JURNAL ARSITEKTUR & · PDF fileModel Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem...
Transcript of JURNAL ARSITEKTUR & · PDF fileModel Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem...
JURNAL ARSITEKTUR& PERENCANAANJOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh:JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAANFAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
ISSN 1829-6610 Vol. 6 No. 2, Oktober 2013
JURNAL ARSITEKTUR& PERENCANAANJOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh:JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAANFAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
ISSN 1829-6610 Vol. 6 No. 2, Oktober 2013
i
JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP)
(JOURNAL OF ARCHITECTURE AND PLANNING STUDIES)
Editorial Board:
Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D
Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng.
Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. Diananta Pramitasari, ST., M.Eng., Ph.D.
Managing Director:
Syam Rachma Marcillia, ST., M.Eng., Ph.D.
Editorial Assistant:
Nadia Aghnia Fadhillah
Editorial and Distribution Address:
Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No.2, Yogyakarta, 55281, Indonesia
Telp.: +62 274 902320/902321 Fax.: +62 274 580854
Website: www.archiplan.ugm.ac.id
E-mail: [email protected], [email protected]
iii
CONTENTS
Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacked Arch Dome (SAD) __ 01
Agus Hariyadi, Kurnia Widiastuti
Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali di Yogyakarta______ 11
Ahmad Saifullah Malangyudo , T.Yoyok Wahyu Subroto
Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang____________________ 20
Arief Fadhilah, Titien Woro Murtini, Bambang Supriyadi
Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan Sungai Code Yogyakarta_____________ 28
Ashri Amalia Hadi
Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air______________ 35 di Kota Depok Hendro Pratikno, Mussadun
Adaptive Reuse Design of Historic Context___________________________________________ 44
Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan Kurnia Widiastuti, Atsushi Deguchi
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 1
Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacked Arch Dome (SAD)
Agus Hariyadi1, Kurnia Widiastuti
1,
Zaqi Fathis2, Zuardin Akbar
2, Dhoni Yudhanto
2, Atika Nur Fitriana
2, Rovinida Fitriana
2, Dea Mahsa Talitha
2
1Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2Mahasiswa, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Abstract
Structure and construction plays an important role in architecture, particularly at the introduction of a variety of structural systems, one of them was stacked arch dome (SAD). However, in architectual research, there was a new modelling system, called parametric, which is used to create high level of complexity architectural design. It could be used to create varoius complexity form, which couldn’t be build by coven- tional modelling system. This research present the potential of a new modelling system, called parametric to build a stacked arch dome structural system creatively. The aim of this research is to design a prefabrication
parametric structure by using SAD structural system using concrete materials. Parametric modelling system is used to obtain the best design from several alternatives. Then, selected design is fabricated to analize structural performance.
Keywords: stacked arch dome, parametric, prefabrication, concrete
I. Latar Belakang
1.1. Stacked Arch Dome (SAD) Sistem SAD merupakan sistem struktur yang ter-
diri atas beberapa baris tumpukan unit lengkung pe- nyangga struktur yang membentuk segi banyak sisi pada denahnya [Moussavi, 2009]. Pada prinsipnya sistem ini dimulai dari bagian atas yang berupa cincin
yang menjadi penyangga unit lengkung teratas. Ma- sing-masing unit lengkung penyangga saling bertum- pu dan berotasi sehingga unit bertumpu pada tepat di titik puncak tengah unit. Di bagian terbawah, sistem ini diakhiri dengan elemen/batu pengunci pada bagian dasarnya.
Gambar 1 Prinsip Dasar Sistem Struktur SAD [2]
Sistem SAD menghasilkan efek yang terkesan me-
nyerupai pola jaring atau jala. Oleh karena itu, sistem ini merupakan desain struktur yang berfungsi pula se- cara estetik pada ruang di dalamnya. Pada kasus lain, struktur ini juga bermanfaat untuk menciptakan efek akustik dari pola langit-langit yang dibentuknya.
Sistem ini memiliki fleksibilitas dalam desainnya
dan sangat dekat dengan kemungkinan prefabrikasi karena dibangun dari unit-unit kecil terpisah. Unit-unit kecil ini memungkinkan efisiensi bahan dengan tetap mempertahankan kekuatan. Fleksibilitas desainnya terlihat dalam hal skala, kedalaman, profil dan efek optis. Skala ukuran polygon dapat memiliki bermacam
ukuran. Kedalaman area di bawah dan di antara unit lengkung dapat dirancang dengan bermacam variasi, sementara profil SAD dapat membentuk pola kurva konsentris maupun horisontal. Efek optis SAD pun dapat menciptakan kesan dan pola tumpukan, leng- kung, rotundity (kubah), facet (seperti pola potongan
pada berlian), stellatedness (pola bintang bersegi ba- nyak), dan conical (kerucut).
Gambar 2 Variasi Sistem Struktur SAD [2]
Agus Hariyadi
--- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Tel: 08156895532 E-mail: [email protected]
Kurnia Widiastuti
--- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Tel: 08562892575 E-mail: [email protected]
2 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi
Prinsip perancangan SAD yang cukup sederhana
dan matematis ini sangat berpotensi untuk dikembang- kan dalam perancangan berbasis parametrik untuk menghasilkan konfigurasi baru dalam model SAD.
1.2. Permodelan Parametrik
Permodelan parametrik merupakan hasil dari ke-
majuan teknologi komputer dalam perancangan. Pe- rancangan parametrik dilakukan dengan memindah- kan, memahami dan membentuk elemen perancangan dengan mendasarkan pada analisis. Permodelan para- metrik umumnya dilakukan dengan plug-in Grasshop- per pada software Rhino
TM . Dengan piranti lunak ini
pengembangan geometri dapat dilakukan sekaligus dengan memasukan banyak variabel dan batasan tek- nis, material, lingkungan dan lain-lain [3]
Gambar 3 Model Karton Kubah Parametrik [7]
Schumacer (dalam [4]) menyatakan beberapa lima
penggunaan perancangan parametrik, yaitu (a) inter- artikulasi parametrik dalam subsistem, (b) aksentuasi parametrik, (c) representasi (figuration) parametrik,
(d) responsifitas parametric, dan (e) urbanisme para- metrik. Jenis penggunaan pertama adalah identifikasi aspek dalam desain dalam keterkaitan dengan faktor keruangan lainnya, sementara jenis kedua menekan- kan pada kesan terhadap integrasi organik dalam pe- nataan ruang. Jenis ke tiga adalah penggunaan dalam
menguji konfigurasi permodelan yang kompleks, se- dang jenis keempat adalah keterkaitan elemen ling- kungan (faktor eksternal) dengan kriteria penataan keruangan. Jenis terakhir mengidentifikasi elemen pe- rancangan dan keterkaitannya dalam konteks kota. Pada penelitian ini, sistem parametrik yang digunakan
cenderung pada jenis ketiga, yaitu representasi para- metrik.
II. Metode Penelitian 2.1 Bahan atau material penelitian
Pada permodelan analog, peneliti menggunakan
berbagai bahan untuk model dan cetakan. Untuk mo- del, tim menggunakan plastisin (pembentukan dengan tangan dan cetak) dan gips (cetak/casting), sedangkan untuk cetakan, tim menggunakan bahan lasercutting akrilik, resin, silikon, dan gips.
2.2 Alat penelitian Penelitian ini menggunakan piranti Rhino
TM dan
plug-in Grasshopper, mesin lasercutter, dan peralatan pencetakan plastisin, akrilik, resin, silikon, dan gips.
2.3 Prosedur pelaksanaan
Penelitian ini direncanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama (1) menggunakan computer dan piranti lunak Rhino
TM dan plug-in Grasshopper untuk men-
ciptakan alternatif desain. Tahap kedua (2), berupa permodelan fisik, dan ketiga (3) berupa analisis per- forma pabrikasi dan konstruksi.
Pada pelaksanaannya, tahap pertama dan kedua di- lakukan secara bersamaan/simultan untuk mendapat- kan alternatif sekaligus menguji kelayakan secara geo- metri. Dari hasil tersebut kemudian diuji pada tahap (tiga) pabrikasi menggunakan bahan gips, sebelum dicetak dalam skala 1:1 menggunakan material beton.
2.4 Analisis hasil
Model fisik yang dihasilkan penelitian ini akan di- analisis dari sisi perancangan dan pabrikasi-kon- struksinya. Analisis perancangan dilakukan dengan mencermati kesesuaian dalam prinsip SAD, meliputi
formula matematis strukturnya. Sementara analisis pabrikasi-konstruksi dilakukan dengan perbandingan proses pada sistem struktur yang lain, terutama pada sistem interlock sambungan dan kekakuan sistem stacking.
III. Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian ini terdiri atas empat bagian,
yaitu: (1) brief (tor/guideline) rancangan, (2) alterna- tif-alternatif pada eksperimen rancangan (proses, hasil dan perbandingan), (3) permodelan fisik (unit), dan (4) skema rencana pabrikasi dan konstruksi.
3.1. Brief (tor/guideline rancangan)
Brief perancangan disusun untuk memberi batasan dan mendorong kreatifitas dalam pembentukan alter- natif desain. Brief tersebut terdiri dari beberapa kriteria. Kriteria dalam brief ini disusun dari landasan-landasan teori, batasan teknis, biaya riset, serta kebutuhan dise- minasi lebih lanjut.
Kriteria perancangan : - SAD konvensional memiliki 3 tipe hubungan antar
unit: unit menempel, unit berpotongan, unit ber- jarak
- Model dirancang bisa dengan cara Form to Unit, atau Unit to Form
- Uji bentuk simetri dan asimetri - Unit mudah disimpan (ringkas/multifungsi (bench)) - Portable Unit (berat <15 kg, bentuk mudah dipin-
dah) - Unit individual vs unit tipikal - Skala Pavillion (1-2 orang)
3.2. Alternatif 1 : Bucks Ball
a. Eksperimentasi Perancangan (Dijital) SAD Konsep Konsep berawal dari sebuah bola, yang mempu-
nyai elemen hexagon dan pentagon. Elemen ini yang dijadikan dasar sebagai unit pembentuk dome. Geo-
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 3
desik paling atas berbentuk segi lima/pentagon yang kelima sisinya dikelilingi bentuk segi enam/hexagon.
Gambar 4 Elemen hexagon dan pentagon
Gambar 5 Jusifkasi ukuran dan bentuk
Gambar 6 Model rhino bucks ball
Gambar 7 Definisi grasshopper bucks ball
b. Permodelan Fisik [Analog] SAD Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin
untuk model percobaan. Kelebihan dalam mengguna- kan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan
menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da- pat mempermudah dalam pembuatan unit ini serta menjadikan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran.
Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua
unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk tiap unit. Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat dari plastisin akan lebih mudah runtuh.
Setiap unit modelnya dibuat menggunakan materi- al plastisin membentuk octahedron dengan dimensi
yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 6 cm x 6 cm.
Gambar 8 Model Plastisin Bucks Ball
Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alter- natif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Berdasarkan hasil percobaan, bentuk simetris terbukti lebih rigid dibandingkan dengan yang alternatif. Hal ini dikarena- kan bentuk unit yang simetris, dan sistem tumpuk yang hanya bertumpu pada tiga sisi.
4 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi
Gambar 9 alternatif bentuk simetris
Gambar 10 Alternatif bentuk asimetris
Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan resin. Cetakan ini berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk membuat unitya menggunakan gypsum. Ketika hasil cetakan degan menggunakan resin ini mengering dan
sudah dapat digunakan, ternyata cetakan ini terlalu kaku. Sehingga gypsum yang terbentuk tidak mudah untuk dikeluarkan. Hasilnya, gypsum yang sudah tercetak akan pecah.
Gambar 11 Proses Pencetakan/casting
Gambar 12 Proses Pencetakan mal dengan resin
c. Analisis Fabrikasi dan Konstruksi
Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak- an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum m- udah untuk dilepaskan dari cetakan.
Gambar 13 Proses pencetakan mal dengan silikon
Gambar 14
Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan silikon
3.3. Alternatif 2 : The Eye a. Eksperimentasi Perancangan
Konsep Dasar bentuk diperoleh dari bentuk kotak. Saat
bentuk kotak disusun saling bertumpu akan memiliki kestabilan yang baik. Namun hanya dapat bertumpu secara vertikal saja. Untuk dapat bertumpu secara vertikal maupun horizontal secara bersamaan diperlu- kan manipulasi dari bentuk dasar tersebut.
Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matema-
tika).
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 5
Gambar 15 Justifikasi matematis The Eye
Gambar 16 Model Rhino dan Grasshopper The Eye
Gambar 17 Sistem Stacking
b. Permodelan Fisik Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin
untuk model percobaan. Kelebihan dalam mengguna- kan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da- pat mempermudah pembuatan unit ini serta menjadi- kan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran.
Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk
tiap unit. Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat
dari plastisin akan lebih mudah runtuh. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan materi-
al plastisin membentuk bentuk octahedron dengan di- mensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 5 cm x 3 cm.
Gambar 18 Model Plastisin
Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alter- natif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Kelemahan unit ini untuk dijadikan sebagai bentuk yang simetris
atau dome adalah ketika unit ini ditumpuk, bagian atasnya tidak bisa tertutup secara sempurna. Karena bentuk dari setiap unintnya akan terus saling menum- puk ke atas dan tidak bisa melengkung ke dalam untuk menghasilkan dome yang tertutup.
Gambar 19 Alternatif dengan bentuk simetris/dome
Alternatif berikutnya dengan melakukan percobaan
membuat bentuk yang asmetris. Bentuk berawal dari 2 kurva melengkung yang digabungkan dengan cara melengkungkan bidang yang terbentuk dari 2 kurva itu ke atas. Alternatif ini lebih memungkinkan untuk dikembangkan karena semua sisi dari setiap unitnya saling menumpu. Kelemahan dari bentuk ini ketika
volume tiap unitnya terlalu berat, struktur stacking da- pat melemah dan mudah runtuh. Oleh karena itu, se- tiap unitnya diberi elemen void untuk memperingan volume setiap unitnya.
Gambar 20 Alternatif dengan bentuk asimetris
6 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi
Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan
akrilik. Cetakan ini berukuran 9 cm x 18,5 cm. Cetak- an ini menggunakan sisi negatif dari model the eye. Untuk membuat unitnya menggunakan gypsum. Akri- lik ini dipotong tiap lembarnya dengan menggunakan lasercutting dan ditumpuk secara contouring. Dengan ketebalan setiap lembarnya 0,5 cm.
Gambar 21 Model penumpukan akrilik secara contouring
Gambar 22 Proses Pencetakan mal pada lasercutting akrilik
Akrilik merupakan bahan yang bersifat kaku dan keras. Dengan bentuk unit yang asimetris ini, penggu- nakan bahan akrilik sebagai cetakan membuat hasil cetakan gypsum tidak mudah dilepas dari cetakan dan mudah pecah karena modelnya yang saling mengunci akibat bentuk yang asimetris ini.
c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi
Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak- an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mu- dah untuk dilepaskan dari cetakannya.
Gambar 23 Proses Pencetakan mal pada silikon
Gambar 24 Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan
silikon
Gambar 25 Studi Model
Gambar 26 Studi Sistem Stacking
3.4. Alternatif 3 : Octahedron
a. Eksperimentasi Perancangan Konsep Ide awal diperoleh dari bentuk dasar segitiga. Ben-
tuk dasar segitiga sama sisi dipilih agar setiap unitnya dapat bertumpu dan berhubungan pada sisi-sisinya ke- tika disusun dalam bentuk dome. Namun, bentuk segi-
tiga sama sisi cederung tidak stabil ketika disusun sa- ling bertumpu membentuk struktur SAD. Oleh karena itu, bentuk dasar segitiga sama sisi kemudian dikem- bangkan pada sumbu x, y, dan z. Model unit yang terbentuk adalah octahedron.
Octahedron adalah bentuk tiga dimensi yang me-
miliki delapan permukaan, bentuk solid yang teratur dengan delapan permukaan triangular yang sama sisi. Bentuk ini memungkinan unitnya disusun dan bertum- pu satu sama membentuk struktur SAD.
Secara umum, prinsip struktur SAD dengan satuan unit bentuk octahedron menyerupai prinsip struktur
pemecah ombak yang umum digunakan di area pantai. Pada sistem pemecah ombak, unitnya adalah tetrahed-
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 7
ron yang disusun menumpu satu sama lain. Struktur
ini cenderung stabil dan tidak mudah runtuh ketika mendapatkan tekanan horisontal yang disebabkan oleh ombak.
Gambar 27 Konsep Breakwater
Dimensi unit octahedronnya adalah 60 cm x 60 cm x 60 cm. Dimensi ini ditentukan berdasarkan pertim- bangan fungsi. Setiap unit octahedron akan dapat di- fungsikan sebagai unit furniture.
Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matema-
tika).
Gambar 28 Justifikasi Matematis octahedron
Gambar 29 Model Rhino octahedron
Gambar 30 Model Grasshopper octahedron
Gambar 31 Sistem Stacking octahedron
b. Permodelan Fisik Model Plastisin Permodelan fisik pertama menggunakan material
plastisin. Material plastisin dipilih karena mudah di- bentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Namun, material plastisin memiliki kelemahan dalam beberapa hal, bentuknya tidak kaku, bentuknya tidak presisi, dan volumenya ringan sehingga kurang sesuai dalam merepresentasikan model fisik asli yang terbuat dari
beton. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan mate-
rial plastisin membentuk bentuk octahedron dengan dimensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 4 cm x 4 cm x 4 cm.
Gambar 32 Model Plastisin Bentuk Asimetris
8 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi
Struktur SAD dibentuk dari setiap unit octahedron.
Unit octahedron saling bertumpu satu sama lain dan mampu disusun menjadi bentuk dome yang asimetris dengan prinsip struktur SAD.
Model gypsum
Material gypsum digunakan untuk menghasilkan
model fisik yang mampu merepresentasikan model fi- sik asli yang terbuat dari beton. Proses pembuatan model fisik unit octahedronnya harus dicetak dengan menggunakan cetakan.
Cetakan pertama dibuat dari material gypsum de- ngan dimensi sama seperti model plastisin, yaitu 4 cm
x 4 cm x 4 cm. Namun pada pelaksanaannya, konsep pembuatan model dengan cetakan gypsum tidak ber- jalan dengan baik. Cetakan yang terbuat dari gypsum tidak sesuai untuk djadikan sebagai cetakan karena si- fat bahan yang sama-sama kaku. Hal ini menyulitkan proses pelepasan model dari cetakan.
Gambar 33 Proses Pencetakan/casting gypsum
Cetakan kedua dibuat dari material akrilik dengan dimensi lebih besar dari model plastisin, yaitu 20 cm x 20 cm x 20 cm. Cetakan dibuat untuk mencetak sete- ngah dari unit octahedron. Proses pencetakan model unitnya cukup sulit dilaksanakan. Model unit yang ter-
buat dari gypsum cukup sulit dilepaskan dari cetakan karena sifat akrilik dan gypsum yang sama-sama kaku. Hampir seluruh bagian model menempel pada cetakan akrilik.
Gambar 34 Proses Pencetakan mal dengan lasercutting
c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang
lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetak-
an agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mu- dah untuk dilepaskan dari cetakannya.
Gambar 35 Proses pencetakan unit dengan silikon
Gambar 36 Studi Model yang dilakukan
Gambar 37 Skenario Furniture
3.5. Analisis Hasil Tiga alternatif rancangan SAD diuji dan diban-
dingkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang di- tetapkan untuk menilai dan menentukan alternatif yang terbaik. Kriteria tersebut dipilih berdasarkan ba-
tasan perancangan yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria tersebut antara lain, symetry, stability, artistic, weight/volume, bench, portability, dan casting.
Kriteria stability menunjukan tingkat kestabilan struktur model SAD. Kriteria artistic menunjukkan tingkat kualitas estetika bentuk model keseluruhan.
Kriteria Weight/Volume menunjukkan tingkat volume dan berat model keseluruhan. Kriteria bench menun- jukkan tingkat kemungkinan satuan unitnya diman- faatkan sebagai tempat duduk. Kriteria portability menunjukkan tingkat kemudahan portabilitas. Kriteria casting menunjukkan tingkat kemudahan pabrikasi
dan konstruksi unit.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 9
Tabel 1. Perbandingan Tiga Alternatif Rancangan SAD
Alternatif
Rancangan
SAD Sym
met
ry
Sta
bil
ity
Art
isti
c
Wei
ght/
Volu
me
Ben
ch
Port
abil
ity
Cas
ting
Skor
Alt_1
Bucks Ball
Sym 4 2 1 2 3 2 12
Asym 1 3 1 2 3 2 10
Alt_2
Eye
Sym 3 4 3 4 3 3 17
Asym 1 4 3 4 3 3 15
Alt_3
(octa)Hedr
on
Sym 3 4 3 3 4 2 17
Asym 3 4 3 3 4 2 17
Dengan data tersebut di atas, skor yang paling ting-
gi adalah pada alternatif ketiga, octahedron, diikuti dengan alternatif kedua dan kesatu. Octahedron me- miliki keunggulan pada fleksibilitas terutama bentuk simetri maupun asimetri, kemudahan pabrikasi (mo-
dul), serta kemudahan portabilitas. Namun model ini memiliki titik lemah pada berat model dan bentuk cetakan yang cukup rumit.
Gambar 38. Hasil jadi model octahedron dengan material beton
Gambar 39. Model unit octahedron sebagai furniture
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan Berdasarkan sistem stacking yang menunjukkan
octahedron merupakan alternatif yang paling fleksibel
dalam menghasilkan bentuk SAD. Dengan sistem ini,
SAD yang terbentuk dapat berupa bentuk SAD yang simestris dan asimetris. Perhitungan unit meliputi banyak dimensi, yaitu: kurva vertikal, kurva horizon- tal, modul derajat segmen, dan sistem kunci antar unit.
Logika bahan moden dan bahan konstruksi agak sedikit meleset. Pada percobaan dengan menggunakan
plastisin, model fisik kurang representatif karena sifat plastisin cenderung lunak dan mempunyai volume yang ringan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat cetak- an (logika casting) adalah bahan pembentuk cetakan. Akan lebih mudah jika bahan pembentuk cetakan
merupakan bahan yang elastis, sehingga memudahkan untuk melepaskan unit yang akan dicetak. Dalam per- cobaan yang telah dilakukan, bahan yang paling mu- dah digunakan dalam mencetak adalah silikon.
Proses perancanganya memadukan antara metode analog (kreatifitas spontan) dan permodelan dijital
(presisi). Kedua metode tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam prosesnya, sehingga rancangan yang dihasilkan tidak hanya mengedepankan nilai ke- tepatan tetapi juga kreatifitas perolehan bentuk.
Rekomendasi
Penelitian ini diharapkan bermanfaat umumnya un- tuk mata kuliah Struktur Konstruksi 4 dan Studio De- sain Arsitektur 4, terutama dalam hal prinsip rancang- an dan performa pabrikasi dan konstruksi arch dome sebagai materi tambahan dan pengayaan pada SK 4, serta menghasilkan alat peraga untuk kepentingan per-
kuliahan. Pada jangka panjang, cara pandang penelitian ini
yang mengintegrasikan cara pandang struktur-kon- struksi dan perancangan diharapkan dapat menjadi jembatan dan solusi dalam pembelajaran struktur da- lam studio, maupun sebaliknya, pembelajaran peran-
cangan dalam berfikir struktur. SAD memiliki potensi untuk dikembangkan dalam
desain industrial menjadi sebuah sistem pabrikasi pada konstruksi off-site. Praktis yang bisa diproduksi masal, sehingga menekan biaya produksi dan trans- portasi karena merupakan kesatuan unit-unit yang
berukuran relatif kecil. Sementara perancangan para- metrik memungkinkan perancangan SAD dengan tiap unit yang berbeda ukuran atau tidak identik, sehingga batasan industrial tidak lagi membatasi.
Referensi
[1] Khabazi, Zubin, 2010, Generative Algorithms using Grasshopper
(Manual), diterbitkan secara dijital pada http://www.grasshopper
3d.com/page/tutorials-1 (diakses pada 1/11/2012)
[2] Moussavi, Farshid (Author), 2009, Function of Form, Actar and
Harvard Graduate School of Design, Massachusett
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Generative_Design (diakses pada 5/11
/2012)
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Parametricism (diakses 5/11/2012)
[5] Sven Havemann, DieterW. Fellner, 2003, Generative Parametric
Design of Gothic Window Tracery (Technical Report), Institute of
10 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Agus Hariyadi
Computer Graphics, TU Braunschweig, Jerman
[6] Zhi-Hua CHEN, Hong-Bo LIU, 2009, Design Optimization and
Structural Property Study on Suspendome with Stacked Arch in
Chiping Gymnasium, Proceedings of the International Associa-
tion for Shell and Spatial Structures (IASS) Symposium 2009,
Valencia, Spanyol
[7] http://www.flickr.com/photos/51678540@N07/7168898347/in/pho
tostream (diakses pada 14/11/12)
[8] http://www.behance.net/gvoudouri/frame/1484405 (diakses pada
14/11/12)
[9] http://oxforddictionaries.com/definition/english/octahedron
(diakses pada 14/01/13)
[10] http://bldgblog.blogspot.com/2010/08/pallet-house.html (diakses
pada 28/12/12)
[11]http://www.zigersnead.com/current/blog/post/blobwall-the-curse-of
-customization/09-03-2008/1582/ (diakses pada 02/01/13)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 11
Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali
di Yogyakarta
Ahmad Saifullah Malangyudo 1, T.Yoyok Wahyu Subroto
1
1 Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Abstract
It is identified that most Balinese houses in Yogyakarta have own their performance appearance different
from their origin one in Bali. In addition, the visual existence of natah bale does not appear as an open space and the point of orientation of the house as well. The goal of this research is directed to see the
existence of the concept of natah in some types to include the natah bale of Balinese houses in Yogyakarta.
This research used observation method and questionnaires in collecting the data. Meanwhile the rational- istic paradigm is also used as the basic approach in understanding the phenomenon which is followed by the
descriptive analysis and statistic correlational analysis. The data analysis consist of (1) the identification of
the inhabitant’s perception toward natah in their houses, (2) the identification of the types of natah within 25 Balinese houses in 8 district of Yogyakarta that refer to the characteristic of the natah’s setting pattern and
(3) the identification of the relationship between the inhabitant’s perception and the characteristic of the
natah’s setting pattern. The research result can be formulated as follows, (1) the inhabitants have a positive
perception toward the natah, (2) there are 3 (three) zoning-patterns of natah in the system of setting on the Balinese houses in Yogyakarta and its surrounding yard, (3) there is a significant relationship between the
inhabitant’s perception (mainly in spatial treatment) within in the system of setting on the Balinese houses in
Yogyakarta. It is concluded that the existence of the concept of natah has been implemented by the principal of nawasanga of Balinese houses in Yogyakarta. It is developed by inhabitants in some modifications of spa-
tial setting pattern according to the limitation of their lands.
Keywords: houses, natah, Balinese culture, perception, nawasanga, the pattern of natah’s zoning
I. Pendahuluan Penduduk asli Yogyakarta masih sangat kental de-
ngan budaya Jawa. Keberadaan masyarakat Bali yang
jumlahnya relatif kecil dibandingkan penduduk asli
Yogyakarta, merupakan pertemuan dua budaya yang
berbeda namun satu cikal bakal, merupakan suatu hal
yang cukup menarik sehingga mendorong Yogyakar-
ta digunakan sebagai lokasi penelitian. Hasil obser-
vasi awal menunjukkan bahwa sebagian besar rumah
tinggal orang Bali di Yogyakarta merupakan rumah
dengan lahan terbatas dan mempunyai KDB (Koefi-
sien Dasar Bangunan) yang cukup besar. Hal tersebut
sesuai sebagai ciri rumah tinggal di daerah urban.
Apabila dilihat dari aspek visual appearence, sebagi-
an besar rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta tdak
jauh berbeda dengan rumah tinggal penduduk Yogya-
karta, dan sebagian kecil yang lain, di antaranya ma-
sih menampakan berbagai ragam hias khas Bali.
Rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta, apabila di-
bandingkan dengan rumah tinggal orang Bali yang
tinggal di pulau Bali tampak agak jauh berbeda.
Rumah tinggal orang Bali di Pulau Bali tampak
sebagian besar masih menggunakan prinsip-prinsip
tata ruang berdasar konsep arsitektur Bali baik orna-
men, material bangunan maupun prinsip zoning (kon-
sep Nawa Sanga) dan tata letak ruangnya. Dalam sis-
tem ruang rumah tinggal orang Bali terdapat empat
jenis Natah yaitu: Natah Merajan, Natah Bale, Natah Penunggun Karang dan Natah Paon/Lebuh. Ruang
Natah Bale sebagai ruang terbuka dan aplikasi titik
nol (pralina) dalam konsep Catuspatha, berfungsi
sebagai pusat sistem tata ruang rumah sesuai budaya
Bali (I Nengah Sudata, 2002). Hasil pengamatan dan
wawancara dengan I.M.A.Gumbara, tokoh masyara-
kat Bali di Yogyakarta pada Desember 2012, menje-
laskan bahwa masyarakat Bali di Yogyakarta masih
cukup taat untuk tetap melestarikan budaya dan tradi-
sinya yang erat berkaitan dengan aspek religi yang
dianut yaitu agama Hindu Bali. Hal tersebut tampak
pada aktivitas memperingati berbagai peringatan hari
besar baik yang berhubungan dengan agama/keperca-
yaan maupun tradisi. Tingkat ketaatan seseorang (in-
dividu) terhadap sesuatu, merupakan cerminan dari
tingkat persepsinya, dan tingkat persepsi merupakan
Ahmad Saifullah Malangyudo
--- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected] Phone: 081328557040
T. Yoyok Wahyu Subroto
--- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
12 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo
embrio bagi perilaku mereka memperlakukan sesua-
tu, termasuk menciptakan ruang yang mereka perlu-
kan. Untuk itulah persepsi penghuni terhadap Natah pada rumah tinggal dan tapaknya merupakan faktor
yang penting karena berhubungan dengan perlakuan-
nya terhadap tapak dan bangunan rumah. Fakta la-
pangan yang lain menunjukkan bahwa Natah Bale
sebagai ruang terbuka dan pusat orientasi dalam sis-
tem tata ruang rumah tinggal orang Bali, secara
visual tampak kurang eksis (kurang terlihat keberada-
annya) di sebagian besar rumah tinggal orang Bali di
Yogyakarta. Untuk itu tepatlah jika keberadaan/eksis-
tensi konsep Natah pada rumah tinggal masyarakat
Bali yang tinggal di Yogyakarta digunakan sebagai
objek kajian utama dalam penelitian ini.
Gambar 1 Natah Penunggun Karang dan Natah Bale
(Sumber: Survey 2012)
Gambar 2 Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)
Gambar 3 : Sanggah Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)
Tujuan penelitian ini adalah melihat eksistensi
konsep Natah di rumah tinggal orang Bali di Yogya-
karta. Eksisitensi Konsep Natah dapat dijelaskan me-
lalui kajian terhadap: (1) bentuk persepsi penghuni
terhadap Natah, (2) karakteristik pola Natah dalam
sistem tata ruang rumah tinggal, (3) hubungan antara
persepsi penghuni terhadap Natah dengan karakteris-
tik pola Natah dalam sistem tata ruang rumah tinggal.
II. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan dasar dalam perumusan
landasan teori sebagai basis perumusan hipotesis,
penyusunan alat ukur persepsi, dan sebagai alat untuk
mengidentifikasi karakteristik pola ruang Natah. Teo-
ri yang dikaji adalah sebagai berikut:
a. Teori Ruang terdiri atas teori ruang, fungsi dan
bentuk (DK. Ching, 1983. Louis I. Khan, 1957. Cor-
nelis van de Ven, 1987), teori tempat, teori ruang fi-
sik geometris, dan teori ruang intuisi metafisik (Cor-
nelis van de Ven, 1987). Prinsip Arsitektur, secara
substansial akan selalu berorientasi dan tersusun dari
tiga aspek utama yaitu: bentuk (form), ruang (space)
dan susunan (order). Ruang menjadi salah satu bagi-
an yang penting dalam arsitektur. Arsitektur berarti
penciptaan ruang melalui cara yang benar-benar di-
rencanakan dan dipikirkan. Kepastian eksistensi ru-
ang secara filosofis dalam lingkup arsitektur dapat di-
maknai dan dipahami bahwa ruang tersebut pada
dasarnya selalu ada (exist). Logika selanjutnya adalah
bagaimana membaca dan berusaha mengerti atau me-
mahami, kalau ruang tersebut ada, maka pertanyaan
selanjutnya ialah di mana ruang tersebut ? Selanjut-
nya secara filosofis tempat dan objek pada dasarnya
merupakan unsur pembentuk ruang, walaupun mung-
kin dalam arti kata yang bersifat abstrak, karena tem-
pat adalah nir–bentuk dan nir-wujud. Dengan kata
lain konsep filosofis ruang bisa bermakna ruang non -
fisik walaupun pada dasarnya ruang tersebut tetap
eksis dengan batas/lingkup tertentu. Eksistensi ruang
maya berada di pikiran penggagasnya. Eksistensi ru-
ang fisik bisa diperjelas melalui prinsip ruang geo-
metri tiga demensional, atau dengan kata lain di-
mungkinkan ruang merupakan realitas wadaqi yang
eksis. Ruang bukan hanya sekadar sesuatu yang em-
pirik bersifat fisik tiga demensional, tetapi juga ruang
yang berada dalam konsep pemikiran atau tataran
intuitif manusia.
b. Teori Fungsi dan Bentuk (Cornelis van de
Ven, 1987. Suwondo B. Sutedjo, 1982). Kompleksi-
tas fungsi selalu dikaitkan dengan kebudayaan ma-
syarakat. Oleh karena itu fungsi ruang dalam konteks
budaya masyarakat selalu tidak bisa dilepaskan oleh
tuntutan-tuntutan budaya masyarakat baik yang ber-
kaitan dengan aspek spiritual (religi dan kepercaya-
an), tradisi dan kultural, juga tidak bisa melepaskan
diri dari tuntutan aspek sosial dan ekonomi masyara-
katnya. Bentuk menjadi fungsional ketika ia dapat
memenuhi tuntutan fungsi baik fungsi fisik maupun
fungsi non-fisik.
Sanggah
pameraja
n
N
at
ah
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 13
c. Teori Tempat Tinggal/ Rumah dan Halaman
(Jatman, 1983 mengutip Maslow. Puspowardoyo,
1982. Blaang, 1986. Richard Unterman, et al, 1981
dikutip Vincent, 1983. Lang, 1987 mengutip Pasta-
lan, 1970). Posisi rumah dalam hirarkhi motif-motif
berada di level pertama dari kebutuhan dasar manu-
sia. Hakikat rumah pada dasarnya haruslah selalu di-
hubungkan dengan karakteristik manusia yang me-
nempatinya, sehingga hubungannya bukanlah sekadar
instrumen, tetapi merupakan hubungan struktural,
artinya rumah merupakan pengejawantahan diri pri-
badi manusia penghuninya. Rumah dalam pengertian
makna sepenuhnya bersifat multi dimensional. Seper-
ti halnya bangunan rumah, maka halaman rumah pun
dapat berperan seperti halnya rumah yaitu sebagai
media untuk mengekspresikan jati diri pemiliknya.
Perlakuan terhadap halaman oleh pemiliknya dapat
berupa pemberian simbol – simbol, pengolahan per-
mukaan lahan sesuai tuntutan fungsionalnya, serta
pemberian batas fisik.
d. Persepsi (Robert A. Baron, et al, 1991.
Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2000. Desiderato,
1979 dalam Rakhmat, 1996. Kenneth E. Anderson,
1972. Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat 1996.
Walgito, 2000). Persepsi individu terhadap lingkung-
an di sekitarnya, merupakan cerminan persepsi ke-
adaan lingkungan tersebut dan juga tentang keadaan
diri individu yang bersangkutan. Persepsi merupakan
aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh apa yang
terdapat di dalam individu seperti perasaan, penga-
laman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan as-
pek-aspek lainnya yang ada di dalam diri individu
akan ikut berperan. Dalam konteks persepsi terhadap
ruang fisik, maka dapat dilakukan melalui tanda-tan-
da visual dari ruang. Sifat stimuli ruang yang bersifat
fisik, memorinya lebih berstruktur, sehingga persep-
tor lebih bisa merekam fakta-fakta dan menggunakan
pengetahuannya tentang fakta-fakta tersebut untuk
membimbing perilakunya. Dalam konteks (ruang)
non fisik, perseptor dapat mempersepsikan tentang
nila–nilai, pengertian, dan pemahamannya berdasar
pengalaman.
e. Karakteristik Orang Bali, Perubahan Tradi-si (Sudata, 2002. Aldo Rossi, dalam Malcolm Miles
et al, 2000. Gaston Bachelard, dalam Malcolm Miles
et al, 2000). Masyarakat Bali pada dasarnya merupa-
kan gambaran masyarakat yang religius, yang dilan-
dasi oleh ajaran agama Hindu Bali. Dasar ajaran aga-
ma Hindu adalah filsafat, etika, dan ritual. Keyakinan
ini melandasi sikap dan perilaku masyarakat Bali
dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang berhu-
bungan dengan lingkungan maupun rumah tinggal-
nya. Apabila memori diaplikasi ke dalam ruang pri-
vat, maka akan sangat bergantung kepada pola kehi-
dupan dan memiliki nilai kolektifitas (dimensi kolek-
tif). Oleh sebab itu memori yang terkumpul dapat di-
gunakan untuk menilai persepsi masa kini.
f. Konsep Zonasi Ruang (Natah) dalam Budaya Bali (I Nyoman Galebet, 2002. Ida Bagus Mantra,
1996. Purnawan, 2009, mengutip Galebet, 1982. Gus-
ti Ayu Made Suartika, 2010. Sudata, 2002). Konsep
Desa Kala Patra sebagai salah satu Landasan Kebu-
dayaan Bali, merupakan konsep ruang yang menye-
suaikan diri dengan keadaan tempat dan waktu dalam
menghadapi permasalahan. Konsep ini memberi lan-
dasan yang fleksibel dalam komunikasinya, baik ke
luar maupun ke dalam, dan menerima perbedaan ser-
ta variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan.
Secara spasial konsep zona dalam budaya Bali
didasari oleh kombinasi antara konsep hirarki Tri Angga, Konsep keseimbangan Tri Hita Kharana dan
Konsep Perbedaan Rwa Bhineda. Zona dibagi dalam
tiga tingkatan mikro zona yang diorientasikan dari
utara selatan (orientasi kosmik) dan timur barat
(orientasi alamiah). Dalam skala rumah tangga, peka-
rangan sebuah rumah tradisional, zona yang dianggap
paling sakral (utama=kepala) adalah lokasi pura ru-
mah tangga (sanggah/merajan) berada. Area di tem-
pat anggota keluarga tinggal diklasifikasikan sebagi
zona madya (badan), dan area tempat pembersihan
diklasifikasikan sebagai zona nista (kaki). Dalam
skala yang lebih besar, di level Bali sebagai sebuah
pulau secara keseluruhan, zona utama adalah tempat
gunung (arah utara, area tertinggi) sedangkan area
permukiman adalah zona madya dan area pembersih-
an direpresentasikan tempat air atau laut (arah sela-
tan) berlokasi. Natah sesuai konsep ruang budaya
Bali merupakan ruang terbuka baik dalam skala
makro (kota), meso (desa) maupun mikro (tapak/
rumah). Secara filosofis konsep ruang terbuka Natah
sebagai pencerminan hubungan antara unsur langit
(akasa) dan unsur bumi (pertiwi). Terdapat 4 (empat)
jenis Natah dalam skala rumah tinggal, keempatnya
berada di zona hirarkis yang sudah ditentukan sesuai
prinsip Sanga Mandala. Lihat Tabel 1 (Andhika,
1994, dalam Sudata, 2002 yang dimodifikasi oleh
penulis).
Tabel 1. Berdasar Sumbu Matahari :
Matahari
terbenam
Matahari
terbit
NISTA
MADYA
UTAMA
Tabel 2. Berdasar Sumbu Kaja Kelod (Gunung-Laut) :
KAJA
(Gunung)
UTAMA
DATARAN MADYA
KELOD
(Laut)
NISTA
14 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo
Melalui superposisi antara konsep sumbu mataha-
ri dengan sumbu Kaja Kelod, didapatlah Konsep Sa-nga Mandala (Nawa Sanga) seperti tersebut di bawah
ini. Pada sistem ruang (Natah) Bali, Nawa Sanga
merupakan zona hirarkhis Natah. Tabel 3. Zona Hirarkhis Natah / Konsep Nawa Sanga
Utamaning
Nista (D)
Utamaning
Madya
Utamaning
Utama (A)
Madyaning
Nista
Madyaning
Madya (B)
Madyaning
Utama
Nistaning
Nista (C)
Nistaning
Madya
Nistaning
Utama
Notasi : (A) : Natah Merajan, (B): Natah Bale, (C):
Natah Paon/Lebuh dan (D): Natah Penunggun Karang
Gambar 1 : Tipikal Rumah Bali (Sumber: Source Book, by Alfred A.K.Inc, 1997, dengan tambahan keterangan oleh pe-nulis)
III. Landasan Teori
Secara teoritik ruang dapat dipahami sebagai ru-
ang fisik/visual dan ruang non fisik/maya. Ruang ma-
ya atau ruang imaginer merupakan ruang kosong
tanpa batas visual tetapi diyakini keberadaannya dan
dipahami tempat kedudukannya (place) berdasar
prinsip-prinsip nilai dan kualitas ruang yang ada
dalam pikiran pengamat. Ruang maya mempunyai
tingkat relatifitas dan subyektifitas yang tinggi,
tergantung bagaimana pengamat mempersepsikan-
nya. Oleh karena itu persepsi terhadap ruang maya
adalah sebuah keniscayaan. Ruang fisik merupakan
ruang yang secara fisik/visual dapat ditangkap oleh
panca indera dan eksistensinya dapat dilihat secara
nyata melalui keberadaannya pada locus tertentu, se-
hingga persepsi terhadap ruang fisik menjadi lebih
mudah dilakukan. Eksistensi konsep ruang maya
maupun konsep ruang visual dapat dilihat dari signi-
fikansi hubungan antara ruang visual maupun maya
sebagai stimulus dengan persepsi terhadap nilai-nilai
ruang yang dipahami. Ruang fisik secara visual eksis-
tensinya dapat diidentifikasi secara jelas apabila
mempunyai batas dan mempunyai kemampuan untuk
mengakomodir aktifitas dengan fungsi tertentu.
Natah sebagai salah satu unsur penting dalam tat-
anan ruang rumah orang Bali. Hirarki, zoning dan
layout-nya sangat ditentukan oleh prinsip Sanga Mandala atau Nawa Sanga. Hirarki Natah tertinggi
adalah Natah Merajan, kemudian berturut–turut Na-
tah Bale, Natah Paon/Lebuh dan Natah Penunggun Karang. Natah Bale sebagai pusat orientasi sistem
ruang rumah tinggal orang Bali. Persepsi terhadap
Natah pada prinsipnya mengandung pengertian ba-
gaimana perseptor mempersepsi Natah dalam berba-
gai konteks meliputi aspek non-fisik (pengertian, ni-
lai filosofis, dan fungsi), dan aspek fisik (aktifitas,
bentuk, tata letak, pengadaan/perlakuan, dan aspek
lahan), sesuai dengan nilai-nilai dan tata cara budaya
Bali. Persepsi terhadap Natah pada dasarnya merupa-
kan embrio bagaimana perseptor bersikap untuk
memperlakukan Natah khususnya dalam hubungan-
nya dengan pola ruang, zoning dan hirarkhi yang ter-
bentuk, di mana Natah berada.
IV. Hipotesis Berdasar latar belakang, tinjauan pustaka dan la-
pangan serta landasan teori, maka dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat bentuk persepsi penghuni terhadap Natah melalui variabel tematik meliputi: definisi Natah,
kosmologi /filosofi Natah, fungsi Natah, bentuk
Natah, letak Natah, lahan terbatas Natah, dan per-
lakuan terhadap Natah, di mana sebagian besar
mampu memberikan gambaran persepsi yang cu-
kup mendukung terhadap prinsip Natah, sehingga
mampu mendukung eksistensi Natah dalam ting-
katan konsepsual.
2. Terdapat berbagai karakteristik pola zoning Natah
yang sesuai budaya Bali (konsep Nawa Sanga)
pada sistem tata ruang rumah orang Bali dan hala-
mannya, dimana hal tersebut cukup mampu untuk
menunjukkan eksistensi prinsip Natah pada rumah
tinggal masyarakat Bali di Yogyakarta.
3. Terdapat hubungan yang posistif antara persepsi
penghuni terhadap Natah dengan karaktersitik
pola zoning Natah pada sistem tataruang rumah
dan halaman orang Bali di Yogyakarta. Kekuatan/
signifikansi hubungan mampu menunjukkan ek-
sistensi prinsip Natah pada rumah tinggal orang
Bali di Yogyakarta.
V. Metode Penelitian
a. Metoda
Metoda yang digunakan ialah metode observasi
dan kuisioner dengan paradigma rasionalistik dan
cara analisis diskriptif dan korelasional dengan
menggunakan statistik (SPSS versi 12) dan analisis
superposisi, sebagai alat bantu analisis. Sumber acu-
an literasi dan fakta empirik lapangan baik hasil ob-
servasi di pekarangan/tapak dan rumah dan hasil per-
sepsi pemilik rumah terhadap Natah, merupakan hal
Natah Bale
Natah Penunggun Karang
Sanga Mandala yang terbentuk oleh konsep Nawa Sanga dan Tri Angga. Konsep ini telah membentuk zona ruang secara hirarkhis untuk berbagai penempatan fungsi aktifitas dalam bangunan maupun diluar bangunan, baik dalam skala makro, meso maupun mikro. Natah pada konsep ruang budaya Bali merupakan ”ruang terbuka” baik dalam skala makro(kota), meso (desa) maupun mikro (tapak/rumah). Secara filosofis konsep ruang terbuka pada natah sebagai pencerminan hubungan antara unsur langit (akasa) dan unsur bumi (pertiwi).Terdapat empat jenis Natah
Natah Paon/Lebuh
Angkul
2
Sanggah/Merajan dgn Natar/ Natah Merajan
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 15
yang sangat penting sebagai input analisis. Hasil ana-
lisis terhadap persepsi pemilik rumah, observasi fisik
terhadap sistem tata ruang (Natah) di tapak dan ba-
ngunan rumah tinggal, dan hubungan keduanya, da-
pat memberikan gambaran eksistensi konsep Natah
rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta.
b. Lokasi Lokasi sampel penelitian tersebar di 8 (delapan)
kawasan di wilayah Yogyakarta, meliputi kawasan:
Nogotirto, Sidoarum, Sariharjo, Berbah, Bantul, Ka-
sihan, Giwangan, dan Kalongan. Penentuan sampel
responden dipilih secara purposive sebanyak 25 sam-
pel, dengan kriteria: (a) responden merupakan kepa-
la keluarga dari unit rumah yang di-survey (b) res-
ponden adalah pemilik rumah tinggal beserta hala-
mannya (tapak) (c) responden merupakan anggota
masyarakat Bali yang beragama Hindu (d) responden
telah tinggal di Yogyakarta relatif lama (5 th sd 20
th).
c. Tahapan penelitian dan teknik analisis Tahap 1, pengumpulan data sistem ruang rumah
dan halaman melalui observasi lapangan, serta angket
persepsi Natah dengan variabel tematik persepsi me-
liputi: (subtema 1) persepsi tentang pengertian Natah
pada rumah tinggal, (subtema 2) persepsi tentang
kosmologi/filosofi Natah, (subtema 3) persepsi terha-
dap fungsi Natah di rumah tinggal, (subtema 4) per-
sepsi terhadap bentuk Natah pada rumah tinggal,
(subtema 5) persepsi terhadap tata letak Natah, (sub-
tema 6) persepsi tentang Natah jika lahan terbatas,
dan (subtema 7) persepsi tentang perlakuan terhadap
Natah. Uji validitas dan reliabilitas butir angket per-
sepsi. Uji validitas menggunakan teknik korelasi
Pearson. Uji Reliabilitas menggunakan Cronbach’s
Alpha (CA), dengan ketentuan jika nilai CA > nilai
product moment pada N-2 maka angket dinyatakan
reliabel.
Tahap 2, penyebaran angket persepsi pasca uji
validitas dan reliabilitas, analisis dengan scoring
Lickert Scale, di mana hasil angket persepsi diguna-
kan untuk melihat bentuk kecenderungannya terha-
dap prinsip Natah (pembuktian hipotesis ke1).
Tahap 3, melakukan analisis verifikatif dengan
teknik superposisi antara pola ruang/zoning eksisting
hasil observasi lapangan dengan pola ruang/zoning
berdasar konsep Nawa Sanga, untuk melihat karak-
teristik pola Natah dalam sistem ruang rumah tinggal
(pembuktian hipotesis ke 2)
Tahap 4, Melakukan analisis dengan teknik ana-
lisis korelasional Chi Square antara persepsi terhadap
Natah dengan karakteristik pola Natah pada sistem
ruang rumah tinggal. Hal ini untuk melihat kekuatan
hubungan keduanya (pembuktian hipotesis ke 3)
VI. Hasil dan Pembahasan
a. Hasil 1) Hasil uji validitas dan Reliabilitas.
Hasil uji validitas angket persepsi dengan teknik
korelasi Pearson secara keseluruhan, menunjukkan
dari 29 butir/construct (+) dan (-) pada 7 subtema
persepsi, dinyatakan valid pada 24 butir/construct
dan 5 butir tidak valid. Hasil uji reliabilitas dengan
menggunakan Cronbach’s Alpha (CA), dengan ke-
tentuan jika nilai CA> nilai product moment pada N-
2 maka angket dinyatakan reliabel, hasilnya semua
butir angket dinyatakan reliabel. Dari hasil uji validi-
tas dan reliabilitas dapat disimpulkan bahwa angket
persepsi layak untuk digunakan sebagai alat ukur
persepsi.
2) Analisis Hasil angket persepsi:
Analisis hasil angket persepsi pada keseluruhan
butir angket yang telah dinyatakan valid dan reliabel
dengan menggunakan kriteria jumlah responden se-
suai Lickert Scale dapat dijelaskan sebagai berikut:
Subtema1: persepsi terhadap definisi/pengertian
Natah pada rumah menunjukkan sebagian besar res-
ponden (14 responden = 56% dari 25 responden) ber-
keyakinan bahwa pengertian tentang Natah merupa-
kan ruangan yang berada di tengah/pusat di antara
ruangan-ruangan lain yang ada di bangunan rumah,
sehingga Natah bisa berada di dalam atau di luar ru-
mah yang berfungsi sebagai pusat orientasi dan sirku-
lasi serta wadah aktifitas yang bersifat madya. Se-
dang sisanya 11 responden berkeyakinan bahwa Na-
tah tetap harus berada di luar rumah dan merupakan
pusat orientasi.
Subtema 2: sebagian besar responden (20 orang
atau 80%) masih memegang prinsip filosofis Natah
sesuai budaya Bali.
Subtema 3: sebagian responden (8 responden)
berpendapat bahwa tidak setuju apabila fungsi kultur-
al dan ritual Natah lebih dominan dibanding fungsi
sosialnya, 8 responden tidak berpendapat (abstain)
dan 9 responden menyatakan setuju.
Subtema 4: sebagian responden bisa menyetujui
(dalam tataran yang ideal) dengan menilai bahwa
bentuk Natah Bale pada rumah tinggal terbentuk oleh
bangunan–bangunan yang mengelilinginya (bale si-kepat, bale sikenam, bale tiang sanga, dll). Namun
sebagian responden dengan score yang lebih kecil
menyetujui konsep Natah harus berbentuk kotak dan
sebagian yang lain bahkan lebih luwes dengan me-
nyetujui bahwa Natah bisa berupa ruang abstrak yang
ada dan diyakini dalam pikiran sesuai kepercayaan
mereka.
Subtema 5: sebagian responden (21 orang atau
84%) berpendapat menentukan letak Natah pada
bangunan rumah harus mengikuti ketentuan-ketentu-
an kultur/budaya Bali (Asta Bumi) ialah arah dua
sumbu ialah sumbu timur barat dan utara selatan
(kaja kelod dan kangin kauh). Pada score yang lebih
16 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo
rendah di bawahnya, dengan selisih yang tidak terlalu
banyak dengan score tertinggi, sebagian responden
menyetujui konsep Natah yang cukup lentur, moderat
terhadap prinsip-prinsip kepercayaan.
Subtema 6: responden meyakini (19 orang atau
76%) bahwa Natah dalam bentuk apapun tetap harus
ada (eksis), walaupun lahan pekarangan yang ada
sangat terbatas. Serta (21 orang atau 84%) berpenda-
pat bahwa sekecil apapun ruang luar yang ada di
tengah antara bangunan–bangunan rumah tinggal bisa
disebut sebagai Natah. Sebagian responden (11 orang
atau 44%) berpendapat bahwa teras, halaman, bisa di-
fungsikan sebagai area Natah, dan sebagian yang lain
bahkan (10 orang atau 40%) setuju dengan konsep
Natah secara abstrak/maya, di mana eksistensinya
diyakini dalam alam pikiran mereka.
Subtema 7: responden (12 orang atau 48%) me-
yakini bahwa agar nyaman (tidak kepanasan atau ke-
hujanan) secara visual natah boleh ditutup dengan
atap yang bersifat sementara. Sebagian kecil respon-
den (5 orang atau 20%) berpendapat bahwa konsep
Natah bisa bersifat abstrak/maya, ada dalam pengha-
yatan pikiran mereka, dan sebagian besar (16 orang
atau 64%) menyatakan tidak setuju.
Analisis persepsi dengan menggunakan kriteria
score sesuai Likert Scale, rangkuman score dapat di-
lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6. Rangkuman Hasil Scoring Persepsi Terhadap Natah
Sub Tema
Persepsi
Skor Aitem Butir Persepsi Skor
Total
Skor
Rata-rata 1 2 3 4 5
a.Definisi/
pengertian
Natah
- 62 77 73 74 286 71,50
b.Kosmologi /filosofis
Natah
101 101 83 285 95
c.Fungsi/
Aktifitas pada Natah
- 58 73 60 - 191 63,66
d.Bentuk
Natah 93 - - 75 80 248 82,67
e.Tata letak
Natah 99 70 78 247 82.30
f.Keberadaan
Natah pd lahan
terbatas
68 94 94 79 53 388 77,6
g.Perlakuan thd Natah
72 - 64 136 68
Keterangan : (-) = Gugur Sumber: Analisis, 2012
Dari rangkuman hasil score persepsi Natah di
atas, kemudian dilakukan analisis regresi (dengan
mengubah score persepsi menjadi katagori) hal ini
untuk melihat bentuk/kecenderungan persepsi Natah
pada rumah tinggal secara keseluruhan. Hasilnya
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 7. Klasifikasi Bentuk Persepsi Terhadap Natah Pada
Rumah Tinggal. Sub Tema Persepsi Natah Kurang Sedang Baik Total
a. Persepsi terhadap Definisi Natah 28 % 36 % 36 % 100 %
b. Persepsi thd Kosmologi/Filosofi Natah 4 % 28 % 68 % 100 %
c. Persepsi thd Fungsi/Aktifitas
pada Natah
0 % 44 % 56 % 100 %
d. Persepsi thd bentuk Natah 16 % 52 % 32 % 100 %
e. Persepsi thd tata letak Natah 4 % 56 % 40 % 100 %
f. Persepsi thd keberadaan Natah
jika lahan terbatas
0 % 84 % 16 % 100 %
g. Persepsi ttg perlakuan thd Natah 32 % 56 % 12 % 100 %
Score Persepsi Natah secara Keseluruhan 0 % 84 % 16 % 100 %
Sumber: Analisis, 2012
Dilihat hasil persepsi parsial (per subtema) mayo-
ritas mempunyai berbagai variasi, namun dengan ke-
cenderungan score katagori sedang/moderat dan baik
yang lebih besar dibanding score persepsi dengan
katagori kurang. Untuk score keseluruhan terlihat
kecenderungan persepsi Natah pada rumah tinggal
berada pada posisi moderat/sedang: 84% dan baik
(taat azas): 16%. Secara keseluruhan tidak ditemukan
persepsi yang negatif (0%).
3) Analisis karakteristik pola Natah pada sistem
ruang rumah dan halaman Identifikasi terhadap 25 unit rumah orang Bali, di-
lakukan berdasar kondisi eksisting ruang di rumah
dan halaman dengan melihat pada aspek: KDB serta
orientasi rumah dan pekarangan. Identifikasi dilaku-
kan dengan metoda superposisi antara pola Nawa
Sanga dengan denah eksisting. Variabel Kontrol
meliputi: KDB (A:< 60%, B:60%-80%, C:81%-
100%) dan orientasi bangunan (barat, timur, selatan,
dan utara). Tabel 8 menjelaskan identifikasi dengan
superposisi:
Tabel 8. Identifikasi Karateristik Pola Natah pada sistem tata
ruang rumah dan halaman No Superposisi Denah & Tapak Eksisting dengan Pola
Zoning Nawa Sanga
KDB Orien
tasi ba
ngun
an
A B C
1
Lt.1 Lt.2
Barat
2 Lt.1 Lt.2 Lt.3
Timur
3
Dengan cara superposisi yang sama (analog), maka
gambar denah eksisting dengan superposisi pola Nawa
Sanga karena keterbatasan halaman, tidak ditampilkan.
Timur
4 Selatan
5 Selatan
6 Timur
7 Selatan
8 Selatan
9 Timur
10 Utara
11 Timur
12 Utara
Natah Merajan
Natah Bale /Rg.Kelg
Natah
Penunggun Karang
Natah
Paon
Natah Penunggun
Karang
Natah
Bale
Natah
Paon Natah
Merajan
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 17
13 Barat
14 Selatan
15 Barat
16 Timur
17 Barat
18 Utara
19 Utara
20 Utara
21 Timur
22 Utara
23 Timur
24 Timur
25 Barat
Sebagian besar rumah orang Bali yang diteliti
mempunyai KDB yang cukup besar ialah KDB 60%
s/d 80% sebanyak 6 unit rumah (24%) dan KDB 80%
s/d 100% sebanyak 12 unit rumah (48%). Hanya ada
7 unit (28%) dengan KDB<60% (fakta menunjukkan
masih di atas 50%). Hal ini menunjukkan sebagian
besar rumah (72%) berada di lahan terbatas, di mana
keberadaan ruang terbuka sangat minimal. Hasil
identifikasi pola Natah di bangunan rumah dan hala-
man menghasilkan tiga karakteristik pola Natah dan
beberapa varian yang berada di dalamnya. (Lihat
tabel 9, 10, dan 11).
Tabel. 9 Klasifikasi Pola Natah type I Karakteristik Pola
Natah Dalam Sistem
Tataruang Rumah
Tinggal
Eksistensi Natah No
Natah
Pamera
jan (A)
Natah
Bale
(B)
Natah
Panung
gun
Karang
(C)
Natah
Paon /
Lebuh
(D)
1
(D)
4 7
(A)
2 5
(B)
8
3
(C)
6
9
Notasi Zona Nawa
Sanga :
1: Nistaning Utama
2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista
4: Madyaning Utama
5: Madyaning Madya
6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama
8: Utamaning Madya
9: Utamaning Nista
Posisi di
ruang terbuka
zona 7
Wujud:
San gah (Catatan:
Letak:
lt.1 atau
lt.2 atau lt. 3 dan
tetap
berada di
zona 7, tergantun
g luasan
lahan)
Posisi di
ruang ruang
tertutup
di zona 5,
Wujud: Sanggah
(Catatan:
hanya
terdapat 1 (satu)
sampel
(resp. no
25) di ruang
terbuka .
Posisi di
ruang terbuka
zona 5,
Wujud:
Sanggah (Catatan:
Letak di
seluruh
zona nista,
zona
3,6,9 )
Posisi di
ruang tertutup,
zona 1,
keberadaa
nnya ditunjukk
an oleh
adanya
Sanggah atau
signage
yang
cukup signifikan
menunjuk
kan
kebera daannya.
1 ,
2, 3,
7,
9,
11, 13,
14,
15,
20,25
Tabel. 10 Klasifikasi Pola Natah type II.
Karakteristik Pola
Natah Dalam Sistem
Tataruang Rumah
Tinggal
Eksistensi Natah No
Natah
Pameraj
an (A)
Natah
Bale
(B)
Natah
Panunggun
Karang
(C)
Natah
Paon /
Lebuh
(D)
1
4 7
(A)/
(C)
2
5
(B)
8
3
(D)
6 9
Notasi Zona Nawa
Sanga :
1: Nistaning Utama 2: Nistaning Madya
3: Nistaning Nista
4: Madyaning Utama
5: Madyaning Madya 6: Madyaning Nista
7: Utamaning Utama
8: Utamaning Madya
9: Utamaning Nista
Posisi di
ruang
terbuka zona 7
dengan
Sanggah
(catatan: Letak di
lt.1 atau
lt.2
tergantung
ketersedia
an lahan.
Catatan sebagai
varian:
Natah
Pamerajan juga
terda pat
di zona 8
dan 9 .
Posisi di
ruang
tertutup di zona 5
dengan
Sang gah
atau signage
yang
cukup
signifi kan
menun
jukkan
keberadaan Natah
Bale
secara
visual.
Posisi di
ruang zona 7
dengan Sang gah (Catatan
: berada satu
zona dengan
Sanggah Mera
jan.) Sebagai
varian :
Letak di zona 8 dan
9.
Posisi di
ruang
ruang tertutup
pada zona
3, dengan
signage yg cukup
signifi
kan
menun jukkan
keberadaa
nnya.
Catatan: Letak di
zona 1
dan zona
2.
10,
12,
17,18,
19,
22,
21,23
dan
24
Tabel. 11 Klasifikasi Pola Natah type III Karakteristik Pola
Natah Dalam Sistem
Tataruang Rumah
Tinggal
Eksistensi Natah No
Natah
Pamera
jan (A)
Natah
Bale
(B)
Natah
Panung
gun
Karang
(C)
Natah
Paon /
Lebuh
(D)
1
4 7
(A)
2 5
(B)
8
3 6
9
(C)
Notasi Zona Nawa
Sanga :
1: Nistaning Utama
2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista
4: Madyaning Utama
5: Madyaning Madya
6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama
8: Utamaning Madya
9: Utamaning Nista
Posisi di
ruang
terbuka di
zona 7. Letak
Di lt.1
atau lt.2
tergan tung
ketersedia
an lahan nya.
Catatan:
Sebagai
varian posisi
Natah
Pameraja
n berada di zona 4
dan 8)
Merupaka
n ruang
tertutup ,
berupa Sanggah
atau
signage
yang cukup
signifikan
menun jukkan
keberadaa
n Natah
Bale.
Posisi di
ruang
terbuka
keberadaannya di
tunjukkan
oleh Sang
gah (Catatan:
sebagai
varian Natah
Panunggu
n Karang
berada di zona 6,9
dan 1 )
Pada
ruang
terbuka
maupun ruang
tertutup
tidak
ditemu kan
sanggah
atau signage
yang
signifi
kan mendu
kung
keberadaa
n Natah Paon
pada type
ini.
4,5,
6,8
dan
16
4). Analisis korelasi persepsi penghuni terhadap
Natah dengan klasifikasi karakteristik pola
Natah Untuk melihat korelasi/hubungan kedua variabel
tersebut, maka perlu uji korelasi Chi Square antara
Karakteristik Pola Natah dengan Persepsi terhadap
Natah.
Tabel 14. Korelasi persepsi terhadap Natah dengan
karakteristik pola Natah Pola Natah (Kor)
*Persepsi Natah
Asymp.Sig.
(2-sided)
χ 2 hitung χ 2 tabel
Tema a 0,246 5.432 9.488
Tema b 0,289 4.980 9.488
Tema c 0,979 0,043 5.991
Tema d 0,296 4.913 9.488
Tema e 0,699 2.202 9.488
Tema f 0,879 0,259 5.991
Tema g 0,048 9.574 9.488
Persepsi Total 0,879 0,259 5.991
Keterangan: Asymp.Sig. (2-sided) : nilai signifikansi korelasi χ 2 hitung : nilai Chi Square hitung
χ 2 tabel :nilai Chi Square tabel (α = 5 %) Jika nilai signifikansi > α dan χ 2 hitung < χ 2 tabel maka Ho diterima Jika nilai signifikansi < α dan χ 2 hitung > χ 2 tabel maka Ho ditolak
Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui ter-
dapat satu korelasi yang signifikan yaitu antara ka-
rakteristik pola Natah dengan persepsi terhadap Na-
tah pada tema G (Perlakuan terhadap Natah), dengan
nilai signifikansi 0,048. Atau dengan kata lain karak-
teristik pola Natah yang terdiri atas tiga klasifikasi
pola tersebut dipengaruhi dengan kuat oleh bagaima-
na penghuni memperlakukan Natah.
18 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ahmad Saifullah Malangyudo
Pembahasan
Sebagian besar responden dalam mempersepsi
Natah (khususnya Natah Bale) mempunyai pandang-
an cukup moderat dalam kaitan pemahaman prinsip
filosofis, fungsi, bentuk, maupun letak dan perlakuan
terhadap Natah. Moderat diartikan mudah menye-
suaikan terhadap kondisi lingkungan dan tidak terlalu
kaku menerapkan Natah Bale sesuai prinsip ruang
terbuka dan titik nol (pralina) sesuai konsep Cathus-patha. Konsep ruang terbuka sebagai cerminan hu-
bungan unsur akasa (langit) dengan pertiwi (bumi)
disikapi oleh persepsi yang cukup moderat, bahwa
untuk menjamin aktifitas di Natah Bale dari gang-
guan cuaca, terjaminnya kenyamanan aktifitas dan
antisipasi dari keterbatasan ruang terbuka, maka
sangat dimungkinkan diletakkannya Natah Bale di
ruang tertutup (ruang di bawah atap, misal: ruang
keluarga). Persepsi moderat ini sangat sesuai dengan
konsep Desa Kala Patra yang menjadi salah satu
pedoman kehidupan masyarakat Bali. Dalam kaitan
teori, maka pandangan persepsual orang Bali terha-
dap Natah di lahan terbatas dan minimnya ruang
terbuka, sangat sesuai dengan konsep lokus dan kon-
sep ruang intuitif imajiner. Keberadaan tempat
(place) sebagai locus menjadi prioritas utama di sam-
ping ruang sebagai cerminan bidang atas dan bidang
bawah. Orientasi menjadi pedoman tegas penerapan
konsep zoning Nawa Sanga. Hasil klasifikasi pola Natah di rumah orang Bali
mencerminkan gambaran konsep diri penghuni ru-
mah yang menerapkannya dalam konsep rumah se-
suai hirarkhi motif Maslow. Hasil analisis terhadap
karakteristik pola Natah yang menghasilkan 3 (tiga)
tipe klasifikasi pola Natah, lebih memperjelas mode-
rasi pemikiran orang Bali di Yogyakarta terhadap
aplikasi berbagai tipe Natah (khususnya Natah Bale)
dalam sistem tataruang rumah tinggalnya. Dari varia-
bel kontrol yang menggambarkan sebagian besar
KDB cukup tinggi dan ketersediaan ruang terbuka
sangat minimal, mendorong penerapan aplikasi ruang
untuk Natah menjadi sangat fleksibel, namun tetap
mengikuti pedoman prinsip zoning Nawa Sanga.
Keterbatasan lahan terpaksa memindahkan Sanggah
Pamerajan di lantai bangunan di atasnya. Secara spi-
ritual Sanggah Pamerajan mempunyai kedudukan
tertinggi dibandingkan Natah/Sanggah lainnya, se-
hingga konsep letak di atas bisa dilakukan. Sebagian
besar Natah Bale berada di ruang tertutup (ruang
keluarga, ruang tamu dan ruang tidur) ditandai oleh
keberadaan Sanggah sebagai signage yang berkaitan
dengan fungsi Natah Bale sebagai fungsi sosial dan
kultural dalam skala terbatas (keluarga/ kerabat).
Hubungan aspek persepsi penghuni terhadap Na-
tah dengan 3 (tiga) klasifikasi pola Natah masih
kurang kuat mencerminkan hubungan keseluruhan
subtema persepsi tentang Natah, kecuali subtema
perlakuan terhadap Natah. Dari substansi butir per-
sepsi terdapat 2 katagori dalam perlakuan terhadap
Natah, yaitu: perlakuan untuk menjamin kenyamanan
aktifitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip
Natah yang berada dalam tataran konsep berpikir
mereka (ruang maya). Kedua kalimat kunci ini yang
mendasari pemikiran moderat perseptor. Tuntutan
kenyamanan kemungkinan diorientasikan untuk
mengatasi kendala kendala berupa: keterbatasan la-
han dengan minimnya ruang terbuka, rumah dengan
ruang yang bersifat given (khususnya rumah-rumah
KPR) dan suasana lingkungan yang mungkin sangat
berbeda dengan daerah asalnya di Bali, sangat men-
dominasi pikiran persepsual mereka.
VII. Kesimpulan.
Secara persepsual eksistensi Konsep Natah pada ru-mah tinggal orang Bali berada di posisi moderat, ialah
fleksibel dalam konteks menyesuaikan dengan kendala
kendala yang ada berupa keterbatasan lahan dengan
minimnya ruang terbuka. Secara aplikatif eksistensi
konsep Natah sebagai ruang fisik tampak melalui
klasifikasi pola Natah yang mencerminkan upaya yang
moderat dan win win solution, ialah menerapkan prinsip
Natah melalui upaya mengatasi kendala keterbatasan
lahan dan minimnya ruang terbuka di satu sisi dengan
keinginan untuk tetap memenuhi prinsip zoning Nawa
Sanga. Korelasi persepsi dengan pola Natah melalui
kekuatan hubungan perlakuan terhadap Natah dengan 2 kategori perlakuan untuk menjamin kenyamanan ak-
tivitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip Natah
yang berada dalam tataran konsep berpikir orang Bali di
Yogyakarta (ruang maya), hal ini mencerminkan eksis-
tensi Konsep Natah yang cukup moderat.
Wawancara dan Diskusi 1) Ketua LPD yang juga Ketua Jero Bendesa Desa Pedungan, Drs. I
Wayan Sumartha, 29 Oktober 2011 di Kantor LPD desa
Pedungan,Denpasar Bali.
2) Wawancara dengan I Ketut Adhimastra, 29 dan 30 Oktober 2011 ,
Desa Pedungan , Denpasar Bali.
3) Wawancara dengan I Made Arjana Gumbara, Desember 2012,
Yogyakarta.
References 1) Blaang, Djemabut.C.(1986) Perumahan Dan Pemukiman
Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2) Cornelis Van de ven, Space In Architecture, Van Gorcum &
Comp.B.V.,P.O.Box 43,9400 AA Assen, The Netherlands, third
revised edition published 1987
3) Gusti Ayu Made Suartika (2010), Substansi Budaya Dalam
kebijakkan Tata Ruang Di Bali. Humaniora, Volume 22, No.3
Oktober 2010.
4) Ida Bagus Mantra (1996),Landasan Kebudayaan Bali,Yayasan
Dharma Sastra , Denpasar.
5) I Nyoman Galebet(2002), Arsitektur Tradisional Bali, Badan
Pengembangan Budaya dan Pariwisata Deputi Bidang pelestarian
dan pengembangan Budaya Bagian Projek Pengkajian dan
Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali.
6) Jatman, Darmanto (1983) Mendiami Rumah Susun, Makalah Seminar, Jurusan Arsitektur Unika Sugijapranata, 22 Nopember 1983
7) Lang, Jon.( 1987) Creating Architectural Theory, The Role of The
Behaviour Science In Environmental Design, Van Nostrand
ReinholdCo.,New York.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 19
8) Poespowardojo (1982), Beberapa Pokok Pikiran Fundamental
Dalam Rangka Perencanan Perumahan, Jurnal IAI , Nomor
Perdana, Oktober 1982.
9) Rakhmat, Jalaluddin (1991) Psikologi Komunikasi, Bandung:
Penerbit PT.Remaja Resda karya.
10) Robert a.Baron et al, (1991) Understanding Human Relations ,a
Practical Guide to People at Work.
11) I Nengah Sudata(2002) Persepsi Masyarkat Bali Terhadap Sistem
Nilai Ruang Terbuka Tradisional di Kota Den Pasar, Penerbit
PPS, UNDIP, Semarang.
12) Suwondo, Sutedjo Bismo, Peran, Kesan Dan Pesan Bentuk-
Bentuk Arsitektur, Penerbit Djambatan, 1982
13) Vincent (1983) Perencanan Tapak Untuk Perumahan
(Terjemahan dari : Site Planning For Cluster Housing by Richaed
Untermman et.al)
14) Walgito, Bimo (1989) Psikologi Sosial, Penerbit: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
20 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah
Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang
Arief Fadhilah1, Titien Woro Murtini
2, Bambang Supriyadi
2
1 Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi Perancangan Kota, Universitas Diponegoro 2Dosen, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro
Abstract
The existence of the city as a space where people do various activities was being object of discussion that is never completed. Likewise Kampung Kalengan, an urban village in Bugangan Semarang City which is known as home industry area for can or metal craft. This is interesting due to its special historical re- construction phenomenon which industrial activities were performed at daily home environment. This research made to know the morphological development phenomenon of Kampung Kalengan, through his- torical approach, by using qualitative method. Space reconstruction analysis showed that the morphology development of Kampung Kalengan can be divided into 5 (five) phases, with indication of industrial units development into the east side, along pre-post construction of Barito Street. Spatial integration between the home environment and industrial units initially was a unity, then become two sides of spatial, but still can’t be separated. It was found that there are external and internal aspects which are taking a part in the
morphological formation of Kampung Kalengan, they are accessibility, government’s policy, local wisdom, and adaptability of Bugangan own residents.
Keywords: morphology, urban village, industry, qualitative, Kampung Kalengan
I. Pendahuluan Arsitektur dan urban design banyak dipandang
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan- keindahan bangunan dan desain perkotaannya. Me- mang tidak salah, namun pandangan tersebut belum menyeluruh (Budihardjo, 1994). Bernard Rudolsky (1965) juga menyatakan bahwa karya lingkungan atau bangunan yang terbentuk secara spontan oleh mereka
yang tidak memiliki pendidikan formal arsitektur, ternyata tidak kalah nilainya sebagai karya arsitektur.
Indonesia adalah wadah di mana isu ‘kampung kota’ (sebutan untuk kampung-kampung rakyat yang masih berada di wilayah perkotaan) menjadi wacana perko-
taan dan ‘arsitektur populis’ yang menarik, dengan 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota (398 kabupaten dan 93 kota serta 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) (KOMPAS, 2011). Zahnd (2006) menjelaskan pernyataan Hanan (1996) bahwa 60-70% populasi penduduk di kota-kota
Indonesia tinggal di kampung kota mengindikasikan kampung kota memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan kota. Selain menjadi potensi, tentu juga memberikan masalah terhadap kotanya. Kajian tentang kampung kota mau tidak mau harus
tetap dilakukan, guna perbaikan dan perkembangan kota tersebut.
Kampung Kalengan adalah kampung kota di Sema- rang, yang masuk dalam wilayah administrasi Kelu- rahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur. Sebut- an ‘Kampung Kalengan’ memang tidak terdaftar seca- ra administratif, namun sudah dikenal oleh masyarakat sebagai sebuah kumpulan industri rumah tangga
dengan kerajinannya yang berbahan kaleng/logam (Suara Merdeka, 2012). Unit-unit usaha industri Kam- pung Kalengan berkembang dari lingkungan rumah tinggal dan terjadi dalam rentang waktu tertentu, sekaligus menjadi refleksi kekhasannya. Perkembang-
an ruang dan dinamika aspek lain yang mengikutinya dapat dipelajari dengan sebuah kajian morfologi ruang. Dari rumusan di atas, maka saya membuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimanakah perkembangan morfologi Kam-
pung Kalengan Bugangan Semarang? - Apakah yang melatarbelakangi perkembangan
morfologi tersebut?
II. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
fenomena perkembangan morfologi Kampung Ka-
lengan Bugangan Semarang yang terjadi dalam be- berapa fase secara kontekstual, dengan sasaran: - Rekonstruksi perkembangan ruang - Analisis keruangan kampung - Penggalian hal yang melatarbelakangi
perkembangan morfologi yang terjadi
Arief Fadhilah
-- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi
Perancangan Kota Universitas Diponegoro
Jl. Hayam Wuruk No. 5 Gedung Teknik Lt. 1 dan 3
Peleburan, Semarang
Hp: 085265361225 Telp: 024 8312418 Fax: 024 8312418
e-mail: [email protected]
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 21
III. Morfologi Kampung Kota
Kampung kota didefinisikan sebagai bentuk permu- kiman perkotaan khas Indonesia dengan ciri ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan, dan ber- bagai permasalahan lainnya (Suryandari, 2007). Kam- pung kota biasanya terbentuk secara organis dan tanpa
arahan formal. Kostov (1991) memandang fenomena pembentukan ruangnya bercirikan organic pattern, melalui alur waktu dan kehidupan keseharian, fungsi dan bentuk menjadi satu kesatuan bersama, tidak da- pat dipisahkan secara jelas antara kepentingan indi- vidu/privat maupun kepentingan umum/publik.
Menurut Rossi (1982), morfologi adalah usaha da- lam mendeskripsikan suatu urban artefak, dengan penggambaran perkembangannya. Menurut Shultz dalam Zahnd (1999), melakukan kajian morfologi akan berkaitan dengan kualitas figurasi melalui peng- hubungan pola-pola, hirarki ruang maupun hubungan
ruang yang satu dengan ruang lainnya. Mengkaitkan antara ruang kampung dengan pemba-
hasan morfologi ternyata sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Carmona et.al. (2003), di mana kajian morfologi didefinisikan sebagai kajian tentang bentuk dan proses terbentuknya suatu permu-
kiman atau perkampungan, yang menekankan pada analisis evolusi perubahan permukiman. Beberapa ele- men pembentuk morfologi ruang, yaitu:
- Land use (penggunaan lahan)
Elemen ini bersifat temporer, dapat dijadikan
dasar untuk membangun kembali dan merencana- kan fungsi baru dari suatu bangunan yang akan dibuat.
- Building structures (tipe dan massa bangunan) Massa bangunan memiliki peran yang kuat da-
lam membentuk struktur kawasan dan jaringan
jalan, dan sering menjadi refleksi dari kawasan itu sendiri.
- Plot pattern (pola kapling) Pola kapling dapat berubah karena adanya ak-
tivitas jual beli kapling. Pengurangan akibat pem- bagian kapling, atau penambahan akibat pengga-
bungan kapling biasa terjadi dalam suatu kawasan. - Street pattern (pola-pola jalan/sirkulasi)
Jaringan jalan merupakan elemen morfologi yang cukup mudah terlihat perkembangannya, baik melanjutkan pola yang sudah ada, atau terbentuk pola baru melalui suatu proses.
Selain keempat elemen tersebut, perubahan domi- nasi aktivitas industri ternyata juga berpengaruh terha- dap perkembangan morfologi sebuah kampung (Pri- yatmono, 2009).
IV. Materi dan Metode
Penelitian dilakukan di kawasan Kampung Kaleng- an dengan luas ±7,5 Ha, terletak di dalam wilayah Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Cakupan penelitian membahas ruang kampung dalam lingkup meso. Setelah melakukan mini-tour dan dengan memperhatikan sasaran peneliti-
an, diperoleh rumusan unit analisis sebagai pengarah penelitian dan dasar pembentuk garis besar pertanya- an-pertanyaan dalam wawancara. Dirumuskan bahwa kajian tentang ruang kampung tidak hanya membica- rakan elemen fisik, namun juga aspek nonfisik seperti sosial, budaya, dan ekonomi, sesuai keadaan konteks-
tual. Berikut yang menjadi unit analisis penelitian. - Elemen perkembangan ruang kampung
• skema sirkulasi • penggunaan lahan • massa bangunan
Gambar 1. Lokasi Penelitian dilihat dari Kawasan Kota Semarang
(Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang – CAD Kota Semarang, 2013)
22 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah
- Komponen Fisik penyusun ruang kawasan kam-
pung • ruang halaman/lapangan • ruang jalan
- Komponen Non Fisik penyusun ruang • aspek sosial ekonomi • aspek sosial budaya
Kajian morfologi dilakukan melalui pendekatan his-
toris dengan metode kualitatif, di mana objek peneliti- an tidak akan dilepaskan dari konteksnya dan dilihat dalam kerangka holistik (Muhadjir, 1996). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan mela-
lui beberapa cara, yaitu: 1. Observasi
Observasi di lapangan dilakukan dengan men- data objek fisik spasial, aktivitas beserta pelaku pengisi ruang kampung di waktu dan hari yang berbeda (pagi, siang, malam, weekday, weekend)
sehingga tidak hanya gambaran fisik ruang kam- pung yang diperoleh, namun juga pola kehidupan warga kampung yang mengisinya.
2. Wawancara • wawancara terstruktur, memperoleh informasi
yang sama untuk setiap responden, seperti data-
data kepemilikan ruang dan unit usaha, jumlah unit usaha, dan lain-lain.
• wawancara terbuka, dilakukan secara lebih mendalam dengan pedoman garis-garis besar pertanyaan yang ingin disampaikan.
Hasil wawancara dituangkan dalam catatan
lapangan. Catatan lapangan, menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000), adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpul- an data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dikumpulkan dan dibe-
ri kode-kode untuk mempermudah pengelompok- kan informasi. Teknik wawancara dilakukan de- ngan bantuan recorder sehingga proses peng- galian informasi bisa lebih fokus, tanpa harus banyak terbagi dengan aktivitas mencatat jawaban dari informan. Target yang akan dicapai adalah
terkumpulnya informasi mengenai perkembangan kampung dan berbagai aspek non fisik.
3. Dokumentasi Dengan foto-foto lapangan, sketsa suasana ling-
kungan, rekam audio dan video, dan penggalian dokumen-dokumen instansi pemerintahan dan in-
forman. Sedangkan alat-alat yang digunakan ada- lah sebagai berikut: • Daftar pertanyaan wawancara terstruktur • Daftar acuan pertanyaan wawancara terbuka • Alat tulis dan kelengkapannya • Kamera foto
• Recorder • Alat ukur ruang (meteran) • Foto udara objek penelitian • Peta
Gambar 2. Format Catatan Lapangan Penelitian Morfologi
Kampung Kalengan Bugangan
(Sumber: Rumusan Peneliti, 2013).
V. Sejarah Kampung Kalengan Cikal bakal Kampung Kalengan ini bermula ketika
Mbah Pon dan Mbah Saleh, warga lingkungan rumah
tinggal Bugangan, membuat produk kebutuhan rumah tangga seperti ember, angklo, dan kompor sumbu yang berbahan dasar seng di tahun 1950-an. Penduduk se- kitar sebagian tertarik untuk belajar membuat produk yang sama, dan akhirnya menjadi pengrajin perka- lengan dengan membuka usaha mandiri. Rentang
waktu hingga 1980-an, perkembangan pesat Kampung Kalengan terdengar sampai ke ibukota, ditandai dengan kunjungan wakil presiden Adam Malik tahun 1982 sekaligus memprakarsai pameran produk peng- rajin Kampung Kalengan.
VI. Keadaan Sosial Budaya Kampung Kalengan memiliki hubungan sosial bu-
daya yang cukup terjalin, baik sesama pengrajin per- kalengan, atau antar pengrajin dengan penduduk per- mukiman Bugangan. Keberadaan paguyuban peng- rajin Kampung Kalengan, BINA WARGA, hadir seba-
gai simbol budaya guyub dalam kehidupan bersosial antar pengrajin, dengan kegiatan rutin arisan setiap bulan secara bergilir di rumah anggota pengrajin. Di arisan tersebut, biasanya membicarakan kegiatan ke- seharian di Kampung Kalengan, dan kelangsungan ko- perasi BIWA KOPIN yang dibentuk oleh anggota pa-
guyuban.
Gambar 3. Aktivitas Pengrajin membuat Produk
Perkalengan
(Sumber: Survai Lapangan, 2012)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 23
Gambar 4. Berbagai Produk Pengrajin Berbahan Dasar
Kaleng
(Sumber: Survai Lapangan, 2012).
Gambar 5. Rumah Asli di antara Rumah-Rumah Modern
(Sumber: Survai Lapangan, 2013).
Gambar 6. Arisan Paguyuban BINA WARGA Kampung
Kalengan
(Sumber: Survai Lapangan, 2013).
VII. Hasil dan Pembahasan Dari fakta dan informasi yang diperoleh, dilakukan
penyusunan runtutan peristiwa berkaitan dengan Kam- pung Kalengan sebagai berikut (bagian yang diblok menandakan peristiwa yang cukup penting).
Tabel 1 Urutan Peristiwa terkait Perkembangan Kampung
Tahun Peristiwa Kode
Pra
1950-an
Mbah Pon dan Mbah Saleh sudah
memiliki pengalaman kerajinan
3.2.m
1950-an Ayah Bapak Soleman sudah membuat
kerajinan ember, dalam satu masa
dengan Mbah Pon dan Mbah Saleh
3.2.m
1960-1963 Pemindahan pasar Regol 3.3.h
1966 Pembongkaran rumah-rumah tepi Banjir
Kanal Timur, Jalan Bugangan Raya
sudah ada
3.1.i
1970 Bapak Mulyoto datang
Bapak Marino ikut kerja dengan
pengrajin (usia 18 tahun)
3.2.a
1.1.g
1970-an Masalah rob dan genangan air 3.5.b, 4.3.f
1971 Pembongkaran kios-kios di dekat pasar
Regol
3.3.j
1971-1972 Perbaikan kali dan tanggul kanal 3.3.k
1971 Bekas benteng di bantaran Banjir Kanal
Timur
3.5.l
1972 Bapak Mulyoto menikah 3.2.b
1974 Mulai pembangunan Jalan Barito 1.2.g, 1.2.h,
3.3.o
1975 Peresmian Jalan Barito 3.3.o
1976 Pengrajin memulai usaha mandiri 1.2.c
1977-1978 Pembongkaran tanah pemakaman 4.4m, 6.4.c
1978-an Pengrajin mulai mendirikan
‘emplek-emplek’
1.2.j
1980 PT. Djamin membuat LIK 3.3.q
1982 Pindahnya sebagian unit usaha ke LIK
Bugangan Baru
3.4.c, 3.4.e,
3.4.g, 4.2.c,
4.2.g, 7.2.l
1982-an Pameran Kampung Kalengan
diprakarsai wakil presiden RI Adam
Malik
3.4.n, 3.4.o,
7.3.d
1982-an Pendirian ‘emplek-emplek’ oleh
pengrajin
1.2.j, 3.5.c,
3.5.d, 4.5.h
1987-1988 Pelebaran Jalan Barito, Pembangunan
SDN Bugangan 02
4.4.m
1990 Pembangunan jalan arteri di selatan 3.3.p
1990-an Mulai ada kios-kios unit usaha di Jalan
Barito
1.3.d, 3.5.c
1992 Penertiban sesuai perda oleh panitia
(pembagian kapling dan pembuatan
batas trotoar)
4.2.n, 4.5.j,
7.1.d
1992-1993 Perbaikan jalan (KIP) oleh pemerintah
daerah
4.4.h
1994-1998 Pembangunan jalan arteri
Soekarno-Hatta
3.4.p
Data di atas kemudian dikelompokkan dalam dua
tipe yaitu peristiwa fisik keruangan dan non-fisik ke- ruangan. Diperoleh bahwa perkembangan Kampung Kalengan dapat dibagi ke dalam 5 fase yang memiliki
kekhasan dan pertimbangan masing-masing, yaitu: - Fase I, sebagai masa embrio lahirnya Kampung
Kalengan (1950an-1965) - Fase II, sebagai masa pertumbuhan pertama
Kampung Kalengan (1966-1973) - Fase III, sebagai masa perkembangan Kampung
Kalengan (1974-1987) - Fase IV, sebagai masa penstabilan Kampung
Kalengan (1988-1994) - Fase V, sebagai masa eksisting Kampung Kalengan
saat ini (1995-2013)
Perkembangan ruang Kampung Kalengan direkam kemudian dituangkan dalam bentuk rekonstruksi ru- ang kampung dengan beberapa analisis sketsa untuk menggambarkan kondisi pada tiap fase. Rekonstruksi tersebut menjadi modal utama dalam analisis mor- fologi ruang yang dipaparkan dalam uraian berikut.
a) Morfologi Kampung Kalengan
Morfologi Fase I Fase I adalah fase embrio Kampung Kalengan di
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
24 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah
dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan, di mana
Mbah Pon dan Mbah Saleh sebagai perintisnya. Lingkungan rumah tinggal Bugangan masih sangat alami, dengan kerapatan bangunan yang jarang dan kondisi lingkungan buruk. Semakin ke barat, kondisi lingkungan semakin baik karena dekat dengan Jalan Citarum Raya sebagai akses paling utama, sedangkan
semakin ke timur, kondisi lingkungan semakin buruk karena faktor topografi dan masih belum adanya ruang jalan di tepi sungai (masih berupa rumah-rumah pen- duduk).
Morfologi Fase II
Fase II diawali dengan pembongkaran rumah-ru- mah di tepi Banjir Kanal Timur Semarang yang me- nyebabkan berubahnya struktur keruangan, walaupun belum diikuti dengan perubahan fungsi yang signifi- kan. Dalam masa ini, unit-unit usaha Kampung Ka- lengan semakin bertambah di dalam lingkungan ru-
mah tinggal Bugangan mengingat banyaknya peng- rajin yang membuka usaha mandiri dan mulai mun- culnya para pendatang dari luar Kota Semarang untuk bekerja di Bugangan.
Morfologi Fase III Pembangunan Jalan Barito (1974) mulai mengubah
struktur aktivitas penduduk dan pengrajin sehingga tidak sepenuhnya bertumpu pada Jalan Citarum Raya di sebelah barat, melainkan mulai memanfaatkan Jalan Barito sebagai jalur alternatif aktivitas (supplay and demand). Jalan dan pembagian bentuk ruang terbukti
menjadi penentu arah perkembangan sebuah place/ tempat, termasuk dalam aspek sosial dan ekonominya (Scheer-Ferdelman, 2001).
Kampung Kalengan semakin berkembang hingga dikenal sampai keluar Kota Semarang. Puncaknya ta- hun 1982, wakil presiden Adam Malik berkunjung un-
tuk meresmikan pameran produk perkalengan di Kam- pung Kalengan Bugangan. Mulai tahun 1980-an PT. Djamin (developer) membuat LIK (Lingkungan In- dustri Kecil) Bugangan Baru sebagai tempat usaha alternatif bagi pengrajin.
Gambar 7. Sketsa Lingkungan Tepi Kanal pada Fase Awal
(Sumber: Analisis, 2013).
Gambar 8. Kondisi Fisik Ruang Jalan Lingkungan pada
Fase I-II
(Sumber: Analisis, 2013).
Gambar 9. Sketsa Tipe Rumah pada Fase I-II
(Sumber: Analisis, 2013).
Tabel 2 Perkembangan Keruangan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 25
Sebagian pengrajin mencoba untuk membuka usa- ha di LIK, namun selang beberapa bulan, mereka kembali ke Bugangan karena berbagai faktor baik ekonomi, aksesibilitas, dan sosial.
Morfologi Fase IV Fase IV, banyak dilakukan perbaikan dan pelebaran
jalan dan lingkungan Bugangan oleh pemerintah. Ja- lan Barito menjadi jalan utama dan jalur alternatif bagi kendaraan-kendaraan bermotor dari arah utara- selatan atau sebaliknya. Tahun 1992, terjadinya pener- tiban unit-unit usaha Kampung Kalengan sesuai Perda
Semarang dengan melakukan pembagian kapling usaha dan pembuatan trotoar sebagai batas kapling usaha dengan jalan. Perkembangan unit usaha di Jalan Barito semakin pesat, tetapi masih banyak menyisakan lahan kosong di kanan dan kiri unit usaha sekaligus sebagai usaha penggalakkan taman untuk mendukung
Semarang Adipura.
Morfologi Fase V Pada fase V, unit-unit usaha tumbuh sampai meme-
nuhi tepi Jalan Barito dengan menyisakan beberapa ruang terbuka untuk beberapa fungsi. Rumah-rumah
di tepi Jalan Barito berevolusi menjadi tempat-tempat unit usaha, selaras dengan perkembangan industriali- sasi. Fakta tersebut dipandang sebagai tradisi lokal (Dufaux, 2000).
Ruang terbuka biasanya dibuat untuk TPS (Tempat Pembuangan Sementara) berukuran sekitar 5x7 m di
beberapa lokasi. Terbentuknya gang-gang kecil di se- tiap seberang gapura Jalan Bugangan I-V menuju ke arah sungai sebagai jalur sirkulasi ke sungai.
b) Untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, di- perlukan pembahasan mengenai latar belakang yang
mempengaruhi perkembangan morfologi tersebut. Pe- nulis mencoba menganalisis pola perkembangan ruang jalan, persebaran penggunaan bangunan dan tempat usaha, peristiwa-peristiwa yang sering diingat-dibica- rakan warga kampung yang disesuaikan dengan fakta dokumen-peta, sehingga dirumuskan dua aspek hal
yang melatarbelakanginya perkembangan morfologi Kampung Kalengan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 3 Perkembangan Sirkulasi dan Penggunaan Lahan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Analisis, 2013)
26 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Arief Fadhilah
Aspek Eksternal
• Aksesibilitas Aspek aksesibilitas menjadi penting terhadap mor-
fologi Kampung Kalengan fase III, IV, dan V. Jalan Barito yang mulai dibangun tahun 1974 (fase III)
mempengaruhi pengrajin untuk memanfaatkan akses tersebut sebagai akses utama aktivitas industri perka- lengan, baik produksi, pemasaran, maupun supplay and demand. Ditambah lagi pelebaran Jalan Barito ta- hun 1988 (fase IV) yang membuat semakin banyaknya
unit-unit usaha perkalengan di tepi Jalan Barito. • Kebijakan pemerintah, Kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah
beberapa kali memberikan dampak terhadap morfo- logi Kampung Kalengan, terutama pada fase III, IV, hingga ke-V. (i) Kunjungan wakil presiden Bapak
Adam Malik difase III ke Bugangan menjadi bentuk nyata dukungan pemerintah pusat untuk pengembang- an Bugangan sebagai kampung industri. Momen terse- but menggugah semangat pengrajin untuk membuka unit-unit usaha baru di lingkungan rumah tinggal Bu- gangan. (ii) Keluarnya peraturan daerah dari walikota
Semarang pada tahun 1992 (fase IV) yang memberi- kan izin kepada pengrajin Kampung Kalengan untuk membuka unit usaha di tepi Jalan Barito. (iii) Pada fase ke-V, Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah mempatenkan lokasi industri perkalengan tersebut se- bagai “Sentra Industri Perkalengan Bugangan Sema-
rang”.
Aspek Internal
• Kearifan lokal,
Inisiatif penduduk Bugangan sendiri sangat me- nentukan dimulainya perkembangan Kampung Ka- lengan, terutama pada fase I dan II. Pada fase tersebut kondisi lingkungan Bugangan masih buruk, dan dido- minasi oleh penduduk berekonomi menengah ke ba- wah. Namun karena tuntutan ekonomi, sebagian pen-
duduk berkreativitas membuka usaha perkalengan,
dan akhirnya diikuti oleh penduduk lainnya. Hal ini
menyebabkan tumbuhnya unit-unit usaha perkalengan di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan.
• Kemampuan adaptasi penduduk, Sejak fase I-III, sekitar 30 tahun lamanya unit-unit
usaha Kampung Kalengan berkembang dan bertahan di dalam lingkungan rumah tinggal. Hal ini menunjuk-
kan adanya kemampuan adaptasi penduduk Bugangan sendiri atas segala aktivitas usaha perkalengan yang mungkin bagi orang lain tidak mudah diterima, misal- nya terhadap kebisingan suara produksi dan adanya toleransi keluwesan keruangan. Kemampuan ini seka- ligus menjadi nilai dan kekuatan kampung untuk tum-
buh dan bertahan sebagai kampung kota yang terus melakukan aktivitas kekhasannya, yakni usaha perka- lengan.
VIII. Kesimpulan a) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bu-
gangan (dapat dibagi dalam 5 fase) erat kaitannya dengan lingkungan rumah tinggal Bugangan.
• Perkembangan unit-unit usaha Kampung Kalengan dari fase I – V mengindikasikan perkembangan ke arah timur, seiring dengan pra-pasca pembangunan Jalan Barito.
• Pada Fase I-II, unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal. Pada fase III, sebagian unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal dan se- bagian di tepi Jalan Barito, dan sebagian lagi men- coba membuka usaha di LIK Bungangan Baru.
Fase IV-V, hampir seluruh unit usaha Kampung Kalengan berada di sepanjang Jalan Barito.
• Integrasi keruangan antara lingkungan rumah ting- gal Bugangan dan unit usaha Kampung Kalengan awalnya adalah kesatuan, kemudian menjadi dua sisi keruangan, namun tetap tidak dapat dipisah-
kan. •
b) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan dila- tarbelakangi oleh beberapa aspek yang dirangkum ke dalam dua bagian, yaitu:
Gambar 11. Perkembangan Integrasi Keruangan Kampung
Kalengan
(Sumber: Analisis, 2013)
Fase I Fase II
Fase I Fase II Fase III
Gambar 10. Plang Identitas Kampung Kalengan
(Sumber: Analisis, 2013)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 27
Aspek Eksternal
• Aksesibilitas, perkembangan Jalan Barito ber- kaitan dengan peningkatan aktivitas supplay and demand kampung.
• Kebijakan pemerintah, intervensi terhadap ek-
sistensi Kampung Kalengan.
Aspek Internal
• Kearifan lokal, keberanian warga menciptakan
jatidiri kampung lewat aktivitas industri. • Kemampuan adaptasi penduduk, memperkuat
karakter kampung sebagai kampung industri rakyat.
IX. Rekomendasi
a) Rekomendasi prosedural: Pengembangan Kampung Kalengan Bugangan
harus memperhatikan perjalanan morfologinya agar eksistensi sebagai kampung beridentitas industri rakyat tetap terjaga.
Kampung Kalengan Bugangan memiliki ke-
mampuan adaptasi penduduk yang baik, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kampung mix use activities.
Kegagalan LIK Bugangan Baru dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi pemerintah bah- wa ada beberapa industri (berbasis kampung)
yang harus tetap bersinergi dengan kehidupan masyarakatnya.
b) Rekomendasi substansial: Penelitian ini difokuskan pada morfologi ruang
dengan pendekatan history, sehingga celah pembahasan seperti peran policy pemerintah
dalam pembentukan ruang kampung masih dapat diteruskan untuk dikaji lebih dalam.
Dapat dilakukan penelitian mendalam tentang tipologi bangunan-bangunan di Kampung Ka- lengan yang mungkin dipengaruhi sekaligus mengalami adaptasi terhadap aktivitas industri.
Kampung Kalengan memiliki indikasi dengan teori genius loci, sehingga dapat dilakukan penelitian fenomenologi lingkungan rumah tinggal Bugangan sebagai ‘raga’ dari aktivitas industri perkalengan sebagai ‘jiwa’-nya.
Ucapan Terima Kasih
Saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat dan pengrajin Kampung Kalengan Bugangan Sema- rang, terutama pada Bapak Soleman dan Mulyoto selaku kepala dan mantan kepala paguyuban kampung atas segala informasi yang diberikan, yang sangat membantu dalam proses penelitian ini.
Daftar Referensi 1) Budihardjo, E (1994), Percikan Masalah Arsitektur Perumahan
Perkotaan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
2) Carmona, M. et al. (2003), Public Places-Urban Spaces,
Architectural Press: Oxford.
3) Dufaux, F (2000), A New World from Two Old Ones: the
Evolution of Montreal’s Tenements. 1850-1892, Jurnal
Internasional: Urban Morphology 4 hal. 9-19.
4) Kostof, S (1991), The City Shaped, London Press.
5) LOK (2011), Jumlah Kota di Indonesia Meningkat 57 Persen
Lebih: Pemekaran Daerah, Kompas: 12 Oktober.
6) Moleong, L. J. (1996), Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosda Karya, Bandung.
7) Muhadjir, N (1998), Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin,
Yogyakarta.
8) Priyatmono, A. F. (2009), Studi Kecenderungan Perubahan
Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta, Jurnal
Arsitektur dan Perencanaan Vol. 1 No. 1 April hal. 15-21.
9) Rossi, A (1982), The Architecture of The City, Cambridge Mass
MIT Press.
10) Rudofsky, B (1965), Architecture Without Architect, Doubleday &
Company, Inc., Garden City, New York.
11) Scheer, B.C. dan Daniel Ferdelman (2001), Inner-city Destruction
and Survival: the Case of Over-the-Rhine, Cincinnati, Jurnal
Internasional: Urban Morphology 5 hal. 15-27.
12) Suryandari, P (2007), Geliat Nafas Kampung Kota sebagai Bagian
dari Permukiman, Jurnal Program Kajian Teknik Arsitektur
Fakultas Teknik - Universitas Budi Luhur Vol. 3 No. 1 hal. 54-72.
13) Syukron, M (2012), Bugangan Lebih Dikenal dengan Kampung
Kalengan, Menjadi Pusat Produksi Kerajinan dari Kaleng, Suara
Merdeka: 19 Juli, hal 21&27.
14) Zahnd, M (1999), Perancangan Kota secara Terpadu, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.Zahnd, M (2006), Traditional Urban
Quarters in Semarang and Yogyakarta, Indonesia, PhD-Research
Publication, University of Stuttgart, Germany.
28 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi
Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan
Sungai Code Yogyakarta
Ashri Amalia Hadi1
1 Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro
Abstract
Development of rental house flats is one of Indonesian Government's program to reorganize slums area,
so that the resident can live properly and the area visual can be better. But that goal are not achieved
maximum because of the implementation of the construction of buildings has less attention to the facade and
exterior look of the buildings, so they looks dirty and innevective in improving regional visual. These prob-
lems occured in the region of Jogoyudan Yogyakarta on the flats Jogoyudan rental house flats, where the
existence of the flats gives the impact to regional visual of residents that located in the centre of the city.
From the analysis of the visual system (optic, place, content) and visual quality (alignment, proportion,
scale, balance, rhythm, and color), it is known that the visual aspect of the facade at Jogoyudan flats are
influenced by the form of buildings, building functions, the quality of building materials, and social culture.
Keywords: visually, facade, rental house flats, the area
I. Pendahuluan
Permasalahan di bidang perumahan dan permukim-an bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah munculnya pemukiman yang padat, tidak teratur, kotor, dan memberikan pengaruh yang negatif terha-dap visual ruang kota (Budiharjo,1994). Permasalahan tersebut timbul dikarenakan berkembangnya permu-
kiman padat penduduk tidak ditunjang dengan infra-struktur lingkungan yang baik, serta kualitas fisik bangunan yang tidak memenuhi standar bangunan rumah tinggal.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk menang-
gulangi permasalahan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta menata kem-bali lingkungan permukiman kumuh sehingga warga dapat hidup dengan layak dan visual kawasan dapat menjadi lebih baik.
Sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang No.
16 Tahun 1985, tujuan dari pembangunan rumah su-sun adalah sebagai upaya untuk meremajakan daerah-daerah kumuh agar tertata menjadi sebuah lingkungan yang sehat, serta mendorong pembangunan permu-kiman yang berkepadatan tinggi. Menurut Yudohuso-do (1991) rumah susun dapat menjadi suatu alternatif
dalam peremajaan lingkungan terutama di perkotaan
dengan mengubah struktur fisik lingkungan permu-
kiman sehingga memberi dampak positif terhadap vi-sual kawasan.
Menurut Pedoman Penyiapan Pengelola dan Peng-huni Rusunawa Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling Kementerian PU, permasalahan kekumuhan pada rumah susun terjadi
karena masalah kepenghunian dan pengelolaan yang kurang baik. Dalam beberapa tahun pascahuni ba-ngunan rumah susun terlihat kurang terawat, kotor, banyak jemuran pakaian yang tidak pada tempatnya, dan rusaknya elemen bangunan. Kondisi tersebut ter-lihat dari tampilan luar bangunan rumah susun, ter-
utama fasad bangunan bangunan rumah susun Dalam kajian arsitektur, fasad menjadi bagian yang
penting untuk mengkomunikasikan fungsi dan nilai dari suatu bangunan. Menurut Prijotomo (1987) fasad merupakan bagian yang pertama kali mendapat apre-siasi baik atau buruk dari dari subjek pengamat. Fasad
dari bangunan-bangunan yang terdapat pada sebuah kawasan dapat memberi kesan visual bagi kawasan tersebut. Adanya kondisi ini mendorong timbulnya urgensi untuk mempertanyakan bentuk penerapan aspek visual fasad bangunan rumah susun dalam sebuah lingkungan permukiman padat penduduk.
Di Kota Yogyakarta langkah peremajaan telah dilakukan dengan membangun 3 (tiga) rumah susun di bantaran Sungai Code. Salah satunya rumah susun Jogoyudan. Lokus pada rumah susun Jogoyudan dika-renakan pertimbangan karakter visual dan perannya dalam membentuk wajah kota Yogyakarta cukup
besar. Berlandaskan rumusan masalah tersebut, pene-liti mengkaji mengenai aspek visual fasad rumah
Ashri Amalia Hadi
-- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur UNDIP
Alamat: Jalan Hayam Wuruk No.5 lantai 1 dan 3 Semarang
50241, Jawa Tengah
Tel: 024 8312418 Fax: 024 8312418
e-mail: [email protected]
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 29
susun Jogoyudan dengan memfokuskan suatu tujuan
penelitian sebagai berikut: a. untuk mengetahui aspek visual fasad rumah susun
dalam memberikan pengaruh yang positif atau negatif terhadap visual kawasan peremajaan per-mukiman di desa Jogoyudan Yogyakarta
b. Mengetahui elemen dari fasad yang paling mem-
pengaruhi visual kawasan permukiman Jogoyu-dan Yogyakarta.
II. Materi dan Metode
Burden (1990) mengemukakan bahwa fasad ba-ngunan adalah, “external face or elevation of a build-
ing, especially the principal front”. Hal ini berarti fasad bangunan merupakan wajah utama atau tampak depan dari sebuah ekterior bangunan sehingga dapat dilihat dari jalan atau area publik lainnya. Dengan kata lain fasad merupakan bagian eksterior dari keseluruh-an bangunan, bagian depan, bagian samping, ataupun
belakang. Pendapat tersebut didukung oleh Krier (1992) yang mengungkapkan bahwa fasad memiliki peran penting dalam visual kawasan karena berperan dalam mengomunikasikan fungsi dan nilai suatu bangunan, menyampaikan keadaan budaya kawasan tersebut saat bangunan itu dibangun, dan memberikan
identitas terhadap suatu atau komunitas pada kawasan tersebut.
Sebagai wajah dari sebuah bangunan, terdapat ele-
men-elemen yang membentuk sebuah fasad, yaitu: a. Selubung Bangunan (atap, dinding, lantai, struktur)
b. Bukaan (jendela, pintu, boven, rooster) c. Sistem Pelindung Bukaan
Untuk menampilkan fasad bangunan yang baik,
elemen-elemen pada fasad seharusnya memiliki krite-ria bentuk untuk mendapatkan visual yang baik. Me-
nurut DK. Ching (1979) sebuah elemen bentuk sebaiknya mempertimbangkan kriteria visual sebagai berikut:
Keberadaan fasad dalam suatu kawasan akan
mem-pengaruhi sistem visual dan kualitas visual pada suatu kawasan. Menurut Cullen (1961) menambahkan bah-wa terdapat 3 hal penting yang mendukung sistem
visual antara lain rangkaian pandangan (optic), reaksi pengamat dengan tempat (place), dan elemen-elemen ruang didalamnya (content). Rangkaian 3 elemen ter-sebut menjadi poin penting yang menentukan pe-mandangan kawasan:
a. Optic (Pemandangan) Optic adalah pemandangan kawasan yang diung-
kapkan dalam suatu rangkaian pandangan dalam sebuah pergerakan. Rangkaian pemandangan dalam
pergerakan ini disebut dengan istilah serial visions.
Serial visions didapat dari kesatuan antara peman-dangan elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya (existing view) dan pemandangan elemen-elemen baru yang muncul (emerging view) dalam satu tem-pat.
b. Place (Tempat) Place adalah reaksi posisi pengamat dengan ruang
dalam lingkungannya. Reaksi posisi pengamat terse-but membantu pengamat dalam mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan, pengalaman visual pengamat saat mele-
wati kawasan, keterlingkupan, pemandangan elemen yang menonjol atau dominan.
c. Content (Elemen Pengisi Kawasan)
Content adalah beragam elemen yang ada dalam suatu ruang, dalam hal ini yaitu kawasan. Content berkenaan dengan bentuk elemen ruang kawasan se-perti warna, tekstur, skala, style, karakter, personalitas dan keunikan.
Untuk mengetahui pengaruh fasad bangunan rumah
susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta dibutuhkan
suatu kajian secara menyeluruh dengan penjabaran data dan analisa secara kualitatif melalui observasi, wawancara yang dilakukan terhadap responden yang mengetahui kondisi visual kawasan rumah susun Jo-goyudan sebelum dan sesudah dibangun, dan doku-mentasi baik fisik kawasan, maupun aktivitas masya-
rakat yang mempengaruhi visual kawasan. Untuk memenuhi tujuan penelitian digunakan analisis visual yang mengkaji objek penelitian berdasarkan sistem visualnya (optic, place, content) dan kualitas visual (keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna).
III. Hasil dan Pembahasan a. Area Studi
Kawasan kampung Jogoyudan terletak di Kelu-rahan Gowangan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Wilayah yang didominasi oleh perumahan 1 hingga 2
lantai sehingga dibangunnya rumah susun Jogoyudan yang memiliki ketinggian 4 lantai menjadi bangunan yang paling tinggi hingga fasad bangunan tersebut dapat terlihat dari 4 sudut pandang : a. Dari arah tenggara yaitu jalan Kleringan b. Dari arah barat daya yaitu jalan lingkungan kam-
pung Jogoyudan c. Dari arah barat laut yaitu jalan Poncowinatan d. Dari arah timur laut yaitu jalan lingkungan kam-
pung Kota Baru Visual fasad rumah susun Jogoyudan, dapat dije-
laskan dengan peta dan gambar di bawah ini.
e. Orientasi f. Posisi g. Skala h. Proporsi
a. Wujud b. Dimensi c. Warna d. Tekstur
30 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi
Gambar 1
. Peta Lokasi Kawasan Penelitan dan Tampak Bangunan Rumah
Susun dari 4 Sudut Pandang (sumber: Survai dan Analisa, 2013)
b. Optic (Pemandangan) Fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogya-
karta menjadi elemen emerging view yang member-kan pemandangan baru di kawasan permukiman terse-but. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, didapatkan tanggapan responden mengenai
tampilan fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta sebagai berikut.
Gambar 2. Grafik Hasil Wawancara Mengenai Tampilan Fasad
Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)
Diagram di atas menunjukkan bahwa responden
menilai sistem visual optic pada fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan memiliki pengaruh positif. Res-ponden menilai positif sebanyak 53,33%, yang meni-lai memiliki pengaruh negatif 23,33%, responden yang menilai ada sisi positif dan negatif sebanyak 15%, dan responden yang netral sebanyak 8,33%.
Pendapat responden dalam menentukan penilaian didasarkan pada berbagai alasan. Peneliti mengklasifi-kasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu mengenai wu-jud bangunan, kualitas material bangunan, fungsi bangunan, serta sosial budaya.
a. Wujud Bangunan Bangunan rumah susun didesain dengan tampilan
yang lebih menarik pandangan masyarakat baik peng-huni maupun warga yang tinggal di rumah susun tersebut. Bangunan rumah susun tersebut terlihat kontras dengan bangunan rumah tinggal lain yang
berada pada kawasan Jogoyudan. Dibangunnya rumah susun dapat memperbaiki kekumuhan yang terjadi pada kampung Jogoyudan.
b. Fungsi Bangunan
Pada fasad rumah susun Jogoyudan terlihat bahwa
bangunan tersebut mengikuti fungsi dan modul ruang yang ada di dalamnya. Perancang bangunan rumah susun tersebut telah mendesain sebuah ruang jemur pada setiap unit tinggal pada rumah susun Jogoyudan, supaya penghuni tidak menjemur pakaian sembarang-an di luar jendela. Namun fungsi ruang jemur tersebut
masih kurang maksimal, karena pada fasad rumah su-sun Jogoyudan elemen bukaan seperti jendela dan kisi-kisi besi sering dipergunakan untuk menggantung sesuatu benda yang seharusnya tidak digantung di tem-pat tersebut, misalnya gantungan pakaian.
Gambar 3. Penggunaan Elemen Bangunan Tidak Sesuai
Fungsi (sumber: Survai, 2013)
c. Kualitas Material Bangunan
Perbaikan wujud bangunan yang disertai dengan perbaikan material bangunan rumah susun menjadi material permanen menunjang perbaikan visual fasad bangunan rumah susun. Namun jika dianalisa lebih
dalam lagi ternyata terdapat kekurangan.
0
5
10
15
20
25
30
Pengaruh Positif Pengaruh Negatif
Wujud Bangunan
Kualitas Bangunan
Fungsi Bangunan
Sosial Budaya
Wujud dan Kualitas Bangunan
Wujud dan Fungsi Bangunan
Wujud Bangunan dan Sosial
Budaya
Kualitas dan Fungsi Bangunan
Kualitas Bangunan dan Sosial
Budaya
Fungsi Bangunan dan Sosial
Budaya
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 31
Rumah susun Jogoyudan dibangun dalam 2 tahap
pembangunan dengan jangka waktu yang berbeda. Terdapat perbedaan kualitas antara material yang di-gunakan pada rumah susun Blok A dan B dengan rumah susun blok D dan E. Pada elemen dinding dan struktur yang terlihat pada fasad rusun blok D dan blok E terdapat kerusakan kolom sebagai hasil dari
kualitas material yang kurang bagus.
Gambar 4. (a) Kerusakan pada Kolom Blok D dan Blok E
(b) Kolom Asli pada Bangunan Blok A dan Blok B
(sumber: Survai, 2013)
d. Sosial Budaya Kawasan permukiman Jogoyudan memiliki bebe-
rapa fase pembangunan, yaitu fase rumah sosial, ke-mudian didirikan bangunan asrama buruh 2 lantai, dan
saat ini telah dibangun rumah susun Jogoyudan 4 lantai. Seiring peremajaan permukiman yang dilaku-kan, jumlah pendatang semakin bertambah, khususnya yang tinggal di rumah susun. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan tatanan sosial masyarakat terutama dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan wawancara
yang telah dilakukan dengan warga, didapatkan kete-rangan bahwa warga pendatang kurang dapat mem-baur dengan penduduk yang telah lama tinggal pada permukiman Jogoyudan. Permasalahan ini berdampak pada kurangnya sense of belonging warga terhadap kawasan Jogoyudan. Perawatan bangunan rumah su-
sun serta lingkungan sekitarnya diserahkan sepenuh-nya kepada paguyuban rumah susun. Sedangkan pihak paguyuban tidak memiliki cukup dana untuk melaku-kan perawatan dan kebersihan secara berkala dan rutin. Sehingga kerusakan-kerusakan bangunan tidak dapat segera ditanggulangi dan kondisi bangunan rumah susun menjadi kurang terawat.
c. Place (Tempat)
Gambar 5. Hasil Wawancara Mengenai Fase Peremajaan
di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)
Aspek place merupakan reaksi pengamat dalam
mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan. Pengalaman visual pengamat dapat terjadi pada saat pengamat berada pada suatu kawasan, atau pengamat melihat peman-dangan elemen yang menonjol dan dominan.
Pada Kawasan Jogoyudan terjadi beberapa fase
peremajaan kawasan yang mempengaruhi pengalam-an visual warga permukiman Jogoyudan. Pada dia-gram di atas menunjukkan bahwa responden respon-den menyukai fase I sebanyak 50%, fase II 0%, fase III sebanyak 40%, dan responden yang memilih netral sebanyak 10%.
Sebagian besar responden memilih fase I yaitu fase dimana kawasan kampung Jogoyudan masih berupa rumah tinggal sendiri-sendiri dan rumah sosial. Pada saat fase peremajaan I mereka merasa nyaman dengan tinggal dan beraktivitas di rumah milik pribadi. Keber-sihan dan perawatan rumah juga ditunjang oleh pemi-
lik masing-masing rumah. Pada Fase II, tidak ada responden yang memilih,
karena pada fase tersebut bangunan asrama buruh 2 lantai merupakan bangunan dengan material yang tidak permanen, menggunakan papan tripleks, dan atap berupa seng yang tidak di-finishing.
Sedangkan bangunan rumah susun yang saat ini mereka huni merupakan bangunan tempat tinggal bersama. Penghuni rumah susun masih membawa kebiasaan-kebiasaan lama saat masih tinggal di rumah pribadi dulu. Keterbatasan yang terdapat pada rumah susun membuat mereka melakukan hal-hal yang
melanggar peraturan rumah susun. Belum ada kesa-daran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pera-watan dan kebersihan bangunan rumah susun.
d. Content (Elemen Kawasan)
Gambar 6. Hasil Wawancara Mengenai Warna dan Material
pada Fasad Rumah Susun Jogoyudan
(sumber: Analisa, 2013)
Berdasarkan wawancara dengan warga didapatkan identifikasi bahwa aspek content yang berperan pada fasad rumah susun Jogoyudan terhadap kawasan permukiman adalah elemen warna dan material. Dia-gram di atas menunjukkan bahwa responden menyu-kai warna yang diterapkan pada fasad bangunan ru-
mah susun Jogoyudan. Penerapan warna yang terang yaitu warna krem, memberikan kesan visual yang baik. Terbukti responden yang menilai warna fasad rumah susun Jogoyudan positif sebesar 88,33%,
(a) (b)
32 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi
responden yang menilai negatif sebanyak 10%, se-
dangkan sebanyak 1,67% responden memilih Netral. Hasil wawancara dengan warga mengenai material
bangunan menunjukkan bahwa banyak responden yang memilih netral. Hal ini dikarenakan pengerhauan warga Jogoyudan mengenai material bangunan kurang begitu baik. Sehingga mereka cenderung menerima
apa adanya bangunan rumah susun yang mereka huni. Hal ini terbukti pada warga yang menilai positif sebe-sar 31,67%, responden yang menilai negatif 10%, responden yang menilai netral 26,67%, dan 21,67% responden memiliki pendapat positif dan negatif mengenai aplikasi material pada fasad bangunan ru-
mah susun. e. Elemen Fasad yang Berpengaruh
Gambar 7. Grafik Hasil Wawancara
Mengenai Elemen Fasad yang Berpengaruh
(sumber: Analisa, 2013)
Gambar 8. (a) Rekonstruksi Potongan Kawasan Asrama Buruh
Ledok Code, (b) Modelling Kawasan Rusun Jogoyudan
(sumber: Survai, 2013)
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada
warga penghuni rumah susun Jogoyudan, elemen yang memiliki pengaruh positif terhadap fasad rumah susun
adalah elemen dinding, yaitu dengan angka responden
yang memilih sebanyak 27 orang dengan prosentase 45%. Elemen dinding memiliki pengaruh dalam mem-bentuk massa bangunan rusun yang berbentuk menye-rupai balok, dan memberi tampilan desain bangunan yang lebih baik dari fase bangunan sebelumnya yaitu asrama buruh dua lantai.
Tabel 1. Unsur Bentuk pada Elemen Dinding
Unsur Bentuk Keterangan
Wujud Bentuk geometris persegi
panjang, menggunakan material yang solid sehingga lebih kokoh
Warna Krem, difinishing dengan cat dinding eksterior berwarna te-rang
Tekstur Halus, karena pasangan batako telah ditutup dengan acian
Posisi
Sejajar dengan bidang datar, me-rupakan bidang terletaknya ele-men-elemen fasad yang lain seperti bukaan, Sun Shading, dll.
Skala dan Proporsi
Menggunakan skala manusia yaitu ukuran dan proporsi yang secara fungsional mewadahi aktivitas sesuai dengan tubuh manusi
Sumber: Analisa, 2013
Penerapan warna terang pada dinding juga menjadi
faktor yang mempengaruhi elemen tersebut sehingga bangunan rumah susun Jogoyudan terlihat menonjol dan kontras dari bangunan rumah tinggal di sekitar-nya.
Selain itu dinding menggunakan elemen material yang permanen tidak seperti fase pembangunan sebelumnya sehingga tampilan fasad bangunan terlihat lebih ko-koh. Kondisi tersebut berbedda dengan fase pemba-ngunan sebelumnya yaitu asrama Ledok Code yang hanya menggunakan material triplek atau papan tanpa
finishing. Sedangkan elemen yang memiliki pengaruh negatif
dari hasil wawancara warga adalah jendela dan buka-an dinding samping, dengan jumlah responden yang berpendapat bahwa elemen yang memiliki pengaruh buruk pada fasad rumah susun sebanyak 15 orang dengan prosentase 25%.
Gambar 9. Detail Jendela dan Pemanfaatan Jendela yang
Tidak Sesuai dengan Fungsinya oleh Penghuni (sumber:
Analisa, 2013)
(a)
(a)
(b)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 33
Aktivitas penghuni rusun yang menjemur pakaian
di jendela mengganggu pemandangan orang sekitar yang melihat. Apalagi bangunan rumah susun memi-liki 4 lantai sehingga jemuran penghuni semakin ter-lihat jelas. Bahkan terdapat penghuni yang melakukan penambahan pada unitnya dengan membuat atap tritisan kecil untuk menaungi pakaian yang dijemur.
Selain jemuran pakaian, banyak penghuni yang meng-gantung antena pada jendela unit yang mereka tem-pati. Sehingga membuat pemandangan pada fasad rumah susun kurang baik.
Gambar 10. Potongan Elemen Sun Shading pada Rusun serta
Jendela yang Ditutup oleh Penghuni
(sumber: Analisa, 2013)
Jika dilihat dari gambar potongan di atas, pelin-dung bukaan hanya memiliki panjang 40 cm, sehingga ukuran tersebut kurang maksimal dalam menaungi bukaan yang berada di bawahnya. Sinar matahari ma-sih dapat masuk ke dalam ruangan karena tidak ternaungi. Kondisi tersebut membuat penghuni harus
membuat teknik pengendalian sinar secara internal dengan memasang tirai tambahan pada jendela.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan analisa sistem visual kawasan yang meliputi aspek optic (pemandangan), place (tempat),
dan content (isi), serta analisa kualitas visual meliputi keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna, fasad rumah susun Jogoyudan memiliki pengaruh yang positif terhadap visual kawasan kam-pung Jogoyudan Yogyakarta. Dari hasil wawancara responden diklasifikasikan aspek visual fasad rumah
susun Jogoyudan dipengaruhi oleh aspek-aspek seba-gai berikut : a. Wujud Bangunan
Konfigurasi wujud massa bangunan rumah susun Jogoyudan didesain lebih baik sehingga terlihat menonjol di antara bangunan-bangunan rumah
tinggal lain, sehingga memberi dampak visual yang baik bagi kawasan permukiman Jogoyudan
b. Fungsi Bangunan Terjadi penyimpangan fungsi ruang jemur menjadi dapur atau ruang lain dalam unit rumah susun. Sehingga jendela yang terletak pada ruang dapur
dimanfaatkan penghuni untuk menjemur pakaian.
Terdapat juga penghuni yang menutup elemen bukaan yaitu jendela dan kisi-kisi besi dengan kardus, triplek, atau kertas karena gangguan silau, dan masuknya binatang karena lubang bukaan yang terlalu besar
c. Kualitas Material Bangunan
Pada fase peremajaan ketiga yaitu pembangunan rumah susun Jogoyudan, dilakukan perbaikan ma-terial bangunan. Karena pada fase kedua yaitu as-rama buruh Ledok Code bangunan menggunakan material yang tidak permanen. Namun material bangunan rusun blok D dan E memiliki kualitas
material yang kurang baik jika dibandingkan de-ngan bangunan rusun blok A dan B, sehingga ter-jadi kerusakan pada beberapa elemen fasad.
d. Sosial Budaya Sebagian besar penghuni rumah susun Jogoyudan masih membawa budaya atau kebiasaan tinggal
pada rumah landed house. Keadaan tersebut diper-parah dengan bertambahnya penghuni dari warga pendatang yang belum bisa berinteraksi sosial dengan penduduk asli setempat mengakibatkan menurunnya kepedulian masyarakat dalam hal perawatan serta kebersihan lingkungan rumah
susun. Berdasarkan analisa unsur bentuk pada elemen
pembentuk fasad rumah susun Jogoyudan, serta ana-lisa hasil wawancara warga dan observasi pada lokasi penelitian, diketahui bahwa elemen yang berpengaruh
terhadap fasad rumah susun Jogoyudan adalah sebagai berikut: a. elemen dinding sebagai elemen yang berpengaruh
positif Dalam analisa unsur bentuk, dinding memiliki pe-ran dalam membentuk massa bangunan dan wujud
tampilan luar bangunan rumah susun. Hal tersebut didukung oleh finishing yang dilakukan pada ele-men dinding dengan cat berwarna cerah yaitu krem dan merah bata. Penerapan warna dinding tersebut disukai oleh sebagian besar warga permukiman Jogoyudan.
b. elemen bukaan yang memiliki pengaruh negatif Kebiasaan penghuni rumah susun menjemur pakai-an pada elemen jendela merupakan tindakan pe-manfaatan elemen yang tidak sesuai dengan fung-sinya. Selain itu, elemen bukaan tidak didukung dengan sistem pengendalian sinar kurang baik,
sehingga sebagian besar penghuni menutup jendela ada unit rumah susun mereka.
Referensi 1) Budihardjo, Eko. 1994. Sejumlah Masalah Permukiman Kota,
Penerbit Bandung
2) Burden, Ernest, 1995, Elemen of Architectural design, a Visual
Resource, Van Norstrand, Reinhold, New York.
3) Ching, Francis D. K, 1991, Arsitektur, Bentuk, Ruang dan Tatanan,
Penerbit Erlangga, Jakarta
4) Cullen, Gordon. 1961. The Concise Townscape, Butterworth
34 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Ashri Amalia Hadi
Heinemann, University Press, Cambridge
5) Krier, Rob.1992., Elements of Architecture, The Academy Group
Ltd, London
6) Kukreja, C.P., 1978, Tropical Architecture, Tata McGraw-Hill
Publishing, New Delhi.
7) Nurmasari, Shofiyah. 2008. Hubungan Media Ruang Luar
(Menggunakan Pencahayaan Buatan) dengan Kualitas Visual
Koridor di Malam Hari Menurut Persepsi Masyarakat (Studi
Kasus Koridor Jalan Pahlawan Semarang). Tesis Magister Teknik
Arsitektur. Universitas Diponegoro.Semarang
8) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture.
Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
9) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture.
Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
10) Yudohusodo, Siswono. 1991. Rumah Untuk Seluruh Rakyat.
Jakarta: INNKOPPOL
11) Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Rusun
12) Pedoman Penyiapan Pengelola dan Penghuni Rusunawa Balai
Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling
Kementerian PU
13) www.jogjakota.go.id, Peta administrasi, peta pola struktur, peta
kawasan strategis, peta rencana pengembangan kawasan provinsi
Yogyakarta. Diakses pada 6/12/12 pukul 19:30
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 35
Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air di Kota Depok
Hendro Pratikno1, Mussadun
2
1Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro 2Dosen, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro
Abstract
Recharge area gives protection to its area and the areas beneath it. The high growth of settlements and population has led to decrease of water absorption ability. This study aims to formulate land conservation efforts to protect water recharge areas by improving and maintaining water absorption ability. The analyzis methods used in this study are land use change analysis, analysis of potential water recharge areas, analysis
of actual water recharge areas, analysis of changes in water absorption capacity, and analysis of land conservation studies. From this study it can be seen that formulation of land conservation efforts are carried out by the method of vegetative and mechanical conservation through (1) improving the ability of water absorption by making biopori holes in residential areas, improving drainage, creating green space such as RT parks, RW parks, city parks, green lane road, and the green line riparian, and (2) maintaining the ability of water absorption by protecting agricultural and dry land use and so as not to turn the function into non-agricultural land use, using recharge and absorption wells in residential areas, planting trees in the yard, improving the quality of existing green space, and controlling the growth of settlements with low KDB settings.
Keywords: Recharge Area, Land Conservation
I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Kawasan resapan air pada hakikatnya merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi dan peran
dalam menjaga daya dukung lingkungan khususnya sumber daya air untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup dan aktivitas perekonomian wilayah. Kelestari- an fungsi kawasan resapan air hanya akan terwujud jika ekosistem kawasan tetap terjaga dan terpelihara. Penggunaan lahan kawasan harus selalu diarahkan un-
tuk tidak menyebabkan perubahan ekosistem atau penurunan fungsi kawasan.
Pembangunan Kota Depok memunculkan sifat di- lematis di mana pada satu sisi, sebagian besar wilayah Kota Depok menyandang fungsi kawasan resapan air, sementara sebagian wilayah lainnya menyandang
fungsi sosial ekonomi akibat adanya tekanan pertum- buhan ekonomi dan perkembangan penduduk yang sangat tinggi, yang memerlukan kapasitas lahan dalam jumlah yang cukup besar.
Dari data BPS Kota Depok Dalam Angka diketahui bahwa Kota Depok berkembang sangat pesat yang
ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dimana laju pertumbuhan penduduk Kota Depok dari tahun 2000 sampai dengan 2010 adalah sebesar 4,27%
yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk se- cara nasional sebesar 1,49%. Selain itu konversi peng- gunaan lahan non permukiman menjadi permukiman dari tahun 2000 sampai dengan 2010 mengalami pe-
nambahan yang cukup pesat yakni sebesar 1.108,72 Ha. Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang di- ikuti dengan tingginya konversi penggunaan lahan non-permukiman menjadi permukiman di Kota Depok menyebabkan semakin berkurangnya lahan yang dapat menyimpan ketersediaan air tanah yang akan ber-
pengaruh terhadap terjadinya penurunan kemampuan resapan air. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang kerap terjadi akhir-akhir ini.
Untuk mengatasi permasalahan terjadinya penu-
runan kemampuan resapan air di Kota Depok diper- lukan delineasi yang jelas batasan kawasan resapan air secara fisik dan pengaruh perubahan penggunaan la- han terhadap kemampuan resapan air sehingga dapat diketahui upaya konservasi lahan yang dapat melin- dungi keberadaan kawasan resapan air.
1.2. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Penelitian ini bertujuan merumuskan upaya konser- vasi lahan untuk melindungi kawasan resapan air dengan cara meningkatkan dan mempertahankan ke- mampuan resapan air di Kota Depok.
Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Hendro Pratikno
--- Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota,
Universitas Diponegoro
Tel: 08129543708 E-mail: [email protected]
36 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di Kota Depok
tahun 2000 dan 2010. 2. Mengidentifikasi kondisi fisik lahan (geologi, cu-
rah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng) di Kota Depok.
3. Menganalisis karakteristik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2010 di Kota Depok.
4. Menganalisis kawasan resapan air potensial di Kota Depok.
5. Menganalisis kawasan resapan air aktual tahun 2000 dan 2010 di Kota Depok.
6. Menganalisis perubahan kemampuan resapan air tahun 2000 – 2010 di Kota Depok.
7. Menganalisis upaya konservasi lahan di kawasan resapan air Kota Depok.
II. Metode Penelitian
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif meru-
pakan metode yang menggunakan data terukur dan dianalisis dengan cara statistik (Cresswell, 2003). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah distribusi frekuensi, interpretasi data tabel, dan analisis spasial dengan teknik tumpang susun (overlay). Dis- tribusi frekuensi dan interpretasi data tabel digunakan
untuk menganalisis kecenderungan dari suatu data, sedangkan analisis spasial digunakan sebagai media analisis untuk mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki atribut keruangan dan mendapatkan gambar- an keterkaitan di dalam permasalahan antar wilayah dalam wilayah penelitian. Alat analisis ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan penggunaan lahan, mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air potensial berdasarkan kondisi fisik (geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan le- reng), dan mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air aktual berdasarkan kondisi fisik dan peng-
gunaan lahan untuk mendapatkan hasil analisis ke- mampuan resapan air, serta merumuskan kajian upaya konservasi lahan untuk meningkatkan dan memperta- hankan kemampuan resapan air di wilayah penelitian berdasarkan hasil analisis kawasan resapan air poten- sial, perubahan kemampuan resapan air, dan perubahan
penggunaan lahannya. Tahapan analisis yang dilaku- kan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
2.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis perubahan penggunaan lahan bertujuan untuk mengidentifikasi laju serta kecenderungan per-
tumbuhan dan perubahan penggunaan lahan di wila- yah penelitian. Data penggunaan lahan yang diguna- kan adalah data time series (tahun 2000 dan tahun 2010) yang digunakan untuk menggambarkan kecen- derungan perubahan penggunaan lahan dalam 2 (dua) periode waktu yang berbeda. Analisis perubahan
penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui per- ubahan dari jenis, sebaran, dan besaran perubahan penggunaan lahannya.
2.2 Analisis Kawasan Resapan Air Potensial
Analisis kawasan resapan air potensial didapat de- ngan melakukan tumpang susun (overlay) mengguna- kan Software ArcGis 10.0 berupa data spasial kondisi fisik lahan yang meliputi geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Data-data kondisi fisik lahan dijadikan variabel yang menentukan kawasan
resapan air potensial. Masing-masing variabel (geologi, curah hujan,
jenis tanah, dan kemiringan lereng) mempunyai peng- aruh yang berbeda terhadap resapan air ke dalam tanah yang dibedakan dengan pemberian bobot dan masing-masing variabel tersebut lalu dikelaskan dan
diberi skoring/nilai. Kemudian untuk menentukan tingkat kesesuaian
sebagai kawasan resapan air potensial dilakukan de- ngan menjumlahkan hasil perkalian antara bobot dan nilai pada tiap variabel, dengan menggunakan rumus :
Nilai total = (Gb*Gp) + (Pb*Pp) + (Sb*Sp) + (Lb*Lp)
Dengan : G = Geologi P = Curah hujan rata-rata tahunan S = Jenis Tanah
L = Kemiringan Lereng b = Bobot p = Nilai variabel Berdasarkan rumus tersebut maka akan diperoleh
nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Se-
makin besar nilai totalnya maka semakin besar potensi untuk meresapkan air ke dalam tanah dengan kata lain semakin sesuai sebagai kawasan resapan air. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5 (lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah yang pengkelasannya berdasarkan range nilai
terendah dan tertinggi di wilayah penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air potensial di Kota Depok.
2.3 Analisis Kawasan Resapan Air Aktual
Analisis kawasan resapan air aktual didapat de-
ngan melakukan tumpang susun (overlay) mengguna- kan Software ArcGis 10.0 antara hasil analisis kawa- san resapan potensial (berupa peta zona kawasan re- sapan air potensial di Kota Depok) dengan data spa- sial penggunaan lahan, di mana data spasial penggu- naan lahan tersebut dikelaskan dan diberi skoring/nilai.
Data spasial penggunaan lahan Kota Depok dipakai data tahun 2000 dan 2010.
Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) terse- but maka akan diperoleh nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Semakin besar nilai totalnya maka semakin besar kemampuan untuk meresapkan
air ke dalam tanah. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5
(lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, ren- dah, dan sangat rendah yang pengelasannya berdasar-
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 37
kan range nilai terendah dan tertinggi di wilayah
penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok pada tahun 2000 dan 2010.
2.4 Analisis Perubahan Kemampuan Resapan Air
Analisis perubahan kemampuan resapan air didapat
dari perubahan zona kawasan resapan air yang terjadi dari peta zona kawasan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) zona seperti berikut : a. Zona Penurunan Resapan Air Tinggi merupakan
perubahan penurunan resapan air aktual tahun
2000 ke tahun 2010 sebanyak 3 - 4 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat rendah kelas sangat tinggi menjadi kelas rendah kelas tinggi menjadi kelas sangat rendah
b. Zona Penurunan Resapan Air Sedang merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun
2000 ke tahun 2010 sebanyak 2 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat sedang kelas tinggi menjadi kelas rendah kelas sedang menjadi kelas sangat rendah
c. Zona Penurunan Resapan Air Rendah merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun
2000 ke tahun 2010 sebanyak 1 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas tinggi kelas tinggi menjadi kelas sedang kelas sedang menjadi kelas rendah kelas rendah menjadi kelas sangat rendah
d. Zona Resapan Air Tidak Berubah merupakan tidak
adanya perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010.
2.5 Analisis Perumusan Strategi Konservasi Lahan
Analisis perumusan strategi konservasi lahan dida- pat dengan meng-overlay peta kawasan resapan air
potensial dengan peta perubahan kemampuan resapan air, serta melihat perubahan penggunaan lahannya. Analisis perumusan strategi konservasi lahan dilaku- kan dengan mekanisme pengelolaan kawasan resapan air dan pengendalian penggunaan lahan untuk mem- pertahankan dan meningkatkan kemampuan resapan
air. III. Konservasi Lahan
Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan da- lam konteks melindungi sistem tata air merupakan upa- ya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran
infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan utama, yaitu metoda konservasi secara vegetatif, metoda konservasi secara mekanis, dan metode konservasi secara kimia. Pada penelitian ini digunakan metoda secara vegetatif dan
metoda konservasi secara mekanis.
3.1. Konservasi secara Vegetatif
Upaya konservasi tanah dan air dapat dilakukan
melalui upaya konservasi secara vegetatif (Utomo,
2001). Konservasi tanah secara vegetatif pada lahan non-pertanian dilakukan penanaman pada seluruh la- han sepanjang waktu. Jika pada upaya konservasi ta- nah dengan cara mekanis hanya dapat diperoleh man- faat dengan adanya penurunan laju erosi, maka de- ngan cara vegetatif diperoleh dua manfaat sekaligus
yaitu penurunan laju erosi dan peningkatan kemam- puan resapan air. Penurunan laju erosi yang diperoleh dari cara vegetatif terjadi karena adanya penurunan energi hujan (sebagai akibat adanya intersepsi oleh tajuk daun) yang sampai ke permukaan tanah, dan se- kaligus adanya penurunan volume serta kecepatan
limpasan permukaan. Penurunan volume limpasan permukaan ini terjadi karena adanya perbaikan sifat fisik tanah, dalam hal ini struktur dan ruang pori tanah, sehingga jumlah air yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi) menjadi besar.
Pada dasarnya semua jenis tanaman dapat diguna-
kan untuk pekerjaan konservasi tanah dan air, namun pemilihan jenis tanaman akan sangat menentukan ke- berhasilan upaya konservasi. Jika dalam konservasi tanah juga diharapkan terjadi konservasi air, maka penggunaan tanaman akan mempunyai laju evapo- transpirasi tinggi (misalnya pinus) supaya dihindari.
Persyaratan pemilihan tanaman bagi metode kon- servasi ini antara lain : - Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam
dan luas sehingga membentuk jaringan akar yang rapat
- Pertumbuhannya cepat sehingga mampu menutup
tanah dalam waktu singkat - Mempunyai nilai ekonomis baik kayu maupun ha-
sil sampingannya - Dapat memperbaiki kualitas/kesuburan tanah
3.2. Konservasi secara Mekanis
Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi (Kodoatie, 2003): Memperlambat aliran permukaan Menampung dan mengalirkan aliran permukaan
sehingga tidak merusak tanah
Memperbesar kapasitas infiltrasi air ke dalam ta- nah dan memperbaiki aerasi tanah
Menyediakan air bagi tanaman Sedangkan usaha konservasi tanah dan air yang
termasuk dalam metode mekanis antara lain: Pengolahan tanah
Pengolahan tanah menurut garis kontur Pembuatan teras Pembuatan saluran air (waterways)
IV. Hasil dan Pembahasan Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan
Kota Depok selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000–2010 ditunjukkan oleh peningkatan jenis peng- gunaan lahan permukiman padat. Permukiman padat
mengalami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha, diikuti
38 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno
oleh peningkatan jenis penggunaan lahan perumahan
developer/formal sebesar 1.019,03 Ha. Sedangkan je- nis penggunaan lahan yang mengalami penyusutan adalah permukiman renggang dengan tingkat penyu- sutan sebesar 3.151,60 Ha, diikuti oleh penyusutan jenis penggunaan lahan pertanian dan tegalan sebesar 1.526,19 Ha.
4.1. Kawasan Resapan Air Potensial
Zona kawasan resapan air di Kota Depok yang me- miliki resapan air potensial sangat tinggi terdapat di bagian selatan Kota Depok meliputi Kecamatan Tapos
sebesar 2.647,28 Ha, Kecamatan Cilodong sebesar 1524,48 Ha, Kecamatan Sukmajaya sebesar 618,26 Ha, dan Kecamatan Cipayung sebesar 275,21 Ha.
Gambar 2 Peta Zona Kawasan Resapan Air Potensial di Kota Depok
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Gambar 1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Depok Tahun 2000 dan 2010
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2013
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 39
Zona resapan air potensial tinggi terdapat di bagian
tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian sela- tan Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Tapos. Zona kawasan resapan air potensial sedang terdapat di bagian tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian utara Kota Depok
meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Cinere. Zona kawasan resapan air potensial ren- dah dan sangat rendah terdapat di bagian utara Kota Depok meliputi Kecamatan Limo dan Cinere.
Secara umum wilayah Kota Depok terdapat pada
zona kawasan resapan air potensial sedang sampai dengan sangat tinggi dengan luasan sebesar 17.767,41 Ha atau 88,58% dari luas wilayah Kota Depok.
4.2. Kawasan Resapan Air Aktual
Pada tahun 2000, zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok sebagian besar berada pada zona kawa- san resapan air sedang sampai sangat tinggi yakni sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah
Kota Depok. Kecamatan yang berada pada zona ka- wasan resapan air sangat tinggi yang memiliki luasan
Gambar 4 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2010
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Gambar 3 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2000
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
40 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno
paling besar adalah Kecamatan Tapos yakni sebesar
1.153,18 Ha. Pada tahun 2010, zona kawasan resapan air aktual
di Kota Depok yang sebagian besar berada pada zona kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah
kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah Kota Depok, pada tahun 2010 berkurang menjadi 15.049,36 Ha atau 75,03% dari luas wilayah Kota Depok.
4.2. Penurunan Kemampuan Resapan Air
Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) zona ka-
wasan resapan air yang mengalami penurunan resapan air tinggi terdapat di seluruh kecamatan di Kota Depok. Kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling besar terdapat di Kecamatan Beji sebesar 586,90 Ha atau 40,05% dari luas kecamatannya. Sedangkan untuk kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling
kecil terdapat di Kec. Bojongsari sebesar 1,49 Ha atau 0,08% dari luas kecamatannya.
Secara ekologis Kota Depok memiliki fungsi seba- gai kawasan resapan air terutama di bagian tengah hingga selatan. Berdasarkan overlay peta zona kawa- san resapan air potensial dengan peta zona penurunan
kemampuan resapan air dapat terlihat bahwa penu- runan resapan air tinggi terjadi di bagian tengah dan selatan Kota Depok di mana secara fisik lahan me- rupakan wilayah resapan air potensial tinggi. Wilayah Kota Depok yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan konservasi lahannya adalah Kecamat-
an Cipayung, Sukmajaya, Cilodong dan Tapos. Keem-
pat kecamatan tersebut mengalami penurunan resapan air tinggi, padahal secara fisik lahan merupakan kawa- san resapan air potensial.
Akibat terus mengalami penurunan dalam kemam- puan peresapan air sehingga Kota Depok memerlukan penanganan untuk meningkatkan dan mempertahan-
kan kemampuan resapan air dengan cara melakukan upaya-upaya konservasi lahan. Upaya-upaya konser- vasi lahan dilakukan dengan melihat tipologi resapan air secara potensial dan aktual di wilayah Kota Depok. Berdasarkan kajian konservasi lahan di Kota Depok didapatkan 5 (lima) tipologi konservasi lahan yang
masing-masing tipologi terdiri dari 4 (empat) sub tipologi seperti tabel berikut:
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
No
Kawasan
Resapan
Air
Potensial
Perubahan Kemampuan Resapan Air
Penurunan
Tinggi
Penurunan
Sedang
Penurunan
Rendah Tetap
1 Sangat
Tinggi A1 A2 A3 A4
2 Tinggi B1 B2 B3 B4
3 Sedang C1 C2 C3 C4
4 Rendah D1 D2 D3 D4
5 Sangat
Rendah E1 E2 E3 E4
Gambar 5 Peta Perubahan Kemampuan Resapan Air Di Kota Depok
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Tabel 1
Matrik Tipologi Kawasan Resapan Air
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 41
4.3. Tipologi Kemampuan Resapan Air
Wilayah Tipologi A merupakan daerah yang harus dijaga dan dikendalikan pembangunannya karena me- rupakan zona resapan air potensial sangat tinggi. Tipo- logi A terdapat di bagian selatan dari wilayah Kota De-
pok yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Suk- majaya, dan Cipayung. Pada beberapa tempat tersebut telah mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yang meliputi Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamatan-
nya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya.
Wilayah Tipologi B merupakan zona resapan
air potensial tinggi yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bo- jongsari, Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis.
Wilayah Tipologi C merupakan zona resapan air potensial sedang yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari,
Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis. Wilayah Tipologi D merupakan zona resapan air
potensial rendah yang terdapat di bagian utara dari wi- layah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere.
Wilayah Tipologi E merupakan zona resapan air
potensial sangat rendah yang terdapat di bagian utara dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere.
4.4. Kajian Konservasi Lahan
Kajian konservasi lahan di Kota Depok dilakukan berdasarkan 5 (lima) tipologi, di mana wilayah Tipo- logi A, B, dan C merupakan wilayah yang harus men- dapatkan prioritas dalam upaya mengonservasi lahan
dikarenakan wilayah tipologi tersebut termasuk ke da- lam kawasan resapan air potensial sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Konservasi lahan dilakukan dengan me- tode konservasi vegetatif dan mekanis. Pada masing- masing tipologi tersebut dibagi lagi menjadi 4 sub ti- pologi dimana sub tipologi 1 sampai dengan 3 (A1,
A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3) dilakukan upaya konservasi lahan melalui meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara pembuatan lubang biopori pada kawasan permukiman, perbaikan drainase, pem- buatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai.
Sedangkan sub tipologi 4 (A4, B4, C4, D4, E4) dilakukan upaya konservasi lahan melalui memper- tahankan kemampuan resapan air dengan cara melin- dungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non-
Gambar 6 Peta Tipologi Kemampuan Resapan Air di Kota Depok
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
42 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Hendro Pratikno
pertanian, pembuatan sumur resapan dan biopori pada
kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarang- an, meningkatkan kualitas RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah.
Untuk Tipologi D dan E walaupun termasuk ke da- lam kawasan resapan air potensial rendah dan sangat
rendah, namun tetap harus dilakukan upaya konservasi lahan dengan cara meningkatkan dan mempertahan- kan kemampuan resapan air sebagai pendukung upaya konservasi lahan di wilayah Tipologi A, B, dan C.
Secara umum wilayah Kota Depok sebagian besar merupakan kawasan resapan air potensial terutama di
wilayah bagian tengah dan selatan dari Kota Depok. V. Kesimpulan 1. Penggunaan lahan Kota Depok pada tahun 2010
sebagian besar berupa permukiman (permukiman padat, permukiman renggang, dan perumahan de-
veloper/formal) sebesar 13.858,08 Ha atau seluas 69,09% dari total seluruh wilayah Kota Depok. Perubahan penggunaan lahan Kota Depok dari ta- hun 2000 – 2010 yang mengalami perkembangan paling pesat berupa permukiman padat yang meng- alami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha.
2. Kota Depok secara kondisi fisik memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air, terutama di bagian selatan yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Wilayah ini harus dikendalikan perkembangannya
untuk melindungi fungsinya sebagai kawasan re- sapan air.
3. Dampak dari adanya perubahan penggunaan lahan adalah perubahan kemampuan resapan air di Kota Depok, di mana dari tahun 2000 – 2010 kemam- puan resapan air semakin berkurang. Hal ini di-
tunjukkan dengan semakin meningkatnya luasan kawasan resapan air aktual sangat rendah sebesar 3.413,82 Ha.
4. Berdasarkan kajian konservasi lahan dapat diketa- hui bahwa Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmaja- ya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona ka-
wasan resapan air potensial sangat tinggi, telah banyak mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yaitu Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamat- annya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya,
Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya, dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya.
5. Rumusan upaya konservasi lahan diprioritaskan pada Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan
Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Upaya kon- servasi pada empat kecamatan tersebut meliputi : a. Meningkatkan kemampuan resapan air dengan
cara memperbaiki kondisi permukaan tanah
untuk mendukung terjadinya peresapan air yang lebih baik dan mengurangi limpasan per- mukaan pada lokasi yang telah mengalami pe- nurunan kemampuan resapan air yang tinggi. Peningkatan kemampuan resapan air di antara- nya berupa pembuatan biopori pada kawasan
permukiman, perbaikan drainase, pembuatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai.
b. Mempertahankan kemampuan resapan air pada lokasi yang belum mengalami penurunan ke-
mampuan resapan air dengan cara melindungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non pertanian, pembuatan sumur resapan dan biopori pada kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarangan, meningkatkan kualitas
RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah.
VI. Rekomendasi 1. Kawasan resapan air merupakan kawasan lindung
yang melindungi kawasan bawahannya, yang arti- nya selain melindungi kawasan setempat (di Kota Depok) namun juga melindungi kawasan-kawasan bawahannya di bagian hilir (Provinsi DKI Jakarta) sehingga diperlukan kerjasama antara Pemerintah Kota Depok dengan Pemerintah Provinsi DKI Ja-
karta dalam pengelolaan kawasan resapan air. 2. Perlu adanya pedoman pengelolaan ruang kawasan
resapan air di Kota Depok yang bertujuan untuk menentukan arahan kebijakan pengelolaan peman- faatan ruang kawasan resapan air dan membuat kri- teria-kriteria teknis pemanfaatan ruang kawasan
resapan air. 3. Perlu adanya kebijakan pengendalian pemanfaatan
ruang yang terkait pengendalian pemanfaatan ka- wasan resapan air dengan cara menyusun peraturan zonasi kawasan resapan air yang dilegalkan dalam bentuk peraturan daerah sehingga pemerintah dae-
rah dapat memiliki landasan yang berkekuatan hu- kum dan peraturan zonasi ini merupakan perangkat utama dalam pengendalian terkait perizinan, meka- nisme insentif dan disinsentif, serta mekanisme pengenaan sanksi.
4. Perkembangan permukiman padat yang sangat
pesat di Kota Depok perlu dibatasi khususnya pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi yang kemampuan resapan air aktualnya belum mengalami penurunan. Sedangkan untuk permu- kiman padat yang telah berada pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi perlu diatur agar
tidak bertambah dan dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara membuat sumur resapan dan biopori.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 43
5. Perumusan kajian konservasi lahan untuk melin-
dungi (mempertahankan dan meningkatkan) ke- mampuan resapan air perlu ditinjaklanjuti dari arahan menjadi kajian yang sifatnya teknis dan detail, serta adanya kebijakan yang mengatur rencana pengembangan penggunaan lahan di kawa- san resapan air Kota Depok.
Daftar Pustaka 1) Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.
Bogor.
2) BPS Kota Depok, Depok Dalam Angka 2011.
3) Budiharjo, Eko dan Sujarto, Joko. 1999. Planning Local Economic
Development : Theory and Practice. Sage Publication. 4} Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Profil
Geologi Lingkungan Jabodetabek-Punjur. Pusat Lingkungan
Geologi Badan Geologi. Bandung. 5) Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 2009.
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman
Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
6) Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
7) Kodoatie, Robert J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur.
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 8) Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia,
Bogor. 9) Nugroho, Sutopo Purwo. 2002. Evaluasi Pembangunan Wilayah
Pengembangan Selatan DKI Jakarta Sebagai Kawasan Resapan Air.
Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 3 No. 1 Tahun 2002. Jakarta.
10) Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta. 11) Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan
Tanah. Jakarta. 12) Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Jakarta.
13) Presiden Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Republik
Indonesia (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Jakarta.
14) Presiden Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Republik
Indonesia (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999 Tentang Penataan
Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Jakarta.
15) Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Republik
Indonesia (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak,
Cianjur (Jabodetabekjur). Jakarta.
16) Presiden Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden Republik
Indonesia (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 –
2014. Jakarta.
17) Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Nomor
22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029. Jawa Barat.
18) Pemerintah Kota Depok. 2009. Identifikasi Potensi, Masalah, dan
Penjaringan Issue RTRW Kota Depok. Dinas Tata Ruang dan
Permukiman Kota Depok. Depok, Jawa Barat.
19) Pemerintah Kota Depok tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Depok 2011 - 2031.
20) Puridimaja, Deny Juanda. 2006. Hidrogeologi Kawasan Gunung
Api dan Karst Di Indonesia. Pidato Ilmiah Guru Besar Institut
Teknologi Bandung.
21) Rayes, M. Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan.
Penerbit ANDI, Yogyakarta.
22) Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D.R. 2007. Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor.
23) Rustiadi, E., and T. Kitamura. 1998. Analysis of Land Use Change
in City Suburbs. Journal of Rural Planning Association. 17 (1), pp
20-31.
24) Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit CV.
Pustaka Buana.
25) Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
26) Utomo, Wani Hadi. 2001. Menuju Pertanian Berkesinambungan.
Makalah disampai-kan pada Pelatihan Pengelolaan dan Konservasi
Lahan. PPLH Universitas Brawijaya Malang.
27) Waryono, Tarsoen. 2003. Peranan Kawasan Resapan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah pada diskusi profesi
perairan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Fakultas Teknik UI
Depok.
28) Wibowo, Mardi. 2006. Model Penentuan Kawasan Resapan Air
Untuk Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Lingkungan. Jurnal
Hidrosfir Vol. 1 No. 1 Hal. 1-7 Tahun 2006. Jakarta.
29) Zain, A.M, Mukaryanti, dan Diar Shiddiq. 2006. Evaluasi
Kemampuan Alami Wilayah Dalam Konservasi Air dan
Pengendalian Banjir. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 7 No. 1 Tahun
2006. Jakarta.
44 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti
Adaptive Reuse Design of Historic Context
Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan
Kurnia Widiastuti1, Atsushi Deguchi2
1Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia
2Professor, Kyushu University, Japan
Abstract
The adaptive reuse design of two different historic contexts characteristic, Yame City and Daimyo Area, Fukuoka, Japan, are discussed, stressed on physical and social aspects. Measurement of physical changes
was carried by assessing structure and material changes of the present building interiors. Method used was
visual observation and rapid interviews. In Yame case, building preservation by house owners tend in
keeping the original structural frame; while the most changed elements is openings (windows and doors) material. Never had any preservation encouragement, Daimyo has strong atmosphere of old time buildings
traces/revivals. This phenomenon could be understood by analyzing the social aspect. While Yame’s
preservation is strictly carried by government; Daimyo built its strong identity informally, using neighborhood bound. In these cases, there are two types of approaches in building preservation system, one
is by force which brings slight discomfort for occupants, but very effective in protecting the preserved
environment. The other one is by passive persuasion using neighborhood bound, which has loose control, but
not less strength in establishing the identity of local environment. Keywords: adaptive reuse, historic context, yame city, daimyo
I. Introduction
1.1 Background ‘Change’ is a part of growth. Japan has a very long
history of development. There’s no doubt that Japan
faced un-escapable change in economic-social-
political aspect along its long history. This aspect
influenced many dimension, especially in the physical
context, urban form and architecture.
The faith and longing for old tradition versus the
force of new developments. Many historical building
were gone in developmental process, causing fade of
historical context. Inability to adapt to recent demand
and condition made them disappear or lost its identity.
Yame City and Daimyo represent two different
points of view in understanding the change of
historical contexts, beside its similar characteristics.
Each two cases were placed inside ancient Edo era
castles, which make the locations itself has strong
historical context. But the contents of the historical
context, such as the building, road, etc., are different.
Unlike original road pattern and width which still
remained in both cases, number of old buildings in Da-
imyo is much less than in Yame City. This related to
their contrast characteristic of location. Yame city and
Daimyo have different potentials of location. Daimyo
is placed in urban area, where the economic growth is
highly paced, while Yame City is placed in rural quiet
area, where the growth is relatively slow.
The two cases also have different system of
preservation. Yame City has been strictly preserved by
local government, while Daimyo has no support or
encouragement to do such preservation. There’s
uniqueness in both cases. Therefore it is clear that
understanding these two cases stands served important
contribution for the efforts of historic context
preservation.
1.2 Objectives This study goal is to understand, analyze and
redefine the adaptive reuse design of two historic
contexts, which are Yame City and Daimyo, including
the physical and social aspect.
1.3 Method Firstly, physical changes data of the sample
buildings are collected and analyzed to establish the
typology of the changes. Second, non-physical (social-
economic) data were collected to understand the
factors under the physical changes. Conclusion was
made after analyzing all findings. And finally a new
definition of adaptive reuse design was established.
Kurnia Widiastuti
--- Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia
Ph: 08562892575 e-mail: [email protected]
Atsushi Deguchi
--- Professor, Kyushu University, Japan
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 45
II. Adaptive Reuse of Yame City’s Historic Context
2.1 General Profile
Figure 1. Old Castle Map of Yame Fukushima [1]
In the old time, Yame City’s was an area inside a
castle. Like other Japanese castle, this castle is
characterized by the trace of its surrounding canal.
There were used to be a multi layer ditches surrounds
the inner castle, but now its only small partial ditches
left.
Figure 2. Map of Present Yame City [1]
In the late of 19th century, in the middle of Meiji
Era, many machiya were constructed. The most of
present traditional buildings of Yame were built in this
time. The Yame City’s building is now about 100 years
old. The common type of architecture in Yame City,
Dozo Zukuri (Dozo-storage, Zukuri-style), built in the
year of 1838.
In June 2001, Ordinance of Yame Cultural
Landscape was established. The base of mechanism
was also being set since then. In May 2002, Yame
Fukushima was designated as an important preserv-
ation area of traditional buildings. This new ordinance
force building-owners to preserve their building’s
façade. Restoration, renovation or other physical
change must be authorized by local government before
being carried out, especially those which related to
façade or elevation changes.
In tolerance, government was also set some
building design guidelines to help resident to adapt
their building interior layout to the recent occupant
needs (such as garage, etc.) while also preserving
façade. Government also distributes subsidy for
building occupants to assure adequate building
maintenance.
The typical original house existed in Yame City is
machiya type2. This house characterized by doma,
earthen floor which runs along the house from the front
(mote-street side) to back yard (ura-garden side).
Kitchen can be found along this doma. In front part of
the house, there’s a shop space called mise (shop) no
ma (room). The shop might be a real shop, a working
place, or a meeting room (which merchants used to
discuss business).
Figure 3. Examples of Machiya in Yame City
Yame city is planned by government for a comer-
cial use surrounded by residential area (yellow zone).
Machiya (the house) itself also has commercial
function, represented by its shop space. Zoning policy
encourages this potential.
2.2 Samples
There were about 30 building samples surveyed in
this study. These samples were selected by choosing
the machiyas concentrated in main road that still has
commercial function, but changed their interiors. The
spread of samples is shown in figure below. Most
commercial type found were shops, followed by
restaurant/café. In table 1, result of physical change is
shown.
Figure 4. Map of Yame Building’s Function [1]
46 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti
Figure 5. Building Samples of Yame City
Table 1.Yame City Building Samples
Code
Function/
Description
Physical Change
Fo
un
dat
ion
Str
uct
ure
Up
per
Str
uct
ure
Flo
or
Wal
ls
Win
do
w
Win
do
w
Fra
me
Do
ors
Do
or
Fra
me
Cei
lin
g
Ro
of
Shops (12)
1-k62 Shop (sweets, food)
2-k61 Buddhist Shop
Garage
5-k42 Antique shop • • • • • • • •
c Cigarette shop •
e-k0 Shop & Cafe • #
i-k24 Perfume shop
j-k21/23 Buddhist shop •
k Grocery Shop • *
t Shop (craft & bread) • • #
h-k22 Shop & Gallery •
o Grocery shop •
Café and Restaurant (6)
m Soba-restaurant
8-k37a cafe
9 Restaurant •
*
d-k5 Restaurants •
f Restaurant • # #
l-k1 Restaurant •
Production (3)
p Tea Shop & Factory •
b (…)Factory •
3-k51 Bamboo workshop •
Printing Service (2)
n Printing Company •
a Printing Company • •
Information Facility (7)
8-k37b gallery
g-k4 a Gallery
6 Machiya Gallery •
7 Culture center (?) • . •
8-k37d Machiya
8-k37c library • • • • •
g-k4 b Information center
Index : original partially new
new • not known
not exist # color change
* mixed with additional element ^ partially missing
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 47
2.3 Typology and Pattern of Physical &
Functional Change
From the data of physical analyses of data,
typology of physical change can be categorized into
four types:
a. Old/Original Renovation back to Origin
This type let big part of change, but then re-
changes into original change. For example, a shop
changed its façade into modern concrete structure;
but then re-changed into original style by
replacing concrete wall with wooden wall, etc.
b. Old/Original Preservation
This type didn’t let any change. The physical
condition remains, but only let slight reparation.
For example, some shops that are well maintained
physically until recently.
c. Old/Original New Structure
This type let total change to new structure. For
example, the one that was demolished completely
and replaced by ware house.
d. Old/Original Remain Original, but changed
partially
This type didn’t let any changes, but only small
part which contrasts to the whole. For example,
display window of old machiya changed, using
concrete and wide glass window; but the rest
façade still remains original.
From the rapid tracing of machiya’s functional
change, it can be categorized in to four types:
a. Houses and Commercial (Machiya) Houses and
(different type) Commercial
This type is showed by those machiyas which
still functioned as residential and commercial, but
the type of commercial is changed.
b. Houses and Commercial (Machiya)
Commercial Only
This type is showed by those machiyas which
no longer have residential use, but only
shops/other commercial use instead.
c. Houses and Commercial (Machiyas) House
This type is showed by those machiyas which
no longer have commercial use, but only
residential use remains.
d. Houses and Commercial (Machiya) Vacant
building
This type is showed by those machiyas which
abandoned or no longer occupied.
2.4 System and Stakeholders There’s a clear system of how preservation are
carried in Yame City. There are many stake holders
plays in this system; that is the residents of Yame.
Principally, this system is mainly centered in the
community based promotion organization, named
Community of Yame Fukushima Traditional
Townscape Agreement. This organization delivers
service and information to local Yame residents who
need consultation about preserving their building.
This promotion organization is supported by five (5)
city planning groups as well as cooperated with them.
A project team established by city government
(majoring in 4 sections: Tourism and Commerce;
Welfare & Cultural Asset; Construction; Finance and
Planning Section) also cooperates with this promotion
organization. In case of there’s a project proposal
promoted by this project team, they have to consult
the proposal to the inquiry organization organized by
City Government, Yame Cultural Landscape Board,
which will give advices and approval.
Yame Government takes part in managing all
institutional components, which are Information
Provider, Yame Cultural Landscape Board,
Traditional Townscape Project Team, Community of
Yame Fukushima Traditional Townscape Agreement
and Business Company Association.
III. Adaptive Reuse of Daimyo’s Historic
Context
3.1 General Profile
Figure 7. Map of Daimyo in Edo Era [1]
In the past, Daimyo area was located near the
Fukuoka Castle. Now, only ruins of the castle left,
and Daimyo now situated in the center of Fukuoka
City, near the crowds of Tenjin business district.
Daimyo area is shaped as a small block with strong
atmosphere of old neighborhood, with its narrow
streets and alleys. The streets and alleys in Daimyo
network are shaped in Edo Era. Some form of street
junction is represented old defense technique of
samurai.
In the Edo Era, Daimyo was functioned as
residential area, while Tenjin was commercial one.
Daimyo’s Japanese traditional buildings were built in
this era. Unlike other part of Fukuoka City, this area
suffered less damage from World War II. But these
buildings could not survive long, in 1960-1970; many
traditional buildings were replaced by new apartments.
Since then, most of Daimyo’s buildings are
apartments.
daimyo
48 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti
Figure 6. System for Promoting Community Based Planning in Yame Fukushima3
In 1989, due to increasing economic value of
Tenjin and Daimyo area, these apartments were
being converted into commercial uses. That time,
Tenjin was a main commercial center for popular
culture, and Daimyo, next beside Tenjin, was a
center for sub culture. Daimyo served as a place
where alternative genre of fashion and music was
developed. Lower rental rate of Daimyo and its
strategic location provide suitable location for small
capital business to grow. Daimyo was a leading area
which well known in its sub cultural business.
Although this old historic context of Daimyo has
lost almost all its traditional building, but the shops
owners of Daimyo like to apply old style touch to
their building, interiors or façade. Many case of
mixture between modern and old style building could
be seen in Daimyo.
3.2 Samples There were six buildings samples surveyed in
Daimyo. Some of the cases still have clear trace of
machiya, but other cases were using old apartments.
These samples were chosen by recommendation of
city government officer *. Location of these cases
can be seen in map below.
Most of buildings lots have narrow width but
long length. This is the result of tax rate
measurement in Edo era, which counts on the width
of the lots. Nowadays, the tax rates are counted by
measuring total space area (per m2).
The oldest building in Daimyo is Joukyou Soy
Sauce Shop and Factory. It was built in Edo era.
Figure 3. Samples Map of Daimyo [1]
Legend
information and service
line
consultation line
cooperate and support line
cooperate line
answer and reply line
question inquiry line
management line
residents
Part of Residents
(Building Owner who
Support the Actions)
[COMMUNITY BASED
PROMOTION ORGANIZATION]
Community of Yame Fukushima
Traditional Townscape Agreement
30 persons
Member :
- Head community (12 person)
- Representatives of Supporting
Residence
- Representatives of Organization
[CITY GOVERNMENT]
Traditional Townscape
Project Team
Consist of 4 section
1. Tourism & Commerce
Section
2. Welfare & Cultural Asset
Section
3. Construction Section
(City Planning, Civil
Engineering)
4. Finance and Planning
Section
[INQUIRY
ORGANIZATION]
Yame Cultural Landscape
Board
15 persons
Experts :
- Professors
- Representatives of
Community
- Representatives of
Related organizations
[CITY PLANNING
GROUPS]
Organization and
Community Based
Planning
Group of Yame Main
Street Lovers
(50 persons)
Yame Hometown
(School)
(40 persons)
NPO Yame Machiya
Regeneration Supporters
(15 persons)
Activities :
- Event/Promotion by
local residents to utilize
the traditional townscape
- Plan & Execution of
events
- Rent, Sale and Re-use
Coordination of Vacant
Machiya
[Yame Commerce Chamber]
Business Company Association
Yame Government
[INFORMATION PROVIDER]
Machiya Information
Exchange
Representatives Community
Based Organization
NPO : Yame Townscape Design
Study Group
Consist of : professionals (architect offices and small construction
company)
Activities :
1. Building repairs and restorations 2. Constructions
3. Guide Group
4. Consultation for Machiya
repair/re-construction
Union of Retailer
233 Persons
13 Retailer Organization
6
1
1 2 4 3
5 6
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2 49
Table 2. Daimyo’s Building Sample Analyses
Figure 4. Samples of Daimyo
3.3 Typology and Pattern of Physical & Func-
tional Change There are three types of physical-functional
change in Daimyo:
a. Japanese House Apartments/other Shop
In this type, present shops were conversion of old
apartments into shops. Example of this type is
Kids Bar.
b. Japanese House Preserved, commercial Fa-
cility Added
This type represents the preserved old Japanese
house which reused and added by new structure
to support its commercial function. Example for
this type is Joukyou Soy Sauce Shop and Factory.
c. Japanese House Convert into shop
This type represents old Japanese house which
preserved and reused as shops with slight reno-
vation. Examples for this type are the two
merchandise shops.
d. Japanese House Others new structures
This type represent old Japanese house which
converted into new apartments structures, and
still remains until now.
3.4 System and Stakeholders Unlike Yame City, Daimyo has no formal system
for preserving their environment. The friendship
among the communities was served as major factor
which unites their neighborhood identity.
Twenty years ago, Daimyo emerged as a center
for sub culture activities. This area facilitate informal
ways to develop actions and networking for business
purpose and entertainment. The common informal
gatherings were parties, clubs, etc.
It has to be remembered that the Old Daimyo
served as a residential environment since long time
ago. This kind of informal gathering probably was a
newer form of old community gathering. It aimed
mainly for safety and cleanliness of their environ-
ment. After new interest of sub culture activities
started to develop in Daimyo, it influenced whole
identity of Daimyo area.
IV. Conclusion The most physical changes found in buildings in
Yame City and Daimyo were the floors, walls and
openings part of the buildings; while the most un-
Code
Function/
Description
Physical Change
Fo
un
dat
ion
Str
uct
ure
Up
per
Str
uct
ure
Flo
or
Wal
ls
Win
do
w
Win
do
w
Fra
me
Do
ors
Do
or
Fra
me
Cei
lin
g
Ro
of
Café and Restaurant (3)
1 Kids Bar Café
2 Cafe • •
3 Restaurant with doma • • •
Shops (3)
4 Merchandise Shop •
5 2nd
story merchandise
shop • ^
6 Joukyou Soy Sauce
Shop and Factory
Index :
original
partially new
new
• not known
not exist
# color change
* mixed with additional element
^ partially missing
Sample 1. Kids Bar
Café
Sample 2, café
Sample 3. Restaurant
Sample 4 Cleaning
Service and
Merchandise Shop
Sample 5,
Merchandise
Shops
Sample 6 Joukyou
Soysauce
50 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013 Kurnia Widiastuti
changed part was structural frame. In general, Yame
had fewer changes than Daimyo. Different pace of
economic changes brought different level of changes.
Daimyo faced higher pace of economic development
for its strategic location, but Yame had slow pace of
development, even Yame government has to involve
actively in developing economic of this historic con-
text.
In this research, there are two approaches to
maintain the social aspect of preservation, by active
force and by passive persuasion. The Yame City case
showed the first approach, the force came from the
local government. This strong power might not very
comfortable for the resident, but effectively carried.
To balance this power, the system also involves
participation of local community.
Daimyo might had less meaning or historical
traces, but the way it develop its identity without any
formal system or institution brought the idea of
preserving historical context by firstly establishing
the spirit of the community. Combination of these
two approaches explained above would bring better
preservation method of such historic context.
It must be noticed that changes are consequences
of growth and sometimes cannot be avoided. The
only matter’s that these changes must be maintained
in harmony and be controlled well in order to prevent
chaotic changes of environment.
Re-defining the Adaptive Re-use Adaptive reuse was defined as the act of finding a
new use for a building. It is often described as a
“process by which structurally sound older buildings
are developed for economically viable new uses”
(Austin, Richard, 1988). It’s also accepted that
Adaptive Reuse is a process that adapts buildings for
new uses while retaining their historic features.
From this research, there are some questions
about definition above. In adaptive reuse design,
targets that being studied most are the physical
feature, functional change, or other tangible aspect,
but not yet the intangible aspect. For example, a
building can be 100 percent changed physically, but
the spatial arrangement or basic concept might still
remain. Vice versa, a building can be only changed
less than 20 percent physically; but if it’s analyzed
using the philosophical dimension, the building
might loose its original concept. This is a possibility
of other dimension or typology of adaptive reuse.
Therefore, the definition of adaptive reuse can be
redefined as followed: ‘Adaptive’ can be described
as –adjective- ‘adjusted’, or ‘responsive’ to recent
condition/context; ‘Re-use’ can be described as –
verb-,‘re’ = repeating, the ‘use’ = apply, etc. ‘Use’ in
this ‘adaptive reuse’ term is often confused between
‘use’ as noun or ‘use’ as verb. This study proposed
‘use’ as verb, because it has more comprehensive
point of view. In other words, ‘adaptive reuse’ is a
technique which repeating the usage of certain past
condition/context by responding to recent condi-
tion/context.
Resources [1] Provided by Laboratory of Department of Architecture and Urban
Design, Faculty of Human-Environment Studies, Kyushu
University
[2] Linam Jr., John E., Thesis : Machiya and Transition; A Study of
Developmental Vernacular Architecture, 1999, Virginia
Polytechnic Institute and State University, Virginia
[3] Translated from Building Guidelines documents of Yame City
Government
[4] Austin, Richard l, ASLA, Adaptive Reuse: Issues and Case
Studies in Building Preservation, Van Nostrand Reinholdt
Company, 1988, New York
PEDOMAN BAGI PENULIS
Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan Teknik Arsitektur dan
Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan namanya, jurnal ini mempunyai misi
sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan
perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota,
sampai perencanaan lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun
praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP direncanakan terbit 2 kali
dalam setahun.
Kriteria Tulisan JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria dengan tipe atau kualitas
sebagai berikut:
1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang arsitektur dan
perencanaan.
2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan yang sesuai dengan
tujuan penulisannya.
3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga bila dikehendaki
pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya.
4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping tidak mengandung
unsur SARA.
5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan juga dimungkinkan
untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Persiapan Tulisan Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas, serta mudah untuk
diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh abstrak dan kata kunci yang
representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis secara baik akan membantu mewujudkan tujuan
ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia, seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah yang
tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih efektif. Penyimpangan
pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar seharusnya digunakan
untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami
keseluruhan tulisan. Penulis dituntut untuk selalu berpikir bagi kepentingan pembaca.
Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript) juga harus mengikuti persyaratan aturan tulisan baku.
Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan yang ditanggapi terbit.
Prosedur Review Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk menentukan review bagi
tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang
berkompeten di bidang yang menjadi fokus tulisan. Sistem yang dipakai adalah ”double blind” proses, di mana
mitra bestari tidak akan mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra
bestari.
Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari sebuah tulisan, diterima
dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau ditolak. Tulisan yang telah direview dan
memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi
tulisan yang diatur dalam proses review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan
benar-benar diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah proses
perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus menyerahkan pernyataan pengalihan
hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review,
menjadi tanggung jawab redaksi dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua
tulisan dan dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan.
Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak sebagai penutur asli,
sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke redaksi.
Biaya Penerbitan Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian, perubahan format
dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada penulis. Untuk semua kontak
penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.
Hak Cipta Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus orisinal, karya sendiri,
belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi yang lain. Penulis akan diminta
menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi penyerahan hak cipta (copyright) tulisan kepada penerbit,
dalam hal ini redaksi JAP. Hak cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan,
atau mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk memproduksi atau menggandakan tulisan, maka
seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi, kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta
persetujuannya. Penulis yang menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam
tulisan, seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya dalam
keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement) dalam gambar yang digunakan. Izin tertulis hendaknya
disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.
PEDOMAN FORMAT TULISAN
Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS World, sementara Page
Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4 (210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah
25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri) adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom
adalah 82mm dan jarak antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur
(lay-out) masuk dalam tulisan.
Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesiaa (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan dalam bahasa
Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa mungkin atur spasi dalam area
tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak.
Jumlah halaman dihitung mulai halaman judul.
Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan. Tulisan –dalam hal ini
termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak diperkenankan melebihi 8 halaman.
Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul tulisan, penulis (bisa
perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat
lengkap yang disertai nomer telpun, faksimili, dan e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter,
termasuk spasi di antara judul.
Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak lebih dari 200 kata dan
ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan isi tulisan, mulai permasalahan, metode,
termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords) juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu
secara mudah dalam pencariannya.
Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian (heading) yang mencerminkan urutan sekaligus
mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar belakang, motivasi, atau
maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan sehingga pembaca bisa memahami dan
mengikuti pekerjaan atau riset yang sama; Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan
secara jelas, sehingga bebas dari interpretasi.
Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai aturan yang ada,
misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2 orang, Williams, dkk. (1998).
Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga
penulis (surname). Jika ada daftar pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus
dibedakan dengan tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini
seharusnya mengikuti contoh berikut:
Referensi dalam bentuk buku
Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul, Edisi (jika bukan edisi pertama), Penerbit, Tempat
diterbitkan Misalnya:
Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Referensi dalam bentuk jurnal
Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, Judul Jurnal, Volume dan nomer jurnal,
Penerbit, Halaman Misalnya:
Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and people-gathering places in
an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra,
Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546,
207-214
Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun tetap harus
mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses. .
Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan, tetapi hendaknya
dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan angka yang lebih kecil (superscript) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian
akhir tulisan, sebelum daftar pustaka, dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point).
Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan memperhatikan penulisan
rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih kecil secara benar (subscript atau superscript). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI
maka persamaan dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung.
Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom sekaligus (170mm), sesuai
kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel atau gambar adalah diurutkan dan
menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun
detil gambar sebisa mungkin harus tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan
maupun resolusi gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar,
tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber asli) harus
disertakan.
Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan biaya tambahan
dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar transparansi.
Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model format (template)
yang telah disediakan dan dapat diunduh (download) di http://www.archiplan.ugm.ac.id/
GUIDELINES FOR WRITERS
The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by Department of Architecture and
Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University. As the name implies, this journal has a mission as a
medium for the development of science and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has
broad topics of writing, ranging from technology of building, architecture, city design, to urban environmental
planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from theories to practices, and they are
well-writen according to the correct scientific writing rules. JAP is planned to publish twice a year.
Writing Criteria JAP accepts and publishes scientific papers that meet requirements or criteria as follows:
1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and planning studies.
2. It gives brief and clear research of project framework, as well as an appropriate explanation due to the
purpose of writing.
3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to verify its
accurancy if it is needed.
4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the four elements of
SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes).
5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible to publish, with
terms and conditions applied.
Writing Preparation Papers should be written and arranged in a consice, clear, and understandable format. It is also should be
informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords, plus a well-writen background or
introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the rules on good and correct writing in Indonesian should be
applied. Furthermore, papers should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate
terms and dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be used to
clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding the whole text. The author is
required to think for the benefit of the readers.
Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard written rules. This type
of writing should be submitted no later than 6 months after the paper responded is published.
Procedure Review The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review. Basically, every article
submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert (mitra bestari). The system used is “double
blind” process, where the mitra bestari will not recognize the author, and the author will not recognize also the
name of the mitra bestari.
Based on the results of the first review, Editor Meeting will determine the continuation procedures of a paper,
which are: accepted with minor revision, accepted with major revision, or rejected. Papers reviewed and in need
of revision will be sent to the authors according to the listed contacts. The Editor has a right to regulate the writing
substance in review process and to request technical improvements, before the writing is actually published. The
revision period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are declared to be
ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer toward the writing distribution to the
JAP Editor or Publisher. All writing in the review process becomes the responsibility of the Editor and the
confidentiality of the writing contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will
not be returned.
The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include the language review
before it submitted to the Editor.
Publishing Cost The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for any format changes, the
cost will be charged upon the author. For all copies made, please contact the Editor address.
Copyright The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in the process of
publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped letter containing the writing
copyright transfer to the Editor of JAP. This copyright will exclusively include the right to reproduce, translate, or
take part/whole text (including tables, images, attachments) to interest of science development. If there is a third
party who asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be contacted, then
the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to publish illustrations or images will be
used in his/her writing, should obtain the written permission from the related publisher, including put down the
acknowledgement for images used. Written permission should be included in the final version writing before
publication.
Guidelines for Writing Format The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while Page Maker and other
software are not yet suggested). It is written in A4 size paper (210x297 cms), with top and bottom edge is 25 mms
and the margin (right and left) is 20 mms. The writing is formatted in 2 columns with its column width is 82 mms
and its inter-column width is 6 mms. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text.
The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should use Times New
Roman font with 10,5 point. Wherever possible, please arrange the space in the writing area to accomodate 59
lines of sentences from top to bottom. Handwriting will automatically be rejected. The number of page is
calculated from the title page.
The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A paper – including
images, tables, references, and remained space – are not allowed to exceed 8 pages.
The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author (could be individual or group
of authors), position, affiliation, and author’s contact contained of name, positions, affiliation, complete address
with telephone number, fax, and email. The paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces
between titles.
The abstract and keywords/keyphrases are stated in the first page (the title page). The abstract is no more than 200
words and written in English. It must clearly describe the contents of writings, problem formulation, methods, and
the conclusion. Keywords should be selected carefully, so that readers can be easily understood.
The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion, for example:
Introduction will describe the background, motivation, or the research aims; Methods will provide the necessary
information so that readers can understand and follow the discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear
explanation and interpretation free.
The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited according to the
rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more than two people: Williams, et al.
(1998). References or bibliography should be arranged alphabetically in the end of text by displaying the author ’s
family name/surname first. If there is a reference written by the same person in the same year, it must be
distinguished by additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should go
after example follows:
References from Books
Author’s surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first edition), Publisher, Place
of publication
For example:
Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
References from Journals
Author’s surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and number of journal,
Publisher, Page For example:
Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001), A typological analysis of houses and people gathering places in
an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra,
Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmetal Engineering (Transactions of AIJ) No. 546,
207-214.
References from internet are used as little as possible. If it is used, the writing still follows the rules of referencing,
plus the last data accessed.
Footnote is still possible if the paper requires additional infornations, but it should be limited instead. Its format
should be adjusted too, by using superscript format at the end of the sentence which needs additional notes. The
description list is placed according to serial number at the end of the writing before bibliography, with a smaller
size text (9 points).
Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to the correct formula
writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either subscript or superscript). The International
Standard (SI) for measure should be used if it is required. If the measurement is not in the SI equation, thus it
should be written using parentheses behind.
Tables and images can be arranged using only one column (82 mms) or two columns at once (170 mms),
according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or drawings are sorted by using Arabic
numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2, and so on. The content of tables or detail images should
be clearly readable as good as possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/
reduction can be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter of
pictures using from others or original sources should be included when it is published.
Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with additional fees charged to
the author. Avoid transparency image technique.
In preparing paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and can be downloaded at
http://www.archiplan.ugm.ac.id/