Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...
Transcript of Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra ...
24
Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-
Kolonial Belanda
Sumanto Al Qurtuby Alumnus Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo Semarang
Abstract: Chinese Muslim community play a role in the history of Islami- zation in Java, so it
should be raised "Theory of China" in the history of the entry and development of Islam in the
region. So far, the discussion of Islamization theory is always associated with the Middle East
/Arab and India only- like pioneer of the theory of Arab/Middle East is Crawfurd, Keijzer,
Naimann, de Hollander, including some Indonesia-Malay histo- rians like Hasjmi, al-Attas,
Hamka, Djajadiningrat and Mukti Ali. While advocates of the India theory among others are
Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern, Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda and Srhrieke. Almost no
historians who argue explicitly that the Islamization in Java comes from China. Though both
"Theory of India" and the Middle East, especially Saudi Hadramaut aren’t free of weaknesses.
Kata Kunci: Jawa; China; Islam
Pendahuluan
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip sebuah teks klasik China dalam buku
Ming Shi (“Sejarah Dinasti Ming”) dan Ying-yai Shen-lan mengenai masyarakat China
yang bermukim di Jawa, yakni orang-orang dari Kanton (Kwangchou), Zhangzhou (Chang-
chou), Quanzhou (Chuan- chou) dan kawasan China Selatan yang telah meninggalkan
Tiongkok dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir sebelah timur terutama Tuban,
Gresik dan Surabaya. Menurut kedua teks ini, kebanyakan dari orang-orang China yang
mendiami pesisir utara Jawa Timur pada awal abad KE-15 tersebut berkehidupan sangat
layak serta —dan ini yang paling menarik— sebagian di antara mereka telah memeluk agama
Islam dan taat beribadah (Mills, 1970:93; Groendeveldt, 1960:49). Berikut kutipan teks
Ying-yai Sheng-lan yang ditulis oleh seorang China Muslim bernama Ma Huan:
“In this country there are three kinds of people: 1) the Moham- medans, who have come
from the west and have established themselves here, their dress and food is clean and proper; 2)
the Chinese, being all people from Canton, Chang-chou, Chuan-chou (the later two places
situated in Fukien, not far from Amoy) who have run away and settled here, what they
eat and use is also very fine and many of them have adopted the Mohammedan religion
and observe its precepts; 3) the natives, who are very ugly and uncouth, they go about with
uncombed heads and naked feet and believe devoutly in devils, theirs being one of the countries
called devil-countries in Buddhist books. The food of these people is very dirty and bad, its for
instance snakes, ants and all other of insects and worms, which are kept a moment before
the fire and than eaten; the dog; then have in their houses eat and sleep together with
them, without being disgusted at all”.1
1 Terjemahan bebas teks ini adalah “Di negeri ini (maksudnya, Jawa) ada tiga golongan orang: 1)orang Muslim
(huihui ren/”Mohammedan) yang berasal dari berbagai negeri di Barat (catatan: kata “Barat” di sini mengacu pada
kawasan India, Gujarat, Malabar, Benggala, dll) yang datang untuk berdagang, caraberpakaian, makanan dan segala
sesuatunya sudah sangat pantas; 2) orang China (tangren) dari Guangdong (Kanton, Zhangzhou, Quangzhou (kedua
tempat terakhir berada di Fukien, tidak jauh dari Amoy) sertatempat-tempat lain di China yang telah melarikan diri
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
25
Kesaksian Ma Huan mengenai orang-orang China dari Kanton, Zuangzhou dan
Quanzhou yang telah memeluk agama Islam di atas sebetulnya bukanlah hal aneh, mengingat
daerah-daerah tersebut di China sendiri merupakan kantong-kantong umat Islam sebagai
akibat persinggungan antara China dengan Arab. Lo Hsiang Lin dalam studinya “Islam in
Canton in the Sung Period” menyebutkan bahwa orang China telah mengenal Islam sejak masa-
masa paling awal dari perkembangan agama ini, yakni abad ke-7 M. Chinese Annals dari
Dinasi Tang (618-960) juga mencatat adanya pemu- kiman umat Islam di Kanton,
Zhangzhouw, Quanzhou dan pesisir China Selatan lain. Ada banyak buku yang telah
mengulas tentang sejarah perkem- bangan Islam di Tiongkok ini. Antara lain: Islam in
China (Broomhall Marshall, 1905), Muslim in China (C. Sell, 1913), History of the
Muslim in China (Muhammad Fu, 1930), The Spread of Islam in China (Ibrahim Tien Yin Ma,
1970). Adapun buku-buku yang relatif baru tentang perkembangan China Muslim
kontemporer di Tiongkok dapat dibaca dalam beberapa karya akademik yang ditulis
antropolog Dru Gladney, al, (1) Muslim Chinese dan (2) Dislocating China.
Menurut karya-karya di atas ditambah dengan berbagai catatan resmi berba- gai dinasti di
Tiongkok, pemukiman orang-orang Arab, Persia, dan Marocco sudah ada sejak Dinasti Tang
di awal abad ke-7. Pada waktu itu kaisar menyediakan area khusus untuk para pedagang
asing (termasuk orang- orang Arab) yang disebut Fan Fang. Pada masa inilah terjadi kontak
pertama kali Tiongkok dengan masyarakat Islam. Di masa Dinasti Tang, khususnya di era
kekaisaran Tai Tsu (618-626) dan Tai Tsung (627-649), kebudayaan, kesenian dan sastra
di Tiongkok maju pesat. Karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad pernah bersabda:
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Khalifah Usman bahkan pernah mengutus duta
Islam yang dipimpin Sa’ad Bin Abi Qaqqash untuk menjalin persahabatan dengan Dinasti Tang
(konon dikabarkan Sa’ad ini meninggal di Tiongkok).
Ketika Dinasti Song berdiri di awal abad KE-10 (907-1276), hubungan dengan
Islam Arab, Persia, dan Afrika Utara terus berlanjut bahkan semakin intensif. Dilaporkan lebih
dari 10,000 “keluarga asing” (termasuk masya- rakat Muslim dari Timur Tengah)
mendiami kawasan Fan Fang yang disediakan khusus untuk “orang-orang asing” ini. Kaum
Muslim mendapat momentum ketika Dinasti Yuan berkuasa di Tiongkok (1277-1367).
Dinasti Yuan yang didominasi oleh kaum Mongol ini tidak percaya kepada etnis Han (etnis
mayoritas di Tiongkok), dan sebagai gantinya mempromosikan orang Muslim (juga Yahudi)
dari Arab dan Timur Tengah di posisi-posisi tinggi, baik di pemerintahan maupun militer,
guna mengontrol dan menjaga kaum Han. Orang-orang Muslim ini kemudian kawin-mawin
dengan gadis-gadis lokal China sehingga semakin banyak jumlah mereka pada masa Yuan
ini. Karena itu ada pepatah di Tiongkok: “In the Yuan Dynasty, Muslims were all over the
universe” (i.e. China). Pada masa Yuan ini juga Daulah Abasiyah yang berpusat di
Baghdad ditaklukkan oleh tentara Hulagu Khan. Orang- orang yang Muslim Semit yang
ditaklukkan itu kemudian dibawa ke Tiong- kok untuk dipekerjakan di pemerintahan,
perkapalan, kesenian, dan kemi- literan.
dan menetap memeluk agama Islam dan taat menjalankan aturan-aturan agama serta berpuasa; dan 3) orang
pribumi, penampilannya buruk, tak beradat,mereka bepergian tanpa menyisir rambutnya dan tak beralas kaki,
mereka juga menyembah setan/demit (teks Buddha menyebutnya sebagai “negara setan”), makanan mereka kotor
dan buruk, mereka makan ular,semut dan serangga lain serta cacing/ulat tanpa dimasak terlebih dulu, mereka tidur
dan makan bersama- anjing-anjingnya tanpa jijik sedikitpun”).
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
26
Puncak perkembangan Islam di Tiongkok terjadi pada masa Dinasti Ming (1368-
1643) sehingga Dinasti Ming ini sering disebut sebagai “Islamic regime”. Sejarah
Islam pada masa Dinasti Ming ini telah ditulis dengan baik oleh Profesor Hickmet Ma
Mingdao: Talks on the Ming History. Tidak seperti Yuan dan dinasti-dinasti sebelumnya,
Dinasti Ming ini didirikan oleh kelompok etnis minoritas Hui. Ada dugaan kuat kaisar pertama
Ming, Zhu Hongwu, adalah Muslim. Tetapi ia menyembunyikan identitas etnis dan agamanya,
dan mengaku sebagai “Han” untuk, meminjam kalimat Aliya Ma Lynn dalam Muslims in China,
“pacify and unify the country”. Laksamana China Muslim Cheng Ho yang melegenda itu juga
hidup masa Ming ini.
Demikianlah sejarah singkat eksistensi Islam di Tiongkok. Bukti historis yang tidak
terelakkan tentang eksistensi kaum Muslim di kawasan ini adalah adanya dua buah masjid
kuno di Kanton (yang dimaksud adalah Masjid Kwang Tah Se = “Masjid Bermenara
Megah” dan Chee Lin Se=“Masjid Bertanduk Satu”) yang menurut beberapa sejarawan
merupakan masjid kedua tertua di dunia setelah Masjid Nabawi yang dibangun Muhammad di
Madinah (Tien Ying Ma, 1979; Israeli & Johns (ed.), 1984; Broomhall, 1905). Masjid Kwang
Ta Se di Kanton itu adalah masjid pertama yang dibangun diluar kawasan Arab! Dengan
demikian informasi yang merupakan kesak- sian langsung Ma Huan mengenai komunitas
Muslim China dari Kanton, Zhangzhou dan Quanzhou di pelabuhan-pelabuhan Gresik, Tuban
dan Sura- baya pada awal abad KE-15 seperti disebutkan di awal paragraf ini adalah hal yang
wajar dan tidak mengejutkan.
Sejarah Islam di Tiongkok mengalami masa-masa suram ketika Dinasti Ming dihancurkan
oleh orang-orang Manchuria yang kemudian mendirikan Di- nasti Qing (1644-1911). Pada
masa ini terjadi pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Para kaisar juga memaksa
umat Islam untuk kembali ke ajaran leluhur China: Konfusianisme. Sebagai akibatnya
banyak orang- orang Islam yang melakukan konversi atau pindah agama. Karena keke-
jaman rezim pula, maka terjadi banyak pemberontakan yang dilakukan kaum Muslim pada
semasa Qing ini. Konflik baru mereda setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911 berhasil
melakukan revolusi menggulingkan Dinasti Qing. Dr. Sun Yat Sen ini kemudian mendirikan
sebuah negara baru Tiong- kok di atas fondasi demokrasi modern yang menghidupkan
kembali kebe- basan beragama. Ia juga menyatukan lima etnis utama Tiongkok: Han, Man- cu,
Mongol, Hui, dan Tibet. Di bawah pemerintahan nasionalis demokratik, mereka menikmati hak-
hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Pemerintahan Nasionalis Demokratik ini berakhir pada tahun 1949 setelah Tiongkok
dikuasai kaum komunis. Setelah diduduki komunis, pemerintahan nasionalis ini kemudian
memindahkan markasnya dari Nanjing ke Taipei (Taiwan) sampai sekarang. Di bawah
kekuasaan komunis pimpinan Mao Tse Tung, semua agama dibumihanguskan dan diganti
dengan ideologi material- isme. Baru setelah komunis dipimpin oleh Deng Xiaoping pada
1970-AN, agama-agama di China bisa bernafas lega lagi.
Kini data mengenai komunitas Muslim di Tiongkok sangat bervariasi. Ada yang
menyebut 65 juta (report dari San Diago State University); BBC mem- perkirakan antara 20-
100 juta atau sekitar 7,5% dari total penduduk China.
Tetapi menurut statistik resmi penduduk tahun 1936, terdapat sekitar 48 juta Muslim
dan 42 ribu masjid. Berdasarkan jumlah ini, PBB mengesti- masi pada tahun 2009,
penduduk Muslim di Tiongkok mencapai sekitar 140 juta. Jumlah ini jauh lebih besar dari
penduduk Muslim di Iran, Irak, Arab Saudi, Mesir dll. Mengingat sejarah Islam yang begitu
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
27
awal tiba di Tingkok dan “hubungan dagang” (dan politik) antara dinasti-dinasti Tiongkok
dan Jawa (dan Nusantara), maka bukanlah hal aneh jika mereka banyak berpe- ran dan mewarnai
sejarah keislaman di Nusantara.
Dalam setiap pembicaraan mengenai apa yang disebut “Islamisasi Nusan- tara,” para
sejarawan (apalagi yang awam) selalu merujuk pada Arab atau India sebagai negara yang
berperan besar dalam memperkenalkan corak keislaman di negeri ini. Pandangan ini sudah lama
mengakar dalam benak setiap Muslim. Karena teori Arab atau India/Gujarat ini diajarkan sejak
Sekolah Dasar bahkan para guru ngaji di pondok, madrasah, masjid selalu “meritualkan”
pandangan ini. Ada yang menanggapi dengan santai-santai saja dan menganggap hanya sebagai
“hiburan sejarah” tetapi ada yang menanggapi dengan serius bahkan sangat serius sampai pada
taraf meyakini teori Arab ini. Apalagi kelompok “Islam puritan” akan berusaha mati-matian
membela teori Arab dalam proses islamisasi Nusantara dan berusaha sekuat tenaga untuk
menolak teori lain. Mereka berpandangan, dengan memperta- hankan teori Arab maka dapat
menjaga wajah “otentisitas keislaman” (kemurnian Islam). Sebaliknya, jika proses keislaman di
Nusantara ini dila- kukan orang-orang selain Arab maka akan dapat “menodai” keislaman.
Bagi orang-orang puritan ini, dunia Arab (orangnya, tradisinya, kulturnya, makanan-
minum-annya dan seterusnya) adalah segala-galanya karena Islam lahir dari sana. Mereka lupa,
bahwa kesalehan bukan monopoli bangsa Arab, kejelekan bukan monopoli bangsa non-Arab.
Dunia Arab, selain menampil- kan wajah-wajah saleh juga memunculkan wajah-wajah culas
yang bejat. Sebaliknya, dunia non-Arab, selain menampakkan sisi-sisi gelap, di sana juga ada
wajah kearifan yang menjadi cermin keagungan sebuah peradaban. Islam, tidak akan berkurang
derajat kesahihannya meskipun ada peran orang-orang China di dalamnya. Di sini mereka lupa
bahwa keislaman China lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang China telah mengenal Islam di
saat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik. Tulisan ini ber- maksud melacak
historisitas islamisasi Nusantara, Jawa khususnya, men- cakup agen sejarah islamisasi, pola
dakwah dan bukti-bukti kesejarahan. Di belakang nanti saya tunjukkan, pelacakan ini sampai
pada sebuah kesim- pulan bahwa banyak agen yang turut mewarnai keislaman Jawa dan salah
satu agen terbesar yang turut menyebarkan Islam di Jawa ini adalah orang-orang China Muslim.
Bahkan peran China ini lebih meyakinkan ketimbang orang-orang Arab khususnya Hadramaut
sebagaimana yang selama ini dipe- gangi sementara umat Islam.
Hampir semua sejarawan meyakini bahwa proses islamisasi Jawa terjadi pada
bentangan abad KE-14 sampai 16. Di Jawa, rentangan abad ini memang sangat penting sebab
masa-masa ini merupakan proses penguatan basis- basis Islam. Islam tidak lagi tampil sebagai
“community” yang sporadis te- tapi sudah menjadi “society” yang terstruktur dengan sistem
yang cukup ba- ik dan rapi. Pada masa ini juga terjadi tonggak sejarah yang penting di Jawa:
Kerajaan Majapahit hancur untuk kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam (vorstendommen)
di pesisir utara Jawa yang berpusat di Demak. Gambaran sosiologis Jawa pada masa itu
termasuk pergolakan politik yang terjadi di dalamnya, secara menarik dipaparkan Pramoedya
Ananta Toer dalam Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad ke-16.
Dalam karya ini, Pram menyebut beberapa tokoh China Muslim penting pada abad KE-16 yang
berperan besar dalam proses perkembangan Islam di Jawa.
Di antara mereka adalah Liem Mo Han (Babah Liem). Babah Liem ini tidak hanya
mengerahkan kekuatan China untuk melawan Portugis tetapi juga dikenal sebagai arsitek
sejumlah masjid kuno di Jawa seperti Masjid Manti- ngan di Jepara. Babah Liem ini adalah
seorang China Muslim, pemuka Nan Lung (“Naga Selatan”—sebuah organisasi masyarakat
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
28
China Rantau yang mempertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri
leluhurnya) yang sangat dihormati oleh masyarakat China di sepanjang pantai utara pulau
Jawa. Organisasi Nan Lung dibentuk setelah ekspedisi Cheng Ho yang melegenda itu. Oleh Nan
Lung dan masyarakat China, ia diangkat menjadi penghubung antara Lao Sam (Lasem)
dengan Toa-lang (Semarang), juga diangkat menjadi duta masyarakat China untuk Demak.
Liem Mo Han atau Babah Liem bukanlah satu-satunya orang China Islam yang memegang
peran penting yang diceritakan Pram, beberapa China Muslim lain juga ia sebut seperti
Coa Mie An dan Gouw Eng Cu. Yang belakangan ini adalah ketua masyarakat China
sekaligus sesepuhnya di Lao Sam atau Lasem di awal abad ke-16.
Pram juga mengajukan tesis menarik, yakni bahwa Sunan Kalijaga yang selama ini
dipersepsikan sebagai anak Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, menurutnya
adalah Putra Brawijaya, raja Majapahit yang tersohor itu dari seorang putri China Muslimah
bernama Retna Subanci, putri Babah Ba Tong alias Tan Go Hwat. Entah alasan apa Retna
Subanci yang saat itu dalam keadaan hamil kemudian oleh Brawijaya diserahkan kepada Adipati
Tuban. Dari sinilah kemudian lahir seorang putra bernama Jaka Seca yang kelak menjadi Raden
Said atau Sunan Kalijaga. Oleh ibunya, ia diserahkan kepada Gouw Eng Cu untuk dididik di
Lao Sam (Arus Balik, 367). Alasan lain yang digunakan Pram untuk memperkuat
argumentasinya adalah fakta sejarah bahwa Sunan Kalijaga lebih membela Demak mati- matian
ketimbang Tuban. Kenapa? “Sebab Demak adalah rezim China”.
Tidak jelas sumber-sumber yang dipakai Pram untuk melakukan rekon- struksi sejarah
ini. Karena ia memang tidak menyebutkannya. Tetapi papar- annya sungguh rasional dan
meyakinkan dan sesuai dengan catatan-catatan asing hasil pengamatan langsung mengenai
masyarakat China yang mendia- mi di pesisir Jawa. Baik pengembara portugis, Tome Pires, Ma
Huan dari China maupun Loedwicks dari Belanda sama-sama menyaksikan eksistensi China
Islam di pesisir Jawa ini. Yang jelas, tentang informasi genealogi Sunan Kalijaga ini, Pram
tampak berlawanan dengan informasi historiogafi lokal Jawa Tengah terutama Babad Tanah
Djawi dan Serat Kanda, juga Tembang Babad Demak. Dalam teks-teks ini, Sunan Kalijaga
disebut sebagai anak kandung Adipati Tuban, Arya Teja bukan anak Brawijaya dari Putri China
yang dititipkan kepada Arya Teja. Sebaliknya, babadbabad menceritakan anak Brawijaya dari
Putri China itu (menurut naskah Serat Kanda bernama Sio Ban Chi, putri seorang China Muslim
yang bernama Syekh Bentong) bernama Jin Bun alias Raden Patah, Raja Demak pertama. Oleh
Brawijaya, Putri China Muslimah ini diserahkan kepada Arya Damar (bukan Arya Teja), raja
muda di Palembang. Di sanalah Raden Patah yang legendaris itu dilahirkan.
Pram bukanlah orang pertama yang mengidentifikasi ke-Chinaan Sunan Kalijaga.
Jauh sebelumnya, sudah ada beberapa sejarawan dan ahli yang berpendapat bahwa Sunan
Kalijaga yang menempati posisi terhormat dalam masyarakat Islam Jawa itu seorang China.
Prof. Muljana, sejarawan UI dalam buku klasiknya yang kemudian dibredel pemerintah
Orde Baru, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara berdasarkan teks “kronik kelenteng Sampokong” (oleh Graaf & Pigeaud, dua
sejarawan gaek Belanda disebut Catatan Tahunan Melayu atau Malay Annals) juga
mengatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang arsitek Masjid Demak yang bernama asli
Gan Si Cang. Kemudian S. Wardi, sejarawan lokal dari Kota Wali Demak juga berpendapat
bahwa Sang Sunan yang melegenda itu aslinya bernama Oei Sam Ik, putra Oei Tik To,
Bupati Tuban. Selanjutnya, Pangeran Hadiwidjaya dalam suatu ceramah tentang Sunan
Kalijaga yang diadakan Widya Pustaka di Kota Solo juga mengemu- kakan pandangan bahwa
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
29
kata Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata China, “Sa It” yang berarti 3l
(Sa/Sam=3, It=1). Kata ini merujuk pada usia ayahnya saat melahirkan Sang Sunan yang berusia
31 tahun. Pangeran Hadiwidjaya bahkan tidak hanya menyebut Sunan Kalijaga yang
beridentitas Muslim China, beberapa nama lain yang disinyalir seorang Muslim China juga
disebutnya seperti Ki Ageng Gribig yang menurutnya bernama Siauw Dji Bik, Ki Ageng
Pengging (Heng Pa Hing), Sunan Bonang (Bo Bing Nang) dan Sultan Pajang (Na Pao Tjing).
Apakah Pram dan beberapa ahli di atas sedang berfantasi ketika mengiden- tifikasi
“keChinaan” sejumlah nama beken dalam sejarah islamisasi Jawa abad ke-15/16—Abad di
mana agama Islam sedang berproses untuk menun- jukkan eksistensinya sebagai agama baru?
Pendapat Pram, juga lainnya, tidak bisa disalahkan 100%, juga tidak bisa dibenarkan 100%.
Sebab, sejarah bukanlah soal benar dan tidak benar tetapi soal rasional dan tidak rasional, masuk
akal dan tidak masuk akal. Sejarah adalah sebuah interpretasi atas peristiwa masa lampau.
Karena itu kebenaran sejarah adalah relatif. Kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat Si
A salah dan Si B benar. Terlepas dari sahih dan tidaknya data yang dipakai para ahli di
atas, yang jelas berbagai analisis kesejarahan menunjukkan bahwa orang-orang China, pada
kurun itu (abad KE-15/16), memang memegang peran cukup signifikan di hampir segala
bidang: pertukangan, perniagaan/perdagangan, pelayaran/ navigasi dan hal-hal yang terkait
dengan wilayah kepolitikan. Orang-orang China yang mendiami Jawa ini merupakan imbas
(side effect) dari hubungan Jawa-China yang sudah dibangun sejak klasik.
Relasi Jawa (teks China: She-po, Zhaowa) dengan China (Tiongkok), baik dalam
pengertian hubungan diplomatik antar-kedua negara/kerajaan mau- pun kontak dagang
memang sudah berlangsung sejak klasikjauh sebelum Islam datang ke kawasanini(Wolters,
1967;Schrieke, 1960;Leur, 1955;Vlekke, 1943). Hubungan tersebut terus berlanjut saat China
dikuasai Dinasti Ming (1368-1644 M), sebuah rezim yang memberi apresiasi cukup besar
terhadap komunitas Muslim di sana. Saat itulah terjadi arus perhubungan yang cukup intensif
Jawa-China. Buku Ming Shi (“Sejarah Dinasti Ming”) di satu sisi dan kisah-kisah yang disusun
sewaktu pelayaran Cheng Ho terutama risalah Ying-yai Sheng-lan yang ditulis Ma Huan
(sekitar tahun 1416) di pihak lain menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan dagang antara
Jawa dengan China pada waktu itu (abad ke-15) meningkat, dan di Jawa sendiri peran
masyarakat China dalam bidang perniagaan dan maritim semakin lama juga semakin meningkat
(Lombard, II, 1996; Reid, 1992, 1999). Pada tingkat diplomasi, pada kurun abad KE-15 dan
ke-16, hubungan Jawa dengan China juga terlihat sangat baik. Kira-kira tahun 1410,
pemerintahan China (Dinasti Ming)secara resmimemihak Jawa(baca, Majapahit) untuk
melawan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang (teks China: Kukang) dan
mengirim sepucuk surat yang mengandung keputusan itu kepada penguasa Majapahit. Artinya,
keunggulan Jawa atas Sriwijaya disahkan/dilegalkan secara pasti—suatu hal yang
disengketakan dan tak terselesaikan sejak eks- pedisi Kertanegara dari Singasari tahun 1275 saat
melawan Melayu.
Perlu diketahui bahwa eksistensi China Islam pada abad KE-15/16 tersebut tidak
hanya di Jawa Timur saja seperti disaksikan Ma Huan (seperti saya sebutkan di awal
paragraf ini), melainkan hampir merata di sepanjang pesisir utara (“Pantura”) Jawa.
Pengelana Belanda, Loedewicks, yang me- ngunjungi Banten pada abad KE-16 seperti dicatat
Sutterheim dalam uraian kesarjanaannya tentang Keraton Majapahit, juga menyaksikan
eksistensi komunitas China Islam ini yang dalam dokumen VOC disebut geschoren
Chineezen (orang-orang China cukuran). Kesaksian atas eksistensi China Islam di Jawa
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
30
bahkan Asia Tenggara pada bentangan abad ke-15/16 juga diberikan Ibnu Batutta,
pengembara asal Maghrib yang pada pertengahan abad KE-15 berkeliling dunia menelusuri
daerah pesisir dari Arab sampai China dan Asia Tenggara seperti tertuang dalam buku Rihlah
ibn Bathutah yang diedit Thalal Harb.
Informasi yang merupakan hasil pengamatan langsung di atas benar-benar mendukung
tradisi Jawa mengenai awal mula penyebaran agama Islam di Jawa. Tradisi-tradisi yang pada
umumnya tersimpan dalam babad-babad yang disusun kemudian (zaman Mataram Islam)
meskipun uraiannya diseli- muti penuh mitos tetapi yang dikemukakannya ialah suasana
kosmopolitan yang pada waktu itu terdapat di pelabuhan-pelabuhan pesisir dan masya- rakat
baru yang sedang terbentuk itu pada perkembangan berikutnya mampu mendesak dan
meruntuhkan kekuasaan agraris Majapahit di peda- laman. Bahkan ada beberapa teks lokal yang
menyebut secara eksplisit keberadaan Muslim China pada awal perkembangan agama Islam di
Jawa seperti ditunjukkan dalam Babad Tanah Djawi, Serat Kandaning Ringgit Purwa, Carita
(Sejarah) Lasem, Babad Cerbon, Hikayat Hasanuddin dan lain-lain. Menariknya, hampir semua
historiografi lokal Jawa menyebut Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak yang
merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa ialah seorang Muslim China. Perbedaannya
hanya terletak pada genealogi Raden Patah saja. Jika teks-teks lokal Jawa Barat mengaitkan
asal-usul sang raja yang legendaris itu dengan China Mongol (Hikayat Hasanuddin menyebut
moyangnya bernama Cek Ko Po dari Munggul sementara Sadjarah Banten menyebutnya Cu-
Cu), maka beberapa teks lokal Jawa Tengah seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kanda atau
Tembang Babad Demak mengaitkannya dengan Raja Majapahit Brawi- jaya yang menikah
dengan Putri China (sebagian riwayat menyebut nama putri China ini Sio Ban Chi, putri Syekh
Bentong atau Kyai Bantong yang juga seorang Muslim China). Jika Raden Patah adalah seorang
Muslim China, maka Demak dengan sendirinya merupakan rezim China. Raden
Patah adalah seorang raja yang berobsesi menjadikan Demak sebagai Negara Maritim
Islam yang tangguh di Jawa. Obsesinya itu kandas setelah Treng- gana (teks Malay Annals:
Tung Ka Lo) wafat tahun 1546 dalam sebuah per- tempuran melawan Panarukan yang
bersekongkol dengan Portugis. Semen- tara para penggantinya tidak memiliki kualifikasi
sebagai leader yang cakap, bahkan antar-keturunan Raden Patah terlibat konflik panjang dan
berdarah- darah sampai akhirnya Senapati (Sutawijaya) berhasil menghempaskan Jaka Tingkir
dan mendirikan imperium Mataram Islam di pedalaman Jawa.
Selain babad, kesaksian pengembara asing tentang eksistensi China Islam di atas juga
paralel dengan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Cerita tutur di berbagai
daerah pesisir Jawa menyebutkan adanya tokoh-tokoh China Islam yang berperan cukup besar
dalam proses islamisasi di kawasan ini seperti kisah Cie Gwie Wan, “tangan kanan” Sultan
Hadlirin sekaligus peletak dasar tradisi seni ukir di Jepara yang populer dengan sebutan
Sungging Badar Duwung karena keahliannya di bidang seni ukir (makamnya ada di kompleks
Astana Sultan Hadlirin, Jepara). Bahkan menurut teks lokal pesisiran, Serat Kandaning Ringgit
Purwa, menyebut Sultan Hadlirin (Suami Ratu Kalinyamat) sendiri seorang China Muslim
bernama Wintang. Semula ia seorang pedagang kaya yang kapalnya beran- takan akibat
serangan badai, sementara ia sendiri terdampar di tempat yang bernama Jung Mara (kemudian
menjadi Jepara). Konon, pengusaha China bernama Wintang ini kemudian diislamkan Sunan
Kudus melalui guide yang juga seorang Muslim China bernama Rakim dan diganti namanya
menjadi Hadlirin (nama ini artinya “pendatang”).
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
31
Kemudian Kyai Telingsing (Tan Ling Sing/The Ling Sing) yang merupakan (partner
dakwah Sunan Kudus atau Jakfar Shadiq di Kudus. Oleh masya- rakat Islam setempat, Kyai
Telingsing ini tidak hanya dikeramatkan kubur- annya tetapi juga dilestarikan ajarannya. Salah
satu ajaran Mbah Sing (sebutan Kyai Telingsing) yang masih hidup dalam tradisi masyarakat
setempat adalah “solat sacolo saloho dongo sampurno” (maksudnya, salat sebagai do’a yang
sempurna). Tradisi masyarakat Salatiga khususnya di daerah Kalibening mengaitkan sejarah
Islamisasinya dengan tokoh Lie Beng Ing. Sementara, tradisi masyarakat Cirebon menyebutkan
tokoh Tan Eng Hoat (bergelar Maulana Ifdhil Hanafi), Tan Sam Cai alias Muhanunad Syafi’i
(ahli moneter di masa awal Kesultanan Cirebon), Kung Sam Pak atau Muhammad Murjani
(keturunan Kung Wu Ping, pendiri mercusuar di dae- rah Sembung, Cirebon) kemudian Tan
Hong Tien Nio (populer dengan se- butan Putri Ong Tien) yang menjadi istri Sunan Gunung
Djati, pelopor dan penggerak Islam di Cirebon dan wilayah Jawa Barat. Bersama sang Sunan,
tokoh-tokoh China muslim itu bahu-membahu menyebarkan Islam sekaligus memperluas
teritorial kesultanan Cirebon di seantero Jawa Barat.
Cerita lisan China Islam ini tidak tanya di Jawa saja tetapi juga Bali. Dalam tradisi lokal
masyarakat Islam Bali, salah satu anggota Wali Tujuh (semacam tradisi Walisongo di Jawa)
adalah seorang Muslim China bernama Syekh Abdul Qodir Muhammad alias The Kwan Pao
Lie. Makamnya berada di desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten
Buleleng, Singaraja, Bali. Makam ini dikenal dengan sebutan “Keramat Karangrupit” (Zen,
1998: 46). Bahkan, Tan Yeok Seong dalam uraian kesarjanaannya tentang Nyai Gede
Pinatih menyebutkan bahwa perempuan kuat dan saudagar kaya di Gresik ini yang dalam
tradisi lokal dikenal sebagai ibu angkat Sunan Giri adalah seorang China Muslimah
keturunan Shih Chin Ching, seorang overlord (yang dipertuan besar) China di Palembang
yang bernama Shih Ta Niang Tzi Pi Na Ti. Nama Pinatih adalah verbastering (perubahan kata)
dari teks China Pi Na Ti (Seong, 1963:399-408). Nyai Gede Pinatih inilah yang mem-
back up dana buat kejayaan Giri Kedaton (kerajaan Giri).
Sejarawan Belanda yang sepanjang hayatnya didedikasikan untuk menulis historisitas
Jawa, De Graaf, juga berpendapat bahwa Sunan Giri (Raden Paku), meskipun bukan
China tapi banyak mempekerjakan orang-orang China sebagai pegawai sipil dan militer untuk
mengelola kerajaannya, Istana Giri (Giri Kedaton). Dalam risalahnya, Soerabaja in de XVII
eeuaw van Koninkrijk tot Regentschap (“Surabaya dalam abad KE-17 dari Kerajaan sampai
Kabupaten”), Graaf juga mencatat .ada sekitar 40 China Muslim yang dipekerjakan Sunan
Dalem (Prabu Satmata), penguasa kedua Giri Kedaton. Babad Tanah Djawi (ed. Balai
Pustaka, IX, 67/68) juga menceri- takan tentang para pengikut Giri saat berperang melawan
Pangeran Pekik dari Surabaya (menantu Sultan Agung) terdiri atas kecuali para modin,
santri, ketib dan penghulu juga diikuti sekitar 200 tentara China Muslim. Bahkan, menurut
sebagian riwayat yang diakui kesahihannya, panglima perang Giri terakhir saat berperang
melawan Mataram adalah seorang China Muslim yang bernama Endrasena. Ia adalah anak
pungut Panembahan Kawistuwa atau Mas Wetan, pengganti Sunan Prapen. Tokoh ini
sampai sekarang masih dikenal dalam lembaran sejarah Tanah Jawa (Budiman, 1979:23).
Patut diketahui bahwa eksistensi China Islam pada awal perkembangan agama Islam
di Jawa ini tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengembara asing, sumber-
sumber China, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja melainkan juga dibuktikan dengan
berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam di Jawa yang mengisyaratkan adanya pengaruh
China yang cukup kuat sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad KE-
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
32
15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino Javanese Muslim Culture—sebuah akulturasi
kebudayaan China, Islam, Jawa. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara
masjid di peChinan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur
keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal
penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan
sebagainya semuanya menunjukkan keterpengaruhan budaya China yang kuat. Dan
peninggalan kesejarahan yang tak terelakkan dari masyarakat China Muslim ialah dua
masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang dihubungkan
dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan Tamien Dosol Seeng dan
Nyonya Cai. Dalam Masjid Sekayu (masjid tertua di Semarang, Aboebakar Atjeh dalam
Sedjarah Mesdjid (1955) menyebutnya Masjid Pekayuan) terdapat lukisan/ tulisan China yang
berada di kerangka atap (blandar) masjid. Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk
kelenteng-kelenteng kuno kontroversial yang diduga kuat oleh sementara sejarawan sebagai
bekas masjid yang dibangun masyarakat China pada abad KE-15/16. Kelenteng- kelenteng
yang dimaksud ialah Kelenteng Ancol di Jakarta (juga disebut Kelenteng Nyai Ronggeng),
Kelenteng Talang di Cirebon, Kelenteng Gedung Batu (Sampo- toalang/Sampokong) di
Simongan-Semarang, Kelenteng Sampokong di Tuban dan Kelenteng Mbah Ratu di
Surabaya.
Kelenteng Nyai Ronggeng di Ancol (juga disebut Kelenteng Bahtera Bhakti yang
terletak kira-kira 25 meter dari Sirkuit Ancol) dihubung-hubungkan dengan seorang Muslim
China yang menjadi juru masak Cheng Ho (dikenal dengan Sam Po Swie Soe). Kisahnya,
pada waktu Cheng Ho ekspedisi ke Sunda Kelapa (nama Jakarta tempo doeloe), sang juru
masak ini kemudian jatuh cinta dengan penari ronggeng setempat yang bernama Sitiwati.
Karena sudah saling “jatuh cintrong”, akhirnya, keduanya menikah sampai
meninggal dan dikuburkan di kompleks kelenteng bersama mertuanya yang bernama Said Areli.
Cerita lisan ini dirilis ulang oleh Lee Khoon Choy dalam Indonesia Between Myth and
Reality. Dua sejarawan Perancis, Dennys Lombard dan Claudine Salmon (1985:17) yang
pernah meneliti kelenteng- kelenteng di Jakarta menduga pembangunan Kelenteng Ancol
dalam ben- tuknya yang cukup megah sekarang ini baru terjadi sekitar abad KE-18,
sebelumnya konstruksi bangunannya masih sederhana. Dalam Kelenteng Mbah Ratu di
Surabaya (terletak di kawasan kumuh tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak)
terdapat sebuah pusara yang hampir selalu ada kembang, kemenyan, tasbih dan al-Qur’an.
Sementara dalam Kelenteng Gedung Batu di Simongan, Semarang, ada beberapa makam
keramat China Muslim, antara lain Ong King Hong atau Wang Ching-Hung, karib Cheng Ho
yang oleh Amen Budiman dianggap sebagai tokoh sejarah dari legenda Kyai Dampoawang.
Selain itu juga terdapat makam Kyai dan Nyai Tumpeng yang oleh masyarakat China setempat
dianggap sebagai juru masak Cheng Ho serta makam Kyai Cundrik Bumi yang diduga sebagai
pengawal Cheng Ho. Dalam Kelenteng itu pula terdapat sebuah bedug yang berisi kata-
kata mutiara aksara/bahasa China: mo’len lan ing yang berarti “diam-diam
membenarkan al-Qur’an dengan suara” (Ambary, 2001:283). Kelenteng ini kemudian
menjadi megah seperti tampak saat ini setelah tanah kompleks Simongan —tempat situs
Kelenteng Sam Po Kong— berhasil dibeli oleh Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar
kaya yang terkenal dengan julukan “Raja Gula Nusantara” sekitar tahun 1879 dari seorang
tuan tanah Yahudi bernama Yohanes (Zhi, 1992:37-38).
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
33
Cerita misterius seputar kelenteng ini juga terdapat di Cirebon, tepatnya mengenai
Kelenteng Talang. Dalam tradisi masyarakat setempat, kelenteng ini mulanya konon dibangun
oleh Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’i alias Tumenggung Arya Dipa Wiracula (menteri
keuangan di zaman Kesultanan awal Cirebon). Indikasi bahwa kelenteng ini semula
merupakan masjid menurut Tan Tjie Tek, penjaga kelenteng, antara lain arah kelenteng
yang menghadap kiblat, adanya sumur dan padasan (tempat berwudlu), tulisan kaligrafi
bergaya China, mimbar khotbah serta tempat pengimaman yang menjorok ke dalam.
Tempat ini kemudian dialihfungsikan untuk periba- datan umat Kong Hu Cu (baca,
berubah fungsi menjadi kelenteng) oleh seorang China kaya raya Cirebon bernama Mayor
Tan Tjie Kie (1853-1920) yang saat itu menjabat ketua Perhimpunan Kong Ju Kwan
berdasarkan surat Gouvernur Hindia Belanda Besluit tanggal 22/7/1898 No.3. Akhirnya,
dibuatlah meja altar Konghucu sekitar tahun 1960-an oleh Kho Sin Soan.
Beberapa kelenteng kuno kontroversial di atas sangat mungkin semula merupakan
masjid (dalam bentuknya yang sederhana) yang dibangun oleh para migran China Muslim
yang datang ke Jawa. Mereka memilih menetap di Jawa, tidak pulang kembali ke negerinya
dengan alasan tertentu seperti menjalankan bisnis, wisata, keamanan politik sampai
motivasi untuk menyebarkan agama Islam. Kemungkinan besar, komunitas China Islam
awal yang mendiami pesisir utara Pulau Jawa di atas ialah para pedagang bebas atau
mungkin pelarian politik akibat iklim sosial politik yang kurang kondusif di negeri China.
Berbagai analisis kesejarahan menunjukkan di negeri Tiongkok ini telah terjadi beberapa kali
peristiwa politik yang menye- babkan pengungsian besar-besaran komunitas China di
sepanjang pesisir Asia Tenggara termasuk Jawa. Di antara peristiwa politik dimaksud
ialah saat terjadi pemberontakan orang-orang Islam di Kanton dan basis-basis Islam di
China lain pada sekitar abad ke-8 M. Upaya “makar” ini kemudian digempur Huang Chou
yang memporakporandakan Kanton dan kawasan Islam lain di China (Lo Hsiang Lin, 1967).
Peristiwa politik selanjutnya yang menyebabkan terjadinya arus migrasi dalam jumlah besar
ialah ketika kaisar pertama Dinasti Ming, Hung Wu, di akhir abad ke-14 melakukan
tindakan pemerasan dan kekerasan terhadap kelas menengah, pengusaha dan peda- gang
sukses di China yang membangkang dari kewajiban membayar pajak pada negara.
Peristiwa politik ini telah mengakibatkan terjadinya pelarian modal (kapital) dan migrasi
besar-besaran ke luar negeri sekaligus telah mengubah status pelancong temporal China
menjadi ekspatriat permanen di negara baru yang dihuninya (Seagrave, 1999).
Selain dua peristiwa politik besar tersebut, kemungkinan lain adanya masya- rakat China
Islam di Jawa sebelum abad KE-17 ialah saat terjadi ekspansi politik China-Mongol ke
Jawa tepatnya Singasari pada akhir abad ke-13 (kata sebagian sejarawan tahun 1292).
Ekspedisi politik yang terdiri atas 20.000 tentara China-Mongol ini awalnya dimaksudkan
sebagai aksi balas dendam kepada Kertanegara pada akhirnya gagal total setelah
mereka berhasil dikelabui Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Pengkaitan
China Islam di Jawa dengan sisa-sisa tentara China-Mongol yang berhasil lolos dari gempuran
Wijaya ini bukan tanpa alasan. Sebab, seperti ditunjukkan dalam studi Jitsuo Kuwabara
bahwa beberapa elite Muslim memegang peran cukup signifikan pada masa kekuasaan
Dinasti Yuan (Mongol) di China. Para elite Muslim ini berhasil mempengaruhi beberapa
kebijakan China-Mongol untuk melakukan ekspansi teritorial ke Jepang, Korea, Campa dan
Jawa (Kuwabara, 1928). Bahkan, seperti ditulis beberapa sejarawan, wakil panglima perang
rezim China-Mongol ialah seorang Muslim yang bernama Alaudin Musafari (Ma, 1979;
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
34
Khan, 1967). Dari sini menimbulkan dugaan kuat bahwa sebagian tentara China-Mongol yang
turut serta dalam ekspansi tersebut ialah orang-orang China Muslim. Dugaan ini semakin kuat
setelah melihat pada dekade berikutnya di pesisir utara Jawa bermunculan tradisi tentang
China Islam yang dikaitkan dengan negeri “Munggul” (maksudnya, Mongol).
Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling monumental ialah saat terjadi
ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming yang melibatkan ribuan
orang-orang China yang sebagian besar di antaranya orang-orang Islam. Beberapa
petinggi ekspedisi selain tokoh legendaris Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang
Chinghung, Kung Wu Ping, Fei Hsin dan lain-lain juga seorang Muslim yang dikenal taat
beragama (Zhi, 1996; Budiman, 1978). Ekspedisi sejak awal abad KE-15 itu tercatat tiga kali
mengunjungi Jawa, dan setiap misi muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang
mengagumkan. Ekspedisi yang dipimpin bahariwan besar Cheng Ho ini tidak sekadar
bermuatan politik dan ekonomi tetapi juga menyimpan “hidden agenda” berupa Islamisasi.
Hal ini terbukti dengan penempatan para konsul dan duta keliling Muslim China di setiap
daerah yang dikunjunginya (Parlindungan, 1964; Muljana, 1968). Dimungkinkan, sebagian
China Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini eng- gan pulang kembali ke
negerinya baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih
menjanjikan atau faktor kenyamanan politik maupun alasan dorongan keagamaan untuk
menyebarkan syi’ar Islam di “negeri kafir”. Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini
begitu tera- sa menyengat dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tidak hanya muncul lewat
tradisi lisan melalui tokoh mitos Kyai Dampuawang tetapi juga bebe- rapa peninggalan
kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon mau- pun berbagai kelenteng kuno di pesisir
utara Jawa yang dikaitkan dengan Cheng Ho, seperti dipaparkan di atas.
Para imigran China di atas yang sebagian besar laki-laki ini kemudian meng- adakan
perkawinan dengan perempuan lokal baik dengan perempuan bang- sawan keraton maupun
rakyat biasa seperti yang terjadi pada seorang China Muslim yang kemudian dalam tradisi
setempat dikenal dengan “Babah Chi- na” yang kawin dengan penari ronggeng di daerah Sunda
Kelapa. Dari inte- raksi lewat perkawinan silang ini, kemudian muncul istilah China Peranakan
sebagai imbangan dari China Totok. Migran China yang sebagian besar laki- laki ini disebabkan
perempuan pada saat itu tidak boleh bepergian jauh apa- lagi ke mancanegara baik karena adat
setempat maupun larangan dari Kai- sar China. Istilah “nyonya China” yang muncul di
Jawa pada abad perte- ngahan sebetulnya mengacu kepada perempuan pribumi yang
dikawin de- ngan laki-laki China. Dan kata “nyonya” sendiri berasal dari kata Hokkian, nio’a
atau niowa yang berarti “perempuan” (Liem Tien Joe, 1933). Tradisi kawin silang China-
Jawa yang begitu maklum di masa pra-kolonial itulah yang menyebabkan dulu orang
Jawa merasa bangga menyatakan dirinya sebagai keturunan China.
Banyak yang memberi kesaksian atas penegasan identitas keChinaan orang Jawa ini yang
diberikan para pengamat awal seperti Diogo de Couto, Edmun Scott, William Methold,
Schouten atau Abbe de Raynal (Lombard, II, 1996). Pengembara tersohor Portugis, Tome Pires
juga tidak bisa menyembunyikan fakta harmoni orang Jawa terhadap China. Bahkan, kata Pires,
ada beberapa penguasa China yang dengan sukarela mengirim salah seorang anak perem-
puannya kepada seorang vasal Jawa untuk dinikahi, diiringi sejumlah besar pengikut dan
sebuah kapal penuh kepeng (Cortesao, I, 1944:179). Tradisi kawin silang China-Jawa
ini terus berlanjut saat kolonialisme Belanda datang. Lombard dan Salmon dalam
tulisannya, Islam and Chineseness telah menunjukkan dengan baik beberapa China Muslim
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
35
peranakan masa kolonial di Jawa. Fakta sejarah demikian bukanlah hal aneh apabila banyak
para kyai yang sebetulnya mempunyai leluhur China. Abdurrahman Wahid dalam beberapa
kali kesempatan juga sering menga- takan bahwa dirinya masih keturunan Tan Kim Han
alias Syekh Abdul Qodir al-Shiniy yang pernah memimpin laskar Demak saat melawan
Majapahit bersama Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus) dan Maulana Ishak (konon ayah Sunan
Giri). Apakah pernyataan Gus Dur ini “historis” atau sekedar bermuatan “politik” saja hanya
dia yang tahu. Tetapi fakta sejarah Muslim China-Jawa ini tidak bisa terbantahkan.
Dari paparan singkat di atas kiranya cukup beralasan jika dikatakan bahwa komunitas
Muslim China turut memainkan peran dalam proses sejarah Islamisasi di Jawa sehingga
patut dimunculkan “Teori China” dalam sejarah masuk dan berkembangnya Islam di kawasan
ini. Sejauh ini, pembicaraan tentang teori Islamisasi selalu dikaitkan dengan Timur
Tengah/Arab dan India saja —sebuah teori yang sudah menjadi klasik dan klise. Pelopor teori
Arab/Timur Tengah ialah Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, terma- suk beberapa
sejarawan Indonesia-Melayu seperti Hasjmi, al-Attas, HAM- KA, Djajadiningrat dan Mukti
Ali. Sementara penyokong teori India antara lain ialah Pijnapel, Hurgronje, Morison, Kern,
Winsted, Fatimi, Vlekke, Gonda dan Srhrieke (Drewes, 1985; Azra, 1999). Jadi hampir
dipas- tikan tidak ada sejarawan yang berpendapat secara eksplisit bahwa Islamisasi
Nusantara dan Jawa khususnya yang menjadi fokus tulisan ini berasal dari China. Padahal baik
“Teori India” maupun Timur Tengah khususnya Arab Hadramaut tidak luput dari kelemahan.
Pembela Teori India hanya didasarkan pada sejumlah argumen yang sifatnya hipotetik,
misalnya konstruksi masjid klasik dengan atap susun seperti bentuk meru pada bangunan
beribadah orang Hindu. Ini menunjukkan ada pengaruh India pada kebudayaan Islam. Teori
Arab Hadramaut lebih lemah lagi. Van den Berg dalam studinya, Le Hadhramout Et. Les
Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien (“Hadramut dan Koloni Arab di Nusantara”)
menyatakan bahwa para sayyid dan syarif dan orang-orang Arab Hadramaut lainnya baru
menunjukkan eksistensinya di Jawa pada tahun-tahun terakhir abad KE-18 padahal
keislaman berproses di Jawa sejak abad KE-15/16. Orang-orang Arab ini mulai menetap
di Jawa setelah tahun 1820. Kemudian sejak tahun 1870 arus migrasi orang-orang Arah ke
Nusantara bertambah banyak setelah menggunakan teknologi pelayaran kapal uap (Berg, 1989:
67- 78). Bandingkan analisis Berg ini dengan fakta sejarah komunitas China Islam yang
sudah mendiami pesisir Jawa sebelum abad KE-15.
Karena itu, sejarah Islamisasi Jawa mesti direkonstruksi. Jangan hanya karena faktor
politik dan ideologi, kontribusi China Islam ditenggelamkan dalam limbo sejarah. Arus
Balik adalah sebuah “saksi bisu” yang mengisah- kan tentang arus China (terutama China Islam)
di Jawa sejak awal abad ke- 16 yang tidak bisa dilempar begitu saja. Buku ini menceritakan
soal kegetiran hidup orang-orang (yang mendiami) Jawa saat arus balik membalik. Jawa yang
semula menguasai negeri-negeri di Utara kemudian berbalik: Utara yang “menggagahi” Jawa
di Selatan. Dalam situasi pembalikan arus ini, orang-orang China yang menetap di Jawa
memiliki peran yang tidak bisa diremehkan. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha
mengembalikan citra Jawa yang sudah mulai redup itu dari penetrasi bangsa “Atas Angin” yaitu
Portugis yang malang melintang menguasai perdagangan, pelayaran, sen- jata, dan terus
merangsek ke pusat-pusat strategis di Jawa. Orang-orang China memang pantas melakukan
pembelaan mati-matian teritorial Jawa— sebuah kawasan yang sudah lama dihuninya.
Kehadiran Portugis dipandang dapat melemahkan hubungan China-Jawa yang selama ini
tertanam begitu kukuh dalam kehidupan masyarakat. Kerjasama apik China-Jawa ini dibuk-
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
36
tikan dengan berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam yang banyak beror- namen China
seperti saya paparkan pada paragraf di atas.
Pram tidak sedang berfantasi—meskipun karyanya ditulis dalam bentuk fiksi—ketika
mengurangi orang-orang China yang berperan besar dalam sejarah islamisasi Jawa abad
KE-15/16. Berbagai analisis kesejarahan me- nunjukkan dengan jelas bahwa di Jawa, pada
kurun waktu, orang-orang Chi- na memang memegang peranan cukup signifikan di bidang
perniagaan, pe- layaran/navigasi dan hal-hal lain yang terkait dengan wilayah kepolitikan.
Dan kita tahu, Demak yang pada waktu itu memegang hegemoni teritorial Jawa dikuasai
orang-orang China yang berobsesi mendirikan Negara Mari- tim Islam yang tangguh di seantero
Nusantara. Itulah sebabnya, ketika ge- rombolan Portugis, negara yang juga mempunyai
reputasi di bidang pen- jelajahan di awal abad KE-16 (tepat tahun 1511) berhasil merebut
Malaka yang merupakan pusat transaksi bisnis internasional yang bergengsi saat itu, orang-
orang China ini geram, dan akhirnya mereka berkolaborasi dengan rezim Demak dan Jepara
dan Tuban untuk mengusir Portugis dari Malaka— meskipun gagal. Dalam episode
pertempuran yang heroik itu tidak hanya orang China Islam saja yang terlibat di dalamnya
tetapi juga orang-orang China non-Islam.
Obsesi rezim Islam Demak yang dikuasai orang-orang China untuk men- dirikan
kerajaan berbasis maritim yang tangguh itu pada akhirnya beran- takan setelah Trenggana
tewas tahun 1546 dalam sebuah pertempuran mela- wan Panarukan yang bersekongkol dengan
Portugis. Problem ini bertahan ruwet ketiga para keturunan Raden Patah justru terlibat
konflik internal kerajaan hingga membuat bergeser ke pedalaman, mundur ke desa-desa di kaki-
kaki pegunungan. Mundur, mundur terus sampai ke pedalaman. Proses pemunduran ini bukan
hanya dalam pengertian geografis tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri,
ke pedalaman nurani, dan kenalurian yang mengganti nalar nasional. Maka lahirlah mistik
Jawa yang men- jamur dan membudaya pada perilaku manusia. Dalam dekapan rezim Mata-
ram, mistik dan klenik tumbuh subur. Kekuasaan maritim yang membara dan dinamis berganti
menjadi kekuasaan agraris yang lesu dan statis.
Pada saat Jawa sedang dirundung duka dan pertikaian internal yang merun- cing itu,
Belanda datang dan langsung membaca situasi. Persekutuan Jawa- China dipandang dapat
mengancam niatan mereka untuk menguasai negeri rempah-rempah ini. Maka politik pun
dimainkan, dan meletuskan tragedi Chinezenmoord (“pembantaian orang-orang China”) di
Batavia tahun 1740— peristiwa yang mengantarkan lebih dari 10.000 nyawa orang China
mela- yang. Tragis. Sejak itu, orang-orang China di “kerangkeng” dalam sebuah gheto-
gheto yang kemudian dikenal dengan pecinan. Mereka terisolasi dari publik ramai. Sepi-sunyi.
Putuslah hubungan harmoni Jawa-China. Pada saat yang bersamaan, rezim China pun
berganti. Orang-orang asing dari Manchuria menguasai dataran Tiongkok sejak 1644. Mereka
adalah bangsa yang tidak bersimpati sama sekali dengan Islam karena dianggap sebagai
biang keladi rontoknya kekaisaran Ming. Perang terbuka pun tidak bisa terelakkan. Orang-
orang China Islam kemudian menjadi sasaran amuk bangsa Manchu yang sedang
kalap. Mereka yang berada di perantauan segera dititahkan pulang, jung-jung pun dibakar
habis.
Seiring dengan itu didatangkan gelombang baru imigran China yang ber- haluan
Konfusianis. Maka, genap sudah penderitaan orang-orang China ran- tau yang sebagian besar
beragama Islam. Sementara di Jawa, konflik anti China terus berkecamuk. Di Kudus sekitar
tahun 1916 kembali terjadi huru- hara anti China seolah mengingatkan tragedi 1740. Dan
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
37
puncaknya, ketika rezim yang menamakan diri Orde Baru memproklamirkan China sebagai
“otak” PKI yang kemudian diikuti dengan pembunuhan, pem- bantaian dan pemusnahan yang
berkaitan dengan China. Segala produksi kebudayaan yang berkaitan dengan China
dileburkan termasuk karya-karya intelektual yang mengulas historisitas China dengan
berbagai kontribusinya. Buku Prof. Muljana, Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan
Timbulnja Negara- negara Islam di Nusantara yang mengulas historisitas China Islam di Jawa
diberedel dengan Keputusan Djaksa Agung No. Kep. 043/DA/1971. Pembunuhan
fisik dan non fisik atas komunitas China ini menyebabkan citra mereka tetap bopeng di mata
rakyat. Ujungnya, setiap pengungkapan yang berusaha menyuguhkan sisi-sisi terang mereka
ditutup rapat. Digembok. Sejarah China Islam di Jawa adalah bagian dari sisi terang yang
sudah sekian lama “dimumikan” oleh sang rezim. Fakta historis China Islam dianggap
bukan fakta melainkan pembualan sejarah.
Sang rezim tanpa kenal letih terus menerus menghembuskan aroma borok-borok China:
tentang komunisme, tentang keserakahan, tentang keculasan, tentang kekikiran dan seterusnya.
Seolah tidak ada sisi baik dari mereka meski hanya secuil. Propaganda itu begitu ampuh,
menyentuh ke dalam relung-relung kalbu yang paling dalam dari masyarakat “pribumi”. Akibat-
nya, kemunculan China Islam dianggap asing, aneh, seolah datang dari du- nia lain. China sunat
aneh, China masuk masjid aneh, China baca Al-Qur’an aneh. Orang China dipandang tidak
berhak menyandang predikat Islam dengan segala ritual dan tradisinya. China identik dan
diidentikkan dengan klenteng, hio, pemuja Tao, Barongsai, Toapekong. Karena itu sebuah ide
yang mengungkapkan tentang peranan China dalam sejarah Islamisasi Jawa juga dipandang
sebagai igauan dan bualan yang “sesat dan menyesatkan”.
Realitas potitik yang getir ini ditambah maraknya sejumlah organisasi Islam yang
mengusung ideologi otentisisme sejak awal abad KE-20. Otentisisme adalah sebuah
ideologi yang menganggap keotentikan Islam diukur dari Arab. Keislaman dari luar Arab
dipandang tidak memiliki derajat kesahihan. Ideologi ini berkembang luas di Indonesia setelah
sejumlah organisasi Islam puritan di Timur Tengah, India dan Afrika Utara di abad KE-
19 mampu menguasai konstituen masyarakat Islam. Kelompok Islam puritan inilah yang
mem-back up teori asal-usul (genealogi) keislaman di Nusantara (termasuk Jawa)
berasal dari Arab. Melalui simposium nasional bertajuk “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Nusantara” yang digelar sejak 1960-AN sejumlah argumentasi disusun rapi. Hasilnya?
Islam di Nusantara datang langsung dari Arab bahkan Mekkah yang dibawa para syarif, sayyid,
syeikh dan habib —sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa. Jauh sebelum bangsa Arab
menjamah Jawa, orang-orang China Islam sudah menunjukkan eksistensinya sebagai kelas
menengah bergengsi di pulau ini. Hanya saja, jejak historis China Islam ini diabaikan begitu
saja. Tetapi kebenaran fakta sejarah tidak dapat dielakkan meski runtuh berkeping-keping.
Ini bukan rekonstruksi baku karena memang sejarah tidak bisa “dibakukan” meski dapat
“dibukukan”.
Kesimpulan
Arus Balik telah mengisahkan jejak-jejak historis China Islam yang tidak bisa
dielakkan. Pram, dengan gayanya sendiri seolah ingin mengatakan pada publik ramai bahwa:
sejarah jangan ditutup-tutupi. Maka, Pram pun bertu- tur secara blak-blakan mengenai
“agen-agen sejarah” perjalanan Jawa sepanjang abad KE-16. Pram tidak hanya bertutur
tentang heroiknya orang- orang yang membela “martabat” Jawa seperti kasus Wiranggaleng,
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
38
tentang perjuangan tak kenal lelah Babah Liem Mo Han, tentang ketulusan hati Rama
Cluring dan Sunan Bonang, tentang pembelaan martabat perempuan yang tampil dalam figur
Nyai Gede Kati dan Idayu dan seterusnya. Pram juga bercerita tentang Ambivalensi Adipati
Tuban Arya Tejo, tentang oportunisme dan kebejatan Sayid Habibullah Almasawa, tentang
kelicikan Sunan Rajeg. Dalam Arus Balik Pram mengajarkan tentang realitas hidup yang
memang tidak lepas dari tipu muslihat, dari kelicikan. Maka waspada men- jadi kata kunci.
Tipu muslihat dan kelicikan itu tidak hanya datang dari “luar” yang asing tapi juga dari
“dalam” yang akrab. Karena tipu muslihat itu pula orang-orang petani desa akhirnya menjadi
korban propaganda Sunan Rajeg alias Ronggo Ishak. Dan karena kurang waspada, Adipati
Tuban berhasil “dikencingi” Sayid Habibullah al-Masawa. Tapi baik Sunan Rajeg maupun
si Sayid pada akhirnya mejadi korban kelicikan dan tipu muslihat yang ia pasang sendiri. Dan
justru yang menghabisi keduanya adalah orang- orang desa yang semula ia anggap bodoh.
Di sini Pram lantas berpetuah, “kesalahan orang-orang pandai adalah menganggap orang
lain bodoh dan kesalahan orang-orang bodoh adalah menganggap orang lain pandai” (Arus
Balik, 246).
Pram, dalam novel sejarah Arus Balik setebal 760 halaman ini seolah ingin mengatakan
bahwa kemunduran Jawa berakar kuat pada perangkap- perangkap tipu muslihat yang
dimainkan/dipasang para “agen sejarah lokal” sendiri (baca, Jawa) dan bukan orang asing
seperti Portugis/Peranggi. Narasi sejarah yang digambarkan begitu apik. Sebagaimana karya
yang lain, dalam Arus Balik ini Pram juga mengandalkan kekuatan bahasa dan imajinasinya.
Keduanya menjadiwahana gaya bercerita Pram yang dengan kemahiran kepujanggaannya
mampu menjalin dan memilin-milin fakta dan fiksi sambil tetap bersikukuh pada hakekat
kebenaran sejarah. Melihat realitas getir di Jawa ini, Pram bukan menangisi kebesaran masa
lalu, tidak pula merindukan kejayaan purbakala, tetapi dia bernostalgia dengan masa depan yang
cerah. Baginya sejarah merupakan cermin paling jernih, refe- rensi terpercaya untuk suatu
perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling substansial Pram bila
ia mengorek-ngorek seja- rah. Di situlah kecintaannya pada rakyat dan tanah tumpah darahnya
begitu kuat meski rezim mengerdilkannya.
Karena itu sejarah harus diungkap secara jujur, termasuk sejarah islamisasi. Jangan karena
kebencian terhadap China kemudian memusnahkan seluruh warisan kultural yang pernah
digoreskannya. Harus diakui bahwa China tidak melulu berwajah Budha atau Konghucu saja
tapi juga ada China yang berwajah Islam. Ini harus diapresiasi secara jujur. Bukankah bangsa
yang besar adalah bangsa yang mau mengakui eksistensi sejarahnya? ***
Bibliografi
Atmodarminto, R. Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik (Jakarta, 2000).
Babad Tanah Djawi (Jakarta: Balai Pustaka, 1939-1941), Seri No. 1289, 24 Jilid.
Broomhall, M. Islam in China: A Neglected Problem (London, 1905). Budiman, Amen,
Masyarakat Islam China di Indonesia (Semarang, 1979). Choy, Lee Khoon, Indonesia
Between Myth and Reality (Singapura, 1977). Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis
tentang Sejarah Banten (Jakarta,1983).
Edel, J., Hikayat Hasanuddin (Meppel, 1938).
Graaf, H.J. & Pigeaud, “Chinese Muslims in Java in the 15th & 16th Centuries: The Malay
Annals of Semarang and Cerbon,” Monash Paper on Southeast Asia, 12, 1984.
Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi dan Perubahan Sosial, 1 (2) Juli 2012, 24-39 P-ISSN: 1410-881X (Print) Sumanto Al Qurtuby, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda DOI: - http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2
39
Groendeveldt, W.P., Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese
Sources (Jakarta, 1960).
Hirth, F & Rockhill, W.W., Chau Ju Kua: His Works on The Chinese and Arab Trade
in The 12th & 13th Centuries (Taipei, 1965).
Joe, Liem Thian, Riwayat Semarang (Semarang, t.th).
Kuwabara, Jitsuo, “On P’u Shou Keng with a General Sketch of The Arabs and China”,
dalam Memoir of the Research Department of the Toyo Bunko, ii, 1928.
Lan, Nio Joe, Tiongkok Sepandjang Abad (Jakarta, 1952).
Laporan Akhir Penelitian tentang Menelusuri Jejak-jejak Sejarah Islam di Kotamadya Semarang
(Semarang, 1997/1998).
Lin, Lo Hsiang, “Islam in Canton in the Sung Period: Some Fragmentary Records”,
dalam F.S. Dranke & Wolrfarm (ed.), Symposium on Historical Archeological
and Linguistics: Studies on Southern China, Southeast Asia and the Hong Kong Region
(Hong Kong, 1967).
Lombard, Dennys, Nusa Jawa Silang Budaya (Jakarta, 1996).
Ma, Ibrahim Tien Ying, Perkembangan Islam di Tiongkok (Jakarta, 1979). Mills, J.V.G. Ying-
yai Sheng-lan: “The Overall Survey of the Ocean’s Shores,
Edited by Feng Ch’eng Chun (Cambridge: University of Cambridge,1970).
Muljana, Slamet, Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Nega- ra-negara Islam di
Nusantara (Jakarta, 1968).
Palindungan, M.O.,.Tuanku Rao (Jakarta: Penerbit Tandjung Pengharapan, 1969).
Pires, Tome, Suma Oriental, Edited by Armando Cortesao (London, 1944). Seong, Tan Yeok,
Chinese Element in the Islamization of Southeast Asia: A
Study of the Strange Story of Njai Gede Pinatih the Grand Lady of
Gresik (Taipei, 1963).
Serat Kandaning Ringgit Purwa, Menurut Naskah Tangan LOr 6379 (Leiden: Perpustakaan
Universitas Leiden, t.th), disalin oleh Marsono
Toer, Pramodya Ananta, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal
Abad ke-16 (Jakarta, 2001).
Wardi, S., Koempoelan Cerita Lama dari Kota Wali (Penerbit Wahju, 1950).
Zen, Thoyib, Manaqib Wali Tujuh di Bali dan Raja-raja Islam di Indonesia
(Kediri, 1998)
Zhi, Kong Yuan, Sam Po Kong dan Indonesia, tt., 1996