Etika Bisnis Komunitas Pengusaha Tionghoa · 2011-12-13 · Religia Vol. 14, No. 1, April 2011 2...
Transcript of Etika Bisnis Komunitas Pengusaha Tionghoa · 2011-12-13 · Religia Vol. 14, No. 1, April 2011 2...
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
1
ETIKA BISNIS KOMUNITAS TIONGHOA MUSLIM YOGYAKARTA
(Kajian atas Etos Kerja Konfusianisme dalam Perspektif Islam)
Muhammad Shulthoni Yusuf
Abstract: The success of Chinese Muslim entrepreneurs in business is a well-known fact. On one side, there are explicit or implicit regulations in Jogjakarta (Java), discouraging the ethnic Chinese from working in non-commercial sectors. Their only opportunity to make a living is business. But, on the other side, their success warrants notice that even though the businessmen run their business with scientifical management, actually they have dependence on their culture, ethics, and religious beliefs. This is because business is a mobile activity. Business without reliable ethics can not succeed reliably. If business is a kind of human activity, business ethics can be perceived as a reflection of the actors in their behaviors.
Through descriptive and interpretative approaches, this study reached the following conclusions: firstly, the Chinese Muslim entrepreneurs of Jogjakarta are dependent on the constructs of business ethics which contain work ethos, hard work, thrift, honesty, and trust. Those characteristics are then implemented in their business activities. Therefore, they have awareness in implementing business ethics in order to engage in business as long as their life. They do their business with high self-discipline, self-confidence, diligence, industriousness, and hard work from the younger years in order to have high consciousness to run their business in their maturity.
Secondly, it can be said that Islamic teachings, for Chinese Muslim entrepreneurs of Jogjakarta, have a significant role in constructing their business ethics. These indications can be seen in their business activities and their perceptions. Its teachings are perceived as a source of motivation in economic behaviors. Even though their business ethics cannot be said to derive from religious teachings only, but rather that such ethics progress along with the socio-cultural, socio-economic and socio-political developments of the community.
Keberhasilan pengusaha muslim Cina dalam dunia bisnis merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Di satu sisi, terdapat peraturan eksplisit ataupun implisit di Yogyakarta (Jawa) yang mengecilkan semangat mereka untuk bekerja di bidang non-komersial. Satu-satunya peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah bisnis. Di sisi yang lain, keberhasilan mereka ini semakin menyatakan bahwa meskipun mereka menjalankan bisnisnya dengan ilmu manajemen, kenyataannya mereka memiliki ketergantungan pada budaya, etika dan kepercayaan agama mereka. Ini karena bisnis merupakan aktivitas yang mobile. Bisnis tanpa etika yang reliable tidak bisa mengantarkan pada kesuksesan. Jika bisnis merupakan sebuah aktivitas manusia, etika bisnis bisa dianggap sebagai sebuah refleksi aktor-aktornya dalam peri laku mereka.
Melalui pendekatan deskriptif dan interpretatif, studi ini sampai pada kesimpulan berikut: pertama, pengusaha muslim Cina Yogyakarta tergantung pada konstruk etika bisnis yang mengandung etos kerja, kerja keras, sikap hemat, kejujuran dan kepercayaan. Karakteristik ini kemudian diimplementasikan dalam kegiatan bisnis mereka. Karena itu, mereka memiliki kesadaran dalam mengimplementasikan etika bisnis untuk masuk dalam dunia bisnis sepanjang hidup mereka. Mereka melakukan bisnis mereka dengan disiplin diri, percaya diri, rajin, tekun, dan kerja keras yang
Prodi Ekonomi Syari’ah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan. Email:
[email protected], hp: 085865126118
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
2
tinggi sejak usia muda supaya memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjalankan bisnis mereka menurut kedewasaan mereka.
Kedua, bisa dikatakan bahwa ajaran Islam, bagi pengusaha muslim Cina Yogyakarta, memiliki peran yang signifikan dalam membentuk etika bisnis mereka. Indikasinya bisa dilihat dalam kegiatan dan persepsi bisnis mereka. Ajaran-ajaran ini dirasakan sebagai sebuah sumber motivasi dalam peri laku ekonomi, meskipun etika bisnis mereka tidak bisa dikatakan bersumber dari ajaran agama saja, namun lebih sebagai etika yang berkembang mengikuti perkembangan sosio-kultural, sosio-ekonomi, dan sosio politik masyarakat. Kata kunci:, Kong Fu Tzu, PITI, daerah pecinan
PENDAHULUAN
Komunitas Tionghoa Indonesia telah banyak dibicarakan dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan; mulai dari ilmu ekonomi, antropologi, politik, hingga sosiologi. Namun, sisi
penting dari kehidupan ekonomi terutama komunitas pedagang kecil Tionghoa (Hokcia)
masih sangat sedikit didiskusikan secara mendalam. Bahkan hal itu cenderung diabaikan
(Yang, 2005: XXI). Padahal perbincangan yang rinci semacam itu, tentu sangat diharapkan
dapat memberitahukan sesuatu yang selama ini tak-teramati dan tak-terungkap terkait dengan
dinamika kehidupan Tionghoa di Indonesia.
Kajian ini hanya mengkaji pengusaha Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta.
Komunitas ini terbentuk semenjak tahun 1980-an seiring dengan berdirinya Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) di kota ini. Komunitas ini terbentuk karena kesamaan rasa
keterasingan, sehingga mendorong mereka untuk berhimpun dalam sebuah komunitas yang
memungkinkan mereka saling menguatkan. Karena menjadi Muslim membuat mereka
terancam, dikucilkan oleh keluarga, komunitas sosial, dan jaringan bisnis yang telah lama
terbentuk (www.swaramuslim.net, 13 Juni 2006). Pada tahun 1983, di kota ini hanya ada tiga
atau empat keturunan Tionghoa yang memeluk Islam, namun kini jumlah mereka mencapai
200 orang (Republika, 25 Pebruari 2005).
Kelompok ini menarik untuk diteliti karena sepintas terlihat bahwa masyarakat
Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta menerapkan etika bisnis yang dilandasi oleh nilai-nilai
agama dan budaya. Ini dapat dilihat dari bidang usaha, Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah dan
Bait al-Mal Wa Tamwil (lembaga keuangan non-bank), yang dikelola oleh salah satu anggota
komunitas Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta. Motivasi lain untuk mengadakan penelitian
tentang komunitas Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta adalah pernyataan salah seorang
peranakan Tionghoa, bapak Haji BSA, yang mengatakan bahwa etos kerja (etika bisnis) etnis
Tionghoa sejatinya selaras dengan etika Islam (Republika, 25 Pebruari 2005). Pernyataan ini
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
3
memberi kesan bahwa mereka merasa mendapat legitimasi dari Islam setelah mereka
memahami ajaran-ajaran tersebut.
Dengan demikian, dalam kajian ini, komunias Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta
sebagai subjek studi dan menjadi sumber data untuk menggambarkan pola hubungan antara
pengaruh ajaran agama dan budaya di bidang ekonomi, yang akhirnya bertujuan untuk
mencari bentuk etika bisnis komunitas Tionghoa Muslim di daerah Kota Yogyakarta. Adapun
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok bahasan dalam kajian ini adalah: 1). Bagaimana
konstruk etika bisnis yang diterapkan oleh pengusha Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta
sehingga mereka dapat meraih kesuksesan dalam bisnis? 2). Bagaimana ajaran Islam dan
budaya Tionghoa yang bermuara pada ajaran Konfusianisme mempengaruhi etika bisnis
pengusaha Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta?
PEMBAHASAN
A. Komunitas Tionghoa Muslim Kota Yoyakarta
Menurut Peter Carey, semenjak tahun 1683 orang-orang Tionghoa mulai diperkenankan
untuk bermukim di wilayah-wilayah kekuasaan Mataram (Carey, 1985: 50). Mereka
membuktikan diri sebagai orang-orang yang cerdik, rajin, ulet, dan pencari kekayaan yang
gesit. Dengan izin tinggal ini, orang-orang Tionghoa semakin bertambah banyak terutama
setelah perjanjian Giyanti (1755) dan pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Bupati Yogyakarta
(Carey, 1985: 51). Namun demikian, kelompok Tionghoa ini tidak hanya bertempat tinggal di
Pecinan sepanjang jalan yang memanjang dari Alun-alun Utara ke arah Utara sampai Tugu
Jogja, tetapi juga mendiami kampung-kampung yang berada di belakang jalan tersbut, yaitu
kampung Pejaksen, Gandekan, Beskalan, dan di bagian timur jalan yaitu kampung Ketandan.
Hal ini karena mayoritas dari kelompok Tionghoa ini menggeluti perdagangan sehingga
mereka lebih menyukai tinggal di tepi jalan besar dan di daerah yang dekat dengan pasar
(Sukirman, 1986: 9).
Menurut statistik penduduk tahun 1815 jumlah total penduduk Jawa sebesar 4.615.270
jiwa, dan dari jumlah tersebut terdapat 94.441 orang (2,04 %) dari golongan Tionghoa.
Sementara beberapa tahun sebelumnya (tahun 1808), di kota Yogyakarta yang memiliki
jumlah penduduk dewasa sebesar 205.147 jiwa, terdapat 758 orang dewasa (0,36) dari
golongan Tionghoa (Carey, 1985: 43). Jumlah ini semakin meningkat seiring dengan
dibukanya perkebunan dan pertambangan di Indonesia, yang membutuhkan tenaga kerja,
sehingga Belanda mendatangkan buruh yang banyak dan murah dari Tiongkok. Sehingga
pada masa sekarang menurut sensus penduduk tahun 2000, jumlah golongan Tionghoa, baik
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
4
laki-laki maupun perempuan, di kota Yogyakarta terdapat 6.255 orang dari jumlah total
396.372 penduduk Yogyakarta (Kota Yogyakarta dalam Angka, 2000).
Komunitas Tionghoa yang menempati Kota Yogyakarta adalah orang-orang Tionghoa
yang berasal dari berbagai macam suku. Namun, kebanyakan yang menetap di Kota
Yogyakarta adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Hokkian yang memiliki sifat yang
kuat dalam hal berdagang. Sehingga orang-orang Hokkian lebih banyak berkecimpung dalam
perdagangan (Skiner, 1979: 7). Di kota ini, orang Tionghoa jarang disaksikan hidup
berkelompok, baik di jalan-jalan, mal, pasar, restoran, atau di toko-toko. Demikian juga yang
terjadi di kawasan Malioboro yang telah dianggap sebagai “daerah pecinan”, meskipun
hampir separoh lebih dari pertokoan yang berada di kawasan Malioboro dimiliki oleh orang-
orang Tionghoa.
Setelah ditetapkannya PP 10 tahun 1959,1 orang-orang Tionghoa yang tinggal di desa-
desa sekitar Yogyakarta berpindah ke wilayah kota yang kemudian menetap di daerah
tersebut hingga sekarang. Mereka yang berpindah umumnya dari kelompok Tionghoa totok.
Akibat peraturan pemerintah ini, banyak di antara mereka yang menikahi perempuan beretnis
Jawa. Dengan demikian, kelompok Tionghoa peranakan merupakan golongan yang dominan
dalam komunitas Tionghoa di kawasan Pecinan itu.
Saat ini, tidak sedikit pula dari kelompok Tionghoa peranakan, baik yang Muslim
maupun yang non-muslim, yang menetap di rumah-rumah sederhana tersebar di kampung-
kampung dalam wilayah Kota Yogyakarta. Mereka hidup berdampingan dengan orang Jawa,
dan menjalin hubungan bertetangga dengan baik. Komunitas ini menggunakan bahasa Jawa,
yaitu bahasa yang sama dengan masyarakat yang ada di sekitar mereka. Bahkan, mereka tidak
dapat membaca atau menulis huruf-huruf Cina, dan bahasa Tionghoa dalam percakapan di
rumah mereka telah lenyap dan digantikan dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia (Greif,
1994: 23). Oleh sebab itu, bukan hal yang mengherankan jika orang Tionghoa dipilih menjadi
ketua RT (Rukun Tetangga), ketua RW (Rukun Warga), atau bahkan ketua Ikatan REMAS
(Remaja Masjid) wilayah kota Yogyakarta (Susanto dalam Wibowo, 2001: 64).
Komunitas Tionghoa yang menetap di Kota Yogyakarta dapat dikatakan bahwa mereka
berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah, sebagaimana orang pribumi. Jenis
pekerjaan mereka pun beragam dari pedagang di pasar, pedagang kecil, buruh pabrik, pegawai
kantor, hingga juru masak. Sementara orang Tionghoa yang berasal dari golongan menengah
1 PP 10/1959 adalah Peraturan Pemerintah yang melarang orang asing untuk melakukan usaha perdagangan di wilayah pedesaan. Dalam prakteknya Peraturan ini “mengusir” semua orang Tionghoa dari desa, baik yang warga negara asing (Cina totok) maupun yang sudah menjadi warga Negara Indonesia (Tionghoa peranakan).
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
5
ke atas, umumnya membuka toko atau usaha-usaha beromset besar yang mengambil tempat di
tepi jalan besar (Wibowo, 2001: XV). Di antara mereka ada yang menjadi pedagang grosir,
dan sebagian yang lain menjalankan industri sedang. Hanya segelintir orang Tionghoa
Yogyakarta yang dapat disebut sebagai pengusaha besar “Taipan”. Selain menjadi pengusaha,
ada juga golongan Tionghoa yang menjadi kaum profesional, dari menjadi dokter, manajer
perusahaan, ahli kecantikan, dosen, hingga menjadi guru. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa orang Tionghoa Yogkarta memiliki gaya hidup yang sederhana (Wibowo 2001: 65).
Hal ini dapat dinilai dari rumah, kendaraan, busana yang dipakai, properti yang dimiliki, serta
bagaimana mereka mengisi waktu luang untuk mencari hiburan. Dengan perkataan lain,
mereka umumnya hidup dengan tidak menampilkan kemewahan atau memamerkan kekayaan.
Pada prinsipnya orang Tionghoa Yogyakarta dapat bermukim di mana saja dalam
wilayah Kota Yogyakarta, namun demikian berdasarkan surat dari Sekretariat Negara,
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 2 Pebruarti 1978, penduduk
wilayah Jeron Benteng kecamatan Kraton terdiri dari penduduk bangsa Indonesia asli dan
bukan warga keturunan asing. Dengan surat edaran tersebut, maka orang Tionghoa tidak
diperkenankan tinggal di dalam Jeron Benteng Kraton yang wilayahnya meliputi Alun-alun
Lor, Tratag Pagelaran, Sitihinggil, Kemandungan, Kedaton, Magangan, Kemandungan Kidul,
dan Sitihinggil Kidul (Widiastuti, 2003: 38).
Agama yang dianut komunitas Tionghoa Kota Yogyakarta sangat beragam sesuai
dengan keberagaman agama resmi yang diperbolehkan pemerintah Indonesia untuk dianut
oleh warganya. Hal ini akibat dari peran pemerintah kolonial Belanda yang mengkategorikan
masyarakat Indonesia terbagi ke dalam beberapa kelompok suku dan agama.2 Sehingga,
perlakuan mereka kepada penduduknya juga didasarkan atas kategori agama dan suku.
Terkait dengan kehidupan keberagaman komunitas Tionghoa Muslim di Yogyakarta, tidak
dapat diabaikan untuk melihat organisasi dakwah PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia)
yang dibentuk oleh mereka. Organisasi ini dibentuk untuk menjembatani “tali silahturahmi”
di antara warga Tionghoa yang telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, PITI adalah
organisasi dakwah yang menjadi wadah bagi komunitas Tionghoa yang beragama Islam.
Sebagai organisasi dakwah, PITI berusaha membantu orang-orang Tionghoa yang hendak
masuk agama Islam, mempelajari Islam, dan mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.
B. Konstruk Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta
2 Secara sosiologis struktur masyarakat pada masa kolonial Belanda sedikitnya terbagi dalam tiga golongan: golongan atas yakni bangsa Eropa, golongan menengah yaitu bangsaTimur Asia (kebanyakan orang Tionghoa), dan golongan bawah adalah pribumi yang kebanyakan Muslim.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
6
Ungkapan Lynn Pan dalam mengomentari orang-orang Tionghoa yang berada di Asia
Tenggara, ”…to their way of thinking, to be Chinese is to be business minded, and it is a
combination of genetics and up-bringing that makes them the dedicated enterpreneurs they
are” (Pan, 1990: 244), patut untuk dicermati. Karena dari ungkapan ini, orang-orang
Tionghoa meresapi semangat dan nilai-nilai dagang sepanjang hidup mereka. Bisnis telah
menjadi citra diri mereka. Dengan perkataan lain, bisnis tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan orang-orang Tionghoa terutama yang hidup di wilayah pulau Jawa. Hal ini juga
didukung oleh kebijakan politik pemerintah Indonesia, di pulau Jawa, yang tidak
memperbolehkan masyarakat Tinghoa untuk hidup di bidang selain perdagangan; dan
sementara mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal di wilayah pedesaan, melainkan harus
tinggal di daerah perkotaan (Wibowo, 1999: 51).
Mereka menganggap bisnis sebagai sumber penghidupan keluarga. Oleh sebab itu,
dalam menjalankan perdagangan, mereka berusaha menerapkan etika dagang dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua mereka seperti disiplin, tepat
janji, jujur, dapat dipercaya, dan pengenalan lapangan untuk mengetahui daya beli
masyarakat, sangat membantu keberhasilan komunitas Tionghoa Muslim dalam berbisnis
(Joesoef, 1996: 22). Singkatnya, tampak bahwa bisnis memberikan kebanggan tersendiri bagi
mereka. Sehingga hampir semua usaha mereka diarahkan terutama untuk berdagang dan
mempertahankan hidup di Kota Yogyakarta.
Dalam kehidupan kebanyakan masyarakat, tuntutan kebutuhan materi seringkali datang
secara mendesak dan lebih penting ketimbang ajaran-ajaran agama. Cara orang Tionghoa
menimbang berbagai hal dalam kerangka yang lebih praktis-ekonomis mendukung pernyataan
ini. Namun, hal ini tidak berarti bahwa pengusaha Tionghoa Muslim materialistis. Karena ciri
negatif (kikir, menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, materialistis) yang dikenal
pada suku ini, umumnya, ditolak oleh ajaran agama. Demikian juga, tidak dapat dikatakan
bahwa mereka bukan orang Islam yang taat terhadap ajarannya. Bahkan, prioritas mereka
terhadap tuntutan kebutuhan kehidupan nyata bisa dikatakan sebagai kesalehan sosial
(meminjam istilah yang sering digunakan oleh Mohamad Sobary dalam Kesalehan dan
Tingkah Laku Ekonomi).
Sebagaimana pernyataan Haji AR bahwa do’a sehabis sembahyang Jum’at tidak perlu
panjang-panjang (Wawancara, 10 Januari 2006), hal ini menegaskan kesalehan sosial karena
pernyataan ini bisa merangsang rasionalitas, di satu sisi, dan menghindari sikap fatalistik, di
sisi lain. Orang tidak cukup hanya berdo’a, tetapi tidak melakukan aktivitas yang dapat
menghasilkan uang. Karena shalat Jum’at dilaksanakan pada masa produktif manusia,
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
7
sehingga tidak perlu berlama-lama untuk duduk di Masjid dengan melalaikan tugas utama
manusia sebagai pencari rezeki di siang hari (QS. 78: 11).
Sebagai orang Islam, pengusaha Tionghoa Yogyakarta juga yakin bahwa unur-unsur
paling fundamental dari keyakinan Islam yang mengatur sikap dan perilaku umat adalah
rukun Iman3 dan rukun Islam.4 Kedua rukun itu harus dilaksanakan setiap hari dalam perilaku
umat Islam. Pak HR, salah seorang informan penulis, mengatakan bahwa berperilaku
sebagaimana ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw adalah cara terbaik untuk
menyebarkan ajaran Islam kepada orang yang belum atau bukan Islam. Doktrin-doktrin Islam
tidak hanya dibicarakan, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata baik dalam
berbisnis maupun dalam berinteraksi sosial (Wawancara, 14 Pebruari 2006). Lebih jauh, Haji
AR menguatkan argumen Pak HR, dengan mengatakan: “…menjadi orang Islam hendaknya diwujudkan dalam perbuatan, tidak hanya tersimpan dalam kepala
saja.” Lebih lanjut, “Setiap orang Islam harus dapat menampilkan wajah Islam yang sebenarnya kepada
orang yang bukan Islam. Sehingga, tidak ada lagi orang-orang Islam yang membakar toko-toko yang
dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, melakukan korupsi, dan menjelek-jelekan umat yang menganut
agama selain Islam” (Wawancara, 16 Pebruari 2006).
Untuk menjalankan perilaku yang baik ini, seorang Muslim harus menjadikan kitab al-
Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw sebagai pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari.
Sikap dan perilaku Nabi Muhammad saw dipandang sebagai teladan bagi semua Muslim di
seluruh penjuru dunia. Apabila seseorang selalu mendasarkan sikap dan tingkah lakunya
hanya kepada jalan yang ditunjukkan Allah, maka dia disebut sebagai manusia sempurna,
yang dicita-citakan setiap Muslim. Keyakinan tersebut menuntut mereka untuk berbuat jujur
dalam semua aktivitas perdagangan, menghindarkan mereka untuk berbuat diskriminatif
terhadap pekerja, pembeli atau siapa pun juga atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin,
ataupun agama, serta menghindarkan mereka untuk menimbun kekayaan. Karena menurut
Ajaran Islam, sebagaimana dikatakan Haji BSA, semua manusia itu sama (www.bernas.co.id,
12 November 2005). Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaannya
kepada Allah (QS. 49: 13). Takwa bukanlah hal yang sudah ada dalam diri manusia tetapi
harus diniatkan dan diusahakan, karena itu merupakan perjuangan.
3 Rukun Iman yaitu: (1) Percaya kepada Allah swt; (2) Percaya kepada para malaikat-malaikat-Nya; (3)
Percaya kepada kitab-kitab-Nya; (4) Percaya kepada para utusan-Nya; (5) Percaya kepada Qadlo dan Qodar; (6) Percaya kepada hari Kiamat.
4 Rukun Islam yaitu : (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; (2) Mengerjakan shalat; (3) Mengerjakan puasa di bulan Ramadhan; (4) Membayar zakat; (5) Melaksanakan Ibadah haji bagi orang yang mampu.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
8
Dengan demikian maka perjuangan, kerja keras, dianggap sebagai unsur yang penting
dalam ajaran Islam. Sebagaimana diungkapkan Haji AR yang mengutip ayat al-Qur’an yang
mengatakan bahwa “Kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
(QS. 61: 11). Haji AR memahami makna jihad yang termuat dalam ayat ini adalah perjuangan
yang berarti juga bekerja keras, sehingga manusia dapat berjalan di jalan Allah, sesuai dengan
tuntunan-Nya, baik dengan harta maupun nyawa. Dalam konteks ini, dia mencontohkan
bahwa dalam melayani konsumen kapan pun mereka membutuhkan pelayanan, hendaknya
pelaku bisnis tidak bermalas-malasan dalam melayaninya, meskipun hal itu terjadi pada jam
12.00 malam (Wawancara, 23 Pebruari 2006).
Berkaitan dengan nilai-nilai yang mendasari bisnis pengusaha Tionghoa Muslim, Haji
AR mengatakan bahwa usaha yang dijalankan pengusaha Tionghoa Muslim adalah
berdasarkan pada tradisi Tionghoa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dia berkata
bahwa tradisi Tionghoa (ajaran Konfusianisme) sangat menekankan moralitas, yang tentunya
sejalan dengan ajaran Islam (Wawancara, 23 Pebruari 2006). Menurut HR, Konfusianisme
merupakan paham filsafat yang tidak masuk dalam kategori agama. Oleh karena
Konfusianisme tidak memiliki Kitab suci dan Nabi, sebagaimana Islam (Wawancara, 14
Pebruari 2006). Kong Fu Tzu adalah hanya seorang guru yang mendalami filsafat yang
mengajarkannya kepada murid-muridnya, sehingga tidak menjadi masalah bagi golongan
Tionghoa Muslim untuk menjalankan ajaran Konfusianisme yang tidak melanggar norma-
norma agama Islam (Ming, 2005: 21).
Terlepas dari perdebatan mengenai ajaran Konfusianisme yang dikategorikan sebagai
salah satu agama ataupun hanya merupakan ajaran filsafat, di sini terlihat bahwa pengaruh
ajaran Konfusianisme sangat mewarnai kehidupan keseharian mereka. Haji BA, salah satu
informan saya, mengatakan bahwa, “Orang-orang Tionghoa di Yogyakarta, secara tidak
sadar, kebanyakan masih mengamalkan tradisi Tionghoa yang bersumber dari ajaran nenek
moyang bangsa Tiongkok (Konghucu)” (Wawancara, 27 Pebruari 2006). Ini merupakan bukti
nyata bahwa orang Tionghoa di mana pun berada tidak meninggalkan peradaban Tiongkok.
Dengan kesamaan peradaban orang Tionghoa yang berada di luar Republik Rakyat Tiongkok
(termasuk di Kota Yogyakarta) akan mempererat tali persaudaraan di antara mereka
(Widyahartono, 1991: 4). Ciri ini tidak akan berubah karena berdasar kepada pengalaman
yang dimiliki oleh tiap-tiap individu di antara mereka. Haji AR, misalnya, meskipun sejak
lahir telah berada di Kota Yogyakarta dan telah menjadi warga negara Indonesia, menganggap
bahwa kepercayaan tradisional—selama tidak menyalahi ajaran Islam—dan nilai yang
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
9
menyatukan dia dan orang-orang Tionghoa lainnya masih penting dan tetap berlaku. Dari sini
tampak bahwa nilai-nilai peradaban yang dapat dikenali adalah Konfusianisme yang
mempunyai kesan nyaman dan sederhana (Creel, 1990: 41).
Ajaran Konfusianisme yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan sistem
kekeluargaan masih dipegang teguh orang-orang Tionghoa Muslim Yogyakarta dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa mereka termasuk orang yang
saleh, konsisten, dan erat persaudaraannya. Hal ini merupakan bukti konkret bahwa ajaran
Konfusianisme tidak mengekang dan kaku, namun fleksibel terhadap serangkaian tatanan
nilai yang kompleks dan berubah dengan cepat.
Berkenaan dengan etos kerja, keseriusan bekerja adalah salah satu watak orang
Tionghoa perantauan. Namun, pemenuhan etos kerja ini bukan tanpa syarat. Adakalanya
orang Tionghoa beranggapan tidak perlu bekerja keras. Kerja keras ini, menurut David C.L.
Ch’ng, didorong oleh anggapan bahwa kerja keras merupakan tanggung jawab dalam rangka
mengejawantahkan konsep hsio5(Weber, 1951: 228) dalam kehidupan sehari-hari (Ch’ng,
1995: 52). Di mana mereka hidup dalam masyarakat yang kelangsungan hidup individunya
sangat tergantung kepada sumber keuangan keluarga, yang setiap individu tergantung pada
dukungan keluarga, maka orang yang tidak bekerja keras akan mengalami tekanan sosial.
Dengan kuatnya pengaruh sosial, satu-satunya jalan untuk keluar dari tekanan tersebut adalah
membuat masa depannya terjamin, yang tidak lain hanya dengan kerja keras.
Konsepsi kerja keras dalam pandangan pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta
sebagaimana dikatakan oleh Haji BSA bahwa kerja keras adalah salah satu ajaran Islam.
Lebih lanjut, dia berkata dengan mengutip hadis Nabi saw yang mengajarkan untuk mencari
harta seakan manusia akan hidup di dunia selamanya dan beramal saleh seakan manusia akan
mati esok hari (Republika, 25 Pebruari 2005). Dengan demikian, Islam berisi ajaran semangat
kerja keras, yang dapat dibandingkan dengan gagasan Barat bahwa ‘waktu adalah uang’.
Kerja keras merupakan manifestasi terpenting dari ibadah. Hal ini karena pengusaha
Tionghoa Muslim memahami makna ibadah tidak hanya dalam arti sempit (seperti shalat,
puasa) saja, tetapi lebih cenderung memahami makna ibadah dengan arti luas (seperti mencari
rezeki, menuntut ilmu, dan lain sebagainya).
C. Manifestasi Bisnis dari Ideologi Kegamaan
Bagi pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta yang telah melekat dengan citra
mereka sebagai pedagang, motivasi kuat perdagangan mereka selain diperoleh dari
5 Konsepsi tentang kesalehan anak lelaki.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
10
keterpaksaan suatu keadaan, juga diperoleh dari ajaran agama yang mereka yakini. Dalam hal
ini, agama yang dimaksud adalah Islam yang menyatakan bahwa dagang merupakan profesi
yang mulia. Sementara di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa ada sebagian suku-bangsa
yang masih menganggap perdagangan sebagai pekerjaan yang kurang terhormat. Semangat
tersebut, tidak lain, berasal dari hadis Nabi saw yang memandang bahwa perdagangan
merupakan pekerjaan yang paling mulia dan bahkan dalam hadis lain Rasulullah saw
mengatakan bahwa perdagangan merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki (Sukriyanto,
2000: 54).
Terkait dengan sumber motivasi itu, terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang lebih
mereka pegang sebagai etika perdagangan, misalnya, prinsip memenuhi takaran dan
timbangan (QS. 7: 85). Prinsip-prinsip tersebut, sejauh penglihatan saya, sebagian telah
diterapkan oleh pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta. Implementasi dari konsepsi ini
dapat dilihat pada perilaku bisnis yang dijalankan oleh Haji BA dalam mengemas kurma
dengan timbangan yang persis sesuai takaran (baca: istilah Jawa anget), demi menjaga
loyalitas konsumen dan sebagai perwujudan dari nilai kejujuran.
Tampaknya, ajaran Islam sebagai agama baru yang mereka peluk yakni bagi mereka
yang sebelumnya beragama lain, memberikan dorongan tersendiri atas dunia usaha dan
dagang yang mereka geluti. Ajaran Islam menimbulkan kesadaran kepada pengusaha
Tionghoa Muslim mengenai peran legitimasi dari ajaran agama yang sangat memuliakan
perdagangan itu (Rahardjo, 1999: 276). Terkait dengan hal ini Evers mengatakan: “Chettiar
moneylenders, Hadramaut in Southeast Asia and Javanese Santri Traders, are cases in point,
where religious righteousness supports and legitimizes trading activities”(Evers, 1994: 11).
Keadaan semacam ini terlihat jelas pada diri Haji BSA. Setelah dia berikrar menjadi
Muslim dan menunaikan ibadah haji pada tahun berikutnya, karir bisnisnya semakin melonjak
dan volume laba perdagangannya semakin meningkat yang kemudian memberikan peluang
baru untuk menjadi pengusaha sukses dan besar. Hal itu karena sebagian besar yang menjadi
pelanggannya adalah masyarakat Muslim yang lebih percaya dan hormat kepada orang-orang
yang telah berhaji ketimbang kepada orang lain. Di sini, haji dianggap oleh masyarakat
Muslim lebih tinggi status sosialnya daripada orang yang bukan haji (Sobary, 1999: 168).
Dengan demikian, Islam (dalam arti sempit: haji) telah menjadi simbol yang
digunakan oleh pengusaha Tionghoa Muslim untuk memperlancar usaha mereka. Evers
mendukung pernyataan di atas dengan mengatakan: “Taking on a new religion or following
an established one to the letter (orthodoxy) is one possibility” (Evers, 1991: 2). Sebagaimana
juga dikatakan Junus Jahja (Lauw Chuan Tho) bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
11
seharusnya lebih memilih Islam ketimbang agama lain, terlepas dari masalah-masalah
doktrin-doktrin keagamaan, hal ini demi kemapanan eksistensi mereka di wilayah Nusantara
(Karim, 1996: 213).
Jelas, pernyataan di atas menguatkan asumsi bahwa nilai simbolis haji dapat menjadi
kekuatan penggerak pengusaha Tionghoa Muslim untuk menumbuhkan kebajikan dan etos
kerja keras dalam aktivitas bisnis; di mana asketisme6 dan disiplin-diri dipadukan secara
sistematis. Secara gamblang Evers mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan:
“Generosity, engaging in public projects, going on pilgrimages or exhibiting religious
fervour are means to accumulate cultural capital, which both justifies and protects economic
profits” (Evers, 1991: 2). Dengan demikian, etika kerja tersebut direfleksikan dalam perilaku
hidup oleh komunitas pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta, yang rajin, hemat, ulet, jujur,
dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Nilai kebajikan dari kerja keras dan kejujuran
dalam berbisnis telah membuat pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta mirip dengan apa
yang disebut Weber dengan etika ‘Protestan’.
Di sini, ajaran-ajaran Islam tampak jelas memperkuat dan membentuk etika dagang
pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta yang sejalan dengan kegiatan dagang mereka. Ini
ditunjukkan dengan tingkah laku mereka dalam menggeluti bidang usaha dengan menjual
produk-produk yang tidak dilarang oleh ajaran Islam. Sebagaimana perdagangan yang
digeluti oleh Haji BA yang memilih madu sebagai komoditasnya (Life History Haji BA, 2006:
65-70). Dia menjual madu selain karena ada peluang bisnis yang bagus pada barang ini, juga
karena didorong oleh keyakinannya yang didapat dari ajaran agama yang menyatakan bahwa
madu adalah obat bagi segala penyakit. Pak HR yang menjual katering yang bebas dari
makanan yang dilarang oleh ajaran Islam (halal). Perilaku seperti ini menggambarkan dengan
jelas bagaimana agama telah memainkan peranan penting dalam kehidupan bisnis yang
mereka jalankan. Orientasi keagamaan mereka memperlihatkan bahwa semangat mereka
dalam berwirausaha telah dipengaruhi oleh ideologi keagamaan. Pola pikir mereka yang
praktis-ekonomis dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan betapa pentingnya ideologi
keagamaan tersebut (Redding, 1994: 70-72).
Lebih dari itu, semangat keagamaan pengusaha Tionghoa Muslim yang diwujudkan
dengan pengajian rutin bulanan dan kesalehan ritual dalam kelompok memperlihatkan
bagaimana agama telah memberi pengaruh terhadap pembentukan perilaku dagang mereka.
Selain itu, sikap pragmatis mereka, pada hakekatnya, dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi
6 Asketisisme adalah suatu doktrin yang mengingkari kesenangan lahiriah guna mencapai perkembangan
rohani dalam diri seseorang.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
12
yang menuntut mereka untuk tetap dapat bertahan hidup, serta penafsiran terhadap ajaran-
ajaran agama yang cenderung reformis. Sehingga mereka bekerja keras karena persaingan
dalam bidang usaha yang mereka jalankan juga ketat. Sebagaimana diungkapkan Haley dalam
mengomentari etnis ini, “...they worked hard, lived extremely frugally and saved money until
they could strike out on their own” (Wibowo [ed.], 1999: XIV). Dengan demikian, apakah
semangat berwirausaha didorong oleh ajaran keagamaan, hal ini dapat ditemukan jawabannya
dalam etika bisnis yang mereka ‘bumikan’ dalam kegiatan bisnis mereka.
KESIMPULAN
Melalui metode pendekatan deskriptif dan interpretatif artikel ini berkesimpulan:
pertama, pengusaha Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta berpegang pada konstruk etika
bisnis yang berupa etos kerja yang kuat dan kerja keras, pandangan hidup hemat, kejujuran,
kehandalan dan kepercayaan yang semuanya diterapkan dalam tindakan dan sikap, tidak lagi
dalam perkataan dan pernyataan. Konstruk tersebut berpegang secara lebih jelas dalam
kesuksesan berkat tradisi kekeluargaan, paternalisme, solidaritas kelompok, dan jaringan
sosial. Oleh karena itu, mereka benar-benar menjalankan kesadaran untuk berbisnis sepanjang
hidup yang dilakukan dengan penanaman rasa kedisiplinan, rasa percaya diri, ketekunan,
keteguhan untuk memegang janji, kerja keras, dan stabilitas sejak usia kecil, sehingga
menginjak usia dewasa mereka mempunyai kesadaran yang sangat tinggi untuk menjalankan
aktivitas bisnis mereka secara mandiri.
Kedua, bagi pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta, ajaran Islam terlihat mempunyai
pengaruh terhadap etika bisnis yang dijalankan mereka dalam perdagangan. Hal ini
ditunjukkan dengan perwujudan ajaran-ajarannya dalam tindakan nyata dan dianggap sebagai
sumber progresifitas dalam kegiatan bisnis mereka. Ajaran tersebut juga dipahami atas dasar
citra diri mereka sebagai pedagang dengan tetap melestarikan ajaran moral Konfusianisme
yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan
bahwa etika tersebut hanya bersumber dari ajaran agama, akan tetapi ia berkembang seiring
dengan perkembangan sosio-ekonomi, sosio-budaya, dan sosio-politik komunitas tersebut.
Dengan demikian, komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta adalah corak komunitas
yang berkuasa dalam wilayah perdagangan dan tidak marjinal—yang secara struktural adalah
bagian dari masyarakat sekitarnya—oleh karena mereka rata-rata mempunyai modal yang
kuat dan memiliki paham modernis.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta:
LP3ES, 1982.
Carey, Peter, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Jakarta: Pustaka Azet, 1985.
CH’NG, David C.L, Sukses Bisnis Cina Perantauan: Latar Belakang, Praktek Bisnis,
dan Jaringan Internasional, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Creel, H.G, Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990.
De Graff, H.J, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Evers, Hans-Dieter & Korff,, Rudiger, Urbanisme di Asia Tenggara:
Makna Kekuasaan dalam Ruang Kota,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Geertz, Clifford, Peddlers and Princes: Social Change and Economic Moderization in
Two Indonesian Towns, Chicago: The University of Chicago Press, 1963.
---------, “Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota di Indonesia” dalam
Taufik Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta:
LP3ES, 1982.
Greif, Stuart W, WNI: Problematika Orang Indonesia Asal Cina, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1991.
Gungwu, Wang, “Is there a Confucian Ethics?” in Working Paper of 7th WCEC, 27th-
30th, Kualalumpur, 2003.
Jahja, Junus, Islam di Mata WNI, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 1995.
Joesoef, Djoenaedi, “Sistem Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Bisnis Cina”
dalam Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian terhadap Perekonomian di Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1996.
Karim, Ali, "Interaksi dan Dakwah Islam di Kalangan WNI Keturunan" dalam Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1996.
Kota Yogyakarta dalam Angka, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, 2000.
Nuranto, N, Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina di Masa Orde Baru dalam I. Wibo
wo (ed.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Pusat Studi Cina
dan PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Pan, Lynn, Sons of the Yellow Emperor: The Story of Overseas Chinese London:
Secker & Warburg, 1990.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
14
Rahardjo, M. Dawam. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana.
----------, Islam Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat dan Pustaka Pelajar, 1999.
Redding, S. Gordon, Jiwa Kapitalisme Cina, Jakarta: Abdi Tandur, 1994.
Skinner, G. William, Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan (ed.)
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.
Sobary, Mohamad, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 1999.
Sukirman, Djoko et al., Sejarah Kota Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1986.
Sukriyanto, M, “Teologi Bisnis: Menangkap Pesan Wahyu Atas Persoalan Ekonomi
Umat” dalam Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Susanto, Andreas, “Orang Cina di Yogyakarta: Antara Penerimaan dan Penolakan”
dalam I. Wibowo (ed.) Harga yang Harus Dibayar Sketsa Pergulatan Etnis Cina di
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2001.
Turner, Bryan S, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge & Kegan Paul, 1974.
Weber, Max, The Religion of China: Confucianism and Taoism, Glenco, Ill: The Free
Press, 1951.
---------, The Protestant Ethic and the Spririt of Capitalism, New York & London:
Scribner, 1998.
Wei-Ming, Tu, Etika Konfusianisme, Jakarta: Teraju, 2005.
Wibowo, I. (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina,Jakarta: Gramedia, 1999.
-----------, Harga yang Harus Dibayar Sketsa Pergulatan Etnis Cina di
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utaman dan Pusat Studi Cina, 2001.
Wibowo, I, Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang dalam Era
Globalisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Widyahartono, Bob, Etika Bisnis Sebagai Ketanggapan Sosial, Sistem Ekonomi, dan
Peran Pemerintah dalam Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian terhadap Perekonomian di
Indonesia, Jakarta: Gramedia dan Pusat Pengkajian Cina Universitas Nasional, 1996.
---------- Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi, dan Sosial
Menuju China Baru, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
Widiastuti, Jenny, Makna Nama Bagi Orang Cina WNI di Kota Yogyakarta,
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Antropologi, 2003.
Religia Vol. 14, No. 1, April 2011
15
Wibowo, I, Etos Neo Konfusianisme, Basis, Oktober 1987.
Widyahartono, Bob, Kaya dan Makmur dalam Budaya Cina dalam http://www.ama-sby.com,
akses 22-3-2006.
---------- Perilaku Bisnis Keturunan Cina Kita dan Munculnya Taipan Baru
dalam Peta Bisnis Indonesia, dalam Pengaruh Konfusianisme dalam Perilaku Bisnis.
Seminar Sehari FE Universitas Brawijaya, Malang, 1991.
Yang, Twang Peck, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan
1940-1950, Yogyakarta: Niagara, 2005.
http://www.bernas.co.id
http://www.republika.co.id
http://www.swaramuslim.net