J K M - rsusaifulanwarjatimprov.web.id · TRAMADOL VS PARACETAMOL IN URETERIC COLIC TO DECREASE...
Transcript of J K M - rsusaifulanwarjatimprov.web.id · TRAMADOL VS PARACETAMOL IN URETERIC COLIC TO DECREASE...
J K M
Jurnal Kesehatan Malang
Susunan Redaksi
Pelindung : Direktur RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Penasehat : Wakil Direktur Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian
Ketua Penyunting : Nur Samsu
Wakil Ketua Penyunting : Susanthy Djajalaksana
Sekretaris : Auragustini Ritavipa Djamaris
Penyunting Pelaksana : Ali Haedar
Cholid Tri Tjahyono
Dwi Indriani Lestari
Edi Handoko
Edi Mustamsir
Hani Susianti
Krisni Soebandijah
Sinta Murlistyarini
Siti Masamah
Sri Endah Noviani
Tatit Nurseta
Yuyun Yueniwati P.
Pelaksana Tata Usaha : Hermawan Yuniarto
S a r i
Winda Lestari
Sekretariat
Bidang Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2 Malang 65111
Tel. (0341) 362101, Fax (0341) 369384
Email : [email protected]
J K M
Jurnal Kesehatan Malang
Daftar Isi
NUR SAMSU
EDITORIAL ................................................................................................................................. 240
NURNANINGTYAS NETTY, SETIJOWATI NANIK, FREDDY ANTONIUS, BAGIANTO HARI
PERBEDAAN PENURUNAN SKALA NYERI ANTARA PEMBERIAN TRAMADOL DAN PARACETAMOL
SERTA RASIO INTERLEUKIN-6 - INTERLEUKIN-10 PADA PENANGANAN KOLIK URETER................ 242
RIZKI AMALIA RANGKUTI, TAUFIQ HIDAYAT, HERWINDA BRAHMANTI
PERBANDINGAN KADAR 17β-ESTRADIOL SERUM PADA PASIEN WANITA MELASMA DAN NON
MELASMA DI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG........................................................................ 250
BOGI PRATOMO, NOR HEDAYANTI, SUPRIONO
PERAN KURKUMIN TERHADAP PENURUNAN KADAR IL-17 SERUM, EKSPRESI IL-17 JARINGAN
HATI DAN DERAJAT FIBROSIS HATI PADA TIKUS MODEL FIBROSIS............................................... 260
AGUSTIN ISKANDAR, MAIMUN ZULHAIDAH ARTHAMIN, KRISTIN INDRIANA
UJI DIAGNOSTIK PRESEPSIN PADA SEPSIS NEONATORUM........................................................... 272
LINDAYANTI SUMALI, YANI JANE SUGIRI
SINDROMA VENA KAVA SUPERIOR SEBAGAI KOMPLIKASI DARI METASTASE SEMINOMA
TESTIS KE MEDIASTINUM DAN PARU YANG MEMBAIK DENGAN KEMOTERAPI.......................... 282
NUR SAMSU
IMUNOSUPRESAN PADA TRANSPLANTASI GINJAL.................................................................. 287
Jurnal Kesehatan Malang diterbitkan oleh RSUD Dr Saiful Anwar Malang dan didistribusikan untuk
Seluruh insan yang berkecimpung pada bidang kesehatan. Artikel-artikel kesehatan pada Jurnal Kesehatan
Malang ditulis oleh para ahli dibidangnya. Informasi, kritik dan saran lebih lanjut dapat melalui email :
ISSN 2502-2342
J K M
Jurnal Kesehatan Malang
Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Kesehatan Malang (JKM) RSUD Dr. Saiful Anwar
Penulisan Naskah
Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia menggunakan program Microsoft Word dengan huruf Calibri
ukuran 11 pt dan spasinya 1,5 spasi. Naskah dicetak di atas kertas A4, lima belas halaman, rangkap dua dan
satu soft copy dalam bentuk CD dikirim ke redaksi jurnal disertai surat pengantar dan pernyataan
persetujuan dari semua penulis yang ditandatangani oleh penulis utama.
Sistematika Penulisan
Judul
Ditulis dengan jelas dan menarik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan huruf Calibri 11 pt
tebal (Bold), maksimal dua belas kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar, huruf Calibri 10 pt miring (italic), apabila lebih dari dua penulis, hanya tiga
nama penulis saja yang dicantumkan di bawah judul, nama penulis yang lain ditulis dalam catatan kaki.
Institusi asal penulis dapat dicantumkan di bawah nama penulis.
Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam satu paragraf dengan ringkas dan jelas,
terdiri dari: untuk penelitian 200-250 kata, tinjauan pustaka atau laporan kasus maksimal 150 kata dan
diketik menggunakan huruf Calibri ukuran 11 pt dengan spasi tunggal. Memuat secara ringkas gambaran
umum dari masalah yang di bahas di dalam artikel. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dengan 3-5 kata.
Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dan tujuan penulisan.
Metode
Berisi desain, metode penelitian dan analisis statistik yang ditulis secara ringkas, jelas beserta rujukannya.
Hasil
Penggunaan tabel, gambar, grafik atau foto hasil penelitian maksimal enam buah dan diberi judul singkat di
bawahnya dengan mengunakan huruf Calibri 11 pt tebal (bold). Keterangan tabel, gambar, grafik atau foto
ditulis di bawah, huruf Calibri 10 pt dengan spasi tunggal. Hasil yang sudah jelas dan dapat dibaca dengan
mudah dalam tabel tidak perlu diulang dalam teks.
Diskusi
Untuk penelitian, berisi pembahasan tentang hasil penelitian, temuan baru yang ditonjolkan dan
mengaitkan dengan temuan, teori dan pendapat sebelumnya, sedangkan untuk laporan kasus, berisi
pembahasan tentang temuan kasus tersebut yang dikaitkan dengan teori dan pendapat sebelumnya.
Simpulan untuk penelitian, ringkasan untuk laporan kasus dan tinjauan pustaka ditulis di paragraf terakhir,
dalam bentuk narasi satu paragraf ringkas dan jelas.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka ditulis menurut sistem Vancouver, jika penulis lebih dari enam selanjutnya ditulis et al.
Jumlah rujukan minimal sepuluh buah, sesuai dengan yang dikutip dalam artikel dan berjangka waktu
maksimal sepuluh tahun terakhir dan lebih dari 80% dari semua rujukan.
Mitra Bestari
Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Muhammadiyah Malang
240
Salam JKM,
Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya redaksi Jurnal Kesehatan Malang dapat
menerbitkan Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017. Majalah kita ini dapat terbit atas dukungan semua
pihak, terutama praktisi kesehatan dilingkungan RSUD Dr Saiful Anwar Malang – FKUB yang dengan
sukarela menyumbangkan karya ilmiahnya. Untuk terbitan-terbitan yang berikutnya, kami akan dan selalu
berusaha untuk lebih memperluas jangkauan, dan semakin membuka diri terhadap artikel ilmiah dari luar
RSUD dr Saiful Anwar Malang – FKUB sehingga keberadaan kami semakin dikenal luas dan artikel-artikel
yang disajikan akan semakin lengkap.
Pada Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017, sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, kali ini JKM
menyajikan topik-topik penelitian yang menarik. Artikel pertama tentang pilihan terapi obat pada kolik
ureter. Netty dkk membandingkan efikasi tramadol dibandingkan parasetamol pada tatalaksana kolik
ureter dan kaitannya dengan sitokin pro-inflamasi pada 20 pasien yang terdiagnosis kolik ureter. Masing-
masing 10 pasien secara random mendapatkan injeksi intravena tramadol 100 mg atau 1000 mg
paracetamol. Didapatkan hasil tramadol dan paracetamol memiliki efektifitas yang sama dalam
menurunkan tingkat nyeri setelah 60 menit yang diukur menggunakan skala 0-10 numeric rating scale
(NRS). Rasio IL-6 - IL-10 pada 0 dan 60 menit setelah diberikan analgesik tidak ada penurunan bermakna.
Rasio IL-6 - IL-10 pada pasien yang diberikan tramadol (p=0,334) dan yang diberikan paracetamol (p=0,284).
Disimpulkan bahwa tramadol intravena sebagai obat pada kolik ureter sama efektif dengan paracetamol
intravena. Selanjutnya Rizki Amalia dkk meneliti kaitan antara 17β-estradiol dengan melasma. Untuk itu
dilakukan penelitian observasional dengan pengambilan data secara potong lintang. Penelitian dilakukan
pada 2 kelompok wanita dengan dan tanpa melasma, masing-masing 20. Didapatkan hasil pada kelompok
melasma kadar 17β- estradiol serum terendah 16,27 pg/mL dan kadar 17β- estradiol tertinggi 50,91 pg/mL,
sedangkan kadar 17β- estradiol terendah pada kelompok non melasma sebesar 5 pg/mL dan kadar 17β-
estradiol tertinggi sebesar 26,84 pg/mL. Disimpulakn bahwa kadar 17-β estradiol pada melasma lebih tinggi
secara bermakna dibanding dengan non melasma.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bogi Pratomo dkk tentang peran kurkumin dalam
kaitannya dengan fibrosis hati, melalui penurunan kadar IL-17 sehingga diperkirakan dapat digunakan
sebagai obat antifibrosis pada hati. Dengan menggunakan tikus yang diinjeksi CCl4 selama 9 minggu untuk
menjadi tikus fibrosis yang selanjutnya dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok yang tidak
diberikan perlakuan, kelompok yang diberikan kurkumin 200,mg/kgbb/hari selama 5 minggu dan hanya
diberikan pelarut kurkumin CMC Na 1%, serta sebagai kontrol yang diberi NaCl 0,9%. Selanjutnya dianalisa
kadar IL-17 serum, ekspresi IL-17 jaringan hati dengan immunohistokimia dan derajat fibrosis hati yang
dinilai dengan kriteria metavir (F0-F4). Didapatkan hasil peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus fibrosis
Editorial
241
pada kelompok kontrol negative dan kelompok kontrol positif serta penurunan IL-17 serum pada kelompok
yang diberi kurkumin (p=0,000), sedangkan tidak didapatkan perubahan yang signifikan pada ekspresi IL-17
jaringan hati (p = 0,069) serta penurunan derajat fibrosis dengan (p > 0,05). Sehingga disimpulkan, bahwa
kurkumin menyebabkan penurunan kadar IL-17 serum setelah diterapi selama 5 minggu secara signifikan,
tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL1-7 jaringan hati dan derajat fibrosis.
Penelitian berikutnya adalah oleh Agustin dan Kristin mengenai uji diagnostik presepsin pada sepsis
neonatorum. Penelitian ini dilatar belakangi oleh kesulitan mendiagnosis sepsis pada neonatus secara
klinis, karena beberapa tanda sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan pemeriksaan fisik yang
normal meskipun telah terjadi bakteremia. Dilain pihak, kultur darah memiliki keterbatasan untuk diagnosis
pada neonatus. Dengan menggunakan baku emas kultur pada 51 neonatus yang memenuhi kriteria SIRS,
dilakukan pemeriksaan presepsin dan prokalsitonin sebagai biomarker pembanding. Didapatkan hasil pada
nilai cut-off presepsin sebesar 706,5 pg/ml didapatkan sensitivitas 85,7%, spesifisitas 68,8%, rasio
kemungkinan positif 2,75, rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi 80,4%. Sedangkan pada nilai cut-off
prokalsitonin sebesar 161,33 pg/mL didapatkan sensitivitas 68,6%, spesifisitas 62,5%, rasio kemungkinan
positif 1,83, rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi 66,7%. Sehingga disimpulkan, bahwa nilai
diagnostik presepsin lebih tinggi dibandingkan prokalsitonin.
Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindayanti dan Yani Jane yaitu tentang sindroma
vena kava superior sebagai komplikasi dari metastase seminoma testis ke mediastinum dan paru yang
membaik dengan kemoterapi. Dilaporkan seorang pasien laki-laki 32 tahun dengan riwayat seminoma testis
3 tahun lalu post orkidektomi sinistra datang dengan keluhan, gejala dan tanda sindroma vena kava
superior, serta batuk darah. Serum tumor marker menunjukkan peningkatan β-HCG dan LDH. Hasil dari
toraks PA dan CT scan didapatkan tumor mediastinum anterior superior dan nodul metastase pada kedua
paru. Setelah diberikan kemoterapi cisplatin etoposide 4 siklus dan ditambah 2 siklus, pasien mengalami
perbaikan klinis, radiologis, dan penurunan serum tumor marker gradual sehingga mencapai angka normal.
Diangkatnya kasus ini oleh penulis utamanya terkait dengan pentingnya untuk melakukan follow up secara
berkala pada tumor sel germinal.
Makalah yang terakhir adalah tulisan mengenai terapi imunosupresan pada transplantasi ginjal.
Sebagaimana diketahui bahwa obat-obat imunosupresan merupakan faktor penting pada transplantasi
termasuk transplantasi ginjal. Pada makalah ini akan diulas mengenai obat-obat imunosupresan, klasifikasi
obat, mekanisme kerja, cara pemberian dan penggunaannya baik sebagai terapi induksi, pemeliharaan
maupun penyelamatan.
Demikianlah, pada akhirnya pada Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017 ini kami masih dan tetap terus
mengharapkan dukungan dan saran-saran perbaikan untuk penerbitan berikutnya dari semua pihak,
sehingga majalah kita ini akan semakin dapat memberikan manfaat sesuai tujuan dan motto kami yaitu
menyebarluaskan ilmu kesehatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Selamat membaca
PERBEDAAN PENURUNAN SKALA NYERI ANTARA PEMBERIAN TRAMADOL DAN PARACETAMOL SERTA
RASIO INTERLEUKIN-6 - INTERLEUKIN-10 PADA PENANGANAN KOLIK URETER
Nurnaningtyas Netty*, Setijowati Nanik**, Freddy Antonius*, Bagianto Hari***
*Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Saiful Anwar Malang, **Program Ilmu Kesehatan Masyarakat FKUB-RSUD dr. Saiful
Anwar Malang, ***Departemen/SMF Anaesthesiologi dan Reanimasi FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Latar belakang: Obat golongan nonsteroid anti-infammatory merupakan terapi utama pada penanganan
kolik ureter.Tetapi obat tersebut memiliki kontraindikasi pada pasien gangguan ginjal, penyakit saluran
cerna dan gangguan koagulasi. Sehingga analgesk lain diperlukan untuk meredakan rasa nyeri. Tujuan
penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas analgesik tramadol dan paracetamol pada
penanganan kolik ureter serta penurunan rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-10) di instalasi gawat
darurat RSUD dr Saiful Anwar. Metode: Uji klinis tersamar ganda dengan randomisasi dilakukan terhadap
pasien dengan tanda dan keluhan kolik ureter. Subyek dilakukan randomisasi untuk menerima injeksi
intravena baik tramadol 100 mg ataupun 1000 mg paracetamol. Jumlah total 20 pasien, 10 orang menerima
tramadol dan 10 orang menerima paracetamol dan kedua grup dilakukan evaluasi untuk IL-6 dan IL-10
sebelum dan sesudah menerima analgesik. Hasil : Karekteristik pasien termasuk usia dan jenis kelamin
semua subyek laki-laki. Tramadol dan paracetamol memiliki efektifitas yang sama dalam menurunkan
tingkat nyeri setelah 60 menit yang diukur menggunakan skala 0-10 numeric rating scale (NRS). Rasio IL-6 -
IL-10 pada 0 dan 60 menit setelah diberikan analgesik tidak ada penurunan bermakna. Rasio IL-6 - IL-10
pada pasien yang diberikan tramadol (p=0,334) dan yang diberikan paracetamol (p=0,284). Dari hasil semua
variabel, tramadol dan paracetamol memiliki efektifas yang sama. Kesimpulan: Tramadol intravena sebagai
obat pada kolik ureter sama efektif dengan paracetamol intravena.
Kata kunci: Kolik ureter, tramadol, paracetamol, rasio interleukin-6 - interleukin-10.
TRAMADOL VS PARACETAMOL IN URETERIC COLIC TO DECREASE PAIN SCALE AND RATIO INTERLEUKIN-6 -
INTERLEUKIN-10
ABSTRACT
Background: Nonsteroid anti-inflammatory drugs are considered the mainstay in the treatment of ureteric
colic. But they are contraindicated in patients with renal failure, gastrointestinal disease and coagulation
disturbance. In these case other analgesics shoud be use to relieve the pain. The aim of our study was to
compare the analgesic efficacy of tramadol and paracetamol in the treatment of ureteric colic and
decreased of rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-10) in our emergency department. Methods: A
double blind randomized clinical trial was conducted in patients with a clinical signs and symptoms of
ureteric colic. Subjects were randomized to receive a single intravena injection of either 100 mg tramadol
or 1000 mg paracetamol. Twenty patients were included, of these 10 received tramadol and 10 received
paracetamol and both of them were examined for IL-6 and IL-10 before and after received the analgesics.
Results : Patients characteristics including age and gender are all men. Tramadol was same as paracetamol
in reducing the severity of pain at 60 minutes as measured on 0-10 numeric rating scale. The rasio IL-6 – IL-
10 in 0 minutes and 60 minutes after giving analgesic were not significant decreased. Rasio IL-6 - IL-10 in
patients treated with tramadol (p=0,334) and treated with paracetamol (p=0,284).For all the study
variables, tramadol was same effective as paracetamol. Conclusions: Intravena tramadol as single agent for
the treatment of ureteric colic is same as effective with intravena paracetamol.
Keywords: Ureter colic, tramadol, paracetamol, rasio interleukin-6 - interleukin-10.
Laporan Penelitian
242
PENDAHULUAN
Rasa nyeri merupakan salah satu keluhan
utama seorang pasien datang ke unit gawat darurat
di Indonesia maupun luar negeri. Rasa nyeri akan
menyebabkan pasien datang ke unit gawat darurat
untuk segera mendapatkan pertolongan secepatnya
dari tenaga medis dan berharap rasa nyeri tersebut
mereda bahkan hilang sama sekali darinya.
Besarnya harapan pasien tersebut sebanding
dengan rasa ingin mengetahui mengenai penyakit
yang dideritanya, sembuh dan hilangnya segala rasa
tidak nyaman dan nyeri pada tubuhnya.
Kolik ureter merupakan keluhan yang
penting dan sering terjadi dalam praktek
kedokteran emergensi. Penyebab tersering adalah
adanya tersumbatnya saluran kemih oleh kalkuli.
Sitokin adalah mediator (berupa protein
atau glikoprotein dengan berat molekul 8-80kDa)
yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau
imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara
sel-sel untuk membentuk jaringan komunikasi
dalam respon imun. Sitokin interleukin-6 (IL-
6) memiliki sifat sebagai proinflamasi. IL-6 akan
menginduksi kuat dari respon protein fase akut.
Sedangkan fungsi rutin Interleukin-10 (IL-10)
terutama adalah menghambat atau meniadakan
respons peradangan. Setelah melibatkan reseptor
sel 110-kd yang berafinitas tinggi, IL-10
menghambat TNF-α yang dihasilkan
monosit/makrofag, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, granulocyte
colony-stimulating factor. IL-6 dan IL-10 mudah
terukur dalam sirkulasi pada pasien dengan
penyakit sistemik dan berbagai kondisi inflamasi.
Dari beberapa sediaan obat yang
direkomendasikan sebagai analgesik, perlu adanya
pengetahuan yang cukup mengenai efektifitas
terhadap kasus kolik ureter tersebut. Sehingga
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan penurunan skor nyeri pemberian
tramadol dan paracetamol berdasarkan efektifas,
efisien serta efek samping minimal pada
penanganan kolik ureter di IGD RSSA Malang
dengan rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-
10).
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian pre and
post control experimental group design
menggunakan uji double blind randomized clinical
trial. Subyek adalah 20 pasien kolik ureter laki – laki
dengan rentang usia 20 – 50 tahun yang datang
berobat ke IGD RSUD Dr. Saiful Anwar Malang yang
mengalami kolik ureter akut onset < 72 jam sejak
kejadian dan skor skala nyeri ≥ 6 yang dinilai dengan
Numeric Rating Scale (NRS).
Pemeriksaan dilakukan pada 0 menit sdan
60 menit setelah mendapatkan pengobatan
paracetamol 1000 mg intravena atau tramadol 100
mg intravena serta diperiksa kadar IL-6 dan IL-10
dengan metode enzyme immunosorbent assay
(ELISA) baik pada 0 menit maupun 60 menit dan
dihitung nilai rasio-nya.
Uji analisis yang diakukan apabila distribusi
normal dengan uji independent t – test atau dengan
uji Mann-Whitney dan selisih antara nilai awal dan
akhir skala nyeri dengan uji paired t-test bila
distribusi normal atau menggunakan uji Spearman
bila distribusi tidak normal, dengan derajat
kepercayaan 95%, α = 0,05, bermakna apabila p <
0,05.
244
HASIL
Selama dalam penelitian didapatkan hasil
gambaran deskriptif berdasarkan umur sampel
yang diberikan paracetamol terbanyak adalah pada
kisaran umur 41 – 50 tahun sebesar 80%,
sedangkan pada umur 31 – 40 tahun dan 21 – 30
masing – masing sebanyak 10%. Sedangkan pada
pasien yang diberikan tramadol terbanyak pada
umur 21 – 30 tahun dan 41 – 50 tahun masing –
masing 50 %. Sedangkan penilaian skala nyeri dari
10 orang sampel yang diberikan paracetamol 1000
mg dan 10 orang sampel yang diberikan tramadol
100 mg didapatkan variasi distribusi penurunan
skala nyeri (Tabel 1, 2 dan 3).
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penurunan Skala Nyeri NRS dengan pemberian Paracetamol dan Tramadol
Penurunan NRS Paracetamol Tramadol
n % n %
4 2 20 1 10
5 0 0 1 10
6 4 40 3 30
7 3 30 4 40
8 0 0 1 10
9 0 0 0 0
10 1 10 0 0
Jumlah 10 100 10 100
Dapat dilihat bahwa penurunan skala nyeri
yang diukur dengan metode Numeric Rating Scale
(NRS) pada 0 menit dan 60 menit setelah
pemberian paracetamol 1000 mg didapatkan yang
terbanyak menurunkan 6 poin dari skala awal yaitu
sebanyak 40%, dan pada 10% pasien yang
mengalami penurunan skala nyeri sampai 10 poin.
Setelah pemberian tramadol 100 mg intravena,
pasien terbanyak mengalami penurunan skala nyeri
7 poin, yaitu sebanyak 40%, selanjutnya pasien yang
mengalami penurunan skala nyeri sebanyak 4 poin,
5 poin dan 8 poin masing – masing 10%.
Dari tabel perbedaan variabel pemberian
paracetamol dan tramadol didapatkan nilai yang
bermakna pada selisih IL-6 (p = 0,35), IL-10 menit
ke-0 (p = 0,037), IL-10 menit ke-60 (p = 0,010), rasio
IL-6 - IL-10 pada menit ke-0 (p = 0,026), dan selisih
IL-6 - IL-10 pada menit ke-0 (p = 0,002).
245
Tabel 2. Tabel Perbedaan Variabel Pemberian Paracetamol dan Tramadol
Variabel Mean ± SD Med(min–max) p
Pamol Tram Pamol Tram
Skala Nyeri menit-0 8.20±1.54 7.70±1.56 8 (6-10) 7.50(6-10) 0.482
Skala Nyeri menit-60 1.90±1.10 1.40±1.07 2 (0-2) 2.00(0-3) 0.252b
Selisih nyeri 6.30±1.70 6.30±1.16 6 (4-10) 6.50(4-8) 1,000a
IL-6 menit ke-0 0.90±0.53 0.99±0.84 0.66 (0.37-1.85) 0.84(0.33-3.08) 0.784
IL-6 menit ke-60 0,59±0.22 0.75±0.45 0.54(0.33-1.09) 0.49(0.33-1.37) 0.705b
Selisih IL-6 0.31±0.41 0.23±0.65 0.12(-0.03-1.15) -0.01(-0.16-1.94) 0.35b
IL-10 menit ke-0 1.93±0.74 1.08±1.17 1.5(1.29-3.22) 0.38(0.28-3.22) 0.037b
IL-10 menit ke-60 1,33±0.31 0.68±0.61 1.22(1.08-2.17) 0.34(0.03-2.06) 0.010b
Selisih IL-10 0.59±0.57 0.40±0.63 0.39(0.06-1.77) 0.04(0.00-1.91) 0,105b
Rasio IL-6-IL-10 mnt ke-0 0.56±0.44 1.57±1.18 0.38(0.15-1.44) 1.33(0.10-3.88) 0.026a
Rasio IL-6-IL-10 mnt ke-60 0.46±0.19 2.54±3.5 0.4(0.23-0.84) 1.24(0.19-12.15) 0.002b
Keterangan :
Pamol : Paracetamol
Tram : Tramadol
: Independent t - test b
: Mann – Whitney test
Dari tabel korelasi antara skala nyeri dengan
rasio IL-6 - IL-10 pada pemberian paracetamol baik
pada menit ke-0 dengan (p = 0,089) maupun menit
ke-60 (p = 0,133), dan pemberian tramadol setelah
menit ke-60 (p = 0,136) sehingga tidak ada korelasi
bermakna. Sedangkan pada pemberian tramadol
menit ke-0 terdapat korelasi bermakna antara skala
nyeri dengan rasio IL-6 – IL-10 (p = 0,034).
Tabel 3. Korelasi Pemberian Paracetamol dan Tramadol
PARACETAMOL TRAMADOL
p r p r
Rasio IL-6 - IL-10 mnt-0 dan NRS mnt-0 0,089 a -0,464
a 0,034
a -
0,597 a
Rasio IL-6 - IL-10 mnt-60 dan NRS mnt-60 0,133 a -0,465
a 0,136
b -
0,443 b
DISKUSI
Secara keseluruhan pasien yang diteliti
mengalami perbaikan secara signifikan terhadap
penurunan intensitas nyeri yang dirasakan, Dimulai
dari awal pasien datang kemudian dilakukan
intervensi dan dinilai ulang intensitas skala
nyerinya, yang diukur dengan sistem penilaian
Numeric Rating Scale (NRS). Perubahan nilai skala
nyeri NRS akan bertambah seiring dengan
perubahan waktu, dimana perubahan terbanyak
pemberian paracetamol menurunkan 6 poin,
sedangkan pemberian tramadol menurunkan skala
nyeri terbanyak sampai 7 poin.
Dari hasil uji penurunan skala nyeri pada
kelompok yang diberikan paracetamol setelah 60
menit dibandingkan dengan kelompok yang
diberikan tramadol setelah 60 menit memiliki rerata
penurunan skala nyeri yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan intensitas nyeri
baik pada pemberian paracetamol maupun
tramadol sama efektif pada kasus kolik ureter pada
intensitas nyeri sedang sampai berat. Terapi
246
paracetamol dan tramadol juga memiliki efek
samping yang berbeda, yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan pemilihan karena kedua sediaan ini
sama efektif menurunkan skala nyeri pada kolik
ureter. Pemberian tramadol secara umum bisa
menimbulkan rasa mual serta muntah, pusing
alergi, bahkan kemungkinan terjadi depresi nafas.
Sedangkan paracetamol relatif aman karena
minimal resiko mual,muntah dan alergi, walaupun
pada beberapa kasus bisa menimbulkan
hepatotoksik.
Dari hasil pengujian rasio IL-6 - IL-10 pada
menit ke – 0 dan menit ke – 60 setelah pemberian
paracetamol tidak ada perbedaan yang bermakna
diantara keduanya. Demikian juga terlihat pada
hasil uji yang melihat rasio IL-6 - IL-10 pada menit ke
– 0 dan menit ke – 60 setelah pemberian tramadol
juga memberikan hasil yang tidak ada perbedaan
yang bermakna. Sehingga dapat dikatakan bahwa
rasio sitokin pro – inflamasi dan anti – inflamasi
pada pasien yang menerima obat paracetamol dan
tramadol memiliki kesamaan atau tidak berbeda
secara signifikan. Hal tersebut bisa saja disebabkan
adanya faktor – faktor lain yang menghambat
pelepasan mediator pro – inflamasi disaat terjadi
proses inflamasi, demikian juga adanya faktor yang
menghambat pelepasan mediator sitokin anti –
inflamasi. Sehingga pemberian analgesik
paracetamol dan tramadol dapat bersifat sebagai
potensiasi penurunan intensitas rasa nyeri tersebut.
Terapi analgesik paracetamol dan tramadol
sama – sama efektif dalam menurunkan intensitas
rasa nyeri sedang sampai berat pada kasus kolik
ureter. Sedangkan rasio IL-6 - IL-10 pada menit ke –
0 dan menit ke – 60 pemberian analgesik
paracetamol dan tramadol tidak ada perbedaan
yang bermakna. Sehingga saran yang dapat
diberikan terhadap penelitian ini adalah dapat
membantu dan dikembangkan sebagai pedoman
penatalaksaan nyeri kolik ureter di IGD RSSA
khususnya dan IGD lainnya pada umumnya. Hal ini
bertujuan agar penatalaksaan nyeri dapat benar –
benar efektif, tepat dan aman dengan menurunkan
pemakaian non-steroid anti-inflammatory drugs
(NSAID) pada kasus – kasus kolik ureter. Pemilihan
jenis obat yang disarankan dari hasil penelitian ini
adalah paracetamol, oleh karena efek samping yang
minimal, aman diberikan pada pasien rawat jalan di
IGD.
Penelitian lain masih sangat diharapkan bisa
dikembangkan melalui penelitian ini, karena masih
banyak hal – hal yang dapat dijelaskan lebih lanjut
tentang penurunan rasa nyeri, faktor – faktor yang
mempengaruhi dan penyebabnya, demi
keselamatan dan kenyamanan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardakani, Y. H. & Rouini, M. R. 2007.
Pharmacokinetics of Tramadol and its Three
Main Metabolites in Healthy Male and Female
Volunteers. Biopharmaceutics & Drug
Disposition, 28, 526–533.
2. Bektas, F., Eken, C.,Karadeniz, O., Goksu, E.,
Cubuk, M., Cete, Y. 2009. Intravenous
Paracetamol or Morphine for the Treatment of
Renal Colic: A Randomized, Placebo-Controlled
Trial. Annals of Emergency Medicine, 54 No.4,
568-574.
3. Bertolini, A., Ferrari, A., Ottani, A., Guerzoni, S.,
Tacchi, R. & Leone, S. 2006. Paracetamol: New
Vistas of an Old Drug. CNS Drug Reviews, 12 (3-
4), 250-275.
247
4. Bhogal, R., Jeganathan, M., Pierdies, M. &
Rennie, C. 2005. The Emergency Management of
Renal and Ureteric Colic. The Internet Journal of
Urology, 3 (2).
5. Bijjiga, E. & Martino, A. T. 2013. Interleukin 10
(IL-10) Regulatory Cytokine and its Clinical
Consequences. Journal Clinical Cellular
Immunology, S1, 007.
6. Burton, A. B., Wagner, B., Erb, H. N. & Ainsworth,
D. M. 2009. Serum interleukin 6 (IL-6) and IL-10
concentrations in normal and septic neonatal
foals. Veterinary Immunology and
Immunopathology 132, 122-128.
7. Cousins, M. J. & Carr, D. B. 2010. Physiology and
Psychology of Acute Pain. In: Pamela
E.Macintyre, D. A. S., Stephan A. Schug, Eric J.
Visser, Suellen M. Walker (eds.) Acute Pain
Management : Scientific Evidence.
8. Davenport, K. & Waine, E. 2010. The Role of
Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs in Renal
Colic. Pharmaceuticals 3, 1304-1310.
9. Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. 2008. Cytokines
: Regulators of Immune Responses and Key
Therapeutic Targets. In : MRG Gorman , AD
Donnenberg. (eds). Handbook of Human
Imunology. 2nd ed. CRC Press.
10. Dizdarevic-Hudic, L., Kulsjugic, Z., Barakovic, F.,
Brkic, S., Sabitovic, D., Jahic, E., Divkovic, K. 2009.
Interleukin 6 and Interleukin 10 Acute
Myocardial Infarction. Bosnian Journal of Basic
Medical Sciences, 9 (4).
11. Falch, C., Vicente, D., Haberle, H., Kirschniak, A.,
Muller, S., Nissan, A. & Brücher, B. L. D. M. 2014.
Treatment of acute abdominal pain in the
emergency room:A systemic review of the
literature. European Journal of Pain, 1-12.
12. Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L.,
Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L. &
Loscalzo, J. 2008. Harrison's Principles of Internal
Medicine. 17.
13. Fillingim, R. B. 2005. Pain Measurement In
Humans. In: S. J. Anita Holdcroft, (eds.) Core
Topic in Pain. Cambridge University Press.
14. Golzari, S. E., Soleimanpour, H., Rahmani, F.,
Mehr, N. Z., Safari, S., Heshmat, Y. & Bakhtavar,
H. E. 2014. Therapeutic Approaches for Renal
Colic in the Emergency Department: A Review
Article. Anesthesia Pain Medical. 2014;
3(3):16222.
15. Grissa, M. H., Claessens, Y.-E., Bouida, W.,
Boubaker, H., Boudhib, L., Kerkeni, W.,Nouira, S.
2009. Paracetamol vs piroxicam to relieve pain in
renal colic. Results of a randomized controlled
trial. American Journal of Emergency Medicine,
1-4.
16. Hamzic, N. 2012. The Role of Interleukin-6 in the
Febrile Response. Faculty of Health Sciences,
Linkoping University, Linkoping, Sweden.
17. Hawker, G. A., Mian, S., Kendzerska, T. & French,
M. 2011. Measures of Adult Pain. American
College of Rheumatology, 63 (11), 240-252.
18. Kasudarman, H. 2012. Perbandingan efektifitas
dan efek samping pemberian metamizole
dengan tramadol sebagai prosedur sedasi dan
analgesia pada pemasangan selang dada kasus
pneumothoraks spontan. Spesialis, Fakultas
Kedokteran Brawijaya.
19. Koneru, A., Satyanarayana, S. & Rizwan, S. 2009.
Endogenous Opioids: Their Physiological Role
and Receptors. Global Journal of Pharmacology,
3 (3), 149-153.
248
20. Lim, G., Wee, F. & Seow, E. 2006. Pain
Management in the emergency department.
Hong Kong Jounal of Emergency Medicine, 13
(1), 38-45.
21. Marco, C. A., Kanitz, W. & Jolly, M. 2013. Pain
Scores among Emergency Department (ED)
patients : Comparison by ED diagnosis. The
American Journal of Emergency Medicine, 44,
66-52.
22. Marco, C. A., Nagel, J., Klink, E. & Baehren, D.
2012. Factors associated with self-reported pain
scores among ED patients. The American Journal
of Emergency Medicine, 30, 331-337.
23. Masarani, M. & Dinneen, M. 2007. Ureteric colic:
new trends in diagnosis and treatment.
Postgraduate Medical Journal, 83, 469-472.
24. Motov, S. M. & Khan, A. N. 2009. Problems and
barriers of pain management in the emergency
department : Are we ever going to get better?
Journal of Pain Research, 2, 5-11.
25. Osorio, L., Lima, E., Autorino, R. & Marcelo, F.
2008. Emergency management of ureteral
stones : Recent advances. Indian Journal of
Urology, 24, 461-466.
26. Salameh, S., Hiller, N., Antopolsky, M., Ghanem,
F., Abramovitz, Y. & Stalnikowics, R. 2011.
Diclofenac versus Tramadol in the Treatment of
Renal Colic: A Prospective,Randomized Trial. The
Open Emergency Medicine Journal, 4, 9-13.
27. Scheller, J., Chalaris, A., Schmidt-Arras, D. &
Rose-John, S. 2011. The pro- and anti-
inflammatory properties of the cytokine
interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta
1813, 878-888.
28. Singer, A. J., Garra, G., Chohan, J. K., Dalmedo, C.
& Thode, H. C. 2008. Triage Pain scores and the
Desire for Use of Analgesics. the American
Journal of Emergency Physicians, 52 (6), 689-
695.
29. Solimun 2001.Universitas Brawijaya, Diklat
Metodologi Penelitian IKIP & PKM Kelompok
Agrokompleks.
30. Stewart, A. & Joyce, A. 2008. Modern
management of renal colic. Trends in Urology
Gynaecology & Sexual Health [Online],
May/June. Available: www.tugsh.com.
31. Teo, M. & Soo, K.-C. 2004. Management of the
Acute Abdomen. In: H.N Chih, & L. L Ooi, (eds.)
Acute Surgical Management. Singapore: World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
32. Todd, K. H., Ducharme, J., Choiniere, M.,
Crandall, C. S., Fosnocht, D. E., Homel, P. &
Tanabe, P. 2007. Pain in the Emergency
Department : Result of the Pain and Emergency
Medicine Initiative (PEMI) Multicenter Study The
Journal of Pain, 6, 460-466.
249
250
PERBANDINGAN KADAR 17β-ESTRADIOL SERUM PADA PASIEN WANITA MELASMA DAN NON MELASMA
DI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
Rizki Amalia Rangkuti, Taufiq Hidayat, Herwinda Brahmanti
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, FKUB-RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Latar Belakang : Melasma merupakan kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermis akibat
peningkatan produksi melanin tanpa disertai perubahan jumlah melanosit. Patogenesis melasma masih
belum jelas, namun pengaruh genetik dan hormonal yang dikombinasikan dengan paparan radiasi
ultraviolet merupakan hal penting pada melasma. Data penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan
kontradiksi perbandingan kadar 17β-estradiol pada pasien melasma dibanding non melasma. Sejauh
penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia sangat terbatas,
khususnya di Malang. Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan kadar 17β-estradiol serum pada pasien
wanita melasma dan non melasma. Metode: Desain penelitian adalah analitik observasional potong
lintang. Subyek dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok melasma dan non melasma, masing-masing
kelompok terdiri dari 20 subyek wanita. Analisis data menggunakan uji komparasi independent sample t
test. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel independen terhadap variabel dependen dari skala
data kategorik dilakukan uji Chi-Square dengan alternatif uji Fisher’s Exact. Hasil: Dari 20 subyek penelitian
pada kelompok melasma didapatkan kadar 17β- estradiol serum terendah 16,27 pg/mL dan kadar 17β-
estradiol tertinggi 50,91 pg/mL, sedangkan kadar 17β- estradiol terendah pada kelompok non melasma
sebesar 5 pg/mL dan kadar 17β- estradiol tertinggi sebesar 26,84 pg/mL. Kesimpulan: Kadar 17-β estradiol
pada pasien melasma lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan pasien non melasma.
Kata kunci : Melasma, 17β-estradiol serum, hormon
COMPARISON OF 17β-ESTRADIOL SERUM CONSENTRATION ON WOMEN PATIENTS WITH MELASMA AND
NON MELASMA IN DR. SAIFUL ANWAR MALANG
ABSTRACT
Introduction : Melasma is a common pigmentary disorder of epidermal hypermelanosis caused by increase
production of melanin without any changes in the amount of melanocytes. The pathogenesis of melasma
itself is remains unclear, however genetic and hormonal effects in combination with exposures to
ultraviolet (UV) radiation are important part in melasma. Previous research data suggest a contradiction in
the ratio of 17β-estradiol in melasma patients compared with non-melasma. As far as searches conducted
by the researchers, the limited similar studies conducted in Indonesia, especially in Malang. Objective: To
determine the ratio of serum 17β-estradiol levels in melasma and non-melasma female patients. Methods:
The study design was analytic observational cross sectional. The subjects were grouped into 2 groups
namely melasma and non melasma, each group consisted of 20 female subjects. Data analysis using
comparative test independent sample t test. To know is there any correlation between independent and
dependent variable of the categorical data scale used Chi-square test with Fisher’s Exact alternative test.
Results: Twenty subjects in melasma group, had the lowest serum 17β- estradiol level as much as
16.27 pg/mL and the highest 17β-estradiol level was 50.91 pg/mL, while the lowest levels of 17β-
estradiol in non-melasma group was 5 pg/mL and the highest 17β- estradiol level was 26.84
pg/mL. Conclusion: Levels of 17β-estradiol in female patients with melasma were significantly
higher than non-melasma patients
Keywords : Melasma, 17β-estradiol serum, hormone
Laporan Penelitian
Korespondensi:
dr. Rizki Amalia Rangkuti
Email : [email protected]
Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017
251
PENDAHULUAN
Melasma merupakan kelainan
hipermelanosis umum yang biasa didapati pada
permukaan kulit wajah yang terpapar sinar
matahari. Perubahan warna kecoklatan pada
daerah-daerah tersebut merupakan masalah
estetika dan kosmetika bagi para penderitanya.1
Beberapa penelitian menyatakan melasma dapat
memberikan efek negatif yang signifikan terhadap
kualitas hidup penderitanya (terutama wanita),
antara lain frustasi, malu dan depresi akibat
melasma yang diderita.2,3,4
Rigopoulos et al.
menyatakan bahwa sekitar 90% sebaran melasma
adalah pada wanita usia produktif yang sering
terpapar oleh sinar matahari; 10% sisanya dialami
oleh pria.5
Etiologi dan patogenesis melasma sampai
saat ini belum diketahui secara pasti, namun
pengaruh genetik dan hormonal yang
dikombinasikan dengan radiasi ultraviolet
merupakan hal penting pada melasma.1 Beberapa
teori mengidentikan melasma dengan faktor resiko
seperti ras, paparan sinar ultraviolet, faktor genetik,
kehamilan, dan kontrasepsi hormonal.6 Beberapa
penelitian mengenai patogenesis melasma telah
tersedia, tetapi di Indonesia jumlahnya masih
sangat terbatas.7
Fakta bahwa melasma lebih sering dialami
oleh wanita, terutama yang hamil atau
mengonsumsi pil kontrasepsi hormonal
mengindikasikan adanya hubungan langsung antara
estrogen dengan timbulnya melasma.8,9
Lebih
lanjut, regulasi ekspresi reseptor estrogen terbukti
mengalami peningkatan pada lesi melasma.10,11,12
Sayangnya, masih terdapat perdebatan apakah 17ß-
estradiol, estriol, atau estrone yang paling
berpengaruh dalam patofisiologi melasma.
Data penelitian-penelitian sebelumnya
menyatakan terdapat penurunan kadar 17β-
estradiol pada pasien melasma dibanding non
melasma, namun beberapa penelitian menyatakan
kadar 17β-estradiol meningkat pada pasien
melasma dibanding non melasma, dimana sebagian
dari penelitian tersebut menyatakan peningkatan
17β-estradiol tidak signifikan.11,12,15
Sejauh
penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, belum
ada penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia,
khususnya di Malang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui Perbandingan Kadar 17β-estradiol
Serum pada Pasien Wanita Melasma dan Non
Melasma di Rumah Sakit Umum Daerah dr Saiful
Anwar Malang
METODE
Rancangan penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah analitik observasional potong
lintang yang bertujuan untuk mengetahui
perbandingan kadar 17β-estradiol serum wanita
dengan melasma dan non melasma. Sampel
penelitian dalam penelitian ini adalah semua
populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin dan Poli Kosmetik Medik RSSA Malang.
Kriteria inklusi kelompok melasma meliputi:
subyek wanita, berusia 20 - 49 tahun, dengan
diagnosis melasma berdasar anamnesis dan
gambaran klinis, memiliki siklus menstruasi teratur,
indeks masa tubuh 18,5 - 24,9 serta bersedia
menjadi subyek penelitian serta menandatangani
informed consent. Kriteria inklusi kelompok non
252
melasma meliputi: subyek wanita, berusia 20 - 49
tahun, tanpa kelainan kulit, atau kelainan
hiperpigmentasi selain melasma, atau kelainan kulit
yang lain, memiliki siklus menstruasi teratur, indeks
masa tubuh 18,5 - 24,9 dan bersedia menjadi
subyek penelitian serta menandatangani informed
consent. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi
subyek yang sedang hamil atau menyusui,
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
mempengaruhi kadar 17β-estradiol (misal
antikonvulsan, obat-obatan fototoksik) selama 2
minggu terakhir, menggunakan kosmetik yang
dapat mempengaruhi munculnya melasma selama 1
minggu terakhir, serta subyek yang sedang dalam
terapi sulih hormon dengan estrogen dan
progesteron selama 1 bulan terakhir.
Pasien melasma dan non melasma yang
memenuhi kriteria penerimaan dibuatkan status
secara lengkap dan lembar pengumpul data.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, peneliti
melakukan dokumentasi. Penegakkan diagnosis
ditentukan oleh 2 orang pemeriksa pada hari yang
sama. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel
darah pada saat menstruasi hari pertama atau
maksimal sampai hari ke empat menstruasi untuk
dilakukan pemeriksaan kadar 17β-estradiol serum
dengan metode ELISA.
Analisis data penelitian dilakukan dengan
menggunakan uji komparasi independent sample t
test dengan alternatif uji Mann-Whitney. Uji Chi-
Square digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan variabel independen terhadap variabel
dependen dari data dengan skala data kategorik
(skala nominal dan/atau ordinal) dengan uji Fisher’s
Exact sebagai uji alternatif. Perbedaan hasil
berbagai pengukuran diuji dengan tingkat
kemaknaan p<0,05 dan interval kepercayaan 95%.
HASIL
Telah dilakukan penelitian pada 40 subyek
penelitian melasma dan non melasma. Pengambilan
data subyek penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit
dan Kelamin dan Poliklinik Kosmetik Medik RSUD.
dr. Saiful Anwar Malang mulai bulan Januari 2017
hingga April 2017. Pasien melasma dan non
melasma yang memenuhi kriteria penerimaan dan
setuju mengikuti penelitian dijadikan sebagai
subyek penelitian. Masing-masing subyek penelitian
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dokumentasi, serta pemeriksaan kadar 17β-
estradiol serum pada hari pertama atau maksimal
hari ke empat menstruasi. Data-data yang tersedia
kemudian dilakukan analisis statistik.
1. Hasil Uji Normalitas Data
Dalam penelitian ini hasil analisis data pada
uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji
Shapiro-Wilk (Tabel 1). Data umur pasien, usia
menarche, serta kadar kadar 17β-estrogen pada
pasien melasma dan non melasma menunjukkan
terdistribusi normal. Oleh karena dari ketiga
variabel tersebut pada masing-masing kelompok
pengamatan telah menunjukkan nilai p-value yang
semuanya lebih besar dari taraf signifikansi ∝ =
0.05. Jadi semua data telah memenuhi uji prasyarat
parametrik. Sehingga ketiga variabel tersebut lebih
lanjut digunakan uji t sampel bebas (independent
sample t test).
253
Tabel 1. Hasil uji normalitas data
Kelompok pengamatan p-value
distribusi melasma Non melasma
Umur 0.231 0.100 normal
Usia menarche 0.222 0.212 normal
Kadar 17β-estradiol 0.431 0.120 normal
Keterangan: Jika p-value < 0.05 berarti data tidak terdistribusi normal dan jika p-value ≥ 0.05 berarti data terdistribusi
normal.
2. Karakteristik Sampel
Pada penelitian ini sampel yang peroleh
sebanyak 20 orang pasien yang didiagnosis
melasma dan 20 orang pasien yang didiagnosis non
melasma. Adapun data yang sudah terkumpulkan
dianalisis dengan menggunakan uji t sampel bebas
(independent sample t test) untuk data umur
(tahun) dan usia menarche (tahun) karena data
berskala rasio dan terbukti terdistribusi normal dan
uji Chi-Square untuk data berskala kategorik
(nominal dan ordinal), dijelaskan pada tabel-tabel di
bawah ini (Tabel 2, 3 )
Tabel 2. Sebaran data umur dan usia menarche
Variabel Kel. Kasus
(n=20)
Kel. Kontrol
(n=20) p-value
Umur
(tahun) 41.95±4.56 27.90±4.22 0.000
usia
menarche
(tahun)
14.10±1.25 13.15±1.90 0.070
Keterangan: Jika p-value ≤ 0.05 berarti ada perbedaan
yang bermakna dan jika p-value > 0.05 berarti tidak ada
perbedaan yang bermakna
Pada kelompok melasma umur pasien
tersebar antara 37 tahun sampai 47 tahun dan pada
kelompok non melasma umur pasien tersebar
antara 23 tahun sampai 33 tahun. Tampak dari
interval nilai kedua sebaran umur pasien sama
sekali tidak beririsan sehingga kedua kelompok
pengamatan tersebut dapat dikatakan umurnya
sangat berbeda bermakna, sehingga kedua
kelompok sampel pengamatan tidak homogen
dalam hal umur. Umur pasien kelompok melasma
cenderung sekitar 42 tahun dan kelompok non
melasma cenderung sekitar 28 tahun.
Sebaran usia menarche pasien
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
(p=0.070) antara kelompok melasma dengan
kelompok non melasma. Jadi kedua kelompok
sampel pengamatan terbukti homogen dalam hal
usia menarche.
254
Tabel 3. Hasil Karakteristik Sampel Pasien
V a r i a b e l
Kejadian melasma
p-value melasma Frekuensi
(%)
non melasma
Frekuensi (%)
Riwayat keluarga: 0.000
− Ada riwayat 15 (75%) 1 (5%)
− Tidak ada 5 (25%) 19 (95%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Riwayat terapi hormon: -
− tidak ada riwayat 20 (100%) 20 (100%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Riwayat KB hormonal: 0.000
− ada 13 (65%) 0 (0%)
− tidak ada 7 (35%) 20 (100%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Siklus mens teratur: -
− teratur 20 (100%) 20 (100%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Riwayat keganasan: -
− tidak ada 20 (100%) 20 (100%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Riwayat penyakit sistemik: -
− tidak ada 20 (100%) 20 (100%)
Total : 20 (50%) 20 (50) = 40 (100%)
Kelainan kulit lain: 0.235
− Ya (akne vulgaris) 2 (10%) 6 (30%)
− tidak 18 (90%) 14 (70%)
Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)
Keterangan: Jika p-value ≤ 0.05 berarti ada pengaruh yang bermakna dan jika p-value > 0.05 berarti tidak ada
pengaruh yang bermakna
Tampak hasil pada Tabel 3 menjelaskan
bahwa riwayat keluarga ada pengaruh yang
bermakna terhadap kejadian melasma (p=0.000).
Sebaran data pada riwayat terapi hormon semua
pasien menunjukkan tidak ada riwayat terapi
hormon. Jadi dapat dikatakan bahwa riwayat terapi
hormon tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian
melasma. Sedangkan pada riwayat KB hormonal
menunjukkan ada pengaruh yang bermakna
terhadap kejadian melasma (p=0.020). Pada siklus
mens teratur semua pasien menunjukkan teratur
mens baik pada kelompok melasma maupun
kelompok non melasma. Jadi dapat dikatakan
bahwa siklus mens teratur tidak ada pengaruhnya
terhadap kejadian melasma, demikian pula dengan
riwayat keganasan, serta kelainan kulit.
3. Hasil Uji Perbandingan
Pada hasil uji perbandingan kelompok
melasma dan kelompok non melasma pada data
kadar 17β-estradiol (pg/mL) dengan menggunakan
uji t sampel bebas (independent sample t test)
dijelaskan dan ditunjukkan secara ringkas seperti
tampak tabel di bawah ini.
255
Tabel 4. Hasil perbandingan kadar 17β-estradiol
(pg/mL)
Variabel
Kel. Kasus
(melasma)
Rerata ±
stan.dev
Kel. Kontrol
(non melasma)
Rerata ±
stan.dev
p-value
kadar
17β-
estradiol
35.11±10.48 14.90±6.12 0.000<
∝
Keterangan: Jika p-value < ∝=0.05 berarti ada
perbedaan yang bermakna dan jika p-value ≥ 0.05
berarti tidak ada perbedaan yang bermakna.
Pada Tabel 5.4 berdasarkan hasil uji t
sampel bebas (independent sample t test)
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
bermakna (p=0.000) rerata kadar 17β-estradiol
antara kelompok melasma (35.11±10.48 pg/mL)
dengan kelompok non melasma (14.90±6.12
pg/mL). Berdasarkan nilai reratanya kadar 17β-
estradiol tampak pada kelompok non melasma jauh
lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan rerata
kadar 17β-estradiol pada kelompok melasma. Hal
ini berarti bahwa pada pasien dengan melasma
menunjukkan nilai kadar 17β-estradiol yang tinggi
bila dibandingkan dengan pasien yang tidak
melasma. Jadi hipotesis penelitian terbukti, yaitu
kadar serum 17β-estradiol pada pasien wanita
melasma lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
wanita non melasma.
DISKUSI
Melasma merupakan kelainan
hipermelanosis dengan patogenesis yang masih
belum jelas, namun pengaruh genetik dan
hormonal yang dikombinasikan dengan paparan
radiasi ultraviolet (UV) merupakan hal penting pada
melasma. Rigopoulos et al. menyatakan bahwa
sekitar 90% melasma dialami oleh wanita usia
produktif yang sering terpapar oleh sinar matahari,
terutama wanita yang sedang hamil atau
mengonsumsi pil kontrasepsi hormonal, dimana hal
ini mengindikasikan adanya hubungan langsung
antara estrogen dengan timbulnya melasma. 5,8,9
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan kadar 17β-estradiol serum wanita
pada kelompok pasien melasma dan non melasma
yang dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin dan
Poliklinik Kosmetik Medik RSUD. Dr.Saiful Anwar
Malang dengan menggunakan desain penelitian
potong lintang.
Terkumpul sebanyak 40 subjek penelitian
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi
penelitian. Dengan pasien pada kelompok melasma
20 orang dan pasien kelompok non melasma
sebanyak 20 orang (1:1). Dari hasil seleksi inklusi
dan ekslusi diperoleh bahwa semua subjek
penelitian adalah wanita dengan rentang usia 20
sampai dengan 49 tahun, baik subjek penelitian
melasma maupun non melasma mempunyai siklus
mentruasi teratur, serta IMT yang normal yaitu
antara 18,5 – 24,9. Hal ini perlu ditentukan untuk
meminimalisir terjadinya hasil pengukuran dan
pengamatan terhadap kedua kelompok subjek
penelitian yang tidak valid terutama terhadap
penentuan kadar estradiol yang merupakan
prediktor utama yang ingin ditelaah dalam
penelitian ini. Kriteria inklusi dan ekslusi penelitian
sudah terpenuhi, terlihat dengan hasil distribusi
subjek penelitian 100 % adalah pasien dengan
kondisi tidak sedang hamil atau menyusui dan 100%
subjek penelitian mempunyai riwayat menstruasi
yang teratur. Penentuan subjek penelitian semua
wanita adalah didasarkan atas referensi penelitian
penelitian sebelumnya, bahwa kejadian melasma
lebih banyak terjadi pada wanita.13,14,15
256
Pada karakteristik dasar subyek penelitian
semua variabel dengan jenis data numerik yaitu
umur, usia menarche dan kadar 17β-estradiol
dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro-
Wilks, diperoleh hasil bahwa semua variabel
tersebut mempunyai data yang terdistribusi normal,
dengan nilai p Shapiro-Wilks lebih dari 0,05.
Berdasarkan hal tersebut peneliti kemudian
melanjutkan analisis menggunakan uji t sampel
bebas (independent sample t test).
Hasil analisis yang tertera pada tabel 2
menyatakan terdapat perbedaan rata – rata umur
subjek penelitian pada kelompok pasien melasma
dibandingkan dengan pasien non melasma, dimana
diperoleh hasil bahwa pasien melasma mempunyai
rata – rata umur yang lebih tua dibandingkan
kelompok subjek penelitian non melasma (p <
0,0001). Hal ini menunjukan bahwa kejadian
melasma pada penelitian ini terjadi pada wanita
yang berusia lebih tua.
Pada hasil analisis terhadap usia menarche,
terlihat pada tabel 2 bahwa tidak terdapat
perbedaan rata – rata usia menarche antara
kelompok subjek melasma dengan subjek non
melasma (p=0,070). Usia menarche pada penelitian
ini tidak berhubungan terhadap kejadian melasma,
baik pada kelompok yang melasma maupun non
melasma mempunyai rata – rata usia menarche
yang sama besar.
Adanya riwayat melasma dalam keluarga
yang tampak pada hasil Tabel 3 menjelaskan bahwa
riwayat keluarga ada pengaruh yang bermakna
terhadap kejadian melasma (p< 0.0001). Dengan
kata lain adanya riwayat melasma dalam keluarga
akan memicu terjadinya melasma pada seseorang.
Demikian pula sebaliknya, tidak adanya riwayat
melasma dalam keluarga maka kecil kemungkinan
terjadinya melasma pada seseorang.
Sebaran data pada riwayat terapi hormon
semua pasien menunjukkan tidak ada riwayat terapi
hormon. Pada siklus menstruasi semua pasien
menunjukkan siklus menstruasi yang teratur baik
pada kelompok melasma maupun kelompok non
melasma. Demikian pula riwayat keganasan dan
riwayat penyakit sistemik menunjukkan semua
pasien tidak ada riwayat keganasan maupun
penyakit sistemik baik pada kelompok melasma
maupun kelompok non melasma.
Riwayat penggunaan KB hormonal
menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna
terhadap kejadian melasma (p=0.020). Seseorang
yang memiliki riwayat menggunakan KB hormonal
memungkinkan munculnya kejadian melasma,
sebaliknya bila seseorang tidak memiliki riwayat
menggunakan KB hormonal maka kemungkinan
kecil muncul kejadian melasma. Progesteron
merupakan hal yang cukup penting, yang biasanya
mendorong terjadinya melasma pada usia wanita
pada masa menopause. Estrogen akan menstimulasi
proses melanogenesis, dimana estrogen dalam
proses ini bertindak sebagai reseptor pembentukan
melanosit yang mempunyai peran penting terhadap
terjadinya pigmentasi pada bagian tubuh, sehingga
jika berlebihan akan menimbulkan kejadian
melasma. Kejadian ketidakseimbangan hormon
pada kondisi disfungsi ovarium banyak dilaporkan
salah satunya menyebabkan terjadinya melasma.9
Selain itu, produksi endogenesis selama
kehamilan atau setelah melahirkan dan ketika
menggunakan alat kontrasepsi pil menimbulkan
stimulasi berlebih terhadap estrogen dan
257
progesteron yang mengakibatkan terjadinya
melasma.
Gambaran riwayat kelainan kulit lainnya
terhadap kejadian melasma seperti terlhat pada
Tabel 3 menjelaskan bahwa kelainan kulit lain tidak
ada pengaruh yang bermakna terhadap kejadian
melasma (p=0.235).
Perbandingan kadar 17β-estradiol terhadap
kejadian melasma berdasarkan hasil uji t sampel
bebas (independent sample t test) menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
(p=0.000) rerata kadar 17β-estradiol antara
kelompok melasma ([35.11±10.48]):([14.90±6.12])
pg/mL. Hal ini berarti bahwa pada pasien dengan
melasma menunjukkan nilai kadar 17β-estradiol
yang tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang
tidak melasma. Jadi hipotesis penelitian terbukti,
yaitu kadar serum 17β-estradiol pada pasien wanita
melasma lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
wanita non melasma.
Pada penelitian ini, terdapat rata – rata
kadar estradiol sebesar 56,9 ± 77,6 pada kelompok
non melasma dan 72,4 ± 29,2 pada kelompok
melasma. Penelitian yang dilakukan oleh Andi
Miranti et al menyatakan bahwa estradiol
meningkat lebih tinggi pada wanita melasma
dibandingkan dengan wanita non melasma (
13811,7 vs 12820,5), walaupun hasil ini tidak
bermakna secara statistik.11
Perubahan hormonal
pada wanita meningkat secara simultan oleh
meningkatnya estradiol. Melasma terjadi karena
adanya stimulasi yang berlebih dari sel melanosit
yang dipicu oleh meningkatnya hormon estrogen
dan progesteron. Peningkatan kedua hormon
tersebut memicu terjadinya produksi berlebih
pigmen melanin, dimana pada kondisi bagian tubuh
tersebut terkena paparan matahari dan ultraviolet,
memicu peningkatan pigmen melanin dan
menimbulkan bercak kecoklatan dan kehitaman
pada daerah tertentu yang terpapar sinar matahari
tersebut. Penelitian secara invitro, banyak
menyatakan bahwa melanosit merupakan reseptor
yang dapat meningkatkan estrogen, dengan
meningkatnya estrogen diiringi meningkatnya
estradiol yang menyebabkan meningkat pula pada
kadar tirosinase dan tyrosinase-related-protein1
serta tyrosinase-related-protein 2 yang merupakan
enzim yang terlibat dalam proses melanogenesis.9,11
Dijelaskan bahwa melagonesis merupakan
proses yang cukup berperan dalam penempelan
melanosit yang menstimulasi hormon melanocortin
reseptor 1 (MC-1R) dengan meningkatnya estradiol,
sehingga menentukan pigmentasi pada kulit, dan
pada beberapa kondisi kelainan pigmentasi
menyebabkan terjadinya melasma.10
Pigmentasi melasma merupakan kejadian
akibat meningkatnya produksi melanin atau
meningkatnya proliferasi dari melanosit aktif.
Meningkatnya produksi melanin menjadi pemicu
untuk terjadinya melasma.9
Jasuja et al. menyatakan bahwa kadar
estradiol meningkat seiring dengan meningkatnya
usia. Usia 30 – 39 thn mempunyai rata – rata kadar
estradiol sebesar 25,1 ± 7,4, sedangkan subjek
penelitian yang berusia > 60 thn mempunyai rata –
rata 27,1 ± 9,0. Meningkatnya kadar FSH seiring
dengan bertambahnya usia, juga mempengaruhi
peningkatan kadar estrogen.16
Ringkasan berdasarkan hasil analisis
menjelaskan bahwa munculnya melasma
ditunjukkan dengan kadar 17β-estradiol yang tinggi.
Selain itu diduga pula ada faktor yang
258
mempengaruhi terjadinya melasma, yaitu umur
pasien. Semakin tua umur seseorang maka resiko
munculnya melasma akan semakin besar. Demikian
pula penggunaan KB hormonal yang juga diduga
turut memicu munculnya melasma.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kadar
17-β estradiol pada pasien melasma lebih tinggi
secara bermakna dibanding dengan pasien non
melasma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lapeere Hilde. Boone Barbara. Schepper Sofie
De, Verhaeghe Evelien, Gele Mireille Van,
Ongenae Katia, Geel Nanja Van, Lambert Jo,
Brochez Lieve. 2012. Hypomelanoses and
hypermelanoses, in Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K (eds)
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
8th
edition. McGraw-Hill. 14: 819
2. Yalamanchili Ravali, Shastry Veeranna,
Betkerur Jayadev. 2015. Clinico-
epidemiological study and quality of life
assessment in melasma. Indian J Dermatol,
60(5): 1-13.
3. Safizade Hossein, Meymandi-Shamsi Simin,
Hashemi-Bani Yalda. 2010. Quality of life in
women with melasma. Dermatology and
cosmetic, 1(4) : 179-86.
4. Ali Raafia, Aman Shahbaz, Nadeem
Muhammad, Kazmi Hasnain Atif. 2013. Quality
of life in patients of melasma. JPAD, 23(2): 143-
8.
5. Rigopoulos D, Gregoriou, Katsambas. 2007.
Hyperpigmentation and melasma. J Cosmet
Dermatol, 6(3): 195-202.
6. Kang, H.Y. and Ortonne, J.-P. 2010. What
should be considered in treatment of melasma.
Ann Dermatol, 22(4): 373-8
7. Udiani, A.A. 2012. Hubungan Penggunan
Kontrasepsi Oral Dengan Kejadian Melasma Di
Desa Ngebrak Kecamatan Gentan. thesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
8. Handel AC, Lima PB, Tonolli VM, Miot LD, Miot
HA. 2014a. Risk factors for facial melasma in
women: a case–control study. Br. J. Dermatol,
171(3): 588-94
9. Varma K, Kumare Kiran, Sharma Harsh, Sharma
Megha. 2015. A role of estrogen in
etiopathogenesis of melasma in female
patients- a prospective observational study in a
tertiary care hospital. IJCED, 1(1): 21-24
10. Kim NH, Cheong KA, Lee TR, Lee AY. 2012.
PDZK1 upregulation in estrogen-related
hyperpigmentation in melasma. J. Invest
Dermatol, 132(11): 2622-31
11. Miranti Andi, Anwar Irawan Anis, Djawad
Khairuddin, Patellongi Ilhamjaya, Wahab
Siswanto, Abdullah Nasratuddin. 2016. Analysis
Level of Serum Estradiol Hormone of Pregnant
Women with Melasma. AJCEM, 4(2): 26-9
12. Gopichandani Kiran, Arora Pooja, Garga
Umesh, Minakshi Bhardwaj, Sharma Neera,
Gautam Krishan Ram. 2015. Hormonal profile
of melasma in Indian females. Pigment Int, 2:
85-90
13. Monteiro Rochelle C, Kishore B Nanda, Bhat
Ramesh M, Sukumar D, Martis Jacintha,
Ganesh H Kamath. 2013. A comparative study
of the efficacy of 4% hydroquinone vs 0,75%
kojic acid cream in the treatment of facial
melasma. IJD, 58(2): 157
259
14. KrupaShankar Devasthanam Sundara Rao,
Somani Kumar Vijay, Kohli Malvika, Sharad
Jaishree, Ganjoo Anil, Kandhari Sanjiv, Mysore
Venkat Ram, et al. 2014. A cross-sectional,
Multicentric Clinico-Epidemiological Study of
Melasma in India. Dermatol Ther, 4: 71-81
15. Ali Sharique, Bali Suraj, Sharma R.P. 2015.
Hormonal evaluation in females having
melasma. JEMDS, 4(76): 13240-7
16. Jasuja Guneet Kaur, Travison Thomas G, Davda
Maithili, Murabito Joanne M, Basaria Shehzad,
Zhang Anqi, Kushnir Mark M. 2012. Age Trends
in Estradiol and Estrone Levels Measured Using
Liquid Chromatography Tandem Mass
Spectrometry in Community-Dwelling Men of
the Framingham Heart Study. J Gerontol A Biol
Sci Med Sci, 216: 1-8.
260
PERAN KURKUMIN TERHADAP PENURUNAN KADAR IL-17 SERUM, EKSPRESI IL-17 JARINGAN HATI DAN
DERAJAT FIBROSIS HATI PADA TIKUS MODEL FIBROSIS
Bogi Pratomo, Nor Hedayanti, Supriono
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Latar belakang : Injury hati yang disebabkan oleh virus, alkohol, zat toksik ataupun autoimun merupakan
suatu respons inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis maupun sirosis hati dikemudian hari. IL-17
merupakan salah satu sitokin yang secara langsung menginduksi produksi kolagen tipe I pada HSC (Hepatic
Stellate Cell) sehingga terjadi degenerasi matriks ekstraseluler, proliferative HSC yang menyebabkan
terjadinya fibrosis hati. Kurkumin diduga dapat menurunkan kadar IL-17 sehingga dapat digunakan sebagai
agen antifibrosis pada hati. Tujuan: Untuk mengetahui peran kurkumin dalam terapi kuratif untuk
menurunkan kadar IL-17 serum, ekspresi jaringan hati sebagai salah satu respon inflamasi yang meningkat
pada fibrosis hati dan mengetahui hubungannya dengan perbaikan derajat fibrosis. Metode: Penelitian
eksperimental pada tikus jantan Rattus novergicus stain wistar completely randomized design yang diinjeksi
CCl4 selama 9 minggu untuk menjadi tikus fibrosis yang kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok :
kontrol positive ( tidak diberikan perlakuan), kelompok yang diberikan kurkumin 200,mg/kgbb/hari selama
5 minggu dan hanya diberikan pelarut kurkumin CMC Na 1%, kontrol negative (NaCl 0,9%) juga diamati
sebagai kontrol. Sebanyak 16 tikus dianalisa baik kadar IL-17 serum dengan ELISA, ekspresi IL-17 jaringan
hati dengan immunohistokimia dan derajat fibrosis hati yang dinilai dengan kriteria metavir (F0-F4). Hasil:
Terjadi peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus fibrosis pada kelompok kontrol negative dan kelompok
kontrol positif. Terjadi penurunan IL-17 serum pada kelompok yang diberi kurkumin (p=0,000), sedangkan
tidak didapatkan perubahan yang signifikan pada ekspresi IL-17 jaringan hati (p = 0,069) serta penurunan
derajat fibrosis dengan (p > 0,05). Ada korelasi yang kuat antara IL-17 serum & ekspresi IL-17 jaringan hati
(r = 0,758) dan tidak ada korelasi antara IL-17 serum dan ekspresi jaringan dengan derajat fibrosis.
Kesimpulan : Kurkumin menyebabkan penurunan kadar IL-17 serum setelah diterapi selama 5 minggu
secara signifikan, tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL1-7 jaringan hati dan derajat fibrosis.
Kata kunci : Kurkumin, IL-17 serum, ekspresi IL-17 jaringan hati, derajat fibrosis hati, tikus model fibrosis
ABSTRACT
ROLE OF CURCUMIN IN THE DECREASING OF IL-17 SERUM LEVELS, EXPRESSION OF IL-17 IN THE LIVER,
AND GRADING OF FIBROSIS IN THE RAT MODEL OF LIVER FIBROSIS
Background : Liver injury that was caused by virus, alcohol, toxic agents, or autoimmune was an
inflammatory response that caused fibrosis and liver cirrhosis in the future. IL-17 was a cytokine that could
induce production of type I collagen on hepatic stellate cell (HSC) and lead to extracellular matrix
degeneration and liver fibrosis. Curcumin was hypothetically could decrease IL-17 levels thus could be used
as an anti-fibrotic agent on liver. Aims : To know the rule of curcumin as a therapeutic agent that could
decrease IL-17 serum and expression on liver as one kind of inflammatory responses that increased in the
liver fibrosis and to know the correlation with the improvement of fibrosis. Methods : Experimental design
on male Rattus covergicus rats strain Wistar with completely randomized design that injected with CCl4 for
9 weeks to induce fibrosis. Then, they were divided into several groups: positive control (no treatment),
given curcumin 200 mg/kgbw/day for 5 weeks, and only curcumin solution with CMC Na 1%. Control
negative (NaCl 0.9%) group was also used as a control. Sixteen rats were analyzed for serum IL-17 with
ELISA, expression of IL-17 on liver with immunohistochemical, and grading for liver fibrosis with metavir
criteria (F0-F4). Results : There was an increase of IL-17 serum in the control positive compared to negative
control, IL-17 serum was decreased in the group given curcumin with p value p=0.000. From expression of
IL-17 from the liver, there was no significantly different comparison between group (p=0.069) and there
was no decreasing of the grading of liver fibrosis (p>0.05). There was a strong correlation between IL-17
Laporan Penelitian
261
serum and IL-17 expression in the liver with r=0.758 but there was no correlation between IL-17 serum and
expression in the liver with grading of fibrosis. Conclusion : Curcumin could decrease IL-17 serum after
treated for 5 weeks significantly, however there was no difference in the expression of IL-17 in the liver and
grading of fibrosis.
Keywords : curcumin, IL-17 serum, expression of IL-17 in the liver, grading of fibrosis, the rat model of liver
fibrosis.
Korespondensi:
dr. Bogi Pratomo, SpPD-KGEH
Email: [email protected]
Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017
262
PENDAHULUAN
Fibrosis hati dahulu dianggap sebagai
sebuah proses yang irreversibel karena kolapsnya
parenkim hati dan adanya jaringan yang kaya akan
kolagen.1 Sejak tahun 1970an pada sebuah laporan
klinis menunjukkan bahwa fibrosis hati berpotensi
reversible. Sejak diketahui bahwa fibrosis
merupakan problem utama yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati kronis,
penentuan derajat fibrosis sangat diperlukan untuk
memberikan pengobatan yang dini dan secara
tepat. 2. Standar baku yang digunakan untuk
menentukan derajat fibrosis adalah dengan biopsy
hati untuk melihat adanya microinflamasi serta
menilai staging menggunakan metavir (F0-F4).3
Inflamasi merupakan sesuatu yang penting
dan bersifat kompleks dalam perkembangan dari
fibrosis hati, dalam proses injuri hati terjadi
akumulasi dari perekrutan sel-sel inflamasi ke
jaringan hati yang mengalami injuri. Sel dari innate
immune respons termasuk trombosit, neutrofil,
makrofag, cell mast dan natural killer (NK) cells, dan
yang berasal dari respon imun adaptif seperti sel B
dan sel T yang berpartisipasi dalam proses
fibrogenesis hati.6
Hepatic Stellate Cells (HSC) yang
teraktivasi, fibroblast portal, dan miofibroblas yang
berasal dari sumsum tulang merupakan sel-sel
penghasil kolagen terbesar pada injury hati. IL-17
secara langsung meginduksi produksi kolagen tipe I
pada HSC melalui aktivasi dari Stat3 signaling
pathway.7
Perbaikan substansial dalam pengobatan
penyakit hati kronis telah dipercepat dengan
mengungkap mekanisme yang mendasari fibrosis
hati dan resolusi sel hati. Kurkumin salah satu
bahan bahan natural dapat berperan sebagai
antioksidan yang bekerja sebagai hepatoprotektif
salah satunya yang merupakan pigmen berwarna
kuning yang terkandung di dalam kunyit yang
merupakan family dari Curcuma Longa Lnn.12
Sebagai antioksidan dan anti inflamasi kurkumin
diindikasikan untuk pengobatan yang potensial
untuk fibrosis hati dari berbagai jalur sinyal, dimana
kurkumin menurunkan ekspresi dari mediator
proinflamasi. Kurkumin juga mengurangi kerusakan
fibrosis hati akibat CCL4 melalui penghambatan
jalur TGF-β1/SMAD dan ekspresi CTGF selain itu
penurunan agiogenesis sinusoid dan kapilarisasi
melalui aktivitas PPAR dalam hal mencegah fibrosis
hati dan fungsi kurkumin lainnya juga merangsang
aktivitas peroksisom proliferator-activated receptor
Gamma (PPARγ) di dalam activated HSC yang
diperlukan untuk mengurangi proliferasi sel,
induced apoptosis dan menekan ECM. 14
METODOLOGI
Penelitian ekspreimental dilakukan selama
6 bulan, pada tikus jantan Rattus covergicus stain
wistar dengan BB 150-250gr dengan metode
completely randomized design, terbagi 4 kelompok
yaitu kontrol (positif dan negative), pemberian
pelarut kurkumin selama 5 minggu (KK5) serta yang
diberi pelarut kurkumin (KK5). Kelompok kontrol
diberikan injeksi NaCl 0,9%, sedangkan kelompok
perlakuan diberi CCL4 selama 9 minggu untuk
mencapai derajat fibrosis F3. Kelompok KP (CCl4
saja ) tidak dilakukan pemberian terapi. Sedangkan
untuk KK5 diberi pelarut kurkumin berupa CMC Na
1%. Kelompok perlakuan kurkumin KP5 diberikan
kurkumin MERCK-Schuchardt kemurnian 94%.
sebanyak 200mg/kgbb/hari selama 5 minggu.
263
Penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Universitas Brawijaya. Pemeriksaan IL-serum
dilakukan dengan metode ELISA, sedangkan
pemeriksaan ekspresi IL-17 jaringan hati
menggunakan immunohistokimia dengan antibody
dari IL-17 rat baik primer dan sekunder. Pewarnaan
slide patologi Anatomi dengan HE (hematoxylin
eosin).
Analisa ANOVA digunakan pada
perhitungan IL-17 serun dan jaringan sedangkan
derajat fibrosis dengan analisa Kruskal Wallis,
dengan nilai α: 95%. Untuk mencari hubungan
ketinganya menggunakan korelasi Spearman.
Analisis dengan bantuan SPSS 16.0
HASIL
Setelah paparan CCL4 selama 9 minggu,
diharapkan terjadi fibrosis F3 (septal fibrosis),
dimana terjadi peningkatan kadar IL-17 serum,
ekspresi IL-17 jaringan dan perubahan derajat hati.
kemudian kelompok KK5 dan KP5 dilakukan
pemberian kurkumin atau pelarut kurkumin
sebanyak 200mg/kgBB/hari selama 5 minggu
setelah itu tikus dikorbankan sesuai aturan yang
berlaku. Dari kelompok perlakuan didapatkan nilai
rata rata untuk masing masing kelompok sesuai
dengan tabel 1.
Table 1. Nilai Rata-rata setiap kelompok.
KN KP KK5 KP5
BB awal
(gr)
186.25+2
5.27
187.25+
16.21
178.75
+ 10.5
177.75
+ 14.38
BB akhir
(gr)
238.75+2
3.7
257.25+3
5.9
214.5
+ 31.1
219.25
+ 39.8
Kadar IL-
17 serum
(pg/ml)
168.13 +
15.39
238.75+
60.19
191.38
+17.99
139.25
+ 16.6
Ekspresi
IL-17 (%)
16,44 ±
2,65
30,92 ±
17,1
30,6 ±
6,13
18,03 ±
8,76
Derajat
fibrosis
0 3 2.5 2
Proses pengujian hipotesis pada variabel
kadar IL-17 serum dan ekspresi IL-17 hati dilakukan
dengan menggunakan ANOVA, sebelumnya
dilakukan normalitas dan homogenitas data, sesuai
dengan gambar 1 & 2.
Gambar 1. Histogram pada kelompok tanpa pemberian
kurkumin (resolusi spontan)
Gambar 2. Histogram pada kelompok pemberian
kurkumin
264
Gambar 3. Histogram perbandingan derajat fibrosis
Table 2. Perbandingan pada derajat fibrosis
Perlakuan Median p-value
KN 0.0 a
0.021 KP 3.0
b
KK5 2.5 b
KP5 2.0 b
Keterangan: Pada rata-rata ± sd jika memuat huruf yang
berbeda berarti ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05)
dan jika memuat huruf yang sama berarti tidak ada
perbedaan yang bermakna (p > 0.05)
Untuk mengetahui hubungan antara Kadar
IL-17 Serum dengan Ekspresi IL-17 hati dengan uji
Pearson sedangkan sengan derajat fibrosis dengan
uji korelasi Spearman.
Tabel 3. Korelasi antara IL-17 serum, ekspresi IL-17
jaringan dan fibrosis hati.
Hubungan
Koefisien
Korelasi p-value
Kadar IL-17 Serum
dengan Ekspresi IL-17
Hati 0.758 0.001
Kadar IL-17 Serum
dengan Derajat Fibrosis 0.365 0.164
Ekspresi IL-17 Hati
dengan Derajat Fibrosis 0.316 0.234
Gambar 4. Grafik Scatter Plot antara IL-17 serum dan IL-
17 jaringan hati
PEMBAHASAN
Peran IL-17 pada fibrosis hati
Dari hasil penelitian didapatkan
peningkatan kadar IL-17 serum dari 168.13 + 15.39
pg/ml menjadi 238.75 + 60.19 pg/ml (p =0,009).
CCl4 bersifat hepatotoksok, dengan
metabolisme dihati oleh sitokrom P-450 di
retikulum endoplasma hati menyebabkan ikatan
lipid peroksidase, nekrosis sel, endapan kolagen
pada hati. selain itu sel Kupffer diaktifkan oleh
radikal bebas dan menghasilkan mediator
proinflamasi, yang memicu kaskade inflamasi.
Adanya kadar IL-17 serum lebih tinggi ini
menunjukkan adanya respon inflamasi yang
meningkat.27
IL-17 adalah sitokin proinflamasi yang
disekresikan oleh subtipe dari limfosit T helper,
Th17. Fibrosis pada hati yang berasal dari berbagai
penyebab penyakit hati kronik antara lain hepatitis
B (HBV), Hepatitis C (HCV), penggunaan alkohol, dan
nonalcoholic fatty liver disease, zat toksik seperti
CCL4 dan lain sebagainya.2
Pada beberapa penelitian menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar IL-17 serum akibat
induksi virus hepatitis. Penelitian yang telah
0
10
20
30
40
50
60
0 100 200 300 400
Ek
spre
si I
L-1
7 H
ati
(%
)
Kadar IL-17 Serum (pg/ml)
r : 0.758
p=0,001
265
dilakukan oleh Wen-Jun Du dan kawan-kawan pada
tahun 2013 menyatakan bahwa kadar serum
protein IL-17 lebih tinggi pada kelompok yang
memiliki penyakit hati. Rata rata kadar protein IL-17
pada keempat grup yaitu hepatitis B kronik 38.9 ±
11.34 pg/ml, sirosis hepatis 63.9 ± 18.82 pg/ml,
primary hepatic carcinoma 46.8 ± 14.39 pg/ml dan
chronic liver failure 44.0 ± 3.78 pg/ml, dengan
perbandingan kelompok kontrol 28.2 ± 7.78 pg/ml.
dimana terjadi peningkatan IL-17 sebesar 37,9%
pada hepatitis B kronik, 56% pada chronic liver
failure dan 63% pada primary hepatic carcinoma
dan tertinggi pada pasien sirosis hepatis yaitu
sebesar 126%.8
Pada sebuah penelitian yag dilakukan oleh
Hasan et.al pada tahun 2014 tentang serum IL-17
pada penyakit hepatitis C kronis dan gejala yang
terjadi, dikatakan bahwa kadar IL-17 serum
signifikan meningkat pada pasien dengan hepatitis
C kronik dan lebih tinggi kadar IL-17 serum pada
pasien dengan sirosis hati.24
Penelitian lain pada tahun 2015 oleh Ayman
F Elsayed di Mesir tentang jalur IL17 didalam
perkembangan hepatocellular carcinoma pada
pasien dengan hepatitis C dan sirosis hepatis.
Didalam 81 subjek penelitian dibagi didalam tiga
group yaitu sirrosis hepatis karena hepatitis C tanpa
HCC, group kedua adalah sirrosis hepatis dengan
HCC dan yang ketiga adalah kelompok kontrol.
Dimana didapatkan kadar IL-17 yang meningkat di
kedua kelompok dengan infeksi hepatitis C dengan
p < 0,001, kadar IL-17 meningkat pada penyakit hati
yang bersifat progresif dan kronik, IL-17 berperan
didalam immunopatogenesis dari infeksi hepatitis C.
dengan nilai kontrol 79.81 ± 12.38, pada kelompok
hepatitis C tanpa HCC meningkat sebesar 197.15 ±
71.36 pg/ml dan lebih tinggi pakda kelompok HCC
akibat hepatitis C 296.96 ± 99.22 pg/ml.11
Dari hasil perhitungan terjadi peningkatan
ekspresi IL-17 jaringan hati pada kelompok KN dan
KP yaitu dari 16,44+ 2.65 � 30,92 + 17,1 dengan p
= 0,068. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan
untuk terjadinya perubahan ekspresi IL-17 setelah
dipapar CCl4 selama 9 minggu, walaupun secara
deskriptif terjadi peningkatan.
Ekspresi dari IL-17R (reseptor dari IL-17)
telah terdeteksi pada seluruh tipe sel di hati,
termasuk hepatosit, sel Kupffer, HSC, sel epithel
biliary, dan sel endothel sinusoidal. Aktivasi dari
reseptor ini dapat terjadi saat adanya injuri pada
hati dan akan memicu ekspresi dari berbagai sitokin
pro inflamasi ataupun kemokin kemokin pada sel
sel tersebut.25
Peran IL-17 dalam infeksi, pada infeksi
bakteri akibat Klebsiella Pneumonia dikatakan
bahwa tikus yang telah terinfeksi bakteri maka
resptor IL-17 telah berkurang sehingga produksi
kemokin menurun, rekuitment neutrofil berkurang
dan terjadi peningkatan jumlah bakteri dan
timbulnya kematian.38
Pada infeksi jamur
disebutkan IL-17AR pada tikus mengalami
penurunan resistensi secara sistemik akibat candida
albicans, yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
penurunan kelangsungan hidup pada tikut tesebut
yang berhubungan dengan penurunan mobilisasi
neutrofil dijaringan perifer.39
Sedangkan regulasi IL-
17 pada immunitas virus dan parasit. IL-17
terdeteksi pada kornea dari tikus akibat infeksi HSV-
1 dan terdapat IL-17R (reseptor) yang berkurang
sehingga terjadi penurunan infliftrasi neutrofil.40
Hal diatas sesuai dengan penelitian ini
dimana pada kerusakan reseptor IL-17, maka dapat
266
terjadi penurunan kadar neutrofil sehingga
kerusakan jaringan hati belum dapat terlihat, tanda
inflamasi belum muncul secara maksimal
ditunjukkan dengan limfosit yang terwarnai dengan
antibody juga tidak banyak sehingga IL-17 jaringan
tidak signifikan akibat induksi CCl4.
Sehingga dapat diambil kesimpulan apapun
etiologinya baik karena infeksi virus, zat toksik
seperti CCL4, alkohol atau metabolic disorder, IL-17
memiliki peran dalam terjadinya fibrosis hati.
Resolusi Fibrosis Hati Secara Spontan
Pada penelitian ini membandingkan kadar
IL-17 serum kelompok KP dengan KK5 dari hasil ini
238.75+ 60.19pg/ml � 191.38 +17.99 dengan
p=0.011, dan ekspresi IL-17 jaringan hati yaitu KP
30,92 ± 17,1 turun tetapi sangat sedikit yaitu
sebesar 30,6 ± 6,13 pada kelompok KK5 dengan p =
0,084.
Berdasarkan penelitian Issa,et al (2004),
tikus yang di berikan CCL4 selama 4-8 minggu, akan
berkembang menjadi fibrosis, tetapi setelah injury
dihentikan maka dapat kembali ke gambaran
morphology awal. 41
Dan berdasarkan penelitian
Kwoen et al (2001), pasien hepatitis B kronis telah
berhasil dalam pengobatan dengan lamivudine,
terjadi penurunan ekspresi smooth muscle actin
yang merupakan salah satu marker dari aktivasi
HSC. 42
Hasil dari kadar IL-17 serum meningkat
sedangkan di jaringan juga meningkat tetapi tidak
signifikan hal ini dapat terjadi karena di serum tidak
ada reseptor yang mengikat IL-17 jika berada di
serum sedangkan pada jaringan IL-17 terikat oleh
reseptor, sehingga dari nilai diserum lebih tinggi
dibandingkan di jaringan.
Untuk penilaian derajat fibrosis yaitu pada
penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan
derajat yaitu dari 3 menjadi 2,5 (dalam median).
Sebuah studi di 2012, metode standarisasi liver
fibrosis pada hewan coba berupa tikus Sparague-
Dawley yang diberi perlakuan dengan injeksi
peritoneal CCL4 diberikan selama 9-12 minggu akan
terbentuk S3 dimana tampak septum fibrosa
disertai kerusakan struktur intralobular, tetapi
belum terlihat sirosis. 15
Pada peneltian pendahulan disampaikan
bahwa fibrosis F3 dapat dicapai dalam 9 minggu,
dengan penghentian CCl4 dapat menurunkan
derajat fibrosis. 9 Pada penelitian lain yaitu oleh
Bravo et al ,2012 percobaan pada kelinci diperlukan
waktu sampai 21 minggu untuk mencapai jaringan
hati menjadi seperti normal setelah paparan CCl4, 17
sehingga dapat dikatakan bahwa pengobatan
fibrosis hati menghilangkan sumber penyebab
adalah cara terbaik untuk mencegah progresivitas
dari fibrosis hati. 2
Hubungan Antara IL-17 Serum dengan Ekspresi IL-7
Jaringan Hati
Berdasarkan hasil pengujian korelasi
Pearson antara Kadar IL-17 Serum dengan Ekspresi
IL-17 Hati, didapatkan koefisien korelasi sebesar
0.758 dengan p-value sebesar 0.001. Peningkatan
kadar IL-17 serum, juga akan diikuti peningkatan
pada ekspresi IL-17 hati. Demikian juga sebaliknya,
penurunan kadar IL-17 serum, juga akan diikuti
penurunan pada ekspresi IL-17 hati.
Hal ini sejalan dengan dua penelitian
sebelumnya, penelitian tahun 2013 oleh Wen-Ju Du
et al. didapatkan kadar IL-17 serum meningkat pada
267
pasien dengan hepatitis B kronik yaitu sebesar 38.9
± 11.34 pg/ml, dan lebih tinggi lapi pada pasien
dengan liver sirrosis dan HCC, dimana peningkatan
mencapai 37,9% pada infeksi hepatitis B kronik,
dan 56% pada chronic liver failure.8
Penelitian lain
ditahun yang sama oleh Zhongming Tan et al
menunjukkan adanya peningkatan IL-17 serum
sebesar 160 pg/ml dan ekspresi IL-17 jaringan hati
yang tampak pada sel kupffer, HSC, lymphoid dan
neutrofil pada pasien dengan kronik hepatitis B.10
Hubungan IL-17 Dengan Derajat Fibrosis
Tidak didapatkan hubungan antara Kadar IL-
17 Serum dengan derajat fibrosis. Fungsi utama dari
sel Th 17 mensekresikan IL-17 adalah untuk
memediasi inflamasi dengan menstimulasi produksi
dari sitokin inflamasi, seperti TNF-α, IL-1β dan IL-6,
serta kemokin proinflamasi yang membantu
pemanggilan neutrofil dan makrofag. Adanya proses
inflamasi yang ada di darah tidak secara langsung
membuat perubahan derajat fibrosis, banyak hal
yang mempengaruhi untuk terjadi gambaran
patologis dari fibrosis hati antara lain dosis CCL4,
berat badan , usia dan lingkungan serta faktor yang
mempengaruhi berkembanganya jaringan menjadi
fibrosis adalah keseimbangan antara fibrogenik dan
fibrolitik proses.15,17
Pada hubungan ekspresi IL-17 jaringan hati
dengan derajat fibrosis dengan p=0.234. Dengan
gambaran adanya peningkatan ekspresi IL17, tidak
didapatkan adanya gambaran fibrosis yang
signifikan hal ini dapat terjadi karena pada biopsi
memiliki kelemahan dalam mendiagnosis kelainan
berupa distribusi fibrosis yang tidak merata di
seluruh bagian hati. Biopsi hanya mengambil
1/50.000 hati sehingga sejumlah ke salahan dalam
pengambilan sampel tidak dapat dihindari.4
Kurkumin Dan IL-17 Serum
Efek kurkumin pada IL-17 serum
ditunjukkan pada kelompok KP dan KK5 dengan p
=0.084.
Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian
oleh Bravo et al (2012) sebuah penelitian yang
menyatakan bahwa perlu waktu 21 minggu untuk
mencapai perbaikan struktur hati secara komplit 17
sehingga 5 minggu yang diamati dalam penelitian
ini menunjukkan belum adanya penurunan yang
signifikan terhadap penurunan kadar IL-17 sebagai
salah satu proinflamasi yang meningkat saat adanya
injury hati.
Untuk perbandingan KP dengan KP5 dimana
kadar IL-17 serum pada kelompok KP meningkat
sebesar 238.75 + 60.19 setelah diterapi kurkumin
turun melebihi kelompok kontrol yaitu sebesar
139.25+16.6 pg/ml, dengan p <0,001.
Kurkumin diindikasikan untuk pengobatan
yang potensial untuk fibrosis hati dari berbagai
jalur sinyal, dimana kurkumin menurunkan ekspresi
dari mediator proinflamasi seperti tumor necrosis
factor alpha (TNF-α), interleukelin-6 (IL-6) and
monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) through
down regulation of high mobility group box-1
protein (HMGB1), toll-like receptor 4 (TLR4) and
TLR2 expression pada tikus yang diinduksi dengan
CCL4. 14
Selain itu, kurkumin melemahkan stress
oksidatif dengan meningkatkan komponen dari
glutathione hati, dan menurunkan lipid peroksidase.
Kurkumin secara dramatis menekan peradangan
dengan mengurangi tingkat inflamasi sitokin,
268
termasuk interferon-Ɣ, tumor necrosis factor-α, dan
interleukin-6.12
Kurkumin dan Ekspresi IL-17 Jaringan Hati
Pada penelitian ini efek kurkumin pada
kelompok KP dan KK5 tidak mendapatkan hasil yang
signifikan dengan nilai p value sebesar 0,0793 ,
begitu pula pada kelompok KP dan KP5 dengan p
=0.069, walaupun terjadi penurunan secara angka
yaitu dari 30,92 ± 17,13 menjadi 18,03 ± 8,76
Sebuah penelitian oleh Yumin Fu pada
tahun 2007, Pada pemberian kurkumin oral selama
8 minggu signifikan meningkatkan reduksi dari
makro dan mikrovesikular steatosis dan menekan
fibrogenesis dengan menghambat terjadinya
bridging antar septa.12
Di dalam penelitian oleh Jin et al tahun
2016 menunjukkan bahwa kurkumin menginduksi
ekspresi P53 melalui aktivasi PPAR di aktifkan HSC.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
ekspresi dari PPAR berkurang ketika quiescent HSC
menjadi diaktifkan. Pada saat yang sama, aktivasi
PPAR diperlukan oleh kurkumin untuk mengurangi
proliferasi sel, menginduksi apoptosis dan menekan
ekspresi gen ekstra selular matriks.32
Selain itu, Kurkumin juga dapat
menghambat jalur aktivasi Janus Kinase– Signal
Transducer and Activator of Transcription (JAK-
STAT) yang distimulasi oleh IL–12 yang dihasilkan
oleh sel dendritik atau makrofag. Dengan
penghambatan tersebut, maka akan berefek pada
tidak terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel T-
Helper 1 (Th1), tidak terproduksinya IFN-γ, dan
salah satunya adalah IL–17 yang dihasilkan oleh
Th17. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan
menurunnya produksi IL–17 yang dihasilkan oleh
Th17.36
Pada penelitian ini ekspresi IL-17 jaringan
hati menunjukkan hasil yang tidak signifikan
signifikan , hal ini dapat terjadi karena IL-17 serum
merupakan IL-17 yang bebas atau tidak terikat
dengan reseptor sehing kadar IL-17 dijaringan hati
lebih mudah terdeteksi sedangankan dijaringan
hati, IL-17 terikat dengan reseptor yang dapat di
lihat ekspresinya , sehingga kadarnya dihati lebih
rendah dibanding dengan yang kadar IL-17 di
serum.
Peran Kurkumin dalam Menurunkan Derajat
Fibrosis
Sebuah studi di 2012, metode standarisasi
liver fibrosis pada hewan coba berupa tikus
Sparague-Dawley yang diberi perlakuan dengan
injeksi peritoneal CCL4 diberikan selama 9-12
minggu akan terbentuk S3 dimana tampak septum
fibrosa disertai kerusakan struktur intralobular,
tetapi belum terlihat sirosis. 15
Penelitian Khedr 2014, Pemberian CCl4 1cc
selama 12 minggu lalu CCl4 dihentikan, kemudian
dilakukan pemberian kurkumin 300mg/kgbb selama
4 minggu menunjukkan penurunan derajat fibrosis
dimana fibrosis hanya terjadi di lobulus atau sesuai
dengan derajat S2,43
sehingga kurkumin
menurunkan derajat fibrosis lebih banyak
dibandingkan dengan hanya menunggu proses
fibrolisis.
Kekuatan dan Kelemahan Penelitian
• Kekuatan
– Sebagai salah satu penelitian dalam proses
fibrolisis (resolusi spontan)
269
– Penelitian tentang terapi kuratif kurkumin
– Peran IL-17 pada resolusi spontan
– Sebagai penelitian dasar tentang hubungan
antara IL-17 serum dan ekspresi IL-17 jaringan
hati (Dapat dilakukan pemeriksaan IL-17 serum
tanpa memeriksa ekspresi pada hati).
• Kelemahan
– Pemeriksaan yang kurang spesifik pada IL-17
jaringan hati.
KESIMPULAN
Terjadi peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus
fibrosis tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL-17
jaringan hati. Pemberian kurkumin selama 5 minggu
memperbaiki penurunan kadar IL-17 serum tetapi
tidak menurunkan ekspresi IL-17 jaringan hati dan
derajat fibrosis, namun tetap ada korelasi positif
kuat antara IL-17 serum dan ekspresi IL-17 jaringan
hati, sedangkan antara IL-17 serum ataupun
ekspresi IL-17 jaringan hati dengan derajat fibrosis
hati tidak didapatkannya hubungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Friedman,Scot, L. 2008 .Mechanisms of hepatic
fibrogenesis. Gastroenterology 134 (6):1655–
1669.
2. Bataller R, Brenner DA. 2005 Liver fibrosis. The
journal of clinical investigation. 115 (2) : 209-
218.
3. Braticevici,Fierbinteanu C , Papacocea R, Tribus
L, Badarau A . 2011. Can we replace liver biopsy
with non-invasive procedures?.Liver Biopsy.
Chap 14 p. 225-240
4. Lumongga F, Interpretasi Mikroskopis jaringan
dari biopsi hati, 2008. Departemen
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara Medan.
5. Iredale JP, Benyon RC, Pickering J, McCullen M,
M. Northrop SP, Hovell C, et al. 1998.
Mechanisms of spontaneous resolution of rat
liver fibrosis hepatic stellate cell apoptosis and
reduced hepatic expression of metalloproteinase
inhibitors. J Clinical Invest. 102(3): 538–49.
6. Duval F, Jorge E, Moreno C, Teresa M Gonzála,
Maldona C, Vega C. 2015. Liver fibrosis
and mechanisms of the protective action of
medicinal plants targeting inflammation and the
immune response. International Journal of
Inflammation. 102 (3); 1-14.
7. Meng F, Wang K, Aoyama T, Grivennikov SI, Paiki
Y, Scholten D. 2012. IL-17 signaling
in inflammatory cells, kupffer cells and hepatic
stellate cells exacerbates liver fibrosis.
Gastroenterology. NIH Public Access. 143:765-
776.
8. Du W-J, Zhen J-H, Zeng Z-Q, Zheng Z-M, Xu2 Y,
Qin L-Y, et al. 2013. Expression of Interleukin-17
associated with disease progression and liver
fibrosis with hepatitis B virus infection: IL-17 in
HBV infection. Diagnostic Pathology 8(40):7.
9. Ernest JP, Supriono, Kulsum U. Perbandingan
ekspresi IL-17 di jaringan hati dan kadar il-17 di
serum pada tikus model fibrosis yang dipapar
dengan karbon tetraklorida (CCL4). Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
Indonesia.
10. Tan Z, Qian X, Jiang R, Liu Q, Wang Y, Chen C, et
al. 2013. IL-17A Plays a Critical Role in the
Pathogenesis of Liver Fibrosis through Hepatic
Stellate Cell Activation. The American
Association of Immunologists. 191:1835-1844
270
11. Elsayed AF, Mohammed EN, Ali NA, Ibrahim AM.
2015. Role of interleukin-17 in the development
of hepatocellular carcinoma in hepatitis C virus
liver cirrhosis. ZUMJ. 21(3): 248-256
12. Yumei Fu SZ, Jianguo Lin, Jan Ryerse, and Anping
Chen. 2008. Curcumin Protects the Rat Liver
from CCl4-Caused Injury and Fibrogenesis by
Attenuating Oxidative Stress and Suppressing
Inflammation. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics.73
(2); 399-409
13. Dulbecco P, Savarino V. 2013. Therapeutic
potential of curcumin in digestive diseases.
World Journal Gastroenterology. 19(48): 9256-
9270
14. Zhao Y, Ma X, Wang J, He X, Hu Y, Zhang P, et al.
2014. Curcumin Protects against CCl4-Induced
Liver Fibrosis in Rats by Inhibiting HIF-1α
Through an ERK-Dependent Pathway. Molecules.
19, 18767-18780
15. Li L, Hu Z, Li W, Hu M, Ran J, Chen P, et al. 2012.
Establishment of a standardized liver fibrosis
model with different pathological stages in rats.
Hindawi Publishing Corporation
Gastroenterology Research and Practice. 2012 ;
1-6.
16. Shuhart. MC. 2016. Evaluation and Staging of
Liver Fibrosis. Hepatitis C Online. November
2016 ; 1-21.
17. Bravo E, D’Amore E, Ciaffoni F, Mammola CL.
2012. Evaluation of the spontaneous reversibility
of carbon tetrachloride-induced liver cirrhosis in
rabbits. Laboratory Animals. 46:122–128
18. Park H, Li Z, Yang XO, Chang SH, Nurieva R, Wang
Y-H, et al. 2005. A distinct lineage of cd4 t
cells regulates tissue inflammation by producing
interleukin 17. Natural Immunology. 6(11):
1133–1141.
19. Wang L, Chen S, Xu1 K. 2011. IL-17 Expression is
Correlated With Hepatitis B Related Liver
Diseases and Fibrosis. International Journal of
Molecular Medicine.27:385-392.
20. Mills Kingston, H G. 2008. Induction, function
and regulation of IL-17-producing T cells.
European Journal Immunology 38:2636-2649.
21. Pappu R, Ramirez,Carrozzi V, Sambandam
A.2011. The Interleukin-17 cytokine family:
critical players in host defence and inflammatory
diseases. Immunology, The Journal of Cells ,
Moleculer, System and Tecnology. 134:8-16
22. Ioana Agache, Ciobanu C, Agache C, Anghel M.
2010. Increased Serum IL-17 is an independent
risk factor for severe asthma. Respiratory
Medicine 104:1131-1137.
23. Lemmers A, Moreno C, Gustot T, Marechal R,
Degre D, Demetter P, et al. 2009. The
Interleukin-17 pathway is involved in human
alcoholic liver disease. Hepatology. 49 (2); 646-
657
24. Hassan Elham A, El-Rehim Abeer Sharaf EL-Din,
Ahmed Asmaa Omar, Elsherbiny Nahla
Mohamed, El-Rehim Noha Abd, 2014. The
impact of serum Interleukin-17 on chronic
hepatitis C and its sequelae. Liver. 3(163):2-5
25. Lafdil F, Miller AM, Ki Sung Hwan, Gao B. 2010.
Th17 cells and their associated cytokines in liver
diseases. Cellular & Molecular Immunology. 7:
250-254.
26. Abe M, Hiasa Y, Onji M. 2013. T helper 17 cells in
autoimmune liver diseases. Clinical and
Developmental Immunology. 2013.(10):1-7.
271
27. Boll M, Lutz W. D. Weber, Becker E, Stampfl A.
2001. Mechanism of carbon tetrachloride-
induced hepatotoxicity. hepatocellular damage
by reactive carbon tetrachloride metabolites.
Verlag der Zeitschrift für Naturforschung,
Tübingen.2001 ; 649-659
28. Panjaitan RGP, Handharyani E, Chairul, Masriani,
Zakiah Z, Manalu W. 2007. Pengaruh pemberian
karbon tetraklorida terhadap fungsi hati dan
ginjal tikus. Makara Kesehatan. 11(1):11-16.
29. Alrawaiq NS, Abdullah A.2016. A review of
antioxidant polyphenol curcumin and its role in
detoxification. International Journal of
PharmTech Research 6(1): 280-289.
30. Mario Pulido-Moran,Jorge Moreno-Fernandez,
Cesar Ramirez-Tortosa. 2016.Curcumin and
health. Molecules. 21(264);1-22
31. Yan He ,Yue Y, Zheng X, Zhang K ,Chen S Du Z,
2015. Curcumin, Inflammation, and Chronic
Diseases: How Are They Linked? Molecules 20;
9183-9213
32. Ravichandran R. 2013. Pharmacokinetic Study of
Nanoparticulate Curcumin: Oral Formulation for
Enhanced Bioavailability Journal of Biomaterials
and Nanobiotechnology. 20(4):291-299
33. Jin H, Lian N, Zhang F, Chen L, Chen Q, Lu1 C, et
al. 2016. Activation of PPARγ/P53 signaling is
required for curcumin to induce hepatic stellate
cell senescence. Cell Death and Disease 7(2189);
1-11.
34. Lin J, Chen A. 2008. Activation of peroxisome
proliferator-activated receptor-g by curcumin
blocks the signaling pathways for PDGF and EGF
in hepatic stellate cells. Laboratory Investigation
. 88(20):529–540.
35. Bright JJ. 2007. Curcumin and Autoimmune
Disease. In: The Molecular Targets and
Therapeutic Uses of Curcumin in Health and
Disease. New York: Spinger. p435
36. Gruys E, Toussaint M.J.M, Niewold T.A,
Koopmans S.J. 2005. Acute phase reaction and
acute phase proteins. Journal of Zhejiang
University SCIENCE. 6B(11):1045-56.
272
UJI DIAGNOSTIK PRESEPSIN PADA SEPSIS NEONATORUM
Agustin Iskandar, Maimun Zulhaidah Arthamin , Kristin Indriana
Departemen/SMF Patologi Klinik FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Latar belakang: Sepsis neonatorum masih menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada bayi aterm maupun prematur. Tingkat kematian akan menurun apabila kasus terdeteksi lebih dini,
dan inisiasi terapi antibiotik empiris dilakukan lebih awal. Diagnosis sepsis pada neonatus secara klinis
merupakan hal yang sulit, karena beberapa tanda sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan
pemeriksaan fisik yang normal meskipun telah terjadi bakteremia. Kultur darah sebagai pemeriksaan baku
emas untuk sepsis memiliki keterbatasan untuk diagnosis pada neonatus sehingga biomarker sepsis
memegang peran penting dalam hal tersebut. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai
diagnostik presepsin pada sepsis neonatorum. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel dari lima puluh
satu neonatus yang memenuhi kriteria SIRS dengan kultur sebagai baku emas. Kadar presepsin diperiksa
dengan metode CLEIA, dan prokalsitonin sebagai biomarker pembanding dengan metode ELISA. Nilai
diagnostik dianalisis menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), dan ditentukan nilai cut-
off. Sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi dihitung dengan tabel 2x2.
Hasil: Pada nilai cut-off presepsin sebesar 706,5 pg/ml didapatkan sensitivitas 85,7%, spesifisitas 68,8%,
nilai duga positif 85,7%, nilai duga negatif 68,8%, rasio kemungkinan positif 2,75, rasio kemungkinan negatif
0,21, dan akurasi 80,4%. Dan pada nilai cut-off prokalsitonin sebesar 161,33 pg/mL didapatkan sensitivitas
68,6%, spesifisitas 62,5%, nilai duga positif 80%, nilai duga negatif 47,6%, rasio kemungkinan positif 1,83,
rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi 66,7%. Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan,
bahwa nilai diagnostik presepsin lebih tinggi dibandingkan prokalsitonin.
Kata kunci: sepsis neonatorum, presepsin, prokalsitonin.
DIAGNOSTIC TEST OF PRESEPSIN ON SEPSIS NEONATORUM
ABSTRACT
Background: Neonatal sepsis remains one of the major causes of morbidity and mortality in both term and
premature infants. The mortality rate will decrease if cases are detected earlier, and initiation of empirical
antibiotic therapy is done earlier. The diagnosis of sepsis in the neonate is clinically difficult, as some of the
signs of sepsis are not specific and often obtained normal physical examination despite bacteremia. Blood
cultures as a gold standard examination for sepsis have limitations for diagnosis in neonates so that sepsis
biomarkers play an important role in that. Aim: The aim of study was to determine the value of presepsin
diagnostics in neonatal sepsis. Methods: This study used a sample of fifty-one neonates who met SIRS
criteria with culture as gold standard. Presepsin levels were examined by CLEIA, and procalcitonin as
comparative biomarkers by ELISA method. Diagnostic values were analyzed using the Receiver Operating
Characteristic (ROC) curve, and determined the cut-off value. Sensitivity, specificity, positive predictive
value, negative predictive value, and accuracy were calculated by 2x2 tables. Results: At the presepsin cut-
off level of 706.5 pg / ml obtained 85.7% sensitivity, 68.8% specificity, 85.7% positive predictive value,
negative predictive value 68.8%, positive likelihood ratio of 2.75 , a negative likelihood ratio of 0.21, and an
accuracy of 80.4%. And at 161,33 pg / mL cut-off value of procalcinonin was 68,6%, specificity 62,5%,
positive guess 80%, negative value 47,6%, possibility ratio 1.83, negative 0.5, and 66.7% accuracy.
Conclusion: From this study it can be concluded that presepsin diagnostic value is higher than
procalcinonin.
Keywords: neonatal sepsis, presepsin, procalcitonin.
Laporan Penelitian
273
LATAR BELAKANG
Sepsis neonatorum masih menjadi salah
satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada bayi aterm maupun prematur. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa
setiap tahun 4 juta bayi yang baru lahir di seluruh
dunia meninggal selama periode neonatal. Sebesar
25% sampai 45% terjadi hari pertama kehidupan
dengan penyebab infeksi berat (36%), prematuritas
(28%), dan kelainan kongenital (7%).1 Di Amerika
Serikat, 1-5 neonatus dari setiap 1000 kelahiran
hidup mengalami infeksi neonatal. Centers for
Disease Control and Prevention memperkirakan
bahwa setiap 141 bayi yang lahir di Amerika Serikat
setiap tahun, seorang bayi meninggal karena infeksi
pada tahun pertama kehidupannya.2 Di Indonesia,
berdasarkan survey Riskesdas 2007 menunjukkan
bahwa sepsis menjadi penyebab kematian utama
pada neonatus dengan angka kejadian 20% dari
seluruh penyebab kematian neonates. 3
Sebelum
penggunaan antibiotik, angka kematian bayi baru
lahir dengan infeksi maupun sepsis berkisar antara
95% sampai 100% dan setelah penggunaan
antibiotik angka kematian menurun hingga 13% -
45%. Tingkat kematian akan menurun apabila kasus
terdeteksi lebih dini, dan inisiasi terapi antibiotik
empiris dilakukan lebih awal. Dalam
penatalaksanaan infeksi pada neonatus
membutuhkan waktu yang tepat dalam diagnosis
dan terapi, adanya keterlambatan akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.2 Namun,
tanda-tanda sepsis yang tidak spesifik, dan sindrom
inflamasi non-infeksi yang menyerupai sepsis
neonatorum menimbulkan tantangan untuk
mengidentifikasi secara dini neonatus dengan
kemungkinan tinggi mengalami sepsis dan memulai
terapi antimikroba serta menghentikan terapi
antimikroba pada kasus sindrom inflamasi non
infeksi.4
Diagnosis sepsis pada neonatus secara klinis
merupakan hal yang sulit, karena beberapa tanda
sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan
pemeriksaan fisik yang normal meskipun telah
terjadi bakteremia. 5 Sedangkan kultur darah
sebagai pemeriksaan baku emas untuk sepsis juga
memiliki keterbatasan untuk diagnosis pada
neonatus karena volume sampel sedikit, densitas
bakteri rendah, kontaminasi kultur, atau supresi
pertumbuhan bakteri akibat pemberian antibiotik
sebelumnya.6 Hasil pemeriksaan kultur darah pada
25% bayi dengan sepsis memiliki jumlah koloni
bakteri yang rendah (≤4 CFU/mL), dan dua pertiga
dari bayi dengan usia kurang dari 2 bulan memiliki
jumlah koloni kurang dari 10 CFU/mL. Sehingga
pemeriksaan kultur darah dianggap kurang handal
dalam diagnosis dini sepsis neonatorum dan
biomarker sepsis memegang peran penting dalam
hal tersebut.4
Ada beberapa biomarker yang terkait
dengan kondisi sepsis antara lain: prokalsitonin
(PCT), interleukin, pro-vasopressin, C-reaktif protein
(CRP) dan myeloid cells expressing triggering
receptor-1 (TREM-1).5
Meskipun prokalsitonin telah
dianggap sebagai biomarker sepsis dan sangat
berkaitan dengan infeksi, namun biomarker ini juga
memiliki sejumlah keterbatasan. Beberapa
keterbatasan prokalsitonin yaitu: adanya
peningkatan konsentrasi prokalsitonin secara
fisiologis yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah
lahir, dan dapat terjadi peningkatan konsentrasi
dalam serum pada kondisi non infeksi misalnya
pada respiratory distress syndrome, sehingga
274
menyebabkan prokalsitonin menjadi kurang spesifik
pada kasus neonatus dengan sepsis. 4
Pada tahun 2004 telah ditemukan suatu
petanda baru yang berkaitan dengan sepsis berupa
suatu fragmen molekul yang dihasilkan oleh
aktivitas protease plasma selama proses inflamasi
yang disebut soluble CD14 fragments. Salah satu
dari fragmen tersebut ada yang disebut sebagai
sCD14 subtype (sCD14-ST) atau presepsin. Untuk
saat ini presepsin masih dalam penelitian untuk
mengetahui peranannya sebagai petanda sepsis
pada pasien dewasa maupun neonatus. Hasil
penelitian oleh Ulla et al. menyatakan bahwa
presepsin dan prokalsitonin menunjukkan hasil yang
signifikan dalam diagnosis sepsis pasien dewasa
dengan areas under the curve (AUC) untuk
presepsin sebesar 0.70 (P <0.001) dan prokalsitonin
sebesar 0.87 (P <0.001). 7
Namun, suatu penelitian
lainnya di Italia pada 21 pasien dewasa yang
dirawat di ruang perawatan intensif menunjukkan
bahwa dalam evaluasi respons pengobatan,
presepsin lebih unggul dibandingkan prokalsitonin
dalam menilai kondisi pasien dengan sepsis.8
Penelitian oleh Hendrianingtyas, dkk 2014 pada 32
pasien dewasa dengan SIRS menunjukkan nilai
diagnostik kadar presepsin terhadap kultur darah
berdasarkan nilai cut off 1134,5 pg/mL yaitu
kepekaan 90%, kekhasan 68,18%, nilai duga positif
56,25%, nilai duga negatif 93,75%, likelihood ratio
positif 2,83 dan likelihood ratio negatif 0,15.9
Beberapa penelitian tentang peranan presepsin
dalam diagnosis, monitoring terapi dan prognosis
pada sepsis dilakukan pada subyek penelitian
dengan kelompok umur dewasa. Namun penelitian
tentang peranan presepsin dalam diagnosis sepsis
pada neonatus hingga saat ini masih terbatas. Oleh
karena itu, masih diperlukan suatu penelitian
tentang peranan presepsin dalam diagnosis pasien
neonatus dengan sepsis dibandingkan dengan
petanda sepsis lainnya. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan nilai diagnostik presepsin yang
terdiri dari sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif,
nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio
kemungkinan negatif, dan akurasi pada sepsis
neonatorum. sehingga apabila memiliki nilai
diagnostik yang lebih baik dibandingkan petanda
rutin pembanding, maka petanda ini dapat
digunakan untuk membantu klinisi dalam deteksi
dini sepsis neonatorum.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian
observasional analitik dengan rancangan cross
sectional. Subyek penelitian adalah neonates
terduga sepsis neonatorum dengan tanda-tanda
SIRS sesuai dengan kriteria SIRS pada neonatus
yand dirawat di Ruang Perinatologi dalam kurun
waktu Mei 2015 - Juli 2015 yang memenuhi kriteria
inklusi serta bersedia mengikuti penelitian dengan
menandatangani informed consent.
Kriteria inklusi meliputi usia 0 - 30 hari dan
memenuhi kriteria SIRS untuk neonatus. SIRS pada
neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
berikut, dengan salah satu diantaranya kelainan
suhu atau leukosit.
Kultur darah merupakan hasil
membenihkan darah pasien yang ditanam di media
agar. Bila hasil positif dinyatakan sebagai sepsis
bacterial dan negatif dinyatakan sebagai nonsepsis
bakterial. Kadar presepsin diukur dengan metode
chemiluminescent enzyme immunoassay
menggunakan immunoassay analyser PATHFAST.
275
Kadar prokalsitonin diukur dengan metode enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA).
Seluruh subjek penelitian diminta
memberikan persetujuan dengan menandatangani
surat persetujuan tindakan tertulis. Izin penelitian
dengan mengajukan kejelasan kepatutan tindakan
terlebih dahulu yang kemudian diberikan
persetujuan pelaksanaan kegiatan berdasarkan
surat keterangan dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya/RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.
HASIL
Pada penelitian yang dilakukan bulan Mei
2015 - Juli 2015 jumlah subyek penelitian yang
berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 51
neonatus dengan rentang usia 0 – 28 hari. Hasil
kultur darah subyek penelitian menunjukkan hasil
positif pada 35 pasien dan 16 pasien dengan kultur
darah negatif. Berdasarkan awitan sepsis
didapatkan hasil 65,7% subyek penelitian dengan
kultur darah positif adalah pasien dengan sepsis
awitan lambat.
Kuman penyebab sepsis neonatorum yang
didapatkan dari kultur darah antara lain:
Tabel 1. Analisis Receiver Operating Characteristic
Staphyloccus coagulase negative 30,5%
Klebsiella pneumonia 25%
Enterobacter gergoviae 22,1%
S. arizonae 5,6%
Serratia marcescens 5,6%
Serratia rubidoea 2,8%
E. coli 2,8%
Yeast like fungi 5,6 %
ROC pada kadar presepsin menunjukkan
nilai Area Under Curve (AUC), yaitu luas wilayah
yang dihasilkan oleh kurva ROC, sebesar 75,8%
dengan 95% confident interval adalah 60,4% - 91,2%
(p = 0,003).
Gambar 1. Kurva ROC untuk kadar presepsin.
Gambar 2. Kurva sensitivitas dan spesifisitas presepsin.
(garis merah = sensitivitas, garis biru = spesifisitas)
Titik potong pada gambar 5.3 menunjukkan
sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifisitas sebesar
68,7% pada kadar presepsin 706,5 pg/mL.
Tabel 2. Tabel 2x2 untuk kadar presepsin.
Kultur Darah
Positif Negatif
Positif
(≥706,5 pg/mL)
30 5
35
Negatif
(<706,5 pg/mL)
5 11 16
35 16 51
0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
1,200
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49
kadar 706,5 pg/mL
276
-
0,50
1,00
1,50
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49
kadar: 161,33 pg/mL
Adapun perhitungan nilai diagnostik untuk
presepsin berdasarkan tabel 2x2 tersebut adalah:
Sensitivitas : 85,7%
Spesifisitas : 68,8%
Nilai duga positif (NDP) : 85,7%
Nilai duga negatif (NDN) : 68,8%
Rasio kemungkinan positif : 2,75
Rasio kemungkinan negatif : 0,21
Akurasi : 80,4%
Analisis ROC pada kadar prokalsitonin
menunjukkan nilai area under curve (AUC), yaitu
luas wilayah yang dihasilkan oleh kurva ROC,
sebesar 59,9% dengan 95% confident interval
adalah 42,9% - 76,9% (p = 0,260).
Gambar 3. Kurva ROC untuk kadar prokalsitonin.
Gambar 4. Kurva sensitivitas dan spesifisitas
prokalsitonin.
(garis merah = sensitivitas, garis biru = spesifisitas)
Titik potong pada gambar 5.5 menunjukkan
sensitivitas sebesar 68,6% dan spesifisitas sebesar
62,5 % pada kadar prokalsitonin 161,33 pg/mL.
Tabel 3. Tabel 2x2 untuk kadar prokalsitonin.
Kultur Darah
Positif Negatif
Positif
(≥161,33 pg/mL)
24 6
30
Negatif
(<161,33 pg/mL)
12 9
21
36 15 51
Perhitungan nilai diagnostik untuk presepsin
berdasarkan tabel 2x2 tersebut adalah:
Sensitivitas : 68,6%
Spesifisitas : 62,5%
Nilai duga positif (NDP) : 80%
Nilai duga negatif (NDN) : 47,6%
Rasio kemungkinan positif : 1,83
Rasio kemungkinan
negatif
: 0,50
Akurasi : 66,7%
PEMBAHASAN
Penelitian ini diikuti subyek penelitian
sebanyak 51 neonatus yang terdiri dari 35
nenonatus dengan hasil kultur darah positif dan 16
neonatus dengan hasil kultur darah negatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah neonatus
dengan sepsis neonatorum awitan lambat (late
onset neonatal sepsis) sebesar 65,7% dari seluruh
subyek penelitian dengan hasil kultur positif. Jumlah
subyek penelitian dengan sepsis neonatorum
awitan lambat (SAL) lebih banyak dibandingkan
dengan sepsis neonatorum awitan dini (early onset
neonatal sepsis). Suatu studi epidemiologi di awal
1980 telah mengamati terjadi penurunan secara
umum untuk sepsis awitan dini (SAD) yang
kemungkinan disebabkan oleh kemajuan dalam
perawatan kebidanan dan penggunaan profilaksis
antibiotik untuk mencegah infeksi intrapartum.
Sementara itu, kejadian SAL meningkat secara
paralel dengan peningkatan kelangsungan hidup
neonatus prematur, terutama pada neonatus
277
dengan berat badan lahir rendah (VLBW). Hal
tersebut menunjukkan adanya peran rawat inap
dan penggunaan peralatan medis selama rawat inap
dalam patogenesis sepsis neonatorum awitan
lambat. 10
Kuman yang ditemukan dalam kultur darah
subyek penelitian ini yang terbanyak adalah
Staphyloccus coagulase negative sebesar 30,5% dari
hasil kultur darah positif. Staphyloccus coagulase
negative dan enterobacter gergoviae merupakan
bakteri yang paling banyak ditemukan pada subyek
penelitian dengan SAD. Sedangkan pada subyek
penelitian dengan SAL, bakteri yang paling banyak
dijumpai pada kultur darah adalah Klebsiella
pneumonia diikuti oleh staphyloccus coagulase
negative. Suatu literatur menyatakan bahwa
staphylococcus coagulase negative merupakan
bakteri yang paling sering dijumpai pada penderita
sepsis neonatorum.2 Staphyloccus coagulase
negative juga merupakan sebagai patogen dominan
pada SAL, yang merupakan agen penyebab pada
53,2% - 77,9% dari SAL di negara maju dan 35,5% -
47,4% di beberapa negara berkembang. Bakteri
batang gram negatif yang juga bertanggung jawab
dalam terjadinya SAL meliputi Escherichia coli,
Klebsiella spp., Enterobacter spp. dan Pseudomonas
spp. Jamur terutama Candida spp., juga dilaporkan
menjadi salah satu patogen utama pada SAL di
beberapa negara. Pola distribusi patogen penyebab
bervariasi di berbagai daerah dan dapat berubah
dari waktu ke waktu dalam suatu rumah sakit yang
sama. Hal tersebut tergantung dari karakteristik
demografi pasien, kolonisasi mikroorganisme di
lingkungan rumah sakit dan kebijakan penggunaan
antibiotik .10
Uji diagnostik biomarker sepsis pada
penelitian ini dianalisis menggunakan ROC (Receiver
Operator Curve) yang merupakan cara untuk
menentukan cut off kadar biomarker berupa grafik
yang menggambarkan tawar-menawar antara
sensitivitas dan spesifitas. Makin tinggi sensitivitas,
makin rendah spesifitas, dan sebaliknya. Arti dari
nilai cut off tersebut adalah menentukan nilai
terbaik suatu petanda biologi dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas tertinggi.11
Pada
penelitian ini didapatkan nilai AUC (Area Under the
Curve) untuk presepsin sebesar 75,8%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa presepsin mempunyai nilai
diagnostik yang cukup baik dalam mendiagnosis
sepsis neonatorum. Apabila kadar presepsin
digunakan untuk menentukan diagnosis sepsis
neonatorum atau bukan sepsis neonatorum pada
100 orang pasien, maka kesimpulan yang tepat akan
diperoleh pada 75 orang pasien. Sedangkan dari
hasil analisis kadar prokalsitonin pada penelitian ini
didapatkan nilai AUC sebesar 59,9% yang termasuk
AUC lemah. Jika nilai AUC dari kedua petanda sepsis
neonatorum pada penelitian ini dibandingkan maka
presepsin memiliki nilai AUC yang lebih baik
daripada prokalsitonin. Hasil tersebut sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan di Critical Care and
Emergency Center of Iwate Medical University,
Jepang pada Agustus 2009 sampai Juni 2010 untuk
mengetahui peran presepsin dalam mendiagnosis
sepsis pada pasien dewasa dengan SIRS didapatkan
hasil AUC presepsin (84,5%) lebih baik dibandingkan
AUC prokalsitonin (65,2%).12
Sensitivitas adalah kemampuan suatu
pemeriksaan untuk menghasilkan hasil positif pada
pasien yang benar-benar positif menderita suatu
penyakit, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan
278
suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil
negatif pada pasien yang tidak sakit. Namun bagi
klinisi nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negatif
(NDN) mempunyai arti yang lebih penting daripada
sensitivitas dan spesifisitas.11
NDP merupakan
probabilitas seseorang benar-benar menderita
penyakit bila hasil uji diagnostiknya positif, dan
sebaliknya NDN menggambarkan probabilitas
seseorang tidak menderita penyakit bila hasil ujinya
negatif. Dalam praktik sehari-hari nilai duga positif
merupakan statistik yang paling penting bagi klinisi
dalam uji diagnostic. 11
Pada penelitian ini diperoleh
nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN untuk
presepsin dengan cut-off 706,5 pg/mL berturut-
turut adalah 85,7%, 68,8%, 85,7%, 68,8%,
sedangkan untuk prokalsitonin dengan cut-off
161,33 pg/mL berturut-turut adalah 68,6%, 62,5%,
80%, 47,6%. Hasil diatas menunjukkan bahwa
presepsin memiliki nilai diagnostik yang lebih baik
untuk diagnosis sepsis neonatorum bila
dibandingkan dengan prokalsitonin. Namun,
presepsin dan prokalsitonin sama-sama memiliki
nilai duga positif yang baik untuk diagnosis sepsis
neonatorum. Hasil penelitian Liu et al. menunjukkan
bahwa presepsin memiliki nilai diagnostik yang
lebih baik dibandingkan prokalsitonin dalam
mendiagnosis sepsis. Dalam penelitian tersebut nilai
diagnostik presepsin dengan nilai cut-off 317 pg/ml
didapatkan sensitivitas 70.8%, spesifisitas 85.8%,
NDP 93.2%, NDN 51.6%, akurasi 74.8%, RK (+) 4.99,
dan RK (-) 0.34. Nilai diagnostik prokalsitonin
dengan nilai cut-off 0,25 ng/ml didapatkan
sensitivitas 60,0%, spesifisitas 77,7%, NDP 92,9%,
NDN 28,4%, akurasi 63,0%, RK (+) 2,69, dan RK (-)
0.51. 13.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
presepsin memiliki nilai diagnostik yang lebih baik
dibandingkan dengan prokalsitonin seperti pada
beberapa penelitian sebelumnya. Hal tersebut
kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan
proses sintesis kedua biomarker tersebut. Presepsin
dihasilkan oleh kompleks LPS/LBP-CD14 yang
dilepaskan ke sirkulasi dan mengalami hidrolisis
oleh protease plasma dan disekresikan dari monosit
setelah fagositosis. Namun sekresi presepsin tidak
terinduksi setelah stimulasi dengan physiologic
activating agent yaitu peptidoglycan (PGN),
lipopolysaccharide (LPS), maupun tumor necrosis
factor (TNF)-α. 8,14
Hasil penelitian dengan
menggunakan sel granulosit kelinci menunjukkan
bahwa sekresi presepsin (sCD14-ST) tidak terinduksi
setelah stimulasi oleh lipopolysaccharide (LPS),
interferon (IFN)-γ, N-formyl-methionine-leucine-
phenylalanine (fMLP), dan Phorbol Myristate
Acetate (PMA). 15
Sedangkan, prokalsitonin (PCT) dapat
distimulasi secara langsung oleh toksin dan
lipopolisakarida yang dilepas oleh mikroba maupun
diinduksi oleh sitokin proinflamasi seperti
interleukin (IL)-1b, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-
α secara tidak langsung.16
Peningkatan kadar PCT
yang tidak spesifik tanpa adanya infeksi bakteri
dapat dijumpai dalam kondisi massive stress,
misalnya setelah trauma berat ataupun operasi.
Dalam kondisi tersebut, terjadi peningkatan PCT
yang moderat dan menunjukkan penurunan cepat
dalam follow-up. Sebaliknya, kadar PCT rendah
palsu, dapat dijumpai pada awal infeksi maupun
infeksi lokal, dan dapat menunjukkan peningkatan
dalam follow-up bila terjadi progresivitas. 17
279
Penelitian pada 41 pasien dewasa yang
memenuhi kriteria SIRS oleh Shozushima T et al.,
2011 menunjukkan bahwa presepsin memiliki area
under the curve (AUC) sebesar 0,845, yang lebih
baik daripada prokalsitonin dengan AUC sebesar
0,652. 12
Dalam penelitian tersebut, kadar presepsin
diperiksa dengan metode chemiluminescent
enzyme immunoassay menggunakan PATHFAST
analyser, sedangkan prokalsitonin diperiksa
menggunakan automated electrochemi -
luminescence immunoanalyzer (Elecsys reagent,
BRAHMS PCT; Roche Diagnostics, Japan). Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Beijing Chao-yang
Hospital pada 859 subyek penelitian dan 100
kontrol sehat yang dibedakan menjadi kelompok
kontrol sehat, SIRS, sepsis, severe sepsis, dan septic
shock menunjukkan bahwa presepsin dengan cut-
off 317 pg/ml memiliki sensitivitas 70.8%,
spesifisitas 85.8%, NDP 93.2%, NDN 51.6%, dan
akurasi 74.8%. Sedangkan prokalsitonin dengan cut-
off 0.25 ng/mlmemiliki sensitivitas 60,0%,
spesifisitas 77,7%, NDP 92,9%, NDN 28,4%, serta
akurasi 63,0%. Adapun pemeriksaan kedua
biomarker tersebut menggunakan PATHFAST
analyser untuk presepsin dan VIDAS BRAHMS PCT
assay untuk prokalsitonin.13
Pada penelitian ini, kadar presepsin diukur
secara kuantitatif dengan metode
chemiluminescent enzyme immunoassay (CLEIA)
dan menggunakan antibodi poliklonal dan
monoklonal anti presepsin.18
Sedangkan
pengukuran kadar prokalsitonin secara kuantitatif
dengan metode sandwich-ELISA (Enzyme-linked
immunosorbent assay) menggunakan antibodi
spesifik human-PCT.19
Walaupun kedua metode
tersebut sama-sama meng-gunakan metode
immunoassay, akan tetapi dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui adanya kemungkinan
perbedaan metode pemeriksaan tersebut dapat
memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu,
untuk penelitian lebih lanjut disarankan
pemeriksaan prokalsitonin dengan menggunakan
alat analyser otomatis dengan metode
chemiluminescent enzyme immunoassay (CLEIA).
Keterbatasan pada penelitian ini adalah
beberapa sampel darah yang diambil untuk
pemeriksaan kultur darah, kadar presepsin maupun
prokalsitonin tidak diambil secara simultan. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya batasan volume
darah flebotomi pada neonatus.
KESIMPULAN DAN SARAN
Nilai diagnostik presepsin pada sepsis
neonatorum adalah baik dengan sensitivitas 85,7%,
spesifisitas 68,8%, nilai duga positif 85,7%, nilai
duga negatif 68,8%, rasio kemungkinan positif 2,75,
rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi 80,4%.
Sedangkan nilai diagnostik prokalsitonin pada sepsis
neonatorum tergolong sedang dengan sensitivitas
68,6%, spesifisitas 62,5%, nilai duga positif 80%,
nilai duga negatif 47,6%, rasio kemungkinan positif
1,83, rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi
66,7%. Berdasarkan uji diagnosis yang dibandingkan
dengan kultur darah presepsin mempunyai nilai
diagnostik yang baik sehingga dapat digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis dini sepsis
neonatorum. Namun, disarankan penelitian lebih
lanjut untuk memeriksa kadar prokalsitonin dengan
metode chemiluminescent enzyme immunoassay
(CLEIA) menggunakan analyzer otomatis.
280
DAFTAR PUSTAKA
1. Shah AB. and Padbury JF. 2014. Neonatal
Sepsis: An old problem with new insight.
Virulence. 5(1):170-178.
2. Gardner SL. 2009. Sepsis in the Neonate. Crit
Care Nurs Clin N Am. 21: 121–141.
3. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.
Desember 2008. Laporan Nasional 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. p:
114 & 156.
4. Polin RA and the Committee on Fetus and
Newborn. 2012. Management of Neonates
with Suspected or Proven Early-Onset Bacterial
Sepsis. Pediatrics. 129 (5): 1006-1015.
5. Kibe S, Adams K and Gavin Barlow G. 2011.
Diagnostic and prognostic biomarkers of sepsis
in critical care. J Antimicrob Chemother. 66 (2):
ii33–ii40.
6. Melvan JN, Bagby GJ, Welsh DA, Nelson S, and
Zhang P. 2010. Neonatal Sepsis and Neutrophil
Insufficiencies. Int Rev Immunol. 29(3):315-
348.
7. Ulla M, Pizzolato E, Lucchiari M, Loiacono M,
Soardo F, Forno D, Morello F, Lupia E, Moiraghi
C, Mengozzi G and Battista S. 2013. Diagnostic
and prognostic value of presepsin in the
management of sepsis in the emergency
department: a multicenter prospective study.
Critical Care. 30(17): R168.
8. Ramana KV, Pinnelli VB, Kandi S, Asha G,
Jayashankar CA, Bhanuprakash, Raghavendra
DS, and Sanjeev DR. 2014. Presepsin: A novel
and Potential Diagnostic Marker for Sepsis.
American Journal of Medical and Biological
Research. 2(4): 97-100.
9. Hendrianingtyas, Banundari RH, Indranila KS,
Imam Budiwiyono. 2014. Serum Procalcitonin,
CRP and Presepsin in SIRS. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
20 (3): 180–182.
10. Dong Y, and Speer CP. 2014. Late-onset
neonatal sepsis: Recent developments. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 0:F1–F7.
11. Pusponegoro H, Wila Wirya IGN, Pudjiadi AH,
Bisanto J, dan Zulkarnain SZ. 2011. Uji
Diagnostik. Dalam: Sastroasmoro S dan Ismael
S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis
edisi ke-4. CV. Sagung Seto. Jakarta. Hal: 219-
244.
12. Shozushima T, Takahashi G, Matsumoto N,
Kojika M, Okamura Y, and Endo S. 2011.
Usefulness of presepsin (sCD14-ST)
measurements as a marker for the diagnosis
and severity of sepsis that satisfied diagnostic
criteria of systemic inflammatory response
syndrome. J Infect Chemother. 17(6): 764-769.
13. Liu B, Chen Y, Yin Q, Zhao Y and Li C. 2013.
Diagnostic value and prognostic evaluation of
Presepsin for sepsis in an emergency
department. Critical Care. 17(R244): 1-12.
14. Arai Y, Mizugishi K, Nonomura K, Naitoh K,
Takaori-Kondo A, Yamashita K. 2015.
Phagocytosis by human monocytes is required
for the secretion of presepsin. Journal
Infection and Chemotherapy. 21 (2015): 564-
569.
15. Shirakawa K, Naitou K, Hirose J, Nakamura M,
Takeuchi T, Hosaka Y, Furosako S. 2010. The
new sepsis marker, sCD14-ST, induction
mechanism in the rabbit sepsis models. Crit
Care.14:P19.
281
16. Chaudhury A, Sumant GL, Jayaprada R, Kalawat
U, Ramana BV. 2013. Procalcitonin in sepsis
and bacterial infections. J Clin Sci Res. 2: 216-
224.
17. Schuetz P, Christ-Crain M, Müller B. 2009.
Procalcitonin and other biomarkers to improve
assessment and antibiotic stewardship in
infections. Swiss Med Wkly. 139 (23–24): 318 –
326.
18. Mitsubishi Chemical Medience Corporation.
2011. Pathfast-Presepsin. Tokyo: Mitsubishi
Chemical Medience Corporation.
19. Elabscience Biotechnology Corporation. 2015.
Human Procalcitonin ELISA Kit. Wuhan:
Guandong Science and Technology Industry
Park.
282
SINDROMA VENA KAVA SUPERIOR SEBAGAI KOMPLIKASI DARI METASTASE SEMINOMA TESTIS KE
MEDIASTINUM DAN PARU YANG MEMBAIK DENGAN KEMOTERAPI
Lindayanti Sumali, Yani Jane Sugiri
Departemen/SMF Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Tumor sel germinal merupakan 2% penyebab keganasan pada manusia, tetapi insidennya meningkat lebih
dari 2 kali lipat dalam 40 tahun ini. Serum tumor marker memiliki peranan penting dalam menegakkan
diagnosa, prognosa, dan menilai hasil terapi. Penderita laki-laki umur 32 tahun dengan riwayat seminoma
testis 3 tahun lalu post orkidektomi sinistra datang dengan keluhan, gejala dan tanda sindroma vena kava
superior, serta batuk darah. Serum tumor marker menunjukkan peningkatan β-HCG dan LDH. Hasil dari
Toraks PA dan CT scan didapatkan tumor mediastinum anterior superior dan nodul metastase pada kedua
paru. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, pasien didiagnosa metastasis seminoma testis pada paru dan
dinding dada dengan komplikasi sindroma vena kava superior. Setelah diberikan kemoterapi cisplatin
etoposide 4 siklus dan ditambah 2 siklus, pasien mengalami perbaikan klinis, radiologis, dan penurunan
serum tumor marker gradual sehingga mencapai angka normal. Kasus ini sebagai salah satu ilustrasi
pentingnya follow up berupa pemeriksaan fisik, radiologi, serum tumor marker secara berkala pada tumor
sel germinal.
Kata Kunci: Sindroma Vena Kava Superior, Seminoma Testis, Metastasis, Kemoterapi
VENA KAVA SUPERIOR SINDROMA AS COMPLICATIONS FROM METASTATIC OF SEMINOMA TESTICS TO
MEDIASTINUM AND LUNG THAT IMPROVED WITH CHEMOTHERAPY
ABSTRACT
Germ Cell tumors constitute only 2% of all human malignancies, but the worldwide incidence of these
tumors has more than doubled in the past 40 years. Serum tumor markers are critical in diagnosing GCTs,
determining prognosis, and assessing treatment outcome. A 32-year-old male with history of seminoma
testis 3 years before, post sinistra orchidectomy, came to Saiful Anwar Malang Hospital because of
symptoms and signs of superior vena cava syndrome and hemoptoe grade III. Serum tumor marker showed
increased level of β-HCG dan LDH. Chest X-ray and Thorakal CT-scan revealed tumor mediastinum anterior
superior and nodul metastaste to both of the lungs. Based on these examinations, the patient was
diagnosed metastatic seminoma testis to the lung and mediastinum with complication vena cava superior
syndrome. After given four plus two cycles of cisplatin-etoposide chemotherapy, he got clinical appearance
improvement, radiologic features, and gradually decreased of serum tumor marker (β-HCG dan LDH). This
case illustrates the importance of long term follow-up and examination in patients with germ cell tumors.
Keywords: Vena Cava Superior Syndrome, Seminoma Testis, Metastasis, Chemotherapy
Laporan Kasus
Korespondensi:
dr. Lindayanti Sumali
Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017
283
PENDAHULUAN
Tumor mediastinum dapat terjadi pada usia
berapa saja, tetapi yang paling sering adalah pada
dekade tiga sampai lima. Insiden tumor mediastinum
di setiap kompartemen anatomi bervariasi menurut
usia. Pada 54% orang dewasa tumor mediastinum
terjadi di anterior, 20% di medial, 26% di posterior.1
Pada tumor mediastinum sel germinal penanda
tumor bermanfaat untuk membantu diagnosis,
penentuan stadium tumor, monitor respons
pengobatan dan sebagai indikator prognosis tumor.
Penanda tumor ini ditemukan pada 90% tumor
germinal. Kebanyakan seminoma tidak menunjukkan
peningkatan tumor marker saat diagnosa ataupun
relapse, tetapi dapat juga ditemuka peningkatan β-
HCG (5-10% kasus). Peningkatan AFP mengarahkan
diagnosa pada nonseminoma sel tumor germinal.2,3
LAPORAN KASUS
Pada kasus ini dilaporkan seorang penderita
laki-laki usia 32 tahun dengan keluhan utama bengkak
pada wajah, leher, dan lengan kanan sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit dan memberat dalam 3
hari, disertai sesak 3 hari yang tidak berkurang
dengan istirahat. Batuk darah selama 2 hari sekitar
150 cc/ 24jam. Riwayat seminoma testis yang
dilakukan orkidektomi 3 tahun lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
edema wajah dan leher, vena-vena kolateral pada
dinding dada. Penurunan pergerakan dan suara napas
pada bagian kanan atas dan tengah dengan
keredupan pada perkusi. Tidak didapatkan ronki
ataupun wheezing. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan peningkatan β-HCG (591,4 mIU/ml) dan
LDH (676 IU/L).
Foto toraks PA tampak tumor mediastinum
superior anterior terutama sisi kanan dengan
silhouette sign dan gambaran pneumonia diferential
diagnosis dengan proses metastasis pada lapangan
bawah paru kanan (Gambar 1). CT scan toraks
menunjukkan adanya tumor mediastinum anterior
superior terutama kanan hingga medius yang
mendesak jantung dan trakea ke kiri, serta
menyempitkan trakea hingga bronkus utama kanan
dan kiri dengan gambaran metastasis pada paru
(Gambar 2).
Gambar 3. Hasil Patologi Anatomi dengan pembesaran
100x
Gambar 1. Foto toraks PA
Hasil Patologi Anatomi dari biopai jarum halus
dengan tuntunan USG didapatkan pada pe-meriksaan
mikroskopik hapusan tampak kelompok sel epitel
dengan inti bulat oval relatif uniform dan kromatin
kasar dengan kesimpulan adeno-karsinoma, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.
284
Gambar 2. CT Scan Toraks
Pada pasien ini dilakukan kemoterapi 1 siklus dengan
6x pemberian menggunakan cisplatin 100 mg dan
etoposide 170 mg dengan selang waktu 21 hari.
Selama kemoterapi, pasien mengalami perbaikan
klinis dan pengurangan keluhan serta tidak
didapatkan efek samping kemoterapi yang
menganggu. Hasil foto toraks setelah kemoterapi
massa menghilang dengan didapatkan gambaran sisa
berupa infiltrat dan kavitas samar.
Gambar 4. Foto Toraks PA (A) sesudah kemoterapi 4x (B)
sesudah kemoterapi 6x
DISKUSI
Tumor testis merupakan keganasan
terbanyak pada pria yang berusia diantara 15-35
tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada
pria. Akhir-akhir ini terdapat perbaikan usia harapan
hidup pasien yang mendapatkan terapi jika
dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, karena
sarana diagnosis yang lebih baik, ditemukannya
penanda tumor, regimen kemoterapi dan radiasi,
serta teknik pembedahan yang lebih baik.2,4
Gambaran klinis pada penderita menunjukkan
sindroma vena kava superior yang disebabkan
penekanan tumor mediastinum pada vena kava
superior sehingga menimbulkan gejala sesak,
pembengkakan kepala dan leher, batuk, nyeri dada,
vena-vena kolateral pada dinding dada. Pada
penderita diberikan terapi konservatif dengan elevasi
tempat tidur, oksigenasi, diuretik, dan
A
B
285
kortikosteroid.5,6
Terjadi perbaikan klinis sesudahnya
sehingga dapat dikerjakan tata laksana lanjut untuk
penegakan diagnosa.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan beta HCG dan LDH disertai gambaran
tumor mediastinum dengan riwayat seminoma testis.
Serum tumor marker sangat membantu dalam
penegakan diagnosa tumor germinal karena
didapatkan meningkat pada 90% kasus. Seminoma
murni biasanya tidak menunjukkan peningkatan
serum tumor marker, tetapi 5-10% dapat terjadi
peningkatan β-HCG, dimana menunjukkan terdapat
elemen sinsitiotrofoblas dalam tumor ini.2,3
Apabila
ditemukan peningkatan AFP pada penderita dengan
tumor germinal, maka dapat dipastikan itu bukanlah
suatu seminoma murni, dapat berupa campuran atau
suatu nonseminoma.7 Pada penderita didapatkan nilai
AFP normal sehingga diagnosa pada penderita suatu
tumor germinal jenis seminoma.
Seminoma berbeda sifat-sifatnya dengan non
seminoma, antara lain sifat keganasannya, respon
terhadap radioterapi, dan prognosis tumor.
Lebih
dari 50% tumor germinal memiliki tipe sel yang lebih
dari satu atau dikenal dengan tumor germinal
gabungan. Sel germinal berasal dari sel pluripotensial,
sehingga banyak elemen dapat didapatkan, baik pada
tumor germinal primer ataupun sekunder metastase-
nya.2,4
Biopsi jarum halus dengan tuntunan
ultrasonografi memberikan gambaran
adenokarsinoma. Hal ini sempat menjadi keraguan
apakah diagnosa pada pasien tumor germinal ataukah
adenokarsinoma bronkongenik, tetapi
adenokarsinoma tidak menunjukkan peningkatan
serum tumor marker.
Pada tahun 1974 Ray dkk mencatat bahwa
95% tumor primer karsinoma embrional dan
seminoma dapat bermetastase sebagai karsinoma
embrional murni atau menjadi campuran dengan
elemen lain, tetapi sangat jarang yang bermetastase
sebagai seminoma murni (±3%). Meskipun insiden
klinis menyatakan bahwa gambaran metastase
nonseminoma dari suatu seminoma murni hanyalah
kurang dari 10%, tetapi pada studi post mortem
menunjukkan 30-45% pasien dengan seminoma
murni memberikan gambaran metastase sebagai
nonseminoma.4
Pada 90% kasus, gambaran metastase
memberikan histologi yang sama dengan tumor
primer, sedangkan sisanya tidak memberikan
histologi yang sama. Hal ini dapat disebabkan adanya
kesalahan dalam pengambilan jaringan tumor primer
atau metastase telah berdiferensiasi ada subtipe
histologi yang lain.3
Penatalaksanaan yang diberikan sesuai
National Comprehensive Cancer Network (NCCN)
2012, yakni diberikan kemoterapi EP (Etoposide dan
Cisplatinum) sebanyak 4 siklus.8,9
Sesudah satu kali
kemoterapi didapatkan perbaikan klinis dan radiologis
yang signifikan. Kadar Beta HCG dalam serum
didapatkan peningkatan dari 591,4 menjadi 2302. Hal
ini dapat disebabkan oleh karena proses lisis dari
tumor. Kemoterapi dilanjutkan hingga siklus keempat
dan terjadi penurunan kadar beta HCG secara gradual
hingga menunjukkan angka normal pada akhir siklus.
Evaluasi CT scan toraks sesudah 4 siklus
kemoterapi menunjukkan pengurangan massa yang
signifikan dengan residu di mediastinum antero
superior kiri 5x5x6 cm dan nodul multiple dikedua
paru dengan jumlah dan ukuran berkurang, sehingga
diberikan tambahan kemoterapi 2 siklus pada
286
penderita. Hasil CT scan terakhir menunjukkan
pengurangan massa yang signifikan, tetapi masih ada
sekuele di mediastinum 5,5x3,5x4 cm dan nodul di
kedua paru yang berkurang.
Pada umumnya, keputusan terapi diambil
haruslah menunggu hasil histopatologi.
Bagaimanapun juga, pada kasus yang jarang dimana
membutuhkan terapi segera dengan kadar β-HCG dan
AFP yang tinggi, dengan massa testis dan perjalanan
metastase atau gambaran radiologi stadium lanjut
kanker pada garis tengah yang sesuai dengan tumor
sel germinal, merupakan bukti yang cukup untuk
menegakkan diagnosa dan memberikan kemoterapi.10
RINGKASAN
Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki
berusia 32 tahun dengan diagnosa metastase
seminoma testis post orkidektomi sinistra 3 tahun lalu
ke mediastinum dan paru dengan komplikasi
sindroma vena kava superior. Pasien mendapatkan
terapi kortikosteroid dan diuretik untuk penanganan
awal sindroma vena cava superior dan kemoterapi
cisplatin-etoposide 6 siklus. Pasien mengalami
perbaikan klinis, penurunan serum tumor marker,
perbaikan gambaran radiologis dengan sekuele massa
di mediastinum sebesar 5,5x3,5x4 cm dan nodul di
paru kanan dan kiri, tetapi serum tumor marker
dalam batas normal dan penderita tidak mengalami
keluhan apapun, sehingga selanjutnya hanya
dilakukan surveilans klinis, radiologis, dan serum
tumor marker secara berkala pada penderita tanpa
dilanjutkan dengan terapi khusus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roberts K. Fishman’s Pulmonary Diseases and
Disorders, 4th edition: Acquired Lesions of the
Mediastinum: Benign and Malignant;The
McGraw-Hill Companies, 2008, p.1583-1612
2. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Malang, 2011;
267-273
3. Needles B., Cuevas D. The Washington Manual of
Oncology: Testicular Cancer & Germ Cell Tumors.
Lippincott Williams & Wilkins, 2002, p.349-363
4. Richie J., Steele G. Campbell’s Urology, 8th
Edition: Neoplasms of the Testis, 2002, p.2876-
2885
5. Pokja Kanker PDPI. Pedoman Nasional untuk
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2005,
hal. 21-4
6. Yahalom J. 2008. Devita, Hellman & Rosenberg’s
Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th
Edition: Superior Vena Cava Syndrome, p.242
7. Murphy, Douglas, Thompson. Original Research:
Application of the International Germ Cell
Consensus Classification to the Nova Scotia
population of patiens with germ cell tumours.
Canadian Urology Association Journal 2009; 3(2):
120-4.
8. Motzer, Agrawal, Beard, Bhayani, Bolger,
Buyyounouski, et al. Testicular Cancer. Journal of
the National Comprehensive Cancer Network,
2012; 10: 502-535.
9. American Cancer Society. Testicular Cancer,
2011, p.1-43.
10. Gilligan, Hayes, Seidenfeld, Temin. ASCO Clinical
Practice Guideline on Uses of Serum Tumor
Markers in Adult Males with Germ Cell Tumors.
Journal of Oncology Practice, 2010; 6(4): 199-202
287
IMUNOSUPRESAN PADA TRANSPLANTASI GINJAL
Nur Samsu
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Pada saat transplantasi ginjal, rejimen terapi supresi imun merupakan salah satu faktor penentu yang
penting terhadap terjadinya rejeksi akut atau terlambatnya fungsi ginjal cangkok.1 Meskipun faktor
penentu penting, strategi yang optimal rejimen supresi imun sebagai terapi induksi profilaksis untuk
mencegah rejeksi cangkok masih kontroversi.1,2
Pengertian terapi supresi imun induksi adalah pemberian
rejimen supresi imun intensif selama periode perioperatif 3 atau yang lebih spesifik merujuk pada
penggunaan antibodi antilimfosit pada saat transplantasi.1,4
Dasar rasional yang melatarbelakangi
pendekatan ini adalah bahwa risiko terjadinya rejeksi akut paling besar dalam minggu atau bulan-bulan
pertama setelah transplantasi.4 Dengan pemberian terapi induksi dimungkinkan untuk memodifikasi sistem
imun resipien pada saat presentasi antigen donor.1 Jadi tujuan terapi induksi adalah menghasilkan deplesi
limfosit di perifer untuk mengeblok aktifasi sel T dan atau fungsi sel imun lain pada post-transplantasi dini.1
Keuntungan lain dari terapi induksi ini adalah dapat menghindari, membatasi atau menunda pemakaian
penghambat calcineurin segera setelah transplantasi sehingga tidak terjadi vasokonstriksi ginjal terutama
pada pasien yang berisiko untuk terjadi keterlambatan berfungsinya cangkok (delayed graft function,
DGF).5,6
Efek kombinasi diatas diharapkan dapat memperbaiki fungsi yang dini ginjal cangkok,
memperlambat atau mencegah rejeksi dan memperbaiki survival cangkok jangka panjang.6
Kata kunci : imunosupresan, transplan ginjal, terapi induksi, rejeksi akut.
IMMUNOSUPPRESSANTS IN KIDNEY TRANSPLANTATION
ABSTRACT
At the time of renal transplantation, immune suppression therapy regimens are an important determinant
of acute reinjection or delayed kidney transplant function.1 Despite important determinants, the optimal
strategy of immune suppression regimens as prophylactic induction therapy to prevent graft rejection is
controversial. 1,2
The definition of induced immune suppression therapy is the provision of intensive
immune suppression regimens during the perioperative period 3 or more specifically refers to the use of
antilymphocyte antibodies at the time of transplantation.1,4
The rationale behind this approach is that the
risk of acute rejection is greatest in weeks or the first months after transplantation.4 With the provision of
induction therapy it is possible to modify the immune recipient system at the time of presentation of donor
antigen.1 So the purpose of induction therapy is to produce peripheral lymphocyte depletion to block
activation of T cells and / or other immune cell function in early post-transplantation.1 Another advantage
of induction therapy is to avoid, limit or delay the use of calcineurin inhibitors immediately after
transplantation so that renal vasoconstriction does not occur especially in patients at risk for delayed
function of the graft function (DGF).5.6
The above combined effects are expected to improve the early
functioning of the transplanted kidneys, slow or prevent rejection and improve long-term graft survival.6
Keywords : immunosuppressant, kidney transplant, induction therapy, acute rejection
Tinjauan Pustaka
Korespondensi:
dr. Nur Samsu, SpPD-KGH
Email: [email protected]
Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017
288
PENDAHULUAN
Berdasar data transplan tahunan di AS, dari
tahun 2000 sampai 2004 terdapat sekitar 63,6%
resipien cangkok ginjal yang menerima terapi
induksi menggunakan antibodi, baik poliklonal atau
monoklonal.7,8
Dari sejarahnya, penggunaan terapi
induksi berbasis antibodi mengalami pasang-surut,
tergantung pada efikasi terapi pemeliharaan yang
tersedia, kemungkinan risiko terapi induksi itu
sendiri dan tujuan terapi.3 Pada era awal
transplantasi ginjal (sekitar tahun 1960 sampai
1970-an), pilihan terapi supresi imun terbatas pada
penggunaan azathioprine dan prednison. Dengan
terapi tersebut, kejadian kehilangan fungsi cangkok
dalam satu tahun sekitar 50%, yang terjadi
terutama akibat rejeksi. Kemudian pada tahun
1970-an digunakan globulin antilymphocyte, tetapi
masih menimbulkan kontroversi terkait efikasi,
produksi dan standarisasinya. Baru pada tahun
1980-an sejak diperkenalkannya penggunaan
siklosporin, terjadi perubahan yang bermakna
dalam bidang transplantasi ginjal. Angka rejeksi
turun dan survival cangkok dalam satu tahun
mencapai 72 sampai 89,5%. Pada tahun 1985
diperkenalkan OKT3 sebagai terapi induksi. Karena
efektifitasnya, OKT3 pada awalnya banyak
digunakan, tetapi karena pertimbangan efek
samping yang ditimbulkannya serta penggunaan
siklosporin yang memberikan hasil yang jauh lebih
baik dibanding azathioprine dan prednison, maka
penggunaan OKT3 sebagai terapi induksi secara
umum mengalami penurunan. Kemudian, pada
akhir tahun 1990-an, dengan dikembangkannya
antibodi anti reseptor IL-2, antusiasme terapi
induksi berbasis antibodi timbul kembali.3
Sampai saat ini, terapi berbasis antibodi
yang digunakan untuk induksi meliputi antibodi
antithymocyte (baik yang berasal dari serum kuda,
Atgam atau serum kelinci, ATG), basiliximab (suatu
chimeric human-murine anti-CD25 atau antibodi
anti reseptor interleukin-2, IL-2), daclizumab (suatu
humanized antibodi anti reseptor IL-2) OKT3
(muromonab-CD3, suatu antibodi anti CD-3 tikus)
dan alemtuzumab (suatu antibodi anti-CD52 pada
sel B dan sel T).1,3
Dampak penggunaan obat-obat
ini pada transplantasi jangka panjang masih
kontroversi, tetapi dari bukti-bukti penelitian pada
subkelompok risiko tinggi menunjukkan hasil yang
lebih baik dalam hal survival ginjal cangkok.9
Pembahasan pada tulisan ini difokuskan
pada terapi induksi berbasis antibodi, rekomendasi
protokol terapi induksi berdasar pada penelitian-
penelitian yang ada serta akan diulas pula secara
singkat mekanisme kerja obat-obat yang digunakan
termasuk kortikosteroid, yang merupakan
komponen penting terapi induksi, baik yang
konvensional maupun berbasis antibodi.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid memiliki posisi sentral dalam
transplantasi klinik sejak pertama kali digunakan
untuk terapi penolakan pada tahun 1960-an.10
Dibandingkan dengan sebagian besar
imunosupresan pada umumnya yang menurunkan
reaktifitas imun melalui mekanisme yang spesifik,
maka steroid bekerja pada bermacam-macam
tempat dalam respon imun dan mempunyai
kemampuan imunosupresan yang multifaktorial.
Efek kortikosteroid yang difus ini merefleksikan
kenyataan bahwa sebagian besar jaringan mamalia
mempunyai reseptor glukokortikoid dalam
289
sitoplasma dan dapat bertindak sebagai target
terhadap efek kortikosteroid. Kerja imunosupresif
dari kortikosteroid dapat dibagi berdasar kerja
spesifiknya pada makrofag dan sel T, efek supresi
imun non-spesifik dan antiinflamasi.10
Mekanisme Kerja
Meskipun steroid telah lama digunakan,
mekanisme pasti supresi imun belum jelas benar.
Pada awalnya diasumsikan bahwa steroid
menyebabkan supresi imun terutama melalui
mediasi peradangan. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk dapat memperbaiki pemahaman
secara lebih jelas mekanisme supresi imun steroid.
Pada awalnya berhasil ditunjukkan terjadinya
limfolisis lalu limfopenia setelah diberi steroid dosis
tinggi. Berikutnya pada tahun 1975-an dibuktikan
adanya sekuestrasi limfosit dalam sistem
retikuloendotelial setelah pemberian steroid dosis
tinggi (redistribusi limfosit dari kompartemen
vaskuler kembali ke jaringan limfoid).11
Pada awal 1999-an berhasil dibuktikan
bahwa komponen utama fungsi steroid adalah
melalui blokade ekspresi gen terhadap limfokin dan
sitokin yang sangat penting untuk mengawali
respon imun. Steroid menghambat fungsi sel
dendritik, yang merupakan sel yang
mempresentasikan antigen terpenting. Steroid
bersifat hidrofobik dan dapat berdifusi kedalam sel.
Didalam sel berikatan dengan reseptor sitoplasmik
dan bergabung dengan HSP 90. Gabungan dengan
Heat Shock Protein (HSP) menyebabkan disosiasi
HSP dan kompleks steroid-reseptor mengalami
translokasi kedalam nukleus selanjutnya berikatan
dengan sekuen DNA yang dikenal sebagai
glucocorticoid response elements (GREs). Sekuen
GRE telah ditemukan dalam region promoter
beberapa gen-gen sitokin, sehingga diduga bahwa
ikatan kompleks steroid-reseptor pada GRE
menghambat transkripsi gen-gen sitokin.
Kortikosteroid juga menghambat translokasi
kedalam nukleus dari NF-kB, suatu faktor transkripsi
yang berperan utama dalam menginduksi gen yang
mengkode bermacam-macam sitokin.
Kortikosteroid menghambat ekspresi IL-1, IL-2, IL-3,
IL-6, TNF-α dan IFN-γ, sehingga menyebabkan
semua stadium pada proses aktifasi sel T menjadi
terhambat.10,12,13
Karena hambatan ekpsresi IL-1
dan IL-6 oleh makrofag dan monosit, maka steroid
juga mampu menekan sistem imun, baik seluler
maupun humoral, karena IL-1 adalah ko-stimulus
terhadap aktifasi sel T, sedangkan IL-6 adalah
penginduksi utama sel B. 11,12
Sediaan dan Cara Pemberian
Dalam bidang transplantasi klinik,
kortikosteroid biasanya diberikan dengan 3 cara,
sebagai pulse dosis tinggi IV atau oral yang
diberikan selama 3 - 5 hari; sebagai siklus steroid
atau taper dengan penurunan dosis oral secara
gradual selama beberapa hari atau minggu; atau
sebagai dosis rendah harian atau rejimen
pemeliharaan setiap dua hari sekali.10
Sediaan
kortikosteroid yang paling sering digunakan dalam
transplantasi ginjal adalah metilprednisolon.
Prednisolon merupakan kortikosteroid
imunosupresif sirkulasi yang paling aktif.
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid
intravena yang paling sering digunakan. Waktu
paruh obat ini terukur dalam jam, tetapi
kapasitasnya untuk menghambat produksi limfokin
dapat persisten selama 24 jam, sehingga pemberian
sekli sehari sudah adekuat.10
290
Umumnya metilprednisolon diberikan
secara intraoperatif dengan dosis sampai 1 g.
Kemudian dosis diturunkan secara cepat dari 150
mg pada hari ke-1 menjadi 20 sampai 30 mg pada
hari ke-14. Beberapa program transplantasi tanpa
memberikan steroid sama sekali, memodifikasinya
atau memulai dengan dosis 30 mg setiap hari atau
bahkan kurang. Dosis prednison oral maksimal pada
bulan ke-1 adalah 20 mg dan bulan ke-3 sebesar 15
mg. Setelah setahun, banyak pasien toleran dengan
rejimen pemeliharaan setiap dua hari sekali. Dosis
pemeliharaan jangka panjang biasanya sekitar 5
sampai 7,5 mg perhari.10
ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL
Antibodi poliklonal dihasilkan oleh imunisasi
kuda atau kelinci dengan jaringan limfoid manusia
untuk mendapatkan fraksi globulin gamma.
Beragam antibodi poliklonal, yaitu ALG
(antilimfoblas serum) dan ATG telah dipakai diklinik
sejak tahun 1970-an. Saat ini antibodi poliklonal
yang dipakai secara luas dalam klinik hanya
antithymocyte globulin, Atgam dan
Thymoglobulin.10
Atgam merupakan larutan
globulin gamma yang telah dimurnikan yang
dihasilkan melalui imunisasi kuda dengan timosit
manusia. Atgam mengandung antibodi terhadap
bermacam-macam antigen permukaan sel T,
termasuk antigen MHC. Thymoglobulin merupakan
antibodi poliklonal yang berasal dari kelinci. Seperti
halnya Atgam, Thymoglobulin juga mengandung
antibodi terhadap bermacam-macam antigen sel T
dan MHC.11,12
Sedangkan antibodi monoklonal
muromonab-CD3 telah dipakai dalam klinik sejak
tahun 1987, serta antibodi monoklonal humanized
anti-Tac (HAT), daclizumab dan basiliximab sejak
tahun 1998. Antibodi monoklonal lain, rituximab
dan alemtuzumab (campath 1H) juga telah
dikembangkan dalam transplan klinik.
Imunosupresan biologi dapat digunakan untuk
induksi dan untuk terapi rejeksi akut, tidak
digunakan sebagai imunosupresan pemeliharaan
(tabel 1). Antibodi poliklonal, OKT3 dan
alemtuzumab menyebabkan deplesi sel T sehingga
disebut antibodi depleting, sedangkan antibodi
monoklonal HAT menyebabkan disfungsi sel T tetapi
nondepleting.10
Tabel 1. Sediaan Antibodi untuk Imunosupresan
Transplan Ginjal
Terapi
Indikasi Mekanisme
kerja
Induksi Rejeksi Deplesi
Limfosit
Monoclonal
- OKT3
- Basiliximab
- Daclizumab
+
+*
+*
+
-
-
Ya
Tidak
Tidak
Poliklonal
- Atgam
- Thymoglo-
bulin
+
(+)
+
+
Ya
Ya
+, sudah disetujui FDA; (+) belum disetujui tetapi sudah
biasa digunakan
* direkomendasikan untuk diberikan bersamaan dengan
CNI
Antibodi Poliklonal
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja antibodi poliklonal secara
pasti belum dipahami sepenuhnya. Antibodi
poliklonal mengandung antibodi sitotoksik terhadap
beragam petanda sel T.10
Antibodi poliklonal
menghambat limfosit T dan menyebabkan lisis sel
melalui interaksi dengan bermacam-macam
petanda permukaan sel. Lisis sel yang dimediasi
komplemen dan opsonisasi sel oleh antibodi akan
diikuti dengan removal sel-sel retikuloendotelial
dari sirkulasi kedalam limfa dan hati. Antibodi
291
poliklonal menghambat reaksi imun yang dimediasi
sel, termasuk penolakan cangkok, hipersensitifitas
lambat dan penyakit graft-versus-host (GFD), tetapi
efeknya pada produksi antibodi yang tergantung
timus hanya kecil.10
Antibodi polikonal bekerja secara non-
spesifik pada semua limfosit dan menyebabkan
supresi imun yang bersifat menyeluruh. Oleh karena
banyaknya sistem imun, spesifisitas antibodi
poliklonal menghasilkan induksi yang lebih efektif
dibandingkan antilimfosit monoclonal.14
Setelah
pemberian, segera akan terjadi deplesi limfosit
perifer serta dapat terjadi limfopenia yang berat
dengan pemulihan secara perlahan-lahan. Dengan
menggunakan Thymoglobulin, dapat terjadi
limfopenia yang berkepanjangan, dan subset CD4
dapat tersupresi selama beberapa tahun. Efek
imunosupresif yang berkepanjangan dari obat-obat
ini mungkin berperan terhadap relatif lebih
jarangnya episode rejeksi berulang jika
dibandingkan dengan OKT3.10
Cara Pemberian dan Efek Samping
Dosis Thymoglobulin standar adalah 1,5
mg/kg dalam kur 4 sampai 10 hari. Pemberian
terapi induksi secara intraoperatif lebih efektif
dalam mengurangi kejadian kelambatan fungsi
cangkok dan mengurangi lamanya perawatan
dirumah sakit.10,15
Thymoglobulin dicampur dengan
D5% atau NS 500 mL dan diinfuskan dalam 4 sampai
8 jam melalui vena sentral atau fistula. Melalui vena
perifer terkadang dapat terjadi trombosis vena atau
tromboplebitis. Untuk mencegah terjadinya reaksi
alergi, pasien diberikan premedikasi berupa
metylprednisolone 30 mg dan dipenhydramine
hydrochloride 50 mg secara IV 30 menit sebelum
terapi. Parasetamol diberikan sebelum dan 4 jam
setelah terapi. Tanda-tanda vital dimonitor setiap
15 menit dalam jam pertama infus kemudian setiap
jam sampai infus selesai. Azathioprine,
mycophenolate mofetil (MMF) dan sirolimus
sebaiknya dihentikan selama kur terapi untuk
mencegah memberatnya efek samping hematologi.
Siklosporin atau tacrolimus dapat dihentikan atau
diberikan dalam dosis rendah selama kur terapi.10
Sebagian besar efek samping antibodi poliklonal
terkait dengan protein asing antibodi itu sendiri
(antibodi poliklonal sangat imunogen). Disamping
itu, kondisi supresi imun yang menyeluruh akibat
antibodi poliklonal ini dapat menyebabkan
terjadinya gangguan limfoproliferatif post-transplan
atau infeksi yang serius, terutama oleh CMV. Oleh
karena itu terapi antibodi poliklonal harus dilakukan
dirumah sakit dengan tersedianya fasilitas isolasi
terhadap infeksi. Reaksi akut terjadi pada hampir
semua pasien dalam beberapa hari terapi, yang
ditandai oleh panas, menggigil bahkan anafilaksis.10
Dapat juga terjadi serum sickness atau
glomerulonefritis yang diinduksi kompleks imun.
Serum sickness terjadi antara 7 sampai 14 hari
setelah dimulainya terapi.10
Semua antibodi
poliklonal dapat menyebabkan trombositopenia
dan lekopenia. Lekopenia sering pada terapi dengan
Thymoglobulin dan terjadi sampai ½ pasien. Dosis
biasanya diturunkan setengahnya pada pasien
dengan hitung platelet 50.000 sampai 100.000
sel/mL atau lekosit kurang dari 3.000 sel/mL dan
dihentikan bila lebih rendah dari nilai tersebut.10
Efek toksik dapat diminimalkan dengan
menggunakan fraksi serum yang kemurniannya
tinggi, diberikan secara intravena dan dikombinasi
dengan imunosupresan lain seperti siklosporin dan
292
kortikosteroid.10
Strategi lain sebagai metode
alternatif pemberian Thymoglobulin adalah dengan
kur 3 hari. Thymoglobulin diberikan dengan dosis 3
mg/kg secara intraoperatif, lalu post-operatif pada
hari ke-1 dan ke-2.16
Antibodi Monoklonal
1. Antibodi Monoklonal OKT3
Mekanisme Kerja
Antibodi monoklonal immunoglobulin (Ig) G
mempunyai spesifisitas terhadap tempat antigenik
tunggal. Antibodi monoklonal yang pertama
diaplikasikan di klinik adalah anti-CD3 (OKT3). OKT3
adalah antibodi monoklonal yang dihasilkan dari
hibridisasi limfosit B murine antibody-secreting
dengan line sel mieloma non-secreting yang
potensial neoplastik yang memungkinkan sekresi
antibodi untuk selama-lamanya. Berbeda dengan
antibodi monoklonal humanized, maka OKT3 adalah
xenogeneic karena keseluruhan antibodi adalah
berasal dari murine. OKT3 bereaksi dengan sel T
manusia melalui ikatan dengan salah satu dari
subunit kompleks CD3, yang merupakan bagian
intrinsic reseptor sel T. Akibat lanjut dengan
deaktifasi kompleks CD3 menyebabkan TCR
mengalami endositosis dan hilang dari permukaan
sel. Sel T menjadi tidak memberi efek dan dalam 1
jam akan mengalami opsonisasi dan dibuang dari
sirkulasi masuk dalam sistem retikuloendotelial.
OKT3 juga mengeblok fungsi sel T killer, yang
berperan penting dalam membangkitkan respon
rejeksi. 10
Bersamaan dengan deplesi sel-sel CD3+,
juga terjad deplesi sel T dengan petanda-petanda
permukaan lain (CD4, CD8, CD11). Dalam beberapa
hari, sel T yang mengemban CD4, CD8 dan CD11
muncul lagi dalam sirkulasi tetapi tanpa CD3. Sel-sel
CD3+ fungsional akan muncul lagi kemudian setelah
pemberian OKT3, kemungkinan karena produksi
antibodi netralisasi.10
Cara Pemberian dan Efek Samping
Dosis standar OKT3 adalah 5 mg diberikan
secara bolus IV melalui filter Millipore. Kur standar
terdiri atas dosis harian selama 10 hari (terkadang
lebih singkat, 5 – 7 hari atau lebih lama, 14 hari).
Protokol pemberian dengan dosis lebih kecil,
kemungkinan juga sama efektifnya. Beberapa dosis
pertama OKT3 harus diberikan di rumah sakit. Dosis
pertama diberikan saat operasi dengan
berpedoman pada protokol yang
direkomendasikan. Jika obat dapat ditoleransi
dengan baik, maka dosis selanjutnya dapat
diberikan secara rawat jalan.10
Dalam 24 sampai 48
jam setelah kur pertama CD3+, menurun dari 60%
menjadi 5% dan semakin rendah jika diberikan kur
yang kedua. Jika CD3+ tidak menurun atau menurun
diikuti peningkatan yang cepat menandakan adanya
blocking antibodi. Pemberian secara bersamaan
dengan calcineurine inhibitor (CNI), MMF atau
azathioprine dapat meminimalkan respon
antibodi.10
293
Tabel 2. Protokol Rekomendasi Penggunaan OKT310
1. Sebelum pemberian dosis pertama, pasien kondisi tidak edema, dalam 3% berat kering dan foto
thoraks negatif
2. Pada pasien edema (volume berlebih) gunakan diuretik dosis tinggi, dialisis atau ultrafiltrasi untuk
mencapai euvolemia.
3. Berikan premedikasi 10-60 menit sebelum dosis pertama dan kedua. Premedikasi terdiri atas
metilprednisolon 5-8 mg/kg, dipenhidramin hidroklorid 50 mg IV dan asetaminofen 500 mg PO.
4. Sebelum dosis pertama dan kedua, monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 2 jam
kemudian setiap 30 menit selama 2 jam.
5. Premedikasi tidak diperlukan untuk dosis berikutnya, gunakan asetaminofen 500 mg bila ada
panas.
6. Jika OKT3 dihentikan selama lebih dari satu dosis, ulangi tindakan pencegahan dosis pertama.
7. Lanjutkan dengan CNI, azathioprin atau MMF dosis rendah selama kur terapi.
8. Jika dilanjutkan CNI, gunakan setengah dosis, kembali ke dosis penuh 2 hari sebelum selesai kur
dan pastikan kadar terapeutiknya.
9. Setelah dua dosis pertama, lanjutkan prednison berdasar protokol.
10. Gunakan profilaksis antivirus dan antibakterial
11. Dalam kur kedua OKT3, monitor kadar CD3 minimal dua kali seminggu.
12. Setelah dua dosis pertama, dorong diuresis pasien.
13. Pertimbangkan pemberian secara rawat jalan setelah dosis ketiga pada pasien yang stabil.
Efek samping serius yang potensial fatal
dapat terjadi dalam hari-hari pertama terapi, yang
disebut sindroma release sitokin yang terjadi akibat
sel T yang ’plummets’ dan sitokin yang dihasilkan
sel T dilepaskan dalam sirkulasi (termasuk TNF, IL-2
dan IFN-γ). Aktifasi segera komplemen juga
berperan penting terhadap timbulnya sindroma ini.
Efek samping lain berupa panas dan menggigil, yang
terjadi 45 menit sampai beberapa jam setelah
injeksi. Terjadi setelah dosis pertama dan biasanya
berkurang pada dosis kedua. Edema paru dapat
terjadi setelah dosis pertama atau kedua jika pasien
tidak dalam keadaan euvolemik pada saat
penyuntikan. Nefrotoksisitas yang ditandai oleh
peningkatan kreatinin serum dapat terjadi dalam
hari-hari pertama terapi, tetapi biasanya bersifat
sementara. Terjadi akibat perubahan hemodinamik
terkait release sitokin. Efek samping neurologi
dapat berupa sakit kepala ringan sampai
ensepalopati yang berat. Biasanya dapat terjadi
pada pasien dengan kelambatan fungsi cangkok dan
pasien diabetes. Infeksi terutama CMV, merupakan
efek samping yang terjadinya lambat, yang
tergantung pada jumlah kur dan keseluruhan obat
imunosupresan yang diberikan.10
2. Antibodi Monoklonal Anti-CD25
HumanizedMekanisme Kerja
Antibodi monoklonal anti-CD25 basiliximab
dan daclizumab target sasarannya pada rantai alfa
(disebut juga CD25 atau Tac) dari reseptor IL-2.
Reseptor IL-2 mengalami upregulated hanya pada
294
sel T yang teraktifasi. Akibat ikatan reseptor dengan
antibodi, maka respon yang dimediasi oleh IL-2
diblok.12,17
Antibodi monoklonal anti-CD25
merupakan pelengkap efek CNI, yang menurunkan
produksi IL-2.10
Basiliximab (Simulect) dan daclizumab
(Zenapax) merupakan chimeric (human/murine)
antibodi monoklonal yang relatif baru, yang dapat
digunakan sebagai terapi induksi yang efektif
dengan efek samping yang minimal. Keduanya
berasal dari antibodi monoklonal murine, yang
secara genetik sebagian besar dari molekul diganti
oleh IgG manusia. Sehingga dihasilkan senyawa
yang mempunyai immunogenicity yang rendah oleh
karena tidak menginduksi produksi human
antimurine antibody dalam jumlah yang bermakna.
Akibat lanjut kedua senyawa ini mempunyai waktu
paruh yang panjang dalam darah tepi dan tidak
menginduksi reaksi dosis pertama. Kedua senyawa
berbeda dengan OKT3 yang murni xenogeneic, yang
mempunyai waktu paruh pendek, membangkitkan
respon antimurine yang kuat dan menimbulkan
reaksi dosis pertama yang berat.10
Pada basiliximab, keseluruhan variable
region antibodi murine tetap intak, sedangkan
constant region berasal dari IgG manusia,
menghasilkan senyawa dianggap chimeric (75%
human dan 25% murine). Sedangkan daclizumab,
hanya tempat ikatan antibodi yang berasal dari
murine dan menghasilkan senyawa yang dianggap
humanized (90% human dan 10% murine).
Perbedaan ciri-ciri antar senyawa ini berperan
terhadap perbedaan afinitasnya terhadap reseptor
IL-2. Afinitas basiliximab terhadap reseptor IL-2
lebih besar dibanding daclizumab. Perbedaan ini
hanya mempunyai arti klinik yang kecil tetapi dapat
menjelaskan lebih besarnya dosis yang diberikan
pada daclizumab dibanding basiliximab.10
Cara Pemberian dan Efek Samping
Potensi supresi imun kedua obat diduga
terkait dengan kapasitasnya yang dapat berikatan
secara konsisten dan lengkap dengan reseptor IL-2α
pada sel T. Keduanya mempunyai waktu paruh lebih
dari 7 hari, sehingga dapat diberikan dengan
interval yang lama.10,12
Protokol dosis yang
digunakan untuk uji klinik dalam transplantasi
didesain untuk dapat menyebabkan ikatan pada
tempat reseptor dalam periode post-tranplan dini,
yang merupakan periode dengan insiden rejeksi
akut paling tinggi.10
Basiliximab diberikan dua dosis
masing-masing 20 mg secara IV, dosis pertama saat
operasi dan dosis kedua 4 hari setelah operasi.
Rejimen ini menyebabkan terjadinya saturasi pada
tempat reseptor IL-2α selama 30 sampai 45 hari.
Untuk daclizumab, diberikan 5 dosis masing-masing
1 mg/kg, dimulai saat operasi kemudian dengan
interval 2 minggu. Rejimen ini menyebabkan
saturasi pada tempat reseptor IL-2α sampai 12
minggu.10
Efek samping kedua obat tersebut hampir
tidak ada. Anafilaksis atau reaksi dosis pertama
tidak ditemukan pada pemberian daclizumab,
hanya kadang-kadang dengan basiliximab. Pada uji
klinik, kejadian efek samping yang khas terkait
transplan tidak lebih besar pada kelompok terapi
dibanding kelompok kontrol.10
3. Antibodi Monoklonal Alemtuzumab
Alemtuzumab (Campath-1H) adalah
antibodi monoklonal anti-CD52 humanized
panlimfositik (pada sel B dan T) yang secara masif
295
mendeplesi jumlah limfosit. Alemtuzumab sudah
disetujui untuk terapi leukemia limfositik kronik
refrakter yang potensial bermanfaat dalam
transplantasi. Meskipun demikian dibeberapa pusat
transplan alemtuzumab telah banyak dipakai untuk
terapi induksi.17
Sebagai terapi induksi,
alemtuzumab menyebabkan deplesi sel-sel limfoid
baik sentral maupun perifer secara cepat dan efektif
yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk
dapat kembali seperti pada kadar pre-transplan.
Penggunaan sebagai obat tunggal tidak
menginduksi toleransi dan dapat terjadi episode
rejeksi akut meskipun pada keadaan tidak ada sel T.
Alemtuzumab digunakan untuk meminimalkan
protokol imunosupresif pemeliharaan dan steroid
sparing dengan monoterapi menggunakan sirolimus
atau CNI dosis rendah.10
Dosis dan frekuensi
pemberian alemtuzumab serta rejimen
imunosupresan pemeliharaan yang optimal jika
menggunakan obat ini masih perlu penelitian lebih
lanjut.
Efek samping alemtuzumab meliputi reaksi
dosis pertama, netropenia, anemia, dan yang lebih
jarang pansitopenia dan autoimunitas.18
EFIKASI RELATIF TERAPI INDUKSI BERBASIS
ANTIBODI
Terapi induksi antibodi merujuk pada
penggunaan antibodi depleting, yaitu OKT3 atau
Thymoglobulin, atau salah satu dari antibodi
monoklonal nondepleting yaitu anti-CD25 dalam 2
minggu pertama transplantasi.10
Secara umum,
pada penggunaan antibodi depleting, CNI
dihentikan atau dosisnya dipertahankan minimal
sampai 2 - 3 hari sebelum kur antibodi lengkap.10
Protokol induksi menggunakan OKT3 atau antibodi
poliklonal merupakan alternatif utama terhadap
penggunaan CNI pada periode awal transplan. Hal
ini berbeda dengan penggunaan antibodi
monoklonal HAT, yang direkomendasikan untuk
menggunakan CNI secara bersamaan. Dengan terapi
sekuensial, diberikan OKT3 atau antibodi poliklonal
sedangkan CNI diberikan hanya jika kadar kreatinin
mencapai kadar sebelumnya (misal kadar plasma 3
mg/dL). Antibodi dihentikan segera setelah kadar
CNI yang adekuat tercapai. Sehingga pasien dengan
fungsi cangkok yang baik hanya menerima
beberapa hari terapi antibodi. Tabel 3 dibawah
merangkum keuntungan dan kerugian
menggunakan induksi antibodi depleting.10
Uraian
yang menjadi dasar terhadap keuntungan dan
kerugian penggunaan terapi induksi berbasis
antibodi diuraikan lebih lanjut.
ANTIBODI POLIKLONAL.
Antibodi poliklonal terutama digunakan
untuk terapi induksi. Karena berlebihnya sistem
imun, maka secara teoritis antibodi poliklonal yang
mempunyai spesifisitas luas lebih efektif dalam
terapi induksi dibanding antilimfosit monoklonal
(misal OKT3). Pada suatu penelitian menunjukkan,
bahwa pada penggunaan Atgam atau
Thymoglobulin intravena intraoperatif, kejadian
terlambatnya fungsi cangkok hanya 1 %. Lalu
setelah satu tahun, pada kelompok Thymoglobulin
kejadian rejeksi akut lebih rendah (4% vs. 25%) dan
survival cangkok lebih tinggi (98% vs. 83%). Lebih
rendahnya kejadian rejeksi pada Thymoglobulin
antara lain karena limfopenia pada kelompok
Thymoglobulin yang tetap terjadi, sedangkan
rendahnya angka terlambatnya fungsi cangkok
karena pada penggunaan ATG intraoperatif mampu
296
mengeblok molekul adesi, sitokin dan kemokin dan
reseptornya yang berkontribusi terhadap jejas
iskemia reperfusi dan lambatnya fungsi cangkok.19
Pada follow-up jangka lama, pada tahun ke-2,
hitung CD4+ lebih rendah pada kelompok
Thymoglobulin, sedangkan hitung CD8+ tidak ada
perbedaan. Sedangkan pada tahun ke-5, survival
cangkok bermakna lebih baik pada kelompok
Thymoglobulin (77% vs. 57%).20
Tabel 3. Potensi Keuntungan dan Kerugian Induksi
Antibodi Depleting10
Potensi keuntungan
- Memperbaiki survival cangkok pada pasien
risiko tinggi
- Periode terlambatnya fungsi cangkok dapat
diperpendek
- Onset penolakan pertama menjadi lambat
- Meniadakan penggunaan CNI secara dini
Potensi kerugian
- Risiko reaksi dosis pertama
- Mungkin memperlama masa rawat inap
- Biaya yang lebih mahal
- Kejadian infeksi CMV lebih tinggi
- Meningkatnya mortalitas jangka pendek dan
jangka panjang
Thymoglobulin juga dapat diberikan dengan
kur 3 hari. Telah dilakukan penelitian yang
membandingkan Thymoglobulin kur 3 hari dengan
kur 7 hari. Dengan kur 3 hari, Thymoglobulin
diberikan dengan dosis 3 mg/kg secara
intraoperatif, lalu post-operatif pada hari ke-1 dan
ke-2, sedangkan kur 7 hari, Thymoglobulin diberikan
dengan dosis 1,5 mg/kg secara intraoperatif,
dilanjutkan setiap hari sampai 6 hari. Hasilnya pada
1 tahun, episode rejeksi akut tidak ada perbedaan
(5% pada kur 3 hari vs. 4,2% pada kur 7 hari),
survival cangkok (95 vs 98%), survival pasien (95 vs
98%), tetapi lama rawat inap secara bermakna lebih
singkat pada kelompok kur 3 hari (6,1 vs 8 hari).
Disamping itu pada kelompok kur 3 hari, durasi
deplesi limfopenia lebih lama serta lebih berat.21
Disamping itu Thymoglobulin dapat diberikan
dengan dosis rendah (0,5 mg/kg) dikombinasi
dengan basiliximab. Dibanding dosis standar, dosis
rendah yang dikombinasi dengan basiliximab, tidak
ada perbedaan dalam hal survival pasien maupun
cangkok tetapi kejadian efek sampingnya lebih
rendah secara bermakna. 22
OKT3.
Terapi induksi dengan OKT3 tampaknya
paling efektif pada kelompok resipien transplan
yang berisiko tinggi, yaitu donor kadaver,
mengalami sensitisasi, mempunyai ketidakcocokan
2 HLA-DR atau cold ischemic time yang lama.
Penggunaan OKT3 dan induksi segera dengan
siklosporin dapat menyebabkan fungsi cangkok
yang lambat karena vasokonstriksi akibat
siklosporin pada kondisi release sitokin akibat
OKT3.22
Laporan dari The Collaborative Transplant
Study secara jelas menunjukkan bahwa pemberian
sekuensial OKT3 dilanjutkan dengan siklosporin
dapat memberikan hasil angka survival cangkok 3
tahun secara bermakna lebih tinggi dibanding
siklosporin saja, baik pada resipien transplan yang
pertama kali (75% vs. 71%) maupun transplan ulang
(68% vs. 62%). Hal seperti ini tidak ditemui jika
OKT3 dan siklosporin diberikan secara simultan.
Keuntungan terapi sekuensial paling besar pada
pasien dengan risiko tinggi, yaitu pasien dengan
panel antibodi reaktif limfositotoksik lebih dari 50%
serta pada resipien transplan kulit hitam dan
297
pediatrik. Pada pasien yang sensitisasinya tinggi,
angka survival 3 tahun lebih tinggi pada transplan
yang pertama kali (80 vs 63%) dan transplan ulang
(73 vs. 58%).23,24
ANTIBODI RESEPTOR IL-2
Suatu meta-analisis yang melibatkan 38
penelitian dengan hampir 5.000 pasien dilakukan
untuk menilai efek antibody reseptor IL-2 terhadap
loss cangkok ginjal dan angka rejeksi. Dibandingkan
dengan plasebo (ada 14 penelitian, dengan 2.410
pasien), antagonis reseptor IL-2 menurunkan angka
penolakan akut pada 6 bulan (RR 0.66, CI 0.59 -
0.74) dan 1 tahun (RR 0.67, CI 0.60 - 0.75), tetapi
kejadian loss cangkok tidak ada perbedaan.
Sedangkan dibandingkan dengan terapi antibodi
yang lain (ada 9 penelitian dengan 778 pasien),
angka kejadian rejeksi akut (dengan biopsi), loss
cangkok dan kematian, semua penyebab mortalitas
serta kelambatan fungsi cangkok lebih tinggi pada
penggunaan antagonis reseptor IL-2, tetapi dengan
efek samping yang secara bermakna lebih rendah.25
Kedua antibodi resptor IL-2 telah disetujui FDA
untuk terapi induksi pada transplantasi ginjal.
Basiliximab.
Dari 8 penelitian uji acak terkontrol yang
membandingkan basiliximab dengan plasebo atau
obat induksi yang lain (ATG atau OKT3), basiliximab
secara bermakna memperbaiki insiden rejeksi akut
berdasar biopsi pada 6 bulan atau 1 tahun
dibanding plasebo, tetapi tidak berbeda dibanding
OKT3atau ATG. Insiden efek samping dengan
basiliximab sama dengan OKT3 atau ATG.26
Penelitian buta-ganda pada 376 pasien yang
menjalani transplan kadaver primer dan menerima
siklosporin dan steroid dibagi secara acak menjadi
kelompok plasebo dan kelompok basiliximab 20 mg
pada hari ke-0 dan ke-4 post-transplan. Pada
kelompok basiliximab tidak didapatkan sindroma
release sitokin, kejadian infeksi dan efek samping
yang lain sama antar kelompok. Pada kelompok
basiliximab, kejadian rejeksi akut dengan bukti
biopsi lebih rendah (30 vs. 40%).21
Penelitian lain
placebo-controlled pada 348 pasien yang
mengevaluasi efektifitas basiliximab dengan waktu
observasi sedikit lebih lama menunjukkan hasil yang
mirip.27
Analisa lebih lanjut menunjukkan pada
pasien diabetes basiliximab secara bermakna
memperbaiki survival 1 tahun dibanding plasebo
(96 vs 86%), tetapi tidak bermakna pada yang non-
diabetes. Profil keamanan basiliximab dibanding
plasebo pada diabetes maupun non-diabetes tidak
ada perbedaan.27
Penelitian lain yang
membandingkan basiliximab dan ATG sebagai terapi
induksi tambahan pada regimen 3 obat (siklosporin,
MMF dan kortikosteroid) menunjukkan, bahwa,
angka rejeksi akut sama antara kedua kelompok
tetapi kejadian efek samping dalam 1 tahun lebih
rendah pada basiliximab.28
Dibandingkan dengan Thymoglobulin, pada pasien
dengan risiko tinggi untuk terjadi rejeksi akut,
basiliximab tampaknya kurang efektif untuk
mencegah penolakan. Hal ini tampak pada hasil
penelitian acak prospektif multisenter yang
dilakukan pada 278 resipien transplan donor
kadaver dengan membandingkan keamanan dan
efikasi Thymoglobulin kur 5 hari dengan dua dosis
basiliximab. Resipien dan donor dipilih berdasar
karakteristik yang dapat memprediksi risiko normal
atau tinggi untuk rejeksi atau terlambatnya fungsi
cangkok. Kedua kelompok pasien juga
298
mendapatkan siklosporin, MMF dan prednisone
untuk terapi pemeliharaan. Keluaran primer adalah
rejeksi akut, lambatnya fungsi cangkok, loss cangkok
dan kematian. Setelah satu tahun, antara
Thymoglobulin dan basiliximab tidak didapat
adanya perbedaan keluaran dalam hal kejadian
lambatnya fungsi cangkok, loss cangkok dan
kematian, tetapi angka rejeksi akut serta rejeksi
akut yang memerlukan terapi antibodi lebih tinggi
pada kelompok basiliximab (16 vs 26% dan 1,4 vs
8%). Kejadian efek samping serius tidak ada
perbedaan, tetapi pada Thymoglobulin kejadian
infeksinya lebih tinggi (86 vs 75%) dengan angka
kejadian CMV lebih rendah (8 vs 18%).29
Pada kelompok resipien risiko rendah,
terapi induksi basiliximab dibanding Thymoglobulin
tidak ada perbedaan hasil dalam hal survival
cangkok dan pasien serta angka kejadian penolakan
akut, tetapi dengan insiden efek samping termasuk
infeksi CMV yang lebih rendah pada kelompok
basiliximab.30
Daclizumab.
Berdasar hasil dari beberapa penelitian acak
terkontrol yang membandingkan daclizumab
dengan plasebo atau obat induksi yang lain (OKT3),
maka pada kelompok daclizumab secara bermakna
menurunkan insiden rejeksi akut yang dibuktikan
dengan biopsi dan survival pasien yang lebih baik
pada 6 bulan atau 1 tahun dibandingkan dengan
plasebo, tetapi tidak bermakna dibanding dengan
OKT3. Insiden efek samping dengan daclizumab
berkurang dibandingkan OKT3.26
Penelitian yang
mengevaluasi kejadian rejeksi akut dan survival
pada satu dan tiga tahun diantara pasien yang
mendapatkan daclizumab atau plasebo ditambah
terapi imunosupresif tripel (siklosporin,
azathioprine dan steroid) atau dobel (siklosporin
dan steroid) didapatkan hasil, pada bulan ke-12,
pemberian daclizumab menurunkan insiden rejeksi
(28 vs 43%). Pada tahun ke-3, survival cangkok
antara kelompok daclizumab dan plasebo hasilnya
sama.31
ALEMTUZUMAB
Alemtuzumab (Campath-1H) adalah
antibodi monoklonal anti-CD52 humanized
panlimfositik (pada sel B dan T) yang sampai saat ini
disetujui FDA hanya untuk terapi leukemia limfositik
kronik.10
Meskipun demikian, alemtuzumab telah
banyak dipakai untuk terapi induksi. Penelitian oleh
Ciancio et al menunjukkan, bahwa pemberian
alemtuzumab dapat menyebabkan kurang
intensifnya kebutuhan untuk terapi imunosupresan
pemeliharaan pada beberapa resipien transplan,
seperti dengan rejimen dosis sangat rendah
siklosporin, sirolimus atau hanya dengan tacrolimus
atau tanpa steroid. Sebanyak 90 pasien transplan
secara acak dialokasikan untuk mendapat
Thymoglobulin (kelompok A), alemtuzumab
(kelompok B) atau daclizumab (kelompok C). Semua
kelompok mendapatkan tacrolimus dan MMF,
tetapi untuk terapi steroid pemeliharaan hanya
diberikan pada pasien kelompok A dan C. Kadar
target tacrolimus dan MMF juga lebih rendah pada
kelompok B. Pada periode median 15 bulan, angka
survival pasien, cangkok serta rejeksi akut pada
semua kelompok tidak ada perbedaan.32
Penelitian lain dengan melibatkan 126
pasien transplan yang diberikan alemtuzumab
sebagai terapi induksi (dosis 30 mg diberikan dua
dosis pada hari ke-0 dan ke-1) dikombinasi dengan
299
rejimen pemeliharaan konvensional, siklosporin
atau tacrolimus, MMF dan steroid dosis rendah.
Sebagai pembanding adalah pasien transplan yang
mendapatkan antibodi anti CD25 (799 pasien),
Thymoglobulin (160 pasien) atau terapi antibodi lain
(156 pasien). Meskipun ada keterbatasan analisis,
karena ada perbedaan masa, perbedaan profil risiko
serta follow-up yang lebih lama dibanding
kelompok alemtuzumab, pada kelompok
alemtuzumab angka rejeksi menurun secara
bermakna dibanding 3 kelompok yang lain.33
STRATEGI TERAPI SUPRESI IMUN INDUKSI
Secara umum strategi induksi yang
digunakan dipusat-pusat transplan adalah salah
satu dari dua kategori seperti pada tabel 4 dibawah.
Strategi pertama menggunakan imunosupresan
konvensional dosis tinggi sedangkan strategi kedua
menggunakan antibodi terhadap antigen sel T yang
dikombinasi dengan imunosupresan konvensional
tetapi dengan dosis yang lebih rendah. Umumnya
terapi induksi berbasis antibodi lebih disukai dan
memberikan manfaat yang lebih jika diberikan pada
kelompok resipien dengan risiko tinggi untuk
terjadinya DGF, yaitu resipien dengan donor
kadaver, waktu cold-ischemia yang lama, donor
tanpa heartbeat, donor tua dan donor dengan
kegagalan ginjal akut pada saat matinya.3 Hal ini
didukung oleh penelitian-penelitian seperti pada
uraian diatas yang umumnya menunjukkan bahwa
induksi menggunakan antibodi tampaknya lebih
superior dibandingkan dengan rejimen berbasis
non-antibodi, bahkan pada kelompok dengan risiko
yang rendah. Meskipun demikian, sebagian besar
penelitian hanya menekankan pada beberapa faktor
saja yang menjadi pertimbangan dalam penentuan
protokol terapi induksi, belum terbukti bila dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain.34
Adapun faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan dalam menentukan pilihan protokol
induksi terhadap hasil-hasil penelitian adalah
menilai insiden dan beratnya keterlambatan fungsi
cangkok atau non-fungsi primer, termasuk
kebutuhan untuk dan durasi dialisis setelah
transplan; kejadian rejeksi akut; kejadian, tipe dan
beratnya infeksi yang terkait; survival dan fungsi
cangkok jangka panjang; mortalitas dan morbiditas
termasuk lama perawatan dirumah sakit; biaya;
kejadian dan tipe keganasan selama follow-up
jangka panjang.34
Tabel 4. Strategi Terapi Supresi Imun Induksi pada
Transplantasi Ginjal
Konvensional Dosis
Tinggi
Induksi Antibodi
Inhibitor calcineurin:
cyclosporine atau
tacrolimus
Inhibitor calcineurin:
cyclosporine atau
tacrolimus (dosis lebih
rendah dibanding
konvensional)
Kortikosteroid Kortikosteroid
Antimetabolit: MMF
atau Azathioprine
Antimetabolit: MMF atau
Azathioprine (dosis lebih
rendah dibanding
konvensional)
Ditambah dengan salah
satu berikut:
• ALG
• ATG
• OKT3
• Anti-Tac: Daclizumab
atau Basiliximab
REKOMENDASI TERAPI SUPRESI IMUN INDUKSI
Sampai sekarang belum ada konsensus
berkenaan dengan terapi induksi pada transplantasi
ginjal. Pada dasarnya terdapat perbedaan rejimen
terapi induksi tergantung pada kategori risiko
resipien.
300
Resipien Transplan Risiko Normal
Pada kelompok resipien risiko normal,
rekomendasi terapi induksi umumnya berdasar
pada dua strategi, yaitu:
• Diberikan siklosporin emulsi (8 sampai 10
mg/kg), MMF (1 g dua kali sehari), dan
prednison segera setelah pasien diruang
pemulihan. Dosis prednison sangat bervariasi
antar pusat transplan, dapat diberikan 1
sampai 2 mg/kg perhari dan diturunkan cepat
menjadi 30 mg/hari dalam 2 minggu.
• Diberikan metilprednisolon IV (7 mg/kg) dan
thymoglobulin (1.5 mg/kg) secara intraoperatif,
diikuti dengan thymoglobulin 1,5 mg/kg
perhari selama 3 sampai 6 hari. Terapi
pemeliharaan dimulai pada hari pertama post-
operasi dengan siklosporin (mulai dengan 4
mg/kg dua kali sehari, yang selanjutnya dosis
disesuaikan untuk mempertahankan kadar
lembah (trough) 12 jam 200 – 300 ng/mL untuk
3 bulan pertama dan diturunkan untuk
mempertahankan kadar lembah antara 100 –
200 ng/mL), azathioprine (2.5 mg/kg) atau
MMF (1000 mg dua kali sehari, yang
diturunkan menjadi 500 mg dua kali sehari
setelah 5 hari), dan prednisone (1 mg/kg dalam
minggu pertama, yang diturunkan dalam 2
sampai 3 bulan sampai 5 mg/hari).
Selain mengukur kadar lembah siklosporin, sebagai
alternatif dapat digunakan kadar C2 atau kadar 2
jam setelah pemberian. Umumnya dosis siklosporin
disesuaikan untuk mencapai kadar target C2 800 -
1000 ng/mL dalam 3 bulan pertama post-transplan
setelah itu diturunkan menjadi 400 - 600 ng/mL.
Sebagai alternatif siklosporin dapat digunakan
tacrolimus dengan dosis awal 0,05 mg/kg dua kali
sehari, selanjutnya disesuaikan untuk
mempertahankan kadar lembah 8 – 10 ng/mL pada
3 bulan pertama, lalu menjadi 3 – 8 ng/mL pada
bulan berikutnya.34
Resipien Transplan Risiko Tinggi
Terapi induksi agresif lebih bermanfaat
pada kelompok pasien dengan risiko tinggi terhadap
terjadinya rejeksi. Kelompok risiko tinggi meliputi
pasien pediatri, African-American, resipien ginjal
dengan cold ischemia time yang lama, risiko
imunologik, terutama pasien yang presensitized dan
resipien dengan DGF. Disebut DGF bila ginjal masih
belum berfungsi dalam 24-48 jam pertama yang
membutuhkan dialisis. Pasien dengan risiko tinggi
ini, direkomendasikan untuk diberikan terapi
induksi sekuensial dengan thymoglobulin (atau
OKT3) lalu diikuti dengan siklosporin atau
tacrolimus. Thymoglobulin mulai diberikan dalam
kamar operasi biasanya sebelum anastomosis
pembuluh darah atau dalam ruang pemulihan dan
dilanjutkan terus sampai ginjal berfungsi dan
dihentikan dalam 7 sampai 10 hari. Penggunaan
antibodi anti reseptor IL-2 pada pasien risiko tinggi
ternyata tidak lebih efektif dengan rejimen ini.34
DAFTAR PUSTAKA
1. Matas AJ, Gillingham KJ, Payne WD et al. The
Impact of an acute rejection episode on long-
term renal allograft survival (t1/2).
Transplantation 1994;57:857-859.
2. Kahan, BD. Individuality: the barrier to optimal
immunosuppression. Nat Rev Immunol
2003;3:831.
301
3. Josephson MA, M. D. Rabbit Antithymocyte
Globulin or Basiliximab for Induction Therapy?
N Eng J Med 2006; 355: 2033-2035.
4. Brennan DC, Flavin K, Lowell JA, Howard TK,
Shenoy S, Burgess S, Dolan S, Kano JN, Mahon
M, Schnitzler MA, Woodward R, Irish W, Singer
GG. A Randomized, Double-Blinded Comparison
of Thymoglobulin Versus Atgam for Induction
Immunosuppressive Therapy in Adult Renal
Transplant Recipients. Transplantation 1999;
67: 1011-1018.
5. Perico N, Cattaneo D, Sayegh M, Remuzzi G.
Delayed graft function in kidneytransplantation.
Lancet 2004;364:1814 – 1827.
6. Norman DJ, Kahana L, Stuart FP Jr. A
randomized clinical trial of induction therapy
with OKT3 in kidney transplant. Transplantation
1993;55:44.
7. 2005 Annual report of the US. Organ
Procurement and Transplantation Network and
the Scientific Registry of Transplant Recipient:
transplant data 1995-2004. Rockville, MD:
Health Resources and Services Administration,
2006.
8. Brennan, DC, Daller, JA, Lake, KD, et al. Rabbit
antithymocyte globulin versus basiliximab in
renal transplantation. N Engl J Med 2006;
355:1967
9. Meier-Kriesche HU, Arndorfer JA, Kaplan B.
Association of Antibody Induction with Short-
and Long- Term Cause-Specific Mortality in
Renal Transplant Recipients. J Am Soc Nephrol
2002;13: 769-772.
10. Danovitch GM. Immunosuppressive
medications and protocols for kidney
transplantation. In: Handbook of kidney
transplantation. 4th
edn. Danovitch GM ed,
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia
2005:99-102.
11. Ghahramani N. Role of immunospppression
minimization in renal transplantation, A review.
IJI 2004; 1: 78-96.
12. Carpenter CB. Immunosuppression. Nephrology
Rounds 2004;2.
13. Turk Rhen T, Cidlowski JA. Antiinflammatory
Action of Glucocorticoids- New Mechanisms for
Old Drugs. N Engl J Med 2005;353:1711-23.
14. Shaffer D, Ubhi CS, Simpson MA et al.
Prevention of graft-versus-host disease
following small bowel transplantation with
polyclonal and monoclonal antilymphocyte
serum. The effect of timing and route of
administration. Transplantation 1991; 52:948-
952.
15. Goggins, WC, Pascual, MA, Powelson, JA, et al.
A prospective, randomized, clinical trial of
intraoperative versus postoperative
Thymoglobulin in adult cadaveric renal
transplant recipients. Transplantation 2003;
76:798
16. Shapiro, R, Jordan, ML, Basu, A, et al. Kidney
transplantation under a tolerogenic regimen of
recipient pretreatment and low-dose
postoperative immunosuppression with
subsequent weaning. Ann Surg 2003; 238:520.
17. Morris, PJ, Russell, NK. Alemtuzumab (Campath-
1H): a systematic review in organ
transplantation. Transplantation 2006; 81:1361
18. Halloran P. Immunosuppressive drugs for
kidney transplantation. N Engl J Med
2004;351:2715-29
302
19. Brennan, DC, Flavin, K, Lowell, JA, et al. A
randomized double-blinded comparison of
Thymoglobulin versus Atgam for induction
immunosuppressive therapy in adult renal
transplant recipients. Transplantation 1999;
67:1011.
20. Hardinger, KL, Schnitzler, MA, Miller, B, et al.
Five-year follow up of thymoglobulin versus
ATGAM induction in adult renal transplantation.
Transplantation 2004; 78:136.
21. Agha, IA, Rueda, J, Alvarez, A, et al. Short course
induction immunosuppression with
thymoglobulin for renal transplant recipients.
Transplantation 2002; 73:473.
22. Ruggenenti P, Codreanu I, Cravedi P, et al.
Basiliximab Combined with Low-Dose Rabbit
Anti-Human Thymocyte Globulin: A Possible
Further Step toward Effective and Minimally
Toxic T Cell-Targeted Therapy in Kidney
Transplantation. Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:
546-554.
23. Schroeder, TJ, First, MR, Mansour, ME, et al.
Prophylactic use of OKT3 in immunologic high
risk cadaver renal transplant recipients. Am J
Kidney Dis 1989; 14:14
24. Norman, DJ, Kahana, L, Stuart, FP Jr, et al. A
randomized clinical trial of induction therapy
with OKT3 in kidney transplantation.
Transplantation 1993; 55:44.
25. Webster, AC, Playford, EG, Higgins, G, et al.
Interleukin 2 receptor antagonists for renal
transplant recipients: a meta-analysis of
randomized trials. Transplantation 2004;
77:166.
26. Woodroffe R, Yao GL, Meads C et al. Clinical and
cost-effectiveness of newer immunosuppressive
regimens in renal transplantation: a systematic
review and modelling study. Health Technology
Assessment 2005;9:21
27. Nashan, B, Moore, R, Amlot, P, et al.
Randomised trial of basiliximab versus placebo
for control of acute cellular rejection in renal
allograft recipients. Lancet 1997; 350:1193.
28. Sollinger, H, Kaplan, B, Pescovitz, MD,
Philosophe, B. Basiliximab versus antithymocyte
globulin for prevention of acute renal allograft
rejection. Transplantation 2001; 72:1915.
29. Brennan, DC, Daller, JA, Lake, KD, et al. Rabbit
antithymocyte globulin versus basiliximab in
renal transplantation. N Engl J Med 2006;
355:1967.
30. Mourad, G, Rostaing, L, Legendre, C, et al.
Sequential protocols using basiliximab versus
antithymocyte globulins in renal-transplant
patients receiving mycophenolate mofetil and
steroids. Transplantation 2004; 78:584.
31. Bumgardner, GL, Hardie, I, Johnson, RW, Lin, A.
Results of 3-year phase III clinical trials with
daclizumab prophylaxis for prevention of acute
rejection after renal transplantation.
Transplantation 2001; 72:839.
32. Ciancio, G, Burke, GW, Gaynor, JJ, et al. A
randomized trial of three renal transplant
induction antibodies: early comparison of
tacrolimus, mycophenolate mofetil, and steroid
dosing, and newer immune-monitoring.
Transplantation 2005; 80:457
33. Knechtle, SJ, Fernandez, LA, Pirsch, JD, et al.
Campath-1H in renal transplantation: The
University of Wisconsin experience. Surgery
2004; 136:754.
303
34. Vella J, Brennan DC. Induction
immunosuppressive therapy in renal
transplantation. UpToDate, 2007
35. Watson, CJ, Bradley, JA, Friend, PJ, et al.
Alemtuzumab (CAMPATH 1H) induction therapy
in cadaveric kidney transplantation--efficacy
and safety at five years. Am J Transplant 2005;
5:1347.
36. Stratta RJ. Use of Induction Agents with
Calcineurin Inhibitors to Maximize Outcomes in
Kidney Transplantation. Transplantation
2005:6(2)
37. Tatjana R. Immunosuppression in the past and
today. Acta Medica Lituanica 2005;12: 10-17
38. Adu D, Coclwell P, Ives NJ, Shaw J, Wheatley K.
Interleukin-2 receptor monoclonal antibodies in
renal transplantation: meta-analysis of
randomized trials. BMJ 2003; 326: ----------
39. Webster AC. The addition of anti-CD25 antibody
induction to standard immunosuppressive
therapy for kidney transplant recipients.
NEPHROLOGY 2007; 12: S75-S84.
40. Szczech LA, MD, MS; Berlin JA, ScD; Feldman HI,
MD, MS. The Effect of Antilymphocyte
Induction Therapy on Renal Allograft Survival A
Meta-Analysis of Individual Patient-Level Data.
41. Kahan, BD. Drug therapy: Cyclosporine. N Engl J
Med 1989; 321:1725.
42. Vincenti, F, Kirkman, R, Light, S, et al.
Interleukin-2-receptor blockade with
daclizumab to prevent acute rejection in renal
transplantation. N Engl J Med 1998; 338:161.
43. Starzl, TE, Murase, N, Abu-Elmagd, K, et al.
Tolerogenic immunosuppression for organ
transplantation. Lancet 2003; 361:1502.
44. Szczech, LA, Berlin, JA, Aradhye, S, et al. Effect
of anti-lymphocyte induction therapy on renal
allograft survival: a meta-analysis. J Am Soc
Nephrol 1997; 8:1771.
45. Ruggenenti, P, Codreanu, I, Cravedi, P, et al.
Basiliximab combined with low-dose rabbit anti-
human thymocyte globulin: A possible further
step toward effective and minimally toxic T cell-
targeted therapy in kidney transplantation. Clin
J Am Soc Nephrol 2006; 1:546.
46. Nashan, B, Moore, R, Amlot, P, et al.
Randomised trial of basiliximab versus placebo
for control of acute cellular rejection in renal
allograft recipients. Lancet 1997; 350:1193.
47. Kahan, BD, Rajagopalan, PR, Hali, M, for the
United States Simulect Renal Study Group.
Reduction of the occurrence of acute cellular
rejection among renal allograft recipients
treated with basiliximab, a chimeric anti-
interleukin-2-receptor monoclonal antibody.
Transplantation 1999; 67:276.
48. Thistlethwaite, JR Jr, Nashan, B, Hall, M, et al.
Reduced acute rejection and superior 1-year
renal allograft survival with basiliximab in
patients with diabetes mellitus. The Global
Simulect Study Group. Transplantation 2000;
70:784.
49. Lawen, JG, Davies, EA, Mourad, G, et al.
Randomized double-blind study of
immunoprophylaxis with basiliximab, a chimeric
anti-interleukin-2 receptor monoclonal
antibody, in combination with mycophenolate
mofetil-containing triple therapy in renal
transplantation. Transplantation 2003; 75:37.
50. Sollinger, H, Kaplan, B, Pescovitz, MD,
Philosophe, B. Basiliximab versus antithymocyte
304
globulin for prevention of acute renal allograft
rejection. Transplantation 2001; 72:1915.
51. Knight, RJ, Kerman, RH, Schoenberg, L, et al.
The selective use of basiliximab versus
thymoglobulin in combination with sirolimus for
cadaveric renal transplant recipients at low risk
versus high risk for delayed graft function.
Transplantation 2004; 78:904.
52. Bumgardner, GL, Hardie, I, Johnson, RW, Lin, A.
Results of 3-year phase III clinical trials with
daclizumab prophylaxis for prevention of acute
rejection after renal transplantation.
Transplantation 2001; 72:839.
53. Webster, AC, Playford, EG, Higgins, G, et al.
Interleukin 2 receptor antagonists for renal
transplant recipients: a meta-analysis of
randomized trials. Transplantation 2004;
77:166.
54. Tran, HT, Acharya, MK, McKay, DB, et al.
Avoidance of cyclosporine in renal
transplantation: effects of daclizumab,
mycophenolate mofetil, and steroids. J Am Soc
Nephrol 2000; 11:1903.
55. Murray JE, Merrill JP, Harrison JH, et al.
Prolonged survival of human kidney homografts
by immunosuppressive drug therapy. N Engl J
Med 1963; 268:1315-23.
56. Hariharan S, Johnson CP, Bresnahan BA, et al.
Improved graft survival after renal
transplantations in recipient in the United
States, 1988 to 1996. N Engl J Med 2000;
342(9):605-12.
57. Pascual M, Theruvath T, Kawai T, et al.
Strategies to improve long-term outcomes after
renal transplantation. N Engl J Med 2002;
346(8):580-90.
58. Tran HT, Acharya MK, McKay DB, et al.
Avoidance of cyclosporine in renal
transplantation: effects of daclizumab,
mycophenolate mofetil, and steroids. J Am Soc
Nephrol 2000; 11(10):1903-9.
59. Swanson SJ, Hale DA, Mannon RB, et al. Kidney
transplantation with rabbit antithymocyte
globulin induction and sirolimus monotherapy.
Lancet 2002; 360(9346):1662-4.
60. Podder H, Stepkowski SM, Napoli KL et al.
Pharmacokinetic interactions augment toxicities
of sirolimus/cyclosporine combinations. J Am
Soc Nephrol 2001; 12(5):1059-71.
61. Bonnefoy-Berard N, Revillard JP. Mechanisms of
immunosuppression induced by antithymocyte
globulins and OKT3. J Heart Lung Transplant
1996;15:435-42.
62. Swinnen LJ, Costanzo-Nordin MR, Fisher SG, et
al. Increased incidence of lymphoproliferative
disorder after immunosuppression with the
monoclonal antibody OKT3 in cardiac-transplant
recipients. N Engl J Med 1990;323:1723-8.
63. Scandling JD, Busque S, Dejbakhsh-Jones S, et
al. Tolerance and chimerism after renal and
hematopoietic-cell transplantation. N Engl J
Med 2008;358:362-8.
64. Alexander SI, Smith N, Hu M, et al. Chimerism
and tolerance in a recipient of a deceased-
donor liver transplant. N Engl J Med
2008;358:369-74.