Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

32
UJ Suara Mahasiswa 1 JI KOMPET Kam Kam Kam Kam a Pendidikan Tinggi Kesehata TENSI ? mi Siap !! mi Siap !! mi Siap !! mi Siap !! an Indonesia

description

fff

Transcript of Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

Page 1: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

UJI KOMPETENSI ?

Suara Mahasiswa

1

UJI KOMPETENSI ?Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !!

a Pendidikan Tinggi Kesehatan

UJI KOMPETENSI ? Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !! Kami Siap !!

an Indonesia

Page 2: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

Dari Mahasiswa

“Coming together is a beginning. Keeping together is progress.

Working together is success.”

2

Mahasiswa

untuk IndONE

Coming together is a beginning. Keeping together is progress.

Working together is success.” (Henry Ford)

ONEsia

Coming together is a beginning. Keeping together is progress.

Page 3: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

3

KAJIAN AWAL :

TINGKAT PENGETAHUAN, PERSEPSI, DAN SIKAP

MAHASISWA TERHADAP UJI KOMPETENSI

PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN DI INDONESIA

PENELITI : TIM HPEQ STUDENT

• Anggie Hardiyanti (Koordinator/Kedokteran)

• Fatia Nur Masriati (Kedokteran)

• Nurita Aryakhiyati (Ners)

• Lafi Munira (Kesmas)

• Pony Purnamasari (Farmasi)

• Kiki Saputri (Kedokteran Gigi)

• Ayu Solehati Agustina (Bidan)

• Makhyan Jibril (Gizi)

PEMBIMBING/NARASUMBER :

• Tri Hanggono Ahmad (Koordinator Komponen 2 HPEQ)

• Arsitawati Puji Raharjo (Sekretaris Eksekutif HPEQ)

PENANGGUNG JAWAB :

Aprilia Ekawati Utami (Pengelola Monev & Litbang HPEQ)

Difasilitasi oleh :

Proyek Health Professional Education Quality (HPEQ)

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gedung Victoria Lantai 2, Jl. Sultan Hasanuddin Kav. 47 – 51, Jakarta Selatan 12160; Telepon:

021 7279 1384; 021 3417 3304/05/06, Fax. 021 7279 1388;

Website: www.hpeq.dikti.go.id; hpeqstudent.org ; Email: [email protected]

Page 4: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

4

Latar belakang

Kondisi sistem pendidikan tinggi kesehatan di Indonesia (keberagaman kualitas lulusan tiap

institusi), upaya pemenuhan akan permintaan SDM di bidang kesehatan dalam jumlah yang

cukup dan berkualitas untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia

serta landasan konstitusional, yaitu UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 1, Pasal 35 ayat (1) dan (3), Pasal 61 ayat (1), (2), dan (3), UU RI No. 12 Tahun

2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 17 ayat (2), Pasal 29, Pasal 51, dan Pasal 52, Peraturan

Presiden RI No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Pasal 1, serta

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan telah

jelas bahwa uji kompetensi perlu diadakan bagi setiap peserta didik yang telah menyelesaikan

jenjang pendidikan yang dilewatinya sebagai suatu bentuk penjaminan mutu lulusan pendidikan

tinggi kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia, mengingat globalisasi dalam

bidang kesehatan merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan

sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan agar

mampu bersaing dengan tenaga kesehatan asing yang akan bekerja di Indonesia maupun di pasar

global.

Mengingat pentingnya penyelenggaraan uji kompetensi yang merata dan terstandardisasi secara

nasional untuk menjamin kompetensi para lulusannya dalam menjalankan tugas profesi, maka

perlu ditinjau sejauh mana tingkat pengetahuan dasar dan persepsi mahasiswa terhadap uji

kompetensi di profesi kesehatannya masing-masing. Atas dasar inilah HPEQ Student

melaksanakan kajian awal tentang uji kompetensi yang berjudul “Tingkat Pengetahuan, Persepsi,

dan Sikap Mahasiswa Terhadap Uji Kompetensi Pendidikan Profesi Kesehatan di Indonesia”.

Tujuan

Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang sistem uji kompetensi

untuk pendidikan tinggi kesehatan yang diberlakukan di Indonesia. Secara khusus, kajian ini

memiliki tujuan:

1. Mengetahui tingkat pengetahuan dasar mahasiswa kesehatan tentang uji kompetensi

2. Mengetahui persepsi mahasiswa kesehatan terhadap uji kompetensi

3. Mengetahui sikap mahasiswa kesehatan terhadap uji kompetensi

Page 5: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

5

Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional serta analisis

tabulasi data. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Maret 2013 kepada mahasiswa

pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia dengan menggunakan metode web-based survey

(Survey Monkey). Responden penelitian terdiri atas mahasiswa dari 7 bidang kesehatan yang

sedang difasilitasi melalui proyek HPEQ, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan,

kebidanan, farmasi, gizi, dan kesehatan masyarakat.

Instrumen kajian pada tahap ini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari British Medical

Council dan FAME Course (National Board of Medical Examination/NBME and FAIMER joint

course) yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Pengertian uji kompetensi nasional

2. Pentingnya uji kompetensi nasional

3. Tata laksana uji kompetensi nasional yang baik

4. Persepsi terhadap uji kompetensi nasional

5. Sikap terhadap uji kompetensi nasional

6. Sistem pembiayaan uji kompetensi nasional

Jumlah responden

Jumlah total responden 3.053 dengan pembagian responden berdasarkan program studi masing-

masing sebagai berikut:

Page 6: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

6

Hasil Kajian (secara umum)

1. Lebih dari 60% mahasiswa kesehatan Indonesia telah mengetahui alasan pelaksanaan uji

kompetensi, tujuan dan manfaat uji kompetensi, cara pemberian sertifikat kompetensi,

metode uji kompetensi (baik MCQ maupun OSCE), pedoman penyusunan soal uji

kompetensi, serta tempat dan pelaksanaan uji kompetensi.

2. Lebih dari 60% mahasiswa menyatakan setuju bahwa mahasiswa perlu terlibat dalam

penentuan kebijakan uji kompetensi, perlu adanya penyelarasan substansi uji kompetensi

dengan proses belajar di fakultas, uji kompetensi sebagai bagian dari evaluasi

pembelajaran (exit exam), perlu adanya kerahasiaan soal, perlu adanya transparansi hasil

uji kompetensi, serta penggunaan metode uji dengan MCQ dan OSCE.

3. Untuk masalah retaker uji kompetensi, hampir seluruh mahasiswa menyatakan setuju

perlu adanya pembinaan dari institusi pendidikan.

4. Sebagian besar mahasiswa menyatakan setuju terhadap proporsi jumlah soal sesuai

dengan luasnya spesialisasi keilmuan, sehingga untuk retaker sebagian besar mahasiswa

setuju hanya akan mengulang pada spesialisasi dengan nilai yang rendah sedangkan lebih

dari setengah mahasiswa mengatakan batas nilai kelulusan tetap menggunakan nilai

secara menyeluruh.

5. Sebanyak lebih dari 70% mahasiswa menyatakan setuju bahwa biaya pelaksanaan uji

kompetensi masih terlalu tinggi, pembiayaan uji kompetensi diintegrasikan dengan biaya

pendidikan serta perlu adanya transparansi komponen pembiayaan.

6. Sebanyak 64% mahasiswa lebih mempercayakan pelaksanaan uji kompetensi oleh

lembaga pemerintah.

7. Sebanyak 68% mahasiswa lebih memilih pelaksanaan uji kompetensi di institusi

pendidikannya masing-masing dan dilaksanakan pada periode tertentu. Sebagian besar

mahasiswa menyatakan perlu adanya uji kompetensi ulang sekaligus pengumpulan kredit

pendidikan berkelanjutan untuk pembaharuan sertifikat kompetensi.

8. Hampir seluruh mahasiswa menyatakan sikapnya mendukung pelaksanaan uji

kompetensi secara nasional, sebagai salah satu syarat kelulusan, pelaksanaannya di

institusi pendidikan yang terstandar, menggunakan metode MCQ dan OSCE, pembiayaan

yang terintegrasi dengan biaya pendidikan, serta adanya transparansi hasil kelulusan.

Page 7: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

7

Dari hasil kajian secara umum, mahasiswa pendidikan tinggi kesehatan berharap agar

permasalahan yang perlu ditinjau ulang adalah sebagai berikut:

1. Transparansi biaya dan biaya UKN yang terlalu mahal

2. Transparansi Nilai

3. Integrasi UKN dengan sistem saat pre klinik dan klinik termasuk relevansi materi uji

kompetensi

4. Standarisasi kurikulum dan status akreditasi institusi

5. Manajemen retaker (pembinaan dan pembiayaan pengulangan UKN)

Selanjutnya, berdasarkan grafik 23 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden menyatakan

sangat setuju (61%) dan sebanyak 34% responden menyatakan setuju apabila mahasiswa sebaiknya

mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya dalam perencanaan atau perubahan

kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan.

Hasil yang serupa juga

didapati pada responden di

tiap-tiap profesi, yakni

pendidikan dokter sebanyak

68,3% menyatakan sangat

setuju dan 28,7%

menyatakan setuju,

pendidikan dokter gigi

58,1% menyatakan sangat

setuju dan 37%

menyatakan setuju, ilmu keperawatan 59% menyatakan sangat setuju dan 34% menyatakan

setuju, ilmu gizi 49% menyatakan sangat setuju dan 46% menyatakan setuju, farmasi 44,7%

menyatakan sangat setuju dan 41% menyatakan setuju, kebidanan 59% menyatakan sangat setuju

dan 37% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 62,6% menyatakan sangat setuju dan

32,4% menyatakan setuju. Mahasiswa sebagai objek dari kebijakan uji kompetensi sekaligus

sebagai agent of change dan social control, memang sebaiknya terlibat dalam penentuan

kebijakan uji kompetensi karena uji kompetensi merupakan tahapan pendidikan yang harus

dilalui oleh mahasiswa sebelum mendapatkan gelar profesinya dan memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat.

Page 8: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

8

1. Transparansi biaya dan biaya UKN yang terlalu mahal

Masalah biaya uji kompetensi nasional, menurut sebagian besar responden, yakni sebanyak 51%

responden menyatakan sangat setuju dan 26% responden menyatakan setuju, biaya yang harus

dibayarkan oleh mahasiswa untuk mengikuti uji kompetensi saat ini masih terlalu tinggi. Hal

yang sama juga terlihat pada responden di ketujuh profesi kesehatan, yaitu pendidikan dokter

sebanyak 54,1% menyatakan sangat setuju, 23,5% menyatakan setuju, dan 20,4% menyatakan

ragu-ragu, pendidikan dokter gigi 55,3% menyatakan sangat setuju, 22,9% menyatakan setuju,

dan 20,4% menyatakan ragu-ragu, ilmu keperawatan 57% menyatakan sangat setuju dan 23%

menyatakan setuju, ilmu gizi 45% menyatakan sangat setuju, 26% menyatakan setuju, dan 26%

menyatakan ragu-ragu, farmasi 45,2% menyatakan

sangat setuju, 31,6% menyatakan setuju, dan 23,2% menyatakan ragu-ragu, kebidanan 51%

menyatakan sangat setuju, 28% menyatakan setuju, dan 18% menyatakan ragu-ragu, serta

kesehatan masyarakat 41,3% menyatakan sangat setuju, 32% menyatakan setuju, dan 22,6%

menyatakan ragu-ragu.

Page 9: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

9

Sebanyak 67% responden menyatakan sangat setuju dan 29% responden menyatakan setuju

bahwa seharusnya ada transparansi mengenai komponen pembiayaan uji kompetensi yang

akan dibayarkan oleh peserta uji kompetensi nasional. Hal ini juga disetujui oleh responden

dari tujuh profesi kesehatan, yaitu pendidikan dokter sebanyak 67,5% menyatakan sangat setuju

dan 28,4% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 72,2% menyatakan sangat setuju dan

23,9% menyatakan setuju, ilmu keperawatan 68% menyatakan sangat setuju dan 25%

menyatakan setuju, ilmu gizi 62% menyatakan sangat setuju dan 32% menyatakan setuju,

farmasi 67,7% menyatakan sangat setuju dan 29,7% menyatakan setuju, kebidanan 65%

menyatakan sangat setuju dan 32% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 62,9%

menyatakan sangat setuju dan 32,3% menyatakan setuju.

2. Transparansi nilai

Grafik di atas memaparkan bahwa sebanyak 87 responden (47%) sangat setuju dan sebanyak 88

responden (48%) setuju apabila hasil uji kompetensi diumumkan secara transparan, terutama

Page 10: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

10

melalui website resmi penyelenggara uji kompetensi. Cara penyampaian hasil uji kompetensi ini

disetujui oleh hampir seluruh responden di profesi kesehatan, yakni pendidikan dokter sebanyak

43,2% sangat setuju dan 38,2% setuju, pendidikan dokter gigi 45,6% sangat setuju dan 43,3%

setuju, ilmu keperawatan 51% sangat setuju dan 38% setuju, ilmu gizi 47,3% sangat setuju dan

47,8% setuju, farmasi 48,7% sangat setuju dan 44,7% setuju, kebidanan 48% sangat setuju dan

43% setuju, serta kesehatan masyarakat 55,3% sangat setuju dan 38,5% setuju.

Hal ini menunjukkan sikap responden yang menginginkan adanya suatu transparansi untuk

hasil uji kompetensi yang dijalani oleh para calon tenaga kesehatan kepada masyarakat

sehingga masyarakat dapat memberikan penilaiannya sendiri terhadap calon tenaga

kesehatan tersebut apakah kompeten dan berkualitas untuk dapat memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat.

Untuk mencapai pengakuan kompetensi yang akuntabel akan lebih baik apabila uji kompetensi

dijadikan sebagai bagian dari evaluasi hasil pembelajaran. Hal ini disetujui oleh lebih dari

separuh total responden secara keseluruhan, yakni sebanyak 37% menyatakan sangat setuju dan

47% menyatakan setuju. Lebih dari separuh responden di tiap-tiap profesi juga menyetujuinya,

yakni pendidikan dokter sebanyak 39% menyatakan sangat setuju dan 42,6% menyatakan setuju,

pendidikan dokter gigi 29,8% menyatakan sangat setuju dan 52,6% menyatakan setuju, ilmu

keperawatan 41% menyatakan sangat setuju dan 40% menyatakan setuju, ilmu gizi 29%

menyatakan sangat setuju dan 59% menyatakan setuju, farmasi 32,7% menyatakan sangat setuju

dan 48,1% menyatakan setuju, kebidanan 78% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat

37,9% menyatakan sangat setuju dan 49,9% menyatakan setuju. Hal ini mungkin dianggap

penting oleh sebagian besar responden tersebut karena mereka peduli akan kualitas lulusan

Page 11: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

11

pendidikan tinggi kesehatan yang dapat diakui kompetensinya untuk dapat memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan uji kompetensi ini merupakan bentuk penjaminan

mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan tersebut. Di samping itu, uji kompetensi ini juga

sebagai suatu bentuk evaluasi terhadap hasil pembelajaran mahasiswa selama menjalani

pendidikannya sekaligus pembuktian bahwa sistem pendidikan yang diterapkan sudah baik

sehingga dapat menjamin kualitas lulusannya.

3. Integrasi uji kompetensi nasional dengan sistem saat pre klinik dan klinik termasuk

relevansi materi ujian kompetensi.

Sebanyak 52% responden menyatakan sangat setuju dan 40% menyatakan setuju jika dilakukan

penyelarasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas dan rumah sakit pendidikan

pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi nasional. Hasil yang hampir sama

juga didapati pada responden masin-masing profesi, yaitu pendidikan dokter sebanyak 61%

menyatakan sangat setuju dan 31,6% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 52,2%

menyatakan sangat setuju dan 39,4% menyatakan setuju, ilmu keperawatan 56% menyatakan

sangat setuju dan 35% menyatakan setuju, ilmu gizi 38% menyatakan sangat setuju dan 56%

menyatakan setuju, farmasi 46,2% menyatakan sangat setuju dan 46,8% menyatakan setuju,

kebidanan 87% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 42,4% menyatakan sangat setuju

dan 48,9% menyatakan setuju. Hal ini mungkin dikarenakan dalam pelaksanaan uji kompetensi

nasional pada profesi kesehatan yang sudah menjalankannya, terdapat perbedaan substansi uji

semasa kuliah (pre klinik) dan klinik dengan apa yang dujikan saat uji kompetensi nasional.

Sehingga, nantinya dikhawatirkan akan berujung pada ketidaklulusan peserta uji kompetensi

nasional akibat hal tersebut. Soal uji kompetensi nasional yang terintegrasi akan mencetak calon

Page 12: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

12

tenaga kesehatan berkualitas. Sebagai contoh adalah profesi perawat. Di profesi perawat, soal uji

kompetensi nasional yang terintegrasi tersebut sangat penting untuk dapat menghasilkan calon

tenaga kesehatan yang berkualitas sehingga calon tenaga kesehatan (perawat) nantinya tidak

hanya unggul dalam hal konsep penyakit secara materi, namun analisis terhadap penyakit untuk

membuat asuhan keperawatn kepada klien secara langsung pun dapat dipertanggungjawabkan.

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sebagian kecil responden, yakni sebanyak 28%5

responden menyatakan sangat setuju dan sebagian besar responden, yaitu sebanyak 47%

responden menyatakan setuju bahwa metode CBT dan OSCE terintergrasi mampu menilai

attitude, skills, dan knowledge peserta uji kompetensi. Hasil ini juga didapati di seluruh profesi

kesehtan, yakni pendidikan dokter sebanyak 26,2% sangat setuju, 41,2% setuju, dan 16,7% ragu-

ragu, pendidikan dokter gigi 29,8% sangat setuju, 51,5% setuju, dan 17% ragu-ragu, ilmu

keperawatan 36% sangat setuju, 47% setuju, dan 15% ragu-ragu, ilmu gizi 21,7% sangat setuju,

53,8% setuju, dan 22,8% ragu-ragu, farmasi 20,4% sangat setuju, 48,7% setuju, dan 28,3% ragu-

ragu, kebidanan 32% sangat setuju, 50% setuju, dan 15% ragu-ragu, serta kesehatan masyarakat

25,1% sangat setuju, 46,5% setuju, dan 26,6% ragu-ragu. Hal ini menunjukkan sikap responden

yang menyetujui bahwa dengan metode CBT dan OSCE yang terintegrasi akan dapat

menilai attitude, skills, dan knowledge para calon tenaga kesehatan.

Page 13: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

13

4. Standardisasi kurikulum dan status akreditasi institusi

Mengenai tempat pelaksanaan uji kompetensi nasional, 74% responden membenarkan bahwa

sebaiknya uji kompetensi dilaksanakan pada pusat uji yang berada di institusi pendidikan

yang terakreditasi dan memenuhi syarat sebagai pusat ujian kompetensi, sedangkan 4%

responden menyatakan salah, dan 22% responden menyatakan tidak tahu. Untuk masing-masing

profesi, persentasenya adalah pendidikan dokter sebanyak 78,1%, pendidikan dokter gigi 73,5%,

ilmu keperawatan 73,9%, ilmu gizi 78%, farmasi 66,9%, kebidanan 73,3%, dan kesehatan

masyarakat 69,6%. Masih adanya responden yang tidak tahu akan hal ini, kemungkinan

dikarenakan masih banyaknya institusi pendidikan tinggi beberapa profesi kesehatan yang belum

terakreditasi sehingga mengalami kesulitan untuk bisa menjadi tempat pelaksana uji kompetensi

nasional profesi kesehatan.

5. Manajemen retaker (pembinaan dan pembiayaan pengulangan UKN).

Page 14: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

14

Berhubungan dengan pernyataan sebelumnya, peserta retaker (remediasi) uji kompetensi

hanya akan mengulang ujian pada spesialisasi keilmuan yang mendapat nilai rendah. Hal

ini disetujui oleh sebagian besar responden, yakni sebanyak 45% responden menyatakan sangat

setuju dan sebanyak 42% responden menyatakan setuju. Untuk responden masing-masing profesi

juga menyetujui hal tersebut, yaitu pendidikan dokter sebanyak 50,9% menyatakan sangat setuju

dan 35,8% menyatakan setuju, pendidikan dokter gigi 50,2% menyatakan sangat setuju dan 38%

menyatakan setuju, ilmu keperawatan 47% menyatakan sangat setuju dan 42% menyatakan

setuju, ilmu gizi 35% menyatakan sangat setuju dan 52% menyatakan setuju, farmasi 41,8%

menyatakan sangat setuju dan 43,1% menyatakan setuju, kebidanan 47% menyatakan sangat

setuju dan 43% menyatakan setuju, dan kesehatan masyarakat 36,6% menyatakan sangat setuju

dan 48,5% menyatakan setuju. Mungkin sebagian besar responden itu merasa tidak adil apabila

misalnya ada peserta uji kompetensi yang tidak lulus pada salah satu bidang keilmuan saja, ia

harus mengulang uji kompetensi secara keseluruhan.

Sedangkan untuk masalah biaya uji kompetensi retaker, sebanyak 17% responden menyatakan

sangat setuju dan 25% responden menyatakan setuju bahwa jumlahnya harus sama dengan

jumlah yang dibayarkan saat uji kompetensi pertama. Namun, di sisi lain, masih ada 21%

responden yang menyatakan ragu-ragu, 25% tidak setuju, dan 12% sangat tidak setuju. Hasil

yang serupa juga dijumpai pada beberapa profesi kesehatan, yakni pendidikan dokter sebanyak

17,5% menyatakan sangat setuju, 21,1% menyatakan setuju, 22,9% menyatakan ragu-ragu, dan

23,6% menyatakan tidak setuju, pendidikan dokter gigi 13,6% menyatakan sangat setuju, 25,4%

menyatakan setuju, 24,4% menyatakan ragu-ragu, dan 25,8% menyatakan tidak setuju, ilmu

keperawatan 20% menyatakan sangat setuju, 21% menyatakan setuju, 18% menyatakan ragu-

ragu, 26% menyatakan tidak setuju, dan 15% menyatakan sangat tidak setuju, ilmu gizi 17%

Page 15: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

15

menyatakan sangat setuju, 38% menyatakan setuju, 21% menyatakan ragu-ragu, 19%

menyatakan tidak setuju, dan 5% menyatakan sangat tidak setuju, farmasi 13,1% menyatakan

sangat setuju, 26,1% menyatakan setuju, 24,8% menyatakan ragu-ragu, 27,5% menyatakan tidak

setuju, dan 8,5% menyatakan sangat tidak setuju, kebidanan 17% menyatakan sangat setuju, 25%

menyatakan setuju, 23% menyatakan ragu-ragu, 25% menyatakan tidak setuju, dan 10%

menyatakan sangat tidak setuju, dan kesehatan masyarakat 17,2% menyatakan sangat setuju,

30,8% menyatakan setuju, 18,4% menyatakan ragu-ragu, dan 24,6% menyatakan tidak setuju.

Hal ini mungkin berhubungan dengan pernyataan sebelumnya tentang spesialisasi keilmuan yang

harus diulang sehingga biaya uji kompetensi retaker yang harus dibayarkan bergantung pada

jumlah spesialisasi keilmuan yang akan diuji ulang kembali.

Pernyataan Sikap Tiap Ormawa dan Hasil Kajian Uji Kompetensi

Nasional (UKN) Masing-masing Profesi

KEDOKTERAN dengan ISMKI, CIMSA, dan AMSA.

Berdasarkan hasil kajian bersama dengan organisasi mahasiswa serta hasil kajian UKN yang

dilakukan bersama HPEQ Student dapat disimpukan beberapa poin permasalahan terkait

program UKDI yang masih dirasakan. Sebanyak lebih dari 60% mahasiswa kedokteran

Indonesia menyatakan setuju bahwa mahasiswa perlu terlibat dalam penentuan kebijakan uji

kompetensi, perlu adanya penyelarasan substansi uji kompetensi dengan proses belajar di

fakultas, uji kompetensi sebagai bagian dari evaluasi pembelajaran (exit exam), kerahasiaan

soalnya perlu dijaga, dan harus menjunjung tinggi transparansi hasil uji kompetensi,

1. Penggunaan dana UKDI dan permasalahannya

Permasalahan yang krusial dari UKN terutama di pendidikan dokter melalui UKDI adalah

pembiayaan dimana 54,1% responden setuju bahwa harga yang ditetapkan terlalu tinggi dan

67,5% merasa kurang adanya transparansi komponen pembiayaan uji kompetensi yang

dibayarkan oleh peserta uji. 81,4% Responden menginginkan pembiayaan UKDI sudah

terintegrasi kedalam total biaya pendidikan.

2. Transparansi hasil UKDI kepada publik

Page 16: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

16

Masalah lain adalah terkait soal, dimana 49,4% responden sangat setuju dan 37,7% setuju

untuk menyesuaikan jumlah soal dengan luas spesialisasi bidang tersebut. Dari sisi

penilaian, lebih banyak responden yang memilih batas nilai kelulusan minimal uji

kompetensi yang ditentukan oleh nilai minimal dari total seluruh soal (71,3%) dibandingkan

nilai minimal dari masing-masing spesialisasi (28,7%).

Selain pembiayaan, 64,8% responden lebih merasa perlu adanya transparansi nilai kepada

masyarakat dalam bentuk status kelulusan dibandingkan dengan cantuman nilai UKN

(35,2%). Untuk memastikan keberlangsungan status kompetensi dokter, 47,8% responden

menyetujui sistem kredit (“pendidikan profesi berkelanjutan”) dan 44% responden setuju

dengan sistem kredit dan resertifikasi sebagai metode pembaharuan sertifikat kompetensi.

3. Perlu adanya evaluasi terhadap metode evaluasi UKN

Hasil Kajian UKN menunjukkan respon setuju mendominasi pada pentingnya bukti

sertifikat kelulusan untuk peserta yang lulus uji kompetensi (86,2%), penggunaan MCQ

sebagai evaluasi knowledge (82,4% ) dan osce sebagai evaluasi skill dan komunikasi

(88,2%). Selain itu, metode MCQ dan OSCE masih diragukan dan tidak disetujui oleh total

26,4% responden. Hal ini membuka peluang untuk diadakannya pengembangan lebih lanjut

terkait metode evaluasi kedepannya.

4. Penyelenggaraan dan lokasi UKDI

Dalam penyelenggaraan UKDI sebesar 59,8% Responden memilih lembaga pemerintah

sebagai penyelenggara. Sebagian besar Responden (72,3%) menginginkan pelaksanaan

UKDI lebih baik dilaksanakan di institusi masing-masing.

5. Perlu adanya Manajemen Retaker UKDI

Untuk masalah retaker uji kompetensi, hampir seluruh mahasiswa menyatakan setuju perlu

adanya pembinaan dari institusi pendidikan. Sebagian besar mahasiswa menyatakan setuju

terhadap proporsi jumlah soal sesuai dengan luasnya spesialisasi keilmuan, sehingga untuk

retaker sebagian besar mahasiswa setuju hanya akan mengulang pada spesialisasi dengan

nilai yang rendah sedangkan lebih dari setengah mahasiswa mengatakan batas nilai kelulusan

tetap menggunakan nilai secara menyeluruh.

Page 17: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

17

Page 18: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

18

Page 19: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

19

KEDOKTERAN GIGI dengan PSMKGI

Poin-poin permasalahan utama UKN di Kedokteran Gigi

1. Mahasiswa sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya

dalam perencanaan atau perubahan kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan

Grafik 23. Persepsi Responden tentang Keterlibatan Mahasiswa dalam Penentuan

Kebijakan Uji Kompetensi

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden menyatakan sangat

setuju (58,1%) dan sebanyak 37% responden menyatakan setuju apabila mahasiswa

sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pemikirannya dalam perencanaan

atau perubahan kebijakan uji kompetensi nasional di masa depan. Mahasiswa sebagai objek

dari kebijakan uji kompetensi sekaligus sebagai agent of change dan social control, memang

sebaiknya terlibat dalam penentuan kebijakan uji kompetensi karena uji kompetensi

merupakan tahapan pendidikan yang harus dilalui oleh mahasiswa sebelum mendapatkan

gelar profesinya dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

2. Sebaiknya dilakukan penyelerasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas

dan rumah sakit pendidikan pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi

nasional

Page 20: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

20

Gambar 24. Persepsi Responden tentang Integrasi Substansi Uji Kompetensi

Sebanyak 52,2% responden menyatakan sangat setuju dan 39,4% menyatakan setuju jika

dilakukan penyelarasan substansi uji antara yang telah dilakukan di fakultas dan rumah

sakit pendidikan pada tahap akademik dan profesi dengan soal uji kompetensi nasional.

Hal ini mungkin dikarenakan dalam pelaksanaan uji kompetensi nasional pada profesi.

3. Biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa untuk uji kompetensi saat ini masih terlalu

tinggi

Gambar 32. Persepsi Responden tentang Tingginya Biaya Uji Kompetensi

Untuk masalah biaya uji kompetensi nasional, menurut sebagian besar responden, yakni

sebanyak 55,3% responden menyatakan sangat setuju dan 22,9% responden menyatakan

Page 21: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

21

setuju, biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa untuk mengikuti uji kompetensi saat ini

masih terlalu tinggi.

4. Seharusnya ada transparansi komponen pembiayaan uji kompetensi yang dibayarkan oleh

peserta uji

KEPERAWATAN dengan ILMIKI dan HIMADIKA

Poin – poin permasalahan UKN Keperawatan

1. Pra Implementasi UKN

1. Sosialisasi dan Pembekalan : seminar dan try out bagi mahasiswa, peyamaan persepsi

dan pelatihan bagi penguji

Pembekalan oleh institusi bagi mahasiswa yang akan menghadapi Uji Kompetensi

Nasional sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan mahasiswa tersebut dan harus sesuai

dengan kurikulum pendidikan yang disusun oleh AIPNI. AIPNI dapat mengkoordinir

seluruh institusi pendidikan keperawatan di Indonesia dalam pelaksanaan pembekalan

kepada mahasiswa dapat berupa try out dan seminar pencerdasan. Pencerdasan kepada

mahasiswa keperawatan dapat dimulai sejak awal kuliah sehingga lebih siap dalam

menghadapi UKN di akhir masa kliniknya. Sebelum pelaksanaan UKN harus sudah ada

panduan resmi pelaksanaan UKN dan tersosialisasikan ke seluruh institusi keperawatan

di Indonesia. Evaluator UKN harus terstandarisai sesuai dengan spesialisasi bidang

keperawatan masing-masing sehingga sangat perlu diadakan pelatihan dan penyamaan

persepsi bagi evaluator UKN.

2. Penyusunan soal dan penentuan batas minimal UKN

Dalam hal penyusunan substansi soal UKN, AIPNI yang merupakan forum antarinstitusi

pendidikan keperawatan di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar dalam

pengelolaan soal dan merupakan hasil musyawarah bersama dalam forum tersebut.

Penentuan batas nilai minimal disesuaikan dengan hasil evaluasi try out agar tingkat

kelulusan mahasiswa meningkat.

Page 22: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

22

Implementasi UKN

1. Waktu, tempat, dan penyelenggara UKN

UKN dilaksanakan pada akhir pendidikan profesi ners sebelum melakukan sumpah

profesi perawat (exit exam) terintegrasi dengan waktu kelulusan di setiap institusi.

Pelaksanaan UKN sesuai dengan Permenkes No. 1796 tahun 2011 tentang Registrasi

Tenaga Kesehatan harus diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yaitu

pendidikan atau lembaga pelatihan yang merupakan bagian dari sistem penjaminan mutu.

Jadi penyelenggaran UKN harus sudah tersertifikasi.

2. Mekanisme metode UKN

Menurut hasil evaluasi UKDI dan UKDGI tentang penggunaan Computer Based Test

cukup aman, efektif, efisien, dan murah karena tidak harus mencetak soal dalam kertas.

Jadi dapat diterapkan dalam metode pelaksanaan UKN profesi perawat.

3. Pembiayaan UKN

Masalah pembiayaan UKN sangat sensitif karena jika melihat realita kebutuhan

pendanaan untuk dapat menempuh pendidikan tinggi di institusi keperawatan cukup

mahal. Jadi pembiayaan UKN sebaiknya terintegrasi dengan pembiayaan per semester

kuliah. Jadi tidak menarik biaya lagi bagi peserta UKN di luar biaya semester karena

dirasa memberatkan. Pengelolaan keuangan UKN juga harus transparan dan

disosialisasikan ke peserta daftar kebutuhan yang harus dibayarkan ketika mengikuti

UKN.

Pasca Implementasi UKN

1. Pengumuman via online

Mekanisme pengumuman hasil UKN dapat diakses secara online agar tidak ada batas

ruang dan waktu. Pemanfaatan teknologi seperti internet dapat membantu dan

mempermudah dalam hal pengumuman hasil UKN baik bagi penyelenggaran maupun

peserta UKN. Tidak membutuhkan biaya yang mahal dan dapat diakses siapapun,

dimanapun, dan kapanpun.

2. Mekanisme retaker

Peserta UKN yang belum lulus dapat mengikuti retaker pada bagian spesialisasi yang

dianggap kurang mencukup nilainya sesuai dengan ketentuan batas nilai minimal dimana

Page 23: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

23

biaya yang harus dikeluarkan untuk retaker disesuaikan dengan jumlah biaya pada

spesialisasi yang diulang.

3. Standardisasi STR secara internasional

STR yang didapatkan oleh peserta UKN yang lulus diharapkan tidak hanya dapat

digunakan untuk syarat bekerja di dalam negeri saja namun dapat digunakan untuk syarat

bekerja di luar negeri. Artinya STR sudah terstandar secara internasional supaya ketika

ingin bekerja di luar negeri tidak harus menempuh ujian lagi.

GIZI dengan ILMAGI

Jika dilihat dari hasil AB (Audiensi Bersama) tahun 2012 lalu, menurut PERSAGI, uji

kompetensi gizi sedang dipersiapkan dan pelaksanaannya kemungkinan pda tahun 2013. Namun

hingga saat ini (akhir tahun 2013) UKN belum juga terlaksana. Selain itu (kalau tidak salah

ingat), pada bulan juli ada semacam pemutihan untuk lulusan gizi S1, dimana tujuannya adalah

untuk mendapatkan STR. Proses pemutihan ini dikoordinir oleh pihak prodi. Namun, untk yang

berlokasi di luar Pulau Jawa bisa mengurus langsung ke PERSAGI provinsi masing-,masing.

Jadi, pertanyaan terpenting untuk UKN adalah: kapan UKN dilaksanakan?

Sedangkan dari sisi mahasiswa, belum banyak mahasiswa gizi yang membicarakan (apalagi

menyatakan pro/kontra) tentang UKN karena belum semua mahasiswa tahu tentang hal ini.

Sosialisasi UKN dirasa masih kurang. Sedangkah mahasiswa yang telah mengetahui kabar

tentang UKN, mereka setuju. Namun masih ada yang tidak mengerti mengenai tujuan UKN

sehingga masih ada yang tidak menyatakan setuju/tidaknya terhadap UKN. Pendidikan profesi

(gizi) seakan-akan belum menarik di kalangan mahasiswa gizi saat ini. Sehingga, dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada penolakan tentang UKN, namun sosialisasinya

belum gencar sehingga belum banyak yang tahu.

Berdasarkan hasil survey, 71% mahasiswa Gizi (pre klinik dan profesi) telah mengetahui

informasi mengenai uji kompetensi. Sementara itu, masih ada 29% populasi responden yang

belum mengetahui uji kompetensi. Pada beberapa universitas, pembekalan mengenai profesi gizi

baru diberikan pada tahap akhir masa studi. Namun demikian, informasi mengenai profesi bisa

diakses melalui sumber informasi lainnya selain pembekalan dari institusi pendidikan. Bila

Page 24: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

24

dikaitkan dengan hasil distribusi responden, kebanyakan merupakan mahasiswa merupakan

mahasiswa yang minimal sedang menjalani semester genap tahun ke-3 masa pendidikannya

sehingga dimungkinkan 18% responden dari angkatan 2011 belum mendapatkan informasi yang

jelas mengenai profesi dan khususnya uji kompetensi. Selain itu, masih ada karakteristik

responden yang telah lulus sejak tahun 2010. Pada tahun tersebut, uji kompetensi belum menjadi

isu pada sistem pendidikan Gizi. Dapat diasumsikan bahwa 29% responden yang menyatakan

tidak mengetahui UKN berasal dari mahasiswa pre klinik tingkat 2 dan alumni.

Poin terpenting yang selalu dibicarakan teman-teman mahasiswa gizi adalah tentang status

setelah UKN, apakah RD atau sekedar dietitian.

Kutipan dari hasil kajian Pendidikan Ilmu Gizi yang diadakan Departemen Isu & Advokasi

ILMAGI pada tahun 2012 :

Mengenai profesi, sebanyak 92.7% responden mengetahui tentang “Registered Dietitian” dan

sebanyak 85.5% responden mengatakan bahwa berdasarkan informasi yang ia peroleh, gelar

“Registered Dietitian” bisa diperoleh dengan mengikuti program profesi. Berdasarkan hasil

kuesioner, dapat dilihat bahwa mayoritas responden (94.5%) sudah pernah mendapat informasi

mengenai Program Profesi Gizi dan sebanyak 96.4% responden merasa perlu diadakannya

Program Profesi Gizi tersebut. Meski demikian, masih terdapat responden yang belum pernah

mengetahui tentang “Registered Dietitian”. Pengetahuan responden terhadap Program Profesi

Gizi sudah melebihi 80%, namun mengenai uji kompetensi profesi gizi, hanya sebanyak 67.3%

responden yang pernah mendapat informasi mengenai hal ini.

Page 25: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

25

Pada kuesioner yang disebarkan secara langsung (tercetak), dari 96,8% responden yang

menjawab pertanyaan mengenai “Registered Dietitian”, seluruh responden mengatakan bahwa

program profesi “Registered Dietitian” perlu diadakan. Responden berharap agar program

profesi ini diadakan di universitas negeri di Indonesia dan dilakanakan dengan sebaik mungkin.

Melalui program profesi maka akan meningkatkan kualitas dan kompetensi para lulusan

sehingga para lulusan siap terjun di masyarakat hingga mampu bersaing di skala internasional.

Dengan adanya lulusan yang berkualitas, diharapkan pula permasalahan gizi di Indonesia akan

terselesaikan dengan baik dan meningkatkan status gizi Indonesia.

Jadi, sebenarnya setelah lulus UKN, maka akan mendapatkan STR (surat tanda registrasi)

yangmana kemudian seorang ahli gizi dapat mengajukan SIK (sirat ijin kerja) di provinsi

masing-masing. Kemudian, kalau lanjut ke sekolah profesi, maka akan mendapat dietitian dan

bisa mengajukan SIP (surat izin praktek) jika ingin membuka klinik gizi sendiri. (apa ada yg

keliru mengenai penjelasan ini? Mungkin perlu klarifikasi dari PERSAGI).

Kembali lagi ke persoalan sosialisasi. Diharapkan setiap perguruan tinggi dapat mengadakan

sosialisasi mengenai keprofesian terlebih dahulu. Jangan sekedar menyuruh mahasiswa membaca

undang-undangnya. Karena biasanya mahasiswa hanya disuruh membaca sendiri UU-nya dan

disuruh sabar menunggu UKN.

Kesimpulan :

1. Sikap ILMAGI terhadap UKN adalah setuju dan mendesak untuk segera realisasi

2. Permasalahan yg ada di UKN adalah kurangnya sosialisasi

FARMASI dengan ISMAFARSI

Ketetapan sikap mahasiswa profesi dan ormawa terhadap isu UKN

Tahun 2015 adalah tahun pertama bagi mahasiswa calon profesi dalam menghadapi Uji

Kompetensi Nasional. Pada tahun ini akan diadakan uji coba Uji Kompetensi Nasional. Dari uji

coba tersebut akan dapat dilihat sejauh mana kesiapan dari mahasiswa calon profesi. Dari

mahasiswa farmasi sendiri menyatakan kesiapannya untuk menghadapi uji kompetensi nasional

profesi apoteker yang akan pertama kali diadakan pada tahun 2015 nanti, dengan catatan adanya

Page 26: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

26

sosialisasi lebih lanjut mengenai Uji Kompetensi yang akan diadakan nanti, dikarenakan masih

banyak mahasiswa yang belum mengetahui tentang adanya uji kompetensi pada tahun 2015

nanti.

Selain itu, mahasiswa farmasi sadar akan pentingnya Uji Kompetensi Nasional untuk profesi

apoteker, dikarenakan dengan adanya Uji kompetensi nasional ini, maka akan dapat

meningkatkan kompetensi apoteker yang nantinya akan terjun di era SJSN dan akan mengurangi

bervariasinya kompetensi apoteker di Indonesia.

ISMAFARSI dan mahasiswa farmasi berharap akan transparasi dari Uji Kompetensi yang

nantinya akan diadakan. Dan mahasiswa farmasi juga berharap diadakan sosialisasi uji

kompetensi lebih lanjut, dikarenakan uji kompetensi yang akan dilakukan adalah computer based

sehingga diperlukan pengetahuan tentang mekanisme yang harus dilakukan dalam uji

kompetensi tersebut. Semoga Uji Kompetensi Nasional I bagi profesi apoteker akan dapat

berlangsung dengan baik tanpa merugikan pihak manapun.

Page 27: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

27

Permasalahan :

1. Uji Kompetisi bagi profesi apoteker akan pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015,

sehingga memerlukan kesiapan dari para calon apoteker untuk menempuh uji kompetensi

nasional tersebut

2. Masih beragamnya kurikulum pendidikan farmasi di Indonesia, sedangkan dari 63 universitas

penyelenggara program S-1 farmasi, hanya beberapa universitas saja yang akan dilibatkan

dalam pembuatan soal, sehingga diperlukan adanya batasan yang jelas dari panitia

penyelenggara.

3. Kurang tersosialisasinya Uji kompetensi nasional yang akan diadakan, dibuktikan masih

banyak mahasiswa yang belum mengerti dan belum tahu tentang penyelenggaraan uji

kompetensi nasional. Ditambah penyelenggaraan uji kompetensi nasional yang computer

based, sehingga diperlukan pengetahuan tentang mekanisme penyelenggaraannya.

Hasil Survey UKN menyatakan 88,4% mahasiswa farmasi Indonesia telah memiliki tingkat

pengetahuan yang baik mengenai latar belakang, tujuan (94,2%), dan manfaat (90,2%) dari

pelaksanaan uji kompetensi nasional bagi tenaga kesehatan. Mahasiswa farmasi Indonesia

juga telah memiliki pengetahuan yang baik tentang pemberigan sertifikat bagi lulusan uji

kompetensi nasional (78,6%). Namun pengetahuan tersebut tidak sebaik pengetahuan

terhadap metode uji kompetensi (53,8%) baik metode MCQ (59,0%) maupun metode

OSCE (69,9%). Selain itu, pengetahuan tentang penyusunan soal uji (53,0%), tempat

pelaksanaan uji (66,9%) serta waktu pelaksanaan uji kompetensi bagi farmasi (52,4%) juga

masih tergolong rendah.

KEBIDANAN dengan IKAMABI

Page 28: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

28

Mayoritas mahasiswa kebidanan menyatakan setuju dengan diadakannya uji kompetensi nasional

sebagai sebuah jalan untuk menjamin mutu pendidikan kebidanan yang mengacu pada pelayanan

kesehatan masyarakat Indonesia khususnya di bidang kebidanan. Kami meyakini bahwa

implementasi uji kompetensi ini dapat menjamin lulusan pendidikan tinggi kebidanan yang

kompeten. Namun, perlu dimatangkan kembali untuk teknis dan metode pelaksanan uji

kompetensi ini, mengingat baru diadakan pertama kali UKN pada november 2013 shingga masih

diperlukan adanya evaluasi.

1. Sosialisasi UKN

Diharapkan adanya sosialisasi UKN yang lebih massive kepada mahasiswa kebidanan sebagai

obyek pelaksanaan UKN, hal ini ditinjau dari hasil penelitian dimana ada mahasiswa yang

belum mengetahui adanya UKN. Selain itu perlu ditekankan untuk sosialisasi UKN di

kalangan mahasiswa S1 kebidanan, yang dirasa kurang sehingga mahasiswa S1 kebidanan

terkesan tidak begitu aware dengan adanya UKN ini. Padahal, seperti yang telah kita ketahui

bahwa UKN merupakan indikator kualitas lulusan bidan setelah selesai menempuh

pendidikan. Hal ini didukung juga dengan belum adanya UKN untuk fresh graduate S1

Kebidanan terutama dari program reguler (S1 langsung dari SMA)

2. Sosialisasi teknis pelaksanaan UKN karena adanya perbedaan metode uji kompetensi di

tiap daerah. Perlu lebih disosialisasikan terkait teknis pelaksanaan UKN ini, melihat

pengetahuan dan akses informasi mahasiswa kebidanan tidak merata di setiap daerah.

3. Adanya penyelasaran substansi uji dengan kurikulum selama proses pembelajaran di

fakultas. Hal ini dirasakan perlu agar tercapai hasil yang sinkron antara akademik dan

profesi

4. Persamaan garis besar kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Di beberapa institusi yang

menggunakan kurikulum KBK akan lebih unggul dalam kompetensi praktek (knows how,

show how) sedangkan di institusi yang menggunakan kurikulum konvensional justru

sebaliknya. Selain itu, untuk S1 kebidanan yang hanya ada di 3 institusi di Indonesia,

kurikulumnya berbeda. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi keberagaman

kualitas output. Sehingga, alangkah baiknya S1 kebidanan yang masih langka jumlahnya ini

disamakan kurikulumnya agar memunculkan output pendidikan yang sudah terstandar

secara nasional. Dan diharapkan jika nantinya akan didirikan S1 kebidanan di institusi

lainnya akan tertata rapi sistemnya.

Page 29: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

29

5. Keikutsertaan mahasiswa dalam menentukan kebijakan terkait uji kompetensi, karena

pada dasarnya mahasiswa adalah obyek kebijakan dan juga subyek pelaksana uji kompetensi.

Selain itu perlu ditentukankan dan disosialisasikan kebijakan lulusan yang telah mendapat

sertifikat kompetensi dan STR, bagaimana system magang dan program PTT di beberapa

daerah marginal untuk mengatasi masalah kesehatan sekaligus pemeratan bidan di daerah

dan juga perluasan lapangan kerja bagi bidan fresh graduate.

KESEHATAN MASYARAKAT dengan ISMKMI

Berdasarkan hasil Kajian mengenai Uji Kompetensi Nasional yang telah dilakukan oleh HPEQ

Student sebagian besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat setuju untuk diadakannya UKN

sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan kesehatan masyarakat. Namun perlu adanya sistem

dan teknis yang matang untuk pelaksanaan UKN tersebut, mengingat sampai saat ini kesehatan

masyarakat belum memiliki uji kompetensi.

Saat ini ISMKMI masih berfokus pada kajian kurikulum kesehatan masyarakat dan pengadaan

profesi kesehatan masyarakat. Pendidikan kesehatan masyarakat sampai sekarang belum

memiliki ketetapan kurikulum yang sama pada setiap institusi, masih banyak institusi yang

belum memenuhi 7 bidang yang seharusnya terdapat pada pendidikan kesehatan masyarakat,

sehingga diharapkan petinggi dan penentu kebijakan dapat segera menetapkan kurikulum yang

setara untuk setiap institusi kesehatan masyarakat. Begitu juga dengan pengadaan profesi

kesehatan masyarakat, ISMKMI sedang mengkaji kebutuhan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

mengenai pengadaan profesi kesehatan masyarakat sebagai peningkatan mutu lulusan Kesehatan

Masyarakat.

1. Sosialisasi Uji Kompetensi Nasional

Sosialisasi mengenai pengadaan uji kompetensi nasional ini perlu ditingkatkan kembali,

mengingat masih ada Mahasiswa Kesehatan Masyarakat yang belum mengetahui dan

mengerti mengenai uji kompetensi. Sosialisasi Uji Kompetensi Nasional dapat dilakukan

secara berkala melalui media sosial karena berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan

sebagian besar mahasiswa kesehatan masyarakat mendapatkan informasi mengenai UKN

melalui media sosial.

Page 30: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

30

Gambar 7. Pengalaman Responden tentang Sumber Informasi Uji Kompetensi

Berdasarkan grafik pengalaman responden dalam pelaksanaan uji kompetensi didapatkan

bahwa hampir seluruh responden yaitu sebanyak 350 responden (66 %) telah mendengar

informasi tentang uji kompetensi. Hal ini disebabkan adanya seminar atau workshop yang

pernah membahas perihal uji kompetensi.

Namun terdapat 180 responden (34%) yang belum pernah mendengar informasi tentang uji

kompetensi. Jadi kewajiban bagi pelaksana uji kompetensi kesehatan masyarakat untuk

melakukan sosialisasi ke institusi pendidikan kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia baik

dalam bentuk pelaksanaan seminar melalui organisasi mahasiswa kesehatan masyarakat

tingkat institusi, wilayah, maupun nasional dan dapat juga melalui website atau media sosial.

Dilihat dari sumber informasi tentang uji kompetensi, sebagian besar responden yakni

sebanyak 219 responden (70,82%) mendapatkan informasi tentang uji kompetensi dari media

sosial, dan sisanya dari seminar atau workshop. Beberapa institusi pendidikan kesehatan

masyarakat di Indonesia telah mengadakan seminar tentang pelaksanaan uji kompetensi

kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh IAKMI, namun belum merata dalam hal sosialisasi

yang komprehensif.

Selain seminar atau workshop, sangat sedikit responden yang mengakses situs atau website

untuk mencari informasi tentang uji kompetensi. Setengahnya responden yaitu sebanyak 90

responden (64,29%) mengakses situs resmi pemerintah (hpeq.dikti.go.id) sebagai referensi

Page 31: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

31

untuk mendapatkan informasi tentang uji kompetensi nasional dan sebagian kecil responden

mengakses situs HPEQ Student sebagai jejaring organisasi mahasiswa program studi

kesehatan (7 profesi kesehatan) yang salah satu fokus garapnya adalah uji kompetensi

nasional.

2. Keikutsertaan mahasiswa pada penentuan kebijakan Uji Kompetensi Nasional

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat sangat setuju mengenai keikutsertaan mahasiswa pada

perumusan, pelaksanaan dan evaluasi Uji Kompetensi Nasional, diharapkan Mahasiswa

sebagai objek dari Uji Kompetensi Nasional dapat menyumbangkan ide dan suara mengenai

pengadaan uji kompetensi ini, sehingga UKN sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari

mahasiswa sendiri.

Dari hasil kajian UKN dapat dilihat bahwa setengahnya responden sangat setuju yaitu

sebanyak 261 responden (62,6%) jika mahasiswa sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk

mengemukaan pemikirannya dalam perencanaan atau perubahan kebijakan uji kompetensi

nasional di masa depan. Mahasiswa sebagai agent of change dan social control seharusnya

terlibat dalam penentuan kebijakan uji kompetensi nasional.

Page 32: Kajian_Awal_Persepsi_Mahasiswa__Uji_Kompetensi_Bidang_Kesehatan__HPEQ_Student_

32

Informasi lebih lanjut terkait kajian ini, bisa menghubungi :

Koordinator Kajian :

Anggie Hardiyanti ([email protected]

Cc ke Penanggung Jawab Kajian :

Aprilia Ekawati Utami (Email : [email protected]

Kajian ini didedikasikan oleh mahasiswa

pendidikan tinggi kesehatan Indonesia

sebagai bentuk partisipasi dalam usaha

peningkatan kualitas pendidikan tinggi

kesehatan

Kajian ini akan senantiasa

disempurnakan dan dikembangkan

sesuai dengan masukan dari para

pemangku kepentingan dan rekan

mahasiswa

Semoga kajian ini dapat memberi

manfaat dan dapat ditindaklanjuti

bersama

Informasi lebih lanjut terkait kajian ini, bisa menghubungi :

[email protected])

Cc ke Penanggung Jawab Kajian :

[email protected])

Kajian ini didedikasikan oleh mahasiswa

pendidikan tinggi kesehatan Indonesia

sebagai bentuk partisipasi dalam usaha

peningkatan kualitas pendidikan tinggi

Kajian ini akan senantiasa

disempurnakan dan dikembangkan

sesuai dengan masukan dari para

pemangku kepentingan dan rekan

Semoga kajian ini dapat memberikan

manfaat dan dapat ditindaklanjuti