DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted...

388

Transcript of DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted...

Page 1: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run
Page 2: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

EKONOMI I

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Program BeasiswaPusbindiklatren Bappenas

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

Page 3: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ekonomi I ©2018 oleh Bappenas

Editor Dr. Guspika, MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA..

Kontributor Fitri Ami Handayani, Syarah Siti Supriyanti, Abdul Karim Susastro,

Aditia Dwi Cahyani Fatah, Aneu Emitasari, Ardiyas Munsyianta,

Bait Hidayatulloh Nikah Dwi Putra, Bergas Sulutoro, Dian Septina Anggarsari,

Diyah Ayu Mustika Ratri, Endy Setiawan, Fajar Afrian, Farida Laila Tsani,

Febrina Susanti, Frengky Firnando, Galuh Perwita Sari, Karmila, Meikhati Kurniasari,

Mita Astari Yatnanti, Muhamad Alamsyah, Nur Hafni, Nur Laila Kholida, Nur Laila Kholida,

Retno Setyaningsih, Rofiq Isdwiyani, Rossa Novitasari, Sri Mulyani Kustiyanti, Sugesti

Rahayu, Taufik Bagus Setyoko, Uun Mardiyanto, Vita Azizah,

Yanuari Kristiana, Yeru Fernando Estidjoko

Cetakan I, Oktober 2018 ISBN: 978-602-53018-6-5

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Page 4: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ii iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI— iii

KATA PENGANTAR — vii

ILMU EKONOMI

ASYMMETRIC INTEREST RATE PASS-THROUGH OF MORTGAGE RATE IN INDONESIA Fitri Ami Handayani — 1

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP VOLATILITAS BELANJA PEMERINTAH KABUPATEN ATAU KOTA DI INDONESIA Syarah Siti Supriyanti — 13

EKONOMI PEMBANGUNAN

EVALUASI DAMPAK PROGRAM KELUARGA HARAPAN TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI SEKOLAH DAN PENGELUARAN PENDIDIKAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA Abdul Karim Susastro — 27

EVALUASI PENGHITUNGAN TARIF PNBP PKH UNTUK PERTAMBANGAN BERDASARKAN KERUSAKAN HUTAN PRODUKSI YANG TERJADI Aditia Dwi Cahyani Fatah — 37

DAMPAK BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYAR AKAT (BLSM) TERHADAP KONSUMSI MAKANAN DAN NONMAKANAN Aneu Emitasari — 45

ASPEK GEOGRAFIS DAN KEMISKINAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN Ardiyas Munsyianta — 55

ANALISIS PELAYANAN PUBLIK SETELAH PEMEKARAN WILAYAH DI KABUPATEN TULANG BAWANG TAHUN 2016Bait Hidayatulloh Nikah Dwi Putra — 66

Page 5: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

iv v

ESTIMATING THE IMPACT OF EXPORT TARIFF ON INDONESIA COCOA BEANS USING SYNTHETIC CONTROL METHODBergas Sulutoro — 77

DAMPAK KREDIT MIKRO TERHADAP PENGELUARAN PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA Dian Septina Anggarsari — 87

PENGARUH BESARAN PINJAMAN MIKRO TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA Diyah Ayu Mustika Ratri — 97

ANALISIS KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANANDA KOTA LUBUKLINGGAU MENGGUNAKAN METODE SERVQUAL

Endy Setiawan — 109

EVALUASI DAMPAK BANTUAN SISWA MISKIN (BSM) TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA Fajar Afrian — 123

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DI KABUPATEN KULON PROGO Farida Laila Tsani — 133

EVALUASI DAMPAK PEMEKARAN DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA Febrina Susanti — 141

PENGARUH PILKADA TERHADAP SIKLUS PENGANGGARAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIAFrengky Firnando — 153

PENGARUH PENDIDIKAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI DIY TAHUN 2007-2015Galuh Perwita Sari — 163

OPENNESS AND INFLATION RELATIONSHIP: A CROSS-COUNTRY EVIDENCE DURING 1989-2014Karmila — 173

Page 6: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

iv v

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTARKECAMATAN DI KABUPATEN BANTUL, 2010-2015Meikhati Kurniasari — 183

THE EFFECT OF E-PROCUREMENT ON THE INFRASTRUCTURE PROVISION IN INDONESIAMita Astari Yatnanti — 193

EVALUASI DAMPAK KEPESERTAAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMURMuhamad Alamsyah — 203

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2010-2014 Nur Hafni — 213

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIANur Laila Kholida — 223

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SEKTOR PERTANIAN PADA PDRB PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, 2003—2016Priska Lenora Titisari — 239

THE IMPACT OF AGRICULTURAL POLICY ON PADDY PRODUCTION IN INDONESIARetno Setyaningsih — 253

HOW TO INTRODUCE MODERN WASTE COLLECTION SYSTEM IN INDONESIA: A CASE STUDY ON SLEMAN REGENCY IN INDONESIA USING CONJOINT EXPERIMENTRofiq Isdwiyani — 271

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS UTAMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR INDIARossa Novitasari — 283

PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN SLEMANSri Mulyani Kustiyanti — 293

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2006—2015Sugesti Rahayu — 307

Page 7: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

vi vii

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PEKERJAAN UMUM TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAWA TENGAHTaufik Bagus Setyoko — 319

DAMPAK PROGRAM BERAS UNTUK KELUARGA MISKIN TERHADAP PROPORSI PENDAPATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK KONSUMSI MAKANANUun Mardiyanto — 331

THE IMPACT OF THE MANDATORY INDONESIAN NATIONAL STANDARD (INS) REGULATION ON INDONESIA’S IMPORTS CASE STUDY: TOYS AND STEEL INDUSTRYVita Azizah — 343

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA INDONESIAYanuari Kristiana — 355

THE IMPACT OF INVESTMENTS ON THE UNEMPLOYMENT RATE IN BANTEN PROVINCE INDONESIAYeru Fernando Estidjoko — 367

Page 8: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

vii

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia, khususnya dari daerah. Program ini bertujuan memberi kesempatan meningkatkan sumber-daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya, diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Ekonomi I ini merupakan buku ketujuh dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karyasiswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan buku ilmiah sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

Page 9: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

viii ix

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, Oktober 2018

Pusbindiklatren Bappenas

Page 10: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ix

Page 11: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

Direktori Mini Tesis/Disertasi

Program Beasiswa PHRD-IV

ILMU EKONOMI

Page 12: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ASYMMETRIC INTEREST RATE PASS-THROUGH OF MORTGAGE RATE IN INDONESIA

Nama : Fitri Ami Handayani

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister IlmuEkonomi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 13: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Thesis ini menyajikan analisis empriris dari transmisi suku bunga yang dipicu oleh kebijakan moneter dalam pasar Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini menguji adanya potensi asimetri dalam hal besaran dan kecepatan pada proses transmisi dua tahap, yaitu dari suku bunga kebijakan terhadap suku bunga pasar uang dan dari suku bunga pasar uang terhadap suku bunga KPR. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa walaupun perubahan suku bunga kebijakan diteruskan secara sempurna, segera dan simetris kepada suku bunga pasar uang, namun selanjutnya diteruskan secara tidak sempurna, lambat dan asimetris kepada suku bunga KPR. Bank penyalur KPR di Indonesia lebih responsif terhadap penurunan suku bunga kebijakan dibandingkan kenaikan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter ekspansif akan memiliki dampak lebih besar kepada konsumen dibandingkan kebijakan moneter kontraktif.

Kata kunci: Transmisi Suku Bunga, Asimetris, Suku Bunga KPR, Indonesia

Page 14: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

ABSTRACT

This thesis present an empirical analysis of the interest rate transmission induced by monetary policy in Indonesian mortgage market. We examine potential amount and adjustment asymmetries in two-stage transmissions process, namely from official rates to money market rates and from money market rates to mortgage rates, using Asymmetric Error Correction Model (AECM). Our findings indicates that although official rate changes are completely, immediately and symmetrically passed through to the money market rate, they are incompletely, sluggishly and asymmetrically passed through to the mortgage rate. The Indonesian mortgage lenders respond more strongly to an official rate cuts than to an official rate hike. This implies that expansionary monetary policy will have more impact on the consumer than contractionary monetary policy.

Keywords: Interest Rate Pass-Through, Asymmetries, Mortgage Rates, Indonesia

Page 15: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

4 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ASYMMETRIC INTEREST RATE PASS-THROUGH OF MORTGAGE RATE IN INDONESIA

A. Background

Mortgage market in Indonesia is considered moderately concentrated with the Herfindal-Hirschman Index (HHI) score 1669. However, since there is very scarce substitute product in the home loan market, costumer from middle to low income have limited alternatives for financing a house other than taking a mortgage product. This has made the mortgage demand to be relatively inelastic than other consumer credit products which have more competitors and substitute products in the market. Other distinctive features of mortgage than any other credit products are the collateral that has a growing value and the relatively long-term contract. These features intensify the imperfect competition feature of the mortgage market since, even though there are no specific entry barrier, not many banks or financial institutions have competency to enter the markets, in term of allocating funding, solving miss-match maturity funding problems, know-how to maintain the long contract, expertise in asset valuation, and also dealing with default cases.

The previous study about interest rate pass-through in Indonesia, although not specifically in the mortgage market, has confirmed the incomplete pass-through and sluggish adjustment from official rate to retail deposit and loan rate (Falianty&Listiyanto, 2013; Wibowo&Lazuardi, 2016; Yu, Chun, & Kim, 2013). However, among these studies, only Yu, Chun, & Kim (2013) looked into the asymmetric adjustment while others assumed symmetric adjustment.

A common finding of those studies is that the interest rate pass-through from the official rate to retail rates in the long run is mostly incomplete, which implies that the retail rates do not fully reflect the effects of monetary policy. Still, these studies have not taken into account the dynamics of pass-through from official rate to money market. If both studies of Falianty&Listiyanto (2013) and Wibowo&Lazuardi (2016) assumed only one stage of pass-through from the official rate, BI Rate, to the retail rates, Yu, Chun, & Kim (2013) examined the pass-through from money market rate to retail rates.

The U.S. Department of Justice and the Federal Trade Commission (2010) generally consider markets in which the HHI is below 1500 points to be unconcentrated, while markets with HHI between 1500 to 2500 to be moderately concentrated and markets in which the HHI is beyond 2500 points to be highly concentrated.Hence, this study will incorporate both one stage and two-stage of pass-through that include the investigation of pass-through to money market rate.

Page 16: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 5

Also, instead of using aggregate data as previous studies in Indonesia, we use the weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run dynamics of interest rate pass-through from official rate to the published adjustable mortgage rate (prime lending rate) of 6 biggest mortgage lenders in Indonesia, which we assume as an oligopoly market. Furthermore, we generate the weighted average mortgage rate of the three top lenders as a representation of dominant players or leader. On the other hand, the weighted average mortgage rate of the other three as the representation of follower bank mortgage in the market. We compare the leader mortgage rate and the follower mortgage rate in order to gain a better understanding empirically about how lenders with different degree of market power might respond in a different way to change in official rate.

Many literatures argue that one of the possible explanation for the asymmetric pass-through is market power, since most of mortgage markets in many countries are typically concentrated (Toolsema& Jacobs, 2007; Haan&Sterken, 2011; Becker, Osborn, & Yildirim, 2012; Sjölander, 2013; Sjölander, Shukur, Månsson, &Kekezi, 2015; Valadkhani& Worthington, 2014). Thus far, according to our knowledge, none has empirically evaluated pass-through of lenders with diverse market power, particularly since most of these studies employ aggregate data. However, there are evidence of price coordination in the mortgage market from several studies, which has been used individual lenders data (Haan&Sterken, 2011; Valadkhani& Worthington, 2014).

B. Research Problems and Methodology

More specifically, this study would like to address the following questions:

1. How quickly and completely interest rate pass-through to mortgage rates in Indonesia? Are there different degree of pass-through in the two stages of pass through from policy rate to money market rate and from money market rate to mortgage rate?

2. Do the mortgage rates respond asymmetrically to change in official rate? Are there different pass-through to mortgage rates, in term of speed (i.e., how fast the policy change is passed on) as well as amount (i.e., how much of the policy change in the official rate is passed on), between the case of the positive and negative shock?

3. How do the banks with different degree of market power adjust their mortgage rate? Is the leader market player less responsive? Does the leader market player respond differently to official rate and money market changes?

Page 17: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

6 Direktori Mini Tesis-Disertasi

As required by Bank of Indonesia, conventional commercial banks have the obligation to published their end of month prime lending rate since 2011. It should be remarked that the prime lending rate is differ from the effective lending rate, since the calculation of prime rate have not taken into account the risk premium component, which depends on the riskiness of each individual debtors based on banks evaluation. Thus, the prime rate is lower than its effective rate. Frost & Bowden (1999) and Haan and Sterken (2011) also used the published (advertised) rates in analyzing the interest rate pass-through in New Zealand and Dutch Mortgage Market, respectively.

Furthermore, the mortgage rate is adjustable (variable) mortgage rate, meaning that they are adjusted frequently from time to time in line with general interest rate movement. Most of conventional mortgage loans offered in Indonesian mortgage market are at adjustable rate, while discounted and capped (fixed for some period) are limited offered (term and conditions applied).

We limit the observation only for top six largest bank that is assumed as oligopolistic mortgage market. They control about 83% of the market, which indicates a highly concentrated market. BI reports that in 2014 BTN has a market share of 32.27%, BCA 17.19%, BNI 10.47%, Mandiri 8.33%, Panin 7.62% and CIMB-Niaga 7.08%.

Consistent with our research questions, we group the banks based on market power. Afterward, we generate weighted average mortgage rate series as follow: (1) weighted average of all Banks, (2) weighted average of Leader Banks (i.e., high market power based on large market share), (3) weighted average of Follower Banks (i.e., small market power). Among this selected market, the leaders have a total market share of 71.43%. In contrast to the previous study in Indonesia, we are not using BI rate as the benchmark official rate, but the Deposit Facility (DF) rate. Since our observation period comprises the change of official rate from BI rate to 7 Day Repo Rate, we use DF rate instead of any of the two.

C. Data Analysis and Results

1. Symmetric One Stage Interest Rate Pass-through

The follower banks is appear to be more responsive since they exhibit lower margin and higher pass-through than the leader banks in the long run which is relevant to the visual interpretation of figure 7. It is also informed that all of Wald Test result statistically rejected the null hypothesis of at the 1% level, which verified the incomplete long run pass-through from official rate to mortgage rate.

Page 18: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 7

Afterward we proceed to investigate the short run dynamics under symmetric assumption using equation 19a (Panel 2). The estimated coefficient of immediate pass-through and speed of adjustment have the expected sign and statistically significant. Ceteris paribus, the increase of Deposit Facility by 1% will be immediately followed by the rise of 0.29% of mortgage rate and vice versa. The adjustment speed means that the lenders correcting the gap of their mortgage rates to their equilibrium level at the speed of 0.25% per month. We further examine the adjustment speed with the estimation of MAL, which indicate that the adjustment to the equilibrium is 2.9 month. This suggests the sluggish pass-through from official rates to mortgage rates. Our findings also show that, in the short run, the leader and follower respond to change of DF rates are not substantially different, based on the size of the coefficients and MAL.

2. Symmetric Two-stage Interest Rate Pass-through

Corresponding the result estimated in one stage pass-through, the follower mortgage rates seems to be more responsive to change in money market rate in the long run with lower constant intermediation margin and higher pass-through. However, in Thus, not surprisingly, with higher coefficient of immediate pass-through and adjustment speed, the leader adjusts their mortgage rates to change of money market rates twice faster than the follower does.

Overall, from the analysis of two-stage pass-through, we conclude that although official rate changes are completely and immediately passed through to the money market rate in the long-run, they are incompletely and sluggishly passed through to the mortgage rate. Our findings is similar to the result of two-stage pass-through of official rates to money market rates and from money market rates to mortgage rates in the UK (Becker, Osborn, & Yildirim, 2012) and in the euro area (de Bondt, 2005). Another explanation of the different level of pass-through between the first and second stage of pass-through is the discrepancy of interest rate maturity. Chong, Liu, & Shrestha, (2006) mentioned that the incomplete pass-through might arise for the reason that long-term interest rates are less correlated with the policy interest rate than short-term interest rates. Thus, money market rates (overnight JIBOR), which is short-term, pass on official rate changes in higher magnitude than that of mortgage rates, which is long-term.

3. Asymmetric One Stage Interest Rate Pass-through

Although the above discussion indicates the presence of both short-run amount and long-run adjustment asymmetric pass through, we confirmed the behaviour using Wald Tests. Most of the null hypothesis regarding the absence of the amount

Page 19: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

8 Direktori Mini Tesis-Disertasi

asymmetry were mostly rejected, except for the follower. On the other hand, the Wald tests were failed to reject both of the null hypothesis of adjustment symmetry. Thus there is not enough convincing evidence of the upward adjustment asymmetric pass through.

Summing up the above results, thus we conclude that there are more compelling statistical evidences of the negative amount asymmetric pass-through suggested the hypothesis of costumer reaction hypothesis. On the other hand, we failed to obtain adequate confirmation of the positive adjustment asymmetric pass-through since there are only minor statistically significant evidence of such behavior. Thus, we may argue that the mortgage lenders in Indonesia are more aware to their customers and demonstrate more rigidity in passing on the positive shocks in the official rates into their mortgage rates. This also suggest the influence of customer relationships. Liu, Margaritis, and Tourani-Rad (2008) argue that in spite of high market concentration, banks might compete intensely in segments of retail market. Additionally, this condition, which leads to upward rigidity of mortgage rates, is consistent with the asymmetric information hypothesis (Stiglitz & Weiss, 1981). As higher loan rates are associated with adverse selection and moral hazard problems, lenders are reluctantly increasing their mortgage rates and prefer rationing their credit, resulting in slow loan growth (Chong, Liu, & Shrestha, 2006).

4. Asymmetric Two-stage Interest Rate Pass-through

Finally, we examine the possibility of asymmetric pass-through from money market rates to mortgage rates using TSLS in which result is presented in the following Table 4.10, 4.11 and 4.12. The estimated coefficient of immediate pass-through to both positive and negative shock indicate the that mortgage lenders, in average, respond JIBOR cuts by decreasing their lending rate more in magnitude than they would respond the increase of JIBOR. Further, Wald test confirmed the negative amount asymmetry, which also found in the one stage pass-through.

The size and significance of adjustment speed coefficient suggest that when actual mortgage rates are below the market equilibrium, the lenders quickly amend for the prevailing gap by increasing their rates with an average feedback coefficient of 0.34 per month (average). Conversely, the correction of the gap which occurred as the actual mortgage rates are substantially above their equilibrium path are somewhat slower (0.14 per month), which means that they temporarily continue charging above the equilibrium rates. However, the indication of positive adjustment asymmetry is not statistically significance as the Wald test accepted the null hypothesis of adjustment symmetry. On the other hand, from the result of TAR and MTAR specifications we must conclude that both leader and follower

Page 20: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 9

rate, respond the JIBOR symmetrically. There is only one statistically significant evidence of negative amount asymmetry from the 3-ECT specifications for the leader mortgage rates.

5. Comparison to Empirical Evidence in Other Countries

The existing literatures is in general inconclusive on the subject of pass-through from official rates or money market rates as benchmark rates to mortgage rates. Further, there are some notable differences found in Indonesian case compared to other countries.

First, it is easily detectable that the constant loan intermediation margin in Indonesia is considerably the highest, indicating higher markup. Second, with respect to the magnitude of long run pass-through, mortgage lenders in Indonesia are moderately follow the official rates and market rates, lenders in some countries (for example US, Switzerland and New Zealand3), which has smaller long run pass-through, are found to be less sensitive to the benchmark rates development. The size of the estimated coefficient of long run pass-through in Indonesia is also similar to Singapore (Chong, Long run pass-through of floating mortgage rates (Liu, Margaritis, &Tourani-Rad, 2008) is less than the average mortgage rates (Frost & Bowden, 1999). Liu, & Shrestha, 2006). Third, in accordance to symmetric short run pass-through, the immediate pass-through of mortgage rates in Indonesia is the highest. On the other hand, the adjustment speed is moderate, some countries are faster (UK, New Zealand) and others are slower. Fourth, corresponding the asymmetric respond of mortgage rates to change of benchmark rates (i.e. amount asymmetry), the size of estimated coefficient of immediate pass-through in Indonesia is moderate (Dutch and Australian mortgage rates are higher). Lastly, as to the asymmetric adjustment speed, our findings suggests that Indonesian mortgage lenders are closing the gap to the equilibrium level in relatively shorter time than lenders in other countries, except for the floating mortgage rate in New Zealand.

D. Conclusion

This thesis presents an empirical analysis of the transmission of interest rate shocks induced by monetary policy to the mortgage rates, represented by six largest banks in the Indonesian mortgage market, using monthly prime lending rates over the period of October 2011 to September 2017. In order to obtain more comprehensive understanding about the interest rate transmission properly, we incorporate two transition mechanism (one-stage pass through from official rates directly to mortgage rates and two-stage pass

Page 21: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

10 Direktori Mini Tesis-Disertasi

through from official rates passing through money market rates toward the mortgage rates), allowing for asymmetries in each mechanism. We employed specification of ECM TAR, MTAR and 3-ECT to capture both of amount and adjustment speed asymmetric pass through.

From the result of single stage pass through analysis, we found that there were incomplete long run pass through and sluggish adjustment in the short run. However, even though in the long run the follower banks seems to be more sensitive to the official rates dynamic with lower constant margin and higher long run pass through, the leader banks is appear to be more responsive and adjust their mortgage rates faster to change in the official rates. Since the leader players charged higher margin, in the short run they have more flexibility to compete and adjust their lending rates with respect to official rate changes.

Additionally, the two stage pass through analysis reveals that the interest rate pass through between the official rate and the money market rates were more to be complete and immediate, which indicate that monetary policy fully controls the money market rates specifically that with short term maturity. Nonetheless, the pass through from the money market rates to the average mortgage rates were incomplete and sluggish.

We also found that the weighted average mortgage rates, of all six largest banks, respond asymmetrically to changes in the official rates. There were more conclusive evidence of negative amount asymmetries instead of positive adjustment asymmetries. Although it was contrary to the expectations, the top mortgage lenders in Indonesia respond more strongly to official rates cuts than to an increase, which suggests more competition. This evidence is more relevant to the costumer-reaction hypothesis.

However, there were also some indication that when the actual mortgage rates were below the desired level (negative disequilibria, specifically in the case of large one), the leader banks eliminate the gap by increasing their mortgage rates at a faster speed than that under positive disequilibria conditions. This, contrariwise, support the hypothesis of collusive-pricing behaviour, as banks with higher market power have lower incentive to lower their lending rate when they were above the equilibrium. On the other hand, there are less conclusive evidence of asymmetries of the follower mortgage rates, implies that those banks with less market power adjust their mortgage rates symmetrically to change of official and market rates.

Page 22: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 11

E. The Policy Recommendations

From the monetary policy perspectives, our findings imply that the expansionary monetary policy will have more impact to the consumer than the opposite contractionary monetary policy. As the official rates cuts were passed on to the decrease of mortgage rates, it will eventually increase the consumers purchasing power and induce more consumption. Meanwhile, the increase of rates cuts were passed on in lower magnitude, hence it might not have the reverse comparable effect to the decrease of consumer purchasing power. Thus, the monetary authorities should noticed that the easing monetary policy appear to have larger impact than the tightening monetary policy.

Page 23: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

12 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 24: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP VOLATILITAS BELANJA PEMERINTAH KABUPATEN ATAU KOTA DI INDONESIA

Nama : Syarah Siti Supriyanti

Instansi : Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Ekonomi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 25: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

14 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota yang berasal dari ketidakpastian transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat memperburuk perekonomian kabupaten atau kota. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiscal, khususnya dari sisi penerimaan (kemampuan fiskal) terhadap tingkat volatilitas belanja rill pemerintah pada 230 kabupaten atau kota di Indonesia. Kami membandingkan data sebelum dan sesudah implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pemberian Kewenangan Pajak Properti kepada Kabupaten atau Kota. Hasil regresi menunjukkan semakin tinggi derajat desentralisasi fiskal maka cenderung menurunkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Selain itu, kami juga menemukan bukti bahwa setelah diberlakukannya regulasi pemberian pajak properti kepada kabupaten atau kota maka kemampuan fiskal kabupaten atau kota cenderung meningkat sehingga volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota semakin menurun. Kami berargumen hal ini terjadi karena pajak properti merupakan sumber peneriman yang lebih dapat diprediksi sehingga pemerintah kabupaten atau kota tidak terlalu bergantung lagi pada transfer dari pemerintah pusat untuk melakukan spending.

Kata kunci: Volatilitas Belanja Pemerintah, Desentalisasi Fiskal, Sisi Penerimaan, Kemampuan Fiskal, Pajak Properti

Page 26: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 15

ABSTRACT

The real volatility of district/city governments that comes from the uncertainty of agency transfers to local governments can increase districts/cities. This study aims to analyze the tax decentralization of the government against 230 regencies/cities in Indonesia. We compared the preceding and following data of Law Number 28 of 2009 concerning the tax authority for districts/cities. Regression results show that the higher the level of tax decentralization can reduce the volatility of district/city governments. In addition, we also found facts that occurred after the implementation of tax rules for districts/cities, then the district/city tax function increased, the volatility ratio of district/city government spending declined. We argue that this happens because taxes that are more predictable partnerships, local/city governments are not too much to divert expenditure.

Keywords: Government Spending Volatility, Decentralization, Income, Property Taxes.

Page 27: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

16 Direktori Mini Tesis-Disertasi

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP VOLATILITAS BELANJA PEMERINTAH KABUPATEN ATAU KOTA

DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Pelaksanaan desentralisasi fiskal sisi pengeluaran dengan desentralisasi fiskal sisi penerimaan haruslah dilaksanakan secara seimbang untuk mengatasi ketidakefektifan pelaksanaan sistem desentralisasi fiskal, seperti teori yang menyatakan antara kewenangan atau tanggung jawab pengeluaran dan kewenangan atau tanggung jawab penerimaan harus dikombinasikan dalam pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal (Shah, 1998; Mc-Lure dan Martinez-Vazquez, 2000). Jika terjadi ketimpangan atau pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran saja tanpa memberikan kewenangan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan maka akibat dari proses desentralisasi seperti itu akan menyebabkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota yang tinggi.

Langkah pemerintah pusat untuk memperkecil volatilitas belanja rill pemerintah daerah dengan memperkecil kebergantungan kepada pemerintah daerah. Kebergantungan itu di antaranya pemerintah daerah harus diberikan wewenang luas dalam pengelolaan pendapatan asli daerahnya (meningkatkan kemampuan fiskal daerah). Pada pelaksanaannya di Indonesia, hal itu diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang menjadi sumber pembiyaan untuk pembangunan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) (desentralisasi fiskal sisi penerimaan) dan Dana Perimbangan (Daper) (desentralisasi fiskal sisi pengeluaran). PAD yang dimaksud terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan PAD lain-lain yang sah. Peningkatan PAD bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fiskal.

Kemampuan fiskal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan, yaitu ukuran kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan untuk membiayai pengeluaran yang pada akhirnya akan memperkecil transfer daerah dari pusat karena pemerintah daerah telah mampu membiayai pengeluarannya sendiri. Semakin besar kemampuan fiskal suatu daerah maka akan semakin kecil celah fiskal yang harus ditutupi oleh pemerintah pusat. Selain itu, ketika pemerintah daerah memiliki kemampuan fiskal besar maka pemerintah daerah akan lebih responsibel terhadap warganya, saat pemerintah daerah lebih responsibel maka belanja daerah akan dilakukan jauh lebih terarah dan efisien.

Page 28: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 17

Perlu diketahui bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue) (Haryanto, 2017; Mahi, 2001). Namun, sejak dikeluarkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Indonesia telah melakukan perbaikan kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan (revenue) meskipun masih didominasi oleh transfer dari pusat. Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan, untuk hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan PAD lain-lain yang sah, nyatanya masih belum menyumbang secara signifikan terhadap total penerimaan PAD daerah, hanya pajak daerah dan retribusi daerah saja yang mampu menyumbang secara signifikan terhadap total penerimaan PAD daerah. Semua jenis pajak utama yang paling produktif, baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik atau dikelola seluruhnya oleh pusat meskipun pajak yang dikelola oleh daerah cukup beragam jenisnya, namun hanya sedikit yang bisa diadalkan sebagai sumber penerimaan (Mudrajad, 2004).

Berbeda dengan semenjak dikeluarkannya undang-undang tersebut, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengelola pajak yang dianggap produktif seperti pajak properti. Dengan demikian, implementasi undang-undang tersebut diharapkan pemerintah kabupaten atau kota dapat menjadi mandiri dalam melakukan pembiayaan daerahnya. Suatu negara yang melakukan sistem desentralisasi harus mampu menunjukkan bahwa daerah-daerahnya bisa mandiri yang diwujudkan dengan berkurangnya kebergantungan keuangan kepada pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah semakin besar kemampuan fiskalnya maka volatilitas belanja pemerintah daerah tersebut semakin kecil dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat terjaga dengan baik (Mabugu dan Monkam, 2013).

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan volatilitas belanja rill pemerintah daerah yang tinggi dapat berakibat negatif pada pertumbuhan ekonomi kabupaten atau kota di Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal dalam wujud kemampuan fiskal perlu dibuktikan jika pemerintah kabupaten atau kota diberikan wewenang lebih besar dalam mengelola penerimaannya. Setelah implementasi UU Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan akan memperkecil volatilitas belanja rill pemerintah daerah yang nantinya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi kabupaten atau kota di Indonesia (Bodman, et al., 2010). Dengan demikian, muncul pertanyaan dapatkah volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota dipengaruhi oleh desentralisasi fiskal, khususnya pada sisi penerimaan atau kemampuan fiskal kabupaten atau kota masing-masing? Mengingat pemerintah pusat telah melakukan peningkatan pelaksanaan desentralisasi fiskal sisi penerimaan dengan diterapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 maka harus dipertimbangkan sebelum dan sesudah pelaksaan undang-undang tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut

Page 29: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

18 Direktori Mini Tesis-Disertasi

penulis akan melakukan penelitian mengenai dampak desentalisasi fiskal terhadap volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia, mengadopsi studi yang dilakukan oleh Furceril, Sacchi, Salotti (2016).

B. Metodologi Penelitian

Penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan (kemampuan fiskal) terhadap volatilitas belanja pemerintah di Indonesia akan dilakukan dengan menggunakan model yang dibangun oleh Furceri, Sacchi, dan Salotti (2016). Model yang dibangun oleh Furceri, Sacchi, dan Salotti (2016) merupakan model yang digunakan untuk menganalisis desentraliasi fiskal negara yang memiliki derajat desentralisasi berbeda antarnegara. Dalam penelitian ini, model tersebut akan disesuaikan dengan unit analisis yang akan diteliti, yaitu antarkabupaten atau kota di Indonesia. Desentralisasi fiskal di Indonesia memiliki aturan dan undang-undang yang sama setiap kabupaten atau kota sehingga desentralisasi fiskal, khususnya dari sisi pengeluaran memiliki derajat desentralisasi fiskal tidak berbeda. Undang-undang dan peraturannya sama, desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan akan memiliki derajat berbeda-beda karena Penerimaan Asli Daerah (PAD) akan memiliki variasi berbeda-beda juga setiap kabupaten atau kota. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.

Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data cross section volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia, terbagi kedalam dua periode sebelum dan sesudah pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retibusi Daerah. Rentang pengambilan periode observasi dimulai semenjak pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia tahun 2001 sampai dengan 2016. Periode pertama adalah periode sebelum UU Nomor 28 Tahun 2009 diterapkan (2005-2009), periode kedua adalah periode sesudah UU Nomor 28 Tahun 2009 diterapkan (2012-2016). Alasan diambilnya tahun 2005-2009 sebagai periode pertama karena pada rentang tahun tersebut pelaksanaan desentralisasi fiskal di kabupaten atau kota dianggap sudah stabil, sedangkan alasan diambilnya tahun 2012-2016 karena mulai tahun 2012 sudah terdapat lebih dari 300 kabupaten atau kota yang menerapkan UU Nomor 28 Tahun 2009. Artinya, sudah lebih dari setengah jumlah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia sudah menerapkan undang-undang tersebut. Tahun 2010 dan 2011 tidak diambil sebagai observasi karena dianggap tahun-tahun tersebut merupakan tahun transisi sehingga masih belum banyak kabupaten atau kota di Indonesia yang menerapkan undang-undang tersebut.

Page 30: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 19

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Transfer Daerah Terhadap Volatilitas Belanja Rill Pemerintah Daerah

Transfer daerah berhubungan positif dengan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota, sesuai dengan teori Sacchi dan Salotti (2014). Semakin besar transfer daerah maka semakin tinggi volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah. Besarnya transfer daerah menandakan bahwa pemerintah kabupaten atau kota memiliki kebergantungan yang tinggi akan transfer dana dari pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten atau kota yang hanya mengandalkan transfer daerah untuk membiayai belanja daerahnya yang tinggi dapat meningkatkan volatilitas belanja rill pemerintah daerah yang nantinya akan memperkecil pertumbuhan kabupaten atau kota. Oleh karena itu, salah satu cara pemerintah pusat untuk memperkecil kebergantungan tersebut dengan memberikan kewenangan lebih besar dalam pengelolaan pendapatan asli daerah, yaitu memberikan pajak properti (PBB dan BPHTB) kepada pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan kemampuan fiskal kabupaten atau kota dapat meningkat untuk menciptakan kemandirian daerah atau memperkecil kebergantungannya kepada pemerintah pusat.

2. Desentralisasi Fiskal Sisi Penerimaan atau Kemampuan Fiskal terhadap Volatilitas Belanja Rill Pemerintah Daerah

Desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal berhubungan negatif dengan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota, sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dan konsisten dengan temuan Sacchi dan Salotti (2014). Semakin tinggi derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan maka semakin rendah volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran daerahnya pemerintah kabupaten atau kota menjadi tidak terlalu bergantung kepada pemerintah pusat. Menurut Furceri, Sacchi, Salotti (2016) hal tersebut dapat mengurangi volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota yang diakibatkan oleh keterbatasan dan ketidakpastian yang diterima pemerintah kabupaten atau kota.

Volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota menurun ketika kabupaten atau kota menerapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dan konsisten dengan temuan Sacchi dan Salotti (2014) serta teori yang dikemukakan oleh Tiebout (1956) dan Glaeser (1996). Tiebout (1956) mengakui bahwa pajak properti adalah bentuk ideal dari pajak daerah karena pajak itu mendorong pembuat kebijakan lokal untuk

Page 31: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

20 Direktori Mini Tesis-Disertasi

merancang kebijakan yang efisien yang dapat menarik modal dan tenaga kerja serta mengurangi pemborosan sumber daya. Sedangkan, Glaeser (1996) menunjukkan pajak properti memberikan insentif yang memadai dan efisien dalam penyediaan barang publik lokal dan belanja pemerintah daerah (Borge dan Rattso, 2008; Fiva dan Ronning, 2008). Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 telah dilakukan penambahan jenis pajak untuk kabupaten atau kota yang dapat dipungut dan dikelola langsung oleh kabupaten atau kota masing-masing. Jenis pajak tersebut adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Dua yang disebutkan diawal telah termasuk dalam jenis pajak properti. Kabupaten atau kota yang menerapkan undang-undang ini dengan baik maka volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota dapat diperkecil atau menurun karena tidak terlalu bergantung lagi kepada pemerintah pusat.

Kenaikan desentralisasi fiskal dari penerimaan atau kapasitas fiskal rata-rata sebesar 48,88% dapat menurunkan volatilitas hingga ½ standar deviasi (cateris paribus). Jumlah penurunan ini tentunya akan bervariasi dari setiap kabupaten atau kota, bergantung dari seberapa besar derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal serta kebergantungan terhadap pemerintah pusat.

Spesifikasi model B menunjukan bahwa desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal kabupaten atau kota dapat menurunkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota dan penerapan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyebabkan penurunan pada volatilitasnya serta status pendapatan daerah (tinggi, sedang, rendah) juga memengaruhi volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Variabel ddf_rev dan d_terap terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan secara statistik, sedangkan variabel d_status terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan secara statistik. Pada ddf_rev, nilai koefisien sebesar -0,002335 menunjukkan derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal naik sebesar 1% maka volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah daerah turun sebesar 0,234% (cateris paribus). Sedangkan, pada d_terap dan d_status, nilai koefisien sebesar -0,0460246 dan 0,1267257 menunjukkan bahwa volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota menurun sebesar 0.046% ketika kabupaten atau kota menerapkan undang-undang tersebut dan daerah yang berpenghasilan sedang-rendah akan meningkatkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota sebesar 0,127%.

Spesifikasi model B memperlihatkan bahwa hubungan antara ddf_ref dengan GC_vol tetap, tidak berubah meski ditambah dengan variabel kontrol. Variabel control, yaitu dummy status daerah (d_status) terbukti signifikan memengaruhi

Page 32: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 21

volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah. Dilihat dari tanda koefisiennya maka terdapat arah yang positif untuk kabupaten atau kota berpenghasilan sedang-rendah dan negatif untuk kabupaten atau kota berpenghasilan tinggi. Fakta ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dan konsisten dengan temuan Furceri, Sacchi, dan Salotti (2016). Untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran daerahnya, pemerintah kabupaten atau kota harus memiliki pendapatan yang tinggi. Penentuan status daerah ini berdasarkan Peta Kapasitas Fiskal yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan dengan memperhatikan jumlah penduduk miskin yang ada di kabupaten atau kota masing-masing. Jika pemerintah kabupaten atau kota memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi belanja daerahnya maka kebergantungan terhadap pemerintah pusat akan semakin kecil sehingga volatilitas belanja pemerintah yang memengaruhi pertumbuhan kabupaten atau kota tidak terlalu tinggi.

Studi yang dilakukan Furceri, Sacchi, dan Salotti (2016) menemukan bahwa negara-negara yang lebih rendah pendapatannya maka derajat desentralisasi fiskalnya juga lebih rendah dan mengalami volatilitas lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada negara-negara OECD yang menjadi sampel studinya.

Berdasarkan studi tersebut faktanya, keadaan kabupaten atau kota di Indonesia tidak jauh berbeda. Pada periode 1 (2005-2009), rata-rata derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal pada kabupaten atau kota yang berpenghasilan rendah sebesar 7,4056%, lebih rendah dari pada kabupaten atau kota yang berpenghasilan menengah sebesar 8,2304%, dan kabupaten atau kota yang berpenghasilan tinggi sebesar 11,3736%. Setelah UU Nomor 28 Tahun 2009 diterapkan di kabupaten atau kota, yaitu pada periode 2 (2012-2016) rata-rata derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal pada kabupaten atau kota di seluruh tingkat status kabupaten atau kota mengalami kenaikan. Kabupaten atau kota yang berpenghasilan rendah sebesar 10,9881%, lebih rendah dari pada kabupaten atau kota yang berpenghasilan menengah sebesar 14,9825%, dan kabupaten atau kota yang berpenghasilan tinggi sebesar 16,3731%. Hal ini menunjukan bahwa kabupaten atau kota yang berpendapatan rendah, memiliki PAD atau derajat desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan yang rendah pula, begitupun sebaliknya. Semakin rendah derajat desentralisasi fiskalnya maka akan semakin tinggi volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota tersebut (Tabel 3).

Spesifikasi model C menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal kabupaten atau kota dapat menurunkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota dan penerapan UU No. 28/2009 tentang Pajak

Page 33: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

22 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Daerah dan Retribusi Daerah, menyebabkan penurunan pada volatilitasnya serta status pendapatan daerah (tinggi, sedang, rendah), pertumbuhan jumlah populasi dan luas wilayah tiap-tiap kabupaten atau kota juga memengaruhi volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Variabel ddf_rev dan d_terap terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan secara statistik, sedangkan variabel ln_populasi, ls_wilayah, dan d_status terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan secara statistik.

Pada Spesifikasi model C, nilai koefisien ddf_rev sebesar -0,0014825 menunjukkan bahwa jika derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal naik sebesar 1% maka volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah daerah turun sebesar 0,148% (cateris paribus). Sedangkan, pada ln_populasi dan ls_wilayah, nilai koefisien 4,990844 dan 5,04 menunjukkan bahwa kabupaten atau kota yang memiliki pertumbuhan jumlah penduduk lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang lebih rendah, akan mengalami volatilitas lebih tinggi juga sebesar 4,99% dan kabupaten atau kota yang memiliki luas wilayah lebih besar akan meningkatkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah daerah sebesar 5,04%. Pada variabel dummy d_terap dan d_status, nilai koefisien sebesar -0,0454649 dan 0,1001206 menunjukkan bahwa volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota menurun sebesar 0,0455% ketika kabupaten atau kota menerapkan undang-undang tersebut dan daerah yang berpenghasilan sedang atau rendah akan meningkatkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota sebesar 0,1%.

Spesifikasi model C memperlihatkan bahwa hubungan antara ddf_ref dan GC_vol tetap, tidak berubah meski ditambah dengan variabel kontrol. Pertumbuhan jumlah penduduk dan luas wilayah merupakan variabel yang menggambarkan ukuran suatu wilayah atau demografi. Kondisi demografi daerah berpengaruh positif pada volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Daerah yang besar (baik dari segi penduduk maupun luas wilayah) cenderung memiliki volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah yang lebih tinggi dibanding dengan daerah yang kecil. Fakta ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dan konsisten dengan teori yang dibangun oleh Furceri dan Ribeiro (2009). Menurut Furceri dan Ribeiro (2009) variabel ukuran demografi ini berhubungan positif dengan volatilitas pertumbuhaan belanja rill pemerintah daerah, berkaitan dengan permintaan masyarakatnya untuk barang dan jasa publik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Di satu sisi, berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak, jumlah penduduk yang besar memiliki potensi besar sebagai basis pajak. Namun, potensi tersebut akan berubah menjadi dampak negatif pada jangka panjang apabila daerah tidak dapat

Page 34: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 23

mengontrol laju pertumbuhan jumlah penduduknya (over population) yang akan menyebabkan permintaan akan barang dan jasa publik akan meningkat dan akan lebih buruk jika pemerintah kabupaten atau kota tidak mampu menyediakannya karena keterbatasan sumber daya pemasukan.

Berkaitan dengan luas wilayah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana persatuan wilayah. Anggaran belanja pemerintah kabupaten atau kota khususnya belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan wilayah yang tidak begitu luas (Furceri dan Ribeiro, 2009). Daerah yang mempunyai wilayah cukup luas akan membutuhkan biaya pembangunan cukup besar. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut maka pemerintah harus menyediakan anggaran cukup besar jika ingin daerah tersebut benar-benar maju dan sejahtera. Jika pemerintah daerah tidak mampu membiayai kebutuhan tersebut secara mandiri maka akan mengandalkan anggaran dari pusat sehingga kebergantungan dengan pemerintah pusat akan tinggi. Kebergantungan dengan pemerintah pusat yang tinggi menandakan derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal yang rendah, jika derajat desentralisasi fiskal rendah maka akan membuat volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota menjadi lebih tinggi dan tentunya hal tersebut akan membahayakan pertumbuhan ekonomi di kabupaten atau kota tersebut.

Model spesifikasi Label D merupakan tahap regresi terakhir dimana seluruh variabel (ddf_rev, ln_populasi, ls_wilayah, ahh, ls, apm, d_terap, dan d_status) ikut dilibatkan guna untuk memastikan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dan volatilitas robust (memang berhubungan). Berdasarkan nilai R-squared, variabel yang berada dalam model hanya mampu menjelaskan variasi nilai variabel dependent sebesar 16,94%. Menurut Gans (1980) secara umum, koefisien determinasi (R-squared) untuk data silang (cross section) relatif rendah karena adanya variasi yang besar dari setiap pengamatan. Gans berpendapat bahwa nilai R-squared sekitar 10%-20% adalah hal yang normal.

Spesifikasi model D menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal kabupaten atau kota dapat menurunkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota dan penerapan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebabkan penurunan pada volatilitasnya serta status pendapatan daerah (tinggi, sedang, rendah), pertumbuhan jumlah populasi

Page 35: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

24 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan luas wilayah tiap-tiap kabupaten atau kota serta kondisi perekonomi daerah juga memengaruhi volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Variabel ddf_rev dan d_terap terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan secara statistik, sedangkan variabel ln_populasi, ls_wilayah, dan d_status terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan secara statistik. Namun, variabel kotrol pembangunan manusia seperti ahh (Angka Harapan Hidup), ls (Lama Sekolah), dan amp (Angka Partisipasi Murni), tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volatilitas belanja rill pemerintah daerah.

Pada ddf_rev, nilai koefisien sebesar -0,0018433 menunjukkan derajat desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kapasitas fiskal naik sebesar 1% maka volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah daerah turun sebesar 0,184% (cateris paribus). Sedangkan, pada ln_populasi dan ls_wilayah, nilai koefisien 5,001001 dan 5,09 menunjukkan kabupaten atau kota yang memiliki pertumbuhan jumlah penduduk lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk lebih rendah, akan mengalami volatilitas yang lebih tinggi sebesar 5% dan kabupaten atau kota memiliki luas wilayah lebih besar akan meningkatkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah daerah sebesar 5,09%. Variabel dummy d_terap dan d_status memiliki nilai koefisien sebesar -0,0422066 dan 0,0965416, menunjukkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota menurun sebesar 0.0422% ketika kabupaten atau kota menerapkan undang-undang tersebut dan daerah yang berpenghasilan sedang/rendah akan meningkatkan volatilitas pertumbuhan belanja rill pemerintah kabupaten atau kota sebesar 0,0965%.

Model spesifikasi D memperlihatkan hubungan antara ddf_ref dan GC_vol tetap, tidak berubah meski ditambah dengan variabel kontrol. Namun, variabel kontrol pembanguan manusia (pm) yang terdiri dari ahh (Angka Harapan Hidup), ls (Lama Sekolah), dan amp (Angka Partisipasi Murni) tidak memiliki pengaruh terhadap volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota. Hasil ini memang tidak sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini dengan temuan Furceri, Sacchi, dan Salotti (2016). Hal ini bisa saja dikarenakan belanja pemerintah, khususnya sektor pendidikan (lama sekolah dan angka partisipasi murni) dan kesehatan (angka harapan hidup) telah diatur besarannya oleh pemerintah. Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan untuk anggaran kesehatan dialokasikan minimal 10% dari APBD di luar gaji yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Akibatnya, belanja sektor tersebut cenderung stabil dan tidak bervolatil. Dengan demikian, pengalokasian sektor belanja khusus kasus di Indonesia, volatilitas

Page 36: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 25

belanja rill pemerintah yang disebabkan oleh komposisi dari belanja itu sendiri, terutama untuk sektor kesehatan dan pendidikan tidak terjadi fluktuasi dan terbukti tidak berpengaruh terhadap volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota.

D. Kesimpulan

Hasil estimasi semua spesifikasi model menunjukkan kapasitas fiskal daerah secara rata-rata menurunkan volatilitas belanja pemerintah suatu daerah dan penerapan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebabkan penurunan pada volatilitasnya. Sementara itu, dari hasil estimasi semua spesifikasi model terlihat bahwa daerah yang high income memiliki volatilitas belanja pemerintah yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang middle-low income. Kondisi demografi daerah berpengaruh positif pada volatilitas pemerintah daerah. Daerah yang besar (baik dari segi penduduk maupun luas wilayah) cenderung memiliki volatilitas lebih tinggi dibanding dengan daerah yang kecil. Sementara itu, indikator pembangunan manusia tidak berkorelasi dengan volatilitas belanja rill pemerintah daerah. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal sisi penerimaan atau kemampuan fiskal dapat menurunkan volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan pada penelitian ini maka beberapa saran yang dapat diberikan sebagai berikut:

1. Desentralisasi fiskal sisi pengeluaran (transfer daerah) perlu disikapi secara hati-hati untuk kedepannya karena telah terbukti berpengaruh terhadap volatilitas belanja rill pemerintah daerah karena volatilitas yang tinggi cendrung tidak terkendali akan memperburuk pertumbuhan ekonomi kabupaten atau kota.

2. Setelah dilakukan penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah terbukti bahwa dengan diberlakukannya undang-undang tersebut terjadi peningkatan yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau kemampuan daerah yang mampu mengurangi volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota (dapat dilihat dari nilai dummy penerapan). Hal ini memberikan bukti bahwa pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam memungut pajak responsif mampu membuat belanja pemerintah daerah menjadi lebih stabil (terbukti mampu mengurangi ½ tingkat volatilitas dari sebelum diberikannya pajak properti ke daerah). Berdasarkan hasil tersebut terbukti bahwa peningkatan kemampuan fiskal daerah menjadi hal penting sehingga perlu dilakukan revisi

Page 37: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

26 Direktori Mini Tesis-Disertasi

terhadap undang-undang tersebut guna meningkatkan atau memperbanyak jenis-jenis pajak responsif yang dapat dipungut langsung oleh pemerintah kabupaten atau kota.

3. Hasil riset juga menunjukkan bahwa sebaiknya kebijakan nasional untuk pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak hanya bertumpu pada desentralisasi fiskal dari sisi pengeluran saja, namun pemerintah pusat sebaikanya perlu mempertimbang pelaksanaan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan juga karena terbukti bahwa dampak dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sisi penerimaan memiliki pengaruh yang baik terhadap volatilitas belanja rill pemerintah kabupaten atau kota (mampu mengurangi volatilitas).

Page 38: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

EVALUASI DAMPAK PROGRAM KELUARGA HARAPAN TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI SEKOLAH DAN PENGELUARAN PENDIDIKAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA

Nama : Abdul Karim Susastro

Instansi : Pemkab Tanah Laut

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 39: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

28 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program bantuan tunai bersyarat (Conditional Cash Transfers/CCT) yang diluncurkan Pemerintah Indonesia sejak Juli 2007 di 7 provinsi. Secara khusus salah satu tujuan dari PKH untuk meningkatkan taraf pendidikan. Parameter yang bisa dievaluasi dari bidang pendidikan ini adalah tingkat partisipasi sekolah. Harapannya dengan adanya kebijakan PKH ini akan meningkatkan tingkat partisipasi sekolah. Selain itu, ketika tingkat partisipasi sekolah meningkat maka akan diikuti dengan peningkatan pengeluaran pendidikan rumah tangga.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari PKH terhadap tingkat partisipasi sekolah dan pengeluaran pendidikan rumah tangga. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang ke-5 tahun 2014, sedangkan metode analisis yang digunakan adalah Propensity Score Matching (PSM). Adapun hasil estimasi yang didapat, PKH signifikan meningkatkan tingkat partisipasi sekolah usia 13-15 tahun sebesar 11%, sedangkan pada kelompok usia 7-12 tahun dan 16-18 tahun tidak memberikan dampak yang signifikan. Pada hasil estimasi evaluasi terhadap pengeluaran pendidikan, PKH signifikan meningkatkan pengeluaran pendidikan rumah tangga sebesar 19% pertahun.

Kata kunci: Conditional Cash Transfer, Program Keluarga Harapan, Propensity Score Matching, Tingkat Partisipasi Sekolah, Pengeluaran Pendidikan

Page 40: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 29

ABSTRACT

Program Keluarga Harapan (PKH) is a Conditional Cash Transfers (CCT) program launched by the Government of Indonesia since July 2007 in 7 provinces. In particular one of the goals of PKH is to improve the level of education. The parameter that can be evaluated from this field of education is the school participation rates. The hope with this PKH policy will increase school partisipation rates. In addition, as school participation rates increases, it will follow with increased household education expenditures. This study aims to determine the impact of PKH on the rates of school participation and expenditures of household education. The data used in this study comes from the Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5th in 2014, while the analytical method used is Propensity Score Matching (PSM). As for the estimation result, PKH significantly increased the rates of school participation age 13–15 years by 11 percent, while in the age group 7–12 years and 16–18 years did not give a significant impact. In the results of the evaluation estimate of education expenditures, PKH significantly increases the household education expenditures by 19 percent per year.

Keywords: Conditional Cash Transfer, Program Keluarga Harapan, Propensity Score Matching, School Participation Rates, Education Expenditures

Page 41: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

30 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI DAMPAK PROGRAM KELUARGA HARAPAN TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI SEKOLAH DAN

PENGELUARAN PENDIDIKAN RUMAH TANGGADI INDONESIA

A. Latar Belakang

Program bantuan tunai bersyarat atau yang dikenal dengan conditional cash transfer (CCT) adalah program bantuan tunai yang ditujukan bagi rumah tangga miskin, dengan mensyaratkan rumah tangga tersebut melakukan investasi jangka panjang pada sumber daya manusia bagi anak-anaknya seperti peningkatan pendidikan, kesehatan, dan perbaikan gizi. Program ini tercatat sebagai komponen penting pada sistem perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan di banyak negara khususnya negara-negara berkembang (World Bank, 2009).

Penerapan CCT di Indonesia mulai diuji cobakan pemerintah tahun 2007 dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Uji coba dilakukan di 7 provinsi dengan target peserta 500.000 rumah tangga dan anggaran belanja yang dikeluarkan sebesar Rp508 juta. Ketujuh provinsi tersebut dipilih berdasarkan kesiapan dari pemerintah provinsi yang disampaikan ketika Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Program ini diharapkan tahun 2015 sebarannya sudah diimplementasikan di seluruh provinsi di Indonesia (Kementrian Sosial RI, 2007).

Dari tahun ke tahun, pemerintah selalu menambah target penerima PKH. Sejak tahun 2014, sasaran penerima PKH sudah menyebar ke semua provinsi di Indonesia dengan jumlah penerima bantuan sebanyak 2,8 juta keluarga miskin yang tersebar di 433 kabupaten atau kota di 4.870 kecamatan. Data terakhir yang di dapat tahun 2016, pemerintah menargetkan jumlah penerima meningkat mencapai 6 juta keluarga miskin (kemsos.go.id).

Dari sisi besaran anggaran yang dikeluarkan dan realisasi keluarga miskin penerima PKH, terlihat adanya tren peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan 2016. Berikut data besaran alokasi pemerintah Indonesia untuk anggaran dan realisasi peserta PKH dari tahun 2007-2016.

Sejak tahun 2012, sasaran penerima manfaat PKH diperbaiki, data awal untuk peserta PKH diambil dari Basis Data Terpadu hasil PPLS 2011 yang dikelola oleh TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Sasaran PKH yang sebelumnya berbasis rumah tangga, terhitung sejak saat itu diperbaiki menjadi berbasis

Page 42: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 31

keluarga. Perbaikan ini dilakukan untuk menerapkan prinsip bahwa keluarga adalah satu orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan anak (tnp2k.go.id). Penetapan persyaratan ini diharapkan akan membawa perubahan perilaku peserta PKH terhadap pentingnya kesehatan dan pendidikan bagi anak-anaknya (Kementrian Sosial RI, 2007).

Bantuan yang diberikan kepada peserta PKH adalah bantuan uang tunai yang diberikan kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut pengurus keluarga. Uang yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan (tnp2k.go.id).

Dengan adanya bantuan ini, diharapkan tujuan dari diterapkannya PKH dapat tercapai. Adapun yang dapat dijadikan sebagai parameter keberhasilan PKH khususnya di bidang pendidikan, salah satunya adalah tingkat partisipasi sekolah dari rumah tangga. Hal ini dikarenakan PKH mensyaratkan anak-anak pesertanya wajib terdaftar dan hadir di sekolah minimal 85 persen dari jumlah hari sekolah yang berlaku sehingga dengan persyaratan ini akan berdampak pada kenaikan partisipasi sekolah dari rumah tangga.

Selain itu, dengan adanya bantuan ini akan membantu rumah tangga dalam memenuhi pengeluaran pendidikan karena sebagian besar rumah tangga sangat miskin dengan daya beli rendah khususnya dalam memberikan layanan pendidikan yang layak bagi anaknya. Mereka bahkan tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan untuk tingkat minimal, terutama pada pengeluaran pendukung pendidikan seperti pembelian buku, transportasi, dan uang jajan. Hal inilah yang menjadi penyebab anak tidak mengenyam pendidikan atau tidak melanjutkan pendidikannya. Harapannya dengan adanya kebijakan ini selain pada peningkatan partisipasi sekolah, juga akan berdampak pada peningkatan pengeluaran pendidikan rumah tangga.

Pada akhirnya, implikasi positif tujuan dari pelaksanaan PKH harus bisa dibuktikan secara empiris sehingga pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang bisa dipertanggung jawabkan. Berdasarkan pelaksanaan program tersebut, menjadi motivasi peneliti untuk mengevaluasi PKH dari sisi tujuan yang ingin dicapai, yakni apakah berdampak terhadap peningkatan partisipasi sekolah dan pengeluaran pendidikan rumah tangga di Indonesia.

Page 43: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

32 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Dalam rangka strategi untuk menanggulangi kemiskinan, dari tahun ke tahun pemerintah terus berusaha meningkatkan anggaran dan cakupan penerima PKH. Adapun harapan dengan adanya program ini, tujuan dari PKH khususnya untuk meningkatkan taraf pendidikan peserta dapat dicapai. Sejalan dengan hal tersebut menjadi motivasi penulis untuk mengevaluasi bagaimana dampak dari PKH terhadap tingkat partisipasi sekolah dan pengeluaran pendidikan rumah tangga di Indonesia.

Data yang digunakan pada penelitian ini bersumber dari data Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang ke-5 dengan database tahun 2014. Adapun sampel pada penelitian ini adalah semua rumah tangga yang memiliki anak usia 7-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan tingkat SMP/sederajat yang ada di IFLS 5.

Berdasarkan jenis data yang digunakan, yakni data non-experimental dan cross section maka metode analisis yang cocok pada penelitian ini adalah matching method. Salah satu metode untuk mengukur rerata dampak suatu intervensi dari matching method adalah PSM (Propensity Score Matching). Menurut Blundell, Dearden, dan Sianesi (2005) matching method adalah sebuah pendekatan non-parametrik yang digunakan untuk mengukur hasil perbandingan antara kelompok yang mendapat intervensi (treatment) dan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi (kontrol) dengan menggunakan karakteristik kelompok yang dapat diobservasi dan kedua kelompok tersebut harus memiliki karakteristik yang sama. Hasil observasi dari kelompok kontrol menjadi pembanding yang sesuai untuk melengkapi informasi yang hilang (counterfactual effect) dari kelompok treatment tersebut.

PSM pertama kali diperkenalkan oleh Rosenbaum dan Rubin (1983). Metode ini menjadi alat yang populer untuk membentuk suatu kelompok pembanding (kontrol) yang memiliki kesamaan karakteristik dengan kelompok treatment.

Pada studi non-eksperimental, counterfactual yang hilang menjadi masalah yang dihadapi. Mendapatkan hasil dari dampak intervensi pada kelompok yang sama ketika mendapat treatment dan tidak di-treatment saat bersamaan merupakan sesuatu yang tidak mungkin (World Bank, 2016:49). PSM menggunakan informasi dari rumah tangga lain yang bukan peserta PKH sebagai kelompok kontrol untuk mengidentifikasi apa yang akan terjadi pada rumah tangga tanpa adanya intervensi (PKH). Dengan membandingkan hasil dari rumah tangga peserta PKH terhadap rumah tangga dengan observasi yang sama (bukan peserta PKH) merupakan hal yang mungkin untuk mengestimasi dampak intervensi tersebut.

Page 44: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 33

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data

Rata-rata tingkat partisipasi sekolah usia 7-18 tahun dari rumah tangga sebesar 94,81% dengan kisaran antara 0 persen sampai dengan 100 persen, sedangkan rata-rata pengeluaran pendidikan rumah tangga selama setahun sebesar Rp6.058.140, dengan kisaran Rp0, sampai dengan Rp153.000.000. Adapun variabel yang menjadi treatment dalam penelitian ini adalah dummy PKH. Berdasarkan dari data IFLS5 yang diolah, rumah tangga yang menjadi peserta PKH dalam sampel penelitian ini sebanyak 277 rumah tangga (4,18%) lebih sedikit dari rumah tangga

yang bukan peserta PKH yakni sebanyak 643 rumah tangga (95,82%).

2. Dampak terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Nearst Neighbour (NN) with replacement diperoleh bahwa PKH tidak berdampak signifikan terhadap tingkat partisipasi sekolah usia 7-18 tahun. Secara jenjang umur, PKH berdampak signifikan meningkatkan tingkat partisipasi sekolah usia 13-15 tahun sebesar 11% atau dengan kata lain, rumah tangga yang mendapatkan PKH mempunyai rata-rata tingkat partisipasi sekolah usia 13-15 tahun lebih tinggi 11% dibanding dengan rumah tangga yang tidak mendapatkan PKH, sedangkan pada tingkat partisipasi sekolah usia 7-12 tahun dan 16-18 tahun PKH tidak memberikan dampak yang signifikan.

Pada penelitian ini juga dicoba menggunakan metode matching lainnya untuk pengujian tingkat robust hasil penelitian. Hasil estimasi menunjukkan PKH tidak berdampak pada tingkat partisipasi sekolah secara keseluruhan maupun berdasarkan jenjang usia, kecuali pada kelompok usia 13-15 tahun dengan metode NN without replacement. Pada hasil estimasi tersebut, PKH signifikan meningkatkan partisipasi sekolah usia 13-15 tahun sebesar 9,13 persen.

Tidak berdampaknya PKH pada tingkat partisipasi sekolah usia 7-12 tahun ini menjadi temuan yang sama pada hasil evaluasi Progresa di Meksiko, dampak CCT terhadap tingkat partisipasi sekolah dasar relatif lebih kecil ketimbang jenjang SMP (Skoufias, et al., 2001). Alasan utamanya, angka partisipasi sekolah dasar umumnya sudah lebih tinggi. Berdasarkan data APS usia 7-12 tahun dari BPS tahun 2014, APS di Indonesia sudah mencapai hampir 99% atau hanya sedikit anak saja yang tidak bersekolah pada usia tersebut. Temuan ini menunjukkan dampak CCT pada partisipasi sekolah akan tinggi jika dilaksanakan pada lokasi yang angka partisipasi sekolah masih rendah.

Page 45: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

34 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Temuan juga terjadi pada tingkat partisipasi sekolah usia 16-18 tahun PKH tidak berdampak signifikan. Temuan ini didasarkan pada kemungkinan anak dari rumah tangga miskin pada usia 16-18 tahun dan belum menyelesaikan pendidikan dasarnya lebih memilih untuk bekerja dari pada sekolah.

3. Dampak terhadap Pengeluaran Pendidikan

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Nearst Neighbour (NN) with replacement diperoleh bahwa PKH memberikan dampak yang signifikan (level α = 0,1) meningkatkan pengeluaran pendidikan rumah tangga sebesar 19% atau dengan kata lain rumah tangga yang mendapatkan PKH memiliki rata-rata pengeluaran pendidikan lebih tinggi 19% daripada rumah tangga yang tidak mendapatkan PKH. Pada hasil pengujian dengan metode lain, PKH tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengeluaran pendidikan rumah tangga.

Berdampaknya PKH terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan rumah tangga di Indonesia ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2014) di Filipina, Soares, et al. (2010) di Brazil, dan Maluccio (2010) di Nikaragua. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan adanya pencapaian salah satu tujuan dari PKH untuk meningkatkan taraf pendidikan pesertanya. Dengan kata lain, bantuan yang diterima oleh peserta PKH dapat membantu atau digunakan

rumah tangga untuk memenuhi pengeluaran pendidikan anaknya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan propensity score matching dengan nearest neighbour with replecement diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. PKH tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat partisipasi sekolah usia 7-18 tahun di Indonesia, tetapi pada tingkat partisipasi sekolah usia 13-15 tahun, PKH memberikan dampak yang signifikan sebesar 11% atau dengan kata lain rumah tangga yang mendapatkan PKH mempunyai rata-rata tingkat partisipasi sekolah usia 13-15 tahun lebih tinggi 11% daripada rumah tangga yang tidak mendapatkan PKH.

2. PKH memberikan dampak yang signifikan meningkatkan pengeluaran pendidikan rumah tangga di Indonesia sebesar 19% atau dengan kata lain rumah tangga yang mendapatkan PKH memiliki rata-rata pengeluaran pendidikan lebih tinggi 19% daripada rumah tangga yang tidak mendapatkan PKH.

Page 46: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 35

E. Saran

Adapun saran untuk perbaikan hasil penelitian selanjutnya sebagai berikut:

1. Menambahkan variabel-variabel lain sebagai variabel kontrol yang belum dimasukkan dalam model penelitian ini.

2. Menggunakan metode analisis evaluasi dampak yang lain, untuk menguji tingkat robust hasil penelitian.

3. Jika memungkinkan untuk menambah data ataupun series (tahun) data agar didapatkan perbandingan hasil dari tahun ke tahun.

Page 47: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

36 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 48: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

EVALUASI PENGHITUNGAN TARIF PNBP PKH UNTUK PERTAMBANGAN BERDASARKAN KERUSAKAN HUTAN PRODUKSI YANG TERJADI

Nama : Aditia Dwi Cahyani Fatah

Instansi : Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 49: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

38 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Salah satu kegiatan pengelolaan hutan berasaskan manfaat dan lestari, yaitu Penggunaan Kawasan Hutan (PKH). Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH) semakin meningkat, disebabkan jumlah usaha pertambangan di dalam kawasan hutan semakin banyak. Namun, hal ini berkontribusi dalam meningkatkan degradasi hutan. Oleh karena itu, perlu mengevaluasi kesesuaian model perhitungan tarif PNBP PKH untuk pertambangan dengan potensi kerugian yang terjadi.

Penelitian ini dilakukan pada hutan produksi di Kabupaten Morowali. Kawasan hutan tersebut terdapat areal pinjam pakai kawasan hutan atas nama PT Sulawesi Resources. Analisis nilai kerusakan hutan produksi yang terjadi akibat penggunaan kawasan hutan berdasarkan pendekatan harga pasar, biaya rehabilitasi, dan pendekatan preferensi (penilaian kontingensi/CVM). Analisis keuntungan usaha pertambangan berdasarkan pendekatan benefit transfer. Evaluasi model perhitungan tarif PNBP PKH untuk pertambangan dengan dasar potensi kerusakan hutan yang timbul akibat PKH setelah dikurangi keuntungan usaha.

Hasil estimasi nilai kerusakan Hutan Produksi akibat penggunaan kawasan hutan sebesar Rp398.884.545.657,62 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp373.732.410.671,20 sampai dengan Rp424.036.680.644,03. Model perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH) menurut PP Nomor 33 Tahun 2014 tidak sebanding dengan nilai kerusakan hutan yang terjadi akibat penggunaan kawasan hutan. Hal ini dikarenakan usaha pertambangan berpotensi menimbulkan kerugian untuk setiap hektarenya, yaitu sebesar Rp275.603.074,26 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp260.915.535,07 sampai dengan Rp338.327.439,29.

Kata kunci: Benefit Transfer, Biaya Rehabilitasi, CVM, Evaluasi, Harga Pasar, Hutan Produksi, Pnbp

Page 50: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 39

ABSTRACT

One of the forest management activities is based on benefits and sustainability of Forest Area Use (PKH). Non-Tax State Revenues from the use of Forest Area (PNBP PKH) is increasing due to the increasing number of mining activities in the forest area. However, it contributes to the increasing number in forest degradation. Therefore, it is necessary to evaluate the suitability of PKH PNBP tariff calculation model for mining with potential losses. This study was conducted on production forest in Morowali Regency on the part of the forest where exist rent-to-use area by the name of PT Sulawesi Resources as the tenant. The analysis of the value of the destruction of production forest as a result of forest area usage si based on market price approach, rehabilitation cost and preferential approach (contingency assessment/CVM). The analysis of mining business benefit is based on benefit transfer approach. Evaluation of the calculation of PNBP PKH tariff model (formula) for mining is based on arising potential damage from PKH after deducting by business profit. Data processing is done with the help of Microsoft Excel 2013 software, SPSS Statistics 23 and Minitab 18. Estimated value of Forest Production damage caused by the forest area is Rp 398,884,545,657.62 with a 95% confidence interval of Rp 373,732,410,671.20 to Rp 424,036,680,644.03. The calculation model for Non-Tax Revenue Use of Forest Areas (PNBP PKH) according to PP No. 33 Year 2014 is not comparable to the value of forest damage caused by forest use. This is because mining business is potentially causing loss for every hectare, that is Rp 275.603.074,26 with 95% confidence interval from Rp 260,915,535.07 to Rp 338.327.439,29.

Keywords: Benefit Transfer, CVM, Evaluation, Market Price, PNBP, Production Forest Area, Rehabilitation Cost

Page 51: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

40 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI PENGHITUNGAN TARIF PNBP PKH UNTUK PERTAMBANGAN BERDASARKAN KERUSAKAN HUTAN

PRODUKSI YANG TERJADI

A. Latar Belakang

Hasil hutan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Menurut WWF Indonesia (2012) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat pesat, mengakibatkan permintaan pasar akan produk kehutanan juga meningkat. Sejalan dengan hal itu, pemenuhan akan permintaan secara cepat, kerap mengabaikan aspek-aspek pengelolaan hutan yang bertanggung jawab. Salah satu cara pengelolaan hutan yang baik (Permenhut RI Nomor 47 Tahun 2013), yaitu penggunaan kawasan hutan. Kegiatan penggunaan kawasan hutan fokus pada kepentingan pembangunan di luar sektor kegiatan kehutanan saja.

Penerimaan negara tidak hanya bersumber dari penerimaan pajak saja, tetapi juga penerimaan bukan pajak (PNBP). Meskipun jumlah PNBP tidak sebesar pajak, tetapi cukup berkontribusi dalam membiayai negara. PNBP sektor kehutanan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2014. Salah satu kegiatan yang cukup berpotensi adalah usaha pertambangan di dalam kawasan hutan atau disebut penggunaan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan dapat dilaksanakan apabila telah memperoleh izin berupa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH) mengalami peningkatan.

Peningkatan luas IPPKH di dalam kawasan hutan tahun 2016 yang cukup tinggi dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak usaha pertambangan menurut Noor (2005 dalam Suriansyah, E. A., 2009) terjadi pada saat tahap eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan serta penjualan hasil tambang. Adapun dampak positifnya, yaitu dapat berkontribusi dalam peningkatan PNBP PKH. Akan tetapi, bila kegiatan pertambangan belum melaksanakan pengelolaan lingkungan yang baik dapat menyebabkan terjadinya kerusakan (degradasi) hutan. Contoh bukan pengelolaan lingkungan yang baik dari usaha pertambangan, yaitu bekas areal eksploitasi yang seharusnya dilaksanakan reklamasi dan revegetasi, tetapi dibiarkan terbuka begitu saja. Keadaan ini akan memperlambat proses pengembalian fungsi-fungsi kawasan hutan seperti sediakala. Oleh karena itu, PNBP PKH dianggap belum mencerminkan nilai kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan kawasan hutan sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap model perhitungan tarif PNBP PKH.

Page 52: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 41

Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi besarnya nilai kerusakan hutan produksi yang terjadi akibat penggunaan kawasan hutan, mengevaluasi model perhitungan tarif PNBP PKH untuk pertambangan dengan dasar potensi kerusakan hutan yang timbul akibat PKH dan menganalisis potensi kerugian akibat penggunaan kawasan hutan. Harapannya dengan hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, antara lain sebagai referensi bagi pembaca untuk mengetahui nilai kerusakan hutan produksi akibat penggunaan kawasan hutan, bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan mengenai penentuan model perhitungan tarif PNBP PKH yang sesuai dengan potensi kerugiannya dan bahan pertimbangan bagi pelaksana penggunaan kawasan hutan agar merealisasikan rehabilitasi (reklamasi dan revegetasi) sesuai dengan rencana yang telah dibuat dan peraturan yang berlaku.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

PNBP Penggunaan Kawasan Hutan semakin meningkat disebabkan jumlah usaha pertambangan di dalam kawasan hutan semakin banyak. Namun, hal ini berkontribusi dalam meningkatkan degradasi hutan. Oleh karena itu, perlu mengevaluasi kesesuaian model perhitungan tarif PNBP PKH untuk pertambangan dengan potensi kerugian yang terjadi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Desain tersebut fokus pada investigasi fenomena yang belum tertangkap secara jelas dalam penelitian terdahulu dan bertujuan untuk mengidentifikasi temuan baru berdasarkan data penelitian (MEP, 2014).

Data yang digunakan pada penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara terhadap masyarakat sekitar PT Sulawesi Resources, yaitu masyarakat Desa Bahomoahi Kecamatan Bungku Timur Provinsi Sulawesi Tengah. Responden akan diberi pertanyaan tentang sosial ekonomi dan kesediaan mereka untuk menerima (Willingness to Accept/WTA).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan produksi Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Kegiatan operasi produksi bijih nikel dan mineral pengikutnya serta penunjangnya atas nama PT Sulawesi Resources seluas 661,31 ha dilakukan dengan sistem pertambangan terbuka. Berdasarkan hasil analisis dengan penyesuaian tahun dasar PDB 2010, harga terendah kayu bulat sebesar Rp1.060.950,00/m³ dan harga tertinggi sebesar Rp5.097.100,00/m³.

Page 53: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

42 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Seberapa besar dampak kerusakan hutan lainnya akibat penggunaan kawasan hutan sektor pertambangan juga dilaksanakan wawancara langsung. Individu yang menjadi responden adalah masyarakat di Desa Bohomoahi. Desa tersebut dianggap akan terkena dampak negatif dari kegiatan pertambangan seperti penurunan suplai air. Deskripsi karakteristik sosial ekonomi responden yang diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 60 KK sebagai berikut:

2. Uji Akurasi Instrumen (Validitas dan Reliabilitas)

Korelasi tiap-tiap variabel menunjukkan hasil yang signifikan dengan tingkat signifikansi di bawah 10 persen. Namun, ada satu indikator pertanyaan penentu nilai WTA, yaitu status kependudukan yang tidak valid, sedangkan lainnya masuk kategori valid. Meskipun status kependudukan tidak valid, pertanyaan tersebut tetap diikutsertakan dalam daftar pertanyaan. Hal ini dimaksudkan untuk menambah informasi berkaitan dengan karakteristik responden.

Uji Reliabilitas hanya dihitung berdasarkan butir-butir pertanyaan yang valid. Adapun butir-butir pertanyaan tersebut, yaitu umur, lama tinggal, jumlah tanggungan, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan nilai WTA. Uji reliabilitas KK (BPS, 2016) maka nilai total WTA masyarakat sebesar Rp267.300.000,00/tahun. Asumsi pemberian dana kompensasi selama 15 tahun sama dengan waktu pengembalian fungsi hutan sehingga nilai total WTA masyarakat sebesar Rp4.009.500.000,00 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp3.809.025.000,00 sampai dengan Rp4.209.975.000,00.

Nilai kerusakan hutan produksi akibat penggunaan kawasan hutan pada areal IPPKH PT Sulawesi Resources dari tahun 2015-2040 diperoleh dari penjumlahan nilai potensi hasil hutan kayu yang hilang, biaya rehabilitasi, dan nilai kesediaan menerima (willingness to accept) kompensasi akibat penurunan suplai air. Besar nilai kerusakan tersebut adalah Rp398.884.545.657,62 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp373.732.410.671,20 sampai dengan Rp424.036.680.644,03.

3. Keuntungan Usaha

Estimasi keuntungan yang diperoleh perusahaan sebesar Rp182.091.361.615,00. Interval kepercayaan ditentukan sebesar 95% sehingga keuntungan usaha sebesar Rp166.652.243.177,00 sampai dengan Rp165.763.246.765,00.

4. Evaluasi Model Perhitungan PNBP PKH

Hasil analisis menggunakan model perhitungan tarif PNBP PKH dan revisi baseline Penggunaan Kawasan Hutan atas nama PT Sulawesi Resources bahwa tariff

Page 54: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 43

PNBP yang wajib dibayarkan dari tahun 2015-2025 sebesar Rp34.534.115.000,00. Selisih penghitungan kerusakan hutan produksi dan estimasi keuntungan usaha adalah sebesar Rp216.793.184.042,13 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu Rp207.080.167.494,22 sampai dengan Rp258.273.433.878,56 maka nilai tersebut lebih besar dari tarif PNBP yang wajib dibayarkan. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu diubah sebagai berikut:

1. Tiga skenario model perhitungan PNBP PKH yang baru.

PNBP = {(L1 x 4 x tarif) + (L2 x 9 x tarif) + (L3 x 13 x tarif)} Rp/tahun; PNBP = {(L1 x 4 x tarif) + (L2 x 10 x tarif) + (L3 x 13 x tarif)} Rp/tahun; PNBP = {(L1 x 4 x tarif) + (L2 x 11 x tarif) + (L3 x 13 x tarif)} Rp/tahun.

2. Besar tarif PNBP PKH untuk sektor pertambangan di dalam kawasan hutan produksi meliputi:

a. penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan sarana prasarana penunjangnya sebesar Rp6.000.000,00 sampai dengan Rp7.250.000,00/Ha/tahun;

b. penggunaan kawasan hutan untuk area pengembangan dan/atau area penyangga untuk keamanan kegiatan pertambangan antara sebesar Rp3.100.000,00 sampai dengan Rp3.300.000,00/ha/tahun.

Berdasarkan hasil evaluasi model perhitungan tarif PNBP PKH menurut (PP Nomor 33 Tahun 2014, kerusakan hutan produksi akibat penggunaan kawasan hutan atas nama PT Sulawesi Resources dan keuntungan usahanya bahwa usaha penambangan di hutan produksi menimbulkan kerugian untuk setiap hektarnya, yaitu sebesar Rp275.603.074,26 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp260.915.535,07 sampai dengan Rp338.327.439,29.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Nilai kerusakan Hutan Produksi akibat penggunaan kawasan hutan sebesar Rp398.884.545.657,62 dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp373.732.410.671,20 sampai dengan Rp424.036.680.644,03.

2. Model perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH) menurut PP Nomor 33 Tahun 2014 tidak sebanding dengan nilai kerusakan hutan yang terjadi akibat penggunaan kawasan hutan.

3. Penggunaan kawasan hutan untuk usaha pertambangan berpotensi menimbulkan kerugian untuk setiap hektarenya, yaitu sebesar Rp275.603.074,26

Page 55: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

44 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dengan interval kepercayaan 95%, yaitu dari Rp260.915.535,07 sampai dengan Rp338.327.439,29.

E. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:

1. Perlu menambahkan data produksi lain dalam mengestimasi potensi hutan produksi yang hilang.

2. Perlu mempertimbangkan kewajiban bagi pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan lainnya, seperti PSDH DR, biaya reklamasi, dan penggantian tegakan sebagai bahan evaluasi penghitungan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sehingga dalam menentukan model penghitungan PNBP PKH lebih akurat.

Page 56: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

DAMPAK BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYAR AKAT (BLSM) TERHADAP KONSUMSI MAKANAN DAN NONMAKANAN

Nama : Aneu Emitasari

Instansi : Pemkab Sleman

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 57: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

46 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) merupakan salah satu program Unconditional Cash Transfer (UCT) di Indonesia. Program ini memberikan bantuan tunai sebesar Rp150.000/bulan selama 4 bulan untuk rumah tangga miskin. BLSM bertujuan untuk mempertahankan daya beli rumah tangga miskin dan mencegah rumah tangga miskin dari menjual aset saat terjadinya kenaikan harga barang akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak BLSM terhadap konsumsi makanan dan nonmakanan. Outcome yang akan diukur adalah total konsumsi, konsumsi makanan, dan konsumsi nonmakanan berdasarkan beberapa jenis kelompok makanan dan nonmakanan. Alat analisis menggunakan Propensity Score Matching (PSM).

Hasil penelitian menunjukkan BLSM secara signifikan belum memberikan dampak yang positif terhadap total pengeluaran konsumsi, baik konsumsi makanan maupun nonmakanan. Namun, apabila dipilah berdasarkan jenisnya, terdapat pengeluaran konsumsi yang menunjukkan peningkatan maupun penurunan. Jika dilihat pada p-value, pengeluaran konsumsi jenis lauk pauk secara signifikan mengalami penurunan, sedangkan pengeluaran pendidikan secara signifikan mengalami peningkatan walaupun nilainya sangat kecil.

Kata kunci: BLSM, Unconditional Cash Transfer, Konsumsi Makanan, Konsumsi Nonmakanan, Propensity Score Matching

Page 58: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 47

ABSTRACT

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) is one of unconditional cash transfer (UCT) program in Indonesia. The programme provides a four-month cash payment of Rp150.000 per month to poor household. It aims to support purchasing power of poor household and prevent them from selling their assets when inflation occurs caused by the hike in fuel prices. This study objects to evaluate the impact of BLSM on food and non-food consumption. The outcome to be measured are the total of consumption, food consumption and non-food consumption based on its categories. This study uses Propensity Score Matching (PSM)

Approach to estimate the causal treatment effects. The results confirm that BLSM significantly does not have positive impacts on overall consumption such as total consumption, food consumption and non-food consumption. Likewise, if we separate the results by its categories, there are varied impacts shown. According to p-value, there are significant negative impact on side dish category and significant positive impact but small in economic value on education expenditure.

Keywords: BLSM, Unconditional Cash Transfer, Food Consumption, Non-food Consumption, Propensity Score Matching

Page 59: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

48 Direktori Mini Tesis-Disertasi

DAMPAK BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYAR AKAT (BLSM) TERHADAP KONSUMSI MAKANAN DAN

NONMAKANAN

A. Latar Belakang

BLSM diluncurkan pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tanggal 22 Juni 2013 yang berpotensi memicu inflasi dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan (Hastuti dkk., 2013). BLSM merupakan Bantuan Tunai Langsung Sementara untuk membantu mempertahankan daya beli rumah tangga miskin dan rentan agar terlindungi dari dampak kenaikan harga akibat penyesuaian harga BBM. BLSM disalurkan untuk membantu rumah tangga miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, pembelian obat-obatan kesehatan, biaya pendidikan, dan keperluan lainnya.

BLSM merupakan solusi jangka pendek untuk menghindarkan masyarakat miskin dari menjual aset, berhenti sekolah, dan mengurangi konsumsi makanan yang bergizi. Evaluasi pelaksanaan BLT yang dilakukan sebelumnya, yaitu tahun 2005 dan 2008, membuktikan bahwa program ini telah membantu rumah tangga miskin dan rentan dalam menjaga daya beli setelah kenaikan harga dengan tetap mempertahankan kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan (Setwapres RI, 2013).

Terdapat beberapa kritik negatif terhadap program BLSM, yaitu pandangan bahwa BLSM tidak tepat sasaran, berpotensi menimbulkan korupsi, tidak mendorong partisipasi angkatan kerja (cenderung membuat malas/kurang mendidik), nominal bantuan sangat tidak memadai, bahkan bantuan BLSM cenderung digunakan untuk konsumsi barang-barang bukan kebutuhan pokok. Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui seberapa besar dampak BLSM terhadap peningkatan daya beli masyarakat miskin sehingga selain kritik negatif yang telah disebutkan sebelumnya, juga terdapat gambaran kemanfaatan program dari sisi tujuan utama program, yaitu mempertahankan daya beli rumah tangga miskin sehingga dapat menjadi bahan masukan dalam penyempurnaan program pengentasan kemiskinan secara umum di Indonesia.

Beberapa penelitian mengenai dampak BLSM yang dilakukan di Indonesia masih terbatas pada penelitian yang bersifat kualitatif, sebagian besar menyoroti masalah ketepatan sasaran penerima manfaat program. Hal ini juga diungkapkan dalam studi perbandingan cash transfer oleh Bastagli et al. (2016) bahwa pendanaan penelitian evaluasi dampak paling banyak dilakukan terhadap jenis program CCT sebanyak 55%,

Page 60: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 49

UCT sebanyak 25%, kombinasi CCT dan UCT sebanyak 9%, dan penelitian dana pensiun sebanyak 7% sehingga disarankan untuk memperbanyak penelitian evaluasi dampak program UCT.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi ada atau tidaknya dampak program BLSM terhadap konsumsi makanan dan nonmakanan yang dikelompokkan menjadi beberapa jenis komoditi barang atau jasa. Evaluasi ini penting dilakukan untuk mengetahui sejauhmana dana BLSM digunakan sesuai tujuan utamanya, yaitu untuk mempertahankan daya beli rumah tangga miskin dan rentan, tujuan lainnya adalah untuk memperkaya penelitian sejenis yang sudah ada untuk lingkup wilayah Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam penerapan ilmu untuk melakukan evaluasi dampak dan dapat menjadi bahan masukan bagi para penentu kebijakan apabila akan menerapkan program sejenis dikemudian hari sehingga kemanfaatan program bagi masyarakat menjadi optimal. Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga bahwa BLSM berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga yang memperoleh program kebijakan BLSM.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Penelitian SMERU tahun 2008, mengkaji beberapa aspek dari sisi penerima (beneficiary assessment), khususnya untuk mengetahui persepsi masyarakat yang sesungguhnya mengenai lima persepsi negatif yang muncul selama implementasi Program BLT 2005, yaitu (1) BLT tidak mampu mengatasi guncangan (shock) akibat kenaikan harga BBM, (2) BLT tidak tepat sasaran, (3) BLT menciptakan peluang korupsi, (4) pelaksanaan BLT menimbulkan konflik, dan (5) BLT merupakan disinsentif bagi partisipasi tenaga kerja. Namun, secara spesifik masih sedikit penelitian empiris yang menunjukkan dampak BLSM terhadap berbagai jenis konsumsi masyarakat. Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui seberapa besar dampak BLSM terhadap peningkatan daya beli masyarakat miskin sehingga selain kelima persepsi negatif yang telah disebutkan sebelumnya, juga terdapat gambaran kemanfaatan program dari sisi tujuan utama program, yaitu mempertahankan daya beli rumah tangga miskin.

Penelitian ini didesain menggunakan pendekatan quasi eksperimen menggunakan data sekunder cross section sehingga metode analisis yang cocok digunakan adalah matching method. Metode ini digunakan untuk mengkonstruksi kelompok kontrol sekaligus mendefinisikan counterfactual. Desain ini sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara variabel dependen, yaitu konsumsi makanan dan nonmakanan dengan variabel independen, yaitu kepesertaan BLSM. Metode

Page 61: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

50 Direktori Mini Tesis-Disertasi

matching merupakan alat yang sudah popular digunakan sebagai alat estimasi untuk causal treatment effect karena telah mampu mengakomodasi kemungkinan terjadinya selection bias.

Propensity Score Matching (PSM) dipilih karena BLSM merupakan program cash transfer yang sudah berjalan cukup lama di Indonesia sehingga cakupan rumah tangga miskin penerima program juga sudah sangat luas maka akan sulit untuk mencari kelompok rumah tangga miskin yang belum pernah menerima program. Jumlah data yang besar dan variabel matching yang banyak juga menjadi pertimbangan dalam penentuan metode matching. Variabel kontrol yang digunakan adalah karakteristik rumah tangga yang mencerminkan profil keluarga miskin di Indonesia sebagai berikut:

1. Karakteristik tempat tinggal dan fasilitas penunjangnya (luas lantai bangunan, jenis lantai bangunan, jenis dinding bangunan, fasilitas jamban, sumber air untuk minum atau memasak, sumber penerangan di rumah, bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kepemilikan aset).

2. Kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar (frekuensi konsumsi daging dan susu, frekuensi makan, kemampuan membayar anggota keluarga berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendapatan maksimal kepala rumah tangga per bulan).

3. Kepemilikan SKTM.

4. Kepemilikan kartu BLSM.

5. Karakteristik sosial demografi (jenis kelamin kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga).

6. Daerah tempat tinggal, yaitu perdesaan atau perkotaan.

7. Kategori wilayah tempat tinggal di Pulau Jawa atau luar Pulau Jawa.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Karakteristik Responden Penelitian

Jumlah rumah tangga yang menjadi observasi adalah 8,121 rumah tangga yang terdiri atas 1,374 rumah tangga penerima BLSM (kelompok treatment) dan 6,747 rumah tangga bukan penerima BLSM (kelompok kontrol). Karakteristik rumah tangga yang menjadi responden penelitian dikategorikan menjadi dua kelompok untuk memisahkan antara kelompok treatment dan kelompok kontrol. Pengelompokan ditunjukkan pada karakteristik kemiskinan rumah tangga berdasarkan 12 kriteria yang dipilih dari 14 kriteria kemiskinan BPS, di antaranya rumah tangga yang menempati rumah dengan luas lantai bangunan tempat tinggal

Page 62: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 51

kurang dari 8 meter persegi untuk tiap-tiap anggota keluarga sebanyak 1.190 rumah tangga (14,65%), sedangkan untuk luas 8 meter persegi ke atas sebanyak 6.931 rumah tangga (85,35%), dan jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu, kayu berkualitas rendah sebanyak 1.404 rumah tangga (17,29%), sedangkan 6.715 rumah tangga (82,71%) dengan kualitas di atasnya.

2. Analisis Dampak Menggunakan Propensity Score Matching

a. Perkiraan Propensity Score

Penelitian ini menggunakan model logit untuk mendapatkan perkiraan propensity score. Probabilitas untuk mendapatkan BLSM dicerminkan dari karakteristik kemiskinan, kepemilikan SKTM dan kartu BLSM, karakteristik sosial demografi serta daerah tempat tinggal, yaitu perdesaan atau perkotaan dan Pulau Jawa atau luar Pulau Jawa. Suatu keluarga dalam memperoleh program BLSM sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, kepemilikan SKTM, kepemilikan Kartu BLSM, lama pendidikan yang ditempuh KK, lokasi tempat tinggal di perkotaan atau pedesaan. Faktor lain yang juga memengaruhi suatu keluarga dalam memperoleh program BLSM adalah karakteristik kemiskinan (luas dan jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas jamban atau toilet, sumber air untuk minum atau memasak, sumber penerangan di rumah, bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kemampuan membeli jenis konsumsi daging dan susu dalam seminggu, frekuensi makan dalam sehari, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, kepemilikan televisi).

b. Pemilihan Matching Algorithm

Penelitian ini menggunakan Kernel Matching karena distribusi data agak berbeda antara kelompok treatment dan kelompok kontrol (treated dan untreated group). Distribusi kelompok kontrol (untreated) memiliki propensity score yang lebih tinggi dari kelompok treatment (treated).

3. Pembahasan

Perkiraan nilai Average Treatment on the Treated (ATT) dapat dilakukan pengecekan kualitas matching. Dampak BLSM pada konsumsi rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan ada dampak yang secara statistik signifikan pada 5 persen dengan menggunakan metode matching Kernel dan Radius Caliper. Nilai ATT antara kelompok treatment dan kontrol mengindikasikan dampak BLSM terhadap total pengeluaran konsumsi mengalami penurunan Rp21.907 hingga Rp23.022/bulan tahun 2014. Dampak BLSM terhadap total konsumsi makanan pun menurun

Page 63: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

52 Direktori Mini Tesis-Disertasi

antara Rp10.870 hingga Rp11.476/bulan. Dampak BLSM terhadap total konsumsi nonmakanan juga menurun antara Rp11.037 hingga Rp11.003.

BLSM secara total menurunkan konsumsi makanan, namun apabila dipilah lebih rinci, dampak program BLSM terhadap konsumsi makanan menunjukkan hasil bervariasi. Konsumsi makanan pokok seperti nasi, jagung, sagu, singkong, kentang, aneka mie, roti, dan makanan jadi mengalami kenaikan antara Rp23.512 hingga Rp23.646/bulan. Jenis konsumsi makanan lain yang meningkat adalah konsumsi rokok antara Rp6.970 hingga Rp7.324/bulan. Jenis konsumsi makanan lauk pauk seperti aneka ikan segar, ikan asin, ikan kalengan, daging sapi, kambing, unggas, telur ayam, susu, kedelai, tempe, dan tahu mengalami penurunan antara Rp25.823 hingga Rp25.903/bulan, konsumsi sayur dan buah-buahan seperti kangkung, bayam, pepaya, manga, dan pisang mengalami penurunan antara Rp6.466 hingga Rp6.619, konsumsi minuman seperti aneka air minum dalam kemasan, teh, kopi cokelat, dan minuman lainnya mengalami penurunan antara Rp1.052 hingga Rp1.083/bulan, dan konsumsi makanan lainnya seperti aneka bumbu dapur, minyak sayur dan mentega mengalami penurunan antara Rp8.387 hingga Rp8.421/bulan.

Jenis konsumsi nonmakanan yang mengalami kenaikan adalah biaya pendidikan dan biaya penunjang. Biaya pendidikan meliputi biaya pendaftaran sekolah, bayaran bulanan, peralatan sekolah, transportasi sekolah mengalami kenaikan antara Rp4.572 hingga Rp4.623/bulan dan biaya penunjang meliputi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi dan rekreasi rumah tangga mengalami kenaikan antara Rp5.019 hingga Rp5.272/bulan.

Konsumsi nonmakanan lainnya mengalami penurunan, yaitu biaya perumahan seperti listrik, air, bahan bakar kendaraan, dan biaya telepon antara Rp5.058 hingga Rp5.976/bulan, biaya aneka barang/jasa seperti peralatan mandi, mencuci, gaji asisten rumah tangga, dan peralatan rumah tangga antara Rp5.110 hingga Rp5.216/bulan, biaya barang aset seperti pembelian furnitur dan pembelian barang aset lainnya seperti telepon genggam antara Rp1.120 hingga Rp1.227/bulan, biaya kesehatan antara Rp320 hingga Rp370/bulan, biaya lainnya seperti pembelian pakaian, alas kaki, tutup kepala, pajak pemakaian, premi asuransi, keperluan pesta dan upacara, arisan dan utang antara Rp5.608 hingga Rp5.807/bulan.

Semua dampak BLSM yang ditunjukkan, baik yang bersifat menaikkan maupun menurunkan konsumsi jika dilihat dari nilai p-value tidak ada yang signifikan, kecuali dampak terhadap biaya pendidikan dan konsumsi lauk pauk. Biaya pendidikan secara signifikan mengalami kenaikan, sedangkan konsumsi lauk pauk mengalami penurunan dengan tingkat signifikansi 5 persen.

Page 64: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 53

Program BLSM menurunkan konsumsi secara total, baik konsumsi makanan maupun nonmakanan, namun apabila dilihat lebih detail berdasarkan jenisnya, ternyata ada konsumsi makanan maupun nonmakanan yang mengalami peningkatan walaupun nilainya masih sangat kecil. Hal ini diduga karena besarnya bantuan kurang memadai untuk dapat meningkatkan konsumsi totalnya, padahal bantuan dibagikan menjelang hari Idulfitri dan awal tahun ajaran baru, biasanya terjadi lonjakan harga bahan kebutuhan pokok cukup besar dan peningkatan biaya pendidikan. Besarnya bantuan yang diterima peserta juga diduga mengalami penurunan karena banyak peserta program yang menyerahkan secara sukarela sebagian bantuan yang diterimanya untuk dibagikan kepada rumah tangga miskin di daerahnya yang tidak mendapatkan bantuan karena tidak tercantum sebagai peserta program sebagaimana hasil temuan penelitian cepat SMERU (2013) tentang pelaksanaan BLSM tahun 2013.

D. Kesimpulan dan Saran

BLSM secara signifikan belum memberikan dampak positif terhadap total pengeluaran konsumsi, baik konsumsi makanan maupun nonmakanan. Namun, apabila dipilah berdasarkan jenisnya, terdapat pengeluaran konsumsi yang menunjukkan peningkatan maupun penurunan. Jika dilihat pada p-value, pengeluaran konsumsi jenis lauk pauk secara signifikan mengalami penurunan, sedangkan pengeluaran pendidikan secara signifikan mengalami peningkatan walaupun nilainya sangat kecil. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Das et al. (2005) yang membandingkan program CCT dengan UCT di berbagai negara dan hasilnya menunjukkan dampak positif terhadap CCT, sedangkan UCT tidak memberikan dampak signifikan. Hasil penelitian cepat SMERU (2013) tentang pelaksanaan BLSM tahun 2013 juga menemukan bahwa cukup banyak rumah tangga yang menggunakan dana bantuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, baik untuk membeli perlengkapan sekolah maupun untuk jajan anak.

BLSM secara signifikan meningkatkan pengeluaran pendidikan dengan nilai yang sangat kecil, namun belum memberikan dampak yang positif terhadap total pengeluaran konsumsi sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan utama BLSM untuk menjaga daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM masih jauh dari harapan. Hal ini berarti besarnya bantuan kurang memadai untuk dapat meningkatkan konsumsi masyarakat secara total.

BLSM tidak cocok diterapkan dalam bentuk bantuan tunai tidak bersyarat karena tidak adanya persyaratan kondisional tertentu membuat pemerintah tidak bisa mengontrol penggunaan dana, sehingga tidak jelas apakah dana tersebut digunakan untuk hal-hal penting atau kurang penting. Pemerintah sebaiknya menerapkan CCT

Page 65: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

54 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dalam pemberian bantuan tunai atau mempertimbangkan pemberian dana dalam bentuk nontunai (in-kind transfer) jika bantuan bersifat unconditional, misalnya berupa kupon atau kartu yang dapat ditukarkan dengan beberapa jenis kebutuhan pokok selain beras di tempat-tempat yang telah ditunjuk atau bekerja sama dengan pemerintah. Penentuan jenis kebutuhan pokok juga harus sejalan dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, misalnya dengan menentukan jenis bahan makanan untuk pemenuhan kebutuhan protein seperti telur, ikan atau daging.

Pemerintah melalui BPS juga dapat menyesuaikan beberapa kriteria kemiskinan yang sudah tidak sesuai dengan kriteria lain yang dapat menyasar kelompok masyarakat miskin lebih tepat dan akurat sehingga dapat meningkatkan ketepatan sasaran penerima program. Penyesuaian kriteria kemiskinan juga harus didukung oleh data yang up-to-date sehingga data yang digunakan adalah data kondisi yang sedekat mungkin dengan kondisi pada waktu pelaksanaan program.

Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian masih belum menghasilkan kualitas matching yang baik, perlu dilakukan penambahan ataupun penggantian kombinasi variabel kontrol yang lainnya. Penggunaan data juga terbatas masih menggunakan data satu tahun. Untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan penambahan ataupun penggantian kombinasi variabel kontrol lainnya yang dapat menambah validitas hasil penelitian dan menghasilkan kualitas matching variabel control yang memuaskan. Apabila dimungkinkan juga dapat menambah data ataupun series (tahun) data sehingga didapatkan perbandingan hasil dari tahun ke tahun. Penelitian selanjutnya juga dapat memfokuskan pada pengeluaran rumah tangga jenis pinjaman dan sumber-sumber pendapatan rumah tangga agar dapat mengukur tingkat penggunaan dana lebih akurat.

Page 66: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ASPEK GEOGRAFIS DAN KEMISKINAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Nama : Ardiyas Munsyianta

Instansi : Badan Pusat Statistik

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 67: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

56 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Masalah mendasar dalam pembangunan di antaranya adalah masalah kemiskinan. Pembangunan saat ini dipandang bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi multidimensi, salah satunya adalah aspek geografis. Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis merupakan provinsi terluas di Pulau Sumatera, secara umum dapat dibedakan menjadi 3 bagian wilayah yaitu rawa-rawa dan perairan payau di bagian timur, dataran yang luas dibagian tengah dan bukit-bukit dibagian barat. Dengan kondisi geografis yang demikian, ternyata tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan relatif besar, yaitu 13,54 persen dan berada di atas angka nasional. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini berusaha untuk menganalisis pengaruh aspek geografis dan aspek lain diluar aspek moneter terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (cross section), yaitu data Podes 2014, data PBDT 2015 dan data Kecamatan Dalam Angka 2016. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda (Ordinary Least Square). Hasil penelitian memberikan bukti tambahan bahwa pendekatan aspek geografis berpengaruh terhadap kemiskinan. Aspek geografis yaitu jarak desa/kelurahan ke kecamatan terdekat, ketinggian, bencana alam dan jenis permukaan jalan terluas (tanah dan lainnya) berpengaruh positif terhadap kemiskinan, sedangkan jarak desa/kelurahan ke kabupaten dan jarak desa/kelurahan ke kabupaten terdekat berpengaruh negatif. Aspek lain yang berpengaruh negatif adalah aspek teknologi (keluarga pengguna listrik dan keberadaan BTS) dan aspek migrasi (migrasi masuk).

Kata kunci: ARTS, Geografis, Cross Section, Ordinary Least Square

Page 68: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 57

ABSTRACT

One of the fundamental problem in development is poverty. Poverty is a global issue of concern to developing countries as well as developed countries, including in Indonesia. Current development is seen not only economic dimension but multidimensional, one of them is geographical aspect. South Sumatra Province which is geographically the largest province on the island of Sumatra, generally can be divided into 3 parts of the region that is swamps and brackish waters in the eastern, vast plains in the middle and hills in the west. With such geographical conditions, the level of poverty in South Sumatra Province is relatively large, which is 13.54 percent and above the national figure. Based on this phenomenon, this study attempts to analyze the geographical aspect and other aspects beyond the monetary aspect affects on poverty in South Sumatera Province. The data used in this study are secondary data (cross section), which include data of Podes 2014, data of PBDT 2015 and data of Sub-district In Figures 2016. Dependent variable is the level of poverty, proxy with percentage of targeted household members (ARTS) per village/urban-village, while the independent variables are wide of area, distance, altitude, sea boundary location, natural disaster, road surface type, electricity user, cable phone user, existence of Base Transceiver Station (BTS), farmland area, micro and small industries, incoming migration and outbound migration. The analysis tool used is multiple linear regression (Ordinary Least Square). The results provide additional evidence that the geographical aspect approach affects poverty. Geographical aspect such as the distance of the village/urban-village to the nearest sub-district, altitude, natural disaster and the widest type of road surface (dirt road and other) have a positive effect on poverty, while the distance of the village/urban-village to the district and the distance of the village/urban-village to the nearest district have a negative effect. Another aspect that negatively affects is technological aspects (the family of electricity users and the existence of BTS) and aspect of migration (incoming migration).

Keywords: ARTS, Geographic, Cross Section, Ordinary Least Square

Page 69: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

58 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ASPEK GEOGRAFIS DAN KEMISKINAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

A. Latar Belakang

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan luas wilayah yang relatif besar di Indonesia (terluas di Pulau Sumatera), dengan karakteristik kewilayahan yang bervariatif sesuai dengan kondisi geografisnya. Berdasarkan publikasi Sumatera Selatan Dalam Angka 2016 oleh BPS, diperoleh keterangan bahwa di pantai timur wilayah Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas rawa-rawa dan perairan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan sedikit ke arah barat adalah dataran rendah yang luas, semakin masuk ke dalam wilayah daratan bagian barat semakin berbukit-bukit. Dengan kondisi geografis yang demikian, ternyata tingkat kemiskinan di Sumatera Selatan relatif besar, yaitu 13,54 persen atau sekitar 1.096.500 jiwa dan berada di atas angka nasional sebesar 10,7 persen.

Penelitian mengenai kemiskinan di dunia telah banyak dilakukan sampai saat ini, tetapi di Indonesia penelitian kemiskinan yang mempertimbangkan aspek geografis sebagai variabel yang memengaruhinya masih relatif sedikit. Selama ini kemiskinan masih dianggap sebagai suatu fenomena yang dalam pengukurannya hanya dihubungkan dengan masalah moneter. Permasalahan kemiskinan seharusnya juga melibatkan aspek lainnya untuk mendukung pengukuran dengan pendekatan moneter tersebut. Beberapa studi tentang kemiskinan menekankan pentingnya pendekatan geografis terhadap penanggulangan kemiskinan, di antaranya studi oleh Liu dan Xu (2016), di mana penduduk pedesaan di Cina yang teridentifikasi sebagai kemiskinan multidimensi terkonsentrasi dan terdistribusi secara geografis pada kondisi alam yang buruk.

Balisacan et al. (2003), dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Indonesia, menyatakan pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia, faktor-faktor lain juga secara langsung memengaruhi kesejahteraan masyarakat miskin. Faktor-faktor tersebut di antaranya infrastruktur, sumber daya manusia, insentif harga pertanian dan akses terhadap teknologi. Faktor infrastruktur dalam penelitian ini mewakili atribut geografis dari wilayah penelitiannya, yaitu jalan yang telah diaspal. Hakim dan Zuber (2008), dalam penelitiannya yang menyatakan variabel geografis, yaitu jarak dari desa ke kecamatan berpengaruh terhadap kemiskinan. Rahmawati dan Djuraidah (2008), dengan menggunakan metode Geographically Weighted Reression (GWR) menyatakan dalam analisis diperlukan pertimbangan faktor spasial yang berpengaruh terhadap data kemiskinan.

Page 70: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 59

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan aspek geografis sangat berpengaruh terhadap kemiskinan di suatu daerah, sedangkan penelitian di Indonesia yang membahas ini masih sangat terbatas dan belum memasukkan variabel karakteristik fisik geografis. Oleh karena itu, penelitian mengenai kemiskinan perlu dilengkapi dengan memasukan aspek geografis. Dengan kondisi Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang sangat luas dengan kondisi geografis yang beragam dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi di atas angka nasional maka peneliti menganggap perlu untuk melihat apakah ada pengaruh dari aspek geografis terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan.

Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat, di antaranya:

1. hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam rangka kebijakan pengentasan kemiskinan;

2. sebagai bahan referensi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dan sejenis; dan

3. memberikan referensi kepada pembaca mengenai pengaruh aspek geografis terhadap kemiskinan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang masalah, kajian literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan aspek geografis dan aspek- aspek lain di luar aspek moneter sangat berpengaruh terhadap kemiskinan di suatu daerah, sedangkan penelitian di Indonesia yang membahas ini masih sangat terbatas dan belum memasukkan variabel karakteristik fisik geografis. Oleh karena itu, penelitian mengenai kemiskinan perlu dilengkapi dengan memasukan aspek-aspek lain di luar aspek moneter, salah satunya adalah aspek geografis. Dengan kondisi Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang sangat luas dengan kondisi geografis yang beragam dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dan di atas angka nasional maka peneliti menganggap perlu untuk melihat apakah ada pengaruh dari aspek geografis dan aspek lainnya di luar aspek moneter terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat problem oriented, yaitu berorientasi pada pengujian teori berdasarkan hasil penelitian empiris sebelumnya. Desain penelitian bersifat explanatory, yaitu berfokus pada pengujian teori yang sudah mapan pada konteks penelitian yang berbeda, yaitu berfokus pada hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah terlebih dahulu dirumuskan. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah aspek geografis dan pengaruhnya terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan. Level penelitian adalah tingkat desa atau kelurahan sebanyak 3.199 desa atau kelurahan.

Page 71: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

60 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Data meliputi data PBDT 2015, data Kecamatan Dalam Angka 2016 dan data Podes 2014 sebagai berikut:

1. Data PBDT 2015 (Pemutakhiran Basis Data Terpadu 2015), meliputi data rumah tangga sasaran (anggota rumah tangga sasaran) perdesa atau kelurahan di Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan rumah tangga sasaran program perlindungan sosial, yaitu 40% penduduk dengan status ekonomi terendah.

2. Data Kecamatan Dalam Angka 2016, yaitu jumlah penduduk tahun 2015 perdesa atau kelurahan di Provinsi Sumatera Selatan.

3. Data Podes 2014 (Potensi Desa 2014), meliputi data aspek geografis desa (luas, jarak, ketinggian, lokasi, bencana alam, jenis permukaan jalan terluas), data aspek teknologi (keluarga pengguna listrik, keluarga pengguna telepon kabel dan keberadan BTS), data aspek pertanian (luas lahan pertanian), data aspek industri (jumlah industri mikro dan kecil) dan data aspek migrasi (kejadian migrasi masuk dan keluar).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data dan Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan jumlah sampel besar, yaitu sejumlah 3.199 desa atau kelurahan. Dari 18 variabel independen tersebut sebanyak 5 variabel merupakan variabel dummy dengan nilai minimum 0 dan maksimum 1, yaitu lokasi tidak ada batas laut (LAUT1), jalan diperkeras (JLN1), jalan tanah (JLN2), jalan lainnya (jalan setapak, kayu, papan, dan lain-lain) (JLN3) dan tidak ada BTS (BTS1). Tiga belas variabel independen lainnya merupakan variabel yang bersifat kuantitatif, yaitu luas desa atau kelurahan (LUAS), jarak desa atau kelurahan ke kecamatan (JRK_KEC), jarak desa atau kelurahan ke kabupaten (JRK_KAB), jarak desa atau kelurahan ke kecamatan lain terdekat (JRK_KEC_DEKT), jarak desa atau kelurahan ke kabupaten lain terdekat (JRK_KAB_DEKT), ketinggian (TINGGI), jumlah bencana alam (BENCANA), jumlah keluarga pengguna listrik (KLG_LIST), jumlah keluarga pengguna telepon kabel (KLG_TELP), luas lahan pertanian (LHN_PERTN), jumlah industri mikro dan kecil (IMK), migrasi masuk (MIGR_MSUK) dan migrasi keluar (MIGR_KELR).

Data penelitian merupakan data cross section, yaitu data variabel yang diteliti pada periode waktu yang sama, mengakibatkan besarnya variasi dalam variabel tersebut. Nilai variasi (variance) yang besar pada variabel-variabel yang bersifat

Page 72: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 61

kuantitatif, hal tersebut juga mengakibatkan besarnya nilai standar deviasi. Nilai rata-rata hitung (mean) dan standar deviasi merupakan nilai statistik yang sensitif terhadap nilai ekstrim, hal ini bisa dilihat dari nilai minimum dan nilai maksimumnya.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, mencakup 13 kabupaten dan 4 kota. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2014 Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 3.237 desa atau kelurahan dengan jumlah kecamatan sebanyak 231 kecamatan. Jumlah desa atau kelurahan terbanyak terdapat di Kabupaten Lahat sebanyak 376 desa atau kelurahan, sedangkan jumlah desa atau kelurahan paling sedikit berada di Kota Pagar Alam sebanyak 35 desa atau kelurahan. Dilihat dari jumlah kecamatan, Kabupaten Lahat memiliki kecamatan terbanyak yaitu 22 kecamatan, sedangkan Kabupaten PALI dan Kota Pagar Alam memiliki jumlah kecamatan paling sedikit sejumlah 5 kecamatan.

2. Interpretasi Hasil Regresi

Jarak desa atau kelurahan ke kabupaten mempunyai pengaruh atau hubungan negatif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar -0,019% pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, bertambahnya jarak desa atau kelurahan ke kabupaten sebesar 1 km mengakibatkan penurunan persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,019 persen, ceteris paribus.

Jarak desa atau kelurahan ke kecamatan terdekat mempunyai pengaruh atau hubungan positif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar 0,062 persen pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, bertambahnya jarak desa atau kelurahan ke kecamatan terdekat sebesar 1 km mengakibatkan kenaikan atau bertambahnya persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,062%, ceteris paribus.

Jarak desa atau kelurahan ke kabupaten terdekat mempunyai pengaruh atau hubungan negatif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar -0,026% pada tingkat kepercayaan 90%. Artinya, bertambahnya jarak desa atau kelurahan ke kabupaten terdekat sebesar 1 km mengakibatkan penurunan persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,026%, ceteris paribus.

Ketinggian desa atau kelurahan mempunyai pengaruh atau hubungan positif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar 0,008% pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, bertambahnya ketinggian desa atau kelurahan sebesar 1 mdpal (meter di atas permukaan air laut) mengakibatkan kenaikan atau bertambahnya persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,008%, ceteris paribus.

Page 73: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

62 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kejadian bencana alam yang terjadi di desa atau kelurahan mempunyai pengaruh atau hubungan positif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar 0,890% pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, bertambahnya jumlah kejadian bencana alam di desa atau kelurahan sebesar 1 kejadian mengakibatkan kenaikan atau bertambahnya persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,890%, ceteris paribus.

Jenis permukaan jalan terluas berpengaruh terhadap kemiskikan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan. Perbedaan rata-rata persentase ARTS perdesa atau kelurahan antara permukaan jalan terluas berupa tanah dibanding aspal/beton adalah 3,493 persen lebih tinggi, pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, desa atau kelurahan dengan permukan jalan terluas berupa tanah memiliki persentase ARTS lebih tinggi sebesar 3,493% disbanding dengan permukaan jalan terluas berupa aspal/beton, ceteris paribus. Perbedaan rata-rata persentase ARTS desa atau kelurahan antara permukaan jalan terluas berupa lainnya (jalan setapak, kayu, papan, dll) disbanding dengan aspal/beton adalah 11,869% lebih tinggi, pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, desa atau kelurahan dengan permukan jalan terluas berupa jalan setapak, kayu, papan, dan lainnya memiliki persentase ARTS lebih tinggi sebesar 11,869% disbanding dengan permukaan jalan terluas berupa aspal/beton, ceteris paribus.

Jumlah keluarga pengguna listrik desa atau kelurahan mempunyai pengaruh atau hubungan negatif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar -0,006% pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, bertambahnya jumlah keluarga pengguna listrik sebanyak 1 keluarga mengakibatkan penurunan persentase ARTS perdesa atau kelurahan sebesar 0,006%, ceteris paribus.

Keberadaan BTS berpengaruh terhadap kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan. Besarnya persentase ARTS untuk desa atau kelurahan yang ada BTS lebih kecil disbanding dengan desa atau kelurahan tanpa BTS. Perbedaan rata-rata persentase ARTS perdesa atau kelurahan antara desa atau kelurahan yang tidak ada BTS dibanding dengan ada BTS adalah 5,460% lebih tinggi, pada tingkat kepercayaan 99%. Artinya, desa atau kelurahan dengan tidak ada BTS memiliki persentase ARTS lebih tinggi sebesar 5,460% disbanding dengan bila ada BTS, ceteris paribus.

Migrasi masuk di desa atau kelurahan mempunyai pengaruh atau hubungan negatif dan signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS) perdesa atau kelurahan sebesar -0,018% pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, jika migrasi masuk bertambah 1 orang mengakibatkan penurunan persentase ARTS perdesa

Page 74: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 63

atau kelurahan sebesar 0,018%, ceteris paribus. Sedangkan variabel luas, jarak desa atau kelurahan ke kecamatan, dummy lokasi desa atau kelurahan tanpa batas laut, keluarga pengguna telepon kabel, luas lahan pertanian, industri mikro, dan kecil dan migrasi keluar tidak signifikan memengaruhi kemiskinan (persentase ARTS).

3. Pembahasan

Dari interpretasi hasil regresi di atas, dapat dilihat bahwa dari 11 variabel bebas aspek geografis yang digunakan dalam model sebanyak 7 variabel di antaranya signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan, yaitu jarak desa atau kelurahan ke kabupaten, jarak desa atau kelurahan ke kecamatan terdekat, jarak desaa tau kelurahan ke kabupaten terdekat, ketinggian, jumlah bencana alam, jalan terluas berupa tanah, dan jalan terluas berupa lainnya (jalan setapak, kayu, papan, dll). Secara umum, hasil studi ini sesuai dengan pernyataan dari Todaro (2002: 50) dan McArthur dan Sachs (2001), yaitu aspek geografis berpengaruh terhadap kesuksesan pembangunan ekonomi suatu Negara atau wilayah, di mana salah satu indikator kesuksesan pembangunan ekonomi adalah kemiskinan. Hasil studi ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Balisacan et al. (2003) dan Hakim dan Zuber (2008), menyatakan dimensi geografis sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya seperti Blomm dan Sach (1998), Dermuger et al. (2002), Edward dan Sumner (2013), Mitton (2016), Liu dan Xu (2016) yang menyatakan aspek geografis mempunyai dampak besar terhadap kemiskinan.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, aspek geografis mempunyai hubungan yang positif terhadap kemiskinan, artinya semakin buruk kondisi geografis maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi pula. Dari 7 variabel aspek geografis yang signifikan terhadap persentase ARTS di atas, 5 variabel mempunyai hubungan yang positif, yaitu jarak desa atau kelurahan ke kecamatan terdekat, ketinggian desa atau kelurahan, jumlah bencana alam dan jenis permukaan jalan terluas yang ada di desa atau kelurahan (dummy jalan tanah dan jalan lainnya seperti jalan setapak, kayu, papan, dll), sedangkan 2 variabel lain, yaitu jarak desa atau kelurahan ke kabupaten, dan jarak desa atau kelurahan ke kabupaten terdekat mempunyai pengaruh yang negatif.

Menurut Hakim dan Zuber (2008) aspek geografis tidak berpengaruh pada daerah dengan karakteristik kota atau perkotaan, atau daerah yang mempunyai akses jalan yang baik. Terkait dengan jarak, dalam Teori Lokasi menyebutkan lokasi merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Lokasi dengan akses yang sulit tentu saja berpengaruh terhadap kelancaran pembangunan itu

Page 75: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

64 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sendiri, tetapi keterbatasan tersebut telah terjawab dengan adanya teknologi dan komunikasi modern, termasuk di dalamnya inftrastruktur jalan dan transportasi yang baik, yang telah mengubah signifikansi suatu lokasi. Jauh dekatnya suatu lokasi (jarak), bila didukung oleh adanya teknologi dan komunikasi yang baik maka signifikansi pengaruh lokasi tersebut akan teratasi.

Provinsi Sumatera Selatan secara administratif mempunyai 4 daerah kota, dengan beberapa kabupaten di sekitar kota yang bisa dikatakan sebagai daerah dengan karakteristik perkotaan, seperti Kabupaten Ogan Ilir. Akses berupa jalan antarkabupaten atau kota di Provinsi Sumatera Selatan juga sudah sangat baik, di mana kondisi jalannya sebagian besar aspal dengan kondisi baik. Kondisi jalan yang baik tersebut menjadikan akses berupa pelayanan transportasi antarkabupaten atau kota juga baik, data menunjukkan di kabupaten atau kota terdapat beberapa macam alat transportasi seperti mobil penumpang, bus dan truk. Kondisi akses jalan dan transportasi antarkabupaten atau kota yang baik ini menjadikan jarak desa atau kelurahan ke kabupaten maupun ke kabupaten terdekat tidak berpengaruh secara positif terhadap kemiskinan (Persentase ARTS) desa atau kelurahan.

Dari 7 variabel kontrol yang dimasukkan dalam model, 3 variabel di antaranya signifikan terhadap persentase ARTS, yaitu aspek teknologi (keluarga pengguna listrik dan keberadaan BTS) serta aspek migrasi, yaitu migrasi masuk. Dari hasil regresi menunjukkan dalam model, aspek teknologi mempunyai pengaruh atau hubungan negatif terhadap kemiskinan, artinya semakin bagus atau majunya teknologi di desa atau kelurahan maka tingkat kemiskinan semakin rendah.

Dari hasil interpretasi menunjukkan semakin banyak jumlah keluarga pengguna listrik maka tingkat kemiskinan akan semakin rendah. Begitu pula bila terdapat fasilitas BTS (Base Transceiver Station) maka tingkat kemiskinan desa atau kelurahan lebih rendah bila dibandingkan pada desa atau kelurahan tanpa adanya BTS. Keberadaan BTS sendiri menjadikan keberadaan sinyal telepon seluler semakin mudah dan dapat memperlancar penduduk desa atau kelurahan dalam berkomunikasi. Penjelasannya adalah semakin mudah penduduk dalam mengakses teknologi dalam hal ini adalah listrik dan penggunaan telepon seluler maka kemungkinan untuk keluar dari kemiskinan semakin besar.

Aspek migrasi dalam penelitian ini adalah kejadian migrasi masuk atau keluar yang ada di desa atau kelurahan. Dari interpretasi hasil regresi menunjukkan migrasi masuk mempunyai pengaruh atau hubungan negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan desa atau kelurahan. Artinya semakin banyak orang atau penduduk untuk bermigrasi ke desa atau kelurahan mengakibatkan menurunnya persentase ARTS di desa atau kelurahan tersebut. Hal ini bisa terjadi dikarenakan

Page 76: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 65

migran yang masuk ke desa atau kelurahan kemungkinan merupakan para tenaga kerja yang masih muda, berjiwa dinamis dan berpendidikan relatif baik (produktif) untuk mencari pekerjaan atau berwira usaha.

Keadaan migran risen di Provinsi Sumatera Selatan hasil dari SUPAS (Survei Penduduk Antarsensus) 2015 menunjukkan rata-rata atau sebagian besar migran berada pada umur yang produktif 15-54 tahun dengan pendidikan SD/SMP sampai dengan S1. Hasil SUPAS 2015 juga menunjukkan migran pada usia produktif tersebut sebagian besar bekerja selama seminggu yang lalu.

Fakta tersebut menjadikan keuntungan bagi desa atau kelurahan yang menjadi tujuan migrasi, yaitu meningkatkan kegiatan ekonomi yang kemudian meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Hal yang perlu diwaspadai, bila migrasi ini berlangsung secara terus menerus maka dapat mengakibatkan dampak negatif bagi daerah asal migran maupun tujuan migran. Adanya perpindahan (migrasi) penduduk mengakibatkan kelangkaan pada tenaga kerja produktif yang dibutuhkan untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi di daerah asal migran (Myrdal, 1957 dalam Arsyad, 2010: 114). Migrasi juga dapat mengakibatkan kebutuhan sarana publik menjadi meningkat dikarenakan semakin padatnya penduduk di daerah tujuan migran, selain itu juga mengakibatkan meningkatnya masalah-masalah sosial seperti polusi dan kerawanan keamanan (Arsyad, 2010: 380).

D. Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini memberikan bukti tambahan bahwa pendekatan aspek geografis berpengaruh terhadap kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Selatan, aspek geografis, yaitu jarak desa atau kelurahan ke kecamatan terdekat, ketinggian desa atau kelurahan, jumlah bencana alam dan jenis permukaan jalan terluas yang ada di desa atau kelurahan (dummy tanah dan lainnya seperti jalan setapak, kayu, papan, dan lain-lain) mempunyai pengaruh atau hubungan positif terhadap kemiskinan, sedangkan aspek geografis, yaitu jarak desa atau kelurahan ke kabupaten, dan jarak desa atau kelurahan ke kabupaten terdekat mempunyai pengaruh atau hubungan negatif. Pengaruh atau hubungan negatif ini disebabkan karena jarak atau lokasi kabupaten atau kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki akses jalan dan sarana transportasi yang baik sehingga jauh dekatnya jaraka tau lokasi menjadi teratasi.

Aspek lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan (persentase ARTS) di Provinsi Sumatera Selatan adalah aspek teknologi (keluarga pengguna listrik dan keberadaan BTS) serta aspek migrasi, yaitu migrasi masuk. Aspek teknologi dan migrasi mempunyai pengaruh atau hubungan yang negatif terhadap kemiskinan. Migrasi masuk berpengaruh

Page 77: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

66 Direktori Mini Tesis-Disertasi

negatif disebabkan karena sebagian besar migran merupakan tenaga kerja yang produktif yang dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah tujuan migrasi.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat kemiskinan dari aspek lain di luar aspek moneter, utamanya aspek geografis, aspek teknologi, aspek pertanian, aspek industry, dan aspek migrasi tidak masuknya variabel-variabel lain di luar model yang dibangun seperti aspek pemerintahan daerah dikarenakan keterbatasan memperoleh data pada unit analisis desa atau kelurahan. Berdasarkan keterbatasan penelitian tersebut, saran bagi penelitian selanjutnya adalah agar dapat memasukkan variabel-variabel lain di luar model pada unit analisis desa atau kelurahan seperti tenaga kerja, investasi, dan kapasitas pemerintah daerah.

Page 78: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PELAYANAN PUBLIK SETELAH PEMEKARAN WILAYAH DI KABUPATEN TULANG BAWANG TAHUN 2016

Nama : Bait Hidayatulloh Nikah Dwi Putra

Instansi : Pemkab Tulang Bawang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 79: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

68 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PELAYANAN PUBLIK SETELAH PEMEKARAN WILAYAH DI KABUPATEN TULANG BAWANG TAHUN 2016

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom yang didasarkan pada prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah, yaitu hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pranab (2006 dalam Imron, 2011) mengungkapkan desentralisasi sebagai big bang decentralization karena memberikan dampak luar biasa terhadap sistem pemerintahan di Indonesia yang ditandai dengan bergesernya tanggung jawab dan kewenangan secara mendasar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah termasuk kota dan kabupaten sebagai daerah otonomi. Kondisi inilah yang menjadi pendorong tumbuhnya kabupaten atau kota baru di seluruh Indonesia dan membawa perubahan besar terhadap institusi. Implikasi dari perubahan institusi tersebut adalah terbaginya 1 kabupaten menjadi 2 atau 3 kabupaten.

Tahun 2008, Kabupaten Tulang Bawang mengalami pemekaran wilayah menjadi 3 kabupaten. Dua daerah otonomi baru hasil pemekaran wilayah tersebut adalah Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulang Bawang Barat. Secara umum, pemekaran wilayah yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang membawa dampak positif terhadap perekonomian secara makro yang ditandai dengan peningkatan PDRB Kabupaten Tulang Bawang setiap tahun.

Pemekaran wilayah sangat erat kaitannya dengan pembangunan daerah atau pembangunan ekonomi daerah sehingga analisis pemekaran wilayah tidak hanya sebatas pada peningkatan PDRB saja. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses multidimensi yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru (Arsyad, 2010: 374). Pembangunan ekonomi daerah merupakan konsep yang lebih luas termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan ekonomi. Tiga nilai inti pembangunan yang paling hakiki menurut Todaro dan Smith (2006: 26) adalah sustenance, self esteem, dan freedom.

Page 80: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 69

Perkembangan pembangunan daerah di Kabupaten Tulang Bawang masih dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti tingginya angka putus sekolah hingga jenjang pendidikan SMP yang ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah 7 tahun. Masih ditemuinya beberapa kasus gizi buruk, serta masih terdapat rumah tangga keluarga yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan minimal yang paling dasar, yaitu sandang, pangan, dan papan (prasejahtera). Secara rata-rata, rumah tangga prasejahtera di Kabupaten Tulang Bawang mengalami penurunan sekitar 2,08 persen setiap tahun. Hal ini tentu saja masih jauh dari yang diharapkan. Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang terus berupaya meminimalisir berbagai kondisi tersebut melalui serangkaian program unggulan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Permasalahan pembangunan ekonomi daerah yang timbul di Kabupaten Tulang Bawang pascapemekaran tersebut diduga karena pelayanan publik yang tersedia belum berkualitas.

B. Metode Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan adalah descriptive design dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Data yang digunakan merupakan sebuah pertanyaan atau pernyataan, pendapat atau persepsi yang memerlukan alternatif pilihan jawaban, kemudian diangkakan (scoring) dengan menggunakan pengukuran skala Likert.

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara terhadap masyarakat umum, mahasiswa, Aparatur Sipil Negara, dan pelaku dunia usaha. Jenis pelayanan yang diteliti adalah pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Menggala, pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, serta pelayanan perizinan.

Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri atas variabel Pembangunan Ekonomi Daerah dengan dimensi pengukuran antara lain sumber daya pengetahuan, peluang usaha dan kesempatan kerja, keunggulan kompetitif, dan pengembangan lembaga-lembaga ekonomi baru (Arsyad, 2010: 378); dan variabel Pelayanan Publik dengan dimensi pengukuran antara lain tangibles, reliability, responsive, assurance, dan empathy (Parasuraman et al, 1988).

Seluruh metode yang digunakan dalam penelitian disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mengukur bobot dimensi setiap variabel dalam penelitian, pengukuran kinerja pembangunan ekonomi daerah dan kinerja pelayanan dihitung dengan rata-rata tertimbang (weighted means), kemudian pengukuran kualitas pelayanan public dihitung dengan Service Quality (Servqual) sehingga terdeteksi dimensi-dimensi pelayanan yang menjadi prioritas untuk segera diperbaiki.

Page 81: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

70 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah

Kinerja pembangunan ekonomi daerah pascapemekaran wilayah di Kabupaten Tulang Bawang dinilai baik oleh seluruh responden (masyarakat, mahasiswa, ASN, dan pelaku dunia usaha). Dimensi ilmu pengetahuan atau sumber daya pengetahuan (pendidikan) perlu mendapatkan perhatian serius karena memiliki nilai rata-rata tertimbang paling rendah. Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang melalui Dinas Pendidikan harus lebih intensif dalam menggulirkan program kegiatan terkait dengan bidang pendidikan, mengingat sumber daya pengetahuan akan menciptakan perubahan teknologi yang merupakan faktor endogen bagi pertumbuhan dan pembangunan (Romer, 1994). Perubahan teknologi akan mendorong terciptanya inovasi dan kewirausahaan (Schumpeter, 1939: 81). Kondisi tersebut pada akhirnya akan menciptakan sebuah keunggulan kompetitif sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Porter (1990 dalam Wang, 2014).

Capaian atau kinerja pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Tulang Bawang pascapemekaran wilayah, dinilai baik terutama pada dimensi penciptaan lembaga-lembaga ekonomi baru. Tumbuh kembangnya lembaga-lembaga tersebut didukung dengan program pembangunan bertajuk Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat Kampung atau Pedesaan melalui Badan Usaha Milik Desa (GERBANG EMAS-KUBUMDes).

Saat ini sudah terbentuk BUMKAM/BUMDes di 147 kampung, serta 5 Badan Usaha Milik Antar Kampung (BUMAKAM) yang merupakan gabungan beberapa BUMKAM berbasis kawasan dari 15 kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang. Selain BUMKAM/BUMDes, tumbuhnya lembaga-lembaga ekonomi baru juga terlihat dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro dan lembaga-lembaga pembiayaan nonbank di Kabupaten Tulang Bawang. Beberapa unit usaha seperti UMKM memanfaatkan kemudahan fasilitas pinjaman permodalan yang ditawarkan oleh lembaga pembiayan nonbank tersebut. Hal ini didorong terutama karena sebagian besar UMKM yang ada di Kabupaten Tulang Bawang telah terdaftar dan memiliki izin usaha sehingga memudahkan lembaga pembiayaan dalam melakukan proses verifikasi.

2. Kinerja Pelayanan Publik

a. Kinerja Pelayanan Kesehatan di RSUD Menggala

Secara umum masyarakat dan mahasiswa menilai kinerja pelayanan kesehatan di RSUD menggala adalah baik, sedangkan Aparatur Sipil Negara menilai

Page 82: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 71

kinerja pelayanan di RSUD cukup baik. Masyarakat mengungkapkan perlu ada peningkatan pelayanan pada dimensi empathy seperti kedisiplinan dan keadilan dalam pelayanan. Selain itu, aspek tangibles seperti fasilitas parkir, kondisi dan fasilitas ruang pelayanan dan ruang tunggu, peralatan pendukung pelayanan, serta jumlah loket pelayanan juga perlu ditingkatkan.

Mahasiswa berpendapat bahwa perlu ada peningkatan pelayanan dari dimensi reliability dan responsive meliputi kemudahan prosedur pelayanan, waktu antrian, serta rasa tanggung jawab petugas pelayanan. Di sisi lain, Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari elit masyarakat berpendapat bahwa perlu ada perbaikan pelayanan dari dimensi reliability sisi kemudahan persyaratan, kesesuaian berkas-berkas persyaratan, ketepatan jadwal pelayanan, aspek biaya, dan kecepatan petugas dalam melakukan pelayan. Selain itu, aspek empathy khususnya keadilan dalam pelayanan juga perlu diperbaiki agar menjadi lebih baik.

b. Kinerja Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Masyarakat umum dan mahasiswa berpendapat bahwa pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil di Kabupaten Tulang Bawang adalah baik. Elit/ASN berpendapat bahwa pelayanan publik bidang kependudukan dan pencatatan sipil di Kabupaten Tulang Bawang adalah cukup baik. Hal menarik yang merupakan temuan dari penelitian ini, yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari penyedia jasa pelayanan menilai kinerja pelayanan selama ini adalah cukup baik. Secara umum penilaian tersebut adalah yang terendah jika dibandingkan dengan penilaian kinerja pelayanan yang diberikan oleh masyarakat dan mahasiswa. Kondisi tersebut disebabkan oleh perbedaan proporsi tingkat pendidikan setiap responden di mana tingkat pendidikan sarjana untuk responden ASN sekitar 64 persen, sedangkan responden masyarakat hanya sekitar 10 persen, dan mahasiswa 0 persen.

Hasil pengujian dengan uji chi-kuadrat (χ²) menunjukkan tingkat pendidikan responden membawa pengaruh terhadap persepsi responden akan pelayanan yang mereka dengan nilai χ² hitung untuk pelayanan di RSUD Menggala sebesar 24,376 dan nilai χ² hitung untuk pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebesar 83,701. Dengan membandingkan nilai χ² hitung dengan χ² tabel (21,026), dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik pendidikan responden terhadap persepsi atau penilaian responden akan pelayanan yang mereka terima.

Page 83: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

72 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Kinerja Pelayanan Perizinan Usaha

Kinerja pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang melalui Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Tulang Bawang menurut responden pelaku dunia usaha adalah baik.

3. Kualitas Pelayanan Publik

Kinerja pelayanan yang baik, tidak menjamin kualitas pelayanan yang baik. Akan tetapi, ketika kualitas pelayanan baik, kinerja pelayanan pasti baik. Kualitas pelayanan merupakan manifestasi dari tercapainya pelayanan yang sesuai pelayanan yang diharapkan (expected service). Ketika pelayanan yang diterima oleh konsumen atau masyarakat sudah sesuai dengan pelayanan yang diharapkan maka masyarakat akan merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut

(Parasuraman et al., 1985).

4. Aspek Dukungan Lembaga

a. Kualitas Pelayanan Kesehatan di RSUD Menggala

Masyarakat berpendapat bahwa dimensi empathy merupakan hal yang paling utama harus segera diperbaiki atau aspek yang paling tidak memuaskan. Seluruh unsur pada dimensi empathy menempati urutan terbawah atau memiliki nilai kesenjangan yang besar. Unsur-unsur tersebut antara lain tanggapan petugas terhadap keluhan, kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan, dan keadilan pelayanan. Penelitian menunjukkan ada kesesuaian antara harapan masyarakat dengan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah melalui RSUD Menggala khususnya untuk dimensi responsive dan assurance.

Kondisi berbeda dirasakan dan diungkapkan oleh responden mahasiswa. Dimensi empathy adalah satu-satunya yang mampu memberikan kepuasaan pelayanan optimal. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya pasien yang ditangani dengan cepat terutama bagi pasien-pasien rujukan puskesmas yang memanfaatkan berbagai jaminan kesehatan sehingga terbukti bahwa pelayanan yang dilakukan tidak memihak.

Terbangunnya kerja sama yang baik antara BPJS Kesehatan dengan RSUD Menggala mampu menciptakan sebuah pelayanan cepat tanggap terhadap berbagai keluhan pelayanan yang disampaikan oleh pasien, khususnya pasien dengan jaminan kesehatan. Meskipun dimensi empathy telah terbangun dengan sangat baik, di sisi lain masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki. Mahasiswa melihat bahwa aspek Sumber Daya Manusia terutama dalam

Page 84: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 73

hal penampilan petugas termasuk di dalamnya sikap ramah, sopan, disiplin petugas masih jauh dari harapan. Selain itu, unsur ketepatan waktu pelayanan, prosedur, dan persyaratan masih harus diperbaiki karena nilainya masih jauh dari yang diharapkan.

Pandangan berbeda disampaikan oleh responden Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN menilai unsur-unsur yang sangat memuaskan antara lain untuk dimensi assurance yang meliputi penampilan dan kemampuan petugas layanan serta keamanan kendaraan di tempat parkir, dan dimensi reliability yang meliputi persyaratan, jadwal, biaya, dan kedisplinan petugas. Dua unsur yang harus mendapat perhatian serius dan merupakan urutan terendah untuk tingkat kepuasan pelayanannya menurut ASN adalah waktu antrian dan prosedur pelayanan (responsive). Lamanya waktu antrian akan menimbulkan ekses negatif lebih parah di masyarakat.

b. Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Masyarakat menilai unsur tanggung jawab petugas pelayanan dalam melayani dan melaksanakan pelayanan administrasi kependudukan sangat memuaskan yang didukung dengan sikap ramah, sopan, serta kemampuan petugas dalam melaksanakan pelayanan. Selain beberapa unsur pelayanan yang dinilai sangat memuaskan, masyarakat masih melihat ada diskrimasi dalam pelayanan yang dilakukan pada beberapa bagian pelayanan. Beberapa kelemahan lain yang dinilai sangat jauh dari kepuasan akan pelayanan adalah lemahnya mekanisme sistem pengaduan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Masyarakat juga merasa sangat puas terhadap dimensi responsive terutama terhadap prosedur yang tidak berbelit yang mampu meminimalisir antrian dalam pelayanan dengan didukung oleh rasa tanggung jawab petugas pelayanan yang begitu besar terhadap tugasnya dalam memberikan pelayanan.

Mahasiswa menilai bahwa unsur yang dinilai lemah oleh masyarakat secara umum, justru adalah unsur pelayanan yang sangat memuaskan dinilai oleh mahasiswa. Diskriminasi pelayanan pada dinas kependudukan dan pencatatan sipil, menurut mahasiswa tidak terjadi yang ada justru aspek keadilan ini yang lebih dikedepankan dalam melakukan pelayanan kependudukan (empathy). Petugas pada unit layanan dinilai sangat cepat tanggap dalam melakukan pelayanan dan sangat tanggap terhadap keluhan yang disampaikan. Kondisi tersebut juga didukung dengan berjalannya sistem koordinasi antara pimpinan dan bawahan pada unit layanan terkait.

Page 85: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

74 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Aparatur Sipil Negara menilai dimensi reliability yang terdiri atas unsur persyaratan pelayanan dan kesesuaian berkas pelayanan dengan pelayanan yang diterima, kerapihan penampilan petugas, kemampuan petugas, kedisiplinan petugas layanan yang bersinergi juga dengan ketepatan jadwal pelayanan, serta biaya pelayanan yang tidak memberatkan adalah sangat memuaskan.

Dimensi responsive, menurut ASN menduduki urutan terbawah dalam dimensi kepuasan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil. ASN melihat bahwa mekanisme pelayanan (prosedur) yang dilakukan oleh unit penyedia jasa layanan masih relatif menyulitkan. Lambannya pelayanan terjadi bukan karena kemampuan petugas pelayanan yang tidak memadai, tetapi kurangnya rasa tanggung jawab petugas pelayanan. Hal ini juga mendorong terjadinya antrian pelayanan semakin bertumpuk sehingga yang terjadi adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan pelayanan.

c. Kualitas Pelayanan Perizinan Usaha

Pelayanan perizinan erat kaitannya dengan keberlanjutan pengembangan dunia usaha, di mana peran dunia usaha (private) dalam perekonomian tidak bisa dipisahkan dengan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah akan dituntut lebih profesional, cepat, transparan, dan melakukan berbagai terobosan dan inovasi. Hal ini disebabkan dunia usaha mampu berkembang lebih cepat karena basis aturan mainnya adalah market mechanism, sedangkan pemerintah terkadang terbentur dengan aturan-aturan yang mengikat administrative mechanism (Osborn dan Gaebler, 1992). Pemerintah daerah harus terus berupaya untuk menanamkan rasa tanggung jawab petugas pelayanan dalam memberikan pelayan yang optimal kepada pelaku dunia usaha. Petugas pelayanan harus menyadari sepenuhnya bahwa pengembangan dunia usaha mampu mendorong perekonomian daerah secara menyeluruh. Meningkatnya dunia usaha akan menumbuhkan pelaku-pelaku usaha baru yang mampu menyerap tenaga kerja baru. Peningkatan tersebut tentunya harus ditunjang oleh mekanisme pelayanan perizinan yang memuaskan sehingga tingkat

kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah daerah semakin meningkat.

D. Kesimpulan

Hasil perhitungan menunjukkan capaian pembangunan ekonomi daerah adalah baik, terutama pada aspek lembaga-lembaga ekonomi baru, baik bank maupun nonbank yang tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga mampu mendorong pengembangan dunia usaha di kabupaten Tulang Bawang. Kinerja pelayanan publik setelah pemekaran

Page 86: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 75

wilayah menunjukkan hasil yang baik, tetapi dari aspek kualitas pelayanan masih terdapat beberapa dimensi pelayanan yang harus diperbaiki agar pembangunan ekonomi daerah dapat terlaksana dengan efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Page 87: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

76 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 88: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ESTIMATING THE IMPACT OF EXPORT TARIFF ON INDONESIA COCOA BEANS USING SYNTHETIC CONTROL METHOD

Nama : Bergas Sulutoro

Instansi : Pemkab Gunung kidul

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 89: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

78 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kakao telah menjadi komoditas ekspor Indonesia yang menjanjikan. Dikembangkan sejak tahun 1980-an, Indonesia tetap menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia, memasok pasar dengan karakteristik yang luar biasa, khas, dan tinggi lemak. Namun, ekspor didominasi oleh bahan baku, menyangkut industri kakao karena kurangnya sumber daya. Intervensi pemerintah dalam bentuk pembatasan ekspor diusulkan untuk memastikan ketersediaan bahan baku dan untuk meningkatkan industri domestik dengan memberlakukan tarif ekspor. Hanya sedikit yang mencoba mengevaluasi dampak kebijakan tersebut, namun gagal terkesan secara tidak langsung. Dengan menggunakan metode kontrol sintetis, efek kebijakan dapat terungkap karena metode ini menyediakan cara untuk memperkirakan counterfactual untuk unit yang dirawat. Penelitian ini mempelajari bagaimana hasilnya telah berevolusi dengan tidak adanya tarif ekspor, yang mengungkapkan keefektifannya.

Panel data tingkat negara tahunan digunakan dari 1999 hingga 2014 sebagai prediktor yang mempengaruhi hasil di negara bagian selama pengamatan. Biji kakao dan eksportir mentega dipilih sebagai kumpulan donor setelah menghilangkan negara-negara yang menerapkan kebijakan serupa, yang tersisa 19 dan 29 negara untuk biji kakao dan mentega, masing-masing, untuk mensintesis negara kontrol.

Hasilnya menunjukkan bahwa ekspor biji kakao sintetis ketika tidak ada tarif ekspor, menunjukkan bahwa Indonesia mengalami dampak negatif dari implementasi kebijakan. Namun, efek sebaliknya terjadi ketika membangun nilai ekspor cocoa butter Indonesia sintetis. Dengan tidak adanya tarif ekspor, ekspor cocoa butter sebenarnya akan lebih kecil, yang berarti bahwa Indonesia diuntungkan oleh tarif ekspor yang dikenakan. Akhirnya, kebijakan pembatasan ekspor telah efektif dalam mendukung pengembangan produksi barang-barang bernilai tambah.

Kata kunci: Tarif Ekspor; Biji Kakao; Indonesia; Metode Kontrol Sintetis

Page 90: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 79

ABSTRACT

Cocoa has become a promising commodity of Indonesian exports. Developed since the 1980s, Indonesia remains to be the third largest cocoa producer in the world, supplying the market with its remarkable, distinctive characteristic, high-fat content. However, the export was dominated by raw materials, concerning the cocoa industry due to the lack of resources. Government intervention in the form of export restriction was proposed to ensure the availability of the raw materials and to improve the domestic industry by imposing an export tariff. Few have tried to evaluate the impact of the policy, nevertheless failed to impress inferentially. By using synthetic control method, the policy effect could be revealed since the method provides how to estimate the counterfactual for the treated unit. This research studies how would the outcome have evolved in the absence of the export tariff, revealing its effectiveness.

Annual country-level panel data is used from 1999 to 2014 as predictors that affect the outcomes in states during observation. Cocoa beans and butter exporter countries are selected as donor pool after omitting the countries that implemented the similar policy, remaining 19 and 29 countries for cocoa beans and butter, respectively, to synthesize the control states.

The results show that synthetic Indonesia evolved much higher for cocoa beans export when there was no export tariff, indicating that Indonesia experienced a negative effect of the policy implementation. However, the opposite effect occurs when constructing the synthetic Indonesia of cocoa butter export values. In the absence of export tariff, cocoa butter export would have been smaller than its actual, meaning that Indonesia benefited by the imposed export tariff. Finally, the export restriction policy has been effective in supporting the development of the production of value-added goods.

Keywords: Export Tariff; Cocoa Beans; Indonesia; Synthetic Control Method

Page 91: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

80 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ESTIMATING THE IMPACT OF EXPORT TARIFF ON INDONESIA COCOA BEANS

USING SYNTHETIC CONTROL METHOD

A. Background

Indonesia is the third cocoa producer in the world, producing 325,000 tons in 2014 and it is expected to produce 330,000 tons in 2016/2017. A report of FAO in 2017 says that Indonesia cocoa production approximately 728,000 tons in 2014, nearly a double increase of which in the year 2000 production level. However, Ministry of Agriculture in its report in 2016, the production reached 760,000 tons. The Indonesia competes incredibly with other big producing countries in supplying the world market and it relies on its ability to provide cocoa beans with a high-fat content.

On the other hand, in the early of 2000s, the cocoa industry of Indonesia experienced bankruptcy because of the implementation of a value-added tax on goods and services. Cocoa beans were taxed 10%, leading to the pattern change, exporting cocoa beans rather than processing them domestically. Many of processing companies experienced loss, and they decided to stop operating and close instead. As a response, the government withdrew the policy in 2007. It was stated that cocoa and other agricultural goods were exempted from the value-added tax. Unfortunately, the withdrawal had not been able to revive the cocoa industry fully. Ministry of Industry initiated to rearrange the trading of cocoa beans domestically. In collaboration with Ministry of Finance, in March 2010, a decree (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010) was issued and put into effect on April 1, 2010, regarding the appointed export goods which are subjected to export duty and the amount of export tariff, including cocoa beans. It is a progressive tariff, stating that the higher the reference price, the bigger percentage applies.

Export tariff is one example of the export restriction policy, as well as export bans, regulated exports or supervised exports. All these types of tax have the effect of reducing the volume of exports, and there are some rational justifications in implementing these restrictions: terms-of-trade-justification, as the supply in the world market decreases, the world price of that commodity rises; food security andfinal consumption rate, lowering domestic price to supply domestically; the average consumption price, an indirect subsidy to the downstream industry; public receipts, providing revenues for countries with a lack of local taxation; incom redistribution, the redistributed income to domestic producers and consumers; and stabilization of domestic price, by using variable tax rates, the difference betweenthe reference price and the actual price of the year. Export taxes act as strategic industrial policy for raw materials and food price volatility. WTO

Page 92: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 81

(2010) on its report indicates that about 30% of the export taxes are charged on natural resources due to the price fluctuations. Imposing export restrictions will lead to the decline in world supply and the rise in prices.

As a consequence of the immediate implementation, the value of cocoa beans export dropped almost half after the export tariff implementation, from 1.190 million USD in 2010 to 0.614 million USD in 2011. Meanwhile, the value of other cocoa products keeps on track of uprising. The most significant jump is shown by the value of cocoa butter exports, about three folds higher in the end period compared to its value in 2010. Whether the decline of cocoa beans export affecting the value of cocoa butter export, it has to be analyzed carefully.

However, limited sources have revealed the impact of export tariff on Indonesia cocoa beans either production or export. Using the Constant Market Share (CMS), Rifin and Nauly (2013) show the shifting composition of cocoa products as the export tariff implemented. The significant contribution of cocoa butter, paste, and powder changes the structure from the export of cocoa beans to processed cocoa products. Rifin (2013) also finds that Indonesia still has the comparative advantage in producing cocoa beans even lower than Ivory Coast and Ghana and becomes a complementary with Ghana in supplying the increasing demand of world cocoa beans. In 2015, he also stated that after the implementation of the export tariff, farmers enjoy the higher bargaining position than exporters in the fierce competition as the margin decreased.

The spillover effects of the export restrictions are needed to be evaluated regarding its purpose, whether processing the cocoa beans, instead of exporting, could revive the cocoa industry or not. This research is aimed to estimate the possible impact of export tariff on Indonesia cocoa beans, by using the synthetic control method, and answer these questions: how would the value of cocoa beans export of Indonesia have evolved after 2010 in the absence of export tariff; and does the export tax efficient in improving the Indonesia cocoa industry.

An alternative method is then proposed to estimate the effects of treatment, which is policy implementation, in the comparative case studies. Ferman et al. (2016) say that in a situation such that there are only one treated unit and many control groups, in this case, countries implemented export tariff, the synthetic control method can be used since it accommodates how to estimate the counterfactual for the treated unit. The method is applicable in providing quantitative supports for case studies on what the outcome of a region or country would be if it did not implement the policy (McClelland and Gault, 2017).

Page 93: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

82 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Research Problems and Methodology

About the possible impact of export tariff on Indonesia cocoa beans, by using the synthetic control method, this study will investigate.

1. How would the value of cocoa beans export of Indonesia have evolved after 2010 in the absence of export tariff?

2. Does the export tariff effective in improving the Indonesia cocoa industry?

The annual country-level panel data is used in the period 1999–2014. The export tariff for the cocoa beans was implemented in March 2010 and directly went into effect in the following month, giving 11 years of preintervention data. The sample period starts in 1999 due to the data availability of all countries as donor pool and ends in 2014 due to the same reason. The synthetic of Indonesia is constructed as a weighted average of potential control countries. The best reproduction of synthetic Indonesia is represented by a set of predictors of the value of Indonesia cocoa beans export before the implementation of the export tariff in 2010. Synthetic Indonesia is reproduced to simulate the value of cocoa beans trading that would have been observed if Indonesia did not undergo the export duty. Some countries then are omitted from the donor pool as they also implemented the similar policy during the time observation, as compiled by Piermartini (2014) and ICCO (2017), such as Benin, imposing 1.04% tax since 1997 and Ghana, 6% tax in 2001. The donor pool consists of the remaining 19 countries members of International Cocoa Organization (ICCO) and recorded cocoa beans exporter countries by the UN Comtrade, the International Trade Statistics Database. Abadie and Gardeazabal (2003) and Abadie et al. (2010) have developed the synthetic control method as a tool to answer counterfactual problems that involve only one treated unit and some control units. This method simulates the outcome of the treated unit in the absence of treatment by constructing the synthetic treated unit based on the average weight of control units in the pre-treatment period. Then, treatment effect can be estimated for the post-treatment period.

C. Data Analysis and Results

The trends of the cocoa beans export values in Indonesia and the other cocoa beans exporter countries. The other exporter countries may not provide suitable comparison group for Indonesia to evaluate the effect of the export tariff on cocoa beans export. Even before the imposition of the export tariff in 2010, the time series of cocoa beans export clearly differed. Levels of export value were distinct in Indonesia and the other exporter countries in the early observation. The trends began to widen since 2001 and the export value of cocoa beans of Indonesia reached its peak in 2010, the year export

Page 94: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 83

tariff introduced, far higher than the rest of other countries with the slight increase. Following the imposition, the export value of Indonesia started to decline and intersect at the end of the period. In evaluating the impact of export tariff on cocoa beans in Indonesia, the arose question is how the export value of Indonesia would have evolved after 2010 if there was no export tariff imposed.

Then, the synthetic Indonesia is constructed using the combination of cocoa beans exporter countries in the donor pool that most closely resembled Indonesia regarding the pre-treatment period values of cocoa beans predictors.The results, comparing pre-treatment characteristics of the actual values of Indonesia export of cocoa beans with that of the synthetic Indonesia, together with the population-weighted average of 19 countries in the donor pool. The average of countries did not impose an export tariff on cocoa beans does not seem to provide a suitable control group for Indonesia.

Unfortunately, the synthetic Indonesia does not accurately reproduce all of the values that predictor variables had been in Indonesia before the export tariff implementation. Among the predictors, only cocoa bean production, the harvested area of cocoa plantation, yearly temperature, and the usage of potassium fertilizer (K) that similarly reproduce its synthetic value close to the actual data. The weights of each control unit in the synthetic Indonesia. The weights reported indicating that cocoa beans export value in the pretreatment period is reproduced by a combination of Brazil, India, Ivory Coast, and Malaysia. All other countries in the donor pool are computed zero.

As a result, the cocoa beans export value for Indonesia and its synthetic counterpart during the period 1999–2014. It can be clearly seen that the synthetic Indonesia does not closely track the curve of this variable in Indonesia for the entire pre-treatment period closely, but getting close after 2005. However, after the export tariff implementation, the synthetic diverged from the actual Indonesia, making a new upward trend, while the real Indonesia showed the opposite direction. At the end of observation period, the discrepancy between the two lines suggests a substantial adverse effect of export tariff implementation, indicating that Indonesia would have shipped cocoa beans approximately eight- time bigger than it should be.

Also, since the significant change in the value of cocoa butter export after the export tariff imposition, an estimation has been made to reveal the impact of cocoa beans export tariff on cocoa butter export.

Using the donor pool from 38 countries of cocoa butter exporters and skimmed and whole milk production as the predictors, the result presents relatively closer path between the actual Indonesia and its synthetic that is best produced from the combination of the weights of Malaysia, Thailand, and Algeria. After the treatment

Page 95: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

84 Direktori Mini Tesis-Disertasi

period, the synthetic started to diverge, making a difference that can be suggested as the positive effect of export tariff imposition. Since then, Indonesia has enjoyed more benefits in the absence of the treatment, regarding the value of cocoa butter export, a product that has more value-added. In other words, the implementation of the export tariff, which aims to encourage the downstream industry to produce value-added products by providing abundant raw materials, is satisfied.

The rise of Indonesia cocoa butter export has been supported by the increasing grinding capacity. The relatively large grinding capacities of countries. Indonesia is one of the top big five exporter countries, together with Ivory Coast, Germany, United States, and Netherlands, noting that the last three countries are not cocoa producers but have high capacities of cocoa grinding. ICCO (2017) reported that Indonesia in 2016/2017 is forecasted to raise its capacity of cocoa grindings to 400,000 tons, approximately a 20% rose from 2014/2015, leading to the possibly higher cocoa butter export. The increasing grinding capacity that is supported by the availability of the raw materials, as a result of export restriction, makes Indonesia gain benefits of producing the value-added goods.

On the other hand, it can be estimated the loss Indonesia experienced since the implementation of the export tariff in terms of cocoa beans trading. The loss gets bigger every year, from approximately 750 million US$ in 2011 to 1,200 million US$ in 2014, making the total loss is about 3 billion US$. Meanwhile, for the cocoa butter export, with also has the same the bigger gap every year, the values of synthetic Indonesia were lower for every year. The lower values mean benefits Indonesia generated, starting with approximately 400 million US$ in 2010 to 2,200 million US$, and about 5 billion US$ in total. The Indonesia enjoyed the advantage of the spillover effects of export restriction policy.

D. Conclusion

The synthetic control method has been widely used in evaluating the impact of a policy implemented. With carefully choose the covariates needed to construct the synthetic unit, this approach can clearly reveal the incidence of the treated unit inferentially if the unit did not undergo the policy. In 2010, Indonesia proposed a progressive export tariff on cocoa beans in reviving the cocoa industry that had been suffered from the lack of raw materials in the domestic market. The tariff reduced the cocoa beans export value, on the other hand, significantly boost the export of cocoa butter ever since. By estimating based on those two outcomes, synthetic Indonesia should have exported much higher values of cocoa beans export if there was no export tariff, indicating that Indonesia experienced a negative effect of the policy implementation. However, the opposite effect occurs when constructing the synthetic Indonesia of cocoa butter export values. In the absence of export tariff, the export would have been smaller than

Page 96: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 85

the reality, meaning that Indonesia benefited by the imposed export tariff. Finally, the export restriction policy has managed to support the production development of value-added goods

E. Recommendation

The tendency of developing countries exporting raw materials has been noticed by Solleder (2013) due to their prominent roles in the world market. The developing countries with a large concentration of commodities impose an export tax on the raw materials mainly to generate revenues. Meanwhile, Indonesia applies an export tariff on cocoa beans and other valuable commodities to encourage the domestic processing and produce value-added goods instead. In the crisis of raw materials to be processed domestically, the export tariff as export restriction seems to be an appropriate strategic industrial policy. Imposing export tariff is sufficient to boost the production of value-added products of cocoa, although Indonesia gradually loses its market power in the trade of cocoa beans.

Page 97: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

86 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 98: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

DAMPAK KREDIT MIKRO TERHADAP PENGELUARAN PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA

Nama : Dian Septina Anggarsari

Instansi : Pemkot Magelang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 99: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

88 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Program kredit mikro adalah salah satu usaha pemerintah untuk memberikan pinjaman kecil atau layanan keuangan lainnya, kepada orang-orang miskin yang sulit untuk mendapatkan layanan di perbankan sehingga dapat menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan standar hidupnya. Harapannya adalah dengan adanya kebijakan program kredit mikro akan meningkatkan pendapatan masyarakat maka akan diikuti dengan peningkatan pengeluaran pendidikan anak pada rumah tangga yang mendapatkan program kredit mikro.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari kredit mikro terhadap pengeluaran pendidikan anak di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang empat dan lima, sedangkan metode analisis yang digunakan adalah Propensity Score Matching (PSM).

Hasil estimasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga yang mendapatkan akses kredit mikro mempunyai pengeluaran pendidikan yang lebih besar , yaitu 0,228 poin dibanding dengan rumah tangga yang tidak mendapatkan akses program kredit mikro. Hal ini berarti program kredit mikro berdampak signifikan positif terhadap pengeluaran pendidikan anak pada rumah tangga yang mendapatkan akses kredit mikro.

Kata kunci: Evaluasi Dampak, Kredit Mikro, Pengeluaran Pendidikan, Propensity Score Matching, Indonesia

Page 100: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 89

ABSTRACT

The microcredit program is one of the government’s efforts to provide small loans or other financial services to poor people who find it hard to get services in banking so that they can generate income to improve their standard of living. The hope is that with the microcredit program policy will increase the income of the community, it will be followed by an increase in education expenditure of children in households who get microcredit program.

This study aims to determine the impact of microcredit on education expenditure of children in Indonesia. The data used in this research comes from the Indonesian Family Life Survey (IFLS) wave four and five, while the analytical method used is Propensity Score Matching (PSM).

The estimation results of this study indicate that households that have access to microcredit have a greater education expenditure of 0.228 points than households that do not have access to microcredit programs. This means that microcredit programs have a significant positive impact on children’s education expenditure on households that have access to micro-credit.

Keywords: Impact Evaluation, Microcredit, Education Expenditure, Propensity Score Matching, Indonesia

Page 101: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

90 Direktori Mini Tesis-Disertasi

DAMPAK KREDIT MIKRO TERHADAP PENGELUARAN PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menyebutkan bahwa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 disebutkan bahwa Kredit Usaha Mikro dan Kecil adalah kredit modal kerja dan investasi yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Pelaksana kepada usaha mikro dan usaha kecil guna pembiayaan usaha produktif sebesar jumlah maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi pengusaha mikro. Kredit mikro diberikan kepada usaha produktif berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja dan diberikan dengan persyaratan yang mudah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga penerima kredit mikro.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terus meningkat dari tahun ketahun, yaitu sebesar 979 triliun rupiah tahun 2005 dan meningkat menjadi 1.451 triliun rupiah tahun 2013. Namun, sampai dengan saat ini UKM masih kesulitan dalam mendapatkan pinjaman akses permodalan sehingga program kredit mikro dapat membantu UKM mendapatkan dana atau pinjaman untuk mengembangkan usahanya atau modal usaha. Dengan kemudahan akses untuk mendapatkan kredit mikro maka masyarakat dapat mengembangkan usaha atau investasi untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan peningkatan pendapatan maka diharapkan pengeluaran pendidikan akan meningkat. Dengan demikian, kredit mikro akan berdampak terhadap peningkatan pendidikan anak.

Penyaluran kredit mikro kepada masyarakat Indonesia terus mengalami kenaikan namun, angka putus sekolah di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan angka putus sekolah di dunia. Dengan kata lain, peningkatan pendidikan anak belum mencapai yang ditargetkan, hal ini menimbulkan pertanyaan dengan adanya program kredit mikro apakah berdampak terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan anak di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kredit mikro berdampak signifikan terhadap pengeluaran pendidikan anak pada rumah tangga pengguna kredit mikro di Indonesia.

Page 102: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 91

Pendidikan adalah salah satu aspek penting dalam kesejahteraan, yaitu hal mendasar dalam kaitannya untuk meningkatkan kapabilitas manusia sebagai inti dari makna pembangunan yang sesungguhnya. Pendidikan memainkan peran penting untuk meningkatkan kemampuan suatu negara berkembang dalam penyerapan teknologi modern dan pengembangan kapasitas bagi terwujudnya pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan (Todaro, 2016: 446). Dengan pendidikan yang layak, penduduk miskin akan mendapatkan kesempatan lebih besar untuk keluar dari kemiskinan di masa yang akan datang (Anderson, 2012). Human Development Report tahun 2015 menyebutkan tingkat putus sekolah dasar di negara Indonesia adalah 11 persen dan belanja publik untuk pendidikan hanya sekitar 3,6 persen. Human Development Index (HDI) negara Indonesia berada di peringkat 110 dari 188 negara di dunia dan termasuk kategori medium human development. Berdasarkan data statistik pendidikan tahun 2016/2017 dan Human Development Report tahun 2015, angka putus sekolah di Indonesia masih terhitung tinggi dibandingkan negara-negara di dunia maka kewajiban Pemerintah adalah membuat program-program untuk membantu peningkatan pendidikan anak di Indonesia salah satunya melalui program kredit mikro.

Penelitian Doan dkk. (2011) menemukan bahwa kredit mikro berdampak pada peningkatan pengeluaran pendidikan, hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Adjei (2009), Takahashi dkk. (2010), Saad (2010), Wagner dkk. (2012), Mukherjee dan Kundu (2013) serta Agbola dkk. (2017). Dengan kemudahan akses untuk mendapatkan kredit mikro maka masyarakat dapat mengembangkan usaha atau investasi untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan adanya peningkatan pendapatan maka diharapkan pengeluaran pendidikan akan meningkat. Dengan demikian, kredit mikro akan berdampak terhadap pendidikan anak.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang penelitian sebelumnya, penulis mengidentifikasi terdapat dampak adanya program kredit mikro terhadap pengeluaran pendidikan anak. Penyaluran kredit mikro kepada masyarakat Indonesia terus mengalami kenaikan, namun angka putus sekolah di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan angka putus sekolah di dunia. Dengan kata lain, peningkatan pendidikan anak belum mencapai yang ditargetkan maka hal ini menimbulkan pertanyaan dengan adanya program kredit mikro apakah berdampak terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan anak di Indonesia. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat perbedaan hasil studi empiris mengenai dampak kredit mikro terhadap pendidikan anak di Indonesia. Selain itu, penelitian mengenai dampak kredit mikro terhadap pengeluaran pendidikan anak di rumah tangga pengguna kredit mikro di Indonesia, menggunakan data IFLS gelombang empat dan lima belum pernah dilakukan. Program kredit mikro yang

Page 103: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

92 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bertujuan untuk meningkatkan pendidikan anak, menimbulkan pertanyaan apakah dengan pemberian kredit mikro akan berdampak terhadap pendidikan anak yang diukur dengan pengeluaran pendidikan. Untuk itu, perlu diteliti bagaimana dampak kredit mikro terhadap pengeluaran pendidikan pada rumah tangga pengguna kredit mikro di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak variabel independen, yaitu kredit mikro terhadap variabel dependen adalah pengeluaran pendidikan dan variabel kontrol (digunakan dalam model logit kredit mikro) berupa karakteristik rumah tangga, karakteristik kepala rumah tangga, dan karakteristik wilayah menggunakan pendekatan quasi-experimental dengan metode Propensity Score Matching (PSM). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari RAND Corporation, yaitu IFLS (Indonesia Family Life Survey) gelombang empat tahun 2007 dan gelombang lima tahun 2014.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini, seluruh rumah tangga dalam IFLS gelombang empat dan lima. Dari jumlah populasi tersebut diambil jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu hanya mengambil rumah tangga yang menerima kredit mikro dengan tujuan usaha tahun 2007 dan menerima kredit mikro kembali di tahun 2014 untuk kelompok treatment dan tidak menerima kredit mikro baik di tahun 2007 maupun tahun 2014 untuk kelompok kontrol.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pembahasan Hasil Estimasi Propensity Score Matching

a. Estimasi Propensity Score

Terdapat tujuh variabel kontrol dari 13 variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen, yaitu kredit mikro, dengan p-value kurang dari alfa pada signifikasi level 1-5%. Meskipun model logit masih kurang bagus, namun hasil olah data menunjukkan hasil balancing score sudah memuaskan (satiesfied) dengan jumlah final blok sebanyak 6, jumlah ini memastikan bahwa mean propensity score tidak berbeda untuk kelompok yang mendapatkan treatment dan kontrol pada setiap blok. Hal ini menunjukkan model logit yang digunakan telah memenuhi Conditional Independence Assumption (CIA), dimana hasil balancing score harus memuaskan (satiesfied) sehingga ketiga belas variable yang dipilih dapat digunakan dalam penelitian ini.

Page 104: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 93

b. Pemilihan Metode Matching

Pemilihan metode matching dipilih berdasarkan distribusi data yang dimiliki. Penelitian ini menggunakan metode Nearest Neighbour With Replacement karena jumlah data kelompok kontrol lebih banyak daripada kelompok treatment. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketelitian (precision) hasil estimasi nilai ATT (Caliendo dan Kopeinig, 2005).

c. Pengecekan Common Support

Dari penelitian ini terlihat adanya common support karena terdapat overlap antara kelompok treatment dan kelompok kontrol yang memiliki sejumlah propensity score dengan nilai yang sama, dimulai dari nilai sebesar 0,0026. Hal ini menunjukkan proses matching kelompok treatment dan kelompok kontrol dapat dilakukan sehingga metode matching ini dapat digunakan dalam mengukur dampak kredit mikro terhadap pendidikan anak di Indonesia.

d. Menilai Kualitas Metode Matching

Menurut Caliendo dan Kopeinig (2005), tujuan dalam proses ini untuk melihat apakah masih terdapat perbedaan kondisi antara sebelum dan sesudah matching. Nilai difference ATT (Average Treatment effect on the Treated) pada metode NN With Replacement mempunyai nilai 0,228 dan secara statistik menunjukkan rumah tangga yang mendapatkan kredit mikro (kelompok treatment) mempunyai pengeluaran pendidikan lebih tinggi sebesar 0,228 poin, dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mendapatkan kredit mikro (kelompok kontrol). Hal ini didukung oleh hasil metode lainnya, yaitu Radius Caliper dan Kernel yang menunjukkan hasil bahwa rumah tangga yang mendapatkan kredit mikro secara statistik signifikan positif berdampak pada pengeluaran pendidikan anak. Hal ini berarti program kredit mikro berdampak signifikan positif terhadap pengeluaran pendidikan anak pada rumah tangga yang mendapatkan akses kredit mikro.

e. Analisis Sensitivitas

Hidden bias dapat muncul karena adanya variabel yang tidak teramati karena pemilihan karakteristik dengan metode PSM dan berpengaruh terhadap variabel outcome secara keseluruhan (Caliendo dan Kopeinig, 2005). Penelitian ini menunjukkan hasil estimasi ATT menggunakan NN With Replacement adalah 0,228 signifikan pada alfa 10 persen dan menunjukkan hasil dari Hodges-Lehman point adalah 0,231 signifikan pada level gamma =1 (Γ=1). Kedua hasil tersebut nilainya cukup dekat (tidak berbeda signifikan secara statistik). Dari Ada kenaikan pada Γ= 1, p-value naik menjadi 0,018 pada upper bounds, di mana ambang batas p-value 0,05. Rosenbaum (2005) menyatakan penelitian

Page 105: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

94 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dianggap sensitif terhadap hidden bias apabila pada level gamma yang nilainya hanya sedikit lebih besar dari 1, p-value sudah tidak signifikan pada alfa 5 persen. Nilai gamma 1 merupakan nilai yang rendah sehingga menunjukkan penelitian ini sensitif terhadap hidden bias.

2. Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan rumah tangga yang mendapatkan kredit mikro (kelompok treatment) mempunyai pengeluaran pendidikan lebih tinggi sebesar 0,228 poin, dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mendapatkan kredit mikro (kelompok kontrol) dengan metode analisis Propensity Score Matching. Penelitian ini menggunakan data dari IFLS 4 (2007) dan IFLS 5 (2014) di Indonesia dengan menggunakan sampel rumah tangga yang mendapatkan kredit mikro untuk tujuan usaha dan mendapatkan kredit mikro di dua gelombang. Dampak kredit yang diperoleh rumah tangga tidak membedakan antara kredit formal dan kredit informal. Penelitian ini konsisten dengan beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Adjei (2009), Doan (2011), Mukherjee dan Kundu (2013), Takahashi dkk. (2010), Agbola dkk. (2017), Wagner dkk. (2012) serta Saad (2010) yang menemukan bahwa kredit mikro berdampak signifikan pada pengeluaran pendidikan anak. Dari hasil penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa kredit mikro sangat diperlukan bagi masyarakat dalam rangka mengembangkan usahanya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dengan adanya peningkatan pendapatan rumah tangga maka alokasi pengeluaran untuk pendidikan semakin meningkat untuk mencapai pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan yang bagus akan membangun membangun modal manusia (human capital) maka kesejahteraan rumah tangga akan meningkat.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode Propensity Score Matching (PSM), diperoleh hasil bahwa rumah tangga yang mendapatkan akses kredit mikro mempunyai pengeluaran pendidikan yang lebih besar 0,228 poin, dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mendapatkan akses program kredit mikro. Hal ini berarti program kredit mikro berdampak signifikan positif terhadap pengeluaran pendidikan anak pada rumah tangga yang mendapatkan akses kredit mikro.

Page 106: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 95

E. Saran

Berdasarkan simpulan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa program kredit mikro meningkatkan pengeluaran pendidikan rumah tangga pengguna kredit mikro di Indonesia. Pemerintah hendaknya terus menyalurkan kredit mikro kepada masyarakat yang belum terjangkau dari layanan kredit mikro sehingga pendidikan anak dalam rumah tangga pengguna kredit mikro semakin meningkat.

Page 107: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

96 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 108: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PENGARUH BESARAN PINJAMAN MIKRO TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA

Nama : Diyah Ayu Mustika Ratri

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 109: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

98 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh besaran pinjaman mikro terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia yang dikategorikan menjadi enam besaran, yaitu 1) Kurang dari Rp1.000.000; 2) Rp1.000.001-Rp10.000.000; 3) Rp10.000.001-Rp20.000.000; 4) Rp20.000.001-Rp30.000.000; 5) Rp30.000.001-Rp40.000.000; 6) Rp40.000.001-Rp50.000.000. Variabel pinjaman mikro menggunakan data tahun 2007, termasuk variabel kontrol jangka waktu angsuran, tempat pinjam, tujuan pinjam, dan variabel agunan. Variabel pendapatan rumah tangga dan variabel kontrol lainnya yang terdiri atas variabel jumlah aset, usia KRT, pendidikan KRT, wilayah tempat tinggal, pekerjaan KRT, jumlah ART, jumlah tenaga kerja, keikutsertaan arisan, dan PKK menggunakan data tahun 2014. Kajian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

Data yang dipergunakan adalah data cross section yang bersumber dari Indonesia Family Life Survey (IFLS), yaitu IFLS4 tahun 2007 dan IFLS5 tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan pinjaman kurang dari Rp1.000.000 berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan, pinjaman sebesar Rp1.000.001-20.000.000 berhubungan positif tidak signifikan, serta pinjaman sebesar Rp20.000.001-Rp50.000.000 berhubungan positif dan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Variabel jangka waktu angsuran, tempat pinjam, jenis kelamin KRT, pendidikan KRT, jumlah tenaga kerja, dan keikutsertaan arisan berhubungan positif dan berpengaruh signifikan pada tiap besaran pinjaman terhadap pendapatan rumah tangga, sedangkan variabel usia KRT, wilayah tempat tinggal dan keikutsertaan PKK berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan pada tiap besaran pinjaman terhadap pendapatan rumah tangga.

Kata kunci: Pinjaman Mikro, Pendapatan Rumah Tangga, Ordinary Least Square, IFLS4, IFLS5

Page 110: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 99

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of the size of microloans to household income in Indonesia which are categorized into six quantities, namely: 1). Less than Rp1.000.000, 2). Rp1.000.001-Rp10.000.000, 3). Rp10.000.001-Rp20.000.000, 4). Rp20.000.001-Rp30.000.000, 5). Rp30.000.001-Rp40.000.000, 6). Rp40.000.001-Rp50.000.000. Microloan variables use 2007 data, including control variable of installment period, borrowing place, borrowing purpose and collateral variable. Variables of household income and other control variables consisting of asset variable, age of household head, sex of household head, education of household head, residence area, work of household head, number of ART, number of labor, participation of arisan and PKK using data of year 2014. This study use Ordinary Least Square (OLS) method.

The data used is cross- sectional data sourced from Indonesia Family Life Survey (IFLS), is IFLS4 in 2007 and IFLS5 2014. The results showed that less than Rp1,000,000 loan was negatively related and had significant effect, the loan of Rp1.000.001-20.000.000 was positively insignificant, and the loan of Rp20.000.001-Rp50.000.000 was positively and significantly related to household income. Variables of term of installment, place of borrow, sex of household head, education of household head, number of ART, amount of labor, and participation of arisan correlate positively and have a significant effect on each loan amount to household income, while variable of household head age, residence area and PKK participation are negatively related and have a significant effect on each loan size to household income.

Keywords: Microloans, Household Income, Ordinary Least Square, IFLS4, IFLS5

Page 111: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

100 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH BESARAN PINJAMAN MIKRO TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Pertumbuhan kredit mikro di Indonesia mengalami peningkatan selama rentang waktu 2012-2014. Tahun 2012 pertumbuhan kredit mikro sebesar 10%, naik tahun 2013 menjadi 22% dan tahun 2014 menjadi sebesar 33%. Namun, tahun 2015 turun menjadi 11% dan tahun 2016 turun lagi menjadi 10,8%. Hal ini disebabkan terhentinya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada tahun tersebut (Swa, 2017). Untuk tahun 2017 diperkirakan akan meningkat pesat dikarenakan bunga KUR yang pada pemerintahan sebelumnya ditetapkan sebesar 1% turun menjadi 0,4%. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa program kredit mikro yang diterapkan dapat dikatakan sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang, yaitu adanya peningkatan jumlah pengajuan kredit mikro untuk modal kerja dalam rangka pengembangan usaha mikro dan peningkatan daya saing usaha. Apakah program tersebut dapat dikatakan telah berhasil? Untuk mengetahui keberhasilan atas program dimaksud, salah satu caranya adalah dengan melakukan evaluasi atas kebijakan tersebut. Beberapa peneliti dan kritikus mengevaluasi penerapan program kredit mikro dan dampaknya.

Hossain (2014) memaparkan hasil penelitian sebelumnya tentang kegagalan program kredit mikro terkait masalah pembayaran angsuran pinjaman, suku bunga tinggi, eksploitasi terhadap peminjam sehingga peminjam terperangkap hutang bahkan cenderung bunuh diri. Selain itu terdapat kritik yang menyatakan program tidak efektif terhadap kelompok sasaran serta gagal dalam pengentasan kemiskinan. Uang dari pinjaman sering digunakan untuk barang konsumsi daripada digunakan untuk investasi produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Banerjee, et al. (2015) yang dilakukan di Hyderabad, India menemukan hasil bahwa program kredit mikro tidak sesuai harapan atau tidak berdampak positif terhadap pengembangan usaha miskin, terutama sebagai sumber pendapatan. Suratini (2016) juga mengemukakan bahwa pinjaman mikro tidak berdampak signifikan terhadap pendapatan keluarga dikarenakan pemanfaatan pinjaman yang digunakan untuk keperluan usaha hanya 23 persen.

Hal tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa program kredit mikro meningkatkan sumber tambahan pendapatan bagi keluarga miskin (Golan, 2009), serta adanya peningkatan pendapatan rumah tangga dari perempuan yang meminjam (Field et al., 2015). Rahman et al. (2009) dalam penelitian sebelumnya mengemukakan program kredit mikro efektif dalam menghasilkan pendapatan dan aset yang lebih tinggi bagi peminjam dengan membedakan tingkat pendapatan peminjam, yaitu berpendapatan tinggi, menengah, dan rendah yang dilihat dari kekayaan

Page 112: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 101

atau aset yang dimiliki semula. Penelitian tersebut juga didukung oleh Weele and Weele (2007), Akram and Hussain (2011) serta Kuchler (2012) bahwa pinjaman mikro mampu meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup peminjam. Berkaitan dengan jumlah pinjaman, Zaman (1999) melakukan survei rumah tangga di Bangladesh yang mencermati fungsi pinjaman pada batas jumlah pinjaman tertentu untuk mengetahui dampaknya terhadap kemiskinan dengan simpulan bukti empiris bahwa dimungkinkan terdapat ukuran komulatif pinjaman yang mana kredit mikro dapat memberi kontribusi signifikan terhadap kemiskinan selain di Bangladesh.

Dengan mengacu pada hasil penelitian tersebut di atas, penulis ingin mengetahui pengaruh pinjaman mikro yang diterapkan di Indonesia dari sisi ekonomi peminjam, khususnya dari segi pendapatan sebagai salah satu indikator kemiskinan rumah tangga dengan cara mengidentifikasi apakah faktor-faktor dari indikator tersebut dipengaruhi oleh program kredit mikro dengan membandingkan besaran jumlah pinjaman pada setiap rumah tangga peminjam.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh besaran pinjaman mikro terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data level rumah tangga. Model yang akan dipergunakan adalah model yang diadaptasi dari Xin dan Wu (1994), Zaman (1999), dan Rahman et al. (2009) yang dimodifikasi oleh penulis dengan menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS) dengan data cross section IFLS4 tahun 2007 dan IFLS5 tahun 2014.

Beberapa penelitian yang meneliti kredit mikro terhadap pendapatan bahwa kredit mikro berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga (Rahma, et al., 2009), Kaboski & Towsend (2005), (Abbas et al., 2005), (Weele and Weele, 2007), (Waheed, 2009), (Akram dan Hussain, 2011), (Al-Mamun et al.,2011), (Kuchler, 2012), (De Silva, 2012). Kaboski dan Towsend (2005) melakukan penelitian di Thailand dengan mengukur pengaruh keberadaan kredit mikro terhadap pendapatan di tingkat pedesaan. Penelitian ini khususnya meneliti tentang tipe kelembagaan dan peran keanggotaan dalam kredit mikro dengan metode Two-stage Least Square (2SLS) dan Simultaneous Equation Maximum Likelihood Estimator (Taufiqurrahman, 2013).

Rahman et al., (2009) melakukan penelitian dengan studi kasus di Bangladesh dengan mengukur pendapatan dan aset rumah tangga sebelum dan sesudah mengikuti program kredit mikro di Grameen Bank dan BRAC. Pendapatan tersebut dikategorikan menjadi beberapa tingkat, yaitu pendapatan bawah, menengah, dan atas. Metode penelitian yang digunakan adalah Instrumental Variable (IV). Suratini (2016) menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) dua gelombang, yaitu tahun 2000 dan 2007 yang menganalisis pengaruh pinjaman mikro terhadap kemiskinan

Page 113: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

102 Direktori Mini Tesis-Disertasi

rumah tangga di Indonesia yang diukur dari pendapatan, aset, dan pengeluaran perkapita. Kemiskinan rumah tangga dalam penelitian tersebut dikaitkan dengan asymetric information dan moral hazard yang menjadi isu negatif pengembangan pinjaman mikro. Penelitian tersebut menggunakan metode Ordinary Least Square, Probit dan Difference-in-Difference. Meng Xin dan Harry Wu (1994) melakukan penelitian di Cina berkaitan dengan pendapatan yang dicerminkan berupa jumlah produksi rumah tangga yang ditentukan oleh beberapa variable, yaitu tenaga kerja, modal, aset yang disewa, jumlah tahun sekolah, ukuran keluarga, jumlah hari kerja, dan pengaruh dummy wilayah. Penelitian tersebut menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Sebagaimana tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 bahwa pinjaman mikro salah satunya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta adanya beberapa peneliti dan kritikus yang meneliti program kredit mikro berpendapat bahwa dampak program kredit mikro tidak sesuai dengan harapan. Harapan yang diinginkan tentunya program dapat memberikan manfaat atau pengaruh yang positif terhadap pendapatan rumah tangga yang mengajukan pinjaman mikro. Penelitian tentang kredit mikro sebagian besar memfokuskan pada keikutsertaan program, bukan pada besaran pinjaman. Hal ini menarik untuk diteliti apakah di Indonesia besarnya pinjaman mikro berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga peminjam atau tidak.

Penelitian ini menggunakan data cross section level rumah tangga, yaitu rumah tangga yang melakukan pinjaman mikro tahun 2007 dengan variabel dependen, yaitu pendapatan rumah tangga tahun 2014. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka waktu pinjaman, agunan, tempat pinjam, tujuan pinjam, nilai asset atau kekayaan rumah tangga, umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, jenis kelamin kepala keluarga, jenis pekerjaan kepala rumah tangga, jumlah anggota keluarga, anggota keluarga yang bekerja, wilayah tempat tinggal serta partisipasi kegiatan kemasyarakatan, seperti arisan dan PKK.

Penelitian ini menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan 2014. IFLS merupakan survey longitudinal di bidang sosial ekonomi dan kesehatan. Survei tersebut bertujuan memberikan gambaran keadaan sosial-ekonomi dan kesehatan rumah tangga di Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan. Data IFLS diperoleh melalui survei yang dilakukan atas kerja sama RAND Corp (Santa Monica, California) dan Center for Population and Policies Studies (CPPS) UGM. Survei dilakukan terhadap sampel yang mewakili 83 persen populasi penduduk Indonesia di 13 provinsi. Survei dilakukan dengan mengumpulkan data perorangan/individu, termasuk keluarga, rumah tangga, komunitas masyarakat terkecil di tempat mereka tinggal serta fasilitas

Page 114: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 103

kesehatan dan pendidikan yang mereka gunakan. Survei ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang berguna untuk mengamati perilaku atau keadaan masalah pada satu waktu tertentu yang memerlukan intervensi pemerintah seperti masalah kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah noncommunication method berupa observasi, pengumpulan data sekunder serta kajian literatur sesuai dengan topik penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari www.rand.org/labor/FLS/IFLS yang menggunakan populasi data rumah tangga tahun 2007 dan 2014. Dari jumlah populasi tersebut kemudian ditentukan jumlah sampel yang akan digunakan untuk penelusuran. Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara cleaning data dan penggabungan. Cleaning data, yaitu dengan cara membersihan data sebelum dilakukan analisis atas data yang akan digunakan dengan cara menggunakan data rumah tangga yang ada tahun 2007 (yang mempunyai pinjaman mikro) sebagai dasar kode rumah tangga. Adapun data rumah tangga yang tidak ada di tahun 2014 tidak digunakan dalam penelitian ini. Pembersihan data khususnya pada data utama, yaitu variabel pinjaman mikro tahun 2007 yang terdiri dari jumlah pinjaman mikro, tujuan peminjaman, agunan dan tempat meminjam. Data tersebut digabungkan dengan cleaning data 2014, yaitu variabel pendapatan rumah tangga, variabel karakteristik kepala rumah tangga, dan karakteristik rumah tangga.

Metode analisis untuk mengetahui pengaruh besaran pinjaman mikro terhadap pendapatan rumah tangga adalah metode Ordinary Least Square (OLS) yang diestimasi menggunakan software STATA 13.0. Pertama, variabel pinjaman mikro, tempat pinjam, tujuan pinjam, jangka waktu pengembalian, agunan dan variabel-variabel lain yang memengaruhi pendapatan rumah tangga seperti jenis kelamin KRT, usia KRT, pekerjaan utama KRT, jumlah aset, jumlah anggota rumah tangga, jumlah tenaga kerja dalam rumah tangga, wilayah tempat tinggal, kepesertaan arisan, dan PKK akan diestimasi secara bersama-sama untuk melihat pengaruh langsung dari besaran pinjaman mikro terhadap pendapatan rumah tangga. Kedua, estimasi dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel, tetapi untuk variabel jumlah pinjaman mikro dibedakan pada tingkatan besaran pinjaman tertentu.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Berdasarkan hasil uji regresi yang dilakukan secara keseluruhan per besaran jumlah pinjaman (Tabel dalam Lampiran) dapat disimpulkan bahwa jumlah pinjaman (lnPM) sebesar Rp20.000.001 sampai dengan Rp50.000.000 menyebabkan peningkatan total pendapatan rumah tangga (lnPND). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

Page 115: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

104 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dilakukan oleh Kaboski dan Towsend (2005), Abbas, et al. (2005), Rahman, et al. (2009), Al Mamun et al. (2011), Akram dan Husein (2011), De Silva (2012), dan Kuchler (2012) bahwa pinjaman mikro berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan baik individu maupun rumah tangga.

Jumlah pinjaman dengan besaran kurang dari Rp1.000.000 berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Besaran pinjaman Rp1.000.001 sampai dengan Rp20.000.000 berhubungan positif, namun tidak berpengaruh signifikan dengan pendapatan rumah tangga. Jumlah pinjaman Rp20.000.001 sampai dengan Rp50.000.000 berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Artinya, semakin besar jumlah pinjaman mikro, semakin meningkat pula pendapatan rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan bahwa pinjaman mikro dengan jumlah kecil cenderung digunakan untuk tujuan konsumtif sehingga beban angsuran mengurangi pendapatan.

Dalam tiap besaran yang dikategorikan, variabel jangka waktu angsuran berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan semakin lama jangka waktu angsuran tidak membebani pendapatan rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan adanya angsuran dapat memperingan beban peminjam dalam memenuhi kewajibannya sehingga pinjaman dapat dimaksimalkan penggunaanya sesuai tujuan semula dapat meningkatkan pendapatan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suratini (2016).

Variabel tempat pinjam berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada tiap besaran pinjaman. Peminjam yang melakukan pinjaman pada lembaga keuangan formal memengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga dengan persentase sebesar nilai koefisien daripada rumah tangga peminjam yang meminjam di lembaga keuangan nonformal. Terdapat 68 persen responden yang meminjam di lembaga keuangan formal seperti bank pemerintah maupun swata, koperasi, BMT, dan pegadaian. Dekatnya akses terhadap lembaga keuangan formal, jarak yang dekat karena tersebar sampai wilayah kecamatan, serta mudahnya informasi tentang lembaga keuangan mendukung suatu rumah tangga dalam memanfaatkan lembaga keuangan secara optimal. Penelitian yang dilakukan Gertler et al. (2001) menunjukkan hasil bahwa akses terhadap keuangan berkaitan dengan pendapatan, yaitu mudahnya/dekatnya akses suatu keluarga terhadap lembaga keuangan meringankan pengeluaran atau konsumsi daripada keluarga yang jauh dari lembaga keuangan sehingga dapat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga peminjam. Heriyaldi dan Yusuf (2013) yang meneliti tentang hubungan lembaga keuangan terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga di Indonesia, menunjukkan hasil bahwa di antara lima lembaga keuangan, terdapat bukti bahwa dua lembaga keuangan mikro berdampak

Page 116: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 105

positif terhadap kesejahteraan rumah tangga. Lembaga keuangan tersebut adalah bank perkreditan yang merupakan pengganti Bank Desa yang kedudukannya sampai tingkat kecamatan, serta bank milik pemerintah yang menempatkan unit pelayanannya sampai tingkat desa sehingga memudahkan jangkauan masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan maupun perdesaan dalam menggunakan layanan keuangan.

Variabel usia kepala rumah tangga berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman. Dapat diartikan bahwa peningkatan usia kepala rumah tangga berhubungan negatif dengan pendapatan rumah tangga, yaitu semakin bertambah usia kepala rumah tangga akan menurunkan pendapatan. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan LeRoy (2000: 585-587) bahwa pendapatan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan masa kerja seseorang, namun setelah melewati batas tersebut pertambahan usia diiringi dengan penurunan pendapatan, ceteris paribus. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Rahma et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa usia berdampak positif terhadap pendapatan, yaitu penghasilan seseorang meningkat seiring bertambahnya usia, namun pendapatan mulai menurun pada suatu tingkatan tertentu ketika orang tersebut berhenti bekerja (ketika usia sudah mencapai batas tertentu).

Variabel jenis kelamin kepala rumah tangga berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki-laki lebih besar peningkatan pendapatan rumah tangganya daripada rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan. Penelitian ini menunjukkan jenis kelamin kepala rumah tangga peminjam pada setiap besaran pinjaman mikro, pendapatan rumah tangganya rata-rata mengalami peningkatan sebesar 48 persen lebih tinggi daripada kepala rumah tangga yang berjenis kelamin perempuan. Besarnya perbedaan peningkatan pendapatan rumah tangga dikarenakan sebagian besar kepala rumah tangga berjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 1.223 orang dibandingkan dengan kepala rumah tangga perempuan sejumlah 176 orang.

Variabel pendidikan kepala rumah tangga berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman, yang menunjukkan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga peminjam dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. Seiring hasil penelitian yang ditemukan Hardono dan Saliem (2006) yang dilakukan di Indonesia bahwa kepala rumah tangga yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi mempunyai peluang lebih besar dalam peningkatan bidang usaha dikarenakan tingkat pendidikan merupakan proksi kinerja kualitas atau kecakapan tenaga kerja (sumber daya manusia) dalam rumah

Page 117: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

106 Direktori Mini Tesis-Disertasi

tangga. Tingginya tingkat pendidikan menunjukkan potensi kecakapan bekerja semakin meningkat pula. Selain itu, seseorang yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih cepat melihat dan meraih peluang bekerja atau berusaha secara lebih baik daripada seseorang yang berpendidikan rendah.

Variabel wilayah tempat tinggal berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga dengan level 0,1 persen pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman. Hal tersebut menunjukkan rumah tangga di wilayah perdesaan berpendapatan lebih rendah daripada rumah tangga peminjam di wilayah perkotaan. Hardono dan Saliem (2006) mengemukakan penduduk yang tinggal di wilayah desa cenderung berpendapatan rendah di mana kepala keluarganya memiliki pekerjaan utama sebagai petani, selain itu karena faktor ketidakberdayaan (kemiskinan). Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya akses penguasaan sumber pendapatan pada rumah tangga di desa yang hanya bermata pencaharian utama sebagai petani. Secara agregat, struktur pendapatan rumah tangga di Indonesia didominasi peran pendapatan dari sumber gaji/upah.

Variabel jumlah ART yang bekerja berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada level 0,1 persen pada tiap besaran pinjaman. Semakin banyak tenaga kerja dalam satu rumah tangga, akan meningkatkan pendapatan rumah tangga tersebut. Menurut Xin dan Wu (1994), anggota rumah tangga yang bekerja dan beraktivitas untuk memperoleh gaji atau upah secara akumulasi meningkatkan jumlah pendapatan perkapita rumah tangga.

Variabel arisan berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga dengan level 0,1 persen pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman. Diartikan bahwa rumah tangga yang mengikuti arisan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain sebagai sarana untuk bersosialisasi, bagi beberapa peserta arisan digunakan sebagai cara untuk bertahan hidup dan sebagai suatu sarana bagi para istri dalam pengambilan keputusan secara ekonomi dalam keluarga, selain sebagai tambahan dalam pendapatan keluarga (Prihatinah, 2005). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Taufiqurrahman (2013).

Variabel keikutsertaan kegiatan PKK berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada setiap kategori besaran jumlah pinjaman. Hal tersebut terjadi dimungkinkan karena rumah tangga peminjam yang mengikuti kegiatan PKK dalam penelitian ini berjumlah lebih kecil daripada rumah tangga yang tidak mengikuti kegiatan PKK dalam satu tahun terakhir. Rumah tangga yang mengikuti kegiatan PKK dalam penelitian ini sebanyak 362 rumah tangga atau hanya sebesar 25 persen daripada rumah tangga yang tidak mengikuti kegiatan PKK, yaitu sebanyak 1.037 rumah tangga atau sebesar 75 persen

Page 118: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 107

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa jumlah pinjaman dengan besaran kurang dari Rp1.000.000 menurunkan pendapatan rumah tangga. Dari sejumlah 516 rumah tangga yang meminjam kurang dari Rp1.000.000. Sebanyak 66 persen responden berpendapatan kurang dari Rp2.000.000/bulan dan sebesar 70 persen rumah tangga memanfaatkan pinjaman untuk kegiatan konsumtif daripada untuk kegiatan produktif. Konsumsi masa depan dikorbankan untuk memenuhi kewajiban pelunasan sehingga pembayaran angsuran untuk kewajiban pelunasan dapat mengurangi pendapatan.

2. Bahwa jumlah pinjaman Rp20.000.001 sampai dengan Rp50.000.000 meningkatkan pendapatan rumah tangga. Hal tersebut disebabkan karena penggunaan pinjaman untuk kegiatan produktif dalam rangka modal usaha sebesar 90 persen. Adapun pinjaman untuk kegiatan nonproduktif berupa pembelian rumah dan kendaraan yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan melalui sewa atau usaha.

3. Berdasarkan hasil regresi menunjukkan semakin lama jangka waktu angsuran, pinjaman di lembaga keuangan formal, kepala rumah tangga yang berjenis kelamin pria, semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, semakin banyak anggota rumah tangga yang bekerja, dan rumah tangga yang mengikuti kegiatan arisan berpengaruh signifikan terhadap peningkatanan pendapatan rumah tangga.

4. Bahwa semakin tua usia kepala rumah tangga, tempat tinggal peminjam yang berada di perdesaan, serta keikutsertaan rumah tangga dalam kegiatan PKK menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga secara signifikan.

5. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya menggunakan beberapa karakteristik ke dalam beberapa variabel sebagai indikator, yaitu karakteristik kepala rumah tangga, yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan, karakteristik rumah tangga yang terdiri atas kepemilikan aset, jumlah ART, jumlah ART yang bekerja, wilayah tempat tinggal, serta keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat, yaitu arisan dan PKK. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pendapatan dan pinjaman mikro masih dapat dikembangkan dikarenakan pendapatan rumah tangga terdiri atas banyak faktor dengan cakupan yang luas.

Page 119: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

108 Direktori Mini Tesis-Disertasi

E. Saran

Penelitian yang dilakukan oleh Rahma et al. (2009) di Bangladesh mengemukakan kredit mikro berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga dengan tingkatan yang berbeda, yaitu pendapatan rendah, menengah, dan pendapatan tinggi. Mengacu pada data pendapatan penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik dan penelitian lain, penelitian ini dapat dikembangkan dengan meneliti besaran pinjaman mikro terhadap pendapatan dengan tingkatan pendapatan rumah tangga yang dikategorisasi.

Page 120: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANANDA KOTA LUBUKLINGGAU MENGGUNAKAN METODE SERVQUAL

Nama : Endy Setiawan

Instansi : Pemkot Lubuklinggau

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 121: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

110 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kepuasan pelanggan adalah tujuan utama yang ingin dicapai oleh RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Salah satu cara untuk mengukur kepuasan pelanggan dengan menggunakan metode Servqual yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Pengukuran kualitas layanan dilakukan dengan menghitung kesenjangan dari lima dimensi kualitas layanan, yaitu berwujud, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan observasi langsung di lapangan. Kualitas layanan sebagai variabel terikat, sedangkan variabel bebasnya adalah semua dimensi Servqual. Populasi dalam penelitian ini adalah semua manajemen dalam bidang pelayanan, dokter dan bidan, serta pasien dalam satu periode penelitian. Alat analisis adalah Servqual Method.

Hasil dari pengukuran kualitas layanan didapatkan bahwa hanya gap 1 yang bernilai positif sedangkan, keempat gap lainnya bernilai negatif. Nilai negatif terbesar ditunjukkan oleh gap 5, yang sebenarnya merupakan inti dari Servqual. Nilai negatif dari gap ini menunjukkan kinerja pelayanan rumah sakit masih belum mampu memenuhi harapan pasien, artinya kualitas pelayanan yang diberikan RSIA Ananda masih belum sepenuhnya memenuhi kepuasan pasien.

Kata kunci: Servqual, Dimensi Kualitas Jasa, Kepuasan Pelanggan, Gap

Page 122: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 111

ABSTRACT

Customer satisfaction is the main goal to be achieved by RSIA Ananda Lubuklinggau. One way to measure customer satisfaction is by using Servqual method developed by Parasuraman, Zeithaml and Berry. Measuring the quality of services performed by calculating a gap of five dimensions of service quality, that is tangible, reliability, responsiveness, assurance and empathy.

The data used in this study are primary data using questionnaires and direct observation in the field. The quality of service as the dependent variable, while the independent variables are all dimensions of servqual. The population in this study were all management, doctors and nurses, and patients in a period of research is conducted. The analysis tool is Servqual Method.

The results of the measurement of service quality gap was found that only one who is positive, while the four other gap is negative. The negative value is indicated by the gap 5, which is actually the core of Servqual. Negaitf value of this gap suggests that the performance of hospital services are still not able to meet the expectations of patients, meaning that the quality of services provided RSIA Ananda still not fully meet patient satisfaction.

Keyword: Servqual, Service Quality Dimension, Customer Satisfaction, gap

Page 123: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

112 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ANANDA KOTA LUBUKLINGGAU MENGGUNAKAN

METODE SERVQUAL

A. Latar Belakang

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat akan menyebabkan perubahan selera konsumsi masyarakat yang bergeser dari seberapa banyak (kuantitas) menjadi seberapa baik (kualitas). Dengan demikian, masyarakat akan lebih menginginkan kualitas yang baik dari setiap produk dan jasa yang dikonsumsi, termasuk juga konsumsi layanan kesehatan. Begitu juga rumah sakit, dalam perjalanannya rumah sakit telah berkembang tidak hanya menjadi fasilitas penyedia jasa. Akan tetapi, rumah sakit juga telah menjadi salah satu bisnis jasa yang cukup menjanjikan karena besarnya kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang baik dan berkualitas.

Salah satu rumah sakit swasta di Kota Lubuklinggau yang memiliki peran sebagai penyedia jasa layanan kesehatan serta peran bisnisnya adalah RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. RSIA Ananda Kota Lubuklinggau, telah mampu mengintegrasikan jasa layanan kesehatan dan bisnis dengan baik. Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas terbaik dari layanan kesehatan yang disediakan maka diperlukan adanya input berupa harapan dan persepsi kepuasan dari pasien terkait layanan yang telah mereka terima.

Kebutuhan layanan jasa kesehatan dari rumah sakit yang berkualitas menjadi harapan dari setiap pasien yang menggunakan jasa rumah sakit. Oleh karena itu, menjadi penting bagi sebuah rumah sakit untuk mengetahui persepsi dan harapan pasien terhadap layanan jasa kesehatan yang telah disediakan.

Pada saat ini, RSIA Ananda Kota Lubuklinggau belum memiliki survei kepuasan pelanggan yang menyeluruh untuk mengukur kepuasan pelanggan berdasarkan pendekatan persepsi dan harapan pasien dari 5 dimensi utama kualitas jasa dengan metode servqual. Penelitan ini ditujukan untuk mengetahui gambaran kepuasan pasien RSIA Ananda Kota Lubuklinggau dengan menggunakan metode Servqual. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pasien memilih layanan RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi RSIA Ananda Kota Lubuklinggau di bidang perencanaan dan perbaikan pelayanan.

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dan sejenis.

Page 124: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 113

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pada kenyataannya pelayanan rumah sakit masih belum sepenuhnya berorientasi pada apa yang dibutuhkan dan diharapkan pasien atau pelayanan yang berfokus pada kepuasan pasien belum menjadi agenda utama rumah sakit (Azwar, 1996). Dalam paradigma kesehatan, pelayanan kesehatan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen (pasien).

Jasa pelayanan di rumah sakit adalah jasa yang bersifat abstrak sehingga berakibat pada sulitnya melakukan standardisasi terhadap layanan yang diberikan. Pasien sebagai konsumen rumah sakit membutuhkan informasi yang baik pada jasa yang disediakan rumah sakit. Hal itu bermanfaat bagi pasien untuk bisa mendefinisikan harapan yang diinginkan pada setiap jasa kesehatan dari rumah sakit. Di sisi lain, kondisi internal rumah sakit yang begitu kompleks, membawa persoalan tersendiri dalam upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas.

Kebutuhan layanan jasa kesehatan rumah sakit yang berkualitas menjadi kebutuhan sekaligus harapan setiap pasien yang menggunakan jasanya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi sebuah rumah sakit untuk mengetahui persepsi dan harapan pasien terhadap layanan jasa kesehatan yang telah disediakan. Pengetahuan yang baik tentang persepsi dan harapan ini diharapkan mampu dikelola dengan baik oleh rumah sakit, sehingga kesenjangan antara persepsi dan harapan dari pasien dapat diperkecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Semakin kecil kesenjangan berarti kepuasan pasien semakin baik.

Penelitan ini ditujukan untuk mengetahui gambaran kepuasan pasien RSIA Ananda Kota Lubuklinggau dari pendekatan persepsi dan harapan dengan menggunakan metode Servqual. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pasien memilih layanan RSIA Ananda Kota Lubuklinggau sehingga diharapkan akan didapatkan gambaran menyeluruh tentang kepuasan pasien yang memilih menggunakan jasa layanan RSIA Ananda Kota Lubuklinggau.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran tingkat kepuasan pasien terhadap layanan kesehatan yang telah diberikan oleh RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode servqual yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1990) dengan melakukan pengukuran terhadap gap yang terjadi dari 5 dimensi kualitas jasa. Lima dimensi tersebut adalah berwujud (tangibles), daya tanggap (responsiveness), keandalan (realibility), jaminan (assurance), dan empati (emphaty).

Page 125: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

114 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diambil menggunakan kuesioner yang disebar pada manajemen, karyawan, dan pasien RSIA Ananda Kota Lubuklinggau, serta melakukan pengamatan langsung dan survei lapangan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Karakteristik Responden

Penelitian ini melibatkan sebanyak 14 orang karyawan yang terlibat langsung dalam pelayanan kepada pasien di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Bidan menjadi responden terbanyak, yaitu 7 orang (50%), hal ini mengingat bahwa dalam pelayanan yang diberikan terhadap pasien, bidan menjadi ujung tombak bagi RSIA Ananda. Dokter yang menjadi responden sebanyak 2 orang (14,3%), yaitu dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anak. Petugas farmasi yang menjadi responden sebanyak 4 orang (28,6%) dan petugas administrasi 1 orang (7,1%).

Dalam penelitian ini, manajemen yang menjadi responden adalah seluruh bagian manajemen yang terlibat dalam bidang pelayanan dan pemasaran yang berjumlah 8 orang. Responden pasien sebanyak 30 orang terdiri atas pasien rawat jalan dan pasien rawat inap yang telah dirawat minimal 24 jam sehingga total responden dalam penelitian ini adalah 52 orang.

Dari hasil uji statistik di atas didapati bahwa nilai sig. 0.002 < 0.05, yang berarti Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan benar bahwa keramahan pelayanan menjadi alasan terbesar pasien dalam memilih berobat di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Hal ini menunjukkan, jika RSIA Ananda Kota Lubuklinggau ingin mempertahankan ataupun meningkatkan jumlah pasien berkunjung maka harus memerhatikan dua alasan utama dari pasien, yaitu keramahan pelayanan dan kredibilitas dari dokter yang praktik.

2. Analisis Gap

a. Analisis Kesenjangan Persepsi Manajemen dan Harapan Pasien (Gap 1)

Hasil bahwa seluruh dimensi kualitas menunjukkan nilai positif. Hal ini berarti, manajemen RSIA Kota Lubuklinggau telah mampu mempersepsikan harapan pasien dengan baik. Dengan demikian, manajemen telah memiliki komitmen yang baik dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada pasien dan merupakan modal dasar yang baik dalam meningkatkan kualitas layanan yang akan diberikan kepada pasien.

Page 126: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 115

Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya gap 1, antara lain orientasi riset pemasaran, komunikasi ke atas dan tingkatan manajemen. Berikut adalah kondisi ketiga faktor tersebut di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau berdasarkan hasil olahan data kuesioner yang telah disebar. Semua nilai faktor penyebab gap 1 bernilai negatif. Tingkatan manajemen memiliki selisih nilai negatif yang paling tinggi. Hal ini dapat menunjukkan masih adanya hambatan birokrasi dan sistem dalam proses pemberian layanan yang berkualitas.

Nilai terbesar selanjutnya setelah tingkatan manajemen adalah orientasi pemasaran, yaitu sebesar -0.5. Masih negatifnya nilai orientasi pemasaran, menunjukkan masih belum baiknya perhatian manajemen, terutama di bidang humas dan pemasaran dalam peningkatan kualitas layanan yang disediakan. Sementara itu, komunikasi ke atas juga masih bernilai selisih negatif, yaitu -0.33. Komunikasi ke atas yang tidak begitu baik dapat menjadi penghambat dalam proses penentuan penyampaian dan penerjemahan layanan yang tepat dan berkualitas sesuai dengan apa yang dipersepsikan manajemen dan tepat menurut ekspektasi pasien.

Berikutnya untuk melihat apakah penyebab gap 1 signifikan berpengaruh terhadap gap 1, dilakukan uji statistik dengan melihat nilai t. Dari seluruh dimensi penyebab gap 1 semua nilai sig. (2-tailed) lebih kecil dari alpa (1%, 5%, 10%). Hal ini berarti penyebab gap 1 signifikan berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan antara persepsi manajemen dengan harapan pasien.

b. Analisis Kesenjangan Spesifikasi Kualitas Jasa dengan Persepsi Manajemen (Gap 2)

Dari data penelitian, didapatkan bahwa seluruh dimensi kualitas menunjukkan nilai negatif, yang berarti bahwa spesifikasi kualitas layanan yang diberikan rumah sakit masih belum mampu memenuhi standar persepsi dari manajemen. Dimensi jaminan dan berwujud memiliki nilai negatif terbesar, yaitu -0.125. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa perlunya manajemen berupaya meningkatkan standar kualitas kinerja pada dimensi jaminan meliputi kemampuan, keahlian, pengetahuan yang memenuhi standar kerja pelayanan sekaligus meningkatkan kredibilitas rumah sakit dalam dimensi jaminan pada pasien saat menerima layanan.

Selain itu, berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya tenaga kesehatan, terutama di bidang kejujuran, kesopanan dan toleransi serta semangat kepedulian terhadap pasien dalam menjamin rasa aman terhadap segala risiko dalam proses pelayanan medik yang diterima.

Page 127: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

116 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Komitmen terhadap kualitas memiliki nilai selisih negatif yang paling tinggi dari empat faktor penyebab terjadinya gap 2. Rendahnya komitmen terhadap kualitas, akan sangat memengaruhi kinerja rumah sakit dalam memberikan layanan terhadap pasien. Pembakuan standar kualitas pelayanan yang rendah memiliki indikasi rendahnya pemahaman tentang tugas yang harus dilakukan ketika menghadapi pasien. Kurangnya pemahaman ini dapat disebabkan karena rendahnya orientasi atau pengetahuan tentang perangkat-perangkat keras yang digunakan ketika bertugas, atau mungkin juga tidak memahami metode standar kualitas layanan yang telah ditetapkan oleh manajemen kepada karyawan. Selanjutnya, meskipun penetapan tujuan memiliki nilai negatif yang paling kecil, namun nilai negatif dapat menjadi warning masih rendahnya komitmen manajemen dalam penetapan target tujuan pelayanan. Penetapan tujuan yang salah akan berdampak buruk bagi perjalanan rumah sakit.

c. Analisis Kesenjangan Antara Penyampaian Layanan dan Spesifikasi Pelayanan (Gap 3)

Seluruh dimensi kualitas bernilai negatif, kecuali dimensi empati. Dengan demikian, pencapaian kualitas pelayanan pada dimensi empati terhadap standar kualitas pelayanan dapat diartikan, bahwa manajemen dan karyawan rumah sakit telah melaksanakan pelayanan sesuai standar kualitas pelayanan, kemampuan karyawan rumah sakit dalam melaksanakan standar kualitas pelayanan dengan menciptakan suasana yang kondusif dan adanya upaya untuk mengerti dan memahami apa yang pasien perlukan pada pelayanan kesehatan.

Dari data penyebab gap 3 di atas menunjukkan semua dimensi penyebab terjadinya gap 3 bernilai negatif. Hal ini berarti delapan faktor penyebab gap 3 memberikan andil dalam terjadinya kesenjangan antara penyampaian layanan dan spesifikasi dan standardisasi pelayananan. Untuk melihat faktor mana yang paling signifikan berpengaruh terhadap gap 3, berikut disajikan data ringkasan uji statistik terhadap faktor penyebab terjadinya gap 3.

Seluruh faktor penyebab terjadinya gap 3 signifikan berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan antara penyampaian layanan dan spesifikasi standar pelayanan. Oleh karena itu, penting bagi RSIA Ananda Kota Lubuklinggau untuk melihat bahwa delapan faktor penyebab gap 3 menjadi penyebab terjadinya kesenjangan yang ada pada penyampaian layanan yang diberikan.

Page 128: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 117

d. Analisis Kesenjangan Antara Penyampaian Layanan dan Pelayanan yang Dikomunikasikan (Gap 4)

Dari kelima dimensi kualitas yang ada pada gap 4, semuanya bernilai negatif. Hal ini menunjukkan pemenuhan janji layanan dari rumah sakit kepada pasien belum mampu dilakukan dengan baik. Terutama pada dimensi daya tanggap dan jaminan, terungkap dari kuesioner yang disebarkan kepada pasien, bahwa pasien merasa layanan yang didapatkan belum optimal sesuai dengan kebutuhan pasien secara cepat, akurat, dan profesional sesuai dengan yang dijanjikan. Selain itu, rendahnya dimensi jaminan juga menunjukkan pasien belum merasakan pemenuhan janji kualitas layanan yang baik dalam hal rasa aman terhadap risiko tindakan medik yang didapatkan. Terlihat dari hasil penelitian, kedua faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penyampaian layanan dan pelayanan yang dijanjikan semuanya bernilai negatif. Komunikasi internal memiliki nilai selisih yang cukup besar, yaitu -1. Nilai yang cukup besar ini dapat mengandung makna beberapa hal berikut:

1. Kurangnya kedekatan komunikasi antara bagian iklan dan operasional.

2. Tidak baiknya komunikasi yang terjadi pada lintas fungsional di rumah sakit.

3. Kurangnya persamaan persepsi antarbagian di rumah sakit, juga kurangnya kemampuan manajemen dalam mengkomunikasikan janji layanan kepada staf dan karyawan rumah sakit.

Faktor penyebab terjadinya gap 4 selanjutnya adalah kecenderungan berjanji yang berlebihan. Nilai kecenderungan untuk berjanji yang berlebihan dari rumah sakit bernilai negatif, yaitu -0.75. Faktor penyebab janji yang terlalu berlebihan ini salah satunya adalah akibat intensitas persaingan antarrumah sakit penyedia layanan pengobatan yang semakin ketat sehingga menyebabkan keberanian rumah sakit memberikan iklan janji-janji pelayanan yang terlalu berlebihan padahal di luar kapasitas kemampuan.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kedua faktor penyebab terjadinya gap 4, signifikan terhadap terjadinya kesenjangan antara janji pelayanan dan penyampaian layanan di RSIA Kota Lubuklinggau. Semua faktor penyebab berpengaruh terhadap terjadinya gap 4.

Page 129: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

118 Direktori Mini Tesis-Disertasi

e. Analisis Kesenjangan Antara Persepsi/Layanan yang Diterima Pasien dan Harapan (Gap 5)

Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dimensi keandalan dapat dimaknai sebagai tingkat kepercayaaan pasien terhadap kemampuan atau kehandalan rumah sakit dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai harapan pasien. Dalam penelitian ini, didapati bahwa nilai dimensi keandalan adalah -0,83. Dengan kondisi ini dapat dijelaskan bahwa RSIA Ananda Kota Lubuklinggau perlu untuk meningkatkan optimalisasi kinerja pelayanan seluruh lini yang handal, professional, dan dapat dipercaya pasien.

2. Dimensi daya tanggap dengan nilai negatif (-1,03) terlihat bahwa rumah sakit masih belum mampu memberikan pelayanan yang cepat dan segera sesuai dengan harapan pasien. Rumah sakit harus menyediakan layanan kesehatan atau tindakan yang diperlukan dengan cepat dan tepat.

3. Dimensi jaminan, diartikan sebagai kepastian jaminan keamanan selama proses pelayanan medis di rumah sakit. Dalam penelitian ini, didapati bahwa nilai dimensi jaminan berdasarkan persepsi pasien adalah -1,08, dan ini merupakan gap terbesar dari seluruh dimensi kualitas yang ada. Hal ini, dapat diartikan bahwa pasien masih belum merasakan jaminan keamanan yang memberikan ketenangan saat mereka menerima layanan kesehatan. Karenanya, manajemen perlu untuk meningkatkan sistem pelayanan yang terkait sikap yang tepat dari seluruh karyawan dan staf dalam pemberian layanan yang toleran, jujur, sopan, menghargai pasien dan bersahabat. Dengan demikian, kepercayaan pasien pada layanan berkualitas dan memberi rasa aman selama proses pelayanan dari rumah sakit mampu diwujudkan.

4. Dimensi empati, nilai pada dimensi ini adalah -0,83. Nilai negatif menunjukkan perhatian tulus bersifat individual yang diberikan kepada pasien, masih belum mampu diberikan secara maksimal. Dengan demikian, perasaan senang dan dipahami keinginannya secara spesifik dari pasien belum terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu, setiap karyawan dan manajemen harus mampu mendefenisikan secara tepat, bagaimana pelayanan yang baik yang memahami keinginan pasien, bersifat kekeluargaan dan ikut merasakan apa yang dirasakan pasien.

Page 130: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 119

5. Dimensi berwujud, pada dimensi ini nilai gap tidak terlalu besar (-0,51). Hal ini berarti sebenarnya tidak ada permasalahan yang terlalu menonjol. Hanya saja, nilai negatif menunjukkan pelayanan pada dimensi berwujud belum memenuhi harapan pasien sepenuhnya. Beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dimensi berwujud, seperti banner/standing banner tentang hak-hak pasien, perbaikan dan penambahan peralatan penunjang aktivitas pelayananan kesehatan, serta alat-alat peraga komunikasi yang dipandang masih kurang.

Dari hasil uji statistik terlihat bahwa hanya dimensi berwujud yang tidak signifikan berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan antara persepsi layanan yang diterima dan harapan pasien. Hal ini berarti pada dimensi jaminan, daya tanggap, empati, dan keandalan dari RSIA Ananda Kota Lubuklinggau masih belum mampu memenuhi harapan para pasien. Pada dimensi berwujud sebenarnya telah mampu dipenuhi, tetapi masih perlu untuk ditingkatkan dan ini bersesuaian sebagaimana hasil perhitungan gap dimensi berwujud memiliki nilai yang paling rendah.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil uji beda proporsi chi-square didapati benar bahwa alasan utama pasien berobat di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau karena keramahan pelayanan dan kredibilitas dokter.

2. Total nilai dari kelima kesenjangan adalah negatif, kecuali kesenjangan 1 yang bernilai positif. Nilai negatif terbesar adalah pada kesenjangan 5 (gap 5), yang sebenarnya merupakan inti dari penilaian kualitas pelayanan dari metode servqual karena nilai kesenjangan ini, mencerminkan persepsi dan harapan dari pasien sebagai konsumen. Secara lebih rinci tiap-tiap kesenjangan dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Gap 1 yaitu kesenjangan antara persepsi manajemen dan harapan pasien. Total nilai kesenjangan dari kelima dimensi bernilai positif (3,35). Hal ini mencerminkan bahwa manajemen RSIA Ananda Kota Lubuklinggau memiliki persepsi yang melampaui harapan pasien. Nilai gap 1 positif berarti gap 1 tidak berpengaruh terhadap gap 5. Hasil uji signifikansi terhadap faktor penyebab terjadinya gap 1 menunjukkan seluruh faktor signifikan berpengaruh terhadap gap 1.

Page 131: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

120 Direktori Mini Tesis-Disertasi

b. Gap 2 yaitu kesenjangan antara spesifikasi/standardisasi kualitas layanan dan persepsi manajemen RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Total nilai gap 2 adalah bernilai negatif (-0,293). Nilai negatif ini mencerminkan bahwa manajemen belum mampu melakukan standarisasi layanan berkualitas yang diberikan kepada pasien secara spesifik. Hasil uji signifikansi terhadap tiap-tiap dimensi menunjukkan tidak ada satupun dari kelima dimensi yang signifikan berpengaruh terhadap gap 2. Akan tetapi, hasil uji signifikansi terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gap 2, semua faktor berpengaruh signifikan terhadap terjadinya gap 2.

c. Gap 3 yaitu kesenjangan antara penyampaian layanan dan spesifikasi layanan. Total nilai gap 3 adalah bernilai negatif (-0,65). Jika gap 1 dan gap 2 masih bersifat konsep maka gap 3 merupakan aplikasi dari apa yang dipersepsikan pihak manajemen dan dispesifikasikan oleh rumah sakit. Nilai negatif menunjukkan kinerja pelayanan masih belum memenuhi spesifikasi layanan yang telah ditetapkan. Hasil uji signifikansi terhadap faktor yang menyebabkan gap 3 menunjukkan 8 faktor yang menyebabkan terjadinya gap 3 berpengaruh signifikan terhadap terjadinya gap 3 di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau.

d. Gap 4 yaitu kesenjangan antara penyampaian layanan dan janji layanan atau layanan yang dipromosikan. Total nilai gap 4 adalah negatif, yaitu - 0,875. Hal ini menunjukkan layanan yang diterima atau dipersepsikan oleh pasien masih belum terpenuhi sesuai dengan janji layanan yang dipromosikan rumah sakit. Nilai selisih pada faktor penyebab terjadinya gap 4 menunjukkan masih terjadinya faktor-faktor penyebab gap 4 dalam upayan mewujudkan layanan yang berkualitas di RSIA Ananda Kota Lubuklinggau. Hasil uji signifikansi terhadap faktor penyebab gap 4, menunjukkan kedua faktor signifikan terhadap terjadinya gap 4.

e. Gap 5 kesenjangan antara persepsi dan harapan pasien. Kelima dimensi memiliki nilai negatif. Total gap adalah -4,28. Nilai negatif dari gap ini menunjukkan kinerja pelayanan rumah sakit masih belum mampu memenuhi harapan pasien, artinya kualitas pelayanan yang diberikan RSIA Ananda masih belum sepenuhnya memenuhi kepuasan pasien. Hasil uji signifikansi terhadap setiap dimensi kualitas di gap 5, menunjukkan 4 dimensi berpengaruh signifikan terhadap gap 5, yaitu dimensi jaminan, daya Tanggap keandalan, dan empati. Sedangkan 1 dimensi lainnya, yaitu berwujud tidak signifikan.

Page 132: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 121

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengukur kualitas pelayanan dengan metode servqual yang dikembangkan oleh Parasuraan, Zeithaml, dan Berry (1985). Akan tetapi, dikarenakan sedikitnya waktu penelitian yang tersedia menyebabkan masih belum komprehensifnya hasil yang didapat. Oleh karena itu, berdasarkan keterbatasan penelitian tersebut, saran bagi peneliti selanjutnya adalah agar dapat melakukan secara lebih menyeluruh dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Page 133: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

122 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 134: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

EVALUASI DAMPAK BANTUAN SISWA MISKIN (BSM) TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

Nama : Fajar Afrian

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 135: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

124 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) adalah program nasional yang bertujuan untuk menghilangkan halangan siswa miskin untuk bersekolah, di mana halangan siswa miskin untuk bersekolah mayoritas karena menjadi pekerja anak untuk membantu perekonomian keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak program BSM terhadap pekerja anak, di mana akan dilihat apakah kebijakan ini mampu menurunkan jumlah jam kerja perminggu dari pekerja anak. Dalam penelitian ini akan digunakan teknik PSM (Propensity Score Matching) dengan sumber data dari IFLS gelombang 5 tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan program BSM berdampak signifikan menurunkan jumlah jam kerja pekerja anak sebesar 3,74 jam perminggu.

Kata kunci: Bantuan Siswa Miskin, Pekerja Anak, Propensity Score Matching, Evaluasi Dampak

Page 136: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 125

ABSTRACT

BSM is a national program aimed at eliminating the impediment of poor students to school, where the majority impediment is to being child laborers to help the family economy. This study aims to examine the impact of the BSM on child labor, which will be seen whether this policy can reduce the number of hours worked per week from child labor. This research use PSM (Propensity Score Matching) with data source from wave 5 IFLS 2014. The results showed that the BSM had a significant impact on reducing the number of working hours of child labor by 3,74 hours per week.

Keywords: Bantuan Siswa Miskin, Child Labor, Propensity Score Matching, Impact Evaluation

Page 137: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

126 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI DAMPAK BANTUAN SISWA MISKIN (BSM) TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO perihal usia minimum untuk tenaga kerja, yaitu 15 tahun. Salah satu alasan pelarangan pekerja anak menurut ILO karena pekerja anak akan menyebabkan kemiskinan. Selain itu, pekerja anak sangat berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan akan berdampak pada rendahnya kualitas tenaga kerja di masa yang akan datang. Hubungan antara tingkat pekerja anak saat ini dan kemiskinan di masa depan, yaitu melalui rendahnya tingkat pendidikan. Anak-anak yang menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja akan memiliki sedikit kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Konsekuensinya anak tersebut akan tumbuh menjadi tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tingkat keahlian yang rendah pula sehingga produktivitasnya rendah dan tingkat upahnya juga rendah. Oleh karena itu, anak-anak yang dipaksa bekerja karena alasan kemiskinan akan memiliki kesempatan kecil untuk lepas dari kemiskinan saat dewasa kelak. Bahkan kemungkinan di masa yang akan datang, anak mereka sendiri juga akan bekerja karena kemiskinan. Ini berarti kemiskinan menghasilkan pekerja anak, sementara pekerja anak menyebabkan kemiskinan di masa depan (Priyambada, Suryahadi, dan Sumarto, 2005:1-2).

Keterkaitan antara pekerja anak dan kemiskinan dapat diputus salah satunya dengan strategi menyediakan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin (Priyambada, Suryahadi, dan Sumarto, 2005:26). Untuk itu, pemerintah mengembangkan Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) (TNP2K, 2015). Program BSM adalah Program Nasional yang bertujuan untuk menghilangkan halangan siswa miskin untuk bersekolah, mencegah putus sekolah, menarik siswa miskin untuk kembali bersekolah, membantu siswa memenuhi kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran, dan mendukung program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (TNP2K, 2015). Melalui Program BSM ini diharapkan anak usia sekolah dari rumah-tangga atau keluarga miskin dapat terus bersekolah sehingga tidak perlu menjadi pekerja anak yang pada akhirnya dapat memutus rantai kemiskinan yang saat ini dialami orangtuanya.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait pekerja anak dan subsidi bagi rumah tangga miskin. Penelitian di Indonesia menemukan masalah pekerja anak sangat terkait dengan kemiskinan. Sebagian anak yang putus sekolah kemudian bekerja disebabkan oleh alasan ekonomi keluarga (Priyambada, Suryahadi, dan Sumarto, 2005:2). Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) memiliki dampak terhadap pekerja anak paling besar pada rumah tangga miskin daripada rumah tangga nonmiskin (Sparrow, 2007:29). Penelitian mengenai pekerja anak dan subsidi bagi rumah tangga miskin di negara lain

Page 138: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 127

menunjukkan bantuan tunai pada rumah tangga miskin dapat menurunkan keterlibatan anak sekolah yang bekerja pada rumah tangga miskin (Maluccio dan Flores, 2005:56-57) (Edmonds dan Schady, 2012:120).

Subsidi sekolah dapat meningkatkan partisipasi sekolah, tetapi tidak serta merta berdampak pada pekerja anak (Ravallion dan Wodon, 2000:173). Rumah tangga yang diamati di Guatemala menggunakan pekerja anak untuk merespon sosial ekonomi shock dan bencana alam, bahkan tidak ada bukti rumah tangga yang diamati mengurangi waktu sekolah anak untuk merespon sosial ekonomi shock (Vásquez dan Bohara, 2010:182-83; Bessell, 2009:538; Priyambada, Suryahadi, dan Sumarto, 2005:26).

Penelitian ini menguji signifikansi dampak pemberian BSM dan seberapa besar dampak pemberian BSM itu terhadap pekerja anak. Sebagai variabel proksi pekerja anak, akan digunakan jumlah jam kerja perminggu pekerja anak. Dampak kebijakan akan dilihat dari apakah kebijakan ini mampu menurunkan jumlah jam kerja perminggu dari pekerja anak. Hasil penelitian diharapkan dapat berkontribusi pada pembuat kebijakan mengenai penanggulangan kemiskinan khususnya pada program Bantuan Siswa Miskin. Di mana sampai saat ini masih terbatas penelitian terkait evaluasi dampak pemberian bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak dari rumah tangga miskin di Indonesia.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Dari beberapa penelitian terdahulu, tidak semua kebijakan bantuan atau subsidi bagi rumah tangga miskin berdampak signifikan terhadap pekerja anak. Adanya beberapa penemuan berbeda dari beberapa penelitian terdahulu, menjadi alasan untuk meneliti lebih lanjut dampak dari program BSM terhadap pekerja anak di Indonesia. Selain itu, belum adanya penelitian yang mengevaluasi dampak kebijakan pemberian BSM merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Untuk mengestimasi dampak program BSM terhadap pekerja anak digunakan variabel proksi jumlah jam kerja perminggu pekerja anak. Evaluasi dampak kebijakan pemberian BSM diamati dengan melihat outcome apakah jumlah jam kerja perminggu pekerja anak dapat bertambah atau berkurang setelah menerima BSM, yaitu dengan mengestimasi perbedaan rata-rata jumlah jam kerja perminggu antara individu yang memperoleh BSM dengan individu yang tidak memperoleh BSM.

Evaluasi dampak secara spesifik menghitung perubahan outcome dari sebuah kelompok yang menerima program. Untuk menghitung perubahan outcome tersebut perlu adanya kelompok pembanding sebagai counterfactual. Counterfactual ialah estimasi terhadap outcome dari kelompok partisipan program seandainya kelompok tersebut tidak menerima program. Permasalahan selection bias muncul karena

Page 139: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

128 Direktori Mini Tesis-Disertasi

tidak mungkin untuk mengamati perbedaan outcome dari partisipan program yang mendapatkan treatment dengan yang tidak mendapatkan treatment, di mana mustahil untuk mengamati kedua outcome tersebut dari satu individu pada waktu bersamaan. Model utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari treatment outcome dan outcome kontrol dari individu.

Sumber data sekunder, yaitu survey IFLS-5. IFLS-5 adalah longitudinal survey dengan sampel lanjutan dari IFLS periode sebelumnya. Pada IFLS-1 pengambilan sampel distratifikasi berdasarkan provinsi dan lokasi perkotaan atau perdesaan. Sampel yang dipilih ialah 13 provinsi dari 27 provinsi yang bisa memaksimalkan representasi dari keragaman budaya dan keragaman sosial ekonomi populasi Indonesia. Cakupan sampel ini 83% dari populasi. Pada tiap-tiap sampel provinsi, area pencacahan dipilih secara acak dari kerangka sampel representatif nasional yang digunakan SUSENAS tahun 1993. Hasilnya, dipilih 321 area pencacahan dari 13 provinsi dan pemilihan sampel ini dianggap cukup mewakili populasi di Indonesia.

Alat analisis yang digunakan, yaitu STATA versi 13.0. Untuk menggunakan STATA terlebih dahulu dibuat dataset yang memuat variabel yang diperlukan dalam model. Dalam menyusun dataset perlu dilakukan pembersihan data terlebih dahulu dari data yang tidak sesuai (data outlier). Setelah dataset tersusun tahap berikutnya adalah mengolah dataset dengan perintah tertentu untuk menjalankan estimasi PSM.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data

Sebelum mengestimasi propensity score dengan model persamaan (3) akan dibahas terlebih dahulu statistik deskriptif variabel pembentuk model tersebut. Rata-rata usia individu yang diamati ialah 10,52 tahun dengan usia terendah 5 tahun dan usia tertinggi 14 tahun. Untuk rata-rata jumlah jam kerja perminggu pekerja anak ialah 12,1 jam perminggu dengan jumlah jam kerja terkecil 1 jam perminggu dan jumlah jam kerja terbanyak 60 jam perminggu. Karakteristik rumah tangga yang diamati misalnya jumlah anggota keluarga menunjukkan rata-rata anggota keluarga berjumlah 6,74 orang dengan jumlah anggota keluarga terkecil 1 orang dan jumlah anggota keluarga terbanyak 25 orang. Karakteristik rumah tangga lainnya, yaitu lama sekolah kepala rumah tangga, di mana rata-rata lama sekolahnya ialah 9,27 tahun dengan nilai lama sekolah terendah 0 tahun dan tertinggi 22 tahun. Nilai rata-rata lama sekolah 9,27 tahun menunjukkan bahwa sampel yang diamati memiliki rata-rata lama sekolah setara lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu 9 tahun. Variabel kondisi kemiskinan rumah tangga menunjukkan rata-rata rumah tangga yang diamati memiliki 2,3 indikator dari 10 indikator miskin dengan

Page 140: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 129

rentang paling sedikit memiliki 0 indikator dan paling banyak memiliki 9 indikator

dari 10 indikator miskin.

2. Pembahasan

a. Estimasi Propensity Score

Variabel bebas pada model regresi logit yang digunakan untuk estimasi propensity score mencakup kondisi rumah tangga, kondisi kemiskinan dan kondisi individu seperti pada persamaan (3). Hasil estimasi menunjukkan diperlukan eliminasi tiga variabel bebas agar tercapai estimasi yang memenuhi asumsi Conditional Independent Assumption (satisfied), yaitu 1) jenis kelamin anak perempuan (cfemale); 2) lama sekolah kepala rumah tangga (hhheduc); dan 3) rumah tangga tinggal di perdesaan (rural). Hasil estimasi propensity score menggunakan model logit. Estimasi paramater menunjukkan kondisi kemiskinan sebuah rumah tangga signifikan memengaruhi probabilitas individu menerima BSM. Jumlah anggota keluarga juga signifikan memengaruhi probabilitas individu menerima BSM. Untuk variabel usia sewajarnya signifikan karena ketentuan penerima BSM salah satunya ialah usia anak.

b. Pemilihan Model Matching Algorithm

Distribusi propensity score dari kelompok treatment lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Distribusi propensity score antara kelompok treatment dan kelompok kontrol hanya sedikit berbeda sehingga digunakan Nearest Neighbour NN matching.

c. Pengecekan Common Support

Langkah berikutnya ialah memeriksa overlap dan region dari common support antara kelompok treatment dan kelompok kontrol. Pemeriksaan yang paling cepat dengan pemeriksaan visual dari kepadatan distribusi propensity score dari kedua kelompok (Caliendo dan Kopeinig, 2005:12). Dalam analisis terlihat adanya area overlap dari kepadatan distribusi propensity score kedua kelompok.

d. Evaluasi Kualitas Matching

Evaluasi kualitas matching dapat dilakukan menggunakan standar bias test, t-test, joint significance test dan Pseudo-R2 (Caliendo dan Kopeinig, 2005:15-16). Telah terjadi penurunan standar bias setelah matching pada semua variabel. Tidak ada indikator baku mengenai seberapa besar penurunan standar bias yang dianggap berhasil, tetapi penurunan di bawah 3% atau 5% dianggap mencukupi (Caliendo dan Kopeinig, 2005:15).

Page 141: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

130 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hasil analisis menunjukkan p-value dari t-test tersebut. Sebelum matching, dua variabel memiliki mean berbeda antara kelompok treatment dan kelompok control, yaitu variabel jumlah anggota keluarga dan variabel kondisi kemiskinan rumah tangga. Setelah matching semua variabel menunjukkan kesetaraan mean antara kelompok treatment dan kelompok kontrol, di mana p-value dari t-test lebih besar dari p-value pada α=5%. Untuk variabel jumlah jam kerja anak sebagai variabel outcome sewajarnya mean variabel berbeda antara kelompok treatment dan kelompok kontrol karena variabel outcome tersebut akan dilihat perbedaan mean antara kelompok treatment dan kelompok kontrolnya untuk mengetahui dampak dari treatment. Kesimpulannya pemeriksaan kualitas matching dengan t-test menunjukkan hasil baik.

Hasil hotelling test menunjukkan p-value dari F-test lebih besar dari 5%, yaitu 0,318 sehingga hipotesis null tidak ditolak. Hasil ini menunjukkan mean antara kedua kelompok secara serempak setara setelah matching. Hasil penelitian menunjukkan pseudo-R2 setelah matching lebih rendah daripada sebelum matching. Kesimpulannya kualitas matching secara keseluruhan baik.

e. Estimasi Dampak

Hasil estimasi dengan NN without replacement menunjukkan BSM berdampak signifikan menurunkan jumlah jam kerja sebesar 3,74 jam perminggu, dengan jumlah observasi pada kelompok kontrol sebanyak 367 orang dan kelompok treatment 105 orang. Untuk melihat apakah hasil perhitungan cukup valid (robust) maka ditampilkan pula hasil estimasi dengan metode matching lain sebagai pembanding. Hasil perhitungan estimasi dengan metode lain menunjukkan variasi ATET, namun tidak berbeda jauh dengan metode NN without replacement, di mana hasilnya konsisten bernilai negatif antara -3,376 sampai -4,314 dan signifikan secara statistik.

f. Analisis Sensitivitas

Hasil analisis sensitivitas estimasi dampak BSM terhadap pekerja anak menggunakan Wilcoxon’s signed rank test. Pada gamma=1 nilai Hodges-Lehman point estimate adalah -3. Nilai ini mendekati hasil estimasi dengan metode NN without replacement, yaitu -3,74 dan keduanya signifikan pada α=5%. Kenaikan gamma sebesar 0,2 akan meningkatkan p-value lower bound menjadi 0,056 di atas batas signifikansi p-value 0,05. Kesimpulannya hidden bias sebesar gamma 1,2 sudah cukup untuk menjelaskan perbedaan yang diamati dalam jumlah jam kerja anak antara anak yang menerima BSM dan anak yang tidak menerima BSM. Interpretasinya dua pekerja anak dengan kovariat yang sama bisa memiliki perbedaan dalam menerima BSM sebanyak faktor 1,2 dan karena

Page 142: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 131

1,2 nilainya kecil maka penelitian ini masih sensitif terhadap hidden bias. Untuk interpretasi Hodges-Lehman point estimate, pekerja anak yang dipasangkan antara yang menerima BSM dan yang tidak menerima BSM kemungkinan memiliki perbedaan jumlah jam kerja antara -4 sampai dengan -2,5 dengan faktor 1,1 karena adanya hidden bias.

D. Kesimpulan

Bantuan Siswa Miskin memiliki dampak signifikan menurunkan jumlah jam kerja pekerja anak sebesar 3,74 jam perminggu. Hasil penelitian ini sejalan dengan desain program Bantuan Siswa Miskin yang salah satunya menghilangkan halangan siswa miskin untuk bersekolah, di mana halangan siswa miskin untuk bersekolah mayoritas karena menjadi pekerja anak untuk membantu perekonomian rumah tangga (Edmonds dan Schady, 2012: 102). Implikasinya program ini perlu untuk terus dilaksanakan dan peningkatan besaran dana BSM dipandang perlu untuk menambah dampak program BSM terhadap pekerja anak.

Keterbatasan penelitian ini adalah keterbatasan jumlah sampel sehingga tidak dapat dirinci dampak BSM terhadap pekerja anak berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan lokasi tinggal. Keterbatasan jumlah sampel terjadi karena program BSM baru diluncurkan tahun 2008 sehingga tidak dimungkinkan menggunakan data IFLS gelombang 4 tahun 2007. Keterbatasan data yang digunakan dalam penelitian ini dapat disempurnakan di masa yang akan datang dengan menggunakan data yang lebih lengkap. Penggunaan data yang lebih lengkap akan menghasilkan penelitian yang lebih mendetail dan menghasilkan rekomendasi yang lebih tepat sasaran untuk evaluasi kebijakan BSM di masa yang akan datang.

E. Saran

Berikut adalah implikasi dari simpulan dan keterbatasan yang telah dipaparkan sebagai berikut:

1. Penggunaan skema CCT yang salah satunya berupa program BSM terbukti

efisien sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan.

2. Temuan penelitian ini sudah sejalan dengan desain program BSM sehingga program ini perlu untuk terus dilaksanakan.

3. Peningkatan besaran dana BSM dipandang perlu untuk menambah dampak program BSM terhadap pekerja anak.

Page 143: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

132 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 144: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DI KABUPATEN KULON PROGO

Nama : Farida Laila Tsani

Instansi : Pemkab Kulon Progo

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 145: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

134 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Kabupaten Kulon Progo; 2) perkembangan produksi dan konsumsi beras di Kabupaten Kulon Progo; dan 3) kebutuhan beras di masa mendatang, apakah produksi padi di Kabupaten Kulon Progo mampu memenuhi kebutuhan dalam daerah. Data panel yang digunakan dalam penelitian ini dari tahun 2005 sampai 2015. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Stata 13. Hasil analisis yang didapat adalah lahan dan traktor berpengaruh positif signifikan terhadap produksi padi, irigasi berpengaruh negatif dan signifikan, benih dan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap produksi padi di Kabupaten Kulon Progo. Kondisi produksi dan konsumsi beras tahun 2005-2015 mengalami surplus beras, dalam arti kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi dalam daerah. Untuk proyeksi konsumsi pada tahun 2025, kebutuhan beras sebanyak 42.542 ton dan proyeksi produksi adalah 59.288 ton beras. Pada tahun 2025 diperkirakan Kabupaten Kulon Progo mengalami surplus beras sebanyak 16.746 ton beras.

Kata kunci: Benih, Lahan, Irigasi, Traktor, Tenaga Kerja, Produksi, Konsumsi, Beras

Page 146: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 135

ABSTACT

Rice is the main food source for most of the population in Kulon Progo District. The construction of several major projects in Kulon Progo District which is currently being implemented is expected to bring a fairly high economic development that could lead to high land conversion of paddy fields that will result in the decrease of rice production in the region, thus impairing food security in the future. The analysis of rice production is conducted on factors affecting production, including fertilizer, seed, land, irrigation, tractor and labor. Analysis of the development of production and consumption is done to see the condition of rice self-sufficiency that occurred in 2005-2015. Consumption analysis is done with projected population growth while projection of production is done with projection of land conversion based on assumption in area with high economic development in 2015. Data processing in this research using software Stata 13. The result of analysis is land and tractor have significant positive effect on rice production, irrigation give negative and significant result, while seed and labor have no effect to paddy production in Kulon Progo District. The condition of rice production and consumption in 2005-2015 has a surplus of rice, in the sense that the needs of rice can be met by the production within the region. For the projection of consumption in 2025, the need for rice is 42,542 tons and the projection of production is 59,288 tons of rice, so that in 2025 it is estimated that Kulon Progo District is still a surplus of rice as much as 16.746 tons of rice.

Keywords: Production, Consumption, Rice, Seed, Fertilizer, Land, Irrigation, Tractor, Labo

Page 147: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

136 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DI KABUPATEN KULON PROGO

A. Latar Belakang

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk di Indonesia. Selain itu, beras juga sebagai komoditas politik yang sangat strategis sehingga produksi beras dalam negeri menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi bangsa Indonesia (Suryana, 2002 dalam Swastika dkk., 2007).

Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Kebutuhan konsumsi beras meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini harus diantisipasi dengan peningkatan produksi padi. Upaya peningkatkan produksi padi dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan (Daniel, 2004 dalam Adhitya, dkk., 2013). Faktor input tersebut di antaranya modal, tenaga kerja, lahan, dan manajemen usaha. Setiap input mempunyai fungsi dan peran dalam menentukan keberhasilan sebuah usaha tani padi (Adhitya, Hartono, dan Awirya, 2013).

Adanya pembangunan Bandar Udara Internasional “New Yogyakarta International Airport” di Kabupaten Kulon Progo akan membawa konsekuensi tingginya pertumbuhan penduduk serta alih fungsi lahan pertanian produktif. Alih fungsi lahan produkitif ini secara langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi jumlah produksi beras yang dihasilkan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Kulon Progo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Kulon Progo; 2) perkembangan produksi dan konsumsi beras di Kulon Progo; 3) berapa kebutuhan beras di masa mendatang, apakah produksi padi di Kabupaten Kulon Progo mampu memenuhi kebutuhan dalam daerah?

Penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi beras antara lain dilakukan oleh Hessie (2009) dan Prasetyo dan Setiani (2011). Hessie (2009) menyatakan faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Indonesia adalah rasio harga riil gabah, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal, intensifikasi serta tren waktu. Secara umum produksi beras di Indonesia selama kurun waktu 1970-2006 belum dapat mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Prasetyo dan Setiani (2011) menganalisis produksi padi di Jawa tengah, selama kurun waktu 2006-2010 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,91 persen/tahun. Faktor yang memengaruhi tingkat produksi padi adalah benih varietas unggul. Penghitungan konsumsi tahun 2020 dengan target penurunan konsumsi berdasarkan Peraturan

Page 148: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 137

Presiden Nomor 22 mengenai target penurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen/tahun. Berkaitan dengan konsumsi, menggunakan asumsi konsumsi beras sebesar 113,21 kg/kapita/tahun. Tahun 2010 Jawa Tengah membutuhkan beras sebanyak 3,734,496 ton/tahun sehingga Jawa Tengah mengalami surplus beras sebesar 2,330,991 ton. Asumsi luas panen dapat dipertahankan dan konsumsi turun sebanyak 1,5 persen/tahun maka tahun 2020 kebutuhan beras di Jawa Tengah akan turun menjadi 3,462,817 ton.

Studi empiris mengenai faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi telah banyak dilakukan. Triyanto (2006) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Jawa Tengah, bahwa pupuk dan benih berpengaruh positif signifikan, irigasi berpengaruh tidak signifikan, sedangkan modal dan sekolah lapang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, jarak rumah petani dengan lahan garapan, serta sistem irigasi memengaruhi peningkatan produksi padi di Boyolali Jawa Tengah (Mahananto, Sutrisno, dan Ananda, 2009). Di Karanganyar Jawa tengah luas lahan, tenaga kerja dan pupuk urea berpengaruh nyata terhadap produki padi (Respikasari, Ekowati, dan Setiadi, 2015). Luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk, obat-obatan, dan air berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah (Prabandari, Sudarma, dan Wijayanti, 2013). Variabel luas lahan, bibit, dan pupuk berpengaruh signifikan terhadap produksi padi (Notarianto, 2011). Di Bengkulu, penggunaan pupuk, tenaga kerja, benih, dan pestisida mampu meningkatkan produksi padi sawah (Makruf, Oktavia, dan Putra, 2011).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Beberapa proyek besar saat ini dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo dimungkinkan akan berpengaruh terhadap berkurangnya lahan sawah produktif. Alih fungsi lahan dikhawatirkan dapat menyebabkan permasalahan penurunan produksi padi. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis produksi dan konsumsi beras sehingga dapat diketahui ketersediaan beras di Kabupaten Kulon Progo pada saat ini maupun masa mendatang. Apakah produksi beras masih dapat memenuhi kebutuhan beras di daerah atau harus mendatangkan beras dari luar Kabupaten Kulon Progo? Selain itu, hasil penelitian diharapkan berguna dalam perencanaan pembangunan serta pengambilan kebijakan terutama di sektor pertanian.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel bebas terdiri atas pupuk, benih, lahan, irigasi, traktor, serta tenaga kerja terhadap variabel tidak bebas, yaitu produksi padi di Kabupaten Kulon Progo. Data yang digunakan, yaitu data panel gabungan dari data time series tahun 2005-2015 dan data cross section 12 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Pengolahan data menggunakan alat bantu Stata 13.

Page 149: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

138 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pengujian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi secara simultan dilakukan dengan menggunakan uji F, sedangkan secara parsial dilakukan dengan menggunakan uji t. Analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan perkembangan produksi dan konsumsi beras di Kabupaten Kulon Progo. Proyeksi kebutuhan beras menggunakan asumsi laju pertumbuhan penduduk pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi pesat dikalikan dengan proyeksi konsumsi perkapita. Proyeksi konsumsi perkapita sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 yang memiliki target penurunan konsumsi 1,5 persen/kapita/tahun (Prasetyo dan Setiani, 2011).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras di Kabupaten Kulon Progo tahun 2005-2015

Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras dalam Kurun Waktu 2005-2015 di

Kabupaten Kulon Progo

Tahun Produksi GKG (ton)

Konversi gabah

menjadi beras (ton)

Jumlah penduduk

(jiwa)

Konsumsi (kg/kap/

th)

Konsumsi (ton/th)

Surplus/defisit (ton)

2005 103,388 64,865,66 373.770 98,19 36,700,48 28,165,19

2006 95,982 60,219,17 374.142 98,77 36,954,01 23,265,16

2007 101,717 63,817,25 374.445 84,03 31,464,61 32,352,64

2008 117,447 73,686,47 374.783 89,52 33,50,57 40,135,89

2009 122,729 77,000,17 364.828 89,70 32,725,07 44,275,10

2010 105,811 66,385,82 389.924 93,64 36,512,48 29,873,34

2011 131,471 82,484,91 393.796 93,84 36,953,82 45,531,09

2012 132,982 83,432,91 397.639 96,60 38,411,93 45,020,98

2013 112,007 70,273,19 401.450 96,30 38,659,64 31,613,56

2014 120,042 75,314,35 405.222 96,20 38,982,36 36,331,99

2015 126,538 79,389,94 408.947 98,80 40,403,96 38,985,98

Rata-Rata

115,465 72,442,71 4.258.946 94,14 36,483.54 35,959,17

Sumber: Kulon Progo dalam Angka BPS KP tahun 2006-2016 dan Kementerian Pertanian 2017 (diolah)

Tabel 1 disajikan untuk melihat perkembangan produksi dan konsumsi beras di Kabupaten Kulon Progo, serta kondisi swasembada beras di tahun 2005-2015. Kebutuhan beras di Kabupaten Kulon Progo selama tahun 2005 sampai dengan 2015 cukup tinggi. Akan tetapi produksi dalam daerah mampu memenuhi kebutuhan beras tersebut, bahkan mengalami surplus. Kondisi surplus beras ini menjadikan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo berinisiatif untuk mensuplai program beras

Page 150: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 139

miskin (Raskin) menggunakan beras produksi lokal yang selanjutnya disebut beras daerah (Rasda) (Bappeda, 2016).

2. Proyeksi Kebutuhan Beras Tahun 2025

Proyek bandara yang saat ini dibangun di Kabupaten Kulon Progo akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada masa yang akan datang dengan konsekuensi pertumbuhan penduduk yang tinggi, diikuti dengan permintaan beras yang meningkat serta alih fungsi lahan sawah yang tinggi. Asumsi yang diberikan adalah Kabupaten Kulon Progo akan berkembang menjadi pusat perekonomian baru di Indonesia. Untuk melakukan proyeksi permintaan beras, perlu dilakukan proyeksi jumlah penduduk. Dalam penelitian ini dilakukan proyeksi jumlah penduduk berdasarkan pertumbuhan penduduk pada daerah dengan pertumbuhan perekonomian yang cukup pesat, yaitu Kota Tangerang Selatan. Di tahun 2015, Kota Tangerang Selatan memiliki laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan tertinggi se-Indonesia, yaitu sebesar 7,25 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk sebanyak 3,64 persen serta alih fungsi lahan sawah sebesar 20 persen (BPS Kota Tangerang Selatan 2011 dan 2017).

Untuk proyeksi konsumsi perkapita digunakan baseline konsumsi kabupaten Kulon Progo tahun 2015. Apabila konsumsi beras sebesar 98,8 kg/kap/tahun, kemudian dikaitkan dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang salah satu targetnya adalah penurunan konsumsi beras 1,5 persen/tahun maka dapat dihitung kebutuhan beras di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 2025. Hasil proyeksi sebagai berikut pada Tabel 2.

Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan Beras di Kabupaten Kulon Progo tahun 2016-2025

Tahun Konsumsi (kg/kap/th) Jumlah penduduk (jiwa) Konsumsi (ton/th)

2016 97,32 410.910 39,989

2017 95,86 412.882 39,578

2018 94,42 414.864 39,172

2019 93,00 416.855 38,769

2020 91,61 418.856 38,371

2021 90,23 434.103 39,171

2022 88,88 449.904 39,988

2023 87,55 466.281 40,822

2024 86,23 483.253 41,673

2025 84,94 500.844 42,542

Sumber: BPS 2017 (diolah)

Page 151: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

140 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Dengan asumsi alih fungi lahan sebesar 20 persen dan produktivitas rata-rata adalah 63,2 kw/ha maka dapat dihitung jumlah produksi padi tahun 2025. Jika dalam satu tahun sawah dapat ditanami 2 kali maka tahun 2025 luas panen adalah 14.931 ha sehingga produksi padi diperkirakan sekitar 94.499 ton GKG atau setara dengan 59.288 ton beras. Dari hasil proyeksi ini dapat diketahui bahwa tahun 2025, Kabupaten Kulon Progo masih mampu berswasembada beras dengan surplus sebanyak 16,746 ton beras.

D. Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Kabupaten Kulon Progo adalah lahan dan traktor, yaitu berpengaruh secara positif signifikan terhadap produksi padi. Irigasi berpengaruh negatif signifikan. Sedangkan benih dan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap produksi padi di Kabupaten Kulon Progo. Secara bersama-sama semua variabel berpengaruh signifikan terhadap produksi padi di Kabupaten Kulon Progo.

2. Perkembangan produksi dan konsumsi beras selama tahun 2005-2015 Kabupaten Kulon Progo mengalami surplus beras yang cukup tinggi. Kebutuhan rata-rata selama 11 tahun adalah 36,485,54 ton/tahun dan produksi rata-rata adalah 72,442,71 ton/tahun sehingga terjadi surplus beras sebesar 35,959,17 ton/tahun.

3. Proyeksi kebutuhan beras sampai tahun 2025 sebanyak 42,542 ton. Dengan asumsi terjadi alih fungsi lahan sebesar 20 persen dan produktifitas dapat dipertahankan seperti saat ini maka tahun 2025 produksi beras di Kabupaten Kulon Progo adalah 59,288 ton beras sehingga terjadi surplus beras sebanyak 16,746 ton beras.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain keterbatasan data benih dan pupuk. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan data primer. Data pada penelitian ini tidak dikonversikan ke satuan yang sama, misalnya diubah dalam bentuk rupiah. Ini dikarenakan keterbatasan data mengenai konversi harga padi, pupuk, lahan, irigasi, traktor, dan tenaga kerja dalam bentuk rupiah dari tahun 2005-2015. Konversi data menjadi satuan yang sama dimungkinkan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Page 152: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

EVALUASI DAMPAK PEMEKARAN DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA

Nama : Febrina Susanti

Instansi : Badan Pusat Statistik

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 153: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

142 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Banyaknya fenomena pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu bukti yang menandai adanya dinamika proses sosial politik pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998. Sebagai konsekuensinya, sekitar 30 persen dana dari pemerintah pusat didistribusikan ke pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah yang semata-mata bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 yang diganti dengan PP Nomor 78 Tahun 2007. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang seberapa besar dampak pemekaran daerah terhadap tingkat kemiskinan dan faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi tingkat kemiskinan di Daerah Otonom Baru (DOB).

Dengan alat analisis PSM with DiD (Propensity Score Matching with Difference in Differences), didapat kesimpulan bahwa pemekaran daerah berdampak signifikan terhadap kenaikan persentase jumlah penduduk miskin dan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,97% dan 0,17%, serta penurunan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,11%. Dengan menggunakan Regresi Data Panel Fixed Effect, didapat kesimpulan ada 9 variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di daerah pemekaran terdiri atas kepadatan penduduk, rasio jumlah murid sekolah SD/MI sederajat, rasio rumah sakit per 10.000 penduduk, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, rasio dokter per 10.000 penduduk, rasio PAD terhadap jumlah penduduk, rasio tempat ibadah per 10.000 penduduk, jumlah kecamatan dan luas wilayah. Untuk itu, pemerintah daerah pada kabupaten atau kota DOB perlu lebih memperhatikan dan memperbaiki kebijakan dalam hal pemberdayaan masyarakat, menambah jumlah kecamatan tanpa perlu membentuk kabupaten atau kota baru, penataan distribusi pendapatan di kalangan masyarakat misalnya melalui pajak dan transfer langsung.

Selain itu, peningkatan usaha yang dapat menyentuh masyarakat miskin secara langsung, misalnya pengaktifan kembali KUD (Koperasi Unit Desa), pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro kecil dan menengah, peningkatan produktivitas hasil pertanian baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, pengembangan inovasi produk-produk hasil pertanian, meningkatkan peluang ekonomi kreatif di setiap level kecamatan bahkan desa seperti membangun desa-desa wisata, menciptakan produk-produk khas unggulan, membangun rumah membaca sebagai salah satu investasi jangka panjang dan berbagai usaha lain yang memungkinkan. Di bidang kesehatan dengan meningkatkan sarana puskesmas dan peninjauan kembali sarana dan prasarana kesehatan seperti rumah sakit dan dokter berkaitan dengan sistem pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat miskin. Di bidang pendidikan, peningkatan kualitas atau kapasitas tenaga pengajar di tingkat SD/MI sederajat dan pembenahan kurikulum yang terarah, membentuk akhlak dan kepribadian yang baik,

Page 154: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 143

berkarakter kuat, mandiri serta memiliki basis pengetahuan agama yang memadai. Peningkatan sarana tempat peribadatan dan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder terkait juga perlu dilakukan dalam memanfaatkan kekayaan alam yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Kata kunci: Evaluasi Dampak, Pemekaran Daerah, Tingkat Kemiskinan, Psm With Did, Regresi Data Panel Fixed Effect

Page 155: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

144 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI DAMPAK PEMEKARAN DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Rahantan (2014) meneliti dampak pemekaran daerah terhadap kesejahteraan masyarakat di Kota Tual. Hasilnya, penulis menyatakan kondisi perkembangan wilayah di Kota Tual dari aspek fisik, yakni fasilitas pendidikan dan fasilitas transportasi; aspek sosial, yakni kependudukan; aspek ekonomi, yakni PDRB dan PDRB perkapita serta pengeluaran konsumsi perkapita; aspek kesejahteraan masyarakat yang diukur dari IPM (Indeks Pembangunan Manusia), kualitas layanan pendidikan, kesehatan dan moda transportasi laut yang diberikan kondisinya jauh lebih baik sesudah pemekaran dan mengalami peningkatan yang berarti. Namun, lain halnya dengan aspek ketenagakerjaan kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Firman (2014) meneliti tentang keefektifan kemitraan kelembagaan dan tata kelola di dua wilayah metropolitan Indonesia, yaitu Kartamantul (Yogyakarta) dan Jabodetabek (DKI Jakarta dan sekitarnya). Hasilnya menunjukkan banyak pemerintah daerah bersikap parokial sehingga menyebabkan sejumlah masalah dalam pemberian layanan yang membutuhkan kerja sama lintas batas khususnya pengelolaan limbah padat dan penyediaan air bersih, serta manajemen transportasi.

Ambya (2014) meneliti di 32 kabupaten atau kota DOB dengan data tahun 2001 sampai dengan 2010 menggunakan alat analisis tipologi klassen, Location Quoetient (LQ), Shift Share, dan Regresi Data Panel. Hasilnya, setelah 5 tahun pertama, ada 22,5 persen DOB dapat menjadi daerah cepat maju dan tumbuh, dan 34,37 persen daerah relatif tertinggal. Lima tahun berikutnya, 21,87 persen DOB cepat maju dan cepat tumbuh dan 12,5 persen relatif tertinggal. Mailendra (2009) meneliti dampak pemekaran wilayah di Provinsi Jawa Barat. Hasilnya menyatakan pemekaran wilayah di Jawa Barat ternyata membuat ketimpangan antardaerah baru dan induk semakin meningkat. Penelitian Megkuningtyas dan Adib (2016) juga menyatakan kondisi yang buruk tentang dampak pemekaran. Hasil penelitianya menyatakan tidak ada perbedaan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah perluasan wilayah dalam kemandirian keuangan, efektivitas pendapatan daerah, efisiensi, sesuai dengan belanja modal, dan pertumbuhan pendapatan daerah.

Selanjutnya, penelitian di bidang kemiskinan yang dilakukan oleh Bonito dkk. (2017) menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak penting terhadap kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pembangunan ekonomi, sedangkan kewirausahaan berdampak pada pembangunan ekonomi, tetapi sedikit atau tidak berdampak pada kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Filipina. Afandi, Wahyuni dan Sriyana (2017) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan

Page 156: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 145

di Indonesia periode 1981-2013. Temuan yang dihasilkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memengaruhi pengurangan kemiskinan, sementara itu inflasi memiliki efek positif yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Investasi asing (FDI) sebagai indikator ekonomi memiliki dampak negatif pada kemiskinan. Selain itu, rasio gini sebagai pengukuran kesetaraan pendapatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Temuan ini menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia bergantung pada ketidakstabilan harga terutama tingkat harga makroekonomi. Tingkat inflasi yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi di Indonesia. Bhattacharya dan Resosudarmo (2015) meneliti dampak pertumbuhan dan percepatan pertumbuhan pada kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, menggunakan dataset panel 26 provinsi selama periode 1977-2010. Hasilnya, percepatan pertumbuhan non-pertambangan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sedangkan percepatan pertumbuhan di pertambangan justru dapat meningkatkan kemiskinan. Suppa (2017) mengusulkan indeks kemiskinan multidimensional yang lebih komprehensif untuk negara perekonomian maju seperti Jerman. Penulis menemukan profil kemiskinan khusus (misalnya untuk orang tua), namun juga kesenjangan kemiskinan subpopulasi berubah dari waktu ke waktu serta memberi dukungan empiris untuk meninggalkan sebuah kekurangan dimensi pendapatan.

Dengan adanya penelitian tentang evaluasi dampak pemekaran daerah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hasil kinerja pemerintahan daerah selama ini, khususnya dalam penanggulangan masalah kemiskinan. Penelitian ini diharapkan dapat diterapkan hingga level provinsi dan kabupaten, khususnya dalam rangka merumuskan sejumlah kebijakan untuk menyusun penataan rencana pemekaran daerah atau pembentukan daerah baru dan menjaga komitmen para elit politik untuk mengatasi masalah kemiskinan antarwaktu, antardaerah dan mengetahui kondisi atau karakteristik dari tingkat kemiskinan itu sendiri.

Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, sebagai berikut:

1. Bagi praktisi (dari sisi praktik), penelitian ini dapat menjadi evaluasi pemekaran daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah ke depan dalam hal penanggulangan masalah kemiskinan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Bagi kalangan akademisi (dari sisi teoritis), penelitian ini dapat menjadi wacana dan referensi tambahan dalam kajian perumusan dokumen kebijakan sebagai bagian dari analisis kebijakan pemekaran daerah di Indonesia.

Page 157: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

146 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Metodologi Penelitian

Pertama-tama penulis mengevaluasi data-data dalam 3 kelompok kabupaten/kota DOB, non-DOB serta daerah induk dan menyajikan rangkuman deskriptif data dalam bentuk grafik. Data-data tersebut terdiri atas 14 indikator yang ada dalam PP Nomor 78 Tahun 2007 sebagai variabel covariate sekaligus variabel independen, 3 variabel outcome persentase jumlah penduduk miskin (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2), sedangkan variabel treatment, yaitu kabupaten/kota DOB dan non-DOB pada estimasi PSM with DiD untuk mengetahui dampak pemekaran daerah terhadap tingkat kemiskinan. Empat belas variabel kovariat tersebut digunakan pada regresi data panel untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan (P0, P1 dan P2) di daerah pemekaran. Proses pengolahan data menggunakan bantuan Program Stata MP14. Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat dari kantor Badan Pusat Statistik RI (Republik Indonesia), Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementrian Dalam Negeri.

Lingkup penelitian ini mencakup 508 kabupaten atau kota se-Indonesia kecuali Provinsi DKI Jakarta yang terbagi atas 171 kabupaten atau kota berstatus DOB dan 337 kabupaten atau kota non-DOB. Data yang digunakan adalah data panel tahun 2000 dan 2011 sampai dengan 2015. Wilayah kabupaten atau kota pada Provinsi DKI Jakarta tidak dimasukkan dalam penelitian ini dikarenakan data PAD masih digabung dengan provinsi sehingga tidak dapat diestimasi level kabupaten atau kota.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data Baseline Setelah Proses Matching

Sebelum melakukan proses matching, terlebih dahulu digambarkan grafik rata-rata perkembangan dari 14 variabel kovariat selama 6 tahun yang dapat dilihat pada bagian lampiran. Variabel dependen (outcome) adalah tingkat kemiskinan yang terdiri atas 3 indikator, yaitu persentase jumlah penduduk miskin (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2), nilai rata-rata ketiga indikator tersebut adalah 25,7%, 5,5%, dan 1,9%. Tingkat kemiskinan pada kabupaten atau kota DOB lebih tinggi dari pada kabupaten atau kota non-DOB.

2. Estimasi Dampak Pemekaran Daerah Menggunakan DiD

Setelah dirasakan kualitas matching baik langkah selanjutnya, barulah menggabungkan data baseline (tahun 2000) dengan data tahun 2011-2015 agar dapat menjadi data panel yang seimbang dan dapat dibandingkan secara apple to apple serta mengontrol time invariant sebagaimana kelemahan metode DiD. Data

Page 158: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 147

untuk sebelum pemekaran hanya menggunakan data tahun 2000 karena data tingkat kemiskinan untuk level kabupaten atau kota belum diestimasi sampai level kabupaten atau kota untuk tahun-tahun sebelumnya. Data setelah pemekaran menggunakan tahun 2011-2015 karena sesuai ketersediaan data kondisi 5 tahun terakhir. Tingkat kemiskinan yang akan diukur dalam penelitian ini menggunakan 3 (tiga) indikator, yaitu persentase jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan. Pemekaran daerah berdampak signifikan terhadap kenaikan persentase jumlah penduduk miskin dan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,967% dan 0,167%, serta penurunan indeks

kedalaman kemiskinan sebesar 0,113%.

3. Estimasi Dampak Pemekaran Daerah Menggunakan 13 Kovariat

Asumsi dasar di balik penerapan sederhana DiD adalah kovariat tidak berubah sepanjang tahun. Tetapi jika variabel-variabel itu bervariasi harus dikontrol dalam regresi untuk mendapatkan efek bersih dari partisipasi program pada hasilnya. Jadi model regresi diperluas dengan memasukkan kovariat lain yang dapat memengaruhi hasil outcome (Khandker, 2010:191). Tabel 10 adalah hasil uji regresi untuk melihat pengaruh karakteristik kabupaten atau kota DOB dan non-DOB terhadap tingkat kemiskinan.

Penelitian ini membuktikan bahwa dampak dari pemekaran daerah terhadap ketiga indikator tingkat kemiskinan P0, P1, dan P2 berurutan sebesar 0,327%, -0,302%, dan 0,088%. Namun, ketiganya tidak signifikan dapat dikatakan bahwa pemekaran daerah tidak berdampak pada tingkat kemiskinan kabupaten atau kota di Indonesia. Berdasarkan hasil pengolahan statistik terdapat sebanyak 12 variabel kovariat dan satu konstanta yang bernilai signifikan. Adapun variabel kovariat yang berpengaruh signifikan terhadap ketiga indikator P0, P1, atau P2 baik pada daerah DOB maupun non-DOB, yaitu variabel tahun, dummy DOB, jumlah penduduk, kepadatan, pertumbuhan ekonomi, rasio jumlah murid-sekolah SD, rasio jumlah murid-sekolah SMP, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, rasio dokter per 10.000 penduduk, rasio PAD perjumlah penduduk, rasio tempat ibadah, dan jumlah kecamatan.

4. Estimasi Dampak Pemekaran Daerah Menggunakan 13 Kovariat dan Metode Fixed Effect

Cara lain untuk mengukur perkiraan DiD dengan menggunakan regresi efek tetap dan bukan kuadrat terkecil biasa (OLS). Regresi efek tetap (fixed effect) mengontrol karakteristik yang tidak teramati dan time invariant yang mungkin memengaruhi variabel hasil/outcome pada kabupaten atau kota (Khandker, 2010:192).

Page 159: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

148 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Berdasarkan hasil regresi fixed effect, telah terjadi penurunan jumlah variabel yang signifikan dari 12 variabel kovariat dan konstanta yang signifikan pada regresi OLS menjadi 10 variabel kovariat dan konstanta yang signifikan pada regresi fixed effect. Kesepuluh variabel kovariat yang signifikan pada ketiga indikator P0, P1, atau P2 adalah variabel tahun, pemekaran daerah, jumlah penduduk, kepadatan, pertumbuhan penduduk, rasio jumlah murid sekolah SMP, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, PAD, rasio tempat ibadah, dan jumlah kecamatan.

5. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian tesis ini dengan menggunakan alat analisis PSM with DiD, Pemekaran daerah signifikan berdampak positif terhadap peningkatan persentase jumlah penduduk miskin dan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,967 persen dan 0,168 persen. Sedangkan terhadap indeks kedalaman kemiskinan, pemekaran daerah signifikan berhasil menurunkan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,113 persen. Asumsi dasar di balik penerapan sederhana DiD adalah kovariat tidak berubah sepanjang tahun. Tetapi jika variabel-variabel kovariat itu bervariasi, mereka harus dikontrol dalam regresi untuk mendapatkan efek bersih dari partisipasi program pada hasilnya. Jadi model regresi diperluas dengan memasukkan kovariat lain yang dapat memengaruhi hasil outcome (Khandker, 2010:191). Dengan menggunakan 13 (tiga belas) karakteristik yang ada dalam penelitian ini seperti jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio rumah sakit, jumlah sekolah murid SD/SMP/SMA, rasio puskesmas, rasio dokter, PAD, rasio PAD, jumlah kecamatan, dan rasio tempat ibadah maka pemekaran daerah dapat disimpulkan tidak berdampak terhadap peningkatan ataupun penurunan tingkat kemiskinan. Sedangkan apabila kita menggunakan regresi fixed effet yang mengendalikan time invariant dan unobserve variable maka pemekaran daerah hanya berdampak terhadap peningkatan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,174 persen dengan tingkat signifikansi sebesar 5 persen.

Hasil penelitian ini mirip atau sejalan dengan penelitian Tang dan Hewning di Cina (2017), yang menyatakan penggabungan kota di Cina tidak berdampak pada GDP perkapitanya. Penelitian Sayori (2009) juga menyatakan dampak pemekaran terhadap pertumbuhan dan perkembangan perekonomian wilayah di Kabupaten Raja Ampat belum tampak secara nyata. Mailendra (2009) menemukan bahwa pemekaran wilayah di Jawa Barat justru memperburuk kondisi dengan membuat ketimpangan antardaerah baru dan induk semakin meningkat. Mengkuningtyas (2016) juga menyatakan tidak ada perbedaan mengenai kinerja keuangan pemerintahan daerah sebelum dan sesudah adanya pemekaran daerah. Hasil penelitian tesis ini juga menggambarkan terjadi perbedaan efek skala sebesar 2 kali lipat antara daerah DOB dan non-DOB pada variabel indeks keparahan

Page 160: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 149

kemiskinan, 1,7 kali lipat pada variabel indeks kedalaman kemiskinan, dan 1,4 kali lipat pada variabel persentase jumlah penduduk miskin setelah adanya pemekaran daerah. Hal ini mirip atau sejalan dengan penelitian Hirota dan Yunoue (2017) yang menyatakan penggabungan kabupaten di Jepang menunjukkan ada perbedaan efek skala fiskal antara kabupaten yang dominan digabung dan kabupaten di bawahnya.

Berdasarkan perhitungan estimasi regresi data panel pada daerah pemekaran, ada 7 variabel independen yang mampu memengaruhi persentase penduduk miskin terdiri atas variabel kepadatan penduduk, rasio jumlah murid sekolah SD/MI, rasio rumah sakit per 10.000 penduduk, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, rasio tempat ibadah per 10.000 penduduk, jumlah kecamatan dan luas wilayah. Pada variabel indeks kedalaman kemiskinan, hanya variabel rasio PAD perjumlah penduduk yang berpengaruh signifikan serta pada variabel indeks keparahan kemiskinan, mampu dipengaruhi oleh 4 variabel independen terdiri atas rasio rumah sakit per 10.000 penduduk, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, rasio dokter per 10.000 penduduk, dan rasio PAD perjumlah penduduk.

Untuk itu, pemerintah daerah tepatnya pada kabupaten atau kota DOB perlu lebih memperhatikan dan memperbaiki kebijakan di bidang kependudukan tepatnya mengenai kepadatan penduduk dengan pemberdayaan masyarakat, misalnya dengan lebih meningkatkan lagi pelatihan-pelatihan berbagai keahlian yang biasa dikenal dengan padat karya tidak hanya yang berhubungan dengan keahlian fisik, tetapi juga yang berhubungan dengan pembukuan, pemasaran, dan manajemen. Hal lain, misalnya pemberian kredit untuk usaha mikro kecil, penataan kota yang ramah lingkungan, penyuluhan-penyuluhan di bidang pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sebagainya. Menambah jumlah kecamatan juga perlu dilakukan tanpa perlu membentuk kabupaten atau kota baru, peningkatan rasio PAD terhadap jumlah penduduk dapat dilakukan dengan penataan distribusi pendapatan di kalangan masyarakat melalui pajak dan transfer langsung.

Di sisi lain perlunya peningkatan usaha yang dapat menyentuh masyarakat miskin secara langsung, misalnya pengaktifan kembali KUD (Koperasi Unit Desa) sebagai lumbung pangan sekaligus wadah aktivitas perekonomian di desa-desa, pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro kecil dan menengah, peningkatan produktivitas hasil pertanian baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, pengembangan inovasi produk-produk hasil pertanian, meningkatkan peluang ekonomi kreatif di setiap level kecamatan bahkan desa seperti membangun desa-desa wisata, menciptakan produk-produk khas unggulan, membangun rumah membaca sebagai salah satu investasi jangka panjang dan berbagai usaha lain yang memungkinkan.

Page 161: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

150 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Di bidang kesehatan, pemerintah daerah perlu meningkatkan sarana puskesmas seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, meninjau kembali pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat berkaitan dengan semakin gencarnya pemerintah pusat dan daerah dalam memberlakukan asuransi BPJS kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat tidak terkecuali masyarakat miskin. Di bidang pendidikan, pemerintah daerah sekarang ini dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas atau kapasitas tenaga pengajar di tingkat SD/MI sederajat dan pembenahan kurikulum yang terarah, membentuk akhlak dan kepribadian yang baik, berkarakter kuat, mandiri serta memiliki basis pengetahuan agama yang memadai.

Pemerintah daerah juga perlu lebih bersinergi dengan pemerintah pusat dan stakeholder terkait dalam hal memanfaatkan luas wilayah yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke agar dapat berdaya guna dan menghasilkan nilai tambah baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia. Peningkatan sarana dan prasarana tempat ibadah yang menjangkau seluruh penduduk umat beragama dan sampai ke seluruh pelosok negeri yang ada di Indonesia sangat diharapkan akan mengurangi kesenjangan yang pada akhirnya juga dapat menurunkan tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia.

D. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Tanpa menggunakan ketiga belas kovariat dan dengan alat analisis PSM with DiD maka dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah signifikan berdampak terhadap peningkatan persentase penduduk miskin sebesar 0,967 persen, pemekaran daerah signifikan berdampak terhadap penurunan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,168 persen, dan pemekaran daerah signifikan berdampak terhadap peningkatan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,113 persen.

2. Apabila memperhitungkan 13 karakteristik kabupaten atau kota maka pemekaran daerah sama sekali tidak berdampak terhadap ketiga indikator tingkat kemiskinan yang digunakan. Apabila diregresi ulang menggunakan metode fixed effect maka pemekaran daerah hanya berdampak signifikan terhadap kenaikan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0,174% dengan tingkat signifikansi sebesar 5%.

3. Ada sembilan faktor yang signifikan mampu memengaruhi persentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan atau indeks keparahan kemiskinan pada daerah pemekaran terdiri atas kepadatan penduduk, rasio jumlah murid sekolah

Page 162: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 151

SD/MI sederajat, rasio rumah sakit per 10.000 penduduk, rasio puskesmas per 10.000 penduduk, rasio dokter per 10.000 penduduk, rasio PAD terhadap jumlah penduduk, rasio tempat ibadah per 10.000 penduduk, jumlah kecamatan, dan luas wilayah.

E. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, tidak hanya membahas dampak pemekaran terhadap kemiskinan secara parsial, tetapi dikaitkan dengan variabel lain seperti ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi karena kemiskinan sangat erat kaitannya dengan ketimpangan dan sejumlah pola (tipologi) pertumbuhan alternatif. Indikator dalam penelitian tingkat kemiskinan ini perlu ditambah berkaitan dengan tingkat kemiskinan multidimensi. Diharapkan akan ada penelitian dampak pemekaran daerah dalam bidang-bidang kehidupan lainnya seperti bidang politik, agama, pendidikan, dan kesehatan karena bidang-bidang tersebut merupakan jalan untuk mengurai masalah kemiskinan khususnya di negara Indonesia. Estimasi level provinsi pun perlu dilakukan untuk penelitian selanjutnya agar hasil penelitiannya lebih nyata dan dapat digunakan untuk evaluasi pemerintah daerah di tiap-tiap provinsi.

Page 163: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

152 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 164: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PENGARUH PILKADA TERHADAP SIKLUS PENGANGGARAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Nama : Frengky Firnando

Instansi : Pemkab Rejang Lebong

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomika Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 165: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

154 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis Pilkada dalam memengaruhi siklus penganggaran belanja (Political Budget Cycle) pada tingkat Pemda Kabupaten atau Kota di Indonesia periode 2010-2016. Pilkada di proyeksikan dengan pelaksanaan Pilkada dan status petahana yang mencalonkan kembali pada Pilkada. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari SIKD Kemeterian Keuangan RI, BPS RI, Kementerian Dalam Negeri, dan KPU RI. Metode analisis yang ditujukan untuk membuktikan hipotesis menggunakan alat analisis regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan Pilkada signifikan memengaruhi besarnya siklus penganggaran belanja secara total maupun perjenis belanjanya. Status petahana signifikan memengaruhi penganggaran belanja modal dan belanja hibah atau Bansos. Jenis belanja yang paling dipengaruhi secara signifikan oleh pelaksanaan Pilkada dan status petahana dalam pencalonan kembali Pilkada adalah penganggaran belanja hibah dan Bansos.

Kata kunci: Pelaksanaan Pilkada, Status Petahana, Siklus Penganggaran Belanja Pemda

Page 166: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 155

ABSTRACT

This research aims to analyze the political budget cycle at the district/municipal in Indonesia during the period 2010-2016. The political factor is projected with elections and reelection status that nominate again on elections at level. The data used in this research is secondary data obtained from information system of finance at district level (SIKD) Ministry of Finance RI, Central Buerau of Statistic (BPS) RI, Ministry of Home Affairs and General Elections Commision (KPU) RI. The analytical tool used in this research is the analysis of panel data regression with fixed effect model estimation techniques. Based on the results of the research, it can be found that elections is significantly influenced the total budgeting cycle of expenditure as well as the expenditures type. While the status of incumbent significantly affect the development expenditure budget and Hibah/Bansos expenditures budget. The types of expenditures that are most significantly affected by elections and incumbent status in electoral candidacy are budgeting on Hibah/Bansos expenditure.

Keywords: Political Budget Cycle, Budget Cycle, Incumbent Status, Elections

Page 167: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

156 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH PILKADA TERHADAP SIKLUS PENGANGGARAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Penganggaran merupakan proses lanjutan dari proses perencanaan, dimana penganggaran menekankan pada aktualisasi dengan pendekatan finansial atau sejumlah dana yang diperlukan untuk merealisasilan sebuah rencana. Kondisi yang terjadi adalah kecenderungan peningkatan pada siklus penganggaran belanja pemerintah daerah, dimana kepala daerah yang sedang menjabat (petahana) akan mencalonkan kembali pada pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) pada periode selanjutnya. Fenomena tersebut terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Ma. Dolores Guillamon, Fracisco Bastida, dan Bernardino Benito tahun 2011 di Spanyol dengan menggunakan data panel antara 322 pemerintah daerah dan rentan data dari tahun 2001-2008.

Political Budget Cycles (PBC) di Indonesia sebelumnya telah dilakukan oleh Bambang Suharnoko Sjahrir, Krisztina Kis-Katos, Günther G. Schulze tahun 2013 menggunakan data tahun 2001-2009 dengan membagi pemilihan kepala daerah ada yang secara langsung dan tidak langsung. Penelitian menunjukkan PBC siginifikan terjadi hanya pada daerah yang melaksanakan Pilkada langsung. Lebih jauh pada jenis penganggaran belanjanya, PBC pada Pilkada langsung tersebut signifikan meningkatkan pada belanja kategori lainnya. Dimana dalam belanja kategori lainnya ini terdapat jenis belanja hibah ataupun bantuan sosial (Bansos) yang diduga menjadi tempat kepala daerah yang mencalonkan kembali untuk mempromosikan atau mendekatkan program kepada masyarakat maupun partai politik agar dipilih kembali pada Pilkada.

Kelemahan pada penelitian oleh Bambang Suharnoko Sjahrir, Krisztina Kis-Katos, Günther G. Schulze tidak menunjukkan secara jelas pada belanja hibah dan Bansos namun, jenis belanja tersebut terdapat dalam kategori belanja lainnya. Pada penelitian tersebut tidak memunculkan untuk kategori belanja modal ataupun belanja pembangunan. Terdapat kecenderungan pembangunan seperti perbaikan jalan raya biasanya menjadi lahan promosi bagaimana kepala daerah yang akan mencalonkan kembali membangun daerahnya.

Pemilihan langsung kepala daerah merupakan bagian dari pemilihan umum sebagai konsekuensi sistem negara yang demokrasi dan menganut otonomi daerah. Pilkada pun mengalami masa dari tidak langsung yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi pemilihan langsung yang dilakukan oleh masyarakat. Perkembangannya pada saat sekarang di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Pilkada di Indonesia akan menuju pada proses menjadi Pilkada serentak yang akan dilaksanakan tahun 2021. Pilkada serentak dilakukan pertama kali

Page 168: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 157

tahun 2015 yang diikuti oleh 261 kabupaten dan kota se-Indonesia. Pilkada serentak tahun 2015 tentunya memberikan warna berbeda pada demokrasi di Indonesia. Jika melihat kembali penelitian yang dilakukan oleh Bambang Suharnoko Sjahrir, Krisztina Kis-Katos, Günther G. Schulze tahun 2013 di Indonesia, tentunya menjadi pertanyaan apakah praktik pendekatan penganggaran dengan dominasi faktor politis masih dilakukan. Menurut Bambang et. al. (2013), kondisi tersebut kemungkinan terjadi pada negara yang belum lama menjalankan demokrasi.

Pendekatan politik pada siklus penganggaran belanja secara dominan, bukan berdasarkan pada pelayanan atas kebutuhan masyarakat tentunya tidak sesuai dengan fungsi utama pemerintah pada pelayanan seperti yang disampaikan oleh Ndraha (dalam Labolo, 2008). Menarik untuk diteliti bagaimana Pendekatan politik pada siklus penganggaran belanja, serta lebih jauh pada jenis penganggaran belanja apa pengaruh dari petahana yang mencalonkan kembali pada Pilkada di masa sekarang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bambang Suharnoko Sjahrir, Krisztina Kis-Katos, Günther G. Schulze tahun 2013, menunjukkan PBC (Political Budget Cycle) signifikan terjadi hanya pada daerah yang melaksanakan Pilkada langsung dengan petahana yang mencalonkan lagi pada periode berikutnya. Disisi lain Pilkada di Indonesia memasuki babak baru, yaitu Pilkada langsung serentak yang pertama tahun 2015. Pendekatan penganggaran belanja dengan pendekatan politik secara dominan tentunya tidak sejalan dengan fungsi pemerintah sebagaimana menurut Ndraha (dalam Labolo, 2011), dimana pelayanan atas kebutuhan menjadi fungsi utama pemerintah. Selain itu, belum teruraikan dengan jelas pada jenis penganggaran belanja apa terjadi peningkatan akibat petahana yang mencalonkan kembali.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor politik yang di proyeksikan dengan pelaksanaan Pilkada dan status petahana yang mencalonkan kembali pada Pilkada terhadap siklus penganggaran belanja pemerintah daerah di Indonesia. Adapun sebagai variabel kontrol (faktor-faktor yang memengaruhi penganggaran belanja) yang digunakan adalah pendapatan asli daerah, pendapatan trasfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah, jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri atas tahun 2010-2016 dari 491 kabupaten dan kota se-Indonesia yang berasal dari SIKD Kementerian Keuangan RI, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan laporan publikasi atau laporan keuangan. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan informasi melalui pendalaman literatur-literatur yang berkaitan dengan

Page 169: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

158 Direktori Mini Tesis-Disertasi

objek studi. Teknik dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dan mendokumentasikan data-data dan informasi yang berkaitan dengan objek studi.

Jenis data yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini sepenuhnya melalui data sekunder. Data yang diperoleh merupakan data-data dari publikasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI, publikasi dari Badan Pusat Statistik, laporan penyelenggaran hasil Pilkada dari Komisi Pemilihan Umum RI (KPU-RI). Data sekunder yang digunakan adalah data deret waktu (time-series) untuk kurun waktu tahun 2010-2016 serta data kerat lintang (cross-section) meliputi 491 kabupaten atau kota di Indonesia. Data yang diperoleh kemudian disusun dan diolah sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Pengaruh pendekatan politik dan variabel kontrol lainnya dalam penganggaran belanja Pemda di Indonesia ditunjukkan dengan tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Keseluruhan Estimasi Model Penganggaran Belanja Pemda di Indonesia

No Variabel Independen

Total Anggaran

Belanja

Anggaran Belanja Operasi

Anggaran Belanja Modal

Anggaran Belanja

Hibah dan Bansos

Anggaran Belanja Lainnya

1. Pelaksanaan Pilkada

0.00532** 0.0139*** -0.0235** 0.1118*** 0.00803

2. Status Pet-ahana

-0.0299 -0.0014 -0.0197** 0.0442** 0.002449

3. PAD 0.0782*** 0.0724*** 0.0960*** 0.0631** 0.05351

4. Pendapatan Transfer

0.9686*** 0.9068*** 1.2192*** 1.1207*** 0.8029***

5. PDRB 0.0294*** 0.0384*** 0.0073 -0.0184 0.0675

6. Jumlah Penduduk

0.0577*** 0.0637*** 0.0315 0.0353 -0.3753*

Jumlah Observasi 3437 3437 3437 3437 3437

Prob > F 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000

R2 0.934 0.9136 0.6885 0.5819 0.0314

Berdasarkan hasil penelitian yang terangkum dalam Tabel 1, pengaruh faktor politis dan variabel lainnya dalam penganggaran belanja menunjukkan sebagai berikut:

1. Total Anggaran Belanja

Pada total anggaran belanja sebagai Y1, faktor politis yang diproyeksikan dengan pelaksanaan Pilkada dan status petahana dalam pencalonan kembali pada Pilkada

Page 170: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 159

menunjukkan hanya pelaksanaan Pilkada signifikan memengaruhi besarnya total anggaran belanja Pemda di Indonesia sebesar 0,532%. Status petahana dalam pencalonan kembali Pilkada tidak signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja Pemda. Sedangkan variabel kontrol lainnya seperti besarnya PAD, pendapatan transfer, PDRB dan jumlah penduduk secara keseluruhan memengaruhi besarnya total anggaran belanja Pemda secara signifikan.

Jika melihat pada besarnya R2 dan uji statistik F maka model dapat digunakan dengan sangat baik dalam mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh politis masih ada dalam besarnya total penganggaran belanja Pemda, namun sangat kecil pengaruhnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa masih terjadi Political Budget Cycle pada Pemda di Indonesia oleh Bambang et al. Namun, pada status petahana yang mencalonkan kembali tidak signifikan memengaruhi total penganggaran belanja Pemda di Indonesia

2. Anggaran Belanja Operasi

Pada model anggaran belanja operasi sebagai variabel independen (y2), hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan Pilkada signifikan memengaruhi besarnya anggaran belanja operasi Pemda di Indonesia sebesar 1,39%. Namun, status petahana dalam pencalonan kembali Pilkada tidak signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja operasi Pemda. Variabel kontrol lainnya seperti PAD, pendapatan transfer, PDRB dan jumlah penduduk secara keseluruhan memengaruhi besarnya anggaran belanja operasi Pemda secara signifikan. Jika melihat pada besarnya R2 dan uji statistik F maka model dapat digunakan dengan sangat baik dalam mengukur pengaruh variabel independen. Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh politis masih ada dalam besarnya penganggaran belanja operasi Pemda.

3. Anggaran Belanja Modal

Pada model anggaran belanja modal sebagai variabel dependen (y3), hasil penelitian menunjukkan faktor politis yang diproyeksikan dengan pelaksanaan Pilkada dan status petahana secara signifikan menurunkan besarnya anggaran belanja modal Pemda di Indonesia dengan pelaksanaan Pilkada sebesar 2,35% dan status petahana sebesar 1,97%. Pada variabel kontrol hanya besarnya PAD dan Pendapatan transfer yang signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja modal Pemda. Sedangkan, variabel PDRB dan jumlah penduduk tidak signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja Pemda di Indonesia. Jika melihat pada besarnya R2 dan uji statistik F maka model dapat digunakan

Page 171: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

160 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dengan sangat baik dalam mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

Hasil penelitian ini menunjukkan Political Budget Cycle berpengaruh negatif terhadap besarnya penganggaran belanja modal. Hal ini berbeda dengan temuan oleh Orville tahun 2009 di Filipina bahwa besarnya penganggaran belanja pembangunan dipengaruhi secara positif oleh politis. Berdasarkan pengertiannya tentunya belanja modal pada akuntansi keuangan daerah di Indonesia mempunyai pengertian belanja pembangunan. Sejauh ini belum ada fenomena yang mampu menjelaskan, namun berat dugaan peneliti bahwa anggaran belanja modal dialihkan menjadi belanja operasional atau belanja lainnya. Mengingat penyerapan belanja modal di Indonesia seringkali tidak mencapai target.

4. Anggaran Belanja Hibah dan Bansos

Pada anggaran belanja hibah dan Bansos sebagai variabel dependen (Y4), hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan Pilkada dan status petahana dalam Pilkada secara signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja hibah dan Bansos Pemda dengan pelaksanaan Pilkada sebesar 11,18% dan status petahana sebesar 4,42%. Variabel kontrol lainnya hanya besarnya PAD dan Pendapatan transfer yang signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja hibah dan Bansos. Sedangkan, PDRB dan jumlah penduduk tidak signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja hibah dan Bansos Pemda. Jika melihat pada besarnya R2 dan uji statistik F maka model dapat digunakan dengan sangat baik dalam mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

Hasil penelitian ini menunjukkan status petahana memengaruhi besarnya penganggaran belanja hibah dan Bansos, begitu juga dengan pelaksanaan Pilkada. Hasil ini sesuai dengan dugaan peneliti berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Suharnoko et. al., di Indonesia tahun 2013 di Indonesia, namun pada penelitiannya Suharnoko tidak menguraikan secara khusus belanja hibah dan Bansos. Penelitian ini menghasilkan penemuan faktor politis memengaruhi sangat kuat dalam penganggaran belanja hibah dan Bansos dibandingkan dengan penganggaran belanja lainnya.

5. Anggaran Belanja Lainnya

Pada anggaran belanja lainnya sebagai variabel dependen (Y5), hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan Pilkada dan status petahana dalam pencalonan tidak signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja lainnya. Variabel yang signifikan memengaruhi besarnya penganggaran belanja lainnya adalah

Page 172: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 161

pendapatan transfer Pemda sebesar 80,29% dan jumlah penduduk signifikan pada 10% memengaruhi berkurangnya penganggaran belanja lainnya sebesar 37,53%. Jika melihat pada rendahnya nilai R2 model ini tidak begitu baik mendefinisikan model, namun pada uji statistik F, model dapat digunakan dengan baik dalam mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor politis tidak memengaruhi besarnya penganggaran belanja lainnya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan mengenai pendekatan politik dalam siklus penganggaran belanja Pemda di Indonesia tahun 2010-2016 maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Pilkada memengaruhi secara signifikan besarnya penganggaran belanja Pemda di Indonesia yang terdiri atas besarnya total penganggaran belanja sebesar 0,532% dan secara pembagian jenis penganggaran belanja Pemda terdiri atas penganggaran belanja operasi sebesar 1,39%, penganggaran belanja modal sebesar -2,35% dan penganggaran belanja hibah Bansos sebesar 11,18%. Namun, pelaksanaan Pilkada tidak memengaruhi besarnya penganggaran belanja lainnya.

2. Status petahana yang mencalonkan lagi pada Pilkada hanya memengaruhi secara signifikan pada penganggaran belanja modal sebesar -1,97% dan penganggaran belanja hibah Bansos sebesar 4,42%. Pada total penganggaran belanja, penganggaran belanja operasi dan penganggaran belanja lainnya status petahana tidak signifikan memengaruhi.

3. Jenis penganggaran belanja Pemda di Indonesia paling dipengaruhi oleh faktor politis adalah pada besarnya penganggaran belanja hibah dan Bansos. Dengan pelaksanaan Pilkada memengaruhi 11,18% dan status petahana memengaruhi

4,42%.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan di atas maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian bahwa penganggaran belanja hibah dan Bansos dipengaruhi oleh faktor politis maka perlu dilakukan pengawasan lebih ketat dalam pemberian hibah dan Bansos meskipun Kementerian Dalam Negeri RI telah melakukan revisi peraturan mengenai penganggaran dana hibah

Page 173: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

162 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan Bansos. Penekanan penggunaan belanja hibah dan Bansos juga bisa menjadi alternatif solusi dengan menggunakan batasan besarnya nilai dengan mempertimbangkan karakteristik Pemda dan kemampuan keuangannya. Pengalihannnya bisa dengan Pemda menggunakan pos belanja subsidi, jika melihat data dari SIKD Kementerian Keuangan RI yang masih sedikit Pemda menggunakan pos belanja tersebut.

2. Hasil penelitian lainnya menunjukkan terjadi kecenderungan faktor politis menurunkan besarnya penganggaran belanja modal. Hal ini tentunya bertentangan dengan belanja modal sebagai belanja pembangunan yang mampu mendorong perekonomian, belum lagi jika melihat realisasi yang kecil dari beberapa Pemda. Penguatan peraturan pendukung dan pengawasan tentunya dapat menjadi solusi alternatif.

Page 174: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PENGARUH PENDIDIKAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI DIY TAHUN 2007-2015

Nama : Galuh Perwita Sari

Instansi : Badan Pertanahan Nasional

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 175: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

164 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kemiskinan masih menjadi masalah utama yang dihadapi oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tingkat kemiskinan di DIY terbilang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional. Kemiskinan bersifat multidimensi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan seperti pendidikan, kesehatan, tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, serta akses terhadap barang dan jasa.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang terdiri atas data cross section pada 5 kabupaten atau kota di DIY dan data time series selama tahun 2007‒2015. Alat analisis yang digunakan adalah regresi data panel. Teknik estimasi data panel yang digunakan adalah fixed effect model (FEM).

Hasil analisis menunjukkan variabel pendidikan dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY, sedangkan variabel pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan pada variabel pendidikan dan pertumbuhan ekonomi maka akan menurunkan tingkat kemiskinan di DIY.

Kata kunci: Kemiskinan, Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran

Page 176: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 165

ABSTRACT

Poverty is still the main problem faced by Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). The poverty rate in DIY is quite high, even higher than the national poverty rate. It has a multidimensional which influenced by various interrelated factors such as education, health, income level of society, unemployment, and access to goods and services. This study aims to analyze the effect of education, economic growth, and unemployment on poverty rate in DIY. The data used in this study is panel data consisting of cross section data in five districts/cities in DIY and time series data from 2007 to 2015. The analysis tool used is panel data regression. The panel data estimation technique used is fixed effect model (FEM). The result shows that the variable of education and economic growth have negative and significant effect to the poverty rate in DIY, while the unemployment variable is not significant. It means that if there is an increase in the variables of education and economic growth would decrease the poverty level in DIY.

Keywords: Poverty, Education, Economic Growth, Unemployment.

Page 177: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

166 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH PENDIDIKAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN

DI DIY TAHUN 2007-2015

A. Latar Belakang

Di Indonesia kemiskinan masih menjadi masalah pokok yang semakin mengkhawatirkan, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997‒1998. Kondisi krisis ekonomi pada tahun tersebut telah membuat krisis multidimensi yang menyebabkan banyak penduduk Indonesia masuk ke dalam jurang kemiskinan. Tahun 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 28,59 juta orang atau 11,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2015).

Tahun 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, menyetujui adanya Millenium Development Goal (MDG) yang merupakan seperangkat 8 tujuan sebagai komitmen untuk menghapus kemiskinan dan mencapai tujuan pembangunan manusia tahun 2015 (Todaro dan Smith, 2011:28). Di Indonesia upaya pengentasan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Salah satu upaya percepatan pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dibentuk tahun 2014.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan pembangunan yang diarahkan pada pembangunan daerah, khususnya bagi daerah yang memiliki angka kemiskinan yang tergolong tinggi. Permasalahan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat, tetapi juga menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah. DIY sebagai salah satu provinsi yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, justru memiliki tingkat kemiskinan juga tinggi.

DIY tahun 2015 memiliki IPM yang berada di peringkat kedua di Indonesia, dengan nilai sebesar 77,59. Angka ini tentunya menunjukkan pencapaian yang baik bagi pemerintah daerah dalam pembangunan manusia di DIY. Namun, yang menjadi pertanyaan besar ketika nilai IPM DIY tinggi, justru tingkat kemiskinan di DIY juga masih tinggi.

Perkembangan tingkat kemiskinan di DIY masih tergolong tinggi. Penurunan angka kemiskinan di DIY pada periode 2007-2015 mengalami perlambatan, yaitu hanya sebesar 0,72 persen rata-rata pertahunnya. Tahun 2015 tingkat kemiskinan di DIY sebesar 13,16 persen, masih di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional sebesar 11,22 persen. Masih tingginya angka kemiskinan di DIY menunjukkan upaya penanggulangan

Page 178: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 167

kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu berjalan secara maksimal sehingga pemerintah khususnya pemerintah DIY harus bekerja lebih keras.

Oleh karena itu, kemiskinan bersifat multidimensi maka perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kemiskinan agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat berjalan secara efektif. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh faktor pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran terhadap penurunan tingkat kemiskinan di DIY. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah terkait dalam merumuskan kebijakan dan program penurunan tingkat kemiskinan. Selain itu, di bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca atau peneliti yang lain.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Upaya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY telah menunjukkan keberhasilannya, terutama jika dilihat dari pencapaian dalam bidang pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Akan tetapi menjadi suatu hal yang bertolak belakang, di mana tingkat kemiskinan di DIY juga tergolong tinggi. Bahkan tingkat kemiskinan di DIY lebih tinggi dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan di DIY. Dengan latar belakang tersebut, untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di DIY diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di DIY, yaitu pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran.

Desain dalam penelitian ini adalah penelitian explanatory yang berfokus pada pengujian teori yang sudah mapan pada konteks penelitian yang berbeda. Penelitian ini melakukan pengujian hipotesis untuk menganalisis pengaruh dari variabel pendidikan, pertumbuhan ekonomi (PDRB riil perkapita), dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten atau kota di DIY tahun 2007-2015. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut berupa data panel yang merupakan gabungan data kabupaten atau kota di DIY selama tahun 2007-2015. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber referensi pustaka lainnya seperti jurnal, buku, artikel, dan lain-lain.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka dan dokumentasi. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah berbagai pustaka yang terkait dengan penelitian, sedangkan dokumentasi dilakukan dengan pengambilan data sekunder dari publikasi instansi terkait. Penelitian ini menggunakan variabel tingkat kemiskinan sebagai variabel independen. Kemudian untuk variabel dependen terdiri atas variabel pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran.

Page 179: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

168 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Stata 13. Analisis ini digunakan untuk menganalisis bagaimana pengaruh variabel pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di DIY.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder meliputi data tingkat kemiskinan, angka partisipasi murni (APM), PDRB riil perkapita, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Tingkat kemiskinan di DIY tahun 2007-2015 terus mengalami penurunan. Akan tetapi, angka tersebut masih tergolong tinggi karena masih di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional. Sepanjang tahun 2007-2015 tingkat pendidikan di DIY yang diproksikan dengan angka partisipasi murni (APM) mengalami tren meningkat. Begitu juga perkembangan PDRB riil perkapita di DIY meningkat dari tahun ke tahun. Berbeda dengan tingkat pendidikan dan PDRB riil perkapita, perkembangan tingkat pengangguran terbuka di DIY cenderung mengalami tren yang menurun.

1. Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan variabel pendidikan yang diproksikan dengan Angka Partisipasi Murni (APM) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Semakin meningkat angka partisipasi murni maka tingkat kemiskinan DIY akan semakin menurun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang mendukung hubungan negatif antara pendidikan dan tingkat kemiskinan. Vijayakumar dan Olga (2012) melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Sri Lanka. Perzes (2014) juga melakukan penelitian mengenai kemiskinan di Pakistan yang hasilnya menunjukkan tingkat pendidikan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Pakistan, 1972‒2006. Hal ini didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Sharp et al. (1996 dalam Kuncoro 2006:120) yang menyatakan penyebab kemiskinan dipandang dari segi ekonomi salah satunya disebabkan oleh perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, pada gilirannya upahnya juga rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan.

2. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Riil Perkapita) terhadap Tingkat Kemiskinan

Variabel PDRB riil perkapita berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga sejalan dengan

Page 180: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 169

hasil penelitian ini yang mendukung hubungan negatif antara PDRB dan tingkat kemiskinan. Weiser (2011) dalam hasil penelitiannya pada 65 negara berkembang menunjukkan pertumbuhan PDB perkapita merupakan salah satu kontributor penting dan signifikan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan terutama dalam jangka panjang untuk negara-negara berpenghasilan rendah. Penelitian yang dilakukan Iradian (2005) di 82 negara juga menunjukkan hasil pertumbuhan ekonomi (PDB riil perkapita) berhubungan secara negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Selain itu, penelitian di dalam negeri yang dilakukan oleh Rusdarti dan Sebayang (2013) di Jawa Tengah periode 2006‒2007 juga menunjukkan hasil bahwa PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

Peningkatan tingkat PDRB riil perkapita berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di DIY. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB riil perkapita kabupaten atau kota tertinggi di DIY adalah Kota Yogyakarta merupakan kota dengan tingkat kemiskinan terendah di DIY, yaitu dengan rata-rata sebesar 9,51 persen. Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh Kota Yogyakarta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di kota tersebut. Sebaliknya, Kabupaten Kulon Progo yang memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di DIY, memiliki nilai rata-rata PDRB riil perkapita paling rendah.

3. Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan

Variabel tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Tingginya angka pengangguran terbuka di perkotaan seperti Kota Yogyakarta dimungkinkan karena di perkotaan tingkat pendidikan masyarakatnya rata-rata lebih tinggi sehingga tenaga kerja akan memilih menganggur secara sukarela daripada harus bekerja, tetapi tidak pada bidangnya atau kompensasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, fakta tersebut membuktikan bahwa tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY.

Berdasarkan hasil tersebut maka hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dan penelitian terdahulu yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini. Akan tetapi, ada beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki hasil sama dengan penelitian ini. Rusdarti dan Sebayang (2013) dalam penelitiannya di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan hasil bahwa jumlah pengangguran tidak berpengaruh signifikan secara statistik terhadap tingkat kemiskinan. Artinya, indikator kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan oleh tingkat pengangguran melainkan oleh indikator lain. Selain itu, hasil penelitian Amalia (2012) di kawasan timur Indonesia (NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua) menunjukkan hasil bahwa pengangguran

Page 181: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

170 Direktori Mini Tesis-Disertasi

tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Tidak berpengaruhnya variabel pengangguran salah satunya dapat terjadi karena para pegangguran hanya akan mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan bidang maupun tingkat penghasilan yang diinginkan saja, serta tidak mau mencari pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang dan tingkat upah yang diharapkan.

Lebih lanjut Arsyad (2010:360) menyatakan sangat keliru jika ada anggapan bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah orang miskin, sedangkan yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Karena kadangkala ada juga pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Para pekerja menolak pekerjaan-pekerjaan yang dirasakan lebih rendah dan para pekerja bersikap demikian karena mempunyai sumber-sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Orang-orang seperti ini dapat disebut menganggur, namun belum tentu miskin. Sama halnya dengan individu yang mungkin bekerja secara penuh perhari, namun tetap memperoleh pendapatan yang kurang, misalnya para pekerja “mandiri” di sektor informal perkotaan. Orang-orang yang seperti ini didefinisikan “bekerja secara penuh” tetapi tetap miskin.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Hal ini berarti apabila pendidikan meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan di DIY.

2. Pertumbuhan ekonomi (PDRB riil perkapita) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY. Hal ini berarti apabila PDRB riil perkapita meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan DIY.

3. Pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di DIY.

E. Saran

Berdasarkan simpulan tersebut dapat diambil beberapa implikasi atau rekomendasi. Implikasi atau rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan di DIY adalah sebagai berikut:

1. Program pembangunan yang memfokuskan pada peningkatan akses pelayanan dasar bagi masyarakat miskin, khususnya di bidang pelayanan pendidikan dan kesehatan seperti memberikan program bantuan pendidikan

Page 182: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 171

gratis sampai jenjang perguruan tinggi bagi masyarakat miskin, peningkatan jumlah dan kualitas tenaga pengajar terutama di daerah pedesaan, memberikan kemudahan dan keterjangkauan terhadap akses pelayanan kesehatan khusus bagi masyarakat miskin dengan memberikan pengobatan atau pelayanan kesehatan gratis, serta peningkatan fasilitas kesehatan di pedesaan misalnya dengan mobilisasi Puskesmas keliling atau pembangunan Puskesmas Pembantu.

2. Program peningkatan kemandirian ekonomi bagi masyarakat miskin seperti memberikan program penguatan permodalan usaha bagi industri kecil atau industri rumah tangga melalui program bantuan kredit lunak dan access reform (sertifikasi tanah) serta program pendampingan usaha kecil dengan memfasilitasi penerapan teknologi tepat guna dan menciptakan peluang pasar yang berdaya saing.

3. Jumlah penduduk miskin lebih banyak berada di pedesaan dengan mayoritas mata pencahariannya adalah di bidang pertanian. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan sektor pertanian beserta industri pengolahannya dengan berbasis pada teknologi tepat guna sehingga akan dihasilkan produk pertanian yang bernilai tinggi sehingga nantinya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

4. Program pembangunan infrastruktur yang mampu menunjang perekonomian masyarakat seperti pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan fasilitas pendidikan, dan revitalisasi pasar.

Page 183: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

172 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 184: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

OPENNESS AND INFLATION RELATIONSHIP: A CROSS-COUNTRY EVIDENCE DURING 1989-2014

Nama : Karmila

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 185: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

174 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Makalah ini memberikan bukti empiris tentang hubungan antara keterbukaan dan inflasi, menggunakan analisis penampang yang mencakup periode 1989-2014. Hasil dari keseluruhan penampang untuk 167 negara mendukung temuan Romer (1993), menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara keterbukaan dan inflasi. Namun, hubungan negatif ini tidak bertahan untuk negara maju dan kurang kuat pada periode sub 1999-2014. Prosedur dua tahap paling (2SLS) juga digunakan untuk mengatasi kemungkinan keterbukaan dari keterbukaan. Dengan menggunakan log populasi dan log area lahan sebagai variabel instrumental, perkiraan 2SLS menegaskan prediksi yang konsisten dan memberikan perkiraan yang lebih kuat. Makalah ini juga menemukan bahwa peningkatan pertumbuhan uang memiliki dampak positif pada tingkat inflasi dan peningkatan pendapatan per kapita memiliki dampak negatif terhadap tingkat inflasi.

Kata kunci: Inflasi, Keterbukaan, Pertumbuhan Uang, Pendapatan Per Kapita

Page 186: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 175

ABSTRACT

This paper provides an empirical evidence of the relationship between openness and inflation, using cross-section analysis covering period 1989-2014. The results of the overall cross-section for 167 countries supports Romer’s (1993) finding, showing the significant negative relationship between openness and inflation. However, this negative relationship not hold up for developed countries and less robust in the sub period of 1999-2014. The two-stage least procedure (2SLS) also employed to address the possible endogeneity of openness. Using log of population and log of land area as the instrumental variables, the 2SLS estimates confirms the consistent predictions and provide stronger estimates. This paper also found that the increase in money growth has a positive impact on the inflation rate and the increase in the income per capita has a negative impact tothe inflation rate.

Keywords: Inflation, Openness, Money Growth, Income Per Capita

Page 187: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

176 Direktori Mini Tesis-Disertasi

OPENNESS AND INFLATION RELATIONSHIP: A CROSS-COUNTRY EVIDENCE DURING 1989-2014

A. Background

After suffering from the periods of high inflation in the 1970s and 1980s, the world’s average inflation tended to moderate since 1990s. The world’s average inflation declined from 8.46% in the periods 1980s to 3.13% in the period 2010s. In the mean time, as the emergence of globalization, the proportion of international trade on the world’s GDP has been increase sharply from 38.2% in 1980s to 60.04% in the 2010s. Looking in more detail, the level of openness or ratio imports to GDP has risen gradually from 19.31% in the 1980s to 29.74% in the 2010s. The question arises whether there is a strong relationship between openness and the trend disinflation.

Most of the traditional inflation theories pay little attention about the effect of globalization on the price level. Since the process of globalization has been wide-ranging, the inclusion of openness in the analysis of inflation appears to be more relevant in recent. In general, a more open economy will face greater external shocks coming from the fluctuations in global output. The positive (or negative) global output shocks will reduce (or increase) world price level and, in turn, will affect the domestic price. Correspondingly, a more open economy is less sensitive to domestic capacity constraints because an immediate increase in domestic demand will be followed by an increase in imports rather than an increase in prices (MikolajunLogde, 2016). However, the various consequences of openness on inflation vary from one country to another, based on the structure of the economy and the mechanism in which openness could affect inflation (Ali, 2012).

Many researchers have observed the relationship between openness to trade and inflation. Openness could be calculated by the ratio of imports to GDP, exports to GDP, or total trade to GDP. The inflation rate could be measured by the GDP deflator or Consumer Price Index (CPI). Based on an empirical study, the relationship between openness and inflation in the period 1973-1988 was negative and robust in most of countries except the OECD countries (Romer, 1993). Using data from 114 countries, Romer (1993) investigated the correlation between openness and inflation in the period1973-1988 in the absence of the prior commitment of the central bank. Romer found that an increase degree of openness will decrease a central bank’s tendency to enforce an unanticipated inflationary policy and result in a lower level of inflation. Unanticipated monetary expansion generates real exchange rate depreciation and it could damage in more open economies. He predicted these argumentation using cross-country data.

Page 188: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 177

According to Wayne and Kersting (2007), openness has direct consequences on inflation through import prices. As countries become more open to world trade, the share of imports typically increases, either the imports final/consumption goods or intermediate goods. The degree of these consequences depends on the proportion of import goods in the household consumption bundle and the proportion of intermediate goods in the production process. When the cheaper final goods from abroad enter the domestic market, it will put pressure on domestic firms to lower their products’ prices. More specifically, buying tradable goods from low-cost economies creates spillover effects on other goods and reduces the general price level.

Lane (1997) found that the negative link between openness and inflation also holds for OECD countries. The result is significant using alternative measures of openness and the inclusion of other determinants of inflation, such as per capita income, central bank independence, and political instability.

Terra (1998) found that the impact of openness on inflation was more significant in heavily indebted countries during the debt periods. the impact of openness on inflation was more significant in heavily-indebted countries during the debt periods. Since foreign debt is mostly a public sector liability, these ‘overborrowed’countries usually collect resources from taxes on the private sector.

Ashra (2002) observed that this negative relationship also holds for developing countries from 1980 to 1990. He concludes that the relationship between openness and inflation was much stronger in non-hyper inflation countries, large economies, and for non-South Asian countries. In addition, the growth of money supply and the growth of agricultural output have a significant impact on the inflationary process in these developing countries.

However, since the increase of trade openness has been a continous process, starting before the trend of the declining of inflation, there is little agreement on this issue. Ball (2006) argued that there is a weak evidence to link globalization and the change of inflation behaviour. In addition, the direction and strength of the relationship between these factors also depends on the methodology of the research. For example, Bleaney (1999) revealed that the inverse and robust link between openness and inflation had dissapeared between 1989 and 1998. In contrast, Sachsida and Mendonca (2015) argue that this adverse relationship is not common for some countries or for a defined time period.

The main objective of this paper is to re-estimate the relationship between oppeness and inflation in the period 1989-2014 using cross-country data. Secondly, the paper will observe the effects of other economic features that could explain the inflation

Page 189: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

178 Direktori Mini Tesis-Disertasi

by utilizing several control variables, namely real income per capita, money growth, agriculture value added, central bank transparency index, and political instability index. The aim of this method is to test whether this relationship is persistent by controlling these variables.

1. The relationship between openness and inflation is negative and significant.

2. The effect of money growth on inflation is positive and significant.

3. The impact of income per capita on inflation is negative and significant.

B. Research Methods

The basic model of this paper utilizes the ordinary least squares estimates (OLS) with a cross-section method, as suggested by Romer (1993) and Bleaney (1999). The cross-country regressions emphasize the variation in the average value of the variables during the periods of observation. Kim, Lin, & Wu. (2016) state that this methodology captures the facts that each country is different in the extent and level of openness, in the development, the application of inflation policy, and in other economic features. These structural characteristics tend to be constant, requiring certain time and efforts to change, which may cause variations in the impactof openness on inflation across countries.

Thus, the model of this paper written as follows. One of the obstacles of OLS method is the problem of endogeneity and should be re-estimated using instrumental variables. Hence, this paper apply two-stage least squares (2SLS) methods by using the country size (population and land area) as the instruments of openness.

Most of the data are taken from World Bank Indicator (WDI). Regarding central bank transparency index, this paper adopted the index by Dincer and Eichengreen (2013) that constructed for the year 2010. For the political instability index, the paper use the 2009 political instability measurement developed by the Economist.

C. Data Analysis and Results

This section presents estimation results and analysis. The regression of the cross-section estimates for the full sample from 1989 to 2014. The estimation and results are correspond with the hypothesis that openness is negatively correlated with inflation and the parameters are statistically significant with t-value of -3.08. This result also consistent with previous work by Romer (1993) and Lane (1999) which show that the higher level of openness is associated with lower inflation rate. The point estimate is that a 1% increase in import ratio to GDP will lower inflation at 0.011%.

Page 190: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 179

Table 1. Cross-Country Regression (OLS) for the Full Sample

Regression (1) (2) (3) (4) (5)Constant 2.11

(0.182)4.014

(0.330)3.724

(0.343)4.564

(0.803)3.062(1.169)

Openness -1.109**(0.360)

-0.881**(0.329)

-0.926**(0.351)

-0.989**(0.374)

-1.023**(0.453)

log_capInc -0.241***(0.037)

-0.204***(0.042)

-0.284**(0.080)

-0.229**(0.106)

M_g 0.044**(0.182)

0.042**(0.018)

0.018**(0.008)

Agri_va -0.010(0.008)

-0.782(1.014)

trans_index -0.008(0.065)

Pol_inst 0.219**(0.065)

R-squared 0.050 0.233 0.228 0.223 0.40

Observation 167 166 151 144 86

Note: Standard error are in the parentheses, heteroscedasticity are orrected Dependent variable in OLS regression is log of average inflation *,**, and *** denote significanceat 10%, 5%, and 1% respectively

The second column shows that income per capita is negatively associated with inflation with a t-value of -6.50. This implies that the inflation rate tends to decline as income per capita increases. Moreover, with the addition income per capita as control variable, this relationship between openness and inflation still robust. In particular, when income per capita increases by 1%, the inflation rate will decrease by 0.24%. As expected, the relationship between money growth and inflation is positive and significant. An increase of 0.10 in money growth might increase inflation around 0.0044 %. Hence, money growth remains as an important determinant of the inflationary process in the period 1989-2014. According to the Monetarists proposition, an increase in the money supply influences both prices and output in the short run, but only increases prices in the long run. The findings of this paper are consistent with Mc.Candless and Webber (1995) and Walsh (2003) that there is a correlation between the rate of growth of money supply and the rate of inflation in the long term. The estimates result of the relationship between openness and inflation in developing and developed countries are reported as follows.

Page 191: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

180 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Table 2. OLS Estimate for the Developing and Developed Countries

Developing Countries Developed Countries

Regression (6) (7) (8) (9)Constant 2.573

(0.181)3.455

(0.399)0.516

(0.267)10.002(1.035)

Openness -2.032***(0.37)

-1.634***(0.412)

1.453**(0.589)

-.0026(0.415)

log_capInc -0.138**(0.055)

-0.876***(0.096)

R-squared 0.159 0.258 0.121 0.749

Observation 116 116 32 32

Observation 167 166 151 144

Note : - Standard error are in the parentheses, heteroscedasticity are correctedDependent variable in OLS regression is log of average inflation *,**, and *** denote significance at 10%, 5%, and 1% respectively

Table 2 shows that the hypothesis holds for developing countries without any control variables employed. Then, by controlling income per capita, the relationship is still robust, although the coefficient is weakened (column 7). These findings are consistent with the previous findings by Ashra (2002), that the relationship between openness and inflation is more significant in developing countries than in developed countries. On the other hand, the link between openness and inflation does not hold for developed countries. As argued by Romer (1993), these developed countries, which are usually characterized by a high level of income and more advanced monetary institutions, may have succeeded in solving the problem of time inconsistency in monetary policy.

Table 3. The 2SLS Estimates

Regression (14) (15)Constant 2.77

(0.271)4.174

(0.396)

Openness -2.659***(0.616)

-2.261***(0.579)

log_capInc -0.188***(0.0475)

M_g 0.041**(0.017)

R-squared - 0.233

Observation 166 150

Note : - Standard error are in the parentheses, heteroscedasticity are correctedDependent variable in 2SLS regression is log of average inflation *,**, and *** denote significant at 10%, 5%, and 1% respectively Intrumental variables are log of land area and log of population

Page 192: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 181

Table 3 reports the two-stage least square (2SLS) using log of land and log of the population as instrument variables. Overall, the 2SLS coefficient estimates are larger than OLS estimates. The higher coefficient of 2SLS estimates compared to OLS estimates implies that OLS underestimates the negative effect of openness on inflation.

Column (14) reports the simple regression of log of average inflation on openness and constant, the coefficient of OLS estimates is -1.2, whereas the coefficient of 2SLS estimates is -2.6. Column (15) report the estimates with the inclusion of income per capita and money growth as control variables. Which shows that the point estimates of openness are lower but still robus.

D. Conclusion

This paper provides an empirical evidence for the relationship between openness and inflation, using a cross-section of countries covering period 1989-2014. The results for the overall cross-section in 167 countries show that openness can reduce the inflation rate. The results are still robust when controlled variables are included. Second, income per capita has a negative and significant correlation with inflation, indicating that the inflation rate tends to be lower in high-income countries. Moreover, the effect of openness on inflation decreases as income per capita is controlled. Third, money growth has a positive and significant correlation with inflation, implying that the increase in money growth will increase the inflation. Endogeneity concerns are addressed in the two-stage least procedure (2SLS), using the country size (land area and population) to identify the effect of openness on inflation. The interesting result is that the coefficients are much larger than ordinary least square (OLS) estimates.

Overall findings support the previous study by Romer (1993) and Lane (1997) that openness might play a role as a mechanism in lowering inflation rate. In particular, Romer (1993) argued that by the reason of the accompanying depreciation of the currency in the more open economy, the monetary expansion will be reflected in the increase of price level rather than the increase in input.

The further investigations on channels through which this mechanism is working could be an interesting extension of investigation and could provide further information on this subject. Another possible point to be addressed in the future study is an empirical assessment of the effects of financial openness on inflation.

Page 193: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

182 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 194: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTARKECAMATAN DI KABUPATEN BANTUL, 2010-2015

Nama : Meikhati Kurniasari

Instansi : Pemkab Bantul

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 195: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

184 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pembangunan ekonomi di Kabupaten Bantul mampu meningkatkan PDRB setiap tahunnya dapat dilihat dari adanya pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bantul mengalami penurunan pada dua tahun terakhir. Masalah lain yang terjadi di Kabupaten Bantul adalah adanya peningkatan ketimpangan pembangunan antarkecamatan yang ditunjukkan oleh tren Indeks Williamson meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Bantul berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

Hasil Analisis tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Bantul berdasarkan Tipologi Klassen terbagi dalam 2 kategori. Kecamatan yang termasuk kategori daerah maju adalah Kecamatan Banguntapan, Sewon, Kasihan, dan Bantul. 13 kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Sedayu, Pajangan, Piyungan, Pleret, Dlingo, Imogiri, Jetis, Pandak, Bambanglipuro, Pundong, Kretek, Sanden, dan Srandakan merupakan kategori daerah relatif terbelakang.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pembangunan antarkecamatan dianalisis menggunakan regresi data panel dengan model fixed effect. Data panel yang digunakan meliputi 17 kecamatan selama tahun 2010-2015. Ketimpangan antarkecamatan diukur menggunakan Indeks Jaime Bonet. Hasil estimasi menunjukkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan, tingkat orang yang bekerja berpengaruh negative dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan. Konsentrasi sektor primer, sekunder, dan tersier, tidak signifikan memengaruhi ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

Kata Kunci: Ketimpangan, Indeks Jaime Bonet, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Orang yang Bekerja, Konsentrasi Sektor

Page 196: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 185

ABSTRACT

Economic development in Bantul Regency increase the GRDP annually, which can be seen from the economic growth every year. However, the economic growth of Bantul Regency has decreased in the last two years. Another problem occurring in Bantul Regency is the increasing inequality of inter-district which is indicated by the increasing trend of Williamson Index. This study aims to analyze the typology of the districts in Bantul Regency based on economic growth and per capita GRDP and to analyze what factors affect the inequality of inter-district in Bantul Regency The results of typology analysis based on Klassen typology, districts in Bantul Regency are divided into 2 categories. Districts that belong to the category of developed regions are Banguntapan, Sewon, Kasihan, and Bantul. The other 13 districts, Sedayu, Pajangan, Piyungan, Pleret, Dlingo, Imogiri, Jetis, Pandak, Bambanglipuro, Pundong, Kretek, Sanden and Srandakan are relatively underdeveloped regions. Factors influencing inequality of inter-district were analyzed using panel data regression with fixed effect model. Panel data used included 17 districts during 2010-2015. Inequality of inter-district is measured using Jaime Bonet Index. Estimation results indicate that economic growth has a positive and significant effect, the level of working people has a negative and significant effect on the inequality of inter-district. Primary, secondary, and tertiary sector concentrations do not significantly affect the inequality in Bantul Regency.

Keywords: Inequality, Jaime Bonet Index, Economic Growth, The Level of Working People, Sector Concentration

Page 197: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

186 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTARKECAMATAN DI KABUPATEN BANTUL, 2010-2015

A. Latar Belakang

Masalah ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul jika dibiarkan secara terus menerus maka ketimpangan akan semakin melebar dan dapat memicu timbulnya konflik, baik ekonomi maupun sosial. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingginya ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Bantul perlu diketahui agar dapat digunakan oleh pemangku kebijakan di Kabupaten Bantul sehingga proses pembangunan tepat sasaran dan pemerataan pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bantul.

Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi di Kabupaten Bantul, penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, menganalisis tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Bantul berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita. Kedua, mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, terutama pada topik penelitian pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan antarkecamatan, serta diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Bantul dalam perencanaan pembangunan daerah sehingga dapat merumuskan kebijakan daerah yang tepat untuk tiap-tiap kecamatan sesuai potensi yang dimiliki guna pemerataan pembangunan.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini berorientasi pada pengujian teori berdasarkan hasil penelitian empiris sebelumnya dengan desain penelitian explanatory, yaitu menguji teori yang sudah mapan pada konteks penelitian yang berbeda. Pengujian hipotesis digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi, tingkat orang yang bekerja, konsentrasi sektor primer, konsentrasi sektor sekunder, dan konsentrasi sektor tersier terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul periode 2010-2015.

Pengumpulan data dilakukan melalui kajian literatur dengan mempelajari berbagai literature, terkait dengan penelitian dan pengambilan data sekunder yang diambil dari dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Data mencakup wilayah kecamatan di Kabupaten Bantul terdiri atas 17 kecamatan tahun 2010-2015.

Page 198: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 187

C. Pembahasan

1. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan

Berdasarkan hasil regresi, koefisien variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0022 artinya, apabila terdapat kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan Indeks Jaime Bonet sebesar 0,0022 pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pertumbuhan ekonomi berhubungan positif signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Kurniawan dan Sugiyanto (2013), Pramono (2016), Anggreyani (2016), dan Sutherland dan Yao (2011). Sesuai dengan teori Kuznets (1999 dalam Todaro dan Smith, 2011: 277-278) menyatakan pada awalnya ketimpangan akan mengalami kenaikan seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi karena pada tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi biasanya terpusat di sektor modern dan terkonsentrasikan di wilayah-wilayah yang sudah maju. Dengan kata lain, pertumbuhan di wilayah yang sudah maju lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain yang baru berkembang. Daerah-daerah yang relatif tertinggal memiliki banyak keterbatasan dalam pengembangan daerahnya karena kurangnya tenaga kerja terdidik dan terlatih, serta infrastruktur yang kurang memadai. Oleh sebab itu, ketimpangan antardaerah akan semakin melebar.

Kuznets (1955 dalam Sutherland dan Yao, 2011) mengemukakan ada dua alasan terjadinya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antardaerah. Pertama, daerah berpendapatan tinggi akan mampu menabung sedangkan daerah berpendapatan rendah akan menghabiskan apa yang mereka dapat sehingga semakin lama daerah berpendapatan tinggi mampu memiliki aset yang lebih dibandingkan dengan daerah berpendapatan rendah, dapat meningkatkan kontribusi terhadap PDRB, namun akhirnya menyebabkan semakin melebarnya ketimpangan. Kedua, adanya proses industrialisasi dan pergerakan sektor pedesaan ke sektor industry akan meningkatkan ketidaksetaraan tidak hanya karena kesenjangan pendapatan kedua sektor, tetapi juga karena sektor industri produktivitasnya lebih besar dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sehingga ketimpangan antardaerah meningkat. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan meningkat ketika pertumbuhan ekonomi meningkat.

Pertumbuhan ekonomi rata-rata tiap kecamatan selama tahun 2010-2015. Berdasarkan analisis tipologi Klassen terdapat 4 kecamatan termasuk klasifikasi daerah maju dan tumbuh cepat yang memiliki pertumbuhan lebih tinggi dan PDRB perkapita lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bantul (tipologi

Page 199: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

188 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Klassen, kuadran I), yaitu Kecamatan Banguntapan, Kasihan, Sewon, dan Bantul. Tiga belas kecamatan lainnya berada pada kuadran IV (daerah relatif terbelakang) dalam hal pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita. Kecamatan Banguntapan, Kasihan, dan Sewon merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, sedangkan Kecamatan Bantul merupakan Ibu Kota Kabupaten Bantul. Keempat kecamatan tersebut merupakan empat peringkat teratas dalam hal pertumbuhan ekonomi maupun konsentrasi sektor industri sekunder maupun tersier. Empat kecamatan tersebut juga berkontribusi lebih dari separo PDRB Kabupaten Bantul, yaitu sebesar 53,84 persen (rata-rata selama tahun 2010-2015). Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi Kabupaten Bantul banyak terpusat di empat kecamatan tersebut dan menjadikan ketimpangan

pembangunan antarkecamatan semakin melebar.

2. Pengaruh Tingkat Orang yang Bekerja terhadap Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan

Koefisien tingkat orang yang bekerja sebesar -0,0008 artinya ketika terjadi kenaikan tingkat orang yang bekerja sebesar 1 persen maka akan menurunkan Indeks Jaime Bonet sebesar 0,0008 pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0,01). Tingkat orang yang bekerja berpengaruh negatif signifikan, artinya peningkatan tingkat orang yang bekerja mampu menurunkan ketimpangan pembangunan antarkecamatan. Menurut Arsyad (1999 dalam Kurniawan dan Sugiyanto, 2013) menyatakan pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja (labor force) secara tradisional dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja yang bekerja berarti semakin banyak faktor produksi tenaga kerja sehingga akan meningkatkan PDRB dan ketimpangan akan menurun. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sjafrizal (2008: 118) bahwa perbedaan kondisi demografis dapat memengaruhi ketimpangan wilayah karena akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat. Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Tingkat orang yang bekerja menunjukkan proporsi jumlah input pembangunan dalam hal ini adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif dibandingkan jumlah penduduk yang berpotensi untuk bekerja. Apabila jumlah input meningkat (terjadi peningkatan tingkat orang yang bekerja) maka seharusnya output akan meningkat dan kemakmuran suatu daerah akan meningkat. Output pembangunan

Page 200: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 189

dalam hal ini adalah PDRB kecamatan sedangkan kemakmuran biasa diproksi dengan PDRB perkapita. Kecamatan dengan tingkat orang yang bekerja tinggi ternyata belum tentu PDRB perkapitanya tinggi, dan sebaliknya. Hal ini kemungkinan karena terjadi migrasi tenaga kerja antarkecamatan. Tenaga kerja di sebuah kecamatan tidak semuanya bekerja di kecamatan tersebut melainkan juga ada yang bekerja di kecamatan lain. Hal inilah yang menjadikan pemerataan PDRB dan menyebabkan penurunan ketimpangan.

Rata-rata tingkat orang yang bekerja (bawah) dan rata-rata PDRB perkapita (atas) tahun 2010-2015 migrasi atau transfer tenaga kerja ini seperti yang dikemukakan dalam teori pembangunan Lewis dalam Todaro dan Smith (2011: 140-141) yang dikenal dengan Model Dua-Sektor Lewis. Teori ini menjelaskan proses pembangunan di negara-negara berkembang yang memiliki surplus tenaga kerja di sektor pertanian atau sektor primer. Di sisi lain, sektor industri modern perkotaan sangat produktif yang mampu menampung transfer tenaga kerja dari sektor pertanian tanpa mengakibatkan kerugian output dari sektor pertanian. Hal inilah yang dapat mendorong industrialisasi dan menggerakkan pembangunan berkelanjutan.

3. Pengaruh Konsentrasi Sektor Primer terhadap Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan

Koefisien hasil regresi pada variabel konsentrasi sektor primer sebesar -0,0418. Tanda koefisien negatif tersebut sejalan dengan penelitian Cheong dan Wu (2013) dan Rachmawati (2014), namun pada penelitian ini konsentrasi sektor primer tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan.

Sektor primer yang dominan di Kabupaten Bantul adalah lapangan usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan lapangan usaha unggulan di Kabupaten Bantul terutama di daerah yang tidak berbatasan dengan kota. Konsentrasi sektor primer tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan antarkecamatan karena wilayah Kabupaten Bantul yang relatif kecil mengakibatkan seluruh kecamatan memiliki musim dan pengaruh kondisi alam yang hampir seragam. Oleh karena itu, apabila terjadi peningkatan produksi pertanian karena musim yang kondusif maka di kecamatan lain juga akan terjadi peningkatan produksi pertanian sehingga tidak akan memengaruhi ketimpangan pembangunan antarkecamatan.

Sebaran konsentrasi sektor primer lebih kecil terlihat dari standar deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan standar deviasi konsentrasi sektor sekunder dan tersier. Tiga kecamatan yaitu Imogiri, Pandak, dan Jetis memang lebih tinggi

Page 201: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

190 Direktori Mini Tesis-Disertasi

konsentrasinya karena luas lahan pertanian masih relatif luas karena bukan termasuk daerah perkotaan, lahan lebih subur, dan tidak banyak pegunungan. Satu kecamatan, yaitu Kecamatan Pajangan lebih rendah konsentrasi sektor pertanian karena lahan pertanian sebagian adalah pegunungan.

Berdasarkan uji beda rata-rata, persebaran atau distribusi konsentrasi sektor primer antarkecamatan berbeda secara signifikan, namun distribusi konsentrasi selama tahun 2010-2015 tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Artinya, ada kecamatan yang menunjukkan tren peningkatan maupun penurunan konsentrasi, namun tidak ada perbedaan yang signifikan setiap tahunnya sehingga tidak menyebabkan perubahan dalam persebaran atau distribusi konsentrasi primer. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi sektor primer tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

4. Pengaruh Konsentrasi Sektor Sekunder terhadap Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan

Konsentrasi sektor sekunder tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan. Berdasarkan hasil regresi, koefisien sektor sekunder sebesar -0,0746. Hal tersebut tidak sejalan dengan temuan Bonet (2006), Cheong dan Wu (2013) dan Kurniawan dan Sugiyanto (2013) yang menyatakan aglomerasi atau konsentrasi industri akan menyebabkan peningkatan ketimpangan karena hasil dari sektor industri lebih tinggi daripada sektor pertanian sehingga ekspansi sektor industri akan mengakibatkan ketimpangan semakin tinggi. Menurut Kuznets (1955 dalam Cheong dan Wu, 2013) ketimpangan akan meningkat ketika terjadi industrialisasi pada tahap awal perkembangan ekonomi.

Berdasarkan uji signifikansi ternyata konsentrasi sektor sekunder tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan antarkecamatan. Penyebabnya sama dengan konsentrasi sektor primer, yaitu persebaran konsentrasi sektor sekunder di Kabupaten Bantul tidak ada perbedaan yang signifikan selama masa penelitian. Kecamatan yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta, yaitu Kecamatan Banguntapan, Sewon dan Kasihan, memiliki konsentrasi yang tinggi. Sedangkan, ibu kota kabupaten, yaitu Kecamatan Bantul serta Kecamatan Piyungan berada dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam skala 4-8 persen. Dua belas kecamatan lainnya berada pada konsentrasi skala paling rendah, yaitu di bawah 4 persen. Apabila dilakukan uji beda rata-rata konsentrasi tiap kecamatan maka hasilnya konsentrasi sektor sekunder tiap kecamatan berbeda secara signifikan. Namun, peningkatan atau penurunan konsentrasi sektor sekunder tidak mengalami perbedaan yang signifikan setiap tahunnya selama masa penelitian. Hal inilah yang

Page 202: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 191

menjadikan konsentrasi sektor sekunder tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan.

5. Pengaruh Konsentrasi Sektor Tersier terhadap Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan

Koefisien variabel konsentrasi sektor tersier sebesar 0,0514. Tanda koefisien positif ini sejalan dengan penelitian Cheong dan Wu (2013). Ketimpangan meningkat ketika terjadi industrialisasi pada tahap awal perkembangan ekonomi (Kuznets, 1955 dalam Cheong dan Wu, 2013). Namun, pada penelitian ini konsentrasi sektor tersier tidak berpengaruh signifikan.

Sektor tersier memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bantul, yaitu rata-rata selama masa penelitian sebesar 60 persen sehingga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bantul. Tren sektor primer dan sekunder menurun bergeser ke sektor tersier karena maraknya industri jasa terutama yang memanfaatkan kemajuan teknologi. Terbukti dengan semakin berkembangnya industri inovatif berbasis online seperti online shop, transportasi online, dan sebagainya. Kemajuan teknologi serta industri inovatif tersebut lebih cepat berkembang di daerah perkotaan karena memiliki infrastruktur, fasilitas, dan SDM yang lebih memadai serta pangsa pasar yang lebih banyak dibandingkan daerah perdesaan.

Persebaran konsentrasi sektor tersier yang tinggi berada di daerah yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta serta Kecamatan Bantul sebagai ibu kota kabupaten. Konsentrasi sektor tersier kemungkinan juga lebih cepat tersebar atau ekspansi ke daerah lainnya karena kemajuan teknologi serta kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa inovatif yang memudahkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kecamatan yang termasuk daerah terbelakang yang terletak di sekitar kecamatan yang memiliki konsentrasi sektor tersier yang tinggi, memiliki konsentrasi sektor tersier yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terbelakang di bagian selatan Kabupaten Bantul. Secara statistik ternyata konsentrasi sektor tersier tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan antarkecamatan. Hal ini disebabkan karena pola persebaran sektor tersier tidak berbeda secara signifikan selama tahun 2010-2015 yang dibuktikan dengan uji beda rata-rata. Artinya, meskipun terjadi peningkatan atau penurunan konsentrasi di tiap-tiap kecamatan, namun ternyata peningkatan atau penurunan tersebut tidak berbeda secara signifikan sehingga tidak berpengaruh pada ketimpangan pembangunan antarkecamatan.

Page 203: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

192 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2010-2015 dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Bantul berdasarkan Tipologi Klassen terbagi dalam 2 kategori. Kecamatan yang termasuk kategori daerah Maju adalah Kecamatan Banguntapan, Sewon, Kasihan, dan Bantul. Tiga belas kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Sedayu, Pajangan, Piyungan, Pleret, Dlingo, Imogiri, Jetis, Pandak, Bambanglipuro, Pundong, Kretek, Sanden, dan Srandakan merupakan kategori daerah relatif terbelakang.

2. Faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut:

3. Pertumbuhan ekonomi, berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

4. Tingkat orang yang bekerja, berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

5. Konsentrasi sektor primer, konsentrasi sektor sekunder, dan konsentrasi sektor tersier tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antarkecamatan di Kabupaten Bantul.

E. Saran

Penelitian ini belum mampu menjelaskan keterkaitan atau interaksi ekonomi suatu daerah terhadap daerah lain (analisis ekonometrika spasial) karena untuk menganalisis interaksi antardaerah membutuhkan periode penelitian yang panjang. Bagi peneliti lain yang hendak menindaklanjuti penelitian ini disarankan untuk dapat menggunakan data dengan rentang waktu yang panjang agar dapat menganalisis interaksi antarkecamatan.

Page 204: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

THE EFFECT OF E-PROCUREMENT ON THE INFRASTRUCTURE PROVISION IN INDONESIA

Nama : Mita Astari Yatnanti

Instansi : LKPP

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada-National Graduate Institute for Policy Studies, Tokyo, Japan

Page 205: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

194 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Infrastruktur fisik, terutama jalan, telah menjadi elemen penting bagi pemerintah Indonesia dalam mengembangkan ekonominya. Namun, kontrol yang lemah oleh pemerintah pusat, karena desentralisasi dan kompleksitas pekerjaan, telah menyebabkan ketidakefisienan, ketidakefektifan, dan kemungkinan korupsi yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah memperkenalkan sistem pengadaan elektronik (e-procurement). Makalah ini mengembangkan dataset pada proyek-proyek jalan nasional di bawah sistem e-procurement penuh dan semi, dan memeriksa pengaruh penggunaan e-procurement pada harga kontrak. Ini akan menunjukkan bahwa sistem e-procurement penuh secara signifikan mengurangi harga kontrak. Namun, harga yang lebih rendah tidak menjamin kualitas kerja. Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan pengukuran kualitas dalam sistem untuk meningkatkan transparansi dan pengawasan publik. Selain itu, untuk mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan keefektifan dan efisiensi proses pengadaan publik, pemerintah dapat menerapkan e-contracting dan pembayaran elektronik ke sistem pengadaan.

Kata kunci: E-Procurement, Jalan Nasional, Indonesia

Page 206: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 195

ABSTRACT

Physical infrastructure, particularly roads, has become a crucial element for the government of Indonesia in developing its economy. However, weak control by the central government, due to decentralization and the complexity of the works, has led to inefficiency, ineffectiveness, and a high likelihood of corruption. To tackle these issues, the government has introduced the electronic procurement (e-procurement) system. This paper develops a dataset on national road projects under full and semi e-procurement systems, and examines the effect of the use of e-procurement on contract prices. It will show that the full e-procurement system significantly reduces the price of the contracts. However, lower prices do not guarantee quality of work. Therefore, the government should consider putting quality measurement in the system to increase transparency and public scrutiny. In addition, to further reduce transaction cost and increase the effectiveness and efficiency of the public procurement process, the government could apply e-contracting and e-payment to the procurement system.

Keywords: E-Procurement, National Roads, Indonesia

Page 207: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

196 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE EFFECT OF E-PROCUREMENT ON THE INFRASTRUCTURE PROVISION IN INDONESIA

A. Background

Many countries in the world acknowledge the importance of physical infrastructure as one of the key investment projects (Asian Development Bank, Inter American Development Bank, & World Bank, 2004). Infrastructure, which includes roads, is known as a key instrument in building an environment that promotes economic growth (Briceño-garmendia, Estache, &Shafik, 2004).

However, the infrastructure sector in developing countries is still in short supply and of poor quality. Poor quality in construction of infrastructure is caused by, among other things, corruption. The complex nature of the sector, non-standard production process causing asymmetric information, and its high connection with government, seem to be the causes of corruption within the sector (Kenny, 2007). Due to corruption, the government must pay higher prices than it should. It is estimated that corruption, particularly bribery, in government procurement adds 10 - 20% to total contract costs (The Organization for Economic Co-operation and Development [OECD], 2009).

One of the solutions of overcoming the high possibility of corruption in the provision of public goods and services is electronic procurement (e-procurement). Generally, e-procurement is a system of purchasing goods and services using information and communication technologies (ICT) within its processes (Croom & Brandon-Jones, 2005; Korir, S., Afande, F.O., and Maina, 2015). It could develop public trust through efficiency and effectiveness of the delivery of public service. Korir, et al. (2015) argued that e-procurement fosters lower costs, faster time, proactive data management, better information access for both suppliers and buyers, improvement of buyers’ productivity, and higher quality in purchasing decision-making. E-procurement also offers reduction in procurement cost by reducing the use of paper, minimizing administrative duplication, and increasing transparency, accountability, and access to the public (OECD, 2016b). In addition, by using e-procurement, the problems in manual procurement practice, such as lack of bid information access, collusion, and corruption, can be diminished and the number of the bidders and transparency may increase (Lewis-Faupel, Neggers, Olken, &Pande, 2015). Various benefits of e-procurement may bring to lower prices from the vendors (Croom & Brandon-Jones, 2005). Therefore, the buyers (governments) may be able to provide not only the best quality and price of goods but also the best quality of provision/delivery to the public.

To enhance good governance in Indonesia, the electronic procurement system was introduced in Indonesia in 2003 through Presidential Decree No.80 Year 2003 on the

Page 208: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 197

Guidelines of the Procurement of Government Goods/Services. The first e-procurement system, National e-Procurement Government of Indonesia (NePGI), was funded and established by the World Bank in 2004 (Seo& Warman, 2011). Following that, in 2008, the Indonesian government built INAPROC–the Indonesia national procurement portal–to procure public goods and services (Nurmandi& Kim, 2015). Since 2012, through Presidential Regulation No.54 Year 2010 on the Procurement of Government Goods/Services, the use of e-procurement system has become mandatory for all Indonesian government units in procuring public goods and services. The system is needed to combat corruption and improve transparency, accountability, and quality of the provision, particularly in construction projects. According to the Bribe Payers Index (BPI) of Transparency International in 2002, the highest bribe payment in procurement in Indonesia is in the public work and construction sector (Asian Development Bank [ADB] & OECD, 2008). The high level of bribery in construction might affect the national roads provision, as it is one of the activities the government is particularly concerned about.

Some research related to e-procurement system have been undertaken in Indonesia, for example, the users’ satisfaction of e-procurement system (Seo& Warman, 2011), the effect of human resources on the performance of local e-procurement system (Nurmandi % Kim, 2015), and accountability and transparency of e-procurement (Hidayat, 2015). However, to the best of my knowledge, only a small amount of research analyzes the effect of applied e-procurement system on the contract prices paid by the government of Indonesia.

Adopting Lewis-Faupel’s research in 2015, this paper aims to determine whether the e-procurement system affects the price of national road procurement projects in Indonesia. It covers the period between 2011 –2015. It uses quantitative analysis employing the Ordinary Least Square (OLS) regression model. The data are single year tender projects from full and semi e-procurement, obtained from the Ministry of Public Works and Housing of the Republic of Indonesia (MPW).

B. Research Method

This research uses quantitative research method and adopts the research done by Lewis-Faupel, et al (2015) with modifications. During the period of their study, the tender process used both manual and e-procurement methods. However, because the dataset in India used by Lewis Faupel and colleagues could not be accessed, this paper will focus only on the projects in Indonesia. Moreover, because of the change in the procurement policy of Indonesia, which mandated the use of semi or full e-procurement system in the national road tenders, the dataset in this paper covers the data for semi and full e-procurement mechanisms.

Page 209: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

198 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The data in this analysis includes single year contracts of the national road projects from 2011-2015. All the analyzed data are construction works which consist of construction of the new networks, the existing roads maintenance, and reparation of the existing road constructions. These data were taken from two divisions of the Ministry of Public Works and Housing of the Republic of Indonesia: the Data and Information Center and the Directorate of Monitoring and Evaluation.

C. Data Analysis and Results

Based on the Circular Letter of the Ministry of Public Works No. 17/SE/M/2010, since 2011, MPW has applied the full e-procurement system to all its activities. Out of 33 provinces, 24 provinces and the Ministry adopted full e-procurement system. Based on the Presidential Regulation No. 54 Year 2010 (later amended by the President Regulation No. 70 Year 2012), the Ministry of Public Works issued the Circular Letter of the Ministry of Public Works No. 07/SE/M/2012 in 2012. Due to that circular letter, the number of areas adopting full e-procurement became 32 (including the Ministry), while the semi e-procurement procedure is still applied only in two provinces. From all the projects in those areas, there were more than 1000 roads jobs per year, 6639 in total from 2011 to 2015. However, there are some incomplete data in those projects. Based on the availability of the data, there are 5483 observations in this present study.

1. Estimation Results

The estimation result of R-squared for the regression model which is 95.6%. This means that 95.6% of the variations in the dependent variable is explained by the regression model. From the result of the expected hypothesis, it can be seen that the full e-procurement system has a significant and negative relationship with the price of the contracts. Compared to the semi e-procurement system, the full e-procurement system is more effective in reducing the contract value. It is estimated that full e-procurement significantly reduced the contract price by about 3%. Or, in other words, the government provided the national roads projects 3% cheaper than the price of the semi-electronic-procurement projects. This result is in line with the findings of Croom and Brandon-Jones (2005), Tkachenko et al. (2017), and Soudek and Skuhrovec (2013).

For the control variables, log length of the roads and log predicted contract value, the results showed significant and positive correlation with the dependent variable, although the effects are relatively small. With a 1% increase in the length of the roads, the contract value will increase by about 0.01%. While when the predicted contract value increases one percent, the contract value will also increase by almost a percent (0.98%). This means that the prediction of the contract price

Page 210: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 199

made by the committee is close to the real price of the contract. This might indicate that the procurement committee has made the prediction of the price closes to the market price. In addition, the bidders must bid at prices below the predicted value. If all the bidders offer a price above the predicted value, based on the regulation, the

procurement process fails and has to be repeated from the beginning.

2. Discussion

Eliminating inefficiency and ineffectiveness in the provision of public goods and services is especially needed for the developing countries. Indonesia is not an exception to this. Besides eradicating corruption, improving efficiency and effectiveness in public procurement are important goals for reaching value for money or getting the minimum required quality of goods and services with a competitive price. In line with these purposes, the government of Indonesia has designed a procurement policy, stated in Presidential Regulation No. 54 Year 2010, to make procurement efficient, open, and competitive to provide affordable and quality public goods and services which aims at improving public services. Hence, the e-procurement system is crucial for achieving these goals.

E-procurement in Indonesia, particularly in national road projects, has evolved since its implementation. In the first period (from 2004 to 2012), the government combined manual and semi e-procurement. Then, supported by the procurement policy and regulations, semi and full e-procurement systems were introduced in 2013.

Based on the analysis of the present study, we can see that using full e-procurement, particularly in national roads projects, is less expensive than using semi e-procurement procedure. In semi e-procurement procedures, some processes are conducted manually prior to the step of choosing the winner. The private providers could either download the tender document from the internet (website) or get a hard copy. Then, the submission of bidding document and the offer clarification had to be done manually. These manual procedures required more time, had a higher cost, and an even higher possibility to come face to face with the procurement committee. The direct meeting with the committee might lead to a riskier process because there is a greater possibility for those parties to ‘negotiate’ or ‘make a deal’ during the process.

In contrast, the transaction cost in full e-procurement is much less than in semi e-procurement (Callender&Schapper, 2007; Croom, 2000). Full e-procurement system is more open because almost all the steps are completed through the internet. It leads to greater access for the providers and higher amount of information.

Page 211: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

200 Direktori Mini Tesis-Disertasi

This higher level of openness might attract more vendors to join the government procurement and compete with each other in offering the most affordable price to the buyer (government). In addition, the existing full e-procurement system allows the bidders to adjust the offered prices. Thus, they can revise the prices until the end of the bidding period.

D. Conclusion and Policy Implications

The results of this study suggest that the improvement in the public procurement system has a significant effect in reducing the value of the contracts. This paper explores the use of full and semi e-procurement in the national roads projects in Indonesia. The results show that by using full e-procurement system, the contract values can be reduced significantly. These results confirm the studies by Soudek&Skuhrovec (2013) and Tkachenko et al. (2017) which show that the use e-procurement in all of the processes in public procurement pulls down the price of the projects.

The lower price in the contracts conducted using full e-procurement procedures might be caused by several factors. Less face to face meetings between a provider and a buyer might lower the risk of corruption, collusion, and nepotism which leads to a fairer process. The system also reduces the transaction cost, as almost all the steps are completed through the internet, hence it attracts more vendors to participate and compete. The procedure also allows the bidders revise the offered price until the due date. These benefits might lead to a more open process, higher competition, and higher scrutiny from both the government and public.

Although the full e-procurement system can lower the price, it is uncertain that the works are of a good quality. If the system emphasizes price over quality, it is possible that the vendors lower the quality of the project for a higher profit (Lewis-faupel et al., 2015). Thus, it is important for the buyer/government to assure the quality of the works done by the private providers.

To ensure the quality of the projects have, the government of Indonesia could improve the public procurement performance by measuring the quality of the national roads projects by adopting the system applied by other countries, for instance, India. In India, the government has measured the quality of the national roads projects through a scheme called Pradhan Mantri Gram Sarak Yojana (PMGSY). PMGSY monitors the construction projects through multiple tiers. According to the Ministry of Rural Development, Government of India (2009), the first tier is an in-house monitoring which conducts mandatory tests. The second and the third tiers are independent quality monitors. While the state governments are responsible for the first two tiers, the third tier – termed as National Quality Monitors (NQMs)–is under the responsibility of the

Page 212: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 201

National Rural Roads Development Agency (NRRDA). As noted by Lewis-faupel et al. (2015), within the NQMs, the assignment of the projects is randomized and consists of on-going and complete projects. They also stated that the NQMs will be sent a request letter for inspection once every two months and will inspect three districts in a single visit. The inspection consists of observations on quality arrangements (field laboratory, the availability and the use of equipment), observations on geometrics (the width, the curves, etc.), and observation on quality of work items (detailed tests of construction) (National Rural Roads Development Agency, 2009). The result will be graded into three categories: satisfactory, requires improvement, and unsatisfactory. All the inspection results are published on the website, thus the public and other stakeholders can scrutinize the government performance.

In addition, to ameliorate the effectiveness and efficiency of the public procurement process, the Indonesia government could improve the procurement system through two issues: contract and payment. First, improvement in the contracts of the projects. In the existing procurement system, although the procuring activity is done by using ICT (internet), it only covers the process until the announcement of the awarded vendor but the contract procedure is still arranged manually. The government of Indonesia might adopt other countries’ experience as the procurement best practices. The government could adopt the e-contracting system applied in Korea. The Korean e-contracting system covers drafting, electronic contracting, and transmitting to the winner; reviewing the e-contract draft by the contract awardee; and signing the e-contract (OECD, 2016b). Applying e-contract, might decrease the transaction costs that leads to a much lower contract price.

Second, enhancement related to the payment process. The payment for the finished projects is done manually. The committee member(s) responsible for receiving/accepting the finished work must check whether the project is in accordance with the technical specification and make a payment request to the finance division. The division then verifies the documents and submit it to the state treasury service office (KantorPelayananPerbendaharaan Negara/KPPN). The KPPN will pay to the vendor’s bankaccount. This process is time-consuming, especially for the government officials. Therefore, to reduce the time needed, the payment process could be done using ICT through e-payment. There are several countries which have applied the e-payment scheme in their government procurement, such as India, Singapore, and Korea. As one of the best practices in electronic procurement, Korea has constructed KONEPS which covers processes from public buyers’ procurement requests to the payment (OECD, 2016b). According to OECD (2016b), the Korean e-payment system consists of contract review, upfront payment request, inspection request, payment request submission, and payment approval. Moreover, the system integrates all of the government units’

Page 213: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

202 Direktori Mini Tesis-Disertasi

procurement reports and many banks, thus the online payment can be checked with the procurement results (Public Procurement Service, 2014). Using an e-payment system might reduce the processing time, paper-based documents/transaction, and lead time of payments.

Page 214: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

EVALUASI DAMPAK KEPESERTAAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR

Nama : Muhamad Alamsyah

Instansi : Badan Pusat Statistik

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 215: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

204 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Program Jamkesmas atau dalam perkembangannya berubah menjadi PBI-JKN merupakan program jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin sebagai implementasi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuan program tersebut pada tingkat makro adalah negara mempunyai penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik sebagai masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan program jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin memiliki dampak terhadap konsumsi rumah tangga perkapita. Dengan menggunakan data Susenas Provinsi Jawa Timur tahun 2016 dan metode Propensity Score Matching (PSM), penelitian ini menguji dampak kepesertaan program PBI-JKN terhadap konsumsi rumah tangga perkapita di Provinsi Jawa Timur. Melalui PSM, diperoleh kelompok rumah tangga peserta PBI-JKN sebagai treatment dan kelompok rumah tangga yang bukan peserta sebagai kontrol dimana keduanya memiliki pasangan observasi dengan karakteristik yang sama.

Hasil dengan metode matching NN without replacement menunjukkan kepesertaan PBI-JKN tidak berdampak terhadap konsumsi total rumah tangga perkapita. Meski demikian, hasil penelitian menunjukkan penurunan konsumsi total rumah tangga di daerah perkotaan (urban) lebih besar daripada di daerah perdesaan (rural). Temuan tersebut diperkuat dengan hasil dari 3 metode matching lainnya, yaitu NN with replacement, kernel, dan radius caliper.

Kata kunci: PBI-JKN, Kemiskinan, Konsumsi Rumah Tangga, Propensity Score Matching

Page 216: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 205

ABSTRACT

Jamkesmas program or in its development changed into PBI-JKN is a health insurance program to the poor as the implementation of Law no.40/2004 on the National Social Security System. The goal of the program at the macro level is that the country has a population with a good level of health as an important input to reduce poverty, economic growth and long-term economic development. Previous studies have shown that health insurance programs for the poor have an impact on household consumption per capita. Using the Susenas data of East Java Province in 2016 and the propensity score matching (PSM) method, this study examines the impact of PBI-JKN program participation on household per capita consumption in East Java Province. Through the PSM, the participants of the PBI- JKN Participant household group as a treatment and non-participating household group as controls have both observation pairs with the same characteristics. The result of the NN without replacement matching method shows that the PBI-JKN participation does not affect the total household consumption per capita. Nevertheless, the results showed a decrease in total household consumption in urban areas is greater than rural areas. The findings are reinforced by the results of three other matching methods of NN with replacement, kernel and caliper radius.

Keywords: PBI-JKN, Poverty, Household Consumption, Propensity Score Matchin

Page 217: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

206 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI DAMPAK KEPESERTAAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP

KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR

A. Latar Belakang

Riset Kesehatan Dasar 2007 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 menunjukkan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran yang lebih tinggi, memiliki persentase kepemilikan asuransi kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran lebih rendah. Hal yang sama terjadi pada pemanfaatan fasilitas rawat jalan pada rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta, rumah tangga dengan tingkat pengeluaran tinggi memiliki persentase pemanfaatan yang lebih tinggi disbanding dengan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran yang rendah. Dengan kata lain terdapat kecenderungan bahwa rumah tangga dengan tingkat pengeluaran yang rendah baru akan memanfaatkan pelayanan kesehatan setelah mendapatkan masalah atau penyakit.

Rumah tangga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah (miskin) akan semakin lebih rendah tingkat ekonominya, apabila biaya pengobatan tidak dapat dipenuhi dari pendapatan yang dihasilkan. Beberapa penelitian menunjukkan biaya kesehatan yang ditanggung oleh suatu rumah tangga memberikan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut. Penelitian De Weerdt & Dercon (2006) di Tanzania menyimpulkan suatu rumah tangga tidak bisa menutup biaya pengobatan kesehatan dari pendapatannya maka rumah tangga tersebut mempunyai kecenderungan menggunakan cara tradisional seperti menjual aset yang dimiliki atau meminjam sejumlah dana, dalam jangka panjang akan memberikan efek negatif bagi kondisi rumah tangga tersebut.

Berdasarkan penelitian dampak kepesertaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin di beberapa negara menunjukkan hasil yang berbeda. Di sebagian besar negara-negara berkembang dampak asuransi kesehatan nasional menurunkan pengeluaran kesehatan rumah tangga. Beberapa negara yang berdampak penurunan pengeluaran kesehatan antara lain di Vietnam, Vietnamese Health Insurance (VHI) programmes secara signifikan menurunkan pengeluaran kesehatan rumah tangga sebesar 21 persen, di Meksiko, Seguro Popular (SP) menurunkan pengeluaran kesehatan rumah tangga baik di perdesaan maupun perkotaan, di Indonesia dengan menggunakan model Intrumental Variable program Askeskin dan Askes secara signifikan menurunkan pengeluaran total rumah tangga sebesar 34% dan 55% dampak penurunan pengeluaran kesehatan juga tercatat di Negara Ghana, Rwanda, India, Kenya, dan Nigeria sebesar 3-6 persen.

Page 218: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 207

Program asuransi kesehatan nasional di Filipina dan Mali menunjukkan dampak negatif terhadap pengeluaran kesehatan. Philippine Health Insurance Corporation (Philhealth) yang dijalankan Negara Filipina memberikan dampak kenaikan pengeluaran kesehatan sebesar 2%, sedangan Negara Mali dengan 3 program (Mutuelles, RAMED, AMO) kesehatan yang meng-cover 3% populasi penduduk secara signifikan meningkatkan pengeluaran kesehatan rumah tangga.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan tentang pemberian jaminan kesehatan terhadap rumah tangga miskin di Indonesia. Jaminan kesehatan tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan dasar, rawat jalan, dan rawat inap. Salah satu tujuan dari jaminan kesehatan tersebut adalah mengurangi potensi tingkat kemiskinan yang lebih dalam bagi masyarakat miskin sebagai dampak masalah kesehatan.

Indonesia memulai program jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin dan sektor informal tahun 2005 melalui program Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin). Kemudian sejak tahun 2008 sampai dengan 2013 program ini berubah nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Seiring dengan dimulainya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) per 1 Januari 2014, pemerintah bertanggung jawab untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang terdaftar sebagai Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) (TNP2K, 2017). Tujuan utama dari program ini untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang berpotensi akan menurun sebagai dampak dari masalah kesehatan yang dialami oleh anggota rumah tangga.

Dari tujuan program PBI-JKN ini maka perlu dievaluasi apakah program telah memenuhi tujuan yang diharapkan dengan cara mengetahui dampaknya terhadap konsumsi penerima manfaat program. Melalui penelitian ini akan didapatkan dampak kepesertaan program PBI-JKN terhadap konsumsi rumah tangga sehingga dapat memberikan rekomendasi perbaikan program maupun sasaran untuk mencapai tujuan

yang diharapkan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang penelitian sebelumnya penulis mengidentifikasi terdapat dampak yang berbeda dari kepesertaan asuransi kesehatan. Realisasi dana Jaminan Kesehatan yang begitu besar bagi rumah tangga miskin sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional, perlu dievaluasi apakah berdampak terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Perlu diteliti bagaimana dampak kepesertaan jaminan kesehatan nasional terhadap konsumsi rumah tangga miskin di Indonesia terutama

Page 219: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

208 Direktori Mini Tesis-Disertasi

di Jawa Timur. Pada penelitian ini, penulis akan memakai variabel outcome konsumsi rumah tangga dan variabel independen pembentuk treatment berupa karakteristik tempat tinggal dan karakteristik kepala rumah tangga.

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis hubungan variabel dependent, yaitu konsumsi rumah tangga dengan variabel independent, yaitu kepesertaan Program PBI-JKN. Adapun variabel kontrol (faktor-faktor rumah tangga menjadi peserta PBI-JKN) yang digunakan berupa karakteristik kepala rumah tangga dan kondisi tempat tinggal.

Data yang digunakan adalah data sekunder berasal dari data SUSENAS 2016. Adapun sampel pada penelitian ini, yaitu 40% rumah tangga dengan pengeluaran terendah dari data yang masuk dalam sampel data Susenas 2016 Provinsi Jawa Timur sejumlah 11.791 rumah tangga.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data

Rata-rata pengeluaran total perkapita selama sebulan pada kelompok treatment sebesar Rp442.596,50 lebih rendah 16,32% disbanding dengan kelompok kontrol, sedangkan rata-rata pengeluaran kesehatan perkapita selama sebulan pada kelompok treatment sebesar Rp10.347,88 lebih rendah 14,72% dari kelompok kontrol. Adapun variabel yang menjadi treatment dalam penelitian ini adalah dummy PBI-JKN. Berdasarkan dari data Susenas Provinsi Jawa Timur yang diolah, rumah tangga yang menjadi peserta PBI-JKN dalam sampel penelitian ini sebanyak 3.715 rumah tangga (31,24%), lebih sedikit dari rumah tangga yang bukan peserta PBI-JKN, yakni sebanyak 8.076 rumah tangga (68,76%).

2. Hasil Pengujian Propensity Score Matching

a. Estimasi Logit Model dan Propensity Score

Berdasarkan hasil estimasi, probabilitas rumah tangga untuk menjadi peserta PBI-JKN dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan dari kepala rumah tangga. Kepesertaan PBI-JKN juga dipengaruhi oleh kondisi dan fasilitas tempat tinggal meliputi jenis lantai, kepemilikan jamban, dan jenis tembok. Adapun jenis kelamin dan gangguan kesehatan kepala rumah tangga, luas tempat tinggal perkapita, sumber air minum, sumber penerangan, dan sumber air memasak tidak memengaruhi rumah tangga untuk menjadi peserta PBI-JKN.

Page 220: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 209

b. Pemilihan Matching Algorithm

Penelitian ini menggunakan metode Nearst Neighbour (NN) with replacement dikarenakan distribusi propensity score antara kelompok treatment dan kontrol berbeda. Menurut Caliendo dan Kopeinig (2005), apabila distribusi propensity score antara treatment dan kontrol berbeda maka lebih layak jika yang digunakan adalah metode nearest neighbor with replacement.

c. Pengecekan Cummon Support

Langkah selanjutnya setelah pemilihan matching algorithm adalah common support. Langkah ini digunakan untuk melihat apakah ada overlap antara kelompok yang menjadi peserta PBI-JKN (treatment) dengan kelompok yang tidak menjadi peserta PBI-JKN (kontrol). Penelitian membuktikan bahwa ada overlap antara kelompok treatment dan kontrol sehingga kelompok treatment dan kontrol bisa dipasangkan.

d. Tes Kualitas Matching

Terdapat beberapa tes atau uji yang harus dilakukan setelah proses matching untuk mengetahui keberhasilan proses matching untuk semua variabel independen. Menurut Caliendo dan Kopeinig (2005), pengujian kualitas matching dilakukan dengan mengecek standar bias, t-test untuk mengetahui kualitas kesetaraan rata-rata sebelum dan sesudah matching serta Pseudo-R2 dan uji serempak (LR chi2 dan hotelling test). Penjelasan dari uji atau tes tersebut sebagai berikut:

1) Tes Standar Bias

Tes standar bias digunakan untuk mengecek pengurangan bias setelah pencocokan (matching). Menurut Rosenbaum dan Rubin (1985), pendekatan standar bias dihitung dari perbedaan rata-rata antara variabel kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang dinyatakan dalam persentase akar pangkat dua dari rata-rata varian pada kedua kelompok.

2) Tes Beda Rata-Rata Secara Parsial (T-Test)

Rosenbaum dan Rubin (1985) menyarankan dilakukan t-test dari perbedaan rata-rata covariate untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Sebelum matching, semua covariate means menunjukkan perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi kecuali variabel sumber penerangan, tetapi setelah matching hanya variabel sumber penerangan yang secara signifikan berbeda antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Page 221: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

210 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3) Pseudo-R2 Dan Uji Serempak (LR Chi2 Dan Hotelling Test)

Sianesi (2004 dalam Caliendo dan Kopeinig, 2005) menyarankan untuk mengestimasi ulang propensity score dari sampel yang sudah dipasangkan (matched sample) hanya pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang sudah dipasangkan (matched non-participants), dan membandingkan nilai pseudo-R2 setelah dan sebelum matching. Nilai pseudo-R2 mengindikasikan seberapa baik estimasi variabel kontrol menggambarkan probabilitas menjadi kelompok intervensi (The Participation Probability). Setelah matching seharusnya tidak ada perbedaan sistematis dari distribusi covariates antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi sehingga nilai pseudo-R2 setelah matching sangat kecil. Sianesi (2001) selanjutnya menambahkan untuk dilakukan uji serempak pada semua estimator regresi logit. Sebelum matching hasil uji serempak seharusnya menunjukkan tidak adanya penolakan dan sebaliknya terdapat penolakan setelah matching.

3. Pembahasan

Setelah melakukan pengecekan kualitas matching dan mendapatkan hasil yang memuaskan, selanjutnya dapat dilakukan estimasi Average Treatment Effect on the Treated (ATET) karena kelompok kontrol sekarang sudah memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok intervensi. Hasil penelitian menunjukkan dengan menggunakan metode Nearest Neigbour with Replacement tidak terdapat dampak yang secara statistik signifikan, berbeda jika menggunakan tiga metode yang lain. Untuk semua jenis konsumsi rumah tangga kecuali konsumsi kesehatan terdapat dampak signifikan pada level 1% dan 5%.

Selain penghitungan ATT, penelitian ini menghitung seberapa besar persentase dampak kepesertaan PBI-JKN terhadap rata-rata konsumsi rumah tangga kelompok intervensi. Dengan menggunakan metode Nearest Neigbour (NN) didapatkan persentase dampak kepesertaan PBI-JKN terhadap rata-rata konsumsi kelompok intervensi. Dampak yang didapatkan sebesar 6,77 persen dari rata-rata konsumsi total perkapita kelompok intervensi, cukup besar namun tidak signifikan secara statistik. Dampak kepesertaan PBI-JKN sebesar 7,61 persen dari rata-rata konsumsi makanan perkapita, lebih tinggi daripada persentase dampak dari rata-rata konsumsi nonmakanan perkapita kelompok intervensi sebesar 5,43 persen.

Jika dilihat lebih dalam pada persentase dampak intervensi terhadap rata-rata konsumsi nonmakanan kelompok intervensi, persentase dampak terhadap rata-rata konsumsi kesehatan sebesar 33,61 persen jauh lebih tinggi daripada persentase dampak terhadap rata-rata konsumsi nonkesehatan (7,94 persen).

Page 222: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 211

Penghitungan dampak kepesertaan PBI-JKN dan persentasenya terhadap rata-rata konsumsi baik pada daerah urban maupun rural menunjukkan hal yang sama, yaitu penurunan pada berbagai outcome konsumsi rumah tangga kecuali pada konsumsi kesehatan perkapita.

Penurunan konsumsi pada area urban lebih tinggi daripada area rural (merujuk pada 4 dari 5 outcome konsumsi rumah tangga yang diteliti). Hal berbeda terjadi pada konsumsi kesehatan perkapita. Di daerah urban terjadi penurunan sebesar 46,54 persen terhadap rata-rata konsumsi kesehatan daerah urban. Sebaliknya di daerah rural, terjadi peningkatan konsumsi kesehatan sebesar 22,84 persen.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil estimasi menggunakan Propensity Score Matching dengan Nearest Neighbour with Replecement diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Kepesertaan PBI-JKN di Jawa Timur tahun 2016 tidak berdampak signifikan terhadap konsumsi total perkapita, artinya dengan pemberian subsidi iuran jaminan kesehatan belum mampu menaikkan secara signifikan konsumsi total penerimanya atau dengan kata lain belum berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan penerimanya jika kesejahteraan diukur dari konsumsi total. Penelitian ini juga menunjukkan penurunan konsumsi makanan lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan konsumsi nonmakanan. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan pada konsumsi total memberikan pengaruh yang cukup besar pada penurunan konsumsi makanan karena secara umum distribusi pendapatan pada kelompok rumah tangga miskin lebih banyak

digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan.

2. Apabila penurunan konsumsi nonmakanan dampak kepesertaan PBI-JKN dipilah lagi pada konsumsi kesehatan dan nonkesehatan, terlihat hasil yang berbeda satu sama lain. Konsumsi kesehatan secara rupiah yang dikeluarkan mengalami peningkatan sedangkan konsumsi nonkesehatan mengalami penurunan. Peningkatan konsumsi kesehatan hampir 3 kali lebih rendah daripada penurunan konsumsi nonkesehatan, namun jika dilihat dari persentasenya terdapat kontradiksi, yaitu persentase peningkatan konsumsi kesehatan lebih dari 4 kali lipat daripada penurunan konsumsi nonkesehatan. Meskipun dengan adanya subsidi biaya jaminan kesehatan pada kelompok intervensi, peneliti menduga masih banyak komponen biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh peserta PBI-JKN yang tidak dicakup dalam subsidi sehingga menyebabkan konsumsi kesehatan masih mengalami peningkatan dengan persentase yang cukup besar.

Page 223: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

212 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Secara umum penurunan konsumsi rumah tangga sebagai dampak kepesertaan PBI-JKN di daerah urban lebih tinggi daripada di daerah rural kecuali pada jenis konsumsi kesehatan di mana di daerah rural menunjukkan adanya peningkatan nilai konsumsi. Peneliti menduga peningkatan konsumsi ini terjadi karena adanya ketimpangan akses infrastuktur kesehatan baik secara fisik maupun sumber daya manusia antara daerah urban dan rural.

E. Saran

Beberapa saran untuk perbaikan hasil penelitian selanjutnya, peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:

1. Penelitian selanjutnya dimungkinkan untuk menambah variabel kontrol atau mengganti variabel yang secara statistik tidak signifikan memengaruhi variabel interest.

2. Apabila dimungkinkan untuk menambah data atau series data agar bisa didapatkan perbandingan dari tahun ke tahun.

3. Program JKN adalah program nasional sehingga jika dimungkinkan diteliti dampak kepesertaan PBI-JKN pada level nasional.

4. Selain dampak kepesertaan PBI-JKN pada level nasional, dimungkinkan dilakukan penelitian pada tingkat provinsi yang secara karakteristik berbeda dengan Jawa Timur.

5. Apabila dimungkinkan mendapatkan data hingga pada jenis pengeluaran yang lebih rinci maka dapat diketahui dampak yang lebih mendetail pada penelitian

berikutnya.

6. Untuk penelitian selanjutnya dapat diperdalam mengenai dampak kepesertaan PBI-JKN antara daerah urban dan rural dengan menambah variabel-variabel baru seperti infrasturktur kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, dan lain-lain.

Page 224: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2010-2014

Nama : Nur Hafni

Instansi : Pemkab Gunungkidul

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 225: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

214 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2010-2014

A. Latar Belakang

Sektor Pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara, terutama di negara sedang berkembang. Sektor ini melibatkan banyak sumber daya mulai dari sumber daya alam (tanah), tenaga kerja, pasar, serta ketahanan pangan bahkan politik sebuah negara atau daerah. Sek-tor pertanian bahkan dianggap sebagai salah satu tolok ukur kemajuan perekonomian sebuah negara.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris sehingga salah satu sektor yang diharapkan mampu berkembang dan berkontribusi besar terhadap perekonomian adalah sektor pertanian. Sektor pertanian mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 38,9 juta penduduk Indonesia. Sektor pertanian memberikan kontribusi cukup besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan nilai 14,33 persen dan menempati peringkat ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan (BPS, 2014).

Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten terluas di Yogyakarta dengan sebagian wilayah berbukit-bukit dan terkesan tandus. Meskipun demikian, Gunungkidul mempunyai beragam potensi perekonomian mulai dari pertanian, perikanan dan peternakan, hutan, flora dan fauna, industri, tambang serta potensi pariwisata. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian bagi sekitar 31 persen penduduk Gunungkidul. Sektor pertanian mampu menghasilkan pendapatan bagi Gunungkidul melalui penjualan produk pertanian ke luar Gunungkidul. Kontribusi tiap-tiap lapangan usaha dapat diketahui melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan penjumlahan nilai barang dan jasa yang diproduksi selama satu tahun. PDRB merupakan salah satu alat ukur keberhasilan pembangunan di daerah.

PDRB Gunungkidul selalu mengalami kenaikan selama kurun waktu 2010-2014. Nilai PDRB Gunungkidul tahun 2010 sebesar 8.848.037,9 juta rupiah. PDRB tahun 2014 sebesar 10.639.465,6 juta rupiah atau naik sekitar 1.791.427,7 juta rupiah dibandingkan dengan tahun 2010. Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Gunungkidul.

Perkembangan sektor pariwisata beberapa tahun terakhir mulai menggeser sektor pertanian. Hasil studi tersebut cukup menarik untuk ditindak lanjuti dan diteliti efek multiflier yang bisa ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah penelitian

Page 226: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 215

untuk mengetahui kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Gunungkidul. Apakah sektor pertanian masih menjadi sektor basis ataukah mulai tergeser oleh sektor lain, khususnya pariwisata? Selain itu, juga perlu diteliti sebaran subsektor unggulan serta strategi pengembangan pertanian agar sesuai potensi di Kabupaten Gunungkidul.

Perencanaan dan pembangunan daerah seharusnya tidak hanya dilihat berdasarkan pertumbuhan ekonomi melalui PDRB saja, tetapi juga disesuaikan dengan potensi sumber daya yang ada. Pemerintah harus memahami potensi sumber daya yang dimilikinya, termasuk sebaran ataupun sentra-sentra sumber daya alam tertentu diwilayahnya. Salah satu teknologi yang banyak digunakan untuk pemetaan sebuah wilayah adalah GIS (Geographic Information System).

Setelah memahami latar belakang penelitian dan kondisi Kabupaten Gunungkidul serta merumuskan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis apakah sektor pertanian merupakan sektor basis di Kabupaten Gunungkidul.

2. Menganalisis subsektor pertanian yang paling berperan terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Gunungkidul.

3. Menganalisis strategi pengembangan sektor pertanian yang sesuai dengan pemetaan potensi menggunakan GIS di Kabupaten Gunungkidul.

B. Metode Analisis

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari BPS. Data yang digunakan adalah data PDRB Kabupaten Gunungkidul dan Yogyakarta tahun 2010-2014, data luas panen, serta data produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2010 dan 2014. Penelitian ini menggunakan metode Location Quotient (LQ), Dynamic Location Quotient (DLQ) serta analisis spasial menggunakan Geographic Information System (GIS). Metode LQ dan DLQ digunakan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan di Kabupaten Gunungkidul. Analisis spasial GIS digunakan untuk menganalisis wilayah sentra produksi tanaman pangan di Gunungkidul.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Location Quotient

Kontribusi sektor pertanian dan subsektor pertanian terhadap PDRB dapat diketahui menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diteliti dan kemampuan sektor

Page 227: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

216 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang sama pada daerah yang menjadi acuan. Inti dasar dari metode LQ adalah teori basis ekonomi. Sektor yang menjadi basis atau unggulan di sebuah daerah akan menghasilkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pasar di daerah tersebut maupun di luar daerah yang bersangkutan sehingga penjualan keluar daerah akan memberikan pendapatan bagi daerah tersebut (Widodo, 2006: 116).

Keunggulan analisis ini adalah mudah dan cepat diterapkan dalam sebuah penelitian. Nilai LQ dapat dihitung berulang kali sesuai kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan setiap perubahan yang terjadi di daerah tersebut. Namun, kelemahan analisis dengan LQ adalah hasil analisis yang diperoleh masih berupa kesimpulan sementara sehingga harus dikaji lebih mendalam menggunakan teknik analisis lain agar kesimpulan tersebut teruji kebenarannya.

Hasil analisis menunjukkan beberapa sektor teridentifikasi menjadi sektor basis atau sektor unggulan di Kabupaten Gunungkidul. Sektor-sektor tersebut, yaitu sektor pertanian, kehutanan, perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, sektor perdagangan besar dan eceran, sektor administrasi pemerintahan, serta sektor jasa lainnya. Sektor-sektor tersebut dianggap sebagai sektor basis karena mempunyai nilai LQ lebih besar dari satu. Selama kurun waktu tahun 2010-2014, sektor pertanian mempunyai nilai LQ rata-rata 2,43, pertambangan (2,53), pengadaan air (1,56), perdagangan besar (1,1), administrasi pemerintah (1,16), dan sektor jasa

lainnya (1,27).

2. Indeks DLQ Kabupaten Gunungkidul

Hasil perhitungan DLQ menunjukkan beberapa sektor pembentuk PDRB di Kabupaten Gunungkidul mempunyai nilai DLQ lebih besar dari satu. Artinya, sektor-sektor tersebut berpotensi menjadi sektor basis pada tahun-tahun yang akan datang. Sektor tersebut adalah pertanian, industri pengolahan, informasi dan komunikasi, jasa keuangan, real estat, jasa perusahaan, administrasi pemerintahan, jasa pendidikan, dan jasa lainnya. Sektor yang mempunyai nilai DLQ kurang dari satu mengindikasikan sektor tersebut kemungkinan tidak menjadi sektor basis pada tahun yang akan datang.

Penggabungan hasil analisis LQ dan DLQ dapat digunakan untuk mengetahui posisi sebuah sektor pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Hasil penggabungan menunjukkan sektor pertanian, administrasi pemerintahan, dan jasa lainnya saat ini merupakan sektor basis dan kemungkinan pada tahun yang akan datang tetap menjadi sektor basis.

Page 228: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 217

Hasil analisis ini dapat dijadikan pertimbangan pemerintah agar tetap memperhatikan pembangunan sektor pertanian meskipun laju pertumbuhannya cukup lambat (rata-rata 0,41% dalam lima tahun terakhir). Meskipun laju pertumbuhan sektor pertanian melambat, namun sektor pertanian tetap memberikan kontribusi

paling besar pada pembentukan PDRB Gunungkidul.

3. Kontribusi Subsektor Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Gunungkidul

Menurut Kuznets (1964), sektor pertanian di negara sedang berkembang memberikan empat kontribusi, yaitu kontribusi produk, pasar, faktor-faktor produksi, dan devisa. Kontribusi produk berupa penyediaan bahan pangan, penyediaan bahan baku bagi beberapa industri seperti makanan, minuman, dan tekstil. Kontribusi pasar berupa terbentuknya pasar untuk bahan industri dan makanan. Kontribusi faktor produksi dikaitkan dengan adanya transfer tenaga kerja di bidang pertanian. Kontribusi devisa terjadi karena adanya ekspor produk pertanian yang menjadi sumber devisa negara.

Hasil analisis LQ maupun DLQ menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor basis. Sektor ini terdiri dari beberapa subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan. Analisis selanjutnya adalah menghitung kontribusi tiap-tiap subsektor pertanian.

Hasil perhitungan di atas menunjukkan sektor pertanian, peternakan, perburuan, dan jasa pertanian memberikan kontribusi sebesar 20,07 persen terhadap total PDRB Kabupaten Gunungkidul. Subsektor kehutanan dan penebangan kayu memberikan kontribusi sebesar 3,7 persen, sedangkan subsektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 0,8 persen terhadap PDRB. Kontribusi tanaman pangan sebesar 12,4 persen, tanaman hortikultura sebesar 3,1 persen, tanaman perkebunan sebesar 0,2 persen, peternakan sebesar 4,2 persen, dan jasa pertanian sebesar 0,4 persen.

Pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan pada tanaman pangan karena subsektor ini memberikan kontribusi terbesar, yaitu 12,4 persen. Tanaman pangan merupakan tanaman yang dikonsumsi sebagai makanan pokok maupun makanan pengganti makanan pokok. Komoditas yang dianalisis adalah padi, jagung, dan kedelai. Ketiga tanaman tersebut dipilih karena merupakan target swasembada pangan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dan harus dicapai tahun 2016.

Hasil perhitungan indeks LQ menunjukkan subsektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, serta jasa pertanian dan perburuan mempunyai nilai LQ

Page 229: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

218 Direktori Mini Tesis-Disertasi

lebih besar dari satu. Artinya, keempat subsektor tersebut merupakan sektor basis dalam perekonomian di Kabupaten Gunungkidul. Tanaman perkebunan mempunyai nilai LQ 0,68 sehingga perkebunan bukan merupakan sektor basis atau unggulan di Kabupaten Gunungkidul.

4. Analisis Spasial Menggunakan GIS

Hasil analisis spasial menggunakan GIS dapat dimanfaatkan di berbagai bidang seperti pertanian, tata ruang, dan wilayah serta bidang klimatologi. Hasil GIS dalam bidang pertanian dapat digunakan untuk memetakan potensi sumber daya lahan, memprediksi luas tanam dan produksi tanaman, serta sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan strategi pengembangan pertanian.

Hasil analisis menunjukkan sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 25,2 persen. Hasil ini membuktikan bahwa pertanian masih menjadi andalan Kabupaten Gunungkidul. Meskipun beberapa tahun terakhir sektor pariwisata mulai berkembang pesat, namun sektor pertanian tetap memberikan kontribusi terbesar. Analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data dasar (basemap) Kabupaten Gunungkidul serta data produksi dan luas tanaman pangan di Kabupaten Gunungkidul. Komoditas yang dianalisis, yaitu tanaman padi, tanaman jagung, dan tanaman kedelai.

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sampai saat ini belum menerapkan analisis spasial dengan GIS di lingkungan pemerintahannya. Hasil analisis spasial terhadap ketiga komoditas tersebut telah mampu memberikan gambaran wilayah-wilayah yang menjadi sentra komoditas tertentu. Daerah sentra produksi tanaman tertentu dapat diketahui dengan jelas sehingga diharapkan pengembangannya akan lebih optimal.

Selain itu, hasil analisis terhadap ketiga komoditas tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tingkat kesesuaian lahan serta lokasi sentra tanaman berdasarkan ketinggian wilayah di Gunungkidul. Jika pemerintah daerah sudah memahami hal tersebut, diharapkan strategi pembangunan pertanian dapat lebih optimal. Pemilihan program pembangunan pertanian serta penentuan lokasi penerima program disesuaikan dengan kecocokan lahan agar hasilnya optimal. Strategi lain yang sebaiknya dilakukan adalah pengaturan pola tanam dan waktu tanam. Hal ini untuk menghindari terjadinya panen serempak sehingga harga menjadi rendah.

Sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan di Gunungkidul diharapkan tetap mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB jika dikelola dengan optimal. Sektor pertanian juga menjadi salah satu penggerak perekonomian

Page 230: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 219

di pedesaan yang merupakan unit ekonomi terkecil di sebuah daerah. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2010-2015, menitikberatkan pada sektor industri kecil dan menengah berbasis pertanian serta pariwisata yang unggul. Kedua sektor tersebut diharapkan dapat menjadi basis aktivitas ekonomi dan mampu menghasilkan produk-produk berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Pemerintah Daerah Gunungkidul menitikberatkan pembangunan pertanian pada revitalisasi sektor pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan. Sektor pertanian juga diharapkan mampu menjadi penyedia bahan baku industri kecil, industri pengolahan hasil pertanian, serta pemasaran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan wilayah-wilayah yang akan dijadikan sentra pengembangan pertanian. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya mengandalkan keunggulan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Akan tetapi, harus memperhatikan pembangunan sektor pendukungnya seperti peningkatan pemberdayaan petani dan kelembagaannya, serta pengembangan komoditas lain yang mempunyai nilai jual tinggi seperti hortikultura. Pemberdayaan petani dan lembaga pertanian dapat dilakukan dengan penyuluhan dan pendampingan secara masif agar petani mampu mengikuti perkembangan teknologi pertanian.

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah sikap petani untuk mengubah pola pikir dan pola budi daya agar hasilnya lebih optimal. Saat ini masih banyak petani yang enggan beralih dari tanaman pangan dengan alasan kesulitan menerima dan menggunakan teknologi baru. Oleh karena itu, Pemerintah Gunungkidul harus melakukan pembangunan pertanian secara fisik (sarana dan prasarana pertanian) maupun nonfisik, yaitu pola pikir petani. Jika hal ini telah berhasil dilakukan maka diharapkan sektor pertanian akan lebih berkembang dan tetap menjadi sektor unggulan di Gunungkidul.

D. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sektor pertanian merupakan sektor basis di Kabupaten Gunungkidul. Hasil analisis menunjukkan indek LQ 2,43 dan DLQ 1,26. Artinya, sektor pertanian merupakan sektor basis dan berpotensi tetap menjadi sektor basis pada tahun-tahun mendatang.

2. Subsektor tanaman pangan mempunyai peranan paling besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Gunungkidul dengan kontribusi sebesar 12,4 persen dalam kurun waktu 2010-2014.

Page 231: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

220 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Strategi pengembangan pertanian, terutama subsektor tanaman pangan disesuaikan dengan hasil analisis spasial menggunakan GIS. Sentra tanaman padi terdapat di wilayah timur dan utara yang mempunyai persediaan air (sumber air) cukup banyak. Sentra tanaman kedelai di wilayah tengah, selatan, dan barat. Tanaman jagung cocok untuk ditanam di semua wilayah di Gunungkidul.

E. Saran

Saran yang peneliti ajukan agar penelitian-penelitian selanjutnya mengambil tema tentang sektor basis dapat dilakukan dengan lebih baik sebagai berikut:

1. Penelitian lebih lanjut tentang sektor basis disarankan menggunakan metode yang lebih lengkap agar hasil yang didapat lebih optimal.

2. Data yang dianalisis sebaiknya menggunakan rentang waktu lebih lama agar dapat meminimalisir kesalahan..

Page 232: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 221

Page 233: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

222 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 234: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA

Nama : Nur Laila Kholida

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 235: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

224 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh migrasi terhadap pendidikan anak di Indonesia. Performa pendidikan anak diukur dengan menggunakan nilai ujian bahasa Indonesia dan matematika pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga (SAKERTI) tahun 2014. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 2.011 responden. Responden adalah individu yang orangtuanya melakukan migrasi dan mempunyai nilai ujian bahasa Indonesia dan matematika, yang tercatat dalam IFLS 2014. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa migrasi berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap performa pendidikan anak yang ikut bermigrasi dengan orangtua. Anak yang ikut bermigrasi dengan orangtuanya mendapatkan nilai ujian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang ditinggalkan orangtuanya bermigrasi.

Kata kunci: Migrasi, Pendidikan Anak, IFLS, OLS

Page 236: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 225

ABSTRACT

This study aims to analyze the effect of migration on child education in Indonesia. The child education performance measured using exam scores of Bahasa Indonesia and matematic on student level Elementary School, Junior High School and Senior High School. Data used in this study is secondary data from Indonesian Family Life Survey (IFLS) or Survey of Aspects of Domestic Life (SAKERTI) in 2014. This study use 2.011 observations as a sample. Observation in this study are individual with migrant parents, and have exam score in Bahasa Indonesia and matematic that listed in IFLS 2014. This study using Ordinary Least Square (OLS) as a method to analyze the model. The result obtained is migration have positive correlation dan signifikan effect to child education performance. Child that follows their parents’s migration have higher exam scores than child left behind.

Keywords: Migration, Child Education, IFLS 2014, OLS

Page 237: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

226 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas tenaga kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan maka semakin tinggi produktivitas tenaga kerja dan semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Hal ini yang disebut sebagai teori human capital, yang menerangkan pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Teori human capital menganggap bahwa pendidikan formal merupakan suatu investasi baik bagi individu maupun masyarakat (Suryadi, 1993).

Pendidikan juga merupakan salah satu bagian penting dari peningkatan modal manusia (human capital). Perekonomian suatu negara akan lebih efisien dan produktif dengan peningkatan modal manusianya. Asumsi dasar teori human capital adalah seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan (Atmanti, 2005). Hal ini sejalan dengan teori human capital atau modal manusia yang dikemukakann oleh Becker (1985 dalam Fahmi dan Mulyono, 2015), memaparkan pendidikan dapat mengajarkan kepada para pekerja tentang keahlian-keahlian yang dapat meningkatkan produktivitas sehingga pekerja akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

Schultz (1961), menekankan pentingnya peranan pendidikan dalam meningkatkan pendapatan. Perbedaan pendapatan para pekerja berkaitan erat dengan perbedaan pendidikan pekerja. Perbedaan pendapatan tersebut akan berakibat pula terhadap kesejahteraan pekerja dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Menurut Alatas dan Priyono (1993), perpindahan penduduk atau migrasi dapat dipandang sebagai dampak adanya peningkatan mutu modal manusia. Pendidikan dan keterampilan tinggi yang merupakan cerminan dari peningkatan mutu modal manusia akan mendorong individu untuk mencari upah yang lebih tinggi. Lebih lanjut dijelaskan Alatas dan Priyono (1993) apabila tuntutan peningkatan kualitas hidup tidak dapat dipenuhi oleh sarana dan prasarana di daerah asal maka seseorang akan cenderung untuk berpindah ke tempat lain yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara pengaruh migrasi terhadap performa pendidikan anak dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap performa pendidikan anak di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian

Page 238: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 227

ini adalah data sekunder yang didapatkan dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga (SAKERTI) tahun 2014. Data IFLS 2014 memberikan informasi mengenai migrasi dan pendidikan di Indonesia. Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migrasi permanen, yaitu perpindahan penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan dengan tujuan menetap atau berniat tinggal di tempat baru selama minimal 6 (enam) bulan sebagaimana definisi migrasi oleh BPS.

Penelitian mengenai analisis pengaruh migrasi terhadap pendidikan anak antara lain dilakukan oleh Robles dan Oropesa (2011). Robles dan Oropesa (2011) menyimpulkan bahwa migrasi internasional yang dilakukan orangtua memberikan dampak negatif terhadap pendidikan anak yang ditinggalkan (children left behind). Temuan yang sama juga diperoleh dari penelitian oleh Lee (2011), Chen et al. (2013), Zhou et al. (2014), Zhao et al. (2014), dan Lu (2014). Menggunakan variabel penelitian yang berbeda-beda, namun penelitian memberikan hasil yang sama. Migrasi internasional yang dilakukan oleh orangtua menyebabkan prestasi anak di sekolah menjadi tidak baik. Hal tersebut dibuktikan dengan penurunan nilai akademis maupun efek psikologis, yakni anak menjadi lebih sering tidak masuk sekolah dan bersekolah lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang orangtuanya tidak bermigrasi.

Penelitian berbeda dilakukan oleh Klein (2011) yang menyimpulkan selain mendapatkan penghasilan lebih tinggi dengan melakukan migrasi dari desa ke kota, migrasi orangtua juga berpengaruh positif terhadap pendidikan anak karena di kota tersedia fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih memadai daripada di desa sehingga migrasi yang dilakukan merupakan salah satu mekanisme dalam pembangunan sumber daya manusia.

Nielsen dan Ragvid (2012) meneliti dampak lama tinggal migrasi orangtua terhadap pencapaian nilai akademis anak. Penelitian ini dilakukan terhadap generasi kedua anak yang orangtuanya bermigrasi. Secara keseluruhan, lama tinggal orangtua di Denmark memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian nilai bahasa Denmark dan matematika anak.

Resosudarmo dan Suryadarma (2014) melakukan penelitian tentang migrasi dari desa ke kota di Indonesia. Penelitian menunjukkan anak yang ikut bermigrasi dengan orangtuanya mempunyai pencapaian pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan anak dari orangtua yang tidak bermigrasi (memilih tetap tinggal di desa). Anak yang ikut bermigrasi ke kota pencapaian pendidikannya 3 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tetap tinggal di pedesaan.

Dermurger dan Xu (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh durasi migrasi terhadap anak yang ditinggalkan. Keinginan orangtua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak membuat orangtua memilih untuk memperpanjang masa migrasinya.

Page 239: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

228 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hal tersebut dilakukan oleh orangtua dengan harapan dapat mengumpulkan pendapatan yang lebih banyak bagi kepentingan pendidikan anaknya.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Keputusan migrasi yang dilakukan oleh individu membawa dampak bagi perbaikan kondisi ekonomi keluarga migran sesuai dengan harapan ketika individu melakukan migrasi. Namun, migrasi melibatkan individu yang terkadang mempunyai status sebagai orangtua. Keberadaan orangtua yang tidak lagi secara permanen berada di rumah tentu membawa pengaruh bagi pendidikan anak.

Orangtua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya maka tentu diharapkan dengan adanya peningkatan pendapatan orangtua juga diiringi dengan keberhasilan pencapaian prestasi anak di sekolahnya. Penelitian yang dilakukan sebelumnya lebih banyak menganalisis dampak migrasi yang dilakukan orangtua terhadap anak yang ditinggalkan (children left behind). Penelitian ini menganalisis pengaruh migrasi internal terhadap pendidikan anak dan faktor-faktor apa saja yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap performa pendidikan anak.

Penelitian ini menggunakan data individu yang bersumber dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 yang diakses melalui RAND Corporation (www.rand.org/labor/FLS/IFLS). Data IFLS adalah data yang dapat merepresentasikan lebih dari 80 persen populasi Indonesia karena merangkum 13 data panel provinsi di Indonesia, mencakup 321 data komunitas (kelurahan/desa) dan sekitar 22.000 data individu. Data IFLS yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dalam buku K (Book K: Control Book and Household Roster), Buku 3A (Book 3A: Adult Information) dan buku 5 (Book 5: Child Information).

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 2.011 individu berusia antara 4-18 tahun yang tercatat pada data IFLS 2014. Responden adalah individu yang orangtuanya melakukan migrasi serta memiliki nilai ujian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan matematika pada level pendidikan SD, SMP, dan SMA.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Deskriptif

Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap 2.011 sampel, responden paling banyak memiliki nilai ujian bahasa Indonesia dan matematika pada rentang nilai 10,1-15, yaitu sejumlah 1.067 orang atau sebesar 53,06 persen. Responden yang mempunyai rentang nilai ujian antara 15,1-20 sejumlah 841 orang atau sejumlah

Page 240: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 229

41,82 persen, sedangkan responden yang memiliki nilai di bawah 10 sebanyak 103 responden atau sebesar 5,12 persen. Sebagian besar responden dalam penelitian ini merupakan responden yang tidak ikut bermigrasi dengan orangtuanya yang jumlahnya mencapai 1.712 orang atau sebesar 85,13 persen, sedangkan responden yang mengikuti orangtuanya bermigrasi hanya sejumlah 299 orang atau sebesar 14,87 persen.

Responden terbanyak dalam penelitian ini adalah responden yang memiliki nilai ujian yang didapatkan dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1.237 orang atau sebesar 61,51 persen. Kedua adalah nilai ujian yang berasal dari jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejumlah 518 orang atau sebesar 25,76 persen, sedangkan yang terakhir yaitu sebanyak 256 orang atau sebesar 12,73 persen adalah responden dengan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan usia masuk sekolah responden terbesar pada usia di bawah atau sama dengan 7 tahun, yaitu sebanyak 1.868 orang atau sebesar 92,89 persen, sedangkan hanya sejumlah 143 orang atau sebesar 7,11 persen yang usia masuk Sekolah Dasar di atas atau sama dengan 8 tahun.

Hasil pengolahan data menunjukkan jumlah responden perempuan hanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden laki-laki. Responden laki-laki sebanyak 982 orang atau sebesar 48,83 persen, sedangkan responden perempuan sejumlah 1.029 orang atau sebesar 51,17 persen.

Riwayat pendidikan responden dimasukkan sebagai salah satu variabel kontrol karena diharapkan ketika responden pernah mendapatkan pendidikan di jenjang prasekolah akan membantu untuk mendapatkan nilai yang lebih baik ketika memasuki pendidikan Sekolah Dasar. Jumlah responden dalam penelitian ini yang mengikuti pendidikan prasekolah sejumlah 799 orang atau sebesar 39,73 persen, sedangkan responden yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah sejumlah 1.212 orang dari total 2.011 responden atau sejumlah 60,27 persen.

Karakteristik saudara responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu responden yang memiliki saudara dalam keluarganya dan responden yang tidak mempunyai saudara. Mayoritas responden dalam penelitian ini adalah responden yang tidak memiliki saudara sebanyak 1.944 orang (96,67%) dari total responden, jauh lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai saudara sejumlah 67 orang (3,33%).

Karakteristik teknologi diwakili oleh kepemilikan telepon seluler oleh responden dengan pertimbangan bahwa telepon seluler dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan kepada responden serta dapat membantu responden

Page 241: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

230 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dalam memahami pelajaran di sekolah. Hal ini juga sebagai penyesuaian terhadap karakteristik teknologi pada penelitian Zhao et al. (2014) yang menggunakan variabel komputer sebagai proksi untuk teknologi. Penelitian ini menggunakan kepemilikan telepon seluler karena menyesuaikan dengan pertanyaan yang ada dalam data IFLS. Sebagian besar responden memiliki telepon seluler sebanyak 1.382 orang atau 68,72 persen, sedangkan yang tidak memiliki telepon seluler sebesar 629 orang atau 31,28 persen.

Karakteristik tipe sekolah responden dibagi menjadi dua kategori, yaitu sekolah umum (negeri) dan sekolah swasta. Responden dalam penelitian ini mayoritas bersekolah di sekolah umum atau negeri, yaitu sebanyak 1.483 orang atau 73,74 persen, sedangkan responden yang bersekolah di sekolah swasta sebanyak 528 orang atau 26,26 persen.

Penelitian ini mengambil waktu tempuh dari rumah responden ke sekolah sebagai proksi untuk mewakili karakteristik lingkungan sekolah. Penerapan zonasi yang dipakai oleh Kementerian Pendidikan tahun 2017 sebagai salah satu kriteria dalam penerimaan murid baru, juga menjadi pertimbangan pemakaian variabel waktu tempuh dari rumah ke sekolah sebagai salah satu faktor yang memengaruhi nilai. Waktu tempuh responden dari rumah ke sekolah untuk satu kali perjalanan paling banyak di bawah 15 menit, sejumlah 1.474 orang atau 73,30 persen. Terbanyak kedua adalah responden dengan waktu tempuh 16-30 menit sejumlah 491 orang atau 24,41 persen. Responden dengan waktu tempuh ke sekolah 31-60 menit sejumlah 39 orang atau sebesar 1,94 persen dan yang terakhir responden dengan kategori waktu tempuh paling lama ke sekolah di atas 60 menit ada sejumlah 7 orang atau sebesar 0,35 persen.

Karakterisitik gangguan yang dialami responden selama bersekolah diwakili oleh responden yang bekerja selama menempuh pendidikan. Penelitian ini menggunakan lama waktu responden bekerja sebagai variabel yang diduga memengaruhi nilai. Responden yang bekerja sebagian besar bekerja di bawah 7 jam/minggu sejumlah 1.869 orang atau 92,94 persen. Mayoritas responden dalam kategori ini yang sama sekali tidak bekerja sebanyak 1.377 orang. Responden yang bekerja antara 8-35 jam/minggu sebanyak 130 orang atau sebesar 6,46 persen, sedangkan responden yang bekerja lebih dari 35 jam/minggu sejumlah 12 orang atau sebesar 0,60 persen.

Karakteristik kepala rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini ada empat macam, yaitu usia kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga dan status perkawinan kepala rumah tangga. Usia kepala rumah tangga responden antara 15-87 tahun. Usia 64 tahun dipilih

Page 242: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 231

sebagai cut off karena usia 60 tahun merupakan usia pensiun bagi sebagian besar pegawai di Indonesia. Sebagian besar kepala rumah tangga responden masih berada dalam masa produktif untuk bekerja, yaitu sejumlah 1.749 orang (86,97%), sedangkan kepala rumah tangga responden yang sudah memasuki masa pensiun sejumlah 262 orang atau sebesar 13,03 persen.

Karakteristik kepala rumah tangga selanjutnya yang digunakan dalam penelitian adalah karakteristik lama pendidikan kepala rumah tangga responden yang dibagi menjadi empat kategori berdasarkan lama pendidikan yang ditempuh oleh kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga yang mempunyai rentang lama pendidikan sampai dengan 6 tahun atau maksimal setara dengan Sekolah Dasar sebanyak 865 orang atau 43,02 persen. Kepala rumah tangga yang mempunyai rentang lama pendidikan 7-9 tahun atau setara dengan Sekolah Menengah Pertama sejumlah 346 orang atau sebesar 17,21 persen. Kategori ketiga adalah kepala rumah tangga yang menempuh pendidikan antara 10-12 tahun atau setara dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas sebanyak 578 orang atau sebesar 28,74 persen. Kategori terakhir adalah kepala rumah tangga yang menempuh pendidikan di atas 13 tahun atau setara dengan pendidikan di universitas sebanyak 222 orang atau sebesar 11,04 persen.

Karakteristik jenis kelamin kepala rumah tangga dalam penelitian ini memiliki persentase yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kepala rumah tangga responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1.515 orang atau sebesar 75,34 persen, sedangkan kepala rumah tangga responden yang berjenis kelamin perempuan hanya sejumlah 496 orang atau sebesar 24,66 persen.

Karakteristik status perkawinan kepala rumah tangga dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kepala rumah tangga yang menikah dan kepala rumah tangga yang status perkawinannya tidak menikah, berbeda dengan data dalam IFLS 2014 yang membagi status perkawinan menjadi lima kategori. Hal ini untuk menyederhanakan pengolahan data dan interpretasi dari penelitian ini. Status perkawinan kepala rumah tangga responden sebagian besar menikah, yaitu sebanyak 1.677 orang atau sebesar 83,39 persen, sedangkan kepala rumah tangga yang tidak menikah/cerai hanya sejumlah 334 orang atau sebesar 16,61 persen.

Pendapatan yang diperoleh rumah tangga migrasi dalam penelitian ini menggunakan data kiriman uang yang terdapat dalam IFLS 2014. Sebagian besar responden mempunyai pendapatan kurang dari Rp1.000.000,00 yaitu sebanyak 1.702 orang atau sebesar 84,63 persen, selebihnya mempunyai pendapatan di atas Rp1.000.000,00 sebanyak 309 orang atau sebesar 15,37 persen.

Page 243: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

232 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Mayoritas responden membayar biaya sekolah kurang dari Rp1.000.000,00 perbulan, yaitu sebanyak 1.869 orang atau sebesar 92,94 persen. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden bersekolah di sekolah umum/negeri yang pembiayaannya tidak mahal karena banyak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Responden yang membayar biaya sekolah lebih dari Rp1.000.000,00 perbulan hanya sejumlah 142 orang atau sebesar 7,06 persen.

Penelitian ini menggunakan karakteristik psikologi responden untuk mengukur apakah keadaan psikologi responden memengaruhi nilai atau tidak. Persepsi responden terhadap kesejahteraan dirinya dan keluarganya sesuai dengan data yang terdapat dalam IFLS 2014 digunakan sebagai pendekatan terhadap karakteristik psikologi responden. Persepsi kesejahteraan diri responden dibagi menjadi empat kategori, sedangkan untuk persepsi responden terhadap kesejahteraan keluarga dibagi menjadi tiga kategori. Responden merasa bahagia terhadap kesejahteraan dirinya, yaitu sejumlah 1.557 orang atau sebesar 77,42 persen, sedangkan responden yang beranggapan bahwa dirinya sangat bahagia sebanyak 264 orang atau sebanyak 13,28 persen. Responden yang merasa kesejahteraan diri dalam kondisi tidak bahagia sejumlah 171 orang atau sebesar 8,50 persen dan hanya sejumlah 19 orang saja atau sebesar 0,80 persen responden yang merasa dalam kondisi sangat tidak bahagia.

Pendekatan psikologis lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi responden terhadap kesejahteraan keluarganya. Mayoritas responden merasa dalam kondisi cukup terhadap kesejahteraan keluarganya, yaitu sebanyak 1.219 orang atau sebesar 60,62 persen, sedangkan responden yang merasa dalam kondisi lebih dari cukup sejumlah 412 orang atau sebesar 20,49 persen dan yang terakhir adalah responden yang mempunyai anggapan kurang cukup terhadap kesejahteraan keluarganya yaitu sejumlah 380 orang atau sebesar 18,89 persen.

Penelitian ini menggunakan karakteristik wilayah tempat tinggal responden sebagai salah satu variabel kontrol dalam penelitian. Karakteristik wilayah dibagi menjadi dua kategori, yaitu wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Responden lebih banyak bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sebanyak 1.202 orang atau sebesar 59,77 persen, sedangkan responden yang tinggal di wilayah pedesaan sejumlah 809 orang atau sebesar 40,23 persen.

2. Pengujian Asumsi Klasik

Pengujian normalitas dilakukan untuk melihat apakah nilai residual pada model sudah terdistribusi secara normal atau tidak. Metode pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan metode histogram residual. Berdasarkan gambar

Page 244: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 233

histogram, rentang nilai residual antara -1 dan 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa residual data terdistribusi secara normal.

Pengujian multikolinearitas dalam penelitian ini dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance. Untuk semua variabel nilai VIF ≤ 10 dan nilai tolerance ≥ 0,10 maka berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antara variabel independen dalam penelitian.

Masalah heteroskedastisitas umumnya terjadi pada data cross section dibandingkan dengan data time series. Hal ini disebabkan karena data cross section menghimpun berbagai variabel yang mewakili berbagai ukuran baik itu kecil, sedang maupun besar pada satu periode yang sama sehingga menyebabkan terjadinya ketidaksamaan varian residualnya (Gujarati dan Porter, 2015: 468). Berdasarkan hasil uji Breusch-Pagan/Cook-Weisberg, nilai prob> chi2 adalah 0,4602 lebih besar dari alpha (α) 0,05. Hasil uji tersebut menunjukkan tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model atau nilai varian dari error atau residual estimasi regresi bersifat konstan (homoskedastisitas).

Nilai R-squared penelitian ini sebesar 6,12 persen. Hal ini menunjukkan variabel independen dalam model hanya mampu menjelaskan variabel dependen (nilai ujian) sebesar 6,12 persen, sedangkan sisanya sebesar 93,88 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Data antartempat atau antar-ruang (cross section) akan menghasilkan nilai R-squared yang rendah. Hal ini terjadi karena adanya variasi yang besar dalam variabel yang diteliti pada periode waktu yang sama (Widarjono, 2007: 30). Nilai uji F menunjukkan secara simultan (bersama-sama) variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen sehingga model regresi dalam penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan prediksi atau estimasi.

3. Analisis Ordinary Least Square (OLS)

Berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan, variabel migrasi memiliki nilai p-value sebesar 0,044 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 5 persen. Hal ini menunjukkan variabel migrasi berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden. Nilai koefisien 0,0251 menunjukkan perbedaan rata-rata persentase nilai ujian bagi anak yang ikut orangtuanya bermigrasi 2,51 persen lebih tinggi, dibandingkan dengan anak yang ditinggal orangtuanya bermigrasi. Hal ini diduga terjadi karena pada usia sekolah, anak cenderung memiliki ikatan emosional yang kuat dengan orangtuanya. Penelitian Berbee (2017) menunjukkan ketidakhadiran orangtua dalam mendampingi anak akan menyebabkan penurunan performa anak di sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

Page 245: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

234 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dilakukan oleh Resosudarmo dan Suryadarma (2014) yang menyimpulkan bahwa anak yang ikut bermigrasi dengan orangtuanya mempunyai pencapaian pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya bermigrasi.

Variabel lain yang berpengaruh signifikan dalam penelitian ini adalah variabel pendidikan responden yang dilihat dari lama pendidikan responden berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan, dengan p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,1 persen. Nilai koefisien sebesar -0,0078 menunjukkan penambahan satu tahun lama pendidikan responden, akan menurunkan nilai ujian rata-rata sebesar 0,78 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh semakin lama pendidikan maka kualitas dari soal ujian semakin sulit sehingga nilai yang didapat oleh responden semakin menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Fahmi dan Jewelery (2015) menjelaskan nilai ujian nasional pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar mempunyai efek terhadap nilai ujian nasional pada jenjang pendidikan selanjutnya.

Penelitian ini menggunakan variabel jenis kelamin agar dapat mengukur apakah jenis kelamin responden berpengaruh terhadap nilai ujian, dengan menggunakan dua kategori, yaitu jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Hasil regresi menunjukkan variabel jenis kelamin mempunyai p-value sebesar 0,035 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 5 persen, artinya variabel jenis kelamin berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian. Nilai koefisien sebesar -0,0187 menunjukkan perbedaan rata-rata persentase nilai ujian responden yang berjenis kelamin laki-laki 1,87 persen lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryoto (1998) yang menyatakan prestasi akademik siswa perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan prestasi akademik siswa laki-laki pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Fahmi dan Jewelery (2015) yang menyimpulkan siswa laki-laki mempunyai nilai ujian lebih rendah dibandingkan dengan siswa perempuan.

Hasil regresi menunjukkan variabel prasekolah memiliki p-value sebesar 0,012 persen lebih kecil dari taraf signifikansi α = 5 persen yang artinya variabel prasekolah berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian. Nilai koefisien sebesar 0,0241, artinya perbedaan rata-rata persentase nilai ujian antara responden yang mengikuti pendidikan prasekolah 2,41 persen lebih tinggi, dibandingkan dengan responden yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah. Hasil ini sesuai dengan temuan penelitian Fahmi dan Jewelery (2015) yang menyimpulkan

Page 246: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 235

pendidikan di Taman Kanak-Kanak berpengaruh terhadap peningkatan nilai ujian anak di jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

Dari empat karakteristik kepala rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini, variabel yang berpengaruh signifikan adalah variabel pendidikan kepala rumah tangga. Hasil regresi menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian adalah variabel pendidikan kepala rumah tangga yang memiliki p-value sebesar 0,001 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 1 persen. Hal ini menunjukkan variabel pendidikan kepala rumah tangga berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden. Nilai koefisien sebesar 0,0057 mempunyai arti setiap penambahan satu tahun lama pendidikan kepala rumah tangga akan menaikkan nilai ujian responden rata-rata sebesar 0,57 persen.

Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Rivard (2012) dan Zhao et al. (2014) yang menyebutkan pendidikan dari ayah dan ibu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendidikan anak. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Fahmi dan Jewelery (2015) yang menyebutkan pendidikan orangtua mempunyai efek terhadap meningkatnya nilai ujian nasional. Pendidikan ibu dapat meningkatkan nilai ujian nasional matematika, sedangkan pendidikan ayah dapat meningkatkan nilai ujian nasional bahasa Indonesia.

Variabel kiriman uang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan total penjumlahan dari kiriman uang yang digunakan untuk membiayai makan, kesehatan, sekolah, dan lainnya. Hasil regresi menunjukkan variabel kiriman uang memiliki p-value sebesar 0,005 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 1 persen yang artinya bahwa variabel kiriman uang mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden. Nilai koefisien sebesar -0,0023 menunjukkan setiap penambahan kiriman uang sebesar satu persen akan menurunkan nilai ujian responden rata-rata sebesar 0,23 persen.

Hal ini diduga disebabkan karena alokasi penggunaan kiriman uang lebih banyak untuk pembiayaan bersifat konsumtif seperti membangun atau merenovasi rumah, membeli tanah atau perhiasan, dibandingkan untuk pembiayaan pendidikan. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan penelitian Dibyantoro dan Alie (2015) yang menjelaskan penggunaan remitan ekonomi pada sektor pendidikan yang nantinya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai daya saing yang tinggi belum mendapatkan perhatian utama. Persentase alokasi untuk biaya pendidikan atau sekolah masih di bawah satu persen dari total kiriman yang diterima oleh keluarga migran.

Page 247: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

236 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pernyataan tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Rivard (2012), yang menyatakan rumah tangga migran di Indonesia hanya membelanjakan sedikit uang untuk pendidikan dibandingkan dengan rumah tangga nonmigran. Penelitian Berbee (2017) juga menyatakan ketidakhadiran ibu dalam rumah tangga menurunkan konsumsi untuk biaya pendidikan sehingga membahayakan masa depan pendidikan anak.

Variabel biaya sekolah merupakan total biaya yang dikeluarkan oleh orangtua responden setiap bulan untuk membayar semua kebutuhan sekolah responden. Berdasarkan hasil regresi, variabel biaya sekolah mempunyai nilai p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,1 persen yang artinya biaya sekolah berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden. Nilai koefisien sebesar 0,0064 menunjukkan setiap penambahan biaya sekolah sebesar satu persen akan meningkatkan nilai ujian responden rata-rata sebesar 0,64 persen. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Lu (2015) yang menyimpulkan bahwa biaya sekolah berpengaruh signifikan terhadap peningkatan level nilai akademik siswa.

Variabel-variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini yang tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden adalah faktor usia masuk sekolah responden, saudara, teknologi yang diproksi dari kepemilikan telepon seluler. Tipe sekolah responden, waktu tempuh, gangguan selama sekolah, yaitu jam kerja responden, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah tangga, faktor psikologis responden yang diproksi dari persepsi responden terhadap kesejahteraan diri dan keluarganya serta wilayah.

D. Kesimpulan dan Saran

Migrasi yang dilakukan oleh orangtua ternyata memberikan pengaruh terhadap performa pendidikan anak. Hasil penelitian ini menunjukkan migrasi berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap performa pendidikan anak yang ikut orangtua bermigrasi. Anak yang ikut orangtuanya bermigrasi mendapatkan nilai ujian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang ditinggalkan orangtuanya bermigrasi. Perbedaan rata-rata persentase nilai ujian antara anak yang ikut orangtunya bermigrasi 2,51 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak ikut orangtuanya bermigrasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena anak pada usia sekolah cenderung memiliki ikatan emosional yang kuat dengan orangtuanya. Keberadaan orangtua akan membantu anak dalam memperlancar pendidikannya, dan sebaliknya ketika orangtua tidak dapat hadir mendampingi anak akan berakibat pada penurunan prestasi pada pendidikannya.

Page 248: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 237

Faktor-faktor lain memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap performa pendidikan anak. Faktor-faktor yang berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap performa pendidikan anak adalah faktor pendidikan prasekolah, lama pendidikan kepala rumah tangga dan biaya sekolah, sedangkan faktor berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden adalah faktor lama pendidikan responden, jenis kelamin responden dan kiriman uang responden.

Faktor-faktor yang tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai ujian responden adalah faktor usia masuk sekolah responden, saudara, teknologi yang diproksi dari kepemilikan telepon seluler. Faktor lingkungan sekolah responden, yaitu tipe sekolah responden, waktu tempuh, gangguan selama sekolah, yaitu jam kerja responden tidak memengaruhi performa pendidikan anak. Tiga karakteristik kepala rumah tangga dan faktor psikologis serta wilayah, berdasarkan hasil penelitian juga tidak berpengaruh signifikan terhadap performa pendidikan anak.

Migrasi mempunyai pengaruh terhadap pendidikan anak maka diharapkan pemerintah dapat memperhatikan kebijakan dalam sektor ini karena investasi pada manusia adalah suatu fondasi yang fundamental bagi pembangunan yang berkelanjutan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melindungi anak yang merupakan kelompok paling rentan terhadap keputusan orangtua untuk bermigrasi. Peran aktif pemerintah dalam penataan wilayah menjadi suatu kawasan yang terpadu dan terintegrasi, penciptaan lapangan kerja yang merata sehingga menghilangkan bias antara satu wilayah dan wilayah lain di Indonesia dan pemerataan kualitas serta fasilitas pendidikan di semua wilayah Indonesia sehingga menciptakan pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penelitian ini tidak lepas dari beberapa keterbatasan. Nilai ujian yang diambil dalam penelitian ini masih terbatas hanya untuk dua mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia dan matematika. Kategori orangtua yang bermigrasi belum dijelaskan secara mendetail, apakah yang bermigrasi ayah atau ibu, atau kedua orangtua semua bermigrasi. Penelitian ini hanya menggunakan data IFLS tahun 2014 sehingga tidak memperhitungkan status migrasi pada periode sebelumnya.

Berdasarkan pelaksanaan penelitian, ada beberapa saran yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya. Penyesuaian terhadap model dan variabel yang digunakan dalam penelitian berikutnya dapat dilakukan untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik. Penggunaan data panel dengan penambahan data IFLS beberapa gelombang diharapkan dapat memberikan temuan mengenai pengaruh migrasi terhadap pendidikan anak secara komprehensif.

Page 249: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

238 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 250: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SEKTOR PERTANIAN PADA PDRB PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, 2003-2016

Nama : Priska Lenora Titisari

Instansi : Pemkab Bantul

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 251: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

240 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami pergeseran pada struktur perekonomiannya, yaitu perubahan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Data Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan adanya penurunan peranan sektor pertanian, bahkan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor yang lain. Mengingat sektor pertanian merupakan mata pencaharian pokok penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pentingnya peranan sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi maka perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi PDRB sektor pertanian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian menggunakan regresi data panel dengan asumsi slope berbeda antarkabupaten atau kota. Data yang digunakan adalah data sekunder yang merupakan gabungan data cross section 5 kabupaten atau kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan data time series tiap-tiap kabupaten atau kota tahun 2003—2016. Variabel bebas yang digunakan adalah PDRB sektor industri pengolahan, PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran, PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi, PDRB sektor jasa, tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan sawah, dan belanja pemerintah sektor pertanian. Variabel tak bebasnya adalah PDRB sektor pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran Kota Yogyakarta, PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo, luas lahan sawah dan belanja pemerintah sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. PDRB sektor industri pengolahan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi Kota Yogyakarta dan PDRB sektor jasa Kabupaten Sleman berdampak negatif. Faktor tenaga kerja sektor pertanian berpengaruh tidak signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kata kunci: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Luas Lahan Sawah Dan Belanja Pemerintah

Page 252: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 241

ABSTRACT

There has been structural change in Daerah Istimewa Yogyakarta Province, from agricultural sector to non-agricultural sector. Daerah Istimewa Yogyakarta Province data shows that the role of agricultural sector seems to decline, even economic growth of agricultural sector is the lowest than other sectors. Remembering agricultural sector is one of livehood of amount societies in Daerah Istimewa Yogyakarta Province and the importance of the role of agricultural sector for economic growth, it is necessary to know the factors that affect Gross Regional Domestic Product (GRDP) of Daerah Istimewa Yogyakarta Province. This research uses panel data regression assuming different slope between regency/city. Data used are secondary data which is the combined from cross section data from 5 regency/city in Daerah Istimewa Yogyakarta Province and time series data for each regency/city in 2003-2016. Independent variables used are GRDP of manufacturing sector, GRDP of trade, hotel and restaurant sector, GRDP of transport and communication sector, GRDP of services sector, agricultural workers, agricultural land, and government expenditure of agricultural sector. While dependent variable is GRDP of agricultural sector. The result of the research shows that GRDP of trade, hotel and restaurant sector of Yogyakarta City, GRDP of transport and communication sector of Gunungkidul and Kulon Progo Regency, agricultural land, and government expenditure significantly have positive impact on GRDP of agricultural sector of Daerah Istimewa Yogyakarta Province. GRDP of manufacturing sector of Yogyakarta City and Sleman Regency, GRDP of transport and communication sector of Yogyakarta City and GRDP of services sector of Sleman Regency significantly have negative impact on GRDP of agricultural sector of Daerah Istimewa Yogyakarta Province. Agricultural workers have not significantly effect on GRDP of agricultural sector of Daerah Istimewa Yogyakarta Province.

Keyword: Gross Regional Domestic Product (GRDP), Agricultural Workers, Agricultural Land And Government Expenditure

Page 253: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

242 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SEKTOR PERTANIAN PADA PDRB PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA, 2003-2016

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan pertanian sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 adalah meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian, meningkatkan ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah bidang pertanian yang amanah dan profesional (BPS dan Bappeda DIY, 2016). Upaya-upaya kebijakan pengembangan pertanian perlu untuk mendapatkan perhatian antara lain penguatan pertanian melalui penguatan kelembagaan, pengawasan distribusi bibit, pupuk dan keperluan pertanian, jaminan sosial pertanian, usaha-usaha kemandirian petani seperti pembuatan pupuk organik. Kebijakan pengawasan dan pengendalian lahan pertanian menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan untuk segera dilakukan.

Dalam model pertumbuhan struktural yang dikemukakan oleh Lewis (1954) atau yang dikenal dengan model dua sektor Lewis (Lewis Two-Sector Model) dengan perhatian utamanya pada proses pengalihan tenaga kerja menyebutkan perekonomian yang terbelakang (perekonomian negara dunia ketiga) terdiri atas dua sektor, yakni sektor tradisional dan sektor industri perkotaan modern (Todaro dan Smith, 2011: 140-145). Lebih lanjut dijelaskan mengenai tenaga kerja pertanian, bahwa sektor tradisional merupakan sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, yang dalam teori tersebut didefinisikan kondisi kelebihan tenaga kerja (surplus labor) dikaitkan dengan fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja ditarik atau dipindahkan dari sektor pertanian maka output sektor pertanian tidak akan berkurang. Dengan demikian, kondisi jumlah tenaga kerja sektor pertanian pada suatu negara atau wilayah tidak berdampak signifikan pada tingkat output yang dihasilkan dalam perekonomian sektor pertanian.

Menurut Teori Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barang-barang modal yang rusak (Arsyad, 2009: 237). Namun, untuk menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Hubungan tersebut telah kita kenal dengan istilah rasio modal-output (COR). Dalam teori ini disebutkan bahwa jika ingin tumbuh, perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari output totalnya. Semakin banyak

Page 254: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 243

tabungan dan kemudian diinvestasikan maka semakin cepat perekonomian itu akan tumbuh.

Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional (traditional neoclassical growth theory). Pertumbuhan output bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro dan Smith, 2011: 92).

Pengaruh sektor industri, tenaga kerja, luas lahan yang dapat diusahakan dan investasi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB sektor pertanian dilaporkan oleh Koo dan Duncan (1997) di Cina, Santosa (2001) di Jawa Tengah dan Yon (2010) di Deli Serdang. Penelitiannya mendapatkan hasil bahwa variabel PDB industri, tenaga kerja, dan luas lahan merupakan faktor yang signifikan dalam model pertumbuhan sektor pertanian sedangkan investasi tidak signifikan. Sumiati (2016) melakukan penelitian sejenis di Kalimantan Barat, mendapatkan hasil bahwa investasi, tenaga kerja, dan lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Kalimantan Barat. Penelitian lain dilakukan oleh Surya (2005) di Lampung, menunjukkan lahan, infrastuktur, teknologi, sumber daya manusia, energi, input produksi pertanian, modal, institusi dan kebijakan pemerintah memberikan 75.2 persen pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Makmun dan Yasin (2003 dalam Sudiyono, 2011) menyimpulkan investasi dan luas lahan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun tenaga kerja tidak signifikan.

Uraian sebelumnya telah menjelaskan bahwa pertumbuhan sektor pertanian yang semakin menurun disebabkan oleh pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor lain sehingga tenaga kerja di sektor pertanian menjadi menurun. Selain itu, luas lahan pertanian yang beralih fungsi semakin meningkat. Investasi sektor pertanian, yaitu belanja pemerintah di sektor pertanian yang merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian apakah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan PDRB sektor pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan PDRB di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya sektor pertanian. Hal ini mengingat sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta pengambil kebijakan di daerah lain atau di tingkat pusat pada umumnya.

Page 255: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

244 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permaslahan dan Metode Penelitian

Pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari waktu ke waktu menunjukkan tren menurun. Penelitian ini melakukan serangkaian pengujian tesis untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi sektor pertanian pada PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003-2016. Penelitian ini menggunakan 7 variabel bebas, yaitu PDRB sektor industri, PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran, PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi, PDRB sektor jasa, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan pertanian dan APBD sektor pertanian. Pada setiap sektor ditambah variabel dummy untuk menangkap perbedaan karakter pada tiap-tiap kabupaten atau kota. Variabel tidak bebas digunakan data PDRB sektor pertanian.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumenter. Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari berbagai pustaka yang terkait dengan penelitian, sedangkan studi dokumenter dilakukan dengan pengambilan data sekunder yang berasal dari dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah, yaitu Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan data dari instansi terkait lainnya.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh PDRB Sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB Sektor Pertanian

Pengaruh PDRB sektor industri pengolahan terhadap PDRB sektor pertanian adalah negatif dan signifikan pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Setiap kenaikan 1 persen PDRB sektor industri pengolahan pada kedua kabupaten atau kota tersebut akan menurunkan PDRB sektor pertanian sebesar 0,45 persen untuk Kota Yogyakarta dan 0,01 persen untuk Kabupaten Sleman, ceteris paribus. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2001), di mana PDRB sektor industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB sektor pertanian.

Industri pengolahan yang berperan besar pada pembentukan PDRB pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terutama pada industri makanan dan minuman, sedangkan industri yang pertumbuhannya tertinggi adalah industri tekstil dan pakaian jadi. Jenis bahan baku utama yang dibutuhkan pada sektor industri pengolahan yang berkembang bukan merupakan produk pertanian yang dihasilkan oleh kedua daerah tersebut. Produk pertanian Kota Yogyakarta didominasi oleh peternakan, sedangkan Kabupaten Sleman didominasi hortikultura tahunan. Perkembangan sektor industri pada kedua daerah tersebut tidak dapat mendorong perkembangan sektor pertanian, bahkan berdampak negatif.

Page 256: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 245

Sektor industri pengolahan di Kabupaten Bantul berkembang sejalan dengan sektor pertanian. Industri pengolahan makanan dan minuman mendukung pengolahan produk pertanian di Kabupaten Bantul yang didominasi oleh produk tanaman pangan, walaupun dampaknya tidak signifikan. Demikian pula yang terjadi pada Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo dimana sektor pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk kedua kabupaten tersebut, terutama tanaman pangan.

Perbandingan tenaga kerja antarsektor antardaerah di Provinsi DIY tahun 2015. Tenaga kerja pada sektor pertanian di Kota Yogyakarta terlihat sangat kecil, yaitu hanya 1,52 persen dari total tenaga kerja sektor industri pengolahan sebesar 13,25 persen penyerapan tenaga kerja di Kota Yogyakarta. Tenaga kerja yang terserap ke sektor nonpertanian ini berdampak negatif terhadap pembentukan PDRB sektor pertanian, terutama pada tenaga kerja pertanian di Kota Yogyakarta.

Komposisi yang berbeda terdapat pada Kabupaten Sleman, tenaga kerja sektor pertanian masih sebesar 13,8 persen, jumlah ini sebanding dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 13,42 persen bukan menjadi penyebab adanya dampak negatif sektor industri terhadap sektor pertanian di Kabupaten Sleman.

Selain itu, luas lahan pertanian yang semakin sempit disebabkan alih fungsi lahan untuk bangunan pabrik atau bangunan penunjang sektor industri pengolahan tersebut mengakibatkan pengaruh negatif pada PDRB sektor pertanian. Gambar 2. dapat menggambarkan penurunan luas lahan sawah antarkabupaten atau kota di DIY periode 2003-2016. Laju penurunan luas lahan sawah paling besar terdapat pada Kota Yogyakarta sebesar 5,72 persen pertahun, diikuti oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul, berturut-turut sebesar 0,52 persen, 0,49 persen, 0,37 persen dan 0,24 persen pertahun. Besarnya penurunan luas lahan sawah ini berdampak negatif bagi pembentukan PDRB sektor pertanian, yaitu pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

2. Pengaruh PDRB Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap PDRB Sektor Pertanian

PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran berpengaruh positif dan signifikan pada PDRB sektor pertanian, yaitu pada Kota Yogyakarta. Setiap kenaikan 1 persen PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 1,34 persen, ceteris paribus.

Page 257: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

246 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang paling dominan dalam pembentukan PDRB di Kota Yogyakarta adalah perdagangan besar dan eceran bukan mobil dan motor serta penyediaan makan dan minum. PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran ini berdampak positif terhadap PDRB sektor pertanian, hal ini disebabkan perdagangan besar dan eceran bukan mobil dan motor tetapi perdagangan hasil-hasil pertanian. Demikian pula dengan penyediaan makan dan minum, yang membutuhkan bahan baku dari produk-produk pertanian. Peningkatan sektor perdagangan, hotel dan restoran akan mendorong peningkatan PDRB sektor pertanian, di mana terjadi peningkatkan peluang pasar dan permintaan produk pertanian serta mempermudah akses pemasaran produk pertanian.

Penyumbang sektor pertanian yang dominan pada Kota Yogyakarta adalah subsektor peternakan, sedangkan pada kabupaten lain mempunyai struktur ekonomi yang berbeda. Pada Kabupaten Sleman, peran terbesar pada subsektor hortikultura tahunan, sedangkan pada Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo didominasi subsektor tanaman pangan. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan hasil pada penelitian ini, dimana hanya Kota Yogyakarta yang berpengaruh signifikan.

Elastisitas PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kota Yogyakarta menunjukkan nilai yang paling besar bila dibandingkan dengan variabel lain yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor pertanian, yaitu sebesar 1,34. Dapat dikatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatkan PDRB sektor pertanian Provinsi DIY adalah PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran kota Yogyakarta. Peningkatan PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran berdampak positif terhadap peningkatan PDRB sektor pertanian.

3. Pengaruh PDRB Sektor Pengangkutan dan Komunikasi terhadap PDRB Sektor Pertanian

Hasil analisis menunjukkan PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor pertanian. Pengaruh yang berbeda terjadi antarkota atau kabupaten di Provinsi DIY. Pada Kota Yogyakarta, PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi berpengaruh negatif terhadap PDRB sektor pertanian, dimana setiap kenaikan 1 persen PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi akan menurunkan 0,71 persen PDRB sektor pertanian. Sedangkan pada Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo, kenaikan 1 persen PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi akan menaikkan 0,26 persen untuk Kabupaten Gunungkidul dan 0,44 persen untuk Kabupaten Kulon Progo.

Page 258: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 247

Perbedaan ini dapat dijelaskan dimana sektor pengangkutan dan komunikasi di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo akan mendorong peningkatan PDRB sektor pertanian, dengan adanya peningkatan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi sehingga meningkatkan akses pemasaran produk pertanian pada kedua kabupaten tersebut. Hal ini mengingat bahwa kedua kabupaten tersebut terletak relatif jauh jaraknya dari kota yang merupakan pusat perekonomian. Sedangkan pada Kota Yogyakarta, sektor pengangkutan dan komunikasi justru berdampak negatif pada sektor pertanian. Hal ini terkait dengan keterbatasan penggunaan faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan lahan yang beralih ke sektor nonpertanian.

4. Pengaruh PDRB Sektor Jasa terhadap PDRB Sektor Pertanian

PDRB sektor jasa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PDRB sektor pertanian pada Kabupaten Sleman. Setiap kenaikan 1 persen PDRB sektor jasa akan menurunkan PDRB sektor pertanian sebesar 0,74 persen. Peranan sektor jasa merupakan penyumbang terbesar pada pembentukan PDRB Provinsi DIY dan penyumbang terbesar adalah dari Kabupaten Sleman. Sektor jasa Kabupaten Sleman yang mempunyai kontribusi terbesar adalah jasa pendidikan. Jasa pendidikan ini mencakup kegiatan pendidikan pada berbagai tingkatan dan untuk berbagai pekerjaan, baik negeri maupun swasta. Sebagai kota pelajar ada ribuan sekolah dan perguruan tinggi yang berada di Provinsi DIY, khususnya Kabupaten Sleman, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Pembangunan Nasional dan sebagainya. Selain itu, banyak pula sekolah didirikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, baik formal maupun nonformal. Jasa penunjang pendidikan dan Pendidikan Anak Usia Dini juga termasuk dalam sektor ini.

Berkembangnya sektor jasa pendidikan di Kabupaten Sleman ini akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi luas lahan sawah yang dialihfungsikan menjadi bangunan sekolah atau bangunan lain penunjang sarana pendidikan. Dengan demikian, pengaruh negatif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian, mengingat Kabupaten Sleman merupakan penyumbang PDRB terbesar PDRB Provinsi DIY. Pada kabupaten atau kota lain, sektor jasa tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY disebabkan jumlahnya yang relatif kecil.

Page 259: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

248 Direktori Mini Tesis-Disertasi

5. Pengaruh Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap PDRB Sektor Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor pertanian tidak signifikan berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian, walaupun koefisiennya positif. Hasil ini berbeda dengan penelitian Koo dan Duncan (1997), Santosa (2001), Surya (2005), Rustiono (2008), Yon (2010), dan Sumiati (2016) yang menyatakan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan PDRB atau pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Namun, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sudiyono (2011) pada Provinsi Kalimantan Tengah dan Makmun dan Yasin (2003) dalam Sudiyono (2011) dengan data Indonesia yang menyimpulkan bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian sehingga menyebabkan penambahan jumlah tenaga kerja sektor pertanian tidak berdampak pada peningkatan produksi.

Selama periode pengamatan (2003-2016) sektor pertanian Provinsi DIY masih merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar, yaitu rata-rata 31.07 persen tiap tahun dari seluruh angkatan kerja yang ada, namun sektor pertanian hanya berkontribusi rata-rata 13.6 persen pertahun terhadap total PDRB Provinsi DIY. Hal ini menunjukkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi DIY, dimana jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang besar tersebut tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan PDRB sektor pertanian.

Temuan ini juga sejalan dengan teori pertumbuhan struktural model dua sektor yang dikemukakan oleh Lewis (1954), yang mengemukakan bahwa perekonomian sektor tradisional (pertanian) merupakan sektor perdesaan subsisten yang kelebihan tenaga kerja dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol (Todaro dan Smith, 2011). Kondisi kelebihan tenaga kerja (surplus labor) ini dikaitkan dengan fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja ditarik atau dipindahkan dari sektor pertanian maka output sektor pertanian tidak akan berkurang. Dengan demikian, kondisi jumlah tenaga kerja sektor pertanian pada suatu negara atau wilayah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat output yang dihasilkan dalam perekonomian sektor pertanian.

Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dalam perekonomian sektor pertanian pada Provinsi DIY, apabila terjadi penambahan atau pengurangan tenaga kerja sektor pertanian selama periode pengamatan (2003-2016) tidak berdampak signifikan pada produk domestik regional bruto sektor pertanian. Pengaruh yang tidak signifikan tenaga kerja sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY dapat disebabkan oleh kualitas tenaga kerja sektor pertanian yang belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan memadai yang menjadi syarat

Page 260: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 249

mutlak untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya, tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan mempermudah transfer teknologi pada sektor pertanian.

6. Pengaruh Luas Lahan Sawah terhadap PDRB Sektor Pertanian

Luas lahan sawah berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi DIY. Setiap kenaikan luas lahan sawah sebesar 1 persen akan menaikkan PDRB sektor pertanian sebesar 0,82 persen. Hasil tersebut sesuai dengan studi empiris yang dilakukan oleh Koo dan Duncan (1997) pada 30 provinsi di Cina yang menyatakan luas lahan signifikan berpengaruh positif terhadap PDB sektor pertanian.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Santosa (2001), yang menyatakan luas lahan akan meningkatkan PDRB sektor pertanian di Kabupaten Kendal, namun pada Provinsi Jawa Tengah, luas lahan justru menurunkan PDRB sektor pertanian. Sudiyono (2011) juga mendapatkan hasil yang sama dari penelitiannya di Kalimantan Tengah dimana luas lahan pertanian memberikan dampak positif terhadap PDRB sektor pertanian. Demikian pula dengan studi empiris yang dilakukan Surya (2005) di Lampung, Yon (2010) di Kabupaten Deli Serdang dan Sumiati (2016) di Kalimantan Barat, yang menyatakan luas lahan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa faktor luas lahan merupakan faktor produksi yang penting di Provinsi DIY. Fenomena alihfungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian yang terjadi tiap tahun, merupakan hal yang perlu menjadi perhatian untuk mempertahankan eksistensi sektor pertanian. Untuk itu perlu adanya koordinasi antarsektor dan optimalisasi pemanfaatan lahan yang disinkronkan dengan pola tanam dan kesesuaian lahan dengan metode yang sesuai.

7. Pengaruh APBD Sektor Pertanian terhadap PDRB Sektor Pertanian

APBD sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB sektor pertanian, yaitu terjadi peningkatan sebesar 0,004 persen setiap kenaikan 1 persen APBD. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Koo dan Duncan (1997) yang menyatakan investasi sektor pertanian tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB sektor pertanian di Cina. Santosa (2001) juga menemukan bahwa investasi sektor pertanian berpengaruh tidak signifikan terhadap PDRB Kabupaten Kendal dan Provinsi Jawa Tengah.

Makmun dan Yasin (2003 dalam Sudiyono, 2011) dengan data Indonesia menemukan hasil yang sejalan dengan penelitian ini, di mana investasi secara

Page 261: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

250 Direktori Mini Tesis-Disertasi

umum berdampak positif terhadap pertumbuhan PDB dalam periode. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Rustiono (2008) dan Sudiyono (2011) yang menemukan bahwa investasi swasta (PMA dan PMDN) dan belanja pemerintah daerah memberikan dampak positif terhadap perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah. Alpuerto, et al. (2008 dalam Sudiyono, 2011) juga mendapatkan hasil yang sama dalam studi empirisnya dimana investasi publik (belanja pemerintah) sektor pertanian berdampak positif pada peningkatan TFP (Total Factor Productivity) dan berdampak pada penurunan kemiskinan di Nigeria. Yon (2010) dengan data Kabupaten Deli Serdang dan Sumiati (2016) di Kalimantan Barat menemukan bahwa anggaran belanja sektor pertanian dan investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

Dalam konsep ekonomi makro, belanja pemerintah akan meningkatkan perekonomian. Belanja pemerintah yang mendorong perekonomian daerah, yaitu dengan asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan sepenuhnya untuk kegiatan-kegiatan ekonomi atau yang memberikan dorongan bagi perkembangan kegiatan ekonomi. Peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan belanja pemerintah sektor pertanian di Provinsi DIY dapat memberikan dampak positif signifikan pada peningkatan PDRB sektor pertanian. Namun, besarnya pengaruh tersebut masih relatif sangat kecil sehingga masih perlu ditingkatkan lagi.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sektor pertanian pada PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selama periode 2003-2016 yang dilakukan dengan menggunakan alat regresi data panel, kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:

1. PDRB sektor industri pengolahan terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016, yaitu pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

2. PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016, yaitu pada Kota Yogyakarta.

3. PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi terbukti berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016, yaitu berpengaruh negatif pada Kota Yogyakarta dan berpengaruh positif pada Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo.

Page 262: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 251

4. PDRB sektor jasa terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap PDRB sektor

pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016, yaitu pada Kabupaten Sleman.

5. Tenaga kerja sektor pertanian tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016.

6. Luas lahan sawah berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016.

7. APBD sektor pertanian berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian Provinsi DIY tahun 2003-2016.

E. Saran

Berdasarkan pada simpulan dalam penelitian ini maka saran yang dapat diberikan sebagai berikut:

1. Mengingat sektor industri pengolahan terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap PDRB sektor pertanian pada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman maka kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan PDRB sektor pertanian adalah dengan mengutamakan industri pengolahan yang menggunakan bahan baku hasil pertanian. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian, yang pada selanjutnya akan meningkatkan PDRB sektor pertanian.

2. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Kota Yogyakarta sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap sektor pertanian perlu semakin ditingkatkan, sebab memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sektor pertanian.

3. Kebijakan ekonomi sektor pengangkutan dan komunikasi di Kota Yogyakarta diarahkan untuk dapat saling mendukung peningkatan PDRB antarsektor. Sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul perlu dipertahankan dan dikembangkan karena berdampak positif terhadap sektor pertanian.

4. Kebijakan ekonomi sektor jasa pada Kabupaten Sleman diarahkan untuk dapat saling mendukung peningkatan PDRB antarsektor.

5. Rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian diduga menjadi penyebab variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian. Peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian dapat dilakukan dengan penyuluhan atau bimbingan teknis oleh pemerintah atau pihak swasta.

6. Lahan merupakan faktor produksi yang semakin terbatas sehingga harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Pengaruh penggunaan lahan pertanian terhadap PDRB sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan kajian

Page 263: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

252 Direktori Mini Tesis-Disertasi

teknis dalam rangka peningkatan produktivitas lahan seperti kajian tentang kesesuaian lahan dan penerapan teknologi pertanian yang tepat guna dengan pendekatan intensifikasi.

7. Belanja pemerintah sektor pertanian diarahkan untuk kegiatan yang dapat mendorong peningkatan produksi dan produktivitas pertanian, seperti penerapan teknologi tepat guna, bantuan saprodi, penyuluhan dan pelatihan petani, pemasaran hasil pertanian, dan sebagainya.

Page 264: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

THE IMPACT OF AGRICULTURAL POLICY ON PADDY PRODUCTION IN INDONESIA

Nama : Retno Setyaningsih

Instansi : Pemkab Kulon Progo

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 265: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

254 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Padi adalah produk yang paling penting dari pertanian Indonesia dan makanan pokok utama penduduk Indonesia. Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan untuk mencapai swasembada beras. Selanjutnya, kebijakan ini dilengkapi dengan strategi tambahan, termasuk perluasan subsidi lahan basah, benih dan pupuk, dan hibah permesinan. Pengaruh strategi-strategi ini terhadap produksi padi dan produktivitas dianalisis menggunakan data panel dari 30 provinsi di Indonesia dari 2011 hingga 2015 dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.

Produksi dan produktivitas padi diharapkan dapat mengidentifikasi strategi kebijakan terpenting yang mempengaruhi produksi padi. Ini diikuti dengan analisis deskriptif tentang kesenjangan produktivitas di antara pulau-pulau, dan kontribusi faktor input terhadap laju pertumbuhan produktivitas padi. Analisis akhir mempelajari strategi pengembangan teknologi, yang terdiri dari teknologi mekanik, dan teknologi biologi dan kimia. Hasil regresi menunjukkan bahwa semua variabel, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas padi, kecuali tenaga kerja, yang positif tetapi tidak signifikan. Pelestarian dan perluasan lahan pertanian untuk menjaga keberlanjutan area panen padi, dan subsidi benih dan pupuk lebih efektif daripada hibah mesin.

Kesenjangan di antara Kepulauan Jawa-Bali dan pulau-pulau lain, yang sebagian besar karena pengaruh kebijakan yang diamati. Selanjutnya, kebijakan tentang lahan, dan benih dan pupuk berkontribusi terhadap laju pertumbuhan produktivitas padi. Studi ini juga menemukan bahwa Indonesia menerapkan teknologi biologis dan mekanis daripada teknologi mekanis. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memperbaiki dan memperkuat kebijakan pada perluasan lahan basah, hibah pengembangan irigasi, dan subsidi pupuk dan benih, untuk meningkatkan produksi padi dan produktivitas padi. Di masa depan, pemerintah harus terus memberikan hibah permesinan untuk mendukung produksi padi, serta mengantisipasi penurunan tenaga kerja dalam budidaya padi.

Kata kunci: Produksi Padi, Produktivitas Padi, Perluasan Lahan, Subsidi Benih, Subsidi Pupuk, Hibah Permesinan, Kesenjangan Produktivitas, Kontribusi Tingkat Pertumbuhan, Implikasi Kebijakan

Page 266: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 255

ABSTRACT

Paddy is the most important product of the Indonesian agriculture and the main staple food of the Indonesian population. The government has set up several policies to achieve paddy self-sufficiency. Furthermore, these policies were complemented by additional strategies, including the expansion of wetland, seed and fertilizer subsidies, and machinery grant. These strategies’ impact on paddy production and productivity are analyzed using panel data from 30 provinces in Indonesia from 2011 to 2015 by employing the Cobb-Douglas production function.

Paddy production and productivity are expected to identify the most important policy’s strategies influencing paddy production. This is followed by a descriptive analysis of the productivity gap among the islands, and the contribution of input factors toward the growth rate of paddy productivity. A final analysis studies the strategy for technological development, which consist of mechanical technology, and biological and chemical technology. The regression results show that all variables, have a significant effect on the paddy productivity, except labor, which is positive but insignificant. The preservation and expansion of agricultural land to maintain the sustainability of paddy harvested areas, and seed and fertilizer subsidies are more effective than machinery grants.

The gaps among the Java-Bali Islands and other islands, which are largely due to the influence of policies are observed. Furthermore, the policies on land, and seed and fertilizer contribute to the growth rate of paddy productivity. This study also found that Indonesia implements the biological and mechanical technology rather than the mechanical technology. These findings suggest that the government has to improve and strengthen the policy on wetland expansion, irrigation development grants, and fertilizer and seed subsidies, in order to enhance paddy production and paddy productivity. In the future, the government should continue to provide machinery grants to support paddy production, as well as to anticipate the decrease of labor in paddy cultivation.

Keywords: Paddy Production, Paddy Productivity, Land Expansion, Seed Subsidy, FertilizerSubsidy, Machinery Grants, Productivity Gap, Growth Rate Contribution, Policy Implication

Page 267: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

256 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF AGRICULTURAL POLICY ON PADDY PRODUCTION IN INDONESIA

A. Background

Paddy production in Indonesia is influenced by several factors. Land availability affects the quantity of paddy production. The high conversion rate of wetland into non-agricultural land (Hayami &Ruttan, 1970; McCulloch & Peter Timmer, 2008; Panuju et al., 2013; Simatupang& Timmer, 2008) decreases the availability of land. Irrigation networks also support paddy production (Panuju et al., 2013). Irrigation is an important factor to increase the paddy yield (Mears, 1984), intensify the crop cultivation, and stabilize paddy production (Adhitya, Hartono, &Awirya, 2013; Simatupang& Timmer, 2008). The low maintenance for irrigation, and the decrease in the development of new irrigation system in Indonesia had been the reasons for the alleviation of paddy production in 1980s (Simatupang& Timmer, 2008).

Besides the above factors, there are other factors which affect paddy production. Those are the agricultural tools in paddy cultivation, such as, tractors and water pumps to gradually replace the labor which has already decreased (Mears, 1984). However, the implementation of mechanization for paddy production is still low (Panuju et al., 2013). Fertilizers and seeds are also important inputs for paddy production (Panuju et al., 2013). The balanced usage of fertilizer affects soil fertility, and increases the production of paddy (Simatupang& Timmer, 2008). The excessive usage of fertilizer decreases the land quality (Adhitya et al., 2013). The high quality of seed is important in increasing paddy yield. Indonesian paddy farmers tend to avoid the use of new varieties of paddy, before there are proven results for increased paddy yield (Adhitya et al., 2013). Therefore, in order to achieve paddy production sustainability, the government has been implementing several policies.

The government is concerned about the self-sufficiency of paddy as a main policy (Mears, 1984). Several programs, such as, the subsidies and grants given to the farmers, were planned to achieve paddy self-sufficiency (Ministry of Agriculture, 2012). Government subsidies cover subsidies on production inputs, such as, fertilizers and paddy seeds, while government grants cover grants for the development of irrigation and land processing machineries, such as, two-wheel tractors and water pumps (Ministry of Agriculture, 2012, 2016a).

Studies on the impact of input to agricultural production and productivity in Indonesia have been studied extensively. Most of them conclude that in settings dependent on agriculture, agricultural inputs contribute significantly to increase the agricultural output. A study in Indonesia showed that there were several factors, such

Page 268: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 257

as, irrigation, land availability, and labor in the agricultural sector, and human resources development that has influenced the productivity of food crops (Adhitya et al., 2013). Another study (Syamsiyah, 2016), which studied the data of municipal levels in the East Java Province, analyzed the effect of government policies on agriculture in supporting the production of food crops.

Despite the contributions of various studies, the impact of government policies, subsidies and grants on enhancing paddy production and productivity is limited. There are only several studies that link to the government policy on increasing paddy production. A study conducted by Warr and Anshory (2014) analyzed the influence of subsidized fertilizers on elevating the rice production in Indonesia. Another study, done by Gusnadi (2016), studied the impact of the government expenditure on agriculture to improve paddy production in Indonesia during 2009–2013.

This study aims to examine the impact of the Indonesian government policies, subsidies and grants given to the farmers on improving paddy production using the Cobb-Douglas production function. A provincial level of data from 2011–2015 are used to investigate the quantity by which the government subsidies and grants can increase paddy production in Indonesia.

B. Research Metodology

This study applied the quantitative method by using the Cobb-Douglas Production Function. It is a modified model from the previous research (Adhitya et al., 2013; Yujiro Hayami, 1970; Mundlak, 2001; Polyzos&Arabatzis, 2006) and replaces or adds variables corresponding to the agricultural policies that were implemented in Indonesia during 2011–2015.

The econometric model regression with the estimation methods, Ordinary Least Square (OLS), and fixed effect and random effect, is used to analyze the panel data (Wooldridge, 2002). The panel data are divided into 30 provinces in Indonesia. The results from those estimation methods are compared using the F-Test, the Breusch Pagan LM Test, and the Hausman Test. The best model was chosen and used to estimate the paddy production function.

In this study, the paddy production is defined as output (Y), while the inputs are labor and capital, including the amount of labor in food crops cultivation as a proxy for labor, the irrigation grant and harvested land as proxy for irrigation and land availability, seed and fertilizer subsidies as illustrations of the use of seeds and fertilizers, machinery grants as a proxy for technology adoption. Paddy production is calculated by using equation (1).

ln= + 1ln _+ 2ln _+ 3 _ h + 4ln _+5ln _+

Page 269: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

258 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Data Analysis and Results

1. Paddy Production

Regression analysis is used to answer the impact of agricultural policies, such as, machinery grants, seed and fertilizer subsidies, on paddy production in the 30 provinces in Indonesia during 2011–2015. A panel data regression is performed with the land availability, machinery grant, and seed and fertilizer subsidies as variables. Regression analysis is estimated using the pooled-OLS, fixed effect, and random effect model. Based on the result of regression, fixed effect model is the best model estimation.

Table 1. The Coefficients of the Aggregate Paddy Production Function at Provincial Levels in Indonesia, 2011–2015

Variables Paddy production(Fixed Effect Model)

Labor 0.024307(0.032283)

Land 0.600102***(0.055279)

Machine 0.018274***0.005055

Seed 0.186572***(0.045076)

Fertilizer 0.173264***(0.034078)

Intercept 1.546048***(0.343089)

R-Squared 0.998404

Adjusted R-Squared 0.997933

Number of observations 150

Number of groups 30

Note: All variables are transformations of natural logarithms (ln). *** and ** indicate significance at 1% and 5% levels. Values in parentheses are standard errors.

Table 1 presents the regression results on the coefficient of each independent variable. The coefficients show the aggregate paddy production function between the dependent variable, paddy production, and independent variables (labor, land availability, machinery grants, seeds and fertilizer subsidies).

Table 1 also shows the confidence level for the coefficient of independent variables varying from zero to 99% confidence level, except labor in paddy production, which do not differ from zero. Land availability differed from zero at a 99% confidence level. There are similar results in machinery grants. These grants

Page 270: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 259

have a confidence level of 99%. Other inputs in this equation, seeds and fertilizers grants, also differed from zero to 99% in confidence level.

The coefficients of regression are called elasticities. The elasticities figure the impact of each independent variable on paddy production. These show the percentage of changes in paddy production if each input variable increases by 1%. The sum of regression coefficients is summarized in Table 2 and the sum of the regression coefficients is nearly one (1.002519).

Table 2. Coefficient of Regression (Elasticities)

Paddy Production

Labor Land Machine Seed Fertilizer Sum

Indonesia 0.024307 0.600102*** 0.018274*** 0.186572*** 0.173264*** 1.002519

Note: All variables are transformations of natural logarithms (ln). *** and ** indicate significance at 1% and 5% levels. Values in parentheses are standard errors.

It can be figured out from Table 1 and Table 2 that all independent variables have a positive impact on paddy production, except labor. The first variable, labor in paddy production, does not significantly effect paddy production. Allegedly, this happened because of the surplus of labor in paddy production. It means there is no impact of the addition of labor on paddy production. Moreover, the data of labor is the labor on food crops. It cannot be specified as labor in paddy cultivation, because it is common for Indonesian farmers to cultivate paddy and other food crops in different seasons. This result is in line with the previous study by Adhitya et al. (2013). The study showed that labor in the food crops subsector did not influence agricultural productivity.

The second variable is the land availability. Paddy harvested area is the proxy for land availability. Land availability significantly improves paddy production. This result is supported by Polyzos and Arabatzis (2006), which stated that the availability of land influenced agricultural output. The coefficient of land, 0.600102, is the largest among the independent variables. Thus, an increase of 1% in the paddy harvested area will elevate paddy production by 0.6%.

Paddy harvested areas are dependent on land availability (Simatupang& Timmer, 2008). The decrease in the number of harvested areas is triggered by the decline in the intensity of paddy planting and land availability. The government implemented the program in the form of wetland expansion aimed at maintaining the sustainability of paddy fields. The program has succeeded in establishing a new wetland area of 253,382.03 hectares in the period of 2011–2015 (Ministry of Agriculture, 2016a).

Page 271: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

260 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The land for paddy cultivation is influenced by water irrigation. Water irrigation is an important factor in elevating the paddy production (Haryanto, Talib, & Salleh, 2016; Mundlak et al., 2002; Simatupang& Timmer, 2008; Widodo, 1986). Based on the need for a continuous supply of water irrigation, the government of Indonesia, through the Ministry of Agriculture, has attempted to improve paddy harvested areas by developing and rehabilitating the tertiary irrigation network ((Ministry of Agriculture, 2016b). The accumulation of the rehabilitation and development of tertiary irrigation was 4,187,537 hectares for five years (Ministry of Agriculture, 2016a).

The third variable is the machinery grants given by the Ministry of Agriculture, through the Directorate General of Agricultural Infrastructure and Facilities, to the groups of farmer in the 30 provinces in Indonesia. The accumulation of the machinery grants was 90,276 units for five years (Ministry of Agriculture, 2016a). Machinery grants are for two-wheel hand tractors and water pumps. Machines have a significant impact on paddy production. The increase of machines by 1% will increase paddy production by 0.018%. This result is supported by several previous studies. Hayami and Ruttan (1970) found the positive effect of machines on agricultural production. They found that the production elasticity for machines was 0.1. Griliches (1964) also found a similar result. The production elasticities of machines were 0.1 to 0.3.

The coefficient of the machine’s variable is 0.018274. Although it has the smallest coefficient of elasticity, machineries have a significant role in increasing paddy production. It indicates that agricultural mechanization is still low (Faleye et al., 2012). It results in a lack of effectiveness for mechanization to increase the production of paddy in Indonesia.

The fourth variable, paddy seeds, significantly improve paddy production. The coefficient of seed is statistically significant (0.186572) at 1%. Paddy farmers in Indonesia have been using high-yield paddy varieties to improve paddy production. In addition, high-yield paddy varieties are provided and subsidized by the government, so the farmers can buy seeds in low prices. Paddy seeds are distributed by the state enterprises, PT Sang Hyang Seri, and PT Pertani Persero, through the mechanism of Public Service Obligation (PSO) (Ministry of Agriculture, 2012).

The last variable is fertilizer. The government has subsidized all fertilizers used in paddy production. The fertilizer coefficient is statistically significant (0.173264) at 1% significance level. It indicated that fertilizers also had an important impact on the paddy production. The previous studies showed similar coefficients for fertilizer, 0.1 to 0.2 (Griliches, 1964), and 0.2 (Yujiro Hayami &Ruttan, 1970).

Page 272: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 261

Fertilizer subsidies given by the government not only improve the yield of paddy production (Hayami &Ruttan, 1970) but also increase the farmers’ welfare (Ministry of Agriculture, 2016a), because farmers can buy fertilizers in low prices. In addition, the government provided fertilizer subsidies on an average of 4.054 million ton per year – SP-36 0.808 million ton, Ammonium Sulphate (ZA) 0.998 million ton, NPK more than 2.203 million ton, and organic manure 0.708 million ton every year (Ministry of Agriculture, 2016a).

Overall, the implementation of agricultural policies has been improving paddy production. The contribution of each variable varies between 0.018274 and 0.600102. Machinery grants have the lowest contribution to improving paddy production. Land availability, which was supported by the wetland expansion policy, has the highest contribution towards improving paddy production.

2. Labor Productivity

In this study, paddy productivity is defined in terms of labor productivity. According to Hayami and Ruttan (1970), and Polyzos and Arabatzis (2006) labor productivity represents the ratio of the agriculture output and labor. The coefficient result from the regression of labor productivity is presented in Table 3. The sum of the coefficients of input variables, 0.738776 for land per labor, 0.019958 for machine per labor, 0.169141 for seed per worker, and 0.116949 for fertilizer per labor is nearly 1.

Table 3. The Coefficients of the Aggregate Paddy Productivity Function at Provincial Levels in Indonesia, 2011–2015

Variables Dependent variable: paddy production/ labor Fixed Effect

ModelLand/ labor 0.738776***

(0.068018)

Machine/Labor 0.019958***(0.005397)

Seed/ Labor 0.169141***(0.050239)

Fertilizer/ Labor 0.116949**(0.043164)

Variables Dependent variable: paddy production/ labor Fixed Effect

ModelIntercept 1.957595***

(0.200663)

R-Squared 0.996058

Page 273: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

262 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Adjusted R-Squared 0.994936

Number of observation 150

Number of groups 30

Note. All variables are transformations of natural logarithms (ln). *** and ** indicate significance at 1% and 5% levels. Values in parentheses are standard errors.

3. Paddy Productivity Gap

Hayami and Ruttan (1970) categorized and examined the developed countries, and less developed countries in order to measure the productivity differences among them. This study adapted the productivity gap calculation method developed by Hayami and Ruttan (1970) to measure the productivity differences among the groups of islands in Indonesia. The groups are divided into Indonesia, Java-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, and Nusa Tenggara-Maluku-Papua.

The calculation results for regional gaps are presented in Table 4.4. The gap is estimated in terms of paddy productivity, land, machinery, seed and fertilizer per unit labor. The gap between Indonesia and Java-Bali is the smallest compared to other islands. The gap percentages reached 2.68 for paddy productivity, 13.75 for land per unit labor, 27.26 for machinery per unit labor, and 14.20 for seed per labor. The result for the fertilizer gap is 14.13.

Table 4. Comparison of Paddy Productivity, Harvested Area, Machinery Grants, Seed and Fertilizer Subsidies among Regions in Indonesia

Variables (Unit of

Variables)

Paddy productivity

Land per labor

Machinery per labor

Seed per labor

Fertilizer per labor

Indonesia 1 4.36 0.85 0.0011 0.0212 0.5435

Java-Bali 2 4.24 0.73 0.0008 0.0182 0.6329

Sumatera 3 6.33 1.33 0.0019 0.0337 0.6892

Kalimantan 4 5.14 1.42 0.0020 0.0363 0.3605

Sulawesi 5 5.59 1.12 0.0018 0.0281 0.4975

NT-Maluku-Papua

6 1.45 0.33 0.0007 0.0081 0.1289

Variables (Unit of

Variables)

Paddy productivity

Land per labor

Machinery per labor

Seed per labor

Fertilizer per labor

Paddy productivitydifferences:

1-2 2.68 13.75 27.26 14.20 14.13

1-3 31.11 36.58 39.73 37.04 21.15

1-4 15.17 40.57 44.36 41.60 33.66

Page 274: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 263

1-5 22.05 24.59 36.09 24.66 8.46

1-6 66.78 61.05 37.58 61.86 76.29

2-3 32.95 45.30 56.16 45.98 8.18

2-4 17.44 48.74 59.53 49.90 43.03

2-5 24.13 34.96 53.51 35.36 21.39

2-6 65.87 54.84 14.20 55.55 79.64

Note. 1 = Indonesia; 2 = Java-Bali; 3 = Sumatera; 4 = Kalimantan; 5 = Sulawesi; 6 = Nusa Tenggara-Maluku-Papua

In contrast, the gap between Indonesia and other islands is substantially greater. The gap between Indonesia and Nusa Tenggara-Maluku-Papua is the smallest. The gap percentage reached 66.78 for paddy productivity, 61.05 for land per unit labor, 37.58 for machinery per unit labor, 61.86 for seed per unit labor, and 76.29 for fertilizer per unit labor.

More interestingly, striking differences also occur when comparing Java-Bali with other islands, such as, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, and Nusa Tenggara-Maluku-Papua. The gap percentage varies from 17.44 to 65.87 for paddy productivity, 34.96 to 54.84 for land per unit labor, 14.20 to 59.53 for machinery per unit labor, 35.36 to 55.55 for seed per unit labor, and 8.18 to 79.64 for fertilizer per unit labor.

4. Contribution of Input Factors toward Productivity Gap

According to Hayami and Ruttan (1970), the contribution of input factors to paddy productivity differences of the regions is measured by using each coefficient in Table 3 and multiplying with each regional gap value result in equation 8. The result of the contribution of input factors to the paddy productivity differences can also be calculated using equation 9. The result of the contribution of input factor to paddy differences of the regions is presented in Table 5.

It can be seen from Table 5, the highest contribution of input factors toward the paddy productivity gap among regions is the harvested area of paddy. The value of contribution varies from 10.16% to 45.10%. The percentage contribution of machinery grants varies from 0.28 to 1.19. The percentage contributions of seed and fertilizer subsidies also take a high portion on explaining the paddy productivity gap. The contribution of seed subsidies vary from 2.40% to 10.46%, and the contribution of fertilizers vary from 0.96% to 9.31%. Thus, the paddy productivity gap is mostly influenced by the availability of land, which is represented by the harvested area.

Page 275: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

264 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Table 5. Contribution of Input Factors toward the Productivity Gap among Regions in Indonesia

Contribution of inputs

Harvested area

0.738776

Machinery grants

0.019958

Seed subsidy 0.169141

Fertilizer subsidy

0.116949

Residual Productiv-ity differ-

ence1-2 10.16 0.54 2.40 1.65 (12.08) 2.68

1-3 27.03 0.79 6.26 2.47 (5.45) 31.11

1-4 29.97 0.89 7.04 3.94 (26.67) 15.17

1-5 18.17 0.72 4.17 0.99 (2.00) 22.05

1-6 45.10 0.75 10.46 8.92 1.55 66.78

2-3 33.47 1.12 7.78 0.96 (10.37) 32.95

2-4 36.01 1.19 8.44 5.03 (33.23) 17.44

2-5 25.83 1.07 5.98 2.50 (11.24) 24.13

2-6 40.51 0.28 9.40 9.31 6.36 65.87

Note. 1 = Indonesia; 2 = Java-Bali; 3 = Sumatera; 4 = Kalimantan; 5 = Sulawesi; 6 = Nusa Tenggara-Maluku-Papua

The biggest contributor to the paddy harvested area is the Java-Bali region. This region has the largest paddy land (BPS-Statistics, 2016; Ministry of Agriculture, 2016a). This result is in line with the fact that this region is also the largest paddy production center, and the biggest contributor to paddy production in Indonesia (BPS-Statistics, 2016). On the other hand, the harvested-area contributions of the regions Nusa Tenggara-Maluku and Papua is the smallest. It seems that these regions do not have large numbers of paddy harvested areas. Moreover, these regions are not the centers for paddy production in Indonesia (BPS-Statistics, 2016; Ministry of Agriculture, 2016a).

The smallest contribution is accounted by machinery grant. The value varies from 0.28% to 1.19%. This smallest contribution can be explained by the limitation of the machinery grants given by the government to all regions in Indonesia. It can be seen from Table 3A in the appendix, that machinery grants are still limited. During the period of 2011– 2015, 90,276 units of tractors and water pumps were granted to all the provinces in Indonesia (Ministry of Agriculture, 2016a).

5. Contribution to Growth Rate

The contributions of input factors towards the growth rate of paddy productivity are calculated using equations 10–12. The result is presented in Table 4.6. The contribution of each variable on the growth rate of paddy productivity is in line with the results of the contributions of each variable to the productivity gap among these regions.

Page 276: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 265

Table 6. Contribution of Input Factors toward Growth Rate

Paddy productivity

Harvested area per

labor

Machinery grants per

labor

Seed subsidy

per labor

Fertilizer subsidy

per laborAverage growth rate 5.47 3.73 -13.14 3.54 3.50

Coefficient of regression

0.738776 0.019958 0.169141 0.116949

Contribution to growth rate

0.50 -0.05 0.11 0.07

Paddy harvested area, and seed and fertilizer subsidies per unit labor are crucial variables which support the growth rate of paddy productivity. The 1% increase of harvested area per unit labor contributes to a 0.50% improvement in paddy productivity, while 1% rise of seed subsidy per labor will contribute to an increase of 0.11% paddy productivity. In addition, the 1% increase of fertilizer subsidy per labor contributes to the 0.07% improvement of paddy productivity.

On the other hand, the average growth of machinery grants per labor is negative to the high fluctuation of grants given each year. With the absolute growth rate, the 1% elevation of the machinery grants per labor will increase by 0.05% of the paddy productivity. Based on these results, the harvested land, and seed and fertilizer subsidies per unit labor are more appropriate for measuring the growth rate of paddy production.

6. Labor Productivity versus Land Productivity

As mentioned before, paddy productivity can be illustrated by using labor productivity (Hayami &Ruttan, 1970; Polyzos&Arabatzis, 2006), and land productivity (Adhitya et al., 2013; Hariyanti&Agussutedjo, 2011). The comparison between the labor productivity and land productivity figured out the tendency for development policy implementation in paddy production. According to Ruttan and Hayami (1972), there were two kinds of technological development in agriculture. Those were mechanical technology, and biological and chemical technology. Mechanical technology emphasized the use of machinery on agriculture to save labor usage, while biological and chemical technology emphasized on the use of quality seed and fertilizer. Both are related to the land fertility.

In the case of the paddy production function in Indonesia, the sum of the input’s coefficients is 1 (from Table 2). The coefficient of labor is 0.024307, and the coefficient of land is 0.600102. It means that the paddy production improvement with the additional input of land is higher than that the additional input of labor. In

Page 277: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

266 Direktori Mini Tesis-Disertasi

other word, the implementation of biological and chemical technology (biological package) is more appropriate than the implementation of mechanical technology (technological package).

Indonesia has the tendency to implement biological and chemical technology rather than mechanical technology. All of the provinces in Java Island, such as, West Java, Banten, Central Java, Yogyakarta, and East Java have the highest paddy productivity among the provinces in Indonesia. In addition, Bali also has high paddy productivity in terms of land productivity. The average land productivity in Java-Bali is 5.82 tons per hectare, while in Indonesia it is 5.16 tons per hectare. It seems that biological and chemical packages are more applicable in those provinces due to the sufficient number of labor in food crops.

Indonesian paddy production has been concentrated on the Java and Bali islands (Naylor et al., 2007), which contributed to 53.53% of paddy production during 2011–2015, while paddy harvested areas account to 47.44% of the total harvested area in Indonesia (BPS-Statistics, 2016).These contributions are the highest among the islands in Indonesia. The higher contribution of paddy production and the limitation on land area may explain the reason for the higher paddy productivity, in term of land productivity, in the Java-Bali Island.

However, Java Island is very densely populated and will continue to increase overtime. As the population grows, the need for land will continue to increase. This will result in a decline in the amount of land area for paddy cultivation (Simatupang& Timmer, 2008; World Bank, 2008). Therefore, the addition of land area outside Java Island is needed. The problem is, paddy fields outside Java are less fertile for paddy cultivation, so, the productivity of paddy in other islands are lower than Java Island. Thus, these reasons may explain that the land productivity in the Java-Bali Island is higher than other islands.

Provinces in the Sumatera, Kalimantan, and Sulawesi Island commonly have lower land productivity. The low productivity of paddy on these islands is caused by the fewer paddy lands, which only account for 47.06%, and less amount of labor in paddy cultivation, which account for 30.88% (BPS-Statistics, 2016). Additionally, lands in the Sumatera, Kalimantan and Sulawesi Island are mostly cultivated for plantation crops, for example, oil palm, coffee plants, and rubber. It is more appropriate to implement the biological and chemistry technology in these results. Biological and chemical technology development aims to increase the quality of land.

Page 278: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 267

Provinces in the Nusa Tenggara-Maluku-Papua have the lowest paddy productivity both in land and labor productivity. It is mostly caused by the low level of soil fertility and narrowness of land for paddy cultivation, while the amount of labor is huge. The land for paddy cultivation accounts for 3,750,884 hectares, or 5.49%. Additionally, the amount of labor is 11,390,604 or 14.11% (BPS-Statistics, 2016).

To conclude, most provinces in Indonesia have not adopted labor-saving technologies. The use of tractors and water pumps as the implementation of mechanical technology seem to increase the efficiency and effectiveness of labor. It is not used to replace the role labor. The strategy for enhancing paddy productivity emphasized on the development of biological and chemical technologies, which can be seen by the use of high quality paddy seeds and huge amounts of fertilizers.

7. Fertilizer Subsidy and Land Productivity

Fertilizer is also the main input (Echevarria, 1998) to improve the output yield per hectare. It is related to soil fertility. Greater fertilizer usage per hectare may increase land productivity. Fertilizer subsidies could be the most important factor for gaining paddy self-sufficiency in Indonesia (Warr &Anshory, 2014). As mentioned earlier, the Indonesian government has been supporting the use of fertilizers in order to achieve paddy self-sufficiency. Similar to paddy seeds, the government also gives subsidies to fertilizers as well. Fertilizers consist of chemical and organic fertilizers (Ministry of Agriculture, 2016a). Fertilizer subsidies are also allocated to all the provinces in Indonesia. The mechanism of distribution of fertilizer is through fertilizer distributors, such as, PTPupukSriwidjaya (PTPusri) and PTPetrokimia ((Ministry of Agriculture, 2016a).

The relationship between the use of fertilizer and paddy production per hectare in terms of land productivity. It shows a tendency that the provinces which receive higher amounts of fertilizer seem to have higher paddy productivity in terms of land productivity. East Java, Central Java, West Java, Bali, Yogyakarta, and Banten seem to have the highest land productivity. The average land productivity in the Java-Bali Island is 5.82 tons per hectare. In these provinces, fertilizer subsidies are sufficient enough to enhance paddy productivity. It is also supported by the existence of better irrigation networks on the island of Java-Bali. As explained earlier, the existence of irrigation networks is much needed for paddy cultivation. The combination of high quality paddy seeds (Pender & Gebremedhin, 2008), sufficient amount of fertilizers (Jayne, 2010; Warr &Anshory, 2014), and the existence of irrigation networks improve paddy productivity (Panuju et al., 2013; Simatupang& Timmer, 2008) in terms of land productivity.

Page 279: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

268 Direktori Mini Tesis-Disertasi

On the other hand, provinces in the Kalimantan Island, such as Central Kalimantan, East Kalimantan, West Kalimantan, and South Kalimantan have the lowest land productivity. It can be seen that fertilizer subsidies given to the farmers in the Kalimantan Island were only 0.25 tons per hectare. It was much lower than the fertilizer subsidies given to the farmers in the Java-Bali Island, which reached 0.87 tons per hectare. Having given fertilizer subsidies by 329,132 tons, and accounts for 9.68% from the total fertilizer subsidies, the average of land productivity in the Kalimantan Island is 3.61 tons per hectare.

The low level of land productivity in the Kalimantan Island may be related to the small amount of fertilizer usage, the low soil fertility, and the low level of the irrigation network. The irrigation network in the Kalimantan Island is only 12.63% (Ministry of Agriculture, 2016a), while as much as 65% of irrigation networks are in Java (Panuju et al., 2013). It illustrates how small the irrigation networks in the Kalimantan Island are, compared to Java and the Bali Island. As mentioned before, the existence of soil fertility supported by the sustainability of the irrigation networks have been increasing the yield of paddy production (Simatupang& Timmer, 2008).

D. Conclusion

This paper aims to explain the impact of the agricultural policies on achieving paddy self-sufficiency. In order to achieve paddy self-sufficiency, the government implemented several programs, such as, subsidies and grants. Subsidies that have been given to the farmer were seed and fertilizer subsidies, while grants were wetland expansion and machinery grants. Paddy self-sufficiency can be identified by the improvement on paddy production. By using Cobb-Douglas production function, provincial level of data from 2011-2015 are used to investigate by how much the government subsidies and grants can increase the paddy production in Indonesia. Some conclusions can be drawn from this paper.

All government grants and subsidies have a positive impact on improving the paddy production and productivity. Land as the main variable of paddy production has the greatest impact on paddy production. An increase in land availability by 1% improves the paddy production by 0.600102. Land availability has been supported by the availability of the irrigation network. The government has also provided the irrigation development grant to sustain wetlands for paddy production. Seed and fertilizer subsidies also have a significant impact on paddy production. An increase of seed and fertilizer subsidies by 1%, elevate paddy production by 0.186572, and 0.173264. Machinery grants have the smallest effect on paddy production. An increase by 1% of machinery grants increases 0.018274 on paddy production.

Page 280: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 269

The calculation of differences among the region is used to explain which region has the narrowest gap. The gap is estimated in terms of paddy productivity, land, machinery, seed, and fertilizer per unit labor. The gap between Indonesia and Java-Bali is the smallest when compared to other islands. In contrast, the gap between Indonesia and the other islands is substantially greater. The gap between Indonesia and Nusa Tenggara-Maluku-Papua is the biggest. More interestingly, striking differences also occur when comparing Java-Bali with other islands, such as, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Nusa Tenggara-Maluku-Papua.

The contributions of input factors toward the growth rate of paddy productivity are in line with the results of the contributions of each variable to the productivity gap among the regions. Paddy harvested area, and seed and fertilizer subsidies per unit labor are crucial variables supporting the growth rate of paddy productivity. The 1% increase of harvested area per unit labor contributes to a 0.50% improvement in paddy productivity, while 1% rise of seed subsidy per labor will contribute to an increase of 0.11% paddy productivity. In addition, the 1% increase of fertilizer subsidy per labor contributes to the 0.07% improvement of paddy productivity. Based on these results, harvested land, seed and fertilizer subsidies per unit labor are more appropriate for measuring the growth rate of paddy production.

The Indonesian paddy production has concentrated on the Java and Bali islands (Naylor et al., 2007), which contributed to 53.53% of paddy production during 2011–2015, while paddy harvested areas account to 47.44% of the total harvested area in Indonesia (BPS-Statistics, 2016). These contributions are the highest among other islands in Indonesia. The higher contribution of paddy production, and the limitation on land area may explain the reason for the higher paddy productivity, in terms of land productivity, in the Java-Bali Island. The average land productivity in the Java-Bali is 5.82 tons per hectare, while in Indonesia, it is 5.16 tons per hectare. On the other hand, provinces in Sumatera, Kalimantan and the Sulawesi Island commonly have lower land productivity. The low productivity of paddy on these islands is a result of the fewer paddy lands, which only account for 47.06%, and the less amount of labor in paddy cultivation, which account for 30.88% (BPS-Statistics, 2016).

To conclude, most provinces in Indonesia have not adopted the labor-saving technologies. The use of tractors and water pumps as the implementation of mechanical technology seem to increase the efficiency and effectiveness of labor. It is not used to replace the role of labor in paddy production. The strategy for enhancing paddy productivity emphasized on the development of biological and chemical technologies, which can be seen in the use of high quality paddy seeds and the huge amount of fertilizers.

Page 281: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

270 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 282: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

HOW TO INTRODUCE MODERN WASTE COLLECTION SYSTEM IN INDONESIA: A CASE STUDY ON SLEMAN REGENCY IN INDONESIA USING CONJOINT EXPERIMENT

Nama : Rofiq Isdwiyani

Instansi : Pemkab Magelang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 283: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

272 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba untuk menganalisis efek kausal dari komponen pada probabilitas pilihan responden berdasarkan layanan pengumpulan sampah hipotetis di Kabupaten Sleman, Indonesia, menggunakan eksperimen lapangan acak. Dalam desain penelitian, responden diminta untuk menentukan peringkat di antara tiga alternatif: dua kebijakan alternatif dan status quo. Dalam satu set pilihan, kami menyediakan tiga alternatif termasuk status quo di mana responden harus memiliki peringkat di antara ketiga alternatif tersebut. Masing-masing dari dua kebijakan alternatif memiliki enam atribut: pengumpulan sampah organik, pengumpulan sampah anorganik, waktu berjalan, fasilitas pemrosesan menengah, fasilitas pembuangan akhir dan pembayaran bulanan. Menurut hasil estimasi, pengumpulan sampah organik akan meningkatkan dukungan masyarakat pada kebijakan pengelolaan limbah yang baru, karena pengaruh signifikan positif pada probabilitas pilihan internal dan eksternal. Atribut lain yang menunjukkan efek positif pada probabilitas pilihan internal adalah fasilitas pemrosesan menengah, fasilitas pembuangan akhir dan pembayaran bulanan. Jika pemerintah memperkenalkan layanan pengumpulan sampah yang terdiri dari tingkat dan atribut yang paling disukai, kemungkinan pilihan responden untuk mendukung pengelolaan limbah baru akan meningkat sekitar 59%, dengan kata lain, mayoritas orang akan mendukung yang baru. kebijakan pengelolaan sampah dan mempertimbangkan untuk mengurangi limbah dari sumbernya.

Kata kunci: Indonesia; Limbah; Probabilitas Pilihan; Percobaan Konjoin

Page 284: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 273

ABSTRACT

This research attempts to analyze the causal effects of the components on respondent’s choice probability based on hypothetical waste collection services on Sleman regency, Indonesia, using a randomized conjoint field experiment. In the research design, respondents are asked to rank among three alternatives: two alternative policies and a status quo. In a choice set, we provide three alternatives including status quo in which respondents have to rank among those three alternatives. Each of the two alternative policies has six attributes: organic waste collection, inorganic waste collection, walking time, intermediate processing facilities, final disposal facilities and monthly payment. According to the estimation result, organic waste collection will increase people’s support on the new waste management policy, due to the positive significant effect on both the internal and external choice probability. Other attributes which show positive effects on internal choice probability are intermediate processing facilities, final disposal facilities and monthly payment. If the government introduce the waste collection service which consist of the most preferred level and attributes, the choice probability of the respondents to support the new waste management will increase for about 59%, in other words, the majority of the people will support the new waste management policy and consider to reduce waste from the source.

Keywords: Indonesia; Waste; Choice Probability; Conjoint Experiment

Page 285: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

274 Direktori Mini Tesis-Disertasi

HOW TO INTRODUCE MODERN WASTE COLLECTION SYSTEM IN INDONESIA: A CASE STUDY ON SLEMAN

REGENCY IN INDONESIA USING CONJOINT EXPERIMENT

A. Background

The increase of population and economic growth in line with the increase of human activities which have an impact on the increase of the waste generation, particularly in the urban environment. Waste is inevitable by-product of human activities. The increase of quantity and complexity of solid waste especially in cities is caused by economic development, urbanization, and improve living standards (Rathi, 2007). The imbalance between rapid economic growth and the waste management causing the waste issue has become a serious problem faced by the government and public.

Indonesia is one of the developing countries and also having a large of population. Due to its large population, of course, Indonesia is facing problem of a huge of the amount of waste discharge. The problem is more acute as considering Indonesia is the world’s largest archipelago which is composed of nearly 17,504 islands. An average, every Indonesian generates 0.76 kg/day of solid waste. Thus, with total population more than 200 millions people, Indonesia would generate 187,366 ton/day of municipal solid waste in total area of 1,890,000 km2 which is administratively distributed across provinces (Chaerul, 2007).

According to study by Jambeck, et al (2015) in the research “Plastic waste inputs from land into the Ocean”,Indonesia is the second biggest contributor of plastic waste ending to the seas after China. Moreover, according to US Environmental Agency’s Global report, in 2010, Indonesia occupied seventh place of methane emissions source in the world. In other words, Indonesia considered as one of the country which contribute to the increase of global warming from its methane emissions (www.ina.or.id, 2015).

It is estimated that the increase of total solid waste volume in Indonesia will rise around 74 tons per year, although there are some efforts to reduce the waste volume (Ministry of Economic Affairs, 2015). Almost 60% of waste in Indonesia is organic waste, and the biggest contributor of waste among the other waste sources is household, by 48 percent.

To overcome the waste problem, Indonesia government enacted Law No. 18/2008 and Government Regulation No. 81/2012 about waste management system in Indonesia. According to those regulations, the new waste management includes reduction and handling the waste from the source. Reduction of the waste can be done

Page 286: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 275

by the reduction of waste volume (reduce), reuse of waste (reuse) and recycling of waste (recycle), or it is known by 3R principles. Meanwhile, the handling of the waste includes waste separation from the source, waste intermediate process before final dispose and final dispose with treatment in order to safely dispose the waste into the environment.

After the enactment of waste management regulation, Indonesia government set a target to manage 80% of urban waste properly in the National Mid Term Development Plan 2010-2014. Furthermore, government also expect 100% target of sanitation access including waste management so that Indonesia free of waste can be achieved in 2020 (Ministry of Economic Affairs, 2015). But in 2013, Statistics of Indonesia recorded that waste is still poorly managed. It is recorded that 50.1% of waste is burned, 24.9% of waste is dumped into the landfill, 10.4% of waste is disposed into river bodies, 9.7% of waste is not treated, 3.9% of waste is buried on the ground and only 0.9% of waste is processed into compost. A study conducted by Ministry of Economic Affairs in 2013 discovered that ± 99% of landfill waste in Indonesia still operated as open dumping. Statistics of Indonesia also recorded that households which do not sort their waste increase from 76.31% to 81.16% in 2017.

Proper waste management system which includes waste sorting from the source can be a solution of waste reduction. Oosterveer, et al (2010) stated that understanding household attitude and behaviour on handling waste from the source is important to design the waste management system.

To understand household choice and attitude on waste management system especially on waste separation, field experiment is needed. Therefore, this research designs a conjoint field experiment for gathering household stated preferences on hypothetical waste collection services which focusing on waste separation from the source in order to figure out household preference and behaviour on waste management system. It is expected that the result of this study can be an input for organizing the waste management policy in Indonesia.

B. Research Metodology

The main survey of this research was conducted from February 27th to March 12th 2017 in Pringwulung, Condongcatur village, Depok Sub-district, Sleman Regency, Yogyakarta Province. Pringwulung as the survey location is randomly selected from 1,212 small villages in Sleman regency. In this area, the total population is 1,564 people and there are 485 households. Among 485 households, we selected 300 households as our respondents. Due to the absence of households list, we visited each households to become our respondents and after we fulfilled our sample number then we drop the rest of the households which had not been visited yet.

Page 287: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

276 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Household questionnaire was used to capture characteristics and behaviour on waste management of the households. The questionnaire includes (1) basic information such as age, gender, education, occupation, family size, and monthly income; (2) households behaviour on waste management such as waste separation behaviour and satisfaction on current on waste management.

In this research, we use new conjoint analysis based on Hainmuller, et al (2014) to understand people choice on waste management policy. Hainmuller, et al (2014) revised the conventional conjoint analysis in the framework of randomized experimental design that could estimate the effect of causal components on respondent’s stated preferences without bias beyond the findings from the old methodological literature.

Before we conduct conjoint experiment, firstly, we showed research scenario to the respondents in order they understand about the research and what they have to do in the research. The following is the research scenario which we used to explain our experiment to the respondents.“We will ask your preferences on hypothetical household waste collection and disposal method. You will be requested to make rankings among three choice-sets, option A, option B and option C (Current status is fine and do not need new system). Among the three options, the rankings are:

1. the most preferable choice

2. the second preferable choice and

3. the least preferable choice. Common assumptions of the household waste collection and disposal method are:

a. Household has responsibility to do waste separation at home;

b. Each household has to bring the separated waste to the nearest collection station;

c. Payment per month per household is the only fee that the community will pay.

We generated hypothetical waste collection services which aims to improve waste management services especially in the research area. In a choice set, we provide three alternatives including status quo in which respondents have to rank among those three alternatives. In this research, we explain status quo is where current waste management is fine and it is not necessary to implement new waste management system. We provided six attributes which included: ORGANIC COLLECTION, INORGANIC COLLECTION, WALKING TIME, INTERMEDIATE, FINAL and PAYMENT.

Page 288: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 277

To discover people preferences on waste management system, we use new conjoint analysis based on Hainmuller, et al (2014) in this research. Using new conjoint analysis, we can estimate the causal effects on two types of choice probability: the internal choice probability (a policy is preferred to the other policy) and external choice probability (comparing two proposed policies to the status quo).

C. Data Analysis and Results

The result of the research shows the average marginal component effects (AMCEs) of policy attributes, which is observing the influence of respondents preferences on certain attributes along with certain levels, whether it is affected positively or negatively. The results of the internal and external choice probabilities are displayed with figure plotting.

In the figure, the six attributes are located on the left side including its respective levels. Here, we used the worst level as the baseline which is illustrated by the solid circle on the zero line without showing the interval estimates. The levels: “once a week” for ORGANIC COLLECTION attribute, “once a week” for INORGANIC COLLETION attribute, “30 minutes” for WALKING TIME attribute, “none” for INTERMEDIATE attribute, “open dumping” for FINAL attribute, and the highest payment of “96,000 rupiahs” for PAYMENT attribute are used as the baseline references to estimate the internal choice probabilities for the respondent who decided to choose the policy rather than the alternative policy.

1. Internal Choice Probability

Internal choice probability explains about the probabilities of choosing a proposed policy rather than the alternative policy. The result of internal choice probability shows that ORGANIC COLLECTION, INTERMEDIATE and FINAL attributes have statistically significant positive effects on hypothetical waste collection services, while there are no significant effects of INORGANIC COLLECTION and WALKING TIME attributes. In addition, PAYMENT attribute also gives significant estimation that the lowest payment has a positive causal effects on the internal choice probability. The estimation of internal choice probability on hypothetical waste collection services is showed in the Figure below.

Page 289: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

278 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Average Causal Effects on the Internal Choice Probability Source: Author’s survey

In organic collection attributes, it shows that the third level which is organic waste collection five times a week will increase respondent choice probability by 10%. Recycling, the third level of intermediate attributes, gives the highest positive effects on respondent choice probability by 17%. The final attributes also shows positive impact on respondent probability which is shown by the increase of choice probability by 7% if sanitary landfill is implemented. The last attribute, payment, also gives positive effect on respondent choice probability. When free monthly payment is implemented then the respondent choice probability will increase by 34%.

According to the internal choice probability result, it seems that intermediate processing facilities has the biggest influence on respondent decision to support the new waste collection services compared to the other attributes. The implementation of intermediate processing facilities such as recycling and composting facilities will increase people support on waste separation system. The implementation of

Organic Collection

Once a week

3 times a week

5 times a week

Inorganic Collection

Once a week

3 times a week

5 times a week

Walking Time

30 minutes

15 minutes

5 minutes

Intermediate

none

composting

recycling

incineration

Final

open dumping

sanitary landfill

Payment

96000 rupiahs

48000 rupiahs

24000 rupiahs

free

-.1 0 .1 .2 .3 .4

Page 290: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 279

recycling and composting facilities will have a higher impact than reducing monthly payment from 96,000 rupiahs to 48,000 rupiahs.

In addition, respondents seem like more consider about organic waste collection than inorganic waste collection, which is proved by the significant effect of organic waste collection on their support on new waste management policy. And the respondents prefer to have more frequent on organic waste collection services, which perhaps correlated to the smell of organic waste. It seems that the respondents also aware about final disposal facilities which less harm to the environment, because they prefer sanitary landfill as the proper final disposal facility than open dumping.

2. External Choice Probability

The external choice probability estimates the probability of supporting a proposed policy rather than status quo. The result of the external choice probability has the similar trends to those on internal choice probability, although there are some attributes which not give clear estimation in the external choice probability. The estimated external choice probability can be seen in Figure below.

Average Causal Effects on the Internal Choice Probability Source: Author’s survey

Organic CollectionOnce a week

3 times a week5 times a week

Inorganic CollectionOnce a week

3 times a week5 times a week

Walking Time30 minutes15 minutes5 minutes

Intermediatenone

compostingrecycling

incineration

Finalopen dumping

sanitary landfill

Payment96000 rupiahs48000 rupiahs24000 rupiahs

free-.1 0 .1 .2 .3 .4

Page 291: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

280 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The result of external choice probability discovers that the levels which give positive effects are: ORGANIC COLLECTION and PAYMENT. On the other hand, INORGANIC COLLECTION, WALKING TIME, INTERMEDIATE, and FINAL attributes do not show any significant impact on respondent choice probability.

In organic collection attributes, if the frequency of organic waste collection service is five times a week than the respondent choice probability for supporting new waste management policy will increase for about 5.5%. For payment attribute, the external choice probability shows the same trend as the internal choice probability. It is shown that the lowest payment which is free monthly payment gives the biggest impact to increase respondent choice probability by 28%.

According to the external choice probability result, the implementation of organic waste collection services by five times a week will increase respondent support on new waste collection services by 5.5%. It means that respondent consider more about the frequent of the organic waste collection services than other attributes. And in the case of monthly payment, respondent show their natural behavior which they will prefer the lowest payment for the cost of waste collection services.

D. Conclusion

According to the estimation result, waste collection services which has five times a week on the organic waste collection will increase people’s support on new waste management policy, due to the positive significant effect on both the internal and external choice probability. People seem like consider more about frequent collection on organic than inorganic waste. Perhaps, it is because most of the waste comes from kitchen waste which included on organic waste which has bad smell and quickly rot. So that, they prefer more frequent on organic waste collection service to overcome the problem.

Recycling, as one of the intermediate processing facilities, is one of the levels which most preferred by the respondent. The increase of plastics usage could be one of the reason which affect people on choosing recycling as the best option for intermediate processing facilities. Recycling facilities could be one of the solution for reducing the plastics waste. In addition to the intermediate processing facilities, it seems that the respondents also aware about final disposal facilities which less harm to the environment, because they prefer sanitary landfill as the proper final disposal facility than open dumping. Other attributes which complete the waste collection service which most preferred by the respondent is free monthly payment. It is obvious that the respondent will choose free monthly payment because in this scenario, they do not

Page 292: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 281

have to pay the waste collection service cost.The constant term of the external choice probability is considerably low, which is only 17%. It means that the percentage of the people who will support the new waste collection service is just 17%, or in other words, most of the people seem like satisfy with the current waste management.

Although the probability to support the new waste collection service is small, but government still needs to use hypothetical waste collection services to introduce modern waste collection system which focusing on waste separation to improve household participation in reducing waste volume from the source. If the government introduce the waste collection service which consist of the most preferred level and attributes which are 5 times a week of organic waste collection service, recycling as the intermediate processing facility, sanitary landfill as the final disposal facility and free monthly payment, then the choice probability of the respondents to support the new waste management will increase for about 59%. It means if the government imposes the policy, then the majority of the people will support the new waste management policy and consider to reduce waste from the source.

The findings of this research is expected to propose inputs for stakeholders, particularly local government in formulating appropriate solution for the development of an effective waste management policy, especially in Sleman regency. However, this research has some limitations. The first limitation of this research is the evidence of the external validity of the randomized conjoint analysis in developing countries.

The other limitation of the research is the limitation of the research area. In this study, we use a district as a sample to represent the waste management policy in Indonesia. In fact, there are some differences of the waste management policies among the districts in Indonesia. Therefore, it is unclear whether the differences of the waste management policies will affect people preferences on a new waste management policy or not.

Page 293: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

282 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 294: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS UTAMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR INDIA

Nama : Rossa Novitasari

Instansi : Kementerian Koperasi dan UMKM

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 295: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

284 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengestimasi daya saing ekspor komoditas utama di Pasar India selama periode 2000-2015 dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditas tersebut. Komoditas utama yang menjadi objek penelitian adalah komoditas kopi (HS0901); minyak kelapa sawit dan fraksinya (HS1511); kopra, kernel kelapa sawit atau babasssu dan fraksinya (HS1513); bubuk kakao (HS1805); batubara, briket, ovoid, dan bahan bakar semacam itu terbuat dari batubara (HS2701); karet alam (HS4001); dan bijih tembaga dan konsentratnya (HS2603). Selain itu, penelitian ini menggunakan indikator daya saing keunggulan komparatif (Revealed Comparative Advantage/RCA), menemukan bahwa komoditas utama tersebut memiliki daya saing di pasar India. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata RCA> 1 tiap tahunnya pada ketujuh komoditas tersebut.

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing (RCA) dengan menggunakan regresi data panel metode efek tetap. Hasil estimasi regresi data panel metode efek tetap menunjukkan tarif India, jumlah produksi dikalikan harga komoditas, dan pertumbuhan pangsa pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing (RCA). Variabel pendapatan riil perkapita dan perjanjian kerja sama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap daya saing (RCA). Hasil penelitian ini tidak menemukan bukti pengaruh nilai tukar riil terhadap daya saing (RCA).

Kata kunci: Daya Saing Ekspor, Rca, Komoditas Utama, Regresi Data Panel

Page 296: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 285

ABSTRACT

This study aims to estimate the competitiveness of major exports in the Indian Market during the period 2000-2015 and analyze the factors that influence the competitiveness. The main commodities that are the object of research are Coffee Commodities (HS0901); Palm Oil and its fractions (HS1511); Copra, Palm Kernel or Babasssu and its fractions (HS1513); Cocoa Powder (HS1805); Coal, briquettes, ovoids, and similar fuels are made of coal (HS2701); Natural Rubber (HS4001); and Copper Ore and Concentrates (HS2603). In addition, this study uses a comparative power indicator (Revealed Comparative Advantage/RCA), finding that it is competitiveness in the Indian market. This reports with an average RCA> 1 per person on the seven items.

Analysis of factors that affect competitiveness (RCA) using the regression data panel method. The estimation results of panel data regression measurement of Indian influence, the amount of production multiplied by price, and positive and significant price growth on competitiveness (RCA). Variables of real per capita income and employment agreements are negative and significant to competitiveness (RCA). The results of this study did not find truly real numbers (RCA)

Keywords: Export Competitiveness, RCA, Main Commodity, Regression Data Panel

Page 297: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

286 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS UTAMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR INDIA

A. Latar Belakang

Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara, menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara ke negara lain (Mankiw, 2006: 128). Kurs riil yang lemah menunjukkan harga barang domestik lebih rendah maka permintaan ekspor lebih tinggi, meningkatkan daya saing ekspor. Seperti penelitian Balogh and Ferto (2015) menggunakan nilai tukar rill yang diduga dapat meningkatkan daya saing ekspor wine ke beberapa negara.

Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk komoditi yang diperdagangkan lintas batas territorial tariff yang berguna bagi importer bagi setiap produk. Tarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan luar negeri yang membatasi arus perdagangan internasional, suatu pembebanan atas barang yang melewati daerah pabean. Penelitian Wijayanti (2011) dan Wardhani (2009) menggunakan variabel tarif sebagai faktor yang memengaruhi daya saing.

Produksi adalah jumlah hasil produksi pertahun komoditas utama, merupakan proxy faktor kelimpahan suatu negara. Seperti Teori HO dan Ronald Jones mengatakan faktor abundance menjadi keunggulan komparatif (Wardhani, 2009). Semakin besar faktor kelimpahan akan semakin menigkatkan daya saing komoditas ekspor.

Pangsa pasar memiliki pengaruh dalam menentukan prestasi daya saing di pasar tujuan ekspor. Hal ini dihitung dari proporsi komoditas ekspor yang ditujukan ke pasar negara tujuan dalam impor total komoditas tersebut di negara tujuan tersebut. Menurut Basri (2003 dalam Tambunan, 2004: 297) daya saing juga ditentukan oleh pangsa pasar. Hal ini didasarkan pada penelitiannya saat membandingkan daya saing Cina dan Indonesia, hasilnya Cina lebih memiliki daya saing. Semakin besar porsi total ekspor dari suatu negara ketiga negara tujuan ekspor (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang), semakin tinggi daya saing dari produk ekspor negara tersebut.

Balogh dan Ferto (2015) melakukan penelitian terhadap daya saing ekspor wine pada 38 negara selama tahun 2000-2013. Hasil penelitian menyatakan GDP nilai tukar berpengaruh negatif signifikan terhadap daya saing ekspor wine. Sedangkan pekerja, lahan perkebunan anggur, dan keanggotaan WTO berpengaruh positif signifikan terhadap daya saing ekspor wine.

Couilard dan Turkina (2015) melakukan analisis bagaimana FTA memengaruhi daya saing sektor dairy pada 76 negara dari tahun 1990 sampai dengan 2009. Hasil

Page 298: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 287

penelitian menunjukkan GDP, GDP perkapita, nilai tukar, Human Development Index, pengairan, keanggotaan WTO, populasi pertanian, stabilitas politik, subsidi pertanian, berpengaruh positif, dan signifikan terhadap RCA. Korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap RCA.

Penelitian-penelitian sebelumnya menganalisis daya saing ekspor Indonesia di pasar- pasar tradisional (Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok) dan terkhusus pada satu komoditas tertentu. Pada penelitian ini mencoba menganalisis daya saing komoditas-komoditas utama ekspor Indonesia di pasar nontradisional, yaitu India. Kedekatan geografis dengan Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan jumlah penduduk yang besar merupakan potensi untuk menjadi sasaran ekspor utama Indonesia.

B. Metodologi Penelitian

Tujuh komoditas utama yang terpilih pada penelitian ini, yaitu kopi (HS0901); minyak kelapa sawit (HS1511); kopra, PKO, dan babasssu (HS1513); bubuk kakao (HS1805); batubara (HS2701); karet alam (HS4001); bijih tembaga dan konsentrat (HS2603). Komoditas-komoditas tersebut merupakan data cross section, dan dilakukan penelitian dari tahun 2000 sampai dengan 2015 (data time series). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh GDP perkapita negara India, nilai tukar riil, tarif negara tujuan ekspor, pertumbuhan pangsa pasar, produksi dan pelaksanaan kerja sama Asean India terhadap daya saing komoditas utama ekspor (RCA). Berdasarkan penelitian Kalirajaan dan Bhattacharya (2007), Wardhani (2009),Wijayanti (2011), Couillard dan Turkina (2015), Nurkhotimah (2015), Balogh dan Jambor (2017) serta dengan penyesuaian variabel.

Penelitian terhadap tujuh komoditas yang memiliki daya saing (data cross section) dalam kurun waktu 2000- 2015 (data time series), gabungan antara cross section dan time series disebut data panel. Regresi dengan data panel disebut model regresi data panel. Ada tiga pendekatan untuk mengestimasi regresi data panel (Widarjono, 2013: 362-366), yaitu Common Effect Model (CEM) dengan metode OLS, Fixed Effect Model (FEM) dengan metode LSDV, dan Random Effect Model (REM). Pemilihan tersebut dilakukan dengan pertama uji Chow, untuk memilih common effect model atau fixed effect model. Kedua Hausman Test digunakan untuk memilih fixed effect model atau random effect model yang terbaik dalam mengestimasi data panel. Apabila hasil kedua tersebut tidak konsisten maka dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM) untuk memilih random effect atau common effect (Widarjono, 2013: 362). Model yang terpilih akan dilakukan pengujian asumsi klasik dan pengujian hipotesis.

Page 299: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

288 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Analisis daya saing komoditas utama ekspor Indonesia dapat dilihat dari perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) dari tahun ke tahun. Hasil perhitungan Indeks RCA di atas menunjukkan komoditas yang mempunyai daya saing (RCA>1) dan yang tidak mempunyai daya saing (RCA<1). Komoditas kopi (0901), minyak kelapa sawit (HS1511); kopra, kernel dan lainnya(1513); bubuk kakao (HS1805); konsentrat tembaga (HS2603); batubara (HS2701) mampu mempertahankan daya saingnya dari tahun 2000 sampai dengan 2015. Indonesia merupakan negara pengekspor tertinggi pada komoditas-komoditas tersebut di pasar India (UNCOMTRADE, 2015). Pada komoditas karet alam tahun 2000 dan 2003 kehilangan daya saingnya di Pasar India setelah tahun 2004 mampu meningkatkan daya saingnya.

2. Pendampingan oleh Petugas Penyuluhan melalui Sistem LAKU

Penentuan model terbaik untuk regresi data, dilakukan uji Chow, uji Hausman, dan uji Lagrance Multiplier. Hasil uji Chow dan uji Hausman menunjukkan model yang lebih tepat untuk menggambarkan pengaruh GDP riil perkapita India, nilai tukar riil, tarif India, jumlah produksi komoditas Indonesia, dummy perjanjian kerja sama AIFTA, dan pertumbuhan pangsa pasar terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India adalah model Fixed Effect.

Model fixed effect tersebut kemudian dilakukan uji asumsi klasik, hasilnya menunjukkan model tersebut terdapat masalah multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi dilakukan regresi ulang dapat dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS). Generalized Least Squares dapat mengatasi masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas dengan transformasi model persamaan sehingga memenuhi asumsi OLS (Widarjono, 2013: 146-147).

Dari hasil estimasi regresi diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap penelitian variabel dalam penelitian dengan persamaan:

RCA=-17,734 - 7,374lnGDP- 0,622lnER+0,037TR+4,200lnPQ-3,658DFTA + 0,157GMS (41,391) (3,387) (5,306) (0,037) (0,1012) (0,551) (0,033)

Keterangan: angka dalam kurung adalah standar error

Page 300: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 289

Hasil Uji z, dapat diuraikan sebagai berikut: GDP riil perkapita India (lnGDP) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Nilai tukar riil rupiah terhadap rupee tidak mempunyai pengaruh terhadap daya saing komoditas utama eskpor Indonesia di pasar India. Tarif India (TR) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Produksi (PQ) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Perjanjian kerja sama AIFTA (DFTA) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Pertumbuhan pangsa pasar India (GMS) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia.

Hasil analisis Uji F menunjukkan GDP perkapita India (lnGDP), nilai tukar riil (lnER), tarif India (TR), produksi komoditas Indonesia (lnPQ), dummy perjanjian kerja sama AIFTA (DFTA), dan pertumbuhan pangsa pasar India (GMS) secara bersama-sama berpengaruh secara statistik terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India (lnRCA). Hasil estimasi regresi data panel dengan Fixed Effect dengan metode GLS menghasilkan R² sebesar 0,3468. Nilai tersebut menunjukkan variabel-variabel bebas dalam model dapat menjelaskan sebesar 34,68 persen dan sisanya 65,32 persen dijelaskan variabel lain di luar model yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

GDP perkapita India berpengaruh negatif dan signifikan pada daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Hasil penelitian ini juga ditemukan dalam penelitian Balogh dan Ferto (2015). Pendapatan perkapita negara India berpengaruh negatif diduga karena masyarakat dan industri di India memilih kualitas produk yang lebih tinggi. Ketika GDP perkapita masyarakat India meningkat, konsumsi masyarakat dan industri beralih ke komoditas yang kualitasnya lebih baik. Industrinya pun mendapatkan lebih banyak modal untuk memproduksi produk dari bahan baku yang lebih berkualitas.

Nilai tukar riil tidak memberikan pengaruh terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia. Depresiasi rupiah berefek pada harga komoditas dalam negeri akan lebih murah dibanding luar negeri dan diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia, namun harga tidak menjadi alasan utama bagi importir melakukan perdagangan dengan Indonesia. Peningkatan pada nilai ekspor perkomoditas ke India pada rentang waktu penelitian menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat India dan kontrak kerja sama yang telah ditetapkan (Jalil, 2012). Pangsa pasar tujuh komoditas tersebut di atas dua puluh persen.

Page 301: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

290 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Tarif India memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India. Hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa kenaikan tarif negara tujuan ekspor akan menurunkan daya saing komoditas ekspor. Tarif dikenakan negara pengimpor untuk melindungi komoditas domestik, namun pada kenyataannya banyak penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan negara eksportir agar daya saing ekspornya bertahan dan meningkat (Tambunan, 2014: 330). Keuntungan nominal bagi Indonesia akan berkurang, namun Indonesia dapat mempertahankan pasar dari berbagai kendala (tarif).

Produksi komoditas ekspor Indonesia (PQ) mempunyai pengaruh signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India. Sesuai dengan Teori H-O, kekayaan suatu negara atas faktor-faktor produksi menentukan biaya alternatif dari faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan negara lain (Tambunan, 2004: 67). Sehingga akan diekspor output dari faktor produksi tersebut. Hasil penelitian sesuai dengan teori dan penelitian Wardhani (2009) dan Wijayanti (2011) mencerminkan kelimpahan faktor produksi (tenaga kerja, luas lahan, pertambangan) di Indonesia sehingga meningkatkan daya saing komoditas. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk bersaing di Pasar India. Upah tenaga kerja yang lebih rendah, jumlah tenaga kerja yang banyak, kekayaan alam yang berlimpah sehigga dapat melakukan kegiatan produksi dengan harga kompetitif.

Pengaruh perjanjian kerja sama AIFTA (DFTA) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India. Perjanjian kerja sama AIFTA memberikan perbedaan daya saing komoditas ekspor yang lebih kecil dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan perjanjian kerja sama. AIFTA beranggotakan sepuluh negara Asia Tenggara (Brunei Darussalam, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) dan India. Negara anggota ASEAN rata-rata memiliki kualitas komoditas yang mirip karena keadaan geografis dan iklim yang sama. Negara-negara tersebut juga berusaha dapat meraih pasar India. Dengan adanya AIFTA, India juga mengimpor komoditas-komoditas tersebut tidak hanya dari Indonesia, tapi negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini menyebabkan penurunan daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar India.

Pelaksanaan AIFTA yang mengakibatkan perbedaan daya saing yang lebih rendah juga karena adanya hambatan ekspor yang tidak dimasukan dalam variabel penelitian ini, yaitu peraturan teknis komoditas yang ditetapkan India (Non Tariff Trade Barriers) dan kuota impor (Salvatore, 2014: 268-270). Peraturan teknis meliputi aturan keamanan, aturan kesehatan, persyaratan label, dan aturan ramah lingkungan. Kuota impor ditetapkan India untuk melindungi industri domestiknya.

Page 302: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 291

Pertumbuhan pangsa pasar India (GMS) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas utama ekspor Indonesia ke India. Hal ini sesuai penelitian Wijayanti (2011). Semakin luas pangsa pasar yang dikuasai Indonesia, membuat industri tersebut dapat mempertahankan dan meningkatkan daya saing dalam menghadapi para pesaingnya. Komoditas utama ekspor dari Indonesia berperan penting dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan industri di India.

D. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) sebagai ukuran daya saing menemukan bahwa komoditas utama ekspor Indonesia memiliki daya saing dan cenderung stabil selama tahun 2000-2015 di Pasar India. Komoditas kopi (HS0901); minyak kelapa sawit (1511); kopra, kernel kelapa sawit atau babasssu (HS1513); bubuk kakao (HS1805); batubara (HS2701); karet alam (HS4001); dan bijih tembaga dan konsentrat (HS2603) membuat Indonesia sebagai salah satu pemasok utama di India. Tahun 2000 dan 2003, komoditas karet alam (HS4001) kehilangan daya saingnya.

2. Hasil estimasi regresi panel menunjukkan tarif India, produksi, dan pertumbuhan pangsa pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing komoditas ekspor di pasar India. Perjanjian kerja sama dan pendapatan riil perkapita berpengaruh negatif dan signifikan terhadap daya saing komoditas ekspor di pasar India. Pada hasil penelitian ini tidak menemukan bahwa nilai tukar riil berpengaruh terhadap daya saing.

E. Saran

Berikut saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Komoditas utama dalam penelitian ini memiliki daya saing setiap tahunnya, perlu dapat diperkenalkan komoditas lain hasil industri Usaha Kecil dan Menengah yang sedang berkembang di Indonesia.

2. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat dimasukan variabel Non Tariff Trade Barriers (NTB) dan variabel pesaing sebagai hambatan perdagangan internasional.

Page 303: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

292 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 304: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN SLEMAN

Nama : Sri Mulyani Kustiyanti

Instansi : Pemkab Sleman

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 305: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

294 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Alat analisis yang digunakan adalah regresi data panel, menggunakan data panel tahun 2013-2016 dan 17 kecamatan di Kabupaten Sleman. Teknik estimasi data panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) dengan metode robust. Kualitas sumber daya manusia diukur menggunakan tingkat pendidikan dengan variabel angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan SMA, tingkat kesehatan dengan variabel angka kematian bayi dan sanitasi layak, serta variabel rasio ketergantungan.

Hasil yang diperoleh, yaitu tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Angka kematian bayi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan sanitasi layak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Rasio ketergantungan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Tingkat pendidikan, angka kematian bayi, sanitasi layak, dan rasio ketergantungan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman.

Kata kunci: Tingkat Kemiskinan, Tingkat Pendidikan, Angka Kematian Bayi, Sanitasi Layak, Rasio Ketergantungan

Page 306: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 295

ABSTRACT

This study aims to analyze the effect of human resource quality on poverty level in Sleman Regency. The analysis tool used is panel data regression, using panel data year 2013-2016 and 17 districts in Sleman Regency. The panel data estimation technique used is Fixed Effect Model (FEM) with robust method. The quality of human resources is measured using the education level with the net enrollment ratio of junior high school and senior high school, the level of health with the variable of infant mortality rate and proper sanitation, and the dependency ratio variable. The result obtained is the education level significantly effect to poverty level in Sleman Regency. Infant mortality rate does not significantly effect to poverty level, while proper sanitation has significant to poverty level in Sleman Regency. The dependency ratio has no significant effect on poverty level in Sleman Regency. The education level, infant mortality rate, proper sanitation, and dependency ratio simultaneously have a significant effect on poverty levels in Sleman Regency.

Keywords: Poverty Level, Education Level, Infant Mortality Rate, Proper Sanitation, Dependency Ratio.

Page 307: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

296 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN SLEMAN

A. Latar Belakang

Suatu negara yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik maka pembangunan akan menjadi semakin maju. Salah satu indeks yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi adalah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks pembangunan manusia terdiri atas tiga komponen utama, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Komponen kesehatan diukur dari angka harapan hidup, sedangkan pendidikan terdapat dua komponen, yaitu harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Sementara komponen pendapatan diukur dari konsumsi riil perkapita (dalam rupiah). Nilai indeks pembangunan manusia di Kabupaten Sleman tahun 2013 sebesar 80,26, sedangkan tahun 2016 mengalami kenaikan sehingga menjadi 82,15. Nilai IPM Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang berarti terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia.

Menurut teori modal manusia (human capital), pendidikan dapat meningkatkan pendapatan karena adanya peningkatan produktivitas pekerja. Apabila pendapatan dan produktivitas kerja meningkat maka diharapkan tingkat kemiskinan akan semakin menurun. Selain pendidikan, kesehatan juga merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu negara. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, membina, menyelenggarakan, dan mengawasi terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kebijakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Penduduk merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam pelaksanaan pembangunan. Penduduk dapat menjadi subjek sekaligus objek pembangunan yang berkelanjutan. Penduduk menjadi subjek pembangunan, yaitu penduduk sebagai pelaku pelaksanaan pembangunan, sedangkan sebagai objek pembangunan maka penduduk negara tersebut menjadi sasaran pembangunan yang dilaksanakan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 dijelaskan jika kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia juga dapat diukur menggunakan rasio ketergantungan (dependency ratio). Rasio ketergantungan ini

Page 308: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 297

digunakan untuk mencerminkan kemandirian penduduk. Apabila rasio ketergantungan penduduk besar maka penduduk nonproduktif tersebut menjadi beban bagi penduduk yang berusia produktif.

Rasio ketergantungan penduduk Kabupaten Sleman sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 cenderung mengalami kenaikan. Hal tersebut berarti pendapatan penduduk usia produktif semakin banyak digunakan untuk menanggung penduduk nonproduktif. Apabila pendapatan tersebut tidak mencukupi maka peluang untuk menjadi penduduk miskin menjadi semakin besar. Oleh karena itu, rasio ketergantungan yang terlalu tinggi dapat menghambat pembangunan ekonomi. Beberapa manfaat yang diharapakan dari penelitian ini adalah

1. menjadi dasar untuk pengambilan keputusan oleh pembuat kebijakan mengenai kualitas sumber daya manusia dan tingkat kemiskinan khususnya di Kabupaten Sleman; dan

2. digunakan sebagai bahan referensi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut pada masalah sejenis.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pencapaian tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan relatif telah baik, namun tingkat kemiskinan juga masih tinggi di Kabupaten Sleman. Indikator tingginya kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kabupaten Sleman memiliki IPM dalam kategori tinggi, namun tingkat kemiskinan juga masih tinggi walaupun setiap tahun tingkat kemiskinan mengalami penurunan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin tersebut tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Sleman. Berdasarkan data tahun 2016 jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Kecamatan Seyegan (11.079 jiwa) dan jumlah penduduk miskin paling sedikit berada di Kecamatan Pakem (3.197 jiwa).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Sleman yang dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan rasio ketergantungan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Tingkat pendidikan diukur menggunakan variabel angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMA. Tingkat kesehatan diukur menggunakan variabel angka kematian bayi dan sanitasi layak. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang kemudian dianalisis dengan regresi data panel. Alat bantu yang digunakan untuk melakukan regresi data adalah program STATA 13.

Page 309: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

298 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel. Data panel merupakan gabungan antara data time series, yaitu data yang digunakan mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 dan data cross section, yakni data yang terdiri atas 17 kecamatan di Kabupaten Sleman meliputi Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Godean, Gamping, Mlati, Depok, Berbah, Prambanan, Kalasan, Ngemplak, Ngaglik, Sleman, Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan.

Sumber data untuk penelitian pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat kemiskinan berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten Sleman. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel. Analisis tersebut merupakan regresi gabungan antara data cross section, yaitu data dari 17 kecamatan di Kabupaten Sleman dan data time series tiap-tiap kecamatan selama 4 tahun, yaitu data dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum

Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah 574,82 km2 (57.482 ha) atau 18 persen dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas 3.185,80 km2. Jarak terjauh utara-selatan wilayah Kabupaten Sleman 32 km, sedangkan jarak terjauh timur-barat 35 km. Dalam perspektif mata burung, Kabupaten Sleman berbentuk segitiga dengan alas di sisi selatan dan puncak di sisi utara.

Kabupaten Sleman secara administratif terdiri atas 17 wilayah kecamatan, 86 desa, dan 1.212 padukuhan. Kecamatan dengan wilayah paling luas adalah Cangkringan (4.799 ha) dan yang paling sempit ialah Berbah (2.299 ha). Kecamatan dengan desa terbanyak adalah Tempel (8 desa), sedangkan kecamatan dengan jumlah desa paling sedikit yaitu Depok (3 desa).

2. Deskripsi Data

Jumlah data yang diobservasi sebanyak 68 data meliputi 17 kecamatan selama 4 tahun. Variabel tingkat kemiskinan memiliki nilai minimum 3,72 dan maksimum 25,98 dengan rata-rata 15,0378 dan standar deviasi 5,8792. Nilai standar deviasi lebih kecil daripada nilai rata-rata menunjukkan data memiliki variabilitas rendah. Variabel independen yang terdiri atas angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan SMA, angka kematian bayi, sanitasi layak, dan rasio ketergantungan juga mempunyai nilai standar deviasi lebih kecil daripada nilai rata-rata. Standar deviasi

Page 310: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 299

semakin rendah maka semakin rendah pula penyimpangan data dari rata-rata hitungannya sehingga data memiliki variabilitas rendah. Hal ini berarti data di antara anggota elemen adalah homogen.

3. Pembahasan

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Kualitas sumber daya manusia dapat diukur menggunakan tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan rasio ketergantungan.

a. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Indikator tingkat pendidikan dalam penelitian ini diukur menggunakan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan SMA. Angka partisipasi murni berguna untuk mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat pada waktunya atau sesuai dengan usianya. Nilai angka partisipasi murni dapat lebih dari 100 persen disebabkan karena siswa dari luar daerah yang bersekolah di wilayah tersebut.

Tingkat pendidikan yang diukur menggunakan variabel angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan SMA berdasarkan uji t yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan memengaruhi tingkat kemiskinan. Hal ini berarti apabila semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk maka semakin tinggi pengetahuan atau keahlian yang dimiliki sehingga produktivitas juga akan meningkat. Peningkatan produktivitas akan diikuti oleh peningkatan pendapatan. Dengan demikian, tingkat kemiskinan penduduk akan semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adriani dan Wahyudi (2015) di Provinsi Jambi.

Penelitian yang dilakukan oleh Barati et al. (2017) di Kota Mashhad Iran pada tahun 2016 juga menunjukkan hasil bahwa pendidikan tertinggi anggota rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan dalam keluarga tersebut.

Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2015). Amaliah mengatakan angka partisipasi murni tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi karena kemiskinan dapat menutup akses kemajuan seseorang termasuk salah satunya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan demikian, Amaliah berpendapat jika partisipasi pendidikan dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan

Page 311: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

300 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bukan sebaliknya. Selain itu, menurut penelitian Pratama (2014) dan Wibisono (2015) juga menemukan jika angka partisipasi pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini dijelaskan bahwa sektor pendidikan akan memberikan kontribusi jangka panjang terhadap kemiskinan sehingga dalam jangka pendek pengaruhnya belum terlihat.

1) Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan SMP

Perkembangan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP di Kabupaten Sleman secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Namun, apabila dilihat menurut kecamatan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 ada yang mengalami peningkatan dan penurunan. Kecamatan yang berada di wilayah perdesaan sebagian besar mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini menandakan jika kesadaran penduduk untuk menempuh pendidikan di jenjang pendidikan SMP sudah baik. Kecamatan Pakem meskipun termasuk dalam kecamatan yang berada di wilayah perdesaan, namun memiliki angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP melebihi 100 persen dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016. Hal ini terjadi karena di Kecamatan Pakem banyak terdapat SMP favorit dan berkualitas sehingga menarik minat siswa dari daerah lain. Selain mutu/kualitas sekolah faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka partisipasi murni dikarenakan banyak siswa yang berasal dari kecamatan lain dengan alasan tidak diterima di sekolah kecamatan asal, faktor jarak rumah dengan sekolah maupun pertimbangan keluarga.

Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah perkotaan selama tahun 2013 sampai dengan tahun 2016, sebagian besar mengalami penurunan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP. Hal ini kemungkinan terjadi karena ada siswa yang putus sekolah, rendahnya angka melanjutkan, serta banyak penduduk yang bersekolah di SMP yang ada di luar kecamatan tempat tinggal bahkan ke luar daerah/Kabupaten Sleman.

Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki berbagai program untuk mencegah anak putus sekolah dan meningkatkan angka melanjutkan sekolah di jenjang pendidikan SMP antara lain dengan memberikan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA), Bantuan Siswa Miskin (BSM), beasiswa retrieval serta Program Keluarga Harapan (PKH). Program bantuan yang diberikan pemerintah tersebut bertujuan untuk mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun di Kabupaten Sleman.

Page 312: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 301

2) Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan SMA

Perkembangan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMA di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun secara umum mengalami kenaikan. Hal ini menandakan jika kesadaran penduduk untuk menempuh pendidikan di jenjang pendidikan SMA sudah cukup baik. Namun demikian, masih ada kesenjangan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMA antara kecamatan yang satu dengan yang lain. Beberapa kecamatan angka partisipasinya masih di bawah 50 persen seperti Kecamatan Minggir, Gamping, Mlati, Berbah, Kalasan, Ngemplak, dan Turi. Kecamatan Depok, Pakem, dan Cangkringan mempunyai nilai angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMA lebih dari 100 persen. Kecamatan yang memiliki angka partisipasi murni rendah mungkin disebabkan adanya siswa yang putus sekolah, banyak siswa yang bersekolah ke luar daerah karena alasan sekolah yang berkualitas di daerah lain bahkan ada kecamatan yang tidak memiliki SMA negeri seperti di Kecamatan Berbah.

Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting sehingga pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi masyarakatnya. Pemerintah juga menyusun program untuk mencegah adanya siswa yang putus sekolah. Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki program Jaminan Pembiayaan Pendidikan Daerah (JPPD) yang tertuang dalam Peraturan Bupati. Tujuan jaminan pembiayaan pendidikan daerah, yaitu memberikan kesempatan belajar bagi keluarga miskin dan keluarga rentan miskin untuk memperoleh pendidikan. Jaminan pembiayaan pendidikan daerah diberikan kepada siswa penduduk Kabupaten Sleman dari keluarga miskin dan keluarga rentan miskin yang bersekolah pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah di Kabupaten Sleman. Sejak tahun 2013 pemberian jaminan pembiayaan pendidikan daerah juga diberikan kepada siswa dari keluarga miskin dan rentan miskin yang bersekolah di luar daerah wilayah Kabupaten Sleman. Hal ini merupakan amanat dari Peraturan Bupati Sleman Nomor 2 Tahun 2013 tentang Jaminan Pembiayaan Pendidikan Daerah.

Pemerintah Kabupaten Sleman juga menyediakan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) untuk jenjang pendidikan menengah yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan tersebut digunakan untuk membiayai operasional sekolah berupa kegiatan belajar mengajar, kegiatan kesiswaan, honorarium, penyelenggaraan ketatausahaan sekolah termasuk langganan daya dan jasa, serta pengadaan dan pemeliharaan prasarana sarana sekolah.

Page 313: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

302 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Program pemerintah berupa Program Keluarga Harapan (PKH) pada pencairan tahap II tahun 2015 sudah mulai menyasar peserta yang mempunyai anak di jenjang pendidikan SMA/MA. Hal ini merupakan suatu kebijakan baru karena sebelumnya hanya diberikan kepada peserta PKH yang mempunyai anak bersekolah di jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).

Kewenangan pengelolaan pendidikan menengah mulai tahun 2017 beralih ke pemerintah provinsi berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, pengalihan kewenangan tersebut berimbas pada beberapa program dan kegiatan yang ada di Pemerintah Kabupaten Sleman, misalnya untuk BOSDA SMA (BOMM) sudah tidak dianggarkan lagi. Namun, Pemerintah Kabupaten Sleman masih menyediakan anggaran untuk jaminan pembiayaan pendidikan daerah bagi siswa dari keluarga miskin dan rentan miskin agar tetap dapat melanjutkan pendidikannya.

b. Pengaruh Tingkat Kesehatan terhadap Tingkat Kemiskinan

Tingkat kesehatan diukur menggunakan variabel angka kematian bayi dan sanitasi layak. Apabila tingkat kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan, ini berarti jika semakin tinggi derajat kesehatan penduduk maka semakin berkurang tingkat kemiskinan. Penduduk yang memiliki kualitas kesehatan bagus dapat meningkatkan produktivitasnya sehingga akan memiliki pendapatan yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Adriani dan Wahyudi (2015) diperoleh hasil jika kesehatan tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Hal ini berarti tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan sudah cukup tinggi serta ketersediaan fasilitas kesehatan juga sudah memadai.

1) Angka Kematian Bayi

Berdasarkan uji yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa angka kematian bayi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Ali dan Ahmad (2013) di Provinsi Punjab Pakistan.

Angka kematian bayi meskipun tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan namun angka kematian bayi menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Usia satu tahun pertama merupakan masa yang kritis bagi bayi karena sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Angka kematian bayi di Kabupaten Sleman dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 banyak mengalami penurunan. Hal ini

Page 314: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 303

disebabkan karena semakin tingginya pemahaman ibu terhadap kesehatan bayinya, serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat baik dari segi lokasi maupun biaya. Penurunan angka kematian bayi berkaitan dengan peningkatan angka harapan hidup. Bayi yang terhindar dari kematian akan memiliki harapan hidup yang tinggi.

Salah satu cara untuk menekan angka kematian bayi adalah dengan pemberian imunisasi campak pada anak di bawah usia satu tahun. Pemberian imunisasi dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup anak, menurunkan angka kematian anak, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap anak.

Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Sleman mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pemberian Jaminan Kesehatan Daerah bagi Bayi Baru Lahir. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) tersebut diberikan kepada bayi yang baru lahir dari ibu ber-KTP Sleman. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman sangat memperhatikan kesehatan bayi yang baru lahir dan merupakan salah satu cara untuk menekan angka kematian bayi.

2) Sanitasi Layak

Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang memengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan, terjadinya pencemaran sumber air minum bagi masyarakat, meningkatkan kejadian diare serta penyakit yang lain di masyarakat. Rumah tangga dikatakan memiliki akses sanitasi yang layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan (Profil Kesehatan Indonesia, 2015: 215).

Variabel sanitasi layak mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Ahmad (2013) di Provinsi Punjab Pakistan. Sanitasi merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan akses sanitasi membantu individu dan rumah tangga memutus lingkaran setan kemiskinan.

Sanitasi yang telah layak dan baik harus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan pola hidup bersih dan sehat serta penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan kesehatan seperti program stop buang air besar sembarangan. Akses sanitasi yang buruk akan menyebabkan terjadinya

Page 315: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

304 Direktori Mini Tesis-Disertasi

penyakit diare dan penyakit lainnya. Apabila tingkat morbiditas masyarakat tinggi maka akan menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan pendapatan. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat menjadi miskin karena tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilakukan dengan meningkatkan sarana prasarana kesehatan, tenaga kesehatan juga regulasi mengenai pelayanan kesehatan. Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Jaminan Kesehatan Daerah. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bertujuan untuk menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Setiap penduduk wajib menjadi peserta jaminan kesehatan dan bagi penduduk yang termasuk dalam keluarga miskin maka Jamkesda ditanggung oleh pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

c. Pengaruh Rasio Ketergantungan terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil regresi menunjukkan rasio ketergantungan tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mallo (2011) bahwa angka ketergantungan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk berusia produktif cukup banyak, sedangkan jumlah penduduk nonproduktif yang harus ditanggung lebih sedikit sehingga memiliki rasio ketergantungan yang kecil. Penduduk berusia produktif tersebut sebagian berasal dari luar daerah yang bekerja di DKI Jakarta sebagai pekerja di sektor industri. Sektor industri di DKI Jakarta merupakan sektor yang mempunyai pengaruh besar dalam perekonomian. Oleh karena itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2013) dan Marmujiono (2014) yang menyatakan kemiskinan dipengaruhi oleh rasio ketergantungan penduduk. Besarnya jumlah penduduk yang tidak produktif akan semakin memperbesar rasio ketergantungan penduduk sehingga akan meningkatkan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Angka kelahiran yang tinggi akan berimplikasi terhadap tingginya rasio ketergantungan penduduk. Oleh karena itu, pemerintah harus menekankan program Keluarga Berencana (KB) dan memanfaatkan jumlah penduduk yang besar sebagai kekuatan pembangunan.

Page 316: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 305

Penelitian ini juga bertentangan dengan penelitian Barati et al. (2017) yang dilakukan di Kota Mashhad Iran tahun 2016 bahwa ukuran rumah tangga berpengaruh terhadap kemiskinan. Rumah tangga yang berukuran kecil atau anggota rumah tangganya lebih sedikit akan memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi.

Rasio ketergantungan terbagi menjadi dua, yaitu rasio ketergantungan anak dan rasio ketergantungan lanjut usia. Anak yang berumur 0 sampai dengan 14 tahun merupakan golongan penduduk yang belum produktif. Penduduk usia ini memiliki rasio ketergantungan yang cukup tinggi karena belum mempunyai pendapatan dan kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh penduduk usia produktif. Penduduk yang berusia 65 tahun ke atas dianggap penduduk yang sudah tidak produktif. Namun demikian, penduduk usia ini memiliki rasio ketergantungan yang tidak terlalu tinggi.

Berdasarkan regresi yang telah dilakukan diperoleh hasil jika rasio ketergantungan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk berusia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dan pendapatan yang diperoleh masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk berusia nonproduktif yang menjadi tanggungannya. Selain itu, dimungkinkan karena penduduk yang secara umur digolongkan penduduk yang sudah tidak produktif (lanjut usia), namun dalam kehidupan sehari-hari masih dapat melakukan aktivitas ekonomi misalnya bertani, berternak, dan berdagang.

Pemerintah Kabupaten Sleman juga menyediakan jaminan sosial lanjut usia. Jaminan tersebut diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia terlantar mencakup permakanan, peningkatan gizi, pemeliharaan kesehatan, dan dana kematian atau pemakaman. Penerima manfaat kegiatan tersebut adalah masyarakat lanjut usia (minimal berusia 60 tahun) yang berada pada kondisi kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Pemerintah Kabupaten Sleman juga telah membentuk Komisi Daerah Lanjut Usia (Komda Lansia). Komda Lansia bertugas untuk melakukan koordinasi lintas sektoral dan program untuk peningkatan kesejahteraan sosial penduduk lanjut usia. Dengan demikian, diharapkan para lansia akan menjalani kehidupannya dengan bahagia sehingga dapat meningkatkan usia harapan hidupnya.

Page 317: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

306 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. KesimpulanBerdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman, diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap variabel. Tingkat pendidikan yang diukur menggunakan angka partisipasi murni jenjang pendidikan SMP dan SMA memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Tingkat kesehatan yang diukur dengan variabel angka kematian bayi berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan sanitasi layak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel rasio ketergantungan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Tingkat pendidikan, angka kematian bayi, sanitasi layak, dan rasio ketergantungan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman.

Hasil penelitian ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengupayakan program dan kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Sleman. Program untuk pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA), Bantuan Siswa Miskin (BSM), bantuan retrieval, bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) serta Jaminan Pembiayaan Pendidikan Daerah (JPPD) perlu dipertahankan. Selain itu, untuk kesehatan perlu ditingkatkan upaya penyuluhan kesehatan di masyarakat, imunisasi untuk anak, dan jaminan kesehatan perlu ditingkatkan. Rasio ketergantungan yang tinggi menyebabkan penduduk berusia produktif terbebani oleh penduduk nonproduktif. Pemerintah dapat menyusun kebijakan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk salah satunya dengan penyuluhan Keluarga Berencana (KB). Selain itu, program pemberian jaminan sosial lanjut usia sebaiknya dipertahankan.

E. SaranBerdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan variabel kualitas sumber daya manusia yang diukur menggunakan tingkat pendidikan seperti angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, angka putus sekolah, angka kelulusan, angka mengulang, tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan.

2. Menggunakan variabel kualitas sumber daya manusia dengan indikator tingkat kesehatan seperti angka harapan hidup, angka morbiditas atau tingkat kesakitan, status gizi, angka kematian ibu, angka kematian anak, rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, rasio sarana dan prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk untuk mengetahui dampaknya terhadap tingkat kemiskinan.

Page 318: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2006-2015

Nama : Sugesti Rahayu

Instansi : Pemprov DIY

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 319: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

308 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai tujuan wisata terkemuka bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pariwisata di DIY menjadi penting bagi perekonomian DIY, sekaligus sebagai penyerap tenaga kerja yang signifikan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Variabel yang digunakan adalah GDP perkapita, jarak, keterbukaan perdagangan, harga relatif, nilai tukar mata uang destinasi alternatif, stabilitas politik, bencana alam, dan krisis ekonomi global. Data yang digunakan adalah data panel, terdiri atas 15 negara asal wisatawan mancanegara yang berkunjung ke DIY dalam kurun waktu 2006-2015. Metode analisis regresi data panel dilakukan melalui teknik estimasi Fixed Effect Model (FEM) dan prosedur robust Driscoll-Kraay Standard Error. Hasil penelitian menunjukkan GDP perkapita merupakan faktor dominan yang memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara di DIY, sedangkan variabel lain yang juga ditemukan signifikan adalah jarak, keterbukaan perdagangan, harga relatif, stabilitas politik, dan krisis ekonomi global.

Kata kunci: Permintaan Pariwisata, Jumlah Kedatangan Wisatawan, Fixed Effect Model, Driscoll-Kraay Standard Error

Page 320: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 309

ABSTRACT

The objective of this study is to identify the determinant factors affecting international tourist arrivals in Daerah Istimewa Yogyakarta by using economic variables and some related variables. Literatures on a wide range of aspects of the economics of tourism are used to provide reviews of those determinant factors included in the model. International tourism demand in this study is proxied by “number of tourist arrivals”. The determinant factors included in this study are GDP per capita, distance, trade openness, exchange rate, exchange rate of competing destination, political stability, calamity, and global economic crisis. For the empirical analysis, a panel data set of 15 countries is used over the period 2006–2015. The model is specified as single equation model in a static form. Fixed Effect Model estimation method and Driscoll-Kraay Standard Error robustness procedure is generated to estimate the model. The main conclusion further shows that tourism demand is income elastic, therefore it means that tourism demand is heavily depend on the tourist’s income. Meanwhile, other determinants found to have significant result are distance, trade openness, relative price, political stability, and global economic crisis.

Keywords: Tourism Demand, Tourist Arrival, Fixed Effect Model, Driscoll-Kraay Standard Error

Page 321: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

310 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA TAHUN 2006-2015

A. Latar Belakang

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai tujuan wisata terkemuka yang memiliki beragam potensi wisata baik wisata alam, wisata budaya dan sejarah, wisata pantai, wisata museum, maupun wisata minat khusus. Kekayaan budaya DIY merupakan perpaduan antara budaya yang bersifat fisik seperti kawasan cagar budaya, bangunan dan benda cagar budaya, situs, dan budaya yang bersifat nonfisik seperti karya seni, adat istiadat, tradisi, dan perilaku budaya lainnya. Potensi budaya DIY telah mendapatkan pengakuan luas baik pada level nasional maupun internasional. Bahkan, beberapa karya seni yang ada di wilayah DIY sebagai representasi budaya Jawa seperti batik, wayang kulit, keris, gamelan, dan lainnya telah diakui sebagai warisan budaya dunia. Meskipun potensi wisata DIY beragam, namun persebaran kunjungan wisatawan mancanegara masih belum merata, yaitu masih terkonsentrasi di wilayah Sleman dan Yogyakarta. Hal ini karena objek wisata yang menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara yang berkunjung ke DIY sebagian besar merupakan objek wisata budaya dan situs-situs bersejarah yang terletak di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Berdasarkan profil kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY dalam kurun waktu 2006-2015, pasar potensial pariwisata DIY dari kawasan Amerika serta Eropa adalah negara maju dengan GDP perkapita tinggi antara lain Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Jepang, Perancis, Canada, dan Italia. Sementara itu, pasar potensial pariwisata DIY yang lain adalah negara asal wisatawan di kawasan Asia yang jaraknya relatif dekat dengan DIY. Diduga, pendapatan riil perkapita negara asal wisatawan dan jarak DIY dengan negara asal berpengaruh terhadap angka kedatangan wisatawan dari negara tersebut ke DIY.

Jumlah kedatangan wisatawan sebagai salah satu indikator perkembangan pariwisata, menunjukkan arus masuk kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY relatif stabil, dengan kecenderungan yang semakin meningkat, dan pertumbuhan yang berfluktuasi.

Selama kurun waktu 2006-2015 terjadi angka pertumbuhan yang negatif tahun 2006, kemudian meningkat dan mengalami titik balik tahun 2007. Selama kurun waktu tersebut, terjadi dua bencana besar, yaitu bencana alam gempa bumi (2006) dan bencana alam erupsi Gunung Merapi (2010) terjadi menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah pada sejumlah bangunan dan infrastruktur di DIY dan sekitarnya. Penurunan

Page 322: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 311

pertumbuhan yang cukup besar juga terjadi mulai tahun 2007-2009 dan tahun 2013-2014 seiring terjadinya krisis ekonomi global. Adanya peristiwa bencana alam dan krisis ekonomi global ini diduga memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Kemudian, berdasarkan Global Tourism Intentions Survey, faktor utama wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia adalah stabilitas politik, penawaran wisata yang menarik, dan keindahan alam. Faktor stabilitas politik dan keamanan nasional ini menarik untuk diteliti karena sebagian besar wisatawan mancanegara masuk ke DIY melalui pintu-pintu yang tidak langsung menuju ke Yogyakarta sehingga situasi keamanan nasional diduga menjadi isu penting bagi pariwisata DIY.

Salah satu indikator perkembangan pariwisata adalah jumlah kedatangan wisatawan maka berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan analisis tentang faktor-faktor apa saja yang memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Untuk itu, dalam studi ini dilakukan analisis terhadap permintaan dari 15 negara yang menjadi pasar potensial pariwisata DIY selama kurun waktu 2006-2015 untuk mengetahui faktor-faktor tersebut.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pariwisata sebagai salah satu sektor andalan di DIY yang telah dijadikan prioritas dalam pembangunan ekonomi membuat pariwisata menjadi subjek yang layak untuk diteliti. Oleh karena itu, perlu kiranya mengetahui faktor apa saja yang dapat memengaruhi permintaan pariwisata khususnya pariwisata internasional di DIY. Informasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah DIY dalam menyusun kebijakan terkait kepariwisataan. Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti pengaruh sejumlah variabel baik variabel ekonomi maupun nonekonomi, terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Berdasarkan uraian tersebut disusun rumusan masalah berikut ini.

1. Apakah GDP perkapita negara asal wisatawan memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY?

2. Apakah jarak memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY?

3. Apakah keterbukaan perdagangan DIY dengan negara asal wisatawan memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY?

4. Apakah harga relatif memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY?

Page 323: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

312 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY selama kurun waktu 2006-2015 menggunakan satu model dalam bentuk statis. Berdasarkan kerangka teori dan studi terdahulu maka dikembangkan model permintaan dalam kerangka pemikiran penelitian berikut ini.

Spesifikasi model yang digunakan dalam studi ini menggunakan kerangka teori fungsi permintaan dan mengaplikasikan model penelitian Chasapopoulos et al. (2014) atas dasar kesamaan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi permintaan pariwisata dengan beberapa perubahan pada proksi yang digunakan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Data dihimpun dari berbagai sumber literatur dan institusi.

Model penelitian ini diestimasi menggunakan metode analisis regresi data panel statis dalam sebuah persamaan tunggal, dengan bantuan perangkat statistik STATA 13.0. Sebagaimana pada penelitian-penelitian terdahulu, variabel dalam penelitian ini dispesifikasikan ke dalam bentuk logaritma natural selain variabel dummy. Prosedur formal untuk menggunakan model log-log (double log) dilakukan dengan uji MacKinnon, White, dan Davidson (uji MWD).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Hasil Analisis

Sesuai dengan ekspektasi dan studi-studi terdahulu bahwa model permintaan pariwisata dispesifikan ke dalam model log-log, uji MWD memberikan hasil bahwa model yang tepat adalah model log-log. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji Hausman diketahui bahwa model yang sebaiknya digunakan adalah model fixed effect. Setelah terpilih model fixed effect, kemudian dilakukan regresi dan uji asumsi klasik dan uji cross-sectional dependence. Berdasarkan hasil uji tersebut ditemukan adanya heteroskedastisitas, autokorelasi, dan cross-sectional dependence. Oleh karena itu, dilakukan estimasi dengan menggunakan model fixed effect dan metode robust Driscoll- Kray standard errors.

Hasil estimasi untuk variabel GDP perkapita memiliki nilai t-stat yang signifikan pada α=1%. Artinya, pada tingkat kepercayaan 99 persen, variabel GDP perkapita memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY secara signifikan. Nilai koefisien untuk variabel ini adalah sebesar 1,68. Dengan demikian, peningkatan 1 persen GDP perkapita akan menaikkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY sebesar 1,68 persen, sedangkan variabel lain diasumsikan

Page 324: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 313

konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa GDP perkapita berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Variabel jarak memiliki nilai t-stat yang signifikan pada α=1%. Artinya, pada tingkat kepercayaan 99 persen, variabel jarak memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY secara signifikan. Nilai koefisien untuk variabel ini sebesar -0,82. Dengan demikian, peningkatan 1 persen jarak akan menurunkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY sebesar 0,82 persen, sedangkan variabel lain diasumsikan konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa jarak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Variabel keterbukaan perdagangan memiliki nilai t-stat yang signifikan pada α=0,05. Artinya, pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel keterbukaan perdagangan memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY secara signifikan. Nilai koefisien untuk variabel ini adalah 0,06. Dengan demikian, peningkatan 1 persen keterbukaan perdagangan akan menaikkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY sebesar 0,06 persen, sedangkan variabel lain diasumsikan konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa keterbukaan perdagangan berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Variabel harga relatif memiliki nilai t-stat yang signifikan pada α=0,01. Artinya, pada tingkat kepercayaan 99 persen, variabel harga relatif memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY secara signifikan. Nilai koefisien untuk variabel ini adalah sebesar -0,58. Dengan demikian, peningkatan 1 persen harga relatif akan menurunkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY sebesar 0,58 persen, sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa nilai harga relatif berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Nilai koefisien variabel nilai tukar Malaysia sebesar -0,04 menunjukkan elastisitas nilai tukar Malaysia terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY sebesar 0,04 atau bersifat inelastis. Namun, karena pengaruh nilai tukar Malaysia secara statistik tidak signifikan baik pada taraf signifikansi 1%, 5%, 10% maka interpretasi lebih lanjut tidak dapat dilakukan. Demikian pula nilai koefisien variabel nilai tukar Thailand sebesar 0,14 menunjukkan elastisitas nilai tukar Thailand terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY sebesar

Page 325: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

314 Direktori Mini Tesis-Disertasi

0,14 atau bersifat inelastis. Namun, karena pengaruh nilai tukar Thailand secara statistik tidak signifikan baik pada taraf signifikansi 1%, 5%, 10% maka interpretasi lebih lanjut tidak dapat dilakukan.

Variabel stabilitas politik memiliki nilai t-stat yang signifikan pada α=0,01. Artinya, pada tingkat kepercayaan 99 persen, variabel stabilitas politik memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY secara signifikan. Nilai koefisien untuk variabel ini adalah sebesar 0,30. Dengan demikian, peningkatan 1 persen stabilitas politik akan menaikkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY sebesar 0,30 persen, sedangkan variabel lain diasumsikan konstan (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa stabilitas politik berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Hasil estimasi untuk variabel dummy terjadinya bencana alam ditemukan tidak signifikan secara statistik baik pada tingkat kepercayaan 99 persen (α=0,01), 95 persen (α=0,05), maupun 90 persen (α=0,1). Sementara itu, variabel dummy terjadinya krisis ekonomi global memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara di DIY secara signifikan pada tingkat signifikansi 10 persen. Artinya, keberadaan krisis ekonomi global memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara di DIY secara signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. Nilai koefisien variabel ini adalah sebesar -0,09. Dengan demikian, adanya krisis ekonomi global akan menyebabkan kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY menurun sebesar 0,09 persen. Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi global berpengaruh signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Uji F dengan hipotesis nol variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh secara statistik terhadap variabel dependen, hasil estimasi persamaan menunjukkan nilai prob. F sebesar 0,0000. Nilai ini lebih kecil daripada alfa 0,05 sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara statistik terhadap variabel dependen.

Nilai koefisien determinasi pada hasil estimasi sebesar 0,7463 berarti bahwa variabel-variabel independen pada model mampu menjelaskan pengaruh terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara sebesar 74,63 persen, sisanya sebesar 25,37 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Page 326: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 315

2. Pembahasan

Hasil regresi menunjukkan GDP perkapita berpengaruh positif terhadap jumlah kedatangan wisatawan. Hasil serupa ditemukan pada penelitian Chasapopoulos et al. (2104), Deluna dan Jeon (2014), Hanafiah dan Harun (2010), Hanafiah et al. (2011), Ibrahim (2011), Leitao (2010, 2014), Fauziah (2015), dan Wicaksono (2011). Hasil elastisitas pendapatan lebih dari satu, artinya pariwisata DIY merupakan barang mewah bagi wisatawan mancanegara yang datang ke DIY. Nilai koefisien variabel pendapatan menjadi nilai koefisien yang paling besar pada model, berarti bahwa permintaan pariwisata DIY dari sisi jumlah kedatangan lebih elastis terhadap pendapatan dibandingkan variabel lainnya. Berkaitan dengan kekuatan pendapatam, hasil penelitian empiris yang lain menunjukkan hasil yang berbeda. Sunarya (2010), Garín-Muñoz (2009), Hanafiah dan Harun (2010), Ibrahim (2011), Wicaksono (2011), dan Deluna Jeon (2014), Leitao (2015) menemukan bahwa pendapatan merupakan determinan permintaan pariwisata yang penting, sebagaimana yang diharapkan menurut teori. Selain itu, Garín-Muñoz Amaral (2000), Garín-Muñoz (2005), Garín-Muñoz (2009), Leitao (2015), Fauziah (2015), Kim dan Lee (2016) menemukan bahwa pendapatan memiliki dampak positif dan besar pada kedatangan turis. Di sisi lain, studi oleh Phakdisoth dan Kim (2007), Hanafiah dan Harun (2010), Leitao (2010), Ibrahim (2014), dan Deluna Jeon (2014), Chasapopoulos et al. (2014) menemukan bahwa variabel pendapatan signifikan secara statistik, walaupun nilai koefisien kurang dari satu (inelastis).

Variabel jarak ditemukan berpengaruh signifikan secara statistik terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY, dengan tanda hubungan negatif sebagaimana diperkirakan karena dalam hal ini jarak menggambarkan biaya transportasi. Pada umumnya, semakin tinggi biaya transportasi, semakin menurunkan minat untuk melakukan perjalanan wisata, dengan asumsi faktor-faktor lain tidak berpengaruh. Hasil serupa juga ditemukan pada studi tentang permintaan pariwisata di Filipina oleh Deluna dan Jeon (2014), studi permintaan pariwisata di Malaysia oleh Hanafiah dan Harun (2010), Hanafiah et al. (2011), studi permintaan pariwisata di Portugal oleh Leitao (2010), dan studi permintaan pariwisata di Laos oleh Phakdisoth dan Kim (2007).

Variabel keterbukaan perdagangan ditemukan berpengaruh positif terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY. Hasil estimasi menunjukkan peningkatan keterbukaan perdagangan dengan 1% akan meningkatkan 0,06% kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Dalam hal ini, kegiatan ekspor berkemungkinan menjadi sarana bagi warga negara asing mengetahui atau menemukan informasi tentang DIY sebagai tujuan wisata atau mengunjungi DIY untuk tujuan bisnis. Hasil serupa juga ditemukan pada studi tentang permintaan

Page 327: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

316 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pariwisata di Mesir oleh Ibrahim (2011), permintaan pariwisata di Yunani oleh Chasapopoulos et al. (2104), dan permintaan pariwisata di Indonesia oleh Fauziah (2015).

Hasil regresi menunjukkan harga relatif berpengaruh signifikan secara statistik terhadap jumlah kedatangan wisatawan, dengan koefisien memiliki tanda negatif, yang menunjukkan harga relatif memiliki pengaruh pada kedatangan wisatawan meskipun elastisitas kurang dari satu (inelastis). Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa potensi pasar pariwisata DIY di antaranya merupakan negara-negara dengan standar hidup tinggi. Oleh karena itu, keputusan untuk mengunjungi DIY lebih ditentukan oleh tingkat pendapatan daripada biaya relatif. Hal ini serupa dengan hasil studi permintaan pariwisata oleh Laws dan Prideaux (2005), Ibrahim (2011), Leitao (2015), Kusni et al. (2013), dan Fauziah (2015). Hasil berbeda pada penelitian oleh Chasapopoulos et al. (2014) tentang permintaan pariwisata di Yunani, dan penelitian Deluna dan Jeon (2014) tentang permintaan pariwisata di Filipina, tidak ditemukan bukti bahwa harga relatif memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan.

Hasil regresi tidak menemukan bukti peran variabel nilai tukar Malaysia dan variabel nilai tukar Thailand terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY. Hasil serupa juga terdapat pada penelitian Deluna dan Jeon (2014) yang tidak menemukan bukti bahwa harga relatif negara pesaing pariwisata Filipina yaitu Malaysia, Indonesia, Thailand memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara di Filipina. Demikian pula teman penelitian Chasapopoulos et al. (2014), bahwa harga relatif negara pesaing sejumlah tujuh negara tidak ada satupun yang signifikan pada model permintaan pariwisata di Yunani. Hal sebaliknya ditemukan oleh Laws dan Prideaux (2005), bahwa nilai tukar riil negara pesaing memengaruhi permintaan pariwisata di Inggris. Perbedaan ini dapat terjadi karena permintaan pariwisata adalah spesifik negara dan tidak ada generalisasi yang dapat dibuat tentang nilainya (Chasapopoulos et al., 2014).

Stabilitas politik berpengaruh positif terhadap kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Chasapopoulos et al. (2014) yang meneliti permintaan pariwisata di Yunani, menemukan stabilitas politik berpengaruh positif terhadap permintaan pariwisata di Yunani. Kemudian, tidak ditemukan bukti pengaruh bencana alam terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Temuan serupa terdapat pada hasil penelitian Deluna dan Jeon (2014), bahwa tidak ditemukan bukti faktor bencana alam memengaruhi permintaan pariwisata di Filipina. Hal sebaliknya ditemukan oleh Wicaksono (2011) bahwa bencana gempa bumi memengaruhi permintaan pariwisata di DIY.

Page 328: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 317

Sementara itu, hasil regresi menunjukkan krisis ekonomi global berpengaruh negatif terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY. Hal ini serupa dengan studi empiris yang dilakukan oleh Kusni et al. (2013) tentang permintaan pariwisata di Malaysia, serta temuan Hanafiah dan Harun (2010) bahwa krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap kedatangan turis dari negara tersebut di kawasan ASEAN, dan berpengaruh positif terhadap kedatangan dari negara non-ASEAN.

D. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil analisis diuraikan sebagai berikut:

1. Kedatangan wisatawan mancanegara di DIY dipengaruhi oleh GDP riil perkapita, jarak, keterbukaan perdagangan, harga relatif, stabilitas politik, dan krisis ekonomi global. Hasil menunjukkan GDP riil perkapita negara asal wisatawan, keterbukaan perdagangan, dan stabilitas politik berpengaruh positif secara signifikan terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Sementara itu, jarak, harga relatif, dan krisis ekonomi global berpengaruh negatif secara signifikan pada jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY.

2. Elastisitas pendapatan lebih dari satu menggambarkan bahwa pariwisata di suatu destinasi merupakan barang mewah karena pangsa permintaan pariwisata meningkat lebih dari proporsional ketika pendapatan riil meningkat. Dengan demikian, pariwisata DIY merupakan barang mewah bagi wisatawan mancanegara, ditunjukkan dengan elastisitas pendapatan yang sangat kuat. Artinya, seiring dengan naiknya pendapatan wisatawan mancanegara akan terjadi peningkatan permintaan pariwisata ke DIY oleh wisatawan mancanegara tersebut. Pendapatan merupakan faktor yang paling memengaruhi jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY.

3. Tidak ditemukan bukti peran harga relatif destinasi alternatif Malaysia dan Thailand terhadap jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

4. Stabilitas politik dan keamanan memengaruhi kedatangan wisatawan mancanegara ke DIY. Hal ini karena informasi bagaimana stabilitas politik di negara tujuan wisata merupakan faktor yang sangat penting untuk diketahui demi keselamatan wisatawan itu sendiri.

5. Biaya transportasi yang digambarkan oleh variabel jarak, harga relatif, dan adanya krisis ekonomi global berpengaruh menurunkan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di DIY.

Page 329: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

318 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hasil penelitian ini terbatas pada faktor-faktor yang direpresentasikan oleh variabel dalam penelitian ini. Keterbatasan yang mungkin timbul dari penggunaan data jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ini, bahwa data tersebut merupakan data wisatawan mancanegara yang tercatat di hotel di wilayah DIY baik hotel bintang maupun nonbintang. Hal ini memungkinkan kedatangan wisatawan mancanegara yang tidak tercatat, yaitu wisatawan yang tidak menginap di hotel di wilayah DIY.

E. Saran

Penelitian selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan pengaruh destinasi alternatif pariwisata DIY di Indonesia, khususnya daerah yang menjadi pintu masuk utama wisatawan mancanegara ke DIY, dalam rangka mengambil langkah yang tepat bagi peningkatan permintaan pariwisata internasional di DIY. Hasil variabel harga substitusi yang tidak signifikan dalam penelitian ini, dapat menjadi pertimbangan untuk menggunakan variabel harga substitusi dari ukuran yang lain dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, dalam melakukan penelitian tentang permintaan pariwisata, hendaknya memperhitungkan variabel pendapatan dan harga karena variabel tersebut telah terbukti sangat berpengaruh terhadap permintaan pariwisata. Sebaiknya penelitian dilanjutkan dengan memperhitungkan variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap kedatangan wisatawan mancanegara.

Page 330: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PEKERJAAN UMUM TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Nama : Taufik Bagus Setyoko

Instansi : Pemkab Purworejo

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 331: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

320 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Alat analisis yang digunakan adalah regresi data panel, menggunakan data panel tahun 2011-2015 dan 35 kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Tengah. Teknik estimasi data panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) dengan metode robust. Belanja pemerintah diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan, realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan, dan realisasi belanja pemerintah urusan pekerjaan umum, serta menggunakan variabel kontrol jumlah penduduk dan PDRB perkapita.

Hasil yang diperoleh, yaitu belanja pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Belanja pemerintah urusan pekerjaan umum berpengaruh secara signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum serta PDRB perkapita dan jumlah penduduk secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah.

Kata kunci: IPM, Belanja Pemerintah Urusan Pendidikan, Belanja Pemerintah Urusan Kesehatan, Belanja Pemerintah Urusan Pekerjaan Umum, Jumlah Penduduk, PDRB perkapita

Page 332: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 321

ABSTRACT

This study aims to analyze the effect of government spending on human development index in Central Java Province. The analysis tool used is panel data regression, using panel data of 2011-2015 and 35 districs/cities in Central Java Province. Panel data estimation technique used is Fixed Effect Model (FEM) with robust method. Government expenditures are measured using the realization of government spending on education affairs, realization of government spending on health affairs, and realization of government expenditure on public works affairs, and using the control variables of population and GDP per capita. The results obtained are government spending on education and health affairs significantly affect the human development index in Central Java Province. Government expenditure on public works affects significantly the human development index in Central Java Province. Government expenditures on education, health, and public works and GDP per capita and population simultaneously have a significant influence on the human development index in Central Java Province.

Keywords: HDI, Government Spending on Education Affairs, Government Expenditure on Health Affairs, Government Expenditure on Public Works Affairs, Population, GDP Per Capita.

Page 333: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

322 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PEKERJAAN UMUM

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAWA TENGAH

A. Latar Belakang

Belanja pemerintah merupakan faktor utama kelancaran pembangunan. Belanja pemerintah (government purchases) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat, negara bagian, dan daerah. Belanja pemerintah meliputi belanja peralatan militer, jalan, jembatan dan jasa yang diberikan oleh pegawai pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dituntut untuk dapat menetapkan belanja publik yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi (Mankiw, 2007: 277-283). Belanja pemerintah yang tepat sasaran diyakini dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan suatu negara atau daerah, baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusianya.

Urusan pendidikan merupakan prioritas pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan pemerintah wajib mengalokasikan paling sedikit 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja Negara atau daerah untuk urusan pendidikan.

Kesehatan merupakan modal dasar bagi aktivitas manusia. Pemerintah berkomitmen melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan warga negaranya. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan paling sedikit 5 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan paling sedikit 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk urusan kesehatan.

Selain urusan pendidikan dan kesehatan, urusan pekerjaan umum juga merupakan faktor penting dalam peningkatan derajat pembangunan manusia suatu negara atau daerah. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, membina, menyelenggarakan, dan mengawasi terhadap penyelenggaraan fasilitas umum yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kebijakan untuk meningkatkan belanja urusan pekerjaan umum agar tercapai pemerataan infrastruktur dan fasilitas umum bagi warga negaranya.

Jumlah penduduk mempunyai peran penting dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan percepatan pembangunan di negara-negara Eropa Barat, beberapa negara maju di Asia dan Amerika didorong oleh pertumbuhan penduduknya. Pertumbuhan

Page 334: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 323

penduduk memberikan pasokan sumber daya manusia berkualitas di negara-negara maju. Jumlah penduduk juga menjadi masalah bagi sebagian negara-negara berkembang. Masalah yang muncul akibat jumlah penduduk suatu negara melebihi batas normal di antaranya meningkatnya pengangguran, kriminalitas, dan kerusakan lingkungan hidup. Pelaksanaan Pembangunan dipengaruhi oleh faktor kependudukan. Penduduk dapat menjadi subjek sekaligus objek pembangunan yang berkelanjutan. Penduduk menjadi subjek pembangunan, yaitu penduduk sebagai pelaku pelaksanaan pembangunan, sedangkan sebagai objek pembangunan maka penduduk negara tersebut menjadi sasaran pembangunan yang dilaksanakan.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah adalah dengan melihat angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita. PDRB perkapita biasanya digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat pembangunan. Semakin tinggi PDRB perkapita suatu daerah maka akan semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut dikarenakan semakin besar pendapatan masyarakat daerah tersebut (Thamrin, 2001). Hal ini menunjukkan semakin tinggi PDRB perkapita semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi dan semakin sejahtera penduduk suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat untuk tercapainya tujuan pembangunan manusia karena dengan pertumbuhan ekonomi terjamin peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan melalui kesempatan kerja. Peningkatan produktivitas dan kesempatan kerja dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan IPM.

Belanja pemerintah daerah dan IPM di Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 cenderung mengalami kenaikan. Hal tersebut berarti belanja pemerintah semakin banyak digunakan untuk mendukung peningkatan derajat pembangunan manusia. Apabila realisasi belanja pemerintah tepat sasaran dan tepat guna maka peningkatan IPM akan semakin besar.

B. Metode Analisis

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah yang dilihat dari belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Belanja pemerintah urusan pendidikan diukur menggunakan variabel realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan riil. Belanja pemerintah urusan kesehatan diukur menggunakan variabel realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan riil. Belanja pemerintah urusan pekerjaan umum diukur menggunakan variabel realisasi belanja pemerintah urusan pekerjaan umum riil. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang kemudian dianalisis dengan regresi data panel. Alat bantu yang digunakan untuk

Page 335: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

324 Direktori Mini Tesis-Disertasi

melakukan regresi data adalah program STATA 13. Hipotesis dalam penelitian mengenai pengaruh belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah adalah

H0: tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pengaruh belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah; dan

H1: terdapat pengaruh yang signifikan antara pengaruh belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel. Data panel merupakan gabungan antara data time series, yaitu data yang digunakan mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 dan data cross section, yakni data yang terdiri atas 35 kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang, Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten Klaten, Kabupaten Kudus, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kota Tegal.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel. Analisis tersebut merupakan regresi gabungan antara data time series tiap-tiap kabupaten atau kota selama 5 tahun, yaitu data dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 dan data cross section, yaitu data dari 35 kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Tengah.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum

Luas wilayah Jawa Tengah tahun 2013 tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada, terdiri atas 992 ribu hektar (30,47 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,53 persen) bukan lahan sawah. Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke Selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa). Di sebelah

Page 336: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 325

utara, wilayah Provinsi Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.

Provinsi Jawa Tengah secara administratif terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Kabupaten atau kota dengan wilayah paling luas adalah Kabupaten Cilacap (213,581 ha) dan yang paling sempit ialah Kota Magelang (1,812 ha). Wilayah Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 573 kecamatan dan 8,578 desa atau kelurahan.

2. Deskripsi Data

Jumlah data yang diobservasi sebanyak 175 data meliputi 35 kabupatena atau kota selama 5 tahun. Variabel indeks pembangunan manusia memiliki nilai minimum 59,66 dan nilai maksimum 80,96 dengan nilai rata-rata 68,706 dan nilai standar deviasi 4,698. Nilai standar deviasi lebih kecil daripada nilai rata-rata menunjukkan data memiliki variabilitas rendah.

Variabel independen yang terdiri atas belanja pemerintah urusan pendidikan, belanja pemerintah urusan kesehatan, dan belanja pemerintah urusan pekerjaan umum, serta variabel kontrol yang terdiri atas jumlah penduduk dan PDRB perkapita juga mempunyai nilai standar deviasi yang lebih kecil daripada nilai rata-rata. Standar deviasi yang semakin rendah maka semakin rendah pula penyimpangan data dari rata-rata hitungnya sehingga data memiliki variabilitas rendah. Hal ini berarti data di antara anggota elemen adalah homogen.

3. Pembahasan

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh belanja pemerintah urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Belanja pemerintah diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah riil.

a. Pengaruh Belanja Pemerintah Urusan Pendidikan terhadap IPM

Belanja pemerintah urusan pendidikan dalam penelitian ini diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan yang bernilai riil. Realisasi belanja pemerintah berguna untuk mengukur proporsi belanja pemerintah yang terlaksana tepat pada waktunya dan sesuai dengan penggunaannya. Nilai riil belanja pemerintah digunakan agar belanja pemerintah yang akan diolah telah bebas dari inflasi. Belanja pemerintah urusan pendidikan yang diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan riil berdasarkan uji t yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa belanja pemerintah urusan

Page 337: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

326 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini berarti apabila semakin tinggi belanja pemerintah urusan pendidikan maka semakin tinggi harapan lama sekolah penduduk sehingga rata-rata lama sekolah juga akan meningkat. Peningkatan lama sekolah akan diikuti oleh peningkatan pengetahuan dan keahlian. Dengan demikian, indeks pembangunan manusia akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2007) di Provinsi Kalimantan Timur.

Penelitian yang dilakukan oleh Suescun (2007) di Negara Amerika Latin dan Wilayah Karibia tahun 2007 juga menunjukkan hasil bahwa belanja produktif pemerintah, modal yang diakses masyarakat, dan tingkat aktivitas ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Salah satu jenis belanja produktif pemerintah adalah belanja pemerintah urusan pendidikan.

Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chemingui (2007). Chemingui mengatakan belanja pemerintah sektor pendidikan tidak berpengaruh terhadap indeks pembangunan dan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi karena kemiskinan di Wilayah Yaman, negara yang PDRB-nya ditunjang oleh minyak bumi, lebih membutuhkan ketersediaan pangan dan layanan kesehatan yang layak. Selain itu, menurut penelitian Yani Mulyaningsih (2008) juga menemukan jika belanja pemerintah urusan pendidikan tidak berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan tingkat kemiskinan. Hal ini dijelaskan bahwa proporsi belanja publik sektor pendidikan pada tahun 2007 terhadap PDRB terlalu kecil sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan manusia dan penurunan tingkat kemiskinan.

Perkembangan belanja pemerintah urusan pendidikan di Provinsi Jawa Tengah secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pemerintah kabupaten atau kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah selalu menaikkan belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kenaikan belanja tidak langsung melalui belanja pegawai, hibah, dan bansos. Kenaikan belanja langsung melalui belanja program dan kegiatan, di antaranya dengan memberikan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda), Jaminan Pembiayaan Pendidikan Daerah, Bantuan Siswa Miskin (BSM), beasiswa retrieval serta Program Keluarga Harapan (PKH). Program bantuan yang diberikan pemerintah tersebut bertujuan untuk mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun di Provinsi Jawa Tengah.

Page 338: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 327

b. Pengaruh Belanja Pemerintah Urusan Kesehatan terhadap IPM

Belanja pemerintah urusan kesehatan dalam penelitian ini diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan yang bernilai riil. Realisasi belanja pemerintah berguna untuk mengukur proporsi belanja pemerintah yang terlaksana tepat pada waktunya dan sesuai dengan penggunaannya. Nilai riil belanja pemerintah digunakan agar belanja pemerintah yang akan diolah telah bebas dari inflasi.

Belanja pemerintah urusan kesehatan yang diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan riil berdasarkan uji t yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa belanja pemerintah urusan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini berarti apabila semakin tinggi belanja pemerintah urusan kesehatan maka semakin tinggi angka harapan hidup yang dimiliki penduduk sehingga tingkat kesehatan penduduk juga akan meningkat. Peningkatan kesehatan akan diikuti oleh peningkatan produktivitas dan pendapatan. Dengan demikian, indeks pembangunan manusia akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umihani (2004) di Provinsi Jawa Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Chemingui (2007) di Negara Yaman tahun 2007 juga menunjukkan hasil bahwa belanja pemerintah sektor kesehatan dan agriculture (pertanian dalam arti luas) berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Indeks pembangunan manusia yang meningkat akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Penelitian ini bertentangan dengan yang dilakukan oleh Widodo et al. (2011) diperoleh hasil jika belanja pemerintah sektor kesehatan dan pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini disebabkan belanja pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan akan berpengaruh langsung jika pengeluaran tersebut dalam rangka peningkatan kualitas pembangunan manusia.

Perkembangan belanja pemerintah urusan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah memenuhi kesehatan sebagai kebutuhan dasar penduduknya. Pemerintah kabupaten atau kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah selalu menaikkan belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kenaikan belanja tidak langsung melalui belanja pegawai, hibah, dan bansos. Kenaikan belanja langsung melalui belanja program dan kegiatan, yaitu dengan memberikan imunisasi dasar, pos pelayanan terpadu, penyuluhan

Page 339: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

328 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kesehatan, peningkatan sarana prasarana, peningkatan tenaga kesehatan, dan Jaminan Kesehatan Daerah. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bertujuan untuk menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Setiap penduduk wajib menjadi peserta jaminan kesehatan dan bagi penduduk yang termasuk dalam keluarga miskin maka Jamkesda ditanggung oleh pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

c. Pengaruh Belanja Pemerintah Urusan Pekerjaan Umum terhadap IPM

Belanja pemerintah urusan pekerjaan umum dalam penelitian ini diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pekerjaan umum yang bernilai riil. Realisasi belanja pemerintah berguna untuk mengukur proporsi belanja pemerintah yang terlaksana tepat pada waktunya dan sesuai dengan penggunaannya. Nilai riil belanja pemerintah digunakan agar belanja pemerintah yang akan diolah telah bebas dari inflasi.

Belanja pemerintah urusan pekerjaan umum yang diukur menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pekerjaan umum riil berdasarkan uji t yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa belanja pemerintah urusan pekerjaan umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini berarti apabila semakin tinggi belanja pemerintah urusan pekerjaan umum maka semakin tinggi pembangunan infrastruktur sehingga tingkat aktivitas ekonomi penduduk juga akan meningkat. Peningkatan aktivitas ekonomi akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan daya beli. Dengan demikian, indeks pembangunan manusia akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suescun (2007) di negara-negara Amerika Latin dan Wilayah Karibia.

Penelitian yang dilakukan oleh Fowowe dan Shuaibu (2014) di Afrika tahun 2014 juga menunjukkan hasil bahwa belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur signifikan berkontribusi terhadap kenaikan IPM dan pengurangan kemiskinan di negara-negara Afrika. Indeks pembangunan manusia yang meningkat akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Perkembangan belanja pemerintah urusan pekerjaan umum di Provinsi Jawa Tengah secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Kenaikan belanja pemerintah urusan pekerjaan umum didasari kebutuhan penduduk untuk mendapatkan infrastruktur jalan dan jembatan yang layak. Kenaikan belanja langsung yang tinggi melalui belanja program dan kegiatan, yaitu dengan program pembangunan jalan bebas hambatan, peningkatan jalan raya,

Page 340: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 329

pembangunan jembatan, pembangunan gedung, pembangunan public goods, dan pemulihan pasca bencana. Belanja pemerintah urusan pekerjaan umum bertujuan untuk menjamin masyarakat memperoleh manfaat penggunaan barang publik guna memenuhi kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi oleh individu maupun perusahaan.

d. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap IPM

Jumlah penduduk dalam penelitian ini diukur menggunakan metode sensus dan registrasi. Metode sensus dilakukan secara periodic, yaitu sekali dalam sepuluh tahun (yang terakhir tahun 2010). Registrasi dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun berjalan.

Hasil regresi menunjukkan jumlah penduduk tidak signifikan berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryani (2014) bahwa jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM di Jawa Tengah. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk yang diukur dalam penelitian ini mempunyai karakteristik berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Maryani adalah jumlah penduduk miskin.

Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun (2011-2015) adalah 4,1 persen. Kenaikan jumlah penduduk disebabkan oleh kelahiran bayi dan imigrasi yang lebih tinggi daripada kematian dan emigrasi.

e. Pengaruh PDRB Perkapita terhadap IPM

PDRB perkapita dalam penelitian ini diukur menggunakan pendekatan pengeluaran yang bernilai riil. Nilai riil produk domestik regional bruto digunakan agar belanja pemerintah yang akan diolah telah bebas dari inflasi.

PDRB perkapita yang diukur menurut pendekatan pengeluaran riil berdasarkan uji t yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa PDRB perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini berarti apabila semakin tinggi PDRB perkapita maka semakin tinggi aktivitas ekonomi penduduk. Peningkatan aktivitas ekonomi akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan daya beli. Dengan demikian, indeks pembangunan manusia akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suescun (2007) di negara-negara Amerika Latin dan Wilayah Karibia.

Page 341: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

330 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perkembangan PDRB perkapita di Provinsi Jawa Tengah secara umum dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Kenaikan PDRB perkapita di Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun (tahun 2011-2015) adalah 18,8 persen. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh penduduk Jawa Tengah.

D. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah diperoleh hasil yang hampir sama untuk tiap-tiap variabel. Belanja pemerintah urusan pendidikan yang dihitung menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan pendidikan riil memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Belanja pemerintah urusan kesehatan yang diukur realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia, sedangkan jumlah penduduk tidak mempunyai pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Variabel belanja pemerintah urusan pekerjaan umum dan PDRB perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Belanja pemerintah urusan pendidikan, belanja pemerintah urusan kesehatan, belanja pemerintah urusan pekerjaan umum, jumlah penduduk, dan PDRB perkapita secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah.

E. Saran

Penelitian ini masih memiliki kekurangan termasuk keterbatasan data yang peneliti peroleh. Oleh karena itu, penelitian berikutnya disarankan untuk menggunakan variabel belanja pemerintah urusan pekerjaan umum yang diukur menggunakan realisasi kelompok belanja langsung (belanja program dan kegiatan) urusan pekerjaan umum.

Page 342: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

DAMPAK PROGRAM BERAS UNTUK KELUARGA MISKIN TERHADAP PROPORSI PENDAPATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK KONSUMSI MAKANAN

Nama : Uun Mardiyanto

Instansi : Pemkab Sleman

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 343: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

332 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Program Raskin merupakan program beras bersubsidi bagi rumah tangga miskin yang diluncurkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2002. Program ini dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan beras dengan harga terjangkau bagi masyarakat miskin sehingga pendapatan yang dimiliki dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, baik kebutuhan makanan yang lebih bernutrisi maupun kebutuhan nonmakanan, terutama pendidikan dan kesehatan. Semakin besar proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi makanan menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut semakin miskin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak Program Raskin terhadap tingkat kemiskinan yang dilihat dari besaran proporsi pendapatan yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi makanan rumah tangga. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode Difference in Difference (DiD) dengan alat bantu statistik Program Stata 13. Data yang digunakan adalah IFLS 3 (2000), IFLS 4 (2007), dan IFLS 5 (2014). Program Raskin berpengaruh positif pada proporsi konsumsi makanan, sayur dan buah, makanan kering, daging dan ikan, bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain dan berpengaruh negatif pada proporsi konsumsi makanan pokok dan lauk pauk lain. Program Raskin berpengaruh signifikan hanya pada proporsi konsumsi makanan kering dan proporsi konsumsi susu dan telur.

Kata kunci: Raskin, Evaluasi Dampak, DiD, IFLS

Page 344: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 333

ABSTRACT

The proportion of staple food consumption expenditure of poor households is higher than non-poor households, so the amount of income that can be used to meet nutritional and non-food needs is smaller. The Raskin program is implemented to meet some subsidized basic needs (rice) for poor households so that their income can be used to meet other needs.. The impact of Raskin program on household food consumption was conducted by Difference in Difference (DiD) method by comparing the household groups that receives the Raskin program intervention with non- recipient household groups in the periods before and after the Raskin program intervention. The consumption in this study does not refer to the total nominal value of household food consumption expenditure, but to the amount of the proportion of income used for food consumption.

The estimation results were made with the statistical tool of Stata 13 indicating that Raskin program did not significantly increase the proportion of income used for the consumption of food, vegetables and fruits, meat and fish, seasonings, and consumption of beverages and other ingredients. This program also does not significantly decrease the proportion of income used for the consumption of staple foods and other side dishes. The Raskin program has a significant effect on increasing the proportion of income used for dry food consumption by 0.57 points and the consumption of milk and eggs by 1.06 points.

Keywords: Program Raskin, DiD, IFLS

Page 345: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

334 Direktori Mini Tesis-Disertasi

DAMPAK PROGRAM BERAS UNTUK KELUARGA MISKIN TERHADAP PROPORSI PENDAPATAN YANG DIGUNAKAN

UNTUK KONSUMSI MAKANAN

A. Latar Belakang

Program Beras untuk Keluarga Miskin (Program Raskin) adalah program subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah yang termasuk dalam Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS–PM) sebesar 15 kg/bulan selama 12 kali setiap tahun dengan harga tebus Rp1.600,00/kg. Program Raskin dilaksanakan sejak tahun 2002, sebagai perubahan dari Operasi Pasar Khusus (OPK) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1998. Perubahan ini tidak sekadar mengganti nama program, tetapi juga mengubah orientasi tujuan program dari program yang bersifat solusi darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi menjadi program yang bertujuan memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat tidak mampu (TNP2K, 2015: 2).

Hasil evaluasi TNP2K menyebutkan pelaksanaan Program Raskin secara umum belum sesuai dengan indikator 6T yang merupakan indikator keberhasilan pelaksanaan Program Raskin (TNP2K, 2015). Ketidaksesuaian pelaksanaan Program Raskin dengan indikator keberhasilan tersebut terjadi di beberapa daerah, di antaranya di Provinsi Jawa Barat (Hutagaol dan Asmara, 2016: 145); Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur (Saputro dkk., 2015: 2032); Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi D.I. Aceh (Septian dkk., 2013: 77); dan Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah (Musawa, 2009: 152-154).

Keberhasilan suatu program atau kebijakan tidak hanya ditentukan pada kesesuaian antara pelaksanaan dan ketentuan atau aturan yang ada. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah apakah dampak atau pengaruh yang ditimbulkan sesuai dengan yang diinginkan, bagaimana akuntabilitas penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan suatu program atau kebijakan, dan perubahan tingkat kesejahteraan akibat adanya pelaksanaan suatu program atau kebijakan tertentu (Khandker dkk., 2010: 3). Program Raskin sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial yang memberikan jaminan dan perlindungan sosial bagi masyarakat tidak mampu, diharapkan mampu menurunkan pengeluaran konsumsi makanan pokok rumah tangga sasaran sehingga pendapatan yang dimiliki dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain, baik kebutuhan makanan yang lebih bernutrisi maupun kebutuhan nonmakanan, khsususnya kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

Dampak Program Raskin terhadap penurunan tingkat kemiskinan rumah tangga merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu indikator yang dapat digunakan mengukur kemiskinan adalah tingkat konsumsi makanan rumah tangga.

Page 346: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 335

Engel (1857 dalam BPS, 2008) menyatakan semakin besar proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi makanan menunjukkan rumah tangga tersebut semakin miskin. Proporsi pendapatan yang dikeluarkan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang besar menunjukkan rumah tangga tersebut semakin miskin (Chakrabarty dan Hildenbrand 2009: 1). Pendapatan yang semakin menurun berakibat pada porsi pendapatan yang dapat digunakan untuk konsumsi makanan akan lebih besar dan porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi nonmakanan menjadi lebih kecil. Hal ini menunjukkan elastisitas permintaan terhadap bahan makanan pada umumnya tinggi.

Pengeluaran makanan pada suatu rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kemakmuran masyarakat sehingga apabila pengeluaran untuk makanan semakin kecil maka tingkat kemakmuran masyarakat dikatakan semakin membaik (Trisnowati dan Budiwinarto, 2013: 124–126). Teori Keynes menyatakan tingkat konsumsi berbanding lurus dengan jumlah pendapatan, semakin besar pendapatan seseorang maka semakin besar pula pengeluaran untuk konsumsi (Sukirno, 2003: 338). Perbandingan besarnya pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan yang dikenal dengan kecenderungan mengkonsumsi marginal (Marginal Propensity to Consume/MPC) menyebutkan konsumsi akan meningkat apabila pendapatan meningkat, tetapi besarnya peningkatan konsumsi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan (Mankiw, 2003: 444). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besaran perubahan proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi berbagai jenis bahan makanan, sebagai akibat dari pelaksanaan Program Raskin.

Program penanggulangan kemiskinan dengan skema transfer barang berupa bahan makanan bukan hal baru. Amerika Serikat pada masa pemerintahan John F. Kennedy pernah melaksanakan program serupa melalui uji coba Food Stamp Act (FSA) tahun 1961, yang kemudian diperluas menjadi Food Stamp Program (FSP) tahun 1964. FSP tidak berpengaruh signifikan pada pengeluaran konsumsi makanan pada rumah tangga dengan kepala keluarga wanita (single mother) dengan tingkat pendidikan yang rendah (Kaushal dan Gao, 2011). Amerika Serikat juga pernah melaksanakan The Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP). SNAP berdampak signifikan pada peningkatan pengeluaran konsumsi makanan (Tuttle dan Beatty, 2015).

Program transfer pemerintah kepada rumah tangga miskin juga dilaksanakan oleh banyak negara, baik di Amerika, Asia, maupun di Afrika. Pelaksanaan program cash transfer, food transfer, dan vouchers di Ekuador berdampak signifikan pada penurunan pengeluaran konsumsi makanan. Transfer makanan (food transfer) memberikan pengaruh paling besar pada konsumsi kalori, sedangkan vouchers berpengaruh terbesar

Page 347: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

336 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pada konsumsi aneka macam bahan makanan (Hidrobo dkk., 2013). Hal serupa juga terjadi di Nigeria yang menunjukkan rumah tangga dengan transfer barang memiliki dampak positif yang lebih besar daripada rumah tangga dengan transfer berbentuk cash (Hoddinot dkk., 2014). In kind transfer dan voucher assistance yang dilaksanakan di Syiria mempunyai efek positif dan siginifikan terhadap kebutuhan pangan rumah tangga dan keamanan perekonomian. Food transfer lebih berhasil dalam meningkatkan keamanan pangan daripada food voucher dan unrestricted voucher (Doocy dkk., 2017).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Proporsi pendapatan yang dikeluarkan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang besar menunjukkan rumah tangga tersebut semakin miskin (Chakrabarty dan Hildenbrand, 2009:1). Pendapatan yang semakin menurun berakibat pada porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan akan lebih besar dan sebaliknya jika pendapatan naik maka porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan menjadi lebih kecil. Hal ini menunjukkan elastisitas permintaan terhadap bahan makanan pada umumnya tinggi. Pengeluaran makanan pada suatu rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kemakmuran masyarakat sehingga apabila pengeluaran untuk makanan semakin kecil maka tingkat kemakmuran masyarakat dikatakan semakin membaik (Trisnowati dan Budiwinarto, 2013: 124–126).

Pelaksanaan Program Raskin diharapkan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan dari sisi pengeluaran konsumsi makanan, yaitu menurunkan konsumsi makanan pokok dan meningkatkan konsumsi makanan yang lebih baik dan lebih bernutrisi. Penelitian ini bermaksud melakukan analisis dampak Program Raskin terhadap konsumsi makanan rumah tangga, tidak pada nilai konsumsi melainkan pada proporsi atau persentase pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Dampak Program Raskin dapat dilihat dengan membandingkan antara proporsi konsumsi rumah tangga penerima manfaat dan bukan penerima manfaat, sebelum dan setelah adanya Program Raskin. Semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan bernutrisi dan semakin kecil proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan pokok menunjukkan Program Raskin memiliki dampak pada kebijakan pengentasan kemiskinan.

Analisis dampak Program Raskin terhadap proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan ini merupakan penelitian exploratory yang bermaksud menganalisis dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel bebas, yaitu Program Raskin terhadap variabel tak bebas, yaitu proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan.

Page 348: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 337

Data penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat mikro pada IFLS 3 (2000), IFLS 4 (2007), dan IFLS 5 (2014). Data IFLS 3 terdiri atas 10.259 rumah tangga, data IFLS 4 terdiri atas 12.977 rumah tangga, dan data IFLS 5 terdiri atas 15.144 rumah tangga. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara sengaja dengan syarat dan tujuan tertentu, yaitu rumah tangga yang sama pada IFLS 3, 4, dan 5 dengan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan tidak lebih dari 100 persen.

Metode evaluasi dampak sangat dibutuhkan oleh pembuat progam atau kebijakan. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh programa atau kebijakan yang dijalankan (Gertler dkk., 2011). Metode evaluasi dampak dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu programa atau kebijakan menghasilkan dampak atau pengaruh sesuai dengan yang diinginkan, bagaimana akuntabilitas penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan program atau kebijakan, dan untuk mengukur perubahan tingkat kesejahteraan akibat adanya pelaksanaan suatu program atau kebijakan tertentu (Khandker dkk., 2010).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Data

Rata-rata proporsi pendapatan rumah tangga, baik control group maupun treated group tahun 2014 (follow up) turun dibandingkan dengan tahun 2000 (baseline). Hal tersebut menunjukkan seiring berjalannya waktu dan meningkatnya pendapatan rumah tangga maka proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan mengalami penurunan. Rata-rata proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan pada control group lebih besar dibandingkan treated group, pada makanan bernutrisi, seperti makanan kering, daging dan ikan, serta susu dan telur. Pada konsumsi makanan pokok, yaitu sayur dan buah, lauk pauk lain, bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain. Proporsi pendapatan yang digunakan oleh treated group lebih besar dibandingkan control group. Hal tersebut menunjukkan rumah tangga treated group berpeluang lebih miskin dibandingka dengan rumah tangga control group.

2. Analisis Difference in Differences

Variabel kepesertaan rumah tangga dalam Program Raskin bernilai positif pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan secara keseluruhan, konsumsi makanan pokok, konsumsi sayur dan buah, konsumsi lauk pauk lain, dan konsumsi bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain. Variabel tersebut bernilai negatif pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi

Page 349: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

338 Direktori Mini Tesis-Disertasi

makanan kering, daging dan ikan, serta konsumsi susu dan telur. Nilai positif menunjukkan proporsi konsumsi treated group lebih besar dibandingkan dengan proporsi konsumsi pada control group, sedangkan nilai negatif berarti sebaliknya, yaitu proporsi konsumsi treated group lebih kecil dibandingkan dengan control group. Hal tersebut menunjukkan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering, daging dan ikan, serta susu dan telur pada rumah tangga mendapatkan intervensi Program Raskin (treated group) lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mendapat intervensi (control group), sedangkan pada proporsi konsumsi makanan pokok, sayur dan buah, lauk-pauk lain, bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain berlaku sebaliknya.

Variabel periode waktu (time) berdampak signifikan terhadap proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, baik konsumsi makanan secara keseluruhan maupun konsumsi makanan secara berkelompok. Nilai negatif signifikan terjadi pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan secara keseluruhan, konsumsi makanan pokok, konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan kering, konsumsi daging dan ikan, konsumsi lauk pauk lain, serta konsumsi susu dan telur. Nilai positif signifikan terjadi pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bumbu serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai negatif signifikan pada konsumsi bumbu serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain, proporsi pendapatan pada periode follow up lebih besar dibandingkan dengan periode baseline atau mengalami peningkatan tahun 2014. Sedangkan, pada proporsi pendapatan selain yang digunakan untuk konsumsi kedua jenis bahan makanan tersebut, proporsi pendapatan yang digunakan pada periode follow up lebih kecil atau menurun dibandingkan periode baseline.

Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan rumah tangga secara keseluruhan pada follow up tahun 2014 turun sebesar -3,44 poin dibandingkan dengan periode baseline tahun 2000. Penurunan pada konsumsi makanan pokok sebesar -0,08 poin; konsumsi sayur dan buah -0,99 poin; konsumsi makanan kering -1,18 poin; konsumsi dagung dan ikan -1,97 poin; dan konsumsi lauk pauk lain -0,17 poin; serta proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi susu dan telur -0,70 poin. Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bumbu naik 0,20 poin, sedangkan pada konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain naik 1,28 poin.

Koefisien determinasi (R2) hasil estimasi dampak Program Raskin terhadap proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan juga bernilai sangat kecil, yaitu kurang dari 10 persen yang berarti bahwa variabel penjelas pada model yang dibuat hanya mampu menjelaskan kurang dari 10 persen terhadap

Page 350: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 339

perubahan variabel hasil (outcomes variables), sementara lebih dari 90 persen lainnya dijelaskan oleh variabel lain yang berada di luar model. Nilai Prob > F sebesar 0,000 sangat signifikan pada tingkat signifikansi α = 1 persen menunjukkan semua variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh terhadap perubahan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan.

3. Pembahasan

Pelaksanaan Program Raskin tahun 2007 dan tahun 2014 menunjukkan jumlah Raskin yang diterima dan frekuensi penerimaan Raskin setiap rumah tangga penerima manfaat sangat jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan. Tahun 2007 Raskin yang diterima rata-rata hanya 7,50 kali pertahun sejumlah 58,19 kg perrumah tangga, sedangkan tahun 2014 naik menjadi rata-rata 7,96 kali dengan jumlah yang menurun menjadi 53,74 kg perrumah tangga. Ketentuan yang telah ditetapkan, setiap rumah tangga sasaran menerima Raskin sejumlah 15 kg selama 12 kali dalam 1 tahun atau sebesar 180 kg selama 12 kali pertahun. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil temuan TNP2K bahwa setiap rumah tangga penerima manfaat Program Raskin hanya menerima sebesar 58,88 kg setiap tahun (TNP2K, 2015).

Hasil estimasi menunjukkan Program Raskin berdampak positif pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan kering, konsumsi daging dan ikan, konsumsi susu dan telur, konsumsi bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain. Program Raskin berdampak negatif (menurunkan) proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan pokok serta konsumsi lauk-pauk lainnya. Program Raskin tidak secara signifikan menurunkan proporsi konsumsi makanan pokok sebesar -0,58 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan -0,64 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates. Pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi lauk-pauk lain. Program Raskin berdampak tidak signifikan menurunkan sebesar -0,20 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan -0,25 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates. Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bumbu turun sebesar -0,20 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan naik sebesar 0,04 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates.

Program Raskin berdampak positif atau menaikkan, namun tidak signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan secara keseluruhan sebesar 2,65 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan 2,09 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates. Program Raskin juga berdampak positif (menaikkan) secara tidak signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi sayur dan buah, daging dan ikan, serta konsumsi minuman dan

Page 351: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

340 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bahan konsumsi lain. Program Raskin juga berdampak positif tidak signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi sayur dan buah, konsumsi daging dan ikan, konsumsi bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lainnya.

Hasil positif (menaikkan) secara signifikan hanya terjadi pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering dan konsumsi susu dan telur. Pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering, proporsi pendapatan yang digunakan oleh treated group naik sebesar 0,58 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan 0,57 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates. Pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi susu dan telur mengalami kenaikan sebesar 1,15 poin pada analisis DiD tanpa covariates dan 1,06 poin pada analisis DiD dengan menggunakan covariates. Hasil estimasi ini menunjukkan pelaksanaan Program Raskin mampu meningkatkan proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi bahan makanan secara keseluruhan walaupun tidak signifikan. Program Raskin juga mampu meningkatkan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan yang lebih baik dan lebih bernutrisi walaupun hanya signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering serta konsumsi susu dan telur.

Hasil analisis dengan metode DiD sejalan dengan hasil temuan TNP2K (2015) yang menyebutkan Program Raskin berdampak menaikkan proporsi konsumsi makanan sebesar 2 persen dari yang seharusnya secara simulasi adalah 8 persen. Hal ini dimungkinkan terjadi karena jumlah dan frekuensi penerimaan Raskin oleh rumah tangga miskin sangat jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan. Peningkatan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuttle dan Beatty (2015), melakukan penelitian terhadap pelaksanaan SNAP di Amerika Serikat dan menghasilkan kesimpulan bahwa SNAP memberikan dampak sangat besar dan signifikan terhadap peningkatan pengeluaran konsumsi makanan (food at home) pada saat krisis. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Doocy, et al. (2017), Afkar and Matz (2015), Hidrobo (20130, dan Hoddinot (2014) yang menyebutkan in kind transfer mempunyai efek positif dan siginifikan terhadap kebutuhan pangan rumah tangga dan keamanan perekonomian, tetapi food transfer lebih berhasil dalam meningkatkan keamanan pangan dibandingkan food voucher dan unrestricted voucher.

Hasil tersebut juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rosyadi (2013) yang menghasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan Program Raskin berdampak signifikan terhadap penurunan konsumsi makanan secara keseluruhan. Peningkatan proporsi pendapatan rumah tangga perlakuan pada konsumsi makanan yang

Page 352: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 341

lebih baik dan lebih bernutrisi sebagai dampak dari pelaksanaan Program Raskin hasil analisis yang dilakukan dengan metode DiD sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pangaribowo (2012).

D. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Program Raskin berdampak positif terhadap proporsi pendapatan yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi makanan, sayur dan buah, makanan kering, daging dan ikan, lauk-pauk lain, susu dan telur, dan bumbu, serta konsumsi minuman dan bahan konsumsi lainnya. Pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan pokok dan lauk-pauk lain, Program Raskin berdampak negatif (menurunkan). Program Raskin hanya berdampak signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering serta susu dan telur.

2. Program Raskin berdampak tidak signifikan terhadap proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan sebesar 2,09 poin, makanan pokok -0,64 poin, sayur dan buah 0,01 poin, daging dan ikan 0,67 poin, lauk-pauk lain -0,20 poin, bumbu 0,04 poin, dan konsumsi minuman dan bahan konsumsi lain 0,58 poin. Program Raskin berdampak signifikan pada proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan kering sebesar 0,57 poin dan konsumsi susu dan telur sebesar 1,06 poin.

E. Saran

Pada penelitian selanjutnya mengenai evaluasi dampak pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan khususnya pelaksanaan Program Raskin disarankan sebagai berikut:

1. Penggunaan data yang menyediakan data rumah tangga sasaran penerima manfaat Program Raskin sehingga dapat dibandingkan dengan rumah tangga penerima manfaat Program Raskin dengan kontrafaktual.

2. Penambahan variabel penelitian, baik variabel waktu maupun variabel kontrol (covariates) yang belum digunakan pada penelitian ini.

3. Penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan metode evaluasi dampak yang lain, untuk menguji tingkat robust hasil penelitian.

Page 353: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

342 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 354: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

THE IMPACT OF THE MANDATORY INDONESIAN NATIONAL STANDARD (INS) REGULATION ON INDONESIA’S IMPORTS CASE STUDY: TOYS AND STEEL INDUSTRY

Nama : Vita Azizah

Instansi : Kemenperin

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 355: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

344 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Dari permintaan konsumen, standar diperlukan dan perlu diformalkan untuk perlindungan konsumen. Agar pasar Indonesia, terutama setelah implementasi ACFTA sepenuhnya, pemerintah Indonesia telah memberlakukan hambatan non-tarif yang disebut Standar Nasional Indonesia (INS) di beberapa industri, termasuk baja bagian dan produk mainan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak peraturan INS pada impor Indonesia untuk produk yang dipilih: mainan dan baja bagian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan gravitasi dengan memanfaatkan data panel bukan data cross section. Variabel independen yang digunakan dalam model termasuk rasio produk domestik bruto (antara negara pengekspor dan Indonesia) mewakili ukuran ekonomi mitra dagang, dan variabel jarak bilateral yang biasanya digunakan sebagai proksi biaya perdagangan.

Hasilnya menunjukkan bahwa peraturan wajib Nasional Indonesia (INS) yang diterapkan pada impor mainan dan baja bagian Indonesia dapat dilihat sebagai negara pengekspor dari negara berkembang. Namun, untuk negara pengekspor dari negara maju, penerapan INS tidak mempengaruhi ekspor mereka ke Indonesia. Dalam produk mainan dan baja bagian, tampaknya mereka berkembang dan negara berkembang dan produsen domestik mungkin terjadi.

Kata kunci: Standar, Penghalang Non-Tarif, Mainan, Baja Bagian

Page 356: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 345

ABSTRACT

Regardless of consumer demand, standards are needed and need to be formalized for consumer protection. In order to maintain the quality of imported products that would rapidly increase in Indonesian market, especially after the fully implementation of ACFTA, the Indonesian government has imposed non-tariff barriers named Indonesian National Standards (INS) in some industries, including section steel and toy products. The aim of this study is to analyze the impact of INS regulation on Indonesia’s import for selected products: toy and section steel.

This study uses the gravity approach by utilizing the panel data instead of cross section data. Independent variables used in the models include the ratio of grossdomestic product (GDP) between exporting countries and Indonesia representing theeconomic size of trading partners, and the bilateral distance variable that is usually used as a proxy of trade cost.

The results show that the mandatory Indonesian National Standard (INS) regulations implemented on both Indonesia’s toy and section steel import can be seen as technical barriers for exporting countries from developing nations. However, for exporting countries from developed nations, the implementation of INS does not affect their exports into Indonesia. In toy products and section steel, it seems that the substitutability in the market from developing countries to both developed countries and domestic producers might occur.

Keywords: Standard, Non-Tariff Barrier, Toy, Section Steel

Page 357: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

346 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF THE MANDATORY INDONESIAN NATIONAL STANDARD (INS) REGULATION ON INDONESIA’S IMPORTS

CASE STUDY: TOYS AND STEEL INDUSTRY

A. Background

According to the Ministry of Industry (2015), free trade agreements affected some aspects such as the increasing of Foreign Direct Investment (FDI) caused by an attractiveness in the Indonesian market potential or Indonesian natural resources; the increasing number of global trade transactions by Trans National Corporation (TNC) that makes Indonesia a part of Global Value Chains–GVCs; the diminishing of protection instruments, either tariff or non-tariff, for development and domestic competitiveness; the rapid rise of goods and services’ imports potentially threatening conditions of trade balance and trade payment; and an increased competition among domestic and foreign workers as a result of the free movement of skilled labour.

While some agreements have given some benefit to Indonesia, there are some agreements negatively affecting Indonesia’s trade balance. According to the Indonesian Fiscal Agency (2017), the ASEAN Economic Community Free Trade Agreement is one of the agreements that has negatively affected Indonesian trade performance. After being a member of this agreement, the Indonesian trade balance that was previously a surplus in 2004 by 1,466 million USD became a deficit by 0,455 million USD and 6,234 million USD in 2005 and 2010 respectively.

The ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA) is another agreement giving a bad effect to Indonesia. Initially, this agreement benefited Indonesia by getting a surplus in trade balance of 0,504 million USD (2004) and increased to 1,118 million USD (2007). However, the trade balance of Indonesia became a deficit of 3,631 million USD in 2008 and increased to 4,732 million USD in 2010 caused by the overflow of imported products from China and the decreasing number of exported goods especially raw materials which were used to be main exported products of Indonesia.

Furthermore, the ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) has become the largest free trade area in terms of population by more than 1,900 million people. Based on the data of the World Bank (2017), China has the biggest population of 1,371 million people and its gross domestic product (GDP) is about 10,065 billion USD. Thus, it is followed by Indonesia as the second largest in terms of population and GDP among members of the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) by 257.6 million people and 862 billion USD respectively.

Page 358: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 347

According to the Indonesian Standardization Board (2010) and Statistics Indonesia (2008), it has been identified by 11 product sectors that would have big possibilities to challenge similar products from China. Those products are steel, electronics and electricity, aluminum, food and beverages, petrochemicals, textile and textile’s products, machinery and appliances, crops and horticulture, agriculture products, plantation, footwear, toys, and plastics.

In order to maintain the quality of imported products that would rapidly increase in the Indonesian market, especially after the full implementation of ACFTA, the Indonesian government has imposed non-tariff barriers named the Indonesian National Standard (INS) in some industries, including steeland toys products. Some INS have been mandatory implemented, meanwhile some others have been only voluntarily executed to exporting countries.

B. Research Problems and Methodology

Through the existing large number of literature that studied the effects of standard regulation of the products on the imports, only a few papers have been done to acknowledge the implementation of standard regulation on Indonesia’s toys and steel industry. The aim of this study is to fill in the gaps of previous studies by concentrating on the impact of such regulation on Indonesia’s imports for selected products.

This study has some objectives in order to answer the following questions:

1. To what extent does the implementation of the Indonesian National Standard (INS) policy in the toy industry affect Indonesia’s toy imports?

2. To what extent does the implementation of the Indonesian National Standard (INS) policy in the steel industry affect Indonesia’s section steel imports?

The whole question would be answered by applying gravity analysis in Indonesian imported toys and steel products separately. By knowing the impact of the implementation of mandatory safety standard in these industries, the Indonesian government would be ableto evaluate these regulations as a non-tariff barrier and to draw up a relevant policy to raise the performance of its industries.

Previous studies analyzing the impact of standard on implementation in Indonesia often conducted cross section data and qualitative studies in their analysis. For instance, Shoim (2015) utilized yearly time series data to evaluate the impact of mandatory Indonesian National Standard (INS) on Indonesia’s steel bar imports. Yuliandita (2014) and Raliby et al (2016) used qualitative methods in their studies, the qualitative descriptive method and Participatory Rural Appraisal (PRA) respectively, related to the

Page 359: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

348 Direktori Mini Tesis-Disertasi

implementation of INS regulation on Indonesia’s imported toy products. Moreover, the Centre of Domestic Trade Policy (2015) in its final report conducted Regulatory Impact Analysis (RIA) to analyze the INS’s effects on both domestic markets and exports. Otherwise, this study would use panel data across countries instead of cross section data. In addition, the gravity model would be used to analyze the impact of INS regulation on Indonesia’s imported toys.

C. Data Analysis and Results

1. Indonesia’s Industry Performance

Based on the data from the Ministry of Industry Republic of Indonesia (2016), non-oil and gas industry in Indonesia grew 5.04% in year 2015 (Year of Year). It was higher than the value of economic growth at that time by 4.79%. Moreover, the highest growth of non-oil and gas industry in 2015 was reached by the metal goods industry, such as: computers, electronics, optics, and electrical devices at about 7.83%. Then, it was followed by the food and beverage industry at about 7.54% and machinery and equipment industry by 7.49%.

In 2015, the non-oil and gas industry contributed 106.63 billion USD or about 70.97% in Indonesia’s total export which was 150.25 billion USD. Meanwhile, the national total import was 108.95 billion USD. However, the trade balance from the non-oil gas industry in 2015 was a deficit by 2.31 billion USD. Moreover, the domestic investment of growth was 50.84 % or Rp.89.04 trillion in 2015 compared to Rp.41.84 trillion in 2014. On the contrary, in 2015 the foreign direct investment in this sector was 11.76 billion USD or decreased by 9.65% than it was in 2014 by about 13.01 billion USD.

Based on the Statistics Indonesia data (2017), Indonesia’s Gross Domestic Bruto is dominated by the manufacturing industry. It has 23.71% share of total GDP for the period of 2014. Moreover this industry consists of two types of industry, which are oil and gas manufacturing industry, and non-oil and gas manufacturing industry. Non-oil and gas manufacturing industry contributed the largest share in total GDP of Indonesia by 20.84%. Furthermore, this industry includes foods, beverages, and tobacco industry; textile, leather products and footwear industries; wood and other products industries; paper and printing products industries; fertilizers, chemical and rubber products industries; cement, and non-metalicquarr products industries; iron and steel basic metal industries; transport equipment, machinery & apparatus industries; and other manufacturing products. In addition, the second largest share of total GDP in 2014 was trade, hotel, and restaurants by 14.6%, and followed by agriculture, livestock, forestry and fishery by 14.33%.

Page 360: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 349

According to the Ministry of Industry Republic of Indonesia (2016), the strategic target of industrial planning in 2015 was achieved successfully based on stakeholders’ perspective. This achievement was supported by other achievements from some policies, such as: tax holiday facility, import duties borne by government, industrial security by industrial sectors national object establishment, formularization of Indonesian National Standard (INS), emission reduction of green house gases, creating an award in green industry, and by establishing some derivative laws in industrial sectors.

2. Indonesia’s Toy Industry

The toy industry has many downstream and intermediate industries. Forestry, rubber plantation, and mining industries are the downstream industries of producing toys. Meanwhile, petrochemicals, olefin, sponge iron, crumb rubber, acryclic, wooden components, and other industries are some examples of the intermediate industries. These industries are needed to produce the final toy products.

3. Indonesia’s Steel Industry

According to the Ministry of Industry Republic of Indonesia (2014), the steel industry that is one of the base metal industries included in the upstream industry is one of the strategic industries in Indonesia. This industry has the main role in supplying the vital raw materials in some development starting from supplying the infrastructure, such as buildings, roads, bridges, electrics and telecommunication installation; capital goods production, such as factory machinery, its supporting materials and spare parts; transportation vehicles, such as ships, trains, railways, and automotive.

4. Indonesian National Standard (INS) Regulation

According to the Board of Indonesian Standards (2010), in 2010, the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) has been implemented. Regarding this agreement, the Indonesian government thought that it was needed to renegotiate toward some commodities included in the ACFTA. However, the Indonesian government also took the ACFTA positively because it could create some opportunities to raise the quality and the competitiveness of domestic products in international trade. Based on the notification of the ACFTA, Indonesia has agreed to implement the free tax policy and 0% import tariffs on 7,000 commodity products since January 2010 as ACFTA’s scheme. Nevertheless, on 21 January 2010, the President of the Republic of Indonesia at that time, Susilo Bambang Yudhoyono asked for renegotiation on 228 commodity products which are included in the ACFTA. This step finally was taken because of unpreparedness from the domestic industries in facing the ACFTA.

Page 361: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

350 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Making notification for 228 tariff rates might be done because the ACFTA has the certain form that allows the negotiable deals or open to renegotiation. So that, even it has been agreed to be actively implemented since 2010, but the member countries still can renegotiate until the specific arrangements might be delayed on the second stage in 2012, or the following stage in 2018, until highly sensitively.

As a concrete step, the Indonesian government has proposed officially the adjuration of renegotiation of the ACFTA to ASEAN member countries and China, especially on 228 tariff rates on the normal track 1 schedule that has been implemented since 1 January 2010. The Indonesian government’s step has been followed by other countries, such as Thailand and Malaysia. Moreover, this is a legal step in ACFTA. Unfortunately, China did the opposite way. China has been suspected of doing unfair trade practice towards the implementing of the ACFTA at the end of 2009. At that time, China reduced 14% of tax for the big importers from China.

Unfortunately, the renegotiation did not give a satisfied result regarding the last meeting with the Minister of Trade of China in Yogyakarta in 2010. However, the Indonesian government had the new strategy by preparing each component to be “apple to apple” for raising the competitiveness of Indonesia’s products.

The three programs of the Indonesian government to deal with ACFTA are as follows:

1. Increasing the number of products which have the competitiveness in global trade. The method is by focusing on the development of product, quality, form, and packaging.

2. Committing to the safeguard of markets and Indonesia’s products both in domestic and international markets. In the domestic market, the government will improve the control of low quality and unstandardized products. Furthermore, the government will raise the safety in unfair trade, such as tightening the implementation of SKA, anti-dumping, safeguard and smuggling, and increasing the promotion of consuming the domestic products.

3. The Indonesian government will always promote the nation branding both within domestic and other countries, by launching and encouraging the program “I Love Indonesia” (ACI). This program has been started in the domestic market by developing creative industry.

Not any Indonesian product has the market surplus compared to other countries. So that, Indonesia should have good strategies for preparing their featured products to compete with similar products from foreign countries regarding the implementation of ACFTA. The Board of Indonesian Standards has identified

Page 362: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 351

11 priority product sectors that have become the targets of INS implementation. Those products are steel, aluminum, electronics and electricity, petrochemicals, machinery and appliances, agriculture products, plantation crops and horticulture, food and beverages, textile and textile products, footwear, toys, and plastics. Some criteria used to establish these 11 priority products are as follows:

1. Have been mentioned many times by association of industries in mass media.

2. The value of export or import more than 100 million USD.

3. As a recommendation from the result of a meeting among Commission VI of House of Representatives Republic of Indonesia and five Coordinating Ministers for Economic Affair.

4. Including in 12 priority sectors of ASEAN Economic Community.

5. The availability of Indonesian National Standard (INS).

D. Summary of Findings

This study attempts to investigate the impact of implementation of mandatory Indonesian National Standard (INS) by applying gravity analysis on Indonesia’s imported toys and Indonesia’s imported section steel. Although several studies have been conducted in terms of the implementation of mandatory INS regulation in Indonesia, but some of them use either the qualitative analysis or time series data. To fill the gap left by previous studies, this study uses the panel data across main exporting countries to Indonesia from toys and section steel products. Moreover, this study also conducts the gravity analysis which includes some variables, such as distance between two countries as a proxy of trade cost, and the economic size from both Indonesia and exporting countries.

The reasons behind why this research focuses on Indonesian National Standard (INS) implemented on toys and section steel product are due to the facts that these commodities are expected to be badly affected by the implementation of ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Furthermore, these products are also included in eleven similar products with China that after the implementation of ACFTA is being the main exporting country on toys and steel. The big imbalance trade between import and export’s value in both of toys and steel products is also being a background to do a research in order to analyze the impact of INS regulation in these commodities.

The previous study did by Yuliandita (2014) finds that the standard regulation is one technical barrier that can protect both of domestic consumers and local producers. In addition, the research done by Shoim (2015) shows that the mandatory INS policy had negatively affected the concrete steel import in Indonesia. Raliby, Masyhar, and Rifa’I

Page 363: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

352 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(2016), in their research, state that the implementation of mandatory INS is important to create the competitive and safe products.

From the empirical analyze using gravity models, the impacts of implementation of Indonesian National Standard (INS) regulations in the range of time period Quarter-1 year 2010 until Quarter-1 year 2016 in both of Indonesia’s toys import and Indonesia’s section steel import are as follows:

1. Indonesian National Standard (INS) Regulation on Indonesia’s Toy Imports

a. The gravity model of Indonesia’s imported toys illustrates that the ratio between the GDP of exporting countries and the Indonesian GDP, and the dummy variable of holiday season have significantly affected an increasing on Indonesia’s imported toys. Meanwhile, the bilateral distance, and the dummy variable of the implementation of INS regulation are proven to influence the decreasing of imported toys to Indonesia. In the case of the dummy variable of ACFTA member countries, even though the sign is positive as expected, but it is insignificant in affecting the value of imported toys in Indonesia.

b. In addition, the implementation of mandatory INS regulation on Indonesia’s imported toys has different effects, in the case of developing and developed countries. Due to the fact that the exporters from developing countries need some time to adjust their products with the INS regulation, the INS is considered as barriers of trade. Nevertheless, the contrary happens in the case of developed countries. The implementation of mandatory INS does not affect the toy imported from developed nations.

c. The mandatory INS regulation on Indonesia’s toy products which has beenimplemented since April 2014, according to the gravity analysis for time period Q1-2010 until Q1-2016, seems to succeed as a non-tariff barrier in Indonesia’s toy imports. As a non-tariff barrier, that case might happen due to the fact that some exporting countries, especially from developing countries, need to adjust their products either from technical aspects or non-technical aspects (such as administration) to be able to fulfill all requirements in the INS regulation. However, this result might change in the long term. By looking at the import trend from exporting countries, especially China, that have started to rise in 2015 and 2016, it can be seen as an indicator that the toy imports have already adjusted to the mandatory INS implemented on Indonesia’s toy products. So that, from the impact side, the non-tariff barrier through the INS regulation is unlikely to affect in the long term.

Page 364: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 353

2. Indonesian National Standard (INS) Regulation on Indonesia’s Section Steel Imports

a. The gravity analysis that is also conducted in the case of Indonesia’s section steel imports shows that the basic independent variables, such as bilateral distance,and the ratio between the GDP of exporting countries and the GDP Indonesia do matter in affecting Indonesia’s section steel imports. As expected, those variables have positive sign for the ratio between the GDP of exporting countries and the GDP Indonesia, and also negative sign for distance variable. In model including all countries data, the dummy variable of the implementation of INS regulation and the dummy variable of ACFTA member countries have expected signs, negative and positive sign respectively, regardless of their insignificant effects in the models.

b. In the case of developing and developed countries, the impact of the implementation of INS regulation in Indonesia’s section steel imports shows the similar result to the INS regulation implemented on Indonesia’s imported toys. In developing countries, the implementation of INS regulation can be seen asstandard barriers regarding its negative sign and its significance to the model.On the contrary, in the case of developed countries, the section steel imports are insignificantly affected by the implementation of mandatory INS.

c. The implementation of the mandatory INS regulation on Indonesia’s steelproducts since February 2012, according to the gravity analysis for time period Q1-2010 until Q1-2016, seems to succeed as a non-tariff barrier in Indonesia’s section steel imports for exporting countries from developing nations. It mighthappen because those exporting countries need to adjust their products to the mandatory INS regulation either from technical aspects or non-technical aspects (such as administration). However, for exporting countries from developed countries, this regulation has no effect at all to their exports of section steel to Indonesia. It is likely that their products already have good quality, so that theycan easily fulfill all subjects required in the mandatory INS policy and they do not face this regulation as a barrier.

3. Indonesian National Standard (INS) regulations implemented on both Indonesia’s toys and section steel import can be seen as technical barriers for exporting countries from developing nations. For exporting countries from developed nations, the effect is different. The implementation of INS does not significantly affect their section steel exports to Indonesia. Furthermore, in toys product and section steel, the implementation of INS is likely to create the substitutability in the market from developing exporting countries to both developed countries and domestic producers.

Page 365: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

354 Direktori Mini Tesis-Disertasi

E. Policy Implications and Recommendations

Based on the findings of research, this study tries to suggest the following policy implications regarding the implementation of Indonesian National Standard (INS) regulation, as follows:

1. From the result, we can see that the mandatory INS regulations can be a non-tariff barrier and be able to affect the decrease of imports either on toys or section steel products, even mostly affects the exporting countries from developing nations. Furthermore, the Indonesian government can use this chance to make its domestic producers raise their competitiveness in the market by focusing on an assistance program in the long term, so that they can produce high quality products and be able to fill the gap in the domestic market that has appeared after the implementation of mandatory INS regulations.

2. As mentioned in the previous sub-chapter, the mandatory INS regulation as a barrier is unlikely to be efficient in the long term. Thus, the Indonesian government should create the proper actions regarding to this phenomenon by imposing regulations that can encourage the domestic producers to raise their competitiveness in order to be able to compete in open markets with other producers from foreign countries either from developing or developed nations.

3. Regarding the limited products that have become the subjects of the mandatory INS regulations, the Indonesian government should widen the range of products subjected to this kind of regulation. This regulation is not only efficient for protecting the consumers from low quality products, but also can be used as a non-tariff barrier especially for exporting countries that do not have really good quality products. It is also based on the fact that after the implementation of ACFTA, many low quality products come to Indonesia and do not need a long time to dominate the domestic market because of their cheap prices.

Page 366: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA INDONESIA

Nama : Yanuari Kristiana

Instansi : Pemkab Kebumen

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 367: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

356 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya pengaruh migrasi anggota rumah tangga terhadap perubahan status kemiskinan rumah tangga di Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah masih sedikitnya studi mengenai pengaruh migrasi internal terhadap kemiskinan di Indonesia khususnya tahun 2000-an.

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga (SAKERTI) gelombang 4 tahun 2007 dan gelombang 5 tahun 2014. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan alat analisis regresi respon biner yang mengukur peluang kejadian anggota rumah tangga yang bermigrasi untuk menjadi miskin baik dari segi pendekatan moneter maupun multidimensi. Pendekatan moneter menggunakan standar Badan Pusat Statistik yang mendefinisikan individu miskin jika pengeluaran perkapita perbulan di bawah Rp330.776,00, sedangkan pada pendekatan multidimensi, seseorang dikatakan miskin jika mengalami deprivasi pada dimensi kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup.

Hasil regresi probit dengan variabel kontrol status kemiskinan masa lampau, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, status pernikahan, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota keluarga menunjukkan rasio jumlah anggota rumah tangga yang bermigrasi tidak signifikan terhadap peluang kejadian miskin moneter, tetapi signifikan dalam menurunkan peluang kejadian miskin multidimensi sebesar 10,6 persen poin.

Kata kunci: Migrasi, Kemiskinan Moneter, Kemiskinan Multidimensi, Regresi Probit

Page 368: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 357

ABSTRACT

This research aims to analyze the effect of migration against household poverty in Indonesia. Background of the research is because the lack of study of the influence of internal migration towards poverty in Indonesian household particularly during the year after 2000.

The data used in this study is based on an Indonesian Family Life Survey (IFLS) or Survey of Aspects of Domestic Life (SAKERTI) wave 4 in 2007 and wave 5 in 2014. Quantitative research is by using a binary response regression analysis to measure the probability of household members who migrated to be poor both in terms of monetary as well as multidimensional approach. Monetary approach using standard BPS that define the individual poor if consumption per capita per month under the Rp 330.776,00 whereas in multidimensional approach, a person is said to be poor if experiencing deprivation on the dimensions of the health, education and quality of life.

The results of probit regression with control variables the past poverty status, level of education, age of head of household, gender, marital status, location of residence, and number of family members showed that the ratio of the number of household members who migrated not significantly influenced the probability of being monetary poor but significant in lowering the incidence of multidimensional poor of 10.6 percent points.

Keywords: Migration, Multidimensional Poverty, Monetary Poverty, Probit Regression

Page 369: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

358 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGARUH MIGRASI TERHADAP STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA INDONESIA

A. Latar Belakang

Migrasi dapat menjadi penyebab kemiskinan atau disebabkan oleh kemiskinan (Skeldon, 1997). Pandangan optimis menyatakan migrasi dapat dianggap sebagai sebuah alternatif untuk keluar dari status miskin melalui pendapatan yang diperoleh. Sebaliknya, dalam beberapa kondisi, kemiskinan justru menciptakan alasan untuk seseorang bermigrasi. Migrasi sementara dianggap sebagai satu cara untuk memaksimalkan pendapatan keluarga dan meminimalkan risiko (Stark, 1991). Secara umum dapat disimpulkan bahwa dampak migrasi terhadap kemiskinan atau sebaliknya kemiskinan yang mendorong seseorang melakukan migrasi, bersifat variasi berdasarkan karakteristik migrasi dan migran. Migrasi dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Asumsi yang digunakan adalah individu atau keseluruhan rumah tangga yang melakukan migrasi berharap akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak bermigrasi.

Studi yang dilakukan di Cina/Tiongkok menunjukkan migrasi rumah tangga perdesaan memberikan dampak peningkatan pendapatan perkapita sebesar 8,5-13,1 persen, tetapi secara keseluruhan dampak migrasi kecil karena penduduk miskin tidak bermigrasi (Du, et al., 2005). Selain peningkatan pendapatan dan konsumsi, beberapa studi juga dilakukan untuk melihat kemungkinan seseorang atau sebuah rumah tangga keluar dari kemiskinan atau sebaliknya menjadi miskin setelah bermigrasi. Bertoli dan Marcheta (2014) di Equador menemukan, jika minimal satu anggota rumah tangga bermigrasi akan menurunkan probabilitas menjadi miskin sebesar 20,8 persen. Wheeler, et al. (2007) meneliti rumah tangga miskin dan sangat miskin di Mesir dan Ghana. Migrasi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin dan sangat miskin di Mesir secara signifikan dapat menurunkan peluang kejadian miskin pada waktu yang akan datang, sedangkan di Ghana hanya migrasi penduduk miskin yang signifikan menurunkan peluang kejadian miskin. Rumah tangga sangat miskin cenderung tetap miskin meskipun melakukan migrasi.

Pengukuran dampak migrasi terhadap penurunan tingkat kemiskinan dengan menggunakan indikator peningkatan pendapatan atau peningkatan kesejahteraan secara langsung seringkali mengalami berbagai permasalahan pengukuran. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh McKenzie dan Sasin (2007), bahwa menjelaskan hubungan sebab akibat antara migrasi dan kemiskinan adalah sulit dikarenakan adanya gabungan beberapa alasan keputusan bermigrasi yang mendasari perbedaan hasil pada setiap rumah tangga. Hubungan kemiskinan dan migrasi juga disebabkan

Page 370: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 359

oleh heterogenitas pilihan bermigrasi dengan perbedaan kualitas tujuan migrasi yang menyertakan perbedaan biaya dan hasil. Pilihan migrasi menggambarkan kemampuan rumah tangga untuk mendapatkan manfaat dari pilihan tersebut.

Untuk mengukur dampak migrasi terhadap kemiskinan terlebih dahulu harus dijabarkan secara jelas mengenai hubungan kausalitas antara migrasi dan kemiskinan. Wheeler, et al. (2007) membangun model hubungan migrasi dan kemiskinan untuk mengatasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Permasalahan endogenitas, yaitu adanya hubungan sebab akibat berkebalikan atau tidak adanya hubungan sebab akibat secara langsung antara migrasi dan kemiskinan.

2. Self-selection atas pilihan bermigrasi bahwa migrasi yang dilakukan oleh individu adalah sistematis, bukan bersifat acak.

3. Terdapat beberapa faktor yang bersifat unobservable yang menyebabkan hasil pengukuran tidak valid.

Dalam modelnya, Wheeler, et al. (2007) membangun hubungan migrasi dan kemiskinan yang dijabarkan dengan konsep mediasi dan moderat. Dalam konsep mediasi, migrasi dianggap memberikan dampak langsung untuk meningkatkan pendapatan. Pengukuran dampak migrasi diukur dengan faktor-faktor yang meningkat atau berkurang oleh akibat migrasi yang dilakukan.

Hubungan antara migrasi dan kemiskinan yang kedua adalah bersifat moderat. Hubungan ini merujuk pada perubahan hubungan alami dua variabel. Dalam kasus ini, migrasi akan memberikan pengaruh terhadap kemiskinan rumah tangga yang bersifat dinamis. Sebuah rumah tangga dapat keluar dari kemiskinan dengan cepat atau sebaliknya dari tidak miskin menjadi miskin. Faktor yang dapat dijadikan tolok ukur terhadap dinamika status kemiskinan rumah tangga adalah status kemiskinan pada masa lampau atau dengan kata lain, status kemiskinan rumah tangga migran di masa lampau menjadi faktor yang sangat menentukan status kemiskinan di masa depan. Migrasi memengaruhi dinamika kemiskinan sebuah rumah tangga, yaitu rumah tangga migran dengan status ekonomi lebih baik memiliki peluang lebih kecil untuk menjadi miskin pada saat mendatang dibandingkan dengan rumah tangga dengan status miskin..

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Kemajuan pembangunan infrastruktur di Indonesia serta ketersediaan sarana transportasi, menyebabkan individu mudah untuk melakukan migrasi baik yang bersifat sirkuler maupun menetap. Hal tersebut menunjukkan migrasi merupakan bagian penting dalam perekonomian sehingga studi mengenai migrasi dan kemiskinan

Page 371: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

360 Direktori Mini Tesis-Disertasi

harus terus berkesinambungan. Migrasi internal1 memiliki potensi yang lebih besar dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang dibandingkan dengan migrasi internasional sebagaimana dinyatakan dalam pertemuan Millennium Development Goals (MDGs). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, migrasi internal berasal dari basis yang lebih luas dengan jumlah uang yang lebih sedikit didistribusikan secara merata ke daerah tertentu dan keluarga miskin melalui pengiriman uang internal (bukan pengiriman uang internasional, yang menjangkau lebih sedikit orang). Kedua, kemungkinan besar bahwa migrasi internal akan terus meningkat pada tingkat yang lebih cepat daripada migrasi internasional. Ketiga, migrasi internal melibatkan orang miskin dari daerah miskin dan memiliki peran kuat dalam bermain mencapai MDGs. Keempat, ini merupakan pendorong penting pertumbuhan di berbagai sektor termasuk pertanian, manufaktur, konstruksi, ekonomi dan layanan pesisir (Deshingkar, 2006). Motivasi atas penelitian ini adalah agar studi mengenai migrasi internal di Indonesia, tidak mengalami kekosongan sehingga dapat dijadikan acuan dalam studi selanjutnya maupun dalam pengambilan kebijakan mengenai migrasi. Pokok bahasan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis secara deskriptif mengenai migrasi pada rumah tangga di Indonesia dan mengestimasi seberapa besar pengaruh migrasi internal rumah tangga terhadap status kemiskinannya.

Studi ini menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga (SAKERTI) tahun 2007 dan 2014. IFLS merupakan survei longitudinal individu dalam tingkat rumah tangga yang cukup komprehensif. Terdapat 12.987 rumah tangga yang disurvei tahun 2007 dan 15.185 rumah tangga tahun 2014.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan inferensial. Variabel terikat yang digunakan dalam studi ini bersifat kategorik dengan respon biner mengenai status kemiskinan rumah tangga, yaitu bernilai 1 jika miskin dan bernilai 0 jika tidak miskin. Asumsi yang digunakan adalah distribusi error tersebar mengikuti distribusi normal sehingga metode regresi yang digunakan dalam menganalisis pengaruh migrasi secara umum di dalam studi ini adalah model regresi probit.

Variabel terikat dalam studi ini adalah status kemiskinan moneter dan kemiskinan multidimensi rumah tangga tahun 2014, sementara variabel bebas yang digunakan di antaranya rasio anggota rumah tangga yang bermigrasi, status kemiskinan (moneter dan multidimensi) rumah tangga tahun 2007, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, status pernikahan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota keluarga. Variabel instrumen yang digunakan dalam status pekerjaan kepala rumah tangga tahun 2007 dan variabel kejadian bencana selama 5 tahun terakhir digunakan untuk menguji robustness model.

Page 372: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 361

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 4.442 rumah tangga yang disurvei tahun 2007 dan 2014. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah status kemiskinan moneter 2014 dan kemiskinan multidimensi 2014. Variabel penjelas utama yang digunakan, yaitu rasio anggota rumah tangga (ART) yang migrasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang bermigrasi dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota rumah tangga.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Deskriptif

Bagian ini akan menyajikan data persebaran sampel menurut variabel dependen, yaitu status kemiskinan rumah tangga sebagaimana dalam Gambar 1 Kemiskinan dilihat dalam 2 model pengukuran adalah kemiskinan moneter dan kemiskinan multidimensi. Dari 4.442 rumah tangga sampel yang diolah, 857 rumah tangga mengalami kemiskinan moneter dan 3.585 rumah tangga lainnya tidak. Sebanyak 322 rumah tangga selalu miskin pada periode awal dan akhir pengukuran, 767 rumah tangga mengalami perubahan status dari miskin ke tidak miskin, 535 rumah tangga dengan status awal tidak miskin menjadi miskin, dan 2.818 rumah tangga tetap tidak miskin. Terdapat 2.182 rumah tangga yang mengalami miskin multidimensi tahun 2014 dan 2.260 rumah tangga lainnya tidak. Dari jumlah tersebut 1.169 rumah tangga merupakan rumah tangga yang selalu mengalami miskin multidimensi tahun 2007 dan 2014, 303 rumah tangga keluar dari status kemiskinan, 1.013 rumah tangga berubah dari tidak miskin menjadi miskin dan 1.957 rumah tangga lainya tetap tidak miskin.

2. Pengujian Endogenitas

Langkah pertama untuk melakukan estimasi pada studi ini adalah menguji adanya dugaan permasalahan endogenitas pada variabel rasio anggota rumah tangga migrasi yang disebabkan oleh adanya hubungan reversible antara migrasi dan kemiskinan atau adanya faktor unobservable. Pengujian faktor endogenitas dilakukan dengan regresi dua tahap dengan pengujian signifikansi residual regresi tahap pertama pada regresi tahap kedua.

Variabel instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah status pekerjaan kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga yang tidak bekerja akan mendorong keputusan bermigrasi (Rangkuti, 2009). Hasil regresi menunjukkan status pekerjaan kepala rumah tangga signifikan memengaruhi jumlah anggota rumah tangga yang bermigrasi. Kepala rumah tangga yang tidak bekerja akan meningkatkan rasio jumlah anggota rumah tangga lainnya untuk bermigrasi.

Page 373: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

362 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Langkah selanjutnya adalah dengan mencari nilai residual dari regresi tahap pertama. Regresi tahap kedua dilakukan dengan meregresi probit variabel kemiskinan moneter atau multidimensi terhadap variabel endogen, semua variabel eksogen dan residual dari regresi tahap pertama (ui). Endogenitas terjadi jika nilai koefisien dari residual regresi tahap pertama signifikan. Dapat disimpulkan bahwa tidak terbukti adanya permasalahan endogenitas pada variabel rasio jumlah anggota rumah tangga yang migrasi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien residual first stage (ui) yang tidak signifikan memengaruhi kejadian kemiskinan.

3. Analisis Regresi Probit

Hasil regresi probit dengan variabel terikat kemiskinan moneter tahun 2014 menunjukkan variabel rasio jumlah anggota rumah tangga migrasi tidak berpengaruh terhadap kejadian kemiskinan moneter. Demikian juga dengan variabel usia, jenis kelamin, dan status pernikahan kepala rumah tangga. Tidak ada pengaruh penambahan usia kepala rumah tangga terhadap status kemiskinan moneter atau dapat dikatakan kemiskinan moneter dapat terjadi pada rentang usia berapa pun. Pada variabel jenis kelamin, tidak ada perbedaan pengaruh pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Demikian halnya dengan variabel status pernikahan yang menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata pengaruh status kepala rumah tangga antara yang menikah dan yang belum menikah/cerai/lainnya. Variabel yang secara signifikan memengaruhi status kemiskinan moneter adalah status kemiskinan moneter masa lampau, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota rumah tangga.

Variabel bebas yang signifikan memengaruhi peluang kejadian miskin moneter adalah status kemiskinan moneter masa lampau, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota keluarga. Rasio jumlah anggota rumah tangga migrasi sebagai variabel bebas utama dalam penelitian ini tidak signifikan dalam memengaruhi peluang kejadian miskin moneter. Hasil regresi probit dengan variabel dependen kemiskinan multidimensi 2014 menunjukkan variabel rasio jumlah anggota rumah tangga migrasi signifikan pada α=1 persen dalam menurunkan peluang kejadian kemiskinan multidimensi.

Nilai estimasi parameter dalam model regresi respon biner harus ditransformasikan ke dalam nilai marginal effect, yaitu perubahan probabilitas variabel terikat terhadap perubahan nilai variabel bebas. Nilai marginal effect juga akan lebih informatif dibandingkan dengan koefisien (Cameron dan Trivedi, 2010: 462). Penelitian ini menggunakan AME sebagai acuan karena mengakomodir perubahan variabel dummy pada level diskret. AME memberikan dampak perubahan

Page 374: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 363

antara 0 dan 1 merupakan rata-rata perubahan probabilitas variabel terikat terhadap peningkatan satu unit nilai variabel bebas. Regresi non-linier memberikan dampak perubahan probabilitas yang berbeda-beda pada tiap individual dan AME menghitung besarnya perubahan probabilitas tiap individu dan kemudian menghitung perubahan probabilitas rata-rata.

Marginal effect menunjukkan dampak yang diberikan oleh setiap perubahan satu unit variabel bebas terhadap satu unit probabilitas variabel tidak bebas pada kejadian kemiskinan. Tanda koefisien menunjukkan arah perubahan probabilitas yang terjadi. Berdasarkan nilai marginal effect pada regresi probit variabel tak bebas miskin multidimensi, didapatkan hasil bahwa variabel peningkatan rasio anggota rumah tangga migrasi signifikan menurunkan probabilitas kejadian miskin multidimensi sebesar 10,6 persen. Hal ini mengindikasikan semakin banyak jumlah anggota rumah tangga yang melakukan migrasi akan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang didapatkan dari remitan yang dikirimkan. Hal tersebut sejalan dengan Collinson, et al. (2009) yang menggunakan variabel jumlah remiten untuk mengukur besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga. Penelitian ini tidak menggunakan variabel tersebut dikarenakan sangat terbatasnya data mengenai jumlah remiten sehingga tidak dapat mengukur pengaruh kenaikan pendapatan dari remiten terhadap peluang kejadian miskin multidimensi.

Variabel lain yang juga signifikan memengaruhi peluang kejadian miskin multidimensi adalah status kemiskinan pada masa lampau sebesar 32,1 persen, pendidikan kepala rumah tangga sebesar -25,3 persen, jumlah anggota keluarga sebesar 1,8 persen, dan daerah tempat tinggal sebesar 2,6 persen. Status kemiskinan masa lalu merupakan prediktor kuat status kemiskinan masa mendatang sebagaimana penelitian Wheeler, et al. (2007). Rumah tangga yang mengalami miskin multidimensi cenderung akan lebih berpeluang untuk menjadi miskin pada masa mendatang dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak miskin multidimensi. Kenaikan satu tahun tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan menurunkan peluang kejadian miskin multidimensi sebesar 25,3 persen. Setiap kenaikan satu orang anggota keluarga akan meningkatkan peluang kejadian miskin mulidimensi sebesar 1,8 persen. Hal tersebut sejalan dengan temuan Dartanto dan Otsubo (2013) yang menyatakan tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, keberadaan pekerja migran, dan pengalaman kejadian shocks (goncangan) merupakan faktor utama yang memengaruhi kemiskinan. Rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan cenderung meningkatkan peluang untuk menjadi miskin multidimensi sebesar 2,6 persen dibandingkan dengan rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan.

Uji robust model dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan model awal penelitian dengan model alternatif. Model alternatif pertama yang

Page 375: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

364 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dipilih dalam penelitian ini adalah dengan menambahkan variabel d_bencana, yaitu pengalaman kejadian bencana dalam lima tahun terakhir. Hasil regresi menunjukkan pengalaman kejadian bencana selama lima tahun terakhir signifikan meningkatkan probabilitas kejadian miskin multidimensi sebesar 0,169 kali. Model alternatif kedua, yaitu dengan melakukan uji interaksi antara variabel rasio jumlah rumah tangga yang bermigrasi dan usia kepala rumah tangga.

Hasil regresi menunjukkan variabel interaksi tidak signifikan memengaruhi probabilitas kejadian miskin multidimensi. Hasil regresi dengan penambahan variabel d_bencana maupun dengan interaksi antara variabel rasio anggota rumah tangga migrasi dan variabel kemiskinan multidimensi 2007, tidak mengubah tanda dari koefisien serta nilai koefisien variabel rasio ART migrasi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan model yang digunakan dalam penelitian ini cukup robust.

Untuk mengetahui pengaruh migrasi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin maka dilakukan regresi terpisah dengan status kemiskinan awal miskin dan tidak miskin. Untuk variabel terikat kemiskinan moneter, migrasi kepala rumah tangga miskin tidak signifikan memengaruhi peluang kejadian miskin moneter pada masa datang. Peluang kejadian miskin moneter lebih dipengaruhi oleh rata-rata lama pendidikan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal dan jumlah anggota rumah tangga.

Selanjutnya adalah regresi dengan variabel terikat kemiskinan multidimensi. Rasio anggota rumah tangga migrasi pada rumah tangga miskin tidak signifikan memengaruhi peluang kejadian miskin pada masa datang. Kejadian miskin multidimensi pada masa datang lebih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga.

Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh kelompok rumah tangga nonmiskin yang menunjukkan rasio anggota rumah tangga migrasi signifikan memengaruhi penurunan kejadian miskin multidimensi sebesar 0,32 kali. Demikian juga dengan variabel usia kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga. Hasil tersebut sesuai dengan temuan Skeldon (1997) yang menyatakan penduduk miskin tidak migrasi.

D. Kesimpulan dan Saran

Migrasi yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan sejumlah anggota rumah tangga lainnya tidak berpengaruh terhadap peluang mengalami kejadian miskin moneter sebuah rumah tangga. Peluang kejadian miskin moneter pada masa datang lebih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota rumah tangga.

Page 376: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 365

Migrasi yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan sejumlah anggota rumah tangga lainnya, berpengaruh signifikan terhadap penurunan peluang kejadian miskin multidimensi pada masa yang akan datang. Penambahan satu unit rasio anggota rumah tangga yang migrasi akan menurunkan peluang kejadian miskin multidimensi pada masa mendatang sebesar 10,6 persen. Variabel lain yang juga signifikan memengaruhi peluang kejadian miskin multidimensi di antaranya status kemiskinan masa lampau, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, usia kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, dan jumlah anggota rumah tangga.

Migrasi mampu mengurangi kemiskinan, tetapi jika berdasarkan data penelitian yang digunakan, penduduk miskin memiliki porsi yang lebih kecil dalam partisipasi migrasi dibandingkan dengan kelompok rumah tangga nonmiskin. Hal tersebut dikarenakan ada biaya migrasi yang tidak dapat ditanggung oleh kelompok rumah tangga miskin sehingga memberikan gambaran bahwa ada peluang dari proses migrasi, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh kelompok rumah tangga miskin. (Migrasi dilakukan oleh adanya perbedaan ketersediaan lapangan pekerjaan antara daerah asal dan daerah tujuan) Dengan adanya pembangunan infrastruktur yang merata akan menurunkan biaya migrasi yang pada akhirnya, rumah tangga miskin dapat memanfaatkan peluang keluar dari kemiskinan dengan migrasi. Pemerintah dapat menjadikan migrasi sebagai salah satu upaya dalam pengentasan kemiskinan dengan berbagai kebijakan di antaranya penguatan lembaga yang membidangi permasalahan migrasi khususnya migrasi internal, pemerataan pembangunan spasial di seluruh wilayah Indonesia, dan pemerataan pembangunan sektoral dalam bidang pendidikan, kependudukan, kebijakan harga, transportasi, dan komunikasi serta kebijakan upah.

Ada beberapa hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian menggunakan data IFLS tahun 2007 dan 2014 yang melihat status migrasi rumah tangga setelah tahun 2007 dengan tidak memperhitungkan status migrasi pada periode sebelumnya. Penggunaan 5 gelombang data IFLS akan lebih memungkinkan untuk melihat dampak migrasi rumah tangga terhadap status kemiskinannya. Banyaknya informasi missing value data variabel penelitian yang menyebabkan jumlah observasi yang lebih sedikit. Tidak memperhitungkan perubahan variabel penelitian yang mungkin memengaruhi status kemiskinannya atau pilihan bermigrasi.

Terkait dengan keterbatasan penelitian ini maka rekomendasi dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya. Penggunaan data panel dengan data IFLS beberapa gelombang dimungkinkan akan menangkap dinamika perubahan status kemiskinan rumah tangga sehingga hasil analisis dapat lebih valid.

Page 377: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

366 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 378: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

THE IMPACT OF INVESTMENTS ON THE UNEMPLOYMENT RATE IN BANTEN PROVINCE INDONESIA

Nama : Yeru Fernando Estidjoko

Instansi : PemkabLebak

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 379: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

368 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pembangunan ekonomi adalah tujuan utama dalam meningkatkan masyarakat untuk memiliki kehidupan yang lebih layak, dan pengangguran adalah masalah yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi, karena hilangnya pekerjaan berarti berkurangnya standar kehidupan dan tekanan psikologis. Ketidaksenangan juga memberikan sinyal bahwa ekonomi mungkin tidak menggunakan beberapa sumber dayanya secara efisien.

Investasi diakui sebagai pengeluaran untuk peralatan modal, persediaan, dan struktur. Ini adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi atau penghasilan di masa depan. Investasi dalam sumber daya manusia (pendidikan) sama pentingnya dengan investasi dalam modal fisik untuk kesuksesan ekonomi jangka panjang negara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak investasi, khususnya Investasi Asing Langsung (FDI) dan Investasi Langsung Dalam Negeri (DDI), dan pendidikan terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Banten dengan menggunakan pendekatan kualitatif seperti dalam analisis deskriptif. Investasi langsung, baik FDI dan DDI telah dianggap sebagai salah satu metode terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatkan transfer teknologi.

Provinsi Banten yang terletak di bagian barat Pulau Jawa terdiri dari delapan kabupaten dan kota, dengan 155 kecamatan dan 1.551 desa. Tingkat pengangguran tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Indonesia selama beberapa tahun. Mayoritas FDI dan Investasi DDI yang mengalir ke Provinsi Banten telah masuk ke sektor industri manufaktur. Dalam hal pendidikan, pada tahun 2015, 66,43% penduduk belum lulus dari sekolah menengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi memang memiliki dampak luar biasa dalam menurunkan tingkat pengangguran, terutama untuk daerah-daerah yang sudah terlibat di sektor sekunder dan tersier. Dari delapan kabupaten dan kota di Banten, lima daerah memiliki tingkat pengangguran yang dipengaruhi oleh investasi.

Pendidikan juga memiliki dampak besar pada tingkat pengangguran, karena pekerja berpendidikan tinggi / terlatih diperlukan di dunia saat ini. Sulit bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah untuk bersaing dan menjadi sukses dalam pencarian pasar kerja. Kota Tangerang Selatan adalah salah satu contoh, dengan 54,45% penduduk yang lulus dari sekolah menengah (tertinggi di Banten), memiliki tingkat pengangguran terendah di Banten. Pendidikan tentu menjadi faktor di dunia saat ini dan akan jauh lebih berkelanjutan ke depan.

Page 380: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 369

ABSTRACT

Economic development is a major goal in improving communities to have more decent life, and unemployment is a very important issue that plays a crucial role in economic development, since the loss of employment means a reduced standard of living and psychological stress. Unemployment also provides a signal that the economy may not be using some of its resources efficiently.

Investments are recognized as spending on capital equipment, inventories, and structures. It is the demand of goods and services to create or add production capacity or income in the future. Investment in human capital (education) is as important as investment in physical capital for a country’s long-run economic success. This research intention is to analyze the impact of investments, particularly Foreign Direct Investment (FDI) and Domestic Direct Investment (DDI), and education to the unemployment rate in Banten Province using qualitative approach as in descriptive analysis. Direct investment, both FDI and DDI have been regarded as one of the best methods to fuel economic growth, that encourages the creation of new jobs and enhances technology transfer.

Banten Province located in the westernmost part of Java Island consist of eight regencies and cities, with 155 sub-districts and 1,551 villages. Its unemployment rate is recorded as one of the highest in Indonesia for several years. The majorly of FDI and DDI Investments that flow into Banten Province have gone into the manufacturing industry sector. In terms of education, as of 2015, 66.43% of the population have not graduated from high school.

The result of the research shows that investment has indeed a remarkable impact on lowering the unemployment rate, especially for the regions that are already engaged in the secondary and tertiary sectors. From the eight regencies and cities in Banten, five regions have had their unemployment rate influenced by investments.

Education also has had a major impact on the unemployment rate, as a higher educated/trained worker is needed in today’s world. It is hard for those with a low education level to compete and be successful in the job market search. South Tangerang City is one of the examples, with 54.45% population having graduated from high school (the highest in Banten), has the lowest unemployment rate in Banten. Education is certainly a factor in today’s world and will be so much more continually into the future.

Page 381: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

370 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF INVESTMENTS ON THE UNEMPLOYMENT RATE IN BANTEN PROVINCE INDONESIA

A. Background

Banten Province (Banten) is one of the six provinces that make-up Java Island, consisting of four regencies and four cities all of which have a relatively high unemployment rate. As a geographic neighbor of Capital City Jakarta, Banten has also become labors destination from all over Indonesia seeking employment and/or better employment conditions in the Capital City of Jakarta. Banten retains the highest unemployment rate compared to its neighboring provinces (Jakarta and West Java) consistently from 2010 through 2016, and even though the trend is going down, the rate is still high.

To minimize unemployment, governments at the national and local level have to develop their economies, and one of the most important issues related to this development is capital accumulation, which can be obtained from investments, especially Foreign Direct Investment (FDI) and Domestic Direct Investment (DDI). DDI on the other hand, shows a positive trend starting in 2014, after experiencing fluctuated growth from 2010 to 2013. DDI has grown more than 100% in 2014 compared to 2013, despite the decline of FDI during those years.

Aside from the lack of opportunity when a persons are not employed, human capital must be considered as well. Human capital can be viewed as the productive investment embodied in the human persons, which includes skills, abilities and ideas resulting from expenditures on education, on the job training programs and health care services (Todaro and Smith, 2015: 383).

Banten has an annual population growth rate of 1.97% with an above 50% labor participation rate, showing that labor is in surplus each year and can be better utilized in the economic activity, even though the trend is declining. The number of working people that is included in the labor force is increasing and the number of people being unemployed is declining, slowly.

Gross Domestic Product at the provincial level, Gross Regional Domestic Product (GRDP), can be used as an indicator to show the welfare of the population in certain areas. GRDP in fact has an influence on the working labor force with the assumption that when the GRDP increases, the output of the economy will increase also and it will eventually require more labor to be utilized. The GRDP of Banten is increasing from time to time while the growth rate is still fluctuating; economic growth is slowing down.

Page 382: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 371

B. Problem Statement

Unemployment is one of the indicators that is used to examine social and economic condition of a region. Moreover, unemployment is also a way to evaluate the implementation of government development policies. As one of the neighboring region of the Capital of Indonesia, Banten must increase its pace in development, both in the social and human development space, to gain the advantages of being the neighbor of Indonesia’s economic center. One of the advantages is that GRDP constantly increases and investments regularly flow into the region.

Nevertheless, there are several disadvantages regarding a region that is situated near the Capital, one of them is unemployment. For the past 6 years, Banten has the highest unemployment rate among those provinces in the region of Java Island. This unemployment issue has become a problem to the local government.The intent of this research is to examine the influence of the investment, specifically FDI and DDI on the unemployment rate in Banten using descriptive analysis of qualitative approach.

C. Data Anlysis and Results

1. FDI and Unemployment in Banten Province

The unemployment rate of Banten was decreasing from time to time from 2010 to 2014, increased in 2015, then declined again in 2016. FDI has the opposite trend with the unemployment rate for some years, as it constantly increases from 2010 until 2013, then slowed down in 2014 and went up again in 2015 and 2016. On the other hand, DDI showed a different pattern. DDI was basically flat from 2010 to 2012, but then constantly, and rather drastically increased starting in 2013 until 2016. FDI has affected the unemployment rate during the years of 2010 to 2013 when it constantly increased and the unemployment rate constantly decreasing. In 2014, when FDI was slowing down, the DDI mark greater impact to decreased the unemployment rate.

The employment absorption of FDI flowing into Banten has constantly increased since 2011 until 2015, and even though the FDI declined in 2014, the manpower needed was still increasing. When FDI decreased by 1.6 billion US$ in 2014 compared to 2013, the investment in 2014 still has more manpower for 9,964 workers in 2014, indicating that the FDI in 2014 was labor intensive.

Page 383: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

372 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The graph below showed that the employment absorption in DDI significantly increased from 2013 and decreased again in 2014 even though in that period the DDI flow was increasing, suggesting that the investment flow in 2014 was more on the capital-intensive side. Nevertheless, from 2014 we can note that the capital inflow and employment absorption are back in cynic on a solid upward trend.

FDI and DDI employment absorption was affecting the industry sector workers during a certain period, when it declined in 2011. The industry sector workers also declined in that year and when it increased in 2013 and 2015, the industry sector workers also increased.

The purpose of this research is to analyze the influence of investments in terms of FDI and DDI to the unemployment rate in Banten, and the Province as a whole. What we have learned is that investments indeed influenced the unemployment rate, that more than 50% of investments were in the manufacturing industry sector, and that the employment absorption of this sector particularly regarding the investments accounted for 9% shares on the total industry workers on average, which suggest that from the total industry workers, 9% were due to the new investment.

The unemployment rate of Banten was decreasing from 2010 to 2014 and employment absorption from investments were increasing starting in 2011 until 2015 as shown on the graph above, which clearly proves the influence of investments on the unemployment rate, but it seems that the impact was not significant enough to decrease the rate of unemployment. In 2011 when employment absorption slightly increased, the unemployment rate hugely declined by 2.93%, but in 2012 when the unemployment rate declined at less than 1%, employment absorption was increased to an impressive amount, and in 2015 when employment absorption increased, the unemployment rate also increased.

In terms of educational attainment, job opportunities in Banten seem to have increase in applicant qualification. As we see in the graph below, the high school and university graduates have increased their shares from time to time. From the information of this draft, we can conclude that education is a major factor that will enhance the opportunities for a person to make a living by being employed rather than underemployed with lessor education. The higher the level of education, the greater the opportunity to a person being employed.

Lastly, to quantify the influence of investments on the unemployment rate more clearly, it is best to observed this influence one by one and by region, because not all the investments, both FDI and DDI flows equally to each region in the province.

Page 384: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 373

2. Regencies and Cities Overview

Shift share is a standard regional analysis method that attempts to determine how much regional job growth can be attributed to the national trends and how much is due to unique regional factors (Sentz, 2011). There are three components in shift share analysis, the national growth effect, industrial mix effect, and the regional competitive effect or the regional shift. Based on this research, the result presented below will be only the regional shift, to acknowledge the competitive advantage that the region possesses.

From the shift share regional competitive effect results shown above, we can argue that the Pandeglang Regency was the only region that still has a competitive effect on the agriculture sector, while Lebak Regency and Cilegon City have made a regional shift into the trading sector. The industrial sector is represented by the regional shift of Serang Regency and Tangerang Regency, and the other sector was represented by South Tangerang City. The other two regions,Serang City and Tangerang City, all have a competitive effect for the service sector.Furthermore, from all the information in this Chapter, the author would argue that investments, such as in FDI and DDI, that flowed every year from 2010 to 2015 into Banten has indeed have a remarkable impact on lowering the unemployment rate, especially for the regions that already were engaging in the secondary and tertiary sectors. From eight regencies and cities in Banten, it is can argued that at least five regions had their unemployment rate influenced by investments, both FDI and DDI.

For the city areas, all already a non-agriculture sector, investments strongly influenced employment absorption which leads to the lowering of the unemployment rate. Tangerang City, South Tangerang City and Cilegon City has shown that investments can contribute to the reduction of their unemployment rate, even though the impact is not the same between each, it all depends to the investment type that flows into the region. Serang City on the contrary, did not really enjoy any investment flows into their region. Even though their primary economic activities are on trading and services, Serang City still could not benefit from investments having greater influence on to their unemployment rate.

In the regency’s region, Tangerang Regency and Serang Regency also enjoy the impact of investments to their unemployment rate. Both regions heavily relied on the industry sector that eventually became a destination for most of the investments. For the Pandeglang Regency and Lebak Regency, the impact of investments to their unemployment rate was not significant, rather the investments that flowed for the majorly capital-intensive investment into the mining sector that did not absorb many workers.

Page 385: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

374 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Education also holds an important part in this issue, from the information we have earlier provided, it can be said that the education level of the people in Banten is not at the higher end of the spectrum, only 7.56% were university graduates in 2015. Moreover, in the industry, trade and the services sectors, highly educated workers are now becoming a must, where university graduates keep on increasing their shares in the worker educational attainment space.

South Tangerang City has the highest in Banten in terms of population educational level for 2015, with 54.45% of its people were graduated from high school and above, followed by Tangerang City with 52.06%, while the other regions were still under 50%. It is correlated with the unemployment rate, where South Tangerang City as in 2015 was the lowest region in Banten in terms of unemployment rate; 6.13%, followed by Tangerang City with 8% unemployment rate.

D. Conclusion

This research work has focused on investments, both FDI and DDI and their relationship with the unemployment rate in Banten Province, Indonesia. The study attempts to answer two questions: the influence of investments and education on the unemployment rate.

The study has examined the investments and labor force condition in every regency and city of the Banten Province. It suggests that although the investments that flowed in were enormous, it still has not facilitated much uplifting on the employment sector, especially in the region that still relies on agriculture for much of its local GDP. From the eight regencies and cities in Banten Province, five regions; Tangerang Regency, Tangerang City, Serang Regency, Cilegon City and South Tangerang City have benefited from investments in terms of employment absorption, but for Serang City, Lebak Regency and Pandeglang Regency, the investments have had only a limited impact on the overall employment conditions.

The main reason for the latter situation mentioned above is that as investments flow into the Banten Province, it mainly flows into the five regions that have the industry sector as their economic foundation, while the other three regions (Serang City with its trading sector, Pandeglang Regency and Lebak Regency with their agriculture sector), did not really have that privilege. As the structural change model in chapter 2 implies, when a regional economy transforms from agricultural-based to industrial-based economy, investments that flow will be more of labor-intensive. This is what seems to be happening in 5 regions in Banten Province.

Page 386: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 375

The second mission of the RMTDP of Banten Province aims at strengthening conducive investment atmosphere with more investment that creates employment as one of the indicators. As was observed in the increase percentage of FDI and DDI, this goal was achieved. However, it was unable to create enough employment opportunities.

Education also has a major impact on the unemployment rate as a higher worker qualification is needed in today’s world. The third mission of the RMTDP of Banten Province is the improvement of human resources, with an increasing quality and accessibility of education as one of the targets. However, up until 2015, the education level of Banten people was still low, with only 7.56% of them were graduated from university. It is hard for people with a low education level to compete in the job market search.

For example, South Tangerang City which has the lowest unemployment rate in the Banten Province had 54.45% of the population having graduated from high school, while Lebak Regency with high unemployment rate in 2015 had only 12.58% of population that graduated from high school. Education is certainly a factor today and will be so much more even soon.

E. Recommendations

1. The investment board of Banten Province must reform their bureaucratic procedures of business permits, so that investors are more easily attracted and willing to invest in various sectors of the economy.

2. Banten Provincial government office must obtain better terms and conditions from investors so that local potentials are best utilized so a technological transfer will occur.

3. Banten Provincial government must allocate more funds to develop human capital, not only by improving general school quality, but also by building more vocational training centers so that high school graduates who do not have the privilege to obtain a higher education, can still obtain more skills and thereby be better prepared to enter the job market. It will help them remain in the job market by continually upgrading their skill through such schools.

4. Each local government office in the Banten Province must identify and push forward their region’s potentials and improve their basic infrastructure so that the economic activity can run well and stimulate job opportunity.

Lastly, the author recognizes that this research still has some limitations that have to be addressed in the future, especially regarding the time frame of data availability and quality. This research also could not elaborate the specific type of investments

Page 387: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run

376 Direktori Mini Tesis-Disertasi

that flow into each region and the effort by each region to attract such investments. It will be better to add more quantitative analysis and analysis of underemployment, an important issue that might be useful in creating employment policy in Banten Province.

Page 388: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/... · weighted average of selected individual banks monthly data to examine the short-run and long-run