Jurnal Diversita DOI: 10.31289/diversita.v6i1.3688 Jurnal ...
Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004
-
Upload
galih-wicaksono -
Category
Documents
-
view
9 -
download
3
description
Transcript of Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004
ISSN 2337-3776
Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Pemberian Madu Bunga Akasia Topikal, Oxoferin, Dan Oksitetrasiklin Pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Galur Sprague Dawley
Galih Wicaksono1), dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA2)
email: [email protected]
1)Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2)Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung
AbstrakPenanganan luka bakar yang tepat memiliki peranan penting dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penggunaan madu topikal untuk luka bakar efektif digunakan. Namun oxoferin dan oksitetrasiklin sebagai obat standar luka bakar memberikan efek penyembuhan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu, oxoferin dan oksitetrasiklin pada tikus putih (Rattus norvegicus). Penelitian eksperimental ini menggunakan post test only controlled group design terhadap 6 ekor tikus putih yang diberi masing-masing 4 perlakuan selama 14 hari. Perlakuan terdiri atas kelompok kontrol, madu, oxoferin, dan oksitetrasiklin. Pada tikus putih dilakukan pengukuran gambaran klinis dan biopsi kulit diambil untuk pemeriksaan histopatologi Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji repeated ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan pada uji Pairwise Comparison gambaran histopatologi didapatkan nilai p >0,05 (0,062) antara madu dengan oxoferin dan nilai p>0,05 (0,359) madu dengan oksitetrasiklin. Pada gambaran klinis didapatkan uji Pairwisse Comparison dengan nilai p<0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok madu dengan oxoferin dan oksitetrasiklin pada gambaran histopatologi kulit tikus (2) pada hasil gambaran klinis kelompok madu lebih baik dibandingkan kelompok oxoferin dan oksitetrasiklin.
Kata kunci : luka, madu, oksitetrasiklin , oxoferin.
The Comparison Of Level Wound Healing In Second Degree Burn Injury Between Giving Topical Akasia Flower Honey Oxoferin And Oksitetrasiklin
In Male Sprague Dawley Albino Rats (Rattus novergicus)
Galih Wicaksono1), dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA2)
email: [email protected]
1)Medical Faculty Student of Lampung Univesity, 2)Medical Faculty Lecturer of Lampung
AbstractThe appropriate management for burn wound have an important role to decrease morbidity and mortality. The use of honey as a topical therapy for burn is effective to use. However oxoferin and oksitetrasiklin as a standard cure for burn
1MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
gives a great curative effect. The aim of this study is to find out the level of second degree in burn healing between giving topical honey, oxoferin and oksitetrasiklin in male Sprague Dawley albino rats (Rattus norvegicus). This experimental study uses post test only controlled group design for 6 albino rats given 4 treatments each for 14 days. Those treatments consist of control group, honey, oxoferin and oksitetrasiklin. There are control group, second degree’s burn care goup with honey and second degree’s burn care goup with oxoferin and oksitetrasiklin. For histopathologycal test, a clinical wound measurement and skin sample must be taken. repeated ANOVA test shows the differences of wound healing means between control group and honey group or oxoferin and oksitetrasiklin. The result in Pairwise Comparison is no significant difference with p value>0,05 (0,062) honey with oxoferin and p value>0,05 (0,359) honey with oksitetrasiklin. It is obtained on Pairwise Comparison test with p value<0,05 on clinical image. The conclusion are (1) There is no significant difference between honey treatment group with oxoferin and oksitetrasiklin on the histopathology image of mice skins. (2) Based on the result of clinical image, honey treatment group is better than oxoferin and oksitetrasiklin treatment group.
Keywords : honey, oxoferin, oksitetrasiklin, wound
PENDAHULUAN
Penanganan luka bakar yang tepat memiliki peranan penting dalam
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada kasus luka bakar. Sejalan
dengan berkembangnya penelitian-penelitian di bidang kesehatan, berbagai
macam pengobatan yang lebih baik telah bermunculan (Dina, 2008). Madu telah
terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai agen penyembuhan
luka bakar, antimikroba, antioksidan serta dan inflamasi. Oxoferin berbentuk
sediaan larutan yang mengandung kompleks pembawa oksigen yang bersifat non
metal yang diaktifkan secara biokatalis sehingga efektif dalam proses
penyembuhan luka, termasuk luka bakar. Oksitetrasiklin efektif digunakan
sebagai antimikroba secara topikal. Salah satu indikasi penggunaan oksitetrasiklin
adalah untuk melawan bakteri yang menginfeksi luka bakar.
Berdasarkan uraian di atas yang menyatakan bahwa madu topikal, oxoferin
dan oksitetrasiklin efektif dalam menyembuhkan luka bakar. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian untuk menilai perbandingan tingkat kesembuhan luka
bakar derajat II antara pemberian madu bunga akasia topikal, oxoferin, dan
oksitetrasiklin pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague
Dawley (Momoh dkk., 2008; Hardjosaputra dkk., 2008)
METODE
2MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan rancangan
penelitian menggunakan post test only controlled group design. Pemilihan sampel
digunakan dengan cara simple random sampling, pada uji eksperimental ini,
variabel yang di uji adalah numerik berpasangan sehingga total sampel minimal
yang dibutuhkan adalah sebanyak 20 sampel yang didapatkan pada 5 ekor tikus
putih dari populasi yang ada. Pada penelitian ini digunakan 24 sampel untuk
mengantisipasi adanya kematian subjek selama penelitian.
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan pada bulan oktober-november
2012. Tempat penelitian dilaksanakan di dua tempat yaitu selama adaptasi sampai
perlakuan pada hewan percobaan dilakukan di Laboratorium Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan
pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: berat badan
tikus ditimbang dan diadaptasi selama 7 hari, tikus diberi luka bakar berdiameter
2cm dan diberi perawatan selama 14 hari. Selama perawatan, sampel kontrol
hanya dibersihkan dengan aquades 1x sehari, sampel madu dibersihkan dengan
aquades dan diberi madu bunga akasia secara topikal 2x sehari, sampel oxoferin
dibersihkan dengan aquades diberikan oxoferin 2x sehari, sampel oksitetrasiklin
dibersihkan dengan aquades dan diberi salep oksitetrasiklin 2x sehari.
Pada hari pertama dan terakhir penelitian, dilakukan pengukuran diameter
luka. Hari ke-14 tikus dinarkosis dengan kloform dan sampel dibiopsi pada daerah
luka bakar. sampel dikirim ke laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas
Kedokteran Unila untuk pembuatan sediaan preparat. Pengamatan sediaan
histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya. Penilaian mikroskopis
penyembuhan luka dilihat pada pembesaran 40x pada 5 lapangan pandang disetiap
spesimen menggunakan hasil pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi insisi luka
yang mencakup tingkat pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi
dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru serta jumlah (Nagaoka, 2000).
Data yang diperoleh dianaisis menggunakan program SPSS versi 17 dengan uji
statistik repeated ANOVA dan uji post-hoc paired wise comparison (Dahlan,
2011).
3MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis gambaran histopatologi luka bakar tikus berupa presentase skor
pada setiap kelompok. Hasil uji normalitas data Shapiro-Wilk menunjukkan pada
kelompok kontrol adalah 0,212, kelompok madu adalah 0,212, kelompok
Oxoferin adalah 0,473, kelompok Oksitetrasiklin adalah 0,167. Karena nilai uji
normalitas data (Shapiro-Wilk) adalah p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
sebaran data pada empat pengukuran tersebut adalah normal.
Hasil keseluruhan uji hiptosis repeated ANOVA dapat dilihat di
multivariate tests pada perangkat lunak komputer. Hasil analisis yang signifikan
menghasilkan nilai p<0,05. Berdasarkan hasil analisis repeated ANOVA, dapat
disimpulkan bahwa paling tidak terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan
yang bermakna. Untuk melihat kelompok mana yang memiliki perbedaan yang
bermakna dilakukan uji Post-HocPairwise comparisons dengan kontrol sebagai
pembandingnya.
Untuk melihat kelompok mana yang memiliki perbedaan yang bermakna
dilakukan uji Post-Hoc Pairwise comparisons dengan kontrol sebagai
pembandingnya yang tersaji dalam tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Uji Post-HocPairwise Comparisons
Kelompok (a) Kelompok (b) Perbedaan rerata (a-b)
IK 95% PMinimum Maksimum
KontrolMadu -1,5 -2,941 -0,059 0,042Oxoferin -4,167 -6,702 -1,631 0,006Oksitetrasiklin -2,667 -4,446 -0,888 0,009
MaduKontrol 1,5 0,059 2,941 0,042Oxoferin -2,667 -5,480 0,146 0,062Oksitetrasiklin -1,167 -3,456 1,123 0,359
OxoferinKontrol 4,167 1,631 6,702 0,006Madu 2,667 -0,146 5,480 0,062Oksitetrasiklin 1,5 -1,112 4,112 0,359Kontrol 2,667 0,888 4,446 0,009
Oksitetrasiklin Madu 1,167 -1,123 3,456 0,505Oxoferin -1,5 -4,112 1,112 0,359
Penilaian gambaran klinis kulit tikus dilakukan dengan melihat persentase
kesembuhan luka bakar derajat II pada hari terakhir penelitian. Penilaian ini
dilakukan untuk mendukung hasil gambaran histopatologis kulit tikus.
Berdasarkan hasil pairwise comparisons didapatkan perbedaan yang
signifikan/bermakna antara gambaran klinis kelompok kontrol (K1) dengan
4MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
kelompok perlakuan madu (K2), kelompok perlakuan oxoferin (K3) dan
kelompok perlakuan oksitetrasiklin (K4) dengan nilai p<0,05. Selain itu
perbandingan tingkat kesembuhan kulit tikus K2 dengan K3 tidak memiliki
perbedaan yang bermakna, K2 dengan K4 tidak memiliki perbedaan yang
bermakna, dan K3 dengan K4 juga tidak memiliki perbedaan yang bermakna.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan tingkat
kesembuhan luka bakar antara K2 dibandingkan dengan K3 dan K4 pada tikus
putih. Kelompok pembanding dalam penelitian ini adalah K1.
Dari hasil uji repeated Anova skor histopatologi didapatkan bahwa K2,
K3, dan K4 berpengaruh dalam penyembuhan luka bakar derajat dua terlihat pada
p<0,050. Lalu untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok dilakukan
uji Post-Hoc Pairwise comparison dengan syarat setidaknya terdapat dua
kelompok yang bermakna. Pada perbandingan K2 dengan K3 menunjukkan
bahwa nilai p sebesar 0,062 dan selisih reratanya -2,667. Hal ini menjelaskan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara K2 dengan
K3. Kemudian secara klinis K2 dengan K3 juga tidak memiliki perbedaan yang
bermakna dilihat dari selisih rerata kedua kelompok tidak lebih dari atau sama
dengan 1 sesuai dengan yang ditetapkan dalam rumus besar sampel bahwa selisih
rerata antara kelompok yang dianggap bermakna ( - ) adalah 1.
Pada perbandingan K2 dengan K4 menunjukkan bahwa nilai p sebesar
0,359 dan selisih reratanya -1,167. Hasil ini menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang bermakna secara statistik antara K2 dengan K4 dilihat dari nilai
nilai p perbandingan kedua kelompok tersebut. Selisih rerata K2 dengan K4
menunjukkan nilai -1,167 yang artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna
secara klinis antara K2 dengan K4.
Berdasarkan analisis hasil di atas menyatakan bahwa perbandingan antara
K2 dengan K3 dan K4 menunjukkan bahwa K2 tidak memiliki perbedaan yang
bermakna secara statistik dan klinis dengan K3 dan K4.
Berdasarkan analisis dari gambaran klinis menyatakan bahwa
perbandingan antara K2 dengan K3 dan K4 menunjukkan bahwa K2 tidak
memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik. Akan tetapi dari hasil selisih
5MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
rerata gambaran klinis menunjukkan bahwa K2 dengan K3 dan K4 memiliki
perbedaan yang bermakna.
Secara histopatologis dan gambaran klinis perbedaan yang tidak bermakna
antara K2 dengan K3 dan K4 dapat disebabkan karena ada banyak faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka bakar antara
lain dipengaruihi oleh usia, nutrisi, infeksi, oksigenasi, mekanik dan imunitas
(DeLaune dan Ladner, 2002).
Selain itu, perbedaan yang tidak bermakna antara K2 dengan K3 dan K4
dapat disebabkan oleh beberapa persamaan kandungan kimia dalam madu bunga
akasia, oksoferin, dan oksitetrasiklin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
proliferasi limfosit B dan limfosit T dalam kultur sel dirangsang oleh madu pada
konsentrasi serendah 0,1% dan fagosit juga diaktifkan oleh madu pada konsentrasi
yang sama. Madu pada konsentrasi 1% juga merangsang monosit dalam sel
budaya terhadap sitokin rilis, tumor necrosis factor (TNF)-Alpha, interleukin (IL)
-1, dan IL-6, yang mengaktifkan kekebalan respon terhadap infeksi (Bangroo
dkk., 2005).
Madu dapat bekerja melawan infeksi melalui efek mengaktifkan pada
sistem kekebalan tubuh. Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa penelitian yang
merangsang mitogenesis di limfosit B dan limfosit T dan mengaktifkan neutrofil
(Hassanein dkk., 2010).
Keasaman madu juga membantu dalam proses oksigenasi, sebagai
peningkatan keasaman dari luka meningkatkan pelepasan oksigen dari
hemoglobin. Peningkatan oksigen arteri dapat merangsang sintesa kolagen dan
pembentukan epitel, sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka (Hassanein
dkk., 2010).
Oxoferin adalah larutan yang mengandung kompleks pembawa oksigen
yang bersifat non metal yang diaktifkan melalui sistem biokatalis. Kompleks
senyawa oksigen ini masuk ke dalam jaringan dan merangsang proses fagositosis
dan pembersihan luka (Hardjosaputra dkk., 2008).
Sesudah diaktifkan oleh sistem biokatalis kompleks senyawa oksigen
terurai menjadi metabolit-metabolit fisiologis yaitu oksigen dan klorida.
6MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
Akibatnya, tekanan parsial oksigen meningkat pada daerah luka. Pembentukan
jaringan granulasi berwarna merah terang karena pembentukan jaringan granulasi
dirangsang. Indikasi utama oxoferin untuk perawatan luka dari gangren
diabetikum, namun dapat digunakan untuk perawatan luka bakar (Hardjosaputra
dkk., 2008). Berdasarkan penelitian madu di atas dan sumber pustaka oxoferin
yang telah ditelusuri madu memiliki persamaan dalam mempengaruhi dalam
proses inflamasi dan proliferasi jaringan luka.
Proses percepatan profilerasi epitel dan kolagen didukung dengan jaringan
yang tidak terinfeksi dan tidak mengalami nekrosis. Oksitetrasiklin adalah
senyawa turunan Tetrasiklin. Mekanisme kerja bakteriostatik yaitu dengan
menghambat sintesis protein bakteri. Karena mekanisme kerja golongan
tetrasiklin sama maka spektrumnya sama tapi ada perbedaan secara kuantitatif
dari aktivitas masing-masing derivat terhadap bakteri. Hanya mikroba yang cepat
membelah yang dipengaruhi obat ini. Tetrasiklin mempunyai spektrum
antimikroba yang luas meliputi bakteri gram +, gram -, aerob maupun anaerob
(Hardjosaputra dkk., 2008).
Menurut Mundo dkk. (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan
madu memiliki aktivitas antibakteri, antara lain keasaman tekanan osmotik dan
hidrogen peroksida. Komponen tambahan pada madu seperti asam aromatik dan
komponen fenol juga berperan dalam aktivitas antibakteri. Secara makroskopis,
riset juga menunjukkan adanya fungsi debridement dari madu. Pada luka yang
dirawat dengan madu, menunjukkan kontrol infeksi yang lebih baik dibandingkan
luka yang dirawat dengan obat lain. Penggunaan madu untuk merawat luka akan
berefek pada luka yang akan menjadi steril dalam 3-6 hari, 7 hari, dan 7-10 hari
(Bangroodkk., 2005). Selain itu, glukosa dan pH asam (biasanya antara pH 3 dan
4) dapat membantu dalam aksi menghancurkan bakteri melalui makrofag. Ini
debridemen kimia aksi madu, selain mempercepat penyembuhan luka (Bangroo
dkk., 2005).
Madu memiliki peran sebagai media hiperosmolar dan mencegah bakteri
pertumbuhan. Karena viskositas yang tinggi, maka membentuk penghalang fisik
dan adanya enzim katalase sehingga madu mempunyai efek antioksidan (Bangroo
dkk., 2005). Sifat antimikroba madu telah dibuktikan oleh Hassanein dkk. (2010),
7MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
konsentrasi madu 40% sensitif terhadap bakteri gram positif kokus pada luka
bakar. Berdasarkan studi pustaka tentang oksitetrasiklin dan penelitian-penelittian
tentang madu dapat disimpulkan aktivitas antimikroba pada madu dapat
menyerupai antimikroba oksitetrasiklin sebagai agen antimikroba dalam pencegah
infeksi pada luka bakar.
Keefektifan madu sebagai agen penyembuh luka bakar telah dibuktikan
oleh beberapa penelitian sebelumnya. Madu mampu meningkatkan jumlah sel
darah merah dan kadar hemoglobin (Sakri, 2012). Tingginya nutrisi yang isinya
meningkatkan pasokan substrat di jaringan kulit merangsang epitelisasi dan
angiogenesis (Bangroo dkk., 2005).
Pada gambaran klinis, terdapat perbedaaan yang bermakna antara madu
bunga akasia dengan oxoferin dan oksitetrasiklin. Hal ini disebabkan karena
memiliki kandungan kimia senyawa bioaktif, berupa nutrisi yang tinggi, hiper
osmolar, pH asam, hidrogen peroksida, dan perangsang limfosit B dan T (Bangroo
dkk., 2005) sedangkan dalam oxoferin hanya mengandung kompleks oksigen
yang merangsang proliferasi epitel dan pembuluh darah, pada oksitetrasiklin
hanya memiliki zat aktif antimikroba (Hardjosaputra dkk., 2008). Sehingga madu
memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dari oxoferin dan oksitetrasiklin
dalam penyembuhan luka bakar derajat II.
SIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dan klinis antara
pemberian madu bunga akasia dengan oxoferin dan oksitetrasiklin pada luka
bakar derajat II terhadap gambaran histopatologi kulit tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley.
Berdasarkan gambaran histopatologi Oxoferin memiliki tingkat
kesembuhan yang lebih baik dari pada Madu dan Oksitetrasiklin pada luka bakar
derajat II.
Berdasarkan gambaran klinis Madu bunga akasia memiliki tingkat
kesembuhan yang lebih baik dari pada oxoferin dan oksitetrasiklin pada luka
bakar derajat II.
8MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013
ISSN 2337-3776
DAFTAR PUSTAKA
Bangroo, A.K., Khatri, R., Chauhan, S. 2005. Honey dressing in pediatric burn. Medical Journal of Pediatric Surgery Departemen of Delhi.
Dahlan, M. S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Edisi 5 Seri Evidence Based Medicine 1. Jakarta : Salemba Medika.
Delaune dan Ladner. 2002. Fundamental of Nursing, standards & practice second edition. USA: Delmar
Dina, D., Sunarto, Taqiyah, B. 2008. Pengaruh Frekuensi Perawatan Luka Bakar Derajat II Dengan Madu Nectar Flora Terhadap Lama Penyembuhan Luka. Jurnal Fakultas Keprawatan Universitas Brawijaya
Hardjosaputra, S.L., Purwanto. 2008. Daftar Obat di Indonesia (DOI) Edisi 11. Jakarta : PT. Muliapurna Jayaterbit.
Hassanein, S.M., Hassan M. G., Rahman, A., Hassan A. 2010. Honey Compared with Some Antibiotics against Bacteria Isolated From Burn-wound Infections of Patients in Ain Shams University Hospital. Department Microbiologi, Facultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Ain Shams, Kairo, Mesir.
Momoh, U.E., Nwachi, S., Eraga 2008. Evaluation Of Burns Healing Effects Of Natural Honey, Dermazine Cream And Their Admixture. African Journals Online.
Mundo, M.A., Olga, I., Zakour, P., dan Worobo, R.W. 2004. Growth Inhibition of Food Pathogens and Food Spoilage Organisms by Selected Raw Honeys. International Journal of Microbiology 97: 1-8.
Nagaoka, T., Kaburagi, Y., Hamaguchi, Y., Hasegawa M., Takehara, K., Steeber, D. 2000. Delayed Wound Healing in The Absence of Intercellular Adhesion Molecule-1 or L-Selectin Expression. Am. J. Pathol. 2000;157:237-47. Department of Dermatology, Kanazawa University School of Medicine, Ishikawa, Japan.
9MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013