Chan Krisna Sawada Head of Women’s and Children’s Rights Program.
COMMUNITY CAPACITY BUILDING DALAM MENGATASI ......Nations Development Programme) dalam (Sihotang...
Transcript of COMMUNITY CAPACITY BUILDING DALAM MENGATASI ......Nations Development Programme) dalam (Sihotang...
COMMUNITY CAPACITY BUILDING DALAM MENGATASI RESIKO
BENCANA KEKERINGAN DI KECAMATAN KELARA
KABUPATEN JENEPONTO
SKRIPSI
Disusun Oleh :
SRI INDAH SARI PERTIWI
105641101516
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
i
COMMUNITY CAPACITY BUILDING DALAM MENGATASI RESIKO
BENCANA KEKERINGAN DI KECAMATAN KELARA
KABUPATEN JENEPONTO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu
Pemerintahan
Disusun dan Diajukan Oleh
SRI INDAH SARI PERTIWI
NIM : 105641101516
Kepada :
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Sri Indah Sari Pertiwi
Nomor Stambuk : 105641101516
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Pernyatan bahwa benar karya ilmiah adalah hasil penelitian saya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain atau ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan
plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya apabila dikemudian
hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
sesuai aturan yang berlaku.
Makassar, Oktober 2020
Yang menyatakan
Sri Indah Sari Pertiwi
v
ABSTRAK
Sri Indah Sari Pertiwi, 2020 Community Capacity Building Dalam Mengatasi
Resiko Bencana Kekeringan Di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto
(Dibimbing oleh Amir Muhiddin dan Nur Khaerah)
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui community capacity building dalam
mengatasi resiko bencana kekeringan di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan tipe penelitian yang
digunakan adalah deskriptif (menggambarkan) dengan melakukan pendekatan
kualitatif yaitu tipe penelitian yang melakukan penggambaran tentang situasi atau
kejadian, hal ini didasarkan karena penelitian ini menghasilkan data-data berupa
informasi dari informan apa adanya dan sesuai dengan penelitian.
Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber
data sekunder dengan jumlah informan 9 orang. Teknik pengumpulan dan
pengolahan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk yaitu
melalui :observasi/pengamatan, dan wawancara. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan, pengabsahan data yang digunakan adalah triangulasi sumber,
triangulasi teknik dan triangulasi waktu.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa community capacity
building atau pengembangan kapasitas masyarakat ini dalam hal penerima
bantuan air bersih dari BPBD selaku kantor yang memberikan bantuan penyaluran
air bersih ke masyarakat masih terkendala di biaya operasional dan kurangnya
armada tangki air yang digunakan untuk memberikan bantuan air bersih ke
masyarakat.
Dan masyarakat berharap agar BPBD bisa memberikan pelayanan yang lebih
maksimal dalam membantu masyarakat yang mengalami bencana alam, dan
memberikan pelayanan yang merata ke masyarakat yang mengalami kekeringan
khususnya di Desa Samataring.
Kata kunci : Community capacity building, BPBD, Kekeringan
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmatNya yang selama ini telah diberikan, yang memberi hikmah sehingga bisa
bermanfaat bagi umatnya, sehingga oleh karena itu penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Community Capacity Building Dalam Mengatasi Resiko
Bencana Kekeringan Di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan dari program studi Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, Penulis menyadari bahwa
untuk menyelesaikan penyusunan tugas skripsi ini tidaklah mudah, namun penulis
menyadari begitu banyak pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. Amir Muhiddin.
M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Nur Khaerah.S.Ip.,M.Ip selaku pembimbing II,
yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Selanjutnya pada kesempatan ini, tak lupa penulis juga mengucapkan
penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuannya terutama kepada :
1. Ibu Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si dan bapak Ahmad Harakan, S.IP,
M.Hi selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas
Muhammadiyah Makassar.
vii
2. Ibu Hj. Ihyani Malik, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Prof. Dr.H. Ambo Asse, M.Ag, selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar.
4. Segenap Dosen serta staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan dan pelayanan kepada penulis selama menempuh pendidikan
di Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Pihak Kantor BPBD Kabupaten Jeneponto
6. Pihak Kantor Desa Samataring
7. Saudara dari awal masuk kampus IP.A sekaligus teman kelas dari semister
1 sampai semester 9
8. Teman-teman angkatan 2016 “FEDERASI”
9. Keluarga penulis yang telah memberikan support dalam penulisan skripsi.
Ucapan terima kasih yang teristimewa dan terdalam penulis kepada kedua
orang tua tercinta Ibu Syamsiah dan Bapak Mansur karena semua usaha penulis
tidak berarti apa-apa tanpa adanya pengorbanan dan dorongan semangat yang
sangat luar biasa dari beliau yang selalu suka rela melakukan segala hal,
memberikan doa yang tulus, motivasi, nasehat serta bimbingan dan membesarkan
penulis dengan penuh kasih sayang. Terima kasih juga untuk saudara sedarah
penulis yang selalu menyayangi dan memberi semangat untuk terus melanjutkan
pendidikan setinggi mungkin.Teriring doa semoga Allah SWT menjadikan
viii
pengorbanan dan kebaikan itu sebagai cahaya penerang di dunia maupun di
akhirat kelak.
Akhir kata penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca guna menambah Khasanah Ilmu Pengetahuan
terutama yang berkaitan dengan Ilmu Pemerintahan.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Makassar, November 2020
Penulis
Sri Indah Sari Pertiwi
ix
DAFTAR PUSTAKA
Halaman Judul ............................................................................................. i
Halaman Persetujuan .................................................................................. ii
Halaman Penerimaan Tim………………………………………………. . iii
Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ........................................... iv
Abstrak ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9
A. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 9
B. Tinjauan Teori ............................................................................... 11
C. Kerangka Pikir ............................................................................... 27
D. Fokus Penelitian ............................................................................ 29
E. Deskriptif Penelitian ...................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 32
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 32
B. Jenis dan Tipe Penelitian ............................................................... 32
C. Sumber Data .................................................................................. 33
D. Informan Penelitian ....................................................................... 34
x
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 35
F. Teknik Analisis Data ..................................................................... 34
G. Keabsahan Data ............................................................................. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................... 38
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ........................................................... 38
B. Hasil dan Pembahasan ................................................................... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 78
A. Kesimpulan .................................................................................... 78
B. Saran .............................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 80
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ........................................................................ 9
Tabel 2.2 Kerangka Pikir ................................................................................. 29
Tabel 3.1 Informan Penelitian .......................................................................... 34
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Community capacity building dalam bahasa Indonesia artinya
pengembangan kapasitas masyarakat. Pengembangan kapasitas masyarakat yang
dimaksud disini ialah suatu proses dalam mengembangkan serta kemampuan
sumber daya organisasi sebagai kebutuhan untuk bertahan, menyesuaikan diri dan
untuk menumbuhkan organisasi di daerah perubahan yang cepat. Menurut
Morisson dalam (Mirnawati, 2019) yaitu melihat capacity building sebagai suatu
proses untuk melaksanakan sesuatu atau serangkaian gerakan perubahan multi
level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-
sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuian individu dan
organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada.
Efesiensi yang dimaksud disini ialah dalam hal waktu dan sumber daya
yang dibutuhkan untuk mencapai outcome dan juga efesiensi berupa kepantasan
usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan serta responsivitas bagaimana
menyesuaikan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut.
Seperti penjelasan di atas sudah cukup jelas bahwa ada beberapa
tingkatan dari capacity building yang terdiri dari : Pengembangan sumber daya
manusia, Penguatan organisasi, dan Reformasi kelembagaan. Dari beberapa uraian
mengenai capacity building di atas akan dapat dikemukakan tingkatan-tingkatan
dalam pengembangan kapasitas masyarakat yang harus dilaksanakan secara
2
2
berkesinambungan yang terdiri dari tiga tingkatan menurut Mowbray dalam,
(Mirnawati, 2019) yaitu : tingkatan dan dimensi individu, tingkatan dan dimensi
pengembangan kapasitas pada kelembagaan atau organisasi, tingkatan dan
dimensi pengembangan kapasitas pada sistem.
Banyak ahli yang mendefinisikan mengenai community capacity building
sehingga community capacity building memiliki banyak variasi atau versi dari
masing-masing ahli yang mendefinisikannya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan para
ahli melihatnya dari berbagai sisi. Jika dilihat secara keseluruhan maka
community capacity building bisa bermakna sebagai proses membangun kapasitas
individu atau organisasi yang juga dicerminkan melalui pengembangan
kemampuan, keterampilan, potensi dan juga bakat penguasaan kompotensi,
sehingga kelompok atau organisasi dapat bertahan serta mampu mengatasi segala
macam tantangan terhadap perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga
(Fahmi, 2017)
Pengembangan kapasitas yang dimaksud di sini adalah merupakan suatu
proses peningkatan yang dilakukan oleh individu, organisasi dan juga sistem
masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang berada di lingkungan
masyarakat setempat. Pengertian pengembangan kapasitas bila dikaitkan dengan
organisasi FKPA (Forum Komunikasi Peduli Anak) jelas maksdunya bahwa
pengembangan kapasitas organisasi disini merupakan suatu upaya yang
berhubungan dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Adapun tujuan dari pengembangan kapasitas menurut UNDP (United
Nations Development Programme) dalam (Sihotang Peronita, Dewi Krisna,
3
3
2017)menjelaskan bahwa pengembangan kapasitas adalah proses dimana
individu, kelompok, organisasi, institusi dan juga masyarakat dalam
meningkatkan kemampuannya untuk menjalankan fungsi pokok, memahami dan
menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam konteks yang luas dan
dengan cara yang terus menerus.
Peristiwa bencana kekeringan merupakan suatu kejadian yang tak terduga
baik dari segi waktu tempat dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Adapun
dampak yang ditimbulkan adalah antara lain terjadinya kerusakan, gagal panen,
kerugian serta dampak yang paling parah adalah banyaknya korban jiwa.
Pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana, bencana yang dimaksud disini adalah bencana kekeringan yang
menimpa Kabupaten Jeneponto. Bencana kekeringan dijelaskan secara spesifik
yaitu ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup,
pertanian kegiatan dan lingkungan (Rudiarto, 2017)
Cara untuk mengatasi resiko bencana yang terjadi harus ada forum
pengurangan resiko bencana (PRB) dan tim siaga bencana masyarakat(TSBM).
Pembentukan forum PRB dan TSBM ini bisa diawali dengan musyawarah
bersama aparat desa maupun masyarakat setempat. Keterlibatan masyarakat dalam
melakukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi bencana dijadikan sebagai
prioritas utama dan dilibatkan dalam forum PRB dan TSBM. Forum PRB dan
TSBM yang telah dibentuk dan disahkan oleh kepala desa dan selanjutnya
masyarakat dibekali dengan materi tentang jenis-jenis bencana alam dan cara
menanggulangi serta mengantisipasi bencana alam yang ada disekitar.
4
4
Di Indonesia bencana kekeringan menempati urutan kedua berdasarkan
Survey dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Tahun 2009
setelah banjir yang terjadi pada tahun 2002-2009 dengan rata-rata 156 kejadian
per tahun di seluruh wilayah Indonesia.
Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan dimana kekurangan air pada
suatu daerah untuk berbagai kegiatan kelompok dan sekitar lingkungan dalam
masa berkepanjangan. Menurut Wilhite dan Svoboda dalam (Darojati et al., 2015)
musim kekeringan atau kemarau ini durasinya bisa berbulan atau tahunan
lamanya, Bencana kekeringan bisa terjadi apabila suatu wilayah secara terus-
menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang
panjang dapat menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan, transparansi ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Salah satu wilayah di Indonesia yang paling sering mengalami kekeringan
berada di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Jeneponto. Di
Kabupaten Jeneponto ada satu daerah yang setiap tahunnya mengalami
kekeringan yaitu Kecamatan Kelara di kecamatan Kelara ini ada 2 (dua) desa
yang mengalami kekeringan yang cukup parah yaitu Desa Samataring dan
Kalongko.
Kekeringan yang paling parah dan setiap tahun terjadi ada di Kecamatan
Kelara di Desa Samataring dan Kalongko karena di desa ini bisa dibilang hampir
seluruh penduduknya membutuhkan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk saat ini pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat berupa
pengadaan sumur bor akan tetapi belum diketahui kapan akan terlaksananya.
5
5
Di Desa Samataring dan Kalongko merupakan daerah yang sering
mengalami kekeringan, Di Desa Samataring mempunyai sungai yang jaraknya
lumayan jauh dari permukiman warga akan tetapi apabila musim kekeringan
mulai melanda maka air di sungaai pun akan turut menyurut sehingga masyarakat
membutuhkan bantuan air bersih.
Berdasarkan wawancara dari salah satu pegawai BPBD yang bernama
Randi mengatakan bahwa di Kecamatan Kelara khususnya di Desa Samataring
sering mendapat bantuan air bersih dari BPBD. Sebelumnya masyarakat di Desa
Samataring dan Kalongko juga biasanya mengandalkan air sumur untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya akan tetapi tidak bertahan lama karena airnya
juga mulai surut karena banyak masyarakat yang menggunakannya, jadi
masyarakat hanya menunggu bantuan air bersih dari BPBD.
Salah satu instansi yang bertanggung jawab jika terjadi bencana adalah
Dinas BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). BPBD adalah lembaga
departemen yang melaksanakan penanggulangan bencana baik di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan
oleh BPNB (Badan Penanggulangan Bencana Nasional).
Adapun cara mengatasi kekeringan di Jeneponto sesuai Peraturan Daerah
Nomor. 02 Tahun 2003 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja badan
penanggulangan bencana daerah (BPBD) maka Pemerintah Daerah akan
melakukan pendistribusian air bersih ke setiap daerah yang mengalami
kekeringan. Saat ini hanya ada satu mobil tangki air yang digunakan untuk
menyalurkan air bersih ke masyarakat. Pemerintah daerah belum memberikan
6
6
bantuan berupa tambahan mobil tangki air ke Dinas BPBD, jadi untuk saat ini
Dinas BPBD mengontrak mobil dari PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat) di Kota Makassar. Jadi untuk saat ini ada dua mobil yang digunakan
untuk menyalurkan bantuan air bersih ke Desa yang mengalami kekeringan.
Tetapi terdapat beberapa faktor yang menjadi permasalahan dalam
penanggulangan bencana kekeringan ini. Faktor yang paling utama adalah
ketidaksiapan masyarakat baik menyangkut ketidaksiapan yang bersifat teknis,
biaya, waktu, minimnya pengetahuan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana kekeringan seperti ini, lemahnya modal sosial dan kultural yang
menyebabkan kerentanan sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat.
Faktor lain yang menjadi permasalahan adalah pergeseran paradigma di
dalam penanganan bencana, dari yang bersifat reaktif, pasif dan sentralistik
bergeser ke arah paradigma baru yang mengedepankan upaya pencegahan
(preventif), pengurangan risiko bencana (mitigasi) dan meningkatkan upaya
penguatan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana alam.
Persoalannya perubahan paradigma tersebut belum sepenuhnya berhasil diderivasi
ke dalam implementasi kebijakan dan program penanggulangan bencana.
Derivasi paradigma baru tersebut ke dalam kebijakan dan program mutlak
memerlukan peningkatan kapasitas masyarakat, tanpa itu tidaklah mungkin
penanggulangan yang bersifat responsif dan pro-aktif dapat dicapai. Dalam
paradigma ini, masyarakat korban bencana tidak diposisikan semata - mata
menjadi obyek tetapi harus menjadi subjek yang dapat menolong dirinya sendiri
7
7
ketika bencana kekeringan datang. Dengan kata lain sasaran akhir dari paradigma
baru ini mewujudkan masyarakat siap menghadapi bencana kekeringan.
Berdasarkan deskripsi masalah di atas, maka penguatan kapasitas
masyarakat dalam penanggulangan bencana mutlak diperlukan, baik untuk
fondasi bagi pergeseran paradigmatik yang tengah terjadi maupun tujuan-tujuan
yang bersifat teknis. Olehnya itu menarik minat peneliti untuk meneliti tentang
community capacity building dalam mengatasi masalah kekeringan di Kecamatan
Kelara Kabupaten Jeneponto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya maka perumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1) Bagaimana community capacity building kelembagaan dalam mengatasi
resiko bencana kekeringan di Kabupaten Jeneponto?
2) Bagaimana community capacity building individu dalam mengatasi
sumber daya manusia di Desa Samataring Kabupaten Jeneponto?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1) Untuk mengetahui community capacity building kelembagaan dalam
mengatasi resiko bencana kekeringan di Kabupaten Jeneponto.
2) Untuk mengetahui community capacity building individu dalam
meningkatkan sumber daya manusia di Desa Samataring.
8
8
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak yaitu antara lain :
1) Secara Teoritis
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan pandangan dan
menambah wawasan mengenai krisis kekeringan di Kabupaten
Jeneponto.
2) Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan
pertimbangan bagi teman-teman yang juga ingin meneliti
mengenai community capacity building dalam mengatasi resiko
bencana kekeringan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam
penelitian. Di dalam penelitian perlu adanya penelitian yang relevan. Berikut
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu Nama Peneliti
(Tahun) Judul Penelitian Hasil Penelitian
ArifuddinBiki
(2015)
Penguatan
kapasitas
kelompok
masyarakat
peduli bencana
dalam
kesiapsiagaan
bencana tanah
longsor di
Kabupaten
Bandung Barat
Penguatan kapasitas kelompok
masyarakat peduli bencana dalam
kesiapsiagaan bencana tanah longsor di
Kabupaten Bandung Barat. Memperoleh
gambaran tentang kondisi kapasitas
kelompok masyarakat peduli bencana,
model penguatan, implementasinya, dan
upaya perbaikan penguatan kapasitas
masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana
longsor di Kabupaten Bandung Barat.
DTP
Kusumawardhani
, dkk
(2014)
Model
Penguatan
Kapasitas
Masyarakat
Dalam
Pengurangan
Resiko
Bencana Alam
di Indonesia
Terdapat validasi yang telah dilakukan di
daerah, yaitu Pesisir Selatan dan DI
Yogyakarta serta di tingkat nasional, DKI
Jakarta menunjukkan bahwa pengalaman
empirik, data dan aspirasi yang mucul
dalam FGD relative sama dengan elemen-
elemen model yang ditarik dari hasil
penelitian yang telah dilakukan. Tidak ada
gagasan baru yang mereduksi temuan
penelitian, aspirasi yang relativ baru lebih
bersifat melengkapi elemen model dan
raw model yang ada. Oleh karena itu
validasi terhadap model penguatan
kapasitas masyarakat dalam pengurangan
10
10
resiko bencana alam di Indonesia yang
telah dirumuskan dan dilakukan di tingkat
daerah (Pesisir Selatan dan DI
Yogyakarta) dan tingkat nasional
(Jakarta) dapat menjadi bagian integral
dari sistem nasional penanggulangan
bencana di Indonesia.
Ahmad Buchari
(2017)
Pengembangan
Kapasitas
Kelembagaan
Desa Tangguh
Bencana di
Kabupaten
Garut
Dalam rangka mewujudkan Desa tangguh
Bencana yang memilki kapabilitas dalam
manajemen bencana, diperlukan
pengembangan kapasitas yang memadai.
Dalam membangun kapasitas
kelembagaan desa tangguh bencana agar
masyarakat ditingkat desa mampu
melakukan manajemen bencana dalam
menghadapi potensi bencana. Serta
peningkatan kapasitas desa tangguh
bencana mengandung pemahaman tentang
berbagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan destana dalam mengelola
bencana dari tahapan pra tanggap darurat
hingga tindakan paska bencana.
(Sumber: diolah oleh penulis, 2020)
Berdasarkan penelitian terdahulu pada penelitian yang dilakukan oleh
Arifuddin Biki (2015) lebih berfokus ke kelompok masyarakat peduli bencana dan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sedangkan pada penelitian
yang akan saya lakukan mengenai bagaimana cara Dinas BPBD dalam
mensosialisasikan kemasyarakat tentang bahaya bencana kekeringan dan
bagaimana cara masyarakat mempersiapkan diri sebelum terjadinya musim
kekeringan yang biasanya melanda Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto dan
apakah juga di Desa Samataring dan Kalongko ini sudah dibentuk kelompok
masyarakat peduli bencana.
Penelitian oleh DTP Kusumawardhani dkk (2014) mengenai model
penguatan kapasitas masyarakat dalam pengurangan resiko bencana alam di
11
11
Indonesia. Di dalam penelitiannya telah terdapat validasi yang telah dilakukan di
daerah pesisir selatan dan DI Yogyakarta. Di dalam penelitiannya tidak ditemukan
gagasan baru akan tetapi hal ini lebih bersifat melengkapi elemen model
penguatan kapasitas masyarakat. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan
lebih kepada bagaimana antisipasi masyarakat dalam menghadapi bencana
kekeringan khususnya di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Buchari dkk (2017)
yang meneliti tentang pengembangan kapasitas kelembagaan desa tangguh
bencana yang dilakukan di Kabupaten Garut. Pada penelitian yang dilakukannya
lebih berfokus ke pengembangan kapasitas kelembagaan desa tangguh bencana
sedangkan pada penelitian yang akan saya lakukan lebih kealasan mengapa Dinas
BPBD belum memberikan bantuan berupa sumur bor ke masyarakat agar
masyarakat sudah tidak merasa cemas apabila musim kekeringan kembali
melanda Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.
B. Tinjauan Tori/Konsep
1. TeoriCommunity Capacity Building (CCB)
a.Definisi CCB (Community Capacity Building)
Community capacity building atau dalam bahasa Indonesia lebih
dikenal sebagai pengembangan kapasitas masyarakat menurut Merilee S.
Grindlee dalam (Mirnawati, 2019) menyebutkan bahwa community
capacity building merupakan upaya yang ditunjukkan untuk
mengembangkan suatu strategi guna meningkatkan efesiensi, efektivitas
dan responsivitas pemerintah. Sedangkan Brown dalam (Rachmawati,
12
12
2017) mendefiniskan capacity building sebagai suatu proses yang dapat
meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi dan suatu sistem
untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan.
Mengutip dari pendapat Sumpeno dalam (Sihotang Peronita, Dewi
Krisna, 2017) mengatakan bahwa capacity building merupakan suatu
proses untuk meningkatkan atau merubah perilaku individu, kelompok
dan sistem masyarakat sehingga bisa mencapai tujuan yang dari awal
telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya mengenai community
capacity building T. Nill dan C. Mindrum dalam (Setiasih, Imas Siti,
Santosa Meilanny Budiarto, Hanidah In-In, 2017) yang menyatakan
bahwa capacity building merupakan suatu istilah yang digunakan dalam
membangun masyarakat dengan melalui suatu perubahan yang dimulai
dari dalam dirinya sendiri, misalnya dengan cara meningkatkan ilmu
pengetahuan, keahlian dan lain sebagainya.
Ada juga pendapat dari Ann Philbin mengenai capacity building
dalam (Setiasih, Imas Siti, Santosa Meilanny Budiarto, Hanidah In-In,
2017) yang berusaha mendefinisikan capacity building sebagai suatu
proses pengembangan dalam meningkatkan keterampilan bakat serta
kemampuan sumberdaya komunitas sebagai kebutuhan untuk bertahan
dan menyesuaikan diri dalam menumbuhkan organisasi di era perubahan
yang cepat ini.
13
13
Istilah kapasitas juga bisa diartikan sebagai kemampuan manusia,
kemampuan institusi dan juga kemampuan sistemnya. Jadi
pengembangan kapasitas masyarakat atau community capacity building
adalah suatu proses/usaha yang dapat meningkatkan kemampuan atau
mengembangkan diri pada diri seseorang, suatu organisasi suatu sistem
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan sejak awal (Indrioko & Basar,
2017).
Alasan mengapa peneliti mengabaikan community capacity
building yang secara individu karena community capacity building yang
ada di organisasi masyarakat ternyata belum tentu bisa berjalan dengan
baik di masyarakat dikarenakan hal ini sangat beresiko akan mengalami
kegagalan yang bisa melemahkan pengalaman orang-orang dari
organisasi masyarakat tersebut karena hal ini bukanlah suatu proses yang
cocok bagi masyarakat. Dan alasan mengapa peneliti mengambil
community capacity kelembagaan karena di dalam community capacity
kelembagaan dapat dilakukan sesuatu yang baru yang bernilai baik
sehingga adanya peningkatan kemampuan suatu lembaga untuk mencapai
misi.
b. Dimensi, Tingkatan dan Tujuan Community Capacity Building
Community capacity building menurut Merilee S. Grindlee dalam
(Indrioko & Basar, 2017) yang merupakan pakar/ahli mengenai
community capacity buildingatau yang lebih khusus yang mengkaji dalam
14
14
bidang pemerintahan yang memfokuskan mengenai community capacity
building yang terdapat dalam tiga dimensi yaitu :
1) Development of human resourch
2) Strengthening organization, and
3) Reformation of instruction
Ada beberapa tahapan di dalam capacity building yang memiliki
cara tersendiri dalam menjalankan aktifitasnya yang memungkinkan
terjadinya pengembangan kapasitas pada sebuah individu, sistem atau
organisasi, yang dimana pada aktifitas tersebut terdiri dari beberapa
tahapan umum. Adapun tahapan atau fase yang dimaksud menurut
Gandara dalam (Sari et al., 2014)adalah sebagai berikut :
1) Fase persiapan
2) Fase analisis
3) Fase perencanaan
Capacity building ini juga memiliki tujuan menurut Daniel Rickett
dalam (Jenivia Dwi Ratnasari & Mochamad Makmur, 2016) yang
menyebutkan bahwa god of capacity building is to enable the
organization to grow stranger in achieving as purpose and mission.
Dirumuskan lebih jauh bahwa tujuan dari capacity building adalah
sebagai berikut :
1) Mengakselerasikan pelaksanaan desentralisasi yang sesuai
dengan ketentuan yang telah berlaku
15
15
2) Pemantauan secara proporsional, tugas, fungsi, sistem
keuangan, mekanisme dan tanggung jawab di dalam rangka
pelaksanaan untuk meningkatkan kapasitas daerah
3) Mobilisasi sumber-sumber dana pemerintah, daerah dan
lainnya
4) Penggunaan sumber-sumber dana secara efektif dan efisien
Ada sebuah perusahaan dari Jerman yang bernama GTZ (Deutsche
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) merupakan sebuah
perusahaan hukum swasta yang mengungkapkan tentang capacity
building dalam (Hapsari & Djumiarti, 2016) yang menggambarkan
bahwa dalam proses capacity building ada tiga tingkatan yang harus
menjadi fokus analisis serta proses perubahan di dalam sebuah kelompok
atau organisasi.
Ketiga tingkatan dalam capacity building yang dimaksud adalah
yaitu sistem atau suatu kebijakan yang terdiri dari peraturan perundangan,
kebijakan tingkatan organisasi atau suatu lembaga yang terdiri dari
sumberdaya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, sistem pengendalian
keputusan serta tingkatan individu atau sumberdaya manusia yang terdiri
dari pengetahuan, keterampilan, kompotensi dan yang terakhir yaitu etika.
Sedangkan menurut Riyadi dalam (Buchari, 2017)mengungkapkan bahwa
community capacity mempunyai dimensi dan tingkatan yaitu sebagai
berikut :
16
16
1) Dimensi dan tingkatan pengembangan kapasitas pada individu
2) Dimensi dan tingkatan pengembangan kapasitas pada
organisasi
3) Dimensi dan tingkatan pengembangan kapasitas pada sistem
Melihat pendapat Riyadi sebelumnya yang mengatakan bahwa
community capacity building merupakan suatu institusi yang dimana
harus dimulai dari community capacity building individualnya, kapasitas
secara makro organisasi sistem yang digunakan dalam suatu institusi
untuk meningkatkan kemampuan sehingga dapat dengan mudah
beradaptasi dan siap menghadapi setiap perubahan yang terjadi.
c. Kelembagaan Community Capacity Building
Berikut akan dijelaskan mengenai capacity building kelembagaan
lokal yang dimaksud dengan capacity building kelembaagaan lokal
menurut Linneail dalam (Fultanegara & Anggun Aprinasari, 2014)
menyatakan bahwa di dalam capacity building kelembagaan dapat
dilakukan sesuatu yang baru yang bernilai baik sehingga adanya
peningkatan kemampuan suatu lembaga untuk mencapai misi. Berikut ini
ada beberapa model teoritis dari tingkatan kapasitas kelembagan lokal
dari beberapa sumber literatur yaitu:
1) Level individu
2) Level kelompok
3) Level organisasi
17
17
Capacity building kelembagaan merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kemampuan organisasi di dalam mengikuti perubahan
dengan mempertimbangkan seluruh faktor-faktor yang ada di dalam
organisasi yang bertujuan mengakselerasikan pelaksanaan desentralisasi
yang sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku.
Berdasarkan peraturan Presiden No. 59 Tahun 2012 tentang
kerangka nasional pengembangan kapasitas pemerintah daerah,
pengembangan kapasitas kelembagaan dapat dilakukan melalui 3 (tiga)
tahapan yaitu sebagai berikut :
1) Peningkatan kapasitas struktur organisasi yang efektif, efisien,
rasional dan proporsional
2) Pelembagaan budaya kerja organisasi yang produktif dan
positif berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa
3) Peningkatan kapasitas anggaran untuk mendukung peningkatan
kualitas dan kuantitas pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintah daerah
Kelembagaan merupakan kondisi capaian akhir yang berasal dari
sebuah organisasi agar dapat menjaga kelangsungan hidup dalam
mencapai tujuannya. Menurut Hendropuspito dalam (Wicaksono Ferri,
2019) yang menyatakan mengenai kelembagaan yaitu merupakan suatu
bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola, kelakuan,
18
18
peran-peran dan relasi yang digunakan sebagai cara untuk mengikat agar
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Capacity building kelembagaan merupakan suatu proses perubahan
bencana sosial yang dimaksudkan sebagai sarana yang digunakan sebagai
proses pendorong perubahan dan inovasi. Adapun unsur-unsur yang
terkandung dalam kelembagaan seperti yang dikemukakan oleh Esman
dalam (Anantanyu, 2011) yang dapat dijadikan parameter sehingga bisa
menilai kapasitas suatu lembaga yaitu sebagai berikut :
1) Adanya kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang
yang secara aktif berkecimpung dalam prumusan doktrin dan
program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-
operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan
tersebut.
2) Adanya spesifikasi nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-
metode operasional yang mendasari tindakan sosial anggota.
3) Adanya program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu
yang berhubungan dengan pelaksanaan dan fungsi-fungsi dan
jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut.
4) Adanya sumber-sumber dana, yaitu masukan-masukan
keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari
lembaga tersebut.
19
19
5) Terbentuknya struktur dana, yaitu struktur dan proses-proses
dana yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan
pemeliharaannya.
Pengertian capacity building kelembagaan menurut Sedarmayanti
dalam (Sari et al., 2014) menyatakan bahwa capacity building
kelembagaan merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang memiliki
peranan yang sangat penting dan menentukan, sehingga benar-benar
mengarah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang memenuhi
kriteria good governance.
Di dalam capacity building kelembagaan menurut Chaskin dalam
(Prafitri & Damayanti, 2016) dari segi tingkat sistem terdiri dari
hubungan antar individu, kelompok informal serta organisasi formal yang
menghasilkan jaringan hubungan sosial yang biasa juga disebut sebagai
modal sosial.
Kesimpulan dari community capacity kelembagaan ini adalah
mengenai bagaimana upaya dalam meningkatkan suatu kemampuan di
dalam mengikuti perubahan dan juga memperhatikan faktor-faktor yang
ada dalam community capacity kelembagaan.
d. Faktor yang mempengaruhi Community Capacity Building
Upaya untuk meningkatkan capacity building perlu untuk
dilakukan dengan melalui program-program pelatihan dan juga
pemberdayaan masyarakat yang memfokuskan pada 3 (tiga) poin penting
20
20
yang ingin dicapai sesuai dengan konsep capacity building dari Merilee
S. Grindlee (Damayanti Erlin & Soeaidy Mochammad Saleh, 2014) yaitu
sebagai berikut :
1) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) masyarakat lokal.
2) Penguatan organisasi sistem manajemen aparatur pemerintah
desa.
3) Reformasi kelembagaan pada organisasi-organisasi lokal.
Penelitian dari Chaskin hampir sama dengan apa yang telah
Merilee S. Grindlee lakukan sebelumnya yang membahas tentang
capacity building. Penelitian yang dilakukan oleh Chaskin dalam
(Puspitasari et al., 2019) lebih berfokus pada komunitas dan organisasi
yang ada di masyarakat sehingga bisa digambarkan bagaimana
masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan serta menentukan hal yang
diprioritaskan dari kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
World bank dalam buku yang berjudul the capacity building for
local governemneet toward good governance dalam (Indrioko & Basar,
2017) di dalam buku tersebut menjelaskan bahwa world bank telah
menekankankan perhatian pada capacity building yaitu sebagai berikut :
1) Pengembangan sumberdaya manusia
2) Keorganisasian
3) Jaringan kerja (network)
4) Lingkungan organisasi
21
21
5) Lingkungan organisasi yang lebih luas
Sehingga dengan demikian bisa disampaikan bahwa upaya
capacity building ini juga bisa dilaksanakan di berbagai macam tingkatan
yang meliputi berbagai macam aspek, yang dimulai dari sumberdaya
manusianya dan sistem-sistem yang mengatur proses kerja di dalamnya.
Capacity building menurut Cernea dalam (Puspitasari et al., 2019)
yang menyatakan bahwa capacity building bisa dikatakan sebagai suatu
model yang bergantung pada suatu aspek kemampuan manusia dan
didukung oleh sumberdaya manusia (SDM). Hal ini berdasarkan pada
pemahaman bahwa posisi manusia pada capacity building merupakan
pusat dan sebagai sasaran akhir dari pembangunan sehingga tepat untuk
menempatkannya sebagai subjek pengelola utama.
Capacity building ini juga bisa ditinjau dari 2 (dua) aspek yaitu
dari segi kapasitas individu dan kapasitas kelembagaan. Dalam kapasitas
individu ini dipengaruhi oleh pengetahuan serta budaya sedangkan dalam
kapasitas kelembagaan dipengaruhi oleh kepemimpinan, program dan
informasi.
Pengembangan kapasitas ini lebih mengacu pada proses dimana
individu, organisasi, lembaga serta masyarakat bersama-sama
mengembangkan kemampuannya baik secara individual maupun kolektif
untuk melaksanakan fungsi mereka dalam menyelesaikan masalah
mereka dan mencapai tujuan-tujuannya secara mandiri.
22
22
Adapun faktor-faktor pendorong dan penghambat yang dapat
mempengaruhi capacity building di dalam meningkatkan kualitas
sumberdaya manusianya (Anisa Devin, Sri Devi Cahyanti, Awaliyah
Faridah Nur, 2019) diantaranya yaitu sebagai berikut :
1) Faktor pendorong yaitu : komitmen bersama, kepemimpinan
serta penyelenggaraan peraturan yang kondusif
2) Faktor penghambat yaitu : sumberdaya manusia dan
inkonsisten peraturan
Karakteristik dari capacity building menurut Milen dalam (Jenivia
Dwi Ratnasari & Mochamad Makmur, 2016) adalah suatu proses
peningkatan yang terjadi secara terus-menerus (berkelanjutan) baik dari
segi individu, organisasi maupun institusi yang tidak hanya terjadi selama
satu kali. Hal ini merupakan suatu proses integral yang hanya bisa
difungsikan dan dipercepat dengan adanya bantuan dari luar sebagai
contohnya adalah penyumbang (donatur).
Berbeda dengan Riyadi dalam (Jenivia Dwi Ratnasari &
Mochamad Makmur, 2016) dalam memandang faktor-faktor yang
mempengaruhi capacity building ,menurutnya faktor-faktor yang secara
signifikan mempengaruhi pembangunan kapasitas yang meliputi 5 (lima)
hal pokok yaitu sebagai berikut :
1) Komitmen bersama (collective commitmens)
2) Kepemimpinan yang kondusif (condusiv leadership)
3) Reformasi peraturan
23
23
4) Reformasi kelembagaan
5) Peningkatan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
2. Konsep Mitigasi Bencana
Konsep bencana menurut Fachruddin dalam (Nahar, 2016)
manajemen bencana dapat diartikan sebagai suatu proses yang merujuk
pada suatu peristiwa yang mempunyai potensi untuk mendatangkan
kerugian yang serius bagi masyarakat. Ungkapan ini lebih luas
cakupannya dibandingan dengan disaster mitigation yang hanya
melibatkan usaha mempertahankan dampak kejadian yang meliputi
keputusan yang bersifat administratif dan aktivitas operasional yang
menyertakan pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan dan
rehabilitasi pada semua tingkat.
Konsep yang dikemukakan diatas sama dengan konsep yang ada
pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa
penanggulangan bencana yaitu serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
Mitigasi bencana menurut Sibiyantoro dalam (Permana et al.,
2011) yang menyatakan bahwa suatu bencana yang sesungguhnya
berhubungan dengan siklus penanggulangan bencana yang berupaya untuk
penanganan yang dilakukan sebelum terjadinya suatu bencana. Pada
masyarakat tradisional (Lokal) manusia dan alam merupakan suatu
kesatuan karena keduanya merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. Alam
24
24
bisa menjadi ramah apabila manusia memperlakuaknnya dengan baik dan
sebaliknya juga bisa marah apabila manusia merusak alam.
Resiko bencana adalah merupakan suatu potensi kerugian yang
diakibatkan karena bencana pada suatu daerah dalam beberapa waktu
tertentu hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kerugian secara finansial
di masyarakat, tidak hanya itu saja terjadinya bencana pada suatu daerah
juga bisa mengakibatkan kematian, luka, sakit, hilangnya rasa aman serta
mengganggu kegiatan masyarakat (Budiyati & Priyono, 2019).
Penanggulangan bencana menurut Soetarso dalam (Biki, 2015)
merupakan suatu proses yang dinamis, tersusun, terarah dan berlanjut
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dari langkah-langkah yang
berkaitan dengan pengamatan dan analisis bahaya beserta pencegahan atau
mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melakukan mitigasi
bencana yang ada di Indonesia diantaranya yaitu merespon suatu
permasalahan dengan cara melalui model pengurangan resiko bencana
melalui kesiapsiagaan masyarakat. Dengan adanya model pengurangan
resiko bencana ini maka dapat mengurangi masyarakat dengan melihat
kerentanan serta kemampuan masyarakat melalui langkah-langkah
antisipasi dan peningkatan pengetahuan masyrakat untuk mengetahui
tentang perubahan situasi permasalahan.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang
memiliki keterkaitan dengan pengurangan resiko bencana yaitu dengan
25
25
cara melalui kesiapsiagaan yang meliputi kegiatan pembentukan kelompok
masyakatat peduli bencana, sosialisasi dan penyuluhan tentang berbagai
macam bencana yang ada di Indonesia, pemetaan tentang wilayah yang
sering terjadi longsor, serta bersama-sama melakukan penghijauan untuk
melestarikan alam.
Pada pelaksanaan model pengurangan resiko bencana melalui
kesiapsiagaan masyarakat tersebut menggunakan pendekatan community
organization/community development atau lebih dikenal sebagai
pengembangan masyarakat yang dilakukan dengan cara menerapkan
model pengembangan masyarakat lokal (locality development).
Bentuk sosialisasi yang digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang mitigasi atau kesiapsiagaan tentang bencana menurut
Rusman dalam (Wulandari Wiwik, Abdul Wakhid, 2019) adalah melalui
sosialiasi kesehatan yang dilakukan dengan cara pemutaran video. Media
audio visual adalah media yang merupakan perpaduaan antara audio dan
visual atau biasa disebut dengan audio pandang dengar. Contoh dari media
audio visual adalah media yang merupakan program video atau televisi
pendidikan, video/program televisi intruksional dan program slide suara
(media slide). Media video sebagai media elektronik yang memilikiunsur
audio visual (cerita, musik, dialog, sound effect, gambar atau foto, teks,
animasi dan grafik) bertujuan untuk mempengaruhi sikap dan pengetahuan
sasaran khususnya pada anak SMA (sekolah menegah atas).
3. Konsep Mitigasi Bencana Kekeringan di Kabupaten Jeneponto
26
26
Di beberapa wilayah di Indonesia ada beberapa daerah yang pada
saat musim hujan terancam bencana banjir, namun pada saat musim
kekeringan tiba bencana lain yang mengancam adalah kekeringan yang
sering kali menyebabkan terjadinya gagal panen (Nahar, 2016).
Seperti yang terjadi di Kabupaten Jeneponto kekeringan yang
paling parah dan setiap tahun terjadi ada di Kecamatan Kelara di Desa
Samataring dan Kalongko karena di Desa ini bisa dikatakan hampir
seluruh penduduknya membutuhkan air bersih dalam kehidupan sehari-
hari. Bahkan masyarakat yang biasanya mengandalkan air di sumur pun
sudah tidak ada karena terjadinya musim kekeringan yang berkepanjangan
bahkan sebagian warga juga terancam gagal panen. Sebagian warga ada
yang ke desa yang masih ada air di sumurnya dengan menempuh jarak
beberapa kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bahaya kekeringan
secara berurutan yaitu : curah hujan, jenis penggunaan lahan, jarak ke
sumber air, tekstu rtanah, dan suhu permukaan tanah. Hal inilah yang
mempengaruhi terjadinya musim kekeringan yang berkepanjangan di
suatu daerah/wilayah.
Untuk mengatasi bencana kekeringan di Desa yang mengalami
kekeringan Dinas BPBD menyalurkan air bersih ke setiap Desa yang
mengalami kekeringan utamanya di Kecamatan Kelara dimana ada dua
Desa yang setiap tahunnya mengalami kekeringan yang parah.
27
27
Kekeringan menjadi pusat perhatian besar yang harus segera
ditangani, tidak hanya terkendala di air bersih namun juga terkendala
dalam biaya operasional dalam hal komsumsi bahan bakar serta armada
tangki yang ada di Kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana
Daerah) Kabupaten Jeneponto hanya ada 1 (satu) unit saja sehingga dalam
hal menyalurkan bantuan air bersih ke daerah-daerah yang mengalami
kekeringan juga harus bergiliran.
C. Kerangka Pikir
Kekeringan pada dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi suatu
daerah dalam kondisi air tidak seimbang. Kekeringan bisa terjadi karena
akibat dari tidak meratanya distribusi curah hujan yang merupakan satu-
satunya pemasukan bagi daerah. Ketidakmerataan hujan ini akan memberikan
dampak di beberapa daerah yang curah hujannya sedikit sehingga
kemungkinan akan mengalami ketidakseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran air Shofiyanti dalam (Jamil et al., 2013).
Secara umum kekeringan dapat dilihat dari aspek
hidrometeorologi, kekeringan bisa terjadi karena disebabkan oleh
berkurangnya curah hujan selama periode tertentu. Jika dilihat dari aspek
pertanian kekeringan bisa dinyatakan jika lengas tanah berkurang sehingga
tanaman kekurangan air. Lengastanah (soil moisture) merupakan parameter
yang menentukan potensi produksi tanaman, ketersediaan lengas tanah juga
erat kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah.
28
28
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori oleh Esman dalam
(Anantanyu, 2011) mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam
kelembagaan yang dapat dijadikan parameter sehingga bisa menilai kapasitas
lembaga pemerintah Kabupaten Jeneponto dalam mengatasi resiko bencana
kekeringan. Olehnya itu, untuk memudahkan mengetahui alur pemikiran dari
penelitian ini, maka dibuat bagan kerangka pikir sebagai berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Pikir
Community Capacity Building Dalam
Mengatasi Resiko Bencana Kekeringan
Di Kecamatan Kelara Kabupaten
Jeneponto
Kelembagaan
Community Capacity
Building
1. Kepemimpinan
2. Spesifikasi nilai-
nilai
3. Program
4. Sumber dana
5. Terbentuknya
struktur dana
Individu
Community Capacity
Building
1. Development of the
human resourch
2. Strengthening
organization
3. Reformation of
instruction
Kelembagaan komunitas masyarakat dalam mengatasi resiko
bencana kekeringan di Kabupaten Jeneponto
29
29
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini berangkat dari latar belakang masalah kemudian
dirumuskan dalam rumusan masalah dan dikaji dalam berdasarkan teori dalam
tinjauan pustaka. Adapun fokus penelitian yang bersangkutan dari rumusan
masalah adalah Community Capacity Building Dalam Mengatasi Resiko
Bencana Kekeringan Di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto. Fokus
penelitian ini terdiri dari 2 (dua) hal pokok yang perlu diuraikan yaitu :
1) Community capacity kelembagaan
a. Kepemimpinan
b. Spesifikasi nilai-nilai
c. Program
d. Sumber dana
e. Terbentuknya struktur dana
2) Community capacity individu
a. Development of human resourch
b. Strengthening organization
c. Reformation of instruction
E. Deskriptif Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang akan digambarkan penulis maka
gambaran yang akan di teliti yaitu sebagai berikut :
30
30
1. Community capacity kelembagaan merupakan sesuatu yang
baru yang bernilai baik sehingga adanya peningkatan
kemampuan suatu lembaga untuk mencapai misi.
a. Kepemimpinan merupakan suatu proses yang kompleks
dimana seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tugas, misi maupun sasaran dan mampu
mengarahkan suatu organisasi yang membuatnya lebih
kohesif dan lebih masuk akal.
b. Spesifikasi nilai-nilai, spesifikasi dapat diartikan sebagai
perincian dan pembandingan suatu hal yang memiliki
keterkaitan dengan kemampuan khusus. Sedangkan nilai
adalah alat yang biasa digunakan untuk menunjukkan
alasan dasar cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu
lebih disukai secara sosial dibandingkan dengan cara
pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan.
c. Program merupakan kebijakan atau yang dalam hal ini
adalah kebijakan publik adalah suatu prinsip yang
diartikan sebagai “ whatever government choose to do not
to do “
d. Sumber dana, dana merupakan himpunan dari uang yang
ada dalam jumlah tertentu dalam bentuk tunai maupun
non tunai.
31
31
e. Terbentuknya struktur dana merupakan suatu masalah
yang penting bagi instansi karena baik buruknya struktur
dana akan memberikan dampak secara langsung bagi
instansi.
2. Community capacity building merupakan suatu proses dalam
meningkatkan kemampuan seseorang, organisasi ataupun
sistem untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan dari
awal.
a. Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam
setiap kegiatan organisasi. Walaupun didukung dengan
sarana dan prasarana serta sumber daya kegiatan organisasi
tidak akan diselesaikan dengan baik.
b. organisasi adalah suatu bentuk terbuka dari suatu aktivitas
yang dikoordinasi dari dua orang atau lebih untuk tujuan
bersama
c. Reformasi adalah membentuk atau menata kembali. Yakni
mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang
didalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti,
mengurangi dan memperbarui Sedangkan instruksi adalah
arahan, perintah atau petunjuk dalam melaksanakan suatu
pekerjaan atau tugas.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan. Penelitian ini akan
dilakukan di Kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah)
Kabupaten Jeneponto.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Berkaitan dengan tujuan peenelitian adalah untuk mengetahui
bagaimana community capacity building dalam mengatasi resiko bencana
kekeringan di Kabupaten Jeneponto maka jenis penelitian ini adalah studi
kasus, yaitu sudah penelitian kualitatif yang berusaha untuk menemukan
makna, menyelidiki proses, individu maupun kelompok, situasi dan mencari
tau dinas apa saja yang turut berpartisipasi dalam mendistribusikan air bersih
ke desa yang mengalami kekeringan
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif (menggambarkan)
dengan melakukan pendekatan kualitatif yaitu tipe penelitian yang melakukan
penggambaran tentang situasi atau kejadian, hal ini didasarkan karena
penelitian ini menghasilkan data-data berupa informasi dari informan apa
adanya dan sesuai dengan penelitian.
33
33
C. Sumber Data
Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi
pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data ada dua sumber
data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1) Data Primer
Data primer yaitu data empiris yang didapatkan peneliti dari informan
berdasarkan hasil wawancara.Jenis data yang ingin diperoleh adalah
bagaimana Dinas BPBD mengatasi bencana kekeringan di Kabupaten
Jeneponto serta data-data lain yang dibutuhkan untuk melengapi skripsi.
2) Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku,
dokumen/catatan, tulisan-tulisan karya ilmiah dari berbagai media, arsip-
arsip resmi yang dapat mendukung kelengkapan data primer.
D. Informan Penelitian
Adapun informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian
Informan Jumlah
Kantor BPBD Kabupaten Jeneponto 6
Pemerintah Desa 2
Masyarakat 2
Total informan 10
34
34
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan dan pengolahan data dalam penelitian ini dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk yaitu melalui :observasi/pengamatan, dan
wawancara. Dalam penelitian ini pihak yang dijadikan informan adalah yang
dianggap mempunyai informasi (key informan) yang dibutuhkan di wilayah
penelitian. Sedangkan teknik analisis data yaitu data yang telah terkumpul dari
hasil wawancara dan studi kepustakaan atau dokumentasiakan dianalisis dan
ditafsirkan untuk mengetahui maksud serta maknanya kemudian dihubungkan
dengan masalah penelitian, data yang terkumpul disajikan dalam bentuk narasi
dan kutipan langsung hasil wawancara.
F. Teknik Analisis Data
Menurut (Sugiyono, 2013) analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara otomatis data yang telah diperoleh dari hasil wawancara
terhadap informan dan juga adanya dokumentasi dilapangan tempat
penelitian. Deskripsi data yang digunakan yaitu menyusun dan
mengelompokkan data menjadi 2 (dua) sehingga bisa memberikan gambaran
daya nyata.Analisis yang dilakukan atas dasar data yang sebelumnya telah
ditemukan karena mengingat bahwa penelitian kualitatif itu menolak pra
konsep sebelum terjun ke lapangan tempat penelitian. Adapun analisis data
yang digunakan melalui 3 (tiga) tahap yaitu :
35
35
1) Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pengumpulan data penelitian,
penelitidapat menemukan kapan saja waktu untuk mendapatkan
banyak data di lapangan, peneliti juga bisa menerapkan metode
wawancara, observasi atau berbagai dokumen yang berkaitan dengan
community capacity building dalam mengatasi resiko bencana
kekeringan di Kabupaten Jeneponto.
2) Penyajian Data
Data yang telah direduksi sebelumnya, kemudian bisa disajikan dalam
bentuk deskripsi berdasarkan aspek-aspek yang ada dalam penelitian.
Biasanya di dalam penelitian ada banyak data yang didapatkan peneliti
tetapi tidak semua data yang didapatkan dipaparkan Karena akan
memakan banyak waktu maka dari itu dapat dilakukan simpulan
sehingga data yang diperoleh bisa dijelaskan secara singkat dan jelas
3) Verifikasi Data dan Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam penelitian kualitatif adalah yaitu penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang telah disimpulkan
sebelumnya masih berubah kapan saja karena masih bersifat sementara
akan tetapi jika sudah ada bukti yang mendukung dan benar-benar
valid dan konsisten maka kesimpulan yang sebelumnya bisa di
percaya.
36
36
Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian mungkin bisa menjawab
rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal, tetapi bisa jadi juga tidak
karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah dan rumusan masalah bisa
berubah dalam penelitian kualitatif ini masih bersifat sementara dan bisa
berkembang setelah penelitian sudah berada di lapangan.
G. Keabsahan Data
Salah satu cara yang paling penting dan mudah untuk menguji
keabsahan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan triangulasi.
Menurut (Sugiyono, 2013) triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara dan waktu. Terdapat 3 (tiga) triangulasi menurut
Sugiyono yaitu sebagai berikut :
1) Triangulasi Sumber Data
Triangulasi sumber data yaitu untuk menguji kredibilitas terhadap data
yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui
beberapa sumber yang berbeda. Misalnya, membandingkan hasil
pengamatan dengan wawancara, membandingkan antara apa yang
dikatakan umum dan yang dikatakan secara pribadi dan membandingkan
hasil wawancara dengan dokumen yang ada.
2) Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas terhadap data yang
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan
waktu yang berbeda. Misalnya, data yang diperoleh dengan wawancara,
37
37
lalu dicek dengan observasi, dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan
teknik pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang
berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada
sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data
mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya benar karena sudut
pandangnya berbeda-beda.
3) Traingulasi Waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data, untuk itu dalam rangka
pengujian kredibilitas data maka dapat dilakukan dengan cara melakukan
wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang
berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda maka dilakukan
secara berulang-ulang sehingga ditemukan kepastian datanya.
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian yang
dilakukan di BPBD Kabupaten Jeneponto terkait dengan community capacity
building dalam mengatasi resiko bencana kekeringan di Kecamatan Kelara
Kabupaten Jeneponto. Hasil penelitian menggambarkan mulai dari sejarah
singkat Kabupaten Jeneponto, Kantor BPBD dan profil Desa Samataring.
Pada bab IV ini juga akan menyajikan mengenai visi dan misi BPBD,
Serta bagaimana peran BPBD dalam menangani bencana kekeringan yang
setiap tahunnya melanda Kabupaten Jeneponto utamanya di Desa Samataring
yang berada di Kecamatan Kelara.
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Profil Kabupaten Jeneponto
Jeneponto merupakan Kabupaten yang berada di Provinsi
Sulawesi Selatan, terletak 90 Km disebelah Selatan Kota Makassar
dengan luas wilayah 749,79 Km dengan letak posisi koordinat 5.16
13”-5.39‟35” LS dan 12.40‟19-12.7‟51” BT, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
39
39
Gambar 4.1
Peta Wilayah Kabupaten Jeneponto
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Takalar
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores
Kabupaten Jeneponto dengan luas 749,79 Km dengan jumlah
penduduk sebesar 330.735 jiwa tersebar dari 11 Kecamatan, 113 Desa
Kelurahan. Kabupaten Jeneponto dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah
potensi sumber daya alam yang sangat strategis yaitu wilayah pesisir
pantai, wilayah dataran rendah dan wilayah dataran tinggi yang
memilki karakteristik wilayah yang berbeda di dalam pengelolaan
masing-masing potensi lokal diantaranya 2 (dua) Kecamatan berada di
posisi dataran tinggi, 3 Kecamatan berada di posisi dataran rendah dan
6 (enam) Kecamatan yang memikili wilayah dataran rendah dan pesisir
pantai yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang sangat
prospektif.
40
40
Penetapan hari jadi Kabupaten Jeneponto sebagai salah satu
Kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan waktu
yang cukup panjang dan melibatkan banyak toko di daerah ini. Kajian
dan berbagai peristiwa yang penting melahirkan beberapa versi
mengenai waktu yang paling tepat untuk dijadikan sebagai hari jadi
Jeneponto
Kelahiran adalah suatu proses yang panjang yang merupakan
momentum yang awal dan tercatatnya sebuah sejarah Bangsa, Negara
dan Daerah. Oleh karena itu, kelahiran tersebut memiliki makna yang
sangat dalam bagi peradaban manusia.
Jeneponto merupakan salah satu Kabupaten yang berada di
Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian selatan, tumbuh
dengan budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan peradaban dan
perkembangan zaman. Menyadari perlunya kepastian akan hari jadi
Jeneponto, maka dilakukan beberapa upaya dengan melibatkan
berbagai elemen di daerah ini melalui seminar-seminar yang
dilaksanakan secara terpadu.
Dari pemikiran yang berkembang dalam pelaksanaan seminar
tersebut, diharapkan bahwa kriteria yang paling untuk menetapkan hari
jadi Jeneponto adalah berdasarkan pertimbangan historia, sosio-
kultural dan struktur pemerintahan, baik pada masa pra dan paska
kemerdekaan Republik Indonesia, maupun perkembangan eksistensi
dan norma-norma serta simbol-simbol adat istiadat yang dipegang
41
41
teguh, dan dilestarikan oleh masyarakat dalam meneruskan
pembangunan.
Selanjutnya, penelusuran tersebut menggunakan dua pendekatan
yaitu tanggal, bulan dan tahun menurut teks dan tanggal kejadiannya,
serta pendekatan dengan mengambil tanggal-tanggal, bulan-bulan
maupun tahun-tahun yang mempunyai makna-makna yang penting
yang bertalian dengan lahirnya suatu daerah yang dianggap merupakan
puncak kulminasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Adapun
alternatif yang digunakan terhadap kedua pendekatan tersebut diatas
yaitu :
Pertama :
1) November 1863, adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan
Binamu dengan Laikang. Ini membuktikan jiwa patriotisme
Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda.
2) Tanggal 29 Mei 1929, adalah pengangkatan Raja Binamu.
Tahun ini mulai diangakat “Todo” sebagai lembaga adat yang
representif mewakili masyarakat.
3) Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang-Undang No.
29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tingkat II di
Sulawesi Selatan dan terpisahnya Takalar dan Jeneponto.
42
42
Kedua :
1) Tanggal 1 Mei 1 1863, adalah bulan dimana Jeneponto
menjalani masa-masa yang sangat penting yaitu dilantiknya
Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh
“Toddo Appaka” sebagai lembaga representif masyarakat
Turatea.
2) Mundurnya Karaeg Binamu dari tahta sebagai wujud
perlawanan terhadap Pemerintah kolonial Belanda.
3) Lahirnya Undang-Undang No. 29 Tahun 1959
4) Diangkatnya kembali Raja Binamu setelah berhasil mejajah
wilayah Belanda. Kemudia Tahun 1863, adalah tahun yang
bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea
setelah diturunkan oleh Pemerintah Belanda dan keluarnya
Laikang sebagai konfederasi Binamu.
5) Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu
(Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai
Raja yang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah kolonial
Belanda. Dengan demikian penetapan hari jadi Jeneponto yang
disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan
toko masyarakat Jeneponto, dari seminar hari jadi Jeneponto
yang berlangsung pada hari Rabu, Tanggal 21 Agustus 2002 di
gedung Sipitanggarri, dianggap sangat tepat dan merupakan
keputusan yang apat dipertanggungjawabkan.
43
43
Berdasarkan berbagai kesimpulan diatas maka hari jadi Jeneponto
ditetapkan pada tanggal 1 Mei 1863, dan dikukuhkan dalam peraturan
Daerah Kabupaten Jeneponto No. 1 Tahun 2003 Tanggal 25 April
2003.
Dari 200.000 jiwa penduduknya rata-rata 60 sampai 70 persen
mengalami kekurangan bahan makanan, begitu bunyi penggalan isi
surat bernomor Sek 6/1/3/72. Surat tahun 1972 itu dibuat oleh Mora
Daeng Billu, Bupati Jeneponto ditujukan kepada Gubernur Sulawesi
Selatan waktu itu Achmad Lamo. Melalui surat itu Bupati
mengharapkan agar Gubernur segera turun tangan mengatasi bencana
kelaparan yang menimpa rakyat Jeneponto.
Kabupaten Jeneponto yang terletak diujung bagian barat dari
wilayah Sulawesi Selatan memang pernah tertimpa bencana. Sebelum
memperoleh bantuan makanan dari tetangganya yang lebih subur,
Kabupaten Wajo penduduk terpaksa makan batang pisang, biji manga
dan rumput laut untuk mengganjal perut.
Kejadian hamper 30 tahun lampau itu memang tidak lagi terulang,
meskipun sampai saat ini kondisi alam Kabupaten Jeneponto masih
sama. Secara umum Kabupaten seluas 749,79 kilometer persegi ini
memang kurang subur bahkan cenderung kering. Dari sembilan
kecamatan terdapat dua kecamatan antara 700 meter s/d 1.500 meter.
44
44
Kecamatan Kelara dan Kecamatan Rumbia berada pada ketinggian
700 meter diatas permukaan laut.
Kecamatan lainnya selain berada pada ketinggian 0-500 meter dari
permukaan laut juga hanya memiliki satu bulan basah dalam satu
tahun selebihnya bulan kering.
Bahwa dengan adanya proyek irigasi kelara serta irigasi-irigasi kecil
speerti irigasi sungai belong, sungai poko bulo maka kehidupan
masyarakat kabupaten jeneponto perlahan semakin baik untuk
kedepannya.
Irigasi kelara yang berhulu di Kecamatan Kelara dapat mengairi
beberapa wilayah Kecamatan, antara lain : Kecamatan Binamu,
Kecamatan Batang dan Kecamatan Arungkeke. Walaupun
kemampuan debet air masih terbatas, namun sebagian wilayah
Kecamatan Batang warganya sudah bisa panen 2 (dua) kali dalam
setahun, sedangkan persawahan pada wilayah Kecamatan Arungkeke
sudah mencukupi untuk panen 1 (satu) kali dalam setahun.
Dari keberadaan proyek irigasi sungai kelara dari tahun 1965 maka
dapat mengangkat derajat masyarakat Jeneponto pada umumnya dan
lebih khusus 3 (tiga) wilayah Kecamatan yakni Kecamatan Binamu,
Kecamatan Batang, Kecamatan Arungkeke serta sebagian kecil
wilayah Kecamatan Tarowang.
45
45
Selain daripada proyek irigasi kelara, telah dibangun pula irigasi-
irigas kecil seperti irigasi sungai belong pada wilayah Kecamatan
Rumbia (irigasi desa) yang mampu mengairi persawahan dalam
wilayah Desa Rumbia dengan masa panen 2 (dua) kali setahun serta
irigasi kecil (irigasi desa) sungai pokobulo yang mampu mengairi
seluruh Desa Bangkala Loe dan panen 1 (satu) kali dalam setahun.
2. Profil Kantor BPBD Kabupaten Jeneponto
Kantor BPBD Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu SKPD
(Satuan Perangkat Kerja Daerah) yang ada dalam lingkup Pemerintah
Daerah Kabupaten Jeneponto yang melaksanakan tugas dan fungsinya
sesuai dengan peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto No.
02 Tahun 2013 Tentang pembentukan struktur penanggulangan dan
pencegahan bencana di Kabupaten Jeneponto. Berikut ini akan
dijelaskan mengenai fungsi dan tugas BPBD yaitu sebagai berikut :
1) Tugas BPBD
a) Menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil
dan setara;
b) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
46
46
c) Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan
bencana;
d) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana;
e) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Bupati setiap bulan dala sekali kondisi normal dan setiap saat
dalam kondisi darurat bencana;
f) Mengkoordinasikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
g) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang berasal
dari APBN, APBD daan sumber lain yang sah;
h) Melaksanakan tugas yang diperintahkan Bupati sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Fungsi BPBD
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana BPBD
menyelenggarakan fungsi yaitu sebagai berikut :
a) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi yang bertindak cepat, tepat, efektif
dan efisien; dan
b) Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terkoordinir dan terpadu.
Salah satu perangkat Kabupaten dan Kota adalah BPBD Kabupaten
Jeneponto yang memiliki kedudukan strategis dalam upaya pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya, saat ini BPBD
47
47
Kabupaten Jeneponto dibentuk atas dasar kebutuhan daerah Kabupaten
dan Kota.
BPBD Kabupaten Jeneponto saat ini dikelompokkan sebagai unsur
kewilayahan yang artinya bersifat operasional memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam penanggulangan dan pencegahan bencana,
kewenangan ini akan lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat
sehingga menempatkan BPBD Kabupaten Jeneponto sebagai pusat
pelayanan.
Secara inplisit, dengan perubahan paradigma tersebut ada tuntutan
dan keharusan bagi aparat untuk menekankan kepada baiknya
pelayanan yang harus dilakukan dan upaya agar senantiasa
mendahulukan kepentingan masyarakat.
Di dalam aspek perencanaan pembangunan, proses penyusunan
perencanaan pembangunan saat ini tidak dapat lagi dilakukan dengan
menggunakan top down seperti di masa lalu, melainkan dengan
menggunakna pendekatan botton up. Aspirasi masyarakat harus
disikapi secara professional karena merupakan wujud dari partisipasi
masyarakat sebagai obyek dan pelaku pembangunan itu sendiri.
Sistem akuntabilitas kinerja pemerintah adalah merupakan
instrument pertanggungjawaban pemerintah yang bermanfaat antara
lain untuk mendorong istansi pemerintah dalam menyelenggarakan
tugas umum, pemerintah dan pembangunan secara baik dan benar yang
didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku,
48
48
kebijakan dan transparansi dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat. Menjadi instansi pemerintah yang akuntabel sehingga
dapat beroperasi secara efisien dan respontif terhadap aspirasi
masyarakat dan tanggap akan lingkungan. Isu strategi BPBD dalam
proses pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD BPBD khususnya pada
tahun 2014, isu strategis terfokus pada pencegahan dan responsif
terhadap tanda-tanda alam.
Selain itu strategi diatas juga sangat menjadi perhatian BPBD
Kabupaten Jeneponto yakni pemetaan daerah rawan bencana di
Kabupaten Jeneponto yang telah dilaksanakan oleh bidang satu, bidang
pencegahan dan kesiapsiagaan. Berikut ini mengenai visi dan misi
BPBD yaitu sebagai berikut :
VISI
Mewujudkan Jeneponto yang tangguh cepat, tepat dalam
penanggulangan bencana menuju masyarakat sejahtera.
MISI
1. Memperkuat sistem penanggulangan bencana daerah
Kabupaten Jeneponto dengan dukungan personil yang
siap dan tangguh
2. Memperkuat kelembagaan badan penanggulangan
bencana daerah Kabupaten Jeneponto
49
49
Community capacity building lebih fokus kepada peningkatan atau
merubah perilaku individu, kelompok maupun sistem masyarakat
sedangkan community capacity kelembagaan merupakan suatu prsoses
perubahan bencana sosial yang dimaksudkan sebagai sarana yang
digunakan sebagai proses pendorong perubahan dan inovasi. Teori dari
community capacity kelembagaan ini memiliki kaitan yang lebih di lokasi
penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berada di Kantor BPBD
Kabupaten Jeneponto, hal ini dikarenakan BPBD merupakan salah satu
instansi yang bertugas untuk menangani masalah bencana alam di
Kabupaten Jeneponto,
Community capacity building individu dan community capacity
kelembagaan sama-sama membahas mengenai kepemimpinan, spesifikasi
nilai dan struktur dana namun pembedanya community capacity
kelembagaan membahas lebih daripada community capacity building
individu yang dimana community capacity kelembagaan membahas
mengenai kepemimpinan, spesifikasi nilai, program, sumber dana struktur
dana.
Selain itu data yang dibutuhkan oleh peneliti lebih banyak di
BPBD baik dalam bentuk dokumen maupun wawancara bersama dengan
key informan di kantor BPBD Kabupaten Jeneponto. Namun peneliti juga
membutuhkan informasi dari masyarakat untuk mencocokkan data di
kantor BPBD.
50
50
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Community capacity building dalam mengatasi resiko bencana
kekeringan
a. Kepemimpinan
Secara umum kata kepemimpinan berasal dari kata pimpin
yang dapat diartikan sebagai suatu tuntutan atau bisa juga
dikatakan sebagai bimbing. Kata pimpin ini kemudian melahirkan
kata yang baru lagi pimpinan, kepemimpinan, pemimping dan
memimpin.
Kepemimpinan merupakan suatu proses yang kompleks
dimana seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai
tugas, misi maupun sasaran dan mampu mengarahkan suatu
organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan lebih masuk akal.
Jadi dengan kata lain kepemimpinan artinya bisa membuat orang-
orang memilki kemauan dalam mencapai suatu tujuan, tugas
maupun sasaran.
Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa seorang
pemimpin dengan pemimpin lainnya memiliki sifat yang tentu
berbeda baik dalam hal watak, sifat, kebiasaan, maupun tingkah
laku sehingga gaya dalam kepemimpinan juga berbeda. Berikut ini
peneliti akan mengambil gaya kepemimpinan dari Hasbuan
(Yuliawan, 2011) yaitu sebagai berikut :
51
51
1) Kepemimpinan otoriter
2) Kepemimpinan partisipatif
3) Kepemimpinan delegatif
Berbicara mengenai Kepemimpinan Kepala Pelaksana
salah satu informan dari BPBD berinisisal AN Kepala Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD yang menyatakan bahwa :
“Mengenai kepemimpinan Kepala Pelaksana dalam hal
memberikan bantuan ke setiap masyarakat yang
membutuhkan air bersih atau masyarakat yang mengalami
bencana alam seperti banjir Kepala Pelaksana beserta tim
selalu memberikan bantuan baik itu berupa tenda maupun
makanan kepada masyarakat dan BPBD tidak melakukan
kerjasama dengan dinas sosial“. (Hasil wawancara pada
tanggal 27 Juli 2020).
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
kepemimpinan kepala Pelaksana beserta tim yang berada di BPBD
selalu bergerak cepat dalam memberikan bantuan ke masyarakat
yang mengalami bencana alam, dan BPBD tidak menjalin
kerjasama dengan dinas sosial karena dinas sosial dan BPBD
mempunyai tupoksinya masing-masing. Namun terkadang BPBD
juga turun tangan membantu masyarakat yang mengalami
peristiwa kebakaran dengan menyumbangkan sebagian makanan,
ini bukan tugas dari BPBD namun karena rasa kemanusiaan
sehingga BPBD juga turut membantu.
Kualitas pemimpin sebagai pengelola dan pelaksana dalam
utama dalam proses penanganan bencana sebenarnya juga sangat
52
52
mempengaruhi pengembangan kapasitas BPBD yang seharusnya
memberikan kemudahan di dalam melaksanakan tugas yang
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan.
Berbicara mengenai sikap Kepala Pelaksana salah satu
informan berinisial IY yang merupakan Kasi Pencegahan BPBD
yang mengutarakan mengenai sikap Kepala Pelaksana dalam
mengatasi keluhan masyarakat mengenai air bersih yaitu sebagai
berikut :
“Kepala pelaksana BPBD yang tahun 2019 lalu biasanya
tidak secara langsung memberikan air ke semua desa yang
mengalami kekeringan dikarenakan adanya sistem rolling
dalam pemberian air bersih karena dalam sehari mobil
tangki air yang digunakan oleh BPBD itu Cuma 1 jadi
hanya bisa memberikan 3X pemberian air bersih hanya 1
desa dalam perhari, tapi Kepala Pelaksana kemudian
mengontrak mobil tangki air dari PUPR Kota Makassar
agar pemberian air bersih ke masyarakat lebih maksimal
lagi”. (Hasil wawancara pada tanggal 27 Juli 2020)
Menganalisis hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
sikap Kepala Pelaksana dalam menangani keluhan masyarakat
mengenai air bersih sudah cukup bagus karena Kepala Pelaksana
mengusahakan agar pelayanan BPBD selalu maksimal dengan cara
mengontrak mobil tangki air ke PUPR Kota Makassar. Hal lain
yang menjadi kendala BPBD dalam menyalurkann air bersih
ataupun membantu masyarakat yang mengalami bencana alam
lainnya misalnya banjir adalah kurangnya biaya operasional
sehingga BPBD membutuhkan dana tambahan.
53
53
Berikut ini adalah hasil wawancara bersama informan HN
Kaur Keuangan Desa Samataring mengenai BPBD dalam
menyalurkan bantuan air bersih ke masyarakat :
“Pemberian air bersih yang diberikan oleh BPBD belum
merata ke masyarakat, desa samataring terdiri dari 5 dusun
akan tetapi yang mendapat bantuan hanya 1 dusun saja yang
lainnya tidak dapat, jadi masyarakat yang tidak dapat air
biasanya ke desa tetangga di Desa Tombolo”. (Hasil
wawancara pada tanggal 02 Agustus 2020)
Sebagaimana dari hasil wawancara diatas dapat diketahui
bahwa BPBD belum menyalurkan bantuan air bersih secara merata
ke masyarakat terbukti dengan adanya salah satu pengakuan dari
masyarakat Desa Samataring mengenai BPBD yang tidak
memberikan bantuan secara merata. Bantuan yang tidak merata ini
sebenarnya juga bukan dari BPBD saja namun dari Pemerintah
Desa yang tidak meninjau secara langsung masyarakatnya
sehingga pembagian bantuan air bersih tidak merata.
Pada prinsipnya, kinerja BPBD Kabupaten Jeneponto
haruslah senantiasa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
melalui pengembangan kapasitas kelembagaan dengan tujuan
memperbaiki suatu permasalahan yang ada agar kinerjanya lebih
maksimal lagi.
Dari kepemimpinan yang dibahas diatas peneliti melihat
bahwa gaya kepemimpinan Kepala Pelaksana lebih bersifat ke
54
54
delegatif hal ini dapat dilihat dari beberapa karakteristik yang
dilakukan oleh Kepala Pelaksana.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa pada saat melakukan penelitian Di Desa
Samataring belum ada pembagian air bersih dari kantor BPBD
dikarenakan belum ada keluhan dari masyarakat, selain itu
Pemerintah Desa Samataring juga sudah menyiapkan sumur bor
kepada masyarakatnya apabila masyarakatnya membutuhkan air
bersih.
b. Spesifikasi nilai-nilai
Kata spesifikasi secara umum dapat diartikan sebagai
perincian dan pembandingan suatu hal yang memiliki keterkaitan
dengan kemampuan khusus. Sedangkan menurut LKPP (lembaga
kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah) yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan spesifikasi yaitu karakteristik total
dari suatu barang/jasa yang bisa memenuhi kebutuhan pemakai
barang/jasa dan dinyatakan secara tertulis.
Sedangkan nilai adalah alat yang biasa digunakan untuk
menunjukkan alasan dasar cara pelaksanaan atau keadaan akhir
tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan dengan cara
pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai yang
memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang
individu tentang hal-hal yang benar, baik atau hal yang diinginkan.
55
55
Nilai menurut Milto Rokeach dan James Bank dalam
(Ansori, 2016) yang menyatakan bahwa nilai merupakan suatu tipe
kepercayaan yang terletak dalam ruang lingkup sistem kepercayaan
yang dimana seseorang bisa bertindak atau bisa menghindari suatu
tindakan tentang hal yang pantas dan tidak pantas. Berikut ini akan
dikemukakan tentang macam-macam nilai menurut M Chabib
Thoha dalam (Ansori, 2016) yaitu :
1) Dilihat dari pembagian nilai
2) Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia
3) Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya
4) Dilihat dari proses budaya
5) Nilai berdasar dari sumbernya
6) Dilihat dari kemampuan jiwa manusia untuk
menangkap dan mengembangkannya
Spesifikasi nilai-nilai dalam community capacity building
merupakan sistem penilaian yang digunakan sesuai dengan sistem
penilaian relatif.
Seiring dengan majunya perkembangan teknologi di
Indonesia maka tuntutan masyarakat dalam hal pelayanan harus
diberikan lebih baik lagi. Maka dari itu unit penyelenggara
pelayanan publik dituntut untuk bisa memenuhi harapan
masyarakat dalam hal melakukan pelayanan. Hal ini perlu
dilakukan untuk menjamin kepuasan masyarakat terhadap kinerja
56
56
pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
Salah satu informan dari Desa Samataring berinisial AR
yang menyatakan tentang pelayanan pemberian air bersih yang
diberikan oleh BPBD adalah sebagai berikut :
“Kalau mobil tangki BPBD sudah ada itu biasanya yang
dapat juga air hanya orang yang dekat sama bapak kepala
desa yang lainnya juga biasanya tidak dapat air karena
bantuan air dari BPBD biasanya datang cuman tiga kali
dalam sebulan” (Hasil wawancara pada tanggal 03 Agustus
2020)
Pernyataan hasil wawancara diatas mengungkap fakta
bahwa masih adanya ketidakmerataan dalam penyaluran air bersih
atau dengan kata lain bisa dikatakan pilih kasih terhadap
masyarakat yang berada di Desa Samataring.
Pelayanan publik secara umum bisa diartikan sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan masyarakat yang
mempunyai suatu kepentingan pada suatu instansi atau organisasi
yang telah disesuaikan sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan (Kurniawan, 2017).
Masyarakat setiap waktu menuntut pelayanan yang bagus
dan berkualitas dari pemerintah, meskipun teerkadang tidak sesuai
dengan ekspektasi dan harapan masyarakat mengenai pelayanan
yang berkualiatas.
57
57
Informan dari BPBD yang berinisial AB salah satu staf
yang yang memberikan informasi mengenai pemberian pelayanan
ke masyarakat paska banjir :
“Di BPBD ada yang namanya TRC yang tugasnya bergerak
lebih cepat dalam membantu masyarakat apabila terjadi
bencana alam seperti banjir, jadi TRC dengan cepat
mengevakuasi masyarakat agar bisa ke tempat yang lebih
aman”. (Hasil wawancara pada tanggal 28 Juli 2020)
Pernyataan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa di
BPBD terdapat TRC yang tugasnya lebih cepat untuk membantu
masyarakat, dan selain mengevakuasi masyarakat ke tempat yang
lebih aman TRC dari BPBD biasanya juga mendirikan tenda untuk
tempat berlindung masyarakat.
Berbicara mengenai pelayanan yang diberikan oleh BPBD
ke masyarakat salah satu informan RN yang mengeluhkan tentang
pelayanan BPBD berikut hasil wawancaranya :
“Kinerja BPBD pada tahun ini benar-benar lambat dalam
menangani masalah banjir”. (Hasil wawancara pada tanggal
03 Agustus 2020)
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
kinerja BPBD perlu dievaluasi lagi untuk memenuhi standar
kebutuhan pelayanan terhadap masyarakat yang mengalami
bencana alam. Karena menurut pernyataan dari masyarakat kinerja
BPBD menjadi lambat padahal masyarakat membutuhkan
pelayanan yang maksimal.
Tugas dari TRC BPBD yaitu melakukan pengkajian lebih
awal cepat dan tepat berada di lokasi bencana dalam waktu
58
58
tertentu, dalam rangka mengidentifikasi cakupan lokasi bencana,
kerusakan sarana dan prasarana, jumlah korban jiwa, gangguan
terhadap fungsi pelayanan umum dan pemerintahan serta
kemampuan sumber daya alam. TRC juga mempunyai tugas
tambahan untuk membantu mengkoordinasikan sektor yang terkait
dengan penanganan darurat bencana.
Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan
bahwa pembagian air bersih yang disalurkan oleh BPBD masih
belum merata karena banyaknya keluhan dari masyarakat di Desa
Samataring yang terdiri dari 5 Dusun dan yang biasanya hanya
Dusun Samataring yang mendapat bantuan karena Pemerintah
Desa Samataring juga tidak meninjau secara langsung pembagian
air tersebut berdasarkan kebutuhan masyakat sehingga sebagaian
masyarakat lebih memilih untuk mengambil air bersih dari Desa
Tombolo.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa keluhan dari masyarakat ke kantor BPBD
tidak langsung dihiraukan, sehingga BPBD perlu untuk
meningkatkan pelayanannya agar lebih maksimal lagi dalam
memberikan pelayanan ke masyarakat,
c. Program
Pembahasan mengenai hal yang berkaitan dengan program
tidak bisa dilepaskan dari aspek kebijakan. dalam hal ini program
59
59
dengan mengutip pendapat dari Dye dalam (Cakrawijaya et al.,
2014) kebijakan atau yang dalam hal ini adalah kebijakan publik
adalah suatu prinsip yang diartikan sebagai “ whatever government
choose to do not to do “.
Dalam hal menangani bencana alam yang terjadi di
Kabupaten Jeneponto Kepala Pelaksana membuat program di
bagian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan yaitu sebagai
berikut :
a) Pengurangan resiko dan pencegahan bencana
b) Peningkatan kesiapsiagaan dan peringatan dini bencana
Dengan adanya program tersebut diharapkan bisa
membantu Kepala Pelaksana dalam hal mengatasi bencana alam
yang tejadi di Kabupaten Jeneponto. Program yang disusun oleh
BPBD pada poin kedua ini sudah berjalan dengan baik karena pada
tahun 2020 ada peristiwa bencana alam yang terjadi di Kecamatan
Rumbia dan BPBD mulai meningkatkan kesiapsiagaan dengan
memantau seberapa besar dampak banjir yang akan terjadi di
Kecamatan Rumbia.
Seperti yang diutarakan oleh salah satu informan dari
BPBD berinisial MM Kasi Kedaruratan mengenai masalah
penyaluran bantuan ke masyarakat berikut adalah hasil
wawancaranya :
60
60
“Distribusi air bersih untuk masyarakat guna untuk
menanggulangi bencana kekeringan yang berdampak
dengan terjadinya krisis air beersih yang terjadi di beberapa
wilayah di Kabupaten Jeneponto” (Hasil wawancara pada
tanggal 30 Juli 2020)
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa BPBD
menyalurkan air bersih sesuai dengan petunjuk BPBD ke
masyarakat agar kebutuhan masyarakat mengenai air bersih bisa
tercukupi dengan baik.
BPBD juga mempunyai program mensosialisasikan
mengenai pencanagan kesiapsiagaan bencana kegiatan ini
dilakukan untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat
membiasakan diri dan menjadikan masyarakat agar lebih siap siaga
apabila terjadi bencana yang sama sekali tidak diharapkan.
Berikut ini hasil wawancara dengan informan MM Kasi
Kedaruratan BPBD mengenai program sosialisasi ke masyarakat
tentang bahaya bencana alam :
“Dengan diadakannya sosialisasi tentang bahaya kekeringan
ini diharapkan masyarakat bisa lebih mengerti dan siaga
dalam menghadapi bencana alam, sosialisasi ini juga
dilakukan di beberapa sekolah yang ada di Kabupaten
Jeneponto seperti di SMKN 8 Kabupaten Jeneponto” (Hasil
wawancara pada tanggal 30 Juli 2020)
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa dengan
diadakannya sosialisasi tentang bahaya bencana alam Pihak BPBD
berharap agar masyarakat lebih siaga dalam menanani bencana
alam yang terjadi di Kabupaten Jeneponto. SMKN 8 Kabupaten
61
61
Jeneponto menjadi salah satu sekolah yang terpilih untuk
mensosialisasikan tentang bahaya banjir karena di SMKN 8
Kabupaten Jeneponto merupakan wilayah yang memiliki potensi
bahaya yang cukup lumayan sehingga dilaksanakan sosialisasi
mitigas bencana alam.
Mengutip pendapat dari Arikunto dan Jabar dalam (Munthe,
2015) yang menyatakan bahwa ada dua pengertian untuk istilah
program, program dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu
dalam arti khusus dan umum.
Secara umum program diartikan sebagai sebuah bentuk atau
susunan rencana yang akan dilakukan, program jika dihubungkan
secara langsung dengan evaluasi program maka program bisa
diartikan sebagai unit atau kesatuan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan. Program bisa berlangsung
dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu
organisasi atau kelompok yang dimana melibatkan banyak orang
didalamnya.
Sedangkan menurut Widoyoko dalam (Sulistyo, 2017) yang
menyatakan tentang program yang diartikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan yang telah direncanakan dengan baik dan dalam
pelaksanaannya berlangsung dalam pelaksanaannya berlangsung
dalam suatu proses yang berkesinambungan, dan terjadi suatu
62
62
kelompok atau organisasi yang dimana didalamnya telah
melibatkan banyak orang.
Program hanya bisa berjalan dengan komponen apabila
program berjalan dengan sebagaimana fungsinya, berikut ini
adalah komponen pendukung program yang meliputi :
1) SDM (sumber daya manusia) ;
2) Sarana dan prasarana yang mendukung ;
3) Dana atau anggaran ;
4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
Berdasarkan hasil penjelasan diatas maka peneliti
menyatakan bahwa BPBD seharusnya lebih bisa melakukan
sosialisasi secara lebih luas lagi ke masyarakat mengenai bahaya
bencana alam dan mengenai program yang sekarang dibuat oleh
BPBD sebaiknya lebih ditingkatkan untuk kepentingan bersama-
sama.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa program yang dikeluarkan oleh BPBD masih
perlu untuk ditingkatkan tidak hanya untuk tingkat SMA tapi
seharusnya juga disosialisasikan untuk tingkat SD dan SMP untuk
mengajarkan lebih dini tentang mitigasi bencana alam.
63
63
d. Sumber-sumber dana
Pengertian dana secara umum adalah himpunan dari uang
yang ada dalam jumlah tertentu dalam bentuk tunai maupun
nontunai. Kata dana biasanya digunakan dalam bisnis yang
digunakan dalam menyebutkan istilah uang. Dalam artian leboh
luas dana juga bisa diartikan sebagai modal usaha dalam
menjalankan bisnis.
Kepala Pelaksana Anwar Munassar, menyatakan bahwa
pada tahun 2019 BPBD hanya megelola dana sebesar Rp 2,8
Milyar. Hanya saja dana ini bukan dana untuk siap pakai ketika
terjadi bencana. Dana tersebut digunakan untuk operasional
sebesar Rp 2,8 Milyar dari APBD (anggaran pendapatan belanja
daerah) Jeneponto itu hanya untuk biaya rutinitas dan operasional
mulai dari gaji honor TRC (tim reaksi cepat) dan pembangunan
kantor.
Adapun bantuan dari BNPB pada tahun 2019 sebesar Rp
250 Juta bantuan ini diberikan kepada BPBD untuk menangani
banjir yang terjadi pada tahun 2019 lalu.
Adapun bantuan dari berbagai pihak tetapi dalam bentuk
makanan yang diberikan untuk BPBD agar disalurkan ke
masyarakat yang mengalami bencana alam.
64
64
Untuk memperoleh penjelasan mengenai sumber dana
maka dilakukan wawancara bersama dengan informan Kepala
Pelaksana BPBD yang mengemukakan bahwa :
“ BPBD selalu transparan dalam hal anggaran yang
dikeluarkan untuk membantu masyarakat yang mengalami
bencana alam”. (Hasil wawancara pada tanggal 31 Juli
2020).
Pada dasarnya dari hasil wawancara diatas Kepala
Pelaksana BPBD menyatakan bahwa BPBD dalam mengeluarkan
anggaran untuk membantu masyarakat yang mengalami bencana
selalu transparan dalam penggunaan anggaran. Karena datanya
akan diminta oleh Bupati Kabupaten Jeneponto.
Dalam Permendagri (peraturan menteri dalam negeri)
No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa adalah
keseluruhan kegaiatan yang meliputi perencanaan, penatausahaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan desa.
Pendapatan desa perkapita bisa digunakan sebagai salah
satu pendekatan untuk melihat proporsi pendapatan suatu desa
terhadap banyaknya jumlah penduduk.
Dana memiliki arti yang sangat luas, bahkan pengertian
dana itu sendiri terus berkembang berikut ini adalah mengutip
pendapat dari Lutge dalam (Sulistio & Saifi, 2017) yang
menyatakan bahwa dana dalam artian uang (geldkapital).
65
65
Selanjutnya hasil wawancara bersama dengan SM salah
satu staf di BPBD mengenai kendala dalam memberikan bantuan
ke masyarakat :
“Berbicara masalah kendala mungkin ada beberapa kendala
yang sering dihadapi oleh dinas bpbd mulai dari masalah
mobil tangki air yang ada hanya 1, lalu bahan bakar dan
masalah anggaran” (Hasil wawancara pada tanggal 28 Juli
2020)
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
BPBD masil terkendala di biaya operasional sehingga
membutuhkan bantuan anggaran dari DTT (dana tidak terduga) dan
bantuan dari pemerintah daerah.
Peneliti menyatakan berdasarkan penjelasan sebelumnya
mengenai dana BPBD membutuhkan lebih banyak dana dari
Pemerintah Kabupaten Jeneponto karena seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa BPBD tidka menjalin kerjasama
dengan Dinas Sosial dalam hal penanganan bencana alam,
sehingga BPBD terhalang di bagian dana untuk membantu
masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa BPBD membutuhkan biaya tambahan untuk
membantu masyarakat yang mengalami bencana alam.
e. Terbentuknya struktur dana
Dana desa adalah dana APBN (anggaran pendapatan
belanja negara) yang diperuntungkan bagi desa yang ditransfer
melalui APBD Kabupaten/Kota dan diprioritaskan untuk
66
66
pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Adapun tujuan penggunaan dana desa adalah sebagai berikut :
a) Meningkatkan pelayanan publik di desa ;
b) Memajukan perekonomian desa ;
c) Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan ;
d) Menuntuskan kemiskinan ;
e) Mengatasi kemiskinan.
Melalui Undang-Undang Desa No. 06 Tahun 2014 Tentang
Desa, Desa telah diperkuat kewenangannya dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Selain
diperkuat kewenangannya desa juga diberikan sumber-sumber
pendapatan. Berikut ini adalah sumber-sumber pendapatan dana
desa yaitu sebagai berikut :
1) Dana Desa dari APBN ;
2) Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga ;
3) Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD
Kabupaten/Kota ;
4) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota (paling sedikit 10%) ;
5) Alokasi dana desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota (minimal 10%
dari dana bagi hasil dan alokasi umum) ;
6) Dan lain-lain dari pendapatan desa yang sah.
67
67
Di dalam pembuatan sumur bor yang ada di Desa
Samataring Pemerintah Desa setempat memanfaatkan dana desa
untuk kesejahteraan masyarakat. Tujuan pembuatan sumur bor
tersebut sebenarnya untuk masyarakat juga dengan memanfaatkan
dana desa sekitar Rp 200 Juta untuk pembuatan sumur bor apabila
masyarakat mulai mengeluhkan kurangnya air bersih, sumur bor
yang dibuat oleh Pemerintah Desa tersebut terletak di Dusun
Samataring.
Untuk lebih jelasnya maka dilakukan wawancara bersama
dengan informan Kaur Pemerintahan Desa Samataring mengenai
bantuan dana dari pemerintah :
“ Dana yang digunakan oleh Pemerintah Desa Samataring
di dalam pembuatan sumur bor itu langsung menggunakan
dana desa tidak ada bantuan dari dinas manapun, dalam
mengelola pembuatan sumur bor ini juga bekerja sama
dengan masyarakat „‟. (Hasil wawancara 02 Agustus 2020).
Dengan begitu dari hasil wawancara di atas dapat diketahui
bahwa Pemerintah Desa Samataring dalam pembuatan sumur bor
yang dilakukan pada tahun 2020 memanfaatkan dana desa demi
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat agar masyarakat sudah
tidak perlu cemas mengenai kurangnya air bersih.
Dana siap pakai digunakan sesuai kebutuhan tanggap
darurat terbatas pada pengadaan barang dan/atau jasa (PP Nomor
22 Tahun 2008 Pasal 17) untuk :
a) Pencarian dan penyelamatan korban bencana
b) Pertolongan darurat
c) Evakuasi korban bencana
68
68
d) Kebutuhan air bersih dan sanitasi
e) Pangan
f) Sandang
g) Pelayanan kesehatan
h) Penampungan serta tempat hunian sementara
i) Lain-lain
Berikut ini adalah dasar terbentuknya pemberian dana siap
pakai yaitu sebagai berikut :
1) Penetapan status kedaruratan bencana ;
2) Usulan daerah perihal permohonan dukungan bantuan ;
3) Laporan TRC
4) Hasil rapat koordinasi, atau ;
5) Inisiatif BPBD
Berikut hasil wawancara dengan informan AM Kepala
Pelaksana mengenai anggaran untuk penanganan bencana alam :
“Kalau APBD yang di Jeneponto itu kita tidak punya dana
yang tidak terduga, padahal kan seharusnya ada, jadi BPBD
hanya mengharapkan bantuan dana baik itu dari provinsi
maupun pusat”. (Hasil wawancara pada tanggal 31 Juli
2020)
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
BPBD mengeluhkan jumlah anggaran yang diterima dalam
menangani bencana alam yang terjadi di Kabupaten Jeneponto.
69
69
Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 2019 yang lalu
Kabupaten Jeneponto diterpa bencana alam banjir bandang dan
kekeringan di beberapa daerah, sehingga Kepala Jeneponto
mengharapkan anggaran yang lebih untuk menangani bencana
alam, karena yang ada di BPBD hanya dana siap pakai.
Kondisi tentang permasalahan dana dalam hal penanganan
bencana alam untuk lebih jelasnya dilakukan wawancara bersama
dengan informan AM Kepala Pelaksana ebrikut adalah hasil
wawancaranya :
“Tahun 2019 yang lalu terjadi banjir bandang di Sapanang
jadi BPBD dalam hal untuk memperbaiki tanggul yang
roboh di Desa Sapanang itu sumber dananya bukan dari
daerah tapi itu sumber dannaya dari BNPB (badan nasional
penanggulangan bencana)”. (Hasil wawancara pada tanggal
31 Juli 2020)
Hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa dalam hal
penanganan tanggul roboh yang berada di Desa Sapanang
menggunakan anggaran dana dari BNPB, karena tanggul penahan
banjir tersebut masuk dalam rekonstruksi paska banjir 2019.
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang terkena bencana
dapat mengusulkan bantuan dana siap pakai kepada kepala BNPB
dengan menyampaikan laporan kejadian, jumlah korban,
kerusakan, kerugian dan bantuan yang diperlukan berdasarkan
penjelasan diatas peneliti menemukan fakta bahwa untuk masalah
dana di Desa Samataring dalam pembuatan sumur itu
70
70
menggunakan Dana Desa, sedangkan BPBD membutuhkan DTT
dari Pemerintah untuk membantu BPBD dalam menyalurkan
bantuan ke masyarakat bahkan untuk pembuatan sumur bor BPBD
mmebutuhkan dana kurang lebih sekitar Rp 200 Juta untuk
membuat sumur bor di BPBD sendiri.
Beradasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa dalam pembuatan sumur bor di desa
Samataring itu menggunakan anggaran Desa tidak ada bantuan dari
dinas maupun lembaga lain.
2. Community Capacity Building Individu
a. Development of the human resourch (pengembangan sumber daya
manusia)
Menurut Singodimedjo dalam (Findarti, 2016)
mengungkapkan bahwa pengembangan sumber daya manusia
adalah proses persiapan individu-individu untuk memikul
tanggung jawab yang berbeda atau lebih tinggi didalam
organisasi, biasanya berkaitan dengan peningkatan kemampuan
intelektual untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik.
Sedangkan menurut Malayu Hasibuan dalam (Findarti,
2016) menyatakan bahwa pengertian pengembangan sumber daya
manusia adalah suatu usaha untuk meningatkan kemampuan
71
71
teknik, teoritis, konseptual dan moral masyarakat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam
setiap kegiatan organisasi. Walaupun didukung dengan sarana dan
prasarana serta sumber daya kegiatan organisasi tidak akan
diselesaikan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sumber
daya manusia merupakan kunci pokok yang harus diperhatikan
dengan segala kebutuhannya. Sebagai kunci pokok sumber daya
manusia akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan
organisasi. Pengembangan sumber daya manusia dapat pula
dilakukan dengan pendekatan human capital menurut Simamora
dalam (Ruhana, 2012) yang menekanakn pada 3 (tiga) pendekatan
yaitu sebagai berikut :
1) Kapital intelektual
Kapital intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk
menemukan peluang dan mengelola ancaman dalam
kehidupan.
2) Kapital Sosial
Kapital sosial adalah kemampuan membangun jaringan sosial.
3) Kapital Lembut (soft capital)
Kapital lembut disebut dengan soft capital adalah kapital yang
diperlukan untuk menumbuhkan kapital sosial dan kapital
intelektual.
72
72
Berbicara mengenai pengembangan sumber daya manusia
berikut ini adalah hasil wawancara bersama dengan informan HN
Kaur Keuangan Desa Samataring yang menyatakan bahwa :
“Untuk meningkatkan kualitas masyarakat di Desa
Samataring, pendidikan merupakan investasi penting dalam
menghadapi masa depan dunia secara global. Untuk itu,
pendidikan harus dapat menyiapkan generasi muda yang
unggul, berdaya saing tinggi dan mampu bekerja sama guna
mencapai kemakmuran terkhusus di Desa Samataring”.
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa dalam
pengembangan sumber daya manusia di Desa Samataring
Pemerintah desa mengharuskan adanya penetapan prioritas dari
berbagai pilihan kegiatan investasi di bidang pendidikan yang
sesuai dalam jangka panjang akan mendorong laju pertumbuhan
ekonomi desa.
Pengembangan sumber daya manusia menurut Susanto
dalam (Setiawan, 2016) mengatakan bahwa aset organisasi
terpenting dan harus diperhatikan oleh instansi adalah manusia
(sumber daya manusia „’human resourch’’). Hal ini bemuara pada
kenyataan dimana manusia merupakan elemen yang selalu ada
dalam setiap organisasi.
Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan
bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia Pemerintah
Desa mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas
melalui bidang pendidikan di Desa Samataring.
73
73
Berdasarkan hasil obeservasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia
di Desa Samataring Pemerintah Desa lebih menekankan di bidang
pendidikan karena investasi yang menguntungkan adalah investasi
modal manusia untuk mempersiapkan kreativitas, produktivitas
dan jiwa kompetitif dalam warga Desa Samataring.
b. Strengthening organization (memperkuat organisasi)
Pengertian organisasi menurut Schein dalam (Daulay,
2014) mengungkapkan bahwa organisasi merupakan suatu usaha
untuk mengkoordinasi kegiatan sejumlah orang untuk mencapai
beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan
fungsinya melalui tanggung jawab. Sedangkan menurut Wright
dalam (Daulay, 2014) menyatakan bahwa organisasi adalah suatu
bentuk terbuka dari suatu aktivitas yang dikoordinasi dari dua
orang atau lebih untuk tujuan bersama. Berikut ini adalah ciri-ciri
dari organisasi yaitu sebagai berikut :
1) Terdiri dari sekelompok orang
2) Punya tujuan
3) Kerjasama antar anggota
4) Ada peraturan tertulis
5) Pembagian tanggung jawab dan tugas jelas.
74
74
Berikut ini adalah hasil wawancara bersama dengan
informan MB Kasi Pemerintahan mengenai kelompok
organisasi yang ada di Desa Samataring :
“Di Desa Samataring ada dibuat kelompok atau organisasi
yang biasa disebut Karang Taruna yang telah dibentuk oleh
Pemerintah Desa Samataring yang tugasnya membantu
Pemerintah Desa dalam melakukan sosialisasi ke
masyarakat Desa Samataring”.
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa
Pemerintah Desa Samataring telah membentuk organisasi
karang taruna yang tugasnya untuk membantu Pemerintah Desa
dalam menanggulangi kesejahteraan-kesejahteraan sosial secara
preventif dan membantu mengembangkan potensi generasi
muda di lingkungannya.
Organisasi Karang taruna adalah organisasi sosial
kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap
anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar
kesadaran dan tanggung jawab sosial dari oleh dan untuk
masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan
terutama bergerak di bidang kesejahteraan.
Dari hasil penjelasan diatas maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa Pemerintah desa dan masyarakat yang ramah
serta rukun dalam kehidupan sehari-hari dapat bersinergi dan
meningkatkan pelayanan, dipimpin oleh Kepala Desa dan
75
75
perangkat Desa Samataring dan juga Karang Taruna dan
lembaga lainnya yang dapat mengembangkan dan meningkatkan
SDA/SDM Desa Samataring
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Samataring telah
membentuk organisasi karang taruna yang sejauh ini sudah
berjalan dengan efektif.
c. Reformation of institutions (Reformasi Instruksi)
Secara harfiah reformasi adalah membentuk atau menata
kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau
balau, yang didalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti,
mengurangi dan memperbarui (Ikhwan Afiful, 2017). Sedangkan
instruksi adalah arahan, perintah atau petunjuk dalam
melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas. Instruksi hendaknya
disampaikan dengan jelas sehingga penerima instruksi dapat
memahami dan melaksanakannya dengan baik. Berikut ini adalah
beberapa model instruksi secara langsung menurut Joyce dalam
(Pratama, 2016) yaitu sebagai berikut :
1) Tahap orientasi
2) Tahap presentasi
3) Tahap praktik yang terstruktur
4) Tahap praktik dibawah bimbingan
5) Tahap praktik mandiri
76
76
Berbicara mengenai reformasi instruksi berikut ini
dilakukan wawancara bersama dengan salah satu anggota
karang taruna AB yang menyatakan bahwa :
“Baru-baru ini Pemerintah Desa Samataring telah menambah
ke dalam program Desa yaitu program mobil sehat yang
memiliki maksud dan tujuan yaitu untuk melakukan
pelayanan kesehatan antara lain seperti konseling dan rujukan
ke rumah sakit umum yang lebih layak dengan
mempertimbangkan rujukan berjenjang di wilayah kerja Desa
Samataring dan sekitarnya. Setelah program ini dikeluarkan
oleh Pemerintah Desa maka perangkat Desa Samataring
langsung menerima instruksi dan melaksanakan sesuai dengan
apa yang diinstruksikan oleh Kepala Desa Samataring”.
Pernyataan berdasarkan hasil wawancara diatas dapat
diketahui bahwa Pemerintah Desa Samataring telah membuat
program untuk membantu mensejahterahkan masyarakat yang
ada di Desa Samataring dan dibantu oleh perangkat Desa
Samataring untuk melancarkan program mobil sehat.
Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan
bahwa dengan adanya perubahan dalam suatu program bisa
mempengaruhi masyarakat untuk lebih baik lagi kedepannya
maka dari itu masyarakat membutuhkan adanya inovasi baru
dari Pemerintah Desa Samataring untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan
menunjukkan bahwa program monil sehat yang dikeluarkan
77
77
dan diinstruksikan secara langsung kepada perangkat Desa
Samataring berjalan dengan lancar semenjak program ini
dikeluarkan pada tahun 2019 yang lalu.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang terdapat pada Bab
IV, maka peneliti memberikan kesimpulan berdasarkan fokus penelitian
yaitu sebagai berikut :
1. Dalam mengatasi resiko bencana kekeringan di Desa Samataring
Kepemimpinan merupakan salah satu hal yang paling menonjol mulai
dari sikap sampai tingkah laku harus lebih diperhatikan dalam sebuah
kepemimpinan. Pemerintah perlu untuk meningkatkan pelayanan yang
diberikan ke setiap desa yang mengalami kekeringan. BPBD
membutuhkan bantuan dana tambahan baik itu dari Pemerintah Daerah
maupun Pemerintah Pusat untuk membantu masyarakat yang
mengalami bencana alam, hal ini dikarenakan BPBD merupakan salah
satu instansi yang bertanggung jawab dalam membantu masyarakat
yang mengalami bencana alam selain itu BPBD juga tidak menjalin
kerjasama dengan dinas maupun instansi lain.
2. Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Desa Samataring
Pemerintah Desa Samataring melakukan berbagai pilihan investasi
salah satu hal yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Samataring adalah
melakukan investasi di bidang pendidikan hal ini untuk mendorong
generasi muda agar lebih baik kedepannya selain itu Pemerintah Desa
Samataring juga sudah membentuk kelompok karang taruna yang
79
79
tugasnya untuk membantu Pemerintah Desa dalam mendorong
generasi muda yang ada di Desa Samataring.
B. SARAN
Dari hasil penelitian ini, peneliti menemukan banyak hal yang perlu
untuk dibenahi oleh Dinas BPBD dan Pemerintah Desa Kabupaten
Jenepono yaitu sebagai berikut :
1) Untuk Kantor BPBD, sebagai salah satu lembaga yang diberikan
tugas oleh Pemerintah Daerah untuk memberikan bantuan kepada
masyarakat yang mengalami bencana alam, seperti menyalurkan
air bersih ke setiap desa yang mengalami kekeringan dan
meningkatkan kualitas pelayanan dengan baik.
2) Untuk Pemerintah Desa Samataring agar kiranya bisa memantau
secara langsung pemberian air bersih agar sehingga masyarakat
bisa mendapatkan air secara merata, dan lebih meningkatkan
sumber daya manusianya di Desa Samataring.
80
80
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S. (2011). Kelembagaan Petani: Peran Dan Strategi Pengembangan
Kapasitasnya. 7(2), 102–109.
Anisa Devin, Sri Devi Cahyanti, Awaliyah Faridah Nur, A. R. S. (2019).
Pengembangan Kapasitas Wisata Budaya Dalam Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya Manusia Di Kecamatan Cisarua Kabupaten Sumedang.
EMPOWERMENT, 3(1), 1–5.
Ansori, R. A. M. (2016). Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada
Peserta Didik. Jurnal Pusaka: Media Kajian Dan Pemikiran Islam, 8, 14–32.
Biki, A. (2015). Penguatan kapasitas kelompok masyarakat peduli bencana dalam
kesiapsiagaan bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung Barat. Jurnal
Ilmiah Pekerjaan Sosial, 14(2), 182–195.
Buchari, R. A. (2017). Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik. 3(1), 1–13.
Budiyati & Priyono. (2019). Coping Strategies Dan Tingkat Kapasitas Masyarakat
Desa Modangan Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar Dalam Menghadapi
Ancaman Bencana Erupsi Gunungapi Kelud. Proceeding of The URECOL,
209–217. http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/504
Cakrawijaya, M., Riyant, B., & Nuroji. (2014). Evaluasi Program Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(2), 137–156.
https://doi.org/10.5614/jpwk.2015.25.2.4
Damayanti Erlin & Soeaidy Mochammad Saleh, R. H. (2014). Strategi Capacity
Building Pemerintah Desa Dalam Pengembangan Potensi Ekowisata
Berbasis Masyarakat Lokal (Studi Di Kampoeng Ekowisata, Desa Bendosari,
Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP),
2(3), 464–470.
Darojati, N. W., Barus, B., & Sunarti, E. (2015). Pemantauan Bahaya Kekeringan
Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Ilmu Tanah Dan Lingkungan, 17(2), 60.
https://doi.org/10.29244/jitl.17.2.60-68
Daulay, M. (2014). Peran Organisasi Dakwah dalam Pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan . Hikmah, VII(1), 98–106.
Fahmi, A. (2017). Pengembangan Kapasitas Wisata Budaya Masyarakat Melalui
Program Kesenian Sasakala Karinding Kinanti Di PKBM Kinanti Kecamatan
Lembang. EMPOWERMENT, 6(1).
Findarti, F. R. (2016). Pengaruh Pengembangan Sumber Daya. E-Journal Ilmu
Administrasi Bisnis, 4(5), 937–946.
81
81
Fultanegara & Anggun Aprinasari, A. (2014). Pengembangan Kapasitas
Kelembagaan Lokal Dan Tingkat Realisasi Program Penataan Lingkungan
Permukiman Di Perkotaan. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(3),
294–304.
Hapsari, A. M., & Djumiarti, T. (2016). Pengembangan kapasitas (capacity
building) kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Journal Of Public Policy And Management Review, 5(2), 1–11.
Ikhwan Afiful. (2017). Kajian Sosio Historis Pendidikan Islam Indonesia Era
Reformasi. Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 15–32.
Indrioko, E., & Basar, U. R. (2017). Pengembangan Kapasitas (Capacity
Building) Kepala Madrasah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Realita,
15(1), 1–15.
https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/viewFile/462/298
Jamil, D. H., Tjahjono, H., & Parman, S. (2013). Deteksi Potensi Kekeringan
Berbasis Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Kabupaten
Klaten. Geo-Image, 2(2), 30–37.
https://doi.org/10.15294/geoimage.v2i2.2195
Jenivia Dwi Ratnasari & Mochamad Makmur, H. R. (2016). Pengembangan
Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Pada Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Malang. Jurnal Administrasi Publik Mahasiswa
Universitas Brawijaya, 1(3), 103–110.
Kurniawan, R. C. (2017). Inovasi Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah.
Fiat Justisia, 10(3), 569–586.
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v10no3.794
Mirnawati, M. M. (2019). Capacity Building Organisasi (Studi Pada Kelurahan
Imopuro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro). Jurnal Tapis: Jurnal
Teropong Aspirasi Politik Islam, 15(1), 51–67.
https://doi.org/10.24042/tps.v15i1.4300
Munthe, A. P. (2015). PENTINGYA EVALUASI PROGRAM DI INSTITUSI
PENDIDIKAN: Sebuah Pengantar, Pengertian, Tujuan dan Manfaat.
Scholaria : Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 5(2), 1.
https://doi.org/10.24246/j.scholaria.2015.v5.i2.p1-14
Nahar, L. (2016). Studi Deskriptif tentang Strategi Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Pasuruan dalam Penanggulangan Bencana
Kekeringan di Wilayah Kabupaten Pasuruan. Jurnal Kebijakan Dan
Manajemen Publik, 4(2), 18–26. http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-kmp195f96ff77full.pdf
Permana, R. C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2011). Kearifan Lokal
Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy. Makara Human
82
82
Behavior Studies in Asia, 15(1), 67. https://doi.org/10.7454/mssh.v15i1.954
Prafitri, G. R., & Damayanti, M. (2016). Kapasitas Kelembagaan Dalam
Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus: Desa Wisata Ketenger,
Banyumas). Jurnal Pengembangan Kota, 4(1), 76.
https://doi.org/10.14710/jpk.4.1.76-86
Pratama, R. A. (2016). Pengembangan Modul Membaca Kritis Dengan Model
Instruksi Langsung Berbasis Nilai Karakter. Jurnal Bahasa Sastra Dan
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 3(2), 173–190.
Puspitasari, D. C., Satriani, R., Pmungkas, S. B., Sosiologi, D., Ilmu, F., Politik,
I., & Mada, U. G. (2019). Implementasi Saemaul Undong Di Kabupaten
Gunung Kidul Capacity Building of Participatory Community :
Implementation Study of Saemaul Undong At Gunung Kidul District. 1–13.
Rachmawati, A. M. (2017). Capacity Building Organisasi dalam Pelayanan
Kesehatan di Puskesmas Pucang Sewu Kota Surabaya. Kebijakan Dan
Manajemen Publik, 5(1), 1–11. http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-kmp462dd7af30full.pdf
Rudiarto, A. K. & I. (2017). Kajian Tingkat Kerentanan Bencana Kekeringan
Pertanian Di Kabupaten Demak. Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, 19(1),
9–16.
Ruhana, I. (2012). Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia Vs Daya Saing
Global. Jurnal Administrasi Bisnis, 6(1), 51–56.
http://ejournalfia.ub.ac.id/index.php/profit/article/view/134
Sari, N., Noor, I., & Prasetyo, W. Y. (2014). Pengembangan Kapasitas
Kelembagaan Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Perizinan Terpadu (Studi pada kantor pelayanan dan perizinan terpadu
kabupaten kediri). Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.2(No.4), 634–640.
Setiasih, Imas Siti, Santosa Meilanny Budiarto, Hanidah In-In, M. H. (2017).
Pengembangan Kapasitas Masyarakat Dalam Menggunakan Hanjeli Sebagai
Alternatif Pengganti Beras Sebagai Pangan Pokok Dan Produk Olahan.
Jurnal Penelitian & PKM, 4(2), 129–389.
Setiawan, R. I. (2016). Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Bidang
Pariwisata: Perspektif Potensi Wisata Daerah berkembang. Jurnal Penelitian
Manajemen Terapan (PENATARAN), 1(1), 23–35.
Sihotang Peronita, Dewi Krisna, R. T. (2017). Pengembangan Kapasitas
Organisasi Forum Komunikasi Peduli Anak Dalam Penanganan Anak
Korban Kekerasan Seksual Di Kota Bandung. Jurnal Ilmiah Pekerjaan
Sosial, 4(2), 129–389.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Edisi
83
83
Kedu). Alfabeta.
Sulistio, A., & Saifi, M. (2017). ANALISIS PENENTUAN STRUKTUR
MODAL YANG OPTIMAL UNTUK MENINGKATKAN NILAI
PERUSAHAAN (Studi pada PT. Astra Graphia Tbk Periode 2013-2015).
Jurnal Administrasi Bisnis S1 Universitas Brawijaya, 48(1), 88075.
Sulistyo, A. (2017). Evaluasi Program Budaya Membaca Di Sekolah Dasar
Negeri. Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(1), 48.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2017.v4.i1.p48-58
Wicaksono Ferri, H. (2019). Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pada
Himpunan Mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta. Seminar Hasil
Pengabdian Masyarakat, 4(1), 48–58.
Wulandari Wiwik, Abdul Wakhid, S. M. (2019). Gambaran Karakteristik
Kesiapsiagaan Bencana Pada Remaja. Jurnal Gawat Darurat, 1(1), 1–6.
Yuliawan, E. (2011). Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Pegawai pada Balai Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bandung.
JWEM (Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil), 1(2), 69–78.
LAMPIRAN
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
RIWAYAT HIDUP
Sri Indah Sari Pertiwi, Lahir di Kabupaten Jeneponto pada
tanggal 18 November 1998. Anak pertama dari pasangan
Ayah Mansur dan Ibu Syamsia. Penulis menyelesaikan
pendidikan di SD Inpres 204 Pammanjengang pada tahun
2010. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tamalatea Jeneponto hingga tamat pada
tahun 2013. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan
Negeri (SMKN) 1 Jeneponto dengan mengambil jurusan tata niaga. Selanjutnya
pada tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah
Makassar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan mengambil program
studi Ilmu Pemerintahan, pada tahun 2020 ini akan mengantarkan penulis untuk
meraih gelar Sarjana Strata Satu (S1) dengan menyusun karya ilmiah dengan
judul Community Capacity Building Dalam Mengatasi Resiko Bencana
Kekeringan Di Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.