masa kerja hampir sepanjang tahun mengingat sistem panen padi yang tidak serentak. Upah perontokan dalam bentuk natura, dalam satu hari kerja (jam 8.00 –16.00) dapat merontok 1000 liter GKP dengan upah bersih sebesar 50 liter GKP. Upah merontok dengan mesin ini adalah setiap 100 liter gabah upahnya 11 liter gabah. Dari hasil upah tersebut dibagi dua (50:50) dengan operator yang terdiri dari tiga orang tenaga tetap. Dengan sistem upah seperti ini adalah logis pengakuan pemilik mesin bahwa dengan kapasitas mesin 1000 liter GKP per hari dapat menghasilkan pendapatan bersih 50 liter GKP.

Biaya operasional untuk power thresher ini adalah sebagai berikut: solar 7 liter/hari @ Rp 1.600/lt; olie setiap 5.000 liter gabah (lima hari kerja) sebanyak satu liter = Rp 14.000,-/lima hari; servis untuk gigi dan las Rp 50.000/2bulan dan tali karet Rp 22.000,-/3bulan. Menu-rut pengakuan pak Abdul usaha jasa perontok padi ini lebih menguntungkan dibanding usaha jasa traktor. Di Kampung Sawah desa Balai Ahad mesin perontok padi ini hanya dua buah, namun di saat banyak panenan beroperasi pula dua mesin perontok dari desa lain yang masuk ke Desa Balai Ahad dengan sistem dan tingkat upah yang sama.

Dengan adanya sistem upah harian pada kegiatan panen dan merontok dengan meng-gunakan mesin perontok, maka biaya panen menjadi lebih tinggi di banding dengan provinsilainnya. Karena sewa mesin perontoknya saja

sudah hampir sama dengan upah bawon di Jawa yaitu 9:1 atau 10:1. Yang agak menghe-rankan adalah bahwa penggunaan mesin perontok tidak sejalan dengan kualitas irigasi, sehingga tidak pernah didapatkan pada daerah irigasi teknis kecamatan Palembayan digunakan mesin perontok, tetapi mereka hanya meng-gunakan tangan dengan cara dipukul-pukul dan diiles-iles. Khusus pada Desa Balai Ahad upah diberikan berbeda dengan di desa lainya yaitu (a) 100 sukat padi diberikan upah sebesar 7,5 sukat untuk merontok dan (b) 100 sukat padi diberikan 11 sukat untuk menyabit dan meron-tok. Sedangkan di IV Angkat Candung untuk setiap satu sumpit GKP maka upah rontoknya 4,3 kg GKP (0,2%). Analisis usaha jasa thresherdi Desa Balai Ahad secara ringkas dapat disimak pada Tabel 15.

Tabel 15. Analisis Jasa Penyewaan Thresher per Hari di Desa Balai Ahad, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Tahun 2002

Uraian Nilai (Rp/hari)

Penerimaan: 165 kg GKP @ 1000 165.000Biaya-biaya:

Solar: 7 liter per 1500 kg 11.200 Oli: 1 liter per 7500 kg 2.800Servis: Rp 50000/2 bulan 1.250Tali karet: Rp 22000/3 bulan 367Penyusutan: 3.956Operator: 50% dari hasil kotor 82.500

Total biaya: 102.073Keuntungan 62.927R/C 1,6

Sumber: Data primer (diolah), 2002Catatan:

1. Tingkat upah: 11% dari hasil; 2. Kemampuan merontok: 1000 sukat (1500 kg) GKP per

hari (08.00-17.00); 3. Upah operator: 50% dari hasil kotor; 4. Hari kerja: 5hari per minggu, sepanjang tahun; 5. Harga pembelian: Rp 8000000,-; 6. Umur ekonomis: 7 tahun; 7. Nilai sisa: Rp 800000,-

Kasus usaha jasa power thresher di Desa Kasreman, Kabupaten Ngawi, menunjukkan bahwa dalam kegiatan perontokan dibutuhkan 4 liter solar dan 0,25 liter oli per ha lahan. Biaya operasional ini ditanggung oleh pemilik thresher. Selama dua tahun pemilik mengeluarkan biaya perbaikan sebanyak Rp 700.000. Dari analisis finansial yang ditampilkan pada Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa power thresher di desa ini layak untuk diusahakan, dengan tingkat

Page 28: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

288

keuntungan sekitar Rp. 94.745 per ha atau sekitar Rp.663.215 per musim, dengan hari kerja sekitar 10 hari per musim. Relatif kecilnya keuntungan usaha jasa power thresher lebih disebabkan karena sempitnya waktu panen.Tabel 18. Analisis Jasa Penyewaan Thresher per ha

di Desa Kasreman, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, 2002

Uraian Nilai (Rp/hari)Penerimaan: 600 kg GKP @ 1050 630.000

Biaya-biaya:Solar: 4 liter 6.000Oli: 0.25liter 2.875Servis 760Penyusutan: 610Tenaga kerja panen 525000

Total biaya: 535245Keuntungan 94745R/C 1.18Sumber: Data primer (diolah), 2002Catatan:

1. Tingkat upah (bawon): 10% dari hasil2. Kemampuan merontok: 7 ha per musim3. Upah tenaga kerja panen : 83.3 bagian, alat 16,7

bagian dari bawon4. Hari kerja: 10 hari per musim5. Harga pembelian: Rp 1250000, peralatan tambahan Rp

1550006. Umur ekonomis: 5 tahun7. Nilai sisa: 08. Produktivitas : 60 kw per ha

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Kecenderungan menurunnya tenaga kerja sektor pertanian disatu sisi, dan di sisi lain terjadinya perubahan lingkungan dan sosial ekonomi seperti meningkatnya daya beli dan masuknya impor alat dari negara Cina, telah mendorong penggunaan mekanisasi pada usaha tani, khususnya usahatani padi. Alsintan yang berkembang di tujuh lokasi penelitian adalah pompa, traktor, thresher. Penggunaan alsintan yang sudah hampir merata di semua lokasi penelitian adalah traktor, namun tingkat perkembangannya berbeda antar lokasi seperti di Indramayu dan Sidrap lebih cepat dibanding daerah lainnya. Di desa kabupaten ini tingginya penggunaan alsintan (terutama traktor) di-dorong oleh luasnya lahan sawah dan terbatasnya tenaga kerja untuk kegiatan usahatani di kedua wilayah tersebut. Namun demikian ketersediaan sarana pendukung pengembangan traktor (bengkel dan suku cadang) di tingkat desa terbatas. Implikasi

dari temuan ini adalah perlu didukung kebijakan yang kondusif untuk mengem-bangkan sarana pendukung traktor tersebut. Untuk irigasi pompa, pengembangannya terkait dengan kualitas sumberdaya fisik (tanah dan air) di masing-masing wilayah. Namun demikian mengingat secara finansial pengusahaan pompa untuk irigasi relatif mahal, diperlukan dukungan permodalan bagi petani yang menghadapi kendala modal. Sementara itu untuk thresher, karena alat ini berperan signifikan dalam menekan kehilangan hasil, maka pengem-bangannya perlu didorong pada tingkat petani. Namun demikian karena adopsi thresher ini terkait dengan kelembagaan hubungan kerja, maka dalam pelaksanaan pengembangannya perlu melibatkan tokoh masyarakat agar perubahan terjadi secara gradual.

2. Penggunaan pompa dan thresher belum merata, seperti di Kabupaten Agam, di desa contoh tidak ditemukan adanya penggunaan pompa. Sementara itu, thresher tidak ber-kembang secara merata. Secara umum di Kabupaten Indramayu dan Agam thresher kurang berkembang dibandingkan dengan di Klaten, Kediri dan Ngawi. Hal ini dipe-ngaruhi oleh sistem pemasaran, sistem hubungan kerja dan budaya setempat.

3. Pada saat ini, belum diadopsinya sebagian jenis alsintan, seperti pompa, traktor atau thresher pada daerah tertentu lebih banyak disebabkan oleh faktor teknis, seperti topografi, petakan lahan yang sempit, masa panen tidak serempak, sumber air sadapan dan modal petani. Pada kondisi tertentu, misalnya pengembangan pompa diakibat-kan oleh keterbatasan sarana irigasi, secara otomatis inisiasi pengadaan pompa akan mengarah pada pembiayaan swadaya oleh petani, namun biasanya terkendala oleh modal. Implikasi dari temuan ini perlu ada-nya dorongan dari pihak lain baik swasta maupun pemerintah untuk memecahkan masalah permodalan alsintan berupa: (a) Bantuan permodalan pengadaan alsintan ditingkat petani; (b) Pengembangan sistemsewa yang adil antara pemilik alsintan dan petani.

4. Dari sisi finansial usaha jasa alsintan ter-utama pompa, traktor dan thresher, masih menunjukkan indikasi adanya kelayakan

Page 29: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

289

usaha yang memadai. Seperti terlihat nilai R/C berkisar antara 1,2 – 2,0. Hal ini berarti tingkat keuntungan usaha alsintan berkisar antara 20 – 100 persen dari biaya yang dikeluarkan per satuan waktu. Begitu pula secara nominal tingkat keuntungan usaha alsintan relatif masih tinggi, seperti usaha traktor antara Rp 1,2 – Rp. 5,6 juta per musim, usaha pompa berkisar antara Rp. 1,6– 4,9 juta per musim dan usaha thresherberkisar antara Rp 663 ribu – Rp. 4,8 juta per musim. Implikasiny adalah bahwa usaha jasa alsintan masih layak dikembangkan oleh investor/penanam modal terutama di wilayah-wilayah yang usaha jasa alsintan-nya belum berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Al Sri Bagyo. 1983. Pengaruh Mekanisasi Terhadap Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja Usa-hatani Sawah Di Jawa Barat. Dalam. Konse-kuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Ba-dan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor.

Colter, J. M. 1983. Pendapatan dan Kesempatan Kerja Buruh Migran di Mariuk dan TambakDahan, Subang, Jawa Barat. Dalam. Konse-kuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor.

Darwanto, H. D. 1998. Dampak Mekanisasi Perta-nian Terhadap Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan. Dalam. Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. P:72-85.

Djauhari, A dan Gatoet S. H. 1999. Investasi Irigasi Pompa: Urgensi Pengembangan, Motivasi Petani dan Faktor Determinan. Dalam.Pasaribu, S.M. dkk. 1999. Prosiding Seminar. Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pe-ngembangan Irigasi Pompa. Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Hafsah, J dan Ma’mun, Y. 1983. Pemilikan dan Pengusahaan Traktor di Sulawesi Selatan. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian. Pusat Penelitian Agri-Ekonomi. Bogor.

Karim Saleh, A. 1983. Pola Penggunaan Traktor Kecil Pertanian di Sulawesi Selatan. Dalam. Kon-sekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia.

Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

Pakpahan, A., Sumaryanto, Hendiarto dan S. Friyatno. 1992. Studi Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Hasil Kerjasama Pene-litian Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Pakpahan, A. F. Kasryno, A. Djauhari dan C. Saleh. 1990. Diversifikasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. 1991. Studi Kebijaksanaan Nasional Irigasi Pompa di Jawa. Kerjasama Penelitian antara The Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Silvia K, Rr. 1993. Viabilitas Finansial Pemakaian Irigasi Pompa Pada Sawah Tadah Hujan (Stu-di Kasus Desa Sidorejo, Kecamatan Kedung Tuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Simatupang, P; A. Purwoto; B. Santoso; Hendiaarto, Supriyati; S.H. Susilowati; V. Siagian; B. Prasetyo; E. Ariningsih; E.E. Ananto dan J. Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Meka-nisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonmi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Simatupang, P; D.H. Darmawan; A. Purwoto; V.T. Manurung; Supriyati, S.H. Susilowati; Hen-diarto; V. Siagian dan J. Situmorang. 1994. Dampak Deregulasi Sektor Riil Terhadap Produksi dan Produktivitas Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Siregar, M. 1983. Dampak Penggunaan Traktor Terhadap Kesempatan Kerja. Dalam. Konse-kuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

Soentoro. 1998. Pengembangan Mekanisasi Perta-nian. Tinjauan Aspek Ekonomi dan Kelemba-gaan. Dalam. Perspektif Pemanfaatan Mekani-sasi Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. P:26-36.

Sumaryanto; S. Friyatno dan A. Pakpahan. 1995. Adaptasi dan Inovasi Kelembagaan Dalam Sistem Irigasi Pompa: Studi Kasus di Subang, Gunung Kidul, Kediri dan Pamekasan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. FAE. Vol. 13 No. 1, Juli 1995. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Taher, A. 1998. Prospek Pengembangan Alsintan di Sumatera Barat. Dalam. Erwidodo et al. 1998. Prosiding Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi

Page 30: KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-10_2004.pdf · sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah

290

Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Alih Bahasa : Aminuddin dan Mursid. Ghalia Indonesia. Jakarta.