Jurnal kurikulum kbk

51
83 PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA: MODEL INOVASI PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Sardjiyo Paulina Pannen Culture based teaching is different from content based teaching which is usually applied in many schools. There are four things that should be considered in culture based teaching, they are content and subject competence, meaningful and teaching process, learning assessment, and the role of culture. The four components are interelated and each has its implication towards the effectiveness of cultural based teaching. The cultural based teaching brings local culture, which is not always applied in the school curriculum, to the teaching of various materials at school. In the cultural based teaching, the learning environment will be joyfull learning to both the teacher and the students. It will make them active based on the culture they have been familiar with therefore it will get the optimal learning echievement. The students will feel happy to learn. Key words: culture, culture based teaching, the role of culture in teaching Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh kiat masing-masing guru di kelas. Tenaga pengajar yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana dia menguasai kelas yang diasuhnya, untuk mengantarkan peserta didiknya mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam pandangan psikologi belajar, keberhasilan belajar itu lebih banyak ditentukan oleh tenaga pengajarnya (Pannen, 2000). Hal ini terjadi karena tenaga pengajar selain sebagai orang yang berperan dalam proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, juga memandu

Transcript of Jurnal kurikulum kbk

Page 1: Jurnal kurikulum kbk

83 PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA: MODEL INOVASI PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Sardjiyo Paulina Pannen Culture based teaching is different from content based teaching which is usually applied in many schools. There are four things that should be considered in culture based teaching, they are content and subject competence, meaningful and teaching process, learning assessment, and the role of culture. The four components are interelated and each has its implication towards the effectiveness of cultural based teaching. The cultural based teaching brings local culture, which is not always applied in the school curriculum, to the teaching of various materials at school. In the cultural based teaching, the learning environment will be joyfull learning to both the teacher and the students. It will make them active based on the culture they have been familiar with therefore it will get the optimal learning echievement. The students will feel happy to learn. Key words: culture, culture based teaching, the role of culture in teaching Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh kiat masing-masing guru di kelas. Tenaga pengajar yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana dia menguasai kelas yang diasuhnya, untuk mengantarkan peserta didiknya mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam pandangan psikologi belajar, keberhasilan belajar itu lebih banyak ditentukan oleh tenaga pengajarnya (Pannen, 2000). Hal ini terjadi karena tenaga pengajar selain sebagai orang yang berperan dalam proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, juga memandu segenap proses pembelajaran. Ditangannyalah sebuah peristiwa belajar dapat berlangsung. Padanya pulalah pembelajaran diarahkan ke mana akan dibawa. Sardjiyo adalah dosen pada FKIP Universitas Terbuka, Paulina Pannen adalah Direktur SEAMOLEC

Page 2: Jurnal kurikulum kbk

Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 84Sebagai pekerja profesional, guru harus memfasilitasi dirinya dengan seperangkat pengalaman, keterampilan, dan pengatahuan tentang keguruan. Selain harus menguasai substansi keilmuan, guru juga harus menguasai model-model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif. Banyak guru yang dalam mengajar terkesan hanya sekedar melaksanakan kewajiban (Mukhtar & Yamin, 2002). Guru semacam ini relatif tidak memerlukan strategi, kiat, dan berbagai metode tertentu dalam proses pembelajaran. Baginya yang penting adalah bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung. Ia tidak peduli dengan latar belakang siswa dan karakteristiknya. Ia merasa tidak perlu membuat perencanaan pembelajaran, perencanaan dan pengembangan strategi, pengembangan pesan, dan mengabaikan penggunaan berbagai media dalam pembelajaran Sebuah tawaran untuk masalah yang berkaitan dengan kondisi guru semacam tadi, antara lain adalah dengan Pembelajaran Berbasis Budaya (PBB). Pembelajaran berbasis budaya ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dewasa ini sedang marak berkembang di banyak negara (Pannen, 2004). Teori yang mendasari strategi ini bukan sama sekali teori baru, namun strategi ini dihadirkan untuk membawa nuansa baru dalam proses pembelajaran. Nuansa baru tersebut hadir bukan hanya pada jenjang operasional pembelajaran, namun juga pada perspektif budaya dan tradisi pembelajaran itu sendiri terutama berkenaan dengan interaksi antara guru dan siswa, serta perancangan pengalaman belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah, termasuk pada proses pembelajaran beragam matapelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran berbasis budaya, lingkungan belajar akan berubah menjadi lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat diperoleh hasil belajar yang optimal. Siswa merasa senang dan diakui keberadaan serta perbedaannya, karena pengetahuan dan pengalaman budaya yang sangat kaya yang mereka miliki dapat diakui dalam proses pembelajaran. Sementara itu, guru berperan memandu dan mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam budaya yang sudah diketahui, serta mengembangkan budaya tersebut. Selanjutnya, interaksi guru dan siswa akan mengakomodasikan proses penciptaan makna dari ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam matapelajaran di sekolah oleh masing-masing individu (Budiastra, 2000; Karyadi, 1999; Murgiyanto, 1999; Pusposutardjo, 1999; Primadi, 1998; Riyanto, 2000).

Page 3: Jurnal kurikulum kbk

Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 85PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA Proses belajar dapat terjadi di mana dan kapan saja sepanjang hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa. Budaya menurut Tyler (1871) merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Sementara itu, ada lagi definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui suatu proses belajar. Dengan demikian, belajar budaya merupakan proses belajar satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh dari beragam perwujudan yang dihasilkan dan atau berlaku dalam suatu komunitas. Matapelajaran yang disuguhkan dalam kurikulum dan diajarkan kepada siswa di kelas, sebagai pola pikir ilmiah, merupakan salah satu perwujudan budaya, sebagai bagian dari budaya. Bahkan, Gray (1999) menyatakan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mencerminkan pencapaian upaya manusia pada saat tertentu yang berbasis pada budaya saat itu. Asal muasal dari beragam matapelajaran tersebut mungkin bukan dari Indonesia, atau bukan dari komunitas budaya kita. Namun, kita mempelajari pelajaran tersebut di lokal budaya kita, dan kita

Page 4: Jurnal kurikulum kbk

mengajak siswa untuk belajar matapelajaran tersebut di sekolah dan berada pada suatu komunitas budaya tertentu. Apakah kemudian matapelajaran tersebut berdiri sendiri? Menjadi suatu pengetahuan yang baik untuk diketahui, tapi tidak jelas untuk apa? Menjadi entitas yang berada di luar budaya lokal setempat? Atau di luar budaya siswa kita? Selanjutnya, jika matapelajaran tersebut sudah dipelajari siswa, apa gunanya? Aplikasi semua matapelajaran yang diperoleh siswa dari sekolah adalah pada permasalahan yang timbul dalam komunitas budaya di mana siswa tersebut berada. Matapelajaran sangat terikat pada konteksnya karena pengetahuan, keterampilan, dan analisis ilmiah yang Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 86diperoleh dari matapelajaran hanya dapat diterapkan dalam suatu konteks dalam hal ini konteks komunitas budaya di mana siswa berada atau bekerja nantinya. Dengan demikian, walaupun matematika berasal dari Yunani, penerapan rumus-rumus dan torema matematika serta pola penalaran matematika yang dipelajari di sekolah di Indonesia ada dalam lingkungan budaya Indonesia. PROSES PEMBUDAYAAN Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Ke dua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau budaya suatu wilajah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, dan kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut; misalnya seseorang yang baru pindah ke tempat baru,

Page 5: Jurnal kurikulum kbk

maka ia akan mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan dari masyarakat ditempat baru tersebut, lalu ia akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat itu. Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal (proses akulturasi). Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya – transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Mengingat besarnya peran pendidikan dalam proses akulturasi maka pendidikan menjadi sarana utama pengenalan beragam budaya baru yang kemudian akan diadopsi oleh sekelompok siswa dan kemudian dikembangkan serta dilestarikan. Budaya baru tersebut sangat beragam, mulai dari budaya yang dibawa Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 87oleh masing-masing peserta didik dan masing-masing bidang ilmu yang berasal bukan dari budaya setempat, budaya dari guru yang mengajar, budaya sekolah, dan lain-lain. Pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan seseorang dari komunitas budayanya karena sekolah memiliki budaya sendiri dan matapelajaran yang diajarkan juga memperkenalkan budaya yang lain (atau bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya. Tidak heran jika pada akhirnya, dampak dari proses pendidikan formal adalah siswa atau lulusan yang sama sekali tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional dalam komunitas budayanya (Grant & Gomes, 2001). Hal ini terutama karena jarang ada sekolah atau guru yang mau atau mampu untuk mengintegrasikan tradisi budaya siswa dengan matapelajaran yang diajarkannya. Situasi tersebut merupakan gambaran umum yang terjadi karena orang menempatkan proses pendidikan formal sebagai proses pembelajaran yang terpisah dari proses akulturasi dan terpisah dari konteks suatu komunitas budaya. Di samping itu, banyak juga orang yang memandang matapelajaran di sekolah memiliki tempat yang lebih

Page 6: Jurnal kurikulum kbk

tinggi (social prestige), daripada tradisi budaya lokal yang dipandang tidak berarti dan rendah (discreditation) (Bigge & Shermis, 1999). Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa hanya sebagian orang memiliki akses terhadap pendidikan karena berbagai kendala (sosio-ekonomik, geografik, waktu, kemampuan), sehingga pendidikan menjadi bersifat elite, dan disebut ivory tower. Padahal proses pendidikan sebagai pembudayaan memiliki nilai hanya jika hasilnya dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam konteks suatu komunitas budaya dan hanya jika lulusannya dapat berguna bagi pembangunan suatu komunitas budaya lokal, maupun nasional (Asia and the Pacific Programme of Educational Innovation for Development, 1991). Dengan demikian pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki, diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian. PROSES PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA Pembelaajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 88pendidikan sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan perkembangan pengetahuan. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah media bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang alam. Dengan demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekedar meniru dan atau menerima saja informasi yang disampaikan tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan pengetahuan. Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukan sekedar mentranfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus

Page 7: Jurnal kurikulum kbk

batas imajinasi, dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang matapelajaran yang dipelajarinya. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg, 2000). 1. Belajar tentang budaya, menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya sudah cukup kita kenal selama ini, misalnya matapelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan sastra, melukis, serta menggambar. Budaya dipelajari dalam satu matapelajaran khusus tentang budaya untuk budaya. Matapelajaran tersebut tidak diintegrasikan dengan matapelajaran yang lain dan tidak berhubungan satu sama lain. Di sekolah tertentu yang mampu menyediakan sumber belajar seperti alat musik dan peralatan drama dalam mempelajari budaya maka matapelajaran budaya di sekolah tersebut akan berkembang relatif lebih baik. Namun banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar yang memadai sehingga matapelajaran tersebut menjadi matapelajaran hafalan dari buku atau dari cerita guru (yang belum tentu benar). Dengan kondisi seperti itu pada akhirnya, matapelajaran budaya menjadi tidak bermakna baik bagi siswa, guru, sekolah, maupun pengembang budaya dalam komunitas tempat sekolah berada. Inilah gambaran tentang ketidakberhasilan matapelajaran budaya yang sekarang ini ada. Selanjutnya, matapelajaran budaya dan pengetahuan tentang budaya tidak pernah memperoleh tempat yang proporsional baik dalam kurikulum maupun dalam pengembangan pengetahuan secara umum. Sementara matapelajaran lain seperti matematika, sain dan pengetahuan sosial, bahasa Indonesia dan lain-lain, dianggap penting sebagai suatu bukti kemajuan negara. Dengan demikian, matapelajaran budaya semakin tersisihkan. 2. Belajar dengan budaya. Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu matapelajaran tertentu. Belajar Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 89dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar menjadi konteks dari

Page 8: Jurnal kurikulum kbk

contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu matapelajaran, menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu matapelajaran. Misalnya dalam matapelajaran matematika, untuk memperkenalkan bentuk bilangan (bilangan positif, bilangan negatif) dalam satu garis bilangan, digunakan garis bilangan yang menggunakan Cepot (tokoh jenaka dalam wayang Sunda). Cepot akan memandu siswa berinteraksi dengan garis bilangan dan operasi bilangan. 3. Belajar melalui budaya, Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu matapelajaran melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assesment atau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya, siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk menjelaskan tentang proses fotosintetis tetapi siswa dapat membuat poster, membuat lukisan, lagu, ataupun puisi yang melukiskan proses fotosintesis. Dengan menganalisa produk budaya yang diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik proses fotosintesis dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperhatikan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu matapelajaran, serta imaginasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya. Belajar melalui budaya dapat dilakukan di sekolah dasar, sekolah menengah, ataupun perguruan tinggi dalam matapelajaran apapun. Landasan Teori Pembelajaran Berbasis Budaya Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat: 1. menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual sangat terkait dengan komunitas budaya di mana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan, serta dengan komunitas budaya dari mana siswa berasal; serta 2. menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal siswa sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya merupakan salah satu prinsip dasar dari teori Konstruktivisme. Teori Konstrukstivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipatory Contructivism)

Page 9: Jurnal kurikulum kbk

Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 90yang menyimpulkan bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Konstruktivisme, juga dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Contructivism), menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dan dipercayai dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Richardson (1997) menyatakan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar. Dalam teorinya, Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak terpisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas interaksi sosial tersebut penciptaan makna terjadi. PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA: SUATU MODEL PEMBELAJARAN Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan pendekatan pembelajaran yang berbeda dari pendekatan pembelajaran yang berbasis materi bidang studi (content based) yang biasa digunakan oleh guru di banyak sekolah. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya, yaitu substansi dan kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta peran budaya. Ke empat komponen tersebut saling berinteraksi dan masing-masing memiliki implikasi yang perlu diperhatikan untuk menjadi suatu pembelajaran berbasis budaya yang efektif. Substansi (Materi) dan Kompetensi Bidang Studi atau Bidang Ilmu Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu (integrated understanding ) dari pada sekedar pemahaman mendalam (inert understanding) (Krajcik, Czemiak, Berger, 1999). Pemahaman terpadu membuat siswa mampu bertindak secara

Page 10: Jurnal kurikulum kbk

Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 91mandiri berdasarkan prinsip ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam konteks komunitas budaya dan mendorong siswa untuk kreatif terus mencari dan menemukan gagasan berdasarkan konsep dan prinsip ilmiah. Pemahaman terpadu sebagai hasil pembelajaran berbasis budaya mempersyaratkan adanya penciptaan makna oleh siswa atas substansi bidang studi dan konteksnya. Konteks dalam hal ini adalah komunitas budaya. Sementara itu, substansi meliputi: 1. content knowledge: konsep dan prinsip dalam bidang ilmu 2. inquiry and problem solving knowledge: pengetahuan tentang proses penemuan dan proses penyelesaian masalah dalam bidang studi, serta 3. epistemic knowledge: pengetahuan tentang aturan main (rules of the game) yang berlaku dalam bidang studi Pengetahuan tentang konsep dan prinsip dalam bidang ilmu sangat penting untuk siswa agar dapat mencapai pemahaman terpadu. Di samping itu, pengetahuan tentang proses penemuan dan proses penyelesaian masalah dalam bidang ilmu sangat diperlukan siswa agar mampu merumuskan permasalahan dan hipotesis, merancang percobaan dan penelitian, serta menghasilkan pemecahan masalah yang sahih dan terpercaya. Pengetahuan tentang aturan main dalam bidang studi sangat penting agar siswa dapat menjadi ahli dalam bidangnya. Pemahaman terpadu dicapai tidak hanya melalui pemahaman terhadap pengetahuan dalam bidang studi (knowlegde acquisition) tetapi juga melalui pemahaman dan keterampilan untuk menerapkan pengetahuan bidang ilmu dan berbagai pengetahuan lainnya (yang sudah dimiliki individu) untuk memecahkan masalah (problem solving skills) dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu komunitas budaya, nasional, regional, atau bahkan internasional; serta melalui sikap dan keterampilan untuk berpola pikir ilmiah selalu mencari, mempertanyakan, menemukan, menganalisis, dan menyimpulkan segala sesuatu berdasarkan kaidah ilmiah dari bidang ilmu dan berbagai bidang ilmu lainnya dalam berbagai situasi dan konteks (scientific inquiri). Kebermaknaan dan Proses Pembelajaran Proses pembelajaran berbasis budaya yang bertujuan untuk penciptaan arti bersifat sangat dinamis. Proses tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan berbagai rasa

Page 11: Jurnal kurikulum kbk

keingintahuannya, terlibat dalam proses analisis dan eksplorasi yang kreatif untuk mencari jawaban, serta terlibat dalam proses pengambilan kesimpulan yang unik. Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya sama sekali tidak mungkin bersifat statis dimana siswa pasif mendengarkan, menerima, mencatat, dan guru yang selalu mendominasi kelas dengan ceramah-ceramahnya (Pekerti, 2000). Di samping itu, Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 92dalam proses pembelajaran berbasis budaya, guru tidak akan mengajarkan bidang ilmu hanya sebagai bidang ilmu saja atau hanya untuk pemenuhan kurikulum. Aktivitas dalam pembelajaran berbasis budaya tidak dirancang hanya sekedar untuk mengaktifkan siswa tetapi dibuat untuk memfasilitasi terjadinya interaksi sosial dan negosiasi makna sampai terjadi penciptaan makna. Kebermaknaan, dalam hal ini, diperoleh dari hasil interaksi sosial dan negosiasi antara pengetahuan dan pengalaman awal siswa dengan informasi baru yang diperolehnya dalam pembelajaran, antara siswa dengan siswa lain, antara siswa dengan guru (knowledgable others) dalam konteks komunitas budaya. Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksi aktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks & Brooks, 1993, dan Krajcik, Czerniak Berger, 1999). Contoh tugas bermakna berbasis budaya, yaitu pembuatan payung kertas berdasarkan prinsip ilmiah (matematika: pengukuran, kimia: adhesif, zat dan wujudnya, fisika: keseimbangan dan mekanika). Penilaian Hasil Belajar Pembelajaran berbasis budaya yang berlandaskan pada kontruktivisme memerlukan beragam bentuk pengukuran untuk penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar tidak semata-mata diperoleh dari siswa dengan mengerjakan tes akhir atau tes hasil belajar yang berbentuk uraian (terbatas) atau objektif saja. Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya adalah beragam perwujudan (multiple representations). Hal ini berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam cara dan perwujudan; guru menggunakan beragam teknik dan alat ukur, siswa mengekspresikan keberhasilannya dalam beragam bentuk: misalnya poster, puisi, lukisan, catatan harian, laporan ilmiah, tarian, ukiran, patung, dan dalam perwujudan budaya seperti: bentuk seni

Page 12: Jurnal kurikulum kbk

tradisional, seni kontemporer, atau seni yang diciptakan siswa sendiri. Pelaksanaan penilaian dilakukan secara bersama, yakni siswa sendiri, siswa yang lain, dan guru berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru, misalnya penilaian terhadap pemahaman materi dan konsep (knowledge acquisition) bidang ilmu, pencapaian terhadap tahapan belajar (stages of learning), pencapaian dalam keterampilan pengiring (nurturant effect), dan penilaian artistik dari ragam perwujudan yang dihasilkan siswa (artistic assessment). Guru bersama siswa dapat menetapkan kriteria lain yang digunakan untuk menilai ragam perwujudan hasil belajar siswa. Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 93Peran Budaya Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu. Dengan demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekedar meniru atau menerima saja informasi tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Pengetahuan bukan sekedar rangkuman naratif dari pengetahuan yang dimiliki orang lain, tetapi suatu koleksi (repertoire) yang dimiliki seseorang tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi dan perasaan, hasil tranformasi dari beragam informasi yang diterimanya. Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan pengetahuan. Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukan sekedar mentransfer dan menyampaikan budaya atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna. Budaya, dalam berbagai perwujudannya, secara instrumental dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar. Dalam pembelajaran berbasis budaya, perwujudan budaya dapat memberikan suasana baru yang menarik untuk mempelajari suatu bidang ilmu. Sebagai media pembelajaran, budaya dan beragam perwujudannya dapat menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu

Page 13: Jurnal kurikulum kbk

matapelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau dalam suatu matapelajaran. Pada akhirnya, jika siswa telah mampu menguasai bidang ilmu secara kontekstual dalam komunitas budayanya maka komunitas budaya menjadi konteks dan kerangka berpikir untuk menerapkan beragam pengetahuan dan keterampilan ilmiah bidang ilmu sebagai alat pemecahan masalah serta alat pengembangan komunitas budayanya. APLIKASI PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA Berdasarkan pada keunggulannya untuk membelajarkan siswa tentang bidang studi atau bidang ilmu bersamaan dengan pembelajaran tentang budaya dari komunitasnya, pembelajaran berbasis budaya menjadi cukup populer di berbagai negara. Contoh pembelajaran berbasis budaya relatif cukup banyak, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Berikut ini diuraikan beberapa contoh. Program SUAVE (Socios Unidos para Artes Via Education) Program SUAVE yang dilakukan di California, Amerika Serikat, merupakan program yang ditujukan untuk membantu guru menggunakan benda seni dalam mengajarkan bidang ilmu seperti matematika, sain, Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 94bahasa, pengetahuan sosial, di samping untuk membangkitkan kesadaran dan apresiasi terhadap seni dari komunitas budaya (Goldberg, 2000). Program SUAVE dilaksanakan mulai tahun 1994 dengan melibatkan kurang lebih 20 sekolah dan ratusan guru dari sekolah dasar dan sekolah menengah di wilayah San Marcos, California, dibantu oleh California State Univercity of San Marcos. Program SUAVE memperkenalkan budaya suku Indian dan Mexican yang banyak tinggal di wilayah California dalam berbagai pembelajaran bidang ilmu. Selain itu, program ini juga terbuka untuk memperkenalkan seni budaya asing, seperti tari selendang dari Cina. Dalam program ini, guru merupakan perancang dan pelaksana pembelajaran. Dalam proses perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, guru dibantu oleh para seniman dan juga perancang pembelajaran dari CSUSM yang dikoordinasikan oleh Merryl Golberg. Secara kelompok dan berkelanjutan, guru dan fasilitatornya mengembangkan rancangan dan juga melaksanakan pembelajaran bidang ilmu dengan menggunakan

Page 14: Jurnal kurikulum kbk

beragam seni. Kelas dalam program ini biasanya memiliki karakteristik yang unik, yaitu partisipasi aktif dari siswa dan guru, berani mengambil resiko (risk taking), seperti menggunakan metode asesmen yang beragam dengan melibatkan siswa dalam penerapan asesmen. Program ini juga ditawarkan dalam bentuk matakuliah online yang berbasis internet pada http://www.awl.com/goldberg. Program ini dinyatakan sebagai salah satu program yang berhasil dan didukung oleh National Science Foundation di Amerika Serikat. Etnomatematika di Filipina Salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya adalah etnomatematika (Ethnomathematics) yang diperkenalkan oleh D’Ambroso (1985) dan Nunes (1992). D’Ambrosio menyatakan etnomatematika sebagai “… the art of comprehending, describing, coping with, and managing both natural and socially contructed systems-using techniques such as counting, measuring, soring, ordering, and inferring-developed by well-defined groups like nations, professional classes, children in various age groups, labor groups and so on“. Sedangkan Nunes selanjutnya menjelaskan bahwa etnomatematika merupakan “… study of how various groups and cultures in the world develop and use mathematics”. Etnomatematika dipersepsikan sebagai lensa untuk memandang dan memahami matematika sebagai suatu hasil budaya atau produk budaya. Di Filipina, gerakan etnomatematika sudah dilaksanakan oleh UP College of Baguino Discipline of Mathematics. Kelompok tersebut mencoba mempelajari teori struktur aljabar yang ada pada pola tenun tradisional, pola musik, dan pola sistem persaudaraan dalam budaya Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 95Kankana-Ey. Kankana-Ey merupakan salah satu dari tujuh kelompok etnolinguistik utama di daerah Cordillera dan merupakan salah satu simpul seni terbesar di daerah Utara pulau Luzon. Hasil kajian dari kelompok ini kemudian didiseminasikan ke sekolah di daerah Utara pulau Luzon di tempat para siswa Kankana-Ey belajar matematika. Pembelajaran Science, Environment, Technology and Society (SETS).

Page 15: Jurnal kurikulum kbk

Pembelajaran SETS merupakan pembelajaran terpadu yang diharapkan mampu membelajarkan siswa untuk memiliki kemampuan memandang sesuatu secara terintegrasi dengan memperhatikan empat unsur, yaitu sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, dan agar siswa memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan SETS yang dipelajarinya secara utuh dalam masyarakat. Integrasi konsep masyarakat dengan segala unsurnya sebagai konteks pembelajaran SETS menjadikan pembelajaran SETS merupakan salah satu contoh pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran SETS yang sangat bertumpu pada pembelajaran sains, memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut. a. Siswa dibawa ke dalam situasi untuk pemanfaatan konsep sains yang berbentuk teknologi untuk kepentingan masyarakat. b. Siswa diminta untuk berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang terjadi dalam proses pengalihan sains ke dalam bentuk teknologi. c. Siswa diminta untuk menjelaskan keterhubungan antara unsur sains yang dipelajari dengan unsur lain dalam SETS yang mempengaruhi berbagai keterkaitan antar unsur tersebut. d. Siswa dibawa untuk mempertimbangkan manfaat atau kerugian dari penggunaan konsep sains tersebut bila diubah dalam bentuk teknologi e. Dalam konteks kontruktivisme, siswa diajak berbincang tentang SETS dari berbagai macam arah dan dari berbagai macam titik awal tergantung pengetahuan dasar yang dimiliki oleh siswa yang bersangkutan. Di Indonesia pembelajaran SETS telah diperkenalkan oleh Universitas Negeri Semarang melalui lokakarya di tahun 1999 bekerjasama dengan SEAMEO RECSAM. Pembelajaran Inovasi IPA – TORAY Toray Science Foundation merupakan sebuah yayasan Jepang yang berada di Indonesia. Program ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi guru sekolah menengah untuk membuat inovasi dalam pembelajaran IPA, yaitu pembelajaran biologi, fisika, dan kimia. Setiap tahun yayasan tersebut mengundang guru untuk mengajukan usulan tentang inovasi dalam pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 96Program ini dimulai sejak tahun 1994 dan diikuti oleh ratusan

Page 16: Jurnal kurikulum kbk

guru IPA SMA setiap tahunnya. Pemenang program hibah bersaing ini biasanya berjumlah sekitar 5 – 9 orang untuk setiap tahun. Walaupun program ini tidak secara khusus mengharuskan guru IPA untuk melakukan pembelajaran berbasis budaya namun tidak sedikit dari program yang menang menunjukkan strategi dalam pembelajarannya menggunakan lingkungan sekitar sebagai laboratorium IPA, misalnya bunga, barang bekas (sandal bekas, botol aqua, tong dan lain-lain), sungai dan habitat ikan, atau struktur tanah dan tanaman. PENUTUP Pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah ke dalam proses pembelajaran beragam matapelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran berbasis budaya, lingkungan belajar akan berubah menjadi lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. Siswa merasa senang dan diakui keberadaan serta perbedaannya karena pengetahuan dan pengalaman budaya yang sangat kaya yang mereka miliki dapat diakui dalam proses pembelajaran. Sementara itu, guru berperan memandu dan mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam budaya yang sudah diketahui serta mengembangkan budaya tersebut pada fase berikutnya. Selanjutnya interaksi guru dan siswa akan mengakomodasikan proses penciptaan makna dari ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam matapelajaran di sekolah oleh masing-masing individu. Beragam teknik dan alat ukur hasil belajar yang digunakan dalam pembelajaran berbasis budaya pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam upaya siswa untuk menunjukkan keberhasilan dalam belajar dengan penciptaan makna dan pemahaman terpadu, siswa dapat menggunakan beragam perwujudan dalam proses hasil belajar seperti membuat poster, puisi, catatan harian, laporan ilmiah, tarian, lukisan, serta ukiran dan tidak hanya terfokus pada alat penilaian berbentuk tes. REFERENSI Asia and the Pacific Programme of Educational Innovation Development (1991). Values and ethics and the science and technology curriculum, Bangkok: Unesco Principal Regional Office for Asia and the Pacific.

Page 17: Jurnal kurikulum kbk

Sardjiyo, Pembelajaran Berbasis Budaya 97Bigge, M.I. & Shermis, S.S. (1999). Learning theories for teachers. 6th Ed. New York: Longman. Brooks, J.G. & Brooks, M.G. (1993). In search of understanding: the case for contructivist classrooms. Alexandria. VA.: Association for Supervision and Curriculum Development. Budiastra, K. (2000). Model pengembangan kreativitas guru dalam pembelajaran MIPA. Jakarta: Universitas Terbuka. D’Ambroso, U. (1985). Ethnomathematics and its place in the History and pedagogy of mathematics. For the learning of Mathematics, 5, 44-48. Goldberg, M. (2000). Art and learning: An integrated approach to teaching and learning in multicultural and multilingual settings. 2 nd Ed. New York: Addison Wesley Longman. Grant, C.A. & Gomes, M.L. (2001). Campus and classroom: Making schooling multicultural. 2nd Ed. Upper Saddle River, New Jersey: Merill – Prentice Hall. Gray, B.V. (1999). Science education in the developing world: Issues and considerations. Jurnal of Research in Science Teaching, 36 (3). Karyadi, B. (1999). Peningkatan mutu pelajaran sains dan matematika melalui upaya indiginasi seni budaya. Makalah disajikan pada National Workshop on Integration of Values of Art into Science Teaching, Surakarta. Desember 1999. Krajcik, J.S., Czerniak, C.M, & Berger, C. (1999). Teaching children science: A project-based aprroach. Boston: McGraw Hill College. Mukhtar & Yamin, M. (2002). Kiat sukses mengajar di kelas. Jakarta: Nimas Multima. Murgiyanto. S. (1999). Indiginasi nilai seni dalam pembelajaran MIPA: Sebuah diskusi awal. Makalah disajikan pada National Workshop on Integration of Values of Art into Science Teaching, Surakarta. Desember 1999. Nunes, T. (1992). Etnomathematics and everyday cognition. Dalam D.A. Grouws (Ed.) Handbook of research on mathematics teaching and learning. New York: Macmillan. Pannen, P. (2000). Konstruktivisme dalam pembelajaran, seni mengajar di perguruan tinggi. Jakarta: PAU-PPI. Universitas Terbuka.

Page 18: Jurnal kurikulum kbk

Pannen, P. (2004). Pembelajaran kreatif berbasis seni lokal. Jakarta: FKIP Universitas Terbuka Pekerti, W. (2000). Pengaruh pembelajaran terpadu matematika dan musik terhadap hasil belajar matematika murid kelas satu Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 22 (5), Maret 2000. Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, 83-98 98Primadi, T. (1998). Proses kreasi, apresiasi, belajar. Bandung: ITB. Pusposutardjo, S. (1999). Indiginasi nilai-nilai seni dalam pembelajaran ilmu-ilmu matematika dan pengetahuan alam sebagai bagian dari proses pembudayaan peserta didik. Makalah disajikan pada National Workshop on Integration of Values of Art into Science Teaching, Surakarta. Desember 1999. Riyanto (2000). Pemanfaatan permainan lokal dalam pembelajaran matematika di SMP (on-going reseacrh). Bengkulu: Universitas Terbuka. Richardson, V. (1997). Constructivist teaching and teacher education: theory and practice. Dalam V. Richardson (Ed.). Contructivist teacher education: Building new understanding. Washington, D.C: The Falmer Press. Tyler, E.B, (1871). Primitive culture. London.

Page 19: Jurnal kurikulum kbk

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI: APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA 

I G. A. K Wardani

(Universitas Terbuka)

Mengiringi millenium baru, istilah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mencuat ke angkasa dunia pendidikan, khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah. Tentu ini merupakan satu hal yang menggembirakan; namun, apakah KBK  merupakan istilah baru yang diperkenalkan dalam dunia pendidikan di Indonesia? Setiap orang yang mengamati dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, pasti tahu bahwa kurikulum berbasis kompetensi bukan istilah baru. Dalam dunia pendidikan tinggi, khususnya pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) sudah diperkenalkan dan disosialisasikan pada akhir tahun tujuh-puluhan melalui Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G). PGBK malah tidak hanya diterapkan di jenjang pendidikan tinggi tetapi juga di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang merupakan lembaga pendidikan bagi guru SD mulai tahun 60-an sampai tahun 1990.

Pada masa-masa berikutnya, pendekatan kompetensi juga diterapkan dalam revisi-revisi kurikulum, meskipun ketaatasasannya mulai kurang konsisten. Misalnya, pada revisi Kurikulum PGSM tahun 90-an digunakan pendekatan topik inti, kemudian pada Kurikulum D II PGSD pendekatan kompetensi juga tetap dipertahankan, baik pada Kurikulum 1990 maupun pada Kurikulum 1995. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa pendekatan komptensi atau yang disebut sebagai kurikulum berbasis kompetensi, bukanlah hal baru. Bahwa pendekatan ini belum dipakai secara konsisten dan belum menyentuh semua jenjang pendidikan memang merupakan satu kondisi yang membuat pemunculan kembali pendekatan ini  mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak.

Apa yang Dimaksud dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi?

Pengalaman menunjukkan bahwa pemahaman terhadap satu konsep sangat menentukan berbagai upaya yang dilakukan untuk menerapkan konsep tersebut. Pemahaman yang berbeda, lebih-lebih jika terjadi  salah konsep, akan merupakan sumber penyimpangan yang tentu saja membawa dampak yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, pemahaman yang keliru tentang pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) telah menimbulkan berbagai praktek  yang menyimpang sehingga membuat CBSA menjadi cemoohan dan diplesetkan.  Oleh karena itu, jika  berbicara tentang KBK, pemahaman setiap pihak yang terlibat dalam penerapan konsep ini haruslah sama.

Untuk  memahami KBK, terlebih dahulu perlu diulas pengertian kompetensi. Sesuai dengan Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi, kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-

Page 20: Jurnal kurikulum kbk

tugas di bidang pekerjaan tertentu. Jika definisi ini dijadikan acuan maka akan dikenal kompetensi untuk berbagai bidang, seperti kompetensi keguruan, kompetensi sebagai tenaga medis, tenaga penyuluh pertanian, arsitek, dan sebagainya. Seseorang dianggap kompeten dalam bidang tertentu bila ia mampu menunjukkan tindakan cerdas yang penuh tanggung jawab dalam bidang tersebut sehingga ia mendapat kepercayaan dari masyarakat. Tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab merupakan tindakan pengambilan keputusan yang  sangat kompleks, yang didasari oleh berbagai kemampuan, yang dalam Keputusan Mendiknas Nomor: 045/U/2002 disebut sebagai elemen kompetensi, yang terdiri dari: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, serta (5) pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Dalam kaitan dengan pendidikan prajabatan guru, istilah kompetensi digunakan paling tidak untuk tiga keperluan, yaitu: (1) sebagai indikator penguasaan, (2) sebagai titik berangkat pengembangan program, serta (3) sebagai kerangka untuk memahami dan menjelaskan kiat keguruan-kependidikan. Sebagai indikator penguasaan, kompetensi menunjuk kepada apa yang dikerjakan guru (calon) guru, yang bukan hanya berupa penampilan fisik tetapi dilandasi oleh kemampuan melaksanakan perbuatan mengajar dan mendidik secara langsung. Sebagai titik berangkat pengembangan program, kompetensi dikonsepsikan sebagai jalinan integratif yang unik antara penguasaan berbagai kemampuan sebagaimana digambarkan pada Diagram 1 (diadaptasi dari Raka Joni, 1983 dan 2002). Akhirnya, kompetensi sebagai kerangka untuk memahami dan menjelaskan kiat keguruan-kependidikan terutama digunakankan oleh guru yang telah matang dan berpengalaman di lapangan dan merupakan ekspresi pribadi yang unik (Raka Joni, 1983).

Diagram 1. Konsepsi Kompetensi Keguruan- Kependidikan

Diagram 1, di samping menggambarkan konsepsi utuh kompetensi guru, juga dapat

Page 21: Jurnal kurikulum kbk

menggambarkan posisi dari setiap elemen kompetensi  seperti yang tercantum dalam Keputusan Mendiknas Nomor: 045/U/2002. Unjuk kerja pembelajaran yang mendidik merupakan kemampuan berkarya yang langsung dapat diamati namun kemunculannya harus dilandasi oleh elemen kompetensi lainnya. Penguasaan ilmu dan keterampilan dicerminkan dalam  penguasaan bahan (kurikuler dan disiplin), prinsip, strategi & teknik pembelajaran yang mendidik, kemampuan merancang pembelajaran (keputusan situasional), dan kemampuan melakukan penyesuaian dalam implementasi (keputusan transaksional). Akhirnya, landasan kepribadian, sikap dan prilaku berkarya, serta pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat, tercermin dalam wawasan, sikap, nilai, dan kepribadian, yang merupakan landasan dasar dari terbentuknya kompetensi yang utuh.

Cara lain untuk menggambarkan sosok kompetensi yang utuh adalah seperti terlihat pada Diagram 2 berikut (adaptasi dari Raka Joni, 2002).

Diagram 2. Anatomi Kompetensi

 

Dari Diagram 2 dapat disimak bahwa kompetensi utuh dapat dipilah menjadi: (1) ‘knowing what’ yaitu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang bersifat deklaratif, yang dapat dibentuk melalui kegiatan mengkaji dan berlatih yang disertai balikan, (2) ‘knowing how’, yaitu kemampuan menerapkan secara prosedural, yang dapat dibentuk melalui latihan yang disertai dengan balikan; (3) ‘knowing when’ yaitu kemampuan memilih dan menerapkan secara kontekstual dan menyesuaikan berdasarkan pantauan transaksional, yang dapat dibentuk melalui kegiatan berlatih yang disertai balikan serta melakukan refleksi; serta (4) sikap dan nilai yang dapat dibentuk melalui penghayatan, baik dalam situasi nyata maupun dalam situasi buatan. Dengan demikian, kompetensi yang utuh tersebut merupakan terapan dari pengetahuan – pemahaman dan keterampilan yang dibingkai oleh sikap dan nilai yang mengutamakan kemaslahatan  peserta didik yang dilayani. Beranjak dari pengertian kompetensi tersebut maka KBK harus dimaknai sebagai kurikulum yang dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinginkan. Dengan perkataan lain, kompetensi yang ingin dicapai dinyatakan secara eksplisit dan dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulum. Dari pengertian ini tentu dapat dipahami bahwa kompetensi yang

Page 22: Jurnal kurikulum kbk

dinginkan seyogyanya ditetapkan terlebih dahulu, sebelum kurikulum dikembangkan. Atau penetapan kompetensi  merupakan langkah pertama dalam pengembangan kurikulum. Mengapa Pendekatan Kompetensi Menjadi Penting?Sebelum pendekatan kompetensi diperkenalkan dalam dunia pendidikan, pengembangan kurikulum dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling sering dilakukan adalah  dengan menetapkan kurikulum satu program yang  terdiri dari sederetan mata kuliah yang kemudian isinya diserahkan kepada dosen. Dengan demikian, isi mata kuliah tersebut sepenuhnya tergantung dari khasanah pengetahuan dan keterampilan dosen pengampunya. Dampak dari cara ini tentu dapat dibayangkan yaitu bahwa tidak ada tujuan yang jelas dari setiap mata kuliah, sehingga sifatnya hanya sebagai ‘content transmission’ yang luas dan kedalamannya sangat bervariasi. Cara berikutnya yang mungkin pernah dilakukan adalah mata kuliah ditetapkan berdasarkan ketersediaan dosen. Contoh yang ekstrem adalah ketika seorang dosen dengan spesialisasi Bahasa Rusia, pulang ke tanah air, maka mata kuliah Bahasa Rusia ditawarkan di satu program, tanpa mempertimbangkan apakah mata kuliah tersebut diperlukan atau tidak oleh mahasiswa.

Cara pengembangan kurikulum tersebut tentu tidak dapat dipertahankan jika suatu bangsa ingin bersaing dengan bangsa lain. Perubahan yang terjadi secara cepat dan terus menerus harus diantisipasi dengan cermat sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) mau tidak mau harus dilakukan secara sistematis dan terprogram. Dunia pendidikan harus mampu meyakinkan bahwa SDM yang dihasilkannya akan mempunyai kompetensi yang mampu bersaing dalam era global. Oleh karenanya, program-program pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberi bukti keterbentukan  kemampuan/kompetensi yang dianggap relevan dengan era global.

Dengan pendekatan kompetensi, kurikulum akan menjadi terarah karena disusun dengan langkah-langkah yang sistematis sehingga jika semuanya dikerjakan dengan benar dan implementasinya dilakukan secara taat asas, janji-janji yang terkemas dalam program pendidikan akan dapat diwujudkan. Disamping itu, dengan dirumuskannya kompetensi secara jelas, pihak-pihak yang berkepentingan akan dapat memantau/menilai secara objektif tingkat penguasaan kompetensi tersebut. Selanjutnya, para pengguna lulusan akan mempunyai gambaran yang jelas tentang kompetensi  yang dikuasai oleh pekerja yang direkrutnya sehingga jika mereka ingin melakukan pembinaan akan mempunyai dasar awal (baseline) yang jelas. Namun perlu diingat bahwa pendekatan kompetensi bukan satu mujizat atau satu resep yang menjamin keberhasilan. Pendekatan ini hanya merupakan satu awal atau satu langkah yang akan memberi arah  pada langkah-langkah berikutnya. Hal ini perlu ditekankan agar pemahaman tentang pendekatan ini menjadi semakin mantap. Kelatahan menggunakan pendekatan ini tanpa memahami makna yang sebenarnya, seperti yang sering terjadi dengan konsep-konsep yang baru dimunculkan atau dimunculkan kembali, tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali label bahwa seseorang atau satu lembaga telah menggunakan pendekatan kompetensi. Kejadian seperti ini misalnya dapat ditengarai pada penggunaan ‘label CBSA’ di cover buku pelajaran untuk SD dan SMP pada tahun 90-an.

Bagaimana Mengimplementasikannya?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan besar yang tidak dapat dijawab dengan mudah. Satu hal yang harus dikuasai oleh setiap orang yang terlibat dalam pengembangan KBK adalah konsep

Page 23: Jurnal kurikulum kbk

pendekatan kompetensi tersebut. Tanpa pemahaman yang mantap, langkah-langkah implementasi, meskipun diikuti dengan cermat, tidak akan membawa satu program untuk sampai kepada tujuannya. Dengan dasar pemahaman pendekatan kompetensi yang benar, langkah-langkah dalam pengembangan KBK serta impelementasinya dapat dirinci sebagai berikut.

1. Menetapkan atau merumuskan kompetensi yang harus dikuasai oleh lulusan.

Menetapkan atau merumuskan  kompetensi yang harus dikuasai  oleh lulusan haruslah mempertimbangkan berbagai aspek yang bertumpu pada tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh lulusan.  Untuk setiap program pendidikan seyogyanya ada kompetensi standar yang harus dikuasai oleh lulusan. Dalam konteks otonomi daerah, sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam bidang pendidikan ditetapkan bahwa standar kompetensi siswa dan warga belajar harus ditetapkan oleh pemerintah pusat (PP No. 25 Tahun 2000, Bab II, Pasal 2).  Standar kompetensi  yang bersifat nasional sangat diperlukan, sehingga pendidikan yang dikelola oleh  daerah mempunyai acuan yang jelas. Dengan adanya standar kompetensi nasional, daerah akan dapat mengukur kemampuannya apakah akan dapat bersaing di tingkat nasional atau belum mampu mencapai standar nasional tersebut.  Bahkan jika  ingin bersaing di tingkat dunia, standar kompetensi internasional harus dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang memang mampu dapat menghasilkan SDM yang diproyeksikan akan mampu bersaing di tingkat dunia.

Standar kompetensi tentu harus direvisi sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga standar ini selalu mengakomodasi hasil-hasil penelitian terkini  serta ‘state of the art practice’ (NCATE, 2002) dalam bidangnya. Ini berarti bahwa harus ada satu tim pengembang yang selalu memelihara standar ini sehingga tidak ketinggalan jaman. Sehubungan dengan hal ini, pertanyaan mendasar yang muncul adalah siapa yang harus mengembangkan  standar kompetensi ini. Standar kompetensi seyogyanya dikembangkan oleh satu tim dengan melibatkan berbagai pihak seperti  pengelola pendidikan, termasuk para pakar yang relevan, masyarakat luas, terutama pengguna lulusan, dan para lulusan yang sudah bekerja. Sebagai contoh, dalam pengembangan Standar Kompetensi Guru Kelas SD-MI, telah dilibatkan Dinas Pendidikan (sebagai pengguna lulusan), dosen PGSD, dan para pakar ke-SD-an, serta para guru SD. Tingkat keterlibatan mereka tentu bervariasi sesuai dengan kontribusi yang dapat diberikan dalam pengembangan.

Proses pengembangan standar kompetensi dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah berikut.

a. Mengkaji latar tugas-tugas yang harus dilakukan oleh lulusan, mencakup apa saja cakupan tugasnya, mengapa itu menjadi cakupan tugasnya, serta dengan siapa  serta dalam hubungan yang bagaimana dia diharapkan  berperan dalam mengemban misi yang lebih besar. Pengkajian yang cermat tentang latar tugas ini akan menghasilkan asumsi programatik lulusan, yaitu pernyataan-pernyataan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti empirik, dugaan-dugaan ahli, maupun pilihan nilai masyarakat dan pemerintah (Raka Joni, 1983). Oleh karena itu, langkah ini dilakukan dengan mengkaji berbagai ketentuan, hasil penelitian, berbagai  dokumen/pustaka lain yang  relevan dan paling muthakir, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Page 24: Jurnal kurikulum kbk

b. Dari asumsi programatik yang telah ditetapkan kemudian dikembangkan perangkat kompetensi yang harus dikuasai oleh lulusan. Perangkat kompetensi  sebaiknya tidak bersifat terlalu umum dan kompleks, tetapi juga tidak terlalu rinci, sehingga dapat dijadikan rambu-rambu dalam pengembangan program. Perangkat kompetensi juga merupakan titik berangkat untuk menetapkan pengalaman belajar yang harus dihayati mahasiswa dalam menguasai kompetensi tersebut. Sebagai contoh, dalam Standar Kompetensi Guru Kelas SD-MI, perangkat tersebut terdiri dari rumpun kompetensi, kompetensi, dan pengalaman belajar untuk mencapai masing-masing kompetensi.

c. Memvalidasi perangkat kompetensi yang telah dihasilkan dengan melibatkan berbagai pihak, baik melalui diskusi maupun uji lapangan. Sebagai contoh, perangkat kompetensi guru kelas SD-MI yang telah dikembangkan diberi balikan oleh berbagai pihak (guru SD, dosen PGSD, Dinas Pendidikan, serta pakar lainnya) disamping uji lapangan dengan melakukan observasi kelas.

d. Menyempurnakan perangkat kompetensi berdasarkan masukan yang didapat, baik dari diskusi maupun dari uji lapangan.

 2. Mengembangkan Kurikulum

Berdasarkan perangkat kompetensi yang telah dikembangkan atau standar kompetensi yang ada, pengelola program kini sampai pada pengembangan kurikulum program pendidikan. Jika perangkat kompetensi sudah dilengkapi dengan spesifikasi pengalaman belajar maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi materi dan format kegiatan belajar. Namun, jika perangkat kompetensi belum dilengkapi dengan pengalaman belajar, terlebih dahulu harus dirumuskan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menguasai kompetensi tersebut. Langkah ini sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengalaman belajar yang dihayati mahasiswa memang benar-benar memungkinkan dia menguasai kompetensi tersebut. Misalnya, kompetensi mampu merancang pembelajaran yang mendidik tidak mungkin dikuasai hanya dengan mengkaji prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik tetapi harus disertai dengan latihan merancang pembelajaran dengan mempertimbangkan karakteristik anak dan mata pelajaran. Dengan mengelompokkan materi yang diidentifikasi akan terhasilkan mata kuliah yang mendukung ketercapaian perangkat kompetensi tersebut dan dengan memperkirakan sumbangan setiap materi dan pengalaman belajar terhadap pembentukan kompetensi dapat diperkirakan bobot waktu / bobot sks bagi setiap mata kuliah.

3. Menerjemahkan Kurikulum Menjadi Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP)

Dalam langkah ini, setiap dosen mengembangkan GBPP bagi mata kuliah yang diampunya. Agar tidak terjadi penyimpangan, dosen harus tetap mengacu kepada kompetensi yang didukung oleh mata kuliahnya. Kompetensi dijabarkan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus yang disertai dengan pengalaman belajar/materi serta bobot waktu pencapaian yang dirancang untuk setiap tujuan. Dalam penataan  pengalaman belajar/materi haruslah diperhatikan kesinambungan (continuity), urutan (sequence), dan keterpaduan (Tyler,1993). Perlu pula ditekankan bahwa pencantuman topik-topik/pokok bahasan pada GBPP haruslah berasal dari kompetensi, bukan karena cakupan disiplin ilmu. 

Page 25: Jurnal kurikulum kbk

4. Menyusun silabus dan Satuan Acara Perkuliahan, serta Melaksanakan Pembelajaran

Pendekatan kompetensi merupakan satu pendekatan yang sistematik dan sistemik yang mempersyaratkan penstrukturan kegiatan belajar-mengajar secara eksplisit. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan tercapainya kompetensi yang diinginkan. Dalam kaitan ini dosen dapat menyiapkan silabus yang memuat dengan cermat kompetensi/tujuan/dan deskripsi mata kuliah, materi yang dicakup, penskenarion kegiatan, serta tugas-tugas yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Silabus ini dikomunikasikan pada awal perkuliahan kepada mahasiswa.  Selanjutnya, dosen  mengembangkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan melaksanakan pembelajaran.

5. Mengakses  Ketercapaian Kompetensi

Bagaimana cara menilai bahwa kompetensi sudah dikuasai? Cara asesmen yang tidak tepat akan menjurus kepada informasi yang tidak tepat mengenai pencapaian kompetensi.  Asesmen kompetensi harus sesuai dengan hakikat kompetensi itu sendiri, misalnya: kompetensi yang berkaitan dengan penguasaan akademik dapat diases dengan alat ukur konvensional dan prosedur kontemporer, seperti tes atau pemberian tugas, kompetensi yang berkaitan dengan penguasaan keterampilan diases melalui proses unjuk kerja, serta pemilikan sikap dan nilai diases melalui pengamatan dalam konteks otentik, serta kompetensi yang berkaitan dengan unjuk kerja profesional diases melalui pengamatan unjuk kerja dengan menggunakan ‘high inference instrument’, seperti Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang digunakan untuk mengamati kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Secara ringkas, cara mengases penguasaan kompetensi digambarkan dalam Diagram 3 (diadaptasi dari Raka Joni, 2002).

Dari Diagram 3 dapat disimak bahwa untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat tentang penguasaan kompetensi, setiap kompetensi harus diases dengan cara yang khas.  Cara yang keliru, akan menghasilkan informasi yang keliru juga. Misalnya, jika kompetensi yang berkaitan dengan sikap dan nilai diases dengan tes, informasi yang didapat adalah pengetahuan tentang sikap dan nilai, bukan sikap dan nilai yang tercermin dalam perilaku/kebiasaan sehari-hari.

Diagram 3. Asesmen Penguasaan Kompetensi 

Kompetensi Cara Asesmen

Penguasaan Akademik

 

Alat ukur Konvensional dan Prosedur Kontemporer

Penguasaan Keterampilan Proses Unjuk Kerja

Pemilikan Sikap, Nilai, Kecenderungan Bertindak

Pengamatan dalam Konteks Otentik

Page 26: Jurnal kurikulum kbk

Peragaan Unjuk Kerja Profesional Pengamatan dengan High Inference Instruments

Penutup

Pendekatan kompetensi akan berhasil jika seluruh komponen penyelenggara pendidikan mempunyai pemahaman yang sama dan komitmen yang tinggi untuk menerapkan pendekatan ini secara taat asas. Jika itu tidak terjadi, maka berbagai penyimpangan akan muncul, sehingga pendekatan ini lebih  banyak berfungsi sebagai formalitas atau label yang tidak bermakna.

Daftar Rujukan

Franc, L. H. (1978). Competency-based education: Toward improving patterns of instruction. Durham: New England Teacher Corps Network.

Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002, tentang: Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.

NCATE, 2002. Professional Standards for the Accreditation of Schools, Colleges, and Departments of Education. 2002 Edition. http://www.ncate.org.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000. tentang: Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Jakarta: CV Tamita Utama.

Joni, R. (1983). Cara belajar siswa aktif, wawasan kependidikan, dan pembaharuan pendidikan guru. Pidato, diucapkan pada peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. Malang: IKIP Malang.

Joni, R . (2002). Bahan Presentasi SKGK SD-MI.

Tim SKGK SD-MI (2002). Naskah akademik standar kompetensi guru kelas SD-MI Program Pendidikan D II PGSD (Draf Kasar). Jakarta: Dit. P2TK-KPT, Ditjen Dikti, Depdiknas.

Tyler, R. W. (1993). Basic principles of curriculum and instruction. Chicago: The University of Chicago Press.

Endnotes

Sebagai  makalah, materi artikel ini  telah pernah disajikan sebagai bahan diskusi dalam Temu Wicara Pekerti-AA, tanggal 22 Oktober 2002.

Page 27: Jurnal kurikulum kbk

C.    Beberapa Permasalah Dalam Peralihan Dari KBK Ke KTSP

Seperti diuraikan di atas, bahwa ada beberapa perbedaan antara KTSP dengan KBK,

diantaranya adalah dalam hal struktur kurikulum, baik di tingkat SD/MI, SMP/MTs, atau di tingkat

SMA/MA. Yang perubahan strukturnya dirasakan banyak adalah di tingkat SMA/MA. Sementara

sosialisasi dan panduan KTSP belum merata. Apalagi untuk Standar Isi (SK dan KD) mata

pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Madrasah Aliyah sulit didapat, entah apakah memang

DEPAG RI belum mengeluarkan standar isi tersebut atau sosialisasinya yang belum merata.

Keadaan seperti ini membingungkan sekolah dan guru-guru, sebenarnya mata pelajaran

apa saja yang harus dipelajari anak dalam KTSP. Di satu sisi sekolah dituntut untuk menyusun dan

melaksanakan KTSP, di sisi lain sosialisasi kurikulum baru ini belum merata dan maksimal, selain

itu perangkat untuk menyusun KTSP belum semuanya tersedia, dan belum didistribusikan ke

sekolah-sekolah. Banyak kasus dibeberapa sekolah, ada beberapa mata pelajaran yang diajarkan

tetapi ketika UAS tidak diujikan, begitu juga sebaliknya. Selain itu format buku raport yang

berubah-ubah, hal ini tentu membuat semakin bingung pihak sekolah dan guru-guru, apa

sebenarnya yang diinginkan pemerintah dengan KTSP ini.

D. Keuntungan dan Hambatan Pelaksanaan KBK dan KTSP yang Dirasakan oleh

Guru Mata Pelajaran

Bagi tenaga pendidik yang profesional dan memiliki keinginan untuk maju dan dinamis dalam menyikapi perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat, aplikasi KBK dan KTSP dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang lebih menyenangkan. Hal tersebut dapat dilihat dari:

1. Pengembangan KBK dan KTSP cenderung menggunakan metode kontekstual, yaitu mengaitkan materi dengan kondisi nyata di masyarakat (belajar melalui pengalaman). Peserta didik yang memiliki kemampuan lebih dalam kecakapan dan keterampilan tertentu dapat dipraktikkan langsung. Contoh bermain peran menjadi penyiar TV, reporter, dan presenter. Peserta dapat belajar sendiri di rumah karena fasilitas media tersebut tersedia di rumah atau di sekolah. Peserta didik yang tadinya tertutup pun akhirnya mau mencoba tanpa rasa takut. Tugas guru pun semakin mudah. Metode pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini masih dikembangkan menjadi beberapa komponen, misalnya

kosntruktivisme, masyarakat belajar, penemuan, pemodelan, refleksi, dan portofolio.

Page 28: Jurnal kurikulum kbk

2. Kebiasaan belajar yang berupa teori-teori bahasa dan sastra sudah mulai ditinggalkan. Pembelajaran bahasa dan sastra dikembalikan pada hakikat bahasa sebagai sarana komunikasi. Sebelum KBK dan KTSP, pelajaran sastra hanya berisi nama-nama sastrawan beserta karya-karyanya, aliran-aliran sastra, dan unsur-unsur instrinsik/ ekstrinsik sastra. Akibatnya peserta didik tidak mampu menulis cerpen, tidak mampu mendongeng, dan takut dengan puisi. Setelah diberi kebebasan dalam kegiatan mengapresiasi sastra, ternyata siswa mampu menulis cerpen orisional berlembar-lembar, mampu mendongeng yang dapat menghibur teman-temannya, dan dapat menulis puisi-puisi cinta sampai beberapa judul. Karena banyak pada penilaian kegiatan pragmatis, praktis tidak ada peserta didik yang nilainya jelek atau kurang.

3. Pekerjaan guru berupa koreksi hasil kerja siswa sedikit berkurang, karena banyak pencapaian kelulusan melalui praktik. Kegiatan guru banyak terkonsentrasi pada persiapan pembelajaran, pembuatan format nilai, tabel penilaian proses, remidial, dan lain-lain. Dari empat keterampilan berbahasa, kompetensi menulis lebih banyak menyita perhatian dan konsentrasi guru.

4. Pelaksanaan KBK dan KTSP cenderung lebih banyak menggunakan media sebagai sumber bahan belajar. Sekolah yang didukung dengan fasilitas belajar yang lebih lengkap semakin memanjakan dan memudahkan guru dan peserta didik. Hal ini tentu sangat memudahkan guru dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran. Belajar tanpa alat/media dan belajar dengan alat/ media, hasilnya pasti berbeda.

Tentunya masih banyak kemudahan-kemudahan yang disuguhkan oleh KBK dan KTSP ini. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya beberapa hambatan yang menjadi kendala berhasil tidaknya pelaksanaan KBK dan KTSP ini. Hal itu dapat ditunjukkan pada:1)

1. Kebingungan para guru yang sudah merasa cocok dengan Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994. Pendidik cenderung konservatif dan pendidik lansia cenderung tersiksa dengan KBK dan KTSP ini.

2. Sikap apriori terhadap kebijakan pemerintah menyangkut pemberlakuan KBK dan KTSP, desentralisasi pendidikan, otonomi penyelenggara pendidikan, dan munculnya permasalahan lain. Contohnya UN sebagai standar kelulusan, Ulangan Umum Bersama, Penerimaan Siswa Baru, penyeragaman Buku Laporan Pendidikan, “pemaksaan” pemuatan mata pelajaran tertentu di daerah yang kurang cocok dan tidak diikuti dengan alternatif penggantinya.

3. Ada beberapa materi yang klasifikasi kompetensi dasarnya tumpang tindih dan kabur. Misalnya membuat dialog dengan memperhatikan penulisan kata ganti orang. Dalam membuat dialog tersebut ada unsur kompetensi berbicara dan menulis.

4. Ada beberapa istilah yang dinilai lucu dan ambigu. Misalnya bentuk evaluasi, diganti dengan jenis tagihan, menyimak diganti mendengarkan.

5. Banyak guru yang belum paham betul dengan konsep KBK dan KTSP ini, bahkan pengawas sebagai narasumber pun tidak bisa memberikan solusi kesulitan guru. Pendapat antar pengawas yang satu dengan yang lain, guru yang satu dengan guru yang lain, kadang versi jawabanya berbeda.

6. Instrumen evaluasinya pun masih sering diperdebatkan, mulai dari penulisan soal yang benar, cara menilai, dan menuangkan dalam buku laporan pendidikan.

7. Sumber daya manusia yang sudah termakan usia dan kurang profesional, mahalnya pendidikan, gaji di bawah UMR, dan kebijakan tidak populer dari yayasan penyelenggara pendidikan.

8. Sarana dan prasarana yang jauh dari memadahi atau peraturan sudah diberlakukan, sarana penunjangnya belum ada/disediakan.

Permasalahan di atas merupakan hal yang wajar, mengingat KBK apalagi KTSP dan produk-produk yang mendukung pelaksanaan kurikulum ini umurnya belum lama. Hal yang paling penting dalam

Page 29: Jurnal kurikulum kbk

menyikapi hambatan ini adalah adanya upaya sosialisasi KTSP yang terprogram, jelas, baku, dan sistematis. Dan yang tidak kalah penting adalah adanya kesadaran para guru, etikat baik, dan kemauan untuk maju supaya keberhasilan pendidikan dapat direalisasikan.

E. Pemilihan Buku Teks

Perubahan kurikulum berdampak pada penggunaan buku teks yang bisa berupa buku paket, buku acuan pokok, dan buku suplemen bagi siswa dan guru. Sebenarnya tidak ada buku teks yang paling baik. Keberhasilan KBM tidak mutlak bergantung dari buku teks yang dipilih atau digunakan, semua kembali pada guru. Namun, paling tidak guru dapat memilihkan buku yang lebih cocok, memberi kemudahan, berkualitas, dan sesuai dengan kurikulum yang digunakan bagi peserta didik (Guntur dan Jago Tarigan, 1986).

Komitmen pemerintah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten dalam membangun dan memajukan pendidikan dapat dilihat dalam kegiatan pembentukan tim yang bertugas menganalisis buku paket, buku acuan pokok, dan buku suplemen yang layak digunakan oleh sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan. Bagi guru yang kesulitan memilih buku pegangan, guru dapat memilih buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia yang direkomendasikan oleh pemerintah tersebut. Meskipun demikian tidak serta merta, bahwa pemerintah mewajibkan guru harus menggunakan buku yang telah ditetapkan, otonomi tetap pada guru. Setiap insan pendidikan menyadari bahwa buku teks memilki kelebihan-kelebihan dan keterbatasan-keterbatasan (Guntur dan Jago Tarigan, 1986).

Ada beberapa kriteria pemilihan buku teks yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan guru sebelum memutuskan buku yang akan digunakan:1) Kualitas isi dan kelayakan (mencerminkan sudut pandang yang tangguh, konsep jelas, dan modern)2) Bahasa atau linguistik (sesuai kaidah, tidak diskriminatif, dan komunikatif)3) Azas kebermanfaatan dan pendidikan nilai4) Keberagaman (subjectmatter, sarana evaluasi, gambar, grafik, tabel, dan tugas)5) Kondisi fisik buku yang baik dan dilengkapi dengan buku kerja atau kaset.6) Sistematis dan menunjang disiplin ilmu lain yang diperlukan oleh siswa.(Guntur dan Jago Tarigan, 1986).

Hal-hal nonteknis yang perlu diperhatikan dan diwaspadai dalam pemilihan buku teks:1) Tidak terprovokasi oleh hasutan penjual buku dengan iming-iming potongan harga dan bonus.2) Kemasan buku (gambar, warna, sampul, judul, dan atribut lain).3) Diharapkan guru mempelajari isi buku sebelum memutuskan untuk membeli dan menggunakannya, bila perlu meminta pertimbangan dengan guru bahasa Indonesia lainnya.

1

Page 30: Jurnal kurikulum kbk

Perubahan Kurikulum Pendidikan sebagai Wujud Inkonsistensi Pemerintah

Posted by Ratri C. Winedhar on 16.48

Pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan

bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan

dalam sekolah, disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman

sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia

dalam materi pelajaran.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

tertentu. Kurikulum akan menentukan materi yang wajib diberikan, urutan

pemberiannya, indikator-indikator pemahaman siswa, dan banyak lagi.

Baru–baru ini masalah pergantian kurikulum pembelajaran di Indonesia

mngalami pro dan kontra. Pergantian kurikulum pembelajaran mulai dari

kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK (Kurikulum Berbasis

Kompetensi), sampai pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan

sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa

dan bernegara. Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu

dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang

terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan

yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok

dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

Namun, di saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah

senantiasa berubah secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat

terlihat bahwa setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat

dipastikan kurikulum juga akan diubah. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu

baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan

cocok dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak

efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah

kebingungan dan miskonsepsi. Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi

korban adalah siswa, korban dari proyek Depdiknas dan menteri baru yang ingin

“tampil beda”. Sementara guru dipusingkan dengan pergantian program-program

Page 31: Jurnal kurikulum kbk

pembelajaran yang dari tahun ke tahun yang mengalami perubahan.

Masalah bagi Peserta Didik

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Peserta didik merupakan individu

yang sedang berkembang. Dalam proses perkembangannya, peserta didik

membbutuhkan bimbingan dan bantuan.

Kurikulum pendidikan nasional sejak tahun 1947 sampai sekarang otomatis

melibatkan peserta didik sebagai subjek didik. Mereka seolah-olah sebagai kelinci

percobaan dari setiap perubahan kurikulum.

Belum selesai pembicaraan tentang permasalahan kurikulum 2004 atau yang

disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), muncul kurikulum tingkat

satuan pendidikan(ktsp). Belum genap dua tahun usia KBK, tiba-tiba peserta didik

harus terjun dalam lembah kurikulum baru. Padahal kurikulum 2004 masih belum

sepenuhnya terealisasi dengan baik atau pelaksaannya masih dalm taraf

percobaan.

Pendidikan nasional masih dalam taraf perkembangan. Kemampuan menyerap

ilmu yang dimiliki peserta didik rata-rata masih kurang. Jika dibandingkan dengan

negara-negara maju seperti Jepang, bisa dikatakan perbandingannya 3:9, 3 untuk

Indonesia dan 9 untuk Jepang.

Perubahan kurikulum yang bisa dibilang seperti seleksi Indonesian Idol, menuntut

peserta didik untuk mampu meyesuaikan diri dari setiap kurikulum yang

dicanangkan. Penyesuaian diri tersebut membutuhkan kepiwaian berpikir. Perlu

menguras otak untuk melaksanakan kurikulum dari kurikulum satu ke kurikulum

lainnya. Bagi peserta didik yang cerdas, mungkin masalah ini tidak begitu berat,

tetapi bagaimana dengan peserta didik yang berada di bawahnya? Mereka akan

gonjang-ganjing, menguras otak untuk menyesuaikan dengan kurikulum yang

baru.

Pemerintah seharusnya konsisten terhadap satu kurikulum. Berdasarkan

perjalanan kurikulum nasional, kurikulum 1994 dirasa cocok diterapkan di

Indonesia yang pendidikannya masih dalam taraf perkembangan.

Masalah bagi Pendidik

Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan

Page 32: Jurnal kurikulum kbk

dengan sasaran peserta didik. Setiap pendidik harus membuat program

pembelajaran kurikulum yang akan digunakan dalam proses belajar-mengajar.

Perubahan kurikulum sejak tahun 1947 sampai sekarang membuat pusing para

pendidik. Mereka dipusingkan dalam pembuatan program kurikulum dan metode

pembelajaran yang hampir setiap tahun berubah.

KBK yang baru sestengah jalan harud diganti dengan KTSP. Pelaksanaanya

cenderung terburu-buru dan tidak merata. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP), guru dituntut untuk membuat kurikulum sendiri. Masalahnya

para guru belum mempunyai pengalaman yang matang dalam membuat

kurikulum sendiri, sedangkan masa sosialisasi KTSP terlalu singkat untuk

perubahan sistem yang signifikan seperti itu. Selain itu kurikulum ini mengubah

beberapa urutan materi yang diberikan. Materi yang sebelumnya diberikan pada

semester 1, menurut ketentuan baru harus diberikan di semester 2. Implikasinya

adalah dalam beberapa materi siswa harus belajar kembali suatu materi di

semester ke-2, padahal pada semester pertama materi tersebut sudah dianggap

selesai. Lantas untuk apa mengulang sedangkan materi lain mendesak dan UAN

semakin dekat. Maka beberapa guru pun mengabaikan perintah kurikulum dan

tetap memfokuskan pada materi yang belum selesai. Akibatnya kurikulum KTSP

tinggal nama saja.

Dengan adanya pergantian konsep yang terus menerus, pemerintah telah

membingungkan para pendidik sebagai penyampai materi.

Kurikulum yang menjadi tombak pendidikan seharusnya menerapkan tahapan

sistematis yang konsisten untuk jangka panjang. Kurikulum tidak harus

mengalami pergantian yang terus-menerus, tetapi membutuhkan

penyempurnaan. Jika kurikulum berjalan ajek akan memudahkan pendidik dalam

membuat program pembelajaran. Sehingga peserta didik pun tidak ikut

pusingketika menerima materi berdasarkan metode yang disampaikan pendidik.

Masalah bagi Pemerintah

Pemerintah berperan penting sebagai pengambil kebijakan. Perubahan kurikulum

dari tahun ke tahun merupakan kebijakan yang diambil pemerintah. Dari segi

positifnya apabila kurikulum baru lebih efektif dan cocck dengan realita lapangan,

maka itu baik. Tapi apabila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan

dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan.

Tanpa disadari perubahan kurikulum sejak tahun 1947 sampai sekarang, bukan

Page 33: Jurnal kurikulum kbk

hanya membuat pusing siswa dan guru tetapi juga pemerintah. Bukankah

perubahan kurikulum baik sedikit atau menyeluruh memerlukan dana besar?

Sosialisasi ke pelaku pengajaran harus dilakukan. Kegiatan ini bisa dibilang boros

dana. Padahal kita tahu sendiri bahwa keadaan negara kita memprihatinkan.

Memang ada anggaran pendidikan dari APBN. Namun, apakah pemerintah lantas

menghambur-hamburkannya? Akan lebih bemanfaat jika anggaran pendidikan

digunakan untuk proses kegiatan belajar mengajar atau untuk membantu biaya

pendidikan bagi rakyat yang membutuhkannya.

Harus disadari untuk tidak terlalu tergesa-gesa mengganti kurikulum. Pelaksanaan

di lapangan, perubahan kurikulum itu tidak begitu besar maknanya. Pembuktian

empiris dari efektif atau tidaknya kurikulum perlu waktu yang panjang dan kerja

keras serta membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jadi pemerintah seharusnya

lebih konsisten dalam menetapkan kurikulum pendidikan nasional. Karena

memperbaiki kurikulum pendidikan nasional tidak untuk diganti tetapi untuk

disempurnakna.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan nasional yang

silih berrganti menimbulkan masalah bagi peserta didik, pendidik, bahkan

pemerintah. Yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek

Depdiknas. Pemecahannya adalah pemerintah menetapkan 1 kurikulum. Jika

dalam kurikulum tersebut dirasa masih terdapat kekurangan, tidak dengan diganti

tetapi disempurnakan. Kurikulum sebagus apapun takkan bisa berjalan mulus jika

tidak dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan. Kurikulum di Indonesia

membutuhkan penyempurnaan, bukan pergantian konsep terus-menerus tanpa

hasil yang berarti.

KBK DAN KTSPDisusun oleh :

Budi Christyawan

K7406005

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2007

Page 34: Jurnal kurikulum kbk

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

(KBK)

A. PENGERTIAN KOMPETENSI DAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Mc Ashan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi “….is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sehingga wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi yang sedang dipelajari.

Berdasarkan pengertian diatas, Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau ketrampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.

Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut guru yang berkualitas dan professional untuk melakukan kerjanya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Meskipun demikian, konsep ini tentu saja tidak dapat digunakan sebagai resep memecahkan semua masalah pendidikan. Namun, dapat memberi sumbangan yang cukup signifikan terhadap perbaikan pendidikan.

Dalam hubungannya dengan pembelajaran, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana “ perbuatan tersebut dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan indikator yang menunjuk kepada perbuatan yang bisa diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap, serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kompetensi tersebut terbentuk secara transaksional, bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang terlibat secara aktual.

B. LANDASAN TEORITIS YANG MENDASARI KBK

Page 35: Jurnal kurikulum kbk

Ada 3 landasan yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu :

1. Adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok kearah pembelajaran individual.

Dalam pembelajaran individual setiap peserta didik dapat belajar sendiri, sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing, serta tidak bergantung orang lain. Untuk itu diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel baik sarana maupun waktu, karena dimungkinkan peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda serta mempelajari bahan ajar yang berbeda pula.

2. Pengembangan konsep belajar tuntas ( mastery learning ) atau belajar sebagai penguasaan (learning of mastery ).

Suatu falsafah pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat, maka semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil yang baik.

3. Pendefinisian kembali terhadap bakat.

Dalam kaitan ini Hall (1986 ) menyatakan bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu yang cukup. Jika asumsi itu diterima maka perhatian harus dicurahkan kepada waktu yang diperlukan untuk kegiatan belajar.

Implikasinya terhadap pembelajaran:

a) Pembelajaran perlu lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, dan perlu memperhatikan perbedaan peserta didik.

b) Perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode dan media yang bervariasi, sehinnga memungkinkan setiap peserta didik belajar dengan tenang dan menyenangkan.

c) Dalam pembelajaran perlu diberikan waktu yang cukup, terutama dalam penyelesaian tugas atau praktek, agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajarnya dengan baik.

Ashan ( 1981 ) mengemukakan 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu penetapan kompetensi yang hendak dicapai, pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi dan evaluasi.

C KARAKTERISTIK KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi juga memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik. Pembelajaran telah menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja dan bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing.

Depdiknas (2002 ) mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memilki karakteristik sbb:

1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

2) Berorientasi pada hasil belajar ( learning outcomes ) dan keberagaman.

3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan-pendekatan metode yang

Page 36: Jurnal kurikulum kbk

bervariasi.

4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memiliki unsur educatif.

5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

(KTSP)

A. Pendahuluan

Pemerintah telah mempercepat pencanangan Milenium Development Goals, yang ssemula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Milenium Development Goals adalah era Pasar Bebas atau Era Globallisasi. Sebagai era pencanangan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksisitensinya. Oleh karena itu pembangunan SDM yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut mutlak dilakukan, karena akan menjadi penopang utama pembanguanan nasional yang mandiri dan bekeadilan, Good Governance and Clean Govenance, serta menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari multidimensi krisis, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Salah satu cara untuk meningkatkan SDM adalah melalui peningkatan pendidikan. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum meerupakan komponen pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Karena kurikulum dibuat secara sentralistik, setiap satuan pendidikan diharuskan untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang disusun oleh pemerintah pusat menyertai kurikulum tersebut.

B. Apa itu KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Sekolah dan Komite Sekolah, atau Madrasah dan Komite Madrasah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan.

KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan agar lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakaqn keharusan agar sistem pendidikan nasional tersebut selalu relevan dan kompetitive. Hal tersebut juga sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standar nasional pendidikan sebagai acuan kurikulum secara berencana dan berkala dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36

· Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

· Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.

· Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan

Page 37: Jurnal kurikulum kbk

komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.

Dalam pengembangan KTSP, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran stratetgis guru dan dosen yang meliputi :

1. Penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional

2. Pembinaan dan pengembangan potensi guru dan dosen

3. Perlindungan hukum

4. Perlindungan profesi

5. Perlindungan keselamatan dan keselamatan kerja

C. Tujuan KTSP

Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (ototnomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah sebagai berikut

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.

3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

D. Landasan Pengembangan KTSP

KTSP dilandasi oleh UU dan peraturan pemerintah sebagai berikut :

a. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

b. Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

c. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar Isi

d. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi kelulusan

e. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23

E. Karakteristik KTSP

Karakteristik KTSP dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga pendidikan, serta sistem penilaian karakteristik KTSP sebagai berikut ”pemberian otonomi yang luas kepada sekolah satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang demokratis dan profesional , serta tim kerja yang kompak dan transparan.

UU SPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 19

UU SPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 19 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Prinsip-prinsip umum kurikulum dan pengajaran adalah siswa diberi kesempatan mempraktekkan perilaku munurut tujuan, pengalaman belajar, memberikan kesempatan bagi siswa menghadapi isi pelajaran. Siswa

Page 38: Jurnal kurikulum kbk

memperoleh kepuasan menerima pelajaran, level pelajaran dalam rentang yang dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan. Pengalaman belajar memberikan hasil yang nyata dan pembelajaran siswa akan diperkuat, diperdalam dan diperluas. Dengan demikian pada prinsipnya kurikulum di desain untuk dapat diterima siswa dengan baik, karena jika siswa tidak mampu mengikuti kurikulum yang disampaikan maka kurikulum tersebut tidak akseptabel.