Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan ...

16
Abstract The dynamic relations between Japan and the United States are interesting to be observed due to frequently happen in “non-conventional “. Japan and America are two countries leading in the development of high technology, including military technology capabilities. The competition, both in the development of military technology often brings a unique and surprising relationship pattern. This paper shows that Japan continues to develop military technology that affects perception and capability of the country in the international political stage. On the other hand, the Japanese military technology development has given rise to responses from a number of countries in the region, as well as from major countries like USA. This paper shows that the achievement and the use of military technology will determine the future of the country’s diplomacy with major countries in the world, especially the United States. Keywords: national security, Post-Cold War, Self Defense Force, Security Assistance Program. Abstrak Dinamika hubungan Jepang dan Amerika Serikat menarik diamati karena sering berlangsung secara “non-konvensional”. Jepang dan Amerika merupakan dua negara terdepan dalam pengembangan teknologi tinggi, termasuk kemampuan teknologi militer. Kompetisi keduanya dalam pengembangan teknologi militer sering membawa pola relasi yang unik dan mengejutkan.. Tulisan ini menunjukkan bahwa Jepang terus berupaya mengembangkan teknologi militer yang mempengaruhi persepsi serta kapabilitas negara tersebut di panggung politik internasional di satu sisi. Di sisi lain, pengembangan teknologi militer Jepang telah melahirkan respon-respon dari sejumlah negara kawasan, maupun dari negara besar seperti Amerika. Tulisan ini menunjukkan bahwa pencapaian dan penggunaan teknologi militer akan menentukan masa depan diplomasi negara tersebut dengan negara-negara besar di dunia, khususnya Amerika Serikat. Kata kunci: keamanan nasional, Pasca Perang Dingin, self defence force, security assistance program-, PENDAHULUAN Perkembangan teknologi merupakan faktor pemicu terjadinya perubahan instrumen, pemikiran, dan institusi perang. 1 Penemuan bubuk mesiu pada abad ke-16, penerapan revolusi industri terhadap perang pada awal abad ke-19, serta penggunaan mikro- elektronik, teknologi stealth, dan penerapan revolusi informasi sejak 1970-an, merupakan wujud pengaruh besar yang ditimbulkan setiap inovasi teknologi terhadap berbagai dimensi perang. Perkembangan teknologi mendorong terjadinya transformasi kekuatan militer dan memunculkan konsep-konsep operasional baru. Perkembangan teknologi tidak hanya menghasilkan instrumen perang baru, tetapi juga menuntut akademisi dan praktisi militer untuk memikirkan keunggulan dan ancaman baru yang dimunculkan oleh inovasi tersebut, bagaimana inovasi tersebut dimanfaatkan, serta bagaimana konsep operasionalnya. 2 Keunggulan teknologi militer seringkali menentukan nasib sebuah bangsa ketika berhadapan Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat Rizky Roza Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, 16424 Email: [email protected]

Transcript of Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan ...

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

AbstractThe dynamic relations between Japan and the United States are interesting to be observed due to frequently happen in “non-conventional “. Japanand America are two countries leading in the development of high technology, including military technology capabilities. The competition, both inthe development of military technology often brings a unique and surprising relationship pattern. This paper shows that Japan continues todevelop military technology that affects perception and capability of the country in the international political stage. On the other hand, theJapanese military technology development has given rise to responses from a number of countries in the region, as well as from major countrieslike USA. This paper shows that the achievement and the use of military technology will determine the future of the country’s diplomacy withmajor countries in the world, especially the United States.Keywords: national security, Post-Cold War, Self Defense Force, Security Assistance Program.

AbstrakDinamika hubungan Jepang dan Amerika Serikat menarik diamati karena sering berlangsung secara “non-konvensional”. Jepang dan Amerikamerupakan dua negara terdepan dalam pengembangan teknologi tinggi, termasuk kemampuan teknologi militer. Kompetisi keduanya dalampengembangan teknologi militer sering membawa pola relasi yang unik dan mengejutkan.. Tulisan ini menunjukkan bahwa Jepang terus berupayamengembangkan teknologi militer yang mempengaruhi persepsi serta kapabilitas negara tersebut di panggung politik internasional di satu sisi. Di sisilain, pengembangan teknologi militer Jepang telah melahirkan respon-respon dari sejumlah negara kawasan, maupun dari negara besar sepertiAmerika. Tulisan ini menunjukkan bahwa pencapaian dan penggunaan teknologi militer akan menentukan masa depan diplomasi negara tersebutdengan negara-negara besar di dunia, khususnya Amerika Serikat.Kata kunci: keamanan nasional, Pasca Perang Dingin, self defence force, security assistance program-,

PENDAHULUANPerkembangan teknologi merupakan faktor pemicu

terjadinya perubahan instrumen, pemikiran, daninstitusi perang.1 Penemuan bubuk mesiu pada abadke-16, penerapan revolusi industri terhadap perangpada awal abad ke-19, serta penggunaan mikro-elektronik, teknologi stealth, dan penerapan revolusiinformasi sejak 1970-an, merupakan wujud pengaruhbesar yang ditimbulkan setiap inovasi teknologiterhadap berbagai dimensi perang. Perkembanganteknologi mendorong terjadinya transformasi kekuatan

militer dan memunculkan konsep-konsep operasionalbaru. Perkembangan teknologi tidak hanyamenghasilkan instrumen perang baru, tetapi jugamenuntut akademisi dan praktisi militer untukmemikirkan keunggulan dan ancaman baru yangdimunculkan oleh inovasi tersebut, bagaimana inovasitersebut dimanfaatkan, serta bagaimana konsepoperasionalnya.2

Keunggulan teknologi militer seringkalimenentukan nasib sebuah bangsa ketika berhadapan

Dual-Use Technology Jepangdan Kepentingan KeamananNasional Amerika SerikatRizky RozaJurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas IndonesiaDepok, Jawa Barat, 16424Email: [email protected]

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012108

dengan kekuatan militer negara lain. Sehingga, menjadikepentingan setiap bangsa untuk terus meningkatkankeunggulan teknologi militernya, dan jikadimungkinkan, untuk menghambat perkembanganteknologi militer negara lain yang dapat mengancamkepentingan keamanan nasionalnya.

Pada Juli 2007 diberitakan bahwa pemerintahJepang berencana untuk mengembangkan sendirisebuah prototipe jet tempur mutakhir. Proyek ini akanmenjadi jet tempur pertama yang dibangun olehJepang sejak 1970an. Jet tempur ini akan dibangunmenggunakan teknologi yang diperoleh melaluikerjasama yang telah dibangun AS-Jepang sebelumnya,yaitu kesepakatan kedua negara untuk memproduksibersama jet tempur F-2. Kerjasama tersebut disepakatipada 1980an dan akan berakhir pada 2011. Rencanapengembangan prototipe ini merupakan responterhadap penolakan AS untuk menjual F-22 Raptor.Jepang berharap bisa membeli F-22 Raptor untukmenggantikan jet tempur F-4 yang telah beroperasisejak 1973. Namun, hingga saat ini proposal Jepangterus ditolak kongres AS. Kongres melarang penjualanatau pemberian lisensi F-22 Raptor kepada negara laindemi menjaga kerahasiaan teknologi. Rencananpengembangan prototipe ini belum diarahkan untukmembangun sendiri jet temput yang sesungguhnya,tetapi dimaksudkan agar AS bersedia mencabutlarangan penjualan F-22 Raptor dan menekan hargajualnya yang mencapai US$ 130 juta.3

Kondisi tersebut menimbulkan beberapapertanyaan, antara lain: Mengapa kongres AS menolakpenjualan F-22 kepada Jepang? Bukankah denganteknologi yang serupa justru akan mempermudahkerjasama operasi antara kedua negara danmemperkuat aliansi mereka? Bukankah AS jugamenginginkan agar Jepang memiliki kekuatan militeryang lebih mandiri sehingga mengurangi beban ASdalam menjaga keamanan dan stabilitas internasional,khususnya kawasan Asia Timur? Apakah ASmenganggap Jepang sebagai ancaman sehinggapeningkatan kekuatan militer Jepang akanmembahayakan kepentingan AS? Atau AS tidakmempercayai Jepang untuk menjaga kerahasiaan

teknologi yang dimiliki F-22 Raptor?Penolakan AS atas permohonan Jepang untuk

membeli F-22 Raptor dapat dijelaskan denganmenguraikan setidaknya empat hal: pertama,pengalaman kerjasama teknologi militer antara keduanegara pada masa lalu (masa Perang Dingin); kedua,rezim pengendalian ekspor multilateral yangmelibatkan kedua negara; ketiga, kepentingankeamanan nasional AS; dan keempat, proliferasi dual-usetechnology Jepang Pasca Perang Dingin..

PEMBAHASANKERJASAMA TEKNOLOGI AS-JEPANG MASA PERANGDINGIN

Kapabilitas teknologi dan perindustrian yangdimiliki Jepang saat ini merupakan hasil daripemanfaatan teknologi militer yang diperolehnya dariAmerika sejak 1960-an. Sejak awal dibentuknya aliansidengan Jepang, AS berupaya untuk mendorongpertumbuhan ekonomi Jepang agar Jepang tidakmenjadi beban jangka panjang bagi AS. Untukmerangsang industri elektronik Jepang, ASmemberikan lisensi produksi radio, yang kemudianberhasil berkembang menjadi industri televisi. Jepangjuga berhasil menyerap teknologi militer melaluilisensi produksi persenjataan AS, yang dilandasi theMutual Defence Assistance Agreement, 1954.

AS memberikan bantuan persenjataan danpelatihan bagi Self-Defence Forces Jepang. Melaluikerangka Military Assistance Program (MAP), ASmemberikan bantuan perlengkapan persenjataan, kapalperang, dan pesawat tempur, serta melatih teknisiJepang agar mampu melakukan perawatan danperbaikan sistem persenjataan AS di Jepang.Kemudian, pada 1960an MAP berakhir sehinggauntuk membangun sistem pertahanannya, Jepangharus membeli dari AS. Namun co-productionperlengkapan AS mulai dilakukan, dan Jepang mulaimampu mengembangkan perlengkapan dasarpertahanan. Pada 1970an, pembelian dan co-productionsemakin luas, penelitian dan pengembangan semakinmeningkat, dan Jepang sudah mampu melakukanproduksi sendiri. Kemudian pada 1980an, program

109

pengembangan yang dilakukan Jepang semakin banyak,dan co-production sudah berkaitan dengan bagianpenting dari sistem pertahanan AS. Nilai pembelianperlengkapan pertahanan oleh Jepang dan co-productiondengan AS melampaui sekutu-sekutu AS lainnya.

Transfer teknologi yang diperoleh Jepang dari ASpada masa itu tidak hanya bermanfaat bagi industrimiliter tetapi juga untuk industri komersil. Denganberbekal teknologi militer AS, Jepang melakukanpengembangan sehingga mendorong tumbuhnyaindustri komersil Jepang, yang pada akhirnyamenghasilkan pertumbuhan ekonomi. Nilaiperdagangan AS-Jepang selama tahun 1960anmenguntungkan AS, tetapi pada 1970an nilaiperdagangan antar kedua negara mulai lebihmenguntungkan Jepang.

Sejak 1980-an, Jepang telah menjadi salah satunegara yang memiliki perindustrian yang didukungteknologi maju. Produk-produk Jepang bahkanmampu menjadi kompetitor Amerika di pasar dunia,misalnya dalam industri semikonduktor. Pada 1987,Jepang mengungguli AS dalam 12 dari 24 kategoriteknologi semikonduktor, menguasi 50% pasar duniayang pada satu dekade sebelumnya hanya 30%.4

Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDFmerupakan bagian dari keberhasilan Jepang menyerapteknologi AS, yang pada 1980an perkembanganteknologi Jepang justru menimbulkan friksi antarakedua negara.5 Kemampuan Jepang untuk menyerapteknologi militer AS dan melakukan spin-off6 ternyataberdampak strategis dan ekonomis bagi AS. Pada satusisi, transfer teknologi memiliki peran besar dalammeningkatkan kemampuan industri, pertumbuhanekonomi Jepang, serta peningkatan kekuatan SDF.Namun di sisi lain, perkembangan ini tidak hanyamengurangi beban AS tetapi juga dapat mengancamperindustrian AS serta kepentingan keamanannasionalnya.

Kekhawatiran AS atas perkembangan kapabilitasteknolgi Jepang meningkat ketika Jepang mengajukanproyek FSX. Proyek FSX merupakan proyek pertamakerjasama produksi persenjataan AS-Jepang sejakberakhirnya PD II, yang menjadi titik balik bagi Japan

Defence Agency (JDA). FSX dimaksudkan untukmenggantikan pesawat tempur F-1 Jepang—pesawatbuatan Jepang pertama yang dibuat pada 1975—yangsudah kuno. FSX merupakan modifikasi dari F-16buatan Lockheed.

Pada awalnya Jepang berencana untukmemproduksi sendiri secara keseluruhan dengan lisensiAmerika. Sedangkan AS menuntut keterlibatanindustri militer AS dalam proyek FSX. AS menolakproposal Jepang untuk menjalankan sendiri proyektersebut. Peningkatan kapabilitas teknologi Jepang dankenyataan bahwa Jepang telah menjadi salah satukekuatan ekonomi dunia mendorong AS untukmeninjau kembali security assistance program--nya. ASmenginginkan Jepang lebih aktif dalam kerjasamakeamanan kedua negara. AS mendorong Jepang untukmelakukan kerjasama teknologi pertahanan dimanaterjadi transfer teknologi dua arah, termasuk dalamproyek FSX.

Sebelumnya, transfer teknologi militer hanyaberlangsung satu arah, yaitu dari AS kepada Jepang.Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintahJepang yang melarang ekspor persenjataan danteknologi militer, yaitu The Three Principles on ArmsExports. Kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1967oleh Perdana Menteri Eisaku Sato ini melarang Jepangmengekspor senjata kepada negara-negara: 1)blokkomunis, 2)yang diembargo senjata oleh PBB, 3)yangterlibat atau mungkin terlibat dalam konflikinternasional. Prinsip ini dipertegas pada 1976 olehPerdana Menteri Takeo Miki di dalam the Policy Guide-line on Arms Export yang menyatakan larangan eksporsenjata ke wilayah mana pun di dunia tidak terbataspada yang ditetapkan oleh the Three Principles. Pada1983, atas permintaan AS, pemerintah Jepangmengeluarkan kebijakan yang mengizinkan transferteknologi militer kepada AS sebagai pengecualian theThree Principles. Pengecualian ini diberikan berdasarkanthe Mutual Defense Assistance Agreement dan the 1983Exchange of Notes yang berkaitan dengan transferteknologi militer.

Berlandaskan pada the 1983 Exchange of Notes danmelalui perdebatan panjang mengenai proyek FSX,

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012110

pada 1989 kedua negara sepakat menetapkanMitsubishi Heavy Industry sebagai kontraktor utama,dengan Lockheed (AS), Fuji Heavy Industry (Jepang)dan Kawasaki Heavy Industry (Jepang) sebagai sub-kontraktor. Lockheed dan sub-kontraktor lainnya akanmenjalankan 40 persen produksi sementara MHImengerjakan sisanya.

Proyek ini tidak hanya menunjukkan peningkatankemampuan Jepang tetapi kemunculan kompetitorbaru bagi industri AS. Perdebatan antara kedua negaraterjadi selama negosiasi pelaksanaan proyek FSX. Friksiyang terjadi sejak awal 1980an tersebut menarikperhatian banyak pihak dan juga menimbulkandampak yang berkepanjangan terhadap hubungankedua negara. Pihak AS memandang proyek FSXsebagai upaya Jepang untuk menandingi keunggulanteknologinya, sedangkan beberapa pihak di Jepangmenilai izin transfer teknologi militer terhadap AS danfriksi yang terjadi selama negosiasi proyek FSX sebagaibentuk pembendungan perkembangan teknologiJepang oleh AS.

Persoalan lain yang semakin memperburukhubungan kedua negara berkaitan dengan teknologimiliter adalah sejumlah pelanggaran terhadap regulasiCOCOM (the Coordinating Committee for MultilateralExport Control)7, terutama insiden Toshiba-Kongsberg.Pelanggaran tersebut antara lain:· Awal 1970an salah satu perusahaan Jepang,

Ishikawajima-Harima Heavy Industry (IHI), menjualsebuah galangan kapal terapung raksasa kepadaSoviet, sehingga menuai protes dari DepartemenPertahanan AS karena dianggap dapat memperkuatArmada Pasifik Soviet;

· April 1987, terungkap penjualan baling-balingkapal selam oleh Toshiba Machine Co. kepadaSoviet. Teknologi yang dikembangkan Toshibabersama Kongsberg Vaapenfabrikk (perusahaanNorwegia) menyebabkan kapal selam Soviet yangsebelumnya mengeluarkan suara keras sehinggamudah dilacak, menjadi lebih tenang dan sulitdilacak;

· Awal 1990an juga terungkap pelanggaran dilakukanoleh Japan Aviation Electronics Industry Corporation

(JAE). JAE menjual komponen-komponen F4Phantom yang diproduksi dibawah lisensi ASkepada Iran, ketika AS sendiri membekukanhubungan dagangnya dengan Iran. Diketahuipenjualan dilakukan melalui perusahaan yangberbasis di Florida, Singapura dan Hongkong.8

Pelanggaran-pelanggaran tersebut kembalimempertegas bahwa peningkatan kapabilitas teknologiJepang tidak hanya dapat merugikan AS secaraekonomis, tetapi juga dapat berdampak strategis danmengancaman kepentingan keamanan nasional AS.

Meskipun Jepang memiliki kebijakan yang melarangekpor persenjataan dan teknologi militer, dan AS telahmemberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaanJepang yang melanggar COCOM, serta Jepang sendiritelah memperketat pengaturan dan pengawasantransfer teknologinya pasca insiden di atas,kemungkinan terjadinya insiden serupa masih ada. Halini dikarenakan sulitnya untuk mengatur danmengawasi arus transfer dual-use technology (DUT).

Teknologi militer yang sebelumnya dikembangkanmelalui program khusus yang dibatasi dan didukungsepenuhnya oleh militer, sejak 1970an mulaimemanfaatkan teknologi yang dikembangkan olehindustri komerisil/sipil. Teknologi yang dapatdimanfaatkan untuk kepentingan sipil maupun militerkemudian lebih dikenal sebagai Dual-Use Technology(DUT). Yang termasuk dual-use technology yaitu:

process technologies that are used in the manufacture ofcomponents for civilian and military systems; technologiesembodied in products that enhance the performance ofmilitary and civilian systems; and know-how or appliedknowledge that is necessary for the design, development,and manufacture of military and civilian products.9

Setidaknya ada delapan sektor industri sipil yangpaling potensial untuk mendukung pengembanganteknologi militer, yaitu: mikroelektronik, komputer,perlengkapan telekomunikasi, tenaga nuklir,bioteknologi, kimia, penerbangan, dan luar angkasa.10

Konsekuensi dari nilai ‘strategis-militer’ dan‘komersil-sipil’ yang dikandung DUT adalah

111

penyebarannya relatif lebih sulit dikontrol daripadateknologi atau item militer saja. Melalui pengalihanpemanfaatannya, DUT dapat digunakan untukmengembangkan teknologi persenjataan yang secarastrategis berbahaya (strategically dangerous armaments/SDA)11, yang pada akhirnya mungkin saja digunakanuntuk mengancaman keamanan nasional negara asalDUT atau negara lain, bahkan dapat mengancamstabilitas dan keamanan regional maupuninternasional.

Jika dengan kebijakan-kebijakannya berarti bahwatidak akan terjadi penyebaran secara luas persenjataandan teknologi militer Jepang ke pasar persenjataaninternasional, masih sangat mungkin terjadipenyebaran DUT Jepang karena kebijakan-kebijakantersebut tidak dapat diterapkan pada penyebaranteknologi yang sifatnya dapat dimanfaatkan untukkepentingan sipil (dual-use technology).

REZIM PENGENDALIAN EKSPOR MULTILATERALMekanisme yang dapat digunakan untuk

mengendalikan penyebaran teknologi adalah melaluisupply-side export control, baik secara unilateral maupunmultilateral.12 Tetapi terdapat persoalan dalammenjaga keseimbangan antara tuntutan untukmengendalikan penyebaran DUT yang dapatdimanfaatkan dalam pengembangan SDA, sementaradi sisi lain mendorong penyebaran teknologi demipertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologiitu sendiri.

Pada tingkat multilateral terdapat sejumlah rezimpengendalian ekspor yang berlaku dan mengaturtransfer dual-use technology. Rezim ini menjadi pedomanbagi negara anggotanya dalam menyusun sistempengendalian ekspor nasional, termasuk AS danJepang (Lihat Tabel 1). Rezim tersebut antara lain: TheCoordinating Committee for Multilateral Export Control(COCOM), The Zangger Committee, The Nuclear SupplierGroup, The Australia Group, The Missile TechnologyControl Regime, dan Wassenaar Arrangement.

COCOM dibentuk pada tahun 1949 dandibubarkan pada 31 Maret 1994. COCOMberanggotakan seluruh anggota NATO, terkecuali

Islandia, ditambah Jepang dan Australia. COCOMdibentuk untuk membatasi ekspor item-item strategispada Uni-Soviet, negara-negara Eropa Timur, danRRC. COCOM diarahkan untuk menghambat negara-negara komunis memperoleh item-item strategis yangdapat memberikan kontribusi langsung padakemampuan militer mereka. COCOM merupakanforum informal dimana setiap keputusannya tidakmengikat secara legal (no legally binding status).

The Zangger Committee13 dibentuk untuk meresponberlakunya the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)sejak 5 Maret 1970. The ZC merupakan kelompokinformal negara-negara partisipan NPT untukmenginterpretasikan tanggung jawab mereka terhadapArtikel III.2 NPT karena tidak terdapat penjelasanspesifik atas artikel tersebut.14 Melalui interpretasi danimplementasi artikel III.2, the ZC membantupencegahan pengalihan ekspor nuklir dengan tujuandamai menjadi senjata nuklir atau alat peledak nuklirlainnya.

The Nuclear Suppliers Group (the NSG) merupakansuatu kelompok negara-negara supplier nuklir yangberusaha untuk memberi kontribusi bagi non-proliferasi senjata nuklir melalui implementasi suatupedoman (guidelines) yang mengatur ekspor bahan-bahan nuklir dan bahan lain yang berkaitan dengannuklir. The NSG dimaksudkan untuk melibatkannegara-negara supplier nuklir tetapi bukan bagian NPTseperti Perancis.15

The Australia Group (1985) dibentuk untukmerespon temuan bahwa terjadi pelanggaran atasProtokol Jenewa 1925 melalui penggunaan senjatakimia terhadap Iran dalam Perang Irak-Iran (1980-1988). Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Irakmemperoleh sebagian besar material untuk programsenjata kimianya dari industri kimia internasionalmelalui jalur perdagangan yang dibenarkan (legitimatetrade channels), turut melatarbelakangi pembentukanthe AG. Tujuan dasar the AG adalah to use licensingmeasures to ensure that exports of certain chemicals, biologicalagents, and dual-use chemical and biological manufacturingfacilities and equipment, do not contribute to the spread ofCBW.16 The AG memberikan kontribusi penting

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012112

untuk mencapai tujuan-tujuan Chemical WeaponsConvention (CWC, 1993) dan Biological and ToxinWeapons Convention (BWC, 1972).17

The MTCR dibentuk (1987) oleh negara-negara G-7(Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris danAS) karena terjadi peningkatan proliferasi senjatapemusnah masal, seperti senjata nuklir, kimia danbiologi. Tujuan pembentukan the MTCR adalahuntuk mengendalikan transfer misil dan teknologi yangberkaitan, yang dapat digunakan untuk meluncurkansenjata pemusnah masal—senjata nuklir, biologi dankimia (NBC weapons).18

The Wassenaar Arrangement dibentuk pada 1996oleh negara-negara ex-COCOM beserta sejumlahnegara lainnya antara lain: Rusia, Republik Ceko,Hungaria, Polandia, Republik Slovakia, Argentina,Republik Korea, Rumania, Bulgaria, Ukraina, sebagairespon atas pembubaran COCOM. The WA dibentukuntuk memberi kontribusi bagi keamanan danstabilitas regional dan internasional dengan caramengedepankan transparansi dan tanggung jawab yanglebih besar dalam melakukan transfer senjata kon-vensional dan barang dan teknologi dual-use sehinggadapat mencegah meningkatnya destabilisasi. The WAtidak diarahkan pada negara atau kelompok negaratertentu, dan tidak untuk menghambat keuntungantransaksi sipil. The WA juga tidak untuk mencampurihak setiap negara dalam mencari cara mempertahankandiri, sesuai dengan Artikel 51 Piagam PBB.

Rezim-rezim pengendalian ekspor tersebutmengatur proliferasi dual-use technology terutama yangberkaitan dengan senjata pemusnah masal (senjatanuklir, kimia, dan biologi), sistem peluncur senjatapemusnah masal (teknologi misil dan roket), sertateknologi senjata konvensional modern. MeskipunCOCOM dibubarkan, masih terdapat rezim yangmengatur penyebaran item-item tertentu yangsebelumnya diatur oleh COCOM. Berbeda denganCOCOM yang diarahkan pada negara-negara blokTimur, rezim-rezim lainnya tidak diarahkan kepadanegara tertentu, bukan untuk mewakili kepentingannasional satu atau sekelompok negara, melainkanditujukan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas

internasional. Tidak terdapat pula rezim yangketetapannya mengikat secara legal. Implementasiketetapan rezim sangat tergantung pada kebijakannasional masing-masing negara.

Upaya pencapaian tujuan rezim-rezim ini jugamenghadapi persoalan munculnya supplier baru ataspengetahuan dan teknologi yang berkaitan denganpengembangan dan produksi senjata nuklir, kimia, danbiologi, yaitu terdapatnya jaringan ilmuwan (network ofknowledgeable individuals). Perhatian atas persoalan inimeningkat ketika terungkap pada Februari 2004bahwa sejak 1992 jaringan ilmuwan yang dipimpinoleh ahli nuklir Pakistan, Abdul Qadeer Khan,menyusun dan melakukan kordinasi suplay materialnuklir, pengetahuan (know-how) dan perlengkapankepada Korea Utara, Iran dan Libya. Jaringan Khanjuga berkolaborasi dengan partisipan yang berada danberoperasi di negara anggota NSG.

Rezim-rezim pengendalian ekspor multilateral yangada sangat lemah secara struktural dan implementasi.Rezim-rezim di atas tidak mengikat secara legal dantidak memiliki mekanisme verifikasi kepatuhanpartisipan. Dalam kondisi seperti ini tujuan rezimakan sangat sulit dicapai. Pertimbangan nilai komersildan strategis dari setiap item yang dikontrol akansangat mempengaruhi kepatuhan setiap negaraterhadap rezim. Tanpa enforcement mechanism, setiappartisipan akan dengan mudah melanggar kesepakatan.Persoalan ini merupakan persoalan mendasar yangselalu menghambat tercapainya tujuan kerjasama daninstitusi internasional. Rezim-rezim pengendalianekspor yang ada tidak dapat mengatasi persoalan ini.

KEPENTINGAN KEAMANAN NASIONAL ASSejak awal pendirian, AS telah menetapkan tujuan

dasarnya, yaitu: “to maintain security, political freedom,and independence of the United States, with its values,institutions, and territory intact; to protect the lives andpersonal savety of Americans, both at home and abroad; andto provide for the well-being and prosperity of the nation andits people”. Untuk mencapai tujuan dasar tersebut,setiap periode pemerintahan menetapkan prioritas danmenyusun strategi nasional. Karena itu, kepentingan

113

keamanan nasional AS diidentifikasimelalui dokumen-dokumen strategis yangdikeluarkan setiap periode pemerintahan.Dokumen strategis tersebut terutamaberupa: National Security Strategy19 danQuadrennial Defense Review Report20, sertakebijakan-kebijakan strategis lainnya yangmencerminkan kepentingan keamanannasional AS.

Identifikasi Kepentingan KeamananNasional AS difokuskan pada kepentingankeamanan nasional dalam batasantradisional. Secara tradisional, securitydapat dipahami sebagai: “the security of thestate (national security) threatened by themilitary power of other states and defended bythe military power of the state itself.”21

Kemudian menurut Stephen Walt: “securitystudies may be defined as the study of the threat,use, and control of military force. It explores theconditions that make the use of force more likely,the ways that the use of force affects individuals,states, and societies, and the specific policiesthat states adopt in order to prepare for, prevent,or engage in war.”22 Atau menurut Buzan:“military security concerns the two-level interplayof the armed offensive and defensive capabilitiesof states, and states perception of each other’sintentions”.23 Berdasarkan batasan-batasantersebut, identifikasi atas kepentingankeamanan nasional AS dapat dibagimenjadi tiga unsur, yaitu: sumber-sumberyang dianggap sebagai ancaman dantantangan pertahanan dan keamanan bagiAS; kebijakan-kebijakan pertahanan untukmencapai tujuan nasional dan untukmenghadapi ancaman dan tantangan; sertakondisi lainnya yang memungkinkan ASuntuk menggunakan kekuatan militer.

ANCAMAN DAN TANTANGAN KEAMANAN ASBerakhirnya Perang Dingin

menyebabkan terjadinya perubahan

Tabel 1Partisipan Rezim Pengendalian Ekspor Mulitlateral

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012114

fundamental atas lingkungan keamanan internasionaldan kepentingan keamanan nasional AS. Lingkunganinternasional semakin dinamis dan sumber ancamansemakin tidak pasti. Hubungan yang erat di berbagaibidang tercipta antara AS dan negara-negara yangsebelumnya merupakan musuh AS, sementara tetapberlawanan dalam isu-isu tertentu. AS tidak lagimenghadapi ancaman dari negara dengan kekuatanmiliter konvensional skala besar dan potensi terjadinyaperang nuklir sebagaimana yang berlangsung selamaPerang Dingin. Runtuhnya Uni Soviet menempatkanAS sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar.Tidak terdapat global peer competitor yang mampumenandingi kekuatan militer AS jika AS mengerahkankeseluruhan potensi kekuatan nasionalnya. Tidakterdapatnya kekuatan militer konvensional yangmampu menandingi AS ditunjukkan oleh trendbelanja pertahanan dunia pasca Perang Dingin (LihatBagan 1 dan 2). Data statistik ini dapat menunjukkankapabilitas dan komitmen AS untuk menggunakankekuatan militernya guna mendukung pencapaiantujuan nasional. Meskipun demikian terdapat potensimunculnya kekuatan regional seperti China danRussia.

Ancaman militer yang dihadapi AS pasca PerangDingin atau dalam periode 1994-2005 bukan berupakekuatan militer konvensional skala besar yangmengancam homeland AS, melainkan berupa rogue statesyang mengancam kepentingan vital AS jauh darihomeland AS. Negara-negara tersebut memilikikekuatan militer yang cukup memadai untukmengancam negara tetangganya; mengancam keamanandan kepentingan AS beserta sekutu dan sahabat; danmampu merusak perimbangan kekuatan dan stabilitaskawasan di mana AS memiliki kepentingan vital. ASmenekankan sumber ancaman dari rogue states yangberusaha memperoleh dan mengembangkan senjatapemusnah massal beserta alat peluncurnya, dan yangberusaha memperoleh advanced weapons untukmeningkatkan kapabilitas militernya, sertamenggunakan cara-cara asimetrik untuk menghadapikeunggulan kekuatan militer konvensional AS.24

Meskipun kemungkinan terjadinya paling kecil, perang

nuklir merupakan merupakan spektrum operasionaltertinggi yang harus dipenuhi kekuatan militer AS.25

Dengan demikian, ancaman militer yang palingnyata dan harus dihadapi AS dalam jangka pendekadalah ancaman dari rogue states yang berupayamemperoleh senjata pemusnah masal dan sistempeluncurnya. Saat ini terdapat 32 negara yangmemiliki misil balistik. Negara yang memiliki WMDbiasanya berupaya membeli atau mengembangkanmisil balistik untuk meluncurkan senjata tersebut ketarget musuh. Delapan negara yang memiliki senjatanuklir, yaitu: AS, Inggris, Russia, China, Perancis,

Bagan 15 Negara Belanja Militer Terbesar Dunia: 1994-2003

(dalam juta $)

Sumber: diolah dari SIPRI Yearbook: Armament, Disarmament and International Security 2005(London: Oxford University Press, 2005).

Bagan 25 Negara Belanja Militer Terbesar Dunia: 2004

(dalam miliar $)

Sumber: diolah dari SIPRI Yearbook: Armament, Disarmament and International Security 2005(London: Oxford University Press, 2005).

115

Tabel 2Kapabilitas Misil Balistik Iran

Sumber: diolah dari Andrew Feickert, Missile Survey: Ballistic and Cruise Missiles of Selected Foreign Countries, Congressional Research Service, 2005

Tabel 3Kapabilitas Misil Balistik Korea Utara

Sumber: diolah dari Andrew Feickert, Missile Survey: Ballistic and Cruise Missiles of Selected Foreign Countries, Congressional Research Service, 2005

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012116

India, Pakistan, dan Israel, juga memiliki misil balistikoperasional. Hanya delapan negara ini, serta Iran danKorea Utara yang telah memproduksi atau mengujicoba misil dengan jangkauan lebih dari 1,000 km.Sebelum Operation Iraqi Freedom, AS meyakini bahwaIraq juga memiliki misil yang mampu mengancamkeamanan sekutu dan pasukan AS yang berada diTeluk Persia. Jadi, rogue states yang dianggap sebagaisumber ancaman bagi kepentingan keamanan nasionalAS adalah Irak, Iran, dan Korea Utara (Lihat Tabel 2dan 3).26

KEBIJAKAN PENGGUNAAN KEKUATAN MILITER ASDalam lingkungan keamanan internasional yang

berkembang pasca Perang Dingin, dengan berbagaitantangan dan ancaman yang dihadapi, serta denganberbagai keunggulan dan kesempatan yang dimiliki AS,militer digunakan untuk mendukung pencapaiantujuan nasional. Bersama elemen kekuatan nasionallainnya, militer AS mengerahkan segalakemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut sesuaidengan prioritas masing-masing periode pemerintahan.

Kekuatan militer AS digunakan dalam berbagaibentuk terutama preventive, defensive, dan offensive(defeating). Overseas presence baik dalam masa damaimaupun krisis merupakan wujud penggunaan militerdengan tujuan preventive. Tindakan semacam ini dapatberupa: pangkalan militer permanen di luar negeri,penempatan basis perlengkapan dan logistik di luarnegeri, gelar pasukan rotasional, pelatihan dan gelarpasukan bersama sekutu dan sahabat AS, operasikemanusiaan, dan sebagainya. Tindakan defensive dapatberupa perlindungan homeland yang merupakan fungsiutama kekuatan militer AS. Meningkatnya ancamanmisil balistik jarak jauh yang mampu menjangkauteritori AS menuntut penggelaran sistem pertahananmisil balistik yang efektif. Sistem pertahanan misilbalistik merupakan salah satu wujud fungsi defensivekekuatan militer AS. Gelar sistem pertahanan misilyang efektif dapat pula berfungsi preventive, karenadapat mencegah musuh melakukan serangan misilkarena menyadari tindakan mereka tidak akanmencapai tujuan. Bentuk penggunaan defensive militer

dapat pula berupa dukungan militer terhadapdepartemen homeland security untuk menghadapiancaman terorisme terhadap keamanan dankeselamatan warga, infrastruktur, serta nilai-nilai dasarAS. Selain itu, AS juga berkomitmen menggunakankekuatan militernya untuk mengalahkan musuh(defeating/offensive) baik secara multilateral maupununilateral, jika tujuan AS atau kepentingan vital ASterancam. Bahkan, pada pemerintahan Bush,dimungkinkan penggunaan kekuatan militer AS untukmengalahkan musuh sebelum musuh memperolehkapabilitas untuk mengancam keamanan nasional AS(preemptive strike).27

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEKUATAN MILITER ASSelama periode 1994-2005, pengembangan

kekuatan militer AS diarahkan agar mampumenghadapi berbagai ancaman dan tantangan jangkapendek, serta siap menghadapi ancaman dan tantanganmasa depan. Untuk menghadapi tantangan danancaman jangka pendek, militer AS berupayamempertahankan dan meningkatkan kapabilitasnyauntuk beroperasi di berbagai medan dan dalamberbagai bentuk. Dengan kata lain, AS membutuhkankapabilitas operasi full-spectrum. Yaitu, militer yangmampu bertransisi dari aktivitas masa damai, menjadideterrence krisis, sampai dengan operasi di medanperang besar (major theater war). Sedangkan untukmampu tetap mendominasi operasi full-spectrum dimasa depan, militer AS melakukan transformasi untukmemperoleh kemampuan operasi gabungan yangdiarahkan oleh Joint Vision 2020. Berdasarkan JV 2020yang mengandalkan superioritas informasi dan empatkonsep operasional baru, yaitu: dominant maneuver,precision engagement, full-dimensional protection, dan focusedlogistic, maka militer AS sangat membutuhkanteknologi maju khususnya teknologi informasi yangmampu meningkatkan kapabilitas C4ISR militer AS.28

PROGRAM SISTEM PERTAHANAN MISIL BALISTIK ASBerkaitan dengan ancaman jangka pendek yang

mungkin dihadapi AS, kapabilitas yang palingdibutuhkan AS untuk itu adalah sistem pertahanan

117

misil balistik untuk menghadapi ancaman kekuatanmisil balistik dan senjata pemusnah masal rogue states.

Kebutuhan untuk mengembangkan dan menggelarsistem pertahanan yang efektif untuk menghadapiancaman misil jarak dekat dan jauh sudah menjadikepentingan keamanan nasional AS sejak 1960an.Upaya untuk membangun sistem ini menghadapitantangan teknis dan kontroversial secara politis.Sekitar $100 milyar telah dikeluarkan sejakpertengahan 1980an.29

Pemerintahan Clinton merestrukturisasi programBMD menyesuaikan dengan the 1993 Bottom-UpReview. Pemerintahan Clinton menekankanpenggelaran sistem pertahanan misil untuk ancamanmisil jarak dekat. Program pertahanan misil didasarkanpada penilaian bahwa sudah terdapat ancaman misilbalistik pada tingkat regional, dan ancaman misilbalistik terhadap AS hanya akan muncul di masadepan. DOD menetapkan bahwa program ini harustetap mematuhi the 1972 ABM Treaty. Pada 1995dikeluarkan The Missile Defense Act of 1995, yang isinyaberupa kebijakan AS untuk:

(1) develop as soon as possible affordable and operation-ally effective theater missile defenses; (2) develop fordeployment a multiple-site national missile defense systemthat is affordable and operationally effective againstlimited, accidental, and unauthorized ballistic missileattacks on the United States, and which can be aug-mented over time as the threat changes to provide alayered defense against limited, accidental, or unauthorizedballistic missile threats; (3) initiate negotiations withRussia as necessary to provide for the national defensesystems envisioned by the act; and (4) consider, if thosenegotiations fail, the option of withdrawing from theABM treaty. 30

Pemerintahan Clinton menyesuaikan langkahnyadan mengadopsi strategi baru bagi pertahanan misilnasional. Pada 1996, pemerintahan Clintonmengadopsi strategi 3+3 sebagai pedomanpengembangan dan penggelaran. Dengan strategi ini,AS akan mengembangkan sistem pertahanan misiluntuk mempertahankan AS dari serangan sejumlah

kecil misil balistik jarak jauh yang diluncurkan olehhostile nations, atau, dari peluncuran aksidental atauunauthorized oleh Russia atau Cina. Strategi tersebutmenginginkan pengembangan teknologi dalam tigatahun pertama (1997-2000), dilanjutkan dengankeputusan penggelaran pada tahun 2000 jikadimungkinkan secara teknologi dan dibutuhkan karenaancaman. Jika keputusan penggelaran telah dibuat,maka penggelaran akan dilakukan dalam periode tigatahun kedua (2000-2003). Pengembangan danpenggelaran dilakukan dengan pembatasan dari ABMtreaty. Akhirnya pada September 2000, presidenClinton memutuskan untuk tidak menggelar sistempertahanan misil saat itu. Ia menyatakan bahwa belumcukup yakin dengan teknologi dan efektifitasoperasional keseluruhan sistem NMD untuk menujupenggelaran.31

Bush memasuki pemerintahan dengan upaya untukpenggelaran pertahanan misil balistik sebagai salah satutujuan keamanan nasional. Pemerintahan Bushmeningkatkan pendanaan untuk program pertahananmisil, dan memutuskan untuk mundur dari the 1972ABM Treaty.32

Pada Januari 2002, Sekretaris Pertahanan, DonaldRumsfeld mengeluarkan memorandum mengenaiProgram Pertahanan Misil DOD. Ia menyebutkanempat prioritas utama pertahanan misil, yaitu: (a) todefend the USA, deployed forces, allies and friends; (b) toemploy a Ballistic Missile Defense System (BMDS) thatlayers defenses to intercept missiles in all phases of their flight;(c) to enable services to field elements of the overall BMDS assoon as practicable; (d) to develop and test technologies andimprove the effectiveness of deployed capability by insertingnew technologies as they become available or when the threatwarrants an accelerated capability. Memorandum tersebutmengarahkan DOD untuk mengembangkan systempertahanan misil jauh melebihi yang direncanakanoleh Pemerintahan Clinton.

Pada 2002, Presiden mengumumkan keputusannyauntuk menggelar sistem pertahanan misil balistikterbatas untuk menghadapi misil jarak jauh pada2004. Pada 17 desember 2002, Missile Defense Agency(MDA, sebelum Januari 2002 dikenal sebagai the

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012118

Tabel 4Japan-US Joint Research Projects

Sumber: Japan Defense Agency, Defense Of Japan: 2004, (Japan: Inter Group Co., 2004)

119

Ballistic Missile Defense Organization) mengumumkanbahwa telah diperintahkan oleh Bush untuk mulaimenggelar, pada 2004-2005, sistem pertahanan misilawal untuk menghadapi ancaman misil balistik jangkapendek; terhadap homeland AS, deployed forces, sekutudan sahabat. Pengumuman tersebut merupakanpertama kali pemerintahan Bush menetapkankapabilitas BMD untuk melindungi teritori AS danberkomitmen pada satu tanggal penggelaran yangspesifik.33

PROLIFERASI DUAL-USE TECHNOLOGY JEPANGGambaran proliferasi DUT Jepang dapat diperoleh

dengan menguraikan sistem export control nasional yangditerapkan Jepang. Kathleen Miller dan CarolineBrooks menjelaskan bahwa: “a national export controlsystem allows countries to make the decisions whether or notto export certain defense-related items to particular destina-tions”.34

Pengaturan ekspor persenjataan Jepang diaturberdasarkan kebijakan the Three Principles on ArmsExport yang dikeluarkan oleh PM Eisaku Sato pada 21April 1967, dan dipertegas PM Takeo Miki padaFebruari 1976 yang melarang ekspor persenjataan danteknologi militer ke seluruh negara. Di samping itu,the 1983 Exchange of Notes, pemerintah Jepangmengizinkan transfer teknologi militer kepada ASsebagai pengecualian. Sedangkan ekspor dual-usetechnology Jepang diatur berdasarkan FEFTCL (theForeign Exchange and Foreign Trade Control Law), dandidukung berbagai ketetapan lainnya baik berupaCabinet Order, Ministerial Ordinance, maupun Notifica-tions.

Pemerintah Jepang mulai melaksanakan sistempengendalian ekspor sejak 1949 berdasarkan FEFTCL.Namun demikian, hukum Jepang secara formalmengizinkan pemerintah untuk membentuk kontrolhanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi Jepang,yaitu untuk tujuan balance of payment dan stabilisasinilai tukar, daripada untuk kepentingan keamanannasional.35 Pada 1980, pemerintah mengubah hukumdan mengumumkan regulasi baru untuk mencakup‘security’ sebagai pertimbangan pengendalian ekspor

teknologi. Kemudian setelah kasus Toshiba,pemerintah memodifikasi hukum dan regulasi untukmenambahkan ‘international peace and security’ sebagaipertimbangan pengendalian ekspor. Sejak 1987,Jepang mulai mereformasi sistem pengendalianekspornya secara radikal. Selain kasus Toshiba,beberapa peristiwa lain juga turut mempengaruhisistem pengendalian ekspor Jepang, antara lain:peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkanmenyerahnya Jepang pada 1945, pengungkapanprogram senjata biologi dan kimia Jepang, uji cobanuklir oleh Perancis dan China pada 1990an, serangangas di Tokyo pada Maret 1995, penyelundupan sodiumfluoride dan hydrofluoric acid—yang merupakan bahandasar sarin—menuju Korea Utara. Peristiwa tersebutmendorong Jepang untuk membangun kebijakan-kebijakan nonproliferasi. Pemerintah Jepangmeningkatkan perhatiannya atas persoalan proliferasisenjata nuklir, kimia, dan biologi (senjata pemusnahmasal). Hal ini mendorong dilakukannya penyesuaiansistem pengendalian ekspor sesuai dengan lingkunganinternasional pasca Perang Dingin yang diwarnaidengan persoalan proliferasi senjata pemusnah masal.36

Meskipun COCOM telah dibubarkan, Jepang tetapmengadopsi aturan-aturan rezim pengendalian eksporyang lainnya untuk membangun sistem pengendalianekspor nasionalnya.

Perundangan pengendalian ekspor terkuat sekalipunakan menjadi lemah tanpa implementasi kebijakan.Berdasarkan legislasi dan regulasinya, dual use technologyJepang hanya dapat dimanfaatkan secara legal olehmiliter AS. Eksportir Jepang diizinkan melakukantransfer teknologi menuju negara selain AS hanyauntuk kepentingan-kepentingan komersil sipil.Implementasi sistem pengendalian ekspor yang lemahakan memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan dual-use technology Jepang

TRANSFER TEKNOLOGI MILITER KE ASSejak kebijakan pengecualian 1983, Jepang telah

menetapkan untuk menyediakan 13 item teknologimiliter Jepang kepada AS, mulai dari teknologi portablesurface-to-air missile (SAM) untuk kapal laut AS sampai

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012120

penelitian teknologi persenjataan berkaitan denganpenelitian teknis bersama (joint technical research) ataspertahanan misil balistik. Sejauh ini, kedua negaratelah menghasilkan 11 perjanjian proyek penelitianbersama. Diantara proyek kerjasama tesebut, tujuhproyek sudah diselesaikan (Lihat Tabel 3). Pada Mei2003, pemerintah kedua negara menghasilkanperjanjian untuk the Engineers and Scientists ExchangeProgram (ESEP). Kemudian pada Agustus 2003, Jepangmengirimkan tenaga ahli di bidang teknologi laser keAS. Kerjasama perlengkapan dan teknologi militerantara AS-Jepang sangat berarti untuk mengurangibiaya dan resiko penelitian dan pengembangan (R&D),dan kedua negara telah memeriksa kemungkinan untukmemperluas proyek penelitian bersama mereka.37

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ASmengalami kesulitan untuk memperoleh dukunganJepang untuk membangun sistem pertahanan misilnya,baik dalam proyek sistem Theater Missile Defense (TMD)yang diprogramkan pemerintahan Clinton, maupunproyek National Missile Defense (NMD) yangdiprogramkan oleh pemerintahan Bush.

PENYIMPANGAN TRANSFER DUT JEPANGSejumlah laporan penyimpangan ekspor

menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan padasistem pengendalian ekspor nasional Jepang.Penyimpangan tersebut antara lain: pada akhir 2005,polisi Jepang merazia Yamaha Motor Co. Ltd. karenadicurigai berupaya melakukan ekspor ilegal ke Cinaberupa helikopter agrikultur yang dapat dialihkanuntuk tujuan militer; sebuah perusahaan pembuatmesin di Jepang, dicurigai melakukan ekspor ilegal keIran perlengkapan yang dapat digunakan untuk tujuanmiliter pada 1999. Seishin Enterprise Co. mengeksporalat industri yang juga dapat digunakan untukmenghasilkan bahan bakar solid untuk misil dalamsejumlah kesempatan antara 1987 dan 2000; padatahun 2003, polisi Jepang menangkap 5 manajerdealer mobil bekas karena melakukan ekspor ilegal keKorea Utara. Mereka mengekspor trailer yang dapatdiubah menjadi peluncur mobile misil balistik; dalaminvestigasi IAEA ketika menyelidiki transfer teknologi

nuklir ke Libya, Iran, dan negara lainnya terungkapbahwa terdapat komponen centrifuge untuk pengayaanuranium yang dibeli dari perusahaan Jepang melaluipasar gelap oleh Abdul Qadeer Kahn. Kondisi inimembuka kemungkinan penyimpangan pemanfaatandual-use technology Jepang untuk kepentingan yang dapatmengancam keamanan nasional AS.

KESIMPULANDapat disimpulkan bahwa penolakan kongres AS

atas permohonan Jepang untuk membeli jet tempur F-22 Raptor disebabkan oleh faktor-faktor berikut,yaitu: pertama, adanya kecenderungan kelompokindustri Jepang untuk melakukan pengalihan teknologimiliter menjadi teknologi sipil-komersil; kedua,kekhawatiran AS pada kemampuan Jepang untukmenyerap teknologi militer AS; ketiga, adanya sejumlahpelanggaran rezim pengendalian ekspor oleh Jepangpada masa Perang Dingin; keempat, lemahnya rezimpengendalian ekspor pada level multilateral; kelima,bahwa AS menghadapi ancaman rogue states yangmengembangkan WMD menggunakan DUT sehinggamenjadi kepentingan AS untuk menghambatproliferasi DUT; dan keenam, masih terdapatnya celahpada sistem pengendalian ekspor nasional Jepang yangmemungkinkan terjadinya penyimpangan transferDUT.

Friksi yang terjadi selama perundingan proyek FSX,serta masih sulitnya bagi AS untuk memperolehteknologi militer Jepang untuk membangun sistempertahanan misil balistik sementara program tersebutmerupakan kebutuhan teratas AS untuk menghadapiancaman jangka pendek, merupakan faktor yang jugaakan mempersulit Jepang untuk memperoleh izinpembelian F-22 Raptor dari kongres AS. Denganmelihat pada pengalaman proyek FSX, rencana Jepanguntuk membangun sendiri prototipe jet tempur tidakakan memperlunak penolakan kongres AS. Rencanatersebut justru dapat menimbulkan kembalikekhawatiran AS akan kemungkinan Jepangmengungguli kapabilitas teknologi militer AS.

121

CATATAN AKHIR1 Andrew Latham (1999), Re-Imagining Warfare: The ‘Revolution in

Military Affairs’, dalam Craig A. Snyder (ed.), ContemporarySecurity and Strategy, London: MacMillan Press, hlm. 211-213.

2 Ibid.,3 “Japan Still Smulling All Options for Next Fighter Jet, But Pushing

for Restricted US Model”, (2007), International Herald Tribune, July26,, diakses dari http://www.iht.com/articles/ap/2007/07/26/asia/AS-GEN-Japan-US-Fighters.php

4 Daniel Barclay (2004), The Technology of Japan, MURJ, Volume 11,hlm. 13.

5 Sheila A. Smith (1999), The Evolution of Military Cooperation inthe US-Japan Alliance, di dalam Michael J. Green, The US-JapanAlliance: Past, Present, and Future, Council on Foreign RelationsPress, hal. 74.

6 Spin-off adalah penerapan teknologi militer pada sektor komersil,sedangkan spin-on adalah penerapan teknologi komersil sipil padasektor militer.

7 Selama Perang Dingin negara-negara NATO, serta Jepang danAustralia tergabung dalam COCOM. COCOM berupaya untukmembatasi ekspor item-item strategis pada Uni Soviet, Negara-negara Eropa Timur dan RRC.

8 Bates Gill, Kensuke Ebata, & Matthew Stephenson (2000), Japan’sExport Control Initiatives: Meeting New Challenges, TheNonproliferation Review, Fall 1996, hlm. 34, lihat juga Cecil H.Uyehara, The US-Japan Science and Technology Agreement: adrama in five acts, Ashgate Publishing Ltd., hlm. 100.

9 Glenn Schweitzer (1994), A Conceptual Approach to AddressingDual-Use Technologies: A Framework for U.S.-Russian Dialogue,dalam National Research Council, Dual-Use Technologies andExport Control in the Post-Cold War Era, Washington, DC:National Academy Press,, hlm. 125.

10 Roger Cliff (2001), The Military Potential of China’s CommercialTechnology, Santa Monica: RAND, hlm. 11.

11 Yang dimaksud dengan Strategically Dangerous Armaments (SDAs)antara lain: senjata pemusnah massal (seperti senjata nuklir, kimia,and biologis), sistem untuk peluncurannya/delivery system(termasuk ballistic missiles dan advanced strike aircraft), dan senjatakonvensional modern seperti precision-guided munitions (PGMs).Lihat dalam National Research Council, Op.Cit., hlm.5.

12 Bates Gill, Kensuke Ebata, & Matthew Stephenson, Op.Cit.,, hlm.30.

13 Disebut sebagai Zangger Committee sesuai dengan nama ketuapertama komite ini, yaitu: Prof. Claude Zangger. Komite ini dikenaljuga sebagai the Nuclear Exporters Committee.

14 Artikel III.2 menyatakan bahwa setiap negara yang terlibat dalamNPT tidak boleh mengekspor, secara langsung atau tidak langsung,material dan perlengkapan nuklir kepada negara non-nuklir (non-nuclear weapon states) yang tidak terlibat NPT, kecuali jika dibawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA).

15 Jing-dong Yuan (1994), Nonproliferation Export Controls in the1990s: Multilateral Regimes, National Policies, and Implications forCanada’s Defence Industry, Canada: Centre for InternationalRelations, hlm. 9.

16 Objectives of the Group, diakses dari http://www.australiagroup.net/en/agobj.htm tanggal 7 Januari 2006.

18 Diakses dari http://www.mtcr.info/english /objectives.html tanggal 8Januari 2006.

19 NSS merupakan laporan yang disusun setiap pemerintahan ataspermintaan the Goldwater-Nichols Act of 1986, untukmenyerahkan laporan pada Kongres yang menunjukkan sasarankomprehensif keamanan strategis bangsa.

20 QDR berisi eksaminasi fundamental dan komprehensif ataskebutuhan pertahanan AS: ancaman potensial, strategi, strukturkekuatan, postur kesiagaan, program modernisasi militer,infrastruktur pertahanan, dan elemen program pertahanan lainnya.QDR disusun atas permintaan the Military Force Structure ReviewAct.

21 David Mutimer (1999), “Beyond Strategy: Critical Thinking and theNew Security Studies”, dalam Craig A. Snyder (ed.), ContemporarySecurity and Strategy, London: MacMillan Press, hlm. 77.

22 Ibid.,23 Barry Buzan (1991), People, State, and Fear: An Agenda for

International Security Studies in the Post-Cold War Era,(New York:Harvester Wheatsheaf, hlm. 19-20.

24 Rizki Roza (2006), Implikasi Proliferasi Dual-Use Technology Jepangterhadap Kepentingan Keamanan Nasional AS Pasca COCOM(1994-2005), Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, hal. 82.

25 Sam J.Tangredi, Assessing New Missions, dalam Hans Binnendijk(ed.) (2002), Transforming America’s Military, Washington, D.C:National University Press, 2002, hal. 3-12.

26 Jika mempersoalkan isu proliferasi WMD, ancaman paling besarberasal dari nation-states dengan program senjata nuklir rahasia.Iran, Irak, dan Korea Utara berada di bawah pengawasanmasyarakat internasional atas upaya mereka untuk memperolehWMD. Berdasarkan Stanford Database on Nuclear Smuggling,Theft, and Orphan Radiation Sources (DSTO), selama periode 1991-2002 ketiga negara merupakan tujuan utama penyelundupannuklir, radioactive, dan material dual-use yang berkaitan dengannuklir. Iran dan Irak sejumlah 10 kasus, dan Korea Utara pada 6kasus. Lihat Lyudmila Zaitseva dan Kevin Hand, Nuclear SmugglingChains: Suppliers, Intermediaries, and End-users, The AmericanBehavioral Scientist, Vol. 46.

27 Rizki Roza, Op.Cit, hal. 93-9428 Ibid., hal. 94-9529 Steven A. Hildreth (2005), Ballistic Missile Defense: Historical

Overview, CRS Report for Congress, 22 April, hlm. 1, diakses darihttp://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RS22120.pdf tanggal 20Oktober 2006.

30 Ibid., hlm. 4.31 Ibid., hlm. 4-5.32 Ibid., hlm. 5.33 SIPRI Yearbook: Armament, Disarmament and International

Security 2003, London: Oxford University Press, 2005, hlm. 605-609.

34 Kathleen Miller & Caroline Brooks (2001), Export Control in theFramework Agreement Countries, British American SecurityInformation Council, hlm. 8.

35 Dengan jaminan perlindungan militer AS, pemerintahan Jepangpascaperang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuanutamanya. Pemerintah Jepang berusaha untuk memanfaatkanekspor sebagai mesin bagi kemakmuran ekonomi. Bahkan ketika

Rizky RozaDual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat

122 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

Jepang bergabung dengan COCOM pada September 1952,pemerintah justru terlihat mengurangi hambatan perdagangannyadengan China. Richard T. Cupitt, Nonproliferation Export ControlsIn Japan. diakses dari http://www.uga.edu/cits/documents/html/nat_eval_japan.htm.,; Jing-dong Yuan, Op.Cit., hlm. 37.

36 Richard T. Cupitt, Loc.Cit.,37 Japan Defense Agency, Defense of Japan 2000. Japan: Urban

Connections, 2001, hlm. 145-146.

REFERENSIBinnendijk, Hans (ed.). (2002).Transforming America’s Military.

Washington, D.C: National University Press,Barclay, Daniel (2004), The Technology of Japan, MURJ, Volume 11.Buzan, Barry (1991). People, State & Fear 2nd Ed: An Agenda for

International Security Studies in the Post-Cold War Era. New York:Harvester Wheatsheaf.

Cliff, Roger (2001). The Military Potential of China’s CommercialTechnology. Santa Monica: RAND. Cupitt, Richard T. Nonprolifera-tion Export Controls In Japan. diakses dari http://www.uga.edu/cits/documents/html/nat_eval_japan.htm

Fukuyama, Francis & Kongdan Oh (1993). The US-Japan SecurityRelationship After the Cold War. RAND.

Gill, Bates, Kensuke Ebata, & Matthew Stephenson (1996). Japan’sExport Control Initiatives: Meeting New Challenges. TheNonproliferation Review, Fall.

Goldblat (2002), Jozef. Arms Control: New Guide to Negotiations andAgreements . London: Sage Publication, 2002.

Green, Michael J. The US-Japan Alliance: Past, Present, and Future(1999). New York: Council on Foreign Relations Press.

Hildreth, Steven A (2005). Ballistic Missile Defense: Historical Overview.CRS Report for Congress, 22 April. Diakses dari http://www.fas.org/crs/weapons/RS22120.pdf

Japan Defense Agency. Defense of Japan 2000 (2005). Japan: UrbanConnections.

Levi, Michael A. & Michael E. O’Hanlon (2005). The Future of ArmsControl. Washington, D.C.: The Brookings Institution.

Miller, Kathleen & Caroline Brooks (2001). Export Control in theFramework Agreement Countries. British American SecurityInformation Council.

National Research Council (1994). Dual-Use Technologies and ExportControl in the Post-Cold War Era. Washington, DC: NationalAcademy Press.

SIPRI Yearbook 2005: Armaments, Disarmament and InternationalSecurity (2005). London: Oxford University Press.

SIPRI Yearbook (2004): Armaments, Disarmament and InternationalSecurity. London: Oxford University Press.

SIPRI Yearbook (2003): Armament, Disarmament and InternationalSecurity. London: Oxford University Press.

SIPRI Yearbook (2002): Armament, Disarmament and InternationalSecurity. London: Oxford University Press.

Snyder, Craig A (1999). Contemporary Security and Strategy. GreatBritain: MacMillan Pess LTD.

Uyehara, Cecil H (2000). The US-Japan Science and TechnologyAgreement: a drama in five acts. Ashgate Publishing Ltd.

Yuan, Jing-dong (1994). Nonproliferation Export Controls in the

1990s: Multilateral Regimes, National Policies, and Implications forCanada’s Defence Industry. Canada: Centre for InternationalRelations.

http://www.australiagroup.nethttp://www.mtcr.infohttp://www.nuclearsuppliersgroup.orghttp://www.wassenaar.org