Fundamental is Me

download Fundamental is Me

of 21

Transcript of Fundamental is Me

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    1/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 81

    FUNDAMENTALISME

    DAN UPAYA DERADIKALISASIPEMAHAMAN AL-QUR’AN DAN HADIS

    Muhammad Harfin Zuhdi*

    Abstrak:“Fundamentalisme identik dengan kekerasan”, stereotip ini

    dilestarikan oleh Barat selama berabad-abad. Islam fundamentalis

    menjadi penyebab terjadinya berbagai tindakan kekerasan, bom bunuhdiri, pembunuhan, peperangan dan terorisme yang diperkuat olah

    doktrin perang suci atau jihad yang menjadi keyakinan mereka. Salah

    satu landasan gerakan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an dan hadis

    tentang perang. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengoreksi atau

    mengkritik ayat al-Qur’an atau hadis, melainkan pemahaman manusia

    yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis

    tersebut. Dalam konteks inilah deradikalisasi pemahaman al-Qur’an

    dan hadis menjadi sangat signifikan karena diharapkan mampu

    memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah isu

    terorisme yang menyudutkan Islam.

    “Fundamentalism is identical with violence”, this stereotype is

    conserved by the West for centuries. Islamic fundamentalism is a

    cause of many violence, suicidal bomb, murder, war, and terrorism

    that is strengthened by holy war ( jihad ) doctrine. One of these

    movement foundations is verses of the Quran and Hadith about war.

    This paper is not meant to correct or criticize those Quranic verses

    or Hadith, but it is meant to criticize the interpretation those Quranic

    verses or Hadith. In this context, de-radicalization of that interpretation

     becomes very significant because it is expected that it can give

    solution for the strained situation happening in the center of terrorism

    issues that discredit Islam.

    Kata kunci: fundamentalisme, radikalisme, deradikalisasi, Islam

    rahmatan lil ‘alamin

    *. Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    2/21

    82  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    Pendahuluan

    Kekerasan agama sering disebut radikalisme agama. Secara etimologis,

    radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Orang-orang radikal

    adalah seseorang yang menginginkan perubahan terhadap situasi yang adadengan menjebol sampai ke akar-akarnya (kalimat belum lengkap). Sebuah

    kamus menerangkan bahwa “seorang radikal adalah seseorang yang menyukai

     perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-metode

     pemerintahan” (a radical is a person who favors rapid and sweeping 

    changes in laws and methods of government ) (Sumber tidak disebutkan).

    Radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang

    mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan penghancuran

    secara total, dan menggantikannya dengan yang samasekali baru dan berbeda.Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner yakni menjungkirbalikkan

    nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi

    yang ekstrem (Juergensmeyer, 2002: 5).

    Munculnya fenomena radikalisme agama tidak terlepas dari problem

     psikologis dari para tokoh pelopornya, pengikutnya, maupun masyarakat

    secara keseluruhan. Lebih dari itu, radikalisme agama menggambarkan sebuah

    anomali, dan memungkinkan adanya deviasi sosial, dengan munculnya

    komunitas yang abnormal. Baik abnormalitas demografis, sosial, maupun

     psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual, situasional,

    maupun sistemik (Kartono, 2004:16). Dengan demikian abnormalitas perilaku

    seseorang tidak dapat diukur hanya dengan satu kriteria saja, karena bisa

     jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian kepribadian tetapi ab-

    normal dalam pengertian sosial dan moral. Dalam konteks ini kita berhadapan

    dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menjelaskan fenomena

    radikalisme agama yang dilakukan oleh kelompok yang mengklaim

     pemahaman agamanya yang paling benar.

    Pembahasan

    A. Akar Genealogis Fundamentalisme Islam

    Akhir-akhir ini, nalar kesadaran kaum muslim dibenturkan dengan

     berbagai label pejoratif  seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”,

    “modernis”, “liberalis”, “sekularis”, dan lain-lain. Singkatnya, berbagai nama

    tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    3/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 83

    modern. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” menurut Ridwan al-Makasary

    telah menyedot perhatian publik, jauh sebelum Perang Dingin (the Cold War )

     berakhir (Ridwan al-Makasary, Mengkaji Fundamentalisme IslamSebagai

    Suatu Gerakan Sosial , dalam www.interseksi.org). Para sarjana telah

    mencermati terjadinya gelombang politisasi agama sebagai fenomena global

    yang baru. Mereka mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu

    sebagai fundamentalisme agama yang merupakan tandingan dari modernisme

    dan sekularisme (Marty dan Scott, 2000:3).

    Sebenarnya istilah Fundamentalisme Islam bukanlah murni dari khazanah

    masyarakat Muslim. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh kalangan akademisi

    Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat sebagai reaksi

    dan negasi terhadap modernisme. Kalangan Muslim tertentu sebenarnya berkeberatan dengan penggunaan istilah “fundamentalisme”, karena konteks

    historis istilah ini berawal dari “fundamentalisme” Kristen. Sebagai gantinya,

    mereka menggunakan istilah ushuliyun untuk menyebut “orang- orang

    fundamentalis”, yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen

     pokok Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Istilah lain

    yang digunakan adalah al-Ushuliyah al-Islamiyah (fundamentalis Islam) yang

    mengandung pengertian: kembali kepada fundamen-fundamen keimanan;

     penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritasyang absah ( syar’iyah al-hukm). Formulasi ini, terlihat lebih menekankan

    dimensi politik gerakan Islam dari pada aspek keagamaannya (Azra, 1996:109).

    Menurut Akbar S. Ahmed fundamentalisme Islam identik dengan

    radikalisme dengan menambahkan satu ciri dominan yaitu vulgaritas, cenderung

    memakai kata-kata kasar serta kotor untuk menyudutkan lawan-lawan

     politiknya, bahkan mereka kadangkala tidak menyadari bahwa mereka

    mengklaim dan memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar,

    memuakkan dan menjijikkan (Ahmed,1993: 171).

    Radikalisme agama sering disebut dengan al-tatharuf al-diny (Ya’qub,

    2006) yang mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan, atau

    dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata

    al-tatharuf  diartikan untuk hal-hal yang bersifat kongkrit. Akan tetapi

     perkembangan selanjutnya bermakna hal-hal yang bersifat abstrak; seperti

     berlebihan dalam berfikir, berbuat, dan beragama. Dengan demikian al-

    tatharuf  al-diny bisa diartikan segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama.

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    4/21

    84  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-

    tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh

     pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam.

    Secara politik, umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi

     juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasi mereka tidak 

    terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah

    sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler 

    dari pada umat Islam itu sendiri.

    Menanggapi pemikiran Gus Dur di atas, menurut Syafi’i Anwar (2006)

     bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tidak bisa

    dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganutnya mengalami semacam

    kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” umat Islam dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi budaya dengan segala eksesnya. Karena

    ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak matrialistik budaya

    Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif 

    matrialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok 

    tersebut akibat adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri,

    khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang

    terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras

    umumnya terdiri dari mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmueksakta dan ekonomi. Implikasinya, pikiran mereka penuh dengan hitungan

    matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji

    Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi

    keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual.

    Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadis

    dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka

    terhadap substansi ajaran Islam lemah, karena tanpa mempelajari berbagai

     penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahamanterhadap teks-teks yang ada.

    Untuk memahami gerakan Islam radikal atau fundamentalis Islam ada

    sejumlah ciri penting yang melekat dalam kelompok ini. Ciri utama berkaitan

    dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung

     bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat

     perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut

    kaum Islam radikal, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam al-Qur’an dan

    sunnah adalah doktrin universal yang mencakup segala aspek kehidupan

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    5/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 85

    manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Yang diutamakan adalah

    ketaatan mutlak kepada wahyu Tuhan yang berlaku secara universal. Iman

    dan ketaatan terhadap wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an

    dan sunnah nabi lebih penting dari pada penafsiran-penafsiran terhadap kedua

    sumber utama pedoman kehidupan umat Islam itu. Kecenderungan doktriner 

    seperti ini terutama sekali dilandasi sikap untuk memahami dan mengamalkan

    doktrin secara murni dan totalitas (Lawrence,1990: 40).

    Menurut Syafi’i, pandangan Gus Dur di atas sebenarnya tertuju pada

    kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama dikategorikan sebagai neo-

    fundamentalisme. Kebangkitan neo-fundamentalisme Islam dan keberadaannya

    di berbagai negeri Muslim menurut analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip

    oleh Cak Nur, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Hal ini karena neo-fundamentalisme

    sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke

    arah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangannya bersifat literal

    dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khazanah

    keislaman klasik yang penuh dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman

    menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang

    superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh al-

    Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam (Rahman,1981: 25-26).Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk 

    dipertimbangkan.

    Untuk dapat melihat persoalan secara jernih, maka harus dibedakan

    antara agama dan pemikiran keagamaan serta bagaimana pemikiran

    keagamaan tersebut diaktualisasikan dalam sejarah peradaban manusia. Dalam

    kasus Islam, pemikiran Islam mencakup sejumlah disiplin ilmu dan mazhab

     pemikiran. Dengan kata lain, sejarah dan pemikiran Islam adalah produk dari

    sebuah interaksi dan dialektika yang panjang dan kompleks antara interpretasi

    manusiawi dengan wahyu Ilahi.

    Hanya dengan memahami kenyataan ini, stigma yang dilekatkan oleh

     para pelaku kekerasan dengan mengatasnamakan agama dapat dihapus.

    Dengan kata lain, menuduh sebuah agama tertentu sebagai driving force di

     belakang kekerasan dari gerakan radikal agama tertentu adalah tidak fair ,

    meskipun elemen-elemen agama yang genuine telah dimanipulasi oleh

    kelompok tertentu untuk menjustifikasi terjadinya kekerasan. Para pelakukekerasan yang menjadikan agama sebagai pembenar berkeyakinan bahwa

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    6/21

    86  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    mereka adalah penganut agama yang taat, apa yang mereka lakukan adalah

     perintah dari langit yang memiliki justifikasi Qur’ani.

    Secara empiris, di dalam Islam dapat ditemukan kelompok-kelompok 

    eksklusif yang sering menjadikan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan perjuangan mereka. Mengapa hal itu terjadi? Adakah celah dalam literatur 

    Islam yang memungkinkan perilaku seperti itu?

    Adalah tidak jujur mengingkari kenyataan bahwa al-Quran dan sejumlah

    literatur Islam menyodorkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang tidak 

    toleran. Namun demikian kemungkinan-kemungkinan tersebut sering

    dieksploitasi oleh orang-orang yang memahami atau menafsirkan al-Quran

    secara parsial, harfiah dan ahistoris untuk mendukung ideologi tidak toleran

    dan orientasi eksklusif mereka, tanpa memperhatikan seting sejarah dimanasebuah ayat al-Qur’an diturunkan.

    Ayat-ayat al-Qur’an yang sering dikutip misalnya firman Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-

     pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi

     sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil 

    mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu

    termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi

     petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”  (Q.S. Al-Maidah:

    5:51).

    Ayat ini dimaknai secara literal yang kemudian menjadikan mereka

    eksklusif, yang tidak jarang menuntut mereka untuk melakukan penampilan

    dan aksi simbolik yang bertujuan untuk membedakan antara Muslim dan non-

    Muslim.

    Para kelompok radikal militan membaca ayat-ayat al-Quran dalam

    kesunyian, seakan-akan makna ayat tersebut begitu transparan sehingga ide

    moral dan konteks sejarah tidak relevan dalam penafsiran mereka. Padahal,

     pemahaman terhadap konteks diturunkannya ayat-ayat al-Quran sangatlah penting, karena al-Quran tidak turun dalam sebuah ruang hampa.

                                         

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    7/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 87

    B. Faham Radikalisme Islam di Indonesia

    Perkembangan Islam di Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak 

    zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan wajah beraneka ragam,

    yang direpresentasikan oleh ormas Islam dan memunculkan banyak namaseperti: Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Is-

    lam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrim, Islam militan, dan

    sebagainya (Geertz,1960:27).

    Momentum menarik terjadi ketika runtuhnya Orde Baru dengan

    menjamurnya gerakan Islam garis keras, militan, radikal, dan fundamental.

    Kemunculan kelompok ini di panggung nasional sebenarnya sudah diawali

    sejak berubahnya kebijakan negara pada dasawarsa 1980-an, dari

     peminggiran Islam ke akomodasi Islam. Baru pada era keterbukaan dankebebasan politik, pergerakan Islam menunjukkan wataknya yang lama

    tenggelam dalam rezim Orde Baru.

    Tren Islam yang mengemuka pasca Orde Baru adalah lahirnya Islam

    radikal, yang diwakili sejumlah ormas Islam, seperti Laskar Jihad (Forum

    Komunikasi Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam (FPI), Majelis

    Mujahidin menyusul ormas Islam sebelumnya seperti KISDI. Karakteristik 

    kelompok ini lebih didasarkan pada corak keragaman yang bersifat integralistik 

    antara Islam dan negara, sehingga kelompok ini mengedepankan corak legal-

    formal Islam secara total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya syariat

    Islam di negara Indonesia.

    Laskar Jihad dalam laporannya yang berjudul “Gerakan Islam Radikal

    Bukan Ancaman” menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat masih

     beranggapan gerakan Islam radikal merupakan ancaman, gerakan ini selalu

    dipersepsikan dengan anarkisme. Menurut Laskar Jihad, ketakutan berbagai

    kalangan terhadap perkembangan Islam radikal sebenarnya tidak beralasan.Karena jika ditilik secara historis, kemunculan berbagai gerakan Islam itu

    sendiri merupakan reaksi dari ketidakadilan sosial-politik. Perlawanan Laskar 

    Jihad Ahlussunah Waljamaah terhadap berbagai fenomena yang terjadi lebih

    didorong karena sikap pemerintah yang tidak mau merespon secara positif 

    terhadap ketertindasan kaum muslimin ( Laskar Jihad , edisi 14 tahun 2001:

    9).

    Sedangkan kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia

    dilatarbelakangi oleh dua faktor; pertama, faktor internal akibat terjadinya

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    8/21

    88  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

     penyimpangan norma-norma agama terutama dengan masuknya faham sekuler 

    dalam kehidupan umat Islam, sehingga mendorong umat Islam melakukan

    gerakan kembali pada otentitas Islam (Azra, 2002: 4). Sikap ini ditopang

    oleh pemahaman agama yang totalitas dan formalistik, bersikap kaku dalam

    memahami teks agama, sehingga harus merujuk pada perilaku nabi di Makkah

    dan Madinah secara literal. Karena itu identitas keagamaannya bersifat

    literalistik, kaku, dan cenderung menolak perubahan sosial. Pada gilirannya

    mereka frustrasi terhadap perubahan dunia yang begitu cepat, sementara

    respon Islam sangat lambat dan ketinggalan dibanding masyarakat Barat-

    sekuler. Konsep-konsep modern sebagai produk Barat ditolak secara radikal

    seperti demokrasi dan HAM.

     Kedua, faktor eksternal baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoniBarat. Sikap represif penguasa terhadap kelompok Islam, seperti yang

    dilakukan Orde Baru telah membangkitkan radikalisme Islam. Begitu juga

    krisis kepemimpinan yang terjadi pasca Orde Baru yang ditunjukkan dengan

    lemahnya penegakan hukum, telah mendorong gerakan Islam untuk 

    menerapkan syariat Islam sebagai solusi krisis tersebut. Pada gilirannya

    radikalisme Islam dijadikan jawaban atas lemahnya aparat hukum dalam

    menyelesaikan kasus yang terkait dengan umat Islam.

    Radikalisme juga terjadi dalam bentuk perlawanan terhadap Barat.Reaksi yang ditunjukkan berupa perlawanan dengan kekerasan terhadap

    kepentingan atau perusahaan multinasional Barat. Kantor kedutaan AS dan

     perusahaan AS sering menjadi sasaran kekerasan yang diilhami oleh

     pemahaman kaum radikal sebagai perjuangan agama. Jihad menjadi simbol

     perlawanan efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi ini

    menyebabkan permusuhan yang berlanjut antara Islam dan Barat. Bahkan,

    kalangan Islam radikal melihat Barat berada dalam pertarungan abadi melawan

    Islam.

    Selain faktor-faktor di atas, Islam radikal di Indonesia lahir karena

     pergantian kekuasaan dan situasi yang tidak menentu. Kondisi abnormal

    dijadikan momentum untuk menunjukkan identitas kultural dan politik secara

    terang-terangan oleh kelompok masyarakat, tidak terkecuali umat Islam.

    Dalam konteks ini, kekhawatiran Barat terhadap meluasnya gerakan Islam

    radikal di Indonesia bersumber pada pandangan dan citra fenomena gerakan

    Islam radikal di Timur Tengah. Sebab kelompok radikalisme Islam bukanhanya berusaha menentang dan menumbangkan dominasi negara oleh rezim

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    9/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 89

    sekuler dan hostile terhadap Islam, tetapi juga kekuatan Barat yang mereka

     percayai sebagai patron pemerintahan sekuler dan anti Islam (Azra, 2002: 37).

    Gerakan Islam radikal telah memberikan warna berbeda bagi perjalanan

    corak keberagamaan di Indonesia. Misalnya dalam pengalaman umat Islamterjadi polarisasi yang sangat tajam antara Islam moderat dan Islam radikal di

    masa sekarang. Setelah Islam moderat berhasil mendapatkan tempat di hati

     penguasa sejak 1980-an, kini di era reformasi, mereka mendapat tantangan

    serius dari gerakan Islam radikal yang menyeruak ke dalam lapisan sosial

    masyarakat. Mereka berhasil merebut simpati publik secara terbatas dengan

    membangun opini publik dan organisasi gerakan. Tak heran jika suara mereka

    di pentas nasional begitu nyaring terdengar.

    Karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia merupakansuatu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi

    ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia. Sebagai antisipasi, perlu

    memperluas gerakan Islam yang moderat, pluralis, dan inklusif di tengah-tengah

    masyarakat.

    Gagasan moderasi didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif,

    gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi

    sosial masyarakat di era mulikultural. Karena bagaimanpun, multikulturalisme

    merupakan realitas historis dalam masyarakat yang mesti disikapi secara positif.

    Dengan demikian, ekslusivitas beragama diyakini secara total sebagai

    kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis

    untuk memecahkan problem pluralisme di Indonesia. Itu sebabnya pendidikan

     pluralis menjadi prioritas dalam menjembatani doktrin ekslusif.

    Kedua, secara praksis, praktek kehidupan beragama dengan klaim

    kebenaran dan keselamatan dalam masing-masing umat beragama mesti dikikis

    habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama denganagama lain. Problem pluralisme seringkali disebabakan fanatisme kebenaran

    agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itu upaya kongkret

    untuk membangun toleransi antar umat beragama terus dilakukan sebagai

     bagian dari proses sosial yang berkelanjutan (Miswari, 2004: 56).

    C. Distorsi dan Radikalisasi Makna Jihad

    Agama sering dijadikan legitimasi aksi kekerasan oleh para pengusungnya

    melalui penafsiran yang distorsif. Memonopoli penafsiran agama membawa

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    10/21

    90  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    implikasi destruktif pada tataran kehidupan masyarakat, sehingga muncul kesan

    seakan-akan agama yang dibajak penafsiranya itu telah menjadi arus utama

    kehidupan beragama. Padahal misi suci agama tidak sama dengan yang

    diekspresikan oleh para pelaku kekerasan yang selama ini selalu bersandar 

     pada pengertian jihad. Kemudian bagaimana mestinya jihad dimaknai?

    Jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut penyerangan

    dan kekerasan. Oleh karenanya, makna jihad mestinya selalu direkonstruksi

    sebagai sebuah ajaran yang substansial. Misalnya, membebaskan makna jihad

    dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit. Jihad harus diletakkan sebagai

    sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Kata jihad dalam

     bahasa Arab erat sekali kaitannya dengan makna ijtihad yang secara definitif 

    diartikan sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk mencari solusi keagamaandan persoalan sekular. Upaya pemaknaan ini lebih tepat disebut sebagai jihad

    dalam bidang kultural dan intelektual sebagai energi kehidupan umat menuju

    kemajuan peradaban. Distorsi makna jihad sebagai perjuangan dalam bentuk 

    fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra

    agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus

    menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru

    dari dalam psikologis umat sendiri. Alhasil, implikasi negatif itu tak lain hanyalah

    sebuah beban psikologis-historis umat yang malah menambah persoalan, bukan solusi itu sendiri.

    Kalangan Barat sering menuding aksi teror dan bom bunuh diri merupakan

     bentuk radikalisme yang berakar dari perintah jihad dalam agama. Kasus

     bom bunuh diri dalam bom Bali I dan II, Hotel Marriot, Ritz Cartlon dan

    sederetan pemboman lain di wilayah Nusantara sebagian kalangan

    menyimpulkan bahwa semua itu sangat kental dengan sentimen agama sebab

    aksi mereka dalam lima tahun terakhir, selalu berakar pada konsep “jihad” di

    dalam Islam. Perilaku kekerasan dan teror tersebut pada dasarnya merupakan

     pembajakan terhadap nilai suci keagamaan. Secara eksplisit, bom Bali jilid II

    di Jimbaran dan Kuta dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang

    dikelindankan dengan keagungan ajaran agama. Agama oleh pengusung

    ideologi terorisme hanya melegitimasi teologi, memanipulasi penafsiran ajaran

    agama dengan pendekatan subjektivitas.

    Klaim identitas dan solusi agama yang diembel-embeli dengan jihad telah

    menjadi sikap sebagian kalangan Islam. Sikap dan perilaku semacam itu adalah bagian dari anakronisme sejarah yang akut. Dengan kata lain, penggunaan

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    11/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 91

    makna jihad sebagai ideologi kekerasan seringkali dikaitkan dengan romantisme

    sejarah Islam masa lalu yang gemilang dan eksotis. Sebagai sebuah upaya

    mengembalikan kemenangan, justru penggempuran atas pihak lain yang

    dianggap sebagai representasi modernitas yang hegemon dihalalkan. Di sisi

    lain, makna-makna progresif dan dinamis dari ajaran Islam yang selalu

    mengajarkan the idea of progress secara universal-kosmopolitan dipungkiri.

    Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat elite

    dan awam yang masih dangkal pemikiran dan kesalehan dengan sikap ekstrim

    dan eksesif dalam beragama tidak bisa dipungkiri. Sejatinya, makna jihad

    mesti diletakkan pada keberagamaan yang toleran, moderat, solider, beradab,

    dan tidak membelenggu. Dengan demikian, tujuan (teleologis) agama adalah

    memanusiakan manusia melalui pembebasan yang fitrah secara universal tanpakecuali.

    D. Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Islam

    Secara etimologis deradikalisasi terbentuk dari akar kata radical  yang

    diawali awalan de  yang dalam bahasa Inggris berarti melenyapkan,

    menghilangkan atau menghapus sesuatu. Kata radical  sendiri dalam bahasa

    Inggris bisa bermakna (1) bertindak radikal dan dapat juga berarti (2)

     sampai ke akar-akarny (Echols dan Hassan Shadily, 1995) Kata radikal

    yang berarti sampai ke akar-akarnya, biasanya digunakan dalam diskursus

    filsafat, terutama dalam mendefinisikan kata filsafat itu sendiri. Tetapi arti kata

    radikal yang dimaksud dalam tulisan ini mengacu kepada makna yang pertama

    (bertindak radikal ). Dengan demikian, deradikalisasi dapat diartikan sebagai

    upaya melenyapkan, menghilangkan atau menghapus tindakan radikal.

    Dari tinjuan etimologis di atas, secara terminologis “Deradikalisasi

    Pemahaman ajaran Islam, berarti upaya menghapuskan pemahaman yangradikal terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, khususnya ayat atau hadis

    yang berbicara tentang konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan

    seterusnya. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya

    untuk menyampaikan “pemahaman baru” tentang Islam dan bukan pula

     pendangkalan akidah, melainkan sebagai upaya mengembalikan dan

    meluruskan kembali pemahaman tentang apa dan bagaimana Islam.

    Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita ketika membaca statemen

    ini adalah mengapa harus ada deradikalisasi? Apa urgensi dan signifikansinya

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    12/21

    92  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

     bagi umat? Tidakkah deradikalisasi ini hanya strategi dari mereka yang ingin

    melemahkan sikap tegas negara-negara Islam atau yang mayoritas

     penduduknya beragama Islam terhadap hegemoni Barat? Dan sederetan

     pertanyaan lainnya.

    Perlu diketahui bahwa gagasan deradikalisasi sesungguhnya muncul

    setelah Islam, sebagai agama yang mengajarkan perdamaian dan toleransi,

    diberi stigma negatif oleh Barat. Mereka memandang Islam tidak lebih sebagai

    agama yang mengajarkan umatnya untuk melakukan teror dan tindakan anarkis

    terhadap pemeluk agama lain. Stigma negatif itu terbentuk karena beberapa

    faktor; salah paham terhadap Islam, informasi media Barat yang memojokkan

    Islam, atau murni karena kebencian terhadap Islam yang mereka warisi dari

    orientalisme klasik.Dalam konteks global, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya

     beragama Islam, peran Indonesia amat penting dalam memerangi terorisme.

    Berbeda dengan Iran atau Libya yang nampaknya dipandang sebagai

    “ancaman” oleh Barat (baca: Amerika dan sekutunya), Indonesia dianggap

    sebagai negara yang mampu membangun demokrasi, penguatan civil society

    dan penegakan hak-hak asasi manusia (human right).

    Partisipasi Indonesia dalam menanggulangi isu terorisme antara lain terlihat

    dari beberapa kerjasama dengan beberapa negara dengan menggelar beberapa

    event  Internasional terkait penanggulangan ancaman terorisme global. Pada

     bulan Februari 2004, Indonesia menggelar “Bali Regional Ministerial Meet-

    ing on Counter Terrorism” yang dihadiri oleh 20 menteri dari Asia Tenggara

    dan Asia Pasifik. Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Sub-

    Regional Tingkat Menteri Luar Negeri (Menlu) mengenai “Counter-Terorisme”

     pada tanggal 5-6 Maret 2007 di Jakarta. Konferensi itu sendiri merupakan

    usul dari Menlu Indonesia (Hassan Wirayuda) dan Australia (Alexander 

    Downer). Ansyaad Mbai, Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme

    Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, menyatakan bahwa

    Konferensi tersebut merupakan langkah awal dari pemerintah Indonesia dalam

    menjajaki kemungkinan menjalin kerjasama deradikalisasi terorisme dengan

    sejumlah Negara Islam untuk menanggulangi ancaman terorisme. Menurut

    Ansyaad Mbai, deradikalisasi adalah program yang telah diterapkan di sejumlah

    negara termasuk Eropa dan Amerika Serikat dengan tujuan untuk memberikan

     pelurusan kembali tentang makna Islam, terutama dari salah pemahaman makna jihad.

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    13/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 93

    Dengan melihat keinginan yang kuat dari pemerintah Indonesia dalam

    menanggulangi ancaman terorisme, dapat dikatakan bahwa deradikalisasi

    adalah satu solusi yang lebih mencerahkan ketimbang menggunakan kekuatan

    senjata dalam menghadapi para pelaku teror. Beberapa waktu terakhir,

     pendekatan “hard power” dalam memerangi terorisme seperti perang

    terhadap negara yang dianggap sarang teroris dinilai dunia hanya akan

    menyuburkan aksi-aksi teror yang lebih luas dan kejam sehingga mulai beralih

    ke pendekatan yang lebih beradab atau “soft power” seperti pendekatan

    agama sebagai bentuk deradikalisasi. Di Indonesia, program ini telah berjalan

    namun belum optimal.

    Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk berlaku kasih

    dan sayang terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yangada di muka bumi adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan

    Tuhan. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk 

     bertindak anarkis dan menyebarkan teror. Kalaupun kemudian agama tertentu,

    misalnya Islam, dituduh sebagai agama yang mengajarkan radikalisme dan

    terorisme karena adanya ayat-ayat dan hadis tentang perang, maka yang harus

    dikoreksi atau dikritik bukanlah ayat al-Qur’an atau hadisnya, tetapi

     pemahaman manusia yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

    dan hadis tersebut.Validitas dan otentisitas al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum

    sekaligus sebagai landasan etika dan moral tidak pernah diragukan oleh setiap

    Muslim. Namun demikian, ketika memasuki wilayah penafsiran, faktor 

    subjektivitas dari masing-masing penafsir tentu akan menjiwai pandangannya

    terhadap sebuah ayat atau hadis. Oleh karena itu, wajar jika kemudian kita

    menemukan tafsiran yang berbeda dari beberapa kitab tafsir tentang sebuah

    ayat atau hadis. Faktor sosio-politis juga dapat mempengaruhi pandangan

    seseorang terhadap kandungan ayat al-Qur’an dan hadis. Syaikh Nawawi

    al-Bantani, misalnya, dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Marah Labid, ketika

    menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tak pelak dipengaruhi oleh situasi tanah airnya

    ketika dijajah oleh Belanda (Burhanuddin, 2006: 41). Ini menunjukkan ketika

    memasuki wilayah (domain) tafsir, pemahaman seorang mufassir  amat

    dipengaruhi oleh berbagai aspek yang melingkupinya.

    Berkaitan dengan pendekatan agama dalam upaya deradikalisasi ini, ada

     baiknya kita mengingat kembali pesan dari Rasulullah SAW. Dalam sebuahkesempatan, beliau menyampaikan bahwa umatnya tidak akan sesat selama

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    14/21

    94  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    mereka berpedoman kepada dua warisannya yang paling berharga, yaitu al-

    Qur’an dan as-Sunnah (al-Hadis). Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW

     bersabda:

    “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan

    tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya: Kitab

     Allah dan sunnah Nabi-Nya.”(Ibn Anas, 2005:549)

    Dengan mempertimbangkan pesan Rasulullah di atas, maka umat Islam

    semestinya mendasari setiap aktivitas kehidupannya di atas nilai-nilai al-Qur’an

    dan hadis. Baik al-Qur’an maupun hadis, keduanya mengandung prinsip-

     prinsip etika dan moral yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Fazlur 

    Rahman, intelektual neo-modernis asal Pakistan, dalam bukunya berjudul Is-

    lam menyatakan bahwa meskipun al-Qur’an mengandung beberapa aturan-

    aturan hukum yang penting, namun semangat dasar dari al-Qur’an adalah

     prinsip-prinsip dan seruan moral bukan hukum (Rahman, 1997: 36 dan 43).

    Dengan statement ini, Rahman nampaknya ingin menegaskan bahwa selain

    metode legislasi, lebih luas al-Qur’an juga memuat aturan-aturan moral dan

    etika yang semestinya harus mendapatkan perhatian lebih ketimbang ayat-ayat hukum.

    Lebih jauh, Rahman menawarkan prosedur dalam upaya memahami al-

    Qur’an; pertama, seseorang harus mengkaji al-Qur’an dalam ordo historis

    untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya. Jika tidak, besar 

    kemungkinan ia akan tersesat dalam memahami beberapa butir penting tertentu

    dari ajarannya. Kedua, seseorang harus mengkajinya dalam latar belakang

    sosio-historisnya. Tanpa melihat latar belakang mikro dan makronya secara

    memadai, seseorang bisa jadi akan salah tangkap terhadap elan dan maksudal-Quran serta aktivitas Nabi, baik di Makkah maupun di Madinah (Syafi’ii

    Ma’arif, 1997: viii).

    Terlepas dari beberapa kekurangan yang dimiliki oleh Rahman, prosedur 

    yang ia tawarkan, yang sesungguhnya juga banyak ditawarkan oleh ilmu tafsir 

    klasik, menarik untuk diterapkan dalam agenda deradikalisasi ini. Aspekasbab

    an-nuzul al-ayat  atau latar belakang historis turunnya sebuah ayat, dan begitu

     pula aspek asbab al-Wurud  sebuah hadis harus menjadi acuan dalam

    memahami maksud dari turunnya ayat atau hadis tersebut.

                 :       

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    15/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 95

    Terkait dengan upaya deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan hadis,

     pendekatan agama nampaknya menjadi pendekatan yang paling tepat

    dibandingkan model pendekatan lain. Dengan menjadikan agama sebagai

    landasan, upaya deradikalisasi pemahaman sebagian kelompok Muslim

     berkaitan dengan konsep jihad, dar al-Harb, konsep kafir harbi dan kafir 

     zimmi, diharapkan mampu memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi di

    tengah-tengah isu terorisme yang menyudutkan Islam.

    Deradikalisasi dipandang penting dan mendesak untuk segera diterapkan

    di saat negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan patron-patron

     politiknya mengedepankan pendekatan represif dengan menyerang negara-

    negara yang mereka curigai sebagai ladang teroris. Serangan terhadap tentara

    Taliban di Afghanistan dan pembumihangusan Irak di masa rezim SaddamHusein, adalah contoh kongkit dari pendekatanhard power  yang digunakan

    Amerika Serikat dan sekutunya dalam memecahkan problem terorisme.

    Lebih memperihatinkan lagi, serangan terhadap wilayah yang mereka

    anggap sarang teroris itu didukung oleh tesis dan analisa politik yang tidak 

    ilmiah tetapi justeru menyesatkan. Tesis Huntington yang terkenal dengan istilah

    clash of civilization adalah satu diantaranya. Dalam Tesisnya, Huntington

    menempatkan Islam sebagai musuh Barat setelah kehancuran komunisme di

    Uni Soviet.**

    **. Samuel P. Huntington, analis politik dan guru besar hubungan internasional 

     pada Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam sebuah esainya yang kemudian

    menjadi terkenal dengan judul “The Clash of Civilizations“ (Benturan

     Peradaban), menyatakan bahwa sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan

     sesuatu yang ideologis dan ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi

    antara negara dan kelompok dari berbagai peradaban yang berbeda. Hunting-

    ton mendefinisikan peradaban sebagai entitas kultural tertinggi dan identitas

    terbesar yang dimiliki manusia. Lebih jauh ia juga mengidentifikasi tujuh peradaban besar, yaitu, Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-ortodoks,

    dan Amerika Latin. Dari ketujuh peradaban besar itu, secara provokatif, Hun-

    tington menilai bahwa Islam merupakan peradaban yang paling potensial 

    mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak kekuasaannya.

     Lihat Samuel P. Huntington, “Benturan Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?”

    dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, no. 5, 1993, h. 11-25. Namun demikian, citra

    buruk tentang Islam seperti digambarkan di atas, mendapat reaksi dan tantangan

    cukup signifikan dari penulis Barat sendiri, John L. Esposito misalnya. Esposito

    adalah sarjana barat yang giat menyuarakan pandangan yang positif tentang  Islam di berbagai tulisan dan media Barat.

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    16/21

    96  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    Tesis Huntington di atas tak pelak semakin memperteguh sikap Amerika

    dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya. Tesis Huntington semakin

    diamini oleh Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 (nine eleven) yang

    meluluhlantakkan gedung World Trade Center  (WTC) di New York dan

    Markas Angkatan Bersenjata Amerika di Pentagon.

    Analisa dan tesis Huntington yang menggunakan pendekatan emosional

    dan kental diwarnai sentimen religius terhadap Islam itu kemudian menimbulkan

    resistensi, tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi juga dari Penulis non-

    Muslim. John L. Esposito adalah satu dari sedikit sarjana Barat yang giat

    menyuarakan pandangan yang positif tentang Islam di berbagai tulisan dan

    media Barat. Dalam Islamic Threat: Myth or Reality? Ia menyatakan bahwa

    gerakan-gerakan Islam tidaklah menakutkan seperti yang umumnyadigambarkan oleh media-media massa di Barat. Selain itu, menyamakan

     berbagai gerakan itu dengan ancaman khomeinisme, terorisme, ekstremisme,

    fundamentalisme dan sejenisnya merupakan sebuah simplifikasi yang

     berlebihan. Ia juga menyatakan, dalam jangka panjang pandangan monolitik 

    seperti ini akan merugikan kepentingan umat manusia secara keseluruhan,

    sebab yang akan berlangsung adalah “penyetanan” satu sama lain (mutual 

     satanization)dan saling menghancurkan satu dengan yang lain (mutual as-

     sured destruction). Pada bagian kesimpulan bukunya, Espsosito jugamengatakan bahwa berbagai gerakan -yang ia sebut dengan istilah revivalisme

    Islam- yang muncul di banyak belahan dunia lebih tepat untuk disebut sebagai

    sebuah “tantangan” (challenge) daripada “ancaman” (threat ) karena gerakan-

    gerakan tersebut lebih merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik yang

     berorientasi pada pembentukan tatanan masyarakat yang Islami. Oleh

    karenanya, kata Esposito, ... most Islamic Movement are not necessarily

    anti-Western, anti-American, or anti-Democratic (Esposito, 1992: 212).

    Dengan memperhatikan realitas politik kontemporer di atas, peran serta

    umat Islam di seluruh Dunia untuk memperkenalkan wajah Islam yang ramah

    dan toleran adalah sebuah keniscayaan. Seluruh umat Muslim berkewajiban

    memberikan pemahaman Islam yang benar kepada setiap orang, khususnya

    kepada mereka yang tidak memahami pesan dasar agama Islam sebagai agama

    rahmatan lil ‘alamin.

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    17/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 97

    E. Menuju Pemahaman Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

    Secara etimologis Islam seakar kata dengan salam yang berarti damai.

    Dalam Islam konsep kasih dan damai sangat sentral, sehingga ditemukan

    sejumlah ayat dan hadis yang berbicara tentangnya.Dalam konteks ini paling tidak terdapat tiga komponen utama konsep

    damai dalam Islam, yaitu:

    1. Kedamaian yang muncul dari dalam (inner peace). Kedamaian ini muncul

    sebagai produk dari kejujuran, ketulusan, kedermawanan dan toleransi

    yang ditekankan oleh Islam. Disamping itu, Islam mengajarkan umatnya

    untuk mengontrol amarah dan memaafkan orang yang telah berbuat

    kesalahan kepadanya. Sebagaimana firman Allah:

    “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di

    waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan

    amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai

    orang-orang yang berbuat kebajikan”  (Q.S. Ali Imran 3:134).

    Dalam diskursus al-Quran, kasih bukan sekedar memaafkan atau

    keinginan untuk mengabaikan dosa dan kesalahan orang lain, tapi keadaandimana setiap orang bisa berbuat adil terhadap dirinya dan orang lain dengan

    memberikan hak-haknya masing-masing. Secara fundamental, kasih selalu

    dikaitkan dengan persepsi tulus terhadap orang lain, sehingga dalam al-Qur’an

    kasih selalu dipasangkan dengan keharusan manusia untuk sabar dan toleran

    terhadap orang lain.

    2. Keharmonisan sosial dalam komunitas. Islam menekankan keharmonisan

    sosial, dengan memerintahkan umatnya untuk selalu merefleksikan

    kedamaian dan kasih sayang dalam interaksi sosialnya. Rasulullah SAW bersabda:

                           

                                        

          

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    18/21

    98  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    “Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari Abu

    Usamah, menceritakan kepada kami Buraid bin Abdullah dari

     Abi Burdah dari Abi Musa berkata: “Rasulullah shallahu ‘alaihi

    wasallam ditanya tentang siapakah orang muslim yang paling 

    baik? Rasulullah bersabda: Orang Muslim yang mampu membuat rasa aman muslim lainnya dari ucapan dan tangannya.” (Al-

    Tirmidzi, t.th:44).

    Untuk keharmonisan sosial, Islam mengajarkan bahwa semua manusia

    adalah satu komunitas. Manusia memiliki hak hidup, hak milik, hak 

    keadilan, hak kehormatan, hak kebebasan beragama, dan hak kehidupan

    yang bermoral. Hak-hak tersebut adalah hak pemberian Tuhan yang

    harus diimplementasikan dalam keadaan apapun. Islam menekankankeadilan (justice) dan perlakuan yang fair  kepada semua orang, termasuk 

    kepada musuh sekalipun “janganlah kebencianmu kepada sebuah

    kelompok menjadikanmu tidak adil, berlaku adillah karena adil itu lebih

    dekat kepada taqwa.

    3. Menghadapi konflik. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa tak ada

    komunitas atau masyarakat yang sama sekali bebas dari konflik dan

    ketegangan. Ia selalu hadir baik di tengah kehidupan anggota masyarakat,maupun dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Islam menawarkan

     pengelolaan konflik dengan cara damai.

    Cita-cita moral ideal Islam adalah membangun dunia, dimana orang Islam

    maupun non-Islam hidup bersama menikmati keadilan, kedamaian, kasih

    sayang dan keharmonisan. Inilah tantangan yang kita hadapi dalam

    kehipuan modern sekarang ini. Adalah tugas para pemimpin agama dan

     para intelektual untuk menangkap pesan-pesan moral agama yang dapat

    membawa kepada kehidupan yang harmonis di tengah kehidupan bangsayang plural. Sebagai orang yang beragama, kita bertanggung jawab untuk 

    hidup damai bersama orang lain. Daripada berbicara tentang benturan

     budaya (clash of civilization), mari membangun jembatan antar budaya.

    Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari

    dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan

     penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama

    menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar 

    moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    19/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 99

    yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus

    ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan

    teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa.

    Inilah kesulitan memahami agama secara ilmiah, oleh karena itu hampir 

    tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian

     besar definisi agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan

     pembuatnya.

    Dilihat dari sisi manapun, kekerasan dan kekuatan otot yang sering

    ditunjukkan sebagian kelompok Muslim radikal bertentangan secara

    diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Pengalaman paling dini historisitas

    Islam, agama ini meletakkan kerahmatan sebagai fondasi keberagamaan,

    dan seutuhnya sangat menghargai nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas,serta suasana dialogis.

    Oleh karena itu, implikasi psikologis dari radikalisme agama dan

    kekerasan sejenisnya hanya akan menjadikan Islam tereduksi sebagai

     bayang-bayang menakutkan yang kehilangan aspek kemanusiaannya.

    Kesyahduan beragama lalu berbias menjadi keberingasan, dan

     pencerahan tersungkur menjadi keangkuhan. Keberagamaan yang

    sejatinya dikembangkan di atas kecerdasan emosi dan nalar argumentatif 

     berkembang menjadi kekuatan destruktif, berwujud anarkisme dansejenisnya yang tak akan memberi dampak penyadaran dan transformasi

    nilai-nilai moral luhur Islam.

    Kesimpulan

    Berdasarkan paparan tentang fenomena fundamentalisme dan

    radikalisme, maka tergambar ideologi yang mereka bawa adalah baik, tetapi

    ironisnya dalam realitas radikalisme lebih menjurus kepada keberagamaan

    yang negatif dan penuh kekerasan. Padahal yang mereka inginkan adalah

    gerakan yang menginginkan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Quran dan

    Hadis Nabi Muhammad Saw, tetapi di sisi lain, perbuatan melawan ajaran

    Islam juga dilakukan. Terdapat ambiguitas, yaitu adanya penyimpangan makna

    radikal dalam beragama yang bersifat negatif. Karena pada dasarnya umat

    Islam hendaknya beragama secara positif, yaitu beragama yang membawa

    kebaikan bagi dirinya dan orang lain.

    Pada tataran nilai, Islam sejak awal mengajarkan kebaikan dan moralitasluhur, dan pada saat yang sama melarang segala perilaku jahat. Dalam Islam

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    20/21

    100  RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 81-102

    disebutkan, bahwa kehadirannya adalah sebagai rahmat bagi semesta alam.

     Namun kenyataan yang ada di sekeliling kita menunjukkan sikap dan perilaku

    sebagian umat Islam yang tidak mencerminkan rahmat lil ‘alamin, bahkan

    sebaliknya.

    Oleh karena itu, terkait dengan upaya deradikalisasi pemahaman al-

    Qur’an dan hadis, pendekatan agama nampaknya menjadi pendekatan yang

     paling tepat dibandingkan model pendekatan lain. Dengan menjadikan agama

    sebagai landasan, upaya deradikalisasi pemahaman sebagian kelompok Mus-

    lim berkaitan dengan konsep jihad, dar al-Harb, konsep kafir harbi dan

    kafir zimmi, diharapkan mampu memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi

    di tengah-tengah isu terorisme yang menyudutkan Islam.

    Islam adalah agama yang memiliki misi rahmatan lil ‘alamin yangseharusnya menjadi dasar bagi setiap kelompok Muslim untuk bersikap toleran

    dan bertindak baik dalam menebarkan kedamaian kepada semua pihak di

    manapun dan kapan pun.

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: dar al-Fikr, t.th).

    Anwar Syafi’i Muhammad, kata pengantar buku: Islamku, Islam Anda, Islam

     Kita, (Jakarta: Wahid Insitut, 2006).

    Azra Azyumardi, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996).

    Azra Azyumardi,  Mereka mengambil Alih dalam Penegakan Hukum,

    dalam Khazanah Suplemen Republika, 1 Juni 2002.

    al-Makasary Ridwan, Mengkaji Fundamentalisme IslamSebagai Suatu

    Gerakan Sosial , dalam www.interseksi.org.

    E Shepard William, “Islam and Ideology: Towards Typology” dalam

    Internasional Journal of Middle Eastern Studies, No. 19, 1987.Bandingkan dengan Bruce Lawrence,  Defenders of God: The

     Fundamentalist Revolt Against The Modern Age,  New York: I.B.

    Tauris, 1990.

    Geertz Clifford , the Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960).

    Juergensmeyer Marx, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global kekerasan

    Agama, (Jakarta: Nizam Press & Anima Publishing, 2002).

    Kartono Kartini, Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).

    L Esposito John.,  Islamic Threat: Myth or Reality, (Oxford: OxfordUniversity Press, 1992).

  • 8/16/2019 Fundamental is Me

    21/21

    Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi ( M. Harfin Zuhdi) 101

    M Echols John. dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:

    Gramedia, 1995).

    Marty Martin, dan Appleby Scott dikutip dalam Bassam Tibbi, Ancaman

     Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia

     Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000).

    Mâlik Ibn Anas, Al-Muwaththa’, Bâb An-Nahy ‘an al-Qaul bi al-Qadar,

    diedit oleh Sidqi Jamil Al-Aththar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1426 H/2005

    M).

    Miswari Zuhari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Ciputat:

    LSIP, 2004)Rahman Fazlur, “Roots of Islamic neo-fundamentalism”, in

    PhilipH. Stoddard, et.al., (eds), change and the Muslim World, N.Y:

    Syracuse University Press, 1981.P Huntington Samuel., “Benturan Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?”

    dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, no. 5, 1993.

    S Ahmed Akbar., Postmodernisme and Islam:Predicement and Promise,

    diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Posmodernisme: Bahaya dan

     Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1993).

    S Burhanuddin Mamat., Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren: Analisis

    terhadap Tafsir Marah Labid karya KH. Nawawi Banten ,

    (Yogyakarta: UII Press, 2006).Ya’qub Ali Mustafa, Radikalisme dan Metode Memahami Teks Agama

    (Makalah Seminar Nasional Islam dan Terorisme).