EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

19
48 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN LEMBAGA-LEMBAGA ADAT DI ACEH DALAM PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN DAN OTONOMI KHUSUS DI ACEH Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Email: [email protected] Abstract This study aims to explain the existence of indigenous people and traditional institutions in Aceh in the administration the Aceh’s special autonomy. In addition, it explains the duties, functions and authority of traditional institutions in Aceh nowadays. This study is normative legal research. This study examines library materials that acquired through literature study. The technical/ approach used is the statute ap- proach, by using deductive analysis. The results of the study indicate that the existence indigenous people and traditional institutions in Aceh have shown their role in local community life in Aceh. This is caused by the community in Aceh has fulfilled the requirements of indigenous people as stated by the applicable law. The existence of traditional institutions in Aceh essentially has the function and role as a vehicle for public participation in the administration of the Government of Aceh provincial level and the Regency/municipality level in the area of security, peace, harmony, and public order. In addition, those traditional institutions also have some number of authorities as mandated by Article 4 Qanun Aceh No. 10 of 2008 concerning traditional Institution. Keywords: Indigenous People, Traditional Institution, Aceh’s Special Autonomy Abstrak Penelitian ini bertujuan menjelaskan eksistensi (kedudukan) masyarakat hukum adat dan lembaga-lembaga adat di Aceh dalam penyelenggaraan Keistimewaan dan Otonomi Khusus Aceh. Selain itu, menjelaskan tugas, fungsi, dan wewenang lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (legal research). Kajian ini menelaah bahan pustaka yang diperoleh melalui studi pustaka. pendekatan yang digunakan ialah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dengan menggunakan penalaran deduktif. Hasil kajian menunjukkan bahwa keberadaan (eksistensi) masyarakat hukum adat dan kelembagaan adat di Aceh telah menunjukkan kiprahnya dalam tata kehidupan masyarakat di Aceh. Hal tersebut disebabkan oleh karena masyarakat hukum di Aceh telah memenuhi syarat-syarat masyarakat hukum adat sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh hakikatnya memiliki fungsi dan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Selain itu, lembaga-lembaga adat tersebut juga memiliki sejumlah kewenangan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kata kunci: Masyarakat Hukum Adat, Lembaga Adat, Otonomi Khusus Aceh. A. Pendahuluan Sistem Pem erintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia telah menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi (Hardi, 1992: 152). Ketahanan dan daya juang yang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat dan budaya Islam yang kuat tersebut termanifestasikan dalam kehidupan adat, sosial dan politik masyarakat Aceh (Kaoy Syah, Lukman Hakiem, 2000: 7). Beberapa kali amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 sampai tahun 2002 telah menimbulkan berbagai perubahan pada batang tubuh UUD 1945 termasuk pada Pasal 18 mengenai Pemerintahan Daerah yang menjadi cikal bakal pembentukan lembaga-lembaga adat di daerah. Pa sa l 18 B UU D 194 5 has il amandeme n menyebutkan sebagai berikut.

Transcript of EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Page 1: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

48 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN LEMBAGA-LEMBAGA ADAT DI ACEHDALAM PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN DAN OTONOMI KHUSUS DI ACEH

KurniawanFakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected]

Abstract

This study aims to explain the existence of indigenous people and traditional institutions in Aceh in theadministration the Aceh’s special autonomy. In addition, it explains the duties, functions and authority oftraditional institutions in Aceh nowadays. This study is normative legal research. This study examineslibrary materials that acquired through literature study. The technical/ approach used is the statute ap-proach, by using deductive analysis. The results of the study indicate that the existence indigenous peopleand traditional institutions in Aceh have shown their role in local community life in Aceh. This is caused bythe community in Aceh has fulfilled the requirements of indigenous people as stated by the applicable law.The existence of traditional institutions in Aceh essentially has the function and role as a vehicle for publicparticipation in the administration of the Government of Aceh provincial level and the Regency/municipalitylevel in the area of security, peace, harmony, and public order. In addition, those traditional institutionsalso have some number of authorities as mandated by Article 4 Qanun Aceh No. 10 of 2008 concerningtraditional Institution.

Keywords: Indigenous People, Traditional Institution, Aceh’s Special Autonomy

AbstrakPenelitian ini bertujuan menjelaskan eksistensi (kedudukan) masyarakat hukum adat dan lembaga-lembagaadat di Aceh dalam penyelenggaraan Keistimewaan dan Otonomi Khusus Aceh. Selain itu, menjelaskantugas, fungsi, dan wewenang lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh saat ini. Penelitian ini merupakanpenelitian hukum normatif (legal research). Kajian ini menelaah bahan pustaka yang diperoleh melaluistudi pustaka. pendekatan yang digunakan ialah pendekatan peraturan perundang-undangan (statuteapproach), dengan menggunakan penalaran deduktif. Hasil kajian menunjukkan bahwa keberadaan(eksistensi) masyarakat hukum adat dan kelembagaan adat di Aceh telah menunjukkan kiprahnya dalamtata kehidupan masyarakat di Aceh. Hal tersebut disebabkan oleh karena masyarakat hukum di Acehtelah memenuhi syarat-syarat masyarakat hukum adat sebagaimana yang disebutkan dalam peraturanperundang-undangan yang berlaku. Keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh hakikatnya memiliki fungsidan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh danPemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.Selain itu, lembaga-lembaga adat tersebut juga memiliki sejumlah kewenangan sebagaimana yangdiamanatkan Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Kata kunci: Masyarakat Hukum Adat, Lembaga Adat, Otonomi Khusus Aceh.

A. PendahuluanSistem Pem erintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia menurut Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakuidan menghormati satuan-satuan pemerintahandaerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia telahmenempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahanyang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengankarakter khas sejarah perjuangan masyarakat Acehyang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi(Hardi, 1992: 152). Ketahanan dan daya juang yangtinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup

yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkanbudaya Islam yang kuat dan budaya Islam yangkuat tersebut termanifestasikan dalam kehidupanadat, sosial dan politik masyarakat Aceh (KaoySyah, Lukman Hakiem, 2000: 7).

Beberapa kali amandemen UUD 1945 yangdilakukan pada tahun 1999 sampai tahun 2002 telahmenimbulkan berbagai perubahan pada batangtubuh UUD 1945 termasuk pada Pasal 18 mengenaiPemerintahan Daerah yang menjadi cikal bakalpembentukan lembaga-lembaga adat di daerah.Pasal 18 B UUD 1945 hasil amandemenmenyebutkan sebagai berikut.

Page 2: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 49

Ayat (1), Negara mengakui dan menghormatisatuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifatkhusus atau bersifat istimewa yang diatur denganundang-undang. Ayat (2), Negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang m asih hidup dan sesuai denganperkembangan masya-rakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamundang-undang.

Wujud manisfestasi pengakuan dan jaminanterhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukumadat sebagaimana yang diamanatkan olehKonstitusi, maka kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistime-waan Aceh yang mana pada Pasal 3 ayat (1)menyebutkan bahwa: “Keistimewaan merupakanpengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikankepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilaihakiki masyarakat yang tetap dipelihara secaraturun temurun sebagai landasan spiritual, moral,dan kemanusiaan”. Keistimewaan yang dimaksuddalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 inisebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka8 yaitu kewenangan khusus untuk menyelenggara-kan kehidupan beragama, adat, pendidikan, danperan ulama dalam penetapan kebijakan daerah”.

Adapun menyangkut bentuk penyelenggaraankeistim ewaan yang diberikan kepada Acehberdasarkan Undang-Undang Nomor 44 athun 1999tentang Keistimewaan Aceh menyangkut empat halsebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3ayat (2): “Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:a. Penyelenggaraan kehidupan beragama; b.Penyelenggaraan kehidupan adat; c. Penyelengga-raan pendidikan; dan d. Peran ulama dalam penetap-an kebijakan Daerah. Terkait dengan keistimewaanyang berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupanadat sebagaimana yang disebutkan dalam huruf btersebut merupakan dasar hukum Pemerintah Acehuntuk menjabarkan lebih lanjut kedalam bentukberbagai Qanun atau Peraturan Daerah (Perda) diAceh.

Melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999tentang Keistimewaan Aceh tersebut, PemerintahAceh diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat untukmenetapkan berbagai kebijakan dalam upayapemberdayaan, pelestarian, dan pengembanganadat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwaidan sesuai dengan syari’at Islam sebagaimanayang diamanatkan Pasal 6. Selain itu juga Undang-undang tersebut memberi wewenang kepadaPemerintah Aceh untuk membentuk lembaga adatdan mengakui lembaga-lembaga adat yang sudahada sesuai dengan kedudukannya masing-masingdi Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,

Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong(desa) sebagaimana yang diamanatkan Pasal 7yang dituangkan dalam bentuk Qanun atauPeraturan Daerah. Atas dasar itu Pemerintah Acehmengeluarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan AdatIstiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat. Selain itu dalam rangkamemperkuat sekaligus menindak lanjuti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, PemerintahAceh telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)Nomor 7 Tahun 2000 tentang PenyelenggaraanKehidupan Adat.

Selanjutnya, berdasarkan Undang-UndangNomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,telah menempatkan Gubernur dalam kedudukannyasebagai wakil pemerintah, memiliki tugas danwewenang mengkoordinasikan 5 hal yang salahsatunya adalah dalam pembinaan dalampenyelenggaraan kekhususan dan keistimewaanAceh sebagaimana yang diamanatkan Pasal 43ayat (1). Se lanju tnya dalam Pasal 96 (1)menyebutkan bahwa: “Lembaga Wali Nanggroemerupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatumasyarakat yang independen, berwibawa, danberwenang membina dan mengawasi penyeleng-garaan kehidupan lembaga-lembaga adat, adatistiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya”.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006tentang Pemerintahan Aceh terdapat bab yangsecara khusus mengatur tetang Lembaga Adatyang mana disebutkan dalam Pasal 98 khususnyaayat (3) dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan jugahal yang sama diatur dalam Pasal 2 ayat (2) QanunAceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.Adapun Lembaga-lembaga adat di Acehsebagaimana yang diatur baik dalam Pasal 98 ayat(3) maupun Pasal 2 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008 tersebut adalah sebagai berikut: 1.Majelis Adat Aceh (MAA), 2. Imeum Mukim, 3.Imeum Chik, 4. Tuha Lapan, 5. Keuchik, 6. ImeumMeunasah, 7. Tuha Peut, 8. Kejruen Blang, 9.Panglima Laot, 10. Pawang Glee, 11. PeutuaSeuneubok, 12. Hariya Peukan, dan 13.Syahbanda. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat(2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 208 tentangLembaga Adat, secara struktural menempatkanMajelis Adat Aceh (MAA) sebagai lembaga adatyang membawahi lembaga-lembaga adat lainseperti: Imuem mukim; Imuem chik; Keuchik; Tuhapeuet; Tuha lapan; Imuem meunasah; Keujreunblang; Panglima laot; Pawang glee; Peutuaseuneubok; Haria peukan; Syahbanda. Pembinaankehidupan adat dan adat istiadat diAceh dilakukan

Page 3: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

50 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

sesuai dengan perkembangan keistimewaan dankekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh WaliNanggroe sebagaimana yang diamanatkan dalamPasal 99 ayat (1).

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yangdi kemukakan di atas, maka yang menjadipermasalahan, pertama, bagaimanakah kedudukan(eksistensi) masyarakat hukum adat dan lembaga-lembaga adat di Aceh dalam penyelenggaraankeistimewaan dan otonomi khusus di Aceh?, dankedua, apakah Peranan (tugas, fungsi danwewenang) lembaga-lembaga adat di Aceh dalampenyelenggaraan keistimewaan dan otonomikhusus di Aceh?

B. Metode PenelitianPenelitian ini adalah penelitian hukum normatif

(legal research), yaitu penelitian untuk mengkajinorma, kaedah dan asas hukum (Rony HanitijoSoemitro, 1983: 10). Studi/kajian ini menelaahbahan pustaka yang diperoleh melalui studi pustakadengan mengumpulkan dan mempelajari literatur-literatur, berbagai peraturan perundang-undangan,jurnal hukum , ensiklopedia, serta m engutipbeberapa pendapat para sarjana yang relevan.Pendekatan yang digunakan ialah pendekatanperaturan perundang-undangan (statute approache),yaitu pendekatan dengan menjadikan legislasi danregulasi tertentu sebagai dasar kajian dalammengupas setiap permasalahan yang diangkat (Pe-ter Mahmud Marzuki, 2007: 37). Cara/teknikanalisis data menggunakan penalaran/metodeberpikir deduktif.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan1. Sejarah Perkembangan Adat Istiadat dan

Hukum Adat di AcehAceh merupakan salah satu provinsi di

Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adatistiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihatdengan masih berfungsinya institusi-institusiadat di tingkat gampông (desa) atau mukim(kecamatan), meskipun Undang UndangNomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahdaerah ketika itu berusaha menghilangkanfungsi mukim, keberadaan Imum Mukim diAceh.

Dalam masyarakat Aceh yang sangatsenang menyebut dirinya dengan UreuengAceh (orang Aceh) terdapat institusi-institusiadat di tingkat gampông (desa) dan mukim(kecamatan). Institusi tersebut juga merupakanbagian daripada lembaga pemerintahan yangkemudian dikenal dengan lembaga daerah.

Jadi, setiap kejadian dalam kehidupanbermasyarakat, Ureueng Aceh (orang Aceh)selalu menyelesaikan masalah tersebut secaraadat yang berlaku dalam masyarakatnya baiksecara personal maupun secara kelembagaan(Mahdi Syahbandir, 1995: 3).

Perkem bangan kehidupan adat danhukum adat Aceh tidak pernah lepas darisejarah masuk dan berkembangnya Islam diAceh, sehingga dikenal dalam hadih maja(Falsafah hidup) rakyat Aceh dengan istilah“Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Adat”adalah fa lsafah yang menjadi simbolpelaksanaan kehidupan bermasyarakat di Aceh(Djuned T, 1977: 38). Ketika hukum adat kuat,maka hukum agama juga kuat. Begitu jugasebaliknya. Agama bersumber dari Al-Qurandan hadits, sedangkan adat bersumber dariSultan dengan m usyawarah yang digaliberdasarkan sumber keagamaan. Sehinggabanyak adat Aceh yang tidak lepas daripengaruh syara’.

Adat istiadat yang tumbuh, hidup danberkembang di masyarakat hakikatnyamerupakan refleksi daripada nilai-nilai agamaIslam sesuai dengan hadih maja (falsafahhidup) rakyat Aceh “Hukom Ngon Adat LageZat Ngon Sifeut” bermakna bahwa antara adatdengan hukum adalah seperti zat dengan sifat,menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan(Sanusi M. Syarif, 2005: 63). Atas dasar itu,pemegang kekuasaan adat dan politik (SultanImam Malikul Adil) pemerintahan di masa laludengan pemegang kekuasaan hukum (QadliMalikul Adil) haruslah bekerjasama.

Berpegang pada prinsip di atas, makakerajaan Aceh di masa itu juga membuatkategori adat itu pada tiga hal, yaitu (AliHasymy, 1989: 84).a. Adatulllah, yaitu hukum dari Allahb. Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun

oleh majelis kerajaaan. Contoh adat iniseperti adat blang, adat laot, adat gle,adat peukan, adat kuala, ad a tseuneubok, dan sebagainya.

c. Adat tunaih, adat ini berlaku di masing-masing daerah. Biasanya disusun secaramusyawarah oleh Panglima Sagoe,Uleebalang, dan utusan masyarakat untukmenunjang hukum dan adat raja (adatmahkamah).

Selain t iga jenis adat di a tas, adabeberapa ketentuan hukum dan adat yang tidakdapat diberikan keputusan oleh majelis ulamadan uleebalang, masyarakat boleh meminta

Page 4: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 51

ketetapan hukum dan adat pada PengadilanTinggi Syaikhul Islam dan Majelis Tinggi yangdiketuai oleh Sr i Baginda sendir i danditempatkan di Balai Baiturrahman (AliHasymy, 1989: 84).

Maksud hukum dalam hadih maja tersebutyaitu hukum Islam, karena Undang UndangDasar Kerajaan Aceh ketika itu yang bernamaQanun Adat Meukuta Alam menegaskanbahwa hukum yang berlaku dalam KerajaanAceh Darussalam adalah Hukum Islam dengansumber hukumnya Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas (Ali Muhammad Rusydi,2003: 186). Nyatalah bahwa Hadih Maja(falsafah hidup) tersebut adalah falsafahkehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan AcehDarussalam dan telah menjadi ketentuan pastisebagai Jalan Hidup (way of life) dari rakyatAceh.

Mesk ipun para ahli sejarah masihberselisih pendapat tentang masuknya Islamdi Aceh, namun menurut Seminar Internasionaltentang Islam di Asia Tenggara yang dilaksakandi Jakarta pada tanggal 15-18 November 1982semua ahli mengatakan bahwa Islam pertamamasuk ke wilayah nusantara adalah melaluiSamudra Pasai Aceh dan Aceh mulai di kenalsejak agama Islam menjadi bagian darikepercayaan dan keyakinan masyarakat Aceh(Taqwaddin, 2009: 42). Masuknya agama Is-lam ke Kerajaan Aceh Darussalam di bawahpimpinan SultanAli Mughayat Syah pada tahun1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhiproses terbentuknya hukum adat (AliMuhammad Rusydi, 2003: 147). Masuknyaagama Islam ke wilayah Aceh telah memberipengaruh besar dalam membentuk perilakubudaya masyarakat Aceh dalam membangunkesejahteraannya (Ali Muhammad, Rusydi,2003: 147).

Penyebaran agama Islam pada masa ituberkembang luas dan cepat karena agama Is-lam sangat cocok dengan karak teristikmasyarakat Aceh. Maka atas hasil mufakatpembesar-pembesar kerajaan, terbentuklahsuatu sis tem hukum adat yang mulaidiberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalamyang dalam pelaksanaannya berjalan tertibkarena adanya kerjasama yang solid antarapemerintah, lembaga adat dan masyarakat (AliMuhammad Rusydi, 2003: 147).

Ketika Sultan Iskandar Muda memimpinKerajaan Aceh dalam rentang tahun 1607-1636,Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesatdalam berbagai aspek kehidupan. Salahsatunya termasuk aspek penataan hukum

adat (Moehammad Hoesin, 1970: 54). Hukumadat Aceh sangat dikenal di hampir sebagianbesar penjuru dunia khusunya di wilayah eropadaratan seperti Belanda maupun diluar eropadartan seperti Inggris, Pertugis, termasuk diwilayah timur tengah seperti Turki, arab, Gujaratdan India termasuk juga di kawasan AsiaTenggara seperti Jepang, Vietnam, Thailand,Kamboja Malaysia, Filipina dan lainya (HusniBahri Tob, 2003: 43).

Ada beberapa faktor yang menyebabkanadat Aceh yang kemudian dikenal denganhukum adat di masa kejayaan Kerajaan Sul-tan Iskandar Muda dikenal serta dikagumi olehhampir di sebagian besar negara-negara didunia, yaitu (Rusdi Sufi, 2002: 58).a. Hubungan diplomatis yang sangat erat

dengan pemerintah Turki. Hasil hubunganbilateral in i Sultan sering berbagipengalaman tentang kondisi kemajuan diAceh, termasuk adat-istiadatnya;

b. Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkanoleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasilditaklukkan sebagian besar adalah daerah-daerah Melayu. Misi Sultan adalahmenyebarluaskan agama Islam dan jugamemperkenalkan adat-istiadat Aceh.Secara tidak langsung, daerah yangberhasil ditaklukkan harus mengikutiaturan Kerajaan Aceh.

Oleh karenanya, menurut Ali Hasjmysebenarnya ada tiga cara nilai-nilai Islam dalammembangun kebudayaan masyarakat baik didunia maupun di Aceh, yaitu (Badruzzaman,2007: 26):1) meng-Islamkan kebudayaan yang telah

ada;2) menghapus sama sekali budaya yang

telah ada, yaitu budaya yang bertentangandengan aqidah dan ibadah;

3) m em bangun kebudayaan yang barusepenuhnya.

Kepiawaian Sultan Iskandar Muda jugatergambar jelas ketika berhasil mempersatu-kan beberapa suku yang masih menganut adatbudaya masing-masing menjadi adat nasional(hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan)(Van’t Veer, Paul, 1977: 35). Sebelum SultanIskandar Muda memimpin, di Aceh tersebarempat suku besar, yaitu (Masri Singarimbunet.al, 1985: 91):1) Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang

berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak;

Page 5: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

2) Suku Imuem Peut (Imam Empat), yangberasal dari orang-orang Hindu;

3) Suku Tok Batee, kaum asing yang berasaldari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yangsudah lama menetap di Aceh;

4) Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu,tukang tuak yang pertama sekali datangke Lampanaih.

Keempat suku ini saling mengklaim bahwabudaya mereka adalah yang terbaik di antarasuku-suku lain. Sultan-sultan sebelumnyasangat sulit mempersatukan keanekaragamanadat masing-masing suku, sehingga karenanyamasa tersebut dalam sejarah juga seringdisebut adat plakpleung yaitu adat yangberanekaragam (Van’t Veer, Paul, 1977: 47).Kejadian ini hampir sama seperti negara Indo-nesia yang terdiri dari ratusan suku. Kemudianatas beberapa nasehat dari mufti kerajaan danahli-ahli agama, maka Sultan telah dapatmenyatukan suku-suku yang berbeda tersebutdalam satu wadah pemerintahan (Van’t Veer,Paul, 1977: 47). Sehingga munculah hadihmaja (falsafah hidup) yang masih dikenalsampai sekarang, yaitu: adat bak PoteuMeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanunbak Putroe Phang, reusam bak Laksamana,hukom ngon adat lage zat ngon sifeut. Adapunpenjelasannya dari istilah di atas, yaitu (HakimNyak Pha, 2001: 52).a) Sultan Imam Malikul Adil sebagai kepala

pemerintahan adalah pemegang kekuasa-an politik dan adat negeri, atau pemegangkekuasaan eksekutif.

b) Qadli Malikul Adil (ulama) sebagai ketuamahkamah agung adalah pemegangkekuasaan hukum (yudikatif).

c) Rakyat adalah pemegang kekuasaanpembuatan undang-undang (legislatif)yang dalam hadih maja ini dilambangkansebagai Putroe Phang, yaitu PuteriPahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda)yang mempelopori pembentukan MajelisMahkamah Musyawarah Rakyat.

d) Pada waktu negara dalam keadaan baha-ya/perang, pemegang segala kekuasaandalam negara adalah Panglima TertinggiAngkatan Perang, yang dalam istilah ha dih m a j a in i d is eb u t s e b ag a iLaksamana, yaitu Wazirul Harb.

Selain itu, berdasarkan Hadih Maja (falsa-fah hidup) yaitu “Adat bak Poteu Meureuhom,Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak PutroePhang, Reusam bak Laksamana” maka dapatdisimpulkan bahwa Hadih Maja (Falsafah

52 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012

hidup) tersebut mengandung makna simbolis atau perlambang mengenai isi danpelaksanaan adatAceh, yaitu (Badruzzaman,

2007: 39).(1) Dilihat dari sudut politik pemerintahan,

hadih maja menunjuk kepada perlam-bangan pembagian kekuasaan: eksekutif,legislatif, yudikatif serta perlambangkearifan dan kebijaksanaan pelaksanaadat.

(2) Dilihat dari nama-nama yang tercantumdalam hadih maja maka makna simbolis-nya adalah:(a) Potoe Meureuhommerupakan lambang

kekuasaan eksekutif dan kebesarantanah Aceh;

(b) Syiah Kuala merupakan perlambang-an Ulama sebagai pemegang kekua-saan yudikatif;

(c) Putroe Phang merupakan perlam-bangan cendekiawan pemegangkekuasaan legislatif;

(d) Laksamana/Bentara m erupakanperlambangan dan kearifan dalammengatur keragaman adat kebiasaanyang terdapat dalam masyarakat.

(3) Dilihat dari produk adat maka hadih majatersebut menunjukkan ada empat macamadat Aceh yaitu:(a) Adat Mahkota (Adat Meukuta Alam),

yaitu produk adat yang berlakuumum untuk seluruh masyarakatAceh (kerajaan) yang telah melaluiproses inventarisasi Adat Reusam,penentuan peraturan pelaksanaannya(Qanun);

(b) Adat Tunnah, yaitu produk adat yangtelah ditentukan hukum Islam yamgmenjiwainya;

(c) Adat Mahkamah, yaitu produk adatyang telah diatur ketentuan pelak-sanaannya (Qanun);

(d) Adat Reusam, yaitu produk adatyang berupa berbagai keragamanadat yang terdapat dan berlaku didaerah setempat di seluruh Aceh.

2. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat danLembaga-Lembaga Adat di Aceha. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di

AcehIsu masyarakat hukum adat populer

secara internasional berawal dari gerakanprotes masyarakat asli (native peoples)di Amerika Utara, yang meminta keadilanpembangunan akibat kehadiran sejumlah

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

Page 6: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 53

perusahaan transnasional di bidangpertambangan yang beroperasi di wilayahmereka. Gerakan protes tersebutmendapat respon positif Organisasi BuruhInternasional ( International LabourOrganisation) pada tahun 1950-an dalamupaya melindungi tenaga kerja. Melaluilembaga ini (ILO), istilah masyarakat adatdipopulerkan dengan sebutan indigenouspeoples sebagai isu global di lembaga-lembaga PBB. Pada tahun 1989, ILOmemperbaharui Konvensi tentangPerlindungan dan Integrasi Penduduk Aslidan Masyarakat Suku tersebut menjadiKonvensi Nomor 169 (Azmi Sirad-judin, 2004.). Sekarang, istilah indigenouspeople semakin resmi penggunaannyadengan lahirnya Deklarasi PBB tentangHak-hak Masyarakat Adat (United NationDeclaration on the Rights of IndigenousPeople) pada tahun 2007 (Yance Arizona,2008).

Di Indonesia, istilah indigenous peo-ples diterjemahkan dengan “masyarakatadat”, yang pada tahun 1993, disepakatisebagai suatu istilah pengganti sebutanyang beragam. Selanjutnya, sebagaimanaditetapkan dalam Kongres MasyarakatAdat Nusantara (KMAN) pertama yangdiselenggarakan pada bulan Maret 1999,disepakati bahwa masyarakat adat adalahkelompok masyarakat yang memiliki asalusul leluhur (secara turun-temurun) diwilayah geografis tertentu, serta memilikisistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,budaya, sosia l dan wilayah sendiri(Keputusan Kongres Masyarakat AdatNusantara No. 01/KMAN/1999). Semen-tara dalam redaksinya yang lain, Prof. T.Djuned, mengemukakan beberapakarakteristik masyarakat adat, yaitu (T.Djuned, 2003: 49):1) menjalankan sistem pemerintahan

sendiri;2) menguasai dan mengelola sumber

daya alam dalam wilayahnya ter-utama untuk kemanfaatan warganya;

3) bertindak ke dalam mengatur danmengurus warga serta lingkungan-nya. Ke luar bertindak atas namapersekutuan sebagai badan hukum;

4) hak ikut serta dalam setiap transaksiyang menyangkut lingkungannya;

5) hak membentuk adat;6) hak m enyelenggarak an sejenis

peradilan.

Di Indonesia, masyarakat adat telahada beratus-ratus tahun yang lalu, jauhsebelum lahirnya negara ini. Mereka telahmemilik i sis tem kebudayaan yangkompleks dalam tatanan kemasyara-katannya. Indonesia seharusnya merasaberuntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang jumlahnya lebihdari seribu komunitas. Keberadaan mere-ka merupakan suatu kekayaan bangsa,karena ada lebih dari seribu ragam ilmupengetahuan yang telah mereka kem-bangkan. Ada lebih seribu bahasa yangtelah dimanfaatkan dan dapat membantupengembangan khasanah Bahasa Indone-sia dan masih banyak lagi hal-hal lain yangmereka sumbangkan (Sandra Moniaga,2002: 73).

Di dalam kehidupan sosial masyara-kat Aceh terdapat beberapa kelompoketnik /adat dengan identitas dankeberadaan sesuai sejarah keturunan,wilayah, dialek bahasa, sosial budaya, danhukum-hukum trad isional. Setiapkelompok ini merupakan kelompokotonom dan independen dalam mengaturkom unitas-nya sebagaimana halnyadalam pengelo-laan sumber daya alam.Unit terkecil dari kelompok masyarakatadat ini disebut gampông (kampong setaradengan desa). Setiap gampông dikepalaioleh seorang Keuchik atau Geuchik(kepala desa). Setiap gampông adasebuah meunasah yang dipimpin olehseorang Imum Meunasah. Beberapagampông akan tergabung dalam unit yanglebih besar yang disebut Mukim. SetiapMukim dikepalai oleh seorang ImuemMukim. Pada zaman dahulu mukimdipimpin oleh seorang Ulee Balang, yaituPanglima Kesultanan. Dalam tingkatgampông dan mukim ini terdapat institusiadat yang berperan dalam kehidupansosial budaya, ekonomi, dan politik dimasyarakat. Di samping itu, juga terdapathukum adat yang otonom di setiap unitwilayah.

Sejak dikeluarkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979, strukturpemerintahan mukim mulai tersingkir,namun peran mukim di desa-desa seluruhAceh tetap masih berjalan. Hal ini terlihatdengan masih terdapatnya Imum Mukimdi desa tersebut yang berperan dalammemecahkan berbagai persoalan digampông-gampông.

Page 7: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

54 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

Persoalan mukim pada akhirnyadiakui juga oleh pemerintah dengandimuatnya dalam Undang UndangPemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun2006. Dijelaskan bahwa mukim sudahtermasuk ke dalam struktur pemerintahanAceh. Im um Mukim sebagai kepalapemerintahan tingkat mukim berperansebagai jembatan antara pemerintahandengan adat yang ber laku dalammasyarakat setempat. Dalam kontekspenataan ruang, mukim harus dijadikansebagai unit terkecil pada perencanaanpenataan ruang/wilayah.

Berdasarkan fakta sejarah, sangatlahberalasan apabila kemudian SnouckHugronje berpendapat bahwa pembagiankewilayahan dalam bentuk mukim telahmapan di Aceh dan dengan cara yangseragam, baik di kawasan Aceh Rayeukmaupun di kenegerian-kenegerian di luarnya(Masri Singarimbun.et.al, 1985: 90-91). Olehkarenanya, Zainuddin H.M menyatakanbahwa mukim m erupa-kan AtjehcheOrganisasi atau sebuah organisasi khasAceh (Zainuddin , 1961: 317).

Meskipun secara juridis lembagapemerintahan mukim baru diakui kembalikeberadaannya sejak tahun 2001 setelahdiberlakukannya Undang Undang tentangOtonomi Khusus Nanggroe AcehDarussalam, atau tepatnya pada tahun2003 setelah diundangkannya QanunNAD tentang Pem erintahan Mukim .Namun Secara de facto, keberadaanmukim masih cukup eksis dan diakui diseluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antarawarga masyarakat Aceh te rd a pa tberagam suku dan kultur yang berbeda(T. Djuned (et.al), 2003: 38).

Suatu masyarakat agar dapatdikatakan sebagai masyarakat hukumadat (rechtgemeinschaap), haruslahterpenuhi beberapa syarat sebagaimanasering dikemukakan oleh para ahli dankemudian ditegaskan pula dalamperaturan perundang-undangan. Syaratdimaksud menurut Penjelasan Pasal 67Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan, adalah:1) masyarakatnya masih dalam bentuk

paguyuban (rechsgemeenschap);2) terdapat kelembagaan dalam bentuk

perangkat penguasa adatnya;3) terdapat wilayah hukum adat yang

jelas;

4) terdapat pranata hukum, khususnyaperadilan adat yang masih ditaati; dan

5) masih mengadakan pemungutanhasil hutan di wilayah hutansekitarnya untuk pemenuhankebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut hemat penulis, semuapersyaratan di atas dapat ditemukandalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong (desa-desa) di dalam kehidupanmasyarakat Aceh. Adapun analisis danpembuktiannya sebagai berikut.Pertama, sebagian besar warga gampongmasih memiliki ikatan geneologis dengansesamanya. Dengan demikian, kepedu-lian dan kebersamaan di gampong danjuga di dalam suatu kemukiman terutamayang bermukim bukan di perkotaan salingketerikatan bukan hanya dikarenakansolidaritas territorial, tetapi m emangmerasa sekaum seketurunan (gemeen-schap). Warga gampong masih memilikiperasaan bersalah atau berdosa jika tidakmelayat ke rumah warga gampong kitayang tertimpa musibah. Begitu pula jikaada tetangga yang melakukan hajatan(meukereuja), para warga gampong sejakmalam hari hingga selesainya khan-duri tersebut terus membantu dengansegala upaya agar acara dim aksudsukses dengan tiada kekurangan sesuatuapapun. Bahkan, seringkali pula pihakyang melakukan hajatan melimpahkansepenuhnya penyelenggaraan khanduritersebut pada geusyiek, selaku kepalagampong. Hal tersebut menunjukkanbahwa kehidupan masyarakat mukim ataugampong di Aceh yang m as ihgemeenschap, bukan gesselschap.Kedua, di dalam kehidupan kemuki-mandi Aceh masih ditemukan adanyalembaga-lembaga adat beserta perangkatpenguasa adatnya (Taqwaddin, 2009:49). Sampai saat ini masih ditemukaneksisnya kelembagaan adat di Acehdengan susunan sebagai berikut.(1) Lembaga pemerintahan mukim yang

diketuai oleh imeum mukim.(2) Lembaga keagamaan yang dipimpin

oleh imeum meseujid.(3) Lembaga musyawarah mukim yang

dipimpin oleh tuha lapan.(4) Lembaga pemerintahan gampong

dipimpin oleh geusyiek.

Page 8: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 55

(5) Lembaga keagamaan di gampongdipimpin oleh imeum meunasah, dan

(6) Lembaga musyawarah gampongoleh tuha peut.

(7) Lembaga adat persawahan yangdipimpin oleh kejruen blang.

(8) Lembaga adat laot yang dipimpinoleh panglima laoet.

(9) Lembaga adat perkebunan yangdipimpin oleh peutua sineboek.

(10) Lembaga adat hutan yang dipimpinoleh panglima uteun atau pawangglee.

(11) Lembaga adat lalulintas laut yangdipimpin oleh syahbanda.

(12) Lembaga adat perdagangan yangdipimpin oleh haria peukan.

Keberadaan lem baga adat di suatukemukiman bergantung pada letakgeografi kemukiman tersebut, sehingga,dapat terjadi, pada suatu kemukiman adalembaga adat yang tidak ada padakemukiman lainnya. Misalnya, lembagaadat laothanya ada pada kemukiman yangwilayahnya di pesisir laut. Begitu pulalembaga adat hutan hanya ada padakemukiman yang memiliki wilayah hutan.Namun ada pula kemukiman yangmemiliki lembaga adat hutan dan jugalembaga adat laut, jika di kemukimantersebut terdapat wilayah laut dan gunung.Ketiga, ada wilayah hukum adat yangjelas. Suatu kemukiman adalah suatujuridiksi territorial yang jelas dan tegasdalam masyarakat Aceh. Artinya, jelaswilayah dan batas-batasnya. Hanya saja,seringkali batas-batas tersebut tidaktersurat di dalam suatu naskah tertulistetapi hanya berupa batas-batas alamyang mengacu pada penuturan paranenek moyang (endatu) terdahulu. Batasini dapat berupa: sungai (krueng) ,tebing (tereubeng), alur (alue), lorong(juroeng), pem atang (ateung), parit(lueng), dan lain-lain.Keempat, masih adanya peradilan adat.Pada masa Kerajaan Aceh sampai awalkemerdekaan, dan juga akhir-akhir ini,kecuali Era Orde Baru, di gampong-gampong dan juga di kemukiman memilikisistem musyawarah penyelesaiansengketa. Padamasa Sultan IskandarMuda, “perkara-perkara kecil biasanyadiselesaikan oleh keuciek dengan tengkumeunasahyang dibantu oleh tuha

peut. Tanpa vonis, maksudnya, tanpakalah menang persengketaan itudiselesaikan secara damai yang disebutdengan hukum peujroh (hukum kebaikan).Dengan demikian, dari aspek historis,sejak dahulu kala gampong telah memilikikewenangan untuk menyelesaikanperkara-perkara kecil, penjurian kecil,perkelahian, perkara-perkara sipil yangkecil-kecil yang nilai perkaranya tidak lebihdari 100 ringgit, dan lain-lain (Taqwaddin,2009: 38). Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh, telah mulai lagidilakukan penyelesaian perkara secaraadat di gampong-gampong dan bahkansampai pada tingkat kemukiman(Taqwaddin, 2008: 42). Kini malah sistempenyelesaian sengketa secara adat telahmendapat pengaturannya yang cukuptepat di dalam satu bab tersendiri padaQanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentangPembinaanAdat.Kelima , masyarakat hukum adatmengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuh-an kebutuhan hidup sehari-hari. Menurutpenulis, syarat ini masih terpenuhi di dalammasyarakat Aceh. Masih banyak wargagampong yang menggantungkan hidup-nya pada hutan dengan memungut hasilhutan sebagai mata pencahariannya. Meuglee, meu awe, meu rusa, meu uno, danlain-lain adalah kegiatan pemungutan hasilhutan di Aceh yang dilaksanakan dengansegala kearifan tradisional. Bahkanpemungutan hasil hutan berupa kayu punlazim dilakukan oleh warga gampong yangberdomisili di sekitar hutan. Hanya sajadengan dikeluarkan Instruksi GubernurNomor 5 Tahun 2007 tentang MoratoriumLogging, kegiatan ini banyak menimbulkanmasalah saat ini.

Terpenuhinya kelima syarat sebagai-mana dimaksud oleh Undang UndangNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,yang kemudian juga dinyataan dalamQanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentangPemerintahan Mukim, maka jelaslahbahwa pemerintahan mukim di Acehmerupakan masyarakat hukum adat Aceh(Taqwaddin, 2009: 270). Sehubungan haltersebut, maka mukim se b a ga ipersekutuan masyarakat hukum adatmemiliki kewenangan dan hak asal usul,berupa (T. Djuned, 2003: 31):

Page 9: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

56 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

(a) menjalankan sistem pemerintahansendiri;

(b) menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya ter-utama untuk kemanfaatan warganya;

(c) bertindak ke dalam mengatur danmengurus warga serta lingkungan-nya. Ke luar bertindak atas namapersekutuan sebagai badan hukum;

(d) hak ikut serta dalam setiap transaksiyang menyangkut lingkungannya;

(e) hak membentuk adat;(f) hak m enyelenggarakan sejenis

peradilan.

b. Eksistensi Lembaga-lembaga Adat diAceh

Terkait kelembagaan adat, melaluiPasal 1 ayat (5) Peraturan Daerah (Perda)Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penye-lenggaraan Kehidupan Adat, diulas seputarlembaga adat, yang menyebutkan bahwa:“Lembaga Adat adalah suatu organisasikemasyarakatan adat yang dibentuk olehsuatu masyarakat hukum adat tertentu,mempunyai wilayah tertentu dan hartakekayaan sendiri serta berhak danberwenang untuk mengatur dan mengurusser ta menyelesa ikan hal-hal yangberkaitan dengan adat Aceh”. Selain itu,definisi lembaga adat juga diberikan dalamQanunAceh Nomor 10 Tahun 2008 tentangLembaga Adat, Bab I Ketentuan Umum,tepatnya Pasal 1 angka 9 yang hakekat-nya memberikan rumusan definisi yangsama sebagaimana dirumuskan Pasal 1ayat (5) Peraturan Daerah (Perda) Nomor7 Tahun 2000 tersebut diatas.

Selanjutnya, keberadaan lembaga-lembaga adat secara umum padahakikatnya dibangun oleh tiga elemen atauunsur utama baik yang bersifat suprastruktur m aupun infra struktur yaitu(Muhammad Hakim Nyak Pha, 2001: 48).1) Organisasi Desa

Desa ialah suatu kesatuan ke-masyarakatan berdasarkan ketung-galan wilayah yang organisasinyadidasarkan atas tradisi yang hidupdalam suasana rakyat dan mempu-nyai suatu badan tata urusan pusatyang berwibawa di seluruh lingkunganwilayahnya. Ia merupakan kesatuanbertunggal wilayah terbesar dalamsuasana rakyat dan m erupakanorganisasi pemerintahan. Desa dapat

dibagi atas tiga jenis berikut ini.(Taqwaddin, 2009: 37):a) Desa bersentralisasi, yaitu orga-

nisasi desa yang sederhana,wilayahnya tidak terbagi-bagi,sehingga segala kepentinganrumah tangga seluruh wilayah-nya diselenggarakan oleh suatubadan tata urusan pusat yangmerupakan satu-satunya badantata urusan yang berwibawa diseluruh wilayahnya. Contohnyadesa di Jawa, Madura dan Bali.

b) Desa berdesentralisasi, yaitudesa yang luas wilayahnya,terbagi atas wilayah lebih kecil,yang masing-masing dalam batasotonomi tertentu dalam meng-urus kepentingan dalam rumahtangganya sendiri. Di sampingsuatu badan tataurusan pusatyang berwibawa di seluruhwilayah desa, ada jua badan-badan tata urusan setempat yangberwibawa dalam bagian masing-masing. Ini bertujuan untukmengurus dan mengatur rumahtangganya dan memiliki kewiba-waannya selaku amanat dari badantata urusan pusatnya. Contoh diwilayahAngkola danMandailing.

c) Serikat Desa-desa, yaitu desayang le taknya berbatasan,mungkin mengadakan persetu-juan bersama untuk m eng-gabungkan beberapa jeniskepentingan bersama sepertikepentingan pengairan, lalulintas, dan lainnya.

Oleh karena itu, desa memilikifungsi dan konsekuensi yang pentingdalam hukum adat, yaitu :a) merupakan subyek hak purba atas

tanah yang merupakan wilayah-nya;

b) merupakan m asyarakat danbadan hukum yang berwibawadalam perkembangan danpemeliharaan Hukum Adat.

2) Ketunggalan SilsalahDalam menyelidiki ketunggalan

silsilah maka perlu diperhatikan, yaitu:a) dihitung satu orang leluhur yaitu

sang pemuka menjadi peletakdasar garis keturunan;

Page 10: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 57

b) dihitung dari seorang terkemukatanpa pembatasan berapagenerasi jauhnya;

c) diperhitungkan suatu rantaiketurunan istimewa;

d) mungkin juga dihitung melaluigaris yang tidak berketentuan.

3) Paguyuban HidupPaguyuban hidup berm ak na

suatu himpunan, kumpulan, maupunkelompok dari suatu komunitasmanusia yang dalam interaksi sosialsatu dengan lainnya selain memilikiikatan kebatinan yang kuat denganperasaan satu kaum juga memilikikatakter yang khas dan menonjolsehingga menjadi suatu identitaskolektif dan manunggal.

Lembaga-lembaga adat di Aceh yanghidup dan berkembang secara kultur,historis, dan sosiologis penuh dengantantangan global dan distorsi sebagaikrisis social, budaya, ekonomi, danpolitik, pada umumnya dapat diklasifikasi-kan dalam dua kelompok, yaitu (T. Djuned,2003: 38):1) Kelompok lembaga adat tradisional,

seperti kawasan Mukim, kawasanGampong, kawasan Laot, kawasanBlang (persawahan) , kawasanpelabuhan (kesyahbandaran), dankawasan-kawasan kecil lainnya.Penanganan/pengelolaan kelompok-kelompok dimaksud dilakukan olehlembaga-lembaga fu ng s ion a l(fungsionaris adat), seperti ImuemMukim, Keuchik, Imuem Meunasah,Imuem Chik, Tuha Peut, Tuha Lapan,Panglima Laot, Keujruen Blang,Peutua Seuneubok, Haria Peukan,Syahbanda dan fungsi-fungsi lainnyadalam bentuk yang lebih kecil.

2) Kelompok lembaga adat formal (semipemerintahan). Kelompok lembaga-lembaga ini sesuai dengan sosiologiskehidupan masyarakat dalamkonteks sinkronisasi dengan kebijak-an tugas-tugas pemerintahan, makaatas legalisasi pemerintah pusat/daerah dibentuklah lembaga-lembagaadat dengan Surat Keputusan Guber-nur Kepala daerah Istimewa Aceh.

Keberadaan masyarakat hukum adatdan lembaga adat dengan kepekaan dansensitifitas kearifan lokal yang dimilikinya

telah menempatkannya menjadi salahsatu alternat if dalam mekanismepenyelesaian berbagai persoalan yangterjadi di masyarakat (Taqwaddin, 2009:32). Lembaga adat yang berkembangdalam kehidupan masyarakat Aceh sejakdahulu hingga sekarang mempunyaifungsi dan berperan dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturanuntuk mewujudkan keamanan, keharmoni-sasian, ketertiban, ketentraman, keru-kunan dan kesejahteraan bagi masyarakatAceh sebagai manifestasi untuk mewujud-kan tujuan-tujuan bersama sesuai dengankeinginan dan kepentingan masyarakatsetempat.

Di Indonesia dan di Aceh khususnya,keberadaan hukum adat, masyarakathukum adat beserta dengan lembaga adattelah mendapat pengakuan danpenghormatan dari negara secara resmisebagaimana yang tertuang dalam hukumdasar Negara (grondwet) Republik Indone-sia yaitu UUD Negara Republik IndonesiaTahun 1945, tepatnya dalam Pasal 18 Bhasil amandemen dinyatakan sebagaiberikut.

Ayat (1), Negara m engakui danmenghormati satuan-satuan pemerintahandaerah yang bersifat khusus atau bersifatistimewa yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2), Negara m engakui danmenghormati kesatuan-kesa tuanmasyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakatdan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat(3) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Identitasbudaya dan hak masyarakat tradisionaldihormati selaras dengan perkembanganjaman dan peradaban”. Dengan demikianjelaslah bahwa Pasal 18 B ayat (1) dan(2), dan Pasal 28 I ayat (3) tersebutmerupakan dasar legitimasi pengakuanmasyarakat hukum adat yang ada didaerah, khususnya di Aceh untukmembentuk lembaga-lembaga daerahsebagai bentuk penjabaran lebih lanjutsemangat konstitusi.

Selain itu, pengaturan mengenaimasyarakat hukum adat dan lembaga adatdiperkuat dengan adanya penjabaran lebih

Page 11: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

58 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

lanjut ke dalam beberapa Undang Undang,di antaranya dikeluarkannya UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia, yang Pasal 6 ayat(1) dan (2) menyatakan sebagai berikut.(1) Dalam rangka penegakan hak asasi

manusia, perbedaan dan kebutuhandalam masyarakat hukum dapatharus diperhatikan dan dilindungi olehhukum, masyarakat dan pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukumadat, termasuk hak atas tanah ulayatdilindungi, selaras denganperkembangan zaman.Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 (TLN No.3886) menyebutkan bahwa: “Hak adatyang secara nyata masih berlaku dandijunjung tinggi di dalam lingkunganmasyarakat hukum adat harus dihormatidan dilindungi dalam rangka perlindungandan penegakan Hak Asasi Manusia dalammasyarakat bersangkutan denganmemperhatikan hukum dan peraturanperundang-undangan”. Selanjutnya,dalam bagian Penjelasan Pasal 6 ayat (2)dinyatakan bahwa: “Dalam rangkapenegakan Hak Asasi Manusia, identitasbudaya nasional masyarakat hukum adatyang masih secara nyata dipegang teguholeh masyarakat hukum adat setempat,tetap dihormati dan dilindungi sepanjangtidak bertentangan dengan asas-asasnegara hukum yang berintikan keadilandan kesejahteraan masyarakat”. Kehadir-an Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999tersebut melengkapi dalam mengukuhkankeberadaan masyarakat hukum adatbeserta kelembagaan adat yang ada diIndonesia, khususnya di Aceh.

Dalam konteks khusus kedaerahanAceh, dasar hukum pengakuan danpenghormatan masyarakat hukum adatsekaligus pembentukan lembaga adatjuga diatur lebih lanjut dalam UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 tentangPenyelenggaraan Keistimewaan Acehsebagai manifestasi amanat Konstitusi,yang mana dalam Pasal 3 ayat (2) yangmenyebutkan bahwa: “PenyelenggaraanKeistimewaan meliputi penyelenggaraankehidupan beragama; penyelenggaraankehidupan adat; penyelenggaraanpendidikan; dan peran ulama dalampenetapan kebijakan daerah.

Keistimewaan berkait penyelengga-raan keh idupan adat sebagaimanatersebut di atas merupakan dasar hukumbagi Pemerintah Aceh untuk menjabarkanlebih lanjut berbagai hal dalampenyelenggaraan kehidupan adat ke dalambentuk berbagai produk hukum daerahberupa Qanun atau Peraturan Daerah(Perda). Melaui Undang Undang Nomor 44Tahun 1999 tentang Keistimewaan Acehtersebut, Pemerintah Aceh telah diberiwewenang oleh Pemerintah untukmelakukan dua hal sebagaimana yangdiamanatkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7,Bagian Ketiga mengenai PenyelenggaraanKehidupan Adat menyebutkan bahwasebagai berikut.

Pasal 6: Daerah dapat menetapkanberbagai kebijakan dalam upaya pember-dayaan, pelestarian, dan pengembanganadat serta lembaga adat di wilayahnya yangdijiwai dan sesuai degan syariat Islam.

Pasal 7: Daerah dapat membentuklembaga adat dan mengakui lembaga adatyang sudah ada sesuai dengankedudukannya masing-masing di Provinsi,Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemuki-man, Desa atau Gampong.

Dalam rangka memperkuat sekaligusmenindak lanjuti Undang Undang Nomor44 Tahun 1999 tersebut, Pemerintah Acehtelah mengeluarkan Peraturan Daerah(Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat. Selainitu, sebagai bentuk tindak lanjut dankosistensi maka Pemer intah Acehmengeluarkan QanunAceh Nomor 9 Tahun2008 tentang Pembinaan Kehidupan AdatdanAdat Istiadat, dan QanunAceh Nomor10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Keberadaan lembaga-lembaga adatdi Aceh pengaturannya terdapat dalamPasal 98 ayat (3) Undang Undang Nomor11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Acehmaupun Pasal 2 ayat (2) (PeraturanDaerah) Provinsi Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat yang menempat-kan struktur kelembagaan adat di Aceh kedalam beberapa jenis dan hierarki yangsama meliputi: a. Majelis Adat Aceh(MAA); b. imeum mukim atau nama lain;c. imeum chik atau nama lain; d. keuchikatau nama lain; e. tuha peut atau namalain; f. tuha lapan atau nama lain; g. imeummeunasah atau nama lain; h. keujreun

Page 12: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 59

blang atau nama lain; i. panglima laot ataunama lain; j. pawang glee atau nama lain;k. peutua seuneubok atau nama lain; l.haria peukan atau nama lain; dan m.syahbanda atau nama lain”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 98ayat (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun2006 maupun berdasarkan Pasal 2 ayat(2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 208tentang Lembaga Adat, secara strukturaltelah menempatkan Majelis Adat Aceh(MAA) sebagai lem baga adat yangmembawahi lembaga-lembaga adat lainseperti: Imuem mukim; Imuem chik;Keuchik; Tuha peuet; Tuha lapan; Imuemmeunasah; Keujreun blang; Panglima laot;Pawang glee; Peutua seuneubok; Hariapeukan; Syahbanda.

Dalam hal pembinaan kehidupan adatdan adat istiadat di Aceh dilakukan sesuaiperkembangan keis timewaan dankekhususan Aceh yang berlandaskannilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakanoleh Wali Nanggroe sebagaimana yangdiamanatkan dalam Pasal 99 ayat (1)Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006tentang Pemerintahan Aceh.

Kelembagaan W ali Nanggroemerupakan kepemimpinan adat sebagaipemersatu masyarakat yang independen,berwibawa, dan berwenang membina danmengawasi penyeleng-garaan kehidupanlembaga-lembaga adat, adat istiadat, danpemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

Dalam rangka memperkuat kedudu-kan dan daya berlakunya kelembagaanadat di Aceh, maka melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh, pemerintah telahmenempatkan gubernur dalam kedu-dukannya sebagai wakil pemerintah, yangmemiliki tugas dan wewenang meng-koordinasikan lima hal, yang salah satu-nya adalah dalam pembinaan dalampenyelenggaraan kekhususan dan keisti-mewaan Aceh khususnya di bidang Adatistiadat sebagaimana yang diamanatkanPasal 43 ayat (1).

Dengan demikian, jelaslah bahwakeberadaan (ekesistensi) kelembagaanadat selain telah mendapatkan pengakuandan penghormatan secara yuridis formal,baik dalam skala nasional maupun lokal,juga telah menunjukkan eksistensinyamelalui berbagai kiprah dalam melaksana-

kan berbagai langkah penataan, pembina-an tata kehidupan masyarakat, termasukdalam menyelesaikan permasalahansosial yang timbul di masyarakat.

3. Tugas, Fungsi dan Wewenang Lembaga-Lembaga Adat di Aceh dalam RangkaPenyelenggaraan Keist imewaan danOtonomi Khusus di Aceh

Amanat Pasal 98 ayat (4) Undang-UndangNomor 11 Tahun 2006 pada hakikatnyamenghendaki pengaturan lebih lanjut seputartugas, wewenang, hak dan kewajiban lembagaadat, pemberdayaan adat, dan pembinaankehidupan adat istiadat ke dalam suatu bentukQanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh.Dalam rangka menindaklanjuti hal tersebut,maka dikeluarkanlah dua Qanun yaitu, QanunAceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang PembinaanKehidupan Adat dan Adat Istiadat dan QanunAceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang LembagaAdat.

Keberadaan kelembagaan adat di Acehmemiliki peran sangat strategis dan signifikandalam melakukan penataan, penanaman, sertapengawasan terhadap tata prilaku masyarakatmelalui para fungsionaris adat yang terkait(Kurniawan, 2010: 59). Lembaga-lembaga adattersebut hakikatnya memiliki fungsi dan peransebagai wahana partisipasi masyarakat dalampenyelenggaraan Pemerintahan Aceh danPemerintahan Kabupaten/Kota di bidangkeamanan, ketenteraman, kerukunan, danketertiban masyarakat baik sebagaimana yangdiamanatkan dalam Pasal 98 ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 maupun dalamPasal 2 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun2008 tersebut.

Lembaga-lembaga adat yang ada di Acehmemiliki sejumlah kewenangan sebagaimanayang diamanatkan Pasal 4 Qanun (PeraturanDaerah Provinsi) Aceh Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat yaitu:a. m enjaga keam anan, ketenteram an,

kerukunan dan ketertiban masyarakat;b. membantu pemerintah dalam pelaksanaan

pembangunan;c. mengembangkan dan mendorong

partisipasi masyarakat;d. menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan

adat istiadat yang tidak bertentangandengan syariat Islam;

e. menerapkan ketentuan adat;f. menyelesaikan masalah sosial kemasya-

rakatan;

Page 13: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

60 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

g. mendamaikan sengketa yang timbuldalam masyarakat;

h. menegakkan hukum adat.

Adapun tugas, fungsi dan wewenanglembaga- lembaga adat di Aceh, baiksebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat (3)Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh maupun dalam Pasal 2ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008tentang LembagaAdat, adalah sebagai berikut.

a. Majelis Adat Aceh (MAA)Majelis Adat Aceh yang selanjutnya

disebut MAA merupakan sebuah majelispenyelenggara kehidupan adat di Acehyang struktur kelembagaannya sampaitingkat gampong (desa) (Pasal 1 angka10 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentanglembaga Adat). MAA bertugas membantuWali Nanggroe dalam membina,mengkoordinir lembaga-lembaga adatsebagaimana yang diamanatkan Pasal 7ayat (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat. MAA memilikistruktur berjenjang untuk membina,mengkoordinir lembaga-lembaga adatyang ada di seluruh wilayah Aceh.Pengaturan jenjang struktural kelemba-gaan MAA diatur dalam Pasal 2 QanunNomor 3 Tahun 2004 tentang Pemben-tukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja(SOTK) MAA, Pembentukan danKedudukan MAA), yang terdiri atas:1) MAA Propinsi dibentuk oleh gubernur

berkedudukan di ibukota propinsi.2) MAA Kabupaten/Kota dibentuk oleh

bupati/walikota berkedudukan diibukota kabupaten/kota.

3) MAA Perwakilan dibentuk oleh MAAPropinsi berkedudukan di tempatmasyarakat Perwakilan berada.

4) MAA yang dibentuk oleh camat,karena di ibukota kecamatan dalamPropinsi Nanggroe Aceh Darussalamdapat dibentuk MAA oleh camat.

5) Majelis Adat Mukim dan Gampongdibentuk oleh bupa t i/wa liko taberkedudukan di mukim dangampong masing-masing.Selain itu, dalam menjalankan

fungsinya, MAA sebagai lembaga adatyang membawahi lembaga-lembaga adatlainnya di Aceh mempunyai wewenang(Lihat Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 3Tahun 2004 tentang Pembentukan,

Susunan Organisasi dan Tata KerjaMajelis Adat Aceh,):1) mengkaji dan menyusun rencana

penyelenggaraan kehidupan adat;2) membentuk dan mengukuhkan

lembaga adat;3) menyampaikan saran dan pendapat

kepada Pemerintahan dalam kaitanpenyelenggaraan kehidupan adatdiminta maupun tidak diminta.

Dalam upaya memberdayakankembali sendi-sendi hukum adat dalamurusan pemerintahan, maka lembaga adatk hususnya MAA mempunyai fungsisebagaimana telah diamanatkan dalamPasal 5 Qanun Nomor 3 Tahun 2004 :1) meningkatkan pemeliharaan, pem-

binaan dan menyebarluaskan adatistiadat dan hukum adat dalammasyarakat sebagai bagian yangtidak terpisahkan dari adat di Indo-nesia;

2) meningkatkan kemampuan tokohadat yang profesional sesuai dengankeadaan dan kebutuhan masyarakatdi daerah;

3) meningkatkan penyebarluasan adatAceh ke dalam masyarakat melaluikeureja udep dan keureja mate,penampilan kreativitas, dan mediamassa;

4) menyelenggarakan pembinaan danpengembangan fungsi Peradilan AdatGampong dan peradilan Adat Mukim;

5) mengawasi penyelenggaraan adatistiadat dan hukum adat supaya tetapsesuai dengan Syariat Islam;

6) peningkatan kerja sama denganberbagai pihak, perorangan maupunbadan-badan yang ada kaitannyadengan masalah adat Aceh khusus-nya, baik di dalam maupun di luarnegeri, sejauh tidak bertentangandengan agama, adat istiadat danperundang-undangan yang berlaku;

7) m enyusun risalah-risalah untukmenjadi pedoman tentang adat;

8) ikut serta dalam setiap penyeleng-garaan Pekan Kebudayaan AcehProvinsi dan Kabupaten/Kota;

(9) mengusahakan perwujudan maksuddan makna falsafah hidup dalammasyarakat sesuai dengan “AdatBak Poteumeureuhom, Hukom Bak

Page 14: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Syiah Kuala, Qanun Bak PutroPhang, Reusam Bak Laksama”.

b. Imeum Mukim atau Nama LainImeum Mukim adalah k esatuan

masyarakat hukum di bawah kecamatanyang terdiri atas gabungan beberapagampong yang mempunyai batas wilayahtertentu yang dipimpin oleh Imeum mukimatau nama lain dan berkedudukanlangsung di bawah camat (Pasal 1 angka13 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat). Imeum Mukimatau nama la in memilik i tugas: 1)melakukan pembinaan masyarakat; 2)melaksanakan kegiatan adat istiadat; 3)menyelesaikan sengketa; 4) membantupeningkatan pelaksanaan syariat Islam;5) membantu penyelenggaraan pemerin-tahan; dan f) membantu pelaksanaanpembangunan (Pasal 8 Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008).

c. Imeum Chik atau Nama LainBerdasarkan rumusan Pasal 1

angka 16, Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008 tentang Lembaga Adat,Imeum Chik atau nama lain adalahimeum masjid pada tingkat mukim yangmemimpin kegiatan-kegiatan masyarakatdi mukim yang berkaitan bidang agamaIslam dan pelaksanaan syari’at Islam.Adapun tugas Imeum Chik atau namalain sesuai amanat Pasal 11 Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008 ialah a) mengkoor-dinasikan pelaksanaan keagamaan danpeningkatan peribadatan serta pelaksa-naan Syari’at Islam dalam kehidupanmasyarakat; b) mengurus, menyeleng-garakan dan memimpin seluruh kegiatanyang berkenaan dengan pemeliharaan danpemakmuran masjid; dan c) menjaga danmemelihara nilai-nilai adat, agar tidakbertentangan dengan Syari’at Islam.

d. Keuchik atau Nama LainKeuchik atau nam a lain adalah

kepala persekutuan masyarakat adatgampong yang bertugas menyelengga-rakan pemerintahan gampong, melestari-kan adat istiadat dan hukum adat, sertamenjaga keamanan, kerukunan, ketentra-man dan ketertiban masyarakat (Pasal 1angka 17 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun2008 ). Adapun tugas Keuchik atau namalain adalah: a) membina kehidupanberagama dan pelaksanaan Syari’at Islamdalam masyarakat; b) menjaga danmemelihara adat dan adat istiadat yang

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012

hidup dan berkembang dalam masyarakat;c) memimpin penyelenggaraan pemerin-tahan gampong; d) menggerakkan danmendorong partisipasi masyarakat dalammembangun gampong; e) membina danmemajukan perekonomian masyarakat; f)memelihara kelestarian fungsi lingkunganhidup; g) memelihara keamanan, keten-traman dan ketertiban serta mencegahmunculnya perbuatan maksiat dalammasyarakat; h) mengajukan rancanganqanun gampong kepada Tuha PeutGampong atau nama lain untuk mendapat-kan persetujuan; i) mengajukan rancangananggaran pendapatan belanja gampongkepada tuha peut gampong atau nama lainuntuk mendapatkan perse-tujuan; j)memimpin dan menyelesaikan masalahsosial kemasyarakatan; dan k) menjadipendamai terhadap perselisihan antarpenduduk dalam gampong (Pasal 15 ayat(1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008).

e. Tuha Peut atau Nama LainIstilah Tuha Peut terdapat pada

dua level pemerintahan di Aceh, yaituTuha Peut Gampong (level desa) danTuha Peut Mukim (level kecamatan).Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 18dan 19 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun2008 tentang Lembaga Adat, Tuha Peutatau nama lain adalah unsur pemerintahangampong yang berfungsi sebagai badanpermusyawaratan gampong”. Sementara“Tuha Peut Mukim atau nama lain adalahalat kelengkapan mukim yang berfungsimemberi pertimbangan kepada imeummukim”. Tuha Peut Gampong atau namalain memiliki tugas yang tak kalah penting-nya dengan para fungsionaris adat lainnya,yaitu a) membahas dan menyetujui ang-garan pendapatan dan belanja gampongatau nama lain; b) membahas dan menye-tujui qanun gampong atau nama lain; c)mengawasi pelaksanaan pemerintahangampong atau nama lain; d) menampungdan menyalurkan aspirasi masyarakatdalam penyelenggaraan pemerintahan danpembangunan gampong atau nama lain;e) merumuskan kebijakan gampong ataunama lain bersama Keuchik atau namalain; f) memberi nasehat dan pendapatkepada Keuchik atau nama lain baikdiminta maupun tidak diminta; dan g)menyelesaikan sengketa yang timbuldalam masyarakat bersama pemangkuadat (Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008).

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 61

Page 15: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

62 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

f. Tuha Lapan atau Nama LainTuha Lapan atau nama lain adalah

lembaga adat pada tingkat mukim dangampong yang berfungsi membantuimeum mukim dan keuchik atau namalain (Pasal 1 angka 20 Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008 tentangLembaga Adat). Ketentuan Tuha Lapanatau nama lain diatur dalam Pasal 21 ayat(1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008, yangmenyebutkan bahwa “Pada tingkatGampong atau nama lain dan Mukimdapat dibentuk Tuha Lapan atau nama lainsesuai kebutuhan dan perkembanganmasyarakat”. Tuha Lapan atau nama laindipilih melalui musyawarah Gampong ataunama lain atau musyawarah mukim (ayat2). Tuha Lapan atau nama lainberanggotakan unsur Tuha Peut ataunama lain dan beberapa orang mewakilibidang keahlian sesuai dengan kebutuhanGampong atau nama lain atau Mukim(ayat (3). Adapun pengangkatan danpemberhentian Tuha Lapan atau nama lainserta tugas dan fungsinya ditetapkandalam musyawarah gampong atau namalain atau mukim (ayat 4).

g. Imeum Meunasah atau Nama LainImeum Meunasah atau nama lain

adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yangberkenaan dengan bidang agama Islam,pelaksanaan, dan penegakan syari’at Is-lam (Pasal 1 angka 21 Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008 tentangLembaga Adat). Imeum Meunasah ataunama la in mempunyai tugas: a)memimpin, mengkoordinasikan kegiatanperibadatan, pendidikan serta pelaksa-naan Syari’at Islam dalam kehidupanmasyarakat; b) mengurus, menyeleng-garakan dan memimpin seluruh kegiatanyang berkenaan dengan pemeliharaan danpemakmuran meunasah atau nama lain;c) memberi nasehat dan pendapat kepadaKeuchik atau nama lain baik dimintamaupun tidak diminta; d) menyelesaikansengketa yang timbul dalam masyarakatbersama pemangku adat; dan e). menjagadan memelihara nilai-nilai adat, agar tidakbertentangan dengan Syari’at Islam (Pasal23 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008).

h. Keujruen Blang atau Nama LainKeujruen Blang atau nama lain

adalah orang yang memimpin danmengatur kegiatan di bidang usaha

persawahan (Pasal 1 angka 22 QanunAceh Nomor 10 Tahun 2008 tentangLembaga Adat). Keujruen Blang ataunama lain mempunyai tugas : a)menentukan dan mengkoordinasikan tatacara turun ke sawah; b) mengaturpembagian air ke sawah petani; c)membantu pemerintah dalam bidangpertanian; d) mengkoordinasikan khanduriatau upacara lainnya yang berkaitandengan adat dalam usaha pertaniansawah; e) memberi teguran atau sanksikepada petani yang melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidakmelaksanakan kewajiban lain dalamsistem pelaksanaan pertanian sawahsecara adat; dan f) menyelesaikansengketa antar petani yang berkaitandengan pelaksanaan usaha pertaniansawah (Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008).

i. Panglima Laot atau Nama LainPanglima Laot atau nama lain adalah

orang yang memimpin dan mengatur adatistiadat di bidang pesisir dan kelautan(Pasal 1 angka 23 Qanun Aceh Nomor10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat).

Dalam Pasal 27 ayat (1) Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwalembaga Adat Panglima Laot atau namalain terdiri atas tiga macam, yaitu:1) Panglima Laot Lhok atau nama lain;2) Panglima Laot kabupaten/kota atau

nama lain; dan3) Panglima Laot Aceh atau nama lain.

Panglima Laot Lhok atau nama lain,dipilih oleh pawang-pawang boat lhok ataunama lain masing-masing melalui musya-warah (Pasal 27 ayat 2). SelanjutnyaPanglima Laot Kab/Kota atau nama laindipilih dalam musyawarah Panglima LaotLhok atau nama lain (Pasal 27 ayat 3).Kemudian Panglima Laot Aceh atau namalain dipilih dalam musyawarah panglimalaot kab/kota atau nama lain setiap 6(enam) tahun sekali (Pasal 27 ayat 4).Panglima La’ot atau nama lain dalammelaksanakan tugas dan fungsinyaberwenang (Pasal 28 ayat 1, Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008) :(1) menentukan tata tertib penangkapan

ikan atau meupayang termasukmenentukan bagi hasil dan hari-haripantang melaut ;

Page 16: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 63

(2) menyelesaikan sengketa adat danperselisihan yang terjadi di kalangannelayan;

(3) menyelesaikan sengketa adat yangterjadi antar Panglima Laot Lhok ataunama lain; dan

(4) mengkoordinasikan pelaksanaanhukum adat laot, peningkatan sumberdaya dan advokasi kebijakan bidangkelautan dan per ikanan untukpeningkatan kesejahteraan nelayan.

Selain itu, sebagai salah satu perang-kat dan fungsionaris adat di Aceh PanglimaLaot atau nama lain memiliki tugas (Pasal28 ayat (2) Qanun Nomor 10 Tahun 2008):(1) melaksanakan, memelihara dan

mengawasi pelaksanaan adat istiadatdan hukum adat laot;

(2) membantu Pemerintah dalam bidangperikanan dan kelautan;

(3) menyelesaikan sengketa danperselisihan yang terjadi diantaranelayan sesuai dengan ketentuanhukum adat laot;

(4) menjaga dan melestarikan fungsilingkungan kawasan pesisir dan laut;

(5) memperjuangkan peningkatan tarafhidup masyarakat nelayan; dan

(6) mencegah terjadinya penangkapanikan secara illegal.

Panglima Laot Kabupaten/Kotasebagaimana disebutkan Pasal 28 ayat(3) memiliki tugas: (1) melaksanakantugas-tugas sebagaimana dimaksud padaayat (2) yang bersifat lintas lhok atau namalain; dan (2) menyelesaikan sengketaantar Panglima Laot lhok atau nama lain.

Panglima Laot sebagai salah satuprangkat dan fungsionaris adat di Aceh,memiliki fungsi (Pasal 28 ayat (5) QanunNomor 10 Tahun 2008). :(1) Panglima Laot lhok atau nama lain

dan Panglima Laot kab/kota ataunama lain sebagai ketua adat bagimasyarakat nelayan;

(2) Panglima Laot lhok atau nama laindan Panglima Laot kab/kota ataunama lain, sebagai penghubung an-tara pemerintah dan masyarakatnelayan; dan

(3) mitra Pemerintah dalam menyuk-sesk an program pem bangunanperikanan dan kelautan .

j. Pawang Glee dan/atau Pawang UteenatauNama Lain

Pawang Glee dan/atau Pawang Uteunatau nam a lain adalah orang yangmemimpin dan mengatur adat-istiadatyang berkenaan dengan pengelolaan danpelestarian lingkungan hutan (Pasal 1angka 27 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun2008 tentang Lembaga Adat). Lembagaadat Pawang Glee atau nama lain dipiliholeh masyarakat kawasan hutan. Adapuntata cara pemilihan dan persyaratanPawang Glee atau nama lain ditetapkanmela lui musyawarah masyarakatkawasan hutan setiap 6 (enam) tahunsekali sebagaimana disebut dalam Pasal30 ayat (1) dan ayat (2). Pawang Gleeatau nama lain memilik i tugas : a)memimpin dan mengatur adat-istiadatyang berkenaan dengan pengelolaan danpelestar ian lingkungan hutan; b)membantu pemerintah dalam pengelolaanhutan; c) menegakkan hukum adattentang hutan; d) mengkoordinirpelaksanaan upacara adat yang berkaitandengan hutan; dan e) menyelesaikansengketa antara warga masyarakat dalampemanfaatan hutan tugas (Pasal 31 QanunAceh Nomor 10 Tahun 2008).

k . Peutua Seuneubok atau Nama LainPeutua Seuneubok atau nama lain

adalah orang yang memimpin danmengatur keten tuan adat tentangpembukaan dan penggunaan lahan untukperladangan/perkebunan (Pasal 1 angka24 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008tentang Lembaga Adat ) . PeutuaSeuneubok atau nama lain dipilih olehmasyarakat kawasan Seuneubok ataunama lain. Adapun tata cara pemilihandan persyaratan Peutua Seuneubok ataunama lain ditetapkan melalui musyawarahmasyarakat kawasan Seuneubok ataunama lain sebagaimana diamanatkanPasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Qanun ini.Petua Seuneubok atau nama lain memilikitugas (Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008) : a) mengatur dan membagitanah lahan garapan dalam kawasanSeuneubok atau nama lain; b) membantutugas pemerintah bidang perkebunan dankehutanan; c) mengurus dan mengawasipelaksanaan upacara adat dalam wilayahSeuneubok atau nama lain; d )menyelesaikan sengketa yang terjadidalam wilayah Seuneubok atau nama lain;

Page 17: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

64 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

dan e) melaksanakan dan menjagahukum adat dalam wilayah Seuneubokatau nama lain.

l. Haria Peukan atau Nama LainHaria Peukan atau nama lain adalah

orang yang mengatur ketentuan adattentang tata pasar, ketertiban, keamanan,dan kebersihan pasar, s er tamelaksanakan tugas-tugas perbantuan(Pasal 1 angka 25 Qanun Aceh Nomor10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat).Haria Peukan atau nam a lain dapatdibentuk untuk pasar-pasar tradisional(Pasal 34 ayat (1)). Pembentukan HariaPeukan atau nama lain tersebut dilakukanuntuk pasar-pasar tradisional yang belumada petugas Pemerintah (ayat 2). Adapunmenyangkut pembentukan d a npengangkatan Haria Peukan atau namalain dilakukan o leh Camat se te lahberkonsultasi dengan tokoh-tokohpedagang dan Keuchik atau nama lainsetempat (ayat 4). Haria Peukan ataunama lain ber tugas: a) membantupemerintah dalam mengatur tata pasar,ketertiban, keamanan, dan melaksanakantugas-tugas perbantuan; b) menegakkanadat dan hukum adat dalam pelaksanaanberbagai aktifitas peukan; c). menjagakebersihan peukan atau nama lain; dand). menyelesaikan sengketa yang terjadidi peukan atau nama lain (Pasal 36,QanunAceh Nomor 10 Tahun 2008).

m. Syahbanda atau Nama LainSyahbanda atau nama lain adalah

orang yang memimpin dan mengaturketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masukkapal/perahu di laut, danau dan sungaiyang tidak dikelola oleh Pemerintah (Pasal1 angka 26, Qanun Aceh Nomor 10Tahun 2008 tentang Lembaga Adat).Ketentuan lembaga adat Syahbanda ataunama lain diatur dalam Pasal 38, Pasl 39dan Pasal 40 Qanun Nomor 10 Tahun2008. Lembaga adat Syahbanda ataunama lain dapat dibentuk untuk pelabuhanrakyat. Pembentukan Syahbanda ataunama lain dilakukan untuk pelabuhan-pelabuhan rakyat yang belum ada petugasPemerintah. Dalam hal Syahbanda ataunama lain telah dibentuk, maka petugasPemerintah yang ditunjuk harus beker-jasama dengan Syahbanda atau namalain. Pembentukan dan pengangkatanSyahbanda atau nama lain dilakukan oleh

Bupati/Walikota atas usul Panglima Laotatau nama lain dan tokoh-tokohmasyarakat setempat setiap 6 (enam)tahun sekali. Syahbanda atau nama lainmemiliki tugas (Pasal 40, Qanun AcehNomor 10 Tahun 2008): a) mengelolapemanfaatan pelabuhan rakyat; b)menjaga ketertiban, keamanan di wilayahpelabuhan rakyat; c) menyelesaikansengketa yang terjadi di wilayah pelabuhanrakyat; dan d) mengatur hak dankewajiban yang berkaitan denganpemanfaatan pelabuhan.

D. SimpulanBerdasarkan hasil kajian tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa sebagai berikut.1. Keberadaan (eksistensi) masyarakat hukum

adat dan kelembagaan adat yang ada di Acehtelah menunjukkan kiprahnya dalam tatakehidupan masyarakat di Aceh. Hal tersebutdisebabkan oleh karena masyarakat hukum diAceh te lah memenuhi syarat-syaratmasyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap)sebagaimana sering dikemukakan oleh paraahli maupun dalam peraturan perundang-undangan, khususnya pada bagian PenjelasanPasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan.

2. Keberadaan lembaga-lembaga adat di Acehsebagaimana disebut dalam Pasal 98 ayat (3)Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh dan Pasal 2 ayat (2)(Peraturan Daerah) Provinsi Nomor 10 Tahun2008 tentang Lembaga Adat, hakikatnyamemiliki fungsi dan peran sebagai wahanapartisipasi masyarakat dalam penyelenggaraanPemerintahan Aceh dan pemerintahanKabupaten/Kota d i bidang keamanan,ketenteraman, kerukunan, dan ketertibanmasyarakat. Selain itu, lembaga-lembaga adattersebut juga memiliki sejumlah kewenangansebagaimana yang diamanatkan Pasal 4Qanun (Peraturan Daerah Provinsi)Aceh Nomor10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat yaitu:a. menjaga keamanan, ketenteraman,kerukunan dan ketertiban masyarakat; b.membantu pemerintah dalam pelaksanaanpembangunan; c. mengembangkan danmendorong partisipasi masyarakat; d. menjagaeksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yangtidak bertentangan dengan syariat Islam; e.menerapkan ketentuan adat; f). menyelesaikanmasalah sosial kemasyarakatan; g.mendamaikan sengketa yang timbul dalammasyarakat; h). menegakkan hukum adat.

Page 18: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-... 65

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

. 1999. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

. 2000. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

.2000. Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

.2002. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

.2006. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

.2000. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh

.2001. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat

.2005. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan TataKerja (SOTK) Majelis Adat Aceh (MAA). Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihandan Pemberhentian Imum Mukim

.2008. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinanaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

.2009. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat

. 1999. Keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara No. 01/KMAN/1999

Azmi Siradjudin, 2004, April. Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional. lhttp://www.ymp.or.id

Ali Hasymy. 1989. “Kebudayaan Aceh Pada Hakikatnya Kebudayaan Islam” .Makalah. Disampaikan padaSeminar Sejarah dan Kebudayaan Aceh Selatan di Tapaktuan, 15 -16 Mai 1989.

Ali Muhammad Rusydi. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi.Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Bambang Sunggono. 1998. Metodo Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Badruzzaman. 2007. Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat Budaya (MAA: Historis danSosiologisnya. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh (MAA)

Hakim Nyak Pha dan Rusdi Sufi (ed). 2000. Adat dan Budaya Aceh. Balai Kajian Sejarah dan NilaiTradisional. Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

—————————. 2001. “Pelaksanaan Syari’at Islam dan Hukum Adat di Aceh” Makalah. Disampaikanpada Lokakarya sehari Pelaksanaan Syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh, 29 Januari 2001.

——————————. 2008. Pedoman Umum Adat Aceh. Edisi I. Banda Aceh: Fakultas Hukum Univer-sitas Syiah Kuala

Hardi. 1992. Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya. Jakarta: t.p.

Husni Bahri Tob. 2003. “Penyelenggaraan Pemerintahan Mukim Berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003”Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Imeum Mukim di Banda Aceh, 12 Agustus.

Kaoy Syah dan Lukman Hakiem. 2000. Aceh dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Pengurus Besar Al-Jami’iyatul Washliyah

Kurniawan. 2010. “Pengakuan dan Jaminan Perlindungan Konstitusional Terhadap Keberadaan MasyarakatHukum Adat (Suatu Telaah terhadap Hak Masyarakat Hukum adat atas pengelolaan Tanah danSumber Daya Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam)”. Jurnal MONDIAL Fakultas Hukum UniversitasSyiah Kuala. Darussalam – Banda Aceh. Vol.12. No.21. Edisi Januari - Juni 2010.

Masri Singarimbun.et.al. 1985. Aceh di Mata Kolonialis, Terjemahan dari The Achehnese Snouck Hugronje.Jakarta: Yayasan Soko Guru

Page 19: EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADATDAN LEMBAGA …

66 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Lem-...

Mahdi Syahbandir. 1995. “Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desadi Kabupaten Tingkat II Aceh Besar” Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD

Moehammad Hoesin. 1970. Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DaerahIstimewa Aceh

Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Rony Hanitijo Soemitro. 1983. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Ghalia Indonesia

Rusdi Sufi. 2002. Struktur Pemerintahan Desa/Gampong di Aceh Dulu dan Sekarang. Banda Aceh: LAKAProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Soerjono Soekanto. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Indonesia

Sandra Moniaga. 2002. “Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup” . JurnalWacana HAM. Jakarta. No. 10/Tahun II/12 Juni 2002

Sanusi M. Syarif. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami. Bogor:Pustaka Latin

T Djuned. 1977. Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan. Direktorat Jendral Kebudayaan. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionil BandaAceh

———————. 2003. ”Kesiapan Sumberdaya Mukim dalam Mengemban Amanat UU No. 18 Tahun2001 (Otonomi Khusus NAD)” Makalah . Disampaikan pada Diskusi Multipihak tentang LembagaMukim Dulu, Sekarang, dan Masa Akan Datang, diselenggarakan oleh LSM PUGAR, Banda Aceh ,3 Mei

———————. 2003. “Pemerintahan Mukim Masa Kini” Laporan Penelitian. Banda Aceh: Pusat StudiHukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh

Taqwaddin. 2009. “Kewenangan Mukim dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam” Jurnal Ilmu Hukum KANUN.Nomor 48. Edisi Desember 2009. Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

———————. 2009. “Mukim sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh” Makalah. Disampaikan padaacara Workshop Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat,diselenggarakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan GenAsist di KecamatanLhoong Kabupaten Aceh Besar, 11 Februari

———————. 2009. “Gampong sebagai Basis Perdamaian” Makalah . Disampaikan pada LokakaryaPerumusan Metoda Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Perdamaian Berkelanjutandi Aceh, diselenggarakan oleh Kabupaten Aceh Besar, 11 Februari 2009.

———————. 2008. “Penyelesaian Perkara Secara Adat Aceh” Paper. Banda Aceh: Fakultas HukumUniversitas Syiah Kuala.

. 2009. ”Penguasaan HutanAdat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di ProvinsiAceh” Disertasi.Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Van’t Veer Paul. 1977. Perang Belanda di Aceh (terjemahan oleh Aboebakar). Banda Aceh: Dinas Pendidikandan Kebudayaan

Yance Arizona . 2008, Juni. Jaminan Hukum Masyarakat Adat. http://www.huma.or.id.

Zainuddin . 1961. Tarich Atheh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.