Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah,...

180
ISSN : 1410 - 4350 e-ISSN : 2443 - 3853 Journal of Social Science and Religion Office of Religious Research and Development Ministry of Religious Affairs Semarang Volume 22 No 01 June 2015 Volume Vol 22 No 01 June 2015 | 1 - 160 Journal Volume 22 NO. 01 Page. 1-160 Semarang June 2015 ISSN 1410 - 4350 PLURALISM AND RELIGIOUS HARMONY IN RELIGIOUS ELITES PERSPECTIVES IN MALANG CITY Umi Sumbulah GATE KEEPER’S ROLE IN BUILDING NETWORK OF INTERRELIGIOUS FIGURES BASED LOCAL WISDOM IN GRESIK Setyo Boedi Oetomo SOCIAL INTEGRATION MANAGEMENT OF PLACES OF WORSHIP FOR ISLAM AND CHRISTIAN IN SURAKARTA Lilam Kadarin Nuriyanto LEARNING FROM THE SOCIO-RELIGIOUS INTEGRATION IN SOLOR VILLAGE INDONESIA Irene Ludji & Mariska Lauterboom TRADITION OF HILEYIYA: THE INTERACTION BETWEEN RELIGION AND TRADITIONS IN GORONTALO IN SOCIOLOGY OF ISLAMIC LAW PERSPECTIVE Rizal Darwis WOMEN LEADERSHIP IN LOCAL WISDOM PERSPECTIVE: BUGIS MUSLIMS SCHOLARS' THOUGHT AND BUGIS CULTURE Muhammad Yusuf RELIGION IN THE CONSTRUCTION OF MASS MEDIA; A STUDY ON THE KOMPAS AND REPUBLIKA FRAMING OF THE TERRORISM NEWS Zakiyah THE RECEPTION OF ISLAMIC RELIGIOUS ACTIVISTS (ROHIS) ON RELIGIOUS READING MATERIALS IN SMAN 48 EAST JAKARTA AND SMA LABSCHOOL EAST JAKARTA Mahmudah Nur RELIGIOUS VALUES IN TINGKILAN SONG LYRICS Muhammad Sadli Mustafa INTEGRATED ISLAMIC PRIMARY SCHOOL IN THE MIDDLE-CLASS MUSLIMS INDONESIA CONCEPTION Suyatno INCULCATION NATION CHARACTER VALUES THROUGH ISLAMIC RELIGIOUS EDUCATION SUBJECT IN PUBLIC SENIOR HIGH SCHOOL (Case Studies Public Senior High School 1 Kudus And Public Senior High School 1 Jepara) Yustiani CONTRIBUTION OF MADRASAH IN ENHANCING CURICULUM 2013 (A Study On The Readiness Of Madrasah In Implementing Of Curiculum 2013 In Central Java) Mulyani Mudis Taruna Accredited by LIPI Number: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013 e-ISSN 2443 - 3853

Transcript of Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah,...

Page 1: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

ISSN : 1410 - 4350e-ISSN : 2443 - 3853

Journal of Social Science and Religion

Office of Religious Research and Development Ministry of Religious AffairsSemarang

Volume 22 No 01 June 2015

Vo

lum

e V

ol 2

2 N

o 0

1 Ju

ne 2

01

5 | 1

- 16

0

Journal Volume 22

NO.01

Page.1-160

SemarangJune 2015

ISSN1410 - 4350

PLURALISM AND RELIGIOUS HARMONY IN RELIGIOUS ELITES PERSPECTIVES IN MALANG CITYUmi Sumbulah

GATE KEEPER’S ROLE IN BUILDING NETWORK OF INTERRELIGIOUS FIGURES BASED LOCAL WISDOM IN GRESIKSetyo Boedi Oetomo

SOCIAL INTEGRATION MANAGEMENT OF PLACES OF WORSHIP FOR ISLAM AND CHRISTIAN IN SURAKARTALilam Kadarin Nuriyanto

LEARNING FROM THE SOCIO-RELIGIOUS INTEGRATION IN SOLOR VILLAGE INDONESIA Irene Ludji & Mariska Lauterboom

TRADITION OF HILEYIYA: THE INTERACTION BETWEEN RELIGION AND TRADITIONS IN GORONTALO IN SOCIOLOGY OF ISLAMIC LAW PERSPECTIVE Rizal Darwis

WOMEN LEADERSHIP IN LOCAL WISDOM PERSPECTIVE: BUGIS MUSLIMS SCHOLARS' THOUGHT AND BUGIS CULTURE Muhammad Yusuf

RELIGION IN THE CONSTRUCTION OF MASS MEDIA; A STUDY ON THE KOMPAS AND REPUBLIKA FRAMING OF THE TERRORISM NEWS Zakiyah

THE RECEPTION OF ISLAMIC RELIGIOUS ACTIVISTS (ROHIS) ON RELIGIOUS READING MATERIALSIN SMAN 48 EAST JAKARTA AND SMA LABSCHOOL EAST JAKARTAMahmudah Nur

RELIGIOUS VALUES IN TINGKILAN SONG LYRICS Muhammad Sadli Mustafa

INTEGRATED ISLAMIC PRIMARY SCHOOL IN THE MIDDLE-CLASS MUSLIMS INDONESIA CONCEPTIONSuyatno

INCULCATION NATION CHARACTER VALUES THROUGH ISLAMIC RELIGIOUS EDUCATION SUBJECT IN PUBLIC SENIOR HIGH SCHOOL(Case Studies Public Senior High School 1 Kudus And Public Senior High School 1 Jepara)Yustiani

CONTRIBUTION OF MADRASAH IN ENHANCING CURICULUM 2013(A Study On The Readiness Of Madrasah In Implementing Of Curiculum 2013 In Central Java)Mulyani Mudis Taruna

Accredited by LIPI Number: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

e-ISSN2443 - 3853

Page 2: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

ANALISA Journal of Social Science and Religion diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengem-bangan Agama Semarang dengan tujuan untuk mewadahi, menyebarluaskan dan pertukaran pemikiran tentang wacana ilmiah bidang keagamaan. Naskah yang dimuat dalam jurnal berasal dari hasil penelitian maupun kajian kritis para peneliti atau akademisi yang berkaitan dengan permasalahan Kehidupan Keagamaan, Pendidikan Agama dan Keagamaan, dan Lektur dan Kha-zanah Keagamaan. ANALISA Journal of Social Science and Religion terbit pertama kali pada bulan Maret tahun 1996 dengan frekuensi dua kali dalam setahun, kini terbit setiap bulan Juni

dan Desember.

Penanggung JawabProf. (R) Dr. Koeswinarno, M.Hum.

Mitra bestariProf. Florian Pohl

Prof. Dr. Dwi Purwoko, M.Si. APU. (Agama dan Tradisi Keagamaan/ LIPI)Prof. Dr. H. Muslich Shabir, M.A. (Lektur dan Khazanah Keagamaan/ IAIN Walisongo)

Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag. (Ilmu Pendidikan Islam/ UIN Sunan Kalijaga)Prof. Dr. Phil. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A. (Filsafat Ilmu Sosial Budaya/ UGM)

Dr. Iwan Junaidi, S.Si., M.Pd. (Pendidikan/ UNNES)Moh Yasir Alimi, S.Ag., M.A., Ph.D. (Antropologi Agama/ UNNES)

PeMiMPin redaksiDrs. H. Sulaiman, M.Ag. (Kehidupan Keagamaan)

redaktur PelaksanaA.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I. (Pendidikan Keagamaan)

dewan redaksiDrs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd. (Pendidikan Keagamaan)

Samidi, S.Ag., M.S.I. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)Zakiyah, S.Ag., M.A. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)

Moh. Hasim, S.Sos.I, M.Pd. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)sekretaris redaksi

Mustolehudin, S.Ag., S.IPI., M.S.I.lay-outer

Muhammad Purbaya, S.Kom.Musafak, S.Pd.

Ari Yani Mahmud, Amd.alaMat redaksi

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. (024) 7601327. Fax (024) 7611386email: [email protected]

Volume 22 No. 01 Juni 2015

ISSN : 1410 - 4350/ e-ISSN: 2443 - 3859

AnalisaJournal of Social Science and Religion

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Page 3: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

i

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 Nomor 01 Juni 2015

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Analisa Vol. 22 No. 1 tahun 2015 terbit dengan tampilan yang berbeda. Pertama, dalam volume ini, Analisa mengalami perubahan nama, dari Analisa: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, berubah menjadi Analisa Journal of Social Science and Religion. Kedua, Analisa terbit dalam dua versi, yaitu versi cetak dan versi on-line (e-Juornal). Ketiga, meskipun sudah terbit dalam versi on-line, akan tetapi penerbitan tersebut belum sepenuhnya on-line (daring). Hal ini dikarenakan tim Analisa masih dalam proses belajar mengelola jurnal dengan system Open Journal System (OJS).

Artikel-artikel yang dimuat dalam volume ini telah diseleksi oleh dewan redaksi dan mitra bebestari. Selanjutnya dilakukan lay out dan diupload ke dalam web site blasemarang.kemenag.go.id. Penerbitan dalam versi online dengan e-ISSN 2443-3853 ini merupakan satu tahapan yang dilakukan Jurnal Analisa dalam rangka menuju Jurnal Internasional yang akan diproyeksikan pada tahun 2016.

Artikel yang diterbitkan dalam Volume 22 No 1 tahun 2015 ini mencoba melihat Indonesia sebagai negara multikulturalis yang memiliki kekayaan luar biasa. Kekayaan tersebut berupa variasi agama besar dan agama lokal, etnisitas, serta budaya masyarakat yang berbeda-beda. Tercatat 6 agama besar yang hidup di Indonesia, belum lagi agama-agama lokal serta aliran kepercayaan yang hidup pada masyarakat tertentu di berbagai daerah di Indonesia. Dilihat dari jumlah etnis yang ada di Indonesia tercatat lebih dari 1000 suku bangsa yang mendiami wilayah di Indonesia dengan budayanya masing-masing.

Jika tidak dikelola secara baik multikulturalisme di Indonesia akan menimbulkan potensi konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa, baik disharmoni intern agama, antaragama, antarsuku, bahkan antarbudaya baik secara tertutup maupun covert conflict (terbuka). Furnivall sebagaimana dikutip Nasikun (1985, 35-44) mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok budaya juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa di samping terdiferensiasi secara kelompok, etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik oleh gate keeper perdamaian maka potensi konflik akan semakin besar.

Terkait dengan hal tersebut artikel Umi Sumbulah tentang pluralisme dan kerukunan umat beragama perspektif elite agama di Kota Malang mencoba menggambarkan pandangan elite agama tentang pluralisme dan kerukunan umat beragama di Kota Malang. Pandangan terhadap pluralisme berupa makna pluralisme bagi elite agama meliputi toleransi, saling menghargai, tujuan semua agama sama, dan menyadari kenyataan bahwa terdapat banyak agama di dunia ini. Kerukunan umat beragama memiliki makna sebagai suatu kondisi di mana tidak ada opresi dan dominasi satu agama atas agama lain, dan terbangunnya kesadaran mendalam atas keragaman, penghormatan atas hak asasi manusia, dan kemauan untuk menebar kebaikan dan cinta kasih kepada sesama manusia. Sikap positif pendukung terciptanya harmoni agama-agama adalah adanya kemauan dan kesadaran untuk saling memahami dan berbagi pengalaman. Egoisme, truth claim, fanatisme, dan eksklusivisme merupakan sikap dan ekspresi negatif yang disadari oleh para elite agama dapat mengganggu terbangunnya keharmonisan antarumat beragama.

Page 4: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

ii

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

Menciptakan harmoni umat beragama dibutuhkan tokoh-tokoh kunci yang berperan sebagai gate keeper perdamaian seperti jaringan tokoh lintas agama serta tokoh adat tanpa memandang jenis kelamin dengan tidak lupa mengusung kearifan lokal masyarakat. Artikel Setyo Boedi Oetomo, Lilam Kadarin Nuryanto, Irine Ludjie dan Mariska Louterboom, Rizal Darwis, dan Muhammad Yusuf, mencoba melihat lebih dalam peran gate keeper dalam membangun rasa saling percaya antartokoh lintas agama. Peran gate keeper dalam menumbuhkan harmonisasi dan toleransi antarumat beragama sangat penting baik pada persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, kerjasama, gotong-royong, dan sikap saling menghormati dalam menjalankan ibadah, sikap inklusif dalam beragama, serta adanya kearifan sikap saling terbuka dalam menyikapi kegiatan yang diadakan antartempat ibadah yang berdekatan dalam berbagai bentuk integrasi sosial.

Selain tokoh-tokoh agama, media massa ikut andil mensosialisasikan peran gate keeper dalam menciptakan kerukunan intern dan antarumat beragama. Pemberitaan-pemberitaan yang ada di media massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat melalui berita-berita yang disajikannya. Analisis framing yang dilakukan pada 2 buah media terbesar di Indonesia oleh Zakiyah dalam penelitiannya menunjukan bahwa pemberitaan melalui media massa turut mendukung suasana kondusif masyarakat Indonesia.

Selain media massa, gatekeeper harmonisasi masyarakat Indonesia dapat juga dilakukan melalui budaya lokal seperti seni musik tradisonal yang liriknya membawa pesan-pesan moral penjaga perdamaian. Salah satu seni musik tradisonal pembawa pesan-pesan perdamaian adalah seni musik tingkilan dari Kalimantan Timur yang lirik-liriknya berisi muatan religius. Muhammad Sadli Musthafa menggambarkan bahwa lirik-lirik yang terdapat dalam seni musik tradisonal tingkilan menjadikan masyarakat lokal belajar untuk selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Dengan rasa syukur tersebut harapan tercapainya kerukunan antar umat beragama dapat terjalin dengan baik.

Selain tokoh agama, tokoh masyarakat, media massa, serta budaya lokal, gate keeper perdamaian juga dapat dilakukan melalui kurikulum pada lembaga pendidikan formal di Indonesia baik sekolah maupun madrasah. Artikel penelitian yang ditulis oleh Suyatno, Yustiani, dan Mulyani Mudis Taruna mencoba menggambarkan bahwa lembaga pendidikan formal di Indonesia mulai sekolah dasar hingga SMA telah berusaha menanamkan nilai-nilai moral agama dan karakter bangsa melalui proses pembelajaran disekolah. Murraby (guru) merupakan tauladan pertama dan factor kunci penanaman nilai moral dan karakter bangsa di sekolah yang diikuti oleh komponen sekolah yang lain serta kurikulum sekolah yang mengacu kurikulum nasional. Kurikulum yang yang sering terjadi di Indonesia telah menyebabkan lembaga pendidikan formal harus meresponnya secara cepat sehingga dibutuhkan kesiapan yang matang oleh komponen sekolah.

Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan selamat membaca.

Semarang, Juni 2015

Redaksi

Page 5: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

iii

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

UCAPAN TERIMA KASIH

Segenap Dewan Redaksi ANALISA Journal of Social Science and Religion Balai Litbang Agama Semarang mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Florian Pohl

2. Prof. Dr. Dwi Purwoko, M.Si (APU)

3. Prof. Dr. H. Muslich Shabir, M.A.

4. Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag.

5. Prof. Dr. Phil. Shri Ahimsa Putra, M.A.

6. Dr. Iwan Junaedi, S.Si., M.Pd.

7. Moh Yasir Alimi, S.Ag., M.A., Ph.D.

selaku Mitra Bestari Analisa: Journal of Social Scince and Religion Volume 22 No. 01 June Tahun 2015. Kami menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para mitra bestari yang telah melakukan review terhadap naskah untuk edisi ini. Semoga kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Semarang, Juni 2015

Dewan Redaksi

Page 6: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

iv

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

Page 7: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

v

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

DAFTAR ISI

Volume 22 No. 01 June 2015Halaman 1-160

ISSN : 1410 - 4350/ e-ISSN: 2443 - 3859

AnalisaJournal of Social Science and Religion

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Pengantar Redaksi :: iUcapan Terima Kasih :: iiiDaftar Isi :: vLembar Abstrak :: vii

PLURALISME DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA PERSPEKTIF ELITE AGAMA DI KOTA MALANGPluralism and Religious Harmony in Religious Elites Perspectives in Malang CityUmi Sumbulah :: 1-13

PERAN GATE KEEPER DALAM MEMBANGUN JARINGAN TOKOH LINTAS AGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI GRESIKGate Keeper’s Role in Building Network of Interreligious Figures Based Local Wisdom in GresikSetyo Boedi Oetomo :: 15-27

INTEGRASI SOSIAL PENGELOLAAN RUMAH IBADAH ISLAM DAN KRISTEN DI SURAKARTASocial Integration Management of Places of Worship for Islam and Christian in SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto :: 29-41

LEARNING FROM THE SOCIO-RELIGIOUS INTEGRATION IN SOLOR VILLAGE INDONESIAModel Masyarakat Harmoni dalam Integrasi Sosio-Religius di Kampung SolorIrene Ludji dan Mariska Lauterboom :: 43-56

TRADISI HILEYIYA: PERSINGGUNGAN ANTARA AGAMA DAN TRADISI PADA MASYARAKAT KOTA GORONTALO PERSEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAMTradition of Hileyiya: The Interaction Between Religion and Traditions in Gorontalo in Sociology of Islamic Law Perspective Rizal Darwis :: 57-68

Page 8: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

vi

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL: PEMIKIRAN ULAMA BUGIS DAN BUDAYA BUGIS Women Leadership In Local Wisdom Perspective: Bugis Muslims Scholars’ Thought And Bugis CultureMuhammad Yusuf :: 69-81

AGAMA DALAM KONSTRUKSI MEDIA MASSA; STUDI TERHADAP FRAMING KOMPAS DAN REPUBLIKA PADA BERITA TERORISMEReligion in the Construction of Mass Media; A Study on the Kompas and Republika Framing of the Terrorism NewsZakiyah :: 83-96

RESEPSI AKTIVIS ROHANI ISLAM (ROHIS) TERHADAP BAHAN BACAAN KEAGAMAAN DI SMAN 48 JAKARTA TIMUR DAN SMA LABSCHOOL JAKARTA TIMURThe Reception of Islamic Religious Activists (Rohis) on Religious Reading Materials in SMAN 48 East Jakarta and SMA Labschool East Jakarta Mahmudah Nur :: 97-108

NILAI KEAGAMAAN DALAM LIRIK LAGU TINGKILANReligious Values in Tingkilan Song LyricsMuhammad Sadli Mustafa :: 109-120

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU DALAM KONSEPSI KELAS MENENGAH MUSLIM INDONESIAIntegrated Islamic Primary School In The Middle-Class Muslims Indonesia ConceptionSuyatno:: 121-133

PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA NEGERI (Studi Kasus SMA Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Jepara)Inculcation Nation Character Values Through Islamic Religious Education Subject in Public Senior High School (Case Studies Public Senior High School 1 Kudus and Public Senior High School 1 Jepara)Yustiani S:: 135-147

KONTRIBUSI MADRASAH DALAM PENGUATAN KURIKULUM 2013(Studi tentang Kesiapan Madrasah Dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 di Jawa Tengah)Contribution of Madrasah in Enhancing Curiculum 2013 (A Study on the Readiness of Madrasah in Implementing of Curiculum 2013 in Central Java)Mulyani Mudis Taruna :: 149-160

Page 9: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

vii

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

LEMBAR ABSTRAK

ISSN: 1410 - 4350/ e-ISSN: 2443 - 3859Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Terbit: Juni 2015Date of Issue: 2015 June

Kata-kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh disalin tanpa ijin dan biaya.

The keywords included are free terms. This abstract sheet may be copied without permission and charge.

DDC. 291.359 8Sumbulah, Umi (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangPluralism and Religious Harmony in Religious Elites Perspectives in Malang CityAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 1 – 13

Abstract

This study aims to understand the religious elite view of pluralism and religious harmony in Malang. The study was focused on the meaning of pluralism and religious harmony, efforts and things that support and hinder the realization of religious harmony. Empirical research data with qualitative-phenomenological approach was collected through inter-views and documentation. The results show: first, the meaning of religious pluralism for the religious elites is very varied, which is the same as tolerance, mutual respect, the goal of all religions are the same, and recognize the fact that there are many religions in this world. Second, religious harmony have meaning as a condition where there is no oppression and domination of one religion over other religions, awakening a deep awareness of diversity, respect for human rights, and the willingness to spread kindness and love for fellow human beings. Third, religious harmony can be achieved through internal efforts to strengthen the faith of each and build awareness to develop a positive attitude towards other religions. In external efforts to create harmony done through emancipatory dialogue and cooperation to resolve humanitarian issues. Fourth, positive attitude that supports the creation of harmony of religions is the willingness and awareness to understand each other and share experiences. Egoism, truth claims, fanaticism, and exclusivism is a negative attitude and expression recognized by the religious elite can interfere with the establishment of inter-religious harmony.

Keywords: pluralism, tolerance, religious harmony(Author)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pandangan elite agama tentang pluralisme dan kerukunan umat beragama di Kota Malang. Kajian difokuskan pada makna pluralisme dan kerukunan umat beragama, upaya-upaya serta hal-hal yang mendukung dan menghambat terwujudnya kerukunan umat beragama. Data penelitian empiris dengan pendeka-tan kualitatif-fenomenologis ini dikumpulkan melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan: pertama, makna pluralisme agama bagi elite agama-agama sangat variatif, yakni sama dengan toleransi, saling meng-hargai, tujuan semua agama sama, dan menyadari kenyataan bahwa terdapat banyak agama di dunia ini. Kedua, kerukunan umat beragama memiliki makna sebagai suatu kondisi dimana tidak ada opresi dan dominasi satu agama atas agama lain, terbangunnya kesadaran mendalam atas keragaman, penghormatan atas hak asasi manusia, dan ke-mauan untuk menebar kebaikan dan cinta kasih kepada sesama manusia. Ketiga, kerukunan umat beragama dapat di-wujudkan melalui upaya-upaya intern dengan penguatan keimanan masing-masing dan membangun kesadaran untuk mengembangkan sikap positif terhadap agama lain. Secara ekternal upaya menciptakan kerukunan dilakukan mela-lui dialog emansipatoris dan kerjasama untuk menyeleseaikan masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, sikap positif yang mendukung terciptanya harmoni agama-agama adalah adanya kemauan dan kesadaran untuk saling memahami dan berbagi pengalaman. Egoisme, truth claim, fanatisme, dan eksklusivisme merupakan sikap dan ekspresi negatif yang disadari oleh para elite agama dapat mengganggu terbangunnya keharmonisan antarumat beragama.

Kata kunci : pluralisme, toleransi, kerukunan umat beragama.(Penulis)

AnalisaJournal of Social Science and Religion

Page 10: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

viii

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

DDC. 291.359 8Oetomo, Setyo Boedi (Balai Litbang Agama Semarang)Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikGate Keeper’s Role in Building Network of Interreligious Figures Based Local Wisdom in GresikAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 15 – 27

Abstract

The composition of community in Gresik which is initially based on the traditional Islam has changed due to the development of non Muslim community and other Islamic sects. These phenomena might cause conflicts between religious followers. To reduce the potency of religious based conflicts, religious leaders use FKUB and FORMALINA as a communication network between believers. This is a qualitative research that concerns on the relationship patterns and the values within networks. Data was collected using FGD, in-depth interviews and document analysis. By analyzing the communication network between actors founded that the pattern of relationships between religious leader well established because there was the actor who played the gate keeper. The actor is capable of filtering information and liaison among actors in FKUB and in FORMALINA. Gate keeper is very crucial role in building mutual trust among actors interfaith. The religious leaders using local wisdom in establishing communication between religious leaders. The values of local wisdom has become a social character of the group.

Keyword: Religious leaders’s network, intercultural communication, gate keeper, local wisdom.(Author)

Abstrak

Komposisi masyarakat Gresik yang awalnya merupakan basis umat Islam tradisional kini telah berubah karena perkembangan masyarakat non Muslim dan penganut paham Islam lainnya. Fenomena ini dapat menyebabkan konflik antar pengikut agama. Untuk mengurangi potensi konflik berbasis agama, tokoh agama menggunakan FKUB dan FORMALINA sebagai jaringan komunikasi antar pemeluk agama. Penelitian ini mengkaji pola hubungan dan nilai-nilai yang berkembang dalam jaringan itu dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan FGD, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Dengan mengalisis jaringan komunikasi antar aktor ditemukan bahwa pola hubungan antar tokoh terjalin baik karena ada aktor yang berperan gate keeper. Aktor ini mampu menyaring informasi sekaligus penghubung antaraktor di FKUB dan di FORMALINA. Peran gate keeper sangat penting dalam membangun rasa saling percaya antartokoh lintas agama. Para tokoh agama menggunakan kearifan lokal dalam menjalin komunikasi antartokoh agama. Nilai-nilai kearifan lokal ini telah menjadi karakter sosial kelompok.

Kata kunci: Jaringan tokoh agama, komunikasi antarbudaya, gate keeper, kearifan lokal, (Penulis)

DDC. 291.359 8Nuriyanto, Lilam Kadarin (Balai Litbang Agama Semarang)Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaSocial Integration Management of Places of Worship for Islam and Christian in SurakartaAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 29 – 41

Abstract

The dynamics of religious life in Surakarta is an interesting topic to be studied. Although this city is labeled as the home of radical Islamic groups in one side, this town has developed inter-religious harmony. This can be seen from the existence of mosque and church that are build side by side, to name among those are; a mosque of Al-Hikmah with a church GKJ Joyodingratan, and a mosque sami’na with a church GBI Prosperous Diaspora. This study uses a qualitative method. There are two main findings of this research. Firstly, there is tolerance initiated by the religious leaders. Secondly, there is cooperation, mutual assistance, and mutual respect in conducting worship. Furthermore, there is an inclusive attitude in practicing their religion, a wise and open attitude in dealing with activities held between nearby places of worship.

Keywords: Surakarta, Mosque, Church, and Management(Author)

Abstrak

Dinamika kehidupan keagamaan di Surakarta, menarik untuk dikaji. Kota ini meskipun di satu sisi dicap sebagai basis Islam radikal, akan tetapi di sisi lain cukup baik dalam pembinaan kerukunan antarumat beragama. Hal ini dibuk-tikan dengan adanya beberapa masjid dan gereja yang saling berdampingan atau berdekatan. Tempat ibadah tersebut adalah masjid Al-Hikmah dengan GKJ Joyodingratan dan masjid Sami’na dengan gereja GBI Diaspora Sejahtera. Den-gan menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini diperoleh dua temuan utama. Pertama, adanya hubungan

Page 11: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

ix

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

toleransi yang dilakukan oleh para pengelola tempat ibadah berdasarkan fisik bangunan dan fungsi sebagai tempat peribadatan. Kedua, terdapat kerjasama, gotong-royong, dan sikap saling menghormati dalam menjalankan ibadah, sikap inklusif dalam beragama, serta adanya kearifan sikap saling terbuka dalam mensikapi kegiatan yang diadakan antar tempat ibadah yang berdekatan.

Kata kunci: Surakarta, Masjid, Gereja, dan Pengelolaan tempat ibadah.(Penulis)

DDC. 291.359 8Ludji, Irine dan Lautherboom, Mariska (Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)Learning From the Socio-Religious Integration in Solor Village Indonesia Model Masyarakat Harmoni dalam Integrasi Sosio-Religius di Kampung SolorAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 43 – 56

Abstract

The Indonesian nation with the motto “Bhineka Tunggal Ika” (Unity in Diversity) is a nation that believes in the beauty of pluralism as the primary model to build unity. Therefore, in building relationships that produce social integration, it should be characterized by acceptance and respect of pluralism and a willingness to learn from this pluralism. Unfortu-nately, the increasing number of conflicts results in the inability of society to tolerate differences, as seen in the nation’s self-identity becoming unstable. It is clear that the national identity needs to be reinforced through strategic steps that are systematic, clear-cut, and integrated, so that the national unity can be strongly united again. One of the ways to ac-complish this is by learning from social integration that occurs in various locations in Indonesia. One such place is in Solor Village, Kupang. In the midst of various conflicts that center on ethnic groups, race, religion, and class issues in Indonesia, the relationship between the indigenous people and newcomers in Solor Village offers an alternative for social integration that can occur in this “Unity in Diversity” nation. This is the focus of this research, which uses a descriptive-qualitative format to analyze social integration strategic issues between newcomers with different religious and cultural backgrounds from the native inhabitants of Solor Village. The research shows that Solor Village residents succeed in building a harmonious life because in facing multiculturalism, religious and cultural values play an important role.Har-monious life in Solor Village confirm that social integration that build on respect to pluralism is possible.

Keywords: social integration, religion, relationships and social change, harmonious society, multiculturalism. (Author)

Abstrak

Bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah bangsa yang meyakini keindahan kemajemukan sebagai modal utama membangun persatuan.Oleh sebab itu, dibangunnya relasi yang menghasilkan integrasi sosial seharusnya bercirikan penerimaan dan penghormatan atas pluralisme dan kesediaan untuk belajar dari kemajemu-kan tersebut.Sayangnya, semakin tingginya angka konflik akibat ketidakmampuan masyarakat untuk bertoleransi terhadap perbedaan membuktikan bahwa identitas diri bangsa menjadi kurang kokoh. Jelas bahwa ada kebutuhan untuk menguatkan kembali identitas bangsa lewat langkah-langkah strategis yang sistematis, terarah, dan terpadu agar ke-diri-an bangsa dapat kokoh kembali, salah satunya adalah dengan belajar dari integrasi sosial yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, seperti misalnya di Kampung Solor, Kota Kupang. Di tengah berbagai konflik bernu-ansa SARA yang terjadi di Indonesia relasi kaum pendatang dan pribumi sebagai model kehidupan masyarakat yang harmonis di Kampung Solor menawarkan suatu alternatif integrasi sosial yang dapat terjadi di bumi Bhineka Tunggal Ika. Inilah fokus penelitian ini, yang dengan format deskriptif-kualititatif bertujuan menganalisa isu strategis integrasi sosial antara kaum pendatang dan pribumi dengan agama dan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa warga Kampung Solor berhasil membangun model kehidupan yang harmonis karena dalam menghadapi kenyataan multikulturalismenya, mereka masih terus mengandalkan nilai agama dan budaya yang luhur. Kampung Solor adalah bukti bahwa integrasi sosial yang harmonis dapat terjadi ketika kelompok masyarakat menghargai keberagaman dan memandangnya sebagai kekayaan yang harus dijaga bersama.

Kata kunci: integrasi sosial, agama, relasi dan perubahan sosial, masyarakat harmoni, multikulturalisme.(Penulis)

DDC. 302.459 8 Darwis, Rizal (IAIN Sultan Amai Gorontalo).Tradisi Hileyiya: Persinggungan antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo Persektif Sosiologi Hukum IslamTradition 0f Hileyiya: The Interaction Between Religion and Traditions in Gorontalo in Sociology of Islamic Law PerspectiveAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 57 – 68

Page 12: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

x

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

Abstract

Interaction between tradition and religion in Indonesia cannot be denied. Historically, the development of national law was based on three difference laws: customary law, western law (particularly Dutch law), and Islamic law. This affects on the acceptance of the tradition that does not contradict with the religious law. This paper examines the tradition of hi-leyiya or funeral ceremony which is prominent among Gorontalo’s society from the sociology of Islamic law perspective. It is a descriptive qualitative research and the data was collected using observation, interviews, and document review. Finding of this study revealed that tradition of hileyiya consisting of the reciting of the Qur’an, tahlil, tahmid, shalawat and dzikir has become a legacy for Gorontalo’s society. In the sociology of Islamic law perspective, this practice provides various benefits to the dead family and the visitors. For instance, the benefits of reciting the Qur’an believed can be passed on to the dead, serve to tranquil the dead family, and remind people about the death. It can be regarded as al-urf-shahih (and it was legitimized by the basis of Islamic law as al-adat al-muhakkamah (customs can be law).Keyword: Tradition, Hileyiya, Funeral Ceremony, Gorontalo’s Society

(Author)

Abstrak

Persinggungan antara tradisi dan agama di Indonesia tidak terpisahkan. Apalagi proses masuknya agama Islam dan pembentukan hukum nasional juga melalui sejarah yang cukup panjang dengan pergumulan antara hukum adat, hu-kum Barat dan hukum Islam. Hal ini berimplikasi terhadap penerimaan sebuah tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Tulisan ini mengkaji tradisi hileyiya (doa arwah) yang berkembang pada masyarakat Kota Goronta-lo dari perspektif sosiologi hukum Islam. Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi hileyiya telah dilaksana-kan turun-temurun oleh masyarakat Kota Gorontalo pada hari-hari tertentu dengan pembacaan Alquran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat, dan berbagai zikir. Pelaksanaan tradisi ini jika ditinjau dari sosiiologi hukum Islam memberikan banyak manfaat bagi keluarga si mayit maupun bagi peziarah, seperti bacaan yang dilakukan dihadiahkan kepada si mayit, menghibur keluarga yang ditinggal, dan mengingat kematian. Tradisi ini dikategorikan sebuah al-urf al-shaḥîḥ dan dilegitimasi dengan kaidah fiqh: al-adat al-muḥakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum).Kata Kunci: Tradisi, Hileyiya, Doa Arwah, Masyarakat Gorontalo

(Penulis)

DDC. 2 X 7. 342 598Yusuf, Muhammad (UIN Alauddin Makassar)Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis Dan Budaya BugisWomen Leadership In Local Wisdom Perspective: Bugis Muslims Scholars’ Thought And Bugis CultureAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 69 – 81

Abstract

This research is an effort to explain quranic values in collaborating and synergizing with the values of local wisdoms which influences social life paradigm. The main resources of this research are the thought of Bugis Muslim scholars in the Quranic exegesis which is in Bugis language. This exegesis was written by MUI of South Sulawesi consisting of 11 volumes. This study concerns on the interpretation of verses on women leadership which is then connected with the cultural values of Bugis society. Data on cultural values were collected through interview and observation. Bugis ulama tend to follow the perspective of Middle Eastern ulama regarding the issue of leadership in the domestic area, they argue that man is the leader. Meanwhile the cultural values ‘sibaliperri, sipurepo’ indicate that husband and wife are partners in dealing with the family matters. In the public space, Bugis ulama agree with the Bugis culture in which they say that women have opportunities to handle various tasks either at an organization or community.

Keywords: leadership, women, local wisdom, scholars, culture, Bugis.(Author)

Abstrak Kajian ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menginterpretasi nilai-nilai qurani berkolaborasi dan bersinergi dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mewarnai cara pandang dan pola hidup masyarakat. Sumber primer kajian ini adalah pemikiran ulama Bugis yang terdapat dalam tafsir berbahasa Bugis karya Tim MUI Sulsel yang terdiri atas 11 jilid me-nafsirkan Alquran 30 juz. Ayat-ayat yang diteliti meliputi penafsiran mengenai ayat-ayat yang terkait dengan posisi dan kepemimpinan perempuan. Selanjutnya penafisran tersebut dikaitkan dengan data mengenai nilai-nilai kebudayaan masyarakat Bugis yang didapatkan melalui wawancara dan pengamatan langsung. Ulama Bugis masih terlihat lebih cenderung mengikuti pemikiran ulama Timur Tengah yang dirujuknya khususnya kepemimpinan dalam rumah tangga masih dipercayakan kepada suami. Prinsip sibaliperri, sipurepo’ bersama nilai-nilai lainnya mengisyaratkan bahwa

Page 13: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

xi

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

hakikat suami istri adalah mitra (azwajan) dalam mengurusi rumah tangga. Di ranah publik ulama Bugis tidak mem-persoalkan sebagaimana halnya budaya Bugis, sehingga di bebeapa lembaga dan instansi, masyarakat Bugis seringkali menyerahkan urusan tersebut kepada perempuan.

Kata kunci: kepemimpinan, perempuan, kearifan lokal, ulama, budaya, Bugis.(Penulis)

DDC. 302. 2Zakiyah (Balai Litbang Agama Semarang).Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeReligion In The Construction Of Mass Media; A Study On The Kompas And Republika Framing Of The Terrorism News Analisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 83 – 96

Abstract

This article concerns on how Kompas and Republika framed terrorism news and how they construct a religion (Islam) in those terrorism news. The way of the media exposing and selecting the facts to be published in their newspaper is an important aspect to be studied. This is because each media has its own inclination. Data was gathered using library research. Then, those collected data were analyzed using framing analysis and constructivism perspective. The results show that Kompas and Republika clearly said that Islam has nothing to do with terrorism and the terrorists have rela-tionship with the International radical group like JI and Al-Qaeda. On the other hand, both newspapers have a slight difference in exposing the relationship between terrorists and pesantren. Republika said that those terrorists were not connected with pesantren. Meanwhile Kompas exposed the pro and contra about this matter. In addition, both media have trivial differences in reporting about dakwah prohibition.

Keywords: mass media, terrorism, Islam, framing, constructivism.(Author)

Abstrak

Artikel ini membahas tentang bagaimana framing Kompas dan Republika terhadap berita terorisme dan bagaimana agama (Islam) dikonstruksi dalam pemberitaan tentang terorisme tersebut. Cara kedua media menampilkan, memilih dan memilah fakta yang ditonjolkan dalam pemberitaan terorime penting untuk diteliti karena setiap media massa mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Data dikumpulkan melalui study pustaka dan data yang terkumpul dianalis dengan metode analisis framing dan perspektif konstruksionisme. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kompas dan Republika secara jelas mengatakan Islam tidak terkait dengan terorime. Kedua media tersebut juga men-gatakan ada keterkaitan teroris atau terduga teroris di Indonesia dengan jaringan teroris internasional seperti JI dan al-Qaida. Sedangkan keduanya berbeda ketika menampilkan berita tentang keterkaitan antara terduga teroris dengan pesantren. Republika mengatakan secara tegas bahwa pesantren tidak terlibat dalam aksi aksi kekerasan. Sedangkan Kompas menampilkan pro dan kontra mengenai masalah ini. Perbedaan juga terlihat dalam pemberitaan mengenai larangan berdakwah oleh kedua media tersebut.

Kata kunci: media massa, terorisme, Islam, framing, konstruktivisme. (Penulis)

DDC. 370.159 8 Nur, Mahmudah (Balai Litbang Agama Jakarta)Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta TimurThe Reception Of Islamic Religious Activists (Rohis) On Religious Reading Materials In Sman 48 East Jakarta And Sma Labschool East JakartaAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 97 – 108

Abstract

This paper is motivated by some studies that suggest that the majority of students in Jakarta have a narrow and exclusive religious understanding, and tend to agree in a violent action to resolve the problem of religion and morals. This research is a descriptive research that more emphasis on qualitative data analysis and using reception approach. Reception analy-sis is used in order to describe a religious reading material within religious extra-organization activists, and describes the reception of student activists on the reading material that focuses on interpretation and the motivation of students in selection of reading materials. This research suggests that ROHIS activist in SMAN 48 East Jakarta And SMA Labschool East Jakarta prefers to read some books that the genre were Islamic novels and the books about women, which had simple language, easily understanding, and communicative. Student motivation in choosing reading material is more to

Page 14: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

xii

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

support their worship activities, either obligatory or sunnah, that relate to their daily activities.

Keyword: reception, ROHIS, religious reading materials.(Author)

Abstrak

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh beberapa kajian yang menyatakan bahwa mayoritas pelajar di Jakarta mempunyai pemahaman agama yang sempit dan eksklusif, serta cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang lebih menekankan pada data-data kual-itatif dengan pendekatan analisis resepsi. Analisis resepsi digunakan dengan tujuan mendeskripsikan bahan bacaan keagamaan aktivis organisasi ekstra keagamaan, dan menjelaskan resepsi siswa/siswi aktivis organisasi terhadap ba-han bacaan tersebut yang menitikberatkan pada interpretasi dan motivasi siswa/siswi terhadap pilihan bahan bacaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivis ROHIS di SMA 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur lebih menyukai membaca buku-buku bergenre novel Islami dan seputar perempuan yang mempunyai bahasa lebih lugas, mudah dipahami dan komunikatif. Motivasi siswa dalam memilih bahan bacaan tersebut lebih mengarah kepada hal-hal yang menunjang kegiatan ibadah mereka, baik wajib maupun sunnah, berhubungan dengan peristiwa sehari-sehari yang terjadi di lingkungan mereka.

Kata kunci: resepsi, ROHIS, bahan bacaan keagamaan.(Penulis)

DDC. 781.7Mustafa, Muhammad Sadli (Balai Litbang Agama Makassar)Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu TingkilanReligious Values in Tingkilan Song LyricsAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 109 – 120

Abstract

This globalization era brought people of East Kalimantan tend to prefer modern music and western music. This cause the local or traditional music art is marginalized. On the other hand, they have a local music art containing a lot of local wisdom. One of them is tingkilan music. Lyrics of tingkilan contain religious values. Therefore, this study intends to find and to describe the religious values in the song lyrics of the tingkilan musical arts. This study uses a qualitative research method. The research shows that in fact some tingkilan song lyrics have a deep religious value. Some of those religious values are thanksgiving favors, learning of the holly Qur’an, the way of eating and drinking in accordance with the Is-lamic teaching.

Keywords: religious values, Song Lyrics Tingkilan.(Author)

Abstrak

Arus globalisasi saat ini membawa masyarakat Kalimantan Timur cenderung lebih menyukai musik modern dan musik ala barat. Sehingga seni musik lokal semakin tersisih. Padahal, mereka memiliki seni musik lokal yang sarat muatan kearifan lokal. Salah satu di antaranya adalah seni musik tingkilan. Bahkan, lirik lagu tingkilan ada yang bermuatan keagamaan. Oleh karena itu, Penelitian ini bermaksud menemukan dan mendeskripsikan tentang nilai keagamaan yang terkandung dalam lirik lagu seni musik tingkilan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ternyata sebagian dari lirik lagu tingkilan yang ada mengandung nilai keagamaan yang men-dalam. Nilai keagamaan dimaksud antara lain syukur nikmat, belajar al-Qur’an dan makan minum sesuai dengan ajaran Islam.

Kata kunci: nilai keagamaan, Lirik Lagu Tingkilan.(Penulis)

DDC. 372. 259 8Suyatno (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) Sekolah Dasar Islam Terpadu Dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaIntegrated Islamic Primary School In The Middle-Class Muslims Indonesia ConceptionAnalisa: Journal of Social and Religion Juni 2015, Vol 22 No 01, hal. 121 – 133

Abstract

In the reform era, there are interesting developments regarding the trend of parental choice of education in Indonesia, when the Middle-class Muslim more interested send their children to schools based on strong basic religious (Islamic).

Page 15: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

xiii

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

This study aims to answer the question why Islamic Primary School attracted many parents of Middle-class Muslim? The method of data collection is done by indepth interviews, participant observation, and documentation. The results showed that the preferences of parents in educating their children in SDIT is influenced by the three factors, namely; theologi-cal, sociological, and academic factors. Theological factors are reasons based on considerations of religion. Sociological factors associated with increasing image of Islamic schools. Academic factors related to the ability SDIT in achieving high academic achievement for their students. The position of the teacher as a murabby (moral guide) into the carrying capacity of the school principal. Murabby position makes the relationship between teacher and student is not merely a formal relationship in school, but as the relationship between parent and a child at home as well. Therefore, the future development of primary schools need to consider the quality of religious education in order to attract parental choice of education of the Middle-class Muslim.

Keywords: Parental Choice of Education, Middle Class Muslims, Integrated Islamic Primary School.(Author)

Abstrak

Pada era reformasi, terdapat perkembangan menarik mengenai tren parental choice of education di Indonesia, ketika kalangan Menengah Muslim lebih tertarik menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang memiliki basic keagamaan (Islam) yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengapa Sekolah Dasar Islam Terpadu banyak diminati orang tua dari Kelas Menengah Muslim? Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi terlibat, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi orang tua dalam menyekolahkan putra-putrinya di SDIT meliputi tiga faktor, yakni; faktor teologis, sosiologis, dan akademis. Faktor teologis merupakan alasan yang didasari atas pertimbangan agama. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki basic pendidikan agama yang kuat. Faktor sosiologis berkaitan dengan meningkatnya citra sekolah Islam di Indonesia. Faktor akademis berkaitan dengan kemampuan SDIT dalam mencapai prestasi akademik tinggi bagi para siswa. Posisi guru sebagai seorang murabby (pemandu moral) menjadi daya dukung utama sekolah ini. Posisi guru sebagai murabby menjadikan relasi antara guru dan siswa tidak hanya sebatas hubungan formal di sekolah, melainkan seperti hubungan antara orang tua dan anak di rumah. Oleh karena itu, pengembangan sekolah dasar ke depan perlu mempertimbangkan pen-didikan keagamaan yang berkualitas dalam rangka untuk menarik parental choice of education dari kalangan menen-gah Muslim.

Kata kunci: Parental Choice of Education, Kelas Menengah Muslim, Sekolah Dasar Islam Terpadu. (Penulis)

DDC. 370.159 82Yustiani (Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama RI)Penanaman Nilai-Nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri (studi kasus SMA Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Jepara)Inculcation Nation Character Values Through Islamic Religious Education Subject In Public Senior High SchoolAnalisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 135 – 147

Abstract

Cases of cheating, promiscuity, making sordid video student in the classroom are the phenomena of decline in character education at the school. In this sense, character education is essential to emphasized. This research uses qualitative ap-proach, by applying design research CIPP model (Context, Input, Process, and Product). In context of building the nation character values at the school will success on condition that it is accompanied with system and climate supported by each school. One of supporting system and climate is the headmaster’s policies on the regulation that support the implemen-tation of character education, and this policy should be supported by infrastructure of the school. The input aspect that determines inculcation of nation character values in these both schools is the quality of the school resources including headmaster, teachers, educational staffs, students, and education infrastructures. From the aspects of process, inculca-tion nation character values on these schools is implemented through the integration of the Islamic religious education subject and culture of the school. Syllabus and RPP on subjects of Islamic religious education in State Senior High School 1 Kudus and State Senior High School 1 Jepara have already been insightful with the education of nation character. The aspects of product from internalization of cultural values and nation character are embodied in attitudes and behaviors of the students at school and society.

Keywords: Nation Character Value, Islamic Religious Education, Public Senior High School(Author)

Page 16: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

xiv

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015

Abstrak

Kasus mencontek, pergaulan bebas, pembuatan video mesum siswa diruang kelas merupakan fenomena lunturnya pendidikan karakter disekolah. Dalam konteks nilai pendidikan karakter menjadi penting untuk ditekankan. Peneli-tian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menerapkan desain penelitian model CIPP (Context, Input, Proc-ess, and Product). Secara konteks membangun nilai-nilai karakter bangsa disekolah akan berhasil dengan adanya sis-tem dan iklim yang didukung oleh masing-masing sekolah. Sistem dan iklim yang mendukung tersebut antara lain adalah kebijakan-kebijakan kepala sekolah dengan membuat regulasi yang mendukung implementasi pendidikan karakter, serta ditunjang dengan sarana prasarana sekolah. Aspek input yang ikut menentukan penanaman nilai-ni-lai karakter bangsa pada kedua sekolah ini adalah kualitas dari sumber daya sekolah yang meliputi kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan sarana prasarana pendidikan. Dari aspek proses, penanaman nilai-nilai karakter bangsa disekolah ini dilaksanakan melalui integrasi pada mata pelajaran Pendidikan Agama Is-lam dan budaya sekolah. Silabus dan RPP pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Jepara telah berwawasan pendidikan karakter bangsa. Adapun aspek produk dari penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik disekolah dan masyarakat.

Kata kunci: Nilai-nilai Karakter Bangsa, Pendidikan Agama Islam, SMA Negeri(Penulis)

DDC. 370.159 82Taruna, Mulyani Mudis (Balai Litbang Agama Semarang)Kontribusi Madrasah dalam penguatan Kurikulum 2013 (studi tentang kesiapan asah Madrasah dalam pelaksanaan Kurikulum di Jawa Tengah)Contribution of Madrasah in Enhancing Curiculum 2013 (A Study on fhe Readiness of Madrasah in Implementing of Curiculum 2013 in Central Java)Analisa Journal of Social Science and Religion June 2015, Vol 22 No 01, hal. 149 – 160

Abstract

This study aims to describe the implementation of Curriculum 2013 at Madrasah tsanawiyah (MTs). The preparation includes readiness of the head of MTs and teachers, as well as supporting and inhibiting factors in the implementation of Curriculum 2013 (K-13) at MTs. The subjects of this study are MTs in Central Java. This study uses a qualitative method with the following results; (1) generally the head of MTs and the teachers are able to implement the K-13, whether it re-lates to aspect of the facility or learning process in the classroom. (2) the supporting factor in the implementation of the curriculum 2013 at MTs includes a workshop of K-13 held by the schools and the working group of Madrasah (KKM). On the other hand, the inhibiting factors in the implementation of the 2013 curriculum are the absence of assistance in supervising of madrasah and the absence of handbook for teachers and students, especially a handbook of religious edu-cation.

Keywords: Readiness, Curriculum 2013, the supporting factors, inhibiting factors, madrasah tsanawiyah.(Author)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk medeskripsikan kesiapan madrasah tsanawiyah (MTs) dalam implementasi Kurikulum 2013. Kesiapan tersebut meliputi kesiapan kepala MTs, kesiapan guru, serta faktor pendukung dan penghambat im-plementasi Kurikulum 2013 (K-13) di MTs Negeri. Subyek penelitian ini adalah MTs Negeri di Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan hasil sebagai berikut;(1) secara umum kepala MTs Negeri dan guru mata pelajaran di madrasah telah mampu mengimplementasikan K-13, baik dari aspek fasilitas maupun dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. (2) faktor pendukung dalam pelaksanaan kurikulum 2013 di MTs Negeri di antaranya adanya workshop K-13 oleh sekolah maupun Kelompok Kerja Madrasah (KKM), sedangkan Faktor penghambat dalam imple-mentasi kurikulum 2013 adalah tidak adanya pendampingan pengawas madrasah dan belum ada buku pegangan guru dan peserta didik terutama pada mata pelajaran pendidikan agama..

Kata kunci: Kesiapan, Kurikulum 2013, faktor pendukung, faktor penghambat, Madrasah Tsanawiyah.(Penulis)

Page 17: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

1

PLURALISME DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMAPERSPEKTIF ELITE AGAMA DI KOTA MALANG

Pluralism and Religious Harmony in Religious Elites Perspectives in Malang City

UIN Maulana Malik Ibrahim MalangJl. Gajayana 50 Malang 55154, Telp.

0341-559399Email : [email protected] diterima : 31 Januari 2015 Naskah direvisi : 23 Maret – 7 April

2015Naskah disetujui : 22 Juni 2015

AbstrAct

This study aims to understand the religious elite view of pluralism and religious harmony in Malang. The study was focused on the meaning of pluralism and religious harmony, efforts and things that support and hinder the realization of religious harmony. Empirical research data with qualitative-phenomenological approach was collected through interviews and documentation. The results show: first, the meaning of religious pluralism for the religious elites is very varied, which is the same as tolerance, mutual respect, the goal of all religions are the same, and recognize the fact that there are many religions in this world. Second, religious harmony have meaning as a condition where there is no oppression and domination of one religion over other religions, awakening a deep awareness of diversity, respect for human rights, and the willingness to spread kindness and love for fellow human beings. Third, religious harmony can be achieved through internal efforts to strengthen the faith of each and build awareness to develop a positive attitude towards other religions. In external efforts to create harmony done through emancipatory dialogue and cooperation to resolve humanitarian issues. Fourth, positive attitude that supports the creation of harmony of religions is the willingness and awareness to understand each other and share experiences. Egoism, truth claims, fanaticism, and exclusivism is a negative attitude and expression recognized by the religious elite can interfere with the establishment of inter-religious harmony.

Keywords: pluralism, tolerance, religious harmony.

AbstrAk

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pandangan elite agama tentang pluralisme dan kerukunan umat beragama di Kota Malang. Kajian difokuskan pada makna pluralisme dan kerukunan umat beragama, upaya-upaya serta hal-hal yang mendukung dan menghambat terwujudnya kerukunan umat beragama. Data penelitian empiris dengan pendekatan kualitatif-fenomenologis ini dikumpulkan melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan: pertama, makna pluralisme agama bagi elite agama-agama sangat variatif, yakni sama dengan toleransi, saling menghargai, tujuan semua agama sama, dan menyadari kenyataan bahwa terdapat banyak agama di dunia ini. Kedua, kerukunan umat beragama memiliki makna sebagai suatu kondisi dimana tidak ada opresi dan dominasi satu agama atas agama lain, terbangunnya kesadaran mendalam atas keragaman, penghormatan atas hak asasi manusia, dan kemauan untuk menebar kebaikan dan cinta kasih kepada sesama manusia. Ketiga, kerukunan umat beragama dapat diwujudkan melalui upaya-upaya intern dengan penguatan keimanan masing-masing dan membangun kesadaran untuk mengembangkan sikap positif terhadap agama lain. Secara ekternal upaya menciptakan kerukunan dilakukan melalui dialog emansipatoris dan kerjasama untuk menyeleseaikan masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, sikap positif yang mendukung terciptanya harmoni agama-agama adalah adanya kemauan dan kesadaran untuk saling memahami dan berbagi pengalaman. Egoisme, truth claim, fanatisme, dan eksklusivisme merupakan sikap dan ekspresi negatif yang disadari oleh para elite agama dapat mengganggu terbangunnya keharmonisan antarumat beragama.Kata kunci : pluralisme, toleransi, kerukunan umat beragama.

Kata kunci: pluralisme, toleransi, kerukunan beragama..

UMI SUMBULAH

Page 18: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

2

Pendahuluan Fokus masalah penelitian ini adalah makna

pluralisme agama dan kerukunan umat beragama dalam konstruksi elite agama-agama di Kota Malang. Hasil penelitian ini memiliki signifikansi teoretik yakni memberikan pemahaman baru tentang pola relasi dan konstruk elite agama-agama tentang pentingnya membangun kebersamaan dan persaudaraan sejati. Signifikansi praktis hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam upaya menciptakan keharmonisan antaragama yang menjunjung prinsip toleransi dan penghargaan atas kemanusiaan. Dalam konteks relasi agama-agama, diskursus pluralisme dan kerukunan merupakan entitas penting yang harus dipahami, dalam rangka membangun kesadaran semua umat beragama untuk mewujudkan keharmonisan dalam keragaman.

Dalam pandangan pluralisme, kebenaran tidak hanya didasarkan kriteria logika tetapi juga kriteria kebenaran lainnya. Pandangan Leibniz dan Russel ini menolak kriteria kebenaran monisme (Fannani, 2003: 9). Oleh karena itu, prinsip-prinsip pluralisme dinilai dapat menjawab permasalahan dengan banyak alternatif penyelesaian. Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama tidak hanya satu tetapi banyak dan beragam. Dengan demikian, pluralisme agama dapat diartikan sebagai suatu teori yang merujuk pada hubungan antara berbagai tradisi agama, perbedaan dan klaim-klaim kompetisinya. Armstrong (2001:27) mengilustrasikan bahwa agama-agama besar di dunia memiliki konsepsi yang beragam tentang Tuhan. Pemahaman tentang pluralisme dapat membantu umat beragama dalam membangun dialog menuju keharmonisan dan kerukunan berdasarkan nilai ketuhanan.

Kerukunan adalah suatu kondisi damai, yang memungkinkan semua elemen masyarakat bersi-kap saling menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lain. Konsep kerukunan ini merupakan acuan untuk meminimalisir terjadinya konflik yang meretakkan sendi-sendi

keharmonisan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Kerukunan umat beragama di Indonesia mencakup tiga dimensi, yakni: kerukunan inter-umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Ketiga dimensi inilah yang menjadi fokus perhatian pemerintah dan setiap umat beragama, untuk membangun kerukunan dan keharmonisan. Dalam mewujudkan trilogi kerukunan, diterbitkan regulasi dan perundang-undangan, serta intensifikasi dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah hubungan umat beragama (Mawardi, 1981: 9). Toleransi beragama hanya bisa berjalan dengan baik apabila ada mutual trust di antara komunitas umat beragama. Berkembangnya kekuatan civil society adalah angin segar yang menjanjikan keharmonisan itu hadir dan menghiasi perjalanan sejarah bangsa, yang oleh banyak pihak dinilai paling santun dan toleran ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada elite agama-agama di Kota Malang, dengan pertimbangan:1) Malang merupakan salah satu wilayah yang menjadi “lahan subur” bagi tumbuhnya agama-agama besar dunia terkait sejarah sosial kota ini sejak era kolonial; 2) heterogenitas afiliasi keagamaan, yang ditunjukkan data statistik bahwa umat Islam menempati urutan pertama, disusul Kristen (Protestan), Kristen (Katolik), Hindu, Budha dan Konghucu; 3) maraknya lembaga-lembaga kerjasama lintas agama, baik yang diprakarsai pemerintah maupun lembaga civil society lainnya yang mengampanyekan harmonisasi agama-agama, juga menjadi pertimbangan menarik. Penelitian yang tergolong pada jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis (Maliki, 2003: 235-236) ini terfokus pada analisis pemahaman dan pemaknaan terhadap realitas subyektif berupa upaya memperoleh perspektif emik elite agama-agama. Pemilihan informan kunci dilakukan dengan teknik sampel bertujuan mendeskripsikan temuan penelitian (Moleong, 2002: 165-166). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

Page 19: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

3

mendalam, Diskusi Kelompok Terfokus (DKT), dan dokumentasi untuk mengambil data-data tertulis yang mendukung fokus penelitian. Data yang terkumpul dianalisis melalui data reduction, data display, dan conclusion drawing/verifying (Denzin dan Lincoln, 1994). Penelitian ini juga menempuh prosedur pengujian keabsahan data, yakni: memperpanjang masa observasi, melakukan triangulasi metode dan sumber, mengadakan member check, dan peer debriefing (Nasution,1996).

hasil dan PeMbahasan Makna Pluralisme Agama

Elite agama-agama di Malang memiliki pandangan beragam tentang makna Pluralisme agama. Di antaranya ada yang menyamakan dengan toleransi, saling menghargai, tujuan semua agama sama, dan menyadari kenyataan bahwa terdapat banyak agama di dunia ini. Elite Islam NU, Gus Shampton (wawancara, 23-6-2014), menegaskan bahwa pluralisme memiliki arti adanya saling menghargai, namun menolak anggapan bahwa semua agama benar adanya. Kepala KUA Lowokwaru ini juga menyangkal bahwa Gus Dur yang dinilai banyak kalangan sebagai ulama dan pemikir liberal itu telah mengajarkan persamaan semua agama. Baginya Gus Dur tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama itu sama, sebagaimana terlihat dalam konsep lakum dīnukum waliya dīn (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Elite Islam dari Muhammadiyah, Agus Purwadyo (wawancara, 23-6-2014), membedakan makna pluralisme dengan pluralitas. Ia menganggap pluralitas agama sebagai realitas sosial, yang memungkinkan pengakuan terhadap enam kelompok agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Mereka beribadah sesuai keyakinan masing-masing, tanpa hak bagi satu kelompok untuk mengganggu dan menghalangi kelompok lain, minoritas menghormati mayoritas dan mayoritas melindungi minoritas, hidup dalam penghormatan dan penghargaan. Kerukunan yang tercipta di kota Malang terkategori pada model kerjasama sosial-kemanusiaan dan tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat teologis

(Sumbulah dan Nurjanah, 2012:131). Hal ini bisa dilihat pada medan budaya kerukunan dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, seperti bekerjasama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelestarian lingkungan.

Pluralisme agama dan Islam pluralis, dipan-dang oleh banyak kalangan sebagai pengembangan secara liberal dari Islam inklusif. Bagi para penganut paham ini semisal Seyyed Hossein Nasr dan Fritjhof Schuon, setiap agama pada dasarnya terbentuk oleh perumusan iman dan pengalaman iman. Ketika Islam mengharuskan seseorang memiliki iman (tawhid) baru disusul pengalaman iman (amal shalih), maka dalam perspektif Kristiani seseorang harus lebih dahulu memiliki pengalaman iman baru disusul perumusan iman-nya. Tujuan para pendukung teologi pluralis bukanlah keseragaman bentuk agama, namun mengekspresikan fenomena satu Tuhan banyak agama. Setiap agama, dalam pandangan pluralis merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Demikian pandangan (Schuon, 1993:33), yang memetakan wilayah agama dalam dataran eksoterik dan esoterik. Dalam level eksoterik satu agama berbeda dengan agama lain, tetapi dalam dataran esoterik relatif sama.

Elite Kristiani, Pdt Kusumo Rahardjo (wawancara,24-6-2014), berpandangan bahwa pluralisme adalah menerima kebenaran agama lain. Dalam konteks ini maksudnya adalah bahwa semua agama memiliki ajaran yang benar, semua harus mengasihi dan tidak merasa benar sendiri. Pdt Budiono (wawancara, 28-6-2014), berpendapat pluralisme adalah paham sekuler yang memandang semua agama sama, misalnya pemahaman tentang Tuhan, meski semua mengakui satu Tuhan tetapi penafsiran dan pemahaman manusia tentang Tuhan berbeda-beda. Romo Felix Suyatno (wawancara,24-6-2014) memandang pluralisme agama sebagai kenyataan adanya banyak agama. Pdt. Nugraha (wawancara, 21-6- 2014) menyatakan bahwa pluralisme agama melahirkan pandangan yang beragam tentang Tuhan dan cara menyembahnya sesuai dengan keimanan masing-masing. Sese-

Page 20: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

4

orang yang beragama Katolik akan menyembah Tuhan sebagaimana keyakinan iman Katolik, meskipun sebenarnya Tuhan bukanlah Katolik. Romo Felix juga menegaskan bahwa pluralisme agama, khususnya Islam, Kristen dan Yahudi berasal dari rumpun yang sama, dari Nabi Ibrahim. Agama-agama Ibrahim memiliki dua keterpautan, yakni: pertama, secara genealogies berasal dari keturunan yang sama, yakni Ibrahim dari jalur Ishaq untuk Kristen dan Yahudi, dan keturunan Ibrahim dari jalur Ismail bagi Islam; kedua, ketiganya juga memiliki keterpautan teologis karena memiliki kesamaan ajaran, monoteisme. Posisi dan kesinambungan risalah Islam dengan agama-agama sebelumnya ini dikukuhkan dalam al-Qur’an, 33:7, 40:78 dan 33:40. Bahkan dalam hadisnya, Nabi SAW mengilustrasikan sebuah bangunan yang belum sempurna karena kurang satu batu bata. Ibarat bangunan, Islam telah selesai dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya dan hanya kurang satu bata di salah satu sudutnya. Orang-orang yang mengelilingi bangunan itu mengagumi keindahannya, namun menyayangkan satu bagian yang batanya belum terpasang. Nabi menyatakan bahwa dia adalah bata yang dipasang di sudut yang kurang itu, sehingga bangunan menjadi sempurna (al-Bukhārī, 1994: 196).

Pandangan elite Hindu tentang pluralisme diperoleh dalam wawancara dengan Suwardika (17-6-2014), bahwa perbedaan adalah absah sebagaimana keragaman dalam agama Hindu. Agung (wawancara,17-6-2014) memandang pluralitas sebagai manifestasi dari vibhuti (kemahakuasaan) Hyang Widhi. Di balik bermacam-macam maya di jagad raya, ada Realitas yang bersumber dan bermuara pada keesaan-Nya (Mathar, 2005:282). Dalam konteks ini, umat Hindu dituntut mampu memberikan penghargaan, karena pluralitas adalah suatu kenyataan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Muhaimin AG, 2004: 49). Elite Budha, Bhiku Khantidaro (wawancara,14-6-2014), menyatakan bahwa semua agama memiliki tujuan sama, yakni mengajak umatnya menjadi orang baik, menghindari kejahatan dan keburukan. Dengan demikian, semua agama mempunyai tujuan yang sama, namun menempuh jalan yang

berbeda-beda. Jika ingin mencapai tujuan yang sama, atau mencapai hidup yang bahagia maka semua umat beragama harus saling membantu dan menolong sesuai kemampuan masing-masing. Menurut Vimalaseno (wawancara, 22-6-2014), pluralisme adalah kemampuan memahami perbedaan sehingga menerima agama lain. Tejaseno (wawancara, 22 -6-2014) memandang pluralisme sebagai keberagaman. Dengan perbedaan setiap agama, maka dituntut bisa menerima dan saling tenggang rasa. Menurutnya inti pluralisme adalah menjaga kerukunan antar umat beragama. Ratanajayo (wawancara, 14-6-2014) berpandangan bahwa pluralisme berarti mengakui kebenaran agama sendiri dan menerima kebenaran agama lain. Dengan paham pluralisme, umat beragama akan bisa bersifat inklusif dan pluralis, karena menghormati fakta keberbagaian, dengan tetap berpatokan pada keyakinan sendiri, dan tidak harus menganggap bahwa semua keyakinan adalah sama (Rahman, 2010: 38-39).

Pluralisme dan pluralitas merupakan dua term yang sering digunakan secara bergantian tanpa ada penjelasan apakah dua kata tersebut memiliki arti sama atau berbeda. Adakalanya pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Pluralisme sebenarnya bukan hanya sekedar keadaan yang bersifat plural atau sekedar pengakuan bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas. Sejatinya pluralisme merupakan sikap mengakui, menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan dan memperkaya keadaan yang bersifat plural tersebut. Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan (Kuntowibisono, 2003). Locke mendasarkan pemikirannya bukan pada wahyu dan keimanan, tetapi logika dan argumentasi hukum kodrat dan rasionya. Haryatmoko (1999) merangkum ajaran toleransi dan kebebasan beragama yang digagas Locke dalam tiga butir: 1) hanya ada satu jalan atau agama yang benar; 2) tidak seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya kepada agama

Page 21: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

5

yang benar; 3) kepercayaan didapat manusia melalui akal budi dan argumen, bukan melalui kekuatan mempropagandakan kebenaran dan keselamatan (Fannani, 2003: 23).

Makna Kerukunan Umat Beragama

Elite Islam, Agus Purwadyo memaknai kerukunan umat beragama dengan membaginya pada kerukunan intern dan antarumat beragama. Kerukunan intern umat beragama mengharuskan lebih bertoleransi terhadap sesama umat Islam, dengan syarat kelompok tertentu tidak memiliki akidah dan keyakinan yang berbeda dengan Islam mainstream, seperti Ahmadiyah dan Syi’ah. Kerukunan antarumat beragama artinya saling menghormati dan tenggang rasa terhadap umat beragama lain. Ketika umat Nasrani merayakan Natal misalnya, kita mempersilahkan dan membantu pengamanan polisi, tentara, dan lain-lain. Sebaliknya ketika umat Islam melaksanakan Shalat Ied, yang bisa saja mengganggu keseharian mereka karena jatuh pada hari Minggu bertepatan dengan jadwal ibadah mereka, toleransi juga dirasakan umat Islam. Selama ini di Malang “everything is running well untuk urusan antarumat beragama” (Agus Purwadyo, wawancara, 22-6-2014). Menurut KH Chamzawi (wawancara, 25-6-2014), kerukunan umat beragama bisa dilakukan dalam hal-hal yang tidak berkenaan dengan akidah, seperti berkerjasama mengentaskan kemiskinan dan memberikan bantuan bagi para korban bencana atau musibah tertentu. Berdasarkan QS.al-Kafirun, elite NU ini menyatakan bahwa umat Islam tidak menyembah apa yang mereka (orang beragama lain) sembah dan sebaliknya. Dasar historis membangun kerukunan adalah Piagam Madinah, yang memberikan perlindungan kepada umat non Muslim. Senada dengan KH. Chamzawi, menurut Gus Shampton (wawancara, 23-6-2014), rukun bermakna saling menghargai satu dengan yang lain, dengan basis historis praktik toleransi dan kerukunan umat beragama seperti dalam Piagam Madinah.

Piagam Madinah merupakan undang-undang yang sangat spesifik dan modern. Hal ini karena konstitusi yang dirumuskan Nabi Muhammad

bersama masyarakat Madinah itu merupakan undang-undang pertama yang secara teoretis maupun praksis belum pernah terpikirkan apalagi dilaksanakan oleh imperium besar seperti Romawi-Byzantium dan Sasania-Zoroaster, dan imperium lainnya baik di Barat maupun Timur. Dalam konteks ini, seorang pemikir liberal Turki, Ali Bullac (2001), menyatakan bahwa Konstitusi Madinah merupakan komitmen kontrak sosial yang menyatukan semua elemen Madinah dalam kesatuan sosial politik dan bukan kesatuan religius, yang belakangan dikenal dengan sebutan ummah. Piagam yang terdiri dari 47 pasal ini berperan sebagai dasar bagi pemerintahan yang berbasis pluralistis dan memiliki signifikansi bagi penciptaan masyarakat madani. Pesan moral dan makna universal dalam piagam ini adalah: 1) kesatuan sosial politik di bawah kepemimpinan Nabi SAW mampu meredam egoisme kesukuan, etnisitas dan kelompok-kelompok yang berkonflik selama tidak kurang dari 120 tahun. Hal ini juga disebabkan oleh kepribadian dan sosok Muhammad SAW yang bijaksana dan adil dalam mengambil keputusan (Watt, 1974);2) mendukung diterimanya diversitas tanpa hegemoni, opresi dan dominasi; 3) partisipasi semua elemen masyarakat Madinah yang mendukung kebijakan politik dan tata pemerintahan yang diputuskan Nabi; 4) mengakui pluralisme yang mendorong keharmonisan karena terjaminnya kebebasan beragama (Sumbulah, 2008:37-45).

Menurut Pdt. Rahardjo (wawancara,24-6-2014), kerukunan hanya bisa dilaksanakan berdasarkan kasih. Misalnya tidak membalas kejahatan orang lain kecuali dengan doa. Landasan teologis kerukunan umat beragama bagi umat Kristiani adalah bahwa semua agama memberikan berkat bagi orang lain. Sedangkan landasan historisnya berangkat dari asal usul agama-agama Ibrahim. Adanya kemiripan ajaran ini merupakan isyarat bahwa kita bisa hidup rukun karena berasal dari sumber yang sama. Pdt Handoko (wawancara,20-6-2014), menegaskan bahwa kerukunan umat beragama bisa dimulai dari hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Pdt Budiono, kerukunan berarti

Page 22: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

6

kebersamaan, karena kondisi rukun bisa tercipta ketika semua pihak memiliki persepsi yang sama tentang kebersamaan. Hal ini didasarkan pada nilai cinta kasih yang terdapat dalam Alkitab: “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Pdt. Budiono, wawancara,24-6-2014). Dengan demikian, perintah mengasihi bukan terhadap umat Kristen saja, tetapi terhadap sesama tanpa membeda-bedakan agama, bukan untuk mengkristenkan. Pdt. Sumadikarya (2003) mengkritik kelompok evangelis yang melakukan kristenisasi dengan memberikan bantuan makanan, beasiswa atau pengobatan sebagai bentuk penyuapan rohani (spiritual bribery). Upaya evangelisasi seperti itu akan menurunkan kredibilitas agama Kristen, karena tidak memenuhi konsep sebenarnya tentang pekabaran Injil sebagai kabar baik dan rentan memicu konflik, yang unequivalent (tidak sejalan) dengan kabar baik.

Bagi Romo Felix, semua agama memiliki landasan teologis kerukunan, yakni menebar kebaikan dan kasih sayang. Rukun berarti bisa menerima perbedaan. Dalam kerukunan umat beragama pada dasarnya ada satu nilai yang harus dijunjung dan diposisikan pada tempat yang tinggi, yaitu manusia. Menurutnya, semua manusia diciptakan sama dan memiliki hak yang sama di hadapan Tuhan. “Kalau Tuhan itu maha baik maka semua umat berhak disayangi dan diperhatikan. Dari dasar inilah, maka jika seseorang menyayangi Tuhan sama artinya dengan menyayangi ciptaan-Nya. Jika manusia menyayangi ciptaan-Nya, sama artinya dengan menyayangi Tuhan. Oleh karena alam semesta adalah ciptaan Tuhan, maka merusak alam sama halnya dengan mencoret-coret wajah-Nya. Semua manusia memiliki hak yang sama di hadapan Tuhan karena semua adalah citra dan gambaran-Nya” (Romo Felix, wawancara, 12-6-2014). Karena itu keharmonisan akan tercipta jika saling menghormati, saling menghargai dan berpartisipasi positif dalam menciptakan suasana yang baik.

Elite Hindu, Suwardika (wawancara, 14-6-2014), memaknai kerukunan umat beragama dimulai dari konsep tentang keesaan Tuhan. Jika

meyakini bahwa Tuhan ada satu, maka artinya semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang satu itu. Agama Hindu meyakini satu Tuhan, yakni Sang Hyang Widhi Wasa. Konsep hidup hinduisme adalah jika kita ingin dicintai Tuhan maka cintailah ciptaan-Nya. Menurutnya, landasan teologis kerukunan ada tiga, yakni: 1) Trihitakarana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam; 2) Tatwam ashi, yang diibaratkan seperti tubuh yang ketika dicubit terasa sakit, maka orang lain yang dicubit akan merasakan hal yang sama; 3) hukum karma, yakni kepastian hukuman atas kejahatan yang dilakukan setiap orang. Agung (wawancara, 14-6-2014) memaknai kerukunan sebagai bentuk penghormatan dan saling membantu sesama umat beragama, baik dalam acara keagamaan maupun sosial. Kerukunan dan kedamaian akan tercipta karena didukung peranan susila dan ajaran berbuat baik. Dasarnya adalah Baghawat Gita, yakni wejangan Krisna kepada Arjuna dalam epos Mahabharata, bahwa apapun agama yang diyakini setiap manusia, tujuannya sama dan akan sampai kepada Tuhan. Menurut Rudi (wawancara, 14-6-2014), makna kerukunan adalah ketika semua umat beragama hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan, yang dapat diciptakan melalui kegiatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Landasan teologis kerukunan adalah ajaran untuk menghormati agama lain dengan prinsip tatwam ashi, menganggap orang lain sebagai diri sendiri.

Elite agama Budha memaknai kerukunan umat beragama sebagai sikap saling menghormati sesama, saling silaturrahmi, dan saling mengunjungi (Khantidaro, wawancara, 14-6-2014). Hal senada diungkapkan Vimalaseno, bahwa memiliki keimanan terhadap kebenaran agama Budha bukan berarti boleh menyalahkan kepercayaan agama lain, karena di dalam Kamala Suta (penguat bukti kitab suci), dinyatakan bahwa terdapat banyak sumber pengetahuan dan kebenaran lainnya (wawancara, 22-6-2014). Bagi Tejaseno, makna kerukunan umat beragama adalah keharmonisan dan keutuhan, yang bisa muncul karena adanya kearifan dalam melihat dan mehamai pandangan-

Page 23: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

7

pandangan yang berbeda, bertoleransi dan tidak membeda-bedakan agama (wawancara, 22-6-2014). Ratanajayo (wawancara, 14-6-2014) memaknai kerukunan umat beragama sebagai suatu sikap menyadari bahwa umat beragama berbeda-beda, namun selama mereka saling menolong dan saling mengasihi, maka kerukunan akan tercipta. Landasan teologis kerukunan umat beragama menurut elite Budha adalah keyakinan adanya “meta” dan “karuna” yaitu cinta kasih dan kasih sayang. Apabila kebencian dibalas dengan kebencian maka kebencian itu tidak akan pernah berakhir. Apabila kebencian dibalas dengan cinta kasih dan kasih sayang maka kebencian itu akan berakhir meski harus melalui perjuangan yang sangat panjang. Dengan berlatih memancarkan cinta kasih dan kasih sayang kepada orang yang membenci dan dibenci, maka kerukunan akan tercipta dan kebencian akan musnah (Tejaseno & Ratanajayo, wawancara,14-6-2014). Landasan historisnya mengacu kepada kehidupan Sang Budha, sebagai guru yang memberikan keteladananan, sekalipun pernah difitnah dan diperlakukan dengan jahat, namun tetap memancarkan cinta dan kasih sayang. Karena itu, para bhiku dan samanera dilarang memukul, menyakiti atau membunuh, tidak saja terhadap manusia tetapi juga terhadap binatang. Hal ini karena ajaran Budha menekankan cinta dan kasih sayang pada sesama (Vimalaseno,wawancara, 14-6-2014). Bonsu Anton Triyono dari elite Konghucu (wawancara, 26-6-2014), berpandangan bahwa kerukunan beragama merupakan hal penting yang harus diupayakan secara terus menerus oleh semua umat beragama. Hal ini bisa diwujudkan di antaranya melalui pemahaman yang benar tentang pluralisme agama. Bagi Bonsu Hanompramana, pluralisme adalah adanya sikap saling menghargai dan saling mengenal. Hal ini didasarkan pada ajaran Konghucu, yakni “huwaiji li sesiongti (di empat penjuru lautan kita semua saudara). Maksudnya jika seseorang ingin maju, maka ia memiliki keharusan memajukan orang lain. Hal ini dapat meminimalisir sikap arogan dan eksklusif bahwa agamanya adalah satu-satunya yang mempromosikan kedamaian dan keharmonisan

(wawancara, 21-6-uni 2014).

Secara teologis, masing-masing umat beragama memiliki klaim tentang keyakinan agamanya sebagai penebar kedamaian. Islam memulai sapaan hangatnya dengan assalamu’alaikum untuk menebarkan kedamaian dan keselamatan, agama Kristen yang berbasis pada cinta kasih, agama Hindu yang menekankan dharma, agama Budha yang bermaksud melepaskan orang dari penderitaan, dan agama Konghucu yang selalu menekankan keseimbangan dan persaudaraan. Tidak sedikitpun persoalan tentang pendekatan teologis dan tekstual karena kebenarannya berlaku bagi pemeluknya, namun akan menimbulkan masalah ketika naskah tekstual-teologis tersebut dipandang dengan pendekatan historis. Hal ini karena akan memunculkan beragam interpretasi, yang tidak mungkin bisa dihindari antara satu komunitas dengan komunitas lain, ketika memandang dan memahami sesuatu. Oleh karena itu, problem kerukunan umat beragama perlu mendapatkan isi dan substansi baru, berupa kebersamaan menghadapi masalah-masalah kemanusiaan, tidak sekedar toleransi namun kerjasama dan kooperasi secara dinamis, outward looking, dan visioner (Kuntowijoyo, 1998: 364).

Upaya-upaya Menciptakan Kerukunan Umat Beragama di Kota Malang

Pada umumnya semua elite agama sepakat bahwa menciptakan harmoni dilakukan secara intern dan antarumat beragama. Di kalangan Muslim, kerukunan intern umat beragama diupayakan melalui ceramah, sosialisasi dan diseminasi kepada jamaah, tentang bagaimana memberikan pemahaman agama yang santun dan toleran, memberikan pemahaman kepada jama’ah agar mereka bisa menghargai sesama Muslim dan non Muslim. Di samping itu, melalui delegasi di FKUB, NU berperan menjadi salah satu kekuatan yang mendorong terwujudnya kerukunan umat beragama. Hal senada disampaikan Gus Sampton, dengan memberikan catatan sedikit tentang forum FKUB yang terkadang melampaui batas, karena masuk pada wilayah membenarkan agama-agama (wawancara, 25-6-2014). Menurut Purwadyo,

Page 24: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

8

upaya-upaya yang dilakukan untuk pembinaan kerukunan intern-umat beragama adalah melalui ishlah karena Islam adalah agama perdamaian. Ishlah dan mempererat tali persaudaraan dapat mengurangi gesekan yang terjadi di antara umat beragama. Upaya lain adalah saling memahami antar pemeluk agama, memahami ajaran tentang kebolehan atau larangan yang ada dalam masing-masing agama, sehingga bisa saling menghargai antara satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan dialog untuk saling berbagi ide dan gagasan terhadap isu-isu sosial-kemanusiaan, untuk mendapatkan solusi atas masalah kerukunan umat beragama (wawancara, 23-6-2014).

Elit Kristiani, Pdt. Kusumo Raharjo (wawancara, 28-6-2014), menyatakan bahwa usaha menciptakan kerukunan intern umat beragama dilakukan melalui Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG). Forum ini bertugas menjembatani antara elite agama Kristen dengan masyarakat, dalam bentuk aktivitas dan kegiatan sosial-kemanusiaan. Penciptaan kerukunan antarumat beragama dilakukan dengan prinsip menjunjung tinggi, tidak menghina dan menilai negatif ajaran agama lain. Hal ini senada dengan pandangan Pdt Budiono (wawancara, 4-6-2014), bahwa upaya-upaya membina kerukunan beragama adalah adanya kesadaran saling menghadiri undangan perayaan hari besar agama dan melakukan karya-karya kemanusiaan lainnya.

Elite Hindu juga memiliki program hubungan antarumat beragama. Menurut Suwardika (wawancara, 15-6-2014), dalam agama Hindu hubungan umat beragama diatur oleh PHDI, dengan membina umat melalui dharma negara dan dharma agama. Dharma negara memiliki tugas membina hubungan antara umat Hindu dengan pemerintah dan dengan antarumat beragama, sedangkan dharma agama, memberikan pembinaan hubungan intern umat Hindu, yang juga dikenal dengan istilah Panca Yadnya. Dharma agama dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang kerukunan umat beragama dan mendatangkan ahli agama untuk umat-

umat di pedesaan atau pedalaman. Di samping aktif di FKUB, hubungan agama Hindu dengan umat agama lain diwujudkan dalam program pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, juga dilakukan dialog intensif antar pemuka agama. Tradisi gotong royong dan saling menolong di antara umat beragama juga merupakan upaya menciptakan kerukunan antar umat beragama. Mewujudkan budaya perdamaian dapat dilakukan melalui: pertama, pendekatan budaya, kearifan lokal dan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat di kalangan masyarakat bawah; kedua, memiliki prinsip bahwa kekerasan tidak bisa direspon dengan kekerasan; ketiga, menghormati dan menjaga eksistensi agama lain dan budaya setempat; keempat, berpandangan bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan. Karena itu menganggap dan menilai agama lain salah atau sesat adalah sebuah kekeliruan (Muhaimin AG, 2004: 51).

Memperkuat Suwardika, Agung menyatakan bahwa untuk membangun kerukunan umat beragama, diadakan kegiatan mingguan untuk menumbuhkan rasa persaudaran yang kuat, seperti pertemuan dan musyawarah tingkat desa setiap hari Minggu, sarasehan di kalangan ibu-ibu setiap Senin, dan paguyuban di kalangan bapak-bapak di hari Kamis (wawancara, 19-6-2014). Hal senada dinyatakan Suwardika, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk setiap agama dalam memimpin, saling menghargai, dan gotong royong dalam membuat rumah, saling membantu pada saat perayaan hari besar keagamaan. Rudi berpandangan bahwa gaya kehidupan sehari-hari (everyday lifestyle) yang saling menghormati dengan saling mengunjungi satu sama lain ketika hari raya dan terlibat dalam acara bersih desa, merupakan cara yang dilakukan untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama (wawancara, 29-6-2014).

Adapun upaya yang dilakukan kalangan Budha untuk hubungan intern dan antar umat beragama adalah melalui FKUB. Herman (mahasiswa STAB Batu), seringkali menghadiri undangan dialog

Page 25: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

9

lintas agama di UIN Maliki Malang, menghadiri perayaan keagamaan, saling menghormati dan saling membuka diri (wawancara, 14-6-2014). Vimalaseno juga membangun hubungan antarumat beragama dengan aktif menghadiri forum-forum lintas agama dan terbuka menghadapi perbedaan (wawancara, 14-6-2014). Menurut Tejaseno, vihara juga memiliki program untuk menciptakan dan menjaga kerukunan umat beragama, dengan membuka diri menerima umat agama lain untuk berlatih meditasi dan kegiatan lainnya, serta berkunjung ke institusi agama lain, seperti biara-susteran dan pondok pesantren.

Elite Konghucu melakukan upaya-upaya pembinaan kerukunan antarumat beragama dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat dan mengundang semua elemen agama untuk hadir dalam perayaan hari besar keagamaan. Mereka menampilkan budaya masing-masing seperti wayang, hadrah, dan tari gambus. Kebersamaan yang terus diciptakan akan menghasilkan sinergi yang baik antarumat beragama di Malang. Bagi Bonsu Hanom, budaya dapat mendekatkan satu komunitas agama dengan komunitas agama lain (wawancara, 2 -7-2014). Dalam konteks inilah, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya upaya saling mengenal antar komunitas umat beragama tersebut, maka akan dapat menghilangkan prasangka yang tidak diperlukan. Hal ini bisa dilakukan secara langsung melalui dialog dan perjumpaan dalam kehidupan sehari-hari (dialog kehidupan), maupun secara tidak langsung melalui forum, lembaga maupun aktivitas penelitian dan studi (JB. Banawiratma, 1998:100). Dengan budaya saling menghargai dan membuka diri terhadap agama-agama lain, akan dapat membangun sikap saling percaya (mutual trust). Terdapat beberapa upaya yang dibangun untuk merintis kembali mutual trust antar komunitas agama; pertama, mengembalikan mutual trust akan sangat tergantung pada kemampuan umat beragama dalam meretas rekonsiliasi. Untuk membangun saling percaya antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ relasi yang kurang baik dalam warisan sejarah kemanusiaan masa

lalu. Dalam kasus interaksi antar komunitas agama di Indonesia, perlu dilakukan pencarian landasan spiritual dalam penanganan konflik dan kekerasan. Kedua, dalam rangka merespon realitas konflik dan kekerasan, komunitas agama-agama perlu membangun gerakan alternatif yang didasarkan pada semangat perdamaian dan anti kekerasan. Mutual trust juga akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris. Dalam proses dialog emansipatoris, komunikasi antar-sesama lebih didasarkan pada prinsip keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi prasangka, apalagi value judgement dan stereotype tertentu. Ketiga, mutual trust bisa terbangun ketika ada ‘proyek bersama’ untuk mencapai tujuan bersama yang ingin diwujudkan. Dalam konteks ini, berbagai komunitas agama bisa bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan.

Faktor Pendukung dan Penghambat Kerukunan Umat Beragama di Malang

Menurut KH Chamzawi (wawancara, 18-6-2014), adanya budaya saling menghormati, memahami dan menghargai merupakan entitas pendukung kerukunan. Gus Shampton juga berpandangan bahwa saling mendukung dan saling mengerti akan dapat mewujudkan tercapainya kerukunan umat beragama. Sedangkan penghambatnya adalah karena egoisme, mudah menyalahkan orang lain, menganggap bahwa dirinya paling benar dan selalu menyerang paham dan atau/keyakinan orang lain. Oleh karena kurangnya saling memahami, menghargai dan menghormati maka timbul konflik dan perpecahan. Gus Sampton berpandangan bahwa ketidakpahaman, eksklusif dan keengganan memahami agama lain akan menghambat terciptanya kerukunan. Agus Purwadyo (wawancara, 23-6-2014), menyatakan bahwa sikap positif yang mendukung terciptanya kerukunan umat beragama adalah keterbukaan, menghormati keyakinan orang, tidak mengganggu dan tidak kaku. Adanya kelompok dan aliran-aliran baru dalam Islam sendiri, yang seringkali membid’ahkan golongan yang lain, merupakan

Page 26: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

10

hambatan berat bagi terciptanya kerukunan. Karena itu untuk mencegah dan menangani konflik, harus dilakukan dialog secara intensif, demi melahirkan sikap keberagamaan yang terbuka dan inklusif. Teologi inklusif telah diteladankan Rasulullah di Madinah, dengan menjamin perlindungan dan hak yang sama bagi warga negara non Muslim sepanjang tidak memusuhi Islam. Penghargaan atas eksistensi agama lain ini juga dilakukan generasi sahabat. Beberapa keberhasilan ekspansi politik tidak selalu diikuti keberhasilan da’wah secara kuantitatif, karena menjunjung prinsip no compulsion in religion, seperti dalam QS. 2: 256.

Elite Kristiani, Pdt. Kusumo (wawancara, 24-6-2014), berpandangan bahwa terciptanya kerukunan umat beragama berawal dari pribadi yang mau belajar kepada orang lain. Hal ini dilakukan dengan sosialisasi, komunikasi dan bergaul antarumat beragama mulai lingkup terkecil hingga yang lebih luas. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pribadi yang merasa dirinya paling benar, kurang sosialisasi, kurang komunikasi dan sikap fanatik yang berlebihan. Interpretasi dan pemikiran teologis yang berbeda tentang doktrin dan monopoli kebenaran dan keselamatan misalnya, juga dapat menjadi salah satu sumber perselisihan dan konflik antarumat beragama (Daya, 1998: 109). Oleh karena itu, keterlibatan dalam forum-forum dialog antar-umat beragama, dapat membantu mencegah terjadinya salah paham dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusian secara bersama-sama. Menurut Pdt. Budiono (wawancara, 24-6- 2014), hal yang mendukung kerukunan adalah: 1) adanya kemauan umat beragama untuk membuka diri dan berdialog dengan komunitas agama lain; 2) adanya kesadaran terhadap mandat Allah, agar umat manusia bisa saling menolong dan bahu-membahu, dalam rangka mewujudkan kerukunan; 3) kepatuhan terhadap pemerintah yang melindungi dan menjadi payung bagi watak dan realitas kebhinekaan masyarakat Indonesia, sebagaimana diajarkan Alkitab, yakni kewajiban menghargai pemimpin sebagai wakil Allah di bumi. Sedangkan faktor penghambatnya adalah sikap ekstrem, truth claim dan tidak menghargai agama lain.

Menurut Romo Felix (wawancara,18-6-2014), pada prinsipnya keyakinan Katolik tidak menolak keyakinan orang-orang agama lain. Faktor pendukung kerukunan umat beragama adalah budaya dan semangat gotong royong dan bekerjasama, saling silaturrahim, saling menolong, dan saling membantu. Sedangkan Faktor penghambatnya adalah adanya sikap merendahkan dan menyalahkan orang lain, kurangnya pengetahuan dan pemahaman agama, serta kurangnya penghayatan agama di tengah masyarakat. Melalui dialog, diskusi dan seminar secara intensif, maka kesalahpahaman dapat diminimalisir sehingga tidak sering memicu konflik. Di samping itu, juga dapat dilakukan dialog teologis dan dialog karya. Menciptakan kerukunan tidak mudah, namun umat Katolik tetap mengusahakannya, di antaranya melakukan pembinaan se-wilayah keuskupan Malang, yang meliputi kota Malang hingga Banyuwangi. Menurut Romo Raymundhus (wawancara,7-7-2014), kerukunan umat beragama bisa terwujud dengan saling menghormati dan menghargai, sedangkan egoisme dan keengganan seseorang untuk memahami dan mengajarkan kebenaran kepada orang lain merupakan kendala besar bagi harmoni agama-agama.

Pergeseran sikap dari eksklusif ke inklusif dan pluralis, terjadi setelah Konsili Vatikan tahun 1962-1965. Babakan ini menjadi tonggak sejarah bagi umat Kristen dalam menjalin hubungan dengan umat non-Kristen. Gagasan dalam Nostra Aetate ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya sekretariat antarumat beragama, yang memfasilitasi dialog-dialog antaragama, di Timur dan di Barat (Akasheh dan Riyanto, 2000: 8-13). Hans Kung (1998: 9-32), menyatakan bahwa Konsili Vatikan II melahirkan keyakinan teologis bagi umat Kristen bahwa ada dua jalan untuk meraih keselamatan, yakni jalan Kristiani dan jalan non-Kristiani. Dengan pandangan bahwa agama-agama di luar Kristen juga merupakan jalan keselamatan, maka klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan keselamatan harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Pergeseran sikap dari eksklusif

Page 27: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota MalangUmi Sumbulah

11

ke inklusif ini juga dapat dilihat dalam tiga model evolusi teologis, yakni: fundamentalisme evangelis, konservatisme evangelis, dan ekumenisme evangelis (Knitter, 1985:75-77). Bahkan menurut Coward (1999:59), ada tiga pendekatan mutakhir yang berkembang dalam tradisi Kristiani era modern, yakni: pendekatan kristosentris yang dibidani Karl Rahner, pendekatan teosentris yang digagas John Hick (1988), Paul Tillich dan Wilfred Cantwel Smith, dan pendekatan dialogis yang dikembangkan oleh Raimundo Panikkar (1999).

Elite Hindu, Agung (wawancara, 16-6-2014) berpandangan bahwa karakter dan budaya masyarakat yang saling menghormati dapat mendukung terwujudnya kerukunan umat beragama, sedangkan cara pandang dan cara beragama yang terlalu fanatik akan menghancurkannya. Menurut Rudi, kebersamaan merupakan sikap yang mendukung terciptanya kerukunan, sedangkan fanatisme agama yang berlebihan dan memusuhi agama lain adalah penghambatnya (wawancara, 20-6-2014). Bagi Suwardika (wawancara,19-6- 2014), sikap yang mendukung kerukunan adalah kebersamaan yang tumbuh misalnya melalui tradisi selametan. Dalam acara tersebut, undangan tidak hanya bagi mereka yang beragama Hindu, akan tetapi juga dihadiri umat agama lain. Demikian juga dengan slametan bersih desa atau kegiatan lainnya, yang melibatkan semua umat beragama. Dengan demikian slametan dan beragam medan budaya dapat memperkuat kerukunan umat beragama karena menumbuhkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan tanpa dibedakan sekat-sekat agama. Geertz (2000) menyatakan bahwa Islam di Indonesia lahir dalam konteks animisme dan hinduisme, sehingga mempengaruhi warna Islam Jawa. Ritual slametan menjadi salah satu media berbagai kelompok agama dalam membangun kebersamaan dan merupakan inti ritual agama Jawa yang paling populer dan bertahan hingga sekarang. Demikian temuan penelitian Beatty (1999) di Banyuwangi, Woodward (1988) di Yogyakarta, dan Hefner (2000: 91-128) di Pasuruan. Melalui slametan, masyarakat Jawa yang memiliki diversitas bisa disatukan, karena

dalam ritual itu tidak ada jarak antara si kaya dan si miskin, antara penganut Islam santri dan abangan dalam kategorisasi Geertz (1981), juga di antara penganut agama-agama yang berbeda-beda.

Dalam perspektif elite Budha, kerukunan umat beragama tercipta karena adanya pemahaman terhadap orang lain dengan cara meditasi, karena memahami orang lain dimulai dari dalam diri. Melalui meditasi, seseorang akan mengetahui tujuan hidup dan berusaha menjadi orang baik, agar berbahagia di dunia dan setelah meninggal (Bikhu Kantidaro,wawancara, 14-6-2014). Menurut Vimalaseno, kebersediaan membuka diri dan tidak menganggap agamanya paling benar dan menganggap agama lain salah adalah sikap positif untuk mewujudkan kerukunan (wawancara,14-6-2014). Tejaseno melihat sikap toleran adalah kunci terjadinya kerukunan dalam keluarga, agama dan masyarakat (wawancara,22-6- 2014). Bagi Ratanajayo (wawancara, 15-6-2014), keterbukaan, komunikasi dan tidak mudah terpancing isu-isu bernuansa SARA merupakan sikap positif yang menumbuhkan kerukunan. Adapun hal-hal yang menghambat kerukunan, menurut Kantidaro ada tiga: 1) fanatisme berlebihan yang menganggap agamanya paling benar dan menganggap agama lain salah; 2) nafsu pribadi berupa keinginan kuat mengajak orang lain mengikuti agamanya dengan jalan kekerasan sekalipun; 3) nafsu kelompok yang menginginkan kelompok lain mengikuti atau memusuhi kelompok lain yang tidak sepaham (wawancara, 14-6-2014), menutup diri, fanatisme, dan dangkalnya pengetahuan (Vimalaseno, wawancara, 14-6-2014), intoleransi dan truth claim (Tejaseno, wawancara, 22-6-2014), merendahkan dan menghina agama lain (Ratanajayo, wawancara, 22-6-2014).

Menurut elite Konghucu, kerukunan umat beragama bisa diwujudkan dengan dasar falsafah Konghucu, “kalau engkau ingin maju maka majukanlah orang lain dulu, jika ada orang lain menderita maka berupayalah menghilangkan penderitaan orang tersebut” (Bonsu Hanompramana, wawancara, 21-6-2014). Menurut Bonsu Hanom (wawancara, 21-6-2014),

Page 28: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 1-13

12

hal yang mendukung terciptanya kerukunan umat beragama adalah adanya kesadaran umat beragama untuk bersikap inklusif terhadap komunitas agama lain. Dengan demikian sikap eksklusif dapat mengganggu terciptanya harmoni dan kerukunan, bahkan memicu konflik dan kekerasan atas nama agama. Eksklusivisme bisa muncul karena adanya kekaguman atas keunggulan diri dan kelompoknya. Menurut teori psikologi, konflik dan kekerasan atas nama agama terjadi akibat terlukainya perasaan narsistik, yakni perasaan mengagumi diri karena penilaian subyektif terhadap kesempurnaan dan keunggulannya (Fromm, 2004: 281). Memperkuat teori Fromm, Beuken dan Kuschel (2003:xiv-xxv) berkesimpulan bahwa kekerasan atas nama agama bisa dilihat dari dua perspektif: pertama, pembacaan agama tentang hubungan sosial yang berfungsi sebagai legitimasi keabsahan perilaku kekerasan karena berperan sebagai ideologi; kedua, agama adalah faktor budaya identitas. Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama, adalah bukti konkrit bahwa agama memiliki akar dan legitimasi atas terjadinya konflik dan kekerasan. Simbol-simbol keagamaan yang merupakan representasi masyarakat demikian kental sifat komunalnya (Azra,1999:18). Melalui simbol-simbol inilah komunalisme agama sering menjadi pemandangan dalam relasi agama-agama. Semangat dan identitas komunalisme yang kuat akan rentan memicu kekerasan agama.

PenutuP Konstruk elite agama tentang pluralisme

sangat variatif, yakni keragaman sebagai kenyataan sosial, sikap menghargai dan terbuka terhadap agama lain, dan kesetaraan semua agama di hadapan Tuhan. Keragaman pandangan tersebut dapat dikategorikan pada moderat dan konservatif. Demikian juga dengan makna kerukunan umat beragama, ada yang memaknainya sekedar menghargai dan menghormati keyakinan agama lain yang bersifat ko-eksistensi, namun adapula yang berpandangan lebih progressif dan pro-eksistensi. Upaya mewujudkan kerukunan umat beragama dilakukan secara internal terhadap

komunitas agama masing-masing, melalui sosialisasi dan penguatan berbasis komunitas dan eksternal dengan bekerjasama dengan agama-agama lain untuk mengatasi persoalan kemanusiaan. Kendati demikian, masih ada sikap negatif yang menghambat kerukunan umat beragama, yakni fanatisme sempit, egoisme, truth claim dan keengganan memahami dan bersikap terbuka terhadap agama lain. Sebaliknya, para elite agama juga mengembangkan sikap-sikap positif berupa membangun kesadaran akan pentingnya membangun mutual trust, penghargaan atas keragaman, intensifikasi dialog dan kerjasama antarumat beragama, sebagai pendukung bagi terciptanya kerukunan dalam keragaman agama dan harmoni dalam perbedaan.

daftar Pustaka

AG. Muhaimin. 2004. Damai di Dunia Damai untuk Semua. Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI.

Akasheh, Khaled &Armada Riyanto. 2000. “Sikap Dialogal Gereja: Komitmennya Dalam Dialog dengan Islam” dalam Agama-Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma-STFT Widyasasana.

Al-Bukhārī, Imām.1994. Al-Jāmi’ al-Shahīh. Beirut: Dār al-Fikr, IV.

Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun, ter. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2001.

Azra, Azyumardi.1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam.Jakarta: Paramadina.

Banawiratma, JB. 1998. “The Poorest of the Poor Mempersatukan Agama-agama” dalam Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Ed. Andito. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Page 29: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

13

Beatty, Andrew. 1999. The Varieties of Javanese Religion. Princeton: Princeton University Press.

Beuken, Wim dan Kuschel, et al. 2003. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, ter. Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bulac, Ali. 2001. ”Piagam Madinah” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Ed. Charles Kurzmann. Jakarta: Paramadina.

Coward, Harold.1999. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama. Jakarta: Kanisius.

Daya, Burahanuddin.1998.”Hubungan Antaragama di Indonesia”, dalam Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Ed. Andito. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Fromm, Eric.2004. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, ter. Imam Muttaqin.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fannani, Muhyar.2003. “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat” dalam Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Salatiga: Jurusan Syariah dan P3M STAIN Salatiga.

Geertz, Clifford. 1970. The Interpretation of Culture. London: Sage Publication.

Haryatmoko, Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu. Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.

Hick, John.1988. Problems of Religious Pluralism. London: The Macmillan Press LTD.

Hefner, Robert W. 2000. “Mengislamkan Jawa? dalam Islam Pasar Keadilan Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi, ter. Aminudin. Yogyakarta: LKiS.

Knitter, Paul F. 1985. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions.Maryknoll: Orbis Books.

Kung, Hans.1998. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam. Volume 1 Nomor 1, Juli-Desember.

Koentowibisono.2003.Diktat Kuliah Filsafat Ilmu.Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Mathar, M. Qasim. 2005. Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Panikkar, Raimundo. 1999. Dialog Intra Religius.Yogyakarta: Kanisius.

Rachman, Budhy Munawar.2010. Argumen Islam Untuk Pluralisme. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Riyanto, Armada.2004. “Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” dalam Agama Kekerasan. Malang: Dioma.

Schuon, Fritjof. 1993. The Transcendent Unity of Religions. Illinois: The Theosophical Publishing House.

Sumbulah, Umi. 2008.”Muhammad SAW Sebagai Peletak Dasar Pmerintahan Pluralistis dalam Islam” dalam Perspektif Jurnal Agama dan Kebudayaan. Malang: STFT Widyasasana.

------------dan Nurjanah. 2012. Pluralisme Agama Lokalitas Makna dan Kerukunan Umat Beragama. Malang: UIN Press.

Sumardikarya, Pdt. Kuntadi. 2003. ”Generalisasi Berlebihan Berarti Gagap Agama” dalam http:www.Islamlib.com/id/page.php?page=article&id=381.

Wahid, Abdurrahman.1998. ”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Passing Over Melintasi Batas Agama. Ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama - Paramadina.

Watt, Montgomerry.1974. The Majesty That Was Islam. London: Great Britan.

Woodward, Mark R. 1988. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. An Arbor: UMI.

Page 30: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

14

Page 31: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

15

PERAN GATE KEEPER DALAM MEMBANGUN JARINGAN TOKOH LINTAS AGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

DI GRESIK

Gate Keeper’s Role in Building Network of Interreligious Figures Based Local Wisdom In Gresik

SETYO BOEDI OETOMO

AbstrActThe composition of community in Gresik which is initially based on the traditional Islam has changed due to the development of non Muslim community and other Islamic sects. These phenomena might cause conflicts between religious followers. To reduce the potency of religious based conflicts, religious leaders use FKUB and FORMALINA as a communication network between believers. This is a qualitative research that concerns on the relationship patterns and the values within networks. Data was collected using FGD, in-depth interviews and document analysis. By analyzing the communication network between actors founded that the pattern of relationships between religious leader well established because there was the actor who played the gate keeper. The actor is capable of filtering information and liaison among actors in FKUB and in FORMALINA. Gate keeper is very crucial role in building mutual trust among actors interfaith. The religious leaders using local wisdom in establishing communication between religious leaders. The values of local wisdom has become a social character of the group.Keywords: religious leaders’s network, intercultural communication, gate keeper, local wisdom.

AbstrAkKomposisi masyarakat Gresik yang awalnya merupakan basis umat Islam tradisional kini telah berubah karena perkembangan masyarakat non Muslim dan penganut paham Islam lainnya. Fenomena ini dapat menyebabkan konflik antarpengikut agama. Untuk mengurangi potensi konflik berbasis agama, tokoh agama menggunakan FKUB dan FORMALINA sebagai jaringan komunikasi antar pemeluk agama. Penelitian ini mengkaji pola hubungan dan nilai-nilai yang berkembang dalam jaringan itu dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan FGD, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Dengan menganalisis jaringan komunikasi antaraktor ditemukan bahwa pola hubungan antartokoh terjalin baik karena ada aktor yang berperan sebagai gate keeper. Aktor ini mampu menyaring informasi sekaligus penghubung antaraktor di FKUB dan di FORMALINA. Peran gate keeper sangat penting dalam membangun rasa saling percaya antartokoh lintas agama. Para tokoh agama menggunakan kearifan lokal dalam menjalin komunikasi antartokoh agama. Nilai-nilai kearifan lokal ini telah menjadi karakter sosial kelompok.Kata kunci: jaringan tokoh agama, komunikasi antarbudaya, gate keeper, kearifan lokal.

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

SemarangJl. Untung Suropati Kav. 69-70, Bambankerep, Ngaliyan,

SemarangTelp. 024-7601327 Faks. 024-

7611386E-mail: budisetia_70@yahoo.

co.idNaskah diterima : 31 Januari

2015Naskah direvisi : 23 Maret – 6

April 2015Naskah disetujui :

Mei 2015

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jl. Untung Suropati Kav. 69-70, Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. 024-7601327 Faks. 024-7611386

E-mail: [email protected] Naskah diterima : 31 Januari 2015Naskah direvisi : 23 Maret – 6 April

2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

Page 32: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

16

Pendahuluan

Pluralitas agama di Indonesia merupakan realitas sosial sejak dari awal berdirinya negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Para pendiri bangsa sangat memahami suatu kenyataan sosiologis bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat multikultur dan di dalamnya ada beberapa kelompok umat dengan agama yang berbeda (plural). Ada kelompok-kelompok minoritas yang hidup bersama kelompok mayoritas yang eksistensinya harus dihormati, diakui dan dipertahankan sebagaimana dicanangkan dalam semboyan bhineka tunggal ika (Latif, 2011: 369).

Pluralitas atau kemajemukan kelompok umat beragama itu menurut Furnival (dalam Latif, 2011: 369) menjadi beban tugas yang teramat berat bagi semua unsur bangsa untuk membangun integrasi. Kemajemukan ini menurut Hayat (2012: 25) berimplikasi pada dua potensi yang kontradiktif sekaligus, yaitu potensi integrasi dan disintegrasi. Potensi disintegrasi ini perlu dikelola agar berubah menjadi potensi integrasi yang positif yang mampu mendukung pembangunan di atas kemajemukan.

Kini sudah saatnya setiap komunitas budaya merevitalisasi kearifan lokalnya sebagai modal sosial (social capital) agar terbangun rasa persaudaraan yang kuat antarkelompok umat beragama. Kearifan lokal yang mulai hilang dari jiwa masyarakat pemilik budaya membuat potensi konflik anarkisme agama semakin membesar. Masyarakat tidak memiliki filter kultural yang kuat sebagai pengendali sosial dalam menjaga marwah ikatan sosial mereka (Abdul Rozaki dalam Jati, 2004: 396). Dekapitalisasi modal sosial dalam kearifan lokal menurut Arya Hadi D (dalam Jati, 2004: 396) sudah sangat akut pada beberapa daerah, seperti hilangnya rasa saling percaya (trust) di antara sesama anggota masyarakat, rusaknya jaringan sosial (social networking), serta tergerusnya rasa patuh terhadap nilai-nilai sosial (social values), norma dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama. Salman (2012: 155) lebih suka menggunakan istilah restorasi modal sosial untuk membagun integrasi sosial dalam

masyarakat yang berubah.

Pemerintah sangat serius dalam mendorong terciptanya integrasi sosial dalam masyarakat, salah satunya dengan mengimplemetasikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006). Isi peraturan menteri itu antara lain pembentukan lembaga jaringan komunikasi antartokoh agama-agama pada daerah-daerah yang dinamakan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Kabupaten Gresik juga telah membentuk kepengurusan FKUB pada tanggal 24 April 2007.

Gresik sebagai daerah pesisiran di Jawa Timur, pada bagian utara merupakan basis Islam tradisionalis yang kuat sedangkan di bagian selatan berkembangnya kaum urban yang heterogen, dan di bagian barat daya mayoritas penduduk aslinya adalah kaum abangan. Beberapa perselisihan intern dan antaragama di Gresik berhasil dikelola dengan baik oleh Pemda Gresik karena pihak Pemda Gresik selalu memperhatikan rekomendasi FKUB Gresik. Contoh kasusnya lain perselisihan antara MTA di Gresik dengan warga NU Gresik tahun 2013, pendirian pura di Kedamean (2012) dan kasus-kasus pendirian gereja Betani di Driyorejo (FGD dengan Penyuluh Kemenag, 12 Pebruari 2014; Sekretaris FKUB Gresik, w. 11 Pebruari 2014). Feomena tersebut sangat menarik untuk dikaji, potensi apa yang dimiliki FKUB sehingga mampu memberikan sumbangan yang positif terhadap terciptanya harmoni umat beragama.

Jaringan komunikasi antarumat beragama pernah diteliti Retnowati (2013) yang menunjukkan bahwa jaringan yang dibangun dari bawah (bottom up) antara Islam dan Kristen yang dikembangkan oleh pondok pesantren dengan GKJW di Jawa Timur telah berhasil meningkatkan kesadaran pentingnya membangun hubungan antara Islam dan Kristen. Program SIKI (Studi Intensif Kristen-Islam) menjadi arena pembelajaran memahami agama-agama lain dan membangun ‘jembatan’ komunikasi antarumat beragama. Penelitian Fitri (2009) tentang pola komunikasi antarbudaya

Page 33: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

17

dalam menciptakan kerukunan hidup bergama diperoleh kesimpulan bahwa pembauran antar etnis meningkatkan intensitas komunikasi antar budaya yang berkualitas dan membawa hubungan sosial ke dalam bentuk yang lebih dalam dan positif. Penelitian Jati (2004) mengenai fungsi kearifan lokal sebagai resolusi konflik anarkisme agama di Maluku menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam masyarakat memiliki potensi kuat dalam merajut kembali kohesivitas masyarakat dalam proses rekonsialisasi.

Ketiga penelitian tersebut menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian Insani dan Wuryanto (2012) pada Dekanat FPMIPA UNY agak berbeda, mereka menggunakan metode analisis jejaring sosial yang dikembangkan Ridle dan Hanneman, 2005, dengan lingkup kajian mikro sebagaimana yang dilakukan oleh Retnowati (2013). Temuan kajian tersebut adalah peran information brooker yang terbukti mampu mengisi lubang struktural dalam jejaring sosial dengan menjembatani dua jaringan yang tidak terkait langsung. Posisinya sangat penting atas kelancaran arus informasi, jika peran ini dihilangkan maka dinamika organisasi akan sangat terganggu.

Tulisan ini berusaha mengetahui pola komunikasi antartokoh lintas agama dalam organisasi FKUB yang dibentuk dengan kebijakan topdown, artinya individu-individu dalam kelompok tersebut awalnya tidak berasosiasi secara sukarela namun berdasar kepentingan penguasa daerah. Tokoh-tokoh agama Islam sebagai representasi kelompok mayoritas memiliki kecenderungan menghegemoni representasi kelompok minoritas. Kondisi ini tentu lebih sulit dalam membangun komunikasi antaragama jika dibandingkan dengan yang pembentukannya berdasar inisiatif mereka. Lingkup kajian penelitian ini lebih bersifat mikro, yakni perilaku antaraktor dalam menjalin komunikasi antartokoh agama dengan teknik analisis kualitatif.

Selain FKUB, di Gresik juga ada jaringan lintas agama Formalina (Forum Masyarakat Lintas Agama). Fenomena ini sangat menarik untuk

ditemukan penjelasannya, mengapa dari beberapa tokoh agama tersebut membuat jaringan baru di luar FKUB. Adakah hal-hal penting yang harus dilakukan sehingga jaringan antartokoh lintas agama yang bersifat informal ini dibentuk.

Paparan di atas menjadi dasar bahwa penting untuk melakukan kajian mengapa jaringan komunikasi antartokoh lintas agama berfungsi baik dan bagaimana sistem jaringan komunikasi itu dibangun. Kedua, berusaha mengetahui kearifan lokal apa saja yang mendasari para tokoh agam itu dalam membangun komunikasi yang baik dengan tokoh agama lainnya. Informasi mengenai hal tersebut penting untuk diketahui bahwa praktik pengalaman baik para tokoh lintas agama dalam jaringan tersebut bisa menjadi pelajaran (lesson learn) untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang multikultur dan memiliki pluralitas keagamaan.

Jaringan (network) antartokoh lintas agama penting diperkuat dalam konteks membangun komunikasi antarbudaya/lintas agama. Penguatan jaringan antartokoh lintas agama merupakan sara melaksanakan salah satu fungsi agama, karena selain fungsi edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, dan transformatif, juga ada fungsi pemupukan persaudaraan (Liliweri, 2001:259).

Jaringan sosial menurut Coleman (1988), Putnam (1993), dan Fukuyama (1995) merupakan salah satu dimensi dari modal sosial (social capital)¸ selain rasa saling percaya (trust) dan berkembangnya nilai-nilai/norma sosial (values/norm) (Salman , 2012: 155). Teori jaringan menurut Rosenthal, dkk. (dalam Ritzer, 2011: 747) memiliki lima prinsip, 1) ikatan-ikatan di kalangan aktor biasanya simetris, baik di dalam isi maupun intensitas, dan para aktor saling menyuplai satu sama lain dengan hal-hal yang berbeda; 2) ikatan-ikatan antarindividu harus dianalisis di dalam konteks struktur jaringan yang lebih besar; 3) penyusunan ikatan sosial menyebabkan berbagai jenis jaringan tidak acak; 4) eksistensi kelompok-kelompok menghasilkan fakta ada kemungkinan pertautan lintas di antara kelompok maupun individu; 5) ada ikatan asimaterik antarunsur

Page 34: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

18

dalam suatu sistem sehingga sumber daya didistribusikan secara berbeda.

Jaringan sosial tentunya memiliki daya kohesi yang menyebabkan anggota dalam jaringan itu lebih intensif dalam menjalin hubungan. Kohesi sosial menurut Mizruchi (dalam Ritzer, 2011: 747) bisa dilihat dari sudut subyektif dan obyektif. Ia cenderung setuju dengan pandangan obyektif dimana solidaritas dapat dipandang sebagai suatu proses obyektif yang dapat diamati yang bebas dari sentimen-sentimen individu. Kesamaan struktural lebih memainkan peran yang kuat sebagai kohesi di dalam menjelaskan kemiripan perilaku. Para aktor yang setara secara struktural adalah orang-orang yang mempunyai hubungan identik dengan aktor-aktor lain di dalam struktur sosial. Tokoh-tokoh berbagai agama dalam FKUB merupakan aktor yang memiliki posisi setara, mereka merupakan wakil dari agama masing-masing.

Ronald Burt (dalam Ritzer, 2011: 747) me-ngembangkan teori jaringan dalam perspektif struktural dengan asumsi bahwa seorang aktor mengevaluasi manfaat tindakan alternatif salah satunya berkenaan dengan kondisi orang lain. Premis mayornya adalah para aktor bertujuan di bawah paksaan struktur sosial. Tindakan-tindakan yang diambil para aktor adalah suatu fungsi gabungan proses mengejar kepentingan mereka sampai batas kemampuanya ketika kepentingan dan kemampuan itu dipolakan oleh struktur sosial. Sehingga, tindakannya akan memodifikasi struktur sosial itu sendiri. Proses modifikasi itu bisa berpotensi menciptakan pembatas-pembatas baru yang dihadapi oleh para aktor di dalam struktur.

Di sini peran aktor yang bisa menyaring informasi dari para aktor dengan latar belakang agama yang berbeda sangat penting.1 Jaringan sosial akan berfungsi dengan baik dan terjaganya hubungan dengan baik jika ada aktor yang berfungsi sebagai penyaring informasi dalam komunikasi organisasi yang disebut gate keeper. Individu yang berperan sebagai gate keeper akan mengontrol

arus informasi di antara anggota organisasi. Posisi gate keeper bukanlah aktor pemimpin dalam struktur organisasi, tetapi dia memiliki hubungan dengan berbagai aktor lain dalam jaringan karena bisa diterima berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang saling berseberangan. (Muhammad, 2009: 102).

Kajian teori dan konsep di atas mengerucut pada fokus yang akan dibahas dalam tulisan ini. Hubungan dalam sebuah jaringan antar tokoh lintas agama idealnya dilandasi dalam prinsip kesetaraan (equality) akan meningkatkan daya kohesi dalam jaringan tersebut. Ketika kepentingan dan kemampuan telah dipolakan secara paksa oleh struktur yang dibuat dengan kebijakan top down, maka aktor hanya akan mengejar kepentingan itu sampai pada batas kemampuannya di bawah aturan/norma dalam struktur sosial yang sifatnya memaksa itu. Sehingga peran gate keeper sangat penting untuk bisa meretas hambatan komunikasi antartokoh lintas agama dan mereduksi potensi konflik karena kekeliruan memahami nilai dan norma dari agama lain. Sangat diperlukan kreativitas seorang aktor dalam membuat terobosan hingga muncul nilai-nilai kebersamaan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gresik pada tahun 2012 dengan subyek penelitiannya FKUB Kabupaten Gresik dan Forum Masyarakat Lintas Agama (FORMALINA) Gresik. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis pola komunikasi dalam jaringan antartokoh lintas agama di FKUB, serta hubungan komunikasi antara FKUB dengan FORMALINA. Studi kasus dipilih sebagai metode penelitiannya. Pemetaan jaringan dan penentuan informan kunci.diperoleh dari kegiatan FGD, baik dengan penyuluh agama dan tokoh agama dalam FKUB maupun Formalina.

Pola hubungan antar tokoh, kepentingan yang diperjuangkan dan pola komunikasi dalam praktik pertukaran, motif-motif yang ada di balik hubung-

1 Ada enam peran utama dalam jaringan komunikasi organisasi, yaitu: opinion leader, gate keepers, cosmopolites, bridge, liaison, dan isolate. (Muhammad, 2009: 103).

Page 35: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

19

an yang nampak, serta nilai-nilai yang mendasari diperoleh melalui wawancara mendalam dengan dengan beberapa tokoh agama dalam FKUB maupun FORMALINA. Data mengenai kondisi sosial keagamaan masyarakat Gresik diperoleh dari BPS Gresik. Struktur keanggotaan FKUB dan Formalina, serta dokumen-dokumen lainnya diperoleh dari pengurus FKUB dan FORMALINA. Kesahihan data dilakukan mengikuti Bungin (2007: 264), yaitu diuji dengan triangulasi data dan melakukan pertemuan ulang dengan informan kunci untuk memperdalam dan meyakinkan peneliti atas informasi yang diterima.

Analisis data merujuk pada pola analisis studi kasus Robert K Yin, 1996 (dalam Bungin, 2012: 29) dengan mengkaitkan data yang diperoleh dan melihat kesesuaian data dengan jenis-jenis peran dalam jaringan komunikasi organisasi. Nilai-nilai yang mendasari tindakan para aktor tersebut berusaha dieksplorasi dan dinterpretasikan sehingga ditemukan makna atas tindakan para aktor dalam jaringan antartokoh lintas agama di Gresik. Pada tahap akhir analisis data, penulis berusaha memberikan penjelasan yang logis atas fenomena interaksi antartokoh lintas agama.

hasil dan PeMbahasan

Sekilas tentang Gresik

Masyarakat Gresik memiliki sejarah panjang sebagai sebuah komunitas Jawa pesisiran. Pada tanggal 9 Maret 2014 merupakan ulang tahun Gresik ke 527. Berdirinya Gresik disepakati sejak penobatan Sunan Gresik menjadi Prabu Satmata tanggal 12 Maulid (Rabiul Awal) 894 H, bertepatan dengan tanggal 9 Maret 1487 M. Sebelum tahun itu, Gresik sudah menjalin hubungan internasional dengan berbagai negara. Islam pun tercatat sudah ada di Gresik sejak tahun 495 H atau 1102 M sebagaimana tertera pada prasasti batu nisan Fatimah binti Maemun di Leran, Gresik. Sepeninggal Sunan Giri, Gresik tetap menjadi basis pengembangan Islam di pesisiran Jawa Timur, sehingga sampai sekarang mayoritas penduduknya beragama Islam (Mustakim, 2007).

Penduduk Kabupaten Gresik berjumlah 1.156.233 jiwa, dengan komposisi 98,62% Islam, 0,82% Kristen, 0,34% Katholik, 0,18% Hindu, dan 0,04% Budha. Persebaran tempat ibadah umat Islam merata di seluruh wilayah Gresik dengan jumlah 1.104 masjid dan 2.701 mushalla. Tempat ibadah non Islam terdiri dari 10 unit gereja Kristen, 3 unit gereja Katholik, 5 unit pura, dan 1 unit kelentheng (BPS Gresik, 2013). Kelenteng di Gresik menurut Sugito (anggota FKUB utusan agama Budha) saat ini masih dipakai bersama antara umat Budha, Khonghucu, dan Thao.

Infromasi dari para Penyuluh Agama (FGD, 12 Pebruari 2014) menyebutkan bahwa umat non Islam tersebut tersebar di Gresik kota dan Gresik selatan, terutama wilayah yang berbatasan dengan kota Surabaya. Umat Islam di bagian utara mayoritas penganut Islam tradisional (warga NU). Kaum Islam moderat mayoritas berada di Gresik kota dan bagian selatan wilayah Gresik, terutama pada daerah perumahan.

Potensi konflik antarumat beragama di Gresik pernah ada meskipun eskalasinya masih kecil. Tercatat ada 4 kasus terkait pendirian gereja dan 1 kasus rekonstruksi pura. Potensi konflik intern umat Islam di Gresik juga perlu diwaspadai, karena pernah terjadi kasus terkait dengan keberadaan kelompok aliran Salafi Wahabi, Syiah, dan MTA (Pokja Penyuluh Agama Gresik, FGD 12 Maret 2014; Sekretaris FKUB, wawancara 11 Februari dan 10 Maret 2014; Ketua FKUB, wawancara 20 Maret 2014)

Dinamika FKUB Gresik

Jaringan komunikasi tokoh lintas agama di Gresik sudah mulai dirintis tahun 2005, sebelum ada PBM Nomor 8/9 Tahun 2006. Ketika itu, Gresik bersama Banyuwangi dan beberapa daerah lain digunakan untuk riset aksi (action riset) membangun kerukunan umat beragama dengan pembentukan jaringan antartokoh lintas agama oleh Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Jaringan tersebut dibentuk masyarakat yang dimotori oleh

Page 36: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

20

seorang tokoh agama Islam, ketuanya anggota DPRD Gresik waktu itu.

Setelah PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 terbit dan mulai disosialisasikan, Pemkab Gresik pun menindaklanjuti dengan menerbitkan SK Bupati Gresik Nomor 065/658/HK/403.14/2007 tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB pada tanggal 24 April 2007. Jumlah pengurusnya ada 17 orang dengan perwakilan keanggotaan secara proporsional sesuai peraturan bersama menteri tersebut, 13 muslim, 1 Budha, 1 Hindu, 1 Katholik, dan 1 Kristen. Proporsi itu berdasarkan Pasal 10 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dan dijelaskan secara detail dalam tanya jawab Bab III nomor 10. Pada tanya jawab (semacam penjelasan atas pasal-pasal) disebutkan bahwa setiap seorang keanggotaan FKUB kabupaten/kota mewakili 5,88% umat agamanya.2

Menurut informan 1, sebagian besar nama tokoh agama yang telah ikut membidani lahirnya jaringan lintas agama tidak tercantum pada lampiran SK tentang pengurus FKUB. Nama-nama baru yang ditunjuk oleh pihak pemerintah daerah lebih banyak muncul. Dampak dari kebijakan top down ini kinerja FKUB tidak sesuai dengan yang diharapkan, seperti yang diungkapkan informan 1 (tokoh Islam pengurus FKUB) sebagai berikut.

Periode pertama kepengurusan FKUB (2007-2010) lebih banyak diisi orang-orang dekat kekuasaan. Itu semacam balas budi kepada pendukung waktu pilkada. Kegiatan FKUB masih banyak diisi dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang kerukunan umat beragama3. Kinerja FKUB belum menampakkan hasil. Hubungan antartokoh lintas agama belum terjalin dengan baik, masing-masing masih bertahan pada kepentingan kelompoknya. (Wawancara 9 dan 15 Maret 2014).

Hubungan antar personal dalam jaringan lintas agama itu masih dalam kondisi kebuntuan dan tidak ada figur yang bisa membangun rasa kebersamaan antartokoh lintas agama. Pernyataan itu sesuai dengan pernyataan informan 3 (anggota FKUB, tokoh Kristen), dan informan 9 (aktivis muslimah, pengurus FKUB di periode pertama dan ketiga) yang mengatakan sebagai berikut.

Saya sejak awal tiga periode di FKUB, sejak awal berdirinya di Gresik. Awalnya ya kikuk, sulit komunikasi karena memang belum saling mengenal. Pemrakarsa awal jaringan lintas agama, sebelum FKUB yang diformalkan Bupati, tidak masuk kepengurusan. (Informan 3, wawancara 19 Maret 2014). Periode awal pertama FKUB tidak seaktif sekarang, hubungan antar tokoh kurang ‘cair’. Mungkin dulu belum ada pak MT, saya sudah usulkan untuk memasukkan Pak MT karena beliau yang dulu berinisiatif mengumpulkan tokoh-tokoh sebelum ada kepengurusan FKUB bentukan dari Pemda. (Informan 9, wawancara 15 Maret 2014).

Pernyataan informan 3 dan 9 itu menunjukkan personel dalam FKUB yang ditunjuk Bupati belum sesuai dengan keinginan mereka. Ada tokoh-tokoh agama yang mereka kehendaki yang bisa meretas kebekuan komunikasi lintas agama, namun karena pihak Pemda memiliki kepentingan sendiri maka sistem dalam jaringan itu belum memberikan sumbangan positif. Hal itu dikuatkan oleh penuturan informan 4 (tokoh Katholik) sebagai berikut.

FKUB yang diformalkan oleh pemerintah sifatnya top down, sementara kami membentuk forum lintas agama itu ide dasarnya berdasarkan keinginan dari bawah dengan semangat paguyuban, sukarela dan memang benar-benar keinginan dari masing-masing kami. Pihak pemerintah mulai ikut masuk dan menempatkan orang-orangnya lalu mendikte, harusnya begini, begitu. Ya sudah. ... Jika awalnya

2 Tanya jawab PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ini merupakan hasil kesepakatan Tim Sosialisasi PBM Pusat yang be-ranggotakan enam belas orang, masing-masing dua orang dari Ditjen Kesbangpol Depdagri, Badan Litbang dan Diklat Depag, MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, dan MATAKIN. Tim ini dibentuk setelah setahun pelaksanaan peraturan tersebut, di mana dari hasil evaluasi pelaksanaannya masih banyak daerah yang belum mengimplementasikan karena adanya penafsiran yang berbeda atas pasal-pasal di peraturan bersama itu.

3 Tugas FKUB kabupaten/kota sebagaimana tertera dalam Pasal 9 ayat (2) adalah: a) melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b) menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c) menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota; d) melakukan sosial-isasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan e) memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

Page 37: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

21

pola hubungan dari hati ke hati, kemudian diatur dengan pola proporsional dan dimasukkannya unsur-unsur fanatisme itu, akhirnya berubah menjadi diskusi yang berat-berat, lalu menjadi pola hubungan ‘kejelasan’. Padahal kami berdiskusi tidak untuk berdebat, hanya mengembangkan kebaikan bersama (Wawancara 11 Maret 2014).

Pernyataan informan 4 itu memiliki makna bahwa ada ungkapan putus asa, ada keterpaksaan untuk menerima realitas ketika komunikasi para tokoh lintas agama diatur pemerintah. Masyarakat diyakini memiliki caranya sendiri untuk membuat keseimbangan dalam pertukaran informasi antar agama. Kebijakan top down dari pemerintah dianggap telah membuat batasan-batasan yang menghambat komunikasi antar tokoh agama. Sebagai wakil kelompok minoritas sebetulnya ada nilai yang ingin diperjuangkan untuk membangun kerukunan melalui prakti-praktik kebaikan, bukan hanya wacana. Ungkapan itu dilandasi pengalaman informan 4 di daerah lain yang telah berhasil memprakarsai terwujudnya jaringan tokoh-tokoh lintas agama tanpa campur tangan Pemda. Jaringan tersebut ternyata lebih fungsional karena mampu meredam berbagai potensi konflik karena telah terbangun komitmen bersama bahwa setiap tokoh agama akan menjaga keharmonisan dan menahan diri ketika ada ketidakcocokan pendapat.

Ada kebuntuan komunikasi dan masing-masing aktor masih menjaga jarak, karena tindakan-tindakan aktor dalam jaringan itu telah dipolakan oleh struktur yang dibuat pemerintah. Tiap-tiap aktor masih berada pada posisi in group feeling dan out group feeling, atau memandang tokoh agama lain sebagai the others of group. Hubungan seperti itu tentunya tidak kondusif dalam membangun ruang dialog yang intensif antartokoh agama, tidak akan bisa menghilangkan kecurigaan dan pandangan stereotype pada pihak lain.

PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ketika diimplementasikan direspon oleh umat minoritas sebagai bentuk hegemoni pemerintah terhadap umat beragama. Padahal peraturan tersebut merupakan hasil musyawarah para tokoh agama di level pusat yang kemudian draft peraturan

itu diotorisasi oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Sebetulnya bukan umat Islam saja yang akan mendominasi FKUB, ketika penduduk suatu daerah mayoritas umat non Islam, maka yang mendominasi keanggotaan FKUB adalah non muslim. Peraturan ini memang memunculkan hegemoni kelompok mayoritas atas kelompok minoritas pada daerah-daerah. Sebagaimana dijelaskan Patria dan Arief (2009:121) yang mengikuti pendapat Gramsci bahwa hegemoni merupakan rantai ‘kemenangan’ yang diperoleh melalui mekanisme konsensus terhadap kelas sosial/kelompok lain. Dalam hal keanggotaan FKUB maka kelompok mayoritas akan mendominasi kelompok minoritas. Kemudian, melalui institusi yang disepakati inilah secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat.

Proses penentuan personel dalam FKUB ini yang masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pasal 8 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat, sedangkan pemerintah daerah menfasilitasi. Kriteria dan mekanisme yang harus dilakukan oleh masyarakat tidak dijelaskan lebih lanjut, demikian dalam Tanya Jawab PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 juga tidak ada penjelasan lebih lanjut. Proses penentuan personel Dewan Penasehat FKUB justru lebih detail dan jelas, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11. Hal inilah yang menyebabkan Bupati Gresik dalam pembentukan keanggotaan FKUB periode pertama kurang memperhatikan eksistensi forum komunikasi yang telah dibentuk masyarakat.

Tugas Dewan Penasehat FKUB dalam Pasal 11 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 terasa ambigu, karena harus membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Lembaga ini berarti merupakan penasehat kepala daerah. Terasa ada tumpah tindih antara peran FKUB dengan Dewan Penasehat FKUB. Sehingga akan lebih baik jika Dewan Penasehat FKUB disebut Dewan Penasehat KUB, karena yang dibantu adalah kepala daerah, bukan FKUB. Sementara itu, kepada FKUB

Page 38: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

22

tugasnya adalah memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemda dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. FKUB adalah lembaga otonom yang bertugas memberi rekomendasi kepada kepala daerah. Tugas penasehatan Dewan Penasehat FKUB kepada FKUB juga tidak tertuang secara eksplisit, sebagaimana dijelaskan dalam Tanya Jawab PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Bab III nomor 18 bahwa: “FKUB dan Dewan Penasehat FKUB adalah dua struktur organisasi yang terpisah namun kedua lembaga tersebut mempunyai hubungan kemitraan”. Jadi, Dewan Penasehat FKUB akan lebih sesuai jika disebut Dewan Penasehat KUB.

Peran Gate Keeper dalam FKUB dan FORMALINA

Kondisi tersebut berubah pada kepengurusan FKUB periode kedua dan ketiga. Kepengurusan FKUB periode kedua ditetapkan dengan SK Bupati Gresik Nomor 065/142/HK/437.12/2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Kabupaten Gresik. Kepengurusan FKUB dirotasi kembali untuk periode ketiga dengan terbitnya SK Bupati Gresik Nomor 065/102/HK/437.12/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Kabupaten Gresik.

Masa kepengurusan FKUB periode kedua mulai ada perubahan personel dan muncul individu yang bisa menjadi jembatan komunikasi antartokoh lintas agama dan menyaring informasi yang berpotensi menimbulkan konflik. Informasi tersebut diungkapkan beberapa informan anggota FKUB sebagai berikut.

Ya, alhamdulillah hubungan antarumat beragama di Gresik baik, tapi bukan karena saya, apalagi ada pengurus yang bekerja baik. Sebagai ketua pengurus FKUB, harus baik-baik mengaturnya, karena ada yang agak keras, ada yang biasa-biasa, ada yang kelihatanya manut saja. Kalau secara umum itu ya Pak MT itu. (Informan 2, w. 20/3/2014). Tentunya ada figur yang bisa mencairkan suasana, seperti caranya pak MT. Sehingga, ketika kita di FKUB sudah tidak berfikir soal klambine abang, biru dan lain-lain, kita merasa sedulur. Itu terjadi juga ketika

kami mempercakapkan hal-hal yang serius, dia juga bisa membuat semuanya diselesaikan dengan baik. Dia bisa menjadi jembatan bagi pihak-pihak yang berseberangan. Dia bukan hanya jembatan antar agama, tetapi juga antarkaum dalam intern Islam (Informan 3, w. 19/3/2014). Saya pikir mereka akrab, nggak ada jarak. Bahkan ngomonge sak enake dewe, saling ngolok-olok, guyonan. ... Pak MT banyak memberi masukan-masukan. Dia lebih banyak joke, sehingga susah diterka mau ke mana dia. (Informan 6. w. 15/3/2014). Kalau yang bisa diterima di sana-sini ya pak MT, dengan bahasa yang kadang saru tapi itu dengan tujuan untuk menghilangkan ketegangan akhirnya yang serius jadi ringan. (Informan 8, w. 16/3/2014). ... Sekarang setelah ada pak MT suasananya berbeda, lebih komunikatif dan bisa merangkul semua pihak”. (Informan 9, w. 15/3/2014).

Makna dari semua pernyataan itu adalah peran MT dalam menjembatani (bridge) antar aktor dalam jaringan itu, dengan gaya bahasa yang bisa diterima berbagai pihak. Keterterimaan dari berbagai pihak atas peran MT itu maka pembatas-pembatas karena perbedaan agama dan paham (dalam intern Islam) bisa menjadi lentur. Intensitas komunikasi antar tokoh sudah semakin baik, sehingga peran FKUB tidak hanya terkait masalah antar agama namun juga terkait intern agama, misalnya masalah MTA dan aliran Salafi-Wahabi. Pihak Pemda pun semakin mengakui bahwa peran FKUB cukup strategis menjaga suasana kondusif di Gresik.

Peran MT sebagai gate keeper dalam FKUB dilakukan secara alamiah sebagaimana yang diungkapkannya berikut ini.

Jadi, pola komunikasi yang saya bangun dengan istilah rapat di atas meja dan di bawah meja. Itu sangat diperlukan dalam menjaga harmoni. Misalnya dalam membahas salafi-wahabi, teman-teman tradisional sudah saya bekali tentang peta paham keagamaan yang berdekatan dengan salafi- wahabi. Hal ini untuk mengurangi pertentangan antara kelompok Islam tradisional dengan modernis. Saya harus menjaga ritme kapan harus saya sampaikan ke Kyai Afif (NU-penl.) dan kapan ke Kyai In’am (Muhammadiyah-penl.). Informasi yang saya sampaikan selalu saya saring, agar mereka berdua tidak berdebat langsung. Kalau dibiarkan, bisa tarung sendiri nanti. ... Kalau untuk orang yang bertugas menyeleksi informasi itu saat ini masih bertumpu pada saya. Saya sadar untuk

Page 39: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

23

sebuah organisasi, kondisi ini memang tidak sehat. (MT, wawancara 16 Maret 2014).

Pola komunikasi dengan informasi yang tersaring itu dianggap sebagai cara untuk mengeliminir terjadinya friksi antar tokoh. Dia menyadari bahwa ada resiko yang harus diterima dalam posisi sebagai gate keeper, adanya kecurigaan dari sesama tokoh Islam merupakan sebuah konsekuensinya. Ketika isu berkembangnya salafi-wahabi dan MTA di Gresik, MT sangat berhati-hati memberikan informasi kepada ketua FKUB yang berbasis NU, demikian juga yang dilakukan kepada wakil ketua yang berasal dari Muhammadiyah, kedua belah pihak harus saling difahamkan posisinya masing-masing.

Saya ketika menyampaikan ucapan sambutan di aula dalam forum lintas agama, saya ya tidak bicara ayat, tetapi bicara filsafat, humanisme dan hal-hal lain. Saya ini tidak keluar dari aturan koq, tetap pada jalur Islam. Mereka yang keras kemudian saya kenalkan dengan paham multikultural kemudian hati mereka menjadi lembut, iya. Saya biasanya bilang kepada teman muslim begini: “sampeyan ngamuk gerejo onok, sampeyan gak ngamuk gerejo yo onok. Luwih apik sampeyan oleh manfaat teko iku”. Untuk apa mulut kita berbusa-busa, power dikeluarkan, toh kita tidak bisa menyingkirkan mereka, karena negara melindungi mereka (MT, wawancara 16 Maret 2014).

Pernyataan MT menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas dan kemauan menyebarkan paham multikulturalisme dan kebangsaan bagi anggota FKUB lainnya. Setiap individu harus mau mengakui eksistensi orang lain, karena hukum positif telah melindungi setiap warga negara.

Data ini menunjukkan bahwa MT berhasil memerankan dirinya sebagai gate keeper sebagaimana Muhammad (2009: 103) dan Abercrombie, dkk. (2010: 228) sampaikan bahwa seorang gate keeper harus mampu menyaring informasi atas kelayakan informasi yang perlu disampaikan kepada pihak terkait dan dia mampu memanfaatkan perannya dalam memutuskan apakah suatu informasi penting atau tidak, beresiko merusak hubungan antar tokoh atau tidak.

Ketika dia merasa ada yang belum terwakili dalam jaringan antartokoh agama di FKUB, maka

MT semakin intensif menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh agama yang tidak masuk dalam FKUB tersebut. Untuk mewadahi tokoh-tokoh agama yang tidak masuk FKUB, serta memperluas jaringan antartokoh lintas agama maka dibentuk lembaga baru yang bernama Forum Masyarakat Lintas Agama (FORMALINA). MT lebih lanjut menuturkan sebagai berikut.

Pada awalnya saya tidak di dalam FORMALINA karena sudah di FKUB, namun tokoh-tokoh non muslim di FORMALINA tidak mau. FORMALINA itu tujuan utamanya untuk membina dan membangun komunikasi lintas agama bagi generasi muda. Akhirnya, pada tahun 2012 FORMALINA saya bentuk bersama tokoh lain dengan struktur seperti organisasi NU (MT, wawancara 16 Maret 2014).

Informasi dari MT tersebut sesuai dengan informasi dari informan 4 dan 5. Struktur FORMALINA yang dibentuk cukup gemuk, ada 11 orang tokoh agama dalam Dewan Pembina, terdiri 2 Islam, 3 Katholik, 5 Kristen, 1 Hindu dan seorang Sekretaris Dewan Pembina. Bupati diposisikan sebagai Pelindung, sedangkan Penasehatnya adalah Wakil Bupati Gresik, Dandim Gresik, dan Kapolres Gresik. Pengurus Harian adalah generasi muda lintas agama, terdiri dari ketua 1 orang, wakil ketua 5 orang, seorang sekretaris dibantu empat orang wakil sekretaris, dan seorang bendahara. Departemen yang ada meliputi pendidikan dan pengkaderan, humas, lingkungan dan sosial, kerukunan dan keharmonisan, serta pengembangan jaringan.

FORMALINA menekankan pada terbentuknya jalinan komunikasi lintas agama pada generasi muda. Inisiator FORMALINA menginginkan generasi muda memahami bahwa tiap-tiap daerah memiliki masyarakat dengan karakteristik keagamaan yang berbeda-beda. Dengan demikian, generasi muda perlu kritis dan cepat tanggap pada kondisi multikultur itu

Pembentukan organisasi Formalina dengan struktur kepengurusan itu kurang disetujui sebagian tokoh, sebagaimana dikatakan seorang tokoh agama Katholik. “Ketika pemerintah (Pemda) mulai masuk dan mengatur di sana-

Page 40: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

24

sini lalu menempatkan orang-orangnya, maka semangat paguyuban ini mulai berubah” (Informan 4, wawancara 11 Maret 2014). Dia juga merasa kurang setuju terhadap masuknya orang-orang pemerintahan dalam FKUB. Para pejabat dan jajaran Muspida Gresik sebagai penasehat FKUB maupun FORMALINA dirasakan telah mendistorsi semangat paguyuban yang murni untuk menyebarkan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan atas asas kebaikan bersama. Hal itu membuat khawatir para tokoh lintas agama bahwa FKUB dan FORMALINA akan ditumpangi dengan agenda-agenda politik demi kepentingan pragmatisme pihak tertentu.

Meski demikian, forum tersebut menurut MT (wawancara 16 Maret 2014) masih berfungsi sebagai arena dialog tentang multikultural, kebangsaan, kerukunan antarumat beragama dan isu-isu lain bagi tokoh-tokoh lintas agama. Dialog ini juga diikuti para generasi muda dari FORMALINA. Pada forum ini juga digunakan untuk menyampaikan hal-hal baru terkait keputusan di FKUB, kebijakan pemerintah pusat atau daerah mengenai hubungan antarumat beragama maupun peraturan lain. Di sini dia memerankan diri sebagai bridge, menjembatani tersampaikannya pesan dari FKUB ke FORMALINA. Pandangan stereotype pada pihak lain, kecurigaan, dan faktor penghambat lain yang menghambat proses hubungan/relasi sedikit demi sedikit mulai mencair, dan hubungan antaraktor dalam jaringan FKUB dan Formalina semakin menunjukkan.

Hubungan FKUB dengan FORMALINA banyak diinisiasi oleh MT. Terbukti MT sebagai aktor dengan peran gate keeper dalam FKUB juga mampu memerankan dirinya sebagai bridge atau liaison4, yaitu orang yang berperan sebagai jembatan sekaligus pengantara jaringan antara FKUB dengan FORMALINA. Hubungan antara

tokoh agama yang di FKUB dan di FORMALINA juga dapat terjalin dengan baik. Ketika ada dialog yang diselenggarakan oleh FKUB, tokoh agama di FORMALINA juga selalu diundang. Acara studi banding ke beberapa daerah juga mengajak beberapa tokoh agama yang ada di FORMALINA. Jadi, keberadaan MT ini tidak hanya mampu membangun komunikasi dalam intern FKUB, tetapi juga mampu membangun jaringan antartokoh agama lebih luas lagi di luar FKUB.

Tokoh-tokoh agama di FKUB dan FORMALINA sangat memperhitungkan keberadaan MT, selain peran yang dilakukan juga kapasitas individunya yang memadai. Dia berlatar belakang sebagai warga NU yang kuat, sebagai salah satu pimpinan NU Gresik, pendidikan formalnya S-3, pengajar di lembaga kediklatan dan berpengalaman sebagai penyuluh agama. Dengan posisi dan kapasitas ini memudahkannya untuk mengembangkan jaringan dengan berbagai organisasi atau kelompok lain.

Hal tersebut mirip dengan hasil studi Schwarth yang dikutip Goldhaber, 1986 (dalam Muhammad, 2009: 105) bahwa individu yang berperan sebagai bridge/liaison memiliki posisi atau status yang relatif lebih baik dalam organisasi dan merupakan wakil yang kuat dalam struktur pimpinan. Individu dengan tipe bridge/liaison ini terlibat lebih banyak dalam aktivitas komite dari pada anggota organisasi lainnya.

Proses terbentuknya jaringan tokoh-tokoh lintas agama di luar FKUB ini bisa dipahami dengan teori jaringan Ronald Burt (dalam Ritzer, 2011: 747) sebagai suatu tindakan alternatif yang berkenaan dengan kondisi-kondisi struktural. Ketika negara melindungi eksistensi gereja-gereja, maka umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Gresik harus mau menerima kenyataan, karena norma dalam struktur itu mengacu pada hukum positif dalam negara. Umat Islam harus berbagi

4 Bridge dan liaison memiliki peranan yang sama, sebagai pengantara berbagai informasi yang relevan di antara kelom-pok atau organisasi. Bedanya terletak pada keanggotaan dalam organisasi yang berkaitan. Bridge adalah anggota dari organ-isasi dalam jaringan sosial itu, sedangkan liaison tidak menjadi anggota organisasi manapun di antara organisasi-organisasi dalam jaringan sosial itu (Muhammad, 2009: 103). Peran bridge dan liaison itu menurut Ridle dan Hanneman (dalam Insani dan Wuryanto, 2012) biasanya diisi oleh aktor yang memiliki kapasitas sebagai information brooker.

Page 41: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

25

ruang publik dengan non muslim, dan yang banyak denominasinya adalah Kristen, sementara Katholik, Hindu, Budha tidak seperti itu. Umat Kristen pun harus bisa menerima realitas sosial ini, meskipun ada beberapa denominasi Kristen di Gresik dan di antara mereka tidak dalam satu strukstur, mereka tidak bisa menuntut lebih banyak perwakilan dalam FKUB. Jika realitas sosial sudah seperti itu, maka tinggal bagaimana masing-masing pihak memperoleh manfaat dari pihak lain dalam prinsip keseimbangan (equality). Sehingga pembentukan FORMALINA di Gresik ini adalah sebuah tindakan logis sebagai terobosan atas pola struktur dipaksakan oleh peraturan perundang-undangan.

Hal ini perlu menjadi catatan bagi pemegang otoritas daerah bahwa dalam merumuskan susunan kepengurusan sebuah lembaga atau organisasi untuk memperhatikan usulan dari masyarakat. Kebijakan top down tidak selamanya buruk, namun dalam konteks membangun komunikasi antarbudaya/lintas agama di Indonesia sangat perlu mendengar aspirasi dari bawah dan menampung inisiatif yang berasal dari bawah (bottom up).

Kearifan Tokoh Agama Gresik Menjalin Hubungan Lintas Agama

Ada konsep yang sangat menarik dari beragam konsep yang dideskripsikan oleh tokoh-tokoh agama dalam FKUB dan FORMALINA. Pertama, adanya konsep nrimo dan ngalah. Konsep ini jika telah dipahami oleh para tokoh agama sebagai cara efektif mereduksi konflik. Jika dua nilai kearifan ini benar-benar dipakai oleh aktor dalam berinteraksi jaringan antartokoh agama, tidak ada konflik kepentingan antartokoh agama. Jika actor merasa nrimo maka dia akan menahan keinginannya, tidak memaksakan kehendak. Demikian juga jika aktor itu ngalah atas proses pertukaran dengan pihak lain, maka tidak akan ada konflik dengan pihak lain. Di sini bukan berarti aktor tidak melakukan perjuangan atas kepentingannya, tetapi dia berusaha melakukan pertukaran dengan pilihan yang dianggap paling rasional. Dalam hal ini Coleman (dalam Ritzer dan

Goodman, 2005: 394) berpendapat bahwa: “Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang memberikan ciri saling tergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka”.

Konsep-konsep lainya yang penting untuk dikritisi adalah konsep mencari kesamaan dalam hidup beragama, yaitu ahlaq. Konsep ini sangat akan berlaku general karena baik atau buruknya perilaku individu tergantung ahlaq-nya, sehingga apapun agamanya jika ahlaq-nya baik maka dia akan menyebarkan kebaikan pada sesama. Hal ini di luar konteks apakah sebuah agama benar atau tidak benar, karena agama masih memiliki unsur lain yaitu aqidah dan ibadah. Jika ahlaq-nya baik maka nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agamanya akan mudah diimplementasikan dalam perilakunya.

Nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran kebaikan dari agama yang dianut individu akan saling melengkapi ketika diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat Gresik yang semakin berkembang menjadi masyaraat multikultur. Konsep-konsep perilaku baik dari kearifan lokal dan ajaran agama ketika dibawa oleh para tokoh agama dalam jaringan tokoh lintas agama secara perlahan akan melebur menjadi nilai-nilai yang dipakai bersama dan akan mempengaruhi pola struktur jaringan. Proses ini menurut Schultz (dalam Wirawan, 2012: 147) disebut tipifikasi, yaitu proses individu mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalamannya.

Jika nilai-nilai atau norma (norm) kebaikan itu bisa menjadi karakter kelompok dalam suatu struktur jaringan maka akan mendorong terbentuknya rasa saling percaya antar aktor, tidak ada lagi kecurigaan antartokoh lintas agama atau antarkelompok. Dari situ akan terbangun rasa saling percaya (trust) untuk memperkuat kohesivitas kelompok. Inilah pentingnya rasa saling percaya dalam membangun social capital dalam suatu sistem jaringan sosial kelompok dan masyarakat luas. Pengurus FKUB sebagai small group memang tidak serta merta mengubah suatu

Page 42: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

26

sistem tatanan yang lebih besar. Jika small group masing-masing daerah mampu mengembangkan social capital pada lokal daerahnya, kemudian menjadi contoh untuk daerah lain, maka pada level multi lokal hingga nasional akan teragregasi menjadi sebuah tata nilai hidup beragama dalam masyarakat plural yang penuh dengan kebaikan dalam prinsip co-existention.

PenutuP

Pemda Kabupaten Gresik sangat terbantu oleh rekomendasi FKUB Gresik dalam membangun harmoni antarumat beragama pada masyarakat yang mengalami perubahan komposisi umat beragamanya. Keberadaan jaringan antartokoh lintas agama, FKUB Gresik yang dibentuk dengan kebijakan top down, ternyata mampu menjadi jembatan komunikasi antartokoh agama, juga antara umat beragama dengan pemerintah daerah.

Aktor yang menempatkan diri sebagai gate keeper berperan sangat penting dalam membangun komunikasi antartokoh lintas agama di FKUB Gresik. Aktor tersebut mampu mengendalikan dan menyaring arus informasi, baik dalam intern organisasi FKUB maupun informasi yang masuk atau keluar dari FKUB. Peran aktor ini mampu mereduksi pesan-pesan yang berpotensi menimbulkan konflik dan merusak integrasi antartokoh agama. Aktor tersebut sekaligus berperan sebagai jembatan (bridge) komunikasi antartokoh agama dalam internal FKUB maupun dengan eksternal FKUB, terutama FORMALINA dan ormas keagamaan di Gresik. Organisasi antartokoh lintas agama sebagai jaringan komunikasi antarbudaya memerlukan individu/aktor yang mampu berperan sebagai gate keeper dan bisa membangun jembatan komunikasi (bridge) dengan pihak-pihak terkait, termasuk jaringan tokoh lintas agama di luar FKUB.

Komunikasi antartokoh lintas agama di Gresik banyak memanfaatkan dan mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal. Mereka telah membentuk sebuah sebuah keluarga. Rasa kekeluargaan antartokoh agama dalam FKUB telah terkonstruk sebagai karakter kelompok, antara satu dengan

lainnya merasa sebagai saudara. Kedekatan hubungan antar individu dalam FKUB mendorong tumbuhnya rasa saling percaya dan mereduksi kecurigaan antartokoh umat beragama. Hal tersebut ternyata mampu meningkatkan kapasitas modal sosial (social capital) dalam membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan kondusif. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap penguatan kohesi sosial antarumat beragama.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang menginspirasi hingga tersusunya tulisan ini. Pertama, kepada para tokoh agama yang tergabung dalam organisasi FKUB Gresik dan Formalina yang telah berkenan memberikan informasi dan lesson learn dalam membangun harmoni umat beragama berbasis kearifan lokal. Kedua, kepada Prof. Dr. Koeswinarno, M.Hum. atas masukannya tentang teori jaringan komunikasi dalam diskusi dengan penulis.

daftar Pustaka

Abercrombie, dkk. 2010. Kamus Sosiologi. (edisi 5). Diterjemahkan oleh Desi Noviyani, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik. 2013. Gresik Dalam Angka 2013. Gresik: BPS Kabupaten Gresik.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif (edisi kedua). Jakarta: Kencana-Prenada Media Group.

Bungin, Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Badan Litbang dan Diklat. 2008. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI

Fitri, Wanda. 2009. Pluralisme Dan Kerukunan Hidup Beragama: Studi Komunikasi Antarbudaya Terhadap Hubungan Sosial

Page 43: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Peran Gate Keeper dalam Membangun Jaringan Tokoh Lintas Agama Berbasis Kearifan Lokal di GresikSetyo Boedi Oetomo

27

Lintas Agama Di Sumatera Barat. Dalam prosiding Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-9. Surakarta, 2 – 5 November 2009. Diperoleh dari http://dualmode.kemenag.go.id/ diakses 13 Pebruari 2014.

Hayat, Bahrul. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, Jakarta: PT Saadah Cipta Mandiri.

Insani, Nur dan Waryanto, Nur Hadi. Penerapan Teori Graf Pada Analisis Jejaring Sosial Dengan Menggunakan Microsoft Nodexl. Dalam PYTHAGORAS, Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Volume 7 Nomor 1, Juni 2012, hal. 83 – 99.

Jati, Wasisto Raharjo. 2013. Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan. Dalam Jurnal Walisongo, Volume 21 Nomor 2, November 2013, hal. 393 – 416.

Kartono, Kartini. 2004. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal Itu? Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhammad, Arni. 2009. Komunikasi Organisasi.

Jakarta: Bumi Aksara.

Mustakim. 2007. Gresik Dalam Lintasan Lima Zaman: Kajian Sejarah, Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya. Surabaya: Pustaka Eureka

Patria, Nezar dan Arief, Andi. 2009. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Retnowati. 2013. Jaringan Sosial Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Dengan Pondok Pesantren Di Malang Jawa Timur. Dalam Jurnal Analisa Balai Litbang Agama Semarang Volume 20 Nomor 01 Tahun 2013 hal. 37 – 50.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terahir Postmodern (Edisi Kedelapan). Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, edisi ke-6. Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono. 2011. Sosiologi Suatu Pengantar (cet.44). Jakarta: Rajawali Pers.

Wirawan, IB. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Page 44: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 15-27

28

Page 45: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

29

INTEGRASI SOSIAL PENGELOLAAN RUMAH IBADAH ISLAM DAN KRISTEN DI SURAKARTA

Social Integration Management of Places of Worship for Islam and Christian in Surakarta

LILAM KADARIN NURIYANTO

AbstrAct

The dynamics of religious life in Surakarta is an interesting topic to be studied. Although this city is labeled as the home of radical Islamic groups in one side, this town has developed inter-religious harmony. This can be seen from the existence of mosque and church that are build side by side, to name among those are; a mosque of Al-Hikmah with a church GKJ Joyodingratan, and a mosque sami’na with a church GBI Prosperous Diaspora. This study uses a qualitative method. There are two main findings of this research. Firstly, there is tolerance initiated by the religious leaders. Secondly, there is cooperation, mutual assistance, and mutual respect in conducting worship. Furthermore, there is an inclusive attitude in practicing their religion, a wise and open attitude in dealing with activities held between nearby places of worship.

Keywords: Surakarta, mosque, church, management.

AbstrAk

Dinamika kehidupan keagamaan di Surakarta, menarik untuk dikaji. Kota ini meskipun di satu sisi dicap sebagai basis Islam radikal, akan tetapi di sisi lain cukup baik dalam pembinaan kerukunan antarumat beragama. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa masjid dan gereja yang saling berdampingan atau berdekatan. Tempat ibadah tersebut adalah masjid Al-Hikmah dengan GKJ Joyodingratan dan masjid Sami’na dengan gereja GBI Diaspora Sejahtera. Dengan menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini diperoleh dua temuan utama. Pertama, adanya hubungan toleransi yang dilakukan oleh para pengelola tempat ibadah berdasarkan fisik bangunan dan fungsi sebagai tempat peribadatan. Kedua, terdapat kerjasama, gotong-royong, dan sikap saling menghormati dalam menjalankan ibadah, sikap inklusif dalam beragama, serta adanya kearifan sikap saling terbuka dalam mensikapi kegiatan yang diadakan antar tempat ibadah yang berdekatan.

Kata kunci: Surakarta, masjid, gereja, pengelolaan tempat ibadah.

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jl. Untung Suropati Kav. 69-70, Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. 024-7601327 Faks. 024-7611386

E-mail: [email protected] diterima : 30 Januari 2015Naskah direvisi : 23 Maret – 2 April

2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

Page 46: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

30

Pendahuluan

Surakarta yang mempunyai citra kota yang ramah telah bergeser menjadi daerah yang mempunyai potensi laten konflik tinggi, dimana dalam beberapa tahun ini setidaknya terjadi 32 konflik. Surakarta merupakan kota yang memendam potensi konflik berbasis agama, hal ini berakar dari kontestasi antar agama sampai dengan ketimpangan ekonomi didalam masyarakatnya. Dengan melihat sejarah ternyata konflik ini sudah terjadi pada masa abad XX yang berawal dari konflik antara pengusaha Tionghoa yang tergabung dalam Kong Sing Cina dengan pengusaha lokal (Jawa) yang tergabung daam Serikat Dagang Indonesia (SDI). Kemudian pada awal kemerdekaan terjadi kerusuhan swapraja pada tahun 1946 dimana kaum terdidik Surakarta tidak mau terkungkung dibawah kepemimpinan Keraton Surakarta yang dianggap masih feodalistik dan berpihak kepada penjajah. Kemudia pada tahun 1965 terjadi konflik antara masyarakat dengan dan pemerintah dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1980 terjadi kerusuhan yang dipicu adanya pertikaian antara masyarakat Jawa dengan masyarakat keturunan Arab, yang akhirnya melebar pada masyarakat keturunan Tionghoa. Kemudian pada masa awal reformasi juga terjadi kerusuhan besar-besaran yang merupakan efek dari kerusuhan yang di Jakarta. Kerusuhan ini didorong adanya berbagai kerentanan sosial di Surakarta seperti:munculnya pergesekan antar kelompok keagamaan, adanya kekeringan spiritual, adanya segregasi (pemisahan) sosial berdasarkan etnis, perebutan wilayah ekonomi dan terkikisnya nilai budaya Jawa (Aijudin, 2011: 1 – 5).

Konflik tersebut bersifat “laten”, dan sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan. Apabila dilihat dari konfigurasi kehidupan keagamaannya, Surakarta begitu komplek, mulai dari Islam garis keras, Islam moderat, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan aliran kepercayaan pun ada di kota ini. Sehingga dapat dikatakan Surakarta sebagai miniatur Indonesia, bahkan sebagai “laboratorium agama” yang akan selalu menarik untuk diikaji. Dari dinamika kehidupan keagamaan

yang ada, hal yang menarik adalah komposisi kekuatan Islam dan Kristen yang seimbang. Benturan antara keduanya nyaris muncul ketika isu SARA, kekerasan atas nama agama, ancaman, penggrebekan, intimidasi, swepping, teror, isu Kristenisasi dimainkan. Potensi konflik antara keduanya sangat besar, terlebih Surakarta dikenal sebagai basis Islam garis keras.

Beberapa kelompok keagamaan yang berhaluan keras di Surakarta, sering menggunakan kekerasan dalam mensikapi persoalan sosial keagamaan. Selain itu, Surakarta juga dikenal sebagai “kota teroris”, yang tercermin dari penangkapan beberapa tersangka teroris oleh Densus 88 Anti Teror, seperti Dr. Azhari, Urwah, Sigit Qardhawi, Farhan dan Mukhsin tahun 2012, serta pelaku teror lainnya. Berbagai isu yang menyebabkan munculnya kekerasan berbasis agama adalah persoalan ideologi, perbedaan keyakinan, kasus kekerasan terhadap praktik budaya, isu moralitas, dan isu diskriminasi terhadap komunitas agama tertentu.

Dari kekerasan tersebut, Surakarta seakan menghapuskan adanya kerukunan, toleransi, dan sikap saling menghormati antar umat beragama. Kekerasan tersebut juga menenggelamkan berdirinya bangunan tempat ibadah yang saling berdekatan sebagai simbol kerukunan antar umat beragama di Surakarta. Harmonisasi tempat ibadah itu mencerminkan adanya toleransi yang besar di Surakarta, yang selama ini tertutupi oleh berbagai kasus kekerasan atas nama agama. Seperti masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan, di kelurahan Kratonan yang letaknya bersebelahan, serta yang saling berseberangan yaitu Masjid Sami’na dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera, di jalan Abdul Rahman Saleh, Kestalan, Banjarsari Surakarta. Hal ini menjadi gambaran harmonisnya hubungan antara Islam dan Kristen. Sayangnya menjadi wacana yang tidak pernah muncul ke permukaan (unthinkable), sehingga tidak banyak menjadi diskursus yang diungkapkan sebagai dalam kancah akademis, bagaimana pola, faktor pendukung dan faktor penghambat dalam

Page 47: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

31

pengelolaan tempat ibadah. Sehingga dalam tulisan ini ingin mengungkap tentang bagaimana pola, faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan tempat ibadah yang saling berdekatan.

Untuk menjadi dasar pembahasan hasil temuan penelitian, perlu kiranya dituangkan beberapa definisi tentang tempat ibadah, pengelolaan tempat ibadah, kerukunan umat beragama, manajemen, dan kompromi. Pengertian tempat ibadah merujuk pada Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 8 dan 9 tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah pada pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.

Pengelolaan tempat ibadah adalah mem-bicarakan bagaimana mengelola tempat ibadah agar semua kegiatan peribadatan berjalan dengan baik. Menurut Ayub dalam Azis Muslim, pengelo-laan atau idarah masjid, disebut juga Manajemen Masjid, pada garis besarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) manajemen pembinaan fisik mas-jid (physical management) dan (2) pembinaan fungsi masjid (functional management) (Mus-lim, A, 2004: 105 - 114). Manajemen fisik meliputi kepengurusan dan bangunan fisik tempat ibadah. Sedangkan manajemen fungsi meliputi pendaya-gunaan tempat ibadah sebagai pusat peribadatan. Khusus untuk tempat ibadah yang letaknya saling berdekatan, dalam pengelolaannya harus men-garah kepada terbentuknya kerukunan umat be-ragama. Sehingga diperlukan metode pengelolaan tempat ibadah agar orang-orang atau jamaah yang terlibat di dalamnya bisa melaksanakan ibadah-nya dengan baik tanpa ada yang merasa terganggu diantara jamaahnya.

Pengertian kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu hubungan yang harmonis dan

dinamis serta rukun dan damai antara sesama umat beragama di Indonesia, yakni hubungan harmonis antarumat beragama, antara umat yang berlainan agama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dalam usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat sejahtera lahir dan batin (Depag RI, 1989: 90). Kerukunan tidak mungkin bisa dibangun tanpa adanya kerjasama dengan pihak lainnya. Pihak lain ini mempunyai side efek yang memunculkan kerjasama atau permusuhan atau konflik. Maka, ada dimensi kemasyarakatan yang berhimpitan antaragama satu dan agama lain. Pada dimensi ini menuntut sikap toleran dari umat beragama terhadap keberadaan umat agama lain dalam lingkungan mereka. Perwujudan sikap toleransi dalam beragama dapat dicirikan dengan beberapa indikasi. Indikator sikap toleransi tersebut adalah adanya penerimaan terhadap kelompok lain untuk hidup bersama, terciptanya ruang dialog antar umat beragama, dan saling menghargai terhadap aktivitas keberagamaan pemeluk agama lain (Kartanegara, 2005: 207-210).

Isu yang sering dimunculkan dalam berbagai konflik tersebut adalah persoalan ideologi, perbedaan keyakinan, kekerasan budaya, moralitas dan administrasi rumah ibadah. Adapun model resolusi konflik yang bisa dilakukan di Surakarta adalah dengan: pertama, dialog agama. Dialog agama yang dilakukan di Surakarta tidak hanya pada level elit agamanya saja, akan tetapi masyarakat di bawah juga harus diikut sertakan. Kedua, mediasi konflik. Mediasi konflik di Surakarta merupakan suatu proses dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang mediator berusaha sekuat tenaga untuk mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternative-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Ketiga, pendidikan perdamaian, yang merupakan prakarsa untuk membangun komunikasi yang baik, melakukan identifikasi isu-isu penting, dan mengembangkan berbagai opsi untuk menurunkan eskalasi berbagai konflik di masyarakat luas (Aijuddin Anas, 2011, 97 - 100).

Page 48: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

32

Istilah manajemen menurut Robbin dalam Iwan Purwanto, mengacu pada proses mengoor-dinasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kerja agar diselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Proses menurut Stoner, adalah cara sistematik yang diterapkan dalam melakukan kegiatan yang menggambar-kan fungsi-fungsi yang berjalan secara terus menerus. Sedangkan merancang lebih mengarah pada proses perencanaan yang mengarah pada tujuan organisasi dan menetapkan prosedur yang terbaik untuk mencapainya. Rencana merupakan pedoman oleh organisasi untuk menggunakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan, melaksakan proses secara konsisten, dan untuk memonitor dan mengukur kemajuan un-tuk mencapai tujuan. Mengkoordinasikan adalah proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya diantara anggota or-ganisasi, sehingga mereka dapat mencapai sasa-ran organisasi. Memimpin merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas or-ganisasi. Sedangkan pengendalian yaitu proses untuk memastikan aktivitas yang telah dilakukan sesuai atau tidak dengan perencanaan (Purwan-to, 2008: 17).

Kompromi merupakan perpaduan lebih dari satu kepentingan pribadi atau kelompok yang melalui sebuah proses penyatuan guna mencapai kepentingan bersama. Menurut Thomas Meyer, kompromi merupakan sekolah lanjutan dalam berdemokrasi. Kompromi dilakukan ketika diperlukan dimana bila tidak satupun pihak yang mampu berperan memiliki cukup kekuatan untuk mengejar sasaran pribadinya secara pasti dan utuh. Kompromi memiliki fungsi produktif untuk mengatasi konflik ketika penerapan kepentingan dari pihak yang lebih kuat tidak memberikan solusi jangka panjang. Di dalam kompromi, dua peserta atau lebih sepakat untuk mengesampingkan hak-hak mereka, sehingga seluruh peserta dapat menyadari sasaran bersama sebanyak mungkin. Hal yang sama pentingnya adalah terjadi pertukaran manfaat dengan cara yang diterima oleh semua pihak, dan hasil yang diperoleh secara bersama-sama ini akan memperoleh legitimasi

di mata seluruh peserta dan membawa stabilitas (Meyer Thomas, 2012: 10 – 11).

Sebagai dasar kerangka berpikir dalam penelitian ini bahwa tempat Ibadat yang letaknya berdampingan memerlukan manajemen pengelolaan yang lebih sulit. Karena dalam aktifitas peribadatannya memungkinkan dalam waktu yang bersamaan. Sehingga menimbulkan potensi gesekan-gesekan diantara para jamaah kedua tempat ibadah tersebut. Diperlukan sebuah kearifan dalam mengelola tempat ibadat tersebut, dimana tujuan utamanya adalah terselenggaranya proses peribadatan yang lancar tanpa ada gangguan atau rasa khawatir adanya ancaman gangguan diantara para jamaah kedua tempat ibadah tersebut. Bahkan sebisa mungkin memunculkan rasa tidak ingin saling mengganggu dan kerjasama yang baik diantara keduanya.

Di sinilah peran pengelola tempat ibadat memegang peranan penting sekali, karena merupakan aktor utama dalam mencapai tujuan utama tersebut. Pengelolaan meliputi dua bagian yang berbeda, yaitu pengelolaan fisik bangunan tempat ibadah tersebut, dan fungsinya sebagai tempat beribadah umatnya. Salah satu pola yang bisa digunakan untuk melihat efektifitas pengelolaan terhadap tempat ibadat yang saling berdekatan adalah Consensual processes terdiri dari isolation, information, mutual communication, collaboration, coordination, commitment, team work, dan cooperation.

Gambaran kerangka dasar berpikir penilitian ini adalah sebagai gambar 2.1.

Metode Penelitian

Untuk mengungkap jawaban permasalahan tersebut sangat menarik untuk diteliti. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Surakarta pada semester kedua tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik observasi, wawancara secara mendalam, dan dokumentasi. Teknik observasi dimaksudkan untuk memperoleh data-data sosial keagamaan di kota Surakarta. Teknik wawancara dilakukan untuk mendalami

Page 49: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

33

pemahaman atas observasi melalui informan yang merupakan pengelola tempat ibadah tersebut. Sedangkan teknik dokumentasi dipergunakan sebagai penguat hasil observasi dan wawancara, terutama data sejarah dan kependudukan kota Surakarta.

hasil dan PeMbahasan

Narasi yang Tidak Terbaca Dalam Toleransi Pengelolaan Tempat Ibadah yang Saling Berdekatan di Kota Surakarta

Gambaran umum Kota Surakarta yaitu terletak di propinsi Jawa Tengah, terdiri dari lima kecamatan dan 51 kelurahan. Jumlah RW tercatat sebanyak 601 dan jumlah RT sebanyak 2.709. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebesar 146.860 KK, maka rata-rata jumlah KK setiap

RT berkisar sebesar 54 KK setiap RT. Jumlah penduduk Kota Surakarta pada tahun 2012 adalah 500.171 jiwa, terdiri dari 243.851laki-laki dan 256.320 perempuan. Keadaan sosial keagamaan sesui dengan catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta pada tahun 2012, pemeluk agama Islam 445.368 (76,59%), Kristen 70.347 (12,10%), Katolik 62.176 (10,69%), Hindu dan lainnya 1.456 (0,25%), Budha 2.176 (0,37%).

Pengelolaan Berdasarkan Fisik dan Fungsi Tem-pat Ibadah antara Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan

Salah satu yang menarik dari kehidupan keagamaan masyarakat Surakarta adalah tolerasi yang diwujudkan dalam pola hubungan yang harmonis antar tempat ibadah. Keberadaan Gereja

Tempat Ibadah yang Letaknya Berdekatan (Masjid dan Gereja Kristen)

Faktor Pendukung dan Penghambat

Skema Consensual Process coope-

rationteamwork

commitment

coordination

collaboration

mutual communication

information

isolation

Proses Pengelolaan Tempat Ibadah Yang Berdekatan berdasarkan Fisik Bangunan dan Fungsi Sebagai Tempat Ibadah

Tahapan Pengelolaan Tempat Ibadah melalui Consensual processes dengan tahapan dari tahapan terendah isolation sampai dengan tahapan tertinggi cooperation.

Hasil:

- Terwujudnya Kerukunan Umat Beragama Lewat Kegiatan Peribadatan di Tempat Ibadat yang letaknya Berdekatan.

- Terjalinnya kerjasama (aktifitas bersama) dalam menjaga kerukunan

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Page 50: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

34

Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan yang diba-ngun tahun 1929 yang letaknya berdampingan dengan masjid Al-Hikmah yang dibangun pada tahun 1947, merupakan potret tolerasi yang tak habis untuk dibaca. GKJ Joyodingratan sebelumnya berada di kawasan Danukusuman, kemudian dipindah ke Joyodiningratan karena tidak muat lagi untuk menampung jemaat. Adapun masjid Al-Hikmah dibangun di atas lahan milik H. Ahmad Zaini, yang awalnya sebuah mushola, kemudian berkembang menjadi masjid. Di antara bangunan gereja dan masjid terdapat bangunan “Tugu Lilin” sebagai lambang kerukunan. Tugu Lilin tersebut didirikan sebagai bentuk kesepakatan antara para pendahulu gereja dan masjid, bahwa sampai dengan generasi mendatang tidak akan terjadi permusuhan diantara keduanya. Berdirinya dua bangunan keagamaan yang berdampingan ini dalam waktu yang telah lama, membuktikan masih ada sejarah dan guratan jelas di kota Surakarta tentang rasa toleransi, sikap saling menghormati, dan kerukunan antar umat beragama. Dua bangunan tersebut mencerminkan bahwa ada toleransi yang kuat di Surakarta, dan meminimalisir stereotipe yang selama ini berkembang, bahwa Surakarta “kota teroris”. Sebagai pimpinan masjid Al-Hikmah ketua takmirnya adalah H. Nasir. Sedangkan pimpinan GKJ Joyodiningratan adalah Pdt. Nunung.

Beberapa bentuk harmonisasi dan toleransi hubungan yang diciptakan oleh masing-masing pengelola tempat ibadah adalah setiap ada acara keagamaan saling memberi tahu, dengan tujuan agar masing-masing pihak bisa mengambil sikap yang bertujuan untuk saling menjaga hubungan baik. Pihak masjid pernah mendapat undangan resmi dalam acara pentasbihan pendeta gereja yang baru, tetapi pihak masjid tidak bisa memenuhi undangan tersebut karena alasan agama. Hal ini seperti yang Adapun bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah fungsi peribadatan yang ditunjukkan oleh masjid, misalnya ketika azan Magrib dan Isya’ tidak terlalu keras seperti biasanya, karena waktunya bersamaan dengan acara gereja tersebut. Sedangkan toleransi pengelolaan tempat ibadah fisiknya adalah menutup pintu masjid yang berarti

sudah tidak ada kegiatan setelah selesai solat Isya’.

.....dengan halus saya sampaikan bahwa dalam agama Islam tidak diperkenankan mendatangi acara ritual agama lainnya selain Islam.....(wawancara dengan Bapak Nasir, ketua takmir masjid Al Hikmah, 31 Agustus 2013)....setiap magrib dan isya’ ada adzan yang suaranya keras, dan pihak masjid menyanggupi bahkan sepertinya suaranya tidak terdengar sama sekali.... (wawancara dengan Pendeta Nunung, pimpinan GKJ Joyodiningratan, 31 Agustus 2013).

Bentuk toleransi lainnya adalah ketika hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dimana jalan raya di depan masjid dan gereja tersebut ditutup untuk salat Ied. Selain itu, halaman di luar gereja dibersihkan oleh pihak gereja karena biasanya tempat tersebut digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor jamaah salat Ied. Ini merupakan bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik oleh pihak gereja. Sedangkan bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah fungsi peribadatan yang ditunjukan oleh pihak gereja adalah bila waktunya salat Ied jatuh pada hari minggu, maka pihak gereja mengundurkan jam kebaktian pagi hari pada siang hari setelah acara salat Ied selesai.

Pada perayaan Idul Adha, bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik oleh gereja yang tidak kalah menarik adalah hewan kurban semuanya ditempatkan di depan pagar gereja. Hewan kurban tersebut terdiri dari 12 ekor sapi dan 17 ekor kambing. Bahkan untuk menempatkan 17 ekor kambing dan sebagian sapi, dibuatkan kandang dari bambu di depan pagar gereja. Sedangkan pemotongannya dilaksanakan di depan masjid. Tentunya kegiatan ini akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Tetapi sebelumnya pihak masjid sudah meminta ijin terlebih dahulu kepada pihak gereja.

Pada malam perayaan Natal, masjid Al-Hikmah tetap azan dengan pengeras suara, tetapi setelah salat Isya’ masjid ditutup. Karena jemaat gereja banyak yang datang pada malam Natal sehingga di depan masjid dipergunakan

Page 51: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

35

sebagai tempat parkir kendaraan jemaat gereja. Ini juga merupakan bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik oleh pihak masjid.

Bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fungsi tempat ibadah lainnya oleh pihak gereja adalah pernah mengadakan program nasi bungkus untuk menyediakan buka puasa pada bulan Ramadan. Kegiatan ini dimanfaatkan para pengguna jalan yang melalui depan masjid dan gereja ketika waktu menjelang berbuka puasa. Menurut takmir masjid Al-Hikmah maupun GKJ Joyodingratan, sebenarnya program tersebut tidak ada niatan dari pihak gereja untuk menarik kaum muslim untuk mampir ke gereja atau masuk dalam agama Kristen. Hal ini karena tempat untuk menyediakan nasi bungkus tersebut tidak di dalam gereja, tetapi di depan pagar gereja. Apalagi pihak masjid Al-Hikmah setiap bulan Ramadan juga menyediakan takjil untuk berbuka puasa. Pihak gereja juga tidak mengatasnamakan gereja dengan tidak memasang tulisan apapun untuk program tersebut. Tetapi hal ini mendapat tentangan oleh pihak tertentu dari kalangan sebagian umat Islam. Pada akhirnya pihak gereja menghentikan kegiatan tersebut, karena tidak ingin terjadi keributan.

Kegiatan sosial yang dilakukan oleh pihak gereja adalah seperti ketika hari raya Paskah membagi sembako bukan hanya untuk warga gereja, akan tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Selain itu gereja mengadakan program sosial berupa pengobatan medis dan pijat refleksi untuk umum.

Bentuk toleransi yang sudah sampai pada level relasi kerja adalah pada saat kerjasama dalam satu kegiatan antara masjid dan gereja ketika ada musibah gempa di Yogyakarta. Pengurus masjid dan gereja menjadi penggerak untuk mengajak warga untuk peduli terhadap penderitaan akibat musibah gempa. Kegiatan ini melibatkan sebagian besar warga sekitar kedua tempat ibadah, termasuk masyarakat

yang ada di pinggir jalan raya yang kebanyakan etnis Tionghoa. Acara ini berupa pengumpulan bantuan dari masyarakat untuk disalurkan ke korban bencana gempa di Yogyakarta. Dalam hal ini berarti musibah bencana alam telah menggerakan masjid dan gereja atas nama kemanusiaan, bukan atas nama agama.

Kerjasama masjid dan gereja dalam bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah baik dalam fungsi peribadatan maupun fisiknya, tidak ada kerjasama secara formal antara masjid dan gereja, hanya ketika ada peringatan hari besar keagamaan saling memberitahu. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing bisa mengambil sikap, sehingga tidak sampai mengganggu acara tersebut. Pada intinya semua pihak mengusahakan agar terjalin komunikasi secara baik diantara keduanya.

Harmonisasi kedua tempat ibadah tersebut banyak mendapatkan sorotan dari kalangan luas, baik dari dalam ataupun luar negeri. Seperti dari Uni Soviet serta rombongan lintas agama dari berbagai negara yang dibawa oleh K.H. M. Dian Nafi. Selain itu, ada juga rombongan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku.

Pengelolaan berdasarkan Fisik dan Fungsi Tem-pat Ibadah antara Masjid Sami’na dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera

Masjid Sami’na dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera letaknya saling berhadapan, tepatnya di Kelurahan Kestalan. Keberadaan gereja ini sudah ada terlebih dahulu sekitar 23 tahun sebelum adanya masjid Sami’na. GBI Diaspora Sejahtera ini merupakan gereja induk, karena di dalam GBI secara organisasi bersifat otonom. Gereja ini mempunyai 5 cabang, yaitu tiga cabang berada di Surakarta, satu cabang di Boyolali, dan satu cabang di Karanganyar. Dalam struktur organisasi GBI, terdapat tingkatan untuk jabatan pendeta, yaitu pendeta muda, pendeta pembantu, dan pendeta penuh. Pendeta Penuh adalah untuk GBI yang sudah berstatus cabang, adapun pendeta muda dan pendeta pembantu

Page 52: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

36

masih magang di GBI cabang. GBI Diaspora Sejahtera Surakarta memiliki jamaah sekitar 100 orang, dengan Pdt Chris Yehuda sebagai pendeta utama.

Masjid Sami’na sudah lama berdiri, tetapi pada awalnya letaknya di tengah perkampungan. Baru pada tahun 2004 pindah di depan GBI Diaspora Sejahtera sampai sekarang. Takmir masjid Sami’na adalah H. Edi, dengan imam H. Ahmad Fauzan.

Sebagaimana hubungan antara masjid Al-Hikmah maupun GKJ Joyodingratan tersebut diatas, beberapa bentuk harmonisasi dan toleransi antara masjid Sami’na dan GBI Diaspora Sejahtera terlihat harmonis. Hal ini terlihat dari cara pengelolaan tempat ibadah yang saling berdekatan baik pada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat ibadah.

Pada acara perayaan hari besar keagamaan seperti Maulud Nabi Muhammad saw pihak masjid menutup jalan di depan masjid. Dengan menutup jalan ini berarti akses untuk masuk ke gereja otomatis juga tertutup, karena letak masjid dan gereja tepat berseberangan jalan. Selain itu pihak masjid juga meletakkan peralatan (sound system) milik masjid diletakkan di emperan gereja, atau didalam halaman gereja. Pada saat itu umat Islam yang menghadiri memang banyak sekali, sehingga tidak akan muat bila penyelenggaraannya di dalam masjid. Dalam hal ini telah terjadi bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik yang dilakukan oleh pihak gereja terhadap masjid.

Demikian pula ketika pihak gereja mengadakan kegiatan keagamaan seperti Natal, umat Kristen yang datang lebih banyak daripada kegiatan peribadatan rutin. Sehingga untuk tempat parkir kendaran jamaah sampai di depan masjid, bahkan motor dipersilahkan untuk diparkir masuk ke halaman masjid. Dalam hal ini telah terjadi bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik yang dilakukan oleh pihak masjid terhadap gereja.

.... kemudian orang saya cari untuk ditanya, apa dasarnya melarang parkir didepan masjid, padahal dia bukan pengurus masjid... (Wawancara

dengan sesepuh masjid Sami’na H. Ahmad Fauzan, tanggal 2 September 2013).

Pada acara perayaan puncak Natal pihak gereja mengundang aparat pemerintah, seperti lurah, para RT dan RW, serta termasuk takmir masjid Sami’na. Pada awalnya pihak gereja tidak mengundang pengurus masjid, mengingat tata cara beribadah umat Kristiani berbeda dengan umat Islam. Tetapi pengurus masjid menanyakan kepada pihak gereja kenapa tidak diundang dalam acara Natal. Akhirnya pihak gereja mengundang setiap ada perayaan Natal. Untuk tamu undangan datangnya saat di luar jam peribadatan, artinya mereka tidak mengukuti acara peribadatannya. Hanya mengikuti acara pesta perayaannya saja. Disini antara pengelola masjid dan gereja telah melakukan bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah pada fungsi sebagai tempat peribadatan. Dimana pihak gereja menghormati dengan mengundang saat diluar jam peribadatan, sedangkan pihak masjid menghormati dengan memenuhi undangan tersebut sebagai bentuk hubungan yang baik.

Bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fungsi sebagai tempat ibadah yang dilakukan oleh pihak gereja adalah pada saat masjid melaksanakan kegiatan keagamaan yang menggunakan pengeras suara. Dimana pihak gereja tidak pernah mempermasalahkannya. Begitu pula ketika bulan Ramadhan itensitas penggunaan pengeras suara (sound system) lebih sering dan panjang waktunya. Pihak gereja bisa memahami karena bulan Ramadhan merupakan bulan suci umat Islam.

... untuk kegiatan masjid selama ini menggunakan pengeras suara diatas (luar). Bagi kami bisa memahami kalau puasa memang selama satu bulan penuh. Kalau sekitar dua tahun ini sudah mengurangi waktu mengajinya sampai jam 10 malam... (wawancara dengan Pendeta Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pendeta Chris Yehuda, tanggal 2 September 2013).

Bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik yang dilakukan oleh pihak masjid terhadap gereja di mana takmir masjid menawarkan tanah sebelah masjid yang akan

Page 53: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

37

dijual kepada pihak gereja. Tetapi karena pihak gereja sedag tidak membutuhkan, maka akhirnya dibeli oleh pihak masjid sendiri. Yang lebih menarik lagi dalam transaksi jual beli tanah tersebut adalah tanah tersebut sertifikatnya atas nama umat Kristen.

Pernah ada beberapa gangguan dalam membina hubungan baik dengan pihak masjid dan gereja, yaitu ada yang mempermasalahkan parkir kendaraan di depan masjid. Tetapi setelah diklarifikasi oleh pengurus masjid, tidak bisa menyebutkan dasar agama untuk melarangnya. Juga pernah ada rombongan yang berkeliling dari masjid ke masjid dan menginap beberapa hari, ketika datang ke masjid Sami’na mereka sudah minta ijin pada ketua takmir dan mau menginap selama seminggu, tetapi oleh H Ahmad Fauzan di suruh pergi. Beliau beralasan bahwa tidak semua masyarakat beragama muslim, di mana kelompok tersebut dengan menggunakan pakaian jubah mendatangi rumah-rumah warga untuk mengajak warga lingkungan sekitar untuk datang beribadah di masjid. Pengurus masjid khawatir dengan keadaan kampung setempat, karena penduduknya tidak semuanya muslim.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh masjid dan gereja sudah sangat baik di dalam membina kerukunan bertetangga sekaligus kerukunan antarumat beragama. Beberapa tokoh sentral sangat berpengaruh dalam membangun kerukunan, seperti pandangan H. Ahmad Fauzan, yang mengutarakan bahwa teman beliau banyak dari kalangan Kristiani, bahkan dari kalangan pendeta Kristen. Beliau berpendapat bahwa kerukunan memang harus dibangun bersama-sama, akan tetapi masalah peribadatan adalah urusan internal masing-masing agama.

Efektifitas Pengelolaan Tempat Peribadatan dalam Perspektif Consensual Processes

Bentuk harmonisasi, tolerasi, sikap saling menghargai dan menghormati yang ditunjukkan

oleh gereja dan masjid seakan menjadi narasi yang tak terbaca (untinkable), mengingat sejauh ini Surakarta dikenal sebagai kota dengan tingkat kekerasan atas nama agama yang cukup tinggi.

Bentuk harmonisasi dan toleransi antara ke-dua tempat ibadah tersebut tercermin tidak adanya kesulitan dalam mengelola masjid dan gereja. Pengelola masing-masing tempat tempat ibadah menerapkan prinsip manajemen pengelolaan berdasarkan nilai. Robbin dalam Iwan Purwanto, memperkenalkan konsep prinsip manajemen ini merupakan pendekatan pengelolaan dimana para manajer (pengelola tempat ibadah) menetapkan, memajukan, dan mempraktikkan nilai-nilai bersama (Purwanto, 2008: 35). Nilai-nilai bersama ini untuk mencapai tujuan organisasi (masing-masing tempat ibadah) secara bersama mewujudkan hubungan yang baik. Dimana tidak saling menganggu aktifitas ibadah maupun fisik bangunan tempat ibadah masing-masing.

Seperti pada kasus penyediaan nasi bungkus untuk berbuka puasa oleh gereja merupakan kegiatan yang bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Bagi yang berpikiran positif yang hanya memandang fisik dan fungsi dari nasi bungkusnya, hal tersebut merupakan bentuk kepedulian umat agama lain dalam upaya membantu memperlancar dan menghormati ibadah umat lainnya. Tetapi bila berpikir lebih jauh tidak hanya memandang terhadap materi yang tersedia, dimana dimungkinkan ada unsur lain yang bisa berpengaruh terhadap integritas keagamaan.

Pandangan-pandangan yang berbeda inilah yang seharusnya bisa disikapi secara bijaksana, terutama bagi para pengelola tempat ibadah. Seperti yang dilakukan oleh pengelola gereja dengan menghentikan kegiatan penyediaan nasi bungkus, karena tidak mengiginkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Model negosiasi sampai dengan bentuk kompromi untuk menghentikan kegiatan tersebut.

Page 54: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

38

Gambar 2.2. Skema Consensual Processes (yang diolah)

Sumber: Munawar Ahmad, power point pada acara seminar internal pasca riset lapangan, di Balai Lit-bang Agama Semarang pada tanggal 22 November

2013

Consensual processes, merupakan salah satu metode yang menjelaskan adanya kesepakatan umum dalam rangka pengelolaan kerukunan antarumat beragama. Consensual processes terdiri dari isolation, information, mutual communication, collaboration, coordination, commitment, team work, dan cooperation. Metode ini sama tujuannya dalam sebuah negosisasi dalam menyelesaikan sesuatu persoalan.

Negosiasi menurut Jaqueline M. Nolan-Haley adalah: “Negotiation may be generally defined as a consensual bargaining process in which parties attempt to reach agreement on a disputed or potentially disputed matterí.” Artinya negosiasi sebagai konsensual dari proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan tetang suatu sengketa atau yang berpotensi menjadi sengketa” (http://www.ahmadzakaria.net/blog/2007/05/02/negosiasi-suatu-penantar-teori-praktis/comment-page-1/, download tanggal 28-1-2015).

Negosiasi ini akan bermuara pada bentuk kompromisasi seperti dalam teorinya Thomas Meyer, dimana para pihak mencari jalan tengah agar semua tujuan tercapai bersama, dengan asumsi ada bagian yang mayoritas menanggalkan

beberapa kepentingannya. Sehingga keputusan yang diambil secara asti dapat diterima oleh para pihak. Negosiasi biasa dikenal sebagai salah satu bentuk alternative dispute resolution.

Seperti halnya dalam pengelolaan tempat ibadah yang letaknya saling berdekatan seperti pada Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan yang saling berdampingan, serta Masjid Sami’na dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera yang letaknya berseberangan jalan atau saling berhadapan. Walaupun antara masjid dan gereja yang kedudukannya berdekatan tersebut tidak sedang dalam permasalahan, tetapi perlu kiranya tetap menjaga hubungan secara harmonis. Persoalannya disini adalah bagaimana mempertahankan suasana kondusif diantara kedua tempat ibadah tersebut agar hubungannya tetap harmonis.

Tahap-tahap dalam mencapai tingkatan tertinggi dalam hubungan masjid dan gereja dapat dilihat melalui beberapa tahapan. Pada tahap isolation, dimana pengelola tempat ibadah masih dalam lingkungan internalnya sendiri, dan kesadaran untuk membangun kerjasama antarumat beragama belum muncul. Pengelola tempat ibadah beserta jamaah yang terlibat di dalamnya masih berpikir dalam ranah tempat ibadah hanya sebagai tempat beribadah saja. Fungsi pokok tempat ibadah seperti masjid dan gereja hanya digunakan sebagai tempat salat dan kebaktian. Belum ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan pengelola oleh masjid dan gereja.

Pada tahapan information, dimana sudah muncul kesadaran masyarakat untuk bekerjasama di antara pengelola tempat ibadah. Masyarakat mulai sadar dengan keadaan sebagai bangsa yang plural, multietnik, multikultur, dan memiliki keragaman keyakinan keagamaannya (Effendi, 2001: 42). Pengelola tempat ibadah beserta jamaah yang terlibat didalamnya sudah berpikir dalam ranah tempat ibadah tidak hanya sebagai tempat beribadah saja. Sudah ada kesadaran bahwa fungsi pokok tempat ibadah seperti masjid

coope-ration

teamwork

commitment

coordination

collaboration

mutual communication

information

isolation

Page 55: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

39

dan gereja tidak hanya digunakan sebagai tempat salat dan kebaktian. Sudah ada kesadaran bahwa lingkungan sekitar tempat ibadah berperan atas keberlangsungan tempat ibadah tersebut. Dalam tahapan ini masih terbatas dengan munculnya kesadaran untuk melakukan kerjasama dengan lingkungan sekitarnya. Belum ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

Pada tahapan mutual communication atau saling berkomunikasi, dimana pengelola tempat ibadah saling membuka saluran komunikasi, dan telah ada perubahan sikap keberagamaan dari sikap eksklusif ke arah sikap inklusif. Langkah preventif untuk mencegah sikap eksklusif agar tidak berkembang terus, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikulutural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif, dan aktif sosial. Seperti yang terlihat pada masjid Al-Hikmah dan GKJ Joyodiningratan yang sudah membuka komunikasi mulai dari awal pembangunan masjid. Terbukti dengan didirikannya di antara bangunan gereja dan masjid terdapat bangunan Tugu Lilin sebagai lambang kerukunan. Berdirinya dua bangunan keagamaan yang berdampingan ini dalam waktu yang telah lama, membuktikan masih ada sejarah dan guratan jelas di kota Surakarta tentang toleransi dan kerukunan beragama. Dua bangunan tersebut mencerminkan dan membuktikan bahwa ada toleransi yang besar dan mengakar kuat antar umat beragama di Surakarta. Hal ini berarti sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

Tahapan collaboration, adanya jalinan kerjasama antara pengelola tempat ibadah agar tercapai kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan tidak mungkin bisa dibangun tanpa adanya kerjasama yang baik dengan pihak lainnya. Seperti yang terlihat pada saat kegiatan keagamaan antara masjid dan gereja saling membuka ruang kerja sama dengan landasan saling memahami kedudukannya masing-masing. Hal ini berarti

sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

Adapun tahapan coordination, membuka pertemuan di antara pengelola tempat ibadah untuk bicara bersama melalui “dialogisasi kesadaran kolektif”. Dialogisasi kesadaran kolektif ini mampu menyatukan hubungan antar masyarakat yang plural. Di masjid Sami’na dan GBI Diaspora Sejahtera telah terjadi dialogisasi dalam perayaan hari besar keagamaan. Setelah bertemu dengan pengelola masjid dan ditanya mengapa tidak diundang seperti pihak kelurahan, RT/RW. Akhirnya setiap perayaan berikutnya pihak masjid juga diundang, pada diluar acara peribadatan. Demikian juga dalam perayaan hari Raya Idul Adha di masjid Al Hikmah selalu meminta ijin kepada pihak GKJ Joyodiningratan untuk menempatkan hewan korbannya pihak depan luar pagar gereja. Hal ini berarti sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

Pada tahapan commitment, dimana para pengelola tempat ibadah mempunyai komitmen bersama untuk menciptakan kesadaran kolektif dalam mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Komitmen bersama ini akan menjadi kekuatan pendorong demi terwujudnya kerukunan antarumat bersama. Seperti yang terlihat pada masjid dan gereja, kedua tempat ibadah saling menjaga hubungannya tetap harmonis. Hal ini berarti sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan masjid dan gereja.

Tahapan team work dimana telah terbentuk dialogis diantara para pengelola tempat ibadah. Juga telah memunculkan kearifan dalam pengelolaan tempat ibadah yang letaknya saling berdekatan. Tidak ada kerjasama secara formal dalam rangka pengelolaan tempat ibadah. Tetapi hanya saling menjaga hubungan agar tidak saling mengganggu dalam melaksanakan ibadah.

Page 56: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

40

Kalau ada kerja sama bukan berdasarkan nilai keagamaan, tetapi berdasarkan nilai kemanusiaan. Misalnya Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan bekerjasama sebagai koordinator dalam mengumpulkan batuan korban gempa di Yogyakarta. Pihak masjid dan gereja sebagai penggerak untuk mengajak warga sekitar masjid dan geraja untuk peduli terhadap saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah. Termasuk masyarakat yang ada di pinggir jalan raya, yang nota bene kebanyakan dari etnis Cina. Sehingga bencana alam tersebut menggerakan atas nama kemanusiaan, bukan atas nama agama. Hal ini berarti sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

Pada tahap cooperation dimana sudah terbentuk relasi nyata diantara pengelola tempat ibadah dalam mewujudkan suasana rukun antarumat beragama. Kesadaran bersama diantara pengelola dan para jamaah tempat ibadah bahwa hidup rukun berdampingan merupakan cita-cita bersama, sehingga dalam mengelola tempat ibadah diperlukan kearifan khusus agar hubungan baik tetap terjaga. Ini terbukti dijadikannya Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan sebagai tempat kunjungan studi banding baik dari dalam negeri maupun negara-negara lainnya. Dari luar negeri misalnya dari Uni Soviet yang terdiri dari para pemuka agama dan para dosen. Kalau dari dalam negeri misalnya kunjungan rombongan lintas agama yang dibawa oleh pimpinan Pondok Pesantren Al Muayyad Windan, Kyai Dian Nafi. Ada juga rombongan Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah Maluku. Hal ini berarti sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh pengelola masjid dan gereja.

siMPulan

Dari deskripsi di atas, pola pengelolaan tempat ibadah yang berdekatan di kota Surakarta bisa dilihat dari consensual processes. Masjid

Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan yang posisinya bersebelahan, serta Gereja Baptis Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera dan masjid Sami’na yang posisinya berhadapan, selalu membuka bekerjasama, menjaga toleransi, dan saling menghormati dalam berbagai praktik ibadah. Ketika pengelola tempat ibadah mengambil sikap dan keputusan dalam menjaga hubungan toleransi antara masjid dan gereja, menggunakan pengambilan keputusan yang rasional analisis. Pengelola tempat ibadah memilih keputusan dengan penuh kesadaran tentang semua alternatif yang mungkin akan terjadi untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Hal ini pengelola tempat ibadah menyusun segala akibatnya dengan memperhatikan skala pilihan yang pasti, dan memilih alternatif yang memberikan hasil maksimum (Purwanto, 2008: 81). Jenis hubungan toleransi yang dilakukan oleh para pengelola tempat ibadah berdasarkan fisik bangunan dan fungsi sebagai tempat peribadatan. Surakarta menyimpan sebuah potret toleransi antarumat beragama dalam model pengelolaan tempat ibadah yang saling berdekatan letaknya, dimana tidak pernah terbaca dalam naungan stigma sebagai daerah yang bersumbu pendek.

Beberapa faktor penghambat dalam pengelolaan tempat ibadah yang saling berdekatan adalah sikap eksklusif beragama yang salah, seperti pelarangan dari kelompok muslim tertentu terhadap GKJ Joyodiningratan dalam menyediakan nasih bungkus ketika bulan puasa dan larangan parkir bagi umat GBI Diaspora Sejahtera.

Beberapa faktor pendukung dalam pengelolaan tempat ibadah yang saling berdekatan adalah masih ada nilai gotong-royong dan menghormati kebebasan menjalankan ibadah; Sikap Inklusif dalam beragama; Adanya kearifan sikap saling terbuka dalam mensikapi kegiatan yang diadakan antar tempat ibadah yang berdekatan. Dalam hubungan masjid dan gereja keduanya sudah ada bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah secara fisik maupun fungsi sebagai tempat peribadatan yang dilakukan oleh tempat ibadah.

Page 57: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di SurakartaLilam Kadarin Nuriyanto

41

daftar Pustaka

Ahmad, Munawar , power point pada acara seminar internal pasca riset lapangan, di Balai Litbang Agama Semarang, tanggal 22 Nopember 2013

Aijudin Anas, Penanganan Kekerasan Berbasis Agama Di Surakarta (Perspektif Resolusi Konflik), hasil penelitian kompetiti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 2011

Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Sekretariat Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia. , 1989

Effendi, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press. 2001.

Kartanegara, Mulyadhi,. Islam dan Multikulturalisme: Sebuah Cermin Sejarah. Dalam Baidhawy, Zakiyuddin (ed.). Reinvensi Islam Multikultural. Surakarta : PSB UMS, 2005

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006,

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Peraturan Walikota Surakarta nomor 6 tahun 2011 Tentang Tata Cara Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat.

Surakarta Dalam Angka, Tahun 2012

Muslim, A, Manajemen Pengelolaan Masjid, Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. V, No. 2, Desember 2004 : 105 – 114, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, http://digilib.uin-suka.ac.id/8309/1/AZIZ%20MUSLIM%20MANAJEMEN%20PENGELOLAAN%20MASJID.pdf, download 27-1-2015

Purwanto, Iwan, Manajemen Strategi, CV Yrama Widya, Bandung, 2008

Aijudin Anas, Peran Pesantren Al Muayyad Windan Dalam Transformasi Konflik Keagamaan Di Surakarta,tesis Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2011

Meyer Thomas Prof Dr, Kompromi Jalur Ideal Menuju Demokrasi, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), Jakarta 2012

Page 58: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 29-41

42

Page 59: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

43

LEARNING FROM THE SOCIO-RELIGIOUS INTEGRATION IN SOLOR VILLAGE INDONESIA

Model Masyarakat Harmoni dalam Integrasi Sosio-Religius di Kampung Solor

AbstrAk Bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah bangsa yang meyakini keindahan kemajemukan sebagai modal utama membangun persatuan.Oleh sebab itu, dibangunnya relasi yang menghasilkan integrasi sosial seharusnya bercirikan penerimaan dan penghormatan atas pluralisme dan kesediaan untuk belajar dari kemajemukan tersebut.Sayangnya, semakin tingginya angka konflik akibat ketidakmampuan masyarakat untuk bertoleransi terhadap perbedaan membuktikan bahwa identitas diri bangsa menjadi kurang kokoh. Jelas bahwa ada kebutuhan untuk menguatkan kembali identitas bangsa lewat langkah-langkah strategis yang sistematis, terarah, dan terpadu agar ke-diri-an bangsa dapat kokoh kembali, salah satunya adalah dengan belajar dari integrasi sosial yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, seperti misalnya di Kampung Solor, Kota Kupang. Di tengah berbagai konflik bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia relasi kaum pendatang dan pribumi sebagai model kehidupan masyarakat yang harmonis di Kampung Solor menawarkan suatu alternatif integrasi sosial yang dapat terjadi di bumi Bhineka Tunggal Ika. Inilah fokus penelitian ini, yang dengan format deskriptif-kualititatif bertujuan menganalisa isu strategis integrasi sosial antara kaum pendatang dan pribumi dengan agama dan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa warga Kampung Solor berhasil membangun model kehidupan yang harmonis karena dalam menghadapi kenyataan multikulturalismenya, mereka masih terus mengandalkan nilai agama dan budaya yang luhur. Kampung Solor adalah bukti bahwa integrasi sosial yang harmonis dapat terjadi ketika kelompok masyarakat menghargai keberagaman dan memandangnya sebagai kekayaan yang harus dijaga bersama.Kata kunci: integrasi sosial, agama, relasi dan perubahan sosial, masyarakat harmoni, multikulturalisme.

AbstrAct

The Indonesian nation with the motto “Bhineka Tunggal Ika” (Unity in Diversity) is a nation that believes in the beauty of pluralism as the primary model to build unity. Therefore, in building relationships that produce social integration, it should be characterized by acceptance and respect of pluralism and a willingness to learn from this pluralism. Unfortunately, the increasing number of conflicts results in the inability of society to tolerate differences, as seen in the nation’s self-identity becoming unstable. It is clear that the national identity needs to be reinforced through strategic steps that are systematic, clear-cut, and integrated, so that the national unity can be strongly united again. One of the ways to accomplish this is by learning from social integration that occurs in various locations in Indonesia. One such place is in Solor Village, Kupang. In the midst of various conflicts that center on ethnic groups, race, religion, and class issues in Indonesia, the relationship between the indigenous people and newcomers in Solor Village offers an alternative of social integration that can occur in this “Unity in Diversity” nation. This is the focus of this research, which uses a descriptive-qualitative format to analyze social integration strategic issues between newcomers with different religious and cultural backgrounds from the native inhabitants of Solor Village. The research shows that Solor Village residents succeed in building a harmonious life because in facing multiculturalism, religious and cultural values play an important role. Harmonious life in Solor Village confirms that social integration build on respect to pluralism is possible. Keywords: social integration, religion, relationships and social change, harmonious society, multiculturalism.

IRENE LUDJI dan MARISKA LAUTERBOOM

Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jln. Diponegoro 51-60 Salatiga Jawa Tengah – 50711

Telp. e-mail: [email protected] mariska.lauterboom@staff.

uksw.eduNaskah diterima : 30 Januari 2015Naskah direvisi : 23 Maret – 2 April

2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

Page 60: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

44

introduction

“Bhineka Tunggal Ika” (Unity in Diversity) is a national motto that is held in high esteem in Indonesia. This term comes from Sanskrit language which is translated as “different but one”. This motto is appropriate to be used in Indonesia, because it is able to summarize the plurality situation that is a part of the national richness by focusing on the ultimate goal, which is unity in diversity. The Republic of Indonesia earned independence on August 17th, 1945 as a united nation, due to great support from divers societies spread all over regions in Indonesia. These diversities include tribes, cultures, religions, ethics, languages and other factors. In other words, August 17th, 1945, is the prime moment in Indonesia’s social integration as a united nation. This event is characterized by pluralism as a uniqueness of Indonesia which must be continually fostered and directed to the ultimate goal of unity as listed in this nation’s motto.

Based on the fact of the nation’s lives in Indonesia, the expectation that it is implicit in the motto of “unity in diversity” is still far from reality. There are various kinds of conflict between tribes, religious groups, races, and classes (SARA) that proved Indonesia as a country still impeded in continuing the prime moment of social integration. Indonesia has not fully abled to prove its self-identity as a nation that respects diversity and accepts it in unity. The Ministry of the Interior records that from the beginning of 2013 until September of 2013, there were 351 conflicts as a result of the society’s inability to nurture diversity in the everyday life of Indonesia.

Conflicts between SARA in Indonesia show that there is an urgent need for this nation to live through harmony in diversity. Why can this be considered as pressing need? The reason is that Indonesian citizens cannot live in harmonious social integration. So it is clear that the framework in establishing this country is disintegrating and

worthy of being asked about its legitimacy. Can Indonesia still be heralded as a nation which has “unity in diversity” as its national motto if it cannot be realized in the lives of its citizens? On another side, conflicts between SARA that are ever increasing in number in Indonesia should become a motivational factor for its citizens to return to its disposition to live peacefully in diversity and respect differences. How can this be achieved? One of the ways is by ensuring that the social integration process within society runs smoothly. Social integration is a unifying process where all diverse elements in society can be adjusted with one another, so that it produces harmonious lives.

Solor Village is a densely populated region in Kota Lama Sub-District, Kupang, which has a unique aspect in its social integration process. The city of Kupang is the capital of East Nusa Tenggara Province with population coming from different tribes, cultures, and religions. The majority of ethnic groups in Kupang are Timor, Sabu, Rote, and Flores thatmost of them follow Protestant Christian and Catholic. The minority ethnic groups in Kupang are Javanese, Chinese, Makassar, Padang. Solor Village is located in the middle of Kupang, which is the center of commerce and business activities. The majority of the people in this village follow Islam and they are migrants to Kupang. In Solor village, there are two places of worship: a Catholic church and a mosque. The mosque is one of the oldest mosques in Kupang called Al-Fatah Mosque. Solor village is part of Kota Lama Sub-District that geographically is located beside Kupang Bay to the north; the south is beside Kota Raja Sub-District; the east is next to Kelapa Lima Sub-District; and the west is beside Alak Sub-District. Solor Sub-District is situated in the middle of the commerce and business activities in Kupang. Therefore, the primary livelihood of residents in this area is in commerce and fishery.

The number of migrants who decided to stay in Solor Village are 50 people per year. With an area of only 4.34% of all of Kota Lama Sub-

Page 61: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

45

District, Solor Village has a population of 2,951 people (1,533 males and 1,418 females), and 745 families (Badan Pusat Statistik Kota Kupang, 2013). The number of migrants who settle in Solor Village is very high, as about 50% decide to live in Solor Village.

Based on the recorded history of Kupang, during the war between the Netherlands and Portugal, the Netherlands brought people from Solor Island (located to the east of Flores Island). Those who were brought over were mostly Islam and settled in one of the central city areas known as Solor Village. As a densely-populated village with many activities and the majority of people being Muslim, Solor is known as a village with rare conflicts, especially a rare conflict with the indigenous people (the majority Christian ethnic groups). Before some migrants from Solor Island coming to the village, this area was inhabited by Helong people coming from Semau Island (Soh and Indrayana, 2008: 19-20). After a number of Solor Island residents relocated to Kupang, they formed Solor Village or now known as Solor Village District. In considering this socio-historical background, the indigenous people that are meant here are Solor people who formed the village or after they came to Kupang.

The harmony between the migrants and native inhabitants of Solor Village, raises various questions as follows; how did they build harmonious lives through diversity? How did they with different religions and origins build interdependence on one another, so that it can produce a peaceful coexistence? Furthermore, the social integration between the indegenuous people and the migrants should become a model of harmonious life for the Indonesian nation which has the motto “unity in diversity”.

Social Contract and Multicultural Approach

Clifford Geertz, an American anthropologist, mentioned Indonesia as a country with a complex anatomy. Indonesia “is not just multi-ethnic (Javanese, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Balinese, and others) but it is also an arena with a multi-

mental influence (India, China, the Netherlands, Portugal, Hinduism, Buddhism, Confucianism, Islam Christianity, Capitalism, and others)” (Kymlicka, 2002: 8). A discussion about the concept of multiculturalism is developed because of awareness that individual rights as a citizen does not have cultural differences. In a country, the majority and minority groups are subject to the same regulations (Kymlicka, 2002: 10). Charles Taylor, in his book Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, which was published in 1992, opened the door for a discussion about multiculturalism, not just in politics, but also related to culture and philosophy (Tilaar, 2004: 82). The term multiculturalism itself has experienced developmental stages. In the beginning, the term multiculturalism had two primary characteristics, which were the need for recognition and cultural diversity as well as cultural pluralism legitimacy” (Tilaar, 2004: 83). In its development, the term multiculturalism has had at least six characteristics, which are “the influence of cultural studies, post-colonialism, globalization, feminism and post-feminism, neo-Marxism political economic theory, and post-structuralism” (Tilaar, 2004: 84).

A multiculturalism mindset also cannot be separated from the influence of John Rawls’ ideas. In his book A Theory of Justice, Rawls explains his theory about social contract with the basic belief that a just society does not only have to fulfill the condition of the greatest good for the greatest number (utilitarianism). Rawls believes that “a just principle is a common initial position of an individual who is free and rational” (Tilaar, 2004: 76). This is a hypothesis in Rawls’ idea that is supported with a field of ignorance concept. In short, Rawls depicts a social contract as a form of justice that is reached through a social integration process. In this sense, the individual interaction was not differentiated between classes, social status, intellect, ability in society. Each person has equal rights and responsibilities. From this situation, Rawls believes distributive justice can be born (Tilaar, 2004: 76).

Page 62: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

46

Although Rawls’ and Taylor’s ideas have deficiencies, it has to be admitted that they are the two first thinkers who gave more attention to social cohesion and initiated attention to multiculturalism(Ngurah Bagus, 2003: 27). “Today’s world demands multiculturalism, because humans who are different from one another have to have relationships with one another and have rights to celebrate their own differences” (Ngurah Bagus, 2003: 27). Therefore, all kinds of differences must be respected as mutual riches. Indonesian society as a country which is rich in ethnicity, languages, cultures, religions must strive to foster a peaceful attitude towards all differences. Lawrence A. Blum, in his book Applied Ethics I, A Multicultural Approach, as cited by Ngurah Bagus (2003) mentioned four different values but strongly related in a multiculturalism concept. Those values are “anti-racism, cultural diversity, inter-racial community, and respect towards humans as individuals” (Ngurah Bagus, 2003: 28). Multiculturalism does not suggest living without differences, where all differences merge to become one. Conversely, multiculturalism refers to fostering differences that lead to in balance harmony.

Social Relations, Social Changes, and Social Integration

Humans are social creatures. This means that humans need other humans in their environment, in order that it can enrich their lives. Therefore, social interactions arise due to human needs to be with others. Social interactions between an individual with another individual, an individual with a group, or a group with another group essentially form social relationships based on the values held by the interacting parties. In other words, social relationships are made between two or more individuals, where the attitude of one can influence, change, or fix the attitude of another individual or vice versa (Hidayati, 2007: 31). Social interactions can be considered as a key of all social lives in a society (Soekanto, 2005: 60).

Furthermore, Bonner, as quoted by Waluya (2007) stated that “a social interaction is a

relationship between two or more individuals who mutually influence, change, or repair the behavior of another individual or the other way around” (Waluya, 2007: 3). A social interaction occurs when an individual or a group of individuals experiences social change due to another individual. A social interaction process occurs through at least four primary behaviors: imitation, suggestion, identification, and sympathy. When these four things occur in a society, the effect that will surface is social change. Social change is “change in the social relationship (change that is desired and change that is undesired) or as change towards social relationship equilibrium” (Waluya, 2007: 2). It is clear that social change, whether it has a positive or negative effect, occurs with the purpose to ensure equilibrium of social relationship. Gillin and Gillin as cited by Waluya (2007)mentioned that social change is “a variation from the way to live that has been accepted, whether due to changing in geographic condition, material culture, resident composition and ideology, or due to diffusion or new findings in society” (Waluya, 2007: 19). If this definition is accepted, social change is seen as an appropriate process from social interaction in society.

Two primary subjects in social change are inner society which experiences social change and outer society which influences or encourages the occurrence of social change. Therefore, there are internal and external subjects. There are many things occured within society and outside society that cause social changes, for example, conflicts, inhabitant relocations, new findings, and wars. When social change occurs, its process goes in stages and along with special paths. The paths that are maneuvered in a general social change process are political organization, religion, economics, education, and law (Waluya, 2007: 19). Social change that gives rise to progress in society has strength to tighten relationships between one individual with another individual, an individual with a group, and a group with another group in a society. A social interaction that ends in a dynamic social relationship produces harmonious social integration.

Page 63: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

47

Social integration as an effect of a social change process and social interaction can be understood as a different aspect mixture incident that forms unity. In Indonesia, these different aspects are found in social diversity, like in religion, culture, tribes, languages, and traditions. The diversity in Indonesia should be viewed as model in the formation of harmonious social integration. Unfortunately, in reality the diverse society in Indonesia is taken advantage of as an instrument to make certain parties exclusive and promote individual or group importance. A negative attitude in addressing diversity as a social fact in Indonesia can cause national disintegration. The social change process that essentially wants to be directed towards progress instead changes to regress, as a result of the inability of certain individuals or groups to view diversity as a social enrichment(Waluya, 2007: 2).

Harmonious Social Model

Besides being considered as social creatures, humans are also known as conflictive creatures. Jean Baechler mentioned that humans are actually conflictive creatures, because humans possess three sources of inter-human conflict (Litaay, 2011: 67). The first one is desire, aggressive characteristic, and quarrelsome. The second one is a demand to be free. The third one is a scarcity of power, respect, and wealth. If we admit that humans are conflictive creatures, then we need to also admit that dissention is a part that cannot be willingly part of human lives. Due to the fact that humans as individuals are also a part of a group, it is natural that conflicts between groups are a social consequence of social life. David Saxe concluded that relations in social interactions have innate conflict aspects that influence social change (Litaay, 2011: 68). What is meant by innate conflict is dualism between what is desired by society to prevent conflict and what is produced by an individual in taking advantage of one’s independence.

Indonesian society which holds democracy in high esteem in addressing pluralism also needs to remember that there is perennial tension

in a democratic society. In detail, Charles F. Bachmueller and John J. Patrick as cited in Litaay (2011) wrote that four democratic society tensions are majority rules versus minority rights, freedom versus commonality, freedom versus involvement, and personal importance versus common good (Litaay, 2011: 68). Knowledge and awareness of the four perennial tensions in society try to make it possible for citizens to be careful in building social relations that will result in harmonious social integration. If the citizens already know the dangerous potentials in the societal life structure that they adhere to, it is hoped that they will be able to find a way to avoid or prevent this danger. In the situation of the Indonesian nation, a dangerous potential clearly appears in individual or group activities that do not respect multiculturalism. Multiculturalism itself is a social relationship model that opens a channel for a plurality identity and at the same time links that tie these identities in social integration(Litaay, 2011: 68).. In multiculturalism, citizens are heterogeneous, inclusive, united, and not easily influenced by narrow thinking from local indigenous people and migrants. A plural society develops an attitude of mutual respect, so that it creates harmony which provides prosperity for all its members. Multiculturalism ensures that ethnic groups should be able to live with others side by side in harmony that is marked by the willingness to respect other cultures(Litaay, 2011: 69). In individual or group multiculturalism, a cultural identity, respect, and desire to understand and to learn about other cultures besides one’s own culture while respecting the diversity can be found. Through multiculturalism, it strives to create a harmonious society as mentioned in the motto “unity in diversity”, where all Indonesian citizens respect one another, are open to differences, and are willing to learn from differences to develop themselves in society as well as the society itself.

research Method

This research uses an interpretative qualitative method about the social integration of migrants and native inhabitants in Solor Village

Page 64: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

48

that is divided into several parts. The first part describes the history of the migrants comming to Kupang. The second part covers the relationships between migrants and native inhabitants of Solor Village. The third part describes the harmonious society model between the migrants and native inhabitants of Solor Village. This research ends with a conclusion, but not a final conclusion, which certainly has the potential to be developed or further researched in an effort to realize social integration in a diverse society like in Indonesia.

The technique of collecting data from the field was done through in-depth interviews, participant observation, documentary studies, and focus group discussion in Kampung Solor, Kupang, NTT. Interviewed informants were community leaders, religious leaders, government leaders, and people as actors, that includes women, men, young, old, newcomers and native inhabitants.

research result adn discussion

Social Contract: History of Migrants to Kupang and History of Solor Village

The origins of Kupang originated with the arrival of Helong tribe/peoples, who were the Timor mainland founders and the first inhabitants of Kupang. During the colonial rule of the Portuguese and the Dutch, the Timor mainland was known as being a sandalwood producer that had high value in the commerce world. It is not surprising that the colonizers competed with one another to find sandalwood by controlling the commerce route by forming colonial regions to strengthen their positions. Sandalwood itself is a valuable commodity because of its fragrance and because it could be processed to become fragrant oil, accessories, and valuable instruments for European kings and princes. Sandalwood as a desired economic commodity motivated Portuguese traders to look for information about the regional sources of sandalwood production(Soh dan Indrayana, 2008: 1).

After Malacca fell and controlled by Portugal in 1511, Portuguese merchants came directly to

the sandalwood producing areas. The Portuguese actively sent expeditions to Solor Island, Sumba Island, and Timor Island to do commerce transactions by including priests from the Dominican order to do their missions. Recorded history reveals that the Portuguese are the oldest Western people to arrive in NTT. Four Portuguese missionaries: P Antonio da Cruz O P; P Simao; Chagos; and B Alexio arrived to Solor Island in 1561. Being pioneered by P Antonio da Cruz, in 1566 Lahayong Fort started to be built on Solor Island. The building of Lahayong Fort caused concern by the Dutch regarding the regional autonomy of the sandalwood producing center. Finally, Apolonius Scotte, a Dutch military figure, led an armada to attack Solor Island on April 21, 1613. This attack resulted in the fall of Lahayong Fort, and Solor Island came under Dutch control(Soh dan Indrayana, 2008: 2-12).

A Dutch company commerce alliance that was established in 1602 in Batavia called Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C), tried hard to compete with the Portuguese commerce tactics. The Dutch wanted to move the control center from Solor Island to Kupang, because it was a more strategic position to facilitate its commerce business. One of the materializations of the Dutch effort to relocate its control from Solor Island to Kupang was the relocation of the inhabitants of Solor Island to Kupang during the time of VOC(Luitnan, 2012: 157-159). Interview with one of the key informants revealed that the person who was sent by the Dutch from Solor Island to Kupang was Atu Laganama (he came from East Solor - 1749-1802). He actively spread Islam in Kupang by establishing the first mosque and became an Islamic spiritual leader (Imam) in Solor Village and Batubesi Village. Atu Laganama was also a brave fighter who was chosen by the Dutch to begin his political expedition to Kupang by going to war with the Portuguese.

Atu Laganama, a local hero from East Solor Island, along with his troops, under the control of the Dutch succeeded to strike a blow to the Portuguese through their retreat to the border

Page 65: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

49

(Kefa). In his struggle to push the Portuguese to the border, Atu Laganama and his troops recuperated to eat and drink in an area (now Oeba). According to historical accounts believed by Solor Village residents, at that time it was not easy to find drinking water. So Atu Laganama took a spear and stabbed it in the ground. At that time, water suddenly spouted out. The place where the water came out was called Waiba, which means spring water in Solor language. Over time, the name Waiba has changed to become Oeba by the migrants from Rote, because oe means water in Rote language.

On behalf of the success of Atu Laganama and his troops, the Dutch awarded him with land near the coast, because the majority of Solor residents worked as fishermen on Solor Island. After that time, Atu Laganama and his companions who came from Solor Island decided to settle in Kupang and build the Solor community. At that time, only people who came from Solor could live and be accepted in Solor Village. Despite that, in line with development over time, the Solor Village area that was also the biggest fish market (old) in Kupang developed to become a plural community because of the number of migrants who settled there. This was the first moment where migrants and new comers establish a life together in Solor village. Together they construct the basic rules for Solor Village social contract. As mentioned above, Rawls depicts a social contract as a form of justice that is reached through a social integration process where an interactive individual does not differentiate between classes, social status, intellect, ability in society; along with determine rights and responsibilities(Ngurah Bagus, 2003: 27). In today’s time, the original inhabitants who came from Solor Island are rarely found in Solor Village. Usually only the offspring of those who first came from Solor Island to fight with Atu Laganama can be found.

Multiculturalism: Context of Inhabitant Life in Solor Village

The residents who settle in Solor Village consist of various ethnic groups (Javanese,

Sumatera, Sulawesi, and others) and religions (Islam, Hindu, Christian, Protestant, and Catholic). In general, they are migrants who decided to live in Solor Village, which is one of the economic centers in Kupang, because they make their livelihoods as merchants and fishermen. In Solor Village, there are inter-marriages between various ethnic groups and religions that result in the formation of a collective self-identity of the individual majority and families that live in Solor Village. As an example, one of the Islamic religious leaders who livesin a neighborhood unit (RT) 12, Solor Village District, explained his self-identity by revealing the ethnic and religious diversity in his family. He has a wife from the Rote tribe; he has a father who had a Catholic background and then changed to Islam; his mother is a Protestant Christian; he has a cousin who used to be the head of a church synod in Kupang; his a step-brother is a preacher; and he has a child-in-law who is Protestant Christian. This kind of a multicultural identity is easy to find among Solor Village residents. As mentioned in the literature review, Charles Taylor (1992) stated that multiculturalism had two primary characteristics, which were the need for recognition and cultural diversity cultural pluralism legitimacy(Tilaar, 2004: 82). These two characteristics can be found among Solor Village residents. The inter-marriage process influences the formation of harmonious lives between residents of Solor Village through a process that cannot have a clear line drawn between tribe A and tribe B; all individuals are a unique mixture from various ethnic and religious backgrounds; all individuals possess a collective identity. Besides that, the inter-marriage relationships between ethnic groups and religions produce a feeling of belonging between individuals, because they feel they are a part of different religions and ethnic groups.

The social life in Solor Village was also tested against conflict. For instance, during the interview, it was revealed that in the G 30 S PKI/communism period, some community figures whowill be kidnapped in Solor Village received full protection from the residents with different

Page 66: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

50

religions and ethnic background, because of the close and friendly relationships and feeling of inner group identity. A similar thing was also seen during the uprising in December of 1998, as induced by the uprisings in Jakarta and Poso. On November 30, 1998, Solor Village became a target of an uprising by provocateurs that came from outside of Timor Island. This effort failed and could be neutralized quickly, because of the unity between Solor Village residents who prioritized regional peace. The Solor Village residents look at all of their members as a part of their community; community values are held in higher esteem compared with individual values. National values which are reflected in Pancasila (the Indonesian state philosophy) also influence the ability of the social community in Solor Village to build harmonious social lives. As a nation, Indonesia is believed to be constructed as a result of the work of many ethnic groups and religions. The majority of the population in Solor Village is Islam and according to the inhabitants, the majority group is responsible for the minority groups. One of the Solor Village societal figures stated that “being part of the majority group does not mean that the group is on top and can dominate arbitrarily, rather being part of the majority group means you have to be responsible for those who are in the minority groups.”

Most of the migrants who entered Solor Village and then became permanent residents come from Java Island and are Islam. Solor Village is a desirable location for migrants because it is situated in the middle of the city. Besides, this town is safe and easy to find people of the same religion. Being located in the middle of the city makes it easier to conduct economic transactions that generally are the primary means for migrants to make a livelihood. At this time, there is even a night market in Solor Village that is conducted by Javanese people who come from Lamongan and sell baked fish. The 1998 conflict that occurred in Kupang generally also gave rise to new self-awareness of Solor Village residents about the importance of having migrants. Without the presence of migrants who primarily are involved

in commerce, the residents would experience difficulties. This is supported by during the two weeks of the 1998 conflict in Kupang, all of the commerce businesses that were run by newcomers could not operate, so the residents could not fulfill their basic household needs well. This experience gave rise to the awareness that living together harmoniously is a necessity. As a response to the Solor Village residents’ concern after the 1998 conflict in Kupang, a Religious Assembly Harmony Forum was formed and is still in operation until now.

Harmonious Societal Model: Newcomers and Indigenous People in Solor Village

In order to maintain harmonious relation-ships, the social community in Solor Village holds various supporting activities like helping to build a place of worship (churches and mosques), helping to clean and maintaining places of worship during important religious days (Muslims help to clean and maintain churches for Christians and Easter celebrations, while Christians help to clean and to maintain mosques during Ramadan month festivities and Lebaran), as well as sharing Society Empowerment Organization (LPM) activities like resident counseling, PKK, Posyandu (integrated health posts), and Mosque Teenagers that are all joined by residents from various ethnic groups and religions.

Social integration has occurred in Solor Village between newcomers and indigenous people, between various ethnic groups, and between people from various religions. This pluralism that has been created in this area occurred because there are some meeting and mutual acceptance between indigenous people and newcomers. Baton, a sociologist, revealed that in social integration there is respect towards pluralism as a part of social life. This is seen in the social lives of Solor Village.

In Solor Village, plurality is greatly felt; however, there are majority groups that are more dominant in social activities. These groups like religion are mostly comprised of Solor Village

Page 67: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

51

residents that are Islamic. The indigenous group feels that they have lived and established themselves longer in Solor Village, so that they are more active in social activities. If the approach by Charles F. Bachmueller and John J. Patrick about tensions in a democratic society is used, then majority rules versus minority rules can occur(Litaay, 2011: 68). Nevertheless, in this area this kind of tension does not occur. Usually just small tensions occur in Solor Village due to negative behaviors of youths who like to drink alcohol and get drunk. However, this does not have much effect until there is aggressive behavior that disturbs social order. Relationships between the majority and minority groups are conducted in a harmonious way. According to one of the Solor Village residents, the culture that was established in Solor Village is a culture that was built together. There are no particular dominant ethnic groups or religious groups. In major religious events, the residents always visit each other and maintain friendly relationships. Mutual tolerance and respect are part of the culture in Solor Village. Based on findings in Focus Group Discussion, it can be seen that newcomers and indigenous people in this area have an open mindset. Adults and children easily understand the meaning of living together and how to maintain it well. According to one of the informants, who is from the Sabu ethnic group, “In the neighbors’ interactions, they often ask and are asked to cook together on certain religious celebration days, and then the food is brought home to be eaten together in their respective families.” It is really a harmonious lifestyle. There is no individual or group importance in these social interactions; they just think about living together. This reduces tensions in the interactions. A woman in this area revealed that during an Easter celebration for Christians, they partake in the festivities and watch the Easter parade together on the sides of the main streets. During the Imlek celebration, they are also willing to watch the Barongsai (Lion Dance) and other activities. Next, during the Idul Fitri celebration, they are also visited by and congratulated by other residents. There are

no limitations in interaction and they are living together as Solor Village residents.

As mentioned in literature review, according to Bonner, social interaction process occurs through at least four primary behaviors: imitation, suggestion, identification, and sympathy(Waluya, 2007: 3). When these four things occur in society, the effect that will surface is social change. The social integration that occurs in Solor Village is a result of solidarity between different newcomers and indigenous people. Indigenous people provide houses and boarding houses for places to live and to do businesses. Meanwhile, newcomers contribute to the economy of the indigenous people as well as provide new innovations for indigenous people to see an economic enterprise. Indigenous people who previously were not interested in commerce, now they want to partake in commerce businesses. At the night market, there are also indigenous people who sell various kinds of food amongst those merchants. Besides from an economic side, integration is also seen from a religious perspective. As the majority religion in Solor Village, Islam always respects other minority religions. There are also shop owners along the main roads who are of Chinese decent and contribute to the community activities. Whenever residents want to build a social infrastructure or to do a social activity in Solor Village, the shop owners always provide assistance in the form of goods or funds. The indigenous residents also always maintain security and order around Solor Village. Many newcomers also provide new insight for residents into how to increase their prosperity, and indigenous residents allow them to live in this area. In Solor Village, there are various types of characteristics, accents, cultures, and viewpoints of people who live together with a high level of tolerance, so that it forms harmonious interactions. It is like a song that is played by various musical instruments with a beautiful symphony. These differences are able to convey harmony.

In Solor Village, the residents always have an attitude of mutual respect;therefore it creates

Page 68: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

52

harmonious lives that result in social well-being for all residents. Pluralism is a richness that cannot be denied. People should be able to live together in harmony that is based on tolerance and the desire to respect others. Unity is not a hindrance, but a bridge to connect one individual with another individual. Assimilation through marriage is one of the reasons accepted in Solor Village. Acceptance of newcomers without differentiating those from one ethnic group or religion is a characteristic of the openness of indigenous people in that area. Building a harmonious lifealong with the feeling of togetherness, tolerance, and respect is a richness that makes the social interaction in Solor Village even richer with color and flavor. These differences have united all residents of Solor Village. This harmonious society was born from diversity.

Social interactions in Solor Village are positive. Social interactions end in dynamic social relations and create harmonious social integration. Diversity is viewed as a model that forms social integration. Differences become ingredients to bind lives that are full of an attitude of respecting others. This is not just a false sense of respect in interacting. There are no hidden meanings in their action. All social activities are done because of a shared awareness and need. During certain religious celebrations, they celebrate together and pray for the well being of all people. When a resident is grieving, other residents will visit the person and show support. When a thief breaks into a resident’s home, the surrounding residents will assist them. There is an atmosphere of respecting and appreciating others through ethnic groups and religions in this region.

During Focus Group Discussion, informants revealed that togetherness is also seen when there is a wedding event. At the night time after a marriage ceremony, commonly called pica bok, all of the residents gather at the reception event and do a lego-lego dance until late night or morning hours. Males, females, children, and even older people will attend together in a joyous occasion without differentiating between ethnicity or

religion. They are all immersed in happiness until the event finished. Lego-lego is a kind of dancing in a circle that is found in most regions of NTT.

The social integration in Solor Village becomes strength for social development. Besides, this can assist the government in maintaining stability. According to the Solor Village Head, whenever the village district wants to hold counseling or another social activity, they just need to confirm to the heads of the neighborhood units (RT), and all of the residents will be actively involved. Independence Day activities are always enlivened by the community together. There is a community service activity to clean the environment that also involves all of the residents. There is no domination from a certain majority group; rather togetherness is felt as a big family of Solor Village. The differences become strength to complete and complement each other.

Whenever there is a threat, conflict, or tension in the community, the roles of the government, community leaders, and religious leaders become very important. When SARA issues infiltrate Solor Village, the community and religious leaders will meet together and try to maintain their unity. When this happens, all residents will work together to create a conducive atmosphere in order to create a unity. Thus, there were no social tensions that arose in Solor Village during the 1998 conflict. The religious and community leaders still acted as a role model to protect the harmonious climate in this region. Several places of worship for Christian, Catholic, and Moslem were also protected by the Solor Village residents. Religious activities do not disrupt social activities. The government has an administrative function by providing information, data, and other things, but it does not conflict with other social activities. Plurality will only appear in government administrative data, but unity will appear in the shared lives in Solor Village.

In general, the harmonious model shown by Solor Village residents was born from the ideal values that they believe in and are applied by all residents, whether they are newcomers or

Page 69: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

53

indigenous residents. From these values arise positive interactions that lead to the formation of a harmonious community. Whenever a harmonious community is formed, the next needed effort is to maintain the values to ensure there is effective regeneration to protect the harmony.

In building a harmonious community in Solor Village, there are several values that have become the foundation, so that plurality can be maintained. Based on interview, Focus Group Discussion, and observation while conducting the research, several values are seen as being sources of strength in building a harmonious society. These values are divided into two big groups: individual resident identity-based values and common values built within the community.

The individual identity-based values are based on Islamic religious teachings. Islam religion demands all its practitioners to engage in ukhuwa. Ukhuwa means fellowship and unity. According to one of the religious leaders, it is a sin whenever an individual does not create ukhuwa. Next, he also stated that in Islamic teachings there is a verse which says, “Work for yourself as if you will live forever, and work for your afterlife as if you will die tomorrow.” This verse states that human activities in the world are a path to work for God. Therefore, you should always maintain ukhuwa to do God’s work. Ukhuwa will give birth to solidarity, live, and compassion to help others by living together. Religion is a primary source in teaching individuals to feel that other humans are their brothers and sisters in living in unity. Only humans are always trapped in aggressive attitudes, which can result in tensions in the social environment and disrupt the unity that was created. Personal or private desires (in Arab language called nafsi) must be discarded. Islam forbids living for oneself; you must always try to maintain unity. Striving for ukhuwa is a way to eliminate nafsi from within oneself. This confirms that in community formation, “religion can be a force that deeply influences personal and community life” (Prema Kurien, 2014)

Informant added that “Islam itself is rachmatan lil alamin, which means to bring mercy or peace.” Therefore, in principle, in Islam or any religious teachings there is always peace. Islam does not teach about malice, jealousy, or anger. With that in mind, for children, parents, friends, relatives, and other people, you should strive to create peace. According to one of the religious leaders, a respectful attitude in Islam can be seen through the statement, “My religion is my religion. Your religion is your religion in worship. Nevertheless, in daily interactions we do not have any problems.” Having tolerance and mutual respect in following a religion will result in harmonization in living together.

One legacy in the teachings of Prophet Muhammad SAW is, “Not Moslem, not you from my people, if your neighbor is not safe, from your mouth change it.” This legacy teaches that in order to be considered a Moslem you have to live in tolerance as a part of performing your religious worship. In building transcendental relationships, worship has to be performed in an organized manner. Meanwhile, social relationships with one’s neighbors and the people around you have to be harmonious.

One of the religious leaders added that in Islamic teachings there are two rules: the firts is praying to God, and the second is interacting with our fellow humans. The term human is used to refer to people in general, but he considers it from a certain religion or ethnic group. These two rules have to be in balance. By following Islamic teachings, all people must worship God in the proper way and always do good deeds for other people. So you cannot pray well and fervently, but in social life you have feeling of jealousy and spite towards other people. Conversely, you should not just do good deeds to others, but be adverse to God. This results in an imbalanced worshipping. Balance will show a human’s earnestness in worshipping God.

These values are not just in Islam. They are also found in other religious teachings. Every

Page 70: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

54

religion teaches to respect others. Christian teachings say that you should forgive others, which is taken from Jesus Christ’s teachings about compassion. Buddhist teachings deal with balance, while Hindu teachings are about modesty. Every religion guide people to interact with others in harmony.

In addition to values based on religious identity, there are also general values built by the society. The Solor Village residents hold family values in high esteem. Having an awareness of being a family with differences will create. Marriage assimilations make Solor, Sabu, Rote, Timor, Makassar, Javanese, Padang, and other ethnic groups in Solor Village feel that they are part of a big family. A child will listen to advice and warnings from an older. Residents wanting to help others are seen in every interaction. An informant mentions that he often assists other residents who are suffering from having troubles in their houses. He is always willing to lend his car to be used for various purposes. This confirms “collective identity occurs when individuals organize themselves as belonging to a deprived group and therefore are able to relate to others with a sense of shared circumstances” (Mayan, 2013: 19).

Beside family values, there are also openness values. The heads of neighborhood units (RT) and district units (RW) do not experience any difficulties in holding shared social activities, like community service or other activities. This is due to the fact that all families and individuals are open and encouraged to contribute in each social activity. Whenever there is a problem in a certain environment, openness will be the determining factor in finding a resolution. In addition, indigenous residents and newcomers always apply this value. Openness has become a characteristic in living with one’s neighbors in Solor Village. Being one big family has enabled them to get past differences amongst themselves.

These values are taught to each generation in the same way. Parents told these values to their children by giving advice to stay as a family and to

maintain togetherness. Informants revealed that a shared life value was given by the father when he was still alive,and that advice is still remembered and carried out until now. Parents strive to keep their children away from a life that destroys solidarity. Besides receiving advice from parents, children are also taught about the meaning of life together through religious activities like Islamic studies. According to one of the religious leaders, children are not just trained to read the Al-Quran. They are also instructed about the advantages of living together and tolerance as the teachings of Prophet Muhammad. In other words, harmonization will continue to be passed on to the next generation in the Solor Village environment.

conclusion

By discovering and understanding the conditions that cause social interactions in a society, an effort can be made to foster the nation and the society. As one of the effects of social interactions that occur in society, especially between newcomers and indigenous people in Solor Village in Kupang, it has certainly become a model for social harmony relations in a pluralistic society in Indonesia. By learning from these Solor Village residents, there are several important things that have to be given attention by all parties, in an effort that it leads to national integration and a harmonious society.

Firstly, all elements in society play significant roles. These societal elements consist of community leaders, religious figures, and certainly all its citizens. When all parties realize their respective roles and responsibilities, harmony will be created in every relationship established. Secondly, religious values are still powerful as a social control in a pluralistic society. Here, religion is not seen as a cause of disintegration; conversely religion is a source of mutual values and life motivations in ukhuwah or unity and love. Thirdly, it has to be admitted that economic factors also play an important role in the social harmony of Solor Village residents in Kupang. The residents earnestly realize that

Page 71: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Learning from the Socio-Religious Integration in Solor Village IndonesiaIrene Ludji dan Mariska Lauterboom

55

when a conflict occurs, like the 1998 conflict, all community economic activities will be stalled, and it will certainly be disadvantageous to the continuation of their own social life. That is the reason why a conflict has to be minimized or resolved using a better way to build harmonious social life.

Fourthly, the socialization of values from one generation to another generation is an important thing that must be done to make social integration lead to a harmonious society. Solor Village residents really respect the traditions and cultures that have been passed down from their ancestors, especially related with shared life values. The socialization of these values is certainly supported by the good relationships between the young generation and older generation in Solor society. Through inter-generational activities, shared life values are passed down from one generation to another generation, besides through the residents’ respective internal families.

These four factors must be continually observed and developed within the social interaction process in society that might lead to integration. These four factors are also essential for Solor Village residents, which will certainly become a consideration or even a model for otherplural societyin Indonesia.

references

Arries Ishak Luitnan. 2012. Koepang Tempo Doeloe. Jakarta: Ruas Publishing.

Bagya Waluya. 2007. Menyelami Fenomena So-sial di Masyarakat. Bandung: PT. Setia Purna.

Daniel Sparringa. 2005. Multikulturalisme sebagai Respon Alternatif terhadap Politik Identitas dan Resolusi Konflik yang Bersifat Transformatif: Sebuah Perspektif Sosiologi Politik. Paper that was conveyed in a course and short training about human rights and democracy that was held by CESASS-UGM in coordination with NCHR-Oslo University, Norway, Jogjakarta, 28 November-2 Desember 2005.

Eka Darmaputera. 1995. Teologi Persahabatan antar umat Beragama, in Karel Erari et al. Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA.Jakarta.

Forum Rektor Simpul Jawa Timur. 2003. Hidup Berbangsa: Etika Multikultural. Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan, Universitas Surabaya.

Harold Coward. 1994. Pluralisme, Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hans Kung and Karl-Josep Kuschel. 1999. Etika Global, translated by Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

H A R Tilaar. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional.Jakarta: Grasindo.

JeanJacques Rousseau. 1986. Kontrak Sosial. Jakarta: Erlangga Publishing.

J Neil Smelser. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press.

John Rawls. 2006. Teori Keadilan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khairul Hidayatiet al. 2007. Sosiologi. Jakarta: Erlangga Publishing.

Kurien Prema. 2014. Immigration, Community Formation, Political Incorporation, and Why Religion Matters: Migration and Settlement Patterns of the Indian Diaspora.Sociology of Religion. Oxford University Press. 2014.

Lawrence A Blum. 2001. Antirasisme, Multikulturalisme, dan komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat yang Multikultural. In L May et al., K. Wong (Peny.) Etika Terapan I, Sebuah Pendekatan Multikultural (terjemahan). Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Manuel Castells. 2003. The Power of Identity. Malden, MA: Blackwell Publishing.

Maria Mayan, Alina Turner, Lucenia Ortiz, Jessica Moffatt. 2013. Building a Multicultural

Page 72: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 43-56

56

Coalition: Promoting Participation in Civic Society among Ethnic Minority Communities.Canadian Ethnic Studies.Vol. 45.

Paul F Knitter. 2003. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog multi-agama dan tanggung-jawab global, translated by Nico A. Likumahuwa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.

Theo Litaay, et al. 2011. Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian. Salatiga: Satya Wacana Christian University.

Will Kymlicka. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES.

Z Andre Soh, Indrayana, N D K Maria.2008. Timor Kupang: Dahulu dan Sekarang. Jakarta: Kelopak Foundation.

Websites

Kemendagri, Ini Dia Data Konflik Sosial, taken from http://www.widyaiswarakemendagri.org/2013/09/ini-dia-data-konflik-sosial-di.html, Tuesday, 5 November, 2013.

Badan Pusat Statistik Kota Kupang, Kecamatan Kota Lama Dalam Angka, 2013, taken from http://kupangkota.bps.go.id/publikasi/2013-kda%20kota%20lama/, Tuesday, 5 November, 2013.

Page 73: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

57

TRADISI HILEYIYA: PERSINGGUNGAN ANTARA AGAMA DAN TRADISI PADA MASYARAKAT KOTA GORONTALO

PERSEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

Tradition of Hileyiya: The Interaction Between Religion and Traditions in Gorontalo in Sociology of Islamic Law Perspective

Fakultas Syariah dam Ekonomi Islam, IAIN Sultan Amai Gorontalo

Jl. Gelatik No. 1 (Kampus 1), Heledulaa, Kota Gorontalo

E-mail: [email protected] diterima : 15 Desember

2014Naskah direvisi : 23 Maret – 5 April

2015Naskah disetujui : 22 Juni 2015

AbstrAct Interaction between tradition and religion in Indonesia cannot be denied. Historically, the development of national law was based on three difference laws: customary law, western law (particularly Dutch law), and Islamic law. This affects on the acceptance of the tradition that does not contradict with the religious law. This paper examines the tradition of hileyiya or funeral ceremony which is prominent among Gorontalo’s society from the sociology of Islamic law perspective. It is a descriptive qualitative research and the data was collected using observation, interviews, and document review. Finding of this study revealed that tradition of hileyiya consisting of the reciting of the Qur’an, tahlil, tahmid, shalawat and dzikir has become a legacy for Gorontalo’s society. In the sociology of Islamic law perspective, this practice provides various benefits to the dead family and the visitors. For instance, the benefits of reciting the Qur’an believed can be passed on to the dead, serve to tranquil the dead family, and remind people about the death. It can be regarded as al-urf-shahih (and it was legitimized by the basis of Islamic law as al-adat al-muhakkamah (customs can be law).

Keywords: tradition, hileyiya, funeral ceremony, Gorontalo’s society

AbstrAk

Persinggungan antara tradisi dan agama di Indonesia tidak terpisahkan. Apalagi proses masuknya agama Islam dan pembentukan hukum nasional juga melalui sejarah yang cukup panjang dengan pergumulan antara hukum adat, hukum Barat dan hukum Islam. Hal ini berimplikasi terhadap penerimaan sebuah tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Tulisan ini mengkaji tradisi hileyiya (doa arwah) yang berkembang pada masyarakat Kota Gorontalo dari perspektif sosiologi hukum Islam. Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi hileyiya telah dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Kota Gorontalo pada hari-hari tertentu dengan pembacaan Alquran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat, dan berbagai zikir. Pelaksanaan tradisi ini jika ditinjau dari sosiiologi hukum Islam memberikan banyak manfaat bagi keluarga si mayit maupun bagi peziarah, seperti bacaan yang dilakukan dihadiahkan kepada si mayit, menghibur keluarga yang ditinggal, dan mengingat kematian. Tradisi ini dikategorikan sebuah al-urf al-shaḥîḥ dan dilegitimasi dengan kaidah fiqh: al-adat al-muḥakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum).

Kata kunci: tradisi, hileyiya, doa arwah, masyarakat Gorontalo

RIZAL DARWIS

Page 74: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

58

Pendahuluan

Tradisi atau adat merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syariat Islam sangat memperhatikan adat masyarakat setempat (Ansori, 2007: 2). Tradisi atau adat istiadat merupakan salah satu yang mencakup sistem religi dan upacara adat keagamaan dalam ruang lingkup kebudayaan. Adapun ruang lingkup kebudayaan meliputi segala kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, yaitu mencakup: (1) sistem religi dan upacara adat keagamaan; (2) sistem organisasi sosial; (3) Sistem mata pencaharian hidup; (4) sistem teknologi; (5) sistem pengetahuan; (6) kesenian, dan; (7) bahasa (Poerwanto, 2000: 53).

Konsep ‘urf (adat/tradisi) merupakan sebuah kebiasaan masyarakat yang dilaksanakan secara turun temurun dan merupakan hasil refleksi dan pematangan sosial. Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘urf terbentuk dari saling pengertian orang banyak dengan tanpa memandang stratifikasi sosial (Khallaf, 1994: 123). Penggunaan konsep ‘urf merupakan upaya mendefinisikan hukum agar gejala-gejala yang beranekaragam dan fungsi intinya sama dengan apa yang secara hakiki merupakan fungsi hukum dan terdapat dalam aneka budaya manusia dapat tertampung (Amin dan Rahman, 2010: 12).

Fase sejarah pembentukan hukum nasional di Indonesia, yaitu hukum Islam senantiasa diperhadapkan dengan penerapan hukum adat sebagai hukum yang tertua dan diperpegangi oleh masyarakat Indonesia. Hubungan hukum adat dan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem tersebut tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan di berbagai daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: hokum ngon adapt hantom cre’, lagee zat ngon sipeut; artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat diceraipisahkan karena erat sekali hubungannya, seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda (Ali, 1994: 201).

Salah satu bentuk adat istiadat yang dilakukan masyarakat pada beberapa daerah di wilayah Indonesia adalah tahlilan (talkin). Kebiasaan ini dilakukan karena menganggap acara tahlilan ini sebagai sebuah ritual Islami, yakni ibadah. Bahkan mereka yang melakukan kegiatan ini melihat acara tahlilan seperti ini hukumnya sunnah dan mendatangkan pahala, apalagi didalamnya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Alquran, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dan lain-lain (Alaydrus, 2008: 7).

Keberadaan talkin mayit membawa kepada adanya perbedaan pendapat tentang status hukumnya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum talkin mayit. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa itu wajib dan sebagian di antaranya menganggapnya sunnah. Ada juga yang berpendapat talkin mayit bukan termasuk wajib, juga bukan sunnah. Ia sekedar sunnah menurut pendapat mazhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Menurut mazhab Syafi’i pada awalnya bahwa talkin berguna bagi mayit. Sesungguhnya mayit memperoleh manfaat dari bacaan Alquran sebagaimana ia memperoleh manfaat dari ibadah-ibadah yang menggunakan harta, seperti sedekah dan lain-lainnya. Adapun membaca Alquran dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit tanpa bayaran, maka pahalanya akan sampai kepadanya. Sedangkan menurut pandangan mazhab Imam Malik ia adalah makruh. Pada awalnya mayit tidak mendapatkan pahala dari bacaan karena kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit serta menyediakan makanan buat yang kumpul-kumpul itu merupakan hinaan (meratap yang hukumnya dilarang), karena menyusahkan keluarga si mayit dan mengingatkan mereka kepada si mayit juga bertentangan dengan sunnah Rasul (Asy-Syarbashi, 2008: 127 dan 133). Keberadaan talkin, tahlilan menurut penulis tidak terkait dengan ibadah mahdah, namun terkait dengan ibadah ghair mahdah yang memberikan ruang untuk sebuah hubungan sosial antara individu satu dengan individu lain dalam masyarakat.

Kebiasaan tahlilan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat di Kota Gorontalo dengan istilah

Page 75: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

59

hileyiya (doa arwah) yang merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Gorontalo yang berkaitan dengan kematian. Tujuan mereka mengadakan adalah untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, dan memohon agar diampuni dan dimuliakan tempatnya serta diluaskan kuburan orang yang telah meninggal dunia dengan lantunan surat Yasin dan surat-surat lain dalam Alquran serta ucapan tahlil dari lisan para peziarah.

Prosesi tradisi hileyiya yang dilaksanakan di Kota Gorontalo, yaitu dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh, dan seratus hari dengan menyediakan berbagai macam persiapan. Keyakinan menurut adat masyarakat Gorontalo bahwa hari pertama, ketiga, ketujuh, merupakan hari penghancuran atau hari tantangan bagi si mayit dan hari pemindahan roh dari dalam kelambu menuju keluar pintu rumah. Untuk itulah keluarga harus membantu dengan mengadakan acara tahlil dengan bacaan Alquran, maka dalam perpindahannya itu perlu diantar dengan banyak dzikir dan doa agar si mayit memperoleh keselamatan. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah Magrib dan dipimpin oleh imam, kemudian disediakan makanan sebagai penghormatan terhadap tamu. Hari keduapuluh sama dengan hari ketiga tetap juga diadakan tahlil dan doa, hari keempatpuluh diawali dengan pelaksanaan tinilo. Tinilo mengandung makna keselamatan mayit dalam kubur dan kelestariannya adat itu sendiri. Selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara tahlil dilanjutkan dengan acara santap (Daulima, 2008: 62-63).

Mencermati tradisi masyarakat dalam hileyiya di atas, maka penulis dapat menjelaskan bahwa tradisi tersebut sudah melekat dan dilaksanakan turun-temurun oleh sebagian besar masyarakat Gorontalo. Oleh masyarakat, tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tetapi diyakini sebagai bentuk ibadah yang disyariatkan. Begitu kuatnya pelaksanaan tradisi ini, sehingga masyarakat berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu-waktu

yang telah ditetapkan, yaitu hari pertama, hari ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, dan hari keempatpuluh.

Mempertimbangkan faktor sosiologis sangat penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya, antara lain bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat yang didatanginya. Oleh karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu.

Islam dengan segenap universalitas syariat yang dibawanya adalah agama yang sempurna dan paripurna sebagai pedoman segala dimensi kehidupan manusia. Kesempurnaan dan keparipurnaan Islam sebagai pedoman kehidupan bersifat integral-universal yang melampaui batas-batas geografis dan zaman. Nilai-nilai ajaran Islam bersifat absolut, abadi dan berlaku untuk semesta sepanjang masa, berlaku untuk seluruh budaya dan peradaban serta berlaku untuk segala suku bangsa manapun. Tidak ada satu pun dimensi kehidupan manusia yang luput dan tak tersentuh oleh hukum Islam, termasuk adat-istiadat maupun tradisi budaya dan peradaban. Islam memiliki aturan formal yang baku dan tegas mengenai legalitas ritual-ritual yang dipengaruhi tradisi atau budaya lokal. Kendati demikian, kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala tradisi yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi yang telah mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak akan merubah atau menolaknya melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari budaya Islam itu sendiri dengan membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi pekerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat Islam.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah tradisi hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo dengan mencermati persinggungan tradisi masyarakat dan agama, khususnya dalam perspektif sosiologi hukum Islam.

Page 76: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

60

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di Kota Gorontalo. Penelitian kualitatif lebih merupakan deskripsi dan interpretasi yang bersifat tentatif dalam konteks waktu atau kondisi tertentu. Kebenaran hasil penelitian lebih banyak didukung melalui kepercayaan berdasarkan konfirmasi hasil oleh pihak-pihak yang diteliti. Data-data dikumpulkan melalui teknik pengamatan (observation), telaah dokumen, dan wawancara (interview). Proses pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara acak (random sampling), sehingga setiap individu (unit populasi) memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel dengan mengambil sampel tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat pelaku tradisi hileyiya. Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

hasil dan PeMbahasan

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Hileyiya Pada Masyarakat Kota Gorontalo

Hileyiya merupakan satu adat dan tradisi yang dilaksanakan oleh umat Islam di Gorontalo yang dalam pelaksanaannya berupa bacaan doa-doa untuk si mayit yang dilantunkan oleh umat muslimin agar si mayit mendapatkan pengampunan dari Allah swt. dan perlindungan dari siksa kubur. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini sebagai cara menghibur keluarga yang ditinggalkan, meneguhkan keimanan dan keyakinan kepada Allah swt. bagi kaum muslimin yang hadir dalam acara tersebut (wawancara dengan Ismet Bade, 3 Juli 2013).

Pada tradisi hileyiya terdapat pelaksanaan doa arwah, yaitu dimulai pada saat memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman. Selanjutnya dilakukan pembacaan doa dengan keyakinan bahwa hadiah doa tersebut dapat meringankan beban si mayit yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya selama di dunia; dapat memudahkan si mayit dalam

menjawab pertanyaan yang diajukan Malaikat Munkar dan Nakir; dilapangkan kuburan si mayit; dan memperoleh pengampunan dari Allah swt. (wawancara dengan Ismail Huntoyungo, 3 Juli 2013).

Pelaksanaan hileyiya mulai dari memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan sampai mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Alquran (surah Yasin), tahlil, tasbih, tahmid, shalawat, berbagai dzikir dan doa-doa lainnya. Gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukan sekedar pemandangan yang asing ketika sedang memasuki sebuah rumah yang sedang berduka atau pemakaman di daerah Gorontalo, karena hal ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.

Mengenai doa arwah, yaitu membaca Alquran atau dzikir (tahlil) menurut Imam Syafi’i itu merupakan satu syarat mutlak dilakukan, karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Rasul-Nya. Apabila Allah swt. memperkenankan umat Islam berdoa untuk saudaranya yang telah meninggal dunia, dan berkah doa tersebut insya Allah akan sampai, sebagaimana Allah swt. Mahakuasa memberi pahala kepada orang yang hidup, maka Allah swt. juga kuasa memberikan manfaatnya kepada si mayit (Ats-Tsauriy, 2013).

Sehubungan dengan pelaksanaan hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo pada prinsipnya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tujuannya adalah untuk membentuk keyakinan dan keimanan oleh kaum muslimin, bahwa yang hidup pastilah akan merasakan kematian, sesungguhnya manusia akan kembali kepada Allah swt. dan hanya kepada-Nya memohonkan ampun untuk si mayat, serta keluarga yang ditinggalkan memperoleh kesabaran terhadap musibah yang diberikan Allah swt. (wawancara dengan H. Muhsin Pidu, 3 Juli 2013).

Seorang muslim diperbolehkan membaca ayat-ayat Alquran untuk mayat di masjid-masjid atau di rumah mayat tersebut, dan setelah selesai

Page 77: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

61

membaca, hendaknya memohon kepada Allah swt. agar si mayit itu diampuni dan dikasihsayangi berkat doanya sebagai tawassul kepada Allah swt. melalui bacaan Alquran yang dilakukannya. Menanggapi persoalan pembacaan doa arwah ini bisa dikategorikan mengandung unsur bid’ah, dan dalam menyikapi masalah bid’ah ini, para pemikir dan ulama Islam berbeda pendapat. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pertama berpendapat bahwa ibadah sebagai praktik ritual telah ditentukan secara pasti dengan sumber hukum yang jelas. Ibadah yang tidak memiliki rujukan hukum atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. tidak boleh dilaksanakan, meskipun ibadah itu dipandang baik dan tidak menyalahi pokok-pokok hukum Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdi al-Salam, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibn al-Atsir, dan al-Nawawi (al-Tuwaijiri, 2010: 18-34).

Kelompok kedua berpendapat bahwa bid’ah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu bid’ah ḥasanah dan bid’ah ḍalâlah. Bid’ah ḥasanah adalah praktik ibadah yang tidak ada tuntunannya tetapi memberikan kemaslahatan pada umat, atau tidak menyalahi prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, sedangkan bid’ah ḍalâlah adalah praktik ibadah yang menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam dan tidak memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat. Pendapat kedua in masih memberikan toleransi pada pelaksanaan ibadah yang mengandung unsur bid’ah selama itu bid’ah yang ḥasanah. Pendukung pendapat ini di antaranya adalah al-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan al-Zarkasyi (al-Tuwaijiri, 2010: 18-34).

Terlepas dari pandangan di atas, prosesi adat hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo terdiri atas beberapa tahap, yaitu:

Pelaksanaan

Pelaksana dari hileyiya adalah para imam, tokoh agama, tokoh adat serta para pegawai syara lainnya. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan beberapa responden bahwa yang

menjadi pelaksana adat doa arwah, yaitu: imam (wawancara dengan Musna Daluta, 4 Juli 2013); pegawai syara (wawancara dengan Masi Adam, 4 Juli 2013); imam dan pemangku adat (wawancara dengan Ronal Tobamba, 4 Juli 2013); bilal/syara. (wawancara dengan Usman Daluta, 5 Juli 2013).

Peranan integratif yang dimainkan imam, pemangku adat, pegawai syara, bilal/syara dalam mengemban misinya pada sebuah tradisi/ritual, sejatinya merupakan manifestasi dari suatu kearifan yang tinggi, yakni kearifan dalam menerapkan metode dakwah yang mengindahkan faktor kondisi lingkungan yang dominan, yaitu struktur sosial masyarakat dengan pendekatan adaptasi kultural. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama dan budaya pada masyarakat daerahnya, dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan tradisi tersebut.

Persiapan

Menjelang pelaksanaan adat hileyiya ada beberapa alat dan bahan yang perlu disiapkan, seperti polutube (pedupaan), bara api, totabu (dupa), air secangkir, batu nisan, kain putih dan bakohati (tempat/kotak kecil) yang di dalamnya terdapat uang dan kue-kue yang kemudian didoakan setelah itu diberikan kepada peziarah (wawancara dengan Zakaria Taha, 5 Juli 2013). Selain itu dalam pelaksanaan hileyiya disediakan: (a) rica (merica/cabai) dan garam. Ini mengandung makna menyeberangi lautan atau dibatasi; (b) tiliayah maknanya menyenangkan hati; dan (c) nasi kuning, yaitu melambangkan hati semua manusia yang penuh kenikmatan (wawancara dengan Moh. Kiyai, 6 Juli 2013).

Kesimpulan yang ditarik dari pernyataan para responden bahwa yang disiapkan menjelang pelaksanaan tradisi heliyiya adalah bara api, totabu (dupa), polutube (pedupaan), air secangkir, bakohati (tempat/kotak kecil berisi uang dan kue), batu nisan, nasi kuning, tiliayah, rica (merica/cabai) dan garam. Kelengkapan alat dan bahan tersebut mengandung sebuah tujuan memberikan doa keselamatan bagi si mayit di akherat.

Page 78: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

62

Setiap prosesi adat terkandung tujuan, fungsi, dan makna dalam upacara tersebut. Adanya makna dalam upacara tradisional sebagai salah satu bentuk ungkapan budaya yang mempunyai fungsi sebagai faktor pemersatu seluruh lapisan masyarakat. Di dalam pelaksanaan hileyiya memaparkan adanya simbolik alat dan simbolik makanan; sesuatu yang memiliki makna dan komunikasi. Bentuk macam kegiatan simbolik dalam masyarakat Kota Gorontalo merupakan cara pendekatan manusia kepada Sang Khalik yang menciptakan, menurunkan, memelihara dan menentukan. Dengan demikian, simbolisme dalam masyarakat membawakan pesan-pesan kepada generasi-generasi berikutnya, agar selalu dilaksanakan dalam kaitanya dalam upacara adat dalam kaitanya dengan religi.

Proses Adat Hileyiya

Setelah tanggungjawab pelaksanaannya sudah berada di tangan pemangku-pemangku adat dan pegawai syara, maka kegiatan pun dimulai. Responden mengungkapkan bahwa prosesi adat hileyiya, yaitu dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh dan seratus hari. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah magrib dan dipimpin oleh imam, selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara tahlil diakhiri dengan acara santap (wawancara dengan Herwin Panigoro, 6 Juli 2013).

Diadakannya hileyiya atau doa arwah pada malam ke 40 hari dengan tujuan semoga arwah dari si mayat mendapatkan pengampunan dari Allah swt. dan kemudahan untuk diluaskan kuburannya lewat doa-doa yang dilantunkan oleh kaum muslimin dengan penuh keikhlasan dalam melaksanakan doa. Selanjutnya bacaan doa dihadiahkan pahalanya kepada si mayit (wawancara dengan Rahim Ibrahim, 7 Juli 2013).

Selain itu, prosesi adat hileyiya atau doa arwah adalah diawali dengan pelaksanaan tinilo yang berlangsung mulai dari pukul Sembilan sampai menjelang usungan nisan diangkat ke kubur. Selanjutnya setelah undangan hadir, terutama para pemangku adat dan agama, maka

baate mulai dengan acara pokok, pemberitahuan kepada kadli bahwa acara pokok akan dimulai, dan imam segera memimpin acara tahlil. Selesai tahlil dan dilanjutkan dengan acara santap (wawancara dengan H. Hamzah Usman, 7 Juli 2013). Proses pelaksanaan adat hileyiya tersebut juga disiapkan “didi” bukan dalam bentuk kain putih, tetapi bungkusan makanan yang disebut “toyopo” dan “bakohati toyopo” (wawancara dengan H. A. G. Thaib, 7 Juli 2013).

Toyopo, yaitu tempat makanan yang terbuat dari daun kelapa yang masih muda, isinya adalah lima macam kue, serta nasi bungkus atupato (ketupat), kue tutulu (cucur), putito yilahe (telur rebus), dagingi tilinanga (daging goreng), dan lutu (pisang masak). Di atasnya ditancapkan sepotong buluh (bambu) kira-kira 30 cm yang berisi duduli (dodol) sebagai lambang batu nisan. Untuk toyopo pimpinan negeri, isinya untuk setiap jenis terdiri dari sepuluh buah, kecuali dodol hanya satu buah saja untuk bawahannya masing-masing jenisnya terdiri dari tiga buah saja. Untuk bakohati isinya sama, namun bentuknya persegi lima, bahan pembungkus terdiri dari dua macam warna kertas minyak, putih dan biru langit. Bagi pimpinan negeri termasuk kadhi, mendapat bakohati yang berisi uang satu real, dan berhak menerima minimal setiap orang empat bungkus. Untuk para bubato perangkatnya masing-masing memperoleh tiga bungkus, para undangan umum masing-masing memperoleh dua bungkus dan untuk anak-anak satu bungkus (Daulima, 2008: 70-71).

Keberadaan kehidupan manusia di dunia ini adalah sebuah proses yang diawali oleh peristiwa kelahiran dan berakhir dengan sebuah kematian. Sebelum sampai pada kematian, manusia melalui berbagai peralihan dari tahapan satu ke tahapan yang lainnya dan melahirkan sejumlah implikasi psikologis keagamaan dan sosial yang disebabkan adanya perubahan sikap dan peran-peran yang dilakukan seseorang dalam melalui tahapan tersebut, dan dalam upaya menstabilkan implikasi psikologis tersebut, maka salah satunya dilakukan melalui institusi ritual yang berhubungan dengan masa peralihan tersebut.

Page 79: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

63

Ritual yang mengitari tahapan kehidupan manusia oleh Van Gennep disebut rites de passage (Koentjaraningrat, 1980: 75) atau Turner menyebutnya the rites of passages, terjadi proses pengolahan batin yang menyebabkan manusia mampu keluar dari berbagai konflik akibat adanya perubahan-perubahan yang dihadapi manusia dalam hidupnya (Turner, 1982: 94). Winangu mengemukakan bahwa tahapan tersebut terjadi sejak ia lahir, menjadi masa kanak-kanak, pendewasaan dan menikah, menjadi orangtua, hingga ia meninggal. Manusia mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental (Winangu, 1990: 35). Kaitannya dengan ritual kematian ini, Turner membagi ritus dan upacara tersebut ke dalam tiga bagian, yaitu perpisahan (separation), peralihan/liminal (marge), dan integrasi kembali (aggregation) (Turner, 1982: 94).

Jika mencermati proses adat hileyiya yang dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh, dan seratus hari dengan menyediakan berbagai macam persiapan. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah magrib dan selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara tahlil dilanjutkan dengan acara santap. Tujuan hileyiya adalah untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, mendoakan si mayit, diluaskan kuburannya dan terpelihara si mayat di dalam kubur dari siksa neraka, serta permohonan kepada Allah swt. agar si mayit memperoleh ampunan dan rahmat-Nya.

Tradisi Hileyiya Pada Masyarakat Kota Gorontalo Perspektif Sosiologi Hukum Islam

Pelaksanaan tahlilan, mejelis tahlil, kenduri arwah, doa arwah di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pada masyarakat Kota Gorontalo adalah untuk menyelenggarakan pembacaan Alquran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya. Kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, baik itu lantunan surat Yasin dan surat-surat lain

dalam Alquran dengan gemuruh tahlil dari lisan para peziarah.

Hal tersebut bukan sebuah pemandangan yang asing ketika memasuki sebuah rumah yang sedang berduka atau pemakaman di daerah Gorontalo. Dengan khusuk, kerendahan hati, dan prasangka baik kepada Allah yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun, para ta’ziah ataupun penziarah melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. Mereka yakin bahwa perbuatan tersebut akan bermanfaat bagi penziarah maupun yang di ziarahi. Keyakinan seperti ini telah mengakar dalam diri setiap penziarah, dan kebiasaan ini selanjutnya oleh masyarakat disebut sebagai tahlil.

Berangkat dari pemahaman dan keyakinan tersebut, maka ada hal-hal yang ingin dibangun yang berhubungan dengan pelaksanaan tahlilan atau hileyiya dalam pandangan sosiologi hukum Islam kaitannya dengan pelaksanaan tradisi tersebut. Sebagaimana diungkapkan responden berikut bahwa pelaksanaan heleyiya merupakan pengetahuan dan pemahaman sejarah yang diperlukan untuk mengetahui masa lalu dan memahami masa sekarang serta memprediksi masa depan, sehingga dapat membentuk perilaku dan sifat keislaman yang positif seperti yang yang ditentukkan oleh pelaku sejarah masa lampau yang berpijak kepada sejarah Islam, dan kita dapat mengambil sebuah pemahaman dan keyakinan yang tidak terlepas dari rel syariat Islam yang sesungguhnya. Sebab pelaksanaan hileyiya sudah menjadi adat dan tradisi masyarakat Gorontalo. Bila ada saudara yang meninggal dunia biasanya diadakan upacara pembacaan tahlil dan mendoakan si mayit (wawancara dengan Halim Harun, 8 Juli 2013).

Hileyiya adalah untuk meminta ampun kepada Allah untuk saudaramu dan memohonkan agar dia (si mayit) teguh ketika ditanya oleh dua malaikat. Sesungguhnya si mayat sekarang ditanya pada saat berada di alam kubur (wawancara dengan H. Jaridin Nento, 8 Juli 2013). Dengan pelaksanaan hileyiya mulai dari kematian sampai kepada 40 hari sebagai sebuah pelajaran bagi umat Islam untuk dapat mengingat kematian dan

Page 80: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

64

akhirat sebagai persinggahan terakhir manusia (wawancara dengan Herlina Hasan, 8 Juli 2013).

Pelaksanaan hileyiya oleh masyarakat Kota Gorontalo pada malam ke-40 hari terdapat pelajaran bagi kita agar tetap dalam menjalankan syariat Islam dan dapat menambah keimanan kita kepada Allah swt. Selain itu yang menjadi faktor utama orang melakukan hileyiya atau doa arwah karena tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tetapi dipahami sebagai bentuk untuk mempererat ikatan persaudaraan, karena pada setiap acara tahlilan menjadi satu kesempaan untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga (wawancara dengan Nurdin Dama, 9 Juli 2013).

Berdasarkan uraian responden di atas diketahui bahwa tradisi hileyiya ini sudah melekat dan dilaksanakan turun temurun oleh sebagian besar masyarakat Kota Gorontalo. Tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tetapi diyakini sebagai bentuk ibadah yang disyariatkan. Kaitannya dengan pelaksanaan hileyiya berdasarkan temuan di lapangan, yaitu setelah dilakukan proses hileyiya yang dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh dan seratus hari dengan menyediakan berbagai macam persiapan untuk pelaksanaannya.

Berbagai alasan diungkapkan masyarakat Kota Gorontalo yang melakukan tradisi tersebut, antara lain menganggap acara tahlilan ini sebagai ritual Islam. Selain itu terjadi karena kurangnya pemahaman orang tua tentang kedudukan dari pelaksanaan hileyiya. Hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa alasan para orang tua atau masyarakat Kota Gorontalo melakukan hileyiya, yaitu: (1) Diyakini sebagai bentuk ibadah dan mendapat pahala serta dianggap sebagai ritual Islami yang disyariatkan; (2) Minimnya pemahaman tentang kedudukan dari pada pelaksanaan hileyiya; (3) Sudah menjadi turun-temurun dari generasi satu ke generasi yang lainnya jika ada keluarga yang meninggal, maka keluarga melakukan hileyiya yang sering disebut tahlilan; dan (4) Pelaksanaan hileyiya juga dipahami sebagai salah satu cara untuk mempererat tali silaturahmi.

Tentunya pelaksanaan tradisi hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo mengandung suatu makna atau manfaat, baik itu bagi pelaksana hajatan maupun peziarah. Pelaksanaan simbol daripada pelaksanaan tradisi hileyiya atau doa arwah yang ada masyarakat di Kota Gorontalo merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan bagi yang melakukannya. Begitu kuatnya tradisi pelaksanaan hileyiya atau doa arwah ini, maka masyarakat berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan doa arwah sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditetapkan (wawancara dengan One Ishak, 7 Juli 2013).

Melalui tradisi hileyiya ini tampak relasi agama dan budaya lokal dalam masyarakat Kota Gorontalo hidup dalam rukun dan kedamaian yang sangat kuat tanpa adanya gesekan. Hal ini diindikasikan terjadi karena masyarakatnya masih memegan kuat adat yang berlaku. Hubungan religius berlangsung antara sesama warga dengan saling berinteraksi yang didasari oleh adanya suatu persamaan dalam mencapai tujuan yang mereka sama-sama yakini kebenarannya dan terikat pada suatu kebudayaan yang mereka laksanakan dan taati sendiri.

Secara sosiologis, masyarakat Kota Gorontalo dalam kehidupannya cenderung mengedepankan rasa kekeluargaan, toleran, mengutamakan kerjasama secara kolektif dalam berbagai hal, khususnya tradisi hileyiya. Adanya ikatan yang kuat antara anggota masyarakat Kota Gorontalo dalam tradisi tersebut membawa dampak adanya semangat gotong royong, memegang teguh nilai-nilai hakiki luhur warisan nenek moyangnya, sehingga tercipta suasana kekeluargaan yang kuat. Sistem nilai dalam tradisi ini amat bernilai dalam hidup mereka dan dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat.

Pemahaman masyarakat Kota Gorontalo di atas ini kemungkinan adanya akulturasi timbal balik antara agama Islam dan budaya lokal yang diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul al-fiqḥ bahwa “adat itu dihukumkan” (al-adah muḥakkamah) atau lebih lengkapnya “adat adalah syariah yang dihukumkan” (al-adah

Page 81: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

65

syari’ah muḥakkamah) artinya adat atau kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.

Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan telah berurat akar pada budaya masyarakat Indonesia, karena itulah hukum Islam tergolong sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law). Bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya hukum Islam telah menjadi bagian tradisi (adat) masyarakat yang terkadang dianggap sakral.

Mengkaji atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya suatu hukum, sangat berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, baik itu perubahan yang disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karena perubahan kondisi politik dan kebijakan pemerintah. Antara upaya perubahan hukum di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Hukum, secara langsung atau tidak, pasti dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum, sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia. Dalam ilmu sosiologi hukum, hukum dalam posisi tersebut dituntut dapat memainkan peranan ganda yang sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia; Kedua, hukum dapat dijadikan alat rekayasa sosial (social engineering) dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia sebagai tujuan hakiki dari hukum itu sendiri. Tujuan yang demikian itu terdapat pada semua sistem hukum, termasuk hukum Islam.

Unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan atau diganti. Inilah makna kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri, karena itu setiap

masyarakat Islam mempunyai massa jahiliyahnya, yang masa itu diliputi oleh praktek-praktek yang berlawanan dengan ajaran tauhid serta ajaran-ajaran lain dalam Islam, seperti tata sosial dalam hukum (laotik), takhayul, mitologi, feodalisme, ketidakpedulian terhadap nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia dan seterusnya.

Eksistensi hukum Islam di Indonesia mempunyai dua bentuk, yaitu sebagai hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan sebagai hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif untuk umat

Islam di Indonesia. Hukum Islam normatif yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia terjadi melalui proses intemalisasi dalam interaksi sosial, dan dalam pelaksanaannya terjadi pergumulan antara kaidah hukum Islam dengan kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat, dan bahkan intervensi dari dunia luar seperti modernisme dan kebudayaan Barat. Dalam proses itu terjadi adaptasi dan asimilasi yang kemudian melahirkan kesepakatan dan kehiasaan sebagai acuan dalam bertingkah laku yang mendapat legitimasi dari elit masyarakat serta para pendukung mereka.

Proses peralihan dimensi syariah menjadi dimensi adat terjadi melalui interaksi antara hukum Islam dengan struktur dan kultur masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan hidup tertentu. Secara spesifik aspek kultural itu tercermin pada pola perilaku yang dikenal sebagai adat yang bersumber pada kaidah lokal. Interaksi hukum Islam dengan kaidah lokal (kaidah adat) memiliki pola yang bervariasi.

Hubungan antara hukum Islam dengan kaidah adat (tradisi), yaitu: (a) Secara keseluruhan hukum adat diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi hukum Islam; (b) Hukum Islam mengubah hukum adat seluruhnya dalam arti hukum Islam menggantikan hukum adat, sehingga hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya; (c) Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha penyerapannya ke dalam hukum

Page 82: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

66

Islam. Hal ini berlaku pada umumnya dalam bidang muamalah (Syarifuddin, 1984: 169).

Dengan demikian, sesungguhnya ada dua sistem hukum yang saling tarik-menarik, yaitu sistem hukum Islam dan sistem hukum adat, namun keduanya tidak selalu harus dipertentangkan. Hal tersebut disebabkan fleksibilitas dan elastisitas yang dimiliki hukum Islam. Artinya kendati pun hukum Islam tergolong hukum yang otonom karena adanya otoritas Tuhan di dalamnya, akan tetapi dalam tataran implementasi hukum Islam sangat dapat digunakan (applicable) dan diterima (acceptable) dengan berbagai jenis budaya lokal. Oleh karena itu bisa dipahami bila hukum Islam, baik secara sosiologis maupun kultural, merupakan hukum yang mengalir dan berurat-berakar pada budaya masyarakat dan tergolong sebagai hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat, sehingga bisa menjadi kekuatan moral masyarakat yang mampu berhadapan dengan hukum positif negara yang berlaku di masyarakat.

Masyarakat Kota Gorontalo tidak serta merta meninggalkan adat yang sudah ada sebelumnya, akan tetapi meninjau dengan pandangan Islam. Proses transformasi terjadi secara spontan dengan melihat aspek fungsional. Kemudian keyakinan beragama yang diperlukan secara fungsional untuk kehidupan beragama diinterpretasi dalam wujud kebiasaan kelompok. Respon yang ditunjukkan secara sadar untuk melakukan harmoni Islam dengan adat tanpa dilalui dengan ketegangan dan pertikaian.

Kesadaran seperti ini terbentuk baik secara tradisional maupun secara rasional. Kesadaran tradisional dalam menganut agama mengikuti sepenuhnya terhadap tradisi dalam rumah yang ada. Termasuk model warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara kesadaran rasional dibangun setelah usainya fase kesadaran tradisional. Penerimaan agama kemudian berproses dalam penerimaan yang dipandu rasionalitas.

Sebagai wujud interaksi timbal balik antara Islam dan budaya lokal, banyak sekali adat istiadat yang isinya tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip Islam seperti upacara peringatan untuk orang-orang yang meninggal yang biasa disebut tahlilan atau hileyiya pada masyarakat Gorontalo, yakni membaca lafal lâ ilâha illallâh secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran). Dalam ilmu ushul al-fiqḥ, budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu juga disebut ‘urf (secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’rûf).

Untuk mencermati sebuah tradisi yang menjadi unsur transformasi sosial suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam tanpa menafikan kedatangan Islam di suatu negeri atau masyarakat dapat bersifat deskriptif. Kutipan dari keterangan Khallaf yang panjang lebar bahwa para ulama berkata: al-adah syari’ah muḥakkamah (adat adalah syariat yang dihukumkan), dan adat penghubung kebiasaan (‘urf) itu dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pendukungnya beraneka ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat penghubung kebiasaan mereka. Imam al Syafi’i setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Ia mempunyai dua pandangan hukum yang lama dan yang baru (qaw al-qadîm dan qaw al-jadîd), dan dalam fiqh Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasan. Karena itu ada ungkapan-ungkapan terkenal al ma’rûf ‘urfan ka al-masyrûth syarthan, wa al-tsabît bi al-‘urf ka al tsâbiit bi al-nashsh’ (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan mantap benar dalam nash (Mudzhar, 1998: 35).

Memperhatikan uraian tersebut di atas mengantarkan kepada suatu etos di kalangan para ulama yang amat patut untuk kesekian kalinya

Page 83: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo...Rizal Darwis

67

direnungkan, yaitu etos “al-muhâfadhah ‘alâ al-qasîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) (Mudzhar, 1998: 20). Dalam Islam, budaya dan perubahan sosial itu sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum Islam. Perbedaan budaya dan perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai Islam pada awal abad ke-2 H. sampai pertengahan abad ke-4 H. merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ulama fiqh) mengenai suatu masalah hukum yang akhirnya menyebabkan terbentuknya aliran-aliran dalam hukum Islam (Tebba, 2003: 4).

Mengartikulasikan agama dalam ranah kehidupan manusia merupakan sesuatu yang fenomenal dalam praktek yang sebenarnya. Agama terdiri dari keyakinan, dogma, tradisi, praktik dan ritual. Seorang yang beriman yang dilahirkan dalam tradisi yang religius akan mewarisi dan mengambil semua aspek ini begitu saja dan meyakini bahwa segala sesuatu yang diwarisi merupakan aspek esensial dan integral dari agama. Dari konteks ini, pemahaman keagamaan merupakan pemahaman sama, karena berawal dari pemahaman warisan yang sudah ditentukan dan didoktrinkan secara sepihak tanpa melewati jalur penelusuran pribadi yang pada dasarnya akan menghasilkan sebuah keyakinan dan pemahaman yang kukuh (Irwandar, 2003: 798).

Pemahaman sosiologi hukum Islam terhadap tradisi hileyiya yang dilakukan oleh masyarakat Kota Gorontalo dapat dikategorikan sebagai al-‘urf al-shaḥîḥ. Dengan pelaksanaan adat tersebut memberikan banyak nilai manfaat, baik bagi keluarga yang ditinggalkan karena dapat menghibur mereka karena ditinggalkan, begitu pula pada para peziarah karena dapat mengambil hikmah dalam mengingat kematian, dan bagi yang meninggal akan memperoleh kiriman doa keselamatan di akhirat dari keluarga yang melakukan prosesi hileyiya.

siMPulan Tradisi heliyiya atau doa arwah adalah sebuah

tradisi yang dilakukan masyarakat Gorontalo pada umumnya yang berkaitan dengan peristiwa kematian seseorang. Heliyiya ini dilakukan oleh keluarga si mayit, kerabat, dan masyarakat di sekitarnya dengan melakukan pembacaan Alquran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahala pada orang yang telah meningggal dunia dengan lantunan surat Yasin dan surat-surat lain dalam Alquran. Prosesi heliyiya ini berlangsung tiga atau tujuh hari berturut-turut setelah hari kematian dan juga diselenggarakan lagi pada hari kedua puluh, keempat puluh dan keseratus atau dilakukan setiap tahun dengan menggunakan simbol-simbol adat yang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia di dunia fana ini.

Tradisi heliyiya masih bertahan dan dilaksanakan pada masyarakat Kota Gorontalo dikarenakan tradisi ini dilegitimasi dalam sebuah kaidah fiqh: ‘al-‘urf al-shaḥîḥ.’ yang mengandung makna adanya persinggungan antara agama dan tradisi yang dianut suatu masyarakat. Selain itu heliyiya ini memberikan banyak nilai manfaat, baik bagi keluarga yang ditinggalkan karena dapat menghibur mereka karena ditinggalkan, begitu pula pada para peziarah dapat mengambil hikmah dalam mengingat kematian, dan bagi yang meninggal akan memperoleh kiriman doa keselamatan di akhirat dari keluarga, kerabat dan tetangga yang melakukan prosesi hileyiya atau doa arwah tersebut. Artinya yang menjadi faktor utama orang melakukan hileyiya, karena tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tetapi dipahami juga sebagai bentuk mempererat ikatan persaudaraan, karena pada setiap acara tahlilan menjadi satu kesempatan untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga.

Pengkajian terhadap kehidupan sosial dan budaya lokal dalam masyarakat adalah sebuah fenonema yang apabila dikaitkan dengan unsur agama. Khususnya dalam agama Islam dikenal

Page 84: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 57-68

68

metode pengambilan hukum dengan model ‘urf atau al-adah. Oleh karena itu, kaitannya dengan penelitian tentang tradisi heliyiya pada masyarakat Kota Gorontalo dapat memberikan suatu implikasi, yaitu bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang tetap dipertahankan dan menjadi satu nilai budaya lokal yang memperoleh legitimasi hukum Islam, yaitu al-adat al-muḥakkamah. Namun perlu menjadi perhatian yang cukup serius ketika persoalan heliyiya ini menjadi sesuatu yang wajib dan harus untuk dilakukan dengan tidak mempertimbangkan nilai kemaslahatan bagi berbagai pihak atau kalangan masyarakat. Selain itu dengan pelaksanaan tradisi ini diharapkan memberikan nilai pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai ajaran Islam dalam simbol-simbol heliyiya tersebut.

daftar Pustaka

Alaydrus, Novel bin Muhammad. 2008. Mana Dalilnya: Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil. Cet. 17. Surakarta: Taman Ilmu.

Ali, Muhammad Daud. 1994. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Ed. 3. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Amin Muhammadiyah, dan M. Gazali Rahman, 2010. “Kerangka Epistemologi ‘Urf dalam Penetapan Hukum Islam (Telaah terhadap Paradigma Pengambilan Keputusan Hukum Pada Pengadilan Agama).” Laporan Hasil Penelitian. Gorontalo: Lembaga Penelitian IAIN Sultan Amai Gorontalo.

Ansori. 2007. “Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat.” Ibda’: Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2007. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto.

Daulima, Farha. 2008. Tatacara Adat Pemakaman. Gorontalo: Galeri Budaya Daerah Mbui’i Bungale.

Irwandar. 2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam. Jakarta: PT. Ar-Ruzz Media.

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jil. 1. Jakarta: UI Press.

Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilm Ushul Fiqh. Terj. Muhammad Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama.

Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.

Tebba, Sudirman. 2003. Sosiologi Hukum Islam. Cet. 1. Yogyakarta: UII Press Indonesia.

Turner, Victor. 1982. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Itcha and London: Cornell University Press.

Al-Tuwaijiri, Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz. 2010. Menyoal Rutinitas Perayaan Bid’ah Sepanjang Tahun. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Al-Tsauriy, Al-Faqir. Tahlilan (Kenduri Arwah-Selamatan Kematian) Menurut Mazhab Syafi’i, http://ashhabur-royi.blogspot.com. pdf. 23 Juni 2013.

Page 85: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

69

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL: PEMIKIRAN ULAMA BUGIS DAN

BUDAYA BUGIS

Women Leadership in Local Wisdom Perspective: Bugis Muslims Scholars’ Thought and Bugis Culture

MUHAMMAD YUSUF

UIN Alauddin Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 63 Makassar

Sulsel*Jl. Sultan Alauddin No. 36 Samata

Gowa SulselTelp.

Facs. e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 6 Januari 2015Naskah direvisi: 23 Maret – 7 April

2015Naskah disetujui: 23 Juni 2015

AbstrAct

This research is an effort to explain quranic values in collaborating and synergizing with the values of local wisdoms which influences social life paradigm. The main resources of this research are the thought of Bugis Muslim scholars in the Quranic exegesis which is in Bugis language. This exegesis was written by MUI of South Sulawesi consisting of 11 volumes. This study concerns on the interpretation of verses on women leadership which is then connected with the cultural values of Bugis society. Data on cultural values were collected through interview and observation. Bugis ulama tend to follow the perspective of Middle Eastern ulama regarding the issue of leadership in the domestic area, they argue that man is the leader. Meanwhile the cultural values ‘sibaliperri, sipurepo’ indicate that husband and wife are partners in dealing with the family matters. In the public space, Bugis ulama agree with the Bugis culture in which they say that women have opportunities to handle various tasks either at an organization or community.

Keywords: leadership, women, local wisdom, scholars, culture, Bugis.

AbstrAk

Kajian ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menginterpretasi nilai-nilai qurani berkolaborasi dan bersinergi dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mewarnai cara pandang dan pola hidup masyarakat. Sumber primer kajian ini adalah pemikiran ulama Bugis yang terdapat dalam tafsir berbahasa Bugis karya Tim MUI Sulawesi Selatan yang terdiri atas 11 jilid menafsirkan Alquran 30 juz. Ayat-ayat yang diteliti meliputi penafsiran mengenai ayat-ayat yang terkait dengan posisi dan kepemimpinan perempuan. Selanjutnya penafisran tersebut dikaitkan dengan data mengenai nilai-nilai kebudayaan masyarakat Bugis yang didapatkan melalui wawancara dan pengamatan langsung. Ulama Bugis masih terlihat lebih cenderung mengikuti pemikiran ulama Timur Tengah yang dirujuknya khususnya kepemimpinan dalam rumah tangga masih dipercayakan kepada suami. Prinsip sibaliperri, sipurepo’ bersama nilai-nilai lainnya mengisyaratkan bahwa hakikat suami istri adalah mitra (azwajan) dalam mengurusi rumah tangga. Di ranah publik ulama Bugis tidak mempersoalkan sebagaimana halnya budaya Bugis, sehingga di bebeapa lembaga dan instansi, masyarakat Bugis seringkali menyerahkan urusan tersebut kepada perempuan.

Kata kunci: kepemimpinan, perempuan, kearifan lokal, ulama, budaya, Bugis.

Page 86: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

70

Pendahuluan

Kepemimpinan keperempuan merupakan salah satu tema yang menjadi perhatian pemerhati dan aktivis gender. Persoalan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan topik yang terus diperdebatkan, karena gender dilihat dari berbagai perspektif, motif, dan kepentingan. Gender berkaitan dengan persepsi dalam suatu masyarakat bahwa aktivitas, sikap, dan prilaku yang boleh atau tidak boleh dilakukan baik oleh laki-laki atau perempuan (Wood T, 1997: 228). Gender merupakan hasil konstruksi sosial terhadap apa yang disebut maskulin dan feminim. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan pembeda kecuali struktur anatomi tubuh, reproduksi, dan untuk mengenali jenisnya (Andersen, 1988: 22).

Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak dimaksudkan untuk membedakan keduanya dari segi derajat sosialnya. Perbedaan itu merupakan wujud komitmen Tuhan menciptkan segala kosmos secara berpasang-pasangan agar proses reproduksi berjalan lancar dan tercipta hubungan mutualis dan interdepedensi diantara dua jenis manusia (Umar, 2001: 18).`Akan tetapi, seringkali perempuan tersubordinasi oleh kaum pria. Ada tiga dasar yang selalu dijadikan pijakan untuk menolak kepemimpinan perempuan. Pertama, sebuah hadis yang menggambarkan sikap pesimis Rasulullah Saw. mengenai keberhasilan kepemimpinan perempuan. Kedua, sebuah hadis yang menerangkan tentang rendahnya intelektual perempuan. Ketiga, Qs. al-Nisa/4: 34 (al-Munawwar, 2003: 15-16) yaitu:

Terjemahnya: ... kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”

Posisi perempuan tidak hanya berhenti pada hak kepemimpinannya lebih jauh telah berdampak pada sikap pria terhadap perempuan karena adanya sumber-sumber tekstual ajaran agama termasuk Islam menunjukkan bahwa memang perempuan posisinya nomor dua dari laki-laki misalnya pembagian harta warisan (Syadzali, 1995: 97). Munawir Syadzali mengusulkan rekonstruksi fikih yang relevan dengan konteks Indonesia tetapi ditentang keras oleh KH. Abd Muin Yusuf, ketua MUI Sulawesi Selatan sekaligus ketua tim penulis tafsir berbahasa Bugis.

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah “bagaimana integrasi antara pandangan ulama dan nilai-nilai kearifan lokal tentang kepemimpinan perempuan dalam tafsir berbahasa Bugis?”. Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat mengispirasi pembaca untuk menemukan perspektif baru berbasis kearifan lokal dan agama untuk meretas konflik pemikiran dan kepentingan mengenai wacana kesetaraan gender tentang kepemimpinan perempuan.

Akar permasalahan pemahaman bias gender itu berawal dari sebuah asumsi bahwa Hawa, istri Adam itu berasal dari tulang rusuk kiri yang bengkok. Asumsi dan stereotype tersebut dengan segala pemahaman yang diturunkannya memomosisikan perempuan sebagai “makhluk kelas dua” terutama ketika menafsirkan surah al-Nisa ayat 1. Di dalam tafsir berbahasa Bugis dijelaskan bahwa kata “nafsun wahidah” bisa jadi dimaksudkan ialah setiap kelompok manusia yang memiliki keturunan nenek moyang yang berbeda (Tim MUI Sulawesi Selatan, II, 1988: 186). Sedangkan kata “minha” pada Qs. al-Rum/30: 21 itu dimaknai “dari jenisnya sendiri”. Kata “qawwam” pada ayat 34 surah al-Nisa dipahami secara berbeda oleh para mufasir. Ada yang memahami “pemimpin dalam rumah tangga” dan ada pula menjadikan sebagai landasan kepemimpinan publik.

Pendekatan yang mengapresiasi kearifan lokal sebagai salah satu solusi meretas perdebatan mengenai asal-usul kejadian perempuan yang melahirkan aneka implikasi terutama haknya berkiprah di ranah publik. Di dalam tafsir

Page 87: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

71

berbahasa Bugis, kepemimpinan di ranah publik tidak mensyaratkan berdasarkan status gendernya (biologisnya).

Gender dalam tinjauan Islam juga sudah ba-nyak dilakukan, baik dalam jurnal, tesis, disertasi, antara lain: Lanny Octavia (2012: 2) menulis se-buah artikel “Islamism and Democracy: A Gender Analysis on PKS’s Application of Democratic Prin-ciples and Values” ia menyatakan bahwa agenda politik gender yang didengungkan oleh kalangan islamis tidak bisa dipaksakan dari perspektif kon-servatif mereka mengenai relasi gender.

Yusuf menulis artikel pada jurnal yang berbeda dengan tema “Penciptaan dan hak kepemimpinan perempuan dalam Alquran” dengan menyatakan: Pertama, kehadiran kitab-kitab klasik dalam dunia Islam merupakan kekayaan bagi umat Islam yang luar biasa. Akan tetapi, kalau ditimbang dengan ukuran modern, banyak diantaranya yang dinilai bias gender, utamanya kitab-kitab fikih. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena keadilan gender mengacu pada persepsi relasi gender menurut kulturnya masing.masing. Kedua, kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga direkomendasikan kepada suami secara fungsional berdasarkan Qs. al-Nisa/4: 34, yakni selama suami mampu memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Ketiga, kepemimpinan dalam ranah publik membutuhkan syarat kualitatif, bukan status gendernya (Yusuf, 2013: 41-45).

Darsul Puyu (2012: 454-458) menulis disertasi “Kritik dan Analisis Hadis-Hadis yang Diklaim Misogini: Upaya Meluruskan Pemahaman Hadis yang Bias Gender”, ia menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan dalam hadis itu diantaranya ada yang sanadnya sahih dan ada pula peringkat yang tidak mencapai kategori hadis sahih. Hadis-hadis yang sahih ada diantaranya yang merupakan riwayat ahlul kitab (israiliyat), sehingga hadis-hadis tersebut merupakan hadis yang bersifat temporal dan lokal, yakni hadis-hadis mempunyai konteks masyarakat Arab yang patriarchal, sehingga perlu diletakkan secara tepat.

Nur Huda Noor Analisis Kritis terhadap Pemahaman Bias Gender dalam Ayat-Ayat

Alquran (Noor, 2012) sebuah disertasi, juga secara spesifik menyorot posisi perempuan, namun terlihat masih bersandar pada kitab-kitab turats yang sudah ada sejak lama. Ia menekankan berjalannya fungsi dan tugas masing-masing sebagai petunjuk Alquran.

Selain itu terdapat beberapa buku yang relevan antara lain karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Mar’ah fi al-Qur’an memuat tentang hak dan tugas perempuan baik di dalam keluarga maupun di ranah publik (al-Aqqad, 1962 dan Ismail, 2003: 7). M. Rasyid Ridha melalui Nida’ al-Jins al-Lathif menyerukan kepada umat Islam umumnya dan kaum perempuan khususnya agar ia mengetahui hak-haknya dan bangkit dengan ilmu dalam rangka meraih hak-haknya sesuai petunjuk agama (Ridha, 1991). Murtada Muthahhari menulis The Raight Women in Islam, diterbitkan oleh WOFIS, Teheran, Iran (1981). Aminah Wadud Muhsin dalam Qur’an and Women mengemukakan pentingnya analisis konsep perempuan dalam Alquran yang memuat prinsip keadilan sosial, persamaan (Mushsin, 1992). Kedua, Fatima Mernissi mengekspresikan gagasan reaktifnya melalui Women and Islam (Mernissi, 1991). Asgar Ali Engineer dalam bukunya -versi terjemahan- Hak-Hak Perempuan dalam Islam, mengemukakan bahwa Alquran secara normatif menegaskan laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang sama dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kontrak perkawinan dan perceraian, pengaturan harta miliknya, profesi, dan tanggung jawab, serta kebebasan (Engineer, 1994: 57) Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Alquran melakukan kritik terhadap konsepsi gender yang dipahami oleh Barat dan umat Islam (Umar, 2001). Ia tegas mengatakan, surah al-Nisa ayat 34 itu turun dalam konteks kepemimpinan keluarga, bukan pemerintahan.

Sepanjang telaah penulis, tidak ditemukan tulisan yang membahas tentang kepemimpinan perempuan dalam Tafsir Berbahasa Bugis karya MUI Sulawesi Selatan, yaitu AG. H. Abd. Muin Yusuf (1920-2004), AG. H. Makmur Ali (1925-200 M.), AG. H. Hamzah Manguluang (1925-1998 M), AG. H. Muhammad Djunaid Sulaiman (1921

Page 88: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

72

M/1339 H.-1996 M/1417 H), G. H. Andi Syamsul Bahri (l. 1955 M), M.A., AG. H. Mukhtar Badawi (w. 1992 ) (MUI Sulawesi Selatan, I, 1988: ix dan Yusuf, 2010).

Metode Penelitian

Pertama, penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013 s.d. 2014 di Bone Selatan Sulawesi Selatan. Kedua, penelitian ini bersifat kualitatif yang mengintegrasikan dua sumber data, yaitu pustaka dan lapangan. Ketiga, data bersumber dari kitab Tafsesere Akorang Mabbasa Ogi karya MUI Sulawesi Selatan sebanyak 11 jilid, ditulis dalam aksara Bugis Lontarak. Sumber tersebut didukung oleh sumber yang lain, yaitu Tafsîr al-Marâghî karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Qâsimî yang disusun oleh al-Qasimi, Tafsîr Ibn Katsîr ditulis oleh ibn Kasir (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya al-Baidawi, Tafsîr al-Thabarî karya Ibn Jari al.Thabari, Tafsir al-Qurthubî, karya al-Qurthubi (w.671 H./1273 M.), al-Tafsîr al-Wâdhih, Shafwat al-Tafâsîr, al-Durr al-Manshûr, dan al-Muntahnâb fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (MUI Sulawesi Selatan, 1, 1988: vi) dan data yang bersumber dari lapangan. Keempat, pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, yaitu menelaah kitab tafsir berbahasa Bugis didukung oleh kitab-kitab dan sumber tertulis lainnya yang relevan. Selain itu dilakukan pula pengamatan dengan fokus pada tradisi masyarakat Bugis di Bone dalam hal kepemimpinan rumah tangga dan diranah publik. Untuk memperkuat wawancara data hasil pengamatan langsung, maka dilakukan pendalaman melalui wawancara. Hal ini sejalan dengan Sugiyono (2010: 309), Lexy Moleong (1990: 161), dan Crippan Dot (1991: 11), dan Sartono Karto Dirjo (1994: 46-68). Kelima, analisis data dilakukan dengan menggunakan content analysis yang sering juga disebut analisis dokumen, analisis dokumen, analisis aktivitas, dan analisis informasi (Arikunto, 1994: 44-68). Analisis dengan menggunakan content analysis adalah menganalisis penafsiran ulama tentang kepemimpinan perempuan dengan pendekatan ilmu tafsir.

hasil dan PeMbahasan

Akar Polemik Kepemimpinan Perempuan

Ketika menafsirkan Qs. al-Nisa/4: 1, kata bisa jadi yang dimaksudkan adalah setiap

kelompok manusia yang memiliki keturunan dan nenek moyang yang berbeda. Tim ulama Bugis hanya mengutip dua pendapat ulama; yaitu sebuah hadis yang menjelaskan, asal kejadian Hawa yaitu berasal dari tulang rusuk kiri Adam yang bengkok. Kata bermakna “dari jenis-nya sendiri”. Pandangannya didasarkan pada ayat Qs. al-Rum/30: 21. Ia diciptakan dari jenis manusia sendiri, bukan dari binatang atau dari jin. Pesan moral ayat ini memosisikan perempuan setara dengan laki-laki (MUI Sulawesi Selatan, II, 1988: 186-188). Disinilah mereka berbeda dengan tafsir yang dijadikan rujukannya.

Pada beberapa tafsir yang masyhur, kata “nafsin wahidah” pada ayat 1 Qs. al-Nisa di atas sebagian besar memaknainya dengan “Adam a.s.” kemudian dhamir gaib pada rangkaian kata “minha” ditafsirkan dengan “dari tubuh Adam”, dan kata “zaujaha” ditafsirkan dengan Hawa, istri Adam a.s. (al-Maraghi, Jilid II, 1974 M/1394: 175) sebagaimana dikutip dari al-Qurthubi, Jilid I, 167 H: 448; Tabataba’i, Jilid IV 1991: 135.; Ibnu Katsîr, Jilid I, 1999: 448; al-Thabari, Jilid III: 224-225). Penafsiran model inilah yang memproduksi pemahaman bahwa “perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki” (al-Bukhari no. 3084, Muslim no. 2669, al-Darami no. 2125, dan Ibn Hanbal, II: 449, 497, 530). Ulama Bugis tidak merinci kata tersebut dengan pengembalian dhamir “ha” kepada siapa. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa dhamir “ha” kembalinya kepada nafs.

Kredibilitas Imam Bukhari dan Muslim sebagai rawi hadis tidak diragukan lagi, karena ketatnya kriteria yang digunakannya dalam menyeleksi hadis. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menyikapi hadis ini. Sikap pertama, yang direpresentasikan oleh para mufasir di atas, menganggap hadis ini tidak bermasalah, baik dari segi matan maupun sanadnya. Sikap kedua, hadis tidak harus dimaknai secara tekstual,

Page 89: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

73

karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan teks Alquran, yaitu hadis dipahami secara metaforis “tulang rusuk yang bengkok” dipahami sebagai peringatan bagi laki-laki untuk bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menghadapi kaum perempuan (Shihab, 1992: 271). Penulis tafsir berbahasa Bugis tidak menjadikan hadis itu sebagai landasan, bahkan tegas mengatakan “Hawa diciptkan dari jenis yang sama Adam”.

Penyerapan riwayat Israiliyat ini dimungkin-kan oleh pernyataan Nabi tentang cerita Israiliyat yang begitu diplomatis tetapi terkesan tidak tegas, karena terbukti asumsi tentang penciptaan Hawa dari “tulang rusuk Adam” tidak ditemukan di dalam Alquran melainkan terdapat di dalam Al-Kitab (Kitab Kejadian 2: 21-23, Kejadian (Genesis) 1: 26-27; 2: 18-24) Tradisi Imamat 2: 7, Tradisi Yahwis 2: 18-24, Tradisi Imamat 5: 1-2). Rasyid Ridha dengan tegas menyatakan: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab Perjanjian Lama, niscaya pendapat keliru yang mendiskreditkan perempuan itu tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim” (Ridha, IV, t.th.: 330). Hal ini memperkuat penafsiran tim ulama Bugis tersebut yang tidak mengutip hadis tersebut sebagai landasan penafsirannya.

Jika diteliti secara cermat penggunaan kata “nafs” yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam Alquran, tidak satu pun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata “nafs”dengan aneka makna, tergantung konteks ayat yang mengitari kata tersebut (Ilham Shaleh, 2015: 71), kadang-kadang berarti “jiwa” (Qs. al-Maidah/5:32), “nafsu” (Qs. al-Fajr/89:27), “roh” (Qs. al-‘Ankabut/29:57). Kata “nafs wahidah” sebagai “asal-usul kejadian” terulang lima kali, tetapi tidak semua selalu berarti ‘Adam’, karena pada ayat lain, kata “nafs” juga menjadi asal-usul binatang (Qs. al-Syura/42:11). Jika dipastikan “nafs wahidah” ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian binatang dan tumbuhan.

Pemahaman yang demikian ditolak oleh Abduh, ia memahami bahwa kata nafs itu bermakna ‘sejenis’. Tabatabai memahami kata nafs bahwa perempuan diciptakan dari jenis

yang sama dengan Adam. Pendapat ini tidak mendukung sama sekali pendapat mufasir masa lalu yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari “tulang rusuk Adam”. Penolakan Ridha juga menyatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam itu sebagaimana Kitab Perjanjian Lama yang menyatakan: “Tuhan mencabut tulang rusuk Adam dan membalutnya dengan daging, kemudian dibuat seorang perempuan” (al-Munawwar, 2003: 15-16).

Para feminis muslim umumnya tidak sependapat dengan penafsiran yang dikemukakan oleh kebanyakan mufasir, seperti al-Thabari dan al-Razi mengatakan bahwa perempuan (Hawa) tidaklah diciptakan dari laki-laki (Adam). Untuk memperkuat pendapatnya ini, Riffat mengutip empat rujukan tentang penciptaan perempuan dalam Genesi/ Kitab Kejadian. Dalam kajian terhadap teks-teks Genesis, dalam bahasa Ibrani, istilah ‘Adam’ berasal dari kata ‘adamah yang berarti tanah (Menissi, 1995: 45). Tidak dapat dipahami, Hawa diciptakan dari “diri Adam”, karena Adam dalam bahasa Ibrani yang berarti tanah. Teks-teks Injil semacam itulah yang kemudian merasuki teks-teks hadis yang dengan berbagai cara telah dijadikan sarana untuk menafsirkan Alquran (Memissi, 1995: 45-52). Penafsiran Alquran dengan teks hadis tersebut telah memunculkan stigma negatif mengenai asal-usul penciptaan perempuan.

Kata nafs bukan merujuk kepada Adam karena kata tersebut bersifat netral, bisa berarti laki-laki ataupun perempuan. Begitu juga kata zauj tidak berarti perempuan, melainkan ‘pasangan’ (laki-laki ataupun perempuan). Kata zauj yang berarti perempuan hanya dikenal di kalangan masyarakat Hijaz, sementara di daerah lain digunakan kata zaujah seperti penjelasan Memissi dan Riffat Hasan (1995) berkesimpulan bahwa Adam dan Hawa diciptakan dari substansi dan cara yang sama, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam. Sedangkan hadis-hadis yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam harus ditolak karena bertentangan

Page 90: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

74

dengan Alquran, meskipun diriwayatkan oleh perawi terkemuka, seperti al-Bukhari dan Muslim seperti halnya Memissi (1995:. 44-62). Kata zauj berbentuk mudzakkar, yang secara konseptual bersifat netral, tidak menunjuk khusus kepada laki-laki ataupun perempuan (Muhsin, 1994: 26-27).

Dalam konteks budaya masyarakat Bugis dikenal budaya sipakatau (saling menghargai) dan sipakalebbi’ (saling menghormati). Budaya sipakatau dan sipakalebbi’ itu tidak dimaksudkan untuk jenis kelamin tertentu, melainkan untuk laki-laki dan perempuan. Ini sejalan Riffat yang menjelaskan bahwa kata nafs bukan merujuk kepada Adam karena kata tersebut bersifat netral. Amina Wadud Muhsin, secara rinci juga membahas kata nafs dengan melihat komposisi bahasa dan teks kata per-kata. Ia mengatakan bahwa Alquran tidak menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari diri laki-laki ataupun dari Adam. Sikap masyarakat Bugis berbeda dengan Arab Jahiliyah pra Islam yang memandang kelahiran anak perempuan sebagai aib keluarga. Bagi masyarakat Bugis, melahirkan anak laki-laki berselang-seling dengan anak perempuan (mallapi daun) menjadi kebanggaan.

Kepemimpinan Perempuan Dalam Rumah Tangga

Diciptakan laki-laki untuk melindungi dan memimpin perempuan, karena laki-laki yang paling cocok untuk mengemban tugas tersebut dan memiliki bentuk ciptaan yang sempurna dan kuat. Mereka diperintahkan berperang untuk melindungi kampung dan memberikan nafkah istrinya dan diwajibkan membayar mahar. Perempuan melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan fitrahnya diantaranya hamil, melahirkan, memelihara anak, dan mengatur rumah tangga (MUI Sulawesi Selatan, II, 1988: 268). Dalam tradisi Bugis, istri disebut indo’ana’. Kata “indo’ ana’” berarti “ibu”. Kata “ibu” mengandung kata penuh harapan dan kedamaian. Istilah “indo ana’” bukan hanya digunakan untuk istri yang memilik anak, melainkan juga untuk istri yang belum memilik anak. Sementara suami bekerja mencari nafkah dan biaya keluarga dibantu oleh istrinya

dalam batas-batas yang wajar (sitinaja) disebut sibaliperri’ (saling membantu, bermitra).

Penafsiran mereka sekaligus menempatkan suami sebagai penanggung- jawab mencari nafkah (sappa’ laleng atuwong, atau sappa’ dalle’). Perempuan dalam wilayah rumah tangga saja sebagai ibu (indo’ ana’) kewajibannya mengasuh anak, menjadi sumber rasa damai, memasak, mencuci, dan berbelanja keperluan keluarga, bukan berarti ayat ini membatasi gerak langkah perempuan dalam berkiprah di ranah publik. Perbedaan tugas itulah yang mendasari kemitraan suami-istri saling menopang (sibaliperri dan sipurepo’). Apabila suami tidak menjalankan tugasnya dengan baik maka tugas kepemimpinan itu terhenti, bahkan istrinya berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk men-fasakh nikahnya (MUI Sulawesi Selatan, II, 1988: 268).

Penafsiran seperti berbeda dengan pendahulunya dalam beberapa tafsir, karena lebih menekankan terpenuhinya syarat fungsional dan kualitatif.

Pandangan tersebut hanya dalam konteks rumah tangga, bukan dalam konteks wilayah publik (MUI Sulawesi Selatan, II,1988: 869). Berbeda dengan sebagian ulama yang secara tegas masih memasukkan “laki-laki” sebagai syarat seorang pemimpin. Selain karena alasan fisik, Said Ramadhan al-Buthi (2002: 78). mengajukan argumen yang berkaitan dengan kewajiban agama diantaranya mengumpulkan manusia untuk melakukan salat jumat dan menyampaikan khutbah dan berperang melawan musuh. Hal ini tidak mungkin dilakukan perempuan karena mereka bebas dari kedua taklif tersebut. Dengan alasan itu, ia berkesimpulan bahwa kepemimpinan politik direkomendasikan kepada laki-laki.

Sejalan dengan pandangan ulama dalam tafsir berbahasa Bugis, M. Quraish Shihab berpandangan bahwa kepemimpinan masih tetap diberikan kepada laki-laki dengan dua alasan. Pertama, berdasarkan firman-Nya pada Qs. al-Nisa/4: 34 “karena Allah melebihkan mereka sebagian atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan

Page 91: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

75

daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan, sedangkan keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik anak-anaknya (Shihab, II, 2000: 405).

Kedua, berdasarkan firman-Nya: pada Qs. al-Nisa/4: 34 “disebabkan karena merekalah menafkahkan sebagian harta mereka”. Bentuk kata kerja lampau ‘anfaquw yang berarti “telah menafkahkan” menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki dalam masyarakat. Sedemikian lumrahnya hal tersebut sehingga digambarkan dengan bentuk kata kerja lampau yang menunjukkan telah terjadi sejak dahulu. Penyebutan konsideran ayat itu menunjukkan bahwa kebiasaan lama berlaku hingga kini (Shihab, II, 2000: 408). Seandainya suami tidak dapat memenuhi kedua alasan tersebut maka ia tidak dapat disebut sebagai qawwam dan istri dapat melakukan fasakh menurut pendapat Malik dan Syafi‘i (MUI Sulawesi Selatan, 1, 1988: 269). Jika istri yang dapat melakukan dua syarat kepemimpinan itu maka dialah yang menjadi qawwam dalam rumah tangga.

Laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan tidaklah dimaksudkan untuk memberikan superioritas kepada laki-laki secara otomatis, tetapi hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama laki-laki tersebut memenuhi kriteria yang disebutkan Alquran, yakni mampu membuktikan kelebihannya dan memberikan nafkah kepada keluarganya. Ada dua kriteria yang mesti dipenuhi laki-laki, yakni kemampuan manajerial dan kemampuan finansial (Muhsin, 1992: 156-158). Kepemimpinan laki-laki dimaknai sebagai sebuah istilah ekonomi yaitu “pemberi nafkah.” Ayat ini berbicara tentang pembagian fungsi, yaitu ketika perempuan mempunyai tanggung jawab utama sebagai pemelihara anak disamping mereka boleh menanggung kewajiban sebagai pencari nafkah. Hal ini sejalan dengan budaya Bugis dengan istilah sibaliperi – sipurepo’ (mitra sepenanggungan) antara suami dan istri. Ini mendukung konsep zawj dengan makna pasangan atau mitra.

Kata tersebut lebih bernuansa fungsional, bukan struktural. Berangkat dari argumen inilah, Nasaruddin Umar memberikan catatan kecil terhadap terjemahan Alquran versi Departemen Agama yang mengartikan kata qawwam tersebut dengan ‘pemimpin’, dan pada saat yang sama ia membenarkan Abdullah Yusuf Ali yang menerjemahkannya dengan protector ‘pembela’ dan maintainers ‘pemelihara’(Umar, 2002: 70). Meskipun, secara umum dalam kehidupan rumah tangga suami memegang peran sebagai kepala rumah tangga, terutama secara admistratif dalam Kartu Keluarga atau KTP.

Di Ranah Publik

Mengenai kepemimpinan dalam ruang publik, ulama Bugis tidak menguraikan seacara detail pandangannya terhadap hal ini (MUI Sulawesi Selatan, 1, 1988: 269). Bisa jadi pandangannya menyetujui perempuan untuk berkiprah dalam hal kepemimpinan dalam wilayah publik. Indikasinya, mereka tidak mengutip hadis yang sering dijadikan dalil untuk menolak perempuan tampil di arena publik seperti HR. al-Turmuzi, 2000 M/1421 H.: 263, No. 2262. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan pada posisi setara dengan posisi laki-laki.

Artinya: “Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat perempuan dia adalah prempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah laki-laki” (Pelras, 2006: 188).

Jadi, “laki-laki” lebih pada fungsi dan tanggung jawabnya. Meskipun secara umum ulama masa lalu menyatakan bahwa tugas laki-laki adalah pemimpin perempuan, sebagaimana pemimpin yang memimpin rakyatnya dalam bentuk perintah, larangan, dan semacamnya (Syafrudin,1994: 6), sebagai penguasa (musallitun) atas perempuan”, (al-Suyuti,1958: 44), hak menjadi pemimpin direkomendasikan kepada laki-laki karena berdasarkan Qs. al-Nisa/4: 34 ini laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan, oleh karenanya, para nabi dikhususkan untuk laki-

Page 92: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

76

laki, demikian pula para raja semuanya laki-laki (Ibn Kasir, II, 1999: 292). Meskipun tim penafsir dalam tafsir berbahasa Bugis menjadikan rujukan tafsir Ibn Katsir, namun tidak sependapat Qs. al-Nisa/4: 34 dijadikan dasar kepemimpinan publik, sebab konteksnya adalah kepemimpinan di dalam institusi terkecil dalam masyarakat yang disebut dengan rumah tangga.

Menurut Abu Hamid al-Gazali, keunggulan-keunggulan laki-laki antara lain keunggulan di bidang fisik, rasionalitas, dan emosi. Fakhr al-Din al-Razi juga memberikan penafsiran yang tidak jauh berbeda. Kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal, yaitu ilmu pengetahuan (al-‘ilmu) dan kemampuan fisik (al-qudrah). Pekerjaan-pekerjaan berat dan keras lebih tepat diemban oleh laki-laki. Tabatabai, seorang mufasir terkemuka dari kalangan Syi’ah, menyatakan bahwa dalam diri laki-laki dan perempuan terdapat karakteristik yang berbeda. Karakteristik tersebut meniscayakan perbedaan peran. Kemampuan berpikir (quwwat at-ta’aqqul) yang inheren dalam diri laki-laki merefleksikan sifat keberanian, kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan mengatasi kesulitan, sehingga menempatkannya cocok untuk menjadi pemimpin. Sementara secara psikologis, perempuan lebih emosional dan sensitif (Tabatabai, 1991: 351). Kelebihan laki-laki juga meliputi al-‘aql (kecerdasan), al-hazm (ketegasan), tekad kuat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-qudrah), kemampuan menulis (al-kitabah), dan keterampilan, memanah/berperang (ar-ramyu) (al-Zamakhsyari, 1997: 523).

Perlu dimaklumi bahwa mereka menafsirkan Alquran dengan konteks ruang dan waktu tertentu yang melingkupinya sebagai dasar pertimbangan. Berdasarkan itu, penafsiran mereka sementara dianggap benar, tetapi sebagian pakar menganggapnya tidak lagi relevan, karena kini segalanya telah berubah. Kajian terhadap teks literatur klasik tidak bisa dipisahkan dengan rangkaian kesatuan yang koheren, terutama antara penulis dan background sosial budayanya (Umar, 1997: 86). Kini, argumen-argumen tersebut banyak

diantaranya sudah terbantahkan oleh perubahan dan perkembangan yang ada.

Berangkat dari argumen itulah, sulit diterima ayat ini diletakkan sebagai dasar ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, karena ayat di atas berbicara dalam konteks keluarga. Tidaklah tepat ayat ini dijadikan dasar untuk menyatakan keharaman perempuan berkiprah di dunia politik. Ayat ini berbicara mengenai kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap semua keluarganya di dalam lingkup rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri termasuk hak pemilikan harta pribadi dan pengelolaannya, walaupun tanpa persetujuan suami. Karenanya, menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk mencegat kiprah perempuan di dunia politik tidak sejalan dengan makna ayat sebenarnya. Secara historis, banyak kaum perempuan yang terlibat dalam politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Saw. ketika memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik (Shihab, 1992: 274).

Kegagalan menemukan pesan yang tepat dari ayat Qs. al-Nisa/4: 34 ini disebabkan pemisahan teks ayat dengan konteksnya. Sekiranya ayat terse-but diletakkan dalam konteks yang tepat maka ia akan memberikan pemahaman yang berbeda. Menafsirkan penggalan ayat dalam keadaan ter-pisah dari konteksnya -, yang ternyata menyem-angati pencekalan perempuan untuk tampil se-bagai pemimpin - berimplikasi pada terjadinya diskriminasi. Sebaliknya, upaya untuk mengede-pankan semangat Alquran dan sunnah Rasul yang mengedepankan semangat persamaan dan keadilan, pembebasan, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan dengan melakukan kontek-stualisasi sudah saatnya ditonjolkan. Kata “rijal” pada Qs. al-Nisa/4: 34 tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi ditentukan oleh kemampuan ses-eorang untuk mencari nafkah terhadap keluargan-ya (Umar Shihab, t. th.: 124). Bisa jadi, keutamaan yang dimiliki laki-laki sehingga diangkat sebagai pemimpin rumah tangga, karena pada umumnya laki-laki tersebut bertugas mencari nafkah.

Page 93: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

77

Argumen yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki keistimewaan dalam hal kepemimpinan, dengan alasan stamina dan fisik yang kuat bisa terbantahkan karena sarana pendukung telah maju. Seorang pemimpin tidak membutuhkan banyak tenaga untuk mengadakan pemantauan di seluruh wilayah yang dipimpinnya. Di dalam dunia pemerintahan, hal itu tidak lagi menjadi tanggung jawab individual, melainkan tanggung jawab kolektif pemerintahan. Tugas-tugas yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan karena alasan tertentu – alasan syariat misalnya – bisa diwakili oleh para pembantunya (Mursalim, 2008). Sistem pemerintahan yang kolektif tidak meniscayakan segala urusan bersentuhan langsung secara fisik top leadernya.

Fokus ulama klasik yang tertuju pada realitas gender (fisik), cocok untuk diterapkan berdasarkan konteksnya, tetapi tidak semestinya dipertahankan. Ijtihad yang lahir sebagai produk sejarah tertentu tidak dapat ditarik ke ruang dan waktu lain yang telah berbeda (Muhammad, 2001: 10). Hukum Islam harus dirumuskan dengan mempertimbangkan perkembangan sosio-kultural masyarakat.

Pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut (Abu Zayd, 2003: 96). Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk ditafsirkan secara terus-menerus. Beberapa teori kontemporer

memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terikat (Abu Zayd, 1992: 113). Hubungan antara teks dengan pengarang, masa, dan realitas yang memproduksi teks itu sendiri harus dipisahkan. Hal ini mengakibatkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal. Hal ini banyak ditemukan pada penafsiran ayat-ayat yang terkait langsung dengan wacana gender (Umar, 2003 : 15).

Integrasi Nilai-nilai Kearifan Lokal

Pertama, getteng, lempu’, amaccang yaitu kejujuran dan keteguhan dan prinsip, serta profesionalisme. Sikap mengedepankan syarat kualitatif untuk jabatan pemimpin akan lebih menjamin keberhasilan sebuah pemerintahan. Keberhasilan nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin bukan karena status gendernya sebagai seorang laki-laki, tetapi karena kualitas yang dimilikinya. Ia mengintegrasikan sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah dalam dirinya. Pengamatan terhadap sejarah akan memperlihatkan banyak bukti betapa erat kaitan antara kesuksesan dalam memimpin dengan kualitas personal. Dalam kultur masyarakat Bugis dikenal dengan alempureng (kejujuran), agettengeng (keteguhan), amaccang (kecendikiaan). Agama dan kultur tidak dipisahkan, sebab agama senantiasa merespon perkembangan budaya masyarakat (Yaqin, 2005: 46).

Kedua, asitinajang, yaitu asas kepatutan. Nilai-nilai utama yang perlu dipertimbangkan seperti asitinajang (asas kepatutan). Meskipun peluang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan posisi sebagaimana laki-laki, pihak perempuan tetap memperhatikan posisinya di dalam rumah tangganya tidak dilalaikan dan tidak sepatutnya berebutan kekuasaan, sebagaimana Qs. al-Nisa/4: 32 agar suami-istri tidak saling iri dan tidak ada yang merasa paling unggul antara satu dengan yang lainnya, mereka bekerja sesuai dengan karakteristiknya (MUI Sulawesi Selatan, II, 1988: 262). Laki-laki dan perempuan adalah mitra dalam pemberdayaan masing-masing sesuai potensi dan sumber dayanya sebagai khalifah.

Ketiga, sibaliperri-sipurepo’ yaitu senasib dan sepenanggungan. Budaya sibaliperri’ yakni ‘ringan sama dijinjing, berat sama dipikul’. Laki-laki dan perempuan bukanlah saingan, melainkan partner (azwajan), dengan prinsip ‘sibaliperri-sipurepo’, yaitu saling melengkapi. Mereka mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, dan akan menjadi ‘sempurna’ jika keunggulan masing-masing menyatu padu untuk saling melengkapi dan menutupi kelemahan. Budaya sibaliperri’

Page 94: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

78

dalam masyarakat Bugis menunjukkan sebuah keserasian untuk saling membahu dalam membangun kelangsungan hidup berumah tangga maupun dalam menata kehidupan sosial. Mereka laksana sebatang bambu (mabbulo sipeppa’) dalam menjalankan fungsinya masing-masing.

Keempat, siri’ yaitu harga diri, kehormatan, rasa malu. Kemitraan suami-istri masyarakat Bugis diikat oleh sebuah nilai filosofis yang disebut siri’.

Artinya: “Barulah sempurna kehidupan suami-istri apabila kedua belah pihak saling memberi pertimbangan, lalu seiring kehendak, dan saling menjaga malu dari semua perbuatan yang dapat merusak malu”.

Jadi siri’ suami harus dijaga oleh si istri dan sebaliknya siri’ istri harus dijaga oleh suami. Satu sama lainnya harus saling menghormati (sipakalebbi’) untuk mencegah timbulnya tindakan yang memalukan (mappakasiri’) perasaan malu (masiri’), atau dipermalukan (ripaksiri’) (Rahim, 2011: 173). Hal itu dijumpai penjelasannya terhadap Q.S. al-Baqarah/2: 187.

Kelima, mabbulo sipeppa yaitu utuh dan menyatu. Hal ini dinarasikan sejak menjelang hari pernikahan mereka pada malam mappacci atau tudang penni (malam persiapan pernikahan). Kedua mempelai memiliki komitmen untuk bersama-sama membangun ekonomi dan urusan lainnya dengan penuh ketekunan bersama. Pada malam itu berbagai tradisi dan budaya yang diperagakan. Mereka benar-benar berkomitmen untuk melebur menjadi satu “mabbulo sipeppa”. Maknanya adalah selama pohon bambu tersebut utuh satu batang ia akan berdiri tidak kaku menghadapi irama dan terpaan angin, ia tidak bergerak dari pangkal pohonnya, tetapi apabila sudah pecah atau terbelah maka ia tidak mampu berdiri lagi. Itulah perumpamaan sepasang suami-istri yang tetap rukun dan saling menopang dalam keadaan suka dan duka. Mereka

akan bekerja dengan tekun tanpa putus asa (atemmangingireng) dan terampil (apanreng jari) yang disimbolkan dengan sarung sutra (lipa sabbe) yang disusun tujuh susun di atas bantal. Sarung merupakan hasil dari sebuah ketekunan, benang dirajut helai demi helai hingga menjadi sarung. Sarung juga merupakan simbol harga diri (siri’), sebab sarung merupakan alat atau pakaian untuk menutupi bagian tubuh yang tidak pantas dilihat oleh lain. Ini sejalan Q.S. al-Baqarah/2: 187 “… mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka..”. Pada malam mappacci itu dinarasikan dengan sejumlah piring yang berisi beras “benno” yang sudah digoreng hingga mekar tanpa menggunakan minyak yang disebut “mpenno rialei”. (Hamrah, 2014). Ini mengandung harapan agar kelak mereka berkembang hidup mandiri menjalani rumah tangga. Perempuan posisi setara dengan posisi laki-laki, sebagaimana tergambar dalam ungkapan Bugis:

Artinya: Meskipun laki-laki, jika memiliki sifat perempuan dia adalah prempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian adalah laki-laki.

Jadi, maksud kalimat tersebut “laki-laki” dan perempuan bukan hanya pada jenis kelamin, tetapi lebih pada fungsi dan tanggung jawabnya. Apabila suami menjadi pemimpin publik maka istrinya mendampinginya.

siMPulan

Berdasarkan analisis sebelumnya, tafsir berbahasa Bugis memberikan pemahaman bahwa hak kepemimpinan itu bukan sebagai pernyataan normatif melainkan kontekstual, karena konteks turunnya ayat itu adalah pada masyarakat yang didominasi oleh laki-laki termasuk otoritas menafsirkan teks Alquran. Akar masalahnya antara lain: asal-usul kejadian perempuan yang seringkali dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk menolak perempuan menjadi pemimpin

Page 95: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

79

publik sama sekali tidak ditemukan dalam Alquran. Pengutamaan syarat kualitatif pemimpin tanpa melihat status gender tidak disangsikan sebagai ajaran qurani. Dalam konteks negeri Arab yang patriarkhal, Alquran bahkan memberikan contoh pemimpin perempuan, Ratu Balqis, satu-satunya pemimpin selain para Nabi yang diberi pujian di dalam Alquran.

Pandangan ulama Bugis dalam hal ini hanya menjelaskan kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga sebagai mereka jelaskan ketika menafsirkan Qs. al-Nisa/4: 34. Sedangkan di ranah publik terdapat ruang dan peluang bagai perempuan menjadi pemimpin publik selama dapat diterima dan memiliki persyaratan yang dibutuhkan. Sikap menolak perempuan menjadi pemimpin publik atas dasar jenis kelamin saja merupakan bentuk penolakan terhadap jutaan potensi. Sebaliknya, memberi kuota kursi jabatan kepada perempuan dalam porsi tertentu atas nama demokrasi dan persamaan hak tidaklah otomatis, mesti dipertimbangkan kesiapannya baik secara kualitatif maupun secara sosio kultural.

Saran

Kajian ini cakupannya masih sangat terbatas, oleh karena itu kepada peneliti berikutnya disarankan beberapa hal.

1. Melakukan penelitian pada lokasi yang berbeda untuk melihat integrasi pemikiran ulama tentang gender dan kearifan lokal lainnya.

2. Melihat isu-isu gender yang lainnya dan hubungannya dengan nilai-nilai sosial budaya, sebab gender merupakan konstruksi sosial budaya suatu masyarakat.

3. Nilai-nilai kearifan lokal sejatinya dipandang tidak hanya dari budaya masyarakat, melainkan juga pemikiran tokoh, ulama, dan pemerintah setempat.

daftar Pustaka

Abu Zaid, Nasr Hamid. 1992. Naqd al-Khitab al-Dini. Kairo: Sina li al-Nasyr.

Abu Zaid, Nasr Hamid. 2003. Al-Qur’an,

Hermeneutik, dan Kekuasaan. Terj. Dede Iswadi dkk. Bandung: Korpus.

Andersen, L Margaret. 1988. Thinking Abaout Women Sosiological Perspective on Sex and Gender. NY: Macmillan Publishing Company.

Aqqad, Abbas Mahmud al-. 1962. al-Mar’ah fi al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hilal.

Arikunto, Suharsimi. 1994. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Renika Cipta.

Buthi, Said Ramadhan al-. 2002. Perempuan antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam. Terj. Darsim Ermaya Imam Fajruddin, Solo: Era Intermedia.

Dirjo, Sartono Karto. 1994. “Metode Penggunaan Dokumen” dalam Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dot, Crippan. 1991. “Content Analysis: Introduction to Its Theory and Methodology”. Terj. Farid Wajdi. Analisis Isi: Pengantar dan Metodologi. Jakarta: CV Rajawali.

Engineer, Asghar Ali.1994 . Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa.

Hj. Hamrah (Asal Bone). Wawancara. Makassar, tanggal 5 Juli 2014.

Ibn Kasir. 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Juz II, Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Kasir. 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Juz II, Beirut: Dar al-Fikr.

Ismail, Nurjannah. 2003. Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS.

Maragi, Ahmad Musthafa al-. 1974 M/1394 H. Tafsir al-Maragi. Jilid II, t.tp., Dar al-Fikr.

Matthes, Benjamin Frederik. 1874. Boegineesche Chrestomathie. dalam “Bicaranna Latoa” Amesterdam: Het Nederlan Bijbelgnootschap.

Page 96: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

80

Mernissi, Fatima. 1991. Women and Islam. Oxford: Basil Blackwell, Ltd.

Mernissi, Fatima.1995. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca-Patriarki. Terj. Team LSPPA, Yogyakarta: Media Gama Offset, 1995.

Moleong, Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Renika Cipta.

Muhammad, Husain. 2001. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Jender.Yogyakarta: LkiS.

Muhsin, Amina Wadud. 1992. Quran and Women. Kuala Lumpur: Fajar Bakti.

Muhsin, Amina Wadud. 1994. Wanita dalam Alquran. Terj. Yazir Radiant, Bandung; Pustaka.

MUI Sulawesi Selatan. 1988. Tafesere Akorang Mabbasa Ogi. Jilid I-XI, Ujung Pandang: MUI Sulawesi Selatan.

Munawwar, Said Agil Husin al-. 2003. “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, Membongkar Penafsiran Surah al-Nisa ayat 1 dan 34”, dalam Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Jakarta: JPPR.

Mursalim. 2008. “Tafsir Bahasa Bugis/Tafsir al-Qur’an al-Karim Karya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan; Kajian Terhadap Pemikiran-Pemikirannya”. Disertasi. PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Muthahhari, Murtadha. 1981. The Right Women in Islam. Teheran: World Organization for Islamic Services (WOFIS).

Noor, Nur Huda. 2012. “Analisis Kritis terhadap Pemahaman Bias Gender dalam Ayat-Ayat Alquran”. Disertasi. Makassar, PPs UIN Alauddin.

Octavia, Lanny. 2012. Islamism and Democracy: A Gender Analysis on PKS’s Application of Democratic Principles and Values. Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga

Jogyakarta, Vol. 50, No. 1. tahun 2012.

Pelras, Christian. 2006. “The Bugis”. Terj. Abdul Raman Abu, dkk, Manusia Bugis. Jakarta: EFEO.

Puyu, Darsul S. 2012. “Kritik dan Analisis Hadis-Hadis yang Diklaim Misogini: Upaya Meluruskan Pemahaman Hadis yang Bias Gender”, Disertasi. PPs UIN Alauddin Makassar.

Qurthubi, Abu Adullah Ahmad al-Ansari al-. 1967. al-Jami’ li Ahkam al-Qur;an. Jilid I, Kairo: Dar al-Kitab.

Rahim, A. Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis.Yogyakarta: Ombak.

Ridha, M. Rasyid. 1991. Nida’ al-Jins al-Lathif. Cairo: Mathba’ah al-Manar.

Shaleh, Ilham. “Konsep Nafs dalam Alquran: Suatu Pendekatan Tasawuf”, Disertasi Dokter, PPs UIN Alauddin Makassar, 2015.

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. I; Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah. Jilid II, Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, Umar. t.th. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina Utama.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suyuti, Jalal al-Din al-. 1958. Tafsir al-Jalalain. Surabaya: Salim Nabhan.

Syadzali, Munawir. 1995. Dari Lembah Kemiskinan; Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: IPHI dan Paramadina.

Syafrudin, Didin. 1994. Argumen Supremasi atas Perempuan Penafsiran Klasik QS . An-Nisa’ : 34, ‘Ulum Alquran. Vol. 4, No. 5 dan 6.

Tabatabai, Muhammad Husain. 1991. Tafsir al-Mizan. Jilid IV, Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbû’ah.

Page 97: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kearifan Lokal: Pemikiran Ulama Bugis dan Budaya BugisMuhammad Yusuf

81

Turmuzi, Abu‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah al-. 2000 M/1421 H. Sunan al-Turmuzi. Jilid III, Beirūt: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Alquran. Jakarta: Paramadina.

Umar, Nasaruddin. 2002. “Agama dan Kekerasan terhadap Perempuan” dalam Jurnal Demokrasi & HAM. Vol 2 No. 1 Februari-Mei 2002.

Umar, Nasaruddin. 1997. Metodologi Penelitian Berprespektif Jender tentang Literatur Islam. dalam Budi Munawar Rachman (ed). Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Jender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wood T, Julia. 1997. Gendered Lives, Communication, Gender and Culture. Belmont CA.,Wordworth Publishing Company, 1997.

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nuansa Aksara.

Yusuf, Muhammad. 2010. “Perkembangan Tafsir Al-Quran di Sulawesi Selatan; Studi Kritis Terhadap Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya MUI Sulawesi Selatan. Disertasi”. PPs UIN Alauddin Makassar. Wawancara dengan Andi Syamsul Bahri Andi Galigo, Malaysia 28 Agustus 2008.

Yusuf, Muhammad. Penciptaan dan Hak Kepemimpinan Perempuan dalam Alquran. Jurnal al-Fikr, Jurnal Pemikiran Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Makassar, Vol. 17, Nomor 1, 2013.

Zamakhsyari, al-Khawarizimi, Abu al-Qasim Muhammad ibn ‘Umar, al-. 1997. Tafsr al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Ta’wil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuhi al-Ta’wil. Juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyyah.

Page 98: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 69-81

82

Page 99: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

83

AGAMA DALAM KONSTRUKSI MEDIA MASSA; STUDI TERHADAP FRAMING KOMPAS DAN

REPUBLIKA PADA BERITA TERORISME

Religion In The Construction Of Mass Media; A Study On The Kompas And Republika Framing Of The Terrorism News

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang

Jl. Untung Suropati Kav 69-70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telepon 024-7601327 Faks 024-7611386

Email: [email protected]

Naskah diterima : 31 Januari 2015 Naskah direvisi : 23 Maret – 4 April

2015Naskah disetujui : 22 Juni 2015

AbstrAk Artikel ini membahas tentang bagaimana framing Kompas dan Republika terhadap berita terorisme dan bagaimana agama (Islam) dikonstruksi dalam pemberitaan tentang terorisme tersebut. Cara kedua media menampilkan, memilih dan memilah fakta yang ditonjolkan dalam pemberitaan terorime penting untuk diteliti karena setiap media massa mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Data dikumpulkan melalui study pustaka dan data yang terkumpul dianalis dengan metode analisis framing dan perspektif konstruksionisme. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kompas dan Republika secara jelas mengatakan Islam tidak terkait dengan terorime. Kedua media tersebut juga mengatakan ada keterkaitan teroris atau terduga teroris di Indonesia dengan jaringan teroris internasional seperti Jamaah Islamiyah dan al-Qaida. Sedangkan keduanya berbeda ketika menampilkan berita tentang keterkaitan antara terduga teroris dengan pesantren. Republika mengatakan secara tegas bahwa pesantren tidak terlibat dalam aksi aksi kekerasan. Sedangkan Kompas menampilkan pro dan kontra mengenai masalah ini. Perbedaan juga terlihat dalam pemberitaan mengenai larangan berdakwah oleh kedua media tersebut.

Kata kunci: Media Massa, Terorisme, Islam, Framing, konstruktivisme

AbstrActThis article concerns on how Kompas and Republika framed terrorism news and how they construct a religion (Islam) in those terrorism news. The way of the media exposing and selecting the facts to be published in their newspaper is an important aspect to be studied. This is because each media has its own inclination. Data was gathered using library research. Then, those collected data were analyzed using framing analysis and constructivism perspective. The results show that Kompas and Republika clearly said that Islam has nothing to do with terrorism and the terrorists have relationship with the International radical group like Jamaah Islamiyah and Al-Qaeda. On the other hand, both newspapers have a slight difference in exposing the relationship between terrorists and pesantren. Republika said that those terrorists were not connected with pesantren. Meanwhile Kompas exposed the pro and contra about this matter. In addition, both media have trivial differences in reporting about dakwah prohibition.

Keywords: Mass media, Terrorism, Islam, Framing, constructivism

ZAKIYAH

Page 100: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

84

Pendahuluan Beberapa tahun terakhir media massa di

Indonesia banyak memuat berita mengenai ‘terorisme’ seiring terjadinya rangkaian peledakan bom baik dalam skala besar, sedang maupun kecil yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Berbagai aksi kekerasan tersebut telah berlangsung dari tahun ke tahun; misalnya tahun 2000 bom meledak di Kedutaan besar Malaysia, tahun 2001 bom di Plaza Atrium. Setahun kemudian, bom dengan kekuatan dahsyat diledakkan di Bali dan telah menewaskan ratusan nyawa. Setahun berikutnya pada 2003 bom meledak di hotel JW. Marriot di Jakarta. Tahun 2004 kedutaan besar Australia menjadi sasaran peledakan bom, tahun 2005 bom Bali II, dan di pertengahan tahun 2009 bom kembali meledak di Mega Kuningan Jakarta yakni di hotel JW.Marriot dan hotel Ritz Carlton (Kompas, 2010a: 1).

Media massa terus memberitakan peristiwa pengeboman tersebut termasuk upaya-upaya penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para pelaku peledakan (Kompas, 2010b: 1). Selain itu, diberitakan juga tentang bagaimana agama dikaitkan dalam masalah ini, dikatakan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut merupakan aksi “jihad”. Selain itu, disebutkan dalam salah satu berita bahwa agama dijadikan alasan pembenar bagi aksi kekerasan mereka. Para pelaku ini juga dikabarkan mempunyai kaitan dengan organisasi-organisasi berlabelkan Islam yakni Al-Qaeda dan Jamaah Islamiah (JI), sebagai contoh; para terduga teroris meliputi Zarkasih, Abu Dujana, Hambali serta Imam Samudra adalah tokoh-tokoh penting JI. Zarkasih disebut sebagai amir (pemimpin) darurat JI, dan Abu Dujana adalah pemimpin militer JI di Jawa yang membawahi beberapa ishobah yang tersebar di Surabaya, Semarang dan Jakarta (Gatra, 2007a: Gatra, 2007b: Gatra, 2007c). Dikatakan bahwa JI bertanggung jawab atas berbagai peledakan bom seperti bom tahun 2004 di rumah duta besar Filipina, bom Bali 1 dan II, bom di kedutaan Australia tahun 2004, dan juga rangkaian bom

natal tahun 2000 (Crouch, 2005: 44; Singh, 2003: 37; Kingsbury dan Fernandes, 2005: 18).

Dikaitkannya agama (khususnya agama Islam) dalam masalah terorisme juga terlihat pada penyebutan latar belakang pendidikan pelaku pengeboman yang dikatakan pernah menjadi santri di suatu pondok pesantren, jaringan teroris yang bertujuan menegakkan syari’at Islam dan lain lainnya. Misalnya, berita pada tanggal 11 Maret 2010 yang ada di harian Kompas berupa hasil wawancara terhadap sejumlah ahli disebutkan bahwa terorisme muncul karena frustasi terhadap kondisi negara sehingga mereka melakukan perlawanan, dan solusi atas masalah tersebut adalah penegakan syari’at Islam (Kompas, 2010c: 3). Pada berita yang lain disebutkan bahwa kelompok Aceh-Pamulang yang diduga terkait terorisme mempunyai kaitan dengan Al-Jama’ah Islamiyah (Kompas, 2010d: 1). Bahkan, pada salah satu berita di Kompas menggunakan judul “Menyiapkan ‘Jihad’ di Aceh”, (Kompas, 2010e: 4). Di berita lainnya disebutkan bahwa terorisme adalah kejahatan agama karena tindakan teror itu telah mencemarkan agama (Kompas, 2010f: 2).

Beberapa contoh di atas merupakan gambaran bagaimana media massa mengkonstruksi agama, yakni Islam dikait-kaitkan dengan berbagai berita tentang serangan teror dan peledakkan bom. Liputan media massa terhadap masalah agama dan terorisme ini penting untuk dilihat karena satu peristiwa dapat diberitakan berbeda oleh media. Misalnya, peristiwa mengenai tewasnya Dul Matin, yang diduga sebagai dalang serangan bom Bali I, yang ditembak mati pihak kepolisian di Pamulang diberitakan secara berbeda oleh harian Kompas dan Republika. Pada tanggal 11 Maret 2010 Kompas memberitakan peristiwa tersebut dalam dua judul, yang pertama ada di halaman pertama dengan judul besar “Aliansi Susun Taktik Baru” dan sub judul “Dulmatin Persiapkan Semua Proyek Pelatihan” (Kompas, 2010g: 1). Berita yang kedua ada di halaman dua puluh lima dengan judul besar Dulmatin Terlacak Sejak Lama (Kompas, 2010h: 25). Sementara itu, pada tanggal yang sama

Page 101: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

85

Republika menurunkan satu berita di halaman pertama dengan judul besar “DNA Dulmatin Cocok” dan sub judul “the 10 Million Dollar Man” (Republika, 2010: 1). Masing-masing berita pada kedua surat kabar tersebut mempunyai titik tekan yang berbeda, hal ini terlihat pada pemilihan judul dan sub judul. Perbedaan ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika membaca lead dan seluruh isi beritanya.

Setiap media mempunyai cara dan kecenderungan dalam menampilkan sebuah berita. Hal ini dikarenakan kebijakan media dan latar belakang wartawan yang dapat mempengaruhi dalam menentukan berita apa yang akan dimuat dan bagian mana yang menjadi fokus pemberitaan serta bagian lain yang tidak diberitakan (Nugroho dan Eriyanto dan Surdialis, 1999: 20; Nelson dan Clawson dan Oxley, 1997: 567-568). Dengan demikian, berita yang disampaikan kepada pembaca adalah hasil bentukan dari media yang bersangkutan. Merujuk pada pendekatan konstruksionis, dikatakan bahwa berita adalah hasil konstruksi dan realitas yang bersifat subjektif. Oleh karenanya, berita yang ditampilkan tidak terlepas dari bias serta pemihakannya (Eriyanto, 2007: 19-23).

Berdasarkan pemikiran di atas maka penting dilakukan penelitian mengenai bagaimana media massa khususnya Kompas dan Republika mengemas berita terorisme dan bagaimana media tersebut mengkonstruksi agama (Islam) dalam pemberitaan. Penggambaran agama oleh media ini penting dilihat karena media massa dengan daya jangkauannya yang luas memiliki peran penting dalam masyarakat. Media massa mempunyai beberapa fungsi meliputi sebagai penyalur informasi, pendidikan, hiburan, dan sarana mempengaruhi masyarakat, serta sebagai sarana menyebarkan ideologi dan atau mengontrol wacana publik (Sheaver dan Gvirsman, 2010: 206-207; Sobur, 2004: 30).

KerangKa Teori

Penelitian ini merupakan studi tentang framing Kompas dan Republika terhadap berita-berita

terorisme yang dimuat oleh kedua harian tersebut, juga bagaimana kedua media ini mengkonstruksi agama (Islam) dalam pemberitaan tersebut. Sebelum membahas teori yang digunakan dalam studi ini akan dipaparkan penjelasan terhadap beberapa istilah kunci dalam penelitian ini. Pertama, istilah agama didefinisikan beragam oleh beberapa ahli di antaranya adalah, Issacs (1993) menyebutkan agama merupakan sistem kepercayaan terhadap kekuatan supra-natural seperti dewa-dewa dan benda-benda berkekuatan gaib (Issacs, 1993). Agama juga dikatakan terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan, dewa dan lainnya yang disertai dengan ajaran, ritual dan kewajiban kewajiban tertentu (Kahmad, 2000; Issacs, 2003). Lebih lanjut, terdapat pembedaan antara agama wahyu dan non wahyu. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan kategori kedua merujuk pada agama yang berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, diantaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran Taoisme, agama Hindu dan Budha (Arifin, 1987; Kahmad, 2000).

Pembahasan agama dalam artikel ini lebih difokuskan pada agama Islam, yaitu bagaimana Islam digambarkan dalam pemberitaan tentang terorisme. Terdapat beberapa istilah “Islam” dalam pemberitaan mengenai terorisme tersebut antara lain kata “jihad”, “syari’at Islam”, “pesantren”, “Jamaah Islamiah” dan “al-Qaidah”. Kata jihad sering digunakan sebagai pembenar dalam aksi-aksi terorisme. Makna dasar dari kata jihad adalah berikhtiar keras untuk mencapai tujuan yang terpuji. Dalam konteks Islam kata jihad ini mempunyai banyak arti, misalnya perjuangan melawan perbuatan jahat dan atau pengerahan daya upaya untuk Islam dan ummah. Konsep jihad juga pada tataran tertentu dikaitkan dengan konsep qital (perang) melawan orang kafir. Perang yang dimaksud adalah perang yang diperbolehkan dalam agama Islam (Esposito, 2001a: 63).

Kata yang kedua adalah Syari’at Islam, maknanya adalah hukum atau ketentuan Islam. Berikutnya, “pesantren” adalah institusi

Page 102: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

86

pendidikan Islam dengan komponen utamanya terdiri dari kyai atau pengasuh pesantren, santri, masjid, kitab kuning dan komplek pondok pesantren (Dhofier, 1995). Kata yang keempat Jama’ah Islamiyah, kata ini terkadang merujuk kepada sebuah organisasi. Terdapat banyak organisasi dengan nama ini diantaranya adalah organisasi Islam di Mesir yang dibentuk pada awal 1970-an dan berhasil menjadi penggerak kekuatan politik Islam pada masa Anwar Sadat (Turmudi dan Sihbudi, 2005: 69). Namun, Jama’ah Islamiah yang dimaksud di sini adalah organisasi yang dibentuk sekitar Januari 1993, merupakan kelanjutan dari Darul Islam yakni satu kelompok yang memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia (Abas, 2005: 92-94).

Kata berikutnya adalah Al-Qaidah, ini adalah nama organisasi yang didirikan pada tahun 1998 oleh Osama bin Laden. Pada awalnya organisasi ini merupakan pusat pelayanan sukarelawan Arab yang datang dan pergi ke Afghanistan. Kemudian, organisasi ini membangun jaringan dengan organisasi lain yang tersebar di hampir 50 negara. Tujuan dari Tanzim ini adalah menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyah (Turmudi dan Sihbudi, 2005: 98-103).

Selanjutnya, framing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bingkai atau frame. Framing ini merupakan pendekatan untuk mengetahui cara pandang yang digunakan oleh media massa ketika memilih isu dan menulis berita. Dari fakta apa yang dipilih dan ditonjolkan dalam sebuah berita akan diketahui perspektif dari media (Eriyanto, 2007: 68). Penjelasan lebih lanjut mengenai masalah ini ada di bagian selanjutnya. Semetara, Media Massa merupakan istilah untuk merujuk kepada media yang dibuat untuk menjangkau publik secara luas. Istilah media massa juga kadang disebut dengan kata pers atau media. McQuail (1987) mengatakan proses di media massa meliputi produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam ruang lingkup yang luas. Selain itu, media massa pada umumnya dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat (McQuail, 1987: 51-52).

Adapun definisi Berita dalam studi ini merujuk pada pengertian teknis jurnalistik, yakni berita adalah fakta terkini yang dipilih oleh redaksi media untuk dipublikasikan dan sekiranya dapat menarik perhatian pembaca. Berita biasanya memuat lima unsur 5W+ 1H yaitu what (apa), who (siapa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana) (Assegaf, 1985: 24, 51). Kelima, “terorisme”; terdapat beragam definisi atas istilah ini, namun demikian “terorisme” diartikan sebagai teror, intimidasi, penyerangan, aksi kekerasan terhadap orang orang yang dilakukan oleh pelaku bukan negara (Aly, 2011: 4-5).

Tindakan terorisme sebenarnya tidak dapat dikatakan memiliki kaitan dengan Islam atau agama agama lainnya. Hal ini karena ajaran Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan penyerangan terhadap orang lain. Namun demikian, seringkali para pelaku teror melegitimasi tindakan mereka sebagai bagian dari berjihad. Dalam Islam ada konsep jihad yakni perang yang disetujui oleh agama. Akan tetapi jihad ini memiliki pra-syarat tertentu, dan melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak bersalah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam (John l.Posito, 2007b: 33-37). Adapun tindakan yang dapat dikategorikan sebagai terorisme adalah; (a) tindakan menyerang masyarakat sipil atau warga negara, menyebabkan kematian dan atau luka serius, (b) menyandera masyarakat sipil, (c) merusak properti. Ketiga tindakan tersebut bertujuan memprovokasi, menteror negara secara umum, sekelompok orang, individu, juga mengintimidasi pemerintah atau organisasi internasional untuk mengambil tindakan tertentu (Schrijver dan Herik, 2007: 574-576).

Selanjutnya, berita berita terorisme dianalisis dengan paradigma konstruksionis dan analisis framing. Paradigma konstruksionis memandang bahwa tidak ada realitas yang ajeg (tetap). Realitas sosial tergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia dan bagaimana seseorang menafsirkannya. Pemaknaan tersebut yang akhirnya dinamakan realitas. Paradigma

Page 103: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

87

konstruksionis ini apabila diterapkan dalam penelitian isi media maka realitas dianggap tidak ada, namun yang ada adalah konstruksi media atas realitas. Paradigma konstruksionis mempunyai pandangan yang berbeda dengan positivis terhadap media dan berita yang disajikan oleh media tersebut (Eriyanto, 2002). Dalam hal ini dilihat bagaimana Kompas dan Republika mengkonstruksi Agama (Islam) dalam pemberitaan tentang terorisme.

Data-data yang terkumpul dalam penelitian di analisis dengan menggunakan metode analisis framing. Analisis ini merupakan salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori perspektif konstruksionis. Analisis ini merupakan salah satu jenis dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Awalnya frame diartikan sebagai struktur konseptual atau seperangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasikan realitas. Kemudian pada perkembangannya analisis ini digunakan secara luas untuk literatur komunikasi. Di sini analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media ketika mengkonstruksi fakta (Sobur, 2004: 161-162).

Menurut Eriyanto (2002) terdapat dua dimensi besar dalam melihat berita dengan analisis framing yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Penonjolan sebuah fakta tertentu dimaksudkan untuk membuat informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan (Eriyanto, 2002). Cara-cara penekanan isu tertentu ini dengan menggunakan strategi wacana seperti, penempatan yang mencolok (menempatkannya di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung, pemakaian label tertentu saat menggambarkan orang atau peristiwa tertentu (Sobur, 2004: 164).

MeTode PeneliTian

Penelitian ini merupakan library research (studi pustaka). Dalam penelitian ini ditelusuri tentang bagaimana Kompas dan Republika

membingkai berita terorisme, juga bagaimana kedua surat kabar ini mengkonstruksi Agama dalam pemberitaan mengenai terorisme. Fokus penelitian ini adalah berita tentang terorisme yang terjadi di Indoneisa yang dimuat oleh Kompas dan Republika pada bulan Juli 2009 - Maret 2010. Periode ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pada bulan juli 2009 telah terjadi pengeboman di Mega Kuningan Jakarta yakni di hotel JW.Marriot dan hotel Ritz Carlton. Pada Maret 2010 terdapat pemberitaan terkait penangkapan pelaku terorisme di Pamulang dan pengungkapan pelatihan militer di Aceh yang diduga sebagai persiapan untuk melakukan aksi teror. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian dokumen (library research) baik berupa (a) data primer yaitu berita-berita terorisme yang dimuat oleh Kompas dan Republika pada periode Juli 2009-Maret 2010, dan (b) data sekunder, yakni data pendukung terkait agama dan terorime dari buku, jurnal dan dokumen lainnya. Adapun data dianalisis dengan analis framing dan paradigma konstruktivisme sebagaimana dipaparkan dalam kerangka teori.

hasil dan PeMbahasan

Berita terorisme di Kompas dan RepublikaHampir semua aksi terorisme selalu

mendapatkan perhatian luas dari media massa baik media cetak maupun elektronik. Berita terorisme yang disajikan memiliki sisi sensasi, bahkan tidak sedikit dari berita tersebut menjadi berita spektakuler. Hal ini akan memberikan effek positif bagi media, seperti menaikkan tiras media cetak atau menaikkan rating bagi media elektronik. Dengan demikian, pemilik media akan mendapatkan keuntungan ekonomi. Pada saat yang sama teroris juga berkepentingan akan publikasi. Turk (2004) menyebutkan terorisme merupakan sebuah komunikasi.

Publisitas media massa menjadi sarana penting dalam menyampaikan pesan atau ideologi dari teroris kepada penguasa dan masyarakat luas. Biasanya pesan yang terkandung adalah ungkapan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Selain itu, media massa juga digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dukungan dari

Page 104: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

88

masyarakat. Teroris juga dapat menggunakan media massa untuk merekrut anggota baru yang umumnya berasal dari kalangan anak-anak muda (Djelantik, 2010). Pemberitaan media massa juga dapat mempengaruhi opini publik, baik berupa opini yang pro maupun kontra terhadap terorisme. Peran media massa di sini berada pada dua posisi, yaitu positif dan negatif. Media massa juga dapat menjadi kekuatan besar yang sangat diperhitungkan. Ia sering dianggap sebagai salah satu aspek penting dalam perubahan sosial, ekonomi dan politik suatu masyarakat. Sebagai penyampai berita, media mampu membentuk opini publik, dapat pula menjadi kekuatan penekan atas suatu ide atau gagasan (Sobur, 2009).

Kedua harian Kompas dan Republika memberitakan peristiwa demi peristiwa terkait insiden peledakan bom, penangkapan pelaku terorisme serta berita terkait lainnya. Intensitas pemberitan aksi-aksi terorisme semakin meningkat ketika peristiwa baru saja terjadi, misalnya pada bulan Juli tahun 2009 saat terjadi peledakan Bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, sepanjang bulan tersebut berita terorisme menghiasi halaman kedua surat kabar tersebut. Bahkan, selama beberapa hari menjadi berita utama dan diletakkan dalam halaman muka pada masing-masing koran.

Cara penyajian berita terorisme pada Kompas dan Republika umumnya mengambil bentuk “penulisan piramida terbalik”, yaitu pesan-pesan penting dari berita disajikan di bagaian awal dari berita, tujuan dari gaya penulisan ini adalah untuk memudahkan pembaca mengetahui isi yang terpenting dari yang diberitakan secara cepat. Assegaf (1985) menjelaskan anatomi model penulisan ini adalah; pada bagian pertama terdapat judul berita (headline), kemudian baris tanggal (dateline), kemudian teras berita (lead atau intro), dan kemudian barulah tubuh berita (Assegaf, 1985: 50).

Selama periode Juli tahun 2009 sampai Maret 2010 terdapat tiga issu utama mengenai terorisme yang terjadi di Indonesia dan menjadi perhatian Republika dan Kompas yaitu: pertama, Juli tahun

2009; Pada bulan ini, tepatnya tanggal 17 Juli 2009 terjadi peledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Mega Kuningan Jakarta. Kejadian ini menjadi berita utama sepanjang bulan ini. Kedua, Agustus 2009; di bulan ini terjadi penggerebekan terhadap pelaku bom atau terduga teroris di beberapa tempat, dan yang paling mendapatkan banyak perhatian media adalah peristiwa penggerebekan di Temanggung Jawa Tengah. Ketiga, Maret 2010, aparat kepolisian melakukan penangkapan dan penggerebekan terduga teroris di Pamulang dan Aceh.

Selain ketiga bulan tersebut, media Kompas dan Republika juga tetap memberitakan berita-berita terorisme namun dengan intensitas yang tidak banyak. Dari berita-berita yang disajikan tidak semuanya menyinggung terorisme dengan masalah agama/Islam, ataupun mengunakan istilah-istilah Islam.

Agama (Islam) dalam Berita Terorisme di Kompas dan Republika

Dari berita yang terkumpul dapat diketahui bahwa baik Kompas maupun Republika menyinggung soal Agama (Islam) dalam pemberitaan mengenai terorisme, akan tetapi porsi dan cara penyajiannya berbeda. Secara umum ada empat area yang selalu muncul dalam pemberitaan terorisme yaitu: keterkaitan antara Islam dengan terorisme dan radikalisme, bagaimana pesantren dikaitkan dalam aksi terorisme, keterkaitan antara para pelaku dan atau terduga teroris dengan jaringan internasional Jamaah Islamiah dan al-Qaidah, dan larangan berdakwah. Berikut ini adalah klasifikasi berita-berita yang memuat empat tema umum tersebut;

Keterkaitan antara Islam dengan Terorisme dan Radikalisme

a. Republika

Dalam pemberitaannya, Republika meman-dang bahwa Islam tidak radikal, Islam adalah agama rahmat bagi semua umat. Adapun sumber berita yang digunakan adalah tokoh-tokoh agama (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/PBNU, Majlis Ulama Indonesia/MUI, Muhammadiyah, Menteri

Page 105: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

89

agama, Mantan Duta Besar Qatar, Persis, Al-Irsyad, dll). Dari pemilihan sumber berita ini terlihat bahwa Republika melakukan pemihakan terhadap Islam. Berikut ini adalah petikan beritanya:

• Statemen terorisme tidak dibenarkan oleh ajaran agama (Islam), terdapat pada berita dengan judul “Agama tak ajarkan kekerasan” (18 Juli 2009).

• Pernyataan ketua MUI Yogyakarta, KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat: “Islam adalah rahmatan lil alamain (rahmat bagi semesta alam)” pada berita dengan judul “Teruskan Berdakwah” (25 Agustus 2009).

• Pada berita berjudul “Islam menolak kekerasan” (20 Oktober 2009), terdapat tiga pernyataan dari sekretaris MUI, Ketua PP Muhammadiyah dan PW LP Ma’arif NU Jawa Tengah yang mengatakan Islam bukan agama radikal dan perlunya sosialisai akan ajaran Islam yang lurus serta pembelajaran mengenai antiterorisme.

• Berita pada tanggal 13 November 2009 dengan judul “Terorisme tak berdasar Agama” menampilkan kutipan wawancara dengan ketua PBNU, Hasyim Muzadi. Ia menyampaikan empat cara mencegah terorisme. Pada berita ini juga ditampilkan pernyataan mantan duta besar Indonesia untuk Qatar, Abdul Wakhid Maktub mengenai perlunya keterlibatan organisasi Islam dalam mempromosikan Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin.

• Berita dengan judul “Kemiskinan picu terorisme” (15 Maret 2010) terdapat pernyataan Menteri agama, Suryadharma Ali; mengingatkan lembaga pendidikan Islam agar tidak tercemar paham terorisme. Ia juga mengatakan bahwa penyusunan program pendidikan agama penting bagi napi teroris agar mereka kembali kepada ajaran Islam.

b. Kompas

Harian Kompas menyebutkan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. Media ini juga memberitakan bahwa jihad yang salah dipahami menyebabkan terorisme. Sumber yang dikutip

adalah akademisi (rektor Institut Agama Islam Negri/IAIN), teman terduga teroris dan ulama. Berikut ini adalah petikan beritannya:

• Berita tanggal 22 Juli 2009 dengan judul “Presiden: Teroris lukai hati rakyat” di berita ini terdapat pernyataan Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo pada peringatan Isra’ Mi’raj; “memakasakan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan dan terorisme, sama sekali tidak sejalan dengan semangat Al-qur’an dan hadis.”

• Berita dengan judul “Minimnya pemahaman agama” (14 Agustus 2009), memuat pernyataan Lutfi Syarifudin, sahabat Aris Susanto dan Arif Hermawan (terduga teroris); “jangankan membicarakan soal jihad, membaca Al qur’an dan hadis aja Aris dan Arif itu nggak fasih, setiap mengaji bersama, mereka terlihat celelekan (tidak serius) dan gojekan (bercanda).”

• Pada tanggal 24 Agustus 2009 dimuat berita berjudul “Radikalisme yang kompleks di Kabupaten Temanggung”, menampilkan pernyataan KH. Chaidar Muhaiminan, ulama di Temanggung; tumbuhnya radikalisme di kabupaten ini disebabkan oleh keputusasaan generasi muda, minimnya pemahaman agama dan iman, serta kurangnya pengawasan. Menurutnya, prinsip dalam Al qur’an dan hadis yang diajarkan secara tekstual menyebabkan pemikiran yang tidak sesuai dengan konteks zaman, misalnya konsep jihad yang dipahami oleh para teroris itu tidak mungkin diterapkan di Indonesia yang merupakan negara damai (Darussalam).

Keterkaitan antara Pesantren dengan Aksi Te-rorisme

a. Republika

Harian Republika secara jelas menyebutkan bahwa pesantren tidak terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Adapun sumber berita yang digunakan mencakup beberapa elemen, meliputi Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII), Badan Intelegen Negara (BIN), Kepala desa Pasuruan, Ketua PBNU, direktur pesantren Al Islam Ngruki. Berikut ini adalah petikan beritanya:

Page 106: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

90

• Berita dengan judul “Pelaku bom belum jelas” (20 Juli 2009), memuat pernyataan ketua Umum GUII terkait terduga teroris “Nur Said” alumni pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, dan “Nur Said” anggota JI.

• Pada tanggal 23 Juli 2009 berita berjudul “Al Muaddib hanya punya santriwati” mengetengahkan informasi tentang Pesantren Al-Muaddid (desa Pasuruan, Binangun, Cilacap Jawa Tengah) digerebek tim densus 88. Di berita memuat pernyataan Watim Suseno, Kepala desa Pasuruan bahwa pesantren Al Muaddid hanya mempunyai santri perempuan, jadi tidak tepat kalau dikatakan pesantren ini mengajarkan terorisme.

• Tanggal 23 Juli 2009 Kompas juga memuat berita berjudul “Ponpes Ngruki kecam pencekalan Ba’asyir”. Berita ini mengetengahkan Pernyataan direktur pesantren Al Mukmin Sukaharja tentang pencekalan Abu Bakar Ba’asyir untuk tampil dalam acara isra’ mi’raj di Malang tidak tepat. Menurutnya ini dilakukan oleh orang yang tidak menyukai Islam.

• Berita berjudul (26 Agustus 2009) “BIN: Pesantren bukan sarang teroris” menampilkan pernyataan Wakil kepala BIN, Asad Said Ali, bahwa pesantren bukan sarang teroris.

• Tanggal 28 Oktober 2009, berita berjudul Moderasi Islam atasi terorisme mengutip pernyataan ketua PBNU, Hasyim Muzadi: bahwa pesantren tidak ada yang yang terlibat dalam terorisme karena keseluruhan referensi dan kurikulumnya tidak ada ajaran kekerasan.

b. Kompas

Di dalam pemberitannya, Kompas menyu-guhkan dua sisi yaitu pesantren ada kaitannya dengan terorisme, serta ada pula argumen yang menolak bahwa pesantren ada kaitannya dengan terorisme. Sumber berita yang digunakan adalah pernyataan kepala dusun, pengasuh pesantren, dan Menteri agama. Berikut petikan beritanya:

• Tanggal 15 Juli 2009, berita berjudul “Peledak di rumah Bahrudin” dan sub judul “Warga

desa Pasuruan tak mengira ustad itu masuk jaringan terorisme” menyebutkan bahwa Bahrudin diduga kuat terkait dengan buron terorisme Noordin M Top. Di sini dikutip pernyataan pembantu kepala dusun 1 desa Pasuruan, Waluyo yang mengatakan bahwa ia tak menyangka kalau Bahrudin yang menjadi ustad terlibat jaringan terorisme.

• Berita berjudul “Dana diindikasikan dari luar” dan sub judul “Tim forensik Polri uji DNA Nur Sahid dan Ibrahim” (22 Juli 2009) memuat pernyataan dari wakil direktur III Pesantren Al-Mukmin Ngruki; menurutnya secara institusi pesantren Al-Mukmin tidak terkait dengan peledakan bom. Juga pernyataan Direktur pesantren Al Muaddib, Mahfudz yang menolak anggapan pesantren yang dipimpinnya di desa Pasuruan kecamatan Binangun Cilacap menjadi sarang teroris.

• Berita berjudul “Radikalisme yang kompleks di Kabupaten Temanggung” (24 Agustus 2009) memuat pernyataan pengasuh pesantren Assalam Temanggung bahwa tidak ada ponpes yang mengajarkan santrinya berjihad dengan bom, kalau ada alumninya yang menjadi tersangka terorisme itu karena pengaruh dari luar.

• Pada 15 Maret 2010 Kompas menurunkan berita berjudul “Pesantren benteng antiteroris” dengan lead “kementerian agama kini terus mengintensifkan pendekatan ke madrasah dan pondok pesantren untuk menjelaskan bahwa terorisme sama sekali bukan ajaran Islam”.

Keterkaitan antara Para Pelaku dan Atau Ter-duga Teroris dengan Jaringan Internasional, yaitu Jamaah Islamiah dan Tandzim al-Qaidah.

a. Republika

Harian Republika ketika memberitakan para pelaku dan atau terduga teroris awalnya tidak secara eksplisit menyatakan kaitan antara terduga teroris dengan jaringan internasional seperti JI dan Al-Qaidah, namun kemudian terlihat bahwa Republika mengatakan para terduga teroris ini ada kaitannya dengan jaringan internasional. Dalam

Page 107: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

91

hal ini ada dua hal berbeda diungkapkan yakni pernyataan kepolisian. Berikut petikan beritanya:

• Tanggal 22 Juli 2009 terdapat berita berjudul “Ibrahim diduga masih hidup” mengambil statement Kadiv Humas polisi yakni “belum ditemukannya keterlibatan JI dalam kasus bom di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan.”

• Berita dengan judul “Noordin M Top dan Radikalisme” (18 Agustus 2009) mengutip pernyataan Kapolri bahwa selain Noordin, Syaifuddin Zuhri dan Syahrir juga pimpinan al-Qaida di Asia Tenggara

b. Kompas

Menurut harian Kompas dalam pemberitaanya, terduga teroris ada kaitan dengan JI dan Al-Qaidah. Informasi in didapat dari kepolisian. Berikut ini adalah petikan beritanya:

• Berita berjudul “Larangan dikeluarkan”, dan sub judul “teroris tradisional tak mengakui sebagai pelaku peledakan” (18 Juli 2009) disebutkan bahwa belum ada pihak yang bertanggungjawab melakukan serangan itu (bom di hotel JW Mariot dan Ritz Carlton). Namun sejumlah pengamat keamanan menduga kelompok JI terlibat.

• Pada tanggal 22 Juli 2009 terdapat dua berita, pertama dengan judul “Dana diindikasikan dari luar” dan sub judul “Tim forensik Polri uji DNA Nur Sahid dan Ibrahim”, dengan lead; “peledakan bom secara beruntun di dua hotel JW Mariot dan Ritz Carlton, disinyalir didanai jaringan internasional Al Qaeda. Kedatangan beberapa orang dari Pakistan dan suatu negara Timur Tengah sebelum peledakan juga disinyalir terkait rencana pengebomam.” Sementara di tubuh berita ditampilkan pernyataan Kepala desk antiteror Kemenpolhukam, Irjen Purn Ansyad Mbai yakni al-Qaeda diduga mendanai bom Bali I. Berita kedua berjudul, Polisi Malaysia periksa pendukung JI, dikatakan bahwa Noordin merupakan pimpinan cabang JI, Tandzim Qaidat al-Jihad.

• Tanggal 10 Maret 2010 berita berjudul “Bangkitnya aliansi teroris” dan sub judul

“Jenazah yang diduga Dulmatin akan diuji forensik” menyebutkan bahwa empat kelompok yang terlibat dalam poros Aceh-Pamulang yang dibekuk polisi selama dua pekan operasi, satu diantaranya masih terkait dengan JI.

• Berita dengan judul “Aliansi susun taktik baru” dan sub judul “Dulmatin siapkan semua proyek pelatihan” (11 Maret 2010) menjelaskan bahwa berdasarkan informasi di Kepolisian jaringan poros Aceh-Banten-Jawa Barat digerakkan oleh pemain lama dan terkait dengan JI.

• Tanggal 13 Maret 2010, berita dengan judul “Gerak teroris terus dipersempit” dan sub judul “Polisi periksa penumpang kapal” menyertakan pernyataan Kapolda Lampung, Brigadir Jenderal (Pol) Edmon Ilyas dan Direktur inteligen keamanan Polda Lampung, Komisaris besar Suroso Hadi Siswoyo, yang menduga Sulaeman (25) yang ditangkap di Aceh diduga kuat adalah anggota kelompok JI.

Larangan Berdakwah

a. Republika

Berita yang dimuat Republika terkait dengan larangan berdakwah menyebutkan bahwa hal ini kurang tepat. Berdakwah adalah hak dan sesuai dengan UUD 45. Sumber berita yang digunakan adalah pengasuh pesantren dan Kapolri. Berikut ini adalah petikan beritanya;

• Berita berjudul “17 Jamaah Tablig ditahan” (20 Agustus 2009), disebutkan bahwa sebanyak 17 anggota Jama’ah Tabligh berkewarganegaraan Filipina yang sedang melakukan khuruj (berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya) ditahan oleh Mapolda Jawa Tengah. Dalam berita ini disertakan pernyataan Tufail, pengurus pesantren Ubay bin Kaab/markas Jamaah Tabligh di Jawa Tengah tentang tidak tepatnya kekhawatiran yang berlebihan terhadap khuruj karena materi yang diajarkan adalah ajakan untuk memperbanyak beribadah

• Tanggal 25 Agustus 2009 berita dengan judul “Teruskan berdakwah” menyertakan beberapa pernyataan. Pertama pernyataan ketua MUI Yogyakarta, KRT Ahmad Muhsin

Page 108: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

92

Kamaludiningrat, anggota komis IV DPR, Ma’mur Hasanudin, dan Kapolri, Jendral Bambang Danuri Hendarso tentang dakwah yang perlu untuk terus dilanjukan karena Islam adalah rahmatan lil alamin dan masyarakat sepenuhnya berhak untuk berdakwah.

b. Kompas

Pemberitaan Kompas terkait dengan isu larangan berdakwah tidak menyatakannya secara tersurat, hanya berupa himbauan berdakwah dengan tidak menyebarkan kebencian. Sumber berita yang digunakan adalah tokoh agama dan

tokoh politik dari Partai Keadilan Sosial (PKS) dan PBNU. Berikut petikan beritanya:

• Berita tanggal 23 Agustus 2009 dengan judul “Ceramah agama hendaknya tidak mengumbar kebencian”, memuat pengurus PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi berupa ajakan kepada agamawan untuk tidak menebarkan kebencian di masyarakat. Juga pernyataan Juru bicara fraksi PKS yang mengatakan pengawasan terhadap dakwah dapat berpotensi menjadi sumber ketegangan baru.

Unsur pembentuk

teks

Bukti Keterangan

Alat pembuktian

Bukti dalam teks Makna

Perlakuan atas peristiwa

Tema yang diangkat

agama dan terorisme Agama (Islam) dan Terorisme merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling terkait

Berita tanggal 18 Juli 2009 (ada di halaman 1)

Berita dimuat sehari setelah peledakan bom di Mega Kuningan Jakarta.

Judul Agama tak mengajarkan kekerasan Islam bukan agama teroris. Pelaku tidak ada kaitannya dengan Islam

Lead Peledakan bom menelan korban jiwa mengundang keprihatianan dan belasungkawa dari kalangan ulama dan tokoh agama

Semua tokoh agama tidak setuju dengan tindakan terorisme

Sumber yang dikutip

Nama dan atribut sosial sumber

KH.Hasyim Asy’ari, ketua PBNU Mewakili suara komunitas Muslim terbesar di Indonesia

Muslimin Nasution, Ketua Presidium ICMI Mewakili suara para intelektual muslim Indonesia

Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin Otoritas ulama se Indonesia

Ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin Otoritas umat Islam modern

Ketua DPP Hisbut Thahrin, Farid Wadjdi Otoritas umat Islam salafi

Ketua Al-Irsyad dan Persatuan Islam Otoritas umat Islam

Cara penyajian

Pilihan fakta yang dimuat

Pernyataan mengutuk terorisme oleh tokoh agama (Islam)

Semua elemen umat Islam (mainstream) tidak setuju dengan terorisme

Tabel 7.1. Contoh Framing Republika tentang Islam dan Terorisme

Page 109: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

93

Terorisme dan Islam dalam Framing Republika dan KompasFraming Republika

Republika dalam pemberitaannya secara jelas mengatakan bahwa Islam bukanlah agama yang mendukung radikalisme atau terorisme. Hal ini terbukti dalam pemuatan pesan yang sama secara berulang-ulang pada beberapa berita. Demikian pula dengan pesantren tidak ada kaitannya dengan tindak anarkis para teroris. Sementara dalam memaparkan kaitan antara para teroris dengan jaringan internasional, Republika tidak begitu jelas. Contoh framing beritanya termuat dalam Tabel 7.1 dan Tabel 7.2.

Unsur pembentuk

teks

Bukti KeteranganAlat

pembuktianBukti dalam teks Makna

Perlakuan atas peristiwa

Tema yang diangkat

Berdakwah tidak dilarang Umat muslim diperbolehkan untuk terus menyiarkan ajaran Islam

Berita tanggal 25 Agustus 2009, ada pada halaman 1.

Berita dimuat empat hari setelah adanya jumpa pers Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Nanan Soekarna, 21 Agustus 2009.

Judul Teruskan berdakwah Anjuran untuk terus melakukan dakwah (menyiarkan ajaran Islam)

Lead Para pendakwah diminta jangan takut menyampaikan ceramah dan khutbah keagamaan. Sebab dakwah diperintahkan dalam ajaran agama

Tidak perlu khawatir dan takut dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena agama membenarkan kegiatan ini.

Sumber yang dikutip

Nama dan atribut sosial sumber

KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat (Sekretaris umum MUI Yogyakarta)

Otoritas ulama di Yogyakarta

Cara penyajian

Pilihan fakta yang dimuat

Kegiatan dakwah tetap boleh dilakukan

Pernyataan “Islam adalah rahmatan lil’alamin”

Pernyatan otoritas ulama yang mendukung bahwa penyiaran ajaran Islam tetap dapat dilakukan,karena Islam bukanlah sebuah ancaman, namun rahmat bagi semua umat, tidak hanya untuk umat Islam

Tabel 7.2 : Contoh framing Republika tentang larangan berdakwah

Framing Kompas

Kompas dalam pemberitaannya juga menyampaikan bahwa Islam bukanlah agama yang mendukung terorisme, namun intensitas pemuatan ide ini tidak sesering dengan yang dilakukan oleh Republika. Kompas juga secara jelas mengatakan Pesantren bukanlah sarang teroris. Adapun terkait dengan apakah pelaku teror atau terduga teroris ada kaitannya dengan jaringan internasional Jamaah Islamiyah dan Al Qaidah, Kompas dengan lebih terang menyebutkan ada kaitannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa berita yang memuat isu ini. Tabel 7.3. adalah contohnya.

Page 110: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

94

Unsur pembentuk

teks

Bukti KeteranganAlat pembuktian Bukti dalam teks Makna

Perlakuan atas peristiwa

Tema yang diangkat

Penangkapan para pelaku teror Berita tanggal 13 Maret 2010

Judul Gerak teroris terus dipersempit (sub judul; Polisi periksa penumpang kapal)

Upaya terus menerus dari penegak hukum dalam menangani terorisme

Sumber yang dikutip

Nama dan atribut sosial sumber

Kapolda Lampung, Brigadir Jenderal (Pol) Edmon Ilyas dan Direktur inteligen keamanan Polda Lampung, Komisaris besar Suroso Hadi Siswoyo,

Otoritas penegak hukum

Cara penyajian

Pilihan fakta yang dimuat

Kapolda mengatakan Sulaeman (25) yang ditangkap di Aceh diduga kuat adalah anggota kelompok Al Jemaah Al Islamiyah

Ada kaitan antara pelaku teror dengan jaringan internasional

Tabel 7.3 : Framing Kompas tentang kaitan pelaku terorisme dengan jaringan Internasional

Dari pemberitaan terorisme pada kurun waktu penelitian ini dapat diketahui bahwa kedua surat kabar tersebut mempunyai konstruksi yang berbeda terhadap berita yang sama. Terlihat fakta yang sama dapat ditampilkan secara berbeda oleh media yang berbeda. Hal ini tidak terlepas dari peran media sebagai agen konstruksi pesan dan berita di sini menjadi realitas yang bersifat subjectif (Eriyanto, 2002).

PenuTuP Kompas maupun Republika menyinggung

soal Agama (Islam) dalam pemberitaan mengenai terorisme, akan tetapi cara penyajiannya berbeda. Kompas dan Rebublika secara jelas mengatakan bahwa Islam bukanlah agama yang mendukung terorisme, namun terdapat

perbedaan intensitas pemberitaan isu ini pada kedua media tersebut. Kedua media tersebut juga menyebutkan bahwa pelaku teror atau terduga teroris ada kaitannya dengan jaringan internasional Jamaah Islamiyah dan Al Qaidah. Sedangkan dalam pemberitaan terkait terorisme dan pesantren, Republika mengatakan dengan jelas bahwa lembaga pendidikan Islam tersebut bukan tempat bersemainya teroris. Sementara Kompas menampilkan pro dan kontra tentang kaitan terorisme dan pesantren. Perbedaan juga terlihat dalam pemberitaan mengenai isu larangan berdakwah; Republika menyebutkan umat Islam berhak berdakwah. Sementara Kompas hanya menampilkan berita tentang sebaiknya dakwah tidak menyebarkan kebencian.

Page 111: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Agama dalam Konstruksi Media Massa; Studi Terhadap Framing Kompas dan Republika pada Berita TerorismeZakiyah

95

dafTar PusTaKa

Abas, Nasir. 2005. Membongkar Jamaah Islamiyah Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo

Aly, Anne. 2011. Terrorism and global security, historical and contemporary perspectives. South Yara Australia : Palgrave Macmillan.

Arifin, H.M. 1987. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press.

Assegaff, Dja’far.H. 1985. Jurnalistik Masa Kini, Pengantar Ke Praktek Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Crouch, Harold. 2005. Radical Islam in Indonesia; some misperceptions. Dalam Vicziany, Marika dan Neville, David Wright.(ed). Islamic terrorism in Indonesia; myths and realities. Clayton: Monash Asia Institute.

Dhofier, Z. 1995. Tradition and Change: In Indonesian Islamic Education. Jakarta: Ministry of Religious Affair the Republic of Indonesia.

Djelantik, Sukawarsini. 2010. Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Medai, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Eriyanto. 2007. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media.Yogyakarta: LkiS.

Esposito, John.L. 2001a. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern jilid 3. Bandung: Mizan

Esposito, John.L. 2001b. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern jilid 6. Bandung: Mizan

Gatra. 2007a. “Abu Dujana ditangkap”. No 31 tahun XIII 14-20 Juni 2007.

Gatra. 2007b. “Menggulung Terorisme di daerah Basis”. No 20 tahun XII 29 Maret – 4 April 2007.

Gatra. 2007c. “Waspada Faksi Sempalan Model Noor Din”. No 32 tahun XIII, 21-27 Juni 2007.

Gatra. 2007d. “Abu Dujana: Masih Banyak Kawan di luar”. No 32 tahun XIII, 21-27 Juni 2007.

Gatra. 2007e. Abu Rusydan: “Aksi Teror Bukan Tanggung Jawab JI”. No 32 tahun XIII, 21-27 Juni 2007.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, sebuah Studi Critical Discourse terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.

Isaacs, H.R. 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis; Identitas Kelompok dan Perubahan Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kahmad, D. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Rosda.

Kingsbury, Damien dan Fernandes, Clinton. 2005. Terrorism in archipelagic Southeast Asia. Dalam Kingsbury, Damien. (ed). Violence in between, conflict and security in archipelagic Southeast Asia. Clayton and Singapore: Monash Asia Institute and Institute of Southeast Asian Studies.

Kompas. 2010a. “Jasad Dulmatin dipulangkan; Warga Aceh Kembali dicekam Kondisi Konflik”. Jum’at 12 Maret 2010. hal.1

Kompas. 2010b. “Teroris Memanfaatkan Kelompok Aceh”. Kamis 11 Maret 2010, hal.1

Kompas. 2010c. “Bangsa Karut Marut Munculnya Terorisme”. Kamis 11 Maret 2010. hal.3

Kompas. 2010d. “Menyiapkan Jihad di Aceh”. Kamis 18 Maret 2010. hal 4

Kompas. 2010e. “Dulmatin Terlacak Sejak Lama”. Kamis, 11 Maret 2010. hal.25

Kompas. 2010f. “Aliansi Susun Taktik Baru, Dulmatin Siapkan semua Proyek Pelatihan”. Kamis 11 Maret 2010. hal.1

Kompas. 2010g. “Gerak Teroris Terus Dipersempit”. Sabtu 13 Maret 2010.hal 25.

Kompas. 2010h. “Teror diatur dari Penjara”. Kamis 18 Maret 2010.hal.1

McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory, an Introduction, Second edition. London: Sage Publication.

Page 112: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 83-96

96

Nelson, Thomas.E dan Clawson, Rosalee.A dan Ox-ley, Zoe.M. 1997. Media framing of civil liberties conflict and its effect on tolerance. American Political Science Review. 91(3): 567-583.

Nugroho, Bimo dan Eriyanto dan Surdiasis Frans. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI.

Republika. 2010. “DNA Dulmatin Cocok, the 10 Million Dolar Man”. Kamis 11 Maret 2010. hal.1

Schrijver, Nico dan Herik, Larrisa van den. 2007. Counter Terrorism Strategies, Human Rights and International Law: Meeting the Challenges. Netherlands International Law Review, LIV: 571-587.

Sheafer, Tamir dan Gvirsman, Shira Dvir. 2010. The spoiler effect: Framing attitudes and expectation toward peace. Journal of peace research, 47(2): 205-215.

Singh, Bilveer. 2003. ASEAN, Australia and the management of Jemaah Islamiyah threat. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre the Australian National University.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Rosda Karya.

Turk. Austin T. 2004. Sociology of Terrorism. Annual Review of Sociology, 2004, 30, Proquest Library pg.271.

Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Page 113: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

97

RESEPSI AKTIVIS ROHANI ISLAM (ROHIS) TERHA-DAP BAHAN BACAAN KEAGAMAAN DI SMAN 48 JA-

KARTA TIMUR DAN SMA LABSCHOOL JAKARTA TIMUR1

The Reception of Islamic Religious Activists (Rohis) on Religious Reading Materials in SMAN 48 East Jakarta and SMA Labschool East Jakarta

1 Tulisan ini semula adalah makalah yang disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian “Analisis Resepsi (Tanggapan) Or-ganisasi Ekstra Keagamaan terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di Sekolah Menengah Atas (SMA)” di Hotel Santika Bogor pada tanggal 28-30 November 2013 dan merupakan bagian dari penelitian mengenai Analisis Resepsi (Tanggapan) Organisasi Ekstra Keagamaan terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di Sekolah Menengah Atas. Beberapa bagian pendahuluan diadopsi dan di-modifikasi sehingga ada kemiripan, misalnya dalam rumusan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan kajian pustaka.

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta

Jl. Rawa Kuning, No. 6 Pulo Gebang, Cakung Jakarta Timur

13950Email: [email protected]

Naskah diterima : 30 Januari 2015 Naskah direvisi : 23 Maret – 4 April

2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

AbstrAk Tulisan ini dilatarbelakangi oleh beberapa kajian yang menyatakan bahwa mayoritas pelajar di Jakarta mempunyai pemahaman agama yang sempit dan eksklusif, serta cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang lebih menekankan pada data-data kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Analisis resepsi digunakan dengan tujuan mendeskripsikan bahan bacaan keagamaan aktivis organisasi ekstra keagamaan, dan menjelaskan resepsi siswa/siswi aktivis organisasi terhadap bahan bacaan tersebut yang menitikberatkan pada interpretasi dan motivasi siswa/siswi terhadap pilihan bahan bacaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivis ROHIS di SMA 48 Jakarta Timur dan SM A Labschool Jakarta Timur lebih menyukai membaca buku-buku bergenre novel Islami dan seputar perempuan yang mempunyai bahasa lebih lugas, mudah dipahami dan komunikatif. Motivasi siswa dalam memilih bahan bacaan tersebut lebih mengarah kepada hal-hal yang menunjang kegiatan ibadah mereka, baik wajib maupun sunnah, berhubungan dengan peristiwa sehari-sehari yang terjadi di lingkungan mereka.

Kata kunci: Resepsi, ROHIS, dan Bahan Bacaan Keagamaan

AbstrActThis paper is motivated by some studies that suggest that the majority of students in Jakarta have a narrow and exclusive religious understanding, and tend to agree in a violent action to resolve the problem of religion and morals. This research is a descriptive research that more emphasis on qualitative data analysis and using reception approach. Reception analysis is used in order to describe a religious reading material within religious extra-organization activists, and describes the reception of student activists on the reading material that focuses on interpretation and the motivation of students in selection of reading materials. This research suggests that ROHIS activist in SMAN 48 East Jakarta And SMA Labschool East Jakarta prefers to read some books that the genre were Islamic novels and the books about women, which had simple language, easily understanding, and communicative. Student motivation in choosing reading material is more to support their worship activities, either obligatory or sunnah, that relate to their daily activities.

Keyword: Reception, ROHIS, and Religious Reading Materials

MAHMUDAH NUR

Page 114: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

98

Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu alat untuk dapat membimbing seseorang menjadi orang yang baik terutama pendidikan agama. Hal itu sesuai dengan paparan yang ada dalam konteks nasional di Indonesia, pendidikan agama masih menjadi salah satu prioritas, sehingga menandakan bahwa agama bagi masyarakat adalah suatu hal yang penting, seperti yang tercermin dalam sila pertama Pancasila. Namun, cita-cita ideal itu terasa kehilangan maknanya, ketika terjadi berbagai macam kekerasan yang sering kali mengatasnamakan agama.

Realitas ini kemudian membawa kesimpulan bahwa agama menjadi lahan subur bagi tumbuhnya konflik-konflik horizontal antara pemeluk agama di Indonesia. Maka itu, kita sering kali menyaksikan sebuah paradoks-paradoks, di tengah kesemarakan dan gagap gempitanya aktivis formal keagamaan, pada saat yang sama kita saksikan persoalan radikalisme dan intoleransi dalam kehidupan keagamaan. Namun, hal itu tidak mungkin secara simplikasi menyebutkan bahwa pendidikan agama mempunyai andil dalam menumbuhsuburkan paham radikalisme, kekerasan, dan intoleransi dalam beragama. Pendidikan Agama Islam disinyalir menjadi lahan subur bagi tumbuhnya konflik-konflik horizontal antara pemeluk agama di Indonesia.

Temuan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tahun 2010-2011 menyimpulkan tingginya tingkat kecenderungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan siswa SLTP – SLTA beragama Islam terhadap intoleransi dan kekerasan (detiknews.com/hasil-hasil-survei-lakip; Sarwono, 2011:87). Selain itu, Rahima Institute (2008) dalam hasil penelitiannya berkesimpulan, bahwa mayoritas pelajar di Jakarta mempunyai pemahaman agama yang sempit dan eksklusif, serta cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral. Tentu saja hal ini memerlukan pemeriksaan variabel atau faktor yang menyebabkannya. Penelitian ini berusaha menelaah bahan bacaan keagamaan yang dibaca

oleh para aktivis keagamaan pada SMA di Propinsi DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan melihat resepsi dan afiliasi bacaan siswa aktivis Rohani Islam (ROHIS) di sekolah.

Pemeriksaan atau penelitian bahan bacaan keagamaan aktivis organisasi ekstra keagamaan dan resepsinya penting dilakukan, untuk merumuskan langkah kebijakan yang tepat, sebagai langkah klarifikasi, antisipasi atau menghilangkan benih-benih kekerasan dalam organisasi ekstra keagamaan tersebut sebagaimana yang diklaim oleh hasil-hasil penelitian di atas. Hal ini merupakan bagian dari peningkatan kualitas kehidupan keagamaan melalui pendidikan agama di sekolah. Sehingga dapat mendukung sasaran strategis Kementerian Agama tahun 2010 – 2014, terutama untuk: (1) Peningkatan ketahanan umat terhadap ekses negatif ideologi-ideologi negatif yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa; (2) Penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa; (3) Pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran; (4) Pengembangan wawasan multikultur terhadap siswa sekolah. Dalam konteks inilah, penelitian ini menemukan signifikansinya.

Penelitian ini dilakukan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur. Di lihat dari segi struktur keorganisasian, terdapat perbedaan cara pandang terhadap ROHIS. SMAN 48 Jakarta Timur memposisikan ROHIS sebagai Organisasi Ekstra Keagamaan, sedangkan SMA Labschool memposisikan ROHIS sebagai Organisasi Intra Sekolah setara dengan OSIS/Organisasi Intra Sekolah.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, permasalahan yang berusaha ditelaah dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan bacaan keagamaan apa saja yang digunakan siswa/siswi anggota ROHIS?

b. Bagaimana resepsi siswa/siswi anggota ROHIS terhadap bahan bacaan keagamaan tersebut?

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah, bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di Kementerian

Page 115: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

99

Agama serta informasi yang dapat dikonfirmasi atau diintegrasikan ke dalam penelitian lain demi kesimpulan yang lebih valid. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah, diharapkan penelitian ini memberikan rumusan rekomendasi mengenai pentingnya pemberdayaan aktivis keagamaan di sekolah dalam pengembangan wawasan keagamaan yang toleran dan inklusif, serta tidak terjebak pada paham keagamaan yang sempit dan eksklusif, berdasarkan penyajian bahan bacaan keagamaan yang berkualitas serta pandangan dan pemikiran aktivis keagamaan di sekolah terhadap bahan bacaan tersebut sesuai dengan visi-misi Kementerian Agama.

Resepsi berasal dari kajian sastra yang menekankan pada pembaca karya sastra, yaitu tanggapan yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu (Sudjiman, 1990: 78; Zaidan dkk, 2004: 72). Namun konsep tersebut bisa juga dipakai dalam penelitian terhadap teks-teks non-sastra. Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi berasal dari kata “recipere” (Latin), “reception” (Inggris) yang berarti penerimaan atau penyambutan. Selanjutnya, Endraswara (2003: 118) mengemukakan bahwa resepsi berarti penerimaan atau penikmatan sebuah teks oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam bahasa Inggris dapat disamakan dengan kata “perception” yang berarti tanggapan daya memahami atau menanggapi. Dari istilah studi sastra, resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks atau cara-cara pemberian makna (tanggapan) terhadap karya sastra sehingga dapat memberikan respons terhadapnya.

Teori resepsi sastra ini kemudian diadopsi oleh teori komunikasi. Analisis dengan teori resepsi biasanya masuk dalam pembahasan studi pembaca, yang termasuk di dalamnya motivasi pembaca dalam memilih/menerima pesan media/buku (Vivian, 2008: 438). Jika mengikuti tipologi Fiske (2006: 8 – 9) mengenai aliran dalam kajian isi komunikasi, yang membagi menjadi dua: aliran

transmisi dan aliran produksi dan pertukaran makna, maka analisis resepsi ini dapat dimasukan dalam aliran yang kedua. Oleh karena itu, resepsi dipahami dalam penelitian ini sebagaimana yang dikonsepkan dalam teori komunikasi massa, yang mengadopsi teori resepsi sastra, yakni penerimaan/tanggapan pembaca terhadap sebuah teks.

Penelusuran awal yang dilakukan penulis bahwa kajian mengenai analisis resepsi bahan bacaan aktivis keagamaan di SMA belum pernah dilakukan, Adapun penelitian yang terkait dengan ROHIS sendiri dan yang terkait dengan isu ‘radikalisme’ agama di sekolah sudah ada, sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam bagian latar belakang. Sedangkan, penelitian-penelitian yang ada kaitannya dengan buku teks keagamaan di sekolah sudah pernah dilakukan.

Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pernah melakukan survei buku pelajaran Agama Islam di Sekolah Umum dan Madrasah (Tim, 2009: 86). Melalui survei ini diketahui bahwa buku keagamaan yang beredar di sekolah tidak diperoleh secara resmi dari pemerintah. Sehingga masing-masing madrasah membeli buku sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini menyebabkan beredarnya buku yang belum ditashih (validasi) oleh unit yang berwenang di Kementerian Agama.

Penelitian dengan fokus yang berbeda namun dengan sasaran penelitian yang sama, yakni siswa/siswi SMA pernah dilakukan oleh Tim Peneliti Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS dan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara/PSSAT bekerjasama dengan Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta. Salah satu temuan penting dari penelitian ini, yaitu temuan bahwa di SMA Rajawali para siswa/siswi dalam sebuah kegiatan mentoring keagamaan yang dilakukan oleh Organisasi Rohani Islam (ROHIS), dianjurkan untuk membaca buku-buku keislaman pada ideolog Islamis asal Mesir seperti Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb serta majalah Islam remaja populer (El-Fata dan Annida) (Salim HS dkk, 2011: 37).

Page 116: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

100

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta (2011) pernah melakukan penelitian tentang buku teks Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kualitas tekstual dan substansi materi buku PAI kelas X – XII SMA yang diterbitkan oleh beberapa penerbit nasional; (2) mengetahui kesesuaian buku tersebut dengan pendekatan belajar aktif. Di antara temuan penelitian ini adalah buku-buku PAI SMA masih memiliki kelemahan-kelemahan tekstual dan konseptual, seperti kurangnya akurasi penulisan, kurangnya rujukan-rujukan, dan tidak terdapatnya contoh kasus yang disajikan sesuai dengan isu/fenomena terbaru yang sesuai dengan konteks Indonesia, serta belum sepenuhnya mengikuti metode belajar aktif.

Tahun 2012 terbit sebuah buku yang ditulis oleh Nanang Martono (2012) dengan judul Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Buku ini adalah hasil penelitian sejak tahun 2011-2012. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk serta mekanisme kekerasan simbolik yang dilakukan melalui materi ajar dalam Buku Sekolah Elektronik (BSE) dalam perspektif pemikiran Pierre Bourdieu. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kalimat dan gambar yang dimuat dalam BSE memuat habitus kelas dominan (kelas atas), sehingga melemahkan secara simbolik habitus kelas bawah.

Dari uraian di atas tampak belum ada yang mencoba menelaah bahan bacaan keagamaan Islam di tingkat aktivis organisasi ekstra keagamaan semisal ROHIS, dari sisi resepsi pembacanya, sehingga dapat memberikan data empiris bagi pola interpretasi terhadap teks-teks yang dibaca. Oleh karena itu, penting kiranya penelitian mengenai resepsi aktivis ROHIS di SMA terhadap bahan bacaan keagamaan.

MeTode PeneliTian

Fokus sasaran penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), disebabkan keberadaan organisasi ekstra keagamaan (terutama ROHIS) lebih banyak berada pada SMA, yang bertujuan

untuk menambah kekurangan dalam materi pendidikan agama di kelas. Sedangkan di Madrasah Aliyah (MA) jarang ada organisasi ekstra keagamaan semacam itu oleh karena sudah dilengkapi dengan materi-materi pendidikan agama dengan berbagai bidang ilmunya, dan ditambah dengan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya organisasi semacam ini di MA. Bahan bacaan keagamaan dijadikan obyek penelitian untuk kepentingan kajian atas isi teksnya. Sedangkan siswa/siswi aktivis ekstra keagamaan dan guru sekolah dijadikan obyek untuk melihat dan mengkaji tanggapan mereka atas bahan bacaan tersebut.

Penelitian ini lebih mengedepankan jenis penelitian deskriptif, yang lebih menekankan pada data-data kualitatif, dan “hanya” bersifat memaparkan situasi atau peristiwa (Moleong, 2008:6, Milles & Huberman, 2009:1; Rakhmat, 2007: 24-25). Penelitian deskriptif ini hanya menggambarkan atau meringkas berbagai kondisi atau situasi yang timbul dalam subyek penelitian (Bungin, 2008). Tentu saja, sesuai dengan karakteristik penelitian dengan lebih banyak mengandalkan data-data kualitatif, penelitian ini tidak dimaksudkan mencari generalisasi kuantitatif (moleong, 2008: 3), sebagaimana kajian efek media massa pada umumnya yang bertolak dari paradigma positivistik.

Data didapatkan dengan menggunakan metode wawancara terhadap aktivis Rohani Islam, khususnya pengurus dan jajarannya, pembina dan guru pendidikan agama Islam. Di samping wawancara, peneliti juga melakukan observasi dan studi teks mengenai buku/ bahan bacaan keagamaan untuk mendapatkan pesan dari buku/ bahan tersebut. Setelah itu, peneliti melakukan interpretasi terhadap pengalaman dari khalayaknya terhadap bahan bacaan keagamaan.

Tiga elemen pokok dalam analisis resepsi secara eksplisit bisa disebut sebagai “the collection, analysis, and interpretation of reception data“. (Jensen, 1999: 139 dalam Adi, 2012) Ketiga elemen tersebut meliputi: (1) pengumpulan data

Page 117: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

101

dari khalayak. Data bisa diperoleh melalui studi pustaka (untuk mendapatkan makna-makna teks dalam bahan bacaan), wawancara mendalam (baik individual maupun kelompok). (2) analisis hasil atau temuan dari bahan bacaan dan wawancara atau rekaman proses jalannya wawancara kelompok. (3) interpretasi terhadap pengalaman dari khalayak terhadap bahan bacaan keagamaan (baik pengalaman yang berupa interpretasi maupun motivasi).

hasil dan PeMbahasan

ROHIS SMAN 48 Jakarta Timur

Rohani Islam (ROHIS) merupakan sebuah Organisasi Ekstra Keagamaan yang menaungi pelajar yang berlatar belakang agama Islam dan merupakan Sub dari kegiatan OSIS. Pada awalnya, ROHIS merupakan sebuah kegiatan untuk menunjang materi pelajaran pendidikan agama Islam, yang kemudian berkembang menjadi sebuah bentuk kegiatan yang bersifat Islami. Tidak hanya menunjang materi Pendidikan Agama Islam, tapi juga berisi tentang materi-materi yang bersifat aplikatif.

Kegiatan ROHIS di SMAN 48 Jakarta Timur berpusat di masjid sekolah, yang dilaksanakan setiap minggu setelah shalat Jum’at untuk Ikhwan1, dan saat pelaksanaan shalat Jum’at berlangsung yang disebut kegiatan mentoring dan keputrian bagi Akhwat. Jadwal kegiatan mentoring ini tidak mengikat, kadang dilakukan di luar sekolah sesuai dengan kesiapan waktu mentornya. Mentor-Mentor ini merupakan alumni ROHIS dari SMAN 48 Jakarta Timur sehingga mereka mempunyai kedekatan emosional yang baik.

Setiap siswa yang mengikuti kegiatan ROHIS ini mempunyai motivasi yang berbeda. Ada yang hanya cuma ikut-ikut teman, mau memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik, ada yang bosan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, namun kebanyakan dari mereka ingin menjadi

pribadi yang lebih baik. Yang menarik juga, dikhususkan bagi anggota ROHIS perempuan yang baru, tidak diwajibkan untuk menggunakan kerudung, biasanya mereka akan menggunakan kerudung dengan sendirinya setelah dibekali materi-materi dalam sebuah mentoring.

Materi kegiatan mentoring lebih kepada kegiatan aplikatif dan bersifat sederhana. Contohnya adab membaca Al-Qur’an, akhlakul karimah, birrul walidain, tadarus, curhat colongan (curcong) tentang keluarga, kesehatan dan kegiatan sekolah dan lain-lain. Para mentor mempunyai silabus tersendiri dalam mengajarkan materi tersebut, sesuai dengan tingkatan kelas, sehingga ada kesinambungan materi dari kelas X – XII. Para mentor biasanya menggunakan buku Panduan Keislaman untuk Remaja: Super Mentoring Senior oleh ILNA Youth Center yang diterbitkan dalam bentuk buku oleh PT. Syaamil Cipta Media Bandung pada tahun 2003, serta artikel yang mereka kutip dari website www.dakwatuna.com dan www.muslim.org.

ROHIS Najmatul Jisr SMA Labschool Jakarta Timur

Latar belakang pelajar sekolah ini sangat beragam, secara agama maupun budaya. Walaupun sebagian besar pelajar pemeluk agama Islam, namun tidak ada kesenjangan yang mencolok, karena sekolah ini mengedepankan pendidikan multikultural. Guru-guru dan pihak sekolah selalu mengajarkan siswanya untuk menghormati keyakinan yang dianut masing-masing individu. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan, diantaranya kegiatan ROHIS yang bernama Najmatul Jisr untuk agama Islam, gereja kecil untuk siswa yang beragama Kristen, dan kegiatan alih tahun yang diikuti oleh berbagai sekolah, yang di dalamnya diwakili oleh beberapa peserta yang berbeda agama yang disebut Bina Taqwa Pelajar Indonesia yang dikembangkan oleh SMA Labschool Jakarta Timur.

2 Kata ikhwan adalah bentuk jamak bahasa Arab dari kata akhun, yang artinya saudara untuk laki-laki. Sedangkan akh-wat adalah bentuk jamak bahasa Arab dari kata ukhtun dengan arti saudara untuk perempuan.

Page 118: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

102

Kegiatan ROHIS yang dilakukan di sekolah ini ada yang bersifat mingguan dan ada yang bersifat per-kegiatan. Kegiatan yang dilakukan rutin setiap minggu adalah kegiatan Wawasan Hanif (SANIF) untuk ikhwan yang dilakukan setelah shalat Jum’at. Untuk akhwat-nya disebut keputrian yang dilakukan ketika shalat Jum’at yang diisi oleh mentor-mentor dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang bernaung di organisasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Kegiatan ROHIS yang bersifat per-kegiatan dilakukan dan disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan oleh pihak sekolah, diantaranya Malam Bina Iman dan Takwa (MABIT), dan Pesantren Kilat (SANLAT). Kedudukan ROHIS di sekolah ini bukan sebagai organisasi ekstra keagamaan, tetapi organisasi intra sekolah. Sehingga sekolah mempunyai kontrol penuh terhadap ROHIS, baik dari pemilihan ketua maupun materi yang akan disampaikan dalam mentoring.

Mentor yang didatangkan dari LDK UNJ setiap tahun berganti-ganti, disesuaikan dengan agenda harian anggota LDK UNJ. Semuanya dijadwalkan oleh pihak LDK UNJ. Sesekali, jika mentor yang biasa mengisi materi tidak bisa datang, maka digantikan oleh anggota lainnya yang juga berkompeten. Pemberian materi mentoring untuk akhwat digabung secara klasikal, dari kelas X – XII. Materi diberikan melalui slide kemudian ditransfer melalui ceramah.

Bacaan Keagamaan Aktivis Rohani Islam (ROHIS) SMA 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur

Bahan bacaan aktivis/pengurus Rohis yang didapat dari pengumpulan data di lapangan diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu, buku fiksi, buku non fiksi, majalah dan media internet. Kategori Pertama, yaitu buku-buku fiksi yang berisi tentang cerita rekaan seperti roman, novel dan lainnya yang tidak berdasarkan kenyataan (KBBI, 2008: 409). Bahan bacaan yang sangat digemari oleh aktivis ROHIS di kedua sekolah tersebut adalah buku/bacaan yang bergenre novel-novel Islami. Nama-nama penulis seperti Tere Liye, Habiburrahman El-Shirazy dan

Asma Nadia mempunyai tempat yang khusus bagi mereka. Menurut mereka, buku-buku yang dikarang oleh nama-nama tersebut bahasanya lebih komunikatif, sarat akan pengetahuan dan problem-problem perempuan serta kisahnya berkutat pada kehidupan sehari-sehari. Ada lima buku dalam kategori ini yaitu:

Tabel 8.1 Buku-Buku Fiksi

No Judul Buku Pengarang Keterangan

1 Berjuta Rasanya

Tere Liye

Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang berjumlah 15, yang berisi kisah tentang cinta, pengorbanan, dan sakit hati.

2Sepotong Hati

yang BaruTere Liye

Buku ini sekuel dari buku “Berjuta Rasanya”. Di dalamnya juga berisi kumpulan cerpen yang mendominasi tentang cinta, sakit hati dan pengorbanan.

3Jadian, Boleh

Dong?Asma Nadia

Buku ini merupakan serial Aisyah Putri yang membahas tentang boleh atau tidak berpacaran, yang dikemas dengan bahasa ceplas ceplos anak muda dan mudah difahami.

4My Pinky Moments

Asma Nadia

Merupakan serial Aisyah Putri yang

berisi tentang boleh tidaknya

merayakan valentine dalam Islam, dikemas menjadi sebuah

cerita remaja Islam.

Page 119: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

103

5Ayat-Ayat

CintaHabiburrahman

el-Shirazi

Buku yang mengisahkan

tentang percintaan Islami dengan

menyisipkan pesan-pesan dakwah di

dalamnya.

Kategori kedua adalah buku non fiksi, yaitu buku-buku yang berisi hal-hal yang bersifat nyata, bisa memuat biografi seseorang atau lainnya. Aktivis ROHIS menyukai bahan bacaan mengenai biografi atau motivasi seperti buku-buku yang dikarang oleh Felix Y. Siaw. Alasan mereka menyukai buku-buku karya Felix Y. Siaw adalah karena mendapatkan rekomendasi dari teman ROHIS, dengan alasan buku itu bagus, isinya mengenai larangan berpacaran dan juga kewajiban berhijab yang dikemas dengan format yang menarik. Buku-buku dalam kategori ini, yaitu:

Tabel 8.2 Buku-Buku Non Fiksi

No Judul Buku Pengarang Keterangan

1The Divine Message of

DNA

Kazuo Murakami

Buku ini berisi tentang penelitian yang dilakukan Oleh Murakami tentang sel dan gen sehingga dia menemukan rahasia kehidupan.

2 Udah Putusin Aja

Felix Y. Siauw

Membahas larangan berpacaran.

3 Yuk Berhijab Felix Y. Siauw

Membahas penting dan wajibnya berhijab dari berbagai pandangan.

4

Salon Kepribadian: Jangan Jadi

Muslimah Nyebelin

Asma Nadia

Buku ini membahas apa aja sih yang sering bikin nyebelin dan harus dihindari muslimah.

5 The Secret of Heaven Henry Nurdi

Buku ini mengisahkan kepemimpinan Shalahuddin Al Ayyubi.

6

Biarkan Warna Bicara:

Kerudung Apik untuk Berbagai Suasana

Hati

Taty Elmir

Buku ini menjelaskan alasan utama berkerudung dan menyajikan pilihan kerudung dalam berbagai warna dan suasana agar terlihat tidak konvensional.

Kategori ketiga adalah buku yang dikemas dalam bentuk majalah, khususnya dilihat dari segi muatan materinya. Mereka beralasan bahwa majalah-majalah tersebut mempunyai bahasa yang mudah dimengerti, ringan, tidak terbelit-belit, mengerti tentang remaja, sarat dengan pengetahuan mengenai perempuan, mengena pada kehidupan sehari-hari, menyadarkan tentang gerakan-gerakan penantang Islam. Seperti yang dikemukakan oleh pengurus ROHIS SMA 48 Jakarta Timur -Dea Assifa-, bahwa majalah Ummi diminati banyak anggota ROHIS SMA 48 Jakarta Timur karena banyak mengulas pengetahuan tentang wanita dan remaja, sehingga banyak info yang mereka dapat. Alasan lainnya karena orang tua mereka sering membeli majalah tersebut dan menarik untuk dibaca sehingga mereka juga ikut membaca.

Pengurus ROHIS Najmatul Jisr SMA Labschool Jakarta Timur, lebih menyukai majalah Hidayah. Rasa penasaran dengan hukum Islam, akidah, fiqh, menjadi alasan memilih majalah ini. Beberapa anggota lainnya membaca majalah tersebut hanya sekedar sebagai selingan. Majalah-majalah yang menjadi bahan bacaan mereka diantaranya, adalah:

Tabel 8.3 Majalah-majalah

NoJudul

MajalahKeterangan

1 UmmiSebuah majalah yang lebih menekankan kepada pengetahuan tentang perempuan.

2 Annida

Sebuah majalah remaja, di dalamnya terdapat beberapa rubrik, yang paling dominan adalah kisah-kisah remaja yang mempunyai pesan-pesan moral.

3 Hidayah

Sebuah majalah religius, yang di dalamnya lebih dominan menceritakan kisah nyata yang dikemas sangat misterius.

4 Al-Kisah

Sebuah majalah religius, yang di dalamnya lebih dominan menceritakan kisah nyata yang dikemas sangat misterius.

Kategori keempat adalah media internet yang kerap mereka kunjungi dan mereka baca artikelnya

Page 120: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

104

selain membaca buku-buku di atas. Mereka sering membaca artikel-artikel yang dimuat di www.icna.org, www.dakwatuna.com, dan www.muslim.org. Mereka mengunduh artikel-artikel yang terdapat di www.icna.org, misalnya, karena rasa penasaran untuk mengembangkan wawasan keagamaan yang mereka dapatkan di luar sekolah Islamic Circle of North America (ICNA) sendiri merupakan organisasi yang didirikan pada tahun 1968 sebagai respon kebutuhan komunitas Islam di Amerika Utara. Fokus awal dari website ini adalah mendidik anggotanya tentang Islam, namun kemudian berkembang dan meluncurkan berbagai proyek seperti Tabungan dan Investasi Muslim. Tabel 4 berikut menyajikan situs internet yang sering diakses oleh para aktivis ROHIS SMA 48 dan SMA Labschool Jakarta Timur.

Tabel 8.4 Media Internet

No Nama Media Situs Internet Keterangan

1 ICNA.Org http://www.icna.org

Situs ini adalah respon tehadap kebutuhan tumbuh kembangnya komunitas Islam di Amerika Utara.

2 Dakwatuna http://www.dakwatuna.com

Situs Media informasi yang menyajikan informasi, pengetahuan dan artikel-artikel dari berbagai penjuru baik tragedi, prestasi dan capaian yang diraih umat Islam.

3 Muslim.Or.id

http://www.muslim.or.id

Situs yang dikelola oleh mahasiswa dan alumni Yogyakarta dan mempunyai motto “memurnikan Aqidah, Menebarkan Sunah”.

Aktivis ROHIS SMAN 48 Jakarta Timur juga mengambil artikel atau bacaan-bacaan dari situs www.dakwatuna.com dan www.muslim.or.id. Mereka membaca artikel-artikel dari website

tersebut karena rekomendasi dari mentor sebagai bahan pembekalan dalam memberikan materi mentoring. Website dakwatuna.com merupakan media informasi dengan menyajikan tragedi yang melanda umat Islam dari berbagai penjuru serta prestasi dan capaian yang diraih umat Islam dengan motto “marilah menuju kesatuan umat”. Situs ini diluncurkan pada tanggal 20 Januari 2007 bertepatan dengan 1 Muharram 1428 H, dihadiri oleh Dr. Hidayat ketua MPR-RI (periode 2004 – 2009) dan Dr. Amir Faishol Fath ketua Umum LKD. Di dalam situs ini terdapat tujuh kanal; dasar-dasar Islam, berita, narasi Islam, keluarga, konsultasi, pemuda dan suara redaksi.

Bertolak dari uraian di atas, resepsi siswa terhadap buku/bacaan mereka mengarah kepada resepsi yang berupa penilaian dan motivasi mereka memilih buku/bacaan tersebut. Motivasi di sini juga mempunyai pengaruh dari faktor eksternal, baik dari keluarga, teman dan para mentor yang menginspirasi mereka untuk membaca buku/ bahan bacaan tersebut. Dalam posisi ini kadang terjadi sebuah negotiated reading dan oppositional (‘counter hegemonic’) reading (Morley dalam Adi, 2012). Negotiated reading terjadi di mana pembaca dalam batas-batas tertentu pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh si pemberi pesan namun memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya, sebagaimana penjabaran resepsi pengurus ROHIS di kedua sekolah tersebut.

Posisi Oppositional (‘counter hegemonic’) reading juga terjadi di mana pembaca tidak sejalan atau menolak makna pembacaan yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan/program. Dari pemahaman tersebut, mungkin hal ini dapat menjawab, mengapa pelajar lebih memilih buku/ bahan bacaan yang lebih menarik ketimbang buku Pendidikan Agama Islam yang menjadi buku dasar dalam mempelajari wawasan keislaman di sekolah. Posisi ini juga tergambar dari penjabaran sebelumnya, bagaimana mereka kurang begitu tertarik dengan buku mata pelajaran

Page 121: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

105

Pendidikan Agama Islam. Alasan-alasan mereka pun cukup siginifikan terkait dengan usia mereka yang sedang mencari jati diri.

Resepsi Aktivis Rohani Islam (ROHIS) terhadap Bacaan Keagamaan

Posisi negosiasi dan oposisi pembacaan kadang dapat terjadi disesuaikan dengan teks yang ada dalam setiap buku/bahan bacaan yang mereka gunakan. Dalam hal ini, posisi tersebut seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, terkait dengan ide-ide yang ada dalam tema suatu buku, sehingga pembaca kadang bisa menerima dan kadang juga tidak. Setiap teks dalam suatu buku mempunyai makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, sehingga jika tujuan dari pengarangnya itu sampai kepada pembaca maka terjadilah negoisasi pembacaan. Namun jika pembaca menolak ide dasar yang ingin disampaikan karena perbedaan persepsi, di sinilah proses oposisi pembacaan itu terjadi.

Bertolak dari hal tersebut, peneliti berupaya mengemukakan suatu pesan dari beberapa buku yang sebagian besar dibaca oleh para aktivis ROHIS di dua sekolah tersebut. Buku yang dijadikan fokus adalah buku-buku yang dikarang oleh Asma Nadia dan Tere Liye, dengan argumen bahwa buku-buku karangan mereka sangat diminati dan mempunyai tempat tersendiri, walaupun ada sebagian pengurus ROHIS yang menyukai buku Felix Y Siauw. Namun sebagian besar, aktivis ROHIS lebih memilih buku yang dikarang oleh Asma Nadia dan Tere Liye.

Asma Nadia merupakan seorang pendiri dari FLP (Forum Lingkar Pena), lulusan dari IPB (Institut Pertanian Bogor) bersama saudara dan temannya yaitu Helvy Tiana Rosa (UI) dan Muthmainnah (Unpad). Di mana forum ini lahir akibat rasa kerinduan dari pendiri FLP ini dengan ragam sastra yang mencerahkan. Itu terbukti dengan karya-karya yang telah dia luncurkan. Tema-temanya sangat menarik, dengan gaya bahasa yang ringan, menceritakan tentang masalah-maslah yang terjadi dikehidupan sehari-hari. Yang paling penting dari tulisan Asma Nadia,

adalah dia membahasakan bahasa agama dengan ringan, dengan bahasa yang disesuaikan dengan minat anak remaja saat ini. Mungkin itulah salah satu kelebihan dari beberapa tulisan yang sudah dia luncurkan.

Adapun Tere Liye merupakan seorang penulis yang sangat kreatif, sama halnya seperti Asma Nadia. Buku-bukunya bercerita seputar kesedihan, harapan, nasehat dengan gaya bahasa yang tidak menggurui, sangat halus. Seorang siswa berujar: “sering kali saya membaca buku tersebut, sampai berurai air mata.” Tere Liye adalah nama pena dari seseorang yang tidak ingin menyebut nama aslinya. Informasi tentang penulis ini sangat minim sekali, dia hanya melampirkan email jika ada dan perlu dikonfirmasi.

Buku yang berjudul My Pinky Moments, Jangan Jadi Muslimah Nyebelin, Jadian, Boleh Doung? adalah buku serial dari Aisyah Putri. Kisah ini bertumpu pada satu tokoh, yaitu Aisyah Putri seorang anak SMA yang bermata sipit, mempunyai empat saudara yang sangat menyayanginya. Dalam tema-tema tersebut, Asma Nadia menguraikan kisah-kisah yang dialami sebagian besar oleh anak-anak remaja saat ini, khususnya oleh aktivis ROHIS di dua sekolah.

Buku My Pinky Moments merupakan novel bergenre Islami, yang menceritakan tentang kisah Aisyah Putri, cewek sipit kelas 2 SMA yang mempunyai empat kakak yang sangat menyayanginya. Dia mencoba mencari tahu mengapa hari Valentine identik dengan warna pink. Di dalamnya juga disuguhkan tentang kasih sayang antar anggota keluarga. Dia merasa perhatian kakak-kakaknya pudar ketika menyambut hari Valentine. Di dalam novel ini juga disuguhkan sebuah info bertajuk “Sudut Info Aisyah Putri” mengulas tentang sejarah hari Valentine dan menurut kacamata agama Islam yang dikemas secara menarik. Selain itu juga disuguhkan gambar sketsa dalam beberapa percakapan, sehingga mampu mewarnai buku novel ini. Tema yang diambil merupakan kisah dalam kehidupan sehari-hari jadi pembaca dapat ikut merasakan apa yang ada di sana.

Page 122: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

106

Novel yang berjudul Jadian, Boleh dong? adalah novel yang masih serial dari Aisyah Putri. Dalam kisahnya menceritakan hebohnya teman Puput yang ingin pacaran, sehingga ada pertanyaan di benak Puput, boleh tidak pacaran dalam Islam? Novel ini dibagi menjadi dua bagian. Bahasa yang digunakan dalam novel ini pun terkesan remaja dan lugas, mungkin ini sudah bagian karakteristik tulisan Asma Nadia. Novel ini disertai karikatur yang dapat menarik para pembaca, sehingga pembaca tidak merasa bosan dengan apa yang sedang dibaca. Pesan yang ingin ditampilkan dalam novel ini sangat jelas sekali, yakni larangan berpacaran untuk remaja-remaja muslim/muslimah yang cerdas, kreatif, gaul tapi tetap syar’i. Buku lainnya yaitu Jangan Jadi Muslimah Nyebelin, yang berisi tips-tips dan trik untuk para muslimah agar tidak menjadi muslimah yang menyebalkan dalam kehidupan mereka. Buku ini juga memberikan tips-tips praktis yang akan menuntun muslimah menjadi pribadi yang plus. Selain itu, buku ini akan membantu mengoreksi diri kemudian akan membuat bergegas memperbaiki penampilan diri Anda.

Kelebihan buku ini adalah sangat apa adanya, tidak dibuat-buat dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bahasanya santai, mengundang senyum, tapi juga provokatif. Gaya bahasanya enak untuk semua usia dan mudah dimengerti oleh semua orang, sehingga tips dan trik yang ada di buku ini dapat dengan mudah diserap. Sampul depan buku yang berwarna ungu lengkap dengan gambar contoh-contoh muslimah menyebalkan semakin menambah ketertarikan orang untuk membaca. Dapat disimpulkan, buku ini sangat bagus untuk dibaca terutama para muslimah yang tidak ingin salah menempatkan diri ketika bergaul dengan orang lain.

Buku Berjuta Rasanya dan Sepotong Hati yang Baru adalah sebuah buku dari Tere Liye. Buku Berjuta Rasanya berisi lima belas kisah cinta. Cinta yang membuat sedih, senang, gila, cinta yang butuh pengorbanan, cinta yang membuat

perubahan, dan cinta sejati. Beberapa kisah di buku ini banyak terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Ada juga beberapa cerita yang terdapat unsur fantasi. Beberapa dikemas dengan dialog ringan, bahasa sehari-hari. Tapi, beberapa juga dituliskan dalam sajak-sajak indah penuh arti. Berjuta Rasanya tidak hanya berisi cerita-cerita manis yang berakhir indah, namun ada juga cerita yang menyedihkan berakhir tragis, cerita tentang sakit hati, dan cerita gelap dengan misteri pembunuhan. Sedangkan Sepotong Hati yang Baru merupakan buku sekuel dari buku yang berjudul Berjuta Rasanya, hampir sama dengan buku yang pertama berisi tentang kumpulan cerita pendek.

Melihat paparan gaya bahasa dan muatan materi buku dari Asma Nadia dan Tere Liye, yang dibaca oleh sebagian aktivis ROHIS di SMAN 48 Jakarta Timur dan ROHIS Najmatul Jisr SMA Labschool, hal itu lebih kepada haluan Islam Moderat (el-Fadl, 2006). Selain itu, bahasa buku-buku tersebut seperti bergaya lugas, tidak terlalu monoton, dan sangat komunikatif. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarangnya sebenarnya ingin memandang bahwa agama Islam itu tidak kaku, tidak formalistik. Meminjam pemetaan pemikiran Islam yang digunakan oleh Khaled Abou El-Fadl (2006) membagi menjadi dua, yakni ‘puritan’ dan ‘moderat.’ Dalam hal ini puritan didefinisikan sebagai sifat ciri menonjol menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Orientasi kelompok ini cenderung “puris”. Sebaliknya kalangan ‘moderat’ tidak menyandarkan pada watak pemahaman yang obsolutisme dan selalu menampilkan sikap yang toleran.

PenuTuP

Kesimpulan

Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa, bacaan keagamaan yang digunakan aktivis ROHIS di kedua sekolah lokasi penelitian sangat beragam. Aktivis ROHIS lebih suka membaca buku-buku bergenre novel Islami dan seputar perempuan yang mempunyai bahasa lebih lugas, mudah dipahami dan komunikatif.

Page 123: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Resepsi Aktivis Rohani Islam (Rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur Nur Mahmudah

107

Motivasi siswa dalam memilih bahan bacaan tersebut adalah karena dapat menunjang kegiatan ibadah mereka, baik wajib maupun sunnah, dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa sehari-sehari yang terjadi di lingkungan mereka. Ada beberapa aktivis yang gemar membaca buku-buku tentang pergerakan Islam, tetapi lebih kepada keingintahuan mereka dan rasa penasaran. Secara umum aktivis ROHIS menyukai bahan bacaan yang ringan-ringan, sesuai dengan jiwa remaja mereka dan memahami apa yang mereka mau.

Saran

Melihat data-data yang terungkap dalam penelitian ini, siswa sebetulnya haus dengan bacaan-bacaan keagamaan yang sifatnya memotivasi dan disampaikan dengan bahasa populer, sementara pendidikan agama yang berjalan secara formal dilakukan di sekolah terlampau kaku. Maka dibutuhkan mainstreaming “Islam Kebangsaan” dalam buku-buku keagamaan remaja, yang didukung pemerintah.

Ucapan Terima Kasih

Tulisan ini diambil dari salah satu hasil penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2013 dengan tema Analisis Resepsi (Tanggapan) Organisasi Ekstra Keagamaan terhadap Bahan Bacaan Keagamaan di Sekolah Menengah Atas. Saya ucapkan terima kasih kepada rekan saya Agus Iswanto, S.S, MA.Hum dan Muhammad Agus Noorbani, S.Psi yang telah memberikan masukan-masukan terhadap artikel ini sehingga layak dibaca. Kepada para sarjana dan penulis yang dijadikan acuan, saya haturkan terima kasih kendatipun hasil tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

dafTar PusTaKa

Adi, Tri Nugroho. 2012. Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi dalam Acta diurnA, Vol. 8 No.1.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Kencana.

El Fadl, Khaled Abou. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi . Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Farha, Ciciek. 2008. Laporan Penelitian Kaum Muda dan Regenerasi Gerakan Fundamentalis di Indonesia: Studi tentang Unit Kerohanian Islam di SMU Negeri. Penelitian tidak diterbitkan. Jakarta: Rahima Institute.

Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Liye, Tere, 2012. Berjuta Rasanya 1. Jakarta: Republika.

___. 2012. Sepotong Hati yang Baru (Berjuta Rasanya 2). Jakarta: Republika.

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajawali Press.

McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. California: Sage Publications.

Milles, Matthew B, A Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Nadia, Asma. 2006. Aisyah putri, my pinky moments. Jakarta: Lingkar Pena Publishing House.

___. 2009. Aisyah Putri, Jadian Boleh, Dong. Jakarta: Asma Nadia Publishing House.

___. 2013. Salon Kepribadian: Jangan Jadi Muslimah Nyebelin. Jakarta: Lingkar Pena Publishing House.

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Page 124: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 97-108

108

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salim HS, Hairus, Najib Kailani, Nikmal Azekiyah. 2011. Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta. Yogyakarta: Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2011. Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet.

Sudjiman, Panuti (ed). 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.

Tim Peneliti. 2011. Buku Teks Pendidikan Agama Islam sebagai Media Belajar. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Tim Puslitbang Lektur. 2009. Puslitbang Lektur Keagamaan dari Masa ke Masa. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Prenada Kencana.

Zaidan, Abdul Razak, Anita K Rustapa, Hani’ah. 2004. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Internet

Adi, Tri Nugroho. 2012. Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi, h t t p : / / s i n a u k o m u n i k a s i . w o r d p r e s s .com/2012/02/16/mengkaji-khalayak-media-dengan-metode-penelitian-resepsi/ (Diakses tanggal 12 Desember 2012).

http://news.detik.com/read/2011/04/28/205903/1628139/159/ini-dia-hasil-survei-lakip-yang-menghebohkan-itu. Akses tanggal 15 Januari 2013.

http://www.dakwatuna.com, akses tanggal 24 Nopember 2013.

http://www.icna.org, akses tanggal 24 Nopember 2013.

http://www.muslim.or.id, akses tanggal 24 Nopember 2013.

Page 125: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

109

NILAI KEAGAMAAN DALAM LIRIK LAGU TINGKILAN

Religious Values in Tingkilan Song Lyrics

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Makasar

JJl. A.P. Pettarani No. 72 MakassarEmail: muhammadsadlimustafa@

gmail.com Naskah diterima : 30 Januari 2015 Naskah direvisi : 23 Maret – 4 April

2015Naskah disetujui : 22 Juni 2015

AbstrAk Arus globalisasi saat ini membawa masyarakat Kalimantan Timur cenderung lebih menyukai musik modern dan musik ala barat. Sehingga seni musik lokal semakin tersisih. Padahal, mereka memiliki seni musik lokal yang sarat muatan kearifan lokal. Salah satu di antaranya adalah seni musik tingkilan. Bahkan, lirik lagu tingkilan ada yang bermuatan keagamaan. Oleh karena itu, Penelitian ini bermaksud menemukan dan mendeskripsikan tentang nilai keagamaan yang terkandung dalam lirik lagu seni musik tingkilan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ternyata sebagian dari lirik lagu tingkilan yang ada mengandung nilai keagamaan yang mendalam. Nilai keagamaan dimaksud antara lain syukur nikmat, belajar al-Qur’an dan makan minum sesuai dengan ajaran Islam.

Kata kunci: Nilai Keagamaan, Lirik Lagu Tingkilan.

AbstrActThis globalization era brought people of East Kalimantan tend to prefer modern music and western music. This cause the local or traditional music art is marginalized. On the other hand, they have a local music art containing a lot of local wisdom. One of them is tingkilan music. Lyrics of tingkilan contain religious values. Therefore, this study intends to find and to describe the religious values in the song lyrics of the tingkilan musical arts. This study uses a qualitative research method. The research shows that in fact some tingkilan song lyrics have a deep religious value. Some of those religious values are thanksgiving favors, learning of the holly Qur’an, the way of eating and drinking in accordance with the Islamic teaching.

Keyword: Religious Values, Song Lyrics Tingkilan.

MUHAMMAD SADLI MUSTAFA

Page 126: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

110

Pendahuluan

Manusia dalam kehidupannya senantiasa berinteraksi dengan sesama di dalam lingkungan sekitar. Interaksi itu dapat memberi efek positif atau negatif yang dapat dirasakan oleh masing-masing individu. Manusia kemudian merespons apa yang dirasakan itu dalam bentuk yang berbeda tergantung tingkat pengetahuan dan pengalaman masing-masing individu atau kelompok masyarakat. Respons dari apa yang dirasakan itu kemudian dapat menumbuhkan kreatifitas yang melahirkan seni dan budaya dalam masyarakat. Salah satu wujudnya yang dapat dilihat sampai saat ini misalnya adalah karya-karya sastra yang bernilai seni tinggi, seperti ungkapan-ungkapan dalam bentuk syair, puisi atau pantun. Untaian kata-kata yang diungkapkan itu dirangkai sedemikian rupa sehingga begitu indah terdengar dan juga sarat makna. Karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan dan mendambakan ketenangan dan kedamaian. Seni itu sendiri adalah keindahan, yang muncul dari sisi terdalam manusia karena dorongan naluriah atau fitrah yang dianugerahkan Tuhan sehingga memiliki kecenderungan kepada yang indah.

Salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kreatifitas seni dan budaya yang dimilikinya yang merupakan sesuatu yang baik atau makruf. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang melarang hal itu, tak terkecuali Islam, sepanjang tidak menodai norma-norma agama yang berlaku. Islam mendukung manusia berkreasi mewujudkan karya seni dan budaya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama. Bahkan, dalam al-Qur’an khususnya Q.S. Ali Imran / 3: 104 diperintahkan untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar. Oleh karena itu, nilai-nilai seni dan budaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama penting untuk dipelihara sebagai pilar utama dalam upaya membangun karakter bangsa. Kebudayaan merupakan aspek nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat yang menjadi landasan berpikir dan bertingkah laku. Pembangunan budaya

begitu penting, menunjukkan keberagaman dan jati diri sebagai bangsa yang kaya dan penuh potensi (Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012: 1). Oleh Karena itu, penggalian nilai-nilai seni budaya dapat mengungkap berbagai segi kearifan lokal yang sejalan dengan nilai keagamaan yang memuat pesan-pesan moral, seperti pesan-pesan moral terkait kerukunan umat beragama, persaudaraan, perdamaian, kasih sayang, dan sebagainya (Muslim, 2013: 232).

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan seni dan budaya yang beragam dan bervariasi antara satu daerah dan daerah lainnya. Salah satu di antaranya adalah seni musik tingkilan. Tingkilan merupakan seni musik khas suku Kutai Kalimantan Timur. Kesenian ini termasuk dalam pilar seni budaya pesisir Kalimantan Timur yang banyak mendapat pengaruh kebudayaan Islam (Sudiran, 2006: 27 – 36). Alat musik yang digunakan berupa gambus (sejenis gitar berdawai 6), dan ketipung (semacam gendang kecil). Lirik lagu yang didendangkan dalam kesenian ini berupa pantun atau syair yang bersifat nasihat/religi, percintaan, hal-hal yang berhubungan dengan alam, dan yang bersifat jenaka (Sjahbandi dkk., 1995/1996: 55).

Dewasa ini, seni tingkilan semakin tersisih. Hal ini akibat masuknya arus globalisasi dengan semakin marak dan berkembangnya berbagai aliran musik dan penetrasi budaya asing. Masyarakat cenderung lebih menyukai musik modern dan musik ala barat (Hakim, 2011: 55-60). Padahal, sebagai bangsa yang berbudaya sudah semestinya budaya lokal seperti tingkilan lebih diperhitungkan dan dipelihara karena sarat dengan muatan kearifan lokal dan tidak sedikit yang berisi nasihat atau pesan-pesan moral yang relevan dengan nilai-nilai ajaran agama (Hakim, 2011: 51). Paling tidak, sebagai salah satu filter terhadap penetrasi budaya asing yang tidak sedikit berimplikasi negatif terhadap moral generasi muda.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini penting dilakukan untuk mengungkap tentang

Page 127: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

111

nilai keagamaan atau pesan-pesan moral yang terkandung di dalam lirik lagu seni musik tingkilan yang bertema religi.

Tulisan yang terkait dengan seni musik tingkilan di Kalimantan Timur masih kurang. Tulisan terbaru terkait dengan seni musik tingkilan misalnya karya Aji Qamara Hakim (2011) yang membahas tentang dinamika perkembangan seni musik tingkilan, Fl. Sudiran (2006) yang menemukan tentang adanya pengaruh Islam dalam seni musik tingkilan, dan Dwi Hariyanto dkk. (2009) yang menginventarisir lirik lagu tingkilan di Kalimantan Timur. Sedangkan penelitian ini fokus untuk menemukan nilai-nilai keagamaan atau pesan-pesan moral yang terkandung dalam lirik lagu tingkilan.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data lapangan dilakukan di Kota Samarinda dan Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi yang merupakan teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2010: 309). Observasi dilakukan dengan mengamati pusat pengembangan seni budaya seperti sanggar seni serta pertunjukan seni terutama seni musik tingkilan yang dilakukan oleh seniman tingkilan. Wawancara dilakukan dengan teknik snow ball terhadap seniman, pemerhati seni dan pejabat terkait di lingkup Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terkait substansi penelitian. Data yang dikumpulkan termasuk sumber-sumber tertulis atau literatur yang relevan dengan substansi penelitian.

Data terkait dengan seni musik tingkilan diperoleh melalui wawancara dan studi dokumen atau literatur relevan. Sedangkan data terkait lirik lagu tingkilan, sebagian diperoleh melalui wawancara langsung dengan seniman dan merujuk dokumen seniman bersangkutan. Selain itu, juga diperoleh melalui literatur. Lirik yang disadur langsung dari literatur relevan seperti

lirik Intan Sayang dan Buah Bolok. Sedangkan lirik yang diperoleh dari hasil wawancara dengan penciptanya sekaligus merujuk pada dokumen lagu dari penciptanya sendiri seperti lirik Jepen Muslim dan Surat Kiriman dari Allah.

Salah satu ciri penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen adalah peneliti (Sugiyono, 2010: 305). Oleh karena itu, analisis data dilakukan sejak penelitian ini berlangsung hingga proses pengumpulan data berakhir. Namun, lebih difokuskan selama proses pengumpulan data di lokasi penelitian (Sugiyono, 2010: 336). Data yang dikumpulkan selama penelitian, dianalisis pada tingkat reduksi data, disajikan dan dijelaskan secara deskriptif. Dalam arti bahwa, proses analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai datanya jenuh.

Lirik lagu tingkilan yang ditemukan dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis dengan mengacu pada prinsip action (tindakan) dan konteks yang merupakan bagian dari prinsip analisis wacana kritis (Eriyanto, 2011: 8 - 10).

Selanjutnya, data yang telah diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk naratif berdasarkan sudut pandang penulis dan diolah dari hasil wawancara dan/atau literatur relevan yang dapat membantu mengungkap nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam lirik lagu tingkilan tersebut.

hasil dan PeMbahasan Seputar Seni Budaya di Provinsi Kali-mantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari tiga kota dan tujuh kabupaten. Tiga kota dimaksud adalah Kota Samarinda (ibukota provinsi), Bontang, dan Balikpapan. Sedangkan tujuh kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Mahakam Ulu, Paser, dan Penajam Paser Utara. Terdapat beragam suku yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur. Mereka terdiri dari suku asli dan pendatang. Suku asli di antaranya suku Dayak, Kutai, Paser, dan Berau. Meskipun mereka suku asli namun justru jumlah mereka sedikit

Page 128: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

112

dibanding dengan suku pendatang utamanya Jawa dan Bugis. Dengan populasi sebanyak 3.908.737 jiwa, 29,55% di antaranya adalah Suku Jawa, Bugis (18,26%), Banjar (13,94%), Toraja (1,96%), Sunda (1,59%), Madura (1,24%), Tionghoa (1,16%). Sedangkan etnis Dayak hanya (9,91%), Kutai (9,21%), Paser, Berau dan lain-lain (13,18%). Sedangkan prosentase penduduk berdasarkan agama terdiri dari Islam (87,62%), Kristen –Protestan dan Katolik– (11,96%), Hindu (0,18%), dan Budha (0,24%) (http://www.kemendagri.go.id, di-download, 22 Mei 2014).

Meski etnis Jawa, Bugis, dan Banjar merupakan suku pendatang, namun leluhur mereka telah ada dan hidup di Banjar sebelum abad ke-20, sehingga mereka juga telah dianggap sebagai penduduk asli Kalimantan (wawancara dengan Hamdani, seniman dan budayawan, 21 Mei 2014). Itulah sebabnya, ada sebagian seni budaya yang berkembang di Kalimantan Timur yang sesungguhnya akar budayanya berasal dari luar Kalimantan Timur, seperti Tari Tenun (Bugis), mappanre ri tasi (Bugis), reog, ketoprak, ludruk (Jawa), dan mamanda (Banjar) (wawancara dengan Awang Khalik, Kepala Seksi Seni dan Film Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, 20 Mei 2014). Secara garis besar, seni dan budaya di Kalimantan Timur terbagi atas tiga pilar yaitu; seni dan budaya pesisir, seni dan budaya pedalaman, dan seni dan budaya keraton (UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur, t.th.: t.h., dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, 2014: t.h.).

Seni dan budaya pesisir merupakan seni dan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat pesisir Kalimantan Timur seperti tari jepen, tarsul, tingkilan, upacara mappanre ri tasi’ dan sebagainya. Seni dan budaya pedalaman adalah seni dan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat di daerah pedalaman Kalimantan Timur yang pada umumnya merupakan masyarakat etnis Dayak. Seni dan budaya dimaksud seperti seni sampe, upacara belian, upacara adat kwangkai, upacara adat dangai, hudoq, pelas tahun, dan lain-lain.

Sedangkan seni dan budaya keraton merupakan seni dan budaya yang berasal dan dilakukan oleh kalangan keraton. Seni dan budaya dimaksud seperti erau tepung tawar, mengulur naga, dan lain-lain (Bidang Kesenian, 1982: 4 – 200). Seni dan budaya tersebut masih dilaksanakan hingga kini (wawancara dengan Hamdani, 21 Mei 2014).

Sekilas Perkembangan Seni Musik Tingkilan

Kata tingkilan berasal dari kata tingkil (bahasa Kutai) yang berarti bertalu-talu, maksudnya adalah bunyi atau suara “ting – tang” dari dentingan dawai gambus atau petikan bolak-balik dari alat musik gambus yang dimainkan (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014). Tingkil juga berarti pantun. Betingkilan berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan atau saling berbalas pantun (wawancara dengan Hamdani, 16 Juni 2014). Tingkil dalam bahasa Kutai juga bermakna sindir. Penambahan akhiran “an” membuat maknanya menjadi sindiran. Sindiran dimaksud berisi kritik dan saran yang disampaikan melalui lagu yang diiringi alat musik gambus dan ketipung (Hakim, 2011: 12-13).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tingkilan adalah salah satu bagian dari seni musik yang menggunakan alat musik gambus dan ketipung mengiringi lagu bersifat sindiran, berbentuk pantun saling berbalas, dan berisi kritik dan saran.

Pada awalnya, tingkilan hanya menggunakan dua alat musik yakni gambus dan ketipung yang kemudian dikenal sebagai tingkilan tradisional. Seiring perkembangan zaman, seni tingkilan sudah menggunakan alat musik lainnya seperti biola, okulele, gitar, bas, dan selo (Sjahbandi dkk., 1995/1996: 55). Tingkilan jenis ini dikenal dengan tingkilan modern. Orang yang memainkan alat musik tingkilan disebut juga peningkil (wawancara dengan Asrani,17 Juni 2014).

Pegiat seni tingkilan ini cukup banyak terdapat utamanya di daerah Kutai dan Samarinda. Meski dikatakan banyak mendapat pengaruh arab atau Islam, akan tetapi tidak semua pegiat seni ini berlatar agama Islam. Ada juga non muslim,

Page 129: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

113

misalnya saja Lamhin, seorang seniman tingkilan tradisional yang berdomisili di Kutai Kartanegara beragama Katolik. Lebih dari itu, ia berlatar etnis Dayak Benuaq. Meski Lamhin buta, namun ia piawai memainkan gambus dan ketipung sekaligus. Itu merupakan buah dari hasil latihan sejak usia dini (9 tahun). Tingkilan diajarkan oleh orang tuanya yang juga menyukai musik ini (wawancara dengan Lamhin, 19 Juni 2014). Setiap hari –termasuk ketika penulis menemuinya– kegiatan ini dilakoninya untuk mencari nafkah dengan mengambil tempat di sekitar Museum Tenggarong Mulawarman. Namun, ketika ia memainkan musik tingkilan, ia lebih banyak menyanyikan lirik yang bertema alam yang intinya mengajak pelancong untuk berwisata ke Kalimantan Timur khususnya Kutai Kartanegara. Sementara di Samarinda, salah satu sanggar yang terkenal dengan tingkilan-nya adalah Bina Seni Budaya Indonesia (BSBI) yang dibina oleh Asrani, seorang seniman yang menguasai tidak hanya tingkilan namun juga berbagai alat musik lainnya. Yang disebut terakhir ini memadukan alat musik tradisional tingkilan dengan alat musik modern dalam pementasannya. Sebab menurut Asrani, masyarakat Kalimantan Timur saat ini cenderung lebih menyukai musik modern dan lagu-lagu barat. Sehingga, syair lagu yang mengiringi musik tingkilan yang dipentaskannya seringkali juga bukan hanya pantun khas tingkilan tetapi lagu modern, lagu barat, dan lagu-lagu dari daerah atau etnis lainnya seperti anging mamiri, anak kukang (Makassar), cucak rowo (jawa), dan lain-lain pun ikut mewarnai musik tingkilan yang dibawakannya. Baginya, tingkilan adalah alat musik yang fleksibel, dapat masuk atau mengiringi lagu apa saja, tidak hanya pantun (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014). Rumah sang seniman sekaligus dijadikan sebagai sekretariat BSBI. Setiap kali penulis berkunjung ke tempat ini selalu dilakukan latihan seni dan tari termasuk seni musik tingkilan dan tari jepen. Menurut Hafiza, seniman sanggar BSBI (wawancara, 13 Juni 2014), latihan tersebut memang selalu dilakukan setiap malam.

Tidak terdapat keterangan jelas tentang kapan seni musik tingkilan muncul atau siapa yang

membawa dan mengembangkannya pertama kali di Kalimantan Timur khususnya di wilayah Kerajaan Kutai zaman dahulu. Menurut Hamdani (wawancara, 16 Juni 2014), diperkirakan musik tingkilan berawal dari Kalimantan Selatan yang kemudian dibawa oleh para pedagang muslim dan berkembang di Kalimantan Timur tidak lama setelah agama Islam mulai dikenal dan menjadi agama resmi di Kerajaan Kutai Kartanegara sekitar abad XVI M. (Hakim, 2011: 11).

Hal tersebut menjadi salah satu indikator kentalnya pengaruh budaya Islam dalam seni musik tingkilan. Selain itu, alat musik gambus yang menjadi alat musik vital tingkilan merupakan alat musik yang lahir dari proses akulturasi musik gambus kasidah ala Timur Tengah/Islam. Hal itu, diakui oleh banyak kalangan termasuk seniman dan budayawan tingkilan (wawancara dengan Hamdani, 16 Juni 2014). Bahkan, bentuk alat musik tingkilan yakni gambus memiliki makna filosofis yang islami. Misalnya jika gambus itu ditegakkan maka ia menjadi simbol huruf “alif”. Jika pengaitnya –yang hanya dianggap oleh masyarakat pada umumnya sebagai wadah untuk menggantungnya ketika tidak dimainkan– dibalik sehingga posisinya berada di bawah maka ia menjadi simbol huruf “lam”. Jika “ditidurkan” atau ditelungkupkan di mana posisi senar gambus berada di bawah maka menjadi simbol huruf “mim”. Dan ketika ditelentangkan dengan posisi senar gambus berada di atas maka menjadi simbol huruf “ba”. Sedangkan titik “ba”-nya adalah pusar seseorang ketika alat musik itu dimainkan. “Ba” bermakna memulai segala sesuatu hendaknya dengan basmalah (wawancara dengan Tri Andy, pemerhati seni, 19 Juni 2014).

Tingkilan pada awalnya hanya dimainkan oleh peningkil (pemusik sekaligus vokalis) untuk mengisi waktu luang selepas bekerja atau bertani. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya tingkilan menjadi sebuah kesenian yang dipersembahkan untuk dan perwakilan Kerajaan Kutai. Sehingga peningkil yang diakui kehebatannya diundang oleh kerajaan untuk menghibur dan menyambut tetamu kerajaan

Page 130: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

114

(Hakim, 2011: 11). Itulah sebabnya, tingkilan disebut sebagai kesenian rakyat, sebab ia lahir dari rakyat. Di saat bersamaan, kesenian keraton juga berkembang. Kesenian keraton merupakan hasil kreasi seniman keraton dan berkembang di lingkungan keraton (Hariyanto dkk., 2009: 10).

Pada awalnya, tingkilan berkembang di Kutai yang saat ini menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian selanjutnya, berkembang di beberapa daerah sekitarnya seperti Samarinda dan Balikpapan (Hariyanto dkk., 2009: 9).

Tingkilan pernah mengalami perkembangan yang pesat atau masa keemasan di tahun 1960-an hingga 1990-an. Di masa itu, hampir di setiap kecamatan terdapat grup dan maestro kesenian tingkilan dan jepen yang handal (Hariyanto dkk., 2009: 9). Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian tingkilan semakin tersisih di kalangan masyarakat dengan marak dan berkembangnya seni musik atau orkes modern termasuk musik barat (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014). Keadaan ini memunculkan kreativitas seniman tingkilan. Untuk dapat tetap eksis dalam blantika musik, mereka melakukan perubahan-perubahan baik dari sisi alat musik yang digunakan maupun kostum, bahasa dan lirik (Hariyanto dkk., 2009: 15-16). Dari sisi alat musik, dahulu hanya menggunakan gambus dan ketipung, sekarang sudah ditambah dengan beberapa alat musik lainnya (Wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014). Dahulu, pakaian yang digunakan oleh pemain tingkilan adalah pakaian adat Kutai (Hariyanto dkk., 2009: 26). Sekarang, tidak lagi terikat kostum tertentu atau bebas (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014). Dari sisi bahasa, dahulu bahasa yang digunakan dalam lirik lagu tingkilan adalah bahasa Kutai. Namun, saat ini bahasa yang digunakan dalam lirik lagu tingkilan tidak hanya bahasa Kutai saja tetapi juga dinyanyikan dalam bahasa Banjar dan bahasa Indonesia (Hariyanto dkk., 2009: 27). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Kalimantan Timur yang plural. Sehingga seniman tingkilan menciptakan lagu tingkilan tidak hanya menggunakan lirik dengan bahasa Kutai saja sebagai upaya dalam

mempertahankan eksistensi seni ini (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014).

Lirik lagu tingkilan dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu tradisional dan modern. Pada awalnya, lirik lagu tingkilan sesungguhnya tidak menggunakan naskah tertentu setiap kali dimainkan. Akan tetapi, lirik lagu tingkilan tradisional sifatnya adalah spontanitas. Dahulu, dalam suatu acara, ketika musik tingkilan dimainkan, seorang peningkil (pemain musik tingkilan) biasanya juga sekaligus bertindak sebagai vokalis yang kemudian menyanyikan sebuah bait pantun yang “menggelitik” pendengarnya sebagai suatu “pancingan”. Pendengar yang punya bakat atau kepandaian berpantun dan “terpancing” dengan lagu yang dimainkan kemudian membalas, sehingga terjadilah saling balas pantun sembari diiringi dengan musik tingkilan. Itulah sebabnya tak ditemukan naskah-naskah kuno terkait lirik lagu tingkilan. Ia hanya diceritakan atau diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk tradisi tutur (termasuk sastra lisan). Hanya saja, generasi selanjutnya kemudian menuliskan apa yang didengarkan tersebut. Sehingga lirik lagu tingkilan tradisional, yang berasal dari spontanitas itu masih dapat dijumpai hingga kini. Bahkan, spirit dari apa yang dituturkan oleh leluhur itu menginspirasi untuk menciptakan lirik tingkilan yang baru. Sedangkan lirik tingkilan modern sifatnya tidak lagi spontan tetapi naskahnya dibuat atau diciptakan oleh orang tertentu (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014).

Diamati dari bentuknya, lirik lagu tingkilan dapat dibedakan dalam tiga bentuk yakni pantun, syair, dan lirik yang bentuknya bebas atau modern (Hariyanto dkk., 2009: 31).

Sebagaimana pantun pada umumnya, pantun dalam tingkilan terdiri dari empat baris dan bersajak bersilih dua-dua dalam setiap baitnya. Dua baris awal merupakan sampiran dan dua baris kedua merupakan isi (Hariyanto dkk., 2009: 31). Menurut Asrani (wawancara, 17 Juni 2014), yang membedakan dengan pantun pada umumnya adalah pantun dalam tingkilan diiringi dengan alat musik sedangkan pantun pada

Page 131: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

115

umumnya tidak diiringi dengan alat musik. Syair dalam lirik tingkilan juga terdiri dari empat baris. Namun, syair tidak dibedakan antara sampiran dan isi. Adapun lirik yang sifatnya bebas, tidak terpaku pada bentuk pantun dan syair namun ia mengalir apa adanya tergantung pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya, dan dapat pula di dalam satu tema syair bebas itu di dalamnya bercampur antara bait yang berbentuk pantun dan yang tidak berbentuk pantun.

Pada awalnya, lirik lagu tingkilan biasanya bertema cinta kasih. Seiring perkembangan zaman, tema-tema dalam liriknya pun berkembang tidak hanya terbatas pada tema cinta kasih belaka, tetapi juga tentang alam, penerangan terhadap masyarakat, dan nasihat keagamaan atau religi (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014).

Nilai-nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan

Lirik lagu yang mengiringi musik tingkilan dengan tema religi ada yang secara eksplisit mengandung pesan agama dan ada pula yang secara inplisit menyiratkan pesan-pesan keagamaan. Pesan-pesan itu “menjelma” dalam bahasa lokal yang bila dicerna terdapat pesan-pesan keagamaan yang terkandung di dalamnya.

Lirik lagu tingkilan yang secara eksplisit bertema religi antara lain:

1. Intan SayangKalimantan (sayang) banyak bergunungMengandung intan bernilai jambun Wahai kawan jangan melamunKalau melamun wajahmu murung

Siapa suka (sayang) makan mentimunTimun penurun si darah tinggiJangan suka duduk melamunMelamun itu menyusah hati

Api berkobar (sayang) di lereng gunungBapak petani membakar rabaGelora hati (sayang) jangan dikurungKalau dikurung menjadi siksaYa Allah ya Tuhan (sayang) Maha Kuasa

Tempat bersyukur atas rahmatnyaMuda mudi (sayang) mari berdoaKepada Tuhan mohon ridhonya

Siapa bersyukur (sayang) nikmatnya Tuhan

Tuhan berjanji akan menambahkanJika ingkar pada nikmat TuhanAzabnya pedih tak terperikan

Hajat anda (sayang) jadi kenyataanItu karunia daripada TuhanKalau gagal dalam perjuanganBerputus asa dilarang Tuhan (Hariyanto dkk., 2009: 78 - 79)

Lirik tersebut di atas pada umumnya menggunakan bahasa Indonesia hanya kata jambun (melimpah) dan raba (pohon) yang merupakan bahasa Kutai. Lirik tersebut terdiri dari enam bait dan dua puluh empat baris. Setiap bait terdiri dari empat baris. Baris pertama dan baris kedua pada setiap bait adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan baris keempat pada setiap baitnya merupakan isi. Oleh karena itu dapat dikatakan lirik lagu tersebut berjenis pantun dengan pola persajakan yang berbeda di setiap bait. Ada yang berpola aaaa yang ditunjukkan pada bait keempat, kelima dan keenam, dan ada yang berpola abab yang ditunjukkan pada bait kedua dan ketiga (Hariyanto dkk., 2009: 80).

Secara eksplisit lirik di atas mengandung pesan agama. Terlihat jelas dalam pantun tersebut nasihat untuk tidak berpangku tangan dengan hanya menghayal saja yang dapat berakibat pada kesedihan dan kesusahan. Itu ditunjukkan dalam bait pertama dan kedua. Nasihat untuk selalu bersikap terbuka ditunjukkan pada bait ketiga. Nasihat untuk berharap dan berdoa hanya kepada Tuhan ditunjukkan pada bait keempat. Peringatan untuk tidak kufur nikmat tetapi selalu bersyukur atas nikmat Tuhan ditunjukkan pada bait kelima. Dan larangan untuk berputus asa ditunjukkan pada bait terakhir. Demikian pula menurut Hariyanto dkk. (2009: 80 – 82) terkait dengan isi dari lirik lagu di atas.

Di dalam lirik tersebut terdapat selipan kata “sayang” pada setiap bait. Kata “sayang” itu dapat dimaknai sebagai “pengetuk hati” bagi orang yang mendengar lirik ini dinyanyikan untuk menjadi perhatian terhadap pesan yang disampaikan.

Menurut Hariyanto dkk. (2009: 81) bahwa pada pada bait keempat, kelima dan keenam

Page 132: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

116

memiliki korelasi antara sampiran dengan isi, tidak seperti pantun pada umumnya yang semata-mata hanya mencari perpaduan dan keharmonisan bunyi persajakan pada akhir tiap barisnya. Sampiran pada bait keempat mengandung makna bahwa permohonan atau doa dan syukur hanya pantas dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Rahman. Bahkan, pada bait kelima terlihat jelas terinspirasi dari al-Qur’an khususnya Q.S. Ibrahim / 15: 7 yang dituangkan dalam gaya bahasa pantun. Dan sampiran pada bait keenam mengandung makna bahwa apa yang dicita-citakan atau dihajatkan seseorang dapat terwujud hanya dengan usaha yang gigih tak kenal putus asa.

Setelah dicermati secara mendalam ternyata semua sampiran pada setiap bait justru terdapat hubungan yang relevan dan kuat antara sampiran dengan isi. Tidak hanya pada bait keempat, kelima dan keenam saja.

Sampiran pada bait pertama misalnya mengandung makna bahwa Kalimantan merupakan daerah yang mempunyai kekayaan alam melimpah oleh karena itu tidak pantas penduduknya hanya tinggal diam berpangku tangan saja dengan melamun atau menghayal tetapi mesti dikelola dengan baik. Sampiran pada bait kedua mengandung makna bahwa penyakit dapat saja timbul akibat suka melamun. Sampiran pada bait ketiga berbicara tentang api yang berkobar membakar pepohonan, api merupakan simbol dari siksaan itu sendiri.

Dicermati secara keseluruhan lirik dari lagu “intan sayang”, pada intinya mengandung pesan untuk senantiasa tawakkal, syukur, dan pantang menyerah. Berdasarkan hal itu, jika dihubungkan dengan konteks masyarakat yang plural dan sumber daya alam di tanah Kalimantan yang melimpah maka dapat dikatakan bahwa wacana yang dibangun dan ingin disampaikan ke publik adalah penyadaran masyarakat tentang pentingnya menggali sumber daya alam melimpah yang terdapat di tanah Kalimantan, meskipun yang terkait dengan sumber daya alam itu hanya disinggung pada bait pertama dalam bentuk

sampiran namun karena yang ingin dibangun adalah penyadaran maka liriknya dikonstruksi sedemikian rupa dengan bahasa agama untuk menggugah kesadaran orang yang mendengarnya sehingga terbangun spirit atau semangat untuk bekerja dengan tekun dan gigih dalam membangun daerahnya sendiri sehingga tidak menjadi penonton di negeri atau daerah sendiri.

2. Jepen MuslimDitengah semaraknya muslim muslimatDi saat gemerlapnya lampu-lampu diskotikHai saudaraku muslim dan muslimatJangan tergoda nafsu dunia

Wahai kawanku…remaja seimanTuntutlah ilmu dunia akhiratIman dan taqwa dipeliharaAgar selamat dunia akhirat

Kepedulian kita tingkatkan sesama umatSetia kawan ramah dan sopan dilestarikanHarta kekayaan hanya titipan dalam duniaFakir dan miskin sebaiknya kita santuni (Asrani, 2014: 8)

Ketika syair lagu ini selesai didendangkan oleh Asrani (wawancara, 17 Juni 2014) di hadapan penulis, ia kemudian menjelaskan latar diciptakannya syair tersebut. Menurut Asrani, lirik lagu ini diciptakannya untuk menggugah kesadaran kaum muslim. Sebab, dari pengalaman hidupnya ia melihat, ternyata tidak sedikit saudara semuslim yang tergoda pada silaunya kemewahan duniawi sehingga melupakan Tuhan dan tidak peduli pada sesama.

Pesan agama terlihat jelas terkandung di dalam syair lagu ini. Syair ini berisi pesan khusus buat orang-orang Islam untuk menahan hawa nafsu (bait pertama). Untuk selamat dunia akhirat, iman dan taqwa mesti dijaga serta meluaskan wawasan dengan menuntut ilmu (bait kedua). Syair ini juga berisi pesan untuk menjaga etika dan meningkatkan kepedulian kepada sesama dengan menyantuni orang-orang yang membutuhkan (bait ketiga). Dapat dikatakan bahwa memelihara dengan baik hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia) merupakan inti dari pesan yang disampaikan dalam syair lagu ini.

Page 133: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

117

3. Surat Kiriman dari AllahQur’an utama, Qur’an paling kucintaQur’an tenaga hati Qur’an saudara kitaAl-Qur’an surat kiriman dari AllahPak guru lekaslah bacakan kepadakuA..pakah isinya…

Pertama ajarkan aku membaca huruf meluluKemudian ajarkan pula arti bacaan ituJikalau tidak diajar betapa akukan tahu

Ya..Rabbi ajarkan kami kitab-Mu yang Maha SuciPenyakit segala hati, obatnya hanyalah iniDengan nur cahaya ini hatiku penuh ya Rabbi (Asrani, 2014: 16)

Syair lagu ini, setelah didendangkan oleh Asrani (wawancara, 17 Juni 2014) di hadapan penulis juga dijelaskan tentang sebab diciptakannya. Menurut Asrani, lirik lagu ini tercipta karena terinspirasi dari kenyataan bahwa masih banyak kaum muslim yang hingga dewasa masih buta aksara al-Qur’an. Ia berharap dengan lirik ini bisa memberi motivasi kepada kaum muslim untuk giat belajar al-Qur’an.

Lirik lagu ini jelas terlihat merupakan syair bersifat bebas, tidak terikat dengan bentuk pantun ataupun syair sebagaimana umumnya. Bait pertama berisi lima baris, bait kedua dan ketiga masing-masing berisi tiga baris. Pesan yang ingin disampaikan dalam lirik lagu ini adalah al-Qur’an merupakan bacaan mulia berasal dari Allah yang Maha Mulia. Oleh karena itu, mesti dipelajari bacaan dan maknanya sebab ia merupakan obat hati. Ini relevan dengan ayat al-Qur’an khususnya Q.S. Al-Muzzammil / 73: 4 yang berisi ajakan untuk membaca al-Qur’an dengan baik. Juga relevan dengan al-Qur’an khususnya Q.S. Al-Isra’ / 17: 82 yang berisi pesan bahwa al-Qur’an yang diturunkan oleh Tuhan dapat menjadi obat dan rahmat bagi kaum mukmin.

Sedangkan lirik lagu tingkilan yang secara inplisit mengandung pesan-pesan keagamaan dapat dilihat dalam pantun berikut:

Buah BolokBuah bolok keranji papanLayaran anak ke IndragiriHilang mabok berahi datangKemana tempat membuang diri Jentanek gunung senekai Pucuk pisang layu-layuan

Lagi renik perayakkan Sudah besar malu-maluanKalau mudik ke kampong MarahPergi jua ke Tuana TahaKalau suka berhati marahUrang pemarah si cepat tuha Jangan asek memutik hara Buah hara jatoh ke lompor Jangan asek berhati lara Akibatnya endia membawa umurAnak leso mati berenangMati berenang diluan langkanMati bok hawai kugenangMati kekasih hawai kumakan Kembang jepun kembang cupila Mari ditaruh di dalam bokat Minta ampun dan minta rela Dari dunia sampai akhiratMarilah etam memetik haraParak puhun kembang melatiMarilah etam riang gembiraJangan asek besusah hati Marilah etam jalan perlahan Minum di sumur betutup kajang Marilah etam mohon ke Tuhan Supaya diberi umur yang panjang (Djumri Obeng, 1980: 21)

Lirik di atas berbahasa Melayu-Kutai. Namun, ada beberapa kata yang perlu dimaknai di sini sehingga dapat dipahami secara utuh antara lain; keranji/kuranji (di atas), layaran (berlayar), mabok (mabuk), berahi (syahwat), jentanek (menuju), renik perayakkan (ramai dirayakan), urang (orang), tuha (tua), asek (asyik/tenggelam dalam), lompor (lumpur), endia (nanti), leso (lesu), diluan langkan (saat/ketika sedang/dalam proses), bok hawai kugenang (aku malas mengenang), bokat (wadah), besusah (bersusah/bersedih), etam (kita), parak puhun (dekat pohon), betutup kajang (beratap daun nipah) (wawancara dengan Hamdani, 16 Juni 2014).

Lirik lagu di atas berbentuk pantun. Setelah dicermati, mengandung pesan untuk bersabar atau menahan diri dari amarah, nafsu, dan tidak larut dalam duka dan kesusahan, senantiasa tawakkal dan berdoa kepada Tuhan memohon ridhanya hingga diberi umur yang panjang.

Lirik lagu buah bolok ini juga mempunyai

Page 134: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

118

versi lain, sebagai berikut:Buah bolok kuranji papanDimakan mabok dibuang sayangBusu embok etam kumpulkanRumah-rumah jabok etam lestarikan Buah salak muda diperam Dimakan kelat dibuang sayang Spupudeng sanak etam kumpulkan Untuk menyambut wisatawanBuah terong digangan nyamanJukut blanak tolong panggangkanMuseum tenggarong MulawarmanYok dengsanak etam kerangahkan Buah bolok kuranji papan Dimakan mabok dibuang sayang Kroan kanak sekampongan Etam begantar bejepenan (Asrani, 2014: 3)

Lirik tersebut juga berbahasa Melayu-Kutai. Namun, ada beberapa kata yang perlu diberi makna agar dapat dipahami secara utuh, antara lain; busu embok (paman dan bibi), rumah-rumah jabok (rumah lapah), kelat (pekat), spupudeng (sepupu), sanak (saudara), digangan (dibuat sayur), nyaman (enak), jukut (ikan), yok dengsanak etam kerangahkan (mari saudara kita promosikan), kroan kanak sekampongan (semua anak sekampung), begantar bejepenan (menari gantar dan jepen) (Asrani, 2014: 3).

Lirik lagu buah bolok versi kedua ini yang paling banyak dikenal saat ini, tidak hanya dimainkan dengan iringan musik tingkilan, tetapi sudah ada dalam bentuk lagu pop modern. Bahkan dengan mudah dapat ditemukan di internet. Dalam pagelaran seni pada acara “Welcome Dinner Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional XVI di Provinsi Kalimantan Timur” tanggal 18 Juni 2014 di Samarinda, lirik ini juga sempat dimainkan oleh grup BSBI binaan Asrani. Sayangnya, lirik ciptaan Asrani yang bertema religi lainnya seperti Jepen muslim dan Surat Kiriman dari Tuhan tidak dimainkan. Grup BSBI lebih banyak memainkan lirik yang bertema alam. Karena menurut Asrani (wawancara, 18 Juni 2014), hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan keadaan atau acara.

Buah Bolok sesungguhnya merupakan lagu lama, namun lirik lagu buah bolok versi kedua ini kelihatannya adalah karya baru di abad ke-

20, kalimat “Museum Tenggarong Mulawarman” mengindikasikan kebaruannya. Sebab, Museum Tenggarong yang masih berdiri kokoh hingga kini, di zaman dahulu sesungguhnya adalah istana Kerajaan Kutai (Zularfi dkk., 1999/2000: 6 – 7). Tema lagu ini menginspirasi seniman tingkilan zaman sekarang mencipta atau menggubah lagunya sesuai dengan kondisi zaman (wawancara dengan Asrani, 17 Juni 2014).

Lirik lagu Buah Bolok versi kedua tersebut meski liriknya berbeda dengan yang pertama namun setelah dicermati ternyata nuansa keagamaan masih tetap tergambar dalam liriknya. Sebagai contoh, dua baris pertama pada bait pertama, bait kedua, dan bait ketiga ketika dibaca atau didengar sepintas seakan hanya pemanis lagu atau sampiran pantun saja. Namun bila dicerna ternyata menyiratkan makna yang mendalam khususnya ajaran tentang kesederhanaan atau larangan untuk memperturutkan sifat manusia yang terkadang berlebih-lebihan. Ini berarti bahwa lagu ini sesungguhnya mengandung nilai keagamaan. Setelah ditelusuri lebih dalam, terdapat ajaran tentang hal ini dalam al-Qur’an khususnya Q.S. Al-A’raf / 7: 31, yang artinya “…dan makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan.” Sedangkan dua baris isi dari lirik lagu tersebut mengandung ajakan untuk senantiasa memperkuat silaturrahim, melestarikan budaya, menghargai orang lain (tamu), dan menjunjung kebersamaan.

Konteks masyarakat Kalimantan Timur yang mayoritas merupakan penganut agama Islam menjadi inspirasi bagi seniman tingkilan untuk mengkonstruksi wacana bersifat keagamaan dalam bentuk lirik lagu tingkilan. Artinya bahwa seniman tingkilan berinteraksi dengan konteks sosial yang ada di sekitarnya. Hasil dialektika antara keahlian dalam mencipta lirik lagu dengan kondisi yang dihadapi menginspirasi untuk mengkonstruksi gagasan dalam bentuk lirik lagu tingkilan. Ini dapat dipahami sebagai sebuah tindakan (action) dari sang seniman dalam beriteraksi dengan konteks sosial yang dihadapi. Menurut Teun A. van Dijk (dalam Eriyanto, 2011:

Page 135: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Nilai Keagamaan dalam Lirik Lagu Tingkilan Muhammad Sadli Mustafa

119

8 - 10) bahwa tindakan (action) dan konteks merupakan bagian dari prinsip analisis wacana kritis. Jadi, Pesan-pesan yang terkandung dalam lirik lagu tingkilan dapat dipahami sebagai kritik sang seniman terhadap fakta atau konteks sosial yang terjadi di sekitarnya sebagai sebuah upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat dalam beragama dan dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan alam.

Pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk lirik lagu tingkilan bertema religi yang ditemukan merupakan kritik sekaligus nasihat bagi kaum muslimin untuk menggugah kesadaran mereka akan pentingnya menjaga iman dan taqwa atau hablun minallah (hubungan dengan Allah), hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablun minal alam (hubungan dengan alam sekitar). Namun, yang paling utama dari semua pesan yang disampaikan dalam lirik lagu tingkilan yang ditemukan tersebut adalah pentingnya bersyukur atas nikmat Tuhan, giat belajar al-Qur’an, serta bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan khususnya dalam hal makan dan minum.

PenuTuP

Kesimpulan

Seni musik tingkilan merupakan media bagi seniman untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan yang disampaikan dalam bentuk lirik lagu tersebut ternyata mengandung nilai keagamaan. Nilai keagamaan yang terkandung dalam lirik lagu tingkilan yang ditemukan antara lain syukur nikmat, belajar al-Qur’an dan makan minum sesuai dengan ajaran Islam.

Rekomendasi

Kepada para seniman tingkilan, perlu dibudayakan untuk lebih banyak mendendangkan lirik-lirik yang bernilai keagamaan di setiap pementasannya di antaranya seperti lirik-lirik yang ditemukan sebagai upaya untuk membangun kesadaran beragama masyarakat.

dafTar PusTaKa

Al-Qur’an al-Karim.

Abu Muslim. 2013. “Artikulasi Religi Sajak-sajak Basudara di Maluku”. Jurnal Al-Qalam. Volume 19 Nomor 2.

Aji Qamara Hakim. 2011. Tingkilan (Alunan yang Mengarungi Abad). Samarinda: Nuansa Harmoni.

Asrani. 2014. Daftar Lagu-lagu Tingkilan. Koleksi pribadi, tidak diterbitkan.

Bidang Kesenian. 1982. Cetak Ulang Kumpulan Naskah Kesenian 1976. Samarinda: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur. 2014. Data Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, tidak diterbitkan.

Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Mozaik Kepurbakalaan Sulawesi Selatan. Makassar: Culture and Tourism Office of South Sulawesi.

Djumri Obeng. 1980. Tingkilan dan Tarsulan Suku Kutai. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Dwi Hariyanto dkk. 2009. Tingkilan di Kalimantan Timur dalam Dinamika Zaman. Laporan Hasil Penelitian. Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.

Eriyanto. 2011. Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS.

Fl. Sudiran. 2006. “A Brief Study on The Musical Performance of Tingkilan from East Kaliman-tan”. Jurnal Humaniora. Volume 18 Nomor 1.

Sjahbandi dkk. 1995/1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur. Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur.

Page 136: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 109-120

120

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D). Bandung: Alfabeta.

UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur. t.th. “Sekilas Kebudayaan Kalimantan Timur”. Makalah, tidak diterbitkan.

Zularfi dkk. 1999/2000. Buku Panduan Museum Negeri Propinsi Kalimantan Timur “Mulawarman”. Samarinda: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Timur.

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/64/kaliman tan-timur. Di-download, 22 Mei 2014.

Page 137: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

121

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU DALAM KONSEPSI KELAS MENENGAH MUSLIM INDONESIA

Integrated Islamic Primary School In The Middle-Class Muslims Indonesia Conception

Universitas Ahmad Dahlan Jl. Ki Ageng Pemanahan No. 19

Sorosutan YogyakartaEmail: [email protected]

Naskah diterima : 7 Januari 2015Naskah direvisi : 23 – 27 Maret 2015

Naskah disetujui : 23 Juni 2015

AbstrAk Pada era reformasi, terdapat perkembangan menarik mengenai tren parental choice of education di Indonesia, ketika kalangan menengah Muslim lebih tertarik menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang memiliki basic keagamaan (Islam) yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengapa Sekolah Dasar Islam Terpadu banyak diminati orang tua dari Kelas Menengah Muslim? Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi terlibat, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi orang tua dalam menyekolahkan putra-putrinya di SDIT meliputi tiga faktor, yakni; faktor teologis, sosiologis, dan akademis. Faktor teologis merupakan alasan yang didasari atas pertimbangan agama. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki basic pendidikan agama yang kuat. Faktor sosiologis berkaitan dengan meningkatnya citra sekolah Islam di Indonesia. Faktor akademis berkaitan dengan kemampuan SDIT dalam mencapai prestasi akademik tinggi bagi para siswa. Posisi guru sebagai seorang murabby (pemandu moral) menjadi daya dukung utama sekolah ini. Posisi guru sebagai murabby menjadikan relasi antara guru dan siswa tidak hanya sebatas hubungan formal di sekolah, melainkan seperti hubungan antara orang tua dan anak di rumah. Oleh karena itu, pengembangan sekolah dasar ke depan perlu mempertimbangkan pendidikan keagamaan yang berkualitas dalam rangka untuk menarik parental choice of education dari kalangan menengah Muslim.

Kata kunci: Parental Choice of Education, Kelas Menengah Muslim, Sekolah Dasar Islam Terpadu.

AbstrActIn the reform era, there are interesting developments regarding the trend of parental choice of education in Indonesia, when the Middle-class Muslim more interested send their children to schools based on strong basic religious (Islamic). This study aims to answer the question why Islamic Primary School attracted many parents of Middle-class Muslim? The method of data collection is done by indepth interviews, participant observation, and documentation. The results showed that the preferences of parents in educating their children in SDIT is influenced by the three factors, namely; theological, sociological, and academic factors. Theological factors are reasons based on considerations of religion. Sociological factors associated with increasing image of Islamic schools. Academic factors related to the ability SDIT in achieving high academic achievement for their students. The position of the teacher as a murabby (moral guide) into the carrying capacity of the school principal. Murabby position makes the relationship between teacher and student is not merely a formal relationship in school, but as the relationship between parent and a child at home as well. Therefore, the future development of primary schools need to consider the quality of religious education in order to attract parental choice of education of the Middle-class Muslim.Keyword: Parental Choice of Education, Middle Class Muslims, Integrated Islamic Primary School.

SUYATNO

Page 138: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

122

Pendahuluan

Bergesernya parental choice of education di kalangan menengah Muslim Indonesia menjadi tema menarik di kalangan akademisi Muslim Indonesia pasca Orde Baru (Azra, 2006: 71). Pergeseran parental choice of education terjadi ketika orang tua dari kalangan menengah Muslim Indonesia lebih suka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dengan basic keislaman yang kuat, semisal Sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Sekolah Islam Terpadu, dibandingkan dengan sekolah umum. Fakta ini berbanding terbalik dengan beberapa dekade sebelumnya ketika orangtua dari kalangan menengah lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang tidak memiliki basic keagamaan (Azra, 2002). Era ini juga ditandai adanya perubahan besar dalam berbagai lanskap publik, baik dalam terminologi sistem politik, isi, produksi, distribusi, pertunjukan, dan diskursus media di Indonesia (Heryanto and Hadiz, 2008: 251-276).

Nanang Fatchurochman mengungkapkan akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. Menurutnya, para orang tua ditakutkan dan dicemaskan dengan fenomena kenakalan remaja (Fatchurahman, 2012: 4-6). Oleh karenanya, untuk mengantisipasi dan membekali anak sedini mungkin dari bangku sekolah dasar dengan pembiasaan nilai-nilai religius dan nilai-nilai luhur ketimuran atau pendidikan karakter, sebagaimana diungkap Azyumardi Azra, menjadi pilar utama penyelenggaraan sistem pendidikan pada Sekolah Islam Terpadu (Azra, 1998: 88), sehingga para orang tua berbondong-bondong memasukkan anak mereka ke sekolah tersebut.

Dominasi pesantren, madrasah, dan sekolah (umum) yang menjadi mainstream model lembaga pendidikan pada akhir abad ke-20 telah mengalami pergeseran seiring dengan kehadiran Sekolah Islam Terpadu (Hasan, 20011). Didirikan pertama kali pada awal dekade tahun 1990-an oleh para aktivis masjid kampus Institut Teknologi

Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI), lembaga pendidikan ini telah mampu mengambil hati masyarakat, secara khusus Kalangan Menengah Muslim Indonesia (Suyatno, 2013a). Dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 20 tahun, jumlah sekolah ini telah mencapai 10.000 sekolah di seluruh Indonesia dari tingkat TK hingga SMU (Usamah Hisyam, 2012). Perkembangan sekolah ini didukung pula oleh faktor desentralisasi kebijakan pendidikan pada tingkat propinsi dan kabupaten sehingga masing-masing pihak lebih leluasa untuk mendirikan lembaga pendidikan (Raihani, 2012: 279).

Sekolah Islam Terpadu merupakan model lembaga pendidikan yang berusaha menggabungkan antara ilmu umum dan agama dalam satu paket kurikulum yang integratif. Berbeda dengan tiga lembaga pendidikan sebelumnya, Sekolah Islam Terpadu memiliki segmentasi tersendiri. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional (Pribadi, 2013:4) yang diminati oleh kalangan Muslim grassroot yang menginginkan putra-putrinya mendalami ilmu agama; baik berupa hafalan Alquran, Hadis, Nahwu, Shorof, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Sekolah umum diminati oleh masyarakat umum baik kalangan Muslim maupun non-Muslim yang lebih memprioritaskan putra-putri mereka menguasai ilmu-ilmu modern, baik Ilmu Alam, Ilmu Sosial, maupun Humaniora. Madrasah yang sejak awal berdirinya ingin menjembatani gap antara pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dan sekolah umum sebagai lembaga pendidikan modern banyak diminati oleh kalangan Muslim, khususnya menengah ke bawah, yang menginginkan putra-putrinya tidak hanya menguasai ilmu agama namun juga didukung dengan penguasaan ilmu-ilmu modern. Harapan ini hampir tidak pernah menjadi kenyataan karena hingga saat ini dapat dikatakan alumni madrasah justru menjadi alumni yang hanya setengah-setengah menguasai ilmu agama dan ilmu umum (Hasan, 2011).

Kalangan Menengah Muslim menjadi segmentasi Sekolah-sekolah Islam Terpadu.

Page 139: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

123

Mereka bersedia mengeluarkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Untuk level TK atau SD, biaya masuk sekolah ini telah mencapai angka 4-5 juta, sedangkan sumbangan pendidikan perbulan dapat mencapai jumlah 400.000-600.000 rupiah. Angka ini lebih mahal dibandingkan dengan biaya masuk ke madrasah dan sekolah umum pada level yang sama. Bahkan, sekolah dasar negeri dan madrasah ibtidaiyah negeri banyak yang mencanangkan program gratis. Dan, meskipun biayanya lebih besar dengan sekolah umum lainnya, orang tua tidak merasa keberatan (Fatchurahman, 2012: 4-6).

Situasi ini berbanding terbalik dengan anggapan masyarakat pada masa-masa sebelumnya. Dahulu, orang beranggapan bahwa pendidikan berkualitas hanya dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan non-Islam sehingga banyak orang Islam berbondong-bondong memilih sekolah Katholik sebagai labuhan pendidikan anak-anaknya. Sekolah Islam Terpadu turut membangkitkan semangat berislam secara lebih terbuka dan membanggakan, yang pada gilirannya mempengaruhi geliat dakwah di masyarakat Muslim dalam berbagai lapisan sosial ekonomi. Ini bertarti, pola baru santrinisasi muncul di kalangan keluarga kelas menengah Muslim. Pola ini berbeda dengan, dan sekaligus sebagai kritik terhadap, pola dakwah pada umumnya yang dilakukan di masjid-masjid, pengajian akbar, dan tempat-tempat kegiatan keagamaan lain (Azra, 2002).

Meskipun alasan utama berupa keinginan orang tua untuk membentuk karakter anak, mereka tetap tidak mau ketinggalan dengan kualitas akademik yang rendah. Orang tua dari kelas menengah Muslim menginginkan kualitas yang seimbang antara pembentukan karakter dengan prestasi akademik (Hamdun, 2013). Dengan demikian, selain memiliki kemampuan dalam penguasaan ilmu-ilmu modern, anak juga memiliki pondasi pendidikan agama yang kuat.

Tulisan ini menjawab pertanyaan mengapa SDIT banyak diminati oleh orang tua dari kalangan menengah Muslim, apakah terkait dengan faktor akademis, sosiologis, ideologis, atau ekonomis?

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga khususnya bagi pemangku kebijakan pendidikan dan praktisi pendidikan. Informasi tentang pergeseran parental choice of education dapat menjadi acuan bagi sekolah untuk mengembangkan arah kelembagaannya. SDIT Salsabila Yogyakarta dipilih menjadi lokus penelitian karena meskipun usia sekolah yang masih baru dan secara geografis berdekatan dengan sekolah dasar lain, minat masyarakat terhadap sekolah ini selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dengan demikian, SDIT Salsabila dipandang sebagai sekolah yang memiliki daya tarik tersendiri di kalangan orang tua yang berasal dari kalangan menengah Muslim.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memiliki beberapa karakteristik yaitu; pertama, berlangsung dalam latar ilmiah (Nasution, 1998: 9-12); kedua, peneliti adalah instrumen atau alat pengumpul data yang utama; ketiga, analisis datanya dilakukan secara induktif (Moleong, 1989: 3). Menurut Yin, fokus penelitian lebih berusaha menjawab pertanyaan tentang “bagaimana” (Yin, 1996: 18). Secara filosofis, sesuai dengan karakter data, teknik pengumpulan dan analisisnya penelitian ini mengacu pada pendekatan kualitatif-naturalistik (Muhadjir, 2002: 17-18). Penelitian kualitatif lebih menekankan kepada makna (Sugiyono, 2006: 21-22).

Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi; (1) observasi terlibat, (2) wawancara mendalam, dan (3) dokumentasi. Untuk menjamin akurasi data yang diperoleh dan kesesuainnya dengan masalah penelitian maka dilakukan telaah; (1) keaslian dokumen, (2) kebenaran isi dokumen, dan (3) relevansi isi dokumen dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian.

Analisis data dibagi ke dalam dua tahap; (1) analysis in the field, dan (2) analysis after data collection (Bogdan & Biklen, 1982: 148). Hasil yang diperoleh pada tahap pertama berupa catatan lapangan (field note) atau field work (Lincoln, 19985: 202). Hasil analisis pada tahap ini berupa kesimpulan sementara yang diperoleh

Page 140: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

124

dari hasil observasi, dan kajian dokumen dengan menggunakan model analisis induktif. Data (kesimpulan) yang diperoleh pada analisis tahap pertama selanjutnya dikembangkan pada analisis tahap kedua, yaitu analysis after data collection. Pada tahap ini semua data dianalisis secara induktif dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif, yaitu dengan menguraikan berbagai fenomena pengelolaan dan aktivitas sekolah secara verbal.

hasil dan PeMbahasan Menjelang abad 21, ada perubahan yang

cukup menarik mengenai tren pendidikan (baca pendidikan Islam) di Indonesia. Dominasi lembaga pendidikan yang terdiri dari Pesantren, Madrasah, dan Sekolah (umum) mulai bergeser. Hal ini ditengarai dengan fenomena munculnya Sekolah Islam Terpadu di seantero negeri ini. Didirikan pertama kali oleh para aktivis Masjid Kampus ITB dan UI, lembaga pendidikan ini telah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia (Suyatno, 2013b). Persebaran sekolah yang demikian pesat menunjukkan bahwa Sekolah Islam Terpadu menjadi trend baru pendidikan Islam di Indonesia.

Di Yogyakarta, telah berdiri 74 sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga Sekolah menengah atas. Tujuh puluh empat sekolah tersebut berada di bawah 74 naungan yayasan yang berbeda (Profil JSIT, 2014). Diantara 74 sekolah tersebut yang layak diperhitungkan adalah SDIT Salsabila.

SDIT Salsabila bernaung di bawah Yayasan Silaturrahmi Pecinta Anak Indonesia (SPA) Indonesia. SDIT Salsabila merupakan Sekolah Dasar dengan sistem Fullday School yang memadukan kurikulum nasional dengan kurikulum Yayasan (lokal). Dengan harapan, dapat menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini, membiasakan perilaku islami dalam kehidupan sehari-hari dan menanamkan dasar-dasar untuk mengembangkan dan membentuk potensi peserta didik secara optimal (Dokumentasi Profil SDIT Salsabila).

Visi SDIT Salsabila adalah cakap, cendekia,

dan berakhlak mulia. Berbagai cara dilakukan SDIT Salsabila untuk mencapai visinya. Salah satunya dengan menggunakan konsep 5 pilar pendidikan islam terpadu yang dijadikan landasan dalam penerapan pembelajaran selanjutnya. Adapun 5 pilar pendidikan islam terpadu yaitu:

Pertama, berpusat pada nilai-nilai Islam secara terintegrasi. Kurikulum di sekolah-sekolah yang menggunakan Kurikulum Pendidikan Islam Terpadu tidak selalu menggunakan kurikulum yang berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Perbedaannya utama bukan pada kurikulumnya melainkan pada pendekatannya. Di sekolah yang menggunakan pendekatan Islam terpadu semua materi pelajaran dan pembentukan lingkungan, diusahakan benar-benar berpusat pada nilai-nilai Islam.

Kedua, learning by doing. Learning by doing adalah pendekatan pendidikan di mana semua peristiwa disikapi sebagai sumber ilmu, dan semua ilmu diusahakan agar dapat didekati dengan praktek yang nyata, hal ini dilakukan atas dasar prinsip pendidikan dalam Islam yaitu ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah. Selain itu, prinsip ini juga mengacu pada konsep Iqra’. Di mana Allah mengajarkan siapa saja untuk ‘membaca’ semua peristiwa sebagai sumber ilmu, dalam rangka memahami kebesaran-Nya. Semua penambahan ilmu yang bersifat ilmiah maupun alamiah, adalah dalam rangka memantapkan keimanan siswa kepada Allah swt.

Ketiga, habbit forming. Pembentukan kebiasaan yang mengacu pada kepribadian Islam (Syakhsiyyah Islamiyah) yang unggul, dari aspek yang kecil hingga yang besar mendapat perhatian khusus dalam konsep pendidikan Islam Terpadu. Habbit (kebiasaan) adalah salah satu sasaran pendidikan yang sangat ditekankan. Meskipun harus dimulai dengan kesadaran hati, namun untuk menjadi sebuah karakter kepribadian, diperlukan proses pembiasaan yang panjang, kontinyu dan berkelanjutan.

Keempat, keteladanan. Guru di Sekolah Islam Terpadu diseleksi secara ketat karena diyakini bahwa guru bukan hanya sekedar sebagai sumber

Page 141: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

125

belajar ilmiah, namun juga sumber belajar secara menyeluruh. Sebagaimana fungsi kenabian pada diri Rosulullah, guru dituntut mampu menjadi contoh nyata (uswatun hasanah).

Kelima, fullday school. Sebagai konsekuensi dari konsep pendidikan di atas, dibutuhkan rentang waktu belajar yang lebih panjang. Hal ini merupakan konsekuensi dari tuntutan keterpaduan pada setiap aspek pembelajaran. Sebagai contoh, shalat tidak hanya diajarkan dari sudut kaifiyat (tata cara pelaksanaannya), namun melalui pembiasaan, keteladanan dan belajar langsung dari praktek keseharian. Adapun rentang waktu panjang (fullday school) yang dipilih dapat disesuaikan dengan tingkat usia anak, situasi dan kondisi yang ada (Dokumentasi Profil SDIT Salsabila).

Berdasarkan hasil analisis data di yang ditemukan di lapangan, ada tiga preferensi orang tua menyekolahkan anaknya ke SDIT Salsabila. Tiga preferensi itu adalah faktor teologis, sosiologis, dan akademis yang akan dijabarkan secara rinci di bawah ini.

Faktor Teologis

The reason of parental choice of education kategori teologis merupakan alasan orang tua memilih sekolah berdasarkan pertimbangan agama. Alasan teologis orang tua menyekolahkan anak-anaknya di SDIT Salsabila merupakan faktor paling dominan dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Indikator alasan teologis ini berupa keinginan orang tua menjadikan anaknya sebagai pribadi yang salih, pandai membaca Alquran, memiliki banyak hafalan Alquran, dan dapat menjalankan ibadah secara benar. Hal ini terungkap dari berbagai kesempatan peneliti dalam melakukan wawancara dengan para narasumber kepada orang tua siswa di sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini. Salah satu orang tua siswa menuturkan:

Sejak awal SDIT secara umum adalah pilihan pertama untuk sekolah anak-anak saya karena pertimbangan agama. Jadi pertama kali yang saya perhitungkan adalah agamanya. Kalau

agamanya bagus ya saya pilih. Kalau tidak bagus saya tidak mau meskipun prestasi lainnya bagus. Dan alhamdulillah saya memilih salsabila karena pertimbangan jaraknya yang terjangkau (Wawancara dengan N, orang tua siswa kelas III).

Dari wawancara ini terungkap bahwa orang tua menyekolahkan anaknya di SDIT Salsabila karena pertimbangan agamanya. Ia akan memilih sekolah yang memiliki dasar keagamaan yang bagus dan SDIT Salsabila merupakan salah satu SDIT yang dianggap memiliki pendidikan agama yang bagus. Dia memahami bahwa agama menjadi komponen penting untuk menjadikan anaknya sebagai anak yang salih. Tanpa pendidikan agama yang bagus tidak mungkin anaknya akan menjadi anak yang salih.

Alasan serupa juga diungkapkan oleh orang tua siswa dari siswa kelas III. Orang tua ini memilih SDIT Salsabila karena pengalaman dari rekan-rekan sejawat, anak-anak yang sekolah di sini memiliki hafalan surat-surat dalam Alquran yang cukup banyak.

Saya melihat beberapa anak teman saya memiliki hafalan surat-surat dalam Alquran padahal mereka masih kecil. Sedangkan kalau di sekolah negeri belum tentu sampai usia SMP atau SMA bisa membaca Alquran kalau tidak diajari sendiri di rumah. Makanya saya mantap untuk menjadikan SDIT Salsabila sebagai sekolah bagi anak saya. Di samping itu saya tidak harus repot-repot untuk memberi pelajaran agama tambahan di rumah (Wawancara dengan W, orang tua siswa kelas III SDIT Salsabila).

Hafalan surat dalam Alquran merupakan faktor pendukung seorang anak dalam menjalankan agamanya (Islam). Meskipun hafalan bukan ukuran utama seseorang dalam menjalankan agamanya, namun hafalan seringkali menjadi ukuran kecerdasan seseorang dalam belajar agama. Hal ini menyebabkan banyak orang tua merasa bangga jika anak-anak mereka yang masih usia sekolah dasar sudah memiliki hafalan surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam Alquran. Gambaran seperti inilah yang menjadikan orang tua tertarik untuk menyekolahkan kedua anaknya ke sekolah tersebut.

Page 142: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

126

Tidak jauh berbeda dengan alasan kedua orang tua tersebut, adalah alasan yang dikemukakan oleh S, orang tua siswa kelas IV. Dia menuturkan:

Memang sesuai harapan saya. Anak saya jadi mengenal agama lebih baik lagi. Mengerti tata cara salat dengan baik, dan bahkan sekarang sudah pintar dalam menulis dan membaca Alquran. Dan itulah alasan utama saya memilih SDIT Salsabila agar mereka memiliki bekal ilmu-ilmu agama dengan baik. Program mutabaah yang dilaksanakan sekolah merupakan program yang sangat menyemangati anak saya. Selain itu contoh langsung dari guru juga sangat penting (Wawancara dengan S, orang tua siswa kelas IV SDIT Salsabila).

Menurut S, anaknya mengalami peningkatan dalam melakukan kebaikan dan salah satu program yang dilaksanakan oleh sekolah yang dinamakan mutabaah semakin menambah semangat anaknya untuk belajar. Dia melanjutkan bahwa salah satu faktor keberhasilan dalam pendidikan anaknya adalah keteladanan seorang guru. Orang tua lain menuturkan:

Guru-guru di sini bagus-bagus terutama guru yang sudah lama karena diangkat dengan seleksi yang ketat. Mereka memiliki dedikasi yang tinggi untuk mendidik anak-anak. Sangat akrab dengan siswa dan juga orang tua. Bahkan anak saya memang sudah menganggap mereka seperti layaknya orang tua ketika di sekolah (Wawancara dengan P, orang tua siswa kelas IV SDIT Salsabila).

Data yang terungkap dari ketiga nara sumber tersebut menunjukkan bahwa alasan pendidikan agama menjadi faktor penting bagi orang tua dalam menentukan pilihan lembaga pendidikan bagi putra-putrinya. Alasan teologis ini sejalan dengan fenomena perkembangan Kelas Menengah Muslim di Indonesia dimulai pada akhir dekade tahun 1980-an.

Berbeda dengan masyarakat Barat yang semakin modern masyarakat maka semakin menjauh dari agama, kelas menengah Muslim di Indonesia diikuti oleh meningkatnya religiusitas. Fakta ini juga sejalan dengan ungkapan Vatikiotis sebagai berikut:

Di Indonesia, kebangkitan kembali kepada semangat keagamaan tahun 1980-an dan 1990-

an adalah fenomena khas kelas menengah di wilayah-wilayah perkotaan–segmen masyarakat yang paling banyak tersentuh oleh pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Fenomena ini berpengaruh luas pada meningkatnya ketaatan beragama pada orang-orang Islam yang sedang menikmati kemakmuran sebagai kelas menengah” (Michael R.J. Vatikiotis, 1996: 152-153).

Pendapat Nassbit menguatkan penjelasan ini. Ia menyatakan bahwa ketika sebuah masyarakat digempur oleh perubahan sosial yang demikian dahsyat maka kebutuhan akan agama mengalami peningkatan. Masyarakat kembali kepada ketaatan beragama (religious devotion) (Naisbitt, 1982). Vatikiotis menguatkan bahwa telah terjadi gejala dislokasi sosial yang luas yang menghinggapi masyarakat yang sedang berubah cepat. Banyak orang kemudian kembali pada agamanya untuk memperteguh diri sebagai reaksi atas hancurnya tatanan nilai-nilai moral sosial tradisional yang terjadi di sekitar mereka (Www.Kelas-Menengah-Indonesia.Iis. Diunduh 10 November, 2013).

The Reason of parental choice of education faktor teologis di Sekolah Islam Terpadu juga membawa dampak luas terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Hal ini digambarkan sangat menarik oleh Azyumardi Azra sebagai berikut:

Perkembangan Sekolah Islam Terpadu juga memberikan corak baru dalam perkembangan islamisasi masyarakat Indonesia yang oleh sebagian pakar disebut dengan santrinisasi. Proses santrinisasi melalui Sekolah Islam Terpadu dapat berlangsung melalui berbagai model. Para siswa di Sekolah-Sekolah Islam Terpadu pada umumnya telah mengalami proses reislamisasi. Dalam arti, peserta didik mendapat didikan ajaran dan praktik-praktik Islam secara intens dan terarah. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan dalam kerangka penanaman nilai-nilai keagamaan, secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi kedalaman wawasan keislaman anak didik. Selain itu, para siswa di Sekolah Islam Terpadu membawa pulang ke rumah masing-masing dan menyampaikan pengetahuan keislaman itu kepada anggota keluarganya. Dalam banyak kasus, orang tua kadang merasa malu bila mendapat pelajaran dari anaknya. Akibatnya, orang mencari tahu tentang Islam baik melalui buku-buku, CD, kaset atau mengundang guru privat ke rumah (Azra, 2002: 80).

Page 143: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

127

Dorongan yang datang dari anak (atau anggota keluarga) untuk mempelajari Islam kadang lebih menyentuh dari pada dorongan dari luar, sehingga dalam keluarga terjadi proses saling mengingatkan antara anak dan orang tua untuk menjalani kehidupan yang islami. Hal demikian juga menimbulkan dampak berbeda dari keberadaan Sekolah Islam Terpadu. Kehadiran Sekolah Islam Terpadu ternyata tidak hanya memberikan dampak meningkatnya religiusitas siswa di kelas, namun juga berdampak langsung terhadap tingkat perkembangan religiusitas orang tua di rumah. Oleh karena itu, orang tua yang pada awalnya memilih sekolah islam terpadu sebagai tempat pendidikan bagi anak-anaknya juga terkena dampak positif dari pilihannya tersebut.

Alasan orang tua menjatuhkan pilihan lembaga pendidikan anak-anaknya di SDIT Salsabila karena faktor agama memang dianggap sebagai pilihan yang cukup rasional. Hal ini mengingat SDIT Salsabila sangat memperhatikan pendidikan agama dan menjadikannya sebagai faktor penting dalam kegiatan sekolah.

Faktor Sosiologis

Faktor sosiologis juga menjadi pertimbangan penting mengapa SDIT Salsabila mendapat sam-butan luas dari masyarakat. Alasan sosiologis di-dasarkan pada seberapa jauh lembaga pendidikan dapat memenuhi peran-peran sosiologis; peran alokasi posisionil berupa kedudukan dan peran penting dalam kehidupan sosial; memungkinkan terjadinya mobilitas sosial; peran mengukuhkan status sosial; dan peran untuk meningkatkan pres-tise seseorang di masyarakat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, Sekolah Islam secara umum di Indonesia telah mengalami peningkatan citra dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Sekolah Dasar Islam Terpadu merupakan jawaban atas keraguan dan anggapan yang selama ini kuat mengakar di masyarakat bahwa pendidikan Islam tidak bisa tampil ke depan dalam proses pencerdasan bangsa. Dahulu, orang beranggapan pendidikan berkualitas hanya dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan non-

Islam sehingga banyak orang Islam berbondong-bondong memilih sekolah Katholik sebagai labuhan pendidikan anak-anaknya. Namun demikian, fenomena ini mulai bergeser seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Islam, termasuk di dalamnya perkembangan Sekolah Islam Terpadu.

Terus membaiknya citra Sekolah Islam Terpa-du di mata masyarakat inilah yang menjadi salah satu faktor sosiologis mengapa para orang tua yang secara umum dari kalangan menengah Muslim ini merelakan putra-putrinya menempuh pendidikan di SDIT Salsabila. Dengan memasukkan anak-anaknya di SDIT Salsabila dengan sendirinya mereka layaknya telah mendeklarasikan diri sebagai bagian dari kalangan menengah Muslim, yang memiliki identitas tersendiri dan terpisah dengan kalangan lain.

Kemunculan kelas menengah ini difasilitasi oleh suksesnya pembangunan ekonomi dan transformasi pendidikan sebagai akibat dari program modernisasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru. Dampak dari kemakmuran ekonomi dan transformasi pendidikan ini, sejak tahun 1980-an, Indonesia kemudian memiliki sejumlah besar tenaga ahli yang terdiri dari para manajer, para pekerja terlatih, para teknisi, para guru dan dosen yang berdedikasi tinggi, dan jenis-jenis sumber daya manusia lainnya yang cukup qualified (Anwar, 1995:120).

Banyak pakar yang mengungkapkan sebab-sebab munculnya kelas menengah Muslim. Menurut Nakamura (1993: 12-13) akses kaum Muslim menjadi faktor terpenting munculnya kelas ini. Kelas ini akhirnya menempati jabatan penting dalam pemerintahan. Dalam kelas menengah Muslim terdapat sejumlah kaum akademisi, kaum cendekiawan, reformis, intelektual, para pengusaha muda, pengacara, tokoh-tokoh politik, aktifis kebudayaan, kaum teknokrat, aktifis LSM, para juru dakwah, publik figur, para presenter, para pengamat ekonomi dan sejenisnya (Robinson, 1993:1960).

Faktor sosiologis yang sesuai dengan

Page 144: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

128

kebutuhan kelas menengah Muslim dari SDIT Salsabila adalah penerapan fullday school yang mengharuskan para siswa mengikuti proses pembelajaran dalam waktu yang lebih lama, mulai jam 07.00-15.00 WIB. Waktu pembelajaran yang lebih lama ini memungkinkan SDIT Salsabila untuk mengajarkan semua materi yang terdapat dalam kurikulum, termasuk kurikulum keagamaan tambahan, Bahasa Arab dan Alquran. Lebih dari itu, para siswa juga memiliki kesempatan untuk mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari, terutama yang berhubungan dengan kurikulum keagamaan.

Saya menyekolahkan anak saya di SDIT Salsabila adalah karena fullday nya, di mana kami sudah sibuk bekerja, maka kami perlu memilih lembaga yang bisa kami percaya untuk menjaga anak-anak. Menjaga maksudnya tetap menanamkan kebaikan-kebaikan selama kami bekerja.” (Wawancara dengan B, orang tua siswa kelas V SDIT Salsabila).

Sistem fullday school merupakan program pendidikan yang menyediakan waktu akademik lebih panjang daripada program pendidikan pada umumnya. Waktu akademik ini digunakan untuk melatih ketrampilan sosial anak dengan kebebasan menentukan pilihan waktu. Program fullday lazimnya berlangsung antara pukul 07.00-15.00 sedangkan program halfday (paruh hari) berlangsung antara pukul 07.00-11.00. Sedangkan di SDIT Salsabila, program fullday untuk kelas I-III adalah pukul 07.00-15.00, sedangkan untuk kelas IV-VI adalah pukul 07.00-16.00 WIB. (Dokumentasi Jadwal Kegiatan SDIT Salsabila, diakses Hari Selasa Tanggal 12 November 2014).

Beberapa argumentasi maraknya program fullday school dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya faktor sosial, ekonomi, dan faktor pendidikan itu sendiri. Di samping itu, meningkatnya jumlah keluarga single parent ataupun keluarga ketika suami istri sama-sama bekerja semakin menegaskan pentingnya program fullday school. Secara ekonomis, perawatan anak selama jam kerja dianggap lebih murah dan sederhana jika dibandingkan dengan sekolah paruh hari. Sejumlah pendukung fullday

mengatakan bahwa sebagian wali murid tertarik oleh keuntungan program ini, terutama untuk lebih mempersiapkan anak menerima seluruh kurikulum secara tuntas.

Perbedaan antara program fullday dengan halfday terletak pada fakta penelitian bahwa fullday terlihat jelas pada penerapannya pada level lokal dan level nasional. Berdasarkan The Early Childhood Longitudinal Study, level TK pada tahun 1998 hingga 1999 relatif berbeda pada level nasional. Laporan ini menguji perbedaan antara fullday dan halfday TK di Amerika Serikat dengan menggunakan data ECLS (Early Childhoold Longitudinal Study) dari sekolah, guru, orang tua dan anak TK. Perbedaan yang menonjol di antaranya terletak pada kurikulum. Pada tahun 1998-1999, 61% sekolah TK di Amerika Serikat paling tidak menawarkan satu kelas program fullday dan paling tidak 47%-nya menawarkan kelas halfday (Maksudin, 2010).

Berkaitan dengan sistem fullday school yang diterapkan oleh SDIT Salsabila, ada pertimbangan riil dari beberapa orang tua siswa yang mendorong mereka untuk memilih sekolah ini sebagai tempat pendidikan bagi putra-putrinya. Adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan Islam menjadi faktor utama, selain faktor lainnya yang bersifat teknis seperti ingin menitipkan anaknya karena mereka sibuk bekerja sampai sore agar anak tidak menghabiskan waktunya untuk bermain atau menonton televisi sehingga melalaikan belajar. Secara umum dapat dikatakan bahwa para orang tua atau wali siswa yang menyekolahkan anaknya di lembaga ini adalah karena mereka yang secara teknis merasa kurang mampu mengontrol anaknya di rumah karena beberapa alasan. Sebenarnya dengan sistem fullday school tugas guru menjadi lebih berat dan ekstra dalam mendidik dan mengawasi perkembangan anak didik, karena sebagian orang tua siswa sudah percaya untuk menitipkan anaknya sekolah di SDIT tersebut. Sistem fullday school merupakan satu kesatuan yang reeged antara berbagai komponen di sekolah dan terutama wali murid sebagai pengontrol dan pencipta suasana belajar di rumah.

Page 145: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

129

Sistem fullday school menguntungkan bagi kalangan menengah yang sibuk bekerja. Dengan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah de-ngan sistem ini, mereka tidak membutuhkan ba-nyak uang untuk merawat anak-anak mereka. Bah-kan mereka tidak perlu khawatir akan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak mereka sepulang dari sekolah karena anak-anal full di sekolah sampai sore hari di mana para orang tua sudah pulang dari kerja. Hal ini dianggap sebagai solusi alternatif pada saat orang tua dirundung kekhawatiran tentang adanya kerusakan moral di antara generasi muda baik disebabkan oleh peng-gunaan obat-obatan terlarang, tindak kriminal maupun adanya pergaulan bebas.

Saya menyekolahkan anak di SDIT Salsabila yang pertama karena fulldaynya. Saya sehari-hari bekerja dari pagi hingga sore, punya tugas di beberapa rumah sakit, selain itu juga buka praktek, sedang suami adalah wiraswasta, sudah sangat sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga anak butuh dibersamai orang-orang kami percayai mampu,dan agamanya juga bisa berkembang dengan baik, akhirnya jatuhlah pilihan pada SDIT Salsabila.”(Wawancara dengan K, Orang Tua Siswa Kelas I SDIT Salsabila).

Mereka hanya perlu membayar sedikit uang tambahan untuk kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang rata-rata setiap bulan tidak lebih dari Rp. 400.000- Rp. 600.000. Jumlah ini lebih mahal sedikit jika dibandingkan dengan sekolah lain sebagai konsekuensi dari sistem fullday shool. Sekolah membutuhkan fasilitas tambahan termasuk harus menyediakan makan siang dan biaya monitoring anak selama satu hari penuh. Kebanyakan kalangan kelas menengah ke atas, lebih-lebih untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil, mereka lebih senang untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dengan sistem fullday school.

Hal ini juga selaras dengan jam kerja di Indonesia (mulai jam 07.00-13.30 untuk enam hari kerja dan jam 08.00-04.00 untuk lima hari kerja) membuat mereka tidak memiliki waktu untuk merawat anak-anak mereka jika mereka menyekolahkannya di sekolah-sekolah umum yang tidak menerapkan sistem fullday school. Sistem fullday school dianggap sebagai solusi praktis

untuk mereka. Inilah beberapa keuntungan yang menjadi motivasi bagi orang tua dari kalangan menengah Muslim untuk mengirimkan anak-anak mereka ke SDIT Salsabila yang akhirnya berkontribusi terhadap kesuksesan beberapa Sekolah Islam Terpadu untuk meningkatkan status mereka sebagai sekolah mapan, jika tidak dibilang elitis. Hal ini sebagaimana kondisi di SDIT ini yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Hal ini dapat diketahui dari kemampuan para orang tua untuk membayar biaya sekolah yang cukup mahal jika dibandingkan di Sekolah Dasar Negeri atau di Madrasah Ibtidaiyah pada umumnya. Biaya masuk di SDIT Salsabila berkisar antara Rp. 2.000.000- Rp. 3.000.000 dan uang sumbangan pendidikan perbulan mencapai Rp. 350.000 hingga Rp. 400.000 perbulan (Wawancara dengan Z, Guru SDIT Salsabila Hari Selasa 12 November 2014).

Jumlah tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan jumlah yang harus dikeluarkan para orang tua jika memasukkan anak-anaknya ke SD Negeri atau Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan di kedua jenis lembaga pendidikan tersebut menjadi program sekolah gratis dari pemerintah. Hal ini menun-jukkan bahwa para orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke SDIT Salsabila adalah golongan masyarakat dari kalangan menengah.

Faktor Akademis

Faktor akademis didasarkan pada prestasi dan performa lembaga pendidikan yang menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tersebut dikelola secara profesional. Performa dan profesionalitas pengelolaan lembaga pendidikan akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya prestasi akademik, dan lembaga pendidikan yang mempunyai prestasi yang tinggi, bagi masyarakat terpelajar, akan menjadi lembaga pendidikan yang banyak menjadi pilihan masyarakat.

Alasan akademis juga menjadi faktor penting bagi orang tua siswa SDIT Salsabila dalam memasukkan anak-anaknya ke sekolah tersebut. Alasan akademis di SDIT Salsabila berupa prestasi sekolah, kualitas guru yang mumpuni, proses

Page 146: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

130

pembelajaran yang baik, dan sarana prasarana yang mencukupi dalam proses pembelajaran. Hal ini peneliti temukan dalam beberapa kesempatan penelitian melalui wawancara. Salah seorang orang tua siswa menuturkan:

Saya punya kesan pertama yang sangat bagus dengan guru-guru di sini. Waktu itu anak saya belum mau sekolah karena anak saya tergolong pemalu. Sulit untuk beradaptasi dengan teman baru. Namun ketika saya ke sini saya dan anak saya disambut oleh guru-guru yang sangat ramah dan bersahabat. Dan akhirnya pelan-pelan anak saya mau sekolah di sini. (Wawancara dengan N, orang tua siswa kelas III SDIT Salsabila).

Salah satu pengalaman orang tua siswa sebagaimana terungkap dalam wawancara di atas menunjukkan bahwa SDIT Salsabila memiliki segenap guru yang berkualitas. Tugas guru bukan hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran di kelas melainkan juga sebagai partner bermain, pendamping, motivator, pamong, bahkan layaknya sebagai pengganti orang tua di rumah. Itulah yang dipahami oleh para guru di SDIT Salsabila, bukan hanya berperan ketika siswa sudah duduk manis di kelas dan siap mengikuti proses pembelajaran, melainkan bersikap hangat, akrab, antusias, dan ramah menyambut kedatangan siswa ke sekolah. Jurus tersebut ternyata sangat ampuh membuat siswa merasa krasan dan gembira di sekolah, sehingga salah satu calon murid yang awalnya telah berkeliling ke berbagai sekolah dan tidak merasa cocok, akhirnya mau bersekolah di SDIT tersebut.

Kelebihan guru-guru di sini menurut saya adalah ketelatenannya dalam mendampingi siswa. Mereka berlaku layaknya orang tua di rumah. Bukan hanya sekedar menyampaikan mata pelajaran di kelas. Namun betul-betul mendampingi anak full. Memang anak kecil dunianya kan masih senang main. Kadang-kadang siswa juga tidak bisa membedakan mana di rumah mana di sekolah. Dan guru-guru di sini saya lihat sangat paham tentang hal itu (Wawancara T, orang tua siswa kelas II SDIT Salsabila).

Rupanya ketlatenan guru menjadi sangat penting bagi orang tua di SDIT Salsabila. Hal ini

disadari bahwa anak-anak usia sekolah dasar memang membutuhkan perhatian yang intensif dari para guru di sekolah. Guru dituntut dapat menggantikan peran orang tua di rumah. Guru dituntut tidak hanya sebagai pengajar formal dalam interaksinya di kelas, melainkan juga layaknya sebagai orang tua, teman bermain, pendamping belajar, bahkan yang lebih penting adalah sebagai pemandu moral (murabby). Tanpa kesabaran yang kuat tidak mungkin seorang guru akan menjalankan peran-peran tersebut dengan baik. Para guru di SDIT Salsabila betul-betul menghayati perannya tersebut.

Sebagai seorang murabby, peran guru tidak hanya sekedar menyampaikan pelajaran di kelas. Guru memiliki peran yang lebih penting berupa tugas untuk menanamkan nilai-nilai keislaman yang kuat kepada peserta didik. Oleh karena itu, guru tidak hanya menganggap siswa sebagai seorang murid melainkan sebagai partner untuk bersama-sama mengembangkan pengetahuan dan menyampaikan pesan-pesan dakwah. Dengan cara seperti itu, kapasitas intelektual dan integritas moral siswa dapat berkembang dengan baik. Hal ini juga ditunjukkan oleh salah seorang guru di SDIT bahwa kekhasan Sekolah Islam Terpadu bukan terletak pada gambaran kurikulum secara umum, namun lebih pada kemampuan seorang guru dalam menanamkan nilai-nilai moral keagamaan kepada siswa melalui contoh-contoh konkret; bagaimana seorang guru berbicara dengan bahasa Alquran dan Sunah dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip Alquran dan Sunah sebagaimana para salaf aṣ-ṣālih zaman dulu (Wawancara dengan Z, Guru SDIT Salsabila).

Untuk menjamin komitmen keislaman para guru, seleksi terhadap para calon guru dilakukan secara cukup ketat dengan melibatkan para trainer dan organisasi-organisasi terkait. Hal ini diakui bahwa dengan mengikuti program-program ini, mereka akan tahu bahwa tugas utama para guru di SDIT Salsabila adalah untuk menyelamatkan generasi muda Muslim di masa yang akan datang. Program-program internalisasi nilai-nilai dan komitmen keislaman para guru dilakukan secara

Page 147: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

131

terus menerus secara terintegrasi dalam kegiatan-kegiatan harian di sekolah. Mereka dituntut paham bahwa sekolah merupakan tempat untuk menguatkan tauhid umat Islam agar menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai model dalam kehidupan sehari-hari (Wawancara dengan Z, Guru SDIT Salsabila).

Alasan hampir serupa juga disampaikan oleh salah satu orang tua siswa melalui wawancara. Dia menuturkan:

Sekolah ini punya guru-guru yang baik dan paham tentang dunia anak. Hal ini sangat penting bagi anak. Sering kali anak saya itu lebih terkesan tentang bagaimana sikap guru terhadap anak daripada materi yang disampaikan di kelas. Jadi kalau pulang ke rumah yang diceritakan anak itu bukan pelajarannya, namun pengalaman dengan guru di luar kelas. (Wawancara dengan T, Orang Tua Siswa Kelas II SDIT Salsabila).

Selain faktor guru, kualitas akademis SDIT Salsabila juga terbukti pada lulusan yang dihasilkan. Hal ini terungkap dari wawancara sebagai berikut:

Alhamdulillah anak saya yang pertama juga lulusan dari sini dan ketika melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi juga masih berprestasi. Dan pengaruh yang diperoleh dari SD dulu masih kental juga. (Wawancara dengan T, Orang Tua Siswa Kelas II SDIT Salsabila).

Pendidikan karakter yang ditanamkan di sekolah, disiplin, dan kualitas pembelajaran ternyata berdampak para lulusannya juga mampu bersaing ketika sudah melanjutkan ke jenjang berikutnya.

PenuTuP Setelah melakukan penelitian dan analisis

data, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga alasan mengapa SDIT banyak diminati oleh kalangan menengah Muslim. Preferensi orang tua dalam menyekolahkan putra-putrinya di SDIT Salsabila meliputi tiga faktor, yakni; faktor teologis, sosiologis, dan akademis. Faktor teologis merupakan alasan yang didasari atas pertimbangan-pertimbangan agama. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki basic pendidikan agama yang kuat, di

samping pendidikan umum tentunya. Komponen pendidikan agama yang dimaksud mencakup; orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang tidak hanya cerdas secara intelektual namun juga salih akhlaknya, anak dapat beribadah secara benar, mampu membaca Alquran dengan fasih, memiliki hafalan Alquran yang banyak, dan terbiasa melakukan adab-adab keseharian yang bersumber dari agama.

Faktor sosiologis berkaitan dengan meningkatnya citra sekolah Islam pada dekade terakhir di Indonesia. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, pada masa akhir rezim Orde Baru dan reformasi, orang tua Muslim lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah dengan basic keagamaan yang kuat dibandingkan dengan menyekolahkan di sekolah-sekolah yang tidak memiliki basic serupa. Dengan memasukkan ke sekolah-sekolah Islam dengan kualitas yang bagus menjadikan mereka bangga akan status dan identitasnya. Di samping itu, program fullday school juga dianggap sebagai solusi alternatif bagi kedua orang tua yang sibuk bekerja.

Berkaitan dengan alasan terakhir yakni faktor akademis, SDIT Salsabila telah menunjukkan bahwa sekolah ini mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain baik sekolah negeri maupun swasta. Proses pendidikan di kelas dan proses internalisasi nilai-nilai keislaman terhadap anak masih berpengaruh ketika anak telah melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa faktor teologis yang berupa keinginan orang tua agar anaknya menjadi anak yang cerdas secara intelektual dan spiritual, menjadi anak yang salih, anak dapat beribadah secara benar, mampu membaca Alquran dengan fasih, memiliki hafalan Alquran yang banyak, dan terbiasa melakukan adab-adab keseharian yang bersumber dari agama menjadi preferensi utama bagi orang tua. Oleh karena itu, berdasarkan temuan penelitian ini, pengembangan sekolah dasar ke depan perlu mempertimbangkan pendidikan keagamaan (Islam) yang berkualitas dalam rangka menarik parental choice of education dari kalangan

Page 148: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

132

menengah Muslim di Indonesia.

dafTar PusTaKa

Anwar, Syafii. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Penerbit Paramadina.

Azra, Azyumardi. 1998. Pendidikan Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

___.2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.

___. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bogdan R.C. & Biklen, S.K., 1982. Qualitative Research For Education: An Introduction To Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Fatchurochman, Nanang. 2012. Madrasah: Sekolah Islam Terpadu, Plus dan Unggulan. Cet. II, Depok: Lendean Hati Pustaka.

Hamdun, Dudung. 2013. “Sekolah Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Atas (Studi Kasus Di SDIT Ar-Raihan Bantul)”. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

Hasan, Noorhaidi. 2011. “Islamizing Formal Education: Integrated Islamic School and New Trend in Formal Education Institution in Indonesia”. Artikel. S. Rajartanam School of International Studies Singapore.

Heryanto, Ariel, and Vedi R. Hadiz. 2005. “Post-Authoritarian Indonesia: A Comparative Southeast Asian Perspectives,” Critical Asian Studies, 37.2.

Hisyam, Usamah. 2012. Sepanjang Jalan Dakwah Tifatul Sembiring. Jakarta: PT Dharmapena Citra Media.

Lincoln & E. G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry.

California: Sage Publications Inc.

Maksudin. 2010. Pendidikan Islam Alternatif, Membangun Karakter Melalui Sistem Boarding School. Yogyakarta: UNY Press.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XXII, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (ed. IV). Yogyakarta: Andi Offset.

Naisbitt, John. 1982. Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. New York: Warner Books Inc.

Nakamura, Mitsuo. 1993. The Emergence of Islamizing Middle Class and the Dialectics of Political Islam in the New Order of Indonesia: Preludes to Informations of the ICMI. A paper presented at Honolulu’s seminar on “Islam and the Sosial Construction of Identities: Comparative Perspective on Southeast Asian Muslim.

Nasution, S. 1998. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Pribadi, Yanwar. 2013. “Religious Network in Madura: Pesantren, Nahdlatul Ulama, and Kiai as The Core of Santri Culture”. Al-Jami’ah. Volume 51, No. 1.

Raihani. 2012. “Islamic Schools and Social Justice In Indonesia: A Student Perspective”. Al-Jamiah. Volume 50, Nomor 2.

Robinson, Ricahrd. 1993. “The Middle Class and The Bourgeoisie in Indonesia.” In Richard Robison and David S.G. Goodman, eds., The New Rich in Asia, Mobile Phones, McDonald’s and Middle Class Revolution. London and New York: Routledge.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suyatno. 2013a. “Sekolah Islam Terpadu: Filsafat, Ideologi, dan Tren Baru Pendidikan Islam Di Indonesia”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume II, Nomor 2.

Page 149: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Sekolah Dasar Islam Terpadu dalam Konsepsi Kelas Menengah Muslim IndonesiaiSuyatno

133

___. 2013b. “Sekolah Islam Terpadu (Genealogi, Ideologi, dan Sistem Pendidikan)”. Disertasi. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Vatikiotis, Michael R.J. 1996. Political Change in Southeast Asia, Trimming the Banyan Tree. London and New York: Routledge.

Yin, Robert K. 1996. Case Study Research, Desighn And Methods. Terj. M. Jaudzi Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

www.Kelas-Menengah-Indonesia.Iis. Diunduh 10 November, 2013.

Dokumentasi:

Dokumentasi Guru dan karyawan SDIT, 9 April 2014.

Dokumentasi Jadwal Kegiatan SDIT Salsabila, diakses Hari Selasa Tanggal 12 November 2014.

Dokumentasi Profil Guru SDIT Salsabila, diakses Hari Selasa, 12 November 2013.

Dokumentasi Profil Sarana Prasarana SDIT Salsabila, diakses Hari Selasa, 12 November 2013.

Dokumentasi Profil SDIT Salsabila, diakses Hari Selasa, 12 November 2014.

Profil Jaringan Sekolah Islam Terpadu Wilayah Yogyakarta, diakses November 2014.

Page 150: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 121-133

134

Page 151: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

135

PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM DI SMA NEGERI

Inculcation Nation Character Values Through Islamic Religious Education Subject In Public Senior High School

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Telepon : (024) 7601324 Faks (024) 7613386

Email : [email protected] diterima : 31 Januari 2015Naskah direvisi : 23 Maret – 5 April

2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

AbstrAk Kasus mencontek, pergaulan bebas, pembuatan video mesum siswa di ruang kelas merupakan fenomena lunturnya pendidikan karakter disekolah. Dalam konteks nilai pendidikan karakter menjadi penting untuk ditekankan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menerapkan desain penelitian model CIPP (Context, Input, Process, and Product). Secara konteks membangun nilai-nilai karakter bangsa disekolah akan berhasil dengan adanya sistem dan iklim yang didukung oleh masing-masing sekolah. Sistem dan iklim yang mendukung tersebut antara lain adalah kebijakan-kebijakan kepala sekolah dengan membuat regulasi yang mendukung implementasi pendidikan karakter, serta ditunjang dengan sarana prasarana sekolah. Aspek input yang ikut menentukan penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada kedua sekolah ini adalah kualitas dari sumber daya sekolah yang meliputi kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan sarana prasarana pendidikan. Dari aspek proses, penanaman nilai-nilai karakter bangsa disekolah ini dilaksanakan melalui integrasi pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan budaya sekolah. Silabus dan RPP pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Jepara telah berwawasan pendidikan karakter bangsa. Adapun aspek produk dari penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik disekolah dan masyarakat.

Kata kunci: Nilai-nilai Karakter Bangsa, Pendidikan Agama Islam, SMA Negeri

AbstrActCases of cheating, promiscuity, making sordid video student in the classroom are the phenomena of decline in character education at the school. In this sense, character education is essential to emphasized. This research uses qualitative approach, by applying design research CIPP model (Context, Input, Process, and Product). In context of building the nation character values at the school will success on condition that it is accompanied with system and climate supported by each school. One of supporting system and climate is the headmaster’s policies on the regulation that support the implementation of character education, and this policy should be supported by infrastructure of the school. The input aspect that determines inculcation of nation character values in these both schools is the quality of the school resources including headmaster, teachers, educational staffs, students, and education infrastructures. From the aspects of process, inculcation nation character values on these schools is implemented through the integration of the Islamic religious education subject and culture of the school. Syllabus and RPP on subjects of Islamic religious education in State Senior High School 1 Kudus and State Senior High School 1 Jepara have already been insightful with the education of nation character. The aspects of product from internalization of cultural values and nation character are embodied in attitudes and behaviors of the students at school and society.

Keyword: Nation Character Value, Islamic Religious Education, Public Senior High School

YUSTIANI

Page 152: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

136

Pendahuluan

Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan. Namun banyak pula dijumpai dampak negatif, terutama terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat termasuk kehidupan para remaja (Sulistyowati, 2012:6).

Tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja usia sekolah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menginventarisasi data kriminalitas pelajar yaitu, pada tahun 2010 terjadi sebanyak 2.413 kasus, tahun 2011 sejumlah 2.508 kasus, dan pada kwartal pertama tahun 2012 terjadi 2008 kasus. Kasus kriminalitas tersebut meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh siswa SD sampai dengan SMA (Afrianti dalam Muzayanah, 2014: 280). Selanjutnya dikemukakan oleh Alfiyah 2014 bahwa lembaga tersebut mencatat pada tahun 2013 terjadi sejumlah 3.339 kasus tindak kriminal dan sebanyak 58% merupakan kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh remaja.

Penyimpangan perilaku sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tanda-tanda melemahnya karakter atau budi pekerti masyarakat di negeri ini. Sebenarnya, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia memiliki karakter yang kuat. Karakter yang kuat tersebut diwariskan oleh pendiri negeri ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Budi Utomo, K.H. Ahmad Dahlan. Karakter kuat dari pendiri bangsa ini nampaknya terabaikan, luntur karena arus globalisasi yang kuat (Amin, 2011).

Pendidikan karakter sangat efektif diterapkam pada jalur pendidikan formal atau sekolah. Salah satu mata pelajaran yang dianggap memberikan kontribusi terhadap penanaman nilai karakter adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.

Pendidikan agama berusaha mengarahkan kepada pembentukan kepribadian anak-anak sesuai dengan ajaran agama yaitu beriman dan berakhlak serta berbudi pekerti yang luhur. Pendidikan Agama Islam berkisar pada dua dimensi kehidupan manusia, yakni penanaman rasa takwa kepada Allah SWT dimulai dengan pelaksanaan kewajiban formal agama. Jiwa takwa akan berkembang dengan menghayati keagungan dan kebesaran Tuhan melalui rasa perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu pendidikan agama bagi anak-anak terlihat dari dimensi kemanusiaan dalam jiwa anak, serta seberapa jauh nilai-nilai itu terwujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti (Majid, 2000: 96).

Permasalahan dalam penelitian ini dijabarkan dalam empat poin pertanyaan yaitu (1) secara konteks, bagaimanakah penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada peserta didik SMA? (2) Bagaimanakah sumber daya sekolah terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter bangsa yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik SMA? (3) Bagaimanakah proses pembelajaran dalam penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada pendidikan Agama Islam pada peserta didik SMA? dan (4) Bagaimanakah sikap dan perilaku peserta didik sebagai dampak dari penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam?

Penelitian ini bertujuan (1) Mendeskripsikan konteks penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada peserta didik SMA. (2) Mendeskripsikan sumber daya sekolah terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter bangsa yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik SMA. (3) Mendeskripsikan proses pembelajaran dalam penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik SMA. (4) Mendeskripsikan nilai-nilai karakter melalui sikap dan perilaku peserta didik sebagai produk dari penanaman nilai-nilai karakter bangsa.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap pengem-

Page 153: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

137

bangan dan penerapan teori tentang penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik SMA. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lembaga pengelola pendidikan SMA untuk menentukan kebijakan agar tepat dalam memilih, mengembangkan, dan membina dalam upaya menanamkan nilai-nilai karakter bangsa bagi peserta didik melalui Pendidikan Agama Islam.

Secara terminologis, makna karakter sebagaimana dikemukakan oleh Lickona (2013) adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morrally good way”, yaitu sebuah kekuatan batin dalam menanggapi sesuatu secara bermoral. Menanggapi sesuatu secara bermoral inilah yang disebut karakter. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa agama bagi kebanyakan orang merupakan acuan utama yang membawa mereka untuk membentuk kehidupan yang bermoral. Meskipun agama memiliki banyak perbedaan mengenai apa yang harus dilakukan umatnya dalam beribadah, mereka semua memiliki kesamaan prinsip bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan dalam hidup ini termasuk pilihan akan perilaku moral yang akan memberikan dampak sebanding di masa yang akan datang (Lickona, 2013: 64).

Karakter pada dasarnya menunjuk pada tiga hal yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral behavior sebagaimana dinyatakankan Lickona “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”. Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal dan meliputi seluruh aktivitas

manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.

Penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa di sekolah dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu: (1) Integrasi nilai melaui mata pelajaran. (2) Integrasi melaui kegiatan pengembangan kurikulum dan (3) Melalui budaya sekolah (Sulistyowati, 2012: 47). Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa versi Kemdiknas adalah (1) religius (2) jujur (3) toleransi (4) disiplin (5) kerja keras (6) kreatif (7) mandiri (8) demokratis (9) rasa ingin tahu (10) semangat kebangsaan (11) bersahabat/ komunikatif (12) menghargai prestasi (13) cinta tanah air (14) cinta damai (15) nilai gemar membaca (16) nilai peduli lingkungan (17) peduli sosial (18) tanggung jawab (Sulistyowati, 2012: 32).

Menurut Thoha (2004) Nilai-nilai karakter dapat ditanamkan dalam mata pelajaran pendidikan agama dengan cara diarahkan pada beberapa fungsi antara lain sebagai fungsi konvensional, di mana nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama diarahkan untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagaman peserta didik. Fungsi neokonvensional yakni nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama diarahkan untuk meningkatkan keberagaman peserta didik sesuai dengan keyakinannya. Fungsi implisit dimana nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama diarahkan untuk mengenalkan kepada peserta didik ajaran agama secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan melalui berbagai subyek pelajaran.

Pendidikan agama merupakan bagian terpenting dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah, sehingga penanaman nilai-nilai karakter dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan. Menanamkan nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama tidak hanya tanggung

Page 154: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

138

jawab keluarga maupun masyarakat, namun sekolah memiliki tanggung jawab yang penting dalam mengembangkan ajaran agama, sekaligus mengemban visi untuk mewujudkan manusia yang beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, pendidikan agama akan menghasilkan manusia yang jujur, amanah, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, produktif, baik dalam kehidupan personal maupun sosial.

MeTode PeneliTian

Penelitian ini bersifat evaluatif, dirancang menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, dan Product) (Stufflebean dalam Daryanto, 1999: 88-89). Analisis evaluatif ini dirancang untuk memeriksa persesuaian antara tujuan yang diinginkan dengan kenyataan yang dicapai.

Analisis konteks digunakan untuk mengetahui informasi tentang penanaman karakter bangsa, berkenaan dengan budaya sekolah, kebijakan kepala sekolah, dan tata tertib sekolah. Analisis input menekankan pada objek yang melaksanakan penanaman nilai-nilai karakter bangsa di sekolah seperti kepala sekolah, guru atau tenaga kependidikan dan kependidikan, peserta didik, serta sarana prasarana sekolah. Analisis proses menekankan pada bagaimana strategi pelaksanaan proses kegiatan pembelajaran dalam penanaman nilai-nilai karakter bangsa baik melalui pembelajaran intrakulikuler, kokurikuler dan kegiatan ekstrakulikuler. Analisis produk menekankan pada implikasi hasil yang dicapai peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai karakter bangsa dalam kehidupan di sekolah.

Sasaran penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Jepara. Penetapan terhadap sasaran penelitian tersebut didasarkan atas kriteria, yaitu SMAN berstatus eks Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional. Karena sekolah eks RSBI merupakan sekolah sebagai pilot project dalam penerapan pendidikan karakter bangsa.

Untuk mengetahui kualitas produk dari implikasi terhadap penanaman nilai-nilai karakter pada mapel PAI, kepada peserta didik dibagikan kuesioner. Kuesioner tersebut terdiri dari 20 item pernyataan yang berkenaan dengan contoh-contoh kasus, kemudian peserta didik atau responden diminta untuk menyampaikan persepsi sikapnya. Disamping itu dilakukan observasi kepada peserta didik dan wawancara kepada guru serta kepala sekolah.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan teknik kuesioner, wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode komperatif. Analisis data mengacu pada model Miles dan Hubberman (Sugiyono, 2010: 337). Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification).

Gambar 11.1 Desain Penelitian Penanaman Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan

Agama Islam di SMA

Input

Product

Strategi penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa berkenaan dengan :

- Kebijakan kepala sekolah yang mendukung penanaman pendidikan karakter

- Peserta didik - Guru - Kepala

sekolah - Tenaga

kependidikan - Sarana

prasarana sekolah

- Pembelajaran PAI intrakulikuler

- Ekstrakulikuler - Ko kurikulum - Budaya

Sekolah

Peserta didik berkarakter :

- Religius - Jujur

- Semangat kebangsaan

- Toleransi - Cinta tanah air - Disiplin - Kerja keras

- Menghargai prestasi

- Kreatif - Cinta damai - Mandiri - Gemar membaca - Demokratis - Peduli lingkungan - Rasa ingin tau - Peduli sosial - Tanggung jawab

- komunikatif

Context Process

Participant

Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik.

Page 155: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

139

hasil dan PeMbahasan

Profil Sekolah Sasaran Penelitian

SMA Negeri 1 Kudus beralamat di Jalan Pramuka nomor 41 Kudus. Visi SMAN 1 Kudus adalah unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki keterampilan untuk hidup mandiri, berkepribadian dan berakhlak mulia serta mampu bersaing secara global.

Untuk mencapai visi tersebut sekolah menetapkan misi sebagai berikut: (1) Membentuk peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. (2) Membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan, cinta tanah air, orang tua, dan almamater. (3) Membentuk logika, kemampuan berpikir, semangat kompetitif, kreatif, dan inovatif. (4) Membentuk pribadi peserta didik siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan mandiri. (5) Membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni dan pemahaman budaya serta menumbuhkan rasa sportivitas.

Kurikulum SMA Negeri 1 Kudus menerapkan kurikulum nasional serta mengadopsi dan mengadaptasi dari CAMBRIDE UNIVERSITY, OSN, dan SNPTN dengan mengadopsi dan mengadaptasi tersebut, diharapkan peserta didik SMA Negeri 1 Kudus mampu bersaing pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Siswa SMAN 1 Kudus diharapkan bisa bersaing pada level OSN, SNPTN, CAMBRIDE INTERNATIONAL EXAMINATION maupun pada tingkat internasional lainnya. Semua materi adopsi dan adaptasi sudah terdapat dalam silabus pada mapel fisika, matematika, kimia, biologi, ekonomi, dan bahasa Inggris.

Sasaran penelitian kedua adalah SMA Negeri 1 Jepara. Sekolah tersebut beralamat di Jalan C.S Tubun 1 Jepara. Visi sekolah ini adalah unggul dalam prestasi, cerdas, terampil, mandiri, berwawasan global, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan indikator: 1) Unggul dalam perolehan nilai ujian nasional. 2) Unggul

dalam persaingan SNPTN. 3) Memiliki bekal keterampilan untuk mandiri dalam persaingan global. 4) Berbudi pekerti luhur dan tekun beribadah.

Dalam mencapai visi tersebut, SMA Negeri 1 Jepara menetapkan misi sebagai berikut: 1) Melaksanakan proses pembelajaran secara efektif sehingga siswa berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki. 2) Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif bagi seluruh warga sekolah. 3) Meningkatkan kedisiplinan siswa untuk memotivasi belajar. 4) Mewarnai seluruh kegiatan siswa dengan nuansa religius. 5) Menetapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah.

Tahun pelajaran 2013/2014 SMAN 1 Jepara melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapkan kurikulum 2013 pada kelas X dan kurikulum KTSP pada kelas XI dan XII. Disamping pemenuhan 8 standar Pendidikan Nasional sebagai pelaksana kurikulum 2013, sekolah ini menerapkan peminatan peserta didik dalam pembelajaran mulai dilakukan di kelas X. Sebagai wujud visi dan misi dalam bidang keagamaan, SMAN 1 Jepara melaksanakan kegiatan ceramah agama, oleh siswa untuk siswa, salat berjamaah dhuhur, jumat, tarawih dan baca tulis Al-quran. Selain itu sekolah ini memiliki program unggulan, antara lain karya tulis ilmiah, olimpiade sains dan forum diskusi ilmiah.

Aspek KonteksPenanaman Nilai-nilai Karakter di Sekolah

Penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI di SMA akan berhasil dengan adanya iklim dan sistem yang mendukung oleh masing-masing sekolah. Dengan iklim dan sistem yang mendukung dalam penanaman nilai-nilai karakter, diharapkan sekolah dapat membentuk peserta didik berbudi pekerti luhur. Dalam menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa kepada peserta didik, SMAN 1 Kudus dan SMAN 1 Jepara melakukan beberapa usaha antara lain memasang slogan bertuliskan nilai-nilai karakter seperti tulisan “senyum

Page 156: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

140

salam sapa”, “buku adalah jendela dunia”, “membaca membuka jendela dunia”, “man jadda wajada”’ “jagalah kebersihan”, “tiada hari tanpa prestasi”, “generasi yang hebat adalah generasi yang berpendidikan”, “gantungkan cita-citamu setinggi langit”, dan sebagainya.

Penanaman nilai-nilai karakter bangsa dilakukan pula dengan memajang foto-foto seperti foto presiden dan wakil presiden, lambang negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia, gambar para pahlawan bangsa, dan sebagainya pada tiap-tiap kelas dan tempat strategis untuk menanamkan cinta tanah air. Adapun sistem yang mendukung antara lain adalah kebijakan kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam organisasi sekolah untuk dapat mengarahkan orang-orang dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan, antara lain melalui kebijakannya.

Kebijakan kepala sekolah baik Kepala Sekolah SMAN 1 Kudus maupun Kepala Sekolah SMAN 1 Jepara antara lain berupa pemberlakuan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah merupakan ketentuan-ketentuan operasional yang diha-rapkan dapat mengatur dan mengendalikan serta mengubah sikap ataupun tingkah laku peserta didik dari sikap negatif menjadi sikap positif. Tata tertib di kedua sekolah sasaran penelitian tersebut berupa tata tertib pada aspek pengajaran, berpakaian, kegiatan siswa, kegiatan 5K, dan sebagainya.

Tata tertib di sekolah diberlakukan dengan disiplin karena adanya individu yang saling berinteraksi atau berhubungan, menerima ber-sama suatu ketentuan atau peraturan dapat mempengaruhi tingkah laku atau sikap-sikap individu di sekolah. Dengan demikian akan tercipta suatu pergaulan yang baik di antara sesamanya dalam kondisi yang harmonis, atmosfir yang sehat disekolah dalam rangka membangun karakter atau budi pekerti peserta didik.

Kebijakan kepala sekolah dalam rangka menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai

karakter bangsa adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bagi peserta didik yaitu seminar membangun generasi muda anti korupsi, seminar kesehatan reproduksi remaja, latihan dasar kepimimpinan OSIS, latihan kepramukaan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut dikelola oleh para guru, sedangkan pesertanya adalah peserta didik yang mewakili tiap-tiap kelas. Diharapkan peserta didik yang mewakili kelasnya dapat mensosialisasikan materi hasil seminar kepada teman-teman sekelasnya.

Kebijakan kepala sekolah dalam rangka menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa diwujudkan dalam memberikan dukungan, fasilitas terhadap program-program berkenaan dengan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh peserta didik, seperti menyelenggarakan wisata religi, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya. Kebijakan kepala sekolah lainnya adalah mendukung program seksi kerohanian Islam OSIS SMAN 1 Kudus dalam menerbitkan majalah Adz-Dzikr sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai agama, dan mendukung peningkatan pendidikan khususnya pendidikan karakter bangsa.

Aspek InputPenanaman Nilai-nilai Karakter Di Sekolah

Aspek input penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI adalah sumber daya sekolah yang berkualitas. Kualitas dari sumber daya sekolah-sekolah sasaran penelitian merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan dalam menanamkan nilai-nilai karakter bangsa di sekolah. Sumber daya sekolah dimaksud meliputi peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan serta sarana prasarana pendidikan.

Pada tahun pelajaran 2013/2014 peserta didik SMAN 1 Kudus berjumlah 977 orang. pada tahun pelajaran tersebut sekolah ini berhasil meluluskan seratus persen peserta didik kelas XII yang berjumlah 286 orang, dan sejumlah 281 peserta didik (98.5%) berhasil melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Pada tahun pelajaran tersebut

Page 157: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

141

perolehan nilai ujian nasional pada sekolah ini menempati peringkat I tingkat kabupaten dan menduduki peringkat IV pada tingkat Provinsi Jawa Tengah. Dalam upaya penanaman nilai-nilai karakter bangsa, sekolah menyelenggarakan pelatihan berupa outbond dengan materi tentang pendidikan karakter bangsa peserta didik kelas XI dan XII, serta pelatihan yang diselenggarakan khusus bagi peserta didik kelas XII beserta orang tua masing-masing.

Tenaga pendidik pada SMAN 1 Kudus berjumlah 73 orang. kualifikasi pendidikan mereka adalah sejumlah 16 orang berpendidikan S2, sebanyak 49 orang berpendidikan S1 dan 3 orang berpendidikan D3. Seluruh tenaga pendidik di sekolah ini pernah mengikuti workshop berkenaan dengan nilai-nilai karakter bangsa yang diselenggarakan oleh sekolah. Narasumber dari kegiatan ini adalah beberapa dosen dari UNNES.

SMAN 1 Kudus pernah menjadi sekolah berstatus RSBI sehingga kondisi sarana prasarana tergolong lengkap dan memadai, seperti tersedianya beberapa laboratorium, perpustakaan, masjid sebagai sarana dan kegiatan seksi kerohanian Islam dan seluruh ruangan kelas serta ruangan lainnya telah dilengkapi dengan LCD dan AC.

Pada tahun pelajaran 2013/2014, jumlah peserta didik SMAN 1 Jepara berjumlah 386. Demikian pula pada tahun pelajaran tersebut, sekolah berhasil meluluskan seratus persen peserta didik kelas XII. Berbagai prestasi di bidang akademik dan nonakademik diraih oleh peserta didik di sekolah ini, baik prestasi yang diperoleh di tingkat nasional maupun internasional seperti AFSC (APEC FCS). Tenaga pendidik pada SMAN 1 Jepara pada tahun pelajaran tersebut berjumlah 73 orang. Kualifikasi pendidikan mereka

adalah sebanyak 6 orang berpendidikan S2, sebanyak 66 orang berpendidikan S1 dan 1 orang berpendidikan D3. Para pendidik di sekolah ini pernah pula mengikuti workshop pendidikan nilai-nilai karakter bangsa yang diselenggarakan pihak sekolah.

SMAN 1 Jepara sebagai sekolah eks RSBI telah dilengkapi dengan sarana prasarana yang lengkap dan memadai seperti laboratorium, perpustakaan digital, ruang micro teaching, dan sebagainya. Ruang kelas dan ruangan lain telah dilengkapi dengan fasilitas LCD dan AC. Sekolah ini dilengkapi pula sebuah masjid sebagai sarana ibadah dan sebagai sarana pelaksanaan kegiatan sosial keagamaan seksi kerohanian Islam.

Aspek ProsesPenanaman Nilai-nilai Karakter Melalui Mapel PAI di Sekolah

Proses penanaman nilai-nilai karakter bangsa di sekolah antara lain dapat dilakukan melalui mata pelajaran Agama Islam serta budaya sekolah. Dilihat dari kurikulum, guru PAI pada kedua sasaran penelitian telah memasukkan nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan kepada peserta didik melalui kompetensi dasar pada masing-masing standar kompetensi pembelajaran PAI baik dalam silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Pengintegrasian nilai-nilai karakter dengan cara memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dasar yang akan dicapai, dengan menambahkan kolom khusus tentang karakter siswa yang diharapkan. Hal yang dilakukan oleh guru PAI bersangkutan telah sesuai dengan pedoman dari Badan Litbang Kementerian Pendidikan Nasional. Berikut dikemukakan contoh RPP PAI kelas XI/I pada SMAN 1 Jepara.

Page 158: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

142

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP 1)

Nama Sekolah

: SMA Negeri 1 Jepara

Mata Pelajaran

: Pendidikan Agama Islam

Kelas/Semester

: XI/1

Tahun Ajaran : 2013/2014Standar

Kompetensi: Memahami ayat-ayat Al-Quran

tentang kompetensi dalam kebaikan, keunggulan berilmu dan beramal serta keuntungan berbuat baik.

Kompetensi Dasar

: Membaca QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir : 32-33

Menjelaskan arti QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir : 32-33Membiasakan perilaku kompetensi dalam kebaikan, berilmu dan beramal serta keuntungan berbuat baik seperti yang terkandung dalam QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS : 32-33

Alokasi Waktu : 4 x 1 Jam Pelajaran

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah selesai melaksanakan kegiatan pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat :

a. Membaca dengan fasih, baik dan benar QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir : 32-33.

b. Menjelaskan arti QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir : 32-33.

c. Menerapkan ilmu tajwid QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir: 32-33.

d. Menjelaskan isi kandungan QS Al Baqarah : 148, QS Al Mujadalah : 11, dan QS Fathir : 32-33.

Tabel 11.1. Karakter peserta didik yang diharapkan:

No. Nilai Sikap Definisi Keterkaitan Nilai

1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain

Mensyukuri keunggulan manusia sebagai makhluk pencipta dan penguasa dibandingkan mahkluk lain

Bersyukur krpada Tuhan karena menjadi warga bangsa Indonesia

Merasakan kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan berbagai keterauran di alam semesta

Merasakan kebesaran Tuhan dengan keberagaman agama yang ada di dunia

Mengagumi kebesaran Tuhan melalui berbagai pokok bahasan melalui berbagai mata pelajaran

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

Melaksanakan tugas sesuai dengan aturan akademik yang berlaku disekolah

Menyebutkan secara tegas keunggulan dan kelemahan suatu pokok bahasan

Mengemukakan pendapat tentang sesuatu sesuai dengan yang diyakininya

Mengembalikab barang yang dipinjam atau ditemukan ditempat umum

Page 159: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

143

3 Toleran Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

Memberi kesempatan kepada teman untuk berbeda pendapat

Bersahabat dengan teman lain tanpa membedakan agama, suku, dan etnis

Mau mendengarkan pendapat yang dikemukakan teman tentang budayanya

Mau menerima pendapat yang berbeda dari teman sekelas

4 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

Mengerjakan suatu pikiran baru tentang suatu pokok bahasan

Menerapkan hukum/teori/prinsip yang sedang dipelajari dalam aspek kehidupan masyarakat

5 Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Mengerjakan tugas dengan teliti dan rapi

Menggunakan waktu secara efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas dikelas dan luar kelas

Selalu berusaha untuk mencari informasi di kelas dan luar kelas

B. Materi Pembelajaran

Ayat Al-Quran tentang kompetensi dalam kebaikan, keunggulan berilmu dan beramal serta keuntungan berbuat baik.

C. Metode Pembelajaran

1. Tanya jawab

2. Diskusi

3. Observasi

4. Ceramah

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

ASPEK ALQURAN PADA SMAN 1 KUDUSMata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam

Kelas/Semester : XII/1

Pertemuan Ke : 1,2,3

Alokasi Waktu : 6 x 45 Menit (3 Pertemuan)

Standar Kompetensi: 2. Memahami Ayat-ayat Alquran tentang etos kerja

KOMPETENSI DASAR :2.1 Membaca QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10.

2.2 Menjelaskan arti QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10.

2.3 Membiasakan beretos kerja seperti terkandung dalam QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10.

INDIKATOR1. Mampu membaca QS Al Mujadalah 11 dan QS

Al Jumuah 9-10 dengan baik dan benar2. Mampu mengidentifikasi tajwid QS Al

Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-103. Mampu mengartikan masing-masing kata

yang terdapat dalam QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

4. Mampu mengartikan ayat QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

5. Mampu menterjemahkan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

6. Mampu mengidentifikasi perilaku etos kerja sesuai dengan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

7. Mampu mempraktikkan perilaku etos kerja sesuai dengan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

8. Mampu menunjukkan perilaku etos kerja sesuai dengan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

I. TUJUAN PEMBELAJARAN1. Siswa dapat membaca, mengartikan, dan

menyimpulkan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10.

2. Siswa dapat mengenal hukum bacaan mim sukun

Page 160: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

144

3. Siswa dapat menyebutkan arti mufrodat QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

4. Siswa dapat menyebutkan arti kalimat/ayat QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

5. Siswa dapat menyimpulkan isi kandungan QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

6. Siswa dapat menampilkan perilaku etos kerja dalam kehidupan sehari-hari seperti terkandung dalam QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

II. MATERI PEMBELAJARAN

QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

III. METODE PEBELAJARAN

1. Tanya jawab

2. Diskusi kelompok

3. Pemberian tugas dan portofolio

4. Pemberian contoh

IV. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Pertemuan 1

A. Kegiatan Awal

1. Guru memberikan salam dan mempersilahkan siswa berdoa

2. Guru menertibkan siswa

3. Guru mengabsen kehadiran siswa

4. Guru melakukan appersepsi

5. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

6. Guru membagi kelompok diskusi (5 kelompok)

B. Kegiatan Inti

1. Ekspolorasi

• Guru mempersilahkan siswa untuk mengidentifikasi bacaan Alquran yang sudah dilakukan siswa

• Siswa membaca bersama-sama QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

• Siswa mengidentifikasi bacaan sesuai tajwid dari QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

2. Elaborasi

• Guru melakukan pemantauan kepada siswa yang sedang mengidentifikasi tentang bacaan Alquran

• Guru mengamati para siswa yang sedang mebaca QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

• Guru memantau kegiatan diskusi yang dilakukan para siswa tentang bacaan tajwid dari QS Al Mujadalah 11 dan QS Al Jumuah 9-10

C. Konfirmasi

• Guru mengadakan tanya jwab tentang bacaan Alquran yang benar

• Bersama-sama siswa dan guru meluruskan materi bacaan yang masih ada kesalahan

• Guru mengadakan penguatan kembali tentang bacaan Alquran yang benar

• Guru memberikan penekanan dan pelurusan hasil diskusi

Karakter yang dapat dikembangkan pada kegiatan ini : religius, jujur, demokratis, disiplin, rasa ingin tahu, gemar membaca, kerja keras, tanggung jawab, dan semangat kebangsaan.

D. Kegiatan Akhir

1. Siswa mengumpulkan tugas diskusi tentang tajwid

2. Guru mempersilahkan siswa untuk mengakhiri pembelajaran dengan membaca hamdalah

3. Guru mengucapkan salam

Penanaman nilai-nilai karakter bangsa di kedua sekolah sasaran penelitian dilakukan pula melalui kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam. Melalui kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh seksi Kerohanian Islam dengan bimbingan para guru PAI diharapkan akan tertanam dan berkembang nilai-nilai karakter seperti nilai religius, jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, rasa ingin tahu, cinta tanah air, peduli sosial, tanggung jawab, komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, dan toleransi.

Kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh Rohis SMAN 1 Kudus meliputi: salat zuha, salat zuhur berjamaah, salat jumat, salat tarawih, tadarus Alquran, pesantren kilat, infaq jumat, doa menjelang semester, wisata religi, tafakur alam, zakat fitrah, pesantren ramadhan dan peringatan hari-hari besar Islam. Peringatan hari-hari besar Islam yang diperingati adalah Iedul Adha, 1 Muharam, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan

Page 161: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

145

Isra’ Mi’raj.

Kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh Rohis SMAN 1 Jepara meliputi: salat zuhur, jumatan, salat tarawih, tadarus Alquran, infaq, pesantren ramadhan, doa menjelang semester dan ujian (istiqhosah), diskusi keagamaan, tafakur alam, wisata religi, penyembelihan hewan, pengelolaan zakat fitrah, lomba keagamaan, kesenian bernuansa Islami, ceramah agama, dan berbagai peringatan hari-hari besar Islam.

Penanaman nilai-nilai karakter dilakukan pula di kedua sekolah sasaran penelitian melalui pengembangan budaya sekolah. Pengembangan budaya sekolah merupakan kegiatan pembiasaan dari semua warga sekolah sehingga akan tercipta suatu budaya sekolah (culture of school). Pengembangan budaya sekolah di kedua SMA antara lain terlihat pada “senyum sapa salam”. Peserta didik selalu tersenyum ramah, berjabat tangan dan mengucapkan salam menyapa pada guru yang ditemui dan sesama teman. Berjabat tangan dengan guru merupakan kegiatan spontan untuk menumbuhkan rasa santun dan hormat kepada guru. Peserta didik selalu membaca doa pada saat akan memulai pelajaran dan mengakhiri pelajaran. Di SMAN 1 Jepara, setiap hari Jumat pada jam terakhir pelajaran, diadakan ceramah agama oleh peserta didik yang diperdengarkan lewat mikrofon yang dipasang pada tiap-tiap kelas.

Penanaman nilai-nilai karakter melalui budaya sekolah di kedua sekolah terlihat pula, pada setiap tanggal tujuh belas dan peringatan hari-hari besar kenegaraan kedua sekolah menyelenggarakan upacara bendera. Kegiatan tersebut bertujuan membentuk kedisiplinan dan menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada peserta didik. Menumbuhkan rasa cinta tanah air dilakukan pula di SMAN 1 Kudus dengan mengadakan kegiatan lomba mengenakan pakaian daerah senusantara beserta menginformasikan budaya daerah masing-masing, pada acara peringatan hari jadi ulang tahun SMAN 1 Kudus.

Kegiatan keagamaan yang dikemukakan di atas merupakan kegiatan pembinaan keimanan

dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan Permendiknas nomor 39 tahun 2008. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat membentuk nilai karakter religius, jujur, dan bertanggung jawab peserta didik.

Pengembangan budaya sekolah di kedua sasaran penelitian, terlihat pula pada sikap dan perilaku peserta didik selalu menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah. Tiap-tiap ruang kelas dan halaman sekolah disediakan tempat-tempat khusus untuk membuang sampah. Mereka selalu membersihkan ruang kelas dan halaman sekolah dengan cara di jadwal, sehingga lingkungan sekolah terlihat bersih, asri, dan nyaman. Fasilitas sekolah terlihat bersih dari corat-coret karena sekolah ini telah menyediakan fasilitas khusus sebagai media untuk mengekspresikan jiwa seninya. Demikian pula untuk menjaga kelestarian lingkungan, pada bagian halaman sekolah di SMAN 1 Kudus di manfaatkan sebagai ruangan hijau “green school”. Upaya menjaga kebersihan dan menjaga kelestarian lingkungan ditanamkan pula pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam oleh guru PAI.

Perilaku peserta didik dalam menjaga lingkungan di kedua sekolah tersebut, bila dilihat dari Pendidikan karakter, merupakan penanaman pengembangan nilai-nilai karakter peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi (Sulistyowati, 2010:75).

Aspek ProdukSikap dan Perilaku Peserta didik

Untuk mengetahui keberhasilan penanaman nilai-nilai luhur atau nilai-nilai karakter kepada peserta didik selain yang telah disebutkan di atas, kepada mereka diberikan kuesioner berkaitan dengan nilai-nilai karakter, yaitu nilai religi, kejujuran, toleransi, disiplin, demokratis, gemar membaca, cinta damai, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Disamping membagikan kuesioner, peneliti melakukan pula observasi dan wawancara dengan guru PAI, kepala sekolah, wakasek bidang

Page 162: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

146

kesiswaan, dan sebagainya. Setelah dilakukan analisis, maka diperoleh hasil penanaman nilai-nilai karakter melalui mata pelajaran PAI sebagai berikut.

Tabel 11.2 Sikap Peserta didik Produk dari Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa

NO NILAI KARAKTER

SMA N 1 KUDUS SMA N 1 JEPARA

SKOR KATEGORI SKOR KATEGORI

1 Religius 99,83Sangat

baik89,32

Sangat baik

2 Kejujuran 92,90Sangat

baik91,29

Sangat baik

3 Toleransi 79,35Sangat

baik93,54

Sangat baik

4 Disiplin 81,93Sangat

baik78,38

Sangat baik

5 Demokrasi 91,61Sangat

baik72,25

Sangat baik

6Gemar membaca

43,87Cukup baik

72,90Sangat

baik

7 Menghargai 89,67Sangat

baik78,70

Sangat baik

8Peduli lingkungan

85,80Sangat

baik90,64

Sangat baik

9Peduli sosial

56,00 Baik 69,35 Baik

Tabel di atas memperlihatkan bahwa peserta didik pada kedua sekolah sasaran penelitian berkarakter sangat baik dan baik (pada nilai peduli). Bila dilihat pada nilai karakter yang terkait dengan gemar membaca pada peserta didik memperoleh kategori cukup, hal ini dikarenakan perpustakaan sekolah dibuka pada jam istirahat saja, sehingga sebagian besar peserta didik belum sempat berkunjung ke perpustakaan.

PenuTuP

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut.

Pertama, secara konteks penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada peserta didik dapat berhasil dengan adanya iklim dan sistem yang mendukung seperti kebijakan kepala sekolah.

Kedua, aspek input yakni sumber daya sekolah yang berkualitas meliputi kepala sekolah, tenaga pendidik dan kependidikan, peserta didik, dan sarana prasarana sekolah sangat mendukung upaya penanaman dan pengembangan nilai-nilai karakter bangsa di kedua sekolah SMA.

Ketiga, proses penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dilaksanakan melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan budaya sekolah.

Keempat, produk dari penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada Pendidikan Agama Islam adalah peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang baik atau berkarakter.

dafTara PusTaKa

Alfiyah. 2014. Peningkatan Tren Hubungan Seksual pada Remaja. Kompas.

Amin,Maswardi Muhammad. 2011. Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Baduose Media.

Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Bandung : Rineka Cipta.

Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, terj. Bandung: Nusa Media.

Madjid, Nurcholis. 2000. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.

Marzuki. 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah. Yogyakarta: FIS, UNN.

Muzayanah, Umi. 2014. Peran Rohis Dalam Pembentukan Perilaku Keagamaan Peserta didik SMA N 1 Ungaran. Balai Litbang Agama Semarang.

Profil SMA Negeri 1 Kudus Tahun 2013/2014.

Profil SMA Negeri 1 Jepara Tahun 2013/2014.

Page 163: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Penanaman Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA NegeriYustiani

147

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sulistyowati, Endah. 2012. Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT. Citra Aji Paroma.

Thoha, HM.Chatib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Page 164: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 135-147

148

Page 165: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

149

KONTRIBUSI MADRASAH DALAM PENGUATAN KURIKULUM 2013

(Studi tentang Kesiapan Madrasah Dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 di Jawa Tengah)1

Contribution of Madrasah in Enhancing Curiculum 2013 (A Study on fhe Readiness of Madrasah in Implementing of

Curiculum 2013 in Central Java)

1 Tulisan ini merupakan ringkasan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Pendidikan. Oleh karena itu, penulis sampaikan terimakasih kepada Mukhtaruddin, Ali Khudrin, Yusriati yang telah memberikan data dari berbagai MTs Negeri yang menjadi lokus penelitian.

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Telepon : (024) 7601324 Faks (024) 7613386

Email : [email protected] diterima : 6 Januari 2015

Naskah direvisi : 23 – 26 Maret 2015Naskah disetujui : 23 Juni 2015

AbstrAk Penelitian ini bertujuan untuk medeskripsikan kesiapan madrasah tsanawiyah (MTs) dalam implementasi Kurikulum 2013. Kesiapan tersebut meliputi kesiapan kepala MTs, kesiapan guru, serta faktor pendukung dan penghambat implementasi Kurikulum 2013 di MTs Negeri. Subyek penelitian ini adalah MTs Negeri di Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan hasil sebagai berikut;(1) secara umum kepala MTs Negeri dan guru mata pelajaran di madrasah telah mampu mengimplementasikan K-13, baik dari aspek fasilitas maupun dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. (2) faktor pendukung dalam pelaksanaan kurikulum 2013 di MTs Negeri di antaranya adanya workshop K-13 oleh sekolah maupun Kelompok Kerja Madrasah (KKM), sedangkan Faktor penghambat dalam implementasi kurikulum 2013 adalah tidak adanya pendampingan pengawas madrasah dan belum ada buku pegangan guru dan peserta didik terutama pada mata pelajaran pendidikan agama.

Kata kunci: Kesiapan, Kurikulum 2013, faktor pendukung, faktor penghambat, Madrasah Tsanawiyah.

AbstrActThis study aimed to describe the implementation of Curriculum 2013 in Madrasa tsanawiyah (MTs). The preparation includes readiness head MTs, the readiness of teachers, as well as enabling and inhibiting factors in the implementation of Curriculum 2013 MTs. The subjects of this study were MTs in Central Java. This study used a qualitative method with the following results; (1) generally head MTs and subject teachers at the school has been able to implement the K-13, both from the aspect of the facility and in the course of learning in the classroom. (2) supporting factor in the implementation of the curriculum in 2013 at MTs, including the existence of a workshop K-13 by the schools and by the working group of Madrasah (KKM), while inhibiting factor in the implementation of the curriculum in 2013 was the absence of mentoring supervisor madrassas and no handbook of teachers and learners, especially on the subjects of religious education.

Keyword: Readiness, Curriculum 2013, the supporting factors, inhibiting factors, madrasa tsanawiya.

MULYANI MUDIS TARUNA

Page 166: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

150

Pendahuluan

Perubahan yang tidak direncanakan dan terjadi secara spontan atau secara acak maka perubahan tersebut dapat bersifat merusak (Winardi, 2008: 3). Oleh karena itu perubahan haruslah direncanakan secara matang termasuk salah satunya adalah perubahan kurikulum pendidikan. Kurikulum Pendidikan di Indonesia senantiasa berjalan dinamis. Hal tersebut ditandai dengan adanya perbaikan-perbaikan kurikulum oleh pemerintah dalam kurun waktu tertentu. Perbaikan tersebut dilakukan dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam konteks dunia pendidikan perubahan tersebut merupakan keniscayaan dan dilakukan melalui perencanaan yang matang serta didasarkan pada hasil evaluasi oleh pemerintah.

Dilihat dari tuntutan perkembangan zaman dan pemikiran manusia yang cenderung dina-mis, maka perubahan kurikulum dari 1994, KBK, KTSP dan menjadi Kurikulum 2013 ini merupa-kan langkah konstruktif pemerintah. Hal ini me-nunjukan bahwa kurikulum selalu adaptif dengan perkembangan zaman dan tuntutan modernitas. Kurikulum 2013 ini bertujuan untuk memper-siapkan manusia Indonesia agar memiliki ke-mampuan hidup sebagai pribadi dan warga nega-ra yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidu-pan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud No. 68 th 2013).

Regulasi pemerintah menunda pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13) pada sekolah umum dan madrasah bukanlah proses politik di mana berganti Menteri berarti berganti kurikulum, melainkan didasarkan pada berbagai kajian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga peneliti yang peduli dalam dunia pendidikan. Banyaknya keluhan yang dirasakan oleh tenaga pendidik terkait implementasi kurikulum 2013 baik melalui media sosial maupun dalam praktik pembelajaran di sekolah membuat K-13 perlu dilakukan penyempurnaan.

Madrasah Tsanawiyah sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian

Agama pada tahun 2014 secara serentak diminta untuk melaksanakan kurikulum 2013. Penelitian ini mencoba melihat kesiapan pelaksanaan kurikulum 2013 di Madrasah Tsanawiyah di Jawa Tengah. Penelitian ini terfokus pada 3 pertanyaan penelitian yaitu (1) bagaimanakah kesiapan MTs Negeri di Jawa Tengah dalam melaksanakan Kurikulum 2013, (2) faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan kurikulum 2013 pada MTs Negeri di Jawa Tengah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) memperoleh deskripsi kesiapan MTs Negeri di Jawa Tengah dalam melaksanakan Kurikulum 2013, dan (2) memperoleh deskripsi faktor-faktor yang mendukung maupun menghambat kesiapan MTs Negeri di Jawa Tengah dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Hasil penelitian diharapkan akan memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk menyusun kebijakan Kementerian Agama RI terkait dengan pelaksanaan kurikulum tahun 2013 di madrasah.

Berbicara tentang kurikulum 2013 tidak bisa terlepas dari perubahan dan pengembangan kurikulum itu sendiri. Dalam dunia pendidikan kurikulum merupakan hasil kreatifitas yang terus menerus mengalami dinamika. Kurikulum yang dikembangkan paling tidak memiliki peran-peran yang berkesinambungan agar tidak terjadi lompatan budaya dan tidak terjadi keterputusan nilai-nilai budaya yang sedang berkembang. Kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peranan kreatif, peran kritis dan evaluatif (Sanjaya 2008: 10-11).

Peran konservatif kurikulum adalah meles-tarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Kurikulum yang dikembangkan memiliki peran menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat sehingga keajegan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik. Pada tataran praktis, bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa (Sanjaya 2008: 10-11).

Peran kreatif kurikulum merupakan peran yang harus dikembangkan oleh lembaga

Page 167: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

151

pendidikan sebagai rasa tanggungjawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Peran kreatif ini menunjukan bahwa kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimiliki dan dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis (Sanjaya 2008: 10-11).

Peran kritis dan evaluatif kurikulum adalah mempertimbangkan bahwa tidak setiap nilai atau budaya lama harus tetap dipertahankan karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat, apakah (kurikulum tersebut) masih relevan dengan nilai budaya lama (Sanjaya 2008: 11). Di sinilah peran kurikulum untuk menyeleksi nilai atau budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau budaya baru mana yang harus dimiliki anak didik. Kurikulum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik.

Berbicara tentang kesiapan pelaksanaan K-13 di Madrasah Tsanawiyah pada prinsipnya terkait dengan pengembangan kurikulum, dan struktur kurikulum serta kesiapan tenaga pendidik. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum ini membuka peluang terjadinya perubahan konsep materi, baik pada tujuan pembelajaran maupun isi atau materi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kurikulum 2013 yang disusun oleh lebih dari 500 orang pakar dan ahli dalam bidang pendidikan (Antara, 2013: 26 Mei) merupakan kurikulum yang menekankan pada integrasi pendidikan karakter

di seluruh mata pelajaran sekolah/madrasah. Bagi madrasah integrasi pendidikan karakter pada mata pelajaran sudah dilakukan sejak lama melalui mata pelajaran al Qur’an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Keempat mata pelajaran tersebut sudah sarat dengan pendidikan karakter.

Kurikulum secara sederhana adalah sekumpulan perangkat pembelajaran yang terdiri dari silabus, RPP, materi pelajaran, guru, dan peserta didik. Seiring dengan tuntutan perkembangan sains dan teknologi, perubahan kultur, dan perkembangan pendidikan secara global, maka perubahan kurikulum dalam kurun waktu tertentu menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan zaman menuntut kurikulum baru dan juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri (Nasution, 2008: 3). Kurikulum bukanlah sekedar rencana pembelajaran yang tersusun dalam sejumlah mata pelajaran, melainkan kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di madrasah (Tafsir, 1994: 53). Kurikulum memiliki prinsip-prinsip yang selalu berkaitan dengan dinamika pendidikan yang berkembang. Prinsip-prinsip kurikulum meliputi kebertautan dengan nilai pendidikan yang dianut, bersifat holistik, integral, dan universal, equilibrium, marketable, pengembangan bakat dan minat siswa, dan mudah diterapkan dalam kehidupan (Basri, 2013: 138).

Dalam Permendikbud No 68 Tahun 2013 tentang kurikulum 2013 terdapat 9 pola pikir yang dikembangkan. Pola-pola tersebut adalah (1) dari pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik, (2) dari pola pembelajaran satu arah menjadi pembelajaran interaktif, (3) dari pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (4) dari pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif (5) dari pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim), (6) dari pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia, (7) dari pola pembelajaran berbasis massal menjadi

Page 168: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

152

kebutuhan pelanggan dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik, (8) dari pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines), (9) dari pola pembelajaran pasif menjadi kritis (Permendikbud No. 68 tahun 2013).

Struktur kurikulum dalam dunia pendidikan berisi tujuan yang hendak dicapai, materi melalui mata pelajaran yang disampaikan, pendekatan dalam pembelajaran, beban belajar yang harus ditempuh, dan evaluasi dalam pembelajaran. Menurut Yulaelawati (2009: 44) selain tujuan, mata pelajaran, pengalaman pembelajaran, dan pendekatan penilaian, kurikulum juga mencakup penilaian kebutuhan, rasional, sasaran/target, sarana/prasarana, bahan-bahan, dan diskusi tentang teori belajar dan teori pembelajaran.

Dalam kurikulum 2013, struktur kurikulum terdiri dari kompetensi inti, kompetensi dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran, dan beban belajar. Kompetensi Inti terbagi dalam 4 kelompok, yaitu sikap keagamaan (kompetensi inti 1), sikap sosial (kompetensi 2), pengetahuan (kompetensi inti 3), dan penerapan pengetahuan (kompetensi 4). Keempat kelompok itu menjadi acuan dari Kompetensi Dasar dan harus dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif. Kompetensi yang berkenaan dengan sikap keagamaan dan sosial dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang pengetahuan (kompetensi kelompok 3) dan penerapan pengetahuan (kompetensi Inti kelompok 4).

Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar adalah konten atau kompetensi yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang bersumber pada kompetensi inti yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran.

Mata pelajaran pada kurikulum 2013 yang menjadi beban siswa untuk tingkat lanjutan pertama terdapat 10 mata pelajaran dengan alokasi jam pelajaran 38 jam dalam satu minggu. Mata pelajaran tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 12.1 Struktur kurikulum 2013

MATA PELAJARAN

VII

ALOKASI WAKTU BELAJAR PER

MINGGUVIII IX

Kelompok A 1. Pendidikan Agama 3 3 32. Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan3 3 3

3. Bahasa Indonesia 6 6 64. Matematika 5 5 55. Ilmu Pengetahuan Alam 5 5 56. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4

7. Bahasa Inggris 4 4 4Kelompok B

1. Seni Budaya (termasuk muatan lokal)

3 3 3

2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan (termasuk muatan lokal)

3 3 3

3. Prakarya (termasuk muatan lokal)

2 2 2

Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 38 38 38

Khusus untuk madrasah tingkat lanjutan pertama atau MTs (Madrasah Tsanawiyah) selain mengikuti struktur kurikulum mata pelajaran umum juga terdapat struktur kurikulum Pendidikan Agama Islam. Struktur kurikulum yang berisi mata pelajaran pendidikan agama Islam mengikuti peraturan Menteri Agama RI No. 000912/2013 tentang Kurikulum madrasah 2013 mata pelajaran pendidikan agama islam dan bahasa arab. Adapun mata pelajaran yang tergabung dalam Pendidikan Agama Islam adalah Al-Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam.

Mengingat kurikulum 2013 berbasis pada pendidikan karakter, maka yang diperlukan adalah peran guru yang memberi tauladan kepada peserta didik dalam penyelenggaraan pembelajaran (Hasan, 2014: 25 Juni). Guru adalah garda terdepan

Page 169: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

153

dalam proses pembelajaran yang melaksanakan kurikulum 2013 dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan dalam menerapkan kurikulum tersebut pada peserta didik.

Kesiapan guru sebagai tenaga pendidik dalam melaksanakan kurikulum 2013 pada intinya adalah bagaimana melaksanaan proses pembelajaran itu sendiri setelah bahan ajar dan fasilitas pembelajaran disiapkan. Secara teoritik, keberhasilan dalam pembelajaran berpusat pada keseriusan pembelajaran dalam kelas dan perangkat pembelajaran yang tersedia, baik pada aspek materi, silabus atau RPP, kompetensi guru, fasilitas pembelajaran, maupun metode atau model pembelajaran yang dikembangkan.

Sebaik apapun kurikulum yang telah dirumuskan tidak akan mengalami keberhasilan apabila guru sebagai penanggungjawab pada tataran praktis tidak menguasai pengembangan kurikulum. Guru mempunyai peranan penting dan merupakan kunci pokok bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan (Danim, 2002: 90). Guru harus siap melaksanakan pembelajaran di sekolah sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kesiapan guru dalam melaksanakan kurikulum bukan hanya siap secara fisik, melainkan ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi agar dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas lebih optimal. Hal ini karena dalam proses belajar-mengajar guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan, sedangkan penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa (Slameto, 2010: 97).

Kualifikasi yang menjadi kriteria minimal dimiliki oleh guru selain fisik dan daya dukung kemampuan verbal adalah memiliki kepribadian tenaga pengajar seperti keimanan, pancasilais, dan normal secara kejiwaan. Kualifikasi lainnya adalah penguasaan materi bahan ajar dan perangkat pendukung yang mendesak di era globalisasi dan fungsi guru sebagai bagian integral dari anggota

masyarakat (Danim,2002: 82). Di samping itu, guru harus memiliki kompetensi yang baik dalam dunia pengajaran, seperti kompetensi personal, profesional, dan sosial.

Kompetensi personal adalah kemampuan yang berhubungan dengan pribadi guru sebagai sosok panutan baik peserta didik, teman sejawat dan masyarakat. Kompetensi ini meliputi pengamalan ajaran agama, kemampuan menghormati dan menghargai antarumat beragama, kemampuan berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, mengembangkan sifat terpuji, dan bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik (Sanjaya, 2010: 277).

Kompetensi profesional merupakan kompe-tensi yang berhubungan dengan dengan kinerja yang ditampilkan guru. Kompetensi ini meliputi kemampuan menguasai landasan kependidikan, pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, menguasai materi pelajaran, mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran, merancanag dan memanfaatkan berbagai me-dia dan sumber belajar, melaksanakan evaluasi pembelajaran, menyusun program pembelajaran, kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berfikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja, serta melaksanakan unsur-unsur penunjang seperti yang meliputi administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan (Sanjaya, 2010: 277).

Kompetensi sosial berhubungan dengan kehidupan sosial guru. Kompetensi ini meliputi kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat, mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan, dan kemampuan menjalin kerjasama baik secara individual maupun secara kelompok (Sanjaya, 2010: 279).

Ketiga kompetensi di atas merupakan pokok dari keberhasilan guru dalam melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan melalui bijakan pemerintah. Sehingga apabila ketiga kompetensi dimiliki guru yaitu tidak sekedar pada tataran teoritis melainkan pada tataran praktis, maka

Page 170: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

154

akan mempermudah kinerja guru dalam mencapai tujuan kurikulum secara umum.

Penelitian ini menggunakan kerangka pikir sebagai berikut.

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir Penelitian

Dari alur pikir tersebut, bahwa studi tentang kesiapan madrasah dimulai dari kebijakan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayan dan Kementeran Agama. Kebijakan yang meliputi sosialisasi, diklat, pendampingan untuk implementasi kurikulum 2013 di Kementerian agama diberikan pada Kantor Kemenag Kab/Kota, Pengawas, Kepala Madasarah dan guru. Hasil akhir dari serentetan kegiatan adalah bagaimana guru menghasilkan RPP, melaksanakan dan melakukan penilaian pembelajaran.

MeTode PeneliTian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Instrumen utama dalam penelitian kualitatif

adalah peneliti sendiri, sehingga pada saat pengumpulan data dapat terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan di lapangan (Bungin, 2008: 67).

Sasaran Penelitian ini adalah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Jawa Tengah dengan sampel MTsN di Kabupaten Banyumas, Jepara, Demak, dan Kota Tegal. Alasan pemilihan sasaran penelitian terkait 4 hal yaitu (1) guru-guru dari MTs N di Jawa Tengah telah memperoleh penjelasan kurikulum 2013, (2) MTs N di Jawa Tengah merupakan rujukan bagi sebagian MTs swasta, (3) guru-guru dari MTs N di Jawa Tengah memperoleh pelatihan Kurikulum 2013 tidak hanya dari Kementerian Agama tetapi juga dari Kementerian Pendidikan Nasional, dan (4) sosialisasi dan pendampingan dari pengawas madrasah lebih intensif. Sedangkan subjek penelitian adalah (1) staf kemenag, (2) pengawas, (3) kepala madasah, dan (4) guru-guru pada MTs pada sasaran penelitian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengamatan, wawancara, dokumentasi dan angket. Secara operasional teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut. Data kualitatif dari hasil pengamatan diperoleh melalui pengamatan di kelas dalam proses pembelajaran dan pengamatan di lingkungan madrasah dalam jam belajar maupun pada saat waktu istirahat. Data kualitatif hasil dari wawancara diperoleh melalui wawancara dengan Kasi Pendidikan dan Madrasah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Kepala MTs Negeri, Wakil Kepala Madrasah bidang kurikulum, Pengawas besar madrasah, dan beberapa guru. Data yang bersifat dokumentasi diambil dari profil MTs Negeri dan dokumen KI 1 yang berisi tentang pedoman pelaksanaan kurikulum 2013 untuk tahun pelajaran 2014/2015. Dokumen dari guru bidang studi berupa buku pegangan guru dan siswa, RPP dan Silabus.

Triangulasi data digunakan untuk cross check data sekaligus untuk memperoleh kebenaran informasi yang diperoleh sebelumnya. Di samping itu, diadakan focus group discussion (FGD) dengan melibatkan guru, waka bidang kurikulum, dan

Kebijakan Kemenag dan KemdikdbudTahun Ajaran 2014/2015

Wajib Menerapkan Kurikulum 203

Ka Kemenag Kabupaten/Kota dalam menyiapkan madrasah mengimpementasikan Kurikulum 2013

Pengawas Madrasah melakukan pen-dampingan pada madrasah dalam mengimplementasi kan Kurikulum 2013

Guru MTs dalam menyusun RPP, melaksanakan pembelajaran, dan Penilaian dalam Kurikulum 2013.

Ka Madrasah Kedalam menyiapkan MTs

mengimpementasikan Kurikulum 2013

Deskripsi Kesiapan MTs dalam Implementasi Kurikulum 2013

Page 171: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

155

kepala madrasah. Dengan demikian, diharapkan antara data yang diperoleh melalui pengamatan maupun wawancara dan sumber data yang berupa dokumen dengan informan dapat dikonfrontasi agar ditemukan keabsahan data.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif terhadap data kuantitatif dan data kualitaif. Analisi deskriptif digunakan untuk menganalisis dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan deskriptif terhadap angket dan Terhadap data jenis pertama, dilakukan analisis deskriptif dengan menggunakan persentase. Rumus untuk menganalisis dokumen RPP adalah sebagai berikut.

Nilai Dokumen RPP=(Skor yang diperoleh)/75 x 100%

Analisis hasil pengamatan pembelajaran menggunakan rumus sebagai berikut.

Hasil analisis RPP dan pembelajaran di kelas dikategorikan sebagaimana tabel berikut.

Tabel 12.2 Pemeringkatan Hasil Pembelajaran

Analisis kualitatif dalam penelitian ini menggunakan anmalisis data interaksi Mills & Hubberman. Model ini dimulai dari pengumpulan data sebagai langkah awal kemudian dilakukan reduksi data untuk pemilahan data, pemusatan perhatian dan penyederhanaan data dari catatan lapangan sesuai dengan pokok masalah yang telah ditetapkan sebagai tujuan penelitian. Skema analisis yang dikembangkan adalah sebagai berikut.

Gambar 12.2 Bagan Model Analisis Kualitatif

Dari alur analisis model Mills & Hubberman di atas bahwa pengumpulan data sebagai langkah awal kemudian dilakukan reduksi data untuk pemilahan data, pemusatan perhatian dan penyederhanaan data dari catatan lapangan sesuai dengan pokok masalah yang telah ditetapkan sebagai tujuan penelitian, yaitu bagaimana pelaksanaan kurikulum 2013 pada MTs Negeri.

Proses reduksi data ini dilakukan berulang-ulang untuk menghindari terjadinya kekeliruan untuk kemudian dilakukan penyajian data. Dalam reduksi data ini mulai dilakukan penarikan kesimpulan sampai ditemukan kesimpulan yang belum jelas menjadi kesimpulan yang lebih jelas. Melalui reduksi data ini juga akan terungkap faktor-faktor pendukung maupun penghambat dalam pelaksanaan kurikulum 2013. Di sinilah analisis data yang dilakukan berulang-ulang secara siklik menjadi terfokus dan terakhir dapat dianalisis secara deskriptif.

Untuk menguatkan data dan menghindari data yang bias yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara dengan para informan, dan data yang bersumber dari dokumen, maka digunakan metode triangulasi data. Metode ini digunakan untuk cross check data sekaligus untuk memperoleh kebenaran informasi yang diperoleh sebelumnya.

hasil dan PeMbahasan

Hasil Studi Pendahuluan

Hasil studi pendahuluan dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat hambatan-hambatan

Mata Pelajaran

Nilai=Jumlah/40 x100%

PERINGKAT NILAIAmat Baik ( AB) 91 < AB ≤ 100

Baik (B) 81 < B ≤ 90Cukup (C) 71 < C ≤ 80Kurang (K) ≤ 70

Data Collection

Data Display

Conclusion Drawing/Verifying

Data Reduction

Page 172: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

156

implementasi kurikulum 2013 di MTs N pada subyek penelitian di Propinsi Jawa Tengah hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah masih terbatasnya sosialisasi kurikulum 2013, belum semua buku pelajaran yang sesuai Kurikulum 2013 diterima madrasah, dan belum se-mua guru memperoleh pelatihan kurikulum 2013.

Salah satu contoh pada sasaran penelitian di Kabupaten Demak diperoleh data bahwa dari jumlah guru MTs yang berjumlah 2876 terdiri atas 266 guru MTs negeri dan 2610 guru MTs swasta yang telah mengikuti pelatihan baru berjumlah 816 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 166 guru MTsN, dan 650 guru MTs swasta, sisanya belum mengikuti pelatihan, khusunya guru-guru madrasah swasta.

Profil MTs Negeri Sasaran PenelitianProfil MTs N Purwokerto Kab. Banyumas

Madrasah Tsanawiyah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan lembaga pendidikan bernuansa keagamaan yang cukup banyak diminati oleh masyarakat. MTs N Purwokerto yang berada di Jl. Jend. Sudirman No. 791 Purwokerto memiliki responsibility dari masyarakat yang cukup baik. MTsN ini berdiri tahun 1978 memiliki visi MTsN, yaitu profesionalisme mantap, prestasi meningkat, bertumpu pada agama dan budaya bangsa. Dalam perkembangannya visi tersebut berubah menjadi Islami, Cerdas, dan Mandiri.

Profil MTs N Karangtengah Kab. Demak

MTs N Karangtengah Kab. Demak berdiri pada tanggal 17 Maret 1997 berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 107 Th. 1997. Untuk menjaga dan meningkatkan pembelajaran, MTs N ini telah memiliki tenaga pendidik yang profesional dan kompeten 56 guru. Dari ke 56 guru tersebut terdapat 6 guru yang telah menyelesaikan program pasca sarjana.

Profil MTs N Kota Tegal

MTs N Kota Tegal berada di Kelurahan Pesurungan Lor, Kota Tegal dan baru dinegerikan pada tahun 1995 dengan SK Menteri Agama Nomor 565 tanggal 25 Nopember 1995 dan diresmikan

oleh Walikota Tegal pada tanggal 20 Januari 1996. Pada awal berdiri, MTs ini merupakan filial dari MTsN Slawi.

Profil MTs N Kab. Jepara

MTs N Bawu lebih dikenal dengan MTs N Pecangaan Bawu Kab. Jepara beralamat di Jl. Tahunan Batealit Bawu Jepara. MTs N ini berdiri tahun 1977 yang dinegerikan pada tahun 1981. Visi MTs N adalah terciptanya madrasah yang Islami, berkualitas dan populis dengan pijakan akhlakul karimah menuju madrosati jannati dan tetap menjadi madrasah idolaku.

Pembahasan Hasil PenelitianKesiapan Madrasah dalam Pelaksanaan Kuri-kulum 2013

Pada tahun ajaran 2014/2015, pelaksanaan kurikulum 2013 merupakan kewajiban bagi madrasah tingkat tsanawiyah (MTs) kelas VII yang di instruksikan oleh Kementerian Agama. Implementasi K-13 pada MTs memunculkan beberapa persoalan terkait dengan kesiapan madrasah tsanawiyah dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Kesiapan tersebut terkait dengan factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi K-13, baik pendukung maupun penghambat. Kesiapan pelaksanaan kurikulum 2013 tidak hanya dibebankan kepada guru sebagai garda terdepan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan di madrasah, melainkan dari seluruh komponen, baik Kementerian Agama terutama Kasi Pendidikan madrasah, Kepala Madrasah, Pengawas, maupun guru mata pelajaran itu sendiri.

Realitas di lapangan menunjukan masih banyak guru yang belum pernah mendapatkan sosialisasi kurikulum 2013. Bahkan guru yang telah mengikuti sosialisasi maupun workshop kurikulum 2013 belum secara utuh memahami Kurikulum 2013. Buku pegangan guru dan siswa untuk mata pelajaran pendidikan agama islam belum tersedia, sarana dan prasarana yang menunjang belum terpenuhi, serta evaluasi pembelajaran yang menggunakan nilai dan deskripsi belum difahami secara utuh serta pola

Page 173: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

157

pikir guru dan siswa yang selama ini masih asik dengan menggunakan KTSP.

Penilaian hasil penelaahan Rencana Pelaksan-aan Pembelajaran (RPP)

Penilaian terhadap telaah RPP pada kelas VII pada mata pelajaran umum dan PAI pada MTsN di 4 kabupaten kota diperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, pada subyek penelitian MTsN di Kabupaten Banyumas diperoleh nilai skor RPP yang berbeda antara RPP mata pelajaran umum dengan mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI). Perbedaan tersebut dapat diihat dilihat pada tabel sebagai berikut

Tabel 12.3 Penilaian RPP untuk Mapel Umum

No Mata Pelajaran Skor Persentase Kategori

1 IPA 73 97,33 Amat Baik

2 B. Ind 63 84,00 Baik

3 PPKn 50 66,66 Kurang

Dari Tabel di atas menunjukan bahwa pada Mapel IPA dan Bahasa Indonesia telah menyusun RPP yang di didasarkan pada K-13 berada dalam kategori Amat Baik dan Baik. Sedangkan pada mata pelajaran PKn masuk pada kategori Kurang. Sementara itu, pada kelompok mata pelajaran Agama Islam yaitu Quran Hadits, Aqidah Ahlak, SKI, dan Fikih telaah terhadap penyusunan RPP terdapat perbedaan kategori antara mata pelajaran satu dengan mata pelajaran yang lain dalam satu kelompok mata pelajaran tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagaimana tabel berikut.

Tabel 12.4 Penilaian RPP untuk Mapel PAINo Mata Pelajaran Skor Presentase Kategori

1 Quran Hadis 34 45,33 Kurang

2 Aqidah Akhlak 65 86,66 Baik

3 SKI 54 72,00 Cukup

4 Fikih 66 88 Baik

Dari Tabel di atas menunjukan telaah terhadap penyusunan RPP pada mata pelajaran Akidah Akhlak, dan Fikih berada dalam kategori Baik, sedangkan pada mata pelajaran SKI berada pada kategori cukup, dan pada mata pelajaran Quran Hadits telaah terhadap pemyusunan RPP yang disusun guru termasuk dalam kategori kurang.

Kedua, pada subyek penelitian di MTsN Karang Tengah Kabupaten Demak telaah terhadap penyusunan RPP pada mata pelajaran umum dan kelompok mata pelajaran PAI hasilnya dapat dilihat sebagaimana tabel berikut.

Tabel 12.5 Telaah terhadap penyusunan RPP pada Mata Pelajaran Umum dan Kelompok Mapel PAI MTsN Karang Tengah Kab. Demak

No Mata Pelajaran SkorPersentase

(%)Kategori

1 Quran Hadist 64 85,3 Baik2 Fiqih 64 85,3 Baik3 SKI 67 89,3 Baik4 IPA 63 84,0 Baik5 IPS 68 90,6 Amat Baik6 Bahasa

Indonesia64 85,3 Baik

Jumlah dan rata-rata

390 86,6 Baik

Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa telaah terhadap penyusunan RPP pada mata Pelajaran umum dan kelompok mata pelajaran PAI masuk dalam kategori baik. Hasil penilaian tersebut di atas menunjukkan bahwa secara umum kesiapan madrasah dalam melaksanakan kurikulum 2013 pada aspek dokumen penyusunan RPP tergolong baik.

Ketiga, pada subyek penelitian MTsN Kota Tegal diperoleh nilai atas telaah penyusunan RPP. Pada mata pelajaran umum telaah terhadap penyusunan RPP memperoleh skor nilai 90,67 dan pada kelompok mata pelajaran PAI diperoleh skor 74,67. Dengan demikian ada perbedaan nilai atas telaah pada kelompok mata pelajaran umum dan kelompok mata pelajaran PAI. Mata pelajaran umum masuk dalam kategori baik, sedangkan pada kelompok mata pelajaran PAI masuk dalam kategori cukup. Namun demikian, jika kedua nilai tersebut dirata-rata secara keseluruhan maka diperoleh skor keseluruhan 82,67 atau berada dalam kategori Baik.

Keempat, pada subyek penelitian MTs N Pecangaan Bawu Kab. Jepara telaah atas RPP pada kelompok mata pelajaran umum dan kelompok

Page 174: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

158

mata pelajaran PAI diperoleh yang sama. Telaah terhadap penyusunan RPP pada mapel umum diperoleh skor 82,67 atau berada dalam kategori Baik. Pada kelompok mata pelajaran PAI diperoleh skor 81,78 atau berada dalam kategori Baik. Dengan demikian penyusunan RPP yang dikembangkan pada MTs N pada subyek penelitian di kab Jepara sudah sesuai dengan K-13.

Penilaian hasil penelaahan PBM di kelas

Penelaahan terhadap proses belajar mengajar (PBM) di kelas pada kelas VII untuk mata pelajaran umum dan PAI di deskripsikan sebagai berikut.

Pertama, telaah terhadap PBM yang dilaksanakan di MTs N Purwokerto baik pada mata pelajaran umum maupun PAI dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel 12.6 Hasil Telaah terhadap PBM pada Mata Pelajaran UmumNo Mata Pelajaran Skor Presentase Kategori

1 IPA 37 90,24 Amat Baik

2 B. Ind 36 87,80 Baik

3 PPKn 18 43,90 Kurang

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat, bahwa telaah terhadap PBM pada mata pelajaran IPA amat baik, Bahasa Indonesia baik, dan PPKn masuk dalam kategori kurang baik. Sedangkan pada kelompok mata pelajaran PAI, hasil telaah terhadap PBM dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 12.7 Telaah PBM Kelompok Mata Pelajaran PAI di MTsN Purwokerto.No Mata Pelajaran Skor Presentase Kategori

1 Quran Hadis 14 34,14 Kurang

2 Aqidah Akhlak 28 68.29 Kurang

3 Fikih 28 68.29 Kurang

4 SKI 31 75,60 Cukup

Dari tabel di atas terlihat hasil telaah PBM pada kelompok mapel PAI secara rata-rata termasuk dalam kategori kurang. Hanya mapel SKI saja yang memperoleh cukup. Hasil ini berbanding lurus dengan hasil telaah terhadap RPP yang disusun oleh guru rumpun PAI.

Kedua, proses belajar mengajar di kelas pada MTs N Karangtengah Kab. Demak. Hasil telaah

terhadap PBM dapat dilihat sebagaimana tabel berikut.

Tabel 12.8 Hasil Telaah terhadap PBM MTsN Karang Tengah Kab. Demak

No Mata Pelajaran SkorPresentase

(%)Kategori

1 Quran Hadist 28 68,3 Kurang2 Fiqih 30 73,2 Cukup3 SKI 30 73,2 Cukup4 IPA 31 75,6 Cukup5 IPS 32 78,0 Cukup6 Bahasa Indonesia 34 82,9 Baik

Hasil telaah pada proses belajar mengajar di kelas sebagaimana tabel di atas menunjukan bahwa pada mata pelajaran PAI seperti Fiqh, SKI, masuk dalam kategori cukup, sedangkan pada mata pelajaran Qur’an/Hadits masuk pada kategori kurang baik. Pada kelompok mata pelajaran umum seperti IPA dan IPS PBM masuk dalam kategori cukup, sedangkan PBM Bahasa Indonesia masuk dalam kategori baik.

Keempat, telaah PBM pada MTs N Kota Tegal pada mata pelajaran umum memperoleh skor 91,88 atau amat baik. Sedangkan pada mata pelajaran PAI memperoleh skor 86,88 atau baik. Dengan demikian secara keseluruhan PBM pada mata pelajaran umum dan PAI, MTs N Kota Tegal sudah mampu mengimplementasikan proses belajar mengajar sebagaimana Kurikulum 2013.

Kelima, telaah PBM pada MTs N Pecangaan Kab. Jepara pada kelompok mata pelajaran umum memperoleh skor nilai 76,67 atau masuk dalam kategori cukup. Sedangkan PBM kelompok mata pelajaran PAI setelah dilakukan penelaahan memperoleh skor 64,17 atau masuk dalam kategori kurang. Dengan demikian PBM di MTsN Pecangaan masih terkendala dalam melaksanakan PBM sesuai dengan Kurikulum 2013.

Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksan-aan Kurikulum 2013

Keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 pada masing-masing subyek penelitian dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung. Faktor-faktor pendukung tersebut meliputi

Page 175: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Kontribusi Madrasah Dalam Penguatan Kurikulum 2013Mulyani Mudis Taruna

159

pertama, dukungan riil kementerian Agama yang telah terlebih dahulu mengadakan sosialisasi Kurikulum 2013 kepada kepala madrasah, pengawas dan guru, kedua, pelatihan kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Madrasah (KKM) dan madrasah secara mandiri untuk kepala, pengawas madrasah, dan guru madrasah.

Meskipun telah didukung oleh dua faktor pendukung sebagaimana tersebut di atas, namun pelaksanaan Kurikulum 2013 pada subyek-subyek penelitian masih terdapat hambatan-hambatan yang menyebabkan implementasi K-13 tidak berjalan secara maksimal. Faktor-faktor penghambat tersebut diantaranya sebagai berikut.

Pertama, kurang proposionalnya materi serta kuantitas waktu pemberian materi workshop dari narasumber K-13. Hal tersebut terbukti dari sosialisasi K-13 melalui workshop yang diberikan yang berdekatan dengan waktu pelaksanaan tahun pelajaran 2013/2014 yaitu 3 sampai dengan 4 hari. Padahal materi yang disampaikan cukup banyak sehingga tidak menyentuh pada aspek substansi mata pelajaran sesuai dengan kompetensinya. Guru-guru madrasah masih merasa kesulitan untuk mengoperasionalisasikan materi workshop dalam proses belajar mengajar.

Kedua, buku pegangan guru dan siswa belum sepenuhnya diperoleh guru dan siswa terutama untuk buku PAI. Hal ini menjadikan guru PAI masih menggunakan buku kurikulum sebelumnya. Adapun untuk mata pelajaran umum rata-rata sudah memiliki buku pegangan guru.

Ketiga, adalah fasilitas pembelajaran belum secara keseluruhan terpenuhi, seperti ruang kelas yang tidak dapat didesain dengan model kelompok (tim) sebagaimana K-13. Ruangan belajar pada madrasah sebagian besar masih berisi antara 30 – 40 siswa.

Keempat, masih banyak sumber daya guru yang belum memiliki atau menguasai keterampilan teknologi seperti belum memiliki laptop (personal computer)atau bahkan tidak trampil dalam mengoperasionalkannya. Faktor pola pikir

(mindset Guru) menjadi faktor penghambat kelima terkait dengan kurang maksimalnya guru menjalankan K-13. Sebagian besar guru masih menggunakan metode klasik dengan ceramah sehingga proses belajar mengajar guru yang seharusnya menggunakan metode eksplorasi, elaborasi, serta konfirmasi masih belum terlaksana dengan baik.

Kelima, pengawas madrasah pada subyek-subyek sasaran penelitian belum mendampingi guru dalam mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Hal ini menyebabkan pendampingan pengawas kepada guru madrasah dalam menjelaskan K-13 belum dapat dilakukan secara maksimal.

siMPulan

Secara umum hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat kontribusi madrasah dalam penguatan kurikulum 2013, yaitu memfasilitasi PBM sesuai tuntutan K-13 dan mengusahakan guru sebagai terdepan dan pengawas untuk mengikuti workshop K-13, serta madrasah mengadakan workshop mandiri tentang K-13. Secara khusus, simpulan dari penelitia ini adalah sebagai berikut.

Pertama, secara umum guru mata pelajaran pada Madrasah tsanawiyah pada subyek penelitian baik mata pelajaran umum maupun mata pelajaran agama telah mampu mengimplementasikan K-13 secara baik. Meskipun demikian, dalam penyusunan RPP pada mata pelajaran umum masih lebih baik dari pada mata pelajaran rumpun pendidikan agama Islam.

Kedua, sebagian besar kepala MTs telah mampu mengelola implementasi Kurikulum 2013. Hal tersebut dapat dilihat dari usaha Kepala MTs dalam memfasilitasi terlaksananya kurikulum 2013.

Ketiga, Pengawas belum banyak melakukan pendampingan kepada guru di kelas pada saat pembelajaran, akibatnya Pengawas tidak mampu mengidentifikasi dan melakukan pendampingan terhadap kesalahan-kesalahan guru dalam implementasi pembelajaran sesuai Kurikulum 2013.

Page 176: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015halaman 149-160

160

Keempat, faktor pendukung dalam pelaksanaan kurikulum 2013 diantaranya adalah pelatihan Kurikulum 2013 yang dilakukan oleh Kementeraian Agama, Kelompok Kerja Madrasah (KKM) dan yang dilakukan madrasah secara mandiri. Sedangkan Faktor penghambat dalam implementasi kurikulum 2013 adalah pendampingan pengawas madrasah, serta belum terdisrtibusikannya semua buku mata pelajaran oleh Kementerian Agama kepada MTs.

ucaPan TeriMaKasih

Melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Mukhtaruddin, Ali Khudrin, Yusriati yang telah ikut membantu sumbangan data sehingga artikel ini dapat terselesaikan dengan baik.

dafTar PusTaKa

Antara. 2013. Wamendikbud paparkan keunggulan kurikulum 2013, http://www.antaranews.com/berita/376659/wamendikbud-paparkan-keunggulan-kurikulum-2013. Diakses 1 April 2015.

Aprillah, Ahmad. (Pimpinan Umum LPM Pena Kampus FKIP Unram). Pelaksanaan Kurikulum 2013 dan Kesiapan Guru.www.academia.edu. Diakses tanggal 16 juni 2014.

Basri, Hasan. 2013. Landasan Pendidikan.Pustaka Setia: Bandung.

Buchory. 2014. Problema Pelaksanaan Kurikulum 2013.KR Jogja.Com. 3 Januari 2014.

Danim, Sudarwan. 2002. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Hamalik, Oemar.2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Rosdakarya:

Bandung.

Kurikulum 2013 Kembali ke Pendidikan Karakter. Suara Merdeka 25 Juni 2014

Mills. B.Matthew & Huberman. Michael A1984. Qualitative Data Analysis. Sage Publication: London.

Nasution, S. 2008. Asas-asas Kurikulum.Bumi Aksara: Jakarta.

Nurlaeli, Acep. Menakar Kesiapan Guru Madrasah dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013. http//jabar kemenag.go.id.

Redaksi Sinar Grafika. 2013. Amandemen Standar NasionalPendidikan (PP No.32 Tahun 2013). Sinar Grafika. Jakarta.

Salman, Ibnu.2014. Kesiapan Madrasah dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 (Makalah seminar hasil penelitian oleh Balai Litbang Agama Jakarta tanggal 14 – 16 Juli 2014).

Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Slameto.2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

Target Pelatihan Kurikulum Baru Sulit Tercapai. Jawa Pos 25 Juni 2014.

Winardi, J. 2008. Manajemen Perubahan (Management of Change). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Yamin, Moh.. 2009.Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Jogjakarta: Diva Press.

Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya.

Page 177: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

160-1

general guideline

1. The article has not been published in other journals or other places

2. The article should be written in English (United State of America English) with a formal style and structure. This is because it is a fully peer-reviewed academic journal, so that an oral and informal language would not be accepted

3. The article should be written in word document (MS word), 1,5 space, 12pt Times New Roman, and margin 4-4 (left-right) and 3-3 (above-bottom), 17-22 pages of A4 paper

4. The article is an original work of the author/s

5. The author/s have responsibility to check thoroughly the accuracy of citation, grammar, table and figures before submission

6. The author/s have responsibility to revise their article after receiving a review from the editorial boards.

7. The author/s should register at the e-journal of Analisa before submitting their paper and fill the form completely.

8. The article should be submitted via online

9. The articles will be reviewed by editorial boards

sTrucTure of The arTicle 1. Title

2. Author’s name, email address, author’s affiliation address

3. Abstract (250 words maximum, it consists of background of the study, research method, finding of the research)

4. Key words ( 3-5 words/phrases)

5. Introduction (it consists of background statement, research questions, theoretical framework, literature review)

6. Hypothesis (optional)

7. Methodology of the research (it consist of data collecting method, data analysis, time and place of the research if the article based on the field research).

8. Research findings and discussion

9. Conclusion

10. Acknowledgement (optional)

11. Reference

12. Index (optional)

c. WriTing sysTeM

1. Title

a. Title should be clear, short and concise that depicts the main concern of the article

b. Title should contain the main variable of the research

c. Title should be typed in bold and capital letter

2. Name of the author/s

a. The author/s name (without academic title) should be typed below the title of the article

AUTHOR GUIDELINES

ISSN : 1410 - 4350/ e-ISSN: 2443 - 3859

AnalisaJournal of Social Science and Religion

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Page 178: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

160-2

b. The author/s address (affiliation address) should be typed below the name of the author/s

c. The author/s email address should be typed below the author/s address

d. If the author is more than one writer, it should be used a connecting word “and” not a symbol “&”

3. Abstract and key words

a. Abstract is the summary of article that consists of background of the study, data collecting method, data analysis method, research findings.

b. Abstract should be written in one paragraph, single space and in italic

c. Abstract should be no more than 250 words

d. The word “abstract” should be typed in bold, capital letter and italic

e. Key words should consist of 3-5 words or phrases.

f. Key words should be typed in italic

4. How to present table

a. Title of the table should be typed above the table and align text to the left, 12pt font Times New Roman

b. The word “table” and “number of the table” should be typed in bold, while title of the table should not be typed in bold (normal).

c. Numbering for the title of table should use an Arabic word (1, 2, 3, and so forth)

d. Table should be appeared align text to the left.

e. To write the content of the table, it might use 8-11pt font Time New Roman or 8-11pt Arial, 1.0 space.

f. Source of the table should be typed below the table, align text to the left, 10pt font Time New Roman.

Example: Table 13.1. Number of Rice, Corn and Sweet potato Production

Product 2010 2011 2012 2013

Rice 1.500 Ton 1.800 Ton 1.950 Ton2.100 Ton

Corn 950 Ton 1.100 Ton 1.250 Ton1.750 Ton

Sweet potato

350 Ton 460 Ton 575 Ton 780 n

Source: Balai Pertanian Jateng, 2013.

5. How to present picture, graph, photo, and diagram

a. Picture, graph, photo and diagram should be placed at the center

b. Number and title should be typed above the picture, graph, photo and diagram.

c. Number and the word of the picture, graph, photo and diagram should be typed in bold, 12pt Font Times New Roman and at the center, while title of them should be typed in normal (not bold).

d. Number of the picture, graph, photo and diagram should use an Arabic word (1, 2, 3 and so forth).

e. Source of the picture, graph, photo and diagram should be typed below the table, align text to the left, 10pt font Time New Roman.

f. Picture, graph, photo, and diagram should not be in colorful type (should be in white and black, or gray).

Example:Figure 1

Indonesian employment in agriculture compared to others sectors (% of the total employment)

Source: World Development Indicator, 2005

0

10

20

30

40

50

60

1 9 9 0 1 9 9 2 1 9 9 4 1 9 9 6 1 9 9 8 2 0 0 0

Agriculture

Industry

Services

Page 179: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

160-3

6. Research finding

This part consists of the research findings, including description of the collected data, analysis of the data, and interpretation of the data using the relevant theory.

7. Referencing system

Analisa uses in note system for the referencing system, format (last name of the author/s, year of publication: page number). For example (Shihab, 1997: 459).

8. Referencing system

Analisa uses this format for reference system:

a. Book

Last name of author/s, first name of the author/s. year of publication. Title of the book. Place of publication: name of the publisher.

Example:

Aly, Anne. 2011. Terrorism and global security, historical and contemporary perspectives. South Yara Australia: Palgrave Macmillan.

Effendy, Bahtiar. 2003. Islam and the state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeas Asian Studies.

b. Chapter of the book

Last name of the author/s, first name of the author/s. “Title of the chapter”. In title of the book. Editor name, place of publication: name of publisher.

Example:

Dolnik, Adam. 2007. “Suicide terrorism and Southeast Asia.” In A handbook of terrorism and insurgency in Southeast Asia. Tan, Andrew.T.H (ed). Cheltenham, UK and Northamtom, USA: Edward Elgar.

c. Journal article

Last name of the author/s, first name of the author/s. Year of publication. “Title of the article”. Name of the journal. Volume. (Number): Page number.

Example:

Du Bois, Cora. 1961. “The Religion of Java by Clifford Geertz.” American Anthropologist, New Series. 63. (3): 602-604

Sirry, Mun’im. 2013. “Fatwas and their controversy: The case of the Council of Indonesian Ulama.” Journal of Southeast Asian Studies, 44(1): 100-117.

d. News paper

Last name of the author/s, first name of the author/s. Year of publication. “Title of the article”. Name of the newspaper. Date of publication.

Example:

Eryanto, Hadi. 2010. “Menyiapkan Jihad di Aceh.” Kompas. 18 March 2010.

e. Internet

Last name of the author/s, first name of the author/s. Year of publication. “Title of the article or writing”. Date of access. Web address

Example:

Suhendi, Adi. 2012. “Dana Osama bin Laden dipakai untuk bom Bali 1” (Osama bin Laden’s fund was used for Bali Bomb 1). Accessed August, 20, 2014 from: http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.I

f. Unpublished thesis/dissertation

Last name of the author/s, first name of the author/s. Year of publication. Title of the thesis/dissertation. Name of the university.

Page 180: Journal of Social Science and Religion · persoalan kepemimpinan perempuan, pendirian rumah ibadah, ... massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan watak suatu masyarakat

160-4

Example:

Muhtada, D. 2005. Zakat and Peasant Empowerment: Case Study on Zakat Organizations in Yogyakarta. Yogyakarta: Unpublished Master thesis for graduate school of social work at State Islamic University Sunan Kalijaga.

g. Article/paper presented at seminar/conference

Last name of the author/s, first name of the author/s. Year of publication. “Title of the paper.” Article presented at seminar/conference, host of the seminar, place of the seminar, date of the

seminar.

Example:

Anwar, K. 2007. “Mengungkap Sisi Akidah dalam Naskah Syair Kiyamat.” Paper presented at a seminar on text of religions, hosted by Office of Religious Research and Development Ministry of Religious Affairs Republic Indonesia. Jakarta, 30 November 2007-03 December 2007.

h. Transliteration system

Transliteration Arab-Latin system refers to SKB Ministry of Religious Affairs and Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia Number 158 year 1987 and 0543/b/u/1987