JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

96
Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) | i ISSN : 2089-1776 Vol. 2, No. 3, April 2014 Jurnal ini terbit 3 bulan sekali, pada bulan Januari, April, Juli dan Oktober serta berisi tulisan ilmiah hasil penelitian pendidikan sains Ketua Penyunting Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd. Wakil Ketua Penyunting Z.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si Penyunting Pelaksana Muhammad Asy'ari Mochammad Yasir Abdul Gani Ade San Putra Budiman Selly Candra Citra Murti Anik Sulistyorini Riska Permatasari Penyunting Ahli Prof. Drs. Soegimin WW. (Universitas Negeri Surabaya) Prof. Dr. dr. Tjandrakirana, M.S., Sp.And. (Universitas Negeri Surabaya) Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya) Z.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D. (Universitas Negeri Surabaya) Pelaksana Tata Usaha Budi Jarwanto Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) menerima sumbangan tulisan (artikel) ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli. Penyunting dapat mengubah tulisan sesuai dengan gaya selingkung JPPS tanpa mengubah isinya. Biaya berlangganan Rp. 150.000,-/eksemplar. Alamat Redaksi: Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Kampus Unesa Ketintang Gedung K.1 Surabaya Telepon / Faksimile : 0318293484 Email: [email protected]

Transcript of JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Page 1: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS)

| i

ISSN : 2089-1776

Vol. 2, No. 3, April 2014

Jurnal ini terbit 3 bulan sekali, pada bulan Januari, April, Juli dan Oktoberserta berisi tulisan ilmiah hasil penelitian pendidikan sains

Ketua PenyuntingProf. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd.

Wakil Ketua PenyuntingZ.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D

Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si

Penyunting PelaksanaMuhammad Asy'ariMochammad Yasir

Abdul GaniAde San Putra

BudimanSelly Candra Citra Murti

Anik SulistyoriniRiska Permatasari

Penyunting AhliProf. Drs. Soegimin WW. (Universitas Negeri Surabaya)

Prof. Dr. dr. Tjandrakirana, M.S., Sp.And. (Universitas Negeri Surabaya)Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya)Z.A. Imam Supardi, M.Si., Ph.D. (Universitas Negeri Surabaya)

Pelaksana Tata UsahaBudi Jarwanto

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS) menerima sumbangan tulisan (artikel) ilmiah yangbelum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli.Penyunting dapat mengubah tulisan sesuai dengan gaya selingkung JPPS tanpa mengubah isinya.Biaya berlangganan Rp. 150.000,-/eksemplar.

Alamat Redaksi:Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri SurabayaKampus Unesa Ketintang Gedung K.1 SurabayaTelepon / Faksimile : 0318293484Email: [email protected]

Page 2: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS)

| ii

ISSN: 2089-1776

Vol. 2, No. 3, April 2014

Ketentuan untuk Penulisan NaskahKetentuan umum:

1. Artikel yang diterima hanya artikel dari hasil penelitian pendidikan sains.2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan oleh

JPPS3. Penulis menyerahkan 3 eksemplar artikel dalam bentuk print-out beserta 1 soft copy (dalam CD) kepada

redaksi; 2 eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat, sedangkan 1 eksemplar lainnya tanpa namadan alamat yang akan dikirim kepada penyunting ahli (mitra bebestari). Artikel juga dapat dikirimsebagai attachment email JPPS ke: [email protected].

4. Artikel yang dikirim kepada redaksi adalah artikel yang belum pernah diterbitkan di media lain yangdibuktikan dengan pernyataan tertulis tertanda penulis bahwa naskah tersebut belum pernahdipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada artikel.

Standar Penulisan Artikel di JPPS1. Artikel diketik menggunakan program Microsoft Word dengan huruf Times New Roman, ukuran 10

poin, kertas A4 berat 70 gram dengan menggunakan dua kolom spasing 0,63 spasi tulisan 1,15; bataskiri 2,5 cm, serta batas kanan 2, atas 1,93, dan bawah 2 cm.

2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan (bottom of page, plain nuber 3).3. Huruf dan angka pada keterangan gambar, grafik, dan tabel dicetak tebal (Bold), menggunakan huruf

jenis Times News Roman berukuran 10 poin dengan spasi tunggal.4. Artikel ditulis sebanyak 5-10 halaman (sudah termasuk gambar dan tabel)

Sistematika Penulisan Artikel di JPPS

1. Artikel hasil penelitian teridiri atas: judul, nama penulis, alamat penulis (disertai email), abstrak (dalamBahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), kata kunci (keyword), pendahuluan, metode penelitian, hasil danpembahasan, simpulan dan saran, dan daftar pustaka.

2. Judul ditulis singkat, spesifik, memiliki daya tarik (provokatif) dan informatif yang menggambarkan isiartikel. Panjang dalam Bahasa Indonesia maksimal 14 kata, dan dalam Bahasa Inggris maksimal 12kata. Judul ditulis dengan huruf kapital berukuran 18 poin, spasi tunggal, dan terletak di tengah-tengahtanpa titik.

3. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademik (profesional) disertai nama dan alamat lembaga asal;ditempatkan di bawah judul artikel. Penulis utama mencantumkan alamat email. Jika penulis artikellebih dari 3 orang, yang dicantumkan hanya penulis utama, dilengkapi dkk; nama penulis lain dimuat dicatatan kaki.

4. Abstrak ditulis dalam satu paragraf antara 75-200 kata dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.Abstrak berisi uraian secara singkat tentang masalah dan/atau tujuan penelitian, metode/pendekatan,hasil penelitian, dan simpulan. Abstrak bukan komentar atau pengantar dari penulis. Abstrak ditulisdengan huruf times new roman ukuran huruf 9, spasi tunggal, batas kiri 2,5, serta batas kanan 2, atas1,93, dan bawah 2 cm.

5. Kata kunci (keyword) ditulis miring (italic), 3-5 kata-kata kunci, satu spasi di bawah abstrak.

Page 3: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS)

| iii

ISSN: 2089-1776

Vol. 2, No. 3, April 2014

6. Pendahuluan berisi paparan ringkas tentang permasalahan penelitian, rencana pemecahan masalah,tujuan penelitian, dan terkadang harapan akan hasil penelitian. Ditulis tanpa sub judul di mana 15-20%dari panjang artikel.

7. Metode penelitian, berisi rancangan penelitian, teknik pengembangan, teknik pengumpulan data, danteknik analisis data.

8. Hasil dan pembahasan merupakan uraian hasil analisis data penelitian dan diskusi hasil penelitian.Pemakaian tabel, grafik, dan bagan sangat disarankan.

9. Simpulan dan saran berisi esensi hasil penelitian dan pembahasan. Disampaikan dalam butir- butir atauparagraf-paragraf pendek.

10. Daftar pustaka hanya memuat rujukan yang disebut dalam tubuh artikel. Daftar rujuan ditempatkandihalaman terakhir artikel (bukan halaman baru). Sedapat mungkin sumber rujukan merupakan pustaka-pustaka mutakhir (maksimal 10 tahun terakhir) dan ditulis secara alfabetis.

11. Setiap naskah yang dimuat dikenakan biaya konstribusi sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh riburupiah), dengan mendapat 2 (dua) eksemplar jurnal gratis. Kepastian pemuatan dapat menghubungiredaksi dengan alamat:

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya

Kampus Unesa Ketintang Gedung K.1 Surabaya

Telepon / Faksimile : 0318293484

e-mail: [email protected]

Page 4: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS)

| iv

ISSN: 2089-1776

Vol. 2, No. 3, April 2014

Terbit tiap 3 bulan sekali, pada bulan Januari, April, Juli dan Oktober

Daftar Isi Halaman

01 Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real BerbasisPenemuan Terbimbing untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Tingkat TinggiSiswaSutrisno, Sri Poedjiastoeti, I Gusti Made Sanjaya

137 – 145

02 Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis ModelPembelajaran Pemaknaan dalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan SensitivitasMoralIrwan Syah Putra, Muslimin Ibrahim, ZA. Imam Supardi

146 – 151

03 Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom DitinjauDari Pengetahuan AwalSunyono, Leny Yuanita, Muslimin Ibrahim

152 – 159

04 Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya MiskonsepsiSiswa pada Konsep Reaksi RedoksAgus Sri Hono, Leny Yuanita, Suyono

160 – 167

05 Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa padaKonsep Kesetimbangan KimiaArif Imam Subagyo, Suyono, Tukiran

168 – 173

06 Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsepdan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMAHerra Risdiana, Suyatno, Sri Poedjiastuti

174 – 183

07 Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Model Learning Cycle 5E untukMeningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMKpada Materi Pokok Laju ReaksiErie Verawati, Suyatno, Wahono

184 – 193

08 Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untukMelatihkan Keterampilan Proses Sains dan Menanamkan KarakterSuwar, Wasis, Toeti Koestiari

194 – 204

09 Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui ModifiedInquiry ModelsWahyu Juli Hastuti, Suyono, Sri Poedjiastoeti

205 – 212

10 Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media LectoraInspire untuk Meningkatkan Hasil Belajar SiswaZulkifli Zakaria, Wasis, Wahono Widodo

213 – 217

Page 5: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Jurnal Penelitian Pendidikan Sains (JPPS)

| v

ISSN: 2089-1776

Vol. 2, No. 3, April 2014

11 Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program SimulasiPhET untuk Melatihkan Keterampilan Proses dan Pemahaman Konsep IPAMohammad Azis, Leny Yuanita, Yuni Sri Rahayu

218 – 227

Page 6: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 137

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BENTUK MOLEKUL DENGANPEMODELAN REAL BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK

MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA

Sutrisno 1)

Sri Poedjiastoeti 2)

I Gusti Made Sanjaya 2)

1)SMA Negeri 10 Samarinda2)Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstract: This study aimed to describe the effectiveness of learning materials on shape of the molecule with the real modelingsupported by PhET media-based on guided discovery to facilitate the students’ high-order-thinking skills at odd semester XI class ofSMAN 10. This research is developmental research using 4D models. The test of the learning materials use one group pretest-posttest design. The results of validity syllabus (3.87), lesson plans (3.71), students’ book (3.35), work sheet (3.63), and test ofproducts (3.58) are categorized very good and reliability syllabus (99%), lesson plans (100%), students’ book (89%), work sheet(100%), and test of products (100%) are categorized reliable. The Achievement test of higher-order thinking skills showed that theindividuals completeness an average score of 82.79, the average sensitivity of items was 0.74 and the average individual gain scoreof 0.82. Students' response to the learning and teaching activities in average were well-categorized. Based on the findings of thestudy, it can be concluded that the shape of molecule with the real modeling supported by PhET media based on guided discovery–was effective to train the students' higher-order thinking skills.

Key Words: Shape of Molecule, Real Modeling, PhET Media, Guided Discovery, Higher-Order-Thinking Skills.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas perangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan realditunjang media PhET berbasis penemuan terbimbing untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa kelas XI semesterganjil SMAN 10 Samarinda pada materi bentuk molekul. Perangkat pembelajaran yang digunakan dikembangkan dengan model 4D.Perangkat pembelajaran di uji cobakan menggunakan one group pretest-posttest design. Validitas Silabus (3,87), RPP (3,71), BAS(3,35), LKS (3,63), dan LP Produk (3,58) berkategori sangat baik dan reliabilitas Silabus (99%), RPP (100%), BAS (89), LKS(100%), LP Produk (100%) berkategori reliabel. Tes hasil belajar keterampilan berpikir tingkat tinggi menunjukkan ketuntasanindividual rata-rata 82,79, sensitivitas butir soal rata-rata 0,74 dan gain score individual rata-rata 0,82. Respon siswa terhadapperangkat pembelajaran dan kegiatan pembelajaran rata-rata baik. Berdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwaperangkat pembelajaran bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang media PhET berbasis model penemuan terbimbing efektifuntuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

Kata-kata Kunci: Bentuk Molekul, Pemodelan Real, Media PhET, Penemuan Terbimbing, Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi.

PENDAHULUANPemberlakuan KTSP menuntut siswa untuk

memiliki kompetensi khusus dalam semua mata pelajaransetelah proses pembelajaran. Kompetensi merupakankemampuan berpikir, bertindak, dan bersikap secarakonsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan,keterampilan, dan nilai. Kompetensi ini sebagai bekalbagi siswa untuk menanggapi: isu lokal, nasional, danglobal. (Depdiknas, 2004).

Menurut Liliasari, (2005) agar dapat bersaing danberperan aktif dalam era globalisasi harus dihasilkansumber daya manusia yang memiliki keterampilanberpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills)sehingga muncul tenaga kerja yang berpikir kritis,berpikir kreatif, membuat keputusan, dan memecahkanmasalah. Hal ini sesuai dengan hasil survey yangdilakukan oleh Partnership for 21 Century Skills diAmerika Serikat pada tahun 2006 tentang keterampilanyang dibutuhkan dalam dunia kerja di perusahaan-perusahaan lima tahun mendatang menunjukkan, bahwaketerampilan berpikir kritis (critical thinking) dankemampuan memecahkan masalah berada pada posisipertama, diikuti kemampuan mengapilkasikan TeknologiInformasi dan Komunikasi, kemampuan bekerja sama,

kemampuan berkreasi/berinovasi, dan kemampuanmemahami perbedaan.

Faktanya berdasarkan hasil survei TrendsInternational Mathematics and Science Study (TIMSS)pada tahun 2007, siswa Indonesia hanya 5% yang dapatmengerjakan soal-soal yang membutuhkan keterampilanberpikir tingkat tinggi (analisis, evaluasi, kreasi), 17%level menengah (menerapkan) dan 78% level rendah(hanya memerlukan knowing, atau hafalan). BerdasarkanProgramme for International Student Assesment (PISA)juga menunjukkan prestasi belajar anak-anak Indonesiayang berusia sekitar 15 tahun juga tergolong rendah. PadaPISA pada tahun 2009, sebagian besar siswa Indonesiahanya menguasai pelajaran sampai level 3 (pengetahuan,pemahaman, penerapan), sementara negara lain banyakyang sampai level 4, 5, bahkan 6 (analisis, evaluasi dankreasi). Hasil TIMSS dan PISA yang rendah disebabkanoleh banyak faktor. Faktor penyebabnya adalah siswaIndonesia kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soaldengan karakteristik seperti soal-soal pada TIMSS danPISA yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi

Page 7: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 138

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

(Balitbang, 2011). Renstra Depdiknas (2005-2009),melaporkan bahwa pengalaman belajar yang diperolehsiswa hanya mempelajari sains pada domain kognitif yangterendah dan tidak dibiasakan untuk mengembangkanpotensi berpikirnya.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalahkecakapan, kemampuan, atau keterampilan yang meliputiketerampilan menganalisis, mengevaluasi danketerampilan mengkreasi (Anderson dan Krathwohl,2002). Menurut Nickerson (1985), keterampilan berpikirselalu berkembang dan dapat dipelajari. Hal ini jugadidukung pendapat Klausner (1996), bahwa keterampilanberpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan melaluipemahaman sains dan proses-proses sains yangmerupakan perwujudan dari hakikat sains. Berdasarkankenyataan tersebut untuk mengatasi masalah diperlukanperangkat pembelajaran yang mampu mengembangkanketerampilan berfikir tingkat tinggi siswa dalammemahami konsep-konsep sains secara benar. Perangkatpembelajaran yang menekankan pada produk, proses dansikap, oleh karena itu model pembelajaran yang dianggapsesuai untuk siswa tingkat SMA adalah modelpembelajaran penemuan terbimbing (Guide discovery).Model pembelajaran penemuan terbimbing (GuidedDiscovery) merupakan model pembelajaran yang bersifatstudent oriented di mana siswa diberi kebebasanmencoba-coba (trial and error), menerka, menggunaanintuisi, menyelidiki, dan menarik kesimpulan sertamemungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjukjalan dalam membantu siswa untuk mempergunakan ide,konsep, dan keterampilan yang mereka miliki untukmenemukan pengetahuan yang baru (Dahar 1989).

Menurut Sudria (2003) pengajaran bentuk molekulsaat ini umumnya dikenalkan dengan menggunakanmodel yang berupa gambar molekul, alat peraga tigadimensi (seperti molimod) atau buatan sendiri, dan modelvisual lain baik statis maupun dinamis melalui tayangankomputer. Disamping itu pada beberapa tahun terakhir iniuntuk membantu siswa meningkatkan pemahaman bentukmolekul telah dikembangkan model tiga dimensi (3D)dari dua dimensi (2D) (Gilbert, 2008; Seddon &

Eniaiyeju, 1986,; Wu, Krajcik, & Soloway, 2001).University of Colorado berhasil mengembang-kan

media pembelajaran Physics Education Technology(PhET) Interactive Simulations yang menyediakansimulasi pembelajaran fisika, kimia, biologi, danmatematik. Pada simulasi pembelajaran kimia terdapatmedia pembelajaran bentuk molekul berdasarkan teoriVSEPR dalam model tiga dimensi yang memudahkansiswa memahami bentuk molekul yang abstrak atau tidakdapat dilihat oleh mata telanjang seolah-olah nyata.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan olehHadi, Sutrisno, Ulfa, (2008) menunjukkan bahwa jika

siswa terlibat aktif dalam mengkonstruksi bentuk molekuldengan pemodelan real dan dikombinasikan denganpenggunaan media komputasi dapat meningkatkan hasilbelajar siswa.

Pemodelan berasal dari kata dasar model, dalamKamus Besar Bahasa Indonesia model berarti barangtiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yangditiru. Phillips, Ravindran, dan Solberg (1976) dalamoperation research, yang dimaksudkan dengan modeladalah representasi sederhana dari sesuatu yang nyata.Menurut Ramdani (2011) pemodelan (modeling)merupakan proses pembelajaran dengan memperagakansesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiapsiswa. Sedangkan real dalam Kamus Besar BahasaIndonesia berarti nyata.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapatdisimpulkan pemodelan real adalah proses pembelajarandengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yangmerupakan representasi sederhana dari sesuatu yangnyata, dapat ditiru dan diamati secara nyata (kongkret)oleh setiap siswa.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, makadalam upaya pengembangan perangkat pembelajaranKimia, peneliti tertarik untuk melakukan penelitiantentang “Efektivitas Pembelajaran Bentuk MolekulDengan Pemodelan Real Ditunjang Media PhET BerbasisPenemuan Terbimbing Untuk Melatihkan KeterampilanBerpikir Tingkat Tinggi Siswa”

METODE PENELITIANPenelitian ini menerapkan perangkat pembelajaran

bentuk molekul dengan pemodelan real ditunjang mediaPhET berbasis penemuan terbimbing untuk melatihkanketerampilan berpikir tingkat tinggi siswa SMA.Perangkat pembelajaran tersebut terdiri atas: Silabus,Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar KerjaSiswa (LKS), Buku Ajar Siswa (BAS), dan LembarPenilaian (LP) yang dikembangkan dengan 4D diujikelayakannya terlebih dahulu sebelum diterapkan dalampembelajaran..

Perangkat pembelajaran di uji cobakan di SMAN 10Samarinda pada kelas XI tahun ajaran 2013/2014 denganmelibatkan 22 siswa menggunakan model One GroupPretest-Posttest Design (Arikunto, 2010: 212)

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Kelayakan Perangkat Pembelajaran Yang

DikembangkanHasil validasi Silabus, RPP, Buku Ajar Siswa,

LKS dan Lembar Penilaian oleh pakar secara ringkashasil validasi oleh Pakar dapat dilhat pada Tabel 1.

O1 X O2

Page 8: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 139

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

Tabel 1 Hasil Validasi dan Reliabilitas PerangkatPembelajaran

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan perangkatpembelajaran yang divalidasi oleh para ahlikategorinya sangat baik dan reliabel. Hal inimenunjukkan bahwa perangkat pembelajaran bentukmolekul dengan pemodelan real yang ditunjang mediaPhET berbasis penemuan terbimbing untukmelatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswalayak digunakan.

Kelayakan RPP dapat dilihat dari hasilkemampuan guru mengelola KBM yang mendapatkannilai rata-rata 3,97 dengan kategori sangat baik danketerlaksanaan RPP 100%. Hasil yang baik inimenunjukkan bahwa proses pembelajaran yangdiskenariokan berjalan dengan baik. Kesesuaian antarajenis kegiatan dan waktu yang diperlukan yang tepatpada kegiatan belajar mengajar memudahkan gurudalam menjalankan tahapan-tahapan kegiatan yangtertuang dalam RPP.

Kelayakan RPP juga dapat dilihat berdasarkanaktivitas spesifik siswa dalam kegiatan pembelajarandengan model penemuan terbimbing. Aktivitas siswayang menonjol yaitu bertanya 13%, membacaliteratur, 12%, mengkonstruksi bentuk molekul(meramal) 10%. Hal ini sesuai dengan harapanPermediknas RI nomor 41 tahun 2007 yangmenegaskan bahwa proses pembelajaran pada setiapsatuan pendidikan dasar dan menengah harusinteraktif, berpartisipasi aktif, serta memberikan ruangyang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dankemandirian sesuai dengan perkembangan fisik sertapsikologis siswa (Depdiknas, 2007).

Keaktifan siswa dalam bertanya dalam kegiatanKBM menunjukkan adanya rasa keingintahuan yangbesar dari siswa. Hal ini sesuai dengan maknakegiatan pembelajaran yaitu adanya interaksi antarasiswa, guru, dan sumber belajar dalam membangunpengetahuannya. Vygotsky dalam Slavin (2006)mengatakan bahwa proses belajar tidak dapatdipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, persepsidan aktivitas berjalan seiring secara dialogis danmelalui aktivitas interaksi sosial tersebut penciptaanmakna terjadi.

Aktivitas siswa dalam mencari informasimerupakan merupakan salah satu aktivitas siswamenggali informasi yang dibutuhkan untuk

menganalisis hasil eksperimen dan membanding-kanhasil ramalannya. Guru selaku fasilitator danmoderator mendorong siswa untuk mencari informasiyang sebanyak-banyaknya pada buku ajar siswa yangdisediakan oleh guru. Hal ini sesuai pendapatSuherman (2001) bahwa pada model pembelajaranpenemuan terbimbing siswa lebih banyak belajarsendiri.

Aktivitas siswa ini sesuai dengan penelitianAkinbola dan Afalabi (2009) yang mengatakan bahwapendekatan penmuan terbimbing mampumeningkatkan keterampilan hand-on dan mind-on.Menurut Ates' & Eryilmaz, (2011) hands-on activityadalah kegiatan eksperimen siswa untuk menemukanpengetahuan secara langsung melalui pengalamansendiri, megkonstruksi pemahaman dan pengertian,sedangkan minds-on activity adalah aktivitas berpusatpada konsep inti, dalam hal ini siswa mengembangkanproses berpikir (secara mental) untuk menjawabpertanyaan-pertanyaan untuk menemukan konseppengetahuan dan memahaminya dalam kehidupansehari-hari.

Kelayakan BAS yang dikembangkan dapat dilihatdari Tabel 1 juga berdasarkan respon siswa terhadapBAS. Respon siswa terhadap BAS menunjukkanketertarikan pada buku ajar siswa 91%, artinya siswatertarik, keterbaruan buku ajar 86% artinya BAS yangdikembangkan baru bagi siswa, materi isi buku 69%artinya siswa mudah memahami isi BAS, contoh-contoh soal 91% artinya siswa mudah memahamicontoh-contoh yang terdapat pada BAS, hanyakemudahan memahami bahasa dalam BAS yangmendapatkan respon paling rendah yaitu 54% artinyasiswa kurang mudah/ kesulitan memahami bahasaBAS. Adanya ketidak sesuaian antara penilaianvalidator dengan respon siswa bisa dipahami karenaperbedaan kemampuan dalam memahami bahasa danpengetahuan tentang materi pelajaran.

Kesulitan siswa dalam memahami bahasa yangterdapat pada BAS disadari karena kelemahan penelitidalam mengalihbahasakan sumber BAS yangbersumber dari bahasa Ingris ke dalam bahasaIndonesia yang baik dan benar. Tetapi secara umumrespon siswa terhadap BAS rata-rata baik sehinggamenurut peneliti masih layak digunakan sebagaisumber belajar. Hasil posttest rata-rata siswamendapatkan nilai 82,79, hal ini menunjukkan secaraumum nilai yang diperoleh siswa mempunyai kriteriayang baik, Hasil rata-rata posttest yang baikmenunjukkan bahwa BAS layak digunakan sebagaisumber belajar.

Kelayakan LKS dapat dilihat pada Tabel 1 jugaberdasarkan tingkat respon siswa terhadap LKS,ketertarikan pada LKS 81% artinya siswa tertarik,

No JenisPerangkat

Validitas Realibilitas

Nilai KategoriPercentase of

AgreementKategori

12345

SilabusRPPBASLKSLP Produk

3,873,713,353,633.58

Sangat BaikSangat BaikSangat BaikSangat BaikSangat Baik

9910089100100

ReliabelReliabelReliabelReliabelReliabel

Page 9: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 140

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

keterbaruan LKS 100% artinya LKS yangdikembangkan peneliti baru bagi siswa, kemudahanmemahami komponen bahasa LKS 100% artinyasiswa mudah memahami bahasa LKS.

LKS yang diimplementasikan lebih menekankanpada proses untuk menemukan konsep, melaluipemodelan real dan ditunjang media PhET, siswaterlibat aktif membangun konsep berdasarkanpengalamannya sendiri. Hal ini sesuai dengan teorikonstruktivis Piaget (dalam Slavin, 2006) yangmenegaskan bahwa proses untuk menemukan teoriatau pengetahuan dibangun dari realitas lapangan.Kegiatan pada LKS, seolah-olah siswa dihadapkanpada fakta tentang bentuk suatu molekul dan siswamembangun konsep berdasarkan fakta-fakta tersebut.

Aktivitas siswa dalam mengkonstruksi bentukmolekul merupakan aktivitas siswa dalam meramalkanbentuk molekul melalui coba-coba (trial and error)dengan berpedoman pada teori VSEPR. Menurut teoriVSEPR pasangan elektron yang terdapat di sekitaratom pusat akan saling tolak-menolak sedemikianrupa sehingga tolakannya seminimal mungkin yaitudengan membentuk sudut yang sebesar-besarnya(Effendy 2006).

Pada kegiatan ini siswa dituntut untukmenemukan sendiri bentuk suatu molekul jikadiketahui PEI dan PEB nya. Hal ini sesuai denganteori konstruktivis Piaget yang menegaskan bahwaproses untuk menemukan teori atau pengetahuandibangun dari realitas lapangan (Dahar, 1989). Piagetjuga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangundalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasidan akomodasi sesuai dengan skemata yangdimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasibaru dalam pikiran, sedangkan, akomodasi adalahmenyusun kembali struktur pikiran karena adanyainformasi baru, sehingga informasi tersebutmempunyai tempat (Ruseffendi, 1988).

Aktivitas siswa yang tinggi dalam prosespembelajaran ini juga disebabkan karena tugas-tugasdalam LKS yang digunakan dalam prosespembelajaran masih dalam zone of proximaldevelopment (zpd) siswa, tidak terlalu sulit dan tidakterlalu mudah sehingga siswa sangat termotivasi untukmengerjakan (Vygotsky dalam Slavin 2006). Hal inidikarenakan sebelum mempelajari bentuk molekul adapelajaran prasyarat yang harus dikuasai siswa yaitukonfigurasi elektron, elektron valensi dan strukturLewis yang merupakan dasar untuk belajar meteriberikutnya yaitu bentuk molekul.

Kelayakan LP produk dapat dilihat pada Tabel 1juga berdasarkan dapat dilihat pada respon siswaterhadap keterampilan berpikir yang dilatihkan.Respon tersebut menunjukkan bahwa keterampilan

berpikir tingkat tinggi yang dilatihkan mudah bagisiswa, hal ini juga didukung hasil posttest dengan nilairata-rata 82,79.

2. Efektivitas PembelajaranEfektivias pembelajaraan dapat ditinjau dariketuntasan Individual, Gain Score, dan SensitivitasButir Soal.a. Ketuntasan Individual

Ketuntasan Individu adalah ketuntasan siswaapabila telah mencapai Kreteria KetuntasanMinimal (KKM) mata pelajaran Kimia di SMAN 10Samarinda ditetapkan sebesar 75%.

Hasil analisis ketuntasan hasil belajar LPProduk bentuk molekul keterampilan berpikirtingkat tinggi individual pada saat pretest danposttest dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 1 Diagram Nilai Pretest dan Postest THBKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwaskor yang diperoleh setiap individu sebelumpembelajaran penemuan terbimbing di bawahKKM (75) dengan rata-rata 6,10%, sehinggasecara individual pada uji coba tidak ada siswayang tuntas. Tiga indikator dengan enam jenis soalyang digunakan sebagai pretest tidak ada satupunsiswa yang tuntas.

Setelah dilakukan pembelajaran penemuanterbimbing ketuntasan belajar produk rata-ratasecara individual sebesar 82,79% dan ada 3 siswayang belum tuntas yaitu siswa no 1, 9 dan 12.Berdasarkan analisis ketuntasan indikatormenunjukkan bahwa indikator menjelaskanpengaruh pasangan elektron bebas pada kulitvalensi atom pusat terhadap sudut-sudut ikatanyang ada di sekitar atom pusat merupakanindikator dengan ketuntasan yang paling sedikit,dengan tujuan pembelajaran siswa dapatmenjelaskan pengaruh pasangan elektron bebasterhadap perbedaan besarnya sudut ikatannyasesuai deskripsi yang tercantum pada kunci LPProduk

Perbedaan rata-rata hasil pretest-posttestsetelah adanya perlakuan terhadap siswamenunjukkan adanya pengaruh positif yang sangatbesar terhadap terhadap hasil belajar siswa yang

6 6 114 3 7 6 3 6 1

10 10 7 6 6 411 7 7 7 1 4

71

87 8779 83 85 79

96

69

9184

7183 81

91 9786 83 80 84

76 77

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Pretest Posttess

Page 10: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 141

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

memerlukan keterampilan berpikir tinggkat tinggi,sehingga dengan demikian perangkat pembelajaranpenemuan terbimbing (Silabus, RPP, BAS, LKSdan LP) yang telah dikembangkan efektifmelatihkan keterampilan berfikir tingkat tinggi.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitianAkinbobola dan Afolabi (2009), yang mengatakanbahwa penemuan terbimbing paling efektif untukmeningkat-kan prestasi belajar siswa. MenurutSuherman (2001: 179) model penemuanmempunyai keunggulan 1) siswa aktif dalamkegiatan belajar, sebab ia berpikir danmenggunakan kemampuan untuk menemukan hasilakhir; 2) siswa memahami benar bahan pelajaran,sebab mengalami sendiri proses menemukannya.Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lamadiingat; 3) melatih siswa lebih banyak belajarsendiri.

Hasil posttest yang baik ini juga sesuaidengan pendapat Haller, Monk, dan Tien (1993),yang mengatakan bahwa keterampilan berpikirtingkat tinggi tidak hanya dapat diberikan padasekolah yang berada di perkotaan saja tetapi jugadapat diberikan pada siswa yang sekolah dipinggiran kota dan pedesaan dengan fasilitas yangminim. Pada pembelajaran bentuk molekuldigunakan alat peraga yang sederhana yaitudengan menggunakan plastisin sebagai modelmolekul yang bentuknya dikonstruksi sendiri olehsiswa dengan trial and error. Hal ini sesuai denganpendapat Sudria (2003) bahwa penggunaan modelmerupakan pilihan terbaik, karena bentuk molekulsangat kecil dan tidak dapat dilihat.

Hasil posttest yang baik ini juga sesuaidengan hasil penelitian Hadi, Sutrisno, Ulfa,(2008) yaitu apabila siswa terlibat aktif dalammengkonstruksi bentuk molekul denganpemodelan real dan dikombinasi denganpenggunaan media komputasi dapat meningkatkanhasil belajar siswa.

b. Gain ScoreNormalized gain score digunakan untuk

mengetahui kenaikan rata-rata pretest dan posttest.Perhitungan normalized gain score menurut Hakedirumuskan sebagai berikut:

= % −%100 −%Tabel 2 Interpretasi Nilai G

Rata-rata persentase score hasil pretest-posttestdan Gain Score rata-rata hasil belajar LP Produkbentuk molekul keterampilan berpikir tingkattinggi individual dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase score rata-rata pretest-posttestIndividual dan Gain Score rata-rata

Berdasarkan Tabel 3 Gain Score individualpretest dan posttest rata-ratanya 0,82 dengankategori tinggi, hal ini menunjukkan bahwakegiatan pembelajaran bentuk molekul denganpemodelan real ditunjang media PhET berbasispenemuan terbimbing efektif dapat meningkatkanhasil belajar siswa yang berorientasi padaketerampilan berpikir tingkat tinggi siswa. IndeksGain Score yang tinggi menunjukkan bahwaperangkat yang digunakan dalam kegiatanpembelajaran memiliki kualifikasi valid, reliabeldan efektif sesuai penilaiaan validator.

c. Sensitivitas Butir SoalIndeks sensitivitas butir soal digunakan

rumus Cox & Vargas (Ratumanan dan Laurens(2011: 108). Indeks sensitivitas merupakan ukuranseberapa baik butir tersebut membedakan antarasiswa yang telah dan yang belum mengikutikegiatan belajar mengajar.=Keterangan:

: proporsi yang menjawab butir soal secarabenar pada post-test.

: proporsi yang menjawab butir soal secarabenar pada pre-test.

Indeks sensitivitas butir yang efektif beradadi antara 0,00 - 1,00. Semakin besar indekssensitivitas butir menunjukkan semakin besarkeberhasilan pembelajaran-nya. Butir soal dengansensitivitas ≥ 0,3 memiliki kepekaan yang cukupterhadap efek-efek pembelajaran.

Indeks sensitivitas butir soal rata-rata 0,74jauh diatas ketentuan minimal indeks sensitivitasyaitu 0,3. Hal ini menunjukkan bahwa baik butirsoal yang digunakan pada Tes Hasil Belajar dapatmembedakan dengan sangat baik antara siswayang belum diberikan perlakuan dan yang telahdiberi perlakuan.

Pada analisis ketuntasan individual menunjukkanadanya perubahan yang positif sebelum dan sesudahperlakuan yang ditandai dengan perbedaan nilai rata-

Nilai G Interpretasi nilai GG > 0.70

0.30 ≤ 0.70G < 0.30

TinggiSedangRendah

SkorPretest

(%)

SkorPosttest

(%)

GainScore

rata-rataKategori

6.10 82.79 0.82 Tinggi

Page 11: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 142

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

rata pretest dan posttest. Perubahan yang positif belumtentu signifikan, untuk menentukan perubahantersebut signifikan atau tidak maka diuji dengannormalized gain score, hasilnya menunjukkanperbedaan dengan kategori tinggi. Hasil gain scoreyang tinggi menunjukkan butir soal yang memerlukanketeramplan berpikir tingkat tinggi yang digunakansebagai alat evaluasi dapat membedakan antara siswayang telah dan yang belum mengikuti kegiatan belajarmengajar. Hal ini ditandai dengan nilai indekssensitivitas sebesar 0,74 dengan kategori senstif.Berdasarkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwapemebelajaran bentuk molekul dengan pemodelan realyang ditunjang media PhET berbasis penemuanterbimbing efektif melatihkan keterampilan berpikirtingkat tinggi siswa.Respon Terhadap PembelajaranSecara umum respon siswa terhadap pembelajarandapat dilihat pada Gambar 2.

Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwarespon siswa terhadap pembelajaran rata-rata > 70dengan kategori baik sampai sangat baik, dengannilai respon terendah 72 yaitu kemudahan dalammemahami komponen pembelajaran dan respontertinggi 84 yaitu kejelasan guru terhadapkomponen pembelajaran. Berdasarkan Gambar 2dapat diuraikan lebih rinci sebagai berikut:

a. KetertarikanKetertarikan siswa terhadap komponen

materi/isi pelajaran, BAS, LKS, suasana belajardan cara guru mengajar dapat dilihat pada Gambar3.

Gambar 3 Persentase Ketertarikan Siswa TerhadapKomponen

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan secaraumum siswa tertarik terhadap materi/isi pelajaran,BAS, LKS, suasana belajar dan cara gurumengajar. Persentase ketertarikan siswa tertinggiadalah pada materi/isi pelajaran dan terendahadalah suasana belajar. Hal ini menunjukan bahwapembelajaran bentuk molekul merupakan pelajaranyang baru bagi siswa, oleh sebab itu sebagianbesar siswa tertarik dengan isi pelajaran.

b. KeterbaruanKeterbaruan siswa terhadap komponen

materi/isi pelajaran, BAS, LKS, suasana belajardan cara guru mengajar dapat dilihat pada Gambar4.

Gambar 4 Diagram Persentase KeterbaruanKomponen Bagi Siswa

Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan secaraumum siswa menyatakan baru terhadap materi/isipelajaran, BAS, LKS, suasana belajar dan caraguru mengajar. Persentase keterbaruan siswatertinggi adalah pada LKS dan terendah adalahsusana belajar. Hal ini menunjukan bahwa LKSyang digunakan pada pembelajaran bentukmolekul baru bagi siswa.

c. KemudahanKemudahan siswa terhadap komponen

bahasa dalam BAS, materi BAS, contoh-contohsoal dan LKS dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram Persentase KemudahanKomponen Bagi Siswa

Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan secaraumum siswa menyatakan mudah terhadap bahasadalam buku, materi/isi buku, contoh-contoh soal

36

923

1432

59

8268

5941

5 9 927 27

0 0 0 0 00

20406080

100

Materi/ isipelajaran

Buku ajarsiswa

Lembar KerjaSiswa

SuasanaBelajar

Cara gurumengajar

Sangat tertarik Tertarik Kurang Tertarik Tidak tertarik

9 5 9 18 2745

6482 82

4132 329 0

3214

0 0 0 00

20406080

100

Sangat mudah Mudah Kurang mudah Tidak mudah

Gambar 2 Rata-rata Respon Siswa TerhadapKomponen Pembelajaran

77 7572 73

84 81

6570758085

27 27 32

14 18

59 5968

5059

5 90

32

189 5 0 5 5

0

20

40

60

80

Materi/ isipelajaran

Buku ajar siswa Lembar KerjaSiswa

SuasanaBelajar

Cara gurumengajar

Sangat Baru Baru Kurang Baru Tidak Baru

27 27 32

14 18

59 5968

5059

5 90

32

189 5 0 5 5

0

20

40

60

80

Materi/ isipelajaran

Buku ajar siswa Lembar KerjaSiswa

Suasana Belajar Cara gurumengajarSangat Baru Baru Kurang Baru Tidak Baru

Page 12: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 143

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

LKS dan cara guru mengajar. Persentaseketertarikan siswa tertinggi adalah pada LKS danterendah adalah bahasa dalam buku. Hal inimenunjukkan LKS yang dikembangkan mudahdipahami oleh siswa, sedangkan respon terendahadalah bahasa dalam buku, hal ini bisa di maklumikarena keterbatasan peneliti dalampengalihbahasaan dari literatur berbahasa Inggriske dalam bahasa Indonesia.

d. Minat SiswaMinat siswa terhadap kegiatan pembelajaran

dengan model penemuan terbimbing pada kegiatanpembelajaran selanjutnya dapat dilihat padaGambar 6.

Gambar 6 Diagram Persentase Minat SiswaTerhadap Komponen

Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan secaraumum siswa menyatakan berminat apabila modelpembelajaran ini digunakan untuk pokok bahasanselanjutnya dan pelajaran lainnya.

e. KejelasanPenjelasan guru pada saat KBM dan

bimbingan guru dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram Persentase Kejelasan GuruTerhadap Komponen

Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan secaraumum siswa menyatakan jelas terhadappenyampaian komponen-komponen oleh guru padasaat KBM berlangsung dan bimbingan guru padasaat menemukan konsep melalui eksperimensangat jelas bagi siswa.

f. Kemudahan Keterampilan Berpikir yangDilatihkan

Gambar 8 Diagram Persentase Kemudahan SiswaTerhadap Keterampilan Berpikir

Berdasarkan Gambar 8 menunjukkan secaraumum siswa menyatakan mudah terhadapketeerampilan berpikir tingkat tinggi yangdilatihkan. Hal ini tampak pada hasil posttest yangmenunjukkan kenaikan yang cukup signifikansehingga ketuntasan individual rata-ratanyamencapai 82,79%.

Berdasarkan respon-respon tersebut responterendah adalah bahasa dalam buku ajar siswayang menyatakan 9% sangat mudah,45% mudah,32% kurang mudah, 14% tidak mudah. Hal inikarena buku ajar siswa yang disadur dari bukuEffendy (2007) terjemahannya susah dipahamioleh siswa. Disamping itu BAS yang diberikankepada siswa sebagai sumber belajar tidakdijelaskan sebagai mana guru mengajar secarakonvesional, BAS sebagai buku pegangan siswadiharapkan secara mandiri menggali informasisebanyak-banyaknya pada BAS sebagai bekaldalam kegiatan pembelajaran di kelas.

Siswa belum terbiasa dengan pembelajar-anmodel penemuan terbimbing hal ini bisa dilihatdari rata-rata ketertarikan dan keterbaruan suasanabelajar yang mendapatkan respon 14% sangattertarik, 59% tertarik, dan 27% kurang tertarik dansuasana belajar 14% sangat baru, 50% baru, 32%kurang baru 5% tidak baru. Selama ini siswabanyak menerima materi dengan sedikit kegiatan,sedangkan pada kegiatan belajar mengajar denganmodel penemuan terbimbing aktivitas banyakdilakukan oleh siswa sedangkan materi pelajaranharus dibaca oleh siswa sendiri, dan siswa belumterbiasa melakukan, oleh sebab itu pembelajarandengan model penemuan terbimbing perludilatihkan untuk melatih kemandirian siswa.

Respon tertinggi dari siswa adalah bimbinganguru saat siswa menemukan konsep denganpersentase respon 50% sangat jelas, 41% jelas, 9%kurang jelas. Hal ini sesuai dengan modelpenemuan terbimbing dimana siswa dihadapkankepada situasi bebas menyelidiki, terkaan, intuisi,

18 18

6659

1423

5 00

20406080

Pokok bahasan selanjutnya Pelajaran lainnya

Sangat berminat Berminat Kurang bermiinat Tidak berminat

415050

41

9 90 0

0

20

40

60

Penjelasan guru pada saat KBMberlangsung

Bimbingan guru pada saat Anda,menemukan konsep melalui

eksperimen

Sangat jelas Jelas Kurang jelas Tidak jelas

3627

4536 36 36

5564

50 45 50 50

5 9 518 14 14

5 0 0 0 00

10203040506070

Sangat mudah Mudah Kurang mudah Tidak mudah

Page 13: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 144

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

mencoba-coba (trial and error) dan menarikkesimpulan, sedangkan guru sebagai penunjukjalan dan membantu siswa agar mempergunakanide, konsep dan keterampilan yang sudah merekapelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.

Hasil respon yang postif terhadap perangkatdan proses pembelajaran penemuan terbimbing,serta keterampilan berpikir tingkat tinggi yangdilatihkan dari siswa menunjukkan bahwaperangkat pembelajaran penemuan terbimbingyang dikembangkan efektif melatihkanketerampilan berpikir tingkat tinggi hal ini dapatdilihat dari hasil pretest dan posttest.

SIMPULANBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran bentukmolekul dengan pemodelan real ditunjang media PhETberbasis model penemuan terbimbing efektif untukmelatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

UCAPAN TERIMAKASIH

1. Prof. Dr. Sri Poedjiastoeti. M.Si., dan Dr. I GustiMade Sanjaya, M.Si. sebagai dosen pembimbingpenulis.

2. Pemprov Kalimantan Timur yang telah memberikanbea siswa kepada penulis untuk menempuhpendidikan di Program Pascasarjana Unesa.

3. Pemkot Samarinda yang telah mengijinkan penulisuntuk menempuh pendidikan di Program PascasarjanaUnesa.

4. Kepala SMAN 10 Samarinda yang telah mengijinkanpenulis untuk melakukan penelitian di sekolah yangbersangkutan. Wakil kepala sekolah dan guru-gurukimia yang banyak membantu penulis selama kegiatanpenelitian

DAFTAR PUSTAKA

Akinbobola, A.O. & Afolabi, F. 2009. “ConstructivistPractices Through Guided Discovery Approach: TheEffect On Students’ Cognitive Achievements InNigerian Senior Secondary School Physics”.Bulgarian Journal of Science and Education Policy(BJSEP), Volume3.

Anderson & Krathwohl. 2002” Theory Into Practice”College of Education The Ohio State UniversityVolume 41, Number 4.

Arikunto, S. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta:Rineka Cipta.

Ates' Ö., & Eryilmaz, A. (2011). Effectiveness of hands-on and minds-on activities on students’ achievement

and attitudes towards physics. Asia-Pacific Forum onScience-Learning and Teaching. 12 (1)

Balitbang. (2011) Laporan Hasil TIMSS 2007.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta:Erlangga.

Depdiknas. (2004) Kurikulum tahun 2004, KurikulumBerbasis Kompetesi. Jakarta: Depdinas

Depdiknas. (2005). Rencana Strategis DepartemenPendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta: PusatInformasi dan Humas Depdiknas.

Depdiknas (2007). Panduan Pengembangan RencanaPelaksanaan Pelajaran. Jakarta: Depdiknas DirjenDikdasmen

Effendy, 2006. Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya AntarMolekul. Malang: Bayu Media Publishing ISBN: 979-3323-06-4

Effendy, (2007). A-Level Chemistry For Senior HighSchool Students Volume 1B. Malang: BayumediaPublishing.

Gilbert, John K.; Reiner, Miriam; Nakhleh, Mary (Eds.).(2008). Visualization: Theory And Practice In ScienceEducation. Series: Models and Modeling in ScienceEducation, Vol. 3 ISBN: 978-1-4020-5266-8

Hadi, M.N., Sutrisno, Ulfa,S. 2008 "Pencerahan SiswaSMA Terhadap Bentuk Molekul Suatu Senyawa danIon Melalui Media Komputasi dan Pemodelan Real",Dikdatika, Volume 9, No 1.

Hake. Richard R. Analyzing Change/Gain Scores Dept. ofPhysics, Indiana University 24245 Hatteras Street,Woodland Hills, CA, 91367 USA

Haller, E.J., Monk, D.H., and Tien, L.T. 1993. "SmallSchools and Higher-Order Thinking Skills", Journalof Research in Rural Education, Fall, Vol. 9, No.2,66-73

http://21centuryedtech.wikispaces.com/21+Century+Info

http://phet.colorado.edu/in/simulation/molecule-shapes

_____,(2008) Kamus Besar Bahasa Indonesia PusatBahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka UtamaCetakan Pertama Edisi IV

Klausner, RD. (1996). National Science EducationStandards. Washington DC : National Academy Pres

Liliasari, (2005) Pengembangan Keterampilan BerpikirTingkat Tinggi Siswa SMP Sebagai Dampak LessonStudy: Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI

Nickerson,R.S. (1985). The Teaching of Thinking, NewJersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher

Page 14: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 145

Vol. 2 No. 3, April 2014

Efektivitas Pembelajaran Bentuk Molekul dengan Pemodelan Real Berbasis Penemuan Terbimbing untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

Phillips,D.T., Ravindran.A., and Solberg.J., 1976,Operations Research Principles and Practice, JohnWiley & Sons,Inc, Toronto, pp 1-11, 359-367

Ramdani, Y. 2011. Pembelajaran Untuk MeninggkatkanKemampuan Berpikir Matematika Tingkat TinggiMelalui Pendekatan Contextual Teaching AndLearning. Prosiding SNaPP2011 Sains, Teknologi,dan Kesehatan , 449-458.

Ratumanan dan Laurens. 2011. Penilaian Hasil Belajarpada Tingkat Satuan Pendidikan Edisi 2. Surabaya:Unesa University Press

Ruseffendi, E.T.1988 Pengantar Kepada Membantu GuruMengembangkan Kompetensinya Dalam PengajaranMatematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung :Tarsito.

Slavin,(2006). Educational psychology; theory andpractice. 8th ed. Pearson Education, Inc

Sudria, I.B.N. 2003. “Model Visual Dalam PembelajaranAspek Partikulat Kimia”, Jurnal Pendidikan danPengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH.

Suherman, (2001). Common TexBook StrategiPembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.

TIMSS. (2011). International Results in Sciences. TIMSS& PIRLS International Study Center. USA

Wu, H. K., Krajcik, J.S., & Soloway, E. (2001).Promoting conceptual understanding of chemicalrepresentations: students’ use of a visualizationtool in the classroom. Journal of Research inScien-ce Teaching, 38, 821-842

Page 15: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 146

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA BIOLOGIBERBASIS MODEL PEMBELAJARAN PEMAKNAAN DALAMPEMBELAJARAN IPA DAN PENUMBUHAN SENSITIVITAS

MORAL

Irwan Syah Putra1)

Muslimin Ibrahim2)

ZA. Imam Supardi3)

1Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,2Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,

3Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabayae-mail: [email protected]

Abstract: This research aims to develop devices based science learning biology teaching model in an effort to teach the meaning ofscience and foster moral sensitivity on the subject of human respiratory system. This study was classified as research development ,ie developing syllabus , lesson plans , worksheets , BAS , and THB . Follow the development of the design of the 4- D models ofThiagarajan (1974 ) followed by the implementation phase of learning in the classroom using a pretest - posttest design. Devicedeveloped then validated by experts and tested first at 10 eighth grade students of SMP Negeri 1 Tarik. The results showed thevalidity of the RPP , BAS , and worksheets categorized very well , and the validity of test questions categorized invalid and validenough. Readability level device includes worksheets for BAS and 77,2 % to the category of material is too easy , and a descriptionof the difficulties include BAS and LKS was 22,1 % with a fairly easy category . The success of RPP during three meetings very wellcategorized ; activity levels of students categorized quite active ; better student learning outcomes tests of cognitive abilities ,processes , psychomotor and moral sensitivity tests considered complete . Barriers in the PBM especially low student motivation inparticipating in learning . Based on the analysis of data, it can be concluded that the biology-based science learning learning modelof meaning on the subject of the human respiratory system is able to teach science and junior high school students growing moralsensitivity.Key words: The Meaningfull Learning Model, Moral Sensitivity

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan perangkat pembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaran pemaknaansebagai upaya mengajarkan IPA dan menumbuhkan sensitivitas moral pada pokok bahasan Sistem Pernapasan Manusia. Penelitianini tergolong penelitian pengembangan, yaitu mengembangkan Silabus, RPP, LKS, BAS, dan THB. Pengembangan perangkatmengikuti rancangan 4-D model dari Thiagarajan (1974)dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan pembelajaran di kelasmenggunakan rancangan pretest-posttest design.Perangkat yang dikembangkan kemudian divalidasi oleh pakar dan diuji coba Ipada 10 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tarik. Hasil penelitian menunjukkan validitas RPP, BAS, dan LKS berkategori baik; danvaliditas soal tes berkategori valid. Tingkat keterbacaan perangkat meliputi BAS dan LKS sebesar 77,2% dengan kategori materimudah; dan deskripsi kesulitan perangkat meliputi BAS dan LKS sebesar 22,1% dengan kategori tidak sulit. Keterlaksanaan RPPselama tiga kali pertemuan berkategori sangat baik; tingkat aktivitas siswa berkategori cukup aktif; hasil tes belajar siswa baikkemampuan kognitif, proses, psikomotor dan tes sensitivitas moral berhasil melampaui KKM yang ditetapkan. Hambatan dalamPBM terutama siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran pemaknaan. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkanbahwa perangkat pembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaran pemaknaan pada pokok bahasan sistem pernapasanmanusia efektif membelajarkan IPA dan menumbuhkan sensitivitas moral siswa SMP.

Kata-kata Kunci: Model Pembelajaran Pemaknaan, Sensitivitas Moral

PENDAHULUANKemajuan suatu bangsa tergantung pada

pengembangan sumber daya manusianya. Pengembangansumber daya manusia dapat dilakukan melalui jalurpendidikan baik formal maupun nonformal. Peningkatankualitas sumber daya manusia melalui pendidikandiharapkan dapat mencapai tujuan pendidikannasional,yang tercantum dalam tiga landasan hukum diIndonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, di antaranyameliputi: 1) Bangsa yang cerdas, damai, merdeka, danadil; 2) Memiliki daya saing dalam menghadapiglobalisasi; 3) Kualifikasi mencakup sikap, pengetahuan,

dan keterampilan. 4) Memiliki dasar kecerdasan,pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, sertaketerampilan untuk hidup mandiri dan mengikutipendidikan lebih lanjut; 5) Memiliki kecakapan hidupmencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial,kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional(Ibrahim, 2008:2).

Landasan hukum dalam mewujudkan sumber dayamanusia yang berkarakter dan berakhlak muliatercantum dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal31 ayat 3 yang menyebutkan “Pemerintah mengusahakandan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasionalyang meningkatkan keimanan dan ketakwaan sertaakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa”.

Page 16: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 147

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

Salah satu hasil belajar yang harus dicapai siswaadalah berkembangnya potensi peserta didik secara utuh.Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yangmenyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsimengembangkan dan membentuk watak serta peradabanbangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Samani, 2011: 26).

Pendidikan karakter termasuk pencapaian tujuanpembelajaran dalam ranah afektif yang implementasinyadirasakan masih kurang. Hal ini dibuktikan dengankurangnya perhatian guru dalam menilai hasil belajarafektif. Para guru lebih banyak menilai ranah kognitifsemata-mata. Lemahnya pendidikan afektif di sekolahdisebabkan sulitnya mengukur tujuan afektif danmerancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif.Satuan pendidikan harus merancang kegiatanpembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektifdapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakanpembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didikmencapai kompetensi afektif perlu diases.

Pendidikan karakter sangat penting diajarkan dandicontohkan secara sengaja dalam proses pembelajaran disetiap satuan pendidikan. Kenyataan di lapangan bahwakarakter tidak diajarkan secara sengaja dalampembelajaran, melainkan hanya sebagai efek penyertasaja. Hasil survei yang dilakukan di lapangan (Ibrahim,2008:4) juga mendukung pendapat di atas. Ada dua halpokok yang menjadi isu utama di atas: (a) Hasil belajarseperti yang dicantumkan di atas terutama sikap,kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidupmandiri belum diajarkan secara “sengaja” (by design).Hasil-hasil belajar seperti itu biasanya sebagai efeknurturans (efek penyerta); (b) Proses belajar mengajarbelum dilakukan seperti harapan. Pembelajaran masihberpusat pada guru dan siswa sebagai objek, bersifat pasifdan kurang motivasi.

Pengembangan karakter tidak tercapai disebabkansebagian besar guru selama proses pembelajaran di kelaskurang memberikan tekanan pada nilai-nilaikarakter/moral. Pembelajaran dilakukan hanyaberlangsung dalam konteks “kulit luar” saja tanpa bisamenyentuh hati dan memaknai apa yang sedangdipelajarinya. Padahal, keshahian pendidikan sepenuhnyamerupakan ikhtiar untuk memperoleh nilai hidup, bukansekedar angka. Jadi pendidikan bukanlah sekedar untukmemperoleh pengetahuan semata, tetapi menghasilkanmakna dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya.

Ukuran dari setiap proses pembelajaran adalah terjadinyapemerolehan makna (Mursidin, 2011:11)

Penerapan model pembelajaran pemaknaan padamata pelajaran IPA Biologi di SMP diharapkan dapatdigunakan untuk menumbuhkan sensitivitas moral siswayang pada akhirnya akan membentuk karakter siswatersebut. Dalam IPA terdapat berbagai gejala/fenomenayang amat menarik dan berpotensi untuk menjadi modelyang dapat mengajarkan sensitivitas moral, sikap positifdan karakter.

Proses terbentuknya sikap moral melaluipenanaman nilai-nilai moral oleh Freud disebut denganproses internalisasi, sedangkan Blazi menyebutnya prosesintegrasi (Blazi, 1995).Proses internalisasi moral menurutRest (1995) diawali oleh peningkatan sensitivitas moraldalam diri seseorang. Sensitivitas moral adalah suatutingkat kepekaan seseorang akan adanyanilai-nilai moraldalam setiap fenomena yang ada di sekitarnya, atau yangdialami. Jika hal ini diaplikasikan dalam prosespembelajaran, maka sensitivitas moral siswa dapatdiketahui dari tingkat kepekaannya akan nilai-nilai moralyang ada pada setiap mata pelajaran, bukan pendidikanmoral atau pendidikan agama saja.

METODE PENELITIANPenelitian ini termasuk penelitian pengembangan,

karena mengembangkan perangkat pembelajaran denganmodel pemaknaan pada materi pokok sistem pernapasanmanusia pada siswa SMP kelasVIII. Perangkat yangdikembangkan adalah Silabus, RPP, BAS, LKS, danTHB produk, psikomotor, dan sensitivitas moral.

Pengembangan perangkat dalam penelitian inimenggunakan model 4-D “four D models” (dalamIbrahim, 2003). Model ini terdiri atas 4 tahappengembangan, yaitu: Define, Design, Develop, andDisseminate atau diadaptasikan menjadi Model 4-P, yaituPendefinisian, Perancangan, Pengembangan, danPenyebaran. Untuk keperluan guru sendiri, di mana hasilpengembangannya diterapkan di sekolah sendiri, makatahap keempat yaitu penyebaran belum dilakukan. Makamodel 4-P menjadi 3 tahap saja meliputi: (1) Tahappendefinisian (Define), (2) Tahap perancangan (Design),dan (3) Tahap pengembangan (Develop).

Desain uji coba perangkat pembelajaran dalampengembangan perangkat ini menggunakan model oneGroup Pretest-Posttest Design. Sebelum menerapkanpembelajaran dengan model pemaknaan terlebih dahuludilaksanakan tes awal (pretest) O1, dan setelahmelaksanakan pembelajaran pemaknaan (X) dilakukantes akhir (posttest) O2.

Variabel yang diamati dalam penelitian adalahkelayakan perangkat yang terdiriatas: (1) validitas, (2)kepraktisan dan (3) keefektifan. Validitas meliputi:

Page 17: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 148

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

Validitasisi dari Silabus, RPP, BAS, LKS, THB produk,psikomotor, sensitivitas moral., tingkat keterbacaan BAS,tingkat kesulitan BAS. Variabel yang berkaitan dengankepraktisan hasil uji coba perangkat pembelajaranmeliputi: keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa, dan hasilbelajar siswa. Variabel yang berkaitan dengan keefektifanmeliputi: tingkat sensitivitas moral siswa, respon siswa,terhadap pembelajaran dan hambatan dalam penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian iniadalah instrumen penilaian perangkat, instrumenpengamatan, instrumentes, dan instrumen angket. Datayang dianalisis adalah validitas perangkat, kepraktisanperangkat, dan keefektifitas perangkat denganmenggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dandeskriptif kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian ini dilaksanakan pada 36 siswa Kelas

VIII A SMP Negeri 1 Tarik, Sidoarjo, pokok bahasanSistem Pernapasan Manusia pada semester gasal tahunpelajaran 2013/2014. Adapun hasil validasi dariperangkat yang dikembangkan adalah: (a) Silabus, skorrata-rata 3,84 dengan kategori sangat baik, (b) RPP, skorrata-rata 3,75 dengan kategori sangat baik, (c) BAS, skorrata-rata 3,67 dengan kategori sangat baik, (d) LKS, skorrata-rata 3,78 dengan kategori sangat baik, (e) THBproduk, psikomotor berkategori valid, sedangkanTHBsensitivitas moral yang terdiri dari moral knowing, moralfeeling, dan moral acting berkategori sangat baik.(f)Tingkat kesulitan BAS sebesar 27%, sedangkan LKSsebesar 20%, sehingga tingkat kesulitan rata-rata BASdan LKS sebesar 23,5%. Menurut (Rudolph 1948, danRobert 1944 dalam http://readbulityformula.com/free-readbulity-formula-assessment.php),persentase tingkatkesulitan LKS dan BAS berkategori cukup mudah karenaberada pada level 20% sampai 30%. (g) Tingkatketerbacaan BAS sebesar 74%, sedangkan LKS sebesar66%, sehingga tingkat keterbacaan rata-rata BAS danLKS sebesar 70%. Menurut (Taylor 1953,dalamhttp://english.byu.edu/novelink/reading%20strategies/Anthem/cloze%20general.htm), persentaseketerbacaan dari hasil perangkat pembelajaranmenunjukkan level bebas (di atas 60 %) termasuk dalamkategori materi terlalu mudah.

Diskusi hasil kepraktisan perangkat pembelajaranmeliputi:(a) Pelaksanaan RPP

RPP disusun sesuai dengan jumlah tatap mukauntuk proses pembelajaran yaitu tiga kali pertemuan.Setiap pertemuan dalam PBM pelaksanaan RPP diamatioleh dua pengamat yang mengamati berlangsungnyaproses pembelajaran. Persentase rata-rata pelaksanaanRPP pada pertemuan pertama sebesar 93% dengan

reliabilitas 0,90, persentase rata-rata pelaksanaan RPPpada pertemuan kedua sebesar 93% dengan reliabilitas0,90, dan persentase rata-rata pelaksanaan RPPpertemuan ketiga sebesar 100% dengan reliabilitas 1,00.Hasil pengamatan dari kedua pengamat berdasarkan nilairata-rata tentang keterlaksanaan pembelajaran pada ketigaRPP dikategorikan sangat baik.Keterlaksanaan sintakspembelajaran yang baik ini didukung dengan pola gurumengajar yang tercermin dalam tingkah laku pada waktumelaksanakan pengajaran (Ali, 2000). Pola mengajardikenal dengan istilah gaya mengajar yangmencerminkan bagaimana pelaksanaan guru yangbersangkutan, yang dipengaruhi oleh pandangannyasendiri tentang mengajar, konsep-konsep psikologi yangdigunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan.(b) Aktivitas siswaHasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selamakegiatan belajar mengajar dinyatakan dalam bentukangka atau dikuantitatifkan. Aktivitas siswa yangdiamati meliputi membaca, mendiskusikan tugas,mencatat, mendengarkan penjelasan guru, melakukanpengamatan, eksperimen atau bekerja, bertanya kepadaguru, menyampaikan pendapat atau informasi ke depankelas, serta perilaku yang tidak relevan.

Tabel 3.1 Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran

No Aktivitas yangDiamati

Rata-rataPersentaseAktivitas

Rata-rata(%)

Prt1

Prt2

Prt3

1. Membaca. 15 14,5 14,4 14,62. Mendiskusikan

tugas14 13,7 13,6 13,8

3. Mencatat 14,6 12,9 14,6 14

4. Mendengarkanpenjelasan guru

10,7 11,4 11 11

5. Melakukaneksperimen

16,4 16,5 15,3 16,1

6. Bertanya kepadaguru

14,3 14,8 14,4 14,7

7. Mengkomunikasikan informasi

13,4 14,9 15,2 14,6

8 Aktivitas tidakrelevan

1,6 1,3 1,5 1,5

Berdasarkan Tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwarata-rata persentase aktivitas siswa yang relevan sebesar98,5% dengan kategori aktif, sedangkan rata-ratapersentase aktivitas siswa yang tidak relevan sebesar1,5%. Hal ini berarti secara keseluruhan siswaberaktivitas relevan selama pembelajaran berlangsungdan pembelajaran lebih berpusat pada siswa ( studentcenter). Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2008)

Page 18: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 149

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

bahwa salah satu prinsip model pembelajaran pemaknaanadalah student center.(c) Ketuntasan hasil belajar siswa

Ketuntasan hasil belajar siswadapat diamati darigrafik dibawah ini:Gambar 3.1 Grafik Ketuntasan Hasil Belajar Siswa

Berdasarkan Gambar 3.1 ketuntasan hasil belajar siswadiperoleh berdasarkan tingkat ketuntasan indikator padamateri sistem pernapasan manusia. Terdapat 18 indikator,17 indikator dinyatakan tuntas, dan hanya satu indikatoryang tidak tuntas, yaitu indikator keempat dari THBkognitif PG. Rata-rata ketuntasan indikator mencapai 84.

Diskusi hasil keefektifan perangkat pembelajaranmeliputi: (a) Tingkat sensitivitas moral siswa; (b)Respon siswa terhadap pembelajaran (c) Hambatan-hambatan penelitian.(a) Tingkat sensitivitas moralTingkat sensitivitas moral siswa diukur dengan THBmoral knowing, moral feeling, dan moral acting.1. THB pengetahuan moral (moral knowing) digunakanuntuk mengetahui pengetahuan siswa tentang nilai-nilaimoral terkait konsep sistem pernapasan manusia.Data dananalisis THB pengetahuan moral (moral knowing) siswadapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.Tabel 3.2 Ketuntasan THB moral knowing

TPProporsi

Butir SoalSensi

TivitaspTP Ket

U1 U28.1 0,60 0,90 0,30 0,90 Tuntas8.2 0,54 0,92 0,38 0,92 Tuntas9.1 0,58 0,94 0,36 0,94 Tuntas9.2 0,52 0,91 0,39 0,91 Tuntas8.1 0,63 0,95 0,32 0,95 Tuntas8.2 0,54 0,93 0,39 0,93 Tuntas5.1 0,61 0,93 0,32 0,93 Tuntas

Berdasarkan Tabel 3.2 diperoleh hasil THBpengetahuan moral (moral knowing) siswa dari ketujuhtujuan pembelajaran semuanya tuntas. Rata-rata proporsitujuan pembelajaran sebesar 0,92. Sensitivitas butir soal

pada THB pengetahuan moral (moral knowing) siswadari ketujuh butir soal yang ada, semua sensitif denganrata-rata sensitivitasnya sebesar 0,35.2. THB perasaan moral (moral feeling) siswa diperolehdari hasil penilaian laporan diri siswa. Laporan diri siswadigunakan untuk mengetahui penilaian, perasaan, emosi,visi, dan misi siswa terkait konsep sistem pernapasanmanusia.Data dan analisis THB perasaan moral (moralfeeling) siswa dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3 Ketuntasan THB moral feeling

TP AspekProporsi

Butir SoalSensitivitas

pTP Ket.

U1 U2

3.2Menilai 0,44 0,93 0,49 0,93 Tuntas

Visi 0,42 0,90 0,48 0,90 TuntasMisi 0,41 0,82 0,41 0,82 Tuntas

Tabel 3.3 memperlihatkan bahwa THB perasaanmoral (moral feeling) dinyatakan tuntas. Rata-rataproporsi tujuan pembelajaran sebesar 0,88. Sensitivitasbutir soal pada THB perasaan moral (moral feeling)siswa, dari 3 butir soal yang ada semua sensitif karenanilainya di atas 0,30.3. THB tindakan moral (moral acting) digunakan untukmengetahui kemajuan siswa dalam hal keterampilansosial yang meliputi aspek 1) tanggung jawab, 2) pedulisosial, 3) sensitivitas moral. Ketuntasan dan SensitivitasTHB tindakan moral (moral acting)siswa dapat dilihatpada Tabel 3.4 berikut ini.

Tabel 3.4 Ketuntasan THB moral acting

TPTopik Proporsi

Butir Soal Sensitivitas

pTP

Ket

U1 U2

6.16.12.1

Tanggungjawab

0,49 0,81 0,32 0,81 Tuntas

PeduliSosial

0,50 0,86 0,36 0,86 Tuntas

Sensitivitas Moral

0,51 0,88 0,37 0,88 Tuntas

Tabel 3.4 memperlihatkan bahwa THB tindakan moral(moral acting) dari tiga Tujuan Pembelajaran (TP)dinyatakan tuntas. Rata-rata proporsi tujuanpembelajaran sebesar 0,85. Sensitivitas butir soal padaTHB tindakan moral (moral acting) siswa berada padarentang 0,32-0,37. Butir soal THB tindakan moral(moral acting) semuanya berkategori sensitif karena nilaisensitivitasnya di atas 0,30.(b) Respon siswa terhadap Pembelajaran

Deskripsi respon siswa terhadap pembelajaran denganmodel pemaknaan dalam pembelajaran IPA danpenumbuhan sensitivitas moraldiperoleh berdasarkanrekapitulasi hasil angket respon siswa. Hasil analisisrespon siswa terhadap model pembelajaran pemaknaan

91

63

81 8394 9393

8377

82 86 8891 92

78 8275

85

0102030405060708090100

Skor

Ketuntasan

1. Kognitif, 2. Psikomotor, 3. Moral Knowing,4. Moral Feeling, 5. Moral Acting

Diagram Ketuntasan Indikator

Page 19: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 150

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

pada kelas penelitian dapat diuraikan pada Tabel 3.5berikut ini.

Tabel 3.5 Respon Siswa Terhadap Pembelajaran

No Uraian PertanyaanRespon

Penilaian (%)

(+) ( -)

1. Respon tertarik padamateri,BAS, LKS, Fase pemaknaan

89 11

2. Respon baru pada materi, BAS,LKS, Fase pemaknaan, LP.Psikomotor

87 13

3. Respon mudah pada bahasa BAS,materi dan LKS

92,4 7,6

4. Respon mudah mengikuti sintakspemaknaan

85,5 14,5

5. Respon berminat pada penerapanmodel pemaknaan

88 12

6. Respon kejelasan pada kegiatan 97 37. Respon mudah pada THB kognitif,

psikomotor, afektif92 8

8. Respon baru pada THB kognitif,psikomotor, afektif

94 6

Data pada Tabel 3.5 menunjukkan bahwa respon siswadalam pembelajaran IPA dengan model pembelajaranpemaknaan mendapatkan respon positif.(c) Hambatan-hambatanpenelitian

Hambatan yang dihadapi selama prosespembelajaran berlangsung diantaranya, siswa belumterbiasa dengan model pembelajaran pemaknaan,keterbatasan alat dan bahan yang digunakan dalampraktikum, yang kesemuanya berpengaruh terhadapproses pembelajaran pada penelitian ini. Solusi untukhambatan berupasiswa belum terbiasa dengan modelpembelajaran pemaknaan adalah dengan membiasakansiswa dengan sintaks model pembelajaran pemaknaan.Demikian juga dengan keterbatasan alat dan bahan yangdigunakan dalam praktikum dapat diatasi denganmengusahakan alat dan bahan yang belum lengkap.Menurut Purwanto (2002), berhasil atau tidaknya belajardipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dibedakanmenjadi faktor individual dan faktor sosial. Salah satufaktor sosial yang mempengaruhi proses belajar adalahalat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar. Sekolahyang memiliki peralatan dan perlengkapan yangdiperlukan akan mempermudah dan mempercepat belajaranak-anak.

PENUTUPSimpulanBerdasarkan hasil dan diskusi yang telah diuraikan, makadapat ditarik simpulan bahwa pengembangan perangkatpembelajaran IPA Biologi berbasis model pembelajaranpemaknaan pada materi pokok Sistem Pernapasan

Manusia efektif dalam membelajarkan IPA danmenumbuhkan sensitivitas moral siswa SMP.

SaranBerdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penelitimemberikan saran-saran sebagai berikut:1. Berdasarkan proses internalisasi moral, kesensitifan

seseorang akan nilai moral terhadap fenomena disekitarnya sebenarnya tahap awal bagi penanamanmoral dalam diri seseorang. Tahap-tahap yang lainadalah keputusan moral, motif moral, dan aplikasimoral. Diperlukan penelitian yang mendalammengenai potensi model pembelajaran pemaknaanuntuk mengajarkan aspek-aspek moral yang lainnya.

2. Peneliti menyarankan untuk lebih mendalami potensimodel pembelajaran pemaknaan untuk mengajarkannilai-nilai lainnya seperti budi pekerti, sikap positif,serta akhlak ulkarimah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 2004. Guru dalam Proses Mengajar.Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.

Arends, I. Richard. 1997. Learning to Teach. New York:Mc. Graw Hill Companies, Inc.

Blazi, Augusto. 1995. Moral Integration. DalamKurtines,W.M. &Gewirtz, J.L. Moral Development, anIntroduction. Needham Heights: A Simons andSchuster Company.

Ibrahim, Muslimin. 2008. Model Pembelajaran IPAInovatifmelaluiPemaknaan. Surabaya: DepdiknasBalitbang.

Mursidin. 2011. Moral Sumber Pendidikan. Bogor:Ghalia Indonesia.

Purwanto, Ngalim. 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis danPraktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rest, James. 1995. The Four Components of ActingMorally. dalamKurtines, W.M. &Gewirtz, J.L.Moral Development, an Introduction. NeedhamHeights: A Simons and Schuster Company.

Samani, M dan Hariyanto. 2011. Konsep dan ModelPendidikan Karakter. Bandung: PT RemajaRosdakarya.

Taylor,W. 1953. Cloze Prosedure. Dalamhttp://english.byu.edu/novelinks/reading%20strategies/anthemcloze%20general.htm).

Tiagarajan, S., Dorothy S.Semmel & M.I, Semmel. 1974.Instructional Development for Training Center ofExpectional Children. Blomington: Center forInnovation on Teaching The Handicapped.

Page 20: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 151

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Model Pembelajaran Pemaknaandalam Pembelajaran IPA dan Penumbuhan Sensit ivi tas Moral

http://readbulityformula.com/free-readbulity-formula-assessment.php, diakses pada tanggal 6 Nopember2013)

Page 21: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 152

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

MODEL MENTAL MAHASIWA BARU DALAM MEMAHAMI KONSEPSTRUKTUR ATOM DITINJAU DARI

PENGETAHUAN AWAL

Sunyono1)

Leny Yuanita2)

Muslimin Ibrahim3)

1)Prodi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lampung2)Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya3)Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstract: Several studies have shown that mental models can affect a student's ability to perform reasoning on externalrepresentation faced. Student mental models are generally used to thinking in order to solve the problem. This study aims to look atthe characteristics of mental models beginning of students in understand the concept of atomic structure. Samples were taken atrandom from the students of Department of Mathematics and Natural Sciences, class of 2012 with the grouping based on students'prior knowledge. The number of samples involved as many as 72 people consisting of students with the prior knowledge of high,medium, and low. Diagnostic tests are used to see the essays shaped the emergence of mental models. The results showed that for allgroups of prior knowledge, mental models beginning of students in understand the concept of atomic structure is still dominated byverbal mental model with the category of "very bad" and "bad" or the characteristics of mental model "formless/not clear" andmental model "intermediates_1." These results imply that the mental models of students can be used as a reference in setting learningto help students in solving problems related to the three levels of chemical phenomenon. To build a mental models of studentstowards a better, should be designed study involving interconnected between the third-levels of chemical phenomenon (macro, sub-micro, and symbolic).

Keywords: mental models, prior knowledge; atomic structure.

PENDAHULUANPembelajaran kimia pada dasarnya mencakup

tiga jenis representasi kimia, yaitu makro, submikro, dansimbolik. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwasiswa mengalami kesulitan dalam memahami danmenafsirkan representasi (terutama submikro) dalammembuat terjemahan di antara ketiga jenis representasitersebut dan dalam membangun kemampuanrepresentasional mereka (Johnstone, 1993; Treagust, etal., 2003; Chittleborough, and Treagust, 2007; Gkitzia, etal., 2011). Oleh sebab itu, dalam membangunpengetahuan konseptual yang lebih mendalam hendaknyapembelajaran kimia dilakukan dengan melibatkan ketigajenis representasi tersebut. Pada kenyataannya,pembelajaran kimia yang berlangsung selama inicenderung memprioritaskan hanya pada jenis representasimakroskopik dan simbolik secara verbal (Chittleboroughand Treagust, 2007; Liliasari, 2007; Sunyono, dkk.,2011). Dalam pembelajaran, representasi submikroskopikumumnya hanya di represensikan secara verbal, danmodel-model molekul kurang mendapatkan apresiasi,padahal model-model molekul tersebut dapatmenjembatani pembelajaran kimia di antara ketiga jenisrepresentasi kimia (makro, submikro, dan simbolis).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Tasker danDalton (2006) menunjukkan bahwa penggunaan model

konkrit, representasi gambar, animasi dan simulasi telahterbukti menguntungkan bagi proses pemahaman konsepkimia pembelajar khususnya pada konsep level molekulatau submikroskopik. Menurut Tasker dan Dalton (2006)bahwa “Chemistry involves interpreting observablechanges in matter (eg. colour changes, smells, bubbles) atthe concrete macroscopic or laboratory level and in termsof imperceptible changes in structure and processes at theimaginary sub-micro or molecular level.” Ilmu kimiaselalu melibatkan proses-proses perubahan yang dapatdiamati (misalnya perubahan warna, bau, gelembung) ditingkat makroskopik atau laboratorium, dan perubahanyang tidak dapat diamati dengan indera mata, sepertiperubahan struktur atau proses di tingkat sub-mikro ataumolekul imajiner. Perubahan-perubahan di tingkatmolekuler ini kemudian digambarkan pada tingkatsimbolik yang abstrak dalam dua cara, yaitu secarakualitatif: menggunakan notasi khusus, bahasa, diagram,dan simbolisme, dan secara kuantitatif denganmenggunakan matematika (persamaan dan grafik).

Pernyataan Tasker & Dalton (2006) tersebutberkaitan dengan transformasi representasi eksternal kedalam representasi internal (yang selanjutnyadiekspresikan sebagai model mental). Pakar psikologikognitif Johnson-Laird (dalam Solaz-Portolẻs and Lopez,2007) merumuskan suatu definisi model mental dalam

Page 22: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 153

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

upayanya untuk menjelaskan proses-proses penalaranseseorang dalam mengerjakan tugas silogisme danmembentuk representasi internal berupa model mentaldalam suatu working memory (memori kerja = MK)tentang dunia dan mengkombinasikan informasi yangtelah tersimpan dalam memori jangka panjang denganinformasi yang ada pada karakteristik dari tugas tersebut,kemudian diekstrak oleh proses-proses perseptual dalammemori. Senge (2004) mendefinisikan model mentalsebagai berikut “Mental models are deeply held internalimages of how the world works, images that limit us tofamiliar ways of thinking and acting. Very often, we arenot consciously aware of our mental models or the effectsthey have on our behavior.” Definisi dari Senge tersebutdapat diartikan bahwa model mental merupakan image(gambaran) internal yang dipegang teguh tentangbagaimana dunia bekerja, gambaran yang membatasi kitauntuk berpikir dan bertindak. Sering terjadi, kita tidakmenyadari adanya model mental atau pengaruhnyaterhadap perilaku kita.

Beberapa penelitian tentang model mental telahmenemukan bahwa banyak siswa memiliki model mentalyang sangat sederhana tentang fenomena kimia, misalnyamodel-model atom dan model-model molekul yangdigambarkan sebagai struktur diskrit dan konkrit, namuntidak memiliki keterampilan membangun model mentalyang lebih komplek (Chittleborough and Treagust, 2007;Coll, 2008; Guzel & Adadan, 2013). Guzel & Adadan(2013) memanfaatkan beberapa representasi dalampembelajaran untuk mengembangkan pemahaman kimiamahasiswa calon guru tentang struktur materi. Hasilnya,meskipun mahasiswa telah mampu mengembangkankemampuan representasional, namun gambar strukturyang dibuat masih sangat sederhana. Coll (2008)melaporkan dalam penelitiannya tentang “mental modelsof chemical bonding” bahwa baik siswa sekolahmenengah, sarjana, maupun pascasarjana lebih sukadengan model mental yang sederhana dan realistis.Chittleborough and Treagust (2007) dalam penelitiannyamelaporkan bahwa model mental pembelajar dapatterbentuk melalui interpretasi, pemahaman, danpenjelasan terhadap fenomena representasi submikro,namun kebanyakan pembelajar lebih suka menggunakanmodel mentalnya pada fenomena representasi yangsederhana. Salah satu caranya adalah denganmenggunakan visualisasi yang cocok untuk suatu topikpembelajaran. Studi yang dilakukan Sunyono, dkk (2011)melaporkan bahwa model mental mahasiswa masihcenderung berada pada level makroskopis dan simbolis,level submikroskopisnya masih belum terbangun dengan

baik. Ini disebabkan mahasiswa mengalami kesulitandalam membuat interpretasi terhadap fenomena sumikro.

Merujuk pada hasil penelitian Sunyono, dkk(2009), pembelajaran topik struktur atom hendaknyadilakukan dengan melibatkan representasisubmikroskopis, karena karakteristiknya yang bersifatabstrak dan teori atom atau sifat materi merupakankonsep utama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi(Gkitzia, et al., 2011). Park, et al (2009) menyatakanbahwa teori tentang atom adalah konsep yang utamadalam pembelajaran sains dan konsep-konsepnya bersifatabstrak, sehingga cara mengajar dan belajar tentang teoriatom perlu diperhatikan dengan baik, terutama dalammemilih strategi dengan memanfaatkan visualisasi. Wang(2007) dalam disertasinya melaporkan bahwapembelajaran tentang struktur atom, terutama kedudukanelektron dalam atom memerlukan model visualisasi yangdirancang sedemikian rupa, sehingga dapat membantumahasiswa dalam melakukan interpretasi terhadapfenomena elektron dalam atom dan model mentalmahasiswa dapat terbangun dengan baik. Hilton &Nichols (2011) melaporkan bahwa pemahaman terhadapfenomena yang lebih kompleks dan abstrak seperti topikstruktur atom, tidak dapat dicapai oleh pembelajar tanpamelibatkan representasi submikroskopik dan simbolik.Demikian pula, penelitian yang dilakukan oleh Guzel &Adadan (2013) melaporkan bahwa pembelajaran yangdirancang dengan mengembangkan pemahaman terhadapberbagai representasi (fenomena makro, submikro, dansimbolis) dapat menghasilkan pemahamanrepresentasional yang lebih mendalam tentang strukturmateri dan dapat dipertahankan hingga 17 bulan lamanya.

Para peneliti mempelajari model mentalseseorang dengan mengelompokkan ke dalam beberapakarakteristik, seperti: Norman (dalam Barsalou, 1992)membagi karakteristik model mental menjadi 2 bagian,yaitu model mental struktural dan model mentalkonseptual. Pada penelitian bidang pendidikan, umumnyapara peneliti mempelajari model mental denganmemfokuskan pada model konseptual. Terkait denganpenelitian model mental dalam pendidikan, Wang (2007)dan Jaber & Boujaoude (2012) mengklasifikasikarakteristik model mental (konseptual) ke dalam tigakategori berdasarkan skor perolehan jawaban mahasiswaterhadap pertanyaan dalam tes model mental, yaitu:model mental “tinggi” (jawaban mahasiswa mencapai ≥70% benar), model mental “moderat” (jika 50% >jawaban mahasiswa benar < 70%), dan model mental“rendah” (jawaban mahasiswa yang benar ≤ 50%).Sedangkan Park, et al (2009) mengklasifikasikarakteristik model mental ke dalam 5 bagian, yaitu (1)

Page 23: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 154

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

model mental awal yang tidak berbentuk atau tidak jelasadalah model mental yang sudah dibawa oleh seseorangsejak lahir dan muncul akibat informasi dari lingkunganyang salah atau konsep/penjelasan dan gambar strukturyang dibuat sama sekali tidak dapat diterima secara

keilmuan atau pembelajar sama sekali tidak memilikikonsep; (2 ) model mental intermediet 1 adalah modelmental yang sudah mulai terbentuk dan ditandai dengankonsep/penjelasan yang diberikan mendekati kebenarankeilmuan dan gambar struktur yang dibuat tidak dapatditerima atau sebaliknya; (3) model mental intermediet 2adalah model mental pembelajar yang ditandai dengankonsep/penjelasan yang dimiliki pembelajar benarsebagian dan gambar struktur yang dibuat mendekatikebenaran keilmuan; (4) model mental intermediet 3merupakan model mental yang dapat dikategorikansebagai model mental konsensus, yaitu ditandai dengankonsep/penjelasan yang dimiliki pembelajar dapatditerima secara keilmuan dan gambar struktur yang dibuatmendekati kebenaran atau sebaliknya penjelasan/konsepyang dimiliki belum dapat diterima dengan baik secarakeilmuan, tetapi gambar struktur yang dibuat tepat; dan(5) model mental target adalah model mental yangditandai dengan konsep/penjelasan dan gambar strukturyang dibuat pembelajar tepat secara keilmuan. Penelitianini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: “bagaimanakarakteristik model mental mahasiswa baru dalammemahami konsep struktur atom?”

METODE PENELITIANDesain Penelitian dan Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitiankualitatif, sehingga dalam pelaksanaanya tidakmemerlukan pengontrolan terhadap perlakuan. Fokusdalam penelitian adalah model mental mahasiswa barudalam memahami struktur atom yang selanjutnya disebutsebagai model mental awal. Sampel dalam penelitiandipilih secara acak dengan teknik stratified randomsampling dari mahasiswa Jurusan PMIPA angkatan 2012.Sampel diambil dengan cara dikelompokkan berdasarkan

pengetahuan awal kimia mahasiswa melalui pretesterhadap tingkat penguasaan konsep struktur atom. Soalpretes untuk pengelompokan ini di ambil dari bank soalUN dan tes masuk perguruan tinggi berbentuk tes objektif5 opsi. Berdasarkan hasil tes pengetahuan awal tersebut,mahasiswa di kelompokkan ke dalam kelompokberpengetahuan awal tinggi, sedang, dan rendah.Selanjutnya masing-masing program studi dan kelompokdiambil 6 orang mahasiswa, sehingga total sampelpenelitian berjumlah 72 orang yang kemudian dijadikan 2kelas. Hasil pemilihan sampel mahasiswa secara rincidicantumkan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa sebagai Sampel Penelitian

Instrumen dan Analisis DataModel mental awal mahasiswa yang diukur

dalam penelitian ini adalah model mental konseptual yangmuncul sebagai respon terhadap pertanyaan-pertanyaandalam soal tes diagnostik pada topik struktur atom(terutama model atom Rutherford, Bohr, dan mekanikagelombang). Instrumen yang digunakan untukmengetahui kemunculan model mental awal mahasiswatersebut adalah berbentuk tes diagnostik model mentalatau disebut tes model struktur atom (TMS). Instrumentes diadaptasi dari model yang dikembangkan oleh Wang(2007) dan Park & Light (2009), yaitu berupa tes tertulisberbentuk essay yang dilengkapi dengan gambarsubmikro. Jumlah soal diagnostik dalam penelitian inisebanyak 4 item tes. Selanjutnya dilakukan wawancaraterhadap 3 (tiga) orang mahasiswa yang terpilih yangmewakili masing-masing kelompok pengetahuan awal.Wawancara terhadap mahasiswa ini dilakukan untukmengetahui lebih mendalam tentang jawaban mahasiswadan kesulitan-kesulitan yang muncul dalammenyelesaikan masalah.

Data yang diperoleh dari hasil tes diagnostik danwawancara tersebut selanjutnya dianalisis dengan caraditranskripsi dan dikategorisasi, sehingga dapatdiidentifikasi model mental awal mahasiswa dankesulitan-kesulitan yang umum terjadi ketika berhadapandengan repesentasi eksternal level submikroskopik,terutama dalam menyelesaikan masalah tentang konsepmodel atom. Untuk mengkategorisasi kemunculan modelmental, terhadap jawaban mahasiswa atas soal tesdiagnostik dilakukan dengan sistem penskoran. Teknikpenskoran dilakukan dengan menggunakan rubrik, yaitudengan cara menilai jawaban mahasiswa atas soal tesdengan uraian menggunakan label untuk menentukantingkat pencapaian penyelesaian masalah. Tingkatpencapaian penyelesaian masalah tersebut selanjutnya di

ProgramStudi

Pengetahuan AwalMahasiswa

Jumlah

Tinggi Sedang RendahPendidikanMatematika

6 6 6 18

PendidikanFisika

6 6 6 18

PendidikanKimia

6 6 6 18

PendidikanBiologi

6 6 6 18

Jumlah 24 24 24 72

Page 24: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 155

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

dikategorikan sebagai model mental “buruk sekali” (bilaskor = 1), “buruk” (skor = 2), “sedang”atau “moderat”(skor = 3), “baik” (skor = 4), dan “baik sekali” (skor = 5).Berdasarkan hasil penskoran dan kategorisasi tersebut,selanjutnya model mental mahasiswa yang munculdikarakterisasi ke dalam 5 karakter model mental (Park, etal., 2009), yaitu model yang tidak jelas, intermediet 1,intermediet 2, intermediet 3, dan target.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pertanyaan pada tes diagnostik untuk melihatkemunculan model mental awal mahasiswa dalammemahami topik struktur atom meliputi 4 pertanyaantentang model atom inti (Rutherford), model atom Bohr,dan model mekanika gelombang. Pertanyaan yangdiajukan mencakup interpretasi terhadap fenomenasubmikro melalui penjelasan verbal, gambar visual, dansimbolik. Hasil penelitian menunjukkan bahwamahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi, sedang, danrendah memiliki kemampuan model mental yang sama,yaitu berada pada kategori “buruk” dan “buruk sekali.”Hasil analisis kemunculan model mental awal mahasiswasebagai respon terhadap pertanyaan tes diagnostik modelstruktur atom (TMS) dicantumkan pada Gambar 1berikut.

Keterangan: Pengetahuan Awal T = Tinggi; S = Sedang;dan R = Rendah

Gambar 1 Persentase Mahasiswa dengan ModelMental Awal pada KarakteristikTertentu untuk Tiap Item Tes

Berdasarkan jawaban mahasiswa atas pertanyaanTMS_1 dapat dikatakan bahwa mahasiswa denganpengetahuan awal tinggi, sedang, dan rendah memberikanrespon yang tidak berbeda, sehingga menghasilkan modelmental awal yang sama, yaitu “buruk” dan “buruk sekali.”Mahasiswa dengan modal pengetahuan kimia dari sekolah

menengah (SMA) masih belum mampu melakukantransformasi dari makroskopik (fenomena percobaanThomson, Goldstein, Chadwick, dan Rutherford) kefenomena submikroskopik dan simbolik, yaitu denganmelakukan imajinasi terhadap susunan partikel dalamatom kemudian menyusun gambar submikro tentangbagian-bagian dari atom dan menuliskan secara simboliksusunan elektron, proton, dan netron dalam suatu atomberdasarkan gambar visual. Gambar visual yang dibuatmahasiswa masih sangat sederhana dan sebagian besar(41,67%) nampak tidak dapat membedakan antara modelatom Rutherford dan model atom Bohr. Kesulitanmahasiswa dapat disebabkan karena mahasiswa tidakbiasa dilibatkan dengan fenomena sub-mikroskopik dalampembelajaran. Hasil ini nampaknya sesuai denganpernyataan beberapa peneliti bahwa pemahaman terhadapkonsep kimia tidak saja pemahaman terhadapalgoritmanya saja atau hapalan secara verbal saja, tetapijuga menuntut pemahaman terhadap fenomenarepresentasi submikroskopik dari struktur molekul atauatom (Ben-Zvi, et al., 1987; Coll and Treagust, 2003;Davidowitz, et al., 2010). Penelitian lain, seperti Coll(2008) menyatakan bahwa kemampuan peserta didikuntuk mengoperasikan atau menggunakan model mentalmereka dalam rangka menjelaskan peristiwa-peristiwayang melibatkan penggunaan representasi submikrosangat terbatas, sehingga perlu adanya latihan dalammenginterpretasikan gambar visual submikro melaluipembelajaran yang melibatkan 3 level fenomena kimia.Selanjutnya Devetak, et al. (2009) menemukan bahwamahasiswa yang belum di latih dengan representasieksternal akan mengalami kesulitan dalammenginterpretasikan struktur submikro dari suatu molekulatau atom.

Analisis terhadap jawaban mahasiswa terhadappertanyaan TMS_2 menunjukkan hasil yang sama denganhasil analisis TMS_1. Untuk semua pengetahuan awal(tinggi, sedang, dan rendah) mayoritas mahasiswa(>66,00%) memiliki model mental awal dalammemahami model orbit Bohr berada pada kategori“buruk” dan “buruk sekali,” atau dengan karakteristikmodel mental “yang tidak berbentuk/tidak jelas” dan“intermediet 1. Hasil ini menunjukkan bahwa denganmodal pengetahuan awal yang diperoleh dari bangkusekolah menengah, mahasiswa masih mengalamikesulitan dalam membuat transformasi fenomena verbalke visual tentang model atom Bohr. Kesulitan tersebutdisebabkan mahasiswa tidak melakukan imajinasi denganbaik akibat belum dilatihnya dalam melakukan imajinasirepresentasi terhadap fenomena submikro tentang strukturatom model Bohr.

Page 25: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 156

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

Hasil analisis terhadap jawaban mahasiswa ataspertanyaan TMS_2 menunjukkan bahwa sebagianmahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi dan sedang(25,00% dan 20,83%) sebenarnya mampu melakukaninterpretasi dan membuat transformasi terhadap fenomenayang diberikan, namun ada kesalahan pemahaman dalammenggambarkan model atom flour dan natrium. Jawabanmahasiswa terinterferensi dengan model mekanikagelombang, yaitu dengan membuat konfigurasi elektronmenggunakan orbital s dan p, padahal yang ditanyakanadalah model Bohr yang belum mengenal istilah orbital.Akibat adanya kesalahan interpretasi tersebut jawabanmahasiswa atas soal TMS_2 menghasilkan model mentalawal dengan kategori “buruk” dan “buruk sekali.” Hasilwawancara mengindikasikan bahwa kemampuanmelakukan interpretasi tersebut dalam membedakanmodel Bohr dan model mekanika gelombang memangtidak dilatihkan dalam pembelajaran sewaktu merekaduduk dibangku sekolah menengah. Hal ini sejalandengan hasil penelitian Wang & Barrow (2013) bahwapembelajaran yang tidak melibatkan integrasi antararepresentasi submikro dan simbolik menyebabkanmahasiswa mengalami kesulitan dalam menggambarkandan menjelaskan model atom Bohr secara rinci (dantepat).

Terhadap pertanyaan TMS_3 dan TMS_4 jugamenunjukkan hal yang sama, di mana denganpengetahuan awal kimia mahasiswa yang diperolehsewaktu duduk di sekolah menengah masih belum mampumembangun model mental awal dengan baik. Mayoritasmahasiswa (>95,00%) memiliki kemampuan yang sangatrendah dalam menyelesaikan masalah tentang konfigurasielektron model Bohr dan model mekanika gelombang,sehingga menghasilkan model mental awal yang beradapada kategori “buruk” dan “buruk sekali,” atau dengankarakteristik model mental “yang tidak berbentuk/tidakjelas” dan “intermediet 1.”

Pertanyaan TMS_3 merupakan pertanyaan yangterkait dengan pernyataan visual, dimana mahasiswadiminta untuk membuat transformasi dari verbal ke visual(submikro) dan simbolik atau sebaliknya tentangpenentuan orbit elektron menurut Bohr kemudianmembuat gambaran visual melalui diagram tingkat energi.Untuk semua pengetahuan awal mahasiswa menunjukkanbahwa mayoritas (>95,00%) mengalami kesulitan dalammembuat transformasi yang diminta. Mahasiswa tidakmampu memberikan gambar orbit elektron yang sesuaidengan model Bohr dan diagram tingkat energi denganbaik. Analisis terhadap jawaban mahasiswa ataspertanyaan TMS_3 memberikan informasi bahwa baikmahasiswa dengan pengetahuan awal tinggi, sedang, dan

rendah, sama-sama belum mampu melakukan interpretasiterhadap energi elektron pada tingkat tertentu dan energitransisinya, serta belum mampu memberikan penjelasanbagaimana dengan energi kinetik dan energi potensial darielektron dalam atom hidrogen pada orbit n = 1 dan n = 3.Mahasiswa juga belum mampu membuat interpretasiterhadap energi kinetik dan energi potensial dari elektrondalam atom hidrogen yang didasarkan pada logikamatematik melalui perhitungan energi pada n = 1 dan n =3, serta energi transisi ketika elektron melompat dari orbitn = 3 ke n = 1.

Hasil yang sama juga terjadi pada jawabanmahasiswa terhadap pertanyaan TMS_4. Pertanyaan padaTMS_4 merupakan pertanyaan yang terkait denganhubungan antara tingkat energi dan konfigurasi elektronberdasarkan orbitalnya, di mana mahasiswa diminta untukmembuat transformasi dari verbal (makro) ke visual(submikro) dan simbolik atau sebaliknya tentangkonfigurasi elektron berdasarkan diagram tingkat energidari suatu atom dan keempat bilangan kuantumnya,kemudian membuat gambaran visual tentang diagramtingkat energi dari setiap orbital yang terisi oleh elektron.Pada jawaban mahasiswa nampak bahwa mahasiswabelum memiliki kemampuan dalam menentukan danmemberikan penjelasan tentang tingkat energi darielektron pada orbital-orbital dari atom flour. Kesulitandalam menentukan tingkat energi merupakan faktorpenyebab mahasiswa tidak dapat membuat gambar visualtentang diagram tingkat energi dan menentukan keempatbilangan kunatum dari elektron atom flour dengan tepat.Dalam hal ini, mahasiswa lebih banyak menggunakanistilah-istilah kulit elektron yang merupakan konsepmodel atom Bohr bukan konsep mekanika gelombang.Mahasiswa terinterferensi dengan konsep model Bohr,padahal pada konsep mekanika gelombang istilah kulitelektron sebaiknya dihindari, karena kedudukan elektrontidak dapat ditentukan secara pasti, sehingga akan lebihsesuai bila digunakan istilah tingkat energi dan orbital.

Berdasarkan hasil wawancara menunjukkanbahwa mahasiswa kesulitan dalam membedakan modelatom Bohr dan model mekanika gelombang, karenamenurut mahasiswa, model atom mekanika gelombangtidak dipelajari secara detail ketika mereka belajar disekolah menengah. Hasil wawancara juga memberikaninformasi bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapaimahasiswa disebabkan sewaktu mereka duduk dibangkusekolah menengah tidak mendapatkan pengalaman dalammelakukan interpretasi terhadap orbit elektron menurutBohr dan energi yang menyertai pergerakan elektrontersebut, serta bagaimana model mekanika gelombang

Page 26: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 157

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

dalam memberikan penjelasan tentang kedudukan danperilaku elektron di dalam atom.

Hasil-hasil analisis tersebut di atas, nampaknyasejalan dengan temuan Park & Light (2009) bahwakesulitan mahasiswa dalam memahami konsep-konsepyang bersifat abstrak dapat disebabkan oleh pengalamansehari-hari yang tidak mendukung dalam menyelesaikanmasalah yang melibatkan fenomena representasisubmikro. Selanjutnya menurut Park, et al (2009), teoritentang atom adalah konsep utama dalam sains, sehinggacara mengajar dan cara belajar tentang teori atom melaluimodel-model atom perlu diperhatikan dengan baik dalammemilih strategi yang mampu meningkatkan kemampuanmodel mental mahasiswa dari model “inetrmediet 1”dengan kategori “buruk” ke model mental “intermediet 3”dan “target” dengan kategori “baik” dan “baik sekali.”Wang & Barrow (2013) melaporkan bahwa mahasiswadengan skor model mental moderat (sedang) dan rendahsangat sulit dalam membuat visualisasi fenomena elektrondalam atom dan transisi energinya. Wang (2007) dalamdisertasinya melaporkan bahwa mahasiswa dengan skormodel mental tinggi, sedang, dan rendah sama-samamemiliki kesulitan dalam hal visualisasi elektron dalamatom. Demikian pula, Hilton & Nichols (2011)melaporkan bahwa pemahaman terhadap fenomena yanglebih kompleks dan abstrak tidak dapat dicapai tanpapenggunaan berbagai representasi, terutama integrasiantara representasi level submikroskopik dan simbolik.Berdasarkan temuan ini dan dukungan penelitiansebelumnya menunjukkan bahwa pembelajaran yangtidak memberikan pengalaman dan latihan kepadamahasiswa dalam melakukan interpretasi, penjelasankonseptual, dan transformasi di antara ketiga levelfenomena kimia akan menghasilkan penyelesaian masalahkimia yang rendah, sehingga sulit membangun modelmental dengan kategori “baik” dan “baik sekali.”

Implikasi dari penelitian ini adalah analisisterhadap model mental awal dapat dijadikan sebagai dasardalam menetapkan strategi pembelajaran kimia dasar.Salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakandalam membangun model mental adalah pembelajarandengan melibatkan tiga jenis representasi kimia(fenomena makro, submikro, dan simbolik). Tujuannyaagar mahasiswa mampu memberikan eksplanasi danmemperoleh pengetahuan konseptual yang mendalam,sehingga mahasiswa dapat lebih mudah dalammenyelesaikan masalah-masalah kimia yang terkaitdengan konsep-konsep abstrak. Studi tentang modelmental awal ini sangat diperlukan sebagai pijakan dalam

menentukan strategi pembelajaran. Mengingat modelmental merupakan suatu representasi internal yangdipakai oleh seseorang untuk berpikir dan dengandemikian mempengaruhi perkembangan kognitifpembelajar (Chittleborough, and Treagust, 2007; Tasker& Dalton, 2006; Senge, 2004; Ben-Zvi, et al., 1987).

SIMPULAN1. Model mental awal mahasiswa dalam memahami

konsep struktur atom masih didominasi oleh modelmental yang bersifat verbal dengan kategori “buruksekali” dan “buruk” atau dengan karakteristik modelmental “yang tidak jelas” dan model mental“intermediet 1,” baik untuk mahasiswa denganpengetahuan awal kimia tinggi, sedang, dan rendah.

2. Kesulitan-kesulitan mahasiswa dalammenginterpretasikan fenomena kimia antara lain:a. mengidentifikasi representasi eksternal (verbal dan

visual) tentang kedudukan elektron, proton, dannetron dalam atom sesuai dengan masing-masingmodel atom (model partikel, model inti, danmekanika gelombang)..

b. mentransformasi representasi submikro (visual) keverbal dan simbolik atau sebaliknya.

c. belum terlatih dalam melakukan imajinasi terhadapfenomena representasi submikro.

SARAN / REKOMENDASI1. Model mental awal hasil penelitian ini merupakan

gambaran awal kemampuan mahasiswa dalamberpikir tentang konsep struktur atom. Informasitentang model mental awal dapat dijadikan pijakandalam menentukan strategi pembelajaran kimia dasaruntuk membangun pemahaman konsep yangbermakna. Membangun pemahaman konsep yangbermakna memerlukan pengembangan model mentaldan pengemasan pembelajaran untuk menghasilkanketerampilan penalaran yang sistematis.

2. Model pembelajaran yang dapat mengembangkanmodel mental mahasiswa ke arah model mental “baik”dan “baik sekali” adalah model pembelajaran yangdikemas dengan melibatkan tiga level fenomena kimia(makro, submikro, dan simbolik) melalui strategikooperatif dan imajinatif.

Page 27: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 158

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

DAFTAR PUSTAKABarsalou, L.W. (1992). “Cognitive Psychology: An

Overview for Cognitive Scientist,” LEA (LawrenceErlbaum Associates), Inc.Publisher. Hillsdale.,New Jersey. 410 page.

Ben-Zvi, R., Eylon B. and Silberstein, J. (1987).“Students’ Visualisation of A Chemical Reaction,”Educ. Chem., 24, 117-120.

Chittleborough, G.D. and Treagust D. F. (2007). “TheModelling Ability Of Non-Major ChemistryStudents And Their Understanding Of The Sub-Microscopic Level,” Chem. Educ. Res. Pract., 8,274-292.

Coll, R.K. (2008). “Chemistry Learners’ PreferredMental Models for Chemical Bonding,” Journal ofTurkish Science Education, 5, (1), p. 22 – 47.

Coll, R.K. and Treagust, D.F. (2003). “Investigation ofSecondary School, Undergraduate and GraduateLearners’ Mental Models of Ionic Bonding,”Journal of Research in Science Teaching, 40, p.464 – 486.

Davidowitz, B., Chittleborough, G.D., and Eileen, M.(2010). “Student-Generated Submicro Diagrams:A Useful Tool for Teaching and LearningChemical Equations and Stoichiometry. Chem.Educ. Res. Pract., 11, 154–164.

Devetak, I., Erna, D.L., Mojca, J., and Glažar, S.A.(2009). “Comparing Slovenian Year 8 and Year 9Elementary School Pupils’ Knowledge ofElectrolyte Chemistry and Their IntrinsicMotivation. Chem. Educ. Res. Pract., 10, p. 281–290.

Gkitzia, V., Katerina S., and Chryssa T. (2011).“Development and Application of Suitable Criteriafor the Evaluation of Chemical Representations inSchool Textbooks.” Chem. Educ. Res. Pract., 12,p. 5–14.

Guzel, B.Y. & Adadan, E. (2013). “Use of MultipleRepresentations in Developing PreserviceChemistry Teachers’ Understanding of TheStructure of Matter,” International Journal ofEnvironmental & Science Education. 8, No. 1. p.109-130.

Hilton, A. & Nichols, K. (2011).“RepresentationalClassroom Practices that Contribute to Students’Conceptual and Representational Understandingof Chemical Bonding,” International Journal ofScience Education. 33, No. 16. p. 2215–2246.

Johnstone, A. H. (1993). “The development of ChemistryTeaching: A Changing Response to ChangingDemand”. Journal of Chemical Education, 70. No.9. p. 701-705.

Jaber, L.Z. and Boujaoude, S. (2012. “A Macro–Micro–Symbolic Teaching to Promote RelationalUnderstanding of Chemical Reactions,”International Journal of Science Education. 34, No.7, p. 973–998.

Liliasari, (2007). “Scientific Concepts and GenericScience Skills Relationship In The 21st CenturyScience Education,” dalam Proceeding of The FirstInternational Seminar of Science Education., 27October 2007. Bandung. 13 – 18.

Park, E.J. & Light, G. (2009). “Identifying AtomicStructure as a Threshold Concept: Student MentalModels and Troublesomeness,” InternationalJournal of Science Education. 31, No. 2. p. 233–258.

Park, E.J., Light, G., Swarat, S., & Denise, D. (2009).“Understanding Learning Progression in StudentConceptualization of Atomic Structure byVariation Theory for Learing.” dalam Paperpresented at the Learning Progressions in Science(LeaPS) Conference, June 2009. Iowa City, IA.

Senge, P.M. (2004). “The Fifth Discipline. The Art andPractice of The Learning Organization.”Doubleday Dell Publishing Group, Inc. New York.405 page.

Solaz-Portolẻs, J.J., and Lopez, V.S. (2007).“Representations in Problem Solving in Science:Directions for Practice,” dalam Asia-PacificForum on Science Learning and Teaching, 8, No.2. Article 4.

Sunyono, Leny Y, & Muslimin I. (2011). “Model MentalMahasiswa Tahun Pertama dalam MengenalKonsep Stoikiometri (Studi pendahuluan padamahasiswa PS. Pendidikan Kimia FKIPUniversitas Lampung,” dalam Prosiding SeminarNasional V. 6 Juli 2011. Universitas IslamIndonesia. Yogyakarta.

Sunyono, Wirya, I.W., Suyadi, G., dan Suyanto, E. (2009)“Pengembangan Model Pembelajaran KimiaBerorientasi Keterampilan Generik Sains padaMahasiswa SMA di Propinsi Lampung,” dalamLaporan Penelitian Hibah BersaingTahun I – Dikti,Jakarta.

Page 28: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 159

Vol. 2 No. 3, April 2014

Model Mental Mahasiwa Baru dalam Memahami Konsep Struktur Atom Ditinjau Dari Pengetahuan Awal

Tasker, R. & Dalton, R. (2006). “Research Into Practice:Visualization of The Molecular World UsingAnimations,” Chem. Educ. Res.Prac.7, p.141-159.

Treagust, D. F., Chittleborough, G. D., & Mamiala, T.(2003), “The Role of Submicroscopic andSymbolic Representations in ChemicalExplanations,” International Journal of ScienceEducation., 25, No. 11, p. 1353–1368.

Wang, C.Y. (2007). “The Role of Mental-ModelingAbility, Content Knowlwdge, and Mental Modelsin General Chemistry Students’ Understandingabout Molecular Polari,” Dissertation for theDoctor Degree of Philosophy in the GraduateSchool of the University of Missouri. Columbia.

Wang, C.Y. & Barrow, L.H. (2013). “ExploringConceptual Frameworks of Models of AtomicStructures and Periodic Variations, ChemicalBonding, and Molecular Shape and Polarity”: AComparison of Undergraduate General ChemistryStudents with High and Low Levels of ContentKnowledge. Chem. Educ. Res. Pract.,14. p. 130–146.

Page 29: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 160

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MEMPREVENSITERJADINYA MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP REAKSI REDOKS

Agus Sri Hono1)

Leny Yuanita2)

Suyono3)

1)Guru Bidang Studi Kimia SMA Yayasan Pupuk Kaltim Bontang2)Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya3)Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Implementasi sebuah model solutif dengan model belajar Learning Cycle 7E bertujuan untuk memprevensi (mencegah)terjadinya miskonsepsi siswa kelas X SMA khususnya pada konsep reaksi redoks. Subjek penelitian siswa kelas X-2, X-3, dan X-4SMAN Model Terpadu Bojonegoro. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen dengan one group pretest-postest designdengan tindakan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan menerapkan model Learning Cycle 7E (Elicit, Engage, Explore,Explain, Elaborate, Evaluation, Extend). Identifikasi miskonsepsi menggunakan three tier diagnostic test. Variabel respon dalampenelitian ini adalah konsepsi dan hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran prevensi terjadinya miskonsepsi siswa dalampembelajaran konsep redoks dengan menerapkan model Learning Cycle 7E. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptifdan analisis inferensial. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran prevensi miskonsepsi dengan menerapkan model LearningCycle 7E berhasil menambah proporsi siswa tahu konsep dan meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep reaksi redoks.

Kata-kata Kunci: Miskonsepsi, Prevensi, Learning Cycle 7E

Abstract: Implementation a model of solution using 7E Learning Cycle to prevent student’s misconceptions in grade X of SeniorHigh School particularly on Redox Reaction concept. Research samples were grade X-2, X-3 and X-4 students of Integrated ModelSenior High School in Bojonegoro. This study was pre-experiment study using One Group Pretest-Postest design. It was preventionlearning of misconception by implementing 7E Learning Cycle Model (Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluation,Extend). Identification of misconceptions used three-tier diagnostic test. Respon variables in this research were conception andstudent’s achievement on Redox Reaction concept. Data analysis technique were descriptive and inferential analysis. Findings of thisstudy show that prevention learning of misconception by implementing 7E Learning Cycle Model increased student’s proportion of‘knowing concept’ and successfully student’s achievement of Redox Reaction concept.

Keywords: Misconception, Prevention, 7E Learning Cycle Model

PENDAHULUANIlmu Kimia sebagai bagian dari sains berkaitan

bagaimana memahami alam secara sistematis, sehinggadiharapkan siswa mampu menguasai konsep-konsepkimia dengan baik, tanpa adanya miskonsepsi dalampemikiran siswa. Mengacu pada Lampiran Permendiknasnomor 22 tahun 2006 (standar isi mata pelajaran kimia),salah satu tujuan mata pelajaran kimia di SMA/MAadalah memahami konsep, prinsip, hukum, dan teorikimia serta saling keterkaitannya dan penerapannyauntuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi, maka ada dua hal yang berkaitandengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagaiproduk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep,prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimiasebagai proses, yaitu kerja ilmiah (Depdiknas, 2006).Simpulan, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajarkimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimiasebagai proses dan produk.

Berkaitan karakteristik ilmu kimia sebagai proses,menurut Amien (1988) proses pembelajaran akanberkembang baik jika keterlibatan siswa semakin besar.Prinsip psikologi menyatakan, apabila pada proses belajarketerlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran semakin

besar, maka makin besar pula bagi siswa untukmengalami proses belajar. Keterlibatan siswa yang besardalam pembelajaran biasa disebut sebagai pembelajaran“student centered” atau pembelajaran yang berpusat padasiswa. Sesuai dengan lampiran permendiknas nomor 22tahun 2006, bahwa pembelajaran yang berpusat padasiswa adalah pembelajaran dengan proses inkuiri ilmiahyang menekankan pada pemberian pengalaman belajarsecara langsung melalui proses ilmiah. Pemahamankonsep yang baik pada diri siswa, tanpa adanyamiskonsepsi merupakan harapan yang diinginkan setelahsiswa banyak terlibat dalam pembelajaran.

Miskonsepsi adalah pemahaman konsep olehsiswa yang tidak sesuai dengan konsep yang benarmenurut para ahli (Suparno, 2005). Menurut Hasan et al.(1999) miskonsepsi adalah pemahaman yang dimilikiseseorang dengan struktur kognitif yang berbeda denganpemahaman yang diterima secara umum dan yangdianggap mengganggu perolehan pengetahuan baru.Definisi yang hampir sama, Nakhleh (1992) bahwamiskonsepsi adalah setiap konsep yang berbeda daripemahaman ilmiah yang diterima secara umum, danmenurut Ibrahim (2012) miskonsepsi adalah konsepsiyang dimiliki oleh seseorang yang jelas-jelas berbeda

Page 30: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 161

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

bahkan seringkali berbeda dengan konsep ilmiah.Simpulannya, miskonsepsi adalah konsepsi yang dimilikisiswa yang bertentangan dengan konsep ilmiah dan yangdianggap menggangu perolehan pengetahuan baru.

Miskonsepsi siswa sering ditemukan ketika siswamempelajari ilmu kimia karena salah satu karakteristikilmu kimia terdiri atas konsep-konsep yang bersifatabstrak. Penelitian yang mengungkap terjadinyamiskonsepsi dalam pembelajaran kimia antara lain:Wahyuningrum dan Suyono (2013) menemukanmiskonsepsi siswa pada pokok bahasan struktur atom danSPU dan Yunianingsih dan Suyono (2013) menemukanmiskonsepsi siswa pada pembelajaran ikatan kimia.Konsep-konsep struktur atom, sistem periodik unsur, danikatan ikatan kimia merupakan bagian dari konsepprasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mempelajarikonsep redoks, maka kemungkinan besar ditemukan jugamiskonsepsi siswa di dalam pembelajaran reaksi redoks.Sehubungan banyak keterkaitan konsep redoks dengankonsep-konsep kimia yang dipelajari siswa di kelasberikutnya, maka peneliti sengaja melakukan penelitiankemungkinan adanya miskonsepsi siswa pada pokokbahasan reaksi redoks. Kemungkinan adanyamiskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoksdiidentifikasi dengan three tier diagnostic test.

Menurut Gagne et al. (1988) bahwa kesulitandalam pemahaman konsep prasyarat akan berpengaruhpada pemahaman konsep berikutnya, sesuai dengan TeoriLearning Hierarchy, sebagai contoh untuk menentukanbilangan oksidasi suatu unsur, siswa harus bisamembedakan ciri-ciri molekul senyawa, molekul unsur,ion, dan unsur. Sesuai dengan Lampiran Permendiknasnomor 22 tahun 2006, substansi materi kimia telahdisusun sedemikian rupa sehingga konsep yang diajarkanlebih awal berfungsi sebagai konsep prasyarat padakonsep berikutnya. Konsep prasyarat pada reaksi redoksantara lain struktur atom, sistem periodik unsur danikatan kimia, sehingga dengan pemahaman siswaterhadap konsep prasyarat tersebut diharapkanmemperkuat pemahaman terhadap konsep reaksi redoks.

Berdasarkan pengertian miskonsepsi yang berartikonsepsi siswa yang bertentangan dengan konsep ilmiah,maka miskonsepsi dimungkinkan dapat dicegah denganpembelajaran yang mengajarkan metode-metode ilmiahdalam memperoleh pengetahuan baru, yaitu pembelajarandengan model Learning Cycle 7E. Model ini memberikankesempatan kepada siswa untuk belajar secara langsungberhadapan dengan objek melalui fase ekspolarasi dalampembelajaran. Model Learning Cycle 7E merupakan hasilpenyempurnaan dari Learning Cycle 5E, yang diadaptasidari Eisenkraf (2003). Learning Cycle 7E mempunyai 7sintaks yang penting yaitu: (1) Elicit (mendatangkanpengetahuan awal siswa). (2) Engage (mengajak), (3)

Explore (eksplorasi), (4) Explain (menjelaskan), (5)Elaborate (menerapkan), (6) Evaluate (mengevaluasi),dan (7) Extend (memperluas).

Pembelajaran dengan learning cycle merupakanpembelajaran berbasis penyelidikan yang bertujuan untukmeningkatkan kualitas pembelajaran, memberikan siswadengan pengalaman ilmu yang lebih otentik sepertilayaknya seorang ilmuwan sesuai dengan sifat ilmu dandapat mendorong pemahaman konsep siswa (Turkmen,2006). Polyiem et al. (2011) memperoleh temuan bahwadengan menggunakan Learning Cycle 7E berhasilmeningkatkan hasil belajar dan mengembangkanketerampilan berpikir, serta daya nalar siswa. Penelitiyang lain Sumarni (2010) berhasil memprevensimiskonsepsi mahasiswa melalui 3siklus pembelajarandengan menerapkan model learning cycle.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitiakan melakukan penelitian tentang penerapan modelLearning Cycle 7E untuk memprevensi terjadinyamiskonsepsi siswa pada pokok bahasan reaksi redoks.

Tujuan utama dari penelitian ini adalahmengimplementasikan sebuah model solutif untukmengatasi miskonsepsi dengan cara mencegahmiskonsepsi siswa kelas X SMA khususnya pada konsepreaksi redoks.

METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan sebuah tindakan

pencegahan miskonsepsi siswa pada konsep reaksiredoks. Rancangan penelitian yaitu pra-eksperimen jenisone group pretest-posttest design. Penelitian ini dimulaidengan melakukan tes awal (pre-test) yang digunakanuntuk mengetahui prakonsepsi siswa dan pembentukankelompok kooperatif siswa di kelas. Penelitian dilanjutkandengan pembelajaran model Learning Cycle 7E denganmateri reaksi redoks. Sesudah pembelajaran prevensidilakukan post-test I untuk memetakan konsepsi siswasesudah pembelajaran dengan model Learning Cycle 7Edan mengetahui hasil belajar siswa pada konsep reaksiredoks. Terkait pemetaan konsepsi siswa, berdasarkan hasilpost-test I dilakukan pengelompokan konsepsi siswayang meliputi tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK,dan miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3) berdasarkanrespon jawaban siswa pada three tier diagnostics testseperti yang disarankan oleh Arslan et al.(2012).

Sasaran penelitian adalah siswa kelas X2, X-3,dan X-4. Teknik pengumpulan data yang dilakukansebagai berikut: (1) Pengamatan, digunakan untuk menilaiketerlaksanaan pembelajaran sesuai dengan sintaks yangtelah dirancang oleh guru dalam RPP, menilai kompetensipsikomotorik dan afektif siswa, (2) Tes PemahamanKonsep, dilakukan dalam dua tahap yaitu tes awal

Page 31: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 162

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

(pretest), diberikan sebelum kegiatan belajar mengajarpertemuan pertama dan post-test I untuk memperolehdata konsepsi dan hasil belajar siswa setelah tindakanprevensi dengan menerapkan model pembelajaranLearning Cycle 7E, (3) Kuesioner, digunakan untukmengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinyamiskonsepsi pada siswa setelah diberikan post-test I.

Konsepsi siswa dianalisis secara deskriptif danhasil belajar siswa, selain dianalisis secara deskriptif jugamenggunakan statistik untuk membuat simpulan yangberlaku umum. Pengolahan data secara statistik dilakukandengan menggunakan program SPSS (Statistical Packagefor Social Science) versi 18.0. Uji statistik yangdigunakan dalam penelitian ini, yaitu: Mann-WhitneyTest, Kruskal Wallis Test, Kolmogorov-Smirnov Test dant-Test dengan uji satu sampel.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Prakonsepsi Siswa Sebelum Prevensi Miskonsepsi

SiswaTujuh buah konsep reaksi redoks yang tersebar

dalam 21 butir soal yang dikerjakan siswa, semuaberpotensi menyebabkan MK, namun yang terbesar padakonsep reaksi redoks ditinjau dari perubahan elektron.Konsep yang lain yang berpotensi menyebabkanterjadinya MK adalah bilangan oksidasi, reaksi redoksditinjau dari bilangan oksidasi, dan tata nama senyawaanorganik menurut tinjauan bilangan oksidasi. Istilahbilangan oksidasi memang belum pernah dipelajari secaraformal di sekolah. Apalagi istilah tersebut tidak tampakdalam suatu unsur, ion, atau senyawa, namun dalammenentukannya perlu dihitung dengan mengikuti aturantertentu, dan terkait dengan konsep-konsep yang lain.Karakteristik siswa yang berlaku pada kelas X-2, tidakpersis sama dengan siswa kelas X-3 dan X-4, namun adabeberapa yang mirip, yaitu prakonsepsi siswa yangberupa TTK dominan pada semua konsep yang diujikan.

Merupakan gambaran yang wajar, profilprakonsepsi siswa pada ketiga kelas tersebut dominanpada status TTK, hal ini memberikan gambaran bahwasiswa belum pernah mengikuti pembelajaran konsepreaksi redoks. Siswa belum dilibatkan pembelajaran yangmelatihkan tahapan pembangunan konsep (menurut teorikonstruktivis).

Ditemukan prakonsepsi siswa pada tingkatan MK1,MK2, atau MK3 yang menurut Suparno (2005) guruharus memberikan perhatian lebih pada individu-individutersebut, sebab berpotensi menyebabkan terjadinyamiskonsepsi dalam menerima konsep yang baru.Keberadaan yang wajar ditemukan siswa mempunyaikonsepsi alternatif, hal ini sesuai dengan pendapatIbrahim (2012) bahwa prakonsepsi (konsep awal)merupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomenaalam, dalam pembahasan ini adalah reaksi redoks yangbelum dipelajari secara formal di sekolah. Sebagian darikonsep awal pada diri siswa ada yang sesuai dengankonsep ilmiah, namun ada yang tidak sesuai dengankonsep ilmiah, yang disebut mempunyai konsepsialternatif. Ketika pemahaman siswa atas konsep tertentuberbeda dengan konsep ilmiah, maka tidak bolehdihakimi sebagai miskonsepsi, namun dapat dinyatakansebagai konsepsi altenatif. Hal ini sesuai denganpendapat Horton (2004) bahwa istilah “miskonsepsi”tampaknya terlalu menghakimi dalam pandangan darisifat tentatif dari ilmu pengetahuan dan fakta bahwabanyak dari konsepsi pada diri anak telah berguna bagisiswa di masa lalu. Sifat tentatif ilmu pengetahuan yangdimaksud di sini adalah kebenarannya dapat berubah jikaditemukan bukti lain yang lebih dipercaya secara ilmiah.

B. Keterlaksanaan Sintaks Model Prevensi DenganLearning Cycle 7E

Keterlaksanaan pembelajaran di dalam penelitianini diamati oleh dua orang pengamat. Aspek yang diamatiterbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: keterlaksanaan sintaksyang terskenariokan dalam RPP, aktivitas siswa, dan

Gambar 1 Diagram Batang Gambar 1 Diagram BatangPrakonsepsi Siswa Kelas X-2 Prakonsepsi Siswa Kelas X-3

Gambar 3 Diagram BatangPrakonsepsi Siswa Kelas X-4

Keterangan:Konsep A: reaksi redoks

menurut tinjauanoksigen

Konsep B: reaksi redoksditinjau dari serahterima elektron

Konsep C: Bilangan OksidasiKonsep D: Redoks menurut

tinjauan biloksKonsep E: tata nama senyawa

anorganik menuruttinjauan biloks

Konsep F: Reduktor danoksidator

Konsep G: Reaksi redoksTerapan

Page 32: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 163

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

penilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS). Rata-rata hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaransecara keseluruhan pada setiap kelas termasuk ke dalamkategori baik hingga sangat baik. Pelaksanaanpembelajaran prevensi dengan menerapkan modelLearning Cycle 7E dilakukan tiga pertemuan untuksetiap kelas. Hasil uji Mann-Whitney yang membandingkanskor-skor penilain sintaks pada kedua pengamat danuntuk menilai kesamaan pandang pengamat terhadappelaksanaan pembelajaran pada kelas X-2, X-3, dan X-4pada setiap pertemuan diperoleh nilai p-value > 0,05.Artinya, tidak ada perbedaan signifikan sudut pandangkedua pengamat dalam mengamati keterlaksanaanpembelajaran. Untuk menguji keajegan guru mengajarpada setiap kelas dan setiap pertemuan dilakukan UjiKruskal Wallis, dan pengajaran pada ketiga kelasdiperoleh p-value > 0,05, artinya guru mampu menjagakonsistensi kualitas dalam melaksanakan pembelajaran padasetiap pertemuan pada semua kelas penelitian. Komponensintaks pembelajaran yang dinilai terdiri dari tujuh fasedari Learning Cycle 7E yang diawali dengan fase elicit,yang mengungkap konsep prasyarat siswa, dilanjutkanfase engage untuk menarik perhatian siswa denganmenghadirkan fenomena. Kegiatan inti dari modelpembelajaran Learning Cycle 7E, berupa fase explore,explain, dan elaborate. Fase explore kegiatan belajarmengajar melibatkan siswa dalam merumuskanmasalah/pertanyaan penelitian, menjawab pertanyaanpenelitian, melakukan penyelidikan, organisasi data,analisis data, menarik simpulan. Pada fase explain siswamenjelaskan hasil kerja selama fase explore, dan padafase elaborate guru mengajak siswa untuk menggunakanistilah umum untuk mengembangkan pengetahuan baru.Sebagai penutup pengajaran adalah fase evaluate danextend (memperlihatkan hubungan dengan konsep laindan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari)(Eisenkraf, 2003).

Pengamatan terhadap aktivitas siswa dilakukansecara berkelompok. Hasil pengamatan aktivitas siswayang merepresentasikan keterampilan psikomotorik,perilaku berkarakter, dan keterampilan sosialmemperoleh kriteria penilaian baik hingga sangat baik diketiga kelas penelitian. Hasil penilaian terhadap isianLembar Kerja Siswa (LKS) hampir semua kelompokmenunjukkan tanda-tanda kinerja yang positif padakomponen-komponen yang dinilai. Hal ini dapatdiartikan bahwa skenario pembelajaran Learning Cycle7E yang dibantu perangkat LKS telah berhasilmengkondisikan siswa untuk berlatih mengembangkankognitif proses. Berkaitan dengan aktivitas siswa dalampengerjaan LKS dan worksheet merupakan bagian darikegiatan seperti seorang ilmuan yang bekerja denganmetode ilmiah.

Pengintegrasian aspek psikomotorik, sikap(karakter), dan keterampilan sosial ke dalampembelajaran telah dilaksanakan guru dengan baik.Pengintegrasian aspek-aspek tersebut ke dalam prosespembelajaran akan mendukung penguasan konsep yangdibelajarkan. Hal ini sesuai dengan teori perkembanganPiaget mewakili konstruktivisme, yang memandangperkembangan kognitif sebagai suatu proses, anak secaraaktif membangun sistem makna dan pemahaman realitasmelalui pengalaman-pengalaman dari interaksi-interaksiyang dilakukan (Nur, 2008). Selanjutnya menurut Nur(2008) bahwa Vygotsky berpendapat seperti Piaget,belajar tidak terlepas dengan lingkungan, maka dalambelajar keduanya menyarankan untuk menggunakankelompok belajar dengan anggota kelompok yangheterogen, sehingga memungkinkan adanya take and givedalam belajar.

C. Konsepsi Siswa Sesudah Prevensi Miskonspsi SiswaPembelajaran dengan model pembelajaran Learning

Cycle yang dilakukan untuk mencegah terjadinyamiskonsepsi siswa. Profil konsepsi siswa setelahpembelajaran menunjukkan bahwa bahwa pembelajarandengan Learning Cycle 7E menunjukkan ada peningkatansiswa mengarah ke tahu konsep, namun masihmenyisakan banyak beban siswa pada MK1, MK2, danMK3. Sebagian besar siswa masih bertahan pada statusprakonsepsinya. Pendapat ini diperkuat Ibrahim (2012)yang menyatakan bahwa walaupun konsep yang benartelah diperkenalkan kepada siswa, masih terdapat peluangkembali kepada prakonsepsinya sendiri yang salah(miskonsepsi).

Sesuai dengan teori Piaget (di dalam Suparno,2000) bahwa siswa yang mempunyai prakonsepsi tidakdapat mengasimilasikan pengalaman yang baru denganskema yang dimiliki siswa, karena pengalaman yang barutidak sesuai dengan skema yang ada. Pada keadaan yangdemikian siswa akan melakukan akomodasi. Jika

Gambar 4. Diagram PastelKonsepsi Siswa Kelas X2Setelah Pembelajaran Prevensi

Gambar 5. Diagram PastelKonsepsi Siswa Kelas X3 SetelahPembelajaran Prevensi

Gambar 6. Diagram PastelKonsepsi Siswa Kelas X-4Setelah Pembelajaran Prevensi

Ket. Gambar

Page 33: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 164

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

dibandingkan pada ketiga kelas tersebut, pada kelas X-2,justru yang dominan adalah siswa yang tidak tahu konsep(TTK), hal ini memberikan gambaran bahwa konsepreaksi redoks belum dipahami oleh siswa.

Jika ditinjau dari keterlaksanaan pembelajaran denganpenerapan Learning Cycle 7E kegiatan belajar terlaksanadengan sangat baik dan siswa pun menjalankan aktivitasbelajar sesuai dengan fase-fase Model Learning Cycle7E. Hal yang agak aneh terlihat bahwa profil konsepsisiswa pada kelas X-2 dominan siswa tidak tahu konsep,berbeda dengan X-3 yang sedikit sekali ditemukan siswaberstatus TTK. Siswa yang berstatus TTK juga banyakditemukan di kelas X-4, namun tidak sebanyak padakelas X-2. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan darikedua pengamat bahwa pada kelas X-2 ada kekuranganwaktu yang lebih banyak dibandingkan siswa pada keduakelas lainnya. Karena siswa kurang waktu dalammemahami konsep reaksi redoks sehingga pada saatmengerjakan post-test I pada kedua kelas, yaitu kelas X-2dan X-4 banyak yang memilih “tidak yakin” pada tier-3,sehingga banyak ditemukan siswa berstatus TTK.Melalui angket siswa, diperoleh pendapat siswa bahwapemahaman konsep reaksi redoks perlu waktu yangcukup agar dapat memahaminya dengan baik. Sebagiankecil siswa merasa pengajaran guru terlalu cepat, siswabelum menguasai benar konsep pada petemuansebelumnya, sudah dilanjutkan ke materi berikutnya.Apalagi bahwa siswa terbiasa dengan pembelajaran yangberpusat pada guru yang dibawa siswa sejak masihbelajar di SMP, sehingga ketika siswa dilibatkan dalampembelajaran yang berpusat pada siswa seperti LearningCycle 7E maka dirasakan berat bagi siswa. Hal ini sesuaidengan kelemahan pembelajaran dengan Learning Cycle7E bahwa waktu yang dibutuhkan lebih lama, karenasiswa diajak untuk dapat mengeksplorasi pengetahuannyasendiri (Budiasih, 2003).

Pemahaman konsep siswa memerlukan proses. Piaget(di dalam Dahar, 1988) menjelaskan bahwa tahapperkembangan kemampuan kognitif anak, mulai daritahap sensori motorik (konkret) sampai tahapformal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkretmenjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalamimiskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuanmengkonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnyapengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengkonstruksisuatu konsep secara tepat dan benar. Secara perlahansesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akanterus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsidalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahamanyang benar tentang konsep tertentu. Sebagai bahanpertimbangan, menurut Miller et al. (di dalam Dazhi andInanc S., 2013) bahwa prevensi miskonsepsi denganpembelajaran berbasis inkuiri tidak berhasil dilakukan di

sekolah tingkat SLTP dan SLTA), dan baru berhasil padatingkat universitas.

D. Hasil Belajar Siswa Setelah Pembelajaran denganLearning Cycle 7ESecara deskriptif dengan standar ketuntasan KD = 70,

maka pada kelas X-2 hanya satu siswa yang tuntas. Padakelas X-3 terdapat dua siswa yang tuntas, sedangkan padakelas X-4 belum ada satu orang pun yang tuntas.Pembelajaran konsep reaksi redoks menggunakanLearning Cycle 7E belum mampu menghantarkan siswamencapai ketuntasan baik secara individual maupunklasikal. Secara klasikal berarti siswa yang tuntas di kelasdi atas 75%. Hal ini sangat mungkin disebabkan olehrendahnya tingkat prakonsepsi dan kemampuan prasyaratyang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan penghitungansumber-sumber miskonsepsi siswa yang diuraikan disubbab berikutnya yang diperoleh simpulan prakonsepsimerupakan sumber miskonsepsi terbesar dan disusul olehkemampuan prasyarat di antara 3 faktor yang dihimpundatanya.

Secara inferensial pembelajaran dengan modelLearning Cycle 7E berdampak positip dalam peningkatanhasil belajar siswa secara signifikan dengan tingkatkepercayaan 95%, namun jika ditinjau dari ketuntasanbelajar model Learning Cycle 7E belum menunjukkanada keberhasilan.

Jika melihat kembali pada amanat Permendikanasnomor 22 tahun 2006, bahwa pengajaran di kelas adalahharus berbasis inkuiri, pembelajaran harus dihadapkanlangsung dengan fenomena alam, bersifat induktif,pembelajaran dengan Learning Cycle 7E tetapdilanjutkan walaupun belum berhasil jika ditinjau dariketuntasan belajar. Perlu adanya tahapan refleksi padapembelajaran baik sisi dari guru maupun siswa. Guruperlu merefleksikan bagaimana respon siswa terhadapmateri yang dibawakan dengan menggunakan modelLearning Cycle 7E dan dari sisi siswa bagaimanakegiatan tindak lanjut pembelajaran siswa masing-masingdi rumah dilakukan atau tidak. Jika belajar hanyamengandalkan pertemuan di kelas, maka konsep yangseharusnya harus direview lagi di rumah dan latihan soalpun tidak banyak dikerjakan. Materi redoks di kelas Xbanyak konsep yang perlu latihan soal, seperti padapenentuan bilangan oksidasi.

Menurut Carrol dan Block (di dalam Ischak danWarji, 1987) bahwa tidak semua siswa mempunyaikecepatan yang sama dalam memahami konsep-konseptersebut, hal ini erat sekali hubungan antara tingkatpenguasaan belajar siswa dengan waktu yang disediakandan yang digunakan sungguh-sungguh oleh siswatersebut. Terkait dengan waktu yang berbeda-beda yangdiperlukan siswa untuk memahami suatu konsep, maka

Page 34: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 165

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

dimungkinkan karakteristik siswa berpengaruh terhadapkecepatan siswa dalam pemahaman konsep. Berkaitandengan belum tercapainya ketuntasan hampir semuasiswa pada ketiga kelas, maka sangat perlu disiapkanpengajaran remedial.

E. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada KonsepReaksi

Masih berdasarkan pada pemetaan konsepsi siswasetelah dilakukan pembelajaran prevensi dengan LearingCycle 7E, ternyata siswa masih banyak mengalamimiskonsepsi dan sebagian lagi tidak tahu konsep, makapeneliti meminta siswa untuk mengisi angket terkaitkesulitan belajar yang dialami yang berpotensimelahirkan miskonsepsi dan tidak tahu konsep pada dirisiswa. Sangatlah sulit mengamati pemikiran siswa dalammemahami suatu konsep, walaupun kegiatanpembelajaran telah berjalan dengan baik, namun setelahdiberikan tes ternyata masih banyak ditemukan siswayang mengalami miskonsepsi.

Menurut Suparno (2005) banyak kemungkinanfaktor-faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi,secara garis besar penyebabnya adalah siswa,guru/pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajarguru. Faktor-faktor tersebut masih ada jabarannya lebihbanyak lagi. Sebagai upaya memperkuat pembahasanterhadap hasil-hasil penelitian, maka penelitimempertimbangkan perlunya diungkap faktor-faktorpenyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa berdasarkanpada respon siswa setelah pembelajaran prevensidilakukan dan kemungkinan adanya faktor-faktor yangmenyebabkan kesulitan dalam memahami redoks padakhususnya dan ilmu kimia pada umumnya. Data-datayang mungkin disimpulkan sebagai faktor-faktormiskonsepsi dikumpulkan berdasarkan pre-test konsepprasyarat redoks, pre-test pemahaman konsep redoks, danberdasarkan angket yang diberikan kepada siswa.

Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 4bahwa pada kelas X-2, X-3, dan X-4 dapat ditariksimpulan bahwa di antara tiga faktor penyebabmiskonsepsi yang diidentifikasi intensitasnya, makafaktor terbesar adalah prakonsepsi, diikuti konsepprasyarat, dan cara mengajar guru. Urutan tersebut

berlaku pada semua kelas yang diteliti, kelas X-2, X-3,dan X-4.

Keberadaan prakonsepsi siswa dan kemampuanprasyarat penting bagi siswa, karena keduanyamerupakan batu loncatan untuk mencapai suatupemahaman konsep tertentu. Ditinjau dari hirarki belajardari Gagne et al., (1988) konsep awal sangat membantudalam pembentukan struktur kognitif berikutnya, tetapimengapa menjadi sumber miskonsepsi. Hal ini samahalnya air sangat bermanfaat bagi manusia, bahkanPDAM (perusahaan air minum daerah) mempunyai motto“Setetes air adalah kehidupan”, tetapi banyak jugakerugian karena air. Petani gagal panen karena menjelangpanen, padinya kebanjiran, dan banyak kerugian lainnyaakibat banjir. Jadi air mempunyai sisi positip sebagaisumber kehidupan, namun kebalikannya menjadi sisinegatif kalau jumlahnya berlebihan (banjir). Sama halnyaprakonsepsi dan konsep prasyarat bermanfaat padapembelajaran berikutnya jika penguasaan keduanyaadalah benar, namun jika salah malahan menyulitkanuntuk pemahaman konsep berikutnya (Gagne et al.,1988). Menurut Horton (2004) dari konsep awal yangtidak sesuai dengan konsep ilmiah malahan menyulitkankepada pemahaman berikutnya dan yang menjadikansiswa mengalami miskonsepsi. Hal ini juga dibenarkanoleh Ibrahim (2012) bahwa dengan konsep awal danprakonsepsi siswa yang salah akan menyebabkanmiskonsepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlukewaspadaan dari guru, jika prakonsepsi siswa banyakyang mengarah ke miskonsepsi siswa maka guru perluhati-hati dan senantiasa mengikuti pemikiran siswa,namun selalu mengarahkan untuk menuju status tahukonsep.

Terkait pada cara mengajar guru sebagai faktorpenyebab miskonsepsi adalah di antara siswa merasaguru yang menyebabkan siswa kurang memahami konsepyang dipelajari, beralasan guru terlalu cepat dalammengajar. Ditinjau dari penguasaan konsep guru, tidakada jawaban siswa yang mengarah pada alasan tersebut.Namun jika ditarik simpulan sebenarnya, karena siswatersebut kurang waktu dalam memahami suatu konsep.Dengan demikian faktor cara mengajar guru tidakdominan faktor terjadinya miskonsepsi dalam penelitianini, namun yang lebih besar adalah faktor prakonsepsisiswa.

PENUTUP1. Simpulan

Tindakan pembelajaran prevensi untukmeminimalisasi terjadinya miskonsepsi siswa padakonsep reaksi oksidasi reduksi di SMA Negeri ModelTerpadu Bojonegoro menggunakan model pembelajaran

(a) (b) (c)

Gambar 4 Diagram Pastel Faktor-faktor Penyebab Miskonsepsipada Kelas X-2 (a), X-3 (b), dan X-4 (c)

Page 35: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 166

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

Learning Cycle 7E menghasilkan simpulan sebagaiberikut: (1) tindakan prevensi yang dilakukan telahberhasil meningkatkan proporsi pemahaman siswa,namun masih menyisakan jumlah besar bebanmiskonsepsi dalam pada siswa, (2) pembelajaran konsepreaksi redoks dengan model Learning Cycle 7E yangdigunakan untuk memprevensi miskonsepsi berdampaksignifikan terhadap perubahan hasil belajar siswa, walaubelum berdampak kepada pencapaian ketuntasanindividual maupun klasikal.

2. Sarana. Sebelum memasuki pembelajaran guru sangat perlu

untuk mengadakan pretest untuk mengungkapprakonsepsi siswa dan profil konsep prasyarat.

b. Sebaiknya guru mengungkap profil konsepsi siswasetelah berakhir pembelajaran dan dapatmenggunakan three tier diagnostic test ini danmerancang tes serupa sesuai dengan pokok bahasanyang diajarkan sebagai bahan refleksi dan perbaikanpada pembelajaran konsep berikutnya.

c. Berdasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkanbahwa walaupun pembelajaran dilaksanakan denganberbasis inkuiri masih menyisakan banyak bebanmiskonsepsi dan sebagaian besar siswa belummencapai tingkat ketuntasan, maka sangat dipandangperlu untuk merencanakan pembelajaran remedialuntuk mereduksi beban miskonsepsi siswa danmengantarkan siswa untuk mencapai ketuntasanbelajar pada konsep yang dipelajarinya.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Moh. 1988. Buku Pedoman Laboratorium danPetunjuk Praktikum Pendidikan IPA Umum(General Science) untuk Lembaga PendidikanTenaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pedidikandan Kebudayaan Direktorat Jenderal PendidikanTinggi.

Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. AThree-Tier Diagnostic Test to Assess Pre-ServiceTeachers’ Misconceptions about Global Warming,Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, andAcid Rain.Turkey: Education International Journalof Science Education, 34(11),1667–1686.

Barthlow , Michelle J. 2011. The Effectiveness of ProcessOriented Guided Inquiry Learning to ReduceAlternate Conceptions in Secondary Chemistry.Dissertation. Liberty University.

Budiasih, E., Widarti, H.R. 2004. Penerapan PendekatanDaur Belajar (Learning Cycle) dalamPembelajaran Matakuliah Praktikum KimiaAnalisis Instrumen. Jurnal Pendidikan danpembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.

Dazhi and Inanc. S. 2013. The Search For Starategiies toPrevent Persisten Misconception. Atlanta: ASEEAnnual Conference Exposition.

Depdiknas. 2006. Silabus Mata Pelajaran Kimia.Direktorat Pembinaan SMA. Jakarta: DirektoratJendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Eisenkraft Arthur. 2003. Expanding the 5E Model. TheScience Teacher Volume 70 N0.6. New York:National Science Teachers Accosiation.

Gagne, Robert M, Leslie J. Brigs and Walter W. Wager.1988. Principles of Instructional Design. Florida.Holt, Rinehart and Winston. Inc.

Horton, Christopher. 2004. “Student AlternatifConceptions in Chemistry”. Journalof Science Education 7(2): 2 (2004)

Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan CaraMengatasinya. Surabaya: Unesa University Press.

Ischak S.W. dan Warji R. 1987. Program Remedial dalamProses Belajar Mengajar. Yogyakarta: Liberty.

Nakhleh, M.B. 1992. “Why Some Student Don’t LearnChemistry (Chemical Miscoception)”. InternationalJournal of Chemical Education, 69: 191-196.

Nur, Muhammad. 2008. Teori-teori PembelajaranKognitif. Surabaya: Unesa Press.

Polyiem, T., Nuangchalerm, P., and Wongchantra, P.(2011).” Learning Achievement, Science ProsessSklls, and Moral Reasoning of Ninth GradeStudents Learned by Learning Cycle andSocioscientific Issue-based Learning”. Australia:Australian Journal of Basic and Aplied Sciences, 5(10): 257-564.

Sumarni, W. 2010. Penerapan Learning Cycle ApprouchSebagai Upaya Meminimalisasi MiskonsepsiMahasiswa pada Materi Struktur Molekul.Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Suliman Wahid. 2002. Statistik Non Parametrik ContohKasus dan Pemecahannya dengan SPSS.Yogyakarta: Penerbit Andi.

Suparno, Paul. 2000. Teori Perkembangan Kognitif JeanPiaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi & Perubahan KonsepPendidikan Fisika. Jakarta: PT.Grasindo.

Wahyuningrum, S., dan Suyono. 2013. “Pola PergeseranKonsepsi Siswa pada Struktur Atom setelahPembelajaran dengan Strategi POGIL.” Surabaya:UNESA Journal of Chemical Education, 2(1), 43-50.

Yunianingsih, W, dan Suyono. 2013. “TingkatKeterampilan Berpikir Siswa Saling Bergantung

Page 36: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 167

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk Memprevensi Terjadinya Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks

(Dependen) dengan Tingkat Penguasaan KonsepSiswa.” Surabaya: UNESA Journal of ChemicalEducation, 2(1), 1-10.

Page 37: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 168

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

PENERAPAN MODIFIED INQUIRY MODELS UNTUK MENCEGAHMISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP KESETIMBANGAN KIMIA

Arif Imam Subagyo1)

Suyono2)

Tukiran3)

1)Guru di SMA Negeri 10 Samarinda Kalimantan Timur2)Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya3)Dosen Prodi Pend. Sains PPs Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mencegah miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangan kimia. Pencegahan terjadinyamiskonsepsi dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran modified inquiry. Sasaran penelitian adalah siswa kelas XI IPAdi SMAN Kabuh Kabupaten Jombang. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen dengan one group pretest-posttestdesign. Identifikasi miskonsepsi menggunakan metode Three Tier Test. Teknik analisis data diskrit menggunakan deskriptif kualitatifdan data kontinyu menggunakan statistik inferensial yaitu: Mann-Whitney Test,t-Test, dan Wilcoxon’s Sign Rank Test.Pembelajaran menggunakan modified inquiry berhasil mencegah miskonsepsi siswa dan membuat siswa menjadi tahukonsep, tetapi masih menyisakan beban miskonsepsi siswa. Dengan menggunakan uji statistik inferensial pada taraf kepercayaan95% dapat disimpulkan bahwa pada kelas penelitian terjadi penurunan secara signifikan beban miskonsepsi siswa sebagaidampak pembelajaran menggunakan modified inquiry.

Kata-kata kunci: modified inquiry, miskonsepsi, kesetimbangan kimia

Abstract: This research aims prevent student’s misconception to the concept of chemical equilibrium. Misconceptions preventionperformed was using a modified inquiry model. Subject in this research are students science grade XI in SMAN Kabuh Jombang.This research is pre-experiment with one group pretest - posttest design. Identification of misconceptions used Three Tier Testmethod. The resulted discrete data was analyzed using qualitative descriptive and continu data was analyzed using inferentialstatistics, namely the Mann-Whitney test, t-Test, and Wilcoxon’s Sign Rank Test. A modified inquiry learning models successfullyprevented stuedent’s misconception but still remained the burden of misconceptions. Based on inferential statistical test with thesignificance level of 95% it can be concluded that the science classes decreased significantly the level of burden ofmisconceptions as the impact of learning a modified inquiry models.

Keywords: modified inquiry, misconception. chemical equilibrium

PENDAHULUANTujuan pembelajaran sains termasuk di dalamnya

ilmu kimia yang diamanatkan dalam PermendiknasNomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi adalah untukmemperoleh pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip,hukum, teori melalui kerja ilmiah, oleh karena itupembelajaran kimia menekankan pada pemberianpengalaman belajar secara langsung melaluipenggunaan dan pengembangan keterampilan prosesdan sikap ilmiah. Konsep adalah generalisasi fakta-fakta yang memiliki ciri-ciri yang sama (Ibrahim,2012). Konsep merupakan dasar bagi proses-prosesmental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi (Dahar, 2011). Pengetahuanbukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, dan prinsipyang siap untuk diambil dan diingat. Siswa harusmengkonstruksi pengetahuan tersebut dan memberimakna melalui pengalaman nyata (Sagala, 2012). Siswayang terlibat dalam kegiatan dan bekerja sama denganorang lain untuk memperoleh konsep-konsep akanmembantu mengatasi terjadinya miskonsepsi (Schunk,2012). Miskonsepsi adalah pemahaman konsep olehsiswa yang tidak sesuai dengan konsep yang benarmenurut para ahli (Suparno, 2005). Miskonsepsimerupakan penghambat dalam belajar sains, oleh

karena itu miskonsepsi sedapat mungkin diperbaiki(Dahar, 2011).

Miskonsepsi siswa dapat diungkapkan dandigantikan dengan konsep yang benar menurutpengertian ilmiah dengan menggunakan modelpembelajaran inkuiri (Barthlow, 2011). Penggunaanmodel inkuiri mempunyai tujuan agar siswa mampumencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban ataspersoalan-persoalan yang dihadapinya seperti seorangilmuan. Siswa diharapkan bekerja dan berpikir sepertiseorang ilmuan sehingga memperoleh pemahamansesuai dengan yang dipahami ilmuan sehingga siswa tidakmengalami miskonsepsi (Sagala, 2012).

Mata pelajaran kimia penuh dengan konsepabstrak yang tidak mudah dipahami kecualidihubungkan dengan sesuatu dari pengalaman sehari-hari. Oleh karena itu siswa sering mengalami miskonsepsipada mata pelajaran kimia (Barke et al., 2009). Konsepkesetim-bangan kimia termasuk konsep dasar (basicconcepts) yang sangat penting dalam kimia karenamemahami konsep kesetimbangan merupakan dasaruntuk memahami konsep-konsep kimia yang lain,seperti sifat asam basa, reaksi oksidai-reduksi dankelarutan (Barke et al., 2009). Pada penelitian inimerupakan upaya pencegahan terjadinya miskonsepsisiswa menggunakan modified inquiry.

Page 38: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 169

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengim-plementasikan sebuah model solutif untuk mencegahmiskonsepsi siswa SMA, khususnya pada konsepkesetimbangan kimia. Masalah utama itu dijawabdengan menjawab pertanyaan-pertanyaan elementersebagai berikut:1. Bagaimana prakonsepsi siswa sebelum pencegahan

miskonsepsi siswa dengan model pembelajaranmodified inquiry pada konsep kesetimbangankimia?

2. Bagaimana keterlaksanaan sintaks modelpencegahan dengan modified inquiry?

3. Bagaimana konsepsi siswa sesudah pencegahanmenggunakan model modified inquiry pada konsepkesetimbangan kimia?

4. Bagaimana perubahan hasil belajar siswa sesudahpembelajaran dengan model modified inquiry?

5. Apakah faktor penyebab miskonsepsi siswa padakonsep kesetimbangan kimia?

Indikator ketercapaian tujuan itu disimpulkanberdasarkan data empiris yang diperoleh saat menjawabrumusan masalah tentang penurunan miskonsepsi siswasesudah pencegahan dengan model pembelajaranmodified inquiry pada konsep kesetimbangan kimia.

METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan sebuah tindakan pence-

gahan miskonsepsi siswa pada konsep kesetimbangankimia. Rancangan penelitian yaitu pra-eksperimen jenisone group pretest-posttest design (Sugiyono, 2012).Penelitian ini dimulai dengan melakukan tes awal(pretest) yang digunakan untuk mengetahui prakonsepsisiswa dan pembentukan kelompok kooperatif siswa dikelas. Penelitian dilanjutkan dengan pembelajaranmodified inquiry dengan materi kesetimbangan kimia.Sesudah pembelajaran modified inquiry dilakukanposttest untuk memetakan konsepsi siswa sesudahpembelajaran modified inquiry. Berdasarkan hasil posttest1 dilakukan pengelompokan konsepsi siswa yangmeliputi tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK,dan miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3).

Sasaran penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1dan XI IPA 3. Teknik pengumpulan data yangdilakukan sebagai berikut: (1) Pengamatan, digunakanuntuk menilai keterlaksanaan pembelajaran sesuaidengan sintaks yang telah dirancang oleh guru dalamRPP, menilai kompetensi psikomotorik dan afektifsiswa, (2) Tes Pemahaman Konsep, dilakukan dalamdua tahap yaitu tes awal (pretest), diberikan sebelumkegiatan belajar mengajar pertemuan pertama, posttestuntuk memperoleh data konsepsi siswa setelah tindakanpencegahan dengan menerapkan model pembelajaranmodified inquiry, (3) Kuesioner, digunakan untukmengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinyamiskonsepsi pada siswa setelah diberikan posttest.

Data hasil tes pemahaman konsep siswadianalisis untuk pengelompokkan siswa ke dalam

kelompok tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK),dan miskonsepsi (MK). Kriteria pengelompokan siswatergolong tahu konsep (TK), tidak tahu konsep (TTK),dan miskonsepsi (MK) berdasarkan respon jawabansiswa pada Three Tier Test seperti yang disarankan olehArslan et al.(2012). Statistik inferensial digunakanuntuk menganalisis data dengan membuat kesimpulanyang berlaku umum. Pengolahan data secara statistikdilakukan dengan menggunakan program SPSS(Statistical Package for Social Science) versi 18.0. Ujistatistik yang digunakan dalam penelitian, yaitu: Mann-Whitney Test, Kolmogorov- Smirnov Test, t-Test, danWilcoxon’s Signed Rank Test (Djarwanto, 1991;Sudjana. 1996).

HASIL DAN PEMBAHASANA. Prakonsepsi Siswa Sebelum Pencegahan

Miskonsepsi Siswa.Profil prakonsepsi siswa kelas XI IPA 1 dan XI

IPA 3 yang berupa deskripsi jumlah beban prakonsepsisiswa pada masing-masing konsep kesetimbangankimia disajikan pada Tabel 1 dan persentase prakonsepsisiswa secara keseluruhan (klasikal) disajikan padaGambar 1, dan Gambar 2.Tabel 1 Data Prakonsepsi Siswa pada Konsep

Kesetim-bangan Kimia di Kelas XI IPA 1dan XI IPA 3

Keterangan Tabel 1: Konsep A: Kesetimbangan kimia (definisi). Konsep B: Hukum kesetimbangan kimia. Konsep C: Kesetimbangan homogen dan heterogen. Konsep D: Pengaruh perubahan konsentrasi pada arah pergeseran

kesetimbangan kimia. Konsep E: Pengaruh perubahan tekanan dan volum. pada arah

pergeseran kesetimbangan kimia Konsep F: Pengaruh perubahan suhu pada arah pergeseran

kesetimbangan kimia.

Kon

sep

Kelas XI IPA 1 Kelas XI IPA 3

Profil Prakonsepsi Profil Prakonsepsi

TK

TT

K

MK

1

MK

2

MK

3

TK

TT

K

MK

1

MK

2

MK

3

A 25 42 10 8 43 18 43 14 8 37

B 9 35 3 4 45 9 39 3 4 35

C 5 40 1 4 46 8 43 0 4 35

D 4 25 7 0 28 6 28 6 2 18

E 4 21 6 9 24 4 28 6 6 16

F 6 29 3 5 21 3 21 2 5 29

∑ 53 192 30 30 207 48 202 31 29 170

Page 39: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 170

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

Prakonsepsi siswa menunjukkan bahwa siswa berpotensimengalami miskonsepsi. Fenomena terjadinyamiskonsepsi pada prakonsepsi siswa sesuai denganpernyataan Suparno (2005) bahwa prakonsepsi siswamengalami kesalahan karena prakonsepsi dibentuksebelum siswa mendapatkan pelajaran formal tentangkonsep yang dimaksud. Siswa mengasosisasikan keadaankesetimbangan dengan fenomena yang sudah dikenalsiswa dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh,siswa yang belum diajarkan tentang kesetimbangan,tetapi siswa telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksiyang setimbang memiliki massa yang sama. Jikakonsepsi siswa sebagai hasil konstruksi tentang alamsekitarnya berbeda (dengan konsepsi ilmiah, makadikatakan siswa mengalami miskonsepsi (Dahar, 2011).Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahanterjadinya miskonsepsi. Profil prakonsepsi masing-masing siswa dijadikan bahan pertimbangan untukpengelolaan pembelajaran yang akan dilakukan, sepertipembentukan kelompok belajar yang akan dibangunsaat melaksanakan sintaks dari sebuah modelpembelajaran yang dipilih. Pembelajaran kelompokmemberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalamkegiatan dan bekerja sama dengan orang dalammemperoleh konsep-konsep sehingga dapat mencegahterjadinya miskonsepsi (Schunk, 2012).B. Keterlaksanaan Sintaks Model Pencegahan

Dengan Modified InquiryKeterlaksanaan pembelajaran di dalam

penelitian ini diamati oleh dua orang pengamat(observer). Aspek yang diamati terbagi ke dalam tigabagian, yaitu : keterlaksanaan sintaks yangterskenariokan dalam RPP, aktivitas siswa, danpenilaian terhadap isian Lembar Kerja Siswa (LKS).Rata-rata hasil pengamatan keterlaksanaanpembelajaran secara keseluruhan pada setiap kelastermasuk ke dalam kategori sangat baik. Hasil uji Mann-Whitney yang membandingkan skor-skor penilainsintaks pada kedua pengamat dan untuk menilaikonsistensi menjaga kualitas pembelajaran pada duakelas penelitian yang berbeda diperoleh nilai p-value >0,05. Artinya, tidak ada perbedaan signifikan ataspenilaian keterlaksa-naan sintaks pada setiap tatapmuka dari kedua pengamat dan peneliti mampu menjagakonsistensi kualitas dalam melaksanakan pembelajaranpada semua kelas penelitian. Komponen sintakspembelajaran yang dinilai terdiri dari lima kegiatanutama, yaitu pendahuluan, kegiatan inti, penutup,pengelolaan waktu, dan antusiasme. Kegiatan inti darimodel pembelajaran modified inquiry meliputi:menjelaskan proses inkuiri, menyajikan masalah,merumuskan hipotesis, melakukan penyelidikan,organisasi data, analisis data, menarik simpulan, danmerefleksikan proses inkuiri (Arends, 2012).

Hasil pengamatan aktivitas siswa yangmerepresentasikan keterampilan psikomotorik, perilakuberkarakter, dan keterampilan sosial memperolehkriteria penilaian sangat baik di kedua kelas penelitian.Aktivitas siswa yang baik selama pelaksanaan sintakspembela-jaran membantu siswa untuk lebih mudahmemahami suatu konsep yang sedang dipelajari(Forgaty, 1991). Selain itu, belajar bersama dalamkelompok yang diwarnai hubungan sosial dan karakteryang baik akan berdampak positif bagi kemajuanbelajar siswa (Vygotsky dalam Arends, 1991).

Hasil penilaian terhadap isian Lembar KerjaSiswa (LKS) hampir semua kelompok menunjukkantanda-tanda kinerja yang positif pada komponen-komponen yang dinilai. Artinya skenario pembelajaranmodified inquiry yang dibantu perangkat LKS telahberhasil mengkondisikan siswa untuk berlatih danmencapai kinerja proses sains yang baik.

Sintaks model pembelajaran yangdilaksanakanya dengan sangat baik, yang di dalamnyadiintegrasikan keterampilan psikomotorik, perilakuberkarakter, dan keterampilan sosial akan menjadikanpembelajaran lebih bermakna. Pembelajaran yangbermakna akan mengha-silkan pemahaman konsep-konsep kesetimbangan kimia yang utuh, dipahami secarabaik, tidak mudah dilupakan, dan mencegah terjadinyamiskonsepsi siswa.C. Konsepsi Siswa Sesudah Pencegahan Miskonspsi

SiswaProfil konsepsi siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA

3 yang berupa deskripsi jumlah beban konsepsi siswapada masing-masing konsep kesetimbangan kimiadisajikan pada Tabel 2 dan persentase konsepsi siswasecara klasikal disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.Pembelajaran dengan model pembelajaran modifiedinquiry dilakukan untuk mencegah terjadinyamiskonsepsi siswa. Profil konsepsi siswa setelahpembelajaran menunjukan bahwa jumlah tahu konseplebih banyak dibandingkan dengan beban miskonsepsibaik pada status MK1, MK2, maupun MK3 (Gambar 3dan Gambar 4) sebagai dampak pelaksanaanpembelajaran dengan model pembelajaran modifiedinquiry.

Tabel 2 Data Konsepsi Siswa Setelah Pencegahanpada Konsep Kesetimbangan Kimia diKelas XI IPA 1 dan XI IPA 3

Kon

sep

Kelas XI IPA 1 Kelas XI IPA 3

Profil Konsepsi Profil Konsepsi

TK

TT

K

MK

1

MK

2

MK

3

TK

TT

K

MK

1

MK

2

MK

3

A 68 21 3 24 12 43 20 4 17 34

B 65 20 0 7 4 57 7 2 14 10

C 61 25 2 7 1 65 9 1 9 6

D 25 23 2 5 9 38 9 2 5 6

E 29 19 3 9 4 35 8 7 8 2

F 30 17 11 1 5 20 7 15 1 17

Page 40: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 171

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

Keterangan Tabel 2: Konsep A: Kesetimbangan kimia (definisi). Konsep B: Hukum kesetimbangan kimia. Konsep C: Kesetimbangan homogen dan heterogen. Konsep D: Pengaruh perubahan konsentrasi pada arah pergeseran

kesetimbangan kimia. Konsep E: Pengaruh perubahan tekanan dan volum. pada arah

pergeseran kesetimbangan kimia Konsep F: Pengaruh perubahan suhu pada arah pergeseran

kesetimbangan kimia.

Fakta ini menunjukkan bahwa pembelajarankonsep kesetimbangan kimia menggunakan modelpembelajaran modified inquiry telah berhasil mencegahterjadinya miskonsepsi siswa yang lebih besar meskipunmasih menyisakan siswa yang miskonsepsi. Temuanpenelitian ini sejalan dengan pendapat Barthlow (2011),bahwa miskonsepsi siswa dapat diungkapkan dandigantikan dengan konsep yang benar menurutpengertian ilmiah dengan menggunakan modelpembelajaran inkuiri. Model pembelajaran yangmenggunakan sejumlah keterampilan metodologiilmiah seperti merumuskan masalah, mengemukakanpertanyaan, melakukan penelitian, analisis, berdiskusi,bekerja secara kolaboratif, dan melakukan presentasi.Pendapat ini dudukung oleh Schunk (2012) yangmenyatakan bahwa model pembelajaran yang melibatkansiswa saling bekerjasama untuk memecahkan suatumasalah sehingga memperoleh konsep-konsep baruterbukti dapat mencegah terjadinya miskonsepsi siswayang lebih besar.

Model pembelajaran modified inquiry berhasilmencegah untuk tidak terjadinya miskonsepsi siswapada konsep kesetimbangan kimia, meskipun belumsecara total menghilangkan beban miskonsepsi siswa.Beban miskonsepsi yang masih tersisa setelah tindakanpencegahan dengan model pembelajaran modifiedinquiry dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Hasilanalisis terhadap isian Lembar Kerja Siswa, ditemukanterdapat kelompok siswa yang masih gagal dalammenyusun hipotesis, menganalisis data, dan menariksimpulan. Menyusun hipotesis, menganalisis data, dan

menarik simpulan menurut Eggen (1979) adalahdiantara tahap-tahap yang harus dilalui dalampembentukan konsep. Kegagalan dalam tahap-tahaptersebut dapat menjadi penyebab masih adanyamiskonsepsi siswa, (2) Pelaksanaan sintakspembelajaran tidak memberi kesempatan kepada siswauntuk menuliskan non contoh dari konsep-konsepkesetimbangan kimia. Akibatnya, siswa kurangmemahami atribut atau ciri-ciri esensial yangterkandung di dalam konsep-konsep kesetimbangankimia. Siswa tidak dapat membedakan antara contohkonsep, dan bukan konsep sehingga menimbulkanmiskonsepsi (Ibrahim, 2012), dan (3) Karakter konsepkesetimbangan kimia yang tidak dapat dilihat dengankasat mata atau abstrak. Siswa tidak dapat melihatlangsung terjadinya pergeseran kesetimbangan,sehingga siswa tidak dapat membedakan konsepdengan bukan konsep melalui pengamatan ciri esensialdari sebuah konsep. Ketika atribut khusus dari konsepkesetimbangan kimia yang diketahui siswa dengankeyakinan yang rendah, maka pemikiran siswaberpeluang untuk kembali mengalami miskonsepsi(Ibrahim, 2012).D. Perubahan Hasil Belajar Siswa Sesudah

Pembelajaran dengan Model Modified InquiryPembelajaran konsep kesetimbangan kimia

menggunakan model modified inquiry mampumeningkatkan rata-rata nilai pemahaman siswaterhadap konsep-konsep kesetimbangan kimia. Secaradeskriptif dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM)sebesar 75, maka pada kelas XI IPA 1 terdapat 15 (limabelas) siswa dari 32 siswa yang tuntas atau 47%. Padakelas XI IPA 3 terdapat 7 (tujuh) siswa dari 30 siswayang tuntas atau 23%.

Analisis secara inferensial menggunakan t-Testsatu arah seperti pada Tabel 3.Tabel 3 Hasil t-Test Beda Rata-rata Pemahaman

Konsep Kesetimbangan Kimia Sebelum danSesudah Pembelajaran

No. Kelas df thitungttabel

uji satu arahp-value

1. XI IPA 1 31 21,175 1,697 0,000

2. XI IPA 3 29 19,133 1,699 0,000

Berdasarkan Tabel 1, nilai p-value/2 < 0,05 dan nilai thitung > nilai t tabel satu arah, maka dapat disimpulkanbahwa rata-rata pemahaman konsep kesetimbangankimia sesudah pembelajaran meningkat secarasignifikan. Artinya, pembelajaran menggunakan modelmodified inquiry terbukti mampu meningkatkan pema-haman siswa terhadap konsep-konsep kesetimbangankimia.

Temuan ini menunjukkan bahwa pembelajarandengan model pembelajaran modified inquiry mampumendorong siswa untuk mencari dan menemukansendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yangdihadapinya. Pembelajaran dengan modified inquiryberhasil melatih siswa cara berfikir yang ilmiah. Selain

Page 41: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 172

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

itu, pembelajaran modified inquiry yang menekankanpada keterampilan proses membuat pembelajaranmenjadi lebih bermakna bagi siswa (Sagala, 2012).Informasi baru yang diperoleh selama proses pembelajarandihubungkan dengan struktur pengertian yang sudahdipunyai seseorang yang sedang belajar. Hasil prosespembelajaran itu membuat pemahaman siswa terhadapkonsep yang dipelajari menjadi lebih baik.

Kunci keberhasilan model modified inquiryyang mengacu kepada sintaks yang dibuat oleh Arends(2012), yaitu penekanannya pada hakikat interaksisosial dari siswa. Model pembelajaran yangmenekankan pada interaksi sosial siswa dengan temansebaya yang lebih mampu/pintar. Menurut teori belajarkonstruktivis dari Vygotsky, siswa belajar konsep-konsep dalam zona perkembangan terdekat atau zone ofproximal develop-ment (zpd) mereka. Siswa mencapaizona perkembangan potensialnya dengan bantuanguru/orang dewasa atau teman yang lebih pintar denganmelakukan scaffolding. Melalui scaffolding, siswamenerima sejumlah besar bantuan dari guru/orangdewasa atau teman sebaya yang lebih pintar. Secarabertahap kemudian bantuan tersebut dikurangi denganmemberikan kesempatan kepada siswa untukmengambil alih tanggung jawab sesudah siswa mampumengerjakan tugas sendiri.E. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa pada

Konsep Kesetimbangan KimiaBerdasarkan hasil kuesioner siswa yang

mengalami miskonsepsi pada posttest 1, diperolehinformasi tentang intensitas faktor penyebabmiskonsepsi yang meliputi faktor pemikiran siswasendiri, faktor buku/ sumber belajar, dan faktor caramengajar guru. Faktor pemikiran siswa sendirimenempati urutan pertama diikuti oleh faktorbuku/sumber belajar dan faktor cara mengajarmenempati urutan terakhir. Pemikiran siswa sendirimenjadi faktor penyebab terjadinya miskonsepsi siswayang dominan karena siswa masih dalam proses belajar,pemikiran siswa terus mengalami perubahan strukturkonseptual. Terjadinya miskonsepsi akibat pemikiransiswa sendiri ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:(1) prakonsepsi atau konsep awal siswa yang dibentuksebelum siswa mendapatkan pelajaran formal tentangkonsep kesetimbangan kimia, (2) pemikiran asosiatifsiswa terhadap istilah-istilah sehari-hari, (3) pemikiranhumanistik yang memandang semua benda disekitarnya sesuai dengan nalurinya sebagai manusiaatau bersifat manusiawi, (4) penalaran (reasoning) yangtidak lengkap atau salah akibat dari kesalahan logikaberpikir yang digunakan untuk menarik simpulan, (5)intuisi yang salah akibat kegiatan berpikir yangdidasarkan pada perasaan yang muncul secara tiba-tibatanpa melalui penalaran, (6) tahap perkembangan

kognitif siswa yang tidak sesuai dengan materipelajaran yang diajarkan kepada siswa, (7) kecerdasandan bakat siswa sangat berpengaruh terhadap kecepatandan ketepatan siswa dalam memahami materi ajar,khususnya menghubungkan antar konsep, dan (8) minatbelajar memiliki pengaruh terhadap perhatian yanglebih besar pada materi ajar yang dipelajari (Suparno,2005).

Miskonsepsi karena buku teks pelajaran terjadikarena penjelasan yang keliru dalam buku tersebut,kesalahan penulisan yang tidak diikuti dengan ralat,penggunaan bahasa yang terlalu tinggi untuk levelsiswa yang dituju, banyak siswa yang membaca bukuteks sepotong-sepotong sehingga memberikan pema-haman yang tidak utuh dan benar, pemberian ilustrasigambar yang diambil dalam kehidupan sehari-hari yangtidak sesuai dengan makna konsep yang sesungguhnya,penggunaan gambar kartun yang sering mengandungmiskonsepsi. Sebagai contoh, pada sebuah buku tekskimia SMA kelas XI dipaparkan ilustrasi gambar untukmenganalogikan keadaan kesetimbangan dinamisberupa permainan jungkat-jungkit mengakibatkanterjadinya miskonsepsi karena keadaan kesetimbangandinamis tercapai jika beratnya sama. Miskonsepsi karenaguru terjadi karena guru tidak menguasai materi secarautuh dan benar (tidak memiliki kompetensiprofesional dan pedagogik), guru tidak berlatar belakangsarjana bidang ilmu yang diajarkan (misal sarjanapendidikan matematika tetapi mengajar kimia), guru tidakmelakukan aktivitas untuk mendeteksi terjadinyamiskonsepsi siswa secara dini dan guru tidak menjalinhubungan baik dengan siswa sehingga siswamengalami kesulitan dalam pemahaman suatu konseptidak berani bertanya.

PENUTUP

SimpulanTindakan pencegahan miskonsepsi siswa dengan

model pembelajaran modified inquiry pada konsepkese-timbangan kimia menghasilkan simpulan bahwatindakan pencegahan telah berhasil menekan terjadinyamiskonsepsi siswa, meskipun masih menyisakansejumlah siswa miskonsepsi.Saran1.Guru kimia perlu memperhatikan prakonsepsi siswa

sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran agarpotensi terjadinya miskonsepsi dapat diketahui secaradini.

2.Tindakan pencegahan dengan model pembelajaranmodified inquiry untuk mencegah terjadinya miskon-sepsi siswa perlu mengintegrasikan keterampilanpsiko-motorik, perilaku karakter, keterampilan sosial,dan melatihkankan siswa memberi contoh konsep danbukan konsep agar memberikan dampak yangmaksimal.

Page 42: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 173

Vol. 2 No. 3, April 2014

Penerapan Modified Inquiry Models untuk Mencegah Miskonsepsi Siswa pada Konsep Kesetimbangan Kimia

3.Beban miskonsepsi yang masih tersisa setelahpembelajaran dengan model pembelajaran modifiedinquiry perlu diremediasi untuk mereduksi bebanmiskonsepsi pada setiap siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Akbas, Yavuz. 2012. “High School 9th Grade Students’Understanding Level and Misconceptions AboutTemperature and Factors Affecting It”. EducationalResearch And Reviews. 7(30): 670-677.

Arends, Richard I. 2012. Learning to Teach. 9st Edition.New York: McGraw-Hill.

Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction andManagemen. New York: MC Grew-Hiil.

Arslan, Harika Ozge, Ceyhan Cigdemoglu, dan ChristineMoseley, 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test toAssess Pre-Service Teachers’ Misconceptions aboutGlobal Warming, Greenhouse Effect, Ozone LayerDepletion, and Acid Rain”, International Journal ofScience Education, 34 (11): 1667–1686.

Barke, Hans Dieter,Al Hazaril and Sileshi Yitbarek. 2009.Misconception in Chemistry: Addressing Perceptionin Chemical Education.Verlag Berlin: Springer.

Barthlow , Michelle J. 2011. “The Effectiveness of ProcessOriented Guided Inquiry Learning to ReduceAlternate Conceptions in Secondary Chemistry”.Doctoral Dissertation. University of Liberty.

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar danMenengah. 2006. Standar Penilaian Untuk SatuanPendidikan dasar dan Menengah Standar Kompetensidan Kompetensi dasar SMA/MA. Jakarta: Depdiknas.

Bodner, G.M, 1986. “Constructivism: A Theory ofKnowledge”. Journal of Chemical Education, 63(10):1-15.

Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-teori Belajar &Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Djarwanto, 1991. Statistik Nonparametrik. Yogyakarta:BPFE.

Forgaty, Robin. 1991. The Mindful School: How to InterateThe Curicula. USA: Skylight Publishing, Inc

Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan CaraMengatasinya. Surabaya: Unesa University Press.

Eggen Paul D, Donald P. Kauchack, and Robert J. Harder.1979. Strategies for Teacher: Information Processing

Nur, M. 2008. Pengajaran Berpusata kepada Siswa danPendekatan Konstruktivisme dalam Pengajaran.Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah.Universitas Negeri Surabaya.

Teaching Volume 2. Prentice Hall Series in EducationalInnovation. Halaman 90-105.

Sagala, Syaiful. 2012. Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung: Alfabeta.

Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories: An EducationalPerspective, 6th Edition, Boston: Pearson Education.

Sudjana. 1996. Metoda Statistik. Bandung: Tarsito.Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuntitatif Kualitatif dan

R&D. Bandung: Alfabeta.Suparno, Paul 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep

Pendidikan Fisika. Jakarta: Grasindo.

Page 43: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 174

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

IMPLEMENTASI MODEL 5E LEARNING CYCLE UNTUKMENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KREATIF SISWA SMA

Herra Risdiana1)

Suyatno2)

Sri Poedjiastuti3)

1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya2) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstract: The purposes of this study were to describe students’ concept mastery, creative thinking ability, profile of creativeattitudes, and the correlation between creative thinking ability and concept mastery after implementing 5E Learning Cyclemodel. This research was the mixing of the quasy experiment with one group pre test-post test design and correlational study,which initiated by teaching materials development using the Dick & Carey model. The research was conducted at SMAN 1Mojosari involving students of IPA-2 grade XI as subject. Instruments used in the research were teaching materials’ validationsheets, leson plan activity observation sheet, mastery concept sheet, creative thinking ability sheet, creative attitude observationsheet, and students’response questionaire. The data analyses of students’ concept mastery, creative thinking ability, and profileof creative attitudes were descriptively done, while analysis of correlation between creative thinking ability and concept masterywere using Pearson’s product moment correlation technique. Based on the data analysis, it could be described that results of thereasearch were (1) the students’ concept mastery and creative thinking ability on the salt hydrolysis topic after implementing 5ELearning Cycle model had reached high gains, (2) the creative attitudes appeared during the implementation of 5E LearningCycle model including curiosity in engagement phase, complexity in exploration phase, curiosity in explanation phase, risk-taking in elaboration phase, and risk-taking in evaluation phase were good, each had frequency more than 75%, and (3) therewas a very strong and significant correlation between creative thinking ability and concept mastery. The conclusion of theresearch was chemistry learning on the salt hydrolysis topic using 5E Learning Cycle model had improved the students’ conceptmastery and creative thinking ability.

Keywords: 5E Learning Cycle, creative thinking, concept mastery

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, profil sikap kreatifdan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model 5E Learning Cycle.Penelitian ini merupakan gabungan dari penelitian eksperimen semu jenis one group pre test-post test design dan penelitiankorelasional, yang diawali pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Dick & Carey. Penelitian inidilaksanakan di SMAN 1 Mojosari dengan subyek siswa kelas XI IPA-2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalahlembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar penilaian penguasaan konsep(LPPK), lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket respon siswa.Analisis data tentang penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikap kreatif siswa dilakukan secara deskriptif,sedangkan analisis hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep dilakukan menggunakan teknikkorelasi product moment Pearson. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1)penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa pada topik hidrolisis garam setelah mengimplikasikan model 5ELearning Cycle telah mencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa pada implementasi model 5E Learning Cycle yaitu curiositypada fase engagement, complexity pada fase exploration, curiosity pada fase explanation, risk-taking pada fase elaboration danrisk-taking pada fase evaluation adalah baik, masing-masing mempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) ada hubungan yangsangat kuat dan signifikan antara berpikir kreatif dan penguasaan konsep. Kesimpulan penelitian ini adalah pembelajaran kimiapada materi pokok hidrolisis garam dengan model 5E Learning Cycle telah meningkatkan penguasaan konsep dan berpikirkreatif siswa.

Kata-kata kunci: 5E Learning Cycle, berpikir kreatif, penguasaan konsep

PENDAHULUAN

Kreativitas merupakan hal yang esensial untukpertumbuhan dan pembangunan pribadi seseorang.Berdasarkan Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasardan Menengah, lulusan SMA harus memiliki

kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatifdalam ranahabstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yangdipelajari di sekolah secara mandiri.

Berpikir kreatif adalah kemampuan melihatbermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadapsuatu masalah (Guilford, 1967). Menurut Williams

Page 44: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 175

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

(Munandar, 2009), ciri kemampuan berpikir kreatifberkaitan dengan unsur aptitude (berhubungan dengankognitif atau proses berpikir) maupun ciri non-aptitute(berhubungan dengan sikap dan perasaan). Ciriaptitude dalam kemampuan berpikir kreatif yangdigunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat aspekyakni berpikir lancar (fluency), berpikir luwes(flexibility), berpikir orisinil (originality), danmemerinci atau mengelaborasi (elaboration).Sementara itu, ciri non-aptitute yang paling seringteramati adalah rasa ingin tahu (curiosity), keberanianmengambil resiko (taking-risk), dan kecenderunganmengkombinasikan pemikiran dan tindakan(complexity) (Munandar, 2009).

Kebutuhan berpikir kreatif dalam masyarakatmodern semakin meningkat karena adanya revolusiteknologi. Sekolah sebagai miniatur masyarakat,seharusnya mampu membudayakan kemampuanberpikir kreatif siswa, sebab para siswa merupakangenerasi penerus yang akan mengambil alih duniadengan penemuan-penemuannya dalam bidang sains,bisnis, seni, dan bidang-bidang lainnya. Oleh karenaitu, sangat perlu mengembangkan kemampuan berpikirkreatif pada anak-anak di sekolah (Rao & Prasad,2009). Para pendidik memerlukan suatu strategi belajarmengajar yang dapat membantu siswa untukmemperkaya informasi, mengembangkan kemampuanmental dan melatih mereka menjadi kreatif daninovatif. Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkandengan cara memberikan siswa kesempatan untukmengungkapkan, membentuk dan menguji ide-idenyadengan menyediakan sumber-sumber pembelajaranyang sesuai, membangkitkan ketertarikan, dan memicupemikiran mendalam siswa melalui strategi dan metodepembelajaran yang terbimbing dan bervariasi (Qarareh,2012).

Model 5E Learning Cycle merupakan modelpembelajaran berbasis konstruktivis yang sesuai untukmencapai standar kompetensi lulusan SMAsebagaimana yang disebutkan dalam PermendikbudNomor 54 Tahun 2013. Model yang terdiri dari 5 faseyaitu Engagement (menarik minat siswa), Exploration(menyelidiki), Elaboration (merinci), dan Evaluation(menilai) (Trowbridge & Bybee, 1996) ini menawarkansuatu struktur yang menyediakan aktivitas yangmenekankan pada peningkatan kemampuan belajar danberpikir siswa, di mana siswa didorong untuk lebih darisekedar menghafal fakta, tetapi juga menggabungkanpembelajarannya dengan kehidupan sehari-hari (Kolin,2011). Siklus belajar ini melibatkan siswa secaralangsung dalam aktivitas membangun pengetahuannyadengan menghadapi fenomena atau suatu permasalahankemudian memahami (minds-on) dan menyelidikinya(hands-on) hingga menemukan bagaimana

memecahkan permasalahan tersebut. Aktivitas itusangat membantu siswa dalam mengembangkanketerampilan proses sains dan kemampuan berpikirkreatifnya.

Empat ciri aptitute kemampuan berpikir kreatifyang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi dalamproses pembelajaran model 5E Learning Cycle,terutama pada fase exploration, explanation, danelaboration. Pada fase exploration, siswa didoronguntuk memikirkan cara-cara yang harus dilakukanuntuk menyelesaikan suatu masalah (fluency),mengkaji cara-cara tersebut dari beberapa sudutpandang (flexibility), merancang langkah-langkahpenyelesaian masalah tersebut secara detil(elaboration) dan unik (originality). Fase ini membawasiswa pada tahap asimilasi Piaget. Pada faseexplanation, siswa dituntut untuk mempresentasikanhasil kerja serta pengetahuan yang ditemukannya,sementara itu guru memperkenalkan siswa padakosakata sains yang relevan (Ergin, 2012). Siswamerasa bangga bila hasil kerjanya bagus dan berbedadengan kelompok lainnya (originality). Fase inimenggambarkan tahap akomodasi Piaget, tahapencoding dalam teori pemrosesan informasi, danimplementasi scaffolding dalam teori Vygotsky. Padafase elaboration, siswa diminta untuk menerapkan danmerinci (elaboration) pengetahuan yang diperolehnyadalam menghadapi situasi yang berbeda tetapi serupaagar terbentuk pemahaman sains yang lebih dalam danlebih luas (Ergin, 2012). Fase ini, sesuai dengan teoriPiaget, digunakan sebagai pemantapan akomodasiinformasi baru. Menurut teori pemrosesan informasi,fase ini dapat dikatakan sebagai tahap tindak lanjut danrespon untuk memfasilitasi penyimpanan informasibaru dalam memori jangka panjang. Proses belajar initentu akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikirsiswa sehingga pengetahuan menjadi bermakna danpenguasaan konsep akan tercapai dengan baik,sebagaimana yang dinyatakan oleh Piaget (Slavin,2006) bahwa belajar dapat diartikan sebagai tindakankreatif pembentukan konsep dan bayangan melaluikegiatan berpikir tentang benda dan peristiwa sertakejadian-kejadian yang mereka alami. Siswa yangterlatih untuk berpikir kreatif cenderung lebih mampumenguasai suatu konsep tertentu. Artinya, adahubungan antara kemampuan berpikir kreatif danpenguasaan konsep, yaitu siswa dengan kemampuanberpikir kreatif yang tinggi akan mempunyaikemampuan penguasaan konsep yang baik.

Penelitian mengenai model 5E Learning Cycletelah dilakukan oleh beberapa orang. Seyhan danMorgin (2007) serta Yalḉin & Bayrakḉeke (2010)menunjukkan bahwa siswa yang belajar menggunakanmodel ini memperlihatkan sikap yang lebih positif

Page 45: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 176

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

terhadap kimia, lebih berhasil dalam pemahamankonsep dibandingkan siswa dalam kelompok kontrol,dan terjadi peningkatan aktivitas pembelajaranbermakna. Rahinawati (2011) dan Alfi (2012)membuktikan bahwa model ini mampu meningkatkanhasil belajar, kemampuan berpikir kreatif, aktivitaspembelajaran, dan motivasi siswa dalam belajar sains.Qarareh (2012) juga menemukan adanya perbedaanyang signifikan pada pencapaian akademik kelaseksperimen yang belajar sains menggunakan model inidibandingkan dengan kelas kontrol yang belajarmenggunakan metode tradisional (berpusat pada guru).Implementasi 5E Learning Cycle dalam pembelajaranterbukti dapat meningkatkan pemahaman konsep danketerampilan proses sains siswa, didukung olehpenelitian yang dilakukan oleh Akar (2005) danCoulson dalam Bybee et al. (2006).

Penelitian mengenai hubungan kreativitas,kemampuan berpikir kreatif, dan kemampuanakademik telah dilaporkan oleh Torrance (1959),Getzels & Jackson (1962), dan Yamamoto (1964) yangmenunjukkan bahwa kelompok siswa yangkreativitasnya tinggi tidak berbeda dengan prestasisekolah dari kelompok siswa yang inteligensinya relatiflebih tinggi. Palaniappan (2007) dalam penelitiannyajuga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positifantara kreativitas dan prestasi akademik siswa yangmempunyai IQ sampai 140. Penelitian tentanghubungan sikap dan kemampuan berpikir kreatif telahdilakukan oleh Guilford (1959) yang menunjukkankorelasi signifikan walaupun rendah antara ciri-cirinon-aptitude dengan empat ciri-ciri aptitude kreatif.Lee (2005) dalam penelitiannya juga melaporkanbahwa sikap kreatif terkait dengan kemampuan berpikirkreatif.

Survey yang dilakukan peneliti terhadap parasiswa kelas XI dan XII (tahun ajaran 2012-2013) diSMA Negeri 1 Mojosari, menunjukkan pendapat siswabahwa materi hidrolisis garam merupakan materi yangsulit dipahami. Hasil wawancara dengan para gurukimia di SMA Negeri 1 Mojosari juga menunjukkanbahwa materi ini sulit dipahami oleh siswa. Setiaptahun rata-rata hanya 25% siswa yang mampumenguasai konsep hidrolisis garam dengan baik.Hidrolisis garam adalah reaksi antara suatu garamdengan air yang menghasilkan ion hidronium atau ionhidroksida atau keduanya (Stoker, 2012).

Menurut tingkat penjenjangan berpikir kreatifoleh Siswono (2007), analisis tes berpikir kreatif yangdilakukan peneliti terhadap sampel 100 siswa kelas XIdan XII SMA Negeri 1 Mojosari dengan materihidrolisis garam tahun ajaran 2012/2013 menunjukkankemampuan berpikir kreatif para siswa pada kategorisangat kreatif 5%, kreatif 20%, kurang kreatif 30%,

dan tidak kreatif 45%. Hasil ini menunjukkankemampuan berpikir sebagian besar siswa SMA Negeri1 Mojosari masih mengacu pada satu jawaban benarsaja.

Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkankepada siswa melalui pembelajaran berbasiskonstruktivis, di mana siswa belajar menyelesaikanmasalah sains berdasarkan pengetahuan yang merekabangun sendiri melalui aktivitas pembelajarannya.Sesuai dengan teori konstruktivis, model 5E LearningCycle mampu menggabungkan aktivitas hands-on danmind-on dalam fase-fase pembelajarannya. Materihidrolisis garam merupakan materi yang sarat denganperhitungan, sehingga kurang menarik bagi siswa. Olehkarena itu, penyajian materi ini menggunakan model5E Learning Cycle diharapkan dapat lebih menarik,menantang, memacu kemampuan berpikir siswa, dantidak akan hanya membahas tentang rumus besertasoal-soal hitungannya, tetapi juga melibatkan siswadalam penyelidikan untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan dandipaparkan di atas, peneliti melakukan penelitianmengenai implementasi model 5E Learning Cycleuntuk meningkatkan penguasaan konsep dankemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran kimiamateri hidrolisis garam siswa kelas XI SMA Negeri IMojosari. Pembelajaran menggunakan model inidiharapkan mampu meningkatkan penguasaan konsepdan kemampuan berpikir kreatif siswa.

METODEPenelitian ini terdiri atas dua jenis yakni

penelitian eksperimen semu dengan rancangan OneGroup Pretest-Posttest Design dan penelitiankorelasional (Sugiyono, 2007). Penelitian eksperimensemu ditujukan untuk mendeskripsikan penguasaankonsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikapkreatif pada implementasi model 5E Learning Cycle,sedangkan penelitian korelasional ditujukan untukmengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikanantara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaankonsep siswa. Penelitian ini diawali denganpengembangan perangkat pembelajaran berupaRencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), handout,Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar penilaianpenguasaan konsep (LPPK), dan lembar penilaiankemampuan berpikir kreatif (LPKBK), yangdikembangkan menggunakan model Dick & Carey(2009).

Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1Mojosari pada semester genap Tahun Pelajaran2013/2014. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XIIPA 2 SMAN 1 Mojosari Tahun Pelajaran 2013/2014.

Page 46: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 177

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulandata terdiri dari lembar validasi perangkatpembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP,lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), lembarpenilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK),lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket responsiswa.

Data hasil validasi perangkat pembelajaran,pengamatan keterlaksanaan RPP, respon siswa,penguasaan konsep, dan kemampuan berpikir kreatifdianalisis secara deskriptif. Besarnya peningkatanpenguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatifdianalisis dengan n-gain (gain ternormalisasi) (Hake,2009). Korelasi antara kemampuan berpikir kreatif danpenguasaan konsep dianalisis secara inferensialmenggunakan program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Validitas Perangkat PembelajaranPerangkat pembelajaran yang dikembangkan

pada penelitian yakni RPP, handout, LKS, LPPK,dan LPKBK, dilakukan validasi oleh pakar sebelumdiimplentasikan dalam pembelajaran. Skor validitasperangkat pembelajaran ditunjukkan pada Tabel 1.

RPP mendapatkan skor validitas sangat baikkarena telah dirancang secara rinci dalam mengikutifase-fase model 5E Learning Cycle. Handoutmempunyai validitas sangat baik karenadikembangkan berdasarkan dua sumber buku yangdigunakan untuk materi lanjutan SMA, yaitu yangditulis oleh Effendy (2008) dan Russo (2003), sertatiga lainnya direkomendasikan untuk pembelajarantingkat universitas, yang ditulis oleh Stoker (2012),Chang (2007), dan Mittal & Mittal (2002). Handoutini juga dilengkapi gambar yang menarik danmenunjang pemahaman siswa mengenai materihidrolisis garam.

Tabel 1. Validitas Perangkat Pembelajaran

NamaPerang

-kat

Aspek SkorValidit

as

Kete-rangan

Reliabili-tas(%)

RPP

Komponen

4,70 SB

81,44Perencana-an

4,87 SB

Bahasa 4,33 SB

Handout

Kelayakan Isi

5,00 SB

83,50AkurasiMateri

4,67 SB

Kebahasa-an

4,42 SB

LKS 4,00 – SB 87,31

NamaPerang

-kat

Aspek SkorValidit

as

Kete-rangan

Reliabili-tas(%)

5,00

LPPK Isi 4,67 SB 81,14

Bahasa/penulisan

4,69 SB 83,50

LPKBK

Isi 4,80 SB 86,80

Bahasa/penulisan 4,87 SB 86,80

Keterangan: SB= sangat baik

LKS mendapatkan nilai yang sangat baik, karenatelah memuat rincian kegiatan pembelajaran yangberpusat pada siswa, bahasa yang digunakan sesuaidengan kaidah bahasa Indonesia yang benar, mudahdipahami, serta ajeg dalam pemakaian simbol danistilah, juga mencerminkan rincian fase-fase dalammodel 5E Learning Cycle. Penulisan setiap butirsoal pada LPPK telah disusun dan dikembangkansesuai dengan tujuan pembelajaran yangdirumuskan sebelumnya serta menunjukkantingkatan kemampuan kognitif yang jelassebagaimana yang dirumuskan oleh Anderson(2008), sehingga diperoleh kategori penilaiansangat baik. Lembar PKBK telah disusun sesuaidengan standar penilaian kemampuan berpikirkreatif sebagaimana yang dikembangkan olehTorrance (1975) dalam Torrance Test of CreativeThinking (TTCT) dan penilaian kreatif produk yangdigagas oleh Guilford (1967) dalam Structure ofIntelect Test, yaitu fluency (kelancaran), flexibility(kelenturan), elaboration (memerinci), danoriginality (keaslian), sehingga mendapatkan skorpenilaian sangant baik.

Dengan demikian perangkat pembelajaranyang dikembangkan layak digunakan dalampembelajaran.

Keterlaksanaan RPPPembelajaran kimia berbasis model 5E

Learning Cycle pada pokok bahasan hidrolisisgaram ini dilaksanakan selama tiga kali pertemuan.Topik yang dibahas pada pertemuan pertamasampai pertemuan ketiga secara berurutan adalah(1) Pengertian Hidrolisis Garam, (2) PersamaanReaksi Hidrolisis Garam, dan (3) pH LarutanGaram.

Jumlah aspek keterlaksanaan RPP yangdiamati sebanyak 25, terdiri dari 19 butirpengamatan KBM yang dirinci menjadi lima aspekkegiatan pendahuluan, dua belas aspek kegiataninti, serta dua aspek kegiatan penutup, dan 6 butir

Page 47: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 178

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

pengelolaan kelas dan waktu. Keterlaksanaan RPPpada kegiatan pembelajaran dengan model 5ELearning Cycle, skor yang dicapai pada pertemuanpertama, kedua, dan ketiga berkisar pada kategoribaik dan sangat baik (skor 4-5).

Pada pertemuan ketiga, nilai keterlaksanaanRPP secara keseluruhan semakin meningkatdibandingkan dua pertemuan sebelumnya. Skoryang diperoleh dalam pertemuan ini baik dansangat baik. Hal ini disebabkan guru mampumemperbaiki praktik yang kurang baik pada duapertemuan sebelumnya dan siswa semakin mahirdalam melaksanakan fase-fase model 5E LearningCycle. Pada fase engagement, siswa telah mampumenanggapi fenomena tentang pH sabun dan pHkulit yang disajikan guru dengan melontarkan apayang diketahuinya. Ketika guru selesaimengemukakan permasalahan untuk diselidiki,yaitu bagaimana cara menentukan pH larutangaram, siswa dengan sigap segera beralih ke faseexploration dan membagi tugas kelompok untukmelaksanakan penyelidikan penentuan pH larutangaram secara teoretis melalui handout dan secaraempiris melalui percobaan. Pada fase explanation,masing-masing kelompok menyajikan hasilpenyelidikan, kesimpulan sementara, dan skemarumus perhitungan pH. Diskusi kelas berlangsungsangat efektif, karena masing-masing kelompokmampu saling memberi dan menerima pendapatorang lain untuk mengklarifikasi hasilpenyelidikannya, hingga diperoleh kesimpulanakhir. Pada fase elaboration, siswa dalamkelompoknya mampu mengaplikasikan caramenghitung pH larutan garam amonium sulfat,natrium sianida, amonium bromida, dan amoniumsianida yang terdapat pada empat soal latihan. Padafase evaluation, siswa benar-benar mengerjakanempat soal pilihan ganda perhitungan pH larutangaram secara individu. Fase ini mendapatkan skor 5(sangat baik), karena siswa semakin efektif dalammelaksanakan pengecekan diri.

Reliabilitas instrumen keterlaksanaanpembelajaran pada pertemuan pertama, kedua, danketiga berturut-turut adalah 90,1%; 83,5%; dan87,9%. Hal ini menunjukkan bahwa instrumenketerlaksanaan pembelajaran dengan model inidalam kategori reliabel dan dapat digunakan untukmengukur keterlaksanaan pembelajaran, sebabmempunyai koefisien reliabilitas instrumen (r)>75% (Borich, 1994).

Ditinjau dari segi pengelolaan kelas danwaktu, pertemuan pertama, kedua maupun ketiga,telah memperoleh skor keterlaksanaan mendekati 5(sangat baik). Meskipun demikian, pengelolaan

waktu memperoleh nilai terendah di antara aspekpenilaian pengelolaan lainnya. Hal ini disebabkanoleh antusias siswa yang sangat tinggi ketikamereka berada pada fase explanation, yaitumengkomunikasikan hasil penyelidikan mereka danmencari klarifikasi. Pada fase itu merekamelakukan diskusi dan brainstorming sampaihampir lupa waktu. Dalam hal ini, peran gurudalam mengorganisasi waktu sangat penting.

Dalam angket respon siswa, 90% siswamerasa tertarik dengan suasana belajar pada modelini dan 100% siswa juga berminat untuk mengikutikegiatan pembelajaran materi lainnya menggunakanmodel ini. Rasa tertarik dan minat siswa dalampembelajaran ini dapat menimbulkan motivasiuntuk belajar. Menurut Mayer (2008), motivasibelajar mampu membawa siswa pada pencapaianprestasi belajar yang tinggi. Munandar (2009) jugamenyatakan bahwa jika motivasi siswa meningkatmaka kemampuan untuk berpikir kreatif jugameningkat. Dengan demikian model ini mempunyaipotensi untuk meningkatkan penguasaan konsepdan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Penguasaan Konsep SiswaPenguasaan konsep siswa pada materi

hidrolisis garam diukur menggunakan LPPK. LPPKyang dikembangkan berupa soal uraian yang terdiridari 14 butir soal. LPPK diujikan sebelumpembelajaran (pretest) dan setelah pembelajaran(posttest). Skor yang diperoleh siswa dari sebelumdan setelah pembelajaran secara visual disajikanpada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil Penilaian Penguasaan KonsepSebelum dan Setelah Pembelajaran

Berdasarkan Gambar 1 dapat dinyatakanbahwa tidak ada siswa yang tuntas pada saat pretest(ketuntasan = 0%) dan 100% siswa tuntas pada saatposttest. Data tersebut juga didukung olehketuntasan indikator pembelajaran yang mencapai100%. Dari hasil analisis peningkatan skor hasilPPK pada pretest (skor rata-rata = 20,83) dan

Page 48: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 179

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

posttest (skor rata-rata = 81,70) diperoleh skorpeningkatan (gain score) penguasaan konsep yangtinggi yakni 77%.

Ketidaktuntasan individual maupun klasikalsiswa pada pretest disebabkan karena siswa belumpernah mendapatkan pembelajaran tentang materihidrolisis garam, sehingga siswa tidak dapatmenjawab soal pretest dengan benar. Ketikadilakukan posttest, siswa telah terlibat dalampembelajaran tentang hidrolisis garam melaluimodel 5E Learning Cycle, sehingga penguasaankonsep siswa menjadi meningkat dan ketuntasanklasikal mencapai 100%. Hal ini sesuai denganteori Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuandiperoleh dari tindakan (Slavin, 2006). Keterlibatanaktif siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutamapada bagian exploration, explanation, danelaboration dalam model ini, telah membantuterjadinya proses asimilasi dan akomodasi materihidrolisis garam dalam struktur kognitif mereka.Menurut Vygotsky (Slavin, 2006), interaksi sosialdengan teman sebaya maupun orang yang lebih ahlimengenai tugas yang kompleks pada zonaperkembangan terdekat siswa, akan mampumembuat siswa belajar lebih baik. Pada modelpembelajaran ini, interaksi sosial telah dilakukansiswa dalam kelompok belajarnya ketika merekaberada dalam fase exploration, explanation, danelaboration.

Tingginya gain score menunjukkan bahwamodel 5E Learning Cycle yang telah dilaksanakandapat meningkatkan hasil belajar siswa.Peningkatan hasil belajar siswa yang terjadidisebabkan oleh adanya pemrosesan informasi yangefektif. Gagne (1977) dengan teori pemrosesaninformasinya, menegaskan bahwa informasiditransfer secara keseluruhan dari lingkungan kepanca indera, kemudian masuk ke dalam suatusensory register otak kita sebagai stimulus ataurangsangan. Pada model pembelajaran ini, stimulusditerima pada fase engagement, untuk dilakukanpengkodean melalui exploration dan explanation.Fase elaboration dan evaluation digunakan untukmenindaklanjuti informasi baru tersebut hinggadapat disimpan sebagai memori jangka panjang.

Sementara itu respon siswa menunjukkanbahwa seluruh siswa tertarik terhadap materipelajaran, lembar kerja siswa, cara guru mengajardan suasana belajar, dengan nilai persentaseberturut-turut sebesar 90%, 100%, 100%, dan100%. Siswa juga berminat mengikutipembelajaran pokok bahasan hidrolisis garamdengan menggunakan model 5E Learning Cycle(persentase 100%). Sebagian besar siswa merasa

mudah dalam memahami materi hidrolisis garam,lembar kerja siswa, dan cara guru mengajar, yangditunjukkan dengan nilai persentase masing-masing80%, 100% dan 100%. Penyajian materipembelajaran yang melibatkan aktivitas siswauntuk berpikir dan bekerja dalam seting model 5ELearning Cycle telah memotivasi siswa dalammengikuti pembelajaran di kelas. Hal inimendukung terjadinya peningkatan skorpenguasaan konsep siswa, sebagaimana yangdinyatakan oleh Mayer (2008) bahwa motivasibelajar mampu membawa siswa pada pencapaianprestasi belajar yang tinggi.

Kemampuan Berpikir KreatifKemampuan berpikir kreatif siswa diukur

menggunakan LPKBK. Tes tersebut terdiri dari 5butir soal berbentuk uraian (essay). IndikatorKemampuan berpikir kreatif yang diukur adalahfluency (kelancaran), flexibility (kelenturan),originality (keaslian), dan elaboration (kerincian)(Guilford, 1967; Torrance, 1975; Munandar, 2009).Seperti halnya LPPK, LPKBK juga diberikansebelum pembelajaran (pretest) dan setelahpembelajaran (posttest). Skor hasil LPKBKsebelum dan setelah pembelajaran disajikan secaravisual pada Gambar 2.

Dari hasil analisis skor TKBK diketahuibahwa skor rata-rata pre test dan post test masing-masing sebesar 39,41 dan 83,81. Dengan demikianskor peningkatan (gain score) yang diperolehsebesar 73% dengan kategori tinggi.

Gambar 2. Hasil Penilaian Kemampuan BerpikirKreatif Sebelum dan Setelah Pembelajaran

Dalam penelitian ini berarti model 5ELearning Cycle dipadu dengan perangkat yangdikembangkan dapat digunakan untuk merangsangkemampuan berpikir kreatif siswa.

Feldhusen dan Treffinger (Tan, 2007)menyatakan bahwa lingkungan yang kondusifuntuk merangsang berpikir kreatif adalah ketikasiswa diberi kesempatan dan didukung untuk

Page 49: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 180

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

mengungkapkan dan mengembangkan ide-idenyadalam menyelesaikan suatu masalah atau proyekpembelajaran. Lingkungan yang demikian terdapatdalam fase exploration dan explanation model 5ELearning Cycle, dimana siswa menggalipengetahuannya melalui penyelidikan kelompokyaitu ketika mereka harus menyelidiki sifat larutangaram, memprediksi sifat larutan garam melaluipersamaan reaksi hidrolisisnya, dan menentukan pHlarutan garam secara teoretis dan empiris;merancang prosedur percobaan untuk membuktikanhipotesis maupun teorinya, danmengkomunikasikan temuannya untukmendapatkan klarifikasi. Proses inilah yangmenyebabkan terjadinya peningkatan kemampuanberpikir kreatif siswa.

Peningkatan skor pada aspek berpikir kreatifterendah dicapai oleh aspek flexibility. Dalamberpikir kreatif, aspek flexibility memang palingsulit dicapai. Menurut Munandar (2009), aspek inimenuntut siswa untuk dapat menggolongkan hal-hal menurut kategori yang berbeda-beda sertamampu mengubah arah berpikir secara spontan.Spontanitas berpikir ini perlu dilatihkan secarakontinyu untuk mendapatkan aspek flexibility dariberpikir kreatif. Demikian pula halnya denganaspek fluency, elaboration, dan originality, yanghanya mencapai peningkatan sedang. Hal inidisebabkan selama ini siswa belum pernahdibiasakan untuk secara kreatif. Department forChildren, Schools, and Families of UK (2008)menyatakan bahwa setiap orang mampu berpikirkreatif pada lingkungan aktivitas yang berbeda-beda bila kondisinya tepat dan mereka mempunyaipengetahuan dan keterampilan yang relevan. Wilks(Ergin, 2012) menunjukkan bahwa kemampuanberpikir tingkat tinggi, dalam hal ini berpikirkreatif, dapat diajarkan dan dilatihkan kepada siswasemua usia. Dengan demikian model 5E LearningCycle dapat digunakan untuk memfasilitasikemampuan berpikir kreatif siswa.

Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5E LearningCycle

Sikap kreatif yang diamati dalam 5E LearningCycle ini mencakup tiga aspek, yaitu curiosity, risk-taking, dan complexity. Sikap curiosity meliputiketertarikan yang luas, ketertarikan untuk mencoba,ketertarikan untuk mendengarkan ide-ide oranglain, terbuka terhadap hal-hal yang tidak biasa, danmencari situasi yang menarik. Sikap risk-takingmencakup keberanian untuk mencoba sesuatu yangbaru, keberanian untuk gagal, dan keberanian untukberbeda. Sementara itu sikap complexity mengacu

pada kecenderungan untuk mengkombinasikanpemikiran dengan tindakan yang mana sebagianorang memisahkannya (Stenberg, 1999; Tan, 2007,Munandar, 2009).

020406080

100120

Pertemuan 1

Pertemuan 2

Pertemuan 3

Gambar 3. Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5ELearning Cycle

Data pengamatan sikap kreatif yang terdapatpada Gambar 3 menunjukkan bahwa frekuensisikap kreatif curiosity pada fase engagement yangmuncul pada pertemuan pertama, kedua, dan ketigamengalami kenaikan, yaitu berturut-turut adalah66,67%; 83,33%; dan 83,33%. Pada faseexploration, explanation, dan evaluation,persentase sikap kreatif yang muncul dalammasing-masing fase pertemuan pertama, kedua, danketiga, berturut-turut yaitu complexity, curiosity,dan risk-taking, adalah sebesar 100%. Sikap kreatifrisk-taking yang muncul dalam fase elaborationpada pertemuan pertama adalah sebesar 83,33%,kemudian naik pada pertemuan kedua dan ketigamenjadi 100%.

Pada fase engagement, guru menyajikanfenomena kehidupan sehari-hari seperti keberadaantawas untuk menyerap deodoran, petanimenggunakan prinsip hidrolisis garam dalammemupuk tanaman, dan pH kosmetik yang dibuatmendekati pH kulit, yang mengundang rasa ingintahu, rasa tertarik, dan pertanyaan dari siswa. Gurumengharapkan siswa merespon denganmengungkapkan apa yang mereka pikirkanmengenai fenomena tersebut, sehingga sikap kreatifcuriosity (rasa ingin tahu) dominan muncul padafase ini. Peningkatan frekuensi munculnya sikapcuriosity dari pertemuan pertama sampai ketigatersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswaberpikir kreatif makin baik. Meskipun demikian,pada fase ini masih terdapat beberapa siswa yangmasih pasif dan belum menunjukkan respon

Page 50: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 181

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

terhadap fenomena yang disajikan guru. Hal inidisebabkan siswa belum terbiasa menerimainformasi baru yang menuntut siswa untuk berpikirdan menggali pengetahuan awal mereka.

Pada fase exploration, frekuensi sikap kreatifcomplexity yang muncul tetap tinggi sejakpertemuan pertama sampai ketiga. Hal inidikarenakan dalam fase ini siswa diberi kesempatanuntuk berpikir secara bebas (tetapi masih dalambatasan konteks hidrolisis garam, persamaan reaksihidrolisis garam, dan pH larutan garam), kemudianberdasarkan rumusan masalah yang ada, siswamenuangkan hasil pemikirannya ke dalamhipotesis. Selanjutnya, siswa dituntut untukmenguji hipotesis yang dibuatnya dan membuatprosedur pengujiannya. Siswa merancangpercobaan untuk membuktikan sifat asam-basa darigaram-garam yang tersedia. Siswa juga diberikesempatan untuk mencoba alternatif-alternatifpenyelesaian masalah dan mendiskusikannyadengan teman satu kelompok. Keseluruhan aktivitasberpikir dan bekerja tersebut mempunyaikecenderungan untuk mengkombinasikanpemikiran dengan tindakan yang mengacu padasikap kreatif complexity.

Pada fase explanation, sikap kreatif yangdiamati adalah curiosity. Frekuensi munculnyasikap ini relatif tinggi dan konstan selamapertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Faseexplanation memberikan kesempatan kepada siswauntuk melakukan klarifikasi melalui debat dandiskusi, mendengarkan ide-ide orang lain, sertamempertanyakan umpan balik yang diberikan olehguru yang menunjukkan sikap curiosity. Misalnyapada pertemuan kedua, ketika salah satu kelompoksiswa mempresentasikan data temuan hubunganantara persamaan reaksi hidrolisis garam secarateoretis mapun empiris beserta kesimpulannya didepan kelas, kelompok-kelompok lainnya denganrasa ingin tahu (curiosity) mengajukan pertanyaanseperti, “Mengapa hasil persamaan reaksi hidrolisisgaram bisa sama dengan hasil pengujian sifat asam-basa larutan garam?”.

Pada fase elaboration frekuensi munculnyasikap kreatif risk-taking mengalami kenaikan daripertemuan pertama ke kedua, kemudian konstansampai pertemuan ketiga. Fase ini menuntut siswaberani menggunakan informasi yang diperolehsebelumnya untuk diterapkan dalam situasi baruyang mengacu pada sikap risk-taking. Padapertemuan pertama terdapat beberapa siswa yangkurang berani dalam mengambil resiko gagal atausalah dalam menerapkan pengetahuan tentang sifatgaram yang terhidrolisis berkaitan dengan jenis

hidrolisis garam yang telah dibahas pada faseexplanantion, untuk menyelesaikan beberapapersoalan yang disajikan pada fase ini. Hal ini dapatdiatasi oleh guru dengan memberikan banyakmasukan dan umpan balik pada kelompok tersebutpada fase explanation pertemuan kedua dan ketiga,sehingga kelompok tersebut lebih percaya diridalam mengambil keputusan dan menunjukkansikap kreatif risk-taking.

Pada fase evaluation, siswa hanya dituntutuntuk mengerjakan soal pemahaman diri secaraindividual, sehingga muncul keberanian untukmencoba sesuatu yang baru, keberanian untukgagal, dan keberanian untuk berbeda yang mengacupada sikap kreatif risk-taking (berani mengambilresiko). Frekuensi sikap kreatif ini tetap tinggi daripertemuan pertama sampai ketiga, artinyaberdasarkan bekal pengetahuan yang diperoleh darikeempat fase sebelumnya, situasi evaluationmampu memacu kemampuan berpikir siswa.Dengan demikian dapat dikatakankan bahwa model5E Learning Cycle mampu mendorong munculnyasikap kreatif siswa.

Hubungan antara Kemampuan Berpikir Kreatifdan Penguasaan Konsep

Dalam penelitian ini terdapat sebuah hipotesisyang akan diuji kebenarannya yaitu “Ada hubunganyang signifikan antara kemampuaan berpikir kreatifdengan penguasaan konsep siswa setelahimplementasi model 5E Learning Cycle”.

Sebelum menghitung korelasi antara duavariabel (kemampuan berpikir kreatif danpenguasaan konsep), terlebih dahulu harusdipastikan bahwa data masing-masing variabel ituterdistribusi normal (Fraenkel, 2009). Ujinormalitas berupa uji Kolmogorov-Smirnov (KS)dan uji Shapiro-Wilk terhadap distribusi skorkemampuan berpikir kreatif siswa (variabel X) danskor penguasaan konsep siswa (variabel Y)menyatakan bahwa data skor kemampuan berpikirkreatif dan data skor penguasaan konsepberdistribusi normal.

Perhitungan koefisien Korelasi-Pearson antarakemampuan berpikir kreatif (variabel X) denganpenguasaan konsep siswa (variabel Y)menggunakan program SPSS, menghasilkankoefisien korelasi (r) sebesar 0,839 (lebih besar dari0,799) artinya terdapat korelasi yang sangat kuatantara variabel X dan variabel Y (Sugiyono, 2007).Pengujian signifikansi koefisien korelasimenggunakan uji t menghasilkan harga t hitung=8,16. Untuk kesalahan 5% uji dua pihak dengan dk29, maka diperoleh t tabel = 2,045. Mengingat t

Page 51: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 182

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

hitung lebih besar dari t tabel, maka Ho ditolak danHa diterima. Dengan demikian, hipotesis yangberbunyi “Ada hubungan yang signifikan antarakemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsepsiswa setelah implementasi model pembelajaran 5ELearning Cycle” dapat diterima. Diterimanyahipotesis tersebut dapat diterjemahkan bahwasemakin tinggi kemampuan berpikir kreatif siswa,maka semakin tinggi pula tingkat penguasaankonsepnya.

Berdasarkan analisis data dan pembahasan,dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1)penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatifsiswa pada topik hidrolisis garam setelahmengimplikasikan model 5E Learning Cycle telahmencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa padaimplementasi model 5E Learning Cycle yaitucuriosity pada fase engagement, complexity padafase exploration, curiosity pada fase explanation,risk-taking pada fase elaboration dan risk-takingpada fase evaluation adalah baik, masing-masingmempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) adahubungan yang sangat kuat dan signifikan antaraberpikir kreatif dan penguasaan konsep.

SIMPULANBerdasarkan hasil analisis data yang telah

dipaparkan maka dapat simpulan bahwa pembelajarankimia menggunakan model 5E Learning Cycle padapokok bahasan hidrolisis garam telah meningkatkanpenguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatifsiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Akar, E. 2005. “Effectiveness of 5E Learning CycleModel on Students’ Understanding of Acid-Base Concept”. Diunduh darihttp://www.ifets.info/journals/12_4/29.pdfpada tanggal 8 Juli 2012.

Alfi, I.R. 2012. “Pengembangan PerangkatPembelajaran Siklus Belajar 5E denganStrategi PBMP untuk MelatihkanKeterampilan Berpikir Kritis Siswa”. TesisMagister Pendidikan, Universitas NegeriSurabaya.

Anderson, L.W. and Krathwohl, D.R.. 2001. ATaxonomy for Learning, Teaching, andAssessing. New York: Addison WesleyLongman, Inc.

Borich, G.D. 1994. Observation Skills for EffectiveTeaching. New York: McMillan PublishingCompany.

Bybee, R.W., Taylor, J.A. Gardner, Van Scotter, P.,Powell, J.C., Westbrook, A., and Landes, N.2006. "The BSCS 5E Instructional Model:

Origins, Effectiveness, and Applications."Colorado Springs, CO: BSCS. Diunduh darihttp://www.bscs.org/pdf/bscs5eexecsummary.pdf pada tanggal 14 Agustus 2012.

Department for Children, Schools, and Families of UK.2008. Developing Critical and CreativeThinking in Science. London: Department ofEducation.

Dick, W. and Carey, L. 2009. The Systematic Design ofInstruction. USA: HarperCollinsPublisher.

Effendy. 2008. A-Level Chemistry for High SchoolStudents Volume 2B. Malang: BayumediaPublishing.

Ergin, I. 2012. “Constructivist Approach Based 5EModel and Usability Instructional Physics”.Latin American Journal of Physics Education.Vol. 6 No. 1 March 2012, pp. 14-20.

Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 2009. How to Designand Evaluate Research in Education. SeventhEdition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Gagne, R.M. 1977. The Condition of Learning. ThirdEdition. New York: Holt, Rinehart andWinston.

Getzels, J. W. & Jackson, P. J. (1962). Creativity andIntelligence: Explorations with GiftedStudents. New York: John Wiley and Sons,Inc.

Guilford, J.P. 1967. The Nature of Human Intelligence.New York: McGraw–Hill.

Hake, R.R. 1999. “Analyzing Change/Gain Score”.AERA-D-American Educational ResearchAssociation’s Division. Measurement andReasearch Methodology. Tersedia dihttp://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf

Kolin, M., Krusack, E.B., Stombaugh, A., Stow, R.,and Brenner, G.H. 2011. “Designing“Learning” Lessons for the UniversityClassroom.” Diunduh dariwww.worcestes.edu/Currents/Archieves/Volume_4_Number_1/CURRENTSV4N1KolisP34.pdf. pada tanggal 3 Juli 2013.

Lee, K. 2005.” The relationship between creativethinking ability and creative personality ofpreschoolers”. International EducationJournal 2005, p. 194-199. Seoul: ShannonResearch Press.

Mayer, R.E. 2008. Learning and Instruction. SecondEdition. USA: Pearson.

Mittal, A. and Mittal, J. 2002. Objective Chemistry Forlit Entrance. New Delhi: New AgeInternational (P) Ltd. Publishers.

Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas anakBerbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Palaniappan, A.K. 2007. “ Academic Achievement ofGroups Formed Based on Creativity andIntelligence”. Diunduh dari

Page 52: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 183

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

http://www.ep.liu.se/ecp/021/vol1/020/exp2107020.pdf pada 13 Nopember 2013.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor54 Tahun 2013. “Standar Kompetensi LulusanPendidikan Dasar dan Menengah”. Jakarta:Depdikbud.

Qarareh, A.O. 2012. “The Effect of Using the LearningCycle Method in Teaching Science on theEducational Achievement of the SixthGraders”. International Journal ofEducational Science, Vol. 4 No. 2, pp. 123-132.

Rahinawati, Y. 2011. “Pengembangan PerangkatPembelajaran Model Siklus Belajar denganStrategi Pemberdayaan Berpikir MelaluiPertanyaan (PBMP) pada PembelajaranKimia”. Makalah Komprehensif, UniversitasNegeri Surabaya.

Rao, D.B and Prasad, S.S. 2009. Creative Thinking ofSchool Students. New Delhi: DiscoveryPublishing House Pvt. Ltd.

Russo, T. 2003. Chemistry Concepts and Applications.Laboratory Manual. Student Edition. Ohio:Glencoe/McGraw-Hill Companies.

Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology: Theoryand Practice. Sixth Edition. USA: Allyn andBacon.

Seyhan, H.G. and Morgin I. 2007. “The Effect of 5ELearning Model on Teaching of Acid-baseTopic in Chemistry Education”. Journal ofScience Education, ProQuest EducationJournal, 8(2), pg. 120.

Siswono, T.Y.E. 2007. “Penjenjangan KemampuanProses Berpikir dan Identifikasi BerpikirKreatif Siswa dalam Memecahkan danMengajukan Masalah Matematika”. Disertasi.Surabaya: Unesa Pascasarjana Program StudiPendidikan Matematika.

Stenberg, R.J. 1999. Handbook of Creativity. NewYork: Cambridge University Press.

Stoker, H.S. 2012. General, Organic, and BiologicalChemistry. 6th Edition. USA: CengageLearning.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian PendidikanKuantitatif, Kualitatif, dan R&D. CetakanKetiga. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Tan, A., and Wong, S. 2007. “Constructive Creativityin Education”. In Ai-Girl Tan (Ed.). CreativityA Handbook for Teachers, 485-506.Singapore: World Scientific Publishing Co.Pte. Ltd.

Torrance, E. P. 1959. Explorations in CreativeThinking in the Early School Year: VI. HighlyIntelligent and Highly Creative Children in aLaboratory School. Minneapolis: Bur. Edu.Res. University of Minnesota.

Torrance, E.P. 1975. “Creativity Research inEducation: Still Alive”. In I.A. Taylor and

J.W. Getzels (Eds.), Perspectives inCreativity. Chicago: Aldine.

Trowbridge, L.W. and Bybee, R.W. 1996. TeachingSecondary School Science. Sixth Edition. NewJersey: Prentice – Hall, Inc.

Yalcin, F.A. and Bayrakceke, S. 2010. “The Effect of5E Learning Model on Pre-service ScienceTeachers’ Achievement of Acids-BasesSubject”. International Online Journal ofEducational Sciences, Vol. 2 No. 2: pp. 508-531.

Yamamoto, K. (1964). “A further analysis of the roleof creative thinking in High-SchoolAchievement”. The Journal of Psychology, 58,277-283.

Page 53: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 184

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASISMODEL LEARNING CYCLE 5E UNTUK MENINGKATKAN

PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITISSISWA SMK PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI

Erie Verawati1)

Suyatno2)

Wahono3)

1)Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya2)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya3)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5Euntuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa kelas XI semester genap SMKN 2 Tarakan padamateri pokok laju reaksi. Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan perangkat pembelajaran. Model pengembanganperangkat yang digunakan adalah model 4D, tetapi hanya sampai tahap pengembangan (develop). Uji coba perangkatpembelajaran di dalam kelas menggunakan rancangan one group pretest-postest design. Hasil penelitian menunjukkan bahwaRPP, Handout, dan LKS berkategori baik. Tes penguasaan konsep dan tes keterampilan berpikir kritis berkategori valid.Keterbacaan handout dan LKS tergolong baik. Keterlaksanaan RPP tergolong baik. Aktivitas siswa yang menonjol adalahmembaca (mencari informasi dan sebagainya) (15%), melakukan percobaan untuk menguji hipotesis secara berkelompok (13%),dan menyampaikan pendapat atau mengkomunikasikan informasi kepada kelas dan guru dalam diskusi kelas (13%). Responsiswa terhadap pembelajaran sangat baik. Ketuntasan klasikal penguasaan konsep adalah 91% dengan skor rata-rata 79,61 danskor rata-rata peningkatan (gain) 0,8 (kategori tinggi). Rata-rata skor keterampilan berpikir kritis sebesar 82,44 dengan skorpeningkatan 0,8 (kategori tinggi). Kendala dalam pembelajaran berbasis learning cycle 5E adalah jumlah siswa yang cukupbesar dan pengelolaan kelas kurang efektif sehingga masih ada siswa yang kurang terperhatikan, kurangnya alat-alat praktikumyang dibutuhkan, serta kendala dalam waktu pembelajaran, dengan cukup banyaknya siswa sehingga waktu yang diperlukanmenjadi lebih banyak untuk membagi alat, bahan praktikum, handout, LKS, soal tes, serta angket. Berdasarkan temuan hasilpenelitian dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis model learning cycle 5E yang dihasilkan telah layak dandapat digunakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.

Kata Kunci: Model Learning Cycle 5E, Penguasaan Konsep, Keterampilan Berpikir Kritis.

Abstract: The aim of this research is to describe the feasibility of learning materials based on 5E learning cycle model toimprove student concept mastery and critical thinking skills of grade XI even semester SMKN 2 Tarakan on rate of reactiontopic. This research is development research using 4D models as instructional design. The test design of the implementation ofthe teaching materials use one group pretest-posttest design. The result of this research is Lesson Plan (RPP), Handout, andStudent Worksheets (LKS) categorized good. Concept Mastery Test and Critical Thinking Skills Test categorized valid. Handoutsand student worksheets have high legibility. Implementation of RPP is good. Prominent student activity in learning based on 5Elearning cycle model are reading (looking for information, etc.) (15%), do an experiment to test the hypothesis in groups (13%),and express opinions or communicate information in discussion (13%). Students’ response to learning were very good. Classicalcompleteness concept mastery is 91% with an average score 79.61 and improvement average score (gain) is 0.8 (high category).The average score of critical thinking skills is 82.44 and improvement average score (gain) is 0.8 (high category). Obstacles inthe learning based 5E learning cycle model are the number of students are many and less effective of classroom management sothere are students who are less attention; lack of lab tools; and obstacles in the learning time, because the number of studentsare many so it take a lot of time to divide lab tools, lab materials, handouts, worksheets, test questions, and questionnaires.Based on the result of the analysis data can be concluded that learning materials based on 5E learning cycle model produced isfeasible so it can be used in learning to improve student concept mastery and critical thinking skills.

Keywords: 5E Learning Cycle Model, Concept Mastery, Critical Thinking Skills.

PENDAHULUAN

Pendidikan kimia sebagai bagian dari pendidikan sainsberperan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikankimia berkembang seiring perkembangan sains danteknologi di abad ke-21. Pendidikan abad ke-21menghendaki dihasilkannya siswa yang mempunyaiketerampilan berpikir, salah satunya adalahketerampilan berpikir kritis, agar dapat bertahan

menghadapi persaingan pada era globalisasi saat ini(Partnership for 21st Century Skills, 2008).

Sebagaimana menurut Wagner (2008), siswa saatini perlu menguasai tujuh keterampilan bertahan hidupagar berhasil di dunia kerja baru. Keterampilan-keterampilan ini memungkinkan siswa menjadi warganegara yang produktif, sehingga dapat memberikankontribusi dalam memecahkan beberapa masalahpenting di abad ke-21. Tujuh keterampilan bertahan

Page 54: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 185

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

hidup tersebut meliputi berpikir kritis dan pemecahanmasalah.

Menurut IMLS keterampilan belajar danketerampilan inovasi abad ke-21 yang harus dikuasaimeliputi: berpikir kritis dan pemecahan masalah,kreativitas dan inovasi, komunikasi dan kolaborasi,literasi visual, literasi ilmiah dan numerik, berpikirlintas disiplin, dan literasi dasar (Institute of Museumand Library Services, 2009).

Pemerintah Indonesia melalui Permendiknas No. 23Tahun 2006 menghendaki lulusan SMK/MAK untukmampu membangun dan menerapkan informasi danpengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatifserta dapat menunjukkan kemampuan berpikir logis,kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilankeputusan secara mandiri (Permendiknas, 2006). Siswalulusan SMK diharapkan mampu berpikir kritis secaramandiri, karena siswa SMK diharapkan siap memasukidunia kerja setelah lulus sekolah, sehingga caraberpikirnya akan sangat menentukan keberhasilannya.

Kurikulum 2013, melalui Permendikbud No. 70Tahun 2013 mengamanatkan siswa kelas X dan XISMK untuk mampu menunjukkan perilaku ilmiah(salah satunya kritis) dalam aktivitas sehari-hari sebagaiwujud implementasi sikap dalam melakukan percobaandan diskusi (Permendikbud, 2013).

Keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan siswaagar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuatkeputusan yang matang, dan orang yang tak pernahberhenti belajar. Penting bagi siswa untuk menjadiseorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnyajenis pekerjaan di masa mendatang yang membutuhkanpara pekerja handal yang memiliki kemampuan berpikirkritis. Salah satu dari fungsi sekolah adalahmenyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan siapdengan berbagai masalah yang ada, maka pentingpembelajaran berpikir dimasukkan ke dalam prosespembelajaran.

Selama ini, kemampuan berpikir kritis masih belumterjiwai oleh siswa sehingga hasil belajar siswa belummaksimal. Hal ini disebabkan kebanyakan guru hanyamengejar ketuntasan materi, kurang memikirkanbagaimana siswa belajar dan mengembangkankemampuannya, termasuk kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan hasil observasi awal uji berpikir kritispada materi faktor-faktor yang mempengaruhi lajureaksi di kelas XII TKJ di SMKN 2 Tarakan, darisepuluh indikator yang diobservasi menghasilkan limaindikator dengan hasil terendah, yaitu: (1) Menjawabpertanyaan mengapa, (2) Kemampuan memberikanalasan, (3) Membuat generalisasi, kesimpulan danhipotesis, (4) Merumuskan alternatif yangmemungkinkan untuk memecahkan masalah, dan (5)Mengaplikasikan prinsip yang diterima. Hal ini

menunjukkan keterampilan berpikir siswa, terutamapada lima indikator tersebut masih cukup rendahsehingga masih perlu ditingkatkan. Sementara data nilaiulangan harian pokok bahasan laju reaksi yangdiajarkan dengan metode konvensional di SMKN 2Tarakan, 45% siswa masih belum tuntas, sehinggapenguasaan konsep siswa terhadap materi laju reaksijuga masih perlu perbaikan.

Kondisi pendidikan sains, yang di dalamnyaterdapat pendidikan kimia, di Indonesia saat ini masihbelum berkembang secara optimal dan masih tergolongrendah. Hal ini berarti peningkatan dan pengembanganmutu pembelajaran sains harus menjadi prioritas danmutlak dilakukan. Fakta yang dapat dijadikan indikatormasih rendahnya mutu pembelajaran sains di Indonesiaadalah data hasil studi TIMSS (Trends in InternationalMathematics and Science Study).

TIMSS yang merupakan studi internasional tentangprestasi matematika dan sains siswa SLTP mengujikemampuan siswa dalam domain kognitif yang terdiridari pengetahuan, penerapan, dan penalaran. Indonesiauntuk bidang sains berdasarkan hasil survey TIMSS2007 berada pada peringkat 35 dari 46 negara pesertadan pada tahun 2011 peringkat Indonesia semakinmenurun (Balitbang Kemendikbud, 2011). Hal inimenunjukkan kemampuan sains siswa Indonesia masihsangat rendah.

Rendahnya kemampuan sains siswa tentunya bukankarena faktor pengetahuan yang bersifat hafalan,melainkan pada faktor penerapan dan penalaran yangmasih cukup rendah sehingga perlu usaha yang kerasuntuk meningkatkannya. Penerapan dan penalaran inimerupakan bagian dari indikator keterampilan berpikirkritis sehingga rendahnya kemampuan penerapan danpenalaran dapat digunakan sebagai indikator rendahnyaketerampilan berpikir kritis siswa. Jika siswa padaSLTP memiliki keterampilan berpikir kritis yangrendah tentu saja mengindikasikan bahwa SLTA,terutama kelas X dan XI, juga cenderung memilikiketerampilan berpikir kritis yang masih rendah.

Di SMK, kimia merupakan salah satu matapelajaran adaptif yang merupakan penunjang untukmata pelajaran produktif (kejuruan). Mata pelajaranadaptif menuntut siswa mampu memahami danmenguasai konsep serta prinsip dasar ilmu pengetahuandan teknologi yang dapat diterapkan dalam kehidupansehari-hari dan melandasi kompetensi untuk bekerja.Pembelajaran kimia diharapkan tidak sekedarmengajarkan konsep kimia, tetapi mampu memberikandasar bagi siswa disaat memerlukan konsep-konseptersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang adapada mata pelajaran produktifnya (Yulianti, 2010).

Salah satu cara untuk membantu siswamenghubungkan antara ilmu pengetahuan yang

Page 55: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 186

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

dipelajari di kelas dengan pengalaman pribadi siswaadalah model pembelajaran learning cycle 5E. MenurutLlewellyn (2007) sebagaimana dikutip Hokkanen(2011: 5) bahwa model 5E dapat membantu “siswabergerak dari pengalaman konkret, untukpengembangan pemahaman, dengan penerapan prinsip-prinsip.” Model learning cycle 5E direkomendasikanuntuk mengajar dalam teori belajar konstruktivis karenamodel learning cycle 5E dikenal sebagai model yanglebih baik daripada pembelajaran tradisional (Ergin et.al., 2008).

Meskipun model-model konstruktivis seperti 3E,4E, 5E, dan 7E memiliki langkah-langkah yang serupa,5E adalah versi yang paling popular (Turk & Calik,2008). Kegiatan pembelajaran model learning cycle 5Eberusaha untuk membangkitkan minat siswa padapelajaran kimia (engagement), memberikan kesempatankepada siswa untuk memanfaatkan panca indera merekasemaksimal mungkin dalam berinteraksi denganlingkungan melalui kegiatan telaah literatur ataupercobaan (exploration), memberikan kesempatan yangluas kepada siswa untuk menyampaikan ide ataugagasan yang mereka miliki melalui kegiatan diskusi(explanation), mengajak siswa mengaplikasikankonsep-konsep yang mereka dapatkan denganmengerjakan soal-soal pemecahan masalah(elaboration) dan menyelesaikan tes akhir untukmengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap konsepyang telah dipelajari (evaluation).

Aydin & Yilmas (2010) menunjukkan bahwa modelpembelajaran learning cycle 5E lebih berpengaruhdalam meningkatkan keterampilan kognitif tingkattinggi siswa dalam materi asam basa, daripadapembelajaran tradisional, serta mempengaruhi sikapsiswa yang menjadi lebih positif terhadap matapelajaran kimia di sekolah. Soeprodjo (2008)menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif penggunaanmodel learning cycle terhadap hasil belajar siswa kelasXI semester 2 SMA Negeri 1 Temanggung pada pokokbahasan kelarutan dan hasil kali kelarutan.

Upaya perbaikan kualitas pembelajaran dapatdiawali dengan perencanaan pembelajaran. Perangkatpembelajaran merupakan salah satu wujud persiapanyang dilakukan oleh guru sebelum mereka melakukanproses pembelajaran (Hudha dkk., 2011). Penelitianterhadap pengembangan perangkat pembelajaranlearning cycle 5E untuk meningkatkan penguasaankonsep dan keterampilan berpikir siswa pada materi lajureaksi belum pernah dilakukan sehingga penelitimenganggap perlu untuk mengadakan penelitian yangbertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkatpembelajaran berbasis model learning cycle 5E untukmeningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan

berpikir kritis siswa SMK pada materi pokok laju reaksiyang dikembangkan oleh peneliti.

METODEJenis penelitian ini adalah penelitian pengembangankarena ditujukan untuk mengembangkan perangkatpembelajaran berbasis model learning cycle 5E padamateri laju reaksi. Subyek dalam penelitian ini adalahperangkat pembelajaran berbasis model learning cycle5E yang diterapkan pada siswa kelas XI SMKN 2Tarakan. Kelas uji coba dipilih secara pengundian yangakhirnya diterapkan pada kelas XI Teknik Komputerdan Jaringan (TKJ) yang terdiri dari 32 siswa.

Model pengembangan perangkat yang digunakanadalah model 4D (four D model) dari Thiagarajan(1974), yang terdiri dari 4 tahap, yaitu pendefinisian(Define), perancangan (Design), pengembangan(Develop), dan penyebaran (Dessiminate). Namundalam penelitian ini hanya dibatasi sampai tahappengembangan.

Gambar 1. Model Pengembangan PerangkatPembelajaran 4D (Diadaptasi dari Ibrahim, 2002).

Kegiatan uji coba dilakukan denganmembandingkan hasil sebelum dan sesudahimplementasi model pembelajaran learning cycle 5Ehanya pada satu kelas, tanpa kelas kontrolmenggunakan rancangan one group pretest–postetsdesign (Fraenkel, 2012) sebagai berikut:

O1 O2X

Page 56: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 187

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

Keterangan:O1 : Pengujian awal (pre test) sebelum pemberian perlakuanO2 : Pengujian akhir (post test) setelah pemberian perlakuanX : Perlakuan dengan penerapan model learning cycle 5E

Teknik Analisis Data1. Validitas RPP, Handout, dan LKS

RPP, Handout, dan LKS yang telah divalidasidianalisis secara deskriptif kualitatif dengan kriteria:Sangat Baik : 5 (kualitas sangat baik, mudah

dipahami, sangat sesuai dengan kontekspenjelasan)

Baik : 4 (kualitas baik, mudah dipahami,sesuai dengan konteks penjelasan)

Cukup Baik : 3 (kualitas baik, mudah dipahami, perludisempurnakan konteks penjelasan)

Kurang Baik : 2 (kualitas baik, sulit dipahami, perludisempurnakan konteks penjelasan)

Tidak Baik : 1 (kualitas tidak baik, sulit dipahami,perlu disempurnakan kontekspenjelasan)

Hasil penilaian dari para validator ini selanjutnyaditindaklanjuti oleh peneliti sesuai dengan saran dankomentar dari validator. Tingkat reliabilitas data antaratiga orang validator dihitung menggunakaninterobserver agreement dengan menggunakan analisisstatistik percentage of agreement (Watkins, 2001).

Keterangan:R (Percentage of Agreement) = Reliabilitas instrumenA (Agreement) = Frekuensi kecocokan antara penilaiD (Disagreement) = Frekuensi ketidakcocokan antara penilai

Kriteria penentuan reliabilitas persen kecocokanmenurut Watkins (2001) adalah sebagai berikut:R < 40% = Tidak Baik40% < R < 60% = Cukup Baik60% < R < 75% = BaikR > 75% = Sangat BaikSementara itu menurut Borich (1994), instrumendikatakan reliabel bila reliabilitas ≥ 0,75 atau 75%.

2. Validitas Butir SoalValiditas adalah suatu ukuran yang menunjukkan

tingkat-tingkat kesahihan sesuatu instrumen. Suatuinstrumen yang valid mempunyai validitas yang tinggi,sebaliknya instrumen yang kurang valid mempunyaivaliditas yang rendah (Arikunto, 2010).

Penilaian tes penguasaan konsep dan penilaian tesketerampilan berpikir kritis ini meliputi validasi isi,validasi bahasa, dan penulisan soal.Kriteria penilaian validasi isi:5 = Sangat Valid, jika semua kriteria terpenuhi.4 = Valid, jika empat dari lima kriteria terpenuhi.3 = Cukup Valid, jika tiga dari lima kriteria terpenuhi.2 = Kurang Valid, jika dua dari lima kriteria

terpenuhi.1 = Tidak Valid, jika hanya satu dari lima kriteria

terpenuhi.Kriteria validasi bahasa dan penulisan soal:

5 = Sangat dapat dipahami maksudnya, jika semuakriteria terpenuhi.

4 = Dapat dipahami maksudnya, jika empat dari limakriteria terpenuhi.

3 = Cukup dapat dipahami maksudnya, jika tiga darilima kriteria terpenuhi.

2 = Kurang dapat dipahami maksudnya, jika dua darilima kriteria terpenuhi.

1 = Tidak dapat dipahami maksudnya, jika hanyasatu dari lima kriteria terpenuhi.

Kelayakan butir soal disimpulkan dengan kriteria:Rata-rata 4 – 5 = Tidak Revisi (Valid)Rata-rata 3 – 3,9 = Revisi Kecil (Cukup Valid)Rata-rata 1 – 2,9 = Revisi Besar (Tidak Valid)

3. Sensitivitas Butir SoalPenentuan sensitivitas butir tes pilihan ganda (tes

penguasaan konsep) digunakan rumus: Gronlund(1985); Okonkwo & Osuji (2006).

Keterangan:= Indeks sensitivitas butir soal

= Jumlah siswa yang menjawab dengan benar soal post test

= Jumlah siswa yang menjawab dengan benar soal pre test

= Jumlah siswa yang mengikuti tes

Sementara sensitivitas butir tes esai (tesketerampilan berpikir kritis) digunakan rumus:(Gronlund, 1985)

Keterangan:= Indeks sensitivitas butir soal

= Banyaknya siswa yang mengikuti tes awal dan akhir= Jumlah skor subyek setelah proses pembelajaran

= Jumlah skor subyek sebelum proses pembelajaran

= Skor maksimal yang dicapai siswa

= Skor minimal yang dicapai siswa

Kriteria indeks sensitivitas adalah sebagai berikut: Butir soal yang ideal menghasilkan nilai indeks 1,00. Butir soal yang efektif mempunyai indeks antara 0,00

sampai 1,00, semakin bernilai positif, semakin sensitifbutir soal tersebut terhadap pembelajaran, dan Butir soal dengan nilai nol dan negatif tidak peka atau

sensitif terhadap pembelajaran (Okonkwo & Osuji,2006).

4. Analisis Keterbacaan Handout dan LKSKeterbacaan Handout dan LKS dianalisis secara

statistik deskriptif berdasarkan penilaian dan koreksisiswa yang mengisi instrumen. Selanjutnya dihitungpersentase hasil jawaban siswa dan divisualisasikandalam bentuk diagram batang.

5. Analisis Keterlaksanaan RPPKeterlaksanaan RPP dianalisis secara deskriptif

kualitatif, yaitu dengan membandingkan rata-rata skalapenilaian yang diberikan kedua pengamat dengankriteria penilaian sebagai berikut: (Arikunto, 2010)1,00 – 1,49 : Tidak baik

Page 57: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 188

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

1,50 – 2,49 : Kurang Baik2,50 – 3,49 : Cukup Baik3,50 – 4,49 : Baik4,50 – 5,00 : Sangat baik

Tingkat reliabilitas data antara dua orang pengamatdihitung menggunakan interobserver agreement(Watkins, 2001).

6. Analisis Pengamatan Aktivitas SiswaAktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran

dianalisis secara statistik deskriptif berdasarkan rata-rata hasil pengamatan dari dua pengamat. Selanjutnyadihitung persentase hasil pengamatan aktivitas siswatersebut dan divisualisasikan dalam bentuk diagrambatang. Tingkat reliabilitas data antara dua orangpengamat dihitung menggunakan nilai kecocokanantarpengamat (Percentage of Agreement) menurutEmmer & Millet (dalam Borich, 1994).

Keterangan:R (Percentage of Agreement) = Reliabilitas instrumenA dan B = Frekuensi aktivitas siswa oleh pengamat 1 dan 2 (A

nilai frekuensi yang lebih besar)Kriteria penentuan reliabilitas persen kecocokanmenurut Watkins (2001: 209) dan Borich (1994: 385).7. Analisis Respon Siswa

Angket respon siswa dinilai berdasarkan skalaLikert dalam Sukmadinata (2012); Sugiyono (2012):1) Sangat Setuju (SS) diberi nilai : 42) Setuju (S) diberi nilai : 33) Tidak Setuju (TS) diberi nilai : 24) Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai : 1Data angket respon siswa dianalisis dengan rumus:

Kriteria persentase respon siswa adalah:0% – 20% : Kurang sekali21% – 40% : Kurang41% – 60% : Cukup61% – 80% : Kuat81% – 100% : Sangat kuat

8. Analisis Penguasaan Konsep dan KeterampilanBerpikir KritisPenguasaan konsep siswa dianalisis dengan

menghitung persen ketuntasan penguasaan konsepsecara individual dan klasikal: (Trianto, 2010).

Jumlah skor maksimal = jumlah item x skor maksimaltiap item.

Siswa dikatakan tuntas (kompeten) jika siswa secaraindividu memperoleh nilai ≥ 75 (sesuai KKM) danpembelajaran dikatakan tuntas secara klasikal jikaterdapat 75% mencapai nilai ≥ 75. Ketuntasan belajar

setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatukompetensi dasar berkisar antara 0 – 100%. Kriteriaideal ketuntasan setiap indikator adalah 75% (BSNP,2006).

Peningkatan skor penguasaan konsep, keterampilanberpikir kritis siswa dan ketuntasan indikator dihitungdengan gain score (skor peningkatan) Hake (1999)

˂g˃ = (%˂Sf˃ – %˂Si˃) / (100 – %˂Si˃)Keterangan:˂g˃ = Gain score average (skor peningkatan rata-

rata)˂Sf˃ = Rata-rata nilai final (post test)˂Si˃ = Rata-rata nilai initial (pre test)Klasifikasi gain adalah sebagai berikut:˂g˃ ˃ 0,7 : gain tinggi0,7 ˃ ˂g˃ ˃ 0,3 : gain sedang˂g˃ ˂ 0,3 : gain rendah

9. Analisis Kendala dan HambatanKendala atau hambatan yang terjadi selama proses

pembelajaran yang dicatat oleh pengamat dianalisissecara deskriptif kualitatif, selanjutnya ditindaklanjutidengan merevisi perangkat pembelajaran yangdikembangkan.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil Penilaian Kualitas Perangkat

Pembelajaran1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

Hasil validasi perangkat pembelajaran oleh parapakar adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

NoPerangkat

PembelajaranRata-rataPenilaian Kategori

1. RPP 4,29 Baik2. Handout 4,57 Sangat Baik3. LKS 4,42 Baik

No PerangkatPembelajaran

Penilaian Kelayakan KategoriSensitivitas

4.Tes Penilaian

Penguasaan Konsep21 Butir soal yang valid Sensitif

5.Tes Keterampilan

Berpikir Kritis

12 Butir soal yang valid1 Butir soal yang cukup

validSensitif

Berdasarkan analisis data kriteria kelayakan RPPberbasis model learning cycle 5E, menunjukkan bahwaRPP sudah dapat digunakan langsung dengan mudaholeh orang lain untuk mengajarkan materi yang sama.Hal ini dapat ditinjau dari segi isi yang menunjukkankegiatan guru dan kegiatan siswa dirumuskan secarajelas dan operasional, sehingga mudah dilaksanakandalam proses pembelajaran di kelas dan orang lainmudah memahaminya. Untuk format RPP sudahmenunjukkan adanya kejelasan pembagian materi dansistem penomoran. ditinjau dari segi komponen bahasa,bahasa yang digunakan dalam RPP menunjukkan sifatkomunikatif, struktur kalimat yang sederhana, sertaadanya kejelasan petunjuk dan arahan. RPP sudah

Page 58: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 189

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

mencantumkan pengalokasian waktu untuk setiapkegiatan pembelajaran sehingga memudahkan bagiorang lain untuk mengontrol kegiatan selamapembelajaran. Berdasarkan diskusi hasil penelitiantentang validasi RPP dapat disimpulkan bahwa RPPyang dikembangkan layak untuk digunakan sebagaiperangkat pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis data kriteria kelayakanhandout, menunjukkan bahwa handout yangdikembangkan mempunyai kelebihan daripada buku-buku yang telah digunakan oleh siswa selama ini.Kelebihannya adalah handout yang dikembangkanpeneliti penuh warna sehingga menarik, gambar-gambar yang digunakan mudah dipahami dan sangatmenunjang pemahaman materi yang ada dalamhandout, diawali dengan tampilan fenomena dalamkehidupan sehari-hari yang menarik keingintahuansiswa untuk mempelajari fenomena tersebut sertamendorong siswa untuk mencari informasi lebih lanjut,dan handout disusun sesuai dengan tingkatperkembangan siswa, sehingga dapat disimpulkanbahwa handout yang dikembangkan layak digunakansebagai perangkat pembelajaran karena sudahmemenuhi standar validitas.

Berdasarkan hasil analisis data kriteria kelayakanLKS, menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkanmempunyai kelebihan daripada LKS-LKS yang telahdigunakan oleh siswa selama ini. Kelebihannya adalahLKS yang dikembangkan peneliti penuh warnasehingga menarik, gambar-gambar yang digunakanmudah dipahami dan sangat menunjang pemahamanmateri yang ada dalam LKS, diawali dengan tampilanfenomena dan pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupansehari-hari yang menarik keingintahuan siswa untukmempelajari dan mencari informasi lebih lanjut tentangfenomena tersebut serta melatihkan keterampilanberpikir kritis siswa, dan LKS disusun sesuai dengantingkat perkembangan siswa, sehingga dapatdisimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan layakdigunakan sebagai perangkat pembelajaran karenasudah memenuhi standar validitas.

Hasil analisis validasi perangkat tes penguasaankonsep menunjukkan bahwa penilaian kelayakan tespenguasaan konsep dari validator menghasilkan 21butir soal yang valid, bahasanya dapat dipahami, danmendapat kesimpulan tanpa revisi atau layak, sehinggadapat digunakan dalam uji coba pembelajaran di kelas.Hasil analisis sensitivitas butir soal tes penguasaankonsep menunjukkan bahwa setiap indeks sensitivitasbutir soal bernilai positif, maka butir soal tersebut dapatdikatakan lebih sensitif dan mempunyai efek besardalam pembelajaran (Okonkwo dan Osuji, 2006),sehingga dapat disimpulkan bahwa tes penguasaankonsep yang dikembangkan mempunyai 21 soal pilihan

ganda yang valid dan sensitif terhadap pembelajarandan layak digunakan sebagai perangkat pembelajarankarena sudah memenuhi standar validitas.

Hasil analisis validasi perangkat tes keterampilanberpikir kritis menunjukkan bahwa penilaian kelayakantes keterampilan berpikir kritis dari validator terhadapaspek validitas isi, serta bahasa dan penulisan soalmenghasilkan 12 butir soal valid dan bahasanya dapatdipahami. Hasil analisis sensitivitas butir soal tesketerampilan berpikir kritis menunjukkan bahwa setiapindeks sensitivitas butir soal bernilai positif. Indekssensitivitas butir soal tes keterampilan berpikir kritisseluruhnya berkategori sensitif, sehingga butir-butirsoal tersebut dapat digunakan untuk mengukurketerampilan berpikir siswa dan sesuai denganindikator yang diukur.

2. Hasil Penilaian Keterbacaan PerangkatPembelajaranKeterbacaan merupakan tingkat pemahaman siswa

terhadap susunan kalimat dalam Handout dan LKS.

97% 100%

56%97% 100% 100%

56%

100%

Isi H

ando

utm

enar

ik

Tam

pila

n H

ando

utm

enar

ik

Ada

sed

ikit

penj

elas

an y

ang…

Gam

bar

hand

out

mud

ah d

ipah

ami…

Isi L

KS

men

arik

Tam

pila

n L

KS

men

arik

Tid

ak a

dape

njel

asan

yan

g…

Gam

bar

LK

Sm

udah

dip

aham

i…

Handout LKS

Keterbacaan Handout dan LKS

Gambar 2. Grafik Hasil Penilaian Keterbacaan Siswaterhadap Handout dan LKS

Berdasarkan data di atas dapat ditentukan bahwaperangkat handout dan LKS memiliki tingkatketerbacaan yang baik sehingga memenuhi syaratkualitas sebagai perangkat pembelajaran.

B. Hasil Implementasi Perangkat PembelajaranBerbasis Model Learning Cycle 5E

1. Keterlaksanaan RPP

Tabel 2. Hasil Analisis Keterlaksanaan RPP PertemuanPertama, Kedua, dan Ketiga

NoAspek yang

Diamati

Rata-rataKeterlaksanaan

Rata-rataPenilaian

Rata-rataKate-goriRPP

1.1/IRPP1.2/I

RPP1/II

RPP1/III

RPP1.1/I

RPP1.2/I

RPP1/II

RPP1/III

A. Pendahuluan 4,61 SB1. Engagement Ya Ya Ya Ya 4,8 4,7 4,7 4,3 4,61 SBB. Kegiatan Inti 4,30 B2. Exploration Ya Ya Ya Ya 4,3 4,8 4,3 4,3 4,38 B3. Explanation Ya Ya Ya Ya 4,8 4,0 4,8 4,8 4,56 SB4. Elaboration Ya Ya Ya Ya 4,0 4,5 4,0 4,0 4,13 B5. Evaluation Ya Ya Ya Ya 4,0 4,0 4,5 4,0 4,13 BC. Penutup Ya Ya Ya Ya 4,0 5,0 5,0 5,0 4,75 SBSuasana Kelas Ya Ya Ya Ya 4,2 4,3 4,2 3,9 4,16 BAlokasi Waktu Ya Ya Ya Ya 3,5 4,0 3,5 3,5 3,63 CB

Rata-rata Ya Ya Ya Ya 4,2 4,4 4,4 4,2 4,29

Page 59: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 190

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

NoAspek yang

Diamati

Rata-rataKeterlaksanaan

Rata-rataPenilaian

Rata-rataKate-goriRPP

1.1/IRPP1.2/I

RPP1/II

RPP1/III

RPP1.1/I

RPP1.2/I

RPP1/II

RPP1/III

Reliabilitas (%) 80,6 84,2 84,2 81,6 82,64

Rata-rata seluruh langkah pembelajaran yangtertulis dalam RPP telah terlaksana. Rata-rata penilaianketerlaksanaan RPP adalah 4,29 dengan kategori baikyang menunjukkan bahwa RPP yang dikembangkantelah disusun dengan baik sehingga dapat dilaksanakandengan baik dalam pembelajaran.

Rata-rata reliabilitas yang dihasilkan adalah82,64%, hal ini menunjukkan bahwa persentasekecocokan penilaian antara dua pengamat adalah sangatbaik. Perhitungan relibilitas instrumen yang digunakanmenunjukkan bahwa instrumen yang digunakan dapatdipercaya karena memiliki reliabilitas melebihi 75%Borich (1994) dan Watkins (2001). Hasil tiga kalipelaksanaan RPP dapat disimpulkan bahwaketerlaksanaan RPP dikategorikan baik denganreliabilitas kecocokan antar pengamat sangat baik.2. Aktivitas Siswa

Pengamatan aktivitas siswa dilakukan oleh duaorang pengamat di SMKN 2 Tarakan.

Gambar 3. Aktivitas Siswa dalam PembelajaranBerbasis Model Learning Cycle 5E.

Aktivitas siswa yang menonjol adalah membaca(mencari informasi dan sebagainya) (15%), melakukanpercobaan untuk menguji hipotesis secara berkelompok(13%), dan menyampaikan pendapat ataumengkomunikasikan informasi kepada kelas dan gurudalam diskusi kelas (13%).

Secara umum aktivitas siswa selama prosespembelajaran menunjukkan frekuensi yang relatifstabil, hal ini disebabkan karena proses pembelajaranselalu mengikuti skenario yang terdapat pada rencanapelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dikembangkandan menggunakan perangkat pembelajaran termasukmedia/alat yang sama selama kegiatan pembelajaran.

Hasil analisis menunjukkan bahwa model learningcycle 5E dalam pembelajaran sesuai dengan pandangankontruktivis yaitu membuat siswa belajar secara aktif(Hudojo, 2001 dalam Fajaroh, 2007), serta sesuai

dengan teori belajar bermakna Ausubel, yang intipokoknya sangat dekat dengan konstruktivisme, yangmenekankan pentingnya siswa mengasosiasikanpengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalamsistem pengertian yang telah siswa miliki sertamenekankan pentingnya siswa aktif dalam prosesbelajar. Berdasarkan pandangan teori belajarkonstruktivis menurut Slavin (2009) menganjurkanperanan yang lebih aktif dari siswa dalam pembelajaranmereka sendiri (student-centered instruction).

Belajar lebih dari sekedar mengingat, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmupengetahuan, siswa harus bekerja untuk memecahkanmasalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, danharus membangun pengetahuan di dalam benak merekaagar konsep-konsep penting dan sangat bergunatertanam kuat dalam benak siswa (Piaget dalam Cook,2005). Pengetahuan yang tertanam kuat dalam memorijangka panjang siswa tentunya akan dapatmempermudah siswa ingat dan pada akhirnya akanmembantu meningkatkan penguasaan konsep sertakemampuannya dalam memecahkan masalah.

Perhitungan reliabilitas kecocokan antara dua orangpengamat menunjukkan bahwa instrumen pengamatanaktivitas siswa dalam pembelajaran learning cycle 5Edapat dikatakan sangat baik, dengan reliabilitas rata-rata sebesar 89,67%. Hal ini sesuai dengan ketentuanWatkins (2001) bahwa reliabilitas > 75% dikatakansangat baik, dan Borich (1994), bahwa jika nilaireliabilitas instrumen ≥ 75% dikategorikan instrumenyang baik.

3. Respon SiswaHasil penilaian respon siswa terhadap model

pembelajaran berbasis learning cycle 5E adalah sepertidalam Gambar 4.

Gambar 4. Respon Siswa terhadap PembelajaranBerbasis Model Learning Cycle 5E.

Rata-rata penilaian respon siswa adalah 3,4 dengankategori setuju, sehingga dapat disimpulkan bahwasiswa setuju model learning cycle 5E dapat membuatsiswa: (1) lebih senang belajar dengan langsungmengaplikasikan pelajaran atau materi yang didapat;(2) lebih berani untuk mengemukakan pendapat-

Page 60: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 191

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

pendapat yang ada dalam pikirannya, sehingga lebihcepat paham terhadap materi yang pelajarinya; (3) lebihaktif dalam kegiatan pembelajaran; (4) meningkatkanmotivasi belajarnya; (5) lebih mudah mengerjakan soal-soal; (6) tertarik dan tidak bosan; (7) melatihketerampilan berpikir kritisnya; dan (8) meningkatkanpenguasaan kosepnya.

Hasil ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2001)dalam Fajaroh (2007) bahwa ditinjau dari dimensisiswa, penerapan model learning cycle 5E memberikeuntungan dapat meningkatkan motivasi belajarkarena siswa dilibatkan secara aktif dalam prosespembelajaran. Demikian juga menurut Fish (dalamErgin, 2012) bahwa pendekatan model 5E dapatmenghasilkan: (1) prestasi yang lebih baik, (2)penyimpanan konsep dengan baik, (3) peningkatansikap terhadap mata pelajaran, (4) peningkatan sikapterhadap pembelajaran, (5) peningkatan kemampuanpenalaran, dan (6) keterampilan proses yang unggul.

4. Penguasaan Konsep SiswaPenguasaan konsep merupakan salah satu indikator

efektivitas perangkat pembelajaran yangdikembangkan. Berdasarkan data hasil penelitian dapatdiketahui bahwa 29 siswa dari 32 siswa telahmendapatkan nilai post test yang mencapai bahkanmelampaui KKM, dengan rata-rata skor 79,61,sehingga ketuntasan klasikalnya dapat mencapai 91%.Tiga orang siswa yang belum tuntas selanjutnyadiberikan remedial hingga tuntas. Ketidaktuntasan inididukung dengan data aktivitas siswa yang tidakrelevan selama pembelajaran berlangsung.

Setiap siswa dalam penelitian ini juga mengalamipeningkatan penguasaan konsep dengan nilai rata-ratagain adalah tinggi yaitu 0,8. Menurut Hake (1999) nilaigain > 0,7 diklasifikasikan sebagai gain tinggi.

Penguasaan konsep yang tinggi menunjukkanbahwa tahap-tahap dalam pembelajaran model learningcycle 5E mampu membantu siswa dalam proseskonstruksi konsep sehingga meningkatkan dayaakomodasi konsepnya serta berpusat pada siswa.Keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaranmenyebabkan penyimpanan informasi ke memorijangka panjang (Slavin, 2009).

Sejalan dengan teori pemrosesan informasi, bahwabelajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkaninformasi baru pada konsep-konsep relevan yangterdapat dalam struktur kognitif seseorang (Ausubel:1968). Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwapengetahuan ditata di dalam struktur kognitif secarahirarkhis, sehingga pengetahuan yang lebih umum danabstrak yang diperoleh lebih dulu dapat mempermudahperolehan pengetahuan baru yang lebih rinci.

Tingginya nilai gain menunjukkan pembelajaranlearning cycle 5E dapat meningkatkan penguasaan

konsep siswa pada materi pokok laju reaksi. Senadadengan hasil penelitian Soeprodjo (2008) bahwa adapengaruh positif penggunaan model learning cycleterhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasankelarutan dan hasil kali kelarutan; Qarareh (2012) danFish (1999) mengungkapkan efektivitas learning cycle5E pada hasil pendidikan seperti prestasi danpenyimpanan konsep dengan baik; Sihaloho dkk.(2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran learningcycle 5E lebih efektif dalam meningkatkan motivasidan penguasaaan konsep siswa daripada pembelajarankonvensional; serta Bell (2012) bahwa learning cycle5E mendorong pembelajaran bermakna, hal ini tentusaja akan membuat penguasaan konsep siswa akanmeningkat.

Tabel 3. Ketuntasan Indikator Tes Penguasaan Konsepdan Skor Peningkatan (Gain)

No Indikator

SkorPreTest(%)

SkorPostTest(%)

KetuntasanIndikator

Ketun-tasan

Keselu-ruhan

SkorPening-katan(Gain)

Kate-gori

Produk

1. 1 0 50 Tdk Tuntas

100%

0,5 Sedang

2. 2 3 75 Tuntas 0,7 Sedang3. 3 0 75 Tuntas 0,8 Tinggi4. 4 3 78 Tuntas 0,8 Tinggi5. 5 25 75 Tuntas 0,7 Sedang

Proses6. 6 25 75 Tuntas 0,7 Sedang7. 7 6 75 Tuntas 0,7 Sedang8. 8 13 78 Tuntas 0,7 Sedang9. 9 19 75 Tuntas 0,7 Sedang

10. 10 16 81 Tuntas 0,8 Tinggi11. 11 25 78 Tuntas 0,7 Sedang

Rata-rata 12,27 74,09 0,8 0,7

Ketuntasan setiap indikator yang telah ditetapkandalam suatu KD berkisar antara 0 – 100%. Kriteriaideal ketuntasan untuk masing-masing indikator adalah75% (BSNP, 2006). 10 Dari 11 indikator pada KDmenjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi lajureaksi telah dapat dicapai siswa ≥ 75%, sehinggaindikator produk dan proses dapat dikatakan 91%tuntas. Hampir setiap indikator mengalami peningkatanskor, dengan rata-rata gain adalah 0,7 yang kategorinyasedang. Tingginya nilai gain membuktikan bahwamodel learning cycle 5E dapat digunakan sebagai salahsatu cara dalam mencapai ketuntasan indikator dalamKD menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi lajureaksi.5. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Keterampilan berpikir kritis siswa adalahketerampilan siswa dalam menyelesaikan suatu masalahyang tercermin melalui indikator (1) menjawabpertanyaan mengapa; (2) kemampuan memberikanalasan; (3) membuat generalisasi, kesimpulan danhipotesis; (4) mengaplikasikan prinsip yang diterima;

Page 61: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 192

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

serta (5) merumuskan alternatif yang memungkinkanuntuk memecahkan masalah.

Tabel 4. Skor Gain Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

No Siswa SkorPre Test (%)

SkorPost Test (%)

SkorGain

Kategori

1. 01 19 91 0,9 Tinggi2. 02 19 76 0,7 Tinggi3. 03 10 75 0,7 Tinggi4. 04 9 51 0,5 Sedang5. 05 12 81 0,8 Tinggi6. 06 14 94 0,9 Tinggi7. 07 18 81 0,8 Tinggi8. 08 4 77 0,8 Tinggi9. 09 22 63 0,5 Sedang

10. 10 22 100 1,0 Tinggi11. 11 15 78 0,7 Tinggi12. 12 18 89 0,9 Tinggi13. 13 19 85 0,8 Tinggi14. 14 12 78 0,8 Tinggi15. 15 13 87 0,9 Tinggi16. 16 10 89 0,9 Tinggi17. 17 20 85 0,8 Tinggi18. 18 4 100 1,0 Tinggi19. 19 6 86 0,9 Tinggi20. 20 41 86 0,8 Tinggi21. 21 15 88 0,9 Tinggi22. 22 9 77 0,7 Tinggi23. 23 14 67 0,6 Sedang24. 24 12 83 0,8 Tinggi25. 25 27 91 0,9 Tinggi26. 26 8 83 0,8 Tinggi27. 27 12 81 0,8 Tinggi28. 28 9 80 0,8 Tinggi29. 29 0 76 0,8 Tinggi30. 30 16 77 0,7 Tinggi31. 31 44 89 0,8 Tinggi32. 32 20 94 0,9 Tinggi

Rata-rata 15,41 82,44 0,8 Tinggi

Tingginya nilai gain menunjukkan pembelajaranmodel learning cycle 5E beserta perangkatpembelajaran yang dikembangkan ini dapatmeningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Hasilini sejalan dengan penelitian Aydin dan Yilmas (2010);juga Fish (dalam Ergin, 2012) yang telah membuktikanadanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dankemampuan penalaran pada siswa yang mendapatkanpembelajaran dengan model learning cycle 5Edibandingkan siswa yang mendapatkan pembelajarandengan model konvensional.

Tabel 5. Persentase Ketuntasan Indikator TesKeterampilan Berpikir Kritis dan Skor Peningkatan

No. Indikator SkorPre Test (%)

SkorPost Test (%)

SkorGain

Kategori

1. 1 3 78 0,8 Tinggi2. 2 0 81 0,8 Tinggi3. 3 3 72 0,7 Sedang4. 4 0 81 0,8 Tinggi5. 5 0 47 0,5 Sedang

Rata-rata 1,20 71,80 0,7 Sedang

Tingginya persentase ketuntasan indikator berpikirkritis terutama pada kemampuan memberikan alasandan mengaplikasikan prinsip yang diterima,dimungkinkan karena tahapan model pembelajaran

learning cycle 5E memberikan kesempatan yang lebihbesar dalam melakukan tanya jawab, terutama padatahap engagement, exploration, explanation, danelaboration. Hasil ini menunjukkan bahwapembelajaran learning cycle 5E sesuai untukmengajarkan indikator-indikator keterampilan berpikirkritis yang diteliti.

Adanya peningkatan skor pada kategori sedang,dimungkinkan karena adanya siswa yang tidak seriusatau aktivitas siswa yang tidak relevan selamapembelajaran berlangsung, seperti percakapan yangtidak perlu, mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitandengan proses pembelajaran, atau mengganggu teman.Setelah implementasi dapat disimpulkan bahwa modellearning cycle 5E beserta perangkat pembelajaran yangdikembangkan dapat digunakan untuk meningkatkanketerampilan berpikir kritis siswa.6. Kendala atau Hambatan selama Pembelajaran

Tabel 6. Kendala dan Hambatan dalam PembelajaranBerbasis Model Learning Cycle 5E

No Kendala atau Hambatan Solusi

1.

Jumlah siswa yang cukup besar danpengelolaan kelas kurang efektifsehingga masih ada siswa yangkurang terperhatikan.

Guru hendaknyamelakukanpengelolaan kelasdengan lebih efektif.

2.Kurangnya alat-alat praktikum yangdibutuhkan.

Membentuk kelompokdengan jumlah siswayang lebih banyak.

3.

Kendala dalam waktu pembelajaran,dengan cukup banyaknya siswasehingga waktu yang diperlukanmenjadi lebih banyak untuk membagialat, bahan praktikum, handout, LKS,soal tes, serta angket.

Mengalokasikanwaktu secara lebihtepat dan membagikanhandout, LKS, sertaangket sebelumpembelajaran.

Kendala ini sejalan dengan pendapat Soebagio(2000) dalam Fajaroh (2007) yang menyatakan bahwadalam model pembelajaran learning cycle 5E: (1)Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurangmenguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran;(2) Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalammerancang dan melaksanakan proses pembelajaran; (3)Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencanadan terorganisasi; serta (4) Memerlukan waktu dantenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana danmelaksanakan pembelajaran. Hal ini seharusnyadiantisipasi oleh guru agar pembelajaran menjadi lebihefektif.

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkanbahwa perangkat pembelajaran berbasis model learningcycle 5E pada materi pokok laju reaksi yang dihasilkanlayak digunakan dalam pembelajaran kimia di SMK.Saran

Page 62: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 193

Vol. 2 No. 3, April 2014

Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir KreatifSiswa SMA

Perangkat pembelajaran kimia berbasis model learningcycle 5E pada materi laju reaksi yang dihasilkan dapatdigunakan sebagai acuan bagi guru kimia untukmengembangkan perangkat pembelajaran sejenis padamateri pokok yang lain. Guru hendaknya menguasaimateri, menguasai langkah-langkah pembelajaran,mempersiapkan pembelajaran, serta dapat mengelolakelas dengan baik agar pembelajaran model learningcycle 5E lebih efektif untuk meningkatkanketerampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan

Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.Ausubel, D. P. 1968. Educational Psychology: A Cognitive

View. New York: Holt, Rinehart & Winston.Aydin, N. & Yilmas, A. 2010. “The Effect of Constructivist

Approach in Chemistry Education on Students’ HigherOrder Cognitive Skills” Hacettepe Üniversitesi Journal ofEducation. 39. 57 – 68.

Balitbang Kemendikbud. 2011. Survei InternasionalTIMSS.http://litbang.kemdikbud.go.id/detail.php?id=214Diakses pada tanggal 26 Nopember 2012.

Bell, C. V. & Odom, A. L. 2012. “Reflections on DiscoursePractices During Professional Development on theLearning Cycle”. Journal Science Teacher Education. 23(6).

Borich, G. D. 1994. Observation Skill for Effective Teaching.New York: Macmillan Publishing Company.

BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum TingkatSatuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar danMenengah. Jakarta: BSNP.

Cook, J. L. & Cook, G. 2005. Child Development: Principles& Perspectives. Boston: Allyn & Bacon.

Ergin, I, Kanli, U & Unsal, Y. 2008. “An Example for theEffect of the 5E Model on the Academic Success andAttitude Levels of Students’: Inclined Projectile Motion.”Journal of Turkish Science Education, 5 (3) 47 – 59.

Fajaroh, F. & Dasna, I. W. 2007. Pembelajaran denganModel Siklus Belajar (Learning Cycle).http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20/pembelajaran-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle/. Diaksespada tanggal 31 Desember 2012.

Fish, L. 1999. “Why Use the 5E Model for TeachingScience?”. In Ergin, I. 2012. “Constructivist ApproachBased 5E Model and Usability Instructional Physics.”Latin American Journal of Physics Education, 6 (1) 14 –20.

Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. 2012. How toDesign and Evaluate Research in Education. New York:McGraw-Hill Companies, Inc.

Gronlund, N. E. 1985. Constructing Achievement Test. 5th

Edition. New York: Prentice Hall Inc.Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. USA:

Department of Physics, Indiana University.Hokkanen, S. L. 2011. “Improving Student in Science

Through the Implementation of the 5E Learning Cycle inthe Middle Grades of an Urban School”. Thesis Mastersof Science in Science Education, Montana StateUniversity.

Hudha, A.M., Husamah, & Hadi, S. 2011. “PendampinganPengembangan Perangkat Pembelajaran Laboratoriumuntuk Menunjang Pelaksanaan KTSP Bagi Guru IPABiologi SMP Muhammadiyah 1 Malang.” JurnalDedikasi, 8 p. 43 – 51.

Ibrahim, M. 2002. Modul Pelatihan Terintegrasi BerbasisKompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi:Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Jakarta:Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,Depdiknas.

Institute of Museum and Library Services. 2009. Museums,Libraries and 21st Century Skills. Washington: IMLSOffice of Strategic Partnerships.

Okonkwo & Osuji. 2006. EDU 403: Measurement andEvaluation. Victoria Island: National Open University ofNigeria.

Partnership for 21st Century Skills. 2008. 21st Century Skills,Education & Competitiveness: A Resource and PolicyGuide. Partnership for 21st Century Skills.

Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SekolahMenengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RepublikIndonesia.

Permendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan NasionalRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentangStandar Kompetensi Lulusan untuk Satuan PendidikanDasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Qarareh, A. O. 2012. “The Effect of Using the LearningCycle Method in Teaching Science on the EducationalAchievement of the Sixth Graders.” International JournalEducation Science. 4 (2) 123 – 132.

Reigeluth, C.M., & Stein, F. 1983. “The Elaboration Theoryof Instruction”. In Reigeluth, C.M. Instructional DesignTheories and Models: An Overview of the Current Status.Hillsdale, New York: Lawrence Erlbaum Associates.

Sihaloho, L. M., Rudibyani, R. B., & Efkar, T. 2013.“Peningkatan Motivasi dan Penguasaan Konsep MelaluiModel Learning Cycle 5E”. Jurnal Pendidikan Kimia. 1(7).

Slavin, R. E. 2009. Educational Psychology: Theory andPractice. 9th Edition. Boston: Allyn & Bacon.

Soeprodjo, P. S., & Sariana, E. Y. 2008. “Pengaruh ModelLearning Cycle terhadap Hasil Belajar Materi Kelarutandan Hasil Kali Kelarutan”. Jurnal Inovasi PendidikanKimia. 2 (1) 224 – 229.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif danR & D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, N. S. 2012. Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: Rosda Karya.

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. I. 1974.Instructional Development for Training Teachers ofExceptional Children: A Sourcebook. Bloomington:Indiana University.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya padaKurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Turk, F. & Calik, M. 2008. “Using Different ConceptualChange Methods Embedded Within 5E Model: A SampleTeaching of Endothermic – Exothermic Reactions.” Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, 9 (1).

Wagner, Tony. 2008. “Expecting Excellence: RigorRedefined”. Educational Leadership, 66 (2) 20 – 25.

Watkins, M. W. & Pacheco, M. 2001. “InterobserverAgreement in Behavioral Research: Importance andCalculation.”Journal of Behavioral Education, 10 (4).

Yulianti. 2010. “Pengembangan Perangkat PembelajaranPeluang Berbasis Reciprocal Teaching untuk MelatihKemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMK Negeri3 Lubuklinggau.” Jurnal Pendidikan Matematika, 4 (1).

Page 63: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 194

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA BERBASISMODEL PEMAKNAAN UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN

PROSES SAINS DAN MENANAMKAN KARAKTER

Suwar1)

Wasis2)

Toeti Koestiari3)

1)Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.2)Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.3)Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

e-mail: [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis model pemaknaan untukmelatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter pada pokok bahasan Induksi Elektromagnetik. Tujuan tersebutdicapai melalui proses mendiskripsikan kelayakan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan.Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan, yaitu mengembangkan perangkat pembelajaran meliputi Silabus, RPP,LKS, BAS, dan LPHB. Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model pengembangan 4-D, sedangkan dalam ujicoba perangkat digunakan rancangan One Group Pretest – Posttest Design. Subjek dalam penelitian ini adalah perangkatpembelajaran yang diujicobakan pada siswa SMP Negeri 2 Mojokerto. Pengambilan data dilakukan dalam tiga kali pertemuan.Analisis data penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan berkategori layak, praktis, dan efektif.Kelayakan ditinjau dari keterbacaan BAS 90% dan hasil validitasi yang menyatakan perangkat pembelajaran valid. Kepraktisanditunjukkan dari keterlaksanaan RPP rata-rata 97,6%, aktivitas siswa 76,7%. Keefektifan perangkat pembelajaran ditunjukkandengan hasil belajar kognitif 82,4%, psikomotor 94,6%, keterampilan proses sains 97,3%, dan afektif rata-rata 95,8% (moralknowing 100%, moral feeling 100%, moral acting 87,5%), serta respon positif siswa 92,1 % (100% merespon positif terhadapfase pemaknaan, ciri khas model pemaknaan). Berdasarkan hasil analisis data di atas disimpulkan bahwa perangkatpembelajaran IPA Fisika berbasis model pembelajaran pemaknaan pada materi pokok induksi elektromagnet layak, praktis, danefektif digunakan dalam pembelajaran untuk melatihkan keterampilan proses sains dan menanamkan karakter siswa SMP.

Kata-kata kunci: Model Pemaknaan, Karakter, Keterampilan Proses Sains.

Abstract: The research was aimed to produce a science physics learning package based on the Model Pemaknaan to facilitatescience process skills and cultivate character on the subject of Electromagnetic Induction. The object is achieved through theprocess of describing the feasibility, practicality, and effectiveness of learning package are developed. This type of research isthe development of research, to develop a learning package including syllabus, lesson plans, worksheets, student textbooks, andlearning outcomes assessment sheet. The researcher developed the learning package using 4-D and used One Group Pre Test –Post Test Design during the implementation. The subjects in this research is learning package, were tested on students of SMPNegeri 2 Mojokerto. Data collection was conducted in three sessions. Analysis of experimental data showed that the developedlearning package categorized feasible, practical, and effective. Feasibility in terms of legibility student textbooks was 90%, andvalidation results were expressed valid. Demonstrated the practicality of enforceability lesson plan average of 97.6%, 76.7%student's activity. The effectiveness of the learning package is shown with 82.4% cognitive learning outcomes, 94.6%psychomotor, 97.3% science process skills, and 95.8% affective average (100% moral knowing, 100% moral feeling, 87.5%acting morally), and 92.1% the positive response of students (100 % respond positively to the interpretation phase, characteristicof Model Pemaknaan.Based on the results of data analysis concluded that the science physics learning package based Model Pemaknaan in thesubject matter of electromagnetic induction feasible, practical, and effective to use in learning tofacilitate science process skillsand cultivate character of junior high school students.

Keywords: Model Pemaknaan, Character , Science Process Skills

Page 64: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 195

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

PENDAHULUANPendidikan merupakan bentuk usaha sadar dan

sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa yangdiserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi pesertadidik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengancita-cita pendidikan (Munib, 2009). Mendidik berartimembantu anak dengan sengaja (dengan jalanmembimbing, membantu, dan memberi pertolongan)agar ia menjadi manusia dewasa, susila, bertanggungjawab, dan mandiri. Dewasa yang dimaksud adalahdewasa pedagogis (menyadari dan mengenali dirisendiri atas tanggung jawab sendiri), dewasa biologis(mampu mengadakan keturunan), dewasa psikologis(fungsi kejiwaan telah matang), dan dewasa sosiologis(telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telahditentukan masyarakat) (Santrock, 2002).

Pendidikan tidak hanya bermakna transfer ofknowledge. Lebih dari itu pendidikan didedikasikanuntuk mengembangkan potensi diri peserta didik agarmemiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendaliandiri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa, dan negara. Ada tiga dimensi besar yangdiharapkan tumbuh pada diri peserta didik setelahmelalui proses pendidikan, yakni ranah kognitif,psikomotorik, dan afektif. Ranah kognitif bertujuanuntuk membentuk peserta didik yang cerdas,berpengetahuan, berilmu, cakap, dan kreatif. Ranahpsikomotorik bertujuan membentuk peserta didik yangterampil baik soft skill maupun hard skill. Ranah afektifmembentuk peserta didik agar memiliki kekuatanspiritual keagamaan, berakhlak mulia, sehat,demokratis, dan bertanggung jawab. Pembelajaran yangdirancang untuk meningkatkan kemampuan afektifpada hakekatnya adalah pendidikan karakter.

Indonesia sedang berikhtiar keras gunamencapai keberhasilan pembangunan karakter bangsa.Pemerintah RI telah mengeluarkan Kebijakan NasionalPembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanmenindaklanjutinya dengan menerbitkan Desain IndukPendidikan Karakter (2010). Hal ini menunjukkanpenting dan mendesaknya pendidikan karakter bagiBangsa Indonesia, terutama implementasinya di duniapendidikan.

Kenyataannya, peran penting dan urgensinyapendidikan karakter justru belum dirasakan olehsebagian guru. Hal ini terlihat dari pembelajaran dikelas selama ini lebih condong ke ranah kognitif yangdiikuti ranah psikomotorik. Sementara itu ranah afektifyang merupakan dasar pembentukan karakter, kurangmendapat sentuhan dari semua guru mata pelajaran.

Keadaan demikian diperparah olehberkembangnya produk-produk ICT (Information andCommunication Technologi) modern yangmemudahkan peserta didik mengakses informasibagaimanapun bentuknya dan dari manapun asalnya.Hal inilah yang menyebabkan banyak kejadian yangmenimpa sebagian peserta didik mengindikasikanadanya penurunan kualitas karakter mereka.

SMPN 2 Mojokerto sebagai salah satu satuanpendidikan di Kota Mojokerto wajib mengamankan

visi/misi kota, khususnya dalam bidang pendidikan,yakni cerdas dan bermoral. Bermoral dalam artiberakhlak mulia dan berkarakter. Hal inilah yangmelatarbelakangi penulis berpendapat bahwapendidikan karakter mendesak untukdiimplementasikan di SMPN 2 Kota Mojokerto.

Menanamkan karakter positif kepada siswadibutuhkan teladan bagaimana karakter positif itudilakukan. Sementara itu IPA Fisika mengandunggejala atau fenomena yang berpotensi dapat dijadikancontoh. Pengembangan karakter melalui fisika dapatdilakukan dengan cara memaknai fenomena fisika laludianalogikan dengan karakter positif. Analogi darikonsep itu bisa dijadikan model perilaku yang bisaditeladani. Model pembelajaran yang mengemaspendidikan karakter melalui pemaknaan fenomena alamuntuk dijadikan model perilaku adalah ModelPembelajaran Pemaknaan. Model pembelajaranpemaknaan memfasilitasi guru untuk menanamkankarakter melalui mekanisme instructional effectdaripada hanya sekedar nurturant effect.

Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian inipenulis tertarik untuk mengimplementasikan ModelPembelajaran Inovatif IPA melalui Pemaknaan untukmenanamkan karakter dan melatihkan keterampilanproses sains. Hal itu juga dikuatkan oleh bukti-buktiilmiah dari penelitian terdahulu yang menunjukkanbahwa model pembelajaran ini mampu menanamkankarakter kepada siswa.

I. METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah penelitian

pengembangan. Produk yang dikembangkan berupaperangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis ModelPembelajaran Pemaknaan pada materi InduksiElektromagnetik untuk melatihkan keterampilan prosessains dan menanamkan karakter siswa SMP. Modelpengembangan yang digunakan mengacu pada model4-D (four D models), yaitu Define (pendefinisian),Design (perancangan), Develop (pengembangan), andDisseminate (penyebaran). Tahap disseminate tidakdilakukan karena penelitian ini untuk keperluan gurusendiri, dimana hasil pengembangannya diterapkan disekolah sendiri.

Rancangan penelitian pada uji coba I dan ujicoba II menggunakan One Group Pretest – PostestDesign yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan Rancangan PenelitianOne Group Pretest – Postest Design.

TesAwal

TesAkhir

1. KBM tiap RPP2. Guru mengajar

menggunakanperangkat pembelajaranmodel pemaknaan

3. Pengamatan aktivitassiswa, respon siswaketerampilan prosessains dan sensitivitasmoral

Page 65: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 196

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian inimeliputi: (1) Variabel-variabel yang terkait dengankualitas perangkat pembelajaran, yaitu (a) validitasperangkat, (b) tingkat keterbacaan perangkat, dan (2)Variabel-variabel terkait proses dan hasil belajar siswa,yaitu (a) keterlaksanaan pembelajaran, (b) aktivitassiswa, (c) hasil belajar, (d) keterampilan proses sains,dan (e) respon siswa.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian inimeliputi: (1) Instrumen Penilaian Kualitas PerangkatPembelajaran, yaitu (a) Instrumen Lembar Validasiperangkat, (b) Instrumen Keterbacaan BAS, dan (2)Instrumen Penilaian Proses dan Hasil Belajar, yaitu (a)Instrumen Lembar Pengamatan Keterlaksanaan RPP,(b) Instrumen Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa, (c)Instrumen Lembar Pengamatan Keterampilan ProsesSains Siswa, (d) Instrumen Lembar Respon Siswa, (e).Instrumen Tes Hasil Belajar, serta (f) InstrumenLembar Penilaian Sensitivitas Moral

II. HASIL DAN PEMBAHASANPenelitian ini dilaksanakan di SMPN 2 Kota

Mojokerto, Jawa Timur, di kelas 9I, 9A, dan 9H,dibantu empat observer yaitu Eny Trisiawati S.Pd,Nanik Zubaidah S.Pd, Anik Yuli Widyastuti S.Pd danPoedji Rahajoe S.Pd. Hasil dan diskusi dari ketigatahap penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut.A. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang dikembangkanadalah perangkat pembelajaran berorientasikan ModelPembelajaran Pemaknaan untuk melatihkanketerampilan proses sains dan mengembangan karakterpada siswa SMP. Perangkat pembelajaran yang telahdikembangkan dalam penelitian ini meliputi: (1)Silabus, (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),(3) Buku Ajar Siswa (BAS), (4) Lembar KegiatanSiswa (LKS), (6) Lembar Penilaian Hasil Belajar(LPHB), dan (7) Lembar Penilaian Keterampilan ProsesSains.Hasil Validasi dan Uji Keterbacaan PerangkatPembelajaran

No Nama Perangkat Kategori1 Silabus Sangat

Baik2 RPP3 LKS4 BAS Validasi

Keterbacaan5 THB Kognitif Cukup

ValidAfektif MoralKnowingAfektif MoralFeelingPsikomotorKEPROS Valid

Hasil penilaian validator menunjukkan bahwa semuaperangkat pembelajaran yang telah dikembangkanlayak untuk diimplementasikan dalam kelas uji coba.B. Keterlaksanaan Perangkat Pembelajaran (RPP)

Data keterlaksanaan pembelajaran disajikandalam tabel berikut.

Hasil observasi keterlaksanaan RPPPersentaseKeterlaksanaan

Kategori

9I 9A 9HPendahuluan 97,2 100,0 100,0 Sangat

BaikKegiatan Inti 97,6 99,4 98,6Penutup 97,9 95,8 100,0Berdasarkan tabel tersebut bahwa fase-fase pada ketigaRPP terlaksana dengan sangat baik. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa instrumen yang dikembangkanuntuk pengamatan keterlaksanaan RPP dikategorikansangat baik karena berada di atas 75%.

Keterlaksanaan pembelajaran mencerminkanbahwa rencana pembelajaran telah dirancang denganbaik. Salah satu peran guru yang intensional ialahberfungsi sebagai perancang pengajaran, yang denganhati-hati merencanakan kemampuan baru apa saja yangakan diperoleh pembelajar (Slavin, 2011).

Pelaksanaan pembelajaran di kelas adalahbentuk miniatur pelaksanaan kurikulum. Akbar Sa'dun(2013) menyatakan bahwa keterlaksanaan kurikulum(competency based) dalam pembelajaran di dalam kelassangat ditentukan oleh kemampuan guru untukmengembangkan perangkat pembelajaran yaknipengembangan silabus, buku ajar, sumber dan mediapembelajaran, model pembelajaran, instrumen asesmen,dan RPP.C. Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran

Aktivitas siswa adalah tingkah laku pedagogis-konstruktif siswa yang muncul dan teramati selamakegiatan belajar mengajar. Aktivitas siswa diukurdengan tujuan untuk mendeskripsikan perilaku visualsiswa selama mengikuti pembelajaran IPA Fisikaberbasis model pembelajaran pemaknaan.Hasil pengamatan aktivitas per komponen dapatdilihat pada tabel berikut

Aktivitas PersentaseKatego

ri1.Mendengar penjelasan guru 93 93 93 Aktif2.Membaca LKS/ materi ajar 68 68 70 Aktif3.Berdiskusi antar siswa/guru 78 75 70 Aktif4.Melakukan pengamatan 73 75 73 Aktif5.Mengerjakan LKS 75 75 73 Aktif6.Merumuskan kesimpulan 80 80 78 Aktif

Rata-rata Aktif

Berdasarkan skor pada tabel di atas dapatdisimpulkan bahwa keseluruhan komponen aktivitasdiikuti siswa dengan aktif selama pembelajaranberlangsung.

Aktivitas siswa menggambarkan tingkatmotivasi siswa selama pembelajaran. Semakin aktifsiswa mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran,menunjukkan semakin tinggi motivasi siswa terhadapmodel pembelajaran yang digunakan. Skor pengamatanaktivitas yang cukup tinggi tersebut menunjukkanbahwa pembelajaran model pemaknaan menyenangkansiswa. Siswa berada dalam suasana joyfull learningselama pembelajaran.

Menurut Model SPICES hybrid curricula(Ibrahim, 2008), salah satu ciri inovasi pembelajaranadalah bila terjadi perubahan paradigma pembelajarandari teacher centered mengarah ke student centered.

Page 66: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 197

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

Aktivitas siswa dalam berdiskusi, melakukanpraktikum, melakukan pengamatan, dan seterusnyaselama pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwamodel pembelajaran pemaknaan merupakan salah satumodel pembelajaran inovatif.D. Ketuntasan Hasil Belajar1. Ketuntasan hasil belajar kognitif

Tes hasil belajar kognitif dilakukan untukmengukur ketercapaian kompetensi siswa ranahkognitif sesuai dengan indikator.Tabel Hasil Penilaian Kognitif

Keterangan 9I 9A 9HU1 U2 U1 U2 U1 U2

Nilai Rata-rata 45 88 38 86 37 88

Nilai Minimal 23 67 20 67 17 67

Nilai Maks 67 100 67 97 57 100

Jml TidakTuntas

37 4 35 4 36 4

Jml Tuntas 0 33 0 31 0 32

Ketuntasan 0 89 0 89 0 86

Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada peningkatanrata-rata hasil belajar yang signifikan pada tiap-tiapkelas. Ketuntasan klasikal lebih dari 75%. Hal itumenunjukkan bahwa secara klasikal pembelajarandikategorikan tuntas karena ketuntasan klasikalnyalebih dari 75%. Terdapat masing-masing 4 siswa yangbelum mencapai ketuntasan individual pada Uji Coba IImaupun pada Replikasi. Siswa yang belum mencapaiketuntasan memperoleh nilai pada kisaran 67 sampai73, nilai yang tidak terlalu jauh dari KKM (75). Setelahmelalui penelusuran lebih lanjut, mereka masihmengalami kesulitan pada soal-soal hitungan. Hasilpenilaian menunjukkan bahwa semua butir soalmemiliki sensitivitas di atas 0,3. Indikator yangmencapai ketuntasan mencapai 82,4%. Indikator yangmencapai ketuntasan adalah indikator 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,8, 10, 14, 15, 16, dan 17. Indikator yang belummencapai ketuntasan adalah indikator 9, 12, dan 13.

Hasil penilaian di kelas IX A menunjukkanbahwa semua butir soal memiliki sensitivitas di atas0,3. Indikator yang mencapai ketuntasan mencapai88,2%. Indikator yang mencapai ketuntasan adalahindikator 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 14, 15, 16, dan 17.Indikator yang belum mencapai ketuntasan adalahindikator 12, dan 13.

Ditinjau dari ranahnya, soal yang tidak tuntasdalam kategori C2-C3 dan termasuk jenis pengetahuankonseptual. Ketidaktuntasan indikator nomor 9 (soalnomor 18) karena siswa masih kesulitan membaca soalyang bersifat kompleks, kalimat soal terlalu panjangdan adanya kata negasi "tidak" (meskipun kata "tidak"sudah digaris bawahi dan ditebalkan). Ketidaktuntasanindikator nomor 12 (soal nomor 22) karena sebagiansiswa belum bisa menterjemahkan soal-soal denganstem panjang. Sebagian siswa masih sulit merangkummaksud pertanyaan. Siswa juga masih terkendalamemahami istilah step up dan step down padatransformator bila dikaitkan dengan arus listrik.Kendala tambahan dalam soal ini adalah istilah Kp danKs untuk menyatakan kumparan primer dan kumparansekunder. Pada pembahasan di buku ajar digunakanistilah Np dan Ns untuk menyatakan jumlah lilitan

primer dan sekunder. Sebagian siswa belum mengertijika pada umumnya gambar transformator, lilitanprimer selalu digambar di sebelah kiri dan lilitansekunder digambar di sebelah kanan. Jadi seharusnyameskipun singkatan Np-Ns diganti Kp-Ks, siswamengerti bagian-bagian lilitan itu dari posisinya, kiriuntuk bagian primer dan kanan untuk bagian sekunder.Ketidaktuntasan indikator nomor 13 (soal no 23) karenasebagian siswa mempunyai kecenderungan lebih mudahmenghafal rumus perbandingan lilitan transformatordengan soal berbentuk hitungan tetapi kurangmemahami konsep dasar perbandingan lilitantransformator.

Secara klasikal indikator pencapaian KD dalamkategori tuntas karena ketuntasan klasikalnya lebih dari75 %. Ketuntasan kompetensi dasar yang tercermin dariketuntasan indikator menunjukkan bahwa modelpembelajaran pemaknaan berhasil menuntaskan KDyang dibelajarkan. Salah satu kontributor keberhasilanpembelajaran adalah model pembelajaran sebagaikerangka berfikir dalam mengembangkan perangkatpembelajaran. Hal itu sesuai dengan pendapat (Arends,1997) bahwa model pembelajaran adalah kerangkaberfikir yang menuntun perancang pembelajaran danguru merencanakan pembelajaran sertamengimplementasikannya di kelas dalam bentuk prosesbelajar mengajar untuk mencapai hasil belajar(kompetensi) yang telah dirumuskan. Modelpembelajaran pemaknaan sebagai acuan peneliti dalammengembangkan perangkat pembelajaran berhasildiimplementasikan dalam pembelajaran.

Model pemaknaan membawa siswa belajardalam zona belajarnya. Guru berhasil memberikanbimbingan sehingga siswa mencapai ketuntasan belajar.Hal ini mengkonfirmasi bahwa model pemaknaandidukung oleh teori belajar sosial dari Vygotsky.Sebagaimana yang dinyatakan oleh Vigotsky bahwaanak akan berhasil dalam belajar bila ia berada dalamZone of Proximal Development. Fase ketiga modelpemaknaan, yakni guru membimbing penyelidikanmerupakan proses scaffolding yang diberikan gurusehingga siswa beranjak dari kemampuan potensialnyamenuju kemampuan aktualnya.2. Ketuntasan Hasil Belajar Psikomotor

Lembar pengamatan psikomotor siswa diisi olehpengamat ketika siswa melakukan eksperimen.Penilaian kemampuan psikomotor siswa dinilai secaraindividu. Skala penilaian antara 1-4, dengan kriteria 4bila dilakukan dengan benar dan tepat, 3 bila dilakukandengan benar tetapi lambat, 2 bila dilakukan tetapibelum benar, dan 1 bila tidak dilakukan.

Kegiatan eksperimen pada pertemuan pertamatentang GGL Induksi, aspek psikomotorik yang dinilaiadalah cek kuatan magnet, merangkai alat, merangkaigalvanometer, menggerakkan magnet dan membacagalvanometer. kegiatan eksperimen pada pertemuanketiga tentang transformator, aspek psikomotorik yangdinilai adalah merangkai transformator, merangkaivoltmeter, memilih transformator dan merangkaivoltmeter. Pertemuan kedua menggunakan eksperimenvirtuil berbasis PhET sehingga penilaian psikomotorik

Page 67: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 198

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

tidak dapat dilakukan. Rangkuman hasil penilaianpsikomotorik dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel Ketuntasan Individual PsikomotorikKeterangan 9I 9A 9H

Nilai Rata-rata 85,4 84,3 84,9

Nilai Minimal 72 66 69

Nilai Maksimal 94 94 94

Jml Tidak Tuntas 2 2 2

Jml Tuntas 35 33 34

Ketuntasan 94,6 91,4 94,4

Tabel Hasil Penilaian Aspek Psikomotorik

Aspek Yang diamati NilaiKet

9I 9A 9H

Cek Kekuatan Magnet 89 89 89 T

Merangkai Alat 82 79 81 T

Merangkai Galvanometer 84 83 83 T

Menggerakkan Magnet 84 83 83 T

Membaca Galvanometer 78 78 78 T

Merangkai Transformator 78 77 78 T

Merangkai Voltmeter 86 86 86 T

Memilih Tegangan Input 96 93 94 T

Membaca Voltmeter 90 89 90 T

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwaketuntasan klasikal kompetensi psikomotorik tiap-tiapkelas uji coba lebih dari 75%. Hal ini menunjukkanbahwa model pembelajaran pemaknaan dapatmembelajarkan kompetensi ranah psikomotorik.

Kompetensi ranah psikomotor meliputikompetensi yang dapat diraih dengan aktivitas yangmemerlukan gerak tubuh atau perbuatan, kinerja(performance), imajinasi, kreativitas, dan karya-karyaintelektual. Menurut Ibrahim (2004), hasil belajarpsikomotor adalah suatu keterampilan yang dapatdilakukan oleh seseorang dengan melibatkan koordinasiantara indera dan otot. Aspek utama belajar motorikadalah tercapainya otomatisasi melakukan gerakan(Sudjana, 2005).3. Ketuntasan Hasil Belajar Afektif (Sensitivitas

Moral) SiswaTes hasil belajar afektif (sensitivitas moral)

siswa meliputi THB pengetahuan moral (moralknowing), THB perasaan moral (moral feeling), danTHB pengetahuan moral (moral acting). Pembahasanhasil ketiga THB tersebut diuraikan sebagai berikut.a. THB Pengetahuan Moral (moral knowing)

THB moral knowing bertujuan untukmengukur tingkat pengetahuan siswa tentang nilai-nilaimoral. Tes berbentuk soal pilihan ganda sebanyak 10butir soal. Jawaban siswa tidak dinilai benar-salah.Jawaban siswa dinilai secara gradual, skor 4 bila siswamemilih option paling mendekati pemaknaan konsepfisika dan skor 1 bila siswa memilih option yang tidakberhubungan dengan pemaknaan. Tes tersebutdilakukan sebanyak dua kali, yaitu pretest dan postest,masing-masing di kelas 9I, 9A, dan 9H.Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Knowing

Keterangan 9I 9A 9HNilai Rata-rata 90,5 92,3 90,5Nilai Minimal 80 85 80

Nilai Maksimal 100 100 100Jml Tidak Tuntas 0 0 0Jml Tuntas 37 35 36Ketuntasan 100 100 100

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa hasil tespengetahuan moral siswa mencapai 100 % atau dengankata lain semuanya tuntas. Nilai rata-ratanyamenunjukkan skor yang tinggi, lebih dari 90.Tabel Ketuntasan Indikator Penilaian MoralKnowing

No IndikatorProporsi Indikator Ket

9I 9A 9H

1.1 0,87 0,94 0,92 T1.2 0,83 0,91 0,89 T1.3 0,86 0,89 0,85 T1.4 0,91 0,94 0,99 T

Rata-rata 0,87 0,92 0,91

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil THBmoral knowing siswa dari 4 indikator pencapaian tujuanpembelajaran semuanya tuntas. Rata-rata proporsitujuan pembelajaran sebesar 0,87; 0,92; dan 0,91. Halini menunjukkan bahwa model pembelajaranpemaknaan yang menjadi basis pada penelitian inimampu digunakan untuk membelajarkan pengetahuanmoral (moral knowing).

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa 8 dari10 soal moral knowing memperoleh skor sensitivitaslebih dari 0,3. Hal ini berarti soal tersebut sensitifterhadap efek pembelajaran yang bertujuan untukmenanamkan karakter. Soal nomor 7 dan 8sensitifitasnya kurang dari 0,3, artinya soal tidaksensitif terhadap efek pembelajaran. Ada beberapaargumen yang menyebabkan sensitivitas butir soaltersebut rendah. Siswa sebagai makhluk sosial yangselama ini berinteraksi di lingkungan keluarga, sekolahdan masyarakat pasti telah menyerap nilai-nilai moraldari lingkungan sosialnya. Siswa telah belajar darilingkungannya nilai-nilai perilaku baik tidak-baik.Pengetahuan awal siswa tentang nilai-nilai moraltersebut menyebabkan mereka memperoleh skor relatifbaik pada pretest. Meskipun sensitivitas butir soalrendah, tetapi ada peningkatan proporsi jawaban tepatpada uji awal dan uji akhir. Peningkatan proporsijawaban tersebut menunjukkan bahwa siswa telahbelajar pengetahuan nilai-nilai moral selama mengikutipembelajaran dengan model pemaknaan.

Pendidikan karakter melalui tiga tahapan yaitumoral knowing, moral feeling dan moral acting. MoralKnowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur,yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuantentang nilai-nilai moral (knowing moral values),penentuan sudut pandang (perspective taking), logikamoral (moral reasoning), keberanian mengambilmenentukan sikap (decision making), dan pengenalandiri (self knowledge) (Kilpatrick, William dalamMegawangi, 2004). Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan kepada siswa untukmengisi ranah kognitif mereka.

Dalam penelitian ini jenis moral knowing yangdibelajarkan adalah pengetahuan tentang nilai-nilaimoral (knowing moral values). Pengetahuan nilai-nilai

Page 68: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 199

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

moral tersebut dikaitkan dengan pemaknaan konsepinduksi elektromagnetik.

Ketuntasan THB moral knowing padapenelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaranyang dikembangkan telah berhasil menginternalisasikanpengetahuan nilai-nilai moral siswa melalui pemaknaankonsep-konsep fisika. Namun demikian ketuntasanTHB moral knowing belum cukup sebagai tandakeberhasilan pendidikan karakter. Sebagaimanapendapat Rest (1995) bahwa kemampuan seseorangakan nilai-nilai moral terhadap berbagai fenomena disekelilingnya, sebenarnya masih merupakan tahap awalbagi penanaman moral bagi diri seseorang. Oleh karenaitu penilaian dilanjutkan dengan moral feeling danmoral acting.b. THB Perasaan Moral (moral feeling)

THB perasaan moral (moral feeling) bertujuanuntuk mengetahui sikap, perasaan, dan komitmen dirisiswa terkait nilai-nilai moral dari hasil pemaknaan. Tesini berusaha menggali perasaan siswa terhadap suatukisah kehidupan sehari-hari berkaitan dengan nilai-nilai moral yang mereka peroleh dari pemaknaan fisika.Disajikan cerita kehidupan, siswa diminta menuliskansikap mereka terhadap tokoh-tokoh cerita, menuliskannilai-nilai moral dalam cerita itu dan menuliskankomitmen diri-mereka sendiri untuk melakukannya.Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Feeling

Keterangan 9I 9A 9HNilai Rata-rata 96,5 96,9 94,9Nilai Minimal 88 79 75Nilai Maksimal 100 100 100Tidak Tuntas 0 0 0Jml Tuntas 37 35 36Ketuntasan 100 100 100

Berdasarkan rangkuman hasil penilaian moral feelingpada tabel di atas terlihat bahwa semua siswa mencapaiketuntasan. Nilai THB moral feeling berupa laporandiri menunjukkan nilai lebih dari 75 yang berarti di atasKKM 75.Tabel Hasil Penilaian Aspek Moral Feeling

Aspek Yang Dinilai 9I 9A 9H Ket

Sikap/penilaian terhadapsuatu kisah kehidupan

96 99 98 T

Menangkap nilai moral darisuatu kisah kehidupan

97 99 96 T

Komitmen diri pada nilaimoral yang diperoleh

97 93 90 T

Tabel tersebut menunjukkan semua aspek penilaiandinyatakan tuntas. Aspek sikap/penilaian terhadap suatukisah kehidupan tampak pada baris pertama tabel dansemuanya tuntas. Aspek menangkap nilai moral darisuatu kisah kehidupan pada baris kedua tabel dansemuanya tuntas. Aspek komitmen diri pada nilai moralyang diperoleh pada baris ketiga tabel dan semuanyatuntas.

Moral feeling merupakan penguatan aspekemosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter setelahmereka menguasai moral knowing. Penguatan iniberkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harusdirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri,percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap deritaorang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the

good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati(humility) (Kilpatrick, William dalam Megawangi,2004).

Pada penelitian ini, moral feeling yangdikondisikan pada siswa selama pembelajaran adalahpercaya diri (self esteem) dan kepekaan terhadap deritaorang lain (emphaty). Hasil tes THB moral feelingmenunjukkan bahwa hati siswa telah tersentuh untukmencintai nilai-nilai moral yang telah mereka pelajari.Cerita kehidupan yang disajikan telah berhasilmengetuk hati siswa sehingga mereka menuliskanlaporan diri yang berisi komitmen untuk melaksanakannilai-nilai moral. Ketuntasan THB moral feelingmembuktikan bahwa perangkat pembelajaran yangdikembangkan dengan model pemaknaan berhasilmeningkatkan kecintaan siswa akan nilai-nilai moralyang telah mereka ketahui.c. Hasil Penilaian Afektif Moral Acting

Penilaian ranah afektif sensitivitas moral jenismoral acting bertujuan mengukur sejauh mana siswamempraktikkan nilai-nilai moral yang mereka perolehselama pembelajaran. Aspek yang diamati meliputijujur, peduli, tanggung jawab, bertanya, menyumbangide, pendengar yang baik, berkomunikasi, dansensitivitas moral.Tabel Rangkuman Hasil Penilaian Moral Acting

Keterangan 9I 9A 9HNilai Rata-rata 83,0 85,2 83,9Nilai Minimal 65 65 56Nilai Maksimal 94 96 98Tidak Tuntas 3 2 5Jml Tuntas 34 33 31Ketuntasan 92,9 94,3 88,6

Berdasarkan rangkuman hasil penilaian moral actingpada tabel tersebut terlihat bahwa ketuntasan klasikallebih dari 75%. Pada masing-masing kelas uji cobaterdapat 3, 2, dan 5 anak yang belum mencapaiketuntasan. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagiankecil (<10%) anak yang tuntas moral knowing danmoral feeling-nya tidak menunjukkan ketuntasan padamoral acting-nya. Sebagian besar (>90%) anak yangbagus moral kowing dan moral feeling-nyamenunjukkan sikap moral yang positif danteraktualisaikan dalam bentuk moral acting. Hal inisesuai pendapat Azwar (2000) yang mengajukanpostulat konsistensi, dimana sikap moral merupakanhasil evaluasi dari pengetahuan moral, perasaan moral,dan tindakan moral.Tabel Hasil Penilaian Aspek Moral Acting

Aspek Yang Dinilai 9I 9A 9H Ket

Jujur 100 100 100 T

Peduli 82 85 84 T

Tanggung Jawab 82 85 81 T

Bertanya 74 79 74 TT

Menyumbang Ide 77 85 76 T

Pendengar yang Baik 81 83 82 T

Berkomunikasi 85 86 87 T

Sensitivitas Moral 83 79 87 T

87,5Berdasarkan tabel di atas sebagian besar aspek

yang diamati tuntas atau memperoleh skor diatas 75.Aspek yang belum menunjukkan ketuntasan adalah

Page 69: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 200

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

aspek bertanya. Meskipun aspek tersebut belum tuntas,namun skor yang ditunjukkan sudah mendekati KKM75. Sehingga boleh dikatakan bahwa tujuanpembelajaran terkait aspek bertanya sudah cukupberhasil.

Moral Acting adalah outcome dari pendidikankarakter setelah melalui fase moral knowing dan moralfeeling. Ketuntasan THP penilaian afektif sensitivitasmoral menunjukkan bahwa perangkat pembelajaranyang dikembangkan dengan model pemaknaan berhasilmenanamkan karakter positif pada siswa. Hal ini sesuaipendapat Blazi (1995), bahwa proses integrasi nilai-nilai moral selain selain terjadi secara alami juga dapatditanamkan (cultivated). Schulz, L.H., Barr, D.J., &Selman, R.L., 2001 menyebutkan bahwa perubahantingkah laku bisa dilakukan melalui proses belajar.Penelitian ini membuktikan secara empiris bahwaperubahan tingkah laku dapat ditanamkan melaluipembelajaran menggunakan model pemaknaan. Modelpembelajaran pemaknaan menanamkan karakter dengancara yang logis karena didasari pemaknaan fakta sains.Sebagaimana pendapat Megawangi (2004), bahwakarakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak,maka ketiga tahapan moral knowing, moral feeling, danmoral acting perlu disuguhkan kepada siswa melaluicara-cara yang logis, rasional, dan demokratis.Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuahkarakter dan bukan topeng. Hal ini menjadi pentingkarena karakter yang merupakan bagian dari soft skillmerupakan penentu penting bagi kesuksesan anakdikemudian hari. Berkowiwiz dan Goleman (1995)telah melakukan penelitian bahwa keberhasilanseseorang ditentukan hanya 20% kecerdasanintelektualnya sedangkan 80% ditentukan faktor lain(diantaranya soft skill).E. Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains.

Penilaian keterampilan proses sains pada materiinduksi elektromagnetik dilakukan oleh pengamatselama pembelajaran menggunakan lembar penilaianketrampilan proses. Aspek keterampilan proses sainsyang dinilai meliputi merumuskan masalah,mengajukan hipotesis, identifikasi variabel (kontrol,manipulasi, dan respon), melakukan percobaan,melakukan analisis, dan menarik kesimpulan.Tabel Rangkuman Hasil Penilaian KetrampilanProses

Keterangan 9I 9A 9HNilai Rata-rata 85,1 81,3 85,2Nilai Minimal 60 76 74Nilai Maksiml 93 93 93Tidak Tuntas 1 0 1Jml Tuntas 36 35 35Ketuntasan 97,3 100 97,2

Berdasar tabel di atas dapat dideskripsikanbahwa secara klasikal siswa dinyatakan tuntas, karenaketuntasan klasikalnya lebih dari 75%. Masih terdapatsiswa yang tidak tuntas, satu siswa kelas 9I dan satusiswa kelas 9H. Kedua siswa tersebut cenderung pasifpada saat kegiatan pembelajaran, terutama pada saatpraktikum dan menganalisis hasil percobaan.Diperlukan motivasi lebih kuat lagi untuk mendorongkeduanya agar lebih aktif.

Tabel Rangkuman Hasil Penilaian AspekKeterampilan Proses

Kegiatan Yang Diamati Nilai Ket9I 9A 9H

Merumuskan maslah 98 91 97 T

Mengajukan Hipotesis 98 91 97 T

Identivikasi V kontrol 78 76 79 T

Identifikasi VManipulasi

87 78 88 T

Identifikasi V Respon 77 76 79 T

Melakukan Percobaan 76 75 76 T

Melakukan Analisis 76 73 75 T

Menarik Kesimpulan 98 91 97 T

Rata-rata 86 81 86

Ketuntasan Klasikal (%) 100

Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwakemampuan keterampilan proses sains lebih dari atausama dengan 75%. Artinya ditinjau dari KKM 75, makakedelapan aspek keterampilan proses tersebut dapatdikatakan tuntas. Rata-rata ketercapaian tujuanpembelajaran pada tiap-tiap kelas sebesar 86,0 % ; 81,4% dan 86,0 %

Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwamodel pembelajaran pemaknaan juga dapatmengembangkan keterampilan proses sains.Keterampilan proses sains penting dibelajarkan karenadapat mengembangkan sikap ilmiah layaknya karaktersaintis pada diri siswa. Menurut Dahar (1985:11),Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah kemampuansiswa untuk menerapkan metode ilmiah dalammemahami, mengembangkan, dan menemukan ilmupengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswasebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiahdalam mengembangkan sains serta diharapkanmemperoleh pengetahuan baru/ mengembangkanpengetahuan yang telah dimiliki.

Diagram kesesuaian ketuntasan kognitif,psikomotor, afektif (sensitivits moral), danketerampilan proses sains pada uji Coba II digambarkanseperti gambar berikut.

Grafik Kesesuaian Ketuntasan Kognitif,Psikomotor, Afektif (Sensitivits Moral) dan KPSpada Uji Coba II.

Berdasarkan grafik di atas bahwa secaraindividual hasil penilaian pembelajaran ranah kognitif,afektif, dan psikomotorik pada Uji Coba II mencapaiketuntasan (97,3%). Secara klasikal, pembelajarandapat disimpulkan tuntas, karena ketuntasanklasikalnya melebihi 80%. Hal ini menunjukkan bahwapembelajaran dengan model pemaknaan telah berhasilmengantarkan siswa mencapai kompetensi yangdirencanakan.

Page 70: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 201

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

F. Respon Siswa Terhadap Proses PembelajaranHasil angket respon siswa terhadap seluruh

komponen pembelajaran disajikan pada Tabel 4.54,Tabel 4.55, dan Tabel 4.56 di Bab IV. Rangkumanterhadap hasil angket respon siswa terhadappembelajaran disajikan pada tabel berikut ini.Tabel Rangkuman Hasil Respon Siswa TerhadapPembelajaran

Aspek yang direspon 9I 9A 9H1. Perasaan senang terhadap

perangkat pembelajaran 96,9 97,1 95,82. Pendapat baru terhadap

perangkat pembelajaran 88,8 88,1 86,13. Minat mengikuti KBM

berikutnya dengan modelpembelajaran yang sama 89,2 97,1 94,4

4. Pendapat tentang LKS 92,6 85,7 85,45. Perasaan senang terhadap

suasana pembelajaran91,9 100,0 91,7

Persentase 92,1 91,7 90,0Pada tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata lebih dari90% siswa memberikan respon positif terhadappelaksanaan pembelajaran dan perangkat pembelajaranyang dikembangkan.

Uraian respon siswa per aspek terhadap prosesdan perangkat pembelajaran di kelas 9I dapatdipaparkan sebagai berikut. Rata-rata sebesar 96,9%siswa merasa senang tehadap materi pelajaran, lembarkegiatan, siswa buku ajar siswa, suasana belajar, caraguru mengajar, dan fase pemaknaan. Fakta menarikbahwa, sebanyak 97,3% siswa senang terhadap fasepemaknaan, meskipun fase pembelajaran itu merupakansesuatu yang baru bagi siswa. Fase pemaknaan yangmerupakan ciri khas dari model pembelajaran inidirespon positif oleh hampir semua siswa.

Rata-rata sebesar 88,8% siswa merasa barutehadap materi pelajaran, lembar kegiatan, buku ajarsiswa, suasana belajar, cara guru mengajar, dan fasepemaknaan. Respon yang persentasenya agak rendah(75,7%) diberikan kepada siswa terhadap kebaruan caramengajar guru. Hal ini disebabkan oleh peneliti yangyang meneliti di kelas yang selama ini diajarnya.Sintaks model pembelajaran pemaknaan yang berbasiskonstruktivistik sebagian besar sudah diterapkan gurudalam praktik pembelajaran sehari-hari jauh sebelumpenelitian ini dilakukan, sehingga sebagian siswamenganggapnya cara guru mengajar bukan sebagai halbaru.

Secara garis besar respon yang diberikan siswaterhadap pembelajaran ini adalah siswa merasa senangterhadap cara mengajar guru, suasana belajar, modelpembelajaran yang diterapkan, dan perangkatpembelajaran yang digunakan. Siswa setuju bila modelpembelajaran pemaknaan digunakan untukmembelajrkan materi-materi berikutnya. Sebagiansiswa menganggap bahwa cara mengajar dan suasanabelajar yang diterapkan guru bukan hal yang barukarena hal itu sudah diterapkan guru padapembelajaran-pembelajaran sebelum penelitian.

Respon positif siswa terhadap model pemaknaanpada penelitian ini, yakni lebih dari 90%, menguatkan

hasil penelitian sebelumnya, Habibi (2009) yang dimuatdalam Jurnal Penelitian Universitas Wiraraja Sumenepbahwa persentase respon positif siswa terhadap ModelPemaknaan sebesar 94%.G. Temuan Penelitian

Tujuan akhir penelitian ini adalah menghasilkanproduk perangkat pembelajaran yang berkualitas padamata pelajaran IPA Fisika, pokok bahasan InduksiElektromagnetik mengacu Model PembelajaranInovatif IPA Melalui Pemaknaan (Model Pemaknaan).Produk perangkat pembelajaran yang dihasilkan adalah(1) Silabus, (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaransebanyak 4 eksemplar RPP mengacu modelpembelajaran pemaknaan untuk melatihkan sensitivitasmoral dan keterampilan proses sains, (3) Lembar KerjaSiswa sebanyak 3 eksemplar yang didesain sesuaitahapan keterampilan proses sains, (4) Buku Ajar Siswa(BAS) yang didesain untuk melatihkan sensitivitasmoral siswa melalui pemaknaan konsep fisika padatiap-tiap sub bab.

Kualitas perangkat pembelajaran yangdikembangkan didasarkan pada hasil uji kelayakan, ujikepraktisan dan uji keefektifan terhadap perangkattersebut. Berdasarkan analisis data penelitian, dapatdisimpulkan kelayakan, kepraktisan, dan keefektifanperangkat pembelajaran sebagai berikut.1. Kelayakan Perangkat Pembelajaran.

Ditinjau dari validitas dan keterbacaannya dapatdisimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yangdikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran.Bukti kelayakannya adalah:a. Validitas perangkat pembelajaran.

Kelayakan perangkat pembelajaran yangdikembangkan dinyatakan dengan penilaian validasioleh validator. Berdasarkan penilaian validator bahwasilabus, RPP, LKS, BAS, dan instrumen penilaiandinyatakan layak dan bisa digunakan dalampembelajaran. Skor masing-masing perangkatpembelajaran adalah, silabus: 4,00 dengan kategorisangat baik; RPP: 3,96 dengan kategori sangat baik;BAS: 3,92 dengan kategori sangat baik, LKS: 3,96dengan kategori sangat baik; THB Kognitif produk:3,43 dengan kategori cukup valid, THB Psikomotor:3,00 dengan kategori cukup valid; THB Afektif moralknowing: 3,00 dengan kategori cukup valid; THBmoral feeling: 3,00 dengan kriteria cukup valid; THBKeterampilan proses: 4,00 dengan kategori valid.b. Keterbacaan Buku Ajar

Keterbacaan BAS sebesar 90%, artinya dari 50rumpang pada BAS rata-rata 45 rumpang diisi sampelsiswa dengan kata yang benar. Hal ini dapatdisimpulkan bahwa BAS cukup mudah dipahami olehsiswa.2. Kepraktisan Perangkat Pembelajaran.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkandapat disimpulkan bersifat praktis. Kepraktisannyadibuktikan dari keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa danminimnya hambatan selama imlementasi perangkattersebut dalam pembelajaran. Secara empiris buktikepraktisannya disimpulkan sebagai berikut.a. Keterlaksanaan perangkat pembelajaran

Page 71: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 202

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

Kualitas keterlaksanaan fase-fase modelpembelajaran pemaknaan pada pertemuan pertama96,9%, pertemuan kedua 99,0%, dan pertemuan ketiga96,9%. Hal itu menunjukkan bahwa fase-fase padaketiga RPP tersebut terlaksana dengan sangat baik.

Reliabilitas instrumen pengamatanketerlaksanaan RPP tersebut masing-masing sebesar0,9; 0,9; dan 0,9 atau rata-rata 0,90 (907%). Hasilketerlaksanaan pembelajaran pada Replikasi I danReplikasi II menunjukkan persentase yang hampir samadengan hasil keterlaksanaan pada Uji Coba II. Dengandemikian dapat dikatakan bahwa instrumen yangdikembangkan untuk pengamatan keterlaksanaan RPPdikategorikan sangat baik karena berada di atas 75%.b. Aktivitas siswa selama penerapan pembelajaran

Berdasarkan hasil pengamatan pada Uji Coba IIdiperoleh kesimpulan bahwa semua siswa selamapembelajaran berkategori aktif dan keseluruhan siswaberaktivitas relefan selama pembelajaran berlangsung.Semua aspek aktivitas meliputi: merespon informasiguru, membaca LKS/materi ajar, berdiskusi,mengamati, mengerjakan LKS, dan merumuskankesimpulan diikuti siswa dengan aktif. Hasil yang tidakjauh berbeda tentang aktivitas siswa selamapembelajaran diperoleh pada Replikasi I dan ReplikasiII.c. Hambatan yang dialami selama penerapan

pembelajaranHambatan dan kesulitan yang dialami peneliti

selama penerapan pembelajaran hampir tidak ada. Adabeberapa hambatan terkait dengan kemampuan awalsiswa dan keterbatasan alat praktikum tetapi bisa dicarisolusinya dengan seksama.3. Keefektifan perangkat pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang telahdikembangkan disimpulkan berhasil mengantarkansiswa mencapai ketuntasan tujuan pembelajaran. Hal itumengkonfirmasikan bahwa perangkat pembelajarantersebut efektif. Bukti empiris keefektifan perangkatpembelajaran tersebut adalah:a. Hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran

Hasil THB kognitif produk menunjukkan82,4% indikator mencapai ketuntasan dan 100% butirsoal sensitifitasnya di atas 0,3 yang berarti pekaterhadap efek pembelajaran. Hasil THB psikomotormenunjukkan 94,6% siswa mencapai ketuntasan. HasilTHB keterampilan proses mencapai 97,3% mencapaiketuntasan. Hasil yang hampir sama tentang hasilbelajar siswa diperoleh pada Replikasi I dan ReplikasiII.b. Hasil penilaian penanaman karakter siswa

Penanaman karakter siswa telah mencapaikeberhasilan. Hal itu dibuktikan dengan hasil THBmoral knowing 100% tuntas dengan nilai rata-rata90,5. Hasil THB moral feeling mencapai 100% tuntasindividual dengan nilai rata-rata 96,5%. Hasil THBmoral acting mencapai 92,9% ketuntasan individualdengan 87,5% aspek yang diamati mencapaiketuntasan. Hasil yang hampir sama tentang hasilpenanaman siswa diperoleh pada Replikasi I danReplikasi II.c. Respon siswa terhadap penerapan model

pembelajaran pemaknaanRespon siswa menunjukkan bahwa siswa

menyenangi dan menerima proses pembelajaranmenggunakan model pemaknaan beserta perangkatpembelajaran yang dikembangkan. Sebanyak 92,1%siswa memberikan respon positif terhadap pelaksanaanpembelajaran dan perangkat pembelajaran yangdikembangkan. Sebanyak 100% siswa senang terhadapfase pemaknaan, yang merupakan ciri khas dari modelpembelajaran pemaknaan. Respon serupa diperolehpada Replikasi I dan Replikasi II.

IV. PENUTUPA. Simpulan

Sesuai dengan hasil dalam penelitian inidisimpulkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Fisikadengan Model Pemaknaan layak, praktis, dan efektifuntuk melatihkan keterampilan proses sains danmenanamkan karakter pada siswa SMP .B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk

mendapatkan masukan demi menyempurnakanperangkat pembelajaran IPA Fisika pokok bahasaninduksi elektromagnetik dengan model belajarpemaknaan untuk menanamkan karakter danmelatihkan keterampilan proses sains.

2. Perlu dilakukan lebih banyak lagi penelitian yangmengacu pada model pembelajaran pemaknaanuntuk melatihkan kepekaan siswa dalam memaknaifenomena alam guna memeroleh hikmah demimembentuk pribadi yang berkarakter. SebagaimanaAllah perintahkan "Berjalanlah di muka bumi, makaperhatikanlah bagaimana (Allah) memulaipenciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikankejadian yang akhir" (QS. Al-Ankabut ayat 20),yang mengandung makna bahwa manusia harusmengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruhfenomena kealaman sebagai pelajaran untuk meraihkebahagian hidupnya. Hal itu terkait bahwa"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumiserta peredaran malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)"(QS. Ali Imran (3);190).

DAFTAR PUSTAKAAbidin, Y. 2012. "Model Penilaian Otentik dalam

Pelajaran Membaca Pemahaman BerorientasiKarakter" Jurnal Pendidikan Karakter, Vol II,No 2 pp 164-177.

Abidinsyah, 2011. "Urgensi Pendidikan Karakter dalamMembangun Peradaban Bangsa yangBermartabat " Socioscientia Jurnal Ilmu-IlmuSosial, Vol III No 1.

Abruscato, J & DeRosa, D. A. 2010. Teaching childrenscience-a discovery approach-7ed. Boston:Allyn & Bacon.

Adisusilo, S. 2011. Pembelajaran Nilai Karakter.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Afandi, R. 2011. "Integrasi Pendidikan Karakter dalamPembelajaran IPS di Sekolah Dasar " Pedagogia

Page 72: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 203

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

Jurnal Pendidikan, Vol I, No 7 pp 65-98.Akbar, S. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran.

Bandung: Rosdakarya.Arends, I. Richard. 1997. Learning to Teach. New

York: Mc. Graw Hill Companies, Inc.Azwar, S. 2013. Sikap Manusia Teori dan

Pengukurannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.Bassioury, A dan Aish, EMA. 2008. "The Impotance

Character Education for Tweens as Consumers"Journals of Research in Character Education,Vol 6, No2, PP 37-61.

Bell-Gredler, Margaret E. 1994. Learning andInstruction: Theory into Practice. New York:Mac Milan Publishing Company.

Benninga, J & Marvin, W. 2003. "The Relationship ofCharacter Education Implementation andAcademic Achievement in Elementary Schools"Journal of Research in Character Educations,Vol 1, No I pp 19-32.

Berkowitz, M. 2007. "What Work in CharacterEducation"Journal of Research in CharacterEducation, Vol 5, No 1 pp 29-48.

Bier M.C & Berkovitz, M.W. 2005. "What Work inCharacter Education" Pro Quest EducationJournals Vol 34, No 2 PP 7-13.

Carin, A. W. 1993. Teaching science throughdiscovery-7ed. New York: MacmillanPublishing Company.

Cekdim, C. & Barlian, T. 2013. Transmisi Daya Listrik.Jogjakarta: Andi Offset.

Chiappetta, E. L & Koballa, T. R., Jr. 2010. Scienceinstruction in the middle and secondary schools.Boston: Allyn & Bacon.

Collette, A. T. & Chiappetta, E. L. 1994. Scienceinstruction in the middle and secondary schools.NewYork: Macmillan.

Depdiknas. 2005. Pengantar Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta.

Fadillah, S, 2013. "Pembentukan Karakter SiswaMelalui Pembelajaran Matematika" JurnalPendidikan Matematika Paradikma, Vol 6, No 2PP 142-148.

Good. Carter.V. 1973. Dictionary of Education.McGraw-Hill Book Company.

Hacket, J. K. et al. 2008. Science-A closer look. NewYork. Macmillan/Mcgraw-Hill.

Hasanah, 2008. Pengembangan PerangkatPembelajaran Biologi dengan Model Inkuiri diSMA Nahdatul Ulama I Gresik. Tesis MagisterPendidikan, tidak dipublikasikan. Surabaya:Pascasarjana UNESA.

Howe, A. C & Jones, L. 1993. Engaging children inscience. New York: Macmillan PublishingCompany.

Habibi, 2009. Pengembangan Perangkat PembelajaranBiologi Berorientasi Model PembelajaranPemaknaan Untuk Mengajarkan KemampuanAkademik dan Sensitivitas Moral. TesisMagister Pendidikan, tidak dipublikasikan.Surabaya: Pascasarjana UNESA.

Ibrahim, M. 2002. Assesmen Berkelanjutan. Surabaya:Unesa University Press.

Ibrahim, M. 2008. Model Pembelajaran IPA InovatifMelalui Pemaknaan, Jakarta: Tim PenelitiBalitbang.

Ibrahim, M. Tanpa tahun. Pengembangan PerangkatPembelajaran. Direktorat Pendidikan LanjutanPertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasardan Menengah, Departemen PendidikanNasional.

Kardi, S. dan Nur, M. 2001. Pengajaran Langsung.Surabaya: Unesa-University Press.

Kemendikbud. 2010. Desain Induk PendidikanKarakter Bangsa. Jakarta: Lembaran Negara.

Kendall/Hunt. Rezba, R. J. et al. 2007. Learning andassessing science process skills. Iowa:Kendall/Hunt.

Kneller, George F. 1971. Foundation of Education.United State of America: John Wiley & Sons,Inc.

Martin, R. et al. 2005. Teaching science for allchildren-inquiry methods for constructingunderstanding. Boston: Pearson.

Megawangi, R. 2009. Pendidikan Karakter: SolusiYang Tepat Membangun Bangsa. Jakarta:Indonesia Heritage Foundation

Mulyasa, 2011. Manajemen Pendidikan Karakter.Jakarta: PT Bumi Aksara.

Munib, A. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan.Semarang: Unnes Press

Naim, Ng. 2012. Character Building: OptimalisasiPeran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu &Pembentukan Karakter Bangsa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Nucci, P. Larry. 2008. Handbook of Moral andCharacter Education. Chicago: University ofIllionis.

Nur, M. & Budayasa, K. (1998). Teori PembelajaranSosial dan Teori Belajar Perilaku. Surabaya:PPS Unesa.

Nurhadi 2003. Pendekatan Kontekstual (ContextualTeaching and Learning). Jakarta: Depdiknas.

Petruzella, D.F. 2001. Elektronik Industri (terjemahan).Jogjakarta: Andi.

Prabowo, 2013. "Pendidikan Fisika dalam UpayaMembentuk Manusia Indonesia Seutuhnya"Makalah Seminar Nasional, Lontar PhysicsForum, ISBN 978-602-8047-80-7.

Rezba, R. J. 1995. Learning and assessing scienceprocess skills. Iowa: Kendall/ HuntPublishing.Co

Runes, D, D., ed., Dictionary of Philosophy,Philisophical Library, New York, 1942.

Sartika, S.B. 2011. "Pengembangan PerangkatPembelajaran Fisika Berorientasi ModelPembelajaran Pemaknaan untuk MeningkatkanHasil Belajar dan sensitivitas Moral" PedagogiaJurnal Pendidikan, Vol I, No 6 PP 64-84.

Santrock. J. W. 2002. Life-Span Development:Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima).Jakarta: Erlangga.

Silaban, Pr. 2011. Artikel Tempo: Perilaku KorupsiBertentangan dengan Hukum Fisika.

Page 73: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 204

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Model Pemaknaan untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sainsdan Menanamkan Karakter

http://www.tempo.co diakses tanggal 6 Mei2013.

Slavin, E. 1994. Cooperative Learning, Teori, Riset danPraktik (terjemahan). Bandung: Nusa Media.

Teguh, B. 2009. Sifat Satria Utama dan Hasta Brata.Magelang: Penerbit Pustaka Wong Songo.

Page 74: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 205

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

PREVENSI MISKONSEPSI SISWA PADA KONSEP REAKSI REDOKSMELALUI MODIFIED INQUIRY MODELS

Wahyu Juli Hastuti1)

Suyono2)

Sri Poedjiastoeti3)

1)SMK Negeri 1 Bontang, Kalimantan Timur2)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya3)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Implementasi model modified inquiry bertujuan memprevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. Subjekpenelitian adalah siswa kelas X IPA 3, X IPA 5, dan X IPA 7 SMA Negeri 1 Sidoarjo. Penelitian dilakukan dengan menggunakanrancangan one group pretest posttest design. Instrumen yang digunakan adalah three-tier diagnostic test untuk menentukanmiskonsepsi siswa. Data diskrit dianalisis secara deskriptif, sedangkan data ordinal, dan interval dianalisis secara inferensial.Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan model modified inquiry telah berhasil memprevensimiskonsepsi siswa sebanyak 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), 64% (X IPA 7), dan telah meningkatkan hasil belajar secarasignifikan meskipun masih memerlukan pembelajaran remedial.

Kata Kunci: prevensi, miskonsepsi, reaksi redoks, modified inquiry.

Abstract: Implementation of a Modified Inquiry Model for is prevent students’ misconceptions on Redox Reactions. Researchparticipants were students of Science Class at grade X at SMAN 1 Sidoarjo. This study was conducted using One Group Pretestand Posttest research design. The instrument used is Three-tier Diagnostic Test to determine of students’ misconceptions.Discreate data was descriptively analyzed while ordinal and interval data was inferentially analyzed. Findings of this study showthat learning process using Modified Inquiry could successfully prevent 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), 64% (X IPA 7), student’smisconceptions and increase student’s learning achievement significantly, but still require remedial learning.

Keywords: prevention, misconception, redox reaction, modified inquiry.

PENDAHULUANHarapan peneliti sebagai seorang guru adalah

siswa mampu memahami, menerapkan, danmenganalisis pengetahuan faktual, konseptual,prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmukimia, penyebab fenomena dan kejadian, serta siswamampu menerapkan pengetahuan prosedural pada ilmukimia untuk memecahkan masalah. Harapan tersebutdapat tercapai apabila guru dalam proses belajarmengajar menggunakan metode, model maupun strategiyang berbasis penyingkapan (discovery) atau penelitian(inquiry) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,2013).

Menurut Wenning (2012) discovery dan inquirymerupakan bagian dari Level of Inquiry Model ofScience Teaching, yaitu serangkaian sikluspembelajaran dalam konteks siklus besar yangmencakup berbagai tingkat penelitian. Inkuirimendorong siswa untuk berpikir keras, yaitu gurumendorong siswa untuk bertindak seperti ilmuwandalam setting eksperimen yang lebih formal untukmenentukan suatu sistem. Siswa dilatih mengkonstruksisendiri konsep-konsep kimia dalam pemikirannya,melalui pembelajaran berbasis penelitian atau inkuiri.Siswa tidak dapat memahami konsep-konsep kimia,apabila siswa tidak dapat mengkonstruksinya secarabenar, atau bahkan siswa mengalami miskonsepsi.

Kenyataan adanya miskonsepsi pada siswa, telahdibuktikan dalam banyak penelitian antara lain Horton(2004), Wahyuningrum dan Suyono (2013), sertaYunianingsih dan Suyono (2013). Horton (2004)mengungkapkan miskonsepsi siswa hampir terjadi padasetiap konsep dalam kimia, yaitu struktur atom,stokiometri, larutan, reaksi kimia, energi dalam reaksikimia, kesetimbangan kimia, pembakaran, reaksi asambasa, reaksi oksidasi-reduksi (redoks), elektrokimia,model molekul, termodinamika dan ikatan kimia.Wahyuningrum dan Suyono (2013) mengungkapkanbahwa miskonsepsi siswa pada konsep struktur atomberhasil diprevensi dengan strategi Process OrientedGuided Inquiry Learning (POGIL), meskipun masihmenyisakan miskonsepsi sebanyak 24,24%. PenelitianYunianingsih dan Suyono (2013) mengungkapkanmiskonsepsi siswa pada konsep ikatan kimia yangberhasil diprevensi dengan strategi POGIL, namunmasih ditemukan miskonsepsi siswa sebanyak 44%.Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat ditariksimpulan bahwa miskonsepsi siswa dapat terjadi dalammata pelajaran kimia.

Mata pelajaran kimia di kelas X SMA/MAmerupakan kelanjutan materi kimia yang terintregrasidalam mata pelajaran IPA di SMP/MTs yang terdiridari 4 kompetensi inti. Khusus untuk kompetensi intiyang berorientasi pada pengetahuan, terdiri dari 11kompetensi dasar (Kementerian Pendidikan dan

Page 75: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 206

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

Kebudayaan, 2013). Menurut Horton (2004), Chiu(2005), Reid (2008), Barke (2012), dan Al-Balushi etal. (2012), salah satu kompetensi dasar yang sulit padamata pelajaran kimia SMA adalah menganalisisperkembangan konsep reaksi oksidasi-reduksi sertamenentukan bilangan oksidasi atom dalam molekulatau ion, sehingga dimungkinkan terjadi miskonsepsipada konsep reaksi redoks.

Prevensi miskonsepsi siswa pada konsep reaksiredoks, dilaksanakan dengan menggunakan inkuiriseperti yang disarankan oleh Kementerian PendidikanNasional dan Kebudayaan dalam Kurikulum 2013.Menurut Brown et al. (dalam Opara and Oguzor, 2011)model pembelajaran dalam bidang science denganmenggunakan inkuiri, dibedakan menjadi tiga yaitu freeinquiry, modified inquiry dan guided inquiry.

Kelemahan model pembelajaran guided inquiryadalah kurang berhasil dalam kelas besar, karenasebagian waktu hilang untuk membantu siswamenemukan teori-teori atau siswa menunggu giliranuntuk memperoleh bantuan guru (Sund andTrowbridge,1973). Kelemahan model pembelajaranfree inquiry adalah kurang memungkinkan topik yangdipilih oleh siswa di luar konteks kurikulum(Suryobroto, 2009). Mengingat kelemahan masing-masing model pembelajaran free inquiry dan guidedinquiry tersebut, maka peneliti memilih modelpembelajaran modified inquiry.

Menurut Sund and Thorbridge (1973) modelpembelajaran modified inquiry mempunyai artimodifikasi antara free inquiry dan guided inquiry.Model pembelajaran modified inquiry adalah modelpembelajaran dengan cara guru memberi masalah,meminta siswa untuk melaksanakan penyelidikan, danguru berperan sebagai narasumber. Perbedaan antaraketiganya terletak pada peranan guru dan siswa dalamproses belajar mengajar.

Peranan guru dan siswa pada saat proseskegiatan belajar mengajar diperjelas denganmenggunakan serangkaian sintaks model pembelajaran.National Science Education Standards (NSES)mengungkapkan sintaks yang sangat jelas pada modelpembelajaran inkuiri yang dimulai denganpengungkapan fenomena oleh guru. Mengacu padasebuah fenomena tersebut, maka timbulah sebuahmasalah, dengan demikian diharapkan siswa dapatmembuat pertanyaan penelitian, memberikan jawabansementara terhadap pertanyaan penelitian,melaksanakan penelitian, menganalisis data yangdiperoleh dan membuat simpulannya. Sintaks dalammodel pembelajaran inkuiri yang dikemukakan olehNSES sejalan dengan model pembelajaran modifiedinquiry yang dikemukan oleh Brown et al. (dalamOpara and Oguzor, 2011).

Proses pembelajaran dengan menggunakanmodel pembelajaran modified inquiry dilanjutkandengan evaluasi pemahaman konsep yang diadopsi dariDhindsa dan Treagust (2009), Barke et al. (2009) danBarke (2012). Evaluasi pemahaman diharapkan dapatmengidentifikasi keberadaan miskonsepsi siswa padakonsep reaksi redoks, sehingga peneliti menggunakanthree-tier diagnostic test yang dikembangkan pertamakali oleh Eryilmaz dan Sumery pada tahun 2002. Three-tier diagnostic test merupakan suatu instrumen yangkhusus untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa,sebab selain siswa menjawab soal yang telah dibuat,siswa juga harus memberikan alasan yang menjelaskanatas jawaban yang telah dipilihnya, serta keyakinansiswa atas jawaban dan alasan yang telah dipilihnya.Alasan yang diberikan siswa dapat memberikangambaran pada guru tentang miskonsepsi yang dialamisiswa (Arslan et al., 2012).

Berdasarkan uraian kelebihan modelpembelajaran modified inquiry tersebut, maka penelitimelaksanakan penelitian tentang prevensi miskonsepsisiswa pada konsep reaksi redoks melalui modelpembelajaran modified inquiry.

METODE PENELITIANJenis penelitian yang digunakan adalah pra-

eksperimental, yaitu eksperimen yang dilakukan hanyapada satu kelompok saja, tanpa adanya kelompokpembanding. Desain penelitian ini menggunakanrancangan One Group Pretest-Posttest Design. Sasaranpenelitian adalah siswa kelas siswa kelas X IPA 3dengan replikasi tindakan diberlakukan terhadap siswayang duduk di kelas X IPA 5, dan X IPA 7 adalahpopulasi lain yang merupakan sumber data yangdigunakan untuk memverifikasi fakta yang diperolehdari fakta yang diperoleh dari kelas pertama (X IPA 3).Seluruh (total) siswa yang ada di kelas-kelas itudiposisikan sebagai sampel penelitian.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalampenelitian ini, antara lain: 1) Observasi dandokumentasi untuk memperoleh data penelitian selamaproses pembelajaran berlangsung yang dilakukan olehtiga orang pengamat yang sudah dilatih dalammenggunakan lembar pengamatan dengan benar, 2) Tespemahaman konsep berupa three-tier diagnostic testyang diadopsi dari Arslan et al. (2012) dengan kriteriasesuai pada Tabel 1, dan 3) Angket yang terdiri dari duajenis, yaitu angket faktor penyebab miskonsepsi, danangket penilaian diri untuk mendapatkan data mengenaikompotensi inti sikap spiritual masing-masing siswa.

Tabel 1 Kriteria Pengelompokan Konsepsi SiswaBerdasarkan Three-tier Diagnostic Test

Page 76: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 207

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

Teknik analisis data yang digunakan adalah datadiskrit dianalisis secara deskriptif, sedangkan dataordinal dan interval dianalisis secara inferensial denganmenggunakan Wilcoxon’s Signed Rank Test untukprofil prakonsepsi, dan profil konsepsi, serta Kruskal-Wallis Test dan Mann-Whitney Test untukketerlaksanaan pembelajaran, dan One Sampel T-Testuntuk hasil belajar.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Profil Prakonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi

RedoksPada data yang terdapat pada profil prakonsepsi

siswa setelah pretest yang disajikan pada Gambar 1,ditemukan persentase siswa TTK yang paling dominandi ketiga kelas, hal ini dimungkinkan sesuai denganpendapat Hakim et al. (2012) yang menyatakan budayasiswa-siswa Indonesia yang sering menjawab tidakyakin untuk sesuatu yang baru. Kenyataan inimenggambarkan keadaan yang wajar bagi siswasebelum mengikuti pembelajaran reaksi redoks.

Pada Gambar 1 selain ditemukan TTK, jugaditemukan MK1, MK2, dan MK3. Menurut Ibrahim(2012) miskonsepsi (MK1, MK2, dan MK3) yangterjadi pada siswa adalah sebuah kewajaran, karenapada dasarnya miskonsepsi tersebut adalah sebuahprakonsepsi (konsepsi awal) yang merupakan hasilpemahaman terhadap suatu fenomena alam (dalam halini konsep reaksi redoks) sebelum mempelajarinyasecara formal di sekolah. Sebagian dari pemahamantersebut sesuai dengan pemahaman yang dimiliki dandiyakini kebenarannya oleh para ilmuwan (sesuaidengan konsep ilmiah), namun banyak juga diantarapemahaman tersebut yang sama sekali berbeda dengankonsep ilmiah yang diakui kebenarannya. Prakonsepsipada seseorang akan hilang ketika diberikan pelajarankonsep yang sebenarnya.

(a) (b) (c)Gambar 1 Diagram Pastel Prakonsepsi Siswa Kelas

(a) X IPA 3, (b) X IPA 5, dan (c) X IPA 7

Suatu prakonsepsi dapat memicu terjadinyamiskonsepsi, sebab apabila suatu prakonsepsi tidakmudah berubah, dan siswa yang memiliki prakonsepsitersebut selalu kembali pada prakonsepsinya sendiri,meskipun telah diperkenalkan dengan konsep yangbenar, maka dapat disimpulkan siswa tersebutmengalami miskonsepsi. Mengingat prakonsepsimerupakan hasil pemahaman terhadap suatu fenomenaalam, sehingga dalam profil konsepsi hasil pretestbelum tepat apabila siswa dikatakan mengalamimiskonsepsi, namun lebih tepatnya adalah alternativeconceptions (Horton, 2004). Pendapat ini sesuai denganpendapat Piaget (dalam Suparno, 2001), yangmenyatakan setiap siswa mempunyai strukturpengetahuan awal (skema), walaupun terkadang skematersebut tidak cocok untuk tahap pemikiran pakar.Skema siswa tersebut tidak dapat dikatakan salahkarena skema tersebut merupakan pemahaman akansuatu kejadian sesuai dengan perkembanganpemikirannya.

B. Keterlaksanaan Sintaks Prevensi Miskonsepsidengan Menggunakan Model PembelajaranModified Inquiry

Sesuai dengan nasehat Gagne et al. (1988) dalamteori learning hierarchi, guru sebelum masuk dalamproses belajar-mengajar sebaiknya mengetahuikemampuan siswa dalam konsep prasyarat.Kemampuan prasyarat tersebut dapat diketahui olehguru dengan cara terlebih dahulu melaksanakan tesprasyarat, dengan menggunakan three-tier diagnostictest pada kemampuan yang mengambil jenis-jenismiskonsepsi yang ditemukan Horton (2004) danDhindsa dan Treagust (2009). Mengingat tes prasyaratmerupakan tes yang berfungsi untuk mengetahuiapakah siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang

Page 77: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 208

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

diperlukan untuk dapat mengikuti pelajaran berikutnya,maka tes prasyarat tersebut harus diberikan pada awalserangkaian pelajaran (Ischak dan Warji, 1987).Konsep-konsep prasyarat untuk belajar konsep reaksiredoks menurut Sukarmin (2004) adalah struktur atom,sistem periodik unsur dan ikatan kimia.

Hasil three-tier diagnostic test pada konsepprasyarat di ketiga kelas adalah persentase siswa TKmendominasi pada ketiga konsep prasyarat, meskipunmasih terdapat siswa MK pada konsep struktur atom,sistem periodik unsur dan ikatan kimia. Berdasarkankenyataan tersebut, peneliti berusaha untuk meluruskankonsep prasyarat siswa melalui kegiatan pendahuluanpada sintaks yang terskenariokan dalam RPP, sepertiyang disarankan oleh Gagne et al. (1988) tentangsebuah solusi alternatif untuk belajar prasyarat adalahdengan cara review.

Piaget (dalam Suparno, 2001) membedakanpengetahuan menjadi tiga macam , yaitu 1)pengetahuan fisis (physical experience), 2) pengetahuanmatematis-logis (logico-mathematical knowledge), dan3) pengetahuan sosial (social knowledge). Mengadopsidari pernyataan Piaget (dalam Suparno, 2001) yangmenyatakan pengetahuan yang akurat tidak dapatditurunkan langsung dari membaca atau darimendengarkan guru berbicara, serta pengetahuan fisis,matematis-logis, dan sosial diperoleh langsung darikonstruksi siswa sendiri, maka pada penelitimenggunakan model pembelajaran modified inquirysecara berkelompok.

Pembelajaran secara berkelompok memiliki efekpositif pada minat siswa, sikap bahkan prestasi dalambidang sains, sebab siswa yang kurang mampu dapatmemiliki kesempatan mencari bantuan temannya dalammenemukan konsep (Opara and Oguzor, 2011).Pendapat ini sesuai dengan Suparno (1997) yangmenyatakan pembelajaran secara berkelompok dapatmembantu siswa dalam mengkonstruksipengetahuannya. Kedua pendapat tersebut, juga sesuaidengan pendapat Saleh (2012) yang menyatakan dalampembelajaran secara berkelompok memungkinkansiswa untuk berinteraksi dengan teman sebayanyadalam mencapai tujuan. Kerja kelompok dapat jugabermanfaat untuk mengatasi atau mengurangikefakuman, karena siswa yang mampu diharapkandapat membimbing temannya yang kurang mampu.

Selain dapat meningkatkan kompetensi intipengetahuan, pembelajaran modified inquiry secaraberkelompok diharapkan juga meningkatkan salah satukompetensi inti sikap sosial yaitu demokratis,sebagaimana pernyataan Piaget (dalam Suparno, 2001)yaitu belajar bersama memungkinkan sikap kritis dansaling menukarkan perbedaan akan menantang siswa

untuk semakin mengoreksi dan mengembangkanpengetahuan yang telah dibentuknya.

Uraian tersebut didukung oleh hasil penilaianketiga pengamat yang menyatakan sintakspembelajaran modified inquiry telah berkualifikasisangat baik pada kedua pertemuan di ketiga kelas, danhasil analisis terhadap skor dari ketiga pengamatdengan menggunakan Kruskal-Wallis Test memperolehp-value lebih besar daripada nilai kritik baik padapertemuan I, maupun pertemuan II di ketiga kelas,sehingga dapat disimpulkan bahwa pengamatmempunyai pandangan yang sama mengenaiketerlaksanaan pembelajaran modified inquiry.

Kenyataan ini juga didukung oleh hasil Mann-Whitney Test yang menghasilkan p-value lebih besardari nilai kritik, sehingga dapat disimpulkan bahwaguru mampu mempertahankan kualitas pengajarandengan menggunakan model modified inquiry baikpada pertemuan I maupun pertemuan II di ketiga kelas.Berdasarkan uraian keterlaksanaan sintaks dalampembelajaran pertemuan I dan II dapat disimpulkanbahwa semua sintaks model pembelajaran modifiedinquiry yang mengadopsi dari National ScienceEducation Standart telah terlaksana dengan sangat baikdi ketiga kelas.

C. Profil Konsepsi Siswa Sesudah Pembelajarandengan Menggunakan Model Modified Inquiry

Profil konsepsi siswa yang dihasilkan setelahpembelajaran modified inquiry disajikan pada Gambar2. Pada Gambar 2 memberikan hasil bahwa secaraklasikal siswa telah memahami konsep reaksi redoksmencapai 60% di kelas X IPA 3, 48% di kelas X IPA 5,dan 64% di kelas X IPA 3. Penjelasan yang dapatdiberikan pada kenyataan ini adalah bermula dari modelmodified inquiry yang diterapkan. Siswa dilibatkansecara aktif (student centered) di dalam modelpembelajaran modified inquiry, dengan cara menuntutsiswa untuk menggali informasi untuk memahami suatukonsep melalui sebuah fenomena kehidupan sehari-hariyang sesuai dengan konsep yang dipelajari, sehinggafenomena atau gejala-gejala fisis tersebut dapatdijelaskan secara konseptual. Pada proses tersebutsiswa belajar mengalami dan mengaitkan pengetahuansebelumnya kedalam materi yang sedang dipelajari,serta siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya.Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diprediksibahwa peningkatan yang tajam pada siswa TK,dikarenakan siswa tersebut telah berhasilmengkonstruksi sendiri pengetahuan fisis, danpengetahuan logiko-matematisnya. Pengetahuantersebut dapat dikonstruksi siswa dengan caramengaitkan pengetahuan prasyarat dengan konsep

Page 78: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 209

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

reaksi redoks atau siswa berhasil melaksanakan prosesasimilasi dalam skemanya (Suparno, 2001).

Kenyataan masih ditemukan adanya siswa TTKpada konsep reaksi redoks, dimungkinkan karena selainmelibatkan konstruksi pengetahuan fisis, dalam konsepini juga harus melibatkan konstruksi pengetahuanmatematis-logis. Menurut Piaget dalam The Psychologyof Inteligence (dalam Suparno, 2001) menyatakanbahwa struktur matematis-logis, bukanlah sesuatu yangmenetap pada siswa, melainkan sesuatu yang terbentuksecara perlahan-lahan dalam perkembangannya. Padasiswa yang masih TTK dimungkinkan konstruksipengetahuan siswa tersebut belum tercapai atau tidakmempunyai waktu yang cukup pada prosespengkonstruksian tersebut. Pendapat Piaget ini sesuaidengan pendapat Opara and Oguzor (2011), yangmenyatakan pada dasarnya pembelajaran modifiedinquiry memerlukan waktu yang lama.

(a) (b) (c)Gambar 2 Diagram Pastel Konsepsi Siswa Sebelum

Pembelajaran Remedial di Kelas (a) X IPA3,

(b) X IPA 5, dan (c) X IPA 7

Selain faktor waktu, ada alasan lain yangmendasari masih ditemukannya miskonsepsi baik MK1,MK2, maupun MK3. Kemungkinan besar siswatersebut salah mengkonstruksi pemahamannya yangbermula dari miskonsepsi pada konsep prasyarat, ataualternative conceptions yang kembali meskipun sudahdiberikan pengetahuan yang benar. Sesuai denganpendapat Fowler (dalam Suparno, 2005) yangmenjelaskan bahwa penggunaan konsep yang salahpada prasyarat, akan menyebabkan terjadinyakekacauan konsep-konsep dan hubungan hierarkiskonsep-konsep yang tidak benar antara konsepprasyarat dengan konsep reaksi redoks, sehinggamengakibatkan siswa mengalami miskonsepsi yangberkelanjutan.

Kenyataan tersebut sesuai dengan pendapatHorton (2004) yang menyatakan apabila siswa

membangun pemahaman baru yang keluar dari konsep-konsep yang sudah mereka miliki (miskonsepsi padakonsep prasyarat dan prakonsepsi yang telahdimilikinya), maka tidak dapat dihindari bahwa siswaakan mengalami miskonsepsi pada bagian tersebut.Akibat miskonsepsi pada konsep prasyarat danprakonsepsi yang kembali lagi, maka pengalaman barudiinterpretasikan siswa melalui pemahaman yang salah,sehingga mengganggu siswa menangkap pengalamanbaru (Barke et al.,2009). Kenyataan ini dimungkinkanpula siswa belum sempurna dalam melaksanakanproses akomodasi dalam skemanya. Pernyataan tersebutsesuai dengan teori Piaget (dalam Suparno, 2001) yangmenyatakan apabila skema yang lama tidak cocok lagiuntuk berhadapan dengan pengalaman yang baru, makaskema yang lama tersebut diubah sampai adakesetimbangan lagi dengan proses akomodasi.

Selain kegagalan dalam proses akomodasi,kenyataan tersebut juga dimungkinkan siswa tidakmengkonstruksi pengetahuan secara utuh, seperti yangdiungkapkan oleh Suparno (2001). Kemungkinan lainadalah alternative conceptions siswa yang masihmelekat. Alternative conceptions tersebut tidakberubah, dan siswa selalu kembali meskipun telahdiperkenalkan dengan konsep yang benar, sehinggasiswa mengalami miskonsepsi (Ibrahim, 2012). Barkeet al. (2009) juga berpendapat miskonsepsi dapat terjadipada beberapa konsep sangat sulit untuk dipahami yangdisebabkan oleh sifat dari konsep tersebut yaitu abstrak,kontra-intuitif atau kompleks, sehingga pemahamanterhadap konsep tersebut tidak utuh, sebab Chiu (2005),Horton (2004), Reid (2008), Barke (2012), dan Al-Balushi et al. (2012) mengungkapkan konsep reaksiredoks merupakan konsep yang sulit.

Keberhasilan sebuah model pembelajaran dalammemprevensi miskonsepsi perlu dibandingkan denganhasil prevensi miskonsepsi dari penelitian lainnya.Penelitian Miller et al. (dalam Dazhi and Inanc, 2013)dalam memprevensi miskonsepsi siswa denganmenggunakan inquiry-based approach pada konseptransfer energi, memberikan simpulan yang tidakefektif. Penelitian Bartlow (2011) dalam memprevensimiskonsepsi siswa pada mata pelajaran kimia selama 3semester dengan menggunakan Process OrientedGuided Inquiry Learning, hanya memperoleh hasilsebesar 14,8%. Berdasarkan ulasan tersebut maka dapatdisimpulkan bahwa model modified inquiry telahberhasil memprevensi miskonsepsi siswa pada konsepreaksi redoks.

D. Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa padaKonsep Reaksi Redoks

Berdasarkan hasil angket, akumulasi sumberpenyebab miskonsepsi yang terbesar adalah

Page 79: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 210

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

prakonsepsi siswa. Prakonsepsi siswa terbesar terjadi dikelas X IPA 5, hal ini sesuai dengan persentasepemahaman konsep siswa kelas X IPA 5 paling kecildibandingkan kelas X IPA 6, dan X IPA 7. Kurangmaksimalnya persentase pemahaman konsep siswabukan disebabkan oleh pembelajaran dengan modelmodified inquiry yang dilaksanakan guru.

Kurang maksimalnya model pembelajaranmodified inquiry dalam memprevensi miskonsepsisiswa disebabkan oleh faktor lain, sebab pada dasarnyapembelajaran yang konsisten menggunakan inkuiricenderung mampu mengubah konsep lama yangmiskonsepsi dengan konsep baru (Horton, 2004).Pernyataan ini juga didukung hasil penilaian ketigapengamat, yang menggambarkan model pembelajaranmodified inquiry sudah terlaksana dengan kualifikasisangat baik. Keberhasilan model modified inquiry jugatampak pada hasil learning task (analisis deskritif) yangberkualifikasi sangat baik.

Simpulan dari uraian sumber penyebabmiskonsepsi yang mendominasi pada penelitian iniadalah prakonsepsi (konsepsi awal) siswa. Hasilpenelitian ini sejalan dengan pendapat Barke et al.(2009) bahwa miskonsepsi bersifat resisten atau sulitdiubah dan cenderung bertahan. Horton (2004) jugaberpendapat bahwa miskonsepsi memiliki potensi untukmemblokir atau menghalangi kemajuan lebih lanjut(Horton, 2004).

E. Perubahan Hasil Belajar Siswa SesudahPembelajaran dengan Menggunakan ModelModified Inquiry

Perubahan hasil belajar siswa setelah prevensimiskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks denganmenggunakan modified inquiry disimpulkan dengandua teknik analisis, yaitu teknik analisis deskriptif danteknik analisis inferensial. Kedua teknik analisis hanyamemperhitungkan skor jawaban benar tanpa tier-3antara sesudah dan sebelum pembelajaran.

Analisis deskriptif lebih ditujukan untuk mengujipencapaian target KKM siswa, sedangkan analisisinferensial lebih ditujukan untuk menguji efektivitasmodel modified inquiry dalam meningkatkanpemahaman siswa. Secara deskriptif dengan KKM80%, maka pada kelas X IPA 3 hanya 18 siswa yangtuntas (46%), pada kelas X IPA 5 hanya 8 siswa yangtuntas (24%), dan pada kelas X IPA 7 hanya 17 siswayang tuntas (42%).

Keadaan yang berbeda-beda pada setiap kelastersebut, sesuai dengan hasil penelitian John Carol(dalam Arifin, 1995) yang menemukan bahwa siswamemiliki kecepatan yang berbeda dalam memahamisuatu konsep, siswa dapat mencapai tujuan belajardengan baik apabila diberi waktu yang sesuai

kebutuhannya. Kecepatan yang berbeda dalammemahami konsep reaksi redoks, membuat siswa dikelas X IPA 5 mempunyai persentase pemahamankonsep yang paling rendah dibandingkan dengan siswadi kelas X IPA 3, maupun kelas X IPA 7.

Selain analisis deskriptif, juga dilaksanakananalisis inferensial untuk menguji efektivitas modelmodified inquiry dalam meningkatkan pemahamansiswa pada konsep reaksi redoks. Analisis inferensialdiputuskan menggunakan One Sampel T-Test, sebabdata yang diperoleh adalah berupa data interval danpopulasi berdistribusi normal (Sugiyono, 2008). HasilOne Sampel T-Test tersebut adalah ketiga kelasmempunyai thitung > ttabel dengan derajat kepercayaan95% seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil One Sampel T-Test Terhadap HasilBelajar

Siswa Pada Konsep Reaksi Redoks

Simpulan yang diperoleh dari hasil analisisinferensial adalah model modified inqury telah efektifmeningkatkan pemahaman siswa pada konsep reaksiredoks secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dariketerlaksanaan model pembelajaran modified inquirypada kedua pertemuan yang mendapatkan nilai dengankualifikasi sangat baik, sehingga dapat meningkatkanpemahaman konsep reaksi redoks pada siswa.Kenyataan ini sesuai dengan Arends (2012) bahwasintaks dalam sebuah model pembelajaran harusdilaksanakan dengan sangat baik oleh guru untukmenjamin kualitas proses pembelajaran. Kenyataan inijuga didukung oleh penelitian Widowati (2008),Khanafiah dan Rusilowati (2010), dan Widodo (2012)yang menyatakan model pembelajaran modified inquirysecara signifikan efektif meningkatkan hasil belajarsiswa.

Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut, makadapat disimpulkan pembelajaran menggunakan modelmodified inquiry terbukti mampu meningkatkanpemahaman siswa terhadap konsep reaksi redoks secarasignifikan walaupun belum mampu mencapai targetKKM, sehingga sangat diperlukan pembelajaranremedial.

SIMPULANTindakan prevensi miskonsepsi siswa pada

konsep reaksi redoks di SMA Negeri 1 Sidoarjo denganmenggunakan model pembelajaran modified inquiry

Page 80: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 211

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

menghasilkan simpulan tindakan prevensi yangdilakukan sudah berhasil membentuk siswa tahu konsepsebanyak 60% (X IPA 3), 48% (X IPA 5), dan 64% (XIPA 7).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Balushi, S.M., Ambusaidi, A.K., Al-Shuaili, A.H.,and Taylor, N. 2012. “Omani Twelefth GradeStudents’ Most Common Misconceptions inChemistry”. Muscat: Journal of ScienceEducation International, 23(3), 221-240.

Arends, R.I. 2012. Learning to Teach.9st Edition. NewYork: McGraw-Hill.

Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012.“A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre-ServiceTeachers’ Misconceptions about GlobalWarming, Greenhouse Effect, Ozone LayerDepletion, andAcid Rain”. San Antonio:Education International Journal of ScienceEducation, 34(11),1 667–1686.

Arifin, M. 1995. Pengembangan Program PengajaranBidang Studi Kimia. Surabaya: AirlanggaUniversity Press.

Barke, H.D., Al Hazari, and Yitbarek, S. 2009.Misconceptions in Chemistry. Springer Link.

Barke, H.D. 2012. “Two Ideas of The Redox Reaction:Misconceptions and Their Challenge inChemistry Education”. Atlanta: Atlanta JournalChemistry Education, 2(2), 32-50.

Barthlow, M.J. 2011. “The Effectiveness of ProcessOriented Guided Inquiry Learning to ReduceAlternate Conceptions in Secondary”. LibertyUniversity: Chemistry Disertation.

Chiu, M.H. 2005. “A National Survey of Student’Conceptions in Chemistry in Taiwan”. Istanbul:Journal of Chemical Education International,6(1),1-8.

Dazhi, Y., and Inanc, S. 2013. “The Search forStrategies to Prevent Persistent Miconceptions”.Atlanta: 120th ASEE Annual Conference &Eksposition.

Dhindsa, H.S., and Treagust, D.F. 2009. “ConceptualUnderstanding of Bruneian Tertiary Students:Chemical Bonding and Structure”. UniversitiBrunei Darussalam: Brunei InternationalJournal of Science and Mathematic Education,1(1), 33-51.

Gagne, R.M., Briggs, L.J., and Wager, W.W. 1988.Principle of Instructional Design. Florida: Holt,Rinehart and Winston, Inc.

Hakim, A., Liliasari., and Kadarohman. A. 2012.“Student Concep Understanding of NaturalProducts Chemistry in Primary and SecondaryMetabolis Using the Data Collecting Techniqueof Modified CRI”. Mataram: InternationalOnline Journal of Educational Sciences.

Horton, C. 2004. “Student Alternative Conception inChemistry”. California: California Journal ofScience Education, 7(2), 1-78.

Ibrahim, M. 2012. Konsep Miskonsepsi dan CaraPembelajarannya. Surabaya: Unesa UniversityPress.

Ischak, S.W., dan Warji. R. 1998. Program Remedialdalam Proses Belajar Mengajar. Yogyakarta:Liberty.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.Kurikulum 2013. Jakarta: KementrianPendidikan dan Kebudayaan.

Khanafiyah, S., dan Rusilowati, A. 2010. “PenerapanPendekatan Modified Free Inquiry sebagaiUpaya Meningkatkan Kreativitas MahasiswaCalon Guru dalam Mengembangkan JenisEksperimen dan Pemahaman terhadap MateriFisika”. Semarang: Jurnal Universitas NegeriSemarang (Edisi Khusus), 13(2), E7- E14.

Opara, J.A., and Oguzor, N.S. 2011. “InquiryInstructional Method and the Scholl ScienceCurriculum”. Nigeria: Current Research Journalof Social Science 3(3):188-198

Reid, N. 2008. “A Scientific Approach to The Teachingof Chemistry”. Glasgow: Journal of The RoyalSociety of Chemistry, 9, 51-59.

Saleh, M. 2012. “Pembelajaran Kooperatif denganPendekatan Matematika Realistic. Banda Aceh:Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, 13(2), 51-59.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan.Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung: Alfabeta

Sukarmin.2004. Reaksi Oksidasi Reduksi. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.

Sund, Robert B., and Leslie W. Trowbridge. 1973.Teaching Science by Inquiry in The SecondarySchool. Colombus: Merrill.

Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif JeanPiaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan KonsepPendidikan Fisika. Jakarta: GramediaWidiasarana Indonesia.

Page 81: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 212

Vol. 2 No. 3, April 2014

Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Melalui Modified Inquiry Models

Wahyuningrum, S., dan Suyono. 2013. “PolaPergeseran Konsepsi Siswa pada Struktur Atomsetelah Pembelajaran dengan Strategi POGIL”.Surabaya:UNESA Journal of ChemicalEducation, 2(1), 43-50.

Widowati, A. 2008. “Impoving The divergent ThinkingSkill Using The Modified Free InquiryApproach to Teaching Science”. Yogyakarta:Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan,Nomor 1, Tahun XI, 118-127.

Yunianingsih, W., dan Suyono. 2013. “TingkatKeterampilan Berpikir Siswa SalingBergantung (Dependen) dengan TingkatPenguasaan Konsep Siswa”. Surabaya:UNESA Journal of Chemical Education,2(1), 1-10.

Page 82: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 213

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil BelajarSiswa

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MODEL TPS

DENGAN MEDIA LECTORA INSPIRE UNTUK MENINGKATKAN

HASIL BELAJAR SISWA

Zulkifli Zakaria1)

Wasis2)

Wahono Widodo3)

1)Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya2)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya3)Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

e-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspirepada pokok bahasan hukum Newton untuk siswa SMA. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model 4-D.Ujicoba II dilakukan pada 90 siswa, dengan desain one group pretest-posttest dan dilakukan replikasi pada kelas X-1, X-2, danX-3 SMA Negeri Mojoagung. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: RPP,buku siswa, LKS, media Lectora Inspire, dan tes hasil belajar berkategori layak dengan skor penilaian 3,9-4,0 denganreliabilitas 81%-93%. (2) Perangkat pembelajaran yang dikembangkan tergolong praktis, hal ini ditunjukkan oleh: (a)Keterlaksanaan RPP berkategori baik, dan terlaksana 100% dengan reliabilitas 94%, (b) Aktivitas siswa paling menonjol adalahmengajukan/menjawab pertanyaan yang ada dalam Lectora Inspire, (c) respon siswa terhadap pembelajaran dengan mediaLectora Inspire adalah positif, dan (3) Hasil belajar siswa mengalami peningkatan, hal ini ditunjukkan oleh peningkatan skorrata-rata pretest 34,7-43,0 dan untuk skor rata-rata postest 79,8-85,5 dengan normalized-gain 0,68-0,74, (4) kendala yangdihadapi adalah siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran TPS, siswa belum terbiasa untuk menghubungkan antaramotivasi belajar berupa video dengan materi yang akan dipelajari. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkanbahwa perangkat pembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspire yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan hasilbelajar siswa pada materi Hukum Newton.

Kata-kata Kunci: media Lectora Inspire, pembelajaran think-pair-share (TPS), hasil belajar.

Abstract: This study aimed to develop learning material of TPS Model by using Lectora Inspire Media on the main subject ofNewton’s Law for Senior High School students. The Learning material development uses 4-D Model. Tryout II had been done to90 students, by using one group pretest-posttest design and the replication to class X-1, X-2, and X-3 in SMA Negeri Mojoagung.The result of study shows: (1) The learning material that developed consists of: Lesson Plan, Students’ Book, Students’ WorkSheets, Lectora Inspire media, and the learning result assessment with worthy category are 3,9 – 4,0 and the reliability are 81%- 93%. (2) The developed learning material is relatively practicable, it is showed by: (a) the Lesson plan implementation is wellcategorized, and 100% implemented with 94% reliability, (b) the most dominant of students’ activity are asking and answeringthe questions in Lectora Inspire Media, (c) The students’ response toward the lesson using Lectora Inspire Media is positive, and(3) The students’ learning result is increase, it is shown by the increasing of pretest average score is 34,7 – 43,0 and the posttestaverage score is 79,8 – 85,5 with normalized-gain 0,68 – 0.74, (4) the constrains that faced are the students are not familiar withTPS model, the students are not familiar to connect between the video of motivation to learn with the material that will belearned. Based on the study, it can be concluded that Learning material of TPS Model with Lectora Inspire Media whichdeveloped is effective to increase the students learning result of Newton’s Law material.

Keywords: lectora inspire media, think-pair-share (TPS) lesson, learning result.

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan informasi begitupesat. Perkembangan tersebut membawa masyarakatmemasuki era globalisasi. Teknologi merupakan suatupenemuan penting yang memiliki peranan penting bagikehidupan. Teknologi dibuat atas dasar ilmupengetahuan dengan tujuan untuk mempermudahpekerjaan manusia. Saat ini teknologi berkembangpesat di segala bidang, salah satunya di bidangpendidikan. Salah satu contoh perkembangan teknologidalam dunia pendidikan adalah pembelajaran berbasismultimedia (Daryanto, 2010).

Tuntutan layanan profesional di berbagai sektorkehidupan dan kualitas sumber daya manusia yangmemenuhi harapan masyarakat terus diperlukan.Tuntutan layanan profesionalisme ini juga muncul didunia pendidikan. Pelayanan pendidikan yang efektif

dan tepat sesuai dengan perkembangan teknologi daninformasi menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari.Berdasarkan tuntutan layanan tersebut, maka gurudituntut untuk menguasai IT serta mempunyaikemampuan untuk memanfaatkannya dalampembelajaran.

Berdasarkan data hasil belajar Fisika padaulangan harian maupun ulangan tengah semester ganjiluntuk materi Hukum Newton di SMAN Mojoagungtahun pelajaran 2012/2013, jumlah siswa yang tuntas35%, dan tidak tuntas 65%. Hal ini mengindikasikanbahwa pemahaman siswa terhadap materi pelajaranbelum optimal yang berakibat pada rendahnya jumlahsiswa yang mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkanhasil ulangan harian dan ulangan tengah semester ganjiltersebut, maka kurangnya pemahaman siswa terhadapmateri pelajaran dapat disebabkan oleh berbagai faktor

Page 83: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 214

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil BelajarSiswa

yang sangat kompleks. Salah satunya adalah lemahnyametode yang digunakan guru dalam menyampaikanmateri Hukum Newton.

Peningkatkan mutu pendidikan juga perluditunjang adanya pembaharuan di bidang pendidikanitu sendiri. Salah satu caranya adalah melaluipeningkatan kualitas pembelajaran yaitu denganpembaharuan pendekatan atau peningkatan relevansimetode mengajar guru. Metode mengajar dikatakanrelevan jika dalam prosesnya mampu mengantarkansiswa mencapai tujuan pendidikan melaluipembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajarantersebut dapat dibantu oleh penggunaan mediapembelajaran yang relevan pula. Berdasarkanparadigma kontruktivisme penggunaan mediamenempati posisi yang cukup strategis dalammewujudkan kegiatan pembelajaran yang optimal(Palupi, 2011). Tetapi peran media tidak bermaksuduntuk menggantikan pengamatan secara langsung.

SMAN Mojoagung adalah SMA yang telahmenerapkan pembelajaran dan administrasi berbasis IT.Sistem pembelajaran yang telah digunakan berbasis ITadalah: (1) Simajest (sistem penilaian berbasis web),(2) Sistem koreksi LJK, (3) Exsys (ExaminationSystem). Sistem administrasi berbasis IT yang telahdigunakan berbasis IT adalah: (1) PAS (paket aplikasisekolah – Nasional), (2) Sistem pendataan alumni, (3)PDSS (pusat data siswa dan sekolah – Nasional), (3)DAPODIKMEN (data pokok pendidikan menengah),(4) Padamu Negeri (data guru – Nasional). Berdasarkanhal tersebut, maka tepatlah kiranya pembelajaran diSMAN Mojoagung diterapkan dengan menggunakanmedia pembelajaran berbasis IT.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasihal tersebut adalah dengan mengembangkan kualitaspembelajaran, peningkatan mutu tenaga pengajar, sertalingkungan belajar yang kondusif dan memadai. Salahsatu cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,khususnya yang berkaitan dengan lingkungan belajaryang kondusif dan menarik adalah penggunaan mediaLectora Inspire. Sudjana dan Rivai (1997)mengidentifikasi, dengan memilih perpaduan mediayang sesuai, hasil belajar seseorang dapat ditingkatkan.Dengan menggunakan media pembelajaran dalamproses belajar mengajar akan diperoleh banyakmanfaat, diantaranya pengajaran akan lebih menarikperhatian siswa dan materi pengajaran akan lebihdipahami oleh para siswa.

Lectora Inspire dapat memudahkan guru dalampembuatan media pembelajaran berbasis IT.Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 20guru di SMAN Mojoagung, 16 guru (80%) menyatakanbahwa Lectora Inspire memiliki lebih banyak fiturkhususnya terkait web, karena Lectora Inspire berbasisweb bila dibandingkan dengan media powerpoint yangselama ini digunakan. Berdasarkan angket tersebut,maka media pembelajaran Lectora Inspire dipilih guruuntuk menyampaikan materi pelajaran di kelas. Denganmedia pembelajaran ini guru dapat membuat materi ujiyang interaktif dan menyenangkan. Guru juga dapatmenambah beberapa program tambahan agar dapatmenampilkan fitur secara optimal sehingga informasi

yang berupa tulisan, animasi serta suara yangditampilkan sehingga membuat siswa lebih tertarikdalam mengikuti pembelajaran.

Penelitian yang dilakukan oleh Erlin (2013)menunjukkan bahwa melalui penggunaan mediapembelajaran berbasis ICT dengan aplikasi LectoraInspire ternyata banyak keuntungan yang diperoleh,antara lain: (a) media pembelajaran Lectora Inspire biladirancang dengan baik, merupakan media pembelajaranyang efektif, dapat memudahkan dan meningkatkankualitas pembelajaran, (b) mendukung pembelajaranindividual sesuai kemampuan siswa, serta dapatdigunakan sebagai penyampai balikan langsung, (c)materi dapat diulang-ulang sesuai keperluan, tanpamenimbulkan rasa jenuh, (d) hambatan dalampemanfaatan media pembelajaran berbasis ICT denganaplikasi Lectora Inspire adalah sumber daya manusia,(e) penggunaan media pembelajaran berbasis ICTdengan aplikasi Lectora Inspire mampu meningkatkankualitas pembelajaran IPA, hal ini disebabkan karenamelalui penggunaan media pembelajaran berbasis ICTdengan aplikasi Lectora Inspire siswa lebih tertarik,selain itu siswa yang lamban dalam daya penerimaandapat menyesuaikan diri.

Pelaksanaan PBM dalam penelitian ini adalahdengan model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share. Think-pair-share memiliki prosedur secaraeksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyakuntuk berpikir, menjawab, saling membantu satu samalain (Ibrahim, 2000). Dengan cara ini diharapkan siswamampu bekerja sama, saling membutuhkan dan salingbergantung pada kelompok-kelompok kecil secarakooperatif. Model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini digunakan karena memiliki kelebihan: a)memungkinkan siswa untuk merumuskan danmengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materiyang diajarkan karena secara tidak langsungmemperoleh contoh pertanyaan yang diajukan olehguru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkanmateri yang diajarkan b) siswa akan terlatihmenerapkan konsep karena bertukar pendapat danpemikiran dengan temannya untuk mendapatkankesepakatan dalam memecahkan masalah, c) siswalebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikantugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompokhanya terdiri dari 2 orang, d) siswa memperolehkesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinyadengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar,e) memungkinkan guru untuk lebih banyak memantausiswa dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusanmasalah yang akan dipecahkan dalam penelitian iniadalah Bagaimanakah keefektifan perangkatpembelajaran model TPS dengan media Lectora Inspireuntuk meningkatkan hasil belajar siswa? Rumusanmasalah tersebut dapat dirinci dalam pertanyaanpenelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kelayakanperangkat pembelajaran model TPS yang meliputi:RPP, buku siswa, LKS, media Lectora Inspire dan teshasil belajar yang dikembangkan?, (2) Bagaimanakahkepraktisan perangkat pembelajaran model TPS denganmenggunakan media Lectora Inspire yang

Page 84: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 215

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil BelajarSiswa

dikembangkan?, (a) Bagaimanakah keterlaksanaan RPPyang dikembangkan?, (b) Bagaimanakah aktivitassiswa selama kegiatan belajar mengajar?, (c)Bagaimanakah respon siswa terhadap setelah mengikutipembelajaran menggunakan perangkat pembelajarandengan media Lectora Inspire?, (3) Bagaimanakahpeningkatan hasil belajar siswa setelah dilakukanimplementasi pembelajaran dengan media LectoraInspire?, dan (4) Kendala-kendala apa sajakah yangterjadi selama proses pembelajaran menggunakanperangkat pembelajaran dengan media Lectora Inspireserta bagaimana solusinya?

Tujuan umum penilitian ini adalah“Mengembangkan perangkat pembelajaran model TPSdengan media Lectora Inspire untuk meningkatkanhasil belajar siswa”. Tujuan khusus, meliputi: (1)Mendesksripsikan validitas perangkat pembelajaranmodel TPS dengan media Lectora Inspire yangdikembangkan berdasarkan kelayakan RPP, bukusiswa, LKS, dan media Lectora Inspire, (2)Mendeskripsikan keterlaksanaan perangkatpembelajaran model TPS dengan menggunakan mediaLectora Inspire, (3) Mendeskripsikan aktivitas siswaselama proses pembelajaran yang menggunakanperangkat pembelajaran model TPS dengan mediaLectora Inspire, (4) Mendeskripsikan peningkatan hasilbelajar siswa setelah proses pembelajaranmenggunakan perangkat pembelajaran model TPSdengan media Lectora Inspire, (5) Mendeskripsikanrespon siswa setelah mengikuti pembelajaran denganmenggunakan perangkat pembelajaran model TPSdengan media Lectora Inspire, (6) Mendeskripsikankendala-kendala yang terjadi selama prosespembelajaran dengan menggunakan perangkatpembelajaran model TPS dengan media LectoraInspire.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMANMojoagung – Jombang pada tanggal 12 – 25 November2013. subyek dalam penelitian ini adalah media LectoraInspire yang digunakan dalam pembelajaran siswakelas X-1 (laki-laki 13, perempuan 17), X-2 (laki-laki13, perempuan 17), X-3 (laki-laki 10, perempuan 20)tahun pelajaran 2013/2014. Rancangan penelitian inimengacu pada model pengembangan perangkatpembelajaran 4-D Thiagarajan dengan 3 kali replikasi.Bagan rancangan penelitian yang digunakan adalahsebagai berikut (Prabowo, 2011):

1 U1 L U2

2 U1 L U2

3 U1 L U2

Keterangan:U1 adalah pretest untuk mengetahui penguasaan siswa

terhadap materi pelajaran sebelumpembelajaran berlangsung

U2 adalah posttest untuk mengetahui penguasaan siswaterhadap materi pelajaran setelahpembelajaran berlangsung

L adalah perlakuan melalui penerapan mediapembelajaran Lectora Inspire.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian inimenggunakan beberapa cara, antara lain: (1) Validasiperangkat untuk mengetahui kualitas perangkatpembelajaran dengan menggunakan lembar validasiperangkat oleh validator yang terdiri dari pakar, (2)Observasi/Pengamatan dipergunakan dalam penelitianini untuk mengumpulkan data tentang keterlaksanaanpembelajaran, respon siswa, dan kendala-kendala yangditemui selama pembelajaran berlangsung, (3) Angketdigunakan untuk mengumpulkan data penelitianmengenai respon siswa. Angket ini diberikan padaakhir penelitian, pengisian angket dilakukan siswatanpa ada tekanan dari pihak manapun, (4) Tes hasibelajar Tes terdiri dari pretest-postest yang digunakanuntuk mengetahui hasil belajar siswa. Pretest diberikansebelum pembelajaran dengan media Lectora Inspirediberikan dengan tujuan mengidentifikasi kemampuanawal siswa. Postest diberikan pada akhir penelitiansetelah pembelajaran dengan media Lectora Inspirebertujuan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa.Tes hasil belajar berupa 10 soal pilihan ganda.

Data kualitatif yang telah digambarkan dengankata-kata, dipisahkan menurut kategori kemudiandilakukan analisis dengan dua cara, yaitu: (1)Dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yangdiharapkan kemudian dideskripsikan denganmembandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan,seperti yang dilakukan pada data hasil belajar danketerlaksanaan RPP, (2) Dijumlahkan dandiklasifikasikan kemudian dideskripsikankesimpulannya, seperti yang dilakukan pada datarespon siswa. Adanya peningkatan hasil belajar siswadapat diketahui melalui analisis Normalized-Gain (N-Gain). Siswa mengalami peningkatan hasil belajartinggi apabila N-Gain ≥ 0,7, 0,3 ≤ N-Gain ≥ 0,7 =sedang, dan N-Gain < 0,3 rendah (Hake, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan,maka didapatkan temuan hasil penelitian sebagaiberikut: (1) Perangkat pembelajaran yangdikembangkan baik dan layak digunakan dalampembelajaran karena hasil penelitian menunjukkan: (a)Hasil Validasi RPP, Hasil penilaian RPP oleh pakaryang meliputi aspek tujuan pembelajaran, kegiatanpembelajaran, waktu, perangkat pembelajaran, metodesajian, dan bahasa mendapatkan nilai rata-rata 3,9dengan reliabilitas 83%, hal ini berarti RPP yangdikembangkan layak dan reliabel dijadikan panduanguru dalam mengelola pembelajaran, (b) Hasil ValidasiBuku Siswa, Penilaian buku siswa yang meliputi aspekkomponen kelayakan, komponen kebahasaan, dankomponen penyajian masing-masing memperoleh nilai3,9; 3,9; dan 4,0 dengan rata-rata 3,9 denganreliabilitas 86%. Artinya buku siswa yangdikembangkan layak dijadikan buku panduan bagisiswa dalam pembelajaran, (c) Hasil Validasi LKS,Hasil penilaian LKS memperoleh nilai rata-rata 4,0dengan reliabilitas 93%. Hal ini menunjukkan bahwa

Page 85: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 216

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil BelajarSiswa

LKS yang dikembangkan layak digunakan oleh siswadalam pembelajaran.

Hasil Validasi Media Lectora Inspire, (d)Penilaian yang diperoleh terhadap media LectoraInspire memperoleh nilai rata-rata 3,9 denganreliabilitas 88%. Hal ini berarti media pembelajaranLectora Inspire layak digunakan dalaam pembelajaran,(e) Hasil Validasi Tes Hasil Belajar (THB), Hasilpenilaian terhadap tes hasil belajar diperoleh nilai 3,9dengan reliabilitas 81%. Artinya bahwa tes hasil belajarini layak digunakan siswa dan guru dalampembelajaran. (2) Keterlaksanaan RPP, (a)Keterlaksanaan RPP pada ujicoba II dapat terlaksana100%, dengan reliabilitas sebesar 94%. Rata-rata skoruntuk 3 replikasi kegiatan pendahuluan rata-rata skor3,9 berarti baik, kegiatan inti rata-rata skor 3,8 yangberarti baik, dan penutup rata-rata skor 3,9 yang berartibaik. Hal ini menunjukkan RPP terlaksana dengan baikdan reliable, (b) Aktvitas siswa paling banyak dalamkegiatan belajar mengajar dengan media LectoraInspire adalah siswa mengajukan/menjawab pertanyaanyang ada dalam Lectora Inspire dengan rata-rata 17,3%untuk 3 replikasi, (c) Respon positif siswa terhadapmateri ajar, media Lectora Inspire, buku siswa, LKS,suasana belajar, dan cara guru mengajar adalah 96%-98% merasa tertarik dan 89%-92% merasa baruterhadap komponen tersebut. Untuk respon siswaterhadap bahasa dalam buku, materi atau isi buku, LKS,contoh soal, dan cara guru mengajar adalah 91%-93%merasa mudah memahami. Respon siswa jikapembelajaran selanjutnya atau pelajaran lainmenggunakan media Lectora Inspire sebesar 93%-97%.Siswa merasa jelas untuk respon terhadap penjelasanguru pada saat KBM sebesar 90%-97%. Respon siswaterhadap kemudahan menjawab butir soal sebesar 77%-83%. (3) Adanya peningkatan hasil belajar siswasetelah diterapkan pembelajaran dengan media LectoraInspire, hal ini dikarenakan hasil penelitianmenunjukkan: Hasil belajar siswa menunjukkanpeningkatan dari skor rata-rata untuk replika 1, 2, 3(34,7; 43,0; 42,9) untuk pretest dan (79,8; 83,5; 85,5)untuk skor rata-rata untuk replika 1, 2, 3 posttestdengan ketuntasan untuk replika 1, 2, 3 (90%, 93%,100%). Peningkatan hasil belajar siswa pada penelitianini tidak terlepas dari media pembelajaran LectoraInspire, karena sebelum perlakuan denganmenggunakan media Lectora Inspire nilai hasil belajarsiswa hanya mencapai nilai rata-rata 34,7. MenurutSunyoto (2006) bila seseorang terus menerus melihatdan mengamati suatu objek/gambar bergerak denganpenyajian yang menarik, maka dapat dipastikanseseorang akan termotivasi untuk memperhatikan danmempelajarinya sehingga seseorang itu hafal danpaham dan berpengaruh terhadap prestasinya. Hasilpenelitian yang menyatakan hasil positif pembelajaranmenggunakan media animasi ini diperkuat peneliti lainseperti O’day (2007) yang menyatakan bahwa animasimenyediakan suatu cara untuk berkomunikasi yangmelibatkan urutan komplek secara jelas dan efisien.Stith (2004) mengemukakan bahwa penggunaananimasi dan simulasi akan berdampak dalampeningkatan belajar. Sankar (2010) menyatakan

pembelajaran berbasis multimedia dapat memudahkansiswa dalam memahami materi, karena dapatmenghadirkan kejadian-kejadian alam secara nyata diruang kelas.

Gambar 1. Hasil Pretest-PosttestDengan Normalized Gain (0,68 sedang; 0,70 tinggi;0,74 tinggi).

Gambar 2. N-Gain

Gambar 3. Psikomotor SiswaPsikomotor siswa juga mengalami peningkatan dari tigareplikasi dengan presentase rata-rata tiap replikasi 83,82, 84. Hal ini menunjukkan kemampuan psikomotorsiswa meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa LKSyang dikembangkan dapt meningkatkan kemampuanpsikomotor siswa. Ketuntasan Indikator sebesar 100%yang berarti seluruh indikator mengalami ketuntasan,dan siswa mampu menguasai seluruh indikator.Sensitivitas butir soal didapatkan rata-rata 0,35-0,47,hal ini berarti butir soal yang digunakan memiliki nilaisensitivitas yang baik dan peka.(4) Kendala-kendalayang ditemui selama pembelajaran dengan mediaLectora Inspire adalah: (1) siswa belum terbiasamenggunakan model pembelajaran kooperatif TPSsehingga guru harus menyediakan waktu untukmenjelaskan tahapan-tahapan TPS sebelum memulai

Page 86: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 217

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model TPS dengan Media Lectora Inspire untuk Meningkatkan Hasil BelajarSiswa

pembelajaran, (2) beberapa siswa belum terbiasamenghubungkan antara motivasi berupa video denganmateri yang akan dipelajari, siswa diharapkan lebihbanyak menggalih informasi dari buku siswa dan mediayang lain sebelum KBM berlangsung.

PENUTUP

SIMPULANBerdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat

disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran model TPSdengan media Lectora Inspire yang dikembangkanefektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

SARANBerdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, disarankan: (1) Pengembangan perangkatpembelajaran model TPS dengan media pembelajaranLectora Inspire ini perlu persiapan yang matang darisegi alat maupun kemampuan guru dalammengorganisir pembelajaran. Untuk itu guru harus bisamenentukan media apa yang paling cocok digunakanuntuk tiap pokok bahasan. (2) Perangkat pembelajaranmodel Think-Pair-Share dengan media Lectora Inspireyang dikembangkan ini dapat dijadikan alternatif dalammenerapkan kurikulum 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta:Gava Media.

Erlin, W. 2013. Penerapan Media PembelajaranBerbasis ICT dengan Aplikasi Lectora Inspiredalam Pembelajaran IPA. Jurnal ProgramPascasarjana UNS Solo.

Hake. R.R. 1998. Analyzing Change Scores (online).Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf. Diunduh Rabu, 8 Januari 2014,pukul 10.00.

Ibrahim, Muslimin, Fida R, M.Nur, Ismono. 2000.Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UniversityPress Universitas Negeri Surabaya.

O’day, Danton, H. 2007. The Value of Animations inBiology Teaching: A Study of Long TermMemory Retention. A Journal of Life ScienceEducation (online). 6.3.217-223. Diunduh Rabu, 8Januari 2014, pukul 10.45.

Palupi, Hesti. 2011. Pengembangan PerangkatPembelajaran Kooperatif STAD pada PokokBahasan Hukum Newton. Makalah Komprehensif.Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Prabowo, 2011. Metodologi Pendidikan (Sains danPendidikan Sains). Surabaya: Unesa UniversityPress.

Sankar, Chetan, dkk. 2010. A Multi-ExperimentalStudy on The Use of Multimedia InstructionalMaterials to Teach Technical Subject. Journal ofSTEM Education. Special Edition. 24-37. DiunduhKamis, 9 Januari 2014, pukul 10.15

Sudjana, Nana, Rivai, Ahmad. (1997). Mediapembelajaran. Bandung: Sinar BaruBandung.

Sunyoto. 2006. Efektivitas Penggunaan ModulPembelajaran Interaktif Untuk MeningkatkanPrestasi Belajar Siswa SMK Bidang KeahlianTeknik Mesin. Jurnal ATM (online). DiunduhKamis, 9 Januari 2014, pukul 11.20.

Stith, Bradley, J. 2004. Use od Animation in TeachingCell Biology. A Journal of Life Science Education(online). 3.3. 181-188. Diunduh Jumat, 10 Januari2014, pukul 09.05.

Page 87: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 218

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN INKUIRIBERBANTUAN PROGRAM SIMULASI PhET UNTUK MELATIHKAN

KETERAMPILAN PROSES DAN PEMAHAMAN KONSEP IPA

Mohammad Azis1)

Leny Yuanita2)

Yuni Sri Rahayu3)

1)Mahasiswa Prodi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya2)Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

3)Dosen Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabayae-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhET untukmelatihkan keterampilan proses sains dan pemahaman konsep IPA pada materi asam, basa dan garam di kelas VII SMP Negeri3 Sugio Lamongan. Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Model 4-Ddari Thiagarajan, yang terdiri dari tahap-tahap pengembangan, yaitu: define, design, develop, tanpa menggunakan tahapdisseminate. Hasil penelitian menunjukkan: (1) validitas isi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Buku Ajar Siswa, LembarKegiatan Siswa, instrumen tes pemahaman konsep, dan instrumen tes keterampilan proses berkategori baik dan layakdigunakan; tingkat keterbacaan Buku Ajar Siswa dan Lembar Kegiatan Siswa tinggi dan mudah dipahami, (2) keterlaksanaanRencana Pelaksanaan Pembelajaran sangat baik, aktivitas siswa dalam pembelajaran baik, dan respon siswa terhadapperangkat yang dikembangkan dan pembelajaran yang dilakukan sangat baik, dan (3) keefektifan perangkat pembelajaransangat baik, yang diindikasikan dengan dicapainya ketuntasan hasil belajar keterampilan proses sains dan pemahaman konsepIPA. Berdasarkan temuan penelitian, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi PhETmemiliki kelayakan, kepraktisan dan keefektifan yang baik sehingga dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di SMPkelas VII.

Kata-kata Kunci: Keterampilan Proses, Pemahaman Konsep, Inkuiri, dan PhET.

Abstract: This research aims to develop inquiry learning materials using PhET simulation program to facilitate science processskills and science concepts understanding in the junior grade VII in SMP Negeri 3 Sugio Lamongan.The development of learningmaterials in the research carried out using 4-D model of Thiagarajan, which consists of stages of development, namely: define,design, develop, without using disseminate stage. The results were obtained: (1) the validity of the content of the lesson plan,textbook, worksheets, concepts comprehension test instrument, and process skills test instrument categorized well and fit for use,readability of textbook and worksheets have high level/easy to understand, (2) adherence to the lesson plan is very good, studentsactivity is good in learning, and the students' response to the learning materialss developed and performed very well, and (3) theeffectiveness of the learning materials so good, that indicated by mastery of learning outcomes of science process skills andscience concepts understanding are exceeded. Based on the research results, it can be concluded that the inquiry learningmaterials with PhET simulation program has feasibility, enforceability and effectiveness of the good category that can be appliedin learning activities in grade VII of SMP.

Keywords: Skills of Process, Understanding of Concepts, Inquiry, and PhET

PENDAHULUANBerbagai inovasi di bidang pendidikan yang

dilakukan selama ini ditujukan untuk meningkatkankualitas pendidikan secara menyeluruh. Dalam kontekspembelajaran, peningkatan kualitas ini ditunjukkandalam bentuk penguasaan kompetensi tertentu sebagaitarget dan indikator keberhasilan belajar siswa padasatuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan desainkurikulum yang saat ini digunakan, yaitu kurikulumyang bercirikan: (1) penekanan pada pencapaiankompetensi siswa baik secara individual maupunklasikal, (2) berorientasi pada hasil (learning outcomes)dan keberagaman, (3) proses pembelajaranmenggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi,(4) sumber belajar tidak terbatas pada guru tetapi dapatdilengkapi dengan berbagai sumber lain yang relevan,dan (5) penilaian lebih ditekankan pada proses dan hasilbelajar ke arah pencapaian kompetensi tertentu.

Sains merupakan suatu kesatuan produk, proses,dan sikap, sehingga tujuan pembelajaran IPA padaaspek kimia harus pula mengacu pada ketiga aspek

esensial tersebut, yaitu: (1) pengetahuan, berupapemahaman konsep, hukum, dan teori sertapenerapannya; (2) kemampuan melakukan proses, yaituproses pemecahan masalah melalui metode ilmiah yangmeliputi penyusunan hipotesis, perancanganeksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, danpenarikan kesimpulan; (3) sikap keilmuan, antara lainberupa kecenderungan keilmuan, berpikir kritis,berpikir analitis, tanggung jawab, perhatian padamasalah-masalah sains, dan penghargaan pada hal-halyang bersifat sains (Toharuddin, dkk, 2011: 28).Karena itu, pembelajaran IPA pada aspek kimiaseyogyanya dilakukan dengan pendekatan yang tepat,yaitu memadukan antara pengalaman proses sainsdengan pemahaman produk sains dalam bentukpengalaman langsung, baik berupa kegiatanlaboratorium maupun kegiatan lapangan.

Pada tingkat SMP/MTs, pembelajaran IPAditekankan pada pemberian pengalaman belajar secaralangsung melalui penggunaan dan pengembanganketerampilan proses sains dan sikap ilmiah. Oleh

Page 88: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 219

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

karena itu pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakansecara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untukmenumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja danbersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagaiaspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006).

Pentingnya keterampilan proses inidikembangkan menurut Ibrahim, dkk (2010), karenadengan keterampilan proses itu seseorang akan mampubelajar mandiri, mengembangkan diri sendiri, danbelajar sepanjang hayat. Keterampilan proses sainsmerupakan keterampilan yang diperlukan dalammelakukan penelitian dan pemecahan masalah.Kemampuan pemecahan masalah ini merupakan salahsatu kecakapan hidup (life skills) yang perlu dimilikisiswa sebagai bekal dalam meneruskan kehidupannya.Oleh karena itu, pembelajaran IPA pada aspek kimiaperlu membekali siswa dengan keterampilan prosessains.

Observasi terhadap perencanaan pembelajarandan wawancara langsung dengan guru-guru IPA diSMP Negeri 3 Sugio Lamongan menunjukkan bahwaketerampilan proses sains sebagai salah satu aspekpenting yang perlu dilatihkan kepada siswa dalampembelajaran IPA, kurang mendapat perhatian guru.Hal ini dibuktikan dengan beberapa fakta sebagaiberikut: (1) RPP yang dikembangkan guru belumsepenuhnya menerapkan model pembelajaran inovatif,khususnya model pembelajaran yang menempatkansiswa sebagai pusat pembelajaran (student centeredinstruction), (2) dalam mengembangkan RPP, belumterlihat adanya upaya yang terencana untukmengembangkan keterampilan proses sains siswamelalui perancangan dan pelaksanaan kegiataneksperimen, (3) pembelajaran IPA yang dilakukanselama ini kurang memberikan kesempatan kepadasiswa untuk mengembangkan keterampilan proses sainsmelalui aktivitas eksperimen atau percobaan dilaboratorium, (4) guru-guru jarang melatihkanketerampilan proses sains kepada siswa, hal inidisebabkan karena kurangnya pemahaman gurubagaimana mengembangkan LKS untuk melatihkanketerampilan proses sains kepada siswa, (5) guru tidakmengetahui adanya alternatif lain, misalnya programaplikasi simulasi PhET, yang dapat digunakan untukmelakukan eksperimen atau percobaan melaluilaboratorium virtual, dan (6) evaluasi hasil belajar yangdilakukan guru lebih menekankan pada aspek produk,tetapi kurang memberikan perhatian pada aspek prosesdan kinerja siswa.

Pembelajaran IPA pada aspek kimia, khususnyamateri asam, basa, dan garam di SMP Negeri 3 SugioLamongan selama ini dilaksanakan hanya padaidentifikasi asam basa menggunakan indikator alamikarena bahannya mudah didapatkan di lingkungansekitar siswa, sedangkan pembelajaran inkuiri untukmelatihkan keterampilan proses sains tidakdilaksanakan dengan alasan guru tidak mengetahui caramengembangkan RPP dan LKS inkuiri yang dapatmelatihkan keterampilan proses sains kepada siswa,sehingga dapat dipahami bahwa dengan pembelajaransemacam itu, keterampilan proses sains tidak dilatihkandengan baik pada materi asam, basa, dan garam.

Demikian pula bahwa pembelajaran alternatifmenggunakan media berupa program simulasi PhETuntuk melatihkan keterampilan sains tidak dilakukanguru, karena guru belum mengetahui adanya alternatifpembelajaran tersebut, yang dapat diterapkan untukmengatasi berbagai kesulitan.

Menurut Nur (1998) pembelajaran keterampilanproses adalah proses belajar mnegajar yang dirancangsedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukanfakta-fakta, membangun konsep-konsep, dan teori-teoridengan keterampilan proses ilmiah siswa sendiri.Pendekatan pembelajaran keterampilan proses dapatberjalan jika siswa telah memiliki keterampilan prosesyang diperlukan dalam pembelajaran. Hal ini berartibahwa agar siswa memiliki keterampilan proses sebagaihasil dari pembelajaran, maka keterampilan prosestersebut perlu dilatihkan kepada siswa.

Rusmiyati dan Yulianto (2009) menyatakanbahwa kegiatan penyelidikan dan percobaan dapatmelatih siswa untuk memperoleh keterampilan prosessains. Menurut Collete dan Chiapetta (1994),keterampilan proses sains adalah kemampuan dalammelaksanakan tahap-tahap percobaan, yang merupakanketerampilan proses terpadu meliputi keterampilanmerumuskan masalah, menyusun hipotesis,menentukan variabel percobaan, merancang percobaan,mengumpulkan data, menganalisis data, danmerumuskan kesimpulan. Hal ini kemudian diperkuatoleh Gulo (2002) yang menyatakan bahwaketerampilan inkuiri merupakan suatu proses yangbermula dari merumuskan masalah, merumuskanhipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, danmembuat kesimpulan. Dengan demikian, untukmelatihkan keterampilan proses sains, dapat digunakanmodel pembelajaran inkuiri, dimana Staver dan Bay(dalam Vajoczki, dkk 2011) dan Bell, dkk (2005)membedakan tiga jenis inkuiri menurut tujuannya,yaitu: inkuiri terstruktur (Structured Inquiry), inkuiriterbimbing (Guided Inquiry) dan inkuiri terbuka (OpenInquiry). Pavelich dan Abraham (1979) membagipembelajaran inkuiri menjadi 2 (dua) bentuk, yaituKelas Bebas (free inquiry) dan inkuiri terbimbing(guided inquiry). Dalam Inkuiri Terbimbing (GI)sebagai model inkuiri yang dipilih dan digunakandalam penelitian ini, guru memberikan materi dan isu-isu, yang berfungsi sebagai sarana investigasi, tetapipeserta didik merancang prosedur mereka sendiri untukmemecahkan masalah. GI digunakan untuk menantangpemahaman konseptual siswa dan keterampilan,mengembangkan kreativitas, untuk menemukanpemahaman yang lebih dalam dan lebih luas dari materipembelajaran, dan untuk memperoleh beberapaketerampilan penelitian.

Suchman (dalam Collete dan Chiapetta, 1994)menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri merupakansuatu pendekatan yang menempatkan siswa pada posisifind out dan explain how, dan pembelajaran berpusatpada siswa. Sementara Gulo (2002) mendefinisikanstrategi inkuiri sebagai suatu rangkaian kegiatan belajaryang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuansiswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis,kritis, logis, dan analitis sehingga mereka dapat

Page 89: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 220

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

merumuskan sendiri penemuannya dengan percaya diri.Dengan demikian, sasaran utama pembelajaran KelasAdalah: (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalamproses kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secaralogis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, dan (3)mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apayang ditemukan dalam proses inkuiri. Sejalan denganhal ini, Rustaman (2011) menyatakan bahwapembelajaran berbasis inkuiri memberi peluang kepadapeserta didik untuk terus mengembangkan potensi dirisecara optimal, baik dari sisi kognitif, afektif, maupunpsikomotor. Melalui inkuiri, konsep-konsep sainsditemukan sendiri oleh peserta didik, peserta didik jugadilatih untuk mengembangkan keterampilan prosessains, membekali peserta didik dengan kemampuan-kemampuan seperti yang dimiliki para ilmuwansehingga memiliki kemampuan untuk memecahkanmasalah yang dihadapi.

Keterampilan-keterampilan ini akan dapatdicapai apabila siswa mengalami sendiri kegiatanpercobaan atau eksperimen dalam laboratorium riildengan menggunakan alat dan bahan praktikum yangsebenarnya. Namun seringkali kegiatan praktikumdalam laboratorium riil semacam itu tidak dapatterlaksana, baik karena tidak tersedianya ruang lab,maupun karena keterbatasan alat dan bahan praktikum.Dalam kondisi seperti ini, guru dituntut memilikialternatif pembelajaran agar tetap dapat melatihkanketerampilan proses sains melalui kegiatan eksperimen.Keterbatasan pembelajaran dengan eksperimen dalamlaboratorium juga dapat disimulasikan denganmenggunakan program multimedia komputer, misalnyaberupa program simulasi. Wellington (2004)menyatakan bahwa multimedia memiliki keunggulanyang cukup besar dibandingkan dengan sumber dayalainnya (misalnya, buku dan bahan cetak lainnya)dalam pembelajaran, terutama bahwa multimedia dapatmemberikan banyak kemungkinan untuk kerja praktekatau aktivitas lapangan dimana sumber daya lain tidakbisa melakukannya, misalnya: eksperimen virtual,simulasi, situasi kehidupan nyata untuk belajar, dandemonstrasi. Menurut Thoman dan Jolls (2004),meskipun multimedia sebagai alat tidak dapatmenggantikan pembelajaran dengan tangan (hand-onlearning), tetapi dapat meningkatkan dan memperkuatdampak dari kegiatan di lapangan dan di kelas sains.Taylor, dkk (1994) menyatakan bahwa ada manfaatnyata yang dapat diperoleh dari pemanfaatanmultimedia. Beberapa di antaranya berasal dari caramemberikan pengalaman yang dilakukan. Dengandemikian, penggunaan multimedia dalam pembelajaranjuga dapat digunakan untuk melatihkan keterampilanproses sains. Simulasi PhET misalnya, dirancangsedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah merangkaidan menggunakan alat yang sebenarnya dalamlaboratorium. Dengan sifatnya yang demikian, simulasiPhET dapat difungsikan sebagai laboratorium virtual.Menurut Eggen dan Kauchak (2012), meskipunsimulasi tidak memberikan pengalaman langsung bagisiswa, tetapi simulasi lebih fleksibel dan interaktifsehingga dapat meningkatkan motivasi dan pemahamansiswa.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwapembelajaran inkuiri yang dipadukan denganpemanfaatan teknologi informasi dan komunikasimemberikan hasil yang cukup baik. Liliasari (2010)mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuirimenggunakan laboratorium berbasis teknologiinformasi dan komunikasi disukai siswa karena dapatmengaktifkan siswa, mendukung teori dan praktikum dilaboratorium, membangkitkan motivasi siswa,meningkatkan pengetahuan konsep, serta melatih siswaberpikir kreatif karena harus memahami teks, tabel,atau grafik. Senada dengan hal tersebut, Baser (2010)melaporkan bahwa pembelajaran Kelas Berbasis virtuallaboratory lebih efektif daripada menggunakan reallaboratory, karena dapat meningkatkan pemahamansiswa terhadap konsep abstrak pada materi listrikdinamis, serta dapat meningkatkan keterampilan prosessains siswa. Dalam penelitian yang lain, Darmawati(2012) menyimpulkan bahwa (1) hasil belajar siswasetelah diberikan pembelajaran model Kelas Berbasisprogram simulasi PhET lebih baik daripadapembelajaran Kelas Berbasis KIT Listrik Dinamis, (2)tidak ada perbedaan keterampilan proses sains siswasetelah diberikan pembelajaran model Kelas Berbasisprogram simulasi PhET dan pembelajaran KelasBerbasis KIT Listrik Dinamis.

METODE PENELITIANPenelitian ini termasuk penelitian

pengembangan (development research) karenamengembangkan perangkat pembelajaran inkuiriberbantuan program Simulasi PhET pada materi pokokAsam, Basa, dan Garam SMP kelas VII. Perangkatpembelajaran yang dikembangkan adalah RPP, BAS,LKS, Tes Pemahaman Konsep, dan Tes KeterampilanProses. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VIISMP Negeri 3 Sugio Lamongan sebanyak 86 orang,untuk materi asam, basa, dan garam pada semesterganjil tahun pelajaran 2013/2014.

Pengembangan perangkat dalam penelitian inimenggunakan model 4-D (Thiagarajan, 1974), yaitu:(1) tahap pendefinisian atau define, (2) tahapperancangan perangkat atau design, dan (3) tahappengembangan perangkat atau develop, tanpa tahapkeempat yaitu pendiseminasian (disseminate).

Desain ujicoba perangkat pembelajaran dalampengembangan perangkat ini menggunakan model preeksperimen One Group Pretest-Posttest Design.Sebelum melaksanakan pembelajaran dilaksanakan tesawal (pretest, U1), dan setelah melaksanakanpembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET (X) dilakukan tes akhir (posttest, U2).

Variabel atau karakteristik yang diamati dalampenelitian adalah (1) kelayakan perangkatpembelajaran, meliputi: validitas RPP, BAS, LKS, TesPemahaman Konsep dan Tes Keterampilan Proses; danketerbacaan BAS dan LKS, (2) keterlaksanaan RPP, (3)efektifitas perangkat pembelajaran, yaitu: hasil belajarpemahaman konsep dan keterampilan proses, aktivitassiswa, dan respons siswa, dan (4) hambatan-hambatanselama kegiatan belajar mengajar.

Page 90: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 221

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

Instrumen yang digunakan dalam penelitian iniadalah instrumen validitas perangkat, instrumenpengamatan, instrumen tes, dan instrumen angket. Datayang dianalisis adalah kelayakan perangkat,keterlaksanaan pembelajaran, dan keefektifitasperangkat dengan menggunakan teknik analisisdeskriptif kualitatif dan statistik inferensial

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengembangan PerangkatPerangkat yang dikembangkan dalam penelitian

ini meliputi: (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,(2) Buku Ajar Siswa, (3) Lembar Kegiatan Siswa, (4)Tes Pemahaman Konsep, dan (5) Tes Keterampilanproses sains.

RPP yang dikembangkan mengacu pada PPnomor 19 tahun 2005 tentang standar proses, bab IVpasal 20 bahwa perencanaan proses pembelajaranmeliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaranyang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, danpenilaian hasil belajar (Depdiknas, 2005) danmengadaptasi fase-fase kegiatan pembelajaran inkuiriterbimbing untuk membuka ruang yang lebih luas bagiketerlibatan siswa secara aktif dalam kegiatanpenyelidikan (inquiry) sehingga siswa dapatmenemukan sendiri pengetahuannya melalui interaksisiswa dalam pembelajaran, baik interaksi dengan guru,interaksi dengan sesama siswa, interaksi dengan mediapembelajaran, maupun interaksi dengan berbagaisumber belajar. Adaptasi sintaks-sintaks pembelajaraninkuiri terbimbing ke dalam RPP secara simultan jugadimaksudkan untuk melatihkan keterampilan prosessains, yaitu keterampilan-keterampilan yang dipelajarisiswa pada saat mereka melakukan inkuiri ilmiah (Nur,2003). Hal ini mengacu kepada pernyataan Dewey(dalam Arends, 2007) bahwa guru perlu menciptakanlingkungan belajar yang ditandai oleh prosedur-prosedur yang demokratis dan proses-proses ilmiahdimana tanggung jawab utama guru adalah melibatkansiswa dalam penyelidikan (inquiry). Hasil validasimenunjukkan bahwa keseluruhan RPP yangdikembangkan oleh peneliti memiliki kategori validasibaik dengan rata-rata skor sebesar 3,49, sehingga dapatdigunakan dengan sedikit revisi dan reliabilitas perangkatsebesar 82,6% atau reliabel.

Buku Ajar Siswa (BAS) yang dikembangkanpeneliti memiliki kategori baik dengan skor validasi rata-rata 3,44, sehingga dapat digunakan dengan sedikit revisiatau perbaikan, dengan reliabilitas sebesar 79,2%menunjukkan bahwa BAS adalah reliabel. Buku AjarSiswa (BAS) untuk konsep asam, basa, dan garam inidikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif,dilakukan dengan memperhatikan bekal awal dankarakteristik siswa (Richterich dalam Sodiq, 2009) danmempertimbangkan bahwa interaksi siswa dengansumber belajar (buku ajar siswa) merupakan hal yangpenting dalam mengkonstruksi pengetahuan baru,namun penyajian informasi dalam buku siswahendaknya bukanlah dalam bentuk pengetahuan jadi(ready made). Implikasi penting teori Piaget dalam

pembelajaran adalah bahwa penyajian pengetahuan jadi(ready made) tidak mendapat penekanan, sebaliknyaanak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuanitu (discovery atau inquiry) melalui interaksi spontandengan lingkungannya. Sebab itu, guru dituntut untukmempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkananak melakukan kegiatan secara langsung dengan duniafisik. Piaget (dalm Slavin, 1994) menyatakan bahwaperkembangan kognitif sebagian besar bergantungkepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktifberinteraksi dengan lingkungannya. Sehingga, denganmeningkatnya aktivitas siswa dalam berinteraksidengan sumber belajar (buku ajar siswa) akan terjadiperubahan pada diri siswa dalam bentuk penguasaanpengetahuan baru, dimana siswa mengkonstruksipengetahuannya dengan menghubungkan pengetahuanbaru yang diperolehnya dari sumber belajar (buku ajarsiswa) dengan pengetahuan yang disimpan dan telahdiperoleh sebelumnya.

LKS yang dikembangkan memiliki kategorivalidasi sangat baik, dengan skor rata-rata 3,63 sehinggadapat digunakan tanpa revisi dan memiliki reliabilitasyang baik, yaitu sebesar 75,0%. LKS yangdikembangkan bertujuan melatihkan keterampilanproses sains terpadu (integrated science process skills),yaitu kecakapan ilmiah untuk menemukan konsep atauprinsip IPA. Collete dan Chiapetta (1994) menyatakanbahwa keterampilan proses sains merupakankemampuan dalam melaksanakan tahap-tahappercobaan, yang merupakan keterampilan prosesterpadu, meliputi kemampuan-kemampuanmerumuskan masalah, menyusun hipotesis,menentukan variabel percobaan, merancang percobaan,mengumpulkan data, menganalisis data, danmerumuskan kesimpulan. Oleh karena itu maka LKSinkuiri yang dikembangkan memuat tahap-tahapkegiatan untuk melatihkan keterampilan proses sainstersebut. Menurut Vygotsky, bahwa perkembanganseseorang dapat dibedakan menjadi dua tingkat, yaitutingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembanganpotensial (Arends, 2007). Tingkat perkembangan aktualtampak dari kemampuan seseorang untukmenyelesaikan tugas-tugas dan berbagai masalah secaramandiri, sedangkan tingkat perkembangan potensialtampak dari kemampuan seseorang untukmenyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalahketika dibimbing orang dewasa atau ketikaberkolaborasi dengan teman sebaya yang lebihkompeten. Dengan demikian, belajar dapatberlangsung melalui interaksi dengan guru atau temansebaya yang lebih mampu. Dalam kaitan dengan haltersebut, maka untuk tahap awal pembelajaran inkuiri,dikembangkan LKS Pra Eksperimen sebagai bentukscaffolding atau bimbingan guru kepada siswa untukmemahami kecakapan-kecakapan ilmiah atauketerampilan proses yang akan dilatihkan. Bimbingansecara terbatas dan berjenjang pada tahap selanjutnyadilakukan melalui kegiatan penyelidikan dalam LKSEksperimen (LKS 1 s.d. LKS 4) yang dilaksanakandalam kelompok-kelompok kecil siswa. Hal inidimaksudkan agar siswa lebih aktif dalam berinteraksi

Page 91: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 222

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

dan berkolaborasi dengan siswa lainnya, sehingga dapatmencapai hasil belajar yang lebih maksimal.

Tes pemahaman konsep yang dikembangkanmemiliki validitas yang baik, dimana 10 (sepuluh) butirsoal dinyatakan valid sehingga dapat digunakan tanparevisi, sedangkan 10 (sepuluh) butir soal lainnyadinyatakan valid tetapi perlu adanya revisi. Ditinjau dariaspek reliabilitasnya, instrumen tes pemahaman konsepyang dikembangkan telah memiliki reliabilitas yang baikkarena memiliki Percentage of Agreement sebesar80,0%. Tes ini dikembangkan untuk mengukurpencapaian hasil belajar siswa pada aspek pemahamankonsep. Dalam versi revisi taksonomi Bloom(Krathwohl, 2002), pemahaman merupakan hasilbelajar siswa pada ranah kognitif yang dicirikan olehkemampuan-kemampuan menafsirkan (interpreting),memberi contoh (examplifying), mengklasifikasi(classifying), meringkas (summarizing), menarikinferensi (inferring), membandingkan (comparing), danmenjelaskan (explaining). Menurut Ibrahim (2005),seseorang dapat dikatakan memahami bila dia mampumembangun pengertian dari pesan pembelajaran dalambentuk, komunikasi lisan, tertulis maupun gambar.Menurut Rustaman (2010), pemahaman didefinisikansebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materiatau bahan yang dipelajari. Pemahaman merupakanhasil proses belajar mengajar yang menunjukkan bahwaindividu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatuunit informasi dengan kata-kata sendiri. Siswa tidakhanya mengingat kembali pelajaran, namun siswa telahmemahami materi pelajaran meskipun dalam bentukkalimat yang berbeda, tetapi kandungan maksudnyatidak berubah.

Tes keterampilan proses merupakan alat evaluasiyang dikembangkan untuk mengukur pencapaian hasilbelajar siswa berupa keterampilan proses sains.Keterampilan proses sains adalah keterampilan-keterampilan yang dipelajari siswa pada saat merekamelakukan inkuiri ilmiah (Nur, 2003), merekamenggunakan berbagai macam keterampilan proses,bukan hanya satu metode ilmiah tunggal. Keterampilan-keterampilan proses tersebut adalah perumusanhipotesis, pengontrolan variabel, melakukaneksperimen, pengklasifikasian, penginferensian,peramalan, pengkomunikasian, pengukuran,penggunaan bilangan, penginterpretasian data,pendefinisian secara operasional, dan perumusan model(Nur, 2003). Instrumen tes ini dikembangkan dalambentuk soal uraian berdasarkan indikator atau tujuanhasil belajar yang telah dirumuskan sebelumnya. Tesketerampilan proses yang dikembangkan sebanyak 7(tujuh) butir soal uraian memiliki validitas yang sangatbaik, karena ketujuh butir soal tersebut dinyatakan validsehingga dapat digunakan tanpa revisi. Ditinjau dariaspek reliabilitasnya, instrumen tes keterampilan prosesjuga telah memenuhi syarat karena memiliki reliabilitas(Percentage of Agreement) sebesar 100%.

Hasil Implementasi Perangkat Pembelajaran

(1) Keterlaksanaan PembelajaranKeterlaksanaan RPP berada pada kriteria sangat

baik. Sebagaimana disajikan pada Gambar 1, persentase

rata-rata keterlaksanaan pembelajaran inkuiri padamasing-masing kelas implementasi adalah sebesar97,5% (Kelas A), 95,5% (Kelas B), dan 96,5% (KelasC). Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, makatingkat keterlaksanaan RPP secara keseluruhan beradapada kriteria sangat baik, karena persentaseketerlaksanaannya ≥ 81% (Borich, 1994).

Gambar 1Grafik Keterlaksanaan RPP

Keterlaksanaan pembelajaran yang sangat baikini dapat dicapai karena beberapa hal, yaitu: (1) adanyaperencanaan yang baik mulai dari perencanaan materi,pengelolaan kelas, sumber belajar, hingga dukunganmedia pembelajaran yang akan digunakan, (2)ketersediaan perangkat pembelajaran (buku ajar, LKS,dan instrumen penilaian), alat dan bahan praktikum,serta perangkat TIK dengan kuantitas dan kualitas yangmemadai, (3) bimbingan terbatas yang diberikan guru(scaffolding) dalam bentuk kegiatan pra eksperimenmemudahkan siswa dalam memahami jenis-jenisketerampilan proses yang akan dilatihkan, dan (4) peranguru dalam pembelajaran berupa penguasaan terhadapmateri pembelajaran maupun pengelolaan kelas,termasuk dalam mengimplementasikan sintaks-sintakspembelajaran inkuiri. Penguasaan guru ini ditunjangpula dengan komitmen yang tinggi untuk melaksanakanpembelajaran sesuai dengan perangkat pembelajaranyang telah dikembangkan, sehingga dapat menciptakansuasana pembelajaran yang mendukung aktivitas siswauntuk menemukan dan mengkonstruksipengetahuannya melalui kegiatan penyelidikan. Hal inisejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Collete danChiapetta (1994) bahwa pendekatan pembelajaraninkuiri membutuhkan guru yang dapat menumbuhkanlingkungan belajar yang dapat merangsang rasa ingintahu siswa untuk melakukan penyelidikan.

(2) Keterbacaan Buku Ajar Siswa dan LKSHasil analisis keterbacaan Buku Ajar Siswa dan

LKS pada Gambar 2 menunjukkan bahwa untuk BukuAjar Siswa tingkat keterbacaannya mencapai 89,15%dan untuk LKS tingkat keterbacaannya mencapai86,00%, dengan kategori mudah karena persentaseketerbacaannya 61% (Ridwan, 2012).

Page 92: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 223

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

Gambar 2Grafik Keterbacaan BAS dan LKS

Keterbacaan Buku Ajar Siswa dengan persentase89,15% diperoleh dari rata-rata persentase keterbacaanpada masing-masing kelas implementasi, yaitu 87,59%pada Kelas A, 90,54% pada Kelas B, dan 89,31% padaKelas C. Demikian pula dengan keterbacaan LKSsebesar 86,00% diperoleh dari rata-rata persentaseketerbacaan pada masing-masing kelas implementasi,yaitu 85,00% pada Kelas A, 89,00% pada Kelas B, dan84,00% pada Kelas C. Keterbacaan semacam inimenunjukkkan bahwa buku ajar siswa dan LKS yangdikembangkan peneliti mudah dipahami isinya olehpembaca (siswa). Kemudahan memahami buku ajardan LKS tersebut dapat memotivasi siswa untuk lebihtertarik membaca buku siswa tersebut, sehingga dengantingkat keterbacaan yang tinggi akan menunjangtercapainya mutu pendidikan (Suryadi, 2007). Denganmembaca buku ajar siswa dan LKS tersebut berartitelah terjadi interaksi siswa dengan sumber belajar,dimana siswa dapat menggali dan menemukaninformasi atau pengetahuannya dari materi buku ajardan LKS yang dibacanya. Dalam perspektif kognitif-konstruktivis, Piaget (dalam Slavin, 1994) menyatakanbahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secaraaktif dalam proses mendapatkan informasi danmengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dimanaperkembangan kognitif sebagian besar bergantungkepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktifberinteraksi dengan lingkungannya. Tersedianya bukuajar dan LKS dengan tingkat keterbacaan yang tinggiberarti membuka ruang yang lebih luas bagi siswauntuk berinteraksi dengan lingkungan belajarnya danmembantu siswa untuk mengkomunikasikanpengetahuan baru yang diperoleh dari membaca bukuajar siswa dengan pengetahuan yang sudah dimilikisebelumnya. Bruner dalam hal ini mengemukakan duaasumsi tentang siswa belajar, bahwa (1) perolehanpengetahuan merupakan suatu proses interaktif denganlingkungannya, dimana Bruner meyakini bahwa orangyang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secaraaktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan,tetapi juga dalam diri orang itu, dan (2) orangmengkonstruksi pengetahuannya denganmenghubungkan informasi yang masuk denganinformasi yang disimpan dan diperoleh sebelumnya.

(3) Pemahaman Konsep Siswa

Pengukuran pemahaman konsep siswa denganmenggunakan instrumen tes pemahaman konsep padaketiga kelas implementasi sebelum dan sesudahdilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan programsimulasi PhET menunjukkan hasil sebagai berikut:a. Perolehan nilai rata-rata siswa pada setiap kelas

implementasi sebesar 83,10 (Kelas A), 81,25 (KelasB), dan 83,45 (Kelas C). Perolehan ini meningkatsecara signifikan jika dibandingkan denganperolehan sebelum pembelajaran (Gambar 3).

Gambar 3Grafik Ketuntasan Individual

Hasil Belajar Pemahaman Konsep

b. Ketuntasan klasikal terlampaui, karena 93,10%siswa tuntas pada Kelas A, 92,86% pada Kelas B,dan 89,66% pada Kelas C , masing-masing 85%.Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jikadibandingkan dengan sebelum dilakukannyapembelajaran (Gambar 4)

Gambar 4Grafik Ketuntasan Klasikal

Hasil Belajar Pemahaman Konsep

(3) 100% indikator mencapai ketuntasan denganpersentase ketercapaian indikator pada masing-masingkelas adalah 83,10% (Kelas A), 81,15% (Kelas B), dan83,40% (Kelas C). Ketuntasan ini meningkat secarasignifikan jika dibandingkan dengan sebelumdilakukannya pembelajaran (Gambar 5).

Page 93: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 224

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

Gambar 5Grafik Ketuntasan Indikator

Tes Pemahaman Konsep

Pencapaian pemahaman konsep yang baik inimerupakan implikasi dari penerapan pembelajaraninkuiri berbantuan program simulasi PhET, yangdibuktikan dengan hasil analisis perbedaan hasil belajardan sensitivitas soal. Dari hasil uji beda menggunakandependent t-test (paired sample t test) melalui programSPSS pada taraf signifikansi = 0,05 diperoleh P value= 0,000 atau < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yangsignifikan antara hasil belajar sebelum dan sesudahdilakukannya pembelajaran inkuiri berbantuan programsimulasi PhET. Perbedaan hasil belajar yang signifikanpada masing-masing kelas implementasi ini merupakanefek dari perlakuan yang diberikan kepada siswa berupapembelajaran yang menerapkan perangkatpembelajaran Kelas Berbantuan paket simulasi PhET,dimana 20 (dua puluh) butir soal yang digunakanmengukur hasil belajar pemahaman konsep siswamemiliki sensitivitas yang baik ( 0,30). Dari Gambar 6diketahui bahwa rata-rata nilai sensitivitas soal yangdiperoleh dari ketiga kelas implementasi adalah 0,56.

Gambar 6Grafik Sensitivitas SoalTes Pemahaman Konsep

(4) Keterampilan Proses SainsPengukuran hasil belajar keterampilan proses

sains siswa dengan menggunakan instrumen tesketerampilan proses sains pada ketiga kelasimplementasi sebelum dan sesudah dilakukannyapembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET menunjukkan hasil sebagai berikut:a. Perolehan nilai rata-rata siswa pada setiap kelas

implementasi sebesar 82,87 (Kelas A), 82,14 (KelasB), dan 81,79 (Kelas C). Perolehan ini meningkat

secara signifikan jika dibandingkan denganperolehan sebelum pembelajaran (Gambar 7).

Gambar 7Grafik Ketuntasan Individual

Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains

b. Ketuntasan klasikal terlampaui, karena 86,21%siswa tuntas pada Kelas A, 89,29% pada Kelas B,dan 86,21% pada Kelas C , masing-masing 85%.Ketuntasan ini meningkat secara signifikan jikadibandingkan dengan sebelum dilakukannyapembelajaran (Gambar 8)

Gambar 8Grafik Ketuntasan Klasikal

Hasil Belajar Keterampilan Proses Sains

c. 85,71% indikator mencapai ketuntasan. Terdapatsatu indikator yang masih belum mencapaiketuntasan yaitu indikator 4 (merumuskan definisioperasional variabel) karena persentaseketercapaiannya 75%, yaitu 58% (Kelas A), 65%(Kelas B), dan 63% (Kelas C). Ketuntasan inimeningkat secara signifikan jika dibandingkandengan sebelum dilakukannya pembelajaran(Gambar 9).

Page 94: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 225

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

Gambar 9Grafik Ketuntasan Indikator

Tes Keterampilan Proses Sains

Pencapaian hasil belajar keterampilan prosessains yang baik ini merupakan implikasi dari penerapanpembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET, yang dibuktikan dengan hasil analisis perbedaanhasil belajar dan sensitivitas soal. Dari hasil uji bedamenggunakan dependent t-test (paired sample t test)melalui program SPSS pada taraf signifikansi = 0,05diperoleh P value = 0,000 atau < 0,05 sehingga terdapatperbedaan yang signifikan antara hasil belajar sebelumdan sesudah dilakukannya pembelajaran inkuiriberbantuan program simulasi PhET. Perbedaan hasilbelajar yang signifikan pada masing-masing kelasimplementasi ini merupakan efek dari perlakuan yangdiberikan kepada siswa berupa pembelajaran yangmenerapkan perangkat pembelajaran inkuiri berbantuanprogram simulasi PhET, dimana 7 (tujuh) butir soalyang digunakan mengukur hasil belajar keterampilanproses sains memiliki sensitivitas yang baik ( 0,30).Dari Gambar 10 diketahui bahwa rata-rata nilaisensitivitas soal yang diperoleh dari ketiga kelasimplementasi adalah 0,73.

Gambar 10Grafik Sensitivitas Soal

Tes Keterampilan Proses Sains

(5) Aktivitas SiswaSecara umum siswa memiliki keterlibatan yang

cukup tinggi dalam kegiatan pembelajaran pada ketigakelas implementasi yang menggunakan perangkatpembelajaran inkuiri berbantuan program simulasi

PhET (Gambar 11). Keterlibatan siswa yang tinggitersebut misalnya: melibatkan diri dalam kelompokuntuk merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel,dan merumuskan definisi operasional variabel rata-ratasebesar 17,16%, melibatkan diri secara aktif di dalamkelompok untuk mengumpulkan data denganmenggunakan prosedur percobaan yang diberikan gurupada LKS rata-rata sebesar 17,57%, melibatkan dirisecara aktif di dalam kelompok untuk menganalisis datarata-rata sebesar 5,70% dan melibatkan diri secara aktifdi dalam kelompok untuk merumuskan kesimpulanpercobaan/eksperimen rata-rata sebesar 5,64%.

Gambar 11Grafik Aktivitas Siswa

Keterlibatan siswa juga cukup baik padaaktivitas lainnya, misalnya: menyimak danmemperhatikan penjelasan guru rata-rata sebesar11,79%, melibatkan diri secara aktif dalam kegiatandiskusi kelas rata-rata sebesar 11,59%, dan melibatkandiri dalam penyelesaian soal atau masalah untukmenerapkan konsep/prinsip/hukum /teori dalam situasiyang lain rata-rata sebesar 10,93% , sedangkan aktivitasyang tidak relevan dengan pembelajaran relative rendahyaitu 0,17%.

(6) Respon SiswaSecara keseluruhan, respon siswa terhadap

pembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET adalah positip, baik terhadap mataeri atau isipelajaran, pendekatan pembelajaran inkuiri yangdigunakan, keterampilan proses sains yang dilatihkan,perangkat pembelajaran yang digunakan, pengelolaanpembela-jaran, maupun terhadap tes hasil belajarpemahaman konsep dan keterampilan proses yangdilakukan. Rata-rata respon siswa untuk setiap aspekyang ditanyakan pada ketiga kelas implementasi,berkisar 77% - 100%, kecuali pada aspek kemudahandalam mengikuti komponen-komponen keterampilanproses sains yang dilatihkan guru terdapat 39% siswapada kelas Kelas A, 39% siswa pada kelas Kelas B,dan 35% siswa pada kelas Kelas C memberikan responbahwa merumuskan definisi operasional variabelmerupakan hal yang sulit bagi siswa. Hal ini sejalandengan hasil temuan Nur (2010) yang menyatakanbahwa siswa SMP dan SMA tampak asing dengantugas perumusan definisi operasional variabel, bahkanguru sendiri ternyata juga belum menguasai caramerumuskan definisi operasional variabel. Hal ini dapatterjadi karena kemampuan merumuskan definisi

Page 95: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 226

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

operasional variabel adalah keterampilan proses sainsyang level kognitifnya berada pada level mencipta ataumengkreasi (C6), sehingga jika siswa belum terlatihuntuk keterampilan ini, maka sulit baginya untuk dapatmelakukannya.

(7) Kendala-kendala PembelajaranKendala utama yang dihadapi selama

dilaksanakannya implementasi terhadap perangkatpembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET adalah siswa masih merasa sulit dalammerumuskan definisi operasional variabel sebagaimanadiidentifikasi oleh para pengamat. Kendala ataupermasalahan tersebut dapat terjadi karena siswamemang belum terbiasa menyelesaikan masalahpercobaan/eksperimen dengan keterampilan prosessains. Adanya kendala tersebut menjadi penyebab tidaktercapainya ketuntasan hasil belajar keterampilanproses pada indikator 4, yaitu merumuskan definisioperasional variabel, Menyikapi kendala itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: (1) melatihkanketerampilan proses sains secara berkelanjutan padasetiap pembelajaran IPA oleh semua guru IPA yang adadi sekolah, sehingga dapat membiasakan siswa denganberbagai jenis keterampilan proses sains yang perludikuasai, khususnya dalam merumuskan definisioperasional variabel, (2) mengalokasikan waktu di luarjadwal kegiatan pembelajaran, misalnya melaluikegiatan KIR untuk melatih siswa merancangpercobaan dalam rangka melatihkan keterampilanproses, dan (3) menyediakan panduan keterampilanproses yang mudah dipahami oleh siswa, sebagaipetunjuk bagi siswa dalam melaksanakan penyelidikanilmiah dalam pembelajaran IPA.

Hasil-hasil yang diperoleh sebagaimanadiuraikan di atas, menunjukkan bahwa perangkatpembelajaran inkuiri berbantuan program simulasiPhET yang dikembangkan dapat diterapkan sebagaisolusi dalam mengatasi masalah-masalah pembelajaranyang dihadapi, yaitu untuk: (1) melatihkanketerampilan proses sains kepada siswa yang selama inijarang dilakukan, (2) memberikan kesempatan yanglebih banyak kepada siswa untuk mengembangkanketerampilan proses sains melalui aktivitas eksperimenatau percobaan di laboratorium, dan (3) sebagaialternatif solusi bagi guru yang dapat digunakan untukmelakukan eksperimen atau percobaan melaluilaboratorium virtual menggunakan program simulasiPhET jika terkendala karena keterbatasan peralatan lab.Hal ini dapat dipahami karena simulasi PhET dirancangsedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah merangkaidan menggunakan alat yang sebenarnya dalamlaboratorium. Dengan sifatnya yang demikian, simulasiPhET dapat difungsikan sebagai laboratorium virtual.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan temuan-temuan dari pelaksanaanimplementasi perangkat pembelajaran yang dikembang-kan, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaraninkuiri berbantuan program simulasi PhET untukmelatihkan keterampilan proses sains dan pemahaman

konsep IPA memiliki kelayakan, keterlaksanaan, dankeefektifan yang baik sehingga layak untukdiimplementasikan pada pembelajaran IPA di kelas VIIuntuk materi asam, basa, dan garam.

Saran-saran

(1) Pengorganisasian waktu dalam kegiatanpembe-lajaran perlu lebih diefektifkan agar seluruhtahapan kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakansecara utuh, (2) Keterampilan proses sains perludilatihkan secara berkelanjutan pada setiappembelajaran IPA oleh semua guru IPA yang ada disekolah, sehingga dapat membiasakan siswa denganberbagai jenis keterampilan proses sains yang perludikuasai, dan (3) Perlu dialokasikan waktu di luarjadwal kegiatan pembelajaran, misalnya melaluikegiatan KIR untuk memfasilitasi siswa melakukankegiatan penyelidikan ilmiah dalam rangka melatihkanketerampilan proses, sehingga dapat mengatasikesulitan yang dialami siswa dalam merumuskandefinisi operasional variabel.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. 2007. Learning To Teach. New York:McGraw Hill Companies, Inc.

Baser, M., Durmus, Soner. 2010. “The Effectiveness ofComputer Supported Versus Real LaboratoryInquiry Learning Environtments on TheUnderstanding of Direct Current Electricityamong Pre-Service Elementary SchoolTeachers”. Eurasia Journal of Mathematics,Science, and Technology Education. Vol. 6 No.2. pp 47 - 61

Bell, Randi L., Smetana, L., Binns, I. 2005.“Simplifying Inquiry Instruction: Assesing TheInquiry Level of Classroom Activities”. TheScience Teacher. Vol. 72 No. 7 . pp 30 – 33

Borich, G.D. 1994. Observation Skills for EffectiveTeaching. New York: Macmillan PublishingCompany

Collette, A.T. dan Chiapetta, E.L. 1994. ScienceInstruction in The Middle and SecondarySchools. New York: Macmillan PublishingCompany

Darmawati. 2012. “Model Pembelajaran Kelas BerbasisPaket Program Simulasi PhET untuk MelatihkanKeterampilan Proses Sains Siswa pada KonsepListrik Dinamis. Tesis Magister Pendidikan,Universitas Negeri Surabaya

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri PendidikanNasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang StandarIsi untuk Satuan Pendidikan Dasar danMenengah. Jakarta: Depdiknas

Eggen, Paul D. dan Kauchak, D.P. 2012. Strategies andModels for Teachers: Teaching Content and

Page 96: JPPS%20vol.%202%2C%20No.%203%2C%20April%202014.pdf

Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

| 227

Vol. 2 No. 3, April 2014

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Program Simulasi Phet untuk Melatihkan KeterampilanProses dan Pemahaman Konsep IPA

Thinking Skills, 6th Edition. Boston: PearsonEducation Inc

Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.Grasindo

Ibrahim, M. 2005. Assesmen Berkelanjutan. Surabaya:Unesa University Press.

Ibrahim, M. 2010. Pengembangan PembelajaranBerbasis Inkuiri, Modeling, dan Eksperimen.Makalah Seminar Yayasan Beasiswa TunasBangsa Surabaya

Krathwohl, D. R. 2002. “A Revision of Bloom'sTaxonomy: An Overview”. Theory IntoPractice. Vol 41 No. 4 Autumn 2002. pp. 212 –218.

Liliasari, Iriany, dan Setiabudi, A. 2010. ModelPembelajaran Inkuiri Laboratorium BerbasisTeknologi Informasi pada Konsep Laju Reaksiuntuk Meningkatkan Keterampilan GenerikSains dan Keterampilan Berpikir Kreatif SiswaSMU. Penelitian Sekolah Pascasarjana UPI,Bandung

Nur, M. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya:University Press

Nur, M., Rahayu, Y.S., Wasis, Isna, dan Subekti, H.2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaranuntuk Memberi Kemudahan Guru Mengajar danSiswa Belajar IPA dan Keterampilan Berpikir.Laporan Penelitian Hibah Kompetensi.Surabaya: Unesa.

Nur, M. 2011. Modul Keterampilan-keterampilanProses Sains. Surabaya: Pusat Sains danMatematika Sekolah Unesa.

Pavelich, M.J., dan Abraham, M.R. 1979. “An InquiryFormat Laboratory Program for GeneralChemistry”. Journal of Chemical Education.Vol 56. pp 100 – 103.

Ridwan, M. 2012. “Keterbacaan wacana dalam bukuteks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP /MTs kelas VIII Karangan Wahono Terbitan CVGita Perdana Tahun 2010”. Jurnal Kata(Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya). Vol. 1No. 2. Hal 14 – 27

Rustaman. 2010. Model-model PembelajaranMengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Rusmiyati dan Yulianto. 2009. “PeningkatanKeterampilan Proses Sains dengan MenerapkanModel Problem Based Instruction”. JurnalPendidikan Fisika Indonesia. Vol 7 No. 5. Hal.75 – 78. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ JPFI/article/view/1013 . diakses29 Maret 2013.

Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology: Theoryand Practise. Massachusetts: Allyn and Bacon.

Sodiq, S. 2009. Pengembangan Materi KecakapanHidup pada Buku Pelajaran Bahasa Indonesiadengan Model Pembelajaran Literasi. DisertasiUniversitas Negeri Surabaya.

Suryadi, A. 2007. “Tingkat Keterbacaan Wacana Sainsdengan Teknik Klos”. Jurnal Sosioteknologi.Edisi 10 Tahun 6. Hal 196 – 200

Taylor, J., Scanlon, E., and Hodgson, B. 1997.“Multimedia and Science Education”.Education Research and Perspectives, SpecialIssue on Multimedia Technologies andEducation, Vol. 23, No. pp 48 - 59

Thiagarajan, S. 1974. Instructional Development forTraining Center of Exceptional Children.Minepolish: Indiana University.

Thoman, E., dan Jolls, T. 2004. “Media Literacy: ANational Priority for a Changing World.American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 1,pp 18 - 29

Toharuddin, U., Hendrawati, S., dan Rustaman, A.2011. Membangun Literasi Sains Peserta Didik.Bandung: Humaniora

University of Colorado. 2011. PhET Interactive ScienceSimulations. http://phet.colorado.edu/en/get-phet/full-install diunduh 19 Desember 2012

Vajoczki, S., Watt, S., Vine, M.M., dan Liao, X. 2011.“Inquiry Learning: Level, Dicipline, Class Size,What Matter?”. International Journal for TheScholarship of Teaching and Learning, Vol. 5No. 1, pp 1 – 11

Wellington, J. 2004. “Multimedia in ScienceTeaching”. Barton, R. (Ed). TeachingSecondary Science with ICT. Berkshire,England: Open University Press