KARAKTERISTIK MANAJEMEN PENDIDIKAN PROFETIK
Transcript of KARAKTERISTIK MANAJEMEN PENDIDIKAN PROFETIK
13
KARAKTERISTIK MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROFETIK
Rima Umaimah
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Pacitan
Abstract: The purpose of this study is to understand and determine the
characteristics of Islamic education management. The method used by the
writer in this research is literature, through primary data reading primary
books. This study involved colleagues, namely Islamic education lecturers
from various campuses with the following steps: testing the manuscript
through discussion, criticism, suggestions, improvement, and finalization.
Based on the results of the study it can be concluded: The characteristics of
Islamic education management are holistic, meaning that the management
strategy of Islamic education management is carried out by combining
learning resources and taking into account the involvement of human culture,
both political, economic, intellectual and theological.
Keywords: Characteristics, Educational Management, Prophetic
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah fenomena utama dalam kehidupan manusia untuk
membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik menjadi dewasa.Sesuai
dengan visi dan misi pendidikan nasional, tujuan pendidikan haruslah
mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi
berbagai tuntutan sekaligus tantangan zaman dengan berbagai fenomena sosial
yang mengikutinya. Secara umum pendidikan harus mampu menghasilkan
manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang sehat dan cerdas
dengan (1) kepribadian yang kuat dan religius serta mampu menjunjung tinggi
budaya luhur bangsa, (2) kesadaran demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, (3) kesadaran moral hukum yang tinggi dan (4)
kehidupan yang makmur dan sejahtera.1
1 Jalal & Supriyadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta:
Adi Citra Karya Nusa, 2001), 67.
14
Persoalan pendidikan pada hakikatnya merupakan persoalan yang
berhubungan langsung dengan kehidupan manusia dan mengalami perubahan
serta perkembangan sesuai dengan kehidupan térsebut baik teori maupun konsep
operasionalnya. Problem-problem yang dihadapi oleh manusia sering dicari
pemecahannya dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini mungkin orang akan
mempertanyakan konsep filosofik yang melandasi sistem pendidikan yang sedang
dilaksanakan atau mungkin juga konsep-konsep operasional ditinjau dan
diperbarui agar tetap relevan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan
kehidupan manusia.
Dewasa ini manusia sedang menghadapi perubahan yang begitu cepat yang
timbul sebagai dampak dan kewajiban ilmu pengetahuan. Apalagi jika didasarkan
pada asumsi bahwa segala problem itu berpangkal dan suatu penerapan konsep
pendidikan yang merangsang serta mendorong progresivitas ilmu pengetahuan
dan teknologi yang tak terkendali.
Di kalangan Islam juga muncul berbagai isu tentang krisis pendidikan serta
problem lainya yang dengan sangat mendesak menuntut suatu pemecahan berupa
terwujudnya suatu sistem pendidikan yang didasarkan atas konsep Islam. Salah
satu solusi pemecahannya adalah pembenahan manajemen dalam pendidikan.
Selain dari dunia bisnis, negara maupun organisasi manajemen mempunyai peran
penting untuk mengantarkan kemajuan pendidikan. Kalau manajemen negara
mengejar kesuksesan pembangunan sedangkan manajemen pendidikan (sekolah)
mengejar kesuksesan perkembangan anak manusia melalui pelayanan-pelayanan
pendidikan yang memadai.
Akhir-akhir ini manajemen sebagai ilmu begitu populer sehingga banyak
kajian yang difokuskan pada manajemen baik berupa pelatihan, seminar, kuliah,
maupun pembukaan program studi. Program studi manajemen meliputi
manajemen ekonomi, manajemen sumber daya manusia, manajemen pendidikan,
dan sebagainya. Awal mulanya, tema manajemen hanya populer dalam dunia
perusahaan atau bisnis. Kemudian, tema ini digunakan dalam profesi lainnya,
termasuk oleh pendidikan, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan Islam
(keagamaan).
15
Optimisme dalam mengembangkan Sekolah/Madrasah Model sebagai
bentuk upaya meningkatkan mutu pendidikan, selain implementasi melalui
peningkatan fasilitas belajar juga dilakukan dengan meningkatkan manajemen.
Dengan begitu, manajemen dijadikan resep dalam mengatasi masalah dan
kemudian mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya dalam konteks ini,
lembaga pendidikan Islam (madrasah).2
Gambaran tentang manajemen pendidikan berbasis profetik yang
membedakan dengan manajemen secara umum adalah terletak pada karakteristik
dari manajemen pendidikan profetik itu sendiri. Perlu diketahui bahwa
manajemen secara sumum, sasaran ataupun obyek yang dikelola adalah dalam
suatu organisasi atau perusahaan. Sedangkan manajemen lembaga pendidikan
profetik, sasaran yang dikelola adalah semua SDM dan SDA yang ada dan terlibat
dalam suatu proses pendidikan. Dalam manajemen pendidikan profetik ini,
manajemen fokus adalah terletak pada kepala madrasah/sekolah dan guru. Hal ini
disebabkan karena madrasah/sekolah dan guru merupakan ujung tombak dari
pelaksanaan pembelajaran, karena madrasah/sekolah dan guru merupakan
pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya
tujuan pendidikan. Maka madrasah/sekolah dan guru merupakan jiwa dari
sekolah. Namun demikian tidak menafikan peran yang lain, sperti karyawan,
ketua, wali murid dan siswa itu sendiri. Sehingga memang terdapat karakteristik
dan ketentuan normatif manajemen pendidikan profetik jika dibandingkan dengan
manajemen secara umum.
PEMBAHASAN
Profetik berasal dari kata prophet (nabi).3 Profetik yang mempunyai makna
Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang
mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga
menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan
melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
2 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: PT. Gelora Aksara Pratama,
2007), 2-4.
3 . Dwi Budiyanto, Prophetic Learning, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2009),168 .
16
Sifat pada nabi ini, diterapkan dalam suatu gagasan ilmu sosial yang mana
menjadi 3 pilar nilai-nilai profetik yakni humanisasi (menegakkan kebaikan), liberasi
(mencegah kemunkaran), dan transendensi (beriman kepada Allah SWT). Suatu cita-
cita profetik yang mana terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 110: “Engkau adalah
umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan,
mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.”4 Jadi, devinisi
pembelajaran profetik adalah suatu proses pembelajaran tentang adopsi spritual
pembelajaran dari pencerahan-pencerahan batin yang pernah dilakukan para nabi
terhadap manusia di zaman dahulu.
Pada dasarnya pendidikan saat ini mengabaikan idealisme yang mencerminkan
proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan. Pendidikan yang berwawasan
kemanusiaan harus memandang manusia menjadi subjek pendidikan. Proses
pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada
akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah
dimuka bumi ini. Pendidikan yang lepas dari dasar-dasar inilah akhirnya
memunculkan tatacara hidup yang tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan.
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
Islam.5 Tanpa mengabaikan beberapa konsep pendidikan Islam yang terformulasi
dalam definisi yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam, Khoiron Rosyadi
dalam bukunya Pendidikan Profetik juga berpendapat bahwa melihat pendidikan
Islam itu suatu ikhtiar menanamkan nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari
landasan organik (Al-Qu’an dan Al-Sunnah) yang sebagai tujuan akhirnya adalah
manusia taqwa.6
Distingsi antara Manajemen Pendidikan Profetik Dengan Manajemen
Pendidikan
Awal mulanya, tema manajemen hanya popular dalam dunia perusahaan
dan bisnis, kemudian digunakan dalam profesi lainnya. Manajemen sebagai ilmu
4 Al-Qur’an., 3., 110. Lihat: Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi,
dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 87.
5 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-
Ma‟arif,1962) 1.23.
6 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 303.
17
yang baru dikenal pada pertengahan abad ke 19, dewasa ini sangat populer,
bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelola sekolah atau lembaga
pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan islam. Bahkan ada yang
menganggap manajemen pendidikan Islam sebagai suatu “ciri” dari lembaga
pendidikan modern, karena dengan adanya manajeman pendidikan Islam maka
lembaga pendidikan Islam diharapkan akan berkembang dan berhasil.
Secara sederhana alur keilmuan manajemen pendidikan Islam adalah
bermula dari ilmu manajemen yang kemudian di adaptasi oleh ilmu manajemen
pendidikan dan kemudian di adaptasi oleh kalangan muslim menjadi ilmu
manajemen pendidikan islam. Meskipun seolah Islam “mengekor” ilmu
manajemen yang notabene “kebarat-baratan” tetapi Islam memiliki sikap selektif
terhadap suatu kebudayaan baru. Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa
ilmu manajemen pendidikan Islam hanyalah adaptasi dari ilmu manajemen
pendidikan. Saya tidak sependapat dengan hal itu karena menskipun ilu
manajemen pendidikan Islam lahir belakangan dan memang sedikit banyak
mengambi prinsip keilmuan manajemen pendidikan tetapi jelas melalui sikap
selektif yang ketat sehingga sesuai degan ajaran dan nilai-nilai Islam. Sebenarnya
tidak sedikit juga ulama dan cendekiawan muslim yang telah meletakkan dasar-
dasar manajemen, tetapi masih berserrakan dan belum menjadi satu keilmuan
yang padu dan utuh.
Manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan
yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang
tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien.7 Sementara itu manajemen
pendidikan Islam diartikan sebagai suatu proses penataan atau pengelolaan
lembaga pendidikan Islam yang melibatkan sumber daya musilm dan non manusia
dalam menggerakkannnya untuk mencapai tujuan pendidika islam secara efektif
dan efisien.8
Sementara itu Mujamil Qomar mengartikan sebagai suatu proses
pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami dengan cara menyiasati
7 Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam (Surabaya: elKAF, 2006), 13. 8 Ibid., 14.
18
sumber-sumber balajar dan hal-hal lain yang terkait untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam secara efektif dan efisien.9 Manajemen harus mengutamakan
pengelolaan secara Islami, sebab disinilah yang membedakan antara manajemen
Islam dengan menejemen umum.
Beberapa perbedaan antara manajemen pendidikan Islam dengan
manajemen pendidikan:10
1. MPI. (a) Sasaran: Lembaga pendidikan Islam. (b) Sifat: Inklusif dan
eksklusif. (c) Tujuan: Proses pendidikan berjalan sesuai dengan prinsip
pendidikan yang Islami, sesuai dengan nilai-nilai Islam, berjala efektif dan
efisien sesuai dengan rumusan dan pandangan pendidikan Islam. (d) Sumber
keilmuan: Teks-teks wahyu, baik al-Qur’an maupun hadits sahih sebagai
pengendali bangunan rumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan
Islam; Aqwal (perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama, cendekiawan
muslim sebagai pijakan logis argumentative dalam menjelaskan kaidah-
kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam; Perkembangan lembaga
pendidika islam sebagai pijakan empiris dalam mendasari perumusan kaidah-
kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam; Kultur komunitas (pimpinan
dan pegawai) dalam lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam
merumuskan kemungkinan strategi yang khas dalam mengelola lembaga
pendidikan Islam; Ketentuan kaidah- kaidah manajemen pendidikan sebagai
pijakan teoritis dalam mengelola lembaga pendidikan Isalm, dengan tetap
melkukan kritik jika terdapat ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang
tidak relevan supaya sesuai dengan kondisi budaya yang terjadi dalam
lembaga pendidikan Islam.
2. MPU. (a) Sasaran: Lembaga pendidikan umum dan bisa diterapkan di
lembaga pendidikan Islam; Inklusif; Proses pendidikan berjalan sesuai
dengan prinsip umum pendidikan, sesuai dengan kultur dan budaya sekolah
yang bersangkutan; Sumber keilmuan
9 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2008), 10. 10 Ibid., 37.
19
Prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Profetik
Prinsip efisiensi dan efektivitas. Efisiensi dan efektivitas merupakan bagian
dari prinsip-prinsip manajemen. Titik tolak pelaksanaan manajemen dalam
organisasi memanfaatkan semua sumber, tenaga, dana, dan fasilitas yang ada
secara efisien. Fungsi-fungsi manajemen dioperasionalisasikan dengan
mempertimbangkan sarana dan prasarana yang seirama dengan keadaan dan
kemapuan organisasi, artinya dengan menghemat biaya dan memperpendek waktu
pelaksaan kegiatan, tetapi hasil yang diperoleh tetap optimal.11
Prinsip pengelolaan. Manajer yang baik adalah manajer yang bekerja
dengan langkah-langkah manajemen yang fungsional, yaitu merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol. Dengan demikian, target yang
dituju dengan mudah dapat dicapai dengan baik. Perencanaan yang dilakukan
berpijak pada visi dan misi yang jelas sehingga program-program yang
dijadwalkan dibuat secara hierarkis atau sistematis dan mendahulukan skala
prioritas sebagaimana mengatur dan menjadwalnya program jangka panjang,
jangka menengah, dan jangka pendek. Program jangka pendek dilaksanakan
sekaligus sebagai awal dari program jangka menengah, sedangkan pelaksanaan
program jangka menengah dilaksanakan sebagai awal menuju program jangka
panjang. Dengan demikian, semua pelaksanaan program terdapat saling
memengaruhi dan menunjang dalam mencapai target.12
Prinsip pengutamaan tugas pengelolaan. Manajer adalah orang yang
bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan organisasi, baik secara internal
maupun eksternal. Internal artinya melaksanakan proses pengadministrasian
semua aktivitas organisasi yang merupakan tugas utama manajer, sedangkan
eksternal adalah pelayanan manajerial terhadap semua kepentingan public yang
berkaitan dengan aktivitas manajemen di luar kelembagaan.13
Prinsip kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang tidak menyalahkan bawahan, melainkan mengingatkan dan menyarankan,
11 Hikmat, Manajemen Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 41. 12 Ibid., 42 13 Ibid., 43.
20
demikian pula bawahan yang baik tidak pernah menggugat dan gusar kepada
atasan, melainkan meluruskan dan menyadarkan sepanjang masih dalam konteks
profesionalitas yang ada di atas aturan yang disepakati.
Prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama didasarkan pada pengorganisasian
dalam manajemen. Semua tugas dan kewajiban manajer tidak diborong oleh satu
orang, melainkan dikerjakan menurut keahlian dan tugasnya masing-masing.
Dengan demikian, beban kerjanya tidak menumpuk di satu tempat, sedangkan
ditempat lain tidak ada yang harus dikerjakan. Pembagian tugas, wewenang, dan
tanggung jawab seharusnya dipolarisasi berdasarkan prinsip profesionalitas
sehingga kerja sama yang dibangun tidak berbelit-belit. Kerja sama diantara
karyawan berjalan sinergis dan mempermudah pelaksanaan tugas organisasi.14
Kemudian Fayol mengemukakan sejumlah prinsip dasar manajemen,
yaitu: pembagian kerja, kejelasan wewenang dan tanggung jawab, disiplin,
kesatuan komando, kesatuan arah, lebih memprioritaskan kepentingan
umum/organisasi daripada kepentingan pribadi, pemberian kontra persepsi,
sentralisasi, rantai skalar, tertib, pemerataan, stabilitas dalam menjabat, inisiatif,
dan semangat kelompok.15
Douglas sebagaimana yang dikutip Nanang Fatah merumuskan prinsip-
prinsip manajemen pendidikan sebagai berikut: (a) Memprioritaskan tujuan di atas
kepentingan pribadi dan kepentingan mekanisme kerja; (b) Mengkoordinasi
wewenang dan tanggung jawab; (c) Memberikan tanggung jawab pada personil
sekolah hendaknya sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuannya; (d) Mengenal
secara baik faktor-faktor psikologis manusia; (e) Relativitas nilai-nilai.16
Karakteristik Manajemen Pendidikan Profetik
Manajemen pendidikan islam memiliki obyek bahasan yang cukup
kompleks.17
Berbagai objek bahasan tersebut dapat dijadikan bahan yang
14 Ibid., 43-44. 15 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009), 12. 16 Engkoswari dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2010),
91. 17 Mujamil Qomar, Manajemen…,15
21
kemudian diintegrasikan untuk mewujudkan manajemen pendidikan Islam yang
berciri khas Islam.
Manajemen pendidikan Islam merupakan manajemen kelembagaan Islam
yang bertujuan untuk menunjang perkembangan dan penyelenggaraan pengajaran
dan pembelajaran.18
Dengan demikian manajemen pendidikan Islam berkaitan erat
dengan penerapan jasil berfikir rasional untuk mengorganisasikan kegiatan yang
menunjang pembelajaran. Kegiatan-kegiatan pembelajaran perlu direncanakan
dan dikelola dengan sebaik-baiknya dan seefektif mungkin.
Secara umum manajemen dapat diidentifikasikan sebagai kemampuan atas
ketrampilan memperoleh sesuatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui
kegiatan-kegiatan orang lain. Dan orang yang mengatur tatalaksana kegiatan
orang-orang yang terlibat dalam pencapaian tujuan itu disebut manager. Adapun
secara khusus dalam dunia pendidikan, manajemen diartikan sebagai memadukan
sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tuuan
pendudukan yang telah ditentukan sebelumnya.
Sistem manajemen dalam pendidikan Islam merupakan proses yang
koordinatif, sistematik, dan integratif. Proses itu dimulai dari perencanaan.
Pengorganisasian, penggerakan, sampai pada pengawasan yang semuanya selalu
didasari oleh nilai-nilai Islam agar system tersebut dapat sekaligus mempunyai
nilai-nilai yang material dan sprituil
Menurut Sulistyorini bahwa manajemen pendidikan Islam adalah suatu
proses penataan/pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang melibatkan
sumberdaya manusia muslim dan non manusia dalam menggerakkannya untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.19
Sementara itu
Mujamil Qomar mengartikan sebagai suatu proses pengelolaan lembaga
pendidikan Islam secara Islami dengan cara menyiasati sumber-sumber balajar
dan hal-hal lain yang terkait untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara
efektif dan efisien.20
Manajemen harus mengutamakan pengelolaan secara Islami,
sebab disinilah yang membedakan antara manajemen Islam dengan menejemen
umum.
18 Sulistyorini, Manajemen…, 34 19 Ibid., 14. 20 Qomar, Manajemen…, 10.
22
Islam, sebagai dasar manajemen sebenarnya telah menerangkan kaidah-
kaidah manajemen melaui al-Qur’an dan al-Hadits serta pemikiran ulama-ulama
yang berkaitan dengan pendidikan. Hanya saja keilmuan akan manajemen
pendidikan Islam masih baru di kalangan umat islam sendiri, khususnya di dunia
pendidikan islam di Indonesia.
Pendidikan dalam Islam sebenarnya berumur sama tuanya dengan islam itu
sendiri. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi saw sangat erat berhubungan
dengan dunia pendidikan dimana umat Islam diperintah untuk membaca, membaa
ayat-ayat Allah dimuka bumi, al-Qur’an khususnya. Rumah al-Arqam adalah
sebagai tempat pendidikan yang pertama dalam Islam. Rumah yang sederhana itu
menjadi tempat untuk menggebleng beberapa sahabat Nabi yag pertama (awwal
al-muslimin) yang nantinya membawa kejayaan yang sangat besar bagi dunia
islam dan bahkan mampu merubah tatanan dunia yang saat itu berada dalam alam
kejahiliyahan.
Di tempat itu Rasulullah saw menjadi guru pertama bagi kedua belas murid
pertamanya. Selama 3 tahun beliau melakukan pendidikan semacam ini dengan
sembunyi karena keadaan belum memungkinkan untuk melakukan dakwah secara
terang-terangan. Disimpulkan bahwa di rumah al-Arqam inilah, kegiatan
pendidikan islam yang pertama kali.
Setelah Islam berkembang dan mampu melakukan dakwah secara terang-
terangan, Rasulullah saw justru mendapat tekanan yang luar biasa dari kaum kafir
Qurays. Karena itulah ada perintah untuk berhijrah ke sebuah kota yang bernama
Yastrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinatul Munawaroh. Disanalah
Rasulullah saw mendirikan lembaga pendidikan Islam yang pertama yaitu
pendidikan yang berlangsung di dalam Masjid. Masjid selain sebagai tempat
beribadah juga digunakan sebagai tempat pengajaran dan penggemblengan kaum
muslimin. Memang saat itu pendidikan masih berlangsung sangat sederhana,
tetapi berjalan sangat baik dan menghasilkan orang-orang yang berperan besar
bagi paradaban dunia. Rasulullah saw sebagai manager pendidikan benar-benar
mampu melaksanakan pendidikan dengan baik.
Sementara itu, pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarah yang
panjang, bahkan sejak pertama muncul sebagai agama pendatang, Islam sudah
23
membawa prinsip pendidikan yang berbentuk pesantren klasik. Syeh Maulana
Malik Ibrahim sebagai penyebar dan pembuka jalan masuknya Islam di tanah
Jawa telah membentuk sebuah tempat pendidikan berupa pesantren. Memang
sistem pendidikan pesantren yang dijalankan syeh Maulana Ibrahim ini masih
belum jelas dan dianggap masih spekulatif dan diragukan, namun yang pasti
adanya sebuah pendidikan Islam yang muncul seiring dengan datangnya islam di
tanah Nusantara.
Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya
ada pendapat yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak
dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedang Imam Rahmatullah
(Raden Rahmat atau Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur.
Jika benar pesantren telah dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim
sebagai penyebar Islam pertama di tanah Jawa maka isa diahami apabila para
peneliti sejarah dengan cepat mengambil kesimpula bahwa pesantren adalah suatu
model pendidikan yang sama tuanya dengan islam di Indonesia.21
Karena
pesantren adalah sebuah isntitusi pendidikan, maka sesungguhnya di dalamnya
adalah sebuah lembaga pendidikan, meskipun sangat bersifat sederhana.
Islam, menurut Mujamil Qomar dapat dimaknai sebagai Islam wahyu dan
Islam budaya. Isalm wahyu meliputi al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadis
Nabawi maupun hadis Qudsi.22
Sementara itu, Islam budaya meliputi ungkapan
sahabat Nabi, pemhaman ulama, pemahaman cendekiawan Muslim dan budaya
umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas manajemen pendidikan ini
dimaksudkan dapat mencangkup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam
budaya.
Karena itu, pembahasan dalam manajemen melibatkan wahyu dan budaya
kaum muslimin ditambah dengan kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara
umum. Bahan-bahan keilmuan dalam manajemen pendidikan profetik meliputi:
(a) Teks-teks wahyu, baik al-Qur’an maupun hadits sahih sebagai pengendali
bangunan rumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam; (b) Aqwal
(perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama, cendekiawan muslim sebagai
21 Mujamil Qomar, Pesantren, dari Transformasi Metodologi menuju Demokrasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga, 2007), 19. 22 Qomar, Manajemen…, 15.
24
pijakan logis argumentative dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam; (c) Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan
empiris dalam mendasari perumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam; (d) Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam lembaga
pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam merumuskan kemungkinan
strategi yang khas dalam mengelola lembaga pendidikan Islam; (e) Ketentuan
kaidah- kaidah manajemen pendidikan sebagai pijakan teoritis dalam mengelola
lembaga pendidikan Islam, dengan tetap melkukan kritik jika terdapat ketentuan-
ketentuan atau prinsip-prinsip yang tidak relevan supaya sesuai dengan kondisi
budaya yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam.23
Mekanisme ini mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan pun,
Islam melalui wahyu hadir untuk memberikan inspirasi-kreatif dalam membangun
konsep ilmiah. Tetapi juga harus ada sikap adaptif-selektif terhadap kaidah-kaidah
manajemen pendidikan yang terdapat dalam berbagai literature dan dipengaruhi
oleh pemikiran dan pendapat dari orang-orng barat. Sikap adaptif ini didasarkan
pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-kaidah manajemen pendidikan itu
bersifat general dan bias diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.
Tetapi mungkin ada kaidah tertentiu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
kulktur Islam, karena itu perlu adanya sikap selektif.
Dari hal di atas dapat ditarik satu benang merah karakteristik manajemen
pendidikan Islam yaitu Islam itu sendiri, baik Islam yang berbentuk wahyu
maupun budaya. Islam itulah yang menjadi warna dasar (corak) dari manajemen
pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang berlangsung sejak jaman Rasulullah saw
dan kedudukan beliau sebagai guru pertama adalah bentuk dasar dari pendidikan
Islam yang bertemakan religiusitas yang bertujuan kepada pendidikan tauhid. Di
Indonesia, pesantren adalah model pendidikan Islam yang sudah melembaga dan
melalui mekanisme manajemen.
Sistem manajemen dalam pendidikan Islam merupakan proses yang
koordinatif, sistematik, dan integratif. Proses itu dimulai dari perencanaan.
Pengorganisasian, penggerakan, sampai pada pengawasan yang semuanya selalu
23 Ibid., 37.
25
didasari oleh nilai-nilai Islam agar system tersebut dapat sekaligus mempunyai
nilai-nilai yang material dan sprituil.
Prinsip manajemen pendidikan islam baik secara implisit maupun eksplisit
dapat ditemukan dalam sebuah hadits, dimana hadists tersebut menekankan betapa
besarnya tanggung jawab seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan inti
dalam Sebuah manajemen organisasi. Karena itu secara secara implisit hadits
Rasulullah saw tersebut juga berkaitan dengan masalah manajemen pendidikan.
Sebab, lembaga pendidikan Islam tidak akan dapat berjalan tanpa adanya
kepemimpinan yang mencerminkan manager.
Selanjutnya, penerapan manajemen pendidikan profetik dalam pengelolaan
lembaga pendidikan juga menghadapi berbagai kendala/hambatan, baik yang
bersifat politis, ekonomik-finansial, intelektual, maupun dakwah. Hambatan-
hambatan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
1. Ideologi, politik, dan tekanan (pressure) kelompok-kelompok kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus negeri,
acap kali terjadi pertentangan ideologi antarorganisasi sosial keagamaan
utamanya, misalnya antara Muhammadiyah dan NU, atau antarorganisasi
kemahasiswaan, terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau
IMM dengan PMII. Lantaran pertentangan-pertentangan ini, akhirnya politik
kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan dengan memberikan
tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya
Umar, pernah mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN,
IAIN, maupun STAIN di seluruh Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya
menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa di
kalangan PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru
civitas politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa
politik di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan karyawan sangat dominan,
mengalahkan nuansa akademik. Oleh karenanya, kegiatan di lingkungan
26
kampus lebih mengarah pada gerakan-gerakan politik daripada pemberdayaan
intelektual.24
Dengan demikian, menguatnya ideologi dari organisasi menyebabkan
kecenderungan ini memasuki wilayah pendidikan. Alhasil, proses pendidikan
yang semestinya diniatkan untuk membangun sumber daya manusia peserta
didik agar pandai, berakhlak, dan terampil pada akhirnya justru bergeser
karena mereka dibentuk untuk menjadi anak-anak yang militant dan fanatik
dalam mengikuti organisasi sosial keagamaan. Kasus ini telah melenceng
jauh dari substansi misi pendidikan Islam.
Berbagai kasus ideologi, politik, organisasi, dan tekanan-tekanan kelompok
kepentingan tersebut sangat mewarnai lembaga pendidikan Islam negeri
sehingga membuat lembaga pendidikan Islam negeri berbeda dengan lembaga
pendidikan umum. Jika dilihat dari segi problem dan konsekuensinya,
dibutuhkan strategi khusus untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.25
2. Kondisi sosio-ekonomik masyarakat dan animo-finansial lembaga
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata berada dalam
kategori kelas menengah ke bawah. Ekonomi orangtua siswa lemah. Ini
merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu
kemajuan yang signifikan.
Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan pendapatan keuangan
pada lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan
lembaga pendidikan Islam swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP,
sumbangan uang gedung, dan iuran lainnya yang kesemuanya berasal dari
orangtua siswa atau mahasiswa. Ketergantungan sumber keuangan yang
hanya berasal dari siswa atau mahasiswa ini tergolong sumber keuangan yang
lemah sekali. Sebab, mestinya sebuah lembaga pendidikan didukung sumber
dana yang lebih kuat, misalnya donator tetap, pengusaha, pengembangan
bisnis, dan lain-lain.
3. Komposisi status kelembagaan dan diskriminasi kebijakan pemerintah
24 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Malang: PT. Gelora Aksara Pratama,
2007), 17-18. 25 Ibid., 18-20.
27
Diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam
ternyata bukan hanya terjadi pada lembaga pendidikan Islam swasta, tetapi
juga pada lembaga pendidikan Islam negeri. Pada zaman Orde Baru,
anggaran untuk empat belas IAIN di seluruh Indonesia sama dengan anggaran
satu IKIP Negeri. Sekarang, zaman sudah berganti menjadi Orde Reformasi,
tetapi saying kebijakan pemerintah tentang anggaran keseimbangan itu belum
juga tereformasi. Anggaran untuk lembaga pendidikan Islam masih tetap jauh
di bawah lembaga pendidikan umum, meskipun ada sedikit peningkatan. Hal
ini berdampak negatif pada seluruh komponen lembaga pendidikan Islam,
baik pada guru/dosen, siswa/mahasiswa, maupun fasilitas yang dibutuhkan
untuk memajukan lembaga pendidikan Islam.
4. Keadaan potensi intelektual siswa/mahasiswa
Di samping secara ekonomi siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan
Islam berada dalam kategori kelas menengah ke bawah, secara intelektual,
potensi mereka juga lemah. Rata-rata siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai
lembaga pendidikan Islam karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga
pendidikan umum yang maju dan terutama berstatus negeri. Sebagian dari
mereka yang telah gagal masuk di lembaga pendidikan umum negeri
kemudian memilih lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian, lembaga
pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa/mahasiswa yang gagal
masuk lembaga pendidikan umum negeri.26
5. Keberadaan motif dakwah pada pendidirian lembaga pendidikan Islam
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah,
berawal dari inisiatif tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung oleh
masyarakat sekitar. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut dengan
motif dakwah, upaya sosialisasi, dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke
tengah-tengah masyarakat.
Dengan adanya motif dakwah tersebut, timbullah konsekuensi-konsekuensi
yang menjadi akibat. Misalnya, lembaga tersebut didirikan asal-asalan dan
tanpa melalui perencanaan matang untuk memenuhi berbagai komponen
pendukungnya. Layaknya gerakan dakwah yang senantiasa berangkat dari
26 Ibid., 24.
28
bawah, dengan menggunakan pendekatan pahala dan konsep lillahi ta’ala
sehingga terkadang mengabaikan kesejahteraan pegawai dan menerima
semua pendaftar tanpa seleksi.27
Berdasarkan lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik manajemen
pendidikan Islam bersifat holistik, artinya strategi pengelolaan manajemen
pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan
mepertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak
politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis.
SIMPULAN
Karakteristik manajemen pendidikan Islam bersifat holistik, artinya strategi
pengelolaan manajemen pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-
sumber belajar dan mepertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik
budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis.
Berdasarkan contoh-contoh ayat al-Qur’an, hadits Nabi, maupun perkataan
sahabat Nabi, prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam, yaitu adanya
perencanaan, pengorganisasian, seorang manajer/pengelola lembaga pendidikan
Islam harus amanah dan professional, pemberian penghargaan kepada pegawai
yang berprestasi, adanya mediator/penengah setiap ada konflik dalam organisasi,
dan prinsip dasar yang terakhir seorang manajer harus konsisten dalam setiap
perkataan dan tindakannya.
27 Ibid., 27.
29
DAFTAR RUJUKAN
Budiyanto., Dwi, Prophetic Learning.Yogyakarta: Pro-U Media, 2009. Engkoswari dan Komariah., Aan. Administrasi Pendidikan. Bandung: CV
Alfabeta, 2010.
Fattah., Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Fauzi., Imron. Manajemen Pendidikan Islam Ala Rasulullah. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012.
Hikmat. Manajemen Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Jalal & Supriyadi. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Marimba., Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al-
Ma‟arif,1962.
Qomar., Mujammil. Pesantren, dari Transformasi Metodologi menuju Demokrasi
Institusi, Jakarta: Erlangga, 2007.
Qomar., Mujammil. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2008
Qomar., Mujammil. Manajemen Pendidikan Islam. Malang: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2007.
Rosyadi,, Khoiron. Pendidikan Profetik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya: elKAF, 2006.