Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan ...
Transcript of Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan ...
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 216
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besardan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah
SafainiSTKIP Al-Washliyah Banda Aceh
Email: [email protected]
Abstrak Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat absolut,sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang dapatditerima telah menjadi tradisi di dunia dayah. Dayah sebagai lembaga pendidikantradisional Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh seharusnya tidak mempersempitpemahaman fikih dan tauhid didalam pembelajarannya. Tetapi kenyataannya dayah hanyamengajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari serta menanamkan doktrin-doktrintasawuf kepada santrinya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tujuan dayahmendoktrin santrinya agar santri lebih mencintai ajaran agamanya, dibidang tauhid adalahagar keimanan santri lebih kokoh dan kuat sehingga tidak mudah goyah saat berhadapandengan pemahaman tauhid yang sesat atau pemahaman tauhid yang berbeda denganmereka. Diarahkannya santri kepada mazhab yang satu dalam mempelajari fikih agarsantri lebih terfokus dan terarah dalam memahami hukum agama Islam, serta mewujudkanpersatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh. Tujuan dayah menerapkan doktrintasawuf adalah agar terhindar dari pemahaman tasawuf yang sesat dan untuk membinaakhlak santri dengan sifat terpuji.
Kata Kunci: Doktrin, Pendidikan Islam, Dayah Salafi
PENDAHULUAN
Pada masa Nabi Muhammad saw dan satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum
mengenal adanya kaum mutakallimin atau ahli kalam, ahli hukum atau ahli fikih maupun ahli
tasawuf. Pada saat itu, kaum muslimin masih merupakan masyarakat etika yang berlandaskan
doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
dengan meningkatnya intelektual dan semakin dikenalnya cara cara pembahasan filosofis
telah melahirkan paling tidak dua hal penting, Pertama sistem hukum yang terorganisirkan,
dan kedua teologi yang sistematis (Nurkhalis Madjid, 1997).
Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas
pemeluknya yang disebut akidah. Akidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti
dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Islam bersumber kepada kepercayaan
dan keimanan kepada Tuhan, aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia
kepada Islam.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 217
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam untuk mencapai tujuannya ditanamkanlah
doktrin-doktrin tertentu agar santri senantiasa berpegang teguh pada ajaran yang diajarkan
gurunya. Adapun doktrin yang diikuti oleh dayah adalah doktrin Ahlusunnah wal Jamaah.
Doktrin Ahlusunnah wal Jamaah di dayah dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: Dalam bidang
hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat. Dalam bidang
tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al
Maturidi. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran al Ghazali dan Imam Junaid al-
Baghdady (Zamakhsyari Dhofier, 1985).
Dasar penerapan doktrin ini adalah berawal dari pemahaman tentang Iman, Islam, dan
Ihsan yang merupakan trilogi agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan
meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan dan haqîqat yang
merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak yang terpisahkan dari
keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (iman Islam, dan ihsan),
masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna
tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam
perilaku dan penghayatan keagamaan umat.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus maju, kecenderungan ulama dalam
menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu Tauhid. Kecenderungan ulama dalam
menekuni dimensi hukum keislaman melahirkan disiplin ilmu Fiqh. Kecenderungan ulama
dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu Tasawuf atau Akhlak (Syaikh Abdul Isa
Qadir, 2005). Dayah sebagai Lembaga Pendidikan Islam menanamkan nilai Tauhid, Fiqh dan
Akhlak kepada para santri dalam proses Pendidikannya. Tulisan ini berusaha untuk menelusuri
dan menemukan doktrin apa saja yang ditanamkan kepada para santri dalam proses
pembelajaran di dayah salafi Aceh Besar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi historis yaitu, sebuah proses yang meliputi pengumpulan data dan penafsiran peristiwa
ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk generalisasi yang berguna dalam usaha
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 218
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah, maka ia dapat berguna untuk memahami situasi
sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno Surachmad, 1982).
Penggunaan metode tersebut untuk menemukan sejumlah data dan fakta yang autentik
serta relevan dengan objek yang penulis bahas. Sumber-sumber tersebut penulis peroleh
dengan menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu melalui library re-search. Dalam hal ini
penulis menelaah buku-buku yang ada di perpustakaan yang ada hubungan dengan objek
pembahasan ini.
LANDASAN TEORI
Pada prinsipnya dalam setiap penelitian karya ilmiyah selalu memerlukan data-data
yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasaalahan yang hendak dibahas. Dalam pembahasan tulisan ini digunakan metode
kualitatif deskriptif analisis, yaitu sebuah metode yang menggambarkan realitas yang terjadi
dilapangan, peneliti berusaha masuk dan terjun secara langsung kedalam dunia pendidikan
dayah.
HASIL PENELITIAN
A. Doktrin- Doktrin dalam Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar
Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat
absolut, sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang
dapat diterima telah menjadi tradisi didayah. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional
Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh masih mendoktrin pemahaman fikih dan tauhid
didalam pembelajarannya. didayah hanya diajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari
serta menanamkan doktrin-doktrin tasawuf al-Ghazaly kepada santrinya.
Adapun doktrin- doktrin dalam pendidikan Islam yang diterapkan didayah dapat
diketahui dari klarifikasinya sebagai berikut ini:
1. Doktrin dalam bidang akidah
Akidah dalam bahasa Indonesia berarti: kepercayaan, keyakinan. Pengertian ini sesuai
dengan etemologinya yang berasal dari bahasa arab ’aqidah yang berarti sesuatu yang
diyakini oleh hati, kepercayaan orang yang dianut dalam beragama. Pada permulaan Islam
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 219
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
akidah belum digunakan untuk menyebut pokok pertama kepercayaan Islam yang disebut:
syahadat, Akidah baru disebut-sebut dalam diskusi para teolog Islam yang membicarakan
secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung dalam pengertian syahadat itu, yang
kemudian bermuara dalam beberapa aliran teologi Islam, Akidah juga dipergunakan untuk
menyebut semacam teks pengajaran dasar kepercayaan Islam, yang diberikan kepada anak
anak muslim.
Pangkal pokok ajaran agama Islam adalah tauhid, atau pengesaan Tuhan, Suatu
monotheisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Inti ajaran al-Quran adalah tauhid
merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan. Sepanjang ajaran al-Quran, tauhid adalah inti
ajaran dan agama yang dianut para rasul dan Nabi sepanjang zaman (Nurchalis majdid, 1992).
Tidak diketahui bagaimana wujud tauhid itu dizaman Nabi Muhammad saw sendiri, Tauhid
dimasa Nabi hanya dapat diketahui dengan studi cermat tentang ajaran ajaran dalam kitab
suci dan sunnah Nabi atau tradisi dan sejarah Nabi. Akan tetapi pada masa sekarang kaum
muslimin lebih mengenal ajaran tauhid itu melalui karya karya para sarjana ilmu kalam atau
teologi Islam terutama skolastisisme al- Asy’ari (Zurkani Jahja, 1996).
Dayah sebagai lembaga pendidikan yang berpegang teguh kepada Ahlussunnah wal
Jamaah berpedoman pada akidah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Al-Hasan Al- Asy'ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi. Kedua tokoh Ahlu sunnah wal Jamaah ini nyaris sepakat dalam
masalah akidah, meliputi sifat-sifat Wajib, Mustahil dan Ja'iz bagi Allah, sifat-sifat Wajib,
Mustahil dan Ja'iz bagi rasul. Berikut penulis akan menyebut secara ringkas tentang doktrin
keimanan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bidang tauhid sebagai berikut:
1. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan
mengerjakan dengan anggota.
2. Tuhan itu ada, namanya Allah, dan ada 99 nama bagi Allah.
3. Tuhan mempunyai sifat banyak sekali, secara umum disimpulkan dalam tiga sifat yaitu:
Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan), dan Kamal
(kesempurnaan)
4. Sifat Allah yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin yang baligh berakal adalah: 20
sifat yang wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat yang harus ada bagi-Nya
5. Wajib dipercayai bahwa Malaikat ada, mereka banyak. Tetapi yang wajib dipercayai
secara terperinci hanyalah 10 malaikat saja.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 220
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
6. Wajib dipercayai adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul Nya
untuk disampaikan kepada ummatnya. Kitab-kitab itu banyak, tetapi yang wajib
diketahui secara terperinci adalah 4 (empat)
7. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai semua rasul-rasul yang diutus Allah
SWT kepada manusia.
8. Setiap orang Islam wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan hari akhirat itu
bagi setiap manusia adalah sesudah mati.
9. Mempercayai adanya Qadha dan Qadar yaitu takdir ilahi.
10. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadim, karena nama dan sifat
itu berdiri di atas zat yang qadim, maka dengan demikian semua nama dan sifat Allah
SWT adalah qadim, tidak ada pemulaannya.
11. Al Quran adalah kalam Allah yang qadim. Sedangkan apa yang tertulis dalam mushaf
yang menggunakan huruf dan suara merupakan gambaran dari Al Quran yang qadim
tersebut.
12. Rizki sekalian manusia sudah ditaqdirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak
berkurang, tetapi manusia diperintahkan untuk mencari rizki, diperintahkan untuk
berusaha dan tidak boleh berpangku tangan menunggu saja.
13. Ajal setiap manusia sudah ditentukan waktunya oleh Allah SWT tidak dimajukan
waktunya, juga tidak dapat ditunda walaupun sekejap mata.
14. Anak-anak orang kafir yang mati kecil (bayi) masuk surga.
15. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus seperti yang telah
ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang shahih.
16. Kalau terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an yang seolah-olah menyatakan bahwa Allah
SWT bertubuh seperti manusia, atau bertangan seperti manusia, atau bermuka serupa
manusia, maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan atau
menafsirkan ayat di atas secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu.
17. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir ke
dunia kemudian mati. Lalu hidup kembali (bangkit) dari kematian setelah peniupan
terompet dan berkumpul di padang Mahsyar sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada surat
Al Baqarah ayat 28.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 221
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
18. Upah (pahala) yang Allah SWT berikan kepada oang-orang yang saleh bukanlah karena
Allah SWT terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban Allah SWT untuk
membalas jasa orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Allah
SWT terpaksa menghukumnya atau bukanlah kewajiban Allah SWT untuk
menghukumnya, tidak. Allah SWT memberikan pahala kepada manusia dengan
karunia-Nya dan menghukum dengan keadilan-Nya.
19. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata
hati saja. Tetapi tidak boleh berpersepsi bahwa Allah SWT berada dalam surga. Hanya
kita yang bertempat dalam surga yang melihat-Nya.
20. Pada waktu di dunia tidak ada manusia dapat yang melihat Allah SWT kecuali Nabi
Muhammad SAW, pada malam Mi’raj.
21. Mengutus rasul-rasul adalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menunjuki
jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Allah SWT untuk mengutus rasul-rasul-Nya.
22. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia di antara makhluk Tuhan ialah Nabi
Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul yang lain, lalu para Nabi, para Malaikat,
barulah Muslimin yang lain.
23. Kerasulan seorang rasul adalah karunia Allah SWT. Pangkat tersebut tidak bisa
didapatkan dengan diusahakan, umpamanya dengan bersekolah atau bertapa dan
lain-lain.
24. Rasul-rasul yang dibekali dengan mu’jizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang diluar
kemampuan manusia biasa,.
25. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.
26. Wajib dipercayai adanya Arsy, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan
dari nur, terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakekatnya dan
kebesarannya. Hanya Allah SWT yang mengetahui, kita hanya wajib mengimaninya.
27. Wajib diketahui adanya “Kursi Allah SWT” yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang
bedekatan dan bertalian dengan Arsy. Hakekat keberadaannya diserahkan kepada
Allah SWT. Yang wajib kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mempercayainya.
28. Wajib dipercayai adanya Qalam, yaitu suatu benda yang dijadikan Allah SWT untuk
‘menuliskan’ segala sesuatu yang akan terjadi di Lauh Mahfudh. Sekalian yang terjadi
di dunia ini sudah dituliskan dengan Qalam di Lauh Mahfudh terlebih dahulu.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 222
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
29. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis.
Keduanya dikekalkan Allah SWT agar yang berbuat baik merasakan selama-lamanya
ni’mat pekerjaan dan yang berbuat dosa merasai selama-lamanya siksa atas
pebuatannya.
30. Dosa itu, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, terbagi dua, ada dosa besar dan
ada dosa kecil. Dosa besar itu ialah syirik (mempersekutukan Allah) ini paling berat
atau paling besar, membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba/rente uang, lari
dari medan perang (perang sabil), menjadi tukang sihir, mendurhakai ibu bapak,
berbuat zina, berbuat liwath, berdusta terhadap Nabi dan lain-lain sebagainya. Kalau
dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Allah. Dosa
besar hanya dapat diampuni kalau si pembuatnya taubat kepada Allah.
31. Orang mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddah) dengan melakukan hal-hal di bawah
ini (Sirajuddin Abbas, 2008):
a) Dalam i’tiqad: ragu atas adanya Tuhan. Ragu akan ke-rasulan Nabi Muhammad
Saw. Meragukan bahwa Al-Qur’an itu wahyu Tuhan, ragu bahwa akan ada hari
kiamat, hari akhirat, surga, neraka ragu bahwa Nabi Muhammad Saw Isra’ Mi’raj
dengan ruh dan jasad. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah tidak mempunyai sifat seperti
ilmu, hayat, qidam baqa’, dan lain-lain. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah bertubuh
serupa manusia. Menghalalkan pekerjaan yang telah sepakat ulama’ Islam
mengharamkannya, seperti meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa
boleh baginya, membunuh orang boleh baginya, makan minum haram boleh
baginya dan lain-lain sebagainya. Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat
ulama’ Islam membolehknnya, seperti kawin haram baginya, jual beli haram
baginya, makan minum haram baginya dan lain-lain sebagainya. Meniadakan suatu
amalan ibadah yang telah sepakat ulama’ Islam mewajibkannnya, seperti
sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain sebagainya. Mengingkari kesahabatan para
sahabat-sahabat Nabi yang utama seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin
Khathab dan lain-lain sebagainya. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat suci
Al-Qur’an atau menambah sepotong atau seluruh ayat suci al-Qur’an dengan
tujuan menjadikannya menjadi Al-Qur’an. Mengingkari salah seorang Rasul yang
telah sepakat ulama’-ulama’ Islam mengatakannya Rasul. Mendustakan Rasul-rasul
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 223
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Allah. Meng-i’tiqadkan ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan
jadi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad Saw
b) Dalam amalan: Sujud kepada berhala, pada matahari, pada bulan dan lain-lain.
Sujud kepada manusia dengan suka rela. Menghina Nabi-nabi atau Rasul-rasul
dengan lisan maupun perbuatan. Menghina kitab-kitab suci dengan lisan atau
perbuatan. Mengejek-ejek agama atau Allah dengan lisan atau tulisan.
c) Dalam perkataan antara lain: Mengucapkan “Hai kafir”, kepada orang Islam.
Mengejek-ejek atau menghina nama Allah. Mengejek-ejek hari akhirat, surga dan
neraka. Mengejek-ejek salah satu syari’at, misalnya shalat, puasa, zakat, haji,
thawaf keliling Ka’bah, wukuf di Arafah dan lain-lain sebagainya. Mengejek-ejek
malaikat-malaikat Mengejek-ejek Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Mengejek-ejek
keluarga Nabi. Mengejek-ejek Nabi Muhammad saw.
2. Doktrin dalam bidang fiqh
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam secara khusus menerapkan dan mengajarkan
fiqh dalam pembelajarannya. Kaum santri dalam hal ini mewajibkan mengikuti salah satu dari
empat imam madzhab fiqh yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dan di Indonesia sendiri
mazhab yang dianut mayoritasnya adalah mazhab imam Syafii (Nurcholish Madjid, 1997).
Dayah membatasi pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah kepada orang-orang yang
mengikuti aqidah yang dirumuskan oleh imam al-Asy’ary, fiqih berpegang kepada salah satu
mazhab yang empat dan mengamalkan tasawuf dalam pendidikannya. Ada alasan mendasar
mengenai pembatasan Ahlusunnah wal Jamaah hanya kepada empat madzhab ini. Di samping
alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang
terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini
relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan
dalil naql (teks-teks keagamaan) (Sayyid Bakri Syatha ad- Dimyathi, 2009). Empat madzhab ini
yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adh-Dzahiri yang cenderung tekstualis
dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis. Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh
Ahlusunnah wal jamaah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis
ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang
selamat dan jalan terbaik diantara yang baik.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 224
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang keyakinannya hanya sampai kepada derajat
Zhanni. Seorang mujtahid bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Ijtihad sangat diperlukan dalam
agama karena masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai waktu atau tempat,
nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola tingkah laku, maupun interaksi sosial lainnya
(Soerjono Soekanto, 1988).
Ijtihad merupakan salah satu istilah yang dipergunakan dalam ilmu fiqh sebagai hasil
usaha dari para ahli fikih. Ijtihad menurut bahasa adalah berusaha sekuat tenaga agar meraih
maksud tertentu,. Sedangkan Ijtihad menurut istilah adalah para fuqaha menggunakan daya
nalarnya untuk menetapkan hukum syariat Islam atau upaya ahli fikih guna merumuskan
hukum yang sifatnya hipotetik (zhanni) (HM Haedari, 2004). Dengan tujuan Untuk
mengembangkan, menggali hukum Islam yang belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan as-
Sunnah secara tegas.
Berpijak dari pengertian ini maka tugas dan beban ijtihad hanya dilakukan oleh
mujtahid yang mempunyai keilmuan yang memadai, Bila seseorang belum mencapai
tingkatan mujtahid muthlak, maka Ahlussunnah Wal-jamaah melegalkan taqlid, Bahkan
mewajibkannya bagi orang yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang
memungkinkan melakukan ijtihad, serta tidak boleh mengambil hukum langsung dari ayat
ataupun hadis (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Kewajiban taqlid ini didasari firman Allah swt surat
an-Nahlu ayat 43:
كْرِ إنِْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلمَُونَ فَاسْألَوُا أھَْلَ الذِّ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa bagi kaum muslimin yang tidak mengerti
hukum tidak diperbolehkan baginya untuk mencari, tapi ia harus bertanya kepada orang-
orang yang alim atau mujtahid. Karena merekalah tempat bertanya tentang permasaalahan
hukum-hukum agama Islam. Sehingga para mujtahid dapat ditempatkan sebagai sandaran
sebuah hukum, dan perkataan mereka sebagai dalil dalil syar’i. Sesungguhnya fatwa seorang
mujtahid itu bagi orang-orang awam adalah seperti halnya dalil dalil al-Quran dan hadis,
karena para mujtahid itu diharuskan untuk selalu berpegang teguh kepada al-Quran sebagai
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 225
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
dalil dan bukti. Maka, begitu pula orang-orang awam diharuskan untuk berpegang teguh
kepada fatwa dan ijtihad para ulama (Said Ramadhan al-Buthi, 2001).
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diberikan kemampuan yang berbeda,
sebagian mampu menggali hukum sendiri, dan sebagian lagi tidak mempunyai kemampuan.
Yang tidak punya kemampuan inilah yang diwajibkan padanya taqlid. Taqlid hanya haram bagi
orang yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai mujtahid muthlak, karena dia mungkin
untuk melakukan ijtihad (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Dengan demikian, Ahlusunnah Waljamaah
tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, asalkan
orang yang memasukinya orang yang cukup syaratnya untuk menjadi mujtahid mutlak.
Apabila ijtihad diwajibkan pada setiap orang maka mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak
memiliki kapasitas ijtihad ini, sama saja memaksakan sesuatu di luar batas kemampuannya.
Maka kepada umat yang tidak mampu inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
Ahlusunnah wal Jamaah (Sirajuddin Abbas, 2008).
Untuk menjadi mujtahid tidak boleh sembarangan orang dan tidak semudah yang di
bayangkan karena harus memenuhi kriteria, ini diperlukan agar hukum Islam tidak
dipermainkan oleh orang yang berkepentingan jahat dan mengikuti hawa nafsunya, kriteria
tersebut adalah sebagai berikut (Sirajuddin Abbas, 2008):
a. Menguasai bahasa arab dari segala aspeknya, karena Al-Quran dan hadis diturunkan
dalam bahasa Arab yang fasih yang mutunya sangat tinggi dan pengertiannya luas dan
dalam.
b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum, serta mampu membahas ayat tersebut.
c. Mengetahui dan mengerti nash Al-Quran dan hadist Nabi yang berhubungan dengan
dengan hukum baik Qauliyah, fi’liyah maupun taqririyah.
d. Mengerti tentang asbabun nuzul.
e. Mengerti dan tahu fatwa imam mujtahid terdahulu agar tidak terjerumus kepda
mengeluarkan hukum yang sudah pernah dibahas.
f. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’ sehingga tidak
memberikan fatwa yang bertentang dengan ijma’ itu.
g. Mengerti ilmu ushul fikih
b. Mengetahui nasikh dan mansukh.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 226
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Bila diperhatikan syarat menjadi mujtahid, Maka alangkah sulit dan beratnya
mendapatkan orang yang memenuhi kriteria tersebut, Maka oleh karena itu guru dan santri
dayah lebih memilih bertaqlid kepada salah seorang dari empat imam mazhab, khususnya
mazhab Syafii. Dan mendoktrinnya agar tidak mengambil pendapat ulama diluar mazhab
Syafii khususnya dan mazhab yang empat umumnya. demikian juga dalam berfatwa tidak
boleh keluar dari mazhab yang empat. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan
kebingungan, keresahan dan perpecahan ditengah masyarakat, Demikian juga santri dilarang
melakukan talfiq mazhab dalam mengamalkan suatu paket ibadah. Ini bertujuan agar ibadah
yang dilakukan sah dan diterima Allah swt.
Ketika ada persoalan baru, maka dayah mempunyai cara tersendiri dalam
memutuskan setiap persoalan itu, yaitu dengan merujuk kepada empat mazhab, dan
mengqiyaskannya dengan pendapat yang pernah ada dalam mazhab yang empat, khususnya
mazhab Syafii. Hal ini berbeda dengan Kelompok modernis yang berpendirian bahwa tidak
ada derajat atau tingkatan ijtihad dan setiap orang berhak melakukan ijtihad (M. Hasbi
Amiruddin, 2010).
3. Doktrin dalam bidang Tasawuf
Dalam Islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga aspek yang
sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang
meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut
dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqadi yang termasuk didalamnya iman kepada
Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya.
Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau
akhlaq yang berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Al-
ghazali. Inti ajaran tasawuf berkisar pada pembersihan hati dari segala sifat tercela, menghiasi
diri dengan sikap terpuji dan berakhir dengan ibadah yang sempurna seolah olah melihat
Allah.
Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 227
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok
sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan
mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak
dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya
kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Tasawuf merupakan sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-
teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan
melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah
keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan
perilakunya.
Tasawuf Secara Etimologi berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang orang
yang hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah saw di sekitar mesjid Madinah,
Mereka ikut Nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan
harta benda, mereka hidup miskin, bertawakal dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Allah swt (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).
Secara terminologi sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari tasawuf
adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi serta
pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Imam Junaidi al-
Baghdadi berpendapat : Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang selain Allah, berjuang
memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan kehidupan yang
lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh Rasulullah
saw dalam segala hal. Diantaranya ada ulama yang mengatakan bahwa tasawuf secara
keseluruhan adalah akhlak, Barang siapa memberimu bekal dengan akhlak maka dia telah
memberimu bekal dengan tasawuf. Ibnu ‘Ajibah berkata tasawuf adalah ilmu yang dengannya
dapat diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela
dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).
Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental
yang selalu mensucikan diri dari akhlak tercela, menghiasi diri dengan akhlak terpuji, kesucian
diri, selalu beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat manusia dan
selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia yang sudah menghiasi
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 228
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, untuk ber-taqarrub dan ber-musyahadah kepada Allah
SWT, dan menjalin hubungan yang baik dengan manusia.
Dayah sebagai lembaga pendidikan agama Islam berusaha membentuk karakter anak
didik agar berakhlak mulia, selalu mendoktrin santrinya agar senantiasa menjadi hamba yang
selalu beribadah kepada Allah swt dan salah satu metode agar sampai kepada Allah adalah
dengan cara melakukan suluk.
Menurut Trimingham, Suluk merupakan terminologi lain dari tarekat yang berarti:
Suatu metode praktis untuk membimbing si salik dalam mengikuti suatu jalan pikiran,
perasaan dan tindakan agar berhasil melewati maqamat untuk bias menghayati hakekat
ketuhanan (Zurkani Jahja, 1996). Suluk versi al-Ghazali mirip dengan suatu sistem dalam
pendidikan. Karena itu penyajian konspsi al-Ghazali tentang suluk ini diberikan dengan cara
menjelaskan setiap komponen dalam pendidikan formal, yaitu tujuan, anak didik (murid),
pendidik (guru), alat dan kegiatan (Zurkani Jahja, 1996).
Suluk berasal dari bahasa Arab salaka-yasluku, secara literar berarti melalui atau
menempuh jalan atau juga berarti penerangai atau prilaku suluk selalu dikaitkan dengan
aktivitas rohaniah seseorang yang mengambil jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dengan demikian suluk merupakan praktek tasawuf. Dalam kalangan dayah selain suluk
dikenal juga khaluet dan tawajuh (Sehat Ihsan Shadiqin, 2008). Sedangkan kata tarekat juga
berasal dari bahasa Arab yaitu “Thariqat“ yang berarti jalan, cara, keadaan, atau metode
tertentu (Lois Ma’luf, 1986). Tarekat juga diartikan sebagai jalan, atau metode yang mengacu
kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan tertentu yang dihubungkan
dengan sederetan guru sufi (Sri Mulyati, 2005).
Sedangkan menurut istilah, tarekat adalah “jalan atau petunjuk dalam melakukan
suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di contohkan oleh Nabi Muhammad saw, sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in, turun tumurun sampai kepada guru- guru secara berantai sampai
pada masa kita ini”. (Mustafa Zahri, 1995) Tarekat juga dipahami sebagai suatu organisasi
yang mempunyai syaikh, upacara ritual, dan mempunyai bentuk zikir tertentu (Harun
Nasution, 2020).
Dari definisi di atas disimpulkan bahwa tarekat/suluk adalah tata cara atau metode
dalam mendekatkan diri kepada Allah yang di dalamnya berisi amalan ibadah, mempunyai
syaikh, Kaifiyah zikir (metode berzikir) (Abuddin Nata, 2008) dan upacara ritual berupa bai’at,
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 229
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
ijazah atau khirqah, silsilah, talqin dan wasiat dari guru. Masing masing disertai penghayatan
yang mendalam dengan tujuan agar memperoleh hubungan sedekat mungkin dengan Allah
(Sri Mulyati, 2005).
Dalam tradisi tarekat ada beberapa hal yang merupakan doktrin yang wajib diikuti oleh
murid diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Murid wajib patuh secara total kepada guru
Dalam tarekat otoritas mursyid terhadap murid sangat dominan, sehingga ia dapat
membentuk karakter muridnya sesuai dengan sasaran yang ingin di capai, oleh karena tarekat
adalah sarana perjalanan menuju Allah maka harus ada pola hubungan yang ketat antara guru
dan murid untuk terciptanya satu disiplin dalam kehidupan bersama. Seorang murid tidak
hanya sekedar belajar dan beramal tetapi juga diharuskan menjaga tatakrama dan loyalitas
kepada guru agar ilmu yang didapat itu diberkati. Dari sekian banyak tata aturan dan pola
hubungan dalam tarekat dapat di rumuskan dalam beberapa hal yang penting.
Ketaatan dan kepatuhan kepada guru secara utuh, baik sewaktu berada dilingkungan
ribath maupun di tempat lain. Menjaga kehormatan guru baik sedang berhadapan maupun
berjauhan semasa guru hidup maupun sesudah meninggal. Murid dilarang membantah ajaran
guru, apa saja ajaran guru harus diikuti (Rivay Siregar, 2002). Menjadi guru dalam ilmu tarekat
ini tidaklah sama dengan guru dalam ilmu biasa, Guru dalam bidang terakat ini diseleksi
dengan sangat ketat dan harus memenuhi beberapa criteria dan sedikit yang mencapainya,
kriterianya dalah sebagai berikut (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005):
a. Mursyid itu harus mengetahui semua hukum-hukum yang sifatnya fardhu ain.
b. Guru atau mursyid itu Makrifatnya kepada Allah sudah tinggi(‘arif billah)
c. Guru atau mursyid itu harus mengetahui teknik teknik pensucian jiwa dan sarana sarana
untuk mendidiknya
d. Guru atau mursyid itu harus mendapat izin untuk membimbing manusiad dari mursyid
atau dari syaikhnya.
2. Ijazah guru menjadi syarat dalam mengamalkan sesuatu amalan
Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak menjanjikan ijazah layaknya
sekolah atau perguruan tinggi pada umumnya, tetapi santri mendapatkan ijazah dalam
bentuk lisan dari gurunya. Mendapatkan ijazah dari guru merupakan sesuatu hal yang wajib,
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 230
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
bahkan sorang murid ketika hendak melakukan sesuatu amalan wajib mendapatkan ijazah
dari guru. Suatu amalan yang tidak diambil dari guru maka amalannya kurang sempurna,
Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan, Orang yang hendak berdzikir wajib mengikuti salah
seorang imam dari imam-imam tasawuf (Imam Nawawi al-Jawi,tt).
Begitu juga dalam halnya mata rantai ijazah itu harus jelas dan sampai pada Rasul saw,
Mata rantai ini disebut dengan istilah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi
sebuah tarekat, yang menjadi tolak ukur tarekat itu mu’tabarah, di anggap sah atau tidak.
Silsilah ini berisi deretan nama guru sambung menyambung sampai kepada Rasulullah saw.
Adanya silsilah dan ijazah itu merupakan akibat dari doktrin kerahasiaan, Doktrin itu bertitik
tolak dari ajaran bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw datang kedunia membawa dua
macam ajaran yaitu ajaran umum dan ajaran khusus, yang umum adalah agama Islam
sebagaimana yang dianut kaum muslimin seluruhnya, Sedangkan yang khusus berupa ajaran
tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah yang disampaikan Nabi saw kepada salah
seorang sahabat yang berkenan di hati beliau (Nurchalis Madjid, 1997).
Dayah dalam melaksanakan pembelajarannya menerapkan kewajiban berzikir
khususnya setelah shalat. Hal ini dimaksudkan agar santri terbiasa dengan ibadah sehingga
kebiasaan beribadah ini akan menjadi karakter murid dan akan terbentuk pribadi shaleh dan
shalehah dalam sepanjang hidupnya.
Paparan diatas menunjukkan bahwa dayah menerapkan doktrin dalam pendidikannya.
Ada tiga bidang keilmuan yang didalamnya terdapat doktrin yang sangat berpengarauh pada
jiwa santri dan sangat berperan dalam menciptakan ukhuwah dimasyarakat. Pertama dalam
ilmu aqidah santri didoktri agar berpegang teguh pada aqidah yang telah dirumuskan oleh
imam Al-Asy’ary dan penerusnya. Hal ini disebabkan aqidah Asy’ary sesuai dengan aqidah
rasulullah saw sahabat, tabi’ dan tabi,in, imam mazhab serta ulama ulama besar setelahnya.
Dalam ilmu fiqih diantara doktrinnya adalah bahwa santri wajib berpegang pada mazhab
Syafii, jika tidak didapatkan dalam mazhab Syafii baru beralih kepada mazhab lain, wajib
mengambil pendapat yang kuat dalam mazhab Syafii, tidak boleh mengajar dan belajar fiqih
diluar mazhab syafii, tidak boleh mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan mazhab Syafii,
dalam beramal tidak boleh talfiq mazhab. Yaitu menggabungkan dua mazhab secara
bersamaan dalam satu rangkaian ibadah yang antara dua imam mazhab saling berbeda
tentang sahnya ibadah. Dalam bidang tasawuf diantara doktrin yang diterima santri, bahwa
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 231
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
setiap santri wajib menghormati dan memuliakan gurunya, tidak boleh membantah gurunya
dengan cara tidak sopan, selesai belajar santri wajib mencium tangan gurunya untuk
mendapatkan keridhaan dan keberkahan dari gurunya, bersikap ikhlas dalam segala hal
termasuk mengajar tidak boleh mengharap pemberian orang, wajib ada zikir setelah shalat,
membaca sayyidina sebelum menyebut nama nabi dalam shalawat, tidak boleh mempelajari
karangan ulama tasawuf falsafi, setiap amalan zikir wajib ambil ijazah dari guru, wajib
mempelajari dan membaca kitab yang dikarang oleh ulama shaleh dan ahli ibadah. Dan setiap
santri wajib berakhlak baik.
Kesimpulan
Berdasarkan bahasan diatas menunjukkan bahwa tujuan dayah mendoktrin santrinya
adalah agar santri lebih mencintai ajaran agamanya di bidang tauhid sehingga keimanan santri
lebih kokoh dan kuat. Dengan demikian, santri tidak mudah goyah saat berhadapan dengan
pemahaman tauhid yang berbeda ataupun sesat. Diarahkannya santri kepada mazhab yang
satu dalam mempelajari fikih adalah agar santri lebih terfokus dan terarah dalam memahami
hukum agama Islam, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh.
Tujuan dayah menerapkan doktrin dalam materi tasawuf untuk membina akhlak santri
dengan sifat terpuji.
Daftar Pustaka
Abbas, Sirajuddin. 2008. I’tiqad Ahlussunnah Wal jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru.
Abbas, Sirajuddin. Sejarah Dan Keagungan Mazhab Imam Syafii. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
baru.
Ad- Dimyathi, Sayyid Bakri Syatha. 2009. I’anatut Thalibin. Jakarta; Darul Kutub al-Islamiyah.
Al-Buthi, Said Ramadhan. 2001. Mazhab tanpa mazhab, bid’ah dalam syariat Islam, terj.
Gazira Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka al-Kaustar.
Al-Jawi, Imam Nawawi. tt. Nihayah al-Zayn. Bairut: Dar al-Fikr.
Assaqafi, Said ‘Alwi. 2004. Majmu’ah Kutubun Mufidah. edisi Indonesia: Haramain.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985, Tradisi Pesantren; Tinjauan Tentang pandangan hidup Kiyai
Jakarta: LP3ES.
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286
Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 232
http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI. 2000. Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan Bintang.
Haedari, HM dkk. 2004. Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan
komplesitas global. Jakarta: IRD Press.
Jahja, Zurkani. 1996. Teologi Al-Ghazali pendekatan metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ma’luf, Lois. 1986. al- Munjid fi al- Lughah wa al- Adab wa al- Ulum. Beirut: Dar al Masyriq.
Madjid, Nurchalis. 1997. Bilik Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Mulyati, Sri. 2005. Mengenal dan Memahani Tarekat- Tarekat Muktabarah Di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Nasution, Harun. 1982. Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI Press.
Nata, Abuddin. 2008. Akhlak Tasauf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Qadir, Syaikh Abdul Isa. 2005. Haqaiq al-Tashawwuf. al-Qahirah: Darul Maqtham.
Shadiqin, Sehat Ihsan. 2008. Tasuwuf Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Siregar, Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik dan Neo Sufism. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soekanto, Soerjono. 1988. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
Zahri, Mustafa. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasauf. Surabaya: Bina Ilmu.
.