Intra...

9
Anaesthesia 2013, 68, 846-850 doi:10.1111/anae.12316 ______________________________________________________________________________________________________________________________________________________ _____________________________ Original Article Koreksi asidosis, koagulopati, dan hipotermia intra-operatif pada pasien- pasien korban peperangan yang mengalami syok hemoragik berat J. J. Morrison, 1,2 J. D. Ross, 3 H. Poon, 1 M. J. Midwinter 4 and J. O. Jansen 5,6 1 Research Fellow and Specialty Registrar in General Surgery, 4 Defence Professor of Surgery, Academic Department of Military Surgery and Trauma, Royal Centre for Defence Medicine, Birmingham, UK 2 Research Fellow and Specialty Registrar in General Surgery, US Army Institute of Surgical Research, Fort Sam Houston, San Antonio, Texas, USA 3 Director, Trauma and Clinical Care Research, 59th Medical Wing, Science and Technology Of ce, Joint Base San Antonio-Lackland, Texas, USA 5 Consultant in General Surgery and Intensive Care Medicine, 144 Parachute Medical Squadron, 16 (Air Assault) Medical Regiment, Colchester, UK 6 Consultant, Departments of Surgery & Intensive Care Medicine, Aberdeen Royal In rmary, Aberdeen, UK Ringkasan Kami melakukan penilaian asidosis, koagulopati dan hipotermia, sebelum dan sesudah operasi, pada 51 prajurit yang dioperasi akibat luka ledakan. Pasien diberikan transfusi PRC 27 unit (median 17-38 [5-84]), 27 unit plasma (16-38 [4-83]), 2 unit cryoprecipitate (0.5-3.5 [0-13.0]) dan 4 unit platelet (2-6 [0-17]). Nilai pH, keadaan basa tubuh, protrombin time dan suhu tubuh meningkat, secara berurutan: dari 7.19 (7.10-7.29 [6.50-7.49]) menjadi 7.45 (7.40-7.51 [7.15-7.62]); dari -9.0 (-13.5 menjadi -4.5 [-28 menjadi -20]) mmol.l -1 menjadi 4.5 (1.0-8.0 [-7 menjadi +11]) mmol.l -1 ; dari 18 (15-21 [9-24]) s menjadi 14 (11-18 [9-21]) s; dan dari 36.1 (35.1-37.1 [33.0-38.1]) O C menjadi 37.4 (37.0-37.9 [36.0-38.0] O C. Resusitasi intra- operative saat ini telah mampu mengatasi perubahan fisiologis yang disebabkan oleh syok hemoragik 846 © 2013 Crown copyright. This article is published with the permission of the Controller of HMSO and the Queens Printer for Scotland

description

intraoperatif

Transcript of Intra...

Original Article

Koreksi asidosis, koagulopati, dan hipotermia intra-operatif pada pasien-pasien korban peperangan yang mengalami syok hemoragik beratJ. J. Morrison,1,2 J. D. Ross,3 H. Poon,1 M. J. Midwinter4 and J. O. Jansen5,61 Research Fellow and Specialty Registrar in General Surgery, 4 Defence Professor of Surgery, Academic Department of Military Surgery and Trauma, Royal Centre for Defence Medicine, Birmingham, UK2 Research Fellow and Specialty Registrar in General Surgery, US Army Institute of Surgical Research, Fort Sam Houston, San Antonio, Texas, USA3 Director, Trauma and Clinical Care Research, 59th Medical Wing, Science and Technology Ofce, Joint Base San Antonio-Lackland, Texas, USA5 Consultant in General Surgery and Intensive Care Medicine, 144 Parachute Medical Squadron, 16 (Air Assault) Medical Regiment, Colchester, UK6 Consultant, Departments of Surgery & Intensive Care Medicine, Aberdeen Royal Inrmary, Aberdeen, UK

RingkasanKami melakukan penilaian asidosis, koagulopati dan hipotermia, sebelum dan sesudah operasi, pada 51 prajurit yang dioperasi akibat luka ledakan. Pasien diberikan transfusi PRC 27 unit (median 17-38 [5-84]), 27 unit plasma (16-38 [4-83]), 2 unit cryoprecipitate (0.5-3.5 [0-13.0]) dan 4 unit platelet (2-6 [0-17]). Nilai pH, keadaan basa tubuh, protrombin time dan suhu tubuh meningkat, secara berurutan: dari 7.19 (7.10-7.29 [6.50-7.49]) menjadi 7.45 (7.40-7.51 [7.15-7.62]); dari -9.0 (-13.5 menjadi -4.5 [-28 menjadi -20]) mmol.l-1 menjadi 4.5 (1.0-8.0 [-7 menjadi +11]) mmol.l-1; dari 18 (15-21 [9-24]) s menjadi 14 (11-18 [9-21]) s; dan dari 36.1 (35.1-37.1 [33.0-38.1]) OC menjadi 37.4 (37.0-37.9 [36.0-38.0] OC. Resusitasi intra-operative saat ini telah mampu mengatasi perubahan fisiologis yang disebabkan oleh syok hemoragik............................................................................................................................................................................Korespondensi ke: J. O. JansenEmail: [email protected]: 24 April 2013__________________________________________________________________________________Anaesthesia 2013, 68, 846-850doi:10.1111/anae.12316___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

851 2013 Crown copyright. This article is published with the permission of the Controller of HMSO and the Queens Printer for ScotlandSequele dari perdarahan istilah lethal triad yang terdiri dari asidosis, koagulopati, dan hipotermia dapat dikenali dengan baik [1-3]. Operasi damage control operasi yang dipersingkat, resusitasi sekunder pada intensive care unit (ICU) dan operasi definitif dianggap berpengaruh terhadap perubahan fisiologis pasien [4, 5]. Komplikasi yang umum terjadi berupa infeksi luka operasi, abses, dehinsensi luka, herniasi insisional, dan fistula enterocutaneus [3, 6-9]. Koreksi fisiologis dan gangguan metabolik intra-operatif memungkinkan dilakukannya operasi definitif dan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas [5, 10].Pada perang Vietnam, pasien-pasien yang mengalami syok, mendapat resusitasi kristaloid yang agresif. [10]. Sebuah review pada tahun 1997 menyatakan pemberian cairan kristaloid sebanyak 8-12 L dengan 18-22 unit PRC dan 8-10 unit trombosit bukan merupakan sesuatu yang tidak biasa, dan PT dan PTT biasanya meningkat 1.5-2x dari kontrol, dan pH berada pada < 7.3 [2]. Resusitasi yang saat ini digunakan berkembang dari pengalaman-pengalaman militer di Iraq dan Afghanistan, dimana mereka menekankan pada kontrol perdarahan dan resusitasi, dan penanganan aktif koagulopati [5, 11-15]. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa pendekatan seperti ini meningkatkan angka keselamatan [16-18], namun hanya sedikit bukti yang ditemukan memberikan pengaruh terhadap pemulihan fisiologis pasien.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah asidosis, koagulopati dan hipotermi dapat mengalami perbaikan selama operasi pada korban peperangan. Luka ledakan merupakan kasus terbanyak di Afghanistan, disebabkan oleh alat peledak dan ditandai dengan amputatic leg wound, cedera abdominopelvic dan syok hemoragik [5, 19]. Luka amputasi kaki bilateral dengan level yang tinggi, berpengaruh terhadap meningkatnya angka kematian, disebabkan sulitnya mengendalikan perdarahan yang terjadi [20]. Oleh karena itu pasien-pasien korban peperangan biasanya memiliki abnormalitas fisiologis dan metabolik yang serius.MetodePenelitian ini merupakan penelitian retrospektif mengenai korban peperangan yang ditangani sejak Juli 2008 hingga Desember 2010 pada fasilitas penanganan medis (Field Hospital) Posko Bastion, provinsi Helmand, Afghanistan. Penelitian ini telah disetujui oleh unit akademis Royal Centre for Defence Medicine (RCDM). Kami menggunakan UK Joint Theatre Trauma Registry untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang mengalami paling tidak amputasi 1 kaki dan membutuhkan laparotomi (untuk cedera abdomen atau untuk kontrol proksimal dari arteri ekstremitas bawah).Para korban peperangan di provinsi Helmand dievakuasi menggunakan helikopter. Tenaga medis atau paramedis melakukan kontrol perdarahan eksternal dengan menggunakan tourniquets dan alat-alat hemostatik pada saat penerbangan, dan juga menggunakan PRC untuk membantu hemostasis. Rumah Sakit diisi oleh tenaga-tenaga medis militer berupa ahli bedah, ahli anestesi dan ahli perawatan intensif dari UK dan USA. Pasien yang masuk dalam kategori extremis segera dimasukkan ke dalam ruang operasi [5]. Kami mengikuti protokol resusitasi hemostatik. Kami memberikan transfusi PRC dan plasma dengan proporsi yang sama, 1 unit platelet setelah pemberian 5 PRC dan 1 unit cryoprecipitate setelah pemberian 10 unit PRC, dan kami juga memberikan asam tranexamat serta kalsium [5, 14, 21-23]. Pada keadaan tertentu, kami memberikan faktor VIIa rekombinan atau whole blood. Kami menggunakan cairan sintesis seperti ringer laktat, atau NaCl 0.9% [21, 24]. Semua pasien diambil sample darahnya untuk dilakukan analisis segera setelah pemasangan akses vaskular, biasanya beberapa menit setelah pasien masuk ke rumah sakit. Sample darah berikutnya kemudian dikirim 30 menit setelah pasien berada di ICU.Kami mengambil data-data demografi dan klinis dari rekam medis pasien. Kami melaporkan tingkat keparahan cedera baik secara keseluruhan maupun lokal dengan menggunakan injury severity score (ISS) dan abbreviated injury scale (AIS), dengan cedera berat didefinisikan sebagai AIS > 3. Kami menghitung skor trauma revisi (RTS) [25] dari frekuensi napas, tekanan darah dan GCS, dimana ketika dikombinasikan dengan ISS, menghasilkan persentase prediksi keselamatan. Pasien yang diharapkan akan selamat jika memiliki persentase prediksi keselamatan lebih dari 50% [26].Hasil utama yang diharapkan adalah perbaikan keadaan asam/basa tubuh, sistem koagulasi dan suhu tubuh. Kami mengukur pH, keadaan basa tubuh, waktu prothrombin dan suhu tubuh saat pertama kali pasien masuk ke rumah sakit dan saat pasien masuk ke ICU. Pasien yang masuk ruangan operasi namun meninggal sebelum masuk ICU, tidak dianalisis lebih lanjut.

HasilKami mengidentifikasi 67 orang korban perang, namun karena alasan administrasi, 8 orang terpaksa tidak diikutsertakan. Maka dari itu, kohort penelitian terdiri dari 59 pasien. 3 pasien tidak memiliki data yang lengkap.Tabel 1 menunjukkan data karakteristik pasien; semua pasien mengalami luka amputasi (50/59 bilateral) akibat luka ledakan yang disebabkan oleh alat peledak. Skor ISS dan RTS menunjukkan tingkat keparahan cedera dan abnormalitas fisiologis.

Median dari waktu yang dibutuhkan hingga mencapai rumah sakit adalah 58 (38-78 [42-512]) menit. Tim evakuasi yang dipimpin oleh tenaga medis berhasil mengevakuasi 51/59 pasien; sedangkan sisanya dievakuasi oleh paramedis. Semua pasien dipasangkan tourniquet dan 54/59 diberikan agen hemostatik topikal akibat mengalami perdarahan hebat. Akses sirkulasi dipasang secara intra-osseus pada 37 pasien, dan intravenous pada 28 pasien. Dilakukan resusitasi hemostatik sebelum mencapai rumah sakit pada 24 pasien, dan diberikan anestesi pada 22 pasien. 15 pasien membutuhkan torakotomi.17 pasien langsung dioperasi ketika sampai di rumah sakit dan sisanya mendapat perawatan pre-operatif di IRD selama 17 (9-25 [1-55]) menit. Semua pasien menjalani laparotomi, baik untuk kecurigaan adanya cedera intra-abdominal atau untuk kontrol vaskular iliaka (Tabel 2.) Operasi berlangsung 3:20 (2:19-4:21 [0:34-9:00]) jam:menit. 9 pasien mengalami cardiac arrest intra-operatif, dimana 5 pasien diresusitasi dengan hasil kembalinya sirkulasi spontan. Pada 8 pasien yang mengalami cedera yang mematikan, maka penanganan yang diberikan hanya sebatas paliatif, dimana 4 pasien meninggal di ruangan operasi, dan 4 lainnya meninggal segera setelah pindah ke ICU. Pemberian perawatan paliatif ditentukan oleh konsensus yang terdiri dari paling tidak 2 konsultan militer atau ahli bedah dan direktur medis.Jumlah PRC yang diberikan adalah 27 unit PRC (median 17-38 [5-84]), 27 unit plasma (16-38[4-83]), 2 unit cryoprecipitate (0.5-3.5 [0-13.0]) dan 4 unit platelet (2-6 [0-17]). 30 pasien mendapatkan 2 (1-3 [1-8]) asam traneksamat. 21 pasien mendapatkan faktor VIIa rekombinan.Nilai pH, keadaan basa tubuh, prothrombin time dan suhu tubuh pada 51 pasien yang diberi penanganan, rata-rata mengalami peningkatan secara intra-operatif (Tabel 3). Angka prediksi keselamatan dan angka keselamatan yang ditemukan adalah secara berurutan 26/51 dan 46/51, p < 0.001. 1 pasien meninggal segera setalah masuk ICU, pasien ini mengalami cardiac arrest pada saat berada di helikopter, lalu diresusitasi, dan kemudian menjalani torakotomi dan laparotomi untuk kontrol perdarahan, diamana perdarahan berhasil dikontrol. Namun pasien ini mengalami cardiac arrest fatal segera setelah masuk ke ICU. 4 pasien sisanya meninggal akibat multiple organ failure, di ICU, antara 4 dan 17 hari setelah mengalami luka.DiskusiKami dengan sengaja memilih korban-korban peperangan yang mengalami syok hemoragik. Kami ingin menunjukkan bahwa meraka bisa diresusitasi intra-operatif hingga memiliki fungsi fisiologis yang normal. Temuan ini membantah paradigma tradisional yang menyatakan bahwa lethal triad dapat memburuk dengan dilakukannya intervensi operatif. Operasi definitif mungkin dilakukan pada operasi pertama.Hasil yang kami dapatkan memperkuat temuan 2 penelitian lainnya. Cotton et al menyatakan bahwa lebih sedikit pasien yang ditemukan mengalami lethal triad pada saat masuk ICU setelah menggunakan metode resusitasi damage control [16]. Higa et al menemukan bahwa operasi damage control membantu mengurangi komplikasi, jumlah re-operasi dan durasi rawat inap, serta meningkatkan angka keselamatan [9]. Penulis memberikan keberhasilannya untuk meningkatkan resusitasi, namun tidak dapat menunjukkan titik akhir secara fisiologis.Kontribusi dari perawatan individu para korban peperangan perawaatan di luar rumah sakit, kontrol perdarahan, limitasi koagulopati sulit untuk ditentukan. Kami setuju dengan Cotton et al. [16] dan Higa et al. [9] bahwa perubahan dalam rencana transfusi berperan besar dalam keberhasilan pendekatan ini. Pasien kami menerima transfusi PRC dan plasma dalam jumlah yang sama. Meskipun begitu, kami tidak dapat menemukan hal yang menyebabkan penelitian kami tidak terkontrol. Perbandingan dengan kontrol sebelumnya terganggu oleh perubahan yang terjadi pada pusat penanganan korban perang; seperti, asam traneksamat yang saat ini lebih banyak digunakan dibandingkan faktor VIIa rekombinan [5, 27, 28].Meskipun mekanisme luka yang terjadi berbeda antara warga sipil dan militer, namun patofisiologi syok hipovolemik yang sama membuat temuan pada penelitian ini bermakna. Kebanyakan warga sipil tidak memiliki tubuh yang sehat seperti populasi militer, jadi penanganan yang lebih cepat berguna untuk menangani kasus serupa pada warga sipil, sebab tubuh mereka yang kurang bisa bertahan terhadap perubahan fisiologis dalam jangka waktu yang lama.Resusitasi intra-operatif pasien-pasien traumatik dapat mengembalikan fisiologi seperti normal, jika perdarahan dapat dikontrol dengan baik.

PengakuanKami berterima kasih terhadap staff dari UK Joint Theatre Trauma Registry, Royal Centre for Defence, Birmingham, UK yang telah membantu dalam mengidentifikasi pasien. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada tuan Paul Bontiff dan para staff nya yang telah membantu dengan akses terhadap rekam medis pasien di MoD Shoeburyness, Essex, UK. Kami juga telah berhutang banyak terhadap Dr. C. William Schwab MD (Universitas Pennsylvania) untuk kritik yang membangun terhadap penelitian ini.Competing interestsTidak ada pendanaan dari luar dan tidak ada competing interests yang dideklarasikan terhadap penelitian ini.

Referensi1. Loveland JA, Boffard KD. Damage control in the abdomen and beyond. British Journal of Surgery 2004; 91: 1095101.2. Rotondo MF, Zonies DH. The damage control sequence and underlying logic. Surgical Clinics of North America 1997; 77: 76177.3. Shapiro MB, Jenkins DH, Schwab CW, Rotondo MF. Damage control: collective review. Journal of Trauma 2000; 49: 969-78.4. Moore EE, Burch JM, Franciose RJ, Offner PJ, Bif WL. Staged physiologic restoration and damage control surgery. World Journal of Surgery 1998; 22: 118490.5. Mercer SJ, Tarmey NT, Woolley T, Wood P, Mahoney PF. Haemorrhage and coagulopathy in the Defence Medical Services. Anaesthesia 2013; 68:4960.6. Miller RS, Morris JA, Diaz JJ, Herring MB, May AK. Complications after 344 damage-control open celiotomies. Journal of Trauma 2005; 59: 136574.7. Teixeira PG, Inaba K, Dubose J, et al. Enterocutaneous stula complicating trauma laparotomy: a major resource burden. American Surgeon 2009; 75:302.8. Zhang WB, Li N, Wang PF, Wang GF, Li YS, Li JS. Infections following damage control laparotomy with abdominal packing. Scandinavian Journal of Infectious Diseases 2008; 40: 86776.9. Higa G, Friese R, OKeeffe T, et al. Damage control laparotomy: a vital tool once overused. Journal of Trauma 2010; 69: 539.10. Gruen RL, Brohi K, Schreiber M, et al. Haemorrhage control in severely injured patients. Lancet 2012; 380: 1099108.11. Dutton RP. Resuscitative strategies to maintain homeostasis during damage control surgery. British Journal of Surgery 2012; 99:218.12. Beekley AC. Damage control resuscitation: a sensible approach to the exsanguinating surgical patient. Critical Care Medicine 2008; 36: S26774.13. Holcomb JB. Damage control resuscitation. Journal of Trauma 2007; 62: S367.14. Jansen JO, Thomas R, Loudon MA, Brooks A. Damage control resuscitation for patients with major trauma. British Medical Journal 2009; 338: 143640.15. Ho AM, Dion PW, Yeung JH, et al. Fresh-frozen plasma transfusion strategy in trauma with massive and ongoing bleeding. Common (sense) and sensibility. Resuscitation 2010; 81: 107981.16. Cotton BA, Reddy N, Hatch QM, et al. Damage control resuscitation is associated with a reduction in resuscitation volumes and improvement in survival in 390 damage control laparotomy patients. Annals of Surgery 2011; 254: 59860517. Duchesne JC, Barbeau JM, Islam TM, Wahl G, Greiffenstein P, McSwain NE. Damage control resuscitation: from emergency department to the operating room. American Surgeon 2011; 77: 2016.18. Duchesne JC, Kimonis K, Marr AB, et al. Damage control resuscitation in combination with damage control laparotomy: a survival advantage. Journal of Trauma 2010; 69:4652.19. Jansen JO, Thomas GO, Adams SA, et al. Early management of proximal traumatic lower extremity amputation and pelvic injury caused by improvised explosive devices (IEDs). Injury 2012; 43: 9769.20. Morrison JJ, Hunt N, Midwinter M, Jansen J. Associated injuries in casualties with traumatic lower extremity amputations caused by improvised explosive devices. British Journal of Surgery 2012; 99: 3626.21. Dawes R, Thomas GO. Battleeld resuscitation. Current Opinion in Critical Care 2009; 15: 52735.22. Kirkman E, Watts S, Hodgetts T, Mahoney P, Rawlinson S, Midwinter M. A proactive approach to the coagulopathy of trauma: the rationale and guidelines for treatment. Journal of the Royal Army Medical Corps 2007; 153: 3026.23. Harris T, Thomas GO, Brohi K. Early uid resuscitation in severe trauma. British Medical Journal 2012; 345: e5752.24. Surgeon Generals Policy Letter. Management of massive haemorrhage on operations. 2009. SGOPL.08/09:DMSD ref 29/15/01.25. Champion HR, Sacco WJ, Copes WS, Gann DS, Gennarelli TA, Flanagan ME. A revision of the trauma score. Journal of Trauma 1989; 29: 6239.26. Champion HR, Sacco WJ, Hunt TK. Trauma severity scoring to predict mortality. World Journal of Surgery 1983; 7:411.27. CRASH-2 trial collaborators. Effects of tranexamic acid on death, vascular occlusive events, and blood transfusion in trauma patients with signicant haemorrhage (CRASH-2): a randomised, placebo-controlled trial. Lancet 2010; 376:2332.28. Morrison JJ, Dubose JJ, Rasmussen TE, Midwinter MJ. Military application of tranexamic acid in trauma emergency resuscitation (MATTERs) study. Archives of Surgery 2012; 147: 1139.