Daya Hambat Ekstrak Daun Alpukat (Persea americana, Mill...
Transcript of Daya Hambat Ekstrak Daun Alpukat (Persea americana, Mill...
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
1
Daya Hambat Ekstrak Daun Alpukat (Persea
americana, Mill.) Terhadap Pertumbuhan
Enterococcus faecalis
(The Inhibition Effect of Avocado Leaves Extract (Persea
americana, Mill.)to the Growth of Enterococcus faecalis)
Felina Lucia Charyadie, Soegijanto Adi*, Rima Parwati Sari**
*Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Background: Root canal treatment is the most common method to perserve a tooth from
infection of the root canal mixed bacteria. Enterococcus faecalis is one of the bacteria that often causes failure of the root canal treatment. Persea americana leaves extract has
antibacterial activities because of containing active compounds such as alkaloid, flavonoid, saponin, and tanin that may cause inhibit the growth of certain bacteria. Based on previous
study Persea americana leaves extract proven to be able inhibit the growth of Staphylococcus
aureus and Streptococcus mutans which are the same type with Enterococcus faecalis. Purpose: The aim of this study was to examine the inhibition effect of Persea americana
leaves extract in concentrations of 25%, 50%, and 100% to the growth of Enterococcus faecalis bacteria. Methods: This study was using diffusion method in BHI gelatin, and
incubated anaerobically at 37°C for 48 hours. Result: The mean of the inhibition effect of
Persea americana leaves extract in one of each concentrations, 25%, 50%, and 100% are 8.99 mm, 10.73 mm, and 11.8 2mm, while the positive control group (ChKM) is 10.53 mm.
Data were analyzed with ANOVA (one way) test and the result showed that there are
significant differences (p<0.05) between all groups. LSD test showed that there are significant differences in all groups except the ChKM group and the 50% group. Conclusion:
Persea americana leaves extracts having inhibition effect to the growth of Enterococcus faecalis bacteria.
Keywords: Root canal treatment, Enterococcus faecalis bacteria, Persea americana leaves extract.
Correspondence: Soegijanto Adi, Department of Conservation, Faculty of Dentistry, Hang
Tuah University, Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Phone 0816511661
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
2
ABSTRAK
Latar Belakang:Perawatan saluran akar adalah salah satu perawatan yang
biasanyadilakukan untuk mempertahankan gigi yang telah terinfeksi oleh bakteri mixed pada
saluran akar. Enterococcus faecalis adalah salah satu bakteri yang sering menyebabkan terjadinya kegagalan perawatan saluran akar. Ekstrak daun alpukat telah diketahui memiliki
aktivitas antibakteri karena mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Berdasarkan penelitian
sebelumnya ekstrak daun alpukat terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans yang merupakan golongan bakteri yang sama dengan bakteri Enterococcus faecalis. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melihat ada tidaknya daya hambat ekstrak daun alpukat dalam konsentrasi 25%, 50%, dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis. Metode: Penelitian dilakukan
dengan metode difusi pada media BHI agar dan diinkubasi secara anaerob pada 37°C
selama 48 jam. Hasil:Hasil perhitungan rerata diameter zona hambat ekstrak daun alpukat dalam konsentrasi 25%, 50%, dan 100% masing-masing sebesar 8.99 mm, 10.73 mm, dan
11.82 mm, sedangkan pada kelompok kontrol positif (ChKM) sebesar 10.53 mm. Data
kemudian dianalisis dengan uji ANOVA (one way) dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada seluruh kelompok karena nilai (p<0.05). Hasil uji LSD
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada seluruh antar kelompok kecuali kelompok ChKM dengan kelompok perlakuan konsentrasi 50% karena nilai (p>0.05).
Kesimpulan:Ekstrak daun alpukat terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis
Kata Kunci: Perawatan saluran akar, Bakteri Enterococcus faecalis, Ekstrak daun alpukat
Korespondensi: Soegijanto Adi, Bagian Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Telp 0816511661
PENDAHULUAN
Perawatan saluran akar
merupakan prosedur perawatan yang
bermaksud mempertahankan gigi dan
kenyamanannya agar dapat diterima
secara biologik oleh jaringan
sekitarnya. Kemampuan bakteri untuk
tetap bertahan di dalam saluran akar,
memegang peranan penting terhadap
timbulnya kegagalan perawatan
saluran akar.1
Mengingat anatomi ruang pulpa
yang cukup rumit serta jauhnya
penetrasi bakteri melalui tubulus
dentin, maka tindakan preparasi
saluran akar yang disertai irigasi
kurang cukup untuk dapat
membebaskan saluran akar dari bakteri
dengan baik, sehingga perlu dilakukan
pemberian obat-obatan saluran akar.2
Diantara berbagai jenis bakteri
yang terdapat pada saluran akar,
bakteri Enterococcus faecalis
merupakan bakteri yang umumnya
ditemukan pada perawatan saluran
akar yang gagal. Hal ini dibuktikan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
3
dari beberapa hasil penelitian yang
dilakukan dengan metode kultur dan
metode polymerase chain reaction
(PCR), prevalensi keberadaan bakteri
Enterococcus faecalis pada perawatan
saluran akar yang gagal semakin
meningkat dari tahun 1964 – 2004
sebesar 24% hingga 77%.3
Enterococcus faecalis memiliki faktor-
faktor virulen seperti aggregation
substance (AS), surface adhesion, sex
pheromones, lipoteichoic acid (LTA),
extracellular superoxide production
(ESP), gelatinase, hyalurodinase, AS-
48, dan cytolysin. Faktor-faktor inilah
yang menyebabkan Enterococcus
faecalis dapat bertahan hidup di dalam
saluran akar sebagai organisme tunggal
dan resisten terhadap obat-obat
antimikrobial sehingga sulit
dieliminasi dari saluran akar secara
sempurna.4
Pemberian obat-obatan saluran
akar digunakan dengan tujuan untuk
mengeliminasi bakteri yang tidak dapat
dihilangkan dengan proses chemo-
mechanical seperti bakteri
Enterococcus faecalis.2 Berdasarkan
sifat kimianya, obat-obatan saluran
akar dibagi menjadi golongan obat non
spesifik dan golongan obat spesifik
yaitu dapat berupa satu atau kombinasi
beberapa antibiotik. Beberapa obat-
obatan saluran akar selain relatif mahal
juga memiliki beberapa
kelemahan/keburukan, contohnya
golongan obat non spesifik yaitu
Chlorophenol Kamfer Menthol
(ChKM) yang bersifat toksik, dapat
menyebabkan iritasi dan nekrosis
jaringan lunak, berbau menyengat,
rasanya tidak enak, serta dapat
menimbulkan reaksi alergi.5
Saat ini banyak dikembangkan
penggunaan tanaman sebagai
alternatif, mengingat sifat resistensi
bakteri Enterococcus faecalis dan
beberapa kelemahan dari obat-obatan
saluran akar terdahulu. Salah satu
tanaman yang dapat dimanfaatkan
adalah tanaman alpukat (Persea
americana mill.). Ekstrak daun alpukat
diketahui memiliki kandungan
senyawa aktif seperti alkaloid, saponin,
dan flavonoid yang mampu
menghambat pertumbuhan beberapa
bakteri. Beberapa diantaranya adalah
bakteri Staphylococcus aureus dan
Streptococcus mutans. Berdasarkan
penelitian sebelumnya ekstrak daun
alpukat 50% dan 100% terbukti cukup
efektif dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans.Selain sebagai antibakteri,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
4
kelebihan lain senyawa flavonoid
dalam daun alpukat juga dapat bersifat
sebagai antioksidan, analgesik, dan
antiinflamasi sehingga dapat
mengurangi kerusakan jaringan pulpa,
rasa sakit, dan keradangan pada
penyakit pulpa dan periapikal. 6
Bakteri Staphylococcus aureus
dan Streptococcus mutans merupakan
golongan bakteri yang sama dengan
Enterococcus faecalis yaitu bakteri
gram positif anaerob fakultatif.
Berdasarkan hal tersebut ekstrak daun
alpukat seharusnya dapat dijadikan
sebagai suatu alternatif bahan alami
yang dapat dikembangkan sebagai obat
sterilisasi saluran akar. Selain bahan
uji dengan konsentrasi 50% dan 100%,
penelitian ini juga menguji konsentrasi
yang lebih kecil yaitu 25%.
Diharapkan konsentrasi yang lebih
kecil juga memiliki daya antibakteri
pada pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis sehingga dapat
mengurangi efek sitotoksisitasnya.
Berdasarkan uraian diatas maka
perlu dilakukan penelitian tentang daya
hambat ekstrak daun alpukat (Persea
americana, Mill.) terhadap
pertumbuhan Enterococcus faecalis
dalam berbagai konsentrasi.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimental laboratoris in
vitro dan rancangan penelitian the post
test only control group design.
Parameter penelitian ini adalah zona
jernih yang dihasilkan oleh bahan uji.
Kelompok sampel penelitian ini
menggunakan 3 kelompok perlakuan
(ekstrak daun alpukat 25%, 50%, dan
100%) dan 2 kelompok kontrol
(kontrol positif menggunakan ChKM
dan kontrol negatif menggunakan
aquades steril). Pembagian kelompok
ini bertujuan untuk mengetahui adanya
perbedaan daya hambat dalam
berbagai konsentrasi. Sampel dalam
penelitian ini adalah biakan
Enterococcus faecalis yang
disetarakan dengan larutan Mc Farland
0,5. Besar sampel yang digunakan
untuk tiap kelompok sebanyak 6
sampel, sehingga total sampel yang
digunakan adalah 30 sampel.
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Hang Tuah.
Alat yang digunakan adalah
blender, timbangan digital, water bath,
rotary evaporator vakum, penyaring
Buchner, tabung reaksi dan rak,
autoclave, erlenmeyer dan pengaduk
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
5
kaca, kertas saring berbentuk lingkaran
diameter 5 mm, beaker glass,
inkubator, petridish, spuit, burner,
osse, mikropipet, vortex, anaerobic
jar, lidi kapas steril, digital calipers
krisbow dengan ketelitian 0.01 mm,
dan syringe mikroporus membrane
diameter 0,2 µm. Bahan yang
diperlukan adalah bakteri
Enterococcus faecalis, ekstrak daun
alpukat, ChKM, aquades steril, etanol
96%, media Brain Heart Infusion
(BHI) agar, media Brain Heart
Infusion (BHI) cair, dan larutan standar
Mc Farland 0,5.
Ekstrak daun alpukat dibuat dari
serbuk daun alpukat yang ditambahkan
pelarut etanol 96% dan digoyang
dengan menggunakan water bath
dengan kecepatan 120 rpm selama 1
jam. Serbuk daun alpukat kemudian
dimaserasi selama 24 jam pada suhu
kamar, lalu difiltrasi dengan penyaring
Buchner, dan dilakukan maserasi ulang
terhadap residu selama 24 jam. Proses
ini dilakukan hingga 3 kali sehingga
didapatkan 3 filtrat. Ketiga filtrat
tersebut kemudian dicampur dan
dipekatkan dengan rotary vakum
evaporator dengan suhu 50˚C sampai
didapatkan ekstrak pekat. Pembuatan
Ekstrak daun alpukat konsentrasi
100% didapat dari 2 gr ekstrak pekat
dan 2 ml aquades steril. Untuk
konsentrasi 50% dilakukan
pengenceran dengan mengambil 1 mg
ekstrak konsentrasi 100% dan 1 ml
aquades steril. Selanjutnya konsentrasi
25% didapat dari 1 mg ekstrak
konsentrasi 50% dan 1 ml aquades
steril. Ekstrak daun alpukat yang akan
diuji terlebih dahulu disterilkan dengan
syringe mikroporus membrane
diameter 0,2 µm untuk mencegah
kontaminasi.
Penelitian dilakukan dengan
metode difusi pada media BHI agar.
Pada kelompok perlakuan, kertas
saring berbentuk lingkaran berdiameter
5 mm dicelupkan dalam ekstrak daun
alpukat selama 10 detik. Kertas saring
untuk kelompok kontrol positif
dicelupkan dalam ChKM dan untuk
kelompok kontrol negatif dicelupkan
dalam aquades steril. Kertas saring
diletakkan pada tiap zona media BHI
agar dengan menggunakan pinset steril
dan agak ditekan-tekan, kemudian
petridish dimasukkan ke dalam
anaerobic jar dan diinkubasi selama 2
x 24 jam dengan suhu 37˚C. Zona
hambat yang dihasilkan berupa zona
jernih (clear zone) disekitar kertas
saring dan diukur menggunakan digital
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
6
calipers (dalam satuan mm). Zona
jernih diukur pada bidang horizontal,
vertikal, dan diagonal lalu dibagi 3
sehingga didapatkan rerata (mean)
diameter zona hambat. Besar diameter
zona jernih yang dihasilkan
menunjukkan adanya daya hambat
ekstrak daun alpukat.
Data dianalisis dengan uji
statistik Shapiro Wilk untuk melihat
apakah data yang didapat berdistribusi
normal. Dilanjutkan dengan uji
statistik Levene Test untuk mengetahui
apakah data yang didapat homogen
variansnya. Data kemudian dilakukan
uji statistik Oneway Anova (ANOVA)
untuk melihat perbedaan antar
kelompok dan selanjutnya dilakukan
uji Least Significant Difference (LSD)
untukmengetahui perbedaan
kemaknaan diantara setiap kelompok.
HASIL
Hasil penelitian berupa
perhitungan rerata diameter dan
standar deviasi zona hambat ekstrak
daun alpukat terhadap pertumbuhan
Enterococcus faecalis.
Tabel 1. Hasil Rerata Zona Hambat
Berdasarkan data hasil penelitian
(Tabel 1) menunjukkan bahwa terdapat
daya hambat ekstrak daun alpukat
dengankonsentrasi 25%, 50%, dan
100% terhadap
pertumbuhanEnterococcus faecalis.
Daya hambat terkecil dihasilkan oleh
ekstrak daun alpukat konsentrasi 25%
sebesar 8.99 mm, dan daya hambat
terbesar dihasilkan oleh ekstrak daun
alpukat konsentrasi 100% sebesar
11.82 mm. Terlihat bahwa semakin
tinggi konsentrasi ekstrak daun alpukat
maka daya hambat yang dihasilkan
juga semakin besar (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik Hasil Rerata Zona
Hambat
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
7
Tabel 2.Hasil Uji ANOVA
(*) adalah terdapat perbedaan bermakna
Hasil uji ANOVA (tabel 2)
menunjukkan terdapat perbedaan yang
bermakna pada masing-masing
kelompok karena nilai p<0.05, maka
disimpulkan bahwa ekstrak daun
alpukat dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis dan perlu dilanjutkan dengan
uji LSD.
Tabel 3.Hasil Uji LSD
(*) adalah terdapat perbedaan bermakna
Hasil uji LSD (tabel 3)
menunjukkan adanya perbedaan
bermakna antara ekstrak daun alpukat
25% terhadap ekstrak daun alpukat
50% dan 100%, ekstrak daun alpukat
50% terhadap ekstrak daun alpukat
100%, dan ChKM terhadap ekstrak
daun alpukat 25% dan 100%. ChKM
dengan ekstrak daun alpukat 50%
menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna karena nilai p>0.05, hal ini
dapat dilihat dari hasil perhitungan
rerata daya hambat yang dihasilkan
kelompok ChKM (10.53 mm) dan
ekstrak daun alpukat 50% (10.73 mm)
memiliki perbedaan yang tidak
signifikan.
PEMBAHASAN
Daun alpukat menurut penelitian
sebelumnya mengenai analisis
fitokimia beberapa tumbuhan obat
menunjukkan bahwa daun alpukat
memiliki kandungan senyawa aktif
seperti alkaloid, flavonoid, saponin,
dan tanin.9 Senyawa-senyawa ini dapat
bekerja sebagai senyawa aktif
antibakteri. Alkaloid akan berikatan
dengan DNA sel sehingga
menimbulkan perubahankeseimbangan
genetik pada rantai DNA.10
Flavonoid
bersifat lipofilik, bekerja dengan
membentuk ikatan kompleks dengan
protein ekstraseluler serta adanya
senyawa tanin bekerja dengan
mengikat dan mengendapkan protein.11
Saponin memiliki ujung hidrofobik
yang akan berikatan pada protein
membran sel melalui ikatan gugus
polar, sedangkan gugus non polar
saponin akan berikatan dengan lemak
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
8
membran sel.12
Akan tetapi,
pemeriksaan skrining fitokimia hanya
sebatas membuktikan ada atau
tidaknya senyawa aktif dalam suatu
bahan uji. Pemeriksaan tersebut tidak
dapat menunjukkan kadar dari
senyawa aktif yang terkandung di
dalamnya. Untuk memeriksa kadar
dari senyawa-senyawa aktif tersebut
perlu dilakukan pengujian dengan
teknik tertentu dan peralatan yang
lebih canggih, misalnya metode
kromatografi lapis tipis (KLT).
Beberapa metode lain yang dapat
dilakukan diantaranya pemeriksaan
secara fisika, organoleptis,
pemeriksaan kromatografi dan
pemeriksaan spektofotometri.9
Daya hambat yang dihasilkan
ekstrak daun alpukat 100%
menghasilkan daya hambat terbesar
bahkan bila dibandingkan dengan daya
hambat kelompok ChKM. Hal ini bisa
jadi disebabkan karena pengaruh dari
kadar kandungan senyawa aktif dan
dari kepekatan bahan uji. Kepekatan
bahan uji bisa mempengaruhi berat
molekulnya yang menjadi lebih besar
sehingga viskositasnya lebih
kental.7Pada ekstrak daun alpukat
100% memiliki efek antibakteri yang
lebih lama dibandingkanChKM,
dimungkinkan karena viskositasnya
yang kental sehingga aliran (flow)
bahan uji lebih lambat. Selain itu, bisa
juga dikarenakan ChKM memiliki
daya larut dalam air yang rendah, daya
alir yang tinggi, difusi yang lambat
pada media agar, dan sifat penguapan,
oleh karena itu pada penelitian in vitro
tampak daya hambat yang dihasilkan
ChKM terbatas. Sebaliknya pada
penelitian dengan metode dilusi,
mengindikasikan bahwa ChKM
merupakan bahan yang sangat efektif
sebagai antiseptik.8
Enterococcus faecalis adalah
bakteri yang memilki kemampuan
resisten hampir pada semua obat
antiseptik. Bakteri ini memiliki
kemampuan resistensi intrinsik dan
resistensi yang didapat (acquired).
Resistensi intrinsik adalah suatu
karakteristik pada terdapat pada
hampir atau semua strain spesies yang
mana gen untuk resistensi intrinsik
tersebut dibawa dalam kromoson,
sedangkan resistensi yang didapat
(acquired) adalah resistensi yang
didapat karena mutasi DNA atau
adanya pembentukan DNA baru
melalui transfer plasmid dan
transposon. Gen resisten pada bakteri
ini disimpan di plasmid sehingga dapat
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
9
ditransfer kapan saja.13
Dengan
resistensi inilah bakteri Enterococcus
faecalis dapat resisten terhadap banyak
obat termasuk ChKM, maka
diasumsikan bahwa bakteri
Enterococcus faecalis juga memiliki
kemungkinan resisten terhadap ekstrak
daun alpukat karena mekanisme kerja
yang sama berdasarkan kandungan
fenol yang terkandung didalamnya.
Disimpulkan ekstrak daun alpukat
dapat digunakan sebagai alternatif obat
sterilisasi saluran akar namun belum
bisa mengatasi resistensi Enterococcus
faecalis.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa ekstrak daun
alpukat(Persea americana,
Mill.)konsentrasi 25%, 50%, dan
100% mempunyai daya hambat
terhadap pertumbuhan Enterococcus
faecalis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cogulu D, Uzel A,Oncag O, Aksoy SC,
Eronat C. 2007. Detection of Enterococcus
faecalis in necrotic teeth root canals by
culture and polymerase chain reaction
methods. European Journal of Denstistry,1:
216-21.
2. Johnson WT dan Noblet WC. 2009.
Cleaning and Shaping. In: Walton RE,
Torabinejad M. Endodontics principles and
practice, 4th
ed. India: Thomson Press.p.
258-83.
3. Stuart CH, Schwartz SA, Beeson TJ, Owatz
CB. 2006. Enterococcus faecalis: Its role in
root canal treatment failure and current
concepts in retreatment.JOE, 32(2): 93-8.
4. Suchitra U dan Kundabala M. 2006.
Enterococcus faecalis: An Endodontic
pathogen. medIND journals.p.11-3.
5. Fouad AF. 2009. Endodontic Microbiology.
USA: Wiley-Blackwell.p. 249.
6. Fauzia dan Larasati A. 2008. Uji Efek
Ekstrak Air dari Daun Avokad (Persea
gratissima) terhadap Streptococcus Mutans
dari Saliva dengan Kromatografi Lapisan
Tipis (TLC) dan Konsentrasi Hambat
Minimum (MIC). Majalah Kedokteran
Nusantara,41(3):173-8.
7. Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi.
Fakultas Kedokteran Sriwijaya, Ed.2.,
Jakarta: EGC.h.163-4.
8. Athanassiadis B, Abbott PV, Walsh LJ.
2007. The use of calcium hydroxide,
antibiotics and biocides as antimicrobial
medicaments in endodontics.
AustralianDental Journal Supplement,52:
S82-S64. Available
fromhttp://espace.library.uq.edu.au/eserv.ph
p?pid=UQ:13789&dsID=Antimicrobial_me
dicaments_in_endodontics.pdf Accessed
Jan 12, 2013.
9. Sangi, dkk. 2008. Analisis Fitokimia
Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa
Utara. Chem. Prog,1(1):53-47.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
10
10. Rinawati ND. 2011. Daya Antibakteri
Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete L.)
terhadap Bakteri Vibrio alginolyticus.
Universitas Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. h.8-7.
11. Katja DG, Suryanto E, Wehantouw F.
2009. Potensi Daun Alpukat (Persea
Americana Mill.) Sebagai Sumber
Antioksidan Alami. Chem. Prog, 2(1): 64-
58.
12. Noer IS dan Nurhayati L. 2006.
Bioaktivitas Ulva reticulate Forsskal. Asal
Gili Kondo Lombok Timur terhadap
Bakteri. Jurnal Biotika, 5(1): 60-45.
13. Marsa RD. 2010. Efek Antibakteri Ekstrak
Lerak dalam Pelarut Etanol terhadap
Enterococcus faecalis (Penelitian In Vitro).
Skripsi, Universitas Sumatera Utara,
Medan.h. 21-4, 41-3.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
11
Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove (Avicennia
marina)Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Mixed periodontopatogen
(The Inhibition Effect of Avicennia marina Mangrove Leaves
Extract to The Growthof Mixed periodontopathogen bacteria)
Adrianus Bagus Krisnata, Yoifah Rizka*, Dian Mulawarmanti**
*Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
**Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Background: Periodontitis is a periodontal tissue disease in which one of main factors is caused by bacteria periodontopathogen. Some antibiotics had been used to eliminate the
mixed periodontopathogen on periodontitis and antibiotic resistance has increased rapidly during the last decade. Avicennia marina is one of mangrove species which has potent as a source of antibacterial compound, such as flavonoid, alkaloid, terpenoid, tannin, and saponin.Purposes: The aim of this research was to study the inhibitory effect of mangrove leaves (Avicennia marina) on the growth of mixed periodontopathogen. Methods: Mangrove leaves was extracts with ethanol 96%. The antibacterial effect of Avicennia marina extract to the growth of mixed periodontopathogen that were tested by diffusion methods on Brain Heart Infusion (BHI) medium with 3 concentration 750 g/ml, 1500 g/ml and 3000 g/ml, each consisted of 6 samples. The Inhibition effect were examined by measuring the clear zone surrounding diffusion disc with a digital calipers , stated in millimeters. Results : Data were analized with ANOVA (one way) test and result showed the significant different (p < 0,05) between all groups and it was found that there is inhibition growth power of mixed periodontopathogen bacterial by leaves extract of Avicennia marina with concentration
750 g/ml (6,8067 ± 0,03386), 1500 g/ml (6,9067 ± 0,03266), 3000 g/ml (7,2167 ± 0,02582), DMSO 1% (6 ± 0,0000) and minosiklin 0,1% (48,835 ± 0,4764).Conclusions:
Leaves extract of Avicennia marina could inhibit the growth of mixed periodontopathogen bacteria.
Keywords: Avicennia marina, antibacterial, periodontal disease,mixed periodontopathogen, inhibitory effect.
Correspondence: Yoifah Rizka, Department of Periodontology, Faculty of Dentistry, Hang Tuah University, Arief Rahman Hakim 150, Sukolilo, Surabaya, Phone 031-
5945964,5945894, Fax. 5946261, Email :[email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
12
ABSTRAK
Latar Belakang: Periodontitis merupakan sebuah penyakit periodontal dimana faktor
utamanya adalah bakteri periodontopatogen. Antibiotik telah digunakan untuk membunuh
bakteri mixed periodontopathogen pada periodontitis dan resistensi antibiotik meningkat pesat dalam decade terakhir. Kandungan antibakteri dari alam mempunyai keunggulan
sebagai obat alternatif.Avicennia marina adalah salah satu jenis mangrove yang mempunyai kandungan anti bakteri seperti flavonoid, alkaloid, terpenoid, tannin, dan saponin.Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek daya hambat ekstrak daun mangrove
(Avicennia marina) terhadap pertumbuhan bakteri mixed periodontopathogen dengan berbagai konsentrasi. Metode: Daun mangrove diekstrak dengan etanol 96%. Efek
antibakteri dari ekstrak Avicennia marina terhadap bakteri mixed periodontopathogen diuji dengan menggunakan metode difusi pada media Brain Heart Infusion (BHI) dengan 3
konsentrasi 750 µg/ml, 1500 µg/ml and 3000 µg/ml dimana tiap kelompok terdiri dari 6
sampel. Efek daya hambat diteliti dengan mengukur daerah jernih pada disk menggunakan kaliper digital satuan millimeter.Hasil: Data dianalisa dengan uji one way ANOVA dan
hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05) antara semua kelompok dan terdapat
daya hambat pertumbuhan bakteri mixed periodontopatogen oleh ekstrak daun mangrove (Avicennia marina) dengan konsentrasi 750µg/ml(6,8067 ± 0,03386), 1500 µg/ml(6,9067 ±
0,03266), 3000 µg/ml(7,2167 ± 0,02582), DMSO 1% (6 ± 0,0000) dan minosiklin 0,1% (48,835 ± 0,4764). Simpulan: Ekstrak daun mangrove (Avicennia marina) dapat
menghambat pertumbuhan bakteri mixed periodontopatogen.
Kata kunci: Avicennia marina, antibakteri, penyakit periodontal, Mixed periodontopathogen,
daya hambat.
Korespondensi: Yoifah Rizka, Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,Universitas Hang Tuah, Jl. Arief Rahman Hakim 150, Sukolilo, Surabaya, Telp 031-5945964,5945894,
Fax. 5946261, Email :[email protected]
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki mangrove
yang terluas di dunia dan keragaman
hayati yang terbesar serta strukturnya
yang bervariasi.1 Mangrove Indonesia
Center tahun 2006 memperlihatkan
luas hutan mangrove di Indonesia
mencapai 25% dari total 18 juta
hektare mangrove di dunia.2
Tumbuhan mangrove di
Indonesia jenisnya bermacam-macam,
tetapi hanya didominasi oleh
Avicenniamarina, Rhizophora
mucronata, Sonneratia caseolari.3
Tumbuhan mangrove jenis Avicennia
marina paling banyak ditemukan
karena memiliki batas toleran yang
cukup tinggi terhadap perairan dengan
kondisi yang ekstrim salinitas yang
tinggi, kondisi berlumpur, mampu
tumbuh dengan baik pada salinitas
yang mendekati air tawar sampai
dengan 90%.4 Ekstrak daun mangrove
Avicennia marina banyak ditemukan
senyawa-senyawa aktif meliputi
flavonoid, alkaloid, terpenoid, tannin,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
13
dan saponin daripada kulit, batang,
getah, akar dan buah.5Ekstrak daun
mangrove mampu menunjukkan
aktivitas antimikrobanya terhadap
bakteri gram negatif, gram positif dan
jamur meliputi Staphylococcusaureus,
Staphylococcus epidermides,
Escherichia coli, Bacillus subtilis,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
pneumonia, Aspergilus niger,
Rhyzopus oryzae, Candida albicans
dan Saccharomyces cerevisiae. Hal itu
menunjukkan bahwa senyawa aktif
tersebut mempunyai antibakteri.6
Penggunan antibiotik yang
berlebihan dan tidak tepat pada
beberapa kasus, dapat ,menyebabkan
masalah kekebalan antimikrobial.7
Resistensi bakteri ini merupakan
ancaman keberhasilan terapi terhadap
penyakit infeksi baik dirumah sakit,
pelayanan kesehatan lain, maupun di
masyarakat.8
Penyakit periodontal merupakan
penyakit pada jaringan pendukung gigi
yang terutama disebabkan oleh bakteri.
Inflamasi dan kehilangan tulang
merupakan tanda-tanda adanya
penyakit periodontal.9
Di Indonesia,
penyakit periodontal menduduki
urutan kedua setelah karies dan masih
merupakan masalah di masyarakat.10
Penyakit periodontal pada
umumnya dibagi menjadi dua macam
yaitu gingivitis jika mengenai jaringan
gingiva dan periodontitis jika
mengenai jaringan periodontal lebih
luas yaitu ligamen peridontal,
sementum, dan tulang alveolar.11
Bakteri-bakteri patogen yang diduga
memiliki peranan penting sebagai
penyebab kerusakan jaringan
periodontal adalah Actinobacillus
actinomycetemcommitans (Aa),
Porphyromonas gingivalis,Tannerella
forshytensis, Prevotella intermedia,
Fusobacterium neucleatum,
Selenomonas dan Capnocytophaga
yang merupakan bakteri-bakteri jenis
anaerob gram negatif.12
Bakteri-bakteri
tersebut yang disebut dengan bakteri
Mixed periodontopathogen yang
berada dalam rongga mulut pasien
dengan kelainan periodontitis.
Terapi periodontal selain dengan
cara scaling dan root planning, juga
dilakukan pemberian antibiotik,
dimana dapat diberikan secara sistemik
maupun secara lokal.13
Pemberian antibiotika secara
lokal mempunyai keuntungan yaitu
secara langsung mencapai daerah
target yang spesifik, sehingga dosis
maupun konsentrasinyadapat dikurangi
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
14
serta efek sampingnya juga
berkurang.14
Ada beberapa golongan
antimikroba yang efektif untuk
pengobatan penyakit periodontal.
Minosiklin sebagai salah satu dari
golongan antimikroba yang dapat
digunakan sebagai pilihan pada kasus
periodontitis, di bidang kedokteran
gigi, kecenderungan pemakaian
minosiklin terus meningkat, karena
minosiklin mempunyai kelebihan
dibandingkan antibiotika lainnya untuk
terapi penyakit periodontal.
Keuntungan minosiklin adalah efektif
melawan pertumbuhan bakteri
periodontophatogen gram negatif
anaerob, konsentrasi yang tinggi pada
gingival crevikular fluid (GCF), dan
efek antimikroba yang baik dengan
pelepasan yang pelan pada poket
periodontal.15
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai daya hambat
ekstrak daun mangrove (Avicennia
marina) terhadap pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen yang
merupakan etiologi utama penyakit
periodontal, sehingga nantinya dapat
bermanfaat sebagai obat alternatif
dalam bentuk obat kumur untuk
mengobati penyakit periodontal.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
true eksperimental laboratoris dengan
rancangan the post test only control
group design. Sampel penelitian ini
menggunakan bakteri Mixed
periodontopatogen yang diambil dari
biakan penderita dengan diagnosis
periodontitis yang diinokulasi pada
media Brain Heart Infusion (BHI) cair
dengan teknik pengambilan sampel
menggunakan simple random
sampling.
Daun Avicennia marina diambil
dari Balai Pengelolaan Mangrove
wilayah I Wonorejo Surabaya. Daun
Avicennia marina yang sudah kering
dan halus seberat 1,1 kg diekstrak
menggunakan pelarut etanol 96% 3
liter dengan cara maserasi
menghasilkan ekstrak seberat 96 gram.
Subyek pada penelitian dibagi
dalam 5 kelompok yaitu kelompok
kontrol negatif dengan DMSO 1%,
kelompok kontrol positif
menggunakan minosiklin 0,1%, dan 3
kelompok diberi ekstrak daun
mangrove Avicennia marina dengan
konsentrasi 750 µg/ml, 1500 µg/ml
dan 3000 µg/ml sehingga total sampel
yang digunakan pada penelitian ini
adalah 30 sampel.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
15
Bakteri Mixed
periodontopatogen setelah
diinkubasikan, diambil dengan
mikropipet yang diletakkan pada
obyek glass untuk dibuat preparat yang
kemudian akan dilakukan pengecatan
untuk melihat jenis bakteri yang
mendominasi. Bakteri yang
mendominasi yaitu bakteri
gramnegatif. Setelah pengecatan,
suspensi bakteri tersebutdisetarakan
kekeruhannya dengan larutan standar
Mc Farland 0,5 atau setara dengan
konsentrasi 1,5x108 CFU/ml.
Selanjutnya, menyiapkan
petridisk yang telah berisi bakteri
Mixed periodontopatogen dengan
media BHI agar. Setelah itu
mencelupkan kertas saring yang
sebelumnya telah dicelupkan ke dalam
ekstrak daun Avicennia marina selama
10 detik pada kelompok perlakuan.
Untuk kelompok kontrol, kertas saring
dicelupkan pada aquadest steril selama
10 detik. Meletakkan kertas saring
tersebut pada media agar Mixed
periodontopatogen dengan
menggunakan pinset steril agak
ditekan – tekan. Memasukkan petri
dish ke dalam inkubator selama 2x24
jam dengan suhu 370C dalam suasana
anaerob.
Tahap berikutnya yaitu
mencelupkan kertas saring yang
sebelumnya telah dicelupkan ke dalam
ekstrak daun Avicennia marina selama
10 detik pada kelompok perlakuan.
Untuk kelompok kontrol, kertas saring
dicelupkan pada DMSO 1% untuk
kontrol negatif dan minosiklin 0,1%
untuk kontrol positif selama 10 detik.
Meletakkan kertas saring tersebut pada
media agar Mixed periodontopatogen
dengan menggunakan pinset steril agak
ditekan–tekan. Memasukkan petri dish
ke dalam inkubator selama 2x24 jam
dengan suhu 370C dalam suasana
anaerob. Pengukuran zona hambat
yaitu selisih diameter zona jernih
dikurangi diameter kertas saring
menggunakan digital kalipers dalam
satuan millimeter (mm).
Dari hasil penelitian perlu
dilakukan tes normalitas (Uji Shapiro
Wilk karena besar sampel < 50).
Setelah itu menggunakan uji one way
Anova (satu arah) yang dilanjutkan
dengan uji LSD (Least Significant
Difference).
HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian tentang
daya hambat ekstrak daun mangrove
Avicennia marina terhadap
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
16
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Diameter zona hambat terhadap bakteri Mixed periodontopatogen (dalam satuan
mm)
Berdasarkan tabel 1 diatas
menunjukkan bahwa tidak terdapat
daya hambat pada kelompok kontrol
negatif DMSO 1%, sedangkan pada
kelompok perlakuan ekstrak daun
Avicennia marina dengan konsentrasi
750 µg/ml, 1500 µg/ml dan 3000
µg/ml menunjukkan adanya daya
hambat terhadap bakteri Mixed
periodontopatogen dan semakin tinggi
konsentrasi ekstrak Avicennia marina,
semakin besar pula zona hambat yang
dihasilkan.
Gambar 1. Gambar rata-rata diameter zona hambat
Berdasarkan gambar 1 di atas
dapat dilihat bahwa daya hambat pada
kelompok kontrol positif
menggunakan minosiklin 0,1% yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan
kelompok perlakuan ekstrak Avicennia
marina.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55Daya Hambat (mm)
K
K
750 1500 3000
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
17
PEMBAHASAN
Hasil analisa penelitian ini
menggunakan uji statistik ANOVA dan
LSD dengan signifikansi 5% (p<0,05)
terlihat perbedaan bermakna antara
kelompok kontrol positif (minosiklin
0,1 %) dengan rerata sebesar 48,835
mm dan kelompok kontrol negatif
(DMSO 1%) dengan rerata sebesar
6,00 mm. Hal itu membuktikan bahwa
DMSO 1% tidak memiliki daya
hambat dan tidak mempengaruhi hasil
dari penelitian, sedangkan minosiklin
merupakan antibiotik golongan
tetrasiklin dimana sifatnya adalah
lipofilik yang mampu menembus
membran lemak di dinding sel dan
menghambat sintesis atau merusak
asam nukleat sel bakteri dan
menghambat sintesis protein pada
ribosomnya, Paling sedikit terjadi 2
proses dalam masuknya antibiotik ke
dalam bakteri gram negatif, pertama
secara difusi pasif melalui kanal
hidrofilik, kedua melalui sistem
transpor aktif. Setelah masuk antibiotik
berikatan seraca reversibel dengan
ribosom 30S dan mencegah ikatan
tRNA–aminoasit pada kompleks
mRNA-ribosom. Hal tersebut
mencegah perpanjangan rantai peptida
yang sedang tumbuh dan berakibat
terhentinya sintesis protein.15
Antibiotik yang memiliki mekanisme
kerja menghambat sintesis protein
mempunyai daya antibakteri sangat
kuat.16
Hasil kontrol negatif DMSO 1 %
(6,00 mm) dan kelompok perlakuan
Avicennia marina pada konsentrasi
750 μg/ml (6,8067 mm),ekstrak
Avicennia marina 1500 μg/ml (6,9067
mm), ekstrak Avicennia marina 3000
μg/ml (7,2167 mm), serta pada uji
statistik ANOVA dan LSD dengan
signifikansi 5% (p<0,05) pada semua
konsentrasi memiliki perbedaan yang
bermakna.Hal itu membuktikan
bahawa adanya daya hambat ekstrak
daun Avicennia marina terhadap
pertumbuhan bakteriMixed
periodontopatogen dikarenakan
adanya senyawa aktif yang terkandung
dalam ekstrak daun Avicennia marina
antara lain flavonoid, alkaloid,
terpenoid, tannin dan saponin.5
Flavonoid merupakan senyawa
polar yang umumnya mudah larut
dalam pelarut polar seperti etanol,
methanol, butanol dan
aseton.Flavonoid merupakan golongan
terbesar dari senyawa fenol, senyawa
fenol mempunyai sifat efektif
menghambat pertumbuhan virus,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
18
bakteri dan jamur. Mekanisme kerja
flavonoid dalam menghambat
pertumbuhan bakteri adalah flavonoid
menyebabkan terjadinya kerusakan
permeabilitas dinding sel bakteri dan
flavonoid mampu menghambat
motilitas bakteri.17
Flavonoid
mempunyai sifatnya bakteriostatik,
tetapi pada konsentrasi yang semakin
tinggi flavonoid mampu membunuh
bakteri gram negatif maupun gram
positif.18
Alkaloid memiliki kemampuan
sebagai antibakteri. Mekanisme
alkaloid yaitu dengan cara
mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri,
sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut. Di
dalam senyawa alkaloid juga terdapat
gugus basa yang mengandung reaksi
nitrogen yang akan bereaksi dengan
senyawa asam amino yang menyusun
dinding sel bakteri dan DNA bakteri.
Reaksi ini mengakibatkan perubahan
struktur dan susunan asam amino,
dimana akan menimbulkan perubahan
keseimbangan genetik pada pada rantai
DNA sehingga akan mengalami
kerusakan yang akan mendorong
terjadinya lisis sel bakteri yang akan
menyebabkan kematian sel pada
bakteri.16
Penelitian sebelumnya
menunjukkan pada konsentrasi 400 –
500 μg/ml alkaloid mampu
membunuhbakteri gram negatif
maupun gram positif.18
Terpenoid mempunyai manfaat
penting sebagai obat tradisional,
antibakteri, antijamur dan gangguan
kesehatan. Senyawa terpenoid dapat
menghambat pertumbuhan dengan
mengganggu proses terbentuknya
membran dan atau dinding sel,
membran atau dinding sel tidak
terbentuk atau terbentuk tidak
sempurna.17
Karena mekanisme itulah
terpenoid lebih bersifat
bakteriostatik.20
Senyawa – senyawa
ini yang mempunyai aktivitas
bakteristatik itu dapat meningkat
menjadi bakterisid, jika kadar senyawa
antibakteri itu ditingkatkan melebihi
kadar hambat minimal.21
Senyawa tannin menyebabkan
denaturasi protein dengan membentuk
kompleks dengan protein melalui
kekuatan nonspesifik seperti ikatan
hidrogen dan efek hidrofobik
sebagaimana pembentukan ikatan
kovalen, menginaktifkan adhesi
mikroba terhadap molekul untuk
menempel pada sel inang,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
19
menstimulasi sel-sel fagosit yang
berperan dalam sespon imun selular.22
Tannin pada konsentrasi rendah
mempunyai sifat bakteriostatik, tetapi
tannin dengan konsentrasi 12,5 - 50
μg/ml mempunyai sifat bakterisid baik
untuk bakteri gram negatif maupun
gram positif.23
Saponin merupakan glukosida
yang larut dalam air dan etanol, tetapi
tidak larut dalam eter. Saponin bekerja
sebagai antibakteri dengan
mengganggu stabilitas membran sel
bakteri sehingga menyebabkan sel
bakterilisis, jadi mekanisme kerja
saponin termasuk dalam kelompok
antibakteri yang mengganggu
permeabilitas membran sel bakteri,
yang mengakibatkan kerusakan
membran sel dan menyebabkan
keluarnya berbagai komponen penting
dalam sel bakteri yaitu protein, asam
nukleat dan nukleotida.17
Karena sifat
itulah saponin pada konsentrasi 1 – 12
μg/ml tidak bisa menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif
E.coli sehingga saponin mempunyai
sifat bakteriostatik.24
Saponin juga
tidak mampu menghambat bakteri
gram negatif dan jamur tetapi saponin
mampu menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif.25
Antar perlakuan ekstrak daun
Avicennia marina dengan konsentrasi
750 μg/ml (6,8067 mm), 1500 μg/ml
(6,9067 mm), dan 3000 μg/ml (7,2167
mm) yang menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi ekstrak
daun Avicennia marina semakin besar
pula zona hambat pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen yang
dihasilkan. Hal itu disebabkan pada
konsentrasi yang semakin besar,
semakin besar kandungan bahan aktif
dan semakin besar juga efek
antibakterinya.
Hasil penelitian tampak adanya
perbedaan diameter selisih zona
hambat pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen yang signifikan
pada perlakuan kelompok kontrol
positif (minosiklin) dengan konsentrasi
ekstrak Avicennia marina konsentrasi
750 μg/ml, 1500 μg/ml, dan 3000
μg/ml. Hal itu dikarenakan bakteri
Mixed periodontopatogen didominasi
oleh bakteri gram negatif. Kandungan
protein porin pada membran terluar
dinding sel bakteri gram negatif
bersifat hidrofilik. Kemungkinan porin
yang terkandung pada membran terluar
tersebut menyebabkan molekul-
molekul komponen ekstrak lebih sukar
masuk ke dalam sel bakteri. struktur
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
20
dinding sel bakteri ini berlapis tiga
yang tersusun atas peptidoglikan dan
lipid dengan kadar yang tinggi (11-22
%). Selain itu, 20 % membran luar
bakteri mengandung lipid sehingga
senyawa metabolit sekunder ini sulit
masuk ke dalam membran luar dinding
sel, dimana lipid ini berfungsi
mencegah masuknya bahan kimia dari
luar.16
Senyawa aktif Avicennia marina
mempunyai cara kerja yang
mengganggu lapisan peptidoglikan
yang merupakan komponen luar
bakteri sehingga lapisan dinding sel
tidak terbentuk secara utuh. Hal itu
dikarenakan lapisan lipid bakteri gram
negatif yang sangat tebal sehingga
senyawa Avicennia marina kesulitan
untuk menembus lapisan tersebut.
Sedangkan minosiklin seperti pada
penjelasan diatas yang mampu masuk
melewati membran menyerang DNA
bakteri karena bersifat lipofilik,
dengan lebih brusaknya struktur DNA
bakteri sehingga sintesis DNA bakteri
terganggu. Perbedaan cara kerja
tersebut, sehingga Avicennia
marinalebih bersifat bakteriostatik,
sedangkan minosiklin bersifat
bakterisid. Sesuai dengan hasil
penelitian ini, dapat diketahui bahwa
ekstrak daun Avicennia marina
mempunyai efek antibakteri terhadap
bakteri Mixed periodontopatogen. Hal
ini disebabkan dalam ekstrak daun
Avicennia marina terdapat berbagai
senyawa aktif flavonoid, alkaloid,
terpenoid, tannin dan saponin yang
mampu berperan dan memberikan
hasil yang efektif sebagai antibakteri.
Besarnya diameter zona hambat pada
minosiklin dibandingkan dengan
ekstrak Avicennia marina membuat
peneliti berinisiatif untuk menjadikan
bahan alam ini sebagai preventif di
bidang kedokteran gigi yaitu untuk
menjaga oral hygiene dengan sediaan
sebagai obat kumur.
Penelitian ini masih bersifat
kualitatif yaitu menunjukkan adanya
daya hambat ekstrak daun Avicennia
marinaterhadap pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
SIMPULAN
Terdapat daya hambat ekstrak
daun mangrove (Avicennia marina)
terhadap pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen pada konsentrasi
750 μg/ml, 1500 μg/ml, 3000 μg/ml
dengan semakin besar konsentrasi
semakin besar pula daya
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
21
hambatnya.Konsentrasi yang memiliki
daya hambat paling optimal terhadap
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen secara in vitro
adalah 3000 μg/ml. Namun,
penggunaan minosiklin 0,1%
mempunyai daya hambat yang lebih
besar bila dibandingkan dengan
ekstrak daun Avicennia marina.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hang Tuah Surabaya dan
Laboratorium Fitokimia Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga
Surabaya atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan untuk pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Noor YR, Khazali, Suryadiputra. 2006.
Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia.PHKA-WIIP. Bogor.
2. Bayu A. 2009. Hutan Mangrove Sebagai
Salah Satu Sumber Produk Alam Laut.
Oseana, 19(2):23-15.
3. Purnobasuki H. 2004. Potensi Mangrove
sebagai Tanaman Obat.
http://herypurba.blog.unair.ac.id/files/2010/
02/botani_mangrove-pemanfaatan-potensi-
mangrove-sebagai-tanaman-obat.pdf.
Diakses tanggal 5 Mei 2012.
4. Susanto AH, Soedarti T, Purnobasuki H.
2012. Struktur Komunitas Mangrove Di
Sekitar Jembatan Suramadu Sisi
Surabaya,Program Study S-1 Biologi,
Departemen Biologi fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
5. WibowoC, dkk. 2009.Pemanfaatan pohon
mangrove api-api (Avicennia spp.) sebagai
bahan pangan dan obat.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/
123456789/45052/Pemanfaatan%20Pohon
%20Mangrove.pdf?sequence=1. Diakses
tanggal 5 Mei 2012.
6. Kumar VA, Amnani K, Siddhardha B.
2011. In Vitro Antimicrobial Activity of
Leaf Exstracs of Certain Mangrove Plants
Collected from Godavari Estuarine of
Konaseema delta India. Journal Med Arom
Plants, 1(2): 136-132.
7. Hooton, TM and Levy, SB. 2001.
Confronting The Antibiotics Resistence
Crisis: Making Appropriate Therapeutic
Decisions in Community Medical Practice,
Medscape Portals, Inc.
8. Wahjono H dan Kristina TN. 2008.
Auditing Peta Medan Kuman dan
Antibiogram sebagai Educated-guess
Penanganan Penyakit Infeksi. Media
Medika Indonesiana, 43 (1):22-17.
9. Putri AR. 2009. Inflamasi dan Kehilangan
Tulang pada Penyakit Periodontal. Skripsi,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
10. Amalina R. 2010. Perbedaan Jumlah
Actinobacillus Actinomycetemcomitans
pada Periodontitis Agresif berdasarkan
Jenis Kelamin. Majalah Sultan Agung, 1-
14. Available from
http://unissula.ac.id/newver/images/jurnal/J
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
22
uli/rizki%20-periodontitis%20agresif-.pdf.
Diakses tanggal 30 Juni 2012.
11. Newman MG, Takei HH, Klokkevoid PR,
Carranza FA. 2006.Clinical
Periodontology, 10th edition, St Louis:
Saunders.p 245-241.
12. Samaranayake. 2006. Essential
Microbiology for Dentistry, thirdedition;
Addison Churchil Livingstone. p 283-275.
13. Widyastuti dan Rizka Y. 2006.
Pengurangan Kedalaman Poket Periodontal
dengan Terapi Non Bedah. Denta Jurnal
Kedokteran Gigi.1(1): 13-9.
14. Nilawati Niha dan Wibisono Poernomo A.
2003. Efektifitas tetrasiklin 1% dan
metronidazole 25% pada perawtan adult
periodontitis. Dental Jurnal Edisi Khusus
ilmiah Nasional. UNAIR. h.152-150.
15. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi,
Elysabeth. 2009. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 585
16. Rinawati ND. 2011. Daya Antibakteri
Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete l.)
Terhadap Bakteri Vibrio alginolyticus.
Tugas Akhir, Surabaya : Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
17. Darsana I Gede Oka, Besung INK,
Mahatmi Hapsari. 2012. Potensi Daun
Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore)
Steenis) dalam Menghambat Pertumbuhan
Bakteri Escherichia Coli secara In Vitro.
Indonesia Medicus Veterinus, 1(3) : 351-
337.
18. Fenska JE. 2008.The Antimicrobial Effects
of Flavonoid Extracts on Selected
Bacteria.Miami. Miami High School.
19. Torres Yohatra R, dkk. 2002. Antibacterial
Activity Against Resistent Bacterial and
Cytotoxicity of Four Alakaloid Toxin
Isolated from the Marine Sponge
Arenosclera Brasiliensis. Toxixon,
Vol4(7): 891-885.
20. Meng Xue, Zhiying Wang, Hui Lv.2010.
Constituents and Bacteriostatic Activity of
Volatile Matter from Four Flower Plants
Species. Indian J. Agric. Res,44 (3) : 167–
157.
21. Jaya AM. 2010. Isolasi dan Uji
EfektivitasAntibakteri Senyawa Saponin
dari Akar Putri Malu(Mimosa
pudica).Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas
Sains dan teksnologi Universitas Islam
Negeri, Malang
22. Rahman FA. 2009. Daya Anti Mikroba
Tanaman Berkhasiat Obat.
http://fatma.student.umm.ac.id/2010/11/15/
109/ . Diakses tanggal 19 November 2012.
23. Hayashi Shinji, Keiji Funatogawa,
Yoshikazu Hirai. 2008. Antibacterial Effect
of Tannin in Children and Adult. Botanical
medicines in clinical practice, Vol 3(111):
146-141.
24. Arabski M, dkk. 2012. Effect of Saponin
Againts Clinical E.coli Stains and
Eukaryotic Cell Line. Journal of Biometric
and biotechnology VI 2012.
25. Soetan K, dkk. 2006. Evaluation of the
Antimicrobial Activity of Saponin Extract
of Sorghum Bicolor. African Journal of
Bioteknologi,Vol5(23):2407-2405.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
23
Daya Hambat Ekstrak Nannochloropsis
oculataTerhadap Pertumbuhan Bakteri
Enterococcusfaecalis
(Inhibition effect of Nannochloropsis oculata Extract to the
Growth of Enterococcus faecalis Bacteria)
Ayu Fadhilah, Kristanti Parisihni*, Henu Sumekar**
*Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Enterococcus faecalis is one caused bacteria of root canal infections. ChKM is
mostly used as sterilization agent in endodontic treatment but has some disadvantages.
Nannochloropsis oculata extract has been reported to have antibacterial effects for gram-negative bacteria, so could be potentially developed as a root canal sterilization agent.
Purpose: The aim of this study was to determine the inhibitory effect of Nannochloropsis
oculata extract to the growth of E. faecalis. Methods: This study was an experimental study with post test only control group design and were tested by diffusion methods with 4 groups
concentration of 10%, 20%, 40%, 80%, and 2 controls groups using DMSO 1% as negative control, and ChKM as positive control, each group consisted of 5 samples. The inhibition
effect were examined by measure the diameter of the clear zone around the disc. Data were
analyzed by one way ANOVA test and followed by LSD test. Result: Results showed that there were clear zone around the disc, the greater concentration of the extract the greater diameter
of the clear zone. Mean of inhibition zone at concentrations of 10% (6.2160 mm), 20% (6.5880 mm), 40% (8.0020 mm), 80% (9.5160 mm), DMSO 1% (6 mm) and ChKM (10.9940
mm). It had been proved that N oculata extract could inhibit the growth of E. faecalis
(p<0,05). The largest diameter of the clear zone was in the concentration of 80%. Conclution: Nannochloropsis oculata extract could inhibit the growth of Enterococcus
faecalis and the mosteffectiveinhibitory concentrationis 80% butitsmaller thanpositive
control(ChKM).
Key words:Endodontic treatment, antibacterial, Nannochloropsis oculata Enterococcus faecalis
Correspondence: Kristanti Parisihni, Department of Microbiology, Faculty of Dentristry, Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya 60111 Indonesia, Phone 031-
5912191, e-mail: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
24
ABSTRAK
Latar belakang: Enterococcus faecalis merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi pada
saluran akar. Perawatan saluran akar terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya yaitu
sterilisasi saluran akar .ChKM merupakan obat yang sering digunakan pada tahapan ini, namun obat ini masih memiliki kekurangan.Ekstrak Nannochloropsis oculata diketahui
memiliki efek antibakteri terhadap bakteri gram negatif, sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai obat sterilisasi saluran akar. Tujuan: Untuk mengetahui kemampuan
ekstrak Nannochloropsis oculata dalam menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis. Metode: Penelitian eksperimental dengan desain penelitian the post test only control group. Efek antibakteri ekstrak Nannochloropsis oculata terhadap pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis diuji menggunakan metode difusi dengan 4 konsentrasi dan 2 kontrol, yaitu 10%, 20%, 40%, 80%, dan kontrol negatif menggunakan DMSO 1% serta kontrol
positif menggunakan ChKM, dimana tiap kelompok terdiri dari 5 sampel. Daya hambat
diperiksa dengan mengukur diameter zona jernih disekitar kertas saring. Analisis data menggunakan uji one way ANOVA diikuti dengan uji LSD. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan adanya zona jernih disekitar kertas saring dari ekstrak Nannochloropsis
oculata, makin besar konsentrasi maka makin besar diameter zona hambatnya. Rata – rata zona hambat pada konsentrasi 10% (6,2160 mm), 20% (6,5880 mm), 40% (8,0020 mm), 80%
(9,5160 mm), untuk kontrol negatif DMSO 1% (6 mm) dan kontrol positif ChKM (10,9940 mm). Ini menunjukkan bahwa ekstrak Nannochloropsis oculata dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis (p<0,05). Diameter terbesar dari zona jernih di
sekitar kertas saring terdapat pada konsentrasi 80%. Kesimpulan: Ekstrak Nannochloropsis oculata dapat menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis dengan konsentrasi
hambat yang paling efektif adalah 20% namun daya hambatnya masih lebih kecil bila dibandingkan kontrol positif (ChKM).
Kata kunci: Perawatan endodontik, antibakteri, Nannochloropsis oculata, Enterococcus faecalis
Korespondensi: Kristanti Parisihni, Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim 150, Surabaya 60111 Indonesia, Telp 031-
5912191, e-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Karies gigi merupakan suatu
infeksi endogenous yang menyebabkan
terjadinya demineralisasi enamel dan
bisa berlanjut pada dentin oleh karena
asam yang diproduksi oleh
mikroorganisme plak yang
memetabolisme karbohidrat.1Karies
gigi yang tidak dilakukan perawatan
lambat laun akan mencapai pulpa dan
mengakibatkan keradangan pada
pulpa. Apabila terjadi keradangan pada
pulpa salah satu perawatan yang dapat
dilakukan oleh dokter gigi adalah
perawatan saluran akar.
Bakteri yang paling banyak
diisolasi dari saluran akar yang
terinfeksi adalah obligat anaerob.2
Sundqvist (2006) menemukan
sejumlah bakteri anaerob seperti
Enterococcus faecalis (E. faecalis),
Streptococcus anginosus, Bacteroides
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
25
gracilis, dan Fusobacterium nucleatum
pada perawatan saluran akar yang
gagal.3 Penelitian menunjukkan bahwa
dari 100 pengisian saluran akar yang
gagal disertai periodontitis apikalis,
terdapat bakteri fakultatif sebanyak 69
% dan 50 % diantaranya merupakan
Enterococci. Walaupun Enterococcus
biasanya ditemukan pada saluran akar
yang tidak dirawat dalam jumlah
sedikit, bakteri ini sering ditemukan
pada perawatan saluran akar yang
gagal dan dapat menyebabkan infeksi
saluran akar yang persisten.3
Enterococcus faecalissering
terdeteksi sebagai spesies pada infeksi
rongga mulut, termasuk periodontitis
marginalis, infeksi pada saluran akar
dan periradikular abses. Enterococcus
faecalis terbukti dapat bertahan hidup
di dalam saluran akar sebagai
organisme tunggal dan resisten
terhadap bahan-bahan antimikrobial
yang umum digunakan sehingga sulit
dieliminasi dari saluran akar secara
sempurna.4
Perawatan saluran akar terdiri
dari tiga tahapan penting yaitu
preparasi, sterilisasi dan
pengisian.Eliminasi mikroorganisme
dari akar yang terinfeksi telah menjadi
fokusutama dalam perawatan saluran
akar karena keberadaan bakteri
memegang perananpenting dalam
patogenesis pulpa dan periradikular
serta keberhasilan dari perawatan
saluran akar.5
Perawatan kasus endodontik
membutuhkan penggunaan obat
sterilisasi yang mampu mengeliminasi
endotoksin bakteri yang telah melekat
pada struktur gigi yang tidak
tereliminasi sempurna saat proses
instrumentasi saluran akar.Penggunaan
obat sterilisasi saluran akar selama
perawatan endodonti harus dapat
mensterilisasi dan mengurangi jumlah
mikroorganisme patogen dalam
saluran akar. Salah satu obat sterilisasi
saluran akar yang sering digunakan
adalah golongan fenol, seperti ChKM
dan Cresofene. Obat sterilisasi
golongan fenol ini memiliki beberapa
kelemahan yaitu bau yang menyengat,
rasa tidak enak, dapat terserap oleh
tumpatan sementara dan dapat
menyebar ke rongga mulut sehingga
pasien akan mengeluhkan rasa yang
tidak enak dan bersifat allergen
sehingga dapat menyebabkan reaksi
imun yang dapat membahayakan
pulpa.6
Untuk mengeliminasiE. faecalis
dari saluran akar dan melihat
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
26
kelemahan beberapa obat sterilisasi
tersebut, perlu dikembangkan obat
sterilisasi saluran akar yang berasal
dari bahan alami serta memiliki daya
antibakteri yang baik.
Dua pertiga luas wilayah
Indonesia terdiri dari lautan dan di
dalamnya terdapat bermacam-macam
makhluk hidup baik berupa tumbuhan
maupun hewan. Salah satu makhluk
hidup yang tumbuh dan berkembang di
perairan laut adalah alga laut. Ditinjau
secara biologi, alga merupakan
kelompok tumbuhan yang berklorofil
terdiri dari satu atau banyak sel dan
berbentuk koloni. Di dalam alga
terkandung bahan-bahan organik
seperti hormon, vitamin, mineral,
poliskarida dan senyawa bioaktif.
Sejauh ini pemanfaatan alga sebagai
komoditas perdagangan atau bahan
baku industri masih relatif kecil jika
dibandingkan dengan keanekaragaman
jenis alga yang ada di Indonesia.
Padahal komponen kimiawi yang
terdapat dalam alga sangat bermanfaat
bagi bahan baku industri makanan,
kosmetik, farmasi dan lain-lain.7
Alga merupakan salah satu
sumber potensial senyawa bioaktif
yang dapat digunakan sebagai
antibakteri.8 Berbagai jenis alga seperti
Griffithsia, Ulva, Enteromorpha,
Gracilaria dan Euchema telah dikenal
luas sebagai sumber potensial
karagenan yang dibutuhkan oleh
industri gel. Begitupun Sargasssum,
Chlorella, Nannochloropsis yang telah
dimanfaatkan sebagai adsorden logam
berat, Osmudaria, Hypnea dan
Gelidium sebagai sumber senyawa
bioaktif, Laminariales dan
Sargassummuticum yang mengandung
senyawa alginate yang berguna dalam
industri farmasi. Pemanfaatan berbagai
jenis alga lain adalah sebagai
biometanol dan biodiesel ataupun
pupuk organik.7
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak Nannochloropsis
Oculata memiliki sifat sebagai
antibakteri,8 salah satunya mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
Vibrio alginolitycus.9 Penelitian Kafaie
dkk, menunjukkan bahwa
Nannochloropsis oculata tidak
memiliki efek toksisitas.10
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
kemampuan ekstrak Nannochloropsis
oculata dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis.
Berdasarkan data tersebut,
peneliti ingin mengembangkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
27
Nannochloropsis oculata sebagai
alternatif obat sterilisasi saluran akar
yang memiliki kemampuan antibakteri
dan tidak memiliki efek toksisitas
menjadi alasan dilakukannya
penelitian dengan cara mengeksplor
sumber daya laut yang kedepannya
bisa dimanfaatkan di bidang
kedokteran gigi. Salah satu penelitian
yang harus dilakukan adalah pengujian
daya hambat ekstrak Nannochloropsis
oculata terhadap pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis sebagai bakteri
yang sulit dieliminasi dari saluran akar
dan resisten terhadap antimikrobial
yang umum digunakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui daya hambat ekstrak
Nannochloropsis oculata terhadap
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis pada konsentrasi 10%, 20%,
40% dan 80%, dibandingkan dengan
obat sterilisasi saluran akar ChKM.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini tergolong
penelitian true experimental dengan
rancangan penelitian the post test only
control group design.11
Besar sampel pada penelitian ini
adalah sebanyak 5 sampel untuk setiap
kelompok perlakuan, sehingga
diperoleh jumlah sampel keseluruhan
adalah 30 sampel. Sampel penelitian
diambil secara acak (random) dari
populasi.11
Bahan yang digunakan meliputi
suspensi bakteri Enterococcus faecalis,
ekstrak Nannochloropsis oculata
dengan konsentrasi 10%, 20%, 40%
dan 80%, ChKM, etanol 96 %, DMSO
1%, larutan Mc Farland 0,5, media
BHI (Brain Heart Infusion) cair, media
BHI (Brain Heart Infusion) agar.
Bakteri Enterococcus faecalis
didapatkan dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Airlangga Surabaya.
Pembuatan ekstrak Nannochloropsis
oculata dilakukan di Laboratorium
Fitokimia dan Farmakognosi Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga
Surabaya, dan untukpenelitian uji daya
hambat dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.
Penelitian dilaksanakan pada bulan
April 2012 – Februari 2013.
Sampel Nannochloropsis oculata
diambil dari Balai Budidaya Air Payau
Sitobondo. Proses ekstraksi dilakukan
dengan metode maserasi, dengan cara
600 gram bubuk Nannochloropsis
oculata direndam kedalam 500 ml
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
28
larutan etanol 96% selama 24 jam
kemudian disaring dengan corong
buchner yang diletakkan diatas labu
hisap yang telah dihubungkan dengan
pompa vacum. Perendaman dan
penyaringan ekstrak ini dilakukan
sebanyak 3 kali. Filtrat hasil
penyaringan dievaporasi dengan alat
yaitu vacum rotavapour selama 7 – 8
jam. Kemudian didapatkan hasil akhir
berupa ekstrak Nannochloropsis
oculata sebanyak 29 gram.9Persiapan
ekstrak Nannochloropsis oculata
dengan berbagai konsentrasi di dalam
tabung – tabung steril dengan
menggunakan pengenceran DMSO
1%.12
Bakteri Enterococcus faecalis
biakan murni berupa biakkan dalam
BHI cair yang sudah diinkubasi selama
24 jam dalam suasana anaerob,
selanjutnya kekeruhannya disetarakan
dengan standar Mc Farland 0,5.
Daya hambat diuji
menggunakan metode difusi (metode
Kirby – Bauer). Pertama, disiapkan 1
tabung reaksi. Tabung reaksi diisi
dengan BHI cair yang telah
diinokulasikan dengan 1 ml suspensi
bakteri Enterococcus faecalis yang
setara dengan larutan Mc. Farland 0,5.
Biakan bakteri diusapkan pada seluruh
permukaan lempeng BHI agar steril
dengan menggunakan kapas lidi steril.
30 cakram kertas saring
disiapkan. 5 cakram kertas saring
masing – masing dicelupkan kedalam
bahan antibakteri yaitu ekstrak N.
oculata 10% 2 ml selama 10 detik. 5
cakram kertas saring masing – masing
dicelupkan kedalam bahan antibakteri
yaitu ekstrak N. oculata 20% 2 ml
selama 10 detik. 5 cakram kertas
saring masing – masing dicelupkan
kedalam bahan antibakteri yaitu
ekstrak N. oculata 40% 2 ml selama 10
detik. 5 cakram kertas saring masing –
masing dicelupkan kedalam bahan
antibakteri yaitu ekstrak N. oculata
80% 2 ml selama 10 detik. 5 cakram
kertas saring masing–masing
dicelupkan kedalam larutan ChKM 2
ml selama 10 detik. Dan 5 cakram
kertas saring lainnya masing – masing
dicelupkan kedalam DMSO 1% 2 ml
selama 10 detik.
Kertas saring tersebut kemudian
diletakkan pada media BHI agar
Enterococcus faecalis dengan
menggunakan pinset steril agak
ditekan – tekan. Petri dish dimasukkan
kedalam inkubator selama 2x24 jam
dengan suhu 37° C dalam sungkup
anaerob. Setelah 48 jam, diameter
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
29
zona hambat yang terbentuk berupa
area jernih (clear zone) disekitar kertas
saring diukur dengan menggunakan
digital calipers (dalam satuan mm).
Pengukuran tersebut dilakukan
dari batas jernih terakhir yang
berdekatan dengan koloni di sebelah
kiri hingga batas kanan yang diukur
pada jarak daerah jernih
terpanjang.Biasanya diameter zona
hambat yang timbul menunjukkan
adanya daya antibakteri pada masing-
masing konsentrasi ekstrak
Nannochloropsis oculata.
Teknik analisa data yang dipakai
untuk membandingkan daya hambat
pemberian ekstrak Nannochloropsis
oculata dengan konsentrasi 10%, 20%,
40% dan 80% terhadap pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis adalah
dengan uji one way analysis of varians
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji
LSD.13
HASIL
Tabel dibawah ini menunjukkan
rerata zona hambat ekstrak
Nannochloropsis oculata sesudah
perlakuan pada kelompok kontrol.
Tabel 1. Hasil uji statistik deskriptif
Gambar 1. Grafik rerata diameter zona
hambat (mm)
Sebelum dilakukan uji hipotesis,
maka setiap kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan diuji
normalitasnya dengan menggunakan
uji Shapiro – Wilk (karena sampel
yang digunakan < 50).13
Hasil uji Shapiro – Wilk
menunjukkan bahwa data berdistribusi
normal dan hasil uji Levene didapatkan
nilai signifikansi 0,07, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data hasil
penelitian homogen (p> 0,05).
Data penelitian yang
berdistribusi normal dan variansnya
homogen kemudian dianalisis dengan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
30
menggunakan uji parametrik yaitu one
way ANOVA untuk mengetahui adanya
perbedaan antara kontrol positif
dengan kelompok perlakuan
konsentrasi 10%, 20%, 40% dan 80%
dari ekstrak Nannochloropsis oculata
pada masing – masing sampel .
Hasil uji one way ANOVA
diperoleh nilai signikansi sebesar
0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan makna antara
kontrol positif dengan masing –
masing kelompok perlakuan yang
memiliki konsentrasi berbeda – beda.
Berdasarkan hal tersebut maka
dilanjutkan dengan uji LSD. Dari hasil
uji LSD diketahui bahwa ekstrak
Nannochloropsis oculata terhadap
semua perlakuan menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p< 0,05).
Untuk menentukan perbedaan yang
dominan ditentukan dengan rerata zona
hambat yang paling baik yaitu ekstrak
Nannochloropsis oculata pada
konsentrasi 80%. Dimana daya hambat
dengan konsentrasi tertinggi memiliki
zona hambat yang paling baik jika
dibandingkan dengan konsentrasi 10%,
20% dan 40%, namun daya hambatnya
masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan kontrol (+).
PEMBAHASAN
Penyakit pulpa dan jaringan
sekitar akar gigi secara langsung
maupun tidak langsung ada
hubungannya dengan mikroorganisme.
Bakteri yang paling banyak diisolasi
dari saluran akar yang terinfeksi
dengan pulpa terbuka adalah obligat
anaerob.2 Sundqvist menemukan
sejumlah bakteri anaerob seperti
Enterococcus faecalis (E.faecalis),
Streptococcus anginosus, Bacteroides
gracilis, dan Fusobacterium nucleatum
pada perawatan saluran akar yang
gagal.3 Saat ini, bakteri Enterococcus
faecalis berada pada peringkat ketiga
bakteri pathogen nasokomial, serta
resisten pada beberapa antibiotik
seperti aminoglikosida, penisilin,
tetrasiklin, kloramphenikol, dan
vankomisin. Selain itu, adanya
mekanisme yang mempertahankan
level pH cytoplasmic tetap optimal
menyebabkan bakteri tersebut juga
resisten terhadap antimikroba kalsium
hidroksida. Enterococcus faecalis
mampu mengkatabolisme berbagai
sumber energi dan dapat bertahan
hidup dalam berbagai lingkungan
termasuk pH alkali yang ekstrim, juga
pada berbagai suhu.14
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
31
Perawatan saluran akar terdiri
dari tiga tahapan penting yaitu
preparasi, sterilisasi dan pengisian.5Hal
yang terpenting dari perawatan
endodontik adalah aktivitas reduksi
atau eliminasi bakteri yang
menginfeksi.15
Mengingat anatomi
ruang pulpa yang sangat rumit serta
jauhnya penetrasi bakteri ke dalam
tubulus dentin, maka tindakan
preparasi saluran akar disertai irigasi
tidak dapat membebaskan saluran akar
dari bakteri, sehingga diperlukan
medikamen saluran akar atau sterilisasi
saluran akar.6
Pada penelitian ini terlihat bahwa
ekstrak Nannochloropsis oculata
mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis pada
semua kelompok perlakuan dengan
konsentrasi 10%, 20%, 40% dan
80%.Telah diketahui pada penelitian
sebelumnya, ekstrak Nannochloropsis
Oculata mengandung senyawa turunan
dari oksidasi lemak yang disebut
oxylipin.Senyawa oxylipin ini
mempunyai efek fisiologis pada ikan
kerapu yang dapat ditunjukkan pada
sel CD4.Hasil ekspresi sel CD4 yang
telah dipapar Vibrio alginolyticus
secara in vivo menunjukkan adanya
reaksi silang antara antigen dengan
system imun ikan kerapu. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa ekspresi sel CD4 terbentuk
akibat adanya suatu pemaparan bahan
antigen atau bahan Nannochloropsis
oculata, yang mampu membangkitkan
respons imun secara seluler.9Melalui
senyawa ini berbagai jenis senyawa
metabolit sekunder diproduksi
diantaranya Terpenoid, Alkaloid dan
Flavonoid. Oxylipin ini salah satunya
bersifat sebagai antibakteri,8salah
satunya mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Vibrio
alginolitycus pada konsentrasi 20%,
25%, 30%, dan 35% dan
berkemampuan membunuh bakteri
pada konsentrasi 40% koloni.9
Penelitian Kafaie dkk, menunjukkan
bahwa Nannochloropsis oculata tidak
memiliki efek toksisitas terhadap sel
plasma dan jaringan pada tikus.10
Senyawa terpenoid diduga
memilikiaktivitasantiradang,antikarsin
ogenik,antihypercholesterolemia,antih
epatoprotective dan anti serangga oleh
adanya kandungan taraxerol, lupeol, α-
amyrin, β-amyrin dan germanicol.16
Senyawa alkaloid memiliki
mekanisme kerja penghambatan
dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglican pada sel
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
32
bakteri, sehingga lapisan dinding sel
tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut.
Didalam senyawa alkaloid juga
terdapat gugus basa yang mengandung
reaksi nitrogen yang akan bereaksi
dengan senyawa asam amino
menyusun dinding sel bakteri dan
DNA bakteri. Reaksi ini
mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur dan susunan asam amino,
sehingga akan menimbulkan
perubahan keseimbangan genetik pada
rantai DNA sehingga akan mengalami
kerusakan yang akan mendorong
terjadinya lisis sel bakteri yang akan
menyebabkan kematian sel pada
bakteri.17
Flavonoid adalah struktur phenol
yang memiliki satu kelompok carbonyl
dengan ekstrasel dan larut protein,
dengan ikatan tersebut dapat
menghambat sintesis protein dari sel
bakteri. Hal tersebut lah yang
memberikan aktivitas antibakteri.18
Senyawa golongan flavonoid dan
turunan flavonol lain yang diperoleh
dapat berperan sebagai antioksidan,
aktifitas menghambat jamur dan
sebagai antihistamin alami. Flavonoid
dapat menghambat peroksidasi dari
lipid dan berpotensi menginaktifkan
oksigen triplet.19
Peneliti menggunakan ChKM
sebagai kontrol positif.20,21
ChKM
termasuk dalam derivat senyawa fenol,
yang dimana mekanisme kerja
senyawa fenol dalam menghambat sel
bakteri, yaitu dengan cara
mendenaturasi protein sel bakteri,
menghambat fungsi selaput sel
(transpor zat dari sel satu ke sel yang
lain) dan menghambat sintesis asam
nukleat sehingga pertumbuhan bakteri
dapat terhambat. Salah satu
mekanisme kerja ChKM dalam
menghambat bakteri sama dengan
mekanisme kerja flavonoid yang
merupakan kandungan didalam ekstrak
Nannochloropsis oculata.
Diameter zona hambat diukur
dan diuji statistik menggunakan one
way ANOVATest dengan tingkat
kesalahan sebesar 5%. Kemudian
untuk membandingkan hubungan
antara zona hambat pada konsentrasi
satu dengan yang lain digunakan Post
Hoch Test berupa uji Least significant
Difference (LSD) atau uji beda nyata
terkecil.13
Dari analisa statistik tersebut
terlihat adanya perbedaan bermakna
antara kelompok kontrol positif
(ChKM), kelompok kontrol negatif
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
33
(DMSO 1%), dengan kelompok
perlakuan (ekstrak Nannochloropsis
occulata).
Dari hasil penelitian, terlihat
bahwa makin besar konsentrasi ekstrak
Nannochloropsis oculata maka makin
besar pula diameter zona hambatnya.
Rata – rata zona hambat pada
konsentrasi 10% (6,2160 mm), 20%
(6,5880 mm), 40% (8,0020 mm) dan
80% (9,5160 mm). Berdasarkan data
tersebut, diketahui bahwa rata – rata
zona hambat pada konsentrasi 80%
hampir mendekati rata – rata zona
hambat pada kontrol positif ChKM
yaitu sebesar 10,9940 mm, sehingga
ekstrakNannochloropsis oculata dapat
dikembangkan sebagai material
kedokteran gigi dalam hal ini sebagai
obat sterilisasi saluran akar yang
berasal dari alam (sumber daya laut)
karena memiliki daya hambat terhadap
pertumbuhan bakteri
Enterococcusfaecalis yang merupakan
bakteri yang sulit dieliminasi dari
dalam saluran akar.
SIMPULAN
Ekstrak Nannochloropsis oculata
mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis pada
konsentrasi 10%, 20%, 40% dan
80%.Konsentrasi yang paling efektif
dalam menghambat pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis adalah
80%, namun masih lebih kecil
hambatannya dibandingkan ChKM.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan
kepada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah dan Balai
Budidaya Air Payau Situbondo atas
kesempatan dan fasilitas yang
diberikan untuk pelaksanaan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Samaranayake LP. 2006. Essential
microbiology for dentistry. Edinburgh:
Churcil Livingstone. p. 270-267.
2. Squiera JF, IN Rocas. 2008. Endodontic
microbiology in : endodontic principles and
practice 4th ed. Michigan: Saunders. p 46-38
3. Bodrumlu E, Semiz M. 2006. Antibacterial
activity of a new endodontic sealer against
Enterococcus faecalis. J Can Dent Assoc.
72(7): 637.
4. Kundabala M, Suchitra. 2002.
Enterococcus faecalis: an endodontic
pathogen. J Endod. p. 11-3 .
5. Ford, T.R.P. 2004. Endodontics in clinical
practice, 5th ed. Ediburg London New York
Oxford Philadelphia St Louis Sydney
Toronto. p. 7-1.
6. Walton RE, Torabinejad M. 2008. Prinsip
dan praktek ilmu endodonsi. Alih bahasa:
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
34
Narlan S, Winiati S, Bambang N. ed ke-3.
Jakarta: EGC. h 278-41.
7. Putra SE. 2007. Alga laut sebagai biotarget
industri. Available from
http://www.energi.lipi.go.id . Accesed
April, 2012.
8. Chasanah E. 2007. Bioaktif dari biota laut
untuk mendukung industri
bioteknologi.Availablefromhttp://elip.pdii.li
pi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/by
Id/267190 . Accesed April, 2012.
9. Yanuhar U, Asus M, Bambang I, Rahmi N.
2011. Eksplorasi dan pengembangan bahan
aktif mikroalga laut (Nannochloropsis
oculata) sebagai antibakteri Vibrio
alginolyticus dan respons imun secara in
vivo pada ikan kerapu. Humback grouper.
Berk. Penel Hayati Edisi Khusus: 6C (1-5).
10. Kafaie S, SP Loh dan N Mohtarrudin. 2011.
Acute and subacute toxilogical assessment
of Nannochloropsis oculata in rats. Africal
Journal of Agricultural Research,
7(7):1225-1220.
11. Sudibyo. 2009. Statistik penelitian aplikasi
penelitian di bidang kesehatan. Universitas
Negeri Surabaya: Surabaya. University
Press.h. 96.
12. Patel JD, Anshu Kumar S, Vipin Kumar.
2009. Evaluation of some medicinal plants
used in traditional wound healing
preparations for antibacterial property
against some pathogenic bacteria. Journal
of Clinical Immunology and
Immunopathology Research, 1(1): 012-007.
13. Dahlan S. 2011. Statistik untuk kedokteran
dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.h.
87.
14. Prakash P, Gupta N. 2005. Therapeutic uses
of Ocimum sanctum Linn (Tulsi) with a
note on eugenol and its pharmacological
actions : Short Review. Indian Journal
Physiol Pharmacol, 49(2): 125 – 31 .
15. Cogulu D, Atac Uzel. 2007. Detection of
Enterococcus faecalis in necrotic teeth
rooth canals by culture and polymerase
chain reaction methods. European Journal
of Dentistry, 23(1): 145-52.
16. Bayu Asep. 2009. Hutan mangrove sebagai
salah satu sumber produk alam laut. Jakarta
: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.
Oseana, 34(2): 23-15.
17. Rinawati ND. 2011. Daya antibakteri
tumbuhan majapahit (Crescentia cujete I)
terhadap bakteri Vibrio alginolyticus. Tugas
Akhir, Surabaya: Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Sepuluh November.h. 9.
18. Ravikumar S. et al., 2011. Antibacterial
activity of chosen mangrove plants against
bacterial specified pathogens. World
Applied Science Journal, 14(8):1202-1198.
19. Bandaranayake WM. 2002. Bioactivities,
bioactive compounds and chemical
constituens of mangrove plants.
Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Wetlands Ecology and Managements.p.
452-421.
20. Bachtiar SY, Wahju Tjahjaningsih dan
Nanik Sianita. 2012. Pengaruh ekstrak alga
cokelat (Sargassum sp.) terhadap
pertumbuhan bakteri Escherichia
coli.Journal of Marine and Coastal Science,
1(1): 60-53.
21. Osswald R. 2005. The problem of
endodontitis and managing it through
conservative dentistry.p. 134 – 14.
.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
35
KhasiatEkstrakSargassumsp.
TerhadapKepadatanKolagen
pada ProsesPenyembuhan
Ulkus Traumatikus
(Effectivity Extract of Sargassum Sp. TowardsDensity
of Collagen in Traumatic UlcusHealing)
Asa Karina, Syamsulina Revianti*, Isidora Karsini S.**
*Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Oral traumatic ulcus is the most common oral soft tissue lession in people and
cause pain, difficulty in speaking, eating and swallowing. Sargassum sp. is a marine natural resources that can be used as an alternative therapy that contains saponins, flavonoids, vit. K,
vit.C, Fe, Mg, Zn useful in wound healing. Objectives: To prove the effectivity of the extract
Sargassum sp. towards density of collagen in oral traumatic ulcus healing. Materials and
Methods: This research used the post test only control group design. Twenty five male Wistar
rats divided into 5 groups which consist of 5 rats in each group. Traumatic ulcus were performed in all of the labial mucosa. K1 group was treated with aquadest as a control
group, K2 group was treated with hyaluronic acid 0,2% as a control positive, K3 group was
treated with extract of Sargassum sp. 25%, K4 group was treated with extract of Sargassum 50%, and K5 was treated with extract of Sargassum sp. 75%. The extract Sargassum sp. were
applied topically once a day to experiment groups until seventh day. At the eighth day, rat
were sacrificed at labial mucosa being biopsied and preparated for histopatological examination with Masson’s Trichrom staining to analized the collagen density. Results: This
data were analized with Kruskal-Wallis and Mann-Whitney U test. There are significant differences in the density of collagen in K1 (x = 1.00) and K2 (x = 2.00), K1 and K4 (x =
1.80), K5 (x = 3.00) and K1, K2 and K5, K3 (x = 1.40) and K5, K4 and K5. Conclusions:
ExtractSargassum sp. 25% is not effective towards collagen density in traumatic ulcus healing. Sargassum sp. 50% and 75% were effective towards collagen density in traumatic
ulcus healing, especially Sargassum sp. 75% is the most effective. There are significant
differences between Sargassum sp. 75% and hyaluronic acid 0,2% towards collagen density on traumatic ulcus healing. Sargassum sp. 75% can increase collagen density more than
hyaluronic acid 0,2%.
Key words: Sargassum sp., collagen, masson's trichrom, traumatic ulcus.
Correspondence: Syamsulina Revianti, Department of Oral Biology,Faculty of Dentistry,
Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Phone 031-5946261, 031-5945894, email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
36
ABSTRAK
Latar Belakang:Ulkus sering dijumpai pada masyarakat dan menyebabkan rasa nyeri,
kesulitan berbicara, makan maupun menelan. Sargassum sp. adalahsumber daya alam laut
yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi alternatif yang mengandung saponin, flavonoid, vit.K, vit. C, Fe, Mg, Zn berguna dalam penyembuhan luka.Tujuan: Mengetahui efektivitas
ekstrak Sargassum sp. kepadatan kolagen dalam penyembuhan ulkus traumatikus. Bahan dan
Metode: Tikus Wistar berumur 6 bulan, jenis kelamin jantan dan berat badan 200-300 gram.
Tikus Wistar dibagi menjadi 5 kelompok.Tikus Wistar diaklimatisasi selama 1 minggu. Pada
hari ke-8 tikus Wistar diberi traumatikus ulkus mukosa labial menggunakanamalgam stopper yang telah dipanaskan. Pada hari ke-9, tikus Wistar diberi perlakuan (aquades, asam
hialuronat, Sargassum sp. 25%,50%, dan75% selama 7 hari). Pada hari ke-16 tikus dikorbankan dan biopsi insisi di bibir bawah. Membuat preparat dengan pengecatan
Masson’s Trichrom untuk melihat kolagen.Hasil: Terdapat perbedaan kepadatan kolagen
secara signifikan di K1 (x=1,00) dan K2 (x=2,00), K1 dan K4 (x=1,80), K5 (x=3,00) dan K1, K2 dan K5, K3 (x=1,40) dan K5, dan K4 dan K5. Kesimpulan: Sargassum sp. 25% adalah
tidak berkhasiat, Sargassum sp. 50% dan 75% berkhasiat terhadap kepadatan kolagen pada
penyembuhan ulkus traumatik.Konsentrasi yang paling efektif adalah Sargassum sp 75%. Adaperbedaan nyata antaraSargassum sp. 75% dan asam hialuronat terhadap kepadatan
kolagen pada traumatikus penyembuhan ulkus.
Kata kunci: Sargassum sp., kolagen, masson’s trichrom, traumatic ulcer.
Correspondence: Syamsulina Revianti, Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Telp 031-5946261, 031-5945894, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Ulkus merupakan suatu bentuk
lesi dimana epitelium hilang, berbatas
jelas dan membentuk cekungan.1
Ulkus yang paling sering dijumpai
pada masyarakat adalah ulkus
traumatikus dan Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR).2 Ulkus traumatikus
merupakan lesi rongga mulut yang
umum dan dapat disebabkan oleh
trauma, iritasi basis akrilik, sikat gigi
yang terlalu kuat, iritasi karena gigi
yang patah, dan kesalahan penggunaan
alat kedokteran gigi.3
Pada prinsipnya perawatan ulkus
traumatikus seharusnya mengeliminasi
nyeri dan ketidaknyamanan pada
pasien, memperpendek waktu
perawatan, mempercepat waktu
penyembuhan, dan mereduksi ukuran
lesi.4 Obat yang sering digunakan
untuk terapi SARadalah obat analgesik
untuk mengurangi rasa sakit, agent
antiseptik untuk mengurangi infeksi
sekunder, antibodi topikal untuk
menghilangkan berbagai gejala yang
timbul akibat infeksi sekunder,
kemudian steroid topikal sebagai anti
inflamasi.5 Aplikasi kortikosteroid
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
37
secara topikal dapat membantu
mengurangi rasa nyeri. Namun
penggunaan kortikosteroid dalam
rencana perawatan ulkus traumatikus
masih kontroversial karena beberapa
dokter yang menggunakan
kortikosteroid mengalami kegagalan
dalam pengobatannya, namun ada pula
yang berhasil menggunakan
kortikosteroid untuk terapi ulkus
traumatikus kronis.6Salah satu
pengobatan yang digunakan sekarang
di pasaran adalah asam hialuronat
0,2%.7
Proses penyembuhan luka
merupakan suatu proses kompleks dan
terkait satu sama lain, dari perbaikan
jaringan dan remodeling jaringan
sebagai respons atas terjadinya jejas.8
Pada proses regenerasi jaringan
membutuhkan aktif makronutrien
(karbohidrat, lemak, dan protein) dan
mikronutrien (mineral dan vitamin).
Asam Hialuronat (AH) adalah
komponen terbesar matriks
ekstraseluler yang bersifat menarik air
dan banyak ditemukan pada jaringan
tumbuh atau rusak.9Asam hialuronat
merupakan bagian penting dari matriks
ekstraseluler dan merupakan bagian
penting dari matriks ekstraseluer dan
merupakan salah satu
glikosaminoglikan (GAG) utama yang
dikeluarkan selama perbaikan
jaringan.Asam hialuronat diproduksi
oleh fibroblas selama proliferasi pada
penyembuhan luka merangsang
migrasi dan mitosis dari fibroblas dan
sel epitel.Kolagen merupakan protein
paling melimpah dalam tubuh yang
sangat dibutuhkan pada proses
penyembuhan luka. Hidroksiprolin
merupakan penguat kestabilan dari
kolagen disebabkan ikatan hidrogen
intramolekul yang membentuk
jembatan
air.Hidroksilasiprolinmemerlukan
asamaskorbat(vitaminC).10
Salah satu kekayaan hayati laut
Indonesia adalah rumput
laut.11
Sargassum sp. adalah alga laut
yang merupakan salah satu sumber
daya alam laut yang dapat
dimanfaatkan sebagai terapi alternatif.
Penelitian ini menggunakan alga
Sargassumsp., karena Sargassum
sp.mudah diperoleh di perairan
Indonesia, dan kandungan kimia
utamanya sebagai sumber alginat dan
mengandung protein, vitamin C, tanin,
iodium, fenol, dan anti bakteri.12
Pada
penelitian terdahulu digunakan ekstrak
β-Glukan yang diambil dari Sargassum
sp. dengan 2 konsentrasi yaitu, 50%,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
38
dan 75%. Terdapat perbedaan antara
kepadatan kolagen pada
pengaplikasian gel β-glukan 50 % hari
ke-7 terlihat kepadatan kolagen yang
memenuhi kriteria padat, dibandingkan
dengan kelompok asam hialuronat
yang bervariasi antara renggang hingga
padat. Tidak terdapat perbedaan yang
nyata antara pengaplikasian gel β-
glukan 75% dibandingkan dengan
asam hialuronat. Dosis efektif dalam
pengaplikasian topikal gel β-glukan
pada ulkus traumatikus adalah dengan
konsentrasi 50%. Kolagen pertama kali
terdeteksi pada hari ke-3 setelah luka,
meningkat terus sampai minggu ke-3,
mencapai puncaknya pada hari ke-7
dan fase maturasi berlangsung mulai
hari ke-7.13
Pada penelitian ini
bertujuan mengetahui khasiat
ekstrakSargassum sp. terhadap
kepadatan kolagen pada penyembuhan
ulkus traumatikus.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian trueeksperimental karena
dalam penelitian, peneliti dapat
mengontrol kemungkinan munculnya
semua variabel luar yang dapat
mempengaruhi proses dan hasil
penelitian.14
Rancangan penelitian post
test only control group design untuk
pengamat yang ditujukan pada 5 (lima)
kelompok yang masing- masing dipilih
secara random.
Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah kandang hewan
coba, amalgam stopper, pinset
anatomi, pinset chirurgis, tabung
tempat gel Sargasum sp., spiritus
burner, cotton buds, handle dan
scalpel, handscone, spidol warna
(merah, hitam, dan biru), tabung
erlenmeyer untuk tempat whole
ekstrak Sargassum sp., blender, freeze
dryer, micro pipet, tabung untuk
spesimen mukosa labial tikus Wistar.
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah alga coklat
(Sargassum sp.) yang diperoleh dari
Sumenep, Madura, aquadest, HPMC
(Hidroksi Propil Metil Sellulosa) (Pro
Analisis), asam hialuronat 0,2%, dietyl
eter, pakan tikus, dan alkohol 70%
untuk sterilisasi alat, larutan formalin
buffer (larutan formalin 10% dalam
phospat buffer saline pada pH 7,0),
bahan- bahan untuk membuat sediaan
histopatologis beserta bahan
pewarnaan Masson’s trichrom, dan
mikroskop.
Waktu penelitian mulai dari
bulan April 2012 – Januari 2013.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
39
Tempat penelitian pada penelitian ini
adalah di Unit Hewan Coba
Laboratorium Ilmu Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya, Laboratorium Sintesis
Kimia Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga, dan Laboratorium Patologi
Anatomi Gedung Diagnostic Center
(GDC) Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya.
Gel Sargassum sp. hasil ekstraksi
alga coklat dilihat dengan campuran
bahan HPMC (pro analisis) sehingga
didapatkan konsentrasi 25%, 50%, dan
75%.15
Selanjutnya mempersiapkan
tikus Wistar sesuai dengan kriteria
sampel sebanyak 25 ekor tikus. Tikus
dibagi menjadi 5 kelompok yang
masing- masing kelompok berisi 5
tikus yaitu K1 (kelompok yang diberi
perlakuan ulkus traumatikus dan hanya
diberi pakan standart dan aquadest
secara per oral), K2 (kelompok yang
diberi perlakuan ulkus traumatikus,
diberi pakan standart dan aquadest
secara per oral dan diberi obat yang
mengandung asam hialuronat 0,2%),
K3 (kelompok yang diberi perlakuan
ulkus traumatikus, diberi pakan
standart dan aquadest secara per oral
dan diberi ekstrak Sargassum sp.
dengan konsentrasi 25%), K4
(kelompok yang diberi perlakuan ulkus
traumatikus, diberi pakan standart dan
aquadest secara per oral dan diberi
ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 50%), dan K5 (kelompok
yang diberi perlakuan ulkus
traumatikus, diberi pakan standart dan
aquadest secara per oral dan diberi
ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 75%).Tikus diaklimatisasi
selama 7 hari.Pada hari ke-8,
dilakukan pembuatan traumatik ulkus
pada daerahsentral mukosa labial
bawah tikus Wistardibawah anastesi
umum (berdasarkan persetujuan
Komisi Etik Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah).Pada hari ke-
9, dilakukan pengamatan apakah sudah
terbentuk ulkus atau tidak.Apabila
ulkus telah terbentuk, tikus diberikan
perlakuan sehari sekali selama 7
hari.Pada hari ke-16 tikus dikorbankan
dengan biopsi eksisi pada bibir bawah
(diameter 1 cm).Selanjutnya dibuatkan
preparat dan dilakukan pengecatan
Masson’s Trichrom untuk melihat
kepadatan kolagen.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui khasiat ekstrakSargassum
sp. terhadap kepadatan kolagen pada
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
40
penyembuhan ulkus traumatikus. Data
hasil pemeriksaan kepadatan kolagen
merupakan data dengan skala ordinal
sehingga dilakukan uji hipotesis
nonparametrik Kruskal-Wallis
dilanjutkan dengan uji beda Mann-
Whitney U. Batas derajat
kemaknaanapabila p < 0,05 dengan
interval kepercayaan 95%. Analisis
data dilakukan dengan program
komputer SPSS 19
Uji deskripstif merupakan jenis
analisis deskriptif yang menampilkan
tabulasi silang yang menunjukkan
suatu distribusi bersama dan pengujian
hubungan antara 2 variabel atau lebih.
Analisis deskriptif ini digunakan untuk
uji ketergantungan antara masing-
masing kelompok dengan kepadatan
kolagen
Tabel 1. Tabel deskriptif kepadatan kolagen
Gambar 1. Grafik kepadatan kolagen
Tabel diatas menunjukkan
distribusi kepadatan kolagen pada
setiap subyek dalam masing- masing
kelompok perlakuan.Pada kelompok
K1 terdapat 5 subyek dengan kriteria
kolagen renggang.Pada kelompok K2
terdapat 1 subyek dengan kriteria
kolagen renggang, 3 subyek dengan
kriteria kolagen sedang dan 1 subyek
dengan kriteria kolagen padat.Pada
kelompok K3 terdapat 3 subyek
dengan kriteria kolagen renggang dan
2 subyek dengan kriteria kolagen
sedang.Pada kelompok K4 terdapat 1
subyek dengan kriteria kolagen
renggang, 4 subyek dengan kriteria
kolagen sedang.Pada kelompok K5
terdapat 5 subyek dengan kriteria
kolagen padat.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
41
Tabel 2. Hasil analisis kepadatan kolagen
Gambar 1. Kepadatan kolagen a. Kelompok
1, b. Kelompok 2, c. Kelompok 3, d.
Kelompok 4, dan e. Kelompok 5.
Selanjutnya dilanjutkan tes
nonparametrik dengan menggunakan
uji Kruskal-Wallis dengan derajat
kemaknaan p=0,05. Berdasarkan hasil
uji Kruskal-Wallis diperoleh p=0,002
(p<0,05) yang menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada semua
kelompok, kemudian dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney U.
Tabel 3. Hasil analisis Kruskal-Wallis
disertai dengan nilai rerata dan simpangan
baku
Uji Mann-Whitney U digunakan
untuk mengetahui apakah ada
perbedaan yang signifikan antara dua
kelompok dengan derajat kemaknaan
p<0,05.
Tabel 4. Hasil uji beda dengan Mann-
Whitney U
Berdasarkan data hasil penelitian
diatas didapatkan data kepadatan
kolagen dengan uji nonparametrik
yaitu uji Kruskal-Wallis dengan nilai
signifikan p=0,002 (p<0,05). Hasil dari
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
42
uji Kruskal-Wallis menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan,
kemudian dilanjutkan dengan uji
bedaMann-Whitney U untuk melihat
signifikansi data 2 kelompok.
Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U
didapatkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara kepadatan
kolagen pada K1 dibandingkan dengan
K2 (p=0,017), K1 dibandingkan
dengan K4 (p=0,014), K1
dibandingkan dengan K5 (p=0,003),
K2 dibandingkan dengan K5 (p-0,017),
K3 dibandingkan dengan K5
(p=0,005), dan K4 dibandingkan
dengan K5 (p=0,004). Kolagen pada
K2 lebih padat secara signifikan
dibanding K1.Kolagen pada K4 lebih
padat secara signifikan dibandingkan
K1. Kolagen pada K5 lebih padat
secara signifikan dibandingkan
K1,K2,K3,dan K4.
PEMBAHASAN
Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus
Wistar jantan dengan dasar
pertimbangan sifat jenis kelamin jantan
yang lebih mudah dikontrol dalam
proses penyembuhan karena tidak
terpengaruh oleh faktor hormonal pada
saat menstruasi. Tikus Wistar sebagai
hewan coba karena memiliki
metabolisme tubuh yang hampir sama
dengan manusia. Dengan
menggunakan tikus, hasilnya dapat
digeneralisasikan pada manusia.16
Kolagen pertama kali terdeteksi
pada hari ke-3 setelah luka. Meningkat
terus sampai minggu ke-3. Kolagen
mencapai puncaknya pada hari ke-7
dan fase maturasi berlangsung mulai
hari ke-7, maka pada penelitian ini
dilakukan perhitungan kepadatan
kolagen pada hari ke-7.13
Penelitian ini menggunakan alga
coklat Sargassum sp. dalam keadaan
segar yang diperoleh dari perairan
Sumenep, Madura dan mendapat
sertifikat dari Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga.
Alga coklat merupakan biota laut yang
kaya akan kandungan senyawa organik
dan anorganik yang dapat
dimanfaatkan dalam beberapa aspek,
akan tetapi masih banyak yang belum
bisa memanfaatkan Sargassum ini
khususnya dibidang kedokteran gigi.
Peran Sargassum sp. terhadap
penyembuhan ulkus traumatikus
adalah mengurangi inflamasi, berperan
dalam pembekuan darah,
meningkatkan migrasi neutrofil dan
transformasi limfosit, meningkatkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
43
proliferasi fibroblas, dan memacu
pembentukan kolagen.16,17
Hasil pada penelitian ini adalah
terdapat perbedaan yang signifikan
antara kepadatan kolagen pada tikus
yang diberi aquadest dibandingkan
dengan tikus yang diberi asam
hialuronat 0,2%. Kolagen pada tikus
yang diberi asam hialuronat 0,2% lebih
padat secara signifikan dibanding tikus
yang diberi aquadest. Hal ini bisa
disebabkan karena asam hialuronat
menginbisi proliferasi fibroblas,
fibroblas yang terekspos dengan AH
secara signifikan meningkatkan
sintesis protein non kolagen serta
sintesis kolagen absolut.Asam
hialuronat menstimulasi sintesis
kolagen lebih banyak daripada sintesis
protein non kolagen. Asam hialuronat
berperan penting dalam mempengaruhi
kecepatan migrasi sel pada proses
penutupan luka, inflamasi,
angiogenesis, reepitelisasi dan
proliferasi sel.11
Pada tikus yang diberi ekstrak
Sargassum sp. dengan konsentrasi
25%, 50% dan 75%, konsentrasi yang
paling efektif terhadap kepadatan
kolagen pada proses penyembuhan
ulkus traumatikus adalah ekstrak
Sargassum sp. dengan konsentrasi
75%. Hal ini bisa disebabkan karena
kandungan antioksidan pada
Sargassum sp. yang berperan adalah
flavonoid yang berperan dalam
meningkatkan proliferasi sel fibroblas
untuk pembentukan kolagen dan dapat
mengurangi inflamasi.Selain
antioksidan ada juga protein yang
sangat penting dalam pemeliharaan
dan perbaikan jaringan tubuh. Apabila
jumlah persediaan protein dalam tubuh
rendah akan dapat menyebabkan
turunnya proses sintesis kolagen
sehingga memperlambat proses
penyembuhan luka. Sedangkan apabila
jumlah persediaan protein cukup
memadai maka proses penyembuhan
luka akan dapat berlangsung secara
cepat atau optimal.16
Saponin juga berperan penting
dalam penyembuhan luka. Senyawa ini
mempunyai struktur yang hampir mirip
dengan senyawa aktif dalam ginseng,
ganoderma, dan tumbuhan herbal
terkenal lainnya.Dari beberapa
penelitian diketahui bahwa senyawa ini
bisa berfungsi sebagai antikanker dan
anti inflamasi. Saponin merupakan
senyawa yang penting dalam
penyembuhan luka. Saponin dapat
memacu pembentukan kolagen, yaitu
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
44
protein struktur yang berperan dalam
proses penyembuhan luka.17
Beberapa vitamin dan mineral
dalam Sargassum sp. juga berperan
dalam penyembuhan luka.Vitamin C
berperan meningkatkan migrasi
neutrofil dan transformasi limfosit,
penting untuk sintesis kolagen, dan
untuk menjaga daya tahan
tubuh.Vitamin A berperan untuk
meningkatkan fase inflamasi awal,
membantu diferensiasi sel epitel.
Vitamin K berperan dalam proses
pembekuan darah dan penutupan
luka.17
MineralCa berperan dalam
mengendalikan pembekuan
darah.mineral Fe dan Mg berpengaruh
pada proses pertumbuhan sel dan
pemeliharaan jaringan, berfungsi
sebagai kofaktor untuk sintesis
kolagen, mineral Zn juga berperan
dalam penyembuhan luka, selain itu
juga mampu meningkatkan imunitas.
Kandungan abu pada rumput laut lebih
tinggi dibandingkan dengan sayuran
seperti bayam dan sayuran
lainnya.Bagian batang dan daun pada
rumput laut mempunyai kandungan
abu yang tinggi sehingga diperoleh
kandungan mineral yang tinggi
pula.Pada ekstrak Sargassum sp.
banyak mengandung nutrisi yang dapat
mempercepat penyembuhan ulkus
traumatikus dan nutrisi terbanyak ada
pada ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 75%.
Terdapat perbedaan yang
signifikan antara kepadatan kolagen
pada tikus yang diberi asam hialuronat
0,2% dibandingkan dengan tikus yang
diberi ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 75%. Kolagen pada tikus
yang diberi ekstrak Sargassum sp. 75%
lebih padat secara signifikan dibanding
tikus yang diberi asam hialuronat
0,2%. Hal ini bisa disebabkan karena
ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 75% yang didalamnya
banyak mengandung nutrisi yang dapat
meningkatkan kepadatan kolagen
dalam proses penyembuhan ulkus
traumatikus.
SIMPULAN
Ekstrak Sargassum sp. dengan
konsentrasi 25% tidak berkhasiat
terhadap kepadatan kolagen pada
penyembuhan ulkus
traumatikus.Ekstrak Sargassum sp.
dengan konsentrasi 50% berkhasiat
terhadap kepadatan kolagen pada
penyembuhan ulkus traumatikus.
Ekstrak Sargassum sp. dengan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
45
konsentrasi 75% berkhasiat terhadap
kepadatan kolagen pada penyembuhan
ulkus traumatikus. Konsentrasi ekstrak
Sargassum sp. yang paling efektif
dalam meningkatkan kedapatan
kolagen pada proses penyembuhan
ulkus traumatikus adalah konsentrasi
75%. Ada perbedaan yang signifikan
antara aplikasi topikal gel ekstrak
Sargassum sp. dengan konsentrasi
75% dan asam hialuronat terhadap
peningkatan kepadatan kolagen pada
penyembuhan ulkus traumatikus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini ucapan
terima kasih disampaikan kepada
Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah
dan Laboratorium Patologi Anatomi
Gedung Diagnostic Center (GDC)
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
yang telah memberikan kesempatan
melakukan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg MS. 2003. Ulserative, Vesicular,
and Bulous Lesions in Burket’s Oral
Medicine Diagnosis and Treatment., 10th
Ed., New York: BC Decker Inc. p. 65-63.
2. Terry TSI and McDowell J. 2002.
Differential Diagnosis: Is it Herpes or
Aphtous., Vil 3 no. 1. Available from
www.thejedp.com. Accessed at 22 Juni,
2012.
3. Cunningham SJ and Quinn FB. 2002.
Ulcerative Lesions of The Oral Cavity.
Available from
www.utmb.edu/otoref/grnds/Ulcer-oral-
021016/Ulcer-oral-021016-slidesB.pdf .
Accessed at 10 Juni, 2012.
4. Katsambas AD and Lotti TL. 2003.
European Handbook of Dermatological
Treatment., 2nd
ed., Philadelphia: Elsevier
5. Field A and LongmanL. 2003. Tyldesley’s
Oral Medicine., Liverpool: Oxford
University Press.
6. Neville BD, Damm DD, Bouquot JE. 2002.
Oral & Maxillofacial Pathology., 2nd
ed.,
Philadelphia : W.B. Sauders.p. 258-255
7. Topazian RG, Goldberg MH.2002. Oral and
Maxillo Infection. 4th Ed. Philadelphia: WB
Saunders co. p. 25.
8. Ibelgaufts H. 2002. Wound Healing.,
Cytokines & Cells Online Pathfinder
Encyclopedia. Available
frommwww.coper.cfi.htm. Accessed at 10
Juni, 2012.
9. Schultz GS, Ladwig G, Wysocki A. 2005.
Extracelluler Matrix: Review of Its Roles on
Acute and Chronic Wounds. Available from
www.worldwidewounds.com/2005/august/S
chultz/Extrace-Matric-Acute-Chronic-
Wounds.html. Accessed at 20 Juni 2012.
10. MacKay DND and Miller ALND. 2003.
Nutritional Support for Wound Healing
Alternative Medicine Review. Available
from
www.pilonidal.org/books/betaglucan.pdf.
Accessed at 15 Juli, 2012.
11. Zailani K dan Purnomo H. 2011. Studi
Kandungan dan Identifikasi Fukosantin dari
Tiga Jenis Rumput Laut Cokelat (Sargassum
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
46
cinereum, Sargassum echinocarpum dan
Sargassum filipendula) dari Padike Talongo
Sumenep Madura. Skripsi, Brawijaya
University, Malang.
12. Kadi A dan Genisa SA. 1993. Produksi,
Sebaran Jenis, Kandungan Bahan Kimia,
Rumput Laut Nilai Ekonomi.Available from
www.elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/s
earchkatalog/downloadDatabyId/7059/7059.
pdf. Accessed at 10 Juni, 2012.
13. Novriansyah, Robin. 2008. Perbedaan
Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi
Tikus Wistar yang Dibalut Kasa
Konvensional dan Penutup Oklusif
Hidrokoloid Selama 2 dan 14 Hari. Tesis,
Universitas Diponegoro, Semarang.
14. Sudibyo. 2008. Metodologi Penelitian
Aplikasi Penelitian Bidang Kesehatan Buku
2, Surabaya: Unesa University Press. p. 4-2.
15. Putri KH.2011. Pemanfaatan rumput Laut
Coklat (Sargassum sp) sebagai Serbuk
Minuman Pelangsing. Skripsi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
16. Triyono. 2005. Perbedaan Tampilan
Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus
Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang
Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak
Diberi Levobuvipakan (Studi Histokimia).
Available from
http://eprints.undip.ac.id/16709/1/Bambang_
Triyono.pdf. Accessed at 22 Juni, 2012.
17. Arissandi Dian. 2009. Pengaruh Basis Gel
Poloxamer dan Karbopol terhadap
Penyembuhan Luka Bakar Gel Ekstrak
Etanol Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada
Kulit Punggung Kelinci. Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah,
Surakarta.p.5.
Vol 9 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
47
Perbedaan Kekasaran Permukaan Enamel Gigi
Sapiyang Diulasi Gel Ekstrak Cangkang Kerang
Darahyang Ditambahkan Fluor
(The Difference of Enamel Surface Roughness In Bovine
TeethAfter Application of Anadara Granosa Shell Gel Extract
andthe Addition of Fluor)
Fajar Alexander, Sularsih*, Aprilia**
*Ilmu Material dan Teknologi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Anadara granosa is one of the best fishery commodity in Indonesia. Anadara
granosa shell waste extract contains calcium and addition fluor that is important to maintain tooth remineralization. Purpose : The aim of this study was to evaluate the surface roughness
of enamel in bovine after application of anadara granosa shell gel extract and the addition of fluor for 3, 14, and 28 days. Material and Methods: Thirty six freshly extracted bovine teeth
were collected. The sample were randomly assigned to three controls and three observations
(n=6). T01, T02, and T03 as the control group which placebo was applied after microabrassion for 3, 14, and 28 days. O1, O2, and O3 as the observation group which anadara granosa shell
gel extract and the addition of fluor was applied after microabrassion for 3, 14, and 28 days.
The remaining specimens all was soaked twice a day for ten minutes. The sample were soaked in artificial saliva and evaluated after 30 days using surface roughness tester. The result were
tabulated and analyzed using one way anova. Result: There was significant differences the surface roughness of enamel after aplication of anadara granosa shell gel extract and
addition of flour between 3 and 28 days application.. The surface roughness of enamel in
observation group was smaller than the control group. Conclusion: There was significant differences the surface roughness of enamel after application of anadara granosa shell gel
extract and addition of fluor in observation group during 28 days.
Keywords: Anadara granosa shell gel extract, fluor, surface roughness of enamel,
bovineteeth.
Correspondence:Sularsih, Department of Materials Science and Technology
Dentistry,Faculty of Dentistry, Hang Tuah University, Arief Rakhman Hakim 150, Sukolilo, Surabaya, Phone031-5945964,5945894, Fax. 5946261, Email :[email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
48
ABSTRAK
Latar Belakang: Kerang darah adalah salah satu komoditas perikanan terbaik di Indonesia.
Limbah cangkang kerang darah yang mengandung kalsium dan ditambahkan fluor berfungsi
untuk remineralisasi gigi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan besar kekasaran permukaan enamel gigi sapi yang diulasi gel ekstrak cangkang kerang darah
yang ditambahkan fluor selama 3, 14, dan 28 hari. Metode: Sampel terdiri dari 36 gigi sapi yang baru diekstraksi. Sampel dipilih secara random dan dibagi menjadi 3 kelompok kontrol
dan 3 kelompok perlakuan dengan jumlah sampel (n=6). Kelompok kontrol T01, T02, T03 yang
diulasi etsa dan gel plasebo selama 3 , 14, dan 28 hari. Kelompok perlakuan O1, O2, O3 yang diulasi etsa dan gel ekstrak cangkang kerang darah yang ditambahkan fluor selama 3, 14,
dan 28 hari.Pengaplikasian gel pada kelompok kontrol dan perlakuan dilakukan 2x setiap 12 jam sehari dan sampel disimpan dalam saliva buatan. Setelah hari ke 30, sampel diuji
kekasaran permukaan enamel dengan menggunakan surface roughness tester. Data
kekasaran permukaan enamel yang telah didapat dianalisis statistik dengan menggunakan one way anova. Hasil: Ada perbedaan kekasaran permukaan enamel yang signifikan antara
kelompok perlakuan dengan lama pengulasan selama 3 hari dan 28 hari. Kekasaran
permukaan enamel kelompok perlakuan lebih kecil daripada kelompok kontrol. Kesimpulan:
Terdapat perbedaan yang signifikan dengan lama pengulasan gel ekstrak cangkang kerang
darah yang ditambahkan fluor pada kelompok perlakuan selama 28 hari
Kata Kunci: Gel ekstrak cangkang kerang darah, fluor, kekasaran permukaan enamel, gigi
sapi.
Korespondensi: Sularsih, Bagian Ilmu Material dan Teknologi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hang Tuah, Jl.Arief Rakhman Hakim No.150, Sukolilo,
Surabaya, Telp031-5945964,5945894, Fax. 5946261, Email :[email protected]
PENDAHULUAN
Kerang Darah (Anadara
granosa) merupakan salah satu jenis
kerang yang berpotensi dan bernilai
ekonomis untuk dikembangkan
sebagai sumber protein dan mineral
untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia. Kebanyakan
masyarakat Indonesia hanya
menggunakan daging kerang saja
sebagai asupan makanan dan
membuang kulit kerangnya.Banyaknya
sisa cangkang kerang tidak
dimanfaatkan karena dianggap tidak
dapat didaur ulang. Hanya cangkang
kerang yang bagus yang diambil untuk
dibuat handycraft.Sisanya yang tidak
bagus dan berbau dibuang disekitar
bibir pantai atau di tempat
pembuangan sampah dan menjadi
limbah alam. Pemanfaatan cangkang
kerang darah dalam dunia medis, yaitu
potensi kalsium dari cangkang kerang
darah sebagai bahan rehabilitas tulang
dan gigi.1,2
Cangkang kerang darah
mengandung kalsium yang tinggi.
Berdasarkan pemeriksaan dengan x-
ray fluorescence (XRF) dan x-ray
diffraction (XRD), kandungan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
49
cangkang kerang darah terdiri dari :
CaO 97,93%, SiO0,17%, Fe2O3 0,04%,
MgO 0,85% dan lainnya kurang dari
1,00%3. Menurut Setiabudhi (2012)
terdapat kadar kalsium dalam
cangkang kerang darah sebesar
98,61%4. Kalsium adalah mineral
penting untuk pertumbuhan tulang dan
gigi dengan proses remineralisasi gigi5.
Selain itu dibutuhkan pula fluor dalam
mencegah proses terjadinya karies.
Adapun fluor dapat dijumpai di dalam
bahan makanan dan minuman.6
Pencegahan karies dengan fluor
dapat dilakukan pada masa pra erupsi
dan pasca erupsi. Tindakan yang
dilakukan dengan memberikan
fluoridasi pada air minum sehingga
gigi akan kuat dan tahan terhadap
serangan karies biasanya ini dilakukan
pada masa pra erupsi, sedangkan pada
masa pasca erupsi salah satu
diantaranya dengan berkumur-kumur
memakai larutan fluor sehingga
diperoleh efek topikal dari fluor
terhadap enamel. Cara fluor bekerja
dengan menghambat metabolisme
bakteri plak yang dapat
memfermentasi karbohidrat melalui
perubahan hidroksil apatit pada enamel
menjadi fluor apatit. Pemberian
fluordapat menghasilkan enamel yang
lebih tahan terhadap asam sehingga
dapat menghambat proses
demineralisasi dan meningkatkan
remineralisasi yang merangsang
perbaikan dan penghentian lesi
karies.6,7
Karies gigi adalah suatu proses
terjadinya pelepasan kalsium pada
enamel, sehingga menyebabkan
terjadinya bercak putih pada
permukaan gigi yang ditumpuki oleh
plak gigi. Enamel gigi disusun oleh
kristal-kristal yang terdiri dari berbagai
mineral, komponen utamanya adalah
kompleks calcium phosphate, yang
disebut hydroxyapatite.Kalsium
merupakan mineral yang berperan
dalam pembentukan jaringan keras
gigi. Dari 1200 gram kalsium yang
terdapat di dalam tubuh, sekitar 90%
terdapat dalam jaringan keras (tulang
dan gigi). Peningkatan kebutuhan
kalsium dapat terjadi pada masa
pertumbuhan, kehamilan, menyusui,
dan defisiensi kalsium.Kalsium
mempunyai berbagai fungsi dalam
tubuh, diantaranya adalah
pembentukan tulang dan pembentukan
gigi.4 Kekasaran permukaan enamel
disebabkan oleh hilangnya
hidroxyapatite, dan jika terlalu banyak
maka dapat mengakibatkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
50
terbentuknya kavitas. Adanya fluoride
pada saat pembentukan enamel atau
aplikasi topikal pada permukaan
enamel menyebabkan penurunan
kelarutan permukaan enamel.
Penambahan fluoride mempengaruhi
kekerasan, aktivitas kimia, dan
stabilitas enamel. Apabila fluoride
dalam jumlah sedikit akan
menstabilkan enamel dengan
menurunkan kelarutan terhadap asam,
menurunkan demineralisasi dan
meningkatkan remineralisasi.8 Kadar
fluoride yang sering digunakan pada
pasta gigi maupun tooth mouse adalah
0,2%.9,10
Berbagai metode serta teknik
pencegahan karies sering dilakukan,
salah satunya adalah dengan
meningkatkan kekuatan permukaan
email. Mathias (2009)
memperkenalkan suatu bahan yang
dapat digunakan untuk pencegahan
karies, yaitu Casein Phosphopeptide-
Amorphous Calcium Phosphate plus
fluoride (CPP-ACP).11
Bahan ini
berbentuk pasta berisi suatu protein
susu kasein yang mengandung mineral
kalsium fosfat dan fluoride. Email gigi
yang mengalami proses demineralisasi
dapat diperbaiki dengan pemberian ion
kalsium dan fosfat yang terdapat pada
CPP-ACP ke bagian dalam email
untuk menggantikan mineral yang larut
sehingga dapat terjadi remineralisasi.12
Fungsi dari kalsium dan fluoride
dengan pemberian secara topikal
adalah untuk mempercepat
pertumbuhan remineralisasi yang telah
hilang akibat terjadinya demineralisasi,
dimana fluoride masuk ke dalam
enamel rods untuk menghambat
kerusakan pada enamel, sehingga
metabolisme kalsium dapat terjadi
tanpa harus terganggu oleh bakteri dan
plak.13
Maki Oshiro (2007) menyatakan
bahwa ada perbedaan kekasaran
permukaan enamel pada aplikasi
Casein Phosphopeptide-Amorphous
Calcium Phosphate plus fluoride
(CPP-ACP) selama 3 hari, 14 hari, dan
28 hari secara topikal dengan
pengukuran SEM (Scanning Electron
Microscopy).14
Dari uraian di atas gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor memiliki potensi
sebagai bahan yang menunjang
remineralisasi. Oleh karena itu peneliti
ingin mengetahui perbedaan besar
kekasaran permukaan enamel gigi sapi
(bovine) yang diulasi gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
51
ditambahkan fluor selama 3 hari, 14
hari, dan 28 hari.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini tergolong
penelitian eksperimental laboratoris
dengan menggunakan rancangan
penelitian post test only group design.
Sampel penelitian menggunakan gigi
insisivus sapi dengan kriteria, berusia ±
3 tahun, mahkota erupsi dalam
keadaan utuh, mahkota tidak abrasi,
mahkota tidak fraktur/ retak, mahkota
tidak ada karies.15
Bahan yang digunakan pada saat
penelitian antara lain Etsa asam
phospat 37%, Normal saline, Saliva
buatan, Sediaan gel ekstrak cangkang
kerang, Gigi sapi dari Rumah Potong
Hewan Kedurus Kota Surabaya,
fluoride, NaCl (Natrium Chloride),
KCl (Potassium Chloride), CaCl2
(Calcium Chloride), NaHCO3, CmcNa
(Carboxyl Methyl Cellulose-Natrium),
nipasin, dan nipasol.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan simple random sampling
dan dibagi menjadi 6 kelompok secara
acak, dimana kelompok kontrol
sebanyak 6 gigi insisivus sapi yang
hanya diulas etsa, tanpa gel ekstrak
cangkang kerang darah (tetapi diulas
dengan placebo) sebanyak 2x sehari
dan dibagi dalam kelompok T01 3 hari,
T02 14 hari, T03 28 hari. kelompok
perlakuan sebanyak 6 gigi insisivus
sapi yang diulas etsa dan gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride sebanyak 2x
sehari dan dibagi dalam kelompok T1 3
hari, T2 14 hari, T3 28 hari.
Pengukuran dilakukan setelah 30
hari menggunakan alat surface
roughness tester dengan cara spesimen
diletakkan dengan posisi melintang
pada meja alat pengukur (surface
roughness) sampai jarum pengukur
dapat bergerak bebas menyentuh
permukaan yang akan diukur.
Permukaan yang diukur rata ± 10 mm
untuk dilewati jarum pengukur
kekasaran, yaitu pada bagian tengah –
tengah labial. Pada layar monitor
dapat dipantau posisi jarum pengukur
harus menyentuh permukaan spesimen
dengan benar, yaitu menyentuh dengan
tanpa tekanan.Tombol start ditekan
maka alat jarum pengukur) akan
bergerak dengan kecepatan 1 mm/det.
Setelah selesai pengukuran, pada layar
monitor akan ditampilkan data-data
tentang keadaan permukaan spesimen,
yaitu Rz yang menunjukkan rata-rata
aritmatik lima perbedaan ujung puncak
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
52
tertinggi dan ujung puncak terendah
bentukan kekasaran terhadap panjang
permukaan yang diukur dalam satuan
mikron. Pengukuran tiap spesimen
dilakukan sebanyak satu kali, serta
spesimen tidak perlu dilakukan
pemotongan baik secara vertikal,
maupunhorizontal.
HASIL
Nilai rerata dan simpang baku
hasil uji kekasaran permukaan enamel
gigi sapi antara kontrol dan kelompok
perlakuan selama 3, 14, dan 28 hari
dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar
1.
Tabel 1.Nilai rerata dan simpang baku hasil
uji kekasaran permukaan enamel gigi sapi
antara kontrol dan kelompok perlakuan
selama 3, 14, dan 28 hari
Gambar 1. Grafik rerata hasil uji kekasaran
permukaan enamel gigi sapi antara kontrol
dan kelompok perlakuan selama 3, 14, dan
28 hari
Berdasarkan gambar 1, rerata
besar permukaan enamel gigi yang
diulasi gel ekstrak cangkang kerang
darah yang ditambahkan fluoride
selama 3, 14, dan 28 hari antara
kelompok kontrol dan perlakuan, pada
kelompok perlakuan menunjukkan
hasil rerata yang lebih kecil. Diantara
lama pengulasan gel ekstrak cangkang
kerang darah ditambahkan fluoride
selama 3,14, dan 28 hari rerata besar
kekasaran permukaan enamel gigi
yang diulasi selama 28 hari
menunjukkan rerata paling kecil.
Rerata dan simpang baku hasil
kekasaran permukaan enamel gigi sapi
dianalisa dengan uji saphirowilk
menunjukkan bahwa data berdistribusi
normal (p>0,05) sehingga memenuhi
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
3
hari
14
hari
28
hari
placebo
gel
ekstrak
cangkang
kerang
darah
(perlakua
n)
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
53
persyaratan menggunakan uji
parametrik. Uji Levene menunjukkan
nilai probabilitas > 0,05, maka asumsi
homogen terpenuhi, sehingga
memenuhi persyaratan menggunakan
uji parametrik.
Hasil uji independent sample test
antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan selama 3, 14, dan 28 hari
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Taraf signifikan besar kekasaran
permukaan enamel gigi sapi antara
kelompok plasebo dan gel ekstrak cangkang
kerang darah selama 3, 14, dan 28 hari.
Hasil uji independent sample test
antara kelompok plasebo dan gel
ekstrak cangkang kerang darah selama
3, 14, dan 28 hari menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang bermakna
(p>0,05). Dengan demikian tidak ada
perbedaan dari hasil pengukuran besar
kekasaran permukaan enamel yang
dilihat perbandingannya antara
kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol selama 3, 14, dan 28 hari.
Hasil uji one-way anova besar
kekasaran permukaan enamel gigi sapi
terhadap lama pengulasan antara
kelompok kontrol dan gel perlakuan
selama 3, 14, dan 28 hari dapat dilihat
pada tabel 3
Tabel 3. Taraf signifikan besar kekasaran
permukaan enamel gigi sapi terhadap lama
pengulasan antara kelompok kontrol dan
perlakuan selama 3, 14, dan 28 hari.
Hasil uji one-way anova besar
kekasaran permukaan enamel gigi sapi
terhadap lama pengulasan antara
kelompok kontrol dan perlakuan
selama 3, 14, dan 28 hari menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna pada kelompok gel ekstrak
cangkang kerang darah 3 hari dan 28
hari (p<0,05). Tidak ada perbedaan
yang bermakna antara hari ke 3 sampai
hari ke 14 maupun hari ke 14 sampai
hari ke 28 (p>0,05) pada kelompok
perlakuan, serta pada kelompok
kontrol tidak ada perbedaan yang
bermakna pada hari ke 3, 14, sampai
hari ke 28 (p>0,05). Dengan demikian
kelompok perlakuan menunjukkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
54
adanya perbedaan yang bermakna pada
besar kekasaran permukaan enamel
gigi sapi setelah pengulasan gel
ekstrak cangkang kerang darah
yangditambahkan fluor selama 28 hari
dibandingkan kelompok kontrol yang
diulasi dengan gel plasebo.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengembangkan
pemanfaatan ekstrak cangkang kerang
darah yang ditambahkan dengan fluor
dalam menunjang proses
demineralisasi dan remineralisasi gigi.
Cangkang kerang darah memiliki
kadar kalsium yang sangat tinggi,
diketahui dari mulai dilakukan
penelitian dalam dunia medis yang
membutuhkan cangkang kerang darah
untuk perkembangan dalam pembuatan
biomaterial yang berguna untuk
implan, dimana sumber kalsium
menjadi alasan utama dari penelitian
tersebut.2 Setiabudhi (2012)
menyatakan bahwa terdapat kadar
kalsium dalam cangkang kerang darah
sebesar 98,61%.4 Struktur jaringan gigi
terdiri dari jaringan keras gigi (enamel,
dentin, sementum) dan jaringan lunak
gigi (pulpa). Komponen enamel terdiri
dari 96% bahan anorganik, sisanya
adalah bahan organik dan air. Bahan
anorganik pada enamel terdiri dari
kalsium 36,7%, fosfat 17,4%. Enamel
sebagian besar terdiri dari
hidroksiapatit dan sebagian kecil fluor
apatit.16
Kalsium merupakan mineral
yang berperan dalam pembentukan
jaringan keras gigi. Dari 1200 gram
kalsium yang terdapat di dalam tubuh,
sekitar 90% terdapat dalam jaringan
keras (tulang dan gigi). Peningkatan
kebutuhan kalsium dapat terjadi pada
masa pertumbuhan, kehamilan,
menyusui, dan defisiensi
kalsium.Kalsium mempunyai berbagai
fungsi dalam tubuh, diantaranya adalah
pembentukan tulang dan pembentukan
gigi.Fungsi utama kalsium adalah
mengisi kepadatan tulang.Jumlahnya
di tulang dan gigi terdiri dari 99%
kalsium. Selebihnya tersebar luas
dalam tubuh, termasuk di dalam cairan
intraseluler dan ekstraseluler.4
Selain kalsium, peran fluor
sangat penting dalam proses
remineralisasi dan demineralisasi gigi.
Manfaat dari fluor itu sendiri berguna
untuk menghambat enzim yang terlibat
dalam pembentukan asam serta
pengangkutan dan penyimpanan
glukosa dalam streptococcus oral dan
juga membatasi penyediaan bahan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
55
cadangan untuk pembuatan asam
dalam sintesis polisakarida.13
Adanya
fluor pada saat pembentukan enamel
atau aplikasi topikal pada permukaan
enamel menyebabkan penurunan
kelarutan permukaan enamel.
Penambahan fluor mempengaruhi
kekasaran, aktivitas kimia, dan
stabilitas enamel. Apabila fluor dalam
jumlah sedikit akan menstabilkan
enamel dengan menurunkan kelarutan
terhadap asam, menurunkan
demineralisasi dan meningkatkan
remineralisasi.8
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Maki Oshiro (2007) menyatakan
bahwa ada perbedaan kekasaran
permukaan enamel pada aplikasi
Casein Phosphopeptide-Amorphous
Calcium Phosphate plus fluoride
(CCP-ACP) selama 3 hari, 14 hari, dan
28 hari secara topikal. Salah satu
indikator terjadinya proses
remineralisasi gigi adalah
pembentukan kembali sebagian kristal
apatit pada enamel yang larut
dikarenakan demineralisasi, sehingga
mengurangi kekasaran permukaan
enamel yang dapat menyebabkan
terbentuknya kavitas.17
Selain fluor, fosfat (PO42-
)
berperan dalam proses remineralisasi.
Pada penelitian ini bahan fosfat (PO42-
)
tidak digunakan karena tidak tersedia
dipasaran, dan hanya HPO42-
yang
dijual dipasaran. Berdasarkan teori
Mount (2005) menyatakan bahwa
HPO42-
tidak berperan dalam
keseimbangan HA karena HA
mengandung PO43-
dibanding HPO42-
sehingga kristal HA akan larut.17
Pada penelitian ini waktu yang
digunakan dalam pengulasan gel
ekstrak cangkang kerang darah adalah
3, 14, dan 28 hari, karena berdasarkan
penelitian yang dilakukan Oshiro dkk
(2007) yang membandingkan porositas
tubuli dentin dalam jangka waktu
tersebut dengan menggunakan SEM
(Scanning Electron Microscopy) sudah
cukup efektif untuk mengetahui
pengaruh pengulasan.14
Pada penelitian
ini pengulasan gel ekstrak cangkang
kerang darah dalam sehari dilakukan
dua kali, hal ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh
Paramitha (2011) dan menurut aturan
pemakaian yang dibuat oleh pabrik
pada penggunaan CCP-ACP.15
Alasan
lain bahwa kandungan yang terdapat
pada CCP-ACP dan sediaan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor mempunyai
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
56
kesamaan bahan yaitu pada kadar
kalsium dan fluoride.
Pada penelitian ini menggunakan
gigi sapi permanen insisivus rahang
bawah (bovine fresh extracted).
Penggunaan gigi sapi permanen
insisivus rahang bawah pada penelitian
ini karena gigi insisivus sapi rahang
bawah memiliki bentuk yang sama
dengan bentuk gigi insisivus pada
rahang bawah manusia, dan mudah
didapatkan dari rumah potong
hewan.14,16
Hasil uji one-way anova besar
kekasaran permukaan enamel gigi sapi
terhadap lama pengulasan antara
kelompok perlakuan selama 3, 14, dan
28 hari menunjukkan perbedaan
secara bermakna pada lama pengulasan
selama 28 hari. Hasil analisis
menunjukkan bahwa perkembangan
terjadi setelah pengulasan selama 28
hari, tidak ada perbedaan antara lama
pengulasan selama 3 hari dan 14 hari,
dan 14 hari dengan 28 hari, tetapi ada
perbedaan pengulasan antara 3 hari
dan 28 hari. Jadi dapat disimpulkan
bahwa lama pengulasan gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor selama 14 hari pada
penelitian ini belum menunjukkan
pengaruh terhadap besar kekasaran
permukaan enamel. Lama pengulasan
gel ekstrak cangkang kerang darah
yang ditambahkan fluor selama 14 hari
belum menunjukkan pengaruh
terhadap perbedaan waktu pengulasan
antara 3 hari dan 28. Hal tersebut
kemungkinan karena faktor sediaan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor dimana
konsistensinya masih terlalu padat
dibandingkan dengan bahan topikal
lain seperti CCP-ACP, sehingga terjadi
kesulitan pada saat absorbsi. Selain itu
faktor bentuk anatomi gigi insisivus
rahang bawah sapi yang berbeda-beda
dan permukaan gigi yang kurang rata
pada penelitian ini, menyebabkan
kesulitan pada pengukuran.
Fungsi dari kalsium dan fluoride
dengan pemberian secara topikal
adalah untuk mempercepat
pertumbuhan remineralisasi yang telah
hilang akibat terjadinya demineralisasi.
Bahan fluoride masuk ke dalam
enamel rods untuk menghambat
kerusakan pada enamel dan akan
berikatan kuat dengan ion-ion bebas
Ca2+
dan HPO42-
membentuk kristal
fluorapatit [Ca10(PO4)6(OH).F]
sehingga metabolisme kalsium dapat
terjadi tanpa harus terganggu oleh
bakteri dan plak.13
Faktor - faktor yang
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
57
mempengaruhi kekasaran permukaan
enamel pada manusia secara umum
dipengaruhi oleh diet yang tidak
seimbang terutama karbohidrat yang
tinggi kandungan sukrosanya,
tingginya aktivitas bakteri karies
terutama bakteri Streptococcus mutans,
dan struktur gigi itu sendiri yang
kurang baik.15
Pada penelitian ini
faktor lainnya yang mempengaruhi
pengukuran kekasaran permukaan
enamel adalah lama waktu pengulasan
gel ekstrak cangkang kerang darah
yang ditambahkan fluor.
Dari hasil penelitian didapatkan
rerata jumlah kekasaran permukaan
enamel antara kelompok kontrol lebih
besar dibandingkan kelompok
perlakuan. Hal ini menunjukkan
dengan pemberian gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor dapat menurunkan
besar kekasaran permukaan
enamel.Semakin lama pengulasan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan dengan fluor dapat
menurunkan besar kekasaran
permukaan enamel. Lama pengulasan
gel selama 28 hari signifikan berbeda
dibandingkan lama pengulasan 3 hari.
Gel ekstrak cangkang kerang darah
yang ditambahkan fluor diharapkan
dapat digunakan sebagai biomaterial
kedokteran gigi untuk menunjang
terjadinya remineralisasi, serta dapat
menekan angka karies gigi di masa
depan.
SIMPULAN
Terdapat perbedaan yang
bermakna pada kekasaran permukaan
enamel dengan lama pengulasan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluor selama 3 hari dan
28 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. PKSPL. 2004. Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Perikanan
(Kerang Darah) di Kabupaten Boalemo
Provinsi Gorontalo. Kerjasama BAPPEDA
dan PKSPL. Laporan Penelitian. p.24-15.
2. Wheeler’s. 2003. Dental Anatomy,
Physiology, and Occlusion. United States.
p. 6.
3. Wiraningsih. 2010. Sintesis kalsium
pirosofat dari kulit kerang darah (anadara
granosa) melalui metode presipitasi. Tesis,
Universitas Andalas. p.2-1.
4. Mustakimah,dkk. 2012. Decomposition
Study of Calcium Carbonate in Cockle
Shell. World engineering congres 2010, 2nd
– 5th August, Kuching. Sarawak, Malaysia.
Conference on advance Processes and
Materials. Vol. 7, No. 1: 10 – 1.
5. Setiabudhi M. 2012. Kadar kalsium gigi
sapi setelah pengulasan dengan gel ekstrak
kerang darah (anadara granosa). Skripsi,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
58
Universitas Hang Tuah, Surabaya. p.9-5,
11-10, 18-13, 27-26.
6. Ito D. 2010. Optimal level of calcium
intake for caries prevention. Tesis.
Universitas Kedokteran Gigi. Toronto. p.3-
1.
7. Lubis S. 2001. Fluor dalam pencegahan
karies gigi. Skripsi. Universitas Sumatera
Utara. Medan. p.10-3.
8. Angela A. 2005. Pencegahan primer pada
anak yang berisiko karies tinggi. Maj. Ked.
Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 3 Juli–
September 2005: 134–130. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
9. Roberson TM, Heymann HO, Swift EJ.
2006. Art and science of operative
dentistry. 5th ed. Mosby Inc. St. Louis,
Missouri. p.24-18, 122, 182, 246-8, 497-8,
517-8, 637.
10. Arida D. 2009. Efek pemberian fluoride
varnish di kedokteran gigi. Skripsi, USU. p.
6.
11. Walsh LJ. 2010. MI paste, MI paste plus.
Anthology of applications.
http://www.gcamerica.com/products/hp/MI
Paste/mipaste_cookbook.pdf. Accesed 24-
6-2010
12. Mathias J, S Kavitha, S Mahalaxmi. 2009.
A comparison of surface roughness after
micro abrasion of enamel with and without
using CPP-ACP: An in vitrostudy. J
Conserv Dent. Vol 12. p. 225.
13. Afanty A. 2009. Pengaruh aplikasi pasta
casein phophopeptide-amorphous calcium
phosphate pada white spot gigi desidui.
Tesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. p. 78-71.
14. Herdiyati Y. 2010. Penggunaan Fluor
Dalam Kedokteran Gigi. Tesis, Bandung,
Universitas Padjadjaran. p. 12.
15. Oshiro M, Yamaguchi K, et al. 2007. Effect
of CCP-ACP paste on tooth mineralization:
an FE-SEM study. Journal of Oral Science.
Vol 49, no. 2: 120-115.
16. Paramitha K. 2011. Perbandingan
kekasaran permukaan enamel terhadap
lama pengulasan Casein phosphopeptide-
amorphous calcium phosphate berfluoride.
Skripsi, Universitas Hang Tuah, Surabaya.
p. 25-20.
17. Nurliza C. 2002. Program Pencegahan
Erosi Gigi Dengan Berkumur Larutan
Baking Soda 1% Untuk Menurunkan Kadar
Asam Sulfat di Dalam Rongga Mulut Pada
Karyawan Pabrik Alumunium Sulfat. Tesis.
Medan, Universitas Sumatera Utara. p.5
18. Mount GJ, Hume WR. 2005. Preservation
and restoration of tooth structure. 2nd
ed.
Knowledge book and software. Australia. p.
2, 25, 39, 87, 212.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
59
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Mangrove
(Avicennia marina) Terhadap Kesembuhan
Ulkus Traumatikus
(The effect of the extract of mangrove leaf (Avicennia marina)
towards the healing of traumatic ulcer)
Arvian Novanolo Mendrofa, Isidora Karsini S*, Dian Mulawarmanti**
*Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Avicennia marina which has role in wound healing process, but its effect in wound healing in oral mucosa has not been researched yet. Purposes: To prove the effect of
extract avicennia marina against traumatic ulcer and effective concentration of the extract of
avicennia marina in traumatic ulcer healing. Methods: The subjects of this research are 25 wistar rats that were randomized into 5 different groups; K0 control, K1 were given
hyaluronic acid, P1 were given extract of avicennia marina 10%, P2 were given extract of
avicennia marina 20%, and P3 were given extract of avicennia marina 40%. The subject is wounded using amalgam stopper that has been heated before. Subject was given topical
application once dailyuntil seven days. The ulcer diameter was measured at the second day and day 8 using caliper digital. The data obtained were analyzed using Kruskal-Wallis
test.Results: The result showed signification of p<0,05, showing that there’s difference in
diameters between two groups. The average diameter differences of traumatic ulcer among rats are: K0 =0.5700 mm ± .09721, K1 = 0.8380 mm ± .04438, P1 = 0.7240 mm ± .08385,
P2 = 0.8440 mm ± .02074, and P3 = 0.9500 mm ± .03674. Conclusions: Avicennia marina extract concentration of 10%, 20% and 40% have effect in the healing of traumatic ulcer, and
avicennia marina 40% is the most effective concentration against traumatic ulcer healing.
Keywords:Avicennia marina, traumatic ulcer diameter, wound healing
Correspondence: Isidora Karsini S, Department of Oral Pathology, Faculty of Dentistry, Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Phone 031-
5912191, e-mail : [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
60
ABSTRAK
Latar Belakang:Perawatan saluran akar adalah salah satu perawatan yang
biasanyadilakukan untuk mempertahankan gigi yang telah terinfeksi oleh bakteri mixed pada
saluran akar. Enterococcus faecalis adalah salah satu bakteri yang sering menyebabkan terjadinya kegagalan perawatan saluran akar. Ekstrak daun alpukat telah diketahui memiliki
aktivitas antibakteri karena mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Berdasarkan penelitian
sebelumnya ekstrak daun alpukat terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans yang merupakan golongan bakteri yang sama dengan bakteri Enterococcus faecalis. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melihat ada tidaknya daya hambat ekstrak daun alpukat dalam konsentrasi 25%, 50%, dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis. Metode: Penelitian dilakukan
dengan metode difusi pada media BHI agar dan diinkubasi secara anaerob pada 37°C
selama 48 jam. Hasil: Hasil perhitungan rerata diameter zona hambat ekstrak daun alpukat dalam konsentrasi 25%, 50%, dan 100% masing-masing sebesar 8.99 mm, 10.73 mm, dan
11.82 mm, sedangkan pada kelompok kontrol positif (ChKM) sebesar 10.53 mm. Data
kemudian dianalisis dengan uji ANOVA (one way) dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada seluruh kelompok karena nilai (p<0.05). Hasil uji LSD
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada seluruh antar kelompok kecuali kelompok ChKM dengan kelompok perlakuan konsentrasi 50% karena nilai (p>0.05). Kesimpulan:
Ekstrak daun alpukat terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis
Kata Kunci: Perawatan saluran akar, bakteri Enterococcus faecalis, ekstrak daun alpukat
Correspondence : Isidora Karsini S, Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111 Indonesia, Telp 031-5912191, e-mail : [email protected]
PENDAHULUAN
Ulkus merupakan kerusakan
pada jaringan mukosa yang
menyebabkan hilangnya sebagian
struktur epitel hingga melebihi
membran basalis atau dapat mencapai
lamina propia.1 Sedangkan, ulkus
traumatikus adalah suatu lesi pada
rongga mulut yangdisebabkan
olehbahan kimia,panas, listrik,
kekuatan mekanik, kontak dengan gigi
yang patah, cengkraman gigi tiruan
sebagian atau mukosa tergigit secara
tak sengaja, luka bakar dari makanan
dan minuman yang terlalu panas
umumnya terjadi pada palatum, cedera
akibat kuku jari yang mencungkil-
cungkil mukosa mulut.2Prevalensi TU
pada mukosa rongga mulut cukup
tinggi yaitu sekitar 83,6%.3
Kebanyakan orang sering
mengabaikan terjadinya ulkus
traumatikus, padahal ulkus traumatikus
yang berkepanjangan atau resistensi
dan tidak kunjung sembuh atau luka
yang kurang baikpenyembuhannya
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
61
dapat menjadi ulkus traumatikus
kronis.4
Akhir-akhir ini ini mulai
digunakan asam hialuronat 0,2 %
sebagai salah satu obat terapi ulkus
traumatikus. Asam hialuronat
merupakan suatu bagian matriks
ekstraselular dan merupakan
glikosaminoglikan utama yang
disekresikan selama perbaikan
jaringan. Asam hialuronat dapat
merangsang penyembuhan luka,
migrasi, dan mitosis dari fibroblas dan
sel epitel.5 Namun penggunaan asam
hialuronat dapat menyebabkan alergi
atau reaksi hipersensitivitas dan
harganya yang masih relatif mahal.6
Asam hialuronat terdapat di semua
organ tubuh manusia, tetapi lebih
banyak di jaringan mesenkimal.7
Avicennia marina merupakan
salah satu jenis mangrove yang
mengandung beberapa senyawa
metabolit sekunder seperti; saponin,
flavonoid, dan triterpenoid. Saponin
yang berperan sebagai antimikroba,
antiradang, antibiotik, obat hemolitik,
hipoglikemi, dan sitotoksik,8 selain itu
dari beberapa penelitian diketahui
bahwa saponin dapat berfungsi sebagai
antikanker dan anti inflamasi.9
Triterpenoid berperan sebagai
antiradang dan antikarsinogenik.
Flavonoid berperan sebagai
antioksidan dengan menghambat
peroksidasi dari lipid dan berpotensi
menginaktifasi oksigen triplet.8
MATERI DAN METODE
Penelitian yang dilakukan
merupakan penelitian true
experimental laboratory. Rancangan
penelitian ini adalah post test only
control group design. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 25 ekor tikus wistar jantan
dengan dasar pertimbangan sifat jenis
kelamin jantan yang lebih mudah
dikontrol dalam proses penyembuhan
karena tidak terpengaruhi oleh faktor
hormonal pada saat menstruasi. Tikus
wistar dipilih sebagai hewan coba
karena memiliki metabolisme tubuh
yang hampir sama dengan manusia.10
Pada penelitian ini tikus
diadaptasi dalam kandang ukuran 40
cm x 30 cm x 14 cm dan ditempatkan
dalam ruangan yang cukup udara dan
cahaya. Makanan diberikan tiap pagi,
siang, dan malam. Sedangkan
minuman diberikan dalam botol 300
ml yang dilengkapi pipa kecil dan diisi
air matang. Hewan coba diadaptasikan
selama 1 minggu untuk mendapatkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
62
kesehatan umum yang baik dan
penyesuaian dengan lingkungan.11
Pada hari pertama masing-
masing tikus Wistar sebelum mendapat
perlakuan dilakukan anastesi secara
inhalasi dengan menggunakan ether
bertujuan agar hewan coba tidak
mengalami rasa sakit pada saat
perlakuan awal. Kemudian membuat
ulkus dengan menggunakan amalgam
stopper yang mempunyai ukuran
penampang ± 3 mm yang telah
dipanaskan diatas burner yang diberi
spiritus.
Pada hari kedua dilakukan
pengamatan apakah sudah terbentuk
ulkus atau tidak. Jika sudah terbentuk
ulkusyang ditandai dengan adanya lesi
berbentuk bulat, berwarna putih
dengan sentral kekuningan yang berisi
eksudat fibrinosa dengan tepi
kemerahan (eritem).1 Ulkus diukur
dengan menggunakan kaliper digital
yang dilakukan pada hari kedua dan
hari kedelapan.
Aplikasi topikal aquades steril
pada kelompok K0, aplikasi topikal gel
Asam hialuronat 0,2% pada kelompok
K1, aplikasi topikal gel daun mangrove
Avicennia marina gel 10% pada
kelompok P1, aplikasi topikal gel daun
mangrove Avicennia marina gel 20%
pada kelompok P2, aplikasi topikal gel
daun mangrove Avicennia marina gel
40% pada kelompok P3. Aplikasiobat
secara topikal dilakukan 1 kali sehari
selama 7 hari.
Dari hasil penelitian diatas maka
data penelitian dianalisis dengan
menggunakan statistik analitik dan
kemudian dilakukan uji normalitas dan
homogenitas. Skala data dalam
penelitian ini adalah skala data ratio.
Bila data terdistribusi secara normal
dan memiliki varian yang homogen
maka dilanjutkan dengan uji hipotesis
dengan menggunakan statistik
parametrik yaitu One Way ANOVA
yang kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan LSD dengan taraf
signifikan. Bila dalam uji normalitas
distribusi data tersebut tidak normal
ataupun tidak homogen maka dapat
dilakukan transformasi data. Apabila
setelah dilakukan transformasi data
tetap tidak ada perubahan maka dapat
dilakukan uji hipotesis dengan
menggunakan statistik non parametrik
yaitu Kruskal-Wallis yang kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan
Mann-Whitney dengan taraf signifikan.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
63
HASIL
Rerata dan simpangan baku
selisih diameter penyembuhan ulkus
traumatikus pada kelompok perlakuan
serta kelompok kontrol positif (asam
hialuronat 0,2%) dan kelompok
kontrol negatif (aquadest) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil rerata dan simpang baku
selisih diameter penyembuhan ulkus
traumatikus
Dari data hasil rerata dan
simpang baku selisih diameter
penyembuhan ulkus traumatikus diatas
dapat dilihat bahwa terjadi
pengurangan diameter ulkus
traumatikus paling banyak pada
kelompok perlakuan ekstrak daun
mangrove Avicennia marina 40%.
Sedangkan pengurangan diameter
ulkus traumatikus paling sedikit terjadi
pada kelompok kontrol negatif
(aquadest).
Data di uji dengan menggunakan
statistik parametrik yaitu One Way
ANOVA yang kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan LSD. Data
berdistribusi tidak normal atau data
tersebut tidak homogen dilakukan
transformasi data.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat
dilihat bahwa data berdistribusi normal
(p > 0.05) pada semua kelompok,
namun berdasarkan tabel 3 diatas dapat
dilihat bahwa varians data tidak sama
karena memiliki nilai signifikansi (p <
0.05). Dari hasil tersebut maka harus
dilakukan transformasi data agar
varians data sama.
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Setelah
Transformasi Data
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
64
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat
dilihat bahwa varians data tetap tidak
sama karena memiliki nilai signifikansi
(p < 0.05). Dari hasil tersebut maka
sebagai alternatif dapat menggunakan
uji non parametrik yaitu Kruskal-
Wallis.
Tabel 5. Hasil Uji Kruskal-Wallis
Berdasarkan tabel 5 diatas
dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
selisih diameter antara dua kelompok
karena memiliki nilai signifikansi (p <
0.05), untuk mengetahui kelompok
yang mempunyai perbedaan yang
bermakna maka dapat dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney.
Tabel 6. Hasil Uji Mann-Whitney
Keterangan:
* : Mempunyai perbedaan bermakna (p <
0.05)
Berdasarkan tabel 6 diatas dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara selisih diameter pada
kelompok K0 dibandingkan dengan
kelompok K1 (p=0.009), kelompok K0
dibandingkan dengan kelompok P1
(p=0.033), kelompok K0 dibandingkan
dengan kelompok P2 (p=0.009),
kelompok K0 dibandingkan dengan
kelompok P3 (p=0.008), kelompok K1
dibandingkan dengan kelompok P3
(p=0.009), kelompok P1 dibandingkan
dengan kelompok P2 (p=0.012),
kelompok P1 dibandingkan dengan
kelompok P3 (p=0.008), kelompok P2
dibandingkan dengan kelompok P3
(p=0.009).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang di uji
statistik rata-rata selisih diameter pada
kelompok P2 lebih tinggi dibanding
kelompok P1, K1 dan K0. Namun rata-
rata selisih diameter dari kelompok P2
tidak terlalu besar terhadap kelompok
K1. Hal ini dimungkinkan karena P2
memiliki kadar kandungan saponin,
flavonoid, asam amino, serta vitamin C
yang tidak terlalu tinggi, sehingga
dapat diasumsikan bahwa ekstrak P2
memiliki kemampuan yang hampir
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
65
sama dengan K1 terhadap
penyembuhan ulkus traumatikus.
Rata-rata selisih diameter pada
kelompok K1 lebih tinggi dibanding
kelompok P1 dan kelompok K0. Hal
ini dikarenakan asam hialuronat adalah
komponen terbesar matriks ekstra
seluler yang sifatnya menarik air dan
banyak ditemukan pada jaringan yang
tumbuh atau rusak. Asam hialuronat
merupakan bagian penting dari matriks
ekstraseluler dan juga salah satu GAG
utama yang dikeluarkan selama
perbaikan jaringan.5 Asam hialuronat
diproduksi oleh fibroblas selama fase
proliferasi pada penyembuhan luka
merangsang migrasi dan mitosis dari
fibroblas dan sel epitel,5,12
selain itu
dapat dimungkinkan karena kadar
kandungan pada P1 seperti: saponin,
flavonoid, asam amino, serta vitamin C
yang relatif rendah sehingga terjadi
penyembuhan ulkus traumatikus yang
lebih baik pada kelompok K1
dibandingkan P1.
Rata-rata selisih diameter pada
kelompok P1 lebih tinggi dibanding
kelopok K0. Hal ini dimungkinkan
karena adanya kandungan pada P1
seperti: saponin, flavonoid, asam
amino, serta vitamin C. Sekalipun
kandungan yang terdapat dalam P1
relatif kecil, namun hal tersebut
didukung oleh adanya produksi asam
hialuronat oleh fibroblas selama tahap
proliferasi.5
Proses penyembuhan ulkus
traumatikus yang terjadi pada
kelompok P3 berlangsung lebih
optimal dibandingkan kelompok P1,
kelompok P2, kelompok K1, dan
kelompok K0. Hal ini diduga karena
kadar nutrisi yang terdapat dalam P3
mencukupi kebutuhan metabolik bagi
penyembuhan ulkus traumatikus,
terutama pada fase proliferasi dimana
terjadi proses epitelisasi yang
membutuhkan banyak asupan energi.
Selain itu, P3 memiliki kandungan
yang berkhasiat terhadap
penyembuhan ulkus traumatikus lebih
tinggi dibandingkan pada P1 dan P2.
Kandungan berkhasiat tersebut,
seperti: saponin, flavonoid, asam
amino, serta vitamin C yang cukup
tinggi. Percepatan penyembuhan pada
P3 juga didukung oleh adanya
produksi asam hialuronat oleh
fibroblas selama tahap proliferasi.5
Kelompok P1, P2, P3 dapat lebih
cepat dibandingkan dengan K0
disebabkan banyak kandungan yang
terdapat dalam Avicennia marina yang
berperan dalam proses penyembuhan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
66
dari ulkus traumatikus. Saponin dapat
berperan sebagai anti mikroba, anti
radang, antibiotik, obat hemolitik,
hipoglikemi, dan sitotoksik,8 selain itu
dari beberapa penelitian diketahui
bahwa saponin dapat berfungsi sebagai
antikanker dan anti inflamasi.9 Saponin
merupakan senyawa penting dalam
proses penyembuhan luka. Saponin
dapat memacu pembentukan kolagen
yaitu protein struktur yang berperan
dalam proses penyembuhan luka.
Senyawa golongan flavonoid
dapat berperan sebagai antioksidan
dengan menghambat peroksidasi dari
lipid dan berpotensi menginaktifasi
oksigen triplet,8serta anti inflamasi
yang dapat mengurangi peradangan
serta membantu mengurangi rasa sakit
bila terjadi pendarahan atau
pembengkakan pada ulkus
traumatikus.13
Kandungan lain pada Avicennia
marina yang berperan dalam proses
penyembuhan ulkus traumatikus
adalah asam amino. Asam amino
glisin, betaine, asparagine merupakan
asam amino yang terdapat pada ekstrak
Avicennia marina.8 Asam amino yang
berperan dalam proses penyembuhan
luka yaitu, arginine, glycine, lysine,
proline, glucosamine, D-glucoronic
acid, dan camosin.14
Asam amino
glycine adalah asam amino dengan
konsentrasi tertinggi pada Avicennia
marina.
Glycine merupakan salah satu
komponen utama pembentuk kolagen
pada tubuh manusia yang bekerja
secara sinergis bersama asam amino
esensial lainnya untuk membentuk
sebuah polipeptida yang merangsang
perbaikan jaringan dan proses
penyembuhan,15
selain itu Avicennia
marina juga mengandung vitamin C
yang cukup tinggi di bagian daun
15,32 mg.16
Vitamin C berperan
meningkatkan migrasi neutrofil dan
transformasi limfosit, penting dalam
sintesis kolagen, dalam pembentukan
ikatan antara serat kolagen yaitu
pembentukan triple helix
colagen,dimana kolagen merupakan
protein yang membantu pembentukan
jaringan ikat dikulit ligament dan
untuk menjaga daya tahan tubuh.5,17
Vitamin C diketahui bisa mempercepat
penyembuhan ulkus dikarenakan
fungsinya yang juga dapat menangkap
radikal bebas sehingga memutus ikatan
Reactive Oxygen Species (ROS).18
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan, kelompok P3
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
67
memiliki penyembuhan paling cepat
dibandingkan dengan kelompok P1
dan P2. Sangat besar kemungkinan
terjadi proses penyembuhan ulkus
traumatikus yang lebih cepat dengan
menggunakan konsentrasi ekstrak
Avicennia marina yang lebih tinggi.
SIMPULAN
Ekstrak Avicennia marina
memiliki pengaruh terhadap
kesembuhan ulkus traumatikus.
Konsentrasi ekstrak Avicennia marina
10% tidak memiliki pengaruh lebih
baik sedangkan konsentrasi 20%, 40%
terbukti memiliki pengaruh lebih baik
dibandingkan asam hialuronat 0,2%
terhadap kesembuhan ulkus
traumatikus. Konsentrasi ekstrak
Avicennia marina 40% adalah
merupakan konsentrasi yang paling
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008.
Oral Pathologic Correlations. 5th edition. St.
Louis: WB Saunders. p. 24-21.
2. Langlais RP, Miller CS. 2000. Atlas
Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang
Lazim. Jakarta: Hipokrates. p. 94.
3. Delong L,et al. 2008. General and Oral
Pathology for The Dental Higienist.
Philadelphia, US: Lippincott Williams &
Wilkins. p. 297-295.
4. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto
N. 2009. Robbins and Cotran. Buku Saku
Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7 (Pocjet
Companion to Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease, 7th edition).
Alih bahasa: Andry Hartanto.
Editor:Inggrid Tania et al. Jakarta: EGC.
h.75-29.
5. MacKay DND and Miller ALND. 2003.
Nutritional Support for Wound Healing.
Alternative Medicine Review. Vol.8,
Number 4: 377-359. Available from
http://www.pilodinal.org/_assets/pdf/nutriti
on.pdf. Accessed in June 25th, 2012.
6. Kapoor, Pranav, Shabina Sachdeva, and
Silonie Sachdeva. 2010. Topical
Hyaluronic Acid in the Management of
Oral Ulcers. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P
MC3132908. Accesed in August 8th 2012.
7. Topazian RG, Goldberg MH, Hupp JR.
2002. Oral Maxillofacial Infection. 4th
edition. USA: WB Saunders. p. 25.
8. Bayu A. 2009. Hutan Mangrove Sebagai
Salah Satu Sumber Produk Alam Laut.
Available from
http://isdj.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/34209
1523.pdf. Accessed in June 13th, 2012.
9. Sendih S dan Gunawan. 2006. Keajaiban
Teripang Penyembuhan Mujarab dari Laut.
Jakarta: PT. Argo Media Pustaka.
10. Rukmini Ambar. 2007. Regenerasi Minyak
Goreng Bekas dengan Arang Sekam
Menekan Kerusakan Organ Tubuh.
Available on
http://p3m.amikom.ac.id/p3m69%20%20R
EGENERASI%20MINYAK%20GORENG
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
68
%20BEKAS%20DENGAN%20ARANG%
20SEKAM%20MENEKAN%20KERUSA
KAN%20ORGAN%20TUBUH.pdf.
Accesed at Desember 07, 2012.
11. Kusumawati D. 2004. Biologi Hewan Coba
Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajah
Mada University Press. p. 22-5.
12. Murray RK, Granner DK, Mayes PA,
Rodwell VW. 2003. Biokimia Herper. Edisi
25. Jakarta: EGC. h. 680-662.
13. Abdullah Y. 2008. Efektivitas Ekstrak
Daun Paci-paci Leucas lavandulaefolia
untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi
Penyakit MAS Motile Aeromonad
Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro
dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias
sp. Available from
http://repository.ipb.ac.id/handle/12345678
9/57527. Accesed in Des 28th, 2012.
14. Gam LH, et al. 2006. Proteomic analysis of
snakehead fish (Channa Striata) muscle
tissue. Malaysian Journal Biochemistry and
Molecular Biology, No 14: 32-25.
Available from
http://majlis.fsktm.um.edu.my/document.as
px?FileName=584.pdf. Accessed on
November 29, 2012.
15. Daud CKD,et al. 2010. Amino and fatty
acid compositions in haruan traditional
extract (HTE). Boeletin Latinoamericano y
del Caribe de Plantas Medicinales y
Aromaticas Vol. 9 No.5 : 429-414.
Available from
http://redalyc.uaemex.mx/redalyc/pdf/856/8
5615225012.pdf. Accesed on November 10,
2012.
16. Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati
Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan Pohon
Mangrove Api-api (Avicennia spp) Sebagai
Bahan Pangan dan Obat. Available from
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/
123456789/45052/Pemanfaatan%20Pohon
%20Mangrove.pdf?sequence=1. Accessed
in June 1st, 2012.
17. Pongsipulung GR, Paulina VYY, Yos
Banne. 2012. Formulasi dan Pengujian
Salep Ekstrak Bonggol Pisang Ambon
(Musa Paradisiaca Var. Sapientum (L.))
Terhadap Luka Terbuka Pada Kulit Tikus
Putih Jantan Alur Wistar (Rattus
norvegicus). Available
fromhttp://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/p
harmacon/article/viewFile/462/370.
Accessed in Des 26th, 2012.
18. Niki E, N. Noguchi, M. Iwatsuki, and
Y.Kato. 1996. Dynamics of Antioxidation
by Phenolic Antioxidant: AOCS Press. p. 8-
1.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
69
Potensi Antibakteri Ekstrak Tumbuhan Mangrove
Rhizophora mucronata Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Mixedperiodontopatogen
(Antibacterial Potency Of Rhizophora mucronata’s Ekstrak
AgainstMixedperiodontopathogen)
Dwi Andriani*, Yoifah Rizka**
*Biologi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
**Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Background: Mangrove especially Rhizophora mucronata is plant from coast that can be the alternative medicine as antibacterial in periodontal disease due to its componen tannin.
Purpose:Todetermine the antimicrobial extracts of leaves, stems and roots of mangrove (Rhizophora mucronata) on periodontopathogen Mixed bacterial growth. Methods: This
research was experimental laboratoris. Treatment group consisted of six(6) groups with
different concentrations 1.56 %, 3.125 %, 6.25 %, 12.5 %, 25 %, 50%of extracts from roots , stems and leaves of Rhizophora mucronata. Negative control group DMSO 1%, whereas the
positive control group was given tetracycline disc. Antibacterial examination of the mixed
periodontopathogen by diffusion method in Mueller Hinton (MH) agar. Extract was prepared by percolation methods 83 % ethanol. Measurement of inhibition zone was using digital
calipers (mm). All the data were analysed with Kruskall-walis and Mann Withney-U. Results:there is significant different (p=0; p <0.05) between extract the root, bark, and leaves
of Rhizophoramucronatawith positive control at all concentrations. The root’s extract
(p=0,317 and 0,85), barks’s extract (p= 0,536 and 0,127)and leave’s extract (p= 0,536 and 0,127)has no significant difference with the negative control, except Rhizophoramucronata
bark is significant different with negative control at concentration of 25% (0,019) and 50% (0,019).Conclusion: Bark’s extract showed inhibit zone againts bacteria mixed
periodontopathogen at concentration of 25% and 50%. Root and leaf extracts showed has no
inhibitionagainst bacteria.
Key words:Mixed periodontopathogen, mangrove, Rhizophora mucronata, antibacterial
Correspondence: Dwi Andriani, Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Hang
Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya 60111 Indonesia, Phone 031-5912191, e-mail :[email protected]
LAPORAN PENELITIAN
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
70
ABSTRAK
Latar Belakang: Mangrove terutama Rhizophora mucronata adalah tanaman pantai yang
dapat menjadi pengobatan alternatif sebagai antibakteri pada penyakit periodontal karena
memiliki komponen tannin. Tujuan: Untuk menentukan daya antimikroba ekstrak daun, batang dan akar bakau (Rhizophora mucronata) pada pertumbuhan bakteri mixed
periodontopathogen. Methods: Jenis Penelitian ini adalah eksperimental laboratoris. Kelompok perlakuan terdiri dari enam (6) kelompok dengan konsentrasi yang berbeda
1,56%, 3,125%, 6,25%, 12,5%, 25%, 50% ekstrak dari akar, batang dan daun Rhizophora
mucronata. Kelompok kontrol negatif DMSO 1%, sedangkan kelompok kontrol positif diberi tetrasiklin disc. Pemeriksaan antibakteri dari mixed periodontopathogen dengan metode
difusi dalam Mueller Hinton (MH) agar. Ekstrak dibuat dengan metode perkolasi 83% etanol. Pengukuran zona hambatan menggunakan kaliper digital (mm). Semua data dianalisis
dengan Kruskall-wali dan Mann Whitney-U. Hasil: ada perbedaan yang signifikan (p = 0, p
<0,05) antara ekstrak akar, battang, dan daun Rhizophora mucronata dengan kontrol positif pada semua konsentrasi. Ekstrak akar (p = 0.317 dan 0,85), ekstrak batang (p = 0.536 dan
0.127) dan ekstrak daun (p = 0.536 dan 0.127) tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dengan kontrol negatif, kecuali ekstrak batang Rhizophora mucronata signifikan berbeda dengan kontrol negatif pada konsentrasi 25% (0,019) dan 50% (0,019). Kesimpulan: Ekstrak
batang menunjukkan zona hambat terhadap bakteri mixed periodontopathogen pada konsentrasi 25% dan 50%. Akar dan daun ekstrak menunjukkan tidak memiliki hambatan
terhadap bakteri.
Kata kunci : Mixed periodontopatogen, mangrove, Rhizophora mucronata, antibakteri
Korespondensi: Dwi Andriani, Bagian Biologi Oral, FakultasKedokteran Gigi Universitas
Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim 150, Surabaya 60111 Indonesia, Telp 031-5912191, e-
mail :[email protected]
PENDAHULUAN
Penyakit periodontal merupakan
kelainan dalam rongga mulut yang
memiliki prevalensi cukup tinggi di
masyarakat hampir diseluruh dunia. Di
Inggris, 54% orang dewasa memiliki
poket periodontal 4 mm atau
lebih.1Levineet,almenemukan 25,9%
dari subyek yang diteliti menderita
periodontitis kronis dan agresif.2Di
Indonesia, prevalensi penyakit
periodontal pada semua kelompok
umur adalah 96,58%.3 Penyakit
periodontal merupakan suatu
peradangan dan juga perubahan resesif
pada gingiva dan jaringan periodontal
disebabkan oleh mikroorganisme
spesifik dengan berbagai manifestasi
klinis, dimulai dari perdarahan,
keradangan, kehilangan tulang,
kegoyangan gigi hingga terjadinya
kehilangan gigi.4,5
Faktor etiologi utama pada
penyakit periodontal adalah bakteri
yang berakumulasi pada dental plak
(biofilm) dipermukaan gigi dan poket
gingiva (plaksubgingiva).6
Spesies sub
gingival tertentu kebanyakan terdiri
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
71
dari bakteri Gram-negatif yang
dihubungkan dengan etiologi penyakit
periodontal destruktif seperti :
Actinobacillus
actinomycetemcomitans,Porphyromon
as gingivalis (P. gingivalis), Provotella
Intermedia dan beberapa spesies
bakteroid lainnya.7
Selain perawatan scaling and
root planningterkadang dibutuhkan
antibiotik sebagai terapi tambahan
untuk menurunkan jumlah bakteri
penyebab periodontal.8Meskipun
memiliki efek inhibitor kuat, diketahui
penggunaan antibiotik telah
menimbulkan fenomena baru dengan
munculnya resistensi, reaksi alergi dan
reaksi toksik.9
Berkaitan dengan
kondisi tersebut, diperlukan
antimikroba alternatif yang dapat
digunakan untuk menurunkan aktifitas
bakteri.
Pemanfaatan sumber daya alam
sebagai obat alternatif semakin
berkembang penggunaannya karena
sifatnya yang alami dan relative aman,
tumbuhan mangrove Rhizophora
mucronatasalah satunya. Tumbuhan
ini diketahui sebagai tanaman obat
yang dapat digunakan untuk mengobati
angina, desentri, hematuria dan lain-
lain. Kandungan kimia aktif tumbuhan
ini antara lain taninmemiliki
mekanisme menghambat enzim
ekstraseluler mikroba, sehingga dapat
mengakibatkan kematian pada bakteri
tersebut sedangkan kandungan lainnya
seperti Alkaloid, Flavanoid, Terpenoid
dan Saponin juga memiliki
kemampuan anti bakteri dengan
merusak membran bakteri.10,11,12
Ekstrak daun Rhizophora
mucronata memiliki efek antibakteri
pada spektrum yang luas.13
Kulit
batang, daun, dan bunga Rhizophora
mucronata telah diteliti memiliki sifat
antibakteri terhadap bakteri gram
positif maupun gram
negatif.12
Dibidang kedokteran gigi,
Ekstrak batang bakau besar
Rhizophora mucronata mempunyai
daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Mixed periodontopatogen.14
Berdasarkan latar belakang
diatas dan adanya potensi antibakteri
dari tanaman mangrove, peneliti
tertarik untuk membandingkan daya
hambat ekstrak daun, kulit batang, dan
akar mangrove dengan spesies
Rhizophora mucronata terhadap
bakteri Mixed periodontopatogen,
sehingga dapat dijadikan bahan dasar
pengobatan alternatif untuk penyakit
periodontal.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
72
METODE
Penelitian ini termasuk jenis
penelitian laboratorium (Experimental
Research) atau penelitian
experimental, dengan menggunakan
rancangan penelitian post test only
control group design.Kelompok dibagi
3 yairu kelompok kontrol positif (K1),
Kelompok kontrol negatif (K2) dan
kelompok perlakuan (K3). Kelompok
perlakuan terdiri dari enam kelompok
yang diberi konsentrasi ekstrak dari
akar, batang dan daun Rhizophora
mucronata berbeda tiap kelompoknya
yaitu, 1,56%; 3,125%; 6,25%; 12,5%;
25%; 50%. Pada kelompok kontrol
negatif dengan DMSO1%, sedangkan
kelompok kontrol positif diberi
tetrasiklin disc.
Metode ekstrak tumbuhan bakau
besar (Rhizophoramucronata) adalah
ekstrak etanol 83% dari daun, batang
dan akar tumbuhan Rhizophora
mucronata masing-masing 10g dengan
menggunakan metode Perkolasi.
Ektrak Rhizophora mucronata
dilarutkan dengan larutan DMSO1%
diencerkan sesuai dengan konsentrasi
50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125% dan
1,56%. Proses pencampuran dengan
menggunakan vortex dan disaring
dengan microporus membrane Φ
0,02µm. Metode pemeriksaan
antibakteri terhadap Mixed
periodontopatogen dengan cara difusi
pada media Mueller Hinton (MH).
Sebelum melakukan inokulasi, bakteri
disetarakan dengan larutan Mc.Farland
0,5. Kertas saring yang sebelumnya
telah dicelupkan ke dalam ekstrak R.
mucronata selama 10 detik kemudian
diletakkan pada media agar kelompok
perlakuan. Untuk kelompok kontrol
negatif, kertas saring dicelupkan pada
DMSO1% selama 10 detik, sedangkan
untuk kontrol positif, tetradisc
langsung diletakkan pada media.
Media agardiinkubator selama 2x24
jam dengan suhu 370C dalam suasana
anaerob. Pengukuran zona hambat
ekstrak Rhizophora mucronata yang
berupa area jernih di sekitar kertas
saring dengan menggunakan digital
calipers (dalam satuan mm).
Semua data hasil penelitian
dilakukan tabulasi, uji tatistik
deskriptif dan analisis statistik dengan
menggunakan SPSS 17.0.
HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan rangkaian
penelitian daya hambat ekstrak Akar,
Kulit Batang dan Daun Rhizophora
mucronata dengan beberapa
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
73
konsentrasi terhadap pertumbuhan
bakteri Mixed periodontopatogen di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hang
Tuah, didapatkan data hasil
pengamatan berupa rata-rata zona
hambat pertumbuhan adalah sebagai
berikut :
Gambar 1. Grafik Rerata Daya Hambat Tumbuhan R.mucronata
Berdasarkan hasil penelitian
dengan menggunakan metode difusi
diketahui daya hambat tertinggi pada
kontrol (+) yaitu diatas 20 mm.
Sedangkan daya hambat ekstrak
tumbuhan mangrove, terbesar pada
ekstrak batang konsentrasi 50%
(Gambar 1).
Terdapat perbedaan signifikan
pada kelompok kontrol positif dan tiap
kelompok. Hasil ini diperoleh dari uji
Mann Withney-U dengan signifikansi
p<0,05, bahwa daya hambat
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen oleh ekstrak
tumbuhan Rhizophora mucronata jauh
lebih rendah dibandingkan dengan
tetradisc (Gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa tetrasiklin lebih
baik dibandingan dengan ekstrak
tumbuhanini.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
74
Gambar 2. Grafik signifikansi Mann Withney-U Tumbuhan Mangrove R.Mucrona
Hasil uji Mann Withney-U juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan masing-masing
kelompok perlakuan dengan ekstrak
Rhizophora mucronata terhadap
kelompok DMSO1% sebagai kontrol
negatif, kecuali pada kelompok kulit
batang dengan konsentrasi 25% dan
50% (Gambar 2). Hal ini menunjukkan
bahwa bagian kulit batang adalah yang
terbaik dalam menghambat bakteri
Mixed periodontopatogen. Pada
konsentrasi 25% diameter zona
antibakteri adalah 7 mm dan pada
konsentrasi 50% diameter zona 8,6
mm, dibandingkan dengan kontrol
negatif (6mm) memang terdapat
perbedaan diameter zona hambatnya.
PEMBAHASAN
Bakteri Mixedperiodontopatogen
merupakan etiologi utama pada
penyakit periodontal terutama
periodontitis maka terapi dengan
pemberian antibakteri merupakan
upaya untuk mengatasi faktor
penyebab utama. Salah satu antibakteri
atau antibiotik yang sering digunakan
adalah tetrasiklin dan derivatnya.
Tetrasiklin terbukti memiliki efek
antimikroba yang tinggi (26-28mm)
sesuai dengan The Classification of
Growth Inhibition Response oleh
Greenwood.15
Hal ini disebabkan
karena tetrasiklin bekerja dengan cara
mengikatkan dirinya pada subunit 30S
dari ribosom bakteri, sehingga dapat
menghambat sintesis protein dengan
menghalangi pelekatan tRNA-
aminoasil yang bermuatan. Adanya
gangguan sintesis protein pada bakteri
berakibat sangat fatal yaitu
terhambatnya atau terhentinya sintesis
protein dan dapat mengakibatkan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
75
kematian sel bakteri.16
Namun setelah
diketahui bahwa tetrasiklin sebagai
antibiotik non alamiah memiliki
beberapa kekurangan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya,
penggunaan antibiotik yang tidak
sesuai dengan aturan pakai dapat
menyebabkan residu dalam jaringan
organ yang dapat menyebabkan reaksi
alergi, resistensi, dan mungkin
keracunan sehingga cukup berbahaya.9
Selain itu tetrasiklin memiliki efek
samping pada pemakaian jangka
panjang dapat menyebabkan terjadinya
disgenesis berupa perubahan warna
intrinsik gigi permanen yang sifatnya
menetap.17
Maka pemilihan ekstrak
kulit batang Rhizophora mucronata
sebagai antibakteri alam alternatif
dalam menangani penyakit periodontal
merupakan pilihan yang dapat
diaplikasikan.
Menggunakan tiga bagian dari
bakau besar (Rhizophora mucronata)
yaitu akar, kulit batang dan
daundiharapkan mencari bagian
terbaik dan termudah dalam
mendapatkan bahan, mengingat bakau
merupakan tanaman yang dilindungi.
Pembuatan ekstrak Rhizophora
mucronata dilakukan dengan
menggunakan metode perkolasi dan
menggunakan etanol p.a (83%) sebagai
pelarutnya. Metode ini digunakan
mengingat lebih sederhana dan tidak
memerlukan energi untuk
pemanasan.12
Pada konsentrasi 25% diameter
zona antibakteri adalah 7 mm dan pada
konsentrasi 50% diameter zona 8,6
mm, dibandingkan dengan kontrol
negatif (6mm) memang terdapat
perbedaan diameter zona hambatnya.
Hasil uji Mann Withney-U juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan masing-masing
kelompok perlakuan dengan ekstrak
Rhizophora mucronata terhadap
kelompok DMSO1% sebagai kontrol
negatif, kecuali pada kelompok kulit
batang dengan konsentrasi 25% dan
50%. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak kulit batang memiliki daya
hambat walaupun kecil dibandingkan
dengan kontrol maupun dengan ekstrak
dari akar dan daun. Menurut The
Classification of Growth Inhibition
Response oleh Greenwood,15
zona
hambat dibawah 10 mm dikatakan
tidak memiliki daya hambat sehingga
konsentrasi 50% pada ekstrak kulit
batang masih belum memenuhi syarat.
Pada penelitian yang dilakukan
sebelumnya oleh Firdianto14
daya
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
76
hambat yang paling efektif pada
konsentrasi 80 mg/ml sebesar 13,55
mg/ml. Dengan konsentrasi diatas 50%
ekstrak ini dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen.
Komponen pada ekstrak
tumbuhan mangrove ini mungkin saja
tidak cukup kuat untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen dan hanya mampu
mengambat bakteri tertentu pada
konsentrasi yang rendah. Beberapa
bakteri dengan metode ekstrak yang
berbeda dapat dihambat oleh ekstrak
batang rhizophora jenis ini. Pimpliskar
et.al dalam penelitiannya
menyimpulkan ekstrak batang
Rhizophora mucronata menghambat
S.aureus, E.coli, dan S.typhi dengan
konsentrasi 0,5 mg/mL dengan metode
pengekstrak water dan acetone, dan 1
mg/mL pada pneumatophore dari
ekstrak metanol dan etanol.19,20
Hal ini
menunjukkan metode ekstrak juga
mempengaruhi daya hambat bahan
terhadap bakteri.
Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh perbedaan signifikan pada
kelompok kontrol positif dan tiap
kelompok. Hasil ini diperoleh dari uji
Mann Withney-U dengan signifikansi
p<0,05 didapatkan bahwa daya hambat
pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen oleh ekstrak
tumbuhan Rhizophora mucronata jauh
lebih rendah dibandingkan dengan
tetradisc. Terdapat beberapa alasan
yang menyebabkan hal ini dapat
terjadi. Pertama, Bakteri Mixed
periodontopatogen didominasi oleh
bakteri gram negatif, sedangkan
menurut Iskandaret.al 18
menyatakan
bahwa kandungan protein porin pada
membran terluar dinding sel bakteri
gram negatif bersifat hidrofilik.
Kemungkinan porin yang terkandung
pada membran terluar tersebut
menyebabkan molekul-molekul
komponen ekstrak lebih sukar masuk
ke dalam sel bakteri. Selain itu, 20 %
membran luar bakteri mengandung
lipid sehingga senyawa metabolit
sekunder ini sulit masuk ke dalam
membran luar dinding sel, dimana lipid
ini berfungsi mencegah masuknya
bahan kimia dari luar. Kedua, ekstrak
yang digunakan adalah ekstrak kasar,
dimana ekstrak tersebut memiliki
kandungan senyawa polar dan non
polar yang bersatu sehingga daya kerja
senyawa bioaktifnya kurang optimal.16
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
77
SIMPULAN
Ekstrak kulit batang
menunjukkan adanya zona inhibisi
pada konsentrasi 25% dan 50%,
sedangkan ekstrak akar dan daun tidak
menunjukkan zona inhibisi terhadap
bakteri Mixed periodontopatogen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Daly, B., Watt, R. G., Batchelo, P. et.al.
2003. Trends in Oral Health. Essential
Dental Public Health. New York, Oxford
University Press.
2. Levine L, V Baev, R Lev, A Stabholz and
Ashkenazi. 2006. Aggressive Periodontitis
Among Young Israeli Army Personel. J
Periodontol, 77:1392-6.
3. Tampubolon, Nurmala Situmorang. 2010.
Dampak Karies Gigi dan Penyakit
Periodontal Terhadap Kualitas Hidup.
Available at:
http://repository.usu.ac.id/handle/12345678
9/20526 diakses 29 Januari, 2014.
4. Hatta M. 2011. Penyakit Periodontal dan
Hubungannya dengan Atherosklerosis.
Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar.
5. Kamma JJ, Slots J. 2003. Herpesviral-
bacterial infection in aggresive
periodontitis. J.Clin. Periodontal, vol 30:
426-420.
6. Yoshino T. 2007. Genotypic and
Phenotypic Characterization
OfPorphyromonasGingivalis In Relation To
Virulence. Thesis, Sweden: Goteborg
University. p. 20-6.
7. Rieuwpassa I.E dan Hatta M.2009.
Deteksi Mutasi Gen Gyrase A
Porphyromonas Gingivalis Resisten
terhadap Ciprofloxacin berdasarkan teknik
Polymerase Chain Reaction. Jurnal
Kedokteran YARSI, 17 (1) : 020-011.
8. Tanjung A. 2001. Pemberian Minosiklin
padda Perawatan Periodontal. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. Available at
http://respiratory.usu.ac.id/bitstream/12345
6789/8128/950600001.pdf. diakses 12 Juni
2013.
9. Newman MG, Takei HH, Klokkevoid PR,
Carranza FA. 2006. Clinical
Periodontology, 10th edition, St Louis:
Saunders. p. 245-241.
10. Kariem, Ichwan Doel. 2002. Distribusi
Kandungan Zat Ekstraktif Tanin
Terkondensasi Pada Tegakan Rhizophora
mucronata Pada Ekosistem Tambak
Tumpangsari di Blanakan Purwakarta.
11. Hidayaningtyas P. 2008.
PerbandinganEfekAntibakteri Air
SeduhanDaunSirih (Piper betle Linn)
TerhadapStreptococcus
mutansPadaWaktuKontakdanKonsentrasi
yang Berbeda. Skripsi
UniversitasDiponegoro Semarang.
12. Ravikumar S, Gnanadesigan M, Suganthi P,
Ramalakshmi A. 2010.Antibacterial
Potential of Chosen Mangrove Plants
Against Isolated Urinary Tract Infectious
Bacterial Pathogens. International Journal
of Medicine and Medical Sciences Vol.
2(3) pp. 99-94, Maret 2010.Available form:
http:www.academicjournal.org/ijmms
diaksespada: 9 Januari 2013.
13. Joel EL, Bhimba V. 2010. Isolation and
characterization of secondary metabolites
from the mangrove plant Rhizophora
mucronata . Asian Pacific Journal of
Tropical Medicine. p. 602-4.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
78
14. Firdianto G. 2013. Daya Hambat Kulit
Batang Spesies Mangrove Rhizophora
mucronata Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Mixed periodonthopatogen.
KaryaTulisAkhir. Surabaya
:FakultasKedokteran Gigi Universitas Hang
Tuah.
15. Greenwood. 1995. Antibiotics,
Susceptibility (Sensitivity) Test,
Antimicrobial And Chemoterapy. Mc.
Graw Hill Company, USA.
16. Rinawati DN. 2008.
DayaHambatTumbuhanMajapahit(Crescent
iacujute L.) TerhadapBakteriVibrio
alginolycticus. Skripsi,
InstitutTeknologiSepuluh November
Surabaya, Jawa Timur.
17. Aprilisa. 2007. Pengaruh Tetrasiklin
Terhadap Perubahan Warna Gigi Anak.
Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi
Unversitas Sumatera Utara.
18. Iskandar, Y., D. Rusmiati, dan R.R. Dewi.
2005. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
Terhadap Bakteri Escherichia coli Dan
Bacillus cereus. Universitas Padjadjaran
Jatinangor, Sumedang.
19. Plimpiskar MR, Jadhav RN, Jadhav BL.
2012. Evaluation of Antimicrobial
principles of Rhizophora species along
Mumbai Coast. Journal of Advanced
Scientific Research, 3(3): 33-30.
20. Plimpiskar M, Shinde P, Savakare V,
JadhavV, Jadhav BL.2012. Comparative
Performance of Antimicrobial Principles of
Mangroves Rhizopora Species Along
Mumbai Coast. Indo-Global Research
Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol. 2
Issue 4: 429-426.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
79
Mini Screw sebagai Temporary Anchorage Devices
pada Kasus Bimaxillary Dental Protrusion
denganFree End Di Rahang Bawah
(Mini Screw as Temporary Anchorage Devices in Bimaxillary
Dental Protrusion and Free End Mandibular Posterior Teeth )
Arya Brahmanta
Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Background: Orthodontic treatment on the bimaxillary dental protrusion is to reduce the proclination of the mandibular and maxillary anterior teeth. Lost of posterior teeth (free end)
often occured in adult cases and required additional skeletal anchorage. Purpose: Mini
screw implant orthodontic as temporary anchorage devices is indicated to help this
movement without worried about loss anchorage. Case: In this case report, a woman , 38
years old presented class I malocclusion with bimaxillary dental protrusion and free end mandibular posterior teeth.Case Management: The patient was treated using standart
edgewise orthodontic appliance with mini screw implant as temporary anchorage
devices.Conclusion: The result of this treatment indicated that mini screw can be consider an effective therapy choice
Keywords: Bimaxillary dental protrusion, free end mandibular teeth, mini screw implant
Correspondence : Arya Brahmanta, Department of Orthodonti, Faculty of Dentistry, Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150 Surabaya. Phone (031) 5912191, Email:
LAPORAN KASUS
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
80
ABSTRAK
Pendahuluan: Perawatan Ortodonti pada kasus Protrusi bimaksiler adalah dengan cara
mengoreksi proklinasi dari gigi geligi anterior rahang atas dan rahang bawah. Pada kasus kehilangan banyak pada gigi posterior (free end) seringkali dijumpai pada penderita dewasa,
sehingga dibutuhkan penjangkaran yang kuat (skeletal anchorage). Tujuan: Mini screw implant orthodontic sebagai alat bantu penjangkaran yang bersifat sementara dapat
digunakan untuk koreksi kelainan tersebut, tanpa kekhawatiran adanya kehilangan
penjangkaran. Kasus: Pada laporan kasus ini , seorang wanita, usia 38 tahun dengan diagnosis Maloklusi kelas I Angle disertai Protrusi bimaksiler dan kehilangan gigi geligi
posterior rahang bawah. Tatalaksana kasus: Penderita ini telah dirawat dengan
menggunakan peranti cekat ortodonti (standart edgewise) dan mini screw implant sebagai
alat penjangkaran tambahan sementara. Simpulan: Hasil dari perawatan ini menunjukkan
bahwa miniscrew dapat dijadikan sebagai pilihan terapi yang efektif.
Kata kunci: Protrusi bimaksiler, kehilangan gigi geligi posterior rahang bawah, mini screw
implant.
Korespondensi: Arya Brahmanta, Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hang Tuah. Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya. Telp (031) 5912191, Email:
PENDAHULUAN
Pada perawatan ortodonti,
penjangkaran merupakan faktor yang
sangat penting diperhatikan untuk
mencapai hasil perawatan yang
maksimal. Menurut (Proffit, 2007)
penjangkaran didefinisikan sebagai
pertahanan terhadap pergerakan gigi
yang tidak diinginkan atau sebagai
reaksi dari gigi posterior yang
diinginkan pada mekanoterapi
penutupan ruangan.1
Penjangkaran sendiri terbagi
menjadi penjangakaran maksimum,
sedang dan minimal. Untuk
mendapatkan penjangkaran maksimum
salah satunya dapat diperoleh dengan
implant sebagai alat penjangkar
sementara (TADs) temporary
anchorage devices. Salah satu jenis
TADs adalah miniscrew.
Miniscrew banyak digunakan
dalam perawatan ortodonti karena
mempunyai beberapa keuntungan
seperti metode insersi yang sederhana,
nyaman dan tidak membutuhkan
kerjasama pasien, mudah aplikasinya
dan merupakan alat penjangkar yang
kuat.1,2,3
Secara umum, miniscrew
memiliki diameter 1,2 – 2 mm dengan
panjang 6 – 15 mm. Miniscrew
digunakan untuk berbagai tujuan
dalam perawatan ortodontik, termasuk
diantaranya adalah penutupan ruang,
perawatan open bite, up righting gigi
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
81
posterior,intrusi gigi anterior maupun
posterior dan retraksi gigi.4
Bimaxillary dental protrusion
mempunyai karakteristik dentoalveolar
dari gigi anterior atas dan bawah yang
protrusif sehingga menyebabkan profil
wajah menjadi cembung.5 Perawatan
kasus bimaxillary dental protrusion
ditujukan untuk mengurangi
kecembungan wajah dan protrusi bibir
melalui retraksi gigi anterior yang
dilakukan secara en masse untuk
menghasilkan perubahan profil wajah.6
Gigi posterior yang hilang (free
end) dapat menimbulkan kerugian
pada gigi tetangga maupun gigi
lawannya seperti terjadi drifting dan
over erupsi pada gigi lawan. Pada
kondisi intra oral kehilangan banyak
gigi diregio posterior maka akan
menimbulkan kesulitan saat hendak
melakukan retraksi gigi anterior karena
diperlukannya penjangkar, untuk itu
dalam laporan kasus ini akan
menampilkan kasus bimaxillary dental
protrusion pada pasien yang
kehilangan gigi posteriornya (free end)
di rahang bawah dikoreksi dengan
bantuan miniscrew implant sebagai
alat penjangkar sementara (TADs)
temporary anchorage devices.
LAPORAN KASUS
Penderita wanita, usia 38 tahun
datang ingin meratakan gigi atas dan
bawahnya yang maju
untukmemperbaiki penampilannya.
Pasien belum pernah dirawat ortodonti
sebelumnya.
Diagnosa
Pemeriksaan ekstra oral
menunjukkan profil cembung, muka
ovoid, kepala brakisefalik dan bibir
inkompeten dengan bentuk muka
simetris. Pemeriksaan intra oral
kebersihan mulut sedang , fase geligi
tetap. Mutilasi gigi regio 36,37,38 dan
46,47,48. Mahkota porselen pada
35.Pada pemeriksaan fungsional tidak
didapatkan kelainan. Analisis model
didapatkan diskrepansi rahang atas
kurang tempat 7 mm dan rahang
bawah kurang tempat 4 mm. Kelainan
kelompok gigi terdapat protrusi pada
rahang atas dan pada rahang bawah.
Tumpang gigit 2 mm dan jarak gigit 4
mm. Hubungan kaninus kanan dan kiri
atas terhadap kaninus kanan dan kiri
bawah gigitan neutroklusi.
Kemungkinan etiologi adanya faktor
herediter bimaxillary dental protrusion
dan mutilasi gigi regio 36, 37, 38 dan
46, 47, 48.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
82
Gambar 1. Foto extra oral dan intra oral
pasien sebelum perawatan
Analisis sefalometrik didapatkan
profil cembung FH-NP 83º , NAP
7º dengan hubungan maksila dan
mandibulaterhadap basis kranium :
SNA 78º; SNB 76º ; ANB 2
º;dengan inklinasi RA RB protrusi I-
grs NA 35º ; I-grs NB 55º ; Inter
Insisal 88º (bimaxillary dental
protrusion ). Analisis jaringan
lunakdengan Rickett’s Lip
Analysis:bibir atas dan bibir bawah
maju. Analisis foto panoramik terlihat
mutilasi pada regio 36,37,38 dan
46,47,48. Supra posisi pada regio
16,17 dan 26,27. Sisa akar pada regio
48.Mahkota gigi tiruan tetap pada
regio 45.
Gambar 2. Foto panoramic dan lateral
cephalometri pasien.
Rencana perawatan adalah
untuk koreksi Bimaxillary dental
protrusion dengan pencabutan
premolar pertama kanan dan kiri di
rahang atas dan dengan menggunakan
mini screw implant ortodonti untuk
retraksi secara en masse pada gigi
anterior rahang bawah. Pada kasus ini
tidak diperkenankan adanya
kehilangan penjangkaran dan dengan
adanya free end di rahang bawah maka
diputuskan menggunakan mini screw
implant ortodonti. Pada akhir
perawatan akan dilakukan pembuatan
gigi tiruan pada regio posterior rahang
bawah.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
83
TATA LAKSANA KASUS
Perawatan
Pertama pasien diinstruksikan
untuk menjaga kebersihan mulutnya,
pembersihan karang gigi, pencabutan
sisa akar pada regio 48 dan pencabutan
regio 14,24 sebelum dilakukan
perawatan ortodonti aktif.
Dilakukan tahap leveling dan
aligning pada rahang atas dan rahang
bawah hingga busur mencapai ukuran
0,016 NiTi. Hal ini kemudian diikuti
dengan penempatan 2 buah mini screw
implant ortodonti diameter 1,8 mm dan
panjang 8 mm, di regio molar pertama
rahang bawah sebagai penjangkar
kemudian satu minggu kemudian
dilakukan retraksi regio anterior
dengan elastik chain. Distalisasi pada
regio 35,34,33,43,44,45. Retraksi
kaninus atas kanan dan kiri guna
mempersiapkan tempat untuk koreksi
bimaxillary dental protrusion.
Releveling dengan busur ukuran 0,016
x 0,016 NiTi.
Gambar 3. Pemasangan miniscrew implant
pada free end rahang bawah
Kemajuan perawatan
Kontrol dilakukan setiap 4
minggu sekali untuk mengganti elastik
chain disesuaikan dengan kekuatan
yang dibutuhkan dan juga memeriksa
keadaan klinis mini screw implant
ortodonti (mobilitas). Dalam 18 bulan
dicapai hasil retraksi yang dinginkan.
Relasi kaninus Kelas I. Retraksi
anterior pada rahang atas masih
dilanjutkan. Protrusi gigi anterior atas
dan bawah berkurang. Perubahan pada
ekstra oral terlihat baik, kecembungan
wajah pasien berkurang dan pasien
merasa puas dengan perubahan pada
profil wajahnya. Upaya perrbaikan
masih terus dilakukan sampai
didapatkan hasil dan stabilitas
perawatan ortodonti yang maksimal.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
84
Gambar 4. Kemajuan perawatan, perubahan
proklinasi anterior rahang atas dan bawah
PEMBAHASAN
Mini implant ortodonti /
miniscrew / plates merupakan
Temporary anchorage device (TADs)
yang digunakan untuk menambah
penjangkaran pada perawatan
ortodonti. Mini implant ortodonti
membutuhkan osseointregrasi untuk
stabilitas. Salah satu keuntungan dari
sistem ini adalah dapat meletakkan
penjangkar yang bersifat kuat, stabil,
absolut di regio anterior maupun
posterior sehingga kekuatan dapat
langsung dan terkontrol.7,8
Miniscrew
mempunyai diameter antara 1,3 – 2,0
mmdengan panjang antara 6 – 15 mm.9
Menurut Miyawaki kestabilan
miniscrew sebagai penjangkar di regio
posterior dipengaruhi beberapa faktor
seperti densitas tulang dan ketebalan
tulang kortikal. Tempat insersi Mini
implant tergantung indikasi dan faktor
biomekaniknya,sering terdapat pada
palatum, retro molarpad, korteks bukal
maksila dan mandibula. Penempatan
mini implant perlu mempertimbangkan
anatomi jaringan lunak, jarak
interradikuler, morfologi sinus, lokasi
saraf dan kedalaman tulang
bukolingual. Selain hal tersebut yang
perlu dipertimbangkan saat memasang
mini implant adalah kualitas tulang
yaitu rasio antara korteks dan trabekula
tulang. Dimana korteks tulang lebih
kuat, tahan terhadap deformitas
daripada tulang trabekular, maka
makin tebal korteks tulang makin
stabil. 10
Posisi pemasangan miniscrew
harus diperhatikan dengan baik untuk
keberhasilannya. Menurut Park et al,
posisi pemasangan miniscrew adalah
dengan sudut 300– 40
0 terhadap sumbu
gigi pada maksila, sedangkan pada
mandibula sebaiknya bersudut 10 0 –
20 0 terhadap sumbu gigi. Sudut yang
tajam saat insersi dapat menyebabkan
iritasi jaringan lunak dan miniscrew
dapat meleset dari kontaknya dengan
tulang kortikal.9 Pada pengguanaan
miniscrew untuk retraksi anterior perlu
diperhatikan ketinggianya agar gaya
dapat melalui center of resisitance dari
gigi anterior sehingga hasil retraksi
dapat lebih maksimal.11
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
85
Perawatan ortodonti pada kasus
Bimaxillary dental protrusion
ditujukan untuk mengurangi proklinasi
gigi insisif atas dan bawah serta
mengurangi proklinasi bibir atas dan
bawah. Pada rahang atas dilakukan
pencabutan pada regio premolar
pertama untuk tempat bagi koreksi
prokinasi gigi anterior rahang atas.
Pada rahang bawah tidak dilakukan
pencabutan gigi dikarenakan telah
terdapat banyak ruangan pada regio
36, 37, 38 dan 46, 47, 48 karena
mutilasi untuk itu dilakukan
pemasangan miniscrew implant
ortodonti sebagai (TADs) temporary
anchorage devices agar bisa digunakan
sebagai penjangkar saat dilakukan
koreksi en masse gigi anterior rahang
bawah yang mengalami proklinasi.
SIMPULAN
Pemakaian miniscrew implant
ortodonti lebih efisien dan efektif bila
dibandingkan dengan alat ortodontik
lainnya pada kasus bimaxillary dental
protrusion dengan free end dirahang
bawah. Miniscrew implant ortodonti
sebagai (TADs) temporary anchorage
devices dapat dipakai sebagai
penjangkar pada gerakan retraksi
anterior secara en masse.
DAFTAR PUSTAKA
1. Profft WR. 2007. Contemporary
Orthodontic. 3 rd . St. Louis : Mosby, Inc.
p. 685 – 677
2. Park S, Bae M, Kyung M, Sung H. 2004.
Micro – implant anchorages for treatment
of skeletal Class I bialveolar protruison. J
Clin Orthod. p. 74 , 710 - 703
3. Kyung HM, Park S, Bae SM, Sung JH,
Kim IB.2003. Development of orthodontic
micro – implants for intraoral anchorage. J
Clin Orthod, 37(6) : 321-8
4. Young CP,Seung YL, Doo HK, Sung HJ.
2003. Intrusion of posterior teeth using mini
– screw implants. Am J Orthod Dentofacial
Orthop, 123:694- 690.
5. Bills DA, Handelman CS, Be Gole EA.
2005. Bimaxillary dentoalveolar protrusion:
Traits and Orthodontics correction. Angle
Orthod, 75: 339-333.
6. Leonardi R, Annunziata A, Licciardello V,
Barbato E. 2010. Soft tissue Changes
following the extraction of premolars in
non growing patient with bimaxilarry
protrusion. Angle Orthod, 80 : 216- 211
7. Nanda R, Kapila S. 2010. Current Therapy
in Orthodonthic , Mosby Elsevier.
8. Canaro A, Velo, Leone, Siciliani. 2007.
Clinical Applications of the Miniscrew
Anchorage System. J Clin Orthod.
9. Park HS, Jeong SH, Kwon OW. 2006.
Fsctor affecting the clinical succes of screw
implants used as orthodontic anchorage.
Am J Orthod Dentofacial Orthop, 130: 25 –
18.
10. Miyawaki, et al. 2003. Factor associated
with the stability of titanium screw placed
in the posterior region for orthodontic
anchorage. Am J Orthod Dentofacial
Orthop, 124: 378- 373.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
86
11. Moon CH, Lee DG, Lee HS, Im JS, Baek
SH. 2008. Factor associated with the succes
rate of orthodontic miniscrew placed in the
upper and lowwer posterior buccal region.
Angle Orthod, 78: 106-01.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
87
Oral Candidosis pada Ibu Rumah Tangga (IRT)
yang Didiagnosis HIV dan AIDS
(Oral candidosis on a house wife with HIV & AIDS diagnosis )
Dwi Setianingtyas*, Nafiah*, Cane L*, Astrid P**,Ramadhan HP***
*Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah dan poli
Oral DiagnosisGigi dan Mulut RSAL Dr Ramelan Surabaya.
**Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
*** Radiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya.
ABSTRACT
Background: Oral candidosis is a mucocutaneus desease. It is be attacking for several
circumstance, which decreased imun system condition, such as HIV & AIDS infection.
Objective: This paper reported the management of oral candidosis on a house wife 53 years
old with HIV infection. Case management: The therapy drugs had been given were, topical antimicotic, systemic antimicotic, multivitamin, mouth wash, borax glyserin and milk peptisol
contain ismacronutrient and micronutrient. Beside drugs the above suggestion for good oral
hygiene. Conclusion: The management of oral candidosis must to be joint good oral health and good nutrition..
Key words: Oral candidosis, management, house wife, HIV infection
Correspondence: Dwi Setianingtyas, Department of Oral Pathology, Faculty of Dentistry, Hang Tuah University,Arief Rahman Hakim 150 Surabaya 60111,Phone (031) 5945864, Ext
204, Fax : 031-847, Email : [email protected]
LAPORAN KASUS
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
88
ABSTRAK
Latar belakang: Oral candidosis adalah penyakit mukokutan. Menyerang pada beberapa
keadaan yang menurunkan sistem imun, seperti infeksi HIV & AIDS. Tujuan: Tulisan ini
melaporkan tatalaksana kasus oral candidosis pada ibu rumah tangga, usia 53 tahun. Tata
laksana kasus: Diberikan obat-obatan berupa anti jamur topikal, antijamur sistemik,
multivitamin, obat kumur, borax glyserin dan susu peptisol yang berisi mikronutrient dan makronutrient. Disamping obat-obatan juga diedukasi untuk peningkatan oral hygiene.
Kesimpulan: Tata laksana kasus dari oral candidosis harus ada erpaduan pada kesehatan
mulut dan nutrisi yang bagus
Kata kunci :Oral candidosis, tatalaksana, ibu rumah tangga, infeksi HIV
Korespondensi: Dwi Setianingtyas, Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah. Jl. Arief Rahman Hakim 150 Surabaya 60111, Telp. (031) 5945864, Ext 204,Fax : 031-847, Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita maklumi
bersama bahwa kasus HIV & AIDS
(Human Immunodeficiency Virus &
Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) di Indonesia akan terus
bertambah banyak, Oleh karena itu
petugas kesehatan utamanya para
dokter dituntut untuk lebih waspada
terhadap berbagai macam kelainan
yang berhubungan dengan infeksi HIV
& AIDS. Beberapa kelainan di Rongga
mulut dan kulit bahkan menjadi gejala
klinis pertama yang dapat mudah
dikenal dan dilihat pada orang dengan
infeksi HIV & AIDS tersebut.1
Transmisi (penularan) HIV &
AIDS masuk ke dalam tubuh manusia
melalui 3 cara, yaitu : (1) secara
vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV &
AIDS masuk ke anak (selama
mengandung, persalinan dan menyusui
) ; (2) secara transeksual
(homoseksual); (3) secara horisontal,
yaitu kontak antar darah atau produk
darah yang terinfeksi.2.3
AIDS
dikelompokkan dalam infeksi menular
seks (IMS) karena paling banyak
ditularkan melalui hubungan seks (95
%).4 Dari Keterangan diatas pada
transmisi yang secara transeksual bisa
terjadi pada suami yang karena
pekerjaannya tinggal berjauhan dan
dalam waktu lama dengan istri,
sehingga memungkinkan suami harus
berhubungan dengan PSK (Perempuan
Pekerja Sosial). Pada hubungan
dengan PSK yang tanpa pengaman,
akan mengakibatkan tertularnya
Penyakit Menular Seksual, disini
adalah HIV & AIDS. Selanjutnya bila
suami sudah pulang, pasti si suami
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
89
akan berhubungan suami istri juga
tanpa pengaman. Sehingga
kemungkinan besar istri yang
pekerjaannya sebagai Ibu Rumah
Tangga (IRT) ikut terjangkit penyakit
infeksi HIV & AIDS.2.5
Dari tulisan artikel di Jawa Pos
(30 November 2011) yang mendapat
sumber dari Dinas Kesehatan Jawa
Timur (Jatim), bahwa profesi IRT
rawan kena HIV & AIDS.Bahkan
jumlahnya dua kali lebih banyak
daripada profesi PSK.Kasus HIV &
AIDS di Jatim berdasar pekerjaan
hingga September 2011, profesi
terbanyak adalah IRT (639 penderita).
Terbanyak kedua setelah profesi
wiraswasta.6
Tujuan penulisan ini untuk
melaporkan tata laksana kasus Oral
Candidosis (OC) pada penderita yang
diagnosisnya ditegakkan berdasarkan
anamnesis, manifestasi klinis yang
karakteristik dan ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium. Dengan
demikian penting bagi dokter gigi
untuk mengetahui secara klinis lesi
khas rongga mulut pada penderita HIV
& AIDS.Hal ini perlu agar dapat
mendeteksi lebih dini dan memberikan
tata laksana secara tepat dan adekuat.
Paling penting adalah untuk proteksi
diri berupa Universal Precaution (UP)
baik bagi kita sebagai operator,
perawat gigi juga penderita lain yang
selanjutnya akan kita rawat, sehingga
terhindar dari transmisi (penularan)
secara horizontal.
LAPORAN KASUS
Pada tanggal 29 Desember 2011
datang ke salah satu Rumah Sakit di
Surabaya,seorang perempuan 53 tahun
dengan keluhan gigi kiri atas (64)
goyang dan ingin membuat gigi tiruan
baru.Sebenarnya penderita sudah
pernah mempunyai gigi tiruan, tapi
hilang ketlisut bersamaan
dengankesibukan ketika suaminya
meninggal dunia secara mendadak.
Kurang lebih 9 bulan yang lalu
(Maret2011). Penderita bercerita sejak
suaminya meninggal, Berat Badannya
turun sekitar 10 kg karena tidak bisa
makan dan dilanda kesedihan bila
teringat suami. Penderita sedang dalam
perawatan di Dokter spesialis Penyakit
(Internist) dalam karena seluruh mulut
terdapat bercak keputihan disertai
sariawan yang sangat nyeri. Penderita
sudah menghabiskan sebanyak 5 botol
obat Nystatin Oral suspension (yang 1
botol mendapat resep dokter, yang 4
lagi beli sendiri), Dari anamnesis
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
90
sementara penulis mulai curiga
penderita menderita HIV & AIDS.
Penulis kemudian menggali lebih
dalam lagi tentang riwayat kesehatan
selanjutnya. Suami meninggal
dikarenakan udun dan herpes pada usia
yang relatif muda , yaitu 57 tahun.
Suami penderita bekerja sebagai pelaut
yang dan pulang setiap 6 bulan sekali.
Penderita juga bercerita pada kulitnya
timbul bercak kehitaman bila
mengkomsumsi obat-obatan tertentu.
Oleh dokter spesialis penyakit dalam
setempat di konsul ke VCT (Voluntary
Counselling Testing), tapi penderita
mengaku , bila hasilnya negatif.
Penderita juga mengaku sulit makan,
bila ingin makan, maka makanan
tersebut harus di blender dulu.
Riwayat pemeriksaan di
poliklinik terkait didapat kan. Pada
tanggal 5-12-2011. Internist
menemukan lidah putih. Diagnosisnya
OC. Mendapat terapi Sohobion dan
Interhistin 10 tablet untuk dikomsumsi
masing-masing sehari sekali, dan
ketokonazol sebanyak 20 tablet
diminum sehari 3 kali, tanpa dijelaskan
dosisnya.
Pada tanggal 6-12-2011 hasil
konsul dari poli VCT penderita di
diagnosis Suspect HIV & AIDS. Hasil
laborotorium patologi klinik
didapatkan CD4 =84 dan CD3 =186.
Pada tanggal 19-12-2011.Lidah masih
sariawan, warna putih, badan lemah,
kemarin muntah dan diare sehari 3
kali.Tensi : 110 / 90. Di konsul ke poli
Gastro Intestinal dengan Diagnosis
masih OC. Didapatkan stomatitis
sekitar 3 bulan, mual : positif , muntah
: positif dan diare : positif. Terapi
Erystatin, prednisone dan ada beberapa
yang tidak terbaca pada rekam medis
penderita.
Hasil pemeriksaan laboratorium
klinik pada tanggal 6-12-2011
didapatkan Lekosit : 5800 (Normal
4000 – 10 000/mm), Hemoglobin :
10,7 (Normal 11,5–16) dan Trombosit
: 315 000(Normal 150– 450 rb/
mm3).Pada tanggal 12-6- 2011 yang
lalu juga ada riwayat Gula Darah
Puasa 178 (Normal 76- 110).
Pada pemeriksaan Intra Oral
pada regio palatum molle kanan dan
mukosa labial kiri atas menunjukkan
adanya bercak keputihan seperti kepala
susu, dapat dikerok, meninggalkan
daerah kemerahan, multiple, batas
jelas, bentuk ireguler dan nyeri. Selain
itu pada mukosa bucal fold regio kiri
atas ada ulser, singel,bentuk
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
91
lonjong,diameter 15mm, batas jelas,
tepi ada indurasi dan nyeri.
Pada pemeriksaan Ekstra oral
pada kaki kanan dan kiri terdapat,
makula, hiperpigmentasi, multipel,
batas jelas, tidak sakit dan tidak gatal.
TALAKSANA KASUS.
Kunjungan I (29 Desember 2012)
Dari anamnesis, pemeriksaan
klinis dan melihat data-data yang ada
di rekam medik dari poli-poli lain.
Diagnosis akhir pada penderita adalah
OC yang dicurigai karena infeksi HIV
& AIDS. Selanjutnya penderita
mendapat terapi antimikotik topikal
berupa Nystatin oral suspension,
penggunaannya diteteskan pada daerah
yang ada bercak putihnya kemudian
dikulum sehari 3 kali.Dikarenakan
jamur banyak dan sudah lama, maka
ditambah antimikotik secara sistemik,
yaitu Ketokonazol 200 mg sehari 3
kali. Obat yang diminum ditambah
vitamin B dan C. Karena penderita
kesulitan untuk makan diberikan
nutrisi tambahan berupa susupeptisol
yang mengandung susu dan suplemen
kesehatan serta Obat kumur
Chlorhexidin gluconate yang isinya
antara lain mengandung antiseptik dan
anti mikotik. Gunanya untuk
mengurangi terjadinya infeksi
sekunder. Juga diberikan Dental
Hygiene Education supaya terjadi
peningkatan kebersihan rongga mulut.
Penderita diminta kontrol 7 hari
kemudian untuk melihat
perkembangannya.
Kunjungan II (5 Januari 2012 – hari
ke 8)
Rekam medis yang datang pada
kontrol pertama pada kunjungan ke II
ini telah menyatakan bahwa penderita
dinyatakan positif menderita HIV &
AIDS.Dengan hasil CD4 yang makin
menurun yaitu 73dan CD3 180.
Penderita tidak bisa datang tepat
waktukontrol ke dokter gigi
dikarenakan setelah terapi harus
menjalani pemeriksaan di poli
terkait.Hasil anamnesis penderita
merasa lebih nyaman, hanya masih
kurang nafsu makan nya dan bila
makan masih di blender.Penderita
ingin benar-benar sembuh agar bisa
sehat kembali dan minta diberi obat
yang paling bagus. Penderita sudah
mengkomsumsi obat sesuai aturan dan
obat sudah habis.
Pemeriksaan Intra Oralsemua
bercak keputihan sudah hilang. Hanya
tinggal di palatum molleregio kanan.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
92
Ditemukanstomatitis di regio labial
kanan atas. Sedang pemeriksaan extra
oral pada kaki masih tetap tidak ada
perubahan.
Terapi yang diberikan
meneruskan nystatin oral suspension,
susu peptisol, vitamin B dan C. Untuk
obat kumur dihentikan sementara
karena dana yang tidak mencukupi.
Untuk lesi ulser diterapi menggunakan
Borax Glyserin. Penderita di
instruksikan untuk mengerok lidah
dengan sikat gigi bayi yang bulu
sikatnya halus tanpa menggunakan
pasta gigi juga dianjurkan untuk
kontrol 7 hari kemudian.
GAMBAR KUNJUNGAN
PERTAMA (29 Desember 2011)
Gambar 1. Pada Lidah tampak bercak
putih yang dapat dikerok,
meninggalkan daerah kemerahan dan
nyeri
Gambar 2. Pada Palatum mollekanan
bercak putih dapat dikerok
meninggalkan daerah kemerahan dan
nyeri
Gambar 3. Pada mukosa labial kiri
bercak putih dapat dikerok
meninggalkan daerah kemerahan dan
nyeri
Gambar 4. Pada mukosa bukal fold
kiri atas: ulser, single, bentuk lonjong,
Ø 15 mm, batas jelas, tepi indurasi dan
nyeri
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
93
GAMBAR KUNJUNGAN KEDUA (
5 Januari 2012- Hari ke 8)
Gambar 10. Pada mukosa labial kanan
atas: ulser, single, bentuk bulat, Ø 15
mm,batas jelas, dasar ulser putih
kekuningan, tepi indurasi, dan nyeri
Gambar 5.Pada mukosa bukal kiri
bawah bercak putih dapat dikerok
meninggalkan daerah kemerahan dan
nyeri.
Gambar 7. Pada kaki kanan tampak
makula, hiperpigmentasi, multipel,
bentuk bulat, tidak gatal dan tidak
nyeri
Gambar 9.Pada mukosa labial kiri
atas tidak ada kelainan dan sudah
sembuh.
Gambar 6. Pada mukosa labial fold
kiri atas bercak putih dapat dikerok
meninggalkan daerah kemerahan dan
nyeri.
Gambar 8. Pada kaki kiri tampak
makula, hiperpigmentasi, multipel,
bentuk bulat, tidak gatal dan tidak
nyeri
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
94
PEMBAHASAN
Difinisi AIDS adalah kumpulan
gejala yang timbul akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang didapat,
disebabkan infeksi virus HIV. Virus ini
menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T CD 4+, sehingga kekebalan
penderita rusak dan rentan terhadap
infeksi.1.2.4.5
Sasaran utama virus HIV adalah
subset limfosit yang berasal dari
thymus, yaitu sel helper / inducer.
Pada permukaan sel ini terdapat
molekul glikoprotein disebut CD4,
yang diketahui berikatan dengan
glikoprotein envelope virus HIV. HIV
yang sudah masuk ke dalam sel
limfosit CD4 tersebut akan
mengadakan multiplikasi dengan cara
menumpang dalam proses
pertumbuhan sel inangnya. Didalam
sel limfosit CD4, HIV mengadakan
replikasi dan merusak sel tersebut, dan
bila sudah matang virus tersebut baru
keluar dan selanjutnya masuk ke dalam
sel limfosit CD4 lainnya, berkembang
biak dan selanjutnya merusak sel
tersebut. Sel limfosit CD4 berperan
sebagai pengatur utama respon imun.4
Target utama dari HIV adalah
membran CD4.7 CD kepanjangan dari
Cluster Designation atau Cluster of
Differentiation. CD3 merupakan
glikoprotein bagian integral dari
reseptor sel T (TcR), berperan untuk
menimbulkan energi sementara sel T
terhadap antigen pada respon imun.8
Kadar CD4 (T4) sekitar 500 –
1000.8 CD normal diatas 600
sel/mm3.7 Sutedjo
8 mengatakan bahwa
kadar CD4 pada HIV dibawah ini
menandakan, bila CD4 500-1000
berarti terjadi sindrom retroviral akut,
gejala intermiten, OC dan ulser. Bila
CD4 dibawah 500, maka terjadi
gangguan AIDS kronis.
Limfadenopati, OC, lesi oral, muntah,
diare dan TBC. Pada CD4 dibawah
200 akan terjadi gejala parah AIDS,
peningkatan masalah kanker, kelainan
paru dan susunan syaraf pusat. Yang
terakhir bila CD4 dibawah 200, maka
terjadi peningkatan probabilitas infeksi
oportunistik dan mortalitas.3.8
Gambar 11.Pada Lidah bercak putih
tampak menipis dan sudah tidak sakit.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
95
Pada kasus ini, pada kunjungan
pertama didapatkan CD4 hanya 84,
kemudian menurun menjadi 73 pada
kunjungan selanjutnya. Maka menurut
Putra9
, bila CD4 kurang dari 200 maka
sudah dipastikan menderita AIDS.
Karena memang diagnosis berdasarkan
pada keberadaan anti HIV dalam darah
tepi atu pengukuran dari jumlah CD4.
Sedangkan menurut ciri-ciri stadium
klinis infeksi HIV pada penderita ini
diperkirakan memasuki stadium 2,
karena pada stadium 2 terjadi
penurunan Berat Badan kurang 10%
dari Berat Badan penderita, adanya
manifestasi mukokutaneus dan infeksi
saluran nafas atas rekuren. Dengan
performan scale 2 : simptomatis dan
aktifitas masih normal. 2.4.5
Macam manifestasi lesi Rongga
mulut pada penderita HIV & AIDS
adalah Kaposi’s sarcoma, Non –
Hodkin Lymphoma, HIV-related
periodontitis, Linear gingival erythema
(LGE), Necrotizing ulceratif
Ginggivitis, Necrotizing ulceratif
periodontitis, Herpetic stomatitis
(Herpes labialis), Herpes zoster
(shingles), Oral hairy leukoplakia of
the tongue (oral viral leukoplakia),
condyloma acuminata (Warts),HPV
associated with warts, oral
candidosis(Acut pseudomembaran
candidosis / thrush, erythematous
candidosis, chronic hyperplastic
candidosis), Angular cheilitis,
Recurrent Aphthous ulcer, xerostomía,
cervical caries occuring in association
withxerostomía, necrotizing stomatitis
(progresive), depapilated tongue, ulser
persisten (non healing ulcers),
Submandibular lymphadenopathy dan
squamous cell carcinoma, salivary
gland enlargement dan palatal
petechiae secondary to
thrombocytopenia. 5.7.10
Menurut Murtiastutik4 bahwa
OC merupakan penyakit paling sering
ditemukan. Sebab Nasrodin2
berpendapat bahwa OC jarang pada
orang muda yang sehat, namun
merupakan MARKER untuk infeksi
HIV, menunjukkan sistem imun
tertekan dan perjalanan menjadi AIDS
dapat terjadi. OC harus dimonitor
setiap saat, penyebaran ke sistem
respirasi atau digestif dapat
menyebabkan morbiditas yang
signifikan.
Pada penderita dalam kasus ini
juga didapatkan pada seluruh tungkai
kaki kanan dan kiri ditemukan makula,
hiperpigmentasi, batas jelas, multipel,
tidak gatal dan tidak nyeri. Sesuai
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
96
pendapat Murtiastutik4 tentang
diantara individu yang terinfeksi HIV
beberapa tipe kelainan akan
berkembang sekitar 80%. Penyakit
kulit umum yang terjadi adalah
dermatitis atau erupsi obat.
Kemungkinan diagnosisnya adalah
suspek erupsi obat morbiliform atau
dermatitis1.4
Kelainan kulit muncul
hampir secara umum terjadi pada
perjalanan penyakit HIV sebagai
akibat dari defisiensi imun yang timbul
atau berhubungan dengan pengobatan
yang didapat penderita selama ini.
Tata laksana penderita AIDS
secara umum adalah istirahat,
dukungan nutrisi yang memadai
berbasis makronutrien dan
mikronutrien untuk penderita HIV &
AIDS, konseling termasuk pendekatan
psikologis dan psikososial,
membiasakan gaya hidup sehat ,
seperti rutin senam.2 Pada kasus ini
konseling sudah dilakukan di poli VCT
Rumah Sakit tempat penderita dirawat.
Sebab menurut Putra,9 bahwa
diagnosis terinfeksi HIV & AIDS
merupakan suatu kejadian yang mirip
dengan bencana besar, karena penyakit
infeksi ini mempunyai prognosis
kurang baik, sehingga strategi untuk
mengurangi tekanan psikologis perlu
mendapat perhatian. Ketika lndividu
dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian
besar menunjukkan perubahan karakter
psikososial (hidup dalam stress,
depresi, merasa kurangnya dukungan
sosial, perubahan perilaku). Efek dari
infeksi HIV pada individu tersebut
mendorong reaksi penolakan hingga
syok yang berlangsung berbulan-
bulan, hingga tahun dan kondisi ini
potensial semakin mendorong
progresivitas infeksi HIV ke AIDS.
Jadi karakter psikososial erat terkait
dengan progresivitas infeksi
HIV.Penderita umumnya dihadapkan 3
stressor, yaitu stressor biologis,
psikologis dan psikososial.
Untuk terapi yang telah
dilakukan pada tanggal 5 Desember
2011 lalu kurang memberikan respon,
kemungkinan karena terapi yang
diberikan kurang berfungsi oleh karena
hitung sel CD4 yang menurun
responnya, sehingga sering tidak
memuaskan. Juga kurang melibatkan
peningkatan Oral Hygiene, pemberian
obat kumur serta tambahan nutrisi.
Penulis sudah melakukan tata
laksana sesuai dengan Protap
penanganan OC pada penderita HIV &
AIDS RSUD Dr Soetomo Surabaya11
dengan pemberian Nystatin topikal 4-5
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
97
kali sesudah makan. Untuk efektifitas
preparat ini tergantung lamanya kontak
antara suspensi dan mukosa yang
terkena.Harus ditahan didalam mulut
beberapa menit sebelum
ditelan.Setelah pemberian obat
dianjurkan tidak makan atau minum
selama 20 menit.Respon terapi terlihat
dalam 5 hari pertama.Tambahan
berupa ketokonasol sistemik dan obat
kumur.
Penambahan vitamin disini
dikarenakan vitamin C bersama
kalsium dan berbagai vitamin,
misalnya B6 dan E penting dalam
mempertahankan intregitas tulang,
gigi, jaringan ikat, serta dinding
pembuluh darah. Membantu
meningkatkan absorpsi zat besi non-
henil, meningkatkan resistensi
terhadap infeksi primer maupun
oportunistik dan berperan sebagai anti
oksidan yang larut dalam air terbukti
menurunkan symptom dan derajat
beratnya penyakit infeksi akibat
virus.Kebutuhan vitamin C meningkat
selama berlangsungnya infeksi.2
Terapi disini juga dikombinasi
dengan susu peptisol, sebab
dibutuhkan dukungan nutrisi. Pada
penderita yang terinfeksi HIV sering
mengalami gangguan asupan nutrisi
yang menyebabkan menurunnya fungsi
biologis tubuh. Nutrisi sangat penting
dalam tata laksana penderita HIV &
AIDS, selain mendorong perubahan
kea rah perbaikan juga berperan untuk
menekan progresivitas AIDS.2
Banyak penderita mendapat
keuntungan dengan meningkatkan oral
hygiene dan seringnya melakukan
kebersihan mulut.Perubahan diet
seperti mengkomsumsi yogurt
acidophilis, Echinacea dan antioksidan
sangat bermanfaat.Pada penderita OC.
2 Pada kasus ini penderita diminta
menjaga kebersihan mulut. Karena bila
tidak akan memperparah kasus OC.
SIMPULAN
Bila ada penderita datang dengan
kondisi dincurigaiadanya lesi HIV &
AIDS di rongga mulut, maka
sebaiknya kita bisa mengarahkan
penderita untuk dikonsul ke poli VCT
untuk mengetahui jumlah CD4 demi
kepentingan penderita sendiri dan kita
sebagai tenaga medis agar bisa
memberikan tata laksana dengan tepat
dan adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Murtiastutik D. 2009. Atlas HIV & AIDS
dengan kelainan kulit. Edisi pertama.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
98
Airlangga University Press. Kampus C
Unair. Surabaya. h. 2.
2. Nasrodin. 2007. HIV & AIDS pendekatan
biologi molekuler klinis dan sosial. Edisi
pertama. Airlangga University Press.
Kampus C Unair. Surabaya. h. 15; 37-27;
177-99.
3. Little JW, Falace DA, Miller CS & Rhodus
NL. 2008. Dental management of the
medically compromised patient. Mosby
elsevier. p. 280
4. Murtiastutik D. 2008. Buku ajar Infeksi
menular seksual. Cetakan ke 2. Airlangga
University press. Surabaya. h. 220-
211;253-8
5. Setianingtyas D. Deteksi dini melalui oral
infeksi HIV & AIDS & Universal
Precaution. Temu ilmiah Rumkital Dr
Ramelan. Tanggal 16 April 2009.
6. Jawa Pos Metropolis. 2011. Ibu rumah
tangga rawan kena. Jumlahnya dua kali
lebih banyak dari PSK. Surabaya.h. 25.
7. Sonis ST, Fazio Rc & Fang LCT. 2003.
Burket’s Oral medicine secrets. Hainley &
Beltus. Inc Philadelphia.p.183-7.
8. Sutedjo AY. 2006. Buku saku Mengenal
penyakit melalui hasil pemeriksaan
laboratorium. Cetakan pertama. Penerbit
Amara books. Jogyakarta. h. 140-2.
9. Putra ST. 2005. Psikoneuroimunologi
Kedokteran. Gramik Fakultas Kedokteran
Unair.RSU Dr Soetomo. Surabaya. h. 141-
137;177.
10. Scully C & Cawson RA. 1999. Colour
guide. Oral desease. Second edition.
Churchill livingstone. Edinburg. p. 159.
11. Barakbah J, Soewandojo E & Nasrodin.
2009. Protap HIV & AIDS. RSU Dr
Soetomo Surabaya / Fakultas Kedokteran
Unair. Cetakan pertama. Airlangga
University Press. h. 307-47.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
99
Penatalaksanaan Urtikaria Akut Di Rongga Mulut
(Management Of Acute Urticaria In Oral Cavity)
Herlambang Prehananto*, Dwi Setianingtyas**
*PPDGS Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
*Poli Oral Medicine Departemen Gigi dan Mulut Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Ramelan Surabaya
ABSTRACT
Introduction: Acute urticaria is a skin response with clear boundaries , occurs in the superficial epidermis . Acute urticaria suffered by patients who are less than 6 weeks after
exposure alergren . Acute urticaria is a reaction caused by systemically circulating antigen ,
thus causing a good reaction in the mucosa and skin . In lesions that appear on the oral mucosa commonly referred to as allergic stomatitis .Objective: This case report discusses the
management of acute urticaria in the oral cavity with the etiology of inhalant allergens .Case Male patients aged 43 years suffering from acute urticaria was referred to the Oral Diagnosis
poly Naval Hospital dr . Ramelan Surabaya . On clinical examination of the oral cavity
obtained on oral mucosal erosions and papules on the dorsal tongue , and teeth are suspected of focal infection . Case Management: Patients referred for release denture and tooth decay
to be treated as well as the scaling due to focal infection is suspected . Conclusion: Giving betadine gargle to avoid secondary infections in the oral cavity .
Key words: Allergic stomatitis, urticaria, acute.
Correspondence: Herlambang Prehananto, PPDGS Oral Pathology,Faculty of Dentistry,
Airlangga University, Prof DR Moestopo No.47 Surabaya 60132, Phone (031) 5030255 ext123, HP : 08562508507, email : [email protected]
LAPORAN KASUS
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
100
ABSTRAK
Pendahuluan: Urtikaria akut adalah respons kulit dengan batas yang jelas, terjadi pada
epidermis superfisial. Urtikaria akut diderita oleh pasien yang kurang dari 6 minggu setelah paparan alergren.Urtikaria akut merupakan reaksi yang terjadi akibat antigen yang beredar
secara sistemik, sehingga menyebabkan reaksi baik pada mukosa dan kulit.Pada lesi yang muncul di mukosa mulut biasa disebut dengan stomatitis alergika.Tujuan: Laporan kasus ini
membahas tentang penatalaksanaan urtikaria akut pada rongga mulut dengan etiologi
alergen dari inhalan. Kasus: Pasien laki-laki berusia 43 tahun menderita urtikaria akut dirujuk ke poli Oral Diagnosis Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Ramelan Surabaya. Pada
pemeriksaan klinis rongga mulut didapatkan erosi pada mukosa rongga mulut dan papula
pada dorsal lidah, serta terdapat gigi yang dicurigai menjadi fokal infeksi. Tata Laksana
Kasus: Pasien dirujuk untuk melepaskan gigi tiruan dan gigi berlubang untuk dilakukan
perawatan serta scalling karena di curigai sebagai fokal infeksi. Kesimpulan: Pemberian betadine kumur untuk menghindari infeksi sekunder di rongga mulut.
Kata kunci :Stomatitis alergika, urtikaria, akut.
Korespondensi:Herlambang Prehananto, PPDGS Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Jl. Prof DR Moestopo No.47 Surabaya 60132, Telepon : (031)
5030255 ext123, HP : 08562508507, email : [email protected]
PENDAHULUAN
Urtikaria merupakan respons
kulit dengan batas yang jelas, terjadi
pada epidermis superfisial, berupa
urtika, yaitu lesi eritematous dan
menonjol (1- 2 mm sampai beberapa
cm) yang timbul dan hilang dalam
beberapa jam disertai rasa gatal yang
hebat. Urtikaria diklasifikasikan
menurut lamanya, yaitu urtikaria akut
dan urtikaria kronis.1
Urtikaria akut
bila bentol kemerahan dengan ukuran
yang bervariasi serta gatal, timbul dan
tidak lebih dari 6 minggu.2
Sedang
urtikaria kronis berlangsung lebih dari
atau sama dengan 6 minggu.2,3
Urtikaria akut terjadi pada 15-
20% populasi di Rumah Sakit
Dermatologi di Inggris dan setidaknya
pernah sekali mengalami serangan
urtikaria akut dalam
hidupnya.Diagnosis urtikaria akut
dapat ditegakkan berdasar catatan
riwayat pasien, anamnesis, dan
pemeriksaan klinis.Urtikaria
menyebabkan pembesaran pembuluh
darah kapiler disertai peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah,
sebagian besar cairan plasma melewati
endotel dinding pembuluh darah keluar
ke jaringan. Hal ini mengakibatkan
hipovolaemia yang berarti turunnya
tekanan darah secara berlebihan.1,4
Urtikaria akut biasanya
menimbulkan rasa gatal yang hebat
disertai bercak merah di seluruh tubuh,
telapak tangan dan kaki. Timbul rasa
panas dan terjadinya ulser pada
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
101
Rongga Mulut (RM), disertai keluhan
pusing, lemah, perasaan tidak enak
badan.Bronkospasmus (pengerutan
otot bronkus) yang mengakibatkan
sesak nafas. Hiperperistaltik yang
menyebabkan rasa mual disertai
muntah. Kejang otot tubuh karena
adanya gangguan pusat syaraf.1
Urtikaria akut dapat
menyebabkan munculnya lesi pada
permukaan mukosa RM. Reaksi ini
dapat terjadi akibat antigen yang
beredar secara sistemik, yang
menyebabkan reaksi baik pada mukosa
dan kulit. Reaksi antigen-antibodi
dapat menyebabkan penyakit klinis
pada mulut dan wajah. Jenis anafilatik
atau jenis segera ditandai dengan
edema seperti misalnya urtikaria.3
KASUS
Pada tanggal 11 November 2013,
pasien laki-laki berusia 43 tahun
datang ke bagian Oral Medicine
Departemen Gigi dan Mulut Rumah
Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr
Ramelan Surabaya atas konsulan dari
poli rawat inap kulit dan kelamin
dengan keluhan utama gatal diseluruh
kulit. Selain itu Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin (Sp.KK) juga meminta
untuk mencari adanya fokal infeksi
pada RM. Pada anamnesis, ternyata
awalnya pasien melakukan kegiatan di
lapangan yang penuh debu limbah
sekitar tempat latihan. Kemudian
pasien merasa sesak nafas dan muncul
bentol-bentol pada seluruh tubuhnya
dan rasa tidak enak pada mukosa RM
sejak tanggal 22 Oktober 2013. Karena
rasa gatal yang berlebihan dan merasa
berat bila bernafas kemudian pasien
berobat ke poli Kulit dan Kelamin
RSAL dr. Ramelan Surabaya. Dokter
memberinya obat eritromycin 500 mg
diminum 3 kali sehari, loratadin
diminum sehari sekali,
Methylprednisolon salep digunakan 3
kali sehari 2 oles, antihistamin 3 kali
sehari, cimetidin 3 kali sehari, dan
dipenhydramin. Kemudian pasien
dikonsulkan ke departemen gigi dan
mulut, poli THT dan penyakit dalam
untuk dilakukan penelusuran penyakit
yang mungkin menyertai.
Keadaan umum pasien cukup,
Glasgow Coma Scale (GCS) 4 5 6,
tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 84
kali/menit. Pasien tidak mempunyai
riwayat alergi sebelumnya.
Pemeriksaan ekstraoral didapatkan
pada seluruh kulit muka dan hampir
seluruh tubuh dimulai lengan, kaki,
punggung dan dada pasien terdapat
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
102
papula dan makula, multipel,
berwarana merah, berbatas jelas,
diameter 2-3 mm, terasa gatal.Pada
pemeriksaan kelenjar limfe
submandibularis, palpasi kanan dan
kiri teraba, kenyal, dapat digerakkan,
bentuk bulat, ukuran sekitar 1x1x1 cm,
dan sakit.
Pemeriksaan intraoral pada regio
palatum, nampak erosi, bilateral,
multipel, warna merah, berbatas jelas,
bentuk irreguler, luas sekitar 3 mm,
dan terasa sakit. Pada lidah nampak
papula, multipel, bilateral, diameter 1
mm, berbatas jelas, berwarna putih.
Nampak gigi 21 dan 37 hilang, gigi 22
karies gangren pulpa, dan gigi 36
terdapat tumpatan komposit. Secara
umum Oral hygene (OH) pasien jelek
karena banyak kalkulus dan stain pada
seluruh permukaan gigi, hal ini
dikarenakan pasien adalah perokok dan
seluruh permukaan mukosa RM terasa
parestesi.
Pada pemeriksaan penunjang
darah lengkap didapatkan Sel Darah
Putih (SDP) 20,7 (4,0 – 10,0 10³/μL),
granulosit 18,3 (2,0 – 7,0 10³/μL),
limfosit 7,5 (20,0 – 40,0 %), granulosit
88,3 (50,0 – 70,0 %), sel darah merah
(SDM) 4,92 (3,50 – 5,50 10³/μL),
hemoglobin 15,0 (11,0 – 16,0 g/dL),
hematokrit 45,0 (37,0 – 54,0 %), SGPT
22 (0 – 45 U/L), SGOT 25 (0 – 35
U/L), BUN 12,3 (8,0 – 23,0 mg/dL),
kreatinin 1,4 (0,9 – 1,5 mg/dL), gula
darah acak (GDA) 116 mg/dl, laju
endap darah (LED) 35 mm/jam.
TATA LAKSANA KASUS
Kunjungan I (11 November 2013)
Pada kunjungan awal , dari
anamnesis dan pemeriksaan klinis
kasus ini didiagnosis klinis sebagai
stomatitis alergika, dengan diagnosis
banding eritema multiformis.
Selanjutnya pasien dikonsulkan ke
laboratorium Radiologi untuk
dilakukan pemeriksaan rontgen foto
panoramik untuk mengetahui adanya
fokal infeksi.
Hasil yang didapat dari
pemeriksaan rontgen foto terdapat
karies pada gigi 22 yang memakai gigi
tiruan tetap, karies superfisialis gigi 46
dan gangren pulpa (GP) gigi 36.
Pasien dirujuk untuk melepaskan
gigi tiruan pada gigi 22, dilakukan
penumpatan pada gigi 22 dan 46, dan
ekstraksi gigi 36. Pasien diinstruksikan
untuk kumur dengan betadine gargle
sehari 4 kali tanpa dibilas dan
multivitamin diberikan sehari sekali.
Pasien disarankan kontrol seminggu
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
103
setelahnya tetapi pasien melakukan
pulang paksa dari rawat inap kemudian
susah untuk dihubungi dan tidak ada
kunjungan berikutnya.
Gambar 1. Kunjungan 1 (A) Tampak papula dan makula pada permukaan punggung, (B)
kaki, (C) dada, (D) tangan, dan (E) wajah. (F) Terdapat bentukan papula diseluruh permukaan
dorsal lidah dan (G) tampak erosi, kemerahan yang berbatas jelas. (H) Gigi karies 21 dan 22
yang dicurigai menjadi fokal infeksi.
Dari data rekam medis pada
tanggal 1 Desember 2013 pasien
kembali melakukan rawat inap (MRS)
lagi di RSAL dr. Ramelan Surabaya
dengan keluhan rasa gatal dan
kemerahan di kulit seluruh tubuh yang
tak kunjung sembuh. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum pasien cukup, GCS 4 5 6,
tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 88
x/menit, suhu badan 36°C.
Pada tanggal 1 Desember 2013
dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan hasil SDP 19, 5 (4,0 – 10,0
10³/μL), granulosit 16,5 (2,0 – 7,0
10³/μL), limfosit 8,9 (20,0 – 40,0 %),
granulosit 84,3 (50,0 – 70,0 %). Sehari
kemudian dilakukan lagi pemeriksaan
penunjang dengan hasil SDP 20,9 (4,0
– 10,0 10³/μL), granulosit 16,9 ( 2,0 –
7,0 10³/μL), limfosit 11,8 (20,0 – 40,0
%), granulosit 80,7 (50,0 – 70,0 %),
dan LED 35 mm/jam, SGPT 52 (0 – 45
U/L), SGOT 18 (0 – 35 U/L), GDP 65
(70 – 105 mg/dL). Sembilan hari
kemudian dilakukan pemeriksaan
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
104
penunjang lagi dengan hasil SDP 15,4
(4,0 – 10,0 10³/μL), granulosit 12,3
(2,0- 7,0 10³/μL), limfosit 13,9 (20,0 –
40,0 %), granulosit 79,9 (50,0 – 70,0
%). Hasil pemeriksaan penunjang
tujuh belas hari setelah perawatan
adalah SDP 21,7 (4,0 – 10,0 10³/μL),
granulosit 19,1 (2,0 – 7,0 10³/μL),
limfosit 6,2 (20,0 – 40,0 %), granulosit
87,7 (50,0 – 70,0 %) dan Mean
Corpuspular Volume (MCV) 100,9
(80,0 – 100,0 fL).
Tindakan yang dilakukan dengan
pemberian delladryl intra muscular
(i.m) dan dexametasoneintra vena
(i.v). Dokter juga memberikan resep
eritromycin 500mg diminum 3 kali
sehari, dexametasone diminum sehari
3 kali 2 tablet, loratadine diminum
sehari sekali, CTM diminum sehari 3
kali, dan bedak salisil untuk
mengurangi rasa gatal di kulit.
Setelah dilakukan perawatan
selama 17 hari keadaan pasien belum
membaik, dengan warna merah
ditubuh masih menetap tetapi gatal
pada tubuh sudah menghilang.Pasien
disarankan untuk tetap melakukan
perawatan untuk dilakukan observasi
lebih lanjut, tetapi pasien melakukan
pulang paksa karena alasan ingin
berobat jalan.
PEMBAHASAN
Urtikaria dapat timbul tiap hari
atau intermiten, lamanya beberapa
menit sampai beberapa jam bahkan
beberapa hari. Dapat terjadi pada
semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, dengan faktor etiologi
yang jelas antara lain yaitu reaksi obat,
reaksi terhadap bahan makanan,
produk dari pembuluh darah, dan
infeksi dari bakteri maupun virus.
Namun kadang kala etiologinya
idiopatik.3,4
Pada kasus ini seorang pria usia
43 tahun, tidak ada riwayat alergi
makanan maupun alergi yang lain,
riwayat atopik tidak jumpai, serta
keluhan urtikaria kurang dari 6
minggu. Jika urtikaria (bentol
kemerahan) dengan bentuk dan ukuran
yang bervariasi, gatal, timbul tersebar
diseluruh kulit tubuh, tidak ada riwayat
atopi dalam keluarga, tidak ada riwayat
alergi dan gejala berkepanjangan, dan
kurang dari 6 minggu disebut uritkaria
akut.
Penyakit alergi umumnya terjadi
jika sistem imun salah dalam
merespons paparan suatu bahan yang
dalam keadaan normal sebenarnya
tidak berbahaya, misalnya tepungsari
(pollen), rumput atau debu rumah,
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
105
dengan mengadakan reaksi berlebihan
untuk menyingkirkan bahan yang
diduga merupakan benda asing. Bahan
ini disebut sebagai alergen.3
Pada pasien ini diduga
munculnya urtikaria dikarenakan
alergen inhalan. Alergen dari inhalan
berupa serbuk saribunga (polen),
sporajamur, debu, bulubinatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah
menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
Reaksi ini sering dijumpai pada pasien
atopi dan disertai gangguan napas.5
Dikarenakan pasien berada pada
tempat dengan paparan udara yang
penuh debu dari limbah maka pasien
mengeluh sesak nafas dan timbul
bentol yang disertai rasa gatal.
Pada alergi terhadap debu atau
tepungsari (pollen), setiap antibodi
tertentu yang bereaksi terhadap satu
jenis alergen tertentu saja.Misalnya
antibodi tertentu yang bereaksi
terhadap tepungsari bunga regweed.
Molekul IgE mempunyai sifat khusus,
karena IgE merupakan satu-satunya
antibodi yang mampu merekat erat
pada badan sel mast, yaitu sel jaringan
(tissues cells) dan basofil (sel darah).5
Jika seseorang pasien alergi
mengalami kontak atau paparan
dengan suatu alergen, maka sistem
imun tubuhnya akan mengenali antigen
tersebut sebagai benda asing dan
segera berupaya mengatasinya. Sistem
imun tubuh segera membentuk
sejumlah besar antibodi yang disebut
immunoglobulin E (IgE).5
Jika alergen bertemu IgE yang
spesifik terhadapnya, maka akan
melekat pada antibodi mirip anak
kunci dalam lubang kuncinya.
Perlekatan ini akan merangsang sel
tempat IgE melekat untuk melepaskan
dan membentuk histamin, yang
memicu terjadinya proses inflamasi
atau keradangan.5
Penatalaksanaan urtikaria akut
dengan menghindari NSAID, aspirin,
penghambat angiotensin converting
enzyme (ACE), alkohol, kelelahan fisik
dan stres karena dapat menyebabkan
urtikaria non immunologik. NSAID
dan aspirin dapat menimbulkan
urtikaria karena menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat,
obat penghambat ACE dapat
menyebabkan angioedema, sedang
alkohol, kelelahan fisik dan stress
dapat merangsang pembuluh darah
kapiler menjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas yang
berakibat terjadinya transudasi cairan
dan pengumpulan cairan setempat
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
106
sehingga secara klinis tampak edema
disertai kemerahan.2
Pemberian terapi medikamentosa
bersifat simtomatis.Obat lini pertama
adalah antihistamin generasi II
(Nonsedating second-generation)
loratadine, cetrizine. Waktu pemberian
antihistamin sebaiknya mengikuti
ritme diurnal urtikaria.Penambahan
antihistamin AH2 (simetidin) pada
beberapa kasus memberikan
perbaikan.Jika pruritus menonjol pada
malam hari bahkan tidak jarang pasien
cemas maka dapat ditambahkan
antihistamin generasi klasik yang
diberikan 1 kali sehari pada malam
hari.Apabila semua tahapan terapi
yang diberikan tersebut belum
memberikan hasil dapat diberikan
kortikosteroid, dan pemberiannya tidak
lebih dari 3 minggu. Penggunakan
eritromycin digunakan untuk
menghindari adanya infeksi sekunder.2
Langkah selanjutnya dokter
Sp.KK merujuk pasien ke departemen
gigi dan mulut, poli THT dan poli
penyakit dalam RSAL dr. Ramelan.
Hal ini dikarenakan dicurigai adanya
fokal infeksi yang bisa menyebabkan
terjadinya urtikaria. Populasi
mikrobiota di usus manusia bersifat
dinamik dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, data mutakhir telah
menerangkan hubungan antara flora
normal usus manusia dengan alergi.7
Penyebab alergi lainnya dapat
bersumber dari bakteri yang ada di RM
dan tenggorokan seperti Streptococcus
mutans dan Streptococcus aureus.8
Penatalaksanaan pada stomatitis
alergika di RM pemberian obat kumur
antiseptik diharapkan bisa mengurangi
paparan mikroorganisme yang bisa
memperparah keadaan RM.
Selanjutnya pasien dirujuk ke poli
periodonsia untuk dilakukan
pembersihan calculus atau scalling dan
poli konservasi untuk menumpat gigi
yang berlubang.
Seharusnya pasien menjalani
rujukan tersebut tetapi dari awal pasien
di rujuk ke departemen gigi dan mulut
pasien menunjukan sifat tidak
koorperatif.Pasien merasa tidak ada
hubungan antara alerginya dengan
keadaan RMnya, walaupun sudah
dijelaskan secara seksama tetapi pasien
masih merasa tidak percaya.Pasien
juga sudah dua kali melakukan pulang
paksa ketika menjalani rawat inap. Hal
ini yang membuat pasien susah untuk
menjalani kontrol ke departemen gigi
dan mulut.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
107
SIMPULAN
Uritkaria akut dapat disebabkan
oleh fokal infeksi dari RM. Bakteri
pada gigi berlubang dan calculus dapat
menyebabkan timbulnya urtikaria
akut.Pemeriksaan penunjang dan
kerjasama dari pasien sangat
membantu dalam terapi kesembuhan
urtikaria akut.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada poli
Oral Medicine Departemen Gigi dan
Mulut Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Ramelan Surabaya atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan untuk
penulisan laporan kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Manggala, Yudha. 2008Kesesuaian Hasil
Identifikasi Alergen Pada Pasien Dengan
Riwayat Urtikaria Akut Menggunakan
Metode Uji Tusuk (Prick Test) Dan Metode
Wawancara (Anamnesis); Universitas
Dipenogoro; Semarang. p. 15 – 10.
2. Suryana, Ketut., Adiguna, Made Suastika.
2006 Seorang Wanita Dengan Uritkaria
Kronik Idiopatik; J Peny Dalam Volume 7
Nomer 2; Denpasar. p.5 – 2.
3. Wolff, Klause., Goldsmith, Lowella A.,
Katz, Stephen I., Gilchrest, Barbara A.,
Paller, Amy S., Leffell, David J.
2003.Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine 7th; Mc Graw-Hill Companies;
United State. p. 342 – 330.
4. Greenberg, M., Glick, M. 2003. Burkets
Oral Medicine Diagnosis & Treatment 10th;
BC Decker Inc; New jersey. p. 216-215.
5. Tjekyan, Suryadi. 2008. Prevalensi
Urtikaria di Kota Palembang Tahun 2007;
jurnal Berkala IImu Kesehatan Kulit
Kelamin Vol. 20 No. I:3 – 1.
6. Soedarto. 2012. Alergi dan Penyakit Sistem
Imun; Sagung Seto; Jakarta. p. 17-13.
7. Wikaningrum, R., Rochani, Jekti. T.,
Djannatun, T., Widiyanti, D., Pane, Abdul.
R. 2008.Bacterial Populations in Neonatus
Faeces : A Preliminary study; Jurnal
Kedokteran Yarsi vol. 16 No. 2; Mei –
Agustus; p : 89 – 86.
8. Chisholm, Cary; Guttate Psoriasis;
http://emedicine.medscape.com; accesed
March 15 2014; 09:30:00.
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
108
Systemic Observation-Surgical Periodontic Approach
In The Managementof Amlodipine Induced
GingivalEnlargement
Rahmidian Safitri, Hardini Dyah Astuti, Poernomo Agoes
Periodontology Department Airlangga University
ABSTRACT
Background: Drug induced gingival enlargement is frequently observed in patients taking
three main group of drugs like calcium channel blockers (CCBs), immunosuppressant’s
and anticonvulsants. Amlodipine belongs to the dihydropyridine-a third generation calcium channel blockers agents that may cause the side effect of drug-induced gingival enlargement
and oral bacteria intervention due to calculus retention. This case report describes the
management of gingival enlargement in a hypertensive patient taking amlodipine. Purpose: This case report was aimed to discuss the treatment and maintenance of systemic
observationsurgical periodontic approach to restore gingival enlargement. Case: A 47-years old man was referred to the Department of Periodontology, Faculty of Dentistry, Airlangga
University complaining of swellings and bleeding on his gingiva in all region. He felt very
uncomfortable as the swelling interfered while chewing and sometimes there was bleeding spontaneously and halitosis. He had hypertension since 5 years and was on medications
Captopril 12,5 mg daily during 4 years and Amlodipine 5mg daily during last 1 year. A provisional diagnosis and systemic observation-periodontal phases treatment were taken to
restore gingival enlargement condition. Case Management: Systemic observation of
medication use, periodontal phases treatment such as scaling root planning, periodontal surgery as flap surgery, home oral hygiene maintenance, control recall every month during first 3 months
were taken. Conclusion:The successful of combination carefully systemic observation-
surgery periodontal approach are promising to maintain Amlodipine induced gingival enlargement.
Key Words: Amlodipine, gingival enlargement, systemic observation, surgical periodontic
Correspondence: Rahmidian Safitri, Department of Periodontology, Faculty of Dentistry, Airlangga University, Prof DR Moestopo No.47 Surabaya 60132, Phone (031) 5030255 ext
123, email : [email protected]
INTRODUCTION
Drugs associated with gingival
enlargement can be broadly divided
into three categories: anticonvulsants,
calcium channel blockers, and
immunosuppressants. Although the
pharmacologic effect of each of these
drugs is different and directed toward
various primary target tissues, all of
them seem to act similarly on a
LAPORAN KASUS
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
109
secondary target tissue, i.e., the
gingival connective tissue, causing
common clinical and histopathological
findings.1
Amlodipine belongs to
thedihydropyridine-a third generation
calcium channel blockers agents that
may cause the side effect of drug-
induced gingival enlargement and oral
bacteria intervention due to calculus
retention. CCBs are commonly
prescribed and used for the treatment
of cardiovascular diseases. Some
studies have addressed the risk of
gingival hyperplasia during the use of
CCBs, it was often based on case
reports (Seymour et al. 1994, Bhatia et
al. 2007) or on a cross-sectional study
(Meisel et al. 2005).2
CASE
A 47-years old man was referred
to the Department of Periodontology,
Faculty of Dentistry, Airlangga
University complaining of swellings
and bleeding on his gingiva in all
region. He felt very uncomfortable as
the swelling interfered while chewing
and sometimes there was bleeding
spontaneously and halitosis. He had
hypertension since 5 years and was on
medications Captopril 12,5 mg daily
during 4 years and Amlodipine 5 mg
daily during last 1 year. Some months
after using Amlodipin, he developed
gingival hyperplasia.
The clinical appearance of
thetissue was exophytic and
hyperplastic tissue was red, smooth
and shiny in all region, with no pain
on touch, and bled easily on probing
(Fig.1). Gingival tissue around the
crown reached the occlusal tooth
surface, with periodontal pockets
measuring more than 5 mm, plaque
and calculus (Fig. 2). A provisional
diagnosis and systemic observation-
periodontal phases treatment were
taken to restore gingival enlargement
condition.
Fig 1. Gingival hyperplasia in all teeth region
Fig. 2 Pocket measurement more than 5 mm
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
110
CASE MANAGEMENT
The dental treatment included
scaling and root planning and
instructions on appropriate method for
brushing teeth. Refferal to internist
was made, due to the possibility of
medication changing. The rontgen
panoramic result showing severe
bone loss in the regio
16,17,18,27,28,31,32,41,42 (Fig.3).
Fig 3.Rontgen panoramic showing severe
bone loss
The conventional surgery
planning were moved from
gingivectomy for reduce gingival
pocket into flap surgery added with
bone graft (Fig.4& Fig.5). While the
gingival hyperplasia was relieved, but
there are severe bone loss in some
region. Commercially available
chlorhexidine rinse (0.12%) was used
to help control plaque accumulation
and to reduce the development of
gingival inflammation.
Fig 4. Conventional flap surgery added
with bone graft
Fig 5. Mattress suturing was done
Follow up was done one to
three monthly, once each month.
Upon examination at 3 month
review, the periodontal pockets were
generally reduced. There is no
hyperplasia gingival recurrency during
examination. Regular oral hygiene
reinforcement and scaling was done
for him. One year after completion of
the surgery, disappearance of
hyperplasia gingiva and satisfactory
periodontal condition were confirmed
(Fig 6).
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
111
Fig. 6 Clinical review after one year
periodontal treatment
DISCUSSION
The pathogenesis of hyperplasia
gingiva is uncertain and the
treatment is still largely limited to the
maintenance of an improved level of
oral hygiene and surgical removal of
the overgrown tissue. Several factors
may influence the relationship
between the drugs and gingival
tissues, were including age, genetic
predisposition, pharmacokinetic
variables, and alteration in gingival
connective tissue homeostasis,
histopathology, ultra-structural factors,
inflammatory changes and drug action
on growth factors.4
Most studies show
an association between the oral hygiene
status and the severity of drug-
induced hyperplasia gingiva. This
suggests that plaque-induced gingival
inflammation may be important risk
factor in the development and
expression of the gingival changes.5 In
this present case the local
environmental factors such as poor
plaque control and multiple retained
roots at the initial presentation may
act as risk factors that had
contributed to worsen the existing
gingival enlargement and therefore
complicate the oral hygiene
procedures.6
Physicians should be able to
identify changes in oral cavity
related to the health of the patients.
Thus, there is a need collaboration
between general doctors or internist
in this case with dental practicioner in
the care of drug induced gingival
enlargement, to have holistic result
both systemic and good clinical
outcome.
REFERENCES
1. Dongaribagtzoglou A, Cutter C. 2004.
The prevalence, risk factors,
pathogenesis, and clinical management of
drug-associated gingiva enlargement. Drug-
Associated Gingival Enlargement. J
Periodontol,75:1431-1424.
2. Kaur G, Verhamme KMC, Dieleman JP,
Vanrolleghem A, van Soest EM, Stricker
BHCh, Sturkenboom MCJM. 2010.
Association between calcium channel
blockers and gingival hyperplasia. J Clin
Vol 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
112
Periodontol,37:630-625. doi:10.1111/j.1600-
051X.2010.01574.x.
3. Upadhyay Y. Amlodipine-Induced Gingival
Overgrowth: A Case Report. IOSR Journal
of Dental and Medical Sciences (JDMS.
Volume 3, Issue 4 (Jan.-Feb. 2013), PP 20-
17. www.iosrjournals.org.
4. Seymour, R. A., Ellis, J. S., Thomason,
J. M., Monkman, S. Idle, J. R. 1994.
Amlodipine induced gingival overgrowth.
Journal of Clinical Periodontology,21 :
283-281.
5. Barclay S, Thomason JM, Idle JR and
Seymour RA. 1992. The incidence and
severityof nifedipineinduced gingival
overgrowth. J Clin Periodontol,19: 314-311.
6. Ikawa K, Ikawa M, Shimauchi H, Iwakura
M and Sakamoto S. 2002. Treatment of
gingival overgrowt induced by manidipine
administration: a case report. J Periodontol,
72: 122-115.
7. Taib Ha, Ali TBTb, Kamin Sb. 2007. Case
Report-Amlodipine-induced gingival
overgrowth: a case report.Archivesof
Orofacial Sciences, 2: 64-61.