Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

16
24 Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra- Kolonial Belanda Sumanto Al Qurtuby Alumnus Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo Semarang Abstract: Chinese Muslim community play a role in the history of Islami- zation in Java, so it should be raised "Theory of China" in the history of the entry and development of Islam in the region. So far, the discussion of Islamization theory is always associated with the Middle East /Arab and India only- like pioneer of the theory of Arab/Middle East is Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, including some Indonesia-Malay histo- rians like Hasjmi, al-Attas, Hamka, Djajadiningrat and Mukti Ali. While advocates of the India theory among others are Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern, Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda and Srhrieke. Almost no historians who argue explicitly that the Islamization in Java comes from China. Though both "Theory of India" and the Middle East, especially Saudi Hadramaut aren’t free of weaknesses. Kata Kunci: Jawa; China; Islam Pendahuluan Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip sebuah teks klasik China dalam buku Ming Shi (“Sejarah Dinasti Ming”) dan Ying-yai Shen-lan mengenai masyarakat China yang bermukim di Jawa, yakni orang-orang dari Kanton (Kwangchou), Zhangzhou (Chang- chou), Quanzhou (Chuan- chou) dan kawasan China Selatan yang telah meninggalkan Tiongkok dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir sebelah timur terutama Tuban, Gresik dan Surabaya. Menurut kedua teks ini, kebanyakan dari orang-orang China yang mendiami pesisir utara Jawa Timur pada awal abad KE-15 tersebut berkehidupan sangat layak serta dan ini yang paling menariksebagian di antara mereka telah memeluk agama Islam dan taat beribadah (Mills, 1970:93; Groendeveldt, 1960:49). Berikut kutipan teks Ying-yai Sheng-lan yang ditulis oleh seorang China Muslim bernama Ma Huan: “In this country there are three kinds of people: 1) the Moham- medans, who have come from the west and have established themselves here, their dress and food is clean and proper; 2) the Chinese, being all people from Canton, Chang-chou, Chuan-chou (the later two places situated in Fukien, not far from Amoy) who have run away and settled here, what they eat and use is also very fine and many of them have adopted the Mohammedan religion and observe its precepts; 3) the natives, who are very ugly and uncouth, they go about with uncombed heads and naked feet and believe devoutly in devils, theirs being one of the countries called devil-countries in Buddhist books. The food of these people is very dirty and bad, its for instance snakes, ants and all other of insects and worms, which are kept a moment before the fire and than eaten; the dog; then have in their houses eat and sleep together with them, wi thout being disgusted at all”. 1 1 Terjemahan bebas teks ini adalah “Di negeri ini (maksudnya, Jawa) ada tiga golongan orang: 1)orang Muslim (huihui ren/”Mohammedan) yang berasal dari berbagai negeri di Barat (catatan: kata “Barat” di sini mengacu pada kawasan India, Gujarat, Malabar, Benggala, dll) yang datang untuk berdagang, caraberpakaian, makanan dan segala sesuatunya sudah sangat pantas; 2) orang China (tangren) dari Guangdong (Kanton, Zhangzhou, Quangzhou (kedua tempat terakhir berada di Fukien, tidak jauh dari Amoy) sertatempat-tempat lain di China yang telah melarikan diri

Transcript of Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Page 1: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

24

Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-

Kolonial Belanda

Sumanto Al Qurtuby Alumnus Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo Semarang

Abstract: Chinese Muslim community play a role in the history of Islami- zation in Java, so it

should be raised "Theory of China" in the history of the entry and development of Islam in the

region. So far, the discussion of Islamization theory is always associated with the Middle East

/Arab and India only- like pioneer of the theory of Arab/Middle East is Crawfurd, Keijzer,

Naimann, de Hollander, including some Indonesia-Malay histo- rians like Hasjmi, al-Attas,

Hamka, Djajadiningrat and Mukti Ali. While advocates of the India theory among others are

Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern, Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda and Srhrieke. Almost no

historians who argue explicitly that the Islamization in Java comes from China. Though both

"Theory of India" and the Middle East, especially Saudi Hadramaut aren’t free of weaknesses.

Kata Kunci: Jawa; China; Islam

Pendahuluan

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip sebuah teks klasik China dalam buku

Ming Shi (“Sejarah Dinasti Ming”) dan Ying-yai Shen-lan mengenai masyarakat China

yang bermukim di Jawa, yakni orang-orang dari Kanton (Kwangchou), Zhangzhou (Chang-

chou), Quanzhou (Chuan- chou) dan kawasan China Selatan yang telah meninggalkan

Tiongkok dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir sebelah timur terutama Tuban,

Gresik dan Surabaya. Menurut kedua teks ini, kebanyakan dari orang-orang China yang

mendiami pesisir utara Jawa Timur pada awal abad KE-15 tersebut berkehidupan sangat

layak serta —dan ini yang paling menarik— sebagian di antara mereka telah memeluk agama

Islam dan taat beribadah (Mills, 1970:93; Groendeveldt, 1960:49). Berikut kutipan teks

Ying-yai Sheng-lan yang ditulis oleh seorang China Muslim bernama Ma Huan:

“In this country there are three kinds of people: 1) the Moham- medans, who have come

from the west and have established themselves here, their dress and food is clean and proper; 2)

the Chinese, being all people from Canton, Chang-chou, Chuan-chou (the later two places

situated in Fukien, not far from Amoy) who have run away and settled here, what they

eat and use is also very fine and many of them have adopted the Mohammedan religion

and observe its precepts; 3) the natives, who are very ugly and uncouth, they go about with

uncombed heads and naked feet and believe devoutly in devils, theirs being one of the countries

called devil-countries in Buddhist books. The food of these people is very dirty and bad, its for

instance snakes, ants and all other of insects and worms, which are kept a moment before

the fire and than eaten; the dog; then have in their houses eat and sleep together with

them, without being disgusted at all”.1

1 Terjemahan bebas teks ini adalah “Di negeri ini (maksudnya, Jawa) ada tiga golongan orang: 1)orang Muslim

(huihui ren/”Mohammedan) yang berasal dari berbagai negeri di Barat (catatan: kata “Barat” di sini mengacu pada

kawasan India, Gujarat, Malabar, Benggala, dll) yang datang untuk berdagang, caraberpakaian, makanan dan segala

sesuatunya sudah sangat pantas; 2) orang China (tangren) dari Guangdong (Kanton, Zhangzhou, Quangzhou (kedua

tempat terakhir berada di Fukien, tidak jauh dari Amoy) sertatempat-tempat lain di China yang telah melarikan diri

Page 2: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

25

Kesaksian Ma Huan mengenai orang-orang China dari Kanton, Zuangzhou dan

Quanzhou yang telah memeluk agama Islam di atas sebetulnya bukanlah hal aneh, mengingat

daerah-daerah tersebut di China sendiri merupakan kantong-kantong umat Islam sebagai

akibat persinggungan antara China dengan Arab. Lo Hsiang Lin dalam studinya “Islam in

Canton in the Sung Period” menyebutkan bahwa orang China telah mengenal Islam sejak masa-

masa paling awal dari perkembangan agama ini, yakni abad ke-7 M. Chinese Annals dari

Dinasi Tang (618-960) juga mencatat adanya pemu- kiman umat Islam di Kanton,

Zhangzhouw, Quanzhou dan pesisir China Selatan lain. Ada banyak buku yang telah

mengulas tentang sejarah perkem- bangan Islam di Tiongkok ini. Antara lain: Islam in

China (Broomhall Marshall, 1905), Muslim in China (C. Sell, 1913), History of the

Muslim in China (Muhammad Fu, 1930), The Spread of Islam in China (Ibrahim Tien Yin Ma,

1970). Adapun buku-buku yang relatif baru tentang perkembangan China Muslim

kontemporer di Tiongkok dapat dibaca dalam beberapa karya akademik yang ditulis

antropolog Dru Gladney, al, (1) Muslim Chinese dan (2) Dislocating China.

Menurut karya-karya di atas ditambah dengan berbagai catatan resmi berba- gai dinasti di

Tiongkok, pemukiman orang-orang Arab, Persia, dan Marocco sudah ada sejak Dinasti Tang

di awal abad ke-7. Pada waktu itu kaisar menyediakan area khusus untuk para pedagang

asing (termasuk orang- orang Arab) yang disebut Fan Fang. Pada masa inilah terjadi kontak

pertama kali Tiongkok dengan masyarakat Islam. Di masa Dinasti Tang, khususnya di era

kekaisaran Tai Tsu (618-626) dan Tai Tsung (627-649), kebudayaan, kesenian dan sastra

di Tiongkok maju pesat. Karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad pernah bersabda:

“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Khalifah Usman bahkan pernah mengutus duta

Islam yang dipimpin Sa’ad Bin Abi Qaqqash untuk menjalin persahabatan dengan Dinasti Tang

(konon dikabarkan Sa’ad ini meninggal di Tiongkok).

Ketika Dinasti Song berdiri di awal abad KE-10 (907-1276), hubungan dengan

Islam Arab, Persia, dan Afrika Utara terus berlanjut bahkan semakin intensif. Dilaporkan lebih

dari 10,000 “keluarga asing” (termasuk masya- rakat Muslim dari Timur Tengah)

mendiami kawasan Fan Fang yang disediakan khusus untuk “orang-orang asing” ini. Kaum

Muslim mendapat momentum ketika Dinasti Yuan berkuasa di Tiongkok (1277-1367).

Dinasti Yuan yang didominasi oleh kaum Mongol ini tidak percaya kepada etnis Han (etnis

mayoritas di Tiongkok), dan sebagai gantinya mempromosikan orang Muslim (juga Yahudi)

dari Arab dan Timur Tengah di posisi-posisi tinggi, baik di pemerintahan maupun militer,

guna mengontrol dan menjaga kaum Han. Orang-orang Muslim ini kemudian kawin-mawin

dengan gadis-gadis lokal China sehingga semakin banyak jumlah mereka pada masa Yuan

ini. Karena itu ada pepatah di Tiongkok: “In the Yuan Dynasty, Muslims were all over the

universe” (i.e. China). Pada masa Yuan ini juga Daulah Abasiyah yang berpusat di

Baghdad ditaklukkan oleh tentara Hulagu Khan. Orang- orang yang Muslim Semit yang

ditaklukkan itu kemudian dibawa ke Tiong- kok untuk dipekerjakan di pemerintahan,

perkapalan, kesenian, dan kemi- literan.

dan menetap memeluk agama Islam dan taat menjalankan aturan-aturan agama serta berpuasa; dan 3) orang

pribumi, penampilannya buruk, tak beradat,mereka bepergian tanpa menyisir rambutnya dan tak beralas kaki,

mereka juga menyembah setan/demit (teks Buddha menyebutnya sebagai “negara setan”), makanan mereka kotor

dan buruk, mereka makan ular,semut dan serangga lain serta cacing/ulat tanpa dimasak terlebih dulu, mereka tidur

dan makan bersama- anjing-anjingnya tanpa jijik sedikitpun”).

Page 3: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

26

Puncak perkembangan Islam di Tiongkok terjadi pada masa Dinasti Ming (1368-

1643) sehingga Dinasti Ming ini sering disebut sebagai “Islamic regime”. Sejarah

Islam pada masa Dinasti Ming ini telah ditulis dengan baik oleh Profesor Hickmet Ma

Mingdao: Talks on the Ming History. Tidak seperti Yuan dan dinasti-dinasti sebelumnya,

Dinasti Ming ini didirikan oleh kelompok etnis minoritas Hui. Ada dugaan kuat kaisar pertama

Ming, Zhu Hongwu, adalah Muslim. Tetapi ia menyembunyikan identitas etnis dan agamanya,

dan mengaku sebagai “Han” untuk, meminjam kalimat Aliya Ma Lynn dalam Muslims in China,

“pacify and unify the country”. Laksamana China Muslim Cheng Ho yang melegenda itu juga

hidup masa Ming ini.

Demikianlah sejarah singkat eksistensi Islam di Tiongkok. Bukti historis yang tidak

terelakkan tentang eksistensi kaum Muslim di kawasan ini adalah adanya dua buah masjid

kuno di Kanton (yang dimaksud adalah Masjid Kwang Tah Se = “Masjid Bermenara

Megah” dan Chee Lin Se=“Masjid Bertanduk Satu”) yang menurut beberapa sejarawan

merupakan masjid kedua tertua di dunia setelah Masjid Nabawi yang dibangun Muhammad di

Madinah (Tien Ying Ma, 1979; Israeli & Johns (ed.), 1984; Broomhall, 1905). Masjid Kwang

Ta Se di Kanton itu adalah masjid pertama yang dibangun diluar kawasan Arab! Dengan

demikian informasi yang merupakan kesak- sian langsung Ma Huan mengenai komunitas

Muslim China dari Kanton, Zhangzhou dan Quanzhou di pelabuhan-pelabuhan Gresik, Tuban

dan Sura- baya pada awal abad KE-15 seperti disebutkan di awal paragraf ini adalah hal yang

wajar dan tidak mengejutkan.

Sejarah Islam di Tiongkok mengalami masa-masa suram ketika Dinasti Ming dihancurkan

oleh orang-orang Manchuria yang kemudian mendirikan Di- nasti Qing (1644-1911). Pada

masa ini terjadi pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Para kaisar juga memaksa

umat Islam untuk kembali ke ajaran leluhur China: Konfusianisme. Sebagai akibatnya

banyak orang- orang Islam yang melakukan konversi atau pindah agama. Karena keke-

jaman rezim pula, maka terjadi banyak pemberontakan yang dilakukan kaum Muslim pada

semasa Qing ini. Konflik baru mereda setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911 berhasil

melakukan revolusi menggulingkan Dinasti Qing. Dr. Sun Yat Sen ini kemudian mendirikan

sebuah negara baru Tiong- kok di atas fondasi demokrasi modern yang menghidupkan

kembali kebe- basan beragama. Ia juga menyatukan lima etnis utama Tiongkok: Han, Man- cu,

Mongol, Hui, dan Tibet. Di bawah pemerintahan nasionalis demokratik, mereka menikmati hak-

hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.

Pemerintahan Nasionalis Demokratik ini berakhir pada tahun 1949 setelah Tiongkok

dikuasai kaum komunis. Setelah diduduki komunis, pemerintahan nasionalis ini kemudian

memindahkan markasnya dari Nanjing ke Taipei (Taiwan) sampai sekarang. Di bawah

kekuasaan komunis pimpinan Mao Tse Tung, semua agama dibumihanguskan dan diganti

dengan ideologi material- isme. Baru setelah komunis dipimpin oleh Deng Xiaoping pada

1970-AN, agama-agama di China bisa bernafas lega lagi.

Kini data mengenai komunitas Muslim di Tiongkok sangat bervariasi. Ada yang

menyebut 65 juta (report dari San Diago State University); BBC mem- perkirakan antara 20-

100 juta atau sekitar 7,5% dari total penduduk China.

Tetapi menurut statistik resmi penduduk tahun 1936, terdapat sekitar 48 juta Muslim

dan 42 ribu masjid. Berdasarkan jumlah ini, PBB mengesti- masi pada tahun 2009,

penduduk Muslim di Tiongkok mencapai sekitar 140 juta. Jumlah ini jauh lebih besar dari

penduduk Muslim di Iran, Irak, Arab Saudi, Mesir dll. Mengingat sejarah Islam yang begitu

Page 4: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

27

awal tiba di Tingkok dan “hubungan dagang” (dan politik) antara dinasti-dinasti Tiongkok

dan Jawa (dan Nusantara), maka bukanlah hal aneh jika mereka banyak berpe- ran dan mewarnai

sejarah keislaman di Nusantara.

Dalam setiap pembicaraan mengenai apa yang disebut “Islamisasi Nusan- tara,” para

sejarawan (apalagi yang awam) selalu merujuk pada Arab atau India sebagai negara yang

berperan besar dalam memperkenalkan corak keislaman di negeri ini. Pandangan ini sudah lama

mengakar dalam benak setiap Muslim. Karena teori Arab atau India/Gujarat ini diajarkan sejak

Sekolah Dasar bahkan para guru ngaji di pondok, madrasah, masjid selalu “meritualkan”

pandangan ini. Ada yang menanggapi dengan santai-santai saja dan menganggap hanya sebagai

“hiburan sejarah” tetapi ada yang menanggapi dengan serius bahkan sangat serius sampai pada

taraf meyakini teori Arab ini. Apalagi kelompok “Islam puritan” akan berusaha mati-matian

membela teori Arab dalam proses islamisasi Nusantara dan berusaha sekuat tenaga untuk

menolak teori lain. Mereka berpandangan, dengan memperta- hankan teori Arab maka dapat

menjaga wajah “otentisitas keislaman” (kemurnian Islam). Sebaliknya, jika proses keislaman di

Nusantara ini dila- kukan orang-orang selain Arab maka akan dapat “menodai” keislaman.

Bagi orang-orang puritan ini, dunia Arab (orangnya, tradisinya, kulturnya, makanan-

minum-annya dan seterusnya) adalah segala-galanya karena Islam lahir dari sana. Mereka lupa,

bahwa kesalehan bukan monopoli bangsa Arab, kejelekan bukan monopoli bangsa non-Arab.

Dunia Arab, selain menampil- kan wajah-wajah saleh juga memunculkan wajah-wajah culas

yang bejat. Sebaliknya, dunia non-Arab, selain menampakkan sisi-sisi gelap, di sana juga ada

wajah kearifan yang menjadi cermin keagungan sebuah peradaban. Islam, tidak akan berkurang

derajat kesahihannya meskipun ada peran orang-orang China di dalamnya. Di sini mereka lupa

bahwa keislaman China lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang China telah mengenal Islam di

saat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik. Tulisan ini ber- maksud melacak

historisitas islamisasi Nusantara, Jawa khususnya, men- cakup agen sejarah islamisasi, pola

dakwah dan bukti-bukti kesejarahan. Di belakang nanti saya tunjukkan, pelacakan ini sampai

pada sebuah kesim- pulan bahwa banyak agen yang turut mewarnai keislaman Jawa dan salah

satu agen terbesar yang turut menyebarkan Islam di Jawa ini adalah orang-orang China Muslim.

Bahkan peran China ini lebih meyakinkan ketimbang orang-orang Arab khususnya Hadramaut

sebagaimana yang selama ini dipe- gangi sementara umat Islam.

Hampir semua sejarawan meyakini bahwa proses islamisasi Jawa terjadi pada

bentangan abad KE-14 sampai 16. Di Jawa, rentangan abad ini memang sangat penting sebab

masa-masa ini merupakan proses penguatan basis- basis Islam. Islam tidak lagi tampil sebagai

“community” yang sporadis te- tapi sudah menjadi “society” yang terstruktur dengan sistem

yang cukup ba- ik dan rapi. Pada masa ini juga terjadi tonggak sejarah yang penting di Jawa:

Kerajaan Majapahit hancur untuk kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam (vorstendommen)

di pesisir utara Jawa yang berpusat di Demak. Gambaran sosiologis Jawa pada masa itu

termasuk pergolakan politik yang terjadi di dalamnya, secara menarik dipaparkan Pramoedya

Ananta Toer dalam Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad ke-16.

Dalam karya ini, Pram menyebut beberapa tokoh China Muslim penting pada abad KE-16 yang

berperan besar dalam proses perkembangan Islam di Jawa.

Di antara mereka adalah Liem Mo Han (Babah Liem). Babah Liem ini tidak hanya

mengerahkan kekuatan China untuk melawan Portugis tetapi juga dikenal sebagai arsitek

sejumlah masjid kuno di Jawa seperti Masjid Manti- ngan di Jepara. Babah Liem ini adalah

seorang China Muslim, pemuka Nan Lung (“Naga Selatan”—sebuah organisasi masyarakat

Page 5: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

28

China Rantau yang mempertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri

leluhurnya) yang sangat dihormati oleh masyarakat China di sepanjang pantai utara pulau

Jawa. Organisasi Nan Lung dibentuk setelah ekspedisi Cheng Ho yang melegenda itu. Oleh Nan

Lung dan masyarakat China, ia diangkat menjadi penghubung antara Lao Sam (Lasem)

dengan Toa-lang (Semarang), juga diangkat menjadi duta masyarakat China untuk Demak.

Liem Mo Han atau Babah Liem bukanlah satu-satunya orang China Islam yang memegang

peran penting yang diceritakan Pram, beberapa China Muslim lain juga ia sebut seperti

Coa Mie An dan Gouw Eng Cu. Yang belakangan ini adalah ketua masyarakat China

sekaligus sesepuhnya di Lao Sam atau Lasem di awal abad ke-16.

Pram juga mengajukan tesis menarik, yakni bahwa Sunan Kalijaga yang selama ini

dipersepsikan sebagai anak Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, menurutnya

adalah Putra Brawijaya, raja Majapahit yang tersohor itu dari seorang putri China Muslimah

bernama Retna Subanci, putri Babah Ba Tong alias Tan Go Hwat. Entah alasan apa Retna

Subanci yang saat itu dalam keadaan hamil kemudian oleh Brawijaya diserahkan kepada Adipati

Tuban. Dari sinilah kemudian lahir seorang putra bernama Jaka Seca yang kelak menjadi Raden

Said atau Sunan Kalijaga. Oleh ibunya, ia diserahkan kepada Gouw Eng Cu untuk dididik di

Lao Sam (Arus Balik, 367). Alasan lain yang digunakan Pram untuk memperkuat

argumentasinya adalah fakta sejarah bahwa Sunan Kalijaga lebih membela Demak mati- matian

ketimbang Tuban. Kenapa? “Sebab Demak adalah rezim China”.

Tidak jelas sumber-sumber yang dipakai Pram untuk melakukan rekon- struksi sejarah

ini. Karena ia memang tidak menyebutkannya. Tetapi papar- annya sungguh rasional dan

meyakinkan dan sesuai dengan catatan-catatan asing hasil pengamatan langsung mengenai

masyarakat China yang mendia- mi di pesisir Jawa. Baik pengembara portugis, Tome Pires, Ma

Huan dari China maupun Loedwicks dari Belanda sama-sama menyaksikan eksistensi China

Islam di pesisir Jawa ini. Yang jelas, tentang informasi genealogi Sunan Kalijaga ini, Pram

tampak berlawanan dengan informasi historiogafi lokal Jawa Tengah terutama Babad Tanah

Djawi dan Serat Kanda, juga Tembang Babad Demak. Dalam teks-teks ini, Sunan Kalijaga

disebut sebagai anak kandung Adipati Tuban, Arya Teja bukan anak Brawijaya dari Putri China

yang dititipkan kepada Arya Teja. Sebaliknya, babadbabad menceritakan anak Brawijaya dari

Putri China itu (menurut naskah Serat Kanda bernama Sio Ban Chi, putri seorang China Muslim

yang bernama Syekh Bentong) bernama Jin Bun alias Raden Patah, Raja Demak pertama. Oleh

Brawijaya, Putri China Muslimah ini diserahkan kepada Arya Damar (bukan Arya Teja), raja

muda di Palembang. Di sanalah Raden Patah yang legendaris itu dilahirkan.

Pram bukanlah orang pertama yang mengidentifikasi ke-Chinaan Sunan Kalijaga.

Jauh sebelumnya, sudah ada beberapa sejarawan dan ahli yang berpendapat bahwa Sunan

Kalijaga yang menempati posisi terhormat dalam masyarakat Islam Jawa itu seorang China.

Prof. Muljana, sejarawan UI dalam buku klasiknya yang kemudian dibredel pemerintah

Orde Baru, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di

Nusantara berdasarkan teks “kronik kelenteng Sampokong” (oleh Graaf & Pigeaud, dua

sejarawan gaek Belanda disebut Catatan Tahunan Melayu atau Malay Annals) juga

mengatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang arsitek Masjid Demak yang bernama asli

Gan Si Cang. Kemudian S. Wardi, sejarawan lokal dari Kota Wali Demak juga berpendapat

bahwa Sang Sunan yang melegenda itu aslinya bernama Oei Sam Ik, putra Oei Tik To,

Bupati Tuban. Selanjutnya, Pangeran Hadiwidjaya dalam suatu ceramah tentang Sunan

Kalijaga yang diadakan Widya Pustaka di Kota Solo juga mengemu- kakan pandangan bahwa

Page 6: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

29

kata Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata China, “Sa It” yang berarti 3l

(Sa/Sam=3, It=1). Kata ini merujuk pada usia ayahnya saat melahirkan Sang Sunan yang berusia

31 tahun. Pangeran Hadiwidjaya bahkan tidak hanya menyebut Sunan Kalijaga yang

beridentitas Muslim China, beberapa nama lain yang disinyalir seorang Muslim China juga

disebutnya seperti Ki Ageng Gribig yang menurutnya bernama Siauw Dji Bik, Ki Ageng

Pengging (Heng Pa Hing), Sunan Bonang (Bo Bing Nang) dan Sultan Pajang (Na Pao Tjing).

Apakah Pram dan beberapa ahli di atas sedang berfantasi ketika mengiden- tifikasi

“keChinaan” sejumlah nama beken dalam sejarah islamisasi Jawa abad ke-15/16—Abad di

mana agama Islam sedang berproses untuk menun- jukkan eksistensinya sebagai agama baru?

Pendapat Pram, juga lainnya, tidak bisa disalahkan 100%, juga tidak bisa dibenarkan 100%.

Sebab, sejarah bukanlah soal benar dan tidak benar tetapi soal rasional dan tidak rasional, masuk

akal dan tidak masuk akal. Sejarah adalah sebuah interpretasi atas peristiwa masa lampau.

Karena itu kebenaran sejarah adalah relatif. Kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat Si

A salah dan Si B benar. Terlepas dari sahih dan tidaknya data yang dipakai para ahli di

atas, yang jelas berbagai analisis kesejarahan menunjukkan bahwa orang-orang China, pada

kurun itu (abad KE-15/16), memang memegang peran cukup signifikan di hampir segala

bidang: pertukangan, perniagaan/perdagangan, pelayaran/ navigasi dan hal-hal yang terkait

dengan wilayah kepolitikan. Orang-orang China yang mendiami Jawa ini merupakan imbas

(side effect) dari hubungan Jawa-China yang sudah dibangun sejak klasik.

Relasi Jawa (teks China: She-po, Zhaowa) dengan China (Tiongkok), baik dalam

pengertian hubungan diplomatik antar-kedua negara/kerajaan mau- pun kontak dagang

memang sudah berlangsung sejak klasikjauh sebelum Islam datang ke kawasanini(Wolters,

1967;Schrieke, 1960;Leur, 1955;Vlekke, 1943). Hubungan tersebut terus berlanjut saat China

dikuasai Dinasti Ming (1368-1644 M), sebuah rezim yang memberi apresiasi cukup besar

terhadap komunitas Muslim di sana. Saat itulah terjadi arus perhubungan yang cukup intensif

Jawa-China. Buku Ming Shi (“Sejarah Dinasti Ming”) di satu sisi dan kisah-kisah yang disusun

sewaktu pelayaran Cheng Ho terutama risalah Ying-yai Sheng-lan yang ditulis Ma Huan

(sekitar tahun 1416) di pihak lain menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan dagang antara

Jawa dengan China pada waktu itu (abad ke-15) meningkat, dan di Jawa sendiri peran

masyarakat China dalam bidang perniagaan dan maritim semakin lama juga semakin meningkat

(Lombard, II, 1996; Reid, 1992, 1999). Pada tingkat diplomasi, pada kurun abad KE-15 dan

ke-16, hubungan Jawa dengan China juga terlihat sangat baik. Kira-kira tahun 1410,

pemerintahan China (Dinasti Ming)secara resmimemihak Jawa(baca, Majapahit) untuk

melawan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang (teks China: Kukang) dan

mengirim sepucuk surat yang mengandung keputusan itu kepada penguasa Majapahit. Artinya,

keunggulan Jawa atas Sriwijaya disahkan/dilegalkan secara pasti—suatu hal yang

disengketakan dan tak terselesaikan sejak eks- pedisi Kertanegara dari Singasari tahun 1275 saat

melawan Melayu.

Perlu diketahui bahwa eksistensi China Islam pada abad KE-15/16 tersebut tidak

hanya di Jawa Timur saja seperti disaksikan Ma Huan (seperti saya sebutkan di awal

paragraf ini), melainkan hampir merata di sepanjang pesisir utara (“Pantura”) Jawa.

Pengelana Belanda, Loedewicks, yang me- ngunjungi Banten pada abad KE-16 seperti dicatat

Sutterheim dalam uraian kesarjanaannya tentang Keraton Majapahit, juga menyaksikan

eksistensi komunitas China Islam ini yang dalam dokumen VOC disebut geschoren

Chineezen (orang-orang China cukuran). Kesaksian atas eksistensi China Islam di Jawa

Page 7: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

30

bahkan Asia Tenggara pada bentangan abad ke-15/16 juga diberikan Ibnu Batutta,

pengembara asal Maghrib yang pada pertengahan abad KE-15 berkeliling dunia menelusuri

daerah pesisir dari Arab sampai China dan Asia Tenggara seperti tertuang dalam buku Rihlah

ibn Bathutah yang diedit Thalal Harb.

Informasi yang merupakan hasil pengamatan langsung di atas benar-benar mendukung

tradisi Jawa mengenai awal mula penyebaran agama Islam di Jawa. Tradisi-tradisi yang pada

umumnya tersimpan dalam babad-babad yang disusun kemudian (zaman Mataram Islam)

meskipun uraiannya diseli- muti penuh mitos tetapi yang dikemukakannya ialah suasana

kosmopolitan yang pada waktu itu terdapat di pelabuhan-pelabuhan pesisir dan masya- rakat

baru yang sedang terbentuk itu pada perkembangan berikutnya mampu mendesak dan

meruntuhkan kekuasaan agraris Majapahit di peda- laman. Bahkan ada beberapa teks lokal yang

menyebut secara eksplisit keberadaan Muslim China pada awal perkembangan agama Islam di

Jawa seperti ditunjukkan dalam Babad Tanah Djawi, Serat Kandaning Ringgit Purwa, Carita

(Sejarah) Lasem, Babad Cerbon, Hikayat Hasanuddin dan lain-lain. Menariknya, hampir semua

historiografi lokal Jawa menyebut Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak yang

merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa ialah seorang Muslim China. Perbedaannya

hanya terletak pada genealogi Raden Patah saja. Jika teks-teks lokal Jawa Barat mengaitkan

asal-usul sang raja yang legendaris itu dengan China Mongol (Hikayat Hasanuddin menyebut

moyangnya bernama Cek Ko Po dari Munggul sementara Sadjarah Banten menyebutnya Cu-

Cu), maka beberapa teks lokal Jawa Tengah seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kanda atau

Tembang Babad Demak mengaitkannya dengan Raja Majapahit Brawi- jaya yang menikah

dengan Putri China (sebagian riwayat menyebut nama putri China ini Sio Ban Chi, putri Syekh

Bentong atau Kyai Bantong yang juga seorang Muslim China). Jika Raden Patah adalah seorang

Muslim China, maka Demak dengan sendirinya merupakan rezim China. Raden

Patah adalah seorang raja yang berobsesi menjadikan Demak sebagai Negara Maritim

Islam yang tangguh di Jawa. Obsesinya itu kandas setelah Treng- gana (teks Malay Annals:

Tung Ka Lo) wafat tahun 1546 dalam sebuah per- tempuran melawan Panarukan yang

bersekongkol dengan Portugis. Semen- tara para penggantinya tidak memiliki kualifikasi

sebagai leader yang cakap, bahkan antar-keturunan Raden Patah terlibat konflik panjang dan

berdarah- darah sampai akhirnya Senapati (Sutawijaya) berhasil menghempaskan Jaka Tingkir

dan mendirikan imperium Mataram Islam di pedalaman Jawa.

Selain babad, kesaksian pengembara asing tentang eksistensi China Islam di atas juga

paralel dengan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Cerita tutur di berbagai

daerah pesisir Jawa menyebutkan adanya tokoh-tokoh China Islam yang berperan cukup besar

dalam proses islamisasi di kawasan ini seperti kisah Cie Gwie Wan, “tangan kanan” Sultan

Hadlirin sekaligus peletak dasar tradisi seni ukir di Jepara yang populer dengan sebutan

Sungging Badar Duwung karena keahliannya di bidang seni ukir (makamnya ada di kompleks

Astana Sultan Hadlirin, Jepara). Bahkan menurut teks lokal pesisiran, Serat Kandaning Ringgit

Purwa, menyebut Sultan Hadlirin (Suami Ratu Kalinyamat) sendiri seorang China Muslim

bernama Wintang. Semula ia seorang pedagang kaya yang kapalnya beran- takan akibat

serangan badai, sementara ia sendiri terdampar di tempat yang bernama Jung Mara (kemudian

menjadi Jepara). Konon, pengusaha China bernama Wintang ini kemudian diislamkan Sunan

Kudus melalui guide yang juga seorang Muslim China bernama Rakim dan diganti namanya

menjadi Hadlirin (nama ini artinya “pendatang”).

Page 8: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

31

Kemudian Kyai Telingsing (Tan Ling Sing/The Ling Sing) yang merupakan (partner

dakwah Sunan Kudus atau Jakfar Shadiq di Kudus. Oleh masya- rakat Islam setempat, Kyai

Telingsing ini tidak hanya dikeramatkan kubur- annya tetapi juga dilestarikan ajarannya. Salah

satu ajaran Mbah Sing (sebutan Kyai Telingsing) yang masih hidup dalam tradisi masyarakat

setempat adalah “solat sacolo saloho dongo sampurno” (maksudnya, salat sebagai do’a yang

sempurna). Tradisi masyarakat Salatiga khususnya di daerah Kalibening mengaitkan sejarah

Islamisasinya dengan tokoh Lie Beng Ing. Sementara, tradisi masyarakat Cirebon menyebutkan

tokoh Tan Eng Hoat (bergelar Maulana Ifdhil Hanafi), Tan Sam Cai alias Muhanunad Syafi’i

(ahli moneter di masa awal Kesultanan Cirebon), Kung Sam Pak atau Muhammad Murjani

(keturunan Kung Wu Ping, pendiri mercusuar di dae- rah Sembung, Cirebon) kemudian Tan

Hong Tien Nio (populer dengan se- butan Putri Ong Tien) yang menjadi istri Sunan Gunung

Djati, pelopor dan penggerak Islam di Cirebon dan wilayah Jawa Barat. Bersama sang Sunan,

tokoh-tokoh China muslim itu bahu-membahu menyebarkan Islam sekaligus memperluas

teritorial kesultanan Cirebon di seantero Jawa Barat.

Cerita lisan China Islam ini tidak tanya di Jawa saja tetapi juga Bali. Dalam tradisi lokal

masyarakat Islam Bali, salah satu anggota Wali Tujuh (semacam tradisi Walisongo di Jawa)

adalah seorang Muslim China bernama Syekh Abdul Qodir Muhammad alias The Kwan Pao

Lie. Makamnya berada di desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten

Buleleng, Singaraja, Bali. Makam ini dikenal dengan sebutan “Keramat Karangrupit” (Zen,

1998: 46). Bahkan, Tan Yeok Seong dalam uraian kesarjanaannya tentang Nyai Gede

Pinatih menyebutkan bahwa perempuan kuat dan saudagar kaya di Gresik ini yang dalam

tradisi lokal dikenal sebagai ibu angkat Sunan Giri adalah seorang China Muslimah

keturunan Shih Chin Ching, seorang overlord (yang dipertuan besar) China di Palembang

yang bernama Shih Ta Niang Tzi Pi Na Ti. Nama Pinatih adalah verbastering (perubahan kata)

dari teks China Pi Na Ti (Seong, 1963:399-408). Nyai Gede Pinatih inilah yang mem-

back up dana buat kejayaan Giri Kedaton (kerajaan Giri).

Sejarawan Belanda yang sepanjang hayatnya didedikasikan untuk menulis historisitas

Jawa, De Graaf, juga berpendapat bahwa Sunan Giri (Raden Paku), meskipun bukan

China tapi banyak mempekerjakan orang-orang China sebagai pegawai sipil dan militer untuk

mengelola kerajaannya, Istana Giri (Giri Kedaton). Dalam risalahnya, Soerabaja in de XVII

eeuaw van Koninkrijk tot Regentschap (“Surabaya dalam abad KE-17 dari Kerajaan sampai

Kabupaten”), Graaf juga mencatat .ada sekitar 40 China Muslim yang dipekerjakan Sunan

Dalem (Prabu Satmata), penguasa kedua Giri Kedaton. Babad Tanah Djawi (ed. Balai

Pustaka, IX, 67/68) juga menceri- takan tentang para pengikut Giri saat berperang melawan

Pangeran Pekik dari Surabaya (menantu Sultan Agung) terdiri atas kecuali para modin,

santri, ketib dan penghulu juga diikuti sekitar 200 tentara China Muslim. Bahkan, menurut

sebagian riwayat yang diakui kesahihannya, panglima perang Giri terakhir saat berperang

melawan Mataram adalah seorang China Muslim yang bernama Endrasena. Ia adalah anak

pungut Panembahan Kawistuwa atau Mas Wetan, pengganti Sunan Prapen. Tokoh ini

sampai sekarang masih dikenal dalam lembaran sejarah Tanah Jawa (Budiman, 1979:23).

Patut diketahui bahwa eksistensi China Islam pada awal perkembangan agama Islam

di Jawa ini tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengembara asing, sumber-

sumber China, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja melainkan juga dibuktikan dengan

berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam di Jawa yang mengisyaratkan adanya pengaruh

China yang cukup kuat sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad KE-

Page 9: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

32

15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino Javanese Muslim Culture—sebuah akulturasi

kebudayaan China, Islam, Jawa. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara

masjid di peChinan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur

keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal

penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan

sebagainya semuanya menunjukkan keterpengaruhan budaya China yang kuat. Dan

peninggalan kesejarahan yang tak terelakkan dari masyarakat China Muslim ialah dua

masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang dihubungkan

dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan Tamien Dosol Seeng dan

Nyonya Cai. Dalam Masjid Sekayu (masjid tertua di Semarang, Aboebakar Atjeh dalam

Sedjarah Mesdjid (1955) menyebutnya Masjid Pekayuan) terdapat lukisan/ tulisan China yang

berada di kerangka atap (blandar) masjid. Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk

kelenteng-kelenteng kuno kontroversial yang diduga kuat oleh sementara sejarawan sebagai

bekas masjid yang dibangun masyarakat China pada abad KE-15/16. Kelenteng- kelenteng

yang dimaksud ialah Kelenteng Ancol di Jakarta (juga disebut Kelenteng Nyai Ronggeng),

Kelenteng Talang di Cirebon, Kelenteng Gedung Batu (Sampo- toalang/Sampokong) di

Simongan-Semarang, Kelenteng Sampokong di Tuban dan Kelenteng Mbah Ratu di

Surabaya.

Kelenteng Nyai Ronggeng di Ancol (juga disebut Kelenteng Bahtera Bhakti yang

terletak kira-kira 25 meter dari Sirkuit Ancol) dihubung-hubungkan dengan seorang Muslim

China yang menjadi juru masak Cheng Ho (dikenal dengan Sam Po Swie Soe). Kisahnya,

pada waktu Cheng Ho ekspedisi ke Sunda Kelapa (nama Jakarta tempo doeloe), sang juru

masak ini kemudian jatuh cinta dengan penari ronggeng setempat yang bernama Sitiwati.

Karena sudah saling “jatuh cintrong”, akhirnya, keduanya menikah sampai

meninggal dan dikuburkan di kompleks kelenteng bersama mertuanya yang bernama Said Areli.

Cerita lisan ini dirilis ulang oleh Lee Khoon Choy dalam Indonesia Between Myth and

Reality. Dua sejarawan Perancis, Dennys Lombard dan Claudine Salmon (1985:17) yang

pernah meneliti kelenteng- kelenteng di Jakarta menduga pembangunan Kelenteng Ancol

dalam ben- tuknya yang cukup megah sekarang ini baru terjadi sekitar abad KE-18,

sebelumnya konstruksi bangunannya masih sederhana. Dalam Kelenteng Mbah Ratu di

Surabaya (terletak di kawasan kumuh tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak)

terdapat sebuah pusara yang hampir selalu ada kembang, kemenyan, tasbih dan al-Qur’an.

Sementara dalam Kelenteng Gedung Batu di Simongan, Semarang, ada beberapa makam

keramat China Muslim, antara lain Ong King Hong atau Wang Ching-Hung, karib Cheng Ho

yang oleh Amen Budiman dianggap sebagai tokoh sejarah dari legenda Kyai Dampoawang.

Selain itu juga terdapat makam Kyai dan Nyai Tumpeng yang oleh masyarakat China setempat

dianggap sebagai juru masak Cheng Ho serta makam Kyai Cundrik Bumi yang diduga sebagai

pengawal Cheng Ho. Dalam Kelenteng itu pula terdapat sebuah bedug yang berisi kata-

kata mutiara aksara/bahasa China: mo’len lan ing yang berarti “diam-diam

membenarkan al-Qur’an dengan suara” (Ambary, 2001:283). Kelenteng ini kemudian

menjadi megah seperti tampak saat ini setelah tanah kompleks Simongan —tempat situs

Kelenteng Sam Po Kong— berhasil dibeli oleh Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar

kaya yang terkenal dengan julukan “Raja Gula Nusantara” sekitar tahun 1879 dari seorang

tuan tanah Yahudi bernama Yohanes (Zhi, 1992:37-38).

Page 10: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

33

Cerita misterius seputar kelenteng ini juga terdapat di Cirebon, tepatnya mengenai

Kelenteng Talang. Dalam tradisi masyarakat setempat, kelenteng ini mulanya konon dibangun

oleh Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’i alias Tumenggung Arya Dipa Wiracula (menteri

keuangan di zaman Kesultanan awal Cirebon). Indikasi bahwa kelenteng ini semula

merupakan masjid menurut Tan Tjie Tek, penjaga kelenteng, antara lain arah kelenteng

yang menghadap kiblat, adanya sumur dan padasan (tempat berwudlu), tulisan kaligrafi

bergaya China, mimbar khotbah serta tempat pengimaman yang menjorok ke dalam.

Tempat ini kemudian dialihfungsikan untuk periba- datan umat Kong Hu Cu (baca,

berubah fungsi menjadi kelenteng) oleh seorang China kaya raya Cirebon bernama Mayor

Tan Tjie Kie (1853-1920) yang saat itu menjabat ketua Perhimpunan Kong Ju Kwan

berdasarkan surat Gouvernur Hindia Belanda Besluit tanggal 22/7/1898 No.3. Akhirnya,

dibuatlah meja altar Konghucu sekitar tahun 1960-an oleh Kho Sin Soan.

Beberapa kelenteng kuno kontroversial di atas sangat mungkin semula merupakan

masjid (dalam bentuknya yang sederhana) yang dibangun oleh para migran China Muslim

yang datang ke Jawa. Mereka memilih menetap di Jawa, tidak pulang kembali ke negerinya

dengan alasan tertentu seperti menjalankan bisnis, wisata, keamanan politik sampai

motivasi untuk menyebarkan agama Islam. Kemungkinan besar, komunitas China Islam

awal yang mendiami pesisir utara Pulau Jawa di atas ialah para pedagang bebas atau

mungkin pelarian politik akibat iklim sosial politik yang kurang kondusif di negeri China.

Berbagai analisis kesejarahan menunjukkan di negeri Tiongkok ini telah terjadi beberapa kali

peristiwa politik yang menye- babkan pengungsian besar-besaran komunitas China di

sepanjang pesisir Asia Tenggara termasuk Jawa. Di antara peristiwa politik dimaksud

ialah saat terjadi pemberontakan orang-orang Islam di Kanton dan basis-basis Islam di

China lain pada sekitar abad ke-8 M. Upaya “makar” ini kemudian digempur Huang Chou

yang memporakporandakan Kanton dan kawasan Islam lain di China (Lo Hsiang Lin, 1967).

Peristiwa politik selanjutnya yang menyebabkan terjadinya arus migrasi dalam jumlah besar

ialah ketika kaisar pertama Dinasti Ming, Hung Wu, di akhir abad ke-14 melakukan

tindakan pemerasan dan kekerasan terhadap kelas menengah, pengusaha dan peda- gang

sukses di China yang membangkang dari kewajiban membayar pajak pada negara.

Peristiwa politik ini telah mengakibatkan terjadinya pelarian modal (kapital) dan migrasi

besar-besaran ke luar negeri sekaligus telah mengubah status pelancong temporal China

menjadi ekspatriat permanen di negara baru yang dihuninya (Seagrave, 1999).

Selain dua peristiwa politik besar tersebut, kemungkinan lain adanya masya- rakat China

Islam di Jawa sebelum abad KE-17 ialah saat terjadi ekspansi politik China-Mongol ke

Jawa tepatnya Singasari pada akhir abad ke-13 (kata sebagian sejarawan tahun 1292).

Ekspedisi politik yang terdiri atas 20.000 tentara China-Mongol ini awalnya dimaksudkan

sebagai aksi balas dendam kepada Kertanegara pada akhirnya gagal total setelah

mereka berhasil dikelabui Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Pengkaitan

China Islam di Jawa dengan sisa-sisa tentara China-Mongol yang berhasil lolos dari gempuran

Wijaya ini bukan tanpa alasan. Sebab, seperti ditunjukkan dalam studi Jitsuo Kuwabara

bahwa beberapa elite Muslim memegang peran cukup signifikan pada masa kekuasaan

Dinasti Yuan (Mongol) di China. Para elite Muslim ini berhasil mempengaruhi beberapa

kebijakan China-Mongol untuk melakukan ekspansi teritorial ke Jepang, Korea, Campa dan

Jawa (Kuwabara, 1928). Bahkan, seperti ditulis beberapa sejarawan, wakil panglima perang

rezim China-Mongol ialah seorang Muslim yang bernama Alaudin Musafari (Ma, 1979;

Page 11: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

34

Khan, 1967). Dari sini menimbulkan dugaan kuat bahwa sebagian tentara China-Mongol yang

turut serta dalam ekspansi tersebut ialah orang-orang China Muslim. Dugaan ini semakin kuat

setelah melihat pada dekade berikutnya di pesisir utara Jawa bermunculan tradisi tentang

China Islam yang dikaitkan dengan negeri “Munggul” (maksudnya, Mongol).

Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling monumental ialah saat terjadi

ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming yang melibatkan ribuan

orang-orang China yang sebagian besar di antaranya orang-orang Islam. Beberapa

petinggi ekspedisi selain tokoh legendaris Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang

Chinghung, Kung Wu Ping, Fei Hsin dan lain-lain juga seorang Muslim yang dikenal taat

beragama (Zhi, 1996; Budiman, 1978). Ekspedisi sejak awal abad KE-15 itu tercatat tiga kali

mengunjungi Jawa, dan setiap misi muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang

mengagumkan. Ekspedisi yang dipimpin bahariwan besar Cheng Ho ini tidak sekadar

bermuatan politik dan ekonomi tetapi juga menyimpan “hidden agenda” berupa Islamisasi.

Hal ini terbukti dengan penempatan para konsul dan duta keliling Muslim China di setiap

daerah yang dikunjunginya (Parlindungan, 1964; Muljana, 1968). Dimungkinkan, sebagian

China Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini eng- gan pulang kembali ke

negerinya baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih

menjanjikan atau faktor kenyamanan politik maupun alasan dorongan keagamaan untuk

menyebarkan syi’ar Islam di “negeri kafir”. Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini

begitu tera- sa menyengat dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tidak hanya muncul lewat

tradisi lisan melalui tokoh mitos Kyai Dampuawang tetapi juga bebe- rapa peninggalan

kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon mau- pun berbagai kelenteng kuno di pesisir

utara Jawa yang dikaitkan dengan Cheng Ho, seperti dipaparkan di atas.

Para imigran China di atas yang sebagian besar laki-laki ini kemudian meng- adakan

perkawinan dengan perempuan lokal baik dengan perempuan bang- sawan keraton maupun

rakyat biasa seperti yang terjadi pada seorang China Muslim yang kemudian dalam tradisi

setempat dikenal dengan “Babah Chi- na” yang kawin dengan penari ronggeng di daerah Sunda

Kelapa. Dari inte- raksi lewat perkawinan silang ini, kemudian muncul istilah China Peranakan

sebagai imbangan dari China Totok. Migran China yang sebagian besar laki- laki ini disebabkan

perempuan pada saat itu tidak boleh bepergian jauh apa- lagi ke mancanegara baik karena adat

setempat maupun larangan dari Kai- sar China. Istilah “nyonya China” yang muncul di

Jawa pada abad perte- ngahan sebetulnya mengacu kepada perempuan pribumi yang

dikawin de- ngan laki-laki China. Dan kata “nyonya” sendiri berasal dari kata Hokkian, nio’a

atau niowa yang berarti “perempuan” (Liem Tien Joe, 1933). Tradisi kawin silang China-

Jawa yang begitu maklum di masa pra-kolonial itulah yang menyebabkan dulu orang

Jawa merasa bangga menyatakan dirinya sebagai keturunan China.

Banyak yang memberi kesaksian atas penegasan identitas keChinaan orang Jawa ini yang

diberikan para pengamat awal seperti Diogo de Couto, Edmun Scott, William Methold,

Schouten atau Abbe de Raynal (Lombard, II, 1996). Pengembara tersohor Portugis, Tome Pires

juga tidak bisa menyembunyikan fakta harmoni orang Jawa terhadap China. Bahkan, kata Pires,

ada beberapa penguasa China yang dengan sukarela mengirim salah seorang anak perem-

puannya kepada seorang vasal Jawa untuk dinikahi, diiringi sejumlah besar pengikut dan

sebuah kapal penuh kepeng (Cortesao, I, 1944:179). Tradisi kawin silang China-Jawa

ini terus berlanjut saat kolonialisme Belanda datang. Lombard dan Salmon dalam

tulisannya, Islam and Chineseness telah menunjukkan dengan baik beberapa China Muslim

Page 12: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

35

peranakan masa kolonial di Jawa. Fakta sejarah demikian bukanlah hal aneh apabila banyak

para kyai yang sebetulnya mempunyai leluhur China. Abdurrahman Wahid dalam beberapa

kali kesempatan juga sering menga- takan bahwa dirinya masih keturunan Tan Kim Han

alias Syekh Abdul Qodir al-Shiniy yang pernah memimpin laskar Demak saat melawan

Majapahit bersama Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus) dan Maulana Ishak (konon ayah Sunan

Giri). Apakah pernyataan Gus Dur ini “historis” atau sekedar bermuatan “politik” saja hanya

dia yang tahu. Tetapi fakta sejarah Muslim China-Jawa ini tidak bisa terbantahkan.

Dari paparan singkat di atas kiranya cukup beralasan jika dikatakan bahwa komunitas

Muslim China turut memainkan peran dalam proses sejarah Islamisasi di Jawa sehingga

patut dimunculkan “Teori China” dalam sejarah masuk dan berkembangnya Islam di kawasan

ini. Sejauh ini, pembicaraan tentang teori Islamisasi selalu dikaitkan dengan Timur

Tengah/Arab dan India saja —sebuah teori yang sudah menjadi klasik dan klise. Pelopor teori

Arab/Timur Tengah ialah Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, terma- suk beberapa

sejarawan Indonesia-Melayu seperti Hasjmi, al-Attas, HAM- KA, Djajadiningrat dan Mukti

Ali. Sementara penyokong teori India antara lain ialah Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern,

Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda dan Srhrieke (Drewes, 1985; Azra, 1999). Jadi hampir

dipas- tikan tidak ada sejarawan yang berpendapat secara eksplisit bahwa Islamisasi

Nusantara dan Jawa khususnya yang menjadi fokus tulisan ini berasal dari China. Padahal baik

“Teori India” maupun Timur Tengah khususnya Arab Hadramaut tidak luput dari kelemahan.

Pembela Teori India hanya didasarkan pada sejumlah argumen yang sifatnya hipotetik,

misalnya konstruksi masjid klasik dengan atap susun seperti bentuk meru pada bangunan

beribadah orang Hindu. Ini menunjukkan ada pengaruh India pada kebudayaan Islam. Teori

Arab Hadramaut lebih lemah lagi. Van den Berg dalam studinya, Le Hadhramout Et. Les

Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien (“Hadramut dan Koloni Arab di Nusantara”)

menyatakan bahwa para sayyid dan syarif dan orang-orang Arab Hadramaut lainnya baru

menunjukkan eksistensinya di Jawa pada tahun-tahun terakhir abad KE-18 padahal

keislaman berproses di Jawa sejak abad KE-15/16. Orang-orang Arab ini mulai menetap

di Jawa setelah tahun 1820. Kemudian sejak tahun 1870 arus migrasi orang-orang Arah ke

Nusantara bertambah banyak setelah menggunakan teknologi pelayaran kapal uap (Berg, 1989:

67- 78). Bandingkan analisis Berg ini dengan fakta sejarah komunitas China Islam yang

sudah mendiami pesisir Jawa sebelum abad KE-15.

Karena itu, sejarah Islamisasi Jawa mesti direkonstruksi. Jangan hanya karena faktor

politik dan ideologi, kontribusi China Islam ditenggelamkan dalam limbo sejarah. Arus

Balik adalah sebuah “saksi bisu” yang mengisah- kan tentang arus China (terutama China Islam)

di Jawa sejak awal abad ke- 16 yang tidak bisa dilempar begitu saja. Buku ini menceritakan

soal kegetiran hidup orang-orang (yang mendiami) Jawa saat arus balik membalik. Jawa yang

semula menguasai negeri-negeri di Utara kemudian berbalik: Utara yang “menggagahi” Jawa

di Selatan. Dalam situasi pembalikan arus ini, orang-orang China yang menetap di Jawa

memiliki peran yang tidak bisa diremehkan. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha

mengembalikan citra Jawa yang sudah mulai redup itu dari penetrasi bangsa “Atas Angin” yaitu

Portugis yang malang melintang menguasai perdagangan, pelayaran, sen- jata, dan terus

merangsek ke pusat-pusat strategis di Jawa. Orang-orang China memang pantas melakukan

pembelaan mati-matian teritorial Jawa— sebuah kawasan yang sudah lama dihuninya.

Kehadiran Portugis dipandang dapat melemahkan hubungan China-Jawa yang selama ini

tertanam begitu kukuh dalam kehidupan masyarakat. Kerjasama apik China-Jawa ini dibuk-

Page 13: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

36

tikan dengan berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam yang banyak beror- namen China

seperti saya paparkan pada paragraf di atas.

Pram tidak sedang berfantasi—meskipun karyanya ditulis dalam bentuk fiksi—ketika

mengurangi orang-orang China yang berperan besar dalam sejarah islamisasi Jawa abad

KE-15/16. Berbagai analisis kesejarahan me- nunjukkan dengan jelas bahwa di Jawa, pada

kurun waktu, orang-orang Chi- na memang memegang peranan cukup signifikan di bidang

perniagaan, pe- layaran/navigasi dan hal-hal lain yang terkait dengan wilayah kepolitikan.

Dan kita tahu, Demak yang pada waktu itu memegang hegemoni teritorial Jawa dikuasai

orang-orang China yang berobsesi mendirikan Negara Mari- tim Islam yang tangguh di seantero

Nusantara. Itulah sebabnya, ketika ge- rombolan Portugis, negara yang juga mempunyai

reputasi di bidang pen- jelajahan di awal abad KE-16 (tepat tahun 1511) berhasil merebut

Malaka yang merupakan pusat transaksi bisnis internasional yang bergengsi saat itu, orang-

orang China ini geram, dan akhirnya mereka berkolaborasi dengan rezim Demak dan Jepara

dan Tuban untuk mengusir Portugis dari Malaka— meskipun gagal. Dalam episode

pertempuran yang heroik itu tidak hanya orang China Islam saja yang terlibat di dalamnya

tetapi juga orang-orang China non-Islam.

Obsesi rezim Islam Demak yang dikuasai orang-orang China untuk men- dirikan

kerajaan berbasis maritim yang tangguh itu pada akhirnya beran- takan setelah Trenggana

tewas tahun 1546 dalam sebuah pertempuran mela- wan Panarukan yang bersekongkol dengan

Portugis. Problem ini bertahan ruwet ketiga para keturunan Raden Patah justru terlibat

konflik internal kerajaan hingga membuat bergeser ke pedalaman, mundur ke desa-desa di kaki-

kaki pegunungan. Mundur, mundur terus sampai ke pedalaman. Proses pemunduran ini bukan

hanya dalam pengertian geografis tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri,

ke pedalaman nurani, dan kenalurian yang mengganti nalar nasional. Maka lahirlah mistik

Jawa yang men- jamur dan membudaya pada perilaku manusia. Dalam dekapan rezim Mata-

ram, mistik dan klenik tumbuh subur. Kekuasaan maritim yang membara dan dinamis berganti

menjadi kekuasaan agraris yang lesu dan statis.

Pada saat Jawa sedang dirundung duka dan pertikaian internal yang merun- cing itu,

Belanda datang dan langsung membaca situasi. Persekutuan Jawa- China dipandang dapat

mengancam niatan mereka untuk menguasai negeri rempah-rempah ini. Maka politik pun

dimainkan, dan meletuskan tragedi Chinezenmoord (“pembantaian orang-orang China”) di

Batavia tahun 1740— peristiwa yang mengantarkan lebih dari 10.000 nyawa orang China

mela- yang. Tragis. Sejak itu, orang-orang China di “kerangkeng” dalam sebuah gheto-

gheto yang kemudian dikenal dengan pecinan. Mereka terisolasi dari publik ramai. Sepi-sunyi.

Putuslah hubungan harmoni Jawa-China. Pada saat yang bersamaan, rezim China pun

berganti. Orang-orang asing dari Manchuria menguasai dataran Tiongkok sejak 1644. Mereka

adalah bangsa yang tidak bersimpati sama sekali dengan Islam karena dianggap sebagai

biang keladi rontoknya kekaisaran Ming. Perang terbuka pun tidak bisa terelakkan. Orang-

orang China Islam kemudian menjadi sasaran amuk bangsa Manchu yang sedang

kalap. Mereka yang berada di perantauan segera dititahkan pulang, jung-jung pun dibakar

habis.

Seiring dengan itu didatangkan gelombang baru imigran China yang ber- haluan

Konfusianis. Maka, genap sudah penderitaan orang-orang China ran- tau yang sebagian besar

beragama Islam. Sementara di Jawa, konflik anti China terus berkecamuk. Di Kudus sekitar

tahun 1916 kembali terjadi huru- hara anti China seolah mengingatkan tragedi 1740. Dan

Page 14: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

37

puncaknya, ketika rezim yang menamakan diri Orde Baru memproklamirkan China sebagai

“otak” PKI yang kemudian diikuti dengan pembunuhan, pem- bantaian dan pemusnahan yang

berkaitan dengan China. Segala produksi kebudayaan yang berkaitan dengan China

dileburkan termasuk karya-karya intelektual yang mengulas historisitas China dengan

berbagai kontribusinya. Buku Prof. Muljana, Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan

Timbulnja Negara- negara Islam di Nusantara yang mengulas historisitas China Islam di Jawa

diberedel dengan Keputusan Djaksa Agung No. Kep. 043/DA/1971. Pembunuhan

fisik dan non fisik atas komunitas China ini menyebabkan citra mereka tetap bopeng di mata

rakyat. Ujungnya, setiap pengungkapan yang berusaha menyuguhkan sisi-sisi terang mereka

ditutup rapat. Digembok. Sejarah China Islam di Jawa adalah bagian dari sisi terang yang

sudah sekian lama “dimumikan” oleh sang rezim. Fakta historis China Islam dianggap

bukan fakta melainkan pembualan sejarah.

Sang rezim tanpa kenal letih terus menerus menghembuskan aroma borok-borok China:

tentang komunisme, tentang keserakahan, tentang keculasan, tentang kekikiran dan seterusnya.

Seolah tidak ada sisi baik dari mereka meski hanya secuil. Propaganda itu begitu ampuh,

menyentuh ke dalam relung-relung kalbu yang paling dalam dari masyarakat “pribumi”. Akibat-

nya, kemunculan China Islam dianggap asing, aneh, seolah datang dari du- nia lain. China sunat

aneh, China masuk masjid aneh, China baca Al-Qur’an aneh. Orang China dipandang tidak

berhak menyandang predikat Islam dengan segala ritual dan tradisinya. China identik dan

diidentikkan dengan klenteng, hio, pemuja Tao, Barongsai, Toapekong. Karena itu sebuah ide

yang mengungkapkan tentang peranan China dalam sejarah Islamisasi Jawa juga dipandang

sebagai igauan dan bualan yang “sesat dan menyesatkan”.

Realitas potitik yang getir ini ditambah maraknya sejumlah organisasi Islam yang

mengusung ideologi otentisisme sejak awal abad KE-20. Otentisisme adalah sebuah

ideologi yang menganggap keotentikan Islam diukur dari Arab. Keislaman dari luar Arab

dipandang tidak memiliki derajat kesahihan. Ideologi ini berkembang luas di Indonesia setelah

sejumlah organisasi Islam puritan di Timur Tengah, India dan Afrika Utara di abad KE-

19 mampu menguasai konstituen masyarakat Islam. Kelompok Islam puritan inilah yang

mem-back up teori asal-usul (genealogi) keislaman di Nusantara (termasuk Jawa)

berasal dari Arab. Melalui simposium nasional bertajuk “Sejarah Masuk dan Berkembangnya

Islam di Nusantara” yang digelar sejak 1960-AN sejumlah argumentasi disusun rapi. Hasilnya?

Islam di Nusantara datang langsung dari Arab bahkan Mekkah yang dibawa para syarif, sayyid,

syeikh dan habib —sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa. Jauh sebelum bangsa Arab

menjamah Jawa, orang-orang China Islam sudah menunjukkan eksistensinya sebagai kelas

menengah bergengsi di pulau ini. Hanya saja, jejak historis China Islam ini diabaikan begitu

saja. Tetapi kebenaran fakta sejarah tidak dapat dielakkan meski runtuh berkeping-keping.

Ini bukan rekonstruksi baku karena memang sejarah tidak bisa “dibakukan” meski dapat

“dibukukan”.

Kesimpulan

Arus Balik telah mengisahkan jejak-jejak historis China Islam yang tidak bisa

dielakkan. Pram, dengan gayanya sendiri seolah ingin mengatakan pada publik ramai bahwa:

sejarah jangan ditutup-tutupi. Maka, Pram pun bertu- tur secara blak-blakan mengenai

“agen-agen sejarah” perjalanan Jawa sepanjang abad KE-16. Pram tidak hanya bertutur

tentang heroiknya orang- orang yang membela “martabat” Jawa seperti kasus Wiranggaleng,

Page 15: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

38

tentang perjuangan tak kenal lelah Babah Liem Mo Han, tentang ketulusan hati Rama

Cluring dan Sunan Bonang, tentang pembelaan martabat perempuan yang tampil dalam figur

Nyai Gede Kati dan Idayu dan seterusnya. Pram juga bercerita tentang Ambivalensi Adipati

Tuban Arya Tejo, tentang oportunisme dan kebejatan Sayid Habibullah Almasawa, tentang

kelicikan Sunan Rajeg. Dalam Arus Balik Pram mengajarkan tentang realitas hidup yang

memang tidak lepas dari tipu muslihat, dari kelicikan. Maka waspada men- jadi kata kunci.

Tipu muslihat dan kelicikan itu tidak hanya datang dari “luar” yang asing tapi juga dari

“dalam” yang akrab. Karena tipu muslihat itu pula orang-orang petani desa akhirnya menjadi

korban propaganda Sunan Rajeg alias Ronggo Ishak. Dan karena kurang waspada, Adipati

Tuban berhasil “dikencingi” Sayid Habibullah al-Masawa. Tapi baik Sunan Rajeg maupun

si Sayid pada akhirnya mejadi korban kelicikan dan tipu muslihat yang ia pasang sendiri. Dan

justru yang menghabisi keduanya adalah orang- orang desa yang semula ia anggap bodoh.

Di sini Pram lantas berpetuah, “kesalahan orang-orang pandai adalah menganggap orang

lain bodoh dan kesalahan orang-orang bodoh adalah menganggap orang lain pandai” (Arus

Balik, 246).

Pram, dalam novel sejarah Arus Balik setebal 760 halaman ini seolah ingin mengatakan

bahwa kemunduran Jawa berakar kuat pada perangkap- perangkap tipu muslihat yang

dimainkan/dipasang para “agen sejarah lokal” sendiri (baca, Jawa) dan bukan orang asing

seperti Portugis/Peranggi. Narasi sejarah yang digambarkan begitu apik. Sebagaimana karya

yang lain, dalam Arus Balik ini Pram juga mengandalkan kekuatan bahasa dan imajinasinya.

Keduanya menjadiwahana gaya bercerita Pram yang dengan kemahiran kepujanggaannya

mampu menjalin dan memilin-milin fakta dan fiksi sambil tetap bersikukuh pada hakekat

kebenaran sejarah. Melihat realitas getir di Jawa ini, Pram bukan menangisi kebesaran masa

lalu, tidak pula merindukan kejayaan purbakala, tetapi dia bernostalgia dengan masa depan yang

cerah. Baginya sejarah merupakan cermin paling jernih, refe- rensi terpercaya untuk suatu

perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling substansial Pram bila

ia mengorek-ngorek seja- rah. Di situlah kecintaannya pada rakyat dan tanah tumpah darahnya

begitu kuat meski rezim mengerdilkannya.

Karena itu sejarah harus diungkap secara jujur, termasuk sejarah islamisasi. Jangan karena

kebencian terhadap China kemudian memusnahkan seluruh warisan kultural yang pernah

digoreskannya. Harus diakui bahwa China tidak melulu berwajah Budha atau Konghucu saja

tapi juga ada China yang berwajah Islam. Ini harus diapresiasi secara jujur. Bukankah bangsa

yang besar adalah bangsa yang mau mengakui eksistensi sejarahnya? ***

Bibliografi

Atmodarminto, R. Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik (Jakarta, 2000).

Babad Tanah Djawi (Jakarta: Balai Pustaka, 1939-1941), Seri No. 1289, 24 Jilid.

Broomhall, M. Islam in China: A Neglected Problem (London, 1905). Budiman, Amen,

Masyarakat Islam China di Indonesia (Semarang, 1979). Choy, Lee Khoon, Indonesia

Between Myth and Reality (Singapura, 1977). Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis

tentang Sejarah Banten (Jakarta,1983).

Edel, J., Hikayat Hasanuddin (Meppel, 1938).

Graaf, H.J. & Pigeaud, “Chinese Muslims in Java in the 15th & 16th Centuries: The Malay

Annals of Semarang and Cerbon,” Monash Paper on Southeast Asia, 12, 1984.

Page 16: Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...

Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2

39

Groendeveldt, W.P., Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese

Sources (Jakarta, 1960).

Hirth, F & Rockhill, W.W., Chau Ju Kua: His Works on The Chinese and Arab Trade

in The 12th & 13th Centuries (Taipei, 1965).

Joe, Liem Thian, Riwayat Semarang (Semarang, t.th).

Kuwabara, Jitsuo, “On P’u Shou Keng with a General Sketch of The Arabs and China”,

dalam Memoir of the Research Department of the Toyo Bunko, ii, 1928.

Lan, Nio Joe, Tiongkok Sepandjang Abad (Jakarta, 1952).

Laporan Akhir Penelitian tentang Menelusuri Jejak-jejak Sejarah Islam di Kotamadya Semarang

(Semarang, 1997/1998).

Lin, Lo Hsiang, “Islam in Canton in the Sung Period: Some Fragmentary Records”,

dalam F.S. Dranke & Wolrfarm (ed.), Symposium on Historical Archeological

and Linguistics: Studies on Southern China, Southeast Asia and the Hong Kong Region

(Hong Kong, 1967).

Lombard, Dennys, Nusa Jawa Silang Budaya (Jakarta, 1996).

Ma, Ibrahim Tien Ying, Perkembangan Islam di Tiongkok (Jakarta, 1979). Mills, J.V.G. Ying-

yai Sheng-lan: “The Overall Survey of the Ocean’s Shores,

Edited by Feng Ch’eng Chun (Cambridge: University of Cambridge,1970).

Muljana, Slamet, Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Nega- ra-negara Islam di

Nusantara (Jakarta, 1968).

Palindungan, M.O.,.Tuanku Rao (Jakarta: Penerbit Tandjung Pengharapan, 1969).

Pires, Tome, Suma Oriental, Edited by Armando Cortesao (London, 1944). Seong, Tan Yeok,

Chinese Element in the Islamization of Southeast Asia: A

Study of the Strange Story of Njai Gede Pinatih the Grand Lady of

Gresik (Taipei, 1963).

Serat Kandaning Ringgit Purwa, Menurut Naskah Tangan LOr 6379 (Leiden: Perpustakaan

Universitas Leiden, t.th), disalin oleh Marsono

Toer, Pramodya Ananta, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal

Abad ke-16 (Jakarta, 2001).

Wardi, S., Koempoelan Cerita Lama dari Kota Wali (Penerbit Wahju, 1950).

Zen, Thoyib, Manaqib Wali Tujuh di Bali dan Raja-raja Islam di Indonesia

(Kediri, 1998)

Zhi, Kong Yuan, Sam Po Kong dan Indonesia, tt., 1996