Fariska Makalah Blok 16
-
Upload
aldo-muhammad-hamka -
Category
Documents
-
view
234 -
download
2
description
Transcript of Fariska Makalah Blok 16
Nyeri Akibat Dispepsia Fungsional
Fariska
102013314
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk-Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061
Abstract
Dyspepsia is a syndrome (a collection of symptoms) that reflects gastrointestinal disorders.
The set of symptoms are discomfort, nausea, vomiting, heartburn, bloating (stomach feel
full / obstruction), bloating, belching, early satiety, abdominal rumbling (borborygmi) to fart-
fart. To know the abnormalities required proper anamnesis and physical examination of the
abdomen, followed by investigations such as laboratory, Endoscopi, ultrasound, and others.
Then it can be seen that the right treatment and therapy to patients fusngional dyspepsia.
Key word : dyspepsia, anamnesis, physical examination, followed by investigation, therapy
Abstrak
Dispepsia merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mencerminkan gangguan
saluran cerna. Kumpulan gejala tersebut adalah rasa tidak nyaman, mual, muntah, nyeri ulu
hati, bloating (lambung merasa penuh/sebah), kembung, sendawa, cepat kenyang, perut
keroncongan (borborygmi) hingga kentut-kentut. Untuk mengetahui kelainan tersebut
diperlukan anamnesis yang tepat, lalu dilakukan pemeriksaan fisik abdomen, dilanjutkan
dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, endoscopi, USG, dan lain-lain. Barulah
dapat dilihat pengobatan dan terapi yang tepat terhadap pasien dyspepsia fusngional.
Kata kunci : dyspepsia, ananesia, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pengobatan
Latar Belakang
Dispepsia merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mencerminkan
gangguan saluran cerna. Kumpulan gejala tersebut adalah rasa tidak nyaman, mual, muntah,
nyeri ulu hati, bloating (lambung merasa penuh/sebah), kembung, sendawa, cepat kenyang,
perut keroncongan (borborygmi) hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan
bisa juga menjadi kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan
terus-menerus.Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung
empedu, dll ) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau
baku tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi.
Atau dengan kata lain, kelompok ini disebut sebagai gangguan fungsional yang akan di bahas
di dalam makalah ini.1
Pembahasan
Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Dispepsia
adalah istilah non spesifik yang dipakai pasien untuk menjelaskan keluhan perut bagian atas.
Gejala tersebut bisa berupa nyeri atau tidak nyaman, kembung, banyak flatus, rasa penuh,
bersendawa, cepat kenyang dan borborygmi (suara keroncongan dari perut). Dispepsia adalah
sindroma klinik yang di sebabkan oleh beberapa penyakit saluran cerna bagian atas.
Dispepsia mengacu pada suatu keadaan akut (tiba-tiba), kronis, atau berulang atau
ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Ketidaknyamanan ini dapat kenali atau
berhubungan dengan rasa penuhdi perut bagian atas, cepat kenyang, rasa terbakar, kembung,
bersendawa, mual, dan muntah-muntah. Heartburn (rasa terbakar di retrosternal) harus
dibedakan dari dispepsia. Pasien dengan dispepsia sering mengeluh Heartburn sebagai gejala
tambahan. Ketika heartburn merupakan suatu keluhan yang dominan, refluks gastroesofagus
hampir selalu menyertai. Dispepsia terjadi di 25% dari populasi orang dewasa dan 3% dari
kunjungan medis umum.
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu:2
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak.
Dispepsia organik dikategorikan menjadi :
Gastritis
Ulkus peptikum
Kanker lambung
Gastro-Esophangeal Reflux Disease3
b. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan
atau gangguanstruktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Dispepsia fungsional dibagi atas 3 subgrup yaitu:
Dispepsia mirip ulkus (ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang
dominan adalah nyeri ulu hati;
Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala
dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang;
Dyspepsia non-spesific yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan
kategori (a) maupun kategori (b).3,4
Anamnesis5
Dalam komunikasi dokter dan pasien anamnesa sangatlah penting dalam membantu
mendiagnosa suatu penyakit. Maka dari itu sebelum memulai pemeriksaan fisik haruslah
dilakukan anamnesa untuk menggali informasi terhadap keluhan pasien. Beberapa hal yang
perlu di tanyakan sebagai berikut :
-Menanyakan identitas pasien (nama, alamat, TTL, status sosial, pekerjaan, agama)
-Menanyakan keluhan utama yang dirasakan pasien
-Menanyakan riwayat penyakit sekarang
-Menanyakan riwayat terdahulu
-Menanyakan riwayat kesehatan keluarga
-Menanyakan riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol
dan jamu yang dijual bebas di masyarakat.
-Menanyakan apakah ada tanda dan gejala “alarm” seperti disfagia, berat badan
turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang
sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice.
-Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya:
masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia
(orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk,
istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan.
Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :
Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal
Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah terutama
di Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada
dasarnya harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang
bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada
esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis.
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut,
intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai
dengan urutan penyakit berikut : perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi
ileus, kolesistis, apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik
banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.
Berdasarkan skenario didapatkan keluhan utama yaitu nyeri ulu hati sejak 3 hari dan
hilang timbul.
Pemeriksaan Fisik5
Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam keadaan berbaring
dan rileks, kedua lengan berada disamping, dan pasien bernapas melalui mulut. Pasien
diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen menjadi
rileks.
Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya secara cepat,
perhatikan abdomen untuk memeriksa hal-hal berikut ini:
a. Apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas?
b. Apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata?
c. Apakah pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi
terbatas?
d. Apakah terdapat jaringan parut akibat operasi sebelumnya?
e. Apakah tedapat distensi abdominal yang nyata?
f. Apakah terdapat vena-vena yang berdilatasi?
g. Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat?
h. Apakah terdapat kelainan-kelainan lain yang dapat terlihat ?
Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri
abdomen. Selalu tanyakan kepada psien letak nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian
tersebut paling akhir. Isi abdomen dapat bergerak, semi-solid, tersembunyi dibalik organ lain,
pada dinding posterior abdomen, dapat diraba melalui otot-otot abdomen, atau kelima-
limanya. Namun, hasil pemeriksaan palpasi yang baik sulit untuk dicapai (bahkan pada
dokter yang berpengalaman sekalipun seringkali menyembunyikan ketidakpastian mereka
dengan menggunakan istilah seperti organomegali “samar’).
Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, yang awalnya dilakukan tanpa
penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat
area nyeri yang diderita atau diketahui. Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap
beberapa organ.
Ketika meraba organ intra-abdomen yang membesar, bagian tepi organ lebih sering
teraba daripada ‘badan” organ-konsistensi antara organ tersebut dengan organ disekitarnya
seringkali mudah dibedakan hanya dengan meraba bagian tepinya. Tepi organ dapat diketahui
dengan lebih mudah jika pemeriksa meminta pasien untuk mangambil napas agak dalam
sehingga organ tersebut bergerak. Ketika meraba organ-organ intra-abdomen yang sedang
bergerak saat pasien bernapas, jangan menekan tangan yang meraba terlalu dalam pada saat
pasien bernapas agar memungkinkan organ yang bergerak tersebut menyentuh jari-jemari
anda.
Sebaliknya, ketika meraba organ yang bergerak saat pasca bernapas, minta pasien untuk
mengeluarkan napas bila anda menginginkan mereka untuk menarik napas. Pasien,
khususnya pasien pria, sering kali menegangkan otot-otot abdomennya selama mengambil
napas dalam setelah melakukan ekspirasi dalam. Jika suatu organ atau pembengkakan yang
abnormal tidak bergerak saat respirasi, gerakan berputar yang lembut dari tangan pemeriksa
mungkin diperlukan untuk menciptakan gerakan relative. Bila terdapat pembengkakan yang
abnormal, dan pada waktu palapasi tidak menimbulkan rasa nyeri, tentukan keadaan dan
karakteristiknya. Jika pembengkakan berdenyut (kemungkinana aneurisma), jangan
melakukan pemeriksaan dentabilitas. Tahanan abdomen merupakan suatu refleks penegangan
otot-otot abdominal yang terlokalisasi yang tidak dapat dihindari oleh pasien dengan sengaja.
Adanya tahanan tersebut merupakan tanda iritasi peritoneum perifer atau tanda nyeri tekan
yang tajam dari organ di bawahnya. Pastikan adanya tahanan abdomen dengan melakukan
perkusi ringan di atas area yang terkena.
Perkusi
Perkusi berguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan adanya
pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limpa atau kandung kemih. Lakukan selalu
perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan
bagian tepi organ.
Shifting dullness (pekak beralih) adalah suatu daerah pekak yang terdapat dibawah
permukaan horizontal cairan intra-peritoneal (asites). Shifting dullnes paling baik dihasilkan
pada sisi yang berlawanan dari hati atau limpa yang mengalami pembesaran dengan tujuan
agar tidak mengganggu temuan yang didapatkan dari perkusi akibat pembesaran organ
tersebut untuk alasan yang sama, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum
melakuakn pemeriksaan asites. Mulailah melakukan perkusi dari garis tengah dengan posisi
jari yang diperkusi sejajar dengan batas cairan yang diperkirakan dan dilakukan perkusi ke
arah lateral sampai muncul nada pekak yang jelas, kemudian jari yang diperkusi diletakkan
kembali ke daerah yang kurang pekak. Dengan mempertahankan jari tersebut pada posisinya,
minta pasien untuk berguling secara perlahan ke arah jari tersebut. Tunggu sekitar 20-30
detik untuk memberikan kesempatan kepada cairan asites untuk bergerak ke bawah dan
kemudian perkusi jari tersebut kembali. Jika terdapat asites, nada perkusi yang dihasilkan
lebih pekak ketimbang perkusi sebelumnya.
Untuk membangkitkan getaran pada cairan asites, pemeriksa meletakkan salah satu
tangannya pada sisi abdomen dan kemudian mengetuk sisi yang lain sehingga gelombang
cairan dihantarkan. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman yang diakibatkan
hantaran melalui dinding abdomen, tapi tangan asisten menekan dengan lemah lembut di
sepanjang garis tengah abdomen. Kadang-kadang pada asites yang besar, hati terkesan
“mengambang” dalam abdomen dan keadaan ini memungkinkan jariyang sedang mempalpasi
untuk “mengetuk” hati.
Auskultasi
Seorang pemeriksa mungkin membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum
dapat mengatakan dengan yakin bahwa bising usus tidak terdengar.
Bising usus meningkat dapat ditemukan pada:
● setiap keadaan yang menyebabkan peningkatan peristaltik
● obstruksi usus
● diare
● jika terdapat darah dalam pencernaan yang berasal dari saluran cerna atas
(menyebabkan peningkatan gerak peristaltik)
Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada:
● paralisis usus (ileus)
● perforasi
●peritonitis generalisata
Berdasarkan skenario didapatkan hasil pemeriksaan fisik yaitu nyeri tekan ringan di
epigastrium.
Pemeriksaan Penunjang6
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi pemeriksaan darah lengkap, gula
darah, fungsi tiroid, dan pankreas. Pemeriksaan laboratorium lebih ditekankan
perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti
pankreatitis kronik, diabetes mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional
biasanya hasil laboratorium dalam batas normal..
2. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian di periksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Sesuai
dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya
normal atau sangat tidak spesifik
3. Waktu pengosongan lambung, Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan
pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada
30 – 40 % kasus.
4. pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung
5. Manometri untuk menilai adanya gangguang fase III Migration Motor
Complex.
6. USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier,
hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan
anatomis.
Diagnosis
Dispepsia melalui simtomnya saja tidak dapat membedakan antara dispepsia fungsional
dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan,
dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui
pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan
endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus,
lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan
kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan
perubahan anatomis Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan
penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.7
Working Diagnosis
Dispepsia fungsional
Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab
tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita.
Untuk lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan
kejiwaan penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik.
Pemeriksaan fisik dan laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia
fungsional.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang
diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat
fungsional. Dalam konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang
kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada
alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang
persisten, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan
sebagainya.8
Differential Diagnosis9
Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus
dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak.(misalnya tukak karena
stress). Gejala klasik dari tukak peptik adalah nyeri. Timbulnya rasa nyeri atau perih
bilamana lambung dalam keadaan kosong, timbul keluhan perut rasa penuh dan bertambah
berat setelah makan. Biasanya rasa mual bertambah berat dan diikuti dengan muntah-muntah.
Yang dimuntahkan adalah yang dimakan tadi, diikuti dengan sisa-sisa makanan yang
berwarna hitam. Serangan nyeri hebat mungkin timbul dengan periode peristaltik lambung.
Apabila penderita tidak segera minta tolong, maka lambung makin membesar, lama kelamaan
nyeripun berkurang, tetapi rasa penuh di perut tetap ada yang disertai dengan rasa mual, dan
muntah-muntah pun berkurang. Berat badan penderita menurun, demikian pula bertambah
lemah, yang juga timbul konstipasi Ulkus peptikum inipun sendiri dibagi menjadi dua, yaitu
tukak lambung dan tukak duodeni. Pada tukak lambung, rasa sakit timbul 30-90 menit
sesudah makan, dan pada tukak duodenum, 2-3 jam sesudah makan.
GERD (Gastro Esofageal Reflux Disease)
Refluks Asam (Refluks Gastroesofageal) adalah pengaliran kembali isi lambung ke
dalam kerongkongan. Lapisan lambung melindungi lambung dari asam lambung. Karena
kerongkongan kekurangan lapisan pelindung semacam ini, maka asam lambung yang
mengalir kembali ke dalam kerongkongan, menyebabkan:
-Nyeri
-Peradangan (esofagitis)
-Kerusakan kerongkongan
Tingkat perdangan tergantung dari keasaman isi lambung, volume asam lambung
dalam kerongkongan dan kemampuan untuk mengeluarkan cairan yang mengalami
regurgitasi dari kerongkongan.
Manifestasi Klinis6
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas /kualitasnya pada setiap pasien,
maka banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi beberapa
sub grup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
-Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan
sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia).
-Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan,
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like
dyspepsia)
-Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non
spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah
diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan
awalnya.
Etiologi10
Tidaklah mengherankan bahwa penyakit gastrointestinal telah banyak dikaitkan
dengan dispepsia. Namun, banyak penyakit non-gastrointestinal juga telah dikaitkan dengan
dispepsia. Contoh yang terakhir termasuk diabetes, penyakit tiroid, hiperparatiroidisme
(kelenjar paratiroid yang terlalu aktif), dan penyakit ginjal berat. Tidak jelas, bagaimana
penyakit non-gastrointestinal dapat menyebabkan penyakit dispepsia. Penyebab kedua yang
penting dari dyspepsia adalah obat. Ternyata bahwa banyak obat yang sering dikaitkan
dengan dispepsia, misalnya, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs seperti ibuprofen
), antibiotik, dan estrogen ). Pada kenyataannya, kebanyakan obat dilaporkan menyebabkan
dispepsia dalam setidaknya beberapa pasien.
Seperti telah dibahas sebelumnya, dispepsia sebagian besar (bukan karena penyakit
non-gastrointestinal), namun diyakini disebabkan fungsi abnormal dari otot-otot organ
saluran pencernaan atau saraf mengontrol organ. Kontrol saraf pada saluran pencernaan
sangatlah kompleks. Sebuah sistem saraf bekerja sepanjang saluran pencernaan dari
kerongkongan ke anus di dinding otot dari organ-organ. Saraf ini berkomunikasi dengan saraf
lain yang melakukan perjalanan ke dan dari sumsum tulang belakang. Saraf dalam sumsum
tulang belakang pada gilirannya berjalanan ke dan dari otak. Dengan demikian, fungsi
abnormal dari sistem saraf di dispepsia mungkin terjadi pada organ pencernaan otot, sumsum
tulang belakang, atau otak.
Sistem saraf mengontrol organ-organ pencernaan, seperti organ lainnya, mengandung
kedua saraf sensorik dan motorik. Saraf-saraf terus menerus merasakan apa yang terjadi pada
aktivitas dalam organ dan menyampaikan informasi ini ke saraf di dinding organ. Dari sana,
informasi dapat disampaikan ke sumsum tulang belakang dan otak. Informasi diterima dan
diproses di dinding organ, sumsum tulang belakang, atau otak. Kemudian, berdasarkan pada
masukan sensorik dan cara input diproses, perintah (respon) dikirim ke organ melalui saraf
motorik. Dua dari respon-respon motor yang paling umum dalam usus kecil adalah kontraksi
atau relaksasi otot organ dan pengeluaran cairan dan / atau lendir dalam organ. Seperti telah
disebutkan, fungsi abnormal dari saraf organ-organ pencernaan, setidaknya secara teoritis,
mungkin terjadi dalam organ, sumsum tulang belakang, atau otak. Selain itu, kelainan
mungkin terjadi dalam saraf sensorik, saraf motorik, atau di pusat-pusat pengolahan di usus,
sumsum tulang belakang, atau otak. Beberapa peneliti berpendapat bahwa penyebab
penyakit-penyakit fungsional adalah kelainan pada fungsi saraf sensorik. Misalnya, aktivitas
normal, seperti peregangan dari usus kecil oleh makanan dapat menimbulkan sinyal sensorik
yang dikirim ke sumsum tulang belakang dan otak, di mana mereka dianggap menyakitkan.
Peneliti lain berpendapat bahwa penyebab penyakit-penyakit fungsional adalah kelainan pada
fungsi saraf motorik. Misalnya, perintah abnormal melalui syaraf-syaraf motor mungkin
menghasilkan kejang yang menyakitkan (kontraksi) dari otot-otot. Yang lain berpendapat
bahwa abnormal disebabkan oleh pusat pengolahan yang berfungsi dan bertanggung jawab
untuk penyakit fungsional salah menafsirkan sensasi normal atau mengirim perintah yang
abnormal ke organ. Bahkan, beberapa penyakit fungsional mungkin disebabkan oleh
disfungsi sensor, disfungsi motor, atau disfungsi baik sensorik dan motorik. Lainnya mungkin
karena kelainan di dalam pusat pengolahan.
Sebuah konsep penting yang relevan dengan mekanisme beberapa potensi (penyebab)
penyakit fungsional adalah konsep “hipersensitivitas visceral”. Konsep ini menyatakan
bahwa penyakit yang mempengaruhi organ-organ pencernaan sangat “peka” sehingga
mengubah respon saraf-saraf atau pusat pengolahan untuk sensasi yang berasal dari organ.
Menurut teori ini, penyakit seperti colitis (peradangan usus besar) dapat menyebabkan
perubahan permanen dalam kepekaan saraf atau pusat pengolahan usus besar. Sebagai hasil
dari peradangan sebelumnya, rangsangan normal dirasakan sebagai abnormal (misalnya,
sebagai hal yang menyakitkan). Dengan demikian, kontraksi usus besar yang normal
mungkin menyakitkan. Tidak jelas apa penyakit sebelum dapat mengakibatkan
hipersensitivitas pada orang, meskipun penyakit menular (bakteri atau virus) dari saluran
pencernaan disebutkan paling sering. Visceral hypersensitivity telah ditunjukkan secara jelas
pada hewan dan manusia. Perannya dalam penyakit-penyakit fungsional yang umum belum
jelas saat ini. Penyakit dan kondisi lain dapat memperburuk penyakit-penyakit fungsional,
termasuk dyspepsia. Kecemasan dan / atau depresi mungkin faktor memperburuk paling
sering diakui untuk pasien dengan penyakit fungsional. Faktor lain yang memberatkan adalah
siklus menstruasi . Selama periode haid, wanita seringkali mencatat bahwa gejala fungsional
mereka buruk. Hal ini sesuai sewaktu hormon wanita, estrogen dan progesteron berada pada
tingkat tertinggi. Selain itu, telah diamati bahwa mengobati wanita yang memiliki dispepsia
dengan leuprolida (Lupron), obat injeksi yang menutup produksi tubuh estrogen dan
progesteron, yang efektif dalam mengurangi gejala dispepsia pada wanita premenopause.
Observasi ini mendukung peran hormon dalam intensifikasi gejala fungsional.
Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan,
terutama pada ketahanan mukosa lambung. Kadar asam lambung lansia biasanya mengalami
penurunan hingga 85%.
Kebiasaan yang dapat menyebabkan dispepsia:10
Menelan terlalu banyak udara saat makan (mengunyah dengan mulut terbuka
atau sambil berbicara)
Merokok, konsumsi kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah
dikarbonasi (softdrink)
Mengkonsumsi makanan yang menghasilkan gas (tape, nangka, durian)
Berolahraga langsung setelah makan
Stress/ psikologis yang berlebihan
Patofisiologi6
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakn dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah; hipotesis asam lambung dan inflamasi,
hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas visceral, serta hipotesis adanya
gangguan psikologik atau psikiatrik.
a. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa asam lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
b. Helicobacter pylori (Hp)
Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan
tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.
Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia
fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.
c. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50%) kasus, gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas visceral. Pada
studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan
antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus dan korpus gaster
mengalami relaksasi tanpa terjadi peningkatan tekanan dalam lambung, baik saat
mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan
bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks
vagal. Pada beberapa pasien dispepsia, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga
pengisian bagian antrum terlalu cepat.
Sedangkan kasus dengan hipersesitivitas terhadap distensi lambung biasanya akan
mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang
ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung waktu makan.
d. Ambang rangsang persepsi
Ambang usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptro
mekanik dan nociceptor. Dalam studi studi tampaknya kasus dispepsia mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Penelitian
dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia
fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan
volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada
populasi kontrol.
e. Disfungsi autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa
tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini
bersifat inkonsisten.
g. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan kasus kontrol.
i. Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Tapi korelasi antara faktor
psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak
didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia,
adanya sexual abuse atau adanya gangguan psikiatrik.
Epidemiologi6
Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh karena 45
tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20
tahun jarang ditemukan keganasan. Begitu pula wanita lebih sering daripada laki-laki.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di Inggris dan Skandinavia dilaporkan angka
prevalensinya berkisar 7-41% tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis. Insiden
dispepsia per tahun diperkirakan antara 1-8%. Dan dispepsia cukup banyak dijumpai. Di
negara Barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41%. Sekitar 4% penderita berkunjung
ke dokter umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Di daerah Asia Pasifik, dispepsia juga
merupakan keluhan yang banyak dijumpai. Prevalensinya sekitar 10-20%.
Komplikasi9
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding
lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam
lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat
menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah
darah, di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan
mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada perdarahan
awal. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang
mengharuskan penderitanya melakukan operasi.
Penatalaksanaan6
Non Medikamentosa
a.Pendekatan umum
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa
adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon placebo yang tinggi (sekitar
45%) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang kebih pasti. Penjelasan
kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan langkah
awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius
atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis
penyakit yang dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang
baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.4
b. Dietetik
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara bermakna.
Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih
bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi sebaiknya
dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai
menurunkan/mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang, dapat
dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.3
Medikamentosa6,11
1. Antasid
Antasid merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita dispepsia, tapi
dalam penelitian, obat ini tidak lebih unggul dibanding plasebo. Contohnya: Al, Mg,
Ca, OH, Almagate, Hidrotalcite. Antasida diberikan dengan dosis 3x30 mg.
2. Penyekat H2 reseptor
Obat ini juga umum diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak ganda
tersamar, didapatkan hasil yang kontroversial. Sebagian gagal menunjukkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional dan sebagian lagi berhasil. Berdasarkan
penelitian diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas plasebo. Umumnya manfaatnya
ditujukan untuk menghilangkan nyeri pada ulu hati.5
Ranitidin 2x150 mg, Simetidin 2x400 mg, Famotidin.
3. Penghambat pompa proton
Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada dispepsia fungsional,
walaupun pada banyak studi secara tidak sengaja juga terlibat kasus penyakit refluks
gastroesofageal yang tidak terdeteksi. Respons terbaik terlihat pada kelompok
dispepsia fungsional tipe seperti ulkus.3
Omeprazole 1x20 mg, Esomeprazole, pantoprazole 1x40 mg, Lansoprazole 1x30 mg,
Rabeprazole.
4. Sitoproteksi
Obat ini, misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya untuk memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.
Sukralfat 2x2 gram, rebamipide 3x100 mg, teprenone 3x50 mg.
5. Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor dopamin D2),
domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak) dan cisapride
(agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai penelitian, baik domperidon dan cisapride
mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri
epigastrik, cepat kenyang distensi abdomen dan mual. Metoklopramid 4x10 mg,
domperidon 4x10 mg, cisapride 3x5 mg. Metoklopramid yang tampaknya cukup
bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas studinya dan hambatan efek
samping ekstrapiramidalnya.
Cisapride tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
penelitian memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo.
Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah
setelah diketahui efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa
Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.
6. Obat lain – lain
Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional,
membuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri.
Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan
dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi
pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia
fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan
agonist 5-HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung
dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5
7. Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.
Pencegahan12
Tujuan pencegahan adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu
yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat,
promosi kesehatan. Pencegahan terhadap dispepsia adalah sebagai berikut:
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosio-ekonomi dan gizi
dan penyediaan air bersih
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu diberikan
juga diperhatikan porsinya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol,
kopi serta merokok
Prognosis6
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.
Kesimpulan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia
fungsional didarakan pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan
penunjang baku dapat disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam
kelompok penyakit gastrointestinal fungsional.
Berdasarkan kasus pada skenario wanita tersebut mengalami dispepsia fungsional.
Daftar Pustaka
1. Umami V, Ed. At a glance ilmu bedah edisi ke-3. Jakarta: Erlangga; 2007.h. 25-6.
2. Safitri A, Ed. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006.h. 43.
3. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta:
Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 441 – 533.
4. Widiarti D, Ed. Ensiklopedia keperawatan. Jakarta: EGC; 2009.h. 571-3.
5. Jonathan Gleadle. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik edisi ke-1. Jakarta: Erlangga
Medical Series; 2007.h. 58.
6. Dharmika Djojodiningrat. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-4. Jakarta:Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.h. 529-33.
7. Hadi, Sujono. Gastroenterologi. Bandung: Alumni; 2002. h. 156-9.
8. Braham U, Ed. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis penyakit edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.h.
235-40.
9. Isselbacher, Braunwald et al. Harrison: prinsip – prinsip ilmu penyakit dalam edisi ke-13. Volume 4. Jakarta:
EGC; 2005. h. 1532-43.
10. Emmanuel A, Inns S. Gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta: Erlangga; 2014.h. 120.
11. Ndraha S. Buku ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UKRIDA; 2012.h. 27.
12. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:. Media aesculapius.; 2009.h. 100-1.