AGRIBISNIS ANEKA TERNAK “POTENSI BUDIDAYA TERNAK KELINCI DI INDONESIA”
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...
Transcript of EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...
Beti Nur Hayati| 1
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK “LANCAR REJEKI”
Beti Nur Hayati
Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstract
One effort to reduce poverty is to develop communities with a cross-empowerment model stakeholder. One of them is community empowerment of group "Lancar Rejeki" which is one of the corporate social responsibility programs of PT. Semen Gresik. The purpose of this study is to evaluate the community empowerment program of the "Lancar Rejeki" group in the 2015-2018 program period using the Beneficiary Assessment. This research method uses descriptive qualitative research methods. The results of this study are that from the very beginning the appearance of this program had various impacts on group members. The first is increasing the capacity of group members regarding animal fattening programs. Second, members have the capacity to process livestock waste into organic fertilizer so that from these activities it can provide economic improvement to its members. But in this period, also experienced some obstacles in the group "Lancar Rejeki." First, fluctuations in goat prices that are uncertain make fattening activities difficult to develop. In addition, the lack of social capital among group members caused some group members to stop in the middle of pioneering activities
Keywords: evaluation, community empowerment, group
Abstrak
Salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan melakukan pengembangan masyarakat dengan model pemberdayaan lintas stakeholder. Salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki” yang merupakan salah satu program tanggung jawab sosial perusahaan PT. Semen Gresik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki”pada periode program 2015-2018 dengan menggunakan Beneficiary Assesment. Metode penelitian ini menggunkan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sejak awal kemunculan program ini telah membawa berbagai dampak pada anggota kelompok. Pertama adalah meningkatnya kapasitas anggota kelompok mengenai
2 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
program fattening ternak. Kedua, anggota memiliki kapasitas untuk melakukan pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organic sehingga dari kegiatan tersebut dapat memberikan peningkatan ekonomi pada anggotanya. Namun dalam periode ini, juga mengalami beberapa hambatan dalam kelompok “Lancar Rejeki”. Pertama fluktuasi harga kambing yang tidak menentu membuat kegiatan fattening menjadi sulit dikembangkan. Selain itu, lemahnya modal sosial antar anggota kelompok membuat beberapa anggota kelompok berhenti di tengah merintis kegiatan
Kata kunci: Evaluasi, Pemberdayaan Masyarakat, Kelompok
* * *
A. Pendahuluan
Pada tahun 2015, merupakan tahun berakhirnya MDGs
(Millenium Development Goals). Selanjutnya konsep pembangunan
tersebut dilanjutkan dengan dokumen SDGs (Sustainable
Development Goals) yang berakhir tahun 2030. SDGs sendiri
merupakan dokumen yang disepakati pembangunan baru yang
mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah
pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan
kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup yang berisi tentang 17 agenda. Agenda tersebut
yaitu tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan
sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetraan gender, air bersih dan
sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan
pertumbuhan ekonomi, industry inovasi dan infrastruktur,
berkurangnya kesenjangan, kota dan pemukiman yang berkelanjutan,
konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, penanganan
perubahan iklim, ekosistem lautan, ekosistem daratan, perdamaian
keadilan dan kelembagaan yangtangguh, kemitraan untuk mencapai
tujuan.
Beti Nur Hayati| 3
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Salah satu kegiatan SDGs yang menjadi menjadi urgensi di
Indonesia saat ini adalah mengurangi angka kemiskinan. Angka
kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin
meningkat, meskipun secara prosentase mengalami naik turun.
Menurut data BPS Jumlah penduduk miskin di indonesia per
September tahun 2015 mencapai angka 28,51 juta jiwa dengan
prsentase 11,13%. Tahun 2016 mencapai angka 27,76 juta jiwa dengan
presentase 10,7%. Tahun 2017 mencapai angka 26,58 juta jiwa dengan
presentase 10,12%. Tahun 2018 mencapai angka 25,67 juta jiwa dengan
presentase 9,41%. Tahun 2019 mencapai angka 32,53 juta jiwa dengan
presentase 9,22%.
Untuk memperkecil angka kemiskinan tersebut, memerlukan
peran dari berbagai aktor untuk dapat menanggulanginya.
Bergesernya skema pembangunan dari yang semula single aktor
menjadi multi actor mendorong berbagai stakeholder untuk terlibat
dalam penanggulangan kemiskinan. Salah satu aktor yang memiliki
potensi besar untuk terlibat dalam menanggulangi masalah sosial
adalah sector swasta, yaitu perusahaan. Berdasarkan peraturan
terdapat beberapa kebijakan yang mendorong perusahaan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Peraturan tersebut
diantaranya adalah UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
serta Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara No 5 tahun
2007 tentang program kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (Hayati & Suparjan, 2017).
Melalui kebijakan tersebut, banyak perusahaan yang mulai
memiliki kesadaran untuk memberikan program tanggung jawab
sosialnya kepada masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Pada
4 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
penelitian Wulandari, terdapat usaha-usaha kongkrit yang dapat
dilakukan program CSR dalam mengurangi angka kemiskinan antara
lain mendirikan sekolah gratis sekitar perusahaan, pemanfaatan
limbah, dan pelatihan kewirausahaan (Wulandari, 2012).
Selain itu adanya penerapan program tanggug jawab sosial
perusahaan juga memberikan dampak positif bagi perusahaan. Salah
satunya adalah mendapatkan dukungan dari masyarakat yang
merasakan dari aktivitas yang dijalankannya (Susanto, 2007). Untuk itu
diperlukan strategi yang cukup baik agar program-program CSR
tersebut dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat
sehingga meningkatkan reputasi perusahaan.
Ada berbagai jenis kegiatan dalam mengimplementasikan
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Salah satunya dengan
program yang bersifat peningkatan kapasitas masyarakat. Program
CSR yang berbasis peningkatan kapasitas, merupakan program yang
bukan sekedar memberikan bantuan berupa uang tunai atau bantuan
logistic saja kepada suatu individu atau komunitas, tetapi juga
memberikan pelatihan untuk menunjang keberlanjutan program.
Namun terkadang, dalam pelaksanannya banyak program tanggung
jawab sosial tidak berjalan sebagaimana tujuan program. Terutama
pada program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Konsidi
tersebut terjadi karena berbagai faktor. Menurut penelitian Muslim,
dalam judul “Analisis Kegagalan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat dalam Membangun Kemandirian Masyarakat Miskin”,
faktor yang mempengaruhi tidak berkelanjutannya suatu program
pemberdayaan adalah terletak pada buruknya kinerja fasilitator dan
kesalahan stakeholder (Muslim, 2017)
Beti Nur Hayati| 5
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Salah satu program CSR yang bersifat pemberdayaan adalah
pada program pemberdayaan masyarakat Kelompok Ternak “Lancar
Rejeki”. Program pemberdayaan masyarakat Kelompok Lancar Rejeki
adalah program yang bergerak di bidang kewirausahaan peternakan.
Tujuan dari program ini adalah untuk mengembangkan kapasitas
kelompok masyarakat sehingga mereka mendapatkan manfaat
ekonomi dari adanya program tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah
untuk untuk mengevaluasi berjalannya program pemberdaayn
masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” sehingga di dapatkan faktor
keberhasilan atau penghambat dari program tersebut dengan
menangkap dan menilai pengalaman penerima manfaat dalam
kaitannya dengan pelaksanaan Program Pengembangan Kelompok
Peternak Kambing (pengetahuan tentang program, keterlibatan dalam
program, dan dampak dari program). Sehingga dapat dijadikan
rekomendasi atau sebagai bahan pengambilan keputusan di tempat
lain dalam menjalankan sebuah program pengembangan masyarakat.
B. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada
sifat realita yang terbangun secara sosial (Denzin dkk, 2009). Penelitian
ini melihat fenomena sosial berupa jalannya program pengembangan
masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” secara medalam sehingga
dapat diketahui apakah program tersebut berjalan sesuai dengan
tujuan program.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan
pihak-pihak yang berhubungan dengan program pengembangan
6 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” pada priode 2015-2018.
Sementara data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai
literature dan dokumen yang berhubungan dengan program
pengembangan masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki”.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara wawancara,
observasi dengan pihak yang terlibat dalam program. Sedangkan
analisis data penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif
yang disajikan dalam bentuk data deskriptif
C. Pembahasan
1. Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing Kelompok “Lancar Rejeki”
Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing
Kelompok “Lancar Rejeki” merupakan program antara PT Semen
Gresik bekerjasama dengan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. PT. Semen Gresik telah mengidentifikasi potensi
pengembangan ekonomi masyarakat di tiga desa yang termasuk dalam
wilayah ring satu perusahaan, yakni Desa Temandang, Socorejo, dan
Kasiman. Esensi dari program ini adalah untuk memupuk kesadaran
masyarakat mengenai potensi yang ada pada diri dan lingkungan
sekitarnya, sehingga mampu mengolahnya secara mandiri dan
berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat desa yang produktif,
kokoh dan sejahtera.
Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing
dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada kelompok
masyarakat di masing-masing desa yang menjadi sasaran program.
Pelatihan mengenai kewirausahaan dan teknis pemeliharaan diberikan
sebelum pelaksanaan program pemeliharaan ternak dimulai.
Beti Nur Hayati| 7
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Kelompok Peternak Kambing “Lancar Rejeki” merupakan salah satu
kelompok peternak kambing dengan jenis usaha “fattening”, yakni
melakukan usaha penggemukan kambing, mulai dari bibit hingga
masuk pada fase layak jual. Program ini dimulai dengan memberikan
peningkatan kapasitas yang difasilitasi oleh PT. Semen Gresik pabrik
Tuban bekerja sama dengan pendamping dari fakultas Peternakan
UGM. Sesuai dengan salah satu prinsip pemberdayaan adalah proses
pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki
daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistyani
2004:77). Pada kasus ini pihak yang memiliki daya lebih besar
merupakan pihak perusahaan dengan sumber dayanya mampu
memberikan fasilitator untuk masyarakat mengembangkan
potensinya,
2. Pembelian Bibit dan Penjualan Kambing Fattening
Populasi ternak pada awal pengadaan program tersebut
berjumlah 10 ekor kambing jantan fattening (penggemukan) yang
didatangkan dari Yogyakarta dengan total nilai Rp. 10.900.000,00.
Sebelum program dijalankan, pemberian bahan pakan pada ternak
masih menggunakan bahan yang tradisional. Melalui proses pelatihan
dan pendampingan, peternak saat sudah mampu membuat pakan
fermentasi yang terdiri dari kulit ari coklat dan kangkung kering.
Keunggulan dari pakan ini adalah tidak berbau dan cepat untuk proses
penggemukan. Hal ini dibuktikan melalui pengukuran bobot ternak
secara periodic yang terus meningkat. Selain itu, hasil kotoran dari
pakan fermentasi tidak keras dan tidak berbau, sehingga cocok sebagai
bahan pupuk kandang.
8 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Masalah yang dihadapi oleh peternak adalah bahan-bahan yang
digunakan untuk pembuatan pakan fermentasi tersebut susah
didapatkan dan harganya mahal, Selisih antara biaya yang dikeluarkan
untuk pembuatan pakan fermentasi tidak sebanding dengan harga jual
hewan ternak yang cenderung fluktuaktif. Kelompok “Lancar Rejeki”
menyiasatinya dengan mengganti bahan-bahan yang diajarkan oleh
Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan bahan-bahan yang mudah
untuk didapatkan dan dengan harga yang lebih murah, seperti sisa
dari pertanian, dengan campuran kulit kacang atau kulit kedelai.
3. Pengembangan Jenis Usaha
Kelompok “Lancar Rejeki” sudah mampu memasarkan sendiri
pupuk kandang dan pupuk organik cair (POC) yang dibuat secara
mandiri. POC merupakan hasil olahan dari air seni kambing yang
difermentasi. Sedangkan pupuk kandang diolah dari kotoran kambing.
Kotoran kambing yang sudah kering dikumpulkan dalam satu kotoran
kambing yang sudah kering dikumpulkan dalam satu tempat
berkapasitas 1 ton. Bahan baku pupuk kambing tidak hanya berasal
dari kambing milik kelompok, tetapi juga didatangkan dari luar kota.
Kotoran yang telah terkumpul, dicampur secara merata dengan serbuk
Primadec 1 Kg. Pupuk setengah jadi yang telah dicampur Primadec,
harus diaduk setiap satu hari sekali untuk mempercepat proses
pencampuran, kemudian ditutup dengan terpal, begitu seterusnya
sampai seminggu. Setelah seminggu proses pengolahan, pupuk
dihaluskan dan dimasukan ke karung dan siap untuk dijual. Bahan
untuk membuat pupuk kompos, diambil dari ekskresi hewan ternak
yang dimiliki oleh kelompok. Satu kambing atau domba dalam sehari
bisa menghasilkan 5 Ons. Dalam satu bulan, satu ekor kambing atau
Beti Nur Hayati| 9
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
domba menghasilkan 1,5 Kg. Ada 14 ekor kambing yang dimiliki oleh
kelompok “Lancar Rejeki”, sehingga dalam satu bulan ekskresi yang
dihasilkan mencapai 21 Kg kotoran kambing.
4. Pemasaran
Komoditas yang dipasarkan oleh kelompok “Lancar Rejeki”
berupa kambing dan domba hasil penggemukan serta olahan pupuk
kandang (kompos). Ternak kambing hasil proses penggemukan
dipasarkan dengan mengikuti mekanisme pasar tradisional, dimana
harga ditentukan berdasarkan hitungan per kilogram. Berdasarkan
hasil FGD dapat diketahui rantai pemasaran bibit dan ternak hasil
penggemukan. Kelompok “Lancar Rejeki” membeli bibit domba
fattening. Anggota kelompok “Lancar Rejeki” mengalami kesulitan
dalam memasarkan hewan ternak hasil penggemukan. Tidak ada
kepastian dalam penentuan harga beli dan jual hewan ternak. Peternak
tidak mempunyai kuasa untuk menentukan harga jual di pasar.
Contoh masalah yang terjadi adalah peternak membeli bibit di juragan
dengan harga Rp. 42.000,00 per Kg untuk kambing jantan. Sedangkan
ketika dijual di juragan yang sama, peternak mendapatkan harga Rp.
40.000,00 per Kg. Lain halnya dengan kambing atau domba betina,
masalah fluktuasi harga tidak mempengaruhi harga jual atau harga
beli per Kg nya. Bibit kambing atau domba betina dihargai Rp.
32.000,00 oleh juragan setiap Kg. Sedangkan pada saat dijual kembali
oleh peternak, harganya juga mengalami penurunan, yaitu Rp.
30.000,00 per Kg. Hal ini tentu membuat peternak mengalami kerugian,
karena harga jual kambing yang tidak seberapa banyak namun tetap
mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli bahan pakan
fermentasi saat proses penggemukan.
10 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Pemasaran pupuk kandang sudah masuk ke toko pertanian
setempat dan warga sekitar. Di awal pengembangan pupuk kandang,
terjual sekitar 10 sak untuk kebutuhan petani sekitar. Hingga saat ini,
penjualan pupuk semakin meningkat. Kelompok Lancar Rejeki sudah
memiliki pemasok pupuk yaitu 2 toko pertanian di daerah Tuban.
Pupuk kandang tersedia dalam bentuk karung seharga Rp. 20.000,00.
Dalam bentuk kemasan 1 Kg seharga 2.000 dan kemasan 5 Kg seharga
Rp. 5.000. Kelompok ini mengalami kesulitan dalam memasarkan
pupuk cair karena respon pasar terhadap pupuk cair masih kurang.
5. Keterlibatan Anggota dalam Kelompok
Salah satu hal terpenting dalam sebuah program pemberdayaan
adalah partisipasi masyarakat (Sunartiningsih, 2004). Anggota
kelompok awal terbentuk terdiri dari lima orang, namun tak
berlangsung lama dua anggota mengundurkan diri. Sehingga saat ini
kelompok “Lancar Rejeki” hanya beranggotakan tiga orang.
Pembagian tugas seperti pemberian pakan dan pemeliharaan hewan
ternak didasarkan pada kesadaran dan rasa saling percaya antar
anggota. Mekanisme pembagian tugas seperti ini bisa berjalan dengan
baik hanya di kelompok dengan modal sosial yang kuat. Setiap
anggota kelompok “Lancar Rejeki” menyadari tugas dan
tanggungjawabnya masing-masing, dan menjalankan tugas dengan
keyakinan bahwa keberhasilan kelompok juga ditentukan dari peran
serta setiap anggota kelompok.
Tugas yang dijalankan oleh anggota kelompok “Lancar Rejeki”
meliputi:
Beti Nur Hayati| 11
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
1. Pemilihan bakalan: meliputi penampakan fisik, status
kesehatan, dan tujuan pemeliharaan.
2. Manajemen pakan: berupa ketersediaan bahan, metode
pemberian, penyimpanan, teknologi pengolahan, dan
pengawetan pakan.
3. Manajemen pemeliharaan: tugas ini meliputi produksi ternak,
pencegahab dan penanganan penyakit, sanitasi dan kebersihan,
rekording atau catatan kejadian ternak..
4. Manajemen Limbah: tugas ini meliputi penanganan dan
pengolahan limbah.
5. Manajemen usaha: tugas ini meliputi perencanaan usaha,
analisa usaha, laporan keuangan, promosi dan pemasaran.
Pada dasarnya, setiap anggota kelompok “Lancar Rejeki” mempunyai
tanggungjawab dan kewajiban yang sama dalam setiap tugas dan
kegiatan yang dijalankan oleh kelompok. Namun demikian, setiap
keputusan kelompok selalu melibatkan anggota dan merupakan hasil
dari keputusan kolektif.
6. Dampak Program Terhadap Penerima
Pemberdayaan juga dimaknai sebagai usaha melakukan
perubahan sosial dan ekonomi yang terencana ke arah yang lebih baik
(Usman 2015:44). Pada periode 1 pembelian kambing sebanyak 10 ekor
dengan harga Rp. 18.500.000, setelah melalui proses penggemukan
dijual seharga Rp. 16.000.000. Setelah itu dibelikan lagi domba
fattening sebanyak 15 ekor seharga Rp. 11.075.00. Dari penjualan di
periode 1, kelompok ini mendapat keuntungan Rp 4.925.000.
Selanjutnya, 1 ekor domba dijual dengan harga Rp. 1.400.000 dan
12 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
dibelikan lagi 1 ekor domba fattening. Keuntungan di penjualan kali
ini Rp. 250.000. Domba kembali dijual 4 ekor seharga Rp. 5.200.000.
Dari hasil penjualan tersebut, Rp. 1.200.000 dibagikan ke anggota dan
sisanya Rp. 4.000.000 dimasukkan ke kas kelompok. Kelompok
“Lancar Rejeki” kembali menjual dombanya 11 ekor seharga Rp.
10.000.000. Total keuntungan periode 2 sebesar 3.100.000. Pada periode
3 dari program tersebut dibelikan domba 12 ekor seharga Rp.
10.900.000.
Selama satu bulan, rata-rata kenaikan bobot badan domba
sekitar 2kg/ekor. Saat ini aset yang dimiliki oleh kelompok Lancar
Rejeki adalah 12 ekor domba dengan harga sekitar 10.900.000, 1 unit
kandang kapasitas 15 ekor dengan harga Rp. 3.600.000 dan peralatan
kandang (tong, ember, chopper) dengan harga Rp. 3.240.000.
Pendapatan Kelompok “Lancar Rejeki” lebih banyak dari
kegiatan produksi pupuk kompos. Berikut merupakan rincian biaya
produksi dari kelompok “Lancar rejeki”:
Biaya Produksi Pupuk Organik Per Karung
No Bahan Produksi Satuan Nominal (Rp)
1 Kotoran Kambing 1 Sak 8.000
2 Primadec 1/50 Pack 300
3 Bensin 1/30 Liter 300
4 Tambahan Tenaga Produksi 1 Karung 3.000
5 Karung 1 Sak 500
Jumlah 12.100
Keuntungan:
Beti Nur Hayati| 13
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Harga Jual Per Karung : Rp. 20.000,00
Biaya Produksi Per Karung : Rp. 12.100,00
Rp. 7.900,00 / karung
Permintaan pasar pupuk kompos lancar rejeki dipasarkan
melalui toko - toko pertanian, dan ada juga petani setempat dan petani
yang berasal dari luar kecamatan mengambil pupuk langsung dari
tempat produksi. Ada tiga toko yang menjadi penyaluran pupuk lancar
rejeki, setiap tokonya rata-rata mampu menjual 150 karung setiap
bulannya. Pada saat musim tanam, permintaan petani terhadap pupuk
bisa mencapai 200 sak per bulan. Selain masa tanam, permintaan
terhadap pupuk kompos bisa mencapai 100 sak per bulan. Dengan
asumsi satu tahun ada 3 kali panen, berarti ada 3 bulan masa tanam
dan 9 bulan masa non-tanam.
Permintaan Petani
3 x 200 = 600 Sak
9 x 100 = 900 Sak
1500 (Sak): 12 (bulan) = 125 sak per bulan
Maka pendapatan dan keuntungan maksimal perbulan untuk
kelompok ternak lancar rejeki adalah sebagai berikut
Pendapatan :
Toko Pertanian Senori 150 x @ 20.000 = Rp. 3.000.000,00
Toko Pertanian Bondalem 150 x @ 20.000 = Rp. 3.000.000,00
14 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Permintaan Petani 125 x @ 20.000 = Rp. 2.500.000,00
Rp. 8.500.000,00
Keuntungan :
Toko Pertanian Senori 150 x @ 7.900 = Rp. 1.185.000,00
Toko Pertanian Bondalem 150 x @ 7.900 = Rp. 1.185.000,00
Permintaan Petani 125 x @ 7.900 = Rp. 987.500,00
Rp. 3.357.500,00/ bulan
Keuntungan yang didapat dari penjualan pupuk dari kelompok
ini digunakan atau dialokasikan sesuai kebutuhan kelompok, mulai
dari kas, kebutuhan individu seperti pinjaman, dan lain-lain.
7. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threaths)
Strenghts (Kekuatan)
a. Berdasarkan pemaparan diatas, pada program pemberdayaan
Kelompok Ternak “Lancar Rejeki” memiliki beberapa kekuatan.
Pertama ketersediaan bahan baku untuk pembuatan pupk organic
cair berupa kotoran hewan cukup mudah di dapatkan. Selain
berasal dari ternak kelompok “Lancar Rejeki”, bahan baku
pembuatan produk pupuk organic tersebut juga mudah di
dapatkan dari luar daerah apabila ada peningkatan permintaan
pupuk organic cair. Kedua, terdapat anggota kelompok “Lancar
Rejeki” yang memiliki kemauan untuk mengembangkan usaha
tersebut. Sehingga dari waktu ke waktu muncul inovasi untuk
mengupayakan peningkatan mutu dari produk pupuk organic cair
tersebut.
b. Kelemahan (Weaknesses) :
Beti Nur Hayati| 15
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Terdapat beberapa kelemahan dari program pemberdayaan
Kelompok Tenak “Lancar Rejeki”. Pertama, terdapat beberapa
anggota kelompok yang memutuskan keluar dari kelompok ternak
“Lancar Rejeki”. Menurut penuturan anggota kelompok,
mundurnya dua orang anggota lebih disebabkan karena adanya
perbedaan orientasi dan kurangnya motivasi dalam berwirausaha.
Selain itu, modal sosial berupa kepercayaan dan hubungan
kekerabatan yang dimiliki oleh kelompok juga berpengaruh
terhadap eksistensi kelompok. Kedua, untuk program
peggemukan ternak (fattening), para anggota kelompok susah
mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pembuatan pakan
fermentasi di sekitar daerah tempat tinggal mereka, Tuban. Ketiga,
untuk usaha peggemukan ternak (fattening) masih sulit
dikembangkan karena harga jual kambing yang sangat fluktuatif.
Harga yang tidak menentu membuat anggota kelompok merasa
rugi karena harga beli kambing dan perawatannya tidak
menguntungkan saat harga kambing dipasaran sedang rendah.
Sehingga usaha fattening belum menjadi kegiatan pokok dalam
program pemberdayaan masyarakat di kelompok ternak “Lancar
Rejeki”. Selain itu, masih minimnya pengetahuan mengenai
kondisi kandang yang ideal menghambat proses pengolahan
pembuatan pupuk kompos.
c. Peluang (Opportunities) :
Terdapat beberapa kegiatan dalam program pemberdayaan
masyarakat dalam kelompok ternak “Lancar Rejeki”. Salah
satunya adalah pembuatan pupuk organic cair. Kelompom Lancar
Rejeki ini merupakan kelompok yang berada di Desa Temandang,
16 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Tuban, Jawa Timur dengan setting wilayah masyarakat yang
terdiri mayoritas petani dengan lahan pertanian yang masih sangat
luas. Sehingga pasar untuk produk pupuk organik masih sangat
luas. Selain itu masih minimnya produsen pupuk organic juga
menjadi peluang tersendiri bagi berkembangnya usaha di
kelompok ternak “Lancar Rejeki” tersebut. Apabila masa tanam
tiba, kebutuhan pupuk di daerah tersebut meningkat sementara
ketersediaan pupuk kimia pun sangat terbatas, sehingga banyak
petani yang menggunakan pupuk organic untuk memenuhi
kebutuhan produksinya. Sehingga usaha pupuk organik menjadi
salah satu peluang yang baik untuk memberdayakan masyarakat.
d. Ancaman (Threats) :
Terdapat beberapa ancaman dari program pemberdayaan
kelompok ternak “Lancar Rejeki”. Pertama harga kambing yang
fluktuatif membuat kelompok kecil seperti “Lancar Rejeki” masih
kewalahan dalam mengatasinya. Akibatnya kegiatan
penggemukan ternak ini belum berjalan dengan baik dan terancam
tidak dapat dilanjutkan lagi sebagai salah satu kegiatan di program
pemberdayaan kelompok ternak “Lancar Rejeki”
D. Penutup
Melalui rangkaian kegiatan evaluasi dengan menggunakan
metode Beneficiary Assesment, dapat diketahui bahwa program
Pemberdayaan Peternak Kambing Kelompok “Lancar Rejeki”
membawa kemanfaatan bagi masyarakat penerima program. Sebagain
sebuah program yang mengusung strategi pemberdayaan masyarakat,
program ini memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan. Program
Beti Nur Hayati| 17
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
pemberdayaan kelompok ternak “Lancar Rejeki” merupakan
kontribusi PT. Semen Gresik – Pabrik Tuban bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar perusahaan. Peningkatan
pendapatan per bulan yang diperoleh para peternak menjadi salah satu
indicator keberhasilan program.
Berikut adalah rekomendasi yang dapat dilakukan guna
mencapai tujuan yang berkelanjutan dan menjadikan kelompok
“Lancar Rejeki” sebagai role model untuk replikasi pembentukan
kelompok selanjutnya:
1. Inisiasi Kelompok
Proses pembentukan kelompok dimulai dari adanya
sosialisasi program yang dibantu oleh perangkat desa dan
organisasi kepemudaan (Karang Taruna). Untuk
mengoptimalkan pembentukan kelompok, sekaligus
menjamin eksistensinya hendaknya ada proses screening
dari inisiator program dengan memperhatikan hal-hal
seperti: kepercayaan, hubungan kekerabatan, dan lamanya
setiap calon anggota saling mengenal. Kedekatan personal
mampu menjaga harmoni kelompok saat terjadi masalah
dalam pengelolaan kelompok. Perlu adanya focus group
discussion (FGD) yang diadakan oleh PT Semen Indonesia
yang dihadiri oleh kelompok-kelompok yang terbentuk dari
hasil sosialisasi program, tujuannya adalah untuk
memberikan pemahaman awal terkait program.
2. Pengemukan Kambing
Dalam proses penggemukan, peternak di kelompok “Lancar
Rejeki” selama ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan
18 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
bahan-bahan untuk pembuatan pakan fermentasi seperti
yang sebelumnya diajarkan oleh pendamping. Selain
harganya yang mahal, bahan-bahan tersebut juga susah
didapatkan di Tuban. Rekomendasi yang ditawarkan adalah
dengan menjalin kerjasama dengan Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Kabupaten Tuban untuk membuat pakan
fermentasi yang berkualitas dengan bahan-bahan yang
mudah didapatkan dan juga dengan harga yang murah. Opsi
berikutnya adalah, pemberian subsidi oleh perusahaan
kepada peternak kelompok “Lancar Rejeki” dalam jangka
waktu tertentu untuk pembelian bahan pakan fermentasi.
3. Pemeliharaan Ternak
Permasalahan yang dirasakan oleh peternak dalam hal
pemeliharaan adalah kondisi kandang yang perlu
diperbaiki. Kondisi kandang pada bagian alas terlalu rapat,
jarak antara kayu satu dan yang lain terlalu rapat sehingga
kotoran kambing tidak langsung dapat turun dan terkumpul
di bak penampung feses. Persoalan kedua yang dikeluhkan
oleh peternak adalah mengenai kondisi kesehatan ternak
yang membutuhkan lebih banyak perhatian, para peternak
mengharapkan adanya kunjungan dari mantri hewan
maupun dari Dinas Perikanan dan Peternakan Tuban untuk
memantau kesehatan ternak. Rekomendasi dari kedua
persoalan ini adalah; pertama, adanya kegiatan renovasi
kandang ternak denagn menggunakan desain kandang yang
ideal serta memperluas kandang ke arah barat yang dapat
dipergunakan untuk menyimpan hasil olahan kompos atau
Beti Nur Hayati| 19
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
tempat produksi kompos pada saat musim hujan. Kedua,
menjalin kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Tuban untuk melakukan kunjungan terjadwal kepada
kelompok-kelompok peternak binaan PT. Semen Gresik –
Pabrik Tuban.
4. Penjualan dan Pemasaran Produk Kelompok “Lancar
Rejeki”
Selama periode program berjalan, peternak kelompok
“Lancar Rejeki” mengalami kerugian akibat harga jual
kambing atau domba yang seringkali fluktuatif. Selain itu,
selisih harga saat pembelian bibit dan penjualan kambing
atau domba hasil penggemukan membuat peternak
kehilangan sebagian besar keuntungan atau bahkan
seringkali merugi. Rekomendasi yang ditawarkan adalah
dengan menghubungkan peternak kelompok “Lancar
Rejeki” ke industri wisata seperti hotel, restoran yang ada di
Kabupaten Tuban. Selain itu, untuk menyiasati selisih harga
saat penjualan kambing hasil penggemukan, perusahaan
hendaknya bisa mendorong kelompok peternak atau
masyarakat untuk memiliki rumah pemotongan hewan.
Kedepannya, peternak tidak hanya menjual kambing
penggemukannya langsung ke pasar namun juga bisa
mengkonversikannya dalam bentuk daging. Di bidang
penjualan dan pemasaran pupuk kompos, untuk
meningkatkan jumlah penjualan produk serta memperluas
pasar maka perlu adanya perbaikan dan peningkatan
kualitas pupuk kompos dan kemasan yang digunakan.
20 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Peningkatan kualitas pupuk kompos membutuhkan
kerjasama dengan instansi pemerintah yang terkait atau
mendatangkan praktisi di bidang pembuatan pupuk
kompos. Slain itu kemasan produk dapat didesain ulang
sehingga menjadi lebih menarik bagi konsumen dan dapat
meningkatkan penjualan.
5. Manajemen Kelompok
Eksistensi kelompok “Lancar Rejeki” juga merupakan
tanggung jawab perusahaan sebagai inisiator untuk
menjamin keberlanjutan program. Kunjungan dari staff
Community Development ke lokasi hendaknya dilakukan
secara rutin, dalam kunjungan tersebut staff harus bisa
menangkap dan mengumpulkan informasi dan keluhan dari
peternak agar bisa digunakan sebagai baseline kebijakan
berikutnya.
6. Reduplikasi kelompok dapat dilakukan dengan menguatkan
modal sosial yang ada di masyarakat serta melakukan
intergrasi dengan program CSR PT. Semen Gresik – Pabrik
Tuban lainnya. Misalnya, kelompok ternak ini diintegrasikan
dengan limbah pertanian dari kelompok tani sehingga dapat
memperkuat eksistensi keberlangsungan program
pemberdayaan tersebut.
Beti Nur Hayati| 21
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”
Daftar Pustaka
Denzin, Norman, Yvona, Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hayati, B.N., & Suparjan. 2017. “Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT, Semen Gresik Pabrik Tuban”. Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi, 11(1):43-50
Muslim, Aziz. 2017. “Analisis Kegagalan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dalam Membangun Kemandirian Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur)”. Jurnal Penyuluhan, 13(1)
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sulistyani, A. T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media.
Sunartiningsih, A (Ed). 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media
Susanto, A.B. 2007. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Jakarta: Erlangga.
Usman, Sunyoto. 2015. Esai-Esai Sosiologi Perubahan Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Wulandari, Desi. 2012 “Peranan Corporate Social Responsibility Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Untuk Mengurangi Kemiskinan”. Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, 11 (2).
22 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi
Magister Sosiologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Email: [email protected]
Abstract
Business is basically a social practice. This makes success or failure in running a business not only determined by financial capital, but also determined by things broader than that. This condition also applies to the furniture business in Lhokseumawe City where UD Bripo managed to dominate while Dek Gam failed to compete. This study tries to uncover the facts of the furniture business with the same type of business, but in the furniture business UD Bripo succeeded in developing its business, on the other hand the Dek Gam furniture business failed to develop its business. Data collection is done by using ethnographic methods. The results of this study are that habitus and social capital have a significant role in supporting the success of the UD Bripo furniture business. Habitus owned by UD Bripo furniture business owners are brave, honest, focused, frugal, caring and leader-minded, and always thinks systems. While UD Bripo's successfully utilized social capital consists of norms, trust and network dimensions. The failure of the Dek Gam furniture business is due to the inaccurate application of habitus and social capital in the business arena
Keywords: Habitus, Social Capital, Business, Norms, Trust, Networking
Abstrak
Bisnis pada dasarnya adalah sebuah praktik sosial. Hal ini membuat
kesuksesan atau kegagalan dalam menjalankan sebuah bisnis tidak hanya
ditentukan oleh faktor kekuatan modal finansial, melainkan juga ditentukan
oleh hal-hal yang lebih luas daripada itu. Kondisi ini berlaku juga pada bisnis
meubel di Kota Lhokseumawe dimana UD Bripo berhasil mendominasi
sementara Dek Gam gagal berkompetisi. Studi ini mencoba menggambarkan
mengapa usaha meubel dengan jenis usaha yang sama, namun pada usaha
meubel UD Bripo berhasil mengembangkan usahanya secara signifikan,
sebaliknya usaha meubel Dek Gam gagal mengembangkan usahanya.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunaan metode etnografi. Hasil
penelitian ini yaitu habitus dan modal sosial memiliki peran signifikan dalam
mendukung kesuksesan bisnis meubel UD Bripo. Habitus yang dimiliki oleh
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 23
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
pemilik usaha meubel UD Bripo diantaranya berani, jujur, fokus, hemat, peduli
dan berjiwa pemimpin, serta selalu berpikir sistem. Sementara modal sosial
UD Bripo yang berhasil didayagunakan terdiri atas dimensi norma,
kepercayaan, dan jaringan. Adapun terjadinya kegagalan bisnis meubel Dek
Gam disebabkan penerapan habitus dan modal sosial yang kurang tepat di
dalam arena bisnis
Kata kunci: Habitus, Modal Sosial, Bisnis, Norma, Kepercayaan, Jaringan
* * *
A. Pendahuluan
Secara makro, Indonesia membutuhkan lebih banyak
pengusaha dalam menggerakkan roda perekonomian. Pada saat ini
jumlah pengusaha di Indonesia hanya sekitar 3,1 persen dari total
penduduk, masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti
Malaysia (5 persen), Singapura (7 persen), dan Thailand (4,5 persen)
(Warta Ekonomi, 2018).
Keengganan menggeluti dunia usaha biasanya diperkuat
dengan alasan “tidak punya modal” yang dimaknai sebagai modal
ekonomi (finansial). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa modal
finansial sangat penting dalam dunia bisnis. Namun ternyata modal
finansial saja tidak cukup mumpuni dalam menjamin eksisnya seorang
pengusaha dalam arena bisnis. Peneliti melakukan observasi awal di
Kota Lhokseumawe, khususnya di kalangan pengusaha meubel,
semuanya disokong oleh modal finansial yang cukup. Namun
realitasnya tidak semua pengusaha meubel tersebut berhasil
mengembangkan sayap bisnisnya.
Secara sosiologis, bisnis merupakan sebuah praktik sosial. Oleh
sebab itu, terdapat faktor-faktor lain di luar modal finansial yang dapat
membawa bisnis berjalan lancar dan mengalirkan kekayaan atau malah
24 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
sebaliknya. Hal ini dapat disimak pada usaha meubel UD Bripo dan
usaha meubel Dek Gam yang terletak di Puenteut Kota Lhokseumawe.
UD Bripo sudah beroperasi selama 15 tahun. Saat pertama kali
membuka lapaknya, UD Bripo melakukan pendekatan sosial dengan
masyarakat. Hal ini membuat UD Bripo dapat bekerja tanpa ada
masalah dengan lingkungan di sekitarnya, termasuk bekerja di malam
hari guna mengejar target pesanan barang dari konsumennya. Dengan
demikian, pelanggan semakin banyak karena puas dengan hasil kerja
dan pekerjaan tepat waktu UD Bripo. Keuntungan pun lebih banyak
mengalir sehingga usaha meubel UD Bripo semakin berkembang.
Perusahaan ini berhasil mengembangkan sayap bisnisnya dalam
beberapa tahun dengan indikasi yang tampak pada: (a) Omset usaha
bertambah dari awalnya Rp. 5 juta menjadi Rp. 70 juta per bulan; (b)
Usaha mengalami perluasan yang ditunjukkan dengan berdirinya
cabang/anak usaha baru; (c) Jumlah tenaga kerja bertambah dari 6
orang menjadi 30 orang; (c) Neraca keuangan yang stabil dan
terkelolanya keseluruhan proses produksi, termasuk ketertiban
membayar upah tenaga kerja.
Sebaliknya, usaha meubel Dek Gam ibarat “hidup segan mati
tak mau”. Ia tidak berhasil mengembangkan bisnisnya dengan indikasi
yang kontradiktif dari usaha meubel UD Bripo. Menariknya, usaha
meubel Dek Gam dimana pemilik usahanya merupakan orang asli
Puenteut justru sering mendapatkan teguran dari masyarakat sekitar.
Contohnya ketika perusahaan ini beroperasi pada malam hari,
masyarakat protes dan meminta bisnis usaha meubel Dek Gam untuk
tidak mengganggu ketenteraman di lingkungan sekitar. Hal ini
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 25
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
disinyalir karena pemilik usaha meubel Dek Gam mengalami jarak
secara sosial dengan masyarakat.
Berdasarkan fenomena di atas, menarik dikaji mengapa usaha
meubel dengan jenis usaha yang sama, namun pada usaha meubel UD
Bripo berhasil mengembangkan usahanya secara signifikan, sebaliknya
usaha meubel Dek Gam gagal mengembangkan usahanya.
.
B. Metode
Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Pada dasarnya
metode etnografi adalah metode untuk memahami sudut pandang
(point of view) suatu masyarakat mengenai dunianya. Dalam hal ini,
peneliti melibatkan diri dalam aktivitas belajar. Artinya, dalam
penelitian etnografi peneliti tidak hanya mempelajari masyarakat,
tetapi lebih dari itu, belajar dari masyarakat (Spradley, 2007: 4).
Informan penelitian ini adalah pengusaha meubel sebanyak 2
(dua) orang, dimana dipilih seorang pengusaha yang berhasil dan
seorang pengusaha yang kurang berhasil dalam membangun dan
menjalankan bisnis meubel. Pengumpulan data tidak dilakukan
dengan wawancara langsung, tetapi “mengobrol/berbincang” yang
dilakukan dalam suasana akrab dan penuh dengan persahabatan
C. Pembahasan
Penelitian ini berada dalam ruang lingkup perspektif teori
Bourdieu. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2016: 106), praktik sosial
dapat dirumuskan sebagai: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
berdasarkan rumusan itu, Bourdieu dapat dilihat sebagai seorang
pemikir sosial yang mencoba mendamaikan dikotomi antara
objektivisme dan subjektivisme. Kedua kutub ekstrem pemikiran ini
26 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
diatasi dengan sebuah konsep yang disebut habitus (Jenkins, 2016: 106-
107). Baik norma kolektif maupun motif individu, keduanya sama-
sama dipandang penting dalam membantu terwujudnya tindakan
aktor.
Menurut Bourdieu (dalam Riawati, 2017: 31), struktur yang
membentuk suatu lingkungan tertentu menghasilkan habitus. Jadi
habitus dapat didefinisikan sebagai : “sebuah sistem disposisi, yaitu
pelbagai sikap permanen untuk menjadi, melihat, bertindak, dan
berpikir, atau sebagai sistem skema atau skemata atau struktur jangka
panjang (namun tidak “permanen”) dari persepsi, konsepsi, dan
tindakan” (Bourdieu, 2018: 154). Definisi ini kelihatannya masih terlalu
sulit untuk dicerna. Maka perlu dilihat definisi Ritzer dan Goodman
(2012: 581) yang lebih sederhana: “habitus adalah struktur mental atau
kognitif yang dengannya seseorang berhubungan dengan dunia
sosial”.
Bourdieu dalam Harker, et. al. (2009: 13) mendefinisikan habitus
sebagai “suatu sistem kecondongan (disposisi) yang berlangsung lama
dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-
praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif”. Menurut
Dwiningrum (2014: 2), habitus adalah produk sejarah yang terbentuk
sejak manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang
dan waktu tertentu. Dalam hal ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai
yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir
dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa habitus adalah kesadaran
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 27
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
mental yang diperoleh melalui proses pembiasaan sehingga menjadi
kebiasaan dan mendarah-daging di dalam diri seseorang.
Selain ide tentang “habitus”, Bourdieu juga menyampaikan ide
tentang “ranah” atau “arena”. Ranah menurut Bourdieu (dalam
Jenkins, 2016: 124) adalah “suatu ruang sosial yang di dalamnya
perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan dan
mempertaruhkan benda atau sumber (modal) yang terbatas”. Dalam
hal ini, Amin (2018), mencontohkan beragam jenis ranah di dalam
kehidupan masyarakat, seperti ranah akademis/pendidikan, ranah
agama, ranah seni, ranah bisnis, dan ranah politik. Setiap ranah
membutuhkan habitus dan modal yang berbeda-beda. Seseorang yang
memiliki habitus dalam ranah yang tepat dan modal paling banyak
akan memenangkan pertarungan dalam memperebutkan sumber daya
yang diincar.
Selain gagasan tentang “habitus” dan “ranah”, Bourdieu juga
menyampaikan gagasan tentang “modal”. Menurut Adib (2012: 107),
modal adalah “sebuah konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi
dalam ranah”. Modal sosial sebagai salah satu jenis modal adalah
sumber daya khusus yang terdapat dalam hubungan (relasi) antar
manusia. Menurut Field (2011: 1), “relasi” adalah tesis sentral dari teori
modal sosial. Bourdieu dalam sebuah tulisan yang berjudul “The Forms
of Capital” (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan
sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan
kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan
didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui (Syahra, 2003: 3).
Modal sosial merupakan sebuah piranti yang memungkinkan
(enabler) untuk membangun modal manusia di sebuah perusahaan
28 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
(Galli, 2011: 20). Menurut Fukuyama (2010: 38-39), “modal sosial
memiliki konsekuensi-konsekuensi utama bagi penentuan hakikat
ekonomi industri”. Jika orang-orang mampu bekerjasama, saling
mempercayai, dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis
bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Menurut
Usman (2018: 5-6), relasi sosial memiliki sejumlah manfaat, antara lain
memfasilitasi aliran informasi, memobilisasi dukungan, menebar trust,
dan mempertegas identitas.
Selanjutnya, kiranya perlu menyimak bagaimana Coleman
(1990: 302) memaknai modal sosial. Modal sosial adalah sebuah entitas
majemuk yang mengandung dua elemen, yaitu: 1) beberapa aspek dari
struktur sosial; dan 2) memfasilitasi tindakan aktor dalam struktur
tersebut.
Modal sosial menurut Putnam dalam Field (2011:6) dapat
memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan
terkoordinasi. Maka setidaknya terdapat tiga dimensi modal sosial,
yaitu kognitif, relasional, dan struktural. Modal sosial dapat pula
dilihat dari dua perspektif. Pertama, modal sosial dari perspektif
masyarakat (society’s perspective) yang dikonsepsikan oleh Putnam.
Beberapa studi dalam perspektif ini pernah dilakukan diantaranya oleh
Mahendra (2015), Syafitri dan Sudarwati (2015), Asytuti (2015),
Harahap dan Agusta (2018), serta Gumilang, dkk (2018). Kedua, modal
sosial dari perspektif pelaku (actor’s perspective) yang diformulasikan
oleh Bourdieu (Usman, 2018: 35). Perspektif pelaku tersebut
dikembangkan dalam studi ini.
Hasbullah (2006: 5) mengungkapkan modal sosial berdasarkan
karakter sosial budaya masyarakat terdiri dari dua jenis, yaitu modal
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 29
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang
menjembatani (bridging social capital). Bila modal sosial terikat dapat
membantu memobilisasi resiprositas dan solidaritas, modal sosial yang
menjembatani dapat digunakan untuk menghubungkan seseorang
atau kelompok kepada manfaat eksternal dan menjamin kelancaran
aliran informasi (Häuberer, 2011: 56-57).
Polanyi mempelopori konsep penanaman sosial (social
embeddedness) atau investasi sosial dalam menggambarkan pandangan
relasional ekonomi dan sosial, dimana semua kegiatan ekonomi terjerat
dalam hubungan sosial, institusi, dan kondisi historis. Penanaman
sosial mengacu pada “hubungan sosial yang sedang berlangsung” dan
transaksi sosial yang menghasilkan manfaat, tanpa perlu kontrak
formal melalui hubungan interpersonal (Lee, 2017: 20).
Berkaitan dengan dunia bisnis, pendayagunaan modal sosial
dapat dilihat pada bagaimana orang-orang Tiongkok mengembangkan
gagasan tentang guanxi. Gagasan Cina tentang guanxi lebih didasarkan
pada pengembangan hubungan di tingkat pribadi. Dalam bahasa Cina,
guan (关) berarti pintu, atau “untuk bergabung” dengan mereka yang
berada di dalam grup, dan xi (系) dapat diartikan sebagai rantai
gabungan. Dengan demikian, bersama-sama, guanxi dapat
diterjemahkan sebagai hubungan dan koneksi (Meng, 2017: 92).
Membangun kepercayaan dapat berakar pada interaksi sosial yang
sering dan dekat (Galli, 2011: 21). Dalam bisnis orang-orang Cina,
kepercayaan harus menjadi mekanisme utama dan pelumas dalam
jaringan bisnis yang kompleks. Semakin tinggi tingkat kepercayaan
antara dua pihak, semakin baik kualitas guanxi. Kepercayaan dapat
secara signifikan meningkatkan hubungan pembeli-penjual di
30 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
kalangan pengusaha Cina. Hal ini karena kepercayaan diperlakukan
sebagai kepentingan mendasar oleh orang Cina dan diperlukan pada
tahap awal hubungan bisnis apa pun (Meng, 2017: 93-94)
1. Habitus dan Modal Sosial UD Bripo
Subjek pertama adalah pemilik UD Bripo yang bernama Ali
Imran. Pada awalnya ia adalah seorang petani. Ia kemudian bekerja di
salah satu panglong di daerah Geudong. Pada tahun 2007, Ali Imran
membangun usaha meubel dengan nama UD Bripo. Setelah delapan
tahun beroperasi, pada tahun 2015 Ali Imran berhasil membuka cabang
usaha baru di daerah Alue Awe.
Keberhasilan Ali Imran membangun bisnis meubel tidak
terlepas dari karakternya yang pemberani, dalam arti berani menerima
pesanan meubel dengan sistem borongan. Setelah memperhatikan
sistem kerja kontraktor di Aceh, Ali Imran berusaha beradaptasi.
Walaupun jumlah pesanan banyak dan harus rampung dalam jangka
waktu kurang dari tiga bulan, Ali Imran tetap berani mengerjakan
proyek tersebut di saat kebanyakan panglong lain menolaknya.
Keberanian ini muncul karena Ali Imran mampu membangun sistem
produksi meubel. Kuncinya terletak pada kejujuran. Habitus jujur yang
dimiliki oleh Ali Imran sudah diketahui sejak ia bekerja di panglong
milik orang lain. Habitus tersebut membuat ia dengan mudah
mendapatkan bahan baku kayu dari pemasok.
Keberanian Ali Imran menerima proyek-proyek besar membuat
ia berpikir bahwa waktu adalah segalanya. Ia harus menuntaskan
pesanan para kontraktor secepatnya. Oleh sebab itu, ia
mengoperasikan industri meubelnya hingga malam hari. Hal ini
tentunya berpotensi mengganggu kenyamanan di lingkungan sekitar
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 31
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
usaha. Namun usahanya tetap berjalan karena kemampuan melobi
lingkungan sekitar.
Habitus lain yang dimiliki oleh Ali Imran adalah fokus. Supaya
berhasil dalam menjalankan usaha, Ali Imran fokus dalam bisnis
meubel saja, sebab dia sangat menguasai arena dalam jenis usaha ini.
Habitus fokus ini membuat Ali Imran mampu mengkalkulasikan
produksi meubel secara cermat.
Sementara itu, menjadi seorang pengusaha membutuhkan
habitus hemat. Bila dihitung, pengeluaran pribadi Ali Imran untuk
aktivitas konsumsi tidak lebih dari 30 persen penghasilannya.
Sebagian penghasilan digunakan untuk kebutuhan secukupnya,
kesenangan dan pengeluaran yang tidak perlu bisa ditunda dulu.
Habitus hemat ini membuat Ali Imran memiliki simpanan modal
finansial atau dana cadangan yang sangat besar peranannya dalam
mengatur sistem kerja perputaran uang di dalam bisnis meubel yang
sedang digelutinya. Sebagian dana cadangan juga digunakan sebagai
dana jaga-jaga guna memelihara kepercayaan dengan para kliennya.
Selain itu, Ali Imran juga melakukan investasi lagi terhadap bidang
usaha yang sama (reinvestment).
Selain habitus yang baik, UD Bripo dibangun dengan
mendayagunakan modal sosial yang dapat dilihat dari aspek norma,
kepercayaan, dan jaringan. Aspek pertama bertautan dengan norma,
pemilik UD Bripo tidak mau membuka usaha di dekat daerah Geudong
agar tidak terjadi persaingan sempurna dengan pemilik panglong
tempat dia bekerja dulu. Ali Imran merasa tabu untuk memprospek
langganan UD Berkat Doa, walaupun secara personal Ali Imran kenal
baik dengan mereka. Pelaksanaan norma ini membuat UD Berkat Doa
32 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
menjadi partner usaha bagi UD Bripo. Hubungan terjalin dengan baik
berbentuk resiprositas yang saling menguntungkan.
Norma lain yang paling dijunjung tinggi oleh UD Bripo adalah
“upah pekerja tidak boleh terlambat diberikan”. Ali Imran merasa para
pekerjanya adalah sumber daya yang paling bernilai dalam bisnis
meubel. Kepercayaan dan semangat pekerja harus dijaga. Oleh sebab
itu, Ali Imran memastikan bila setiap pekerjaan meubel diselesaikan
oleh pekerjanya, upahnya langsung diberikan.
Norma selanjutnya yang senantiasa ditegakkan di lingkungan
UD Bripo adalah “kerapihan dalam mengerjakan pesanan” dan sangat
mengutamakan kualitas. Setiap unit meubel yang diproduksi UD Bripo
harus memenuhi standar. Kepuasan pelanggan menjadi prioritas
nomor satu. Dalam hal pengendalian kualitas (quality control), Ali
Imran selalu menyempatkan diri memeriksa hasil pekerjaan
bawahannya. Ia lebih memilih rugi daripada memberikan produk
meubel yang jelek karena dapat berdampak rusaknya citra UD Bripo
di mata pelanggan.
Norma UD Bripo selanjutnya ialah “tidak boleh berhenti
berinovasi”. Dalam pasar meubel yang penuh dengan persaingan, Ali
Imran senantiasa mengikuti perkembangan bisnis meubel. Pada saat
ini, selain kombinasi bahan kayu dan besi, sedang trend di tengah
masyarakat membuat dapur dari meubel dengan menggunakan
keramik yang bermacam-macam warna, termasuk juga penggunaan
triplek yang dilapisi kertas HPL pada perabotan lemari. Bahan-bahan
itu ia beli dari Medan.
Walaupun UD Bripo sedang mengerjakan proyek besar, Ali
Imran tidak menyepelekan pesanan meubel dari masyarakat dalam
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 33
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
bentuk satuan. Hal ini berarti UD Bripo memiliki norma “tidak boleh
mendiskriminasi pelanggan”. Sementara di panglong lain kalau sudah
mendapatkan pekerjaan besar, seringkali mereka menolak bila datang
masyarakat memesan meubel secara satuan. Kalaupun diterima, waktu
pengerjaannya lama. Sementara Ali Imran tetap mengerjakan pesanan
seperti biasanya karena ia didukung pekerja harian lepas yang siap
membantunya sewaktu-waktu khusus mengerjakan pesanan meubel
secara satuan ini.
Aspek modal sosial kedua yang membuat UD Bripo bisa
berkembang adalah kepercayaan (trust). Indikasi adanya trust dapat
dilihat dari bahan baku pembuatan meubel dimana pemasok
menerapkan sistem titip kayu. Kepercayaan ini sudah dibangun sejak
Ali Imran bekerja di panglong milik orang lain. Dia dikenal sebagai
seorang pekerja yang jujur dan pimpinannya pun memberikan banyak
kepercayaan kepadanya. Selain itu, ketika Ali Imran memutuskan
berhenti bekerja dengan meminta izin secara baik-baik. Ia bukan
dikeluarkan secara tidak hormat pada saat itu. Citra ini juga penting
dalam membangun kepercayaan.
Ketika membuat perjanjian dengan pemasok Ali Imran
menerapkan strategi khusus. Bila diperkirakan dia memperoleh uang
dari konsumennya dalam dua hari, dia akan mengatakan kepada
pemasok untuk membayar kayu dalam lima belas hari. Di samping itu,
Ali Imran saat ini juga sudah mempunyai dana cadangan yang
melimpah. Ia pun akhirnya mampu menguasai dengan baik sistem
produksi dan perputaran uang di dalam bisnis meubel ini. Hal itu
sebagaimana kutipan pernyataan berikut:
34 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
“Kalau sekarang ini kendalanya sudah mulai susah dari bahan bakunya. Karena kan sekarang tidak dekat lagi masalahnya. Lebih jauh lagi dari Ujong Pase. Tapi kebanyakan pemasok itu bawa barang kemari karena kalau saya bilang Jum’at bayar, ga akan bergeser. Jadi orang udah datang jauh-jauh pun ga kecewa.” (Ali Imran, Pemilik UD Bripo, 16 Februari 2020)
Kejujuran juga membantu Ali Imran dalam mengembangkan
jaringan dengan para pemasok bahan baku besi di Medan. Ketika
pertama kali berurusan dengan para toke dari Medan, ia membayar
kontan sebab toko-toko tersebut milik etnis Tionghoa dimana
membangun kepercayaan mereka bukanlah perkara mudah. Tapi
setelah lama berhubungan baik, mereka mengizinkan Ali Imran
memesan barang dengan sistem utang. Alhasil yang dikelola adalah
perputaran uang saja.
Jadi meskipun Ali Imran sebenarnya sudah memiliki sejumlah
besar uang di rekeningnya, ia tetap mendayagunakan modal sosialnya.
Tujuannya adalah untuk mengakumulasi kapital yang lebih besar,
artinya biarkan uang orang lain bekerja untuk dirinya. Selain itu, fungsi
“utang baik” ini adalah dalam rangka tetap menjaga kepercayaan
dengan klien tersebut. Keberadaan dana cadangan tersebut membuat
Ali Imran tidak pernah alpa dalam melunasi tagihan yang jatuh tempo
bahkan di saat menghadapi situasi yang sangat sulit sekalipun. Jadi
trust dengan klien dibangun tidak hanya karena Ali Imran jujur, tetapi
pola pikir dan sistem yang berhasil dibangunnya membuat ia
“senantiasa jujur”. Habitus jujur sebagai modal awal. Tetapi “sistem
jujur” membantu memelihara kontinuitas dan konsistensi habitus jujur
itu.
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 35
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
Selain itu, pengerjaan barang pesanan meubel selalu tepat
waktu karena UD Bripo tidak pernah kekurangan pekerja. Ali Imran
mudah mencari sumber daya manusia di lingkungan sekitarnya untuk
menjadi pekerja harian lepas. Kemudahan mendapatkan pekerja
karena Ali Imran membayar upah tepat waktu dan memiliki rasa sosial
yang tinggi.
Aspek modal sosial ketiga terkait dengan jaringan (networking).
Modal sosial UD Bripo menghasilkan jalinan yang menghubungkan
UD Bripo dengan banyak kalangan dan memberikan dampak positif
bagi masing-masing pihak. UD Bripo memiliki jaringan yang luas.
Jaringan dengan pemasok memastikan bahan baku meubel
selalu tersedia. Bahan kayu dipesan dari pemasok lokal yang
beroperasi di seputaran Gunung Pase. Jaringan dengan pemasok kayu
dibangun sejak Ali Imran masih berstatus buruh meubel di daerah
Geudong. Sedangkan bahan besi, triplek, keramik, dan kertas HPL
dipesan dari Medan.
Jaringan dengan pelanggan dibangun dan dikembangkan
dengan tindakan proaktif. Artinya relasi itu tidak ditunggu, tetapi
dijemput. Tindakan ini tidak terlepas dari filosofi hidupnya
sebagaimana petuah para endatu: “Cabak jaroe meuraseuki, geuhon gaki
hana sapee na” (tangan yang rajin akan menghasilkan, kaki yang malas
akan papa). Metode pemasaran dengan sistem jemput bola dipelajari
sejak mengelola panglong milik orang lain di daerah Geudong. Ali
Imran sudah mengetahui kemana produk meubel tersebut dipasarkan
oleh pimpinannya dahulu. Hal itu sebagaimana petikan pernyataan di
bawah ini:
36 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
“Di sana (UD Berkat Doa) saya belajar pengalaman pemasaran. Kemana sasaran pemasaran meubel yang dibuat di panglong itu, karena kan beda meubel yang di toko Cina dengan meubel yang dibuat di panglong, itu beda. Meubel yang di toko Cina itu pemasarannya dia menunggu pembeli datang ke toko. Tapi kalau meubel yang dibuat di panglong kayu itu harus mencari pemasaran. Pemasarannya dari sasarannya dulu. Sasarannya misalnya di rumah sekolah menawarkan bangku-bangku sekolah, mereka yang buat lemari-lemari pesantren, dan kontraktor-kontraktor yang lagi buat rumah, buat kusen-kusen. Nah gitu….” (Ali Imran, Pemilik UD Bripo, 17 Februari 2020)
Sementara itu, UD Bripo memiliki sumber daya manusia yang
cukup. Hal ini dapat diwujudkan karena UD Bripo memiliki jaringan
dengan pekerja. Pekerja UD Bripo dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu pekerja tetap dan pekerja harian lepas. Dalam hal ini, Ali Imran
menerapkan strategi hubungan patron-klien dengan para pekerjanya.
Artinya ia memposisikan diri seolah-olah sebagai orang tua bagi para
pekerjanya. Maksudnya adalah ia mau melibatkan diri dalam
menyelesaikan permasalahan anak buahnya seperti membantu acara
pesta perkawinan sehingga para pekerjanya merasa terhormat dan
diperhatikan oleh pimpinan. Ketika anak-anak pekerjanya sedang
sakit, Ali Imran langsung datang menjenguk. Artinya memberikan
perhatian yang tulus agar mengikat rasa sosial dengan para
pekerjanya. Hasilnya para pekerja nyaman dan loyal karena mereka
merasa UD Bripo adalah rumah dan menganggap pimpinannya sudah
seperti keluarganya sendiri. Jadi Ali Imran ini adalah seorang kapitalis
yang baik hati.
Kebanyakan pekerja UD Bripo adalah penduduk setempat.
Dalam mengatur jalannya perusahaan, Ali Imran menerapkan
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 37
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
pembagian kerja agar berjalan secara lebih efektif dan efisien. Hal itu
sebagaimana keterangan berikut:
“… kalau bagian besi sama yang pandai besi. Jadi diarahkan sesuai dengan kemampuan. Bagian kayu dikembalikan ke tukang kayu. Karena tukang besi dan tukang kayu beda-beda kemampuannya….” (Ramli, Pekerja UD Bripo, 2 Februari 2020)
Ali Imran juga memiliki jaringan dengan sesama pelaku usaha
meubel, terutama sekali adalah mantan pimpinannya dulu di daerah
Geudong. Hubungan yang harmonis ini membuat UD Bripo memiliki
sekutu dalam berperang di arena bisnis meubel. Kedua sekutu ini bisa
hadir saling memberikan dukungan di saat terjadi kesulitan di
lapangan seperti stok bahan baku yang kurang atau pun beban
pekerjaan yang terlalu besar.
Sementara itu, jaringan dengan masyarakat juga mendapatkan
perhatian khusus dari Ali Imran. Bisnis meubel UD Bripo dapat
berkembang dengan baik karena pemiliknya memiliki rasa kepedulian
terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian ini membuat usaha meubel
UD Bripo bisa berjalan dengan tenang tanpa ada gangguan dan protes
dari lingkungan pada saat mereka sedang bekerja, sebab pekerjaan ini
sudah pasti menimbulkan suara bising yang berasal dari deru mesin
yang tentunya bisa mengganggu ketenteraman. Hal pertama sekali
yang dilakukan oleh Ali Imran adalah membuat pendekatan dengan
Kepala Desa beserta perangkatnya, tetangga sekitar usaha, lalu karena
banyak pekerja yang direkrut berasal dari warga sekitar, semakin
meminimalisir keberatan warga karena mereka juga menggantungkan
penghidupannya dari usaha meubel UD Bripo.
38 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
UD Bripo juga memelihara jaringan dengan aparat keamanan
dalam menjalankan usaha meubelnya. Bisnis yang berhubungan
dengan kayu rentan memperoleh gangguan berupa pemerasan dari
oknum-oknum tertentu. Hal ini karena aturan hukum terhadap
pemanfaatan hasil hutan di Indonesia tidak jelas penerapannya. Oleh
sebab itu, dalam sebuah situasi dimana aturan tidak benar-benar
dijalankan sebagaimana seharusnya, memelihara hubungan dengan
aparat yang berwenang hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
2. Faktor Penyebab Kegagalan Bisnis Dek Gam
Subjek kedua adalah Dek Gam (identitas samaran). Ia memulai
usaha meubel setelah kejadian tsunami yang memporak-porandakan
Aceh pada tahun 2004 silam. Sebelum bencana tsunami, Dek Gam
sudah bekerja dengan orang lain dalam bidang usaha yang sama
(panglong kayu).
Berdasarkan pengalaman bergaul dengan Dek Gam, peneliti
melihat sebetulnya Dek Gam ini memiliki habitus jujur karena semua
pesanan konsumen dikerjakan. Tapi keadaan dapat membuat dia tidak
membayar utang tepat waktu karena tidak memiliki modal simpanan.
Jadi sejujur-jujurnya seseorang kalau dari langkah pertamanya sudah
salah merintis dia dapat menjadi “tidak jujur”.
Selanjutnya peneliti melihat karakter Dek Gam tidak pandai
dalam menjaga hubungan dengan lingkungannya. Kepedulian
sosialnya mungkin agak rendah, sebab dia tidak terlalu peduli dengan
apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Hal ini dikarenakan Dek Gam
merasa sebagai orang asli Puenteut. Perasaan ini membuat ia kerapkali
menyepelekan pentingnya menjalin relasi terutama dengan perangkat
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 39
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
desa setempat. Alhasil karena reputasi buruknya itu, pekerjaan yang
ada di desa itu sendiri tidak diberikan kepadanya.
Selain itu, kemampuan yang tidak dimiliki oleh Dek Gam
adalah kemampuan dalam membangun sistem usaha. Di dalam kepala
Dek Gam, bisnis meubel hanyalah urusan membuat produk.
Sebaliknya, di dalam kepala pemilik UD Bripo, bisnis meubel bukan
hanya urusan membuat produk, tetapi membangun sistemnya.
Bila melihat sejarahnya, Dek Gam dahulu mengalami nasib
yang sama seperti Ali Imran. Sebelum membuka usaha sendiri, mereka
menjadi buruh terlebih dahulu. Mereka berdua memperoleh
keterampilan dalam membuat meubel di tempat kerjanya, bukan
warisan dari orang tua atau tidak memiliki modal kultural dari orang
tua. Namun pada saat Dek Gam mencoba berdiri sendiri kemampuan
Dek Gam belum matang untuk mandiri seutuhnya terutama belum
tahu membangun sistem usaha. Berbeda dengan Ali Imran yang sudah
mempelajari tentang usaha meubel secara menyeluruh, kemana
perputarannya, siapa pemasoknya, dimana pemasarannya. Jadi
dampaknya ketika sama-sama menjalankan usaha sendiri, UD Bripo
“memikirkan sistem”, sedangkan Dek Gam cuma “memikirkan
produk”.
Dek Gam mengharapkan berkah dari proyek-proyek pasca
tsunami, tetapi ia lupa bahwa kondisi semacam ini tidak abadi. Lebih
celaka lagi, Dek Gam menjadi terbiasa atau bahkan terinstitusionalisasi
dengan sistem kerja masa itu. Dulu permintaan barang-barang meubel
sangat tinggi. Jadi dengan kebiasaannya itu, ketika proyek-proyek
pasca tsunami sudah berakhir dan pesanan barang meubel menjadi
berkurang, Dek Gam kesulitan beradaptasi dengan kondisi baru. Ia
40 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
tidak terbiasa memasarkan produknya kepada konsumen.
Pengamatan penulis, Dek Gam juga tidak berusaha memasarkan
produk meubelnya ke dayah karena mungkin merasa sudah terlambat
terlebih arena tersebut hampir seluruhnya sudah dikuasai oleh UD
Bripo. Melihat perkembangan pesat usaha meubel para pesaingnya
membuat Dek Gam semakin tidak percaya diri.
Sementara itu, faktor lainnya adalah Dek Gam ini memiliki
keyakinan dan filosofi hidup bahwa semua rezeki sudah ditentukan
Allah SWT. Spiritualitas ini melahirkan tindakan pasif dalam mencari
rezeki. Dek Gam tidak pernah berusaha mencari pelanggan karena ia
senantiasa puas dengan situasi yang ada. Ia menerapkan metode
perdagangan yang lamban. Sikap fatalistik ini adalah manifestasi
bahwa Dek Gam adalah penganut aliran jabariyah di dalam Islam. Di
sisi lain keyakinan pemilik usaha UD Bripo adalah hasil yang
diusahakan hari ini akan mendapatkan rezeki dari Allah SWT untuk
mencukupi kebutuhan di masa mendatang. Jadi jelaslah bahwa baik
Dek Gam maupun Ali Imran sama-sama memiliki tindakan yang
bernuansa religiusitas. Namun penafsiran terhadap nasib itu berbeda
diantara keduanya yang akhirnya memotori atau menjadi spirit
tindakan mereka dalam berbisnis.
Selanjutnya, secara mutu produk meubel Dek Gam terjamin,
adapun keluhan konsumen pada umumnya lebih kepada waktu
pengerjaan meubel yang kadangkala lebih lama dari yang dijanjikan
dan ongkos pengerjaan meubel yang sedikit lebih mahal. Hal ini
memiliki keterkaitan erat dengan modal sosial trust yang tidak mampu
dioptimalkan oleh Dek Gam. Indikasinya Dek Gam harus membayar
bahan baku kayu secara kontan kepada pemasok. Kondisi ini membuat
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 41
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
usaha meubel Dek Gam tidak pernah mampu mengerjakan proyek-
proyek besar pesanan kontraktor.
Kalau mau membuat meubel, Dek Gam harus meminta panjar
sebagai modal untuk membeli kayu di luar. Dampaknya Dek Gam baru
bisa mencari bahan baku setelah menerima panjar dari pemesan.
Namun pemasok tidak ada setiap hari. Akhirnya Dek Gam harus pergi
ke panglong milik orang lain untuk membeli kayu. Hal itu otomatis
membuat harga bahan bakunya menjadi lebih mahal. Kondisi ini
membuat Dek Gam mematok harga hasil jerih payahnya sedikit lebih
mahal.
Selain itu, Dek Gam tidak percaya dengan orang lain sehingga
memilih bekerja sendirian saja. Kalaupun ada pekerja, ia lebih
cenderung mempekerjakan satu atau dua orang, itu pun dari kalangan
keluarganya sendiri (familisme). Alhasil usaha meubel Dek Gam tidak
bisa berkembang. Dek Gam hanya menjadi pekerja untuk dirinya
sendiri.
Dek Gam tidak memiliki jaringan yang luas dengan pemasok.
Alhasil barang-barang meubel yang mampu diproduksi masih bergaya
lama, tidak pernah dimodernisasi. Demikian pula halnya dengan
jaringan pelanggan, Dek Gam tidak pernah berupaya memperluasnya.
Dek Gam tidak melakukan promosi ke tempat-tempat potensial seperti
sekolah atau pesantren.
Jaringan dengan pekerja sengaja tidak dikembangkan. Hal ini
karena Dek Gam menerapkan sistem familisme dalam bisnis
meubelnya. Ketidakpercayaan dengan pekerja ini pula yang membuat
produk-produk meubel Dek Gam tidak pernah bisa dimodernisasi
seperti yang dilakukan UD Bripo, sebab pengerjaan bahan baku besi
42 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
harus diakui hingga saat ini hanya mampu dilakukan oleh para pekerja
dari Sumatera Utara. Sementara Dek Gam sendiri tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam mengerjakan inovasi terbaru
dari produksi meubel tersebut.
Jaringan dengan sesama pelaku usaha meubel juga tidak
berlangsung dengan baik. Indikasinya dapat dilihat pada saat tidak
tersedia bahan baku kayu dari para pemasok. Dek Gam tidak
diperbolehkan untuk meminjam kayu dari sesama pelaku usaha
meubel. Dek Gam justru diharuskan membeli papan dengan harga
yang lebih mahal yang berpengaruh pada mahalnya produk meubel
Dek Gam.
3. Analisis Kesuksesan Bisnis UD Bripo dan Kegagalan Bisnis Dek
Gam
Habitus dan modal sosial memungkinkan UD Bripo memiliki
hak istimewa dalam menjalankan bisnis meubel. Habitus dan modal
sosial yang dimiliki UD Bripo berhasil memaksimalkan potensi yang
tersedia di sekitarnya untuk menghasilkan produktivitas bagi usaha
meubelnya. Hal ini bertolakbelakang dengan usaha meubel Dek Gam
yang menjalankan usaha dengan habitus yang tidak tepat dan nyaris
tanpa modal sosial.
Pemilik UD Bripo dengan habitus pemberani, jujur, fokus,
peduli, dan hemat berhasil mentransformasi habitus-habitus tersebut
sebagai strategi dalam menghasilkan dan mengakumulasi modal.
Habitus UD Bripo berhasil memberikan akses ke bentuk modal
tertentu, sebab habitus merupakan prasyarat bagi modal. Habitus dan
modal sosial adalah dua konsep yang berbeda tetapi saling bergantung
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 43
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
dan berinteraksi. Habitus pemilik UD Bripo mendukung dalam
menumbuhkan hubungan atau relasi dan mendapatkan akses ke
jejaring sosial tertentu yang dapat dikapitalisasi dan dengan demikian
berubah menjadi modal sosial.
Habitus merupakan perilaku yang tidak disadari yang menjadi
dasar perilaku sosial otomatis yang memungkinkan UD Bripo dan Dek
Gam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Perilaku otomatis ini
memfasilitasi atau bisa juga melemahkan semua bentuk hubungan
sosial mereka. Habitus dapat membangun atau malah sebaliknya
menghancurkan peluang untuk berkembang, menghasilkan manfaat
atau kerugian. Pada kasus Dek Gam menunjukkan bahwa habitus yang
kurang baik justru membatasi pergerakannya dan modal sosialnya
kemudian berkurang drastis.
Menurut penulis, apa yang dimiliki Dek Gam bisa dikatakan
sebagai "habitus kemiskinan", yang sebagian besar merupakan hasil
dari bagaimana Dek Gam berpikir dan bertindak secara rasional
dan/atau tidak rasional dalam konteks sosialnya. Dek Gam
menjalankan praktik berpola berupa habitus kemiskinan sangat
mempengaruhi reproduksi kecenderungan dan pola tindakan yang
sama atau serupa sehingga menghambat perkembangan usahanya.
Sementara Ali Imran dengan habitus yang dimilikinya berhasil
menyulap modal sosial menjadi modal ekonomi. Bourdieu (2016) telah
menunjukkan bagaimana modal sosial ada di samping modal ekonomi
dan modal budaya. Seluruhnya dapat menjadi bagian dari strategi
individu dan kelompok dalam mereproduksi lebih banyak modal
sosial dan/atau mengubahnya menjadi bentuk lain dari modal sosial.
Dengan modal sosial yang kuat, UD Bripo dapat lebih mudah
44 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
mengembangkan bisnis dan memperoleh bentuk modal lainnya yang
diperlukan dalam mempertahankan keberlangsungan usaha, seperti
modal finansial (akses ke uang melalui bank), modal fisik (akses ke
tanah dan bangunan melalui mertua), modal alami (akses ke bahan
baku melalui pemasok bahan kayu dan besi), dan modal manusia
(akses ke pekerja, pengetahuan, dan keterampilan). Modal sosial UD
Bripo merupakan sumber daya strategis yang tersedia yang
didayagunakan oleh UD Bripo dalam memproduksi modal lebih
lanjut.
Pada awalnya Ali Imran memanfaatkan modal sosial berupa
kepercayaan yang diberikan oleh pemilik UD Berkat Doa menjadi
modal manusia (human capital) di kemudian hari. Kepercayaan
terhadap Ali Imran membuat pemilik UD Berkat Doa bersedia
menanamkan investasi pengetahuan dalam diri Ali Imran. Trust juga
membuatnya memperoleh kesempatan dalam mengelola bisnis meubel
milik orang lain secara langsung yang tentunya menjadi pengalaman
berharga dalam merintis usaha sendiri di kemudian hari. Jadi Ali
Imran berhasil mengubah kekayaan eksternal menjadi bagian integral
dari dirinya. Modal manusia ini tertanam di dalam diri Ali Imran yang
berguna sebagai landasan dalam merintis usaha baru di bidang
meubel.
Dalam perkembangannya, setelah UD Bripo berdiri secara
teknis perusahaan baru ini telah menjadi partner usaha bagi UD Berkat
Doa karena komunikasi yang dipelihara dengan baik. Manfaat relasi
ini adalah ketika salah satu diantaranya mengalami kendala, mereka
tahu teman yang merupakan jaring pengaman yang bersifat resiprokal.
Dengan demikian, UD Bripo dan UD Berkat Doa melibatkan
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 45
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
pembentukan ikatan diantara aktor yang horizontal, setara, dan
serupa. Hal ini penting bagi keberlangsungan usaha karena
memperkuat upaya saling mendukung.
Ikatan homogen dan interaksi yang intens diantara UD Bripo
dan UD Berkat Doa sangat penting untuk pengembangan kepercayaan
dan norma-norma tertentu. Hubungan pribadi dan kohesi diantara
rekan kerja mendorong tindakan saling mendukung serta pertukaran
informasi yang andal. Dalam lingkungan bisnis meubel yang
digerakkan oleh pengetahuan kompleks dan berkembang, ikatan yang
kuat, kohesi, dan jaringan mempromosikan kesempatan belajar dan
berbagi pengetahuan yang berharga. Pertemanan antara pemilik usaha
meubel UD Bripo dan UD Berkat Doa meningkatkan transfer
pengetahuan sekaligus memperkuat komitmen diantara mereka.
Ali Imran juga berhasil menciptakan koneksi dengan pihak lain,
dan koneksi itu digunakan dalam beberapa cara. Koneksi Ali Imran
bukan hanya menghasilkan persahabatan, tetapi bagaimana hubungan
sosial itu membantunya menghasilkan sesuatu yang bernilai. Sebab hal
itu merupakan jalan menuju penemuan aset berharga. Aset yang
dimiliki UD Bripo berdasarkan hubungan sosial yang dikembangkan
dan dipelihara, serta nilai-nilai bersama yang muncul dari jaringan itu,
membentuk modal sosial. Modal sosial ini bersifat non-institusional
dan menjadi lem perekat yang memfasilitasi kerjasama, pertukaran,
dan bahkan inovasi.
UD Bripo menunjukkan profesionalisme dalam mengelola
bisnis meubel dalam rangka membangun trust. Menjadi andal,
mengerjakan produk tepat waktu, memenuhi janji, dan
memperlakukan orang lain dengan sopan dan penuh respek memberi
46 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
peluang banyak pihak mau menjadi kontributor bagi pengembangan
usaha meubel UD Bripo secara langsung maupun tidak langsung.
Modal sosial diakumulasikan oleh Ali Imran dan digunakan dalam
produksi kekayaan UD Bripo.
Modal sosial UD Bripo sesungguhnya dibangun sebagai hasil
desain, bukan suatu kebetulan belaka. Ali Imran sukses meningkatkan
peluangnya berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat
dengan membangun “struktur jaringan laba-laba”. Ia memahami betul
bahwa jaringan akan runtuh tanpa kepercayaan. Kepercayaan UD
Bripo dapat tumbuh selama ini karena reputasi yang diproduksi oleh
habitus jujur pemiliknya. Ketika tidak ada kepercayaan, bisnis menjadi
sulit karena kontrak (uang, janji, hutang) tidak dapat direalisasikan
sebagaimana yang dialami oleh Dek Gam.
Pada tahap selanjutnya norma UD Bripo berkontribusi dalam
membuat usaha meubel tersebut dihargai oleh kliennya karena mampu
memelihara norma-norma di dalam dunia bisnis dan sosial. Sementara
Dek Gam justru memperoleh sanksi karena reputasi buruknya. Alhasil
sanksi sosial ini memperburuk keadaan yang membuat perkembangan
usaha meubel Dek Gam semakin surut.
Norma penting dalam jejaring sosial adalah timbal balik atau
resiprositas. Ketika Ali Imran memberikan manfaat kepada
jaringannya, dia juga dapat mulai mengandalkan mereka saat
membutuhkan dukungan. Jadi modal sosial UD Bripo memfasilitasi
kerjasama yang saling menguntungkan antara dia dengan jaringannya.
Berkebalikan dengan itu, resiprositas tidak terjadi pada usaha meubel
Dek Gam, terutama sekali resiprositas dengan masyarakat di
sekitarnya.
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 47
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
Modal sosial setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu mengikat
dan menjembatani. Dalam berhubungan dengan para pekerja, Dek
Gam hanya mengembangkan modal sosial mengikat (bonding social
capital), sedangkan UD Bripo mengembangkan kedua-duanya. Dalam
modal sosial terikat misalnya, UD Bripo memelihara kontak sosial
dengan teman, tetangga, dan keluarga yang terhubung dengan
kegiatan awal perusahaan, dan membantu penjualan awal UD Bripo.
Jadi kohesi dengan kelompok sosialnya berhasil menjaga keberlanjutan
usaha yang masih kecil karena baru dirintis.
Sementara pada modal sosial yang menjembatani, pemilik
usaha meubel UD Bripo juga berhasil mendayagunakannya. Akses
informasi ke jaringan pemasoknya di Medan berhasil dioptimalkan
sedemikian rupa oleh pemilik UD Bripo untuk memperkuat
dominasinya di dalam dunia bisnis meubel di Kota Lhokseumawe.
Ikatan sosial ke luar yang dimiliki oleh pemilik UD Bripo adalah
saluran yang meningkatkan aliran peluang. Jaringan yang berbeda
memberi keuntungan bagi UD Bripo untuk bisa kompetitif dalam
persaingan bisnis meubel. Sebaliknya perusahaan meubel Dek Gam
pada akhirnya kurang optimal dalam pendayagunaan modal sosial
karena hubungan antara kolega yang terlalu melihat ke dalam keluarga
(familisme) dan gagal memperhitungkan apa yang terjadi di dunia
yang lebih luas.
Ali Imran juga berhasil membangun hubungan yang kuat, jujur,
dan saling menguntungkan dalam dinding perusahaannya sendiri. Ia
memastikan orang-orang kepercayaannya mampu mendukung kinerja
perusahaan menjadi lebih baik untuk menghasilkan keuntungan bagi
mereka semua. Sebab hubungan yang dikembangkan antara pemilik
48 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
UD Bripo dan pekerjanya bersifat resiprositas dan bahkan cenderung
patron-klien.
Pembagian kerja juga diatur dengan baik oleh Ali Imran ketika
menjalankan roda perusahaannya. Ia mengelompokkan buruh meubel
berdasarkan kapabilitasnya masing-masing sehingga membuat
pengerjaan meubel menjadi efektif dan efisien. Namun pembagian
kerja ini sebenarnya juga membuat para pekerja menjadi tidak pernah
berpikir untuk mengikuti jejak Ali Imran membuka usaha sendiri,
sebab pengetahuan berada dalam kuasa penuh pemilik usaha meubel
UD Bripo. Ali Imran juga berpikir bahwa sukses itu sosial. Ketika
peduli dengan lingkungan sekitar tanpa mengharapkan manfaat secara
langsung, Ali Imran sesungguhnya sedang menumbuhkan sekaligus
memupuk modal sosial. Memberi dan mendukung orang lain
membangun kualitas kepercayaan dan reputasi UD Bripo
D. Penutup
Habitus dan modal sosial memiliki peran signifikan dalam
mendukung kesuksesan usaha meubel UD Bripo di Puenteut Kota
Lhokseumawe. Habitus yang dimiliki oleh pemilik usaha meubel UD
Bripo diantaranya berani, jujur, fokus, hemat, peduli dan berjiwa
pemimpin, serta selalu berpikir sistem. Sementara modal sosial UD
Bripo terdiri atas dimensi norma, kepercayaan, dan jaringan. Adapun
penyebab terjadinya kegagalan usaha meubel Dek Gam di Puenteut
Kota Lhokseumawe adalah habitus dan modal sosial yang kurang tepat
di dalam arena bisnis yang digelutinya.
M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 49
Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis
Daftar Pustaka
Adib, M. 2012. Agen dan Struktur dalam Pandangan Piere Bourdieu. BioKultur I(2): 91-110.
Amin, K. (09/05/2018). Memahami Positivisme Generatif Pierre Bourdieu. Diakses 20 April 2019. http://www.braindilogsociology.or.id/ 2018/05/memahami-positivisme-generatif-pierre.html
Asytuti, R. 2015. Pengusaha Warung Tegal di Jakarta (Pendekatan Modal Sosial). Jurnal Hukum Islam (JHI) 13(1): 13-24.
Bourdieu, P. 2016. Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj. Yudi Santosa. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Bourdieu, P. 2018. Habitus: Sebuah Perasaan atas Tempat (penerjemah: Anton Novenanto). Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):153-159.
Coleman, J. S. 1990. Foundation of Social Theory. Cambridge: Harvard University Press.
Dwiningrum, S. I. A. 2014. Modal Sosial dalam Pengembangan Pendidikan (Perspektif Teori dan Praktik). Yogyakarta : UNY Press.
Field, J. 2011. Modal Sosial. Bantul : Kreasi Wacana.
Fukuyama, F. 2010. Trust : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terj. Ruslani. Yogyakarta : Qalam.
Galli, E. B. 2011. Building Social Capital in a Multibusiness Firm. Wiesbaden: Gabler.
Gumilang, J. S., dkk. 2018. Praktik Sosial Pedagang Sunggingan Boyolali (Studi Fenomenologi di Pasar Sunggingan Boyolali). Jurnal Analisa Sosiologi 7(2): 213-223.
Harahap, D. Y. dan I. Agusta. 2018. Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Pengusaha Sektor Informal (Kasus Pengusaha Sektor Informal di Pasar Jl. Dewi Sartika, Bogor). Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] 2(2): 207-222.
Harker, R. et. al. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terj. Pipit Maizier. Yogyakarta : Jalasutra.
50 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Hasbullah, J. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta : MR-United Press.
Häuberer, J. 2011. Social Capital Theory: Towards a Methodological Foundation. Prague: VS Research.
Jenkins, R. 2016. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Lee, R. 2017. The Social Capital of Entrepreneurial Newcomers: Bridging, Status-Power and Cognition. London: Palgrave Macmillan.
Mahendra, S. 2015. Keterkaitan Modal Sosial dengan Strategi Kelangsungan Usaha Pedagang Sektor Informal di Kawasan Waduk Mulur: Studi Kasus pada Pedagang Sektor Informal di Kawasan Waduk Mulur Kelurahan Mulur Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Analisa Sosiologi 4(2): 10–30.
Meng, Z. 2017. Ownership of Trust Property in China: A Comparative and Social Capital Perspective. Singapore: Springer.
Pemerintah Kota Lhokseumawe. 2017. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Lhokseumawe Tahun 2017-2022.
Riawati, S. 2017. Teori tentang Praktik : Saduran Outline of a Theory of Practice Karya Pierre Bourdieu. Bandung : Ultimus.
Ritzer, G. dan D. J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Spradley, J. P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Syafitri, A. dan L. Sudarwati. 2015. Pemanfaatan Modal Sosial dalam Sektor Perdagangan (Studi pada Etnis Tionghoa, Batak, dan Minangkabau di Kota Medan). Perspektif Sosiologi 3(1): 1-17.
Syahra, R. 2003. Modal Sosial : Konsep dan Aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya 5(1): 1-22.
Usman, S. 2018. Modal Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wartaekonomi.co.id (06/06/2018). HIPMI: Jumlah Pengusaha RI Tertinggal Jauh. Diakses 08 April 2019. https://www.wartaekonomi.co.id/read183507/ hipmi-jumlah-pengusaha-ri-tertinggal-jauh.html
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 51
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Rufaidah Aslamiah, Milda Longgeita Pinem
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email: [email protected]
Abstract
The number of female workers has begun to show equality between men and women. However, the workforce sector is very prone to gender injustice, one of which is sexual harassment of women workers. A study in 2017 conducted by Perempuan Mahardhika shows that 56.5% of 773 workers had experienced some forms of sexual harassment in the workplace, especially at KBN Cakung. Based on this, questions arise to be able to find out how the portrait of sexual harassment of women workers at KBN Cakung. This study aims to reveal the voices of women workers against silent crime in the workplace. This study uses a feminist standpoints method to acknowledge women's voices. In this study, a purposive technique accompanied by a gatekeeper determined the informants. The results of this study indicate a portrait of sexual harassment experienced by female workers, both verbally, psychologically, as well as physically. There are four forms of harassment found outside the 16 established forms, namely voyeurism, online-based sexual harassment, forced dating with a marriage mode and also intimidation. The existence of reduction carried out by the structure makes silent crime unable to be categorized as the dominant discourse about crime, a new model of crime that cannot be framed by a conventional paradigm
Keywords: Silent Crime, Sexual Harassment, Female Labor
Abstrak
Semakin banyaknya keterlibatan perempuan di sektor publik seperti bidang
ketenagakerjaan, maka dipercaya hadir pula kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki. Namun, keyakinan seperti itu ternyata tidak cukup karena pada
kenyataannya masih banyak buruh perempuan mengalami sexual harassment.
Salah satu kasus pelecehan seksual tersebut dikaji oleh organisasi Perempuan
Mahardhika pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa sekitar 56,5% dari 773
buruh perempuan di KBN Cakung pernah mengalami bentuk pelecehan
seksual. Berdasarkan data tersebut, muncul pertanyaan terkait potret pelecehan
52 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
seksual buruh perempuan di KBN Cakung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap suara para buruh perempuan dalam melawan kejahatan sunyi atau
kejahatan yang tidak teridentifikasi di tempat kerja. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian feminist standpoint yang berfungsi untuk
mengangkat suara buruh perempuan. Teknik penentuan informan adalah
purposive, dengan didampingi oleh gate keeper atau mereka yang bisa
memberi akses bagi para buruh perempuan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan potret pelecehan seksual yang dialami oleh buruh perempuan
baik secara verbal, psikis, maupun fisik. Ditemukan empat bentuk pelecehan
di luar 16 bentuk yang sudah diidentifikasi yakni voyeurisme, pelecehan
seksual berbasis online, kencan paksa dengan modus dinikahi, dan juga adanya
intimidasi. Adanya kecenderungan reduksi defenisi kriminalitas oleh
perspektif formal atau konvensional, membuat kejahatan sunyi yang dialami
buruh perempuan seringkali tidak dilihat sebagai praktek kriminalitas
Kata kunci: Kejahatan Sunyi, Pelecehan Seksual, Buruh Perempuan
* * *
A. Pendahuluan
Maraknya keikutsertaan perempuan dalam sektor industri
sejatinya telah menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya terjadi
dalam sektor ekonomi, tetapi juga sosial (Shiva, 1997). Frans Magnis
Suseno, sebagaimana dikutip oleh Winarno (2013) memaparkan bahwa
dalam menilai suatu proses pembangunan, tujuan-tujuan luhur yang
diproklamasikan belum mencukupi, untuk menilai pembangunan
perlu memperhatikan cara-cara konkret perlakuan terhadap manusia.
Suatu pembangunan dapat dikatakan bersifat manusiawi apabila
setiap pihak yang terkena dampak oleh pembangunan itu merasa
sejahtera atau merasa dibantu dalam usahanya untuk mencapai
kesejahteraan.
Kesetaraan gender dianggap sebagai salah satu elemen penting
dalam mencapai pekerjaan yang layak baik bagi pria maupun wanita,
kesetaraan gender ini mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab,
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 53
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
dan peluang yang harus dinikmati semua orang terlepas dari apakah
seseorang dilahirkan sebagai pria atau wanita, hal ini menjadi salah
satu kunci untuk melakukan perubahan sosial dan kelembagaan yang
mengarah pada pembangunan berkelanjutan dengan pemerataan dan
pertumbuhan. Dewasa ini, banyaknya pekerja perempuan sudah mulai
menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
namun dalam bidang ketenagakerjaan juga tidak menutup
kemungkinan sangat rawan adanya ketidakadilan gender, salah
satunya adalah sexual harrasment terhadap buruh perempuan. Mengacu
pada definisi yang dikutip Judith Berman dari Advisory Commitee Yale
College Grievance Board and New York University telah dirumuskan
pengertian sexual harassment, yakni:
“Semua tingkah laku seksual atau kecenderungan untuk bertingkah laku seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang baik verbal (psikologis) atau fisik yang menurut si penerima tingkah laku sebagai merendahkan martabat, penghinaan, intimidasi, atau paksaan” (Sihite, 2007).
Salah satu indikator kemajuan suatu negara adalah dengan
semakin masifnya perekonomian pada bidang industri. Industri
garmen di Indonesia termasuk salah satu sektor industri yang paling
besar di dunia, bahkan diproyeksikan menjadi salah satu kontributor
terbesar perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Namun,
proyeksi tersebut bersinggungan dengan kenyataan bahwa banyak
perusahaan garmen di Indonesia belum mampu
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
pemerintah Indonesia ataupun lembaga internasional perburuhan.
Fenomena industri garmen di Indonesia akan semakin kompleks ketika
dipadukan dengan kenyataan bahwa perempuan menjadi pemegang
54 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
peran kunci keberlangsungan bisnis garmen. Secara umum dapat
dikatakan bahwa setidaknya 80% tenaga kerja di sektor garmen adalah
perempuan (BPS, 2014).
Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat, pelecehan
seksual banyak terjadi di pabrik garmen. Pasalnya 99% pekerja di
pabrik garmen adalah perempuan. Murniati (2004) menjelaskan bahwa
ada bentuk penindasan yang secara visual bisa dilihat, tetapi ada yang
sudah berada dalam kemasan, sangat rapi, dan tidak terasa bahkan
oleh yang ditindas sekalipun. Salah satu bentuk penindasan yang
terbalut super canggih, adalah penindasan dominasi maskulinisme
terhadap perempuan.
Dari kurang lebih 60.000 pekerja di KBN Cakung yang sebagian
besar adalah perempuan, kajian dari Perempuan Mahardhika berhasil
mengurai pengalaman dari 773 buruh perempuan, terkait dengan hal-
hal yang dirasakan dan didapatkan para buruh perempuan ketika
bekerja. Para buruh garmen
perempuan tersebut bekerja di 38
perusahaan garmen yang secara
resmi beroperasi di Kawasan
Berikat Nusantara (KBN) Cakung,
Jakarta Utara. Hasilnya cukup
mengejutkan yaitu 56,5% dari 773
buruh perempuan yang bekerja di
38 perusahaan garmen tersebut
pernah mengalami pelecehan
seksual di pabrik. Data Disamping
menunjukkan tingginya tingkat
Data jumlah korban pelecehan seksual buruh perempuan di KBN
Cakung (Sumber: Survei Perempuan Mahadhika, 2017)
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 55
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
pelecehan seksual di tempat kerja khususnya di KBN Cakung, cukup
sulit memang untuk menghindari pelecehan di tempat kerja. Pelecehan
seksual yang terjadi pada buruh perempuan ini rata-rata dilakukan
oleh para mekanik, pekerja di bidang HRD, satpam bahkan tukang
parkir.
Beberapa kasus mengenai pelecehan seksual yang terjadi di
tempat kerja tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti di Asia kasus ini
sendiri sudah bukan merupakan hal yang langka terjadi, misalnya di
Bangladesh. Menurut Nelien Haspels (2001) beberapa kasus pelecehan
terjadi serta semakin marak karena disebabkan tidak adanya lembaga
bantuan atau kebijakan khusus mengenai kasus pelecehan seksual di
tempat ia bekerja, namun beberapa diantara korban bersedia untuk
mengungkap kasus ke publik, melalui usaha yang panjang akhirnya
pelaku dapat diungkap dan dihakimi oleh warga dan keluarga korban,
serta mendapatkan sanksi boikot secara sosial. Di sini justru tidak ada
intervensi dari perusahaan sama sekali, padahal seharusnya
perusahaan perlu memiliki kebijakan dan sanksi khusus untuk para
pelaku. Di samping itu, di Sri Lanka kasus-kasus pelecehan seksual di
tempat kerja yang umumnya terjadi pada perempuan buruh garmen
berkurang karena adanya solidaritas antar perempuan, hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan kesadaran pada buruh
perempuan yang sedikit banyak menerima sosialisasi dari LSM-LSM
yang berbasis gender. Pelecehan seksual terhadap perempuan adalah
penyalahgunaan kekuasaan serta ekspresi dari seksualitas laki-laki.
Dimana pelecehan dapat terjadi karena berasal dari relasi posisi yang
menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dan dalam
hal ini si pelaku pelecehan memegang kendali atas posisi superiornya.
56 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Di Indonesia persoalan gender bahkan sudah menyentuh pada
ranah Peraturan Daerah yang dalam implementasi penyusunan
kebijakan mengenai perempuan tidak melibatkan perempuan itu
sendiri. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (LSAM) bahkan
mengemukakan bahwa pada tahun 2013 setidaknya ada 153 peraturan
daerah (perda) yang diskriminatif kepada perempuan. Diskursus
seperti ini menunjukkan bahwa di dalam tatanan hukum Indonesia,
sensitivitas terhadap suara-suara perempuan masih belum menjadi
prioritas, bahkan di dalam kajiannya pun sama sekali tidak
menghadirkan pendapat atau perspektif dari perempuan itu sendiri
(Probosiwi, 2015).
Untuk lebih meningkatkan peran perempuan dalam bidang
pembangunan kesejahteraan, Indonesia memiliki banyak sekali
tantangan yang kemudian harus dihadapi, terutama dalam persoalan
gender. Masyarakat cenderung masih memiliki pandangan bahwa
perempuan merupakan manusia nomor dua, persoalan gender adalah
persoalan kekuasaan yang biner patriarkis. Persoalan itu yang
kemudian menciptakan posisi subordinat bagi perempuan yang
membutuhkan penyelesaian perlawanan terhadap kekuasaan.
Berdasarkan realitas di atas, untuk dapat menjelaskan fenomena ini,
peneliti kemudian mengajukan pertanyaan mengenai potret pelecehan
seksual yang dialami oleh buruh perempuan di Kawasan Berikat
Nusantara Cakung. Hal ini akan memberikan sedikit banyak gambaran
mengenai pengalaman yang dialami oleh korban pelecehan seksual.
Peneliti menggunakan kerangka teoritis sebagai pisau analisis
untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian. Teori yang digunakan
memiliki fungsi sebagai penuntun yang membantu peneliti dalam
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 57
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
memahami suatu peristiwa serta lebih sebagai sebuah cara berpikir
dalam menganalisis kejahatan sunyi yang mengungkapkan potret
pelecehan seksual pada buruh perempuan. Teori yang digunakan
adalah teori Feminisme Standpoint.
Feminisme adalah paham yang menggerakkan perempuan dalam
menuntut persamaan gender atau kesetaraan dalam masyarakat.
Menurut Mustaqim (2003) feminisme dapat diartikan sebagai
kesadaran terhadap adanya ketidakadilan, diskriminasi dan
subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan adanya upaya untuk
mengubah keadaan tersebut menuju ke sebuah sistem masyarakat
yang lebih adil. Secara struktural kehidupan perempuan berbeda
dengan laki-laki, menurut teori Marxian, kehidupan perempuan
menyediakan titik pandang khusus dan lebih istimewa mengenai
supremasi laki-laki, di mana titik pandang ini dijadikan sebagai sebuah
kritik yang cukup kuat terhadap bentuk-bentuk yang kapitalis dan
patriarkis. Kritik ini dituangkan dalam bentuk teori standpoint.
Teori Standpoint sendiri dikembangkan oleh Nancy Hartsock.
Standpoint Theory berawal pada tahun 1980-an, ketika filsuf Jerman
Georg Wilhelm Friedrich Hegel mulai mendiskusikan mengenai
hubungan antara tuan dan budak yang menyebabkan perbedaan sudut
pandang pada masing-masing peran. Hartsock mengembangkan teori
yang dibuat oleh Marx, yang tidak hanya melihat peran pria dan
kapitalisme saja melainkan juga mengaitkan semua aktivitas manusia.
Hartsock berfokus pada klaim milik Marx yang menyatakan bahwa
pandangan yang dianggap benar terhadap kelas sosial adalah berasal
dari salah satu posisi mayoritas yang ada di dalam masyarakat.
Hartsock mengamati bahwa Marx mengembangkan kritik terhadap
58 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
struktur kelas. Menurut Hartsock feminisme fokus pada posisi sosial
wanita dan keinginan untuk mengakhiri penindasan berdasarkan
gender (Harding, 2004). Menurut Hartsock sebuah perspektif dibentuk
dari pengalaman-pengalaman yang terstruktur oleh posisi seseorang
dalam hierarki sosial. Sebuah perspektif dapat menggiring pada
pencapaian sudut pandang namun hanya melalui usaha. Sudut
pandang dapat diperoleh setelah melalui pemikiran, interaksi, dan
usaha. Sudut pandang harus selalu dicari secara aktif, sudut pandang
hanya dimiliki oleh mereka yang telah mengalami penindasan.
Dalam mengonseptualisasi standpoint theory, Hartsock membagi
lima asumsi spesifik mengenai asal dari kehidupan sosial diantaranya
(Harding, 2004):
1) Kehidupan material (atau posisi kelas) membentuk dan membatasi
pemahaman mengenai hubungan sosial. Asumsi ini memberikan
gagasan bahwa lokasi individu pada struktur kelas dapat
membentuk dan juga membatasi pemahaman mereka mengenai
hubungan sosial.
2) Ketika kehidupan material dibentuk untuk dua kelompok yang
berbeda dengan menggunakan dua hal yang bertolak belakang,
maka pemahaman pada masing-masing pihak juga otomatis akan
saling bertolak belakang. Ketika ada kelompok dominan dan
subordinat, maka pemahaman pada kelompok dominan akan
timpang dan membahayakan. Standpoint Theory berpendapat
bahwa semua sudut pandang adalah memihak.
3) Pandangan pada kelompok superior akan membentuk hubungan
material di mana semua kelompok dipaksa untuk berpartisipasi.
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 59
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Hal ini berarti bahwa kelompok superior dapat menghilangkan
pilihan-pilihan dari kelompok subordinat.
4) Pandangan yang ada pada kelompok yang tertindas mewakili
upaya dan penghargaan. Ini berarti bahwa kelompok subordinat
harus mengupayakan dengan keras untuk menyuarakan
pandangan mereka dalam kehidupan sosial.
5) Pemahaman potensial pada pihak yang tertindas (standpoint) dapat
menunjukkan kekejaman hubungan yang sudah berlangsung di
antara kelompok-kelompok. Keadaan ini dapat mendorong
perempuan untuk maju dan menciptakan kehidupan yang lebih
adil. Asumsi ini membenarkan bahwa upaya ini akan
menghasilkan pandangan yang lebih jelas dan akurat pada
kelompok subordinat yang mengalami tekanan oleh kelompok
superior.
Trend mengenai isu kekerasan dan pelecehan seksual yang
dihasilkan dari produksi masyarakat patriarki belum secara masif
dibahas dalam diskursus pembangunan kesejahteraan, perlu adanya
kajian yang lebih mendalam untuk melihat bahwa di dalam diskursus
pembangunan tidak hanya sebatas membahas hal-hal secara struktural
tetapi juga masuk ke dalam level yang lebih humanistik. Indonesia,
dewasa ini menjadi semakin maju dan modern, namun di samping itu
terdapat suatu kelompok yang tereksklusi. Indikator dari kemajuan itu
sendiri salah satunya adalah semakin berkembangnya sektor-sektor
ekonomi industri, tetapi hal ini juga belum sepenuhnya diinvestigasi
lebih jauh terutama kaitannya dengan perempuan sebagai subjek yang
selama ini selalu termarginalkan, bahwa terdapat suara-suara yang
terabaikan. Hal ini menjadi tujuan bagi peneliti untuk melakukan
60 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
penelitian tentang pengungkapan potret pelecehan seksual para buruh
perempuan di KBN Cakung, DKI Jakarta melalui suara-suara para
buruh perempuan yang berjuang melawan kejahatan sunyi di tempat
kerja khususnya di KBN Cakung, kejahatan yang keberadaannya tidak
dianggap, tersembunyi dan nyaris tidak terlihat sebagai suatu
kejahatan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian feminis, karena
penelitian ini memiliki karakter advokasi dari posisi nilai dan sudut
pandang feminis. Metodologi feminisme berada di bawah payung
interpretifistik humanistik. Penelitian ini membantu untuk memahami
dan menjelaskan dunia sosial teman-teman buruh perempuan
berdasarkan kacamata mereka, serta membantu mereka untuk dapat
lebih mengekspresikan dirinya melalui suara-suara yang belum masif
dikumandangkan.
Sandra Harding (2004) memperlihatkan bahwa yang
membedakan metode penelitian berperspektif perempuan atau tidak
adalah : (1) Memperlihatkan masalah yang berkaitan dengan
kepentingan perempuan dibandingkan dengan laki-laki; (2)
Mengemukakan hipotesa dan data yang sesuai dengan kepentingan
perempuan; (3) Kegunaan penelitian adalah untuk memahami sudut
pandang perempuan dan mengembangkan emansipasi perempuan;
dan (4) Peneliti memiliki hubungan yang khas dengan subjek
penelitiannya. Penelitian ini dilakukan di kantor Perempuan
Mahardhika, Rawamangun, Jakarta Timur, DKI.
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 61
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Informan penelitian dalam penelitian ini diambil berdasarkan
pertimbangan pengumpulan data yang sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian. Keseluruhan informan merupakan relawan yang
memiliki jabatan utama di Komite Nasional Perempuan Mahardhika
(Komite Pusat) dan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Untuk
melindungi privasi mereka, peneliti hanya mampu menyertakan
keterangan bahwa mereka merupakan relawan dari organisasi tersebut
dan tidak dapat menyebutkan secara detail jabatannya. Adapun teknik
penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan di KBN Cakung
Bagian ini akan membahas mengenai pengalaman perempuan
yang pernah mengalami pelecehan seksual yang terjadi di pabrik-
pabrik di perusahaan yang berdiri di bawah naungan PT KBN Cakung
Jakarta. Di bawah ini akan diuraikan pengalaman dari tiga orang buruh
perempuan yang menjadi partisipan penelitian dan sumber atau
dokumentasi sekunder lainnya seperti media masa elektronik dan film
dokumenter. Ketiga perempuan ini adalah orang-orang yang
diadvokasi oleh beberapa aliansi organisasi perempuan yang berfokus
pada perjuangan kesetaraan buruh perempuan khususnya di KBN
Cakung itu sendiri. Mereka membagikan pengalaman mereka kepada
peneliti dengan ekspresi yang sangat emosional. Pendeskripsian dalam
bagian ini akan dibahas melalui perspektif korban yang menjadi subjek
penelitian. Pengalaman pelecehan seksual yang dialami oleh para
partisipan umumnya adalah kekerasan secara verbal. Ketiga partisipan
penelitian ini mengalami pelecehan di lokasi tempat mereka bekerja.
62 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Bagian berikut akan menarasikan pengalaman mereka dilecehkan.
Peneliti mencoba menguraikan pengalaman pelecehan seksual yang
dialami oleh ketiga buruh di berbagai perusahaan di KBN Cakung.
Nama ketiga buruh perempuan tersebut telah dianonimkan atau
diganti sebagai bentuk etika penelitian.
Pelecehan seksual memang selalu menjadi suatu masalah yang
pembahasannya tak kunjung habis, kekerasan seksual sudah sangat
banyak terjadi di berbagai tempat dalam ruang lingkup kehidupan.
Kejahatan sunyi ini merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat
didefinisikan secara normatif, dan bentuk kejahatan ini tergolong pada
bentuk kejahatan dalam wilayah abu-abu yang sebenarnya diproduksi
oleh sistem masyarakat patriarkis. Beberapa gambaran tersebut
membuat perempuan-perempuan khususnya di KBN Cakung semakin
tidak berdaya.
2. Klasifikasi taksonomi pelecehan seksual
Untuk memudahkan peneliti dalam memahami ruang lingkup
dan sejauh mana pelecehan seksual terjadi pada pekerja perempuan,
dalam perbincangan awal peneliti dengan sekretaris nasional
Perempuan Mahardhika, ia mengemukakan bahwa ditemukan ada 16
bentuk pelecehan seksual yang dialami oleh para pekerja perempuan
di KBN Cakung.
Berikut ini merupakan ke-16 bentuk pelecehan seksual apabila
dikategorikan berdasarkan klasifikasi taksonomi pelecehan seksual:
Tabel 1. Klasifikasi Taksonomi Pelecehan Seksual di KBN Cakung
Kategori Pelecehan Seksual Bentuk Pelecehan Seksual di KBN Cakung
Pelecehan seksual secara verbal Siulan dan pandangan nakal
Godaan dan rayuan seksual
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 63
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Ejekan terhadap tubuh
Pelecehan seksual secara nonverbal (fisik)
Tubuh disentuh
Diraba-raba
Tubuh dipepet
Mengintip celah baju
Pantat diremas
Payudara diremas
Dipeluk dan digendong paksa
Diintip saat di toilet
Dipaksa atau diajak berhubungan seksual
Dipaksa membuka baju
Pelecehan seksual secara psikis Keseluruhan bentuk pelecehan seksual secara verbal maupun nonverbal dapat dikategorikan ke dalam pelecehan seksual secara psikis, karena dapat menyebabkan trauma dan gangguan pada kesehatan mental lainnya, baik yang bersifat berat maupun ringan
Sumber: Hasil Analisis Peneliti, 2020
Sangat mungkin 16 bentuk tersebut saat ini bisa lebih banyak,
karena hasil penelitian ini dilakukan di akhir tahun 2017. Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih akurat dengan didampingi oleh
gate keeper dari Perempuan Mahardhika, peneliti berkesempatan untuk
berbincang dengan teman-teman pekerja perempuan yang memiliki
kisah dalam mengalami, menyaksikan serta mengetahui bagaimana
tindak pelecehan seksual menjadi suatu hal yang dilakukan secara
sistematis dalam ruang kerja yang mereka tinggali. Di sini, pelecehan
sistematis dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan yang perlahan
64 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
terwujud menjadi sebuah sistem dengan semakin banyaknya orang
yang berpartisipasi di dalamnya.
Ani, buruh perempuan di KBN Cakung pernah mengalami kasus
pelecehan seksual oleh seorang mekanik dan juga atasan di tempatnya
bekerja. Ia bersedia membagikan pengalamannya kepada peneliti
untuk dipublikasikan. Dalam wawancara, Ani (korban pelecehan
seksual, 30) berkisah bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual dua
kali lebih sering setelah ia bercerai dengan suaminya, ia menganggap
bahwa ketika seorang perempuan telah bercerai dan berganti status
mereka akan menganggap bahwa hubungan seksual bukanlah sesuatu
yang dianggap tabu, hal ini membuat dirinya merasa memiliki derajat
yang lebih rendah, padahal kalaupun dilihat menggunakan dalil
agama hubungan seksual yang ia lakukan pun terjadi secara halal.
“Semenjak saya cerai dari suami saya pelecehan verbal itu makin kenceng, kalo kata saya sih kayanya hal ini tu karena masih banyak orang memegang teori bahwa perempuan dianggap sebagai objek seksual oleh laki-laki, dan logikanya ketika kita sudah menikah maka kita sudah pernah melakukan hubungan seksual, maka ketika bercerai dan berganti status mereka akan menganggap bahwa hubungan seksual bukan sesuatu yang dianggap tabu,” (Ani, korban pelecehan seksual, 30)
Ani menggambarkan konstruksi gender khususnya di Indonesia
yang masih menganggap perempuan hanya sebagai objek seksualitas
laki-laki. Serupa dengan penuturan salah satu dosen Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Padjajaran, dalam wawancaranya dengan
salah satu media nasional (Tirto.id, 2020) menyatakan bahwa dalam
budaya patriarki terdapat perubahan nilai dari perempuan yang
bersuami kemudian bercerai muncul adanya anggapan mereka tidak
memiliki nilai tawar lain selain tubuh dan seksualitasnya. Ini dikaitkan
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 65
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
dengan ketergantungan perempuan pada laki-laki ketika mereka
berada dalam ikatan pernikahan. Munir (2009) memaparkan hal serupa
bahwa berada dalam status bercerai bukanlah posisi yang
menguntungkan bagi perempuan secara sosiologis, biologis, maupun
psikologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali
mengundang bargaining position ketika berhadapan dengan kaum pria.
Perempuan yang telah bercerai kadang ditempatkan sebagai
perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu
dikasihani sehingga seringkali terjadi ketidakadilan terhadap mereka.
Menurut Mahy et al. (2016) di Indonesia, perempuan yang
mengalami perceraian dan berdiri sendiri artinya dia berpengalaman
secara seksual dan secara teoritis mengatakan mereka adalah wanita
yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Status ini, menurut
logika budaya Indonesia berarti mereka tersedia secara seksual. Pada
gilirannya, dugaan ketersediaan seksual ini membuatnya rentan
terhadap pelecehan seksual dan mengundang perhatian yang tidak
diinginkan. Keadaan ini mampu mengundang komunitas di sekitar
mereka menilainya telah melakukan pergaulan bebas. Implikasi lebih
lanjut menurut Mahy et al, komunitas tersebut siap melabeli mereka
sebagai seseorang yang tidak bermoral, dan dugaan amoralitas ini
adalah inti dari stigma gender. Stigma ini telah menyerang harga diri
dan identitasnya sebagai seorang perempuan utuh yang justru
membuat mereka kemudian memiliki ketidakpercayaan untuk
menganggap dirinya sebagai perempuan terhormat, karena seringnya
dianggap rendah dan tidak memiliki moral yang cukup baik, sehingga
merasa pantas untuk dijadikan bahan olok-olokan. Kata-kata yang
dilontarkan oleh pelaku seringkali tidak mengandung bahasa kasar,
66 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
namun justru menyakitkan. Di sinilah kejahatan sunyi itu dapat
ditemukan, dianggap sepele namun berdampak sangat menyakitkan.
Dalam konteks Indonesia hal ini memang lumrah terjadi bahkan
terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa perempuan yang
berada dalam status bercerai dua kali lebih sering mengalami
pelecehan seksual (Tirto.id, 2020). Pada awalnya memang masyarakat
menganggap perempuan-perempuan yang telah bercerai adalah
sesuatu yang dianggap wajar, namun seiring berjalannya waktu ini
mengalami pembusukan, seringkali perempuan-perempuan ini
menjadi bahan olok-olokan yang bersifat seksis (Magdalena.co, 2020).
Bagi pelaku tentunya hal ini menjadi bahan candaan yang
menyenangkan, namun bagi perempuan yang mengalaminya tentu
akan terasa sangat menyakitkan, seperti yang disampaikan oleh Ani
(korban pelecehan seksual, 30) pelakunya sendiri umunya adalah staf
dan atasan, ia mengaku pernah dilecehkan oleh atasannya sendiri
“Pelakunya sendiri kebanyakan sih dari staf kadang ada juga dari atasan goda-godain misalnya gini : “Enak ya kalo pake si Ani mah, belum pernah ngeluarin anak”. Secara tidak langsung dia itu bilang kalo saya udah sering melakukan hubungan seksual tapi belum sampe ngeluarin anak, jadi vaginanya masih sempit. Sakit mba kalo inget, padahal siapa sih yang pengen jadi janda kan ya”. (Ani, korban pelecehan seksual,30)
Menurut penuturan Ani, banyak dari rekannya yang melakukan
perlawanan namun si pelaku justru menganggap bahwa pelecehan
yang dilakukan adalah hal biasa. Misalnya korban melakukan
perlawanan atau marah, pelaku justru biasanya akan mengatakan “ah
elah gitu doang biasa aja kali, so cantik amat lo”. Stigma seperti ini justru
membuat teman-teman menjadi ragu untuk melapor. Sementara dalam
pemikiran mereka ketika melapor, apa yang akan mereka terima ?
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 67
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
apakah stigma juga atau bahkan mungkin akan disalahkan. Muncul
ketakutan-ketakutan tersendiri akan adanya penghakiman dari banyak
pihak.
Pada dasarnya yang dilakukan oleh pelaku tengah menempatkan
diri pada posisi superior. Dengan mengungkapkan kata-kata yang
mengandung stigma buruk seperti di atas menunjukkan bahwa
mereka sedang membentuk hubungan material antara dirinya dengan
korbannya dan menempatkan korban pada posisi yang sangat rendah.
Hal semacam ini juga kerap kali dialami oleh para pekerja perempuan,
dilansir dari salah satu media online ada bentuk intimidasi yang
dilakukan oleh atasan dengan iming-iming perpanjangan kontrak atau
naik jabatan asalkan dirinya bersedia menjadi kekasih atasannya
tersebut (Tirto.id, 2020).
Kedua hal ini bertujuan untuk menghilangkan pilihan yang
mungkin akan dilakukan oleh para perempuan yang pernah
mengalami pelecehan seksual. Kasus intimidasi seperti ini seringkali
dijadikan ancaman, karena apabila tidak bersedia maka kemungkinan
adanya pemutusan kerja kontrak secara sepihak tidak dapat dihindari.
Ini yang akan membuat kejahatan sunyi akan semakin sistematis,
semakin kuat dan tidak akan pernah bisa dibongkar karena pelaku
sendiri sudah memiliki paradigma yang salah dalam memandang
sebuah realitas.
Sampai saat ini Ani mengaku masih sering berpikir apakah ia
memang memiliki derajat yang rendah atau apakah memang statusnya
sebagai perempuan yang pernah menikah memang pantas
diperlakukan seperti itu. Selain itu, ia memiliki trauma akan tiba-tiba
emosi dan panik ketakutan ketika mendengar kata “Neng”, karena
68 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
mayoritas para pelaku hampir selalu menggunakan panggilan “Neng”
kepada para korbannya. Ekspresi yang ditunjukkan memang tidak bisa
membohongi seberapa “geli dan jijiknya” ia dipanggil dengan sebutan
neng, merinding dan ketika bercerita gerakan tangannya menutupi
bagian telinga. Karena memang trauma setiap orang bisa berbeda-beda
tergantung pada resistensi yang dimiliki.
Panggilan menggoda dengan kata “neng” ini bisa juga disebut
sebagai catcalling atau sudah dapat dikategorikan sebagai pelecehan
secara verbal. Banyak orang tidak menyadari hal ini, kebiasaan
masyarakat menormalisasi catcalling ini menjadikannya sesuatu hal
yang dianggap biasa dan wajar. Bahkan catcalling sendiri dapat dibalut
dalam kemasan yang sangat beragam, salah satunya adalah
menggunakan label agama. Misalnya “Assalamu’alaikum neng..”
dengan nada yang menggoda disertai pandangan nakal. Ini
merupakan sesuatu yang sangat paradoks. Realitasnya saat ini
pelecehan seksual secara verbal bisa dibalut dengan rapi hingga ia
tidak terlihat sebagai sebuah bentuk pelecehan. Kejahatan sunyi seperti
ini bahkan bisa disembunyikan dalam identitas agama sekalipun.
Sejauh ini memang belum terlihat adanya kejelasan hukum
mengenai pelecehan secara verbal, namun penyelesaian kasus seperti
ini dapat dijerat salah satunya adalah dengan menggunakan pasal 281
KUHP ayat (2) tahun 1960 yang berisi “Apabila ada seseorang yang
dengan sengaja di hadapan orang lain di luar kesediaan orang tersebut
melakukan tindak asusila dapat dipidana berupa penjara atau denda”. Namun
pasal seperti ini dan pasal lain yang hampir serupa merupakan pasal
karet yang dalam implementasinya masih banyak diperdebatkan. Ini
menunjukkan belum adanya keberpihakan secara penuh pada hukum
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 69
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
di Indonesia mengenai penyelesaian bentuk pelecehan di Indonesia,
terutama pelecehan seksual secara verbal.
Para buruh korban pelecehan seksual tidak hanya mengalami
tetapi banyak pula yang menyaksikan rekan kerjanya diperlakukan
tidak sepantasnya. Seperti penuturan Sari (korban pelecehan seksual,
26) salah satu teman buruh yang bekerja di KBN Cakung bahwa ketika
ia baru bekerja seringkali dibuat aneh karena melihat banyak karyawan
perempuan yang menggunakan solatip di bagian kerah baju, dan
setelah beberapa hari bekerja ia langsung bisa menyimpulkan bahwa
ketika karyawan perempuan menunduk, maka ini akan menarik
perhatian para mekanik laki-laki.
“Awalnya sempet ngerasa aneh ya ngeliat cewek pake solatip disini (menunjuk bagian kerah), sambil ketawa bilang dalam hati ‘lah ini kenapa pada pake solatip’, dan ternyata setiap nunduk sedikit aja itu langsung mata tu berjelalat semua gitu lho yang si mekanik-mekanik ini. Lah mekanik itu kan megang beberapa mesin-mesin si penjahit itu kan, operatornya dia. Jadi setiap ke mesin nih, ada yang dicolek tetenya, ada yang dicolek pantatnya, pahanya .. seenaknya aja, dan itu biasa aja. Dan parahnya itu depan orang banyak kan gila banget”. (Sari, korban pelecehan seksual, 26)
Sembari bercerita Sari berulang kali mengelus dada, dan
menggeleng-gelengkan kepala. Terlihat kekecewaan yang timbul
dalam dirinya, Sari tidak habis pikir mengapa banyak hal-hal seperti
ini terjadi pada perempuan, terutama pada rekan-rekannya. Mengenai
aturan berpakaian, memang setiap perusahaan dan pabrik-pabrik
tertentu memiliki aturan berpakaian yang berbeda. Untuk
mengantisipasi hal-hal seperti ini banyak buruh perempuan
mengenakan baju dalaman panjang yang menutup rapat bagian tubuh
kemudian dirangkap dengan baju seragam pabrik yang mayoritas
70 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
berlengan pendek dan berkerah. Selain itu, dalam perbincangan Sari
(korban pelecehan seksual, 26) dengan teman-teman buruh yang lain,
mereka berharap mesin yang mereka gunakan tidak akan pernah rusak
namun ini seakan mustahil, pasalnya dalam waktu satu jam mesin-
mesin ini harus dapat menghasilkan bahan obrasan sebanyak 180 pcs.
Tidak hanya melontarkan kata-kata kotor terkadang para mekanik juga
menggunakan berbagai cara untuk mencari kesempatan, misalnya
melalui voyeurisme. Modus yang sering dilakukan adalah laki-laki
pekerja (terutama mekanik) sengaja menjatuhkan alat seperti obeng
saat membetulkan mesin jahit yang rusak, agar bisa mengintip pakaian
dalam perempuan, entah dengan menyuruh pekerja perempuan untuk
mengambil barang yang jatuh tersebut atau justru mekaniknya sendiri
yang mengambilnya sembari melirik ke bagian vital tubuh perempuan.
Sari memaparkan kerap kali ia dan rekannya yang lain
mengalami pelecehan seksual berbasis online. Kasus yang terjadi
adalah mereka menerima gambar atau teks “mesum” melalui Whatsapp
atau platform digital/media sosial lainnya yang kerap kali membuat
mereka merasa risih dan tidak nyaman. Ketika bercerita, ucapannya
sempat terhenti beberapa kali, kemudian Sari menarik nafas panjang
dan membuangnya dengan satu hembusan panjang. Kemudian kedua
tangannya menutup bagian wajah serta mengusap bagian matanya
yang terlihat sedikit berkaca-kaca. Tekanan yang dialami oleh
perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik ini
sangat beragam. Dampak dari tekanan yang ditimbulkan pun beragam
yang dapat menyebabkan trauma pada diri mereka, baik trauma
ringan maupun berat.
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 71
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Dilansir dalam salah satu artikel di media elektronik
(insideindonesia.org, 2020), memaparkan bahwa di KBN Cakung juga
pernah ada isu kencan paksa. Dengan modus ini, biasanya para atasan
mengajak perempuan pekerja untuk kencan makan malam, kemudian
berujung meminta perempuan untuk berhubungan seks setengah
paksa, dengan iming-iming akan dinikahi. Ketika perempuan tersebut
hamil, pelakunya menolak atau menghindar dari tanggung jawab. Hal
semacam ini memang berasal dari konstruksi masyarakat di mana kita
hidup dalam sebuah sistem yang masih menganut sistem patriarkis
yang tidak menguntungkan perempuan. Tidak hanya itu, bentuk
misoginis juga turut andil dalam perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan seperti ini. Secara lebih meluas, misoginis dapat mewujud
menjadi sebuah diskriminasi seksual, kekerasan terhadap perempuan,
menyalahkan perempuan dan menjadikannya sebagai objek seksual.
Kebencian terhadap perempuan membuat pelaku terus menerus
melakukan diskriminasi, dan selalu menjadikannya objek. Pemahaman
seperti ini harus segera diluruskan, dengan meminimalisir seksisme
dan budaya misoginis serta memberikan penyadaran kepada semua
pihak, hal ini sedikit banyak akan mengurangi pelecehan seksual yang
sudah membudaya.
Salah satu pekerja perempuan, yaitu Lisna (relawan posko
pembelaan buruh perempuan, 32) pernah memiliki pengalaman ketika
ia menjadi karyawan di salah satu PT yang mengingatkan rekan
kerjanya bahwa dirinya tengah dilecehkan, namun respons dari
rekannya justru mengatakan bahwa ia menganggap itu hal biasa dan
ia nyaman diperlakukan seperti itu sehingga menimbulkan
72 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
kebingungan tersendiri dalam benak Lisna bahwa memang kesadaran
yang dimiliki rekannya belum sepenuhnya timbul.
Pihaknya mengaku turut prihatin dengan hal-hal yang banyak ia
temui. Bahkan ketika ia bercerita, tangannya sembari mengelus dada,
ada kesakitan tersendiri ketika ia mencoba menyadarkan rekannya
justru yang ia terima adalah penolakan dan yang lebih
memprihatinkan bahwa mereka yang dilecehkan tidak memiliki
dorongan untuk melawan atau menghindar, justru yang dirasakan
adalah kenyamanan. Sebenarnya hal ini bisa juga disebabkan karena
kondisi budaya di mana tempat ia tinggal, di mana kondisi budaya
yang mengelilingi kehidupannya akan menciptakan pengalaman dan
pemahamannya, perbedaan lokasi dan kondisi budaya tempat
seseorang tinggal ini akan turut membentuk pemahamannya pada
realitas yang ada. Sehingga belum tentu ia menyukai dan nyaman
diperlakukan seperti itu, melainkan memang kesadaran dan
pemahamannya mengenai pelecehan seksual belum tumbuh,
diperlukan adanya penyadaran terhadap masyarakat yang lebih
meluas.
Tidak hanya selesai di sana, sebenarnya hambatan utama yang
dirasakan oleh para relawan untuk dapat mengangkat isu ini ke
permukaan dan mencari solusi terbaik adalah terletak pada
perempuan yang pernah mengalami kasus pelecehan seksual yang
tidak bersedia atau berkeberatan untuk mengungkap dan melapor.
Perlu adanya dorongan terhadap mereka untuk bersedia bersuara.
Kurangnya pengetahuan mengenai adanya posisi dominan dan
subordinat membuat mereka lebih memilih menganggap wajar
perilaku tersebut. Menganggap bahwa laki-laki memang umum
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 73
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
memiliki perilaku seperti itu juga membuat mereka menjadi terbiasa
akan perilaku pelecehan yang diterima oleh banyak perempuan yang
pernah mengalami kasus pelecehan seksual. Hal ini sejalan dengan
penuturan Asih (relawan FBLP, 41). Dalam wawancaranya bersama
peneliti, Asih mengatakan ada mindset yang harus dirubah.
“Mindset dari perempuan yang sangat polos, menganggap penindasan yang dialaminya adalah takdir, taken for granted, hal biasa dan menganggap bahwa hal itu tidak perlu digugat. Penyadaran yang diperlukan memang sangat sulit, terutama kepada mereka yang memiliki mindset tersebut”. (Asih, relawan FBLP, 41)
Seperti halnya di India (Singh, 2016) sebelumnya, banyak
perempuan yang mengalami pelecehan seksual lebih memilih untuk
menderita dalam kesunyian daripada melalui penyiksaan sistem
peradilan pidana dengan prosedur rumit dan tertunda yang
menyertainya. Seiring berjalannya waktu ketika banyak pihak yang
menyuarakan penyadaran dan pencegahan pelecehan seksual yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga besar seperti lembaga peradilan serta
lembaga hukum dan HAM membuat perempuan memiliki pilihan
untuk mengejar bantuan hukum melalui proses yang sederhana
dengan banyaknya bantuan dan konsiliasi yang diberikan kepada
korban. Dibutuhkan adanya dorongan dan dukungan kepada
perempuan yang memiliki pengalaman dilecehkan untuk bersedia
bersuara dan memiliki keberanian untuk melaporkan tanpa dihantui
rasa takut dihakimi dari stigma-stigma yang mungkin muncul.
Semakin nyaring mereka bersuara maka akan semakin banyak pula
pihak-pihak yang bersedia membantu dan mendukung aksi mereka.
Posisi individu pada struktur kelas dapat membentuk dan
membatasi pemahaman mengenai hubungan sosial. Disadari atau
74 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
tidak oleh perempuan yang pernah mengalami kasus pelecehan
seksual, di sini terlihat jelas adanya pembagian kelas di mana posisi
perempuan memang tidak diuntungkan, perempuan dijadikan
manusia nomor dua. Kehidupan material sangat jelas dapat dirasakan
dalam bentuk relasi antar buruh dan atasan. Ketika ada kelompok
subordinat dan dominan dalam posisi seperti ini, maka pemahaman
pada kelompok dominan akan berat sebelah. Akan ada salah satu yang
dirugikan dan tentunya mereka adalah orang-orang yang berada pada
posisi subordinat, yaitu para pekerja perempuan.
3. Dampak Traumatis Pelecehan Seksual pada Korban dan
Lembaga
Sangat tidak menutup kemungkinan para perempuan pekerja
yang pernah mengalami pelecehan seksual ini akan mengalami
trauma, terkadang trauma ini juga yang membuat mereka memilih
untuk diam karena ketika mereka menceritakan kembali apa yang
pernah dialami, hal ini justru akan mengulang kembali memorinya.
Trauma-trauma yang dihasilkan dari pengalaman perempuan yang
pernah mengalami pelecehan seksual akan beragam, trauma ini
merupakan dampak yang dimungkinkan bisa muncul kepada
siapapun dan bagaimanapun bentuk pelecehan seksual yang
dialaminya. Dampak yang muncul bergantung pada resistensi
individu, trauma-trauma ini akan menjadi laten apabila tidak diterapi
atau dilakukan tindakan khusus karena tindakan tersebut merupakan
upaya untuk memutus mata rantai atas apa yang pernah dialami.
Terdapat bukti yang cukup jelas untuk menyimpulkan bahwa
pelecehan seksual adalah tekanan sosial yang berat, berikut adalah
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 75
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
tabel konsekuensi yang timbul karena adanya bentuk pelecehan
seksual di tempat kerja (European Parliament, 2018)
Tabel 2. Dampak Pelecehan Seksual pada Korban dan Lembaga atau Organisasi
Consequences for victims Consequences for organisations
Anger and annoyance Reduced productivity
Fear and anxiety High abseenteism
Shame and embarassment Reduced performance
Vulnerability Low morale
Loss of self-confidence High staff turnover
Sumber: Bullying and sexual harassment at the workplace, in public spaces, and in political life in the EU, 2018
Dalam sebuah studi oleh TUC (2016), banyak perempuan yang
melaporkan bahwa dilecehkan secara seksual membuat mereka merasa
malu, menyebabkan mereka menghindari situasi kerja tertentu dan
membuat mereka merasa tidak percaya diri dalam bekerja. Itu juga
berdampak pada kesehatan mental mereka, membuat mereka merasa
lebih stres, cemas, dan tertekan. Di samping itu, dampak yang
dimunculkan tidak hanya menyerang korban, tetapi juga pada
organisasi atau tempat di mana pelecehan tersebut terjadi.
Menyebabkan menurunnya produktivitas kerja, seringnya terjadi
pergantian staf bahkan timbulnya citra buruk yang melekat pada
organisasi atau lembaga tersebut. Sehingga keduanya sama-sama
dirugikan.
Semakin hari kasus kekerasan dan pelecehan seksual semakin
bertambah, kasus pelecehan seksual tidak lantas hanya menjadi sebatas
76 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
analisis angka-angka yang kemudian hanya untuk dihitung, dianalisa
dan dibandingkan, tetapi harus ada aksi konkret yang dapat dilakukan
untuk mengurangi dan menghapuskan angka-angka tersebut.
Terdapat banyak hambatan yang membuatnya sulit terwujud. Penting
halnya untuk menggaungkan dan mengumpulkan suara sehingga isu
kejahatan sunyi menjadi semakin nyaring. Mendorong agar suara
perempuan yang mengalami pelecehan seksual bukan hanya muncul
ke permukaan, tetapi ada yang bisa dilakukan untuk membuat
perubahan ke arah yang lebih baik.
D. Penutup
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai tiga orang buruh
perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di KBN Cakung,
di sini peneliti menyadari lag yang menjadi kekurangan yang cukup
menonjol. Bagi peneliti, tiga orang partisipan ini belum memenuhi
kriteria penelitian, karena masih banyak kemungkinan substansial
yang masih dapat ditemukan tetapi karena secara teknis peneliti hanya
dapat mewawancarai tiga korban tersebut, maka hal-hal yang
mungkin dapat terungkap secara lebih jauh tidak dapat diungkap pada
penelitian ini. Dengan menggunakan feminis standpoint, berdasarkan
penemuan yang sudah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya
mengenai potret dari kejahatan sunyi peneliti menyimpulkan beberapa
hal.
Pertama, kejahatan sunyi merupakan kejahatan yang
keberadaannya seringkali tidak dianggap ada, tersembunyi dan
dikemas dengan sangat rapi oleh masyarakat yang masih memegang
teguh budaya patriarki. Kejahatan sunyi bisa bertahan hingga saat ini
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 77
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
karena adanya struktur yang mengabaikan. Adanya reduksi yang
dilakukan oleh struktur membuat kejahatan ini tidak bisa
dikategorikan sebagai diskursus dominan tentang kriminalitas, bahkan
untuk menindaklanjuti pada tingkatan hukum bentuk kejahatan ini
akan sangat sulit untuk dibuktikan, di samping itu belum adanya
perlindungan dan jaminan hukum pada korban dan pelaku kekerasan
seksual akan membantu melanggengkan kejahatan semacam ini. Dari
situlah kemudian muncul kejahatan sunyi, kejahatan model baru yang
tidak dapat dikerangkai oleh paradigma yang bersifat konvensional.
Kedua, mengacu pada pengalaman yang dialami oleh buruh
perempuan yang pernah menjadi korban dari kejahatan sunyi di area
pabrik, telah ditemukan ada 16 macam bentuk kejahatan sunyi di KBN
Cakung. Namun berdasarkan penuturan dari korban, relawan dan juga
laman berita online ditemukan ada bentuk pelecehan yang lain yang
terjadi di KBN Cakung diantaranya voyeurisme, pelecehan seksual
berbasis online, kencan paksa dengan modus dinikahi dan juga adanya
intimidasi dengan iming-iming perpanjangan kontrak kerja atau naik
jabatan. Ke empat bentuk ini belum masuk pada kategori 16 macam
bentuk pelecehan seksual yang merupakan hasil survey pada tahun
2017.
Di bawah ini terdapat beberapa saran yang mungkin dapat
dipertimbangkan oleh beberapa pihak, diantaranya untuk :
1. Perempuan mahardhika sebagai sebuah organisasi yang berfokus
memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja di KBN Cakung,
mengenai sosialisasi yang tak kunjung mendapat respons serta
timbal balik, diperlukan adanya penulisan surat ‘tindakan
mendesak’ yang diarahkan pada pembuat kebijakan.
78 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
2. Untuk manajemen KBN Cakung, dengan adanya hasil kajian yang
dirilis oleh Perempuan Mahardhika dan diajukan kepada pihak
KBN bahwa 56,5% dari 773 buruh perempuan di KBN Cakung,
seharusnya ini sudah cukup menjadi pertimbangan untuk
dibuatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak manajemen
KBN. Diperlukan adanya kebijakan mengenai tindakan dan sanksi
yang tegas kepada pelaku pelecehan seksual dan perlindungan
yang menjamin keselamatan korban pelecehan, didampingi hingga
level hukum serta disediakannya ruang pemulihan untuk para
korban yang mengalami trauma atas kasus pelecehan seksual yang
terjadi. Peneliti menganggap ini merupakan hak yang seharusnya
didapatkan oleh pekerja perempuan di samping kewajibannya
bekerja dan memenuhi target dari perusahaan.
3. Untuk pemerintah, besarnya tingkat pelecehan seksual di
Indonesia menuntut pemerintah untuk setidaknya mempercepat
proses pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual), sejauh ini progres RUU PKS
berjalan dengan sangat lamban disertai dengan berbagai polemik
yang muncul antar berbagai pihak. Peneliti berharap agar
pembahasan mengenai RUU ini dapat segera dilakukan mengingat
kebutuhan korban kekerasan seksual yang masih membutuhkan
perlindungan hukum dan keadilan di Indonesia. Aturan hukum di
Indonesia mengenai kekerasan seksual belum memberikan
jaminan keadilan bagi para korban sehingga RUU ini patut untuk
segera dibahas dan disahkan.
Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 79
Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim, 2003. Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki.
Yogyakarta: Sabda Persada
Budi Winarno, 2013. Etika Pembangunan. Jakarta : PT Buku Seru
Buletin Sektor Garmen https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_625194.pdf Di akses pada 12 September 2019
Erich Fromm, 2002. Cinta Seksualitas, Matriakhi dan Gender. Yogyakarta : Jalasutra.
European Union. 2018. Bullying and Sexual Harassment at the Workplace, in the Public Spaces, and in Political Life in EU. European Parliament : Policy Department for Citizen’s Right and Constitutional Affairs
Johnson, Allan G. 2000. "The Blackwell dictionary of sociology: A user's guide to sociological language". ISBN 978-0-631-21681-0., ("ideology" in all small capitals in original)
Kekerasan Seksual dan Perempuan Pekerja https://www.insideindonesia.org/kekerasan-seksual-dan-perempuan-pekerja diakses pada 10 Juni 2020
Mahy, P., Winarnita, M.S., and Herriman, N. 2016. Presumptions of Promiscuity: Reflections on Being a Widow or Divorcee from Three Indonesian Communities. Indonesia and the Malay World 44 (128): 47–67
Munir, Ahmad. 2009. Kebangkitan Kaum Janda: Akar Teologis Spiritual Kaum Papa.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nelien Haspels, dkk. 2001. Action Against Sexual Harassment at Work in Asia and The Pasific. International Labour Office : ILO Bangkok Area Office and East Asia Multidisciplinary Advisory Team
Nunuk Murniati, 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM). Magelang: Indonesiatera
80 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Ratih Probosiwi, 2015. Perempuan dan Perannya Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Women and Its Role On Social Welfare Development). Vol 3, Nomor 1, Tahun 2005.
Reinharz, Schulamit. 1992. Feminist Methods in Social Research. Oxford University Press, Inc
Sandra Harding, 2004. Discovery Reality, Feminist Perspective on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and Philosophy of Science. New York : Kluwer Academic Publisher
Sihite Romany, 2007. Perempuan, Kesehatan & Keadilan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Vandana Shiva, 1997. Bebas dari Pembangunan (Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Widya Primastika https://tirto.id/pelecehan-seksual-buruh-perempuan-di-cakung-daRD Diakses pada 10 Juni 2020
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 81
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
*Indra Setia Bakti, **Anismar, ***Khairul Amin
*Fakultas Ilmus Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Email: [email protected]
**Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]
***Madrasah Aliyah Negeri 1 Pidie Email: [email protected]
Abstract
This This article aims to discuss Thorstein Veblen's perspective about the behavior of waste or excessive consumption by the leisure class. This article uses the library research to understanding the perspective of Veblen's theory of consumption. We review Veblen's work, The Theory of the Leisure Class, as the main note complemented by relevant books and journals to support this study. The leisure class in this regard act deliberately to display their wealth. The newly rich group flaunted the luxury of their life with a motive to accommodate their desire for social respect and social status. The leisure class realizes their social actions through conspicuous leisure time consumption and conspicuous consumption of goods characterized by imitative and emulative behavior among the actors involved in it. The conspicuous consumption behavior produces élite taste which in turn has a social impact that affects the class behavior of the lower strata.
Keywords: Leisure Class, Conspicious Consumption, Status, Emulation
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan sudut pandang Thorstein Veblen
dalam melihat perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh kelas sosial
tertentu dalam masyarakat. Studi ini menggunakan metode kajian pustaka
dalam memahami perspektif teori konsumsi Veblen. Data dalam artikel ini
bersumber dari karya-karya Veblen sendiri, The Theory of the Leisure Class,
serta buku-buku dan jurnal-jurnal yang relevan dalam mendukung artikel ini.
Perilaku ini rupanya lahir dari sebuah konteks sosial dimana kelompok orang
kaya baru mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan sosial
dan status sosial. Hal ini diwujudkan melalui konsumsi waktu luang mencolok
82 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
dan konsumsi barang mencolok yang ditandai dengan perilaku imitatif dan
emulatif diantara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Perilaku konsumsi
mencolok menghasilkan selera elite yang selanjutnya meluas dan berdampak
secara sosial dimana mempengaruhi perilaku kelas dari strata yang lebih
rendah.
Kata kunci: Kelas Penikmat, Konsumsi Mencolok, Status, Emulasi
* * *
A. Pendahuluan
Sebuah studi yang dilakukan oleh Geertz (1963) mengungkap
realitas tentang keberadaan etos masyarakat petani di pedesaan Jawa.
Pada era itu, mereka bersama hidup dalam kemiskinan. Kendati
demikian, mereka berbagi kesulitan dengan sesamanya dan tidak
muncul kelas-kelas sosial yang tajam. Penampakan tersebut timpang
dengan kondisi masyarakat saat ini. Banyak pedesaan telah
bertransformasi menjadi perkotaan. Landscape dan bangunan fisik
sudah berubah bentuk dan fungsi, begitu juga manusianya. Beriringan
dengan peningkatan kemakmuran, pertumbuhan gaya hidup ternyata
ikut pula mewarnai kehidupan masyarakat. Hedonisme secara terang-
terangan didemonstrasikan dan sudah menjadi pemandangan lumrah,
disajikan secara daring ataupun langsung.
Ada pola pikir yang bergeser pada diri sebagian anggota
masyarakat. Orientasi mulai diarahkan kepada pencapaian eksistensi
diri dengan mengejar kekayaan dan kesenangan duniawi. Kekayaan
mulai menjadi ukuran sukses dalam kehidupan. Pola pikir ini
membingkai aktivitas manusia yang terjebak dalam kesibukan
sepanjang hidupnya. Tidak jarang orang-orang dari kelas menengah
dan kelas bawah yang ikut ambil bagian ke dalam pusaran pola pikir
ini.
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 83
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Cita-cita meraih kekayaan bukan sekedar memenuhi kebutuhan
hidup dan kenyamanan, tetapi juga agar dihargai secara sosial. Bila kita
lihat sudut pandang Veblen dalam membaca realitas ini, ada satu
fondasi pertanyaan yang melekat dengan pola pikir tersebut.
“Bagaimana caranya orang menghargai saya?” Menurut Veblen
landasannya tidak lain adalah “kepemilikan kekayaan”. Kekayaan
mendasari kehormatan, prestise, atau status sosial seseorang di tengah
masyarakat (Corrigan, 1997). Tentu akan muncul banyak bantahan
atau keberatan atas keyakinan semacam ini. Hal ini karena reputasi
masih bisa dibangun atau diperoleh dari beragam sumber non materi.
Kendati demikian, landasan pemikiran Veblen masih relevan dalam
beberapa konteks sosial dan memungkinkan untuk dipakai dalam
memahami masyarakat, terutama ketika materialisme semakin
mendominasi alam berpikir manusia dan uang semakin kuat
pengaruhnya.
Secara sosiologis, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar
ekonomi, tapi juga memiliki fungsi secara sosial. Dalam kehidupan
bermasyarakat, uang mampu membangun reputasi baik seseorang.
Syaratnya ialah “tidak pelit” dan mau berbagi dengan orang lain.
Sebaliknya, realitasnya sosial akan memberi label aneh pada orang
kaya tetapi sehari-hari makanannya biasa-biasa saja, pakaian tidak
modis, dan kendaraan Kijang tua misalnya. Pada situasi ini orang kaya
yang kikir tampak gagal memperoleh kehormatan, sebab ia gagal
menunjukkan kekayaannya (Corrigan, 1977). Jadi agar memperoleh
kehormatan, kekayaan seseorang itu harus ditunjukkan. Pertama bisa
ditampakkan dengan kedermawanan. Kedua bisa dipamerkan dengan
gaya hidup hedonis. Strategi yang kedua ini menarik perhatian Veblen
84 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
untuk diulas. Oleh karena itu Artikel ini bertujuan untuk
mendiskusikan sudut pandang Thorstein Veblen dalam melihat
perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh kelas sosial tertentu
dalam masyarakat. Untuk memenuhi tujuan itu, penulis menggunakan
metode library research atau kajian pustaka dalam dalam rangka
memahami perspektif teori konsumsi Veblen. Data dalam artikel ini
bersumber dari karya-karya Veblen sendiri, terutama karyanya yang
berjudul The Theory of the Leisure Class, serta buku-buku dan jurnal-
jurnal yang relevan dengan pembahasan pada artikel ini.
B. Profil Singkat Thorstein Veblen
Thorstein Veblen (30 Juli 1857 – 3 Agustus 1929) ialah seorang
pemikir sosial imigran Norwegia berkebangsaan Amerika Serikat.
Hanya dalam rentang waktu tiga tahun, ia berhasil menuntaskan
pendidikan tingkat Sarjana di Carleton College Minnesota. Veblen
melanjutkan studi filsafat di Universitas Johns Hopkins dan pindah ke
Universitas Yale. Gelar Ph.D. diraih dari Universitas Yale pada tahun
1884. Ia juga memperdalam studi ekonomi di Universitas Cornell.
Namun pencapaian studi akademisnya bertolak belakang dengan
kariernya di perguruan tinggi yang tidak berjalan mulus (Pierce, 2020).
Veblen sering pindah tempat kerja dari satu lembaga ke lembaga
lainnya. Ia tercatat pernah mengajar di Universitas Chicago,
Universitas Stanford, dan Universitas Missouri. Veblen juga terlibat
dalam pekerjaan di luar kampus diantaranya bekerja pada U. S. Food
Administration, editor majalah The Dial, dan aktif berkontribusi di New
School for Social Research (Ritzer & Goodman, 2011).
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 85
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
C. Gagasan-gagasan Veblen
1. Kelas Penikmat dan Konsumsi Mencolok
Secara historis, Veblen merupakan salah seorang sosiolog awal
yang mengakui signifikansi sosial dari konsumsi (Miles, 2006). Pada
masa Veblen hidup, kajian sosiologi cenderung didominasi pada
pembahasan hubungan sosial yang terjadi di dalam sektor produksi.
Karya terpenting Veblen yaitu The Theory of the Leisure Class yang terbit
pada tahun 1899. Buku klasik ini membahas tentang kehidupan dan
pola konsumsi yang dilakukan oleh kelas penikmat (leisure class).
Veblen mengambil sikap kritis dengan menyoroti pemborosan dan
kesembronoan dari banyak praktik konsumsi mereka. Oleh sebab itu,
kelas penikmat juga sering disebut kelas pemboros. Ironis memang,
kondisi ini seolah menggambarkan antitesis dari ide tentang etika
Protestan Weber yang cenderung mendorong penghematan,
penundaan kesenangan, dan etos kerja sehingga hal ini oleh
sekelompok pelaku industri menjadi spirit yang mendukung
terwujudnya kapitalisme di dunia Barat.
Pada masa hidup Veblen, kelas penikmat sebenarnya bukan
termasuk kategori kelas atas. Kelas atas itu sendiri sudah melekat pada
sosok keluarga kerajaan dan kaum bangsawan (aristokrat) di benua
Eropa. Adapun kelas penikmat yang dimaksudkan oleh Veblen ialah
kelas menengah perkotaan (kaum nouveaux) di Amerika Serikat yang
baru merasakan kekayaan (orang kaya baru). Kekayaan tersebut
diperoleh melalui kerja keras dalam memproduksi barang-barang
sebagai buah dari zaman Revolusi Industri. Namun kekayaan yang
diperoleh dari kesuksesan dalam dunia bisnis pada era itu relatif masih
kurang terpandang bila dibandingkan dengan kekayaan kaum
86 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
aristokrat (mungkin berbeda dengan konteks pandangan masyarakat
pada saat sekarang). Sebabnya ialah label bahwa kekayaan orang kaya
baru ini dihasilkan dari pabrik-pabrik yang kotor atau ternodai oleh
pekerjaan tangan-tangan buruh yang jorok (Corrigan, 1997; Paterson,
2006). Berbeda dengan kaum aristokrat Eropa yang memang sudah
kaya secara turun temurun.
Memperoleh status sebagai orang kaya baru namun rasanya
kurang mendapatkan penghargaan yang sepantasnya membidani
lahirnya tindakan sosial berupa demonstrasi status melalui aktivitas
konsumsi. Kekurangan mereka atas status kehormatan di kompensasi
melalui konsumsi yang mencolok. Diawali dengan niat meniru gaya
hidup kelas atas di Eropa atau mengembangkan selera elite.
Selanjutnya senantiasa menyesuaikan kebiasaan konsumsi yang
selevel dengan selera kelas atas, baik jenis barang maupun cara yang
benar dalam mengonsumsinya (Veblen, 1899). Barang-barang
konsumen kemudian dijadikan sebagai penanda prestise dan status
sosial. Dengan harta melimpah kaum nouveaux berlomba-lomba
membeli barang yang digunakan untuk pamer. Pembelian barang
dilakukan dengan tujuan yang sifatnya non-utilitarian, kontras dengan
keyakinan banyak ekonom. Pola konsumsi semacam ini sengaja
ditampilkan supaya publik menilai bahwa mereka selangkah lebih
maju dari status aslinya sebagai kaum nouveaux (Miles, 2006) atau
statusnya setara dengan kaum aristokrat.
Penikmatan yang berlebihan adalah strategi khusus kelas
penikmat dalam menjejakkan perbedaan atau menyatakan kualitas
mereka kepada dunia. Tujuannya meninggalkan kesan di tengah
masyarakat bahwa kekayaan mereka tak terbatas jumlahnya sehingga
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 87
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
timbul kekaguman dari orang lain. Hal ini diwujudkan melalui
tindakan sosial berupa konsumsi yang mencolok (conspicious
consumption) (Veblen, 1899), seperti penggunaan waktu secara tidak
produktif serta menghabiskan uang dan barang lebih dari yang
selayaknya mereka lakukan (Ritzer & Goodman, 2011).
Di sini dapat dimengerti bahwa studi konsumsi Veblen
menggunakan level pendekatan individual (bukan level struktur
sosial). Fokus perspektif ini terletak pada mekanisme psikologis atau
sosial yang mendorong perilaku konsumsi seseorang. Jadi pendekatan
individual mengkaji pendorong sosial perilaku konsumsi (Kennedy &
Krogman, 2008). Menurut Storey (2017), Veblen mencoba memahami
“motif” kelas penikmat menampakkan pola konsumsi mereka. Hasil
studinya yaitu konsumsi yang mencolok sebagai strategi perjuangan
hierarki di dalam ruang sosial dan bagian dari kontes kekuasaan
dengan harapan menumbuhkan otoritas di tengah masyarakat.
Veblen sangat keras dan sinis terhadap tatanan sosial Amerika.
Ia secara khusus menyorot fenomena penghamburan uang atau
pengeluaran boros kelas penikmat yang dimaksudkan sebagai ekspresi
kekayaan dan kesuksesan sosial. Cara ini sebagai upaya efektif dalam
mengkomunikasikan keanggotaan seseorang di strata sosial yang lebih
tinggi. Sebabnya ialah kembali kepada pola pikir itu tadi. Veblen
melihat orang Amerika pada masa itu mulai mengandalkan ekspresi
identitas kelas mereka pada pajangan barang. Fenomena ini mungkin
terkait dengan konsep kelompok status Weber, dimana peran material
kepemilikan menentukan penempatan sosial seseorang dalam suatu
komunitas (Dunn, 2008). Jadi sejalan dengan Weber, Veblen
berpendapat bahwa ketika individu terlibat dalam proses konsumsi
88 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
mencolok, produk yang dikonsumsi tidak dicari untuk tujuan
sebenarnya, tetapi lebih untuk apa yang diwakilinya dalam konteks
sosial (Golubeva et al., 2018). Secara umum, produk yang dikonsumsi
terdiri atas waktu luang dan barang.
Waktu luang bisa dijadikan sebagai ukuran kekayaan seseorang.
Hal ini tercermin pula pada buku The Cashflow Quadrant karya Robert
T. Kiyosaki. Dalam buku tersebut, Kiyosaki (2016) membagi cara
pandang manusia ke dalam dua sisi, yakni kuadran kiri dan kuadran
kanan. Kuadran kiri diisi oleh para pekerja, profesional, dan pedagang.
Ciri khasnya ialah mereka bekerja untuk orang lain atau untuk diri
sendiri. Sementara kuadran kanan adalah pola pikir orang kaya sejati
yang diisi oleh para pengusaha dan investor. Ciri khasnya ialah mereka
membangun sistem sehingga membuat orang lain bekerja untuk
mereka. Salah satu keunggulan menjadi manusia kuadran kanan ialah
kepemilikan waktu luang. Waktu adalah barang yang sangat mahal.
Oleh karena itu, seorang pengusaha yang sukses, terlebih lagi seorang
investor, sejatinya memiliki waktu luang yang banyak untuk dinikmati
dengan aktivitas bersenang-senang (dengan slogan pensiun muda,
pensiun kaya), bukan menghabiskan waktu hanya untuk bekerja
seumur hidup sebagaimana kebanyakan “manusia yang tidak
beruntung”.
Hampir seabad sebelumnya namun dalam fokus kajian yang
berbeda, Veblen telah lebih dahulu berargumen kaum nouveaux sengaja
menampilkan waktu luang yang mencolok kepada publik sehingga
mengkomunikasikan bahwa mereka benar-benar kaya. Konsumsi
waktu luang yang mencolok diisi dengan kegiatan rekreasi, belajar,
dan bepergian sebenarnya sebagai bentuk komunikasi yang
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 89
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
menggambarkan bahwa aktivitas kelompok ini jauh dari hal-hal yang
berbau pabrik (Paterson, 2006). Demi menangkal pandangan negatif
atas perilaku tidak produktif ini dibangun narasi bahwa “mereka yang
tidak harus bekerja itu terhormat atau tidak tercela”, berbeda dengan
kaum buruh yang selalu bekerja dan tidak terhormat (Stebbins, 2009).
Periode feodal yang terjadi sebelum dominasi industrialisasi
memperkuat pandangan ini. Pada zaman itu, “kehidupan santai”
memang dijalani oleh kaum aristokrat sebagai bukti paling kuat dan
meyakinkan yang menegaskan tentang kekuatan uang mereka
(Corrigan, 1997).
Selanjutnya dalam mewarnai kegiatan konsumsi mencolok
tersebut terjadi persaingan sosial sesama kaum nouveaux yang
berakibat pada tindakan perluasan gengsi. Hal itu menurut Veblen
dilakukan dengan mendukung semakin banyak orang yang tidak
melakukan pekerjaan produktif. Dimulai dari istri mereka yang
dilarang bekerja hingga ke pelayan-pelayan yang cukup banyak
jumlahnya sehingga tidak banyak tugas-tugas rendahan yang dapat
dikerjakan. Istri dan pelayan yang terhormat ini tampaknya memiliki
suatu fungsi, yaitu menunjukkan kemampuan sang tuan membayar
mereka. Dengan demikian istri dan pelayan kaum nouveaux juga
membuang waktu dengan mencolok atas nama tuannya (Corrigan,
1997).
Selain waktu luang, kekayaan juga didemonstrasikan melalui
konsumsi yang berlebihan terutama atas barang-barang yang mahal.
Cara ini berdasarkan ulasan Corrigan (1997) cenderung lebih sering
dipakai karena panggung pertunjukannya berada di perkotaan yang
bercorak Gesellschaft. Dalam situasi masyarakat perkotaan yang apatis
90 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
dan kebanyakan tidak saling mengenal satu sama lain, cara ideal untuk
menunjukkan kekuatan uang seseorang dilakukan dengan konsumsi
barang yang mencolok. Hal ini mengutip Veblen (1899) dalam rangka
menunjukkan “status superior dari mereka yang mampu membayar
kesenangan”.
Menurut Veblen, aktivitas konsumsi barang yang mencolok
juga mengikuti proses perluasan gengsi. Istri, anak, hingga para
pelayan didukung mengenakan pakaian yang serba mahal. Keluarga
kelas penikmat ini juga suka mengadakan pesta-pesta yang mewah.
Veblen menyebut istilah ini sebagai “tugas konsumsi perwakilan”
(Paterson, 2006). Namun dalam perkembangannya tidak semua kelas
menengah yang sedang tumbuh itu benar-benar cukup kaya untuk
menopang gaya hidup para pelayan. Selain itu, semakin sedikit pula
yang dapat menggunakan waktu senggang sebagai cara untuk
mendapatkan kehormatan. Alhasil tinggal konsumsi barang yang
menjadi cara utama dalam menampilkan kekayaan mereka dan
karenanya kehormatan mereka. Sementara penurunan skala sosial
terjadi dimana “tugas-tugas rekreasi dan konsumsi perwakilan”
berpindah kepada istri saja. Sedangkan suami kembali terpaksa harus
terlibat dalam pekerjaan yang menghasilkan uang, mulai menafikan
pandangan buruk terhadap uang yang dihasilkan dari pabrik kotor.
Namun hanya tindakan ini yang minimal dapat dilakukan guna
menyelamatkan wajah dan kehormatan mereka. Pada fase ini prinsip
menunjukkan penggunaan yang tidak produktif masih terus berlanjut
walaupun skalanya terbatas. Realitasnya mereka masih dengan bangga
mengklaim bahwa “istri saya tidak harus bekerja” dan istri
menghabiskan waktu dan barang atas nama suaminya. Akhirnya
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 91
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Veblen melihat reputasi kelas penikmat tetap dibangun di atas
pengeluaran yang sia-sia (Corrigan, 1997).
Menurut Boden (2003), perspektif Veblenian berkonsentrasi
pada tanda dan simbol yang dikomunikasikan melalui konsumsi
barang-barang material. Bagi kaum nouveaux, konsumsi adalah
kegiatan tampilan sosial yang disengaja, dilakukan secara strategis
untuk mengesankan penonton dan memancarkan kekayaan dan status.
Kepemilikan komoditas tertentu menjadi indeks lokasi seseorang
dalam struktur sosial. Kemudian muncul barang-barang konsumen
yang diberi label sesuai dengan kelasnya. Dalam konsumsi mode kelas
komoditas tersebut ditandai oleh motivasi serta perilaku imitatif dan
emulatif dari para pesertanya. Perilaku imitatif maksudnya meniru
aktivitas konsumsi yang berlebihan oleh sesama kelas nouveaux.
Sementara perilaku emulatif yaitu meniru selera konsumsi kelas yang
lebih tinggi (kelas aristokrat) dengan maksud bersaing gengsi dengan
sesama kelas nouveaux (Paterson, 2006).
2. Legitimasi Perbedaan Status
Legitimasi perbedaan status maksudnya ialah menegaskan
kepada publik bahwa kelas penikmat tidak sama dengan kelas pekerja
(Paterson, 2006). Meskipun kelas penikmat adalah pemilik pabrik
dimana kelas pekerja mencari nafkah, namun kelas penikmat tidak
pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh kelas pekerja.
Perbedaan status ini ditandai dengan perbedaan konsumsi yang
mencolok diantara kedua kelas tersebut.
Selanjutnya perbedaan status ditandai oleh kecenderungan
untuk perbandingan sosial. “Siapa yang lebih kaya?” atau seberapa
92 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
kaya seseorang terhadap orang lain. Caranya yaitu dengan akumulasi
dan demonstrasi komoditas mewah. Selera dan gaya hidup yang
ditampilkan hendak menegaskan perbedaan dengan orang lain. Jadi
perilaku konsumsi mencolok membentuk sistem persaingan (Paterson,
2006; Dunn, 2008). Sebagaimana disampaikan pula oleh Veblen (1899):
“Motif yang terletak pada akar kepemilikan adalah persaingan…”.
Bauman dalam Kennedy dan Krogman (2008) memperluas argumen
Veblen dengan pandangan bahwa konsumen telah menjadi komoditas,
menciptakan kembali diri mereka sebagai entitas yang dapat dijual di
dunia sosial yang menghargai individualisme dan perbandingan
sosial. Teori ini menyiratkan masih ada benih motivasi individu, yaitu
keinginan untuk status yang lebih baik melalui kepemilikan barang-
barang konsumen.
Veblen (1899) berpendapat bahwa konsumsi mencolok dapat
memberikan status dalam masyarakat materialis. Status tersebut
mewakili posisi yang patut ditiru oleh kelas-kelas di bawahnya. Cara
hidup dan standar nilai kelas penikmat menghasilkan norma baru bagi
masyarakat. Kelas-kelas yang lebih rendah “dipaksa” taat dengan cara
mematuhi kode-kode kelas penikmat sebagai mimpi yang selalu ingin
digapai. Akibatnya energi mereka tersalurkan untuk mengejar impian
tersebut. Penampilan pun kerap kali dirujuk dan disesuaikan dengan
selera kelas penikmat. Jadi dalam perkembangannya pola konsumsi
yang dipamerkan oleh kelas penikmat berdampak secara sosial dimana
menjadi standar norma baru yang ditempatkan sebagai tujuan atau
impian kelas sosial yang lebih rendah (Storey, 2017). Mereka yang ada
di kelas sosial lain turut dipengaruhi oleh contoh ini dan secara
langsung atau tidak berusaha mengikuti gaya hidup kelas penikmat.
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 93
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Hasilnya adalah suatu masyarakat yang dicirikan dengan
penghamburan waktu dan uang (Ritzer & Goodman, 2011). Ditambah
lagi karena produk-produk baru terus-menerus diiklankan dengan
mengeksploitasi sisi kepribadian, identitas, dan gaya hidup tertentu,
masyarakat didorong untuk mengonsumsi lebih banyak.
Menurut Dunn (2008), Veblen menjelaskan tentang etos prestasi
Amerika yang diekspresikan melalui akumulasi kepemilikan harta.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk praktik konsumsi komparatif yang
bersifat emulatif. Pembiakan perilaku emulatif terhadap kelas dalam
jangkauan terdekat (strata tertinggi berikutnya) dilakukan atas nama
kebutuhan akan reputasi yang tinggi. Tujuannya bersifat ganda, yakni
kepuasan psikis dan penyediaan rambu-rambu perbedaan kelas. Hal
ini sangat dimungkinkan terjadi pada masyarakat dengan sistem
stratifikasi terbuka seperti Amerika Serikat dimana garis-garis
kelasnya kabur atau sulit diidentifikasi. Jadi norma-norma yang
dibangun oleh kelas yang lebih tinggi punya kecenderungan untuk
meresap ke tingkat yang lebih rendah. Hal ini menelurkan skema
reifikasi dimana budaya dominan kelas yang lebih superior datang
dengan memberikan standar baru bagi kelas yang lebih rendah.
Akibatnya individu meninggalkan pola pikir yang sudah lama hidup
di dalam kelasnya dan menganggap standar baru dari kelas yang lebih
tinggi sebagai tujuan ideal.
Hal lain yang menarik dari argumen Veblen yaitu ketika ia
menjelaskan tentang fenomena ketidakpuasan kronis. Veblen menilai
persaingan dalam pencarian reputasi sebenarnya tidak dilakukan
dengan ukuran perbandingan yang jelas. Kekurangan seseorang pada
satu aspek kepemilikan bisa menjadi kelebihan kompetitor dalam
94 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
aspek kepemilikan yang lain, begitu pun sebaliknya. Ketika target
sudah tercapai selalu ada target-target baru dan keinginan-keinginan
baru untuk menjadi lebih baik daripada yang lain dalam segala hal. Hal
ini membuat pencapaian status komparatif tidak berhenti dalam satu
ronde saja. Alhasil terjadilah kompetisi abadi sepanjang hayat dengan
menampilkan komoditas mewah sebagai penanda status kompetitif
(Dunn, 2008).
3. Kritik atas Pemikiran Veblen
Salah satu kritik terhadap pemikiran Veblen datang dari
Campbell. Menurut Campbell, Veblen terlalu menekankan asumsinya
pada proses imitasi dan emulasi atas nama status sosial, namun
melupakan sisi inovasi. Masih berada dalam level analisis individual,
Campbell melihat kompetisi konsumsi terjadi karena individu
memiliki motif untuk melompati lawan mereka, bukan sebatas
aktivitas meniru saja. Dalam beberapa kasus, hal ini ternyata juga
memiliki keterkaitan dengan persoalan gaya dan cita rasa (Golubeva et
al., 2018). Persoalan ini punya kaitan dengan etika Romantis yang
diyakini oleh Campbell (1987) sangat kuat eksistensi atau
keberadaannya sebagai spirit yang mengukuhkan konsumerisme
modern. Jadi menurut Campbell, gaya atau cita rasa itu berada dalam
kedaulatan individu, tidak tergantung pada perilaku imitatif dan
emulatif. Jika kita menggunakan kacamata psikologi Maslow (1943)
dalam membaca perbedaan kedua pemikir sosial ini, maka gagasan
Campbell atas perilaku konsumsi manusia identik dengan kebutuhan
tertinggi manusia, yaitu aktualisasi diri. Sedangkan Veblen melihatnya
sebagai kebutuhan tingkatan tertinggi kedua, yaitu penghargaan.
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 95
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Kedua pemikiran tersebut tentunya tidak lepas dari konteks situasi
yang melatarbelakangi kelahirannya. Veblen dan Campbell hidup
dalam era yang berbeda.
Meski memiliki sisi kelemahan dalam sudut pandangnya,
diskusi tentang konsumsi kemewahan terasa janggal tanpa melibatkan
ide-ide klasik Veblen sebagai referensi. Tindakan membeli barang
untuk meningkatkan status seseorang tetap merupakan wawasan
mendasar tentang berbagai perilaku manusia yang non-rasional dan
sulit dijelaskan (Stone & Luo, 2016). Veblen setidaknya telah
menanamkan pengaruh yang cukup kuat pada beberapa pemikir sosial
kontemporer, sebut saja Bourdieu dalam karya monumentalnya yang
berjudul Distinction (1984). Bourdieu mengempiriskan ide-ide Veblen
dan bahkan berhasil mengembangkan ide tentang modal kultural
setelah merefleksikan studi tentang konsumsi mencolok ini. Fakta lain
yang juga tidak boleh dikesampingkan, pengaruh gagasan Veblen
telah berjasa menginspirasi dan melahirkan konsep nilai-tanda yang
menjadi ide penting Baudrillard dalam ranah akademis untuk
mengkritisi dan menggulingkan ide Marx tentang nilai-guna.
D. Penutup
Konsumerisme pada era postmodern saat ini sudah berkembang
lebih pesat dibandingkan pada masa hidup Veblen. Budaya konsumen
kini tidak lagi menjadi monopoli kelas tertentu. Dalam era masyarakat
informasi yang amat menggandrungi pencitraan dan haus akan
penghargaan sosial, perilaku memamerkan kemewahan sebagai wujud
dari konsumsi mencolok diprediksi akan terus berlangsung dalam
96 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
skala yang lebih luas, bahkan lebih vulgar dari yang dapat
dibayangkan.
Bila masa hidup Veblen digambarkan dengan suasana kota
yang terus berkembang, pada konteks sekarang justru sudah jauh lebih
berkembang lagi. Kehadiran orang-orang baru tidak hanya ditemui di
dalam sebuah kota, tetapi juga di dalam dunia virtual, sebuah kota
global. Jadi lebih banyak orang yang dapat menyaksikan komoditas
yang dipamerkan sehingga lebih luas kesempatan dalam
meningkatkan citra diri. Dalam latar yang berbeda dengan era Veblen,
pamer kemewahan pada saat ini bisa diinisiasi oleh para pengusaha,
selebriti, politisi, profesional, atlet, youtuber, selebgram, hingga
“pemuka agama”. Perilaku pamer kemewahan pada masa kini tidak
terlepas dari konteks sosial dimana individu atau kelompok tertentu
mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan sosial dan
status sosial. Hal ini diwujudkan melalui konsumsi waktu luang dan
barang yang mencolok. Perilaku konsumsi mencolok ini kemudian
meluas dan berdampak secara sosial termasuk mempengaruhi
perilaku kelas dari strata yang lebih rendah.
Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 97
Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen
Daftar Pustaka Boden, S. (2003). Consumerism, Romance, and the Wedding Experience.
Palgrave Macmillan.
Bourdieu, P. (1996 [1984]). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
Campbell, C. (2018 [1987]). The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism. Palgrave Macmillan.
Corrigan, P. (1997). The Sociology of Consumption: An Introduction. SAGE Publications.
Dunn, R. G. (2008). Identifying Consumption: Subjects and Objects in
Consumer Society. Temple University Press.
Geertz, C. (1963). Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia. Bhratara Karya Aksara.
Golubeva, J., Koris, R., & Kerem, K. (2018). The Dress I Wear Says More Than a Thousand Words: Conspicuous Choice of Garment among Estonian Elite. Journal of Management and Change, 36(37), 78-98.
Kennedy, E. H. & Krogman, N. (2008). Towards a Sociology of Consumerism. Int. J. Sustainable Society, 1(2), 172-189.
Kiyosaki, R. T. (2016). Cashflow Quadrant: Panduan Mencapai Kebebasan
Keuangan. Gramedia Pustaka Utama.
Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological
Review, 50(4), 370–396.
Miles, S. (2006). Consumerism as a Way of Life. SAGE Publications.
Paterson, M. (2006). Consumption and Everyday Life. Routledge.
Pierce, F. S. (2020). Thorstein Veblen: American Economist and Sociologist. https://www.britannica.com/biography/Thorstein-Veblen
98 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Ritzer, G. & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana.
Stebbins, R. A. (2009). Leisure and Consumption: Common Ground/Separate Worlds. Palgrave Macmillan.
Stone, J. & Luo X. (2016). Veblen in Twenty-First Century America: The Renewal of a Critique. Athens Journal of Social Sciences, 3(4), 281-298.
Storey, J. (2017). Theories of Consumption. Routledge.
Veblen, T. (2007 [1899]). The Theory of the Leisure Class. Oxford University Press
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 99
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa
Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected], [email protected],
Abstract
This research aims at explaining and understanding how Small and Medium Enterprises (SMEs) of vehicle exhaust in Purbalingga Lor utilize social capital in improving their company’s performance. This research used Qualitative Method and Case-Study Approach. Data of this research was collected through a series of in-depth interview, observation and documentation. The intake of informants was done through snowball sampling technique. Data validated by source and technique triangulation. Data was analized by using Interactive Analysis Model. The result of this research shows that the actors involved in SMEs of vehicle exhaust in Purbalingga Lor consist of raw material suppliers, craftsmen, resellers, consumers, associations and related government agencies. The actors maintain good relations with each other, build mutual trust and networks, and create regulating norms. The social capital has been able to improve the enterprise’s performance and support the business development and expantion of vechicle exhaust in Purbalingga.
Keywords: Industrial Sociology, Purbalingga, Small And Medium Enterprises (SMEs), Social Capital, Social Change
Abstrak
Tujuan artikel ini untuk menjelaskan dan mengetahui modal sosial pada
Industri Kecil Menengah knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor mampu
meningkatkan kelangsungan perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data penelitian ini diperoleh melalui
wawancara, dokumentasi dan observasi. Pengambilan informan dilakukan
dengan teknik snowball sampling. Validitas data menggunakan triangulasi
sumber dan teknik. Analisis data menggunakan model analisis interaktif. Hasil
dari peneltian ini dapat diketahui aktor yang terlibat di dalam Industri Kecil
Menengah Knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor terdiri dari pemasok bahan
100 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
baku, pengrajin, reseller, konsumen, pihak asosiasi dan pemerintah dinas
terkait. Para aktor saling menjaga hubungan baik satu sama lain, di antara
mereka saling menjaga kepercayaan, membangun jaringan dan terdapat norma
yang mengatur. Modal sosial mampu meningkatkan kinerja usaha knalpot dan
bisa mendukung serta mengembangkan Industri Kecil Menengah Knalpot di
Purbalingga.
Kata kunci: Industri Kecil Menengah (IKM), Modal Sosial, Perubahan Sosial, Purbalingga, Sosiologi Industri
* * *
A. Pendahuluan
Sebuah Industri mampu menambah devisa serta pendapatan
negara, menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran dan
kemiskinan. Saat ini berbagai industri besar, sedang maupun kecil
sudah menyebar di kota hingga pedesaan. Kabupaten Purbalingga
merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi industri yang
cukup berkembang. Penduduk Kabupaten Purbalingga berjumlah
907.507 jiwa (BPS, 2018). Mayoritas penduduk Kabupaten Purbalingga
bekerja sebagai petani sebanyak 127.145 jiwa, buruh industri 105.254
jiwa dan pengusaha sebanyak 18.919 jiwa (BPS, 2015).
Salah satu industri unggulan Kabupaten Purbalingga yaitu
sentra knalpot (Dinkominfo, 2017). Dengan adanya industri knalpot
dan industri lain di Purbalingga mampu menyerap banyak lapangan
pekerjaan. Industri Knalpot di Purbalingga bermula pada industri
rumahan atau home industry di Dusun Sayangan Kelurahan
Purbalingga Lor sejak tahun 1970 dan terus berkembang sampai saat
ini. Pada tahun 2014 Purbalingga telah menghasilkan 595.371 buah
knalpot dan pada tahun 2015 sebanyak 313.380 knalpot (Dinkominfo,
2015). Karena prospek yang menjanjikan maka industri knalpot
menyebar ke daerah lain di Kabupaten Purbalingga.
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 101
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Produk knalpot dari Purbalingga sudah tersebar di penjuru
Indonesia bahkan mancanegara. Knalpot Purbalingga juga pernah
bekerja sama dengan Agen Tunggal Pemegang Merk seperti APV,
Terrios bahkan Pindad, BMW, Mercedes (Jatengprov, 2017). Dengan
demikian knalpot buatan Purbalingga sudah mempunyai nama baik di
Indonesia maupun mancanegara. Di balik sukses dan berkembangnya
industri knalpot di Purbalingga terdapat beberapa pengrajin dan
pengusaha knalpot yang gulung tikar. Salah satu penyebab mereka
gulung tikar dan mengurangi produksi knalpot yaitu masalah
kenaikan harga pada bahan baku knalpot (Kompas, 2011).
Faktor lain yang mempengaruhi kemerosotan produksi knalpot
adalah kemampuan pengelolaan usaha yang kurang, kurangnya
dukungan dari pemerintah, modal sosial yang masih kurang seperti
kurangnya norma yang mengatur, kurangnya kepercayaan dan
jaringan sosial yang kurang luas sehingga sulit dalam pemasaran dan
kalah bersaing. Padahal modal sosial sangat penting bagi keberhasilan
bisnis selain modal ekonomi dan modal budaya. Modal sosial bisa
berfungsi sebagai sumber informasi penting dalam peluang pasar,
akses keuangan, aset pasar, tenaga kerja dan informasi penting lainnya
(Field, 2010).
Untuk mempertahankan industri knalpot Purbalingga dalam
persaingan yang semakin ketat di era globalisasi, menarik untuk diteliti
bagaimana mereka membangun modal sosial agar bisa bersaing
dengan yang lain, mempertahankan eksistensi untuk kelangsungan
usaha. Sehingga dalam penelitian ini akan menguraikan rumusan
masalah “Bagaimana Modal Sosial Pada Industri Kecil Menengah
Knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor Kecamatan Purbalingga
102 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Kabupaten Purbalingga” yang akan dikaji dan dianalisis
menggunakan Teori Modal Sosial Robert Putnam. Dimana modal
sosial didefinisikan sebagai bagian kehidupan sosial atau organisasi
sosial seperti jaringan, kepercayaan dan norma yang tumbuh dari
hubungan antar individu yang dapat mendorong partisipan atau
anggota untuk bertindak bersama-sama dan terkoordinasi secara
efektif guna mencapai tujuan dan keuntungan bersama (Field, 2010).
Industri Kecil Menengah merupakan bentuk usaha yang menghasilkan
uang melalui jasa atau memproduksi barang dimana usaha tersebut
mempunyai tenaga kerja antara 5 sampai dengan 99 orang (Saleh,
1986).
Terdapat beberapa penelitian mengenai modal sosial antara lain,
(Purwanto, 2013) fokus meneliti tentang modal sosial dan budaya
berperan mengembangkan klaster industri keramik di Kasongan dan
membahas hubungan subordinasi, dominasi dan resistensi namun
teori yang digunakan berbeda dengan teori pada penelitian ini karena
(Purwanto, 2013) menggunakan teori modal sosial Bourdieu.
(Fitriawati, 2010) meneliti tentang industri slondok di Desa
Sumurarum, Magelang sedangkan pada penelitian ini meneliti
mengenai Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan Purbalingga
Lor, perbedaan tempat objek penelitian menghasilkan penelitian dan
pembahasan yang berbeda pula. (Khair, 2019) juga meneliti mengenai
modal sosial dalam industri rumah tangga kerupuk sagu di Desa Pintu
Gobang namun pada tulisannya tidak dijabarkan dengan jelas
bagaimana modal sosial tersebut berperan dalam industri kerupuk
sagu tersebut. (K. Saleh, 2017) juga meneliti tentang modal sosial
perempuan pelaku industri rumahan emping melinjo namun metode
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 103
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
penelitian yang digunakan berbeda dengan penelitian ini, karena (K.
Saleh, 2017) metode penelitian kualitatif dan menggunakan
pendekatan fenomenologi. (Nurcahyono & Astutik, 2018) sama-sama
menggunakan teori modal sosial namun fokus penelitian sangat
berbeda karena penelitian tersebut membahas tentang modal sosial
masyarakat Suku Tengger yang beragam namun bisa bersatu mencapai
keharmonisan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Purbalingga Lor,
Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga yang dilakukan pada
bulan Juli 2019 sampai Oktober 2019. Metode yang digunakan yaitu
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi
kasus digunakan agar mendapatkan data yang detail dan mendalam
(Creswell, 2015). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Penentuan sumber data
dilakukan menggunakan snowball sampling.
Informan dalam penelitian ini yaitu pemasok bahan baku,
pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, pihak asosiasi dan
pemerintah dinas terkait. Untuk menguji keabsahan data digunakan
triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Data dianalisis
menggunakan model analisis interaktif dimana dilakukan reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2013).
C. Pembahasan
Industri knalpot merupakan salah satu industri unggulan di
Purbalingga. Dusun Sayangan Kelurahan Purbalingga Lor merupakan
kawasan sentra industri knalpot, disana 70% warganya menggeluti
dunia perknalpotan dan terdapat 35 industri knalpot (Muzaki, 2019).
104 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Knalpot Purbalingga dibuat dengan sistem handmade. Sebagian besar
pengrajin knalpot Purbalingga memproduksi knalpot aftermarket atau
knalpot variasi dan juga knalpot custom.
1) Aktor Dalam Industri Kecil Menengah Knalpot
Pada Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan
Purbalingga Lor terdapat aktor-aktor yang terlibat dan berhubungan
satu sama lain dalam menjalankan dan melancarkan industri knalpot
yaitu pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot,
konsumen, pihak asosiasi dan pemerintah dinas terkait dimana mereka
saling mendukung dan bekerja sama. Masing-masing pihak
mempunyai peran dalam menjalankan industri knalpot sebagaimana
dipaparkan pada alinea berikut ini:
Pertama yaitu pemasok bahan baku. Pemasok bahan baku
menyediakan plat stainless, plat besi, plat galvanis, alumunium dan
drum bekas untuk para pengrajin knalpot. Bagi pengrajin knalpot yang
produksinya belum banyak biasanya mereka membeli bahan baku di
toko besi, untuk pengrajin yang produksinya sudah besar mereka
mengambil bahan baku dengan sistem partai kepada pemasok bahan
baku yang berasal dari Jakarta, Surabaya dan Tegal atau langsung dari
pabriknya dikarenakan harga yang lebih murah. Pada mulanya sales
bahan baku mendatangi para pengrajin dan menawarkan bahan baku
dengan harga yang lebih murah apabila pembeliannya dalam jumlah
banyak, sales bahan baku menitipkan nomor yang bisa dihubungi. Jadi
untuk pembelian bahan baku partai besar biasanya pengrajin knalpot
hanya memesan via whatsapp atau telefon dan minta untuk dikirim.
Kedua yaitu pengrajin knalpot. Pengrajin knalpot adalah orang
yang mempunyai usaha di bidang industri knalpot. Pengrajin knalpot
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 105
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
di Purbalingga biasanya memproduksi knalpot kendaraan baik itu
knalpot motor matic, motor sport, RX King atau knalpot mobil.
Pengrajin knalpot di Purbalingga rata-rata memiliki 4-30 tenaga kerja
yang sebagian besar berasal dari orang terdekat seperti tetangga dan
saudara. Pengrajin knalpot di Purbalingga ada yang hanya membuat
knalpot jika ada pesanan atau made by order dengan model custom dan
ada juga yang memproduksi knalpot setiap hari dalam jumlah tertentu
yang kemudian dipasarkan melalui bengkel, toko onderdil di seluruh
Jawa dan Luar Jawa dan juga dipasarkan secara online. Di samping
menjual langsung kepada konsumen atau secara online, ada juga
pengrajin knalpot yang menjual knalpot melalui perantara yaitu
kepada reseller, sales atau pengepul yang kemudian baru dijual kepada
konsumen. Untuk membesarkan nama merk knalpot dan menarik
konsumen, para pengrajin knalpot sering mengikuti pameran otomotif
dan acara atau event yang diselenggarakan oleh club motor. Hal
tersebut dilakukan untuk mengembangkan jaringan dan menambah
kenalan club-club motor di Indonesia sekalian mempromosikan produk
knalpot mereka. Walaupun sudah banyak pengrajin di Purbalingga
yang memiliki merk knalpot sendiri namun tidak dipungkiri bahwa
masih ada pengrajin yang masih memproduksi knalpot palsu, namun
jumlah sudah sangat berkurang dalam kurun waktu beberapa tahun
belakangan ini. Alasan pengrajin knalpot masih memproduksi knalpot
tiruan yaitu karena mereka belum yakin dengan merk knalpotnya
sendiri dan banyaknya permintaan konsumen atas knalpot tiruan.
Ketiga yaitu reseller knalpot. Reseller knalpot adalah individu
yang menjual knalpot yang diambilnya dari pengrajin dan dijual
kepada konsumen. Kebanyakan dari mereka menjual knalpot melalui
106 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
media online dan marketplace seperti shopee, tokopedia, bukalapak, facebook,
instagram, whatsapp atau menjual langsung kepada teman-teman
komunitas dan kenalan mereka. Ada juga yang menyetok banyak
knalpot dan dibawa berkeliling kota untuk dititipkan ke bengkel.
Siapapun bisa menjadi reseller knalpot, cukup dengan mengambil
knalpot dengan jumlah minimal tertentu kepada pengrajin sudah bisa
mendapatkan harga reseller. Semakin banyak knalpot yang diambil dan
semakin sering membeli maka reseller akan mendapat harga yang
semakin murah. Harga jual yang dipasang oleh reseller merupakan
kewenangannya sendiri. Satu reseller knalpot tidak hanya mempunyai
tempat kulakan, karena mereka menjual berbagai model knalpot yang
diambil dari berbagai pengrajin.
Keempat yaitu konsumen. Konsumen knalpot ada yang
membeli secara langsung mendatangi toko dan ada juga yang membeli
online. Ada konsumen yang membeli knalpot secara eceran dan
konsumen knalpot yang membeli dalam jumlah banyak. Konsumen
bisa membeli knalpot sesuai dengan spesifikasi yang diinginkannya
atau custom. Namun harga knalpot custom biasanya lebih mahal
daripada knalpot yang aftermarket biasa yang sudah siap dijual.
Kelima ada Asosiasi Pengrajin Knalpot Purbalingga (APiK
Bangga). Organisasi mempunyai ciri yaitu tindakan anggota kelompok
atau individu di dalamnya mengarah ke sebuah tujuan yang ingin
dicapai (Ahdiah, 2011). APiK Bangga berfungsi sebagai wadah para
pengrajin knalpot di Purbalingga dan juga sebagai sarana modal sosial
bagi para pengrajin knalpot, mereka bisa berjejaring satu sama lain
dimana jaringan sosial bisa menjadi aset yang mempunyai nilai yang
tinggi dan mendorong para aktor untuk bekerja sama sehingga dapat
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 107
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
memberikan manfaat satu sama lain (Fatimah & Afifuddin, 2013).
Setiap komunitas bisa dijadikan sebagai potensi modal sosial yang bisa
bermanfaat bagi para anggotanya.
APiK Bangga mendukung agar industri knalpot terus
berkembang, maju dan lebih baik sehingga mampu bersaing dengan
knalpot daerah lain di tengah perkembangan jaman agar penjualan
knalpot Purbalingga semakin meningkat dan kualitasnya semakin
baik. Pada mulanya pengrajin knalpot yang tergabung merasa miris
dengan persaingan harga, banyaknya pengrajin yang memproduksi
knalpot tiruan dan kurangnya perhatian dari pemerintah seperti tidak
adanya bantuan dalam mengenalkan IKM knalpot kepada jaringan
bahan baku dan peluang kerja sama lain untuk mengangkat industri
knalpot. Mereka sadar jika memerlukan wadah untuk bersatu dan
berdiskusi untuk membawa perubahan yang lebih maju bagi industri
knalpot di Purbalingga. Setelah ada APiK Bangga sudah mulai terlihat
dukungan dan peran dari pemerintah untuk memajukan knalpot
Purbalingga. Saat ini pengrajin yang memproduksi knalpot tiruan juga
sudah sangat berkurang dikarenakan pengrajin knalpot sudah
memproduksi knalpot dengan merk mereka sendiri.
Keenam yaitu pemerintah dan dinas terkait, dalam hal ini Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purbalingga, Bupati
Kabupaten Purbalingga beserta jajarannya serta Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia yang sudah memberikan bantuan
kepada para industri kecil menengah knalpot di Kabupaten
Purbalingga dan mendukung industri knalpot Purbalingga.
108 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
2) Identifikasi Hubungan dan Modal Sosial Para Aktor
Alur Identifikasi Modal Sosial dan alur aktor IKM Knalpot
Di dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan
Purbalingga Lor, aktor yang saling berhubungan dan bekerja sama
dalam menggerakkan usaha knalpot antara lain pemasok bahan baku,
pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, asosiasi dan pemerintah
dinas terkait. Hubungan sosial yang terjalin menjadi modal sosial atas
dasar saling membutuhkan dimana mereka saling melakukan
pertukaran barang, uang dan jasa. Rantai produksi dan pemasaran
semakin mudah dan berjalan maksimal apabila didukung oleh modal
sosial (Riyanto, Hidayat, & Sukesi, 2014). Seperti halnya yang
disebutkan di dalam (Sawitri & F. Soepriyadi, 2014) bahwa petani
membutuhkan modal sosial, industri knalpot juga membutuhkan
modal sosial sebagai landasan melakukan kegiatan bersama. Modal
sosial berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi baik secara langsung
atau tidak langsung (Handoyo, 2013).
Pemasok bahan baku bekerja sama dengan pengrajin knalpot.
Pemasok bahan baku menyediakan plat besi, plat stainless, plat
alumunium dan bahan baku lain yang dibutuhkan oleh pengrajin.
Pemasok Bahan Baku Pengrajin knalpot
Konsumen
Pemerintah & Dinas Terkait Asosiasi Pengrajin Knalpot
Reseller
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 109
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Hubungan antara pemasok bahan baku dan pengrajin berlangsung
secara berulang-ulang, melakukan pertukaran yang menguntungkan
sehingga mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Sebagian pengrajin knalpot bergabung dengan Asosiasi
Pengrajin Knalpot Purbalingga (APiK Bangga) dan bekerja sama
dengan pemerintah dinas terkait agar terjalin komunikasi dan bisa
memajukan industri knalpot. APiK Bangga mengadakan kegiatan
seperti pertemuan rutin membahas masalah dan kendala yang ada
setiap 2 minggu sekali yang diselenggarakan di gedung sekretariat
APiK Bangga atau Cafe. Saat pertemuan rutin ditarik uang KAS untuk
kebutuhan seperti menjenguk teman sakit dan hajatan. Selain
pertemuan rutin juga banyak kegiatan yang di selenggarakan oleh
pemerintah dan dinas terkait untuk mendukung para anggota APiK
Bangga contohnya pelatihan las, pelatihan manajemen keuangan, studi
komparasi, kunjungan ke ASTRA, Pertemuan Akbar yang
penyelenggaraannya dibantu oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Purbalingga.
Kegiatan lain juga diadakan oleh Kementerian Perindustrian
contohnya Link and Match yang bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi para pengrajin komponen otomotif salah satunya
pengrajin knalpot untuk bertemu dan menjalin kerja sama dengan para
industri otomotif besar. Kemudian Acara Sosialisasi Legalitas Usaha
dan Diskusi Langkah Pengrajin Menuju Kerja sama dengan ATPM,
Bimbingan Teknis 5R IKM Alat Angkut, Pameran Musyawarah
Rencana Pembangunan Keresidenan Banyumas, Pameran Produk
Inovasi dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut
boleh diikuti oleh seluruh anggota APiK Bangga.
110 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Dengan demikian sudah terlihat campur tangan pemerintah
dalam mendukung industri knalpot di Purbalingga. Pada tahun 2018
Pemerintah Kabupaten Purbalingga juga telah memberikan bantuan
peralatan kepada anggota APiK Bangga. Dinperindag juga
memfasilitasi pengrajin knalpot untuk mendaftarkan merk knalpot
bagi yang belum mempunyai sendiri agar bisa mengangkat nama
produknya dan mengurangi produksi knalpot tiruan.
Pengrajin knalpot juga menjalin hubungan baik dengan reseller
knalpot. Hubungan yang terjadi antara pengrajin dan reseller knalpot
biasanya berawal dari teman, kerabat atau kenalan yang kemudian
memanfaatkan hubungan tersebut menjadi hubungan bisnis, namun
tidak seluruhnya. Biasanya reseller yang mempunyai hubungan dekat
mempunyai keuntungan dan dipermudah dalam pengambilan
knalpot.
Pengrajin dan reseller memasarkan knalpot melalui sosial media
dan marketplace. Tidak hanya mengandalkan pemasaran melalui online
mereka juga memanfaatkan kenalan club motor dan mobil yang
tersebar di seluruh Indonesia dimana komunitas yang mereka ikuti
bisa menjadi tempat promosi dan berpengaruh terhadap penjualan.
Walaupun pengrajin knalpot menjual barangnya langsung kepada
konsumen hal itu tidak menjadi masalah bagi para reseller karena jika
konsumen membeli langsung kepada pengrajin secara ecer harga yang
didapatkan bisa bersaing dengan harga yang ditawarkan reseller karena
harga jual yang diberikan oleh pengrajin knalpot didasarkan pada
jumlah knalpot yang diambil atau sistem grosir.
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 111
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
3) Manfaat Yang Diperoleh dari Hubungan dan Modal Sosial Antar
Aktor
Manfaat menjaga hubungan baik antara aktor yang terlibat
dalam Industri Kecil Menengah knalpot yaitu terciptanya hubungan
bisnis yang lancar, harmonis dan menguntungkan karena mereka
saling membutuhkan satu sama lain dalam memajukan usaha mereka
masing-masing. Dengan intensitas bertemu yang lumayan sering tentu
membuat para aktor semakin dekat dan lebih mengenal pribadi satu
sama lain, mereka berbagi pengalaman, bertukar keluh-kesah sehingga
dalam jangka panjang bisa untuk menambah relasi, teman dan
saudara. Kedekatan antar aktor juga memberikan keuntungan yaitu
kemudahan dalam proses jual beli, lebih diutamakan daripada yang
tidak kenal, tidak ingin mengecewakan dan berusaha memberikan
yang terbaik serta mendapatkan harga khusus.
Selain itu dengan adanya Asosiasi Pengrajin Knalpot
Purbalingga (APiK Bangga) juga memberikan manfaat bagi para
anggotanya, manfaat yang dirasakan antara lain mereka menjadi tahu
pentingnya Surat Ijin Usaha, belajar berorganisasi, menambah relasi,
memperluas jaringan, mendapatkan akses untuk bisa mengikuti acara
yang diadakan pemerintah pusat maupun daerah, mampu
mengembangkan usaha karena mereka dikenalkan dengan Agen
Tunggal Pemegang Merk (ATPM) serta industri besar lainnya,
mendapatkan pengetahuan seputar wirausaha karena adanya berbagai
sosialisasi yang diadakan APiK Bangga dan pemerintah, mendapatkan
sertifikat setelah mengikuti kegiatan, bisa bergabung dengan pameran
dan expo yang bisa membantu mengenalkan produk knalpot mereka
supaya lebih dikenal banyak orang, khalayak umum bahkan ATPM.
112 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Dengan adanya interaksi dan transaksi yang terjadi maka
mendorong para aktor melakukan kerja sama dan hubungan yang
saling menguntungkan dimana hal tersebut mampu memunculkan
kepercayaan dan nilai positif yang memperkuat hubungan mereka dan
asosiasi tersebut. Semakin sering modal sosial digunakan dan
dikembangkan maka akan semakin besar dan berkesinambungan
(Usman, 2018).
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di Industri Kecil
Menengah Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor terdapat beberapa
masalah antara lain masih ada pengrajin knalpot yang membanting
harga atau menjual knalpotnya dibawah standar harga dengan alasan
yang penting knalpot yang sudah diproduksi habis terjual walaupun
keuntungan yang didapatkannya sangat sedikit sehingga mereka bisa
membayar karyawan, hal tersebut membuat harga knalpot di pasaran
menjadi kacau. Masalah selanjutnya masih banyak pengrajin yang
memproduksi knalpot tiruan dan banyak di antara mereka yang belum
memiliki merk sendiri. Selain itu terdapat perbedaan dalam
memperoleh bahan baku antara pengrajin besar dan pengrajin kecil.
Pengrajin besar mempunyai akses untuk mendapatkan bahan baku
dengan harga murah namun tidak bagi pengrajin knalpot kecil.
Untuk itu dengan adanya asosiasi APiK Bangga bisa dijadikan
wadah bagi para pengrajin knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor
untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar masalah yang sedang
terjadi. Selain dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Purbalingga, APiK Bangga juga berkerja sama dengan
Pemerintah Kabupaten Purbalingga (Bupati dan jajarannya),
kepolisian bahkan dengan Kementerian Perindustrian.
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 113
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
APiK Bangga berharap bisa menyatukan semua pengrajin
knalpot di Purbalingga, pengrajin menjual produk dengan
menggunakan merk sendiri dan mempunyai legalitas serta ijin usaha
supaya nantinya tidak ada yang membanting harga karena harga akan
diatur berdasarkan grade dan kualitas. Dengan itu diharapkan dalam
jangka panjang bisa menyejahterakan pengrajin dan lebih mudah
dalam penyaluran bantuan dari pemerintah. Saat ini bantuan dari
pemerintah pusat maupun daerah disalurkan melalui APiK Bangga
baik itu berupa peralatan, pelatihan, seminar, pameran serta acara yang
bisa mengenalkan pengrajin dengan industri otomotif besar dan ATPM
supaya terjalin kerja sama.
Namun untuk bekerja sama dengan ATPM tidaklah mudah ada
syarat yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak yaitu pengrajin
dan pihak ATPM seperti standar kualitas produk, harga dan
kemampuan produksi knalpot harus sesuai kuantitas yang diminta.
Oleh sebab itu saat ini belum banyak pengrajin knalpot Purbalingga
yang bekerja sama dengan ATPM, pengrajin lebih berkonsentrasi
dengan produk knalpot custom dan produk aftermarket karena syarat
dan proses kerja sama dengan ATPM terlalu rumit, panjang,
standarisasi knalpot yang terlalu detail dan ketidak cocokkan dalam
kesepakatan harga.
APiK Bangga bisa membuka jalan komunikasi dan diskusi
forum antara pengrajin knalpot dan pemerintah. Pemerintah
mengharapkan APiK Bangga nantinya mampu memfasilitasi
kebutuhan para pengrajin knalpot dalam pengadaan bahan baku masal
supaya mendapatkan harga yang lebih murah sehingga biaya produksi
bisa ditekan dan menambah keuntungan bagi para pengrajin itu
114 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
sendiri. Pemerintah juga berharap APiK Bangga bisa menerapkan
standarisasi harga dengan menerapkan persentase minimal HPS
(Harga Perkiraan Sendiri), jadi jika ada yang menjual di bawah HPS
akan dikenakan sanksi. Pengrajin knalpot menentukan harga jual
knalpot berdasarkan jumlah knalpot yang diambil oleh reseller dan
konsumen, semakin banyak jumlah knalpot yang diambil maka
harganya semakin murah. Jika mau dijual lagi reseller bebas
menentukan harga jual mereka.
Pengrajin dan reseller knalpot kebanyakan mengawali kariernya
di dunia perknalpotan karena kerabat, keluarga, kenalan dan teman.
Selain bisa memberikan peluang dalam menciptakan kesempatan
kerja, kerabat, keluarga, kenalan dan teman juga mampu menambah
dan memperluas pemasaran knalpot. Seperti yang terjadi di industri
knalpot Purbalingga dengan memanfaatkan kerabat, keluarga, kenalan
dan teman mampu menarik dan menambah pelanggan atau konsumen
knalpot, seperti teman club motor, teman sekolah, teman main yang
bisa menambah kepercayaan antara penjual knalpot baik pengrajin
knalpot ataupun reseller dengan calon pembeli.
Tujuan konsumen membeli knalpot biasanya untuk
memodifikasi kendaraan mereka supaya lebih keren dan untuk
meningkatkan performa kendaraan mereka. Maka konsumen selalu
mempertimbangkan model yang up to date, kualitas knalpot yang
bagus, memperhatikan bahan dasar knalpot, brand image atau merk
knalpot yang bagus dan terkenal, suara knalpot yang bagus dan harga
yang sesuai dengan kualitasnya, bahkan beberapa konsumen rela
merogoh kocek yang tidak sedikit untuk mendapatkan knalpot yang
berkualitas. Maka dalam memilih tempat membeli knalpot konsumen
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 115
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
tidak sembarangan dan penuh pertimbangan, biasanya mereka akan
bertanya kepada teman rekomendasi tempat yang tepat dan melihat
review dari iklan yang ada. Maka dari itu hendaknya pengrajin selalu
mengedepankan kualitas knalpot supaya tidak mengecewakan
konsumen.
Aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah Knalpot
seperti pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot,
konsumen turut menjaga hubungan baik kepada semua kerabat,
keluarga, kenalan, teman yang sudah memberikan manfaat baik secara
langsung atau tidak langsung dalam membantu promosi
kelangsungan bisnisnya baik dengan cara menjaga silaturahmi,
bertukar cerita, saling menjenguk apabila ada yang sakit, saling
membantu jika ada yang terkena musibah, menghadiri hajatan agar
selalu tercipta hubungan yang baik.
Selain menjaga hubungan baik antara aktor, kerabat, teman dan
pelanggan, para aktor tetap mempertahankan kualitas agar tidak
mengecewakan pelanggan. Karena dengan mempertahankan kualitas
barang dan knalpot bisa mempertahankan kepercayaan yang ada.
Kepercayaan dalam proses pengiriman dan proses transaksi juga harus
dijaga. Dalam bertransaksi biasanya menggunakan sistem ada uang
ada barang, namun ketika kedua belah pihak sudah mempunyai
hubungan yang dekat, sudah kenal lama serta adanya kepercayaan
yang kuat, pembayaran bisa di negosiasi tergantung perjanjian.
Hasil penelitian di analisis dengan Teori Modal Sosial Robert
Putnam dimana di dalam modal sosial terdapat tiga unsur pokok yaitu
jaringan sosial, norma dan kepercayaan. Inti dari modal sosial yaitu
sekumpulan orang atau kelompok yang bersatu dan menjalin kerja
116 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
sama untuk menggapai sebuah tujuan yang sama. Di dalam
sekumpulan orang yang bekerja sama tersebut terdapat interaksi sosial
dimana mereka yang tergabung saling mendapatkan manfaat yang
menguntungkan. Hubungan dan interaksi sosial yang terjadi dalam
jangka waktu yang cukup lama menimbulkan kepercayaan satu sama
lain dan muncul sebuah aturan atau norma yang harus dipatuhi oleh
para aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di
Kelurahan Purbalingga Lor. Modal sosial tersebut akan semakin kuat
dan maksimal apabila setiap orang yang terlibat di dalamnya bertindak
sesuai aturan dan apa yang menjadi tujuan bersama (Hasbullah, 2006).
Modal sosial dapat mempermudah, memperlancar hubungan dan
kerja sama sehingga harapan dan tujuan individu bisa tercapai dengan
efektif dan efisien (Abdullah, 2013). Unsur modal sosial dalam
penelitian ini dibahas sebagai berikut :
a) Partisipasi dalam Jaringan Sosial
Minat seseorang untuk bergabung dengan perkumpulan atau
kelompok. Jaringan hubungan sosial antara anggota atau individu
yang mempunyai manfaat untuk mengelola sumber daya milik
bersama karena memudahkan koordinasi, kerja sama agar
memperoleh keuntungan satu sama lain (Samuel & Badaruddin, 2015).
Seperti yang terjadi di Kelurahan Purbalingga Lor, aktor yang terlibat
seperti pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller, konsumen,
pemerintah dan asosiasi saling berhubungan dan menjaga hubungan
baik demi kelangsungan usaha dan kemajuan industri knalpot di
Purbalingga. Kedekatan dan hubungan baik yang mereka lakukan
dapat dilihat dalam wujud nongkrong dan ngopi bersama, bercerita
tukar pikiran, saling membantu dalam hal pribadi seperti menghadiri
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 117
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
acara hajatan, menjenguk yang sakit dan menjenguk bayi. Dengan
adanya kedekatan personal mampu menambah keintiman dan
kedekatan sehingga bisa mempermudah hubungan bisnis mereka,
karena jika sudah kenal lebih dekat rasa kepercayaan semakin kuat.
Seperti yang disebutkan dengan adanya kegiatan bersama mampu
membentuk masyarakat semakin solid dan sebagai tempat
bertukarnya informasi di antara para aktor (Purwanto, 2013).
Selain menjaga hubungan baik dengan para aktor, pengrajin
knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor mengikuti Asosiasi Pengrajin
Knalpot Purbalingga (APiK Bangga) dimana organisasi tersebut
beranggotakan pengrajin knalpot yang ada di Purbalingga. Adanya
APiK Bangga menunjukkan bahwa di dalam IKM Knalpot Kelurahan
Purbalingga Lor terdapat partisipasi dari pengrajin dalam membentuk
jaringan sosial yang bertujuan menyatukan pengrajin knalpot di
Purbalingga dalam satu wadah dan mendorong agar penjualan
knalpot semakin tinggi. Adanya APiK Bangga juga membangkitkan
dukungan dan peran pemerintah dan dinas terkait untuk bekerja sama
dalam memajukan knalpot Purbalingga serta mengurangi knalpot
tiruan. Seperti halnya pada (Hakim & Wibisono, 2017; Sumintarsih,
2012) dimana asosiasi atau paguyuban mampu menjadi wadah dalam
menyatukan para petani agar mempermudah komunikasi antar
anggota kelompok.
APiK Bangga mampu menambah silaturahmi, komunikasi dan
tukar pikiran antara pengrajin dan reseller knalpot dengan pemerintah
dalam membahas masalah yang terjadi untuk mencari solusi. Terdapat
kegiatan lain seperti kunjungan studi banding, seminar atau sosialisasi,
pameran, pelatihan usaha dan acara-acara lain yang mendukung
118 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
kemajuan knalpot Purbalingga yang diadakan oleh pemerintah dan
APiK Bangga.
Dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak seperti pemasok
bahan baku, pengrajin knalpot, reseller, asosiasi dalam hal ini APiK
Bangga, Pemerintah dinas terkait yang saling bersinergi dan turut
proaktif dalam memajukan dunia perknalpotan di Kabupaten
Purbalingga tentunya akan memberikan keuntungan bagi semua
pihak.
b) Kepercayaan
Kepercayaan merupakan keyakinan yang dimiliki individu
kepada orang lain. Kepercayaan berperan dalam membangun modal
sosial kelompok, dimana modal sosial mampu menciptakan
kehidupan yang harmonis (Ambarita & Sitorus, 2015). Di dalam IKM
Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor aktor yang terlibat saling percaya
satu sama lain. Contohnya pemasok bahan baku dan pengrajin knalpot,
pemasok bahan baku membutuhkan pengrajin knalpot sebagai
pelanggan apa yang dijualnya sementara pengrajin knalpot
membutuhkan bahan baku dari pemasok untuk kelangsungan
produksi knalpotnya. Begitu pula pengrajin knalpot dan reseller,
pengrajin knalpot dengan konsumen, mereka saling menjaga
hubungan dan kepercayaan agar tidak kehilangan pelanggan.
Hubungan antar aktor IKM Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor
dipelihara salah satunya dengan menjaga kepercayaan satu sama lain.
Kepercayaan akan terus terpelihara selama pihak yang
berinteraksi tetap bertindak sesuai yang seharusnya. Namun jika salah
satu mengingkari janji atau tidak sesuai kesepakatan maka
kepercayaan yang sudah terbangun menjadi rusak dan orang yang
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 119
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
melanggar sudah tidak dipercaya. Contohnya yang tadinya diberi
kepercayaan dengan mengambil barang dengan tidak membayar di
muka apabila sekali tidak membayar sesuai waktu yang ditentukan
tanpa ada alasan dan komunikasi yang jelas maka untuk pembelian di
lain waktu tidak diberi kesempatan membayar secara hutang
melainkan harus membayar di muka.
Dalam mencari karyawan, pengrajin knalpot memilih dari
orang terdekat baik itu tetangga, saudara atau teman karena lebih bisa
dipercaya daripada orang asing. Di samping itu juga karena menurut
mereka lebih baik membantu menyejahterakan orang terdekat terlebih
dahulu dengan cara menciptakan lapangan kerja. Dalam membeli
barang konsumen mencari penjual yang sudah terpercaya baik itu
kepada penjual yang sudah mereka kenal atau rekomendasi dari
teman. Jika membeli barang kepada yang sudah kenal konsumen akan
lebih percaya karena pihak penjual akan memberikan barang yang
terbaik dan tidak akan mengecewakan konsumen tersebut. Apabila
penjual selalu memberikan barang dengan kualitas yang baik, hal
tersebut akan menguntungkan si penjual karena konsumen tidak akan
kecewa, bahkan jika suatu saat konsumen akan membeli knalpot atau
barang lagi atau jika ada temannya yang mencari knalpot mereka akan
memberikan rekomendasi kepada penjual tempat dimana mereka
biasanya beli. Hal itu bisa menjadi media promosi gratis dengan
melalui mulut ke mulut. Karena kepercayaan tidak timbul begitu saja
dan memerlukan proses yang cukup lama maka hendaknya para aktor
yang terlibat di dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan
Purbalingga Lor saling menjaga kepercayaan yang telah ada dan terus
membangun kepercayaan dengan orang yang lebih banyak karena
120 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
kepercayaan bisa mendukung bisnis dan kelangsungan usaha industri
knalpot mereka.
c) Norma
Norma merupakan aturan harus dipatuhi karena berguna untuk
mengontrol tindakan yang ada di masyarakat atau kelompok tertentu.
Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, bersifat
resiprokal dan muncul setelah jaringan sudah lama terbina (Gusman,
2019). Norma juga bisa mengurangi risiko penyimpangan di antara
para aktor, membuat harga stabil, membantu para aktor mendapatkan
jaringan dan kepercayaan (Fitriawati, 2010). Terdapat aturan yang ada
di dalam anggota APiK Bangga yaitu tidak boleh memproduksi
knalpot palsu sehingga pengrajin harus memproduksi knalpot dengan
merk sendiri, hal tersebut untuk melindungi para pengrajin agar
terhindar dari masalah hukum atau tuntutan brand yang ditiru, agar
industri knalpot Purbalingga maju dengan citra yang baik, serta
menghindari persaingan dengan sesama pengrajin. Dengan adanya
peraturan merk, saat ini kasus produksi knalpot bajakan di Kabupaten
Purbalingga sudah berkurang, namun tidak dipungkiri masih ada
beberapa oknum yang melakukan pembajakan knalpot dengan alasan
permintaan pasar yang masih tinggi.
Aturan lain yang ada di IKM Knalpot Kelurahan Purbalingga
Lor yaitu adanya perbedaan harga bahan baku antara pengambilan
grosir atau borongan dengan pengambilan ecer. Kemudian perbedaan
harga yang terdapat di penjualan knalpot dari pengrajin knalpot, ada
perbedaan harga jika membeli satuan dengan pembelian banyak
sekaligus akan mendapatkan harga grosir minimal pengambilan 10
buah knalpot. Dengan adanya aturan tersebut maka reseller knalpot
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 121
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
tidak perlu khawatir tidak mendapatkan konsumen, karena jika ada
konsumen yang membeli knalpot kepada pengrajin langsung juga
tidak mendapatkan harga yang lebih murah.
D. Penutup
Industri Kecil Menengah Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor
melibatkan aktor-aktor yang saling berhubungan antara lain pemasok
bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, Asosiasi
Pengrajin Knalpot dan pemerintah dinas terkait. Mereka mempunyai
peranan masing-masing dan senantiasa menjaga hubungan baik satu
sama lain. Dalam menjalankan bisnis memerlukan modal ekonomi,
modal kultural dan modal sosial untuk mempertahankan dan
mengembangkan bisnisnya.
Di antara aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah
Knalpot semuanya saling membangun dan menjaga kepercayaan serta
menjaga kualitas barang karena bagi mereka kepercayaan mampu
mempertahankan pelanggan lama dan mempermudah untuk
mendapatkan pelanggan baru, biasanya sebelum melakukan jual beli
pelanggan mencari tahu bagaimana rekam jejak penjual. Dalam
merekrut pekerja, mereka memilih berdasarkan orang terdekat seperti
saudara, tetangga dan teman daripada orang asing karena orang
terdekat lebih terpercaya, asal-usulnya jelas dan mudah dilacak apabila
ada masalah.
Para aktor yang terlibat dalam industri knalpot memelihara
modal sosial dengan menggelar pertemuan rutin setiap dua minggu
sekali, saling tolong-menolong dan menjenguk ketika ada yang sakit,
menghadiri acara atau pesta yang di adakan oleh salah satu kolega atau
hanya sekedar nongkrong ngopi bersama bertukar cerita. Hal tersebut
122 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
mampu menambah nilai kebersamaan, mengerti satu sama lain
sehingga dapat memperlancar hubungan bisnis.
Harapannya para aktor yang terlibat dalam IKM Knalpot di
Kelurahan Purbalingga Lor tetap menjaga hubungan baik, terus
mengembangkan modal sosial, memperluas jaringan, menjaga dan
menciptakan kepercayaan, menaati norma yang ada, bangga terhadap
merk sendiri dan terus menjaga kualitas. Lalu untuk anggota asosiasi
APiK Bangga diharapkan terus aktif dan antusias mengikuti kegiatan,
pelatihan yang diadakan, mengajak seluruh pengrajin knalpot di
Purbalingga untuk bergabung dalam asosiasi. Dan kepada pemerintah
hendaknya selalu melakukan pendampingan, pembinaan dan
memberikan perhatian serta fasilitas kepada para IKM agar industri
knalpot semakin maju dan menjadi produk unggulan yang
membanggakan sehingga mampu mengangkat nama Purbalingga.
***
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 123
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Daftar Pustaka
Abdullah, S. (2013). Potensi Dan Kekuatan Modal Sosial Dalam Suatu Komunitas. Socius, XII, 15–21.
Ahdiah, I. (2011). Organisasi Perempuan Sebagai Modal Sosial (Studi Kasus Organisasi Nasyiatul Aisyiyah Di Sulawesi Tengah). Jurnal Academica, 3(1), 523–534.
Ambarita, E. C., & Sitorus, H. (2015). Modal Sosial Komunitas Petani Kemenyan Dalam Pelestarian Hutan Kemenyan di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan. Perspektif Sosiologi, 3(1), 42–57.
BPS. (2015). Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kabupaten Purbalingga, 2011-2015. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id
BPS. (2018). Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Purbalingga, 2010, 2015, and 2016. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id
Bungin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dinkominfo. (2015). Produk Industri Knalpot Purbalingga Capai 595.371 Unit Per Tahun. Dinas Komunikasi dan Informatika. Retrieved April 7, 2019, from Dinkominfo.purbalinggakab.go.id website: https://dinkominfo.purbalinggakab.go.id
Dinkominfo. (2017). Kemenperin Perkuat Industri Unggulan Daerah di Purbalingga dan Surakarta – Kabupaten Purbalingga. Retrieved April 7, 2019, from Purbalinggakab.go.id website: https://www.purbalinggakab.go.id
Fatimah, M., & Afifuddin, M. (2013). Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional. JKAP, 17(2), 4–19.
Field, J. (2010). Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fitriawati, E. (2010). Modal Sosial Dalam Strategi Industri Kecil.
124 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Dimensia, 4(1), 23–40.
Gusman, I. (2019). Pemanfaatan Modal Sosial Petani Ikan Pasca Tubo Balerang dalam Mendapatkan Pekerjaan Baru. Jurnal Sosiologi Andalas, 5(1), 21–34.
Hakim, F. N., & Wibisono, G. (2017). Modal Sosial Petani Tembakau untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 16(4), 369–380.
Handoyo, E. (2013). Kontribusi Modal Sosial dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima Pascarelokasi. Jurnal Komunitas, 5(2), 252–266.
Hasbullah, J. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press.
Ibrahim. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Jatengprov. (2017). Kenalkan Produk Knalpot Purbalingga Kepada Presiden Jokowi. Retrieved April 7, 2019, from Jatengprov.go.id website: https://jatengprov.go.id
Khair, H. (2019). Modal Sosial Dalam Industri Rumah Tangga Kerupuk Sagu Di Desa Pintu Gobang Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi. JOM FISIP, 6, 1–14.
Kompas. (2011). Knalpot Purbalingga Terkendala Logam. Retrieved April 7, 2019, from Kompas.com website: https://ekonomi.kompas.com
Muzaki, K. (2019). Sejarah Knalpot Purbalingga. Retrieved August 21, 2019, from TribunJateng.com website: https://jateng.tribunnews.com
Nurcahyono, O. H., & Astutik, D. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masyarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat : Jurnal Sosiologi, 2(1), 1–12.
Purwanto, A. (2013). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18(2), 233–261.
Riyanto, S., Hidayat, K., & Sukesi, K. (2014). Modal Sosial Dalam Komunitas Pedagang Sayuran Didesa Tawang Argo Kecamatan
Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 125
Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor
Karang Ploso Kab. Malang. Habitat, XXV(2), 96–104.
Saleh, I. A. (1986). Industri Kecil. Jakarta: LP3ES.
Saleh, K. (2017). Modal Sosial Perempuan Pelaku Industri Rumahan Empling Melinjo (Kasus Perempuan Perdesaan Provinsi Banten). Jurnal Agribisnis Terpadu, 10(2), 160–174.
Samuel, J. P., & Badaruddin. (2015). Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Perspektif Sosiologi, 3(1), 58–74.
Sawitri, D., & F. Soepriyadi, I. (2014). Modal Sosial Petani dan Perkembangan Industri di Desa Sentra Pertanian Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(1), 17–36.
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sumintarsih. (2012). Modal Sosial Petani Lereng Gunung Merbabu sebagai Kekuatan Dalam Mengelola Usaha Pertanian. Patrawidya, 13(4), 583–614.
Susanto, R. (2017). Kemenperin Gelontorkan Rp 46 miliar untuk Industri Knalpot Purbalingga. Retrieved August 24, 2019, from Gatra.com website: https://www.gatra.com
Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
126 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Gender and Family in Modern Acehnese Society
Muhammad Zawil Kiram
Marmara University, Turkey
Email: [email protected]
Abstract
Since it was declared as one of the crucial issues in the Sustainable Development Goals agenda by the United Nations, gender equality has entered every country including in the Acehnese family. As a province that implements Islamic law and rich in local wisdom, Aceh has its own perspective in responding to the issue of gender equality. Although in the past (in terms of religion and culture) Aceh recognized the existence of the same position between men and women in the family, in its implementation gender equality has not achieved completely. The cultural shift and understanding of Acehnese society towards gender, which is considered as an ideology from the West, has become one of the big walls in the realization of gender equality in the family. The culture of society that stigmatizes men as weak people if they are involved in domestic affairs also plays a major role. In addition, the most influential thing is the absence of gender-based education both in families and social institutions in Acehnese society, therefore the generation that grows continues to develop with the same understanding as their predecessors which resulted in the discourse of gender equality in modern Aceh society being a mere delusion.
Keywords: Gender Equality, Family, Modern, Aceh
Abstrak
Sejak dideklarasikan sebagai salah satu isu krusial dalam agenda Sustainable Development Goals oleh Persatuan Bangsa-Bangsa, kesetaraan gender telah memasuki setiap ranah kehidupan manusia termasuk dalam keluarga dan masyarakat Aceh. Sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam dan kaya akan budaya lokal, Aceh memiliki perspektif tersendiri dalam menanggapi isu kesetaraan gender ini. Meskipun di masa lalu (secara agama, adat dan budaya) Aceh mengakui adanya posisi yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga, dalam penerapannya keseteraan gender belum bisa dikatakan telah tercapai secara maksimal. Pergeseran budaya dan pemahaman masyakarat Aceh terhadap gender yang dianggap sebagai
Muhammad Zawil Kiram | 127
Gender and Family in Modern Acehnese Society
ideologi dari Barat telah menjadi salah satu tembok besar penghalang terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Budaya masyarakat yang menstigma laki-laki sebagai kaum yang lemah jika berkecimpung dalam urusan domestik juga berperan besar terhadap ketimpangan gender di Aceh. Selain itu, hal yang paling berpengaruh adalah tidak adanya pendidikan berbasis gender baik dalam keluarga maupun institusi sosial seperti sekolah dalam masyarakat Aceh, sehingga generasi yang tumbuh terus berkembang dengan pemahaman yang sama seperti pendahulu mereka yang mengakibatkan wacana kesetaraan gender dalam masyarakat modern Aceh menjadi angan-angan belaka.
Kata kunci: Kesetaraan Gender, Keluarga, Modern, Aceh
* * *
A. Pendahuluan
Gender issues has been widely discussed among sociologist for
over decades. The issues has not only taken scholars attention but also
the international organizations, social workers, volunteers, and
stakeholders of the nation. Since it first heard by many people in 1848
in the first women’s right movement in United State, the term of gender
has been understood globally.
Nowdays, many international organizations are working to
achieve the gender equality among society. The concept of gender
mainstreaming was first discussed at the 1985 United Nations Third
World Conference on Women in Nairobi and established as a strategy
in international gender equality policy through the Beijing Platform for
Action adopted at the 1995 Fourth United Nations World Conference
on Women in Beijing. United Nation also have puted gender equality
as one of the priority in achieving Sustainable Development Goals
(SDGs).
Without any doubt the gender movement continues to develop
and enter every country (including Indonesia) and every element of
128 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
people's lives. The feminist movement was originally a movement of a
group of western women activists, who later gradually became an
academic wave in universities, including Islamic countries, through the
woman studies program. Later on the women's movement has received
permission from the United Nations Women's Organization with the
issuance of CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women).
In 21st century, gender movement have gained far-ranging legal
rights, such as near-universal women’s suffrage and the
implementation of legislation in many countries to ensure gender equal
inheritance (Dilli et al, 2009: 31-57). In Indonesia, gender equality is one
of the focuses of the government under the Ministry of Women's
Empowerment and Child Protection. The institution has
responsibilities to protect women and children form domestic violence
and other discriminations.
In Aceh province, gender equality in public sector has shown
marked improvements in these respects, it proven by having its female
major of the capital city of Banda aceh in 2014. However, for all the
progress that has been made, the elimination of discrimination against
women has not been achieved completely especially in domestic sector,
family. For instance, there is still violence against women in the family.
According to United Nation there are some problems and
challenges to achieve gender equality including lack of understanding
of people about the gender of equality, limited attention to neglected
groups and issues, and rejection from some groups (usually happen in
rural and strong culture groups) and lack of education about gender
equality.
Muhammad Zawil Kiram | 129
Gender and Family in Modern Acehnese Society
In order to find out how gender equality implemented in
modern Acehnese family, the following paper will discuss about
cultural aspect and gender equality, women position in modern
Acehnese community, women’s and men’s roles in family, and
education about gender in family. The government and world
organizations has made a huge contributions toward gender equality
and gave the same opportunity to every country to implement their
policy in order to create equal right for both men and women to realize
the SDGs, but this would never be enough unless people work together
and apply the value of gender equality in their life.
B. Women Position in Acehnese Family and Society
History has proved that the Acehnese people are identical with
Islam, and this religion is a major factor in the personal identity of the
Acehnese. Apart from C. Snouck Hurgronje's statement that in legal life
in the 19th century that the people of Aceh referred to adat more than
Islamic law because only a few parts of customary law were influenced
by religious law, which was related to religious belief and inner life,
such as the family, marriage and inheritance (Saiful, 2016: 236).
History has also noted that the spread of Islam in Indonesia
began in Aceh and this has brought a change in Acehnese live. The
application of Islamic Sharia began to exist and develop in the
kingdoms of Aceh, until its peak in the Sultanate of Iskandar Muda
(1607-1636). During Iskandar Muda period, Islamic law was applied in
a whole (kaffah) manner with the Mazhab Shafi'i which included the field
of worship, ahwal al-syakhshiyyah (family law), mu'amalat maaliyah
(civil), jinayah (Islamic criminal), uqubah (punishment), murafa’ah,
130 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
iqtishadiyah (justice), dusturiyah (legislation), akhlaqiyyah (morality), and
‘alaqah dauliyah (state).
Islam has played an important role in the life of the Acehnese
people, so Islam has become an Acehnese identity that cannot be
separated in all aspects of their life (hukom ngon adat lage zat ngon sifeut).
This is a reflection that for Acehnese people, culture and costum,
including local wisdom and Islamic Sharia law are one, and cannot be
separated because Acehnese culture is basically based on Islamic law
from the Qur’an and Hadith (Nurdin, 2015). Although Aceh was once
known as a center for the spread of Islam in Indonesia, the
implementation of Islamic law in Aceh for last decades does not cover
the whole aspect of live like it was, but it is still the only Indonesia
province practicing sharia law officially.
Gender experience in Islam is defined primarily through the
Qur’an, which is considered to be perfect, eternal, and unchanging so
that its interpretation of the law will never change. One of the missions
brought by Islam to mankind is to elevate the status of women and
make it parallel with men’s status. Prior to the advent of Islam, there
was a tradition in Jahilliyah Arabs to bury alive the daughters (female
infanticide) because they were deemed as a burden or disgrace for the
family (L. John; 2001; 13).
When Islam came, this tradition was abolished, and, further,
women were acknowledged as individuals who have rights, including
property rights and inheritances. This indicates that Islam women has
special place and treated equally as a man. However, the treatment
received by women in modern world does not reflect what the Prophet
Muhammad Zawil Kiram | 131
Gender and Family in Modern Acehnese Society
taught. Nowadays, level of violence against women in many Muslim
countries have increased (Alfitri, 2014).
In Indonesia for example, a report from the National Women's
Commission in the year 2019 revealed that 431,471 women experienced
domestic violence, either physically or psychologically, perpetrated by
their husbands.
Figure I. Number of Women Victims of Violence form 2008 to 2019 in 2020 Annual Report
Note: Diagram based on data from the National Women's
Commission from year to year.
The diagram above shows that within 12 years, violence against
women increased by 792% (almost 800%), that means violence against
women in Indonesia for 12 years increased almost 8 times. In Aceh
Province, based on data from the PPPA Ministry of Women and Child
Protection Information System (SYMPHONY PPA), in 2015, the
number of domestic violence cases in Aceh Province was 108, this
number increased significantly to 453 in 2016, then it decreased slightly
to 437 in 2017 and 436 cases in 2018 (Yusuf, 2019). Forms of violence
that are often experienced by women are physical, sexual,
psychological and economic violence.
132 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
With regard to the matter of the relationship between men and
women, the basic principles of the Qur’an depict an egalitarian
standpoint. In several Verses, the Qur’an clearly asserts equal status to
both genders. For example: in the Al Hujurat (13),1 it is written that God
has created males and females of different nationalities and ethnicities,
with the purpose that they acquaint themselves with each other.
Another example is in the An-Nisa (124),2 it is written that men and
women will be rewarded equally by Allah in the Hereafter for whatever
good deeds they conducted, as long as they have faith in Allah.
Then in surah Al-Nahl (97), Allah also mentions ‘’ Whoever does
righteousness, whether male or female, while he is a believer - We will
surely cause him to live a good life, and We will surely give them their
reward [in the Hereafter] according to the best of what they used to
do’’.3 If Allah, as the creator, has treated men and women equally, how
can the created beings do differently?
In the cultural perspective of Acehnese society, women also have
a special place. The position of women in Acehnese society is seen as
higher because they are "masters" or people who are capable,
producing, or owning. Local wisdom in Acehnese people protects and
respects women from birth to grave. Protection for women in Acehnese
society, for example, is expressed by putting "Cupeng" jewelry on baby
girls and toddlers who also function as a cover for nakedness even
though they are not dressed (Nurdin, 2015).
1 See al-Qur’an, al-Hujurat: 13 2 See al-Qur’an, an-Nisa’: 124. 3 See Al-Qur’an, An-Nahl: 97
Muhammad Zawil Kiram | 133
Gender and Family in Modern Acehnese Society
From a historical standpoint, Acehnese women are involved in
many public fields, including matters of trade, defense and leadership.
In the seventeenth century, Aceh was ruled by four sultans for 60 years.
After a period of Sultanah, the people of Aceh fought against Dutch
colonialism for forty years. The women also played a role as warriors
and operations leaders against the Dutch, which made Acehnese
women fighters such as Cut Nyak Dhien and Cut Meutia remembered
by history.
As time passed the position of women in Aceh began to weaken
along with cultural changes. In 1945, when Aceh became part of
Indonesia, gender norms were significantly influenced by the new
Indonesian state. Strong gender policies were implemented by the
Indonesian Soeharto government. These gender policies, infamously
known as “State Ibuism”, were implemented through programs such
as Dharma Wanita and the Family Welfare Program. These policies
categorised men as primary income-earners and women as child-
rearers and housewives (Jones, 2017).
In her article, Balawyn Jones (2017) explained that State Ibuism
had real consequences in limiting the operation of matrifocal values in
Aceh. By prioritising women’s roles as wives and mothers, these
policies de-emphasised women’s roles as sisters and daughters, also
known as matrilineal kinship structures. State Ibuism also placed
greater importance on the role of the father as head of the household.
As the result, women also less valuable in making decisions.
According to her, Aceh’s gender history is defined by this
paradox of female (dis-)empowerment, with gender relations
becoming increasingly patriarchal over time. The long-term trend
134 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
appears to be the diminishing of women’s social position through the
shift in family structure away from matrifocal traditions. Although
matrifocal traditions are still practiced in rural areas, there has been a
decline in women’s cultural authority, particularly in urban contexts.
This cultural change has affected the position of women both in the
domestic sector (family) and society.
C. Gender in Family; Re-understanding the Distribution of Housework and Childcare In modern Aceh society the role of women is often portrayed as
a wife who has the responsibilty of serving her husband, looking after
children and caring for the house. For education as well, there are still
many parents in Aceh who think education is only for men, because
they are the leader of the family, while women do not need to be highly
educated because even though highly educated, women end up
dealing only with mattresses, wells and kitchens (kasur, dapur, sumur).
This is how most of Aceh people think.4
There has been discrimination between men and women, both
in the family, community, and country in various aspects. The socio-
cultural construction has led to the sexual division of labor where
women are no longer seen as being equal to men. This phenomenon has
become a part of Acehnese daily lives and has become entrenched in
their culture as well.
As well as caring for children. In Aceh, only women take care of
children while men do not. Although the wife works, for matters of
caring for children is also the wife's obligations. How could this
4 Interview with DA. Lecturer at Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Resident in Aceh
Utara, Aceh. 20 May 2020.
Muhammad Zawil Kiram | 135
Gender and Family in Modern Acehnese Society
happen? In the culture of modern Acehnese society, taking care of the
house and looking after children is not common thing for men even
though it is only a small matter such as cooking, cleaning up, or doing
laundry.
Culture that seems to teach that the kitchen is the work of
women, making the majority of men rarely do kitchen activities. In
Aceh, if there is a man who does domestic work such as helping his
wife sweep, cook together in the kitchen, look after his children, or do
washing, then he will be bullied by those around him because he is
considered a weak man, afraid of his wife and so on (Kiram: 2020a).
If a boy who helps his mother take care of a house isn't he a filial
son? And if he is a husband, isn't he a husband who loves his wife and
children by being involved in household chores? So why are men
involved in domestic work being stigmatized by the community so
much? Barnett and Baruch (1987) show that the gap between the
amount of time parents and children are home together and awake and
the amount time spent in solo interaction with children is greater for
men than for women.
Shelton (2006:) describe that men are at home and awake when
their children are there an average of 29.4 hours per week compared to
44.45 hours for women; men spend only 5.48 hours per week in solo
interaction with their children compared to 19.56 hours per week far
women, regardless of the wife's employment status. This significantly
larger gap between time available and time spent in solo interaction is
consistent with other researchers' reports that women are more likely
to be responsible for the care of children than men (Gerson, 1993).
Similarly, men are more likely to be childcare "helpers," leaving women
136 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
responsible for the care of children (Ehrensaft, 1987; Brannen & Moss,
1987).
In recent decades several studies have looked into factors at the
individual and household level that affect the distribution of domestic
work. The available literature has identified three major factors: time
availability, relative resources and gender ideology (Kil et all, 2016).
Becker (1981) explains the division of housework from a rational
economic perspective. He argues that families seek to maximize utility
by distributing tasks as efficiently as possible. Each member must
therefore specialize in what (s)he does best, paid or domestic work. A
recent application of this theoretical framework is the perspective of
time availability in which the distribution of housework depends on
the time available to partners. The partner who spends less time on
other activities such as labor force participation will have more time
available to take up a larger share of the housework.
The second approach emphasizes the importance of relative
resources that partners contribute to the household. Housework is
considered an annoying task whose distribution is achieved as a result
of negotiation. Negotiation takes the form of a power struggle: the
partner who has the best negotiating position - based on material
resources - may limit his or her share of the housework (Brines, 1993).
The last perspective looks into the distribution of domestic work
as the result of gender ideology. From this respect, women with
attitudes conforming to the ‘malebreadwinner/female carer’-ideal will
perform a larger share of the household chores. Gender ideology is
viewed as the result of socialization in the role that is associated with
the gender category to which one belongs. An alternative theory is the
Muhammad Zawil Kiram | 137
Gender and Family in Modern Acehnese Society
‘gender construction/doing gender’-perspective. From this
perspective, domestic work is a process through which individuals
define their gender identity. West and Zimmerman (1987) view gender
as a set of routines that are embedded in everyday interaction which
must be constantly exercised and confirmed in interaction with others.
Based on Islamic teachings about the role of men and women in
the household, it is not a problem if a husband helps his wife do
housework. It has been narrated in Sahih Bukhari that once Hazrat
Aisha was asked: “What did the Prophet (PBUH) do in his house?” She
replied: ''He is an ordinary human being, he is a person who does his own
laundry, milkes his goats, and serves himself’’. (Narrated by Muhammad
bin Ismail from Abdullah bin Salih, from Mu'awiyah bin Salih, from
Yahya bin Salih sourced from Amrah). From this point, it can be
concluded that in doing homework such as washing and cooking can
be done by anyone in the family.
In Aceh modern society as it is today. The role of women not
only at home but also in public spaces. Now women also work to help
family needs. If most people only think that housework is a woman's
work, there will be a double burden that must be borne by women,
helping their husbands by making a living and taking care of the house.
According to Goldscheider the revolution towards gender equality
runs in two stages (Goldscheider, 2000; Goldscheider, Olah, & Puur,
2010). The first part of the gender revolution in which women enter the
public sphere of education, employment and politics and the second
part of the revolution in which men join the private sphere and take up
their part of the responsibility for housework and childcare.
138 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
In order to achieve gender equality in family, there must be a
mental revolution and a change in perspective on housework and
childcare in Acehnese society because if we look at the teachings of
Islam it is clearly depicted that men and women have the same position
and they have the same obligations and rights towards God. The
understanding that housework and chilcare are women's responsibilty
needs to be changed.
D. Gender Education in Acehnese Modern Society
In human history the role of the education has brought a big
change to human civilization. Knowledge as a change in an individual's
behaviour comes from experience. With education humans gain
knowledge that is applied in bringing new changes and making their
lives more advanced. Education is important in human life and in this
case also related to gender equality. Gender inequality starts with a lack
of understanding of the basic values of gender equality.
Attitudes towards gender equality are the tendency of
individuals to provide cognitive and affective and conative responses
to the equality of roles and rights between men. Differences in attitudes
towards gender equality vary depending on the influencing factors
including knowledge about gender equality. Education on gender
equality must start early so that it will provide a good understanding
when children grow up. The family as the first agent of socialization in
society has an important role in instilling this understanding. The
application of gender equality values in the family will shape a
behaviour and leads to respectful attitude between men and women.
Muhammad Zawil Kiram | 139
Gender and Family in Modern Acehnese Society
Picture I. Relation between Family, Education, and Gender Equality. (Kiram, 2020b)
Discussing education in gender equality is not only about
women's access to education, but also about understanding the
importance of gender equality itself. However, education about gender
equality is still very low in Acehnese family, society, and even in school
institutions (universities as exception). Most Acehnese consider gender
issues as a product of western countries and cannot be applied in their
lives that causes gender issues as sensitive issues to be discussed.5
Gender education should be given to children in their early ages
by telling history of gender equality in Acehnese society, teaching
Islamic religious values, and guiding children to practice it in the
family. Cooking skills and helping take care of domestic matters also
need to be trained early on boys and girls. So they do not consider that
housework is only women's work, instead they would understand that
it is a shared task in the family.
In the preschool period, family context and family experiences
are important for gender stereotype development (McHale et al. 2003;
5 Interview with SN. Resident of Aceh Utara and Teacher at Senior High School. 12 May 2020.
Family
Gender Education
Gender Equality
140 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Witt 1997). Several, mostly U.S., studies have investigated child gender
stereotypes in a family context, and demonstrated that parental gender
stereotypes and the presence of siblings play an important role in the
development of explicit gender stereotypes (McHale et al. 1999).
Children acquire gender stereotypes at an early age. U.S study
with 10- month-old children found that at this age they can already
detect gender-related categories (Levy and Haaf 1994). In the second
year of life preferences for gender stereotypical toys appear, as found
in a Canadian study with 12-, 18-, and 24-month-old children (Serbin et
al. 2001). According to another Canadian study explicit knowledge
about gender roles emerges between the ages of 2 and 3 years (Poulin-
Dubois et al. 2002).
This indicate that children learn about gender equality from
their family for the first time. Gender equality begins at home, and
families are at the front lines of change. For the next generation, the
examples set at home by parents, care-givers and extended family are
shaping the way they think about gender and equality. From breaking
down gender stereotypes to sharing the care work, and educating
children about women’s and men’s rights and gender equality.
Family can apply the values of gender equality by sharing the
care work. All this time from cooking and cleaning, to fetching water
and firewood or taking care of children and the elderly, women carry
out at least two and a half times more unpaid household and care work
than men. As a result, thousands of women and girls miss out on equal
opportunities of going to school, or joining full-time paid work, or
having enough time to rest.
Muhammad Zawil Kiram | 141
Gender and Family in Modern Acehnese Society
By involving boys in care work and household chores from an
early age, along with girls would create the same responsibilities
among the family member. At the same time it would increase the
awareness to help each other because there are no specific rules or
dividing jobs, and at the end it would be an understanding that house
work is not only for the girls but also for boys, because they share the
same jobs and responsibilities.
Family also should be the place to fight stereotypes, gender is
not about biological differences between the sexes, rather, it’s a social
construct—people define what it means to be a boy or a girl, and these
social conditionings often expect children to conform to specific and
limiting gender roles and expectations from a young age. Children start
absorbing stereotypes by age 3, causing the world to expand for boys
and shrink for girls by age 10 (Luscombe, 2017).
Another important thing is the family should teach respect for
differences. The idea that there are “standard” bodies (and
consequently others that are left out, such as obese or disabled bodies)
encourages discriminatory attitudes and is often rooted in childhood.
It is important that the children like their own bodies, respect their
friends’ bodies and understand that there is no “right” or “perfect”
body. By understanding the value of gender equality (the same right
for both men and women) and accepting the differences the children
would come out and bring the gender equality in the family and society
in general.
E. Conclusion
The gender equality program that has been promoted by the
United Nation and local government has not been fully implemented
142 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
in the modern family of the Acehnese people. Although, in the past
gender equality in Acehnese society showed good data, both in the
domestic and public spheres, the development of the equality between
women and men in the modern family has declined.
After a program from the Indonesian government (state Ibuism)
began in 1945, cultural change in Acehnese society made gender
equality fade away and gender relations becoming increasingly
patriarchal over time. Nowdays, in Acehnese society women are still
considered as wives who have to serve their husbands and do all the
household obligations.
This understanding is also a barrier for women in Aceh to get a
good education like most men because the community thinks that
women will end up on mattresses, wells and kitchens so they do not
need good education. As the result of this patriarchal system, many
Acehnese women has faced domestic violence from their husbands,
and has caused them less valuable in making decisions in family. As
well as caring for children. In Aceh, only women take care of children
while men do not. Although the wife works, for matters of caring for
children is also the wife's obligations. The lack of men’s participation in
distribution of housework and childcare has contributed to gender in
equality in Acehnese modern socity.
Another crucial issue is there is no gender education in
the Acehnese family. Gender is considered as something that comes
from the West and is not compatible with the culture in Acehnese
society which causes gender issues to be taboo and sensitive to be
discussed. Most children in Acehnese society do not get gender
education in their families until they study at university (most are
Muhammad Zawil Kiram | 143
Gender and Family in Modern Acehnese Society
compulsory subjects of the university). This phenomenon has resulted
in young people having a narrow perspective on gender equality. To
achieve gender equality in Acehnese society, mental change and
understanding of gender issues are needed. In addition, the people of
Aceh also need to re-understand and re-apply Islamic values as they
have been applied in the past, so that equality between women and
men in the family can be achieved.
***
144 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Daftar Pustaka
Abdullah, S. (2013). Potensi Dan Kekuatan Modal Sosial Dalam Suatu Komunitas. Socius, XII, 15–21.
Ahdiah, I. (2011). Organisasi Perempuan Sebagai Modal Sosial (Studi Kasus Organisasi Nasyiatul Aisyiyah Di Sulawesi Tengah). Jurnal Academica, 3(1), 523–534.
Ambarita, E. C., & Sitorus, H. (2015). Modal Sosial Komunitas Petani Kemenyan Dalam Pelestarian Hutan Kemenyan di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan. Perspektif Sosiologi, 3(1), 42–57.
BPS. (2015). Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kabupaten Purbalingga, 2011-2015. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id
BPS. (2018). Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Purbalingga, 2010, 2015, and 2016. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id
Bungin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dinkominfo. (2015). Produk Industri Knalpot Purbalingga Capai 595.371 Unit Per Tahun. Dinas Komunikasi dan Informatika. Retrieved April 7, 2019, from Dinkominfo.purbalinggakab.go.id website: https://dinkominfo.purbalinggakab.go.id
Dinkominfo. (2017). Kemenperin Perkuat Industri Unggulan Daerah di Purbalingga dan Surakarta – Kabupaten Purbalingga. Retrieved April 7, 2019, from Purbalinggakab.go.id website: https://www.purbalinggakab.go.id
Fatimah, M., & Afifuddin, M. (2013). Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional. JKAP, 17(2), 4–19.
Field, J. (2010). Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fitriawati, E. (2010). Modal Sosial Dalam Strategi Industri Kecil.
Muhammad Zawil Kiram | 145
Gender and Family in Modern Acehnese Society
Dimensia, 4(1), 23–40.
Gusman, I. (2019). Pemanfaatan Modal Sosial Petani Ikan Pasca Tubo Balerang dalam Mendapatkan Pekerjaan Baru. Jurnal Sosiologi Andalas, 5(1), 21–34.
Hakim, F. N., & Wibisono, G. (2017). Modal Sosial Petani Tembakau untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 16(4), 369–380.
Handoyo, E. (2013). Kontribusi Modal Sosial dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima Pascarelokasi. Jurnal Komunitas, 5(2), 252–266.
Hasbullah, J. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press.
Ibrahim. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Jatengprov. (2017). Kenalkan Produk Knalpot Purbalingga Kepada Presiden Jokowi. Retrieved April 7, 2019, from Jatengprov.go.id website: https://jatengprov.go.id
Khair, H. (2019). Modal Sosial Dalam Industri Rumah Tangga Kerupuk Sagu Di Desa Pintu Gobang Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi. JOM FISIP, 6, 1–14.
Kompas. (2011). Knalpot Purbalingga Terkendala Logam. Retrieved April 7, 2019, from Kompas.com website: https://ekonomi.kompas.com
Muzaki, K. (2019). Sejarah Knalpot Purbalingga. Retrieved August 21, 2019, from TribunJateng.com website: https://jateng.tribunnews.com
Nurcahyono, O. H., & Astutik, D. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masyarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat : Jurnal Sosiologi, 2(1), 1–12.
Purwanto, A. (2013). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18(2), 233–261.
Riyanto, S., Hidayat, K., & Sukesi, K. (2014). Modal Sosial Dalam Komunitas Pedagang Sayuran Didesa Tawang Argo Kecamatan
146 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 14, Nomor 1, Juni 2020
Karang Ploso Kab. Malang. Habitat, XXV(2), 96–104.
Saleh, I. A. (1986). Industri Kecil. Jakarta: LP3ES.
Saleh, K. (2017). Modal Sosial Perempuan Pelaku Industri Rumahan Empling Melinjo (Kasus Perempuan Perdesaan Provinsi Banten). Jurnal Agribisnis Terpadu, 10(2), 160–174.
Samuel, J. P., & Badaruddin. (2015). Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Perspektif Sosiologi, 3(1), 58–74.
Sawitri, D., & F. Soepriyadi, I. (2014). Modal Sosial Petani dan Perkembangan Industri di Desa Sentra Pertanian Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(1), 17–36.
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sumintarsih. (2012). Modal Sosial Petani Lereng Gunung Merbabu sebagai Kekuatan Dalam Mengelola Usaha Pertanian. Patrawidya, 13(4), 583–614.
Susanto, R. (2017). Kemenperin Gelontorkan Rp 46 miliar untuk Industri Knalpot Purbalingga. Retrieved August 24, 2019, from Gatra.com website: https://www.gatra.com
Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.