Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_
-
Upload
maratus-silmi-farsil -
Category
Documents
-
view
64 -
download
2
description
Transcript of Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_
UJI KOMPETENSI ?
Suara Mahasiswa
1
UJI KOMPETENSI ?Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !!
a Pendidikan Tinggi Kesehatan
UJI KOMPETENSI ? Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !!
an Indonesia
Dari Mahasiswa
“Coming together is a beginning. Keeping together is progress.
Working together is success.”
2
Mahasiswa
untuk IndONE
Coming together is a beginning. Keeping together is progress.
Working together is success.” (Henry Ford)
ONEsia
Coming together is a beginning. Keeping together is progress.
3
KAJIAN AWAL :
TINGKAT PENGETAHUAN, PERSEPSI, DAN SIKAP
MAHASISWA TERHADAP UJI KOMPETENSI
PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN DI INDONESIA
PENELITI : TIM HPEQ STUDENT
• Anggie Hardiyanti (Koordinator/Kedokteran)
• Fatia Nur Masriati (Kedokteran)
• Nurita Aryakhiyati (Ners)
• Lafi Munira (Kesmas)
• Pony Purnamasari (Farmasi)
• Kiki Saputri (Kedokteran Gigi)
• Ayu Solehati Agustina (Bidan)
• Makhyan Jibril (Gizi)
PEMBIMBING/NARASUMBER :
• Tri Hanggono Ahmad (Koordinator Komponen 2 HPEQ)
• Arsitawati Puji Raharjo (Sekretaris Eksekutif HPEQ)
PENANGGUNG JAWAB :
Aprilia Ekawati Utami (Pengelola Monev & Litbang HPEQ)
Difasilitasi oleh :
Proyek Health Professional Education Quality (HPEQ)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Gedung Victoria Lantai 2, Jl. Sultan Hasanuddin Kav. 47 – 51, Jakarta Selatan 12160; Telepon:
021 7279 1384; 021 3417 3304/05/06, Fax. 021 7279 1388;
Website: www.hpeq.dikti.go.id; hpeqstudent.org ; Email: [email protected]
4
Latar belakang
Kondisi sistem pendidikan tinggi kesehatan di Indonesia (keberagaman kualitas lulusan tiap
institusi), upaya pemenuhan akan permintaan SDM di bidang kesehatan dalam jumlah yang
cukup dan berkualitas untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia
serta landasan konstitusional, yaitu UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1, Pasal 35 ayat (1) dan (3), Pasal 61 ayat (1), (2), dan (3), UU RI No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 17 ayat (2), Pasal 29, Pasal 51, dan Pasal 52, Peraturan
Presiden RI No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Pasal 1, serta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan telah
jelas bahwa uji kompetensi perlu diadakan bagi setiap peserta didik yang telah menyelesaikan
jenjang pendidikan yang dilewatinya sebagai suatu bentuk penjaminan mutu lulusan pendidikan
tinggi kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia, mengingat globalisasi dalam
bidang kesehatan merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan agar
mampu bersaing dengan tenaga kesehatan asing yang akan bekerja di Indonesia maupun di pasar
global.
Mengingat pentingnya penyelenggaraan uji kompetensi yang merata dan terstandardisasi secara
nasional untuk menjamin kompetensi para lulusannya dalam menjalankan tugas profesi, maka
perlu ditinjau sejauh mana tingkat pengetahuan dasar dan persepsi mahasiswa terhadap uji
kompetensi di profesi kesehatannya masing-masing. Atas dasar inilah HPEQ Student
melaksanakan kajian awal tentang uji kompetensi yang berjudul “Tingkat Pengetahuan, Persepsi,
dan Sikap Mahasiswa Terhadap Uji Kompetensi Pendidikan Profesi Kesehatan di Indonesia”.
Tujuan
Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang sistem uji kompetensi
untuk pendidikan tinggi kesehatan yang diberlakukan di Indonesia. Secara khusus, kajian ini
memiliki tujuan:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan dasar mahasiswa kesehatan tentang uji kompetensi
2. Mengetahui persepsi mahasiswa kesehatan terhadap uji kompetensi
3. Mengetahui sikap mahasiswa kesehatan terhadap uji kompetensi
5
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional serta analisis
tabulasi data. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Maret 2013 kepada mahasiswa
pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia dengan menggunakan metode web-based survey
(Survey Monkey). Responden penelitian terdiri atas mahasiswa dari 7 bidang kesehatan yang
sedang difasilitasi melalui proyek HPEQ, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan,
kebidanan, farmasi, gizi, dan kesehatan masyarakat.
Instrumen kajian pada tahap ini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari British Medical
Council dan FAME Course (National Board of Medical Examination/NBME and FAIMER joint
course) yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Pengertian uji kompetensi nasional
2. Pentingnya uji kompetensi nasional
3. Tata laksana uji kompetensi nasional yang baik
4. Persepsi terhadap uji kompetensi nasional
5. Sikap terhadap uji kompetensi nasional
6. Sistem pembiayaan uji kompetensi nasional
Jumlah responden
Jumlah total responden 3.053 dengan pembagian responden berdasarkan program studi masing-
masing sebagai berikut:
6
Hasil Kajian (secara umum)
1. Lebih dari 60% mahasiswa kesehatan Indonesia telah mengetahui alasan pelaksanaan uji
kompetensi, tujuan dan manfaat uji kompetensi, cara pemberian sertifikat kompetensi,
metode uji kompetensi (baik MCQ maupun OSCE), pedoman penyusunan soal uji
kompetensi, serta tempat dan pelaksanaan uji kompetensi.
2. Lebih dari 60% mahasiswa menyatakan setuju bahwa mahasiswa perlu terlibat dalam
penentuan kebijakan uji kompetensi, perlu adanya penyelarasan substansi uji kompetensi
dengan proses belajar di fakultas, uji kompetensi sebagai bagian dari evaluasi
pembelajaran (exit exam), perlu adanya kerahasiaan soal, perlu adanya transparansi hasil
uji kompetensi, serta penggunaan metode uji dengan MCQ dan OSCE.
3. Untuk masalah retaker uji kompetensi, hampir seluruh mahasiswa menyatakan setuju
perlu adanya pembinaan dari institusi pendidikan.
4. Sebagian besar mahasiswa menyatakan setuju terhadap proporsi jumlah soal sesuai
dengan luasnya spesialisasi keilmuan, sehingga untuk retaker sebagian besar mahasiswa
setuju hanya akan mengulang pada spesialisasi dengan nilai yang rendah sedangkan lebih
dari setengah mahasiswa mengatakan batas nilai kelulusan tetap menggunakan nilai
secara menyeluruh.
5. Sebanyak lebih dari 70% mahasiswa menyatakan setuju bahwa biaya pelaksanaan uji
kompetensi masih terlalu tinggi, pembiayaan uji kompetensi diintegrasikan dengan biaya
pendidikan serta perlu adanya transparansi komponen pembiayaan.
6. Sebanyak 64% mahasiswa lebih mempercayakan pelaksanaan uji kompetensi oleh
lembaga pemerintah.
7. Sebanyak 68% mahasiswa lebih memilih pelaksanaan uji kompetensi di institusi
pendidikannya masing-masing dan dilaksanakan pada periode tertentu. Sebagian besar
mahasiswa menyatakan perlu adanya uji kompetensi ulang sekaligus pengumpulan kredit
pendidikan berkelanjutan untuk pembaharuan sertifikat kompetensi.
8. Hampir seluruh mahasiswa menyatakan sikapnya mendukung pelaksanaan uji
kompetensi secara nasional, sebagai salah satu syarat kelulusan, pelaksanaannya di
institusi pendidikan yang terstandar, menggunakan metode MCQ dan OSCE, pembiayaan
yang terintegrasi dengan biaya pendidikan, serta adanya transparansi hasil kelulusan.
7
Dari hasil kajian secara umum, mahasiswa pendidikan tinggi kesehatan berharap agar
permasalahan yang perlu ditinjau ulang adalah sebagai berikut:
1. Transparansi biaya dan biaya UKN yang terlalu mahal
2. Transparansi Nilai
3. Integrasi UKN dengan sistem saat pre klinik dan klinik termasuk relevansi materi uji
kompetensi
4. Standarisasi kurikulum dan status akreditasi institusi
5. Manajemen retaker (pembinaan dan pembiayaan pengulangan UKN)
Selanjutnya, berdasarkan grafik 23 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden menyatakan
sangat setuju (61%) dan sebanyak 34% responden menyatakan setuju apabila mahasiswa sebaiknya
mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya dalam perencanaan atau perubahan
kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan.
Hasil yang serupa juga
didapati pada responden di
tiap-tiap profesi, yakni
pendidikan dokter sebanyak
68,3% menyatakan sangat
setuju dan 28,7%
menyatakan setuju,
pendidikan dokter gigi
58,1% menyatakan sangat
setuju dan 37%
menyatakan setuju, ilmu keperawatan 59% menyatakan sangat setuju dan 34% menyatakan
setuju, ilmu gizi 49% menyatakan sangat setuju dan 46% menyatakan setuju, farmasi 44,7%
menyatakan sangat setuju dan 41% menyatakan setuju, kebidanan 59% menyatakan sangat setuju
dan 37% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 62,6% menyatakan sangat setuju dan
32,4% menyatakan setuju. Mahasiswa sebagai objek dari kebijakan uji kompetensi sekaligus
sebagai agent of change dan social control, memang sebaiknya terlibat dalam penentuan
kebijakan uji kompetensi karena uji kompetensi merupakan tahapan pendidikan yang harus
dilalui oleh mahasiswa sebelum mendapatkan gelar profesinya dan memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.
8
1. Transparansi biaya dan biaya UKN yang terlalu mahal
Masalah biaya uji kompetensi nasional, menurut sebagian besar responden, yakni sebanyak 51%
responden menyatakan sangat setuju dan 26% responden menyatakan setuju, biaya yang harus
dibayarkan oleh mahasiswa untuk mengikuti uji kompetensi saat ini masih terlalu tinggi. Hal
yang sama juga terlihat pada responden di ketujuh profesi kesehatan, yaitu pendidikan dokter
sebanyak 54,1% menyatakan sangat setuju, 23,5% menyatakan setuju, dan 20,4% menyatakan
ragu-ragu, pendidikan dokter gigi 55,3% menyatakan sangat setuju, 22,9% menyatakan setuju,
dan 20,4% menyatakan ragu-ragu, ilmu keperawatan 57% menyatakan sangat setuju dan 23%
menyatakan setuju, ilmu gizi 45% menyatakan sangat setuju, 26% menyatakan setuju, dan 26%
menyatakan ragu-ragu, farmasi 45,2% menyatakan
sangat setuju, 31,6% menyatakan setuju, dan 23,2% menyatakan ragu-ragu, kebidanan 51%
menyatakan sangat setuju, 28% menyatakan setuju, dan 18% menyatakan ragu-ragu, serta
kesehatan masyarakat 41,3% menyatakan sangat setuju, 32% menyatakan setuju, dan 22,6%
menyatakan ragu-ragu.
9
Sebanyak 67% responden menyatakan sangat setuju dan 29% responden menyatakan setuju
bahwa seharusnya ada transparansi mengenai komponen pembiayaan uji kompetensi yang
akan dibayarkan oleh peserta uji kompetensi nasional. Hal ini juga disetujui oleh responden
dari tujuh profesi kesehatan, yaitu pendidikan dokter sebanyak 67,5% menyatakan sangat setuju
dan 28,4% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 72,2% menyatakan sangat setuju dan
23,9% menyatakan setuju, ilmu keperawatan 68% menyatakan sangat setuju dan 25%
menyatakan setuju, ilmu gizi 62% menyatakan sangat setuju dan 32% menyatakan setuju,
farmasi 67,7% menyatakan sangat setuju dan 29,7% menyatakan setuju, kebidanan 65%
menyatakan sangat setuju dan 32% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 62,9%
menyatakan sangat setuju dan 32,3% menyatakan setuju.
2. Transparansi nilai
Grafik di atas memaparkan bahwa sebanyak 87 responden (47%) sangat setuju dan sebanyak 88
responden (48%) setuju apabila hasil uji kompetensi diumumkan secara transparan, terutama
10
melalui website resmi penyelenggara uji kompetensi. Cara penyampaian hasil uji kompetensi ini
disetujui oleh hampir seluruh responden di profesi kesehatan, yakni pendidikan dokter sebanyak
43,2% sangat setuju dan 38,2% setuju, pendidikan dokter gigi 45,6% sangat setuju dan 43,3%
setuju, ilmu keperawatan 51% sangat setuju dan 38% setuju, ilmu gizi 47,3% sangat setuju dan
47,8% setuju, farmasi 48,7% sangat setuju dan 44,7% setuju, kebidanan 48% sangat setuju dan
43% setuju, serta kesehatan masyarakat 55,3% sangat setuju dan 38,5% setuju.
Hal ini menunjukkan sikap responden yang menginginkan adanya suatu transparansi untuk
hasil uji kompetensi yang dijalani oleh para calon tenaga kesehatan kepada masyarakat
sehingga masyarakat dapat memberikan penilaiannya sendiri terhadap calon tenaga
kesehatan tersebut apakah kompeten dan berkualitas untuk dapat memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.
Untuk mencapai pengakuan kompetensi yang akuntabel akan lebih baik apabila uji kompetensi
dijadikan sebagai bagian dari evaluasi hasil pembelajaran. Hal ini disetujui oleh lebih dari
separuh total responden secara keseluruhan, yakni sebanyak 37% menyatakan sangat setuju dan
47% menyatakan setuju. Lebih dari separuh responden di tiap-tiap profesi juga menyetujuinya,
yakni pendidikan dokter sebanyak 39% menyatakan sangat setuju dan 42,6% menyatakan setuju,
pendidikan dokter gigi 29,8% menyatakan sangat setuju dan 52,6% menyatakan setuju, ilmu
keperawatan 41% menyatakan sangat setuju dan 40% menyatakan setuju, ilmu gizi 29%
menyatakan sangat setuju dan 59% menyatakan setuju, farmasi 32,7% menyatakan sangat setuju
dan 48,1% menyatakan setuju, kebidanan 78% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat
37,9% menyatakan sangat setuju dan 49,9% menyatakan setuju. Hal ini mungkin dianggap
penting oleh sebagian besar responden tersebut karena mereka peduli akan kualitas lulusan
11
pendidikan tinggi kesehatan yang dapat diakui kompetensinya untuk dapat memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan uji kompetensi ini merupakan bentuk penjaminan
mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan tersebut. Di samping itu, uji kompetensi ini juga
sebagai suatu bentuk evaluasi terhadap hasil pembelajaran mahasiswa selama menjalani
pendidikannya sekaligus pembuktian bahwa sistem pendidikan yang diterapkan sudah baik
sehingga dapat menjamin kualitas lulusannya.
3. Integrasi uji kompetensi nasional dengan sistem saat pre klinik dan klinik termasuk
relevansi materi ujian kompetensi.
Sebanyak 52% responden menyatakan sangat setuju dan 40% menyatakan setuju jika dilakukan
penyelarasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas dan rumah sakit pendidikan
pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi nasional. Hasil yang hampir sama
juga didapati pada responden masin-masing profesi, yaitu pendidikan dokter sebanyak 61%
menyatakan sangat setuju dan 31,6% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 52,2%
menyatakan sangat setuju dan 39,4% menyatakan setuju, ilmu keperawatan 56% menyatakan
sangat setuju dan 35% menyatakan setuju, ilmu gizi 38% menyatakan sangat setuju dan 56%
menyatakan setuju, farmasi 46,2% menyatakan sangat setuju dan 46,8% menyatakan setuju,
kebidanan 87% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 42,4% menyatakan sangat setuju
dan 48,9% menyatakan setuju. Hal ini mungkin dikarenakan dalam pelaksanaan uji kompetensi
nasional pada profesi kesehatan yang sudah menjalankannya, terdapat perbedaan substansi uji
semasa kuliah (pre klinik) dan klinik dengan apa yang dujikan saat uji kompetensi nasional.
Sehingga, nantinya dikhawatirkan akan berujung pada ketidaklulusan peserta uji kompetensi
nasional akibat hal tersebut. Soal uji kompetensi nasional yang terintegrasi akan mencetak calon
12
tenaga kesehatan berkualitas. Sebagai contoh adalah profesi perawat. Di profesi perawat, soal uji
kompetensi nasional yang terintegrasi tersebut sangat penting untuk dapat menghasilkan calon
tenaga kesehatan yang berkualitas sehingga calon tenaga kesehatan (perawat) nantinya tidak
hanya unggul dalam hal konsep penyakit secara materi, namun analisis terhadap penyakit untuk
membuat asuhan keperawatn kepada klien secara langsung pun dapat dipertanggungjawabkan.
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sebagian kecil responden, yakni sebanyak 28%5
responden menyatakan sangat setuju dan sebagian besar responden, yaitu sebanyak 47%
responden menyatakan setuju bahwa metode CBT dan OSCE terintergrasi mampu menilai
attitude, skills, dan knowledge peserta uji kompetensi. Hasil ini juga didapati di seluruh profesi
kesehtan, yakni pendidikan dokter sebanyak 26,2% sangat setuju, 41,2% setuju, dan 16,7% ragu-
ragu, pendidikan dokter gigi 29,8% sangat setuju, 51,5% setuju, dan 17% ragu-ragu, ilmu
keperawatan 36% sangat setuju, 47% setuju, dan 15% ragu-ragu, ilmu gizi 21,7% sangat setuju,
53,8% setuju, dan 22,8% ragu-ragu, farmasi 20,4% sangat setuju, 48,7% setuju, dan 28,3% ragu-
ragu, kebidanan 32% sangat setuju, 50% setuju, dan 15% ragu-ragu, serta kesehatan masyarakat
25,1% sangat setuju, 46,5% setuju, dan 26,6% ragu-ragu. Hal ini menunjukkan sikap responden
yang menyetujui bahwa dengan metode CBT dan OSCE yang terintegrasi akan dapat
menilai attitude, skills, dan knowledge para calon tenaga kesehatan.
13
4. Standardisasi kurikulum dan status akreditasi institusi
Mengenai tempat pelaksanaan uji kompetensi nasional, 74% responden membenarkan bahwa
sebaiknya uji kompetensi dilaksanakan pada pusat uji yang berada di institusi pendidikan
yang terakreditasi dan memenuhi syarat sebagai pusat ujian kompetensi, sedangkan 4%
responden menyatakan salah, dan 22% responden menyatakan tidak tahu. Untuk masing-masing
profesi, persentasenya adalah pendidikan dokter sebanyak 78,1%, pendidikan dokter gigi 73,5%,
ilmu keperawatan 73,9%, ilmu gizi 78%, farmasi 66,9%, kebidanan 73,3%, dan kesehatan
masyarakat 69,6%. Masih adanya responden yang tidak tahu akan hal ini, kemungkinan
dikarenakan masih banyaknya institusi pendidikan tinggi beberapa profesi kesehatan yang belum
terakreditasi sehingga mengalami kesulitan untuk bisa menjadi tempat pelaksana uji kompetensi
nasional profesi kesehatan.
5. Manajemen retaker (pembinaan dan pembiayaan pengulangan UKN).
14
Berhubungan dengan pernyataan sebelumnya, peserta retaker (remediasi) uji kompetensi
hanya akan mengulang ujian pada spesialisasi keilmuan yang mendapat nilai rendah. Hal
ini disetujui oleh sebagian besar responden, yakni sebanyak 45% responden menyatakan sangat
setuju dan sebanyak 42% responden menyatakan setuju. Untuk responden masing-masing profesi
juga menyetujui hal tersebut, yaitu pendidikan dokter sebanyak 50,9% menyatakan sangat setuju
dan 35,8% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 50,2% menyatakan sangat setuju dan 38%
menyatakan setuju, ilmu keperawatan 47% menyatakan sangat setuju dan 42% menyatakan
setuju, ilmu gizi 35% menyatakan sangat setuju dan 52% menyatakan setuju, farmasi 41,8%
menyatakan sangat setuju dan 43,1% menyatakan setuju, kebidanan 47% menyatakan sangat
setuju dan 43% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 36,6% menyatakan sangat setuju
dan 48,5% menyatakan setuju. Mungkin sebagian besar responden itu merasa tidak adil apabila
misalnya ada peserta uji kompetensi yang tidak lulus pada salah satu bidang keilmuan saja, ia
harus mengulang uji kompetensi secara keseluruhan.
Sedangkan untuk masalah biaya uji kompetensi retaker, sebanyak 17% responden menyatakan
sangat setuju dan 25% responden menyatakan setuju bahwa jumlahnya harus sama dengan
jumlah yang dibayarkan saat uji kompetensi pertama. Namun, di sisi lain, masih ada 21%
responden yang menyatakan ragu-ragu, 25% tidak setuju, dan 12% sangat tidak setuju. Hasil
yang serupa juga dijumpai pada beberapa profesi kesehatan, yakni pendidikan dokter sebanyak
17,5% menyatakan sangat setuju, 21,1% menyatakan setuju, 22,9% menyatakan ragu-ragu, dan
23,6% menyatakan tidak setuju, pendidikan dokter gigi 13,6% menyatakan sangat setuju, 25,4%
menyatakan setuju, 24,4% menyatakan ragu-ragu, dan 25,8% menyatakan tidak setuju, ilmu
keperawatan 20% menyatakan sangat setuju, 21% menyatakan setuju, 18% menyatakan ragu-
ragu, 26% menyatakan tidak setuju, dan 15% menyatakan sangat tidak setuju, ilmu gizi 17%
15
menyatakan sangat setuju, 38% menyatakan setuju, 21% menyatakan ragu-ragu, 19%
menyatakan tidak setuju, dan 5% menyatakan sangat tidak setuju, farmasi 13,1% menyatakan
sangat setuju, 26,1% menyatakan setuju, 24,8% menyatakan ragu-ragu, 27,5% menyatakan tidak
setuju, dan 8,5% menyatakan sangat tidak setuju, kebidanan 17% menyatakan sangat setuju, 25%
menyatakan setuju, 23% menyatakan ragu-ragu, 25% menyatakan tidak setuju, dan 10%
menyatakan sangat tidak setuju, dan kesehatan masyarakat 17,2% menyatakan sangat setuju,
30,8% menyatakan setuju, 18,4% menyatakan ragu-ragu, dan 24,6% menyatakan tidak setuju.
Hal ini mungkin berhubungan dengan pernyataan sebelumnya tentang spesialisasi keilmuan yang
harus diulang sehingga biaya uji kompetensi retaker yang harus dibayarkan bergantung pada
jumlah spesialisasi keilmuan yang akan diuji ulang kembali.
Pernyataan Sikap Tiap Ormawa dan Hasil Kajian Uji Kompetensi
Nasional (UKN) Masing-masing Profesi
KEDOKTERAN dengan ISMKI, CIMSA, dan AMSA.
Berdasarkan hasil kajian bersama dengan organisasi mahasiswa serta hasil kajian UKN yang
dilakukan bersama HPEQ Student dapat disimpukan beberapa poin permasalahan terkait
program UKDI yang masih dirasakan. Sebanyak lebih dari 60% mahasiswa kedokteran
Indonesia menyatakan setuju bahwa mahasiswa perlu terlibat dalam penentuan kebijakan uji
kompetensi, perlu adanya penyelarasan substansi uji kompetensi dengan proses belajar di
fakultas, uji kompetensi sebagai bagian dari evaluasi pembelajaran (exit exam), kerahasiaan
soalnya perlu dijaga, dan harus menjunjung tinggi transparansi hasil uji kompetensi,
1. Penggunaan dana UKDI dan permasalahannya
Permasalahan yang krusial dari UKN terutama di pendidikan dokter melalui UKDI adalah
pembiayaan dimana 54,1% responden setuju bahwa harga yang ditetapkan terlalu tinggi dan
67,5% merasa kurang adanya transparansi komponen pembiayaan uji kompetensi yang
dibayarkan oleh peserta uji. 81,4% Responden menginginkan pembiayaan UKDI sudah
terintegrasi kedalam total biaya pendidikan.
2. Transparansi hasil UKDI kepada publik
16
Masalah lain adalah terkait soal, dimana 49,4% responden sangat setuju dan 37,7% setuju
untuk menyesuaikan jumlah soal dengan luas spesialisasi bidang tersebut. Dari sisi
penilaian, lebih banyak responden yang memilih batas nilai kelulusan minimal uji
kompetensi yang ditentukan oleh nilai minimal dari total seluruh soal (71,3%) dibandingkan
nilai minimal dari masing-masing spesialisasi (28,7%).
Selain pembiayaan, 64,8% responden lebih merasa perlu adanya transparansi nilai kepada
masyarakat dalam bentuk status kelulusan dibandingkan dengan cantuman nilai UKN
(35,2%). Untuk memastikan keberlangsungan status kompetensi dokter, 47,8% responden
menyetujui sistem kredit (“pendidikan profesi berkelanjutan”) dan 44% responden setuju
dengan sistem kredit dan resertifikasi sebagai metode pembaharuan sertifikat kompetensi.
3. Perlu adanya evaluasi terhadap metode evaluasi UKN
Hasil Kajian UKN menunjukkan respon setuju mendominasi pada pentingnya bukti
sertifikat kelulusan untuk peserta yang lulus uji kompetensi (86,2%), penggunaan MCQ
sebagai evaluasi knowledge (82,4% ) dan osce sebagai evaluasi skill dan komunikasi
(88,2%). Selain itu, metode MCQ dan OSCE masih diragukan dan tidak disetujui oleh total
26,4% responden. Hal ini membuka peluang untuk diadakannya pengembangan lebih lanjut
terkait metode evaluasi kedepannya.
4. Penyelenggaraan dan lokasi UKDI
Dalam penyelenggaraan UKDI sebesar 59,8% Responden memilih lembaga pemerintah
sebagai penyelenggara. Sebagian besar Responden (72,3%) menginginkan pelaksanaan
UKDI lebih baik dilaksanakan di institusi masing-masing.
5. Perlu adanya Manajemen Retaker UKDI
Untuk masalah retaker uji kompetensi, hampir seluruh mahasiswa menyatakan setuju perlu
adanya pembinaan dari institusi pendidikan. Sebagian besar mahasiswa menyatakan setuju
terhadap proporsi jumlah soal sesuai dengan luasnya spesialisasi keilmuan, sehingga untuk
retaker sebagian besar mahasiswa setuju hanya akan mengulang pada spesialisasi dengan
nilai yang rendah sedangkan lebih dari setengah mahasiswa mengatakan batas nilai kelulusan
tetap menggunakan nilai secara menyeluruh.
17
18
19
KEDOKTERAN GIGI dengan PSMKGI
Poin-poin permasalahan utama UKN di Kedokteran Gigi
1. Mahasiswa sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya
dalam perencanaan atau perubahan kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan
Grafik 23. Persepsi Responden tentang Keterlibatan Mahasiswa dalam Penentuan
Kebijakan Uji Kompetensi
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden menyatakan sangat
setuju (58,1%) dan sebanyak 37% responden menyatakan setuju apabila mahasiswa
sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya dalam perencanaan
atau perubahan kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan. Mahasiswa sebagai objek
dari kebijakan uji kompetensi sekaligus sebagai agent of change dan social control, memang
sebaiknya terlibat dalam penentuan kebijakan uji kompetensi karena uji kompetensi
merupakan tahapan pendidikan yang harus dilalui oleh mahasiswa sebelum mendapatkan
gelar profesinya dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
2. Sebaiknya dilakukan penyelerasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas
dan rumah sakit pendidikan pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi
nasional
20
Gambar 24. Persepsi Responden tentang Integrasi Substansi Uji Kompetensi
Sebanyak 52,2% responden menyatakan sangat setuju dan 39,4% menyatakan setuju jika
dilakukan penyelarasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas dan rumah
sakit pendidikan pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi nasional.
Hal ini mungkin dikarenakan dalam pelaksanaan uji kompetensi nasional pada profesi.
3. Biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa untuk uji kompetensi saat ini masih terlalu
tinggi
Gambar 32. Persepsi Responden tentang Tingginya Biaya Uji Kompetensi
Untuk masalah biaya uji kompetensi nasional, menurut sebagian besar responden, yakni
sebanyak 55,3% responden menyatakan sangat setuju dan 22,9% responden menyatakan
21
setuju, biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa untuk mengikuti uji kompetensi saat ini
masih terlalu tinggi.
4. Seharusnya ada transparansi komponen pembiayaan uji kompetensi yang dibayarkan oleh
peserta uji
KEPERAWATAN dengan ILMIKI dan HIMADIKA
Poin – poin permasalahan UKN Keperawatan
1. Pra Implementasi UKN
1. Sosialisasi dan Pembekalan : seminar dan try out bagi mahasiswa, peyamaan persepsi
dan pelatihan bagi penguji
Pembekalan oleh institusi bagi mahasiswa yang akan menghadapi Uji Kompetensi
Nasional sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan mahasiswa tersebut dan harus sesuai
dengan kurikulum pendidikan yang disusun oleh AIPNI. AIPNI dapat mengkoordinir
seluruh institusi pendidikan keperawatan di Indonesia dalam pelaksanaan pembekalan
kepada mahasiswa dapat berupa try out dan seminar pencerdasan. Pencerdasan kepada
mahasiswa keperawatan dapat dimulai sejak awal kuliah sehingga lebih siap dalam
menghadapi UKN di akhir masa kliniknya. Sebelum pelaksanaan UKN harus sudah ada
panduan resmi pelaksanaan UKN dan tersosialisasikan ke seluruh institusi keperawatan
di Indonesia. Evaluator UKN harus terstandarisai sesuai dengan spesialisasi bidang
keperawatan masing-masing sehingga sangat perlu diadakan pelatihan dan penyamaan
persepsi bagi evaluator UKN.
2. Penyusunan soal dan penentuan batas minimal UKN
Dalam hal penyusunan substansi soal UKN, AIPNI yang merupakan forum antarinstitusi
pendidikan keperawatan di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar dalam
pengelolaan soal dan merupakan hasil musyawarah bersama dalam forum tersebut.
Penentuan batas nilai minimal disesuaikan dengan hasil evaluasi try out agar tingkat
kelulusan mahasiswa meningkat.
22
Implementasi UKN
1. Waktu, tempat, dan penyelenggara UKN
UKN dilaksanakan pada akhir pendidikan profesi ners sebelum melakukan sumpah
profesi perawat (exit exam) terintegrasi dengan waktu kelulusan di setiap institusi.
Pelaksanaan UKN sesuai dengan Permenkes No. 1796 tahun 2011 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan harus diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yaitu
pendidikan atau lembaga pelatihan yang merupakan bagian dari sistem penjaminan mutu.
Jadi penyelenggaran UKN harus sudah tersertifikasi.
2. Mekanisme metode UKN
Menurut hasil evaluasi UKDI dan UKDGI tentang penggunaan Computer Based Test
cukup aman, efektif, efisien, dan murah karena tidak harus mencetak soal dalam kertas.
Jadi dapat diterapkan dalam metode pelaksanaan UKN profesi perawat.
3. Pembiayaan UKN
Masalah pembiayaan UKN sangat sensitif karena jika melihat realita kebutuhan
pendanaan untuk dapat menempuh pendidikan tinggi di institusi keperawatan cukup
mahal. Jadi pembiayaan UKN sebaiknya terintegrasi dengan pembiayaan per semester
kuliah. Jadi tidak menarik biaya lagi bagi peserta UKN di luar biaya semester karena
dirasa memberatkan. Pengelolaan keuangan UKN juga harus transparan dan
disosialisasikan ke peserta daftar kebutuhan yang harus dibayarkan ketika mengikuti
UKN.
Pasca Implementasi UKN
1. Pengumuman via online
Mekanisme pengumuman hasil UKN dapat diakses secara online agar tidak ada batas
ruang dan waktu. Pemanfaatan teknologi seperti internet dapat membantu dan
mempermudah dalam hal pengumuman hasil UKN baik bagi penyelenggaran maupun
peserta UKN. Tidak membutuhkan biaya yang mahal dan dapat diakses siapapun,
dimanapun, dan kapanpun.
2. Mekanisme retaker
Peserta UKN yang belum lulus dapat mengikuti retaker pada bagian spesialisasi yang
dianggap kurang mencukup nilainya sesuai dengan ketentuan batas nilai minimal dimana
23
biaya yang harus dikeluarkan untuk retaker disesuaikan dengan jumlah biaya pada
spesialisasi yang diulang.
3. Standardisasi STR secara internasional
STR yang didapatkan oleh peserta UKN yang lulus diharapkan tidak hanya dapat
digunakan untuk syarat bekerja di dalam negeri saja namun dapat digunakan untuk syarat
bekerja di luar negeri. Artinya STR sudah terstandar secara internasional supaya ketika
ingin bekerja di luar negeri tidak harus menempuh ujian lagi.
GIZI dengan ILMAGI
Jika dilihat dari hasil AB (Audiensi Bersama) tahun 2012 lalu, menurut PERSAGI, uji
kompetensi gizi sedang dipersiapkan dan pelaksanaannya kemungkinan pda tahun 2013. Namun
hingga saat ini (akhir tahun 2013) UKN belum juga terlaksana. Selain itu (kalau tidak salah
ingat), pada bulan juli ada semacam pemutihan untuk lulusan gizi S1, dimana tujuannya adalah
untuk mendapatkan STR. Proses pemutihan ini dikoordinir oleh pihak prodi. Namun, untk yang
berlokasi di luar Pulau Jawa bisa mengurus langsung ke PERSAGI provinsi masing-,masing.
Jadi, pertanyaan terpenting untuk UKN adalah: kapan UKN dilaksanakan?
Sedangkan dari sisi mahasiswa, belum banyak mahasiswa gizi yang membicarakan (apalagi
menyatakan pro/kontra) tentang UKN karena belum semua mahasiswa tahu tentang hal ini.
Sosialisasi UKN dirasa masih kurang. Sedangkah mahasiswa yang telah mengetahui kabar
tentang UKN, mereka setuju. Namun masih ada yang tidak mengerti mengenai tujuan UKN
sehingga masih ada yang tidak menyatakan setuju/tidaknya terhadap UKN. Pendidikan profesi
(gizi) seakan-akan belum menarik di kalangan mahasiswa gizi saat ini. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada penolakan tentang UKN, namun sosialisasinya
belum gencar sehingga belum banyak yang tahu.
Berdasarkan hasil survey, 71% mahasiswa Gizi (pre klinik dan profesi) telah mengetahui
informasi mengenai uji kompetensi. Sementara itu, masih ada 29% populasi responden yang
belum mengetahui uji kompetensi. Pada beberapa universitas, pembekalan mengenai profesi gizi
baru diberikan pada tahap akhir masa studi. Namun demikian, informasi mengenai profesi bisa
diakses melalui sumber informasi lainnya selain pembekalan dari institusi pendidikan. Bila
24
dikaitkan dengan hasil distribusi responden, kebanyakan merupakan mahasiswa merupakan
mahasiswa yang minimal sedang menjalani semester genap tahun ke-3 masa pendidikannya
sehingga dimungkinkan 18% responden dari angkatan 2011 belum mendapatkan informasi yang
jelas mengenai profesi dan khususnya uji kompetensi. Selain itu, masih ada karakteristik
responden yang telah lulus sejak tahun 2010. Pada tahun tersebut, uji kompetensi belum menjadi
isu pada sistem pendidikan Gizi. Dapat diasumsikan bahwa 29% responden yang menyatakan
tidak mengetahui UKN berasal dari mahasiswa pre klinik tingkat 2 dan alumni.
Poin terpenting yang selalu dibicarakan teman-teman mahasiswa gizi adalah tentang status
setelah UKN, apakah RD atau sekedar dietitian.
Kutipan dari hasil kajian Pendidikan Ilmu Gizi yang diadakan Departemen Isu & Advokasi
ILMAGI pada tahun 2012 :
Mengenai profesi, sebanyak 92.7% responden mengetahui tentang “Registered Dietitian” dan
sebanyak 85.5% responden mengatakan bahwa berdasarkan informasi yang ia peroleh, gelar
“Registered Dietitian” bisa diperoleh dengan mengikuti program profesi. Berdasarkan hasil
kuesioner, dapat dilihat bahwa mayoritas responden (94.5%) sudah pernah mendapat informasi
mengenai Program Profesi Gizi dan sebanyak 96.4% responden merasa perlu diadakannya
Program Profesi Gizi tersebut. Meski demikian, masih terdapat responden yang belum pernah
mengetahui tentang “Registered Dietitian”. Pengetahuan responden terhadap Program Profesi
Gizi sudah melebihi 80%, namun mengenai uji kompetensi profesi gizi, hanya sebanyak 67.3%
responden yang pernah mendapat informasi mengenai hal ini.
25
Pada kuesioner yang disebarkan secara langsung (tercetak), dari 96,8% responden yang
menjawab pertanyaan mengenai “Registered Dietitian”, seluruh responden mengatakan bahwa
program profesi “Registered Dietitian” perlu diadakan. Responden berharap agar program
profesi ini diadakan di universitas negeri di Indonesia dan dilakanakan dengan sebaik mungkin.
Melalui program profesi maka akan meningkatkan kualitas dan kompetensi para lulusan
sehingga para lulusan siap terjun di masyarakat hingga mampu bersaing di skala internasional.
Dengan adanya lulusan yang berkualitas, diharapkan pula permasalahan gizi di Indonesia akan
terselesaikan dengan baik dan meningkatkan status gizi Indonesia.
Jadi, sebenarnya setelah lulus UKN, maka akan mendapatkan STR (surat tanda registrasi)
yangmana kemudian seorang ahli gizi dapat mengajukan SIK (sirat ijin kerja) di provinsi
masing-masing. Kemudian, kalau lanjut ke sekolah profesi, maka akan mendapat dietitian dan
bisa mengajukan SIP (surat izin praktek) jika ingin membuka klinik gizi sendiri. (apa ada yg
keliru mengenai penjelasan ini? Mungkin perlu klarifikasi dari PERSAGI).
Kembali lagi ke persoalan sosialisasi. Diharapkan setiap perguruan tinggi dapat mengadakan
sosialisasi mengenai keprofesian terlebih dahulu. Jangan sekedar menyuruh mahasiswa membaca
undang-undangnya. Karena biasanya mahasiswa hanya disuruh membaca sendiri UU-nya dan
disuruh sabar menunggu UKN.
Kesimpulan :
1. Sikap ILMAGI terhadap UKN adalah setuju dan mendesak untuk segera realisasi
2. Permasalahan yg ada di UKN adalah kurangnya sosialisasi
FARMASI dengan ISMAFARSI
Ketetapan sikap mahasiswa profesi dan ormawa terhadap isu UKN
Tahun 2015 adalah tahun pertama bagi mahasiswa calon profesi dalam menghadapi Uji
Kompetensi Nasional. Pada tahun ini akan diadakan uji coba Uji Kompetensi Nasional. Dari uji
coba tersebut akan dapat dilihat sejauh mana kesiapan dari mahasiswa calon profesi. Dari
mahasiswa farmasi sendiri menyatakan kesiapannya untuk menghadapi uji kompetensi nasional
profesi apoteker yang akan pertama kali diadakan pada tahun 2015 nanti, dengan catatan adanya
26
sosialisasi lebih lanjut mengenai Uji Kompetensi yang akan diadakan nanti, dikarenakan masih
banyak mahasiswa yang belum mengetahui tentang adanya uji kompetensi pada tahun 2015
nanti.
Selain itu, mahasiswa farmasi sadar akan pentingnya Uji Kompetensi Nasional untuk profesi
apoteker, dikarenakan dengan adanya Uji kompetensi nasional ini, maka akan dapat
meningkatkan kompetensi apoteker yang nantinya akan terjun di era SJSN dan akan mengurangi
bervariasinya kompetensi apoteker di Indonesia.
ISMAFARSI dan mahasiswa farmasi berharap akan transparasi dari Uji Kompetensi yang
nantinya akan diadakan. Dan mahasiswa farmasi juga berharap diadakan sosialisasi uji
kompetensi lebih lanjut, dikarenakan uji kompetensi yang akan dilakukan adalah computer based
sehingga diperlukan pengetahuan tentang mekanisme yang harus dilakukan dalam uji
kompetensi tersebut. Semoga Uji Kompetensi Nasional I bagi profesi apoteker akan dapat
berlangsung dengan baik tanpa merugikan pihak manapun.
27
Permasalahan :
1. Uji Kompetisi bagi profesi apoteker akan pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015,
sehingga memerlukan kesiapan dari para calon apoteker untuk menempuh uji kompetensi
nasional tersebut
2. Masih beragamnya kurikulum pendidikan farmasi di Indonesia, sedangkan dari 63 universitas
penyelenggara program S-1 farmasi, hanya beberapa universitas saja yang akan dilibatkan
dalam pembuatan soal, sehingga diperlukan adanya batasan yang jelas dari panitia
penyelenggara.
3. Kurang tersosialisasinya Uji kompetensi nasional yang akan diadakan, dibuktikan masih
banyak mahasiswa yang belum mengerti dan belum tahu tentang penyelenggaraan uji
kompetensi nasional. Ditambah penyelenggaraan uji kompetensi nasional yang computer
based, sehingga diperlukan pengetahuan tentang mekanisme penyelenggaraannya.
Hasil Survey UKN menyatakan 88,4% mahasiswa farmasi Indonesia telah memiliki tingkat
pengetahuan yang baik mengenai latar belakang, tujuan (94,2%), dan manfaat (90,2%) dari
pelaksanaan uji kompetensi nasional bagi tenaga kesehatan. Mahasiswa farmasi Indonesia
juga telah memiliki pengetahuan yang baik tentang pemberigan sertifikat bagi lulusan uji
kompetensi nasional (78,6%). Namun pengetahuan tersebut tidak sebaik pengetahuan
terhadap metode uji kompetensi (53,8%) baik metode MCQ (59,0%) maupun metode
OSCE (69,9%). Selain itu, pengetahuan tentang penyusunan soal uji (53,0%), tempat
pelaksanaan uji (66,9%) serta waktu pelaksanaan uji kompetensi bagi farmasi (52,4%) juga
masih tergolong rendah.
KEBIDANAN dengan IKAMABI
28
Mayoritas mahasiswa kebidanan menyatakan setuju dengan diadakannya uji kompetensi nasional
sebagai sebuah jalan untuk menjamin mutu pendidikan kebidanan yang mengacu pada pelayanan
kesehatan masyarakat Indonesia khususnya di bidang kebidanan. Kami meyakini bahwa
implementasi uji kompetensi ini dapat menjamin lulusan pendidikan tinggi kebidanan yang
kompeten. Namun, perlu dimatangkan kembali untuk teknis dan metode pelaksanan uji
kompetensi ini, mengingat baru diadakan pertama kali UKN pada november 2013 shingga masih
diperlukan adanya evaluasi.
1. Sosialisasi UKN
Diharapkan adanya sosialisasi UKN yang lebih massive kepada mahasiswa kebidanan sebagai
obyek pelaksanaan UKN, hal ini ditinjau dari hasil penelitian dimana ada mahasiswa yang
belum mengetahui adanya UKN. Selain itu perlu ditekankan untuk sosialisasi UKN di
kalangan mahasiswa S1 kebidanan, yang dirasa kurang sehingga mahasiswa S1 kebidanan
terkesan tidak begitu aware dengan adanya UKN ini. Padahal, seperti yang telah kita ketahui
bahwa UKN merupakan indikator kualitas lulusan bidan setelah selesai menempuh
pendidikan. Hal ini didukung juga dengan belum adanya UKN untuk fresh graduate S1
Kebidanan terutama dari program reguler (S1 langsung dari SMA)
2. Sosialisasi teknis pelaksanaan UKN karena adanya perbedaan metode uji kompetensi di
tiap daerah. Perlu lebih disosialisasikan terkait teknis pelaksanaan UKN ini, melihat
pengetahuan dan akses informasi mahasiswa kebidanan tidak merata di setiap daerah.
3. Adanya penyelasaran substansi uji dengan kurikulum selama proses pembelajaran di
fakultas. Hal ini dirasakan perlu agar tercapai hasil yang sinkron antara akademik dan
profesi
4. Persamaan garis besar kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Di beberapa institusi yang
menggunakan kurikulum KBK akan lebih unggul dalam kompetensi praktek (knows how,
show how) sedangkan di institusi yang menggunakan kurikulum konvensional justru
sebaliknya. Selain itu, untuk S1 kebidanan yang hanya ada di 3 institusi di Indonesia,
kurikulumnya berbeda. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi keberagaman
kualitas output. Sehingga, alangkah baiknya S1 kebidanan yang masih langka jumlahnya ini
disamakan kurikulumnya agar memunculkan output pendidikan yang sudah terstandar
secara nasional. Dan diharapkan jika nantinya akan didirikan S1 kebidanan di institusi
lainnya akan tertata rapi sistemnya.
29
5. Keikutsertaan mahasiswa dalam menentukan kebijakan terkait uji kompetensi, karena
pada dasarnya mahasiswa adalah obyek kebijakan dan juga subyek pelaksana uji kompetensi.
Selain itu perlu ditentukankan dan disosialisasikan kebijakan lulusan yang telah mendapat
sertifikat kompetensi dan STR, bagaimana system magang dan program PTT di beberapa
daerah marginal untuk mengatasi masalah kesehatan sekaligus pemeratan bidan di daerah
dan juga perluasan lapangan kerja bagi bidan fresh graduate.
KESEHATAN MASYARAKAT dengan ISMKMI
Berdasarkan hasil Kajian mengenai Uji Kompetensi Nasional yang telah dilakukan oleh HPEQ
Student sebagian besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat setuju untuk diadakannya UKN
sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan kesehatan masyarakat. Namun perlu adanya sistem
dan teknis yang matang untuk pelaksanaan UKN tersebut, mengingat sampai saat ini kesehatan
masyarakat belum memiliki uji kompetensi.
Saat ini ISMKMI masih berfokus pada kajian kurikulum kesehatan masyarakat dan pengadaan
profesi kesehatan masyarakat. Pendidikan kesehatan masyarakat sampai sekarang belum
memiliki ketetapan kurikulum yang sama pada setiap institusi, masih banyak institusi yang
belum memenuhi 7 bidang yang seharusnya terdapat pada pendidikan kesehatan masyarakat,
sehingga diharapkan petinggi dan penentu kebijakan dapat segera menetapkan kurikulum yang
setara untuk setiap institusi kesehatan masyarakat. Begitu juga dengan pengadaan profesi
kesehatan masyarakat, ISMKMI sedang mengkaji kebutuhan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
mengenai pengadaan profesi kesehatan masyarakat sebagai peningkatan mutu lulusan Kesehatan
Masyarakat.
1. Sosialisasi Uji Kompetensi Nasional
Sosialisasi mengenai pengadaan uji kompetensi nasional ini perlu ditingkatkan kembali,
mengingat masih ada Mahasiswa Kesehatan Masyarakat yang belum mengetahui dan
mengerti mengenai uji kompetensi. Sosialisasi Uji Kompetensi Nasional dapat dilakukan
secara berkala melalui media sosial karena berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan
sebagian besar mahasiswa kesehatan masyarakat mendapatkan informasi mengenai UKN
melalui media sosial.
30
Gambar 7. Pengalaman Responden tentang Sumber Informasi Uji Kompetensi
Berdasarkan grafik pengalaman responden dalam pelaksanaan uji kompetensi didapatkan
bahwa hampir seluruh responden yaitu sebanyak 350 responden (66 %) telah mendengar
informasi tentang uji kompetensi. Hal ini disebabkan adanya seminar atau workshop yang
pernah membahas perihal uji kompetensi.
Namun terdapat 180 responden (34%) yang belum pernah mendengar informasi tentang uji
kompetensi. Jadi kewajiban bagi pelaksana uji kompetensi kesehatan masyarakat untuk
melakukan sosialisasi ke institusi pendidikan kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia baik
dalam bentuk pelaksanaan seminar melalui organisasi mahasiswa kesehatan masyarakat
tingkat institusi, wilayah, maupun nasional dan dapat juga melalui website atau media sosial.
Dilihat dari sumber informasi tentang uji kompetensi, sebagian besar responden yakni
sebanyak 219 responden (70,82%) mendapatkan informasi tentang uji kompetensi dari media
sosial, dan sisanya dari seminar atau workshop. Beberapa institusi pendidikan kesehatan
masyarakat di Indonesia telah mengadakan seminar tentang pelaksanaan uji kompetensi
kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh IAKMI, namun belum merata dalam hal sosialisasi
yang komprehensif.
Selain seminar atau workshop, sangat sedikit responden yang mengakses situs atau website
untuk mencari informasi tentang uji kompetensi. Setengahnya responden yaitu sebanyak 90
responden (64,29%) mengakses situs resmi pemerintah (hpeq.dikti.go.id) sebagai referensi
31
untuk mendapatkan informasi tentang uji kompetensi nasional dan sebagian kecil responden
mengakses situs HPEQ Student sebagai jejaring organisasi mahasiswa program studi
kesehatan (7 profesi kesehatan) yang salah satu fokus garapnya adalah uji kompetensi
nasional.
2. Keikutsertaan mahasiswa pada penentuan kebijakan Uji Kompetensi Nasional
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat sangat setuju mengenai keikutsertaan mahasiswa pada
perumusan, pelaksanaan dan evaluasi Uji Kompetensi Nasional, diharapkan Mahasiswa
sebagai objek dari Uji Kompetensi Nasional dapat menyumbangkan ide dan suara mengenai
pengadaan uji kompetensi ini, sehingga UKN sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari
mahasiswa sendiri.
Dari hasil kajian UKN dapat dilihat bahwa setengahnya responden sangat setuju yaitu
sebanyak 261 responden (62,6%) jika mahasiswa sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk
mengemukaan pemikirannya dalam perencanaan atau perubahan kebijakan uji kompetensi
nasional di masa depan. Mahasiswa sebagai agent of change dan social control seharusnya
terlibat dalam penentuan kebijakan uji kompetensi nasional.
32
Informasi lebih lanjut terkait kajian ini, bisa menghubungi :
Koordinator Kajian :
Anggie Hardiyanti ([email protected]
Cc ke Penanggung Jawab Kajian :
Aprilia Ekawati Utami (Email : [email protected]
Kajian ini didedikasikan oleh mahasiswa
pendidikan tinggi kesehatan Indonesia
sebagai bentuk partisipasi dalam usaha
peningkatan kualitas pendidikan tinggi
kesehatan
Kajian ini akan senantiasa
disempurnakan dan dikembangkan
sesuai dengan masukan dari para
pemangku kepentingan dan rekan
mahasiswa
Semoga kajian ini dapat memberi
manfaat dan dapat ditindaklanjuti
bersama
Informasi lebih lanjut terkait kajian ini, bisa menghubungi :
Cc ke Penanggung Jawab Kajian :
Kajian ini didedikasikan oleh mahasiswa
pendidikan tinggi kesehatan Indonesia
sebagai bentuk partisipasi dalam usaha
peningkatan kualitas pendidikan tinggi
Kajian ini akan senantiasa
disempurnakan dan dikembangkan
sesuai dengan masukan dari para
pemangku kepentingan dan rekan
Semoga kajian ini dapat memberikan
manfaat dan dapat ditindaklanjuti