Critical Discourse Analysis (discursive practice)

15
CDA Fairclough Discursive practice S Kunto Adi Wibowo @wowoxarc

Transcript of Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Page 1: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

CDA FaircloughDiscursive practice

S Kunto Adi Wibowo@wowoxarc

Page 2: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Kerangka Analisis CDA

Page 3: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Discursive practice• A normal way of using language• Sebuah kalimat menunjukkan keseluruhan bahasa dan sebuah

wacana menunjukkan seluruh masyarakat. • Konteks intertekstual mengandaikan bahwa partisipan yang

lebih berkuasa mampu mempengaruhi interpretasi partisipan yang lain

• Penulis/produsen mengandaikan ‘ideal reader’ dengan pengalaman intertekstual tertentu dalam memproduksi sebuah teks

• Fairclough melihat bahwa praanggapan dalam intertekstualitas melayani kekuasaan dengan membentuk common sense

Page 4: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Pendekatan

• Linguistik– Deskriptif– Texts based evidence– Lebih ‘objektif’

• Intertekstual – Interpretatif– Order of discourse (interpretasi kultural yang

meletakkan teks di dalam aspek kebudayaan yang dibentuk oleh serangkaian tatanan wacana)

– Lebih ‘subjektif’

Page 5: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Social order: societal

Determination of institutional setting

Social order: Institutional

Determination of situational setting

Situation Discourse type

What’s going on? (activity, topic, purpose) Contents

Who’s involved?

In what relations?

What’s the role of language in what’s going on?

Subjects

Relations

Connections

Situational context and discourse type

Page 6: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Interpretation

• Konteks: interpretasi apa yang diberikan partisipan dalam konteks situasional dan intertekstual tersebut?

• Tipe wacana: tipe wacana apa yang dibentuk (aturan, sistem atau prinsip phonologi, gramatika, kohesi dll)?

• Perbedaan dan perubahan: Apakah dua pertanyaan di atas akan memiliki jawaban berbeda untuk partisipan yang berbeda? Dan apakah jawaban tersebut juga berubah seiring dengan interaksi yang terjadi?

Page 7: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Produksi teks

• Proses wacana – pembentukan nilai relasional, – posisi subjek sang produser, – posisi subjek audiens, – jejak perlawanan antara produser dan lawannya

• Proses institusional– Rutinitas institusi– Prosedur editorial– Rutinitas pembaca (ideal reader)

Page 8: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Konsumsi teks

• Condong ke arah mana interpretasi teks oleh ‘ideal reader’?

• Bagaimana interpretasi mereka yang bukan ‘ideal reader’?

• Fairclough tidak pernah melakukan interview dalam semua bukunya untuk mengetahui konsumsi teks.

Page 9: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Encoding-decoding The mediated communication

event as meaningful social discourseENCODING

1: communication codes of all kinds

2: structures and codes of medium and of genre

DECODING1: communication codes

of all kinds 2: structures and codes of medium and of genre

Frameworks of Knowledge Frameworks of Knowledge

Social RealmSocial practice

Concepts of social & personal nature

and relations Cultural norms

World-view

Social RealmSocial practice

Concepts of social & personal nature

and relations Cultural norms

World-view

Material PracticesRelations of production

Technical infra-structure

Political/economic structures

Conditions of production

Material PracticesRelations of production

Technical infra-structure

Political/economic structures

Conditions of production

HISTORY

Page 10: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Order of discourse

• Jejaring penggunaan bahasa dalam sebuah institusi sosial atau bidang sosial (sekolah, rumah tangga, pasar, hukum, dll)

• Apakah penggunaan bahasa di wilayah sosial yang berbeda bersifat tumpang tindih atau secara ketat dipisahkan?

• Penggunaan jargon ekonomi yang masuk ke pendidikan (produk, komoditas, modal dll) merupakan bentuk hegemoni dari kekuasaan/ideologi pasar ke dalam pendidikan

Page 11: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Order of Discourse

• Choice relations: pilihan penggunaan bahasa dalam sebuah order of discourse (soft news, hard news, talk show)

• Chain of relations: proses produksi teks dalam sebuah institusi (dari press release ke berita atau feature) dan keterkaitan antara sebuah wacana dengan wacana yang lain (UN korupsi)

Page 12: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Tipe wacana dan sosio-kultural

• Penggunaan tipe wacana konvensional (normatif) ketika praktik sosiokultural stabil dan tetap.

• Penggunaan tipe wacana kreatif ketika praktik sosiokultural cair, tidak stabil, dan bergeser.

Page 13: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Sociocultural practices

• Sebagai konteks terbentuknya wacana dalam 3 aspek utama– Ekonomi– Politik (kekuasaan dan ideologi)– Kultural (nilai dan identitas)

Page 14: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

Explanation• Determinan sosial: relasi kekuasaan apa pada level

situasional, institusional, dan kemasyarakatan membantu pembentukan wacana tersebut?

• Ideologi: apa elemen sumber daya/pengetahuan kita yang dibentuk yang memiliki karakter ideologis?

• Efek: bagaimana wacana tersebut diposisikan dalam kerangka perlawanan di level situasional, institusional dan kemasyarakatan? Apakah perlawanan tersebut terbuka atau sembunyi-sembunyi? Apakah wacana tersebut berkontribusi dalam mempertahankan relasi kekuasaan atau mentransformasikannya?

Page 15: Critical Discourse Analysis (discursive practice)

• Sultan: Presiden Orang Jawa Tak Relevan Lagi • Sabtu, 21 Januari 2012, 18:36 WIB

Ismoko Widjaya, Sukirno

VIVAnews - Politisi senior Partai Golkar yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengingatkan kepada publik pada 2014 agar jangan tertipu seperti kiasan 'Beli Kucing dalam Karung'. Sultan juga menegaskan bahwa Presiden dari Tanah Jawa tidak relevan lagi."Itu tergantung rakyat pada saat masuk TPS (Tempat Pemungutan Suara). Yang masuk TPS bukan hanya orang Jawa. Orang seluruh Republik Indonesia yang punya hak pilih. Yang diaspirasikan, ya terserah saat di TPS," kata Sultan.Hal itu disampaikan Sultan dalam acara Orasi budaya "Menyemai Kebhinekaan Indonesia" yang digelar Nurcholish Madjid Society dan Yayasan Kertagama, di Omah Btari Sri, Jalan Ampera Raya, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu 21 Januari 2012.Sultan menuturkan, pemahaman seorang Presiden Indonesia harus dari orang Jawa sudah tidak relevan lagi. Dari etnis apa pun bisa, karena hal itu adalah hak prerogatif warga negara dan pemilih yang akan menentukan."Tergantung kualifikasi dia, dasarnya kualitatif, keetnikan, atau keagamaan, bisa lain," ujar Sultan.Pertimbangan para pemilih dalam menentukan calonnya, Sultan melanjutkan, bergantung pada kualifikasi dari pemilih itu sendiri. Semua faktor dapat menjadi pertimbangan, misalnya dari kualitas calon, etnis, agama, atau lainnya.Menurut Sultan, partai politik beberapa waktu terakhir hanya menghasilkan para pemimpin dari kalangan berduit. Pada kenyataannya, tidak selalu pemimpin partai menjadi presiden atau gubernur di daerah. "Itu kan tidak identik," kata Sultan."Itu kepandaian masyarakat, tapi dengan memilih kucing dalam karung atau tidak, itu juga tergantung yang dicalonkan partai. Prosesnya bagaimana, kejujuran itu sudah dilakukan atau belum," kata Sultan. (art)• VIVAnews