Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

63
Pemerintah Republik Indonesia Departemen Pendidikan National Desentralisasi pada Sektor Sosial: Studi Kasus Bidang Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kabupaten/Kota di DIY Disusun atas Bantuan Bank Pembangunan Asia (ADB) Melalui RETA 6218: Desentralisasi pada Sektor Sosial Januari 2007

Transcript of Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Page 1: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Pemerintah Republik Indonesia

Departemen Pendidikan National

Desentralisasi pada Sektor Sosial:

Studi Kasus Bidang Pendidikan

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

dan Kabupaten/Kota di DIY

Disusun atas Bantuan Bank Pembangunan Asia (ADB)

Melalui RETA 6218: Desentralisasi pada Sektor Sosial

Januari 2007

Page 2: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah
Page 3: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Daftar Isi PENDAHULUAN ................................................................................................................................................. 5 STUDI KASUS BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA 1: PENINGKATAN KUALITAS DAN SISTEM PENGHARGAAN GURU DI KABUPATEN/KOTA........................................................................ 7

LATAR BELAKANG HISTORIS ..................................................................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TUJUAN DAN METODOLOGI ........................................................................ ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TEMUAN UTAMA DAN REKOMENDASI ....................................................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PANDANGAN KEDEPAN DAN PETA JALAN .................................................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. LAMPIRAN 1: BEBERAPA TANTANGAN DAN ISU DALAM PENERAPAN DESENTRALISASI PADA PENDIDIKAN ... 17 LAMPIRAN 2: KERANGKA KERJA SISTEM MANAJEMEN GURU ........................................................................ 19 LAMPIRAN 3A: TINGKAT PEMANFAATAN GURU DI SD/MI, YOGYAKARTA ..................................................... 21 LAMPIRAN 3B: TINGKAT PEMANFAATAN GURU DI SMP/MTS, YOGYAKARTA................................................. 22 LAMPIRAN 3C: TINGKAT PEMANFAATAN GURU DI SMU/MA, YOGYAKARTA ................................................. 23

STUDI KASUS BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA 2: PERENCANAAN ANGGARAN PENDIDIKAN DI ERA DESENTRALISASI.................................................................................................. 24

LATAR BELAKANG HISTORIS...................................................................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TUJUAN DAN METODOLOGI ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. 30PANDANGAN KEDEPAN DAN PETA JALAN .................................................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. LAMPIRAN 1: RINGKASAN METODOLOGI STUDI KASUS ................................................................................... 35 LAMPIRAN 2: PROSES PENENTUAN PRIORITAS: ALAT ANALISIS MANAJEMEN ANGGARAN BERBASIS-HASIL .. 37

STUDI KASUS BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA 3: KOORDINASI PROSES PERENCANAAN ANGGARAN UNTUK IMPLEMENTASI PROGRAM ICT......................................................................... 39

LATAR BELAKANG HISTORIS...................................................................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TUJUAN DAN METODOLOGI .............................................................................................................................. 42 TEMUAN UTAMA DAN REKOMENDASI ........................................................ ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PANDANGAN KEDEPAN DAN PETA JALAN .................................................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. LAMPIRAN 1: METODOLOGI STUDI KASUS ....................................................................................................... 47 LAMPIRAN 2: SISTEM PERENCANAAN ANGGARAN ICT PADA TINGKAT PUSAT DAN KAB/KOTA ..................... 49 LAMPIRAN 3: SISTEM PERENCANAAN ANGGARAN ICT PADA TINGKAT SEKOLAH .......................................... 50

STUDI KASUS BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA 4: PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK SEKTOR PENDIDIKAN DI DAERAH ........................................................................................... 51

LATAR BELAKANG HISTORIS...................................................................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TUJUAN DAN METODOLOGI .............................................................................................................................. 51 TEMUAN UTAMA DAN KESIMPULAN................................................................................................................. 52 PANDANGAN KEDEPAN DAN PETA JALAN .................................................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. LAMPIRAN 1: POLA DAN KECENDERUNGAN ANGGARAN APBD SLEMAN, TAHUN 2003-2006 ......................... 60 LAMPIRAN 2: POLA DAN KECENDERUNGAN ANGGARAN PENDIDIKAN SLEMAN, TAHUN 2003-2006................ 61 LAMPIRAN 3A: POLA DAN KECENDERUNGAN BOS SLEMAN, TAHUN 2005-2006 ............................................. 62 LAMPIRAN 3B: POLA DAN KECENDERUNGAN BOS SLEMAN, TAHUN 2005-2006, DISESUAIKAN UNTUK 2 PEMBAYARAN .................................................................................................................................................. 63

Page 3 of 63

Page 4: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah
Page 5: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Pendahuluan

Studi kasus ini merupakan hasil dari konsultasi yang luas dan pekerjaan teknis dalam Departemen Pendidikan Nasional di Indonesia, khususnya di Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menindaklanjuti misi awal pada bulan Juli 2005, suatu keputusan telah dibuat untuk memusatkan perhatian pada dampak desentralisasi terhadap peran Dinas Pendidikan Propinsi dalam mengupayakan pendekatan yang lebih berorientasi hasil pada manajemen dan perencanaan pelayanan pendidikan.

Fokus pada peranan otoritas propinsi dalam konteks desentralisasi di Indonesia adalah sangat penting. Sejak desentralisasi diperkenalkan, peranan dan tanggungjawab otoritas propinsi dalam manajemen dan perencanaan pelayanan pendidikan berkembang lamban (lihat Gambar 1).

Gambar 1: Tatakelola dan Struktur Manajemen di Era Desentralisasi - Pendidikan

Depdiknas

Managementor Executive Aspect of

Government:Management Accountability

Governance orRepresentative Aspect of

Government:Governance Accountability

MPR

MoHA

National Level

(Provincial Level)

Kabupaten/KotaLevel

Regents, Mayors(Bupati, Walikota)

Head of DistrictEducation Service

(Kepala DinasPendidikan)

School Level

Principals

DPRD(Regional People's

RepresentativeAssembly)

SchoolCommittees

MoF

President of theRepublic

standard-setting(sets standards of reportingon financial and educational issues)(accountability is around standards)

report onorganization ofregional governmentthrough MoHA,reporting to standards

reporting to standards

reporting to standards

reporting to standards

reporting to standardsEducation

Boards/Councils

DPR

Ruang lingkup awal studi kasus pendidikan secara signifikan telah ditinjau ulang selama lebih dari 12 bulan melalui beberapa lokakarya konsultatif. Rancangan studi kasus didiskusikan dan ditinjau ulang dalam seminar bersama bidang pendidikan/kesehatan pada bulan November 2006, yang menghasilkan perbaikan lebih lanjut terhadap temuan dan tambahan pengumpulan dan analisis data oleh Dinas Pendidikan Propinsi DIY.

Tujuan dari semua hal tersebut adalah bahwa studi kasus ini akan dapat dipergunakan untuk memberikan informasi mengenai prioritas pengembangan kapasitas dan aktivitas manajemen pengetahuan yang terkait, terutama materi pelatihan manajemen dan pengembangan situs web pada bulan-bulan yang akan datang.

Page 5 of 63

Page 6: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah
Page 7: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Studi Kasus Bidang Pendidikan di Indonesia 1: Peningkatan Kualitas dan Sistem Penghargaan Guru di Kabupaten/Kota

Dinas Pendidikan Propinsi D.I.Yogyakarta1

Latar Belakang Historis

DIY adalah merupakan propinsi yang otonom, terdiri dari lima Kabupaten/Kota, yaitu Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta, yang merupakan ibukota propinsi. Propinsi ini memiliki tadisi pendidikan yang sangat kuat dengan jumlah murid yang tergolong diantara yang tebesar di Indonesia. Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar (SD/MI) diperkirakan sebesar 95%, Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs) sekitar 76% dan Sekolah Menengah Atas (SMU/MA) sekitar 63%. Jumlah murid perempuan kurang lebih sama atau sedikit dibawah jumlah murid laki-laki. Namum demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara kota/desa, dalam APM di SMP/MTs berkisar pada 5 – 6% lebih rendah untuk daerah pedesaan. Tetapi, variasi dalam akses pendidikan di seluruh propinsi secara signifikan lebih rendah daripada di daerah-daerah lain di Indonesia (lihat Tabel 1).

Tabel 1 : Variasi APM antar dan dalam propinsi (%)

SD/MI SMP/MTs SMU/MA Antar Dalam Antar Dalam Antar Dalam

1997 46 54 34.9 65.1 27.4 72.6 1998 43 57 31.6 68.4 25.6 74.4 1999 38.5 61.5 33.5 66.5 28.6 71.4 2000 31.8 68.2 30.6 69.4 25.4 74.6 2001 27.1 72.9 27.3 72.7 27.3 72.7 2002 30.5 69.5 29.2 70.8 27.5 72.5

Sumber: Education Public Expenditure Review, World Bank (2006)

Sebagai contoh, di DIY, variasi APM di SD/MI adalah antara 92% dan 95%. Sebaliknya, pada kasus yang ekstrim di Papua Barat, variasinya antara 57% dan 98%, suatu perbedaan sebesar 41%. Pada kasus Sulawesi Selatan, sebarannya antara 85% dan 98%, terdapat perbedaan sebesar 13%. Dengan kata lain, berdasarkan indikator kinerja pendidikan, DIY menunjukkan tingkat pemerataan yang tinggi. Untuk setiap indikator, Kota Yogyakarta memiliki indikator yang tertinggi.

1 Studi kasus ini dilakukan oleh Mr. Bambang Irianto, Mr. Sutiknar and Mr. Dalijan, staf senior Dinas Pendidikan Propinsi D.I.Yokyakarta dan didukung oleh Mr. Erlangga Fausa, Konsultan National.

Page 7 of 63

Page 8: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar 1: Pendidikan Dasar: APM kabupaten/kota dalam propinsi

0,5

0,55

0,6

0,65

0,7

0,75

0,8

0,85

0,9

0,95

1

Prov

. Pap

ua

Prov

. Sul

awes

i Bar

at

Prov

. Gor

onta

lo

Prov

. Sul

awes

i Uta

ra

Prov

. Kep

ulau

an B

angk

a B

elitu

ng

Prov

. Sul

awes

i Ten

ggar

a

Prov

. Sul

awes

i Sel

atan

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Prov

. Sul

awes

i Ten

gah

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Prov

. D I

Yogy

akar

ta

Prov

. Lam

pung

Prov

. Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

. Kal

iman

tan

Bar

at

Prov

. Sum

ater

a Se

lata

n

Prov

. Jaw

a Te

ngah

Prov

. Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

. Jaw

a B

arat

Prov

. Jam

bi

Prov

. Bal

i

Prov

. Sum

atra

Bar

at

Prov

. Kep

ulau

an R

iau

Prov

. Sum

atra

Uta

ra

Prov

. Jaw

a Ti

mur

Prov

. Ban

ten

Prov

. Ben

gkul

u

Prov

. Ria

u

Prov

. Kal

iman

tan

Teng

ah

Sumber: Education Public Expenditure Review, World Bank (2006)

DIY memiliki tingkat rata-rata pembelanjaan pendidikan yang sebanding. Estimasi penerimaan per kapita sebesar Rp.875,000 dibandingkan rata-rata di tingkat nasional yang sebesar Rp.850,000. Sebaliknya, daerah otonom lainnya seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD), memiliki perkiraan penerimaan sebesar Rp.1,9 juta per kapita. Selain hanya mendapatkan penerimaan rata-rata, DIY mendapatkan dukungan yang relatif rendah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan dana alokasi umum dari Pemerintah Pusat. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa DAU per kapita adalah sekitar Rp.750,000, bandingkan dengan angka rata-rata nasional yang hamper sama, maka ini berada pada 40% terbawah untuk alokasi DAU per kapita (lihat Figur 2). Hal ini menunjuk pada nilai uang dan dampak pembiayaan pendidikan yang menjanjikan untuk peningkatan kinerja sector di propinsi ini.

Gambar 2: DAU per kapita tahun 2006 semua propinsi di Indonesia

Sumber: World Bank staff calculation based on data from MOF (2006)

Page 8 of 63

Page 9: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti adanya perbedaan yang signifikan pada kinerja sektor pendidikan di lima Kabupaten/Kota. Berdasarkan pada indikator kinerja gabungan, tampak bahwa Kabupaten Kulon Progo dan Sleman memiliki kinerja sektor pendidikan yang secara signifikan lebih rendah, terutama berkaitan dengan akses sekolah, tingkat efisiensi internal dan keadilan jender. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan, seperti (i) menurunnya tingkat permintaan pada pendidikan dasar dan menengah; (ii) perbedaan tingkat pembelajaan pendidikan Kabupaten/Kota; (iii) tidak adanya mekanisme untuk pemerataan belanja pendidikan antar Kabupaten/Kota; (iv) tidak efisiennya alokasi dan penggunaan sumber daya antar Kabupaten/Kota; dan (v) perbedaan dalam berbagai kendala potensial pada akses pendidikan, termasuk perbedaan desa/kota dalam jarak ke sekolah, hambatan biaya dan tersedianya infrastruktur yang memadai.

Tabel 2: Peringkat Kabupaten/Kota, SPM dan Perbandingan Kinerja Kabupaten/Kota

Kab/Kota Peringkat SPM

Peringkat Komparatif Kab/Kota

Peringkat SPM

Peringkat Komparatif

D.I. Yogyayakarta Kab. Bantul B C Kab. Sleman C D Kab. Gunung Kidul B C Kota Yogyakarta A B Kab. Kulon Progo C D

Sumber: C. Perry and M. Ratcliffe, MOEYS Advisory TA Report, ADB (2005)

Sejumlah reformasi kelembagaan dan organisasi telah dilakukan menyangkut peningkatan/jaminan mutu dan manajemen guru. Peningkatan mutu saat ini dipandu dan dipantau oleh standard yang lebih baik dan ujian yang telah direvisi di bawahi sebuah badan semi otonom yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang mempublikasikan skor standard dan urutan peringkat pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan sekolah. Sebelum desentralisasi, kebanyakan regulasi dan panduan operasional untuk manajemen guru memberikan fungsi control yang jelas pada tingkat propinsi, dimana guru menjadi pegawai pemerintah pusat. Setelah desentralisasi, pera propinsi kini tidak jelas, dengan sedikit, kalau ada, kontrol pada manajemen guru, guru menjadi pegawai kabupaten/kota dan tingkat penyusunan kepegawaian tahunan menjadi ditentukan oleh negosiasi antara kabupaten/kota dan pemerintah pusat.

Page 9 of 63

Page 10: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar 3: Tata Kelola dan Struktur Manajemen dibawah Desentralisasi:Pendidikan

Depdiknas

Managementor Executive Aspect of

Government:Management Accountability

Governance orRepresentative Aspect of

Government:Governance Accountability

MPR

MoHA

National Level

(Provincial Level)

Kabupaten/KotaLevel

Regents, Mayors(Bupati, Walikota)

Head of DistrictEducation Service

(Kepala DinasPendidikan)

School Level

Principals

DPRD(Regional People's

RepresentativeAssembly)

SchoolCommittees

MoF

President of theRepublic

standard-setting(sets standards of reportingon financial and educational issues)(accountability is around standards)

report onorganization ofregional governmentthrough MoHA,reporting to standards

reporting to standards

reporting to standards

reporting to standards

reporting to standardsEducation

Boards/Councils

DPR

Satu pertimbangan strategis utama adalah perubahan peran propinsi pada manajemen pelayanan pendidikan dibawah desentralisasi, dengan suatu pergeseran ke arah tertentu dimana otoritas propinsi lebih condong mengadopsi sebagai peran pendorong, daripara peran penyedia, dibawah desentralisasi. Sejak tahun 1999, reformasi pendidikan dan demokratisasai telah dimulai di Indonesia. Menindaklanjuti reformasi, Pemerintah Indonesia menerbitkan dua undang-undang dan sebuah peraturan, yang telah diharapkan bisa menjadi dasar bagi otonomi pemerintah daerah (desentralisasi), yaitu Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dengan pemindahan keweangan kepada pemerintah local/daerah, terdapat implikasi pada otoritas manajemen pendidikan pada tingkat daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, maka sejumlah kewenangan di bidang pendidikan di tingkat pusat telah dialihkan ke institusi pendidikan daerah.

Page 10 of 63

Page 11: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Menurut Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), peningkatan mutu pendidikan di daerah dan sekolah bukan lagi merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai peluang untuk mengambil alih tanggungjawab pada peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini, pihak Pemerintah Propinsi harus lebih proaktif dalam mengkoordinir berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan di wilayahnya.

Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Propinsi DIY No. 3 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Propinsi DIY menetapkan bahwa Dinas Pendidikan Propinsi merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang pendidikan yang memiliki fungsi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah daerah, kewenangan dekonsentrasi, dan tugas pembantuan/delegasi wewenang yang diberikan oleh pemerintah di bidang pendidikan. Tugas utama Dinas Pendidikan Propinsi adalah mengembangkan program pendidikan yang sejalan dengan Rencana Strategis Pemerintah Daerah, merumuskan kebijakan di bidang pendidikan, mengeluarkan ijin bagi lembaga-lembaga penyelenggara pelayanan pendidikan dan menyelenggarakan pelayanan publik, mengembangkan dan menerapkan pendidikan khusus, menfasilitasi penyelenggaraan pelayanan pendidikan kab/kota, memberdayakan staf Dinas Pendidikan dan mitranya untuk sektor pendidikan, dan menyelenggarakan aktifitas administrasi pendidikan.

Pemerintah Propinsi, bersama sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pemerintah yang otonom, yang berperan menjalankan kewenangan pemerintah pusat bertanggungjawab pada implementasi dan keberhasilan program pendidikan yang telah dirancang oleh Pemerintah Pusat dan manajemen pendidikan, seperti program peningkatan mutu pendidikan. Sebagai pemerintah yang otonom, pemerintah kabupaten/kota melaksanakan sejumlah kegiatan untuk penyelenggaraan layanan pendidikan kabupaten/kota. Namun, proses implementasi desentralisasi pendidikan, telah menghadapi sejumlah masalah dan tidak jelas dalam manajemen pendidikan.

Tujuan dan Metodologi

Studi terbaru telah menyoroti bahwa peran otoritas pendidikan propinsi dalam konteks desentralisasi masih tetap tidak jelas, terutama berkenaan dengan kekuasaan dan tanggungjawabnya serta peranannya dalam mendorong pemerataan yang lebih besar pada kinerja sektor pendidikan lintas unsur pokok kabupaten/kota (lihat Lampiran 1).

Tujuan Studi Kasus di DIY ini adalah untuk mendokumentasikan pengalaman awal dan pelajaran yang diperoleh dari pengenalan berbagai aspek mengenai sistem manajemen dan organisasi berbasis hasil dan kinerja pada berbagai tingkat sistem pendidikan dalam konteks desentralisasi. Secara khusus, tujuannya adalah mengetahui sejauh mana Dinas Pendidikan Propinsi telah mengubah sistem organisasinya, khususnya untuk perencanaan, pembiayaan dan monitoring, sebagai tanggapan dan tindak lanjut terhadap dierlakukannya undang undang dan peraturan desentralisasi. Tujuan kedua adalah untuk menyusun proposal khusus untuk peningkatan.

Pertanyaan kunci dalam analisis ini adalah:

Adakah pedoman resmi tentang tanggungjawab organisasi Dinas Pendidikan Propinsi berkaitan dengan sistem informasi dan implementasi kebijakan dan stategi pendidikan, termasuk peran dan tanggungjawab propinsi/kabupaten/kota dan masyarakat serta orang tua?

Page 11 of 63

Page 12: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Bagaimana Dinas Pendidikan Propinsi dan para pihak yang berkepentingan menilai efektivitas dan dampak dari sistem informasi manajemen pada kinerja sektor? Langkah-langkah apa saja yang telah diambil oleh Dinas Pendidikan Propinsi untuk menggunakan sistem informasi manajemen untuk memperkuat tata kelola dan akuntabilitas dalam pendidikan dan seberapa efektifkah ?

Bagian lain dari analisis ini adalah untuk menyoroti beberapa pokok persoalan dan perubahan organisasional yang diusulkan, termasuk: (i) apakah persoalan utamanya dalam merumuskan dan mengimplementasikan sistem informasi manajemen yang baru? Perubahan apa saja yang telah dilakukan dalam organisasi untuk memecahkan masalah tersebut? (ii) Perubahan lebih lanjut apa lagi yang akan diusulkan dalam meningkatkan organisasi dan manajemen pada sistem informasi manajemen ini? dan (iii) Perubahan lebih lanjut apa lagi yang akan diusulkan dalam meningkatkan pengaruh sistem informasi manajemen pada kinerja sektor dan hasil?

Pusat perhatian studi kasus ini adalah pada peran Dinas Pendidikan Propinsi dalam memungkinkan bekerjanya sistem manajemen dan penyebaran guru yang lebih efektif, termasuk peran potensial dari sistem pemberian insentif/penghargaan untuk dalam memungkinkan terjadinya penyebaran guru berkualitas yang lebih merata di berbagai kabupaten/kota. Isu terkini mengenai masalah dan ketidakjelasan dalam manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota telah dipilih sebagai subyek studi ini, termasuk (i) perubahan legislasi dan regulasi dalam manajemen pendidikan; (ii) peran dan tanggungjawab dinas pendidikan propinsi dan kabupaten/kota dalam manajemen guru secara umum berkenaan dengan perubahan legislasi dan regulasi; (iii) peranan dinas pendidikan propinsi dan kabupaten/kota dalam penyebaran dan distribusi guru berkualitas yang merata antar kabupaten/kota; dan (iv) berbagai sistem pemberian penghargaan pada guru antar kabupaten/kota.

Berdasarkan isu-isu pokok tersebut, studi kasus ini dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal berikut (i) sejauh mana perubahan legislasi dan aturan dalam manajemen pendidikan telah dipahami dengan jelas oleh dinas pendidikan propinsi dan kabupaten/kota; (ii) sejauh mana peran dan tanggungjawab propinsi dan kabupaten/kota dalam manajemen guru terkait dengan perubahan aturan dan regulasi dalam manajemen pendidikan; (iii) sejauh mana peran dinas pendidikan propinsi dan kabupaten/kota dalam penyebaran guru berkualitas antar kabupaten/kota; dan (iv) bagaimana sistem penghargaan guru telah dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.

Metodologi studi kasus ini mempertimbangkan pentingnya konteks perilaku pada proses observasi dan wawancara yang diharapkan dapat mengarahkan pada pemahaman yang lebih luas mengenai faktor-faktor terkait dan juga persepsi partisipan. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang tepat untuk studi kasus ini. Data yang terkumpul adalah informasi, observasi, dan hasil wawancara dengan responden (key informants). Kriteria seleksi untuk studi kasus ini adalah seleksi sampel, seleksi kuota, seleksi network/jaringan dan perbandingan antar pemilihan kasus. Seleksi sampel artinya pengambilan sample berdasarkan data yang ada. Menggunakan seleksi kuota artinya pengambilan sample berdasarkan wilayah atau perbedaan-perbedaan dalam kondisi diantara kabupaten/kota di Propinsi DIY. Seleksi network/jaringan maksudnya adalah pengambilan sample berdasarkan informasi yang diperoleh secara langsung oleh peneliti selama proses observasi dan informasi yang diperoleh dari nara sumber atau orang-orang kunci. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah daftar pertanyaan/kuesioner, observasi, dan wawancara dengan para partisipan.

Page 12 of 63

Page 13: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Temuan Pokok dan Rekomendasi Studi

Definisi yang tidak pasti tentang mutu/standar. Terdapat sedikit konsensus mengenai peningkatan mutu yang ditetapkan dan bagaimana mengukurnya. Beberapa informan fokus pada indikator proxy, seperti ukuran kelas, rasio guru-murid, rasio guru per kelas dan ketersediaan buku. Terdapat beberapa kebingungan atas kenyataan bahwa ukuran kelas yang lebih kecil atau rasio guru per kelas yang lebih kecil tidak ada hubungannya dengan peningkatan mutu. Begitu pula, ada sedikit kesadaran akan adanya atau terhadap penggunaan skor dan peringkat BSNP pada hasil ujian murid dan sekolah yang telah tersedia sebagai ranking yang tersebar menurut propinsi dan kabupaten/kota. Juga terdapat beberapa pemikiran yang kontradiktif pada isu ini. Informan semua setuju bahwa kualitas/standar pendidikan di kota Yogyakarta lebih tinggi daripada kabupaten-kabupaten lainnya, jadi, sedikit orang melihat bahwa indikator proxy yang mereka gunakan tidak konsisten dengan penilaiannya.

Perbedaan antar Kabupaten/Kota pada Norma Pemanfaatan Guru. Salah satu temuan kunci adalah bahwa terdapat variasi yang signifikan dalam criteria dan norma yang digunakan oleh otoritas kabupaten/kota dalam rekrutmen staf, terutama menggunakan norma staf per kelas dan staf per ruang kelas. Pada tingkat SD (dibawah DepDikNas)) rasio guru per kelas bervariasi dari 1.34 (Kulon Progo) sampai 1.79 (Yogyakarta). Rasio tersebut bahkan lebih tinggi pada sekolah MI (dibawah Departeman Agama, bukan di bawah arahan DepDikNas) dimana rasio guru per kelas adalah 1.73 dibandingkan dengan 1.61 di sekolah-sekolah diawah DepDikNas. Kecenderungan ini berlawanan untuk SMP, dimana rasio guru per kelas terendah di Yogyakarta (2.71), dibandingkan dengan di Kulon Progo (3.83). Sekali lagi, sekolah MI (dibawah Departemen Agama) memiliki rasio guru per kelas yang lebih tinggi yaitu 4.33 dibandingkan dengan 3.18 pada SMP. Lihat Lampiran 3a dan 3b.

Pola ini terulang kembali pada Sekolah Menengah Atas (SMU) dimana rasio guru per kelas bervariasi dari 2.67 (Yogyakarta) sampai 5.19 (Kulon Progo). Sebaraan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) teknik adalah dari 3.18 (Gunung Kidul) sampai 4.69 (Kulon Progo). Yang sangat menyolok adalah bahwa di Madrasah Aliah (MA) di Kulon Progo, rasio guru per kelas adalah 18.5 dibandingkan dengan rata-rata rasio tingkat propinsi yaitu 5.2.

Pembicaraan dengan nara sumber (key informan) menunjukkan bahwa (i) perbedaan ini disebabkan oleh kesulitan yang dialami propinsi dalam melaksanakan kewenangan pada tingkat pengadaan staf di sekolah-sekolah, di seluruh kabupaten/kota; (ii) perbedaan disebabkan oleh banyaknya sekolah kecil di kabupaten/kota, dengan rasio guru per kelas yang tinggi; (iii) pedoman kepegawaian yang focus pada spesialisasi satu mata pelajaran menimbulkan kesulitan dalam memanfaatkan guru untuk mata pelajaran lain, menurunkan beban kerja; dan (iv) Departemen Pendidikan Nasional hanya memiliki sedikit kewenangan mengurus kepegawaian untuk sekolah-sekolah dibawah Departemen Agama (MI, MTs, dan MA), terutama ketika banyak guru yang merupakan sukarelawan.

Tidak Efektifnya Sistem Penghargaan Guru. Temuan penting adalah kesan para nara sumber bahwa semakin banyak desa di kabupaten yang kekurangan guru tidaklah terbukti. Lihat data yang disajikan pada Lampiran 3. Temuan lain dari hasil diskusi FGD (Focus Group Discussion) adalah bahwa beberapa kabupaten telah mencoba memberikan insentif untuk mendorong rekrutmen guru di beberapa kabupaten, dengan insentif berupa tambahan penghasilan sampai Rp.500,000 per bulan dan beasiswa bagi para guru magang baru untuk kembali ke daerah kabupaten pemberi beasiswa. Yang terjadi justru berlawanan dengan strategi yang diusulkan tersebut, terutama di kabupaten-kabupaten di luar Kota Yogyakarta. Banyak kabupaten tersebut tampaknya lebih banyak kelebihan guru daripada kekurangan guru. Temuan penting dari FGD adalah bahwa kebutuhan untuk memfokuskan pada kinerja guru tidaklah sekedar memberikan tambahan insentif. Dalam beberapa kasus, dbahwa paket insentif tersebut tidak efektif mengingat penyebaran ulang guru dari satu kabupaten ke

Page 13 of 63

Page 14: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

kabupaten lainnya dipersulit dengan tidak adanya tunjangan relokasi dan keengganan para guru untuk pindah keluar dari daerah asalnya.

Terhadap isu kelembagaan dan regulasi, diskusi pada FGD menggaris bawahi beberapa temuan berikut ini:

Ketidakpastian Kewenangan: Dinas Propinsi memiliki kewenangan resmi untuk merencanakan kebutuhan, rekrutmen dan promosi karir guru dan staf untuk SMU, SMK dan Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Tetapi, Dinas Kabupaten/Kota juga tetap menangani perencanaan guru dan staf untuk semua sekolah tersebut. Dinas Kabupaten/Kota sebaiknya hanya memfokuskan pada perencanaan kebutuhan, rekrutmen dan promosi karir guru dan staf untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP dan Pendidikan Non-Formal saja.

Kurangnya Pedoman Kepegawaian Propinsi: Dinas Propinsi seharusnya menangani penyebaran guru dan staf antar kabupaten/kota dalam rangka memastikan adanya penyebaran guru dan staf yang berkualitas secara merata dalam satu propinsi, tetapi penyebaran guru dan staf, pada kenyataannya, tidak dilakukan secara memadai oleh Dinas Propinsi dan tidak ada pedoman kepegawaian yang jelas.

Kabupaten/Kota Menangani Penyebaran Guru SMU: pengembangan, peningkatan dan pemberhentian guru dan staf di SMU, SMK dan Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Pelayanan Khusus, yang sebenarnya merupakan tanggungjawab Dinas Propinsi, ternyata masih tetap ditangani oleh Dinas Kabupaten/Kota.

Peran Propinsi dalam Pemberian Insentif Tambahan bagi Guru: Dinas Propinsi memiliki kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan, penghargaan dan perlindungan bagi para guru dan staf SMU, SMK dan Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Sedangkan Dinas Kabupaten/Kota memiliki kewenangan meningkatkan kesejahteraan, penghargaan dan perlindungan bagi para guru dan staf Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP dan Pendidikan Non-Formal.

Peranan propinsi pada penjaminan mutu guru: penetapan standar, sertifikasi dan kompetensi guru dan staf merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Propinsi memilki kewenangan dalam pengembangan profesi/karir melalui asosiasi profesi dan perguruan tinggi di propinsi. Kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam pembinaan profesi/karir melalui asosiasi profesi dan perguruan tinggi di kabupaten/kota.

Ketidakjelasan peran: diskusi lebih lanjut dengan kepala sekolah menunjukkan ada ketidakjelasan peran dan tanggungjawab yang berkaitan dengan menajemen guru di Dinas Propinsi (termasuk LPMP), Dinas Kabupaten/Kota, dan bahkan di beberapa sekolah. Kondisi seperti ini juga menunjukkan bahwa legislasi dan aturan mengenai manajemen guru dan staf pendidikan belum dipahami dengan baik.

Ketidakpastian peran propinsi dalam sistem penghargaan guru: sebagian besar responden belum memahami dengan jelas peran dan tanggunjawab Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam manajemen dan pengambilan keputusan pada masalah sistem penggajian guru. Beberapa responden (kepala sekolah dan guru) menjelaskan bahwa terdapat beragam sistem pemberian insentif guru antar kabupaten/kota. Hal ini sangat disesalkan oleh para guru di Propinsi DIY yang merasa sama golongan dan masa pengalaman kerjanya, tapi menerima jumlah gaji/insentif yang berbeda. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil wawancara dengan responden ternyata terdapat keragaman dalam pemberian penghargaan guru antara kabupaten/kota satu dengan yang lain. Responden dari Dinas Pendidikan Kabupaten menyatakan bahwa tidak ada aturan yang jelas

Page 14 of 63

Page 15: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

mengenai sistem penghargaan kepada guru. Kondisi ini menyebabkan kesulitan bagi Dinas Kabupaten/Kota dalam menentukan bentuk, macam dan besarnya penghargaan terhadap guru di wilayahnya.

Advokasi tunjangan guru berbasis-kinerja: beberapa guru menyatakan bahwa sistem pemberian penghargaan kepada guru akan sangat mendorong mereka untuk meningkatkan prestasi dan kualitasnya. Karena itu, perlu ada kejelasan dalam penilaian dan proses pengambilan keputusan terhadap pemberian penghargaan guru tersebut baik bagi guru untuk SMU dan SMK maupun di SD dan SMP. Aturan yang tidak jelas mengenai pembiayaan dalam pemberian penghargaan guru, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, akan mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya.

Strategi baru penyebaran guru antar kabupaten/kota yang merata: para responden

Kesimpulan dan rekomendasi berikut ini dapa rdasarkan temuan dan analisis

guru menyatakan tentang belum adanya pengaturan bagi penyebaran guru yang berkualitas dan sistem pemberian penghargaan guru untuk setiap kabupaten/kota. Kedepan perlu ada perencanaan anggaran bagi sistem penyebaran dan pemberian penghargaan bagi guru di kabupaten/kota.

t daitarik beyang telah dilakukan tersebut diatas :

Menurut UU no 32 tahun 2004 Dinas Propinsi memiliki kewenangan untuk merencanakan, merekrut, menyebarkan/menempatkan dan promosi karir guru dan staf pada sekolah SMU, SMK dan Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Pelayanan Khusus. Sedangkan Dinas Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang sama tetapi terbatas pada sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP dan Pendidikan Non-Formal. Tetapi, dalam kenyataannya, pelaksanaan aktifitas manajemen guru tersebut masih belum jelas antara propinsi dan kabupaten/kota. Dinas Kabupaten/Kota masih juga menangani manajemen guru dan staf pada sekolah SMU, SMK dan Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Pelayanan Khusus. Situasi ini mengakibatkan terjadinya penempatan dan penyebaran guru dan staf yang tidak merata.

rsepsi tentang sistem pemberian penghargaan dan insentif Terdapat perbedaaan pebagi guru antara propinsi dengan kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lain. Disamping itu, koordinasi pelaksanaan sistem pemberian penghargaan dan insentif bagi guru tersebut tidak baik. Situasi tersebut menimbulkan terjadinya variasi/perbedaan dalam hal pemberian penghargaan dan insentif bagi guru diantara kabupaten/kota. Pengembangan guru dan staf tidak ditangani secara merata antara propinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan mereka.

diperlukan regulasi dan Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, pedoman yang jelas untuk perencanaan, rekrutmen, penyebaran dan penempatan serta peningkatan karir guru dan staf sesuai dengan peran dan tanggung jawab dinas propinsi dan dinas kabupaten/kota. Dalam hal ini, tanggung dinas propinsi meliputi SMU, SMK, Paket C, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Pelayanan Khusus. Sedangkan tanggungjawab dinas kabupaten/kota meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP, dan Pendidikan Non-Formal. Dengan regulasi dan pedoman yang jelas, maka diharapkan penyebaran/penempatan guru dapat dilakukan secara lebih merata dan mampu menjamin bahwa setiap kabupaten/kota dapat memperoleh guru yang berkualitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.

Page 15 of 63

Page 16: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Perlu ada persamaan interpretasi mengenai sistem pemberian penghargaan dan insentif bagi guru antara dinas propinsi dengan dinas kabupaten/kota agar dapat dilaksanakan dengan baik untuk mendorong motivasi guru dan meningkatkan mutu pendidikan. Disamping itu, koordinasi yang baik antara propinsi dan kabupaten/kota perlu ditingkatkan dalam implementasi sistem pemberian penghargaan dan insentif bagi guru untuk memengurangi kesenjangan.

PPaannddaannggaann kkee ddeeppaann ddaann PPeettaa JJaallaann

Jika dinas pendidikan propinsi mampu secara efektif mendorong terlaksannya penyebaran guru, fungsi manajemen dan penjaminan mutu secara efisien, maka diperlukan sejumlah perubahan dalam sistem kelembagaan, organisasi, dan pembiayaan, khususnya:

Berikan PEO mandate yang lebih besar pada manajemen guru: melalui isu tentang pedoman propinsi yang baru, yang menyatakan kewenangan dan tanggungjawab PEO secara jelas dalam menjamin kesesuaian/pemenuhan ratio murid/guru dan guru/kelas serta sistem pemberian penghargaan bagi guru untuk semua kabupaten/kota.

Memperkuat sistem monitoring mutu/standard: melalui pemanfaatan secara sistematis hasil ujian yang dikelola oleh BSNP dan indikator proxy terkait yang telah ditetapkan dalam peraturan standard pelayanan minimum (SPM). Susunan organisasi perlu ditetapkan pada dinas propinsi untuk menyebarkan dan menganalisis kecenderungan dalam memantau standar dan menggunakan informasi tersebut untuk mempengaruhi peningkatan standard kabupaten/kota pada sistem perencanaan dan monitoring, melalui dialog yang membangun/konstruktif.

Memperkuat sistem informasi manajemen guru: melalui penguatan kapasitas PEO untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi penyebaran/penempatan guru dan implikasi finansialnya serta menggunanakan informasi ini untuk memastikan bahwa sistem manajemen guru kabupaten/kota telah sesuai dengan pedoman yang disetujui. Sebagai contoh, norma nasional rasio orang per guru secara resmi adalah satu guru per 30 – 40 siswa, sementara dalam praktik, rasio saat ini adalah sekitar satu guru per 15 – 20 siswa.

Reorientasi sistem insentif untuk manajemen guru: saat ini terdapat sedikit insentif untuk kabupaten/kota untuk mengurangi kelebihan jumlah guru yang tersedia mengingat pendanaan untuk gaji guru merupakan hasil negosiasi langsung dengan otoritas pusat di Jakarta dan didanai melalui sistem anggaran alokasi unum. Salah satu pilihan adalah memperkenalkan semacam hibah kondisionall (conditional block grant) untuk mendanai gaji guru, yang didasarkan pada peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan dan peningkatan pemerataan dalam penyebaran guru berkualitas dalam propinsi. Hal ini akan memungkinkan PEO untuk memainkan peran dalam menggunakan sistem tersebut dalam rangka menjamin kesesuaian dengan norma manajemen guru yang lebih baik.

Sebagian besar rekomendasi tersebut konsisten dengan hasil beberapa studi belakangan ini mengenai tinjauan sektor pendidikan, termasuk the Education Public Expenditure Review (World Bank, 2006) dan the Education Sector Review (World Bank, 2005). Lihat Lampiran 2.

Page 16 of 63

Page 17: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 11:: BBeebbeerraappaa TTaannttaannggaann ddaann IIssuu ddaallaamm IImmpplleemmeennttaassii DDeesseennttrraalliissaassii PPeennddiiddiikkaann

Tantangan Umum dalam Implementasi Desentralisasi

Status di Indonesia

1 Definisi dan penugasan peran dan tanggungjawab (penugasan fungsi) yang jelas dan efisien

Tidak. Ciri-ciri dan elemen penting dari susunan kelembagaan yang baru di bawah desentralisasi masih belum selesai, membingungkan dan kontroversial. Undang-undang telah menetapkan sektor-sektor yang merupakan kewewenangan wajib bagi pemerintah kabupaten/kota, tetapi fungsi-fungsi dalam sector tersebut belum diputuskan. Ada beberapa regulasi yang tidak konsisten yang mempengaruhi akuntabilitas dan ketidaksesuaian antara fungsi-fungsi dari dan sumber daya yang tersedia pada tingkat pemerintahan yang berbeda.

2 Penataan tanggungjawab dan kewenangan

Belum.Penetapan fungsi tidak jelas, bahkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru.

3 Pemerintah pusat dan propinsi berbagi kewenangan dengan pemerintah yang lebih rendah dan sekolah.

Tidak. Propinsi tidak memiliki kekuasaan menyeluruh relatif terhadap kabupaten/kota dan sekolah.

4 Sistem dan kecakapan manajemen yang efektif (generic dan yang berbasis sistem) untuk implementasi perubahan.

Tidak, walaupun sangat bervariasi. Banyak kabupaten/kota tidak cakap dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, walaupun beberapa Kabupaten/kota mampu. Tidak ada diagnosa (umum) yang serius terhadap penetapan fungsi yang rinci dan lengkap, sebagian karena penetapan fungsi tidak jelas. Beberapa sample telah dilakukan. Beberapa kabupaten/kota merupakan daerah yang kecil sehingga mereka tidak punya kecakapan yang dibutuhkan.

5 Partisipasi masyarakat, orangtua, dan sektor swasta.

Proyek percontohan menunjukkan bahwa minat cukup besar, tetapi peluang untuk partisipasi yang ada hanya kecil.

6 Akuntabilitas organisasi dan individual

Mekanisme tidak jelas, tetapi terdapat usulan untuk fungsi yang wajib dijalankan

7 Informasi tentang kualitas yang tinggi dan informasi tentang kualitas.

Tidak. Infrastruktur informasi harus dibangun kembali dan perlu dihubungkan dengan kinerja.

8 Pedoman dan dukungan teknis yang efektif

Tidak. Kebanyakan instruksi dan pedoman serta tradisi yang berkaitan dengan pengaturan ditujukan lebih pada pengawasan daripada pemberian dukungan.

9 Akses, peluang, dan ualitas, pendidikan yang merata

Tidak. Terdapat variasi yang besar diantara kabupaten/kota dan sekolah yang satu dengan yang lain dalam indicator kualitas sekolah.

10 Alokasi sumber daya yang merata dan efisien

Tidak. Formula pendanaan tidak efisien. Pembiayaan per siswa sangat bervariasi diantara kabupaten/kota dan diantara sekolah-sekolah.

11 Dukungan untuk desentralisasi dan politik serta hukum

Bukan masalah yang serius pada tingkat daerah. Kabupaten/kota merasa tertarik pada kekuasaan mereka yang baru. Desentralisasi pada tingkat sekolah belum diuji secara memedai untuk menilai tingkat penolakan (resistensi). Beberapa penolakan di tingkat nasional terhadap desentralisasi pada fungsi-fungsi tertentu, seperti yang terkait dengan manajemen guru.

12 Desain proyek medukung tujuan desentralisasi

Tidak tampak sebagai masalah. Terdapat proyek percontohan desentralisasi yang mendahului peraturan dan regulasinya, tetapi

Page 17 of 63

Page 18: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 11:: BBeebbeerraappaa TTaannttaannggaann ddaann IIssuu ddaallaamm IImmpplleemmeennttaassii DDeesseennttrraalliissaassii PPeennddiiddiikkaann

Tantangan Umum dalam Status di Indonesia Implementasi Desentralisasi

terdapat masalah dalam menerapkan pelajaran dari proyek percontohan tersebut pada peraturan dan regulasi yang dibuat.

13 Keudahan perkiraan politik dan kelembagaan

Tampaknya merupakan suatu masalah; kebijakan membuat bimbang dan implementasi kadang-kadang kontradiktif dengan kebijakan.

14 Bentuk dan proses memecahkan perselisihan atau peran dan tanggungjawab yang bertentangan

Tidak

Sumber : Education Sector Review, World Bank (2005)

Page 18 of 63

Page 19: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 22:: KKeerraannggkkaa IInnddiikkaattiiff uunnttuukk SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn GGuurruu

Kebijakan-kebijakan yang mendorong

Tindakan/Strategi Tanggungjawab

Menentukan proses penugasan guru secara transparan berdasarkan norma penempatan yang efisien, lowongan yang ada di sekolah, iklan, kriteria seleksi, rancangan kontrak, dan informasi publik.

Pendaftaran guru Norma penempatan guru Purna tugas (pension) Prosedur administrative kabupaten/kota dan sekolah-sekolah untuk mengontrak guru.

Sekolah – Identifikasi kebutuhan-kebutuhan guru, tinjau ulang para kandidat, dan wawancara, pilih guru, laporkan ke pinpinan kabupaten/kota. Kabupaten/kota – menyebarkan informasi mengenai norma guru dan kondisi pekerjaaan/jabatan, menyiapkan daftar pendek awal para kandidat, menerima seleksi sekolah, dan mengumumkan hasil. Nasional – Susun panduan untuk rasio guru/siswa, purna tugas (pension), kualifikasi dan pengalaman minimum, kondisi pekerjaan, skema pilot untuk identifikasi daerah yang kekurangan guru dan kelebihan guru dan alokasikan guru baru. Propinsi - Berikan jaminan mutu, fasilitasi penempatan guru lintas kab/kota; bantu pemerintah pusat dalam percontohan skema penyebaran guru.

Menyusun proses evaluasi kinerja sekolah yang didasarkan pada tanggungjawab kolektif guru dan kesempatan untuk review kinerja guru secara individu berdasarkan permintaan untuk tujuan pengembangan karir berdasarkan pada nilai tambah pada proses dan hasil pendidikan.

Standar Pelayanan Minimum (SPM) Standar kinerja guru. Pengawas, evaluator dilatih tentang review kinerja. Aktivitas dukungan profesional. Incentif untuk kinerja sekolah dan guru. Proses evaluasi. Pedoman review kinerja. Unpan balik antara evaluator dan guru. Akreditasi dan sistem informasi.

Sekolah – Lakukan proses evaluasi diri, umpan balik kepada siapa ? dan incentive, program pengembangan sekolah, kebutuhan pengembangan guru, akses sumberdaya untuk peningkatan sekolah. Kab/Kota – Berikan dukungan professional misal seperti mentoring oleh guru yang lebih baik, anggaran untuk pengembangan staf, sistem informasi untuk kinerja guru dan sekolah, sebarluaskan informasi mengenai contoh praktek terbaik ( best practices). Nasional – Tentukan standard pelayanan minimum (SPM) dan standar kinerja guru dan akreditasi guru Provinsi – Berikan jaminan mutu, sebarluaskan informasi, identfikasi wadah sumberdaya untuk dukungan professional.

Membangun sistem pemberian kompensasi dan penghargaan yang jelas, transparan, dan diarahkan oleh pertimbagan kualifkasi, tanggungjawab, dan motivasi untuk pengembangan guru secara terus menerus.

Sistem kompensasi yang memberi penghargaan bagi guru yang berperilaku meningkatkan capaian belajar murid.

Kab/Kota – Lakukan penilaian pada praktek pemberian tunjangan dan jelaskan criteria untuk pemberian tunjangan Nasonal - Adakan percontohan dan evaluasi alternative sistem insentif untuk daerah yang tergolong “sulit” Propinsi – Hitung jumlah guru baru yang tersedia.

Terapkan sistem pengembangan professional guru yang baerbasis sekolah dan berbasis kinerja.

Persiapan guru awal berbasis sekolah

Memulai program pengajaran dan pemberian lisensi yang mendukung kemitraan antara kab/kota, sekolah, dan badan lisensi. Kinerja guru di kelas, peluang memperoleh nilai tambah untuk mengembangkan minat profesional, pedagogi, mata pelajaran, peran kepemimpinan; dikaitkan dengan penghargaan –

Sekolah – Kontribusi pada praktikum, berikan umpan balik pada lembaga pelatihan dan kelompok sumberdaya teknis, partisipasi dalam riset untuk pengembangan sekolah Kab/Kota – Berikan umpan balik pada lembaga pelatihan dan kelompok sumberdaya teknis, penempatan guru baru, dukung dan evaluasi kandidat, sediakan sumberdaya untuk aktivitas induksi dan pengembangan profesional. Propinsi – Berikan jaminan mutu, sumberdaya dukungan teknis, dan sebarluaskan informasi contoh praktek terbaik.

Page 19 of 63

Page 20: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

dikenal, finansial, dan promosi. Nasional –Susun akreditasi lembaga dan program pendidikan guru, tanggapi kebutuhan penyedia jasa dan pemberi kerja

Sumber: Education Sector Review, World Bank (2005)

Page 20 of 63

Page 21: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 33aa:: TTiinnggkkaatt PPeemmaannffaaaattaann GGuurruu ppaaddaa SSDD//MMII,, YYooggyyaakkaarrttaa

SD MI

No. KABUPATEN/ Guru Guru per Guru Guru per

KOTA Sekolah Guru Per

Kelas Ruang kelas Sekolah Guru

Per Kelas Ruang kelas

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1 Kulon Progo 369 2,957 1.34 1.34

27

187 1.36 1.36

2 Bantul 444 5,053 1.71 1.63

26

285 1.77 1.79

3 Gunung Kidul 499 4,823 1.54 1.48

75

761 1.71 1.79

4 Sleman 498 5,340 1.69 1.61

17

209 1.99 2.20

5 Yogyakarta 208 2,897 1.79 1.65

2

47 3.92 3.13 Propinsi DIY 2,018 21,070 1.61 1.55 147 1,489 1.73 1.79

Sumber: Provincial Education Bureau, MONE (2006)

Catatan: SD = primary school under MONE, MI = primary school under MORA

Page 21 of 63

Page 22: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

SMP MTs

No. KABUPATEN/ Guru Guru per Guru Guru per

KOTA Sekolah Guru Per Kelas Ruang kelas Sekolah Guru Per Kelas

Ruang kelas

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1 Kulon Progo 68

1,674 3.83 2.64

12

280 5.09 3.73

2 Bantul 86

2,629 3.21 2.93

21

581 3.77 3.14

3 Gunung Kidul 101

2,289 2.99 2.66

30

573 3.45 3.15

4 Sleman 102

3,040 3.36 2.68

18

849 5.70 4.99

5 Yogyakarta 59

1,867 2.71 2.71

7

207 4.06 3.91

Propinsi DIY 416 11,499 3.18 2.73 88

2,490 4.33 3.74

LLaam

Catatan: SMP = junior secondary school under MONE, MTS = junior secondary school under MORA

mppiirraann 33bb:: TTiinnggk

Sumber: Provincial Education Bureau, MONE (2006)

kaatt PPeemmaannffa

Page 22 of 63

aaattaann GGuurruu ppaaddaa SSMMPP//MMTTss,, YYooggyyaakkaarrttaa

Page 23: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Page 23 of 63

LLaammppiirraann 33cc:: TTiinnggkkaatt PPeemmaannffaaaattaann GGuurruu ppaaddaa SSMMUU//MMAA,, YYooggyyaakkaarrttaa

SMA SMK MA

No. KABUPATEN/ Guru Guru Guru Guru Guru Guru

KOTA Sekolah Guru per kelasper ruang

kelas Sekolah Guru per

kelas per ruang

kelas Sekolah Guru per

kelas per ruang

kelas (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (10)

1 Kulon Progo 19

592 5.19 3.20

30

1,065 4.69 3.71

5 592 18.50 13.77

2 Bantul 36

1,299 3.30 3.01

31

1,128 3.80 3.93

7 310 3.83 3.37

3 Gunung Kidul 26

795 3.71 1.77

27

934 3.18 3.55

5 111 3.08 3.47

4 Sleman 50

1,518 3.81 3.03

49

1,804 3.66 3.25

12 431 3.95 3.62

5 Yogyakarta 49

1,829 2.67 2.67

30

1,520 3.33 3.00

6 270 3.86 3.86

Propinsi DIY 180

6,033 3.34 2.68

167

6,451 3.65 3.40 35 1,714 5.23 4.81

Sumber: Provincial Education Bureau, MONE (2006)

Catatan: SMA/SMK = senior secondary school under MONE, MA = senior secondary school under MORA

Page 24: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Studi Kasus Bidang Pendidikan di Indonesia 2: Perencanaan Anggaran Pendidikan di Era Desentralisasi

Dinas Pendidikan Propinsi D.I.Yogyakarta2

Latar Belakang Historis

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah propinsi yang otonom, terdiri dari lima Kabupaten/Kota, yaitu Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta, yang merupakan ibukota propinsi. Propinsi ini memiliki tradisi pendidikan yang sangat kuat dengan jumlah siswa tergolong yang tebesar di Indonesia. Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar (SD) diperkirakan 95%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekitar 76% dan Sekolah Menengah Atas (SMU) sekitar 63%. Tingkat penerimaan siswa perempuan hamper sama atau sedikit dibawah tingkat penerimaan siswa laki-laki. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kota/desa, dengan tingkat penerimaan siswa di sekolah menengah berkisar pada 5 – 6% lebih rendah di daerah pedesaan. Tetapi, perbedaan tersebut dalam akses ke pendidikan di seluruh propinsi secara signifikan lebih rendah daripada di daerah-daerah lain di Indonesia (Lihat Tabel 1).

Tabel 1 : Variasi dalam APM antara dan dalam propinsi (%)

1997 46 54 34.9 65.1 27.4 72.6 1998 43 57 31.6 68.4 25.6 74.4 1999 38.5 61.5 33.5 66.5 28.6 71.4 2000 31.8 68.2 30.6 69.4 25.4 74.6 2001 27.1 72.9 27.3 72.7 27.3 72.7 2002 30.5 69.5 29.2 70.8 27.5 72.5

Sumber: Education Public Expenditure Review, World Bank (2006)

Sebagai contoh, di DIY, variasi APM di jenjang sekolah dasar (SD) adalah antara 92% dan 95%. Sebaliknya, pada kasus yang ekstrim di Papua Barat, perbedaannya antara 57% dan 98%, suatu perbedaan sebesar 41%. Pada kasus Sulawesi Selatan, sebarannya antara 85% dan 98%, terdapat perbedaan sebesar 13%. Dengan kata lain, berdasarkan indikator kinerja pendidikan, DIY menunjukkan tingkat pemerataan yang tinggi. Untuk setiap indikator, Kota Yogyakarta memiliki indikator yang tertinggi.

2 Studi kasus ini dilakukan oleh Mr. Singgih Raharjo, Mr. K. Baskara Aji and Mr. Edy Wahyudi, staf senior Dinas Pendidikan Propisi D.I.Yokyakarta dan didukung oleh Mr. Erlangga Fausa, Konsultan National

Page 24 of 63

Page 25: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar 1: Pendidikan Dasar: APM kab/kota dalam propinsi

0,5

0,55

0,6

0,65

0,7

0,75

0,8

0,85

0,9

0,95

1

Prov

. Pap

ua

Prov

. Sul

awes

i Bar

at

Prov

. Gor

onta

lo

Prov

. Sul

awes

i Uta

ra

Prov

. Kep

ulau

an B

angk

a B

elitu

ng

Prov

. Sul

awes

i Ten

ggar

a

Prov

. Sul

awes

i Sel

atan

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Prov

. Sul

awes

i Ten

gah

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Prov

. D I

Yogy

akar

ta

Prov

. Lam

pung

Prov

. Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

. Kal

iman

tan

Bar

at

Prov

. Sum

ater

a Se

lata

n

Prov

. Jaw

a Te

ngah

Prov

. Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

. Jaw

a B

arat

Prov

. Jam

bi

Prov

. Bal

i

Prov

. Sum

atra

Bar

at

Prov

. Kep

ulau

an R

iau

Prov

. Sum

atra

Uta

ra

Prov

. Jaw

a Ti

mur

Prov

. Ban

ten

Prov

. Ben

gkul

u

Prov

. Ria

u

Prov

. Kal

iman

tan

Teng

ah

Sumber: Education Public Expenditure Review, World Bank (2006)

Gambar 2:Pendapatan per kapita, menurut Propinsi

Sumber: World Bank staff estimates based on data from SIKD/MOF (2006)

Pembelanjaan bidang pendidikan di DIY berada pada tingkat rata-rata. Estimasi penerimaan per kapita sebesar Rp.875,000 dibandingkan dengan rata-rata tingkat nasional Rp.850,000. Sebaliknya, daerah otonom lainnya seperti Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD), memperkirakan tingkat penerimaan sebesar Rp.1,9 juta per kapita. Selain hanya mendapatkan penerimaan rata-rata, DIY juga menerima bantuan Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan dana alokasi umum dari Pemerintah Pusat, yang cukup rendah. Misalnya, diperkirakan bahwa DAU per kapita adalah sekitar Rp.750,000, dibandingkan dengan rata-rata nasional yang hampir sama, maka ini berarti berada pada 40% terbawah untuk alokasi DAU per kapita (lihat Gambar 3). Hal ini menunjuk pada nilai yang menjanjikan untuk dana/uang dan dampak dari pembelanjaan pendidikan Propinsi pada peningkatan kinerja sector.

Page 25 of 63

Page 26: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar 3: DAU per kapita tahun 2006 semua propinsi di Indonesia

Sumber: World Bank staff calculation based on data from MOF (2006)

Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti perbedaan yang signifikan pada kinerja sector pendidikan diantara 5 Kabupaten/Kota. Berdasarkan pada indikator kinerja gabungan, tampak bahwa Kulon Progo dan Sleman memiliki kinerja sektor pendidikan yang secara signifikan lebih rendah, terutama berkaitan dengan akses ke sekolah, tingkat efisiensi internal dan keadilan jender. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan, seperti (i) menurunnya tingkat permintaan pada pendidikan dasar dan menengah; (ii) perbedaan tingkat pembelanjaan pendidikan antar Kabupaten/Kota; (iii) tidak adanya mekanisme untuk mensejajarkan/menyamakan pembelanjaan pendidikan antar Kabupaten/Kota; (iv) tidak efisiennya alokasi dan penggunaan sumber daya antar Kabupaten/Kota; dan (v) perbedaan dalam berbagai kendala potensial pada akses pendidikan, termasuk perbedaan desa/kota dalam jarak ke sekolah, hambatan biaya dan tersedianya infrastruktur yang memadai.

Peringkat kab/kota, SPM dan Perbandingan Kinerja Kab/Kota

Kab/Kota Peringkat SPM

Peringkat Komparatif Kab/Kota

Peringkat SPM

Peringkat Komparatif

D.I. Yogyayakarta Kab. Bantul B C Kab. Sleman C D Kab. Gunung Kidul B C Kota Yogyakarta A B Kab. Kulon Progo C D

Sumber: C. Perry and M. Ratcliffe, MOEYS Advisory TA Report, ADB (2005)

Menurut Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), peningkatan mutu pendidikan di daerah dan sekolah bukan lagi merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai peluang untuk mengambil alih tanggungjawab pada peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini, Pemerintah Propinsi perlu proaktif dalam mengkoordinir berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan di wilayahnya.

Page 26 of 63

Page 27: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Propinsi DIY No. 3 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Propinsi DIY menetapkan bahwa Dinas Pendidikan Propinsi adalah unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang pendidikan yang berfungsi sebagai pelaksana kewenangan pemerintah daerah, kewenangan dekonsentrasi, dan tugas pembantuan/delegasi wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat sektor pendidikan. Tugas utama Dinas Pendidikan Propinsi adalah menyusun program di bidang pendidikan yang sesuai dengan Rencana Strategis Pemerintah Daerah, merumuskan kebijakan di sektor pendidikan, menerbitkan ijin bagi lembaga-lembaga penyelenggara pelayanan pendidikan dan pelayanan public, mengembangkan dan mengimplementasikan khusus, memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan tingkat kabupaten/kota, memberdayakan staf dinas pendidikan dan mitranya pada sector pendidikan, dan menyelenggarakan aktifitas administrasi pendidikan.

Pemerintah Propinsi, bersama Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pemerintah yang otonom, yang berperan menjalankan kewenangan pemerintah pusat, bertanggungjawab dalam implementasi dan keberhasilan program yang telah dirancang oleh Pemerintah Pusat dan manajemen pendidikan, seperti program peningkatan mutu pendidikan. Sebagai pemerintah yang otonom, pemerintah kabupaten/kota melaksanakan sejumlah kegiatan untuk pelayanan penyelenggaraan pendidikan kabupaten/kota. Namun, proses implementasi desentralisasi pendidikan, menghadapi sejumlah masalah dan ketidakjelasan dalam manajemen pendidikan.

Berkaitan dengan alokasi anggaran/pembiayaan pada sector pendidikan, sebagian pembiayaan ditanggung oleh pemerintah dan sebagian lagi oleh masyarakat dan orang tua siswa. Di sekolah negeri, biaya yang ditanggung pemerintah meliputi biaya-biaya untuk gaji kepala sekolah, guru dan staf administrasi, pembangunan dan pemeliharaan gedung, pengadaan perlengkapan dan bahan ajar. Pada sisi lainnya, orang tua siswa menanggung biaya-biaya untuk kebutuhan siswa, seperti buku, alat tulis, transportasi, akomodasi, konsumsi dan juga biaya BP3. Sementara itu, di sekolah swasta, hampir semua biaya pendidikan dibebankan kepada orang tua siswa, dengan pengecualian dimana beberapa pengeluaran ditanggung yang ditanggung oleh yayasan sekolah, masyarakat dan pemerintah dalam bentuk subsidi.

Sudah sejak beberapa tahun lalu bahwa kewenangan pemerintah didesentralisasikan pada tingkat kabupaten/kota, termasuk sektor pendidikan di semua jenjang dan jenisnya. Satu perkecualian adalah pendidikan untuk anak-anak difabel/cacad, dimana pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah propinsi. Desentralisasi mempengaruhi pola penganggaran pada sektor pendidikan. Sejak otonomi daerah diperkenalkan, pemerintah pusat tidak lagi menyediakan dana secara langsung, termasuk untuk biaya operasional sekolah. Pemerintah daerah yang bertanggungjawab pada alokasi anggaran tersebut.

Page 27 of 63

Page 28: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar 4: Struktur Finansial Pasca Desentralisasi

Central

Government

Provincialgovernment

District Government

Religious Schools Public Schools

Ministry of Religious Affairs

Ministry of National

Education General Flows

Earmarked Flows

DAK

DAU/Shared Revenues

APBN APBN

APBD

Terdapat 3 (tiga) model alokasi dana: (i) dana dekonsentrasi; (ii) dana yang langsung ke kabupaten/kota; dan (iii) dana yang langsung ke sekolah. Dana dekonsentrasi diberikan oleh pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dana yang langsung ke kabupaten/kota disebut Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) untuk mengatasi masalah ketimpangan horizontal (antar daerah). Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan kemampuan keuangan antar daerah (Lampiran Keputusan Presiden RI No. 1/2003). Melalui sistem block grant, pemerintah daerah diberi keleluasaan mengelola dana tersebut dalam hal besarnya dana yang dialokasikan untuk setiap sektor, termasuk sektor pendidikan. Hal ini cenderung mengakibatkan munculnya perbedaan pola dalam penggunaan DAU oleh kabupaten/kota, tergantung pada anggaran masing-masing yang ada.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003) Pasal 49 ayat (1) mengamanatkan: “Diluar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan, sektor pendidikan mendapat alokasi dana minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)”. Pada dasarnya, Undang-undang tersebut wajib dilaksanakan dan suatu kesalahan besar disaat sudah diundangkan tetapi belum dilaksanakan. Sementara orang berpendapat bahwa dengn mempertimbangkan kondisi keuangan saat ini, maka alokasi anggaran pada sektor pendidikan sebesar 20% baru akan dilaksanakan pada tahun 2009. Dibandingkan dengan negara-negara maju yang mengalokasikan lebih dari 30% dari anggaran nasionalnya untuk sektor pendidikan, maka Indonesia, yang pada saat ini alokasinya bahkan belum mencapai 10% dari total APBN, perlu mengembangkan program dan kegiatan yang mampu membantu meningkatkan mutu di semua jenis dan jenjang pendidikan. Propinsi DIY memproyeksikan diri sebagai pusat pendidikan terkemuka pada tahun 2020. Akibatnya, semua program dan kegiatan pada dua tahun terakhir dalam Rencana Strategis (Renstra) 2003–2008, untuk

Dinas DinasEducation Spending Education

Spending

ABPD

Page 28 of 63

Page 29: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

menyediakan pendidikan yang kompetitif, harus mendapatkan alokasi 20% APBD baik propinsi maupun kabupaten/kota.

Secara ringkas, sebelum desentralisasi, semua dana yang mengalir ke kabupaten/kota and ke sekolah disalurkan melalui dinas pendidikan propinsi, terpisah dari kontribusi orangtua siswa dan bantuan donor. Setelah desentralisasi, mayoritas pendanaan disalurkan langsung melalui kabupaten/kota atau dalam beberapa kasus, langsung ke sekolah-sekolah. Hanya dana dekonsentrasi dan dana-dana dari sumber-sumber propinsi saja yang dikelola oleh manajemen dinas pendidikan propinsi. Terfragmentasinya sumber-sumber pendanaan ini dan meningkatnya kecenderungan otoritas pusat untuk menyalurkan dana langsung ke sekolah-sekolah (misalnya, dana block grant untuk Bantuan Operasional Sekolah/BOS), yang diperkenalkan tahun 2005.

TTuujjuuaann ddaann MMeettooddoollooggii

Tujuan studi kasus di DIY ini adalah untuk mendokumentasikan pengalaman awal dan pelajaran yang dapat diperoleh dari pengenalan berbagai aspek organisasi dan sistem manajemen berbasis-hasil dan kinerja pada berbagai tingkat sistem pendidikan dalam konteks desentralisasi. Secara khusus, tujuannya adalah mengetahui sejauh mana dinas pendidikan propinsi telah mengubah sistem organisasinya, khususnya untuk perencanaan, pembiayaan dan monitoring, sebagai tanggapan terhadap undang undang dan peraturan desentralisasi. Tujuan kedua adalah membuat usulan/saran yang spesifik untuk peningkatan. Lihat ringkasan metodologi pada Lampiran 1.

Pertanyaan pokok dalam analisis ini adalah:

Adakah pedoman resmi tentang tanggungjawab organisasi dinas pendidikan propinsi berkaitan dengan perencanaan keuangan/anggaran dan sistem informasi dan implementasi kebijakan dan stategi pendidikan, termasuk peran dan tanggungjawab propinsi/kabupaten/kota, masyarakat, dan orangtua siswa?

Bagaimana dinas pendidikan Propinsi dan para stakeholder menilai efektivitas dan dampak dari sistem informasi manajemen pada kinerja sector? Langkah-langkah apa yang telah diambil oleh dinas pendidikan propinsi dalam menggunakan sistem informasi manajemen keuangan/pengganggaran untuk memperkuat tata kelola dan akuntabilitas dalam pendidikan dan seberapa efektifkah?

Bagian lain dari analisis ini adalah untuk menyoroti beberapa persoalan penting dan perubahan organisasi yang diusulkan, mliputi: (i) apa persoalan utama dalam merumuskan dan mengimplementasikan sistem informasi manajemen yang baru? Perubahan-perubahan apa saja yang telah dilakukan dalam organisasi untuk memecahkan masalah tersebut? (ii) Perubahan-perubahan lebih lanjut apa lagi yang akan diusulkan untuk meningkatkan organisasi dan manajemen dari sistem informasi manajemen keuangan/penganggaran ini? dan (iii) Perubahan-perubahan lebih lanjut apa lagi yang akan diusulkan dalam meningkatkan pengaruh sistem informasi manajemen pada hasil dan kinerja sektor? Ini termasuk analisis (iv) rasio alokasi anggaran pada sektor pendidikan antara tingkat pusat/nasional, propinsi dan kabupaten/kota; dan (v) apakah proses perencanaan anggaran saat ini telah mengacu pada rencana strategis.

Metodologi dan prosedur disini terkait dengan cara memahami obyek penelitian. Lebih khusus lagi, metode berkenaan dengan pengumpulan data, dan prosedur berkenaan dengan analisis data. Metode dan prosedur memainkan peranan penting dalam sebuah penelitian karena memfasilitasi penyediaan gambaran/deskripsi mendalam tentang apa yang akan dipelajari oleh peneliti, bagaimana peneliti akan melaksanakan penelitiannya dan

Page 29 of 63

Page 30: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

menganalisis hasil untuk menyesuaikan dengan tujuan penelitian. Bagian ini akan membahas jenis dan pendekatan penelitian, populasi, sample, data dan sumbernya, instrumen, pengumpulan data dan analisis data. Alat bantu metodologi ditunjukkan pada Lampiran 1, yang digunakan oleh nara sumber di bagian pendidikan/keuangan/ penganggaran pada dinas pendidikan kabupaten/kota di Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul.

Temuan Penting dan Rekomendasi

Variabel Sistem Informasi Keuangan Kabupaten/Kota. Informasi anggaran pendidikan tingkat nasional maupun propinsi dikelola dengan baik dan siap tersedia dinas pendidikan propinsi. Dari 5 kabupaten/kota, hanya 3 yang memiliki data trend keuangan/anggaran yang tersedia, Sleman dan Bantul tidak dapat menyediakan informasi tersebut. Dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan alokasi anggaran pada sektor pendidikan yang meningkat pada 5 kabupaten/kota dan propinsi.

Tetapi, kondisi di kabupaten Gunung Kidul jauh dari memuaskan. Diluar gaji guru, alokasi pada sector pendidikan, walaupun cenderung naik, sangat kecil dibandingkan anggaran keseluruhan kab/kota (3.69% di tahun 2001, 3.66% tahun 2002, 4.09% tahun 2003, 4.47% tahun 2004 dan 5.06% tahun 2005). Angka tersebut jauh dari yang diamanatkan UU No. 20 tahun 2003. Jika diperkirakan bahwa pada tahun 2009 alokasi pada sektor pendidikan mencapai 20%, ini berarti bahwa kabupaten/kota harus meningkatkan 15% pada 3 tahun kedepan (2007, 2008, dan 2009) atau dengan kata lain, ada kenaikan tahunan sebesar 100%.

Gambar 5: Analisis Kecenderungan Anggaran Pendidikan:Kab/Kota Tertentu

0

50,000,000

100,000,000

150,000,000

200,000,000

250,000,000

300,000,000

350,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

Pusat/APBNPropinsi DIYGunungkidulKulon ProgoYogyakarta

Sumber: Kuesioner untukDinasPendidikan Kab/Kota, tahun 2006

Variabel Andil Anggaran Pendidikan Kabupaten/Kota dan Regulasi yang tidak seimbang. Jumlah ideal dari alokasi anggaran pada sektor pendidikan, baik untuk tingkat nasional dan propinsi maupun kabupaten/kota, adalah 20% (sejalan dengan UU No.20 tahun 2003). Alokasi anggaran pada sektor pendidikan di Propinsi DIY relatif tinggi. Pemerintah propinsi dan DPRD memiliki komitmen yang lebih baik untuk mencapai tujuan menjadikan DIY sebagai pusat pendidikan yang terkenal pada tahun 2020. Dalam 5 tahun terakhir alokasi pada sektor pendidikan telah meningkat dan mencapai lebih dari 5% dari keseluruhan

Page 30 of 63

Page 31: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

anggaran propinsi. Sebaliknya, Kabupaten Gunungkidul membelanjakan jumlah yang relatif kecil dari keseluruhan pengeluaran kabupaten pada sektor pendidikan (lihat Gambar 5).

Gambar 6: Volume Pengeluaran Pendidikan di Kabupaten Gunungkidul

0

50,000,000

100,000,000

150,000,000

200,000,000

250,000,000

300,000,000

350,000,000

400,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

edtotal

Sumber: Kuesioner untukDinasPendidikan Kab/Kota, tahun 2006

Penilaian Organisasi untuk Perencanaan Keuangan/Anggaran. Temuan dari kuesioner menunjukkan variasi/perbedaan yang signifikan dalam berbagai aspek sistem manajemen keuangan berbasis-hasil (lihat Lampiran 2).

Gambar. 6: Penilaian Organisasi: Sistem Keuangan dan Anggaran

0

1

2

3

4

5

Priorities andResults

Processes ResourceManagement

OrganizationalCapacity

Rating Scale : 1 = not existing, 2 = just beginning, 3 = operating with some difficulties, 4 = operating satisfactorily, 5 = operating very well

Sistem Komunikasi dan Orientasi Hasil yang Terbatas. Keseluruhan sistem manajemen dan perencanaan anggaran/keuangan propinsi/kabupaten/kota dapat beroperasi dengan beberapa kesulitan. Berkenaan dengan prioritas dan hasil pada alokasi anggaran pada sektor pendidikan selama periode desentralisasi, dapat dikatakan bahwa semua hasil

Page 31 of 63

Page 32: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

sebagaimana telah ditentukan sejalan dengan prioritas dirumuskan secara realistis dan jujur walaupun menemui beberapa kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut muncul akibat terfragmentasinya sumber-sumber pembiayaan dan kenyataan bahwa prioritas ditentukan oleh program individual ketimbang strategi keseluruhan. Kendala lebih jauh adalah kenyataan bahwa sistem monitoring hasil kinerja sektor (misal, khususnya untuk mutu) adalah urang baik (kurang berkembang) dan mekanisme komunikasi hasil kepada Parlemen dan Publik baru saja mulai.

Proses Monitoring dan Perencanaan yang tidak seimbang. Dalam hubungannya dengan perencanaan anggaran, ketika harus diakui bahwa otoritas regional sebagaimana telah diberi oleh desentralisasi memberikan keluwesan untuk menyesuakan dengan situasi yanfg berbeda, terdapat kekurangan dalam tahapan untuk mencapai RENSTRA dan sistem informasi untuk memonitor sasaran produk dan untuk meninjau ulang strateginya. Secara khusus, mekanismenya tidak ada, yang memungkinkan propinsi menggunakan dana dekonsentrasi dan sumber-sumber pendanaan propinsi untuk mulai menyeimbangkan (memeratakan) kinerja antara 5 kabupaten/kota. Masalah ini lebih dipersulit lagi oleh sistem monitoring kinerja sektor yang terbatas dan kurangnya mekanisme yang mengijinkan propinsi mempengaruhi perubahan-perubahan dalam strategi dan penganggaran pada tingkat kabupaten/kota.

Sistem Manajemen Sumber Daya dan Sumber Daya Manusia yang Terbatas. Manajemen sumber daya manusia tidak memadai. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa perencanaan anggaran kabupaten/kota dan regional, sejak desentralisasi diterapkan, selalu tertunda. Pada saat dana dikucurkan, perubahannya tidak fleksibel. Di dinas pendidikan propinsi dan kabupaten/kota, kemampuan untuk melakukan perencanaan keuangan 5 tahun dan monitoring pengaruh dari RENSTRA sangat terbatas. Sistem dan kemampuan untuk penyiapan anggaran tahunan kabupaten/kota dan propinsi juga terbatas, seringkali mengakibatkan juga tertundanya kucuran dana dari otoritas pusat kepada propinsi dan dari propinsi ke kabupaten/kota. Karena pembiayaan dan penganggaran didorong oleh program yang spesifik dan bukan oleh strategi keseluruhan, maka sangat kecil fleksibilitasnya dalam menungkinkan kabupaten/kota atau sekolah untuk menyesuaikan anggaran gaji dan lainnya lainnya sesuai keadaan.

Kapasitas Organisasi Terbatas. Terdapat komitmen dan kepemimpinan yang Pemerintah Propinsi (Gubernur) dan DPRS untuk menjamin sumber daya pendidikan yang memadai. Terdapat juga komitmen kuat untuk mengimplementasikan kebijakan RENSTRA pendidikan yang baru. Kapasitas teknis di propinsi dan kabupaten/kota untuk menterjemahkan rencana anggaran yang sejalan dengan prioritas RENSTRA terbatas. Komite sekolah dan dewan pendidikan telah ada sejak tahun 2003 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.044/U/2002, tetapi banyak yang tidak efektif dalam menyampaikan saran dan rekomendasi pada pembahasan proses alokasi anggaran. Pada keadaan ini, kepala sekolah dan guru cenderung untuk mendominasi pembuatan keputusan anggaran di tingkat sekolah.

Pemenuhan dengan Regulasi yang Lebih Baik. Dibawah desentralisasi, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kebebasan yang menyangkut jumlah alokasi anggaran pada sektor pendidikan sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat dan UU No. 20 tahun 2003. Tetapi, jangankan mengalokasikan 20% anggaran kabupaten/kota, beberapa justru mengalokasikan kurang dari 5%. Meskipun begitu, diketahui bahwa aturan 20% mungkin perlu didefinisi ulang, terutama mengingat UU guru yang baru akan meningkatkan anggaran gaji, didanai oleh kabupaten/kota. Ada kebutuhan untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menyangkut pembagian andil pada anggaran sektor pendidikan. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa kabupaten dengan anggaran yang lebih besar tidak selalu menyediakan alokasi anggaran yang lebih besar pada sektor pendidikan, yang mengakibatkan upaya pemerataan kinerja pendidikan semakin sulit.

Page 32 of 63

Page 33: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Komunikasi Publik yang lebih baik. Untuk mencapai manajemen pendidikan yang lebih baik, yang akan mendorong kualitas pendidikan yang lebih baik dan, pada gilirannya, pencapaian visi Yogyakarta sebagai pusat pendidikan yang terkenal pada tahun 2020, kesadaran masyarakat yang lebih tinggi pada pendidikan dibutuhkan disamping komitmen yang lebih tinggi baik dari pemerintah pusat melalui APBN maupun pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) melalui anggaran masing-masing untuk mengimplementasikan UU No. 20 tahun 2003 dengan pengembangan dan pelaksanaan program dan aktifitas dalam menjawab tantangan global. Dinas pendidikan propinsi dapat memainkan peran yang lebih kuat dalam komunikasi dan program advokasi semacam itu.

Memungkinkan Pembiayaan Pendidikan yang Lebih Merata. Kelima kabupaten/kota di DIY sangat beragam dalam hal pendapatan daerah, perekonomian rakyat dan kesadaran masyarakat pada pendidikan. Dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan di semua kabupaten/kota, alokasi anggaran pada sektor pendidikan harus dikoordinir di bawah persetujuan pembagian andil biaya antara pemerintah propinsi dan daerah (kabupaten/kota). Mekanisme dan regulasi yang baru dibutuhkan dalam rangka membantu propinsi memainkan peran ini dan menggunakan sumber-sumber dana pusat dan propinsi, sebagai bagian dari proses pemerataan.

PPaannddaannggaann kkee DDeeppaann ddaann PPeettaa JJaallaann

Jika kantor dinas pendidikan propinsi mampu secara efektif mendorong terjadinya penyebaran guru, fungsi manajemen dan penjaminan mutu secara efisien, maka diperlukan sejumlah perubahan kelembagaan, organisasi, dan sistem pembiayaan, khususnya:

Memberikan PEO mandate manajemen keuangan yang lebih kuat, terutama untuk pemerataan: melalui isu tentang pedoman propinsi yang baru, yang menetapkan secara jelas kewenangan dan tanggungjawab PEO dalam menjamin bahwa kabupaten/kota mengalokasikan sumber daya anggaran pendidikan yang memadai, sejalan dengan pedoman pemerintah dan juga bahwa dana propinsi bisa lebih dikaitkan pada masalah variasi dalam mencapai sasaran akses dan mutu pada RENSTRA, termasuk rasio murid/guru dan guru/kelas, rasio staf dan sistem penghargaan guru di semua kabupaten/kota.

Menguatkan sistem monitoring dan perencanaan keuangan yang berorientasi pada hasil: melalui pemanfaatan secara sistematis sasaran kinerja RENSTRA dan sistem monitoring standard (misalnya, hasil ujian yang dikelola BSNP an regulasi standard pelayanan minimum (SPM)). Susunan organisasi perlu dimantapkan pada dinas propinsi untuk menyebarluaskan dan menganalisis kecenderungan dalam memonitor standar dan menggunakan informasi tersebut untuk mempengaruhi perencanaan peningkatan standar kabupaten/kota dan sistem monitoring, melalui dialog yang membangun/konstruktif. Lebih lanjut diusulkan bahwa satuan tugas koordinasi keuangan propinsi/kabupaten/kota perlu dimantapkan untuk memperkuat sistem tersebut.

Memperkuat sistem informasi manajemen anggaran/keuangan: melalui upaya memperkuat kapasitas PEO untuk mengumpulkan dan menganalisis data anggaran/keuangan dari semua sumber. Sebagai bagian dari semua ini, bagi propinsi untuk menerbitkan regulasi dan pedoman baru tentang bagaimana kabupaten/kota perlu mengumpulkan dan menyajikan informasi keuangan untuk disampaikan ke dinas propinsi. Hal itu membutuhkan untuk memasukan rincian bagian gaji dan bagian non-gaji serta komponen-komponen pengeluaran dari sumber-sumber pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Page 33 of 63

Page 34: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Peningkatan transparansi dalam pembelanjaan pendidikan: melalui upaya memperkuat mandate dinas propinsi untuk memerlukan bahwa dinas propinsi itu sendiri, dinas kabupaten/kota, dan sekolah menyajikan laporan keuangan konsolidasi tahunan untuk pendidikan, termasuk indikasi yang jelas tentang sumber pendanaan dan komponen-komponen pengeluarannya. Sebagai bagian dari regulasi ini, dinas pendidikan propinsi akan mempunyai kewenangan untuk mengambil langkah jika kabupaten/kota dan sekolah tidak sesuai dengan penyusunan laporan tersebut.

Tinjauan pada mandate andil 20% pendidikan sekarang; Tampaknya pencapaian 20% merupakan masalah baik bagi tingkat pusat maupun daerah, khususnya jika tidak termasuk gaji. Lembaga pemerintah pusat cenderung untuk membelanjakan sebagian besar anggaran pendidikannya pada gaji. Pemerintah pusat juga perlu menaikkan tingkat pembelanjaan yang sudah ada secara signifikan. Selain itu, kenaikan pembelanjaan yang terlalu besar pada tingkat pusat akan bertentangan dengan prinsip dan filosofi desentralisasi dengan lebih mendorong pembelanjaan pusat pada sektor yang didesentralisasi.

Banyak rekomendasi tersebut konsisten dengan hasil studi sektor pendidikan akhir-akhir ini, termasuk the Education Public Expenditure Review (World Bank, 2006) dan the Education Sector Review (World Bank, 2005).

Page 34 of 63

Page 35: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 11:: RRiinnggkkaassaann MMeettooddoollooggii SSttuuddii KKaassuuss

Latar Belakang

Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mendokumentasikan pengalaman dan pelajaran yang diperoleh dari pengenalan berbagai aspek sistem manajemen berbasis hasil di organisasi sektor pendidikan di tingkat kab/kota dalam konteks desentralisasi. Tujuan kedua adalah untuk menyusun proposal spesifik untuk peningkatan, sebagai kontribusi pada perencanaan dan penganggaran sektor pendikan kab/kota pada tahun fiskal 2007.

Isu-isi pokok :

Adakah peraturan resmi dan prosedur standar untuk penentuan sasaran kinerja sektor pada tingkat kab/kota dan apa peran dinas pendidikan propinsi ?

Jika ada prosedur standar dan/atau peraturan untuk menjamin alokasi anggaran pendidikan konsisten dengan sasaran ? Prosedur dan aturan seperti apa, dan apakah dianggap cukup dan realistik ?

Jika tidak ada prosedur standar, dapatkan anda memberikan contoh kriteria dan proses seperti apa yang sekarang digunakan untuk mencoba mengkaitkan penentuan sasaran dengan proses alokasi anggaran ?

Bagaimana penentuan sasaran pada tingkat kab/kota berkaitan dengan penilaian kinerja dan sasaran pada tingkat pendidikan propinsi dan pada sasaran sektor nasional secara keseluruhan ?

Utama dan Perubahan yang Diusulkan

Apa masalah utama dalam penentuan prioritas kinerja kab/kota dan sasaran dan proses alokasi anggaran terkait dan peran apa yang dimainkan dinas pendidikan propinsi dalam menyelesaikan masalah tersebut ?

Kapan ada masalah dalam penentuan dan pemenuhan sasaran dan bagaimana proses perencanaan anggaran dalam kab/kota dan bagaimana dinas pendidikan propinsi membantu dalam memecahkan masalah tersebut ?

Perubahan apa yang telah terjadi untuk menyelesaikan masalah tersebut ?

Apa perubahan berikutnya yang anda usulkan untuk mengurangi kesulitan dalam penentuan prioritas dan sasaran dan juga proses alokasi anggaran terkait ?

Apakah perubahan tersebut memerlukan penyesuaian bagaimana dinas pendidikan propinsi dan kab/kota dan sekolah diorganisasikan dan dikelola ?

Penilaian Organisasi

Apa isu utama dalam organisasi dan manajemen yang terkait dengan proses alokasi anggaran yang perlu dibahas untuk meningkatkan efektivitas proses alokasi anggaran ?

Page 35 of 63

Page 36: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Apa isu utama organisasi dan manajemen yang perlu untuk dibahas untuk menjamin bahwa sasaran kinerja adalah realistik dan dapat diterapkan dalam alokasi anggaran pendidikan yang disetujui pada tingkat kab/kota ?

Apa perbedaan utama dalam organisasi dan manajemen, terutama terkait dengan proses alokasi anggaran pada 5 kab/kota, apa yang membuat berbeda dalam hal kemampuan mereka untuk memenuhi sasaran RENSTRA sekarang dan yang akan datang ?

Rekomendai apa yang akan anda buat terhadap proses alokasi anggaran DIKNAS pusat dan propinsi untuk membantu mengatasi kesulitas tersebut dalam menerapkam sasaran RENSTRA ?

Page 36 of 63

Page 37: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 22:: PPrroosseess PPeenneennttuuaann PPrriioorriittaass:: AAllaatt AAnnaalliissiiss uunnttuukk MMaannaajjeemmeenn AAnnggggaarraann BBeerrbbaassiiss--HHaassiill

Instrumen ini dapat digunakan untuk menilai bagaimana efektivitas perencanaan anggaran pendidikan, manajemen dan pemantauan yang ada saat ini pada tingkat propinsi dan kab/kota untuk dapat menanggapi kebutuhan perencanaan dan penerapan RENSTRA 2005/9. Beragam aspek dapat dibuat peringkat untuk mengidentifikasi peluang dan kendala utama menggunakan skala peringkat berikut.

Skala Peringkat : 1=tidak ada, 2=baru mulai, 3=beroperasi dengan beberapa kesulitan, 4=beroperasi cukup baik, 5=beroperasi sangat baik

Komponen Sistem Manajemen Berbasis Hasil/Persetujuan Layanan Peringkat 1. Prioritas dan Hasil

1.1 Hasil dapat ditentukan sesuai dengan prioritas RENSTRA 3.0 1.2 Hasil dapat dibuat realistik dan dapat diukur. 3.0 1.3 Hasil dapat direncanakan dan dikomunikasikan dengan pemerintah dan masyarakat 2.3 Rata-rata 2.7 2. Proses

2.1 Proses perencanaan ada, termasuk konsultasi dengan masyarakat dan orang tua secara luas.

2.5

2.2 Rencana strategis akan memungkinkan target tertentu diletakkan pada berbagai interval selama pelaksanaan.

2.5

2.3 Kewenangan yang didelegasikan akan memberikan fleksibilitas yang cukup untuk menjawab situasi yang berbeda.

4.0

2.4 Terdapat sistem informasi yang efektif untuk pemantauan target produk dan pengkajian strategi.

1.0

Rata-rata 3.3 3. Manajemen Sumberdaya

3.1 Proses alokasi anggaran akan memungkinkan pemenuhan target produk yang telah disetujui.

3.0

3.2 Proses pencairan dana akan tepat waktu dan sesuai dengan anggaran yang telah disetujui.

2.0

3.3 Terdapat fleksibilitas anggaran ketika muncul masalah pencairan dana dan perubahan target.

2.5

3.4 Adanya anggaran dan plafon untuk jangka menengah. 3.5 3.5 Adanya proses negosiasi terbuka terhadap prosea alokasi anggaran. 3.5 3.6 Adanya proses untuk kombinasi yang sesuai dalam pembelanjaan untuk gaji dan

operasional. 3.8

3.7 Proses memungkinkan direktur dan institusi kab/kota memberikan variasi pembelanjaan gaji dan operasional untuk memenuhi target produk.

1.0

Rata-rata 2.6 4. Kapasitas Organisasi

4.1 Terdapat kepemimpinan dan pengertian yang kuat untuk mendukung RENSTRA. 2.8 4.2 Tersedianya kapasitas staf teknis untuk menjamin proses alokasi anggaran

dikaitkan dengan prioritas RENSTRA. 2.7

4.3 Komite sekolah cukup efektif terlibat dalam diskusi alokasi anggaran 2.0 4.4 Pejabat senior dan gubernur memberikan dukungan secara terbuka proses alokasi

anggaran. 4.0

Rata-rata 2.9

Page 37 of 63

Page 38: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah
Page 39: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Studi Kasus Bidang Pendidikan di Indonesia 3: Koordinasi Proses Perencanaan Anggaran untuk Implementasi Program ICT

Dinas Pendidikan Propinsi D.I.Yogyakarta3

Latar Belakang Historis

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah propinsi otonom, terdiri dari lima Kabupaten/Kota, yaitu Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Yogyakarta, yang merupakan ibukota propinsi. Propinsi ini memiliki tradisi pendidikan yang sangat kuat dengan jumlah murid tergolong yang tebesar di Indonesia. Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar diperkirakan 95%, Sekolah Menengah Pertama sekitar 76% dan Sekolah Menengah Atas sekitar 63%. Jumlah murid perempuan sama atau sedikit dibawah tingkat laki-laki. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan pada kota/desa, dengan tingkat perbedaan APM di sekolah menengah berkisar pada 5 – 6% lebih rendah di daerah pedesaan. Tetapi, perbedaan ini dalam akses pendidikan dalam propinsi secara signifikan lebih rendah daripada di daerah-daerah lain di Indonesia.

Sebagai contoh, di DIY, variasi APM di tingkat sekolah dasar adalah antara 92% dan 95%. Sebaliknya, pada kasus yang ekstrim di Papua Barat, variasinya antara 57% dan 98%, suatu perbedaan sebesar 41%. Pada kasus Sulawesi Selatan, sebarannya antara 85% dan 98%, terdapat perbedaan sebesar 13%. Dengan kata lain, berdasarkan indikator kinerja pendidikan, DIY menunjukkan tingkat pemerataan yang relatif tinggi. Untuk setiap indikator, Kota Yogyakarta memiliki indikator yang tertinggi. Peluang ICT yang diperluas dapat dilihat sebagai suatu alat untuk meningkatkan baik pemerataan dalam akses maupun kualitas pendidikan antar kabupaten/kota.

Gambar 1: Pendidikan dasar: APM kab/kota dalam propinsi

0,5

0,55

0,6

0,65

0,7

0,75

0,8

0,85

0,9

0,95

1

Prov

. Pap

ua

Prov

. Sul

awes

i Bar

at

Prov

. Gor

onta

lo

Prov

. Sul

awes

i Uta

ra

Prov

. Kep

ulau

an B

angk

a B

elitu

ng

Prov

. Sul

awes

i Ten

ggar

a

Prov

. Sul

awes

i Sel

atan

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Prov

. Sul

awes

i Ten

gah

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Prov

. D I

Yogy

akar

ta

Prov

. Lam

pung

Prov

. Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

. Kal

iman

tan

Bar

at

Prov

. Sum

ater

a Se

lata

n

Prov

. Jaw

a Te

ngah

Prov

. Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

. Jaw

a B

arat

Prov

. Jam

bi

Prov

. Bal

i

Prov

. Sum

atra

Bar

at

Prov

. Kep

ulau

an R

iau

Prov

. Sum

atra

Uta

ra

Prov

. Jaw

a Ti

mur

Prov

. Ban

ten

Prov

. Ben

gkul

u

Prov

. Ria

u

Prov

. Kal

iman

tan

Teng

ah

Sumber: Education Public Expenditure Review, World Bank (2006)

3 Studi kasus ini dilakukan oleh Sukanti R. Bintoro, Mr. Nova Widiyarto and Mr. Marsudi, staf senior Dinas Pendidikan Propinsi D.I.Yokyakarta dan didukung oleh Mr. Erlangga Fausa, Konsultan National.

Page 39 of 63

Page 40: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

DIY memiliki angka pembelanjaan bidang pendidikan pada tingkat rata-rata nasional. Estimasi penerimaan per kapita sebesar Rp.875,000 dibandingkan rata-rata di tingkat nasional Rp.850,000. Sebaliknya, daerah otonom lainnya seperti Nanggroe AcehDarussalam (NAD), diperkirakan tingkat penerimaannya sebesar Rp.1,9 juta per kapita. Selain hanya mendapatkan penerimaan rata-rata, DIY mendapat dukungan yang rendah dalam Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan dana alokasi umum dari Pemerintah Pusat. Misalnya, diperkirakan bahwa DAU per kapita adalah sekitar Rp.750,000, bandingkan dengan rata-rata nasional yang hampir sama, maka ini berarti berada pada 40% terbawah untuk alokasi DAU per kapita (lihat Gambar 2). Hal ini menunjuk pada nilai yang menjanjikan dari dana/uang dan dampak dari pembelanjaan pendidikan di propinsi ini pada peningkatan kinerja sektor.

Gambar 2: DAU per kapita tahun 2006 untuk semua propinsi di Indonesia

Sumber: World Bank staff calculation based on data from MOF (2006)

Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti perbedaan yang signifikan pada kinerja sektor pendidikan di lima Kabupaten/Kota. Berdasarkan pada indikator kinerja gabungan, tampak bahwa Kulon Progo dan Sleman memiliki kinerja sektor pendidikan yang secara signifikan lebih rendah, terutama berkaitan dengan akses sekolah, tingkat efisiensi internal dan keadilan jender. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan, seperti (i) menurunnya tingkat permintaan pendidikan dasar dan menengah; (ii) perbedaan tingkat pembelajaan pendidikan Kabupaten/Kota; (iii) tidak adanya mekanisme untuk menyamakan pembelanjaan pendidikan antar Kabupaten/Kota; (iv) tidak efisiennya alokasi dan penggunaan sumber daya antar Kabupaten/Kota; dan (v) perbedaan dalam berbagai kendala potensial pada akses pendidikan, termasuk perbedaan desa/kota dalam jarak ke sekolah, kesulitan biaya dan tersedianya infrastruktur yang memadai.

Page 40 of 63

Page 41: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Tabel 1: Peringkat Kab/Kota, SPM, dan Perbandingan Kinerja Kab/Kota

Kab/Kota Peringkat SPM

Peringkat Komparatif Kab/Kota

Peringkat SPM

Peringkat Komparatif

Daista Yogyayakarta Kab. Bantul B C Kab. Sleman C D Kab. Gunung Kidul B C Kota Yogyakarta A B Kab. Kulon Progo C D

Sumber: C. Perry and M. Ratcliffe, MOEYS Advisory TA Report, ADB (2005)

Satu pertimbangan strategis yang penting adalah perubahan peran propinsi pada manajemen pelayanan pendidikan dalam desentralisasi, dengan suatu pergeseran ke arah tertentu dimana otoritas propinsi lebih condong mengadopsi peran yang mendorong, ketimbang sekedar mengambil peran sebagai penyedia jasa, peran dalam desentralisasi. Sejak 1999, reformasi pendidikan dan demokratisasai telah dimulai di Indonesia. Menindaklanjuti reformasi, pemerintah Indonesia menerbitkan dua undang-undang dan sebuah peraturan, yang diharapkan bisa menjadi dasar bagi otonomi pemerintah daerah (desentralisasi), yaitu Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Dengan pemindahan otoritas kepada pemerintah local/daerah, terdapat implikasi pada otoritas manajemen pendidikan pada tingkat daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, maka sejumlah kewenangan di bidang pendidikan pada tingkat pusat dialihkan ke institusi pendidikan daerah.

Menurut Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), peningkatan mutu pendidikan di daerah dan sekolah bukan lagi merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai peluang untuk mengambil alih tanggungjawab pada peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini, pihak propinsi perlu lebih proaktif dalam mengkoordinasikan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan di wilayahnya.

Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Propinsi DIY No. 3 tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Propinsi DIY menetapkan bahwa Dinas Pendidikan Propinsi adalah unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang pendidikan yang berfungsi sebagai pelaksana kewenangan pemerintah daerah, kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan/delegasi wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat di bidang pendidikan. Tugas utama Dinas Pendidikan Propinsi adalah menyusun program di bidang pendidikan yang sesuai dengan Rencana Strategis Pemerintah Daerah, merumuskan kebijakan di bidang pendidikan, menerbitkan ijin bagi lembaga-lembaga penyelenggara pelayanan pendidikan dan pelayanan publik, mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan khusus, memfasilitasi bagi pelayanan penyelenggaraan pendidikan tingkat kabupaten/kota, memberdayakan staf dinas pendidikan dan mitranya di sector pendidikan, dan orang menyelenggarakan aktifitas administrasi pendidikan.

Tidak seperti akses, peningkatan mutu dan tatakelola, hanya ada pedoman kebijakan yang terbatas pada tingkat nasional berkenaan dengan kebijakan, strategi pembiayaan pendidikan ICT. Sebagai hasilnya, banyak inisiatif kebijakan diambil pada tingkat propinsi, melalui isu pedoman operasional dan insentif dalam bentuk bantuan teknis dan keuangan, melalui penggunaaan dana desentralisasi.

Page 41 of 63

Page 42: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Pendorong utama untuk strategi pendidikan ICT adalah terdapatnya perhatian pada rendahnya dan tidak meratanya mutu pendidikan di Indonesia secara umum, khususnya di DIY, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah serta lembaga swasta untuk meningkatkan dan memeratakan mutu pendidikan ke tingkat yang lebih baik. Disadari bahwa mutu pelayanan pendidikan termasuk peningkatan menyeluruh dan antar sektor, diantara lainnya, proses belajar mengajar yang kondusif, jumlah guru yang bermutu dan professional dengan dengan latar belakang pendidikan yang memadai, sebuah sistem yang menjamin kesejahteraan guru, koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, ketentuan dan peningkatan fasilitas dan infrastruktur sekolah. ICT dapat dilihat sebagai strategi yang hemat untuk mengurangi perbedaan antar kabupaten/kota dalam akses dan mutu pendidikan.

Saat ini, di DIY terdapat sekolah-sekolah dengan fasilitas ICT yang disediakan melalui bantuan pemerintah dan/atau pendanaan sendiri oleh sekolah-sekolah tersebut. Sebagian besar sekolah tersebut menggunakan fasilitas ICT untuk tujuan administrasi dan banyak, jumlah lebih sedikit, telah mulai memenggunakan fasilitas tersebut untuk menyediakan pelayanan kepada siswa, baik dalam bentuk pelajaran tambahan tentang pengoperasian komputer maupun dalam penyampaian mata pelajaran sesuai kurikulum.

Sebagai contoh, pada tahun 1997/98 sampai 2003 pemerintah pusat melalui dana dekonsentrasi menyediakan subsidi untuk pengadaan ruang, komputer, printer, dan peralatan keamanan untuk 70 sekolah. Sebagai tembahan, pada tahun 1997/98 sampai 2002, 40 sekolah lainnya juga mendapat subsidi untuk pengadaan modem dan langganan internet. Pada tahun 2003, grup lain lagi, 25 sekolah menerima bantuan komputer dan keuangan untuk berlangganan internet. Secara keseluruhan, saat ini terdapat 135 sekolah dengan fasilitas ICT yang disediakan melalui dana anggaran dekonsentrasi. Sekolah-sekolah yang tidak mendapat subsidi pemerintah telah mencoba menyediakan fasilitas ICT sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing.

TTuujjuuaann ddaann MMeettooddoollooggii

Secara umum, studi kasus tentang Koordinasi Proses Perencanaan Anggaran untuk Pelaksanaan Program ICT ini bertujuan mengukur dampak desentralisasi terhadap pelaksanaan program ICT di sekolah. Secara khus studi ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi biaya operasional utama yang berkaitan dengan keberlanjutan program ICT di tingkat sekolah; (ii) Mengidentifikasi rasio ketentuan anggaran oleh pemerintah dan orang tua siswa; (iii) Mengidentifikasi peluang dan risiko utama serta memberikan saran tentang cara mengatasi sebagian dari kesulitan tersebut; (iv) Mengidentifikasi isu-isu utama tentang organisasi dan manajemen berkaitan dengan proses pengalokasian anggaran untuk meningkatkan efektivitasnya; (v) memberikan rekomendasi mengenai proses pengalokasian anggaran pada Dinas Pendidikan baik tingkat kabupaten/kota maupun propinsi dan Departemen Pendidikan Nasional untuk membantu mengatasi kesulitan dalam melaksanakan program ICT di sekolah.

Cakupan studi kasus tentang koordinasi proses perencanaan anggaran untuk pelaksanaan program ICT ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Madrasah Aliyah (MA) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang saat ini memiliki sarana ICT yang diperoleh melalui bantuan pemerintah. Terdapat dua kelompok responden. Kelompok pertama terdiri atas 30 responden yang meliputi 25 kepala sekolah (15 kepala SMP dan 10 kepala SMA) dan 5 orang pejabat menengah di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Kelompok kedua hanya terdiri dari 25 orang kepala sekolah saja. Agar memenuhi prinsip representasi, karena Propinsi DIY terdiri atas 5 Kabupaten/Kota, dari setiap Kabupaten/Kota diambil 3 SMP dan 2 SMA. Untuk

Page 42 of 63

Page 43: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

memperkaya informasi yang diperoleh, ke 25 responden unsur sekolah tersebut juga termasuk beberapa sekolah yang memiliki perangkat ICT bukan berasal dari pemerintah.

Di samping melalui penggunaan kuesioner, pengumpulan informasi juga dilakukan melalui wawancara. Wawancara dilakukan hanya terhadap responden yang berasal dari unsur sekolah. Tujuan penggunaan metode ini adalah agar responden lebih bebas mengemukakan hal-hal spesifik yang terjadi di lingkungan sekolah masing-masing. Dalam wawancara ini secara umum diajukan 2 macam pertanyaan terbuka mengenai masalah yang dihadapi berkaitan dengan keberlanjutan program ICT di sekolah dan bebagai upaya yang telah direncanakan untuk dibuat.

TTeemmuuaann PPookkookk ddaann RReekkoommeennddaassii

Temuan utama dari penilaian propinsi/kabupaten/kota adalah bahwa sistem perencanaan anggaran ICT dilaksanakan secara luas dengan beberapa kesulitan. Secara khusus, komunikasi dengan kabupaten/kota dan komite sekolah, penentuan sasaran dan sistem monitoring perlu diperkuat. Sistem perencanaan, alokasi dan pencairan anggaran ICT untuk implementasi strategi ICT secara khusus lemah pada tingkat kabupaten/kota, sementara di tingkat sekolah/masyarakat proses tersebut lebih kuat. Suatu ciri yang mendorong adalah masih berlanjutnya komitmen pada startegi pendidikan ICT di tingkat propinsi dan sekolah, dengan komite sekolah secara aktif terlibat pada penggunaan sumberdaya pendidikan ICT (lihat Lampiran 2).

Gambar. 3: Penilaian Propinsi/Kab/Kota: Sistem Penganggaran untuk ICT

0

1

2

3

4

5

Priorities andResults

Processes ResourceManagement

OrganizationalCapacity

Rating Scale : 1 = not existing, 2 = just beginning, 3 = operating with some difficulties, 4 = operating satisfactorily, 5 = operating very well

Page 43 of 63

Page 44: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Gambar. 4:Penilaian Tingkat Sekolah: Sistem Penganggaran untuk ICT

0 1 2 3 4 5

Planning

Budgeting

Monitoring

Rating Scale : 1 = not existing, 2 = just beginning, 3 = operating with some difficulties, 4 = operating satisfactorily, 5 = operating very well

Temuan dari kuesioner tingkat sekolah menunjukkan gambaran yang sama. Sistem untuk menetapkan dan memonitor sasaran ICT sangatlah lemah, dengan sedikit penekanan pada pengaruh pendidikan ICT. Sebagai contoh, sebagian besar penetapan sasaran terkait dengan akses pada fasilitas ICT ketimbang hasil yang diharapkan dari pengadaan pendidikan ICT. Proses untuk meninjuau ulang apakah strategi ICT berhasil atau tidak dan kebutuhan untuk diubahnya sangat lemah. Sementara perencanaan anggaran ICT di tingkat sekolah cukup kuat, koordinasi dengan proses penganggaran ICT tingkat kabupaten/kota justru baru saja dimulai. Terbatasnya pemantauan terkoordinasi sekolah/kabupaten/kota menambah kesulitan-kesulitan tersebut (lihat Annex 3).

Tabel 2: Pengeluaran Operasional Ttingkat Sekolah untuk Pprogram ICT

1. Annual spending on operational costs for ICT program. Ranged between Rp1 million and Rp114.2 million. 2. Annual spending on ICT equipment maintenance. Ranged between Rp500 thousand and Rp35 million. 3. Annual spending on ICT teaching staff costs/salaries. Ranged between zero and Rp36 million. 4. Total annual spending on ICT (1 + 2 + 3). Ranged between zero and Rp36 million. 5. Annual allowance from district budget for ICT program. Ranged between zero and Rp15 million. 6. Annual contributions by parents for ICT program. Ranged between zero and Rp140 million. 7. Annual contributions from other sources for ICT program. Ranged between zero and Rp64.8 million.

Survey keuangan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan tentang berbagai faktor-faktor anggaran berhubungan dengan implementasi strategi pendidikan ICT. Tingkat pembelanjaan dipengaruhi oleh (i) status sosial ekonomi orangtua siswa secara keseluruhan di wilayah cakupan sekolah; (ii) minat dan komitmen menyeluruh komite sekolah/orangtua siswa pada ICT; dan (iii) tersedianya staf pengajar/guru ICT yang berkualitas di sekolah. Perlu dicatat bahwa kriteria penetapan sasaran anggaran kabupaten/kota dan propinsi tidak nampak mempertimbangkan sekolah yang memiliki kemampuan atau kemauan untuk mengumpulkan dana, yang mana jika digunakan secara efektif dapat membantu memberi kompensasi sekolah-sekolah yang kekurangan dana dan kurang beruntung. Alokasi anggaran terbesar dibuat oleh sekolah swasta tanpa bantuan pemerintah untuk pengadaan dan kelanjutan program ICT nya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa bagian dana terbesar berasal dari ikatan alumni dan dunia usaha.

Page 44 of 63

Page 45: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Kerangka Regulasi yang tidak pasti. Dalam kaitannya dengan program ICT di sekolah, salah satu isu utama di DIY adalah ketersediaan dana yang terbatas pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk penyediaan fasilitas ICT dengan jumlah dan kualitas yang memadai bagi sekolah-sekolah yang ada. Isu lainnya adalah kurangnya peraturan resmi dan prosedur standard yang menjamin bahwa program ICT di sekolah akan menerima subsidi keuangan baik dari propinsi maupun kabupaten/kota.

Kriteria Penentuan Sasaran yang tidak pasti. Praktek saat ini dalam pemilihan sekolah penerima bantuan program pengadaan ICT didasarkan, diantara lainnya, pada tersedianya daya listrik yang mencukupi, ruang yang cukup, dan sistem keamanan. Kriteria lainnya adalah untuk pemilihan sekolah adalah melalui proposal yang diajukan oleh sekolah-sekolah kepada Dinas Pendidikan, yang berisi segala persiapan dan rencana masing-masing sekolah dalam menggunakan fasilitas ICT. Sejauh ini, kebanyakan sekolah-sekolah yang menerima fasilitas ICT adalah sekolah negeri. Sekolah swasta pada umumnya tergantung pada kemampuan keuangan yayasan, kontribusi orangtua siswa, and upaya-upayanya untuk mendapatkan bantuan dari individu, dinia usaha dan organisasi lainnya untuk menyediakan peralatan ICT.

Predictability dan Keberlanjutan Anggaran yang tidak pasti. Bantuan keuangan oleh pemerintah untuk keberlanjutan program ICT di sekolah-sekolah tidak datang secara teratur, baik dari segi waktu penetapan maupun jumlah dana yang tersedia. Sementara itu, anggaran sekolah sangatlah terbatas. Kebanyakan sekolah yang tidak mendapat subsidi pemerintah sepenuhnya hanya tergantung pada kontribusi/sumbangan orangtua siswa. Keterbatasan lain dalam keberlanjutan tersebut meliputi (i) terbatasnya jumlah komputer yang tersedia; (ii) terbatasnya kapasitas komputer yang ada; (iii) terbatasnya kapasitas sumber daya manusia di sekolah dalam hal operasional dan perawatan peralatan ICT; (iv) kurangnya tenaga instruktur ICT; (v) terbatasnya jumlah guru pelajaran yang memiliki kecakapan memadai dalam bidang ICT, artinya bahwa peralatan ICT yang ada kurang dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar secara ekstensif dan efektif; (vi) Program lisensi program yang dipakai sangat mahal; (vii) daya listrik yang ada terbatas; (viii) akses ke jaringan internet sering putus pada saat digunakan, dengan kapasitas sambungan internet yang ada di sekolah baru sebesar 164 kbps.

Sekolah-sekolah melakukan upaya untuk mencari solusi. Dihadapkan pada masalah tersebut, sekolah telah mencoba untuk mencari solusi. Beberapa solusi telah dibuat dan beberapa yang lain akan ditangani di waktu yang akan datang. Berikut adalah beberapa solusi alternatif (i) berkenaan dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, sejumlah solusi telah dibuat, dantara lainnya; (ii) sebagian besar sekolah mengajukan proposal kepada Dinas Kabupaten/Kota dan Propinsi untuk memperoleh dana block grant; dan (iii) beberapa sekolah mencoba mencari dukungan sumber dana dengan cara mengajukan proposal ikatan alumni dan kalangan dunia usaha.

Satu sekolah berhasil memulai menjalin kerjasama dengan lembaga kursus komputer. Pihak lembaga kursus menyediakan sarana ICT dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Peralatan ICT ditempatkan di sekolah. Di lain pihak, sekolah menjamin bahwa seluruh siswa akan mengikuti kursus komputer yang diselenggarakan lembaga tersebut. Dalam waktu beberapa tahun, seluruh peralatan ICT akan menjadi milik sekolah. Satu sekolah lain telah menandatangani perjanjian kerjasama sister school dengan sekolah di luar negeri. Keuntungan yang diperoleh antara lain, sekolah tersebut dapat mengirimkan guru dan staf administrasi untuk belajar ICT di luar negeri dengan biaya yang relatif lebih rendah.

Terkait dengan terbatasnya jumlah dan kapasitas sumber daya manusia yang ada di sekolah dalam hal ICT, beberapa sekolah akan menugaskan personilnya untuk mengikuti diklat yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga swasta. Anggaran yang dikeluarkan akan dicantumkan dalam RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Page 45 of 63

Page 46: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Sekolah) dan dikonsultasikan kepada orang tua siswa dan komite sekolah. Cara ini juga ditempuh untuk mengatasi masalah daya listrik yang kurang. Di sekolah dengan masalah terbatasnya jumlah dan kecakapan personil, maka guru-guru dengan ketrampilan ICT ditugaskan sebagai instruktur untuk siswa dan teman-teman guru lainnya. Sekolah-sekolah swasta perhatian pada masalah mahalnya biaya lisensi program. Pada awalnya, mereka mencoba mempergunakan program open source yang dapat diperoleh secara gratis. Tetapi, ternyata cara ini membawa masalah baru. Di luar sekolah, kebanyakan orang dan took-toko ataupun penyewaan computer tidak mempergunakan program open source, sehingga siswa merasa canggung dan tidak nyaman. Akhirnya sekolah kembali memakai program yang sebelumnya mereka pakai secara tidak terdaftar.

PPaannddaannggaann kkee ddeeppaann ddaann PPeettaa JJaallaann

Sejumlah inisiatif penting sangat dibutuhkan jika akses yang merata pada penyediaan pendidikan ICT dijamin, termasuk :

Mobilisasi komitmen tingkat tinggi: Ada kebutuhan mendesak terhadap komitmen tingkat tinggi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung program ICT di sekolah, terutama dalam penyediaan dana anggaran secara teratur. Mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda diantara sekolah, dana sebaiknya disediakan dalam bentuk block grant, dimana sekolah-sekolah harus dapat menggunakannya sesuai kebutuhan mereka.

Meninjau ulang strategi ICT: Fokus saat ini pada pendekatan berbasis internet mahal dan membutuhkan biaya tahunan. Diusulkan agar pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional seharusnya mengembangkan modul pengajaran berbasis ICT dan mendistribusikannya ke sekolah-sekolah. Pendekatan ini hanya membutuhkan dana yang lebih rendah daripada yang berbasis internet dan memungkinkan fokus yang lebih besar pada penentuan sasaran peningkatan mutu, desain modul terkait dan membantu monitoring yang lebih sistematis mengenai apakah ICT meningkatkan kinerja siswa pada bidang yang terkait dengan kurikulum nasional.

Meningkatkan peran propinsi/kabupaten/kota dalam mendorong dan menjaminan mutu ICT. Sekolah-sekolah meningkat keinginannya untuk mengerahkan sumber daya mereka sendiri untuk pengadaan pendidikan ICT. Namun demikian, dinas propinsi dan kabupaten/kota perlu memperkuat kapasitas mereka untuk menyediakan penjaminan kualitas dan monitoring pengaruhnya. Sebagai contoh, pemerintah daerah harus terus mengadakan pelatihan ICT untuk personil sekolah secara reguler dengan cakupan yang lebih luas. Disamping itu, dinas pendidikan baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota harus memfasilitasi jaringan berbasis internet diantara guru mata pelajaran dan sekolah. Melalui fasilitas ini, guru dan sekolah akan dapat mengembangkan kapasitas profesinya forum yang bebas (tidak tergantung) waktu dan ruang.

Block grants untuk pemerataan akses pendidikan ICT. Dalam rangka mendorong akses pada pendidikan ICT yang merata, peran dukungan anggaran propinsi /kabupaten/kota harus ditargetkan pada sekolah-sekolah dengan kemampuan yang lebih rendah dalam menyediakan fasilitas ICT dan biaya penyelenggaraannya. Beberapa bentuk block grant untuk pendidikan ICT yang berbasis hasil dapat dipertimbangkan, melalui pengajuan sesuai permintaan dan kriteria pemenuhan syarat yang menetapkan hasil yang diharapkan dan pertanggungjawaban bersama.

Page 46 of 63

Page 47: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 11:: MMeettooddoollooggii SSttuuddii KKaassuuss

Latar Belakang

Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mendokumentasikan pengalaman dan pelajaran yang didapat dalam memperkenalkan program ICT di 163 sekolah dan implikasi proses koordinasi pelaksanaan anggaran di tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten untuk menjamin agar program tersebut akan terus berlanjut. Tujuan kedua adalah menyusun proposal khusus, untuk membantu memperbaiki perencanaan anggaran operasional bidang pendidikan, terutama antara provinsi, kota/kabupaten dan sekolah TA 2007.

Isu-isu Pokok :

Apakah sudah ada peraturan resmi dan prosedur standar yang menjamin bahwa program ICT mendapat cukup dana yang berkelanjutan di tingkat kab/kota dan apa peran dinas pendidikan provinsi ?

Jika sudah ada prosedur standar dan/atau peraturan untuk menjamin alokasi anggaran bidang pendidikan ICT apakah konsisten dengan target? Bagaimana prosedur dan/atau peraturan tersebut, dan apakah sudah dianggap cukup dan realistis?

Jika belum ada prosedur standar, dapatkah anda memberikan contoh tentang kriteria dan proses apa yang sekarang digunakan untuk mencoba mengkaitkan penentuan target program ICT dengan proses pengalokasian anggaran?

Bagaimana penentuan target program ICT di tingkat provinsi dan kab/kota berhubungan dengan prioritas dan target RENSTRA nasional?

Masalah Utama dan Perubahan yang Diusulkan

Apa yang menjadi masalah utama dalam menentukan prioritas dan target program ICT dan proses pengalokasian anggaran yang terkait dan bagaimana peran dinas pendidikan provinsi dalam memecahkan masalah tersebut?

Jika timbul permasalahan dalam menyusun dan memenuhi target program ICT dan bagaimana proses perencanaan anggaran di dinas pendidikan provinsi dan kab/kota membantu memecahkan permasalahan tersebut?

Perubahan apa saja yang telah dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut?

Perubahan lebih lanjut seperti apa yang akan anda usulkan untuk mengurangi kesulitan dalam menyusun target program ICT dan proses pengalokasian anggaran terkait?

Apakah perubahan tersebut akan memerlukan penyesuaian terhadap bagaimana

Penilaian Organisasi

anggaran bidang pendidikan di tingkat provinsi, kota/kabupaten dan sekolah disusun dan dikelola?

Apa saja isu utama tentang organisasi dan manajemen berkaitan dengan proses pengalokasian anggaran yang perlu dibahas untuk meningkatkan efektivitas proses pengalokasian anggaran?

Page 47 of 63

Page 48: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Pengeluaran operasional apa saja yang utama untuk mendukung keberlanjutan program ICT di tingkat sekolah (misal sewa bandwidth untuk internet, dsb.) ?

nal tersebut disediakan oleh (a) otoritas kab/kota Seberapa besar ongkos operasio(b) orangtua dan murid >

k

Bagaimana alokasi anggaran kab/kota untuk program ICT dapat disesuaikan untumenjamin keberlangsungan program tersebut ?

Page 48 of 63

Page 49: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 22:: SSiisstteemm PPeerreennccaannaaaann AAnnggggaarraann uunnttuukk IICCTT ddii TTiinnggkkaatt PPuussaatt ddaann KKaabb//KKoottaa

Kuesioner berikut ini dijawab oleh sekitar 30 responden (informan) kunci di tingkat propinsi dan kabupaten.

SSkkaallaa PPeerriinnggkkaatt:: 11 == bbeelluumm aaddaa,, 22 == bbaarruu ddiimmuullaaii,, 33 == ddiillaakkssaannaakkaann ddeennggaann bbeebbeerraappaa kkeessuulliittaann,, 44 == ddiillaakkssaannaakkaann ddeennggaann mmeemmuuaasskkaann,, 55 == ddiillaakkssaannaakkaann ddeennggaann ssaannggaatt bbaaiikk

KKoommppoonneenn SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn AAnnggggaarraann PPrrooggrraamm IICCTT BBeerrbbaassiiss HHaassiill Peringkat

1. Prioritas dan Hasil

1.1 Hasil program ICT dapat ditentukan sesuai dengan prioritas dalam RENSTRA 3.0 1.2 Hasil program ICT dapat dibuat realistis dan dapat diukur 3.2 1.3 Hasil program ICT dapat direncanakan dan dikomunikasikan dalam kab/kota dan masyarakat umum

2.9

Rata-rata 3.0 2. Proses

2.1 Adanya proses perencanaan program ICT, yang mencakup konsultasi dengan masyarakat dan para orang tua siswa secara luas

3.2

2.2 Rencana program ICT akan memperhitungkan target tertentu pada berbagai interval selama pelaksanaan.

2.9

2.3 Rencana dan anggaran program ICT cukup fleksible dalam menanggapi situasi yang berbeda.

3.4

2.4 Adanya sistem informasi yang efektif untuk memantau target program ICT dan mengkajiulang strategi.

2.6

Rata-rata 3.0 3. Manajemen Sumberdaya

3.1 Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat pusat 2.6 3.2 Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat propinsi 2.8 3.3 Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat kab/kota 2.3 3.4 Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat sekolah 3.6 3.5 Adanya proses negosiasi terbuka dengan sekolah dalam proses pengalokasian

anggaran pada saat program ICT diperkenalkan 3.2

3.6 Proses memungkinan para pengelola dan lembaga/instansi di tingkat kab/kota untuk memberikan variasi anggaran ICT untuk menjamin keberlanjutan program ICT

2.8

Rata-rata 2.9 4. Kapasitas Organisasi

4.1 Adanya kepemimpinan yang kuat dan pengertian untuk mendukung proses pelaksanaan program ICT.

3.7

4.2 Terdapat kapasitas staf teknis untuk menjamin proses pengalokasian anggaran berkaitan dengan prioritas RENSTRA.

3.1

4.3 Komite sekolah terlibat secara aktif dalam pembahasan pengalokasian anggaran program ICT.

3.5

4.4 Pejabat senior dan gubernur secara terbuka mendukung proses pengalokasian anggaran ICT.

3.2

Rata-rata 3.9

Page 49 of 63

Page 50: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 33:: SSiisstteemm PPeerreennccaannaaaann AAnnggggaarraann IICCTT ppaaddaa TTiinnggkkaatt SSeekkoollaahh

Kuesioner berikut ini dijawab oleh sekitar 25 kepala sekolah dan anggota Komite Sekolah

Skala Peringkat : 1 = belum ada, 2 = baru dimulai, 3 = telah dilaksanakan dengan beberapa kesulitan, 4 = dilaksanakan dengan memuaskan, 5 = telah dilaksanakan dengan sangat baik

KKoommppoonneenn SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn AAnnggggaarraann PPrrooggrraamm IICCTT BBeerrbbaassiiss HHaassiill Peringkat

Perencanaan 1. Hasil program ICT dapat dibuat realistis dan dapat diukur

3.2

2. Perencanaan program ICT mencakup konsultasi dengan orang tua siswa

3.6

3. Rencana dan anggaran program ICT cukup fleksibel

3.7

4. Adanya sistem untuk memantau target program ICT dan mengkaji strategi

2.2

Rata-rata 3.1 Penganggaran

5. Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat kab/kota

2.4

6. Efektivitas sistem pengalokasian anggaran program ICT di tingkat sekolah

3.6

7. Proses negosiasi dalam pengalokasian anggaran ICT dengan masyarakat

3.2

8. Proses memungkinan para pengelola dan lembaga/instansi di kab/kota untuk membuat variasi anggaran ICT untuk menjamin keberlanjtan program ICT

2.5

9. Adanya kepemimpinan yang kuat dan pengertian masyarakat dalam mendukung proses pelaksanaan program ICT

3.5

Rata-rata 3.1 Pemantauan

10. Sekolah mempunyai rencana lima tahunan untuk program dan kebutuhan anggaran ICT

3.5

11. Sekolah mempunyai rencana lima tahunan untuk pengembangan staf untuk program ICT

3.5

12. Sekolah mempunyai proses untuk pemantauan efektivitas program ICT, yang melibatkan komite sekolah

2.8

13. Sekolah dan kab/kota melakukan proses bersama dalam memantau program ICT

2.6

14. Propinsi mempunyai peran dalam memantau efektivitas program ICT

2.7

Rata-rata 3.0

Page 50 of 63

Page 51: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Studi Kasus Bidang Pendidikan di Indonesia 4: Pembelanjaan Sektor Pendidikan Pemerintah Pusat di Daerah4

LLaattaarr BBeellaakkaanngg HHiissttoorriiss

Dibawah desentralisasi, susunan transfer sumber daya talah mengalami perubahan. Sistem transfer terbaru adalah satu kombinasi dari dua sumber/jalur bantuan – Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan kontribusi penerimaan dari Sumber DAya Alam (SDA). Propinsi menerima 10 persen dari total transfer DAU, sementara pemerintah kabupaten/kota menerima 90 persen (Hofman, Kaiser, and Goga, 2002).

Sebagai tambahan pada mekanisme bantuan tersebut, pemerintah pusat dapat memperluas sumber daya yang tersedia di daerah secara langsung melalui jalur dana dari APBN kepada sekolah negeri (dibawah DepDikNas) dan kepada madrasah (dibawah Departemen Agama). Anggaran rutin pemerintah daerah atau Daftar Isian Kegiatan (DIK) membayar pengeluaran pegawai negeri sipil, belanja bahan-bahan rutin dan belanja barang, serta subsidi (seperti bahan bakar dan listrik) di sekolah-sekolah, sementara anggaran pengembangan atau Daftar Isian Proyek (DIP) membiayai modal proyek-proyek seperti konstruksi sekolah.

Undang-undang desentralisasi yang relevan mengenai fiskal, politik dan tanggungjawab administrasi pemerintah daerah juga membingungkan. Tantangan utama bagi pemerintah pusat adalah untuk menjamin alokasi sumber daya yang memadai oleh pemerintah propinsi kepada bagian-bagian yang dikembangkan pada sektor pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional telah mengidentifikasi 9 (sembilan) “kewenangan/fungsi wajib” dan sejumlah besar Standar Pelayanan Minimum (SPM) di bidang pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan. Dalam pembiayaan pendidikan, Undang-Undang pendidikan yang baru telah menetapkan minimum 20% dari APBN (anggaran pusat) dan minimum 20% anggaran kabupaten/kota.

Sebagaimana perubahan-perubahan pada kebijakan dan manajemen terjadi, permasalahan substansial di pendidikan daerah meningkat, seperti: i) meningkatnya isu manajemen, personil, dan keuangan; ii) sebelum desentralisasi pemerintah daerah hanya mengelola sekolah dasar, sekarang juga harus menangani semua tingkat pendidikan, kecuali universitas dan iii) pemindahan/penempatan personil nasional ke daerah.

Tanggungjawab tingkat pusat hanya menetapkan standard pendidikan dan kurikulum saja disamping memonitor kinerja, sementara manajemen dan pembiayaan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui apakah kurangnya desentralisasi dari sisi pendapatan asli menjadi kendala bagi efisiensi dan akuntabilitas.

TTuujjuuaann ddaann MMeettooddoollooggii

Tujuan studi ini adalah i) untuk mengetahui berbagai sumber pendanaan bagi pendidikan; ii) menilai sejauh mana alokasi dan manajemen dana-dana tersebut konsisten dengan pedoman operasional yang telah disetujui; iii) sejauh mana terpecahnya sumber sumber pembiayaan berdampak pada manajemen dan perencanaan keuangan yang berorientasi pada hasil, dan iv) untuk menetapkan beberapa tahapan penting pada peta jalan dalam rangka menjamin orientasi hasil yang lebih besar dari sistem manajemen dan perencanaan

4 Studi kasus ini dilakukan oleh Prima Setiawan, Konsultan National

Page 51 of 63

Page 52: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

keuangan, termasuk bagaimana sebuah pendekatan yang lebih kearah pendapatan dan permintaan dapat membantu.

Banyak waktu yang digunakan untuk meninjau ulang dokumentasi yang ada tentang pendidikan yang telah didesentralisasikan dan pembiayaan pendidikan di tingkat pusat serta anggaran pemerintah daerah (APBD). Sebuah tinjauan ulang pada kontribusi BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dimulai pada pertengahan 2005 juga diperhitungkan.

Kabupaten Sleman telah dipilih oleh propinsi sebagai sampel bagaimana pemerintah daerah menanggapi perubahan yang diakibatkan oleh desentralisasi. Serangkaian wawancara juga telah dilakukan dengan beberapa orang pejabat emerintah pusat, dinas pendidikan propinsi dan pemerintah daerah di Kabupaten Sleman, seperti BKKD dan dinas pendidikan, untuk mencari solusi/pemecahan masalah yang krusial.

Pendekatan metodologinya meliputi: i) meninjau kembali dokumentasi mengenai pendidikan yang telah didesentralisasi serta kebijakan dan praktik pembiayaan pendidikan; ii) meninjau kembali BOS sebagai suatu skema block grant yang baru dari pemerintah pusat; iii) meninjau kembali pengalaman dengan inisiatif baru untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana di kabupaten Sleman, termasuk isu-isu transparansi dan efisiensi anggaran serta Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan iv) wawancara dengan perwakilan dan otoritas pemerintah pusat, propinsi dan daerah. Mengingat Departemen Agama masih tetap merupakan departemen terpusat, maka mereka tidak mengelola pendidikan dengan pendekatan desentralisasi. Untuk alasan ini maka studi ini tidak meninjau secara mendalam sistem pendidikan dibawah Departemen Agama.

TTeemmuuaann PPookkookk ddaann KKeessiimmppuullaann

TTeerrppeeccaahhnnyyaa SSuummbbeerr--SSuummbbeerr PPeennddaannaaaann PPeennddiiddiikkaann

Lembaga pendidikan yang terkecil yang diwakili oleh sekolah-sekolah, mendapatkan berbagai sumber pendanaan pendidikan, apakah dari tingkat nasional, propinsi, pemerintah local dan dari berbagai sumber lainnya. Tidaklah mengherankan jika kepala sekolah atau staf administrasi sekolah kadang-kadang menghadapi kesulitan dalam menghubungkan sumber-sumber pendapatan tertentu dengan sumber terbaiknya.

Pendanaan juga dialokasikan dan dikeluarkan dari berbagai tingkat pemerintahan. Di tingkat nasional terdapat tiga departemen yang mengambil bagian dalam keuangan pendidikan, yaitu: Departemen Pendidikan Nasional (DepDikNas), Departemen Agama (DepAg), dan Departemen Keuangan (DepKeu). DepKeu mengatur dua transfer penting antar pemerintahan untuk sektor pendidikan, yang disebut DAU dan DAK. Sementara itu DepDikNas pada pertengahan tahun 2005 memperkenalkan satu block grant baru yang disebut BOS.

DepAg tetap merupakan departemen yang terpusat. Tanggungjawab utama DepAg adalah mendanai sekolah-sekolah agama di Indonesia dan hampir 90% dari seluruh anggaran departemen nya digunakan untuk mendanai pendidikan agama. Perhatian mendasar DepAg adalah pada madrasah negeri. Sejak tahun 2003 madrasah swasta menjadi memenuhi syarat untuk mendapat dana pemerintah, tetapi terbatas pada sejumlah kecil block grant saja, alokasi komputer dan akses pada lembaga donor yang telah mendanai biaya rehabilitasi sekolah. Seluruh pesantren merupakan lembaga swasta.

Page 52 of 63

Page 53: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Biaya sekolah di madrasah seringkali lebih rendah daripada di sekolah umum (walaupun tidak selalu) dan sistem madrasah yang luas menyediakan pendidikan untuk sejumlah siswa yang mungkin sebaliknya tidak mampu sekolah. Terdapat 23,000 madrasah ibtidaiyah (MI). MI setingkat dengan SD umum dan dalam laporan ini “madrasah” hanya merujuk ke MI, Hanya 6% dari sekitas 1500 sekolah MI merupakan sekolah umum. Meskipun sistem madrasah itu lazim, banyak madrasah terutama swasta seringkali sulit membiayai diri (Barnes, N. Adam N. and Salmun Prawiradinata – 2004 “Tracking Education Finance at the Local Level", RTI Indonesia, December).

Gambar 1: Sumber Pendaan Sekolah

MORA

MORADONORS

MONE

Bilateral/ MNAs

Private Sectors

Others

LG Budget

Parents

Foundations Others

MORA

CG

Level

Prov. Gov. Level

LG Level

EduOffice

Sources for School Funding

School

Level SCHOOL

Central Government (CG). Spending

BOS

C.G. Budget for LG

DAK

Others

DAU

Diambil dari: ESR 2004 – The World Bank, and Prima Setiawan’s presentation in Decentralized Education Finance, Beijing, 2006

Dana Alokasi Umum (DAU): DAU merupakan mekanisme primer dalam memanfaatkan kemampuan meningkatkan pendapatan untuk mendanai kebutuhan daerah. Ini merupakan suatu skema block grant menggunakan mekanisme pemerataan, dengan 90% didistribusikan ke pemerintah daerah dan hanya 10% ke propinsi. DAU memiliki tujuan keuangan antar pemerintah yang lebih luas daripada sekedar sektor pendidikan, tetapi melalui mekanisme ini bahwa gaji guru ditransfer, setidaknya untuk guru yang merupakan PNS. DAU dikelola pada kebijaksanaan pemerintah daerah.

Dana Alokasi Khusus (DAK): DAK diperuntukkan bagi sektor dan ditujukan untuk peningkatan infrastruktur, dan didesain sebagai program bantuan/grant yang spesifik. Ini juga dimaksudkan untuk merangsang pembelanjaan tambahan pada prioritas nasional. DAK untuk pendidikan diajukan untuk mendukung rehabilitasi ruang kelas dan gedung SD/MI,

Page 53 of 63

Page 54: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

dan secara khusus tidak ditujukan untuk operasional sekolah, biaya administrasi, perjalanan atau pelatihan.

Sekolah-sekolah secara individu mengajukan proposal pendanaan DAK pada Dinas, yang melaksanakan proses seleksi. Begitu pendanaan disetujui, dana ditransfer langsung dari Departemen Pendidikan Nasional ke bendahara Kabupaten/kota, kemudian Dinas akan mengalokasikan dana tersebut pada sekolah-sekolah yang telah terseleksi. Harus ada dana pendamping minimal 10% yang disediakan. Dana DAK secara nominal digunakan untuk proyek modal yang diusulkan pemerintah daerah yang mana tidak tersedia dana dari sumber lain. Terdapat suatu proses pengajuan yang mempertimbangkan baik aspek kemanfaatan proyek dan kebutuhan pembiayaan daerah tersebut.

Wawancara dengan beberapa pejabat Departemen Pendidikan Nasional mengenai pencairan dan administrasi dana pendidikan dari pemerintah pusat di pemerintah daerah (melalui APBD), dianggap meningkatkan korupsi di pemerintah daerah, mengingat pemantauan dan pengawasan masih terbilang rendah.

Tabel 1 – Alokasi DAK – Dana Non-Rehabilitasi, Tahun 2005

Alokasi per Sektor

Deskripsi Pendidikan Kesehatan Prasarana Total

Jalan Irigasi Air Bersih

Kelautan &

Perikanan

Pertanian Prasarana dan

Pemerintahan

% Nasional thd total

1,221,000 620,000 945,000 384,500 203,500 322,000 170,000 148,000 4,014,000

Kab. Slemen

3,310 1,670 2,410 1,750 460 1,000 - - 10,600

% thd total diterima

31.23% 15.75% 22.74% 16.51% 4.34% 9.43% 0.00% 0.00%

Sumber: SIKD dan APBD Sleman

Daftar Isian Proyek (DIP): Elemen penting lainnya mengenai sistem pembayaran di Indonesia adalah Daftar Isian Proyek (DIP), ini merupakan pembelanjaan proyek untuk pelayanan lokal oleh departemen teknis pusat. Dana DIP dialokasikan diantara departemen, dan diantara sektor pembangunan, sebagai hasil dari diskusi lintas departemen dengan DPR dan Presiden. Dalam setiap Departemen, dana DIP kemudian dialokasikan berdasarkan prioritas sektoral dan pedoman umum lainnya (misal sasaran sektor pendidikan). Oleh karena itu, proses alokasi yang bersifat sektoral dan geografis agaknya masih bersifat temporer (e.g. Lewis and Chakeri, 2004b)

Bantuan Operasional Sekolah (BOS)/School Operational Assistance: Dimulai pada pertengahan tahun 2005, Pemerintah Indonesia mengalokasikan kembali dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mendukung pendanaan operasional sekolah. Dana tersebut dialokasikan Departemen Pendidikan Nasional dengan memperkenalkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan dimaksudkan untuk meningkatkan akses bagi semua anak (laki dan perempuan) ke sekolah tingkat SD dan SMP, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, termasuk : i) meningkatkan jumlah murid Wajib Belajar (WAJAR) 9 tahun, ii) memberi kesempatan yang lebih besar pada anak yang kurang memiliki akses ke layanan pendidikan, terutama dari keluarga miskin dan iii) mencegah murid dari putus sekolah akibat menurunnya daya beli orang tua semenjak ada kenaikan harga BBM.

Page 54 of 63

Page 55: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Dana BOS hanya dapat dibelanjakan untuk biaya operasional (selain belanja untuk gaji) : sumberdaya pendidikan yang digunakan, atau digunakan kurang dari 1 tahun. Dana BOS tidak dapat dibelanjakan untuk biaya investasi (sumberdaya pendidikan yang tidak dikonsumsi, atau dipergunakan lebih dari 1 tahun). Mekanisme untuk memperoleh BOS bagi pemerintah daerah tersebut adalah : i) pemerintah daerah menyerahkan data jumlah sekolah dan jumlah murid total ke Propinsi, ii) anggaran dialokasikan pada tingkat propinsi dan iii) anggaran pusat dialokasikan dan dana dicairkan sebagai hibah ke sekolah.

Bantuan Khusus Murid (BKM)/Student Assistance or Scholarship: Sebagian uang juga dialokasikan untuk Bantuan Khusus Murid (BKM) atau beasiswa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan tingkat penerimaan murid dari kelompok keluarga miskin di sekolah tingkat SMP (kelas 10-12). Mekanismenya mirip dengan mekanisme untuk BOS.

Tabel 2 - BOS dan BKM untuk tahun 2006, untuk SD dan SMP di Indonesia

Sasaran and Biaya per Unit Jenjang Pendidikan Jumlah murid Rp/Murid Dana Total (Rp.)

BOS untuk SD 29,432,530 235,000/year 6,916,644,550,000

BOS untuk SMP 10,488,627 324,500/year 3,403,559,461,500

BKM untuk SMU 698,458 65,000/month 544,797,240,000

TOTAL 10,865,001,251,500

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional

Dana dekonsentrasi yang dikelola di propinsi : Sejumlah besar dana Departemen Pendidikan Nasional didekonsentrasikan untuk dipergunakan pada tingkat propinsi. Dana tersebut dipergunakan dalam 3 cara : i) untuk program-program khusus propinsi, ii) untuk mengelola dana pinjaman untuk pengembangan kapasitas di propinsi, iii) untuk dana hibah ke sekolah yang dikelola oleh propinsi. Contoh untuk DIP meliputi : rehab gedung sekolah, pembangunan ruang kelas baru (RKB), biaya guru Bantu, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), beasiswa, peralatan dan buku pendidikan. (Barnes, N. Adam N. and Salmun Prawiradinata – 2004 “ Tracking Education Finance at the Local Level, RTI Indonesia, December)

Tabel 3 – Dana Dekonsentrasi untuk Sleman, yang Dikelola oleh Popinsi D.I.Yogyakarta

Dana Dekonsentrasi 2006 ( Rp. Juta)

PLS (Non Formal Education)– DIP A 2,649

BKM ( Beasiswa) 2,446

Dikdasmen n.a. *

Catatans: * Prosedur untuk mendapatkan dana dekonsentrasi untuk Dikdasmen, sekolah membuat proposal ke propinsi, di Tahun 2006 tidak tersedia data..

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terdiri dari dana-dana yang berasal dari berbagai sumber, termasuk : i) pendapatan asli daerah – penerimaan yang berasal dari asset atau investasi daerah (misalnya, pajak daerah dan retribusi) dan ii) dana perimbangan – yang terdiri dari pajak dan non-pajak, DAU, DAK. Dan dana perimbangan dari propinsi. Meskipun Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diberlakukan pada tahun 2003 yang mengharuskan 20% APBD diperuntukkan bagi aktivitas

Page 55 of 63

Page 56: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

pendidikan (diluar gaji guru PNS), tetapi penerapannya masih sulit, mengingat anggaran APBD itu sendiri sangat terbatas, dan harus dialokasikan untuk berbagai sector (misal kesehatan, pekerjaan umum, dsb.).

PPeenniillaaiiaann MMeennyyeelluurruuhh PPoollaa AAnnggggaarraann ddaann KKeecceennddeerruunnggaannnnyyaa

Temuan selektif terkait dengan pola annggran dan kecenderungannya di Kabupaten Sleman dapat dilihat di Lampiran 1-3. Pola utamanya dapat diringkas sebagai berikut.

Kebanyakan sumber penerimaan berasal dari dana perimbangan (rasio BF terhadap penerimaan total APBD adalah 83 – 87 %), dimana kontribusi DAU masih merupakan mayoritas (70 – 72 %). (Lihat Lampiran 1).

Menarik sekali untuk melihat bahwa sumber daya yang dimiliki meningkat sebesar 23 – 30% tiap tahun. Sementara rasio sumber daya yang dimiliki terhadap penghasilan total mengalami peningkatan secara bertahap dari 10% tahun 2003 ke 13% di tahun 2005, dan diperkirakan 12% di tahun 2006. Ini menunjukkan upaya pemerintah daerah utuk meningkatkan kontribusi sumber dayanya. Dengan kontribusi DAK yang cukup kecil (> 2%), tetapi ada kenaikan yang besar di tahun 2006 (lihat Lampiran 1).

Gaji PNS tetap membebani sebagian besar anggaran (59–63% dari total pengeluaran), dimana sebagian besar berasal dari DAU.

Biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&M terhadap total) bervariasi antara 19 - 25 % dengan rasio investasi dan pengeluaran total (sebagian merupakan kontribusi DAK) antar 14 – 18%.

Hal ini menggambarkan bahwa Kabupaten Sleman telah berusaha meningkatkan bagian Pendapatan Asli nya, tetapi dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat tetap memainkan peran yang penting dalam semua sektor.

Pola-pola anggaran yang lain (lihat Lampiran 2) untuk Dinas Pendidikan di Sleman termasuk:

Gaji mengkonsumsi bagian terbesar dari anggaran pendidikan (rasio gaji dterhadap total adalah 87 – 94&), tetapi kini menunjukkan pola menurun.

O&M pada tahun 2006 dianggarkan lebih tinggi (rasio terhadap total > 7%), dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya 3 – 4 %. Angka tersebut masih berada pada kisaran rata-rata rasio O&M di Indonesia, yang hanya 3 – 5%. Rasio investasi pada tahun 2003 sangat rendah 0,75%, tidak ada data yang dapat menjelaskan mengapa hal ini begitu rendah.

Dengan menaikkan porsi O&M, berarti mengurangi porsi Investasi menjadi sebesar 4.8% pada rencana tahun 2006.

Rasio anggaran dinas total terhadap APBD bervariasi dari 43 - 47%, yang merupakan sektor terbesar di APBD. Meskipun angka ini menunjukkan komitmen Pemda untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas rencana strategis Pemda, tetapi angggaran tersebut jadi besar untuk gaji PNS (sebagian besar guru).

Rasio gaji dinas terhadap gaji APBD cukup tinggi (64.8 – 66.5%). Ini menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan memiliki jumlah PNS terbesar, dan mayoritas adalah guru.

Page 56 of 63

Page 57: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Mengingat sebagian besar DAU digunakan untuk gaji, maka jika gaji Dinas dibandingkan dengan DAU, maka hasilnya juga tinggi (56 – 73%). Ini menunjukkan bagaimana gaji PNS Dinas tergantung pada tingkat pusat.

Pada O&M, dimana sebagian besar dana tersebut dipakai untuk membiayai penigkatan mutu pendidikan, selama 2003-2005 hanya 5.6-7.28%. Dinas mengusulkan untuk menaikkan menjadi 12.50% (pada rencana tahun 2006).

Dengan mengevaluasi O&M terhadap (APBD-DAU) – studi ini mencoba memisahkan komponen gaji dengan mengurangi DAU – hasilnya menunjukkan bahwa rasio nya mengalami penurunan, mungkinkah bahwa dinas tidak berusaha meminta lebih besar untuk meningkatkan mutu pendidikan? Masih dalam rencana, tahun 2006 rasio menjadi 12.50%.

Rasio Investasi terhadap APBD mengalami peningkatan dari 1.87% di tahun 2003 ke 23.31% di tahn 2005. Ini menunjukkan bahwa Dinas telah melakukan lebih besar investasi / pengeluaran kapital dalam aktiva tetap (rehabilitasi, komputer dan ruang-ruang kelas baru), sebagian didanai dari DAK. Sementara pada tahun 2006 direncanakan rasio investasi yang sedang-sedang saja (13.48%). Trend rasio ini sama dengan rasio pada Dinas pada Tabel 6. Berarti Pemda telah membantu Dinas dalam pengeluaran investasi.

Ini menunjukkan komitmen dinas untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan mengurangi bagian besar pada gaji untuk O&M. Karena O&M akan mencerminkan berapa besar pendanaan diberikan untuk meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan, kebanyakan akibat dikenalkannya BOS.

Implikasi pokok yang dihasilkan dari pengenalan BOS dan DPP (lihat Lampiran 3a dan 3b) dapat diringkas sebagai berikut:

DPP, baik untuk sekolah menengah pertama maupun atas mengalami kenaikan, pada SMP naik tajam 59.78%.

Sementara BOS menurun, tidak ada data mengapa menurun. Ada anggapan, bahwa untuk menyalurkan BOS pada tahun 2005, Dinas menggunakan data siswa tahun 2004 – 2005, sedangkan untuk BOS tahun 2006 (dicairkan Januari – Juni) digunakan data tahun 2005 -2006. Belum lagi kemungkinan beberapa sekolah menolak BOS karena dengan mendapat BOS, akan sulit bagi pihak sekolah untuk meminta orangtua siswa membayar biaya sekolah.

Rasio BOS terhadap komponen O&M jadi lebih besar daripada DPP terhadap O&M. Di sekolah dasar rasio BOS terhadap O&M mencapai 203% pada tahun 2005 dan 207% pada tahun 2006, sedangkan di SMP masing-masing mencapai 53.9% dan 32.4%.

KKeessiimmppuullaann KKuunnccii

Kabupaten Sleman telah mencoba untuk meningkatkan pendapatan aslinya, tetapi dana dari pemerintah pusat tetap memainkan peran lebih besar pada pendanaan pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa analisis berdasarkan tabel-tabel sebelumnya. DAU, sebagai bagian dari Anggaran Pemerintah Daerah, merupakan dana terpenting yang disalurkan ke sektor pendidikan. Tetapi bagian terbesar pembiayaan untuk pendidikan digunakan untuk membayar gaji guru sebagai mayoritas PNS di sektor pendidikan.

Page 57 of 63

Page 58: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

BOS sebagai block grant dari Departemen Pendidikan Nasional (DepDikNas)juga memainkan peran yang besar dalam meningkatkan akses pendidikan, dan membuka peluang untuk meningktkan pelayanan dan mutu pendidikan. Di pihak lain, karena dana BOS didasarkan pada jumlah siswa, maka ini menciptakan peluang bagi sekolah untuk menggelembungkan (memanipulasi) jumlah siswa. Bantuan sekolah langsung dari DepDikNas ke sekolah mengurangi tingkat birokrasi. Tetapi, dari pandangan yang berbeda, terdapat komplain/keberatan bahwa sekolah yang sama menerima bantuan sekolah setiap tahun, sementara sekolah yang lain tidak menerima apapun. BKM yang membantu siswa SMA penting unttk membantu siwa yang miskin untuk menyelesaikan pendidikan mereka, dan itu juga dikelola di dinas propinsi.

Walaupun Anggaran Dinas Pendidikan (Kabupaten Sleman) merupakan alokasi terbesar (43.21 - 47.85%) dari APBD, gaji tetap merupakan komponen terbesar dalam anggaran (88.65 – 94.84%). Sementara itu, dana untuk mendukung komponen O&M hanya sekitar 3.43 – 7.26%, dan investasi 0.75 – 7.63%. Karenanya UU Pendidikan yang mendorong 20% dari APBD (diluar gaji) untuk mendanai pendidikan tetap sulit untuk dicapai.

Gagasan bahwa uang mengikuti fungsi tidak diterapkan secara jelas, karena banyak fungsi telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah (kecuali standard, kurikulum dan pendidikan tersier), tetapi banyak pendanaan pendidikan tetap dikelola di tingkat pusat. Pemerintah pusat mendominasi kebanyakan dana investasi, sebaliknya pemerintah daerah bertanggungjawab untuk membangun, memelihara dan memperbaiki gedung sekolah. Gagasan ini sebetulnya mengurangi konsep desentralisasi.

Kepala sekolah biasanya mengalami kesulitan menerapkan dan mengembangkan proposal untuk DAK. Berbagai sumber dana pendidikan, apakah dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota maupun masyarakat, sangat sering tumpang tindih satu dengan lainnya dan sulit dimonitor serta diawasi. DepDikNas masih belum percaya sepenuhnya pada pemerintah daerah jika semua dana pendidikan diurus oleh pemerintah daerah (APBD), seperti DAK. Salah satu alasannya adalah DepDikNas tidak percaya pada ketepatan dan kebenaran data yang dipersiapkan oleh Dinas. Departemen Keuangan dan Bappenas mendukung gagasan untuk menyiapkan dana pendidikan pada pemerintah daerah selama pemerintah daerah bersedia meningkatkan sistemnya.

PPaannddaannggaann KKeeddeeppaann ddaann PPeettaa jjaallaann

Dalam rangka meningkatkan orientasi hasil dari sistem manajemen dan perencanaan keuangan, sejumlah isu dan tindakan perlu dipersiapkan:

Perkenalkan formula keuangan DAU dan DAK per siswa, termasuk menetapkan dengan benar bagian gaji dan bagian non-gaji lainnya. Sebagian besar DAU digunakan untuk membiayai gaji PNS. Guru sebagai komponen terbesar PNS akan membawa pengaruh besar pada alokasi anggaran. Sementara jumlah guru, ruang kelas, dan sekolah-sekolah terpencil sangat bervariasi di setiap kabupaten/kota

Karena pendidikan merupakan salah satu komponen terbesar dalam anggaran Pemerintah Daerah, maka formula DAU harus didesain ulang dengan menambahkan pendekatan yang berciri untuk merumuskan beban yang lebih merata. Ciri-ciri yang diusulkan seharusnya memasukkan variable guru, komponen pendidikan lainnya, seperti jumlah sekolah dari berbagai jenjang pendidikan tertentu (sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas), jumlah ruang kelas, dan jumlah sekolah terpencil.

Page 58 of 63

Page 59: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Pemindahan secara bertahap pada sistem block grant sekolah tunggal, dengan melibatkan sumber-sumber keuangan dan terhadap rencana dan indikator pengembangan sekolah yang telah disepakati. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sekolah, persiapan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Anggaran Sekolah (RAPBS) harus melibatkan pihak-pihak yang berkepentigan dengan sekolah (guru, komite sekolah, dan wakil orangtua) RPS dan RAPBS yang telah disepakati harus ditampilkan di ruang public/gedung/halaman sekolah.

Perkenalkan kinerja yang berkaitan dengan pemerataan dana dari pendapatan daerah dalam rangka menyediakan dana operasioanl yang lebih memadai (kecuali BOS) melalui penggunaan formula yang meliputi beberapa komponen yang tekait dengan kebutuhan sekolah (contoh, jumlah guru, jumlah ruang kelas, jarak sekolah terpencil, sekolah satu atap). Ini perlu didasarkan pada monitoring kinerja sistematis untuk masing-masing kabupaten/kota dan kecamatan, terhadap serangkaian prioritas program dan strategi yang telah disepakati.

Perkuat sistem audit dan pelaporan keuangan propinsi dan pusat yang berorientasi hasil, melalui i) sistem monitoring, pengawasan, dan audit yang lebih baik di tiap tempat untuk menghindari peluang terjadinya korupsi dan kebocoran dana dan ii) implementasikan manajemen basis data yang tepat dan akurat. Jika DepDikNas masih tetap belum percaya penuh pada Pemerintah Daerah dalam menyalurkan dana, pemerintah daerah harus menyediakan data yang handal dan terbaru untuk digunakan oleh DepDikNas dalam memutuskan semua alokasi dana pendidikan. Dan dana tersebut dapat dikelola melalui pemerintah daerah (APBD), seperti DAK. Kehandalan dan manajemen basis data terkini harus digunakan sebagai masukan penting dalam perencanaan dan penganggaran.

Untuk DAK, selain hanya terdiri dari kriteria teknis, ciri-ciri yang diusulkan tersebut harus memasukkan variabel komponen pendidikan lainnya, seperti sekolah terpencil. Semakin terpencil letak sekolah, biasanya semakin tinggi biaya bahan bangunan.

Page 59 of 63

Page 60: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 11:: PPoollaa ddaann KKeecceennddeerruunnggaann AAnnggggaarraann AAPPBBDD SSlleemmaann,, TTaahhuunn 22000033--22000066

No. INCOME 2003 + % 2004 + % 2005 + % 2006

1 Own Resource 43,494,246,800 23.97 53,919,261,011 23.35 66,511,686,403 30.01 86,472,070,330

% to total 10.09% 12.01% 13.73% 12.90%

2 Balance Fund 360,322,608,000 3.74 373,811,600,000 5.90 395,849,000,000 47.46 583,707,000,000 % to total 83.61% 83.26% 81.69% 87.10%

Tax and Non Tax 24,876,641,000 30.04 32,350,000,000 6.65 34,500,000,000 14.49 39,500,000,000 DAU 304,780,000,000 0.84 307,330,000,000 3.52 318,139,000,000 52.57 485,397,000,000.00 % to total 70.72% 68.45% 65.65% 72.43%

DAK 10,600,000,000 (10.57) 9,480,000,000 11.81 10,600,000,000 143.40 25,800,000,000 % to total 2.46% 2.11% 2.19% 3.85%

Balance Fund of Province 20,065,967,000 22.85 24,651,600,000 32.28 32,610,000,000 1.23 33,010,000,000

3 Others 27,140,000,000 (21.74) 21,240,000,000 4.66 22,230,230,000 (100.00) 0

% to total 6.30% 4.73% 4.59% 0.00%

Total Income 430,956,854,800 448,970,861,011 484,590,916,403 670,179,070,330

APBD - DAU 126,176,854,800 141,640,861,011 166,451,916,403 184,782,070,330

No. EXPENDITURE 2003 + % 2004 + % 2005 + % 2006

1 Salary 297,555,905,778 13.50 337,718,304,444 2.10 344,801,215,765 20.84 416,641,531,238

% to total 63% 65% 60% 59%

2 Operation & Maintenance 94,407,132,375 5.34 99,452,748,933 44.33 143,539,194,563 24.14 178,188,302,334

% to total 20% 19% 25% 25%

3 Investment 83,993,458,450 0.69 84,571,133,040 (2.24) 82,680,690,750 32.30 109,384,528,195

% to total 18% 16% 14% 16%

Total Expenditure 475,956,496,603 521,742,186,417 571,021,101,078 704,214,361,767

APBD 2003 - 2006(in Rupiah)

Page 60 of 63

Page 61: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

Page 61 of 63

LLaammppiirraann 22:: PPoollaa ddaann KKeecceennddeerruunnggaann AAnnggggaarraann PPeennddiiddiikkaann SSlleemmaann,, TTaahhuunn 22000033--22000066

No. Item 2003 + % 2004 + % 2005 + % 2006

1 Salary

197,941,062,271 12.71

223,097,835,100 0.31

223,798,861,439 20.54

269,770,518,708

% to Salary APBD 66.52% 66.06% 64.91% 64.75%

% to DAU 65% 73% 70% 56%

2 Operation & Maintenance

9,188,457,977 (7.90)

8,462,157,068 10.98

9,391,674,900 137.11

22,268,763,900

% to O&P APBD 9.73% 8.51% 6.54% 12.50%

% to income (APBD-DAU) 7.28% 5.97% 5.64% 12.05%

3 Investment

1,571,595,000 868.76

15,224,916,000 26.57

19,270,705,000 (23.50)

14,742,500,000

% to Investment APBD 1.87% 18.00% 23.31% 13.48%

% to income (APBD-DAU) 1.25% 10.75% 11.58% 7.98%

Total

208,701,115,248

246,784,908,168

252,461,241,339

306,781,782,608

% to Total APBD Exp. 43.85% 47.30% 44.21% 43.56%

Page 62: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 33aa:: PPoollaa ddaann KKeecceennddeerruunnggaann BBOOSS SSlleemmaann,, TTaahhuunn 22000055--22000066

Description Primary Junior Secondary 2005 +/- 2006 2005 +/- 2006

DPP (op to school)

1,321 12.26%

1,483

3,705 59.78%

5,920 % to DPP + BOS 12.17% 19.81% 27.59% 49.67%% to Op + Maintenance 14.07% 6.66% 39.45% 26.58%% to Non Salary 4.61% 4.01% 12.93% 16.00%

BOS

9,533 -37.04%

6,002

9,726 -38.33%

5,998 % to DPP + BOS 87.83% 80.19% 72.41% 50.33%% to Op + Maintenance 101.50% 26.95% 103.56% 26.93%% to Non Salary 33.26% 16.22% 33.93% 16.21%

DPP + BOS

10,854 -31.04%

7,485

13,431 -11.26%

11,918

Op + Maintenance

9,392 137.11%

22,269

9,392 137.11%

22,269

Non Salary

28,662 29.13%

37,011

28,662 29.13%

37,011

Total

252,461.2 21.52%

306,781.8

252,461.2 21.52%

306,781.8

Page 62 of 63

Page 63: Indonesia Education-Consolidated Case Studies Bah

LLaammppiirraann 33bb:: PPoollaa ddaann KKeecceennddeerruunnggaann BBOOSS SSlleemmaann,, TTaahhuunn 22000055--22000066,, DDiisseessuuaaiikkaann uunnttuukk DDuuaa PPeemmbbaayyaarraann

Asumsi: tahun 2005 dan 2006 sekolah menerima BOS 2 kali per tahun dalam jumlah yang sama

Deskripsi SD/MI SMP/MTs

2005 +/- 2006 2005 +/- 2006

DPP (op to school)

1,321 12.26%

1,483

3,705 59.78%

5,920 % to DPP + BOS 6.48% 11.00% 16.00% 33.04%% to Op + Maintenance 14.07% 6.66% 39.45% 26.58%% to Non Salary 4.61% 4.01% 12.93% 16.00%% to Total 0.52% 0.48% 1.47% 1.93%

BOS

19,066 -37.04%

12,004

19,452 -38.33%

11,996 % to DPP + BOS 93.52% 89.00% 84.00% 66.96%% to Op + Maintenance 203.01% 53.91% 207.12% 53.87%% to Non Salary 66.52% 32.43% 67.87% 32.41%% to Total 7.55% 3.91% 7.70% 3.91%

DPP + BOS

20,387 -33.85%

13,487

23,157 -22.63%

17,916

Op + Maintenance

9,392 137.11%

22,269

9,392 137.11%

22,269

Non Salary

28,662 29.13%

37,011

28,662 29.13%

37,011

Total

252,461.2 21.52%

306,781.8

252,461.2 21.52%

306,781.8

Page 63 of 63