HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU …journal.unisla.ac.id/pdf/13912015/1....

15
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015 HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID Sudarto Murtaufiq Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan E-mail : [email protected] Abstract : By examining the writings of Nasr Abu Zaid, this writing attempts to analyze his theory and method of interpreting the Qur’an in addition to criticizing his thought in the light of hermeneutics and modern approaches to the Qur’an. Abu Zaid views, there are two goals in his studies of the Qur’an. The first is to reconnect the Qur’anic studies with the literary theory and criticism (Al-Dirasa al-Adabiyya wa al-Naqdiyya). In this case, the Qur’an is a text, and more particularly a linguistic text, and is inseparable from culture and history. For that reason, it is a cultural and historical text and should be studied by using linguistic and literary approaches, including hermeneutics and semiotics. The second is to define the “objective” understanding of Islam that is devoid of any ideological interest. Abu Zaid believes that by defining an “objective” nature of the text, the ideological interpretation of the Qur’an can be reduced to a large extent. At this stand, the text should be studied and interpreted “objectively” by employing scientific methodologies and theories developed in current textual and linguistics studies, including both hermeneutics and semiotics. Keywords: hermeneutics, linguistic text, literary theory, ideological interpretation Pendahuluan Belakangan ini, ada sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang ingin memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu tafsir Al- Qur’an. 1 Mereka mendasarkan pandangan ini karena menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang masih primitif dan patriarkis. 2 Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi. Metodologi tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas. Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki landasan teori yang solid, alih-alih mempunyai prinsip- prinsip yang teruji dan terseleksi. Paradigma tafsir klasik dianggap memaksakan prinsip- prinsip universal Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Dengan demikian, menurut pandangan ini, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah suatu keniscayaan. 3 Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini begitu marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Selain Abu Zaid, sejumlah sarjana Muslim lainnya juga gigih menyuarakan 1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002). 2 Pandangan ini setidaknya bisa dilihat dari pandangan Abu Zaid yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks linguistik, teks histories dan teks manusiawi. Dan ketiganya terangkum dalam keberadaan Al-Qur’an sebagai teks susastra. Lihat Nasr Abu Zaid, Naqd al-Khitāb al-Dīny (Cairo: Sina Li al-Nasr, 1994), 126. 3 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,

Transcript of HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU …journal.unisla.ac.id/pdf/13912015/1....

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID

Sudarto Murtaufiq

Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan

E-mail : [email protected]

Abstract : By examining the writings of Nasr Abu Zaid, this writing attempts to

analyze his theory and method of interpreting the Qur’an in addition to criticizing

his thought in the light of hermeneutics and modern approaches to the Qur’an.

Abu Zaid views, there are two goals in his studies of the Qur’an. The first is to

reconnect the Qur’anic studies with the literary theory and criticism (Al-Dirasa

al-Adabiyya wa al-Naqdiyya). In this case, the Qur’an is a text, and more

particularly a linguistic text, and is inseparable from culture and history. For that

reason, it is a cultural and historical text and should be studied by using linguistic

and literary approaches, including hermeneutics and semiotics. The second is to

define the “objective” understanding of Islam that is devoid of any ideological

interest. Abu Zaid believes that by defining an “objective” nature of the text, the

ideological interpretation of the Qur’an can be reduced to a large extent. At this

stand, the text should be studied and interpreted “objectively” by employing

scientific methodologies and theories developed in current textual and linguistics

studies, including both hermeneutics and semiotics.

Keywords: hermeneutics, linguistic text, literary theory, ideological interpretation

Pendahuluan

Belakangan ini, ada sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang ingin

memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu tafsir Al-

Qur’an.1 Mereka mendasarkan pandangan ini karena menganggap bahwa Al-Qur’an

merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik

masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang masih primitif dan patriarkis.2 Ilmu-ilmu

Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi. Metodologi

tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata

terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas.

Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki landasan teori yang solid, alih-alih mempunyai prinsip-

prinsip yang teruji dan terseleksi. Paradigma tafsir klasik dianggap memaksakan prinsip-

prinsip universal Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an. Akibatnya,

pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Dengan demikian, menurut

pandangan ini, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah

suatu keniscayaan.3

Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini begitu

marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di

negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di

Indonesia. Selain Abu Zaid, sejumlah sarjana Muslim lainnya juga gigih menyuarakan

1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai

Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002). 2 Pandangan ini setidaknya bisa dilihat dari pandangan Abu Zaid yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks

linguistik, teks histories dan teks manusiawi. Dan ketiganya terangkum dalam keberadaan Al-Qur’an sebagai

teks susastra. Lihat Nasr Abu Zaid, Naqd al-Khitāb al-Dīny (Cairo: Sina Li al-Nasr, 1994), 126. 3 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai

Metodologi Tafsir,

2

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

gagasan ini, antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi, Asghar Ali

Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh yang lain.4

Kesadaran ingin membebaskan diri dari himpitan pembacaan tradisional itulah yang

mengantarkan Abu Zaid muncul ke permukaan diskursus wacana keagamaan secara

mengejutkan, terutama di Mesir, dan dalam pemikiran dunia Islam pada umumnya karena

gagasan-gagasannya yang kontroversial dan keberaniannya merombak pemikiran Islam yang

telah dianggap baku. Tulisan ini memaparkan alur pemikiran Abu Zaid dan beberapa idenya

yang cukup kontroversial.

Untuk memulai konsep ‘analisa wacana’-nya, Abu Zaid mengajukan sebuah pertanyaan,

bagaimana seharusnya memberlakukan warisan intelektual (tradisi) karena cara pandang dan

model hubungan yang tepat dengan warisan Islam klasik akan memberikan landasan penting

dan keterbukaan dunia intelektual Islam dalam berinteraksi dengan budaya-budaya lain.

Mungkinkah tradisi Islam yang mempunyai ”daya kritis” harus diperlakukan sebagai benda

mati yang “antik”?5

Kemandekan kemajuan pemikiran tersebut, menurutnya, disebabkan adanya hegemoni

teks yang secara tidak sadar telah diterima dan akhirnya membelenggu kelompok yang

mengatasnamakan dirinya sebagai penjaga tradisi intelektual Islam. Di sana sebuah teks yang

mestinya hanya mempunyai kuasa epistemologis telah diadopsi, diubah dan diselipi kerangka

ideologis, sehingga sebuah teks seakan-akan menguasai wacana pemikiran manusia. Inilah

yang kemudian menimbulkan tidak adanya dinamika ilmu yang lebih kreatif dalam Islam

karena kebenaran sudah ada dalam teks, di mana si pembaca hanya berhak untuk menjelaskan

isinya belaka tanpa dibarengi tinjauan ulang secara kritis.6

Sikap kritis Abu Zaid di atas, lebih didasarkan atas semangatnya yang besar untuk bisa

membaca kembali dan membuktikan bahwa warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks-

teks keagamaan” tidak lepas dari wacana tertentu yang bersifat “ideologis”. Menurutnya,

kajian epistemologis tidak hanya berhenti pada terpahaminya makna literal dari teks, namun

harus juga mampu melangkah keluar untuk menguak signifikansi sosial, ekonomi, dan

politiknya, sehingga bisa tergambar jelas ‘ideologi’ yang melatarbelakangi: yakni pandangan

yang memberikan norma-norma benar-salah, pahala-siksa, boleh-dilarang, dalam

pengertiannya yang sosiologis. Sedemikian, sehingga ini akan berguna untuk menguakkan

“jarak epistemologis” antara “pemahaman” dan ”keyakinan”, karena dalam kehidupan

beragama yang telah dianggap ”mapan” dan “sakral”—disadari atau tidak—selalu terjadi

percampuran misterius antara ”keyakinan” dan “pemahaman”.7

Untuk mendukung keberhasilan metode yang ditawarkan, Abu Zaid menggunakan dua

pendekatan sekaligus, semiotika dan hermeneutika. Pendekatan semiotika berusaha

memperlakukan teks keagamaan sebagai teks yang bermakna luas, mencakup seluruh sistem

tanda yang dapat memproduksi makna. Dalam cakupan ini, konsep teks tidak hanya terbatas

pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum tetapi juga meliputi seluruh

hubungan yang bersifat non-lingustik; Pendekatan semiotika yang dilakukan oleh Abu Zaid

4 Adnin Armas, “Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika Al-Qur’an” Jurnal Islamia, Volume 1 (Maret, 2004), 38.

5A. Khudhori Sholeh,” Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid”, dalam

http://www.scribd.com/doc/22308204/Analisa-Wacana-Nasr-Hamid-Abu-Zaid (03 Juli 2014) 6 Ibid. Lihat pula Abu Zaid, “The Textuality of the Koran,” Islam and Europe in Past and Present (NIAS, 1997),

47-48. 7 Ibid.

3

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

merupakan usahanya untuk menjelaskan teorinya tentang teks Al-Qur’an sebagai produk

budaya dan sekaligus produsen budaya.8

Teks yang sejati, menurutnya, adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks

semula di mana teks itu diproduksi, dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari

norma-norma yang berasal dari luar. Teks di satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem

sosial budaya di mana ia tergabung di dalamnya, sekaligus pada sisi lain ia merupakan subjek

yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan.9

Sementara dengan hermeneutika berarti memahami teks keagamaan tidak bisa lepas dari

konteks sejarah di mana teks itu muncul, kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks dibuat

dan seterusnya, yang pasti tidak lepas dari ruang lingkup yang mengitarinya. Teks adalah

produk kebudayaan yang mengitarinya sehingga ia harus dipahami secara kritik historis. Di

sini, Abu Zaid memandang perlu untuk menggunakan pendekatan hermeneutika sebagai

tawaran konsep interpretasi baru dalam dunia pemikiran Islam dengan mengenalkan konsep

ini dalam tulisannya “al-Hirminiyūtika wa Mu’dilat Tafsīr al-Nāsh”. Ia kemudian mengkaji

penelusuran makna, khususnya dalam studi sastra, yang diawali sejak hermeneutika

romantisis dengan tokohnya Schleiermacher yang dikenal pula sebagai “Bapak

Hermeneutika” modern dan diteruskan oleh Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg

Gadamer, Jurgen Habermas dan Paul Ricoeur.10

Dengan demikian, gagasan Abu Zaid tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan

sarjana Islam. Sebagaimana dipaparkan di awal, dengan pendekatan semiotika dan

hermeneutika, Abu Zaid mengatakan bahwa teks keagamaan tidak terkecuali Al-Qur’an

adalah produk budaya atau al-Muntāj al-Thaqafī. Produk budaya dalam arti bahwa bahasa

yang tertuang dalam teks Al-Qur’an merupakan simbol atau kode manusia (human code)

dalam mengartikulasikan kesadaran dan perasaannya. Dengan demikian, dalam perspektif ini

Al-Qur’an adalah kode manusia yang digunakan Tuhan untuk menurunkan ajaran-Nya, agar

dapat dipahami manusia. Al-Qur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks

sejarah melalui dialog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.11

Menurut Abu Zaid, “Al-Qur’an yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang

Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus

penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari

masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam

suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan

demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak

membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya.

Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.12

8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (Yokyakarta: eLSAQ press, 2003); Lihat juga

Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of of His Method of

interpreting the Qur’an, PhD Thesis (Montreal:McGill University, 2001) 9 Ibid. Lihat pula M. Shohibuddin, Nashr Hamid Abu Zayd tentang Semiotika Al-Qur’an, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, 113-114. 10

Lihat Abu Zayd, Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil, edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad

Manshur (Yogyakarta: LKiS, 2004), 4. 11

A. Khudhori Sholeh,” Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid”, dalam

http://www.scribd.com/doc/22308204/Analisa-Wacana-Nasr-Hamid-Abu-Zaid (03 Juli 2013) 12

Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1997 M), 59.

4

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Pendapat Abu Zaid ini merusak konsep dasar Al-Qur’an yang dianut dalam Islam,

bahwasanya Nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, Nabi tidak merubah

sedikitpun yang diterimanya dari Tuhan bahkan Nabi pun terjaga dari kesalahan (ma’tsūm).13

Latar Belakang Kehidupan Nasr Hamid Abu Zaid

Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah desa dipinggiran

kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Sebagai anak desa, Abu Zaid

tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai tengah hari, waktunya

ia habiskan di bangku sekolah. Persentuhannya dengan ilmu-ilmu keagamaan ia lakukan lepas

tengah hari setelah pulang sekolah. Ia mengaji di sebuah kuttab, semacam sekolah madrasah,

yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari

sanalah ia banyak menimba ilmu-ilmu keagamaan secara tradisional. Kegiatan ini ia jalani

sejak masih berusia sangat hijau, yaitu dalam usia empat tahun.14

Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zaid kehilangan ayahanda

tercintanya yang berpulang keharibaan-Nya. Beberapa bulan sebelumnya, ia telah

menyelesaikan sekolah di Madrasah Ibtida’iyah Negeri yang ditempuhnya di Tanta. Sesuai

keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan

teknik, agar mudah mendapatkan pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana

untuk menempuh sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk

perguruan tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi

sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun berselang,

gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah dapat bekerja sebagai

teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam

kesibukannya bekerja, Abu Zaid masih saja menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan

minatnya terhadap kritik sastra.15

Dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation, Abu Zayd menempuh studi di

American University dari 1975-1977.16

Selang dua tahun gelar MA berhasil diraihnya dengan

predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul al-Ittijāh al-'Aqlī fi al-Tafsīr: Dirāsah fi

Qadiyyāt al-majāz fi al-Qur'ān 'inda Mu'tazilah berhasil dipertahankannya.17

Untuk melengkapi karir akademiknya, Abu Zaid menempuh program doktoral. Tahun

1981, ia berhasil meraih gelar PhD dengan predikat cumlaude, dalam disiplin studi Islam dan

bahasa Arab. Ia mengetengahkan disertasi dengan concern pada hermeneutika, yang masih

seturut dengan karir akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk

13

Pendapat Abu Zaid ini tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an yang artinya,“Dan Dia (Muhammad) tidak

menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3) 14

Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (Yokyakarta: eLSAQ press, 2003), 38-39. 15

Dalam publikasi awalnya di jurnal Al- Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al- Khuli, Abu Zayd banyak

mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang

dipublikasikan pada sekitar tahun 1964. Artikel pertama berjudul Hawl Adab al-‘Ummal wa al-Fallahin,

mengenai sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah, yang

mengelaborasi seputar persoalan krisis lagu Mesir. Kegiatannya ini, sesungguhnya merefleksikan batinnya

yang memang masih memendam impian untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga ia

memutuskan untuk mengikuti ujian persamaan sekolah menegah umum, akhirnya ia berhasil dan lulus. Lihat

Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd (Bandung: Teraju,

2003) 16

Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, 39. 17

Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of His Method of

interpreting the Qur’an, 6-7.

5

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

prasyarat tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran

terhadap pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri kepadanya.18

Setelah merengkuh gelar Doktor, Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor satu

tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan ‘Abd Al-‘Aziz Al-

Ahwani Prize for Humanities’ karena konsernya selama ini dalam bidang humanitas dan

budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara 1985-1989, Abu Zaid menjadi professor

tamu di Osaka University of Foreign Studies Jepang. Selama di Jepang, ia banyak

menghasilkan karya tulis berupa artikel dan sebuah buku berjudul Mafhūm al-Nāsh: Dirāsah

fi ‘Ulūm al-Qur’ān (Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), yang merupakan

pondasi bangunan idenya bagi penafsiran al-Qur’an yang objektif dan ilmiah. Pada tahun

1992, Abu Zaid menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa Perancis dan

Sastra Perbandingan Universitas Kairo. Pernikahan tersebut diselenggarakan pada bulan

April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50 tahun usia Abu Zaid. Setelah satu bulan

menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd mengajukan promosi untuk mendapatkan profesor penuh di

Universitas Kairo.19

Abu Zaid tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif. Ia telah menulis banyak

buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai

bahasa, baik oleh dunia Barat maupun dalam bahasa Indonesia.20

Pengertian Tafsir, Takwil Dan Hermeneutika

Lanskap agama memang mengandung perempatan-perempatan dan perlimaan-

perlimaan, yakni persilangan pendapat akibat penafsiran yang berbeda-beda. Tapi, ia juga

mengandung jalan layang dan underpass. Yang ini terkait dengan apa yang dalam tradisi ilmu

18

Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, 39. 19

Untuk keperluan tersebut, ia menyerahkan bukunya Naqd al-Khitab al-Dini, yang merupakan kumpulan

artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku al-Imam Al-Syafi’i, serta sebelas paper karya tulis

lainnya kepada panitia penguji. Namun, panitia akhirnya menolak promosi tersebut, dan berbuntut panjang

sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan “Kasus Abu Zayd”. Barulah pada

1995, ia meraih professor penuh setelah promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya

panitia baru. Antara 1995-1998, ditengah-tengah penyelesaian kasusnya, Abu Zayd menjadi profesor tamu di

Leiden University, Belanda. Ibid. Dalam hal ini, Penulis sendiri juga berkesempatan bertatap muka dan berdalog

langsung dengan Abu Zaid di Jakarta, tepatnya di Four Seasons Hotel, 8 September 2004. 20

Buku-buku yang ditulis Abu Zaid antara lain:

a. Al-Ittijāh al-‘Aqli Fi Tafsīr: Dirāsah Fi Qadiyyah al-Majāz Fi al-Qur’ān ‘Inda al-Mu’tazilah. (Beirut: Dar al-

Tanwir li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1983) (edisi ke-2).

b. Falsafat al-Ta’wīl: Dirāsah Fi Ta’wīl al-Qur’ān ‘Inda Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. (Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-

‘Arabi, 1998) (edisi ke-4).

c. Mafhūm al-Nash: Dirāsah Fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Kairo: Al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab,

1993).

d. Isykāliyyat al-Qirā’ah wa Aliyyat al-Ta’wīl. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi. 1994) (edisi ke-3).

e. Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sīs al-Idiyūlujiyya al-Wasatiyyah. (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992).

f. Naqd al-Khitāb al-Dīny. (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994) (edisi ke-2), diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh

Cherifa Magdi, Islam and Politik: Kritik des Religiosen Diskursus. Frankfurt: Dipa, 1996.

g. Al-Mar’ah Fi al-Khitāb al- Azmah. (Kairo: Dar Nusus li al-Nasyr, 1995).

h. Al-Takfīr Fi Zaman al-Takfir. (Kairo: Maktabah Madbuli. 1995).

i. Al-Nass, al-Sultah, al-Haqīqah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1995).

j. Al-Qawl al-Mufīd Fi Qissat Abu Zayd. (Kairo: Maktabah Madbuli, 1995).

k. Al-Khilāfah wa Sultah al-Ummah. Kairo: 1995 (Sebagai editor).

l. Vernieuwing in het Islamitisch Denken. Diedit dan diterjemahkan oleh Fred Leemhuis. (Amsterdam:

BULAAQ, 1996).

m.) Dawā’ir al-Khawf: Qirā’ah fi Khitāb al-Mar’ah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafial-‘Arabi. 1999)

6

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

agama disebut sebagai takwil. Meski ada yang menyamakan tafsir dan takwil, umunya kedua

konsep ini dibedakan. Jika penafsiran menunjukkan kekayaan kemungkinan pemahaman

Kitab Suci – dan mungkin hadis Nabi – lebih karena keterbatasan kemampuan satu orang atau

suatu kelompok untuk memahami suatu ajaran, maka takwil melahirkan kekayaan

pemahaman karena terbukanya akses kepada banyak lapis makna kitab suci. Dari lapis makna

yang sepenuhnya literal (harfiah), hingga makna batin yang paling dalam inilah yang

dimaksud oleh hadis: Sesungguhnya Al-Qur’an memiliki tujuh (banyak, tak terbatas) lapis

makna.”21

Pengertian Tafisr

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’īl”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r)

yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang

abstrak. Sedangkan tafsir secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapan lafaz-

lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri

maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta

hal-hal lain yang melengkapinya.22

Sedangkan tafsir menurut Al-Kilby adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan

maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya,

ataupun dengan tujuannya. Begitu juga menurut Al-Jurjani tafsir adalah membuka atau

melahirkan, menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya

diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara terang.23

Dari segi bentuknya, tafsir terdiri dari tiga macam. Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu

penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadist Nabi SAW, yang menjelaskan makna

sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil

ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh

rentang zaman dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna

ayat Al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.24

Kitab-kitab tafsir yang memuat Tafsir bi al-Ma’tsūr antara lain Jāmi’ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān: Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), al-Kasyfu wa al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān:

Ahmad Ibn Ibrahim (427 H), Ma’ālimu al-Tanzīl: Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi

(516 H), al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān : Al-Qurthubi (671 H), Tafsīr al-Qur’ān al-Adhīm:

Imam Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir (774 H), Al-Durrū al-Mantsūr fi Tafsīr bi al-Ma’tsūr:

Jalaluddin as-Suyuti (911 H).25

Kedua adalah Tafsir bi al-Ra’yi, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad, terutama

setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbāb al-nuzūl,

nāsikh-mansūkh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir seperti

mengenai syarat-syarat penafsir.26

Tatkala ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat, di saat para ulama telah menguasai

berbagai disiplin ilmu, maka karya tafsir juga ikut bermunculan dengan pesatnya dan diwarnai

21

Haidar Bagir, “Takwil Menurut Ibn Arabi”, dalam https://ahmadsamantho.wordpress.com/2012/07/20/tawil-

menurut-ibn-arabi (28 Mei 2014) 22

Manna Khalil al-Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: Renika Cipta. 1998). 166. 23

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang: 1980), 192. 24

Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 13. 25

Ridlwan Nasir, Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: CV. Indra

Media. 2003), 15 26

M. Natsir Arsyad, Sari Buku Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu (Bandung: Al Bayan, 1996),

60.

7

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

oleh latar belakang pendidikan masing-masing pengarangnya. Masing-masing pengarang

mempunyai kecendrungan dan arah pembahasan tersendiri berbeda dengan yang lain.

Bermula dari gejala demikian, lahirlah bermacam-macam tafsir.27

Corak tafsir ini ada yang

diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-ra’yī ini dapat diterima sepanjang

penafsirannya memenuhi syarat-syarat tafsir.28

Diantara kitab-kitab tafsir bi al-ra’yi adalah Mafātih al-Ghaīb: Fahruddin ar-Razi (w.

606 H ), Anwāru al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wīl: Imam al-Baidhawi (692 H), Madārik al-

Tanzīl wa Haqā’iq al-Ta’wīl: Abu al-Barakat an Nasafi (w. 710 H), Lubabu al-Ta’wīl fi

Ma’āni al-Tanzīl: Imam al-Khazin (w. 741 H).29

Ketiga adalah Tafsir bi al-Isyāri. Diantara kelompok sufi ada yang mendakwakan

bahwa riyādah ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan pada

suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik

ungkapan-ungkapan Al-Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib.

Setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin; yang zahir ialah apa yang segera

mudah dipahami akal pikiran sebelum yang lain, sedangkan yang batin ialah isyarat-isyarat

tersembunyi. Contoh tafsir isyari apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas persoalan maksud

ayat; والفتح .Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (Q.S”إذا جاء نصر للاه

110: 1)

Para sahabat mengatakan maksud dari ayat ini adalah ”kami diperintahkan agar memuji

kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya, ketika kita memperoleh pertolongan dan

kemenengan”. Sedangkan sebagain sahabat yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa.

Kemudian sahabat Umar bertanya kepadaku, begitukah pendapatmu wahai Ibn Abbas?

Kemudian Ibn Abbas menjawab, ”ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah yang

diberitahukan Allah kepadanya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an: “apabila telah

dating pertolongan allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda ajalmu (Muhamad),

maka bertasbilah dengan memuji tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.

Sesungguhnya Ia maha penerima taubat”. Kemudian sahabat Umar berkata: ”Aku tidak

mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan itu.”30

Pengertian Takwil

Secara etimologi, takwil berasal dari kata “awwala” yang artinya kembali31

dan akibat

atau pahala,32

seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59.33

Sedangkan dalam terminologi

Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian takwil secara istilah dalam Lisān Al-‘Arab;

27

Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, 15 28

Diantara syarat-syarat yang harus diperhatikan adalah: a) Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga

kehendak Tuhan di dalamnya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir; b) Memaksa diri memahami sesuatu

yang hanya wewenang Tuhan untuk mengetahuinya; c) Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu; d)

Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab semata, di mana ajaran madzhab dijadikan dasar

utama sementara tafsir itu sendiri dinomorduakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan; e) Menghindari

penafsiran pasti (qath’ī), dimana seorang penafsir tanpa alasan mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud

Tuhan. 29

Ridlwan Nasir, Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, 15. 30

Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 496. 31

Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), 32. 32

Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006), 416. 33

Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS. An-Nisa' :59 ذلك خير وأحسن تأويل

8

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

pertama, takwil adalah sinonim (murādhif) dari tafsir. Kedua, takwil adalah memindahkan

makna zahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.34

Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rīfāt, menyatakan "Takwil secara

bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari

maknanya yang zahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna

yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah".35

Abu Al-Hasan Al-Amidi, dalam Al-Ihkām fi Ushūl Al-Ahkām mengatakan, "Takwil

adalah mengalihkan lafazh yang ambigu dari makna zahirnya berdasarkan dalil yang

menguatkannya".36

Dari definisi takwil di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan

antara keduanya. Tafsir dalam terminologi Islam adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, memahami maknanya, mengeluarkan

hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ilmu

bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul, dan nasikh dan mansukh.37

Tafsir

dalam istilah para ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur'an dan

menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari takwil yang hanya sekedar membahas lafazh-

lafazh yang ambigu atau makna yang zahir atau permasalahan lafazh lainnya. Tafsir lebih

banyak digunakan dalam kalimat-kalimat.38

Takwil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah

lafazh, maka takwil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi,

takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Tafsir

menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit) sedangkan takwil menemukan

makna batin (esoteris) dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyābih).39

Pengertian Hermeneutika

Secara bahasa, akar kata hermeneutika merujuk pada bahasa para filsuf kuno Yunani:

hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan) dan hermeneia (penafsiran

atau interpretasi). Hermeneuein memposisikan diri sebagai kata kerja, sementara hermeneia

merepresentasikan diri sebagai kata benda.40

Istilah ini juga seringkali diasosiasikan dengan

kata Hermez, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani, di mana (dimaknai) sebagai utusan

“Tuhan Perbatasan”. Tepatnya, Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di

balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di

sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat

intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.41

Secara teologis, peran Hermez ini

bisa dinisbatkan peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nasr memiliki hipotesis bahwa

Hermez tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-Qur’an.42

34

Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), 32. 35

Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo:

Maktabah Matbuli, 1995), 111. 36

Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt), 53. 37

Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006), 22. 38

Ibid. 39

Ibid. 40

Gaile L. Ormiston & Alan D. Schrift, The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur (New York: State

University of New York Press, 1990), 1-11. Lihat Juga Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences:

Essays on Language, Action and Interpretation (London-New York: Cambridge University Press, 1982), 54-62. 41

Ibid. 42

Sayyed Hossein Nasr, Knowledge dan the Sacred (New York: State University Press, 1989), 71.

9

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi dengan eksegetis, dan pada umumnya

dapat juga didefinisikan sebagai disiplin yang berkenanaan dengan “teori tentang penafsiran”.

Istilah teori di sini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai suatu eksposisi metodologis

tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah teori juga

merujuk kepada “filsafat” dalam pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya

tugas-tugas menganalisis segala fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman

manusia. Jika yang pertama lebih bersifat teknis dan normatif, maka yang terakhir ini

meletakkan hermeneutika secara lebih filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu

sendiri.43

Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan perbincangan

teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal apa yang

dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman

yang keliru terhadap teks. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan

adanya kebenaran di balik teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan

metode-metode penafsiran yang relatif memadai.44

Sementara itu, hermeneutika dalam pengertian filsafat, bukan berurusan dengan segala

macam kebenaran dari sebuah penafsiran dan cara memperoleh kebenaran tersebut. Ia lebih

kompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul

sebagai suatu kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar.45

Perkembangan Hermeneutika dalam Tradisi Keilmuan Islam

Tradisi interpretasi kitab suci adalah sesuatu yang mapan dalam diskursus keagamaan.

Hal ini terjadi sebagai akibat dari upaya masing-masing pemeluk agama untuk memahami

lebih baik kandungan kitab suci masing-masing. Dalam sejarah Yunani kuno, hermeneutika

dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami buku-buku sastra dan teks-

teks keagamaan. Lalu sesuai perkembangannya, kaum Yahudi juga memanfaatkannya dalam

rangka menginterpretasi Perjanjian Lama. Hal serupa juga belakangan diikuti oleh teolog

Kristen dan berupaya memberdayakan hermeneutika dalam diskursus Bibel studies. Dalam

tradisi Kristen inilah berkembang wacana hermeneutika dari fase teologi menuju fase

rasionalisasi dan kajian filosofis. Lalu dengan kajian yang dikembangkan oleh Friedrich

Schleiermacher, hermeneutika menjadi kajian bernuansa filsafat yang dari sisi teoritis

dimanfaatkan untuk memahami berbagai teks dari beragam bentuk.

Dalam tradisi keilmuan Islam, hermeneutika mulai mendapatkan apresiasi dari para

sarjana Muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan dari teori ini, terlebih

ketika ia dihubungkan dalam studi Al-Qur’an. Munculnya tokoh-tokoh seperti Hasan Hanafi,

Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain-lain sangat berperan

dalam mentransformasikan kajian hermeneutika ini. Melalui mereka, dunia Islam mulai

mengenal tradisi interpretasi Bibel dari para ahli hermeneutika seperti Friedrich

SchlEiermacher, Wilhem Dilthey, Habermas, Gadamer, Paul Ricour, hingga Derrida.

Meski perkembangan hermeneutika dalam tradisi keilmuan Islam tergolong baru,

hermeneutika dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam

karyanya yang berjudul Less Methodes d'Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la

Comprehension, `Ilm Usul al-Figh (1965), sekalipun tradisi hermeneutika telah dikenal luas

43

Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Qritique (London:

Roudledge & Kegan Paul, 1980), 1-5. 44

Ibid. 45

Ibid.

10

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Figh dan Tafsir

Alqur'an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutika pada awalnya hanya merupakan

eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoretisasi hukum

Islam dan Usul al-Figh.46

Pun demikian, dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi

untuk menafsirkan Al-Qur’an, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari

segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya

untuk menggali kandungan Al-Qur’an. Sementara, hermenutika, meski bisa dijadikan teori,

konsep atau metode, namun ia tidak bisa digunakan sebagai fondasi metodologi yang kokoh

dan teruji bagi semua kajian keislaman, terlebih ketika bersentuhan dengan Al-Qur’an.47

Bahkan salah satu pakar hermeneutika Werner G.Jeanrond menyatakan bahwa ada tiga

milleu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu metode,

konsep atau teori interpretasi. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran

Yunani. Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab

suci mereka dan berupaya untuk mencari model yang cocok untuk interpretasi. Ketiga

masyarakat Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas

keagamaan dan membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.48

Hermeneutika Al-Qur’an : Kritik Atas Pemikiran Abu Zaid

Islam berpandangan bahwa Tuhan telah menetapkan keabadian Al-Qur’an baik dari segi

lafazh, sistematika, maupun petunjuk-petunjuknya agar nilai-nilai dasar aqidah dan syariah

bersifat abadi dan kekal.49

Itulah prinsip yang dipegang dalam Islam tentang kekekalan Al-

Qur’an, tidak ada historisitas di dalamnya baik dari segi hukum maupun makna-maknanya.

Sementara itu, Abu Zaid bertolak dari historisitas teks-teks agama ketika berbicara tentang

Al-Qur’an. Ia pun menafikan segala kemungkinan makna yang kekal, atau menafikan setiap

keabadian dan kekekalan pada setiap makna dan petunjuk Al-Qur’an. Abu Zaid ingin melipat

arti-arti Al-Qur’an yang telah ditunjukkan oleh lafazhnya. Lalu ia pun menyatakan, “Al-

Quran adalah dikusrsus sejarah dan tidak mengandung arti transenden yang tetap dan

substansial.” Sehingga, tidak ada unsur-unsur substansial yang tetap di dalam teks, karena

setiap pembacaan dalam arti historis-sosiologis memiliki substansinya sendiri yang tersingkap

di dalam teks.50

46

Hasan Hanafi, Dirasah Islamiya (Kairo : Maktabah Anglo Misriyah, 1981), 63. Lihat juga Muzair,

Hermeneutika dalam pemikiran Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003), 53. 47

Pandangan ini dikemukakan oleh Alparslan, salah satu cendekiawan Muslim asal Turki. Bahkan lebih jauh ia

berpendapat, ”Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan dari konsep-konsep yang dalam konteks

keilmuan berkembang menjadi tradisi ilmiah (scientifik tradition). Tradisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan

berbagai disiplin ilmu, seperti yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep hermeneutika. Karena ilmu

dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi

dan metafisika. Hal-hal inilah yang menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk hermeneutika tidak

netral. Lihat Alparslan Acikgence, Islamic Science: Toward Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29. 48

Werner G Jeanrond, Theological Hermeneutic, Development and Significance (Macmillan: London, 1991),

12-13. 49

Contoh ini bisa kita ambil dari wacana teologi Islam. Ketika pada umumnya teolog-teolog Sunni

mempertahankan keabadian Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan, kaum Muktazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an

tidaklah abadi. Pun demikian, mayoritas teolog Muslim berpendapat bahwa salah satu mukjizat Al-Qur’an

adalah tidak bisa ditiru dari sudut gaya bahasanya begitu juga dari sudut isinya. Lihat Joel L Kraemer,

Humanism in the Renaissance of Islam: Cultural Revival during the Buyid Age (Leiden Brill Paperback, 1992),

48. 50

Nasr Abu Zaid, Naql al-Khitab al-Dini, 83. Lihat juga Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum

Liberal, 315.

11

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Abu Zaid memakai teori itu untuk menafsirkan Al-Qur’an, seperti yang ia tulis dalam

bukunya Iskaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-ta’wil (problematika Pembacaan teks dan

Mekanisme Harmeneutika), “Kita harus menerima, seperti dinyatakan Louis Altusser, bahwa

tak ada satupun pembacaan yang obyektif (alias semuanya subjektif, tergantung pembaca

masing-masing).51

Dengan cara pandang seperti ini, Abu Zaid secara sadar mencoba mengalihkan hakikat

makna yang memiliki petunjuk-petunjuk orisinil dalam Al-Qur’an agar selalu berkembang

dan progresif sesuai dengan semangat zaman. Ia pun mengutip konsep itu dari David Hirsch

yang berhasil menerapkannya dalam kajian sastra hingga konsep hermeneutika produktif oleh

Hans-Georg Gadamer.52

Dalam Islam, disepakati bahwa metode tafsir Al-Qur’an yang mempertimbangkan

petunjuk asli dan konteks awal adalah konsekuensi keimanan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu

penutup yang mengandung aturan syariah pamungkas, sehingga tidak dikenal apalagi diakui

model tafsir dan pemahaman historis. Karena historisitas bertolak belakang dengan keabadian

Al-Qur’an dan sekaligus kelangsungan sistem syariah yang dikandungnya. Tentu kita patut

bertanya-tanya, “Jika keberlangsungan dan ketetapan konsepsi Al-Qur’an menjadi tiada, dan

pada setiap masa pembaca disahkan melakukan pembacaan yang beda dengan pembacaan

orang lain, serta karena tak ada tafsir atau pembacaan yang obyektif, maka apa artinya teks

Al-Qur’an dan eksistensinya di dalam kesadaran umat Islam setelah dicerabut dari makna-

makna yang tetap itu? Apakah artinya ketika Tuhan menjamin keterjagaan Al-Qur’an sama

artinya Al-Qur’an itu akan menjadi manuskrip antik yang disimpan di museum-museum

sejarah karena telah kahilangan makna, petunjuk, dan relevansinya untuk masa kini setelah

habis masa kenabian?53

Adapun kelemahanan teori hermenutika seperti yang dikembangkan Abu Zaid ini bisa

dilacak dari kerangka epistema.54

Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran teori

hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan

pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah

mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap

wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari

wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa

menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan.55

Realitas ini tidak terjadi dalam Islam. Islam tidak pernah menghadapi problem seperti

yang dihadapi Yahudi maupun Kristen, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun

monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh

hermeneutika. Dengan ilmu ini, otentisitas Al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan

ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa

51

Ibid. 52

Ibid. Untuk mengetahui lebih detail mengenai hermeneutika filosofis yang dikembangan Gadamer, lihat dalam

bukunya Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, tr. David Linge (Berkeley: University of

California Press, 1977). 53

Ibid., 319. 54

Seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. 55

Lihat Rober Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,

1995), 323. Dalam kamus filsafat yang lain, dinyatakan tiga urutan perkembangan makna hermeneutika:

“Hermeneutics . in theology is the interpretation of the spiritual truth of the Bible. In social philosophy,

hermeneutics is the term imported from theology by Dhilthey, used to denote the discipline concerned with

investigation and interpretation of human behavior, speech, institutions, etc., as essentially intentional. In

existentialism, hermeneutics is enquiry into the purpose of human existence.” Lihat Anthony Flew, A Dictionary

of Philosophy, revised second edition New York: St Martin’s Press, 1984), 146.

12

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

disebut Al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzil, atau asbab al-nuzul

dan juga asbab al-wurud bisa dianalisis. Begitu juga periodisasi tanzil atau Makki dan

Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan

bahwa pembukuan Al-Qur’an itu karena perintah Tuhan, bukan karena faktor sosial atau

realitas seperti yang dituduhkan oleh Abu Zaid. Pengetahuan tersebut kemudian

disistematikan oleh para ilmuwan Islam dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an.56

Selain itu, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen

itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an itu sendiri.

Sebagai contoh, klasifikasi kata Arab, seperti majaz (kiasan) dan haqiqah (hakiki), memang

dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika

tidak mengenal haqiqah syar’iyah, seperti lafadz al-jihad, al-shalah dan sebagainya. Padahal,

realitas tersebut ada di dalam Al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber

syar’iyah dari makna bahasa menjadi makna syar’iyah. Karena teori hermeneutika tidak

mengenal haqiqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqiqah

lughawiyyah. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqiqah

syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks syara’.

Dengan kerangka epistemologi seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh

persoalan-persoalan seperti nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan);

amm (umum) dan khass (khusus); muhkamat (jelas) dan mutasyabihat (ambigu) serta asbab

al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu). Sebab, persoalan-persoalan itu bersumber dari

sumber syariat. Dengan teori ini misalnya, ayat-ayat yang telah di-nasakh dianggap masih

berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imran (03: 130), yang membolehkan riba, asal tidak berlipat

ganda. Padahal, ayat ini sudah di-nasakh dengan surat al-Baqarah (02: 278). Kasus yang sama

juga berlaku pada ayat-ayat khamr, sehingga baik riba maupun khamr menjadi boleh. Inilah

produk hermeneutika.57

Dari sini jelas, bahwa kelemahan teori hermeneutika seperti yang dikembangkan Abu

Zaid justru terletak pada kerangka epistemologisnya karena teori hermeneutika merupakan

bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak

bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kelemahan teori hermeneutika justru

terjadi karena kelemahan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari

kelemahan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektifitas

pembacaan hermeneutis, yang justru terjebak dengan subyektifitas kontemplatif dan imaginer.

Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir bukan dari tradisi Islam ini tidak cukup

untuk membaca teks Al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab

tasyri’. Maka, pemaksaan Al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra,

dan bukan kitab tasyri’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan Al-Qur’an agar

bisa didekati dengan teori ini.

Dengan demikian, teori hermeneutika seperti yang dikembangan Abu Zaid itu berbeda

dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Teori hermeneutika tidak sesuai untuk kajian

Al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan

56

Lihat Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadist (Jakarta: Rahmat Semesta Center,

2009), 13-14. 57

Jika teori-teori hermeneutika yang diproyeksikan oleh Shleiermacher sampai Derrida diterapkan dalam Al-

Qur’an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu

dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan

pengertian yang sebenarnya mengenai Al-Qur’an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti

itu pun sudah masuk dalam “school of thought” tertentu? Kalau begitu di mana objektivitasnya? Dan masih

banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.

13

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari Al-Qur'an dan menganggapnya

sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu-raguan

terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati dalam Islam, baik oleh kelompok Sunni

ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus."58

Pernyataan Abu Zaid misalnya, bahwa Al-Qur’an sebagai sebagai produk budaya

sehingga bisa meruntuhkan sakralitas Al-Qur’an sebagai Kitab Suci adalah pengaruh dari

hermeneutika teologis ini. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan

kembali akidah Islam yang berpegang bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Tuhan. Pendapat

Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah "both the Word of God and the

word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Dengan perkataan lain,

kajian Al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika

seperti yang dikembangkan oleh Abu Zaid.

Selain itu, epistemologi dalam Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Dalam Islam

sumber pengetahuan tidak hanya akal karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Al-

Qur’an banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak

pernah terlintas dalam pemikiran para pakar hermeneutika. Misalnya ceritera kapalnya Nabi

Nuh, Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar, Nabi Musa yang dapat membelah laut, Isra

dan mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah

khayalan akan tetapi merupakan khabar shadiq (benar dan tidak diragukan lagi).

Sementara jika merujuk kepada pemikiran dari para pakar hermeneutika—mulai dari

Schleiermacher sampai Derrida, maka hermeneutika tidak dapat diaplikasikan untuk

menjelaskan makna-makna ajaran dalam Al-Qur’an. Dalam Islam, wahyu (revelation)

menempati posisi penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti pendapatnya

Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio sekaligus yang

berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu pengetahuan. Di sinilah letak

perbedaan epistemologi hermeneutika dan Islam.59

Suatu peradaban bisa saja mengimport suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi

konseptual atau apa yang disebut borrowing process. Jika modifikasi konsep ini melibatkan

konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma Shift) tidak

dapat dielakkan. Selain itu juga, Implementasi hermeneutika dalam Islam berbeda dengan

hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi hermeneutika dalam dunia Kristen

digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci

yang sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan

paling benar. Sedangkan penggunaan hermeneutika dalam dunia Islam digunakan bukan

untuk mencari keotentikan teks Al-Qur’an.

Penutup

Seperti dipaparkan sebelumnya bahwa betapapun bersifat suci dan berasal dari Tuhan,

dalam analisisnya, Abu Zaid memposisikan teks Al-Qur’an sebagai teks bahasa yang bersifat

kemanusiaan. Karena teks yang bersifat Ilahi itu telah menyejarah dan termanusiakan menjadi

teks yang bersifat manusiawi yang tercermin karakteristiknya dalam bahasa tertentu, yaitu

bahasa Arab. Sebagai teks lingustik dan produk budaya, Al-Quran adalah pantulan sosiologis

suatu periode sejarah tertentu. Al-Qur’an tak ubahnya seperti karya-karya sastra lain yang

58

Padahal dalam Islam, validitas dan otentisitas Al-Qur’an, termasuk juga hadist, dipandang sebagai sumber

hukum sekaligus sebagai landasan etika dan moral yang tidak pernah diragukan sama sekali. Lihat Nasaruddin

Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadist (Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2009), 9. 59

Malki Ahmad Nasir, Hermeutika Kritis: Studi Kritis atas Pemikiran Habermas, dalam Jurnal Islamia Thn. I

No.I (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), 36.

14

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

merefleksikan periode dan pemikiran tertentu yang tidak dapat melampaui zamannya dan

kondisi sosio-antropologis saat karya itu dihasilkan. Dengan demikian, Abu Zaid ingin

menganulir setiap makna dan hukum-hukum yang tetap dan berlaku abadi yang terdapat di

dalam Al-Qur’an. Dan lebih dari itu, ia telah mengingkari sistem kepercayaan dan sistem

legal Al-Qur’an atas nama historisitas.

Dengan pembacaan hermeneutisnya terhadap teks Al-Qur’an seperti ini, Abu Zaid

hendak mengaplikasikan metode dialektika, maka makna-makna yang terbatas dari otoritas

makna tekstual dapat tunduk kepada pemahaman historis yang tentu saja harus dipahami

sesuai sudut pandang manusia yang nisbi dan terus berubah. Menurutnya, setiap zaman

memiliki cakrawala intelektual sendiri yang menghukuminya sesuai aturan-aturan realitas.

Makna-makna teks selalu tetap karena faktor tulisan dan hafalan, sedangkan signifikan teks

amat tergantung kepada pengetahuan yang memungkinkan untuk melampaui pembacaan itu

sepadan dengan situasi kultur yang menjadi tempat hidup pembaca.

Abu Zaid tidak menerapkan pembacaan itu hanya untuk teks-teks parsial saja, yang

memang dapat menerima pengembangan makna tanpa harus menggugat kesucian Al-Qur’an,

tetapi dia melampaui koridor dengan memberlakukan konsep dialektika makna–signifikan

untuk semua jenis teks tanpa terkecuali. Termasuk ayat-ayat aqidah, pemaknaanya dijadikan

relatif dan tergadai oleh tingkat kesadaran manusia dalam kacamata signifikan teks. Karena

itu maknanya silih berganti sesuai perkembangan pemahaman. Maka dalam perkembangan

berikutnya, sistem aqidah yang transenden sudah tak beroperasi lagi dan digantikan oleh

kebenaran realitas empiris. Sehingga dengan konsep ini, maka kisah-kisah Al-Qur’an bukan

lagi realitas historis, melainkan ungkapan-ungkapan sastra. Dengan demikian, akidah Islam

dibangun di atas mitos sesuai kondisi kultural yang menyertainya dan ajaran Islam harus terus

membentuk dirinya dan berkembang sesuai hukum realitas.

Jika ini yang terjadi, semua ajaran-ajaran fundamental Islam yang ada di dalam Al-

Qur’an harus dirombak total dari makna hakikat kepada makna metafor. Demikianlah

historisisme Abu Zaid telah mengubah hakikat menjadi metafor, melampaui makna kepada

signifikansi karena harus menyertakan kehadiran ‘makna’ yang bersifat subyektif.

Di sinilah titik kerapuhan pembacaan hermeneutis Abu Zaid terhadap teks Al-Quran.

Jika pembacaan hermeneutis ini diaplikasikan dalam kajian Al-Quran, maka kita harus

membuang status kesakralan wahyu agar dapat dikomunikasikan kepada masyarakat.

Demikian pula ajaran agama yang dipahami dengan struktur otoritas yang jelas harus

dimanipulasi agar dapat dipahami dalam konteks budaya, sains dan kultur masyarakat.

Daftar Rujukan

Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Nas Dirasah fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Markaz as-Saqafi

al-Arabi, 1998

-------, Naqd al-Khitab al-Din. Mesir: Sina li al-Nashr, 1994

-------, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran): edisi terjemah

Indonesia oleh Sunarwoto Dema. Yokyakarta: LkiS, 2003

-------, Isykaliyah al-Qira’ah wa A’liyah at-Ta’wil. Beirut: Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1992

-------, Rethinking the Qur’an: Towards A Humanistic Hermeneutics. Utrech: Utrech

University Press, 2004

------, “The Textuality of the Koran,” Islam and Europe in Past and Present. NIAS, 1997

Armas, Adnin. “Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika Al-Qur’an” Jurnal Islamia, Volume 1

Maret, 2004

Al-Amidi, Abu Al-Hasan. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt

15

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: P.T. Pustaka Liter AntarNusa,

1992

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Kitab At-Ta'rifat. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988

Al-Jawzi, Ibnu. Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid

Ad-Dugim. Kairo: Maktabah Matbuli, 1995

Al-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir. Jakarta: Bulan

Bintang, 1980

Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an. Kairo: Dar Al-Hadith,

2006

Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and

Critique. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.

Dilthey, Wilhelm. Pattern and Meaning in History. New York: Harper & Row, 1962

--------“Hermeneutics of the Human Sciences”, dalam Muller-Vollmer, K. (ed.), The

Hermenutics Reader. Oxford: Basil Blackwell, 1985

Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics. Berkeley : The University of California

Press, 1976.

--------“The Historicity of Understanding”, dalam Muller-Vollmer, K. (ed.), The

Hermeneutics Reader. Oxford: Basil Blackwell Ltd., 1985

Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd.

Bandung: Teraju, 2003

Kraemer, Joel L. Humanism in the Renaissance of Islam: Cultural Revival during the Buyid

Age. Leiden Brill Paperback, 1992

Latief, Hilman. Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta: elSAQ Press, 2003.

--------Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta:

PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.

Manzhur, Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir, tt

Muqtasim, Abdul dan Syamsuddin, Sahiron (ed). Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana

Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002

Nasr, Sayyed Hossein. Knowledge dan the Sacred. New York: State University Press, 1989

Nasir, Ridlwan. Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin.

Surabaya: CV. Indra Media. 2003

Ormiston, Gaile L. & Schrift, Alan D. The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur. New

York: State University of New York Press, 1990

Palmer, Richard E. Hermeneutics: Interpretation in Scheiermacher, Dilthey, Heidegger and

Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, 1969

Rahman, Yusuf. The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of

His Method of Interpreting the Qur’an, PhD Thesis. Montreal: McGill University, 2001

Ricoeur, Paul. Hermeneutics and Human Sciences: Essays on Language, Action and

Interpretation. London-New York: Cambridge University Press, 1982

Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif, 2010

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadist. Jakarta: Rahmat

Semesta Center, 2009