Clinical Science Session - Neurosurgical Examinations

download Clinical Science Session - Neurosurgical Examinations

of 25

Transcript of Clinical Science Session - Neurosurgical Examinations

CLINICAL SCIENCE SESSION

Pemeriksaan Fisis Neurologis

Disusun oleh: Andy Wijaya Rizki Davi Akbar Kanaesan Sankaran Nurul Utami Windi Yuliarini Patma Roopani Kumar Mohd. Jamalludin bin Musa Nurul Aiman bt Ismail 1301-1210-0074 1301-1210-0014 1301-1210-0245 1301-1211-0005 1301-1211-0038 1301-1211-3008 1301-1211-3088 1301-1211-3106

Pembimbing: H. M. Z. Arifin, dr., SpBS

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2011

Pendahuluan Pemeriksaan fisis neurologis merupakan pemeriksaan yang membutuhkan keahlian dan keterampilan yang terasah. Pemeriksaan fisis neurologis yang dilakukan setelah anamnesis yang baik akan dapat menunjang menentukan pemeriksaan lanjutan apa yang dibutuhkan pasien dan penatalaksanaannya. Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan menyeluruh akan amat berguna namun membutuhkan waktu yang tidak sebentar sehingga seringkali tidak memungkinkan untuk dilakukan (misalnya pada pasien dengan kondisi gawat darurat). Beberapa pemeriksaan neurologis juga membutuhkan kerja sama yang baik dengan pasien sehingga pada pasien dengan kondisi tertentu kita tidak dapat melakukan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran dan fungsi luhur, pemeriksaan saraf kranialis, pemeriksaan motoris, pemeriksaan sensoris, refleks, serta keseimbangan dan koordinasi.

Pemeriksaan tingkat kesadaran Pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

menghitung Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan pemeriksaan yang sederhana, semikuantitatif, dan objektif. Pemeriksaan ini sangat berguna selain untuk menentukan prognosis juga untuk membuat perbandingan apakah keadaan pasien memburuk atau membaik. GCS dinilai berdasarkan tiga hal: skor untuk mata, kemampuan verbal, dan motoris. Kategori respon mata: Membuka spontan kategori 4. Membuka apabila dipanggil namanya namun segera menutup kembali kategori 3. Membuka apabila diberi stimulus nyeri di supraorbita kategori 2. Tidak ada respon kategori 1.

1

Kategori untuk respon verbal: Apabila pasien dapat berbicara dalam bentuk kalimat dengan orientasi waktu dan tempat yang baik, kategori 5. Pasien masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat namun terdapat disorientasi waktu atau tempat kategori 4. Pasien berbicara hanya dalam bentuk kata-kata yang tidak membentuk kalimat kategori 3. Pasien mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata-kata, suara-suara yang tidak ada artinya kategori 2. Tidak mengeluarkan suara sama sekali kategori 1.

Kategori untuk respon motorik: Apabila pasien dapat melakukan sesuai perintah kategori 6.

Apabila pasien melokalisasi nyerinya maka kategorinya 5.

Pasien menarik atau menjauh dari rangsang nyeri maka kategori 4. Ekstremitas atas pasien fleksi dan ekstremitas bawahnya ekstensi (dekortikasi) ketika diberikan rangsang nyeri sentral maka kategori 3.

2

Ekstremitas atas dan bawah pasien esktensi (deserebrasi) ketika diberikan rangsang nyeri maka kategori 2.

Tidak ada respon ketika diberikan rangsang nyeri sentral kategori 1.

Pemeriksaan motoris dapat memberikan hasil yang berbeda tergantung jenis rangsang nyeri yang diberikan ataupun perbedaan respon antara ekstremitas kiri dan kanan. Rangsang nyeri terhadap nervus supraorbita dapat memberikan respon yang berbeda dengan rangsang nyeri dengan menekan kuku, atau lengan kiri melokalisasi tetapi lengan kanan fleksi. Apabila terjadi, ambil nilai dengan skor yang lebih tinggi, karena hal ini lebih berkorelasi dengan keluaran akhir. Pada pemeriksaan GCS, perhatikan hanya ekstremitas atas, ekstremitas bawah kadang memberikan respon motoris yang berasal dari spinal. Semua skor yang didapat dijumlahkan sehingga nilai GCS berkisar antara 3-15. Kadang tidak semua aspek bisa dinilai dengan tepat, misalnya pada orang yang sedang diintubasi atau mengalami afasia, pada pasien demikian, nilai maksimal yang didapat tidak lagi 15.

Pemeriksaan fungsi luhur Pemeriksaan fungsi luhur diperiksa menggunakan MMSE.

Pemeriksaan pada pasien dengan penurunan kesadaran Penurunan kesadaran tidak boleh menghalangi kita dalam melakukan pemeriksaan neurologis yang dapat menunjang diagnosis dan menentukan pemeriksaan pencitraan apa yang tepat dilakukan pada pasien. Pemeriksaan objektif setelah penilaian kesadaran (GCS) yang dapat kita lakukan apabila pasien mengalami penurunan kesadaran dan tidak kooperatif di antaranya adalah: respon pupil, pemeriksaan funduskopi, tonus ekstremitas, refleks, respon plantar, pergerakan bola mata dan refleks batang otak, serta lateralisasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, yang harus diperhatikan lagi adalah pola pernapasannya. 3

Pola pernapasan 1. Cheyne-Stokes: pernapasan secara bertahap kresendo secara amplitudo, berhenti, lalu pola kembali berulang. Fase hiperpneiknya biasanya lebih lama dibandingkan dengan fase apneiknya. Pola demikian dapat terjadi pada pasien dengan lesi diensefalik atau disfungsi hemisfer serebri bilateral (peningkatan TIK tiba-tiba atau kelainan metabolik) 2. Hiperventilasi: hiperventilasi yang disebabkan murni neurogenik adalah sangat jarang, biasanya terjadi apabila terdapat lesi di pons. 3. Cluster: pernapasan cepat yang ireguler diselingi oleh fase apneu, mirip dengan Cheyne-Stokes namun tidak ada kresendo. Lesi medula atas atau pons bawah akan menimbulkan ini, seringkali prognosisnya buruk. 4. Apneustik: berhenti napas setelah inspirasi penuh, menunjukkan adanya lesi pons. 5. Ataksik/ Biots: tidak ada pola pernapasan, biasa timbul apabila terdapat lesi di medula. Biasanya merupakan kondisi preterminal

Tonus esktremitas, refleks, dan respon plantar akan dibahas kemudian pada bagian yang bersangkutan.

Pemeriksaan pupil Pemeriksaan pupil meliputi ukuran dan reaksinya terhadap cahaya. Ukuran pupil dilihat apakah mengalami midriasis atau miosis, dan isokor atau tidak. Kerusakan/ lesi parasimpatis akan menyebabkan pupil midriasis, sedangkan lesi simpatis akan menyebabkan pupil mengalami miosis. Pupil dapat bereaksi secara cepat atau lambat terhadap cahaya, tidak bereaksi sama sekali, dan terdapat asimetri/ respon kiri dan kanan yang berbeda. 1. Pupil yang simetris dan reaktif terhadap cahaya menunjukkan kemungkinan besar tidak adanya lesi struktural. 2. Asimetri: pupil yang tidak reaktif dan midriasis biasanya disebabkan oleh palsy oculomotor, yang mungkin disebabkan oleh herniasi (kecurigaan menguat apabila terdapat palsy EOM); sindroma Horner 3. Pupil abnormal bilateral: pupil pin-point tapi masi terdapat reaksi cahaya (dilihat dengan menggunakan kaca pembesar) menunjukkan lesi pons (hilangnya input simpatis); midriasis (7-10mm) bilateral dan tidak reaktif terhadap cahaya menunjukkan kerusakan medula yang subtotal, atau pasca anoksia, atau hipotermia;

4

tidak midriasis tapi tidak reaktif terhadap cahaya menunjukkan lesi otak tengah yang ekstensif (karena hambatan simpatis maupun parasimpatis)

Contoh: sindroma Horner (miosis, ptosis dan enoftalmus)

Funduskopi Pemeriksaan dengan funduskopi merupakan kemampuan yang membutuhkan latihan dan pengalaman sehingga kesalahan dalam pelaporan hasil pemeriksaan funduskopi sering terjadi. Papilledema membutuhkan 10-14 hari untuk muncul sehingga jarang/ tidak tampak pada pasien dengan trauma kepala akut, oleh karena itu, tidak tepat untuk mengatakan adalah aman untuk melakukan pungsi lumbal sebelum dilakukan pencitraan selama tidak ada papilledema. Terdapat empat stadium papilledema. 1. Terdapat penurunan drainase vena sehingga vena membengkak, dan kadang dapat ditemukan penurunan pulsasi vena 2. Diskus optikus membengkak 3. Batas diskus semakin membengkak dan menjadi tidak jelas 4. Pembengkakan semakin parah dan terdapat bercak hemorragik

Pemeriksaan gerak bola mata

5

Mata pasien dibuka oleh pemeriksa, dan perhatikan gerakan spontan bola mata. Apakah gerakan yang terjadi terdapat konjugasi, diskonjugasi, atau nistagmus. Refleks oculocephalic/ dolls eyes ditimbulkan dengan cara menggerakkan kepala untuk fleksi/ esktensi serta rotasi. Positif apabila bola mata bergerak berlawanan dengan arah gerakkan. Jangan lakukan pada pasien dengan kecurigaan trauma servikal.

Refleks oculovestibular dilakukan pada posisi telentang dan kepala pasien membentuk sudut tiga puluh derajat dengan permukaan lantai. Air dengan suhu 30 C (atau air dingin untuk respon maksimal) diirigasikan ke dalam meatus akustikus eksternus, dan akan timbul nistagmus (dengan fase cepat ke arah kontralateral) setelah kira-kira 20 detik dan bertahan hingga satu menit. Air dengan suhu 44 C diirigasikan ke telinga yang sama akan menimbulkan nistagmus dengan arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Pada pasien koma, tidak ada nistagmus, hanya ada pergeseran ke arah yang diberikan air dingin. Apabila terdapat kelainan, berarti terdapat lesi setingkat otak tengah atau pons.

Lapang pandang Pemeriksaan lapang pandang dapat dilakukan walaupun pada pasien yang kooperatif (walaupun terbatas). Apabila pasien tidak menutup matanya walaupun diberikan stimulus yang mengancam (misalnya mencoba untuk seperti mencolok matanya) yang datang dari kuadran tertentu maka kemungkinan pasien tersebut mengalami hemianopia pada kuadran tersebut.

Lateralisasi motoris Apabila terdapat asimetri pada pemeriksaan motoris pada bagian tubuh manapun dengan sistem muskuloskeletal yang normal maka disebut lateralisasi. Lateralisasi menunjukkan terdapat suatu lesi fokus/ lokal bersifat struktural pada sistem saraf pusat.

6

Aspek yang diperiksa adalah tonus otot dan refleks, respon terhadap nyeri, serta Babinski. 1. Sesuai: menunjukkan traktus kortikospinal dan korteks yang intak 2. Asimetris: lesi supratentorial (biasanya terdapat peningkatan tonus), kemungkinan penyebab metabolik amat kecil

Kelemahan otot wajah Kelemahan otot wajah pada satu sisi dapat dinilai dengan memberikan stimulus nyeri bilateral pada wajah (supraorbita). Reaksi meringis yang asimetri menunjukkan adanya lateralisasi.

Kelemahan anggota gerak Deteksi dengan cara diberika stimulus nyeri. Apabila terdapat respon yang asimetri, maka terjadi kelemahan salah satu anggota gerak.

Pemeriksaan saraf kranialis

Cranial Nerve I Olfactory Pengujian dilakukan dengan meminta pasien untuk membaui. Dilakukan pada kedua hidung dengan salah satu ditutup, mata ditutup, gunakan bau-bau yg keras namun tidak iritatif seperti kopi atau teh. 7

Kekurangan rangsang penciuman dapat dikarenakan adanya infeksi hidung, trauma kepala, merokok, penuaan, ataupun penggunaan kokain.

Cranial Nerve II Optic Pengujian dilakukan untuk menentukan tajam penglihatan. Bisa menggunakan Snellen Chart. Apakah ada kekurangan dari tajam penglihatan, apakah sebabnya karena media refraksi ataupun bukan karena media refraksi. Dengan opthalmoskop dapat diperiksa keadaan diskus optikus. Papiledema bisa menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial akibat meningitis, pendarahan subarachnoid, trauma, atau massa. Lapang pandang dapat diperiksa dengan cara sederhana dengan tes konfrontasi. Kelainan lapang pandang dapat menandakan kondisi yang mempengaruhi nervus optikus, glaukoma, optic neuritis, ataupun papiledema.

Tes konfrontasi

8

Cranial Nerve III, IV, VI Occulomotor, Trochlear, Abducens Reflex cahaya menggambarkan fungsi sensoris optik nerves dan motoris okulomotor untuk mendilatasi dan mengkonstriksi pupil sebagai respon terhadap adanya cahaya. Dapat berupa direct puppilary reflex dan indirect puppilary replex. CN III, IV, VI diperiksa dengan meminta pasien untuk menggerakan bola mata ke 6 arah. Ptosis dapat menggambarkan CN III palsy ataupun keadaan myasthenia gravis.

9

Palsy okulomotor

Cranial Nerve V - Trigeminal Motoris, otot palpasi maseter dan temporal, minta pasien untuk menguyah, rasakan kekuatan otot pada kedua sisi. Sensoris, uji sensoris pada kening, pipi, dan rahang pasien pada kedua sisi dengan rangsang nyeri, temperature, dan sentuhan ringan menggunakan kapas. Reflex kornea, sentuh daerah kornea pasien dengan ujung kapas untuk memicu mata mengedip saat kornea tersentuh

10

Cranial Nerve VII Perhatikan kesimetrisan wajah. Minta pasien untuk: 1. Menutup mata dan memberikan tahanan terhadap pemeriksa yang berusaha membuka mata pasien 2. Menaikan alis 3. Senyum Perhatikan kesimetrisan dari gerakan-gerakan tadi. Gerakan tadi mempergunakan otot yang dipersyarafi CN VII, adanya lesi CN VII akan membuat gerakan menjadi tidak simetris pada kedua sisi. Lesi dapat dibedakan antara lesi central dan perifer. Jika 3 gerakan tadi lemah pada satu sisi menandakan lesi perifer. Jika gerakan nomer 1 dan 2 terlihat relatif atau hampir sama pada kedua sisi namun gerakan nomer 3 melemah, maka menandakan lesi sentral. Hal ini dikarenakan adanya persyarafan kontralateral pada otot wajah bawah.

Cranial Nerve VIII Vestibulochoclear Uji pendengaran dan vestibular, jika adanya kekurangan pendengaran, sebaiknya dilakukan test audiometri untuk menentukan jenis ketuliannya dan pada frekuensi berapa.

Cranial Nerve IX, X Glossopharyngeal, Vagus Suara pasien yang serak mungkin menunjukkan adanya kelumpuhan pita suara. Konfirmasi dengan pemeriksaan laringoskopi untuk melihat gerakan otot-otot laring. Kesulitan menelan mungkin disebabkan adanya kelemahan palatum dan faring. Minta pasien untuk membuka mulut dan mengatakan aaah, perhatikan soft palate, apakah naik simetris. Pada lesi CN X, maka sisi yang sakit akan tertarik ke sisi yang sehat sehingga uvula akan terlihat tidak ditengah.

11

Cranial Nerve XI Accessory Perhatikan atropi atau fasikulasi dari otot trapezius. Bandingkan kedua sisi. Lalu minta pasien untuk menaikan bahunya dengan melawan tahanan dari pemeriksa, perhatikan kekuatannya apakah sama kiri dan kanan. Minta pula pasien untuk menengok ke kiri atau kanan dengan tahanan tangan pemeriksa, perhatikan kontraksi otot sternocleidomastoid pada kedua sisi.

Cranial Nerve XII Hypoglossal Perhatikan fasikulasi dan ada tidaknya atrofi lidah. Minta pasien menjulurkan lidahnya, perhatikan kesimetrisan posisi lidah saat dikeluarkan.

Keadaan di atas menunjukkan adanya lesi saraf kranial 12 sentral.

Pemeriksaan Fungsi Motoris Dalam pemeriksaan fungsi motoris harus selalu diingat bahwa kecepatan dan kekuatan suatu pergerakan serta massa, tonus, dan koordinasi otot lebih informatif dibandingkan dengan melihat keadaan refleks tendon. Saat pemeriksaan fungsi motoris dilakukan, ekstremitas harus terekspos sehingga dapat diinspeksi apakah terdapat suatu atrofi atau fasikulasi. Selanjutnya, perhatikan pasien saat mencoba mempertahankan kedua tangannya saat direntangkan ke depan, baik dalam posisi berdiri maupun berbaring; minta pasien untuk melakukan kegiatan sederhana seperti menyentuh hidung pasien lalu jari pemeriksa secara berulang yang dilakukan semakin lama semakin cepat dengan perubahan posisi jari pemeriksa, atau minta pasien untuk saling mempertemukan tangan kanan dan tangan kiri dalam posisi pronasi dan supinasi secara bergantian; minta pasien untuk mempertemukan ibu jari dengan keempat jari lainnya satu per satu; dan minta pasien melakukan kegiatan-kegiatan sederhana seperti memasang kancing baju, membuka peniti, atau menggunakan alat-alat yang biasa digunakan sehari-hari. Memperkirakan kekuatan otot kaki pasien ketika pasien berbaring di tempat tidur biasanya tidak dapat diandalkan, karena biasanya tidak dapat ditemukan adanya kelemahan pada otot kaki walaupun pasien sebenarnya tidak mampu bangkit dari kursi atau bangkit dari 12

posisi berlutut apabila tidak dibantu. Pemeriksaan koordinasi gerakan yang perlu dilakukan untuk pasien yang berada di tempat tidur antara lain menggerakkan tumit salah satu kaki sepanjang tulang tibia kaki sebelahnya dan berusaha menyentuh jari pemeriksa dengan menggunakan ibu jari kaki. Meminta pasien untuk mempertahankan posisi tangan atau kaki dengan melawan gravitasi juga berguna untuk menentukan adanya kelemahan, karena tangan atau kaki yang lemah biasanya mengalami penurunan atau bahkan tidak mampu mempertahankan posisi melawan gravitasi. Secara singkat, pemeriksaan fungsi motoris dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Inspeksi kekuatan dan tonus ekstremitas, perhatikan apakah terdapat pergerakan otot involunter. 2. Kontur dan perkembangan otot di kedua sisi ekstremitas harus sama. 3. Minta pasien untuk mengelevasikan dan mengontraksikan otot di ekstremitas dan minta pasien untuk melawan resistensi yang diberikan oleh pemeriksa. 4. Lakukan penilaian terhadap kekuatan ekstremitas atas pasien, dimana: a. Grade 5: Pasien mampu melawan sepenuhnya resistensi yang diberikan oleh pemeriksa (pasien normal). b. Grade 4: Pasien hanya mampu melawan resistensi ringan yang diberikan oleh pemeriksa. c. Grade 3: Pasien hanya mampu melawan resistensi gravitasi. d. Grade 2: Pasien hanya mampu menggerakkan ekstremitas di tempat tidur. e. Grade 1: Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas hanya mampu menggerakkan jari-jari tangan. f. Grade 0: Pasien dalam keadaan total paralisis (paraplegia). 5. Lakukan pemeriksaan dan penilaian yang sama terhadap ekstremitas bawah. 6. Minta pasien untuk merelaksasikan otot-otot ekstremitas. 7. Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan persendian pasien secara pasif dan rasakan resistensi otot. Respon abnormal apabila terdapat peningkatan tonus otot. Bandingkan tonus otot ekstremitas di kedua sisi. 8. Pemeriksa melakukan perkusi di salah satu area pada ekstremitas dan lihat apakah terdapat fasikulasi otot di area yang sedang diperiksa.

13

Pemeriksaan sensorisy

Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.o

Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.

o

Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri.

o

Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagianbagian yang simetris.

y

Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan)o

Rasa gerak: pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun 14

kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping kanan/kiri.o

Rasa sikap: Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb.

o

Rasa getar: Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut.

y

Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat sesuatu benda dsb.o

Rasa gramestesia: untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien, misalnya ditelapak tangan pasien.

o o

Rasa barognosia: untuk mengenal berat suatu benda. Rasa topognosia: untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.

Pemeriksaan refleks

Skala grading refleks 4+ Very brisk, hyperaktif, dengan clonus (rhytmic osscillation between fleksion dan ekstension) 3+ 2+ 1+ 0 brisk, tidak selalu merupakan indikasi dari penyakit sedang, normal berkurang tidak ada respon

Refleks Fisiologis

1. Reflek Biseps Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari dokter ditempatkan pada otot bisep (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan palu reflek . Pusat refleks ini terletak di C5-C6. Normal: 15

timbul kontraksi otot bisep, sedikit meningkat (brisk) bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hiperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

2. Reflek Trisep Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 90, tendon trisep diketok dengan palu reflek (tendon trisep berada pada jarak 1-2 cm diatas olecranon). Lengkung refleks ini melalui nervus radialis yang pusatnya terletak di C6-C8. Normal : timbul kontraksi otot trisep, sedikit meningkat (brisk) bila ekstensi ringan dan hiperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar ke atas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

3. Refleks radius Lengan bawah difleksikan serta dipronasikan sedikit, kemudian diketok pada prosesus stiloideus radius. Akibatnya, lengan bawah akan berfleksi dan bersupinasi. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis, yang pusatnya terletak di C5-C6.

4. Reflek Patella Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi 30 . Tendon patella dipukul dengan palu reflek. Normal: timbul kontraksi otot quadricep femoris, yaitu ekstensi dari lutut. Lengkung refleks ini melalui L2-L4. Pada lesi LMN akan menurun atau negatif. Pada lesi UMN akan meningkat dan menyebar ke otot-otot paha yang lain. 5. Achiles tendon reflek/ A.P.R Lengkung refleks ini melalui S1,S2. Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan ini adalah: y Penderita diminta melemaskan kakinya. Kita dapat meraba tendon ekstensor halucis/ digitorum yang berada di bagian dorsal kaki, bila terasa tegang berarti penderita belum menuruti perintah kita. y y Posisi kaki adalah dorsofleksi. Untuk memudahkan pemeriksaan reflek ini, kaki pemeriksa bisa diletakkan/ disilangkan di atas tungkai bawah kontralateral. Tendon achiles dipukul dengan palu reflek. Normal: timbul respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

16

Adanya gerakan lebih dari satu kali fleksi plantar (klonus) berarti abnormal (lesi UMN). Reflek yang negatif pada satu atau dua sisi sering diakibatkan lesi saraf perifer atau penyakit radiks spinalis (HNP).

6. Superfisial refleks i.) ii.) iii.) Refleks epigastrik: pusat refleks terdapat di segmen medulla spinalis Th6-9 Refleks mesogastrik: pusat refleks terdapat di segmen medulla spinalis Th8-11 Refleks hipogastrik: pusat refleks terdapat di segmen medulla spinalis Th11L1 Cara menimbulkan refleks abdominal adalah dengan menggores dinding perut dari lateral ke arah umbilikus. - Refleks dikatakan positif bila terjadi kontriksi dari dinding perut yang bersangkutan - Refleks dikatakan negatif bila tidak terjadi kontriksi dari dinding perut.

Refleks Patologis 1. Refleks Hoffman Trommer Cara membangkitkannya adalah dengan mengekstensikan jari tengah penderita, kemudian ujungnya digores, positif apabila terdapat gerakan fleksi jari lainnya.

2. Refleks Babinski Cara membangkitkannya adalah dengan menggores bagian lateral telapak kaki pasien dari belakang ke depan, hasil positif bila terdapat gerakan dorsoekstensi dari ibu jari dan gerakan abduksi dari jari-jari lainnya.

3. Variasi refleks Babinski Sebetulnya ada 27 gerakan yang bisa memberikan dorsofleksi jari jempol kaki, tapi yang sering digunakan adalah: a. Oppenheim (goresan jari sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke bawah), b. Gordon (memencet otot gastrocnemius), c. Schaefer (memencet tendon achiles), d. Chaddock (goresan sepanjang tepi lateral kaki diluar telapak kaki dari bawah ke atas). Diantara variasi reflek babinski ini maka reflek chaddock adalah yang paling berguna dalam penggunaan di klinis.

17

Variasi babinski ini diperlukan apabila kita ragu-ragu mengenai hasil evaluasi reflek babinski apabila penderita sangat sensitif terhadap goresan telapak kaki.

4. Reflek Rosolimo dan Mendel-Bechterew Arti klinis sama dengan reflek babinski dan variasinya (lesi UMN) hanyaresponnya yang berbeda. Pukulan pada bagian dorsal kaki pada tulang kuboid (refleks MendelBechterew) dan pada telapak kaki bagian depan (reflek rosolimo) akan memberikan respon berupa fleksi pada jari-jari kaki.

Klonus Klonus ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bila otot diregangkan secara pasif. Klonus merupakan refleks regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklear. a. Klonus patella: Cara membangkitkannya adalah dengan memposisikan tungkai sedikit fleksi di daerah patella, kemudian patella digerakkan tiba-tiba ke depan. Hasil positif apabila terdapat kontraksi patella yang berulang kali (lebih dari 8 kali).

b. Klonus achilles: Cara membangkitkannya adalah dengan memposisikan tungkai sedikit fleksi di daerah patella, kemudian telapak kaki bagian depan digerakkan secara tiba-tiba ke arah dorsal. Hasil positif apabila terdapat gerakan dorsofleksi dari kaki yang berulang kali (> 8x).

18

Gejala Patologis 1. Gejala Leri Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut: kita pegang lengan bawah pasien yang disupinasi serta difleksi sedikit, kemudian kita tekukkan dengan kuat (fleksi) jari-jari serta pergelangannya. Pada orang normal, gerakan ini akan diikuti oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas, dan kadang-kadang juga disertai aduksi lengan atas. Refleks ini akan negatif bila terdapat lesi piramidal. Tidak adanya refleks ini dinyatakan sebagai gejala Leri positif.

2. Gejala Mayer Pasien disuruh mensupinasikan tangannya, telapak tangan ke atas, dan jari-jari difleksikan serta ibu jari difleksikan dan diabduksikan (tangannya kita pegang). Kemudian dengan tangan yang satu lagi kita kita tekukkan jari 3 dan 4 pada falang proksimal dan menekannya pada telapak tangan (fleksi). Pada orang normal, hal ini mengakibatkan aduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada persendian metakarpofalangeal, dan ekstensi di persendian interfalang ibu jari. Hal ini tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak adanya respon ini disebut sebagai gejala Mayer positif.

Pemeriksaan koordinasi (ekstrapiramidal) Definisi kordinasi ialah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik, dan sinergis dalm melakukan gerakan. Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum yang merupakan pusat koordinasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah adanya dissinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan yang membutuhkan kerjasama antar otot, maka otot-otot ini tidak bekerja sama secara baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam dissinergia yaitu: gangguan gerakan dan dismetria. Dismetria adalah gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada waktunya atau tepat pada tempat yang dituju. Sering kita jumpai adanya hipermetria, yaitu melampaui tujuan; tetapi sesekali didapatkan adanya hipometria, yaitu gerakan berhenti sebelum sampai pada tujuan. Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Disfungsi sebelum jua akan menyebabkan muscle weakness, kurang propioseptif, dan dispraksia. Gangguan koordinasi dibagi menjadi: 1. Non-equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak, terutama gerakan halus) 19

2. Equilibratory coordination (mempertahankan keseimbangan, khususnya pada posisi berdiri)

Prosedur: 1. Non-equilibratory coordination i) Intensio tremor Tremor yang timbul bila melakukan gerakan volunter (degan kemauan) dan menjadi lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda tersebut makin jelas tremor pada tangannya.

ii) Tes telunjuk-hidung (Finger to-nose test) Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya kesamping, kemudian ia disuruh menyentuh hidungnya dengan telunjuk. Pada lesi sereberal telunjuk tidak sampai di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menyentuh telunjuk pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang. Normal, pasien dapat melakukan dengan benar dan cepat.

iii) Tes tumit lutut Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia dusuruh menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di paha.

20

iv) Disdiadokokinesia Penderita dalam keadaan duduk, diminta melakukan gerakan tangan berulang (pronasi-supinasi) di atas paha. Normalnya, kecepatan dan amplitudo gerakan tangan kanan dan kiri sama. Abnormalnya, gerakan di salah satu tangan menjadi lamban.

v) Rebound test Pasien dalam keadaan duduk. Minta pasien mengangkat tangan, fleksi elbow, tangan mengepal. Kemudian, pemeriksa menekan lengan bawah pasien kemudian lepas dengan cepat. Normal: tangan pasien kembali ke posisi awal. Abnormal: terdapat beberapa kali oscillation (goyah).

vi) Dysathri (Gangguan artikulasi) Disartria disebut juga gangguan artikulasi atau gangguan pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas, namun tidak ada gangguan pada penggunaan tata bahasa. Untuk dapat mengucapkan kata sebaik-baiknya sehingga bahasa yang didengar dapat ditangkap dengan 21

jelas dan tiap suku kata dapat terdengar secara terperinci, maka mulut, lidah, bibir, palatum mole, pita suara serta otot-otot pernapasan harus melakukan gerakan tangkas secara sempurna. Bila salah satu gerakan tersebut terganggu, timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Penderita dengan disartria bila disuruh untuk mengucapkan suatu kalimat maka akan terdengar kalimat yang tidak jelas.

2. Equilibratory coordination i) Ataksi (Gangguan koordinasi gerakan) Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal bila ia mengedik kebelakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut atau tungkai untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi pada penderita gangguan sereberal, saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh.

ii) Romberg test Pasien diminta berdiri, kaki dirapatkan, tumit dan jari saling menyentuh. Pemeriksa berdiri di smaping pasien untuk melihat apakah pasien akan terjatuh. Minta pasien menutup mata kemudian perhatikan kembali apakah dia terjatuh. Minta pasien menutup mata kemudian perhatikan kembali apakah dia terjatuh atau tidak. Normal: pasien dapat mempertahankan posisi tanpa harus menggerakkan kaki.

22

iii) Tandem gait test Pasien diminta berjalan pada satu garis dengan setiap langkah tumit menyentuh jari kaki. Normal: pasien berjalan tanpa goyah.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Greenberg, MS. Handbook of Neurosurgery. 7th ed. 2010. Thieme. 2. Liebenberg, AW. Neurosurgery Explained. 2005. Vesusius Books. 3. Satyanegara, et al. Ilmu Bedah Satyanegara. 4th ed. 2010. Gramedia. 4. Lindsay, KW. Neurology and Neurosurgey Illustrated. 3rd ed. 1997. 5. Bickley, LS. Bates Guide to Physical Examination and History Taking. 9th ed. 2007.

24