JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

52
ISSN 0852-4556 Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (Journal of Mathematics and Science) DAFTAR ISI S. W. Harun, K. S. Lim, A. A. Jasim, M. Yasin, Y.G.Y. Yhuwana and H. Ahmad. THEORY, FABRICATION AND APPLICATION OF OPTICAL MICROFIBER LOOP RESONATOR 1 Samian, Supadi dan Pujiyanto DETEKSI TEMPERATUR BERBASIS SENSOR PERGESERAN SERAT OPTIK MENGGUNAKAN LOGAM SEBAGAI PROBE 7 Sitta Amaliyah, Hery Purnobasuki, Tutik Nurhidayati dan Dian Saptarini PENGARUH UMUR TEGAKAN TANAMAN TERHADAP ADAPTASI PNEUMATOPHOR Avicennia alba DI KAWASAN WONOREJO-SURABAYA 11 Hesti Eka Herawati, Alfiah Hayati dan Win Darmanto FRAKSI N-BUTANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) DAPAT MENURUNKAN KUALITAS SPERMATOZOA MANUSIA IN VITRO 15 Hamidah STUDI KOMPARASI BIOLARVASIDA EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN JERUK PURUT (Citrus hystrix) TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti Linn 21 Risa Purnamasari, Alfiah Hayati dan Win Darmanto EFEK FRAKSI N-BUTANOL DAGING BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) TERHADAP FERTILITAS DAN HISTOLOGI SALURAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) BETINA 25 Ida Bagus Rai Wiadnya, Ganden Supriyanto dan Handoko D.K. PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MELAMIN DALAM PRODUK SUSU BERBASIS REAKSI DIAZOTASI DENGAN SENYAWA PENGKOUPLING E-NAFTOL 32 Harsasi Setyawati, Hamami dan Alfa Akustia Widati PENGHILANG KARAT YANG RAMAH LINGKUNGAN 38 Eto Wuryanto dan Dyah Herawati GENETIK k-MEANS DALAM PENGELOMPOKAN DATA 43 Vol. 15, No. 1, Januari 2012

description

jurnal

Transcript of JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Page 1: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

ISSN 0852-4556

Jurnal

Matematika danIlmu Pengetahuan Alam

(Journal of Mathematics and Science)

DAFTAR ISI

S. W. Harun, K. S. Lim, A. A. Jasim, M. Yasin, Y.G.Y. Yhuwana and H. Ahmad.

THEORY, FABRICATION AND APPLICATION OF OPTICAL MICROFIBER LOOP RESONATOR

1

Samian, Supadi dan Pujiyanto DETEKSI TEMPERATUR BERBASIS SENSOR PERGESERAN SERAT OPTIK MENGGUNAKAN LOGAM SEBAGAI PROBE

7

Sitta Amaliyah, Hery Purnobasuki, Tutik Nurhidayati dan Dian Saptarini

PENGARUH UMUR TEGAKAN TANAMAN TERHADAP ADAPTASI PNEUMATOPHOR Avicennia alba DI KAWASAN WONOREJO-SURABAYA

11

Hesti Eka Herawati, Alfiah Hayati dan Win Darmanto

FRAKSI N-BUTANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak DC)DAPAT MENURUNKAN KUALITAS SPERMATOZOA MANUSIA IN VITRO

15

Hamidah STUDI KOMPARASI BIOLARVASIDA EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN JERUK PURUT (Citrus hystrix) TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti Linn

21

Risa Purnamasari, Alfiah Hayati dan Win Darmanto

EFEK FRAKSI N-BUTANOL DAGING BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) TERHADAP FERTILITAS DAN HISTOLOGI SALURAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) BETINA

25

Ida Bagus Rai Wiadnya, Ganden Supriyanto dan Handoko D.K.

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MELAMIN DALAM PRODUK SUSU BERBASIS REAKSI DIAZOTASI DENGAN SENYAWA PENGKOUPLING -NAFTOL

32

Harsasi Setyawati, Hamami dan Alfa Akustia Widati

PENGHILANG KARAT YANG RAMAH LINGKUNGAN 38

Eto Wuryanto dan Dyah Herawati

GENETIK k-MEANS DALAM PENGELOMPOKAN DATA 43

Vol. 15, No. 1, Januari 2012

Page 2: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan JuliHarga berlangganan Rp. 200.000,00 pertahun termasuk ongkos kirim dalam negeri

Dicetak oleh Airlangga University Press (042/03.11/A15E) Kampus C UNAIR, Jalan Mulyorejo, Surabaya (60115) Indonesia.

Telp. (031) 5992246, 5992247. Fax: (031) 5992248, Email: [email protected]; [email protected] penulisan (isi) diluar tanggungjawab AUP.

Alamat Redaksi:Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Kampus C UNAIR, Jalan Mulyorejo Surabaya (60115)Telp.(031) 5936501; 5912878; Fax: (031) 5936502; 5912878

Email: [email protected]

Page 3: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM(Journal of Mathematics and Science)

ISSN: 0852-4556

Alamat: Fakultas Sains dan Teknologi, Kampus C Unair, Jalan Mulyorejo, Surabaya (60115)Telp. (031) 5936501, Fax: (031) 5936502

Email: [email protected]://www.jurnal.fst.unair.ac.id

Pelindung : Rektor Universitas AirlanggaPenanggung Jawab : Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Dewan Redaksi (Editorial Board):Ketua : Dr. Moh. Yasin, M.Si.Wakil Ketua : Dr. Herry SuprajitnoAnggota : Dr. Dwi Winarni

Dr. Alfinda Novita Kristanti Dr. Retna Apsari, M.Si.

Penyunting Ahli (Advisory Board):1. Prof. Dr. Sulaiman W. Harun (University of Malaya, Malaysia)2. Prof. Dr. Kusminarto (Universitas Gadjah Mada)3. Prof. Dr. Suhariningsih (Universitas Airlangga) 4. Prof. Dr. Darminto (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)5. Prof. Dr. Yana Maulana Syah (Institut Teknologi Bandung) 6. Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih., M.Si. (Universitas Airlangga) 7. Dr. Mulyadi Tanjung, M.S. (Universitas Airlangga) 8. Dr. Nanik Siti Aminah (Universitas Airlangga)9. Dr. Muji Harsini (Universitas Airlangga) 10. Prof. Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)11. Prof. Noenoek Hariani Soekamto (Universitas Hasanuddin) 12. Prof. Dr. Sutiman Bambang Soemitro (Universitas Brawijaya)13. Dr. Endang Semiarti (Universitas Gadjah Mada) 14. Prof. Dr. Agoes Soegianto, DEA. (Universitas Airlangga)15. Prof. Win Darmanto, M.Si., Ph.D. (Universitas Airlangga)16. Dr. Ni’matuzahroh (Universitas Airlangga)17. Drs. Hery Purnobasuki, M.Si., Ph.D. (Universitas Airlangga) 18. Prof. Dr. Ismail bin Moh. (Universiti Malaysia Terenganu, Malaysia)19. Prof. Dr. I Nyoman Budiantara (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)20. Dr. Eridani (Universitas Airlangga) 21. Dr. Miswanto, M.Si. (Universitas Airlangga)

Kesekretariatan/ Administrasi: Yhosep GitaYhun Yhuwana, S.Si. Dwi Hastuti, S.T.Farid A. Z., S.Kom. Joko Ismanto, S.Sos.

Page 4: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

S. W. Harun, K. S. Lim, A. A. Jasim, M. Yasin, Y.G.Y. Yhuwana and H. Ahmad.

THEORY, FABRICATION AND APPLICATION OF OPTICAL MICROFIBER LOOP RESONATOR

1

Samian, Supadi dan Pujiyanto DETEKSI TEMPERATUR BERBASIS SENSOR PERGESERAN SERAT OPTIK MENGGUNAKAN LOGAM SEBAGAI PROBE

7

Sitta Amaliyah, Hery Purnobasuki, Tutik Nurhidayati dan Dian Saptarini

PENGARUH UMUR TEGAKAN TANAMAN TERHADAP ADAPTASI PNEUMATOPHOR Avicennia alba DI KAWASAN WONOREJO-SURABAYA

11

Hesti Eka Herawati, Alfiah Hayati dan Win Darmanto

FRAKSI N-BUTANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak DC)DAPAT MENURUNKAN KUALITAS SPERMATOZOA MANUSIA IN VITRO

15

Hamidah STUDI KOMPARASI BIOLARVASIDA EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN JERUK PURUT (Citrus hystrix) TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti Linn

21

Risa Purnamasari, Alfiah Hayati dan Win Darmanto

EFEK FRAKSI N-BUTANOL DAGING BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) TERHADAP FERTILITAS DAN HISTOLOGI SALURAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) BETINA

25

Ida Bagus Rai Wiadnya, Ganden Supriyanto dan Handoko D.K.

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MELAMIN DALAM PRODUK SUSU BERBASIS REAKSI DIAZOTASI DENGAN SENYAWA PENGKOUPLING -NAFTOL

32

Harsasi Setyawati, Hamami dan Alfa Akustia Widati

PENGHILANG KARAT YANG RAMAH LINGKUNGAN 38

Eto Wuryanto dan Dyah Herawati

GENETIK k-MEANS DALAM PENGELOMPOKAN DATA 43

Daftar Isi

Page 5: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

THEORY, FABRICATION AND APPLICATION OF OPTICAL MICROFIBER LOOP RESONATOR

S. W. Harun1,2,*, K. S. Lim2, A. A. Jasim1, M. Yasin3 , Y.G.Y Yhuwana3 and H. Ahmad2

1Department of Electrical Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya, 50603, Kuala Lumpur, Malaysia.

2Photonics Research Center, Department of Physics, University of Malaya, 50603, Kuala Lumpur, Malaysia.

2Department of Physics, Faculty of Science and Technology, Airlangga University, Surabaya 60115, Indonesia. *E-mail: [email protected]

Invited Paper

ABSTRACT A theoretical analysis, fabrication and application of microfiber loop resonator (MLR) are presented. The

MLR is fabricated by heating and stretching a standard single-mode fiber to form a microfiber with diameter of around 1-3 µm, which is then manipulated to create a loop. The important characteristic parameters of the transmission spectra can be extracted from the best-fit curve in the experimental data. The fabricated MLR is also to investigate the temperature response on the transmission spectrum of the device for sensor application. The spacing of the transmission comb spectrum of the MLR is observed to be unchanged with the temperature. However, the extinction ratio of the spectrum is observed to be linearly decreased with the temperature. The slope of the extinction ratio reduction against temperature was about 0.043dB/oC.

Keywords: Microfiber, taper, microfiber loop resonator. INTRODUCTION

Optical microfiber devices have attracted growing interest recently especially in their simple fabrication methods. This is due to a n umber of interesting optical properties in this device, which can be used to develop low-cost, miniaturized and all-fiber based optical devices for various applications (Guo et al., 2007). For instance, many research efforts have been focused on the development of microfiber/nanofibers based optical resonators that can serve as optical filters, which has many potential applications in optical communication, laser systems (Harun et al., 2010), and sensors (Hou et al., 2010; Sumetsky et al., 2006). Many photonic devices that are conventionally fabricated into lithographic planar waveguides can also be assembled from microfibers. Recently, there are many microfiber devices have been reported such as microfiber loop resonator (MLR) (Harun et al., 2010; Sumetsky et al., 2005), microfiber coil resonator (MCR) (Sumetsky, 2008; Sumetsky et al., 2010; Xu and Brambilla, 2007; Xu et al., 2007), microfiber knot resonator (MKR) (Jiang et al., 2006; Lim et al., 2011; Wu et al., 2009), reef knot microfiber resonator as an add/drop filter (Vienne et al., 2009), microfiber mach-zehnder interferometer (Chen et al., 2010; Li and Tong, 2008) and etc. These microfiber based devices have the similar functionalities, characteristics and possibly the same miniaturizability with the lithographic planar waveguides. In future, these microfiber based devices may be used as building blocks for the larger and more complex photonic circuits.

In this paper, the fabrication and transmission properties of MLR and its sensor application are demonstrated. The MLR is constructed by micro-manipulating an optical microfiber, which was obtained from a standard telecom optical fiber by drawing and has a diameter of ~ 1 micron. The interest in photonic

devices fabricated of microfibers is caused by two major advantages of microfibers compared to lithographically-fabricated waveguides: significantly smaller losses for a g iven index contrast and the potential ability of micro-assemblage in 3D (Sumetsky, 2004; Schwelb, 2004). Eventually, these properties could make possible the creation of microfiber devices, which are significantly more compact than those fabricated lithographically. Furthermore, some of these devices possess unique functionalities, which are not possible or much harder to achieve by other means. THEORETICAL BACKGROUND

The microfiber guides light as a s ingle mode waveguide, with the evanescent field extending outside the microfiber. This evanescent field depends on the wavelength of operation, on the diameter of the fiber and the surrounding medium. If the microfiber is coiled onto itself, the modes in the two different sections can overlap and couple to create a resonator. O n every round-trip of light in the loop, there are fractions of light energy exchange between the two adjacent microfibers at the coupling region, the input light is allowed to oscillate in the closed loop and the resonance is strongest when a p ositive interference condition is fulfilled which can be related to this equation.

(1) where L is the round-trip length, is the wavelength of the circulating waves and n is an integer, are the resonance wavelengths of the resonator. Positive interference occurs to those circulating waves and the wave intensity is building up within the microfiber loop. The relationship in Eq. (1) indicates that each wavelength is uniformly spaced and periodic in

Rn Lλ =

1JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 6: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

frequency, a well-known characteristic of an optical multichannel filter.

Figure 1 shows a schematic illustration of a self-touching loop resonator. The coupling region in the figure indicates the region where the mode interaction between the two fields of the coupled microfibers. The complex expressions in the following two equations describe the mode-coupling interaction between the microfibers.

(2)

(3) where notation E1 and E2 represent the two input wave field amplitudes while E3 and E4 represent the two output wave field amplitudes. The arrows in the figure show propagation direction of the waves in the resonator. and represent the intensity coupling ratio and insertion loss.

Figure 1: Schematic illustration of a self-touching loop

resonator. The dashed arrows indicate the direction of waves in the resonator.

Assume that the resonator is assembled from a microfiber of uniform diameter. E2 and E3 in the closed loop can be related by

(4) where α is the intensity attenuation constant, β the propagation constant and L is the round-trip length. Substitute Eq. (4) into Eq. (2),

(5)

(6)

Substitute Eq. (6) into Eq. (3), we get

(7)

The transfer function of the MLR T is given by the ratio of output field amplitude E4 to the input field amplitude E1

(8)

(9)

In the coupling condition where , there is no mode interaction between the microfibers in the coupling region. The transmitted light only experiences a single trip phase shift and same attenuation for all wavelengths along the L-length microfiber. Whereas at

, the wave energy is completely transferred from

one microfiber into the adjacent microfiber. In either case, MLR acts as an all-pass filter.

In resonant condition, the numerator of the fraction in Eq. (9) is minimum when

, (10)

where m is any integer.

(11) At critical coupling, the numerator is zero if the coupling ratio is equivalent to the round-trip attenuation factor.

(12) Sumetsky et al. presents a simpler amplitude transfer function for MLR [4].

(13)

Analogous to Eq. (9), the terms and are remained in the new characteristic equation in Eq. (12). The imaginary term is replaced with a new coupling parameter where

(14) is the coupling coefficient and is the coupling

length. For every oscillation in the MLR, the circulating wave is experiencing some attenuation in intensity attributed to non-uniformity in microfiber diameter, material loss, impurity in the ambient of microfiber and bending loss along the microfiber loop. However, these losses can be combined and represented by a round-trip attenuation factor, in Eq. (13) and thus omitting the term .

The intensity transfer function is obtained by taking the magnitude squared of the amplitude transfer function in Eq. (13).

(15)

Both transfer function in Eq. (10) and Eq. (13) are different in terms of parameter values used when curve-fitting the same transmission spectrum. The missing imaginary terms in Eq. (13) only contribute to different phase angles in the two transfer functions. Slightly different from the previous transfer function, the resonant condition of Eq. (13) occurs when

(16) where m is any integer. The condition for critical coupling in Eq. (12) can be rewritten as

(17) Nonetheless, both transfer functions are capable of providing good representation for any notch filter transmission spectra with high accuracy.

The free spectral range (FSR) is defined as the spacing between two adjacent resonance wavelengths in the transmission spectrum. The expression in Eq. (16) indicates that the phase difference between two resonance wavelengths is a discreet unit of 2π

(18)

1/2 1/23 1 2(1 ) (1 )E E j Eγ ρ ρ = − − +

1/2 1/24 1 2(1 ) (1 )E j E Eγ ρ ρ = − + −

ρ γ

/22 3

L LE E e eα β−=

/2 1/2 1/22 1 2(1 ) (1 )L j LE e e E j Eα β γ ρ ρ− = − − +

1/2 1/21

2 /2 1/2

(1 ) (1 )(1 )L j L

EEe e jα β

γ ρρ γ−

− −=

− −

1/2 14 1 /2 1/2

(1 )(1 )(1 )(1 )L j L

EE j Ee e jα β

γ ρρ γρ γ−

− −= − +

− −

1/2 /24

/2 1/21

(1 ) (1 )(1 )

L j L

L j L

j e eETE e e j

α β

α β

γ ρ γρ γ

− + −= =

− −1/2 /2

1/21/2 /2

(1 )(1 )1 (1 )

L j L

L j L

e e jTj e e

α β

α β

γ ργ

ρ γ

− += −

− −

0ρ =

1ρ =

1(2 )2

L mβ π= −

1/2 /2 1/2 /2min (1 ) (1 )L j L Le e j eα β αγ ρ γ ρ− −− + = − −

(1 ) LR e αρ γ −= −

/2

/2

sin1 sin

L j L

L j Le e KT

e e K

α β

α β

−=

−/2Le α− j Le β

j ρ

sin KK lκ=

κ l

/2Le α−

1/2(1 )γ−

2 /22

2 /2

sin ( ) 2 sin( ) cos( )1 sin ( ) 2 sin( ) cos( )

L L

L Le K e K LT

e K e K L

α α

α α

ββ

− −

− −

+ −=

+ −

j

2L mβ π=

/2sin LCK e α−=

2 2m nL L m nβ β π π− = −

2 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 7: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

where m and n are any distinct integers. Between two adjacent resonance wavelengths (n = m-1), the phase difference is

(19) Let

(20)

where is the corresponding wavelength and is

the effective index.

→ (21)

→ (22)

Let = - and

→ (23)

→FSR, (24)

or

(25)

where D is the diameter of the circular loop. In addition to the characteristic parameters

mentioned earlier, Q-factor and finesse F are two important parameters that define the performance of the MLR. The Q-factor is defined as the ratio of resonance wavelength to the bandwidth of the resonance wavelength, the full wave at half maximum, FWHM (Refer Figure 2).

Q-factor, Q = (26)

The finesse is defined as the FSR of the resonator divided by the FWHM. (27)

Figure 2: Typical transmission spectrum of an MLR. The labels in the graph indicates the terminology used in many literatures. RER is an abbreviation for resonance extinction

ratio. Due to the narrow bandwidth at the resonance wavelengths, MLR is known as a notch filter [18]. The attenuation at the resonance wavelength can be used to

filter out/drop the signal from specific channels in the WDM network by suppressing the signal power. In DWDM network, the spacing between two adjacent channels in the network is small therefore notch filter with narrow resonant bandwidth is preferable so that the signals from adjacent channels are unaffected by the attenuation in the drop channel. Based on the relationship in Eq. (27), narrow resonant bandwidth (FWHM) can be found in high finesse filter. FABRICATION OF MICROFIBER RING RESONATOR

A tapered fiber is fabricated using an experimental set-up shown in Fig. 3. A coating removed standard SMF was held by two fiber holders which were fixed on two translation stages. One stage is fixed and another stage is a motorized stage that can be moved in one dimensional direction and the speed of the motor can be controlled. The fiber ends were connected to an amplified spontaneous emission (ASE) source and an optical spectrum analyzer (OSA). The tapered fiber was fabricated by heating the fiber to its softening temperature, and then pulling the ends apart to reduce the fiber’s diameter down to a around 1-3 mm. A high temperature and stable micro-burner fueled by clean butane gas is used in the tapering process. Mounted on the movable stand, the micro-burner can be swung vertically to flame brush the tapered fiber. The flame should be clean and the burning gas flow should be controlled carefully so that the air convection does not break the fiber during the drawing process. During the tapering process, we monitored both the inter-modal interference and the insertion loss of the fiber using the ASE source in conjunction with the OSA. The flame is applied to the fiber in an optimized angle to make sure the heat distribution is homogeneous. The MLR is then constructed by coiling the fabricated microfiber onto itself using two surface attractions, Van der Waals force and electrostatic force, which kept the loop stable since the forces overcame the elastic force to make the fiber straight.

Fig. 3:Experimental set-up for fabriation of MMZI

FILTERING CHARACTERISTIC OF THE FABRICATED MLRS

The typical transmission spectra of a M LR with different FSRs are as shown in Figure 4. For better clarity of viewing, the transmission spectra with different FSRs are presented in a increasing order from the top to the the bottom in the figure, the values are 0.275nm, 0.373nm, 0.493nm, 0.688nm and 0.925nm in the C-band. These transmission spectra were recorded

1 2m mL Lβ β π−− =

2 effm

m

nπβ

λ=

mλ effn

1

2 22 eff eff

m m

n L n Lπ ππ

λ λ −

= −

1

1

2 2 m meff

m m

n L λ λπ πλ λ−

−=

λ∆ 1mλ − mλ2

1m mλ λ λ −=

22 2 effn L λπ πλ∆ ≈

2

effn Lλλ∆ ≈

2

effn Dλλπ

∆ ≈

FWHMλ

FSRFFWHM

=

1539 1539.2 1539.4 1539.6 1539.8 1540 1540.2 1540.4 1540.6 1540.8 1541-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

Wavelength (nm)

Tran

smis

sion

(dB

)

FSR

3dBFWHM

RER

3JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 8: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

from a freestanding MLR in the air, started from a large loop diameter and the diameter is decreasing in step when the two microfiber arms of the MLR are stretched. Exploiting the Van Der Waals attraction force between the two microfibers in the coupling region, the resonance condition of the MLR can still be maintained during the stretching of microfiber. In the measurement, the corresponding loop diameters are approximately 1.9mm, 1.4mm, 1.1mm, 0.8mm and 0.6mm which are in the decreasing order. These variations of FSR and loop diameter are very consistent with the reciprocal relationship expressed in Eq. (25). The loop diameter of an MLR is restricted by the microfiber elastic force, the smaller is the loop diameter the greater is the elastic force. Thus, it is difficult to keep the microfiber loop in shape when the loop diameter is very small and the MLR loses its resonance condition when the loop opens.

Figure 4: Transmission Spectra of an MLR with increasing

FSR (from top to bottom) Figures 5(a) and (b) show the fitting of experimental data with the (intensity) analytical model based on characteristic equation in Eq. (15). The best-fit parameters for the transmission spectrum in Figure 5(a) are L = 2.03mm, = 0.8853 and sin K = 0.7354. The measured FSR ~0.805nm from transmission spectrum in Figure 5(a) is in agreement with the calculated FSR ~ 0.807nm. The bandwidth at the resonance wavelength, FWHM is ~0.085nm indicates that the Q-factor and finesse of the MLR are 18,000 and ~9.5. The best fit parameter for Figure 5(b) are L = 1.61mm, sin K = 0.5133 and = 0.6961. The measured FSR and FWHM are ~1.02nm and ~0.27nm respectively which indicate the values of Q-factor and finesse are ~5700 and ~3.8. In the comparison between the two spectra, the finesse provides a g ood representation in weighting the bandwidth between pass-band and stop-band. The higher is the finesse the narrower is the stop-band compared with pass-band.

(5a)

(5b)

Figure 5: The fitting of experimental data (circles) with the characteristic equation (solid line). (a) Q-factor ~18,000 and

finesse ~9.5 (b) Q-factor ~5700 and finesse ~3.8

MLR-BASED TEMPERATURE SENSOR The fabricated MLR is packaged to use as a

temperature sensor. The MLR is laid on an earlier prepared glass plate with a thin and flat layer of low refractive index material as shown in Figure 6. The thickness of the low refractive index material is approximately 0.5mm which is thick enough to prevent leakage of optical power from the microfiber to the glass plate. Some uncured resin is also applied on surrounding the MLR before it is sandwiched by another glass plate with the same low refractive index resin layer from the top. It is essentially important to ensure that minimum air bubbles and impurity are trapped around the fiber area between the two plates. This is to prevent refractive index non-uniformity in the surrounding of microfiber that may introduce loss to the system. The uncured resin is solidified by the UV light exposure for 3 ~ 7 minutes and the optical properties of the MLR are stabilized. The packaged MLR is located in an oven with temperature control to investigate how the comb spectrum changes with the temperature.

(a) diagram

(b) Snapshot

Figure 6: Packaging of the MLR (a) schematic diagram (b) snapshot

Figure 7 shows the transmission spectrum of

another packaged MLR at various temperatures. As shown in this figure, the spacing of the transmission comb spectrum is unchanged with the temperature. However, we observed a linear dependence of the

/2Le α−

/2Le α−

4 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 9: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

extinction ratio of the MLR on temperature; higher temperature MLRs had a smaller extinction ratio. Figure 8 shows an extinction ratio against the temperature. As seen, the slope of the extinction ratio reduction against temperature was about 0.043 dB/oC. The dependence of the extinction ratio on temperature is due to the change in the material’s refractive index, which increase the loss at higher temperature and thus reduces the extinction ratio. In the proposed sensor, the optical path length is not much changed with the temperature and therefore, the comb spacing is unchanged as shown in Fig. 7.

Figure 7: Transmission spectra of the fabricated MLR

obtained at various temperatures

Figure 8: Extinction ratio of the MLR as a function of the

temperature

CONCLUSION The theory, fabrication, filtering characteristic

and application of a MLR are discussed. A flame heating method has been used to fabricate microfiber, which is then coiled to form a loop resonator device. The theoretical model of the MLR is also presented and used for curve-fitting with the experimental data. The important characteristic parameters of the transmission spectra can be extracted from the best-fit curve in the experimental data. Finally, a MLR has been fabricated and packaged to investigate the temperature response on the transmission spectrum of the device for sensor application. The spacing of the transmission comb spectrum of the MLR is observed to be unchanged with the temperature. However, the extinction ratio of the spectrum is observed to be linearly decreased with the temperature. The slope of the extinction ratio reduction against temperature was about 0.043dB/oC. The dependence of the extinction ratio on temperature is due to the change in the material’s refractive index.

ACKNOWLEDGEMENT This project was funded by the MOSTI under Brain-Gain program (Grant No. 5302031067) and the MOHE under HIRG (Grant No: HIR-MOHE D000009-16001). REFERENCES C. Hou, Y. Wu, X. Zeng, S. Zhao, Q. Zhou, and G.

Yang., 2010, Novel high sensitivity accelerometer based on a microfiber loop resonator, Optical Engineering, vol. 49, no. 1, pp. 014402-6.

F. Xu and G. Brambilla., 2007, Embedding optical microfiber coil resonators in Teflon, Opt. Lett., vol. 32, no. 15, pp. 2164-2166.

F. Xu, P. Horak, and G. Brambilla., 2007, Optical microfiber coil resonator refractometric sensor, Opt. Express, vol. 15, no. 12, pp. 7888-7893.

G. Vienne, A. Coillet, P. Grelu, M. El Amraoui, J.-C. Jules, F. Smektala, and L. Tong., 2009, Demonstration of a reef knot microfiber resonator, Opt. Express, vol. 17, no. 8, pp. 6224-6229.

K. S. Lim, S. W. Harun, S. S. A. Damanhuri, A. A. Jasim, C. K. Tio, and H. Ahmad., 2011, Current sensor based on microfiber knot resonator, Sensors and Actuators A: Physical, vol. In Press, Corrected Proof, no.,.

M. Sumetsky, Y. Dulashko, and S. Ghalmi., 2010, Fabrication of miniature optical fiber and microfiber coils, Optics and Lasers in Engineering, vol. 48, no. 3, pp. 272-275.

M. Sumetsky, Y. Dulashko, J. M. Fini, A. Hale, and D. J. DiGiovanni., 2006, The microfiber loop resonator: theory, experiment, and application, Journal of Lightwave Technology, vol. 24, no. 1, pp. 242-250.

M. Sumetsky, Y. Dulashko, J. M. Fini, and A. Hale., 2005, Optical microfiber loop resonator, Applied Physics Letters, vol. 86, no. 16, pp. 161108-161108-3.

M. Sumetsky., 2004, Optical fiber microcoil resonator, Opt. Express, Vol. 12, pp. 2303.

M. Sumetsky., 2008, Basic Elements for Microfiber Photonics: Micro/ Nanofibers and Microfiber Coil Resonators, J. Lightwave Technol., vol. 26, no. 1, pp. 21-27.

O. Schwelb., 2004, Transmission, group delay, and dispersion in single-ring optical resonators and add/drop filters-a tutorial overview, Journal of Lightwave Technology, Vol. 22, pp. 1380-1394.

S. Harun, K. Lim, A. Jasim, and H. Ahmad., 2010, Fabrication of tapered fiber based ring resonator, Laser Physics, vol. 20, no. 7, pp. 1629-1631.

S. W. Harun, K. S. Lim, A. A. Jasim, and H. Ahmad., 2010, Dual wavelength erbium-doped fiber laser using a t apered fiber, Journal of Modern Optics, vol. 57, no. 21, pp. 2111 - 2113.

X. Guo, Y. Li, X. Jiang, and L. Tong., 2007, Demonstration of critical coupling in

5JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 10: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

microfiber loops wrapped around a copper rod, Applied Physics Letters, vol. 91, no. 7, pp. 073512-3.

X. Jiang, L. Tong, G. Vienne, X. Guo, A. Tsao, Q. Yang, and D. Yang., 2006, Demonstration of optical microfiber knot resonators, Applied Physics Letters, vol. 88, no. 22, pp. 223501-223501-3.

Y. Li and L. Tong., 2008, Mach-Zehnder interferometers assembled with optical microfibers or nanofibers, Opt. Lett., vol. 33, no. 4, pp. 303-305.

Y. Wu, Y.-J. Rao, Y.-h. Chen, and Y. Gong., 2009, Miniature fiber-optic temperature sensors based on silica/polymer microfiber knot resonators, Opt. Express, vol. 17, no. 20, pp. 18142-18147.

Y.-H. W. Chen, Yu; Rao, Yun-Jiang; Deng, Qiang; Gong, Yuan., 2010, Hybrid Mach-Zehnder interferometer and knot resonator based on silica microfibers, Optics Communi-cations, vol. 283, no. 14, p. 4.

6 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 11: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

DETEKSI TEMPERATUR BERBASIS SENSOR PERGESERAN SERAT OPTIK MENGGUNAKAN LOGAM SEBAGAI PROBE

Samian1*, Supadi1 dan Pujiyanto1

1Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknolog, Universitas Airlangga Surabaya *Email : [email protected]

ABSTRACT

Temperature sensor based on fiber optic displacement sensor using aluminum, copper and steel as probe is demonstrated and investigated. The temperature detection principle is detecting displacement of the mirror as a result of metal linear expansion which caused by the change of temperature. Displacement of the mirror is change of power lights which comes into the sensing port of fiber coupler. The power lights is detected by photo-detector via the detection port of fiber coupler and converted to detector’s output voltage. The result shows the highest performance of the sensor obtained by the use of aluminium and copper probe. The sensor parameters is resolution, dynamic range, linear region, sensitivity and the rate of temperature decrease are 2 oC, 200 oC, 60 oC–200 oC, 5,5 µV/oC, and 0,38 oC/s respectively for aluminum; 2 oC, 200 oC, 60 oC–200 oC, 5,0 µV/ oC, and 0,42 oC/s respectively for copper; 2 oC, 200 oC, 60 oC–170 oC, 4,6 µV/oC, and 0,24 oC/s respectively for steel. Keyword: temperature sensor, fiber coupler, probe

PENDAHULUAN

Beragam metode dan desain sensor temperatur telah dihasilkan. Dari yang konvensional yaitu mengggunakan zat cair (air raksa dan alkohol) dan bimetal sampai yang modern berbentuk thermocouple, rasistor (RTD), thermistor, dan IC. Zat cair dan bimetal digunakan dengan memanfaatkan sifat muai bahan tersebut akibat perubahan temperatur. Sedangkan thermocouple, rasistor (RTD), thermistor, dan IC digunakan dengan memanfaatkan perubahan parameter listrik bahan tersebut akibat perubahan temperatur. Dalam perkembangannya, penggunaan gelombang ultrasonik (Wen Yuan at al, 2005) maupun inframerah (Kimmo Keranen at al, 2010) telah mampu mendeteksi perubahan temperatur.

Di pihak lain, aplikasi serat optik sebagai sensor telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dengan berbagai macam teknik dan desainnya, serat optik telah dikembangkan sebagai sensor pergeseran (M. Yasin at al, 2007), vibrasi (Binu, S. at al, 2007), tekanan (Hocker G.B., 1980) ketinggian zat cair (Hossein Golnabi, 2004), temperatur dan parameter lainnya. Untuk aplikasi serat optik sebagai sensor temperatur, penggunaan single-crystal ruby fiber (Seat at al, 2002), lem epoxy yang direkatkan di ujung fiber bundle berbahan silica (Shiquan Tao and Ashwini Jayaprakash, 2006), dan Fiber Bragg Grating (Hongyun Men at al, 2010) telah mampu digunakan untuk mendeteksi perubahan temperatur. Deteksi perubahan temperatur dilakukan melalui perubahan waktu hidup dan intensitas fluoresensi masing-masing untuk single-crystal ruby fiber dan lem epoxy. Untuk Fiber Bragg Grating, deteksi perubahan temperatur dilakukan melalui pergeseran panjang gelombang Bragg.

Aplikasi multimode fiber coupler sebagai sensor pergeseran telah berhasil dilakukan. Sensor pergeseran berbasis modulasi intensitas tersebut mendeteksi pergeseran target (cermin datar) melalui perubahan daya optis cahaya pantulan dari target (Samian and Herri T, 2009). Berdasarkan prinsip kerja sensor pergeseran menggunakan multimode fiber coupler tersebut serta pemanfaatan sifat muai logam

akibat perubahan temperatur untuk menggeser cermin, maka dikonstruksi sensor temperatur berbasis sensor pergeseran serat optik (multimode fiber coupler). PRINSIP KERJA SENSOR

Struktur sensor temperatur diperlihatkan pada Gambar 1. Tranduser sensor terdiri dari multimode fiber coupler dan logam dengan salah satu ujungnya dilekatkan cermin. Diantara logam dan cermin terdapat bahan isolator untuk menahan panas dari logam agar tidak berkonduksi ke cermin.

Gambar 1. Struktur sensor temperatur dengan multimode fiber

coupler dan logam sebagai tranduser. Mekanisme kerja sensor adalah berkas cahaya

dari laser dikoplingkan ke kanal masukan fiber coupler. Sebagian berkas cahaya tersebut keluar melalui kanal sensing menuju cermin. Berkas cahaya pantulan dari cermin sebagian akan terkopling kembali ke kanal sensing. Berkas cahaya balik tersebut sebagian lagi terkopling menuju kanal deteksi. Pergeseran cermin dapat dideteksi melalui perubahan daya optis cahaya yang sampai ke detektor. Sementara itu, perubahan temperatur pada logam akan mengakibatkan logam memuai sehingga menggeser cermin. Dengan demikian perubahan temperatur di sekitar logam dapat dideteksi melalui perubahan daya optis cahaya yang diterima oleh detektor.

Hubungan antara daya optis yang diterima oleh detektor (Pd) terhadap posisi cermin (r) diperlihatkan oleh persamaan berikut :

kanal sensing

laser

detektor

Fiber Coupler

r

cermin

isolator

logam

temperatur sensing

kanal masukan

kanal deteksi

7JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 12: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

( )

+−−= 21

21cr

expPP od (1)

dengan c = (2 tg (sin-1(NA))/a yang nilainya ditentukan oleh jejari (a) dan tingkap numerik (NA) dari serat optik penyusun fiber coupler. Untuk Po, nilainya ditentukan melalui persamaan :

( )( ) in2D1,0Le1,0

0 P10210cr1cr15,1P −− ×−−= (2)

Dengan ketentuan cr, Le, dan D masing-masing adalah nilai coupling ratio, excess loss, dan directivity dari fiber coupler. Sedangkan Pin merupakan daya optis masukan (Samian at al, 2009).

Hubungan antara perubahan panjang logam (∆L) terhadap perubahan temperatur logam (∆T) diperlihatkan oleh persamaan berikut :

TLL o ∆=∆ α (3) dengan Lo dan α masing-masing adalah panjang logam mula-mula dan koefisien muai panjang logam. METODE PENELITIAN Setup Peralatan Eksperimen

Set up peralatan eksperimen diperlihatkan pada Gambar 2. Set up peralatan tersebut terdiri dari laser He-Ne (Klasse DIN 58126, 632.8 nm, Uniphase) dengan daya keluaran maksimum 1 mW, silicon photo-detector (Newport), mikrovoltmeter (Leybold), perangkat pergeseran dengan resolusi 10 µm (Uniphase), termometer digital (YEW tipe 2575) dan heater (Dekko 856 AD). Tranduser sensor terdiri dari multimode fiber coupler berdiameter 1 mm (coupling ratio 0,25, excess loss 1,37 dB, dan directivity 25 dB) dan logam dengan salah satu ujungnya direkatkan cermin datar (front-silvered, 46320, Leybold). Logam yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu aluminium (6060 – 0), tembaga (C1100BD) dan baja (ASSAB 705) berbentuk silinder pejal. Diameter dan panjang masing-masing metal besarnya 3 mm dan 80 mm.

. Fig. 2. Set up eksperimen sensor temperatur.

Prosedur Eksperimen

Langkah awal eksperimen adalah mendapatkan karakteristik tegangan keluaran detektor terhadap pergeseran kanal sensing dari cermin untuk mengetahui rentang daerah liniernya. Hal tersebut terkait dengan persamaan (3) bahwa pertambahan panjang logam (yang akan menggeser cermin dan direpresentasikan oleh tegangan keluaran detektor) linier terhadap perubahan temperatur yang akan dideteksi. Langkah tersebut dilakukan dengan mengukur tegangan keluaran

detektor tiap kanal sensing digeser 20 μm menjauhi cermin dari posisi semula berhimpit. Rentang daerah linier yang dihasilkan akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan posisi cermin terhadap kanal sensing saat melakukan eksperimen pendeteksian temperatur.

Prosedur karakterisasi sensor temperatur dilakukan dengan cara sebagai berikut. Langkah pertama adalah menempatkan kanal sensing berada pada rentang daerah linier terhadap cermin sebagai keadaan awal, kemudian mengukur tegangan keluaran detektor. Pada keadaan awal tersebut belum diberikan pemanasan pada logam (temperatur ruang). Langkah selanjutnya adalah menghembuskan udara panas dari heater pada logam sekaligus termokopel yang letaknya sejajar dengan logam. Dengan demikian logam akan memuai dan menggeser cermin mendekati kanal sensing sehingga tegangan keluaran detektor akan berubah. Temperatur udara panas yang dihembuskan dapat dibaca melalui termometer digital dengan probe termokopel. L angkah berikutnya adalah mengukur tegangan keluran detektor setiap termometer digital membaca kanaikan temperatur udara sebesar 2 oC. Setelah mencapai temperatur udara maksimal (temperatur udara maksimal yang dihasilkan oleh heater tercatat sebesar 200 oC oleh termometer digital), pemenasan kemudian dihentikan dengan cara tidak mengaktifkan heater. Secara bersamaan, pencatatan waktu mulai dilakukan sampai tempartur logam berada pada temperatur kamar. Pembacaan temperatur kamar oleh sensor tersebut dilakukan melalui pembacaan tegangan keluaran detektor pada keadaan awal. Pencatatan waktu tersebut dilakukan untuk menentukan laju penurunan temperatur atau laju penyusutan logam. Prosedur tersebut dilakukan untuk ketiga jenis logam yang digunakan sebagai komponen tranduser sensor. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karekteristik tegangan keluaran detektor terhadap pergeseran kanal sensing dari cermin hasilnya diperlihatkan melalui grafik pada Gambar 3. Sedangkan daerah linier diperlihatkan pada Gambar 4. Jangkauan dan rentang daerah linier pergeseran kanal sensing terhadap cermin masing-masing nilainya 4460 µm dan 100 µm – 1100 µm.

Gambar 3. Grafik karekteristik pergeseran kanal sensing

terhadap cermin datar

8 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 13: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Gambar 4. Grafik hubungan linier antara tegangan keluaran

detektor terhadap pergeseran kanal sensing dari cermin. Berdasarkan rentang daerah linier tersebut, maka pada saat malakukan karakterisasi sensor temperatur, jarak kanal sensing terhadap cermin paling jauh sebesar 1100 µm sebelum logam dipanaskan (keadaan awal) dan 100 µm pada saat pemanasan dengan temperatur maksimal diberikan pada logam . Tetapi karena pemanasan maksimal yang diberikan sebesar 200 oC, sedangkan nilai koefisien muai linier tertinggi logam yang digunakan sebesar 22,5 x 10-6 oC-1 (untuk logam aluminium) serta panjang logam sebesar 80 mm, maka pertambahan panjang logam maksimal yang dapat terjadi sebesar 324 µm. Tetapi dalam pelaksanaan eksperimen karakterisasi sensor temperatur ini, jarak awal antara kanal sensing dengan cermin ditentukan sebesar 800 µm, karena pada jarak tersebut perubahan tegangan keluaran detektor dengan resolusi pemanasan 2 oC dapat dibaca dan relatif stabil.

Karakterisasi sensor temperatur berbasis sensor pergeseran serat optik mengunakan logam aluminium, tembaga, dan baja sebagai probe menghasilkan data tegangan keluaran detektor sebagai fungsi temperatur udara yang disensing. Hasilnya diperlihatkan pada grafik Gambar 5. Pada temperatur kamar (20 0C), tegangan keluaran detektor nilainya tidak sama untuk ketiga logam. Hal tersebut dikarenakan tingkat kedataran posisi cermin terhadap kanal sensing pada masing-masing logam tidak sama persis. Data waktu penurunan temperatur logam atau penyusutan logam perlihatkan pada Tabel 1.

Gambar 5. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi temperatur udara untuk probe logam aluminium, tembaga dan

baja.

Tabel 5.1. Data waktu penyusutan logam aluminium,

tembaga dan baja. No. Jenis Logam Rentang penurunan

Temperatur (oC) Waktu (s)

1. Aluminium 200 – 20 469 2. Tembaga 200 – 20 430 3. Baja 200 – 20 750

Grafik pada Gambar 5 memperlihatkan hubungan yang kurang linier antara tegangan keluaran detektor terhadap temperatur udara. Sebagai sebuah sensor temperatur, parameter keluaran sensor (tegangan keluaran detektor) seharusnya mempunyai hubungan yang linier terhadap parameter sensing (temperatur). Karena itu, ditentukan daerah antara tegangan keluaran detektor mempunyai hubungan yang linier terhadap temperatur, hasilnya diperlihatkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik linier hubungan antara tegangan keluaran detektor terhadap temperatur udara masing-masing untuk

probe (A) aluminium, (B) tembaga dan (C) baja

Hasil uji regresi linier menghasilkan daerah linier untuk aluminium, tembaga dan baja masing-

9JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 14: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

masing pada rentang temperatur 60 oC – 200 oC, 60 oC – 200 oC dan 60 oC – 170 oC. Kemiringan (slope) grafik hasil uji regresi menyatakan sensitivitas sensor. Dengan demikian sensivitas sensor untuk probe logam aluminium, tembaga dan baja masing-masing bernilai 5,5 µV/ oC, 5 µV/ oC dan 4,6 µV/ oC. Sementara itu persamaan hasil regresi linier dapat digunakan untuk mengkonversi besaran tegangan keluaran detektor terhadap temperatur udara yang disensing

Dari data hasil karakterisasi sensor temperatur berbasis sensor pergeseran serat optik menggunakan logam aluminium, tembaga, dan baja sebagai probe, menghasilkan karakteristik sensor seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik sensor temperatur berbasis

sensor pergeseran serat optik menggunakan logam aluminium, tembaga, dan baja sebagai probe

Jenis probe Resolusi (oC)

Jangkauan (oC)

Daerah linier (oC)

Sensitivitas (µV/ oC)

Laju penurunan temperatur

(oC/s) Aluminium 2 200 60 – 200 5,5 0,38 Tembaga 2 200 60 – 200 5,0 0,42 Baja 2 200 60 – 170 4,6 0,24

Nilai jangkauan yang tertera pada Tabel 2 sesungguhnya masih dapat ditingkatkan lagi sampai mendekati titit lebur logam. Tetapi karena kemampuan heater yang digunakan untuk menghasilkan udara panas yang terbaca oleh termometer digital hanya sampai 200 oC, maka hanya sampai disitulah jangkauan sensor yang dihasilkan.

Dari nilai parameter-parameter karakteristik logam aluminium, tembaga dan baja sebagai probe pada sensor temperatur berbasis sensor pergeseran serat optik, kinerja sensor terbaik dimiliki oleh logam aluminium dan tembaga. Berdasarkan nilai laju penurunan temperatur, jika perubahan temperatur yang disensing tidak terlalu cepat, maka penggunaan logam aluminium sebagai probe tepat digunakan karena memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi. Apabila perubahan temperatur yang disensing cukup cepat, maka penggunaan logam tembaga merupakan pilihan yang terbaik daripada dua logam lainnya karena laju penurunan temperaturnya lebih besar dari pada logam aluminium dan baja.

KESIMPULAN

Sensor temperatur dengan metode optik dapat dikonstruksi berbasis pada sensor pergeseran serat optik menggunakan logam aluminium, tembaga dan baja sebagai probe. Parameter sensor berupa resolusi, jangkauan, daerah linier, sensitivitas, laju penurunan temperatur masing-masing bernilai 2 oC, 200 oC, 60 oC – 200 oC, 5,5 µV/ oC, 0,38 oC/s untuk logam aluminium, 2 oC, 200 oC, 60 oC – 200 oC, 5,0 µV/ oC, 0,42 oC/s

untuk logam tembaga dan 2 oC, 200 oC, 60 oC – 170 oC, 4,6 µV/ oC, 0,24 oC/s untuk logam baja. DAFTAR PUSTAKA Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran,

2007, Fiber Optic Displacement Sensor for Measurement Amplitude and Frequency of Vibration, Journal of Optic & Laser Technology 39: 1537 – 1543.

Hocker G.B., 1980, Fiber Optic Sensing of Presure and Temperature, Journal of Applied Optic, 19: 98 – 107.

Hongyun Men, Wei Shen, Guanbin Zhang, Chunhua Tan and Xuguang Huang, 2010, Fiber Bragg Grating-Base Fiber Sensor For Simultaneous Measurement of Refracvtive Index and Temperature, Sensors and Actuators B 150: 226 – 229.

Hossein Golnabi, 2004, Design and Operation of A Fiber Optic Sensor For Liquid Level Detection, Journal of Optics and Lasers in Engineering, 41: 801–812.

Kimmo Keranen, Jukka Tapani Makinen and Jakke Makela, 2010, Infrared Temperatur Sensor System for Mobil Device, Sensors and Actuators A 158: 161 – 167.

M. Yasin, W. S. Harun, H.A. Abdul Rasyid, Kusminarto, Karyono, A. H. Zaidan, H. Ahmad, 2007, Performance of Optical Displacement Sensor Using A Pair Type Bundled Fiber From A Theoretical and Experimental Perspective, Journal of Optoelectron. Adv. Mater. 1: 549

Samian and Herri T (nama kedua), 2009, Fiber Optic Directional Coupler As Micro Displacement Sensor, Proceeding of ICORAFSS, Johor Baru, Malaysia, 2 – 4 Juni 2009.

Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, A.H. Zaidan, 2009, Theoretical and Experimental Study of Fiber-Optic Displacement Sensor Using Multimode Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3, p. 303 – 308.

Seat, H.C., J.H. Sharp, Z.Y. Zhang and K.T.V. Grattan, 2002, Single-Crystal Ruby Fiber Temperatur Sensor, Sensors and Actuators A 101: 24 – 29.

Shiquan Tao and Ashwini Jayaprakash, 2006, A Fiber Optic Temperature Sensor With An Epoxy-Glue Membrane As A Temperature Indicator, Sensors and Actuators B 119: 615 – 620.

Wen Yuan Tsai, Chi Feng Huang and The Lu Liao, 2005, New Implementation of High-Precision and Instant Response Air Thermometer By Ultrasonic Sensor, Sensors and Actuators A 117: 88 – 94.

10 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 15: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

PENGARUH UMUR TEGAKAN TANAMAN TERHADAP ADAPTASI PNEUMATOPHOR Avicennia alba DI KAWASAN WONOREJO-SURABAYA

Sitta Amaliyah1, Hery Purnobasuki2, Tutik Nurhidayati1 dan Dian Saptarini1

1Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

2Jurusan Biologi Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga

ABSTRAK

Pneumatophor merupakan salah satu sistem perakaran Avicennia yang berperan dalam sistem aerial. Penonjolan pneumatophor yang tumbuh secara horizontal dari akar kawat menyebabkan rawan terjadi kerusakan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adaptasi pneumatophor dari Avicennia alba usia pohon muda, sedang dan tua sebagai bentuk adaptasi lingkungan di kawasan muara sungai Wonorejo Surabaya. Sampel diambil dari Avicennia alba yang dibedakan menurut ukuran diameter batang pohon muda, sedang dan dewasa. Pneumatophor diambil dari akar kawat (cable root) berdasarkan arah pertumbuhan ke arah laut, arah darat dan yang berada di garis pantai sebagai pengulangan. Analisa morfologi dilakukan dengan melihat bentuk ujung pnematophor, jumlah lentisel dalam satu pneumatophor, modifikasi jumlah percabangan serta jumlah pneumatophor dalam satu akar kawat. Sedangkan analisa data dilakukan dengan Uji-t. Hasil penelitian menunjukkan Avicennia alba usia muda dan sedang tumbuh pada kondisi substrat yang tergenang menyebabkan jumlah pneumatophor lebih banyak dibanding pohon usia tua yang tumbuh diatas substrat. Jumlah lentisel pada pneumatophor bagian ujung dari akar kawat lebih sedikit daripada jumlah lentisel pada pneumatophor bagian pangkal.

Keywords : pneumatophor, aerial, Avicennia alba, lentisel PENDAHULUAN

Sungai Wonorejo merupakan salah satu sungai besar yang mengalir dan bermuara di kawasan Pantai Timur Surabaya. Muara sungai Wonorejo termasuk dalam kawasan konservasi karena potensi sumber daya alam dan keragaman hayati yang tinggi. Kawasan Wonorejo terbentuk dari hasil pengendapandan dipengaruhi oleh sistem laut ini merupakan habitat yang baik bagi tumbuhnya ekosistem mangrove. Kondisi geografis dengan struktur tanah yang terdiri dari lumpur-lanau (silt-clay) 97 % dan pasir halus (sand) 3 % mendukung tumbuhnya mangrove di kawasan muara sungai Wonorejo (Hendrasarie, 2001).

Peningkatan industri, pemukiman dan pertanian di sepanjang sungai menyebabkan muara sungai Wonorejo mengalami pencemaran pada tingkat yang cukup tinggi juga diperparah dengan rendahnya perhatian masyarakat mengenai keberadaan hutan mangrove. Umumnya masyarakat memanfaatkan kawasan mangrove sebagai tempat pembuangan sampah karena wilayahnya yang jauh dari pemukiman. Kondisi muara sungai yang tampak kotor dan banyak dijumpai sampah plastik, kayu, dan lain-lain yang menumpuk di tepi muara dan tersangkut diantara akar-akar mangrove turut berpengaruh pada keberadaan mangrove di kawasan tersebut (Hendrasarie, 2001). Mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya yang tersisa hanya berupa kumpulan vegetasi dengan ketebalan 5-120 meter dan hanya menutupi 8,2 km dari 28,4 km dari garis pantai.

Jenis Avicennia alba merupakan salah satu jenis yang paling dominan di kawasan muara Wonorejo. Kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dimiliki oleh tumbuhan mangrove (Noor dkk, 1999). Bagian tumbuhan yang senantiasa kontak dengan substrat adalah akar. Penyerapan nutrisi yang terdapat pada substrat juga dilakukan oleh akar. Akar merupakan

barrier utama bagi tumbuhan (Shannon et al., 1994). Studi yang dilakukan oleh Purnobasuki dan Suzuki (2005) pada tumbuhan Avicennia marina menunjukkan bahwa Avicennia merupakan salah satu jenis mangrove yang mampu hidup di habitat yang tergenang akibat pasang surut dan tanah yang anaerobik, dengan sistem perakaran yang komplek. Sistem perakaran terdiri dari empat tipe akar yaitu akar kawat, pneumatophor, anchor root dan feeding root.

Pneumatophor merupakan salah satu tipe sistem perakaran Avicennia yang berperan dalam sistem aerial. Bentuk dan perkembangan pneumatophor menjadi hal yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian karena penonjolan pneumatophor yang terjadi secara horizontal baik di udara maupun di dalam genangan air sehingga rawan terjadi kerusakan. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh jenis tumbuhan, umur pohon dan habitatnya terutama faktor lingkungan seperti karakteristik tanah dan genangan air. Pada masa pertumbuhan, perubahan lingkungan seperti ombak, sedimentasi dan lain sebagainnya berperan dalam pembentukan morfologi pneumatophor. Variasi yang terjadi pada morfologi pneumatophor berhubungan dengan adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang dinamis (Nakamura, 2000).

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu adanya informasi tentang struktur morfologi akar pneumatophor mangrove untuk mengetahui lebih jelas adaptasi mangrove terhadap lingkungan di kawasan muara sungai Wonorejo Surabaya. Penelitian dibatasi pada studi pneumatophor Avicennia alba, dimana lokasi pengambilan dilakukan di kawasan muara sungai Wonorejo Surabaya. Tujuan penelitian untuk mengetahui adaptasi pneumatophor dan jumlah lentisel dari Avicennia alba pada usia pohon muda sadang dan tua di kawasan muara sungai Wonorejo Surabaya.

11JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 16: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi pengamatan

Pengambilan sampel dan pengamatan morfologi akar Avicennia alba dilakukan di muara sungai Wonorejo Surabaya. Pengambilan Sampel Pneumatophor

Sample akar pneumatophor diambil dari Avicennia alba yang dibedakan dalam 3 habitus berdasarkan ukuran diameter batang pohon muda (diameter batang <10 cm), sedang (diameter batang 10-30 cm), dan dewasa (diameter batang >30 cm) (Nakamura, 2000). Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast Heigh) atau setinggi 1,3 m dari permukaan tanah. Pohon yang memiliki percabangan di bawah ketentuan tinggi dada (DBH), pengukuran diameter dilakukan pada kedua cabang, dengan asumsi kedua cabang adalah batang yang berbeda.

Selanjutnya pengambilan sampel akar penumatophor dilakukan pada waktu pasang-surut terendah dengan cara menggali. Sampel akar pneumatophor dikoleksi dari akar kawat (cable root) berdasarkan arah pertumbuhan ke arah laut, arah darat dan yang berada di garis pantai sebagai pengulangan (Nakamura, 2000). Parameter Pengamatan

Analisa morfologi dilakukan dengan memperhatikan jumlah lentisel dalam satu pneumatophor dan jumlah pneumatophor dalam satu cable root (Nakamura, 2000 dan Hovenden & Allawy, 1994). Analisa Statistik

Pada analisa statistik dari data jumlah pneumatophor dan jumlah lentisel yang diperoleh diuji dengan menggunakan Uji-t dengan taraf kepercayaan 5%, untuk mengetahui tingkat beda signifikan jumlah pneumatophor dan jumlah lentisel pada usia pohon berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata Jumlah Pneumatophor dalam Satu Akar Kawat Pada Umur Pohon Muda, Sedang dan Tua.

Tanaman Avicennia alba dalam sistem perakarannya mempunyai pneumatophor yang ujungnya berbentuk seperti pensil dan tumbuh dari akar kawat (cable root) secara vertikal ke atas menembus permukaan tanah akar kawat (cable root). Dari hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jumlah yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel rata-rata jumlah pneumatophor dalam satu

akar kawat Avicennia marina (/m). Umur pohon Rata-rata jumlah Pneumatophor

Muda 6.83±2.63*

Sedang 6.33±2.58*

Tua 0.50±0.54

Keterangan: tanda (*) menunjukkan tidak ada beda, dengan taraf uji 0,05 dengan Uji-t.

Hasil pengamatan memperlihatkan antara

umur pohon muda (DBH 5-10 cm) dengan pohon sedang (DBH 10-30 cm) ternyata tidak menunjukkan ada beda pada nilai rata-rata jumlah pneumatophornya. Namun jumlah pneumatophor pada pohon tua (DBH >30 cm) yang mempunyai nilai rata-rata paling rendah sebesar 0.5 Menunjukkan adanya perbedaan dengan jumlah pneumatophor pada umur pohon muda. Begitu pula antara umur pohon sedang dengan pohon tua.

Perbedaan jumlah pneumatophor yang terjadi pada umur pohon tua dengan pohon muda dan sedang dikarenakan faktor lingkungan. Hal tersebut tampak pada gambar 1. Avicennia alba pada usia muda dan sedang perakarannya tumbuh pada kondisi substrat yang tergenang dengan tipe tanah lumpur-lanau. Sebaliknya pada pohon tua (gambar 2), perakaran tumbuh di atas permukaan tanah dengan kondisi substrat tidak tergenang.

Pada usia pohon muda dan sedang dari Avicennia alba, perakaran yang tumbuh pada kondisi tanah yang tergenang dimana partikel-partikel penyusun tanah rapat sehingga lebih banyak menyimpan air dan sedikit menyediakan ruang untuk gas. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen di dalam tanah rendah yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme di dalam tanaman (Setter and Waters, 2003).

Sedangkan perakaran pada pohon umur tua yang sebagian tumbuh diatas substrat atau tanah, kondisi ini menyebabkan akar dapat dengan leluasa mendapatkan suplai oksigen dari udara bebas sehingga peran pneumatophor berkurang. Namun pneumatophor tetap ada pada bagian akar yang terbenam di dalam tanah yang tergenang, mengingat fungsi utamanya sebagai tempat terjadinya difusi oksigen pada substrat yang anaerobik (Gambar 2).

Gambar 1. Avicennia alba pada umur pohon muda dengan kondisi lingkungan yang tergenang. Tanda panah merah

menunjukkan pneumatophor yang tumbuh pada kondisi tanah yang tergenang. Bar= 60 cm.

Seperti diketahui laju pertumbuhan tanaman mengalami peningkatan tinggi dan berat tanaman seiring bertambahnya waktu. Peningkatan tinggi dan berat tanaman didorong sel-sel meristematik tanaman muda yang aktif melakukan pembelahan-pembesaran-

12 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 17: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

diferensiasi (Salisbury, 1995). Aktifitas didalam sel yang tinggi ini pada akhirnya membutuhkan energi yang besar pula. Energi yang digunakan tanaman diperoleh dari aktifitas metabolisme di dalam tanaman. Respirasi merupakan salah satu bagian dari mekanisme metabolisme untuk memenuhi kebutuhan akan energi (Salisbury, 1995).

Salah satu faktor yang dibutuhkan untuk keberlangsungan respirasi secara aerob adalah ketersediaan oksigen. Kegiatan respirasi terbesar terjadi pada bagian akar, dimana oksigen diperoleh secara difusi dari dalam tanah. Namun genangan menyebabkan menurunya pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunya ketersediaan oksigen dalam tanah (Parent et al., 2008). Meski demikian Avicennia alba mempunyai perakaran yang kompleks sebagai mekanisme adaptasi sehingga mampu bertahan hidup. Peran pneumatophor dibutuhkan untuk medukung metabolisme dalam Avicennia alba. Kebutuhan oksigen ini dipenuhi melalui penyerapan secara difusi yang dilakukan lentisel pada pneumatophor (Dawes, 1981).

Gambar 2. Avicennia alba pada umur pohon tua dengan perakaran yang sebagian akarnya berada di atas substrat.

Tanda panah merah menunjukkan akar kawat (cable root) yang tidak ditemui penumatophor. Bar=60 cm

Pengaruh Genangan Terhadap Jumlah Lentisel dalam Satu Pneumatophor yang Terletak Di Ujung dan Di Pangkal Akar Kawat

Karakteristik morfologi pneumatophor Avicennia alba yang membedakan dengan perakaran lainnya adalah adanya lentisel. Lentisel merupakan bagian pneumatophor yang berfungsi untuk menyerap oksigen. Hasil pengamatan untuk melihat keberadaan sejumlah lentisel dalam satu pneumatophor ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah lentisel dalam satu pneumatophor yang terletak di ujung dan di pangkal akar kawat (lentisel/cm)

Letak Pneumatophor pada akar kawat Rata-rata jumlah lentisel dalam satu pneumatophor

Ujung 3.28±4.32*

Pangkal 6.37±5.44*

Keterangan: tanda (*) menunjukkan tidak ada beda, dengan taraf uji 0,05 dengan Uji-t.

Pada gambar 3 memperlihatkan grafik jumlah

lentisel pada suatu pneumatophor. Pada pneumatophor yang terletak di bagian ujung akar kawat (jarak pneumatophor dengan ujung akar kawat ± 30 cm atau jarak terjauh dari batang jumlah lentiselnya sebesar

3.28±4.32 lentisel/cm. Sedangkan untuk pneumatophor yang ada di bagian pangkal (jarak penumatophor dengan batang ±30 cm) jumlah lentiselnya 6.37±5.44 lentisel/cm. Hal ini menunjukkan jumlah lentisel yang dimiliki pneumatophor yang terletak di ujung akar kawat lebih sedikit dibanding dengan pneumatophor yang berada di pangkal. Banyaknya jumlah lentisel bisa dipengaruhi oleh faktor fisiologi di dalam tanaman khususnya akar karena ketika tanaman tumbuh dengan aktif, maka akar memiliki tingkat kebutuhan oksigen yang tinggi, sehingga pertumbuhan sejumlah lentisel diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen di dalam tanaman.

Seperti yang tampak pada gambar 4 Keberadaan sejumlah lentisel pada pneumatophor yang terletak di ujung akar kawat lebih sedikit dibanding dengan pneumatophor yang berada di pangkal Hal tersebut dikarenakan pneumatophor dibagian ujung akar kawat dianggap sel yang masih bersifat meristematik dan sistem aerialnya belum berkembang baik (Thampanya dkk, 2002). Sedangkan pneumatophor yang terletak dibagian pangkal akar kawat umumnya telah mencapai fase dewasa dengan pembentukan perkembangan organnya sudah sempurna.

Gambar 3. Jumlah lenticel pneumatophor berdasarkan letak

pneumatophor dalam satu akar kawat Sehingga keberadaan lentisel yang lebih

sedikit pada pneumatophor yang terletak di bagian ujung akar kawat terkait dengan kegiatan pembentukan organ tersebut. Lentisel merupakan tempat pertukaran udara yang mempunyai beberapa tahap untuk mencapai kesempurnaan, sehingga dibutuhkan waktu untuk menghasilkan organ yang komplek (Hovenden dan Allaway, 1994). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ish-Shalom-Gordon dan Dubinsky (1992) yang mengungkapkan bahwa di dalam perkembangannya lentisel mengalami tiga tahap yaitu tertutup (immature), membuka sebagian (Partially mature), dan membuka penuh (mature).

13JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 18: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Gambar 4. Lentisel pada pneumatophor (A) Pneumatophor

yang terletak di ujung akar kawat, Bar= 1 cm. (B) Pneumatophor yang terletak di bagian pangkal dari akar

kawat, Bar= 1 cm. le= lentisel. KESIMPULAN

Pada penelitian memperlihatkan Avicennia alba di kawasan muara sungai Wonorejo Surabaya mampu hidup dengan bentuk adaptasi sebagai berikut: 1. Avicennia alba usia muda dan sedang tumbuh

pada kondisi substrat yang tergenang menyebabkan jumlah pneumatophor lebih banyak dibanding pohon usia tua yang tumbuh diatas substrat.

2. Genangan berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah lentisel, dimana Jumlah lentisel pada pneumatophor bagian ujung dari akar kawat yang umumnya tumbuh di dalam substrat dan tergenang lebih sedikit daripada jumlah lentisel pada pneumatophor bagian pangkal yang umumnya tumbuh d atas substrat.

Kajian adaptasi pneumatophor sebagai bentuk adapatasi Avicennia alba dengan lingkungan di kawasan Muara Sungai Wonorejo Surabaya telah diketahui. Namun masih perlu dilakukan kajian lebih dalam mengenai faktor lingkungan yang berpengaruh pada morfologi Pneumatophor. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diucapkan kepada Dra. Enny Zulaikah, MP., Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si., Kristanti Indah Purwanti S.Si., M.Si. yang telah memberikan ilmu dan bantuan yang bermanfaat dalam penelitian ini DAFTAR PUSTAKA Dawes CJ,. Marine Botany. Quinn-Woodbine Inc.

Canada: A Wiley-Interscience Publicatian. English S, Wilkinson C, dan Baker V, 1994. Survey

Manual For Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science: Townsville.

Hendrasarie N., 2001, Tinjauan Keaneka-ragaman Makro Invertebrata Dasar Sebagai Metoda Pengelolahan Lingkungan Kawasan Konservasi Pantai Timur. Tesis Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Hovenden M.J, dan Allaway W.G., 1994, Horizontal Structures on Pneumatophores of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. A New Site of Oxgen Conductance. Annals of Botany. 73: 377-383.

Ish-Shalom-Gordon N, dan Dubinsky Z., 1992, Ultrastructur of Pneumatophores of The Mangrove Avicennia marina. S.Afr.J.Bot. 58(5):358.

Nakamura T., 2000, Some Ecological Problems On The Sonneratia And Avicennia Pneumatophores. International Worksop Asia-Pasific Cooperation. Research for Conservation of Mangrove. Japan; Tokyo University Of Agriculture.

Noor Y. R., Khazali M, dan Suryadiputra I.N.N., 1999, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA/WI-IP.

Parent C., Capeii N., Berger A., Crevecoeur M., and Dat James F., 2008. An overview of plant responses to soil waterlogging. Plant Stress. 2 (1):20-27.

Purnobasuki H, dan Suzuki M., 2005, Aerenchyma Tissue Development And Gas-Pathway Structure In Root Of Avicennia marina (Forsk) Vierh. J Plant Res. 118:285-294.

Salisbury, F.B. & Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid II (t erjemahan). Penerbit ITB: Bandung.

Salisbury, F.B. & Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid III ( terjemahan). Penerbit ITB: Bandung.

Setter T.L. and Waters I., 2003. Review of prospect for germplasm improvement for waterlogging tolerance in Wheat, Barley and Oats. Plant and Soil. 253:1-34.

Shanoon, M. C., C.M. Grieve and L.E. Francois. 1994. Whole-Plants Response to Salinity. In Wilkinson. R. E (ed). Plant enviroment integration. Marcel Dracker, Inc,. New York. pp. 199-228.

Thampanya U., Vermaat J. E., dang Terrados J., 2002, The Effect of Three common Thai Mangrove Species. Aquaric Botany. 74: 315-325.

le

A

B

14 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 19: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

FRAKSI N-BUTANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) DAPAT MENURUNKAN KUALITAS SPERMATOZOA MANUSIA IN VITRO

Hesti Eka Herawati1*, Alfiah Hayati1 dan Win Darmanto1

1Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo, Surabaya

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This research was aimed to detemine the effect of n-butanol fraction from lerak fruit (Sapindus rarak DC) to human sperm quality including sperm motility, viability, and membrane integrity in vitro. Six ejaculate was used to sperm motility, viability, and membrane integrity observation. Control group was treated by NaCl 0,9%, and treatment group was treated by n-butanol fraction from lerak fruit in concentration 200, 400 and 600 µg/ml. Each observation was done a minute after treatment. Sperm motility was observed using light microscopy at 400x magnification. Sperm viability was observed staining with 1% eosin and 10% nigrosin. Sperm membrane integrity was observed with hypo osmotic swelling (HOS) test. The data then analyzed with Brown-Forsythe test, α=0,05 and followed by Games-Howell test. The result show that n-butanol fraction from lerak fruit decrease sperm motility, viability, and membrane integrity. The most optimum concentration of n-butanol fraction from lerak fruit which decrease human sperm quality is 600 µg/ml.

Keywords: Sapindus rarak DC, human sperm, motility, viability,and membrane integrity.

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebesar 237 juta jiwa dengan laju pertambahan penduduk sekitar 1,1 % (Badan Pusat Statistik, 2011). Laju pertambahan penduduk yang tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat kehidupan dan kesejahteraan penduduk. Upaya penanggulangan masalah kependudukan di Indonesia yang dilakukan pemerintah yaitu dengan mencanangkan program Keluarga Berencana (KB). Program pemerintah ini mengakibatkan pengembangan bahan kontrasepsi, baik bagi pria maupun wanita. Metode kontrasepsi yang aman, efektif, dan lebih ekonomis banyak dikembangkan saat ini untuk menekan peningkatan jumlah penduduk (Rusmiati, 2007).

Salah satu metode kontrasepsi yang dapat digunakan baik pada pria maupun wanita adalah penggunaan spermisida. Spermisida merupakan suatu bahan yang memiliki kemampuan menghambat motilitas dan membunuh spermatozoa, sehingga tidak dapat melakukan fertilisasi. Kriteria spermisida yang ideal adalah memiliki kemampuan untuk menghentikan motilitas spermatozoa secara total, tidak menyebabkan iritasi pada mukosa vagina, tidak memiliki efek samping pada perkembangan fetus, dan aman untuk penggunaan jangka panjang (Shah et al., 2008). Sebagai bahan kontrasepsi, s permisida dapat digunakan sendiri ataupun dikombinasikan dengan alat kontrasepsi lain seperti kondom, diafragma, cervical caps, at au spons. Spermisida yang tersedia di pasaran antara lain dalam bentuk ; a erosol, krim, jeli, vaginal contraceptive film, dan suppositoria (Syaifudin, 2008).

Agen spermisida yang potensial adalah nonoxynol-9. Senyawa nonoxynol-9 bekerja dengan cara merusak membran akrosom dan membran plasma spermatozoa sehingga menyebabkan immobilisasi spermatozoa (Donaldson, 2007). Akan tetapi produk tersebut dapat menyebabkan inflamasi dan lesi epitel

vagina, keadaan ini dapat mempermudah masuknya virus atau mikroba ke dalam pembuluh darah. Pemakaian secara berulang dapat meningkatkan resiko infeksi HIV (Raymond et al., 2004). Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mencari bahan spermisida yang aman.

Beberapa tanaman di Indonesia ada yang memiliki khasiat spermisida. Bahan aktif yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai spermisida adalah saponin triterpenoid (Davidson, 2004). Saponin merupakan surfaktan alami yang memiliki aktivitas biologis menurunkan fungsi spermatozoa dalam fertilisasi. Senyawa ini terdiri atas polisiklik aglikon yang terangkai pada satu atau lebih sisi rantai gula. Membran plasma spermatozoa tersusun atas bilayer lipid yang mengandung fosfolipid, protein transmembran, dan protein periferal. Senyawa saponin tersusun atas molekul yang bersifat hidrofobik dan hidrofilik, sehingga senyawa ini mudah berinteraksi dengan protein dan fosfolipid pada membran spermatozoa. Hal ini menyebabkan perubahan pada permukaan membran spermatozoa (Shah et al., 2008). Kerusakan pada membran plasma spermatozoa menyebabkan disintegrasi membran, penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa. Membran sel yang rusak tidak dapat melakukan transport molekul secara selektif, sehingga metabolisme sel terganggu dan spermatozoa tidak dapat melakukan fertilisasi (Dubey et al., 2010).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian efektivitas fraksi n-butanol buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap kualitas spermatozoa manusia secara in vitro, sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan spermisida alami yang efektif.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen manusia hasil ejakulat dari donor. Donor

15JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 20: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

adalah pria dalam usia produktif (25-40 tahun), sudah menikah dan sudah mempunyai keturunan. Sampel yang digunakan sebanyak 6 ejakulat. Buah lerak (Sapindus rarak DC) yang diperoleh dari pasar tradisional Larangan, Sidoarjo, untuk memastikan jenisnya dilakukan identifikasi tanaman terlebih dahulu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi saponin meliputi metanol 90%, dietil eter, n-butanol, dan akuades. Larutan fisiologis (NaCl 0,9%) untuk pelarut ekstrak. Bahan kimia yang digunakan untuk uji pendahuluan saponin meliputi asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Untuk pemerikasaan pH semen digunakan pH meter. Sodium citrat dyhidrat dan fruktosa untuk uji integritas membran spermatozoa. Pewarna eosin-negrosin untuk uji viabilitas spermatozoa.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : timbangan analitik (Ohaus adventurer), oven, kertas saring, rotary evaporator vaccum, penangas air untuk ekstraksi lerak dan uji pendahuluan saponin. pH meter untuk mengukur pH spermatozoa, mikropipet (Eppendorf) da n tip pipet (yellow tipe), gelas objek cekung, mikroskop cahaya (Nikon), stopwatch, digi counter, hemositometer untuk pengamatan jumlah, motilitas, viabilitas dan integritas membran spermatozoa.

Persiapan sampel dan pembuatan fraksi n-butanol buah lerak

Buah lerak diambil perikarpiumnya. Perikarpium kemudian diiris tipis-tipis dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60ºC sampai diperoleh berat konstan. Selanjutnya dihaluskan dengan blender hingga diperoleh serbuk kering lerak. Serbuk kering ini kemudian ditimbang. Serbuk kering lerak diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut metanol 90% dalam erlenmeyer dan dikocok setiap 2 jam sekali selama 24 jam. Kemudian disaring sehingga menghasilkan filtrat dan residu. Residu dimaserasi lagi dan perlakuan perendaman diulang sebanyak 3 kali. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum. Ekstrak pekat disuspensi dalam akuades, dicuci dengan dietil eter 1:1, dikocok dan dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air diambil dan diekstraksi dengan n-butanol 1:1. Lapisan n-butanol diambil dan dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum. Fraksi n-butanol yang mengandung saponin ditimbang (Jaya, 2010; Kristianingsih, 2005). Fraksi n-butanol dibuat dengan konsentrasi 200, 400, dan 600 µ g/ml menggunakan pelarut NaCl 0,9%.

Uji kandungan saponin triterpenoid secara kualitatif

Uji kandungan saponin triterpenoid secara kualitatif dilakukan dengan metode uji warna Liebermann-Burchard (LB). Apabila pada campuran timbul warna kecoklatan atau violet pada perbatasan dua pelarut menunjukkan adanya triterpen, sedangkan warna hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid (Jaya, 2010; Kristianingsih, 2005).

Pengambilan semen Sampel semen manusia diperoleh dengan

metode masturbasi setelah 3-4 hari seksual abstinensi. Ejakulat ditampung dalam gelas beker dan ditutup dengan aluminium foil. Semen didiamkan dalam suhu kamar selama 30 menit hingga mencair sebelum dilakukan pemeriksaan (Pal et al., 2009).

Pemeriksaan awal semen

Semen hasil penampungan diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi volume, bau, warna dan pH semen. Pemeriksaan mikroskopis yaitu menghitung jumlah spermatozoa.

Pembagian kelompok perlakuan P0: semen + NaCl 0,9% (kontrol) (1:1). P1: semen + fraksi n-butanol buah lerak 200 µg/ml dalam NaCl 0,9% (1:1). P2: semen + fraksi n-butanol buah lerak 400 µg/ml dalam NaCl 0,9% (1:1). P3: semen + fraksi n-butanol buah lerak 600 µg/ml dalam NaCl 0,9% (1:1). Masing-masing kelompok perlakuan menggunakan 6 sampel ejakulat. Perlakuan penelitian

Pengamatan motilitas spermatozoa dilakukan dengan meneteskan 10 µl semen ke atas gelas objek cekung ditambah 10 µ l fraksi n-butanol dengan berbagai konsentrasi, dihomogenkan. Suspensi didiamkan selama 1 menit. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Menurut WHOb (2010).

Pengamatan viabilitas spermatozoa dilakukan dengan meneteskan 10 µ l semen dan 10 µ l fraksi n-butanol dengan berbagai konsentrasi ke atas gelas objek, dihomogenkan, didiamkan selama 1. Meneteskan 1 tetes Eosin 1%-Nigrosin 10% ke atas suspensi, dihomogenkan kemudian dibuat preparat ulas setipis mungkin, dilewatkan sebentar di atas api bunsen. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali (Hardijanto et al., 2008).

Pemeriksaan integritas membran spermatozoa dilakukan menggunakan uji HOS (Hypo Osmotic Swelling). Sebanyak 100 µ l semen ditambah 100 µ l fraksi n-butanol dengan berbagai konsentrasi, didiamkan selama 1menit. Kemudian ditambah 1 ml larutan HOS, dicampur pelan-pelan dengan menggunakan pipet. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi diambil 10 µl dari campuran ini dan diteteskan pada gelas objek, dan diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali.

Analisis data

Data yang diperoleh diuji distribusinya dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan dilanjutkan dengan uji homogenitas variansi. Jika data berdistribusi normal dan variansi tidak homogen dilanjutkan dengan uji Brown-Forsythe untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan pada α=0,05. Dilanjutkan dengan uji Games-Howell untuk mengetahui beda antar kelompok perlakuan.

16 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 21: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis spermatozoa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen manusia sebelum perlakuan

Ulangan Volume (ml) Bau Warna pH

Jumlah sel spermatozoa

(106/ml)

1 1,5 Khas Putih keruh 7,8 41,6

2 2,2 Khas Putih keruh 7,9 29,8

3 2,0 Khas Putih keruh 8,0 47,6

4 2,5 Khas Putih keruh 7,9 41,0

5 3,0 Khas Putih keruh 7,8 39,4

6 3,2 Khas Putih keruh 7,8 38,0

Dari data Tabel 1, hasil pemeriksaan

makroskopis dan mikroskopis semen sebelum perlakuan menunjukkan bahwa sampel semen yang digunakan telah memenuhi kriteria normal sehingga dapat digunakan untuk diberi perlakuan. Menurut WHOb (2010), kriteria semen manusia normal antara lain; volume semen hasil ejakulat berkisar 1,5 – 6 ml; bau semen khas, berwarna putih keruh, pH semen berkisar 7,1 - 8, dan jumlah spermatozoa >20x106.

Gambar 1. Rerata persentase motilitas spermatozoa

pada berbagai kelompok perlakuan. K: kontrol, semen + NaCl 0,9%; P1: semen + fraksi - butanol buah lerak 200µg/ml; P2: semen +fraksi n-butanol buah lerak

400µg/ml; P3: semen+fraksi n-butanol buah lerak 600µg/ml. Huruf yang berbeda di atas diagram

menunjukkan beda signifikan dari hasil uji Games-Howell pada α=0,05.

Dari data pada Gambar 1 dapat diketahui

bahwa pada kelompok kontrol yang hanya diberi NaCl 0,9% selama 1 menit rerata persentase motilitas spermatozoa yang bergerak progresif sebesar 84,35%, menunjukkan spermatozoa dalam keadaan normal. Pada kelompok perlakuan P1 dan P2 pemberian fraksi n-butanol buah lerak 200µg/ml dan 400µg/ml selama 1 menit, rerata persentase motilitas spermatozoa sebesar 17,23% dan 4,5%. Pada kelompok perlakuan P3, pemberian fraksi n-butanol buah lerak 600µg/ml selama 1 menit, menyebabkan seluruh spermatozoa menjadi immotil,rerata persentase motilitas 0%.

Gambar 2. Rerata persentase viabilitas spermatozoa pada berbagai kelompok perlakuan. K: kontrol, semen + NaCl

0,9%; P1: semen + fraksi n- butanol buah lerak 200µg/ml; P2: semen +fraksi n-butanol buah lerak 400µg/ml; P3:

semen+fraksi n-butanol buah lerak 600µg/ml. Huruf yang berbeda di atas diagram menunjukkan beda signifikan dari

hasil uji Games-Howell pada α=0,05.

Dari data pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa pada kelompok kontrol yang hanya diberi NaCl 0,9% selama 1 menit rerata persentase viabilitas spermatozoa sebesar 85,58%, menunjukkan spermatozoa dalam keadaan normal. Pada kelompok perlakuan P1 dan P2 pemberian fraksi n-butanol buah lerak 200µg/ml dan 400µg/ml selama 1 menit, rerata persentase viabilitas spermatozoa sebesar 14,35% dan 4,8%. Pada kelompok perlakuan

P3, pemberian fraksi n-butanol buah lerak 600µg/ml selama 1 menit, tidak dijumpai spermatozoa yang hidup ,rerata persentase viabilitas 0%. Hasil pada gambar 3 menunjukkan foto mikroskopis spermatozoa setelah perlakuan dan diberi pewarnaan eosin-nigrosin. Spermatozoa yang hidup nampak tidak berwarna dan spermatozoa yang mati berwarna merah atau merah muda di bagian kepalanya.

Gambar 3. Foto mikroskopis spermatozoa hasil

pemeriksaan viabilitas, menggunakan pewarnaan eosin-nigrosin yang diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. A: kelompok kontrol, semen + NaCl 0,9%, B : kelompok perlakuan, semen + fraksi n-

butanol buah lerak 600 µg/ml. Spermatozoa yang hidup

17JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 22: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

tampak tidak berwarna ditunjukkan dengan tanda panah hitam, sedangkan spermatozoa yang mati tampak

berwarna merah atau merah muda ditunjukkan dengan tanda panah merah.

Gambar 4. Rerata persentase integritas membran

spermatozoa pada berbagai kelompok perlakuan. K: kontrol, semen + NaCl 0,9%; P1: semen + fraksi n- butanol buah

lerak 200µg/ml; P2 : semen + fraksi n-butanol buah lerak 400µg/ml; P3: semen+fraksi n-butanol buah lerak 600µg/ml.

Huruf yang berbeda di atas diagram menunjukkan beda signifikan dari hasil uji Games-Howell pada α=0,05.

Dari data pada Gambar 4 dapat diketahui

bahwa pada kelompok kontrol yang hanya diberi NaCl 0,9% selama 1 menit rerata persentase integritas membran spermatozoa sebesar 75,70%, menunjukkan kondisi integritas membran spermatozoa rata-rata dalam keadaan baik. Pada kelompok perlakuan P1 dan P2 pemberian fraksi n-butanol buah lerak 200µg/ml dan 400µg/ml selama 1 menit, rerata persentase integritas membran spermatozoa menurun hingga hanya 14,35% dan 4,8% saja, spermatozoa yang ekornya melengkung setelah diinkubasi dalam larutan hipoosmotik. Pada kelompok perlakuan P3, pemberian fraksi n-butanol buah lerak 600 µg/ml selama 1 menit, tidak dijumpai spermatozoa yang ekornya melengkung, rerata persentase integritas membran 0%. Hasil pada gambar 5 menunjukkan foto mikroskopis spermatozoa setelah perlakuan dan uji HOS. Spermatozoa yang masih memiliki integritas membran yang baik nampak menggelembung pada bagian ekor, sedangkan spermatozoa yang integritas membrannya telah rusak, bagian ekornya nampak lurus.

Gambar 5. Foto mikroskopis spermatozoa hasil uji HOS

yang diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. A: kelompok kontrol, semen + NaCl 0,9%,

menunjukkan respon spermatozoa terhadap larutan HOS dengan ciri-ciri ekor yang melengkung ditunjukkan dengan tanda panah hitam. B : kelompok perlakuan, semen + fraksi n-butanol buah lerak 600 µg/ml menunjukkan spermatozoa tidak merespon larutan HOS dengan ciri-ciri ekor lurus yang

ditunjukkan dengan panah merah.

Pembahasan Lerak (Sapindus rarak DC) diketahui

mengandung saponin yang tinggi, terutama pada bagian perikarpiumnya. Gugus aglikon saponin bersifat non polar dan gugus gula bersifat polar, sehingga untuk ekstraksi saponin dapat digunakan pelarut n-butanol yang bersifat semi polar (Kristanti, 2008). Hasil ekstraksi hingga fraksi n-butanol diperoleh ekstrak pekat sebanyak 20% dari berat kering perikarpium lerak. Uji kualitatif kandungan saponin pada fraksi n-butanol buah lerak menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard (LB) menunjukkan terbentuk warna coklat, sehingga diasumsikan bahwa saponin yang terkandung pada fraksi n-butanol buah lerak merupakan saponin triterpenoid. Saponin triterpenoid merupakan saponin yang bagian aglikonnya berupa triterpenoid (C30). Menurut Davidson (2004), senyawa saponin

triterpenoid merupakan surfaktan alami yang mempunyai aktifitas biologis menurunkan fungsi spermatozoa untuk fertilisasi. Penurunan fungsi spermatozoa dapat diketahui dengan mengamati kualitas mikroskopis spermatozoa yang meliputi motilitas, viabilitas, dan integritas membran spermatozoa.

Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen sebelum perlakuan dilakukan untuk memastikan bahwa sampel semen yang digunakan telah memenuhi kriteria normal sehingga dapat digunakan untuk diberi perlakuan. Menurut WHOb (2010) kriteria semen manusia yang normal antara lain : volume semen hasil ejakulat berkisar 1,5 - 6 ml; bau semen khas, berwarna putih keruh, pH semen berkisar 7,1 - 8, dan jumlah spermatozoa >20x106. Semen yang digunakan untuk diberi perlakuan pada penelitian ini telah memenuhi kriteria normal.

Pemberian perlakuan fraksi n-butanol buah lerak pada konsentrasi 200, 400 da n 600 µ g/ml dapat menurunkan motilitas spermatozoa manusia. Menurut Shah et al., (2008), suatu bahan spermisida yang ideal harus memiliki kemampuan menghentikan motilitas spermatozoa secara total dengan segera. Pada kelompok kontrol rerata persentase motilitas spermatozoa kategori A+B sebesar 84,3%, hal ini menunjukkan bahwa sampel spermatozoa yang digunakan untuk perlakuan telah memenuhi kriteria motilitas normal menurut WHO. Menurut WHOb (2010), spermatozoa dikatakan normal apabila motilitas kategori A ≥ 25% dan B ≥ 25% atau A+B ≥ 50% dalam 60 menit setelah koleksi. Pada kelompok perlakuan, setelah diberi fraksi n-butanol selama 1 menit nampak terjadi penurunan persentase motilitas spermatozoa. Pemberian fraksi n-butanol buah lerak yang dapat menghentikan motilitas spermatozoa secara total terdapat pada konsentrasi 600 µ g/ml. Penurunan motilitas spermatozoa terjadi karena saponin

18 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 23: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

triterpenoid yang terdapat pada fraksi n-butanol buah lerak dapat menyebabkan kerusakan pada membran spermatozoa.

Mekanisme penurunan motilitas spermatozoa diduga karena senyawa saponin triterpenoid yang terdiri atas gugus gula yang bersifat polar dan bagian aglikon yang bersifat non-polar dapat bekerja sebagai surfaktan yang melarutkan komponen penyusun membran spermatozoa. Membran spermatozoa tersusun atas protein, lipid dan karbohidrat. Karbohidrat dan protein yang bersifat polar, dan lipid yang bersifat non-polar dapat berikatan dengan gugus gula dan aglikon saponin triterpenoid. Menurut Susilawati (2000), fungsi membran adalah pelindung sel, apabila terjadi kerusakan membran secara struktural maka dapat berakibat rusaknya organel-organel di dalam sel, seperti mitokondria. Fungsi mitokondria merupakan tempat respirasi sel yang menghasilkan adenosine triphosphate (ATP) yang diperlukan untuk motilitas spermatozoa. Kerusakan mitokondria berakibat pada menurunnya produksi ATP yang secara langsung dapat menurunkan motilitas spermatozoa.

Pemberian perlakuan fraksi n-butanol buah lerak pada konsentrasi 200, 400 da n 600 µ g/ml dapat menurunkan viabilitas spermatozoa manusia. Pemberian fraksi n-butanol pada konsentrasi 600µg/ml selama 1 menit dapat menurunkan viabilitas spermatozoa secara total. Uji viabilitas spermatozoa dilakukan untuk mengetahui spermatozoa yang hidup dan yang mati menggunakan pewarnaan eosin 1% dan nigrosin 10%. Menurut Hardijanto et al., (2008), sel spermatozoa hidup mempunyai lapisan bilayer lipid pada membran sel yang dapat melindungi masuknya zat warna ke dalam sel, sehingga sel spermatozoa yang hidup tidak terwarnai oleh eosin-nigrosin. Sel spermatozoa yang mati, mengalami kerusakan pada membran sel sehingga dapat menyerap zat warna. Pewarna eosin-nigrosin digunakan untuk membedakan sel spermatozoa yang mati berwarna merah atau merah muda dengan sel spermatozoa yang hidup tidak berwarna.

Pemberian perlakuan fraksi n-butanol buah lerak pada konsentrasi 200, 400 da n 600 µ g/ml juga dapat menurunkan integritas membran spermatozoa manusia. Pemberian fraksi n-butanol buah lerak pada konsentrasi 600 µg/ml selama 1 menit sangat efektif dalam menurunkan integritas membran spermatozoa hingga seluruh spermatozoa tidak menanggapi larutan hipoosmotik, terbukti dari ekor spermatozoa yang tidak melengkung. Menurut De Jonge dan Barrat (2006), integritas membran spermatozoa adalah keutuhan membran spermatozoa atau suatu keadaan yang menunjukkan fungsi fisiologis membran tetap terjada sebagai kontrol terhadap sistem transpor. Menurut Hayati (2007); WHOa (1999) dan Zeyneloglu et al., (2000), integritas membran sel berpengaruh terhadap aktivitas dan fungsi spermatozoa. Integritas membran sel yang normal mempunyai membran sel utuh. Uji integritas membran spermatozoa dapat dilakukan dengan uji hypo osmotic swelling (HOS), yaitu dengan cara menginkubasi spermatozoa ke media hipoosmotik dengan perbedaan 280 mOsmol. Kondisi hipoosmotik menyebabkan terjadinya transport cairan ekstraseluler

melewati membran menuju ke dalam sitoplasma spermatozoa. Membran spermatozoa yang rusak tidak dapat menyesuaikan tekanan osmosis sehingga tidak terjadi penggembungan pada bagian ekor. Penggembunggan di bagian ekor terjadi karena pada bagian ini tidak dilindungi oleh matrik yang kompak seperti akrosom di daerah kepala spermatozoa. Faktor yang menyebabkan penurunan integritas membran spermatozoa diduga adalah karena senyawa saponin triterpenoid yang bersifat sebagai surfaktan dapat melarutkan komponen penyusun membran seperti lipid, protein dan karbohidrat secara langsung sehingga susunan membran sel menjadi tidak utuh.

Dari data penelitian ini menunjukkan bahwa fraksi n-butanol buah lerak konsentrasi 600 µg/ml efektif untuk dikembangkan sebagai bahan spermisida karena dapat menyebabkan spermatozoa immotil dalam waktu 1 m enit, serta menurunkan viabilitas dan integritas membran spermatozoa secara total. Menurut Lambert et al., (2008), senyawa surfaktan organik mempunyai berat molekul yang lebih besar dibanding Nonoxynol-9. Saponin triterpenoid yang terkandung dalam fraksi n-butanol buah lerak merupakan surfaktan organik, yang mengindikasikan kemungkinan diabsorbsi oleh epitel vagina lebih kecil, sehingga tidak menyebabkan iritasi pada vagina.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2011. http://www.bps.go.id.

Tanggal akses 20 Maret 2011. Bakti, F. U. 2010. Efek Analgetik Ekstrak Lerak

(Sapindus rarak) pada Gigi-gigi Kelinci Jantan (Penelitian in vivo). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Davidson, M. W. 2004. Mollecular Expression. www.micro. magnet.fsu.edu/ phytochemichals/ pages/saponin.html. Tanggal akses 24 Maret 2010.

De Geyter, Ellen, Ellen Lambert, Danny Geelen dan Guy Smagghe. 2007. Novel Advance with Plant Saponin as Natural Insecticides to Control Pest Insect, Pest Technology. 2:96-105

De Jonge, Christopher J. dan Christopher L. R. Barrat. 2006. The Sperm Cell, Production, Maturation, Fertilization, Regeneration. Cambridge University Press. New York. 5-10.

Donalson, 2007. Nonoxynol-9.,http://www.en. wikipedia.org/wiki/Nonoxynol-9.htm. Tanggal akses 20 Maret 2011.

Dubey, R., Kushagara Dubey, C. Sridar dan K.N. Jayaveera, 2010. Sperm Immobilization Activity of Aquaeus, Methanolic and Saponin Extract of Bark of Ziziphus Mauritiana, Pelagia Research Library. 3:151-156.

Hayati, A. 2007, Kajian Kualitas dan Protein Membran Spermatozoa Tikus (Rattus norvegycus) Akibat Pemaparan 2-Methoxyethanol, Disertasi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

19JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 24: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Hardijanto, S. Susilowati, T. Hernawati, T. Sardjito, dan T.W. Suprayogi. 2008. Diktat Ilmu Inseminasi Buatan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Jaya, A. M.2010. Isolasi dan Uji Efektivitas Antibakteri Senyawa Saponin dari Akar Putri Malu (Mimosa pudica), Skripsi. Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Kristanti, A.N., Nanik S.A., Mulyadi T. dan Bambang K. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga University Press. Surabaya.

Kristianingsih, 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari Akar Tanaman Kedongdong Laut (Polyscias fruticosa), Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Lambert, PC., Peters C dan Centurion SA. 2004, Mutagenicity of Vaginal Spermicide Containing Nonoxynol-9 in a B acterial Assay, Journal of Reproductive Medicine. 49:817-824.

Pal, Durba., Pratib Chakraborty, H.N. Ray, B.C. Pal, Debashis Mitra dan Syed N. Kabir, 2009, Acaciaside-B-enriched Fraction of Acacia auriculiformis is a Prospective Spermicide with no Mutagenic Property, Society for Reproduction and Fertility. 9:453-459.

Raymond, E.G., Chen P.L., dan Louto J., 2004, Contraceptive Effectiveness and Safety of Five Nonoxynol-9 Spermicide, Obsteric and Gynecology. 10:430-439.

Rusmiati, 2007, Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Spermatozoa Mencit, Jurnal Biosciantiae. 42: 63-70.

Shah, H C., Pratima Tatke dan Kamalinder K. Singh, 2008, Spermicidal Agent, Drug Discovery. 4:200-210.

Susilawati, T., 2000, Teknologi Preservsi dan Kriopreservasi Spermatozoa dan Ova, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang

Syaifudin, BA., 2008, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

WHOa, 1999, WHO monograph on selected medicinal plant, volume 1, WHO graphic. Hongkong. 213-221.

WHOb, 2010, WHO Laboratory manual for the examination and processing of human semen, 5th ed, WHO Press. Switzerland.

Zeyneloglu, H.B. V. Baltaci. S.Ege, A. Haberal, dan S. Batioglu, 2000, Detection of the Chromosomal Abnormalities by Flourescens In Situ Hybridization in Immotile Viable Spermatozoa Detemined By Hipoosmotic Swelling Test, Human Reproduction. 15:853-856.

20 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 25: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

STUDI KOMPARASI BIOLARVASIDA EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN JERUK PURUT (Citrus hystrix) TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti LINN.

Hamidah1

1Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

ABSTRACT The purpose of this research is to find out : the species of citrus in the study sample, which is the most

effective biolarvasida, the toxicity value (LC90) of lime (Citrus aurantifolia) and kaffir lime (Citrus hystrix) skins extract towards instar-III larvae of Aedes aegypti. The research was conducted using Nested Experiment Design, with five treatments, one control, and three replicates. The result of this study shows that kaffir lime (Citrus hystrix) skin extrac has the highest toxicity effect among the others. The value of LC90 of Citrus aurantifolia skins extract is 910,98 ppm and Citrus hystric skins extract is 941,78 ppm. Keywords : Toxicity, Citrus aurantifolia, Citrus nobilis, Citrus hystrix, larvae of Aedes aegypti. PENDAHULUAN

Insekta merupakan kelas terbesar dari filum Arthropoda yang memiliki anggota kurang lebih tiga per empat dari seluruh spesies hewan yang tersebar di seluruh dunia. Di antara berbagai ordo dari class Insecta, salah satu yang menjadi permasaahan dibidang kesehatan adalah Diptera yang meliputi antara lain nyamuk dan lalat. Nyamuk merupakan vektor penyakit yang membahayakan manusia, juga keberadaannya dapat mengganggu kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari (Lestari, 1999).

Di Indonesia dikenal empat genus nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit pada manusia yaitu Anopheles, Mansonia, Culex, dan Aedes (Borror et al., 1992). Salah satu spesies dari genus Aedes yang paling terkenal adalah Aedes aegypti. Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. Menurut Hamid (2010), Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) merupakan penyakit dengan angka kejadian yang cenderung meningkat di daerah tropis dan sub tropis. Indonesia termasuk daerah endemik DBD. DBD mula-mula dikenal sebagai penyakit daerah perkotaan, tetapi sejak tahun 1980 w abah DBD mulai menyebar ke daerah perkotaan yang lebih kecil dan daerah-daerah pedesaan di seluruh propinsi (Soedarto et al., 1990).

Jeruk (Citrus sp), buah dengan tampilan bulat kuning, memiliki rasa kombinasi asam dan manis ini tidak asing bagi siapa pun. Jeruk adalah salah satu anggota dari suku Rutaceae yang memiliki potensi sebagai pestisida nabati (Ashari, 1995). Menurut Ferguson (2002), di dalam buah jeruk mengandung senyawa yang khas adalah senyawa golongan terpenoid, yaitu senyawa limonoida. Senyawa ini yang berfungsi sebagai larvasida.

Penerapan biopestisida tersebut di lapangan masih memerlukan data-data dasar dari uji laboratorium. Data yang diperlukan dalam penelitian antara lain uji toksisitas larvasida ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap larva instar-III nyamuk Aedes aegypti.

METODE PENELITIAN Bahan Penelitian

Ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk siam (Citrus nobilis), dan jeruk purut (Citrus hystrix), Tween 20, metanol, konsentrat pakan lele, larva instar-III nyamuk Aedes aegypti Linn. Cara Kerja

Penelitian ini dilakukan dalam 4 t ahap, yaitu tahap koleksi kulit jeruk (Citrus aurantifolia dan Citrus hystrix), pembuatan ekstrak kulit jeruk (Citrus aurantifolia dan Citrus hystrix), kolonisasi larva uji, dan uji hayati.

Uji utama dilakukan setelah didapatkan konsentrasi terendah (LC5) dan konsentrasi tertinggi (LC95) dari uji pendahuluan, kemudian menentukan tiga konsentrasi diantara LC5 dan LC95. Masing-masing konsentrasi (lima konsentrasi yang telah ditentukan) dan kontrol dilakukan uji hayati sesungguhnya dengan tiga kali pengulangan.

Selanjutnya dibuat larutkan dari masing-masing ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk siam (Citrus nobilis), jeruk purut (Citrus hystrix) yang sesuai konsentrasinya dengan konsentrasi yang telah ditentukan, ekstrak kental yang diperoleh ditimbang t erlebih dahulu dalam (mg) sesuai yang diperlukan kemudian dilarutkan dengan Tween 20 sebelum dilarutkan dengan air supaya ekstrak tersebut tidak membentuk gumpalan-gumpalan saat pemberian air. Selain itu pada kontrol juga digunakan air aquades dan juga menambahkan Tween 20, agar semua larutan ekstrak maupun kontrol sama-sama mengandung Tween 20. Masing-masing diukur volumenya, yaitu 50 ml dan ditempatkan dalam gelas plastik trasparan. Selanjutnya dimasukkan 20 e kor larva instar-III nyamuk Aedes aegypti ke dalam masing-masing gelas. Kemudian dilakukan pendedahan selama 24 jam dengan pengamatan setiap 1 jam, setelah itu larva yang mati dihitung dan dicatat dan data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Probit. Analisis data

Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan software SPSS versi 16.0 for Windows dengan langkah pertama menentukan kenormalan data. Langkah kedua melakukan uji homogenitas data,

21JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 26: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

apabila data normal dan homogen analisis data dilanjutkan dengan analisis varians bertaraf signifikasi 5% dan uji duncan. Akan tetapi, bila data normal dan tidak homogen maka data dilanjutkan dengan analisis varians bertaraf signifikasi 5% lalu dilanjutkan dengan uji Dunnett. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama penelitian ini, suhu ruangan yang terukur 29-31oC, kelembaban udara relatif sekitar 74-76 %, pH air yang terukur antara 7,0-7,2. sedangkan suhu air untuk hidup larva sekitar 25 oC.

Pada uji pendahuluan diperoleh konsentrasi masing-masing ekstrak yang dapat membunuh 5% dan 95% dari populasi sampel yang digunakan (tabel 4.1). konsentrasi ini digunakan sebagai konsentrasi terendah (LC 5%) dan tertinggi (LC 95%) dalam uji sesungguhnya. Selanjutnya dibuat 5 ko nsentrasi untuk masing-masing ekstrak.

Tabel 1. Nilai LC 5% dan LC 95% berbagai ekstrak kulit jeruk hasil uji pendahuluan

Ekstrak Kulit Jeruk LC 5% (ppm) LC 95%

(ppm) Citrus aurantifolia 50 800

Citrus hystrix 100 1000

Dalam uji sesungguhnya diperoleh data dasar berupa jumlah larva instar-III Aedes aegypti yang mati terdedah (24 jam) akibat pemberian ekstrak kulit jeruk. Data-data yang diperoleh dapat dibuat grafik hubungan antara mortalitas dengan konsentrasi seperti yang tercantum di bawah ini.

Gambar 1. Grafik hubungan antara mortalitas (%) larva

Aedes aegypti dengan konsentrasi (ppm) ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

Gambar 2. Grafik hubungan antara mortalitas (%) larva

Aedes aegypti dengan konsentrasi (ppm) ekstrak kulit jeruk purut (Citrus hystrix)

Pada Gambar 1, tampak kematian 90% dari

populasi larva uji tidak dapat diketahui langsung dari

grafik karena persentase kematian tertinggi uji bahan ekstrak kulit jeruk nipis hanya mencapai 71,55 % dan pada analisis probit LC90 sebesar 910,98 ppm yang terletak diantara konsentrasi 775,07-1150,55 ppm. Pada

grafik analisis probit persamaan liniernya adalah Y= -3,7007 + 0,0993 X, menunjukkan adanya korelasi positif antara dosis (konsentrasi) ekstrak yang diberikan dengan jumlah kematian larva uji.

Gambar 2. menunjukkan konsentrasi antara 1000-1100 ppm dapat menyebabkan mortalitas sebesar 90%. Hal ini sesuai dengan hasil analisis probit yang menunjukkan nilai LC90 sebesar 941,78 ppm dengan konsentrasi antara 805,60-1162,88 ppm. Pada grafik analisis probit persamaan liniernya adalah Y= 3,4225 + 0,0915 X, menunjukkan adanya korelasi positif antara dosis (konsentrasi) ekstrak yang diberikan dengan jumlah kematian larva uji.

Dari grafik tersebut di atas, tampak bahwa kematian (mortalitas) larva instar-III nyamuk Aedes aegypti berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak kulit jeruk. Semakin tinggi konsentrasi ekstak kulit jeruk yang diberikan, semakin tinggi pula angka kematian larva.

Tabel 2. Nilai LC90 (ppm) masing-masing ekstrak kulit jeruk

Jenis Ekstrak Kulit Jeruk

Hasil Analisis Probit LC90

Citrus aurantifolia 910,98

Citrus hystrix 941,78 Untuk nilai LC90 secara berurutan dari yang

terendah dan tertinggi adalah ekstrak kulit jeruk nipis, ekstrak kulit jeruk purut. Pada gambar 3 tersaji diagram batang yang menunjukkan nilai LC90 dari ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk purut (Citrus hystrix).

Setelah data normal dilanjutkan dengan uji homogenitas dan hasil yang diperoleh sebesar 0.000 (lampiran 4). Hasil ini menunjukkan varians data tidak homogen karena 0.000 < 0.05 (α), sehingga H0 ditolak (tidak signifikan). Karena data normal tapi tidak homogen maka uji dilanjutkan dengan analisis varian dan hasil yang diperoleh sebesar 0.000 (dikarena nilai 0.000 < 0.05 (α), sehingga H0 ditolak (signifikan). Dengan demikian disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kulit jeruk berpengaruh signifikan terhadap jumlah kematian larva uji.

Sedangkan menurut Amalina (2010), kriteria pengambilan keputusan untuk analisis varian, adalah sebagai berikut :

1. Jika probabilitas lebih besar dari 0.05 maka H0 diterima.

2. Jika probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka H0 ditolak. Setelah dilakukan analisis varians dengan taraf

signifikasi 5% kemudian memilih salah satu uji dalam equal variances not assumed. Dalam hal ini, uji yang dipilih adalah uji Dunnett T3.

KULIT JERUK NIPIS

71.5563.31

0 58.333.35

y = 0.0993x - 3.7007R2 = 0.879

0102030405060708090

100

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

KONSENTRASI (ppm)

LETA

L (%

)

kematian larva

Linear (kematianlarva )

KULIT JERUK PURUT

9083.35

45

31.65

8.350

y = 0.0915x + 3.4225R2 = 0.9694

0102030405060708090

100

0 200 400 600 800 1000 1200

KONSENTRASI (ppm)

LETA

L (%

)

kematian larva

Linear (kematianlarva )

22 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 27: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Tabel 3. Ringkasan Uji Dunnett T3 antara kedua kelompok perlakuan dengan Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes aegypti

Pasangan Perlakuan yang di Uji Sig. Keputusan Kesimpulan 50 ppm 100 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan

200 ppm 0.045 H0 ditolak Berbeda signifikan 300 ppm 0.952 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 500 ppm 0.040 H0 ditolak Berbeda signifikan 800 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan 1000 ppm 0.008 H0 ditolak Berbeda signifikan 1500 ppm 0.002 H0 ditolak Berbeda signifikan 2000 ppm 0.001 H0 ditolak Berbeda signifikan

100 ppm 200 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan 300 ppm 0.979 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 500 ppm 0.043 H0 ditolak Berbeda signifikan 800 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan 1000 ppm 0.010 H0 ditolak Berbeda signifikan 1500 ppm 0.001 H0 ditolak Berbeda signifikan 2000 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan

200 ppm 300 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan 500 ppm 0.008 H0 ditolak Berbeda signifikan 800 ppm 0.981 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 1000 ppm 0.001 H0 ditolak Berbeda signifikan 1500 ppm 0.107 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 2000 ppm 0.017 H0 ditolak Berbeda signifikan

300 ppm 500 ppm 0.077 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 800 ppm 0.000 H0 ditolak Berbeda signifikan 1000 ppm 0.015 H0 ditolak Berbeda signifikan 1500 ppm 0.005 H0 ditolak Berbeda signifikan 2000 ppm 0.002 H0 ditolak Berbeda signifikan

500 ppm 800 ppm 0.123 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 1000 ppm 0.692 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 1500 ppm 0.272 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 2000 ppm 0.159 H0 diterima Tidak berbeda signifikan

800 ppm 1000 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 1500 ppm 0.997 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 2000 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan

1000 ppm 1500 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan 2000 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan

1500 ppm 2000 ppm 1.000 H0 diterima Tidak berbeda signifikan Nilai signifikasi u ji Dunnett T3 pada

konsentrasi 200 ppm dengan 300 ppm, 800 ppm, 1500 ppm, 2000 pp m secara berturut-turut, yaitu 0.008, 0.001, 0.017, 0.007 sedangkan, untuk konsentrasi 200 ppm dengan 500 pp m dan 1000 pp m tidak terdapat jumlah kematian yang signifikan karena nilai signifikasi lebih besar dari 0.05, yaitu 0.981 dan 0.107. Selanjutnya pada konsentrasi 300 pp m dengan konsentrasi 800 pp m, 1000 pp m, 1500 pp m dan 2000 ppm maka nilai signifikan uji Dunnett T3 secara berturut-turut lebih kecil dari 0.05, yaitu 0.000, 0.015, 0.005, 0.002 sedangkan, untuk konsentrasi 300 ppm dengan 500 pp m tidak terdapat jumlah kematian yang signifikan karena nilai signifikasi lebih besar dari 0.05, yaitu 0.077.

Pada konsentrasi-konsentrasi berikut menujukkan tidak terdapat jumlah kematian yang signifikan karena nilai signifikasi lebih besar dari 0.05, yaitu pada konsentrasi 500 ppm dengan 800 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm dan 2000 ppm nilai signifikansi secara berturut-turut 0.123, 0.692, 0.272, 0.159. Selanjutnya untuk konsentrasi 800 pp m dengan 1000 pp m, 1500 ppm dan 2000 pp m nilai signifikasi adalah 1.000,

0.997, 1000. Kemudian nilai signifikansi uji Dunnett T3 pada konsentrasi 1000 pp m dengan 1500 ppm dan 2000 ppm secara berurutan, yaitu 1.000 dan 1.000. Sedangkan untuk konsentrasi 1500 pp m dengan 2000 ppm nilai signifikasi adalah 1.000.

Selama penelitian ini, faktor-faktor fisik yang diukur pada ruangan yang digunakan tempat penelitian antara lain pH air, suhu air, suhu ruangan dan kelembaban relatif udara ruangan. pH ruangan yang terukur antara 7,0-7,2. Menurut Fatimah (1998), kondisi ini memenuhi syarat bagi kehidupan larva di dalam air karena masih dalam kisaran pH netral (pH 7). Suhu ruangan yang terukur 29-31oC, sedangkan suhu air untuk hidup larva sekitar 25 oC. Menurut Bates (1949), suhu optimal bagi larva di dalam air berkisar antara 25-35 oC, sehingga larva dapat tumbuh normal. Sedangkan untuk kelembaban relatif dalam ruangan berkisar antara 74-76 %. Dari hasil penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa secara umum faktor-faktor fisik yang terukur tersebut tidak berpengaruh terhadap kematian larva uji. Hal ini dapat diketahui dari data yang diperoleh pada kelompok control, yang menunjukkan persentase kematian hewan uji sebesar

23JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 28: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

0%, sehingga data tidak perlu dikoreksi dengan formula abbort.

Pengamatan terhadap larva yang terkena kontak dengan ekstrak menunjukkan tanda-tanda awal seperti gerakan yang cepat naik dan turun ke permukaan air, kejang-kejang, tubuh mulai menghitam, dan lama kelamaan akan mati. Larva nyamuk yang mati tampak lebih hitam, ukuran tubuh memanjang, agak kaku, kepala yang hampir terlepas. Cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga dengan berbagai cara, diantaranya sebagai racun kontak, yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau dinding tubuh serangga, racun perut atau mulut, masuk melalui alat pencernaan serangga dan yang terakhir dengan fumigant, yang merupakan racun yang masuk melalui pernafasan serangga. Dan limonoida bersifat sebagai racun. Menurut Novizan (2002), limonoida merupakan produk pestisida botani komersial yang tergolong baru Selain itu limonoida adalah minyak esensial yang berasal dari ekstrak kulit jeruk. Minyak jeruk mengandung sekitar 90% limonoida. Pada konsentrasi tinggi, limonoida dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata, sarta dapat menimbulkan alergi. Cara kerja limonoida cukup kuat untuk menyebabkan hilangnya koordinasi organ. Limonoida merupakan racun kontak yang dapat dipakai untuk mengendalikan serangga.

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh (trachea) atau langsung mengenai mulut serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan insektisida tersebut (Hadi, 2000). Sebagai racun kontak, insektisida ini dapat menghambat proses pergantian kulit pada larva serangga karena terjadi penghambatan sintesis kitin. KESIMPULAN

Hasil uji toksisitas larvasida ekstrak kulit Citrus aurantifolia, Citrus hystrix, dan Citrus nobilis terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Nilai LC90 dari masing-masing ekstrak kulit jeruk

adalah Citrus hystrix (LC90 = 941,78 ppm), Citrus aurantifolia (LC90 = 910,98 ppm), dan Citrus nobilis (LC90 = 2140,94 ppm).

2. Lethal time (LT50) larva instar-III nyamuk Aedes aegypti setelah pemberian ekstrak kulit Citrus aurantifolia selama 11,67 jam, Citrus hystrix selama 6,67 jam, dan Citrus nobilis selama 8,33 jam.

3. Ekstrak kulit jeruk purut (Citrus hystrix) memiliki toksisitas tertinggi dibandingkan kedua ekstrak kulit jeruk lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Amalina, Nur, 2010, Pengaruh Pemberian Ekstrak

Daun Beluntas (Pluchea indica L.) Terhadap Spermatogenesis Mencit. Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Ashari, S., 1995, Holtikultura Aspek Budidaya, Universitas Press, Jakarta.

Bates, M, 1949, The Natural Histologi of Mosquitoes, The Mac Millan Company, New York.

Borror, D.J., Tripelhorn, C.A., Johnson, N.F., 1992, Pengendalian Pelajaran Serangga, Edisi 6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Fatimah, 1998, Toksisitas Larvasida Berbagai Fraksi Daun Annona squamosa L. Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti Linn. Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya.

Ferguson, 2002, Medicinal Use of Citrus Scienses departmenr. Cooperative extension services Institute of Food Agricultural Science, University of Florida, Gainesville (on line),http://edis.ifas.ufl.edu/body Chi 96, (access 22 Oktober 2010).

Hadi, U.K.2000, Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis danPengendaliannya. Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor, hal 108-110.

Hamid, 2010, Demam Berdarah, http://www.docstoc.com/docs/23848823 /Demam-berdarah, (access 27 Oktober 2010).

Lestari, Reni Dian, 1999, Uji Toksisitas Larvasida Ekstrak D aun Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum Terhadap Larva Culex fatigans, Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya.

Novizan, 2002, Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan, Agro Media Pustaka, Jakarta.

Soedarto, Machfudz, Yuwono, Setokoesoemo, 1990, ‘Penelitian Entomologik untuk Menentukan Peranan Sekolah Sebagai Sumber Penularan Demam Berdarah di Kabupaten Ngawi Jawa Timur’. Majalah Parasitologi Indonesia.

Wibowo, Arief, Soenarnatalia, Rachmah Indawati, Mahmudah, Diah Indriani, 2008, SPSS, Universitas Airlangga, Surabaya.

24 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 29: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

EFEK FRAKSI N-BUTANOL DAGING BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) TERHADAP FERTILITAS DAN HISTOLOGI SALURAN REPRODUKSI

MENCIT (Mus musculus) BETINA

1Risa Purnamasari, Alfiah Hayati1 dan Win Darmanto1

1Departemen Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRACT

This study was designed to determine the effect of n-Butanol fraction of Sapindus rarak DC., and the optimal dose that affect of the number of implantations of the embryo, the number of leukocytes in vaginal smears, and the thickness of the vaginal epithelium of mice. Seventy-two female mice divided into 3 major groups namely A, B and C. Each group then divided into sub major, consisting of control group, and 3 treatment groups which given a fraction of n-Butanol in various doses. The first days, all groups were injected intraperitoneally with 0.01 mL ethynil oestradiol. Day two, all treatment groups were given intravaginally fraction of n-Butanol 20 mL with different doses in a row 200, 400, and 600 µg/mL, whereas the control group were given 0.9% NaCl intravaginally. For group A, mice were mated after intravaginal administration, sacrificed on day 7th after vaginal plug was found. Then calculations of embryo implantation to determine the success fertilization. Groups B and C, the mice were not mated and dissected at the 4 hours after intravaginal administration, vaginal fluid collected to determine the amount of the leukocytes in vaginal smears and was stained with methylene blue and collecting of vagina for measuring the thickness of the vaginal epithelium by the paraffin method and Harris Hematoxylin-eosin staining. The data were obtained and analyzed by one-way ANOVA (α = 0.05). From the research results of various doses of n-Butanol fraction had no effect on leukocytes number of vaginal smears, and vaginal epithelial thickness but the effect on the number of embryo implantation. Optimal dose of spermicide that considered safe was the fraction of n-Butanol with a dose of 600 µg/ mL because there was no implantation of the embryo and did no damage to the reproductive tract

Keywords: n-Butanol fraction, Sapindus rarak DC, spermicides, embryos, leukocyte, vaginal epithelium PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir kepadatan penduduk di Indonesia semakin meningkat. Badan Pusat Satistik (BPS) menunjukkan data jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 a dalah sebesar 237.641.326 jiwa, dan mencatatkan Indonesia sebagai negara terpadat ke-4 di dunia setelah Cina, India, dan United States dengan laju pertambahan penduduk 1.4% (Glasier dan Gebbie, 2005). Banyak metode yang ditawarkan untuk keluarga berencana, seperti kondom, kontrasepsi oral, spermisida dan intrauterin, namun masih diperlukan sarana alternatif lain yang lebih alami, terutama kontrasepsi yang ditujukan pada vagina. Kontrasepsi tersebut diharapkan dapat mencegah kehamilan, infeksi pada epitel vagina serviks, dan menjaga kelangsungan hidup mikro flora normal pada vagina. Nonoxynol-9 (N-9) adalah salah satu agen spermisida yang dipasarkan saat ini dan telah digunakan di masyarakat. Namun penggunaannya sebagai bahan spermisida ternyata dapat menimbulkan iritasi dan inflamasi pada vagina, sehingga dibutuhan pengembangan senyawa alternatif lain yang dapat digunakan sebagai spermisida vagina yang aman (Shah et al., 2008).

Spermisida merupakan bahan yang memiliki kemampuan untuk melumpuhkan atau membunuh spermatozoa. Spermisida yang ideal harus mampu dengan cepat menghambat mobilisasi spermatozoa, tidak menyebabkan iritasi pada mukosa vagina dan penis, tidak memiliki efek samping pada embrio, bebas dari efek pemakaian jangka panjang dan tidak beracun (Shah et al., 2008). Menurut Francis et al. (2002), saponin merupakan salah satu bahan spermisida alami dari tumbuhan yang diketahui dapat menyebabkan imobilisasi sel spermatozoa.

Beberapa tahun terakhir banyak penelitian

yang dilakukan untuk mengatasi masalah akibat penggunaan N-9 dari spermisida kimiawi, yaitu dengan menggunakan bahan alam sebagai pengganti spermisida kimia. Berdasarkan penelitian Shah et al., (2008) menunjukkan bahwa Molluga pentaphylla yang mengandung triterpenoid saponin memiliki aktivitas spermisida pada konsentrasi 300 µg/ml.

Berdasarkan penelitian Reddy et al., (2002) menunjukkan bahwa toksisitas saponin dari Sapindus mukorossi pada konsentrasi 500 µg/ml terhadap Lactobacillus acidophilus lebih rendah bila dibandingkan dengan N-9, oleh karena itu disarankan bahwa saponin lebih aman jika digunakan sebagai spermisida.

Sapindus rarak telah lama diketahui merupakan bahan yang dapat menimbulkan busa, busa yang ditimbulkan buah lerak berasal dari kandungan saponin yang tinggi. Komponen saponin yang terdapat pada Sapindus rarak adalah jenis saponin triterpenoid yang memiliki gugus aglikon (sapogenin) yang nonpolar dan gugus glikon (gula) yang polar maka untuk mengisolasi saponin digunakan pelarut semipolar (n-butanol) (Kristanti et al., 2008; Desai et al., 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tiwari et al., (2008), menunjukkan bahwa pemaparan berulang dari saponin secara intravagina pada kelinci dengan dosis 2.5%, 5%, dan 10%, selama 60 hari, dan pemberian secara intravagina pada kera dengan dosis 5%, 10% dan 25%, selama 90 hari, tidak menyebabkan iritasi/lesi patologis pada vagina dan bagian lain disepanjang saluran reproduksi. Selain itu pemeriksaan pada darah tidak ditemukan adanya kandungan saponin, hal tersebut menunjukkan bahwa saponin tidak terabsorbsi secara sistemik oleh sel epitel vagina.

25JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 30: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Saponin triterpenoid mampu berikatan dengan lipid dan lipoprotein pada membran spermatozoa, hal tersebut menyebabkan terjadinya pelonggaran pada membran sel spermatozoa, dan gangguan pada inti sel, sehingga mengakibatkan penurunan integritas membran spermatozoa, menurunnya integritas membran spermatozoa mengganggu fungsi membran sel dalam mengatur transport molekul yang masuk ke dalam maupun keluar sel, hal tersebut menyebabkan motilitas spermatozoa pada saluran reproduksi betina terhambat, dan berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa (Shah et al, 2008)

METODE PENELITIAN Bahan dan Cara Kerja

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit (Mus musculus) betina dewasa belum pernah kawin, berumur 6-8 minggu, strain BALB/C, berat badan berkisar 25-35 g sebanyak 72 ekor. Selain itu menggunakan mencit jantan dewasa belum kawin berumur 6-8 minggu, strain BALB/C, berat badan berkisar 30-40 g sebanyak 12 ekor, diperoleh dari bagian pemeliharaan hewan percobaan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah Sapindus rarak yang diperoleh langsung dari pasar tradisional Larangan, kota Sidoarjo, propinsi Jawa Timur. Bahan untuk uji pendahuluan yaitu asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat dan standart saponin. Bahan untuk ekstraksi yaitu methanol 90%, dietil eter, n-butanol, akuades, HCl 2 N , dan HCl 1 N . Bahan untuk pembuatan apusan vagina yaitu alkohol 70%, methylen blue 0,1 %, NaCl 0.9%, dan akuades. Bahan untuk pembuatan preparat histologi yaitu bahan fiksasi formaline 10%, akuades, etanol bertingkat yaitu 70%, 80%, dan 96%, akuades, xylol, parafin, pewarna ganda Harris’s Hematoxylin-Eosin, albumin, dan entellan. Pembuatan fraksi n-Butanol dilakukan dengan cara maserasi serbuk kering buah lerak dengan menggunakan pelarut methanol kemudian di ekstraksi lagi dengan menggunakan pelarut dietil eter dan n-Butanol. Identifikasi saponin triterpenoid dilakukan secara semi kuantitatif dengan menggunakan reaksi Lieberman-Burchard (LB).

Mencit dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu kelompok A, B dan C kemudian masing-masing dibagi kedalam sub kelompok yaitu kelompok perlakuan kontrol, pembrian fraksi n-Butanol dosis 200 µg/ml, dosis 400 µg/ml dan dosis 600 µg/ml. Pemberian berbagai dosis fraksi n-Butanol diberikan secara intravagina satu kali selama 4 jam. Sebelum pemberian

dosis diperlukan adanya penyerentakan siklus birahi dengan menggunakan hormon estradiol 0,01 ml.

Pada akhir perlakuan dilakukan pengambilan sampel sekret vagina untuk menghitung jumlah leukosit menggunakan metode apusan vagina, penggambilan organ vagina untuk pengukuran ketebalan epitelnya menggunakan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin-Eosin, dan pengambilan organ uterus untuk menghitung jumlah embrio implantasi.

Cara mengamati perparat apusan vagina dibawah mikroskop dengan pebesaran 400x. jumlah leukosit dapat ditentukan dengan menggunakan metode scoring. Cara memperoleh data ketebalan epitel vagina yaitu dengan cara mengukur ketebalan epitelnya di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan micrometer okuler dengan perbesaran 400x. cara memperoleh data embrio implantasi adalah dengan menghitung tempat implantasi pada uterus secara langsung. Data berupa ketebalan epitel vagina dapat dianalisis denganmenggunakan Anova satu arah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Jumlah implantasi embrio memberikan gambaran keberhasilan fertilisasi yang terjadi pada mencit dengan pemberian franksi n-butanol pada berbagai kelompok perlakuan. Rerata jumlah implantasi embrio dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil análisis data dengan menggunakan uji Kruscal-Wallis menunjukkan ada beda nyata antar kelompok perlakuan dengan nilai probabilitas = 0,000, lebih kecil dari α = 0,05, sehingga Ho1 yang menyatakan bahwa pemberian fraksi n-butanol daging buah lerak tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah implantasi embrio ditolak. Untuk mengetahui signifikansi antar kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

Hasil análisis uji Mann-Whitney jumlah implantasi embrio mencit pada kelompok P0 berbeda signifikan dengan kelompok P1, P2, dan P3 dengan nilai probabilitas = 0,002. Jumlah implantasi embrio mencit pada kelompok P1 berbeda signifikan dengan kelompok P2 dengan nilai probabilitas = 0,015, berbeda signifikan dengan kelompok P3 dengan nilai probabilitas = 0,002. Jumlah implantasi embrio mencit pada kelompok P3 berbeda tidak signifikan dengan kelompok perlakuan P4 dengan nilai probabilitas = 0.180. Berdasarkan perhitungan jumlah implantasi embrio menunjukkan bahwa pemberian fraksi n-butanol daging buah lerak dengan dosis 600 µg/mL paling berpengaruh terhadap penurunan keberhasilan fertilisasi pada mencit

26 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 31: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

. Gambar 1. Rerata jumlah implantasi embrio usia 7 hari pada berbagai kelompok perlakuan

Dari data apusan vagina dapat diketahui

bahwa pada apusan vagina mencit dari berbagai kelompok perlakuan tidak ditemukan adanya leukosit. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan pada preparat apusan vagina yang menunjukkan hanya

terdapat sel-sel epitel yang mengalami kornifikasi saja. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pemberian fraksi n-Butanol secara intravagina pada berbagai dosis perlakuan tidak menyebabkan infiltrasi leukosit ke lumen vagina. Hasil apusan vagina dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Apusan vagina mencit pada berbagai kelompok perlakuan, P0 : kontrol, injeksi saline; P1: injeksi fraksi n-Butanol 200

µg/ml; P2: injeksi fraksi n-Butanol 400 µg/ml; P3: injeksi fraksi n-Butanol 600 µg/ml. Satu bar sama dengan 25 µm. Perbesaran 400x. Methylene blue.

Dari data rerata ketebalan epitel vagina dapat diketahui bahwa pada perhitungan rerata tebal epitel vagina pada kelompok kontrol P0 adalah sebesar 417.08 µm, pada kelompok P1 rerata tebal epitel lebih besar dari kelompok kontrol yaitu 417.50 µm, kemudian pada kelompok P2 memiliki rerata tebal epitel vagina terbesar yaitu 417.92 µm, dan pada kelompok P3 memiliki rerata tebal epitel yang sama dengan kelompok P0 yaitu 417.80 µm. Berdasarkan hasil analisis data dari uji distribusi Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data ketebalan epitel

vagina adalah data yang berdistribusi normal dengan nilai p > 0.05. Data ketebalan epitel vagina dilanjutkan dengan uji Brown-Forsythe dan hasilnya menunjukkan tidak ada beda nyata antar kelompok perlakuan dengan nilai p > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian berbagai dosis dari fraksi n-Butanol intravagina selama 4 jam tidak berpengaruh terhadap ketebalan epitel vagina mencit. Hasil perhitungan ketebalan epitel vagina dapat dilihat pada Gambar 3, dan histologi epitel vagina dapat dilihat pada Gambar 4.

Series1; 0; 12,83 Series1; 200;

9,33

Series1; 400; 4

Series1; 600; 0

Jum

lah

impl

anta

si

embr

io

Dosis fraksi n-Butanol (µg/ml)

27JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 32: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Gambar 3. Rerata tebal epitel vagina mencit dan hasil analisis Brown-Forsythe pada berbagai kelompok perlakuan, angka yang

diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar kelompok perlakuan.

Gambar 4. Histologi epitel vagina mencit pada berbagai kelompok perlakuan, P0 : kontrol, injeksi saline; P1: injeksi fraksi n-Butanol 200 µg/ml; P2: injeksi fraksi n-Butanol 400 µg/ml; P3: injeksi fraksi n-Butanol 600 µg/ml. 1. Lumen vagina, 2. Epitel vagina yang mengalami kornifikasi, 3. Epitel berlapis pipih, 4. Lapisan muskularis. Satu bar sama dengan 100 µm. perbesaran

400x, Long section, Hematoxylin-Eosin

Pembahasan Banyak metode yang ditawarkan untuk

keluarga berencana, seperti kondom, kontrasepsi oral, spermisida dan intrauterin, namun masih diperlukan sarana alternatif lain yang lebih alami, terutama kontrasepsi yang ditujukan untuk pemkaian pada vagina. Kontrasepsi tersebut diharapkan dapat mencegah kehamilan, infeksi pada epitel vagina, dan menjaga kelangsungan hidup mikro flora normal pada vagina (Shah et al., 2008).

Fraksi n-Butanol buah lerak yang mengandung saponin triterpenoid merupakan bahan alami yang potensial sebagai spermisida. Saponin dapat berinteraksi dengan lipid pada membran sel, sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas membran membentuk pelubangan di daerah kepala spermatozoa. Kerusakan membran menyebabkan perubahan struktur

dan fungsi membran, memicu penurunan integritas membran spermatozoa, penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa sehingga mengganggu terjadinya proses fertilisasi (Dubey et al., 2011). Keberhasilan fraksi n-Butanol sebagai bahan spermisida dapat dilihat dari tidak adanya embrio implantasi.

Keberhasilan bahan spermisida selain dapat mencegah fertilisasi, juga aman digunakan pada saluran reproduksi betina, oleh karena itu pada penelitian ini keberhasilan fraksi n-Butanol sebagai bahan spermisida juga dilihat dari jumlah leukosit pada apusan vagina, dan ketebalan lapisan epitel vagina. Perhitungan jumlah leukosit tersebut bertujuan untuk mengetahui respons sel imun tubuh terhadap fraksi n-Butanol yang diberikan secara intravagina, perhitungan ketebalan

28 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 33: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

epitel bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian fraksi n-Butanol pada vagina.

Kandungan saponin triterpenoid pada fraksi n-Butanol buah lerak dapat menyebabkan rusaknya bilayer lipid spermatozoa dan kebocoran dari isi seluler spermatozoa, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan tekanan osmotic, sehingga menyebabkan viabilitas spermatozoa menurun. Menurut Francis et al. (2002), pada konsentrasi 0,5 mg/ml, pemberian ekstrak saponin triterpenoid dari Sapindus mukorossi menyebabkan imobilisasi spermatozoa dan vakuolasi membran sel pada kepala spermatozoa dalam waktu 1 m enit. Selain itu, berdasarkan penelitian R eddy et al., (2002) menunjukkan bahwa toksisitas saponin dari Sapindus mukorossi pada konsentrasi 500 µ g/ml terhadap Lactobacillus acidophilus lebih rendah bila dibandingkan dengan Nonoxynol-9, oleh karena itu disarankan bahwa saponin lebih aman jika digunakan sebagai spermisida.

Pada penelitian ini fraksi n-Butanol buah lerak yang diberikan dianggap sebagai bahan spermisida yang diduga bekerja pada perusakan membran sel spermatozoa. Dimungkinkan bahan aktif yang terkandung dalam fraksi-n butanol buah lerak dapat menghambat mobilisasi dan menurunkan tingkat viabilitas spermatozoa sehingga mengakibatkan gagalnya fertilisasi.

Dari hasil penelitian tentang jumlah embrio implantasi setelah pemberian perlakuan variasi dosis dari fraksi n-Butanol secara intravagina dengan volume 20 µl, dapat diketahui bahwa pemberian perlakuan berpengaruh terhadap jumlah embrio implantasi. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol (P0) dengan kelompok perlakuan (P3). Hal ini menunjukkan bahwa saponin triterpenoid yang merupakan bahan aktif yang terdapat pada fraksi n-Butanol buah lerak dengan dosis 600 µ g/ml diduga memiliki kemampuan dalam mempengaruhi dan mencegah terjadinya fertilisasi pada mencit.

Mekanisme kerja bahan aktif yang terkandung dalam fraksi n-Butanol dalam mempengaruhi kegagalan fertilisasi diperkirakan terjadi pada saat spermatozoa dalam semen ejakulat mengalami kontak langsung dengan saponin triterpenoid dalam vagina sehingga menyebabkan perubahan struktur membran, kerusakan vesikula akrosomal, dan hilangnya integritas membran spermatozoa. (Shah et al., 2008)

Bahan aktif yang terkandung dalam fraksi n-Butanol diperkirakan bekerja dengan cara berikatan dengan lipid pada mebran sperma, semakin tinggi konsentrasi fraksi n-Butanol yang diberikan maka semakin banyak ikatan yang terbentuk antara saponin triterpenoid dengan lipid pada membran spermatozoa sehingga pada dosis 600 µg/ml pemberian fraksi n-Butanol mempengaruhi viabilitas spermatozoa, sehingga tidak terjadi fertilisasi.

Jumlah leukosit pada apusan vagina mencit merupakan salah satu indikator untuk mengetahui respon imun tubuh terhadap benda asing yang diduga mampu menyebabkan inflamasi. Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan

diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Membran sel yang mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, ataupun mekanis, maka tubuh menanggapinya dengan mengaktifkan enzim fosfolipase untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arakidonat. Asam lemak tak jenuh ini sebagian diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi asam endoperoksida yang akhirnya membentuk zat-zat prostaglandin yang merupakan salah satu mediator inflamasi.

Berdasarkan penelitian Arulmozhi et al., (2004), menunjukan bahwa saponin triterpenoid bekerja dengan cara menghambat terbentuknya enzim siklooksigenase. Menurut Ferrandiz dan Alcazar, (1991), enzim siklooksigenase berfungsi mengubah asam arakidonat yang merupakan asam lemak tak jenuh yang terdapat pada membran sel fosfolipid menjadi asam endoperoksida yang berperan dalam pembentukan prostaglandin, histamin dan serotonin yang merupakan mediator kimiawi terjadinya inflamasi, sehingga secara tidak langsung saponin triterpenoid juga memiliki aktifitas anti inflamasi.

Pada penelitian ini bahan aktif dari fraksi n-Butanol buah lerak yang diberikan dianggap sebagai bahan anti-inflamasi, yang diduga berkerja pada proses penghambatan terhadap pembentukan mediator inflamasi. Sehingga pemberian fraksi n-Butanol pada vagina tidak menyebabkan peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel leukosit ke lumen vagina.

Dari hasil penelitian terhadap apusan vagina mencit yang dapat dilihat pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa tidak ada beda antar kelompok perlakuan karena pada preparat apusan vagina tidak ditemukan adanya leukosit pada seluruh kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif yaitu saponin triterpenoid yang terdapat pada fraksi n-Butanol buah lerak pada berbagai variasi dosis tidak mempengaruhi terjadinya peradangan pada vagina mencit. Diperkirakan mekanismenya terjadi melalui penghambatan mediator inflamasi sehingga secara tidak langsung saponin triterpenoid juga memiliki aktifitas antiinflamasi.

Ketebalan epitel vagina mencit merupakan salah satu indikator untuk mengetahui pengaruh fraksi n-Butanol pada saluran reproduksi betina. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tiwari et al., (2008), menunjukkan bahwa pemaparan berulang dari saponin secara intravagina pada kelinci selama 60 hari, dan pemberian secara intravagina pada kera selama 90 hari, tidak menyebabkan iritasi/lesi patologis pada vagina dan bagian lain disepanjang saluran reproduksi.

Dari hasil penelitian terhadap ketebalan epitel vagina yang dapat dilihat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa tidak ada beda antar kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif dari fraksi n-Butanol yaitu saponin triterpenoid dengan berbagai konsentrasi tidak berperngaruh terhadap ketebalan epitel vagina. Diduga tidak adanya pengaruh saponin triterpenoid terhadap ketebalan epitel vagina dikarenakan berat molekul dari saponin triterpenoid adalah 1200-1500 Dalton (Hassan, 2008), lain halnya dengan nonoxynol-9 yang memiliki berat molekul 616

29JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 34: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Dalton sehingga nonxynol-9 lebih mudah terabsorbsi oleh epitel vagina, sedangkan molekul saponin triterpenoid lebih sulit diabsorbsi oleh sel epitel vagina. Selain itu, berdasarkan histologinnya epitel penyusun vagina terdiri atas epitel berlapis pipih keratinosit, adanya keratin pada sel epithelium vagina diduga berperan sebagai barier perlindungan terhadap saponin teriterpenoid (Catalone et al., 2005). O leh karena itu pemberian fraksi n-Butanol secara intravagina tidak menyebabkan kerusakan dari epitel vagina.

KESIMPULAN

Pemberian fraksi n-Butanol buah lerak (Sapindus rarak) berpengaruh terhadap jumlah implantasi embrio pada mencit. Fraksi n-Butanol dengan dosis 600 µg/ml merupakan dosis optimal yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah implantasi embrio mencit, namun tidak berpengaruh terhadap jumlah leukosit apusan vagina dan ketebalan epitel vagina mencit. Sehingga pemberian fraksi n-Butanol dengan dosis 600 µg/ml merupakan dosis optimal sebagai spermisida yang aman.

DAFTAR PUSTAKA Albert, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Roberts,

K., dan Walter, P., 2002, Molecular Biology of Cell, 4th Edition, Garland Science, New York

Amin, M. R., 2000, Mekanisme Molekuler Proses Fertilisasi pada Hewan, Hayati. 117-120

Arulmozhi, D. K., Veeranjaneyulu, A., Bodhankar, S. L., dan Arora, S. K., 2004, Pharmacological Infestigation of Sapindus trifoliatus in various in vivo and in vitro Models of Inflamation, Indian Journal Pharmacology, 37: 95-102

Catalone, B. J., Catalone T. M., Budgeon, L. R., Nelly, E. B., Ferguson, M., Krebs, F. C., Howett, M. K., Labib, M., Rando, R., dan Wigdahl, B., 2004, Mouse Model of Cervicovaginal Toxicity and Inflamation Preclinical Evaluation of Tropical Vaginal Microbicides, American Society for Microbiology, 48: 1837-1847

Catalone, B. J., Catalone T. M, Elizabeth B. N., Lynn R. B, Mary L. F., Catherine. S., Shendra R. M., Daniel M., and Fred C. K, 2005, Comparative Safety Evaluation of the Candidate Vaginal Microbicide C31G, Antimicrob. Agents Chemother. 49(4):1509

Chattopadhyay, D., R. Sandhya, K. Das, S. Saha, A. B. Mandal, dan G. C. Majumder., 2005, Sperm Motility Inhibiting Acivity of Phytosterol from Alstonia macrophylla, Indian journal of Experimental Biology, 43: 1104-1109

Chvapil, M., Ekselson C. D., Stiffel V., dan Owen J. A., 1980, Studies on N-9 II, Intrvaginal Absorbtion, Distribution, Metabolism in rats and rabbits, Contraception, 3: 325-39

Daval, M. B., Wheeler, J., dan Williams, C. J., 2003 Distruption of Upper Female Reproductive Tract Epithelium by Nonoxynol-9,

University of Pensylvania, Contraception, 1: 273

Desai, S. P., G. D. Dhruv, dan K. Harmet, 2009, Saponin and their Biological Activities, Pharma Times, 41: 3

Dubey, R., D. Kushagra, C. Sridhar, dan K. N. Jayaveera, 2011, Sperm Immobilization Activity of Aqueous, Methanolic and Saponin Extract of Bark of Ziziphus Mauritania, Der Pharmacia Sinica, 2: 11-16

Dyatmiko, W, S. Soeharto, dan L. Moegijanto, 1983, Aktivitas Biologik Zat Kandungan Buah Sapindus rarak DC Sebagai Anti Mikroba dan Mulloscuide, Surabaya: Lembaga Penelitian UNAIR, 5: 1-18

Ferrandiz, M. L., dan Alcaras M. J., 1991, Anti-inflammatory Activity and Inhibition of Arachidonic Acid Metabolism by Flavonoids, Departemento de Farmacologia y Farmacotecnia, Faculted de Farmacia, Avenida Blasco Ibanez, 13 Valenzia, Spain

Francis, G., Z. Kerem, H. P. S. Makkar, dan K. Becker, 2002, The Biological Action of Saponins In Animal Systems, British Journal of Nurition, 88: 587-605

Glasier, A. dan A. Gebbie, 2005, Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Kedokteran EGC, Jakarta

Goldman, J.M., A. S. Murr, dan R. L. Cooper, 2007, The rodent estrous cycle: Characterisation of Vaginal Cytology and its Utility in Toxicological Studies, Birth Defects Research (Part B), 80: 84-97

Gunawan, D., dan S. Mulyani, 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi),

Penerbit Swadaya, Jakarta. Hanafi, H., 1994, Keluarga Berencana dan

Kontrasepsi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Hassan, S. M., 2008, Antimicrobial Activities of

Saponin-Rich Guar Meal Extract, Dissertation, Texas A&M University

Hayati, A., 2010, Reproduksi Hewan, Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Airlangga University Press

Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III, Jakarta: Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan Sarana Jaya, Jakarta

Jaya, A. M., 2010, Isolasi dan Uji Efektivitas Antibakteri Senyawa Saponin dari Akar Putri Malu (Mimosa pudica), Skripsi , Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri, Malang

Kavita, V., dan G. Sanjay, 2002, Herbal Medicines for Sexually Transmitted Diseases and AIDS, Journal of Enthopharmacology, 80: 49-66

Kristanti, A. N., N. S. Aminah, M. Tanjung, dan B. Kurniadi, 2008, Buku Ajar Fitokimia, Airlangga University Press, Surabaya

Kuehnel, W., 2003, Color Atlas Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy 4th Edition, Thieme Stuttgart, New York

30 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 35: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Melzig, M. F., Brader, G., dan Loose, R., 2001, Investigations of the Mechanism of Membrane Activity of Selected Triterpenoid Saponins. Planta Med, 1: 43-8

Pal, D., C. Pratip, H. N. Ray, B. C. Pal, D. Mitra, dan S. N. Kabir, 2009, Acaside-B-enriced Fraction of Acacia auriculformis is a Prospective Spermicide with no Mutagenic Property, Reproductive Biology Research, 138: 453-462

Pascual, L., F. Ruiz, W. Giordano, dan I. L. Barberis, 2010, Vaginal Colonization and Activity of the Probiotic Lactobacillus Fermentum L23 in a Murine Model of Vaginal Tract Infection, Journal of Medical Microbiology, 59: 360-364

Reddy, P. R., A. Sharma, S. Gupta, dan A. K. Tiwari, 2002, Contact Spermicides as contraceptives: Efficiacy and Current Status, Indian Journal Pharmacy Science, 64: 1-9

Rencher, W. F., 1998, Vaginal Microbicide Formulations Workshop, Arlington: Virginia

Rugh, R., 1968, The Mouse : Its Reproduction and Development, Oxford University Press, New York

Saifuddin, A. B., 2006, Panduan Praktis Pelayanan Konterasepsi edisi 2,

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Shah, H. C., P. Tatke, dan K. K. Singh, 2008,

Seprmicidal Agent, Women’s University, Mumbai, India, 4: 200-210

Sietsema, W. K., dan Deluca, H. F., 1982, A New Vaginal Smear Assay for Vitamin A in Rats, The Journal of Nutrition, 1481-1489

Sudiana, I. K., 2005, Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia, Penerbit Sagung Seto, Jakarta

Sumarmin, R., T. W. Surjono, dan S. Sudarwati, 1999, Efek Perlakuan Rubatoksin B pada Tahap Praimplantasi Terhadap Perkembangan Embrio Praimplantasi dan Fetus Mencit (Mus musculus), PROC Institut Teknologi Bandung, 31: 105-111

Tengvall, S., 2007, Develoment of Novel Immunization Approaches to Generate Immunity in The Female Genital Tract with Special Reference to Genital Herpes, Departement of Microbiology and Immunology Institute of Biomedicine, Sweden

Tiwari, P., Singh, D., dan Singh, M. M., 2008, Anti-Trichomonas activity of Sapindus saponins, a candidate for development as microbicidal contraceptive, Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 62: 526– 53

31JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 36: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MELAMIN DALAM PRODUK SUSU BERBASIS REAKSI DIAZOTASI DENGAN SENYAWA PENGKOUPLING β-NAFTOL

Ida Bagus Rai Wiadnya 1,2,*, Ganden Supriyanto3 dan Handoko D.K3

1 Politeknik Kesehatan,Kemenkes Mataram 2Program Studi S2 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

3 Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga *E-mail : [email protected]

ABSTRACT

A spectrophotometric method development's has been investigated for the determination of melamine levels in dairy products. This method is based on the presence of primary aromatic amine on the melamine to be reacts with nitrite acid to form diazonium salt. Diazonium salt was then coupled with β-naphthol reagent to form a colored azo compound. Absorbance was measured at a maximum wavelength of 552 nm. In this method, optimization was done for reagents acidity, concentration and incubation time for maximum formation of azo dyes. Optimization results were obtained by concentration of HCl 0,25 M, NaNO2 0,008 M, β-naphthol 0,0008 M and the incubation time of 7 minutes. SD,CV, LOD and LOQ of the results were obtained 0,00632, 2,75%, 9,09.10-6 M and 3,03.10-5 M with a sensitivity of 1139 L / mol, and the linearity 0,986 respectively. Percent recovery was obtained for melamine in milk is 103,31%. Percent recovery of standards melamine is 95,27%. This method has been applied to the analysis of melamine in dairy products

keywords : Melamine, diazotization reaction, β-naphthol

PENDAHULUAN

Melamin belum lama ini ditemukan dalam produk-produk susu di berbagai negara. Bahkan melamin telah membuat sakit hampir 300 ribu bayi di Cina dan menewaskan setidaknya enam bayi di negeri itu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), oleh karenanya merasa perlu untuk menetapkan batas level aman melamin dalam makanan dan minuman.

Inspeksi yang dilakukan di Cina terhadap produk susu menunjukkan bahwa, dari 491 batch (kelompok) yang dites, 69 d i antaranya positif mengandung melamin, berkisar dari 0,09 mg/kg susu sampai 619 mg/kg susu, bahkan ada yang mencapai 2.563 mg / kg susu. Bila konsumsi susu / kg berat badan bayi sekitar 140 g / hari, itu artinya bayi akan menerima asupan melamin 0,013-86,7 mg/kg berat badan. Bahkan, kalau mengkonsumsi susu yang terkontaminasi melamin hingga 2.563 mg/kg susu, berarti asupan melaminnya akan mencapai 358,8 mg/kg berat badan (WHO, 2009).Berbagai metode telah digunakan untuk mendeteksi kandungan melamin dalam produk makanan antara lain; Andersen et al., (2007) menggunakan metode elektroforesis kapiler –

MS; Litzau J. et al., (2008) dengan metode tandem GC-MS; Fligenzi et al., (2007) menggunakan metode tandem LC-MS; Zhu et al., (2009) Huang et al., (2009). Sebagian besar metode di atas memerlukan peralatan yang mahal dan memerlukankan waktu yang lama untuk preparasi sampel (seperti derivatisasi atau ekstraksi).

Dalam penelitian ini dicoba untuk mendeteksi kandungan melamin di dalam produk susu dengan menggunakan sensor kimia dan metode spektrofotometri yang didasarkan atas adanya gugus amina aromatis primer pada melamin yang direaksikan dengan suatu senyawa coupling melalui reaksi diazotasi.

Reaksi diazotasi ini telah digunakan secara

umum untuk penetapan senyawa-senyawa dalam industri zat warna, senyawa farmasi dan dapat dipakai untuk penetapan semua senyawa-senyawa yang mengandung gugus amina aromatis primer (Riawan, 2010).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan sensor kimia dan metode spektrofotometri dengan senyawa pengkoupling β-naftol pada penentuan konsentrasi melamin dalam produk susu berbasis reaksi diazotasi. Gambar 1 adalah rumus molekul melamin.

Gambar 1. Rumus molekul melamin (C3H6N6)

METODE PENELITIAN Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik Sartorius, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu-1800, stirrer, pipet ukur, pipet volume, mikro pipet, labu ukur, gelas ukur, gelas beaker, labu erlenmeyer, gelas arloji, corong gelas, kertas saring, spatel, tabung reaksi, pipet tetes, pelat tetes, hot plate, dan botol semprot. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melamin, susu formula, natrium nitrit, asam klorida pekat, natrium hidroksida 10% , β-naftol, asam trikloroasetat (TCA) 5%.

32 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 37: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Cara Kerja Larutan Pereaksi 1. Larutan NaNO2 8.10-3 M

Sebanyak 0,1380 g NaNO2 dilarutkan dengan akuades sampai 250 mL, d iencerkan dengan akuades sampai tanda batas da n dikocok hingga homogen. Untuk larutan NaNO2 8.10-4 M diencerkan 10x dengan akuades. 2. Larutan β-naftol 8.10-3 M

Sebanyak 0,1152 g β-naftol dilarutkan dengan 50 mL N aOH 10% dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan NaOH 10 % sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen. U ntuk larutan 8.10-4 M diencerkan 10 x dengan akuades. 3.Larutan melamin 4.10-3 M

Sebanyak 0,1250 g melamin dilarutkan dalam 20 mL akuades, dipanaskan sampai semua melamin larut ditambahkan 104,2 mL asam k lorida pekat. Diencerkan dengan akuades di dalam labu ukur 250 mL dikocok hingga homogen. Untuk larutan melamin 4.10-4M diencerkan 10 x dengan akuades. 4. Larutan Asam Trikloroasetat 5%

Dilarutkan 5 g T CA di encerkan dengan akuades sampai 100 ml. 5. Larutan standar pembanding melamin

Dibuat larutan seri standar melamin dengan konsentrasi : 2, 4.10-5; 4,0.10-5; 5, 6.10-5; 7,2.10-5 dan 8.10-5 M dari larutan kerja melamin 4. 10-4 M, sebanyak 25 ml.

Optimasi konsentrasi β-naftol dan NaNO2

Dipipet 3 mL sampel yang mengandung melamin konsentrasi 4.10-4M d imasukkan ke dalam labu ukur 25 mL diinkubasi pada suhu 0 - 5OC. Ditambahkan ke dalam larutan melamin tersebut berturut-turut NaNO2, H Cl 1 M sebanyak 2,5 mL sehingga konsentrasi akhir HCl 0,1 M ke mudian β-naftol sehingga konsentrasi NaNO2 dan β-naftol masing-masing 8.10-3M, ditambahkan akuades sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilihat perubahan intensitas warna yang terjadi. Larutan dengan konsentrasi tertentu yang memiliki intensitas warna yang terbaik da n nilai absorbansi tinggi jika diukur dengan spektrofotometer UV-Vis serta tidak mewarnai b lanko, merupakan larutan yang memberikan hasil optimum. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk HCl 0,2; 0,25; 0,3; 0,35 dan 0,4 M dan NaNO2, β-naftol pada konsentrasi 8.10-4 dan 8.10-5 M. Optimasi Konsentrasi Asam Klorida

Disiapkan enam buah labu ukur volume 25 mL. Dipipet 2,5 mL larutan melamin 4.10-4M dan dimasukkan ke dalam masing-masing labu ukur 25 mL diinkubasi pada suhu 0 - 5OC. Ditambahkan ke dalam larutan melamin tersebut pada labu ukur nomor 1 sampai 6 de ngan larutan HCl 1 M masing-masing dengan volume 2,5 ; 5,0 ; 6,25 ; 7,5 ; 8,75 dan 10,0 mL. Selanjutnya berturut-turut ditambahkan 3 ml NaNO2, 3 mL β-naftol pada konsentrasi optimum pada prosedur 4.5.2.1 dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi HCl masing-masing 0,1; 0,2; 0,25; 0,3; 0,35 dan 0,4 M.

Kemudian larutan dikocok sampai homogen D ilihat perubahan intensitas warna yang terjadi. L arutan dengan konsentrasi HCl tertentu yang memiliki intensitas warna yang terbaik d an nilai absorbansi tertinggi jika diukur dengan spektrofotometer UV-Vis merupakan larutan yang memberikan hasil konsentrasi optimum. Ditentukan panjang gelombang maksimum senyawa azo dari masing-masing larutan HCl 0,1; 0,2; 0,25; 0,3 ; 0,35 dan 0,4 M. Penentuan panjang gelombang maksimum

Dipipet 3,0 mL larutan melamin kemudian dimasukan ke dalam labu ukur 25 mL. Ditambahkan berturut-turut 3 mL NaNO2 8.10-3 M, 3 m L HCl 0,25 M inkubasi pada suhu 0-5oC, ditambahkan 3 mL β-naftol 8.10-4 M dan inkubasi 7 menit lalu encerkan dengan akuades sampai 25 mL. D iukur panjang gelombang maksimum pada spektrofotometer UV-Vis dengan blanko reagen. Pembuatan deret intensitas warna

Larutan standar melamin 2,4.10-5; 4.10-5; 5,6.10-5; 7,2.10-5 dan 8.10-5 M direaksikan dengan 3 ml HCl 0,25M, 3 ml NaNO28.10-3M, diinkubasi dalam suhu 0-5oC dan ditambahkan 3 ml β-naftol 8.10-4M inkubasi 7 menit dan diencerkan dengan akuades sampai 25 ml. Intensitas warna yang terbentuk difoto dan disusun deret warnanya berdasarkan kenaikan konsentrasi melamin. Konfirmasi dengan metode spektrofotometri UV-Vis

Deret larutan standar melamin di atas diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum. Kemudian dibuat kurva standar melamin dengan ketentuan konsentrasi sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y. Analisis melamin di dalam susu metode standar adisi

Ditimbang sebanyak 1,000 gram susu formula yang tidak mengandung melamin dilarutkan dalam 10 mL air hangat di dalam gelas beaker 50 mL. Dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL. Ditambahkan larutan melamin dengan volume dan konsentrasi tertentu dan dikocok. Ditambahkan 1,5 mL larutan asam t rikloro asetat (TCA) 5% yang berfungsi untuk mengendapkan protein dari susu. Diencerkan dengan akuades sampai tanda batas. D ikocok didiamkan sampai terbentuk endapan. E ndapan dan filtrat dipisahkan dengan cara d isaring. Sebanyak 10 mL filtrat yang pertama dibuang, selanjutnya dipipet sejumlah volume tertentu f iltrat direaksikan dengan HCl, NaNO2, dan β-naftol pada konsentrasi optimum. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 552 nm. Data hasil pengukuran absorbansi pada larutan melamin standar dan melamin di dalam susu dapat digunakan untuk penentuan parameter validasi.

33JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 38: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Diperoleh panjang gelombang maksimum senyawa azo melamin β-naftol sebesar 552 nm.

Gambar 2. Panjang gelombang maksimum senyawa azo

melamin- β-naftol Dari Gambar 2 di atas terlihat bahwa senyawa

azo yang terbentuk menghasilkan absorbansi maksimum 0,206 pada panjang gelombang 552 nm. Kompleks senyawa azo menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu sehingga akan menaikkan energi dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi yang diikuti oleh transisi elektron dari orbital bonding dan orbital non bonding ke orbital anti bonding yaitu π π* dan n π*. Transisi elektron dari orbital bonding dan non bonding terjadi pada melamin waktu pembentukan garam diazonium dengan penambahan natrium nitrit dan asam klorida dan saat reaksi penggabungan β-naftol dalam pembentukan senyawa azo.

Ikatan yang terjadi antara garam diazonium dengan β-naftol tidak terjadi pada semua N primer, hal ini disebabkan karena adanya efek halangan ruang. Reaksi antara melamin dengan senyawa pengkoupling β-naftol dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Reaksi melamin- β-naftol

Larutan senyawa azo melamin-β-naftol secara

visual (komplementer) berwarna merah, sehingga kompleks senyawa azo tersebut akan menyerap panjang gelombang 491 – 570 nm (Fessenden & Fessenden, 1982). Hasil Penentuan Konsentrasi optimum β-naftol dan Natrium Nitrit

Penentuan konsentrasi optimum reagen β-naftol sangat penting untuk mengetahui konsentrasi optimum reagen yang digunakan dalam pe mbentukan senyawa azo yang paling baik. P ada penelitian ini digunakan tiga variasi konsentrasi reagen β-naftol yaitu 8.10-3 M, 8.10-4 M dan 8.10-5 M. Ketiga variasi konsentrasi β-naftol tersebut direaksikan secara silang

dengan reagen natrium nitrit 8.10-3 M, 8.10-4 M dan 8.10-5 M dalam suasana asam klorida. D ipilih hasil reaksi yang menghasilkan senyawa azo yang berwarna intensif, stabil dan blanko tidak berwarna. H asil dari optimasi tersebut menghasilkan larutan NaNO2 dengan konsentrasi optimum 8.10-3M dan larutan β-naftol dengan konsentrasi optimum 8.10-4 M. Hasil Optimasi Konsentrasi Asam Klorida

Analisis melamin dengan metode diazotasi memerlukan larutan asam klorida dengan konsentrasi optimum agar diperoleh senyawa azo yang maksimum dengan intensitas warna yang baik. Data hasil optimasi konsentrasi asam klorida disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva optimasi larutan HCl terhadap absorbansi

larutan. Digunakan va riasi konsentrasi HCl 0,1 M,

0,2 M, 0,25 M, 0,3 M, 0,35 M dan 0,4 M. Pemilihan rentang konsentrasi ini didasarkan atas prosedur reaksi diazotasi pada penentuan nitrit di dalam air, bilirubin di dalam serum menggunakan rentang konsentrasi HCl dari 0,2 M - 1,2 M. Absorbsi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. D idapatkan absorbansi berkisar antara 0,209 – 0,253, dengan panjang gelombang 551,8 nm – 552 nm. L arutan blanko dengan HCl konsentrasi 0,1 M - 0,25 M menghasilkan blanko tidak berwarna sedangkan HCl 0,3 M - 0,4 M larutan blanko berwarna merah muda. A sam klorida 0,25 M dipilih sebagai konsentrasi optimum karena blanko tidak berwarna, panjang gelombangnya 552 nm dan absorbansi larutan 0,224. Hasil Optimasi waktu diazotasi untuk pembentukan senyawa azo

Variasi waktu untuk optimasi waktu dimulai dari menit ke-3 sampai dengan menit ke-8 dengan rentang waktu 1 menit. Data disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kurva optimasi waktu inkubasi terhadap

pembentukan senyawa azo melamin- β-naftol.

34 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 39: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Dari kurva terlihat bahwa semakin lama waktu inkubasi semakin pekat warna kompleks senyawa azo yang terbentuk. P ada 3 m enit pertama proses pembentukan garam diazonium belum sempurna sehingga warna kompleks juga belum sempurna, pada menit ke tujuh garam diazonium yang terbentuk sudah sempurna sehingga reaksi dengan β-naftol juga sempurna warna azo yang terbentuk optimum. P ada menit ke delapan tidak lagi terbentuk garam diazonium tidak stabil dan dapat kehilangan nitrogen yang selanjutnya mengalami reaksi dengan air membentuk fenol sehingga intensitas warna menurun dan absorbansi akan menurun juga (Riawan, 2010). Kurva Standar Melamin

Gambar 5. Kurva standar melamin

Dari gambar di atas diperoleh persamaan

regresi linier y = 1139x + 0,172 dengan koefisien korelasi sebesar R 2 = 0 ,986. Berdasarkan persamaan regresi linier terlihat bahwa nilai slope sebesar 1139 dan nilai intersep 0,172 dengan nilai koefisien korelasi 0,986 yang mendekati 1. Ketelitian ( presisi )

Presisi atau ketelitian menyatakan derajat kedapatulangan (reproducibility) yaitu besarnya kesesuaian atau penyimpangan dari setiap hasil pengukuran yang telah dilakukan berulang-ulang pada sampel yang sama, dengan cara menganalisis larutan standar melamin.

Tabel 1 Data standar deviasi dan koefisien variasi

melamin standar Konsentrasi. standar (M) (𝑥𝑖 − �̅�)2 SD % KV

2,4.10-5 5,3.10-5 0,0052 2,63 5,6.10-5 1,2.10-4 0,0078 3,30 8,0.10-5 7,3.10-5 0,0060 2,32

Dari tabel di atas diperoleh S D rata-rata 0,0063 dan koefisien variasi rata-rata melamin standar 2,75 % sehingga dikatakan mempunyai linieritas yang baik (Miller and Miller,1998).

Penentuan limit deteksi (LOD)

Limit deteksi (LOD) menyatakan kadar analit terkecil dalam sampel yang masih dapat diukur atau dideteksi dengan baik. P ada penelitian ini nilai limit deteksi yang diperoleh sebesar 9,09.10-6 M atau setara 1,15 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa sinyal antara sampel dengan blanko dapat dibedakan pada konsentrasi terendah 9,09 . 10-6 M.

Penentuan linearitas

Nilai linearitas diperoleh dari kurva hubungan antara konsentrasi melamin dengan a bsorbansi. Berdasarkan kurva tersebut didapatkan koefisien korelasi (r2) = 0,986, yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang linier antara konsentrasi dan absorbansi. Penentuan sensitivitas

Sensitivitas atau kepekaan dikatakan baik jika nilai sensitivitasnya makin besar. S ensitivitas ditentukan d ari harga k emiringan / slope (b) ya ng berasal dari regresi linier kurva standar. B erdasarkan kurva standar diperoleh persamaan y = 1139x + 0,172, j adi nilai slope kurva standar sebesar 1139, maka nilai sensitivitas sensor yaitu 1139 L/mol, hal ini berarti bahwa setiap kenaikan 1mol/L konsentrasi melamin maka absorbansinya naik sebesar 1139. Jika diaplikasikan ke dalam penelitian ini maka setiap kenaikan 1,6.10-5M konsentrasi larutan standar melamin maka absorbansi akan naik sebesar 0,0182. (Miller dan Miller,1998) Penentuan akurasi (recovery)

Data hasil pengukuran melamin standar dapat dilihat pada Tabel 2 da n melamin dalam susu pada Tabel 3.

Tabel 2. Data persen recovery melamin standar

Konsentrasi Melamin (M)

Absorbansi. rata-rata

( n = 3 )

Konsentrasi Terukur rata-rata

% Recovery

2,4.10-5 0,196 2,11 .10-5 87,80 5,6.10-5 0,236 5,62.10-5 100,34 8,0.10-5 0,261 7,82.10-5 97,67

% recovery rata – rata 95,27

Tabel 3. Data persen recovery melamin yang ditambahkan dalam susu

Konsentrasi (M) Melamin

Absorban- si rata-rata ( n = 5 )

Konstrasi terukur rata-

rata

% Recovery (R)

4,0.10-5 0,223 4,5 .10-5 111,94 7,2.10-5 0,2548 7,3 .10-5 100,97 2,0.10-4 0,2162 1,94.10-4 97,02

Persen recovery menyatakan ketepatan yang merupakan kedekatan setiap konsentrasi larutan standar / sampel yang diperoleh kembali dengan konsentrasi larutan standar / sampel sebenarnya. P ada penelitian ini digunakan sampel susu formula yang diasumsikan tidak mengandung melamin, kemudian ditambahkan melamin dengan konsentrasi dan volume tertentu. Dari hasil perhitungan diperoleh % recovery melamin standar 2,4.10-5M sebesar 87,80% ; 5,6.10-5M sebesar 100,34% dan 7,2.10-5M sebesar 97,67%. Persen recovery melamin dalam susu 4,0.10-5M sebesar 111,94% ; 7,2.10-5M sebesar 100,97% dan 2, 0.10-4M sebesar 97,02 %.

35JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 40: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada Tabel 4 (Harmita, 2004).

Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat disimpulkan

bahwa konsentrasi sampel melamin terletak pada rentang 5 pp m (4,0.10-5M) – 25 ppm (2,0.10-4M) dengan % akurasi sebesar 97,02 - 111,94% berarti lebih besar dari rentang 90-107% yang diijinkan.

Hasil % recovery di atas menunjukkan adanya galat sistemik yang dapat mempengaruhi metode analisis. Galat sistemik dapat menyebabkan hasil lebih besar atau lebih kecil. Kemungkinan pada metode ini terjadi galat sistemik yang disebabkan oleh kesalahan pada saat pengambilan sampel, kurva kalibrasi yang kurang linear serta galat yang disebabkan oleh instrumen dan peralatan gelas yang digunakan.

Dibandingkan dengan metode terbaru yang telah dikembangkan oleh Lili et al.,(2010) di Cina dengan menggunakan nano partikel emas (GNPs) untuk membentuk kompleks dengan melamin, diperoleh nilai LOD sebesar 0,4 mg/L, sedangkan pada metode diazotasi dengan menggunakan β-naftol sabagai senyawa pengkopling ini diperoleh nilai LOD sebesar 1,15 mg/L, jadi metode diazotasi masih perlu dikembangkan lagi. KESIMPULAN 1. β-naftol dengan konsentrasi 8.10-4 M dalam larutan

natrium hidroksida 10 % dapat digunakan sebagai pereaksi pengkoupling untuk pembentukan senyawa azo berbasis reaksi diazotasi, pada analisis melamin menggunakan sensor kimia dan metode spektrofotometri.

2. Konsentrasi optimum dari pereaksi untuk analisis melamin melalui reaksi diazotasi adalah asam klorida 0,25 M, natrium nitrit 8.10-3M dan β-naftol 8.10-4M.

3. Limit deteksi 9,09 . 10-6M atau 1,15 ppm dan limit kuantitasi 3,03.10-5 ( 3,82 ppm) dengan sensitivitas 1139 L/mol, linearitas = 0,986. Presisi standar melamin r ata-rata 2,75%. P ersen recovery melamin di dalam susu konsentrasi 4,0 . 10-5 M, 7,2 . 10-5 M, dan 2,0 . 10-4 M adalah 111,94%, 100,97% dan 97,02%. Persen recovery melamin standar konsentrasi 2,4 . 10-5 M, 5,6 . 10-5 M, dan 8,0.10-5 M adalah 87,80%, 100,34% dan 97,67%.

SARAN 1. Optimasi konsentrasi reagen, waktu inkubasi serta

pengaturan suhu reaksi harus diperhatikan agar terbentuk senyawa azo yang maksimum.

2. Untuk konsentrasi melamin yang lebih tinggi, larutan harus diencerkan atau diperlukan peningkatan proporsional dalam konsentrasi reagensia.

3. Perlu dilakukan pengembangan dan analisis lebih mendalam tentang analisis melamin melalui reaksi diazotasi.

DAFTAR PUSTAKA Andersen,W.C., Sherri, B.T. Christine, M.K. and Mark,

R.M., 2008, Determination of Melamine Residues in Catfish Tissue by Triple Quadropole LC-MS-MS with HILIC Chromatography, Laboratory Information Bulletin No. 4396, http://www.Melamine/US FDA-CFSAN-Lib 4396.

FDA (U.S. Food and Drug Administration) News, 2008, FDA Issues Interim Safety and Risks Assessment of Melamin and Melamin-Related Compouns in Food.

Available at URL: http://www.efsan.fda. gov/bbs/topics/NEWS/2008.

Fessenden, R.J.; Fessenden, J.S., 1982, Kimia Organik, Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka, Jilid I, edisi ketiga, cetakan pertama, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 488-491.

Fessenden, R.J.; Fessenden, J.S., 1982, Kimia Organik, Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka, Jilid 2, edisi ketiga, cetakan pertama, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 234-235.

Filigenzi, M. S. Tor, E. R. Poppenga, R. H. Aston, L. A. & Puschner, B., 2007, The determination of melamine in muscle tissue by liquid chromatography–tandem mass spectrometry. Rapid Communications in Mass Spectrometry, 21: 4027–4032.

Harvey D., 2000, M odern Analitycal Chemistry, International Edition, T he McGraw-Hill Companies Inc.,DePauw University, USA, P 57-58.

Harmita, 2004, Review Artikel, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol.I, No.3. hal 117-135.

Huang, G. Ouyang, Z. & Cooks, R.G., 2009, High-throughput trace melamine analysis in complex mixtures. Chemical Communications, xxx: 556–558.

Lili, Baoxin, Li. Di Cheng, & Lihui Mao, 2010, Visual detection of melamine in raw milk using gold nanoparticles as colorimetric probe, Journal of Food Chemistry,xxx: xxx - xxx.

Litzau J.,2008, GC-MS Screen for the presence of Melamine, J Assoc off AnalChem, Jun;60(3):357-50.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 4510955. Miller, J.C. and Miller, J.N., 1988, S tatistict for

Analytical Chemistry, Second Edition , John Wiley & Sons, New York.

36 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 41: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Riawan, S., 2010, Kimia Organik untuk Mahasiswa Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Perawat, Binarupa Publisher, Jakarta: hal. 230-237.

USFDA, 2007, Interim melamine and its analogues safety/risk as.

WHO,2009, Toxicological and Health Aspect of Melamine and Cyanuric Acid. Report of a WHO Expert Meeting In collaboration with FAO, Supported by Health Canada. Ottawa. at URL: http://www.who.intfoodsafetyfs_managementMelamine_3.pdf.pdf.

Zhu, L. Gamez, G. Chen, H. Chingin, K. & Zenobi, R., 2009, Rapid detection of melamine in untreated milk and wheat gluten by ultrasound-assisted extractive electrospray ionization mass spectrometry (EESI-MS). Journal of Chemical Communications, xxx: 559–561.

http://www.chem-is-try.org/.../spektrofotometri/

37JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 42: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

PENGHILANG KARAT YANG RAMAH LINGKUNGAN

Harsasi Setyawati 1,*, Hamami1 dan Alfa Akustia Widati11 1Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

Kampus C Mulyorejo Surabaya *E-mail : [email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the ability of EDTA chelating ligand are used to remove iron rust which is environmentally friendly. EDTA compounds have excellent ability to binding with metals, especially Fe to form a stable complex compounds. Rust is a mixture of iron hydroxide (Fe(OH)3) or iron oxide (Fe2O3) which is produced from the reaction between iron and oxygen dissolved in water and carbon dioxide. Fe3+ ions will form a stable complex compounds when reacted with the EDTA chelating ligand. Presence of EDTA ligand is able to bind Fe3+ on a rusty metal so that the rust on the metal will disappear slowly over the formation of complex compounds [Fe(EDTA)]-. The optimum concentration of EDTA used in this study is 5x10-5 M with an optimum time required to remove rust from metal for 6 hours. The formed compound [Fe(EDTA)]- has proven to be used as a fertilizer micronutrient required by plants.

Keywords : EDTA chelating ligand, rust, [Fe(EDTA)]-, micronutrient fertilizer PENDAHULUAN

Karat merupakan hasil proses korosi. Karat pada logam seperti besi sangat merugikan karena dapat membuat logam dasar menjadi sangat rapuh, mudah larut, keropos dan menyebabkan racun (Widharto, 2001). Karat sering dijumpai pada peralatan yang memakai komponen logam seperti halnya peralatan kedokteran (www.emedicine.medscape.com). Karat pada peralatan kedokteran yang terbuat dari logam muncul akibat dari pemakaian larutan desinfektan yang berbahan dasar senyawa halogen seperti klorin. Pemakaian desinfektan klorin secara terus menerus akan menyebabkan permukaan logam berkarat (Sullivan dan Hudson, 1995). Selain itu proses penyimpanan yang salah (lembab) juga membuat peralatan kedokteran tersebut cepat berkarat. Karat tersebut sulit dihilangkan sehingga membuat kesan kotor dan menimbulkan bahaya tetanus (Widharto, 2001).

Hal ini tentunya sangat merugikan karena untuk membeli peralatan baru membutuhkan biaya yang tinggi dan ketika karat tersebut dibiarkan (tidak dihilangkan) tentunya dapat mengurangi mutu pelayanan kesehatan itu sendiri. Di sisi lain, “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau” (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009). Oleh karena itu adanya karat tersebut harus segera diatasi.

Selama ini karat pada permukaan logam dihilangkan dengan pemakaian asam kuat seperti H2SO4 dan HCl (Olson, 2007; www.emedicine.medscape.com). Namun, penggunaan asam kuat ini berbahaya bagi kesehatan dan membuat peralatan logam menjadi rapuh dan rusak (Widharto, 2001). Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan penelitian penghilangan karat yang terbentuk pada permukaan logam dengan metode yang aman dan tidak merusak.

Pada dasarnya karat merupakan campuran besi hidroksida (Fe(OH)3) dan besi oksida (Fe2O3) yang dihasilkan dari reaksi antara besi dan oksigen yang terlarut dalam air atau udara lembap. Ketika di dalam larutan, karat akan terlarut menjadi ion Fe3+ (Prakash

dkk, 1980). Pada kondisi yang tepat, ion Fe3+ ini akan ditangkap oleh ligan pengkhelat EDTA (etilendiamin tetraasetat) untuk membentuk senyawa kompleks [Fe(EDTA)] yang stabil (Svenson dkk, 1989). Hal ini menyebabkan Fe3+ tidak akan terlepas dan lambat laun karat akan hilang dari permukaan logam. Ligan pengkhelat EDTA dipilih karena selain memiliki kemampuan pengikat Fe3+ yang tinggi (Kstab = 25,1), EDTA juga memiliki kemampuan antibakteri yang sedang (mild antibacterial agent) (Maries, 2010). Kemampuan antibakteri yang sedang ini tidak akan merusak alat seperti halnya klorin yang memiliki sifat antibakteri yang kuat. D isisi lain, senyawa kompleks [Fe(EDTA)] yang merupakan produk samping penelitian ini ramah lingkungan karena bisa dimanfaatkan sebagai pupuk mikronutrien (Zhang, 2006; Cakmak, 2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan digunakan ligan pengkhelat EDTA sebagai pengikat Fe3+ pada logam yang berkarat sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah karat pada logam khususnya pada peralatan kedokteran.

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain Na2H2EDTA.2H2O, HCl 1 N, senyawa kompleks Fe-EDTA, kertas saring, akuadem dan potongan besi strip setebal 3 mm. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1700, SEM (Scanning Electron Microscopy) merek JEOL tipe JSM- 6360 LA, AAS (Atomic Absorption Spectrophotometri) Zhimadzu AA-7000, pH meter, stirrer, timbangan analitik, hot plate, dan peralatan gelas yang biasa digunakan dalam praktikum.

Prosedur Penelitian Preparasi Larutan Pembuatan Larutan Induk EDTA 10-2 M Sebanyak 0,3362 gram Na2H2EDTA, dilarutkan dengan akuadem kemudian dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas.

38 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 43: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Pembuatan Larutan HCl 1N Sebanyak 8,33 mL HCl pekat 37%, dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan EDTA 10-4 M Larutan induk EDTA 10-2 M dipipet dengan pipet volume sebanyak 1 mL dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan EDTA 1;2;3;4;5; 6;7;8;9x10-5 M dan 10-4M. Larutan EDTA 10-4 M diambil dengan buret masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4; 5; 6;7; 8; 9; 10 mL masing-masing dimasukan dalam labu ukur 10 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Standar Induk Fe 10-2 M Sebanyak 0,562 gram logam Fe dan dilarutkan dengan akuadem, kemudian dimasukan dalam labu ukur 100 mL dan dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Standar Baku Fe 10-4 M Larutan induk Fe 10-2 M dipipet dengan pipet volume sebanyak 1 mL dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Standar Fe 1;2;3;4;5;6;7;8;9 x 10-

5M dan 10-4M. Larutan Fe 10-4 M diambil dengan buret masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4; 5; 6;7; 8; 9; 10 mL masing-masing dimasukan dalam labu ukur 10 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Induk Fe-EDTA 10-2 M Sebanyak 0,3920 gram FeEDTA, dilarutkan dengan akuadem kemudian dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Fe-EDTA 10-4 M Larutan induk Fe-EDTA 10-2 M dipipet dengan pipet volume sebanyak 1 mL dimasukan dalam labu ukur 100 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Fe-EDTA 1;2;3;4;5;6;7;8;9 x 10-

5M dan 10-4M. Larutan Fe-EDTA 10-4 M diambil dengan buret masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10 mL dan dimasukan dalam labu ukur 10 mL, kemudian dilarutkan dengan akuadem sampai tanda batas.

Perlakuan Besi Pengaratan Besi Besi yang dipakai adalah besi jenis strip yang dipotong dengan ukuran 3x15x15 mm, kemudian digosok dan direndam dalam HCl 1 N selama 2 hari. Kemudian diangin-anginkan agar terkena udara.

Penimbangan Besi Besi berkarat yang akan digunakan sebagai sampel penghilangan karat ditimbang dengan timbangan analitik. Optimasi Waktu Rendaman Logam besi hasil pengaratan direndam dalam larutan EDTA 3x10-5 M selama 1 jam, 2 jam, 3 jam dan kelipatannya (6 jam, 9 jam, 12 jam, 18 jam, 21 jam dan 24 jam) sampai 24 jam. Kemudian larutan hasil dari perendaman diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer UV-VIS dan AAS. Optimasi Konsentrasi Larutan EDTA Logam besi hasil pengaratan direndam pada setiap konsentrasi EDTA 1;2;3;4;5;6;7;8;9x10-5 dan 10-4 M selama waktu tertentu sesuai hasil optimasi waktu rendam. Kemudian larutan hasil dari perendaman diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer UV-VIS dan AAS. Uji penghilangan karat Setelah diketahui waktu perendaman dan konsentrasi EDTA optimum, selanjutnya potongan besi yang sudah dikaratkan ditimbang, difoto dan dianalisis SEM terlebih dahulu, lalu direndam pada waktu dan konsentrasi EDTA optimum. Besi hasil perendaman difoto, ditimbang dan dianalisis dengan SEM, sedangkan larutan sisa hasil perendaman dinalisis dengan spektrofotometer UV-Vis dan AAS. Uji Scanning Electron Microscop (SEM) Uji scanning ditunjukan untuk mengetahui penampang permukaan besi karat yang telah berkurang pada besi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam proses pengaratan, besi jenis strip setebal 3 mm dipotong menjadi ukuran 15 x 15 mm. Setelah dipotong dengan ukuran tersebut besi diamplas lalu di celupkan ke dalam HCl 1 N selama ± 48 jam, setelah itu dibiarkan kering terkena udara. Hal tersebut dilakukan pada semua logam yang akan digunakan. Tujuan dari pengamplasan adalah menghilangkan kotoran yang berupa karat dan sisa cat yang ada sebelumnya. Sedangkan tujuan pencelupan HCl 1 N dilakukan pada waktu yang sama agar jumlah karat yang terbentuk sama. Hasil proses pengaratan besi disajikan pada Gambar 1.

39JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 44: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Gambar 1. Besi yang sudah dikaratkan

Hasil P enentuan Optimasi Waktu Rendam

dilakukan dengan merendam besi yang telah dikaratkan dalam larutan EDTA 3.10-5 M. Variasi dari waktu perendaman adalah 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 3 jam kelipatannya sampai 24 jam (6 jam, 9 jam, 12 jam, 18 jam, 21 jam dan 24 jam). Selanjutnya larutan hasil perendaman diukur menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometri) dan Spektrofotometer UV-Vis. Penggunaan AAS dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar logam besi yang terlepas dari karat setelah perendaman. Sedangkan t ujuan penggunaan spektrofotometer UV-Vis adalah untuk mengetahui terbentuknya senyawa kompleks Fe-EDTA. Adapun hasil penentuan optimasi waktu rendam EDTA pada proses penghilangan karat disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa waktu optimum perendaman logam berkarat dengan ligan pengkhelat EDTA adalah selama 6 jam. Hal ini terlihat dari besarnya konsentrasi Fe total yang terdeteksi di AAS serta besarnya kadar Fe-EDTA yang terdeteksi di Spektrofotometer UV-VIS. Tingginya kadar Fe-EDTA yang terdeteksi pada waktu 6 jam telah membuktikan bahwa ion Fe3+ yang terlepas ketika logam berkarat direndam dengan larutan pengkhelat EDTA telah tertangkap EDTA membentuk senyawa kompleks Fe-EDTA yang stabil.

Dalam P enentuan Optimasi Konsentrasi EDTA besi yang telah dikaratkan , direndam selama 6 jam pada setiap konsentrasi EDTA 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9 x10-4 dan 10-3 M. Analog dengan proses optimasi waktu rendam EDTA, larutan hasil perendaman diukur menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometri) dan Spektrofotometer UV-Vis. Data hasil penentuan konsentrasi optimum disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil penentuan waktu rendam optimum besi

dengan larutan EDTA

Waktu Optimasi

(jam)

Hasil Analisis

AAS Spektrofotometer UV-VIS

Abs (Kadar

Fe Total) 10-5 M

Abs

(Kadar Fe-

EDTA) 10-5 M

1 0,0160 0,404 0,0081 0,013 2 0,0337 0,826 0,0054 0,001 3 0,0487 1,183 0,0076 0,007 6 0,3358 8,019 0,0201 0,159 9 0,1600 3,833 0,0200 0,158 12 0,0132 0,338 0,0115 0,055 15 0,0775 1,869 0,0183 0,138 18 0,0779 1,878 0,0183 0,138 21 0,0763 1,840 0,0154 0,102 24 0,0898 2,161 0,0193 0,150

Tabel 2. Hasil penentuan konsentrasi optimum larutan EDTA

Konsentrasi EDTA

(10-5 M)

Hasil Analisis

AAS UV-Vis

Abs Kadar Fe Abs Kadar [Fe(EDTA)]3-

1 0,0373 0,1556 0,0093 0,1132

2 0,2711 1,1357 0,0648 0,5829

3 0,4040 1,6928 0,0943 0,8326

4 0,5594 2,3443 0,1332 1,1618

5 0,6298 2,6394 0,1499 1,3031

6 0,5550 2,3258 0,1322 1,1533

7 0,5539 2,3212 0,1319 1,1508

8 0,4808 2.0148 0,1146 1,0044

9 0,4710 1,9737 0,1122 0,9841

10 0,5310 2,2252 0,1263 1,1034

Dari Tabel 2 terlihat bahwa konsentrasi

optimum perendaman logam berkarat dengan ligan pengkhelat EDTA adalah 5x10-5 M. Hal ini terlihat dari besarnya konsentrasi Fe total yang terdeteksi di AAS serta besarnya kadar Fe-EDTA yang terdeteksi di Spektrofotometer UV-VIS. Semakin tinggi konsentrasi EDTA yang digunakan untuk merendam logam yang berkarat ternyata tidak menjadi lebih baik dalam hal penghilangan karatnya karena banyaknya molekul EDTA yang saling berkompetisi untuk mengikat ion Fe3+. Selain itu, prinsip kerja pembentukan kompleks sangat dipengaruhi perbandingan mol dari logam dalam hal ini ion Fe3+ dan ligan dalam hal ini EDTA (Sawyer dkk, 1984; Svenson dkk, 1998).

Aplikasi Waktu Rendam EDTA dan Konsentrasi EDTA Optimum pada Sampel disajikan pada Gambar 3.

Perbesaran SEM 2500

kali

Perbesaran SEM 5000

kali Foto besi

Berat besi

(gram)

Sebelum

4,8614

Sesudah

4,8592

Gambar 3. Hasil uji penghilangan karat pada logam pada kondisi optimum

Dari Gambar 3 terlihat bahwa dari foto besi berkarat secara fisik sebelum diuji dan sesudah diuji terlihat adanya perbedaan sebelum dihilangkan karatnya dari warna besi yang kemerah-merahan yang merupakan warna karat yang ada di permukaan besi. Namun setelah dihilangkan karatnya warna besi menjadi lebih hitam dan warna kemerahan hilang yang menandakan karat sudah hilang.

40 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 45: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Selain dari foto secara fisik, foto SEM juga menunjukan adanya perbedaan. Sebelum karat dihilangkan penampang permukaan besi terlihat tidak teratur yang menunjukan karat ada pada permukaan. Setelah dihilangkan karatnya, penampang permukaan besi lebih terlihat teratur yang menunjukan karat telah hilang dan keteraturan penampang permukaan merupakan struktur dari besi. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui berat karat yang terkomplek oleh EDTA. Selisih berat karat sebelum dan sesudah dilakukan penghilangan sebesar 0,022 gram. Selisih berat tersebut merupakan berat dari karat besi yang hilang.

Pembuktian ramah lingkungan limbah proses penghilangan karat dibuktikan dengan memanfaatkannya sebagai pupuk c air/ pupuk mikronutrien pada tanaman hias. Pupuk mikronutrien merupakan pupuk yang menyediakan elemen-elemen yang dibutuhkan tumbuhan meskipun dalam jumlah sedikit, seperti besi, boron, mangan, seng, tembaga, klor, dan molybdenum. Baik makro dan mikronutrien diperoleh akar tumbuhan melalui tanah. Akar tumbuhan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat mengambil nutrisi-nutrisi tersebut dari dalam tanah. Pada umumnya pupuk mikronutrien sering dimodifikasi dalam bentuk senyawa khelat dengan senyawa EDTA membentuk Fe-EDTA, Zn-EDTA, Cu-EDTA dan Mn-EDTA sehingga bisa lebih larut dalam air. Mudahnya kelarutan pupuk t ersebut dalam air menyebabkan unsur hara tersebut lebih mudah masuk ke xylem dan floem tanaman sehingga unsur hara bisa langsung digunakan tanaman (Zhang, 2006).

Pupuk mikronutrient sangat dibutuhkan tanaman hias karena harga tanaman hias sangat tergantung estetika tanaman meliputi bentuk, warna, keunikan dan lain sebagainya. Pupuk mikronutrien ini sangat mempengaruhi warna daun dan bunga yang merupakan potensi yang harus ditonjolkan estetikanya. Adapun tanaman yang kekurangan unsur hara Fe besi akan mengalami penguningan daunnya.

Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah Dieffenbachia amoena sp. (Beras Wutah). Tanaman ini dipilih karena tanaman ini mudah perawatannya dan daunnya banyak. Proses pembuktian dilakukan dengan memberi perlakuan dua tanaman yang sama dengan perlakuan yang berbeda yaitu satu tanaman diberi limbah penghilangan karat sedangkan tanaman yang lain tidak diberi limbah penghilangan karat. Selanjutnya diamati selama selang waktu tertentu dan dibandingkan. Hasil pengamatan tanaman disajikan pada Gambar 4.

Tanpa limbah penghilangan karat

Dengan limbah penghilangan karat

Gambar 4. Hasil uji ramah lingkungan limbah penghilangan karat

Hasil pengamatan tanaman tersebut terlihat bahwa limbah penghilangan karat efektif digunakan sebagai pupuk mikronutrien pada tanaman hias. Hal ini terlihat dari daun tanaman yang terlihat lebih hijau dan besar.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Ligan pengkhelat EDTA terbukti dapat digunakan untuk menghilangkan karat besi yang ramah lingkungan. Konsentrasi optimum EDTA yang digunakan adalah 5x10-5 M dengan waktu rendam optimum 6 jam. Pembuktian ramah lingkungan dilakukan pada tanaman Dieffenbachia amoena sp. (Beras Wutah) yang terbukti daunnya lebih hijau jika diberi limbah sisa penghilangan karat. 2. Produk samping penghilangan karat dengan EDTA terbukti menghasilkan senyawa kompleks [Fe(EDTA)] ketika dianalisis dengan spektrofotometer UV-VIS.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang limbah penghilangan karat sebagai pupuk mikronutrien untuk tanaman lain. DAFTAR PUSTAKA Andani, Lucky, Dian., 2005, Penghambatan Korosi

Besi dalam Larutan HCl 1N dengan menggunakan Bio Inhibitor yang diisolasi dari pseudominaseae ruginosa IA7d, skripsi, Universitas Airlangga.

Bassett, J., Denney, R.C., Jeffery, G.H., Mendham, J., 1994, Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Edisi IV, Alih Bahasa: Pudjaatmaka, H., Setiono, L., Penerbit Buku kedokteran, EGC, Jakarta.

Cakmak, I., 2010, Biofortification of cereals with zinc and iron through fertilization stategy, World Congress of Soil Science, oil Solutions for a Changging World, Brisbane, Australia.

Chung, M,H,L., 1996, Integrated Chemistry Today, pqge 233-231

Effendy, 2007, Prespektif Baru Kimia Koordinasi Jilid 1, Banyumedia Publishing : Malang.

Falakh, F, I.; Mulyadi, Y., dan Supomo, H., 2005, Analisa laju Perambatan Retak untuk Jenis Korosi pada Pipeline Akibat Unsur H2S, Jurnal Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Febrianto, T, W., 2010, Pemisahan Kalsium dan Magnesium Batuan Dolomit dengan Pemnambahan KOH, skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Fontana, M. G., and Noebert, D. G., Corrosion Engineering,2nd edition, Mc Graw hill Book Cmpany., Inc Japan.

Halima. F, 2003, Pencegahan Korosi dan Scale pada Proses Produksi Minyak Bumi, Jurnal Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatra Utara.

Heminingsih., Hartati., dan Hamami, 2004, Kimia Organik I, bahan ajar, laboratorium kimia

41JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 46: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

analitik, jurusan FMIPA, Universitas Airlangga

Kahar, A, 2008, Pengaruh Material Anoda Anoda yang Berbeda terhadap Karja Protekteksi Katodik Metode Arus Tanding,Jurnal Kimia volume 5, FMIPA Kimia, Universitas Mulawarman.

Kelly, G, R., and Shaw,A, Barbara., 2006, The Electrochemical Society Interface.

Maries, A., 2010, Uses of Ethylendiamintetraacetic Acid As Chemical Buffer, E How Contribution, New York.

Miessler G.L., Tarr D.A., 1991, Inorganic Chemistry, Prentice-Hall International Inc: New Jersey.

Mulder, M. 1996, Basic Principle of Widharto, Sri., 2004, Karat dan Pencegahannya,

Cetakan Ketiga, P T.Pradnya Paramita, Jakarta.

www.emedicine.medscape.com ( diakses 11 J anuari 2011)

Zhang, G., 2006, Application of micronutrient pros and cons of the different application strategis, IFA International Workshop on micronutrient Kunming, Cina. MembraneTechnology, Kluwer Academic Publisher., London.

Mulya, M dan Suharman., 1995, Analisis Intrumental, Airlangga University Press, Surabaya.

Nur, M.A, dan Adijuana, H. 1989, Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologis, Depdikbud, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, IPB Bogor.

Prakash, Satya., Tuli., Basu., and Madam., 1980, Advanced Inorganic Chemistry, Chand & Companny Ltd, Ram nagar, New Dehli.

Rahadjeng S., 1987, Senyawa Koordinasi, Struktur, Teori dan Reaksi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya.

Saeni, M. S., 1989, Kimia lingkungan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sawyer, T., Heineman, R., and Beebe, M, J., 1984, Chemistry Experiments for Instrumental Methods, John wiley and Sons, New York.

Setyawati, H., 2009, Katalis [Fe(EDTA)]- Berpendukung MgF2 untuk Sintesis Vitamin E, Tesis, Institut Teknologi Sepuluh November.

Siregar, M,B., dan Bintang, M., 2005, Analisa Laju Korosi Mild Steel pada Lingkungan dengan Kelembapan Tinggi Selama 24 jam, Jurnal Sistem Teknik Industry, volume 6, Universitas Sumatra Utara.

Svenson, A., Kaj, L., Bjorndal, H., 1998, Aqueous Photolysis of Iron(III) complexes of NTA, EDTA and DTPA, chemosphere, Vol.18,

42 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 47: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

GENETIK k-MEANS DALAM PENGELOMPOKAN DATA

Eto Wuryanto1 dan Dyah Herawati1 1Program studi Sistem Informasi, Departemen Matematika , Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

ABSTRAK

Salah satu persoalan yang ada pada metode non-hirarki dalam analisis clustering adalah menentukan nilai k atau banyaknya kelompok. Penelitian ini berusaha menjawab persoalan tersebut dengan cara mendapatkan nilai k yang optimal dengan menggunakan metode algoritma genetik k-means. Metode ini menggunakan teknik algoritma genetik yang diterapkan dalam metode k-means untuk mengelompokkan data, dengan menganggap bahwa sebuah obyek dapat menjadi anggota salah satu kelompok dengan berdasarkan kriteria tertentu. Dalam hal ini kriteria yang akan dipakai adalah nilai WSS (within sum squares). Sedangkan untuk mengetahui nilai k yang optimal digunakan nilai indeks validitas Dunn, RS dan RMSSTD.

Penelitian ini diawali dengan penelusuran dan penelaahan literatur yang membahas tentang : analisis kelompok, algoritma pengelompokan k-means, metode penentuan k optimal dalam k-means, indeks validitas dalam clustering dan algoritma genetik. Selanjutnya menyusun algoritma : indeks validitas, penghitungan nilai WSS dan pengelompokan data dengan algoritma genetik k-means. Langkah berikutnya adalah membuat program dengan menggunakan bahasa pemrograman JAVA, dan menguji coba program tersebut pada data sekunder yang terdiri dari dua data : data yang mudah/sudah dikelompokkan dan yang belum tahu kelompoknya.

Dalam penelitian ini diperoleh beberapa hal sebagai berikut : pertama, Waktu eksekusi program dipengaruhi oleh banyaknya objek dalam data dan nilai parameter dalam algoritma genetik k-means. Kedua, pengelompokan individu yang lebih baik didapat dari perulangan terhadap algoritma genetik k-means dengan nilai parameter yang sama. Ketiga, dalam penentuan k optimal dilakukan percobaan untuk k=2,3,4,5, ... dalam metode algoritma genetik k-means dan dengan melihat secara beurutan perubahan nilai indeks validitas. Keempat, nilai fitness (WSS) dari individu yang diperoleh selalu berubah-ubah setiap kali algoritma genetik k-means dijalankan sehingga akan mempengaruhi ketepatan penentuan nilai k optimal. Kata kunci : within sum squares, k-means, algoritma genetik, indeks validitas PENDAHULUAN

Analisis Kelompok merupakan salah satu analisis data yang bertujuan untuk mengelompokkan obyek-obyek pengamatan menjadi beberapa kelompok berdasarkan pengukuran variabel-variabel yang diamati, sedemikian hingga obyek-obyek yang terdapat dalam kelompok yang sama mempunyai karakteristik yang relatif homogen dan obyek-obyek antar kelompok mempunyai karakteristik yang berbeda (Sharma, 1996). Analisis Kelompok dapat dilakukan berdasarkan pada jarak antar obyek yang digunakan sebagai ukuran ketakmiripan. Ada dua macam metode dalam analisis kelompok, yaitu metode Hirarki dan metode Non Hirarki. Metode Hirarki terbagi lagi menjadi dua, yaitu metode Hirarki Aglomeratif dan metode Hirarki Divisif. Beberapa contoh metode

hierarki antara lain : single linkage, complete linkage, centroid linkage, average linkage. Sedangkan salah satu metode Non Hirarki adalah k-means yang merupakan metode pengelompokan obyek-obyek pengamatan pada k kelompok dengan menempatkan masing-masing obyek pengamatan pada kelompok yang memiliki pusat kelompok (mean) terdekat (Johnson, 1988). Prinsip K-means adalah melakukan optimasi jarak dengan meminimalkan penyebaran dalam cluster dan memaksimalkan pemisahan antar cluster.

Algoritma genetik merupakan algoritma pencarian acak dan teknik optimasi yang meniru proses biologi dari rekombinasi genetik, mutasi dan seleksi natural untuk membangkitkan solusi suatu permasalahan. Algoritma genetik berangkat dari himpunan solusi yang dihasilkan secara acak.

Himpunan ini disebut populasi dan setiap individu dalam populasi disebut kromosom yang merupakan representasi dari solusi. Kromosom-kromosom berevolusi dalam suatu proses iterasi yang berkelanjutan yang disebut generasi. Pada setiap generasi, kromosom dievaluasi berdasarkan suatu fungsi evaluasi (Gen dan Cheng, 1997). Setelah beberapa generasi, algoritma genetik akan menghasilkan kromosom yang diharapkan mendekati solusi optimal.

Daoud dan Roberts (1996) mengemukakan bahwa Babu and Murty menggunakan algoritma genetik untuk memberi nilai awal cluster. Dalam algoritma genetik setiap solusi dalam populasi dipetakan ke suatu nilai yang dipakai sebagai nilai awal cluster dan kemudian algoritma k-means dijalankan untuk setiap nilai tersebut. Selanjutnya nilai dengan jumlah kuadrat jarak dalam group yang terkecil dipilih sebagai nilai akhir dan digunakan untuk memberi nilai awal cluster. Proses ini dilakukan sampai maksimum generasi tercapai. Karena algoritma k-means dijalankan berulangkali maka kompleksitas dari proses tersebut sangat tinggi.

Dalam pengelompokan, terdapat beberapa index validitas. Indeks ini digunakan sebagai ukuran untuk mengevaluasi hasil dari algoritma pengelompokan. Menurut Sharma (1996), indeks yang bisa digunakan untuk algoritma pengelompokan non hierarki adalah : Root-mean-square standard deviation (RMSSTD), dan R-squared (RS). Selain itu terdapat indeks yang lain, diantaranya Indeks Dunn, Indeks Davies-Bouldin (Halkidi dkk, 2001).

43JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 48: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

METODE PENELITIAN Penerapan algoritma genetik dalam analisis

kelompok yang berdasarkan pada prinsip metode k-means dalam penentuan nilai k pa da metode non-hirarki sudah dapat dilakukan dengan indikator yang akan dipakai dalam menentukan suatu obyek masuk ke kelompok tertentu adalah nilai within sum squares (WSS). Akan tetapi hasil yang diberikan tidak bisa memberikan informasi nilai k yang mana yang terbaik sebab untuk setiap nilai k yang sama akan diperoleh nilai WSS yang berbeda-beda jika dilakukan perulangan. Oleh karena itu pada penelitian ini, untuk mengetahui nilai k optimal dalam metode algoritma genetik k-means ditambahkan 3 indikator baru yang berupa indeks validitas : Dunn, RS dan RMSSTD. Selanjutnya guna mengetahui nilai k optimal dari suatu data sekunder akan dibuatkan program dalam bahasa pemrograman JAVA. Metode k-means

Metode non hirarki adalah metode pengelompokkan yang didasarkan pada banyak kelompok yang telah ditentukan dengan menempatkan anggota kelompok yang relatif homogen dalam kelompok yang sama (Sharma, 1996). Metode k-mean bertujuan meminimalkan fungsi obyektif :

2

1 1)( ∑ ∑= =

−=k

i

n

j ij vxkJ

dengan iv adalah pusat kelompok

ik yang berupa mean , sedangkan

ij vx − adalah jarak antara obyek k e-j

dengan iv (Halkidi dkk, 2001). Menurut Johnson (1988) dalam algoritma k-

means, obyek-obyekengamatan dikelompokkan menjadi k kelompok dengan menempatkan masing-masing obyek pada kelompok yang memiliki pusat kelompok (mean) terdekat. Prosedur penempatan obyek pengamatan dalam algoritma k-means adalah sebagai berikut : 1. Menentukan banyaknya kelompok. 2. Menentukan k-pusat awal kelompok. 3. Menghitung jarak setiap obyek dengan masing-

masing pusat kelompok. 4. Jika jarak obyek ke-i dengan pusat kelompok ke-j

adalah terkecil daripada pusat kelompok yang lain maka obyek ke-i menjadi anggota kelompok ke-j.

5. i = 1, 2, ……, n ; j = 1, 2, ……., k. 6. Menentukan kembali pusat kelompok yang

diperoleh dari nilai rata-rata anggota kelompoknya.

7. Jika iterasi ke-m dengan iterasi ke-(m+1) nilai pusat kelompok tidak berubah atau tidak ada obyek-obyek pengamatan yang pindah kelompok maka iterasi berhenti. Jika tidak maka kembali ke langkah 3.

Analisis Group

Dalam Sharma (1996) disebutkan bahwa analisis grup dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Within-group analysis (analisis dalam grup)

merupakan acuan yang membuktikan informasi mengenai kemiripan pada

pengamatan masing-masing grup. Jika pengamatan-pengamatan dalam masing-masing grup sama/mirip berdasarkan variabel yang diberikan maka ( )∑

=

−=p

vvivi xxSS

1

2 akan

bernilai mendekati nol. Sedangkan jika pengamatan semakin tidak mirip maka iSS bernilai lebih besar dari nol. Semakin besar ketakmiripannya semakin besar pula nilai

iSS -nya. Nilai dari within-group analysis ini dinotasikan dengan WSS dan dirumuskan :

∑∑∑= = =

−=k

j

p

v

n

ivjivj

j

xxWSS1 1 1

2)(

dengan k adalah banyaknya kelompok, p banyaknya variabel yang menyusun data, nj banyaknya data pengamatan dari kelompok ke-j, vjx adalah rata-rata data variabel ke-v di

kelompok ke-j, ivjx data pengamatan obyek ke-i dan variabel ke-v yang termasuk dalam kelompok-j.

2. Between-group analysis (analisis antar grup) merupakan ukuran bebas dimana rata-rata setiap grup berbeda dari rata-rata total sampel. Pada analisis grup ini memberikan informasi mengenai perbedaan dalam pengamatan antar grup. Nilai dari between-group analysis ini dinotasikan dengan BSS diperoleh dari pengurangan nilai TSS dengan nilai WSS atau dapat dituliskan sebagai BSS=TSS−WSS. Untuk TSS merupakan total sum-square yang merupakan informasi total-group dan dirumuskan :

∑∑= =

−=p

v

n

iviv xxTSS

1 1

2)(

dengan p banyaknya variabel yang menyusun data, n banyaknya data pengamatan.

Indeks Validitas

Halkidi dkk ( 2001) mengemukakan bahwa terdapat beberapa indeks validitas dalam analisis kelompok, tiga diantarannya adalah sebagai berikut :

1. RMSSTD digunakan untuk menentukan banyaknya cluster yang menyusun suatu data. Cara yang digunakan adalah de ngan mengukur homogenitas dari kelompok-kelompok yang terbentuk. Karena tujuan analisis kelompok adalah membentuk kelompok-kelompok yang homogen, maka nilai ini harus kecil. RMSSTD dirumuskan sebagai

( )

2/1

=knp

BSSRMSSTD

dengan p adalah banyaknya variable, n adalah banyaknya obyek dan k adalah banyaknya kelompok.

2. Indeks RS diperoleh dengan membandingkan Jumlah kuadrat antar kelompok dan jumlah kuadrat total. Indeks ini mengukur perbedaan antar kelompok. Jika indeks ini bernilai nol,

44 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 49: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

maka tidak terdapat perbedaan antar kelompok. Sedangkan jika bernilai satu, maka terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok. RS didefinisikan sebagai

TSSWSSRS = .

3. Indeks Dun berusaha mengidentifikasi kelompok-kelompok yang kompak dan terpisahkan dengan baik. Indeks ini didefinisikan sebagai

max

min

ddD =

dengan dmin adalah jarak terpendek diantara dua obyek yang berasal dari kelompok yang berbeda dan dmax adalah jarak terpanjang diantara dua obyek dalam kelompok yang sama.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Dyah (2003) : untuk indeks validitas RMSSTD, jika jumlah kelompoknya bertambah nilainya cenderung akan semakin menurun. Sebaliknya untuk indeks validitas RS. Untuk menentukan jumlah kelompok yang optimal, biasanya indeks RMSSTD dan RS digunakan secara bersamaan. Jumlah kelompok yang optimal yang menyusun suatu data biasanya ditentukan dengan melihat pola grafik yang menunjukkan lompatan terbesar. S edangkan pada Indeks Dunn, penentuan k yang optimal dicari dengan nilai indeks yang maksimum. Algoritma Genetik

Dalam Gen dan Cheng (1997), algoritma genetik adalah algoritma pencarian yang berdasarkan pada mekanisme sistem natural yakni genetik dan seleksi alam. Berbeda dengan teknik pencarian konvensional, algoritma genetik berangkat dari himpunan solusi yang dihasilkan secara acak. Himpunan ini disebut populasi. Sedangkan setiap individu dalam populasi disebut kromosom yang merupakan representasi dari solusi. Kromosom-kromosom berevolusi dalam suatu proses iterasi yang berkelanjutan yang disebut generasi. Pada setiap generasi, kromosom dievaluasi berdasarkan suatu fungsi evaluasi (fitness).

Menurut Obitko (1998), gambaran umum dari algoritma genetik adalah sebagai berikut:

1. [Start] Membangkitkan populasi random dari n individu.

2. [Fitness] Evaluasi fitness f(x) dari setiap kromosom x pada populasi.

3. [New population] Membuat populasi baru dengan mengulangi langkah-langkah berikut sampai populasi baru dihasilkan :

a. [Selection] Memilih dua kromosom induk dari suatu populasi berdasarkan nilai fitness (semakin baik fitness, semakin besar kemungkinan dipilih).

b. [Crossover] Melakukan kawin silang dengan induk untuk membentuk anak baru (offspring). Bila tidak ada crossover yang dibentuk, offspring merupakan copy dari induk.

c. [Mutasi] Dengan probabilitas mutasi melakukan mutasi offspring baru di setiap posisi kromosom.

d. [Accepting] Menempatkan offspring baru dalam populasi baru.

4. [Replace] Menggunakan populasi generasi baru untuk menjalankan algoritma selanjutnya.

5. [Test] Apabila kondisi akhir terpenuhi maka berhenti dan menghasilkan solusi terbaik pada populasi sekarang.

6. [Loop] Ke langkah 2. Algoritma Genetik K-Means

Algoritma ini merupakan penyesuaian algoritma genetik terhadap algoritma k-means artinya algoritma k-means tidak dipakai secara utuh tetapi hanya prinsip-prinsipnya saja. Sehingga algoritma genetik k-means tidak menjalankan algoritma k-means secara terus menerus. Individu atau kromosom yang mempunyai n (banyaknya obyek) elemen akan berisi angka-angka yang mengkodekan kelompok ke-c untuk c=1,2,…,k. Dan dari barisan kode-kode tersebut dapat dihitung nilai WSS dan indeks validitas-nya. Secara lengkap langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : 1. Menentukan jumlah kelompok (k), jumlah

individu dalam populasi awal (pop_size), peluang crossover )( cp , dan probabilitas mutasi )( mp . Kemudian menentukan kode kromosomnya, yaitu pengkodean nilai. Dalam hal ini nilainya bergantung dari penentuan jumlah k.

2. Membangkitkan populasi awal ari daerah fisibel secara acak sebanyak pop_size individu. Yang dimaksud daerah fisibel adalah daerah yang memberikan ruang solusi, hal ini terkait dengan jumlah gen dalam kromosom dan pegkodean kromosom.

3. Menghitung fitness (f(x)) dari setiap individu x pada populasi, dengan f(x) = WSS.

4. Menghitung total fitness untuk populasi kemudian menghitung nilai total fitness dikurangi fitness.

5. Menghitung nilai fitness relatif, fitness kumulatif, dan membangkitkan bilangan acak (0,1) sebanyak pop_size yang akan digunakan pada proses seleksi calon induk crossover. Metode seleksi yang digunakan yaitu seleksi roullete wheel (seleksi roda roulette). Setelah mendapatkan calon induk crossover, induk untuk proses crossover dipilih berdasarkan probabilitas crossover )( cp . Apabila jumlah induk crossover yang terpilih adalah gasal, maka harus dibuang satu agar genap. Dalam hal ini, kromosom yang dibuang adalah kromosom yang terakhir. Hal ini dilakukan karena pada proses crossover dibutuhkan dua kromosom pada tiap proses crossover.

6. Menentukan metode crossover. Metode crossover yang akan digunakan adalah Crossover satu titik potong (One-Cut-Point Crossover) dan Crossover dua titik potong (Two-Cut-Point Crossover). Individu yang terpilih menjadi induk crossover melakukan crossover untuk membentuk keturunan baru (offspring).

45JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 50: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

7. Membangkitkan bilangan acak (0,1) sebanyak pop_size yang akan digunakan pada proses seleksi calon induk mutasi. Setelah mendapatkan calon induk mutasi, induk untuk proses mutasi dipilih berdasarkan probabilitas mutasi )( mp .

8. Menentukan jenis mutasinya. Metode mutasi yang akan digunakan adalah Inversion Mutation (mutasi invers). Individu yang terpilih menjadi induk melakukan mutasi untuk membentuk keturunan baru (offspring).

9. Mengevaluasi fitness (f(x)) dari anak hasil croosover dan mutasi.

10. Menggabungkan semua individu dari hasil croosover dan mutasi dengan individu pada populasi sebelumnya.

11. Mengurutkan individu berdasarkan nilai fitness (f(x)) dari yang terkecil sampai yang terbesar.

12. Memilih individu terbaik sebanyak pop_size untuk dijadikan sebagai populasi baru.

13. Menggunakan populasi generasi baru untuk menjalankan algoritma selanjutnya.

14. Apabila kondisi sudah mencapai N generasi maka stop dan pilih individu dengan nilai fitness paling minimal sebagai solusi terbaik pada populasi sekarang. Dan jika tidak maka ulangi ke langkah 3.

15. Ulangi langkah 1-14 dalam rangka mendapatkan nilai indeks validitas Dunn, RS dan RMSSTD untuk k=2,3,4,5, ..., K sedemikian sehingga penentuan k optimal dapat dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan k o ptimal yang diinginkan dari suatu data, algoritma genetik k-means yang telah disusun diimplementasi ke program komputer dengan bahasa pemrograman JAVA. Selanjutnya program yang telah dibuat digunakan untuk menguji data simulasi dan data sekunder. Data yang digunakan adalah : 1. data hipotesis terdiri dari 6 obyek dan dua

variabel yang telah terkelompok menjadi 3 kelompok dan masing-masing kelompok memuat 2 anggota (Sharma, 1996).

2. data iris terdiri dari 150 obyek dan 4 variabel yang telah terkelompok menjadi 3 ke lompok dan masing-masing kelompok memuat 50 a nggota (Cole, 1998).

3. data bahan kimia terdiri dari 15 o byek dan 11 variabel (Roux, 1991)

Dalam menjalankan program dimulai dengan k=2 selanjutnya k=3 dan seterusnya sampai dapat ditentukan nilai k yang optimal. Penentuan k o ptimal dilakukan dengan melihat nilai-nilai indeks validitas Dunn, RS dan RMSSTD secara bersamaan. Penggunaan 3 jenis indeks validitas tersebut secara sekaligus karena ada kemungkinan hanya satu indeks validitas yang dapat dipakai atau bahkan tidak satupun dari indeks tersebut bisa dipakai untuk membuat keputusan. Ciri-ciri nilai k o ptimal jika digunakan indeks Dunn dapat dilihat dari nilai puncak pertama, dan jika dipakai indeks RS dan RMSSTD dapat dilihat dari penurunan nilainya yang tajam.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa indeks Dunn, RS dan RMSSTD memberikan cirri-ciri yang sesuai dengan masing-masing karakteristik dari masing-masing indeks. Indeka Dun nilai puncak di k=3, indeks RS dan RMSSTD mempunyai nilai selisih yang ekstrim dari k=2 ke k=3 sehingga dari ketiga indeks validitas tersebut memberikan kesimpulan bahwa k optimalnya adalah 3.

Tabel 1 : Nilai indeks validitas untuk data hipotesis

M=10, pop_size=50, N=100, pc=0.6, pm=0.01

k Indeks validitas WSS Dunn RS RMSSTD 2 1.17 0.26 8.04 184 3 2.02 0.02 10.7 15 4 0 0 13.23 2

Keterangan. M : Banyaknya pengulangan N : Maksimum generasi pc : peluang crossover pm : Peluang mutasi k : banyaknya kelompok

Untuk data iris dengan parameter M=10,

pop_size=50, N=100, pc=0.6, pm=0.01, pada tabel 2 terlihat bahwa indeks RS dan RMSSTD yang memperlihatkan terjadi selisih yang tajam dari k=2 ke k=3 dibandingkan dari k=3 ke k=4 sehinga dapat disimpulkan bahwa nilai k yang optimal untuk data iris adalah 3.

Tabel 2 : Nilai indeks validitas untuk data iris

M=10, pop_size=50, N=100, pc=0.6, pm=0.01

k Indeks validitas WSS Dunn RS RMSSTD 2 0.02 0.52 0.74 354.50 3 0 0.57 0.7 391.29 4 0 0.59 0.7 398.65

Akan tetapi memungkinkan hasil percobaan tidak bisa membantu dalam memutuskan k optimal. Perhatikan tabel 3 jika nilai pc yang semula 0.6 diganti dengan 0.8, ketiga indeks validitas tidak memberikan cirri-ciri yang diinginkan sehingga sulit untuk membuat keputusan k mana yang optimal. Hal ini mungkin saja terjadi karena disamping melibatkan bilangan acak juga nilai WSS yang dihasilkan juga tidak bisa konvergen ke suatu nilai tertentu atau dengan kata lain nilai WSS yang dihasilkan selalu berubah-ubah setiap kali percobaan.

Tabel 3 : Nilai indeks validitas untuk data iris Dengan nilai pc

diganti

M=10, pop_size=50, N=100, pc=0.8, pm=0.01

K Indeks validitas WSS Dunn RS RMSSTD 2 0.03 0.55 0.72 372.27 3 0 0.54 0.73 366.79 4 0 0.56 0.71 383.48

Ciri-ciri yang dimiliki oleh ketiga indeks

validitas untuk data bahan kimia pada tabel 4 memberikan kesimpulan bahwa k o ptimal untuk data tersebut adalah 3.

46 JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 51: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

Tabel 4 : Nilai indeks validitas untuk data bahan kimia M=10, pop_size=50, N=100, pc=0.6, pm=0.01

k Indeks validitas WSS Dunn RS RMSSTD 2 0.91 0.51 0.37 20.72 3 0.56 0.38 0.44 15.19 4 0.65 0.28 0.49 11.22

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan menggunakan tiga indeks validitas Dunn, RS dan RMSSTD secara bersama-sama dapat membantu pemakaian algoritma genetik k-means untuk memperoleh nilai k optimal dari data yang diberikan. Akan tetapi di beberapa percobaan tidak bisa mendapatkan nilai k optimal.

Beberapa hal lainnya yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah : pertama, Waktu yang diperlukan untuk menjalankan program dipengaruhi oleh banyaknya objek dalam data dan nilai parameter dalam algoritma genetik k-means : banyaknya kelompok (k), banyaknya generasi, ukuran populasi, nilai pc (probabilitas crossover) dan nilai pm (probabilitas mutasi). Kedua, untuk mendapatkan individu yang lebih baik dilakukan perulangan terhadap algoritma genetik k-means dengan nilai parameter yang sama. Ketiga, dalam penentuan k o ptimal dilakukan percobaan untuk k=2,3,4,5, ... dalam metode algoritma genetik k-means dan dengan melihat secara beurutan perubahan nilai indeks validitas dari masing-masing nilai k da pat diketahui yang optimal. Keempat, nilai fitness (WSS) dari individu yang diperoleh selalu berubah-ubah setiap kali algoritma genetik k-means dijalankan sehingga akan mempengaruhi ketepatan penentuan nilai k o ptimal karena dengan perbedaan nilai WSS yang diperoleh untuk masing-masing k yang cukup besar.

Berubah-ubahnya nilai WSS yang dihasilkan dalam setiap percobaan dapat menyebabkan kesulitan dalam penentuan nilai k o ptimal. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang memungkinkan nilai WSS yang konvergen ke suatu nilai tertentu. Karena konvergensi nilai WSS tidak menjamin k yang diperoleh adalah optimal maka perlu dilakukan percobaan diulang beberapa kali.

DAFTAR PUSTAKA Cole, Rowena Marie, 1998, Clustering With Genetic

Algorithm, Departement of Computer Science of The University of Western Australia.

Daoud, M.B.A., Roberts, S.A., 1996, New methods for the initialization of clusters, Pattern Recognition Lett. 17 (5), 451–455.

Dyah Herawatie, 2003, Perbandingan Algoritma Pengelompokan Non-Hierarki dengan Indeks Validitas Kelompok, Laporan penelitian RG-A2 Prodi Matematika FMIPA Unair.

Gen, M and Cheng, R, 1997, Genetic Algorithms and Engineering Design, John Willey and Sons, New York.

Halkidi, M., Yannis Batistakis, Michalis Vazirgiannis, 2001. On Clustering Validation Techniques. Journal of Intelligent Information Systems. http://citeseer.nj.nec.com/ 513619.html.

Johnson, R. and Dean W. Wichern, 1988, Applied Multivariate Statistical Analysis, Second Edition, Prentice Hall, Inc., New Jersey.

Obitko, M, 1998, Intoduction to Genetic Algorithms, Czech Technical University.

Roux, M., 1991, Interpretation of hierarchical clustering dalam “Applied multivariate analysis in SAR and environmental studies”, Editor: devillers, J. Dan Karcher, W., Netherlands, hal 137-152.

Sharma, S, 1996, Applied Multivariate Technique, John Willey & Sons Inc, New York

47JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 1, Januari 2012

Page 52: JMIPA Vol15 No.1 Januari 2012

PETUNJUK PENULISAN MAKALAH

PERSYARATAN 1. Makalah harus bersifat ilmiah orisinal merupakan karya hasil penelitian, belum pernah dipublikasikan. 2. Panjang tulisan makalah maksimal 10 halaman kertas A4 termasuk tabel dan gambar serta diketik dengan huruf

time new roman (font size 10) dengan spasi tungal. 3. Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia baku atau bahasa Inggris dan abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan

bahasa indonesia. ORGANISASI MAKALAH Makalah memuat unsur Judul, Abstract, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, Ucapan Terima Kasih (bila perlu) dan Daftar Pustaka 1. JUDUL: bersifat informatif, singkat tapi jelas, di bawah judul dicantumkan nama penulis, asal instansi atau

universitas penulis, alamat pos penulis untuk korespondensi. Bila para penulis tidak berasal dari satu instansi atau universitas, maka harus diberi tanda dan masing-masing tanda diberi nama instansi atau universitas

2. ABSTRACT: memuat inti permasalahan (tujuan, metode penelitian dan hasil), panjangnya tidak lebih dari 250 kata atau 3-4 % dari panjang makalah. Pada bagian bawah Abstract harus mencantumkan keyword (s), baik dalam bentuk kata atau phrase

3. PENDAHULUAN: memuat latar belakang masalah, rencana pengembangan, tujuan dan harapan tentang aplikasi hasil penelitian. Informasi tersebut merupakan argumentasi konsisten dan landasan teoritik

4. METODE PANELITIAN: memuat materi atau komponen, alat dan objek yang akan diteliti, cara kerja penelitian, parameter yang diamati, rancangan yang digunakan serta teknis analisis yang dipakai

5. HASIL DAN PEMBAHASAN: memuat hasil-hasil utama (sesuai dengan parameter yang diamati), disertai pembahasan ilmiah atau argumentasi yang mendukung

6. SIMPULAN DAN SARAN: memuat pernyataan singkat tentang hasil yang diperoleh dikaitkan dengan hipotesis (bila ada) yang telah diajukan. Saran, kalau ada diajukan berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh dan berkaitan dengan pemantapan atau pengembangannya lebih lanjut.

7. DAFTAR PUSTAKA: disusun sebagai berikut : a. Menurut abjad nama akhir pengarang. Acuan yang tidak dikenal pengarangnya digolongkan sebagai

Anonimus. b. Contoh penulisan beberapa kepustakaan :

i. Buku: nama penulis, tahun, judul buku (dicetak miring), jilid, nama penerbit dan kota, Contoh: Brown, T.A., 1993, Genetics Molecular Approach, 2nd Ed. Chapman & Hall, London

ii. Jurnal: nama penulis, tahun, judul, nama jurnal (dalam singkat resmi dan dicetak miring), volume, halaman (awal sampai akhir), Contoh: Bagnara, J.T., Fernadez, P.J., 1993, Hormonal Influences on The Development of Amphibian Pigmentation Patterns, Zoological Science, 10 : 733-748

iii. Karangan dalam buku: nama penulis, tahun, judul karangan, nama editor, judul buku, jilid, nama penerbit dan kota, halaman mulai dan akhir Contoh: Zainuddin, 1990, Penelitian Kuantitatif. Dalam : Sudijono dan Sarmanu, Ed. Penataran Metodologi, Edisi ke-4: Lemlit Unair Surabaya, 15-20

iv. Karangan yang dibawakan dalam pertemuan ilmiah, laporan ilmiah dan sebagainya : nama penulis, tahun, judul karangan, nama pertemuan ilmiah atau judul laporan ilmiah, tanggal dan kota tempat pertemuan Contoh: Pangestu, M, Baikuni A., 1988, Pengaruh penyuluhan terhadap kebersihan lingkungan, Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan. 15 April, Bogor.