Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

14
ISSN 2337-3776 Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Pemberian Madu Bunga Akasia Topikal, Oxoferin, Dan Oksitetrasiklin Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Galur Sprague Dawley Galih Wicaksono 1) , dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA 2) email: [email protected] 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Penanganan luka bakar yang tepat memiliki peranan penting dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penggunaan madu topikal untuk luka bakar efektif digunakan. Namun oxoferin dan oksitetrasiklin sebagai obat standar luka bakar memberikan efek penyembuhan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu, oxoferin dan oksitetrasiklin pada tikus putih (Rattus norvegicus). Penelitian eksperimental ini menggunakan post test only controlled group design terhadap 6 ekor tikus putih yang diberi masing-masing 4 perlakuan selama 14 hari. Perlakuan terdiri atas kelompok kontrol, madu, oxoferin, dan oksitetrasiklin. Pada tikus putih dilakukan pengukuran gambaran klinis dan biopsi kulit diambil untuk pemeriksaan histopatologi Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji repeated ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan pada uji Pairwise Comparison gambaran histopatologi didapatkan nilai p >0,05 (0,062) antara madu dengan oxoferin dan nilai p>0,05 (0,359) madu dengan oksitetrasiklin. Pada gambaran klinis didapatkan uji Pairwisse Comparison dengan nilai p<0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok madu dengan oxoferin dan oksitetrasiklin pada gambaran histopatologi kulit tikus (2) pada hasil gambaran klinis kelompok madu lebih baik dibandingkan kelompok oxoferin dan oksitetrasiklin. Kata kunci : luka, madu, oksitetrasiklin , oxoferin. 1 MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

description

oke

Transcript of Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

Page 1: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Pemberian Madu Bunga Akasia Topikal, Oxoferin, Dan Oksitetrasiklin Pada

Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Galur Sprague Dawley

Galih Wicaksono1), dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA2)

email: [email protected]

1)Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2)Staf Pengajar Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung

AbstrakPenanganan luka bakar yang tepat memiliki peranan penting dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penggunaan madu topikal untuk luka bakar efektif digunakan. Namun oxoferin dan oksitetrasiklin sebagai obat standar luka bakar memberikan efek penyembuhan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu, oxoferin dan oksitetrasiklin pada tikus putih (Rattus norvegicus). Penelitian eksperimental ini menggunakan post test only controlled group design terhadap 6 ekor tikus putih yang diberi masing-masing 4 perlakuan selama 14 hari. Perlakuan terdiri atas kelompok kontrol, madu, oxoferin, dan oksitetrasiklin. Pada tikus putih dilakukan pengukuran gambaran klinis dan biopsi kulit diambil untuk pemeriksaan histopatologi Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji repeated ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan pada uji Pairwise Comparison gambaran histopatologi didapatkan nilai p >0,05 (0,062) antara madu dengan oxoferin dan nilai p>0,05 (0,359) madu dengan oksitetrasiklin. Pada gambaran klinis didapatkan uji Pairwisse Comparison dengan nilai p<0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok madu dengan oxoferin dan oksitetrasiklin pada gambaran histopatologi kulit tikus (2) pada hasil gambaran klinis kelompok madu lebih baik dibandingkan kelompok oxoferin dan oksitetrasiklin.

Kata kunci : luka, madu, oksitetrasiklin , oxoferin.

The Comparison Of Level Wound Healing In Second Degree Burn Injury Between Giving Topical Akasia Flower Honey Oxoferin And Oksitetrasiklin

In Male Sprague Dawley Albino Rats (Rattus novergicus)

Galih Wicaksono1), dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA2)

email: [email protected]

1)Medical Faculty Student of Lampung Univesity, 2)Medical Faculty Lecturer of Lampung

AbstractThe appropriate management for burn wound have an important role to decrease morbidity and mortality. The use of honey as a topical therapy for burn is effective to use. However oxoferin and oksitetrasiklin as a standard cure for burn

1MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 2: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

gives a great curative effect. The aim of this study is to find out the level of second degree in burn healing between giving topical honey, oxoferin and oksitetrasiklin in male Sprague Dawley albino rats (Rattus norvegicus). This experimental study uses post test only controlled group design for 6 albino rats given 4 treatments each for 14 days. Those treatments consist of control group, honey, oxoferin and oksitetrasiklin. There are control group, second degree’s burn care goup with honey and second degree’s burn care goup with oxoferin and oksitetrasiklin. For histopathologycal test, a clinical wound measurement and skin sample must be taken. repeated ANOVA test shows the differences of wound healing means between control group and honey group or oxoferin and oksitetrasiklin. The result in Pairwise Comparison is no significant difference with p value>0,05 (0,062) honey with oxoferin and p value>0,05 (0,359) honey with oksitetrasiklin. It is obtained on Pairwise Comparison test with p value<0,05 on clinical image. The conclusion are (1) There is no significant difference between honey treatment group with oxoferin and oksitetrasiklin on the histopathology image of mice skins. (2) Based on the result of clinical image, honey treatment group is better than oxoferin and oksitetrasiklin treatment group.

Keywords : honey, oxoferin, oksitetrasiklin, wound

PENDAHULUAN

Penanganan luka bakar yang tepat memiliki peranan penting dalam

menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada kasus luka bakar. Sejalan

dengan berkembangnya penelitian-penelitian di bidang kesehatan, berbagai

macam pengobatan yang lebih baik telah bermunculan (Dina, 2008). Madu telah

terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai agen penyembuhan

luka bakar, antimikroba, antioksidan serta dan inflamasi. Oxoferin berbentuk

sediaan larutan yang mengandung kompleks pembawa oksigen yang bersifat non

metal yang diaktifkan secara biokatalis sehingga efektif dalam proses

penyembuhan luka, termasuk luka bakar. Oksitetrasiklin efektif digunakan

sebagai antimikroba secara topikal. Salah satu indikasi penggunaan oksitetrasiklin

adalah untuk melawan bakteri yang menginfeksi luka bakar.

Berdasarkan uraian di atas yang menyatakan bahwa madu topikal, oxoferin

dan oksitetrasiklin efektif dalam menyembuhkan luka bakar. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian untuk menilai perbandingan tingkat kesembuhan luka

bakar derajat II antara pemberian madu bunga akasia topikal, oxoferin, dan

oksitetrasiklin pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague

Dawley (Momoh dkk., 2008; Hardjosaputra dkk., 2008)

METODE

2MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 3: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan rancangan

penelitian menggunakan post test only controlled group design. Pemilihan sampel

digunakan dengan cara simple random sampling, pada uji eksperimental ini,

variabel yang di uji adalah numerik berpasangan sehingga total sampel minimal

yang dibutuhkan adalah sebanyak 20 sampel yang didapatkan pada 5 ekor tikus

putih dari populasi yang ada. Pada penelitian ini digunakan 24 sampel untuk

mengantisipasi adanya kematian subjek selama penelitian.

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan pada bulan oktober-november

2012. Tempat penelitian dilaksanakan di dua tempat yaitu selama adaptasi sampai

perlakuan pada hewan percobaan dilakukan di Laboratorium Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan

pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: berat badan

tikus ditimbang dan diadaptasi selama 7 hari, tikus diberi luka bakar berdiameter

2cm dan diberi perawatan selama 14 hari. Selama perawatan, sampel kontrol

hanya dibersihkan dengan aquades 1x sehari, sampel madu dibersihkan dengan

aquades dan diberi madu bunga akasia secara topikal 2x sehari, sampel oxoferin

dibersihkan dengan aquades diberikan oxoferin 2x sehari, sampel oksitetrasiklin

dibersihkan dengan aquades dan diberi salep oksitetrasiklin 2x sehari.

Pada hari pertama dan terakhir penelitian, dilakukan pengukuran diameter

luka. Hari ke-14 tikus dinarkosis dengan kloform dan sampel dibiopsi pada daerah

luka bakar. sampel dikirim ke laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas

Kedokteran Unila untuk pembuatan sediaan preparat. Pengamatan sediaan

histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya. Penilaian mikroskopis

penyembuhan luka dilihat pada pembesaran 40x pada 5 lapangan pandang disetiap

spesimen menggunakan hasil pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi insisi luka

yang mencakup tingkat pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi

dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru serta jumlah (Nagaoka, 2000).

Data yang diperoleh dianaisis menggunakan program SPSS versi 17 dengan uji

statistik repeated ANOVA dan uji post-hoc paired wise comparison (Dahlan,

2011).

3MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 4: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis gambaran histopatologi luka bakar tikus berupa presentase skor

pada setiap kelompok. Hasil uji normalitas data Shapiro-Wilk menunjukkan pada

kelompok kontrol adalah 0,212, kelompok madu adalah 0,212, kelompok

Oxoferin adalah 0,473, kelompok Oksitetrasiklin adalah 0,167. Karena nilai uji

normalitas data (Shapiro-Wilk) adalah p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa

sebaran data pada empat pengukuran tersebut adalah normal.

Hasil keseluruhan uji hiptosis repeated ANOVA dapat dilihat di

multivariate tests pada perangkat lunak komputer. Hasil analisis yang signifikan

menghasilkan nilai p<0,05. Berdasarkan hasil analisis repeated ANOVA, dapat

disimpulkan bahwa paling tidak terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan

yang bermakna. Untuk melihat kelompok mana yang memiliki perbedaan yang

bermakna dilakukan uji Post-HocPairwise comparisons dengan kontrol sebagai

pembandingnya.

Untuk melihat kelompok mana yang memiliki perbedaan yang bermakna

dilakukan uji Post-Hoc Pairwise comparisons dengan kontrol sebagai

pembandingnya yang tersaji dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Uji Post-HocPairwise Comparisons

Kelompok (a) Kelompok (b) Perbedaan rerata (a-b)

IK 95% PMinimum Maksimum

KontrolMadu -1,5 -2,941 -0,059 0,042Oxoferin -4,167 -6,702 -1,631 0,006Oksitetrasiklin -2,667 -4,446 -0,888 0,009

MaduKontrol 1,5 0,059 2,941 0,042Oxoferin -2,667 -5,480 0,146 0,062Oksitetrasiklin -1,167 -3,456 1,123 0,359

OxoferinKontrol 4,167 1,631 6,702 0,006Madu 2,667 -0,146 5,480 0,062Oksitetrasiklin 1,5 -1,112 4,112 0,359Kontrol 2,667 0,888 4,446 0,009

Oksitetrasiklin Madu 1,167 -1,123 3,456 0,505Oxoferin -1,5 -4,112 1,112 0,359

Penilaian gambaran klinis kulit tikus dilakukan dengan melihat persentase

kesembuhan luka bakar derajat II pada hari terakhir penelitian. Penilaian ini

dilakukan untuk mendukung hasil gambaran histopatologis kulit tikus.

Berdasarkan hasil pairwise comparisons didapatkan perbedaan yang

signifikan/bermakna antara gambaran klinis kelompok kontrol (K1) dengan

4MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 5: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

kelompok perlakuan madu (K2), kelompok perlakuan oxoferin (K3) dan

kelompok perlakuan oksitetrasiklin (K4) dengan nilai p<0,05. Selain itu

perbandingan tingkat kesembuhan kulit tikus K2 dengan K3 tidak memiliki

perbedaan yang bermakna, K2 dengan K4 tidak memiliki perbedaan yang

bermakna, dan K3 dengan K4 juga tidak memiliki perbedaan yang bermakna.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan tingkat

kesembuhan luka bakar antara K2 dibandingkan dengan K3 dan K4 pada tikus

putih. Kelompok pembanding dalam penelitian ini adalah K1.

Dari hasil uji repeated Anova skor histopatologi didapatkan bahwa K2,

K3, dan K4 berpengaruh dalam penyembuhan luka bakar derajat dua terlihat pada

p<0,050. Lalu untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok dilakukan

uji Post-Hoc Pairwise comparison dengan syarat setidaknya terdapat dua

kelompok yang bermakna. Pada perbandingan K2 dengan K3 menunjukkan

bahwa nilai p sebesar 0,062 dan selisih reratanya -2,667. Hal ini menjelaskan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara K2 dengan

K3. Kemudian secara klinis K2 dengan K3 juga tidak memiliki perbedaan yang

bermakna dilihat dari selisih rerata kedua kelompok tidak lebih dari atau sama

dengan 1 sesuai dengan yang ditetapkan dalam rumus besar sampel bahwa selisih

rerata antara kelompok yang dianggap bermakna ( - ) adalah 1.

Pada perbandingan K2 dengan K4 menunjukkan bahwa nilai p sebesar

0,359 dan selisih reratanya -1,167. Hasil ini menyatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang bermakna secara statistik antara K2 dengan K4 dilihat dari nilai

nilai p perbandingan kedua kelompok tersebut. Selisih rerata K2 dengan K4

menunjukkan nilai -1,167 yang artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna

secara klinis antara K2 dengan K4.

Berdasarkan analisis hasil di atas menyatakan bahwa perbandingan antara

K2 dengan K3 dan K4 menunjukkan bahwa K2 tidak memiliki perbedaan yang

bermakna secara statistik dan klinis dengan K3 dan K4.

Berdasarkan analisis dari gambaran klinis menyatakan bahwa

perbandingan antara K2 dengan K3 dan K4 menunjukkan bahwa K2 tidak

memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik. Akan tetapi dari hasil selisih

5MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 6: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

rerata gambaran klinis menunjukkan bahwa K2 dengan K3 dan K4 memiliki

perbedaan yang bermakna.

Secara histopatologis dan gambaran klinis perbedaan yang tidak bermakna

antara K2 dengan K3 dan K4 dapat disebabkan karena ada banyak faktor yang

mempengaruhi proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka bakar antara

lain dipengaruihi oleh usia, nutrisi, infeksi, oksigenasi, mekanik dan imunitas

(DeLaune dan Ladner, 2002).

Selain itu, perbedaan yang tidak bermakna antara K2 dengan K3 dan K4

dapat disebabkan oleh beberapa persamaan kandungan kimia dalam madu bunga

akasia, oksoferin, dan oksitetrasiklin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

proliferasi limfosit B dan limfosit T dalam kultur sel dirangsang oleh madu pada

konsentrasi serendah 0,1% dan fagosit juga diaktifkan oleh madu pada konsentrasi

yang sama. Madu pada konsentrasi 1% juga merangsang monosit dalam sel

budaya terhadap sitokin rilis, tumor necrosis factor (TNF)-Alpha, interleukin (IL)

-1, dan IL-6, yang mengaktifkan kekebalan respon terhadap infeksi (Bangroo

dkk., 2005).

Madu dapat bekerja melawan infeksi melalui efek mengaktifkan pada

sistem kekebalan tubuh. Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa penelitian yang

merangsang mitogenesis di limfosit B dan limfosit T dan mengaktifkan neutrofil

(Hassanein dkk., 2010).

Keasaman madu juga membantu dalam proses oksigenasi, sebagai

peningkatan keasaman dari luka meningkatkan pelepasan oksigen dari

hemoglobin. Peningkatan oksigen arteri dapat merangsang sintesa kolagen dan

pembentukan epitel, sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka (Hassanein

dkk., 2010).

Oxoferin adalah larutan yang mengandung kompleks pembawa oksigen

yang bersifat non metal yang diaktifkan melalui sistem biokatalis. Kompleks

senyawa oksigen ini masuk ke dalam jaringan dan merangsang proses fagositosis

dan pembersihan luka (Hardjosaputra dkk., 2008).

Sesudah diaktifkan oleh sistem biokatalis kompleks senyawa oksigen

terurai menjadi metabolit-metabolit fisiologis yaitu oksigen dan klorida.

6MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 7: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

Akibatnya, tekanan parsial oksigen meningkat pada daerah luka. Pembentukan

jaringan granulasi berwarna merah terang karena pembentukan jaringan granulasi

dirangsang. Indikasi utama oxoferin untuk perawatan luka dari gangren

diabetikum, namun dapat digunakan untuk perawatan luka bakar (Hardjosaputra

dkk., 2008). Berdasarkan penelitian madu di atas dan sumber pustaka oxoferin

yang telah ditelusuri madu memiliki persamaan dalam mempengaruhi dalam

proses inflamasi dan proliferasi jaringan luka.

Proses percepatan profilerasi epitel dan kolagen didukung dengan jaringan

yang tidak terinfeksi dan tidak mengalami nekrosis. Oksitetrasiklin adalah

senyawa turunan Tetrasiklin. Mekanisme kerja bakteriostatik yaitu dengan

menghambat sintesis protein bakteri. Karena mekanisme kerja golongan

tetrasiklin sama maka spektrumnya sama tapi ada perbedaan secara kuantitatif

dari aktivitas masing-masing derivat terhadap bakteri. Hanya mikroba yang cepat

membelah yang dipengaruhi obat ini. Tetrasiklin mempunyai spektrum

antimikroba yang luas meliputi bakteri gram +, gram -, aerob maupun anaerob

(Hardjosaputra dkk., 2008).

Menurut Mundo dkk. (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan

madu memiliki aktivitas antibakteri, antara lain keasaman tekanan osmotik dan

hidrogen peroksida. Komponen tambahan pada madu seperti asam aromatik dan

komponen fenol juga berperan dalam aktivitas antibakteri. Secara makroskopis,

riset juga menunjukkan adanya fungsi debridement dari madu. Pada luka yang

dirawat dengan madu, menunjukkan kontrol infeksi yang lebih baik dibandingkan

luka yang dirawat dengan obat lain. Penggunaan madu untuk merawat luka akan

berefek pada luka yang akan menjadi steril dalam 3-6 hari, 7 hari, dan 7-10 hari

(Bangroodkk., 2005). Selain itu, glukosa dan pH asam (biasanya antara pH 3 dan

4) dapat membantu dalam aksi menghancurkan bakteri melalui makrofag. Ini

debridemen kimia aksi madu, selain mempercepat penyembuhan luka (Bangroo

dkk., 2005).

Madu memiliki peran sebagai media hiperosmolar dan mencegah bakteri

pertumbuhan. Karena viskositas yang tinggi, maka membentuk penghalang fisik

dan adanya enzim katalase sehingga madu mempunyai efek antioksidan (Bangroo

dkk., 2005). Sifat antimikroba madu telah dibuktikan oleh Hassanein dkk. (2010),

7MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 8: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

konsentrasi madu 40% sensitif terhadap bakteri gram positif kokus pada luka

bakar. Berdasarkan studi pustaka tentang oksitetrasiklin dan penelitian-penelittian

tentang madu dapat disimpulkan aktivitas antimikroba pada madu dapat

menyerupai antimikroba oksitetrasiklin sebagai agen antimikroba dalam pencegah

infeksi pada luka bakar.

Keefektifan madu sebagai agen penyembuh luka bakar telah dibuktikan

oleh beberapa penelitian sebelumnya. Madu mampu meningkatkan jumlah sel

darah merah dan kadar hemoglobin (Sakri, 2012). Tingginya nutrisi yang isinya

meningkatkan pasokan substrat di jaringan kulit merangsang epitelisasi dan

angiogenesis (Bangroo dkk., 2005).

Pada gambaran klinis, terdapat perbedaaan yang bermakna antara madu

bunga akasia dengan oxoferin dan oksitetrasiklin. Hal ini disebabkan karena

memiliki kandungan kimia senyawa bioaktif, berupa nutrisi yang tinggi, hiper

osmolar, pH asam, hidrogen peroksida, dan perangsang limfosit B dan T (Bangroo

dkk., 2005) sedangkan dalam oxoferin hanya mengandung kompleks oksigen

yang merangsang proliferasi epitel dan pembuluh darah, pada oksitetrasiklin

hanya memiliki zat aktif antimikroba (Hardjosaputra dkk., 2008). Sehingga madu

memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dari oxoferin dan oksitetrasiklin

dalam penyembuhan luka bakar derajat II.

SIMPULAN

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dan klinis antara

pemberian madu bunga akasia dengan oxoferin dan oksitetrasiklin pada luka

bakar derajat II terhadap gambaran histopatologi kulit tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley.

Berdasarkan gambaran histopatologi Oxoferin memiliki tingkat

kesembuhan yang lebih baik dari pada Madu dan Oksitetrasiklin pada luka bakar

derajat II.

Berdasarkan gambaran klinis Madu bunga akasia memiliki tingkat

kesembuhan yang lebih baik dari pada oxoferin dan oksitetrasiklin pada luka

bakar derajat II.

8MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013

Page 9: Jurnal Majority Fix-galih Wicaksono-0918011004

ISSN 2337-3776

DAFTAR PUSTAKA

Bangroo, A.K., Khatri, R., Chauhan, S. 2005. Honey dressing in pediatric burn. Medical Journal of Pediatric Surgery Departemen of Delhi.

Dahlan, M. S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Edisi 5 Seri Evidence Based Medicine 1. Jakarta : Salemba Medika.

Delaune dan Ladner. 2002. Fundamental of Nursing, standards & practice second edition. USA: Delmar

Dina, D., Sunarto, Taqiyah, B. 2008. Pengaruh Frekuensi Perawatan Luka Bakar Derajat II Dengan Madu Nectar Flora Terhadap Lama Penyembuhan Luka. Jurnal Fakultas Keprawatan Universitas Brawijaya

Hardjosaputra, S.L., Purwanto. 2008. Daftar Obat di Indonesia (DOI) Edisi 11. Jakarta : PT. Muliapurna Jayaterbit.

Hassanein, S.M., Hassan M. G., Rahman, A., Hassan A. 2010. Honey Compared with Some Antibiotics against Bacteria Isolated From Burn-wound Infections of Patients in Ain Shams University Hospital. Department Microbiologi, Facultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Ain Shams, Kairo, Mesir.

Momoh, U.E., Nwachi, S., Eraga 2008. Evaluation Of Burns Healing Effects Of Natural Honey, Dermazine Cream And Their Admixture. African Journals Online.

Mundo, M.A., Olga, I., Zakour, P., dan Worobo, R.W. 2004. Growth Inhibition of Food Pathogens and Food Spoilage Organisms by Selected Raw Honeys. International Journal of Microbiology 97: 1-8.

Nagaoka, T., Kaburagi, Y., Hamaguchi, Y., Hasegawa M., Takehara, K., Steeber, D. 2000. Delayed Wound Healing in The Absence of Intercellular Adhesion Molecule-1 or L-Selectin Expression. Am. J. Pathol. 2000;157:237-47. Department of Dermatology, Kanazawa University School of Medicine, Ishikawa, Japan.

9MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 2 Februari 2013