KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

14
99 Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2 ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992 Juli 2017 KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS TERDEGRADASI DI KALIMANTAN TENGAH The disturbance characteristic of Degraded Tropical Peat Swamp Forest in Central Kalimantan Dony Rachmanadi 1,2 , Eny Faridah 1 , Sumardi 1 , dan Peter van der Meer 3 1) Universitas Gadjah Mada; 2) Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru; 3) Van Hall Larenstein University Jl. A Yani km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan ABSTRACT. Peat swamp forest concessions and managements in Central Kalimantan have caused forest degradation resulting in the occurrence of forest fragmentation. The efforts on ecosystem restoration should be made based on the characteristics of fragmented peat swamp forest. This study aimed to find out the characteristics of degraded peat swamp forest assessed from the indicators of tree species diversity, community structure, and species dominance as well as their relationships with environmental conditions in various situations of fragmentation. The diversity of tree species tends to decrease following disturbance gradient, where the lowest was found near the edge. The community structure of the forest edge was dominated by small stand (diameter class of 6-10 cm) and dominated by Combretocarpus rotundatus of 60%. This condition was affected by environmental factors (67,2% - 71,8%): competition, site condition, microclimate and inundation. Keywords: disturbance characteristics; peat swamp forests; diversity; environmental factors ABSTRAK.Pengusahaan dan pengelolaan hutan rawa gambut selama ini di Kalimantan Tengah ternyata menyebabkan kerusakan yang menyebabkan hutan rawa gambut terfragmentasi. Usaha perbaikan ekosistem tersebut harus berdasarkan pada karakteristik dari ekosistem hutan rawa gambut yang terfragmentasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik hutan rawa gambut terdegradasi yang terdiri dari indikator keanekaragaman jenis pohon, struktur komunitas, dan dominansi jenis serta hubungannya dengan kondisi lingkungan yang dilihat pada berbagai kondisi fragmentasi. Keanekaragaman jenis pohon semakin jauh dari hutan semakin rendah begitu juga dengan jumlah jenis dan kerapatan vegetasinya. Struktur komunitas pada bagian tepi hutan didominasi oleh tegakan berukuran kecil (kelas diameter 6-10cm) dan dominansi jenisnya hanya terpusat pada sedikit jenis dimana jenis Combretocarpus rotundatus mencapai 60%. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan (67,2% - 71,8%) yaitu kompetisi dan kondisi lahan serta iklim mikro dan tinggi muka air tanah (genangan). Kata Kunci : karakteristik kerusakan; hutan rawa gambut; keanekaragaman; faktor lingkungan Penulis untuk korespondesi, surel : [email protected]

Transcript of KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

Page 1: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

99

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2 ISSN 2337-7771E-ISSN 2337-7992

Juli 2017

KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS TERDEGRADASI DI KALIMANTAN TENGAH

The disturbance characteristic of Degraded Tropical Peat Swamp Forest in Central Kalimantan

Dony Rachmanadi1,2, Eny Faridah1, Sumardi1, dan Peter van der Meer3 1) Universitas Gadjah Mada; 2) Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru;

3) Van Hall Larenstein University Jl. A Yani km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

ABSTRACT. Peat swamp forest concessions and managements in Central Kalimantan have caused forest degradation resulting in the occurrence of forest fragmentation. The efforts on ecosystem restoration should be made based on the characteristics of fragmented peat swamp forest. This study aimed to find out the characteristics of degraded peat swamp forest assessed from the indicators of tree species diversity, community structure, and species dominance as well as their relationships with environmental conditions in various situations of fragmentation. The diversity of tree species tends to decrease following disturbance gradient, where the lowest was found near the edge. The community structure of the forest edge was dominated by small stand (diameter class of 6-10 cm) and dominated by Combretocarpus rotundatus of 60%. This condition was affected by environmental factors (67,2% - 71,8%): competition, site condition, microclimate and inundation.

Keywords: disturbance characteristics; peat swamp forests; diversity; environmental factors

ABSTRAK.Pengusahaan dan pengelolaan hutan rawa gambut selama ini di Kalimantan Tengah ternyata menyebabkan kerusakan yang menyebabkan hutan rawa gambut terfragmentasi. Usaha perbaikan ekosistem tersebut harus berdasarkan pada karakteristik dari ekosistem hutan rawa gambut yang terfragmentasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik hutan rawa gambut terdegradasi yang terdiri dari indikator keanekaragaman jenis pohon, struktur komunitas, dan dominansi jenis serta hubungannya dengan kondisi lingkungan yang dilihat pada berbagai kondisi fragmentasi. Keanekaragaman jenis pohon semakin jauh dari hutan semakin rendah begitu juga dengan jumlah jenis dan kerapatan vegetasinya. Struktur komunitas pada bagian tepi hutan didominasi oleh tegakan berukuran kecil (kelas diameter 6-10cm) dan dominansi jenisnya hanya terpusat pada sedikit jenis dimana jenis Combretocarpus rotundatus mencapai 60%. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan (67,2% - 71,8%) yaitu kompetisi dan kondisi lahan serta iklim mikro dan tinggi muka air tanah (genangan).

Kata Kunci : karakteristik kerusakan; hutan rawa gambut; keanekaragaman; faktor lingkungan

Penulis untuk korespondesi, surel : [email protected]

Page 2: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

100

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

tersebut dapat dilihat dari indikator-indikator yang terdiri dari keanekaragaman jenis (diversity), struktur komunitas, dan dominansi jenis (Kimmins, 1997). Karakteristik yang terbentuk tersebut dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ekosistem hutan, baik kondisi iklim mikro maupun kondisi tanahnya. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami karakteristik ekosistem hutan rawa gambut yang telah rusak dan faktor-faktor lingkungan utama yang mempengaruhinya. Pemahaman yang mendalam mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi tersebut dapat menjadi dasar dalam usaha perbaikan ekosistem hutan yang telah rusak.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus/KHDTK Tumbang Nusa (Tumbang Nusa forest) yang berlokasi di desa Tumbang Nusa, Jabiren Raya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ketinggian tempat kawasan ini adalah 0-5 m dpl, dengan kelerengan 0%-18% (datar). Kawasan ini terletak antara sungai Sebangau dan Kahayan. Memiliki iklim tropis dengan suhu minimum 21-33oC dan maksimum 36 oC. Curah hujan rata-rata antara 2.000-3.000 mm/th. Tanahnya didominasi ordo histosol dengan kandungan C-organik lebih dari 18% (48.07%). Tanah ordo ini sangat miskin hara dan pH kurang dari 4. Ketebalan tanah gambut berkisar antara 3-7 m dengan tingkat kematangan hemik (kandungan serat 33-36%) dan memiliki nilai bulk density yang sangat rendah yaitu 0.04-0.16 (Santosa et al., 2004).

Karakteristik hutan rawa gambut terdegradasi akan dilihat dari keanekaragaman vegetasi, kesamaan komunitas, struktur komunitas, sebaran kelas diameter dan dominansi jenis pohon. Faktor lingkungan yang diamati terdiri dari bukaan tajuk, intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, suhu tanah, keadaan tanah, tinggi muka air tanah, dan biomassa tumbuhan bawah. Pengukuran faktor lingkungan ini dilakukan pada musim kemarau dan musim penghujan. Pengamatan kondisi lingkungan dan kondisi tanah dilakukan melalui pengukuran pada 5 titik dalam setiap plot pengamatan. Sampel tanah dikomposit untuk analisis laboratorium, adapun

PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah mulai diusahakan dengan mekanisme hak pengusahaan hutan sekitar tahun 70-an. Tahun 1996 dengan maksud untuk menjamin swasembada pangan, pemerintah membuka hutan rawa gambut untuk area persawahan seluas lebih kurang 1 juta hektar yang dikenal dengan proyek pembukaan lahan gambut 1 juta ha. Kebijakan tersebut ternyata berdampak pada kerusakan yang luas karena terjadinya perubahan hidrologi hutan rawa gambut akibat pembangunan drainase yang sangat masif sehingga lahan gambut menjadi sangat rentan terhadap kebakaran (Wosten et al., 2008). Kerusakan yang terjadi berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi tanah, meningkatnya ketidakseimbangan hidrologi dan pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya air yang tersedia di kawasan tersebut, perubahan siklus karbon dan pemanasan global (Hooijer et al., 2010).

Mempelajari karakteristik hutan rawa gambut yang telah terganggu akan menjadi dasar untuk mengelola hutan rawa gambut agar dapat dipulihkan, dan salah satu yang utama adalah mempelajari keanekaragaman vegetasinya. Memahami keanekaragaman dapat dilakukan melalui pengklasifikasian vegetasi dan hal tersebut merupakan indikator yang kuat untuk mencerminkan kondisi lingkungan (Shimamura et al., 2006). Kondisi vegetasi di hutan rawa gambut telah banyak dipelajari seperti yang dilakukan Anderson (1961) di Serawak dan Brunei, Page et al., (1999) di Sumatera dan Kalimantan, Simbolon (2008) dan Mirmanto (2010) di Kalimantan Tengah dan Van Eijk et al. (2009) di Taman Nasional Berbak, Jambi, Sumatera.

Kerusakan semua bentuk ekosistem termasuk ekosistem hutan rawa gambut akan membentuk gradasi pada ekosistem tersebut (Ordonez et al., 2014). Pemulihan ekosistem akan mengikuti gradasi yang terjadi sehingga mencapai pada ekosistem klimaks. Untuk dapat merumuskan proses perbaikan ekosistem yang telah rusak ini diperlukan data dan informasi mengenai kondisi ekosistem hutan tersebut atau bagaimana gambaran karakteristik ekosistem hutan yang telah rusak tadi. Karakteristik

Page 3: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

101

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

yang diamati terdiri dari: pH H2O, N total, P total, K total, kematangan gambut/kadar serat, C organik dan kapasitas tukar kation. Pengukuran bukaan tajuk menggunakan kamera foto dengan lensa fish-eye dan diolah menggunakan software Can-Eye. Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux-meter.

Variabel tersebut dikumpulkan dari plot pengamatan yang dibuat. Plot pengamatan berukuran 20m x 20m (Graham 2012) diletakkan dalam jalur/ transek yang dimulai dari hutan (interior forest) menuju area terbuka (edge forest) sepanjang 600m, dengan jarak antar plot 100m. Transek yang dibuat berjumlah 6 transek dengan jarak antar transek 200m, sehingga secara keseluruhan terdapat 36 plot observasi. Adapun penamaan plot observasi adalah sebagai berikut: 250m ke dalam hutan (interior forest-IntF), 150m ke dalam hutan (near the interior-NtInt), 50m ke dalam hutan (mid to interior-MtoInt), 50m ke tepi hutan (mid to edge-MtoEd), 150m ke tepi hutan (near the edge-NtEd), dan 250m ke tepi hutan (edge forest-EdF).

Vegetasi yang ada diukur pada semua tingkat pertumbuhan: pohon, tiang, pancang dan semai; dan juga pengamatan pada tumbuhan bawah yang terdiri dari jenis, jumlah individu, tinggi dan untuk tingkat pohon dan tiang juga diukur diameternya. Setiap jenis yang belum dikenal akan dikumpulkan contoh herbariumnya untuk dilakukan identifikasi jenis. Pohon adalah vegetasi berkayu yang memiliki diameter lebih dari 10 cm, tiang adalah vegetasi yang memiliki diameter antara 5 – 10 cm, pancang adalah vegetasi berkayu yang memiliki tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 5 cm dan semai adalah vegetasi berkayu yang memiliki tinggi kurang 1,5 m (diadaptasi dari Page et al. 1999). Plot pengamatan

20 m x 20 m digunakan untuk pengamatan vegetasi tingkat pohon, 10 m x 10m untuk tingkat tiang, pengamatan vegetasi tingkat pancang pada plot berukuran 5 m x 5 m dan untuk pengamatan vegetasi tingkat semai pada plot berukuran 2 m x 2 m. Pengamatan tumbuhan bawah menggunakan plot berukuran 1 m x 1 m yang diletakkan di sudut plot secara diagonal (Barat-Timur).

Keanekaragaman vegetasi dihitung menggunakan indeks Shannon dan Wiener (Krebs 1978). Indeks kesamaan komunitas dihitung berdasarkan rumus Odum (1993). Perbedaan dari nilai keanekaragaman, jumlah jenis, kelimpaham tingkat vegetasi dan biomasa dari tumbuhan bawah dihitung berdasarkan analisis keragaman (ANOVA). Deskripsi faktor lingkungan yang mempengaruhi tapak penelitian dilakukan dengan menggunakan software CANOCO ver 4.5 (Leps and Smilauer 2003), sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman hutan diidentifikasi mengikuti prosedur reduksi dimensi dalam analisis faktor/PCA (principle component analysis) menggunakan SPSS 20.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks keanekaragaman dapat dikelompokkan menjadi 3 kriteria, yaitu tinggi bila nilainya lebih dari 3, sedang bila nilainya antara 2 – 3, dan rendah bila nilainya kurang dari 2 (Istomo et al., 2011). Indeks keanekaragaman pada semua tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada umumya indeks keanekaragaman vegetasi pada plot penelitian tergolong rendah dengan nilai kurang dari 3, kecuali pada tingkat tiang yang cukup tinggi dengan nilai lebih dari 3 khususnya pada plot pengamatan yang ada di hutan (interior forest).

Page 4: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

102

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

sampai tinggi pada semua tingkat pertumbuhan, akan tetapi sangat berbeda dengan keanekaragaman pada bagian tepi hutan (edge forest) yang tergolong rendah. Selain itu indeks kesamaan komunitas antara bagian dalam hutan dan tepi hutan hanya berkisar antara 20%-40% bahkan pada tingkat semai memiliki komunitas yang berbeda sama sekali. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa hutan sebagai sumber inokulum bagi regenerasi hutan bisa dikatakan masih tinggi. Ketersediaan vegetasi hutan sebagai sumber inokulum ini menjadi hal penting dalam dinamika regenerasi hutan alam (Kibet, 2011). Keanekaragaman yang tinggi juga akan mendorong stabilitas kondisi tanah dengan adanya tipe perakaran yang bervariasi (Pohl et al., 2009).

Pada sisi lain, rendahnya keanekaragaman pada tepi hutan menunjukkan adanya hambatan dalam proses kolonisasi jenis. Mayer et al. (2004)

Indeks keanekaragaman tingkat semai berbeda nyata dengan nilai F=3,134 (p=0,035) dengan nilai tertinggi pada plot 150m di dalam hutan (NtInt). Pada tingkat pancang, karena asumsi normalitas tidak tercapai maka dilakukan analisis non-parametrik menggunakan tes Kruskal-Wallis dan hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,008). Keanekaragaman tingkat pancang secara umum berbeda antara dalam hutan dan tepi hutan kecuali pada plot 150m keluar hutan (NtEd). Pada tingkat tiang, indeks keanekaragaman berbeda sangat nyata dengan nilai F=7,613 (p=0,000) dengan nilai tertinggi pada bagian dalam hutan (interior forest). Sementara itu pada tingkat pohon, berdasarkan tes Kruskal-Wallis terlihat perbedaan yang sangat nyata dengan nilai p 0,000 antara bagian dalam hutan dan tepi hutan.

Pengamatan pada bagian dalam hutan (interior forest) menunjukkan keanekaragaman sedang

Gambar 1 . Indeks keanekaragaman vegetasi dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Page 5: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

103

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

menjelaskan bahwa kolonisasi merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh kondisi intensitas cahaya, kondisi tegakan di sekitarnya, dan komposisi dari biji yang tersimpan di tanah dan biji yang gugur. Tegakan yang ada di bagian dalam hutan merupakan tegakan yang tersusun atas jenis-jenis klimaks, seperti Shorea teysmanniana, Gonystylus bancanus dan Calophyllum macrocarpum. Jenis-jenis klimaks pada umumnya memiliki biji yang sifat persebarannya sangat tergantung hewan dan hanya sedikit yang bisa tumbuh dari biji yang tersimpan dalam tanah (Arévalo dan Fernández-Palacios, 2000). Berdasarkan hasil tersebut, yang menjadi permasalahan utama dalam regenerasi alam ini adalah tersedianya tapak yang aman bagi pertumbuhan biji dan bagaimana biji tersebut dapat tersebar ke bagian tepi hutan (Pickett and White, 1985). Semakin luas area yang terbuka, semakin jauh jarak dari sumber inokulum/hutan, sehingga akibatnya semakin rendah kemampuannya untuk beregenerasi secara alam. Pada kondisi ini akan diperlukan regenerasi secara buatan seperti penanaman (El-Kassaby dan Edwards, 2001).

Indeks kesamaan komunitas antar plot pengamatan memang terlihat bervariasi (Gambar 2.), tetapi secara umum terlihat bahwa semakin jauh menuju tepi hutan maka komunitasnya semakin tidak sama.

Gambar 2 Indeks kesamaan komunitas dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Bahkan, pada tingkat semai nilai indeks kesamaannya adalah 0 antara dalam hutan dan tepi hutan (IntF–EdF). Tingkat pohon sebagai sumber regenerasi hutan terlihat bahwa nilai kesamaan komunitasnya hanya sekitar 20% antara bagian dalam hutan dan tepi hutan (IntF–EdF). Hal ini menunjukkan tingginya hambatan jenis jenis pohon yang ada di dalam hutan untuk dapat tumbuh dan berkembang di bagian tepi hutan.

Keanekaragaman vegetasi merupakan akumulasi dari struktur komunitas hutan yang ditunjukkan dari nilai jumlah jenis dan jumlah individu yang ditemukan. Jumlah jenis pada setiap tingkat vegetasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 6: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

104

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

Gambar 3. Jumlah jenis dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Jumlah jenis semakin sedikit bila semakin keluar dari hutan pada semua tingkat pertumbuhan dan hasil ini berbeda nyata secara statistik. Tingkat pohon sebagai sumber regenerasi alam terlihat nilai yang sangat berbeda nyata (p=0,000). Pada bagian dalam hutan jumlah jenis berkisar antara 12-15 jenis per plot, sedangkan pada bagian tepi hutan hanya berkisar 2-4 jenis per plot. Jumlah jenis di hutan tropis pada umumnya tergolong tinggi (Whitmore, 1989). Sebagai contoh, jumlah jenis pada tingkat pohon pada hutan dataran rendah dipterokarpa berkisar antara 94–362 jenis/ha, pada hutan kerangas 121–151 jenis/ha, dan hutan rawa gambut 72–81 jenis/ha (Simbolon, 2008). Mirmanto (2010) bahkan menemukan 103 jenis di hutan rawa gambut TN. Sebangau, Kalimantan Tengah. Pada penelitian ini hanya ditemukan 64 jenis/ha. Rendahnya jumlah jenis ini dimungkinkan karena sejarah pemanfaatan lahan dan gangguan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi. Selain itu kondisi

ini sering dikaitkan dengan kondisi edafik dan lingkungan lain dalam ekosistem gambut yang ekstrim seperti keadaan asam, tergenang dan keterbatasan ketersediaan hara sehingga hanya sedikit jenis yang mampu beradaptasi.

Kerapatan individu pada setiap tingkat pertumbuhan ditampilkan pada Gambar 4. Kerapatan ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan jumlah jenis yang ditemukan yaitu kerapatan semakin rendah bila semakin jauh dari dalam hutan kecuali pada tingkat tiang yang secara statistik tidak berbeda nyata (F=0,313; p=0,900). Pada tingkat pohon ditemukan kerapatan yang rendah pada area tepi hutan yaitu rata-rata berkisar antara 100–180 pohon/ha, berbeda sangat nyata dengan kerapatan di dalam hutan yaitu rata-rata sebesar 450–620 pohon/ha (F=14,654; p=0,000).

Page 7: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

105

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

Gambar 4. Kerapatan vegetasi dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Karakteristik hutan juga dapat digambarkan dari sebaran kelas diameter. Pada kondisi hutan yang ideal, sebaran kelas diameter ini akan membentuk kurva J terbalik. Sebaran kelas diameter disajikan pada Gambar 5. Sebaran kelas diameter yang menyerupai kurva J terbalik terdapat pada area dalam hutan yaitu mulai jarak 150m ke dalam hutan. Pada area tepi hutan atau hutan yang sudah sangat terbuka terlihat sebaran kelas diameter yang tidak proporsional dengan hanya terdapat 4 kelas diameter (0-5, 6-10, 11-15, dan 16-20) dan vegetasi dengan diameter antara 16-20 cm hanya dalam

jumlah sangat sedikit.

Sebaran kelas diameter pohon di bagian tepi hutan terkonsentrasi pada kelas diameter kecil sedangkan pada bagian dalam hutan tersebar pada kelas diameter yang lebih besar. Pada bagian tepi hutan hampir 80% pohon penyusun hutan tersebut adalah pohon dengan kelas diameter terendah yaitu kelas 6-10 cm, sedangkan di bagian dalam hutan kelas diameter pohon paling rendah tersebut kurang dari 60%. Hubungan persentase total individu dengan kelas diameter batang pohon di bagian dalam hutan terlihat lebih landai daripada bagian tepi hutan (yang terlihat sangan curam). Hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya tumbuhan yang berada pada tepi hutan merupakan tumbuhan yang berukuran kecil yang tumbuh dan berkembang karena mengalami berbagai gangguan.

Gambar 5 . Sebaran kelas diameter dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Selain sebaran kelas diameter yang tidak proporsional tadi, area tepi hutan atau area yang sudah terbuka juga memiliki dominansi jenis yang hanya terpusat pada sedikit jenis. Dominansi jenis ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 8: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

106

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

Pada bagian tepi hutan, hampir semua plot didominansi oleh jenis Combretocarpus rotundatus dengan indeks nilai penting mencapai 215% pada tingkat pohon, sedangkan bagian dalam hutan didominansi oleh jenis pohon yang lebih beragam dan merata (Indeks Nilai Penting berkisar antara 25%-45%). Kondisi ini akan sangat berpengaruh pada regenerasi hutan secara alami, yaitu jenis yang paling dominan dapat memfasilitasi kehadiran jenis pada sere lanjut atau dapat juga menghambat kehadiran jenis sere selanjutnya.

Gangguan yang terjadi dalam regenerasi alami menyebabkan terpusatnya dominansi jenis hanya pada sedikit jenis khususnya pada area tepi hutan. Dominansi jenis Combretocarpus rotundatus mencapai 60%. Jenis ini dikenal sebagai jenis pioner berumur panjang (long life pioneer species) dan dapat bertahan karena dapat mengatasi berbagai hambatan lingkungan pertumbuhan. Mekanisme jenis ini dalam mengatasi hambatan lingkungan menjadi sangat menarik untuk dipelajari. Sebagaimana telah diketahui bahwa terdapat dua grup besar jenis tumbuhan di hutan tropis yang berperan dalam tahapan suksesi (Swaine dan Whitmore, 1988) yaitu jenis pionir and non-pionir. Jenis pionir umumnya menghasilkan biji berukuran relatif kecil dan dapat tersebar dengan baik sehingga dapat meningkatkan kemungkinan mencapai tapak yang aman untuk pertumbuhannya dan

mendominasi area tersebut khususnya pada area yang terbuka (Whitmore, 1989). Sebaliknya, jenis non-pionir menghasilkan biji berukuran relatif besar yang hanya disebarkan oleh hewan dan umumnya tumbuh di sekitar tajuk serta hanya sedikit yang mencapai tapak optimal karena kebanyakan bijinya dimakan oleh hewan (Hernandez-Stefanoni, 2005).

Berdasarkan semua karakteristik yang diamati terlihat perbedaan yang sangat nyata antara area dalam hutan (interior forest) dan tepi hutan (edge forest). Hal tersebut menunjukkan bahwa jarak dari hutan atau jarak dari sumber inokulum sangat berperan dalam regenerasi hutan secara alami. Perbedaan karakteristik tersebut terbentuk karena pengaruh faktor lingkungan baik faktor tanah maupun iklim mikro. Pengaruh faktor lingkungan ini dilihat dari hubungan antara keanekaragaman tingkat pohon dengan faktor lingkungan menggunakan analisis faktor. Keanekaragaman tingkat pohon sangat menentukan regenerasi hutan selanjutnya.

PCA merupakan suatu teknik statistik yang secara linear mengubah sekumpulan variabel asli menjadi kumpulan variabel yang lebih kecil yang tidak berkorelasi dan dapat menjelaskan informasi dari kumpulan variabel asli tadi (Abdurachman et al., 2014). Adapun variabel yang diamati adalah: intensitas cahaya (IntChy), suhu udara (ShUdr), Kelembaban udara (RH), suhu tanah (ShTnh),

Tabel 1. Dominansi jenis dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi Jarak Tingkat pertumbuhan

Semai Pancang Tiang PohonIntF Litsea oppositifolia (42.5) Litsea oppositifolia (29.1) Mezzetia umbellata

(22.8)Stemonourus scorpioides (25.4)

NtInt Litsea oppositifolia (44.8) Litsea oppositifolia (24.1) Litsea oppositifolia (42.3) Calophyllum hosei (31.2)

MtoInt Parastemon urophyllum (31.1)

Litsea oppositifolia (33.1) Lithocarpus dasytachys (44.2)

Shorea teysmanniana (35.4)

MtoEd Campnosperma coriaceum (53.1)

Combretocarpus rotundatus (60.9)

Combretocarpus rotundatus (97.3)

Combretocarpus rotundatus (151.4)

NtEd Combretocarpus rotundatus (46.8)

Combretocarpus rotundatus (36.2)

Combretocarpus rotundatus (116.7)

Combretocarpus rotundatus (215.4)

EdF Maclurodendron porterii (61.6)

Syzygium zeylanicum (40.2)

Combretocarpus rotundatus (99.5)

Combretocarpus rotundatus (166.1)

* angka dalam kurung menunjukkan indeks nilai penting

Page 9: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

107

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

tinggi muka air tanah (TMA+ tergenang), tinggi muka air tanah (TMA- tidak tergenang), pH H2O (pH), C-organik (Corg), N total (N), P total (P), K total (K), kadar abu (KdAbu), kadar air tanah (KdAir), kapasitas tukar kation (KTK), kematangan gambut (KdSerat) dan biomasa tumbuhan bawah (TumbBwh). Variabel yang akan digunakan dalam analisis faktor adalah variabel yang mempunyai nilai MSA lebih besar atau sama dengan 0,5.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada musim kemarau terdapat 11 variabel yang memiliki nilai MSA ≥ 0,5, nilai KMO = 0,645, dan uji Bartlett signifikan sementara pada musim penghujan terdapat 13 variabel yang memiliki nilai MSA ≥ 0,5, nilai KMO = 0,568 dan uji Bartlett signifikan. Variabel tersebut dapat digambarkan dalam diagram ordonansi (Gambar 6). Secara skematis, pada musim kemarau (Gambar 6a) terlihat ada 2 variabel utama yang memiliki keragaman paling besar dalam plot pengamatan yaitu biomasa tumbuhan bawah

dan intensitas cahaya. Kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang erat dengan variabel P total, pH, N total, suhu udara, suhu tanah dan kadar abu, ditunjukkan dengan besaran sudut dari panah setiap variabel tersebut yang memiliki nilai (α) < 90o. Pada musim penghujan (Gambar 6b), terlihat ada 3 variabel utama yang memiliki keragaman paling besar dalam plot pengamatan yaitu tinggi muka air tanah, tumbuhan bawah dan intensitas cahaya. Tinggi muka air tanah yang tidak melebihi permukaan tanah atau tidak tergenang (TMA-) memiliki hubungan yang erat dengan kandungan C-organik tanah (sudut α < 90o) dan saat tergenang (TMA+) berkorelasi dengan nilai K total dan kapasitas tukar kation (KTK). Tumbuhan bawah dan intensitas cahaya memiliki korelasi erat yang berpengaruh terhadap kadar serat tanah gambut, suhu udara dan suhu tanah. Besarnya pengaruh variabel pengamatan terhadap plot pengukuran terlihat dari kedekatan jarak tegak lurus setiap plot dengan garis panah dari variabel pengamatan.

-1.0 1.0

-1.0

1.0

IntChy

ShUdrRH

ShTnhTMA-

pHN

P

KdAbuKdAir

TumbBwh

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10

11

12

1314

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30 31

32

33

34 35

36

-1.0 1.0

-1.0

1.0

IntChyShUdr

RHShTnh

TMA+

TMA-

K

Corg

KdSerat

KTK

TumbBwh

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

1617

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27 2829

30

31

32

33

34

35

36

(a) (b)

Gambar 6. Faktor-faktor lingkungan yang berperan pada karakteristik hutan rawa gambut terdegradasi

Keterangan: - (a) musim kemarau; (b) musim penghujan- Օ = plot observasi, 1-6 = IntF; 7-12 = NtInt; 13-18 = MtoInt; 19-24 = MtoEd; 25-30 = NtEd; 31-36 = EdF

Page 10: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

108

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

Hasil analisis untuk musim kemarau terhadap 11 faktor lingkungan yang memenuhi syarat tadi menghasilkan 4 komponen baru (disebut faktor) dengan nilai kumulatif eigen value sebesar 71,8%. Nilai eigen value ini menunjukkan bahwa komponen yang terbentuk dapat menjelaskan sebesar 71,8% dari keseluruhan variabel pengamatan, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Komponen baru atau yang disebut dengan faktor dapat dilihat pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2 . Reduksi dimensi variabel lingkungan pada hutan rawa gambut terdegradasi pada musim kemarau

Faktor Lingkungan /

Variabel

Komponen Utama / Faktor

1 2 3 4

IntChy .578 .455 .272 -.194ShUdr .807 .146 .361 .201RH -.896 .082 -.139 -.177ShTnh .422 .084 .670 .106TMA .130 .637 -.462 -.451pH .226 .110 -.227 .803N .078 .064 .853 -.125P -.145 .795 .072 .334KdAbu .322 .164 .327 .538KdAir -.634 -.118 .023 -.156TumbBwh .370 .786 .187 .109

Komponen baru atau yang disebut faktor ini apabila dituliskan dalam notasi matematika dengan nilai koefesiennya menjadi sebagai berikut:

- Faktor 1 = intensitas cahaya + suhu udara + kelembaban udara + kadar air tanah

F1 = 0,206X1 + 0,292X2 – 0,437X3 – 0,304X4 - Faktor 2 = tinggi muka air tanah + P total +

biomasa tumbuhan bawah; F2 = 0,336X1 + 0,481X2 + 0,393X3 - Faktor 3 = suhu tanah + N total; F3 = 0,353X1 + 0,565X2

- Faktor 4 = pH tanah + kadar abu F4 = 0,593X1 + 0,360X2

Pengaruh faktor lingkungan terhadap keanekaragaman tingkat pohon dan semai ditentukan dengan melakukan analisis regresi berganda terhadap faktor yang terbentuk tadi, dengan variabel terikat berupa keanekaragaman tingkat pohon dan tingkat semai dan variabel bebas

berupa faktor lingkungan. Korelasi antara faktor lingkungan dan keanekaragaman tingkat pohon tergolong kuat yaitu sebesar 78,3% dan pengaruh faktor lingkungan tersebut juga cukup besar yaitu 61,3%. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa F1, F2 dan F3 berpengaruh nyata (F = 16,92; p = 0,000) sedangkan F4 tidak berpengaruh nyata, sehingga notasi persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

Y = 2,081 – 0,656F1 – 0,334F2 – 0,255F3(R2 = 0,61)

Dimana:Y = keanekaragaman tingkat pohonF1 = intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban

udara, kadar air tanahF2 = tinggi muka air tanah, P total, biomasa

tumbuhan bawahF3 = suhu tanah, N total

Korelasi antara faktor lingkungan dan keanekaragaman tingkat semai tergolong sedang yaitu sebesar 47,4% tetapi pengaruh faktor lingkungan tergolong lemah yaitu 22,5%. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan hanya F2 yang berpengaruh nyata (F = 7,54; p = 0,011) sedangkan faktor lainnya tidak berpengaruh nyata, sehingga notasi persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

Y = 1,612 – 0,474F2 (R2 = 0,23)Dimana:Y = keanekaragaman tingkat semaiF2 = tinggi muka air tanah, P total, biomasa

tumbuhan bawah

Hasil analisis untuk musim penghujan terhadap 13 faktor lingkungan yang memenuhi syarat tadi menghasilkan 4 komponen baru (disebut faktor) dengan nilai kumulatif eigenvalue sebesar 67,2%. Nilai eigenvalue ini menunjukkan bahwa komponen yang terbentuk dapat menjelaskan sebesar 67,2% dari keseluruhan variabel pengamatan, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Adapun komponen baru atau yang disebut dengan faktor dapat dilihat pada Tabel 3. berikut.

Page 11: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

109

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

Tabel 3. Reduksi dimensi variabel lingkungan pada hutan rawa gambut terdegradasi pada musim penghujan

Faktor Lingkungan /

Variabel

Komponen Utama / Faktor

1 2 3 4

IntChy .455 .129 .734 -.122ShUdr .933 -.010 .117 -.061RH -.867 -.083 -.045 -.085ShTnh .749 -.160 .094 -.279TMA .365 -.226 .558 -.025pH .022 .575 -.513 -.120Corg -.230 .860 -.055 -.045P total .103 .639 .066 -.111K total -.215 -.314 -.029 .616KdAbu .043 .166 -.173 .824KTK -.030 -.863 -.124 -.178KdSerat -.168 .173 .793 -.306TumbBwh .450 .087 .492 .051

Komponen baru atau yang disebut faktor ini apabila dituliskan dalam notasi matematika dengan nilai koefesiennya menjadi sebagai berikut:

Faktor 1 = suhu udara + kelembaban udara + suhu tanah

F1 = 0,347X1 - 0,338X2 + 0,270X3 Faktor 2 = pH tanah + Corganik + P total + KTK;F2 = 0,218X1 + 0,343X2 + 0,257X3 – 0,358X4

Faktor 3 = intensitas cahaya + tinggi muka air tanah + kadar serat + tumbuhan bawah;

F3 = 0,349X1 + 0,267X2 + 0,454X3 + 0,201X4

Faktor 4 = K total + kadar abuF4 = 0,483X1 + 0,655X2

Pengaruh faktor lingkungan terhadap keanekaragaman tingkat pohon dan semai ditentukan dengan melakukan analisis regresi berganda terhadap faktor yang terbentuk tadi, dengan variabel terikat berupa keanekaragaman tingkat pohon dan semai dan variabel bebas berupa faktor lingkungan. Korelasi antara faktor lingkungan dengan keanekaragaman tingkat pohon cukup erat yaitu sebesar 80,3% dan pengaruh faktor lingkungan tersebut juga cukup besar yaitu 64,5%. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan

bahwa F1 dan F3 berpengaruh nyata (F = 14,099; p = 0,000) sedangkan F2 dan F4 tidak berpengaruh nyata, sehingga notasi persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

Y = 2,081 – 0,399F1 – 0,688F3 (R2 = 0.65)Dimana:Y = keanekaragaman tingkat pohonF1 = suhu udara, kelembaban udara, suhu tanahF3 = intensitas cahaya, tinggi muka air tanah,

kadar serat, tumbuhan bawah

Korelasi antara faktor lingkungan dengan keanekaragaman tingkat semai tergolong sedang yaitu sebesar 44,1% tetapi pengaruh faktor lingkungan tergolong lemah yaitu 19,4%. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan hanya F3 yang berpengaruh nyata (F = 7,24; p = 0,012) sedangkan faktor lainnya tidak berpengaruh nyata, sehingga notasi persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

Y = 1,792 – 0,441F3 (R2 = 0,19)Dimana:Y = keanekaragaman tingkat semaiF3 = intensitas cahaya, tinggi muka air tanah,

kadar serat, tumbuhan bawah

Perbedaan kondisi di dalam hutan dan tepi hutan seperti jumlah jenis, kerapatan dan sebaran kelas diameter selain disebabkan oleh berbagai gangguan juga disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda. Kondisi lingkungan ini akan terus mempengaruhi perkembangan hutan ke depannya. Jenis-jenis yang ada di dalam hutan dapat berkembang di bagian tepi hutan apabila terjadi perubahan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan tumbuhnya. Salah satu kondisi lingkungan utama di hutan rawa gambut adalah genangan. Pengamatan selama satu tahun ternyata menunjukkan pola genangan yang berbeda antara dalam hutan dan tepi hutan sehingga akan mempengaruhi vegetasi di atasnya.

Page 12: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

110

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

Gambar 7. Tinggi muka air tanah dari hutan menuju tepi hutan di hutan rawa gambut terdegradasi

Genangan adalah salah satu ciri dari ekosistem hutan rawa gambut sehingga vegetasi yang tumbuh di atasnya pasti memiliki mekanise untuk beradaptasi agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keberhasilan regenerasi jenis pohon dipengaruhi oleh ketersediaan sumber benih, tapak yang aman dan kecukupan akan air dan cahaya (Nierenberg and Hibbs, 2000). Selain hal tersebut ada beberapa kondisi lingkungan yang mempengaruhi suksesi di lahan basah, yaitu pengeringan lahan yang menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah, perubahan iklim global yang meningkatkan suhu, menurunnya kelembaban tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan keasaman tanah (Czerepko, 2008). Kondisi klimatik memiliki korelasi yang kuat dengan regenerasi hutan, dan kondisi klimatik tersebut mengekspresikan kondisi letak (latitude dan altitude) yang menghasilkan kondisi suhu, dan kelembaban yang berbeda (Tegelmark, 1998).

Kondisi-kondisi lingkungan tersebut akan mempengaruhi regenerasi hutan pada semua tahap pertumbuhan vegetasi. Intensitas cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi eksistensi permudaan alam (Schiøtz et al., 2006)). Intensitas cahaya ini akan mempengaruhi faktor fisik dan biotik lainnya seperti suhu, kelembaban, kelimpahan herbivora dan aktivitas dari patogen sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi vegetasi secara keseluruhan. Pembukaan tajuk akan membuat variasi dalam ketersediaan intensitas cahaya dan akan mendukung pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan tertentu akan tetapi pembukaan tajuk yang sangat luas justru akan mengganggu

perkembangan vegetasi (Szwagrzyk et al., 2001). Kemudian (Triisberg et al., 2013) menjelaskan bahwa usaha revegetasi di lahan gambut yg telah ditinggalkan lebih ditentukan oleh faktor kelembaban tanah dibandingkan ketersediaan nutrisi dan propagul.

SIMPULAN

Gradasi lingkungan yang terjadi di hutan rawa gambut terdegradasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, yaitu genangan (tinggi muka air tanah), bukaan tajuk, hara tanah dan biomasa tumbuhan bawah yang menentukan perbedaan intensitas cahaya, dan iklim mikro. Semakin jauh dari dalam hutan atau semakin ke tepi hutan, nilai keanekaragaman jenis pohon, jumlah jenis dan kerapatan vegetasi semakin rendah. Kerusakan hutan rawa gambut juga menyebabkan sebaran kelas diameter vegetasi yang tidak ideal dan dominansi jenis hanya terpusat pada sedikit jenis. Karakteristik hutan rawa gambut yang telah terdegradasi tersebut akan membawa implikasi manajemen dalam pengelolaan dan pemulihan lahan terdegradasi. Pilihan manajemen harus didasarkan pada tinggi muka air tanah yang berfluktuasi sehingga bisa tergenang atau pun kekeringan dan mengurangi kompetisi yang dapat menghambat proses regenerasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusdiklat-SDM Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala BPK Banjarbaru atas ijinnya, Penanggung Jawab KHDTK Tumbang Nusa atas fasilitasinya, personel lapangan: Aril, Yusnan, Aini Marjono, Putera dkk serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, Sunarsi Habib, Hanny Komalig, and Nelson Nainggolan. 2014. “Penggunaan Analisis Komponen Utama Dalam Penggabungan Data Peubah Ganda Pada Kasus Produksi Pertanian Dan Perkebunan

Page 13: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

111

Dony Rachmanadi, Eny Faridah, Sumardi, dan Peter van der Meer: Karakteristik ....(5): 99-112

Di Wilayah Bolaang Mongondow Tahun 2008.” JdC 3(2):1–7.

Anderson, J. A. R. 1961. “The Destruction of Shorea Albida Forest by an Unidentified Insect.” Empire Forestry Review 40(1):19–29. Retrieved (http://www.jstor.org/stable/42602794).

Arévalo, J. R. and J. M. Fernández-Palacios. 2000. “Seed Bank Analysis of Tree Species in Two Stands of the Tenerife Laurel Forest (Canary Islands).” Forest Ecology and Management 130(1–3):177–85.

B. Santosa, P., Rachmanadi, D. dan Setyowahyuningtyas, R. 2004. “Pengaruh Pemeliharaan Terhadap Pertumbuhan Tanaman Shorea Balangeran Di Lahan Rawa Gambut.” Buletin Teknologi Reboisasi, 15–20.

Czerepko, Janusz. 2008. “A Long-Term Study of Successional Dynamics in the Forest Wetlands.” Forest Ecology and Management 255(3–4):630–42.

Van Eijk, Pieter, Pieter Leenman, Iwan T. C. Wibisono, and Wim Giesen. 2009. “Regeneration and Restoration of Degraded Peat Swamp Forest in Berbak NP, Jambi, Sumatra, Indonesia.” Malayan Nature Journal 61(3):223–41.

El-Kassaby, Y. A. and D. G. W. Edwards. 2001. “Germination Ecology in Mountain Hemlock (Tsuga Mertensiana (Bong.) Carr.).” Forest Ecology and Management 144(1–3):183–88.

Eugene W . Schupp , Henry F . Howe, Carol K. ..Augspurger and Douglas J. ..Levey. 1989. “Arrival and Survival in Tropical Treefall Gaps.” Ecology 70(3):562–64. Retrieved (http://www.jstor.org/stable/1940206).

Graham, L. L. B. 2012. “Restoration from within: An Interdiciplinary Methodology for Tropical Peat Swamp Forest Restoration in Indonesia.” Leicester University.

Hernandez-Stefanoni, J.Luis. 2005. “Relationships between Landscape Patterns and Species Richness of Trees, Shrubs and Vines in a Tropical Forest.” Plant Ecology 179(1):53–65.

Hooijer, A. et al. 2010. “Current and Future CO 2 Emissions from Drained Peatlands in Southeast Asia.” Biogeosciences 7(5):1505–14.

Istomo dan Pradiastoro, A. 2011. “Karakteristik Tempat Tumbuh Pohon Palahlar Gunung (Dipterocarpus Retusus Bl.) Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Cakrabuana, Sumedang, Jawa Barat.” Jurnal Penelitian hutan dan konservasi alam 8(1).

Kimmins, J. P. 1997. Forest Ecology (A Foundation for Sustainable Management). Second edi. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.

Krebs, C. J. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second edi. The University of British Columbia.

Leps, J. and Smilauer, P. 2003. Multivariate Analysis of Ecological Data Using CANOCO. First Edit. New York, USA: Cambridge Univ Press.

Mayer, Philipp, Clemens Abs, and Anton Fischer. 2004. “Colonisation by Vascular Plants after Soil Disturbance in the Bavarian Forest - Key Factors and Relevance for Forest Dynamics.” Forest Ecology and Management 188(1–3):279–89.

Mirmanto, E. 2010. “Vegetation Analyses of Sebangau Peat Swamp Forest , Central Kalimantan.” Biodiversitas 11(2):82–88.

Nierenberg, Tara R. and David E. Hibbs. 2000. “A Characterization of Unmanaged Riparian Areas in the Central Coast Range of Western Oregon.” Forest Ecology and Management 129(1–3):195–206.

Ordonez, Jenny C., Luedeling, Eike., Kindt, Roeland., Tata, Hesti Lestari., Harja, Degi.,

Page 14: KARAKTERISTIK KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS ...

112

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2, Edisi Juli 2017

Jamnadass, Ramni., Noordwijk, Meine Van. 2014. “Constraints and Opportunities for Tree Diversity Management along the Forest Transition Curve to Achieve Multifunctional Agriculture.” Current Opinion in Environmental Sustainability 6:54–60. Retrieved (http://dx.doi.org/10.1016/j.cosust.2013.10.009).

Page, S. E., J. O. Rieley, W. Shotyk, and D. Weiss. 1999. “Interdependence of Peat and Vegetation in a Tropical Peat Swamp Forest.” Philosophical transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological sciences 354(1391):1885–97.

Pickett, Steward T. and P. S. White. 1985. The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc San Diego.

Pohl, Mandy, Dominik Alig, and Christian Körner. 2009. “Higher Plant Diversity Enhances Soil Stability in Disturbed Alpine Ecosystems.” Plant Soil 324:91–102.

Schiøtz, M., Boesen, M. V., Nabe-Nielsen, J., Sørensen, M., Kollmann, J. 2006. “Regeneration in Terminalia Oblonga (Combretaceae) - A Common Timber Tree from a Humid Tropical Forest (La Chonta, Bolivia).” Forest Ecology and Management 225(1–3):306–12.

Shimamura, Tetsuya, Kuniyasu Momose, and Shigeo Kobayashi. 2006. “A Comparison of Sites Suitable for the Seedling Establishment of Two Co-Occurring Species, Swintonia Glauca and Stemonurus Scorpioides, in a Tropical Peat Swamp Forest.” Ecological Research 21(5):759–67.

Simbolon, Herwint. 2008. “Local Distribution and Coexistence of Prevalent Tree Species in Peat Swamp Forests of Central Kalimantan.” Reinwardtia 12(5):373–82.

Swaine, M. D. and T. C. Whitmore. 1988. “On the Definition of Ecological Species Groups in Tropical Rain Forests.” Vegetatio 75(1):81–86.

Szwagrzyk, Jerzy, Janusz Szewczyk, and Jan Bodziarczyk. 2001. “Dynamics of Seedling Banks in Beech Forest: Results of a 10-Year Study on Germination, Growth and Survival.” Forest Ecology and Management 141(3):237–50.

Tegelmark, D. O. 1998. “Site Factors as Multivariate Predictors of the Success of Natural Regeneration in Scots Pine Forests.” Forest Ecology and Management 109:231–39.

Triisberg, Triin, Edgar Karofeld, and Jaanus Paal. 2013. “Factors Affecting the Re-Vegetation of Abandoned Extracted Peatlands in Estonia: A Synthesis from Field and Greenhouse Studies.” Estonian Journal of Ecology 62(3):192–211.

Whitmore, T. C. 1989. “Canopy Gaps and the Two Major Groups of Forest Trees.” Ecology 70(3):536–38.

Wosten, J. H. M. et al. 2008. “Peat-Water Interrelationships in a Tropical Peatland Ecosystem in Southeast Asia.” Catena 73(2):212–24. Retrieved March 4, 2016 (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0341816207001130).