Cxl
-
Upload
mauren-lusi-selfiana -
Category
Documents
-
view
22 -
download
4
Transcript of Cxl
REFERAT
COLLAGEN CROSS-LINKING
(CXL)
Pembimbing:
Dr.Med.dr. Jannes Frits Tan, SpM
Disusun oleh:
1. Mauren Lusi Selfiana (0961050115)
2. Lissa Maria Sianipar (0961050119)
3. I Gusti Agung Putu Restu M (0961050137)
4. Sevlin Juliva Tamba (0961050138)
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
Periode 26 Januari – 28 Februari 2015
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Keratoconus pertama kali dijelaskan secara detail pada tahun 1854, berasal dari Bahasa
Yunani Kerato dan Konos. Keratoconus merupakan ectasia primer yang sering ditemui,
merupakan degradasi korneal yang bilateral dan asimetris. Degradasi ini dikarakterisktikan
dengan penipisan kornea local yang menyebabkan penonjolan pada bagian kornea yang
mengalami penipisan.1
Penipisan biasanya terjadi pada bagian inferior dan sentral dari kornea, meskipun bagian
superior dari kornea. Penonjolan dari kornea menyebabkan miopi dan astigmatisme ireguler
sehingga mengganggu kualitas dari penglihatan. Prevalensi dari penyakit ini adalah sekitar 5,4
dari 10.000 penduduk. 1
Terapi dari keratoconus bervariasi dan tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya. Pada
penyakit dengan tingkat insipiens ditangani dengan menggunakan penutup mata, mild hingga
moderate menggunakan lensa kontak dan tingkat severe menggunakan keratoplasty. Terapi
operatif lainnya adalah intra-corneal rings segments, corneal cross-linking (CXL) dan laser.1
Kolagen cross linking merupakan terapi terbaru pada keratoconus, yang bertujuan untuk
meningkatkan rigiditas kornea dan stabilitas biokemikal. Teknik ini dilakukan dengan pemakaian
riboflavin dan penggunaan radiasi UVA. UVA mengaktifkan riboflavin generating reactive
oxygen spesies yang menginduksi ikatan antara fibril kornea pada stroma kornea.2
Penggunaan teknik ini dilaporkan mengalami peningkatan pada ketajaman penglihatan,
pendataran pada pembacaan keratometric dan penurunan pada cone-reduction. Teknik ini juga
berhasil bila dikombinasikan dengan teknik operasi lain seperti korna rings segment. Penggunaan
CXL juga menyebabkan penurunan jumlah keratosit segera setelah terapi diikuti dengan
pemulihan post-operatif yang progresif 6 bulan setelah terapi.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Kornea adalah jaringan transparan, yang menutupi bola mata bagian depan dan bersifat
avaskular. Kornea menempati 1/6 jaringan fibrosa bagian depan dari bola mata. Kornea
berbentuk seperti elips dengan diameter horizontal 11,7 mm dan diameter vertikal 11
mm. Jari-jari kurvatura kornea di bagian depan berjarak 7,84 mm sementara jari-jari
kurvatura belakang sejarak 7 mm. Ketebalan kornea di bagian pusat adalah 0.6 mm
sementara di tepi sekitar 1 mm. Kornea melanjutkan diri ke belakang membentuk sclera
dengan perbatasan disebut sebagai limbus.3
Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar +43D. Berbeda
dengan sclera yang berwarna putih, kornea bersifat jernih. Antara faktor yang
mengekalkan kejernihan kornea adalah:
Letak epitel kornea yang tertata rapi
Letak serabut kolagen yang tertata rapi dan padat
Kadar air yang konstan
Bersifat avascular
Dari arah anterior menuju posterior, kornea mempunyai lima lapisan yaitu:-
a. Epitel
- Ketebalan kurang lebih µm, terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
tersusun rapi; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng
- Pada sel basal adanya mitosis sel dengan sel muda terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan selanjutnya menjadi sel gepeng. Sel basal berkait rapat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Dapat
terjadi erosi rekuren apabila terjadinya gangguan
b. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang bersifat kolegen dengan
susunan tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Tidak mempunyai daya regenerasi
c. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lain dengan anyaman yang teratur dari permukaan manakala bercabang dari
bagian perifer. Terbentuknya serat kolagen memakan waktu sehingga 15 bulan.
- Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau setelah trauma.
d. Membran Descement
- Membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat elastik dan berkembang terus seumur hidup, dengan ketebalan 40 µm
e. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagon, besar sekitar 20-
40µm. Endotel melekat pada membran descemen melalui hemidesmosom dan zonula
okluden
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke-V saraf siliar longus berjalan ke arah suprakoroid, memasuki
stroma kornea, menembus membran Bowman dan melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.3
Sifat tembus cahaya kornea adalah disebabkan oleh strukturnya yang bersifat uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel.3
Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan
kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada
kerusakan pada epitel. Kerusakan sel–sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema
stroma kornea lokal sesaat yang akan menghilang bila sel–sel epitel telah beregenerasi.
Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan
air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.3
B. KERATOCONUS
Keratoconus merupakan ectasia primer yang paling sering dijumpai. Merupakan
penipisan kornea yang menyebabkan penonjolan pada bagian kornea yang mengalami
penipisan. Penonjolan ini yang menyebabkan miopi, astigmatisme irregular dan
menurunkan kualitas penglihatan. Penyakit ini biasanya mulai tampak dari saat pubertas
dan mulai progrsivitasnya pada dekade keempat kehidupan.1
Gejala dari keratoconus sangat bergantung dari keparahan penyakit. Pada tahap awal
atau disebut frustre form penyakit ini biasanya belum menimbulkan gejala dan seringkali
terlewatkan pada saat pemeriksaan. Pada perjalanannya penyakit ini dapat menurunkan
ketajaman penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa.1
Pada kasus sedang hingga berat, lingkaran hemosiderin atau biasa disebut Fleischer’s
ring biasa tampak pada daerah kornea. Tanda lainnya adalah Vogt’s striae yakni garis
vertical yang disebabkan kompresi dari membrane descemet, yang biasanya menghilan
saat dilakukan penekanan pada daerah kornea. Kompresi pada membrane descemet biasa
terjadi pada keratoconus yang parah dan dapat juga menyebabkan udema akut pada stroam
(Hydrops), hilangnya penglihatan yang mendadak serta nyeri.1
Keratoconus dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, evolusi penyakit, tanda
ocular dan index-based system.
Morfologi
Secara morfologi keratoconus dibagi menjadi:
1. Nipple. Penonjolan kornea mempunyai diameter < 5mm, terletak di sentral atau
parasentral dari kornea. Tahap ini masih dapat dikoreksi dengan lensa kontak.
2. Oval. Penonjolan kornea mempunyai diameter > 5mm dengan lokasi pada
parasentral hingga peripheral, dan lebih sering pada infero-temporal kuadran. Pada
bentuk ini koreksi dengan lensa kontak lebih sulit.
3. Keratoglobus. Penonjolan berada di 75% dari kornea dan koreksi dengan lensa
kontak sangan sulit dilakukan.
Secara histopatologi keratoconus ditandai oleh tiga ciri yakni, penipisan stroma kornea,
pecahnya lapisan bowman’s dan penumpukan besi pada lapisan basal dari epitel kornea.
Degenerasi pada sel basal dari epitel kornea dan bertumbuh meneuju lapisan bowman’s
yang ditandai dengan akumulasi ferritin diantara sel epitel.1
Lapisan bowman’s seringkali mengalami pecah dan akan terisi kolagen dari stroma.
Penurunan jumlah dari keratosit, degradasi fibroblast, distribusi yang tidak merata dari
massa kolagen inter dan intra lamellar dapat diamati biasanya terjadi pada puncak dari
tonjolan.1
Terapi dari keratoconus bermacam-macam dari pengunaan lensa kontak hingga terapi
operatif dan terapi yang baru-baru ini adalah dengan collagen cross-linking.1Konsep
penggunaan cross-linking bukan merupakan ide yang baru dan merupakan hal yang biasa
digunakan pada polimer sintetik. Penggunaan di dunia kedokteran dilakukan pada ilmu
kedokteran gigi dimana pemakaian radiasi UV untuk mengeraskan materi sintetik,
menjadi ide pemakaian cara yang sama pada kornea manusia.2
C. Collagen Cross-linking
Penggunaan collagen cross-linking (CXL) merupakan cara terapi terbaru pada
keratokonus. Terapi ini mengguanakan radiasi sinar ultraviolet A dan juga pengguanaan
riboflavin. Terapi ini telah disetujui pada penggunaan klinis di Uni Eropa sejak Desember
2006. 4
Prosedurnya adalah dengan melakukan pengangkatan sebagian atau seluruh epitel
sentral diikuti dengan dimasukkannya riboflavin 0,1% agar didapatkan penetrasi
intrasomal. Sementara riboflavin digunakan, dilakukan penyinaran dengan sinar
ultraviolet A.Proses diatas mengakibatkan reaksi cross-linking pada stroma kornea pada
kedalaman 200-300nm dan mencegah penipisan kornea yang disebabkan oleh
keratoconus.4
Menurut teori dengan penggunaaan riboflavin dan sinar UVA pada kornea dapat
mempercepat reepitelisasi dan merehabilitasi penglihatan, difusi yang lebih cepat
dikarenakan riboflavin langsung diinjeksi melalui intrasomal sehingga memberikan
perlindungan pada endothelium.5
Terapi Collagen Cross-linking dilakukan dengan mengikuti protocol Dresden dan
dilakukan oleh ophthalmologis. Urutan terapinya yakni sebagai berikut: 6
1. Terapi ini dilakukan pada kondisi steril di kamar operasi
2. Permukaan mata dilakukan anestesi dengan propacain hydroclorida 0,5%.
3. Spekulum pada kelopak mata dipasang dan dilakukan pelepasan epitel kornea
dengan menggunakan hockey stick blade.
4. Ketebalan kornea kemudian diukur setelah epitel diangkat dan pada kebanyakan
kasus teknik ini dilakukan pada kornea dengan ketebalan diatas 400nm
5. Cairan riboflavin isotonis 0,1% kemudian dimasukkan tiap 2 menit selama 30
menit.
6. Kornea kemudian disinari dengan sinar ultraviolet A selama 30 menit.
7. Tambahan penggunaan riboflavin drop perlu dilakukan tiap 3 menit selama
penyinaran UVA dilakukan.
8. Setelah penyinaran UVA dilakukan, speculum kemudian dilepas dan diberikan
moxifloxacin hydrochloride ophthalmic solution 0,5%.
9. Tutup mata yang dilakukan tindakan dengan penutup mata.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jimenez MR, Rubido JS, Wolffsohn JS. Keratoconus: A Review. Contact Lens &
Anterior Eye 33 (2010) 157-166
2. Franzco GRS. Collagen Cross-Linking: a new treatment paradigm in corneal disease-
areview. Clinical and Experimental Ophtalmology 2010; 38: 141-153.
3. DelMonte DW, Kim T. Anatomy and Physiology of the Cornea. Journal of Cataract
Refracter Surgery 2011;37:588-598.
4. Kanellopoulos AJ. Long Term result of a prospevtive randomized bilateral eye
comparison trial of higher fluence, shorter duration ultraviolet A radiation and
riboflavin collagen cross linking for progressive keratoconus. Clinical Ophthalmology
2012:6 97-101.
5. Kanellopoulos AJ. Collagen Cross-linking in Early Keratoconus with Riboflavin in a
Femtosecond Laser-created pocket: Initial Clinical Result. Journal of Refractive
Surgery.2009:20.
6. Sharma A, et all. Persistent Corneal Edema after Collagen Cross Linking for
KEratoconus.American Journal of Ophtalmology 2012 Dec;154(6):922-926.
7.