jurnal rehab medik

24
Pembahasan kasus sstroke Maya pe pasien. Translate warna UNGU In this case report, the patient is a 42 years old female with right side body weakness that occur suddenly in the morning, when she wake up from her sleep. This manifestation is in concordance with WHO stroke definition, which is a brain malfunction that occur suddenly with focal or global clinical sign that last for 24 hour, that can end by death due to brain circulation malfunction. This malfunction can be either subarachnoid, or intracerebral bleeding or cerebral infarction. Dalam laporan kasus ini, pasiennya adalah wanita berumur 42 tahun dengan kelemahan tubuh sebelah kanan yang terjadi secara tiba-tiba pada pagi hari ketika baru bangun tidur. Manifestasi klinis ini sesuai dengan definisi stroke yang dikemukakan oleh WHO, yaitu gangguan otak fokal maupun global yang terjadi secara tiba-tiba selama 24 jam, yang dapat diakhiri oleh kematian oleh karena gangguan peredaran darah otak. Gangguan ini dapat berupa perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, ataupun infark serebral. From anamnesis we can find that the patient had no headache, vomitting, decrease of conciousness, or any history that could lead to ischemic stroke. This finding is also confirmed by physical examination, neuromuscular examination and other supporting examination.

description

jurnal rehab medik 2015

Transcript of jurnal rehab medik

Page 1: jurnal rehab medik

Pembahasan kasus sstroke Maya pe pasien.

Translate warna UNGU

In this case report, the patient is a 42 years old female with right side body weakness that

occur suddenly in the morning, when she wake up from her sleep. This manifestation is in

concordance with WHO stroke definition, which is a brain malfunction that occur suddenly with

focal or global clinical sign that last for 24 hour, that can end by death due to brain circulation

malfunction. This malfunction can be either subarachnoid, or intracerebral bleeding or cerebral

infarction.

Dalam laporan kasus ini, pasiennya adalah wanita berumur 42 tahun dengan kelemahan

tubuh sebelah kanan yang terjadi secara tiba-tiba pada pagi hari ketika baru bangun tidur.

Manifestasi klinis ini sesuai dengan definisi stroke yang dikemukakan oleh WHO, yaitu

gangguan otak fokal maupun global yang terjadi secara tiba-tiba selama 24 jam, yang dapat

diakhiri oleh kematian oleh karena gangguan peredaran darah otak. Gangguan ini dapat berupa

perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, ataupun infark serebral.

From anamnesis we can find that the patient had no headache, vomitting, decrease of

conciousness, or any history that could lead to ischemic stroke. This finding is also confirmed by

physical examination, neuromuscular examination and other supporting examination.

Dari anamnesis kita dapatkan bahwa pasien tidak mengalami sakit kepala, muntah,

penurunan kesadaran, ataupun riwayat apapun yang mengarah ke stroke iskemik. Penemuan ini

juga ditunjang dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan neuromuskular, dan pemeriksaan

penunjang lainnya.

The aim of physical rehabilitation is to help the patient to increase functional status as

high as possible, by preventing complitation that could lead to disability dan dependency.

Rehabilitation for stroke patient must start as soon as possible. There is a strong connection

between the onset of rehabilitation with the rehab outcome in stroke patients. In this case report,

medical rehabilitation phase, strarting from acute phase in the hospital to the sub acute phase

until the long term handling at the patient house will be discussed occordingly. Avoiding

complication of long term bed rest will be the goal of acute phase rehabilitation.

Page 2: jurnal rehab medik

Yujuan dari rehabilitasi fisik yaitu untuk menolong pasien agar dapat meningkatkan

status fungsional setinggi mungkin, yaitu dengan cara mencegah komplikasi yang dapat

mengarah ke kecacatan dan ketergantungan. Rehabilitasi pada pasien stroke harus dimulai sedini

mungkin. Ada hubungan yang kuat antara onset dari rehabilitasi dengan hasil rehab pada pasien-

pasien stroke. Dalam Laporan kasus ini, fase rehabilitasi medis dimulai dari fase akut dalam

rumah sakit sampai dengan fase sub akut hingga penanganan jangka panjang dirumah pasien

akan didiskusikan secara berturut-turut.

Major risk factors that was discovered from this case anamnesis is the history of

uncontrolled hypertension (200/100 mmHg) even with medication. Stroke incidence will

decrease if the patient blood pressure can be maintain below 140/90 mmHg. The other risk factor

that was found is hipercholesterolemia. This patient had a total cholesterol level > 250 with a

habbit of eating greasy food. From the reference we knew that there was a positive connection

between the increase of lipid plasma level and the increase of lipoprotein with the development

of cerebrovascular aterosclerosis. This also means that there is a positive connection between the

total cholesterol and trigliserid level with stroke risk, but there is a negative connection between

the increase of HDL level with the stroke risk level.

Faktor-faktor risiko besar yang ditemukan dalam anamnesis kasus ini adalah hipertensi

tak terkontrol (200/100 mmHg) walaupun dengan penggunaan obat. Insidensi stroke akan

menurun jika tekanan darah pasien dapat dijaga dibawah 140/90 mmHg. Faktor risiko lain yang

ditemukan juga adalah hiperkolesterolemia. Pasien ini memiliki total kolesterol > 250 dengan

kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak. Dari referensi kita dapat mengetahui bahwa

terdapat hubungan yang positif antara peningkatan kadar lemak plasma dan lipoprotein dengan

perkembangan proses atherosklerosis serebrovaskuler. Hal ini juga berarti bawha ada hubungan

yang positif antara total kadar kolesterol dan trigliserida dengan risiko stroke, akan tetapi ada

hubungan negatif antara peningkatan kadar HDL dengan risiko stroke.

The weakness of the right side of the body and other right side cranial nerve, shows that

the lession is on the left hemisfer of the brain. The brain is fed by two pairs of artery, which is

vertebralis artery that feed the brain stem, cerebelum and the posterior side of hemisfer, and the

second one is carotis artery that serve both hemisfer, right and left. Cerebral blood flow is

influenced by 3 factors, that is blood pressure, blood vessel resistence, and blood viscosity along

Page 3: jurnal rehab medik

with coagulity. Autoregulation of brain vasculer system functions normally when sistemic blood

pressure is between 50 – 150 mmHg. If the CO2 level increases and the O2 level decreases, blood

pH level will decrease and vasodilatation occur along with increase of CBF. On the contrary if

CO2 level decreases and the O2 level increases than the blood pH level will increase, this

resulted the occurance of vasocontriction dan decrease of CBF. The decrease of CBF will

decrease the brain perfussion, and at the end giving the patient ischemic stroke manifestation.

Kelemahan tubuh sebelah kanan dan gangguan nervus kranialis sebelah kanan

menunjukan bahwa lesi terdapat pada bagian hemisfer kiri otak. Otak didukung oleh 2 pasang

arteri diantarannya adalah arteri vertebralis mengalirkan darah ke batang otak, serebelum, dan

sisi posterior dari hemisfer, dan arteri karotis yang mengalirkan darah menuju kedua hemisfer

kanan dan kiri. Aliran darah serebral dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu tekanan darah, resistansi

pembuluh darah, dan kekentalan darah bersama dengan tingkat koagulitasnya. Proses

autoregulasi dari sistem vaskuler otak berfungsi secara normal ketika tekanan darah sistemik

berada pada rentang 50 – 150 mmHg. Jika kadar CO2 meningkat dan kadar O2 menurun, akan

terjadi penurunan pH darah sehingga akan terjadi vasodilatasi berasa dengan peningkatan CBF.

Sebaliknya ketika kadar CO2 menurun dan kadar O2 meningkat, akan terjadi vasokonstriksi dan

penurunan CBF. Penurunan CBF ini akan menurunkan tingkat perfusi otak, dan pada akhirnya

akan mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis stroke iskemik.

Page 4: jurnal rehab medik

At the case of ischemic stroke, the blood flow to the brain is stopped because of

aterosclerosis or a thrombus that clog blood vessel to the brain. Almost all of the patient or 83%

of the patient had this type of stroke.

Dalam kasus stroke iskemik, aliran darah otak terhenti dikarenakan oleh atherosklerosis

ataupun trombus yang menyumbat pembuluh barah otak. Hampir semua pasien atau 83% dari

pasien mendapatkan tipe stroke seperti ini.

In this patient, weakness comes slow, showing a stroke evolution or a progressing stoke.

In this state the neurological deficit that occur will continue towards the worse until it reach a

complete stroke.The disability of this patient was assessed by neromuscular examination, and

come up as dekstra hemiparesis accompanied by N.VII and VIII dextra.

Pada pasien ini, kelemahan tubuh terjadi secara lambat, menunjukan sebuah evolusi

stroke atau stroke progresif. Pada keadaan ini defisit neurologis yang terjadi akan terus

berkembang kearah yang lebih buruk sampai pada keadaan stroke komplit. Tingkat kecacatan

pasien dinilai dengan pemeriksaan neuromuskuler, dan disimpulkan sebagai hemiparesis dekstra

yang disertai dengan lesi N.VII dan VIII dekstra.

Figure 1. Non haemoraghic stroke

Page 5: jurnal rehab medik

Pada pemeriksaan pertama kali hari ke dua setelah onset, ditemukan tanda-tanda vital

Tekanan darah 200/100 mmHg, Nadi 68 x/menit, Respirasi 24 x/menit, Suhu badan 36,0C.. Pada

penderita ini pemeriksaan motorik ditemukan penurunan gerakan ekstermitas dekstra, kekuatan

otot menurun pada ekstermitas dekstra baik superior maupun inferior. Hasil pemeriksaan

laboratorium dari hematologi dan kimia klinik semua dalam batas normal, kecuali pada kalium

serum 2,9 mmol/L (penurunan dari nilai normal). Pada pemeriksaan EKG dan rontgen thorax

dalam batas normal. CT-Scan menunjukkan gambaran hiperdens dikelilingi gambaran hipodens

di lobus frontoparietal sinistra..12

berdasarkan pemeriksaan maka diagnosis klinis: hemparesis dexta + disatria ec SNH

hari ke 4,Dari pemeriksaan fisik didapatkan lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang

tidak sama berat (lengan lebih berat sehingga diagnosis topisnya kortikal. Diagnosis etiologi

yaitu stroke hemoragik karena pada pemeriksaan CT-Scan menunjukkan gambaran hipodens dan

hiperdens di lobus frontoparietal sinistra. Diagnosis fungsional adalah disabilitas immobilisasi

(transfer, ambulasi dan self care), namun pada follow-up mulai ada perbaikan

Tonus otot menurun(flaksid) pada ekstermitas superior dan inferior dekstra, karena masih

dalam fase Brunnstorm I. Namun selama proses pemulihan (0-6 bulan kemudian) tonus otot

nampak meningkat sesuai dengan Brunsnstrom. Setelah penanganan rehabilitasi medic 2 bulan

Nampak dari flaksid timbul spastisitas dan timbul pola sinergi flexor dan extensor dan akhirnya

terjadi gerakan volunteer.Brunnstrom mengembangkan pemeriksaan fungsi motorik penderita

hemiplegia menurut fase penyembuhan motoric sebagai berikut:

Fase 1 : tidak ada gerakan otot ( flaksid)

Fase 2 : tampak sedikit spastik

Fase 3 : spastisitas menonjol, ada gerakan volunteer, tetapi dengan pola sinergi

Fase 4 : mulai ada gerakan volunter yang selektif diluar sinergi flexor dan extensor

Fase 5 : spastisitas menurun, aktifasi otot kebanyakan selektif

Fase 6 : gerakan otot sudah terkoordinasi

Pada awal pemeriksaan , pasien memiliki problem antara lain gerakan ekstermitas

superior dan inferior dekstra menurun, gangguan mobilisasi (transfer dan ambulasi), gangguan

Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (berpakaian, makan, self care), gangguan emosi/psikologis,

kecemasan pasien dan keluarga atas biaya pengobatan. Masalah terberat selain kelumpuhan pada

Page 6: jurnal rehab medik

pasien ini, adalah masalah psikologi dan sosial .Penderita sangat tertekan dengan keadaannya

karena dia merupakan wanita aktif dengan usia produktif. Data menunjukan lebih 50% penderita

stroke mengalami depresi setelah terkena stroke yang pada akhirnya menghambat proses

penyembuhan bagi pasien sendiri. Masalah terberat selain kelumpuhan pada pasien ini, adalah

masalah psikologi dan sosial. Pada penderita ini, Proses kesembuhan motorik nampak sangat

lambat di ruangan tidak nampak peningkatan kekuatan otot, demikian juga untuk 2 bulan

pertama, namun pada bulan ke 3 perkembangan sangat cepat pada anggota gerak bawah dulu

dibandingkan anggota gerak atas. Sampai bulan ke 3 kekuatan otot ekstremitas atas masih

0/2/2/1 dengan fungsi tangan (grip/ sferical, grasp) yang sangat kurang. Namun sensoriknya

sudad kembali normal padabulan ke 2. Hal tersebut mungkin disebabkan kelumpuhan anggota

gerak atas lebih berat dan tangan membutuhkan gerakan-gerakan halus dan tangkas untuk

melakukan aktifitas hidup sehari-hari. Kepustakaan mengatakan gerakan volunteer bagian

proksimal biasanya kembali lebih dahulu. Kesembuhan fungsional umumnya berlanjut

meningkat pada 6 bulan sampai 1 tahun pasca stroke. Untuk tujuan tersebut, kami membahas

penanganan kasus panjang penderita dengan post SNH, untuk melihat tahap tahap rehabili

Sasaran utama jangka panjang rehabilitasi stroke yang hendak dicapai pada pasien ini

ditetapkan sebagai berikut

1. Mencegah, mengenal dan menangani kondisi-kondisi medik penyerta stroke

termasuk mencegah serangan ulang stroke, memperbaiki hidrasi dan nutrisi

2. Memaksimalkan kemandirian fungsional melalui berbagai program latihan

3. Memfasilitasi terjadinya adaptasi kehidupan psikologis dan sosial baik pada

penderita dan keluarga

4. Mendorong reintegrasi di masyarakat dan tempat kerja

5. Memperbaiki kualitas hidup penderita

Dengan sasaran itu, maka untuk tahap awal diruangan setelah pasien stabil dan tanpa

komplikasi dilakukan

1. Pada fase akut, penderita dirawat selama 2 minggu di bangsal (IRINA F Neuro) diberikan

Early rehabilitation yang harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi

lebih lanjut, sedangkan early mobilitation harus menunggu sampai kondisi stabil. Adapun

tingkatan waktu dari stroke dibagi menjadi :

Page 7: jurnal rehab medik

- fase akut : waktu 6 jam sampai 2 minggu serangan stroke.

- fase subakut : waktu 2 minggu sampai 3-6 bulan.

- fase kronik : waktu lebih dari 6 bulan

The goals of acute stroke management are:

(a) to limit or reverse neurologic damage through thrombolysis or neuroprotection, and

(b) to monitor and prevent secondary stroke complications . 3

Untuk itu selama pasien diruangan diberikan program :

1. Pada fase akut, penderita dirawat selama 2 minggu di bangsal (IRINA F Neuro) diberikan

Early rehabilitation yang harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih

lanjut, sedangkan early mobilitation harus menunggu sampai kondisi stabil. Adapun tingkatan

waktu dari stroke dibagi menjadi :

- fase akut : waktu 6 jam sampai 2 minggu serangan stroke.

- fase subakut : waktu 2 minggu sampai 3-6 bulan.

- fase kronik : waktu lebih dari 6 bulan

The goals of acute stroke management are:

(a) to limit or reverse neurologic damage through thrombolysis or neuroprotection, and

(b) to monitor and prevent secondary stroke complications . 3

Tujuan dari manajemen stroke akut adalah:

a) Untuk membatasi atau mengembalikan kerusakan saraf yang telah terjadi melalui

trombolisis ataupun neuroproteksi, dan

b) Untuk memonitor dan mencegah komplikasi stroke sekunder.3

Untuk itu selama pasien diruangan diberikan program

Page 8: jurnal rehab medik

1) Breathing excerice dan penanganan problem respirasi dapat diberikan sedini mungkin :

dampak dari tirah baring dan stroke dapat menyebabkan vital kapasitas, residual volume,

dan konsumsi oksigen rendah, yang berakibat gangguan ventilasi / perfusi dan disfungsi

pernafasan. Dampak lebih lanjut mengakibatkan perfusi ke otak menurun dan

meningkatkan impairment. Dengan breathing excersice dan mobilisasi dini yang baik

akan dapat memperbaiki pemulihan neurologis dan fungsional serta mencegah

impairment yang berat.

2) Latihan LGS pasif,ataupun aktif dibantu untuk membertahankan lingkup gerak sendi.

mencegah kontraktur sendi dan mengembalikan fungsi motor.

3) Properbed positioning,(posisi di tempat tidur yang benar) Rehabilitasi medik tidak

diberikan pada stroke fase hiperakut (waktu 6 jam pertama dari dimulainya onset

serangan stroke Mencegah dekubitus pada tempat-tempat yang menonjol. Rehabilitasi di

tempat tidur dimulai dengan pengaturan posisi baring (positioning) yaitu penderita

diletakkan dalam posisi melawan pola spastisitas yang nantinya timbul

4) Latihan mobilisasi seperti latiham duduk bertahap, tidak hanya membantu mencegah

hipotensi postural orthostatic, statis vena pada tungkai yang paralisis dan kelemahan yang

berat, tapi juga meningkatkan rasa sehat dari pasien serta untuk persiapan penderita

belajar transfer dan ambulasi. . Pada pasien ini sudah dilakukan mobilisasi karena sudah

melewati 2 hari pasca stroke, diawali dengan latihan duduk bertahap, menghindari

hiptensi orthostatik, diikuti latihan pindah tempat (transfer) : kursi roda ke tempat tidur,

kursi roda ke kasur latihan

Dikatakanpada SNH mobilisasi baru boleh diberikan setelah 2 x 24 jam, dengan kondisi

hemodinamik stabil. Berbeda dengan Stroke Hemoragik harus lebih hati-hati mengingat

dapat terjadinya stroke in evolution. Pada progressing stroke menunggu sampai

completed stroke. Mobilisasi dini dapat diberikan jika keadaan hemodinamik stabil, pada

hari ke 5 ( lewat hari keempat / 96 jam ). (11)

Penanganan pada penderita stroke terdiri dari terapi medikamentosa dan program

rehabilitasi. Medikamentosa diberikan dari bagian Neurologi yang sesuai dengan penyebab

penyakit pada penderita ini yaitu stroke non hemoragik disertai pemberian anti hipertensi .

Tujuan diberikannya terapi medikamentosa pada pasien stroke adalah untuk mempertahankan

sirkulasi dan oksigenasi, tekanan darah dan curah jantung yang adekuat, mengembalikan

Page 9: jurnal rehab medik

keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan level tekanan darah dan kolestrol normal.

penderita setelah keluar rumah sakit stabil tanpa komplikasi pneumonia, dekubitus,namun

keadaan motorik pada eksremitas superior dan inferior masih tetap ,namun penderita bisa

ambulasi dengan wheel chair.

Panduan pnanganan stroke rehabilitasi pada fase akut mengikuti bagan dibawah ini:short

goalnya mengikuti bagan dibawah ini

Stroke Rehabilitation Algorithm in Sub Acute/ Recovery Phase 9

STROKE REHABILITATION

DISABILITIES

- Communication - Cognitive- Swallowing function- Mobilization/ambulation- ADL- Bladder & Bowel control- Emotional/behavior- etc

IMPAIRMENT

PATHOLOGY

Diagnosis, etiology

Location, severity

PROGNOSIS

Functional

Evaluation

- RBM- Other institution

Page 10: jurnal rehab medik

Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke PERDOSRI 2004

Algoritma Rehabilitasi Stroke pada Fase Sub Akut/ Pemulihan 9

GOAL INTERVENTION

Evaluation

Reachable

HANDICAP

Psycho social vocational

Finish

Yes

No

Yes No

REHABILITASI STROKE

KETIDAKMAMPUAN

- Komunikasi- Kognitif- Fungsi menelan- Mobilisasi/berjalan- ADL- Kontrol BAK/BAB- Emosi/perilaku- dll

IMPAIRMENT

PATOLOGI

Diagnosis, etiologi

Lokasi, tingkat keparahan

PROGNOSIS

Fungsional

Evaluasi

- RBM- Institusi lain

Page 11: jurnal rehab medik

Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke PERDOSRI 2004

Pada kontrol pertama pasien ke poli IKFR evaluasi didapatkan penderita masih dengan

keadaan seperti saat keluar rumah sakit, ambulasi dengan kursi roda, problem kelemahan pada

sisi kanan, gangguan emosi/psikologis, kecemasan pasien dan keluarga atas biaya pengobatan

sehingga secara garis besar program yang diberikan pada pasien ini adalah terapi latihan dan

modalitas panas (infra red) dan pemberian NEMS untuk otot dengan kekuatan otot 0. Namun

seiring waktu dan latihan yang dilakukan secara aktif oleh pasien dirumah, maka pada kontrol

terakhir (fase kronik) kemampuan fungsional pasien meningkat secara signifikan . Mulai dari

keadaan flaksid pada bulan bulan awal, dan terjadi peningkatan fungsional bermakna setelah

bulan ke tiga, dan pada bulan ke 6 pasien suda dengan kekuatan otot penuh, bisa mandiri dan

bisa melakukan kegiatan seharari hari tanpa dibantu.

Program latihan pada fase sub akut (mulai 2 minggu sampai 6 bulan) pada penderita ini adalah

sebagai berikut:

1) Awalnya diberikan pemberian modalitas panas /infra red selama 30 menit, dengan jarak

50-60 cm, yang suhunya disesuaikan dengan toleransi penderita, karena kekuatan otot

ekstremitas atas dan bawah masih 0. Tujuannya pemberian modalitas ini adalah untuk

meningkatkan temperatur intramuskular sebelum menjalankan program latihan, dimana

TUJUAN INTERVENSI

Evaluasi

tercapai

HANDICAP

Psikososial vokasional

Finish

Ya

tidak

Ya tidakk

Page 12: jurnal rehab medik

dengan meningkatnya temperatur ini memberikan pengaruh positif dalam kemampuan

komponen elastin dan kolagen untuk mengalami deformasi serta meningkatkan

kemampuan organ tendon golgi untuk secara refleks merelaksasi otot. Peningkatan

temperatur juga dapat dicapai dengan low intensity warm up.21

2) Pemberian elektrik terapi secara trans kutaneus dengan tujuan untuk menstimulasi saraf

dan otot menggunakan elektroda permukaan. Untuk electrical stimulasi kami

menggunakan Transcutaneus electrical stimulasi (TES) yang stimulasinya diatur sebagai

NMES(neuro electrical stimulation) yang bertujuan untuk menstimulasi otot yang masih

intak dengan sistem saraf motorik. Tujuannya adalah untuk menguatkan otot yang masih

lemah dan untuk membantu memulihkan kontrol motorik. Pada pasien ini berdasarkan

evaluasi komponen performa didapati adanya peningkatan kekuatan otot, meningkatnya

kemampuan ambulasi. Sesuai kepustakaan, pasien stroke secara tipikal akan mengalami

perubahan dalam tonus otot, kekuatan otot serta daya tahan (endurance) yang menurun.

Keadaan ini apabila tidak ditangani dengan berjalannya waktu akan menyebabkan

kekakuan otot..22 Kelemahan dialami oleh sekitar 80% sampai 90% penderita stroke.23

Dalam kasus ini juga didapati gambaran yang sama dan pada pasien karena nampak

flasid pada otot extremitas inferior dekstra, namun setelah diberikan program seperti

diatas dalam 2 bulan maka mulai nampak peningkatan kekuatan ototnya.nampak untuk

extremitas inferior lebih dulu menunjukan hasil yang baik, pada bulan ke 3 pasien sudah

bisa jalan mandiri, dengan terhindar dari pola sinergik stroke.Latihan peningkatan

kekuatan otot dan latihan dengan aktivitas fungsional yang meningkatkan motor demand

ekstermitas yang terlibat dan didapati hasil berupa peningkatan kekuatan otot.

Setelah kekuatan otot ekstremitas inferior membaik dengan TES,IR,ketahanan berdiri di

standing chair , latihan penguatan otot panggul dengan briging excersice maka

dilanjutkan dengan latihan ambulasi secara bertahap, selalu dimulai dalam parallel bars

(palang sejajar,latihan aktifitas hidup sehari-hari di bagian Terapi Okupasi. Latihan

ambulasi secara bertahap, dimulai dalam parallel bars (palang sejajar). Latihan ambulasi

di luar parallel bars dengan alat bantu : walker ,latihan naik dan turun tangga dan

lanjutkan dirumah dengan latihan aktifitas hidup sehari-hari melibatkan keluarga dirumah

serta dilanjutkan dengan latihan ambulasi mandiri untuk menghilangkan ketergantungan.

Page 13: jurnal rehab medik

Evaluasi fungsional sejak konsul awal sampai 6 bulan post stroke adalah sebagai berikut:

1) Awalnya penderita total dependen dengan kekuatan otot 0/0/0/0 dan extremitas inferior

1/1/1/1 . Setelah 1 bulan terjadi peningkatan otot 0/0/1/1 dan 3/3/2/2. Dalam kemampuan

mobilitas, pasien sebelumnya imobile dan diberikan program yang bertujuan untuk

meningkatkan performa. Pasien selanjutnya mengalami kemajuan dari imobile menjadi

berjalan mandiri.

2) Setelah latihan kontinyu,pasien bisa jalan mandiri meskipun dengan hemiplegik gait

berupa sirkumduksi saat berjalan. Sirkumduksi terjadi akibat kurangnya fleksi hip, fleksi

knee dan dorsofleksi ankle tapi tidak didapati keterbatasan LGS. Pada penderita ini

diberikan program latihan gait. Selanjutnya pada akhir follow-up hemiplegik gait sudah

tidak ada,tidak tampak sirkumduksi lagi.

3) Penilaian aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) pada pasien ini menggunakan barthel

index (BI). BI adalah gold standard untuk penilaian AKS. Pada awal pemeriksaan pasien

tergolong dalam severe disabled dan pada akhir follow-up pasien sudah mandiri

4) Dalam kasus ini juga sebagai bagian dari gangguan AKS adalah ekstermitas superior

dekstra . Awalnya kekuatan otot ekstremitas superior kanan dengan kekuatan otot 0/0/0/0

setelah diberikan terapi rehabilitasi medik, berangsur meningkat sampai 5/5/5/5. Namum

kemampuan ketrampilan tangan sampai saat ini masih belum setangkas sebelum sakit.

Awalnya karena nonuse, maka terjadi atrofi dari otot ekstremitas superior dextra, namun

tidak sampai terjadi terjadi kontraktur karena terus dilakukan latihan LGS dan penguatan

pasif dengan bantuan tangan sehat, selanjutnya diupayakan tangan sakit untuk

berkontraksi dan melakukan fungsinya secara mandiri. Dipakai teknik Constraint-

Induced Movement Therapy (CIM) untuk meningkatkan pemulihan sensorimotorik

sesudah stroke. Pasien biasanya diajarkan untuk, tidak menggunakan lengan yang sehat

dengan berbagai macam alat bantu untuk AKS tetapi menggunakan lengan yang

hemiplegi.27 Meskipun ada kepustakaan yang menyatakan bahwa pemulihan fungsi tangan

pada sebagian besar pasien terjadi pada 3 bulan pertama dan sesudah itu tidak ditemukan

lagi perbaikan bermakna,29 pada pasien ini, pemulihan fungsional ekstremitas atat baru

dimulai pada bulan ke 3. Hal ini sangat bermakna setelah kami memberikan edukasi

melakukan miror therapi , nampak perbaikan yang bermakna fungsional ekstremitas atas.

The mirror therapy program (MTP) was first introduced by Ramachandran in 1996 .

Page 14: jurnal rehab medik

Mirror therapy has also been reported to enhance upperlimb motor recovery and self-care

ability in patients with subacute stroke especialy enhanced the motor function of distal

part of the upper limbs in acute stroke patients.17 suggested the effectiveness of upper-

limb mirror therapy combined with a standard rehabilitation program in subacute stroke

patients and reported an increase of 36% in both Brunnstrom upper-limb motor recovery

stages and hand motor recovery stages. Sutbeyaz et al9

Mirror Therapy Program (MTP) pertama kali diperkenalkan oleh Ramachandran

pada tahun 1996. Terapi cermin telah dikabarkan dapat meningkatkan kemampuan

pemulihan motorik anggota gerak atas dan kemampuan self-care dalam pasien dengan

stroke sub-akut dan terutama peningkatan fungsi motorik anggota gerak atas bagian distal

dari pasien dengan stroke akut. Keefektifan dari terapi cermin anggota gerak atas yang

dikombinasikan dengan program rehabilitasi standar pada pasien dengan stroke subakut

telah dilaporkan dengan adanya peningkatan 36% dari kedua fase/tingkatan pemulihan

motorik oleh Brunnstrom yaitu pemulihan motorik anggota gerak atas dan pemulihan

motorik tangan. Sutbeyaz et al.9

5) Terapi Okupasi berupa latihan aktifitas hidup sehari-hari bersifat daily basis, intervensi

terapi okupasi yang difokuskan pada aktivitas personal dalam kehidupan sehari-hari,

didapatkan hasil pasien tersebut agar menjadi lebih mungkin untuk independen dalam

melakukan aktivitas.28 Latihan AKS bertujuan mendapatkan aktifitas berulang sehingga

timbul koordinasi neuromuskuler yang menghasilkan integrasi stimuli sensoris dengan

respon motoris pola gerakan yang lancar. Praktek repetitive task-related activities, yang

diprogramkan pada pasien ini akan membangun kemampuan ketramplilan tangan.26

Proses pemulihan yang dipakai menggunakan kombinasi terapi

neurofisiologik/neurodefelopmental, dengan tujuan mempercepat pemulihan penderita.

Pemulihan berdasarkan Brunstrom dibagi menjadi:

1. Flaksiditas (segera setelah onset)

2. Spastisitas muncul pola sinergi dasar, dapat timbul gerakan volunter minimal.

3. Pasien mempunyai kontrol volunter terhadap sinergis, peningkatan spastisitas.

4. Beberapa pola gerakan selain sinergi dapat dikuasai, penurunan spastisitas.

5.Jika terus berlanjut, kombinasi gerakan yang lebih kompleks

dipelajari ,penurunan spastisitas lebih lanjut.

Page 15: jurnal rehab medik

6. Hilangnya spastisitas

7. tercapai fungsi normal

Pada pasien ini, dengan latihan teratur, mengikuti perkembangan brunstrom, maka terjadi

pemulihan yang signifikan nampak dari peningkatak kekuatan otot maupun peningkatan

Barthel index.

6) Program speech therapy diberikankarena terdapat disartria akibat kelumpuhan nervus 7

dan XII dextra. . Tujuan terapi ini adalah (1) untuk menstimuli proses yang terganggu dan

memajukan reorganisasi fungsional, (2) mengajarkan penggunaan kemampuan yang

tersisa sebagai strategi kompensasi untuk komunikasi, (3) menyediakan edukasi dan

konseling dan mempromosikan penyesuaian antara pasien dengan keluarga, (4) untuk

menghilangkan “kebiasaan buruk” yang mempengaruhi suksesnya komunikasi, (5) untuk

mempromosikan lingkungan yang komunikasi yang cocok, dan (6) menyediakan

dukungan psikologis dan memperbaiki sikap, moral, dan faktor sosial lainnya dari pasien

(contohnya terapi wicara dapat digunakan sebagai saluran perhatian dan energi untuk

hasil akhirnya ke arah yang membangun, dengan begitu mengurangi depresi).

7) Evaluasi psikologis agar penderita dan keluarga tetap bersemangat dalam melakukan

terapi. Peranan edukasi untuk integrasi program latihan yang diberikan ke dalam AKS

pasien memiliki peran besar. Sebagaimana dinyatakan dalam kepustakaan bahwa

program latihan yang diberikan dilakukan secara bersama-sama dengan usaha pasien

sendiri mempercepat pemulihan. Pada pasien ini awalnya sangat depresi dengan

sakitnya, namun dengan edukasi dan motivasi dari psikolog serta kemajuan yang

nampak, maka timbul kemauan untuk berusaha mengikuti nasehat yang diberikan begitu

juga dengan mengikuti program terapi. Meskipun demikian, tetap diberikan program

psikologi untuk menambah dan menjaga motivasi pasien dalam mengikuti program yang

diberikan sebagaimana dalam kepustakaan dinyatakan bahwa untuk force production

dibutuhkan suatu mental force berupa a power of will.32 Hasil yang telah dicapai juga

dapat menjadi motivasi bagi penderita. Sampai saat ini penderita ini masih terus

diberikan program rehabilitasi tetapi lebih difoluskan pada aktifitas rumahnya,untuk lebih

meningkatkan kemampuan fungsionalnya, sebagaimana dinyatakan dalam kepustakaan

bahwa terbukti melalui berbagai pemeriksaan di otak yang menunjukkan adanya

Page 16: jurnal rehab medik

perubahan neuroplastik sehubungan dengan intervensi rehabilitasi pada tingkat

anatomi/fisiologi.

Demikian kami melaporkan penanganan yang komprehensif dari penderita post SNH , dengan

penanganan Tim Rehab maka dari fungsional yang sangat disable penderita bisa mandiri .