elit polotik

download elit polotik

of 20

Transcript of elit polotik

  • 5/17/2018 elit polotik

    1/20

    Cakrawala Vol. 1No.1 Desember 2006: 26 - 45KONFLIK ELIT POLITIK LOKALDALAM PROSES PILKADA KABUPATEN BANYUWANGIIrtanto

    ABSTRAKP neli.tian ini bersiiat kualitatif dengan metodepengumpulan data "indepth. i~uerview".ujuan petielitiati adalah. ingiti mengetahui faktor-faktor menotuol yangmenyebabkan terjadinya konflik dan implikasiriya teriuuiap kiner]a pemerintah.Hasil penelitiati memperlihatkan bahwa konilik: disebabkan oleti [aktor maturitas elitpolitik reruiaii dan hanya cenderung memetuingkan kepentingan ekonomi pol Wk. Konilikelit politik lokal menyebabkan terganggunya kinerja birokrasi, APBD berlarut-larui, terjadipolitisasi birokrasi, dan pelayanan terhadap publik terganggu.Kata kunci : Konflik, elit politik, Pilkada

    PENDAHULUAN

    Secara teoritis sumber-sumberkekuasaan yang terbatas akan terus menjadirebutan. walaupun memerlukan biaya yangrn ah a l , dan dimungkinkan akanmemunculkan konflik. Kekuasaan menjadiperhatian utama para elit politik. Untuk"memperebutkannya" seringkali harusrnenaruhkan segala-galanya. Oleh karena ituuntuk menjadi calon kepala daerah merekarel a mengorbankan harta benda yang tidaksedikit jumlahnya. Demikian pulasebaJiknya, jika ia masih berkuasa dengansegala cara untuk mempertahankan statusquonya. seperti kasus di Banyuwangi mantanBupati ,Syamsul Hadi yang inginmempertahankan kekuasaan dengan ikutmencalonkan sebagai kandidat.

    Dalam konteks pergantiankekuasaan sebagai akibat tuntutan dernokrasidari rezim lama kepada rezim baru, ternyatadi beberapa daerah menimbulkan persoalan.26

    Tajamnya perebutan dan kepentingan politikantar kekuatan politik maupun intrakekuatan politik, mengakibatkan konflikyang seringkali tidak terhindarkan dalamperebutan jabatan-jabatan politik. Rivalitaspolitik, kadang-kadang bukanlah semata-semata sebagai akibat dart perbedaanpersepsi, melainkan perbedaan kepentinganantar kekuatan politik dalammemperebutkan sumber-sumber kekuasaandi tingkat lokal, Selain itu, konflik yangterjadi mencerminkan sikap dan perilakupolitik kekuatan politik lokal yang relatifmasih "belurn matang", Hal ini dicerminkanbelum "bakunya" insfrastruktur pemilihanpejabat publik yang seringkali kontroversial,dipersoalkan oleh partai politik dan aktorpolitik serta kadang-kadang ditolak olehmasyarakat, bahkan oleh partai politikmaupun anggota legislatif yang partainyakalah dalam pemilihan jabatan politik lokal(Mashad dkk, 2005:2).

  • 5/17/2018 elit polotik

    2/20

    S ecara tekn is proses poJitik ten tan gpern ilihan jabatan politik tingkat lo ka l te la hdiatur dalarn UU No. 32 tahun 2004 te n ta n gPemer in tahan Daerah yan g men ekan kanbahwa pem ilihan kepala daerah baikgubern ur, bupati dan walikota dilaksanakansecara demokratis berdasarkan asaslangsung, umum, bebas, rahasia, ju ju r, danadil (P asal 56 ayat (1) serta melalui partaipolitik. Kewen an gan partai politik untukmengusulkan calon kepala daerah secarajelas ter tuan g pada Pasal 59 terutam a padaayat (l},(2),(3). (4), (5),(6) dan ayat (7) UUNo. 32/2004.

    Namun realitasn ya, w alaupunpasan gan calon terpilih oleh rakyat, sebagaiproses p ol i t ik lo k al belum l ah secaraotomatis dapat ditetapkan sebagai prosesyan g fin al, ruasih m en un ggu pen gesahandar i pihak pemerin tah pusat, gubern urterpilih oleh presiden , bupati dan wakilbupati atau walikota dan wakil walikotaterpilih dilakukan oleh M en teri DalarnN egeri (pasal 109 UU No 32/2004). Danapabila pen gesahan dari proses politik lokaltersebut masih ada perbedaan in terpretasidan kepen tin gan , rn aka hasil proses politiklokal akan m en uai persoalan . Seperti kasuspern ilihan Bupati Ban yuwan gi pada 11 Juli2005 dimen an gkan oleh pasan gan Ratn a-Y usuf N oris dicalon kan oleh gabun gan par tai"gurern" (kecil) yan g tidak mempunyaiduku ngan politik di legislatif. K em en an ganRatn a masih dipersoalkan oleh berbagaipihak terutama elit politik atau legislatit,yan g kalah . Tarik-m en ar ik dalam perscalanpernilihan Bupati Ban yuwangi tidak lepasdari kepen tin gan elit politik lokal, dan

    lrtanio, K on flitc E lit Palitik Laical .... __dimungkin kan pula kepen tin gan elitnas ional .

    K on flik lok al sen n gk ali disebab kanoleh aktor-aktor poiitik pusat terutama parapernimpin partai po litik y an g m er nak sak ankehendak den gan mendrop calon n ya daripusat atau palin g tidak harus mendapatpersetujuan dari pusat par tain ya. Bukan sajamendrop calon kepala daerah, kadan g-kadan g rn ereka m en gam an kan calon nya agarterpilih. H al sem acam ini mengkuatkanasumsi bahwa pernirnpin elit politik diJakarta telah mernaksakan proses politiktingka t 10ka1.Dan tidak m en gheran kan kalausam pai calon dar i partain ya tidak terpilih ,men ggan jal den gan berbagai cara danargum en un tuk m en ggagalkan calon terpilihyan g serin gkali membawa persoalan isuprim ordialism e, isu agama, ras, kultu ral kearen a politik 10ka1. Persoalan seperti ituser in g men jadi argumen politik lokal yan gjauh dari rasion alitas politik demokrasi,seperti ter jadi di B an yuwan gi.

    Perkemban gan p o liik l o kal ,seben arn ya cukup men arik karen a selamamasa pem erin tahan otoriter di bawah rezimorde baru dan orde reform asi pern ilihankepala daerah selalu saja dikuasai danditen tukan oleh sekelom pok elit di Jakar tarn aupun oleh sekelompok elit yan g dudukdi pariemen daerah. E ra oton om i daerahden gan men ggun akan in strurn en politik UUNo. 32/2004 te n ta n g Pernerintahan Daerahber lan gsun g proses suksesi kekuasaansecara lan gsun g dipilih oleh rakyatn ya.W a lau pu n dalam irnplernentasinya ta k ja ra ngm asih m em un culkan kon flik politik . N am unyan g jelas pilkada lan gsun g telah ter jadi

    27

  • 5/17/2018 elit polotik

    3/20

    interaks~ politik antara elit politik denganrakyat. Bahkan rakyat kadang-kadang dapatmelakukan tekanan-tekanan yang bersifatkritis atas berbagai calon yang diusulkannya.Pergantian elit lokal, kadang-kadangmenyebabkan terjadinya konflik, apalagirakyat yang kehilangan identitas dan adanyaketidakadilan struktural akan mudahdimobilisasi kearah konflik.

    Konflik mengandung pengertian"benturan ". seperti perbedaan pendapat,persaingan, dan pertentangan antar individudan individu, kelornpok dan kelornpok,individu dan kelornpok, dan antara individuatau kelompok dengan pemerintah. Konflikterjadi antar kelompok yang memperebutkanhal yang sarna (Surbakti, 1992:145). Adaberbagai teori penyebab konflik, rnisalnyateori hubungan rnasyarakat mengganggapbahwa konflik disebabkan oleh polarisasiyang terus terjadi, ketidakpercayaan danperrnusuh an di antara kelornpok yangberbeda dalam suatu masyarakat. Sedangkanteori negosiasi prinsip menganggap bahwakonflik disebabkan oleh posisi-posisi yangtidak selaras dan perbedaan-perbedaanpandangan ten tang konflik oleh pihak-pihakyang mengalami konflik (Kartika, 2000:8).Sedangkan teori elit memandang bahwasetiap masyarakat terbagi dalam duakategori: (a) sekelornpok kecil manusia yangberkemampuan dan karenanya mendudukiposisi untuk memerintah; dan (b) seiumlahbesar massa yang ditakdirkan untukdiperintah. Mosca dan Pareto mem bagistratifikasi masyarakat dalam tiga kategoriyaitu elit yang memerintah (governing elit),elit yang tidak memerintah (non-governing

    28

    Cakraioala Vol. 1 No. 1 Desember 2006 : 26 - 45elite) dan massa umum (non-elite) (Varma,1987:199).

    Nurhasim (dalam ibid, 12-14)membagi elit ke dalarn dua kategori yaituelit politik lokal dan elit non-politik lokal.Elit politik lokal merupakan seseorang yangmenduduki jabatan-jabatan politik(kekuasaan) di ekskutif dan legislatif yangdipilih melalui pemilihan umum dan dipilihdalam proses politik yang dernokratis ditingkat 10ka1. Mereka menduduki jabatanpolitik tinggi di tingkat lokal yang membuatdan rnenjalankan kebijakan politik, ContohElit politik: gubernur, bupati, walikota, KetuaDPRD, anggota DPRD, dan pernimpin-pernimpin partai politik. Elit non-politikadalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan rnempunyai pengaruhuntuk memerintah orang lain dalam lingkupmasyarakat. Elit non-politik ini seperti: elitkeagarnaan, elit organisasi kernasyarakatan,

    J kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.Konflik biasanya merujuk pada

    keadaan dimana seseorang atau suatukelompok dengan identitas yang jelas,terlibat pertentangan secara sadar dengansatu atau lebih kelompok lain karenakelompok-kelompok ini mengejar atauberusaha mencapai tujuan, Pertentangantersebut polanya dapat hanya sebataspertentangan nilai, atau menyangkut klaimterhadap status (iabatan politik), kekuasaan,dan atau sumberdaya-sumberdaya yangterbatas; serta dalam prosesnya seringkaliditandai oleh adanya upaya dari masing-masing pihak untuk saling menetralisasi,menyederai, hingga mengeliminasi posisijeksistensi rival/lawannya (Coser, 1956:3).

  • 5/17/2018 elit polotik

    4/20

    Konflik akan merupakan suatu pertumbukanan tara dua atau lebih dari dua pihak, yangmasing-masing mencoba menyingkirkanpihak lawannya dari arena kehidupanbersama, atau setidak-tidaknyamenaklukkannya dan mendegradasikanlawannya ke posisi yang lebih tersubordinasi(Wignyosubroto, 2006:2).

    Untuk melihat faktor penyebab,motif dan kepentingan politiknya, konflikelit politik dapat dipahami dari berbagaidimensi, yaitu: dari pengertian konflikdiartikan sebagai pertentanganyang terbukaantar kekuatan-kekuatan politik yangmernperebutkan kekuasaan. Pengertiankonflik di sini merujuk pada hubungan antarkekuatan politik (kelompok dan individu)yang rnerniliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan(Nurhasim, 2000:14). Selain itu ada faktorstruktur masyarakat yang mengandungdeprivasi relatif yang belum menopangupaya pengembangan kohesi dan integrasisosial (Maliki, 2006:2).

    Dari sisi sirkulasi elit. Sirkulasi elitkonflik bisa muneul dari dalam kelompokitu sendiri maupun antar kelornpok yangberbeda serta antara kelompok penguasaden~an kelompok tandingan. Sirkulasi elitmenu rut Pareto terjadi dalam dua kategoriyaitu: per tama, pergantian terjadi di antarakelompok-kelornpok yang memerintahsendiri: dan kedua, pergantian terjadi diantara elit dengan penduduk lainnya.Sementara Moscamelihat bahwa pergantianelit terjadi apabila elit yang memerintahdianggap kehilangan kemampuannya danorang luar di kelas tersebut menunjukkan

    Irta nto , K on flik E lit P olitik La ica l ......kernampuan yang lebih baik, maka terdapatsegala kemungkinan bahwa kelas penguasayang baru (Op.eit, 275-309). Atas dasar duamodel sirkulasi tersebut, persaingan dankonflik bisa terjadi antar kelompok yangmemerintah maupun antar kelompokpemerintah dengan kelornpok tandinganyang ingin berkuasa. Duverger menjelaskanbahwa dalam konflik-konflik politiksejumlah alat digunakan seperti: organisasidan jumlah uang (kekayaan), sistem, militer,kekerasan fisik, dan lain sebagainya (ibid.,).

    Dari segi tat a cara dan mekanismesirkulasi elit akan sangat r nenen tukansejauhmana sistem politik memberikankerangka bagi terwujudnya pergantiankekuasaan. Dalam konteks pergantian sepertiitu, kenyataannya prosesnya tidak selalumulus, apalagi dalam konteks politiktransisional yang menunjukkan sifat-sifatketidaknormalan. Meskipun ada tata caraumum sebagaimana diatur dalam UU No.32j2004, tata cara pengajuan seseorang calonapakah itu gubernur, walikota, maupunbupati harus melalui parpol.

    Dalam memahami konstelasi danrivalitas politik elit, perlu juga dipahamitentang fenomena dan perilaku massa. Untukmemetakan perubahan politik di masyarakatan tar waktu misalnya, kita bisa meminjamkategori teoritik dari Etzioni (1961) yangmembagi masyarakat atau massa politik kedalam tiga kategori besar. (1) rnassa moral;(2) mass a kalkulatif; dan (3) massa alienatif.Massa moral adalah massa yang potensialterikat secara politik pada .satu Orsospolkarena loyalitas normatifyang dimilikinya.Massa moral bersifat tradisional, cenderung

    29

  • 5/17/2018 elit polotik

    5/20

    k hr an g atau tidak k ritis ter had ap kr isis-kr isisem pir ik. M assa kalkulatif adalah m assa yan gmem iliki sifat-sifat yang amat peduli dankritis terhadap krisis-kr isis empir ik yangdihadapi oleh m asyarakat di sekelilin gn ya.Massa in i akrab den gan modern itas,sebagian besar men empati lapis an ten gahmasyarakat, mem iliki sifat kosmopolit(berpan dan gan mendun ia) dan punyaperhitun gan (kalkulasi) terhadap berbagaiin teraksi. M assa alien atif adalah m assa yan gteralien asi (terasin gkan ) dan pasrah pad amobilisasi politik (op.cit, 18). Dalamkon tekskon flik elit, peran rnassa kadang-kadan g dim an ipulasi un tuk tujuan -tu juanter ten tu berdasarkan kepen tin gan elitpolitikn ya. Tak jaran g mereka jugamempun yai motif, kepen tin gan dan tujuany an g b er bed a.

    Bagaiman apun karakter istikkon flikn ya, kecen derun gan un tuk ter jadin ya"in tegrasi" dalam ran gka un tuk m en gakhinkon flik pasti ter jadi, Gagasan pen dekatanbaru bahwa sistem politik demokrasi dapatdigun .akan sebagai upaya penyelesaiankoriflik dapat digun akan sebagai pisauan alisis (H arir is dan R eiely, 2000: 141-148).Sistem politik yan g m en erapkan pem bagiankekuasaan , m en gidealkan keputusan politikbila ter jadi suatu akan mengarah padaberbagai tipe komprom i dan koalisi politikun tuk men gakhin per ten tan gan dengan caramekan isme pern bagian kekuasaan itudijalan kan , apakah menggun akan modelkcalisi atau komprom i politik . Proses in ipen tin g den gan asum si bahwa sistern politikmultipar tai akan cenderun g menciptakanin stabilitas politik dalam proses politikn ya30

    Cakraiuala Vol. 1 No. 1 Desember 2006 : 26 - 4Smaupun dalam proses men en t u k a nkekuasaan (siapa yang harus memerin tah)(Held,1987:125).

    T itik rawan kon flik dalam tahap-tahap Pilkada melipu ti: pertarn a, ta happen gajuan pasan gan calon oleh parpol/gabun gan parpol. H al itu karen a terbatasn yapeluang bagi bakal cal on un tuk lolos dalarnproses seleksi yang dilakukan oleh parpol/gabungan parpol. Kedua, dalam tahapanver ifikasi persyaratan calon oleh K PUD olehin terven si pem erin tah dan elite politik lokal.Ketiga, pada saat kam pan ye. Keem pat, padasaat pen ghitun gan dan pen etapan pasan gancalon ter pilih (N ajib, 20 05:4 16-4 18 ).

    Sumber kon flik berasal dar ik etid ak sia pa n elit p olitik d alam b er ko rn pe tisisecara sehat m aupun ketidaksiapan elit un tukdapat rn er ier ima kekalah an (cahyono,2005: 19), K on flik ser in g berpusat pada usahaun tuk memperoleh kekuasaan yang lebihbesar , atau kekhawatiran akan kehilan gankekuasaan . K ekuasaan merniliki beberapapen gertian : kekuatan , legitim asi, otor itas,at au kemampuan un tuk memaksa (Op.cit.,38) .

    Dari berbagai sumber di at as.keran gka an alisis dikembangkan denganmode l b er ik ut:

    Persoalan yan g hendak ditelitiadalah l ) Faktor-faktor dom in an apa sajayan g m en yebabkan kon flik dalam pemiliharikepala daerah? 2) Bagaiman a irn plikasikon flik Pilkada tersebut terhadap kin er jap em er in ta h daera h?

    Tujuan pen elitian adalah in ginmengetahui faktor dom in an yangm en yebabkan kon flik Pilkada Ban yuwan gi

  • 5/17/2018 elit polotik

    6/20

    lrtanio, Konflik Elit Politik Lokal .

    Faktor Lokal Polarisasi kepentingan elit Pluralisme identitas dan

    kultural Pergeseran patronasepolitik Maturitas elit poltik Ekses NegatifKonflik Elit Terhadaplokal dalam KinerjaPilkada PemerintahFaktor Nasional Transisi politik Intervensi elit politik

    nasional

    dan. ingin mengetahui implikasi konflikPilkada tersebut terhadap kinerja pemerintahdaerah.METODE PENELITIAN

    Penelitian ini menggunakanpendekatan kualitatif. Telaah pengumpulandata melalui wawancara mendalam (indeptinterview) dan studi dokumentasi.

    Informan dalam penelitian ini adalahpihak yang berkonfik diantaranya konstituendan pengurus dari beberapa partai politik.

    Fokus dalam penelitian ini meliputifaktor-faktar penyebab konflik dandampaknya pad a proses pilkadayang lalu.HASIL DAN PEMBAHASAN,Faktor lokal Penyebab Konflik.1. Polarisasi Kepentingan Elit Politik,

    Para ahli memprediksi pernilihankepala daerah langsung bahwa sejak awalmengandung muatan konflik yang tinggi

    karena pilkada terkait dengan pertarungandan pertaruhan ambisi politik yang bermuarapada kekuasaan, yang cenderung diiringidengan rangkaian gesekan kepentingan.Pertarungan politik ti d ak lepas dariperebutan sumber-sumber palitik yanglangka.

    Pemilihan Bupati Banyuwangi yangdiselenggarakan tanggal 11 Juli 2004dimenangkan oleh pasangan Ratna -YusufNuris calon dari partai gurem denganmemperoleh sebanyak 311.653 suara (39%).Sedangkan lawan politiknya AchmadWahyudi-Eko Sukartono yang dicalonkanoleh PKB partai pemenang Pemilu legislatif2004 banya memperoleh 120.865 suara(15%). pasangan Masduki Suud-Syafi'iAsyarai yang dicalonkan oleh PPP berkoalisidengan Partai Demokrat (PD) memperolehdukungan 114.677 suara (14%). PasanganSoesanto Suwandi-Abdul Kadir dicalorrkanoleh Partai Golkar hanya mernpercleh

    31

  • 5/17/2018 elit polotik

    7/20

    dukungan 50.829 suara (20%), 'dan yangmendapat dukungan paling sedikit adalahpasangan Ali Sa'roni-Yusuf Widyatmokoyang dicalonkan oleh PDlP, partai besarkedua pemenang Pemilu legislatif 2004hanya mernperoleh dukungan 94.454 suaraatau hanya sekitar 12 %.

    Setelah penghitungan suaraseharusnya tidak terjadi konflik, karenamandat politik diberikan langsung olehrakyat dan tidak lagi oleh sekelornpok elitpolitik. Namun anehnya pasca pemilihan"konflik " politik masih terjadi, Konflikpilkada terjadi sebagai akibat kekalahan parakandidat yang berasal dari partai besar.Menurut informan bahwa konflik terjadisejak awal pemilihan bakal calon bupatiseperti calon incumbent Syamsul Hadi yangdicalonkan oleh PKB versi Gus Dur,sedangkan v e rs i PKB Alwi Shihabmencalonkan Ahmad Wahyudi-EkoSokartono. Namun dalarn perjalanannyasecara hukum yang dianggap syah olehpengadilan adalah calon versi PKB AlwiShihab yaitu Ahmad Wahyudi yangmempunyai posisi sebagai ketua DPRD. Daripertarungan dua versi PKB tersebutdianggapnya sebagai embrio konflik politikdi Banyuwangi, sehingga pihak yang kalahdalamproses pencalonan bakal calontersebut memberikan dukungan politiknyasecara jienuh kepada Bupati terpilih(Wawancara dengan tokoh pacta tanggal 2Mei 2006).

    Menurut informasi bahwa konflikterjadi dipicu oleh bupati terpilih Ratna tidakkonsisten pada janji-janjinya terutamaterhadap para tokoh agama yang memberikan

    32

    Cakrawala Vol. 1 No.1 Desember 2006 : 26 - 45dukungan sepenuhnya pada saat pilkadaberlangsung. Situasi demikian inidimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknyaterutama ketua DPRD Ahmad Wahyudi yangkalah (Wawancara dengan anggota legislarit,3 Mei 2006). Ahmad Wahyudi mencalonkandiri dari pintu PKB yang merupakan parpolpemenang pemilu legislatif 2004, Dalamkonflik Pilkada Banyuwangi lebih bernuansakapitalis, artinya mereka yang kalah tidakterima dengan kekalahannya dikarenakansudah menghabiskan biaya banyak dan inginmengernbalikan uangnya dengan cara-caratidak fair. Kondisi seperti ini dalam perseptiEBahtiar Efendi disebutnya kapitalismepilkada (dalam Amirudin, 2005:59).Kapitalisme ini menimbulkan banyakkonsekuensi yang buruk dalam praktikpernerintahan, seperti hasrat bagi calon yangterpilih untuk mengembalikan modal yangsudah dikeluarkan, adanya polarisasiloyalitas penguasa kepada penyumbangdana, dan kurangnya perhatian terhadapkepentingan rakyat banyak (Wawancaradengan anggota legislatif, 3 Mei 2006).

    Kebijakan bupati yang dipersoalkanoleh elit politik, mencopot kepala sekolahkarena memungut uang sekolah diluarketentuan yang b er laku , padahal d iBanyuwangi sekolah untuk SD, SMP, SLTAgratis. Kebijakan tersebut menurut eli!politik yang menjadi lawan politik bupatiterpilih tidak populis dan sangat merugikankarier kepaJa sekolah (Wawancara dengantokoh pendidikan, 5 Mei 2006). Padahalkebijakan untuk mencopot kepala sekolahadalah hak prerogatif bupati, bukan beradapada legislatif. Namun elit politik selalu saja

  • 5/17/2018 elit polotik

    8/20

    mensari-cari alasan untuk menggoyangposisi bupati terpilih,

    Kepentingan pragmatisme elitpolitik lebih mengedepan dalarn konfliktersebut seperti PDIP yang mencalonkan AliSaroni kalah dalam pilkada. Namun akhir-akhir ini kalangan PDIP terutama merekayang menduduki kursi legislatif berbalikmemberikan dukungan kepada Bupatiterpilih Ratna ( Informasi dari tokoh politik,6 Mei 2006). Bukti lain bahwa Praksi PDIPsekarang berpihak pada bupati terpiIih Ratna,ketidakhadiran Fraksi PDIP pada waktudemonstrasi besar-besaran . 4 Mei 2006dipimpin oleh para kiai yang diikuti massalebih- kurang 7 ribu orang. Padahal padawaktu itu banyak fraksi yang hadir danmenandatangani rekomendasi agar bupatiterpilih dicopot (Wawancara dengan elitpolitik Banyuwangi, 9 Mei 2006). Awalnya,realitasnya konflik piLkada di Banyuwangidipicu oleh ketidakpuasan elit politik yangberada di legislatif tidak rei a atas kekalahancalonnya. Mereka yang menjadi lawan bupatiterpilih mencoba melebarkan konfliknyadengan isu pendaftaran yang tidak syah,misalnya banyaknya pemilih dari luar daerahatau membengkaknya jumlah pemilih( Wawancara dengan tokoh pendukungbupati terpilih, 7 Mei 2006). Kondisi pilkadadi Banyuwangi ini relevan dengan pendapatCahyono (2005:25) bahwa peluang konfliksemakin terbuka rnanakala pihak parpolmemaksakan diri dalam memajukankandidat, padahal calon bersangkutanrnungkin tidak lagi memiliki "nilai jual",

    Konflik Pilkada di Banyuwangirnemperlihatkan bahwa yang terjadi sernata-

    Ittanio, Konflik Elit Politik Lokai .mata konflik kepentingan untukmemperebutkan kekuasaan politik walaupundengan mencoba untuk membangkitkanfanatisme agama. Walaupun kalangan santriterdapat kepatuhan yang kuat terhadap figurkiai dengan ikut demonstrasi, namunmasyarakat Banyuwangi nampak memahamibahwa mereka hanyalah dijadikan alat darikepentingan elit-elit politik. Mereka yang"bertikai" adalah para elit politik, bukanrakyat, termasuk para kiai yang dijadikanalat politik oleh mereka yang kalah Pilkada(Wawancara dengan tokoh rnasyarakat 5 Mei2006). Nampak bahwa perseteruan elitpolitik dalam konflik pilkada Banyuwangilebih banyak dilandasi oleh kepentinganpragmatis politis semata, yaitu kepentinganekonomi politik. Kepentingan pragmatisterlihat dengan jelas bahwa akhir-akhir inikonflik mulai mengalami pergeseran, yaituyang dulunya berada di pihak lawan bupatiterpilih Ratna, mereka memosisikan diri saatini justru mendukung bupati terpilih, sepertiPDIP dulu menolak hasil pilkada sekarangjustru membackup bupati terpilih(Wawancara elit politik, 2 Juni 2006).

    Konflik pilkada Banyuwangi,kesetiaan kelornpok dan golongan dicobadiangkat elit politik untuk mengikatkesetiaan konstituen. Namun ikatanideologis tidak lagi efektif. Perilaku massayang berdemo kebanyakan berkait eratdengan perilaku elit partai. Selama ini elitpolitik lebih ban yak bermain dalarn wilayahekonomi politik. Partai tidak lagi dilihatsebagai 'rnesin ideologi' melainkan 'mesinekonomi politik.' Akibatnya massa punmelihat konflik at au integrasi partai bukan

    33

  • 5/17/2018 elit polotik

    9/20

    lagi ditentukan kesamaan wama kultural danideologis, melainkan oleh kepentinganpragmatis ekonomi politik (Maliki, 2006:3).2. Pluralisme Identitas dan Kultural.

    Isu-isu politik sebagai strategi untukmenjatuhkan lawannya selalu saja berubah,semula isu gender. Isu gender ternyata tidakefektif, berubah ke isu sara seperti soal agamayang dianut oleh bupati terpilih Ratna yangdiragukan agamanya, Ratna dituduh bukanseorang muslim. Demikian pula pada awalkonflik terjadi, para kiai mempersoalkanbupati terpilih Ratna seorang perempuan, dandianggapnya seorang perempuan tidak layakuntuk mernimpin dan bertentangan denganagama Islam (wawancara dengan tokoh LSM,7 Mei 2006). Namun akhir-akhir ini isugender hilang dengan sendirinya, tidak lagidijadikan isu politik. Isu gender ini nampaktidak dapat untuk menggerakkan massa, danterlihat bahwa masyarakat Banyuwangi lebihkosmopolit dan rasional.

    Isu sara dan gender bergeser,dikembangkan pada persoalan kulturalseperti yang terjadi di salah satu acaramernperingati Maulud Nabi Bulan April2006 di Desa Macan Putih di Kecarnatan.,Kabat. Salah satu acara peringatan MauludNabi terse but mengarak sebuah patungberbentuk manusia yang disebut ogoh-ogohdengan pakaian kotak-kotak berwama hitamputih, ala Bali. Dalam acara tersebut bupatiterpilih ikut hadir, hingga diprotes oleh paraKyai. Mereka beralasan bahwa arak-arakanogoh-ogoh bertentangan dengan budayasetempat dan bertentangan dengan nilai-nilaiagama Islam, apalagi ogoh-ogoh tersebut

    34

    Cakrawala Vol. 1 No. 1 Desember 2006 : 26 - 45dilambangkan seorang wanita (Jawa Pos, 12April 2006) . Isu sara lain yang mereka cobauntuk diangkat dalam konflik pilkada iniadalah persoalan harga daging babi yangdicantumkan pada Surat Keputusan BupatiBanyuwangi tahun 2006.

    Berbagai kebijakan bupati, isu sara,dan alas an tidak kondusifnya pemerintahanBanyuwangi dipakai sebagai alasan oleh elitpolitik dan non elit politik untukmenggerakkan para santri dan massa lainnyauntuk berdemo secara besar-besaran 4 Mei2006 yang menuntut DPRD Banyuwangi agarBupati terpilih dicopot. Tuntutan demotersebut berujung dengan rekomendasiDPRD kepada pihak-pihak yang berwenanguntuk mencopot bupati terpilih. Adapengakuan dari seorang tokoh agama bahwakonflik pilkada yang berujung padademonstrasi tersebut sengaja diciptakan olehorang-orang yang mempunyai pengaruhdibidang agama dan mempunyai akses dilegislatif. Sebagai gambaran bahwa konflikPilkada Banyuwangi ini nampak sekali isu-isu sara maupun kebijakan Bupati dijadikansebagai argumen para elit politik lokal untukmenjatuhkan Bupati Ratna.

    Dalam pemilihan bupatiBanyuwangi nampak bahwa adakecenderungan mencairnya ideologis politik.Rakyat tidak membatasi diri dengan ikatan-ikatan primordial dan kesetiaan ideologiyang diyakininya, tetapi sudah kearahsemakin kosmopolit. Hal ini nampak sekalikewenangan Ratna menjadi Bu p at iBanyuwangi yang didukung oleh rnasyarakatyang berbeda dengan pemilihan legislatiftahun 2004. Logika para pemilih berideologi

  • 5/17/2018 elit polotik

    10/20

    politik maka yang menang dalarn pilkadatersebut dapat dipastikan pemenanganpemilu legislatif 2004 atau paling tidakpartai-partai besar, Kondisi seperti ini samaseperti apa yang diungkapkan oleh Maliki(2006) selama ini elit politik lebih banyakbermain dalam wilayah ekonorni politik.Partai tidak lagi dilihat sebagai 'rnesinideologi' melainkan 'rnesin ekonorni politik'.Akibatnya massa pun melihat konflik bukanlagi ditentukan oleh kesamaan warnakultural dan ideologis, melainkan olehkepentingan ekonomi politik. Kondisikonflik di Banyuwangi ini lebih banyakdiwarnai oleh karen a kepentingan ekonomipolitik. Pertentangan ideologis dalam konflikpilkada ini tidak nampak kelihatan,kepentingan ideologi politik partai-partaitidak menonjol dan ditinggalkannya,misalnya saja PDIP yang berideologinasionalis yang semula menentang bupatiterpilih sekarang justru dalam konflik iniberbalik mernihaknya (wawancara denganelit politik yang pro bupati terpilih, 9 Mei2006) .

    , Argumen para lawan politik Bupati. Ratna tidak memiliki akar kultural danideologis yang sama dengan mayoritaspemilih di Kabupaten Banyuwangi, tidaklahrelevan. Banyuwangi menurut h asilpene litian Santoso (2006:2) guru besarUniversitas Kristen Petra Surabaya termasukdaerah tapal kuda (Pasuruan, Probolinggo,Situbondo, Jember) yang sering terjadikonflik horizontal. Dalarn penelusuransejarah tampak daerah tapa! kud amerupakan ajang konflik horizontal. Selamaberabad-abad daeran tapa! kuda (Pasuruan,Panarukan, Situbondo) tercatat da!am sejarah

    lttanto, Konflik Elit Poiitik Lokal .menjadi ajang konflik horizontal. Masyarakattapa! kuda adalah komunitas yang sangatfanatik terhadap agama yang dianutnya.Konflik horizontal begitu menyejarah danmengakar dalam kehidupan masyarakatdaerah tapa! kuda (Ibid). Wala upunBanyuwangi termasuk daerah dekat tapal

    . kuda, na rnun dalamkonflik Pilkada ininampak intensitasnya sangat rendah, karenatidak menyangkut ideologi yang diyakininya,hanya persoalan kepentingan elit politiksemata. Hal tersebut dibenarkan olehseorang elit politik yang berada di legislatifyang pada awalnya lawan politik bupatiterpilih Ratna, tetapi pada akhir-akhir inimembelot mendukung bupati terpilih.Menurutnya konflik Pilkada tidak berhasiluntuk menyeret grassroot ke dalam konflik,walaupun memakai argumen kultural, sara,dan gender sekalipun (wawancara dengan elitpolitik, 8 Mei 2006).

    Ideologi politik, agama, kultural,dan pluralisme identitas dicoba dibangununtuk dijadikan isu dalarn konflik pilkada.Namun realitasnya isu-isu tersebut tidakbegitu efektif untuk menggerakkan massayang benar-benar militan dan yang tampakadalah kepentingan pragmatis elit politik10ka1, yaitu kepentingan ekonomi politik.Ikatan-ikatan dan basis ideologis ternyatabisa dipatahkan dengan tawaran-tawaranpraktis dan pragmatis yang bernilai ekonomidan politis. Hal ini terbukti, sepertipendidikan atau sekolah gratis, Puskesmasgratis yang menjadi tema kampanye BupatiRatna lebih menarik masyarakat pemilihdaripada kampanye kandidat lawan politikRatna dalam bentuk materi lainnya.

    35

  • 5/17/2018 elit polotik

    11/20

    3. Perge~eran Patronase PolitikPemerintah daerah era UU No. 5/

    1974 bercorak sentralistik, dekonsentrasiadministratif. untuk menciptakan efisiensidan efektivitas pembangunan, pemilihan danpenentuan jabatan kepala daerah harusmemperoleh persetujuan presiden, karenaDPRD I dan II waktu itu diberi porsikewenangan sangat jauh dari seimbangdengan kendall pemerintah pusat. Patronasepolitik era orde baru terutama berlakunyaUU No. 5/1974 berada di pusatpemerintahan yaitu Jakarta. Setelahreformasi bergulir, patronase politik lokaldi Banyuwangi mengalami pergeseran.Pergeseran tersebut disebabkan olehberubahnya instrumen politik dad UU No.22/1999 rnenjadi UU No 32 tahun 2004. Padaera UU 22 Tahun 1999 patronase politikberada di sekitar legislatif, nf.lTlun pad a eraUU 32 Tahun 2004 patrenase ,pe~itik beradadi elite lokal, terutama di Banyuwangi.dalam level informal yang lebih banyakberpusat pada:a. Elit kultural terutama pada tokoh agarna

    yaitu pada para ulama (kiai). Para kiaimerupakan tokoh sentral denganpengikut-pengikutnya yan~ f'anatik,terutarna kalangan santri. Apalagipenduduk Banyuwangi merupakanmayoritas muslim dan banyak berdiripondok pesantren. Pondok pesantrenbagi kiai merupakan aset religiussekaligus merupakan aset politik yangluar biasa besarnya dan d ap at"dirnainkan " dalam urusan-urusanpolitik. Para elit kultural sangat efektifdijadikan "m es in p o litik " untuk

    36

    Cakraiuala Vol. 1 No. 1 Desember 2006 : 26 - 45mernpengaruhi opini publik, Sepertikonflik pilkada yang terjadi diBanyuwangi, para kiai dapatmenggerakkan lebih kurang 7 ribumassa dengan cepat pada saat demo 4Mei 2006 untuk menentang Bupatiterpilih Ratna. Demo besar-besaran yangdipelopori para kiai tersebut"bekerjasarna" dengan elit politik yangberada di DPRD Banyuwangi, yangkemudian membuat rekomendasi kepadapihak-pihak yang berwenang agarbupati terpilih dicopot dari jabatannya(wawancara dengan anggota legislatif,6 Mei 2006). Tidak dipungkiri bahwasalah satu penyebab konflik pilkada diBanyuwangi adalah bupati terpilih tidakmenguasai kornunikasi politik .. Namundalam perkembangan terakhir beberapakiai yang semula menjadi lawan politikbupati terpilih berbalik mendukungnyadan yang terjadi "kiai lawan kiai"(wawancara dengan anggota legislatif,7 Mei 2006).

    b. Elit intelektual terdiri dari para tokohyang memiliki pengaruh intelektual kuatdi masyarakat, karenakiprah rnereka didunia perguruan tinggi sehinggakonsep-konsep dan pernikirannyabanyak dijadikan panutan masyarakatsetempat. Posisi strategis dernikian inimenjadikan elit intelektual banyakdidekati partai politik, terutama dalamevent-event politik lokal untuk ikutbergabung dalam barisan partai yangbersangkutan. Di Banyuwangi adabeberapa perguruan tinggi yangmempunyai cukup andil dalarn pilkada,

  • 5/17/2018 elit polotik

    12/20

    kalangan akademisi setempat menjadiperhatian pula dalam persoalan politiklokal. Demikian pula eli! intelektual dariparpol dalam konflik pilkada in imenjadi pernain utarna, terutamapartainya yang memperoleh suara yangcukup signifikan dalarn pemilu legislatif2004, namun dalam pernilihan kepaladaerah 2005 kalah dalarn persaingan,seperti calon dari PKB yangmencalonkan ketua DPRD AhmadWahyudi.

    Pergeseran patronase yang sekaranglebih bertumpu pada para kiai dapatberakibat melebarkan konflik, yang semulakonflik tersebut berada pacta elit politik yaituantara DPRD dengan bupati terpilih..Kemudian elit politik tersebut memanfaatkanelit agama untuk menggeser peta konflikyang seolah-olah konflik tersebut antarbupati terpilih dengan masyarakat. Demikianpula sebaliknya di pihak bupati terpilih Ratnajuga memanfaatkan para kiai sebagai konterterhadap lawan-lawa~ politiknya(Wawancara dengan tokoh agarna yangcukup karismatis, 5 Mei 2006). Kondisiseperti ini membenarkan teori politik yangmenyebutkan bahwa sumb er-surnberkekuasaan yang terbatas akan terus rnenjadirebutan, waJaupun mernerlukan biaya yangmahal , dan memungkinkan sumber-sumber

    . yang menjadi rebutan terse butmemunculkan konflik.4. Maturitas Elit.Poltik

    Konflik bisa muncul apabila elitepolitik tidak siap berkornpetisi secara sehat,cenderung memanipulasi aspek

    lttanio, Konflik Elit Politik Lokal .primordialisme dan keberagaman dalammasyarakat (seperti asal usul kelornpok,golongan, strata sosial, etnik, ras, agarna,dll) serta bilamana elite politik tidak siapuntuk menerima kekalahan (Op. CiU9).Dalam konflik Banyuwangi ini yangmenonjol disebabkan tingkat kedewasaan elitlokal yang belum matang, balk elit politikmaupun non elit politik, dalam arti bahwapara elit politik kebanyakan hanyaberkepentingan terhadap kekuasaan semata.Hal ini terlihat jelas ketika pencalonan bakalcalon oleh masing-masing partai politik,terutama pasangan calon Ratna -Yusuf Nurisyang dicalonkan oleh partai non parlementidak ada persoalan. Namun ketika terpilihmenjadi bupati , kernudian muncullahpersoalan dengan argumen yangberanekaragarn,

    Faktor yang meno0jol dalam konflikpilkada Banyuwangi lebih b an.y akdisebabkan oleh maturitas elite politik yangmasih rendah (tidak dewasa), mereka tidakmenerima kekalahannva yang hanyamemperebutkan kekuasaan. Di lain pihakmasyarakat lebih k osrn o po li t danberorientasi pragmatis. Hal ini terbuktidalam pilkada rakyat memilih calon yangbukan partai-partai besar pemenang pemilulegislatif 2004 melainkan memilih calon daripartai-partai kecil yang tidak punyadukungan politik di parlemen (OPRO). Ataudengan lain perkataan bahwa mungkin sajatingkat kepercayaan rakyat terhadap partai-partai politik besar semakin menurun.Ternyata rakyat dalam pi lkad a tidakmemandang ideologi sang calon kepaladaerah. Kondisi seperti ini relatif sama apa

    37

  • 5/17/2018 elit polotik

    13/20

    yang diungkapkan oleh Maliki (2006:4) adakecenderungan mencairnya ideologi politik,masyarakat tidak mernbatasi diri denganikatan-ikatan primordial dan kesetiaanideologis yang diyakininya, hal seperti itumenggambarkan perubahan kultur.

    Kondisi konflik Pilkada inimembenarkan pendapat Cahyono (2006)bahwa sumber konflik berasal dadketidaksiapan elit politik dalarn berkompetisisec~ra sehat maupun ketidaksiapan elit untukdapat menerima kekalahan, Konflik pilkadatersebut hanya dipicu oleh ketidakpuasan elitpolitik saja yang maturitasnya rendah yanghanya mempersoalkan alas an sejumlahkebijakan Bupati Ratna tidak berkenan di hatielit politik. Elit politik tidak rnernaharnimekanisme hukum yang berlaku, terutamapasal i9 UU 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, seorang kepala daerah,dapat diberhentikan dari.jabatannya jikadinyatakan melanggar sumpah/janji jabatanatau tidak melaksanakan kewajiban kepaladaerah. Memang ada klausal yangmenyangkut krisis kepercayaan. Dalampasal32 UU No.32 Tahun 2004 menyebutkandalam hal kepala daerah menghadapi krisiskepercayaan publik yang meluas karenadugaan melakukan tindak pidana yangmelibatkan tanggungjawabnya, DPRD dapatmenggunakan hak angket at au hakpenyidikan. Namun, penyelesaian hasilangket tetap dilakukan setelah ada keputusanlembaga peradilan yang menyatakan bahwakepala daerah terbukti melakukan tindakpidana.

    Sebagian warga Banyuwangi yangtergabung dalam Forum Banyuwangi Bersatu

    38

    Cakraiuola Vol. 1 No.1 Desember 2006 .' 26 - 45dan Forum Ulama Banyuwangi melakukandemonstrasi menuntut Bupati Banyuwangiterpilih meletakkan jabatannya. KemudianDPRD mengapresiasi atas tuntutan tersebutdengan menggelar sidang paripurna istimewadan menghasilkan putusan usulpemberhentian Bupati Ratna, tidak sesuaidengan prosedur hukum yang berlaku. Halini membuktikan bahwa prosedur hukumyang berlaku tidak dipahami oleh elitpolitik,

    Elit politik tidak mampu untukmenyeret grasstoot disebabkan konfliktersebut bukan kebutuhan rakyat melainkanhanya dipakai konsumsi oleh para elitpolitik, dan akar permasalahannya hanyapada persoalan ketidakdewasaan elit untukmenerima realitas politik yang sebenarnya.Konflik Pilkada bukan pula karena faktorpluralisme identitas dan bukan pula karenafaktor kultur yang berkembang di dalammasyarakat, seperti persoalan adat istiadat,agama, suku dan lain sebagainya. Melainkankonflik Pilkada tersebut lebih banyakditentukan oleh karena faktor maturitas(ketidakdewasaan) elit politik lokal yangrendah yang hanya berorientasi padakepentingan ekonorni politik ataumemperebutkarrsumber kekuasaan. Kondisikonflik Pilkada seperti ini sependapatdengan Cahyono (2006:19) bahwa sumberkonflik berasal dad ketidaksiapan elit politikdalarn berkompetisi secara sehat maupunketidaksiapan elit untuk dapat menerimakekalahan.

  • 5/17/2018 elit polotik

    14/20

    Faktot Nasional1. Transisi Politik

    Pilkada sepenuhnya dilaksanakanoleh KPUD, tetapi pertanggungjawabannya'harus disampaikan kepada DPRD. Dalam halini, kerja KPUD berpotensi diintervensiparpol yang mempunyai kekuatan di DPRD.Sebab, sejalan dengan kewenangan yangbesar dalam proses-proses politik lokal,partai berpotensi mernbajak fungsi DPRD,jika kerja KPUD dianggap tidakmenguntungkan. Kerancuan peran DPRDdalam pilkada memicu konflik Banyuwangi,hasil kerja keras KPUD tidak ciiterima olehDPRD yang notabene ketuanya AhmadWahyudi salah satu calon Bupati dari PKByang merupakan partai besar pemenangpernilu legislatif 2004 yang kalah dalamPilkada. Ahmad Wahyudi sebagai ketualegislatif secara leluasa dapat memainkankekuasaannya untuk mengganjal bupatiterpilih dengan dalih karena kewenanganyang dimilikinya, Demikian pula partai besarlainya yang menguasai legislatif jugabermain karen a calonnya kalah. Kerancuanperan DPRD juga terlihat dalam pasal82 UUNo 32/2004 yang mengatakan bahwapasangan calon dan atau tim karnpanye yangterbukti menjanjikan atau rnernberikan uangdan atau materi untuk mempengaruhipernilih berdasarkan pu tusan pengadilanyang telah berkekuatan hukurn tetap, dikenaisanksi pembatalan pasangan calon olehDPRD. Peran besar dari legislatif lokal inijelas menjadi faktor distortif terhadappilkada langsung.

    M an to . K on ilik: E lit P oliti): Lokal ......DPRD menurut UU 32 tahun 2004

    tidak memiliki tugas dan wewenang untukmemilih kepala daerah dan wakil kepaladaerah. Perubahan peta politik yangdramatis sebagai akibat transisi politik lokalyang lebih ditekankan kedaulatan politikpada rakyat. DPRD memaksa masing-masing pihak yang bersaing untuk membuatkaikulasi-kalkulasi politik baru, diantaranyademi tujuan strategi politik untuk menjaringsuara dari pernilih, maka dimungkinkanuntuk menjalin koalisi dengan pihak-pihakyang sebelumnya merupakan pihak lawanpolitik. Logika semacam inilab yang dapatdigunakan untuk menjelaskan kondisi politikdi Banyuwangi menjelang pilkada langsung.

    Nilai-nilai demokrasi yangdiyakini oleh rakyat Banyuwangi jelas ikutandil dalam konflik pilkada dan sebagianbesar masyarakat menilai bahwa maknademokrasi adalah mayoritas dimanaeksistensi mayoritas h arus diakui dandiikutinya. Penilaian seperti ini sangatsubyektivit dapat mernunculkan kekerasanmassa sekalipun diakuinya sebagai efekberdemokrasi. Selain itu pergeseranwewenang untuk memilih kepala daerah darilegislatif (UU No.22/1999) ketangan rakyatsecara langsung (UU No 32/2004) memberikontribusi bagi rnunculnya konflik yangmelibatkan 1ll,1SSa, karena ketidakpuasannyaterhadap kandidatnya yang kalah. MenurutFarah (2005) konflik politik pilkada potensialhadir dalam intensitas yang tinggi. Sebab,masyarakat berpotensi rnerniliki keterikatanemosional dengan isu-isu dan pihak-pihakyang terlibat dalam konflik. Konflik pilkadapotensial menjadi konflik mereka sendiri,

    39

  • 5/17/2018 elit polotik

    15/20

    bukan rnilik orang atau pihak lain (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional) .Dalam perspektif sosiologis, kerusuhan dankekerasan adalah sebagai bentuk danperilaku sosial. Artinya, sebagai produk danstimulan perilaku-perilaku orang lain.Individu yang melakukan kekerasan bukanlahuntuk memenuhi kepuasan diri sendiri,melainkan dalam kepuasan kolektif (http://www.suarakarya-online.com). Konflikpilkada Banyuwangi disebabkan pula olehhubungan kedekatan antara kandidatdenganrakyat, di lain pihak kandidat dekat denganpara tokoh agama yang mampumenggerakkan massanya (Wawancaradengan tokoh agama, 8 Mei 2006).

    Selain transisi demokrasi itusendiri, UU No. 32 Talmn 2004 memberiandil bagi lahirnya konflik dalam pilkada,terutama pasal 59 ayat (1) menyebutkanbahwa peserta pemilihan kepala daerah danwakil kepala daerah adalah pasangan calonyang diusulkan secara berpasangan olehpartai po litik atau gabungan partaipolitiklhttpr//www.kompas.com) . Artinyasemu~ calon harus melalui pintu parpol dantidak dimungkinkan calon independen,walaupun calon tersebut mendapat dukungankuat dar] rakyat. Transisi politik lokal yangdernikian ini secara jelas memunculkanpotensi konflik dalam setiap pilkada. Sepertikasus unjuk rasa KODEBA (KonsorsiumDemokrasi Banyuwangi) di Kantor KPUDBanyuwangi yang terjadi tanggal 31 Maret2005, dengan tuntutan untuk membubarkanKPUD Banyuwangi karena ketidakpuasanmassa pendukung kandidat yang kalah dalamproses pencalonan bakal cal on Bupati

    40

    Cakraiuala Vol. 1 No.1 Desember 2006 : 26 - 4SBanyuwangi 2005, massa yang tergabungdalam KODEBA tersebut adalah pendukungincumbent Bupati Syamsul Hadi yangdicalonkan oleh PKB versi Gus Our. Dalamproses pencalonan bakal calon bupatiSyamsul Hadi kalah dalam pengadilansehingga memunculkan konflik internal ditubuh PKB. Akibat kekalahan PKB versi GusDur tersebut pencalonan Syamsul Hadiditolak oleh KPUD Banyuwangi, oleh karenaitu massa pendukung Syamsul Hadi kecewadan emosional terhadap KPUD. Konflikinternal PKB tersebut dapat saja sebagaisalah satu penyebab konflik pilkada. Harisberpendapat konflik yang bersumber daripremanisme politik dan pemaksaankehendak, saat massa pendukung calonmemprotes keputusan KPUD karena calontidak memenuhi persyaratan administratifyang ditentukan UU (http;11www.kompas.com). Menurut Gurr (dalamMujiran, 2006) kekerasan muncul karenaadanya deprivasi relatif yang dialamimasyarakat sebagai perasaan kesenjanganan tara nilai harapan (value expectation)dengan kapabilitas nilai (value capabilities)yang dimiliki seseorang.2. Intervensi Elit Politik Nasional

    Sejak awal penjaringan bakal calonbupati di Banyuwangi menghadapi ban yakmasalah terutama bakal calon h arusmendapat restu dari induk organisasipolitiknya. Nuansa intervensi elit politiknasional masih mengemuka seperti Jayaknyapilkada era UU No. 22/1999. Persyaratanbakal calon yang hams mendapat restu dariinduk organisasi yang berada di pusatmenandakan masih lemah pemberdayaan

  • 5/17/2018 elit polotik

    16/20

    politik lokal dan masih rentan terhadapkonflik kepentingan antara elit politiknasional dengan elit lokal. Sejak awalpencalonan bakal calon ditubuh PKBmengalami konflik politik internal. Di satupihak PKB versi Gus Dur mencalonkanincumbent Syamsul Hadi dan di lain pihakPKB versi Alwi Sihab mencalonkan AchmadWahyudi yang dalam posisi politik loka!sekarang menjadi ketua DPRD KabupatenBanyuwangi. Dalarn pengadilan baka! calonversi Gus Dur dinyatakan tidak syah (SumberKPUD Banyuwangi). Akibat pemaksaanataupun calon harus mendapat pengakuanjijin dari iriduk partainya menyebabkanketidakpuasan masyarakat setempat, apalagicalonnya tidak mendapat restu dari indukorganisasnya. Perasaan emosional daricalonnya yang tidak mendapat restu dariinduk organisasi akan melahirkan konflik,dan mereka akan melampiaskankemarahannya seperti yang terjadi padapilkada Banyuwangi ini pihak-pihak yangmerasa calonnya tidak direstui menjadimarah (Wawancara dengan elit Politik lokal,9 Mei 2006).

    Sebagai akibat intervensi elit politikn as io n al , politik lokal mengalamiketergantungan dad pusat. Siapapun yangdirestui oleh induk organisasinya harusdiperjuangkannya, terlepas dari kualitastidaknya calon, dan diterima tidaknyamereka oleh rakyat lokal yang rnernilikikedaulatan politik. Sebagai akibat calon yangharus disetujui oleh pusat menandakanmasih elitisme parpol dalam proses pilkadalangsung ini, dan dapat berakibat tidakberkualitas serta tidak diterimanya oleh

    Irtanto, Konflik Elit Politik Lokal .rakyat (Wawancara dengan akademisi, 8 Mei2006). Namun intervensi elit politik nasionaldalam konfik Pilkada in i bukan satu-satufaktor dominan yang dapatmenyebabkannya, dalam tataran untuk levelpemilihan bakal calon oleh masing-masingpartai memang ikut berpengaruh, narnundalam Pilkada tidak-dernikian karena dalamera UU 32 tahun 2004 ini seorang calonkepala daerah dipilih oleh rakyat secaralangsung.Ek.ses Negatif Terhadap KinerjaPemerintah.

    PKB sebagai partai besar yangmemenangkan pemilu legislatif 2004,percaya diri dengan mencalonkan AhmadWahyudi. Ternyata Ahmad Wahyudi dalampertarungan pilkada tersebut dikalahkan olehRatna Ani Lestari yang nota bene dari partaigurern yang tidak mempunyai dukunganpolitik di legislatif. Kemenangan Ratnasebagai yang terpilih secara demokratisberpengaruh terhadap sebuah peta kekuatanpolitik baru, di satu pihak kekuatan politikberada di tangan Ratna sebagai eksekutifdan dipihak lain harus berhadapan dengankekuatan politik yang namanya legislatifyang nota bene diketuai Ahmad Wahyudi.Ahmad Wahyudi merupakan lawan politikRatna dicalonkan oleh PKB merupakan partaibesar, secara otomatis menguasai parle men.

    Sebagai akibat minimnya dukunganpolitik, Ratna di legislatif selalu saja digoyang oleh elit politik legislatif, dan kasusyang paling besar adalah demo 4 Mei 2006diperkirakan berjurnlah lebih kurang 7(tujuah) ribu orang menuntut agar DPRDmencopot Bupati Ratna yang terpilih.

    41

  • 5/17/2018 elit polotik

    17/20

    Kernudian DPRD mengkabulkan tuntutan paraclemonstran tersebut. Demonstrasi sengaja"dimainkan" oleh par? elite politik yangberada di legislatif dan memanfaatkan paratokoh agama tertentu (Wawancara 7 Mei2005 dengan toko 11parpol, 5 Mei 2006).Sebagai akibat konflik pilkada yang cukupberlarut-larut ini: sangat berpengaruhterhadap jalannya pemerintahan diBanyuwangi. Hasil wawancara denganberapa pejabat, salah satunya seorangpejabat eselon III di jajaran PemdaBanyuwangi menginformasikan bahwakonflik jiilkada berdarnpak pada kinerjamereka. Sesama pejabat saling curiga, siapayang mendukung bupati terpilih dan siapa-siapa saja yang menentang bupati terpilih.Akibatnya antar pejabat sendiri saling curigadan saling menjatuhkan. Dan lebih parahlagi, pejabat yang memihak elit politik yangberada di legislatif pasti dimutasi di tempatyang "tidak enak", bahkan segala fasilitasnyaharus dikembalikan. Demikian pulasebaliknya pejabat yang berada di pihakBupati mendapat fasilitas dan jabatan(wawancara dengan pejabat birokrasi, 6 Mei2006) .

    Kouflik pilkada saling berhadapanantara bupati (eksekutif) terpilih di satupihak dengan DPRD (legislatif) di pihak lain.Konflik semakin berkepanjangan disebabkanoleh pihak-pihak yang berkonflikmempunyai posisi dan power politik yangsama-sama kuatnya. Peran legislatif dalamUU 32 tahun 2004 sangat rnenentukan sepertipasal 19 ayat (2) yang menyebutkan bahwapenyelenggara pemerintahan daerah actalahpemerintah daerah dan DPRD. Pasal40 UU

    42

    Cakraumla Vol. 1 No. 1 Desember 2006 : 26 - 4SNo. 32 tah un 2004 DPRD merupakansebagai unsur pen ye ienggaraa npemerintahan daerah, demikian juga pad apasal 41 DPRD merniliki fungsi legislasi,anggaran, dan pengawasan.

    Pihak yang berkonflik awalnyalegislatif berhadapan dengan bupati terpilihdan sekarang melebar dengan melibatkanpara kiai dan para pendukungnya, maka mautidak mau sangat berpengaruh terhadapkinerja birokrasi, karen a segala sesuatunyaharus "lewat" legislatif terutama soalanggaran. Dalam mengajuan anggaraneksekutif ataupun birokrasi harus mendapatpersetujuan legislatif. Akibat konflik tersebutpengesahan APBD tahun 2006 menjadimolor, berlarut-larut.Menurut penuturanbupati terpilih Ratna, APBD baru disahkanMaret 2006 dan baru efektif April 2006setelah proses verifikasi oleh gubernur(Jawa Pos tanggal 7 September 2006). Danakibat konflik, penyerapan anggaran olehdinas/badan/kantor/lernbaga sarnpai bulanSeptember 2006 rnasih sangat kecil, tidakkurang dari 40 % dan belum lagipembahasan PAK 2006 yang sangat kecilkernungkinan untuk dibahasnya (Wawancaradengan pejabat eselon II di lingkunganPemerintah Banyuwangi, 6 Mei 2006). Halini mengganggu penyelenggaraanpernerintahan daerah , dan berdampakrnenurunnya produktivitas pemerintah. Danyang memprihatinkan terganggunyaterhadap pelayanan publik, seperti misalnyaanggaran untuk Puskesmas, akibat berlarut-larut dan tidak segera disahkannya APEDtahun 2006, salah seorang kepalaPuskesmas yang berada di wilayah

  • 5/17/2018 elit polotik

    18/20

    Banyuwangi Selatan sampai mengeluarkanuang pribadi untuk menalanginya(Wawancara dengan salah satu KepalaPuksesmas, 7 Mei 2006).

    Belum lagi sebagai akibat himbauanpara Kiai kepada masyarakat Banyuwangiagar tidak menuruti pemerintahBanyuwangi, untuk membayar pajak. Kalauseandainya imbauan tersebut efektif, makadapat dibayangkan terganggunya APBD danpembangunan. Macetnya kegiatanpernbangunan jelas merugikan publik ,padahal yang berkonflik pada tataran elitpolitik, bukannya pada tataran grassroo t ,kalaupun grassroot sampai ikut berkonflikbanya terbawa-bawa oleh elit politik. Bahkankonflik tersebut merugikan masyarakat,karena pembangunan fisik dan pembangunanfasilitas umum terbengkelai. Ada pengakuandari pihak-pihak yang berkonflik bahwatujuan dari konflik pilkada ini sengaja untukmembuat roda pemerintahan tidak [alan,bahkan lumpuh sarna sekali, setelah lumpuhkepercayaan masyarakat ter~adap BupatiRatna menurun dan targetnya akan lebihgarnpang untuk menurunkan Bupati Ratna(Wawancara dengan pihak-pihak yangkontra dengan Bupati Ratna terutama darikalangan birokrasi, 26 Mei 2006) ..

    Konflik pilkada Banyuwangi yangmelibatkan banyak pihak telah menyebabkanpolarisasi politik antara yang pro denganbupati terpilih Ratna dengan pihak yangberkonflik. Dernikian juga konflik pilkadatelah melibatkan para tokoh agama dalamhal ini para Kiai. Dalam persoalan konflikpilkada eksistensi Kiai yang dulunya netral,sekarang ini terse ret kedalam konflik, dan

    Manto. Konflik Elit Politik Lokal ......terbelah memihak kekuatan politik tertentuyang berada di legislatif. Yang tragiskekuatan politik yang melibatkan tokohagama tersebut saling mengancarn, belumlagi para pengikut-pengikutnya yang secaraernosional dapat memunculkan konflik baruyang bersifat horizontal (Wawancara dengantokoh agarna, 26 Mei 21106). Konflik pilkadamembawa dampak terhadap politisasibirokrasi, dan netralitas sebagai birokratterganggu, demikian pula jalannyapemerintahan tidak efektif, Namun demikiandapat dipahami bahwa, dari pengalamansejarah birokrasi Indonesia (apakah atasnama personal maupun atas nama institusi)memang tidak berpolitik tetapi karenakekuasaannya mampu mengatur danmenguasai setiap proses-proses politik(Surbakti, 1997:25). Masoed (dalam AbdulRohman. 2005:43) sarnpai menegaskanbahwa kondisi birokrasi memang tidakbergerak dalam vacuum politik , ruanglingkupnya tidak steril dari "rembesan-rembesan" politik yang tidak mungkindihindari. Pengalaman itulah akhimyamembawa birokrasi menjalankan fungsi-fungsi politik, karena birokrasi memangtidak pernah lepas dari konfigurasi politikyang melingkupinya (Ibid.)SIMPULAN DAN SARANSimpulan

    Konflik pilkada Banyuwangi terjadidisebabkan oleh beberapa Iaktor antara lainterjadinya polarisasi kepentingan elit politik.Dimana elit politik yang berada di legislatifberkepentingan untuk memperebutkankekuasaan sebagai akibat kekalahannya.

    43

  • 5/17/2018 elit polotik

    19/20

    Apalagi ketua legislatif berasal dari partaibesar (PKB) sebagai pemenang pemilulegislatif 2004 dikalahkan oleh calon daripartai gurem. Di lain pihak bupati terpilihmempunyai legitimasi politik yang kuat darirakyat.

    < Pergeseran patronase politik ikutberpengaruh terhadap terjadinya konflik,sebagai akibat perubahan UU 22 tahun 1999ke UU 32'tahun 2004. Era UU 22 Tahun 1999patronase politik lebih banyak dikisaranlegislatif, kini patronase politik pemilihmenyebar ke berbagai elemen masyarakat.Faktor identitas dan kultur setempat tidakmenonjol dalam konflik ini. Konflik pilkadasebenarnya lebih menonjol pada persoalanmaturitas (maturity) elit politik lokal yangrendah, tidak menerima realitas kekalahan,Mereka yang terlibat dalam konflik pilkadabersumber dari kalangan legislatif yangcalonnya kalah dalam pilkada ..

    Semua calon dari partai besardikalahkan oleh calon dari partai gurem.Persoalan konflik pilkada berlarut-Iarutkaren a bupati terpilih tidak mempunyaidukungan politik sama sekali di legislatif.Kalau seandainya maturitas (maturity)mewadahi, konflik tidak akan terjadi, karenabupati dipilih langsung oleh rakyat dan tidakmelanggar seperti yang dipersyaratkan olehpasal 29 UU 32 tahun 2004, menyangkutprosedur pemberhentian kepala daerah, danpasal 32 UU 32 Tahun 2004, menyangkutkrisis kepercayaan publik yang meluaskaren a dugaan melakukan tindak pidana.Faktor eksternal dalam konflik pilkadaBanyuwangi seperti transisi politik danintervensi elit politik nasional tidak begitu

    44

    Cakrawala Vol. 1 No. 1 Desembet 2006 : 26 . 45menonjol. Faktor eksternal, seperti transisipolitik memang ikut berpengaruh pula,namun intensitasnya sangat kecil. Intervensielit politik nasional tidak begitu nampakdalam konflik pilkada, hanya sebatas padapersetujuan bakal calon oleh pengurus pusatdari partai masing-masing.

    Akibat dari konflik politik diBanyuwangi yang berkepanjangan,menyebabkan kinerja birokrasi terganggu.Hal ini disebabkan yang terlibat konflik elitpolitik adalah legislatif dengan bupatiterpilih. APBD Kabupaten Banyuwangi harusmendapat persetujuan dari legislatif. Olehkarena berlarut-larutnya persetujuan APBDoleh DPRD, menyebabkan pelayanan publikterganggu.Saran

    Konflik politik di Banyuwangiberasal dari elit politik sendiri, yangmaturitasnya rendah. Oleh karenanya,pendidikan politik kepada elit politik perludilakukan baik dari kalangan akademisimaupun kalangan pers. Demikian pula agarkonflik politik tidak melebar kepadamasyarakat, diperlukan sosialisasi yangterus-rnenerus, SosiaJisasi yang terpentingadalah mendewasakan demokrasi bukanhanya pad a tataran pengetahuannya namunyang terpenting pada tingkahlaku politiknya,DAFTAR PUSTAKAAmirudin & Bisri A. Zaini, 2005, Pilkada

    Langsung Problem dan Prospek,Pustaka Pelajar. Jakarta,Cahyono, Heru, 2005, Konflik dan

    Pelanggarati pada Pilkada Langsung2005: Elite Politik Hendak Ketnarui,

  • 5/17/2018 elit polotik

    20/20

    dalam Year Book 2005 Politik BBM,Jakarta, Pus at Penelitian PolitikLembaga Ilmu PengetahuanIndonesia.

    Coser, Lewis A., 1956, The Functions ofSocial Conflict, New York,Free Press.

    Dahrendorf', Ralf, 1969, Conflict Group,Group Conflict, and Social Change",

    , dalam Peter dan Sonya Orleans, eds.. Social Structure and Social Process:An Introductory Readers, Boston:Allyn and Bacon.

    Etzioni, Amitai, 1961, A ComparativeAnalysis of Complex Organization,New York, Free Press.

    Harris,Peter, dan' Reilly, Ben, (ed.), 2000.Demokrasi dan Konflik yangMengakar: Sejumlah Pilihari utuukNegosiaior, Jakarta, InternationalIDEA.

    Held, David, 1987. Models of Democracy,California, Stanford University Press.

    Maliki, Zainuddin, 2006, Petadan AncamanKonflik di Jawa Timur, 'Makalahdisampaikan dalam Diskusi., 'Pengelolaan dan Antisipasi Ancaman

    Konflik di Jawa T'i mur ', yangdiselenggarakan Dewan PakarPropinsi Jawa Timur, tanggal14 Juni2006 di Balitbang Propinsi JawaTimur.

    Mujiran, Paulus, 2006, Konflik Pilkada UjianDemo kr asi Lokal , http://www ..suarakarya-online.com

    Najib, Mohammad, 2005, Agama danResolusi Konflik dalam Pilkada,dalam Jurnal I1mu-llmu Sosial, UnisiaNo. S8/XXVIII/IV /2005, Yogyakarta,UII.

    Nurhasirn, Moch, (Editor), 2005, KonflikAntar Elit Politik Lokal dalam. Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta,Pustaka Pelajar.

    Pruit, Dean C dan Rubin, Jeffrey Z, 2004,Teori Konflik Sosial, Yogyakarta,Pus taka Pelajar.

    lrtanio, Konflik Elit Poliiik Lokal ......Rohman, Abdul dkk, 2005, Sjahrazad

    Masdar: Meluruskan Peron Birokrasidalam Pilkada; Langkah-langkahSjahrazad Masdar MenegakkanNetralitas Birokrasi dalamPelaksaruuui Pilkada Iembes,Surabaya: Public Policy InstituteKompyawisda JATIM.

    Santoso, Thomas, 2006~ Konflik Horizontaldi Jawa Timur, Makalah disampaikandalam diskusi, Pengelolaan danAntisipasi Ancaman Konflik di JawaTimur, yang diselenggarakan DewanPakar Propinsi Jawa Timur, tanggal14 Juni 2006 di Balitbang PropinsiJawa Timur,

    S.N. Kartikasari (Penyunting), 2000,Mengelola Konflik: Ketrampiuui &Strategi Untuk bertindak, Jakarta, TheBritish Council.

    Soetrisno, Lukman, 2003, Konflik SosialSttuii Kasus Indonesia, Yogyakarta,Tajidu Press

    S.P. Varma, 1987, Teori Politik Modern,Jakarta: Rajawali Pers.

    Surbakti, Rarnelan, 1992, Memahami JlmuPoliiik, Jakarta, GramediaWidiasarana Indonesia.

    -----------,1997, ReformasiKekuasaan, Jakarta: Grasindo.

    Wignjosoebroto, Soetandyo, 2006, Konflik:Masalah, Fungsi danPengelolaannya.Makalah disampaikandalam Diskusi 'Pengelolaan danAntisipasi Ancaman Konflik di JawaTirnur'eyang diselenggarakan DewanPakar Propinsi Jawa Timur, tanggal14 Juni 2006 di Balitbang PropinsiJawaTimur.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah.

    45