Intimidation - Abstract

download Intimidation - Abstract

of 25

description

medical education

Transcript of Intimidation - Abstract

INTIMIDATION: A TOOL OF LEARNING? - DO WE LEARN BETTER UNDER THE GUN? REVEALING THE UGLY TRUTH AND THE NEED OF INTIMIDATION POLICY Budi Iman Santoso

It is difficult to settle or even discuss problems in an atmosphere of intimidation (J.F. Kennedy, 35th President of United States, 1917-1963) ABSTRACT Intimidation, harassment or bullying implies the same implication that is to frighten, threat or hurt a weaker person through any gesture, any written, verbal or physical act including electronic communication. It undermines the confidence and self-esteem of the recipient.1-5 Medical literature has documented a high prevalence of intimidation and harassment in the educational context. Tremendous studies have indicated that intimidation, bullying, abuse, harassment affect not only medical students,6-11 but also doctors in training,12-15 doctors undertaking research,16 and other healthcare professionals.17 However, those studies have failed to adequately explain the nature of these phenomena and the ways in which the actors do and the recipients perceive such behaviors are in question. The deaneries of some universities in United Kingdom and United States do not tolerate bullying, harassment or any form of intimidation within under- and postgraduate medical education.18 British Medical Association is establishing the Strategic Health Care Alliance (SHA) policy to prevent and intervene these behaviors.18 Nevertheless, some doctors regard these behaviors as part of their natural socialization of a good doctor. Intimidation of residents and medical students has often been accepted as a salutary rite of passage and some supervisors feel justified in perpetuating a standard of behavior to which they became inured as students.18 Some authors even regard the behavior of intimidation, harassment and bullying as part of learning climate; a kind of role modeling within the learning environment.19,20 The medical community continues to debate the role of such behavior in education. Do we really learn better under the gun? Does intimidation bring any advantage in process of learning? We conducted a simple questionnaire survey on our residents at Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. By writing the following article, we would like to reveal the ugly truth of these problems. It represents our opinion whether such behaviors are necessary or not. We shall establish a strategic policy, either to improve the behaviors to gain more benefit in learning environment or to prevent and intervene 1

them if they do bring disastrous effect for our residents. However, a survey or study on this issue in Indonesia that may provide other objective information has not been conducted yet. In spite of the absence of such studies, we expect that our article may give some contribution of understanding. Keywords: Intimidation, bullying, harassment, medical educational learning PENDAHULUAN Intimidasi dalam dunia pendidikan selalu menjadi topik yang menarik. Hal ini telah diketahui sejak lama, menimbulkan berbagai dampak, tapi sayangnya, tidak pernah kunjung selesai. Pada setiap tingkat pendidikan, peserta didik hampir selalu mengalami intimidasi. Mulai masa kanak-kanak oleh teman sebaya, masa orientasi sekolah sewaktu SMA, hingga perguruan tinggi. Intimidasi di dunia pendidikan kedokteran bukan hal baru dan oleh sebagian orang dianggap sebagai ritual untuk melatih mental agar siap menghadapi situasi yang berat. Bermanfaatkah cara ini? Atau justru lebih banyak dampak buruknya? Sebelum membahas lebih lanjut, marilah kita simak curahan hati seorang residen di bawah ini Sebagai mahasiswa di usia yang sudah cukup dewasa, banyak sekali usaha dan pengorbanan yang telah saya lakukan untuk bisa menempuh pendidikan dokter spesialis. Maka, saya merasa gembira luar biasa saat saya dinyatakan diterima masuk dan mulai menjalani kehidupan sebagai peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS). Tapi, kegembiraan itu rupanya tidak berlangsung lama. Sejak hari-hari pertama, saya menyadari kenyataan pahit bahwa saya berada pada tingkatan terendah dalam suatu sistem. Jadwal tugas yang ketat jelas membuat saya kurang tidur. Saya semakin jarang bertemu dengan keluarga. Rasanya, rumah saya sudah pindah ke rumah sakit pendidikan ini. Belum lagi wajah-wajah masam tanpa senyuman yang menjadi pemandangan setiap hari. Caci maki seperti, Bego, brengsek, dan lain-lain menjadi hal yang biasa. Ancaman jaga maksimal atau mengulang rotasi seringkali terlontar. Saya sering merasa diabaikan oleh para konsulen, sulit sekali menemui mereka kesibukannya. Belum lagi, ritual menjamu dan menyenangkan senior yang bisa membuat saya terpaksa harus meminta pengertian isteri karena jatah finansial rumah tangga berkurang. Kalau tidak ingat betapa besar usaha dan biaya yang telah saya keluarkan untuk masuk ke sini atau tujuan saya untuk menjadi dokter spesialis, rasanya saya hampir menyerah dan memilih untuk keluar saja. Berkali-kali saya mengingatkan diri saya bahwa mungkin hal yang saya alami ini adalah cara pembelajaran agar saya siap menghadapi situasi yang buruk. Tentara belajar dan bekerja lebih baik di bawah todongan senapan, bukan? Mungkin memang inilah jalan agar bisa menjadi dokter spesialis yang tangguh. Mungkin Secara keseluruhan, keluhan di atas memang sekedar ilustrasi, tetapi curahan hati senada dengan mudah dapat kita dengar dari para residen di Indonesia atau 2

dapat kita baca dari tulisan para residen di luar negeri. Benarkah bahwa apa yang dialami seperti itu adalah suatu cara pembelajaran (tool of learning)? Bagaimana seharusnya dapat bertahan dalam situasi seperti itu? Artikel ini membahas secara singkat tentang intimidasi di dunia pendidikan kedokteran spesialis. Selain itu, melalui artikel ini, Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI melaporkan hasil survey sederhana yang telah dilakukan. Semoga artikel ini cukup bermanfaat, meskipun data yang disajikan belum dapat mewakili populasi.

DEFINISI Penindasan selama proses pendidikan maupun di tempat kerja telah menjadi masalah dalam beberapa dekade terakhir. Definisi penindasan sangat beragam dan seringkali terkait dengan istilah yang serupa seperti penggertakan atau pelecehan. Bahkan kata bully (penggertakan, gangguan terhadap kaum yang lemah) telah menjadi kata serapan yang lazim dalam artikel berbahasa Indonesia tanpa diterjemahkan lagi. Menurut definisi yang tercantum di kamus, penindasan, penggertakan dan pelecehan (intimidation, harassment, bullying) mempunyai implikasi arti yang pada dasarnya sama, yakni menakut-nakuti, mengancam atau menyakiti pihak yang lebih lemah.1-3 (Gambar 1). Intimidasi dapat dilakukan melalui bahasa tubuh, tulisan, katakata, tindakan fisik termasuk penggunaan alat komunikasi elektronik seperti melalui SMS, Facebook, Twitter atau BBM dan biasanya bertujuan untuk merusak harga diri dan kepercayaan diri para korban.Seiring dengan kemajuan teknologi, maka cyberbullying melalui jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter juga semakin marak. Alasan yang mendasari terjadinya intimidasi adalah sejumlah karakteristik nyata maupun yang dirasakan, meliputi perbedaan ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, identitas gender (kaum homoseksual, gay dan lesbian), kecacatan mental, fisik maupun sensorik.4-5

Gambar 1. Intimidation, harassment, bullying

Universitas New Jersey dalam Harrassment, Intimidation and Bullying: Prevention and Intervention Laws and Strategies Resource Packet 2011 lebih lanjut 3

lagi menegaskan bahwa ada sedikitnya tiga hal yang tercakup dalam intimidasi dalam pendidikan, yakni: 1. Orang yang melakukan intimidasi menyadari bahwa efek dari tindakannya akan menyakiti korban baik secara fisik maupun emosional, atau merusak barang-barang milik korban, atau menakut-nakuti korban; 2. Tindakan tersebut menimbulkan efek penghinaan atau merendahkan harga diri korban atau para korban; 3. Tindakan intimidasi dapat menciptakan lingkungan pendidikan penuh permusuhan dan dapat mempengaruhi proses pendidikan siswa atau dapat sangat membahayakan kesejahteran fisik maupun emosional para peserta didik. Maka, bila ditinjau dari segi definisi, intimidasi jelas tidak mempunyai tujuan maupun dampak yang baik bagi para korbannya. Selanjutnya, dalam artikel ini, istilah intimidation, harassment dan bullying secara sederhana akan disebut sebagai intimidasi saja. INTIMIDASI DI DUNIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN Kedokteran merupakan suatu organisasi profesi yang sangat sarat akan hirarki dan mahasiswa kedokteran, baik mahasiswa kedokteran umum maupun PPDS, menempati urutan terbawah dalam piramida organisasi tersebut. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penindasan, penggertakan dan pelecehan tidak hanya mempengaruhi mahasiswa kedokteran6-11, tetapi juga para PPDS,12-15 dokter yang sedang melakukan riset16, juga para professional kesehatan lainnya.17 Intimidasi dapat terjadi di mana saja dan sektor kesehatan ternyata mengalami intimiadasi lebih banyak dibandingkan bidang lainnya. Intimidasi yang dialami oleh mahasiswa kedokteran diperkirakan berkisar antara 42% hingga 91%.6,8 British Medical Association (BMA) menyatakan bahwa 1 dari tujuh staf di National Health Service (NHS) ternyata mengalami intimidasi oleh staf lainnya.18 Meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi tindakan ini jarang dilaporkan dan akhirnya menjadi suatu epidemi tersembunyi karena sejumlah alasan seperti rasa takut akan memperburuk keadaan, merasa bahwa tidak ada yang dapat memperbaiki hal tersebut, takut dianggap sebagai pembuat masalah, takut gagal dalam pendidikan, telah berusaha menyesuaikan diri dan akhirnya menerima perilaku yang tidak menyenangkan tersebut.18 Beberapa dekan univeritas di Inggris dan Amerika Serikat telah menyatakan sikapnya untuk menentang tindakan intimidasi dalam bentuk apapun selama proses pendidikan kedokteran dasar maupun pasca sarjana. Organisasi kedokteran di Inggris, British Medical Association(BMA), saat ini bahkan sedang merancang kebijakan pencegahan intimidasi dengan menyertakannya dalam Strategic Health Care Alliance (SHA) yang merupakan suatu organisasi yang berdedikasi pada pendidikan dan komunikasi kedokteran. Meskipun demikian, beberapa dokter 4

menganggap bahwa tindakan intimidasi merupakan proses sosialisai yang alamiah untuk menjadi dokter yang baik. Intimidasi bagi para residen dan mahasiswa kedokteran seringkali dianggap sebagai ritual agar para siswa siap menghadapi situasi yang sulit kelak.18,19 Beberapa penulis malah menyertakan perilaku intimidasi sebagai bagian dari proses pembelajaran, salah satu bentuk dari tindakan suriteladan (role modeling) dalam proses pembelajaran.20,21 Komunitas kedokteran sendiri masih terus berdebat tentang peranan intimidasi dalam proses pendidikan. Intimidasi dalam pendidikan kedokteran dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal yang meliputi ancaman terhadap status profesi, ancaman terhadap harga diri, pengucilan, pengabaian, dan beban kerja yang berlebih. Semua bentuk intimidasi umumnya bersifat persisten, membahayakan serta merendahkan harga diri. Intimidasi berdampak pada kesejahteraan psikologis korban, performa kerja di masa yang akan datang, pilihan karir hingga pertimbangan untuk keluar dari profesi dokter. Mistry dan Latoo18 menyatakan bahwa sangatlah penting untuk membedakan tindakan intimidasi yang biasanya bersifat merendahkan dan destruktif dengan tindakan supervisi yang konstruktif dan suportif. Ada tiga elemen penting dalam intimidasi yakni dampak buruk pada korban, terjadi secara menetap dan perasaan subyektif dari korban. Bila korban merasa terintimidasi, maka memang ia telah mengalami intimidasi. MEKANISME TERJADINYA INTIMIDASI SUATU TINJAUAN SINGKAT Sejumlah penelitian menyatakan bahwa intimidasi bukan merupakan suatu kejadian tersendiri, tetapi lebih merupakan suatu siklus yang terus berlanjut.5,18-20 Gambar 2 menunjukkan siklus intimidasi atau bullying pada proses pendidikan. Ada delapan komponen dalam siklus ini yakni korban (victim), pelaku (bully), pengikut (follower), pendukung (supporter), pendukung pasif (passive supporter), netral (locker), pembela tanpa aksi (possible defender), pembela dan beraksi (defender).

5

Gambar 2. Siklus Intimidasi dan Bullying. Intimidasi dalam lingkungan pendidikan dan kerja diakibatkan karena adanya pihak yang berusaha memanfaatkan pihak lain yang lemah. Meskipun demikian, banyak yang menilai bahwa intimidasi yang terjadi dalam dunia pendidikan kedokteran tidak didasari oleh niat seperti itu dan terjadi akibat ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan (misalnya konsultan, dokter senior dan dokter junior). Selain itu, hirarki tradisional yang ada dalam dunia pendidikan kedokteran serta pola hubungan belajar mengajar yang mempraktekkan intimidasi , pada akhirnya dapat membentuk budaya untuk melakukan intimidasi lagi. Sejumlah penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa budaya intimidasi atau bullying ini sudah menjadi warisan turun-temurun (transgenerational legacy). Oleh karena itu, ikatan dokter Inggris (BMA) sudah mulai menyerukan untuk memutus siklus intimidasi ini dan menyatakan tidak ada toleransi terhadap tindakan ini (zero tolerance on bullying). 18 Dan Olweus, pelopor riset tentang intimidasi dan bullying, menyatakan bahwa tindakan ini merupakan tindakan agresif yang (a) bertujuan untuk menyebabkan tekanan atau bahaya, (b) terjadi berulang kali dan (c) terjadi pada hubungan dengan ketidakseimbangan kekuatan maupun kekuasaan. Intimidasi dapat terjadi secara langung maupun tidak langsung, melalui tindakan verbal, fisik maupun non-verbal dan non-fisik (Tabel 1).23 Para korban biasanya dapat merasakan sejumlah gejala fisik maupun emosional (Tabel 2) yang dapat sangat mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.Tabel 1. Jenis-jenis intimidasi Verbal Fisik Non-verbal/Non-fisik Langsung Mengejek, menggoda, member nama julukan Memukul, menendang, merusak barang-barang milik korban Bahasa tubuh yang bersifat Tidak langsung Menyebar gosip Meminta teman lain untuk mengerjai korban Mengucilkan dari kelompok dan

6

mengancam

cyber-bullying

Tabel 2. Gejala yang dirasakan oleh korban intimidasi Fisik Emosional Kurang tidur Anxietas akut Mual Merasa terkucil Migren / sakit kepala hebat Kehilangan kepercayaan diri Palpitasi Depresi Keluhan kulit, misalnya gatal-gatal Serangan panik Berkeringat /gemetar Kemarahan Sakit punggung Gangguan mood Kehilangan nafsu makan Kurang motivasi Lemas dan lesu Ide-ide bunuh diri

Meskipun menurut definisi, intimidasi jelas tidak mempunyai tujuan maupun dampak yang baik bagi para korbannya, tetapi dalam lingkungan pendidikan kedokteran, khususnya bidang-bidang dengan lingkungan klinis berisiko tinggi seperti bedah dan kebidanan, intimidasi dianggap sebagai sarana pembelajaran yang cukup efektif.20,21 Musselman dkk melakukan penelitian tentang intimidasi di kalangan dokter spesialis bedah selama proses pendidikan dan menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mendasari diterimanya intimidasi sebagai proses pembelajaran, yaitu adanya niat yang baik (acceptable purpose), adanya efek yang positif bagi pasien atau kepentingan klinis (positive effects on patient safety) dan adanya kebutuhan intimidasi sebagai motivator yang kuat (necessary action).Keterkaitan antara ketiga faktor tersebut terhadap intimidasi terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Intimidasi yang baik sebagai perilaku yang dapat diterima

Sejumlah residen bedah menyatakan tidak berkeberatan diperlakukan kasar saat bekerja di kamar operasi sepanjang hal itu dilakukan dengan niat baik, yakni agar ia dapat berespons lebih cepat terhadap situasi sulit dan pada akhirnya menjadi dokter bedah dengan keterampilan yang baik. Residen bedah tersebut juga tidak merasa diperlakukan tidak adil saat mereka harus menggantikan jaga para konsulen 7

secara mendadak meski tidak dibayar karena merasa semua itu demi kepentingan pasien. Bagi mereka, yang penting pasien selamat. Lebih lanjut lagi, beberapa residen malah merasa perlu diintimidasi agar mereka punya motivasi yang lebih kuat untuk menyelesaikan studinya, misalnya bila penelitian mereka tidak kunjung selesai. Dengan demikian, di dunia pendidikan kedokteran ada pemahaman tentang intimidasi yang baik (good intimidation). Humphrey juga menjelaskan bahwa intimidasi yang baik merupakan bagian dari pemberian suri-teladan (role modeling) yang mempengaruhi seluruh aspek lingkungan pembelajaran, baik dalam budaya, kurikulum maupun iklim belajar-mengajar. SURVEI SEDERHANA DI DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FKUI Apakah intimidasi sungguh bermanfaat dalam proses pendidikan? Apakah para dokter memang dapat belajar lebih baik di bawah tekanan? Untuk itu, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyelenggarakan suatu survey kuesioner sederhana untuk seluruh residennya. Meski tidak mewakili seluruh populasi, setidaknya kami bisa mendapatkan gambaran tentang intimidasi menurut perspektif para peserta didik. Apakah intimidasi dianggap perlu atau tidak dalam proses pendidikan. Selanjutnya, kami juga bisa mengembangkan suatu kebijakan strategis tentang hal ini, baik menyempurnakannya agar bisa mendapat manfaat maksimal dalam proses pembelajaran atau berusaha untuk mencegah dan melakukan intervensi bila memang membawa efek merugikan bagi residen kami. Tentu saja, penelitian yang lebih komprehensif dan terstruktur perlu dilakukan sebelum menentukan kebijakan semacam itu. Tapi, kami harap survey sederhana ini dapat membantu kita untuk memahami lebih dalam tentang intimidasi dalam proses pendidikan kedokteran. Metode Seluruh peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau residen di Departemen Kebidanan dan Kandungan FKUI yang sedang menempuh pendidikan diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Kuesioner dibagikan satu kali secara serentak pada bulan November 2011. Kuesioner tersebut diisi sendiri oleh residen dan kemudian dikembalikan secara langsung atau melalui e-mail kepada koordinator survey. Kuesioner tersebut bersifat anonim dan peserta diberitahu bahwa informasi yang dituliskan dalam kuesioner bersifat rahasia dan tidak mempengaruhi nilai. Peserta juga dapat menolak untuk mengisi kuesioner bila tidak ingin ikut serta dalam survey tersebut.

8

Kuesioner yang diberikan terdiri atas tiga bagian yang meliputi pertanyaan tentang karakteristik demografik, pernyataan tentang definisi intimidasi untuk menyamakan persepsi dan jajak pendapat atas kejadian intimidasi selama proses pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. Delapan pertanyaan tentang karakteristik demografik meliputi karakteristik usia, gender, agama, status pernikahan, tahun masuk, level pendidikan dokter spesialis saat ini, pendidikan dokter umum sebelumnya (universitas negeri / swasta), dan latar belakang kehidupan masa kecil yang dominan (kehidupan desa/kota). Informasi yang digali pada jajak pendapat terdiri atas 15 pertanyaan yang meliputi pertanyaan tentang frekuensi responden yang mengalami, melihat dan melakukan intimidasi; jenis intimidasi; pelaku dan korban intimidasi; dampak intimidasi dari sisi korban; sikap pada saat mengalami intimidasi; pihak yang dianggap mampu membantu saat mengalami intimidasi; setuju atau tidak bahwa sikap intimidasi dapat diterima sebagai bagian dari proses belajar; dampak intimidasi dari sisi pelaku; sikap responden bila sikap intimidasi terus berlanjut dalam program pendidikan dokter spesialis; perlu tidaknya kebijakan pencegahan dan penanganan tindakan intimidasi; pihak yang dianggap perlu dan mampu membuat kebijakan tersebut; dan perlu tidaknya pelaku intimidasi diberi hukuman/penghargaan. Data dikumpulkan dan dianalisis dalam waktu tiga minggu (akhir November hingga awal Desember 2011). Data dianalisis secara sederhana dan hasil disajikan dalam bentuk persentase. Hasil Karakteristik demografik Dari 85 residen yang sedang menempuh pendidikan, sebanyak 76 residen (89%) ikut berpartisipasi dalam survey ini. Sebanyak 44,7% (n=34) residen yang telah berpartisipasi dalam survey adalah laki-laki dan 55,3% (n=42) perempuan. Kisaran kelompok usia residen terbanyak pada usia 26-30 tahun dan sisanya berada pada kisaran 31-35 tahun. Status pernikahan para residen menunjukkan bahwa 50% residen menikah, 48,3% masih lajang dan 1,7% telah bercerai. Sekitar 94,1% (n=48) residen menamatkan pendidikan dokter umumnya dari universitas negeri, sedangkan 5,9% (n=3) berasal dari universitas swasta. Sebagian besar peserta melalui kehidupan masa kecil di kota, yakni sebesar 81,5% (n=63) dan hanya 18,5% (n=12) yang mempunyai masa kecil di desa. Profil residen yang mengalami intimidasi Sebanyak 51,3% responden mengaku mengalami intimidasi. Dari mereka yang mengaku mengalami intimidasi, 54,5% adalah residen laki-laki, sebagian besar (75%) mempunyai kehidupan masa kecil di desa , telah cukup lama menempuh pendidikan dokter spesialis, dan telah menikah (Tabel 3). Mengenai frekuensi mengalami intimidasi, 66,7% residen mengaku mengalami intimidasi setidaknya sebulan satu kali dan 2,8% residen mengaku mengalaminya setiap hari. Jenis intimidasi yang paling 9

banyak dialami berupa intimidasi verbal (75,6%) baik berupa pemberian perintah kasar, ancaman seperti gue persulit kalian! Awas, ya! maupun caci maki seperti Bego! Brengsek!. Sebanyak 12,5% mengalami intimidasi berupa tulisan seperti Awas yah, gue tambah jaga maksimal atau sms ancaman.Tabel 3. Profil residen yang mengalami intimidasi KATEGORI Persentase Jenis Kelamin Laki-laki 54,5% Perempuan 46,3% Kategori usia 21-25 tahun 33,3% 26-30 tahun 57,7% 31-35 tahun 25,0% Kehidupan masa kecil Kehidupan desa 75,0% Kehidupan kota 46,2% Tahun masuk 2011 20,0% 2010-2009 62,5% 2008 62,5% Status pernikahan Lajang 38,5% Menikah 58,6% Cerai 0% Pendidikan sebelumnya Fakultas Kedokteran Negeri 48,9% Fakultas Kedokteran Swasta 50,0%

Para residen menyatakan bahwa sebagian besar pelaku intimidasi adalah sesama PPDS sebanyak 80,5%, diikuti oleh konsulen sebanyak 46,3%, perawat sebanyak 14,6% dan pasien 12,2%. Dampak terbesar dari tindakan intimidasi menurut residen yang mengalaminya adalah waktu yang terbuang , mempengaruhi kondisi keuangan dan kondisi kesehatan dan rumah tangga serta program pendidikan. Ada juga yang berpendapat bahwa intimidasi tidak berdampak apa-apa (Gambar 4). Sikap yang dilakukan oleh responden pada saat mengalami intimidasi antara lain: berusaha untuk bicara kepada orang lain (39%), berharap kejadian itu akan selesai dengan sendirinya (36,6%), lebih sering berdoa (29,3%), berpikir positif (24,4%), tidak melakukan apa-apa (14,6%), lebih sering tidur (12,2%), lebih banyak makan (9,8%), menjadi kurang makan (4,9%) dan merokok (4,9%). Sebanyak 65,8% responden yang mengalami intimidasi menyatakan bahwa pihak yang dianggap dapat membantu mereka adalah rekan sejawat, 12,2% residen utama dan 2,4% ketua program studi. Sekitar 24,4% menganggap pihak lain yang dapat membantu dan 8,8% menyatakan tidak ada yang dapat membantu.D ma I t id s a p k nim a iW t t r un a u eb a g k K n i ik u n a o ds e a g n T k ed ma d br a pk K n i ik s h t n o ds e e aa R mh a g a u a t ng Po r m e ddk n r ga p n i i a7 % .3 2% .4 1 .6 4 % 2 .8 6% 3 .1 4% 6 .9 5%

10

Gambar 4. Dampak intimidasi bagi para residen yang mengalaminya Profil residen yang melihat intimidasi Sekitar 55,0% responden menyatakan bahwa mereka melihat terjadinya intimidasi selama proses pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. Proporsi residen laki-laki dan perempuan yang melihat terjadinya intimidasi hampir sama. Seluruh residen yang mempunyai masa kecil di desa melihat terjadinya intimidasi dan tidak satupun residen yang masuk di tahun 2011 melihat terjadinya intimidasi. Persentase residen yang melihat terjadinya intimidasi antara yang lajang dan yang telah menikah kurang lebih sama (Tabel 4). Sebanyak 81% responden mengaku melihat terjadinya intimidasi setidaknya satu bulan sekali, sekitar 9,5% mengaku melihatnya kurang dari sebulan sekali serta 7,1% melihatnya seminggu sekali dan hanya 2,4% yang melihat terjadinya intimidasi setiap hari. Sebagian besar responden menyaksikan terjadinya intimidasi dalam bentuk kata-kata (81%) dan yang lainnya melihat terjadinya intimidasi dalam bentuk bahasa tubuh ( 13,6%), tulisan (11,4%), tindakan fisik (4,5%) dan jejaring sosial (4,5%). Pelaku intimidasi sebagian besar adalah sesama PPPDS (72,7%), para konsulen (48,9%), perawat (4,5%), dan pasien (2,8%).Tabel 4. Profil residen yang intimidasi KATEGORI Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kategori usia 21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun Kehidupan masa kecil Kehidupan desa Kehidupan kota Tahun masuk 2011 2010-2009 2008 Status pernikahan Lajang Menikah Cerai Pendidikan sebelumnya Fakultas Kedokteran Negeri Fakultas Kedokteran Swasta melihat terjadinya Persentase 54,5% 53,7% 83,3% 57,7% 8,3% 100% 46,2% 0% 62,5% 75,0% 50,0% 55,2% 0% 51,1% 50,0%

Menurut responden yang melihat terjadinya intimidasi, 75% di antaranya menganggap bahwa intimidasi menyebabkan terbuangnya waktu. Intimidasi juga berdampak pada kondisi keuangan menurut 29,9% responden, berdampak pada kondisi kesehatan menurut 11,4% responden, berdampak pada program pendidikan menurut 8,9% responden dan berdampak pada rumah tangga menurut 6,9% responden. Sekitar 13% responden yang melihat terjadinya intimidasi menyatakan bahwa intimidasi tidak berdampak apa-apa. 11

Saat melihat terjadinya intimidasi, 54,5% residen berharap bahwa kejadian itu akan selesai dengan sendirinya, 27,3% residen berusaha untuk membicarakan hal tersebut kepada orang lain, 25% lainnya tidak melakukan apa-apa. Sebanyak 28,5% residen mencoba untuk berpikir positif tentang hal tersebut, 4,5% residen menjadi lebih sering berdoa dan 2,3% residen menjadi lebih banyak makan serta 2,3% residen juga menjadi lebih banyak makan. Residen yang melihat terjadinya intimidasi berpkir bahwa pihak yang dapat membantu menyelesaikan masalah intimidasi adalah rekan sejawat (88,2%), residen utama (11,4%), pihak lain (11,4%), ketua program studi 2,9% dan pihak universitas 2,3%. Sekitar 15% responden menyatakan bahwa tidak ada pihak yang dapat membantu permasalahan tersebut dan tidak ada satu pun responden yang menyatakan perlunya bantuan psikiater atau psikolog. Profil residen yang melakukan intimidasi Dari seluruh responden sebanyak 8,3% residen (n=6) mengaku melakukan intimidasi. Sekitar 50% di antaranya mengaku melakukan intimidasi sebulan satu kali, sedang sisanya menyatakan melakukannya kurang dari sebulan sekali. Sikap intimidasi yang dilakukan 60,3% berupa kata-kata seperti Masa tidak bisa nulis lebih cepat mas! atau Gue tambah nanti jaganya. Sekitar 16,7% responden mengaku melakukan intimidasi berupa tulisan tapi tidak ada yang memberikan contoh. Tidak ada responden yang mengakui melakukan intimidasi melalui tindakan fisik maupun jejaring media sosial. Seluruh responden (100%) yang melakukan intimidasi ternyata juga mengalami intimidasi (Tabel 5).Tabel 5. Keterkaitan antara mahasiswa yang mengalami dengan yang melakukan intimidasi

Gambaran Yang Melakukan Intimidasi Dengan Yang Mengalami Intimidasi MELAKUK Melakukan AN INTIMIDA Tdk Melakukan SI

MENGALAMI INTIMIDASI Mengalami 100.0% 45.5% 54.5% Tdk Mengalami

12

Intimidasi sebagai bagian dari proses belajar Sebagian besar responden (60,9%) tidak setuju bahwa intimidasi merupakan bagian dari proses belajar (Gambar 5) dengan alasan bahwa kekerasan tidak menyelesaikan masalah, tindakan intimidasi lebih banyak merugikan dan tidak berdampak positif bagi pembelajaran. Sedangkan responden yang setuju beralasan bahwa intimidasi perlu dilakukan dalam proses belajar agar lebih disiplin.ALASAN SETUJU 1 Agar lebih disiplin

ALASAN RAGU-RAGU 1 Pembelajaran asal tidak melampaui batas 2 Tidak menimbulkan kematian 3 Diluar negeri tdk ada intimidasi ALASAN TIDAK SETUJU 1 Kekerasan tdk menyelesaikan masalah 2 Merugikan 3 Tdk berdampak positif 4 Lebih tepat pebelajaran

Gambar 5. Sikap responden tentang intimidasi sebagai bagian dari proses belajar

Meskipun mengalami dan melihat terjadinya intimidasi, sebagian besar responden (93,1%) menyatakan bahwa tidak akan melakukan intimidasi, sisanya tidak menyatakan sikap. Sekitar 58,2% responden tidak mendukung bila intimidasi terus berlanjut dalam proses pendidikan dan 11,9% responden bahkan berpikir untuk mencari spesialisasi lain bila intimidasi tidak dihentikan, sisanya tidak mengisi kuesioner. Mengenai kebijakan untuk mencegah dan menangani intimidasi, sekitar 81,2% responden menyatakan perlu adanya kebijakan dan 18,8% responden 13

menyatakan tidak perlu. Alasan perlunya kebijakan agar intimidasi tidak menjadi budaya, melindungi PPDS, menciptakan suasana belajar yang nyaman, agar tidak ada lagi kerugian finansial, tidak membuang waktu dalam proses belajar dan perlu adanya batasan tegas yang mengatur intimidasi dalam proses pendidikan. Sedangkan responden yang menyatakan tidak perlu beralasan bahwa pelaku intimidasi langsung dihukum saja tanpa perlu ada kebijakan dan yang lainnya merasa bahwa intimidasi terlalu sulit untuk dicegah dengan kebijakan. Menurut para responden, pembuat kebijakan sebaiknya adalah ketua departemen (47,7%), ketua program studi (35,4%), dekan (18,5%), rektor (15,4%), chief resident (12,3%), dan menteri kesehatan (3,1%). Mengenai sanksi bagi pelaku intimidasi, 75% responden menyatakan perlu adanya sanksi karena intimidasi menyebabkan kerugian, pelaku intimidasi hanya berpikir kepentingan sendiri, agar menimbulkan efek jera, sebagai peringatan dan agar intimidasi tidak mengganggu orang lain. Menurut responden, jenis sanksi yang perlu dikenakan berupa pemberian kartu biru, skorsing dan teguran keras. Sekitar 15,7% responden (n=12) tidak mengisi kuesioner tentang sanksi bagi pelaku intimidasi. Tentang penghargaan bagi pelaku intimidasi, sebanyak 94% responden menyatakan tidak perlu dan 6% responden menyatakan perlu dengan alasan jika penghargaan tersebut dapat membawa perubahan ke arah positif, jika membuat pelaku intimidasi menjadi lebih maju atau membuat pelaku intimidasi menjadi malu. Jenis penghargaan yang disarankan oleh responden adalah dengan mengumumkannya ke seluruh rumah sakit atau penghargaan lain dengan cara yang mendidik. PEMBAHASAN We are all either bullies, bullied, or bystanders (Richard L. Gross, MD American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 2011) Berdasarkan banyaknya kuesioner yang dikembalikan kepada koordinator penelitian, tingkat respons peserta didik terhadap survey ini cukup menggembirakan, yakni sebesar 89%. Respons ini cukup baik dibandingkan penelitian serupa yang dilakukanoleh Cohen dkk. yang menunjukkan tingkat respons hanya sebesar 51%. Bahkan, respons ini dapat lebih tinggi lagi bila waktu penelitian tidak terlalu sempit dan sebagian besar residen yang tidak dapat mengembalikan kuesioner sedang bertugas di rumah sakit pendidikan lain. Oleh karena periode penelitian cukup singkat (akhir November hingga awal Desember 2011), respons ini mungkin saja menjadi bias akibat tingginya tekanan untuk mengembalikan kuesioner dengan segera. Survey ini menunjukkan bahwa para residen peserta didik di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI mengalami intimidasi dengan tingkat prevalensi sebesar 50%, yang kurang lebih sama dengan penelitian serupa lainnya. Ahmer dkk 14

menunjukkan bahwa sekitar 52% mahasiswa kedokteran tingkat akhir di Pakistan mengalami intimidasi.3 Penelitian oleh Frank dkk menemukan bahwa tingkat intimidasi di kalangan mahasiswa kedokteran di Amerika Serikat sebesar 40% .6 Sedangkan survey di Kanada menunjukkan bahwa sebanyak 34% residen di Fakultas Kedokteran Universitas Alberta mengalami stress akibat intimidasi.22 Sedangkan Scott dkk menemukan bahwa intimidasi terjadi pada 50% dokter junior di Rumah Sakit Pendidikan Auckland, Selandia Baru.24 Perbedaan respons ini disebabkan oleh perbedaan subyek penelitian yang diteliti. Subyek pada penelitian ini lebih spesifik yakni hanya residen peserta didik di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. Sedangkan penelitian lainnya mempunyai subyek yang lebih luas seperti mahasiswa kedokteran di seluruh Pakistan, di seluruh Amerika Serikat, maupun seluruh residen di suatu rumah sakit pendidikan. Selain itu, persepsi tentang perilaku intimidasi cukup beragam. Penelitian ini mencantumkan definisi intimidasi agar bisa ada kesamaan persepsi tentang intimidasi sebelum responden mengisi kuesioner. Meski demikian, intimidasi tetap dilaporkan meski responden mungkin hanya satu kali mengalami hal tersebut. Hal ini belum sejalan dengan definisi intimidasi oleh Mistry dan Latoo18 maupun oleh Dan Olweus,23 yang mungkin dipakai oleh peneliti lainnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar residen yang mengalami intimidasi adalah laki-laki (51,3%). Ahmer dkk juga melaporkan bahwa intimidasi lebih banyak dialami oleh residen laki-laki.3 Sedangkan Cohen dkk menunjukkan bahwa sebagian besar residen wanita lebih mudah mengalami stress saat pendidikan dokter spesialis.22 Perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh bias pelaporan, misalnya wanita lebih terbuka menceritakan stress yang dialami dan pria lebih terus terang mengenai tindakan tidak adil yang dialaminya. Data dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan lebih sering mengalami intimidasi dan biasanya terkait dengan intimidasi secara seksual.9-11 Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmer dkk di Pakistan, sebagian besar residen yang mengalami intimidasi mempunyai kehidupan masa kecil di desa.3 Mungkin, penyesuaian diri dengan kehidupan kota telah menjadi tekanan tersendiri bagi para residen. Jenis intimidasi yang dialami sebagian besar merupakan intimidasi verbal berupa kata-kata kasar maupun ancaman. Temuan ini mirip dengan penelitian lainnya.3,6, 22 Kisaran frekuensi terjadinya intimidasi setidaknya sebulan sekali selama masa pendidikan lebih tinggi daripada penelitian lainnya (66,7% vs. 48%). Demikian pula dengan frekuensi terjadinya intimidasi setiap hari yang lebih tinggi dibandingkan penelitian lainnya (2,8% vs. 0.6%).3 Pelaku intimidasi pada penelitian ini sebagian besar adalah sesama residen dan kemudian diikuti oleh konsulen. Hal ini mirip dengan temuan oleh Ahmer dkk bahwa pelaku intimidasi terbanyak terhadap mahasiswa kedokteran umum adalah para residen dan konsultan.3 Frank dkk menegaskan bahwa residen dan konsulen yang seharusnya menjadi suri-teladan (role model) yang baik malah cenderung menjadi pelaku intimidasi.6 Residen yang melihat terjadinya intimidasi pada 15

penelitian ini menunjukkan frekuensi intimidasi dan jenis intimidasi yang serupa dengan yang dilaporkan oleh korban. Yang menarik, seluruh pelaku intimidasi pernah mengalami intimidasi sebelumnya (100%). Meskipun demikian, 93,1% responden pada penelitian ini menyatakan bahwa mereka tidak akan melakukan intimidasi lagi. Hal serupa juga ditemukan oleh Ahmer dkk yang meneliti terjadinya intimidasi pada mahasiswa kedokteran umum di Pakistan. Apakah ini menunjukkan bahwa intimidasi masih menjadi budaya turun temurun dalam dunia pendidikan kedokteran? Sudahkah ada perbaikan bahwa siklus intimidasi ini bisa diputus? Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebagian besar responden pada penelitian ini menyatakan tidak setuju bahwa intimidasi merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini berbeda dengan temuan Musselman dkk yang meneliti respons residen bedah di Kanada tentang intimidasi.20 Meskipun residen obstetri dan ginekologi pada penelitian juga menghadapi situasi klinis yang sulit dan berisiko tinggi seperti halnya residen bedah, tetapi residen pada penelitian ini tidak dapat menerima intimidasi sebagai bagian dari proses belajar; sedangkan residen pada peneliti Musselman dapat menerima perilaku tersebut dengan konsep intimidasi yang baik.20 Walaupun demikian, sebagian residen pada penelitian ini menyetujui dan ragu atas perilaku intimidasi dalam proses pendidikan. Mereka yang setuju beranggapan bahwa intimidasi diperlukan agar peserta didik dapat lebih disiplin sedangkan mereka yang ragu cenderung menyetujui tindakan intimidasi asal tidak melampaui batas atau tidak menimbulkan kematian. Intimidasi merupakan suatu fenomena sosial yang kompleks. Oleh karena itu, perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh residen pada kedua penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh asumsi, latar belakang kehidupan dan interpretasi yang berbeda. Penelitian yang lebih lanjut dan rinci diperlukan untuk membuktikan keterkaitan ini.

Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar responden tidak mendukung bila intimidasi terus berlanjut dalam proses pendidikan. Bahkan, sekitar 11,9% responden berpikir untuk mencari spesialisasi lain bila intimidasi tidak dihentikan. Hal ini serupa dengan penelitian Frank dkk6 yang menemukan bahwa 13% mahasiswa kedokteran berpikir untuk mencari profesi lain bila intimidasi terus berlanjut. Cohen dkk22 juga menemukan hasil yang serupa, yakni 14% residen di Kanada akan mencoba spesialisasi lain akibat tekanan yang dialami mereka, bahkan 22% di antaranya akan meninggalkan profesi kedokteran. Kebijakan untuk mencegah dan menangani intimidasi dianggap perlu oleh sebagian besar responden dalam penelitian ini. Sebagian besar residen juga 16

beranggapan bahwa pembuat kebijakan sebaiknya adalah ketua departemen (47,7%) dan sangat sedikit yang menganggap sebaiknya menteri kesehatan sebagai pembuat kebijakan (3,1%). Hal ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan di luar negeri. British Medical Association di Inggris sedang membuat kebijakan serupa dan mengintegrasikannya dalam kebijakan Strategic Health Care Alliance (SHA) yang bersifat nasional. Hal ini bisa terlaksana karena Inggris dan Amerika memang telah lebih maju dalam menangani intimidasi di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kedua negara tersebut malah sudah mempunyai unit pengaduan intimidasi dan bullying nasional (National bullying hotline) sebagai garda pertama dalam menangani dampak negatif dari perilaku tersebut. Indonesia juga bisa mencapai hal yang serupa bila terlebih dahulu berusaha mengatasi hal ini dalam lingkup yang lebih kecil. Sebagian besar responden pada penelitian ini menyatakan perlu adanya sanksi dan tidak perlu penghargaan bagi pelaku intimidasi. Pemberian sanksi perlu disertai oleh peningkatan kesadaran akan terjadinya intimidasi di lingkungan pendidikan kedokteran dan fasilitasi sejumlah langkah awal seperti seminar tentang intimidasi dalam dunia pendidikan dan penyediaan unit pengaduan bagi para korban. KESIMPULAN Pemakaian istilah intimidasi (intimidation) bertumpang tindih dengan istilah lainnya, misalnya harrasment dan bullying. Semua istilah tersebut pada dasarnya memiliki implikasi yang sama yakni menakut-nakuti dan menjahati pihak yang lebih lemah. Ada tiga syarat untuk definisi intimidasi: (a) adanya dampak buruk bagi korban; (b) terjadi secara berulang atau menetap; (c) terjadi akibat adanya ketidakseimbangan kekuatan dan kekuasaan dalam suatu hubungan. Di dunia pendidikan kedokteran, peran intimidasi masih terus menjadi perdebatan. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa intimidasi harus dihentikan. Sebagian lainnya justru berpendapat bahwa intimidasi merupakan metode dan sarana yang efektif dalam proses belajar layaknya todongan senapan agar tentara dapat berkarya lebih baik. Untuk itu, perlu dibedakan antara intimidasi yang bersifat merusak dan intimidasi yang baik, yang mungkin lebih pantas disebut sebagai supervisi karena bersifat konstruktif dan suportif.

Survey sederhana yang dilakukan oleh Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI menunjukkan insidens intimidasi yang cukup tinggi dan dampaknya cukup merugikan bagi para peserta didik. Sejumlah langkah perlu dipersiapkan untuk menangani hal tersebut, termasuk seminar guna meningkatkan kesadaran akan terjadinya intimidasi dalam lingkungan pendidikan, menyiapkan unit layanan 17

pengaduan hingga membuat kebijakan pencegahan dan penanganan intimidasi secara komprehensif. Intimidasi merupakan suatu siklus bukan kejadian sesaat. Berbagai aspek kehidupan membentuk dan mempengaruhi pelaku maupun korban intimidasi. Oleh karena itu, penanganan intimidasi yang terjadi pada tingkat pendidikan perguruan tinggi tidak dapat dibenahi sendiri. Penanganan intimidasi sesungguhnya harus dimulai sejak tingkat pendidikan dasar dan melibatkan berbagai pihak. Masalah intimidasi hendaknya menjadi masalah nasional yang membutuhkan perhatian pemerintah dan perlu ditangani oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu (pendidikan, sosiologi, psikologi, kedokteran, dll). Sebelum kebijakan yang dapat mengatasi intimidasi berlaku efektif, kita perlu meningkatkan kesadaran bagi para pelaku atas perilaku mereka yang tidak terpuji. Sedangkan para korban intimidasi sebaiknya mempunyai sikap mental yang kuat saat menghadapi situasi intimidasi. Intimidasi merupakan hal yang subyektif, bila korban menguatkan pikirannya dan berusaha untuk tidak terintimidasi maka intimidasi tidak bisa terjadi. Marilah kita tangani masalah intimidasi ini bersama-sama. Dunia pendidikan Indonesia perlu bebas dari intimidasi agar dapat maju dan itu bisa dimulai dari Anda.

Those who can do; but those who cant bully (Tim Field, British Anti-bullying Activist, 1952) A man who is intimate with God is not intimidated by man (Leonard Ravenhill, Christian Evangelist, Author, 1907-1994)

DAFTAR PUSTAKA 1. Cambridge advanced learners dictionary. Cambridge: Cambridge University Press; 2010; Intimidate; p.758. Bully; p. 181. Harassment; p. 656 18

2. Mish FC, editor. The Merriam Webster Dictionary. Massachusets: MerriamWebster Inc.; 1994; Intimidate; p. 394. Bully; p. 110. Harassment; p. 340 3. Lea D, Bradbery J, Poole R, Warren H. Oxford learners thesaurus: a dictionary of synonyms. Oxford University Press; 2011; Bully; p. 75. Harass; p. 347 4. Ahmer Syed, et al. Bullying of medical students in Pakistan: a cross-sectional questionnaire survey. PloS ONE. 2008;3(12);e3889. 1-4. Doi:10.1371/journal.pone.0003889 5. Rutgers The State University of New Jersey. Harassment, Intimidation and Bullying: Prevention and Intervention Laws and Strategies Resource Packet 2011. Rutgers SDFSC Project; 2011 6. Frank E, Carrera JS, Stratton T, Bickel J, Nora LM. Experiences of belittlement and harassment and their correlates among medical students in the United States: longitudinal survey. BMJ. 2006; 333:682 7. BMA medical students welfare survey report 2006. [cited 2011 Nov 14]; Available form: http://www. bma. org/ap.nsf/content/WELFARE 2006 8. Maida AM, et al. A report on student abuse during medical training. Medical Teacher. 2003;25: 497-501 9. Rautio A, Sunnari V, Nuutinen M, Laitala M. Mistreatment of university students most common during medical studies. BMC Medical Education. 2005; 5: 36 10.Richardson DA, Becker M, Frank RR, Sokol RJ. Assessing medical students perceptions of mistreatment in their second and third years. Academic Medicine. 19997; 72:728-30 11.Uhari M, et al. Medical students abuse: an international phenomenon. JAMA. 1994;271:1049-51 12. Paice E, Aitken M, Houghton A, Firth-Cozens J. Bullying among doctors in training: cross sectional questionnaire survey. BMJ. 2004; 329: 658-59 13.Quine L. Workplace bullying in junior doctors: questionnaire survey. BMJ. 2002;324:878-79 14.Daugherty SR, Baldwin DC Jr, Rowley BD. Learning, satisfaction and mistreatment during medical internship: a national survey of working conditions. JAMA. 1998; 279: 1194-99 15.Ahmer S, et al. Bullying of trainee psychiatrist in Pakistan: a cross-sectional questionnaire survey. Academic Psychiatry. 2009;33:335-339 16.Stebbing J, et al. A questionnaire survey of stress and bullying in doctors undertaking research. Postgrad Med J. 2004; 80: 93-96 17.Quine L. Workplace bullying in NHS community trust: staff questionnaire survey. BMJ. 1999; 318: 228-232 18.Mistry M, Latoo J. Bullying: a growing workplace menace. BMJ. 2009;2(1): 23-26 19.Melzer-Lange MD, et al. Bullying prevention: Wisconsin takes a stand. Wisconsin Medical Journal 2005; 104(1): 57-61 20.Musselman LJ, Macrae HM, Reznick RK, Lingrad LA. You learn better under the gun: intimidation and harassment in surgical education.Medical education. 2005;39:926-34 19

21.Humphrey HJ. Mentoring in academic medicine. Pennsyllvania: ACP Press Philadelphia. American College of Physician; 2010: p. 77-81 22.Cohen JS, Patten S. Well-being in residency training: a survey examining resident physician satisfaction both within and outside of residency training and mental health in Alberta. BMC Medical Education 2005: 21-31 23.Fleming M, Towey K, eds. Educational forum on adolescent health: youth bullying. American Medical Association Proceeding. May 2002. 1-48 24.Scot J, Blanshard C, Child S. Workplace bullying of junior doctors: a crosssectional questionnaire survey. NZMJ 2008;121(1282): 10-15 25.Siassakos D, et al. Evaluation of a strategy to improve undergraduate experience in obstetrics and gynaecology. Medical Education. 2009; 43:669-73

20

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FKUI

__________________________________________________________________________________ KUESIONER PELECEHAN, PENGGERTAKAN DAN PENINDASAN (HARRASSMENT, BULLYING AND INTIMIDATION) DI KALANGAN PESERTA PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS OBSTETRI GINEKOLOGI FKUI -RSCM (Harap diisi dengan huruf cetak) KARAKTERISTIK DEMOGRAFIK 1. Masuk PPDS Obstetri Ginekologi FKUI tahun _________________ 2. Sedang menempuh pendidikan dokter spesialis tingkat / semester _____________________ 3. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 4. Usia saat ini __________ 5. Status Pernikahan Lajang Menikah Cerai 6. Agama Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Kong Hu Cu Aliran kepercayaan 7. Menempuh pendidikan dokter umum di : Universitas Negeri, sebutkan ________________________________________ Universitas Swasta, sebutkan ________________________________________ 8. Latar belakang kehidupan masa kecil yang dominan: Kehidupan di desa, banyak berinteraksi dengan alam Kehidupan di kota DEFINISI Sebelum Anda melanjutkan pengisian kuesioner ini, kita perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu. Berikut ini adalah definisi pelecehan, penggertakan dan penindasan (harassment, bullying, and intimidation). Harrassment, bullying dan intimidation mempunyai implikasi yang sama, yakni suatu sikap menakut-nakuti, mengancam atau menyakiti orang yang lebih lemah, baik melalui tulisan, kata-kata, bahasa tubuh, tindakan fisik, termasuk melalui penggunaan alat komunikasi elektronik seperti telepon, SMS, e-mail, facebook, twitter dan jejaring media sosial lainnya. Sikap itu menyebabkan pihak yang lemah tersebut menjadi tidak percaya diri atau merasa harga dirinya terusik. 21

Selanjutnya, istilah tersebut secara sederhana akan disebut sebagai INTIMIDASI saja.

JAJAK PENDAPAT ATAS KEJADIAN INTIMIDASI DALAM PROSES PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1. Apakah Anda pernah mengalami intimidasi selama proses pendidikan dokter spesialis? Ya Tidak 2. Apakah Anda pernah menyaksikan terjadinya intimidasi selama proses pendidikan dokter spesialis yang dialami oleh rekan sejawat Anda? Ya Tidak 3. Apakah Anda pernah melakukan intimidasi selama proses pendidikan dokter spesialis? Ya Tidak 4. Bila pernah, seberapa sering Anda mengalami /menyaksikan/melakukannya*?( *Coret yang tidak benar)

Kurang dari sebulan sekali Setidaknya sebulan satu kali Seminggu sekali Setiap hari( *Coret yang

5. Sikap intimidasi seperti apa yang Anda alami/saksikan/lakukan*?tidak benar)

Boleh pilih lebih dari satu Melalui kata-kata, coba sebutkan ____________________________________________________ ________________________________________________________________________________ Melalui tulisan, coba sebutkan _______________________________________________________ ________________________________________________________________________________ Melalui bahasa tubuh, coba sebutkan _________________________________________________ Melalui tindakan fisik, coba sebutkan _________________________________________________ Melalui jejaring media sosial seperti facebook, twitter, dll (cyberintimidation)_________________ ________________________________________________________________________________

22

6. Dari atau kepada siapa sikap intimidasi itu Anda alami/saksikan/lakukan*?(*Coret yang tidak benar)

Boleh pilih lebih dari satu dan Anda dapat memberi komentar tambahan Konsulen ______________________________________________________________________ Sesama rekan PPDS Junior, tingkat___________________ Senior, tingkat______________ Perawat _______________________________________________________________________ Pasien ________________________________________________________________________ 7. Menurut Anda, apakah dampak intimidasi yang Anda alami/saksikan/lakukan*?(*Coret yang tidak benar)

Tidak berdampak apa-apa Waktu, waktu terbuang dan Anda menjadi tertekan karena keterbatasan waktu Kondisi kesehatan (lebih baik/buruk*), karena __________________________________________ Kondisi keuangan (lebih baik/buruk*), karena___________________________________________ Program pendidikan dokter spesialis (cepat lulus/lambat lulus*), karena______________________ Kondisi rumah tangga (anak dan istri) atau hubungan asmara bagi yang belum menikah (lebih baik/buruk*), karena_______________________________________________________________ 8. Apa yang Anda lakukan saat Anda mengalami/menyaksikan/melakukan intimidasi*?(*Coret yg tidak benar) Tidak melakukan apa-apa Tidak melakukan apa-apa, tapi berharap kejadian itu akan selesai dengan sendirinya Berusaha bicara tentang hal ini kepada orang lain Tidur lebih sering untuk meredakan tekanan Makan lebih banyak/lebih sedikit (*Coret yg tidak benar) Mencoba untuk merasa lebih baik dengan merokok Mencoba untuk merasa lebih baik dengan minum minuman beralkohol Mencoba untuk merasa lebih baik dengan mengkonsumsi obat/narkoba* (*Coret ygtidak benar)

Mencoba untuk berpikir positif Lebih sering berolahraga Lebih sering berdoa 9. Siapa yang dapat membantu Anda saat Anda mengalami/menyaksikan/ melakukan*dan sadar kalau sikap intimidasi itu merugikan? (*Coret yg tidak benar) Tidak ada yang dapat membantu Rekan sejawat 23

Residen utama (chief resident) Ketua Program Studi Pihak universitas dekan, rektor Bantuan psikolog atau psikiater Hotline telepon yang dapat dihubungi setiap saat Lainnya, sebutkan______________________________

10. Setujukah Anda bahwa sikap intimidasi dapat diterima sebagai bagian dari proses belajar agar Anda menjadi dokter spesialis yang baik di kemudian hari? Sebutkan alasannya Setuju _____________________________________________________________________________ Raguragu,__________________________________________________________________________ Tidak setuju ,________________________________________________________________________ 11. Apakah Anda akan melakukan intimidasi juga di kemudian hari sebagaimana Anda telah menerima sikap intimidasi dari pihak lain? Ya Tidak 12. Bila sikap intimidasi terus berlanjut dalam program pendidikan dokter spesialis, apa sikap Anda? Mendukung, karena intimidasi itu perlu sekali dalam proses belajar Tidak peduli, ada atau tidak ada sama saja bagi Anda Tidak mendukung, intimidasi harus dihentikan dan Anda akan berjuang untuk itu Tidak mendukung dan Anda berpikir untuk mencari spesialisasi lain yang tidak ada sikap intimidasi

13. Menurut Anda, perlukah ada kebijakan tentang pencegahan dan penanganan sikap intimidasi dalam proses pendidikan dokter spesialis? Sebutkan alasannya! Perlu, karena________________________________________________________________________ ___________________________________________________________________________________ Tidak perlu, karena ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________________________ 14. Menurut Anda, siapakah yang perlu membuat kebijakan tersebut? Chief resident Ketua Program Studi 24

Ketua Departemen Dekan Rektor Menteri Kesehatan Pihak lainnya, sebutkan____________________________________ 15. Menurut Anda, perlukah pelaku intimidasi itu diberi hukuman/ hadiah* atas sikapnya? Sebutkan alasannya dan berupa apa hukuman/hadiah* tersebut?(*Coret yg tidak benar)

Perlu, karena________________________________________________________________________ Hukuman/hadiah* berupa_____________________________________________________________ Tidak perlu, karena ___________________________________________________________________ Hukuman/hadiah* berupa _____________________________________________________________

KOMENTAR TAMBAHAN Gunakan spasi kosong di bawah ini untuk komentar tambahan. Anda dapat menambahkan komentar di halaman lain bilamana perlu. _____________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________________ Mohon kembalikan kuesioner ini kepada__________________ paling lambat tanggal ______________ Atau Anda dapat mengirimkannya via e-mail ke: [email protected]

TERIMAKASIH ATAS WAKTU DAN KESEDIAAN ANDA MENGISI KUESIONER INI

25