EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

146
Beti Nur Hayati| 1 Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki” EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK “LANCAR REJEKI” Beti Nur Hayati Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta Email: [email protected] Abstract One effort to reduce poverty is to develop communities with a cross- empowerment model stakeholder. One of them is community empowerment of group "Lancar Rejeki" which is one of the corporate social responsibility programs of PT. Semen Gresik. The purpose of this study is to evaluate the community empowerment program of the "Lancar Rejeki" group in the 2015- 2018 program period using the Beneficiary Assessment. This research method uses descriptive qualitative research methods. The results of this study are that from the very beginning the appearance of this program had various impacts on group members. The first is increasing the capacity of group members regarding animal fattening programs. Second, members have the capacity to process livestock waste into organic fertilizer so that from these activities it can provide economic improvement to its members. But in this period, also experienced some obstacles in the group "Lancar Rejeki." First, fluctuations in goat prices that are uncertain make fattening activities difficult to develop. In addition, the lack of social capital among group members caused some group members to stop in the middle of pioneering activities Keywords: evaluation, community empowerment, group Abstrak Salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan melakukan pengembangan masyarakat dengan model pemberdayaan lintas stakeholder. Salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki” yang merupakan salah satu program tanggung jawab sosial perusahaan PT. Semen Gresik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki”pada periode program 2015-2018 dengan menggunakan Beneficiary Assesment. Metode penelitian ini menggunkan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sejak awal kemunculan program ini telah membawa berbagai dampak pada anggota kelompok. Pertama adalah meningkatnya kapasitas anggota kelompok mengenai

Transcript of EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Page 1: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 1

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK “LANCAR REJEKI”

Beti Nur Hayati

Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstract

One effort to reduce poverty is to develop communities with a cross-empowerment model stakeholder. One of them is community empowerment of group "Lancar Rejeki" which is one of the corporate social responsibility programs of PT. Semen Gresik. The purpose of this study is to evaluate the community empowerment program of the "Lancar Rejeki" group in the 2015-2018 program period using the Beneficiary Assessment. This research method uses descriptive qualitative research methods. The results of this study are that from the very beginning the appearance of this program had various impacts on group members. The first is increasing the capacity of group members regarding animal fattening programs. Second, members have the capacity to process livestock waste into organic fertilizer so that from these activities it can provide economic improvement to its members. But in this period, also experienced some obstacles in the group "Lancar Rejeki." First, fluctuations in goat prices that are uncertain make fattening activities difficult to develop. In addition, the lack of social capital among group members caused some group members to stop in the middle of pioneering activities

Keywords: evaluation, community empowerment, group

Abstrak

Salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan melakukan pengembangan masyarakat dengan model pemberdayaan lintas stakeholder. Salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki” yang merupakan salah satu program tanggung jawab sosial perusahaan PT. Semen Gresik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat kelompok ternak “Lancar Rejeki”pada periode program 2015-2018 dengan menggunakan Beneficiary Assesment. Metode penelitian ini menggunkan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sejak awal kemunculan program ini telah membawa berbagai dampak pada anggota kelompok. Pertama adalah meningkatnya kapasitas anggota kelompok mengenai

Page 2: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

2 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

program fattening ternak. Kedua, anggota memiliki kapasitas untuk melakukan pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organic sehingga dari kegiatan tersebut dapat memberikan peningkatan ekonomi pada anggotanya. Namun dalam periode ini, juga mengalami beberapa hambatan dalam kelompok “Lancar Rejeki”. Pertama fluktuasi harga kambing yang tidak menentu membuat kegiatan fattening menjadi sulit dikembangkan. Selain itu, lemahnya modal sosial antar anggota kelompok membuat beberapa anggota kelompok berhenti di tengah merintis kegiatan

Kata kunci: Evaluasi, Pemberdayaan Masyarakat, Kelompok

* * *

A. Pendahuluan

Pada tahun 2015, merupakan tahun berakhirnya MDGs

(Millenium Development Goals). Selanjutnya konsep pembangunan

tersebut dilanjutkan dengan dokumen SDGs (Sustainable

Development Goals) yang berakhir tahun 2030. SDGs sendiri

merupakan dokumen yang disepakati pembangunan baru yang

mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah

pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan

kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan

lingkungan hidup yang berisi tentang 17 agenda. Agenda tersebut

yaitu tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan

sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetraan gender, air bersih dan

sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan

pertumbuhan ekonomi, industry inovasi dan infrastruktur,

berkurangnya kesenjangan, kota dan pemukiman yang berkelanjutan,

konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, penanganan

perubahan iklim, ekosistem lautan, ekosistem daratan, perdamaian

keadilan dan kelembagaan yangtangguh, kemitraan untuk mencapai

tujuan.

Page 3: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 3

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Salah satu kegiatan SDGs yang menjadi menjadi urgensi di

Indonesia saat ini adalah mengurangi angka kemiskinan. Angka

kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin

meningkat, meskipun secara prosentase mengalami naik turun.

Menurut data BPS Jumlah penduduk miskin di indonesia per

September tahun 2015 mencapai angka 28,51 juta jiwa dengan

prsentase 11,13%. Tahun 2016 mencapai angka 27,76 juta jiwa dengan

presentase 10,7%. Tahun 2017 mencapai angka 26,58 juta jiwa dengan

presentase 10,12%. Tahun 2018 mencapai angka 25,67 juta jiwa dengan

presentase 9,41%. Tahun 2019 mencapai angka 32,53 juta jiwa dengan

presentase 9,22%.

Untuk memperkecil angka kemiskinan tersebut, memerlukan

peran dari berbagai aktor untuk dapat menanggulanginya.

Bergesernya skema pembangunan dari yang semula single aktor

menjadi multi actor mendorong berbagai stakeholder untuk terlibat

dalam penanggulangan kemiskinan. Salah satu aktor yang memiliki

potensi besar untuk terlibat dalam menanggulangi masalah sosial

adalah sector swasta, yaitu perusahaan. Berdasarkan peraturan

terdapat beberapa kebijakan yang mendorong perusahaan untuk

melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Peraturan tersebut

diantaranya adalah UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

serta Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara No 5 tahun

2007 tentang program kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan

Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (Hayati & Suparjan, 2017).

Melalui kebijakan tersebut, banyak perusahaan yang mulai

memiliki kesadaran untuk memberikan program tanggung jawab

sosialnya kepada masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Pada

Page 4: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

4 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

penelitian Wulandari, terdapat usaha-usaha kongkrit yang dapat

dilakukan program CSR dalam mengurangi angka kemiskinan antara

lain mendirikan sekolah gratis sekitar perusahaan, pemanfaatan

limbah, dan pelatihan kewirausahaan (Wulandari, 2012).

Selain itu adanya penerapan program tanggug jawab sosial

perusahaan juga memberikan dampak positif bagi perusahaan. Salah

satunya adalah mendapatkan dukungan dari masyarakat yang

merasakan dari aktivitas yang dijalankannya (Susanto, 2007). Untuk itu

diperlukan strategi yang cukup baik agar program-program CSR

tersebut dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat

sehingga meningkatkan reputasi perusahaan.

Ada berbagai jenis kegiatan dalam mengimplementasikan

kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Salah satunya dengan

program yang bersifat peningkatan kapasitas masyarakat. Program

CSR yang berbasis peningkatan kapasitas, merupakan program yang

bukan sekedar memberikan bantuan berupa uang tunai atau bantuan

logistic saja kepada suatu individu atau komunitas, tetapi juga

memberikan pelatihan untuk menunjang keberlanjutan program.

Namun terkadang, dalam pelaksanannya banyak program tanggung

jawab sosial tidak berjalan sebagaimana tujuan program. Terutama

pada program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Konsidi

tersebut terjadi karena berbagai faktor. Menurut penelitian Muslim,

dalam judul “Analisis Kegagalan Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat dalam Membangun Kemandirian Masyarakat Miskin”,

faktor yang mempengaruhi tidak berkelanjutannya suatu program

pemberdayaan adalah terletak pada buruknya kinerja fasilitator dan

kesalahan stakeholder (Muslim, 2017)

Page 5: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 5

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Salah satu program CSR yang bersifat pemberdayaan adalah

pada program pemberdayaan masyarakat Kelompok Ternak “Lancar

Rejeki”. Program pemberdayaan masyarakat Kelompok Lancar Rejeki

adalah program yang bergerak di bidang kewirausahaan peternakan.

Tujuan dari program ini adalah untuk mengembangkan kapasitas

kelompok masyarakat sehingga mereka mendapatkan manfaat

ekonomi dari adanya program tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah

untuk untuk mengevaluasi berjalannya program pemberdaayn

masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” sehingga di dapatkan faktor

keberhasilan atau penghambat dari program tersebut dengan

menangkap dan menilai pengalaman penerima manfaat dalam

kaitannya dengan pelaksanaan Program Pengembangan Kelompok

Peternak Kambing (pengetahuan tentang program, keterlibatan dalam

program, dan dampak dari program). Sehingga dapat dijadikan

rekomendasi atau sebagai bahan pengambilan keputusan di tempat

lain dalam menjalankan sebuah program pengembangan masyarakat.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada

sifat realita yang terbangun secara sosial (Denzin dkk, 2009). Penelitian

ini melihat fenomena sosial berupa jalannya program pengembangan

masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” secara medalam sehingga

dapat diketahui apakah program tersebut berjalan sesuai dengan

tujuan program.

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan

pihak-pihak yang berhubungan dengan program pengembangan

Page 6: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

6 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki” pada priode 2015-2018.

Sementara data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai

literature dan dokumen yang berhubungan dengan program

pengembangan masyarakat Kelompok “Lancar Rejeki”.

Pengumpulan data diperoleh dengan cara wawancara,

observasi dengan pihak yang terlibat dalam program. Sedangkan

analisis data penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif

yang disajikan dalam bentuk data deskriptif

C. Pembahasan

1. Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing Kelompok “Lancar Rejeki”

Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing

Kelompok “Lancar Rejeki” merupakan program antara PT Semen

Gresik bekerjasama dengan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Mada. PT. Semen Gresik telah mengidentifikasi potensi

pengembangan ekonomi masyarakat di tiga desa yang termasuk dalam

wilayah ring satu perusahaan, yakni Desa Temandang, Socorejo, dan

Kasiman. Esensi dari program ini adalah untuk memupuk kesadaran

masyarakat mengenai potensi yang ada pada diri dan lingkungan

sekitarnya, sehingga mampu mengolahnya secara mandiri dan

berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat desa yang produktif,

kokoh dan sejahtera.

Program Pengembangan Kelompok Peternak Kambing

dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada kelompok

masyarakat di masing-masing desa yang menjadi sasaran program.

Pelatihan mengenai kewirausahaan dan teknis pemeliharaan diberikan

sebelum pelaksanaan program pemeliharaan ternak dimulai.

Page 7: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 7

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Kelompok Peternak Kambing “Lancar Rejeki” merupakan salah satu

kelompok peternak kambing dengan jenis usaha “fattening”, yakni

melakukan usaha penggemukan kambing, mulai dari bibit hingga

masuk pada fase layak jual. Program ini dimulai dengan memberikan

peningkatan kapasitas yang difasilitasi oleh PT. Semen Gresik pabrik

Tuban bekerja sama dengan pendamping dari fakultas Peternakan

UGM. Sesuai dengan salah satu prinsip pemberdayaan adalah proses

pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki

daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistyani

2004:77). Pada kasus ini pihak yang memiliki daya lebih besar

merupakan pihak perusahaan dengan sumber dayanya mampu

memberikan fasilitator untuk masyarakat mengembangkan

potensinya,

2. Pembelian Bibit dan Penjualan Kambing Fattening

Populasi ternak pada awal pengadaan program tersebut

berjumlah 10 ekor kambing jantan fattening (penggemukan) yang

didatangkan dari Yogyakarta dengan total nilai Rp. 10.900.000,00.

Sebelum program dijalankan, pemberian bahan pakan pada ternak

masih menggunakan bahan yang tradisional. Melalui proses pelatihan

dan pendampingan, peternak saat sudah mampu membuat pakan

fermentasi yang terdiri dari kulit ari coklat dan kangkung kering.

Keunggulan dari pakan ini adalah tidak berbau dan cepat untuk proses

penggemukan. Hal ini dibuktikan melalui pengukuran bobot ternak

secara periodic yang terus meningkat. Selain itu, hasil kotoran dari

pakan fermentasi tidak keras dan tidak berbau, sehingga cocok sebagai

bahan pupuk kandang.

Page 8: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

8 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Masalah yang dihadapi oleh peternak adalah bahan-bahan yang

digunakan untuk pembuatan pakan fermentasi tersebut susah

didapatkan dan harganya mahal, Selisih antara biaya yang dikeluarkan

untuk pembuatan pakan fermentasi tidak sebanding dengan harga jual

hewan ternak yang cenderung fluktuaktif. Kelompok “Lancar Rejeki”

menyiasatinya dengan mengganti bahan-bahan yang diajarkan oleh

Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan bahan-bahan yang mudah

untuk didapatkan dan dengan harga yang lebih murah, seperti sisa

dari pertanian, dengan campuran kulit kacang atau kulit kedelai.

3. Pengembangan Jenis Usaha

Kelompok “Lancar Rejeki” sudah mampu memasarkan sendiri

pupuk kandang dan pupuk organik cair (POC) yang dibuat secara

mandiri. POC merupakan hasil olahan dari air seni kambing yang

difermentasi. Sedangkan pupuk kandang diolah dari kotoran kambing.

Kotoran kambing yang sudah kering dikumpulkan dalam satu kotoran

kambing yang sudah kering dikumpulkan dalam satu tempat

berkapasitas 1 ton. Bahan baku pupuk kambing tidak hanya berasal

dari kambing milik kelompok, tetapi juga didatangkan dari luar kota.

Kotoran yang telah terkumpul, dicampur secara merata dengan serbuk

Primadec 1 Kg. Pupuk setengah jadi yang telah dicampur Primadec,

harus diaduk setiap satu hari sekali untuk mempercepat proses

pencampuran, kemudian ditutup dengan terpal, begitu seterusnya

sampai seminggu. Setelah seminggu proses pengolahan, pupuk

dihaluskan dan dimasukan ke karung dan siap untuk dijual. Bahan

untuk membuat pupuk kompos, diambil dari ekskresi hewan ternak

yang dimiliki oleh kelompok. Satu kambing atau domba dalam sehari

bisa menghasilkan 5 Ons. Dalam satu bulan, satu ekor kambing atau

Page 9: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 9

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

domba menghasilkan 1,5 Kg. Ada 14 ekor kambing yang dimiliki oleh

kelompok “Lancar Rejeki”, sehingga dalam satu bulan ekskresi yang

dihasilkan mencapai 21 Kg kotoran kambing.

4. Pemasaran

Komoditas yang dipasarkan oleh kelompok “Lancar Rejeki”

berupa kambing dan domba hasil penggemukan serta olahan pupuk

kandang (kompos). Ternak kambing hasil proses penggemukan

dipasarkan dengan mengikuti mekanisme pasar tradisional, dimana

harga ditentukan berdasarkan hitungan per kilogram. Berdasarkan

hasil FGD dapat diketahui rantai pemasaran bibit dan ternak hasil

penggemukan. Kelompok “Lancar Rejeki” membeli bibit domba

fattening. Anggota kelompok “Lancar Rejeki” mengalami kesulitan

dalam memasarkan hewan ternak hasil penggemukan. Tidak ada

kepastian dalam penentuan harga beli dan jual hewan ternak. Peternak

tidak mempunyai kuasa untuk menentukan harga jual di pasar.

Contoh masalah yang terjadi adalah peternak membeli bibit di juragan

dengan harga Rp. 42.000,00 per Kg untuk kambing jantan. Sedangkan

ketika dijual di juragan yang sama, peternak mendapatkan harga Rp.

40.000,00 per Kg. Lain halnya dengan kambing atau domba betina,

masalah fluktuasi harga tidak mempengaruhi harga jual atau harga

beli per Kg nya. Bibit kambing atau domba betina dihargai Rp.

32.000,00 oleh juragan setiap Kg. Sedangkan pada saat dijual kembali

oleh peternak, harganya juga mengalami penurunan, yaitu Rp.

30.000,00 per Kg. Hal ini tentu membuat peternak mengalami kerugian,

karena harga jual kambing yang tidak seberapa banyak namun tetap

mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli bahan pakan

fermentasi saat proses penggemukan.

Page 10: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

10 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Pemasaran pupuk kandang sudah masuk ke toko pertanian

setempat dan warga sekitar. Di awal pengembangan pupuk kandang,

terjual sekitar 10 sak untuk kebutuhan petani sekitar. Hingga saat ini,

penjualan pupuk semakin meningkat. Kelompok Lancar Rejeki sudah

memiliki pemasok pupuk yaitu 2 toko pertanian di daerah Tuban.

Pupuk kandang tersedia dalam bentuk karung seharga Rp. 20.000,00.

Dalam bentuk kemasan 1 Kg seharga 2.000 dan kemasan 5 Kg seharga

Rp. 5.000. Kelompok ini mengalami kesulitan dalam memasarkan

pupuk cair karena respon pasar terhadap pupuk cair masih kurang.

5. Keterlibatan Anggota dalam Kelompok

Salah satu hal terpenting dalam sebuah program pemberdayaan

adalah partisipasi masyarakat (Sunartiningsih, 2004). Anggota

kelompok awal terbentuk terdiri dari lima orang, namun tak

berlangsung lama dua anggota mengundurkan diri. Sehingga saat ini

kelompok “Lancar Rejeki” hanya beranggotakan tiga orang.

Pembagian tugas seperti pemberian pakan dan pemeliharaan hewan

ternak didasarkan pada kesadaran dan rasa saling percaya antar

anggota. Mekanisme pembagian tugas seperti ini bisa berjalan dengan

baik hanya di kelompok dengan modal sosial yang kuat. Setiap

anggota kelompok “Lancar Rejeki” menyadari tugas dan

tanggungjawabnya masing-masing, dan menjalankan tugas dengan

keyakinan bahwa keberhasilan kelompok juga ditentukan dari peran

serta setiap anggota kelompok.

Tugas yang dijalankan oleh anggota kelompok “Lancar Rejeki”

meliputi:

Page 11: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 11

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

1. Pemilihan bakalan: meliputi penampakan fisik, status

kesehatan, dan tujuan pemeliharaan.

2. Manajemen pakan: berupa ketersediaan bahan, metode

pemberian, penyimpanan, teknologi pengolahan, dan

pengawetan pakan.

3. Manajemen pemeliharaan: tugas ini meliputi produksi ternak,

pencegahab dan penanganan penyakit, sanitasi dan kebersihan,

rekording atau catatan kejadian ternak..

4. Manajemen Limbah: tugas ini meliputi penanganan dan

pengolahan limbah.

5. Manajemen usaha: tugas ini meliputi perencanaan usaha,

analisa usaha, laporan keuangan, promosi dan pemasaran.

Pada dasarnya, setiap anggota kelompok “Lancar Rejeki” mempunyai

tanggungjawab dan kewajiban yang sama dalam setiap tugas dan

kegiatan yang dijalankan oleh kelompok. Namun demikian, setiap

keputusan kelompok selalu melibatkan anggota dan merupakan hasil

dari keputusan kolektif.

6. Dampak Program Terhadap Penerima

Pemberdayaan juga dimaknai sebagai usaha melakukan

perubahan sosial dan ekonomi yang terencana ke arah yang lebih baik

(Usman 2015:44). Pada periode 1 pembelian kambing sebanyak 10 ekor

dengan harga Rp. 18.500.000, setelah melalui proses penggemukan

dijual seharga Rp. 16.000.000. Setelah itu dibelikan lagi domba

fattening sebanyak 15 ekor seharga Rp. 11.075.00. Dari penjualan di

periode 1, kelompok ini mendapat keuntungan Rp 4.925.000.

Selanjutnya, 1 ekor domba dijual dengan harga Rp. 1.400.000 dan

Page 12: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

12 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

dibelikan lagi 1 ekor domba fattening. Keuntungan di penjualan kali

ini Rp. 250.000. Domba kembali dijual 4 ekor seharga Rp. 5.200.000.

Dari hasil penjualan tersebut, Rp. 1.200.000 dibagikan ke anggota dan

sisanya Rp. 4.000.000 dimasukkan ke kas kelompok. Kelompok

“Lancar Rejeki” kembali menjual dombanya 11 ekor seharga Rp.

10.000.000. Total keuntungan periode 2 sebesar 3.100.000. Pada periode

3 dari program tersebut dibelikan domba 12 ekor seharga Rp.

10.900.000.

Selama satu bulan, rata-rata kenaikan bobot badan domba

sekitar 2kg/ekor. Saat ini aset yang dimiliki oleh kelompok Lancar

Rejeki adalah 12 ekor domba dengan harga sekitar 10.900.000, 1 unit

kandang kapasitas 15 ekor dengan harga Rp. 3.600.000 dan peralatan

kandang (tong, ember, chopper) dengan harga Rp. 3.240.000.

Pendapatan Kelompok “Lancar Rejeki” lebih banyak dari

kegiatan produksi pupuk kompos. Berikut merupakan rincian biaya

produksi dari kelompok “Lancar rejeki”:

Biaya Produksi Pupuk Organik Per Karung

No Bahan Produksi Satuan Nominal (Rp)

1 Kotoran Kambing 1 Sak 8.000

2 Primadec 1/50 Pack 300

3 Bensin 1/30 Liter 300

4 Tambahan Tenaga Produksi 1 Karung 3.000

5 Karung 1 Sak 500

Jumlah 12.100

Keuntungan:

Page 13: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 13

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Harga Jual Per Karung : Rp. 20.000,00

Biaya Produksi Per Karung : Rp. 12.100,00

Rp. 7.900,00 / karung

Permintaan pasar pupuk kompos lancar rejeki dipasarkan

melalui toko - toko pertanian, dan ada juga petani setempat dan petani

yang berasal dari luar kecamatan mengambil pupuk langsung dari

tempat produksi. Ada tiga toko yang menjadi penyaluran pupuk lancar

rejeki, setiap tokonya rata-rata mampu menjual 150 karung setiap

bulannya. Pada saat musim tanam, permintaan petani terhadap pupuk

bisa mencapai 200 sak per bulan. Selain masa tanam, permintaan

terhadap pupuk kompos bisa mencapai 100 sak per bulan. Dengan

asumsi satu tahun ada 3 kali panen, berarti ada 3 bulan masa tanam

dan 9 bulan masa non-tanam.

Permintaan Petani

3 x 200 = 600 Sak

9 x 100 = 900 Sak

1500 (Sak): 12 (bulan) = 125 sak per bulan

Maka pendapatan dan keuntungan maksimal perbulan untuk

kelompok ternak lancar rejeki adalah sebagai berikut

Pendapatan :

Toko Pertanian Senori 150 x @ 20.000 = Rp. 3.000.000,00

Toko Pertanian Bondalem 150 x @ 20.000 = Rp. 3.000.000,00

Page 14: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

14 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Permintaan Petani 125 x @ 20.000 = Rp. 2.500.000,00

Rp. 8.500.000,00

Keuntungan :

Toko Pertanian Senori 150 x @ 7.900 = Rp. 1.185.000,00

Toko Pertanian Bondalem 150 x @ 7.900 = Rp. 1.185.000,00

Permintaan Petani 125 x @ 7.900 = Rp. 987.500,00

Rp. 3.357.500,00/ bulan

Keuntungan yang didapat dari penjualan pupuk dari kelompok

ini digunakan atau dialokasikan sesuai kebutuhan kelompok, mulai

dari kas, kebutuhan individu seperti pinjaman, dan lain-lain.

7. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threaths)

Strenghts (Kekuatan)

a. Berdasarkan pemaparan diatas, pada program pemberdayaan

Kelompok Ternak “Lancar Rejeki” memiliki beberapa kekuatan.

Pertama ketersediaan bahan baku untuk pembuatan pupk organic

cair berupa kotoran hewan cukup mudah di dapatkan. Selain

berasal dari ternak kelompok “Lancar Rejeki”, bahan baku

pembuatan produk pupuk organic tersebut juga mudah di

dapatkan dari luar daerah apabila ada peningkatan permintaan

pupuk organic cair. Kedua, terdapat anggota kelompok “Lancar

Rejeki” yang memiliki kemauan untuk mengembangkan usaha

tersebut. Sehingga dari waktu ke waktu muncul inovasi untuk

mengupayakan peningkatan mutu dari produk pupuk organic cair

tersebut.

b. Kelemahan (Weaknesses) :

Page 15: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 15

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Terdapat beberapa kelemahan dari program pemberdayaan

Kelompok Tenak “Lancar Rejeki”. Pertama, terdapat beberapa

anggota kelompok yang memutuskan keluar dari kelompok ternak

“Lancar Rejeki”. Menurut penuturan anggota kelompok,

mundurnya dua orang anggota lebih disebabkan karena adanya

perbedaan orientasi dan kurangnya motivasi dalam berwirausaha.

Selain itu, modal sosial berupa kepercayaan dan hubungan

kekerabatan yang dimiliki oleh kelompok juga berpengaruh

terhadap eksistensi kelompok. Kedua, untuk program

peggemukan ternak (fattening), para anggota kelompok susah

mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pembuatan pakan

fermentasi di sekitar daerah tempat tinggal mereka, Tuban. Ketiga,

untuk usaha peggemukan ternak (fattening) masih sulit

dikembangkan karena harga jual kambing yang sangat fluktuatif.

Harga yang tidak menentu membuat anggota kelompok merasa

rugi karena harga beli kambing dan perawatannya tidak

menguntungkan saat harga kambing dipasaran sedang rendah.

Sehingga usaha fattening belum menjadi kegiatan pokok dalam

program pemberdayaan masyarakat di kelompok ternak “Lancar

Rejeki”. Selain itu, masih minimnya pengetahuan mengenai

kondisi kandang yang ideal menghambat proses pengolahan

pembuatan pupuk kompos.

c. Peluang (Opportunities) :

Terdapat beberapa kegiatan dalam program pemberdayaan

masyarakat dalam kelompok ternak “Lancar Rejeki”. Salah

satunya adalah pembuatan pupuk organic cair. Kelompom Lancar

Rejeki ini merupakan kelompok yang berada di Desa Temandang,

Page 16: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

16 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Tuban, Jawa Timur dengan setting wilayah masyarakat yang

terdiri mayoritas petani dengan lahan pertanian yang masih sangat

luas. Sehingga pasar untuk produk pupuk organik masih sangat

luas. Selain itu masih minimnya produsen pupuk organic juga

menjadi peluang tersendiri bagi berkembangnya usaha di

kelompok ternak “Lancar Rejeki” tersebut. Apabila masa tanam

tiba, kebutuhan pupuk di daerah tersebut meningkat sementara

ketersediaan pupuk kimia pun sangat terbatas, sehingga banyak

petani yang menggunakan pupuk organic untuk memenuhi

kebutuhan produksinya. Sehingga usaha pupuk organik menjadi

salah satu peluang yang baik untuk memberdayakan masyarakat.

d. Ancaman (Threats) :

Terdapat beberapa ancaman dari program pemberdayaan

kelompok ternak “Lancar Rejeki”. Pertama harga kambing yang

fluktuatif membuat kelompok kecil seperti “Lancar Rejeki” masih

kewalahan dalam mengatasinya. Akibatnya kegiatan

penggemukan ternak ini belum berjalan dengan baik dan terancam

tidak dapat dilanjutkan lagi sebagai salah satu kegiatan di program

pemberdayaan kelompok ternak “Lancar Rejeki”

D. Penutup

Melalui rangkaian kegiatan evaluasi dengan menggunakan

metode Beneficiary Assesment, dapat diketahui bahwa program

Pemberdayaan Peternak Kambing Kelompok “Lancar Rejeki”

membawa kemanfaatan bagi masyarakat penerima program. Sebagain

sebuah program yang mengusung strategi pemberdayaan masyarakat,

program ini memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan. Program

Page 17: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 17

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

pemberdayaan kelompok ternak “Lancar Rejeki” merupakan

kontribusi PT. Semen Gresik – Pabrik Tuban bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar perusahaan. Peningkatan

pendapatan per bulan yang diperoleh para peternak menjadi salah satu

indicator keberhasilan program.

Berikut adalah rekomendasi yang dapat dilakukan guna

mencapai tujuan yang berkelanjutan dan menjadikan kelompok

“Lancar Rejeki” sebagai role model untuk replikasi pembentukan

kelompok selanjutnya:

1. Inisiasi Kelompok

Proses pembentukan kelompok dimulai dari adanya

sosialisasi program yang dibantu oleh perangkat desa dan

organisasi kepemudaan (Karang Taruna). Untuk

mengoptimalkan pembentukan kelompok, sekaligus

menjamin eksistensinya hendaknya ada proses screening

dari inisiator program dengan memperhatikan hal-hal

seperti: kepercayaan, hubungan kekerabatan, dan lamanya

setiap calon anggota saling mengenal. Kedekatan personal

mampu menjaga harmoni kelompok saat terjadi masalah

dalam pengelolaan kelompok. Perlu adanya focus group

discussion (FGD) yang diadakan oleh PT Semen Indonesia

yang dihadiri oleh kelompok-kelompok yang terbentuk dari

hasil sosialisasi program, tujuannya adalah untuk

memberikan pemahaman awal terkait program.

2. Pengemukan Kambing

Dalam proses penggemukan, peternak di kelompok “Lancar

Rejeki” selama ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan

Page 18: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

18 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

bahan-bahan untuk pembuatan pakan fermentasi seperti

yang sebelumnya diajarkan oleh pendamping. Selain

harganya yang mahal, bahan-bahan tersebut juga susah

didapatkan di Tuban. Rekomendasi yang ditawarkan adalah

dengan menjalin kerjasama dengan Dinas Pertanian dan

Ketahanan Pangan Kabupaten Tuban untuk membuat pakan

fermentasi yang berkualitas dengan bahan-bahan yang

mudah didapatkan dan juga dengan harga yang murah. Opsi

berikutnya adalah, pemberian subsidi oleh perusahaan

kepada peternak kelompok “Lancar Rejeki” dalam jangka

waktu tertentu untuk pembelian bahan pakan fermentasi.

3. Pemeliharaan Ternak

Permasalahan yang dirasakan oleh peternak dalam hal

pemeliharaan adalah kondisi kandang yang perlu

diperbaiki. Kondisi kandang pada bagian alas terlalu rapat,

jarak antara kayu satu dan yang lain terlalu rapat sehingga

kotoran kambing tidak langsung dapat turun dan terkumpul

di bak penampung feses. Persoalan kedua yang dikeluhkan

oleh peternak adalah mengenai kondisi kesehatan ternak

yang membutuhkan lebih banyak perhatian, para peternak

mengharapkan adanya kunjungan dari mantri hewan

maupun dari Dinas Perikanan dan Peternakan Tuban untuk

memantau kesehatan ternak. Rekomendasi dari kedua

persoalan ini adalah; pertama, adanya kegiatan renovasi

kandang ternak denagn menggunakan desain kandang yang

ideal serta memperluas kandang ke arah barat yang dapat

dipergunakan untuk menyimpan hasil olahan kompos atau

Page 19: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 19

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

tempat produksi kompos pada saat musim hujan. Kedua,

menjalin kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan

Tuban untuk melakukan kunjungan terjadwal kepada

kelompok-kelompok peternak binaan PT. Semen Gresik –

Pabrik Tuban.

4. Penjualan dan Pemasaran Produk Kelompok “Lancar

Rejeki”

Selama periode program berjalan, peternak kelompok

“Lancar Rejeki” mengalami kerugian akibat harga jual

kambing atau domba yang seringkali fluktuatif. Selain itu,

selisih harga saat pembelian bibit dan penjualan kambing

atau domba hasil penggemukan membuat peternak

kehilangan sebagian besar keuntungan atau bahkan

seringkali merugi. Rekomendasi yang ditawarkan adalah

dengan menghubungkan peternak kelompok “Lancar

Rejeki” ke industri wisata seperti hotel, restoran yang ada di

Kabupaten Tuban. Selain itu, untuk menyiasati selisih harga

saat penjualan kambing hasil penggemukan, perusahaan

hendaknya bisa mendorong kelompok peternak atau

masyarakat untuk memiliki rumah pemotongan hewan.

Kedepannya, peternak tidak hanya menjual kambing

penggemukannya langsung ke pasar namun juga bisa

mengkonversikannya dalam bentuk daging. Di bidang

penjualan dan pemasaran pupuk kompos, untuk

meningkatkan jumlah penjualan produk serta memperluas

pasar maka perlu adanya perbaikan dan peningkatan

kualitas pupuk kompos dan kemasan yang digunakan.

Page 20: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

20 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Peningkatan kualitas pupuk kompos membutuhkan

kerjasama dengan instansi pemerintah yang terkait atau

mendatangkan praktisi di bidang pembuatan pupuk

kompos. Slain itu kemasan produk dapat didesain ulang

sehingga menjadi lebih menarik bagi konsumen dan dapat

meningkatkan penjualan.

5. Manajemen Kelompok

Eksistensi kelompok “Lancar Rejeki” juga merupakan

tanggung jawab perusahaan sebagai inisiator untuk

menjamin keberlanjutan program. Kunjungan dari staff

Community Development ke lokasi hendaknya dilakukan

secara rutin, dalam kunjungan tersebut staff harus bisa

menangkap dan mengumpulkan informasi dan keluhan dari

peternak agar bisa digunakan sebagai baseline kebijakan

berikutnya.

6. Reduplikasi kelompok dapat dilakukan dengan menguatkan

modal sosial yang ada di masyarakat serta melakukan

intergrasi dengan program CSR PT. Semen Gresik – Pabrik

Tuban lainnya. Misalnya, kelompok ternak ini diintegrasikan

dengan limbah pertanian dari kelompok tani sehingga dapat

memperkuat eksistensi keberlangsungan program

pemberdayaan tersebut.

Page 21: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Beti Nur Hayati| 21

Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Ternak “Lancar Rejeki”

Daftar Pustaka

Denzin, Norman, Yvona, Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hayati, B.N., & Suparjan. 2017. “Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT, Semen Gresik Pabrik Tuban”. Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi, 11(1):43-50

Muslim, Aziz. 2017. “Analisis Kegagalan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dalam Membangun Kemandirian Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur)”. Jurnal Penyuluhan, 13(1)

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sulistyani, A. T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media.

Sunartiningsih, A (Ed). 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media

Susanto, A.B. 2007. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Jakarta: Erlangga.

Usman, Sunyoto. 2015. Esai-Esai Sosiologi Perubahan Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Wulandari, Desi. 2012 “Peranan Corporate Social Responsibility Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Untuk Mengurangi Kemiskinan”. Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, 11 (2).

Page 22: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

22 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi

Magister Sosiologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Email: [email protected]

Abstract

Business is basically a social practice. This makes success or failure in running a business not only determined by financial capital, but also determined by things broader than that. This condition also applies to the furniture business in Lhokseumawe City where UD Bripo managed to dominate while Dek Gam failed to compete. This study tries to uncover the facts of the furniture business with the same type of business, but in the furniture business UD Bripo succeeded in developing its business, on the other hand the Dek Gam furniture business failed to develop its business. Data collection is done by using ethnographic methods. The results of this study are that habitus and social capital have a significant role in supporting the success of the UD Bripo furniture business. Habitus owned by UD Bripo furniture business owners are brave, honest, focused, frugal, caring and leader-minded, and always thinks systems. While UD Bripo's successfully utilized social capital consists of norms, trust and network dimensions. The failure of the Dek Gam furniture business is due to the inaccurate application of habitus and social capital in the business arena

Keywords: Habitus, Social Capital, Business, Norms, Trust, Networking

Abstrak

Bisnis pada dasarnya adalah sebuah praktik sosial. Hal ini membuat

kesuksesan atau kegagalan dalam menjalankan sebuah bisnis tidak hanya

ditentukan oleh faktor kekuatan modal finansial, melainkan juga ditentukan

oleh hal-hal yang lebih luas daripada itu. Kondisi ini berlaku juga pada bisnis

meubel di Kota Lhokseumawe dimana UD Bripo berhasil mendominasi

sementara Dek Gam gagal berkompetisi. Studi ini mencoba menggambarkan

mengapa usaha meubel dengan jenis usaha yang sama, namun pada usaha

meubel UD Bripo berhasil mengembangkan usahanya secara signifikan,

sebaliknya usaha meubel Dek Gam gagal mengembangkan usahanya.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunaan metode etnografi. Hasil

penelitian ini yaitu habitus dan modal sosial memiliki peran signifikan dalam

mendukung kesuksesan bisnis meubel UD Bripo. Habitus yang dimiliki oleh

Page 23: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 23

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

pemilik usaha meubel UD Bripo diantaranya berani, jujur, fokus, hemat, peduli

dan berjiwa pemimpin, serta selalu berpikir sistem. Sementara modal sosial

UD Bripo yang berhasil didayagunakan terdiri atas dimensi norma,

kepercayaan, dan jaringan. Adapun terjadinya kegagalan bisnis meubel Dek

Gam disebabkan penerapan habitus dan modal sosial yang kurang tepat di

dalam arena bisnis

Kata kunci: Habitus, Modal Sosial, Bisnis, Norma, Kepercayaan, Jaringan

* * *

A. Pendahuluan

Secara makro, Indonesia membutuhkan lebih banyak

pengusaha dalam menggerakkan roda perekonomian. Pada saat ini

jumlah pengusaha di Indonesia hanya sekitar 3,1 persen dari total

penduduk, masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti

Malaysia (5 persen), Singapura (7 persen), dan Thailand (4,5 persen)

(Warta Ekonomi, 2018).

Keengganan menggeluti dunia usaha biasanya diperkuat

dengan alasan “tidak punya modal” yang dimaknai sebagai modal

ekonomi (finansial). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa modal

finansial sangat penting dalam dunia bisnis. Namun ternyata modal

finansial saja tidak cukup mumpuni dalam menjamin eksisnya seorang

pengusaha dalam arena bisnis. Peneliti melakukan observasi awal di

Kota Lhokseumawe, khususnya di kalangan pengusaha meubel,

semuanya disokong oleh modal finansial yang cukup. Namun

realitasnya tidak semua pengusaha meubel tersebut berhasil

mengembangkan sayap bisnisnya.

Secara sosiologis, bisnis merupakan sebuah praktik sosial. Oleh

sebab itu, terdapat faktor-faktor lain di luar modal finansial yang dapat

membawa bisnis berjalan lancar dan mengalirkan kekayaan atau malah

Page 24: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

24 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

sebaliknya. Hal ini dapat disimak pada usaha meubel UD Bripo dan

usaha meubel Dek Gam yang terletak di Puenteut Kota Lhokseumawe.

UD Bripo sudah beroperasi selama 15 tahun. Saat pertama kali

membuka lapaknya, UD Bripo melakukan pendekatan sosial dengan

masyarakat. Hal ini membuat UD Bripo dapat bekerja tanpa ada

masalah dengan lingkungan di sekitarnya, termasuk bekerja di malam

hari guna mengejar target pesanan barang dari konsumennya. Dengan

demikian, pelanggan semakin banyak karena puas dengan hasil kerja

dan pekerjaan tepat waktu UD Bripo. Keuntungan pun lebih banyak

mengalir sehingga usaha meubel UD Bripo semakin berkembang.

Perusahaan ini berhasil mengembangkan sayap bisnisnya dalam

beberapa tahun dengan indikasi yang tampak pada: (a) Omset usaha

bertambah dari awalnya Rp. 5 juta menjadi Rp. 70 juta per bulan; (b)

Usaha mengalami perluasan yang ditunjukkan dengan berdirinya

cabang/anak usaha baru; (c) Jumlah tenaga kerja bertambah dari 6

orang menjadi 30 orang; (c) Neraca keuangan yang stabil dan

terkelolanya keseluruhan proses produksi, termasuk ketertiban

membayar upah tenaga kerja.

Sebaliknya, usaha meubel Dek Gam ibarat “hidup segan mati

tak mau”. Ia tidak berhasil mengembangkan bisnisnya dengan indikasi

yang kontradiktif dari usaha meubel UD Bripo. Menariknya, usaha

meubel Dek Gam dimana pemilik usahanya merupakan orang asli

Puenteut justru sering mendapatkan teguran dari masyarakat sekitar.

Contohnya ketika perusahaan ini beroperasi pada malam hari,

masyarakat protes dan meminta bisnis usaha meubel Dek Gam untuk

tidak mengganggu ketenteraman di lingkungan sekitar. Hal ini

Page 25: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 25

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

disinyalir karena pemilik usaha meubel Dek Gam mengalami jarak

secara sosial dengan masyarakat.

Berdasarkan fenomena di atas, menarik dikaji mengapa usaha

meubel dengan jenis usaha yang sama, namun pada usaha meubel UD

Bripo berhasil mengembangkan usahanya secara signifikan, sebaliknya

usaha meubel Dek Gam gagal mengembangkan usahanya.

.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Pada dasarnya

metode etnografi adalah metode untuk memahami sudut pandang

(point of view) suatu masyarakat mengenai dunianya. Dalam hal ini,

peneliti melibatkan diri dalam aktivitas belajar. Artinya, dalam

penelitian etnografi peneliti tidak hanya mempelajari masyarakat,

tetapi lebih dari itu, belajar dari masyarakat (Spradley, 2007: 4).

Informan penelitian ini adalah pengusaha meubel sebanyak 2

(dua) orang, dimana dipilih seorang pengusaha yang berhasil dan

seorang pengusaha yang kurang berhasil dalam membangun dan

menjalankan bisnis meubel. Pengumpulan data tidak dilakukan

dengan wawancara langsung, tetapi “mengobrol/berbincang” yang

dilakukan dalam suasana akrab dan penuh dengan persahabatan

C. Pembahasan

Penelitian ini berada dalam ruang lingkup perspektif teori

Bourdieu. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2016: 106), praktik sosial

dapat dirumuskan sebagai: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

berdasarkan rumusan itu, Bourdieu dapat dilihat sebagai seorang

pemikir sosial yang mencoba mendamaikan dikotomi antara

objektivisme dan subjektivisme. Kedua kutub ekstrem pemikiran ini

Page 26: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

26 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

diatasi dengan sebuah konsep yang disebut habitus (Jenkins, 2016: 106-

107). Baik norma kolektif maupun motif individu, keduanya sama-

sama dipandang penting dalam membantu terwujudnya tindakan

aktor.

Menurut Bourdieu (dalam Riawati, 2017: 31), struktur yang

membentuk suatu lingkungan tertentu menghasilkan habitus. Jadi

habitus dapat didefinisikan sebagai : “sebuah sistem disposisi, yaitu

pelbagai sikap permanen untuk menjadi, melihat, bertindak, dan

berpikir, atau sebagai sistem skema atau skemata atau struktur jangka

panjang (namun tidak “permanen”) dari persepsi, konsepsi, dan

tindakan” (Bourdieu, 2018: 154). Definisi ini kelihatannya masih terlalu

sulit untuk dicerna. Maka perlu dilihat definisi Ritzer dan Goodman

(2012: 581) yang lebih sederhana: “habitus adalah struktur mental atau

kognitif yang dengannya seseorang berhubungan dengan dunia

sosial”.

Bourdieu dalam Harker, et. al. (2009: 13) mendefinisikan habitus

sebagai “suatu sistem kecondongan (disposisi) yang berlangsung lama

dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-

praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif”. Menurut

Dwiningrum (2014: 2), habitus adalah produk sejarah yang terbentuk

sejak manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang

dan waktu tertentu. Dalam hal ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang

dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai

yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir

dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa habitus adalah kesadaran

Page 27: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 27

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

mental yang diperoleh melalui proses pembiasaan sehingga menjadi

kebiasaan dan mendarah-daging di dalam diri seseorang.

Selain ide tentang “habitus”, Bourdieu juga menyampaikan ide

tentang “ranah” atau “arena”. Ranah menurut Bourdieu (dalam

Jenkins, 2016: 124) adalah “suatu ruang sosial yang di dalamnya

perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan dan

mempertaruhkan benda atau sumber (modal) yang terbatas”. Dalam

hal ini, Amin (2018), mencontohkan beragam jenis ranah di dalam

kehidupan masyarakat, seperti ranah akademis/pendidikan, ranah

agama, ranah seni, ranah bisnis, dan ranah politik. Setiap ranah

membutuhkan habitus dan modal yang berbeda-beda. Seseorang yang

memiliki habitus dalam ranah yang tepat dan modal paling banyak

akan memenangkan pertarungan dalam memperebutkan sumber daya

yang diincar.

Selain gagasan tentang “habitus” dan “ranah”, Bourdieu juga

menyampaikan gagasan tentang “modal”. Menurut Adib (2012: 107),

modal adalah “sebuah konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi

dalam ranah”. Modal sosial sebagai salah satu jenis modal adalah

sumber daya khusus yang terdapat dalam hubungan (relasi) antar

manusia. Menurut Field (2011: 1), “relasi” adalah tesis sentral dari teori

modal sosial. Bourdieu dalam sebuah tulisan yang berjudul “The Forms

of Capital” (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan

sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan

kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan

didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui (Syahra, 2003: 3).

Modal sosial merupakan sebuah piranti yang memungkinkan

(enabler) untuk membangun modal manusia di sebuah perusahaan

Page 28: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

28 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

(Galli, 2011: 20). Menurut Fukuyama (2010: 38-39), “modal sosial

memiliki konsekuensi-konsekuensi utama bagi penentuan hakikat

ekonomi industri”. Jika orang-orang mampu bekerjasama, saling

mempercayai, dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis

bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Menurut

Usman (2018: 5-6), relasi sosial memiliki sejumlah manfaat, antara lain

memfasilitasi aliran informasi, memobilisasi dukungan, menebar trust,

dan mempertegas identitas.

Selanjutnya, kiranya perlu menyimak bagaimana Coleman

(1990: 302) memaknai modal sosial. Modal sosial adalah sebuah entitas

majemuk yang mengandung dua elemen, yaitu: 1) beberapa aspek dari

struktur sosial; dan 2) memfasilitasi tindakan aktor dalam struktur

tersebut.

Modal sosial menurut Putnam dalam Field (2011:6) dapat

memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan

terkoordinasi. Maka setidaknya terdapat tiga dimensi modal sosial,

yaitu kognitif, relasional, dan struktural. Modal sosial dapat pula

dilihat dari dua perspektif. Pertama, modal sosial dari perspektif

masyarakat (society’s perspective) yang dikonsepsikan oleh Putnam.

Beberapa studi dalam perspektif ini pernah dilakukan diantaranya oleh

Mahendra (2015), Syafitri dan Sudarwati (2015), Asytuti (2015),

Harahap dan Agusta (2018), serta Gumilang, dkk (2018). Kedua, modal

sosial dari perspektif pelaku (actor’s perspective) yang diformulasikan

oleh Bourdieu (Usman, 2018: 35). Perspektif pelaku tersebut

dikembangkan dalam studi ini.

Hasbullah (2006: 5) mengungkapkan modal sosial berdasarkan

karakter sosial budaya masyarakat terdiri dari dua jenis, yaitu modal

Page 29: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 29

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang

menjembatani (bridging social capital). Bila modal sosial terikat dapat

membantu memobilisasi resiprositas dan solidaritas, modal sosial yang

menjembatani dapat digunakan untuk menghubungkan seseorang

atau kelompok kepada manfaat eksternal dan menjamin kelancaran

aliran informasi (Häuberer, 2011: 56-57).

Polanyi mempelopori konsep penanaman sosial (social

embeddedness) atau investasi sosial dalam menggambarkan pandangan

relasional ekonomi dan sosial, dimana semua kegiatan ekonomi terjerat

dalam hubungan sosial, institusi, dan kondisi historis. Penanaman

sosial mengacu pada “hubungan sosial yang sedang berlangsung” dan

transaksi sosial yang menghasilkan manfaat, tanpa perlu kontrak

formal melalui hubungan interpersonal (Lee, 2017: 20).

Berkaitan dengan dunia bisnis, pendayagunaan modal sosial

dapat dilihat pada bagaimana orang-orang Tiongkok mengembangkan

gagasan tentang guanxi. Gagasan Cina tentang guanxi lebih didasarkan

pada pengembangan hubungan di tingkat pribadi. Dalam bahasa Cina,

guan (关) berarti pintu, atau “untuk bergabung” dengan mereka yang

berada di dalam grup, dan xi (系) dapat diartikan sebagai rantai

gabungan. Dengan demikian, bersama-sama, guanxi dapat

diterjemahkan sebagai hubungan dan koneksi (Meng, 2017: 92).

Membangun kepercayaan dapat berakar pada interaksi sosial yang

sering dan dekat (Galli, 2011: 21). Dalam bisnis orang-orang Cina,

kepercayaan harus menjadi mekanisme utama dan pelumas dalam

jaringan bisnis yang kompleks. Semakin tinggi tingkat kepercayaan

antara dua pihak, semakin baik kualitas guanxi. Kepercayaan dapat

secara signifikan meningkatkan hubungan pembeli-penjual di

Page 30: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

30 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

kalangan pengusaha Cina. Hal ini karena kepercayaan diperlakukan

sebagai kepentingan mendasar oleh orang Cina dan diperlukan pada

tahap awal hubungan bisnis apa pun (Meng, 2017: 93-94)

1. Habitus dan Modal Sosial UD Bripo

Subjek pertama adalah pemilik UD Bripo yang bernama Ali

Imran. Pada awalnya ia adalah seorang petani. Ia kemudian bekerja di

salah satu panglong di daerah Geudong. Pada tahun 2007, Ali Imran

membangun usaha meubel dengan nama UD Bripo. Setelah delapan

tahun beroperasi, pada tahun 2015 Ali Imran berhasil membuka cabang

usaha baru di daerah Alue Awe.

Keberhasilan Ali Imran membangun bisnis meubel tidak

terlepas dari karakternya yang pemberani, dalam arti berani menerima

pesanan meubel dengan sistem borongan. Setelah memperhatikan

sistem kerja kontraktor di Aceh, Ali Imran berusaha beradaptasi.

Walaupun jumlah pesanan banyak dan harus rampung dalam jangka

waktu kurang dari tiga bulan, Ali Imran tetap berani mengerjakan

proyek tersebut di saat kebanyakan panglong lain menolaknya.

Keberanian ini muncul karena Ali Imran mampu membangun sistem

produksi meubel. Kuncinya terletak pada kejujuran. Habitus jujur yang

dimiliki oleh Ali Imran sudah diketahui sejak ia bekerja di panglong

milik orang lain. Habitus tersebut membuat ia dengan mudah

mendapatkan bahan baku kayu dari pemasok.

Keberanian Ali Imran menerima proyek-proyek besar membuat

ia berpikir bahwa waktu adalah segalanya. Ia harus menuntaskan

pesanan para kontraktor secepatnya. Oleh sebab itu, ia

mengoperasikan industri meubelnya hingga malam hari. Hal ini

tentunya berpotensi mengganggu kenyamanan di lingkungan sekitar

Page 31: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 31

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

usaha. Namun usahanya tetap berjalan karena kemampuan melobi

lingkungan sekitar.

Habitus lain yang dimiliki oleh Ali Imran adalah fokus. Supaya

berhasil dalam menjalankan usaha, Ali Imran fokus dalam bisnis

meubel saja, sebab dia sangat menguasai arena dalam jenis usaha ini.

Habitus fokus ini membuat Ali Imran mampu mengkalkulasikan

produksi meubel secara cermat.

Sementara itu, menjadi seorang pengusaha membutuhkan

habitus hemat. Bila dihitung, pengeluaran pribadi Ali Imran untuk

aktivitas konsumsi tidak lebih dari 30 persen penghasilannya.

Sebagian penghasilan digunakan untuk kebutuhan secukupnya,

kesenangan dan pengeluaran yang tidak perlu bisa ditunda dulu.

Habitus hemat ini membuat Ali Imran memiliki simpanan modal

finansial atau dana cadangan yang sangat besar peranannya dalam

mengatur sistem kerja perputaran uang di dalam bisnis meubel yang

sedang digelutinya. Sebagian dana cadangan juga digunakan sebagai

dana jaga-jaga guna memelihara kepercayaan dengan para kliennya.

Selain itu, Ali Imran juga melakukan investasi lagi terhadap bidang

usaha yang sama (reinvestment).

Selain habitus yang baik, UD Bripo dibangun dengan

mendayagunakan modal sosial yang dapat dilihat dari aspek norma,

kepercayaan, dan jaringan. Aspek pertama bertautan dengan norma,

pemilik UD Bripo tidak mau membuka usaha di dekat daerah Geudong

agar tidak terjadi persaingan sempurna dengan pemilik panglong

tempat dia bekerja dulu. Ali Imran merasa tabu untuk memprospek

langganan UD Berkat Doa, walaupun secara personal Ali Imran kenal

baik dengan mereka. Pelaksanaan norma ini membuat UD Berkat Doa

Page 32: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

32 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

menjadi partner usaha bagi UD Bripo. Hubungan terjalin dengan baik

berbentuk resiprositas yang saling menguntungkan.

Norma lain yang paling dijunjung tinggi oleh UD Bripo adalah

“upah pekerja tidak boleh terlambat diberikan”. Ali Imran merasa para

pekerjanya adalah sumber daya yang paling bernilai dalam bisnis

meubel. Kepercayaan dan semangat pekerja harus dijaga. Oleh sebab

itu, Ali Imran memastikan bila setiap pekerjaan meubel diselesaikan

oleh pekerjanya, upahnya langsung diberikan.

Norma selanjutnya yang senantiasa ditegakkan di lingkungan

UD Bripo adalah “kerapihan dalam mengerjakan pesanan” dan sangat

mengutamakan kualitas. Setiap unit meubel yang diproduksi UD Bripo

harus memenuhi standar. Kepuasan pelanggan menjadi prioritas

nomor satu. Dalam hal pengendalian kualitas (quality control), Ali

Imran selalu menyempatkan diri memeriksa hasil pekerjaan

bawahannya. Ia lebih memilih rugi daripada memberikan produk

meubel yang jelek karena dapat berdampak rusaknya citra UD Bripo

di mata pelanggan.

Norma UD Bripo selanjutnya ialah “tidak boleh berhenti

berinovasi”. Dalam pasar meubel yang penuh dengan persaingan, Ali

Imran senantiasa mengikuti perkembangan bisnis meubel. Pada saat

ini, selain kombinasi bahan kayu dan besi, sedang trend di tengah

masyarakat membuat dapur dari meubel dengan menggunakan

keramik yang bermacam-macam warna, termasuk juga penggunaan

triplek yang dilapisi kertas HPL pada perabotan lemari. Bahan-bahan

itu ia beli dari Medan.

Walaupun UD Bripo sedang mengerjakan proyek besar, Ali

Imran tidak menyepelekan pesanan meubel dari masyarakat dalam

Page 33: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 33

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

bentuk satuan. Hal ini berarti UD Bripo memiliki norma “tidak boleh

mendiskriminasi pelanggan”. Sementara di panglong lain kalau sudah

mendapatkan pekerjaan besar, seringkali mereka menolak bila datang

masyarakat memesan meubel secara satuan. Kalaupun diterima, waktu

pengerjaannya lama. Sementara Ali Imran tetap mengerjakan pesanan

seperti biasanya karena ia didukung pekerja harian lepas yang siap

membantunya sewaktu-waktu khusus mengerjakan pesanan meubel

secara satuan ini.

Aspek modal sosial kedua yang membuat UD Bripo bisa

berkembang adalah kepercayaan (trust). Indikasi adanya trust dapat

dilihat dari bahan baku pembuatan meubel dimana pemasok

menerapkan sistem titip kayu. Kepercayaan ini sudah dibangun sejak

Ali Imran bekerja di panglong milik orang lain. Dia dikenal sebagai

seorang pekerja yang jujur dan pimpinannya pun memberikan banyak

kepercayaan kepadanya. Selain itu, ketika Ali Imran memutuskan

berhenti bekerja dengan meminta izin secara baik-baik. Ia bukan

dikeluarkan secara tidak hormat pada saat itu. Citra ini juga penting

dalam membangun kepercayaan.

Ketika membuat perjanjian dengan pemasok Ali Imran

menerapkan strategi khusus. Bila diperkirakan dia memperoleh uang

dari konsumennya dalam dua hari, dia akan mengatakan kepada

pemasok untuk membayar kayu dalam lima belas hari. Di samping itu,

Ali Imran saat ini juga sudah mempunyai dana cadangan yang

melimpah. Ia pun akhirnya mampu menguasai dengan baik sistem

produksi dan perputaran uang di dalam bisnis meubel ini. Hal itu

sebagaimana kutipan pernyataan berikut:

Page 34: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

34 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

“Kalau sekarang ini kendalanya sudah mulai susah dari bahan bakunya. Karena kan sekarang tidak dekat lagi masalahnya. Lebih jauh lagi dari Ujong Pase. Tapi kebanyakan pemasok itu bawa barang kemari karena kalau saya bilang Jum’at bayar, ga akan bergeser. Jadi orang udah datang jauh-jauh pun ga kecewa.” (Ali Imran, Pemilik UD Bripo, 16 Februari 2020)

Kejujuran juga membantu Ali Imran dalam mengembangkan

jaringan dengan para pemasok bahan baku besi di Medan. Ketika

pertama kali berurusan dengan para toke dari Medan, ia membayar

kontan sebab toko-toko tersebut milik etnis Tionghoa dimana

membangun kepercayaan mereka bukanlah perkara mudah. Tapi

setelah lama berhubungan baik, mereka mengizinkan Ali Imran

memesan barang dengan sistem utang. Alhasil yang dikelola adalah

perputaran uang saja.

Jadi meskipun Ali Imran sebenarnya sudah memiliki sejumlah

besar uang di rekeningnya, ia tetap mendayagunakan modal sosialnya.

Tujuannya adalah untuk mengakumulasi kapital yang lebih besar,

artinya biarkan uang orang lain bekerja untuk dirinya. Selain itu, fungsi

“utang baik” ini adalah dalam rangka tetap menjaga kepercayaan

dengan klien tersebut. Keberadaan dana cadangan tersebut membuat

Ali Imran tidak pernah alpa dalam melunasi tagihan yang jatuh tempo

bahkan di saat menghadapi situasi yang sangat sulit sekalipun. Jadi

trust dengan klien dibangun tidak hanya karena Ali Imran jujur, tetapi

pola pikir dan sistem yang berhasil dibangunnya membuat ia

“senantiasa jujur”. Habitus jujur sebagai modal awal. Tetapi “sistem

jujur” membantu memelihara kontinuitas dan konsistensi habitus jujur

itu.

Page 35: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 35

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

Selain itu, pengerjaan barang pesanan meubel selalu tepat

waktu karena UD Bripo tidak pernah kekurangan pekerja. Ali Imran

mudah mencari sumber daya manusia di lingkungan sekitarnya untuk

menjadi pekerja harian lepas. Kemudahan mendapatkan pekerja

karena Ali Imran membayar upah tepat waktu dan memiliki rasa sosial

yang tinggi.

Aspek modal sosial ketiga terkait dengan jaringan (networking).

Modal sosial UD Bripo menghasilkan jalinan yang menghubungkan

UD Bripo dengan banyak kalangan dan memberikan dampak positif

bagi masing-masing pihak. UD Bripo memiliki jaringan yang luas.

Jaringan dengan pemasok memastikan bahan baku meubel

selalu tersedia. Bahan kayu dipesan dari pemasok lokal yang

beroperasi di seputaran Gunung Pase. Jaringan dengan pemasok kayu

dibangun sejak Ali Imran masih berstatus buruh meubel di daerah

Geudong. Sedangkan bahan besi, triplek, keramik, dan kertas HPL

dipesan dari Medan.

Jaringan dengan pelanggan dibangun dan dikembangkan

dengan tindakan proaktif. Artinya relasi itu tidak ditunggu, tetapi

dijemput. Tindakan ini tidak terlepas dari filosofi hidupnya

sebagaimana petuah para endatu: “Cabak jaroe meuraseuki, geuhon gaki

hana sapee na” (tangan yang rajin akan menghasilkan, kaki yang malas

akan papa). Metode pemasaran dengan sistem jemput bola dipelajari

sejak mengelola panglong milik orang lain di daerah Geudong. Ali

Imran sudah mengetahui kemana produk meubel tersebut dipasarkan

oleh pimpinannya dahulu. Hal itu sebagaimana petikan pernyataan di

bawah ini:

Page 36: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

36 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

“Di sana (UD Berkat Doa) saya belajar pengalaman pemasaran. Kemana sasaran pemasaran meubel yang dibuat di panglong itu, karena kan beda meubel yang di toko Cina dengan meubel yang dibuat di panglong, itu beda. Meubel yang di toko Cina itu pemasarannya dia menunggu pembeli datang ke toko. Tapi kalau meubel yang dibuat di panglong kayu itu harus mencari pemasaran. Pemasarannya dari sasarannya dulu. Sasarannya misalnya di rumah sekolah menawarkan bangku-bangku sekolah, mereka yang buat lemari-lemari pesantren, dan kontraktor-kontraktor yang lagi buat rumah, buat kusen-kusen. Nah gitu….” (Ali Imran, Pemilik UD Bripo, 17 Februari 2020)

Sementara itu, UD Bripo memiliki sumber daya manusia yang

cukup. Hal ini dapat diwujudkan karena UD Bripo memiliki jaringan

dengan pekerja. Pekerja UD Bripo dibagi ke dalam dua kelompok,

yaitu pekerja tetap dan pekerja harian lepas. Dalam hal ini, Ali Imran

menerapkan strategi hubungan patron-klien dengan para pekerjanya.

Artinya ia memposisikan diri seolah-olah sebagai orang tua bagi para

pekerjanya. Maksudnya adalah ia mau melibatkan diri dalam

menyelesaikan permasalahan anak buahnya seperti membantu acara

pesta perkawinan sehingga para pekerjanya merasa terhormat dan

diperhatikan oleh pimpinan. Ketika anak-anak pekerjanya sedang

sakit, Ali Imran langsung datang menjenguk. Artinya memberikan

perhatian yang tulus agar mengikat rasa sosial dengan para

pekerjanya. Hasilnya para pekerja nyaman dan loyal karena mereka

merasa UD Bripo adalah rumah dan menganggap pimpinannya sudah

seperti keluarganya sendiri. Jadi Ali Imran ini adalah seorang kapitalis

yang baik hati.

Kebanyakan pekerja UD Bripo adalah penduduk setempat.

Dalam mengatur jalannya perusahaan, Ali Imran menerapkan

Page 37: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 37

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

pembagian kerja agar berjalan secara lebih efektif dan efisien. Hal itu

sebagaimana keterangan berikut:

“… kalau bagian besi sama yang pandai besi. Jadi diarahkan sesuai dengan kemampuan. Bagian kayu dikembalikan ke tukang kayu. Karena tukang besi dan tukang kayu beda-beda kemampuannya….” (Ramli, Pekerja UD Bripo, 2 Februari 2020)

Ali Imran juga memiliki jaringan dengan sesama pelaku usaha

meubel, terutama sekali adalah mantan pimpinannya dulu di daerah

Geudong. Hubungan yang harmonis ini membuat UD Bripo memiliki

sekutu dalam berperang di arena bisnis meubel. Kedua sekutu ini bisa

hadir saling memberikan dukungan di saat terjadi kesulitan di

lapangan seperti stok bahan baku yang kurang atau pun beban

pekerjaan yang terlalu besar.

Sementara itu, jaringan dengan masyarakat juga mendapatkan

perhatian khusus dari Ali Imran. Bisnis meubel UD Bripo dapat

berkembang dengan baik karena pemiliknya memiliki rasa kepedulian

terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian ini membuat usaha meubel

UD Bripo bisa berjalan dengan tenang tanpa ada gangguan dan protes

dari lingkungan pada saat mereka sedang bekerja, sebab pekerjaan ini

sudah pasti menimbulkan suara bising yang berasal dari deru mesin

yang tentunya bisa mengganggu ketenteraman. Hal pertama sekali

yang dilakukan oleh Ali Imran adalah membuat pendekatan dengan

Kepala Desa beserta perangkatnya, tetangga sekitar usaha, lalu karena

banyak pekerja yang direkrut berasal dari warga sekitar, semakin

meminimalisir keberatan warga karena mereka juga menggantungkan

penghidupannya dari usaha meubel UD Bripo.

Page 38: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

38 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

UD Bripo juga memelihara jaringan dengan aparat keamanan

dalam menjalankan usaha meubelnya. Bisnis yang berhubungan

dengan kayu rentan memperoleh gangguan berupa pemerasan dari

oknum-oknum tertentu. Hal ini karena aturan hukum terhadap

pemanfaatan hasil hutan di Indonesia tidak jelas penerapannya. Oleh

sebab itu, dalam sebuah situasi dimana aturan tidak benar-benar

dijalankan sebagaimana seharusnya, memelihara hubungan dengan

aparat yang berwenang hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.

2. Faktor Penyebab Kegagalan Bisnis Dek Gam

Subjek kedua adalah Dek Gam (identitas samaran). Ia memulai

usaha meubel setelah kejadian tsunami yang memporak-porandakan

Aceh pada tahun 2004 silam. Sebelum bencana tsunami, Dek Gam

sudah bekerja dengan orang lain dalam bidang usaha yang sama

(panglong kayu).

Berdasarkan pengalaman bergaul dengan Dek Gam, peneliti

melihat sebetulnya Dek Gam ini memiliki habitus jujur karena semua

pesanan konsumen dikerjakan. Tapi keadaan dapat membuat dia tidak

membayar utang tepat waktu karena tidak memiliki modal simpanan.

Jadi sejujur-jujurnya seseorang kalau dari langkah pertamanya sudah

salah merintis dia dapat menjadi “tidak jujur”.

Selanjutnya peneliti melihat karakter Dek Gam tidak pandai

dalam menjaga hubungan dengan lingkungannya. Kepedulian

sosialnya mungkin agak rendah, sebab dia tidak terlalu peduli dengan

apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Hal ini dikarenakan Dek Gam

merasa sebagai orang asli Puenteut. Perasaan ini membuat ia kerapkali

menyepelekan pentingnya menjalin relasi terutama dengan perangkat

Page 39: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 39

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

desa setempat. Alhasil karena reputasi buruknya itu, pekerjaan yang

ada di desa itu sendiri tidak diberikan kepadanya.

Selain itu, kemampuan yang tidak dimiliki oleh Dek Gam

adalah kemampuan dalam membangun sistem usaha. Di dalam kepala

Dek Gam, bisnis meubel hanyalah urusan membuat produk.

Sebaliknya, di dalam kepala pemilik UD Bripo, bisnis meubel bukan

hanya urusan membuat produk, tetapi membangun sistemnya.

Bila melihat sejarahnya, Dek Gam dahulu mengalami nasib

yang sama seperti Ali Imran. Sebelum membuka usaha sendiri, mereka

menjadi buruh terlebih dahulu. Mereka berdua memperoleh

keterampilan dalam membuat meubel di tempat kerjanya, bukan

warisan dari orang tua atau tidak memiliki modal kultural dari orang

tua. Namun pada saat Dek Gam mencoba berdiri sendiri kemampuan

Dek Gam belum matang untuk mandiri seutuhnya terutama belum

tahu membangun sistem usaha. Berbeda dengan Ali Imran yang sudah

mempelajari tentang usaha meubel secara menyeluruh, kemana

perputarannya, siapa pemasoknya, dimana pemasarannya. Jadi

dampaknya ketika sama-sama menjalankan usaha sendiri, UD Bripo

“memikirkan sistem”, sedangkan Dek Gam cuma “memikirkan

produk”.

Dek Gam mengharapkan berkah dari proyek-proyek pasca

tsunami, tetapi ia lupa bahwa kondisi semacam ini tidak abadi. Lebih

celaka lagi, Dek Gam menjadi terbiasa atau bahkan terinstitusionalisasi

dengan sistem kerja masa itu. Dulu permintaan barang-barang meubel

sangat tinggi. Jadi dengan kebiasaannya itu, ketika proyek-proyek

pasca tsunami sudah berakhir dan pesanan barang meubel menjadi

berkurang, Dek Gam kesulitan beradaptasi dengan kondisi baru. Ia

Page 40: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

40 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

tidak terbiasa memasarkan produknya kepada konsumen.

Pengamatan penulis, Dek Gam juga tidak berusaha memasarkan

produk meubelnya ke dayah karena mungkin merasa sudah terlambat

terlebih arena tersebut hampir seluruhnya sudah dikuasai oleh UD

Bripo. Melihat perkembangan pesat usaha meubel para pesaingnya

membuat Dek Gam semakin tidak percaya diri.

Sementara itu, faktor lainnya adalah Dek Gam ini memiliki

keyakinan dan filosofi hidup bahwa semua rezeki sudah ditentukan

Allah SWT. Spiritualitas ini melahirkan tindakan pasif dalam mencari

rezeki. Dek Gam tidak pernah berusaha mencari pelanggan karena ia

senantiasa puas dengan situasi yang ada. Ia menerapkan metode

perdagangan yang lamban. Sikap fatalistik ini adalah manifestasi

bahwa Dek Gam adalah penganut aliran jabariyah di dalam Islam. Di

sisi lain keyakinan pemilik usaha UD Bripo adalah hasil yang

diusahakan hari ini akan mendapatkan rezeki dari Allah SWT untuk

mencukupi kebutuhan di masa mendatang. Jadi jelaslah bahwa baik

Dek Gam maupun Ali Imran sama-sama memiliki tindakan yang

bernuansa religiusitas. Namun penafsiran terhadap nasib itu berbeda

diantara keduanya yang akhirnya memotori atau menjadi spirit

tindakan mereka dalam berbisnis.

Selanjutnya, secara mutu produk meubel Dek Gam terjamin,

adapun keluhan konsumen pada umumnya lebih kepada waktu

pengerjaan meubel yang kadangkala lebih lama dari yang dijanjikan

dan ongkos pengerjaan meubel yang sedikit lebih mahal. Hal ini

memiliki keterkaitan erat dengan modal sosial trust yang tidak mampu

dioptimalkan oleh Dek Gam. Indikasinya Dek Gam harus membayar

bahan baku kayu secara kontan kepada pemasok. Kondisi ini membuat

Page 41: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 41

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

usaha meubel Dek Gam tidak pernah mampu mengerjakan proyek-

proyek besar pesanan kontraktor.

Kalau mau membuat meubel, Dek Gam harus meminta panjar

sebagai modal untuk membeli kayu di luar. Dampaknya Dek Gam baru

bisa mencari bahan baku setelah menerima panjar dari pemesan.

Namun pemasok tidak ada setiap hari. Akhirnya Dek Gam harus pergi

ke panglong milik orang lain untuk membeli kayu. Hal itu otomatis

membuat harga bahan bakunya menjadi lebih mahal. Kondisi ini

membuat Dek Gam mematok harga hasil jerih payahnya sedikit lebih

mahal.

Selain itu, Dek Gam tidak percaya dengan orang lain sehingga

memilih bekerja sendirian saja. Kalaupun ada pekerja, ia lebih

cenderung mempekerjakan satu atau dua orang, itu pun dari kalangan

keluarganya sendiri (familisme). Alhasil usaha meubel Dek Gam tidak

bisa berkembang. Dek Gam hanya menjadi pekerja untuk dirinya

sendiri.

Dek Gam tidak memiliki jaringan yang luas dengan pemasok.

Alhasil barang-barang meubel yang mampu diproduksi masih bergaya

lama, tidak pernah dimodernisasi. Demikian pula halnya dengan

jaringan pelanggan, Dek Gam tidak pernah berupaya memperluasnya.

Dek Gam tidak melakukan promosi ke tempat-tempat potensial seperti

sekolah atau pesantren.

Jaringan dengan pekerja sengaja tidak dikembangkan. Hal ini

karena Dek Gam menerapkan sistem familisme dalam bisnis

meubelnya. Ketidakpercayaan dengan pekerja ini pula yang membuat

produk-produk meubel Dek Gam tidak pernah bisa dimodernisasi

seperti yang dilakukan UD Bripo, sebab pengerjaan bahan baku besi

Page 42: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

42 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

harus diakui hingga saat ini hanya mampu dilakukan oleh para pekerja

dari Sumatera Utara. Sementara Dek Gam sendiri tidak memiliki

pengetahuan dan keterampilan dalam mengerjakan inovasi terbaru

dari produksi meubel tersebut.

Jaringan dengan sesama pelaku usaha meubel juga tidak

berlangsung dengan baik. Indikasinya dapat dilihat pada saat tidak

tersedia bahan baku kayu dari para pemasok. Dek Gam tidak

diperbolehkan untuk meminjam kayu dari sesama pelaku usaha

meubel. Dek Gam justru diharuskan membeli papan dengan harga

yang lebih mahal yang berpengaruh pada mahalnya produk meubel

Dek Gam.

3. Analisis Kesuksesan Bisnis UD Bripo dan Kegagalan Bisnis Dek

Gam

Habitus dan modal sosial memungkinkan UD Bripo memiliki

hak istimewa dalam menjalankan bisnis meubel. Habitus dan modal

sosial yang dimiliki UD Bripo berhasil memaksimalkan potensi yang

tersedia di sekitarnya untuk menghasilkan produktivitas bagi usaha

meubelnya. Hal ini bertolakbelakang dengan usaha meubel Dek Gam

yang menjalankan usaha dengan habitus yang tidak tepat dan nyaris

tanpa modal sosial.

Pemilik UD Bripo dengan habitus pemberani, jujur, fokus,

peduli, dan hemat berhasil mentransformasi habitus-habitus tersebut

sebagai strategi dalam menghasilkan dan mengakumulasi modal.

Habitus UD Bripo berhasil memberikan akses ke bentuk modal

tertentu, sebab habitus merupakan prasyarat bagi modal. Habitus dan

modal sosial adalah dua konsep yang berbeda tetapi saling bergantung

Page 43: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 43

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

dan berinteraksi. Habitus pemilik UD Bripo mendukung dalam

menumbuhkan hubungan atau relasi dan mendapatkan akses ke

jejaring sosial tertentu yang dapat dikapitalisasi dan dengan demikian

berubah menjadi modal sosial.

Habitus merupakan perilaku yang tidak disadari yang menjadi

dasar perilaku sosial otomatis yang memungkinkan UD Bripo dan Dek

Gam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Perilaku otomatis ini

memfasilitasi atau bisa juga melemahkan semua bentuk hubungan

sosial mereka. Habitus dapat membangun atau malah sebaliknya

menghancurkan peluang untuk berkembang, menghasilkan manfaat

atau kerugian. Pada kasus Dek Gam menunjukkan bahwa habitus yang

kurang baik justru membatasi pergerakannya dan modal sosialnya

kemudian berkurang drastis.

Menurut penulis, apa yang dimiliki Dek Gam bisa dikatakan

sebagai "habitus kemiskinan", yang sebagian besar merupakan hasil

dari bagaimana Dek Gam berpikir dan bertindak secara rasional

dan/atau tidak rasional dalam konteks sosialnya. Dek Gam

menjalankan praktik berpola berupa habitus kemiskinan sangat

mempengaruhi reproduksi kecenderungan dan pola tindakan yang

sama atau serupa sehingga menghambat perkembangan usahanya.

Sementara Ali Imran dengan habitus yang dimilikinya berhasil

menyulap modal sosial menjadi modal ekonomi. Bourdieu (2016) telah

menunjukkan bagaimana modal sosial ada di samping modal ekonomi

dan modal budaya. Seluruhnya dapat menjadi bagian dari strategi

individu dan kelompok dalam mereproduksi lebih banyak modal

sosial dan/atau mengubahnya menjadi bentuk lain dari modal sosial.

Dengan modal sosial yang kuat, UD Bripo dapat lebih mudah

Page 44: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

44 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

mengembangkan bisnis dan memperoleh bentuk modal lainnya yang

diperlukan dalam mempertahankan keberlangsungan usaha, seperti

modal finansial (akses ke uang melalui bank), modal fisik (akses ke

tanah dan bangunan melalui mertua), modal alami (akses ke bahan

baku melalui pemasok bahan kayu dan besi), dan modal manusia

(akses ke pekerja, pengetahuan, dan keterampilan). Modal sosial UD

Bripo merupakan sumber daya strategis yang tersedia yang

didayagunakan oleh UD Bripo dalam memproduksi modal lebih

lanjut.

Pada awalnya Ali Imran memanfaatkan modal sosial berupa

kepercayaan yang diberikan oleh pemilik UD Berkat Doa menjadi

modal manusia (human capital) di kemudian hari. Kepercayaan

terhadap Ali Imran membuat pemilik UD Berkat Doa bersedia

menanamkan investasi pengetahuan dalam diri Ali Imran. Trust juga

membuatnya memperoleh kesempatan dalam mengelola bisnis meubel

milik orang lain secara langsung yang tentunya menjadi pengalaman

berharga dalam merintis usaha sendiri di kemudian hari. Jadi Ali

Imran berhasil mengubah kekayaan eksternal menjadi bagian integral

dari dirinya. Modal manusia ini tertanam di dalam diri Ali Imran yang

berguna sebagai landasan dalam merintis usaha baru di bidang

meubel.

Dalam perkembangannya, setelah UD Bripo berdiri secara

teknis perusahaan baru ini telah menjadi partner usaha bagi UD Berkat

Doa karena komunikasi yang dipelihara dengan baik. Manfaat relasi

ini adalah ketika salah satu diantaranya mengalami kendala, mereka

tahu teman yang merupakan jaring pengaman yang bersifat resiprokal.

Dengan demikian, UD Bripo dan UD Berkat Doa melibatkan

Page 45: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 45

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

pembentukan ikatan diantara aktor yang horizontal, setara, dan

serupa. Hal ini penting bagi keberlangsungan usaha karena

memperkuat upaya saling mendukung.

Ikatan homogen dan interaksi yang intens diantara UD Bripo

dan UD Berkat Doa sangat penting untuk pengembangan kepercayaan

dan norma-norma tertentu. Hubungan pribadi dan kohesi diantara

rekan kerja mendorong tindakan saling mendukung serta pertukaran

informasi yang andal. Dalam lingkungan bisnis meubel yang

digerakkan oleh pengetahuan kompleks dan berkembang, ikatan yang

kuat, kohesi, dan jaringan mempromosikan kesempatan belajar dan

berbagi pengetahuan yang berharga. Pertemanan antara pemilik usaha

meubel UD Bripo dan UD Berkat Doa meningkatkan transfer

pengetahuan sekaligus memperkuat komitmen diantara mereka.

Ali Imran juga berhasil menciptakan koneksi dengan pihak lain,

dan koneksi itu digunakan dalam beberapa cara. Koneksi Ali Imran

bukan hanya menghasilkan persahabatan, tetapi bagaimana hubungan

sosial itu membantunya menghasilkan sesuatu yang bernilai. Sebab hal

itu merupakan jalan menuju penemuan aset berharga. Aset yang

dimiliki UD Bripo berdasarkan hubungan sosial yang dikembangkan

dan dipelihara, serta nilai-nilai bersama yang muncul dari jaringan itu,

membentuk modal sosial. Modal sosial ini bersifat non-institusional

dan menjadi lem perekat yang memfasilitasi kerjasama, pertukaran,

dan bahkan inovasi.

UD Bripo menunjukkan profesionalisme dalam mengelola

bisnis meubel dalam rangka membangun trust. Menjadi andal,

mengerjakan produk tepat waktu, memenuhi janji, dan

memperlakukan orang lain dengan sopan dan penuh respek memberi

Page 46: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

46 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

peluang banyak pihak mau menjadi kontributor bagi pengembangan

usaha meubel UD Bripo secara langsung maupun tidak langsung.

Modal sosial diakumulasikan oleh Ali Imran dan digunakan dalam

produksi kekayaan UD Bripo.

Modal sosial UD Bripo sesungguhnya dibangun sebagai hasil

desain, bukan suatu kebetulan belaka. Ali Imran sukses meningkatkan

peluangnya berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat

dengan membangun “struktur jaringan laba-laba”. Ia memahami betul

bahwa jaringan akan runtuh tanpa kepercayaan. Kepercayaan UD

Bripo dapat tumbuh selama ini karena reputasi yang diproduksi oleh

habitus jujur pemiliknya. Ketika tidak ada kepercayaan, bisnis menjadi

sulit karena kontrak (uang, janji, hutang) tidak dapat direalisasikan

sebagaimana yang dialami oleh Dek Gam.

Pada tahap selanjutnya norma UD Bripo berkontribusi dalam

membuat usaha meubel tersebut dihargai oleh kliennya karena mampu

memelihara norma-norma di dalam dunia bisnis dan sosial. Sementara

Dek Gam justru memperoleh sanksi karena reputasi buruknya. Alhasil

sanksi sosial ini memperburuk keadaan yang membuat perkembangan

usaha meubel Dek Gam semakin surut.

Norma penting dalam jejaring sosial adalah timbal balik atau

resiprositas. Ketika Ali Imran memberikan manfaat kepada

jaringannya, dia juga dapat mulai mengandalkan mereka saat

membutuhkan dukungan. Jadi modal sosial UD Bripo memfasilitasi

kerjasama yang saling menguntungkan antara dia dengan jaringannya.

Berkebalikan dengan itu, resiprositas tidak terjadi pada usaha meubel

Dek Gam, terutama sekali resiprositas dengan masyarakat di

sekitarnya.

Page 47: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 47

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

Modal sosial setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu mengikat

dan menjembatani. Dalam berhubungan dengan para pekerja, Dek

Gam hanya mengembangkan modal sosial mengikat (bonding social

capital), sedangkan UD Bripo mengembangkan kedua-duanya. Dalam

modal sosial terikat misalnya, UD Bripo memelihara kontak sosial

dengan teman, tetangga, dan keluarga yang terhubung dengan

kegiatan awal perusahaan, dan membantu penjualan awal UD Bripo.

Jadi kohesi dengan kelompok sosialnya berhasil menjaga keberlanjutan

usaha yang masih kecil karena baru dirintis.

Sementara pada modal sosial yang menjembatani, pemilik

usaha meubel UD Bripo juga berhasil mendayagunakannya. Akses

informasi ke jaringan pemasoknya di Medan berhasil dioptimalkan

sedemikian rupa oleh pemilik UD Bripo untuk memperkuat

dominasinya di dalam dunia bisnis meubel di Kota Lhokseumawe.

Ikatan sosial ke luar yang dimiliki oleh pemilik UD Bripo adalah

saluran yang meningkatkan aliran peluang. Jaringan yang berbeda

memberi keuntungan bagi UD Bripo untuk bisa kompetitif dalam

persaingan bisnis meubel. Sebaliknya perusahaan meubel Dek Gam

pada akhirnya kurang optimal dalam pendayagunaan modal sosial

karena hubungan antara kolega yang terlalu melihat ke dalam keluarga

(familisme) dan gagal memperhitungkan apa yang terjadi di dunia

yang lebih luas.

Ali Imran juga berhasil membangun hubungan yang kuat, jujur,

dan saling menguntungkan dalam dinding perusahaannya sendiri. Ia

memastikan orang-orang kepercayaannya mampu mendukung kinerja

perusahaan menjadi lebih baik untuk menghasilkan keuntungan bagi

mereka semua. Sebab hubungan yang dikembangkan antara pemilik

Page 48: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

48 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

UD Bripo dan pekerjanya bersifat resiprositas dan bahkan cenderung

patron-klien.

Pembagian kerja juga diatur dengan baik oleh Ali Imran ketika

menjalankan roda perusahaannya. Ia mengelompokkan buruh meubel

berdasarkan kapabilitasnya masing-masing sehingga membuat

pengerjaan meubel menjadi efektif dan efisien. Namun pembagian

kerja ini sebenarnya juga membuat para pekerja menjadi tidak pernah

berpikir untuk mengikuti jejak Ali Imran membuka usaha sendiri,

sebab pengetahuan berada dalam kuasa penuh pemilik usaha meubel

UD Bripo. Ali Imran juga berpikir bahwa sukses itu sosial. Ketika

peduli dengan lingkungan sekitar tanpa mengharapkan manfaat secara

langsung, Ali Imran sesungguhnya sedang menumbuhkan sekaligus

memupuk modal sosial. Memberi dan mendukung orang lain

membangun kualitas kepercayaan dan reputasi UD Bripo

D. Penutup

Habitus dan modal sosial memiliki peran signifikan dalam

mendukung kesuksesan usaha meubel UD Bripo di Puenteut Kota

Lhokseumawe. Habitus yang dimiliki oleh pemilik usaha meubel UD

Bripo diantaranya berani, jujur, fokus, hemat, peduli dan berjiwa

pemimpin, serta selalu berpikir sistem. Sementara modal sosial UD

Bripo terdiri atas dimensi norma, kepercayaan, dan jaringan. Adapun

penyebab terjadinya kegagalan usaha meubel Dek Gam di Puenteut

Kota Lhokseumawe adalah habitus dan modal sosial yang kurang tepat

di dalam arena bisnis yang digelutinya.

Page 49: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

M. Nur, Nirzalin, Alwi, Fakhrurrazi| 49

Habitus dan Modal Sosial dalam Kesuksesan dan Kegagalan Bisnis

Daftar Pustaka

Adib, M. 2012. Agen dan Struktur dalam Pandangan Piere Bourdieu. BioKultur I(2): 91-110.

Amin, K. (09/05/2018). Memahami Positivisme Generatif Pierre Bourdieu. Diakses 20 April 2019. http://www.braindilogsociology.or.id/ 2018/05/memahami-positivisme-generatif-pierre.html

Asytuti, R. 2015. Pengusaha Warung Tegal di Jakarta (Pendekatan Modal Sosial). Jurnal Hukum Islam (JHI) 13(1): 13-24.

Bourdieu, P. 2016. Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj. Yudi Santosa. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Bourdieu, P. 2018. Habitus: Sebuah Perasaan atas Tempat (penerjemah: Anton Novenanto). Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):153-159.

Coleman, J. S. 1990. Foundation of Social Theory. Cambridge: Harvard University Press.

Dwiningrum, S. I. A. 2014. Modal Sosial dalam Pengembangan Pendidikan (Perspektif Teori dan Praktik). Yogyakarta : UNY Press.

Field, J. 2011. Modal Sosial. Bantul : Kreasi Wacana.

Fukuyama, F. 2010. Trust : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terj. Ruslani. Yogyakarta : Qalam.

Galli, E. B. 2011. Building Social Capital in a Multibusiness Firm. Wiesbaden: Gabler.

Gumilang, J. S., dkk. 2018. Praktik Sosial Pedagang Sunggingan Boyolali (Studi Fenomenologi di Pasar Sunggingan Boyolali). Jurnal Analisa Sosiologi 7(2): 213-223.

Harahap, D. Y. dan I. Agusta. 2018. Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Pengusaha Sektor Informal (Kasus Pengusaha Sektor Informal di Pasar Jl. Dewi Sartika, Bogor). Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] 2(2): 207-222.

Harker, R. et. al. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terj. Pipit Maizier. Yogyakarta : Jalasutra.

Page 50: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

50 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Hasbullah, J. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta : MR-United Press.

Häuberer, J. 2011. Social Capital Theory: Towards a Methodological Foundation. Prague: VS Research.

Jenkins, R. 2016. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Lee, R. 2017. The Social Capital of Entrepreneurial Newcomers: Bridging, Status-Power and Cognition. London: Palgrave Macmillan.

Mahendra, S. 2015. Keterkaitan Modal Sosial dengan Strategi Kelangsungan Usaha Pedagang Sektor Informal di Kawasan Waduk Mulur: Studi Kasus pada Pedagang Sektor Informal di Kawasan Waduk Mulur Kelurahan Mulur Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Analisa Sosiologi 4(2): 10–30.

Meng, Z. 2017. Ownership of Trust Property in China: A Comparative and Social Capital Perspective. Singapore: Springer.

Pemerintah Kota Lhokseumawe. 2017. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Lhokseumawe Tahun 2017-2022.

Riawati, S. 2017. Teori tentang Praktik : Saduran Outline of a Theory of Practice Karya Pierre Bourdieu. Bandung : Ultimus.

Ritzer, G. dan D. J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Spradley, J. P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Syafitri, A. dan L. Sudarwati. 2015. Pemanfaatan Modal Sosial dalam Sektor Perdagangan (Studi pada Etnis Tionghoa, Batak, dan Minangkabau di Kota Medan). Perspektif Sosiologi 3(1): 1-17.

Syahra, R. 2003. Modal Sosial : Konsep dan Aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya 5(1): 1-22.

Usman, S. 2018. Modal Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wartaekonomi.co.id (06/06/2018). HIPMI: Jumlah Pengusaha RI Tertinggal Jauh. Diakses 08 April 2019. https://www.wartaekonomi.co.id/read183507/ hipmi-jumlah-pengusaha-ri-tertinggal-jauh.html

Page 51: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 51

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Rufaidah Aslamiah, Milda Longgeita Pinem

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email: [email protected]

Abstract

The number of female workers has begun to show equality between men and women. However, the workforce sector is very prone to gender injustice, one of which is sexual harassment of women workers. A study in 2017 conducted by Perempuan Mahardhika shows that 56.5% of 773 workers had experienced some forms of sexual harassment in the workplace, especially at KBN Cakung. Based on this, questions arise to be able to find out how the portrait of sexual harassment of women workers at KBN Cakung. This study aims to reveal the voices of women workers against silent crime in the workplace. This study uses a feminist standpoints method to acknowledge women's voices. In this study, a purposive technique accompanied by a gatekeeper determined the informants. The results of this study indicate a portrait of sexual harassment experienced by female workers, both verbally, psychologically, as well as physically. There are four forms of harassment found outside the 16 established forms, namely voyeurism, online-based sexual harassment, forced dating with a marriage mode and also intimidation. The existence of reduction carried out by the structure makes silent crime unable to be categorized as the dominant discourse about crime, a new model of crime that cannot be framed by a conventional paradigm

Keywords: Silent Crime, Sexual Harassment, Female Labor

Abstrak

Semakin banyaknya keterlibatan perempuan di sektor publik seperti bidang

ketenagakerjaan, maka dipercaya hadir pula kesetaraan antara perempuan dan

laki-laki. Namun, keyakinan seperti itu ternyata tidak cukup karena pada

kenyataannya masih banyak buruh perempuan mengalami sexual harassment.

Salah satu kasus pelecehan seksual tersebut dikaji oleh organisasi Perempuan

Mahardhika pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa sekitar 56,5% dari 773

buruh perempuan di KBN Cakung pernah mengalami bentuk pelecehan

seksual. Berdasarkan data tersebut, muncul pertanyaan terkait potret pelecehan

Page 52: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

52 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

seksual buruh perempuan di KBN Cakung. Penelitian ini bertujuan untuk

mengungkap suara para buruh perempuan dalam melawan kejahatan sunyi atau

kejahatan yang tidak teridentifikasi di tempat kerja. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian feminist standpoint yang berfungsi untuk

mengangkat suara buruh perempuan. Teknik penentuan informan adalah

purposive, dengan didampingi oleh gate keeper atau mereka yang bisa

memberi akses bagi para buruh perempuan. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan potret pelecehan seksual yang dialami oleh buruh perempuan

baik secara verbal, psikis, maupun fisik. Ditemukan empat bentuk pelecehan

di luar 16 bentuk yang sudah diidentifikasi yakni voyeurisme, pelecehan

seksual berbasis online, kencan paksa dengan modus dinikahi, dan juga adanya

intimidasi. Adanya kecenderungan reduksi defenisi kriminalitas oleh

perspektif formal atau konvensional, membuat kejahatan sunyi yang dialami

buruh perempuan seringkali tidak dilihat sebagai praktek kriminalitas

Kata kunci: Kejahatan Sunyi, Pelecehan Seksual, Buruh Perempuan

* * *

A. Pendahuluan

Maraknya keikutsertaan perempuan dalam sektor industri

sejatinya telah menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya terjadi

dalam sektor ekonomi, tetapi juga sosial (Shiva, 1997). Frans Magnis

Suseno, sebagaimana dikutip oleh Winarno (2013) memaparkan bahwa

dalam menilai suatu proses pembangunan, tujuan-tujuan luhur yang

diproklamasikan belum mencukupi, untuk menilai pembangunan

perlu memperhatikan cara-cara konkret perlakuan terhadap manusia.

Suatu pembangunan dapat dikatakan bersifat manusiawi apabila

setiap pihak yang terkena dampak oleh pembangunan itu merasa

sejahtera atau merasa dibantu dalam usahanya untuk mencapai

kesejahteraan.

Kesetaraan gender dianggap sebagai salah satu elemen penting

dalam mencapai pekerjaan yang layak baik bagi pria maupun wanita,

kesetaraan gender ini mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab,

Page 53: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 53

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

dan peluang yang harus dinikmati semua orang terlepas dari apakah

seseorang dilahirkan sebagai pria atau wanita, hal ini menjadi salah

satu kunci untuk melakukan perubahan sosial dan kelembagaan yang

mengarah pada pembangunan berkelanjutan dengan pemerataan dan

pertumbuhan. Dewasa ini, banyaknya pekerja perempuan sudah mulai

menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,

namun dalam bidang ketenagakerjaan juga tidak menutup

kemungkinan sangat rawan adanya ketidakadilan gender, salah

satunya adalah sexual harrasment terhadap buruh perempuan. Mengacu

pada definisi yang dikutip Judith Berman dari Advisory Commitee Yale

College Grievance Board and New York University telah dirumuskan

pengertian sexual harassment, yakni:

“Semua tingkah laku seksual atau kecenderungan untuk bertingkah laku seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang baik verbal (psikologis) atau fisik yang menurut si penerima tingkah laku sebagai merendahkan martabat, penghinaan, intimidasi, atau paksaan” (Sihite, 2007).

Salah satu indikator kemajuan suatu negara adalah dengan

semakin masifnya perekonomian pada bidang industri. Industri

garmen di Indonesia termasuk salah satu sektor industri yang paling

besar di dunia, bahkan diproyeksikan menjadi salah satu kontributor

terbesar perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Namun,

proyeksi tersebut bersinggungan dengan kenyataan bahwa banyak

perusahaan garmen di Indonesia belum mampu

mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

pemerintah Indonesia ataupun lembaga internasional perburuhan.

Fenomena industri garmen di Indonesia akan semakin kompleks ketika

dipadukan dengan kenyataan bahwa perempuan menjadi pemegang

Page 54: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

54 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

peran kunci keberlangsungan bisnis garmen. Secara umum dapat

dikatakan bahwa setidaknya 80% tenaga kerja di sektor garmen adalah

perempuan (BPS, 2014).

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat, pelecehan

seksual banyak terjadi di pabrik garmen. Pasalnya 99% pekerja di

pabrik garmen adalah perempuan. Murniati (2004) menjelaskan bahwa

ada bentuk penindasan yang secara visual bisa dilihat, tetapi ada yang

sudah berada dalam kemasan, sangat rapi, dan tidak terasa bahkan

oleh yang ditindas sekalipun. Salah satu bentuk penindasan yang

terbalut super canggih, adalah penindasan dominasi maskulinisme

terhadap perempuan.

Dari kurang lebih 60.000 pekerja di KBN Cakung yang sebagian

besar adalah perempuan, kajian dari Perempuan Mahardhika berhasil

mengurai pengalaman dari 773 buruh perempuan, terkait dengan hal-

hal yang dirasakan dan didapatkan para buruh perempuan ketika

bekerja. Para buruh garmen

perempuan tersebut bekerja di 38

perusahaan garmen yang secara

resmi beroperasi di Kawasan

Berikat Nusantara (KBN) Cakung,

Jakarta Utara. Hasilnya cukup

mengejutkan yaitu 56,5% dari 773

buruh perempuan yang bekerja di

38 perusahaan garmen tersebut

pernah mengalami pelecehan

seksual di pabrik. Data Disamping

menunjukkan tingginya tingkat

Data jumlah korban pelecehan seksual buruh perempuan di KBN

Cakung (Sumber: Survei Perempuan Mahadhika, 2017)

Page 55: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 55

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

pelecehan seksual di tempat kerja khususnya di KBN Cakung, cukup

sulit memang untuk menghindari pelecehan di tempat kerja. Pelecehan

seksual yang terjadi pada buruh perempuan ini rata-rata dilakukan

oleh para mekanik, pekerja di bidang HRD, satpam bahkan tukang

parkir.

Beberapa kasus mengenai pelecehan seksual yang terjadi di

tempat kerja tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti di Asia kasus ini

sendiri sudah bukan merupakan hal yang langka terjadi, misalnya di

Bangladesh. Menurut Nelien Haspels (2001) beberapa kasus pelecehan

terjadi serta semakin marak karena disebabkan tidak adanya lembaga

bantuan atau kebijakan khusus mengenai kasus pelecehan seksual di

tempat ia bekerja, namun beberapa diantara korban bersedia untuk

mengungkap kasus ke publik, melalui usaha yang panjang akhirnya

pelaku dapat diungkap dan dihakimi oleh warga dan keluarga korban,

serta mendapatkan sanksi boikot secara sosial. Di sini justru tidak ada

intervensi dari perusahaan sama sekali, padahal seharusnya

perusahaan perlu memiliki kebijakan dan sanksi khusus untuk para

pelaku. Di samping itu, di Sri Lanka kasus-kasus pelecehan seksual di

tempat kerja yang umumnya terjadi pada perempuan buruh garmen

berkurang karena adanya solidaritas antar perempuan, hal ini

disebabkan karena adanya peningkatan kesadaran pada buruh

perempuan yang sedikit banyak menerima sosialisasi dari LSM-LSM

yang berbasis gender. Pelecehan seksual terhadap perempuan adalah

penyalahgunaan kekuasaan serta ekspresi dari seksualitas laki-laki.

Dimana pelecehan dapat terjadi karena berasal dari relasi posisi yang

menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dan dalam

hal ini si pelaku pelecehan memegang kendali atas posisi superiornya.

Page 56: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

56 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Di Indonesia persoalan gender bahkan sudah menyentuh pada

ranah Peraturan Daerah yang dalam implementasi penyusunan

kebijakan mengenai perempuan tidak melibatkan perempuan itu

sendiri. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (LSAM) bahkan

mengemukakan bahwa pada tahun 2013 setidaknya ada 153 peraturan

daerah (perda) yang diskriminatif kepada perempuan. Diskursus

seperti ini menunjukkan bahwa di dalam tatanan hukum Indonesia,

sensitivitas terhadap suara-suara perempuan masih belum menjadi

prioritas, bahkan di dalam kajiannya pun sama sekali tidak

menghadirkan pendapat atau perspektif dari perempuan itu sendiri

(Probosiwi, 2015).

Untuk lebih meningkatkan peran perempuan dalam bidang

pembangunan kesejahteraan, Indonesia memiliki banyak sekali

tantangan yang kemudian harus dihadapi, terutama dalam persoalan

gender. Masyarakat cenderung masih memiliki pandangan bahwa

perempuan merupakan manusia nomor dua, persoalan gender adalah

persoalan kekuasaan yang biner patriarkis. Persoalan itu yang

kemudian menciptakan posisi subordinat bagi perempuan yang

membutuhkan penyelesaian perlawanan terhadap kekuasaan.

Berdasarkan realitas di atas, untuk dapat menjelaskan fenomena ini,

peneliti kemudian mengajukan pertanyaan mengenai potret pelecehan

seksual yang dialami oleh buruh perempuan di Kawasan Berikat

Nusantara Cakung. Hal ini akan memberikan sedikit banyak gambaran

mengenai pengalaman yang dialami oleh korban pelecehan seksual.

Peneliti menggunakan kerangka teoritis sebagai pisau analisis

untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian. Teori yang digunakan

memiliki fungsi sebagai penuntun yang membantu peneliti dalam

Page 57: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 57

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

memahami suatu peristiwa serta lebih sebagai sebuah cara berpikir

dalam menganalisis kejahatan sunyi yang mengungkapkan potret

pelecehan seksual pada buruh perempuan. Teori yang digunakan

adalah teori Feminisme Standpoint.

Feminisme adalah paham yang menggerakkan perempuan dalam

menuntut persamaan gender atau kesetaraan dalam masyarakat.

Menurut Mustaqim (2003) feminisme dapat diartikan sebagai

kesadaran terhadap adanya ketidakadilan, diskriminasi dan

subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan adanya upaya untuk

mengubah keadaan tersebut menuju ke sebuah sistem masyarakat

yang lebih adil. Secara struktural kehidupan perempuan berbeda

dengan laki-laki, menurut teori Marxian, kehidupan perempuan

menyediakan titik pandang khusus dan lebih istimewa mengenai

supremasi laki-laki, di mana titik pandang ini dijadikan sebagai sebuah

kritik yang cukup kuat terhadap bentuk-bentuk yang kapitalis dan

patriarkis. Kritik ini dituangkan dalam bentuk teori standpoint.

Teori Standpoint sendiri dikembangkan oleh Nancy Hartsock.

Standpoint Theory berawal pada tahun 1980-an, ketika filsuf Jerman

Georg Wilhelm Friedrich Hegel mulai mendiskusikan mengenai

hubungan antara tuan dan budak yang menyebabkan perbedaan sudut

pandang pada masing-masing peran. Hartsock mengembangkan teori

yang dibuat oleh Marx, yang tidak hanya melihat peran pria dan

kapitalisme saja melainkan juga mengaitkan semua aktivitas manusia.

Hartsock berfokus pada klaim milik Marx yang menyatakan bahwa

pandangan yang dianggap benar terhadap kelas sosial adalah berasal

dari salah satu posisi mayoritas yang ada di dalam masyarakat.

Hartsock mengamati bahwa Marx mengembangkan kritik terhadap

Page 58: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

58 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

struktur kelas. Menurut Hartsock feminisme fokus pada posisi sosial

wanita dan keinginan untuk mengakhiri penindasan berdasarkan

gender (Harding, 2004). Menurut Hartsock sebuah perspektif dibentuk

dari pengalaman-pengalaman yang terstruktur oleh posisi seseorang

dalam hierarki sosial. Sebuah perspektif dapat menggiring pada

pencapaian sudut pandang namun hanya melalui usaha. Sudut

pandang dapat diperoleh setelah melalui pemikiran, interaksi, dan

usaha. Sudut pandang harus selalu dicari secara aktif, sudut pandang

hanya dimiliki oleh mereka yang telah mengalami penindasan.

Dalam mengonseptualisasi standpoint theory, Hartsock membagi

lima asumsi spesifik mengenai asal dari kehidupan sosial diantaranya

(Harding, 2004):

1) Kehidupan material (atau posisi kelas) membentuk dan membatasi

pemahaman mengenai hubungan sosial. Asumsi ini memberikan

gagasan bahwa lokasi individu pada struktur kelas dapat

membentuk dan juga membatasi pemahaman mereka mengenai

hubungan sosial.

2) Ketika kehidupan material dibentuk untuk dua kelompok yang

berbeda dengan menggunakan dua hal yang bertolak belakang,

maka pemahaman pada masing-masing pihak juga otomatis akan

saling bertolak belakang. Ketika ada kelompok dominan dan

subordinat, maka pemahaman pada kelompok dominan akan

timpang dan membahayakan. Standpoint Theory berpendapat

bahwa semua sudut pandang adalah memihak.

3) Pandangan pada kelompok superior akan membentuk hubungan

material di mana semua kelompok dipaksa untuk berpartisipasi.

Page 59: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 59

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Hal ini berarti bahwa kelompok superior dapat menghilangkan

pilihan-pilihan dari kelompok subordinat.

4) Pandangan yang ada pada kelompok yang tertindas mewakili

upaya dan penghargaan. Ini berarti bahwa kelompok subordinat

harus mengupayakan dengan keras untuk menyuarakan

pandangan mereka dalam kehidupan sosial.

5) Pemahaman potensial pada pihak yang tertindas (standpoint) dapat

menunjukkan kekejaman hubungan yang sudah berlangsung di

antara kelompok-kelompok. Keadaan ini dapat mendorong

perempuan untuk maju dan menciptakan kehidupan yang lebih

adil. Asumsi ini membenarkan bahwa upaya ini akan

menghasilkan pandangan yang lebih jelas dan akurat pada

kelompok subordinat yang mengalami tekanan oleh kelompok

superior.

Trend mengenai isu kekerasan dan pelecehan seksual yang

dihasilkan dari produksi masyarakat patriarki belum secara masif

dibahas dalam diskursus pembangunan kesejahteraan, perlu adanya

kajian yang lebih mendalam untuk melihat bahwa di dalam diskursus

pembangunan tidak hanya sebatas membahas hal-hal secara struktural

tetapi juga masuk ke dalam level yang lebih humanistik. Indonesia,

dewasa ini menjadi semakin maju dan modern, namun di samping itu

terdapat suatu kelompok yang tereksklusi. Indikator dari kemajuan itu

sendiri salah satunya adalah semakin berkembangnya sektor-sektor

ekonomi industri, tetapi hal ini juga belum sepenuhnya diinvestigasi

lebih jauh terutama kaitannya dengan perempuan sebagai subjek yang

selama ini selalu termarginalkan, bahwa terdapat suara-suara yang

terabaikan. Hal ini menjadi tujuan bagi peneliti untuk melakukan

Page 60: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

60 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

penelitian tentang pengungkapan potret pelecehan seksual para buruh

perempuan di KBN Cakung, DKI Jakarta melalui suara-suara para

buruh perempuan yang berjuang melawan kejahatan sunyi di tempat

kerja khususnya di KBN Cakung, kejahatan yang keberadaannya tidak

dianggap, tersembunyi dan nyaris tidak terlihat sebagai suatu

kejahatan.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian feminis, karena

penelitian ini memiliki karakter advokasi dari posisi nilai dan sudut

pandang feminis. Metodologi feminisme berada di bawah payung

interpretifistik humanistik. Penelitian ini membantu untuk memahami

dan menjelaskan dunia sosial teman-teman buruh perempuan

berdasarkan kacamata mereka, serta membantu mereka untuk dapat

lebih mengekspresikan dirinya melalui suara-suara yang belum masif

dikumandangkan.

Sandra Harding (2004) memperlihatkan bahwa yang

membedakan metode penelitian berperspektif perempuan atau tidak

adalah : (1) Memperlihatkan masalah yang berkaitan dengan

kepentingan perempuan dibandingkan dengan laki-laki; (2)

Mengemukakan hipotesa dan data yang sesuai dengan kepentingan

perempuan; (3) Kegunaan penelitian adalah untuk memahami sudut

pandang perempuan dan mengembangkan emansipasi perempuan;

dan (4) Peneliti memiliki hubungan yang khas dengan subjek

penelitiannya. Penelitian ini dilakukan di kantor Perempuan

Mahardhika, Rawamangun, Jakarta Timur, DKI.

Page 61: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 61

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Informan penelitian dalam penelitian ini diambil berdasarkan

pertimbangan pengumpulan data yang sesuai dengan maksud dan

tujuan penelitian. Keseluruhan informan merupakan relawan yang

memiliki jabatan utama di Komite Nasional Perempuan Mahardhika

(Komite Pusat) dan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Untuk

melindungi privasi mereka, peneliti hanya mampu menyertakan

keterangan bahwa mereka merupakan relawan dari organisasi tersebut

dan tidak dapat menyebutkan secara detail jabatannya. Adapun teknik

penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan di KBN Cakung

Bagian ini akan membahas mengenai pengalaman perempuan

yang pernah mengalami pelecehan seksual yang terjadi di pabrik-

pabrik di perusahaan yang berdiri di bawah naungan PT KBN Cakung

Jakarta. Di bawah ini akan diuraikan pengalaman dari tiga orang buruh

perempuan yang menjadi partisipan penelitian dan sumber atau

dokumentasi sekunder lainnya seperti media masa elektronik dan film

dokumenter. Ketiga perempuan ini adalah orang-orang yang

diadvokasi oleh beberapa aliansi organisasi perempuan yang berfokus

pada perjuangan kesetaraan buruh perempuan khususnya di KBN

Cakung itu sendiri. Mereka membagikan pengalaman mereka kepada

peneliti dengan ekspresi yang sangat emosional. Pendeskripsian dalam

bagian ini akan dibahas melalui perspektif korban yang menjadi subjek

penelitian. Pengalaman pelecehan seksual yang dialami oleh para

partisipan umumnya adalah kekerasan secara verbal. Ketiga partisipan

penelitian ini mengalami pelecehan di lokasi tempat mereka bekerja.

Page 62: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

62 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Bagian berikut akan menarasikan pengalaman mereka dilecehkan.

Peneliti mencoba menguraikan pengalaman pelecehan seksual yang

dialami oleh ketiga buruh di berbagai perusahaan di KBN Cakung.

Nama ketiga buruh perempuan tersebut telah dianonimkan atau

diganti sebagai bentuk etika penelitian.

Pelecehan seksual memang selalu menjadi suatu masalah yang

pembahasannya tak kunjung habis, kekerasan seksual sudah sangat

banyak terjadi di berbagai tempat dalam ruang lingkup kehidupan.

Kejahatan sunyi ini merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat

didefinisikan secara normatif, dan bentuk kejahatan ini tergolong pada

bentuk kejahatan dalam wilayah abu-abu yang sebenarnya diproduksi

oleh sistem masyarakat patriarkis. Beberapa gambaran tersebut

membuat perempuan-perempuan khususnya di KBN Cakung semakin

tidak berdaya.

2. Klasifikasi taksonomi pelecehan seksual

Untuk memudahkan peneliti dalam memahami ruang lingkup

dan sejauh mana pelecehan seksual terjadi pada pekerja perempuan,

dalam perbincangan awal peneliti dengan sekretaris nasional

Perempuan Mahardhika, ia mengemukakan bahwa ditemukan ada 16

bentuk pelecehan seksual yang dialami oleh para pekerja perempuan

di KBN Cakung.

Berikut ini merupakan ke-16 bentuk pelecehan seksual apabila

dikategorikan berdasarkan klasifikasi taksonomi pelecehan seksual:

Tabel 1. Klasifikasi Taksonomi Pelecehan Seksual di KBN Cakung

Kategori Pelecehan Seksual Bentuk Pelecehan Seksual di KBN Cakung

Pelecehan seksual secara verbal Siulan dan pandangan nakal

Godaan dan rayuan seksual

Page 63: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 63

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Ejekan terhadap tubuh

Pelecehan seksual secara nonverbal (fisik)

Tubuh disentuh

Diraba-raba

Tubuh dipepet

Mengintip celah baju

Pantat diremas

Payudara diremas

Dipeluk dan digendong paksa

Diintip saat di toilet

Dipaksa atau diajak berhubungan seksual

Dipaksa membuka baju

Pelecehan seksual secara psikis Keseluruhan bentuk pelecehan seksual secara verbal maupun nonverbal dapat dikategorikan ke dalam pelecehan seksual secara psikis, karena dapat menyebabkan trauma dan gangguan pada kesehatan mental lainnya, baik yang bersifat berat maupun ringan

Sumber: Hasil Analisis Peneliti, 2020

Sangat mungkin 16 bentuk tersebut saat ini bisa lebih banyak,

karena hasil penelitian ini dilakukan di akhir tahun 2017. Untuk

mendapatkan gambaran yang lebih akurat dengan didampingi oleh

gate keeper dari Perempuan Mahardhika, peneliti berkesempatan untuk

berbincang dengan teman-teman pekerja perempuan yang memiliki

kisah dalam mengalami, menyaksikan serta mengetahui bagaimana

tindak pelecehan seksual menjadi suatu hal yang dilakukan secara

sistematis dalam ruang kerja yang mereka tinggali. Di sini, pelecehan

sistematis dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan yang perlahan

Page 64: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

64 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

terwujud menjadi sebuah sistem dengan semakin banyaknya orang

yang berpartisipasi di dalamnya.

Ani, buruh perempuan di KBN Cakung pernah mengalami kasus

pelecehan seksual oleh seorang mekanik dan juga atasan di tempatnya

bekerja. Ia bersedia membagikan pengalamannya kepada peneliti

untuk dipublikasikan. Dalam wawancara, Ani (korban pelecehan

seksual, 30) berkisah bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual dua

kali lebih sering setelah ia bercerai dengan suaminya, ia menganggap

bahwa ketika seorang perempuan telah bercerai dan berganti status

mereka akan menganggap bahwa hubungan seksual bukanlah sesuatu

yang dianggap tabu, hal ini membuat dirinya merasa memiliki derajat

yang lebih rendah, padahal kalaupun dilihat menggunakan dalil

agama hubungan seksual yang ia lakukan pun terjadi secara halal.

“Semenjak saya cerai dari suami saya pelecehan verbal itu makin kenceng, kalo kata saya sih kayanya hal ini tu karena masih banyak orang memegang teori bahwa perempuan dianggap sebagai objek seksual oleh laki-laki, dan logikanya ketika kita sudah menikah maka kita sudah pernah melakukan hubungan seksual, maka ketika bercerai dan berganti status mereka akan menganggap bahwa hubungan seksual bukan sesuatu yang dianggap tabu,” (Ani, korban pelecehan seksual, 30)

Ani menggambarkan konstruksi gender khususnya di Indonesia

yang masih menganggap perempuan hanya sebagai objek seksualitas

laki-laki. Serupa dengan penuturan salah satu dosen Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas Padjajaran, dalam wawancaranya dengan

salah satu media nasional (Tirto.id, 2020) menyatakan bahwa dalam

budaya patriarki terdapat perubahan nilai dari perempuan yang

bersuami kemudian bercerai muncul adanya anggapan mereka tidak

memiliki nilai tawar lain selain tubuh dan seksualitasnya. Ini dikaitkan

Page 65: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 65

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

dengan ketergantungan perempuan pada laki-laki ketika mereka

berada dalam ikatan pernikahan. Munir (2009) memaparkan hal serupa

bahwa berada dalam status bercerai bukanlah posisi yang

menguntungkan bagi perempuan secara sosiologis, biologis, maupun

psikologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali

mengundang bargaining position ketika berhadapan dengan kaum pria.

Perempuan yang telah bercerai kadang ditempatkan sebagai

perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu

dikasihani sehingga seringkali terjadi ketidakadilan terhadap mereka.

Menurut Mahy et al. (2016) di Indonesia, perempuan yang

mengalami perceraian dan berdiri sendiri artinya dia berpengalaman

secara seksual dan secara teoritis mengatakan mereka adalah wanita

yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Status ini, menurut

logika budaya Indonesia berarti mereka tersedia secara seksual. Pada

gilirannya, dugaan ketersediaan seksual ini membuatnya rentan

terhadap pelecehan seksual dan mengundang perhatian yang tidak

diinginkan. Keadaan ini mampu mengundang komunitas di sekitar

mereka menilainya telah melakukan pergaulan bebas. Implikasi lebih

lanjut menurut Mahy et al, komunitas tersebut siap melabeli mereka

sebagai seseorang yang tidak bermoral, dan dugaan amoralitas ini

adalah inti dari stigma gender. Stigma ini telah menyerang harga diri

dan identitasnya sebagai seorang perempuan utuh yang justru

membuat mereka kemudian memiliki ketidakpercayaan untuk

menganggap dirinya sebagai perempuan terhormat, karena seringnya

dianggap rendah dan tidak memiliki moral yang cukup baik, sehingga

merasa pantas untuk dijadikan bahan olok-olokan. Kata-kata yang

dilontarkan oleh pelaku seringkali tidak mengandung bahasa kasar,

Page 66: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

66 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

namun justru menyakitkan. Di sinilah kejahatan sunyi itu dapat

ditemukan, dianggap sepele namun berdampak sangat menyakitkan.

Dalam konteks Indonesia hal ini memang lumrah terjadi bahkan

terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa perempuan yang

berada dalam status bercerai dua kali lebih sering mengalami

pelecehan seksual (Tirto.id, 2020). Pada awalnya memang masyarakat

menganggap perempuan-perempuan yang telah bercerai adalah

sesuatu yang dianggap wajar, namun seiring berjalannya waktu ini

mengalami pembusukan, seringkali perempuan-perempuan ini

menjadi bahan olok-olokan yang bersifat seksis (Magdalena.co, 2020).

Bagi pelaku tentunya hal ini menjadi bahan candaan yang

menyenangkan, namun bagi perempuan yang mengalaminya tentu

akan terasa sangat menyakitkan, seperti yang disampaikan oleh Ani

(korban pelecehan seksual, 30) pelakunya sendiri umunya adalah staf

dan atasan, ia mengaku pernah dilecehkan oleh atasannya sendiri

“Pelakunya sendiri kebanyakan sih dari staf kadang ada juga dari atasan goda-godain misalnya gini : “Enak ya kalo pake si Ani mah, belum pernah ngeluarin anak”. Secara tidak langsung dia itu bilang kalo saya udah sering melakukan hubungan seksual tapi belum sampe ngeluarin anak, jadi vaginanya masih sempit. Sakit mba kalo inget, padahal siapa sih yang pengen jadi janda kan ya”. (Ani, korban pelecehan seksual,30)

Menurut penuturan Ani, banyak dari rekannya yang melakukan

perlawanan namun si pelaku justru menganggap bahwa pelecehan

yang dilakukan adalah hal biasa. Misalnya korban melakukan

perlawanan atau marah, pelaku justru biasanya akan mengatakan “ah

elah gitu doang biasa aja kali, so cantik amat lo”. Stigma seperti ini justru

membuat teman-teman menjadi ragu untuk melapor. Sementara dalam

pemikiran mereka ketika melapor, apa yang akan mereka terima ?

Page 67: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 67

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

apakah stigma juga atau bahkan mungkin akan disalahkan. Muncul

ketakutan-ketakutan tersendiri akan adanya penghakiman dari banyak

pihak.

Pada dasarnya yang dilakukan oleh pelaku tengah menempatkan

diri pada posisi superior. Dengan mengungkapkan kata-kata yang

mengandung stigma buruk seperti di atas menunjukkan bahwa

mereka sedang membentuk hubungan material antara dirinya dengan

korbannya dan menempatkan korban pada posisi yang sangat rendah.

Hal semacam ini juga kerap kali dialami oleh para pekerja perempuan,

dilansir dari salah satu media online ada bentuk intimidasi yang

dilakukan oleh atasan dengan iming-iming perpanjangan kontrak atau

naik jabatan asalkan dirinya bersedia menjadi kekasih atasannya

tersebut (Tirto.id, 2020).

Kedua hal ini bertujuan untuk menghilangkan pilihan yang

mungkin akan dilakukan oleh para perempuan yang pernah

mengalami pelecehan seksual. Kasus intimidasi seperti ini seringkali

dijadikan ancaman, karena apabila tidak bersedia maka kemungkinan

adanya pemutusan kerja kontrak secara sepihak tidak dapat dihindari.

Ini yang akan membuat kejahatan sunyi akan semakin sistematis,

semakin kuat dan tidak akan pernah bisa dibongkar karena pelaku

sendiri sudah memiliki paradigma yang salah dalam memandang

sebuah realitas.

Sampai saat ini Ani mengaku masih sering berpikir apakah ia

memang memiliki derajat yang rendah atau apakah memang statusnya

sebagai perempuan yang pernah menikah memang pantas

diperlakukan seperti itu. Selain itu, ia memiliki trauma akan tiba-tiba

emosi dan panik ketakutan ketika mendengar kata “Neng”, karena

Page 68: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

68 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

mayoritas para pelaku hampir selalu menggunakan panggilan “Neng”

kepada para korbannya. Ekspresi yang ditunjukkan memang tidak bisa

membohongi seberapa “geli dan jijiknya” ia dipanggil dengan sebutan

neng, merinding dan ketika bercerita gerakan tangannya menutupi

bagian telinga. Karena memang trauma setiap orang bisa berbeda-beda

tergantung pada resistensi yang dimiliki.

Panggilan menggoda dengan kata “neng” ini bisa juga disebut

sebagai catcalling atau sudah dapat dikategorikan sebagai pelecehan

secara verbal. Banyak orang tidak menyadari hal ini, kebiasaan

masyarakat menormalisasi catcalling ini menjadikannya sesuatu hal

yang dianggap biasa dan wajar. Bahkan catcalling sendiri dapat dibalut

dalam kemasan yang sangat beragam, salah satunya adalah

menggunakan label agama. Misalnya “Assalamu’alaikum neng..”

dengan nada yang menggoda disertai pandangan nakal. Ini

merupakan sesuatu yang sangat paradoks. Realitasnya saat ini

pelecehan seksual secara verbal bisa dibalut dengan rapi hingga ia

tidak terlihat sebagai sebuah bentuk pelecehan. Kejahatan sunyi seperti

ini bahkan bisa disembunyikan dalam identitas agama sekalipun.

Sejauh ini memang belum terlihat adanya kejelasan hukum

mengenai pelecehan secara verbal, namun penyelesaian kasus seperti

ini dapat dijerat salah satunya adalah dengan menggunakan pasal 281

KUHP ayat (2) tahun 1960 yang berisi “Apabila ada seseorang yang

dengan sengaja di hadapan orang lain di luar kesediaan orang tersebut

melakukan tindak asusila dapat dipidana berupa penjara atau denda”. Namun

pasal seperti ini dan pasal lain yang hampir serupa merupakan pasal

karet yang dalam implementasinya masih banyak diperdebatkan. Ini

menunjukkan belum adanya keberpihakan secara penuh pada hukum

Page 69: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 69

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

di Indonesia mengenai penyelesaian bentuk pelecehan di Indonesia,

terutama pelecehan seksual secara verbal.

Para buruh korban pelecehan seksual tidak hanya mengalami

tetapi banyak pula yang menyaksikan rekan kerjanya diperlakukan

tidak sepantasnya. Seperti penuturan Sari (korban pelecehan seksual,

26) salah satu teman buruh yang bekerja di KBN Cakung bahwa ketika

ia baru bekerja seringkali dibuat aneh karena melihat banyak karyawan

perempuan yang menggunakan solatip di bagian kerah baju, dan

setelah beberapa hari bekerja ia langsung bisa menyimpulkan bahwa

ketika karyawan perempuan menunduk, maka ini akan menarik

perhatian para mekanik laki-laki.

“Awalnya sempet ngerasa aneh ya ngeliat cewek pake solatip disini (menunjuk bagian kerah), sambil ketawa bilang dalam hati ‘lah ini kenapa pada pake solatip’, dan ternyata setiap nunduk sedikit aja itu langsung mata tu berjelalat semua gitu lho yang si mekanik-mekanik ini. Lah mekanik itu kan megang beberapa mesin-mesin si penjahit itu kan, operatornya dia. Jadi setiap ke mesin nih, ada yang dicolek tetenya, ada yang dicolek pantatnya, pahanya .. seenaknya aja, dan itu biasa aja. Dan parahnya itu depan orang banyak kan gila banget”. (Sari, korban pelecehan seksual, 26)

Sembari bercerita Sari berulang kali mengelus dada, dan

menggeleng-gelengkan kepala. Terlihat kekecewaan yang timbul

dalam dirinya, Sari tidak habis pikir mengapa banyak hal-hal seperti

ini terjadi pada perempuan, terutama pada rekan-rekannya. Mengenai

aturan berpakaian, memang setiap perusahaan dan pabrik-pabrik

tertentu memiliki aturan berpakaian yang berbeda. Untuk

mengantisipasi hal-hal seperti ini banyak buruh perempuan

mengenakan baju dalaman panjang yang menutup rapat bagian tubuh

kemudian dirangkap dengan baju seragam pabrik yang mayoritas

Page 70: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

70 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

berlengan pendek dan berkerah. Selain itu, dalam perbincangan Sari

(korban pelecehan seksual, 26) dengan teman-teman buruh yang lain,

mereka berharap mesin yang mereka gunakan tidak akan pernah rusak

namun ini seakan mustahil, pasalnya dalam waktu satu jam mesin-

mesin ini harus dapat menghasilkan bahan obrasan sebanyak 180 pcs.

Tidak hanya melontarkan kata-kata kotor terkadang para mekanik juga

menggunakan berbagai cara untuk mencari kesempatan, misalnya

melalui voyeurisme. Modus yang sering dilakukan adalah laki-laki

pekerja (terutama mekanik) sengaja menjatuhkan alat seperti obeng

saat membetulkan mesin jahit yang rusak, agar bisa mengintip pakaian

dalam perempuan, entah dengan menyuruh pekerja perempuan untuk

mengambil barang yang jatuh tersebut atau justru mekaniknya sendiri

yang mengambilnya sembari melirik ke bagian vital tubuh perempuan.

Sari memaparkan kerap kali ia dan rekannya yang lain

mengalami pelecehan seksual berbasis online. Kasus yang terjadi

adalah mereka menerima gambar atau teks “mesum” melalui Whatsapp

atau platform digital/media sosial lainnya yang kerap kali membuat

mereka merasa risih dan tidak nyaman. Ketika bercerita, ucapannya

sempat terhenti beberapa kali, kemudian Sari menarik nafas panjang

dan membuangnya dengan satu hembusan panjang. Kemudian kedua

tangannya menutup bagian wajah serta mengusap bagian matanya

yang terlihat sedikit berkaca-kaca. Tekanan yang dialami oleh

perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik ini

sangat beragam. Dampak dari tekanan yang ditimbulkan pun beragam

yang dapat menyebabkan trauma pada diri mereka, baik trauma

ringan maupun berat.

Page 71: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 71

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Dilansir dalam salah satu artikel di media elektronik

(insideindonesia.org, 2020), memaparkan bahwa di KBN Cakung juga

pernah ada isu kencan paksa. Dengan modus ini, biasanya para atasan

mengajak perempuan pekerja untuk kencan makan malam, kemudian

berujung meminta perempuan untuk berhubungan seks setengah

paksa, dengan iming-iming akan dinikahi. Ketika perempuan tersebut

hamil, pelakunya menolak atau menghindar dari tanggung jawab. Hal

semacam ini memang berasal dari konstruksi masyarakat di mana kita

hidup dalam sebuah sistem yang masih menganut sistem patriarkis

yang tidak menguntungkan perempuan. Tidak hanya itu, bentuk

misoginis juga turut andil dalam perlakuan diskriminatif terhadap

perempuan seperti ini. Secara lebih meluas, misoginis dapat mewujud

menjadi sebuah diskriminasi seksual, kekerasan terhadap perempuan,

menyalahkan perempuan dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Kebencian terhadap perempuan membuat pelaku terus menerus

melakukan diskriminasi, dan selalu menjadikannya objek. Pemahaman

seperti ini harus segera diluruskan, dengan meminimalisir seksisme

dan budaya misoginis serta memberikan penyadaran kepada semua

pihak, hal ini sedikit banyak akan mengurangi pelecehan seksual yang

sudah membudaya.

Salah satu pekerja perempuan, yaitu Lisna (relawan posko

pembelaan buruh perempuan, 32) pernah memiliki pengalaman ketika

ia menjadi karyawan di salah satu PT yang mengingatkan rekan

kerjanya bahwa dirinya tengah dilecehkan, namun respons dari

rekannya justru mengatakan bahwa ia menganggap itu hal biasa dan

ia nyaman diperlakukan seperti itu sehingga menimbulkan

Page 72: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

72 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

kebingungan tersendiri dalam benak Lisna bahwa memang kesadaran

yang dimiliki rekannya belum sepenuhnya timbul.

Pihaknya mengaku turut prihatin dengan hal-hal yang banyak ia

temui. Bahkan ketika ia bercerita, tangannya sembari mengelus dada,

ada kesakitan tersendiri ketika ia mencoba menyadarkan rekannya

justru yang ia terima adalah penolakan dan yang lebih

memprihatinkan bahwa mereka yang dilecehkan tidak memiliki

dorongan untuk melawan atau menghindar, justru yang dirasakan

adalah kenyamanan. Sebenarnya hal ini bisa juga disebabkan karena

kondisi budaya di mana tempat ia tinggal, di mana kondisi budaya

yang mengelilingi kehidupannya akan menciptakan pengalaman dan

pemahamannya, perbedaan lokasi dan kondisi budaya tempat

seseorang tinggal ini akan turut membentuk pemahamannya pada

realitas yang ada. Sehingga belum tentu ia menyukai dan nyaman

diperlakukan seperti itu, melainkan memang kesadaran dan

pemahamannya mengenai pelecehan seksual belum tumbuh,

diperlukan adanya penyadaran terhadap masyarakat yang lebih

meluas.

Tidak hanya selesai di sana, sebenarnya hambatan utama yang

dirasakan oleh para relawan untuk dapat mengangkat isu ini ke

permukaan dan mencari solusi terbaik adalah terletak pada

perempuan yang pernah mengalami kasus pelecehan seksual yang

tidak bersedia atau berkeberatan untuk mengungkap dan melapor.

Perlu adanya dorongan terhadap mereka untuk bersedia bersuara.

Kurangnya pengetahuan mengenai adanya posisi dominan dan

subordinat membuat mereka lebih memilih menganggap wajar

perilaku tersebut. Menganggap bahwa laki-laki memang umum

Page 73: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 73

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

memiliki perilaku seperti itu juga membuat mereka menjadi terbiasa

akan perilaku pelecehan yang diterima oleh banyak perempuan yang

pernah mengalami kasus pelecehan seksual. Hal ini sejalan dengan

penuturan Asih (relawan FBLP, 41). Dalam wawancaranya bersama

peneliti, Asih mengatakan ada mindset yang harus dirubah.

“Mindset dari perempuan yang sangat polos, menganggap penindasan yang dialaminya adalah takdir, taken for granted, hal biasa dan menganggap bahwa hal itu tidak perlu digugat. Penyadaran yang diperlukan memang sangat sulit, terutama kepada mereka yang memiliki mindset tersebut”. (Asih, relawan FBLP, 41)

Seperti halnya di India (Singh, 2016) sebelumnya, banyak

perempuan yang mengalami pelecehan seksual lebih memilih untuk

menderita dalam kesunyian daripada melalui penyiksaan sistem

peradilan pidana dengan prosedur rumit dan tertunda yang

menyertainya. Seiring berjalannya waktu ketika banyak pihak yang

menyuarakan penyadaran dan pencegahan pelecehan seksual yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga besar seperti lembaga peradilan serta

lembaga hukum dan HAM membuat perempuan memiliki pilihan

untuk mengejar bantuan hukum melalui proses yang sederhana

dengan banyaknya bantuan dan konsiliasi yang diberikan kepada

korban. Dibutuhkan adanya dorongan dan dukungan kepada

perempuan yang memiliki pengalaman dilecehkan untuk bersedia

bersuara dan memiliki keberanian untuk melaporkan tanpa dihantui

rasa takut dihakimi dari stigma-stigma yang mungkin muncul.

Semakin nyaring mereka bersuara maka akan semakin banyak pula

pihak-pihak yang bersedia membantu dan mendukung aksi mereka.

Posisi individu pada struktur kelas dapat membentuk dan

membatasi pemahaman mengenai hubungan sosial. Disadari atau

Page 74: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

74 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

tidak oleh perempuan yang pernah mengalami kasus pelecehan

seksual, di sini terlihat jelas adanya pembagian kelas di mana posisi

perempuan memang tidak diuntungkan, perempuan dijadikan

manusia nomor dua. Kehidupan material sangat jelas dapat dirasakan

dalam bentuk relasi antar buruh dan atasan. Ketika ada kelompok

subordinat dan dominan dalam posisi seperti ini, maka pemahaman

pada kelompok dominan akan berat sebelah. Akan ada salah satu yang

dirugikan dan tentunya mereka adalah orang-orang yang berada pada

posisi subordinat, yaitu para pekerja perempuan.

3. Dampak Traumatis Pelecehan Seksual pada Korban dan

Lembaga

Sangat tidak menutup kemungkinan para perempuan pekerja

yang pernah mengalami pelecehan seksual ini akan mengalami

trauma, terkadang trauma ini juga yang membuat mereka memilih

untuk diam karena ketika mereka menceritakan kembali apa yang

pernah dialami, hal ini justru akan mengulang kembali memorinya.

Trauma-trauma yang dihasilkan dari pengalaman perempuan yang

pernah mengalami pelecehan seksual akan beragam, trauma ini

merupakan dampak yang dimungkinkan bisa muncul kepada

siapapun dan bagaimanapun bentuk pelecehan seksual yang

dialaminya. Dampak yang muncul bergantung pada resistensi

individu, trauma-trauma ini akan menjadi laten apabila tidak diterapi

atau dilakukan tindakan khusus karena tindakan tersebut merupakan

upaya untuk memutus mata rantai atas apa yang pernah dialami.

Terdapat bukti yang cukup jelas untuk menyimpulkan bahwa

pelecehan seksual adalah tekanan sosial yang berat, berikut adalah

Page 75: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 75

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

tabel konsekuensi yang timbul karena adanya bentuk pelecehan

seksual di tempat kerja (European Parliament, 2018)

Tabel 2. Dampak Pelecehan Seksual pada Korban dan Lembaga atau Organisasi

Consequences for victims Consequences for organisations

Anger and annoyance Reduced productivity

Fear and anxiety High abseenteism

Shame and embarassment Reduced performance

Vulnerability Low morale

Loss of self-confidence High staff turnover

Sumber: Bullying and sexual harassment at the workplace, in public spaces, and in political life in the EU, 2018

Dalam sebuah studi oleh TUC (2016), banyak perempuan yang

melaporkan bahwa dilecehkan secara seksual membuat mereka merasa

malu, menyebabkan mereka menghindari situasi kerja tertentu dan

membuat mereka merasa tidak percaya diri dalam bekerja. Itu juga

berdampak pada kesehatan mental mereka, membuat mereka merasa

lebih stres, cemas, dan tertekan. Di samping itu, dampak yang

dimunculkan tidak hanya menyerang korban, tetapi juga pada

organisasi atau tempat di mana pelecehan tersebut terjadi.

Menyebabkan menurunnya produktivitas kerja, seringnya terjadi

pergantian staf bahkan timbulnya citra buruk yang melekat pada

organisasi atau lembaga tersebut. Sehingga keduanya sama-sama

dirugikan.

Semakin hari kasus kekerasan dan pelecehan seksual semakin

bertambah, kasus pelecehan seksual tidak lantas hanya menjadi sebatas

Page 76: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

76 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

analisis angka-angka yang kemudian hanya untuk dihitung, dianalisa

dan dibandingkan, tetapi harus ada aksi konkret yang dapat dilakukan

untuk mengurangi dan menghapuskan angka-angka tersebut.

Terdapat banyak hambatan yang membuatnya sulit terwujud. Penting

halnya untuk menggaungkan dan mengumpulkan suara sehingga isu

kejahatan sunyi menjadi semakin nyaring. Mendorong agar suara

perempuan yang mengalami pelecehan seksual bukan hanya muncul

ke permukaan, tetapi ada yang bisa dilakukan untuk membuat

perubahan ke arah yang lebih baik.

D. Penutup

Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai tiga orang buruh

perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di KBN Cakung,

di sini peneliti menyadari lag yang menjadi kekurangan yang cukup

menonjol. Bagi peneliti, tiga orang partisipan ini belum memenuhi

kriteria penelitian, karena masih banyak kemungkinan substansial

yang masih dapat ditemukan tetapi karena secara teknis peneliti hanya

dapat mewawancarai tiga korban tersebut, maka hal-hal yang

mungkin dapat terungkap secara lebih jauh tidak dapat diungkap pada

penelitian ini. Dengan menggunakan feminis standpoint, berdasarkan

penemuan yang sudah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya

mengenai potret dari kejahatan sunyi peneliti menyimpulkan beberapa

hal.

Pertama, kejahatan sunyi merupakan kejahatan yang

keberadaannya seringkali tidak dianggap ada, tersembunyi dan

dikemas dengan sangat rapi oleh masyarakat yang masih memegang

teguh budaya patriarki. Kejahatan sunyi bisa bertahan hingga saat ini

Page 77: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 77

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

karena adanya struktur yang mengabaikan. Adanya reduksi yang

dilakukan oleh struktur membuat kejahatan ini tidak bisa

dikategorikan sebagai diskursus dominan tentang kriminalitas, bahkan

untuk menindaklanjuti pada tingkatan hukum bentuk kejahatan ini

akan sangat sulit untuk dibuktikan, di samping itu belum adanya

perlindungan dan jaminan hukum pada korban dan pelaku kekerasan

seksual akan membantu melanggengkan kejahatan semacam ini. Dari

situlah kemudian muncul kejahatan sunyi, kejahatan model baru yang

tidak dapat dikerangkai oleh paradigma yang bersifat konvensional.

Kedua, mengacu pada pengalaman yang dialami oleh buruh

perempuan yang pernah menjadi korban dari kejahatan sunyi di area

pabrik, telah ditemukan ada 16 macam bentuk kejahatan sunyi di KBN

Cakung. Namun berdasarkan penuturan dari korban, relawan dan juga

laman berita online ditemukan ada bentuk pelecehan yang lain yang

terjadi di KBN Cakung diantaranya voyeurisme, pelecehan seksual

berbasis online, kencan paksa dengan modus dinikahi dan juga adanya

intimidasi dengan iming-iming perpanjangan kontrak kerja atau naik

jabatan. Ke empat bentuk ini belum masuk pada kategori 16 macam

bentuk pelecehan seksual yang merupakan hasil survey pada tahun

2017.

Di bawah ini terdapat beberapa saran yang mungkin dapat

dipertimbangkan oleh beberapa pihak, diantaranya untuk :

1. Perempuan mahardhika sebagai sebuah organisasi yang berfokus

memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja di KBN Cakung,

mengenai sosialisasi yang tak kunjung mendapat respons serta

timbal balik, diperlukan adanya penulisan surat ‘tindakan

mendesak’ yang diarahkan pada pembuat kebijakan.

Page 78: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

78 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

2. Untuk manajemen KBN Cakung, dengan adanya hasil kajian yang

dirilis oleh Perempuan Mahardhika dan diajukan kepada pihak

KBN bahwa 56,5% dari 773 buruh perempuan di KBN Cakung,

seharusnya ini sudah cukup menjadi pertimbangan untuk

dibuatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak manajemen

KBN. Diperlukan adanya kebijakan mengenai tindakan dan sanksi

yang tegas kepada pelaku pelecehan seksual dan perlindungan

yang menjamin keselamatan korban pelecehan, didampingi hingga

level hukum serta disediakannya ruang pemulihan untuk para

korban yang mengalami trauma atas kasus pelecehan seksual yang

terjadi. Peneliti menganggap ini merupakan hak yang seharusnya

didapatkan oleh pekerja perempuan di samping kewajibannya

bekerja dan memenuhi target dari perusahaan.

3. Untuk pemerintah, besarnya tingkat pelecehan seksual di

Indonesia menuntut pemerintah untuk setidaknya mempercepat

proses pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Seksual), sejauh ini progres RUU PKS

berjalan dengan sangat lamban disertai dengan berbagai polemik

yang muncul antar berbagai pihak. Peneliti berharap agar

pembahasan mengenai RUU ini dapat segera dilakukan mengingat

kebutuhan korban kekerasan seksual yang masih membutuhkan

perlindungan hukum dan keadilan di Indonesia. Aturan hukum di

Indonesia mengenai kekerasan seksual belum memberikan

jaminan keadilan bagi para korban sehingga RUU ini patut untuk

segera dibahas dan disahkan.

Page 79: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Rufaidah Aslamiah, Milda L Pinem| 79

Kejahatan Sunyi: Potret Pelecehan Seksual Buruh Perempuan

Daftar Pustaka

Abdul Mustaqim, 2003. Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki.

Yogyakarta: Sabda Persada

Budi Winarno, 2013. Etika Pembangunan. Jakarta : PT Buku Seru

Buletin Sektor Garmen https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_625194.pdf Di akses pada 12 September 2019

Erich Fromm, 2002. Cinta Seksualitas, Matriakhi dan Gender. Yogyakarta : Jalasutra.

European Union. 2018. Bullying and Sexual Harassment at the Workplace, in the Public Spaces, and in Political Life in EU. European Parliament : Policy Department for Citizen’s Right and Constitutional Affairs

Johnson, Allan G. 2000. "The Blackwell dictionary of sociology: A user's guide to sociological language". ISBN 978-0-631-21681-0., ("ideology" in all small capitals in original)

Kekerasan Seksual dan Perempuan Pekerja https://www.insideindonesia.org/kekerasan-seksual-dan-perempuan-pekerja diakses pada 10 Juni 2020

Mahy, P., Winarnita, M.S., and Herriman, N. 2016. Presumptions of Promiscuity: Reflections on Being a Widow or Divorcee from Three Indonesian Communities. Indonesia and the Malay World 44 (128): 47–67

Munir, Ahmad. 2009. Kebangkitan Kaum Janda: Akar Teologis Spiritual Kaum Papa.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nelien Haspels, dkk. 2001. Action Against Sexual Harassment at Work in Asia and The Pasific. International Labour Office : ILO Bangkok Area Office and East Asia Multidisciplinary Advisory Team

Nunuk Murniati, 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM). Magelang: Indonesiatera

Page 80: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

80 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Ratih Probosiwi, 2015. Perempuan dan Perannya Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Women and Its Role On Social Welfare Development). Vol 3, Nomor 1, Tahun 2005.

Reinharz, Schulamit. 1992. Feminist Methods in Social Research. Oxford University Press, Inc

Sandra Harding, 2004. Discovery Reality, Feminist Perspective on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and Philosophy of Science. New York : Kluwer Academic Publisher

Sihite Romany, 2007. Perempuan, Kesehatan & Keadilan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Vandana Shiva, 1997. Bebas dari Pembangunan (Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Widya Primastika https://tirto.id/pelecehan-seksual-buruh-perempuan-di-cakung-daRD Diakses pada 10 Juni 2020

Page 81: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 81

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

*Indra Setia Bakti, **Anismar, ***Khairul Amin

*Fakultas Ilmus Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Email: [email protected]

**Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]

***Madrasah Aliyah Negeri 1 Pidie Email: [email protected]

Abstract

This This article aims to discuss Thorstein Veblen's perspective about the behavior of waste or excessive consumption by the leisure class. This article uses the library research to understanding the perspective of Veblen's theory of consumption. We review Veblen's work, The Theory of the Leisure Class, as the main note complemented by relevant books and journals to support this study. The leisure class in this regard act deliberately to display their wealth. The newly rich group flaunted the luxury of their life with a motive to accommodate their desire for social respect and social status. The leisure class realizes their social actions through conspicuous leisure time consumption and conspicuous consumption of goods characterized by imitative and emulative behavior among the actors involved in it. The conspicuous consumption behavior produces élite taste which in turn has a social impact that affects the class behavior of the lower strata.

Keywords: Leisure Class, Conspicious Consumption, Status, Emulation

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan sudut pandang Thorstein Veblen

dalam melihat perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh kelas sosial

tertentu dalam masyarakat. Studi ini menggunakan metode kajian pustaka

dalam memahami perspektif teori konsumsi Veblen. Data dalam artikel ini

bersumber dari karya-karya Veblen sendiri, The Theory of the Leisure Class,

serta buku-buku dan jurnal-jurnal yang relevan dalam mendukung artikel ini.

Perilaku ini rupanya lahir dari sebuah konteks sosial dimana kelompok orang

kaya baru mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan sosial

dan status sosial. Hal ini diwujudkan melalui konsumsi waktu luang mencolok

Page 82: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

82 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

dan konsumsi barang mencolok yang ditandai dengan perilaku imitatif dan

emulatif diantara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Perilaku konsumsi

mencolok menghasilkan selera elite yang selanjutnya meluas dan berdampak

secara sosial dimana mempengaruhi perilaku kelas dari strata yang lebih

rendah.

Kata kunci: Kelas Penikmat, Konsumsi Mencolok, Status, Emulasi

* * *

A. Pendahuluan

Sebuah studi yang dilakukan oleh Geertz (1963) mengungkap

realitas tentang keberadaan etos masyarakat petani di pedesaan Jawa.

Pada era itu, mereka bersama hidup dalam kemiskinan. Kendati

demikian, mereka berbagi kesulitan dengan sesamanya dan tidak

muncul kelas-kelas sosial yang tajam. Penampakan tersebut timpang

dengan kondisi masyarakat saat ini. Banyak pedesaan telah

bertransformasi menjadi perkotaan. Landscape dan bangunan fisik

sudah berubah bentuk dan fungsi, begitu juga manusianya. Beriringan

dengan peningkatan kemakmuran, pertumbuhan gaya hidup ternyata

ikut pula mewarnai kehidupan masyarakat. Hedonisme secara terang-

terangan didemonstrasikan dan sudah menjadi pemandangan lumrah,

disajikan secara daring ataupun langsung.

Ada pola pikir yang bergeser pada diri sebagian anggota

masyarakat. Orientasi mulai diarahkan kepada pencapaian eksistensi

diri dengan mengejar kekayaan dan kesenangan duniawi. Kekayaan

mulai menjadi ukuran sukses dalam kehidupan. Pola pikir ini

membingkai aktivitas manusia yang terjebak dalam kesibukan

sepanjang hidupnya. Tidak jarang orang-orang dari kelas menengah

dan kelas bawah yang ikut ambil bagian ke dalam pusaran pola pikir

ini.

Page 83: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 83

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Cita-cita meraih kekayaan bukan sekedar memenuhi kebutuhan

hidup dan kenyamanan, tetapi juga agar dihargai secara sosial. Bila kita

lihat sudut pandang Veblen dalam membaca realitas ini, ada satu

fondasi pertanyaan yang melekat dengan pola pikir tersebut.

“Bagaimana caranya orang menghargai saya?” Menurut Veblen

landasannya tidak lain adalah “kepemilikan kekayaan”. Kekayaan

mendasari kehormatan, prestise, atau status sosial seseorang di tengah

masyarakat (Corrigan, 1997). Tentu akan muncul banyak bantahan

atau keberatan atas keyakinan semacam ini. Hal ini karena reputasi

masih bisa dibangun atau diperoleh dari beragam sumber non materi.

Kendati demikian, landasan pemikiran Veblen masih relevan dalam

beberapa konteks sosial dan memungkinkan untuk dipakai dalam

memahami masyarakat, terutama ketika materialisme semakin

mendominasi alam berpikir manusia dan uang semakin kuat

pengaruhnya.

Secara sosiologis, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar

ekonomi, tapi juga memiliki fungsi secara sosial. Dalam kehidupan

bermasyarakat, uang mampu membangun reputasi baik seseorang.

Syaratnya ialah “tidak pelit” dan mau berbagi dengan orang lain.

Sebaliknya, realitasnya sosial akan memberi label aneh pada orang

kaya tetapi sehari-hari makanannya biasa-biasa saja, pakaian tidak

modis, dan kendaraan Kijang tua misalnya. Pada situasi ini orang kaya

yang kikir tampak gagal memperoleh kehormatan, sebab ia gagal

menunjukkan kekayaannya (Corrigan, 1977). Jadi agar memperoleh

kehormatan, kekayaan seseorang itu harus ditunjukkan. Pertama bisa

ditampakkan dengan kedermawanan. Kedua bisa dipamerkan dengan

gaya hidup hedonis. Strategi yang kedua ini menarik perhatian Veblen

Page 84: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

84 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

untuk diulas. Oleh karena itu Artikel ini bertujuan untuk

mendiskusikan sudut pandang Thorstein Veblen dalam melihat

perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh kelas sosial tertentu

dalam masyarakat. Untuk memenuhi tujuan itu, penulis menggunakan

metode library research atau kajian pustaka dalam dalam rangka

memahami perspektif teori konsumsi Veblen. Data dalam artikel ini

bersumber dari karya-karya Veblen sendiri, terutama karyanya yang

berjudul The Theory of the Leisure Class, serta buku-buku dan jurnal-

jurnal yang relevan dengan pembahasan pada artikel ini.

B. Profil Singkat Thorstein Veblen

Thorstein Veblen (30 Juli 1857 – 3 Agustus 1929) ialah seorang

pemikir sosial imigran Norwegia berkebangsaan Amerika Serikat.

Hanya dalam rentang waktu tiga tahun, ia berhasil menuntaskan

pendidikan tingkat Sarjana di Carleton College Minnesota. Veblen

melanjutkan studi filsafat di Universitas Johns Hopkins dan pindah ke

Universitas Yale. Gelar Ph.D. diraih dari Universitas Yale pada tahun

1884. Ia juga memperdalam studi ekonomi di Universitas Cornell.

Namun pencapaian studi akademisnya bertolak belakang dengan

kariernya di perguruan tinggi yang tidak berjalan mulus (Pierce, 2020).

Veblen sering pindah tempat kerja dari satu lembaga ke lembaga

lainnya. Ia tercatat pernah mengajar di Universitas Chicago,

Universitas Stanford, dan Universitas Missouri. Veblen juga terlibat

dalam pekerjaan di luar kampus diantaranya bekerja pada U. S. Food

Administration, editor majalah The Dial, dan aktif berkontribusi di New

School for Social Research (Ritzer & Goodman, 2011).

Page 85: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 85

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

C. Gagasan-gagasan Veblen

1. Kelas Penikmat dan Konsumsi Mencolok

Secara historis, Veblen merupakan salah seorang sosiolog awal

yang mengakui signifikansi sosial dari konsumsi (Miles, 2006). Pada

masa Veblen hidup, kajian sosiologi cenderung didominasi pada

pembahasan hubungan sosial yang terjadi di dalam sektor produksi.

Karya terpenting Veblen yaitu The Theory of the Leisure Class yang terbit

pada tahun 1899. Buku klasik ini membahas tentang kehidupan dan

pola konsumsi yang dilakukan oleh kelas penikmat (leisure class).

Veblen mengambil sikap kritis dengan menyoroti pemborosan dan

kesembronoan dari banyak praktik konsumsi mereka. Oleh sebab itu,

kelas penikmat juga sering disebut kelas pemboros. Ironis memang,

kondisi ini seolah menggambarkan antitesis dari ide tentang etika

Protestan Weber yang cenderung mendorong penghematan,

penundaan kesenangan, dan etos kerja sehingga hal ini oleh

sekelompok pelaku industri menjadi spirit yang mendukung

terwujudnya kapitalisme di dunia Barat.

Pada masa hidup Veblen, kelas penikmat sebenarnya bukan

termasuk kategori kelas atas. Kelas atas itu sendiri sudah melekat pada

sosok keluarga kerajaan dan kaum bangsawan (aristokrat) di benua

Eropa. Adapun kelas penikmat yang dimaksudkan oleh Veblen ialah

kelas menengah perkotaan (kaum nouveaux) di Amerika Serikat yang

baru merasakan kekayaan (orang kaya baru). Kekayaan tersebut

diperoleh melalui kerja keras dalam memproduksi barang-barang

sebagai buah dari zaman Revolusi Industri. Namun kekayaan yang

diperoleh dari kesuksesan dalam dunia bisnis pada era itu relatif masih

kurang terpandang bila dibandingkan dengan kekayaan kaum

Page 86: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

86 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

aristokrat (mungkin berbeda dengan konteks pandangan masyarakat

pada saat sekarang). Sebabnya ialah label bahwa kekayaan orang kaya

baru ini dihasilkan dari pabrik-pabrik yang kotor atau ternodai oleh

pekerjaan tangan-tangan buruh yang jorok (Corrigan, 1997; Paterson,

2006). Berbeda dengan kaum aristokrat Eropa yang memang sudah

kaya secara turun temurun.

Memperoleh status sebagai orang kaya baru namun rasanya

kurang mendapatkan penghargaan yang sepantasnya membidani

lahirnya tindakan sosial berupa demonstrasi status melalui aktivitas

konsumsi. Kekurangan mereka atas status kehormatan di kompensasi

melalui konsumsi yang mencolok. Diawali dengan niat meniru gaya

hidup kelas atas di Eropa atau mengembangkan selera elite.

Selanjutnya senantiasa menyesuaikan kebiasaan konsumsi yang

selevel dengan selera kelas atas, baik jenis barang maupun cara yang

benar dalam mengonsumsinya (Veblen, 1899). Barang-barang

konsumen kemudian dijadikan sebagai penanda prestise dan status

sosial. Dengan harta melimpah kaum nouveaux berlomba-lomba

membeli barang yang digunakan untuk pamer. Pembelian barang

dilakukan dengan tujuan yang sifatnya non-utilitarian, kontras dengan

keyakinan banyak ekonom. Pola konsumsi semacam ini sengaja

ditampilkan supaya publik menilai bahwa mereka selangkah lebih

maju dari status aslinya sebagai kaum nouveaux (Miles, 2006) atau

statusnya setara dengan kaum aristokrat.

Penikmatan yang berlebihan adalah strategi khusus kelas

penikmat dalam menjejakkan perbedaan atau menyatakan kualitas

mereka kepada dunia. Tujuannya meninggalkan kesan di tengah

masyarakat bahwa kekayaan mereka tak terbatas jumlahnya sehingga

Page 87: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 87

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

timbul kekaguman dari orang lain. Hal ini diwujudkan melalui

tindakan sosial berupa konsumsi yang mencolok (conspicious

consumption) (Veblen, 1899), seperti penggunaan waktu secara tidak

produktif serta menghabiskan uang dan barang lebih dari yang

selayaknya mereka lakukan (Ritzer & Goodman, 2011).

Di sini dapat dimengerti bahwa studi konsumsi Veblen

menggunakan level pendekatan individual (bukan level struktur

sosial). Fokus perspektif ini terletak pada mekanisme psikologis atau

sosial yang mendorong perilaku konsumsi seseorang. Jadi pendekatan

individual mengkaji pendorong sosial perilaku konsumsi (Kennedy &

Krogman, 2008). Menurut Storey (2017), Veblen mencoba memahami

“motif” kelas penikmat menampakkan pola konsumsi mereka. Hasil

studinya yaitu konsumsi yang mencolok sebagai strategi perjuangan

hierarki di dalam ruang sosial dan bagian dari kontes kekuasaan

dengan harapan menumbuhkan otoritas di tengah masyarakat.

Veblen sangat keras dan sinis terhadap tatanan sosial Amerika.

Ia secara khusus menyorot fenomena penghamburan uang atau

pengeluaran boros kelas penikmat yang dimaksudkan sebagai ekspresi

kekayaan dan kesuksesan sosial. Cara ini sebagai upaya efektif dalam

mengkomunikasikan keanggotaan seseorang di strata sosial yang lebih

tinggi. Sebabnya ialah kembali kepada pola pikir itu tadi. Veblen

melihat orang Amerika pada masa itu mulai mengandalkan ekspresi

identitas kelas mereka pada pajangan barang. Fenomena ini mungkin

terkait dengan konsep kelompok status Weber, dimana peran material

kepemilikan menentukan penempatan sosial seseorang dalam suatu

komunitas (Dunn, 2008). Jadi sejalan dengan Weber, Veblen

berpendapat bahwa ketika individu terlibat dalam proses konsumsi

Page 88: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

88 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

mencolok, produk yang dikonsumsi tidak dicari untuk tujuan

sebenarnya, tetapi lebih untuk apa yang diwakilinya dalam konteks

sosial (Golubeva et al., 2018). Secara umum, produk yang dikonsumsi

terdiri atas waktu luang dan barang.

Waktu luang bisa dijadikan sebagai ukuran kekayaan seseorang.

Hal ini tercermin pula pada buku The Cashflow Quadrant karya Robert

T. Kiyosaki. Dalam buku tersebut, Kiyosaki (2016) membagi cara

pandang manusia ke dalam dua sisi, yakni kuadran kiri dan kuadran

kanan. Kuadran kiri diisi oleh para pekerja, profesional, dan pedagang.

Ciri khasnya ialah mereka bekerja untuk orang lain atau untuk diri

sendiri. Sementara kuadran kanan adalah pola pikir orang kaya sejati

yang diisi oleh para pengusaha dan investor. Ciri khasnya ialah mereka

membangun sistem sehingga membuat orang lain bekerja untuk

mereka. Salah satu keunggulan menjadi manusia kuadran kanan ialah

kepemilikan waktu luang. Waktu adalah barang yang sangat mahal.

Oleh karena itu, seorang pengusaha yang sukses, terlebih lagi seorang

investor, sejatinya memiliki waktu luang yang banyak untuk dinikmati

dengan aktivitas bersenang-senang (dengan slogan pensiun muda,

pensiun kaya), bukan menghabiskan waktu hanya untuk bekerja

seumur hidup sebagaimana kebanyakan “manusia yang tidak

beruntung”.

Hampir seabad sebelumnya namun dalam fokus kajian yang

berbeda, Veblen telah lebih dahulu berargumen kaum nouveaux sengaja

menampilkan waktu luang yang mencolok kepada publik sehingga

mengkomunikasikan bahwa mereka benar-benar kaya. Konsumsi

waktu luang yang mencolok diisi dengan kegiatan rekreasi, belajar,

dan bepergian sebenarnya sebagai bentuk komunikasi yang

Page 89: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 89

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

menggambarkan bahwa aktivitas kelompok ini jauh dari hal-hal yang

berbau pabrik (Paterson, 2006). Demi menangkal pandangan negatif

atas perilaku tidak produktif ini dibangun narasi bahwa “mereka yang

tidak harus bekerja itu terhormat atau tidak tercela”, berbeda dengan

kaum buruh yang selalu bekerja dan tidak terhormat (Stebbins, 2009).

Periode feodal yang terjadi sebelum dominasi industrialisasi

memperkuat pandangan ini. Pada zaman itu, “kehidupan santai”

memang dijalani oleh kaum aristokrat sebagai bukti paling kuat dan

meyakinkan yang menegaskan tentang kekuatan uang mereka

(Corrigan, 1997).

Selanjutnya dalam mewarnai kegiatan konsumsi mencolok

tersebut terjadi persaingan sosial sesama kaum nouveaux yang

berakibat pada tindakan perluasan gengsi. Hal itu menurut Veblen

dilakukan dengan mendukung semakin banyak orang yang tidak

melakukan pekerjaan produktif. Dimulai dari istri mereka yang

dilarang bekerja hingga ke pelayan-pelayan yang cukup banyak

jumlahnya sehingga tidak banyak tugas-tugas rendahan yang dapat

dikerjakan. Istri dan pelayan yang terhormat ini tampaknya memiliki

suatu fungsi, yaitu menunjukkan kemampuan sang tuan membayar

mereka. Dengan demikian istri dan pelayan kaum nouveaux juga

membuang waktu dengan mencolok atas nama tuannya (Corrigan,

1997).

Selain waktu luang, kekayaan juga didemonstrasikan melalui

konsumsi yang berlebihan terutama atas barang-barang yang mahal.

Cara ini berdasarkan ulasan Corrigan (1997) cenderung lebih sering

dipakai karena panggung pertunjukannya berada di perkotaan yang

bercorak Gesellschaft. Dalam situasi masyarakat perkotaan yang apatis

Page 90: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

90 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

dan kebanyakan tidak saling mengenal satu sama lain, cara ideal untuk

menunjukkan kekuatan uang seseorang dilakukan dengan konsumsi

barang yang mencolok. Hal ini mengutip Veblen (1899) dalam rangka

menunjukkan “status superior dari mereka yang mampu membayar

kesenangan”.

Menurut Veblen, aktivitas konsumsi barang yang mencolok

juga mengikuti proses perluasan gengsi. Istri, anak, hingga para

pelayan didukung mengenakan pakaian yang serba mahal. Keluarga

kelas penikmat ini juga suka mengadakan pesta-pesta yang mewah.

Veblen menyebut istilah ini sebagai “tugas konsumsi perwakilan”

(Paterson, 2006). Namun dalam perkembangannya tidak semua kelas

menengah yang sedang tumbuh itu benar-benar cukup kaya untuk

menopang gaya hidup para pelayan. Selain itu, semakin sedikit pula

yang dapat menggunakan waktu senggang sebagai cara untuk

mendapatkan kehormatan. Alhasil tinggal konsumsi barang yang

menjadi cara utama dalam menampilkan kekayaan mereka dan

karenanya kehormatan mereka. Sementara penurunan skala sosial

terjadi dimana “tugas-tugas rekreasi dan konsumsi perwakilan”

berpindah kepada istri saja. Sedangkan suami kembali terpaksa harus

terlibat dalam pekerjaan yang menghasilkan uang, mulai menafikan

pandangan buruk terhadap uang yang dihasilkan dari pabrik kotor.

Namun hanya tindakan ini yang minimal dapat dilakukan guna

menyelamatkan wajah dan kehormatan mereka. Pada fase ini prinsip

menunjukkan penggunaan yang tidak produktif masih terus berlanjut

walaupun skalanya terbatas. Realitasnya mereka masih dengan bangga

mengklaim bahwa “istri saya tidak harus bekerja” dan istri

menghabiskan waktu dan barang atas nama suaminya. Akhirnya

Page 91: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 91

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Veblen melihat reputasi kelas penikmat tetap dibangun di atas

pengeluaran yang sia-sia (Corrigan, 1997).

Menurut Boden (2003), perspektif Veblenian berkonsentrasi

pada tanda dan simbol yang dikomunikasikan melalui konsumsi

barang-barang material. Bagi kaum nouveaux, konsumsi adalah

kegiatan tampilan sosial yang disengaja, dilakukan secara strategis

untuk mengesankan penonton dan memancarkan kekayaan dan status.

Kepemilikan komoditas tertentu menjadi indeks lokasi seseorang

dalam struktur sosial. Kemudian muncul barang-barang konsumen

yang diberi label sesuai dengan kelasnya. Dalam konsumsi mode kelas

komoditas tersebut ditandai oleh motivasi serta perilaku imitatif dan

emulatif dari para pesertanya. Perilaku imitatif maksudnya meniru

aktivitas konsumsi yang berlebihan oleh sesama kelas nouveaux.

Sementara perilaku emulatif yaitu meniru selera konsumsi kelas yang

lebih tinggi (kelas aristokrat) dengan maksud bersaing gengsi dengan

sesama kelas nouveaux (Paterson, 2006).

2. Legitimasi Perbedaan Status

Legitimasi perbedaan status maksudnya ialah menegaskan

kepada publik bahwa kelas penikmat tidak sama dengan kelas pekerja

(Paterson, 2006). Meskipun kelas penikmat adalah pemilik pabrik

dimana kelas pekerja mencari nafkah, namun kelas penikmat tidak

pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh kelas pekerja.

Perbedaan status ini ditandai dengan perbedaan konsumsi yang

mencolok diantara kedua kelas tersebut.

Selanjutnya perbedaan status ditandai oleh kecenderungan

untuk perbandingan sosial. “Siapa yang lebih kaya?” atau seberapa

Page 92: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

92 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

kaya seseorang terhadap orang lain. Caranya yaitu dengan akumulasi

dan demonstrasi komoditas mewah. Selera dan gaya hidup yang

ditampilkan hendak menegaskan perbedaan dengan orang lain. Jadi

perilaku konsumsi mencolok membentuk sistem persaingan (Paterson,

2006; Dunn, 2008). Sebagaimana disampaikan pula oleh Veblen (1899):

“Motif yang terletak pada akar kepemilikan adalah persaingan…”.

Bauman dalam Kennedy dan Krogman (2008) memperluas argumen

Veblen dengan pandangan bahwa konsumen telah menjadi komoditas,

menciptakan kembali diri mereka sebagai entitas yang dapat dijual di

dunia sosial yang menghargai individualisme dan perbandingan

sosial. Teori ini menyiratkan masih ada benih motivasi individu, yaitu

keinginan untuk status yang lebih baik melalui kepemilikan barang-

barang konsumen.

Veblen (1899) berpendapat bahwa konsumsi mencolok dapat

memberikan status dalam masyarakat materialis. Status tersebut

mewakili posisi yang patut ditiru oleh kelas-kelas di bawahnya. Cara

hidup dan standar nilai kelas penikmat menghasilkan norma baru bagi

masyarakat. Kelas-kelas yang lebih rendah “dipaksa” taat dengan cara

mematuhi kode-kode kelas penikmat sebagai mimpi yang selalu ingin

digapai. Akibatnya energi mereka tersalurkan untuk mengejar impian

tersebut. Penampilan pun kerap kali dirujuk dan disesuaikan dengan

selera kelas penikmat. Jadi dalam perkembangannya pola konsumsi

yang dipamerkan oleh kelas penikmat berdampak secara sosial dimana

menjadi standar norma baru yang ditempatkan sebagai tujuan atau

impian kelas sosial yang lebih rendah (Storey, 2017). Mereka yang ada

di kelas sosial lain turut dipengaruhi oleh contoh ini dan secara

langsung atau tidak berusaha mengikuti gaya hidup kelas penikmat.

Page 93: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 93

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Hasilnya adalah suatu masyarakat yang dicirikan dengan

penghamburan waktu dan uang (Ritzer & Goodman, 2011). Ditambah

lagi karena produk-produk baru terus-menerus diiklankan dengan

mengeksploitasi sisi kepribadian, identitas, dan gaya hidup tertentu,

masyarakat didorong untuk mengonsumsi lebih banyak.

Menurut Dunn (2008), Veblen menjelaskan tentang etos prestasi

Amerika yang diekspresikan melalui akumulasi kepemilikan harta.

Hal ini diwujudkan dalam bentuk praktik konsumsi komparatif yang

bersifat emulatif. Pembiakan perilaku emulatif terhadap kelas dalam

jangkauan terdekat (strata tertinggi berikutnya) dilakukan atas nama

kebutuhan akan reputasi yang tinggi. Tujuannya bersifat ganda, yakni

kepuasan psikis dan penyediaan rambu-rambu perbedaan kelas. Hal

ini sangat dimungkinkan terjadi pada masyarakat dengan sistem

stratifikasi terbuka seperti Amerika Serikat dimana garis-garis

kelasnya kabur atau sulit diidentifikasi. Jadi norma-norma yang

dibangun oleh kelas yang lebih tinggi punya kecenderungan untuk

meresap ke tingkat yang lebih rendah. Hal ini menelurkan skema

reifikasi dimana budaya dominan kelas yang lebih superior datang

dengan memberikan standar baru bagi kelas yang lebih rendah.

Akibatnya individu meninggalkan pola pikir yang sudah lama hidup

di dalam kelasnya dan menganggap standar baru dari kelas yang lebih

tinggi sebagai tujuan ideal.

Hal lain yang menarik dari argumen Veblen yaitu ketika ia

menjelaskan tentang fenomena ketidakpuasan kronis. Veblen menilai

persaingan dalam pencarian reputasi sebenarnya tidak dilakukan

dengan ukuran perbandingan yang jelas. Kekurangan seseorang pada

satu aspek kepemilikan bisa menjadi kelebihan kompetitor dalam

Page 94: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

94 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

aspek kepemilikan yang lain, begitu pun sebaliknya. Ketika target

sudah tercapai selalu ada target-target baru dan keinginan-keinginan

baru untuk menjadi lebih baik daripada yang lain dalam segala hal. Hal

ini membuat pencapaian status komparatif tidak berhenti dalam satu

ronde saja. Alhasil terjadilah kompetisi abadi sepanjang hayat dengan

menampilkan komoditas mewah sebagai penanda status kompetitif

(Dunn, 2008).

3. Kritik atas Pemikiran Veblen

Salah satu kritik terhadap pemikiran Veblen datang dari

Campbell. Menurut Campbell, Veblen terlalu menekankan asumsinya

pada proses imitasi dan emulasi atas nama status sosial, namun

melupakan sisi inovasi. Masih berada dalam level analisis individual,

Campbell melihat kompetisi konsumsi terjadi karena individu

memiliki motif untuk melompati lawan mereka, bukan sebatas

aktivitas meniru saja. Dalam beberapa kasus, hal ini ternyata juga

memiliki keterkaitan dengan persoalan gaya dan cita rasa (Golubeva et

al., 2018). Persoalan ini punya kaitan dengan etika Romantis yang

diyakini oleh Campbell (1987) sangat kuat eksistensi atau

keberadaannya sebagai spirit yang mengukuhkan konsumerisme

modern. Jadi menurut Campbell, gaya atau cita rasa itu berada dalam

kedaulatan individu, tidak tergantung pada perilaku imitatif dan

emulatif. Jika kita menggunakan kacamata psikologi Maslow (1943)

dalam membaca perbedaan kedua pemikir sosial ini, maka gagasan

Campbell atas perilaku konsumsi manusia identik dengan kebutuhan

tertinggi manusia, yaitu aktualisasi diri. Sedangkan Veblen melihatnya

sebagai kebutuhan tingkatan tertinggi kedua, yaitu penghargaan.

Page 95: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 95

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Kedua pemikiran tersebut tentunya tidak lepas dari konteks situasi

yang melatarbelakangi kelahirannya. Veblen dan Campbell hidup

dalam era yang berbeda.

Meski memiliki sisi kelemahan dalam sudut pandangnya,

diskusi tentang konsumsi kemewahan terasa janggal tanpa melibatkan

ide-ide klasik Veblen sebagai referensi. Tindakan membeli barang

untuk meningkatkan status seseorang tetap merupakan wawasan

mendasar tentang berbagai perilaku manusia yang non-rasional dan

sulit dijelaskan (Stone & Luo, 2016). Veblen setidaknya telah

menanamkan pengaruh yang cukup kuat pada beberapa pemikir sosial

kontemporer, sebut saja Bourdieu dalam karya monumentalnya yang

berjudul Distinction (1984). Bourdieu mengempiriskan ide-ide Veblen

dan bahkan berhasil mengembangkan ide tentang modal kultural

setelah merefleksikan studi tentang konsumsi mencolok ini. Fakta lain

yang juga tidak boleh dikesampingkan, pengaruh gagasan Veblen

telah berjasa menginspirasi dan melahirkan konsep nilai-tanda yang

menjadi ide penting Baudrillard dalam ranah akademis untuk

mengkritisi dan menggulingkan ide Marx tentang nilai-guna.

D. Penutup

Konsumerisme pada era postmodern saat ini sudah berkembang

lebih pesat dibandingkan pada masa hidup Veblen. Budaya konsumen

kini tidak lagi menjadi monopoli kelas tertentu. Dalam era masyarakat

informasi yang amat menggandrungi pencitraan dan haus akan

penghargaan sosial, perilaku memamerkan kemewahan sebagai wujud

dari konsumsi mencolok diprediksi akan terus berlangsung dalam

Page 96: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

96 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

skala yang lebih luas, bahkan lebih vulgar dari yang dapat

dibayangkan.

Bila masa hidup Veblen digambarkan dengan suasana kota

yang terus berkembang, pada konteks sekarang justru sudah jauh lebih

berkembang lagi. Kehadiran orang-orang baru tidak hanya ditemui di

dalam sebuah kota, tetapi juga di dalam dunia virtual, sebuah kota

global. Jadi lebih banyak orang yang dapat menyaksikan komoditas

yang dipamerkan sehingga lebih luas kesempatan dalam

meningkatkan citra diri. Dalam latar yang berbeda dengan era Veblen,

pamer kemewahan pada saat ini bisa diinisiasi oleh para pengusaha,

selebriti, politisi, profesional, atlet, youtuber, selebgram, hingga

“pemuka agama”. Perilaku pamer kemewahan pada masa kini tidak

terlepas dari konteks sosial dimana individu atau kelompok tertentu

mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan sosial dan

status sosial. Hal ini diwujudkan melalui konsumsi waktu luang dan

barang yang mencolok. Perilaku konsumsi mencolok ini kemudian

meluas dan berdampak secara sosial termasuk mempengaruhi

perilaku kelas dari strata yang lebih rendah.

Page 97: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Indra Setia Bakti, Anismar, Khairul Amin| 97

Pamer Kemewahan: Kajian Teori Konsumsi Thorstein Veblen

Daftar Pustaka Boden, S. (2003). Consumerism, Romance, and the Wedding Experience.

Palgrave Macmillan.

Bourdieu, P. (1996 [1984]). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.

Campbell, C. (2018 [1987]). The Romantic Ethic and the Spirit of Modern Consumerism. Palgrave Macmillan.

Corrigan, P. (1997). The Sociology of Consumption: An Introduction. SAGE Publications.

Dunn, R. G. (2008). Identifying Consumption: Subjects and Objects in

Consumer Society. Temple University Press.

Geertz, C. (1963). Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di

Indonesia. Bhratara Karya Aksara.

Golubeva, J., Koris, R., & Kerem, K. (2018). The Dress I Wear Says More Than a Thousand Words: Conspicuous Choice of Garment among Estonian Elite. Journal of Management and Change, 36(37), 78-98.

Kennedy, E. H. & Krogman, N. (2008). Towards a Sociology of Consumerism. Int. J. Sustainable Society, 1(2), 172-189.

Kiyosaki, R. T. (2016). Cashflow Quadrant: Panduan Mencapai Kebebasan

Keuangan. Gramedia Pustaka Utama.

Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological

Review, 50(4), 370–396.

Miles, S. (2006). Consumerism as a Way of Life. SAGE Publications.

Paterson, M. (2006). Consumption and Everyday Life. Routledge.

Pierce, F. S. (2020). Thorstein Veblen: American Economist and Sociologist. https://www.britannica.com/biography/Thorstein-Veblen

Page 98: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

98 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Ritzer, G. & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana.

Stebbins, R. A. (2009). Leisure and Consumption: Common Ground/Separate Worlds. Palgrave Macmillan.

Stone, J. & Luo X. (2016). Veblen in Twenty-First Century America: The Renewal of a Critique. Athens Journal of Social Sciences, 3(4), 281-298.

Storey, J. (2017). Theories of Consumption. Routledge.

Veblen, T. (2007 [1899]). The Theory of the Leisure Class. Oxford University Press

Page 99: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 99

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa

Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Universitas Sebelas Maret

Email: [email protected], [email protected],

[email protected]

Abstract

This research aims at explaining and understanding how Small and Medium Enterprises (SMEs) of vehicle exhaust in Purbalingga Lor utilize social capital in improving their company’s performance. This research used Qualitative Method and Case-Study Approach. Data of this research was collected through a series of in-depth interview, observation and documentation. The intake of informants was done through snowball sampling technique. Data validated by source and technique triangulation. Data was analized by using Interactive Analysis Model. The result of this research shows that the actors involved in SMEs of vehicle exhaust in Purbalingga Lor consist of raw material suppliers, craftsmen, resellers, consumers, associations and related government agencies. The actors maintain good relations with each other, build mutual trust and networks, and create regulating norms. The social capital has been able to improve the enterprise’s performance and support the business development and expantion of vechicle exhaust in Purbalingga.

Keywords: Industrial Sociology, Purbalingga, Small And Medium Enterprises (SMEs), Social Capital, Social Change

Abstrak

Tujuan artikel ini untuk menjelaskan dan mengetahui modal sosial pada

Industri Kecil Menengah knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor mampu

meningkatkan kelangsungan perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data penelitian ini diperoleh melalui

wawancara, dokumentasi dan observasi. Pengambilan informan dilakukan

dengan teknik snowball sampling. Validitas data menggunakan triangulasi

sumber dan teknik. Analisis data menggunakan model analisis interaktif. Hasil

dari peneltian ini dapat diketahui aktor yang terlibat di dalam Industri Kecil

Menengah Knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor terdiri dari pemasok bahan

Page 100: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

100 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

baku, pengrajin, reseller, konsumen, pihak asosiasi dan pemerintah dinas

terkait. Para aktor saling menjaga hubungan baik satu sama lain, di antara

mereka saling menjaga kepercayaan, membangun jaringan dan terdapat norma

yang mengatur. Modal sosial mampu meningkatkan kinerja usaha knalpot dan

bisa mendukung serta mengembangkan Industri Kecil Menengah Knalpot di

Purbalingga.

Kata kunci: Industri Kecil Menengah (IKM), Modal Sosial, Perubahan Sosial, Purbalingga, Sosiologi Industri

* * *

A. Pendahuluan

Sebuah Industri mampu menambah devisa serta pendapatan

negara, menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran dan

kemiskinan. Saat ini berbagai industri besar, sedang maupun kecil

sudah menyebar di kota hingga pedesaan. Kabupaten Purbalingga

merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi industri yang

cukup berkembang. Penduduk Kabupaten Purbalingga berjumlah

907.507 jiwa (BPS, 2018). Mayoritas penduduk Kabupaten Purbalingga

bekerja sebagai petani sebanyak 127.145 jiwa, buruh industri 105.254

jiwa dan pengusaha sebanyak 18.919 jiwa (BPS, 2015).

Salah satu industri unggulan Kabupaten Purbalingga yaitu

sentra knalpot (Dinkominfo, 2017). Dengan adanya industri knalpot

dan industri lain di Purbalingga mampu menyerap banyak lapangan

pekerjaan. Industri Knalpot di Purbalingga bermula pada industri

rumahan atau home industry di Dusun Sayangan Kelurahan

Purbalingga Lor sejak tahun 1970 dan terus berkembang sampai saat

ini. Pada tahun 2014 Purbalingga telah menghasilkan 595.371 buah

knalpot dan pada tahun 2015 sebanyak 313.380 knalpot (Dinkominfo,

2015). Karena prospek yang menjanjikan maka industri knalpot

menyebar ke daerah lain di Kabupaten Purbalingga.

Page 101: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 101

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Produk knalpot dari Purbalingga sudah tersebar di penjuru

Indonesia bahkan mancanegara. Knalpot Purbalingga juga pernah

bekerja sama dengan Agen Tunggal Pemegang Merk seperti APV,

Terrios bahkan Pindad, BMW, Mercedes (Jatengprov, 2017). Dengan

demikian knalpot buatan Purbalingga sudah mempunyai nama baik di

Indonesia maupun mancanegara. Di balik sukses dan berkembangnya

industri knalpot di Purbalingga terdapat beberapa pengrajin dan

pengusaha knalpot yang gulung tikar. Salah satu penyebab mereka

gulung tikar dan mengurangi produksi knalpot yaitu masalah

kenaikan harga pada bahan baku knalpot (Kompas, 2011).

Faktor lain yang mempengaruhi kemerosotan produksi knalpot

adalah kemampuan pengelolaan usaha yang kurang, kurangnya

dukungan dari pemerintah, modal sosial yang masih kurang seperti

kurangnya norma yang mengatur, kurangnya kepercayaan dan

jaringan sosial yang kurang luas sehingga sulit dalam pemasaran dan

kalah bersaing. Padahal modal sosial sangat penting bagi keberhasilan

bisnis selain modal ekonomi dan modal budaya. Modal sosial bisa

berfungsi sebagai sumber informasi penting dalam peluang pasar,

akses keuangan, aset pasar, tenaga kerja dan informasi penting lainnya

(Field, 2010).

Untuk mempertahankan industri knalpot Purbalingga dalam

persaingan yang semakin ketat di era globalisasi, menarik untuk diteliti

bagaimana mereka membangun modal sosial agar bisa bersaing

dengan yang lain, mempertahankan eksistensi untuk kelangsungan

usaha. Sehingga dalam penelitian ini akan menguraikan rumusan

masalah “Bagaimana Modal Sosial Pada Industri Kecil Menengah

Knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor Kecamatan Purbalingga

Page 102: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

102 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Kabupaten Purbalingga” yang akan dikaji dan dianalisis

menggunakan Teori Modal Sosial Robert Putnam. Dimana modal

sosial didefinisikan sebagai bagian kehidupan sosial atau organisasi

sosial seperti jaringan, kepercayaan dan norma yang tumbuh dari

hubungan antar individu yang dapat mendorong partisipan atau

anggota untuk bertindak bersama-sama dan terkoordinasi secara

efektif guna mencapai tujuan dan keuntungan bersama (Field, 2010).

Industri Kecil Menengah merupakan bentuk usaha yang menghasilkan

uang melalui jasa atau memproduksi barang dimana usaha tersebut

mempunyai tenaga kerja antara 5 sampai dengan 99 orang (Saleh,

1986).

Terdapat beberapa penelitian mengenai modal sosial antara lain,

(Purwanto, 2013) fokus meneliti tentang modal sosial dan budaya

berperan mengembangkan klaster industri keramik di Kasongan dan

membahas hubungan subordinasi, dominasi dan resistensi namun

teori yang digunakan berbeda dengan teori pada penelitian ini karena

(Purwanto, 2013) menggunakan teori modal sosial Bourdieu.

(Fitriawati, 2010) meneliti tentang industri slondok di Desa

Sumurarum, Magelang sedangkan pada penelitian ini meneliti

mengenai Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan Purbalingga

Lor, perbedaan tempat objek penelitian menghasilkan penelitian dan

pembahasan yang berbeda pula. (Khair, 2019) juga meneliti mengenai

modal sosial dalam industri rumah tangga kerupuk sagu di Desa Pintu

Gobang namun pada tulisannya tidak dijabarkan dengan jelas

bagaimana modal sosial tersebut berperan dalam industri kerupuk

sagu tersebut. (K. Saleh, 2017) juga meneliti tentang modal sosial

perempuan pelaku industri rumahan emping melinjo namun metode

Page 103: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 103

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

penelitian yang digunakan berbeda dengan penelitian ini, karena (K.

Saleh, 2017) metode penelitian kualitatif dan menggunakan

pendekatan fenomenologi. (Nurcahyono & Astutik, 2018) sama-sama

menggunakan teori modal sosial namun fokus penelitian sangat

berbeda karena penelitian tersebut membahas tentang modal sosial

masyarakat Suku Tengger yang beragam namun bisa bersatu mencapai

keharmonisan.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Purbalingga Lor,

Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga yang dilakukan pada

bulan Juli 2019 sampai Oktober 2019. Metode yang digunakan yaitu

metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi

kasus digunakan agar mendapatkan data yang detail dan mendalam

(Creswell, 2015). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik

observasi, wawancara dan dokumentasi. Penentuan sumber data

dilakukan menggunakan snowball sampling.

Informan dalam penelitian ini yaitu pemasok bahan baku,

pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, pihak asosiasi dan

pemerintah dinas terkait. Untuk menguji keabsahan data digunakan

triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Data dianalisis

menggunakan model analisis interaktif dimana dilakukan reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2013).

C. Pembahasan

Industri knalpot merupakan salah satu industri unggulan di

Purbalingga. Dusun Sayangan Kelurahan Purbalingga Lor merupakan

kawasan sentra industri knalpot, disana 70% warganya menggeluti

dunia perknalpotan dan terdapat 35 industri knalpot (Muzaki, 2019).

Page 104: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

104 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Knalpot Purbalingga dibuat dengan sistem handmade. Sebagian besar

pengrajin knalpot Purbalingga memproduksi knalpot aftermarket atau

knalpot variasi dan juga knalpot custom.

1) Aktor Dalam Industri Kecil Menengah Knalpot

Pada Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan

Purbalingga Lor terdapat aktor-aktor yang terlibat dan berhubungan

satu sama lain dalam menjalankan dan melancarkan industri knalpot

yaitu pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot,

konsumen, pihak asosiasi dan pemerintah dinas terkait dimana mereka

saling mendukung dan bekerja sama. Masing-masing pihak

mempunyai peran dalam menjalankan industri knalpot sebagaimana

dipaparkan pada alinea berikut ini:

Pertama yaitu pemasok bahan baku. Pemasok bahan baku

menyediakan plat stainless, plat besi, plat galvanis, alumunium dan

drum bekas untuk para pengrajin knalpot. Bagi pengrajin knalpot yang

produksinya belum banyak biasanya mereka membeli bahan baku di

toko besi, untuk pengrajin yang produksinya sudah besar mereka

mengambil bahan baku dengan sistem partai kepada pemasok bahan

baku yang berasal dari Jakarta, Surabaya dan Tegal atau langsung dari

pabriknya dikarenakan harga yang lebih murah. Pada mulanya sales

bahan baku mendatangi para pengrajin dan menawarkan bahan baku

dengan harga yang lebih murah apabila pembeliannya dalam jumlah

banyak, sales bahan baku menitipkan nomor yang bisa dihubungi. Jadi

untuk pembelian bahan baku partai besar biasanya pengrajin knalpot

hanya memesan via whatsapp atau telefon dan minta untuk dikirim.

Kedua yaitu pengrajin knalpot. Pengrajin knalpot adalah orang

yang mempunyai usaha di bidang industri knalpot. Pengrajin knalpot

Page 105: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 105

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

di Purbalingga biasanya memproduksi knalpot kendaraan baik itu

knalpot motor matic, motor sport, RX King atau knalpot mobil.

Pengrajin knalpot di Purbalingga rata-rata memiliki 4-30 tenaga kerja

yang sebagian besar berasal dari orang terdekat seperti tetangga dan

saudara. Pengrajin knalpot di Purbalingga ada yang hanya membuat

knalpot jika ada pesanan atau made by order dengan model custom dan

ada juga yang memproduksi knalpot setiap hari dalam jumlah tertentu

yang kemudian dipasarkan melalui bengkel, toko onderdil di seluruh

Jawa dan Luar Jawa dan juga dipasarkan secara online. Di samping

menjual langsung kepada konsumen atau secara online, ada juga

pengrajin knalpot yang menjual knalpot melalui perantara yaitu

kepada reseller, sales atau pengepul yang kemudian baru dijual kepada

konsumen. Untuk membesarkan nama merk knalpot dan menarik

konsumen, para pengrajin knalpot sering mengikuti pameran otomotif

dan acara atau event yang diselenggarakan oleh club motor. Hal

tersebut dilakukan untuk mengembangkan jaringan dan menambah

kenalan club-club motor di Indonesia sekalian mempromosikan produk

knalpot mereka. Walaupun sudah banyak pengrajin di Purbalingga

yang memiliki merk knalpot sendiri namun tidak dipungkiri bahwa

masih ada pengrajin yang masih memproduksi knalpot palsu, namun

jumlah sudah sangat berkurang dalam kurun waktu beberapa tahun

belakangan ini. Alasan pengrajin knalpot masih memproduksi knalpot

tiruan yaitu karena mereka belum yakin dengan merk knalpotnya

sendiri dan banyaknya permintaan konsumen atas knalpot tiruan.

Ketiga yaitu reseller knalpot. Reseller knalpot adalah individu

yang menjual knalpot yang diambilnya dari pengrajin dan dijual

kepada konsumen. Kebanyakan dari mereka menjual knalpot melalui

Page 106: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

106 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

media online dan marketplace seperti shopee, tokopedia, bukalapak, facebook,

instagram, whatsapp atau menjual langsung kepada teman-teman

komunitas dan kenalan mereka. Ada juga yang menyetok banyak

knalpot dan dibawa berkeliling kota untuk dititipkan ke bengkel.

Siapapun bisa menjadi reseller knalpot, cukup dengan mengambil

knalpot dengan jumlah minimal tertentu kepada pengrajin sudah bisa

mendapatkan harga reseller. Semakin banyak knalpot yang diambil dan

semakin sering membeli maka reseller akan mendapat harga yang

semakin murah. Harga jual yang dipasang oleh reseller merupakan

kewenangannya sendiri. Satu reseller knalpot tidak hanya mempunyai

tempat kulakan, karena mereka menjual berbagai model knalpot yang

diambil dari berbagai pengrajin.

Keempat yaitu konsumen. Konsumen knalpot ada yang

membeli secara langsung mendatangi toko dan ada juga yang membeli

online. Ada konsumen yang membeli knalpot secara eceran dan

konsumen knalpot yang membeli dalam jumlah banyak. Konsumen

bisa membeli knalpot sesuai dengan spesifikasi yang diinginkannya

atau custom. Namun harga knalpot custom biasanya lebih mahal

daripada knalpot yang aftermarket biasa yang sudah siap dijual.

Kelima ada Asosiasi Pengrajin Knalpot Purbalingga (APiK

Bangga). Organisasi mempunyai ciri yaitu tindakan anggota kelompok

atau individu di dalamnya mengarah ke sebuah tujuan yang ingin

dicapai (Ahdiah, 2011). APiK Bangga berfungsi sebagai wadah para

pengrajin knalpot di Purbalingga dan juga sebagai sarana modal sosial

bagi para pengrajin knalpot, mereka bisa berjejaring satu sama lain

dimana jaringan sosial bisa menjadi aset yang mempunyai nilai yang

tinggi dan mendorong para aktor untuk bekerja sama sehingga dapat

Page 107: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 107

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

memberikan manfaat satu sama lain (Fatimah & Afifuddin, 2013).

Setiap komunitas bisa dijadikan sebagai potensi modal sosial yang bisa

bermanfaat bagi para anggotanya.

APiK Bangga mendukung agar industri knalpot terus

berkembang, maju dan lebih baik sehingga mampu bersaing dengan

knalpot daerah lain di tengah perkembangan jaman agar penjualan

knalpot Purbalingga semakin meningkat dan kualitasnya semakin

baik. Pada mulanya pengrajin knalpot yang tergabung merasa miris

dengan persaingan harga, banyaknya pengrajin yang memproduksi

knalpot tiruan dan kurangnya perhatian dari pemerintah seperti tidak

adanya bantuan dalam mengenalkan IKM knalpot kepada jaringan

bahan baku dan peluang kerja sama lain untuk mengangkat industri

knalpot. Mereka sadar jika memerlukan wadah untuk bersatu dan

berdiskusi untuk membawa perubahan yang lebih maju bagi industri

knalpot di Purbalingga. Setelah ada APiK Bangga sudah mulai terlihat

dukungan dan peran dari pemerintah untuk memajukan knalpot

Purbalingga. Saat ini pengrajin yang memproduksi knalpot tiruan juga

sudah sangat berkurang dikarenakan pengrajin knalpot sudah

memproduksi knalpot dengan merk mereka sendiri.

Keenam yaitu pemerintah dan dinas terkait, dalam hal ini Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purbalingga, Bupati

Kabupaten Purbalingga beserta jajarannya serta Kementerian

Perindustrian Republik Indonesia yang sudah memberikan bantuan

kepada para industri kecil menengah knalpot di Kabupaten

Purbalingga dan mendukung industri knalpot Purbalingga.

Page 108: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

108 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

2) Identifikasi Hubungan dan Modal Sosial Para Aktor

Alur Identifikasi Modal Sosial dan alur aktor IKM Knalpot

Di dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan

Purbalingga Lor, aktor yang saling berhubungan dan bekerja sama

dalam menggerakkan usaha knalpot antara lain pemasok bahan baku,

pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, asosiasi dan pemerintah

dinas terkait. Hubungan sosial yang terjalin menjadi modal sosial atas

dasar saling membutuhkan dimana mereka saling melakukan

pertukaran barang, uang dan jasa. Rantai produksi dan pemasaran

semakin mudah dan berjalan maksimal apabila didukung oleh modal

sosial (Riyanto, Hidayat, & Sukesi, 2014). Seperti halnya yang

disebutkan di dalam (Sawitri & F. Soepriyadi, 2014) bahwa petani

membutuhkan modal sosial, industri knalpot juga membutuhkan

modal sosial sebagai landasan melakukan kegiatan bersama. Modal

sosial berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi baik secara langsung

atau tidak langsung (Handoyo, 2013).

Pemasok bahan baku bekerja sama dengan pengrajin knalpot.

Pemasok bahan baku menyediakan plat besi, plat stainless, plat

alumunium dan bahan baku lain yang dibutuhkan oleh pengrajin.

Pemasok Bahan Baku Pengrajin knalpot

Konsumen

Pemerintah & Dinas Terkait Asosiasi Pengrajin Knalpot

Reseller

Page 109: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 109

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Hubungan antara pemasok bahan baku dan pengrajin berlangsung

secara berulang-ulang, melakukan pertukaran yang menguntungkan

sehingga mereka saling membutuhkan satu sama lain.

Sebagian pengrajin knalpot bergabung dengan Asosiasi

Pengrajin Knalpot Purbalingga (APiK Bangga) dan bekerja sama

dengan pemerintah dinas terkait agar terjalin komunikasi dan bisa

memajukan industri knalpot. APiK Bangga mengadakan kegiatan

seperti pertemuan rutin membahas masalah dan kendala yang ada

setiap 2 minggu sekali yang diselenggarakan di gedung sekretariat

APiK Bangga atau Cafe. Saat pertemuan rutin ditarik uang KAS untuk

kebutuhan seperti menjenguk teman sakit dan hajatan. Selain

pertemuan rutin juga banyak kegiatan yang di selenggarakan oleh

pemerintah dan dinas terkait untuk mendukung para anggota APiK

Bangga contohnya pelatihan las, pelatihan manajemen keuangan, studi

komparasi, kunjungan ke ASTRA, Pertemuan Akbar yang

penyelenggaraannya dibantu oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kabupaten Purbalingga.

Kegiatan lain juga diadakan oleh Kementerian Perindustrian

contohnya Link and Match yang bertujuan untuk memberikan

kesempatan bagi para pengrajin komponen otomotif salah satunya

pengrajin knalpot untuk bertemu dan menjalin kerja sama dengan para

industri otomotif besar. Kemudian Acara Sosialisasi Legalitas Usaha

dan Diskusi Langkah Pengrajin Menuju Kerja sama dengan ATPM,

Bimbingan Teknis 5R IKM Alat Angkut, Pameran Musyawarah

Rencana Pembangunan Keresidenan Banyumas, Pameran Produk

Inovasi dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut

boleh diikuti oleh seluruh anggota APiK Bangga.

Page 110: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

110 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Dengan demikian sudah terlihat campur tangan pemerintah

dalam mendukung industri knalpot di Purbalingga. Pada tahun 2018

Pemerintah Kabupaten Purbalingga juga telah memberikan bantuan

peralatan kepada anggota APiK Bangga. Dinperindag juga

memfasilitasi pengrajin knalpot untuk mendaftarkan merk knalpot

bagi yang belum mempunyai sendiri agar bisa mengangkat nama

produknya dan mengurangi produksi knalpot tiruan.

Pengrajin knalpot juga menjalin hubungan baik dengan reseller

knalpot. Hubungan yang terjadi antara pengrajin dan reseller knalpot

biasanya berawal dari teman, kerabat atau kenalan yang kemudian

memanfaatkan hubungan tersebut menjadi hubungan bisnis, namun

tidak seluruhnya. Biasanya reseller yang mempunyai hubungan dekat

mempunyai keuntungan dan dipermudah dalam pengambilan

knalpot.

Pengrajin dan reseller memasarkan knalpot melalui sosial media

dan marketplace. Tidak hanya mengandalkan pemasaran melalui online

mereka juga memanfaatkan kenalan club motor dan mobil yang

tersebar di seluruh Indonesia dimana komunitas yang mereka ikuti

bisa menjadi tempat promosi dan berpengaruh terhadap penjualan.

Walaupun pengrajin knalpot menjual barangnya langsung kepada

konsumen hal itu tidak menjadi masalah bagi para reseller karena jika

konsumen membeli langsung kepada pengrajin secara ecer harga yang

didapatkan bisa bersaing dengan harga yang ditawarkan reseller karena

harga jual yang diberikan oleh pengrajin knalpot didasarkan pada

jumlah knalpot yang diambil atau sistem grosir.

Page 111: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 111

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

3) Manfaat Yang Diperoleh dari Hubungan dan Modal Sosial Antar

Aktor

Manfaat menjaga hubungan baik antara aktor yang terlibat

dalam Industri Kecil Menengah knalpot yaitu terciptanya hubungan

bisnis yang lancar, harmonis dan menguntungkan karena mereka

saling membutuhkan satu sama lain dalam memajukan usaha mereka

masing-masing. Dengan intensitas bertemu yang lumayan sering tentu

membuat para aktor semakin dekat dan lebih mengenal pribadi satu

sama lain, mereka berbagi pengalaman, bertukar keluh-kesah sehingga

dalam jangka panjang bisa untuk menambah relasi, teman dan

saudara. Kedekatan antar aktor juga memberikan keuntungan yaitu

kemudahan dalam proses jual beli, lebih diutamakan daripada yang

tidak kenal, tidak ingin mengecewakan dan berusaha memberikan

yang terbaik serta mendapatkan harga khusus.

Selain itu dengan adanya Asosiasi Pengrajin Knalpot

Purbalingga (APiK Bangga) juga memberikan manfaat bagi para

anggotanya, manfaat yang dirasakan antara lain mereka menjadi tahu

pentingnya Surat Ijin Usaha, belajar berorganisasi, menambah relasi,

memperluas jaringan, mendapatkan akses untuk bisa mengikuti acara

yang diadakan pemerintah pusat maupun daerah, mampu

mengembangkan usaha karena mereka dikenalkan dengan Agen

Tunggal Pemegang Merk (ATPM) serta industri besar lainnya,

mendapatkan pengetahuan seputar wirausaha karena adanya berbagai

sosialisasi yang diadakan APiK Bangga dan pemerintah, mendapatkan

sertifikat setelah mengikuti kegiatan, bisa bergabung dengan pameran

dan expo yang bisa membantu mengenalkan produk knalpot mereka

supaya lebih dikenal banyak orang, khalayak umum bahkan ATPM.

Page 112: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

112 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Dengan adanya interaksi dan transaksi yang terjadi maka

mendorong para aktor melakukan kerja sama dan hubungan yang

saling menguntungkan dimana hal tersebut mampu memunculkan

kepercayaan dan nilai positif yang memperkuat hubungan mereka dan

asosiasi tersebut. Semakin sering modal sosial digunakan dan

dikembangkan maka akan semakin besar dan berkesinambungan

(Usman, 2018).

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di Industri Kecil

Menengah Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor terdapat beberapa

masalah antara lain masih ada pengrajin knalpot yang membanting

harga atau menjual knalpotnya dibawah standar harga dengan alasan

yang penting knalpot yang sudah diproduksi habis terjual walaupun

keuntungan yang didapatkannya sangat sedikit sehingga mereka bisa

membayar karyawan, hal tersebut membuat harga knalpot di pasaran

menjadi kacau. Masalah selanjutnya masih banyak pengrajin yang

memproduksi knalpot tiruan dan banyak di antara mereka yang belum

memiliki merk sendiri. Selain itu terdapat perbedaan dalam

memperoleh bahan baku antara pengrajin besar dan pengrajin kecil.

Pengrajin besar mempunyai akses untuk mendapatkan bahan baku

dengan harga murah namun tidak bagi pengrajin knalpot kecil.

Untuk itu dengan adanya asosiasi APiK Bangga bisa dijadikan

wadah bagi para pengrajin knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor

untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar masalah yang sedang

terjadi. Selain dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Purbalingga, APiK Bangga juga berkerja sama dengan

Pemerintah Kabupaten Purbalingga (Bupati dan jajarannya),

kepolisian bahkan dengan Kementerian Perindustrian.

Page 113: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 113

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

APiK Bangga berharap bisa menyatukan semua pengrajin

knalpot di Purbalingga, pengrajin menjual produk dengan

menggunakan merk sendiri dan mempunyai legalitas serta ijin usaha

supaya nantinya tidak ada yang membanting harga karena harga akan

diatur berdasarkan grade dan kualitas. Dengan itu diharapkan dalam

jangka panjang bisa menyejahterakan pengrajin dan lebih mudah

dalam penyaluran bantuan dari pemerintah. Saat ini bantuan dari

pemerintah pusat maupun daerah disalurkan melalui APiK Bangga

baik itu berupa peralatan, pelatihan, seminar, pameran serta acara yang

bisa mengenalkan pengrajin dengan industri otomotif besar dan ATPM

supaya terjalin kerja sama.

Namun untuk bekerja sama dengan ATPM tidaklah mudah ada

syarat yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak yaitu pengrajin

dan pihak ATPM seperti standar kualitas produk, harga dan

kemampuan produksi knalpot harus sesuai kuantitas yang diminta.

Oleh sebab itu saat ini belum banyak pengrajin knalpot Purbalingga

yang bekerja sama dengan ATPM, pengrajin lebih berkonsentrasi

dengan produk knalpot custom dan produk aftermarket karena syarat

dan proses kerja sama dengan ATPM terlalu rumit, panjang,

standarisasi knalpot yang terlalu detail dan ketidak cocokkan dalam

kesepakatan harga.

APiK Bangga bisa membuka jalan komunikasi dan diskusi

forum antara pengrajin knalpot dan pemerintah. Pemerintah

mengharapkan APiK Bangga nantinya mampu memfasilitasi

kebutuhan para pengrajin knalpot dalam pengadaan bahan baku masal

supaya mendapatkan harga yang lebih murah sehingga biaya produksi

bisa ditekan dan menambah keuntungan bagi para pengrajin itu

Page 114: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

114 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

sendiri. Pemerintah juga berharap APiK Bangga bisa menerapkan

standarisasi harga dengan menerapkan persentase minimal HPS

(Harga Perkiraan Sendiri), jadi jika ada yang menjual di bawah HPS

akan dikenakan sanksi. Pengrajin knalpot menentukan harga jual

knalpot berdasarkan jumlah knalpot yang diambil oleh reseller dan

konsumen, semakin banyak jumlah knalpot yang diambil maka

harganya semakin murah. Jika mau dijual lagi reseller bebas

menentukan harga jual mereka.

Pengrajin dan reseller knalpot kebanyakan mengawali kariernya

di dunia perknalpotan karena kerabat, keluarga, kenalan dan teman.

Selain bisa memberikan peluang dalam menciptakan kesempatan

kerja, kerabat, keluarga, kenalan dan teman juga mampu menambah

dan memperluas pemasaran knalpot. Seperti yang terjadi di industri

knalpot Purbalingga dengan memanfaatkan kerabat, keluarga, kenalan

dan teman mampu menarik dan menambah pelanggan atau konsumen

knalpot, seperti teman club motor, teman sekolah, teman main yang

bisa menambah kepercayaan antara penjual knalpot baik pengrajin

knalpot ataupun reseller dengan calon pembeli.

Tujuan konsumen membeli knalpot biasanya untuk

memodifikasi kendaraan mereka supaya lebih keren dan untuk

meningkatkan performa kendaraan mereka. Maka konsumen selalu

mempertimbangkan model yang up to date, kualitas knalpot yang

bagus, memperhatikan bahan dasar knalpot, brand image atau merk

knalpot yang bagus dan terkenal, suara knalpot yang bagus dan harga

yang sesuai dengan kualitasnya, bahkan beberapa konsumen rela

merogoh kocek yang tidak sedikit untuk mendapatkan knalpot yang

berkualitas. Maka dalam memilih tempat membeli knalpot konsumen

Page 115: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 115

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

tidak sembarangan dan penuh pertimbangan, biasanya mereka akan

bertanya kepada teman rekomendasi tempat yang tepat dan melihat

review dari iklan yang ada. Maka dari itu hendaknya pengrajin selalu

mengedepankan kualitas knalpot supaya tidak mengecewakan

konsumen.

Aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah Knalpot

seperti pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot,

konsumen turut menjaga hubungan baik kepada semua kerabat,

keluarga, kenalan, teman yang sudah memberikan manfaat baik secara

langsung atau tidak langsung dalam membantu promosi

kelangsungan bisnisnya baik dengan cara menjaga silaturahmi,

bertukar cerita, saling menjenguk apabila ada yang sakit, saling

membantu jika ada yang terkena musibah, menghadiri hajatan agar

selalu tercipta hubungan yang baik.

Selain menjaga hubungan baik antara aktor, kerabat, teman dan

pelanggan, para aktor tetap mempertahankan kualitas agar tidak

mengecewakan pelanggan. Karena dengan mempertahankan kualitas

barang dan knalpot bisa mempertahankan kepercayaan yang ada.

Kepercayaan dalam proses pengiriman dan proses transaksi juga harus

dijaga. Dalam bertransaksi biasanya menggunakan sistem ada uang

ada barang, namun ketika kedua belah pihak sudah mempunyai

hubungan yang dekat, sudah kenal lama serta adanya kepercayaan

yang kuat, pembayaran bisa di negosiasi tergantung perjanjian.

Hasil penelitian di analisis dengan Teori Modal Sosial Robert

Putnam dimana di dalam modal sosial terdapat tiga unsur pokok yaitu

jaringan sosial, norma dan kepercayaan. Inti dari modal sosial yaitu

sekumpulan orang atau kelompok yang bersatu dan menjalin kerja

Page 116: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

116 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

sama untuk menggapai sebuah tujuan yang sama. Di dalam

sekumpulan orang yang bekerja sama tersebut terdapat interaksi sosial

dimana mereka yang tergabung saling mendapatkan manfaat yang

menguntungkan. Hubungan dan interaksi sosial yang terjadi dalam

jangka waktu yang cukup lama menimbulkan kepercayaan satu sama

lain dan muncul sebuah aturan atau norma yang harus dipatuhi oleh

para aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di

Kelurahan Purbalingga Lor. Modal sosial tersebut akan semakin kuat

dan maksimal apabila setiap orang yang terlibat di dalamnya bertindak

sesuai aturan dan apa yang menjadi tujuan bersama (Hasbullah, 2006).

Modal sosial dapat mempermudah, memperlancar hubungan dan

kerja sama sehingga harapan dan tujuan individu bisa tercapai dengan

efektif dan efisien (Abdullah, 2013). Unsur modal sosial dalam

penelitian ini dibahas sebagai berikut :

a) Partisipasi dalam Jaringan Sosial

Minat seseorang untuk bergabung dengan perkumpulan atau

kelompok. Jaringan hubungan sosial antara anggota atau individu

yang mempunyai manfaat untuk mengelola sumber daya milik

bersama karena memudahkan koordinasi, kerja sama agar

memperoleh keuntungan satu sama lain (Samuel & Badaruddin, 2015).

Seperti yang terjadi di Kelurahan Purbalingga Lor, aktor yang terlibat

seperti pemasok bahan baku, pengrajin knalpot, reseller, konsumen,

pemerintah dan asosiasi saling berhubungan dan menjaga hubungan

baik demi kelangsungan usaha dan kemajuan industri knalpot di

Purbalingga. Kedekatan dan hubungan baik yang mereka lakukan

dapat dilihat dalam wujud nongkrong dan ngopi bersama, bercerita

tukar pikiran, saling membantu dalam hal pribadi seperti menghadiri

Page 117: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 117

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

acara hajatan, menjenguk yang sakit dan menjenguk bayi. Dengan

adanya kedekatan personal mampu menambah keintiman dan

kedekatan sehingga bisa mempermudah hubungan bisnis mereka,

karena jika sudah kenal lebih dekat rasa kepercayaan semakin kuat.

Seperti yang disebutkan dengan adanya kegiatan bersama mampu

membentuk masyarakat semakin solid dan sebagai tempat

bertukarnya informasi di antara para aktor (Purwanto, 2013).

Selain menjaga hubungan baik dengan para aktor, pengrajin

knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor mengikuti Asosiasi Pengrajin

Knalpot Purbalingga (APiK Bangga) dimana organisasi tersebut

beranggotakan pengrajin knalpot yang ada di Purbalingga. Adanya

APiK Bangga menunjukkan bahwa di dalam IKM Knalpot Kelurahan

Purbalingga Lor terdapat partisipasi dari pengrajin dalam membentuk

jaringan sosial yang bertujuan menyatukan pengrajin knalpot di

Purbalingga dalam satu wadah dan mendorong agar penjualan

knalpot semakin tinggi. Adanya APiK Bangga juga membangkitkan

dukungan dan peran pemerintah dan dinas terkait untuk bekerja sama

dalam memajukan knalpot Purbalingga serta mengurangi knalpot

tiruan. Seperti halnya pada (Hakim & Wibisono, 2017; Sumintarsih,

2012) dimana asosiasi atau paguyuban mampu menjadi wadah dalam

menyatukan para petani agar mempermudah komunikasi antar

anggota kelompok.

APiK Bangga mampu menambah silaturahmi, komunikasi dan

tukar pikiran antara pengrajin dan reseller knalpot dengan pemerintah

dalam membahas masalah yang terjadi untuk mencari solusi. Terdapat

kegiatan lain seperti kunjungan studi banding, seminar atau sosialisasi,

pameran, pelatihan usaha dan acara-acara lain yang mendukung

Page 118: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

118 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

kemajuan knalpot Purbalingga yang diadakan oleh pemerintah dan

APiK Bangga.

Dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak seperti pemasok

bahan baku, pengrajin knalpot, reseller, asosiasi dalam hal ini APiK

Bangga, Pemerintah dinas terkait yang saling bersinergi dan turut

proaktif dalam memajukan dunia perknalpotan di Kabupaten

Purbalingga tentunya akan memberikan keuntungan bagi semua

pihak.

b) Kepercayaan

Kepercayaan merupakan keyakinan yang dimiliki individu

kepada orang lain. Kepercayaan berperan dalam membangun modal

sosial kelompok, dimana modal sosial mampu menciptakan

kehidupan yang harmonis (Ambarita & Sitorus, 2015). Di dalam IKM

Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor aktor yang terlibat saling percaya

satu sama lain. Contohnya pemasok bahan baku dan pengrajin knalpot,

pemasok bahan baku membutuhkan pengrajin knalpot sebagai

pelanggan apa yang dijualnya sementara pengrajin knalpot

membutuhkan bahan baku dari pemasok untuk kelangsungan

produksi knalpotnya. Begitu pula pengrajin knalpot dan reseller,

pengrajin knalpot dengan konsumen, mereka saling menjaga

hubungan dan kepercayaan agar tidak kehilangan pelanggan.

Hubungan antar aktor IKM Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor

dipelihara salah satunya dengan menjaga kepercayaan satu sama lain.

Kepercayaan akan terus terpelihara selama pihak yang

berinteraksi tetap bertindak sesuai yang seharusnya. Namun jika salah

satu mengingkari janji atau tidak sesuai kesepakatan maka

kepercayaan yang sudah terbangun menjadi rusak dan orang yang

Page 119: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 119

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

melanggar sudah tidak dipercaya. Contohnya yang tadinya diberi

kepercayaan dengan mengambil barang dengan tidak membayar di

muka apabila sekali tidak membayar sesuai waktu yang ditentukan

tanpa ada alasan dan komunikasi yang jelas maka untuk pembelian di

lain waktu tidak diberi kesempatan membayar secara hutang

melainkan harus membayar di muka.

Dalam mencari karyawan, pengrajin knalpot memilih dari

orang terdekat baik itu tetangga, saudara atau teman karena lebih bisa

dipercaya daripada orang asing. Di samping itu juga karena menurut

mereka lebih baik membantu menyejahterakan orang terdekat terlebih

dahulu dengan cara menciptakan lapangan kerja. Dalam membeli

barang konsumen mencari penjual yang sudah terpercaya baik itu

kepada penjual yang sudah mereka kenal atau rekomendasi dari

teman. Jika membeli barang kepada yang sudah kenal konsumen akan

lebih percaya karena pihak penjual akan memberikan barang yang

terbaik dan tidak akan mengecewakan konsumen tersebut. Apabila

penjual selalu memberikan barang dengan kualitas yang baik, hal

tersebut akan menguntungkan si penjual karena konsumen tidak akan

kecewa, bahkan jika suatu saat konsumen akan membeli knalpot atau

barang lagi atau jika ada temannya yang mencari knalpot mereka akan

memberikan rekomendasi kepada penjual tempat dimana mereka

biasanya beli. Hal itu bisa menjadi media promosi gratis dengan

melalui mulut ke mulut. Karena kepercayaan tidak timbul begitu saja

dan memerlukan proses yang cukup lama maka hendaknya para aktor

yang terlibat di dalam Industri Kecil Menengah Knalpot di Kelurahan

Purbalingga Lor saling menjaga kepercayaan yang telah ada dan terus

membangun kepercayaan dengan orang yang lebih banyak karena

Page 120: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

120 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

kepercayaan bisa mendukung bisnis dan kelangsungan usaha industri

knalpot mereka.

c) Norma

Norma merupakan aturan harus dipatuhi karena berguna untuk

mengontrol tindakan yang ada di masyarakat atau kelompok tertentu.

Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, bersifat

resiprokal dan muncul setelah jaringan sudah lama terbina (Gusman,

2019). Norma juga bisa mengurangi risiko penyimpangan di antara

para aktor, membuat harga stabil, membantu para aktor mendapatkan

jaringan dan kepercayaan (Fitriawati, 2010). Terdapat aturan yang ada

di dalam anggota APiK Bangga yaitu tidak boleh memproduksi

knalpot palsu sehingga pengrajin harus memproduksi knalpot dengan

merk sendiri, hal tersebut untuk melindungi para pengrajin agar

terhindar dari masalah hukum atau tuntutan brand yang ditiru, agar

industri knalpot Purbalingga maju dengan citra yang baik, serta

menghindari persaingan dengan sesama pengrajin. Dengan adanya

peraturan merk, saat ini kasus produksi knalpot bajakan di Kabupaten

Purbalingga sudah berkurang, namun tidak dipungkiri masih ada

beberapa oknum yang melakukan pembajakan knalpot dengan alasan

permintaan pasar yang masih tinggi.

Aturan lain yang ada di IKM Knalpot Kelurahan Purbalingga

Lor yaitu adanya perbedaan harga bahan baku antara pengambilan

grosir atau borongan dengan pengambilan ecer. Kemudian perbedaan

harga yang terdapat di penjualan knalpot dari pengrajin knalpot, ada

perbedaan harga jika membeli satuan dengan pembelian banyak

sekaligus akan mendapatkan harga grosir minimal pengambilan 10

buah knalpot. Dengan adanya aturan tersebut maka reseller knalpot

Page 121: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 121

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

tidak perlu khawatir tidak mendapatkan konsumen, karena jika ada

konsumen yang membeli knalpot kepada pengrajin langsung juga

tidak mendapatkan harga yang lebih murah.

D. Penutup

Industri Kecil Menengah Knalpot Kelurahan Purbalingga Lor

melibatkan aktor-aktor yang saling berhubungan antara lain pemasok

bahan baku, pengrajin knalpot, reseller knalpot, konsumen, Asosiasi

Pengrajin Knalpot dan pemerintah dinas terkait. Mereka mempunyai

peranan masing-masing dan senantiasa menjaga hubungan baik satu

sama lain. Dalam menjalankan bisnis memerlukan modal ekonomi,

modal kultural dan modal sosial untuk mempertahankan dan

mengembangkan bisnisnya.

Di antara aktor yang terlibat dalam Industri Kecil Menengah

Knalpot semuanya saling membangun dan menjaga kepercayaan serta

menjaga kualitas barang karena bagi mereka kepercayaan mampu

mempertahankan pelanggan lama dan mempermudah untuk

mendapatkan pelanggan baru, biasanya sebelum melakukan jual beli

pelanggan mencari tahu bagaimana rekam jejak penjual. Dalam

merekrut pekerja, mereka memilih berdasarkan orang terdekat seperti

saudara, tetangga dan teman daripada orang asing karena orang

terdekat lebih terpercaya, asal-usulnya jelas dan mudah dilacak apabila

ada masalah.

Para aktor yang terlibat dalam industri knalpot memelihara

modal sosial dengan menggelar pertemuan rutin setiap dua minggu

sekali, saling tolong-menolong dan menjenguk ketika ada yang sakit,

menghadiri acara atau pesta yang di adakan oleh salah satu kolega atau

hanya sekedar nongkrong ngopi bersama bertukar cerita. Hal tersebut

Page 122: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

122 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

mampu menambah nilai kebersamaan, mengerti satu sama lain

sehingga dapat memperlancar hubungan bisnis.

Harapannya para aktor yang terlibat dalam IKM Knalpot di

Kelurahan Purbalingga Lor tetap menjaga hubungan baik, terus

mengembangkan modal sosial, memperluas jaringan, menjaga dan

menciptakan kepercayaan, menaati norma yang ada, bangga terhadap

merk sendiri dan terus menjaga kualitas. Lalu untuk anggota asosiasi

APiK Bangga diharapkan terus aktif dan antusias mengikuti kegiatan,

pelatihan yang diadakan, mengajak seluruh pengrajin knalpot di

Purbalingga untuk bergabung dalam asosiasi. Dan kepada pemerintah

hendaknya selalu melakukan pendampingan, pembinaan dan

memberikan perhatian serta fasilitas kepada para IKM agar industri

knalpot semakin maju dan menjadi produk unggulan yang

membanggakan sehingga mampu mengangkat nama Purbalingga.

***

Page 123: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 123

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Daftar Pustaka

Abdullah, S. (2013). Potensi Dan Kekuatan Modal Sosial Dalam Suatu Komunitas. Socius, XII, 15–21.

Ahdiah, I. (2011). Organisasi Perempuan Sebagai Modal Sosial (Studi Kasus Organisasi Nasyiatul Aisyiyah Di Sulawesi Tengah). Jurnal Academica, 3(1), 523–534.

Ambarita, E. C., & Sitorus, H. (2015). Modal Sosial Komunitas Petani Kemenyan Dalam Pelestarian Hutan Kemenyan di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan. Perspektif Sosiologi, 3(1), 42–57.

BPS. (2015). Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kabupaten Purbalingga, 2011-2015. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id

BPS. (2018). Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Purbalingga, 2010, 2015, and 2016. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id

Bungin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dinkominfo. (2015). Produk Industri Knalpot Purbalingga Capai 595.371 Unit Per Tahun. Dinas Komunikasi dan Informatika. Retrieved April 7, 2019, from Dinkominfo.purbalinggakab.go.id website: https://dinkominfo.purbalinggakab.go.id

Dinkominfo. (2017). Kemenperin Perkuat Industri Unggulan Daerah di Purbalingga dan Surakarta – Kabupaten Purbalingga. Retrieved April 7, 2019, from Purbalinggakab.go.id website: https://www.purbalinggakab.go.id

Fatimah, M., & Afifuddin, M. (2013). Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional. JKAP, 17(2), 4–19.

Field, J. (2010). Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fitriawati, E. (2010). Modal Sosial Dalam Strategi Industri Kecil.

Page 124: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

124 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Dimensia, 4(1), 23–40.

Gusman, I. (2019). Pemanfaatan Modal Sosial Petani Ikan Pasca Tubo Balerang dalam Mendapatkan Pekerjaan Baru. Jurnal Sosiologi Andalas, 5(1), 21–34.

Hakim, F. N., & Wibisono, G. (2017). Modal Sosial Petani Tembakau untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 16(4), 369–380.

Handoyo, E. (2013). Kontribusi Modal Sosial dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima Pascarelokasi. Jurnal Komunitas, 5(2), 252–266.

Hasbullah, J. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press.

Ibrahim. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Jatengprov. (2017). Kenalkan Produk Knalpot Purbalingga Kepada Presiden Jokowi. Retrieved April 7, 2019, from Jatengprov.go.id website: https://jatengprov.go.id

Khair, H. (2019). Modal Sosial Dalam Industri Rumah Tangga Kerupuk Sagu Di Desa Pintu Gobang Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi. JOM FISIP, 6, 1–14.

Kompas. (2011). Knalpot Purbalingga Terkendala Logam. Retrieved April 7, 2019, from Kompas.com website: https://ekonomi.kompas.com

Muzaki, K. (2019). Sejarah Knalpot Purbalingga. Retrieved August 21, 2019, from TribunJateng.com website: https://jateng.tribunnews.com

Nurcahyono, O. H., & Astutik, D. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masyarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat : Jurnal Sosiologi, 2(1), 1–12.

Purwanto, A. (2013). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18(2), 233–261.

Riyanto, S., Hidayat, K., & Sukesi, K. (2014). Modal Sosial Dalam Komunitas Pedagang Sayuran Didesa Tawang Argo Kecamatan

Page 125: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Dea Ayu Pusparini, Nurhadi, Sigit Pranawa | 125

Modal Sosial pada Industri Kecil Menengah di Kelurahan Purbalingga Lor

Karang Ploso Kab. Malang. Habitat, XXV(2), 96–104.

Saleh, I. A. (1986). Industri Kecil. Jakarta: LP3ES.

Saleh, K. (2017). Modal Sosial Perempuan Pelaku Industri Rumahan Empling Melinjo (Kasus Perempuan Perdesaan Provinsi Banten). Jurnal Agribisnis Terpadu, 10(2), 160–174.

Samuel, J. P., & Badaruddin. (2015). Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Perspektif Sosiologi, 3(1), 58–74.

Sawitri, D., & F. Soepriyadi, I. (2014). Modal Sosial Petani dan Perkembangan Industri di Desa Sentra Pertanian Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(1), 17–36.

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumintarsih. (2012). Modal Sosial Petani Lereng Gunung Merbabu sebagai Kekuatan Dalam Mengelola Usaha Pertanian. Patrawidya, 13(4), 583–614.

Susanto, R. (2017). Kemenperin Gelontorkan Rp 46 miliar untuk Industri Knalpot Purbalingga. Retrieved August 24, 2019, from Gatra.com website: https://www.gatra.com

Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 126: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

126 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Gender and Family in Modern Acehnese Society

Muhammad Zawil Kiram

Marmara University, Turkey

Email: [email protected]

Abstract

Since it was declared as one of the crucial issues in the Sustainable Development Goals agenda by the United Nations, gender equality has entered every country including in the Acehnese family. As a province that implements Islamic law and rich in local wisdom, Aceh has its own perspective in responding to the issue of gender equality. Although in the past (in terms of religion and culture) Aceh recognized the existence of the same position between men and women in the family, in its implementation gender equality has not achieved completely. The cultural shift and understanding of Acehnese society towards gender, which is considered as an ideology from the West, has become one of the big walls in the realization of gender equality in the family. The culture of society that stigmatizes men as weak people if they are involved in domestic affairs also plays a major role. In addition, the most influential thing is the absence of gender-based education both in families and social institutions in Acehnese society, therefore the generation that grows continues to develop with the same understanding as their predecessors which resulted in the discourse of gender equality in modern Aceh society being a mere delusion.

Keywords: Gender Equality, Family, Modern, Aceh

Abstrak

Sejak dideklarasikan sebagai salah satu isu krusial dalam agenda Sustainable Development Goals oleh Persatuan Bangsa-Bangsa, kesetaraan gender telah memasuki setiap ranah kehidupan manusia termasuk dalam keluarga dan masyarakat Aceh. Sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam dan kaya akan budaya lokal, Aceh memiliki perspektif tersendiri dalam menanggapi isu kesetaraan gender ini. Meskipun di masa lalu (secara agama, adat dan budaya) Aceh mengakui adanya posisi yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga, dalam penerapannya keseteraan gender belum bisa dikatakan telah tercapai secara maksimal. Pergeseran budaya dan pemahaman masyakarat Aceh terhadap gender yang dianggap sebagai

Page 127: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 127

Gender and Family in Modern Acehnese Society

ideologi dari Barat telah menjadi salah satu tembok besar penghalang terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Budaya masyarakat yang menstigma laki-laki sebagai kaum yang lemah jika berkecimpung dalam urusan domestik juga berperan besar terhadap ketimpangan gender di Aceh. Selain itu, hal yang paling berpengaruh adalah tidak adanya pendidikan berbasis gender baik dalam keluarga maupun institusi sosial seperti sekolah dalam masyarakat Aceh, sehingga generasi yang tumbuh terus berkembang dengan pemahaman yang sama seperti pendahulu mereka yang mengakibatkan wacana kesetaraan gender dalam masyarakat modern Aceh menjadi angan-angan belaka.

Kata kunci: Kesetaraan Gender, Keluarga, Modern, Aceh

* * *

A. Pendahuluan

Gender issues has been widely discussed among sociologist for

over decades. The issues has not only taken scholars attention but also

the international organizations, social workers, volunteers, and

stakeholders of the nation. Since it first heard by many people in 1848

in the first women’s right movement in United State, the term of gender

has been understood globally.

Nowdays, many international organizations are working to

achieve the gender equality among society. The concept of gender

mainstreaming was first discussed at the 1985 United Nations Third

World Conference on Women in Nairobi and established as a strategy

in international gender equality policy through the Beijing Platform for

Action adopted at the 1995 Fourth United Nations World Conference

on Women in Beijing. United Nation also have puted gender equality

as one of the priority in achieving Sustainable Development Goals

(SDGs).

Without any doubt the gender movement continues to develop

and enter every country (including Indonesia) and every element of

Page 128: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

128 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

people's lives. The feminist movement was originally a movement of a

group of western women activists, who later gradually became an

academic wave in universities, including Islamic countries, through the

woman studies program. Later on the women's movement has received

permission from the United Nations Women's Organization with the

issuance of CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Againts Women).

In 21st century, gender movement have gained far-ranging legal

rights, such as near-universal women’s suffrage and the

implementation of legislation in many countries to ensure gender equal

inheritance (Dilli et al, 2009: 31-57). In Indonesia, gender equality is one

of the focuses of the government under the Ministry of Women's

Empowerment and Child Protection. The institution has

responsibilities to protect women and children form domestic violence

and other discriminations.

In Aceh province, gender equality in public sector has shown

marked improvements in these respects, it proven by having its female

major of the capital city of Banda aceh in 2014. However, for all the

progress that has been made, the elimination of discrimination against

women has not been achieved completely especially in domestic sector,

family. For instance, there is still violence against women in the family.

According to United Nation there are some problems and

challenges to achieve gender equality including lack of understanding

of people about the gender of equality, limited attention to neglected

groups and issues, and rejection from some groups (usually happen in

rural and strong culture groups) and lack of education about gender

equality.

Page 129: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 129

Gender and Family in Modern Acehnese Society

In order to find out how gender equality implemented in

modern Acehnese family, the following paper will discuss about

cultural aspect and gender equality, women position in modern

Acehnese community, women’s and men’s roles in family, and

education about gender in family. The government and world

organizations has made a huge contributions toward gender equality

and gave the same opportunity to every country to implement their

policy in order to create equal right for both men and women to realize

the SDGs, but this would never be enough unless people work together

and apply the value of gender equality in their life.

B. Women Position in Acehnese Family and Society

History has proved that the Acehnese people are identical with

Islam, and this religion is a major factor in the personal identity of the

Acehnese. Apart from C. Snouck Hurgronje's statement that in legal life

in the 19th century that the people of Aceh referred to adat more than

Islamic law because only a few parts of customary law were influenced

by religious law, which was related to religious belief and inner life,

such as the family, marriage and inheritance (Saiful, 2016: 236).

History has also noted that the spread of Islam in Indonesia

began in Aceh and this has brought a change in Acehnese live. The

application of Islamic Sharia began to exist and develop in the

kingdoms of Aceh, until its peak in the Sultanate of Iskandar Muda

(1607-1636). During Iskandar Muda period, Islamic law was applied in

a whole (kaffah) manner with the Mazhab Shafi'i which included the field

of worship, ahwal al-syakhshiyyah (family law), mu'amalat maaliyah

(civil), jinayah (Islamic criminal), uqubah (punishment), murafa’ah,

Page 130: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

130 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

iqtishadiyah (justice), dusturiyah (legislation), akhlaqiyyah (morality), and

‘alaqah dauliyah (state).

Islam has played an important role in the life of the Acehnese

people, so Islam has become an Acehnese identity that cannot be

separated in all aspects of their life (hukom ngon adat lage zat ngon sifeut).

This is a reflection that for Acehnese people, culture and costum,

including local wisdom and Islamic Sharia law are one, and cannot be

separated because Acehnese culture is basically based on Islamic law

from the Qur’an and Hadith (Nurdin, 2015). Although Aceh was once

known as a center for the spread of Islam in Indonesia, the

implementation of Islamic law in Aceh for last decades does not cover

the whole aspect of live like it was, but it is still the only Indonesia

province practicing sharia law officially.

Gender experience in Islam is defined primarily through the

Qur’an, which is considered to be perfect, eternal, and unchanging so

that its interpretation of the law will never change. One of the missions

brought by Islam to mankind is to elevate the status of women and

make it parallel with men’s status. Prior to the advent of Islam, there

was a tradition in Jahilliyah Arabs to bury alive the daughters (female

infanticide) because they were deemed as a burden or disgrace for the

family (L. John; 2001; 13).

When Islam came, this tradition was abolished, and, further,

women were acknowledged as individuals who have rights, including

property rights and inheritances. This indicates that Islam women has

special place and treated equally as a man. However, the treatment

received by women in modern world does not reflect what the Prophet

Page 131: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 131

Gender and Family in Modern Acehnese Society

taught. Nowadays, level of violence against women in many Muslim

countries have increased (Alfitri, 2014).

In Indonesia for example, a report from the National Women's

Commission in the year 2019 revealed that 431,471 women experienced

domestic violence, either physically or psychologically, perpetrated by

their husbands.

Figure I. Number of Women Victims of Violence form 2008 to 2019 in 2020 Annual Report

Note: Diagram based on data from the National Women's

Commission from year to year.

The diagram above shows that within 12 years, violence against

women increased by 792% (almost 800%), that means violence against

women in Indonesia for 12 years increased almost 8 times. In Aceh

Province, based on data from the PPPA Ministry of Women and Child

Protection Information System (SYMPHONY PPA), in 2015, the

number of domestic violence cases in Aceh Province was 108, this

number increased significantly to 453 in 2016, then it decreased slightly

to 437 in 2017 and 436 cases in 2018 (Yusuf, 2019). Forms of violence

that are often experienced by women are physical, sexual,

psychological and economic violence.

Page 132: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

132 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

With regard to the matter of the relationship between men and

women, the basic principles of the Qur’an depict an egalitarian

standpoint. In several Verses, the Qur’an clearly asserts equal status to

both genders. For example: in the Al Hujurat (13),1 it is written that God

has created males and females of different nationalities and ethnicities,

with the purpose that they acquaint themselves with each other.

Another example is in the An-Nisa (124),2 it is written that men and

women will be rewarded equally by Allah in the Hereafter for whatever

good deeds they conducted, as long as they have faith in Allah.

Then in surah Al-Nahl (97), Allah also mentions ‘’ Whoever does

righteousness, whether male or female, while he is a believer - We will

surely cause him to live a good life, and We will surely give them their

reward [in the Hereafter] according to the best of what they used to

do’’.3 If Allah, as the creator, has treated men and women equally, how

can the created beings do differently?

In the cultural perspective of Acehnese society, women also have

a special place. The position of women in Acehnese society is seen as

higher because they are "masters" or people who are capable,

producing, or owning. Local wisdom in Acehnese people protects and

respects women from birth to grave. Protection for women in Acehnese

society, for example, is expressed by putting "Cupeng" jewelry on baby

girls and toddlers who also function as a cover for nakedness even

though they are not dressed (Nurdin, 2015).

1 See al-Qur’an, al-Hujurat: 13 2 See al-Qur’an, an-Nisa’: 124. 3 See Al-Qur’an, An-Nahl: 97

Page 133: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 133

Gender and Family in Modern Acehnese Society

From a historical standpoint, Acehnese women are involved in

many public fields, including matters of trade, defense and leadership.

In the seventeenth century, Aceh was ruled by four sultans for 60 years.

After a period of Sultanah, the people of Aceh fought against Dutch

colonialism for forty years. The women also played a role as warriors

and operations leaders against the Dutch, which made Acehnese

women fighters such as Cut Nyak Dhien and Cut Meutia remembered

by history.

As time passed the position of women in Aceh began to weaken

along with cultural changes. In 1945, when Aceh became part of

Indonesia, gender norms were significantly influenced by the new

Indonesian state. Strong gender policies were implemented by the

Indonesian Soeharto government. These gender policies, infamously

known as “State Ibuism”, were implemented through programs such

as Dharma Wanita and the Family Welfare Program. These policies

categorised men as primary income-earners and women as child-

rearers and housewives (Jones, 2017).

In her article, Balawyn Jones (2017) explained that State Ibuism

had real consequences in limiting the operation of matrifocal values in

Aceh. By prioritising women’s roles as wives and mothers, these

policies de-emphasised women’s roles as sisters and daughters, also

known as matrilineal kinship structures. State Ibuism also placed

greater importance on the role of the father as head of the household.

As the result, women also less valuable in making decisions.

According to her, Aceh’s gender history is defined by this

paradox of female (dis-)empowerment, with gender relations

becoming increasingly patriarchal over time. The long-term trend

Page 134: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

134 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

appears to be the diminishing of women’s social position through the

shift in family structure away from matrifocal traditions. Although

matrifocal traditions are still practiced in rural areas, there has been a

decline in women’s cultural authority, particularly in urban contexts.

This cultural change has affected the position of women both in the

domestic sector (family) and society.

C. Gender in Family; Re-understanding the Distribution of Housework and Childcare In modern Aceh society the role of women is often portrayed as

a wife who has the responsibilty of serving her husband, looking after

children and caring for the house. For education as well, there are still

many parents in Aceh who think education is only for men, because

they are the leader of the family, while women do not need to be highly

educated because even though highly educated, women end up

dealing only with mattresses, wells and kitchens (kasur, dapur, sumur).

This is how most of Aceh people think.4

There has been discrimination between men and women, both

in the family, community, and country in various aspects. The socio-

cultural construction has led to the sexual division of labor where

women are no longer seen as being equal to men. This phenomenon has

become a part of Acehnese daily lives and has become entrenched in

their culture as well.

As well as caring for children. In Aceh, only women take care of

children while men do not. Although the wife works, for matters of

caring for children is also the wife's obligations. How could this

4 Interview with DA. Lecturer at Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Resident in Aceh

Utara, Aceh. 20 May 2020.

Page 135: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 135

Gender and Family in Modern Acehnese Society

happen? In the culture of modern Acehnese society, taking care of the

house and looking after children is not common thing for men even

though it is only a small matter such as cooking, cleaning up, or doing

laundry.

Culture that seems to teach that the kitchen is the work of

women, making the majority of men rarely do kitchen activities. In

Aceh, if there is a man who does domestic work such as helping his

wife sweep, cook together in the kitchen, look after his children, or do

washing, then he will be bullied by those around him because he is

considered a weak man, afraid of his wife and so on (Kiram: 2020a).

If a boy who helps his mother take care of a house isn't he a filial

son? And if he is a husband, isn't he a husband who loves his wife and

children by being involved in household chores? So why are men

involved in domestic work being stigmatized by the community so

much? Barnett and Baruch (1987) show that the gap between the

amount of time parents and children are home together and awake and

the amount time spent in solo interaction with children is greater for

men than for women.

Shelton (2006:) describe that men are at home and awake when

their children are there an average of 29.4 hours per week compared to

44.45 hours for women; men spend only 5.48 hours per week in solo

interaction with their children compared to 19.56 hours per week far

women, regardless of the wife's employment status. This significantly

larger gap between time available and time spent in solo interaction is

consistent with other researchers' reports that women are more likely

to be responsible for the care of children than men (Gerson, 1993).

Similarly, men are more likely to be childcare "helpers," leaving women

Page 136: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

136 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

responsible for the care of children (Ehrensaft, 1987; Brannen & Moss,

1987).

In recent decades several studies have looked into factors at the

individual and household level that affect the distribution of domestic

work. The available literature has identified three major factors: time

availability, relative resources and gender ideology (Kil et all, 2016).

Becker (1981) explains the division of housework from a rational

economic perspective. He argues that families seek to maximize utility

by distributing tasks as efficiently as possible. Each member must

therefore specialize in what (s)he does best, paid or domestic work. A

recent application of this theoretical framework is the perspective of

time availability in which the distribution of housework depends on

the time available to partners. The partner who spends less time on

other activities such as labor force participation will have more time

available to take up a larger share of the housework.

The second approach emphasizes the importance of relative

resources that partners contribute to the household. Housework is

considered an annoying task whose distribution is achieved as a result

of negotiation. Negotiation takes the form of a power struggle: the

partner who has the best negotiating position - based on material

resources - may limit his or her share of the housework (Brines, 1993).

The last perspective looks into the distribution of domestic work

as the result of gender ideology. From this respect, women with

attitudes conforming to the ‘malebreadwinner/female carer’-ideal will

perform a larger share of the household chores. Gender ideology is

viewed as the result of socialization in the role that is associated with

the gender category to which one belongs. An alternative theory is the

Page 137: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 137

Gender and Family in Modern Acehnese Society

‘gender construction/doing gender’-perspective. From this

perspective, domestic work is a process through which individuals

define their gender identity. West and Zimmerman (1987) view gender

as a set of routines that are embedded in everyday interaction which

must be constantly exercised and confirmed in interaction with others.

Based on Islamic teachings about the role of men and women in

the household, it is not a problem if a husband helps his wife do

housework. It has been narrated in Sahih Bukhari that once Hazrat

Aisha was asked: “What did the Prophet (PBUH) do in his house?” She

replied: ''He is an ordinary human being, he is a person who does his own

laundry, milkes his goats, and serves himself’’. (Narrated by Muhammad

bin Ismail from Abdullah bin Salih, from Mu'awiyah bin Salih, from

Yahya bin Salih sourced from Amrah). From this point, it can be

concluded that in doing homework such as washing and cooking can

be done by anyone in the family.

In Aceh modern society as it is today. The role of women not

only at home but also in public spaces. Now women also work to help

family needs. If most people only think that housework is a woman's

work, there will be a double burden that must be borne by women,

helping their husbands by making a living and taking care of the house.

According to Goldscheider the revolution towards gender equality

runs in two stages (Goldscheider, 2000; Goldscheider, Olah, & Puur,

2010). The first part of the gender revolution in which women enter the

public sphere of education, employment and politics and the second

part of the revolution in which men join the private sphere and take up

their part of the responsibility for housework and childcare.

Page 138: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

138 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

In order to achieve gender equality in family, there must be a

mental revolution and a change in perspective on housework and

childcare in Acehnese society because if we look at the teachings of

Islam it is clearly depicted that men and women have the same position

and they have the same obligations and rights towards God. The

understanding that housework and chilcare are women's responsibilty

needs to be changed.

D. Gender Education in Acehnese Modern Society

In human history the role of the education has brought a big

change to human civilization. Knowledge as a change in an individual's

behaviour comes from experience. With education humans gain

knowledge that is applied in bringing new changes and making their

lives more advanced. Education is important in human life and in this

case also related to gender equality. Gender inequality starts with a lack

of understanding of the basic values of gender equality.

Attitudes towards gender equality are the tendency of

individuals to provide cognitive and affective and conative responses

to the equality of roles and rights between men. Differences in attitudes

towards gender equality vary depending on the influencing factors

including knowledge about gender equality. Education on gender

equality must start early so that it will provide a good understanding

when children grow up. The family as the first agent of socialization in

society has an important role in instilling this understanding. The

application of gender equality values in the family will shape a

behaviour and leads to respectful attitude between men and women.

Page 139: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 139

Gender and Family in Modern Acehnese Society

Picture I. Relation between Family, Education, and Gender Equality. (Kiram, 2020b)

Discussing education in gender equality is not only about

women's access to education, but also about understanding the

importance of gender equality itself. However, education about gender

equality is still very low in Acehnese family, society, and even in school

institutions (universities as exception). Most Acehnese consider gender

issues as a product of western countries and cannot be applied in their

lives that causes gender issues as sensitive issues to be discussed.5

Gender education should be given to children in their early ages

by telling history of gender equality in Acehnese society, teaching

Islamic religious values, and guiding children to practice it in the

family. Cooking skills and helping take care of domestic matters also

need to be trained early on boys and girls. So they do not consider that

housework is only women's work, instead they would understand that

it is a shared task in the family.

In the preschool period, family context and family experiences

are important for gender stereotype development (McHale et al. 2003;

5 Interview with SN. Resident of Aceh Utara and Teacher at Senior High School. 12 May 2020.

Family

Gender Education

Gender Equality

Page 140: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

140 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Witt 1997). Several, mostly U.S., studies have investigated child gender

stereotypes in a family context, and demonstrated that parental gender

stereotypes and the presence of siblings play an important role in the

development of explicit gender stereotypes (McHale et al. 1999).

Children acquire gender stereotypes at an early age. U.S study

with 10- month-old children found that at this age they can already

detect gender-related categories (Levy and Haaf 1994). In the second

year of life preferences for gender stereotypical toys appear, as found

in a Canadian study with 12-, 18-, and 24-month-old children (Serbin et

al. 2001). According to another Canadian study explicit knowledge

about gender roles emerges between the ages of 2 and 3 years (Poulin-

Dubois et al. 2002).

This indicate that children learn about gender equality from

their family for the first time. Gender equality begins at home, and

families are at the front lines of change. For the next generation, the

examples set at home by parents, care-givers and extended family are

shaping the way they think about gender and equality. From breaking

down gender stereotypes to sharing the care work, and educating

children about women’s and men’s rights and gender equality.

Family can apply the values of gender equality by sharing the

care work. All this time from cooking and cleaning, to fetching water

and firewood or taking care of children and the elderly, women carry

out at least two and a half times more unpaid household and care work

than men. As a result, thousands of women and girls miss out on equal

opportunities of going to school, or joining full-time paid work, or

having enough time to rest.

Page 141: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 141

Gender and Family in Modern Acehnese Society

By involving boys in care work and household chores from an

early age, along with girls would create the same responsibilities

among the family member. At the same time it would increase the

awareness to help each other because there are no specific rules or

dividing jobs, and at the end it would be an understanding that house

work is not only for the girls but also for boys, because they share the

same jobs and responsibilities.

Family also should be the place to fight stereotypes, gender is

not about biological differences between the sexes, rather, it’s a social

construct—people define what it means to be a boy or a girl, and these

social conditionings often expect children to conform to specific and

limiting gender roles and expectations from a young age. Children start

absorbing stereotypes by age 3, causing the world to expand for boys

and shrink for girls by age 10 (Luscombe, 2017).

Another important thing is the family should teach respect for

differences. The idea that there are “standard” bodies (and

consequently others that are left out, such as obese or disabled bodies)

encourages discriminatory attitudes and is often rooted in childhood.

It is important that the children like their own bodies, respect their

friends’ bodies and understand that there is no “right” or “perfect”

body. By understanding the value of gender equality (the same right

for both men and women) and accepting the differences the children

would come out and bring the gender equality in the family and society

in general.

E. Conclusion

The gender equality program that has been promoted by the

United Nation and local government has not been fully implemented

Page 142: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

142 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

in the modern family of the Acehnese people. Although, in the past

gender equality in Acehnese society showed good data, both in the

domestic and public spheres, the development of the equality between

women and men in the modern family has declined.

After a program from the Indonesian government (state Ibuism)

began in 1945, cultural change in Acehnese society made gender

equality fade away and gender relations becoming increasingly

patriarchal over time. Nowdays, in Acehnese society women are still

considered as wives who have to serve their husbands and do all the

household obligations.

This understanding is also a barrier for women in Aceh to get a

good education like most men because the community thinks that

women will end up on mattresses, wells and kitchens so they do not

need good education. As the result of this patriarchal system, many

Acehnese women has faced domestic violence from their husbands,

and has caused them less valuable in making decisions in family. As

well as caring for children. In Aceh, only women take care of children

while men do not. Although the wife works, for matters of caring for

children is also the wife's obligations. The lack of men’s participation in

distribution of housework and childcare has contributed to gender in

equality in Acehnese modern socity.

Another crucial issue is there is no gender education in

the Acehnese family. Gender is considered as something that comes

from the West and is not compatible with the culture in Acehnese

society which causes gender issues to be taboo and sensitive to be

discussed. Most children in Acehnese society do not get gender

education in their families until they study at university (most are

Page 143: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 143

Gender and Family in Modern Acehnese Society

compulsory subjects of the university). This phenomenon has resulted

in young people having a narrow perspective on gender equality. To

achieve gender equality in Acehnese society, mental change and

understanding of gender issues are needed. In addition, the people of

Aceh also need to re-understand and re-apply Islamic values as they

have been applied in the past, so that equality between women and

men in the family can be achieved.

***

Page 144: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

144 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Daftar Pustaka

Abdullah, S. (2013). Potensi Dan Kekuatan Modal Sosial Dalam Suatu Komunitas. Socius, XII, 15–21.

Ahdiah, I. (2011). Organisasi Perempuan Sebagai Modal Sosial (Studi Kasus Organisasi Nasyiatul Aisyiyah Di Sulawesi Tengah). Jurnal Academica, 3(1), 523–534.

Ambarita, E. C., & Sitorus, H. (2015). Modal Sosial Komunitas Petani Kemenyan Dalam Pelestarian Hutan Kemenyan di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan. Perspektif Sosiologi, 3(1), 42–57.

BPS. (2015). Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kabupaten Purbalingga, 2011-2015. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id

BPS. (2018). Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Purbalingga, 2010, 2015, and 2016. Retrieved April 7, 2019, from Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga website: https://purbalinggakab.bps.go.id

Bungin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dinkominfo. (2015). Produk Industri Knalpot Purbalingga Capai 595.371 Unit Per Tahun. Dinas Komunikasi dan Informatika. Retrieved April 7, 2019, from Dinkominfo.purbalinggakab.go.id website: https://dinkominfo.purbalinggakab.go.id

Dinkominfo. (2017). Kemenperin Perkuat Industri Unggulan Daerah di Purbalingga dan Surakarta – Kabupaten Purbalingga. Retrieved April 7, 2019, from Purbalinggakab.go.id website: https://www.purbalinggakab.go.id

Fatimah, M., & Afifuddin, M. (2013). Modal Sosial Pedagang Dalam Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional. JKAP, 17(2), 4–19.

Field, J. (2010). Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fitriawati, E. (2010). Modal Sosial Dalam Strategi Industri Kecil.

Page 145: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

Muhammad Zawil Kiram | 145

Gender and Family in Modern Acehnese Society

Dimensia, 4(1), 23–40.

Gusman, I. (2019). Pemanfaatan Modal Sosial Petani Ikan Pasca Tubo Balerang dalam Mendapatkan Pekerjaan Baru. Jurnal Sosiologi Andalas, 5(1), 21–34.

Hakim, F. N., & Wibisono, G. (2017). Modal Sosial Petani Tembakau untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 16(4), 369–380.

Handoyo, E. (2013). Kontribusi Modal Sosial dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang Kaki Lima Pascarelokasi. Jurnal Komunitas, 5(2), 252–266.

Hasbullah, J. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press.

Ibrahim. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Jatengprov. (2017). Kenalkan Produk Knalpot Purbalingga Kepada Presiden Jokowi. Retrieved April 7, 2019, from Jatengprov.go.id website: https://jatengprov.go.id

Khair, H. (2019). Modal Sosial Dalam Industri Rumah Tangga Kerupuk Sagu Di Desa Pintu Gobang Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi. JOM FISIP, 6, 1–14.

Kompas. (2011). Knalpot Purbalingga Terkendala Logam. Retrieved April 7, 2019, from Kompas.com website: https://ekonomi.kompas.com

Muzaki, K. (2019). Sejarah Knalpot Purbalingga. Retrieved August 21, 2019, from TribunJateng.com website: https://jateng.tribunnews.com

Nurcahyono, O. H., & Astutik, D. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masyarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat : Jurnal Sosiologi, 2(1), 1–12.

Purwanto, A. (2013). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18(2), 233–261.

Riyanto, S., Hidayat, K., & Sukesi, K. (2014). Modal Sosial Dalam Komunitas Pedagang Sayuran Didesa Tawang Argo Kecamatan

Page 146: EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELOMPOK TERNAK ...

146 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 14, Nomor 1, Juni 2020

Karang Ploso Kab. Malang. Habitat, XXV(2), 96–104.

Saleh, I. A. (1986). Industri Kecil. Jakarta: LP3ES.

Saleh, K. (2017). Modal Sosial Perempuan Pelaku Industri Rumahan Empling Melinjo (Kasus Perempuan Perdesaan Provinsi Banten). Jurnal Agribisnis Terpadu, 10(2), 160–174.

Samuel, J. P., & Badaruddin. (2015). Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Perspektif Sosiologi, 3(1), 58–74.

Sawitri, D., & F. Soepriyadi, I. (2014). Modal Sosial Petani dan Perkembangan Industri di Desa Sentra Pertanian Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(1), 17–36.

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumintarsih. (2012). Modal Sosial Petani Lereng Gunung Merbabu sebagai Kekuatan Dalam Mengelola Usaha Pertanian. Patrawidya, 13(4), 583–614.

Susanto, R. (2017). Kemenperin Gelontorkan Rp 46 miliar untuk Industri Knalpot Purbalingga. Retrieved August 24, 2019, from Gatra.com website: https://www.gatra.com

Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.