Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

26
1 HAK ASASI MANUSIA: INTERVENSI KEMANUSIAAN OLEH DEWAN KEAMANAN PBB MELALUI UNPROFOR (UNITED NATIONS PROTECTION FORCECROATIA/BOSNIA/MACEDONIA) Tugas Kelompok 3 Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Politik Internasional Oleh: Rendi Persada 0901113494 Indah Chartika Sari 0901113588 Agustia Putra 0901120048 Andrea Prasetia 0901120054 Wulan Dwi Oktari 0901120083 Dea Riany Pratiwi 0901120087 Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau 2012

description

Tulisan ini memaparkan tentang intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB di negara-negara pecahan Yugoslavia melalui UNITED NATIONS PROTECTION FORCE–CROATIA/BOSNIA/MACEDONIA (UNPROFOR).

Transcript of Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

Page 1: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

1

HAK ASASI MANUSIA: INTERVENSI KEMANUSIAAN OLEH DEWAN

KEAMANAN PBB MELALUI UNPROFOR (UNITED NATIONS

PROTECTION FORCE–CROATIA/BOSNIA/MACEDONIA)

Tugas Kelompok 3

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Politik Internasional

Oleh:

Rendi Persada 0901113494

Indah Chartika Sari 0901113588

Agustia Putra 0901120048

Andrea Prasetia 0901120054

Wulan Dwi Oktari 0901120083

Dea Riany Pratiwi 0901120087

Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Riau

2012

Page 2: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia pada saat ini merupakan senyawa yang

berjalan di kancah Perang Dunia II. Hak Asasi Manusia dibicarakan dalam persoalan

Internasional di forum PBB. Diskusi mengenai Hak Asasi Manusia dalam forum

internasional telah menghasilkan beberapa piagam penting, seperti; Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (1948), serta dua perjanjian yaitu; Konvenan Internasional Hak Sipil dan

Politik (1966) dan Deklarasi Wina (1993). Masalah mengenai Hak Asasi Manusia serta

perlindungan terhadapnya merupakan bagian yang sangat penting. Masalah Hak Asasi

Manusia menjadi sesuatu yang dikedepankan dan menjadi isu internasional yang dibicarakan

di seluruh pelosok dunia. Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar bagi manusia dan

diakui secara universal. Butuh waktu yang lama sejak penuangan ide hingga deklarasi secara

universal terhadap pengakuan Hak Asasi Manusia. Namun hal ini telah banyak

diselewengkan, seperti melakukan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang jelas-

jelas telah melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Intervensi kemanusiaan atau humanitarian intervention merupakan bentuk

ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap suatu negara oleh negara lain atau kelompok

negara dengan tujuan untuk mencegah atau mengakhiri perluasan dan situasi kekerasan

terhadap Hak Asasi Manusia warga negara negara tersebut, tanpa izin dari negara yang

bersangkutan. Menurut J. L. Holzgrefe dalam tulisannya yang berjudul The Humanitarian

Intervention Debate bahwa ada dua bentuk intervensi kemanusiaan yaitu; non-forcible

intervention dan forcible intervention. Non-forcible intervention adalah bentuk intervensi

Page 3: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

3

dapat berupa ancaman ekonomi, diplomatik atau sanksi-sanksi lainnya. Sedangkan forcible

intervention dapat dimaksudkan untuk melindungi atau menyelamatkan suatu negara melalui

kekuatan bersenjata. Perbedaan bentuk intervensi keduanya bukan berdasarkan legalitas atau

moralitas, tapi karena muncul pertanyaan apakah negara-negara dapat menggunakan

kekuatan bersenjata untuk melindungi Hak Asasi individu di negara lain daripada melindungi

Hak Asasi individu di negaranya sendiri yang dinilai lebih mendesak dan kontroversial.

Negara-negara Balkan merupakan kawasan yang rawan konflik yang disertai

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia berskala besar

pernah terjadi di negara-negara pecahan Yugoslavia yaitu, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina.

Meskipun keterlibatan militer PBB pada tahun 1992 dan militer NATO pada 1993, tindakan

koersif tahun 1995 terjadi selama empat tahun setelah dimulainya konflik yang berdampak

pada perluasan penderitaan dan kematian. Semua pihak di Bosnia memandang bahwa operasi

kemanusiaan secara langsung membantu lawan mereka melalui mobilisasi milisi-milisi lokal,

membedakan antara penduduk sipil pria dan pejuang yang seringkali salah penafsiran. Bagi

pemerintah Bosnia, operasi kemanusiaan bagi komunitas internasional bertujuan untuk

menghindari tanggung jawab untuk menghantikan agresi. Anggapan tersebut muncul karena

pemerintah secara tegas menyamakan dengan The Bosnia Serb Army sebagai ‘pihak yang

berkonflik’ ketika Dewan Keamanan mengidentifikasi lanjutan sebagai agresor.

1.2 Rumusan Masalah

Hak Asasi Manusia merupakan hak fundamental atau hak dasar yang diperoleh

sejak manusia lahir. Setelah Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, maka

sejak saat itu Hak Asasi Manusia diakui secara universal. Bagaimana jika terjadi pelanggaran

Page 4: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

4

terhadap Hak Asasi Manusia? Dalam hukum internasional mulai dari perjanjian, traktat,

piagam dan sebagainya telah diatur mengenai Hak Asasi Manusia beserta sanksi atau

hukuman ketika terbukti terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Isu mengenai Hak

Asasi Manusia merupakan salah satu isu yang sangat senstif dalam hubungan internasonal.

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diajukan oleh

penulis adalah sebagai berikut;

“Bagaimana Bentuk Intervensi Kemanusiaan Yang Dilakukan Oleh Dewan Keamanan

PBB Melalui UNPROFOR di Kroasia, Bosnia dan Herzegovina?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari dilakukannya penulisan ini diantaranya;

Menganalisa bentuk intervensi kemanusiaan Dewan Keamanan PBB di negara-negara

pecahan Yugoslavia.

Mengetahui sejauh mana keefektifan intervensi kemanusiaan.

Menganalisa dampak dari intervensi kemanusiaan tersebut.

Manfaat dari tulisan ini diantaranya;

Untuk memberikan tambahan pengetahuan lebih baik terhadap konsep dan

pemahaman mengenai intervensi kemanusiaan.

Untuk memberikan tambahan pengetahuan melalui analisa dari bentuk intervensi

kemanusiaan yang dilakukan oleh DK PBB.

Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian yang akan datang.

Page 5: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

5

BAB II ISI

Konsep Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang berasal dari harkat dan martabat

yang melekat pada diri manusia. Dengan kata lain, hak ini sangat mendasar atau fundamental

sifatnya yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, martabat

dan cita-citanya. Hak ini juga dianggap universal dalam konteks pemahaman bahwa Hak Asasi

Manusia dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa perbedaan berdasarkan ras, bangsa, agama

atau jender. Perkembangan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi tiga generasi. Generasi Pertama

adalah mengenai hak sipil dan politik yang telah dikenal dan diasosiasikan dengan pemikiran di

negara-negara Barat. Generasi Kedua adalah mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya yang

diperjuangkan oleh negara-negara komunis pada era Perang Dingin (1947-awal 1970-an).

Generasi ketiga adalah mengenai hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan yang

diperjuangkan oleh negara-negara ketiga.

Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia berawal pada abad ke-17 di kawasan

Eropa Barat bersamaan dengan munculnya konsep Hukum Alam serta hak-hak alam. Tetapi jauh

sebelum abad ke-17 isu-isu mengenai Hak Asasi Manusia telah muncul di Inggris. Tepatnya

pada tahun 1215 dengan ditandatanganinya Magna Charta antara Raja John dari Inggris dan

sejumlah bangsawan. Magna Charta berisi tuntutan agar Raja John mengakui hak-hak para

bangsawan sebagai bentuk imbalan bagi dukungan finansial dari kelompok bangsawan untuk

membiayai kegiatan penyelenggaraan negara dan juga biaya peperangan. Meskipun pada

awalnya piagam tersebut hanya ditujukan bagi kelompok bangsawan, namun dalam

perkembangan selanjutnya hak-hak tersebut menjadi bagian dari konstitusi Inggris dan berlaku

Page 6: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

6

bagi seluruh masyarakat Inggris. Oleh karena itu, hingga saat ini Piagam Magna Charta

dianggap sebagai tonggak berdirinya demokrasi di negara-negara Barat.

Generasi Pertama perkembangan Hak Asasi Manusia terjadi pada abad

pencerahan (Enlightenment) dengan muncul para filsuf-filsuf yang menganut aliran liberalisme

klasik seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755)

dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang mulai mempertanyakan konsep Divine Right of

Kings atau Hak Suci Raja karena banyaknya raja yang bertindak sewenang-wenang. Yang dicita-

citakan adalah hubungan antara raja dengan rakyat didasari oleh suatu kontrak sesuai dengan

kondisi perdagangan yang ada di Eropa Barat pada ketika itu. Kemudian muncul Teori Kontrak

Sosial yang dikemukakan oleh J. J. Rousseau yaitu; ”Sekalipun berbeda penafsiran, semuanya

membayangkan masa lalu dimana manusia hidup dalam ‟keadaan alam‟ atau state of nature.

Dalam keadaan ini semuan manusia sama martabatnya, tunduk kepada Hukum Alam dan

memiliki hak-hak alam. Akan tetapi, pada suatu saat manusia mengambangkan akal sehatnya

dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk terjaminnya pelaksanaan hak-hak tersebut ‟keadaan

alam‟ perlu ditinggalkan dan diganti dengan kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontrak

sosial antara penguasa dan masyarakat”.1

Beberapa filsuf penganut liberalisme klasik mulai mengemukakan dan

merumuskan hak-hak alam tersebut. Seperti John Locke dengan konsep life, liberty, property

and government by consent, Montesquieu dengan trias politica, J.J. Rousseau dengan du

contract social. Pemikiran para filsuf-filsuf tersebut dijadikan sebagai landasan bagi beberapa

revolusi di negara-negara Barat seperti; perlawanan rakyat Amerika Serikat ketika memberontak

kepada pengusa Inggris tahun 1775-1781 dan menjadi inspirasi rakyat Perancis ketika

melakukan revolusi melawan Raja Bourbon, Louis XVI. Hak Asasi pada masa itu masih terbatas

1 Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.214.

Page 7: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

7

pada hak untuk berpolitik yang dicantumkan pada beberapa piagam. Inggris memasukkan hak

tersebut dalam Bill of Rights tahun 1689 yang diterima setahun pasca diusirnya Raja James II

dan mengundang putrinya Mary beserta suaminya William of Orange untuk menduduki takhta

Kerajaan Inggris atau The Glorious Revolution of 1688. Sedangkan di Perancis hak-hak tersebut

dikelnal dengan Declaration des Droits de l‟Homme et du Citoyen tahun 1789 yang dirumuskan

pada awal Revolusi Perancis yang mencanangkan liberte, egalite dan fraternite. Pada tahun 1789

Kongres Amerika Serikat juga mengesahkan Undang-Undang Dasar dalam bentuk sepuluh

amandemen.

Generasi kedua terjadi pada 1929-1934 dimana pada masa tersebut terjadi

perubahan dalam pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia karena The Great Depression yang

melanda di sebagian besar dunia. Secara tiba-tiba terjadi kemiskinan dan pengangguran secara

besar-besaran yang dimulai dari Amerika Serikat lalu menyebar keseluruh dunia. Sedangkan di

Jerman depresi juga berdampak pada kemunculan Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler.

Pada masa sulit tersebut, Preseiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada tahun 1941

merumuskan The Four Freedoms yang meliputi; freedom of speech, freedom of religion, freedom

from fear and freedom from want. Walter Laquereur dan Barry Rubin dalam tulisannya yang

berjudul The Human Rights Reader mengutip penjelasan Presiden Roosevelt mengenai

paradigma baru tersebut. “We have come to a clear realization of the fact that true individual

freedom cannot exist without economic security ad independence”.2

Kami sepenuhnya

menyadari fakta bahwa tidak mungkin ada kebebasan bagi manusia tanpa keamanan serta

kemandirian ekonomis.

2 Walter Laquereur dan Barry Rubin, eds. 1979. The Human Rigths Reader. New York: New American Library,

hlm.269.

Page 8: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

8

Sementara itu di kawasan Eropa Timur terjadi perubahan yang berdampak pada seluruh

kawasan Eropa dan Amerika. Pada tahun 1917 di Rusia terjadi revolusi menentang Tsar Nicholas

yang dipimpin oleh Vladimir Ulyanov yang lebih dikenal dengan Lenin yang mendirikan negara

baru berdasarkan ideologi Marxisme-Leninisme atau komunisme. Penderitaan besar terutama

bagi kelompok borjuis berlanjut hingga kepemimpinan Josef Dschugaschvili atau Stalin (1879-

1953). Di Uni Soviet hak ekonomi dianggap lebih substantif daripada hak politik yang bersifat

prosedural saja. Hak politik dianggap dapat mengganggu usaha konsolidasi komunisme sebagai

ideologi tunggal. Meskipun demikian tidak berarti bahwa hak politik secara resmi tidak diakui.

Jika suatu hak dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunisme, maka hak tersebut tidak

memperoleh perlindungan. Sehingga pada saat itu Uni Soviet merupakan negara yang melanggar

Hak Asasi Manusia paling besar.

Generasi ketiga dari perkembangan Hak Asasi Manusia terjadi pasca Perang

Dunia II muncul keinginan untuk merumuskan Hak Asasi Manusia yang diakui secara universal

sebagai standar bagi perilaku manusia. Pada tahun 1946 PBB mendirikan Commission on Human

Rights yang melakukan sidang terkait dengan Hak Asasi Manusia. Hasilnya pada tahun 1948

Universal Declaration of Human Rights diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan

negara seperti; Uni Soviet, Arab Saudi dan Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau

abstain. Deklarasi ini ditujukan sebagai pedoman yang dicita-citakan seluruh umat manusia.

Oleh karena itu berbagai hak dan kebebasan dirumuskan secara luas seolah-olah tanpa batas.

Meskipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, tapi deklarasi tersbut berpengaruh terhadap

moral, politik dan edukatif sebagai lambang komitmen moral dunia internasional terhadap

perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjadi acuan konstitusi negara-negara di dunia.

Page 9: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

9

Tahap kedua dalam penyusunan Hak Asasi Manusia adalah pembentukan perjanjian atau

covenant. Ada dua perjanjian yang dirumuskan oleh Commission on Human Rights, yaitu;

pertama mengenai hak sipil dan politik dan kedua mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyusun perjanjian tersebut yaitu mulai tahun 1948-

1966 untuk mencapai konsensus dalam Sidang Umum PBB mengenai Internasional Covenant

On Economic, Social and Cultural Rights, International Covenant On Civil and Political Rights,

Optional Protocol of the International Covenant on Civil and Political Rights. Selain itu

diperlukan waktu mulai dari 1966-1976 sebelum dua perjanjian beserta optional protocol

dinyatakan berlaku setelah diratifikasi oleh 35 negara. Dua perjanjian dan optional protocol

disebut juga International Bill of Human Rights.

Pada Mei 2003 tercatat 49 negara yang meratifikasi optional protocol, sedangkan

perjanjian mengenai hak ekonomi dan hak politik telah diratifikasi oleh 146 negara dan 149

negara. Meskipun terdapat perbedaan antara Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan Kovenan

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya namun kedua kovenan tersebut tetap menekankan pentingnya

semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh sebab itu, kedua kovenan tersebut sama-

sama dimulai dengan pasal yang sama yaitu; “All peoples have the right of self-determination.

By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their

economic, social and cultural development”. Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib

mereka sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan

bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Selain Universal Declaration of Human Rights yang mengatur tentang Hak Asasi

Manusia yang seolah-olah tanpa batas, ternyata pada pasal terakhir yakni No. 29 tertulis

mengenai pembatasan dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan hukum disertai

Page 10: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

10

dengan kewajiban dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu pada tahun 1997 Interaction Council

mencanangkan naskah Universal Declaration of Human Responsibilities sebagai pelengkap bagi

Universal Declaration of Human Rights. Naskah ini dirumuskan oleh para pemikir dan mantan

negarawan seperti; Helmut Schmidt dari Jerman, Malcom Faster dari Australia, Jimmy Carter

dari Amerika Serikat, Lee Kuan Yew dari Singapura, Kichi Mijazawa dari Jepang, Kenneth

Kaunda dari Zambia dan Hassan Hanafi dari Universtas Kairo.3

Menurut Helmut Schmidt di Barat terdapat tradisi yang menjunjung tinggi

konsep-konsep kebebasan dan individualisme, sedangkan di Timur konsep mengenai tanggung

jawab dan komunitas lebih dominan. Konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai

penyeimbang antara konsep kebebasan dimana hak lebih terkait dengan kebebasan, sedangkan

kewajiban terkait dengan tanggung jawab antara satu sama lain. Dalam setiap masyarakat tidak

ada kebebasan yang tanpa pembatasan. Tanpa keseimbangan yang wajar, kebebasan tanpa batas

sama bahayanya dengan tanggung jawab yang dipaksakan. Universal Declaration of Human

Responsibilities diumumkan pada 1 September 1997 dengan tujuan untuk mencari keseimbangan

antara hak dan kewajiban, mendamaikan ideologi, kepercayaan serta pandangan politik yang

dinilai antagonistik atau saling berlawanan. Naskah Universal Declarations of Human

Responsibilities hanya mencakup 19 pasal.

Konsep Humanitarian Intervention

Kata ‘intervensi kemanusiaan’ selalu mejadi kritik karena identik dengan aktivitas

militer. Ada alasan yang dikemukakan sebagai alternatif terminologi ‘intervensi kemanusiaan’

menurut Christina Gabriela Badescu dalam tulisannya yang berjudul Humanitarian Intervention

3 Budiardjo, Miriam, Op,Cit., hlm.227-228.

Page 11: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

11

and Responsibility to Protect: Security and Human Rights. “A reason why alternative

terminologies are used, such as military intervention for humanitarian purposes, military force

to support humanitarian objectives, military coercion to protect civilians, etc.”. Ada beberapa

pemahaman mengenai inetrvensi kemanusiaan seperti; intervensi militer yang bertujuan untuk

kemanusiaan, kekuatan militer untuk mendukung kemanusiaan, kekuatan militer untuk

melindungi warga sipil dan sebagainya.

Kasus genosida dan kekerasan masal telah menjadi perdebatan yang tidak ada

habis-habisnya dalam teori dan aplikasi intervensi kemanusiaan untuk menyelamatkan

kehidupan yang tidak bersalah. Sejak PBB membuktikan dirinya sanggup untuk bertindak dan

memiliki cara yang tepat untuk menghentikan tragedi kemanusiaan di Rwanda, Burundi, Bosnia,

Kosovo dan sebagainya, negara-negara mulai mendukung pelaksanaan intervensi dengan tujuan

menghentikan kekerasan masal terhadap Hak Asasi Manusia. Meskipun demikian yang menjadi

fokus utama adalah bagaimana regulasi PBB terhadap penggunaan kekuatan pasca Perang

Dingin khususnya tuntutan yang dialamatkan pada krisis kemanusiaan. Aktor-aktor internasional

sepakat bahwa pembunuhan terhadap warga sipil untuk membentuk formasi suatu negara tidak

lagi dapat diterima, belum lagi masalah mengenai penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan

suatu negara dan merupakan prinsip yang tetap dijunjung tinggi dalam komunitas internasional.

Perubahan dalam sistem internasional telah berdampak pada aplikasi intervensi

kemanusiaan terhadap sejarah dunia secara keseluruhan dengan pola-pola perbedaan

karekteristik intervensi yang terjadi pada abad ke-19, pasca Piagam PBB dan pasca Perang

Dingin. Hingga saat ini topik mengenai intervensi kemanusiaan telah menjadi tema utama dalam

diskusi dikalangan akademisi. Konsep intervensi militer yang bertujuan untuk kemanusiaan telah

mulai terpecah-belah khususnya pasca tragedi 9/11 hingga invasi ke Irak pada tahun 2003. Para

Page 12: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

12

pengacara, akademisi hubungan internasional, kalangan filsuf dan para pembuat kebijakan

sepertinya mengalami dilema dalam mengalamatkan tujuan intervensi kemanusiaan melalui

kerangka moralitas, hukum atau politik.

Berdasarkan laporan ICISS kondisi dan situasi seperti apa yang bisa mengundang

intervensi kemanusiaan yaitu, “A. large scale loss of life, actual or apprehended, with genocidal

intent or not, which is the product of either deliberate state action, or state neglect or inability to

act, or a failed state situation; or B. large scale „ethnic cleansing‟, actual or apprehended,

whether carried out by killing, forced expulsion, acts of terror or rape”.4 Terdapat dua kondisi

dan situasi yang dapat mengundang inetrvensi kemanusiaan yaitu; pertama, terjadinya kematian

dalam skala besar disertai dengan tindakan genosida yang intens atau baik yang melalui tindakan

sengaja suatu negara atau kelalaian atau ketidak mampuan suatu negara untuk bertindak atau

negara berada dalam situasi gagal (failed state). Kedua, terjadi pembersihan etnis dalam skala

besar dalam bentuk pembunuhan, pengusiran dengan kekerasan, tindakan-tindakan yang

bermotif terror atau perkosaan.

Norrie MacQueen dalam tulisannya yang berjudul Peacekeeping and

Peacebuilding memberikan tiga karakteristik dalam tindakan intervensi militer yang bertujuan

untuk kemanusiaan,5 yaitu; pertama, intervensi hanya dapat dilakukan dengan izin penuh dari

pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Kedua, pihak yang melakukan intervensi pada dasarnya

harus berada pada posisi netral terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketiga, penggunaan

kekuatan hanya ditujukan untuk mempertahankan diri dan jika berada dalam keadaan terdesak.

4 Badescu, Christina Gabriela. 2011. Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect: Security and Human

Rights. New York: Routledge, hlm.18. 5 MacQueen, Norrie. 2008. Peacekeeping and Peacebuilding lihat dalam Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, eds,

Issues In International Relations 2nd

Edition. New York: Routledge, hlm.183-184.

Page 13: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

13

Definisi intervensi kemanusiaan pada umumnya adalah penggunaan kekuatan

militer oleh suatu negara, kelompok negara atau organisasi internasional yang ditujukan pada

penderitaan yang menyebar luas atau kematian yang terjadi pada warga sipil di negara lain yang

berdampak pada kekerasan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Meskipun demikian,

beberapa para akademisi yang berorientasi pada pemahaman lain seperti Abbot dan Snidal yang

mengakui bahwa dilema politik juga menjadi perhatian dan memberikan hubungan mendalam

antara hukum dan politik khususnya sejak sebagian besar pertanyaan-pertanyaan dihubungkan

dengan motif intervensi.6

Chris Brown dalam tulisannya yang berjudul Universal Human Rights: A Critique

berpendapat bahwa, “The status of international law is a topic in jurisprudence that the wise

avoid if they can”.7 Status hukum internasional merupakan topik dalam yurisprudensi yang

dihindari jika mereka bisa. Hukum internasional tidak dapat dipertimbangkan tanpa mengakui

kompleksitas khususnya pernyataan yang berlawanan antara kedaulatan suatu negara dan

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Senada dengan Chris Brown, Fernado Teson dalam

tulisannya yang berjudul The Liberal Case for Humanitarian Intervention juga menyatakan

bahwa dilema mendasar dalam intervensi kemanusiaan adalah ketika kita mengintervensi untuk

mengakhiri pembunuhan secara besar-besaran di suatu negara maka kita juga dapat dikenakan

sanksi karena melanggar larangan perang dan penghormatan terhadap kedaulatan negara tersebut,

atau ketika kita tidak melakukan intervensi ke negara tersebut maka sama artinya bahwa kita

mentolerir kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia.

6 Ibid, hlm.22.

7 Brown, Chris. Universal Human Rights: A Critique, lihat dalam T. Dunne and N. Wheeler. 1999. Human Rights in

Global Politics. Cambridge: Cambridge University Press, hlm.115.

Page 14: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

14

Kedaulatan merupakan poin utama yang harus dipertimbangkan ketika melakukan

intervensi atas permasalahan suatu negara. Vincent dalam tulisannya yang berjudul

Nonintervention and International Order berpendapat bahwa,”If a state has a right to

sovereignty, this implies that other states have a duty to respect that right by, among other things,

refraining from intervention in its domestic affairs… The function of the principle of

nonintervention in international relations might be said, then, to be one of protecting the

principle of state sovereignty”. 8 Jika suatu negara memiliki hak kedaulatan, maka negara lain

memiliki kewajiban untuk menghormati hak tersebut dengan menahan diri untuk tidak ikut

campur dalam permasalah domestik.

Adapun fungsi prinsip non-intervensi dalam hubungan internasional adalah untuk

melindungi prinsip kedaulatan suatu negara. Jika kedaulatan adalah sebuah hak, maka kedaulatan

tersebut terbatas sifatnya. Kedaulatan menjadi terbatas karena adanya kewajiban atas suatu hak

dan tanpa kewajiban maka tidak ada hak. Alasan sebenarnya kenapa prinsip non-intervensi

ditujukan untuk melindungi prinsip kedaulatan seperti yang dikemukakan Vincent adalah prinsip

non-intervensi dibebankan sebagai kewajiban yang juga bertentangan dengan kedaulatan suatu

negara. Analoginya adalah untuk melindungi diri sendiri harus bertentangan dengan orang lain

dan untuk melindungi orang lain harus bertentagan dengan diri sendiri.

Ketika penyebab, situasi dan kondisi seperti apa yang memungkinkan terjadinya

intervensi kemanusiaan, maka pertanyaan yang muncul adalah siapa yang memiliki wewenang

atau otoritas untuk melakukan intervensi kemanusiaan?. Pertanyaan mengenai siapa yang

berwenang untuk menggunakan kekuatan telah menjadi pusat perdebatan dalam intervensi

militer yang bertujuan untuk kemanusiaan. Responsbility to Protect melaporkan bahwa tidak

8 Vincent, R. J, Nonintervention and International Order, lihat dalam Jennifer M. Welsh, ed, Humanitarian

Intervention and International Relations, (London: Oxford University Press, 2004), hlm.25.

Page 15: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

15

dapat diragukan lagi bahwa DK PBB merupakan pihak yang paling tepat dalam isu-isu intervensi

militer yang bertujuan untuk kemanusiaan. Fakta yang dikemukakan oleh ICISS adalah

memastikan tidak ada lagi peristiwa seperti di Kosovo dan Rwanda sebagai hasil dari kegagalan

DK PBB. Seperti yang dikatakan oleh Dewan Keamanan,”The Security Council has the „primary‟

but not the sole or exclusive responsibility under the Charter for peace and security matters”.9

Dewan Keamanan memiliki keutamaan dalam intervensi tapi bukan satu-satunya atau secara

eksklusif bertanggung jawab dibawah Piagam PBB untuk masalah-masalah perdamaian dan

keamanan.

Christina Gabriela Badescu dalam tulisannya yang berjudul Humanitarian

Intervention and Responsibility to Protect: Security and Human Rights menjabarkan siapa saja

yang memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi.10

Pertama, PBB berdasarkan Chapter VII

Piagam PBB dan paragraf 139 Summit Outcome Document 2005 memperkuat posisi PBB

sebagai pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi. Kedua, meskipun bukan

termasuk organisasi regional tapi NATO merupakan organisasi pertahanan kolektif yang

dibentuk untuk mengintervensi secara langsung semua negara anggotanya dan juga memiliki

kapasitas militer tersendiri. Pada April 1999 terjadi perubahan dalam NATO Strategic Concept

yang dengan jelas memposisikan dirinya dalam partisipasi operasi perdamaian dunia yang bukan

hanya ditujukan pada pertahanan negara aliansi NATO saja, tapi juga keamanan di kawasan

NATO serta negara pheri-peri. Ketiga, Uni Eropa pada saat ini memiliki wewenang untuk

berkontribusi dalam pengiriman pasukan untuk misi kemanusiaan dan misi penyelamatan serta

misi-misi pertempuran dalam situasi krisis termasuk kegiatan peacekeeping.

9 Badescu, Christina Gabriela, Op, Cit., hlm.49.

10 Ibid, hlm.80-95.

Page 16: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

16

Keempat, Uni Afrika merupakan organisasi regional pertama yang secara formal

meratifikasi hak-hak normatif untuk mengintervensi hubungan internal negara-negara

anggotanya ketika ‘grave circumstance atau situasi genting’. Kelima, The Economic Community

of West African States (ECOWAS) merupakan organisasi yang bertanggung jawab untuk

menciptakan mekanisme keamanan kolektif dan perdamaian berdasarkan Protocol Relating to

the Mechanism for Conflict Prevention, Management, Resolution, Peacekeeping and Security

yang memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi militer yang ditujukan bagi konflik

internal dan inter-state. Keenam, Coalitions of Willing yang didefinisikan sebagai kelompok

negara yang bersama-sama bergabung dalam suatu misi yang ditujukan khususnya pada situasi

krisis.

ICISS merekomendasikan beberapa langkah khusus sebelum melakukan

intervensi.11

Pertama, Dewan mempersiapkan dua alternatif hanya ketika ada permasalahan

Dewan Keamanan yang belum terjawab. Hal ini dapat terjadi ketika Dewan Keamanan menolak

proposal untuk mengintervensi dimana khususnya kasus kemanusiaan dipertaruhkan atau ketika

Dewan gagal untuk mencapai kesepakatan terhadap proposal karena alasan waktu. Kedua,

anggota tetap Dewan Keamanan dapat berhenti menggunakan hak veto mereka ketika

kepentingan yang bersifat vital tidak menjadi taruhannya dan ketika resolusi melalui intervensi

militer mendapat dukungan mayoritas. Penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan

Keamanan pada prinsipnya dapat menghambat keefektifan intervensi ketika dibutuhkan tindakan

yang cepat. Ketiga, Jika Dewan Keamanan gagal untuk melakukan intervensi secara kolektif

maka akan terjadi tekanan terhadap tindakan Dewan Keamanan khususnya berasal dari koalisi

individu dalam negara akan meningkat.

11

Ibid, hlm. 50.

Page 17: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

17

Pertanyaan selanjutnya adalah apa landasan atau norma hukum yang menjadi

dasar intervensi kemanusiaan? Dewan Keamanan PBB mengidentifikasi intervensi kemanusiaan

akan dilaksanakan ketika krisis kemanusiaan telah menjadi ancaman bagi perdamaian dan

keamanan internasional. Dasar hukumnya yaitu Piagam PBB Chapter VII dan juga Resolusi No.

688 pada 5 April 1991 mengenai krisis pengungsi yang terjadi di Irak. Resolusi No. 688 menjadi

latar belakang perkembangan namun tidak secara signifikan menjadi dasar intervensi

kemanusiaan karena adanya keterbatasan yang disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Dewan

Keamanan PBB tidak meminta dukungan melalui ancaman tindakan kekerasan. Resolusi No.

688 menetapkan bahwa krisis tersebut menjadi ancaman teradap perdamaian dan keamanan

internasional namun tidak diadopsi dibawah Chapter VII. Kedua, Resolusi No. 688 tidak

menjamin akan membela seutuhnya masalah kemanusiaan. Hal ini terbukti ketika dua hari

sebelumnya Perancis mencoba menjamin perlindungan suku Kurdi melalui resolusi namun gagal.

Selain itu ada juga beberapa resolusi DK PBB yang dapat dijadikan landasan intervensi

kemanusiaan seperti; Resolusi No. 794 pada 3 Desember 1992 mengenai tragedi kemanusiaan

yang terjadi akibat konflik di Somalia.

Dewan Keamanan memiliki kapasitas legal untuk menyelesaikan krisis

kemanusiaan berdasarkan Chapter VI dan Chapter VII Piagam PBB. Terdapat perbedaan isi

Piagam PBB terkait dengan tindakan intervensi dan kewenangan DK PBB. Di satu sisi Piagam

PBB menetapkan tanggung jawab untuk menegakkan perdamaian dan keamanan serta Dewan

Keamanan memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan (Pasal 24). Sedangkan pada

Pasal 51 berisi tentang izin bagi organisasi regional untuk menggunakan kekuatan dengan tujuan

pertahanan tanpa kewenangan PBB terlebih dahulu melalui jaminan hak-hak negara untuk

bertindak mempertahankan diri atau pertahanan secara kolektif.

Page 18: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

18

UNPROFOR (United Nations Protection Force–Croatia/Bosnia/Macedonia)

Pecahnya negara bekas Yugoslavia telah diumumkan secara luas. Kroasia dan

Slovenia memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatan dari The Socialist Federal Republic of

Yugoslavia (SFRY) pada 25 Juni 1991. Dua hari kemudian The Federal Yugoslav Army (JNA)

pindah ke Slovenia dan bagian Kroasia. Perang di Slovenia berakhir setelah sepuluh hari dimana

JNA menarik kembali pasukanya, namun konflik di Kroasia masih intens. Genjatan senjata telah

disepakati antara tentara Kroasia dan JNA pada 2 Januari 1992 dengan meninggalkan kontrol

atas tiga wilayah yang memiliki populasi etnis Serbia terbesar kepada Kroasia-Serbia dimana

satu wilayah berbatasan dengan Serbia dan dua wilayah berbatasan dengan Bosnia. Wilayah

inilah yang kemudian dideklaraskan oleh PBB sebagai protected areas. European Community

mengakui Kroasia dan Slovenia sebagai negara yang merdeka pada 15 January 1992 dan

kemudian memanggil pemerintah Bosnia untuk melaksanakan referendum kemerdekaan.

Referendum tersebut diselenggarakan pada akhir Februari 1992, berlawanan

dengan latar belakang munculnya kekerasan dari pihak lawan untuk merdeka dimana sebagian

besar etnis Serbia melakukan boikot terhadap suara pemilihan. Hasil referendum adalah 93%

memilih untuk memerdekakan diri. Pada 6 April 1992 European Community mengakui Bosnia

bertepatan dengan terjadinya kekerasan yang intens dan meluas hingga ke Sarajevo. Akhir April

banyak penduduk non Serbia telah digerakkan dari wilayah yang luas di sebelah timur Bosnia

oleh penduduk lokal Serbia dengan dukungan dari paramiliter Serbia dan JNA. Pembersihan

etnis dan konflik diperpanjang hingga keseluruh Bosnia serta serangan yang berlarut-larut ke

Sarajevo oleh JNA dan The Bosnia Serb Army (BSA). Pada musim semi tahun 1993 terjadi

pertempuran serius di pusat dan wilayah barat Bosnia antara Bosnia-Kroasia yang didukung oleh

Page 19: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

19

militer Kroasia. Pertempuran ini diakhiri secara resmi melalui kesepakatan antara Bosnia dan

Federasi Kroasia yang ditandatangani pada 18 Maret 1994.

Terjadi beberapa perubahan utama terhadap garis konfrontasi antara Bosnia atau

Kroasia hingga awal Mei 1995, ketika tentara Kroasia memaksa keluar tentara lokal Serbia dari

wilayah barat Slavonia. Daerah kantong Srebrenica jatuh ketangan BSA pada 11 Juli, selama itu

ribuan warga Bosnia terutama laki-laki dan anak laki-laki dari daerah tersebut dieksekusi.12

Pada

awal Agustus tentara Kroasia mengambil alih wilayah Kroasia yang masih diduduki oleh Serbia

dengan pengecualian di wilayah timur Slavonia yang berbatasan dengan Serbia. Tentara Kroasia

dan Bosnia membuat peningkatan perlawanan yang signifikan terhadap BSA. Perang di Bosnia

secara resmi diakhiri pada pertengahan Oktober 1995 melalui kesepakatan damai yang

ditandatangani di Dayton pada 21 November.

Usaha-usaha European Community untuk menghentikan pertempuran di Kroasia

telah dimulai sejak Juni 1991 namun tidak berhasil. DK PBB melalui Resolusi No.713 pada 25

September 1991 yang berisi menerapkan embargo secara keseluruhan dalam pengiriman senjata-

senjata dan perlengkapan militer lainnya ke Yugoslavia. DK PBB juga mengundang Sekretaris

Jenderal Perez de Cuellar untuk menawarkan bantuan. Klaim DK PBB adalah untuk

menyebarkan operasi peacekeeping untuk menciptakan kondisi yang dibutuhkan bagi perjuangan

negosiasi politik demi penyelesaian secara damai. Pemerintah Yugoslavia secara resmi meminta

operasi peacekeeping pada 26 November. Lalu pada 27 November DK PBB mengeluarkan

Resolusi No. 721 yang berisi perintah pelaksanaan operasi operasi peacekeeping untuk

menciptakan kondisi stabil dengan ketetapan mengenai kesepakatan perdamaian. Kesepakatan

tersebut tidak dilaksanakan, oleh karena itu pada 15 Februari 1992 Sekretaris Jenderal PBB

12

Laporan Secretary-General to the General Assembly on the fall of Srebrenica (A/54/549, 15 November 1999) juga

disertai kronologis kejadian serangan udara NATO.

Page 20: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

20

Boutros Ghali merekomendasikan pendirian UNPROFOR. Pada 21 Februari DK PBB

mengeluarkan Resolusi No. 743 mengenai susunan sementara untuk menciptakan kondisi damai

dan aman yang diperlukan untuk melakukan negosiasi terkait penyelesaian krisis Yugoslavia.

Pada 7 April DK PBB kembali mengeluarkan Resolusi No. 749 mengenai pendelegasian

wewenang DK PBB melalui penyebaran UNPROFOR secara menyeluruh.

UNPROFOR didirikan bagi Kroasia dan pada awalnya tidak dianggap sebagai

bentuk intervensi kemanusiaan atau operasi bantuan kemanusiaan lainnya yang bermarkas besar

di Sarajevo. Kehadiran UNPROFOR di Sarajevo telah mendukung secara signifikan terhadap

pertempuran berikutnya di Bosnia yang pada akhirnya menjadi inetrvensi kemanusiaan. Sebelum

UNPROFOR disebarkan ke Sarajevo maka belum jelas apakah DK PBB juga akan

mendatangkan operasi peacekeeping pada konflik Bosnia. Pada April 1992 Vukovar diruntuhkan

dan Dubrovnik dibombardir tanpa ada kepastian tanggapan dari dunia internasional bahkan

ketika UNPROFOR berada di Sarajevo, tidak ada tindakan yang efektif untuk menghentikan

pengeboman dan penembakkan di kota.

Berdasarkan Resolusi No. 770 dan 771 pada 13 Agustus 1992 untuk memberikan

bantuan kemanusiaan yang diadopsi dibawah Chapter VII yang mengakui situasi di Bosnia tidak

hanya mengacam perdamaian dan kemanan internasional tapi juga ketetapan bahwa bantuan

kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina merupakan elemen penting bagi usaha-usaha Dewan

Keamanan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut.13

Resolusi No. 770 secara efektif memberikan wewenang intervensi militer untuk mendukung

bantuan kemanusiaan, namun tidak secara spesifik harus sejalan dengan kerangka kerja operasi

peacekeeping PBB. Meskipun demikian, pada 10 September 1992 Sekretaris Jenderal

melaporkan kepada Dewan Keamanan untuk merekomendasikan ekspansi UNPROFOR

13

Morris, Nicholas. Human Intervention in the Balkans, lihat dalam Jennifer M. Welsh, ed, Op, Cit., hlm. 104-105.

Page 21: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

21

berikutnya dengan tugas dan mandat agar mendukung usaha-usaha UNHCR untuk memberikan

bentuan kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina, khususnya untuk memberikan perlindungan

sesuai dengan permintaan UNHCR.

Pada 14 September Dewan Keamanan mengadopsi Resolusi No.776 mengenai

catatan penawaran yang dibuat oleh sejumlah negara dengan mengadopsi Resolusi No.770 untuk

menyediakan personil militer untuk memfasilitasi pemberian bantuan kemanusaan di Bosnia.

Kewenangan tersebut diperbesar melalui mandat dan rekomendasi kekuatan UNPROFOR pada

laporan Sekrataris Jenederal pada tanggal 10 September. Laporan tersebut berisi pernyataan

bahwa pasukan UNPROFOR akan mengikuti aturan-aturan resmi peacekeeping dalam situasi

pertempuran dimana kewenangan penggunaan senjata hanya untuk pertahanan diri dan indikasi-

indikasi bahwa situasi tertutup dengan pihak-pihak bersenjata melalui penggunaan kekuatan

untuk mencegah UNPROFOR melaksanakan mandatnya. Selanjutnya UNPROFOR memiliki

kewenangan koersif, namun tidak diperlukan atau didelegasikan untuk mengintervensi

pencegahan perluasan penderitaan. Adanya ambiguitas dan kesempatan munculnya kesalahan

ekspetasi peran UNPROFOR dengan tujuan Dewan Keamanan akan mempersulit resolusi

berikutnya.

Pada bulan-bulan awal sebagian besar populasi non Serbia di wilayah timur

Bosnia telah diusir dari rumah mereka. UNHCR dan ICRC secara langsung menemukan operasi

pembersihan etnis dan konflik yang sedang berlangsung dimana sebagian besar tekanan terkait

dengan perlunya memindahkan warga sipil secepatnya agar terjamin keselamatannya. Ketika hal

tersebut dapat dilakukan, UNHCR dapat memastikan kebebasan untuk berpindah dan akses ke

rumah sakit. Beberapa pihak mengkritik hal tersebut sebagai bantuan pembersihan etnis

berdasarkan pengakuan dari Jose Maria Mendiluce anggota UNHCR Special Envoy dalam

Page 22: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

22

Newsweek Interview pada 7 Juni 1993 mengenai fakta bahwa UNHCR tidak mau diajak untuk

berpartisipasi dalam pembersihan etnis dengan melakukan evakuasi warga sipil dari wilayah

dimana tentara Serbia membersihkan etnis Muslim Bosnia.14

The Bosnia Serb Army (BSA) memperluas kontrol mereka hingga akses untuk

kelompok minoritas yang menjadi fokus utama serta keamanan akses untuk melintasi garis depan

telah menjadi perhatian utama. Pengecualian bagi Sarajevo dan bebebrapa peristiwa seperti;

pertempuran UNPROFOR‟s Bosnia Commander, Jenderal Morillon di Srebrenica pada April

1993. UNPROFOR pada awalnya tidak diberi mandat untuk mendukung UNHCR dan fokus

pada penyebaran dan percobaan negosasi untuk mengehntikan pertempuran, ketika UNHCR

khawatir untuk terlalu dekat dalam melakukan identifikasi operasi kemanusiaan dengan kekuatan

bersenjata yang dapat dinilai sebagai pihak dalam konflik. Hingga Mei 1993 ketika Thorvald

Stoltenberg ditunjuk sebagai Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal atau Special Representative

of the Secretary-General, tidak ada struktur di kawasan Balkan yang membawa sisi kemanusiaan,

politik dan militer secara bersama-sama dibawah satu kewenangan. Sesuai dengan laporan

UNHCR Special Envoy kepada High Commissioner di Jenewa dan UNPROFOR Commander di

markas besar PBB di New York. Pada 4 Juni 1993 dikeluarkan Resolusi No. 836 yang berisi

mandat UNPROFOR untuk melindungi dan membentuk wilayah aman atau safe areas serta

semua tindakan yang diperlukan termasuk penggunaan kekuatan udara di dan sekitar wilayah

aman di Republik Bosnia dan Herzegovina. Resolusi ini memberikan kesempatan munculnya

ekspetasi yang salah bahwa UNPROFOR dapat dan akan mempertahankan wilayah aman.

Pada akhirnya komunitas internasional mengambil tindakan militer melawan BSA,

penetapan embargo senjata juga dilaksanakan sesuai dengan Resolusi No. 713 tahun 1991 yang

berdampak besar terhadap kekuatan bersenjata Pemerintah Bosnia daripada BSA yang menerima

14

Ibid, hlm.105.

Page 23: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

23

senjata-senjata dari tentara Militer Yugoslavia dan Serbia. Pemerintah Bosnia berpendapat

bahwa embargo tersebut tidak adil dan menilai jika komunitas internasional tidak siap untuk

melakukan intervensi menangkal agresi. Seperti di setiap proposal perdamaian dari Lisbon

Agreement pada bulan Maret 1992 hingga Dayton Agreement secara efektif menjelaskan

mengenai tanggung jawab bagi tindakan pembersihan etnis.

Page 24: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

24

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Perkembangan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi tiga generasi. Generasi

Pertama adalah mengenai hak sipil dan politik yang telah dikenal dan diasosiasikan dengan

pemikiran di negara-negara Barat. Generasi Kedua adalah mengenai hak ekonomi, sosial dan

budaya yang diperjuangkan oleh negara-negara komunis pada era Perang Dingin (1947-

awal1970-an). Generasi ketiga adalah mengenai hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan

yang diperjuangkan oleh negara-negara ketiga. Untuk merumuskan hak asasi yang diakui dunia

sebagai standar universal bagi perilaku manusia, maka langkah pertama adalah membentuk

Komisi hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) yang didirikan PBB tahun 1946.

Pada tahun 1948 diumumkan Universal Declaration of Human Rights dimana deklarasi universal

dimaksudkan sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh

umat manusia, oleh karena itu hak dan kebebasan dirumuskan seolah-olah bebas tanpa batas.

Ada beberapa pemahaman mengenai inetrvensi kemanusiaan seperti; intervensi

militer yang bertujuan untuk kemanusiaan, kekuatan militer untuk mendukung kemanusiaan,

kekuatan militer untuk melindungi warga sipil dan sebagainya. Perubahan dalam sistem

internasional telah berdampak pada aplikasi intervensi kemanusiaan terhadap sejarah dunia

secara keseluruhan dengan pola-pola perbedaan karekteristik intervensi yang terjadi pada abad

ke-19, pasca Piagam PBB dan pasca Perang Dingin. Kedaulatan merupakan poin utama yang

harus dipertimbangkan ketika melakukan intervensi atas permasalahan suatu negara. Jika

kedaulatan adalah sebuah hak, maka kedaulatan tersebut terbatas sifatnya. Kedaulatan menjadi

terbatas karena adanya kewajiban atas suatu hak dan tanpa kewajiban maka tidak ada hak.

Page 25: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

25

UNPROFOR didirikan bagi Kroasia dan pada awalnya tidak diaggap sebagai

bentuk intervensi kemanusiaan atau operasi bantuan kemanusiaan lainnya yang bermarkas besar

di Sarajevo. Kehadiran UNPROFOR di Sarajevo telah mendukung secara signifikan terhadap

pertempuran berikutnya di Bosnia yang pada akhirnya menjadi inetrvensi kemanusiaan.

Berdasarkan Resolusi No. 770 dan 771 pada 13 Agustus 1992 untuk memberikan bantuan

kemanusiaan yang diadopsi dibawah Chapter VII yang mengakui situasi di Bosnia tidak hanya

mengacam perdamaian dan kemanan internasonal tapi juga ketetapan bahwa bantuan

kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina merupakan elemen penting bagi usaha-usaha Dewan

Keamanan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut.

Page 26: Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR

26

Daftar Pustaka

Arinanto, Satyo. 2003. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia Jakarta:

Universitas Indonesia.

Badescu, Christina Gabriela. 2011. Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect:

Security and Human Rights. New York: Routledge.

Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization: Theories and Institutions. New York:

PALGRAVE MACMILLAN.

Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Etzioni, Amitai. 2007. Security First: For A Muscular, Moral, Foreign Policy. London: Yale

University Press.

J. L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal and

Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press.

T. Dunne dan N. Wheeler.1999. Human Rights in Global Politics. Cambridge: Cambridge

University Press.

Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, eds. 2008. Issues In International Relations 2nd

Edition.

New York: Routledge.

Walter Laquereur dan Barry Rubin, eds. 1979. The Human Rigths Reader. New York: New

American Library.

Welsh, Jennifer M, ed. 2004. Humanitarian Intervention and International Relations. London:

Oxford University Press.