Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR
-
Upload
chartika-chika -
Category
News & Politics
-
view
552 -
download
1
description
Transcript of Intervensi Kemanusiaan oleh PBB: UNPROFOR
1
HAK ASASI MANUSIA: INTERVENSI KEMANUSIAAN OLEH DEWAN
KEAMANAN PBB MELALUI UNPROFOR (UNITED NATIONS
PROTECTION FORCE–CROATIA/BOSNIA/MACEDONIA)
Tugas Kelompok 3
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Politik Internasional
Oleh:
Rendi Persada 0901113494
Indah Chartika Sari 0901113588
Agustia Putra 0901120048
Andrea Prasetia 0901120054
Wulan Dwi Oktari 0901120083
Dea Riany Pratiwi 0901120087
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau
2012
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia pada saat ini merupakan senyawa yang
berjalan di kancah Perang Dunia II. Hak Asasi Manusia dibicarakan dalam persoalan
Internasional di forum PBB. Diskusi mengenai Hak Asasi Manusia dalam forum
internasional telah menghasilkan beberapa piagam penting, seperti; Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (1948), serta dua perjanjian yaitu; Konvenan Internasional Hak Sipil dan
Politik (1966) dan Deklarasi Wina (1993). Masalah mengenai Hak Asasi Manusia serta
perlindungan terhadapnya merupakan bagian yang sangat penting. Masalah Hak Asasi
Manusia menjadi sesuatu yang dikedepankan dan menjadi isu internasional yang dibicarakan
di seluruh pelosok dunia. Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar bagi manusia dan
diakui secara universal. Butuh waktu yang lama sejak penuangan ide hingga deklarasi secara
universal terhadap pengakuan Hak Asasi Manusia. Namun hal ini telah banyak
diselewengkan, seperti melakukan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang jelas-
jelas telah melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia itu sendiri.
Intervensi kemanusiaan atau humanitarian intervention merupakan bentuk
ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap suatu negara oleh negara lain atau kelompok
negara dengan tujuan untuk mencegah atau mengakhiri perluasan dan situasi kekerasan
terhadap Hak Asasi Manusia warga negara negara tersebut, tanpa izin dari negara yang
bersangkutan. Menurut J. L. Holzgrefe dalam tulisannya yang berjudul The Humanitarian
Intervention Debate bahwa ada dua bentuk intervensi kemanusiaan yaitu; non-forcible
intervention dan forcible intervention. Non-forcible intervention adalah bentuk intervensi
3
dapat berupa ancaman ekonomi, diplomatik atau sanksi-sanksi lainnya. Sedangkan forcible
intervention dapat dimaksudkan untuk melindungi atau menyelamatkan suatu negara melalui
kekuatan bersenjata. Perbedaan bentuk intervensi keduanya bukan berdasarkan legalitas atau
moralitas, tapi karena muncul pertanyaan apakah negara-negara dapat menggunakan
kekuatan bersenjata untuk melindungi Hak Asasi individu di negara lain daripada melindungi
Hak Asasi individu di negaranya sendiri yang dinilai lebih mendesak dan kontroversial.
Negara-negara Balkan merupakan kawasan yang rawan konflik yang disertai
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia berskala besar
pernah terjadi di negara-negara pecahan Yugoslavia yaitu, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina.
Meskipun keterlibatan militer PBB pada tahun 1992 dan militer NATO pada 1993, tindakan
koersif tahun 1995 terjadi selama empat tahun setelah dimulainya konflik yang berdampak
pada perluasan penderitaan dan kematian. Semua pihak di Bosnia memandang bahwa operasi
kemanusiaan secara langsung membantu lawan mereka melalui mobilisasi milisi-milisi lokal,
membedakan antara penduduk sipil pria dan pejuang yang seringkali salah penafsiran. Bagi
pemerintah Bosnia, operasi kemanusiaan bagi komunitas internasional bertujuan untuk
menghindari tanggung jawab untuk menghantikan agresi. Anggapan tersebut muncul karena
pemerintah secara tegas menyamakan dengan The Bosnia Serb Army sebagai ‘pihak yang
berkonflik’ ketika Dewan Keamanan mengidentifikasi lanjutan sebagai agresor.
1.2 Rumusan Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak fundamental atau hak dasar yang diperoleh
sejak manusia lahir. Setelah Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, maka
sejak saat itu Hak Asasi Manusia diakui secara universal. Bagaimana jika terjadi pelanggaran
4
terhadap Hak Asasi Manusia? Dalam hukum internasional mulai dari perjanjian, traktat,
piagam dan sebagainya telah diatur mengenai Hak Asasi Manusia beserta sanksi atau
hukuman ketika terbukti terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Isu mengenai Hak
Asasi Manusia merupakan salah satu isu yang sangat senstif dalam hubungan internasonal.
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diajukan oleh
penulis adalah sebagai berikut;
“Bagaimana Bentuk Intervensi Kemanusiaan Yang Dilakukan Oleh Dewan Keamanan
PBB Melalui UNPROFOR di Kroasia, Bosnia dan Herzegovina?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari dilakukannya penulisan ini diantaranya;
Menganalisa bentuk intervensi kemanusiaan Dewan Keamanan PBB di negara-negara
pecahan Yugoslavia.
Mengetahui sejauh mana keefektifan intervensi kemanusiaan.
Menganalisa dampak dari intervensi kemanusiaan tersebut.
Manfaat dari tulisan ini diantaranya;
Untuk memberikan tambahan pengetahuan lebih baik terhadap konsep dan
pemahaman mengenai intervensi kemanusiaan.
Untuk memberikan tambahan pengetahuan melalui analisa dari bentuk intervensi
kemanusiaan yang dilakukan oleh DK PBB.
Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian yang akan datang.
5
BAB II ISI
Konsep Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang berasal dari harkat dan martabat
yang melekat pada diri manusia. Dengan kata lain, hak ini sangat mendasar atau fundamental
sifatnya yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, martabat
dan cita-citanya. Hak ini juga dianggap universal dalam konteks pemahaman bahwa Hak Asasi
Manusia dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa perbedaan berdasarkan ras, bangsa, agama
atau jender. Perkembangan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi tiga generasi. Generasi Pertama
adalah mengenai hak sipil dan politik yang telah dikenal dan diasosiasikan dengan pemikiran di
negara-negara Barat. Generasi Kedua adalah mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya yang
diperjuangkan oleh negara-negara komunis pada era Perang Dingin (1947-awal 1970-an).
Generasi ketiga adalah mengenai hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan yang
diperjuangkan oleh negara-negara ketiga.
Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia berawal pada abad ke-17 di kawasan
Eropa Barat bersamaan dengan munculnya konsep Hukum Alam serta hak-hak alam. Tetapi jauh
sebelum abad ke-17 isu-isu mengenai Hak Asasi Manusia telah muncul di Inggris. Tepatnya
pada tahun 1215 dengan ditandatanganinya Magna Charta antara Raja John dari Inggris dan
sejumlah bangsawan. Magna Charta berisi tuntutan agar Raja John mengakui hak-hak para
bangsawan sebagai bentuk imbalan bagi dukungan finansial dari kelompok bangsawan untuk
membiayai kegiatan penyelenggaraan negara dan juga biaya peperangan. Meskipun pada
awalnya piagam tersebut hanya ditujukan bagi kelompok bangsawan, namun dalam
perkembangan selanjutnya hak-hak tersebut menjadi bagian dari konstitusi Inggris dan berlaku
6
bagi seluruh masyarakat Inggris. Oleh karena itu, hingga saat ini Piagam Magna Charta
dianggap sebagai tonggak berdirinya demokrasi di negara-negara Barat.
Generasi Pertama perkembangan Hak Asasi Manusia terjadi pada abad
pencerahan (Enlightenment) dengan muncul para filsuf-filsuf yang menganut aliran liberalisme
klasik seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755)
dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang mulai mempertanyakan konsep Divine Right of
Kings atau Hak Suci Raja karena banyaknya raja yang bertindak sewenang-wenang. Yang dicita-
citakan adalah hubungan antara raja dengan rakyat didasari oleh suatu kontrak sesuai dengan
kondisi perdagangan yang ada di Eropa Barat pada ketika itu. Kemudian muncul Teori Kontrak
Sosial yang dikemukakan oleh J. J. Rousseau yaitu; ”Sekalipun berbeda penafsiran, semuanya
membayangkan masa lalu dimana manusia hidup dalam ‟keadaan alam‟ atau state of nature.
Dalam keadaan ini semuan manusia sama martabatnya, tunduk kepada Hukum Alam dan
memiliki hak-hak alam. Akan tetapi, pada suatu saat manusia mengambangkan akal sehatnya
dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk terjaminnya pelaksanaan hak-hak tersebut ‟keadaan
alam‟ perlu ditinggalkan dan diganti dengan kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontrak
sosial antara penguasa dan masyarakat”.1
Beberapa filsuf penganut liberalisme klasik mulai mengemukakan dan
merumuskan hak-hak alam tersebut. Seperti John Locke dengan konsep life, liberty, property
and government by consent, Montesquieu dengan trias politica, J.J. Rousseau dengan du
contract social. Pemikiran para filsuf-filsuf tersebut dijadikan sebagai landasan bagi beberapa
revolusi di negara-negara Barat seperti; perlawanan rakyat Amerika Serikat ketika memberontak
kepada pengusa Inggris tahun 1775-1781 dan menjadi inspirasi rakyat Perancis ketika
melakukan revolusi melawan Raja Bourbon, Louis XVI. Hak Asasi pada masa itu masih terbatas
1 Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.214.
7
pada hak untuk berpolitik yang dicantumkan pada beberapa piagam. Inggris memasukkan hak
tersebut dalam Bill of Rights tahun 1689 yang diterima setahun pasca diusirnya Raja James II
dan mengundang putrinya Mary beserta suaminya William of Orange untuk menduduki takhta
Kerajaan Inggris atau The Glorious Revolution of 1688. Sedangkan di Perancis hak-hak tersebut
dikelnal dengan Declaration des Droits de l‟Homme et du Citoyen tahun 1789 yang dirumuskan
pada awal Revolusi Perancis yang mencanangkan liberte, egalite dan fraternite. Pada tahun 1789
Kongres Amerika Serikat juga mengesahkan Undang-Undang Dasar dalam bentuk sepuluh
amandemen.
Generasi kedua terjadi pada 1929-1934 dimana pada masa tersebut terjadi
perubahan dalam pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia karena The Great Depression yang
melanda di sebagian besar dunia. Secara tiba-tiba terjadi kemiskinan dan pengangguran secara
besar-besaran yang dimulai dari Amerika Serikat lalu menyebar keseluruh dunia. Sedangkan di
Jerman depresi juga berdampak pada kemunculan Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler.
Pada masa sulit tersebut, Preseiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada tahun 1941
merumuskan The Four Freedoms yang meliputi; freedom of speech, freedom of religion, freedom
from fear and freedom from want. Walter Laquereur dan Barry Rubin dalam tulisannya yang
berjudul The Human Rights Reader mengutip penjelasan Presiden Roosevelt mengenai
paradigma baru tersebut. “We have come to a clear realization of the fact that true individual
freedom cannot exist without economic security ad independence”.2
Kami sepenuhnya
menyadari fakta bahwa tidak mungkin ada kebebasan bagi manusia tanpa keamanan serta
kemandirian ekonomis.
2 Walter Laquereur dan Barry Rubin, eds. 1979. The Human Rigths Reader. New York: New American Library,
hlm.269.
8
Sementara itu di kawasan Eropa Timur terjadi perubahan yang berdampak pada seluruh
kawasan Eropa dan Amerika. Pada tahun 1917 di Rusia terjadi revolusi menentang Tsar Nicholas
yang dipimpin oleh Vladimir Ulyanov yang lebih dikenal dengan Lenin yang mendirikan negara
baru berdasarkan ideologi Marxisme-Leninisme atau komunisme. Penderitaan besar terutama
bagi kelompok borjuis berlanjut hingga kepemimpinan Josef Dschugaschvili atau Stalin (1879-
1953). Di Uni Soviet hak ekonomi dianggap lebih substantif daripada hak politik yang bersifat
prosedural saja. Hak politik dianggap dapat mengganggu usaha konsolidasi komunisme sebagai
ideologi tunggal. Meskipun demikian tidak berarti bahwa hak politik secara resmi tidak diakui.
Jika suatu hak dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunisme, maka hak tersebut tidak
memperoleh perlindungan. Sehingga pada saat itu Uni Soviet merupakan negara yang melanggar
Hak Asasi Manusia paling besar.
Generasi ketiga dari perkembangan Hak Asasi Manusia terjadi pasca Perang
Dunia II muncul keinginan untuk merumuskan Hak Asasi Manusia yang diakui secara universal
sebagai standar bagi perilaku manusia. Pada tahun 1946 PBB mendirikan Commission on Human
Rights yang melakukan sidang terkait dengan Hak Asasi Manusia. Hasilnya pada tahun 1948
Universal Declaration of Human Rights diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan
negara seperti; Uni Soviet, Arab Saudi dan Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau
abstain. Deklarasi ini ditujukan sebagai pedoman yang dicita-citakan seluruh umat manusia.
Oleh karena itu berbagai hak dan kebebasan dirumuskan secara luas seolah-olah tanpa batas.
Meskipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, tapi deklarasi tersbut berpengaruh terhadap
moral, politik dan edukatif sebagai lambang komitmen moral dunia internasional terhadap
perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjadi acuan konstitusi negara-negara di dunia.
9
Tahap kedua dalam penyusunan Hak Asasi Manusia adalah pembentukan perjanjian atau
covenant. Ada dua perjanjian yang dirumuskan oleh Commission on Human Rights, yaitu;
pertama mengenai hak sipil dan politik dan kedua mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya.
Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyusun perjanjian tersebut yaitu mulai tahun 1948-
1966 untuk mencapai konsensus dalam Sidang Umum PBB mengenai Internasional Covenant
On Economic, Social and Cultural Rights, International Covenant On Civil and Political Rights,
Optional Protocol of the International Covenant on Civil and Political Rights. Selain itu
diperlukan waktu mulai dari 1966-1976 sebelum dua perjanjian beserta optional protocol
dinyatakan berlaku setelah diratifikasi oleh 35 negara. Dua perjanjian dan optional protocol
disebut juga International Bill of Human Rights.
Pada Mei 2003 tercatat 49 negara yang meratifikasi optional protocol, sedangkan
perjanjian mengenai hak ekonomi dan hak politik telah diratifikasi oleh 146 negara dan 149
negara. Meskipun terdapat perbedaan antara Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan Kovenan
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya namun kedua kovenan tersebut tetap menekankan pentingnya
semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh sebab itu, kedua kovenan tersebut sama-
sama dimulai dengan pasal yang sama yaitu; “All peoples have the right of self-determination.
By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their
economic, social and cultural development”. Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib
mereka sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan
bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Selain Universal Declaration of Human Rights yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia yang seolah-olah tanpa batas, ternyata pada pasal terakhir yakni No. 29 tertulis
mengenai pembatasan dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia sesuai dengan hukum disertai
10
dengan kewajiban dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu pada tahun 1997 Interaction Council
mencanangkan naskah Universal Declaration of Human Responsibilities sebagai pelengkap bagi
Universal Declaration of Human Rights. Naskah ini dirumuskan oleh para pemikir dan mantan
negarawan seperti; Helmut Schmidt dari Jerman, Malcom Faster dari Australia, Jimmy Carter
dari Amerika Serikat, Lee Kuan Yew dari Singapura, Kichi Mijazawa dari Jepang, Kenneth
Kaunda dari Zambia dan Hassan Hanafi dari Universtas Kairo.3
Menurut Helmut Schmidt di Barat terdapat tradisi yang menjunjung tinggi
konsep-konsep kebebasan dan individualisme, sedangkan di Timur konsep mengenai tanggung
jawab dan komunitas lebih dominan. Konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai
penyeimbang antara konsep kebebasan dimana hak lebih terkait dengan kebebasan, sedangkan
kewajiban terkait dengan tanggung jawab antara satu sama lain. Dalam setiap masyarakat tidak
ada kebebasan yang tanpa pembatasan. Tanpa keseimbangan yang wajar, kebebasan tanpa batas
sama bahayanya dengan tanggung jawab yang dipaksakan. Universal Declaration of Human
Responsibilities diumumkan pada 1 September 1997 dengan tujuan untuk mencari keseimbangan
antara hak dan kewajiban, mendamaikan ideologi, kepercayaan serta pandangan politik yang
dinilai antagonistik atau saling berlawanan. Naskah Universal Declarations of Human
Responsibilities hanya mencakup 19 pasal.
Konsep Humanitarian Intervention
Kata ‘intervensi kemanusiaan’ selalu mejadi kritik karena identik dengan aktivitas
militer. Ada alasan yang dikemukakan sebagai alternatif terminologi ‘intervensi kemanusiaan’
menurut Christina Gabriela Badescu dalam tulisannya yang berjudul Humanitarian Intervention
3 Budiardjo, Miriam, Op,Cit., hlm.227-228.
11
and Responsibility to Protect: Security and Human Rights. “A reason why alternative
terminologies are used, such as military intervention for humanitarian purposes, military force
to support humanitarian objectives, military coercion to protect civilians, etc.”. Ada beberapa
pemahaman mengenai inetrvensi kemanusiaan seperti; intervensi militer yang bertujuan untuk
kemanusiaan, kekuatan militer untuk mendukung kemanusiaan, kekuatan militer untuk
melindungi warga sipil dan sebagainya.
Kasus genosida dan kekerasan masal telah menjadi perdebatan yang tidak ada
habis-habisnya dalam teori dan aplikasi intervensi kemanusiaan untuk menyelamatkan
kehidupan yang tidak bersalah. Sejak PBB membuktikan dirinya sanggup untuk bertindak dan
memiliki cara yang tepat untuk menghentikan tragedi kemanusiaan di Rwanda, Burundi, Bosnia,
Kosovo dan sebagainya, negara-negara mulai mendukung pelaksanaan intervensi dengan tujuan
menghentikan kekerasan masal terhadap Hak Asasi Manusia. Meskipun demikian yang menjadi
fokus utama adalah bagaimana regulasi PBB terhadap penggunaan kekuatan pasca Perang
Dingin khususnya tuntutan yang dialamatkan pada krisis kemanusiaan. Aktor-aktor internasional
sepakat bahwa pembunuhan terhadap warga sipil untuk membentuk formasi suatu negara tidak
lagi dapat diterima, belum lagi masalah mengenai penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan
suatu negara dan merupakan prinsip yang tetap dijunjung tinggi dalam komunitas internasional.
Perubahan dalam sistem internasional telah berdampak pada aplikasi intervensi
kemanusiaan terhadap sejarah dunia secara keseluruhan dengan pola-pola perbedaan
karekteristik intervensi yang terjadi pada abad ke-19, pasca Piagam PBB dan pasca Perang
Dingin. Hingga saat ini topik mengenai intervensi kemanusiaan telah menjadi tema utama dalam
diskusi dikalangan akademisi. Konsep intervensi militer yang bertujuan untuk kemanusiaan telah
mulai terpecah-belah khususnya pasca tragedi 9/11 hingga invasi ke Irak pada tahun 2003. Para
12
pengacara, akademisi hubungan internasional, kalangan filsuf dan para pembuat kebijakan
sepertinya mengalami dilema dalam mengalamatkan tujuan intervensi kemanusiaan melalui
kerangka moralitas, hukum atau politik.
Berdasarkan laporan ICISS kondisi dan situasi seperti apa yang bisa mengundang
intervensi kemanusiaan yaitu, “A. large scale loss of life, actual or apprehended, with genocidal
intent or not, which is the product of either deliberate state action, or state neglect or inability to
act, or a failed state situation; or B. large scale „ethnic cleansing‟, actual or apprehended,
whether carried out by killing, forced expulsion, acts of terror or rape”.4 Terdapat dua kondisi
dan situasi yang dapat mengundang inetrvensi kemanusiaan yaitu; pertama, terjadinya kematian
dalam skala besar disertai dengan tindakan genosida yang intens atau baik yang melalui tindakan
sengaja suatu negara atau kelalaian atau ketidak mampuan suatu negara untuk bertindak atau
negara berada dalam situasi gagal (failed state). Kedua, terjadi pembersihan etnis dalam skala
besar dalam bentuk pembunuhan, pengusiran dengan kekerasan, tindakan-tindakan yang
bermotif terror atau perkosaan.
Norrie MacQueen dalam tulisannya yang berjudul Peacekeeping and
Peacebuilding memberikan tiga karakteristik dalam tindakan intervensi militer yang bertujuan
untuk kemanusiaan,5 yaitu; pertama, intervensi hanya dapat dilakukan dengan izin penuh dari
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Kedua, pihak yang melakukan intervensi pada dasarnya
harus berada pada posisi netral terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketiga, penggunaan
kekuatan hanya ditujukan untuk mempertahankan diri dan jika berada dalam keadaan terdesak.
4 Badescu, Christina Gabriela. 2011. Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect: Security and Human
Rights. New York: Routledge, hlm.18. 5 MacQueen, Norrie. 2008. Peacekeeping and Peacebuilding lihat dalam Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, eds,
Issues In International Relations 2nd
Edition. New York: Routledge, hlm.183-184.
13
Definisi intervensi kemanusiaan pada umumnya adalah penggunaan kekuatan
militer oleh suatu negara, kelompok negara atau organisasi internasional yang ditujukan pada
penderitaan yang menyebar luas atau kematian yang terjadi pada warga sipil di negara lain yang
berdampak pada kekerasan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Meskipun demikian,
beberapa para akademisi yang berorientasi pada pemahaman lain seperti Abbot dan Snidal yang
mengakui bahwa dilema politik juga menjadi perhatian dan memberikan hubungan mendalam
antara hukum dan politik khususnya sejak sebagian besar pertanyaan-pertanyaan dihubungkan
dengan motif intervensi.6
Chris Brown dalam tulisannya yang berjudul Universal Human Rights: A Critique
berpendapat bahwa, “The status of international law is a topic in jurisprudence that the wise
avoid if they can”.7 Status hukum internasional merupakan topik dalam yurisprudensi yang
dihindari jika mereka bisa. Hukum internasional tidak dapat dipertimbangkan tanpa mengakui
kompleksitas khususnya pernyataan yang berlawanan antara kedaulatan suatu negara dan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Senada dengan Chris Brown, Fernado Teson dalam
tulisannya yang berjudul The Liberal Case for Humanitarian Intervention juga menyatakan
bahwa dilema mendasar dalam intervensi kemanusiaan adalah ketika kita mengintervensi untuk
mengakhiri pembunuhan secara besar-besaran di suatu negara maka kita juga dapat dikenakan
sanksi karena melanggar larangan perang dan penghormatan terhadap kedaulatan negara tersebut,
atau ketika kita tidak melakukan intervensi ke negara tersebut maka sama artinya bahwa kita
mentolerir kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia.
6 Ibid, hlm.22.
7 Brown, Chris. Universal Human Rights: A Critique, lihat dalam T. Dunne and N. Wheeler. 1999. Human Rights in
Global Politics. Cambridge: Cambridge University Press, hlm.115.
14
Kedaulatan merupakan poin utama yang harus dipertimbangkan ketika melakukan
intervensi atas permasalahan suatu negara. Vincent dalam tulisannya yang berjudul
Nonintervention and International Order berpendapat bahwa,”If a state has a right to
sovereignty, this implies that other states have a duty to respect that right by, among other things,
refraining from intervention in its domestic affairs… The function of the principle of
nonintervention in international relations might be said, then, to be one of protecting the
principle of state sovereignty”. 8 Jika suatu negara memiliki hak kedaulatan, maka negara lain
memiliki kewajiban untuk menghormati hak tersebut dengan menahan diri untuk tidak ikut
campur dalam permasalah domestik.
Adapun fungsi prinsip non-intervensi dalam hubungan internasional adalah untuk
melindungi prinsip kedaulatan suatu negara. Jika kedaulatan adalah sebuah hak, maka kedaulatan
tersebut terbatas sifatnya. Kedaulatan menjadi terbatas karena adanya kewajiban atas suatu hak
dan tanpa kewajiban maka tidak ada hak. Alasan sebenarnya kenapa prinsip non-intervensi
ditujukan untuk melindungi prinsip kedaulatan seperti yang dikemukakan Vincent adalah prinsip
non-intervensi dibebankan sebagai kewajiban yang juga bertentangan dengan kedaulatan suatu
negara. Analoginya adalah untuk melindungi diri sendiri harus bertentangan dengan orang lain
dan untuk melindungi orang lain harus bertentagan dengan diri sendiri.
Ketika penyebab, situasi dan kondisi seperti apa yang memungkinkan terjadinya
intervensi kemanusiaan, maka pertanyaan yang muncul adalah siapa yang memiliki wewenang
atau otoritas untuk melakukan intervensi kemanusiaan?. Pertanyaan mengenai siapa yang
berwenang untuk menggunakan kekuatan telah menjadi pusat perdebatan dalam intervensi
militer yang bertujuan untuk kemanusiaan. Responsbility to Protect melaporkan bahwa tidak
8 Vincent, R. J, Nonintervention and International Order, lihat dalam Jennifer M. Welsh, ed, Humanitarian
Intervention and International Relations, (London: Oxford University Press, 2004), hlm.25.
15
dapat diragukan lagi bahwa DK PBB merupakan pihak yang paling tepat dalam isu-isu intervensi
militer yang bertujuan untuk kemanusiaan. Fakta yang dikemukakan oleh ICISS adalah
memastikan tidak ada lagi peristiwa seperti di Kosovo dan Rwanda sebagai hasil dari kegagalan
DK PBB. Seperti yang dikatakan oleh Dewan Keamanan,”The Security Council has the „primary‟
but not the sole or exclusive responsibility under the Charter for peace and security matters”.9
Dewan Keamanan memiliki keutamaan dalam intervensi tapi bukan satu-satunya atau secara
eksklusif bertanggung jawab dibawah Piagam PBB untuk masalah-masalah perdamaian dan
keamanan.
Christina Gabriela Badescu dalam tulisannya yang berjudul Humanitarian
Intervention and Responsibility to Protect: Security and Human Rights menjabarkan siapa saja
yang memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi.10
Pertama, PBB berdasarkan Chapter VII
Piagam PBB dan paragraf 139 Summit Outcome Document 2005 memperkuat posisi PBB
sebagai pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi. Kedua, meskipun bukan
termasuk organisasi regional tapi NATO merupakan organisasi pertahanan kolektif yang
dibentuk untuk mengintervensi secara langsung semua negara anggotanya dan juga memiliki
kapasitas militer tersendiri. Pada April 1999 terjadi perubahan dalam NATO Strategic Concept
yang dengan jelas memposisikan dirinya dalam partisipasi operasi perdamaian dunia yang bukan
hanya ditujukan pada pertahanan negara aliansi NATO saja, tapi juga keamanan di kawasan
NATO serta negara pheri-peri. Ketiga, Uni Eropa pada saat ini memiliki wewenang untuk
berkontribusi dalam pengiriman pasukan untuk misi kemanusiaan dan misi penyelamatan serta
misi-misi pertempuran dalam situasi krisis termasuk kegiatan peacekeeping.
9 Badescu, Christina Gabriela, Op, Cit., hlm.49.
10 Ibid, hlm.80-95.
16
Keempat, Uni Afrika merupakan organisasi regional pertama yang secara formal
meratifikasi hak-hak normatif untuk mengintervensi hubungan internal negara-negara
anggotanya ketika ‘grave circumstance atau situasi genting’. Kelima, The Economic Community
of West African States (ECOWAS) merupakan organisasi yang bertanggung jawab untuk
menciptakan mekanisme keamanan kolektif dan perdamaian berdasarkan Protocol Relating to
the Mechanism for Conflict Prevention, Management, Resolution, Peacekeeping and Security
yang memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi militer yang ditujukan bagi konflik
internal dan inter-state. Keenam, Coalitions of Willing yang didefinisikan sebagai kelompok
negara yang bersama-sama bergabung dalam suatu misi yang ditujukan khususnya pada situasi
krisis.
ICISS merekomendasikan beberapa langkah khusus sebelum melakukan
intervensi.11
Pertama, Dewan mempersiapkan dua alternatif hanya ketika ada permasalahan
Dewan Keamanan yang belum terjawab. Hal ini dapat terjadi ketika Dewan Keamanan menolak
proposal untuk mengintervensi dimana khususnya kasus kemanusiaan dipertaruhkan atau ketika
Dewan gagal untuk mencapai kesepakatan terhadap proposal karena alasan waktu. Kedua,
anggota tetap Dewan Keamanan dapat berhenti menggunakan hak veto mereka ketika
kepentingan yang bersifat vital tidak menjadi taruhannya dan ketika resolusi melalui intervensi
militer mendapat dukungan mayoritas. Penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan
Keamanan pada prinsipnya dapat menghambat keefektifan intervensi ketika dibutuhkan tindakan
yang cepat. Ketiga, Jika Dewan Keamanan gagal untuk melakukan intervensi secara kolektif
maka akan terjadi tekanan terhadap tindakan Dewan Keamanan khususnya berasal dari koalisi
individu dalam negara akan meningkat.
11
Ibid, hlm. 50.
17
Pertanyaan selanjutnya adalah apa landasan atau norma hukum yang menjadi
dasar intervensi kemanusiaan? Dewan Keamanan PBB mengidentifikasi intervensi kemanusiaan
akan dilaksanakan ketika krisis kemanusiaan telah menjadi ancaman bagi perdamaian dan
keamanan internasional. Dasar hukumnya yaitu Piagam PBB Chapter VII dan juga Resolusi No.
688 pada 5 April 1991 mengenai krisis pengungsi yang terjadi di Irak. Resolusi No. 688 menjadi
latar belakang perkembangan namun tidak secara signifikan menjadi dasar intervensi
kemanusiaan karena adanya keterbatasan yang disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Dewan
Keamanan PBB tidak meminta dukungan melalui ancaman tindakan kekerasan. Resolusi No.
688 menetapkan bahwa krisis tersebut menjadi ancaman teradap perdamaian dan keamanan
internasional namun tidak diadopsi dibawah Chapter VII. Kedua, Resolusi No. 688 tidak
menjamin akan membela seutuhnya masalah kemanusiaan. Hal ini terbukti ketika dua hari
sebelumnya Perancis mencoba menjamin perlindungan suku Kurdi melalui resolusi namun gagal.
Selain itu ada juga beberapa resolusi DK PBB yang dapat dijadikan landasan intervensi
kemanusiaan seperti; Resolusi No. 794 pada 3 Desember 1992 mengenai tragedi kemanusiaan
yang terjadi akibat konflik di Somalia.
Dewan Keamanan memiliki kapasitas legal untuk menyelesaikan krisis
kemanusiaan berdasarkan Chapter VI dan Chapter VII Piagam PBB. Terdapat perbedaan isi
Piagam PBB terkait dengan tindakan intervensi dan kewenangan DK PBB. Di satu sisi Piagam
PBB menetapkan tanggung jawab untuk menegakkan perdamaian dan keamanan serta Dewan
Keamanan memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan (Pasal 24). Sedangkan pada
Pasal 51 berisi tentang izin bagi organisasi regional untuk menggunakan kekuatan dengan tujuan
pertahanan tanpa kewenangan PBB terlebih dahulu melalui jaminan hak-hak negara untuk
bertindak mempertahankan diri atau pertahanan secara kolektif.
18
UNPROFOR (United Nations Protection Force–Croatia/Bosnia/Macedonia)
Pecahnya negara bekas Yugoslavia telah diumumkan secara luas. Kroasia dan
Slovenia memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatan dari The Socialist Federal Republic of
Yugoslavia (SFRY) pada 25 Juni 1991. Dua hari kemudian The Federal Yugoslav Army (JNA)
pindah ke Slovenia dan bagian Kroasia. Perang di Slovenia berakhir setelah sepuluh hari dimana
JNA menarik kembali pasukanya, namun konflik di Kroasia masih intens. Genjatan senjata telah
disepakati antara tentara Kroasia dan JNA pada 2 Januari 1992 dengan meninggalkan kontrol
atas tiga wilayah yang memiliki populasi etnis Serbia terbesar kepada Kroasia-Serbia dimana
satu wilayah berbatasan dengan Serbia dan dua wilayah berbatasan dengan Bosnia. Wilayah
inilah yang kemudian dideklaraskan oleh PBB sebagai protected areas. European Community
mengakui Kroasia dan Slovenia sebagai negara yang merdeka pada 15 January 1992 dan
kemudian memanggil pemerintah Bosnia untuk melaksanakan referendum kemerdekaan.
Referendum tersebut diselenggarakan pada akhir Februari 1992, berlawanan
dengan latar belakang munculnya kekerasan dari pihak lawan untuk merdeka dimana sebagian
besar etnis Serbia melakukan boikot terhadap suara pemilihan. Hasil referendum adalah 93%
memilih untuk memerdekakan diri. Pada 6 April 1992 European Community mengakui Bosnia
bertepatan dengan terjadinya kekerasan yang intens dan meluas hingga ke Sarajevo. Akhir April
banyak penduduk non Serbia telah digerakkan dari wilayah yang luas di sebelah timur Bosnia
oleh penduduk lokal Serbia dengan dukungan dari paramiliter Serbia dan JNA. Pembersihan
etnis dan konflik diperpanjang hingga keseluruh Bosnia serta serangan yang berlarut-larut ke
Sarajevo oleh JNA dan The Bosnia Serb Army (BSA). Pada musim semi tahun 1993 terjadi
pertempuran serius di pusat dan wilayah barat Bosnia antara Bosnia-Kroasia yang didukung oleh
19
militer Kroasia. Pertempuran ini diakhiri secara resmi melalui kesepakatan antara Bosnia dan
Federasi Kroasia yang ditandatangani pada 18 Maret 1994.
Terjadi beberapa perubahan utama terhadap garis konfrontasi antara Bosnia atau
Kroasia hingga awal Mei 1995, ketika tentara Kroasia memaksa keluar tentara lokal Serbia dari
wilayah barat Slavonia. Daerah kantong Srebrenica jatuh ketangan BSA pada 11 Juli, selama itu
ribuan warga Bosnia terutama laki-laki dan anak laki-laki dari daerah tersebut dieksekusi.12
Pada
awal Agustus tentara Kroasia mengambil alih wilayah Kroasia yang masih diduduki oleh Serbia
dengan pengecualian di wilayah timur Slavonia yang berbatasan dengan Serbia. Tentara Kroasia
dan Bosnia membuat peningkatan perlawanan yang signifikan terhadap BSA. Perang di Bosnia
secara resmi diakhiri pada pertengahan Oktober 1995 melalui kesepakatan damai yang
ditandatangani di Dayton pada 21 November.
Usaha-usaha European Community untuk menghentikan pertempuran di Kroasia
telah dimulai sejak Juni 1991 namun tidak berhasil. DK PBB melalui Resolusi No.713 pada 25
September 1991 yang berisi menerapkan embargo secara keseluruhan dalam pengiriman senjata-
senjata dan perlengkapan militer lainnya ke Yugoslavia. DK PBB juga mengundang Sekretaris
Jenderal Perez de Cuellar untuk menawarkan bantuan. Klaim DK PBB adalah untuk
menyebarkan operasi peacekeeping untuk menciptakan kondisi yang dibutuhkan bagi perjuangan
negosiasi politik demi penyelesaian secara damai. Pemerintah Yugoslavia secara resmi meminta
operasi peacekeeping pada 26 November. Lalu pada 27 November DK PBB mengeluarkan
Resolusi No. 721 yang berisi perintah pelaksanaan operasi operasi peacekeeping untuk
menciptakan kondisi stabil dengan ketetapan mengenai kesepakatan perdamaian. Kesepakatan
tersebut tidak dilaksanakan, oleh karena itu pada 15 Februari 1992 Sekretaris Jenderal PBB
12
Laporan Secretary-General to the General Assembly on the fall of Srebrenica (A/54/549, 15 November 1999) juga
disertai kronologis kejadian serangan udara NATO.
20
Boutros Ghali merekomendasikan pendirian UNPROFOR. Pada 21 Februari DK PBB
mengeluarkan Resolusi No. 743 mengenai susunan sementara untuk menciptakan kondisi damai
dan aman yang diperlukan untuk melakukan negosiasi terkait penyelesaian krisis Yugoslavia.
Pada 7 April DK PBB kembali mengeluarkan Resolusi No. 749 mengenai pendelegasian
wewenang DK PBB melalui penyebaran UNPROFOR secara menyeluruh.
UNPROFOR didirikan bagi Kroasia dan pada awalnya tidak dianggap sebagai
bentuk intervensi kemanusiaan atau operasi bantuan kemanusiaan lainnya yang bermarkas besar
di Sarajevo. Kehadiran UNPROFOR di Sarajevo telah mendukung secara signifikan terhadap
pertempuran berikutnya di Bosnia yang pada akhirnya menjadi inetrvensi kemanusiaan. Sebelum
UNPROFOR disebarkan ke Sarajevo maka belum jelas apakah DK PBB juga akan
mendatangkan operasi peacekeeping pada konflik Bosnia. Pada April 1992 Vukovar diruntuhkan
dan Dubrovnik dibombardir tanpa ada kepastian tanggapan dari dunia internasional bahkan
ketika UNPROFOR berada di Sarajevo, tidak ada tindakan yang efektif untuk menghentikan
pengeboman dan penembakkan di kota.
Berdasarkan Resolusi No. 770 dan 771 pada 13 Agustus 1992 untuk memberikan
bantuan kemanusiaan yang diadopsi dibawah Chapter VII yang mengakui situasi di Bosnia tidak
hanya mengacam perdamaian dan kemanan internasional tapi juga ketetapan bahwa bantuan
kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina merupakan elemen penting bagi usaha-usaha Dewan
Keamanan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut.13
Resolusi No. 770 secara efektif memberikan wewenang intervensi militer untuk mendukung
bantuan kemanusiaan, namun tidak secara spesifik harus sejalan dengan kerangka kerja operasi
peacekeeping PBB. Meskipun demikian, pada 10 September 1992 Sekretaris Jenderal
melaporkan kepada Dewan Keamanan untuk merekomendasikan ekspansi UNPROFOR
13
Morris, Nicholas. Human Intervention in the Balkans, lihat dalam Jennifer M. Welsh, ed, Op, Cit., hlm. 104-105.
21
berikutnya dengan tugas dan mandat agar mendukung usaha-usaha UNHCR untuk memberikan
bentuan kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina, khususnya untuk memberikan perlindungan
sesuai dengan permintaan UNHCR.
Pada 14 September Dewan Keamanan mengadopsi Resolusi No.776 mengenai
catatan penawaran yang dibuat oleh sejumlah negara dengan mengadopsi Resolusi No.770 untuk
menyediakan personil militer untuk memfasilitasi pemberian bantuan kemanusaan di Bosnia.
Kewenangan tersebut diperbesar melalui mandat dan rekomendasi kekuatan UNPROFOR pada
laporan Sekrataris Jenederal pada tanggal 10 September. Laporan tersebut berisi pernyataan
bahwa pasukan UNPROFOR akan mengikuti aturan-aturan resmi peacekeeping dalam situasi
pertempuran dimana kewenangan penggunaan senjata hanya untuk pertahanan diri dan indikasi-
indikasi bahwa situasi tertutup dengan pihak-pihak bersenjata melalui penggunaan kekuatan
untuk mencegah UNPROFOR melaksanakan mandatnya. Selanjutnya UNPROFOR memiliki
kewenangan koersif, namun tidak diperlukan atau didelegasikan untuk mengintervensi
pencegahan perluasan penderitaan. Adanya ambiguitas dan kesempatan munculnya kesalahan
ekspetasi peran UNPROFOR dengan tujuan Dewan Keamanan akan mempersulit resolusi
berikutnya.
Pada bulan-bulan awal sebagian besar populasi non Serbia di wilayah timur
Bosnia telah diusir dari rumah mereka. UNHCR dan ICRC secara langsung menemukan operasi
pembersihan etnis dan konflik yang sedang berlangsung dimana sebagian besar tekanan terkait
dengan perlunya memindahkan warga sipil secepatnya agar terjamin keselamatannya. Ketika hal
tersebut dapat dilakukan, UNHCR dapat memastikan kebebasan untuk berpindah dan akses ke
rumah sakit. Beberapa pihak mengkritik hal tersebut sebagai bantuan pembersihan etnis
berdasarkan pengakuan dari Jose Maria Mendiluce anggota UNHCR Special Envoy dalam
22
Newsweek Interview pada 7 Juni 1993 mengenai fakta bahwa UNHCR tidak mau diajak untuk
berpartisipasi dalam pembersihan etnis dengan melakukan evakuasi warga sipil dari wilayah
dimana tentara Serbia membersihkan etnis Muslim Bosnia.14
The Bosnia Serb Army (BSA) memperluas kontrol mereka hingga akses untuk
kelompok minoritas yang menjadi fokus utama serta keamanan akses untuk melintasi garis depan
telah menjadi perhatian utama. Pengecualian bagi Sarajevo dan bebebrapa peristiwa seperti;
pertempuran UNPROFOR‟s Bosnia Commander, Jenderal Morillon di Srebrenica pada April
1993. UNPROFOR pada awalnya tidak diberi mandat untuk mendukung UNHCR dan fokus
pada penyebaran dan percobaan negosasi untuk mengehntikan pertempuran, ketika UNHCR
khawatir untuk terlalu dekat dalam melakukan identifikasi operasi kemanusiaan dengan kekuatan
bersenjata yang dapat dinilai sebagai pihak dalam konflik. Hingga Mei 1993 ketika Thorvald
Stoltenberg ditunjuk sebagai Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal atau Special Representative
of the Secretary-General, tidak ada struktur di kawasan Balkan yang membawa sisi kemanusiaan,
politik dan militer secara bersama-sama dibawah satu kewenangan. Sesuai dengan laporan
UNHCR Special Envoy kepada High Commissioner di Jenewa dan UNPROFOR Commander di
markas besar PBB di New York. Pada 4 Juni 1993 dikeluarkan Resolusi No. 836 yang berisi
mandat UNPROFOR untuk melindungi dan membentuk wilayah aman atau safe areas serta
semua tindakan yang diperlukan termasuk penggunaan kekuatan udara di dan sekitar wilayah
aman di Republik Bosnia dan Herzegovina. Resolusi ini memberikan kesempatan munculnya
ekspetasi yang salah bahwa UNPROFOR dapat dan akan mempertahankan wilayah aman.
Pada akhirnya komunitas internasional mengambil tindakan militer melawan BSA,
penetapan embargo senjata juga dilaksanakan sesuai dengan Resolusi No. 713 tahun 1991 yang
berdampak besar terhadap kekuatan bersenjata Pemerintah Bosnia daripada BSA yang menerima
14
Ibid, hlm.105.
23
senjata-senjata dari tentara Militer Yugoslavia dan Serbia. Pemerintah Bosnia berpendapat
bahwa embargo tersebut tidak adil dan menilai jika komunitas internasional tidak siap untuk
melakukan intervensi menangkal agresi. Seperti di setiap proposal perdamaian dari Lisbon
Agreement pada bulan Maret 1992 hingga Dayton Agreement secara efektif menjelaskan
mengenai tanggung jawab bagi tindakan pembersihan etnis.
24
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi tiga generasi. Generasi
Pertama adalah mengenai hak sipil dan politik yang telah dikenal dan diasosiasikan dengan
pemikiran di negara-negara Barat. Generasi Kedua adalah mengenai hak ekonomi, sosial dan
budaya yang diperjuangkan oleh negara-negara komunis pada era Perang Dingin (1947-
awal1970-an). Generasi ketiga adalah mengenai hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan
yang diperjuangkan oleh negara-negara ketiga. Untuk merumuskan hak asasi yang diakui dunia
sebagai standar universal bagi perilaku manusia, maka langkah pertama adalah membentuk
Komisi hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) yang didirikan PBB tahun 1946.
Pada tahun 1948 diumumkan Universal Declaration of Human Rights dimana deklarasi universal
dimaksudkan sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh
umat manusia, oleh karena itu hak dan kebebasan dirumuskan seolah-olah bebas tanpa batas.
Ada beberapa pemahaman mengenai inetrvensi kemanusiaan seperti; intervensi
militer yang bertujuan untuk kemanusiaan, kekuatan militer untuk mendukung kemanusiaan,
kekuatan militer untuk melindungi warga sipil dan sebagainya. Perubahan dalam sistem
internasional telah berdampak pada aplikasi intervensi kemanusiaan terhadap sejarah dunia
secara keseluruhan dengan pola-pola perbedaan karekteristik intervensi yang terjadi pada abad
ke-19, pasca Piagam PBB dan pasca Perang Dingin. Kedaulatan merupakan poin utama yang
harus dipertimbangkan ketika melakukan intervensi atas permasalahan suatu negara. Jika
kedaulatan adalah sebuah hak, maka kedaulatan tersebut terbatas sifatnya. Kedaulatan menjadi
terbatas karena adanya kewajiban atas suatu hak dan tanpa kewajiban maka tidak ada hak.
25
UNPROFOR didirikan bagi Kroasia dan pada awalnya tidak diaggap sebagai
bentuk intervensi kemanusiaan atau operasi bantuan kemanusiaan lainnya yang bermarkas besar
di Sarajevo. Kehadiran UNPROFOR di Sarajevo telah mendukung secara signifikan terhadap
pertempuran berikutnya di Bosnia yang pada akhirnya menjadi inetrvensi kemanusiaan.
Berdasarkan Resolusi No. 770 dan 771 pada 13 Agustus 1992 untuk memberikan bantuan
kemanusiaan yang diadopsi dibawah Chapter VII yang mengakui situasi di Bosnia tidak hanya
mengacam perdamaian dan kemanan internasonal tapi juga ketetapan bahwa bantuan
kemanusiaan di Bosnia dan Herzegovina merupakan elemen penting bagi usaha-usaha Dewan
Keamanan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut.
26
Daftar Pustaka
Arinanto, Satyo. 2003. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia Jakarta:
Universitas Indonesia.
Badescu, Christina Gabriela. 2011. Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect:
Security and Human Rights. New York: Routledge.
Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization: Theories and Institutions. New York:
PALGRAVE MACMILLAN.
Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Etzioni, Amitai. 2007. Security First: For A Muscular, Moral, Foreign Policy. London: Yale
University Press.
J. L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal and
Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press.
T. Dunne dan N. Wheeler.1999. Human Rights in Global Politics. Cambridge: Cambridge
University Press.
Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, eds. 2008. Issues In International Relations 2nd
Edition.
New York: Routledge.
Walter Laquereur dan Barry Rubin, eds. 1979. The Human Rigths Reader. New York: New
American Library.
Welsh, Jennifer M, ed. 2004. Humanitarian Intervention and International Relations. London:
Oxford University Press.