cdk_155_THT

57
http://www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125-913X 2007 THT vol.34 no.2/155 Maret – April 2007 Kajian Manfaat Tonsilektomi Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis Pola Sensitivitas Kuman Isolat Hasil Usap Tenggorok Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah Penderita Mastoiditis Akut RISA untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar Kelelahan Bersuara Formaldehid sebagai Faktor Risiko Kanker Nasofaring Densitas Mikrovaskuler dan Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring Komposisi Tubuh, Tekanan Darah dan Plasma Kolesterol pada Puasa Bulan Ramadhan

Transcript of cdk_155_THT

Page 1: cdk_155_THT

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

2007

THTvol.34 no.2/155

Maret – April 2007

Kajian Manfaat Tonsilektomi

Pola Kuman Aerob PenyebabSinusitis Maksila Kronis

Pola Sensitivitas Kuman IsolatHasil Usap Tenggorok

Kuman dan Uji KepekaanAntibiotika Sekret Telinga Tengah

Penderita Mastoiditis Akut

RISA untuk MembedakanSpesies Bakteri Otitis Media

Supuratif Kronik Benigna Aktif

Hubungan Tonsilitis Kronikdengan Prestasi Belajar

Kelelahan Bersuara

Formaldehid sebagai FaktorRisiko Kanker Nasofaring

Densitas Mikrovaskuler danRespon Klinik Penderita Karsinoma

Nasofaring

Komposisi Tubuh, TekananDarah dan Plasma Kolesterol pada

Puasa Bulan Ramadhan

Page 2: cdk_155_THT

http://www.kalbefarma.com/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi : 58. Editorial 60. English Summary Artikel 61. Kajian Manfaat Tonsilektomi - Tolkha Amarudin, Anton Christanto 69. Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis - Delfitri Munir,

Beny Kurnia 73. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita

Tonsilo-Faringitis Akut di Puskesmas Jakarta Pusat terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam - Retno Gitawati, Ani Isnawati

77. Pola Sebaran Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah Penderita Mastoiditis Akut di RS Dr Kariadi Semarang 2004 – 2005 - Kristiawan AR, Jogjahartono, Pujo Widodo

81. Pendekatan Molekuler (RISA) untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif - Anton Christanto, Soepomo Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi

87. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang - Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno

93. Aspek Fisiologis dan Biomekanis Kelelahan Bersuara serta Penatalaksanaannya - Hamsu Kadriyan

96. Paparan Formaldehid sebagai Faktor Risiko Kanker Nasofaring - Kajian pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang - Adi Nolodewo, Yuslam, Muyassaroh

100. Hubungan antara Densitas Mikrovaskuler dengan Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring WHO 2 dan WHO 3 terhadap Terapi Radiasi - Willy Yusmawan, Amriyatun

104. Perubahan Komposisi Tubuh, Tekanan Darah dan Plasma Kolesterol

Sebelum dan Sesudah 20 Hari Puasa pada Bulan Ramadhan : Studi pada Mahasiswa FKG Universitas Jember, 2005 – Hari Basuki, Dwi Prijatmoko

76. Agenda Kegiatan Ilmiah 107. Informatika Kedokteran 109. Kapsul 110. Laporan Kegiatan Ilmiah 111. Abstrak 112. RPPIK

2007

vol. 34 no. 2/155THT

Ket.gambar: struktur silia di dalam organ Cortis.geschmeisnerr spl

Page 3: cdk_155_THT

Cermin Dunia Kedokteran

EEDDIITTOORRIIAALL

Kalangan masyarakat luas pernah menganggap bahwa ‘penyakit amandel’ akan menyebabkan anak menjadi ‘bodoh’. Penelitian Farokah mencoba meneliti kebenaran anggapan tersebut – hasilnya dapat sejawat baca di Cermin Dunia Kedokteran edisi ini ; yang harus ditafsirkan dengan hati-hati sesuai dengan kasus atau situasi yang anda hadapi. Yang juga perlu dibaca ialah kajian manfaat tonsilektomi yang kami sertakan, bersama - sama dengan penelitian jenis kuman utama yang menyebabkan radang tonsil akut. Masalah infeksi di bidang THT lain seperti mastoiditis dan radang telinga tengah juga kami ketengahkan. Kanker nasofaring – salah satu keganasan yang sering dijumpai juga dibahas, antara lain mengenai hubungannya dengan paparan formaldehid. Artikel tambahan yang juga menarik ialah pengaruh puasa terhadap kadar kolesterol darah – sejawat dapat mengambil manfaat tambahan darinya. Selamat membaca, saran dan kritik tetap kami tunggu untuk meningkatkan mutu majalah ini,

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 58

Page 4: cdk_155_THT

2007

International Standard Serial Number: 0125 - 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Guru Besar Purnabakti Infeksi Tropik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

- Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.

Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

-

-

TATA USAHA Dodi Sumarna

INFORMASI/DATABASE Ronald T. Gultom, SKom

Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk

DEWAN REDAKSI

- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

- Dr. Karta Sadana

-

Dr. Sujitno Fadli

PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

PENCETAK PT. Temprint

http://www.kalbefarma.com/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: cdk_155_THT

English Summary

MOLECULAR APPROACH (RISA) FOR BACTERIAL SPECIES DISCRIMINA-TION TAKEN FROM ACTIVE BENIGN CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA

Anton Christanto, Soepomo Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi

Dept. of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia Background: Bacterial ear infec-tion, such as active benign chronic suppurative otitis media (ABCSOM) is a potentially serious disorder and requires topical antibiotic treatment. Traditionally, the identification and enumeration of bacteria depended entirely on pure culture techniques; but colony/cell morphology and bio-chemistry test sometimes do not adequate; so the intergenic spa-cers (IGS) between the 16S and 23S rRNA genetic loci are frequent-ly used in PCR finger-printing to discriminate bacteria strains at species and intraspecies levels. Objective: to investigate molecu-lar polymorphisms with IGS-PCR fingerprinting on bacteria isolated from active benign chronic suppurative otitis media Methods: Middle ear discharge samples were collected from 5 ABCSOM cases using sterile cathe-ter and syringe. Bacteria were isolated using blood agar media plate method. We compared the traditional and molecular app-roach (ribosomal intergenic spa-

cer analysis-RISA) in discriminating bacterial species obtained from fluid discharge samples. The RISA was performed by PCR amplifi-cation of 16S-23S ribosomal DNA. Result: Molecular approach iso-lated more bacterial species compared with traditional app-roach. Key words: ABCSOM, ribosomal intergenic spacer analysis, bacterial species discrimination

Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :81-6 aco, sso, aso, npi, rhi

CORRELATION BETWEEN CHRONIC TONSILLITIS AND STUDY ACHIEVE-MENT AMONG SECOND YEAR PRIMARY STUDENTS IN SEMARANG

Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno

Dept. of Ear, Nose and Throat Diseases, Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Objective: To prove whether chronic tonsillitis influences study achievement in children. Methods : Cross sectional study on 514 primary school second class students in Semarang who fulfilled study criteria. All sample students were screened wiith ENT physical examination, weight and height measurement, study achievement data and IQ test. Data were collected and ana-lyzed with prevalence ratio, confidence interval and Chi-square test. Other factors analyzed were: education of parents, gender, private lesson and intellIgence. Results : From 301 students

included in this study, 145 (48,2 %) were male; 145 (48,2 %) with chronic tonsillitis. There was signi-ficant correlation between chronic tonsillitis with study achievement (p < 0,05, 95%CI : 2,48-4,99). Low study achievement among stu-dents with chronic tonsillitis was 3,5 more frequent compared with students without chronic tonsillitis. Logistic regression analysis showed that chronic tonsillitis and intelli-gence influenced study achieve-ment; while parents’ education level, gender and private lesson didn’t. Conclusion : Chronic tonsillitis lowers study achievement.

Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :87-92 frh, spi, sso

PHYSIOLOGICAL AND BIOMECHA-NICAL ASPECT OF VOICE FATIGUE

Hamsu Kadriyan Medicine Study Program, Mataram University, West Nusa Tenggara, Indonesia

Professionals who rely on voice are prone to voice fatigue. Voice has physiologic and biomechanic aspects that can influence voice generation such as neuromus-cular, non-neuromuscular stretch-ing, blood flow disturbance, respi-ratory muscle fatigue and disturb-ance of vocal cord elasticity. Treatment are based on cause(s), including voice therapy, voice conservation, voice behaviour therapy and drug(s) if necessary.

Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :93-5 hkn

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 60

Page 6: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Manfaat Tonsilektomi

Tolkha Amarudin, Anton Christanto

Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RS Dr Sardjito Yogyakarta

ABSTRAK

Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi. Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai keseragaman indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Kajian manfaat tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam. Kata Kunci : Tonsilektomi, tonsilitis kronis

PENDAHULUAN Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua,

berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tonsilektomi dideskripsikan pertama kali di India pada tahun 1000 SM. Pada tahun 30 SM, Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama kali menggunakan skalpel untuk eksisi tonsil, namun belum maksimal karena tidak semua jaringan berhasil diangkat. Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsil-ektomi pada wanita 20 tahun yang mengeluh hidung tersumbat dan pendengaran menurun. Crowe (1917) melaporkan tonsilektomi pada 1000 pasien dengan mouth gauge, yang sekarang dikenal sebagai Crowe-Davis mouth gauge.1

Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan, tahun 1827 tonsil diangkat menggunakan guillotine, pada saat itu dinamai primary enucleation, pertama kali digunakan oleh Physick. Tahun 1867, Meyer menggunakan pisau berbentuk lingkaran, mengangkat tonsila adenoid melalui kavitas nasi, pada pasien dengan penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Pada tahun 1910 Wilis dan Pybus melaporkan pengangkatan tonsil lengkap dengan kapsulnya. Pada tahun 1912, Sluder menemukan alat untuk mengambil tonsil sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan kapsulnya mencapai 99,6 %.1 Teknik tonsilektomi lain terus dikembangkan seperti elektrokauter ditujukan untuk mengurangi efek yang tidak diharapkan.2

Pengaruh rangsangan bakteri yang terus menerus terhadap tonsil pada tonsilitis kronik menyebabkan sistem imunitas lokal tertekan; menurunnya respon imunologis limfosit tonsil dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen. Hal ini menyebabkan kegagalan fungsi tonsil sebagai gatekeeper dan menurunkan respon imunologi tonsil terhadap antigen.

Pengobatan tonsilitis kronik sangat sulit dan lazim dilakukan tonsilektomi. Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi, meskipun demikian di bidang THT tonsilektomi merupakan tindakan terbanyak dan biasa dilakukan Tonsilektomi dianggap sebagai tindakan kecil, namun dapat menimbulkan komplikasi baik durante maupun postoperasi, dapat berupa abses paru dan pneumonitis akibat aspirasi darah dan debris atau infeksi yang ada sebelumnya, maupun perdarahan. Di samping itu tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan nyeri pasca tonsilektomi dan infeksi.

Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak di bidang THT belum seragam indikasinya. Manfaat tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam. KEKERAPAN

Di Inggris (1987-1993) telah dilakukan 70.000 - 90.000 tonsilektomi dan adenoidektomi per tahun. Di Skotlandia

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 61

Page 7: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

selama 1990 – 1996 terjadi penurunan jumlah adenotonsil-ektomi, angka tonsilektomi pada anak turun dari 602 per 100 000 menjadi 511 per 100 000, 44 % perempuan dan 54% dengan adenoidektomi.3 Di Amerika Serikat tonsilektomi dilakukan sampai 1.500.000 tindakan pada tahun 1970 dan 286.000 orang menjalani adenotonsilektomi, sedangkan tahun 1985 dilakukan 400.000 tonsilektomi.1

Di Indonesia sampai saat ini jumlah kasus tonsilektomi masih sulit didapat. Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito tonsilektomi merupakan lebih dari separuh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian THT. Data pada tahun 1996 dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102 tindakan, dan tahun 1999 94 tindakan. Tonsilektomi tahun 2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan Agustus sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15 tahun, indikasi tersering adalah tonsilitis kronis. Terlihat angka tonsilektomi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, mungkin disebabkan indikasi tonsilektomi makin ketat.4

ANATOMI

Gambar 1. Anatomi tonsila palatina

Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak

di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta.10

Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas; hal ini membuktikan asalnya dari sisa perkembangan kantong brakial II. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.9,10,11

Permukaan lateral tonsil yang tersembunyi ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat disebut kapsul; walaupun para ahli anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para pakar klinik menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih

yang menutupi 4/5 bagian tonsil.10 Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis merupakan struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Plika triangularis terletak di antara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.10 Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh otot-otot orofaring: 1) Batas anterior adalah otot palatoglossus, disebut plika anterior, 2) Batas posterior adalah otot palatofaringeus, disebut plika posterior, 3) Batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Plika anterior berbentuk seperti kipas di rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Plika posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba Eustachius dan dasar tengkorak. ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus. (Gambar 1)

Plika anterior dan plika posterior ini bersatu di atas di palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Di bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a. palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal, dan a. faringeal asenden.

Arteri tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatine artery memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.10,11,12

Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktuli torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.

Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX).12

MORFOLOGI TONSILA PALATINA 1. Kripte dan Epitel Tonsil

Susunan kripte tubuler di bagian dalam menjadi salah satu karakteristik tonsila palatina. Tonsila palatina memiliki 10 – 30 kripte dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing kripte tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 62

Page 8: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

Bersama dengan variasi bentuk dan ukuran folikel limfoid menyebabkan keragaman bentuk tonsil. Kripte berisi sel degenerasi dan debris selular. Epitel kripte adalah modifikasi epitel skuamosa berstratifikasi yang menutupi bagian luar tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah limfosit intraepitel) epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripte berperan penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila palatina. Pada kripte antigen lumen diambil oleh sel khusus dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel intestinal peyer’s patches, atau yang dikenal sel M.

Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor antigen ke dalam vesikel di basolateral membran dan eksositosis ke rongga intra dan subepitel tempat terjadinya kontak dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari sedikit sel epitel kripte dan memiliki mikrovilli khusus di bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi mukosa atau imunisasi. Sel M memiliki relevansi klinis karena beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk untuk menginvasi host.

Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel tanpa pola distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan dendritic cells juga berkontribusi terhadap populasi sel non epitel. Sel plasma dominan terdapat di sekitar kapiler intraepitel. Banyaknya sel immunokompeten dalam epitel kripte membentuk satu mikrokompartemen limfoid tersendiri dalam tonsila palatina14 (gambar 2).

Gambar 2. Diagram skematis tonsil palatine dan komposisi sel14

2. Folikel Limfoid

Folikel limfoid primer tampak di tonsil dari minggu ke 16 kehamilan, dan sentrum germinativum dibentuk segera setelah lahir. Folikel limfoid di tonsila palatina berbentuk bulat atau elips, terletak di bawah epitel dan di sisi dengan intensitas maturasi dan diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T (gb. 3).

Folikel limfoid sekunder berisi sentrum germinativum terdiri dari zona gelap, dengan sejumlah besar proliferasi B blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apeks) terisi sebagian besar oleh sentrosit dan sebuah mantle zone berisi naïve B cells. Dengan menggunakan teknik antibodi monoklonal, lima kelas sel B (Bm 1= naïve B cells sampai Bm

5= memory B cells) telah diidentifikasi pada tonsil manusia. Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic

cells (FDC) dan sebuah kelas khusus sel dendritik sentrum germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar kompleks imun di membran plasma untuk jangka lama dan dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells yang memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan diferensiasi sel B di sentrum germinativum. Selanjutnya FDC berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel B di folikel limfoid. Secara ultrastruktur teridentifikasi 7 populasi FDC berbeda namun belum jelas apakah mereka memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak terletak pada light zone.14

3. Daerah Ekstrafolikuler

Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip helper, CD 4), interdigitating dendritic cells (IDC), makrofag, dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules (HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari darah ke dalam tonsil. Dalam zona ekstrafolikuler, terdapat sel penghasil sitokin spesifik (IL - 1α dan TNFα dari makrofag sebaik IDC, IL-2 dan IFN-γ dari sel T) dan produksi antibodi.14

Gambar 3. Foto mikrografi tonsila palatina menunjukkan distribusi

kelas-kelas sel T (CD 3+), sel B ( CD 20+), sel T helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD 8+). Catatan: CD 4 Dan CD 8 tidak hanya terdapat pada sel T helper dan sel T sitotoksik, tapi juga beberapa sel non limfoid.14

IMUNOBIOLOGI TONSIL

Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T sangat berkurang di semua kompartemen tonsil. Selain itu juga terjadi pada sejumlah IDC dan FDC yang merupakan age-dependent tonsilar involution.14

Gambaran struktur imunologis tonsil menunjukkan seluruh elemen yang dibutuhkan untuk sistem imunologi mukosa. Bakteri, virus, atau antigen makanan akan diabsorpsi secara selektif oleh makrofag, sel HLA (+) dan sel M dari tipe

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 63

Page 9: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

tonsil. Selanjutnya, antigen ditranspor dan dipresentasikan ke sel T di area ekstra folikuler dan ke sel B di sentrum germinativum oleh FDCs.15

Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC akan mengakibatkan terjadinya peristiwa biokimiawi dalam sel T berupa peningkatan kadar ion Ca++ dalam sitoplasma dan mengaktifkan enzim kinase protein C yang merupakan sebagian signal untuk mengaktifkan sel T. Dua faktor tersebut belum cukup untuk mengaktifkan sel T karena ada faktor ke tiga yaitu IL-1 yang disekresi oleh APC. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T terlihat di Gambar 4.

Gambar 4. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T 15

Sel T yang telah aktif ditandai dengan sekresi IL-2 dan

ekspresi reseptor IL-2, sehingga akan 1) meningkatkan jumlah klon sel T sendiri, 2) meningkatkan perbanyakan limfosit lain yang telah diaktifkan oleh antigen yang sama atau mirip, namun tidak dapat menghasilkan IL-2 (sel CD8+), 3) meningkatkan jumlah sel limfosit yang telah dirangsang sebelumnya tetapi memiliki reseptor IL-2 (sel memori yang tidak spesifik terhadap antigen yang merangsangnya), dan 4) meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan limfosit T tetapi memiliki reseptor IL-2 (limfosit B dan natural killer cell – NK). Hubungan antara ekspresi reseptor IL-2 dengan kadar ion Ca++ intraseluler dibuktikan oleh Komada dkk (1987) yang mendapatkan ekspresi maksimum reseptor IL-2 sesuai dengan kadar maksimum ion Ca++ intrasel.16

Aktifasi limfosit B oleh antigen menjadi sel yang mampu menghasilkan antibodi memerlukan bantuan sel Th. Terhadap sel B selain IL-2 yang bertindak sebagai aktifator dan promotor pembelahan, sitokin lain yang berpengaruh adalah IL-4 sebagai aktifator limfosit B istirahat, IL-5 sebagai faktor pertumbuhan limfosit B aktif dan IL-6 sebagai faktor diferensiasi akhir yang mampu menjadikan sel B melepaskan immunoglobulin (gambar 5).

Plasma sel didistribusikan pada zona ekstrafolikuler dan epitel kripte, selanjutnya imunoglobulin disekresikan ke dalam kripte. Maka dari itu, tonsil berperan penting dalam memelihara flora normal dalam kripte orang sehat. Selain itu tonsil juga akan mensekresikan IgA ke dalam lumen kripte dan juga bertindak sebagai sumber sel B IgA dengan rantai J positif dimer untuk area lain pada sistim respirasi atas seperti kelenjar parotis, lakrimalis, mukosa hidung dan mukosa telinga tengah.15

Gambar 5 . Peran sitokin pada aktivasi sel 15

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi

menjadi 3 kejadian yaitu 1) respon imun tahap I, 2) respon imun tahap II, dan 3) migrasi limfosit. Respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk kompartemen mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik dalam konsentrasi tinggi. Interaksi sel M dengan sel yang berbeda dalam sistem imun di mikrokompartemen selama inisiasi respon imun selular atau humoral belum dipahami.

Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan oleh stimulasi antigen lokal limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4, IL-6, TNF-α, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β.

Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang memungkinkan terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA.

IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig merupakan faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspor ke dalam kripte.

Respon imun tonsila palatina tahap ke dua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Di daerah ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel TFH

kemudian

menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 64

Page 10: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.

Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit yang berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEVdan kembali ke sirkulasi melalui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar bagi limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan di dalam kripte.14

TONSILITIS KRONIS

Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal.11,12,17

Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.18

Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1) gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal, hipertrofi tonsil, permukaan berbenjol–benjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar massa seperti keju. Kadang–kadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe regional.4,12

Gambaran respon imun selular pada tonsillitis kronik menunjukkan terjadinya peningkatan deposit antigen pada jaringan tonsil. Hal ini menyebabkan peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten yang terjadi terus-menerus. Fenomena peningkatan tersebut telah dibuktikan oleh Agren et al. yang mendapatkan peningkatan insidensi sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.19

IL-1 terdiri dari 2 bentuk yakni IL-1α dan IL-1β keduanya mempunyai aktifitas biologis sama. IL-1α dibuat oleh makrofag sedangkan IL-1β dibuat oleh sel-sel epitel (endotel) dan fibroblas setelah diaktifkan antigen, merupakan sitokin kunci pada proses inflamasi yang berperan sentral dalam respon imun. Pengaruh IL-1 terhadap sel T adalah meningkatkan kemampuan proliferasi sel Th2 setelah

stimulasi oleh IL-4, dan bersama IL-6 menginduksi ekspresi reseptor IL-2 pada sel T istirahat. Terhadap sel sel B, IL-1 bersama IL-4 merupakan aktifator dan khusus IL-1α berperan membantu sintesis DNA pada perkembangan sel B.

IL-2 dikenal sebelumnya sebagai T-cell growth factor diproduksi oleh sel T. Hanya sel T aktif mengekspresikan reseptor dengan afinitas tinggi dan mensekresi IL-2 sehingga ekspansi sel T terkontrol. IL-2 berpengaruh terhadap sel T sebagai aktifator dan faktor pertumbuhan yang kuat, berperan menginduksi pertumbuhan dan differensiasi sel NK dan sel B, serta mengaktifkan makrofag dan monosit.

IL-4 dikenal sebagai B-cell activating differentiating factor-1 (BCDF-1) berpengaruh terhadap sel B dalam induksi, aktivasi, dan diferensiasi, terutama untuk memproduksi IgG dan IgE, sehingga IL-4 yang tinggi berperan dalam alergi. IL-4 diproduksi oleh subpopulasi sel T dan sel mast setelah sel T diaktifkan atau terjadi ikatan silang reseptor pada basofil dan sel mast. IL-4 juga berperan mengarahkan perkembangan sel T menjadi sel Th2 dengan cara menghambat differensiasi sel Th0 menjadi sel Th1. Pengaruh terhadap Th0 dinetralisir oleh IL-12 yang mengadakan regulasi silang dengan IL-4. Terhadap makrofag IL-4 akan menginduksi ekspresi MHC II, tetapi menghambat produksi sitokin.

IL-5 merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel T aktif, dengan bentuk aktif fungsional berupa disulfid dengan ikatan dimer. Bentuk ikatan ini memungkinkan IL-5 berinteraksi pada reseptor yang diekspresikan oleh eosinofil, basofil dan sel B aktif. Pada sel B, IL-5 bertindak sebagai faktor pengaktif sel B dan bersinergis dengan IL-6 berperan besar dalam produksi IgA. Dikenal juga sebagai faktor differensiasi eosinofil dan patologis berperan pada penyakit alergi melalui sekresi eosinophil major basic protein dan neurotoksin akibat degranulasi eosinofil.

IL-6 menjadi B-cell differentiating factor diproduksi oleh makrofag, endotel dan fibroblast. Fungsi utamanya adalah menginduksi sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel pembentuk antibodi dan jika bersama IL-1 bertindak sebagai co-stimulator ekspresi reseptor IL-2 pada sel T.

IL-8 diproduksi oleh makrofag dan endotel, terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel, merupakaan inducer kuat kemotaksis neutrofil, sel T memori, monosit, dan basofil. IL-8 juga dikenal sebagai faktor angiogenik yang berperan serta pada peningkatan vaskularisasi beberapa tumor.

IL-10 menjadi mediator penghambat produksi sitokin, menghambat INFγ, menghambat presentasi aantigen dan menghambat makrofag memproduksi IL-1, IL-6 dan TNFα serta berperan dalam regulasi IgE. Diproduksi oleh sel Th0 dan Th2 dari sel T dan produksinya dihambat oleh INFγ. Disamping IL-10 berperan sebagai sitokin anti inflamasi, IL-10 juga bersinergi dengan sitokin lain dalam menstimulasi proliferasi sel B. Bersama TGFβ menyebabkan produksi IgA oleh sel B.

TNFα merupakan imunomodulator respon imun yang kuat memperantarai induksi molekul adhesi, produksi sitokin, aktifasi neutrofil, dan sinergi dengan sitokin lain bersifat mitogen terhadap endotel. Disekresi oleh beberapa sel antara lain oleh makrofag, sel T, sel B, dan sel NK. TNFα yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 65

Page 11: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

disekresi oleh makrofag setelah berinteraksi dengan komponen bakteri.

INFγ dikenal sebagai antivirus merupakan glikoprotein monomer yang dibuat oleh sel T aktif (Th0, Th1 dan CD8+) dan sel NK. INFγ pengaktif kuat bagi makrofag untuk menginduksi NO sintetase, TNFα dan IL-1. Hal ini menjelaskan bagaimana sitokin meningkatkan kemampuan mikrobakterisidal makrofag. INFγ juga sinergis dengan beberapa sitokin lain, misalnya TNFα memperantarai sitotoksisitas berbagai tipe sel.20

INDIKASI TONSILEKTOMI

Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke 20 tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme. Menurut Ballenger (1997), tidak ada rumusan baku untuk indikasi tonsilektomi. Grey (1994) dan Simpson (1967) membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi lokal, fokal dan umum, sedangkan Boies (1997) atas indikasi relatif dan indikasi absolut. Royal College Paediatric & Child Health / RCPCH (2000) dan Scottish Intercollegiate Guideline Network / SIGN (2001), tidak membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi relatif dan indikasi absolut.

Antoni W (2002) menyatakan bahwa kriteria pasien dirujuk untuk tonsilektomi adalah 1) ada riwayat abses peritonsiler, 2) ada riwayat obstruksi akibat hipertrofi tonsil, 3) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokal yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak responsif terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 4) ada episode sakit tenggorokan yang mengganggu fungsi normal.7

Rekomendasi kriteria rujukan indikasi tonsilektomi pada tonsilitis dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah adanya semua kriteria berikut 1) sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3) gejala sekurangnya 1 tahun, dan 4) episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi normal.

Indikasi yang menjadi perdebatan adalah definisi tonsilitis kronis dan tonsilitis rekuren, di samping itu sampai sekarang belum ada definisi praktis tonsilitis yang jelas dan diterima secara luas. Hal ini menyulitkan penelitian mengenai tonsilitis. Paradise et al. (2003) mendefinisikan secara klinis sebagai sakit tenggorok dengan 1) suhu oral 38,3° C, 2) eksudat tonsil atau faring, 3) pembesaran > 2 cm atau nyeri tekan pada limfadenopati servikal dan 4) swab tenggorok menunjukkan Streptokokus β hemolitikus grup A (SBHGA).8

Capper dan

Canter menyatakan bahwa kesepakatan gambaran diagnostik tonsillitis dan indikasi tonsilektomi sangat rendah. Indikasi yang paling banyak dianut adalah tonsillitis rekuren dan obstruksi traktus aerodigestif. Perbedaan definisi antara peneliti menyebabkan banyak penelitian sulit dibandingkan.9

Simpson et al. (1967) dan Gray (1992) membedakan indikasi tonsilektomi dalam indikasi lokal, fokal dan general (umum). Yang termasuk indikasi lokal: 1) abses peritonsil, 2) tonsilitis rekuren, 3) tonsilitis kronis, 4) tonsil sebagai karier Streptococcus Beta Hemolyticus Group A (SBGA), 5)

hipertrofi tonsil sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas dan saluran makanan yang gagal diatasi secara konservatif, 6) untuk pengambilan prosesus styloideus pada neuralgia, 7) kecurigaan keganasan jika biopsi tidak cukup. Yang termasuk indikasi fokal adalah: 1) adenitis servikal menetap, 2) infeksi saluran nafas atas berulang, 3) rematik akut berulang yang dihubungkan dengan tonsilitis, 4) glomerulonefritis akut yang dihubungkan dengan tonsilitis, 5) radang dan infeksi, konjungtiva, sendi dan fascia yang dihubungkan dengan tonsilitis. Yang termasuk indikasi umum adalah: berat badan tidak bertambah, malaise.

Indikasi tonsilektomi menurut Adam (1996) dibagi atas

indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut adalah: 1) timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas kronis, 2) hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur, 3) hipertrofi berlebihan menyebabkan disfagi dan penurunan berat badan, 4) biopsi eksisi kecurigaan keganasan, 5) abses peritonsil berulang atau abses yang meluas ke jaringan sekitarnya. Selain itu ada indikasi relatif yang masih dapat diterima yaitu: 1) serangan tonsilitis berulang yang tercatat, tonsilitis terkait streptokokus menetap dan patogenik (keadaan karier), 2) hipertrofi tonsil dengan obstruksi fungsional, 3) riwayat demam rematik, 4) radang tonsil kronis tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.

Rekomendasi indikasi tonsilektomi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah pasien yang memenuhi semua kriteria berikut: 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorok tiap tahun, 3) Gejala sekurangnya 1 tahun, 4) Episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi normal.

Pasien jarang dirujuk ke spesialis dalam kondisi akut, oleh sebab itu episode sakit dan disability pasien harus dikonfirmasi. Dianjurkan periode 6 bulan pengamatan untuk menentukan pola gejala sakit tenggorokan dan memberi kesempatan pasien mempertimbangkan secara penuh implikasi operasi. Saat keputusan tonsilektomi diambil, seharusnya segera dilakukan saat keuntungan maksimal sebelum penyembuhan alami terjadi. PEMBAHASAN

Tonsilitis kronik sangat sulit diobati dan tonsilektomi lazim dilakukan. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan ber-bagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.

Kriteria pembedahan yang diterima luas saat ini adalah adanya 7 episode tonsilitis dalam satu tahun, 5 episode tonsilitis tiap tahun selama 2 tahun atau 3 episode tonsilitis tiap tahun selama 3 tahun. Kriteria lain yang sering dijadikan landasan adalah 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3) adanya riwayat peritonsiler abses, 4) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokus yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak respon terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 5) ada episode sakit tenggorokan yang menyebabkan gangguan fungsi normal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 66

Page 12: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

Tonsilektomi perlu dipertimbangkan bila ada keyakinan tonsil sebagai fokus infeksi dan gagal dieradikasi dengan terapi antibiotika yang adekuat. Tindakan tonsilektomi dilakukan setelah meneliti kembali kegagalan pengobatan dengan antibiotika standar. Kegagalan terapi dapat pula diakibatkan karena organisme yang ada telah membentuk koloni yang tidak responsif terhadap terapi, organisme resisten terhadap terapi antibiotika standar atau penderita tidak patuh minum obat sesuai takaran.

Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya..

Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus dapat merupakan sumber autoantibodi terhadap sejumlah sistem organ sehingga tonsil memainkan peranan penting terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh virus atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang mirip dengan bagian lain tubuh yang dapat memacu imunitas seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral sehingga terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit, mesangium ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur tonsil dengan banyak tampaknya merupakan pintu gerbang bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil.

Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau rekuren karena tonsil tersebut telah dekompensata dari segi imunologis. Pemeriksaan radioautografi elektron pada limfosit tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata, menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi limfosit T dan B dengan differensiasi jelek. Proses ini ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi prekursor radioaktif pada limfosit B menunjukkan terjadinya diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini. Esensinya bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi maksimal substrat protein aktif yang memperantarai imunitas humoral pada tonsilitis kronik.21

Penelitian Unal et al. menggunakan desain before and after, mengenai kadar sitokin (IL-1, IL-4, IL-6, IL-8 dan TNF-α) pada penderita tonsilitis kronik yang menjalani tonsilektomi. Didapatkan penurunan kadar sitokin IL-1, IL-6, dan IL-8 setelah tonsilektomi. Peningkatan IL-1β dan IL-6 bertanggung jawab terhadap efek sistemik tonsilitis kronik seperti demam rematik, pustulosis palmaris ataupun glomerulonefritis akut.

Penyakit nefropati Ig A, yang ditandai dengan adanya deposit Ig A terutama di mesangium glomerulus, sering terjadi setelah ISPA seperti tonsilitis atau faringitis. Tonsil sebagai sumber infeksi fokal bertanggung jawab pada peningkatan sirkulasi komplek imun Ig A nefrogenik. Suzuki et al. (2003) menyebutkan bahwa pada pasien nefropati Ig A ditemukan deposit membran luar Haemophilus parainfluensa di glomerulus dan peningkatan serum Ig A terhadap antigen membran luar Haemophilus parainfluensa.23

Tonsilektomi tidak mencegah terjadinya sakit

tenggorokan berulang. Hasil penelitian Paradise et al. menunjukkan angka kejadian sakit tenggorokan pada tahun pertama kunjungan pada kelompok yang menjalani tonsilektomi 1,96 (P= 0,02); kelompok adenotonsilektomi 1,85 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,78. Pada tahun ke dua masing-masing menjadi 1,59 (P= 0,01); 1,78 (P= 0,01); dan 2,85. Pada tahun ke tiga kelompok tonsilektomi 1,19 (P=0,002); kelompok adenotonsilektomi 1,36 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,25. Insiden infeksi sakit tenggorokan di kelompok tonsilektomi atau adenotonsilektomi lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol selama 3 tahun follow up. Sedangkan kejadiaan sakit tenggorokan di kelompok yang menjalani tonsilektomi saja dan di kelompok adenotonsilektomi tidak berbeda bermakna.24

Dengan desain case series atas 290 penderita peritonsiler abses, Kronenberg et al. (1987) mendapatkan bahwa penderita tonsilitis rekuren memiliki angka kekambuhan abses peritonsiler lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat tonsilitis rekuren (40% berbanding 10.5%, nilai p= 0.0001). Tindakan konservatif tanpa tonsilektomi memberikan angka kekambuhan 22%.

Gangguan fungsi pada penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan deglutisi mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), yang prevalensinya 1 – 3 % pada anak TK dan usia sekolah, menimbulkan masalah kesulitan bernafas malam hari terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku dan gangguan neurokognitif.

Penelitian before and after surgery oleh Goldstein et al. menggunakan Child behavior checklist (CBCL) dan OSA-18 (18 item berkaitan survai QOL pada penderita OSAS) menilai 64 pasien obstruksi saluran nafas dan atau tonsilitis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa gangguan perilaku dan emosional ditemukan pada anak dengan OSAS sebelum diobati dan membaik setelah adenotonsilektomi. Skor CBCL menunjukan korelasi signifikan dengan skor QOL (OSA-18).

Penelitian Lianne et al. dengan desain prospektif, observasional, before and after trial, atas 101 pasien OSD (obstructive sleep disorders) yang menjalani adenotonsilektomi; menggunakan OSD-6, yang meliputi keluhan fisik, gangguan tidur, kesulitan bicara, kelainan menelan, distress emosional, keterbatasan fisik, dan perhatian orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 90% anak yang menjalani tonsilektomi mengalami peningkatan QOL setelah pembedahan - 75% perbaikan besar dan 6% perbaikan sedang.

Neil et al. meneliti daya guna tonsilektomi pada dewasa dan menentukan pengaruhnya terhadap QOL. Desain yang dipakai cross-sectional, menggunakan parameter Glasgow Benefit Inventory (GBI) meliputi demografi, penggunaan antibiotik, kunjungan pasien, kehilangan waktu kerja disebabkan tonsilitis kronik selama 12 bulan sebelum dan setelah tonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tonsilektomi pada dewasa memberikan perbaikan QOL pasien.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 67

Page 13: cdk_155_THT

Manfaat Tonsilektomi

Tonsilektomi juga menurunkan pemakaian sarana kesehatan dan waktu kerja yang hilang.

5. Ulina S. Hasil guna ketoprofen dalam mengatasi nyeri pasca tonsilektomi. Karya Akhir Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. RSUP DR. Sardjito/FK UGM. 2002. Keuntungan tonsilektomi secara ekonomi diteliti oleh

Bhattacharyya et al. menggunakan break even time analysis model pada 83 pasien yang menjalani tonsilektomi karena tonsilitis kronik, menggunakan GBI dan kuesioner untuk menilai sebelum dan setelah tonsilektomi. Dalam 1 tahun terdapat penurunan pemakaian antibiotik, kunjungan pasien ke dokter dan hari kerja yang hilang. Break even point keseluruhan tonsilektomi dicapai pada 2,3 tahun. Berdasar fakta tersebut dapat disimpulkan tonsilektomi menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan, meminimalkan economic burden tonsilitis kronik pada populasi dewasa.

6. Royal College Paediatric & Child Health. Management of acute and recurring sore throat and indication for tonsillectomy. RCPCH. London. 2000.

7. Anthony WC. Pharyngitis and Tonsillitis. In Best Practice of Medicine. [email protected]. 2002.

8. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn K, Benard BS, Rockette HE, Lasky MK. Tonsillectomy and adenotonsilectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110: 7-15.

9. Ballanger JB. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Ed.13. Binarupa Aksara. Jakarta: 318-323.

10. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288 – 304.

11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315.

KESIMPULAN

12. Adam GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi bahasa Indonesia. EGC Jakarta 1996: 337 – 345.

Tonsilektomi merupakan tindakan operasi bidang THT tersering. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Indikasi lain adalah riwayat abses peritonsilar, karier SBHGA, dan gangguan fungsi.

13. Ballantyne J, Groves J. Acute infection of the pharynx and tonsil. Scott Brown’s Otolaryngology. 5th ed. Butterworth. London, Sydney. Durban Toronto: 1987. 76 – 98.

14. Nave H, Gebert A, Pabst. Morphology and immunology of the human palatine tonsil. Anat Embryol 2001;204: 367-373.

15. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D. Imunobiology of the tonsil and adenoid. In Handbook of Mucosal Immunology. Academic Press Inc.: 1994. pp. 625-640.

Pada tonsilitis kronik terjadi penurunan fungsi imunitas tonsil. Penurunan fungsi ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.

16. Subowo. Imunobiologi. 10 th

ed.. Bandung:Angkasa, 1993. 17. Simpson JF, Robin IG, Ballantyne JC, Groves J. A synopsis of

otolaryngology. 2nd ed. Bristol: John Wright and Sons Ltd. 1967. p: 189-193.

18. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the Ear, Nose and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 – 170. Tonsilektomi harus dengan indikasi tepat mengingat

peranan tonsil sebagai bagian sistem pertahanan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa pada tonsilitis rekuren atau kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorok, meningkatkan QOL, menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban ekonomi penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan pada tonsilitis kronik yang telah mengganggu fungsi normal seperti obstructive sleep disorders dan gangguan fungsi digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa, demam rematik tonsilektomi dikerjakan untuk menghilangkan fokus infeksi.

19. Agren K, Anderson U, Nordlander B, Nord CE, Linde A, Ernberg I et al. Upregulated local cytokine production in recurrent tonsillitis compare with tonsillar hypertrophy. Acta Otolaryngol 1995;115: 689-696.

20. Male D, Cooke A, Owen M, Trowsdale J, Champion B. Advance Immunology. 3 rd ed. Mosby Year Books. London. 1996.

21. Chikovani NV, Gabuniia UA, Lomaia TG. Morphology of the palatine tonsils lymphocytes in chronic tonsillitis using data of electron microscopic radioautography. Arch Pathol 1989;51: 55-59.

22. Murat U, Oztruck C, Gorur K. Effect of tonsillectomy on serum concentration of Interleukin and TNFα in patients in chronic tonsillitis. Otorhinolaryngol 2002;64: 254 – 256.

23. Suzuki S, Fujieda S, Sunaga H, Yamamoto C, Kimura H, Gejyo F. 2000. Synthesis of immunoglobulins against Haemophilus parainfluenza by tonsillar lymphocyte from patients Ig A nephropaty. Nephrol Dial Transplant 15: 619-624.

24. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Benard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsilectomy and adenotonsilectomy for rekuren throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002; 110: 7-15.

25. Kronenberg J, Wolf M, Leventon G. Peritonsilar absess: recurrence rate and indications of tonsillectomy. Otolaryngol 1987;8: 82-84.

KEPUSTAKAAN 26. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behaviour and quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002;128: 770-775.

1. Quinn FB, Ryan MB. The tonsil and adenoid in pediatric patient. In

Grand Round Presentation, UMTB, Dept. Otolaryngology. www. UMTB.edu. 2002.

27. Lianne M. Impact of adenotonsilectomy on quality of life in children with obstructive sleep disorders. Arch otolaryngol head neck surg., 2002;128:489-496. 2. Timms MS, Temple RH. Coablation tonsillectomy: a double blind

randomized controlled study, J Laryngol. Otol. 2002; 116: 450-.2. 28. Bhattacharyya N, Kepness LJ, Shapiro J. Efficacy and quality of life impact of adult tonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 127: 1347-1350. 3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat

and indications for tonsilectomy. www.show.scot. nhs.uk. 1999 29. Bhattacharyya N,Kepness LJ.Economic benefit of tonsilectomy in adults with chronic tonsillitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002;111: 983-8. 4. Paparella MM. Otolaryngology. Philadelphia: WB Saunders 1980: 417-

19.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 68

Page 14: cdk_155_THT

Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

HASIL PENELITIAN

Pola Kuman Aerob Penyebab

Sinusitis Maksila Kronis

Delfitri Munir, Beny Kurnia

Poliklinik THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, Indonesia

ABSTRAK

Bakteri penyebab sinusitis maksila kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang aerob. Pada kesempatan ini kami hanya meneliti bakteri aerob saja.

Penelitian ini bersifat prospektif deskriptif dari Juli 2000 s/d Juni 2001. Penderita yang memenuhi kriteria berjumlah 40 penderita dengan bakteri aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia. Kata Kunci: Sinusitis maksila kronis, bakteri aerob.

PENDAHULUAN Istilah sinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam

dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik.1 Harus dipahami bahwa hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan2 sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung, sinus paranasal dan sebaliknya2. Infeksi sinus paranasal yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila.3

Sinusitis adalah proses peradangan mukosa yang melapisi sinus4. Secara klinis sinusitis dikatakan kronis bila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan.1,3 Gambaran klinis yang dapat dijumpai adalah hidung tumpat, ingus kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, penciuman berkurang, nyeri kepala, sekret di meatus media, riwayat hidung berdarah, dan batuk 5.

Faktor-faktor fisik, kimia, saraf, hormonal atau emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung yang selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus2. Pada umumnya, infeksi sinus kronik lebih sering dijumpai pada daerah beriklim lembap dan dingin2. Defisiensi nutrisi, kelelahan, kesegaran fisik yang menurun, dan penyakit sistemik juga penting dalam etiologi sinusitis2. Perubahan faktor lingkungan seperti udara dingin, panas, kelembapan, kekeringan dan polusi udara termasuk asap tembakau juga merupakan predisposisi infeksi2. Faktor lokal yang juga dapat merupakan predisposisi penyakit sinus antara lain deformitas tulang2, alergi1,2,4, keadaan gigi geligi2,4, benda asing1,2,6, tumor1,2,5,6, polip nasi1,5-,9, deviasi

septum1,2,5,7,8, parut stenotik ostium sinus6,7, konka hipertrofi1, rinolit1.

Bakteri-bakteri penyebab sinusitis kronik antara lain Pneumokokus2,5,10, Streptokokus2,5, Stafilokokus2,5,10, Hemofilus influensa2,5,7,10, kokus gram positif anaerob2, Klebsiella2, batang gram negatif2, Streptokokus pneumonia7,11 Stafilokokus aureus7,11, Branhamella katarrhalis7,11, Streptokokus hemolitikus4,10, Mikrokokus katarrhalis5, E.koli10, Pseudomonas11.

Untuk mendapatkan jenis bakteri penyebab dapat dilakukan kultur sekret hidung anterior, namun kecil artinya dalam kaitan dengan sinusitis. Cara lain yang lebih akurat adalah melalui bagian belakang hidung, namun sulit dilakukan. Untuk mendapatkan hasil kultur yang lebih spesifik, sekret diambil dari irigasi sinus maksila.2

Makna klinis kultur bakteri positif pada sinusitis sulit diperkirakan. Kontaminasi dari permukaan kolonisasi mukosa sinus mungkin sulit dibedakan dari keterlibatan tulang atau intramukosa yang sebenarnya. Terlebih lagi, pewarnaan Gram sering tidak dapat memperlihatkan adanya bakteri walaupun secara endoskopi terbukti sinusitis aktif.12 Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri2. Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini bersifat prospektif deskriptif, data diambil secara cross sectional.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 69

Page 15: cdk_155_THT

Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

SUBYEK DAN BAHAN : Subjek penelitian terdiri dari penderita sinusitis maksila

kronik yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Juli 2000 s/d Juni 2001, dengan kualifikasi :

a. Kriteria inklusi : i. Semua penderita sinusitis maksila kronis dengan keluhan

lebih dari 3 bulan yang baru pertama datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

ii. Penderita berusia di atas 15 tahun iii. Hasil foto Sinus Paranasal menunjukkan Sinusitis Maksila

berupa perselubungan atau air fluid level iv. Bersedia ikut serta dalam penelitian. b. Kriteria eksklusi : i. Ibu hamil dan menyusui ii. Pada saat punksi tidak dijumpai sekret. iii. Tidak dijumpai pertumbuhan kuman pada tes kepekaan iv. Tidak sesuai dengan kriteria (a) Alat / Bahan Penelitian : - Alat pemeriksaan THT rutin - Alat irigasi sinus (Trokard) - Syringe steril 10 ml - Selang kecil dari wing needle no. 23 - Media pertumbuhan kuman (blood agar) CARA Pada penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan ; 1. Anamnesis yang berhubungan dengan keluhan pasien 2. Pemeriksaan THT rutin 3. Foto polos sinus paranasal

Setelah ditegakkan diagnosis sinusitis maksila kronik secara klinis dan radiologis, dilakukan pungsi sinus dari meatus inferior. Jika dijumpai sinusitis maksila kronis dupleks, dipilih satu sinus yang secara radiologis dan klinis lebih berat. Sebelum cairan pencuci dimasukkan, terlebih dahulu sekret di dalam sinus maksila dihisap menggunakan syringe steril yang di ujungnya tersambung selang kecil. Syringe berisi sekret tersebut langsung ditutup secara steril dan segera dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik RS HAM untuk dilakukan pemeriksaan kultur dan tes kepekaan.

Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel serta diagram. Tabel 4.1. Distribusi umur dan jenis kelamin penderita sinusitis maksila

kronik

Jenis k el a m i n No Kelompok

Umur (thn) Pria % Prmpn % Jml %

1. 15 – 24 3 7,5 3 7,5 6 15 2. 25 – 34 8 20 8 20 16 40 3. 35 – 44 5 12,5 5 12,5 10 25 4. 45 – 54 1 2,5 3 7,5 4 10 5. > 55 2 5 2 5 4 10

JUMLAH 19 47,5 21 52,5 40 100

HASIL PENELITIAN Sampel yang terkumpul sebanyak 40 penderita. Tabel 4.1 menunjukkan penderita sinusitis maksila kronik

terbanyak berusiar 25 – 34 tahun (16 penderita - 40%) dan terendah pada kelompok umur > 50 tahun (4 penderita - 10%). Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 1,1 : 1. Tabel 4.2. Distribusi keluhan / gejala klinis pada penderita sinusitis

maksila kronik

Keluhan Jumlah % Hidung tumpat 38 95 Cairan mengalir di belakang hidung 37 92,5 Sakit kepala 37 92,5 Penciuman berkurang 25 62,5 Ingus kental 22 55 Hidung berbau 20 50 Batuk 19 47,5 Riwayat hidung berdarah 3 7,5

Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah hidung

(38 kasus - 95%), dan yang terendah adalah riwayat hidung berdarah (3 kasus - 7,5%). Semua penderita datang dengan keluhan lebih dari satu. (tabel 4.2 )

Diagram 4.1. Distribusi gambaran foto polos sinus paranasal pada

penderita sinusitis maksila kronik. Gambaran foto polos sinus paranasal pada penderita

sinusitis maksila kronik terutama berupa perselubungan sinus (36 kasus - 90%). (Diagram 4.1)

Tabel. 4.3. Distribusi kuman aerob pada pemeriksaan kultur dari penderita sinusitis maksila kronik.

No Jenis kuman Jumlah Persentase 1. Streptokokus 18 45 2. Pseudomonas sp 8 20 3. Streptokokus piogenes 5 12,5 4. Klebsiela pneumonia 5 12,5 5. Pseudomonas 2 5 6. Proteus sp 1 2,5 7. Klebsiela oksitoka 1 2,5

Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila

mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%). Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan. (Tabel 4.3)

90%Perselubungan = 36

Air-fluid level = 410%

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 70

Page 16: cdk_155_THT

Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

Tabel 4.4. Pola antibiotika yang paling sensitif pada tes sensitivitas dari penderita sinusitis maksila kronik

No Jenis antibiotika Jumlah 1. Streptomisin 19 2. Rifampisin 19 3. Kanamisin 16 4. Gentamisin 15 5. Doksisiklin 14 6. Tetrasiklin 14 7. Eritromisin 10 8. Siprofloksasin 10 9. Ampisilin 9

10. Negram (Asam Nalidiksik) 9 11. Linkomisin 8 12. Kloramfenikol 6 13. Amoksisilin 5 14. Trimetoprim 5 15. Fosmisin 1 16. Dibekasin 1 17. Imipenam 1 18. Cefdinir 1

Antibiotika yang sensitif untuk terapi sinusitis maksila

kronik terutama adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin dan Gentamisin dalam bentuk injeksi. Antibiotika oral yang sensitif terbanyak adalah Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin (tabel 4.4). PEMBAHASAN

Penderita yang diikutkan dalam penelitian ini dimulai dari usia 15 tahun untuk memudahkan pemeriksaan karena lebih kooperatif.

Umur penderita terutama 25 – 34 tahun (16 penderita - 40%). (tabel 4.1). Peneliti lain mendapatkan umur terbanyak 21 – 30 tahun13. Di Medan (1998) umur terbanyak adalah 18 – 27 tahun (60%)14, Di Semarang (1999)15 umur terbanyak 20 – 29 tahun. Alfian Taher (Medan, 1999) 16 mendapatkan umur penderita terbanyak 15 – 24 tahun (36,85%). Melania & Samsul (Malang,1999) 17 mendapatkan umur terbanyak 30 – 40 tahun. Elfahmi (Medan, 2001)18 mendapatkan umur terbanyak adalah 35 – 44 tahun (12 orang - 30%).

Dari data di atas terlihat bahwa sinusitis maksila kronik lebih banyak menyerang dewasa muda.

Dalam penelitian ini jumlah penderita perempuan 21 penderita (52,5%), laki-laki 19 penderita (47,5%). Massudi (Semarang, 1991)19 mendapatkan laki-laki 48,5% dan perempuan 51,5%. Benninger MS (1996)20 dari 100 penderita sinusitis maksila kronis didapatkan laki-laki 45 orang dan perempuan 55 orang. Ika S & Mulyarjo (Surabaya, 1998) 21 mendapatkan laki-laki 29 orang dan perempuan 40 orang. Muyassaroh & Suprihati (Semarang, 1999) 15 mendapatkan laki-laki 29 orang dan perempuan 23 orang. Melania S & Samsul I (Malang, 1999)17 mendapatkan penderita laki-laki 21 orang dan perempuan 19 orang. Pramono (Semarang, 1999)22 mendapatkan 34 penderita laki-laki dan 37 perempuan, sedangkan Elfahmi (Medan, 2001)18 dari 40 penderita

sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 21 orang (52,5%) dan perempuan 19 orang (47,5%).

Dari data di atas tampak bahwa dalam penelitian kami ini tidak berbeda jauh dari penelitian lain.

Keluhan penderita sinusitis maksila kronis dalam penelitian ini yang terbanyak adalah hidung tumpat (38 kasus - 95%) diikuti dengan cairan mengalir di belakang hidung dan sakit kepala masing-masing 37 kasus (92,5%), penciuman berkurang sebanyak 25 kasus (62,5%) (tabel 4.2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita sinusitis maksila kronis pada umumnya mengeluh hidung tumpat, gangguan faring, dan nyeri kepala. Hal yang sama juga didapatkan Massudi (Semarang, 1991)19 yang keluhan utama penderitanya adalah hidung tersumbat dan nyeri kepala. Benninger (1996)20 juga mendapatkan keluhan terbanyak penderita sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat.

Gambaran foto polos sinus paranasal yang terbanyak adalah perselubungan (36 kasus - 90%) sisanya air-fluid level (4 kasus-10%). (diagram 4.1). Nuti W Nizar (Jakarta, 1995)23 mendapatkan gambaran perselubungan pada foto polos sinus paranasal sebanyak 87,04%; air-fluid level 9,26%. Elfahmi (Medan, 2001)18 mendapatkan gambaran perselubungan (23 sinus - 57,50%), dan air-fluid level ( 3 sinus - 7,50%).

Dari pemeriksaan kultur, kuman penyebab terbanyak dalam penelitian ini adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp (8 kasus - 20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiella pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%). (Tabel 4.3).

Legent F dkk (Prancis, 1994)24 menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994)25 menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp.

Ika S dan Mulyarjo (Surabaya, 1998) dari 57 penderita dalam penelitiannya menemukan spektrum kuman aerob yang terbanyak pada sinusitis maksila kronis adalah Stafilokokus aureus 15 penderita (33,3%), Streptokokus pneumonia dan Streptokokus viridans masing-masing 8 penderita (17,8%), Pseudomonas aeruginosa 5 penderita (11,1%), Klebsiella pneumonia dan E.koli masing-masing 3 penderita (6,7%).21

Dari 24 kasus di Semarang (1999), Enterobakter merupakan kuman terbanyak yang menyebabkan sinusitis maksila kronis yaitu 11 penderita (45,8%). Kemudian diikuti oleh Stafilokokus epidermidis 8 penderita (33,3%), Klebsiella 2 penderita (8,3%).15

Sedangkan di Malang (1999) 20% kuman penyebab sinusitis maksila kronis odontogenik adalah Stafilokokus epidermidis, diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa 17,5%; Streptokokus viridans 7,5% dan Asinobakter anitratus 2,5%.17

Penelitian di West Virginia (2000) menemukan kuman terbanyak adalah Stafilokokus epidermidis (30%), diikuti oleh Moraksella kataralis (6%), Streptokokus pneumonia (5%), Stafilokokus aureus (3%). Mereka tidak menjumpai pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influensa

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 71

Page 17: cdk_155_THT

Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

atau Streptokokus piogen.26

Pada 83 penderita sinusitis maksila kronis di New York, kuman yang terbanyak Stafilokokus koagulase negatif 31% diikuti Hemofilus influensa 25%, Streptokokus pneumonia 12%, Moraksella kataralis 10%, Pseudomonas aeruginosa 7%, Streptokokus hemolitikus alfa 5% dan Stafilokokus aureus 3%.27

Pada tabel 4.5. terlihat antibiotika yang sensitif untuk penanganan sinusitis maksila kronis adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin, Gentamisin; namun obat-obat tersebut berbentuk injeksi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat beberapa obat antibiotika oral yang sensitif terbanyak untuk terapi sinusitis maksila kronis yaitu Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin.

Siprofloksasin sama efektifnya dengan Amoksisilin – Asam klavulanat.24

Pada 40 penderita sinusitis maksila kronik odonto-genik, Tetrasiklin masih sensitif pada 14 kasus, Kloramfenikol 10 kasus, Eritromisin 10 kasus, dan Amoksisilin 10 kasus.17

Sedangkan di Semarang (1999) kepekaan beberapa kuman terhadap Ampisilin sangat rendah yaitu 41,7%; terhadap Tetrasiklin 62,5%; Kloramfenikol 66,7%; Gentamisin 83,3% dan Kotrimoksazol 95,8% tetapi semuanya sensitif terhadap Amikasin, Cefipim dan Levofloksasin.15

KESIMPULAN 1. Kuman aerob terbanyak yang menyebabkan sinusitis

aksila kronis pada pemeriksaan kultur adalah Streptokokus pneumonia (45%), yang diikuti Pseudomonas sp (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing (12,5%).

2. Jenis antibiotika yang sensitif terutama adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin, dan Gentamisin, namun dalam bentuk injeksi. Ada beberapa obat antibiotika oral yang sensitif yaitu terbanyak Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin.

KEPUSTAKAAN 1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis. Dalam: Kumpulan Makalah

Simposium Sinusitis. Jakarta: 1999. 2. Purnaman SP, Nusyirwan Rifki. Sinusitis. Dalam : Nurbaiti Iskandar,

Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1990: 122-29.

3. Colman BH. Sinusitis. In : Hall & Colman’s, Diseases of the Nose, Throat and Ear, and Head and Neck. A Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore: Longman Singapore Publ. Pte Ltd. 1993: 49-54.

4. Adam GL, Boies LR, Paparella MM. Acute and Chronic Sinuses Diseases. In: Boies’ Fundamentals of Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia.: W Saunders Co. 1978: 393- 414.

5. Weir N, Goldingwood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In: Mackay IS, Bull TR eds. Scott-Brown’s Otolaryngology. Rhinology. vol. 4. 6th

ed. Great Britain: Butterworth-Heinemann. 1997: 4/8/1 - 4/8/49. 6. Magbool M. Sinusitis. In: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases.

6th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publ Pvt. Ltd. 1993: 282-301.

7. Hybels RL. Sinus Disorders. In: Katz AE ed. Manual of Otolaryngology-Head and Neck Therapeutics. Philadelphia: Lea &

Febiger 1986: 165-77. 8. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR et al. Inflammation of the Sinuses.

In: Ear, Nose, and Throat Diseases, A Pocket Reference. 2nd ed. New York: Georg Thieme Verlag. 1994: 224-53.

9. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious Diseases of the Paranasal Sinuses. In: Paparella MM et al. (eds.). Otolaryngology. Volume III. Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991: 1843-59.

10. Maran AGD. Chronic Sinusitis. In: Logan Turner’s Diseases of the Nose, Throat and Ear. 10th ed. Singapore: PG Publ.Pte Ltd. 1990: 42-50.

11. Ballenger JJ. Infeksi Sinus Paranasal. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia. edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994: 232-46.

12. Hwang PH, Montone KT, Gannon FH et al. Application of In Situ Hybridization Techniques in the Diagnosis of Chronic Sinusitis. Am J Rhinol. 1999; 13(15): 335-38

13. Moerseto, dkk. Aspek Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII Semarang. Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang 1999: 461-67

14. Rizal A. Lubis. Uji Banding Irigasi Sinus Maksila Melalui Meatus Nasi Inferior dengan Fosa Kanina. Bagian THT FK USU. Medan. 1998; 54-55. Tesis.

15. Muyassaroh, Suprihati. Resistensi Beberapa Kuman Penyebab Sinusitis Maksila terhadap Ampisilin di SMF Kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII- Perhati

16. Alfian Taher. Uji Banding Antara Hasil Foto Polos Sinus Paranasal dan Punksi Sinus Maksila untuk Ketepatan Diagnosis Adanya Pus Pada Sinusitis Maksila Kronis Unilateral. Bagian THT FK USU Medan. 2000. 1-65. Tesis.

17. Melania S, Samsul I. Pola Kuman Sinusitis Maksilaris Odontogenik dan Efektivitas Pemakaian Antibiotika. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII-Perhati Semarang, 28-30 Okt. 1999. Semarang: Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999: 469-85

18. Elfahmi. Gambaran Klinis Ostio Meatal pada Sinusitis Maksila Kronis dengan Pemeriksaan Nasoendoskopi. Bagian THT FK USU Medan. 2001; 63-66. Tesis.

19. Massudi RH. Pola Kuman Aerob dan Kepekaan in vitro pada Sinusitis Maksila Kronis di RS Dr. Kariadi Semarang. Dalam : Kumpulan Naskah PIT Perhati Batu Malang. 1996; 766-73

20. Benninger M. Nasal Endoscopy. It’s Role in Office Diagnosis. Am. J.Rhinol. 1977;II(2):172-78

21. Ika S Utami, Mulyajo. Spektrun Kuman Sinusitis Maksilaris dan Uji Resistensi terhadap Beberapa Antibiotika. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII- Perhati Semarang, 28-30 Oktober 1999. Semarang: Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999:524-35

22. Pramono, dkk. Rinitis Alergi Perenial Sebagai Salah Satu Faktor Resiko Sinusitis Maksila Kronis. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS Perhati XII. Semarang. Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999; 693-703

23. Nuti W Nizar, Soetjipto D. Temuan Sinuskopi pada Pasien Sinusitis Maksila Kronis. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS Perhati XI. Yogyakarta. 1995; 179-88

24. Legent F, Bordure PH, Beauvillain C, Berehe P. A Double Blind Comparison of Ciprofloxacin and Amoxicillin/Clavulanic Acid in the Treatment of Chronic Sinusitis. In: Schönfeld H, Bergan T, Boger WP et al, eds. Chemotherapy, Internat. J. Experiment. Clin. Chemother. 1994; 40 Suppl 1::8-15

25. Fombeur JP, Barrault S, Koubbi G, et al. Study of the Efficacy and Safety of Ciprofloxacin in the Treatment of Chronic Sinusitis. In: Schönfeld H, Bergan T, Boger WP et al, eds. Chemotherapy, Internat. J. Experiment. Clin. Chemother. 1994;40. Suppl 1: 24-28

26. Keech DR, Ramadan H, Mathers P. Analysis of Aerobic Bacterial Strains Found in Chronic Rhinosinusitis Using The Polymerase Chain Reaction. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2000; 123 (4): 363-67.

27. Chan J. The microbiology of chronic rhinosinusitis: Results of a Community Surveillance Study. http://www.findarticles.com/cf_o/ moBUM/3_80/76559009/p1/ article. jhtml?term=%22chronic+ maxillary+sinusitis%22.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 72

Page 18: cdk_155_THT

Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

HASIL PENELITIAN

Pola Sensitivitas Kuman

dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilo-Faringitis Akut di

Puskesmas Jakarta Pusat terhadap Beberapa Antimikroba

Betalaktam

Retno Gitawati, Ani Isnawati

Pusat Penelitian Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman). Salah satu antimikroba terpilih untuk pengobatan ISPA adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian ini.

Metoda penelitian cross-sectional terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap antimikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI.

Hasil penelitian menemukan 132 kuman dari 12 spesies. Lima spesies kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus β-hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus β-hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terbesar terhadap antimikroba Cephradin berturut–turut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan sensitivitas Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap Ceftriaxone 20%.

Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%. Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Jenis penyakit infeksi di Indonesia yang banyak diderita oleh

masyarakat adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran pernapasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 73

Page 19: cdk_155_THT

Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %; lebih dari 50% penyebabnya adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman penyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophilus(2), dan untuk mengatasinya seringkali digunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(3).

Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diperkirakan paling banyak digunakan untuk infeksi saluran napas; sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitas golongan tersebut, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA.

Untuk mengetahui hal tersebut, telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. BAHAN DAN CARA

Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999.

Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 – 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 400C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek bersedia mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit.

Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikrobiologi FKUI. Kultur dan isolasi kuman menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 370C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golongan betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan. HASIL

Sejumlah 132 kuman terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis (Tabel 1).

Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus β-haemolyticus (6.11%), Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus

(3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat kuman tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi seperti pada Tabel 2.

Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin.

Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman terhadap antimikroba betalaktam di atas dilakukan penghitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000), dengan cara atau rumus sebagai berikut: % R total antimikroba “A” = (% kuman “X” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “X”)/100 + (% kuman “Y” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “Y”)/100 + (% kuman “Z” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “Z”)/100. (R = resistensi) Hasilnya tertera pada Tabel 3. Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap

tenggorok

No. Jenis (spesies) kuman Jumlah % 1. Streptococcus viridans 71 54.2 2. Branhamella catarrhalis 30 22.9 3. Streptococcus β-haemolyticus 8 6.11 4. Streptococcus pneumoniae 5 3.82 5. Streptococcus non-haemolyticus 5 3.82 6. Klebsiella pneumoniae 4 3.05 7. Acinobacter spp. 2 1.53 8. Yeast (ragi) 2 1.53 9. Staphylococcus aureus 2 1.53

10. Alkaligenes dispar 1 0.76 11. Pseudomonas aeruginosa 1 0.76 12. Staphylococcus epidermidis 1 0.76

Jumlah 132 100

Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04%, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berurut-turut 9.93% dan 5.35%. DISKUSI

Hasil usap tenggorok menemukan 12 jenis kuman Gram negatif dan kuman Gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan S. viridans (54.2 %), berbeda dengan yang dilaporkan Sugito(4) yaitu 25 % dan Hartono(5) yaitu 31,43 %. Untuk kuman S. β hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %, tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(4) sebanyak 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(5) 25,71 %. Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 74

Page 20: cdk_155_THT

Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

penyebab endokarditis.Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam

% resistensi antimikroba Isolat kuman %

isolat Kuman PeG Amx Sulb Cefo Ceftr Cefta Cefpi Cefe Cefrd

S. viridans 54.2 2.82 2.82 0 1.41 4.23 4.23 0 0 73.33 B. catarrhalis 22.9 30.0 0 0 0 3.33 3.33 3.33 0 53.52 S. β-haemolyticus 6.11 0 0 0 0 0 0 0 0 87.5 S. pneumoniae 3.82 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 40.0 S. non-haemolyticus 3.82 0 0 0 0 0 0 0 0 80.0 K. pneumoniae 3.05 0 0 0 0 20 0 0 0 100 Acinobacter spp. 1.53 0 0 0 0 50 0 0 0 0 Yeast (ragi) 1.53 100 100 100 100 100 100 100 100 100 S. aureus 1.53 0 50 0 0 0 0 0 0 0 Alkaligenes spp. 0.76 0 100 100 0 0 0 0 0 100 P. aeruginosa 0.76 0 100 0 100 0 0 0 0 100 S. epidermidis 0.76 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenisilin; Cefo = Cefotiam; Ceftr= Ceftriakson; Cefta = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome;Cefe = Cefepime; Cefd = Cefradin.

Tabel 3. Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap

antimikroba betalaktam No. Antimikroba % Total resistensi

1. Cefradin 68.04 2. Penisilin-G 9.93 3. Ceftriakson 6.87 4. Cefotaksim 5.57 5. Amoksisilin 5.35 6. Cefotiam 3.05 7. Cefpirome 2.52 8. Sulbenisilin 2.29 9. Cefepime 1.53

Total resistensi tertinggi berbagai kuman isolat tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin sebesar 68,04 %, diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba generasi I dari golongan sefalosporin dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom (UK) thn 1998(7) untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba broadspectrum penisilin sebanyak 53,2 %, makrolid 15 % dan medium serta narrow spectrum penisilin 13,0 %, sefalosporin 7,7 %. Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan beta laktam, makrolid dan fluorokuinolin.

Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan faringitis ) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan obat pilihan keempat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin(2). Data resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian

Josodiwondo (1996) 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo, dkk ( 1986 ) sebesar 3,2 % dan 66,7 % tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 2,82 %, namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %. Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-kakhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga pada golongan sefalosporin, karena bakteri ini mampu menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya kecuali sefalosporin generasi ketiga(8,9). Penggunaan tidak rasional akan mempercepat resistensi, selain hal itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi kesembuhan dan sering terjadi tidak ada korelasi antara minimum inhibitor concentration (MIC) kuman dan kesembuhan. Observasi pada penderita infeksi menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh jika terinfeksi dengan bakteri yang sensitif, 9 % penderita meninggal. Bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10 ). KESIMPULAN

Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies kuman, lima kuman terbanyak yang ditemukan adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus β-hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi terhadap antimikroba cephradin berturut–turut adalah 46,48%; 26,67%; 12,5%; 60% dan 20%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap antimikroba penisilin G adalah 70%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 75

Page 21: cdk_155_THT

Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

terhadap antimikroba ceftriakson 80%. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok

adalah terhadap cephradin, yakni sebesar 68.04%. KEPUSTAKAAN

1. Abdoerachman H, Fachrudin D, Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob

di Bidang THT. MKI 1989; 4 (2/3):56-60. 2. Dirjen Binkesmas Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengobatan

Dasar di Puskesmas Berdasarkan Gejala, 1996. 3. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute

respiratory infections for the under five children among general practitioners, Berkala Ilmu Kedokteran 1997.

4. Sugito, Tarigan HMM, Nukman R, Epidemiologi dan Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut . Dalam buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI, Surakarta, 1988.

5. Hartono TE, Wibisono MY, Rai IB, Idajadi A. Pola bakteriologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Dalam Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI , Surakarta 1988.

6. Suprihati. Faktor Resiko Streptococcus Hemolitikus Beta Grup A pada Penderita Saluran Nafas Atas di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Bag Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNDIP. Laporan penelitian, 1998.

7. Jones A. Antimicrobial Pharmacodynamics in Respiratory Tract Infection : New Approach in Determining Patient Response to Antibiotic Therapy, Medical Progress, January. 2003.

8. Herman MJ. Antibiotik Beta Laktam. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1994.

9. Sirot S, Sirot J, Saulnier P. Resistance to Betalactams in Enterobacteriaceae. Distribution of Phenotypes related to Beta lactamase Production, J Int. Med Res. 1986;14:193-199

10. Josodiwondo S, Perkembangan Kepekaan Kuman Terhadap Antimikroba Saat Ini, MKI 1996; 46(9): 467-476

11. Trihendrokesowo dkk, Macam Kuman (Dari Pelbagai Bahan Pemeriksaan di Yogyakarta) dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik, MKI 1987; 2 (1): 6-12.

12. Slombe B. Beta Lactamase, Occurrence and Classsification. In : Rolinson GN, Watson A, eds. Augmentin Clavulanate Pontetiated Amoxycillin. Amsterdam: Excerpta Medica 1980; 6-17

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE APRIL – MEI 2007

Bulan Tanggal Kegiatan Tempat dan Informasi

13 – 15 International Symposium on Congenital Anomaly (ISOCA)

Hotel Borobudur Jakarta Ph. : 021-31909382/3921587 ; Fax. : 31909382 E-mail : [email protected]

18 – 21 The 16th Asean Congress of Cardiology:

Challenges and opportunities in prevention and management of heart disease in Asean

Bali Intercontinental Convention Center The Westin Resort, Nusa Dua, Bali Ph. : 021-5681149, 5684220, 5684093 Fax. : 021-5684220 E-mail : [email protected] http://www.6thacc.org

APRIL

28 – 29 JADE 2007: Polimicrobial Infection and

Multidrugs Resistance: Between Evidence and Reality

Hotel Borobudur Jakarta Ph. : 021-3929106, 3920185, 3908157 Fax. : 012-3911873, 3929106 E-mail : [email protected] , [email protected]

02 - 05 4th Congress Asia-Pacific Society for the Aging Male (4th Congress APSSAM Bali 2007)

Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali Ph. : 021-30041026 E-mail : [email protected] http://www.apssam2007.urologi.or.id

06 - 09 PIT Ilmu Kesehatan Anak III (IKA) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Graha Sabha, Yogyakarta Ph. : 021-55960180 / 0274-550045 Fax. : 021-55960179 E-mail : [email protected]

24 – 27 The 6th Annual Geriatric Scientific Meeting/ Temu Ilmiah Geriatri 2007: "The Truth About Aging and Anti Aging: Scientific Perspective"

Hotel Borobudur Jakarta Ph. : 021-30041026, 31900275 Fax. : 021-30041027, 31900275 E-mail : [email protected] / [email protected]

MEI

29 – 01/06 ESC : European Stroke Conference Glasgow, United Kingdom Ph. : ++41 61 6867711 , Fax. : ++41 61 6867788 E-mail : [email protected]

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadual acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 76

Page 22: cdk_155_THT

Kuman Sekret Telinga Tengah

HASIL PENELITIAN

Pola Sebaran Kuman

dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah

Penderita Mastoiditis Akut di RS Dr Kariadi Semarang 2004 – 2005

Kristiawan AR, Jogjahartono, Pujo Widodo

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / SMF K THT –KL Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRAK

Latar belakang: Mastoiditis akut (MA) merupakan salah satu komplikasi intratemporal Otitis media (OM) yang tidak tertangani dengan baik. Pengobatan OM dengan terapi antibiotika empirik adalah pilihan pertama berdasarkan kultur dan uji kepekaan antimikroba. Pengetahuan tentang sebaran jenis kuman dan uji kepekaan antibiotika penting agar terapi efektif. Tujuan obyektif penelitian ini adalah mempelajari sebaran kuman dan kepekaan obat-obat antimikroba pada pasien Mastoiditis akut (MA) di RS Dr Kariadi Semarang periode tahun 2004 sampai 2005.

Metode: Sembilan puluh lima pasien MA diamati dengan metode deskriptif retrosprospektif. Diagnosis mastoiditis akut ditegakkan dari gejala klinis dan CT scan mastoid. Sekret diambil melalui perforasi membran timpani kemudian dikultur. Uji kepekaan antibiotika dilakukan dengan metoda modifikasi piringan difusi Kirby Bauer.

Hasil: Hasil kultur menemukan 7 jenis mikroorganisme dari 80 pasien yang ikut dalam penelitian. Kuman penyebab terbanyak berturut-turut adalah Staphylococcus aureus (23.1%), Enterobius aerogenes (22,1%), Pseudomonas aeruginosa (17.9%), Proteus mirabilis (13.7%), diikuti oleh Streptococcus pneumonia (4.2%), Staphyococcus epidermidis (2.1%) Escherichia coli (1.1 %). Dari uji kepekaan antibiotika didapatkan hasil sensitif pada antibiotika amikasin (98.7%), siproflokasin (89.8%), sefotaksim (88.3%) gentamisin (83.6 %) dan khloramfenikol (75.6 %), sedangkan resistensi didapatkan pada antibiotika tetrasiklin (69.7%), ampisilin (64.6%) dan trimetoprim/sulfametoksazol (55.1%).

Simpulan: Kuman terbanyak yang ditemukan dari hasil isolasi penyebab MA adalah Staphylococcus aureus dan antibiotika paling sensitif untuk semua jenis kuman adalah Amikasin. Kata kunci : Mastoiditis akut, jenis kuman, uji kepekaan antibiotika.

PENDAHULUAN

Mastoiditis akut (MA) merupakan salah satu komplikasi intratemporal Otitis media (OM) yang tidak tertangani dengan baik. Penatalaksanaan OM yang dicurigai sudah terkomplikasi MA umumnya diawali dengan antibiotika empiris berdasarkan hasil kultur dan uji kepekaan sebelumnya.1 Pengetahuan pola

sebaran kuman penyebab dan hasil uji kepekaan antibiotika merupakan hal mendasar untuk terapi yang efektif dan memuaskan. Gambaran pola sebaran kuman dan uji kepekaan antibiotika ini perlu diperbaharui secara berkala agar dapat digunakan dalam menentukan kebijaksanaan penatalaksanaan dan evaluasi keberhasilan terapi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 77

Page 23: cdk_155_THT

Kuman Sekret Telinga Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Otitis media (OM) khususnya yang kronik (otitis media

supurasi kronik) adalah infeksi telinga tengah yang ditandai oleh sekret telinga aktif atau berulang di telinga tengah yang keluar melalui perforasi membran timpani yang kronik. OMSK yang sukar disembuhkan dapat menyebabkan komplikasi luas. Umumnya penyebaran bakteri merusak struktur di sekitar telinga atau telinga tengah itu sendiri. Komplikasi ini bisa hanya otore yang menetap, mastoiditis, labirintitis, paralisis saraf fasialis sampai komplikasi serius seperti abses intrakranial atau trombosis.

Mastoiditis akut (MA) merupakan perluasan infeksi telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae mastoid melalui antrum mastoid. Walau dalam praktek kejadian komplikasi ini rendah, pengobatan harus secepat dan seefektif mungkin untuk menghindari komplikasi.4

Gejala klinis OMSK yang dicurigai MA antara lain otore purulen kental dalam jumlah banyak dan bau, tak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan antibiotika selama dua minggu, nyeri belakang telinga. Pada pemeriksaan fisik mungkin akan ditemukan granulasi di dinding superoposterior kanalis auditorius eksterna, perforasi membran timpani, abses/fistel retroaurikula. Pada beberapa kasus dapat dijumpai perluasan abses ke ruang/rongga dalam leher sekitar mastoid seperti m.digastrikus, m.sternokleidomastoideus (Bezold’s mastoiditis) dan paralisis nervus fasialis.

Diagnosis mastoiditis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan mastoiditis baik foto polos mastoid Schuller maupun CT scan mastoid.

Pengobatan berupa antibiotika sistemik dan operasi mastoidektomi; meliputi dua hal penting : pertama pembersihan telinga (menyedot/mengeluarkan debris telinga dan sekret) kedua antibiotika baik peroral, sistemik ataupun topikal berdasarkan pengalaman empirik dari hasil kultur mikrobiologi. Pemilihan antibiotika umumnya berdasarkan efektifitas kemampuan mengeliminasi kuman (mujarab), resistensi, keamanan, risiko toksisitas dan harga. Pengetahuan dasar tentang pola mikroorganisme pada infeksi telinga dan uji kepekaan antibiotikanya sangat penting . METODA

Dari catatan medis sepanjang Januari 2004 sampai Desember 2005 didapatkan 95 pasien dengan diagnosis mastoiditis akut. Hanya pasien yang belum mendapatkan pengobatan baik topikal ataupun sistemik sekurangnya lima hari terakhir yang diikutkan dalam penelitian. Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan CT scan yang menunjukkan mastoiditis. Pasien-pasien yang dicurigai disebabkan oleh kolesteatoma dari gambaran CT scan tidak diikutkan dalam penelitian ini.

Pengambilan sekret telinga tengah memakai swab Mini-tip Culturette steril lewat membran timpani yang perforasi. Swab pertama untuk pemeriksaan kuman aerob, dan swab yang lain untuk pemeriksaan kuman anaerob menggunakan prosedur pemeriksaan mikrobiologi standar. Jika ditemukan jamur dalam isolasi kuman dilakukan subkultur pada media

agar Sabouraud Dekstrosa. Semua kuman yang diisolasi diidentifikasi dengan

metoda mikrobiologi standar menggunakan tabung media dan jika perlu menggunakan sistem API (BioMerieux Prancis). Test bakteri aerobik menggunakan metode modifikasi piringan difusi Kirby Bauer2 dan hasilnya diinterpretasi menggunakan National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS).3 Analisis data dikerjakan dengan SPSS 11.5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata usia pasien 27 tahun, termuda 5 tahun dan tertua adalah 70 tahun; terbanyak antara 21-30 tahun (36.8 %). Terdapat kesamaan distribusi gender dalam penelitian ini (laki-laki 53.7 % dan wanita 46.3 %) dengan hasil penelitian Yusra dkk5 yaitu 23 tahun tetapi berbeda dari penelitian Loy4 dan Papastravos6 yang usia rerata penderitanya lebih tua yaitu 45 dan 49 tahun, sementara Khanna7 justru mendapatkan usia lebih muda yaitu antara 7 – 10 tahun. Belum adanya kesepakatan pengelompokan umur, kriteria inklusi dan eksklusi penelitian menyebabkan terjadinya perbedaan hasil penelitian.

Grafik. 1. Hasil kultur kuman

hasil kultur kuman

hasil kultur kuman

esch

eric

hia

coli

stap

hylo

cocc

us e

pide

stre

ptoc

occu

s pn

eum

o

prot

eus

mira

bilis

psed

om a

erog

inos

a

ente

robi

us a

erog

enes

stap

hilo

cocc

us a

ureu

Perc

ent

30

20

10

0

Dari 95 pasien hanya 80 hasil kulturnya positif, diisolasi

7 jenis kuman. Pada 78 (97.5 %) pasien ditemukan 1 jenis kuman, pada 2 pasien ditemukan dua jenis kuman dalam sediaan sekret telinganya. Kuman penyebab terbanyak berturut-turut adalah Staphylococcus aureus (27.5%), Enterobius aerogenes (26,3%), Pseudomonas aeruginosa (21.3%), Proteus mirabilis (16.4%), diikuti oleh Streptococcus pneumonia (5%), Staphylococcus epidermidis (2.5%) Escherichia colli (1.3 %).(Grafik 1)

Temuan ini menunjukkan pola yang hampir sama dengan beberapa pusat pendidikan di Indonesia dan negara tropis lainnya.4-8 Pada hampir semua pasien (97.5%) ditemukan 1 jenis kuman dari hasil isolasi; hanya pada 2 pasien ditemukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 78

Page 24: cdk_155_THT

Kuman Sekret Telinga Tengah

2 jenis kuman yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Loy4 melaporkan 23% pasien dengan hasil kultur lebih dari dua kuman dan 2% pasien dengan 6 jenis kuman berbeda dalam satu hasil kulturnya. Grafik 2a Kepekaan Staphylococcus aureus terhadapAntibiotika

Grafik 2b Kepekaan Enterobius aerogenes terhadap Antibiotika

Grafik 2c Kepekaan Pseudomonas aeruginosa terhadap Antibiotika

Grafik 2d Kepekaan Proteus mirabilis terhadap Antibiotika

Gambaran Kepekaan Antibiotika Proteus mirabilis

0

20

40

60

80

100

120

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa

% K

epek

aan

Gambaran Kepekaan Antibiotika Staphilococcus aureus

020406080

100120

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Se

nsitiv

e

Re

sis

ten

Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa

Antibiotika

% K

ep

ek

aa

n

Hasil uji kepekaan antibiotik terhadap empat kuman terbanyak hasil kultur dapat dilihat pada Grafik 2a-2d. Stahpylococcus aureus dalam penelitian ini menunjukkan kepekaan terhadap antibiotika siprofloksasin, amikasin, gentamisin, sefotaksim dan khloramfenikol sementara Enterobius aerogenes peka terhadap antibiotika amikasin, siprofloksasin, sefotaksim dan gentamisin. Penyebab tersering ke tiga Pseudomonas aeruginosa kepekaannya hampir sama dengan dua kuman di atas. Secara keseluruhan dari rerata uji kepekaan antibiotika terhadap kuman didapatkan amikasin, siprofloksasin, sefotaksim, gentamisin dan khloramfenikol memberikan kepekaan > 50%, sedang tetrasiklin, ampisilin dan trimetoprim/sulfametoksazol memberikan hasil resisten > 50%. Berturut-turut didapatkan hasil sensitif pada antibiotika amikasin (98.7%), siprofloksasin (89.8%), sefotaksim (88.3%) gentamisin (83.6 %) dan khloramfenikol (75.6 %), sedangkan hasil resisten didapatkan pada antibiotika tetrasiklin (69.7%), ampisilin (64.6%) dan trimetoprim/sulfametoksazol (55.1%).

Gambaran Kepekaan Antibiotika Enterobius aerogenes

0

20

40

60

80

100

120

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa

Antibiotika

% K

epek

aan

Pada penelitian ini tidak ditemukan kuman anaerob, sama seperti penelitian Khanna7 dan Kenna9. Penelitian Ingelstedt yang dikutip Papastavros6 menyatakan bahwa kadar oksigen di dalam telinga tengah melalui hubungan langsung dari perforasi membran timpani meyebabkan kuman anaerob tidak dapat tumbuh. Grafik 2e. Rerata Kepekaan Antibiotika

Gambaran Kepekaan Antibiotika Psedomonas aeroginosa

0

20

40

60

80

100

120

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Sens

itive

Resis

ten

Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa

% K

epek

aan

Rerata Kepekaan Antibiotik

TETRATRIMETRO

AMPISILICHLORAMF

GENTAMISCIPROFLO

CEFOTAXIAMIKASIN

Mea

n

1.2

1.0

.8

.6

.4

.2

0.0

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 79

Page 25: cdk_155_THT

Kuman Sekret Telinga Tengah

KESIMPULAN Gambaran pola kuman pasien MA di RSDK tahun 2004 –

2005 berturut-turut Staphylococcus aureus, Enterobius aerogenes, Pseudomonas aeruginosa, dan Proteus mirabilis. Dari hasil uji kepekaan, antibiotika paling sensitif untuk semua jenis kuman berturut-turut adalah amikasin, siprofloksasin, sefotaksim, gentamisin dan khloramfenikol, sedangkan hasil resisten didapatkan berturut-turut pada antibiotika tetrasiklin, ampisilin dan trimetoprim/ sulfametoksazol.

KEPUSTAKAAN

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala dan Leher Indonesia. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik (OMSK) di Indonesia. Jakarta.2002.

2. Bauer AW, Kirby WMM, Sherris JC, Turck M. Antibiotic susceptibility

testing by a standardised single disc method. Am J Clin Pathol 1966; 45:493-6.

3. Performance standards for antimicrobial susceptibility testing. National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) Document 1994; M100-S5.

4. Loy AH, Tan AL, Su PKS. Microbiology of chronic suppurative otitis media in Singapore. Singapore Med J 2002 vol 43(6): 296-299.

5. Yusra, Sosrosumihardjo R, Helmi. Gambaran jenis kuman dan pola kepekaan antibiotika terhadap sekret telinga tengah penderita otitis media supuratif kronik tipe benigna.. ORLI 2005 vol 25 (4): 45-51

6. Papastavros T, Giamarellou H, Varlejides S. Role of aerobic and anaerobic microorganism in chronic suppurative otitis media. Laryngoscope 1086;96:438-42

7. Khanna V, Chander J, Nagarkar NM, Dass A. Clinicomycrobiologic evaluation of active tubotympanic type chronic suppurative otitis media. J Otol Laryngol 2000;29(3):148-53.

8. Brook I, Santosa G. Microbiology of chronic suppurative otitis media in children in Surabaya, Indonesia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1995; 31(1):23-8.

9. Kenna MA, Bluestone CD. Microbiology of chronic suppurative otitis media in children. Pediatr Infect. Dis J. 1986;5(2):223-5.

Redaksi Cermin Dunia Kedokteran

mengucapkan selamat kepada

Prof. Dr. Arini Setiawati

yang telah dikukuhkan sebagai

Guru Besar Tetap Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

pada tanggal 27 Januari 2007

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 80

Page 26: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Molekuler (RISA)

untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik

Benigna Aktif

Anton Christanto, Soepomo Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi

Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta, Indonesia

PENDAHULUAN

Pada mukosa cavum timpani penderita Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif (OMSKBA), telah terjadi banyak perubahan-perubahan yang menetap, sehingga resolusi spontan sangat sulit terjadi dan biasanya ada gangguan vaskularisasi di telinga tengah, sehingga antibiotika sistemik sulit mencapai sasaran dengan optimal; oleh karena itu diperlukan antibiotika topikal. Kronisitas dengan fase aktif dan fase tenang yang bergantian dapat terjadi sepanjang umur sehingga diperlukan antibiotika pada setiap fase aktif. Tidak jarang kasus kasus OSMK membandel terhadap pengobatan dengan kesembuhan yang tidak sempurna bahkan gagal sama sekali.

Antibotika yang diberikan adalah atas dasar hasil uji kepekaan in vitro terhadap bakteri aerob. Pada pemeriksaan bakteriologik (mikrobiologik), penemuan jenis kuman yang sama pada media kultur, sering kali menghasilkan hasil uji kepekaan yang berbeda.

Pada akhir-akhir ini terlihat kecenderungan terjadinya perubahan dalam jenis kuman penyebab penyakit infeksi serta respon kuman terhadap antibiotika.1

Akibat perkembangan terapi antibiotika, insidensi dan prevalensi OMSK menurun, tetapi penurunan ini tidak sebaik penyakit infeksi lainnya terutama pada kasus anak. Seperti dimaklumi hilangnya fokus infeksi di telinga tengah penting untuk penyembuhan spontan dari kerusakan akibat penyakit infeksi tersebut.2,3

Pada umumnya pemberian antibiotika untuk OMSKBA didasarkan pada “educated guess” yaitu berdasarkan laporan terakhir mengenai bakteri yang paling sering ditemukan pada OMSKBA.4

Pemeriksaan bakteriologik OMSKBA selama ini dilakukan melalui pemeriksaan isolasi dengan media kultur. Identifikasi kuman didapatkan dengan melihat morfologi

koloni kuman dalam media kultur dalam sebuah plate dan uji biokimia. Dari hasil pemeriksaan bakteriologik tersebut kuman yang sering ditemukan pada OMSK bervariasi. Pada umumnya ditemukan Pseudomonas spp, dengan persentase antara 16%-100%, Staphylococcus aureus 9%-32%, Enterobacter spp 3%-30%, H. influenzae 12%, Streptococcus 15% dan kuman lain kadang-kadang ditemukan dalam persentase kecil.5,1,6,7 Temuan kuman anaerob meningkat dari 1% menjadi 43% berkat perbaikan teknik pemeriksaan bakteriologik.8

Secara taxonomy term (klasifikasi) pemeriksaan bakteriologik dengan media kultur tersebut hanya bisa mengidentifikasi jenis kuman setingkat genus maupun spesies. Pemeriksaan bakteriologik dengan media kultur tidak bisa membedakan jenis kuman yang masih dalam satu spesies.

Dengan kemajuan biologi molekuler, teknik PCR-RISA dapat membedakan jenis kuman antar spesies atau strain dari satu spesies.9,10

Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran pola kuman dari hasil isolasi sekret telinga OMSKBA pada media kultur dengan pendekatan PCR. TINJAUAN PUSTAKA

Otorea kronis adalah keluarnya cairan dari telinga lebih dari 2 bulan. Selanjutnya dengan otoskopi dibedakan ada tidaknya perforasi pada membran timpani. Apabila membran timpani perforasi, diagnosis mengarah pada OMSK.

Definisi OMSK adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen.11 Pada OMSK tanpa komplikasi dinilai apakah ada kolesteatom atau tidak. OMSK tanpa kolesteatom disebut sebagai OMSK benigna atau tipe mukosa dan yang disertai

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 81

Page 27: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

kolesteatom disebut sebagai OMSK maligna atau bahaya.12

OMSK benigna dibagi menjadi fase tenang dan aktif. Fase tenang jika OMSK tersebut adalah OMSK tipe mukosa dalam keadaan kering. Jika ada discharge maka disebut fase aktif (OMSKBA). KEKERAPAN

Di seluruh dunia prevalensi OMSK 65330 juta jiwa, 60% (39200 juta jiwa) mengalami gangguan pendengaran yang sangat klinis bermakna. Diperkirakan 28000 mengalami kematian dan < 2juta mengalami kecacatan; 94% terdapat di negara berkembang.13 Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,8%.12 Pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT RS Dr Sardjito Yogyakarta tahun 2004.

Gambaran bakteriologik pada OMSKBA Beberapa penulis melaporkan P.aeruginosa merupakan

bakteri aerob yang paling sering ditemukan, walaupun persentasenya berbeda-beda.1,14-18

Friedman (1952) (dikutip oleh Shenoi7) menemukan S.aureus sebesar 32,7% dari 318 kasus dan 41% resisten dengan penisilin, Proteus 27%, Pseudomonas aeruginosa 16%, E.coli 10,7%.

Jonsson (1986)1,6 menemukan 32% Pseudomonas spp, dengan spesies tersering adalah Ps. aeruginosa. Staphylococus aureus sebesar 30%, dan batang gram negatif lain 32%. Spesimen diambil dari telinga tengah. Fliss16 mendapatkan Pseudomonas spp 100% dari 77 spesimen yang diperiksa, kuman enterik gram negatif (E.coli, Enterobacter spp, Proteus mirabilis, lain lain) sebesar 33%, Staphylococus 25%. Tidak dilakukan pemeriksaan terhadap kuman anaerob

Papastavros17 melaporkan bakteri aerob pada 84,03% spesimen, dengan Pseudomonas sp sebesar 50,67%, S.aureus 36,00%.

Amadasun18 melaporkan Pseudomonas sp sebesar 65%, Proteus sp 26%, Streptococcus sp 15%, Staphylococcus sp 12%.

Leibermen14 pada penelitian kuman aerob pada OMSKBA mendapatkan Pseudomonas spp pada semua kasus (100%), Enteric gram negative bacilli 33%, Staphylococcus 25%, Haemophylus influenzae 12%.

Kenna5 (1986) melaporkan hasil pemeriksaan mikrobiologik pada 51 biakan dari 36 penderita (anak) OMSKBA terdiri dari 23 spesies, antara lain P.aeruginosa sebesar 67% dan merupakan kultur murni pada 31% kasus (16 telinga). Pada 15 anak dengan OMSK bilateral, 73% mengandung kuman yang sama di kedua telinga tengahnya. S.aureus (beta lactamase positive species) sebesar 9,3%, diphteroids 9,3%, S. epidermidis 6,4%.

Hariasri19 pada penelitian kuman OMSKBA dengan pengambilan spesimen menggunakan lidi kapas mendapatkan Pseudomonas sebesar 59,01%, Staphylococcus 31,14%, Difteroid 16,39% dan Proteus 9,84%.

Pemeriksaan bakeriologik dengan media kultur pada OMSKBA

Saat pengambilan sekret telinga harus diperhatikan sterilitasnya; diusahakan tidak ada kontaminasi dari kulit canalis auditorius externus dengan teknik : kulit dibersihkan dengan jodium dan alkuhol 70%; kontaminasi dari udara luar dihindari dengan meletakkan lampu spiritus di depan lubang botol steril berisi media transport saat memasukkan spesimen ke dalamnya.

Pengambilan sekret/discharge menggunakan jarum no 20 yang dihubungkan dengan semprit ukuran 1 atau 2,5 ml.2 Setelah sekret diambil, segera dimasukkan ke tabung yang berisi media transport yaitu media setengah padat yang tersusun oleh: - Medium Carry dan Blair (BBL) 2,5 gram - Solutio CaCl2 1% 1,8 ml - Solutio Rezasurin 0,1 gram - L Cystein HCl 0,1 gram - Distillated water 198 ml

Selanjutnya tabung dikirim segera ke bagian Mikrobiologi. Setiap bahan ditanam di dalam media agar darah. Kemudian koloni yang tumbuh diisolasi dan diidentifikasi dengan teknik pure culture (kultur murni). Identifikasi kuman didasarkan pada morfologi koloni kuman yang tumbuh pada media kultur (agar darah) dan uji biokimia. Identifikasi bakteriologik dalam tubuh manusia (dalam hal ini sekret telinga penderita OMSKBA) masih mengandalkan teknik kultur murni. PCR (Polymerase Chain Reaction) – RISA (Ribosomal Intergenic Spacer Analyse)

Sekarang telah dikembangkan teknik identifikasi mikrobakterium dengan metode biologi molekuler seperti PCR. Sebagian teknik ini sudah menggunakan analisis molekuler yakni sekuen gen rRNA. Banyak laboratorium yang menggunakan teknik molekuler berdasarkan rRNA untuk mengidentifikasi kuman patogen dan kuman komensal.

Metode RISA (Ribosomal Intergenic Spacer Analysis) berdasarkan panjang polimorphisme dari sekuen intergenic spacer (IGS) antara gen subunit rRNA yang kecil (16s) dan yang besar (23s) yang dapat mengamplifikasi primer eubakterial universal langsung dari komunitas.

Kemajuan di bidang biologi molekuler telah dapat mengembangkan komunitas bakterial dengan menggunakan metode DNA fingerprinting sehingga dapat memantau kompleks komunitas bakteri di lingkungan alamiah tanpa isolasi.

Metode ini melibatkan ekstraksi DNA insitu dari komunitas bakteri menggunakan amplifikasi sekuens PCR sehingga didapatkan informasi genetik yang lebih detail. Sekuens yang digunakan sebagai tanda dari komunitas bakterial ini adalah gen dari ribosomal operon rRNA. Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (RISA) adalah metode analisis mikrobiologi komunitas yang dapat memperkirakan keanekaragaman agen mikrobiologi dalam komposisi komunitas tanpa melihat bias yang dihasilkan dari pendekatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 82

Page 28: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

metode kultur. Metode ini melibatkan penggunaan amplifikasi PCR berdasarkan panjang polimorphisme dari sekuen intergenic spacer (IGS) dari regio kecil (16s) dan yang besar (23s) dari gen subunit rRNA dalam rRNA operon, dengan target primer oligonukleotida dalam regio 16s dan 23s. region intergenic 16s-23s, yang mengkode tRNAs tergantung dari macam species bakterial, yang diketahui dari heterogenitas panjangnya dan sekuens nukleotida

Metode RISA merupakan metode ekologi molekuler9 yang dapat digunakan untuk mengamati ekologi bakteria pada lingkungan alamiah. Metode RISA memiliki prospek dalam kegunaannya untuk mempelajari komposisi komunitas mikrobia baik untuk identifikasi genus, spesies atau pengelompokan phylogenetik dan mengamati perubahan lingkungan yang terjadi.9

RISA merupakan metode yang sangat baik untuk mengamati struktur dan dinamisasi komunitas bakteri yang sangat kompleks melalui perubahan pita-pita DNA. RISA dapat digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang terjadi dalam suatu komunitas.9.

RISA merupakan analisis polimorfis dari bagian yang memisahkan gen rrs dan rrl IGS (intergenic spacer) yang memiliki variasi ukuran dari 50bs sampai 1,5 kb.

Rangkaian beberapa pita DNA dapat menunjukkan secara spesifik keberadaan populasi dalam suatu komunitas. Variasi bagian teramplifikasi dari IGS dapat dengan langsung dipisahkan atas dasar ukurannya menggunakan gel poliakrilamid. Variabilitas ukuran yang tinggi menunjukkan adanya variabilitas yang tinggi dalam struktur genetik komunitas.9

Gambar di atas menunjukkan panjang daerah distribusi IGS antara gen rrs dan rrl pada kelompok eubakteria & menunjukkan rata-rata panjang daerah IGS untuk tiap filum.

Kelompok α-proteobacteria, terdiri atas : Hyphomicrobium, Blastobacter, Rhodobacter,

Rhodopseudomonas, Bartonella, Nitrobacter, Azospirillum, Agrobacterium, Rhizobium, Bradyrhizobium, Candidatus, Zy-momonas, Gluconobacter, Acetobacter, Ochrobactrum, Brucella, Caulobacter, dan Ehrlichia; β-proteobacteria, terdiri atas: Acidithiobacillus, Thiobacillus, Ralstonia, Nitrosospira, Nitrosomonas, Burkholderia, Xylophilus, Nitrosolobus, Neisseria, dan Microvirgula; γ-proteobacteria, terdiri atas: Yersinia, Photorhabdus, Azotobacter, Haemophilus, Enterobacter, Citrobacter, Xanthomonas, Pseudomonas, Acinetobacter, Vibrio, Aeromonas, Klebsiella, Escherichia, Salmonella, Pasteurella, Actinobacillus, Thiobacillus, Dichelobacter,Piscirickettsia, Xylella, Erwinia, dan Pectobacterium; ε-proteobacteria, terdiri atas: Campylobacter; high-GC-content gram-positive bacteria, terdiri atas : Streptomyces, Rhodococcus, Frankia, Arthrobacter, Brevibacterium, Microbispora, Bifidobacterium, Corynebacterium, Staphylococcus, Mycobacterium, Renibacterium, Tropheryma, Thermonospora, Spirillospora, Excellospora, Actinocorallia, dan Actinomadura; low-GC-content gram-positive bacteria, terdiri atas: Bacillus, Lactobacillus, Clostridium, Leuconostoc, Streptococcus, Achole-plasma, Anaeroplasma, Listeria, Enterococcus, Mycoplasma, Ureaplasma, Phytoplasma, Lactococcus, Pectinatus, Zymophilus, dan Planococcus; chlamydiae terdiri atas : Chlamydia, Chlamydophila, Simkania, Parachlamydia, dan Waddlia; cyanobacteria terdiri atas: Microcystis, Spirulina, Trichodesmium, Arthrospira, dan Anacystis; spirochetes, terdiri atas : Leptonema dan Treponema; dan cytophagales, Prevotella, Rhodothermus, dan Flavobacterium.9

Metode RISA ini berdasar pada panjang sekuen Spacer intergenic yang berbeda di antara gen penyandi sub-unit rRNA kecil (16S) dan besar (23S) yang diamplifikasi dengan primer universal untuk eubakteria.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 83

Page 29: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan cross sectional study, merupakan penelitian eksperimental dan preliminary study. B. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien Poliklinik THT RS Dr. Sardjito Yogyakarta yang didiagnosis OMSKBA yang datang selama jangka waktu penelitian. Kriteria inklusi: - Penderita OMSK benigna aktif yang datang berobat ke

poliklinik THT FK UGM/RSUP Dr Sardjito - Pada pemeriksaan otoskopi, didapatkan perforasi subtotal

atau total Kriteria eksklusi: - Penderita menggunakan antimikroba sistemik atau topikal

paling sedikit 7 hari sebelum pemeriksaan - Menderita penyakit berat atau infeksi lain - Penderita otitis eksterna - Menolak ikut serta dalam penelitian. C. Sampel

Sampel penelitian adalah sampel sekret/congek penderita OMSK benigna aktif yang diambil dari telinga pasien.

Besar sampel: 5 pasien D. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT RS Dr. Sardjito Yogyakarta, di Laboratorium Mikrobiologi FK-UGM dan Laboratorium Pusat Studi-Bioteknologi UGM dari tanggal 1 April 2005 sampai dengan 31 Mei 2005. E. Cara Penelitian A. Pemilihan sampel. a. tempat : Rumah Sakit Dr Sardjito unit THT FK UGM b. waktu : bulan April 2005 c. bahan. : discharge diambil dari 5 penderita yang di

diagnosis OMSK Benigna aktif. (lihat pendahuluan). Pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi ;

tidak ada pembatasan umur, jenis kelamin penderita serta telinga yang kanan atau yang kiri. Setiap pasien hanya diambil dischargenya dari satu telinga saja. Pasien harus bebas antibiotika paling sedikit 7 hari sebelum pemeriksaan B. Pengambilan Sampel

Sampel/spesimen diambil dengan cara sebagai berikut : 1. Sebelum mengambil spesimen, diperhatikan sterilitas. 2. Spesimen diusahakan sejauh mungkin harus steril dengan melakukan desinfeksi (alkohol) di daerah kulit canalis auditoris externus.untuk menghindari kontaminasi kuman dari daerah tersebut. 3. Spesimen diambil segera. 4. Alat untuk mengambil material sekret berupa kateter intra vena ukuran 20G dan semprit 1ml. 5. Proses pengambilan spesimen memakai sarung tangan steril. 6. Spesimen dimasukkan ke dalam tabung media transport yang panjangnya 12 cm dan bergaristengah 1,5cm, tabung lalu ditutup kapas.

7. Tabung media transport yang berisi media kultur dan spesimen dikirim ke Lab Mikrobiologi FK UGM untuk di isolasi di media kultur (agar darah) dan diidentifikasi jenis kumannya. 8. Plate (media kultur) berisi isolasi bakteri yang telah tumbuh koloninya dikirim ke Lab PS-Bioteknologi UGM untuk menjalani proses ekstraksi DNA dan diidentifikasi dengan teknik PCR-RISA 9. Pengiriman spesimen disertai formulir yang memuat catatan: nama, alamat, umur dan jenis kelamin penderita, jenis spesimen yang dikirim, tanggal pengambilan spesimen, gejala /diagnosis penyakit. C. Pengolahan sampel

Spesimen dalam tabung media transport diisolasi dalam media kultur agar darah dalam plate, lalu diidentifikasi dan didifirensiasi di Lab Mikrobiologi FK-UGM Yogyakarta..

Plate (media kultur) yang berisi isolasi dan koloni kuman dibawa ke laboratorium Pusat Studi Bioteknologi UGM untuk menjalani ekstraksi DNA. Setelah itu dilakukan PCR-RISA. Sesudah PCR selesai, produk PCR di elektroforesis. Setelah itu dilihat di transiluminator u.v., dan difoto dengan menggunakan kamera digital. Metoda analisis yang dipakai adalah RISA. (Ribosomal Intergenic Spacer Analysis).

Esktraksi DNA dan PCR dikerjakan di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi Bioteknologi UGM.

Pemeriksaan bakteriologik menggunakan metoda PCR-

RISA Bahan: Tris-HCl, EDTA, SDS, lisosim, CTAB, NaCl,

kloroform, isopropanol, etanol 70 %. Prosedur kerja Sebanyak 1.5 ml kultur sel dalam tabung 1.5 ml disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang. Pelet hasil sentrifugasi ditambahi 500 µl TE (100 mM ris-HCl, 100 mM EDTA; pH 8), vortex hingga homogen. Ditambahkan 40 µl lisosim (50 mg/ml) dan inkubasi pada 37oC selama 60 menit. Tambahkan 200 µl SDS 10 %, 100 µl NaCl 5 M, dan 80 µl CTAB lalu inkubasi pada 68oC selama 30 menit (sampel dibolak-balik setiap 10 menit). Dilakukan penambahan 1:1 chloroform dan sentrifugasi 13.000 rpm selama 10 menit. Lapisan atas diambil dan tambahkan 0.6 x volume isopropanol kemudian disentrifugasi kembali 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan cuci pelet dengan 100 µl etanol 70 % dan kering anginkan. Tambahkan 20 µl TE dan homogenkan. Untuk sampel langsung tanpa menggunakan teknik kultur, dilakukan prosedur yang sama dengan teknik dikulturkan, hanya sampel yang digunakan langsung ditambahi 500 µl TE. Polymerase Chain Rection Primer, Reagen, siklus termal Reagen: Primer; 1406F (5’>TGYACACACCGCCCGT<3’) (universal rRNA small subunit) 23SR (5’>GGGTTBCCCCATTCRG<3’) (bacterial 23S rRNA large subunit) Ready To Go (Amersham Biosciences); 2.5 unit Taq polymerase 10 mM Tris HCl (pH 9)

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 84

Page 30: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

50 mM KCl 1.5 mM Mg200 µl dNTP + stabilizer + BSA

Siklus PCR: denaturasi awal 94oC selama 2 menit, proses selanjutnya sebanyak 25 siklus yang terdiri dari denaturasi (15 detik pada suhu 94oC), penempelan primer (15 detik pada suhu 56oC), elongasi (30 detik pada 72oC). Setelah akhir siklus, elongasi dilanjutkan pada suhu 72oC selama 1 menit, kemudian proses dihentikan dengan mengatur suhu pada 4oC dan hasilnya divisualisasi dengan 1.5 % agarose. HASIL PENELITIAN Krakteristik Sampel

Sampel/Spesimen I II III IV V Umur 22 th 31 th 21th 27th 5th Jenis Kelamin

Laki laki

perempuan perempuan Laki laki

perempuan

Alamat Bantul Sleman Sleman Sleman Sleman Pemeriksaan Bakteriologis dengan media kultur

Sampel/Spesimen

I II III IV V Jenis

Kuman Pseudomonas

sp Pseudomonas

sp Pseudomonas

sp Pseudomonas

aeruginosa Pseudomonas

sp

Hanya didapatkan 1 jenis genus Pseudomonas spp (sampel I, II, III, V) dan 1 jenis spesies P.aeruginosa (sampel IV) Pemeriksaan Bakteriologis dengan PCR-RISA

Sampel I II III IV V M M : marker 100bp ladder Tampak gambaran genus Pseudomonas yang tidak sama.

Mungkin merupakan spesies/strain Pseudomonas yang berbeda. PEMBAHASAN

PCR merupakan suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial sel nukleotida tertentu secara in vitro.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan migrasi DNA pada agarose yaitu: 1. Konsentrasi agarose 2. Berat molekul DNA dan 3. Struktur DNA.

Dari hasil visualisasi terlihat adanya pola migrasi yang berbeda dari DNA bakteri Pseudomonas. Hasil PCR dengan menggunakan primer RISA pada agarose 1,5% tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan struktur DNA. Hal tersebut tampak pada hasil penelitian pemeriksaan bakteriologis dengan PCR-RISA, yaitu adanya perbedaan struktur DNA antara hasil PCR dari sampel I sd. sampel V .

Selain faktor struktur DNA, perbedaan pola migrasi dari sampel DNA bakteri yang diduga satu genus dapat pula disebabkan oleh perbedaan panjang sekuens yang teramplifikasi karena IGS sangat spesifik untuk setiap spesies bakteri; sehingga mungkin genusnya sama pseudomonas tetapi spesiesnya berbeda.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa pendekatan biologi molekuler yaitu RISA dapat membedakan beberapa strain/spesies Pseudomonas dari cairan telinga penderita Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif, sedangkan dengan pendekatan tradisional yaitu pembiakan pada medium agar darah, bakteri yang diperoleh hanya dapat dibedakan menjadi 2 macam bakteri yaitu Pseudomonas sp dan P. aeruginosa. Hasil ini mengindikasikan bahwa RISA dapat membedakan bakteri lebih seksama dibandingkan dengan pendekatan tradisional. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga mampu membedakan spesies dari kelompok Cyanobacteria20, dan dari kelompok Bacillus.21,22

Dari beberapa penelitian ini dan penelitian sebelumnya tampak bahwa RISA merupakan alat yang sangat baik untuk pembedaan bakteri-bakteri hasil isolasi karena memungkinkan pembedaan pada aras spesies.

Pendekatan ini mungkin juga sangat berguna dalam karakterisasi strain bakteri yang menunjukkan variabilitas tinggi dalam kelompok-kelompok bakteri yang secara taksonomi sangat dekat.

Pemanfaatan RISA dalam pembedaan bakteri penyebab penyakit akan sangat bermanfaat terutama jika dikaitkan dengan resistensi mereka terhadap antibiotik. Pembedaan bakteri dengan metode RISA mungkin dapat menjelaskan mengenai resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik. KESIMPULAN 1. Pendekatan molekuler (RISA) lebih unggul/sensitif dalam membedakan bakteri yang diisolasi dari sekret telinga penderita Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif (OMSKBA) dibandingkan dengan pendekatan tradisional (didasarkan pada pengamatan morfologi kultur/koloni bakteri pada media kultur / pure culture). 2. RISA memungkinkan pembedaan bakteri patogen penyakit infeksi di telinga (OMSKBA) pada aras spesies bahkan pada aras intra spesies.

KEPUSTAKAAN

1. Kenna MA, Rosane BA, Bluestone CD. Medical Management of Chronic Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children-Update 1992. Am J Otol 1993: 14:469-73

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 85

Page 31: cdk_155_THT

RISA untuk Bakteri OMSK Benigna Aktif

2. Papastavros T, Giamarellou H, Varledjides S. Obstaining Specimens of Discharge from the Middle Ear for Cultures. Laryngoscope 1985; 95:1413-1414

12. Helmi, Djaafar ZA, Sosialisman, Hafil AF, Ratna D. Panduan penatalaksanaan baku Otitis Media Supuratif Kronik di Indonesia. Eds. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Helmi. Jakarta 2002 ; 9-10

3. Kenna MA. Epidemiology and Natural History of Chronic Suppurative Otitis Media. Ann. Otol Rhinol Laryngol. 1988; 95 (Suppl.131);8

13. WorldHealthReport,2000.http://www.who.int/whr/2001/archives/2000/en/pdf/Annex4-en.pdf (accessed 21 July 2003).

4. Istioro YH. Penggunaan Antibiotik pada Otitis Media Supuratif Kronik. In: Helmi eds. Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif Kronik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1990:7-16.

14. Leiberman A, Fliss DM, Dagan R. Medical Treatment of Chronic Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children-a Two Year Follow-up. Internat. J Pediatr. Otorhinolaryngol.. 1992:24;25-33.

5. Kenna MA, Bluestone CD, Reilly JS. Medical Management of Chronic Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children. 1986; 96:146-51.

15. Bluestone CD, Kenna MA. Consensus. Ann Otol Rhinol Laryngol 1988; 97 (suppl.131):41-42.

16. Fliss DM et al. Medical Management of Chronic Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children. J.Pediatr. 1990 ;116:991-996. 6. Jonsson L, Schwan A, Thomander L et al. Aerobic and Anaerobic

Bacteria in Chronic Suppurative Otitis Media (a quantitative study). Acta Otolaryngol. Stockh.1986; 102:410-414.

17. Papastravos T, Giamarellou, Varlejides S. Role of Aerobic and Anaerobic Microorganisms in Chronic Suppurative Otitis Media. Laryngoscope 1986; 96:438-442. 7. Shenoi PM. Management of Chronic Suppurative Otitis Media. In: Kerr

GA. Scott-Brown’s Otolaryngology (Otology). Fifth ed. Butteworths. 1987:215-237.

18. Amadasun JEO. Bacteriology of Inadequately Treated Active Chronic Otitis Media in Paediatric Age Group. J Laryngol Otol 1991; 105:341-342. 8. Papastravos T, Giamarellou, Varlejides S. Role of Aerobic and

Anaerobic Microorganisms in Chronic Suppurative Otitis Media. Laryngoscope 1986; 96: 438-442.

19. Hariasri S. Otitis Media Supuratif Kronik : Latar belakang dan evaluasi pengobatan konservatif. Skripsi bagian THT FKUI. Jakarta: FKUI 1983.

9. Ranjard L, Brothier E, Nazaret S. Sequencing Bands of Ribosomal Intergenic Spacer Analysis Fingerprints for Characterization and Microscale Distribution of Soil Bacterium Populations Responding to Mercury Spiking. Applied and Environmental Microbiology. 2000: 5334-5339.

20. Boyer SL, Flechtner VR, Johansen JR. Is the 16S-23S rRNA internal transcribed spacer region a good tool for use in molecular systematics and population genetics? A case study in cyanobacteria..Mol Biol Evol. 2001 Jun;18(6):1057-69.

21. Daffonchio D, Cherif A,1,Brusetti L,Rizzi A,Mora A,Boudabous A, Borin S. Nature of Polymorphisms in 16S-23S rRNA Gene Intergenic Transcribed Spacer Fingerprinting of Bacillus and Related Genera. Appl and Environmental Microbiol. 2003; 69( 9): 5128-5137.

10. Yu Z, Mohn WW. Bacterial Diversity and Community Structure in an Aerated Lagoon Revealed by Ribosomal Intergenic Spacer Analyses and 16S Ribosomal DNA Sequencing. Appl. and Environmental Microbiol.. 2001; 67 (4):1565–1574

11. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Eds. Supardi E, Iskandar N. 2001:Hal 49-62.

22. Xu, D, Cote, JC. Phylogenetic relationships between Bacillus species and related genera inferred from comparison of 3' end 16S rDNA and 5' end 16S-23S ITS nucleotide sequences. Int J Syst Evol Microbiol 2003; 53: 695-704.

It is ironic habit of human beings to run faster when we have lost our way

Rollo May (1909-1954)

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 86

Page 32: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

HASIL PENELITIAN

Hubungan Tonsilitis Kronik

dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar

di Kota Semarang

Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang : Kualitas hidup anak dapat dinilai dari hasil/prestasi belajarnya. Salah satu indikasi tonsilektomi adalah jika tonsilitis kronik menyebabkan penurunan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah tonsilitis kronik dapat mengganggu prestasi belajar anak.

Metode : Penelitian secara belah-lintang pada 514 siswa kelas II SD Kota Semarang yang memenuhi kriteria penelitian. Sebelum penelitian dilakukan skrining kesehatan tenggorok melalui pemeriksaan fisik THT, pengukuran tinggi dan berat badan serta data hasil prestasi belajar dan tes IQ dari sekolah. Orang tua siswa diminta mengisi kuesioner tentang gangguan tenggorok dan penyakit lain pada anaknya. Data dianalisis dengan menghitung rasio prevalensi, interval kepercayaan, uji Kai-Kuadrat dan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar. Faktor lain yang diteliti meliputi tingkat pendidikan orang tua, jenis kelamin, les privat dan tingkat kecerdasan siswa.

Hasil : Sebanyak 301 anak yang memenuhi kriteria penelitian, 145 (48,2 %) laki-laki, 156 (51,8 %) perempuan ; 145 (48,2 %) siswa dengan tonsilitis kronik. Uji Kai-Kuadrat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar siswa (p < 0,05; 95 % CI : 2,48-4,99). Siswa dengan tonsilitis kronik mempunyai risiko 3,5 kali lebih besar mempunyai prestasi belajar kurang dari rata-rata kelas dibandingkan yang tidak tonsilitis kronik. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa tonsilitis kronik dan tingkat kecerdasan siswa berpengaruh terhadap prestasi belajar, sedangkan tingkat pendidikan orang tua, jenis kelamin dan les privat tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronik. Kesimpulan : Tonsilitis kronik menurunkan prestasi belajar. Kata Kunci : Tonsilitis kronik, prestasi belajar, sekolah dasar.

PENDAHULUAN

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun

tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat.1 Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA.2

Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 87

Page 33: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.3 Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun.4 Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.5

Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang.4,6

Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar jelek.7 Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi belajarnya.8

Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman.6 Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat meningkatkan prestasi belajar pada anak yang menderita penyakit amandel (tonsil) sehingga banyak orang tua yang menginginkan operasi amandel untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, meskipun belum tentu tonsilnya sakit.

Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang dapat menghasilkan perubahan berupa kecakapan baru pada diri individu. Proses dan hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi fisiologis dan psikologis diri individu. Perubahan perilaku akibat belajar tersebut menandai keberhasilan proses belajar dan mengajar dan digunakan sebagai indikator prestasi belajar.9

Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat mengganggu kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat mengganggu proses belajar. (Gambar 1)

Masalahnya adalah, benarkah anak yang menderita tonsilitis kronik prestasi belajarnya kurang.

Tujuan penelitian : (1) Membuktikan apakah tonsilitis kronik dapat mengganggu prestasi belajar. (2) Menganalisis: apakah ada hubungan antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar siswa dan apakah ada perbedaan prestasi belajar siswa dengan tonsilitis kronik dengan siswa yang tanpa tonsilitis kronik. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar siswa Sekolah Dasar yang menderita tonsilitis kronik. Lokasi penelitian dipilih di wilayah kota Semarang dengan pertimbangan bahwa sekolah dasar di kota mempunyai administrasi yang relatif lebih baik, lokasi mudah dijangkau dan kondisi sosial budaya yang memungkinkan kerjasama yang lebih baik dengan kepala sekolah, guru maupun orang tua/wali siswa.

Sampel penelitian adalah siswa kelas II sekolah dasar di

kota Semarang yang sekolahnya terpilih : (1) setuju ikut dalam penelitian (2) administrasi pengisian rapor baik, (3) data tes IQ lengkap. Kriteria Inklusi : Skor IQ siswa 90 – 129, mendapat ijin dari orang tua (orang tua mengisi dan menandatangani kuesioner). Kriteria Eksklusi : menderita penyakit kronik lain (otitis media kronik, TBC, penyakit jantung/ginjal atau anemia).

Kondisi fisiologis terganggu

Gejala lokal Gejala sistemik

Tonsilitis kronik

Prestasi belajar < rerata kelas

Gb.1 Skema hubungan tonsilits kronis dengan prestasi belajar

Telah dilakukan penelitian pendahuluan pada bulan

September – Desember 2003 berupa pemeriksaan THT pada kelas I dan II Sekolah Dasar di kota Semarang (13 sekolah dasar, di 5 kecamatan). Pada pemeriksaan tenggorok 1385 siswa tanpa anamnesis didapatkan 682 (49,24 %) tonsilitis kronik ; 47,92 % pada 674 siswa kelas I dan 50,49 % pada 711 siswa kelas II.

Berdasarkan data tersebut dilakukan penelitian lanjutan pada bulan Mei – Juni 2004 dan didapatkan 301 siswa yang memenuhi kriteria penelitian dari 514 siswa kelas II yang diteliti (2 SD Negeri dan 1 SD Swasta). Siswa yang tidak diikutkan dalam penelitian selain karena kriteria eksklusi juga berbagai sebab antara lain data tidak lengkap dan tidak mengembalikan kuesioner penelitian.

Analisis regresi logistik dan tabulasi silang 2 x 2 dilakukan untuk menghitung rasio prevalensi dengan tingkat kepercayaan 95 %.10 Dikatakan tonsilitis kronik apabila pada siswa didapatkan gejala sakit tenggorok lebih dari 3 bulan disertai tanda klinis berupa kripte melebar, tonsil membesar atau tidak dan pembesaran kelenjar limfe subangulus mandibula. 6,11,12 Data taraf inteligensi siswa diperoleh dari sekolah : diikutkan dalam penelitian jika IQ 90 – 129. IQ siswa dikategorikan biasa (90 – 109), cerdas (110 – 119) dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 88

Page 34: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

sangat cerdas (120 – 129).9 Status gizi diperoleh dengan pengukuran antropometri

berat badan dan tinggi badan berdasarkan indeks standar internasional NCHS – WHO.13 Nilai Z-Score berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) adalah indikator terbaik dalam menganalisis status gizi; pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan variabel lainnya.14 Data les privat (pelajaran tambahan di luar jam sekolah) diperoleh dari data kuesioner yang diisi oleh orang tua. Tingkat pendidikan terakhir orang tua (ayah & ibu) dikelompokkan ke kategori Sekolah Dasar (SD & SLTP), Menengah (SLTA) dan Perguruan Tinggi.

Faktor-faktor eksternal sosial dan non sosial yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar, meliputi guru, materi, dan alat-alat pelajaran, sarana dan fasilitas sekolah adalah sama untuk masing-masing kelas. Prestasi belajar masing-masing siswa dibandingkan dengan nilai rerata kelas yang sama. Demikian halnya dengan waktu belajar dan suasana kelas.

Faktor lingkungan yang berupa iklim, listrik, transportasi diasumsikan sama karena tiga sekolah terpilih berada di satu wilayah kota Semarang. Sosial ekonomi dianggap sama karena orang tua siswa pada tiga sekolah terpilih mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke atas. Bakat, konsentrasi, lingkungan keluarga tidak diperhitungkan karena keterbatasan peneliti dan kesulitan memperoleh data sifatnya sangat subyektif tiap individu. Prestasi belajar diperoleh diukur/diperoleh berdasarkan nilai rapor terakhir. Saat dilakukan penelitian ini rapor terakhir siswa adalah semester II pada tahun ajaran 2003/2004. Nilai rapor yang digunakan sebagai hasil/prestasi belajar siswa meliputi semua mata pelajaran 1) Matematika, 2) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), 3) Bahasa Indonesia, 4) Pendidikan Agama, 5) Kerajinan Tangan dan Kesenian, 6) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, 7) Muatan Lokal (Bahasa Jawa, Bahasa Inggris). HASIL

Usia subyek penelitian antara 7 sampai 9 tahun (89-113 bulan) terbanyak 8 tahun (69,8 %) terdiri dari 45 laki-laki (48,2 %) dan 156 wanita (51,8 %). Distribusi siswa pada ketiga SD dapat dilihat pada gambar 2,3 dan 4. Gb 2. Distribusi Tonsilitis Kronik (TK) jumlah siswa per-kelas (SDN I)

Gb 3. Distribusi Tonsilitis Kronik (TK) jumlah siswa per-kelas (SDN-II) Gb 4. Distribusi Tonsilitis Kronik (TK) jumlah siswa per-kelas (SDS)

Dari hasil pemeriksaan 301 siswa serta data kuesioner

orang tua didapatkan 145 siswa (48,2 %) menderita tonsilitis kronik; 156 siswa yang tidak menderita tonsilitis kronik (51,8 %). Delapan puluh tiga siswa (79,4 %) menderita tonsilitis kronik dengan ukuran tonsil T1 dan T2 sedangkan ukuran tonsil T3 yang diklasifikasikan sebagai tonsilitis kronik hipertrofi didapatkan pada 62 siswa (20,6 %). Tidak ditemukan tonsil ukuran T4. Dari 62 kasus tonsilitis kronik hipertrofi ukuran T3 didapatkan 39 siswa (62,9 %) mempunyai keluhan tidur mendengkur (gambar 5).

Gambar 5. Prevalensi TK, ukuran tonsil & T3 mendengkur (M) Pada semua siswa yang diteliti tidak ditemukan tanda-

tanda klinis hipertrofi adenoid; karena alasan teknis dan biaya, pemeriksaan x-foto untuk melihat besarnya adenoid tidak dilakukan.

54

29

12

52

32

14

53 38

13

54

36

15

0 10 20 30 40 50 60

9.6% 10.6% 12.6% 12.0%

SiswaSampel TK

4134

17

4032

18

42

0

10

20

30

40

50

11.4 10,6 0,0

SiswaSampel TK

27,6%

7,6%

45,2%

5,0%1,6%

13,0%

27,6% TK + (T1 & T2)

45,2% TK – (T1 & T2)

7,6% TK + (T3)

5,0% TK – (T3)

13% TK + (T3) M

1,6% TK – (T3) M

45

2515

46

27

11

43

2312

445040

Siswa2530Sampel

20 13 TK100

8.3 9.0 7.6 8.3

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 89

Page 35: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

Selain tonsilitis kronik, faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar, ialah tingkat kecerdasan, status gizi, les privat dan tingkat pendidikan orang tua siswa.

Berdasarkan hasil tes IQ, siswa dengan kecerdasan biasa sebanyak 157 (52,2 %), siswa cerdas 119 (39,5 %) dan cerdas sekali 25 (8,3 %). Pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu siswa sebagian besar tingkat perguruan tinggi (PT) dan sangat sedikit yang tingkat pendidikan dasar (SD). Dari hasil pengukuran antropometri berat dan tinggi badan semua siswa ditentukan nilai Z-Score berat badan menurut tinggi badan (NCHS-WHO). Siswa dengan gizi normal sebanyak 245 (81,4%) dan gizi lebih 56 (18,6 %).

Dari kuesioner yang diisi oleh orang tua siswa didapatkan siswa yang mengikuti les privat sebanyak 128 (42,5 %). Nilai rerata prestasi belajar siswa per kelas pada siswa yang diteliti untuk semua mata pelajaran antara 7,4-8,4; untuk Matematika 7,5-8,8; Bahasa Indonesia 7,7-8,9 dan PPKn 7,8-8,8 (tabel 1).

Prestasi belajar siswa penderita tonsilitis kronik yang di bawah rerata kelas sebesar 76,6 % (95 siswa), sedangkan yang tidak tonsilitis kronik sebesar 23,4 % (29 siswa); berbeda bermakna (p = 0,000, rasio prevalensi 3,52 dan 95 %CI 2,48-4,99) (tabel 2). Untuk melihat apakah perbedaan bermakna disebabkan oleh pelajaran tertentu maka dianalisis hubungan prestasi belajar siswa dengan nilai rerata kelas untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia ataupun PPKn. Hasil uji Kai-Kuadrat pada masing-masing mata pelajaran tersebut menunjukkan perbedaan yang bermakna (tabel 3). Tabel 1. Distribusi nilai rerata prestasi belajar per-kelas

Jumlah Nilai Rerata per-kelas No Sekolah Dasar Siswa Keseluruhan Matematika B.Indonesia PPKn

1 SDN I IIa 29 7,9 8,2 8,4 8,1 2 IIb 32 7,4 7,5 7,7 7,9 3 IIc 38 7,7 8,0 8,0 8,1 4 IId 36 7,4 7,6 7,7 7,8 5 SDN II IIa 34 7,8 8,3 7,7 8,4 6 IIb 32 7,9 8,2 8,3 8,3 7 Swasta IIa 25 8,1 8,2 8,6 8,6 8 IIb 27 8,2 8,4 8,5 8,6 9 IIc 23 8,4 8,8 8,9 8,8 10 IId 25 8,0 8,0 8,4 8,4 Jumlah 301 Tabel 2. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar

keseluruhan mata pelajaran.

< rerata kelas > rerata kelas Jumlah Tonsilitis Kronik + 95 (76,6 %) 50 (28,2 %) 145 (48,2 %) Tonsilitis Kronik − 29 (23,4 %) 127 (71,8 %) 156 (51,8 % ) Jumlah 124 (41,2 %) 177 (58,8 %) 301 (100,0 %) Rasio prevalensi = 3,52; 95 % CI = 2,48 – 4,99; x2, p = 0,000 Tabel 3. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar mata

pelajaran tertentu. Mata Pelajaran x2, p Rasio Prevalensi 95 % CI Matematika 0,000 2,79 2,05 - 3,78 B. Indonesia 0,000 4,45 2,96 - 6,68 PPKn 0,000 2,50 1,86 - 3,35

Hasil analisis regresi logistik, untuk rerata keseluruhan mata pelajaran menyatakan bahwa tonsilitis kronik berpengaruh buruk terhadap prestasi belajar (p = 0,000). Siswa penderita tonsilitis kronik mendapatkan nilai lebih rendah dari rerata kelas 9 kali lebih besar dibandingkan bukan penderita (RP = 8,79 dan 95 % CI 4,78 – 16,13). Tingkat kecerdasan berpengaruh terhadap prestasi belajar (RP = 2,22 dan 95 % CI 1,27 – 3,86). Tabel 4. Faktor-faktor risiko terhadap prestasi belajar rerata

keseluruhan mata pelajaran.

Variabel β p RP 95 % CI Tonsilitis kronik 2.174 0.000 8.790 4,788 - 16,138

Tonsil hipertrofi (T3) -0.464 0.264 0.629 0,279 - 1,420

Tidur mendengkur -0.068 0.884 0.934 0,373 - 2,338 Tingkat IQ 0.799 0.005 2.223 1,278 - 3,868 Tingkat pendidikan ayah

0.059 0.874 1.061 0,508 - 2,215

Tingkat pendidikan ibu

0.454 0.168 1.574 0,826 - 3,002

Les privat 0.028 0.920 1.029 0,589 - 1,799 Jumlah -3.954 0.000 0.019

Faktor tonsil hipertrofi (T3 ), keluhan tidur mendengkur,

les privat dan tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar (tabel 4). Demikian juga untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia maupun PPKn menunjukkan bahwa tonsilitis kronik maupun tingkat kecerdasan (siswa yang tidak cerdas) berpengaruh buruk terhadap prestasi belajar untuk mata pelajaran tersebut (p < 0,05, RP dan 95 % CI > 1) sedangkan faktor lainnya tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar.

Prestasi belajar siswa cerdas yang menderita tonsilitis kronik (n =119) dianalisis dengan uji Kai-Kuadrat (tabel 5 dan 6). Ternyata prestasi belajar untuk rerata mata pelajaran tertentu maupun keseluruhan pada siswa cerdas yang menderita tonsilitis kronik lebih rendah daripada siswa cerdas yang tidak menderita tonsilitis kronik. Tabel 5. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar

keseluruhan mata pelajaran pada siswa cerdas.

< rerata kelas > rerata kelas Jumlah Tonsilitis Kronik + 21 (65,6 %) 23 (26,4 %) 44 (37,0 %) Tonsilitis Kronik − 11 (34,2 %) 64 (73,6 %) 75 (63,0 %) Jumlah 32 (26,9 %) 87 (73,1 %) 119 (100,0 %) Rasio prevalensi = 3,25; 95 % CI = 1,73-6,09; x2, p = 0,000. Tabel 6. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar mata

pelajaran tertentu pada siswa cerdas. Mata Pelajaran x2, p Rasio Prevalensi 95 % CI Matematika 0,000 3,28 1,88 - 5,72 B. Indonesia 0,000 6,25 2,75 - 14,23 PPKn 0,000 3,54 2,05 - 6,12

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 90

Page 36: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

PEMBAHASAN Prevalensi tonsilitis kronik pada siswa kelas II Sekolah

Dasar usia antara 7-9 tahun di Kota Semarang sebesar 48,2 % (145/301). Penilaian prestasi belajar siswa diperoleh dari laporan penilaian hasil belajar semester II pada tahun ajaran 2003/2004 yang merupakan prestasi belajar terakhir saat dilakukan penelitian. Penilaian hasil semesteran sesuai dengan kemajuan hasil belajar (prestasi belajar) siswa selama 4 bulan atau 6 bulan .9

Prestasi belajar siswa tonsilitis kronik yang kurang dari nilai rerata kelas, baik untuk semua mata pelajaran maupun mata pelajaran tertentu (Matematika, Bahasa Indonesia dan PPKn) dapat merupakan dampak penyakit kronik pada siswa antara lain kurang berprestasi di sekolah.15 Hal ini karena kondisi fisiologis pada umumnya berpengaruh terhadap proses belajar.9

Kondisi fisiologis pada siswa yang menderita tonsilitis kronik terganggu karena adanya gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal berupa nyeri tenggorok atau rasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan dan kadang-kadang seperti ada benda asing (pancingan) di tenggorok. Gejala sistemik terjadi akibat absorbsi bakteri atau toksin ke dalam sirkulasi darah. Gejalanya antara lain badan lesu, sering mengantuk, sakit kepala dan badan terasa meriang.4,16,17

Tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa penderita

tonsilitis kronik antara hipertrofi (T3) dan tidak hipertrofi (T1 dan T2) ; pada tonsilitis kronik hipertrofi (T3) antara yang disertai keluhan tidur mendengkur dan tidak mendengkur. Mungkin tonsilitis kronik hipertrofi (T3) pada siswa tersebut tidak/belum menimbulkan obstruksi saluran nafas atas maupun apnea obstruksi waktu tidur.

Hipertrofi tonsil dan adenoid dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas atas7-8,18; yang dapat menyebabkan gangguan tidur, sampai terjadi apnea obstruksi waktu tidur. Gejala paling umum adalah tidur mendengkur yang dapat diketahui dari anamnesis.

Keluhan tidur mendengkur pada hipertrofi tonsil (T3) yang diduga dapat menyebabkan apnea obstruksi waktu tidur pada penelitian ini diperoleh dari data kuesioner orang tua siswa dan karena alasan teknis serta biaya tidak dilakukan pemeriksaan Apnea Hypopnea Index (AHI).19

Tonsilitis kronik hipertrofi yang menyebabkan apnea obstruksi waktu tidur dengan hipoventilasi alveoli, hipoksia dan retensi CO2 pada malam hari dapat mengganggu fungsi psikologis dan fisiologis.18,20 Gejala yang ditimbulkan dapat berupa prestasi belajar kurang.8,18,20 Pada penelitian ini, tonsilitis kronik hipertrofi (T3) mungkin belum menimbulkan

gangguan sehingga prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronik baik yang hipertrofi maupun yang disertai dengan keluhan tidur mendengkur tidak berbeda daripada yang tidak hipertrofi maupun tidak mendengkur.

Prestasi belajar pada siswa cerdas dengan tonsilitis kronik yang kurang dari nilai rerata kelas, baik untuk rerata semua mata pelajaran maupun tertentu (Matematika, Bahasa Indonesia dan PPKn) dapat merupakan dampak dari penyakit kronik.15 Selain pendapat beberapa ahli bahwa inteligensi (kecerdasan) merupakan salah satu faktor penting yang menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang terutama pada anak.9,21

Pada umumnya pengetahuan orang tua sangat menentukan pendidikan keluarga (anak-anaknya). Tingkat pendidikan orang tua juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses dan prestasi belajar siswa.9 Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan orang tua, jenis kelamin dan les privat siswa yang menderita tonsilitis kronik, tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa untuk rerata semua mata pelajaran.

Secara keseluruhan nilai rerata tiap kelas pada siswa yang diteliti antara 7,4-8,9 dan sesuai kriteria dari penilaian hasil belajar di Sekolah Dasar termasuk lebih dari cukup sampai baik tetapi siswa yang menderita tonsilitis kronik mendapatkan nilai yang lebih rendah. Pada sekolah yang diteliti selain penyediaan alat-alat pelajaran serta perlengkapan yang memenuhi syarat penempatan murid-murid juga diatur secara baik di kelas.

Ada perbedaan bermakna antara prestasi belajar siswa

yang menderita tonsilitis kronik dengan yang tidak

Seorang siswa bila menderita penyakit kronik maka akan sulit memperoleh kemajuan dalam pelajarannya.9,15 Gejala-gejala ringan akibat gangguan kondisi fisiologis siswa yang menderita tonsilitis kronik merupakan penghalang sangat besar untuk menyelesaikan pelajaran. Jika gejala makin berat dan makin mengganggu kondisi fisiologis maka kemungkinan besar mengakibatkan siswa yang menderita tonsilitis kronik tidak dapat belajar sama sekali. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian pada anak Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang menunjukkan ada hubungan antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar siswa. 2. Ada perbedaan bermakna prestasi belajar siswa antara yang menderita tonsilitis kronik dengan yang tidak tonsilitis kronik. 3. Faktor tingkat inteligensi, les privat, jenis kelamin dan tingkat pendidikan orang tua siswa tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronik. 4. Tidak ada perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan tonsilitis kronik hipertrofi (T3) dan tidak hipertrofi (T1, T2) maupun antara siswa tonsilitis kronik hipertrofi (T3) yang mendengkur dan tidak mendengkur. SARAN

Perlu penelitian prospektif untuk mempelajari/ membuktikan pengaruh tonsilitis kronik terhadap prestasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 91

Page 37: cdk_155_THT

Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar

belajar dengan mempertimbangkan variabel yang belum diteliti dalam penelitian ini.

10. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2002.

11. Primara IW, Losin K, Rianto BUD. Hubungan antara tanda klinis dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada tonsilitis kronis yang telah dilakukan tonsilotomi Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 253-64.

KEPUSTAKAAN

1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan

dan Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71.

12. Stevens W. Tonsilitis In : Mc Laughin E, Health Encyclopedia (Reviewer).. North Memorial Health Care. 2002.

13. WHO. Measuring change in nutritional status : Guidelines for assessing the nutritional impact of supplementary feeding programmes for vulnerable groups. Geneva : World Health Organization, 1983. 2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan Saluran

Nafas Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994 : 194-224.

14. Hadju V. Analisa status gizi anak Sekolah Dasar yang mendapat program pemberian makanan tambahan pada anak sekolah (PMTAS) di Sulawesi Selatan. J Epidemiol.Indon. 2001; 5:24-30.

3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12.

15. Smet B. Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo; 1994. 16. Shah UK. Tonsilitis and peritonsillar abscess. :http://www.

emedicine.com/ent/topic 314.htm.2001. 4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT

RSUP Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55.

17. Fujita S. Pharyngeal surgery for obstructive sleep apnea and snoring. In: Fairbanks DNF, Fujita S, eds. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. 2nd ed. New York: Raven Press 1994 : 83-5.

5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus tonsil dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi. Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 193-205.

18. Strohl KP, Roth T, Redline S. Cardiopulmonary and neurological consequences of obstructive sleep apnea. In Fairbanks DNF, Fujita S, eds. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. 2nd ed. New York: Raven Press 1994 : 31-40.

6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2nd ed.. Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57.

19. Bailey CM, Craft CB, Sleep apnea. In : Kerr AG ed. Scott-Brown’s Otolaryngology-Paediatric Otolaryngology. 6th ed. Butterworth; 1997 : 1-10. 7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome.

:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002. 20. Lind MG, Lundell PW. Tonsillar hyperplasia in children. Arch Otolaryngol. 1982; 18: 650-4. 8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive

sleep apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 2000; 123:9-16. 9. Suryabrata S. Psikologi pendidikan. Jakarta: Fajar Interpratama Offset;

2002.

21. Tirtonegoro S. Penanganan kesulitan belajar anak slow learner. Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi. 1995; 12:1-9.

Informasi Topik Utama Cermin Dunia Kedokteran Mendatang

Untuk edisi mendatang, Redaksi Cermin Dunia Kedokteran akan memilih topik-topik :

- masalah anak - kebidanan dan penyakit kandungan - neurologi/saraf - kesehatan jiwa - informatika kedokteran

sebagai topik utama. Redaksi masih mengharapkan kesediaan sejawat untuk mengirimkan naskah/hasil penelitian sejawat sekalian untuk diterbitkan/ dipublikasikan sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam praktek dunia kedokteran.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 92

Page 38: cdk_155_THT

Kelelahan Bersuara

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Fisiologis dan Biomekanis

Kelelahan Bersuara serta Penatalaksanaannya

Hamsu Kadriyan

Program Studi Ilmu Kedokteran Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

ABSTRAK

Profesi yang mengandalkan suara akhir-akhir ini semakin berkembang. Kelelahan bersuara merupakan salah satu dampaknya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa aspek fisiologis dan biomekanis organ-organ pembentuk suara, seperti kelelahan neuromuskuler, regangan non-neuromuskuler, gangguan aliran darah, kelelahan otot-otot pernapasan dan gangguan viskoelastisitas pita suara. Penatalaksanaan didasarkan pada aspek fisiologis dan biomekanis tersebut, dapat berupa terapi suara, konservasi suara, terapi tingkah laku suara dan terapi medikamentosa jika perlu.

PENDAHULUAN

Perkembangan berbagai profesi yang mengandalkan suara untuk bekerja seperti penyiar, presenter, penyanyi merupakan profesi yang akhir-akhir ini berkembang pesat terlihat dari banyaknya program televisi maupun radio yang mengandalkan suara. Juru kampanye lebih bersifat insidentil sesuai dengan putaran pemilu, guru dan sales produk obat juga merupakan profesi yang banyak mengandalkan suara.

Salah satu dampak yang paling sering timbul pada organ-organ pembentuk suara. adalah kelelahan bersuara/berbicara. Hal ini kadang-kadang tidak disadari atau tidak diketahui oleh penderitanya.

Kelelahan bersuara (voice fatigue) merupakan adaptasi negatif pembentukan suara pada orang-orang yang sering menggunakan suara dalam jangka waktu lama tanpa kelainan patologis laring1. Kelelahan bersuara biasanya bermanifestasi sebagai turunnya volume suara dan tinggi nada, rasa nyeri atau tidak nyaman di tenggorok saat bersuara; dapat terjadi suara serak. Keadaan ini sering timbul pada profesi yang mempunyai risiko besar untuk timbulnya gangguan bersuara yang secara psikologis maupun ekonomis akan mengganggu pekerjaannya.

Kelelahan bersuara pada profesi-profesi tersebut cukup sering ditemukan, prevalensinya 9,7-13%1. Dengan self

assessment ternyata prevalensinya meningkat menjadi 73%2

.Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi kelelahan bersuara cukup tinggi. Di Indonesia, belum ada penelitian yang melaporkan hal ini.

PEMBENTUKAN SUARA

Terdapat 3 sistem organ pembentuk suara yang saling berintegrasi untuk menghasilkan kualitas suara yang baik yaitu sistem pernapasan, laring dan traktus vokalis supraglotis. Sistem respirasi berperan sebagai pompa yang menghasilkan aliran udara konstan dan terus-menerus melalui glotis. Hal ini didukung oleh otot-otot dada, perut dan diafragma yang berperan dalam pernapasan. Laring merupakan organ pembentuk suara yang kompleks terdiri dari tulang dan beberapa tulang rawan serta jaringan otot yang dapat menggerakkan pita suara. Traktus vokalis supraglotis merupakan organ pelengkap yang sangat penting karena suara yang dibentuk pada tingkat pita suara akan diteruskan melewati traktus vokalis supraglotis. Di daerah ini suara dimodifikasi oleh beberapa struktur oral faringeal (seperti lidah, bibir, palatum, dan dinding faring), hidung dan sinus. Organ tersebut berfungsi sebagai artikulator dan resonator. 3,4

Kelelahan suara merupakan keadaan kompleks dan melibatkan banyak organ dan sistem organ tubuh sesuai

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 93

Page 39: cdk_155_THT

Kelelahan Bersuara

dengan hambatan yang terjadi pada fisiologi pembentukan suara serta sifat biomekanis pita suara.1,4

KELELAHAN NEUROMUSKULER

Kelelahan neuromuskuler didefinisikan sebagai menurunnya kapasitas regangan otot jika dilakukan stimulasi berulang. Pada proses pembentukan suara, kelelahan otot-otot intrinsik dan atau ekstrinsik laring berpotensi mengurangi kapasitas untuk meregangkan dan menjaga stabilitas plika vokalis.1

Kelelahan neuromuskuler dapat terjadi di otot, sambungan saraf-otot (neuromuscular junction), dan di jalur saraf di atasnya5. Kelelahan otot dapat terjadi karena habisnya komponen energi (seperti glikogen dan kreatinin fosfat) serta menumpuknya asam laktat dalam otot. Kelelahan neuromuscular junction terjadi akibat berkurangnya asetilkolin di dalam kantungnya atau berkurangnya sensitivitas reseptor asetilkolin pada membran post sinaptik. Pada jalur saraf di atasnya juga dapat terjadi kelelahan akibat berkurangnya eksitasi motoneuron dan perubahan input motoneuron dari perifer.

94

REGANGAN NON NEUROMUSKULER

Paparan mekanis yang berulang terhadap epitel dan lamina propria pita suara merupakan faktor non-muskuler, termasuk ligamen dan kartilago. Hal ini masih kontroversial karena belum ada data penelitian yang mendukung.1

HAMBATAN SIRKULASI

Berkurangnya sirkulasi darah terjadi karena vasokonstriksi akibat meningkatnya tekanan intramuskuler selama kontraksi. Pengaruh penurunan aliran darah terhadap kelelahan bersuara diduga melalui 2 mekanisme, pertama akibat menurunnya suplai oksigen dan kalori serta terhambatnya pembuangan asam laktat yang menimbulkan penurunan kemampuan kontraksi otot. Kedua, penurunan aliran darah akan menurunkan kemampuan untuk membuang panas dari plika vokalis; akan terjadi peningkatan suhu yang berisiko merusak jaringan laring.1

Hambatan aliran darah menuju ke otot yang sedang berkontraksi mengakibatkan kelelahan otot hampir sempurna dalam 1 menit5. Hal ini terjadi terutama karena kehilangan suplai makanan dan oksigen.

KELELAHAN OTOT-OTOT PERNAPASAN

Kelelahan otot-otot pernapasan akan menurunkan kapasitas tekanan subglotis, sehingga dapat mengakibatkan

kelelahan bersuara. Kapasitas vital yang dibutuhkan untuk berbicara normal adalah 50% dari kapasitas paru-paru normal, sedangkan untuk bernyanyi dibutuhkan 100% dari kapasitas paru-paru. Kelelahan bersuara akibat mekanisme ini bergantung kepada jenis pekerjaan, kebiasaan latihan fisik dan kesehatan paru-paru.1,7

PERUBAHAN VISKOELASTISITAS PITA SUARA

Bersuara dalam jangka panjang dapat mengubah komposisi cairan di dalam plika vokalis, berupa meningkatnya viskositas dan kekakuan plika vokalis (perubahan viskoelastisitas). Hal ini terjadi karena pada saat bersuara akan terjadi penguapan cairan dari dalam jaringan akibat peningkatan suhu lokal karena pelepasan energi. Hal ini akan mengakibatkan cairan menjadi lebih kental. Agitasi termal pada molekul jaringan juga akan mengakibatkan lemahnya ikatan protein sehingga akhirnya menimbulkan kelelahan viskoelastis.1 Tetapi Titze et al. (2003)7 berpendapat bahwa perubahan suhu yang terjadi pada plika vokalis saat bergetar sangat kecil (0,002-0,0050C), sehingga peningkatan suhu bukan penyebab utama kelelahan bersuara.

DAMPAK KELELAHAN BERSUARA

Berbagai dampak yang mungkin timbul akibat kelelahan bersuara, yaitu dampak terhadap kualitas hidup dan kelainan permanen pada laring8. Hal ini biasanya terjadi setelah kelelahan bersuara timbul berulangkali. Dampak kualitas hidup terutama terjadi akibat ketidakmampuan untuk berbicara terus-terus menerus dalam waktu lama, sehingga dapat mengganggu pekerjaan, sosialisasi dengan masyarakat sekitar dan juga secara ekonomis baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dampak terhadap struktur laring terutama terjadi pada lapisan epitelial dan lamina propria. Kelainan pada lapisan epitelial biasanya berupa edema yang dapat berlanjut menjadi vocal nodule. Kelainan lamina propria dapat terjadi akibat penumpukan cairan atau darah yang dapat berlanjut menjadi kista atau polip.8 PENATALAKSANAAN

Merujuk pada dampak yang dapat timbul akibat kelelahan bersuara, maka perlu beberapa langkah pencegahan maupun terapi. Bila belum timbul kelelahan bersuara, pencegahan merupakan hal yang terpenting. Beberapa peneliti menyarankan untuk minum air setiap beberapa saat setelah berbicara. Laki-laki yang minum air akan dapat membaca dengan kualitas suara yang baik dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang tidak diberi minum air9. Hal yang sama didapatkan pada penyanyi karaoke amatir10.

Istirahat bersuara merupakan salah satu teknik untuk mengistirahatkan organ-organ pembentuk suara. Yiu et al. (2003)10 melaporkan bahwa pada subyek yang diberi istirahat 1 menit setiap selesai menyanyikan satu lagu, mampu bernyanyi rata-rata selama 101 menit sedangkan yang tidak diberi istirahat hanya mampu bernyanyi selama 86 menit. Secara statistik perbedaan tersebut bermakna (p<0,05).

Kelelahan bersuara (voice fatigue) merupakan adaptasi negatif pembentukan suara

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007

Page 40: cdk_155_THT

Kelelahan Bersuara

Faktor-faktor lain yang menjadi faktor risiko terjadinya kelelahan bersuara juga harus diperhatikan. Penggunaan alkohol, merokok, dan obat-obatan tertentu sebaiknya dihindari karena dapat mempengaruhi kondisi permukaan plika vokalis.11

Salah satu penyebab iritasi larings adalah refluks dari esofagus11. Hal ini dapat mempercepat terjadinya kelelahan bersuara karena akan mengakibatkan hilangnya lapisan mukus permukaan pita suara serta terkelupasnya epitel. Beberapa hal yang dianjurkan untuk mencegah refluks antara lain, pertama menghindari konsumsi kafein dan coklat karena akan mengakibatkan relaksasi spinkter esofagus. Kedua, hindari makan dan minum pada jam tidur dan sebaiknya tunggu 2-3 jam setelah makan baru kemudian tidur atau posisi kepala ditinggikan. Bila sudah ada gejala refluks mungkin diperlukan obat-obatan untuk menetralisir asam lambung atau mengurangi produksinya.

TERAPI KELELAHAN BERSUARA Ada beberapa pendekatan penatalaksanaan11,12. Pertama,

terapi suara dengan komponen utama berupa edukasi dasar anatomi dan fisiologi produksi suara. Pasien harus mengerti hubungan antara gangguan suara dan penyebabnya sehingga lebih menyadari apa yang boleh dilakukan dan apa yang dihindari. Kedua, konservasi suara yang prinsipnya lebih praktis dan realistis dibandingkan terapi suara. Caranya adalah dengan mengurangi penggunaan suara atau istirahat bersuara yang bertujuan mengurangi udem jaringan. Perlu juga mengurangi sumber penyalahgunaan suara dan menggunakan alat pengeras suara.

Terapi tingkah laku suara ditujukan untuk meningkatkan aspek teknik penggunaan suara termasuk pernapasan perut, latihan penggunaan tinggi nada dan intensitas yang benar, meningkatkan phrasing dan teknik-teknik spesifik lainnya. Para penyanyi yang dilatih selama 3 bulan akan mengalami penurunan serangan kelelahan bersuara secara bermakna dibandingkan sebelum dilatih12.

Terapi medikamentosa terutama ditujukan untuk mengurangi udem jaringan dengan pemberian obat-obat anti inflamasi steroid atau non steroid. Terapi operatif diperlukan jika sudah terjadi kelainan permanen laring.11 KESIMPULAN

Aspek-aspek fisiologis dan biomekanis yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kelelahan bersuara diduga adalah kelelahan neuromuskuler, gangguan viskoelastisitas plika vokalis, gangguan aliran darah, dan kelelahan otot-otot pernapasan. Penatalaksanaannya didasarkan pada patofisiologi tersebut, terdiri dari terapi suara, konservasi suara, latihan bersuara dan terapi medikamentosa.

KEPUSTAKAAN 1. Welham NV, Maclagan MA. Vocal fatigue: current knowledge future

directions. J Voice 2003;17:21-30. 2. Gotaas C, Starr CD. Vocal fatigue among teachers. Folia Phoniatricia et

Logopedica 1993;145:120-129. 3. Forcin A, McGlashan J, Huckvale M. The generation and reception of

speech. In Basic Science. In Kerr AG ed. Scott-Brown Otolaryngology 6th ed. Butterworth-Heinemann 1997.

4. Bailey BJ. Upper airway anatomy and function. In Otolaryngology Head Neck Surgery 2nd ed. New York: Mosby. 1998.

5. Astrand P, Rodahl K, Dahl HA, Stromme SB. Fatigue. In Text Book of Work Physiology Human Kinetics 4th ed. 2003: 453-477.

6. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi olahraga. Dalam Setiawan I ed. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ted 9. EGC 1997:1339-1354.

7. Titze IR, Svec JG, Popolo PS. Vocal dose measure: quantifying accumulated vibration exposure in vocal fold tissue. J Speech Language Hearing Res 2003; 46:922-935.

8. Yiu EML. Impact and prevention of voice problem in the teaching profession: embracing the customer views. J Voice 2001;15:275-290.

9. Solomon NP, Glaze LE, Arnold RR, van Mersebergen M. Effect of vocally fatiguing task and systemic hydartions on men voices. J Voice 2003;17:31-46.

10. Yiu EML, Chan RMM. Effect of hydration and vocal rest on vocal fatigue in amateur karaoke singers. J Voice 2003;17:216-227.

11. Lundy DS, Casiano RR. Diagnosis and management of hoarseness. Hospital Physician 1999; 10: 59-69.

12. Welham NV, Maclagan MA. Vocal fatigue among trained singers across a solo performance: preliminary study. Logofed Phoniatr Vocol 2004; 29: 3-12.

If you wish to be loved, love (Seneca)

Cermin Dunia Kedokteran No. 15

5, 2007 95
Page 41: cdk_155_THT

Formaldehid dan Karsinoma Nasofaring

HASIL PENELITIAN

Paparan Formaldehid sebagai

Faktor Risiko Kanker Nasofaring

Kajian pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang

Adi Nolodewo, Yuslam, Muyassaroh

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang, Indonesia

ABSTRAK Latar Belakang : Formaldehid merupakan bahan kimia yang banyak dijumpai di lingkungan indusri, pertanian, peternakan, rumah tangga, bahkan dalam makanan/ minuman. Bahan ini dapat berbentuk padat, cair, uap/ asap. Formaldehid bersifat korosif terhadap mukosa, secara tidak langsung, formaldehid dapat memicu terjadinya mutasi DNA. Metode: Matching case control. Sejumlah 32 penderita karsinoma nasofaring (KNF) di bangsal THT-KL RSDK dan 32 penderita bukan KNF yang periksa di klinik THT-KL RS Dr Kariadi Semarang. Kriteria paparan formaldehid dinilai berdasarkan lama dan frekuensi paparan formaldehid berbagai bentuk. Hasil : Umur termuda 15 tahun, tertua 79 tahun. Laki-laki (87,5%) lebih banyak dari perempuan (12,5%). Paparan formaldehid berbentuk uap OR 16.0 CI 2,9 -338,9 p = 0,000068. Berbentuk asap OR 7,5 CI 1,7 – 67,6 p= 0,0001. Berbentuk partikel debu OR 3,0 CI 1,04 – 10,6 p= 0,0206. Berbentuk makanan bakar/asap OR 1,8 CI 0,5 – 6,8 p= 0,222. Berbentuk awetan/instan OR 2,8 CI 0,8 – 11,8 p= 0,059. Berbentuk minuman beralkohol OR 3,7 CI 1,9 -16,4 p=0,028. Hasil analisis multivarian mendapatkan paparan formaldehid berbentuk uap,asap terbukti secara bersama berpengaruh secara signifikan (α =0,05) terhadap kejadian KNF Kesimpulan: Urutan pertama paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap terjadinya KNF adalah paparan berbentuk uap, disusul urutan ke dua adalah paparan berbentuk asap dan ke tiga adalah minuman beralkohol. Kata kunci : Faktor risiko, Paparan formaldehid, Kanker Nasofaring.

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan tertinggi (55%) dari seluruh keganasan THT. Di Indonesia, tahun 1991 KNF menempati urutan ke 4 di antara seluruh keganasan dan urutan pertama dari keganasan kepala leher.1,2

KNF menyerang usia 30-59 tahun, dengan puncak usia 40-49 tahun. Lebih banyak ditemukan di kalangan laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.3,4,5

Penyebab keganasan belum diketahui secara pasti, sehingga pencegahan dan penanganan sangat sulit. Upaya para ahli untuk menguak penyebab KNF, baru berhasil menemukan kemungkinan penyebab, faktor risiko dan bahan-bahan yang berpotensi (karsinogenik) terhadap kejadian KNF. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa paparan formaldehid dapat menyebabkan KNF.6,7 Di Indonesia, penelitian tentang hal ini belum pernah dilakukan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 96

Page 42: cdk_155_THT

Formaldehid dan Karsinoma Nasofaring

TINJAUAN PUSTAKA Kanker disebabkan oleh interaksi berbagai faktor eksogen

dan endogen melalui berbagai tahapan proses perubahan sel. Faktor endogen yang terutama adalah gen beserta produknya. Faktor eksogen (lingkungan) yang terutama adalah senyawa kimia.1,3,8

Perubahan sel akibat faktor endogen terjadi akibat pengaruh Virus Epstein Barr (VEB). Virus ini berperan penting dan hampir dapat dipastikan sebagai virus penyebab utama terjadinya KNF.3,4,9

Formaldehid merupakan senyawa kimia yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksida.10,11,12 Formaldehid sengaja diproduksi manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain sebagai bahan dasar perekat, bahan pengikat kayu, bahan campuran plastik, bahan pengawet dan anti kusut tekstil, bahan penyamak kulit, bahan pengencer larutan desinfektan, cairan pembalsam, bahan pengawet jaringan atau organ anatomi.6,13,14 Keberadaan formaldehid di lingkungan manusia juga sebagai akibat pembakaran berbagai bahan seperti solar, bensin, plastik, ban, kayu, sampah. 6,7

United States Agency for Toxic Substances and Diseases Registry, dan Concise International Chemical Assessment Documents (1987) menggolongkan formaldehid sebagai bahan karsinogen untuk manusia. 11,12

Formaldehid merupakan xenobiotic yang dapat bersifat karsinogen bagi tubuh melalui paparan hirupan maupun telanan (makanan/minuman).10 Formaldehid pada kadar tertentu dapat mengakibatkan korosi mukosa apabila terhirup atau tertelan. Akibat korosi ini, mukosa (termasuk mukosa nasofaring) menjadi lebih peka terhadap bahan-bahan karsinogen lainnya, terutama jika terpapar terus menerus.2,10,12

Xenobiotic hirupan menimbulkan efek toksisitas lokal dan mengubah protein jaringan, sehingga memacu proses perubahan sel. Xenobiotic telanan masuk ke dalam tubuh secara sistemik dalam bentuk pro-karsinogen. Sasaran utama xenobiotic hirupan atau telanan adalah menimbulkan cedera untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Apabila yang terkena cedera adalah gen yang mengatur siklus dan pertumbuhan sel (gen supresor tumor p53), maka akan terjadi disfungsi gen-gen bersangkutan dengan akibat penyimpangan pertumbuhan sel ke arah ganas.

Xenobiotic merupakan senyawa asing bagi tubuh, secara sistemik akan dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan ke luar tubuh melalui 2 fase reaksi perubahan yaitu hidroksilasi dan konjugasi. Reaksi hidroksilasi mengubah xenobiotic menjadi derivat xenobiotic terhidroksilasi yang lebih mudah larut air dengan dikatalisis oleh kelompok enzim monooksigenase atau sitokrom P450. Selanjutnya derivat xenobiotic terhidroksilasi hasil metabolisme fase I akan terkonjugasi dengan molekul asam glukuronat dan glutation (GSH S-transferase) untuk kemudian diekskresikan bersama urin atau getah empedu. 2,10,12 Apabila kedua fase reaksi metaabolisme xenobiotic tersebut terganggu, maka xenobiotic tadi tidak dapat diekskresikan ke luar tubuh dan akan tertahan dalam jaringan adiposa. Xenobiotic ini akan menjadi senyawa xenobiotic reaktif yang berikatan secara kovalen dengan

makromolekul sel, meliputi DNA, RNA dan protein. Senyawa ini akan menyebabkan cedera sel (kerusakan DNA). Cedera ini akan diperbaiki dengan mekanisme apoptosis dan reparasi DNA. Apabila cederanya mengenai gen supresor tumor p53, maka akan menyebabkan mutasi struktur DNA yang diturunkan dan akan terjadi disfungsi gen-gen bersangkutan menyebabkan penyimpangan pertumbuhan sel normal menjadi sel kanker. 2,10,12

Terdapat berbagai jenis formaldehid. Jenis hirupan (inhalation) berbentuk uap, asap, atau partikel debu. Jenis telanan (ingestion) berupa pengawet/komponen minuman atau makanan, dapat ditemukan pada makanan yang dibakar/diasapkan/dipanggang.7,1 CICAD (Concise International Chemical Assessment Documents), dan CEPA (Canadian Environmental Protection Act), menyatakan bahwa paparan formaldehid bisa terjadi di semua tempat kerja dan di tempat ada pembakaran.7 Ambang batas toksik formaldehid bervariasi, tergantung jenis maupun bentuknya. BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain matching case control. Diagnosis KNF ditegakkan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi; kelompok kontrol sesuai usia dan jenis kelamin yang tidak menderita KNF. Kedua kelompok secara retrospektif diselidiki ada tidaknya riwayat paparan formaldehid dengan cara wawancara dan kunjungan rumah. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel penelitian sejumlah 64 orang terdiri atas 32 KNF dan 32 kontrol. Usia termuda 15 tahun dan tertua 79 tahun. Dari penelitian ini juga terlihat bahwa angka kejadian KNF makin meningkat dengan bertambahnya umur.

Angka kejadian KNF pada penelitian ini adalah 88% laki-laki dan 12% perempuan atau 7,3 : 1, hampir sama dengan penelitian di Malaysia melaporkan perbandingan angka kejadian KNF pada laki-laki dibanding perempuan sebesar 8:1. Perbedaan perbandingan angka kejadian ini diduga kuat akibat variasi ras, letak geografis yang amat terkait dengan kualitas lingkungan, adat istiadat atau kebiasaan, dan pola makan.6,7,8 Tabel 1. Risiko paparan formaldehid uap terhadap kejadian KNF

Sampel (%) Paparan Kasus/

KNF Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidakada (-)

26 (81,2) 6 (18,7)

11 (34,4) 21 (65,6)

37 (57,8) 27 (42,2)

16,0

(2,9-338,9)

Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0) p=0,000068

Kelompok yang terpapar formaldehid berbentuk uap

mempunyai kemungkinan 16 kali lebih besar untuk menderita KNF dari pada kelompok yang tidak terpapar (tabel 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 97

Page 43: cdk_155_THT

Formaldehid dan Karsinoma Nasofaring

Tabel 2. Risiko paparan formaldehid asap terhadap kejadian KNF

Sampel (%) Paparan Kasus/

KNF Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidak ada (-)

30 (93,8)

2 (6,2)

17 (53,1) 15 (46,9)

47 (73,4) 17 (26,6)

7,50

(1,7-67,6)

Total 32(100,0) 32(100,0) 64 (100,0)

98

p=0,0001 Kelompok yang terpapar formaldehid berbentuk asap

mempunyai kemungkinan 7,5 kali lebih besar untuk menderita KNF daripada kelompok yang tidak terpapar asap formaldehid (tabel 2)

Tabel 3. Risiko paparan formaldehid partikel debu terhadap kejadian

KNF

Sampel (%) Paparan Kasus/

KNF Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidak ada (-)

25 (78,1) 7 (21,9)

15 (46,9) 17 (53,1)

40 (62,5) 24 (37,5)

3,0

(1,04-10,6) Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0) p=0,0206

Kelompok yang terpapar formaldehid berbentuk partikel

debu mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk menderita KNF daripada kelompok yang tidak terpapar (tabel 3)

Tabel 4. Risiko paparan formaldehid dari kebiasaan makan makanan

bakar/asap/panggang terhadap kejadian KNF.

Sampel (%) Paparan Kasus/ KNF

Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidak ada (-)

13 (40,6) 19 (59,4)

9 (28,1)

23 (71,9)

22 (34,4) 42 (65,6)

1,8

(0,5-6,8) Total 32(100,0) 32(100,0) 64 (100,0) p=0,222

Kelompok yang terbiasa makan makanan

bakar/asap/panggang mempunyai kemungkinan hampir dua kali lebih besar untuk menderita KNF daripada kelompok yang tidak terbiasa makan makanan bakar/asap/panggang. Hasil ini secara statistik tidak berbeda bermakna (tabel 4). Tabel 5. Risiko paparan formaldehid dari kebiasaan makan makanan

awetan/instan terhadap kejadian KNF

Sampel (%) Paparan Kasus/ KNF

Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidak ada (-)

11 (34,4) 21 (65,6)

4 (12,5)

28 (87,5)

15 (23,4) 49 (76,6)

2,8

(0,8-11,8)

Total 32(100,0) 32(100,0) 64 (100,0) p=0,059

Kelompok yang terbiasa makan makanan awetan/instan mempunyai kemungkinan hampir 3 kali lebih besar untuk menderita KNF daripada kelompok yang tidak terbiasa makan makanan awetan/instan, namun secara statistik tidak bermakna (tabel 5).

Kelompok yang terbiasa minum minuman beralkohol mempunyai kemungkinan hampir 4 kali lebih besar untuk menderita KNF daripada kelompok yang tidak terbiasa minum minuman beralkohol (tabel 6). Tabel 6. Risiko paparan formaldehid dari kebiasaan minum minuman

beralkohol terhadap kejadian KNF

Sampel(%) Paparan Kasus/ KNF

Kontrol/ Non KNF

Total (%)

mOR (95%CI)

Ada (+) Tidak ada (-)

12 (37,5) 20 (62,5)

4 (12,5)

28 (87,5)

16 (25,0) 48 (75,0)

3,7

(1,9-16,4)

Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0) p=0,0286

Pada penelitian ini, didapatkan fakta bahwa paparan

formaldehid uap dan asap yang terhirup, berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF.

ar thmmkpsp

pyPspa T

*

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007

Paparan formaldehid berbentuk uap berpeluang terbes

Paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup

berpengaruh paling besar

erhadap terjadinya KNF (p=0,00068). Hasil penelitian ini ampir sama dengan penelitian sebelumnya, yang enyebutkan bahwa paparan formaldehid berbentuk uap empunyai pengaruh yang bermakna (p=0,014) terhadap

ejadian KNF.15 Kesesuaian hasil ini menunjukkan besarnya otensi karsinogenik formaldehid, mengingat sampel hanya edikit, lokasi paparan tidak sama dan tidak dilakukan engukuran kuantitatif kadar formaldehid.

Paparan formaldehid bentuk asap memiliki nilai =0,0001 pada analisis bivariat, data ini hampir sama dengan ang diperoleh Armstrong untuk paparan asap, ( p=0,012).16

aparan asap lebih banyak terjadi di lingkungan sekitar ampel, berasal dari pembakaran sampah, kayu bakar, tungku erapian, obat nyamuk bakar, rokok atau asap mobil bensin tau solar.

abel 7. Hasil analisis conditional multiple logistic regression terhadap paparan formaldehid dengan kejadian KNF

Variabel Nilai p mOR (95% CI) Uap Partikel Debu Asap Alkohol

0,0006 0,0206 0,0001 0,0286

5,4 3,0 7,5 3,7

1,3-21,9 1,0-10,6 1,7-67,6 1,9-16,4

Konstanta <0,0001 signifikan untuk α=0,05

Page 44: cdk_155_THT

Formaldehid dan Karsinoma Nasofaring

Paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap kejadian KNF adalah faktor risiko paparan formaldehid yang terhirup, berupa uap dan asap. Dengan α=0.05, kedua variabel tersebut terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF. Paparan formaldehid berbentuk asap, uap, partikel debu, dan minuman beralkohol mempunyai nilai p < 0.05, adalah faktor risiko yang berpengaruh secara bersama-sama terhadap kejadian KNF (tabel 7).

4. Her Cheng. Nasopharyngeal cancer and the Southeast Asian patient. The American Academy of Family Physcians. May 2001; 63: 1776-85

5. Kwarditawati M. Survival penderita karsinoma laring di bagian THT RSUP Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan naskah KONAS XII PERHATI Semarang 1999; 1279-88.

6. Huff J. Sawmill chemicals and carcinogenesis. Environmental Health Perspectives. 2001; 109: 209 – 11.

7. US Environmental Protection Agency's Integrated Risk Information System (IRIS) on Formaldehyde. Available from URL http://www.epa.gov/ngispgm3/iris on the Substance File List as of March 15, 2000.

8. Prasad U. Neuro-ophthalmological manifestation in nasopharyngeal carcinoma. In: Proc. 3rd Asia-Oceania Congress of Otorhinolaryngology.1995.244-52.

9. Bailet JW, Mark RJ, Abemayor, Lee SP, Tran LM, Juillard G et al. Nasopharyngeal carcinoma: treatment result with primary radiation therapy. Laryngoscope 1992; 102: 965-72

KESIMPULAN Paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup

berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara bersama sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF. Paparan formaldehid bentuk makanan asap/bakar dan makanan awetan/instan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, namun formaldehid bentuk makanan asap/bakar mempunyai risiko hampir 2x dan bentuk makanan awetan/instan hampir 3x dibanding kelompok yang tidak terpapar.

10. Murray RK. Metabolisme Xenobiotik. Dalam Bani PA, Tiara. Biokimia Harper. Edisi ke-25. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC 2003 : 743-48

11. Mutschler E. Dinamika obat. Dalam Rini. Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi. Edisi ke-5. Bandung; Institut Teknologi Bandung Press. 1991: 611 – 12.

12. Besari I, Sulistyowati E, Ishak M. Kimia organik untuk universitas. Edisi I. Bandung: CV. Armico; 1982 : 77 – 132.

13. Olsen JH, Asnaes S. A Study of verified cancers and the relation occupational exposure to formaldehyde. Br. J. Ind Med 1986; 43 (11) : 769-74

14. Boysen M. The histopathological evaluation on nasal biopsy of occupationally exposed to formaldehyde workers. Br. J. Ind Med 1990; 47 (2) : 116-21

KEPUSTAKAAN

15. Vaughan TL, Stewart PA, Teschke.K, Lynch CF, Swanson GM, Lyon JL et al. Occupational exposure to formaldehyde and wood dust and nasopharyngeal carcinoma. Occup. Environ. Med. 2000; 57: 376-84.

1. Sukardja IDG. Onkologi klinik. Surabaya : Airlangga Universitas Press. 2000. p. 111-25.

2. Murray RK. Kanker, gen kanker dan faktor pertumbuhan. Dalam Bani PA, Tiara. Biokimia Harper. edisi 25. Penerbit buku kedokteran EGC 2003: 750-53.

3. Kencono WA. Pengaruh vaksinasi BCG dalam meningkatkan respons T helper 1 (Th1) dan respon tumor terhadap radiasi pada karsinoma nasofaring (disertasi). Surabaya. Universitas Airlangga; 2001 : 18-36.

16. Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, Armstrong MJ, Yu MC, Sani S. Nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese: Occupational exposures to particles, formaldehyde and heat. Internat. J. Epidemiol. 2000; 29; 991-8.

Laws are silent in time of war (Cicero)

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 99

Page 45: cdk_155_THT

Densitas Mikrovaskuler dan Terapi Radiasi

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Densitas Mikrovaskuler dengan

Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring WHO 2 dan WHO 3

terhadap Terapi Radiasi

Willy Yusmawan, Amriyatun

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang

ABSTRAK

Latar belakang : Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang paling sering terjadi

di bidang THT KL. Respon penderita terhadap terapi radiasi yang merupakan terapi utama penyakit ini berbeda beda. Densitas mikrovaskuler yang berhubungan dengan oksigenasi massa tumor dipandang sebagai faktor yang berperan dalam perbedaan respon terhadap terapi radiasi ini.

Tujuan : Membuktikan bahwa karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 dengan densitas mikrovaskuler tinggi akan mempunyai respon klinik yang lebih baik terhadap terapi radiasi dibandingkan dengan tumor dengan densitas mikrovaskuler rendah

Metode : Studi kohort prospektif terhadap penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di klinik dan bangsal THT KL RSDK. Secara keseluruhan terdapat 32 penderita karsinoma nasofaring yang sampel biopsinya dinilai densitas mikrovaskulernya.

Hasil : Uji Fisher dan uji korelasi Koefisien kontingensi tidak mendapatkan ada hubungan antara densitas mikrovaskuler dengan respon klinik terapi radiasi berupa pengecilan massa tumor di nasofaring dan kelenjar limfe leher.

Simpulan : Densitas mikrovaskuler tidak berhubungan dengan respon klinik karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang diterapi radiasi dan tidak dapat dijadikan faktor prognosis untuk menentukan keberhasilan terapi radiasi terhadap penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3

Kata kunci : Karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3, densitas mikrovaskuler, respon klinik terapi radiasi

PENDAHULUAN

Kanker nasofaring di Indonesia termasuk 10 besar dari seluruh keganasan dan merupakan keganasan nomor satu di bidang telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Hampir 60 % kanker di daerah kepala dan leher berupa karsinoma nasofaring, diikuti oleh kanker hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16 % dan sisanya di tempat lain terutama di daerah rongga mulut, tonsil dan hipofaring.

Hingga kini, radiasi atau radioterapi, baik sebagai terapi tunggal atau sebagai terapi kombinasi dengan sitostatika merupakan pilihan bagi sebagian besar penderita karsinoma nasofaring. Radiasi sebagai terapi tunggal pada dasarnya diberikan pada penderita yang belum mengalami metastasis jauh, sedangkan radiasi sebagai terapi kombinasi dengan sitostatika diberikan bagi penderita yang sudah mengalami metastasis jauh.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 100

Page 46: cdk_155_THT

Densitas Mikrovaskuler dan Terapi Radiasi

Beberapa penulis menyatakan bahwa karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 mempunyai epidemiologi, serologi, dan gambaran klinik yang hampir sama, sehingga untuk kepentingan klinik dan prognostik, pembagian tersebut disederhanakan menjadi 2 yaitu tipe karsinoma sel skuamosa (WHO 1) dan karsinoma tak berdiferensiasi (WHO2 dan WHO 3). Berdasarkan respon terhadap terapi radiasi, karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan dengan karsinoma nasofaring WHO 1.

Dalam kenyataannya, respon klinik terhadap radiasi antar sesama penderita karsinoma nasofaring tidak sama, walaupun tipe histopatologinya sama. Beberapa penderita massa tumornya mengecil setelah dosis 6000-7500 cGy yang diberikan dengan teknik fraksinasi, sementara penderita lain massa tumornya cenderung tetap.

Dalam hal dosis radiasi, oksigen, dan kematian sel tumor, terdapat istilah OER (oxygen enhancement ratio) yaitu perbandingan dosis radiasi yang dibutuhkan untuk mematikan sel dalam keadaan hipoksik dan sel dalam keadaan oksik (cukup oksigen). Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk mematikan sel dalam keadaan hipoksik 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan untuk sel yang oksik.

Pasokan oksigen dalam suatu tumor sangat ditentukan oleh proses angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru). Anyaman pembuluh darah dalam suatu area disebut densitas mikrovaskuler. Densitas mikrovaskuler diukur dalam area hot spot yaitu daerah yang mempunyai anyaman pembuluh darah paling padat dalam suatu area tumor. TUJUAN PENELITIAN

Untuk membuktikan bahwa penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang mempunyai derajat densitas mikrovaskuler tinggi akan mempunyai respon klinik terhadap radiasi lebih baik bila dibandingkan dengan penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 dengan densitas mikrovaskuler rendah.

BAHAN DAN CARA KERJA

Merupakan penelitian prognostik menggunakan rancangan Kohort yaitu dengan mengikuti dan mengamati kasus yang diteliti sampai kurun waktu tertentu.

Kasus adalah penderita karsinoma nasofaring yang menjalani pemeriksaan nasofaringoskopi dan biopsi di RS Dr Kariadi Semarang pada periode penelitian (Mei –Desember 2005),memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan terdiagnosis sebagai karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3.

Kriteria inklusi:

1. Penderita dengan stadium I-IV. 2. Kadar hemoglobin > 10g/dl. 3. Skor ECOG 1 dan 2. 4. Akan mendapatkan terapi radiasi eksterna 6000 – 7500

cGy, dosis fraksi harian 180 - 200 cGy. 5. Bersedia diikutkan dalam penelitian.

Penderita yang datang ke Klinik THT RSDK dan memenuhi kriteria tanda karsinoma nasofaring yaitu gejala telinga, gejala hidung, gejala leher, gejala mata dan gejala kepala dikirim ke bagian Endoskopi untuk menjalani nasofaringoskopi dan biopsi massa tumor di nasofaring. Hasil biopsi dikirim ke bagian Laboratorium Patologi Anatomik RS Dr Kariadi Semarang untuk pengecatan Hematoxylin-Eosin menggunakan blok parafin. Pada penelitian ini tidak dilakukan biopsi kelenjar limfe leher.

Preparat selanjutnya dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik FK UGM Yogyakarta untuk dihitung derajat densitas mikrovaskulernya dengan pengecatan sel endotel dengan faktor Von Willebrand. Dengan mikroskop cahaya binokuler pembesaran 40X dinilai area dengan neovaskularisasi terbanyak (hot spot). Kemudian dilakukan penghitungan jumlah pembuluh darah mikro pada 10 lapangan pandang dengan pembesaran 400X (high resolution field) dalam area hot spot tersebut. Hasil akhir jumlah pembuluh mikro dalam satu preparat adalah hasil penjumlahan pembuluh darah mikro pada sepuluh lapangan pandang yang dinyatakan dalam jumlah pembuluh mikro per lapangan pandang. Penilaian dilakukan oleh dua orang ahli Patologi Anatomi. Reliabilitas pengukuran ditingkatkan dengan dengan pengukuran berulang. Derajat angiogenesis dinilai dengan skala nominal. Nilai batas densitas mikrovaskuler adalah 43. Densitas mikrovaskuler < 43 dinyatakan sebagai derajat densitas mikrovaskuler rendah, sedangkan derajat densitas ≥ 43 dinyatakan sebagai densitas mikrovaskuler tinggi.

Respon klinik terhadap radiasi berupa pengecilan massa di nasofaring dan pengecilan kelenjar limfe leher pada penderita karsinoma nasofaring yang telah mendapat terapi radiasi sebanyak 30 kali. Derajat pengecilan massa di nasofaring dinyatakan : respon komplit bila massa di nasofaring hilang sama sekali, respon parsial bila massa di nasofaring mengecil >50% tapi <100%; minimal atau tidak ada respon bila massa di nasofaring mengecil <50% atau besarnya tetap dan progresif jika massa di nasofaring makin membesar atau timbul lesi baru. Sementara itu, derajat pengecilan limfonodi leher dinyatakan : respon komplit bila tidak teraba lagi limfonodi leher, respon parsial apabila pengecilan >50% dan <100%, minimal atau tidak ada respon bila pengecilan limfonodi leher <50% atau massa tumor besarnya tetap dan progresif bila limfonodi leher makin membesar atau timbul lesi baru. Untuk kepentingan pengolahan data maka respon tersebut dibagi menjadi respon positif yang meliputi : respon komplet dan sebagian serta respon negatif yang meliputi : minimal atau tidak respon dan respon progresif. HASIL DAN DISKUSI

Pada penelitian ini sebagian besar penderita terdiagnosis sebagai karsinoma nasofaring WHO 2, yaitu 31 penderita, sedangkan WHO 3 hanya 1 penderita. Sebagian besar penderita yaitu 23 (71,9%) saat datang berobat mempunyai ukuran T2, tumor mengenai kedua sisi nasofaring [AJCC (American Joint Committe on Cancer)] dan 9 (28,1%)

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 101

Page 47: cdk_155_THT

Densitas Mikrovaskuler dan Terapi Radiasi

penderita berukuran T3. Pada penilaian kelenjar limfe leher didapatkan pembesaran dengan derajat N1 (nodul tunggal homolateral berdiameter 3-6 cm atau nodul multipel homolateral berdiameter < 6 cm (AJCC)] pada 5 (15,6%) penderita, N2 pada 20 (62,5%) penderita, dan N3 pada 7 (21,8%) penderita. Penilaian respon terapi radiasi dengan menilai massa di nasofaring dan kelenjar limfe didapati, untuk respon tumor di nasofaring respon komplit didapatkan pada 12 (37,5%) penderita, respon sebagian pada 12 (37,5%) penderita dan respon minimal pada 8 (25%). Pada penelitian ini respon komplit dan respon sebagian digolongkan menjadi respon positif, dan tidak respon atau respon minimal digolongkan menjadi respon negatif. Pada penelitian ini tidak didapatkan penderita yang mengalami progresifitas massa tumor. Pada pengamatan pembesaran kelenjar limfe leher didapatkan angka respon komplit pada 11 (34,4%) penderita, respon sebagian pada 12 (37,5%) penderita dan respon minimal pada 9 (28,1%) penderita. Pada penelitian ini respon komplit dan respon sebagian digolongkan menjadi respon positif dan tidak respon digolongkan menjadi respon respon negatif.

Pada penelitian ini densitas mikrovaskuler dibagi menjadi densitas tinggi dan densitas rendah dengan angka median yaitu 43. Nilai densitas terendah pada penelitian ini adalah 21, sementara itu yang tertinggi adalah 75 per lapangan pandang. Berdasarkan pembagian dengan nilai tersebut, didapatkan penderita dengan densitas rendah dan tinggi masing masing sebanyak 18 dan 14 penderita.

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara densitas mikrovaskuler dengan respon klinik berupa pengecilan massa di nasofaring dengan kelenjar limfe leher. Hasil ini tidak sesuai dengan teori bahwa makin tinggi densitas mikrovaskuler maka ketersediaan oksigen dalam jaringan tumor akan makin baik sehingga dapat meningkatkan radiosensitivitas tumor.

Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor biologi sel

termasuk fase pembelahan sel yang berbeda beda yang tidak bisa diamati dalam penelitian ini. Fase pembelahan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan radiosensitivitas tumor; makin aktif fase ini atau makin banyak sel yang berada pada fase mitosis, sensitivitas tumor akan makin meningkat. Faktor lain yang diduga juga bisa menjadi penyebab tidak sesuainya hasil penelitian ini dengan teori adalah karena mayoritas penderita pada penelitian ini berasal dari sosial ekonomi yang kurang mampu sehingga berpengaruh pada keadaan gizi, imunitas serta kondisi psikologis penderita. Keadaan umum penderita yang kurang baik menyebabkan respon terhadap terapi radiasi juga kurang

maksimal. Faktor lain yang menyebabkan tidak bermaknanya hasil

penelitian ini adalah faktor efek radiasi terhadap sel. Dalam proses kematian sel tumor akibat radiasi yang dominan adalah kematian akibat homolytic cleavage membran sel atau efek tak langsung. Kematian akibat proses ini mencapai sekitar 60-65% kematian sel akibat radiasi, sedangkan sisanya yaitu sekitar 35-40% adalah akibat efek langsung yaitu putusnya rantai DNA (single dan double strand break). Efek tidak langsung lebih dominan karena membran sel merupakan bagian sel yang paling luar sehingga paling rentan dan mempunyai risiko paling besar untuk mengalami kerusakan dalam hal ini karena paparan sinar radiasi.

Hasil penelitian ini juga tidak bermakna; mungkin karena paparan radiasi hanya akan mematikan sel endotel pembuluh darah yang muda (yang terbentuk karena angiogenesis) karena endotel pembuluh darah ini masih tipis dan belum mengalami maturasi sempurna. Matinya sel pembuluh darah muda ini dicapai pada dosis sekitar 4000 rad, dengan demikian maka sisa dosis fraksinasi sebesar 2500-7000 rad akan mengenai sel pembuluh darah tumor yang tua dan matur dengan endotel yang tebal sehingga lebih tahan terhadap paparan radiasi.

Pada penelitian ini, penilaian respon klinik dilakukan 4-6 minggu setelah terapi radiasi, maka mungkin masih ada sel tumor yang belum mati atau belum berespon sempurna terhadap radiasi; mungkin kematian sel ini adalah 2-3 bulan pasca radiasi. SIMPULAN

Tidak terdapat hubungan antara densitas mikrovaskuler dengan respon klinik berupa pengecilan massa di nasofaring dan kelenjar limfe leher pada penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang mendapat terapi radiasi.

KEPUSTAKAAN 1. Roezin A, Syafril A. Karsinoma nasofaring. Dalam : Soepardi EA,

Iskandar N. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi keempat. 2000.p.149-50.

1. Roezin A. Deteksi dan pencegahan karsinoma nasofaring. Dalam : Susworo HR, Boedina S. Pencegahan dan deteksi dini penyakit kanker. Jakarta : UI Press.1996.p. 274-6.

2. Tjahjadewi S. Tumor ganas kepala dan leher di bagian THT/ RSUP Dr Kariadi Semarang periode 1996-1999. Makalah PIT Palembang. 2001.

3. Prosedur tetap radioterapi. Instalasi Radioterapi. SMF bagian Radiologi RSUP dr Kariadi/ Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.2001.

4. Myers JN. Molecular pathogenesis of squamous cell carcinoma of the head and neck. In : Myers EN, Suen JY eds. Cancer of the Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia: WH Saunders Co. 1996.p.5-16.

5. Chan AT, Theo PM, Johnson PJ. Nasopharyngeal carcinoma. Ann. Oncol. July 2002;13.:.107-15.

6. Hellman S. Principles of Radiation Therapy. In : De Vita, Rosenberg SA, eds. Principles and Practice of Oncology. 4th ed. Philadelphia: J.B Lippincot;1993.pp. .248-73

7. Frangou E, Lawson J, Kanthan R. Angiogenesis in male breast cancer. World J Clin Oncol 2005; 3.:1477-89

8. Rubio L, Burgos JS, Morera C. Morphometric study of tumor angiogenesis as a new prognostic factor in nasophryngeal carcinoma patients. Pathol. Oncol. Res. 2000 ; 6: 210-16

9. Kamijo T, Yokose T, Hasebe T, Yonou H, Hayashi R, Ebihara S. Image analysis of microvessel area predicts radiosensitivity in early stage

Tidak terdapat hubungan antara densitas mikrovaskuler dengan

respon klinik

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 102

Page 48: cdk_155_THT

Densitas Mikrovaskuler dan Terapi Radiasi

laryngeal carcinoma treated with radiotherapy. Clin. Cancer Res.. September 2001;7.p.2809-14.

30. Suryohudoyo. Oksidan antioksidan dan radikal bebas. Dalam: Kapita selekta ilmu kedokteran molekuler. Jakarta; CV Infomedika. pp.31-47

10. Shih CH, Ozawa S, Ando N. Vascular endothelial growth factor expression predicts outcome and lymph node metastasis in squamous cell carcinoma of the esophagus. Clin. Cancer Res. March 2000 ; 6 : 1161-68.

31. Bushberg JT, Seibert JA, Boone J. Radiation biology. In : Williams and Wilkins eds. The essential physics of medical imaging .2nd ed. Lippincot; 2002.p.90-9

32. Skeel R. Systemic assessment of the patient with cancer. In: Skeel T eds. Handbook of cancer chemotherapy. 3rd ed. Ohio:Little Brown Co. :1991.p.55-61

11. Weidner M. Tumor angiogenesis : A new significant and independent prognostic indicator in early stage breast carcinoma. J.Nat.Cancer Institute 1992;:84:1875-87. 33. Wei W, Sham JS. Cancer of the nasopharynx. In : Myers E, Suen Y eds.

Cancer of the Head and Neck. Philadelphia: WB Saunders Co. 2003;19. pp.717-35

12. Neel B, Witte MC. Nasopharyngeal cancer. In : Bailey BJ, ed. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia : Lippincot Raven 1998. pp. 1637-71. 34. Kian AK, Milas T, Shiu AS. General principles of radiation therapy for

cancer of the head and neck. In : Myers E, Suen J eds. Cancer of the Head and Neck 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 2003. pp.717-35

13. Sudaryanto T. Petunjuk diagnosis karsinoma nasofaring. Kumpulan Makalah Ilmiah. Semarang. 1998

35. Fang FM, Tsai WL. Implications of quantitative tumor and nodal regression rates for nasopharyngeal carcinoma after radiation therapy. Internat. J. Oncol.Biol. Phys. 2001:.961-9

14. Wei Wi, Sham JS. Cancer of the nasopharynx. In : Myers EN, Suen Y eds. Cancer of the Head and Neck. Philadelphia : WB Saunders Co.1996. pp. 277-93.

36. Bambang SS. WHO classification of the Nasopharyngeal Carcinoma in North Central Java. Asean Otolaryngol. Head and Neck Surg.J. 1997 ; 1: 1-6.

15. Mould RF, Tai TH. Nasopharyngeal carcinoma.; treatment and outcomes in 20th century. Br. J.Radiol..2002.:.307-39

16. Hasselt CAV. Nasopharyngeal carcinoma. In: Andrew SJ, David EP eds. Disease of the Head and Neck, Nose and Throat. London : Arnold.1998. p.297-307

37. Sanguineti G, Tucker SL, Garden AS, Ang KK, Morrison WH, Peters LJ. Carcinoma of the nasopharynx treated by radiotherapy alone : determinants of distant metastasis and survival. J. Radiother. Oncol. 1997; 1:.53-61.

17. Barnes L. Patholgy of Head and Neck : general consideration. In : Myers EN, Suen JY eds. Cancer of the Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia. WB Saunders Co. 1996. pp. 17-32. 38. Kusumo H, Hadi W. Aspek klinik dan histopatologis karsinoma

nasofaring. Kumpulan makalah Kongres Nasional Perhati XII. Semarang .1999

18. Slingerland JM, Tannock IF. Cell proliferation and cell death. In : Tannock IF, Hill PR eds. The Basic Science of Oncology. 3rd ed. Singapore: McGraw Hill; 1998. pp. 134-165. 39. Liu MT, Hsieh CY, Chang TH, Lin JP, Huang CC, Wang AW.

Prognostic factors affecting the outcome of nasopharyngeal carcinoma. Japan.J. Clin.Oncol 2003; 33:.501-08.

19. Andreef M, Goodrich D, Pardee A. Cell proliferation, differentiation and apoptosis. In : Holland, Frei, eds. Cancer Medicine. Philadelphia ; WB Saunders Co :2002. pp. 17-29. 40. Affandi Y. Evaluasi hasil radioterapi pada karsinoma nasofaring di

lab/UPF THT FK UNPAD/RS Dr Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1989. Oto Rhino Laringol. Indon. 1992; XXIII(3): .113-23.

20. Fedi P, Kimmelman A, Aaronson SA. Growth factor signal transduction in cancer. In : Holland, Frei, eds. Cancer Medicine. Philadelphia:WB Saunders Co. :2002.pp. 32-47.

21. Kerbel RS. Tumor angiogenesis : past, present and the near future. Carcinogenesis. 2000; 21: 505-15

41. Stillwagon GB, Lee DJ, Kashima H, Harris A, Johns M. Response of cranial nerve abnormalities in nasopharyngeal carcinoma to radiation therapy. J.Clini.Oncol. 1997; 11:.34-7. 22. Dedhar S, Hannigan GE. The extracelluler environtment and cancer. In :

Tannock I, Hill R eds . The Basic Science of Oncology. Singapore: Mc Graw Hill. 1998.. pp. 197-218.

42. Indudharan R, Kannan T, Sidek D. Nasopharyngeal carcinoma: clinical trends. J.Laryngol.Otol 11:.724-29

23. Guang-Wu H, Sunagawa M, Shimada S. The relationship between microvessel density, the expression of vascular endothelial growth factor and the extension of nasopharyngeal carcinoma. The Laryngoscope. 2000 ; 110: 2066-9.

43. Muyassaroh, Samsudin. Kelainan neurologik pada karsinoma nasofaring di SMF kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1996-1998. Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 1999.p.250

44. Lin JC, Jan JS. Locally advanced nasopharyngeal cancer : Long term outcomes of radiation therapy. J. Radiol. 1999; 211: 513-18 24. Zang SC, Miyamoto SI, Kamijo T. Intratumoral microvessel density in

biopsy specimens predicts local response of hypopharyngeal cancer to radiotherapy. Japan. J. Clin. Oncol. 2003;; 33: .613-19.

45. Morera C,Burgos J. Tumor angiogenesis in nasopharyngeal carcinoma patients Pathol. Oncol. Res. 2000 ; 6 : 210-16

25. Ito Y, Kamijo T, Yokose T. Microvessel density predicts the radiosensitivity of metastatic head and neck squamous cell carcinoma in cervical lymph node. Internat. J. Oncol. 2003: 19:1127-32.

46. Miyamoto, Zang J. Intratumoral microvessel density in biopsy specimens predicts local response of hypopharyngeal cancer to radiotherapy. Japan.J.Clin Oncol 2003; 33;.613-19.

26. Wachsberger P, Burd R, Dicker AP. Tumor response to ionizing radiation combined with antiangiogenesis or vascular targeting agents. Clin. Cancer Res. 2003; 9 : 1957-71.

47. Ozawa S, Ando N. VEGF predicts outcome and lymph node metastasis in squamous cell carcinoma of the esophagus. Clin .Cancer Res. 2000; 6: 161-68.

27. Understanding angiogenesis. The angiogenesis foundation 2000; angio.org/understanding.content understanding.ntnn

48. Kamijo T The radiosensitivity of metastatic head and neck squamous cell carcinoma in cervical lymph node. Internat.J.Oncol. 2003; 9:.1127-32 28. Scoazec JY.Current concept of angiogenesis. Service central d anatomie

et cytologie pathologiques. Lyon, France ;2001. 49. Hasebe T, Ebihara S. Image analysis of microvessel area predicts radiosensitivity laryngeal carcinoma treated with radiotherapy. Clin.Cancer Res 2001; 7: 2809-14.

29. Soehartati G, Djakaria M. Peran onkologi radiasi dalam penanganan penyakit keganasan. Subbag Radioterapi FKUI RSCM. Jakarta 1999:.pp.23-25.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 103

Page 49: cdk_155_THT

Perubahan setelah Puasa Ramadhan

HASIL PENELITIAN

Perubahan Komposisi Tubuh,

Tekanan Darah dan Plasma Kolesterol Sebelum dan Sesudah 20 Hari Puasa

pada Bulan Ramadhan :

Studi pada Mahasiswa FKG Universitas Jember , 2005

Hari Basuki1 Dwi Prijatmoko2

1Bagian Biomedik,2Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat, Sub Gizi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Jember, Jawa Timur

ABSTRAK

Puasa dapat diartikan sebagai pembatasan asupan makanan dan minuman. Pengurangan jumlah asupan makanan akan mempengaruhi keseimbangan energi selanjutnya akan dapat menyebabkan perubahan komposisi tubuh. Perubahan komposisi tubuh terutama penurunan massa lemak akan dapat mengurangi risiko kardiovaskuler.

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung perbedaan komposisi tubuh, kadar plasma kolesterol, tekanan darah sebagai faktor risiko kardiovaskuler sebelum dan sesudah puasa. Pengukuran antropometri, tekanan darah dan plasma kolesterol dari 10 mahasiswa laki-laki Fakultas Kedokteran Gigi yang bersedia menjadi sukarelawan dilakukan 5 hari sebelum dan 20 hari setelah puasa dalam bulan Ramadhan 2005. Selama puasa tidak ditemukan perbedaan IMT, total kolesterol, dan HDL kolesterol serta tekanan sistolik maupun diastolik, tetapi ada perbedaan rasio lingkar pinggang pinggul yang bermakna.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa puasa selama bulan Ramadhan dapat menurunkan risiko kardiovaskuler melalui penurunan rasio lingkar pinggang dan pinggul.

Kata kunci : Puasa, Sistolik, Diastolik, Komposisi Tubuh, IMT, Rasio Lingkar Pinggang Pinggul, Total Kolesterol, HDL Kolesterol.

PENDAHULUAN

Pengukuran komposisi tubuh adalah bagian integral dari pemeriksaan status gizi (1) karena data ini cukup sensitif untuk menentukan keparahan suatu penyakit(2). Rasio lingkar pinggang dan pinggul dilaporkan merupakan faktor prediktor penyakit kardiovaskuler yang lebih kuat dibanding dengan pemeriksaan indeks massa tubuh (3).

Pengaruh pola makan dan asupan nutrisi terhadap perubahan risiko penyakit kardiovaskuler sudah banyak dilaporkan(4). Perubahan tingkat risiko ini terutama melalui perubahan komposisi tubuh(5). Perubahan komposisi tubuh terutama penurunan masa lemak dan rasio lingkar pinggang

dan pinggul akan dapat mengurangi risiko kardiovaskuler (6). Pengurangan asupan makanan selama puasa dapat

menyebabkan keseimbangan energi negatif, mengakibatkan penurunan indeks massa tubuh (IMT) yang sering dipakai sebagai indeks obesitas. Lebih lanjut pembatasan asupan minuman akan dapat mempengaruhi tekanan darah melalui perubahan status hidrasi, penurunan cairan total tubuh, Na, defisiensi vitamin K (7) dan Mg.

Beberapa laporan juga menyatakan peningkatan aktivitas fisik dengan keseimbangan energi negatif, dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi fraksi HDL-kolesterol disertai penurunan trigliserida plasma pada populasi hiper-

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 104

Page 50: cdk_155_THT

Perubahan setelah Puasa Ramadhan

kolesterolemi dan hipertrigliseridemi. Puasa dapat diartikan sebagai pembatasan asupan

makanan dan minuman. Pengurangan jumlah asupan makanan akan mempengaruhi keseimbangan energi jika tidak diimbangi dengan pengurangan aktivitas fisik. Selama bulan Ramadhan, perkuliahan dan praktikum di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Jember berjalan biasa. Dalam kondisi ini keseimbangan energi negatif yang akan mengubah komposisi tubuh dapat terjadi pada mahasiswa yang menjalani ibadah puasa. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan sebelum dan selama bulan Ramadhan 2005 di Kampus FKG Universitas Jember pada sore hari; pemeriksaan hematologi dan kolesterol dilakukan di Laboratorium Klinik Mitra Jember. Pengukuran antropometri meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang dan lingkar pinggul masing-masing diukur dengan timbangan kamar mandi, stadiometer dan meteran yang dijual bebas (merk Butterfly).

Tekanan darah diukur menggunakan pengukur tekanan darah digital merk Osim. Semua pengukuran diulang tiga kali. Pengambilan sampel darah dilakukan setelah pengukuran antropometri. Analisis kadar kolesterol dilakukan di laboratorium klinik Mitra Jember.

Pengukuran antropometri, tekanan darah dan kadar kolesterol dilakukan pada 5 hari sebelum dan 20 hari sesudah puasa pukul 5 sore. Sukarelawan yang bersedia mengikuti penelitian ini dianjurkan menjalani puasa tanpa mengubah aktivitas sehari-hari. Dalam penelitian ini tidak ada perlakuan diet khusus selama malam hari.

Semua sukarelawan menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan. Data sebelum dan sesudah puasa dibandingkan /diuji dengan uji t-berpasangan. HASIL DAN DISKUSI

Sepuluh sukarelawan dengan karakteristik umum seperti pada tabel 1. IMT dan usia mereka relatif homogen; rata-rata IMT pada batas ideal untuk Indonesia walaupun condong ke arah berat badan kurang. Sukarelawan juga mempunyai kisaran usia yang relatif sama.

Rata-rata rasio lingkar pinggang pinggul berada di 0,90 serta IMT yang ideal menunjukkan bahwa para sukarelawan mempunyai risiko kardiovaskuler rendah. Indeks Massa Tubuh

Puasa dapat dikategorikan sebagai pengurangan asupan seluruh jenis nutrisi sehingga sering digunakan dalam upaya menurunkan berat badan. Jika tidak disertai penurunan aktivitas fisik, dapat diharapkan terjadi penurunan berat badan terutama massa lemaknya (8). Penurunan berat badan juga bisa terjadi karena pembatasan konsumsi air dan mineral; turunnya konsumsi NaCl menurunkan tekanan osmotik; akibatnya ekskresi air lewat urine meningkat agar tekanan osmotik kembali normal.

Tabel 1. Karakteristik responden

No Berat Badan

(kg)

Tinggi Badan (cm)

IMT - BB/TB (kg/m2)

Ratio lingkar

pinggang/ pinggul

Umur (tahun

)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

49,0 51,4 49,5 53,2 55,3 55,0 56,0 52,5 52,5 50,7

158,4 163,6 162,5 164,0 168,0 171,0 162,7 166,4 169,6 160,2

19,5 20,1 18,5 19,8 19,6 18,8 21,1 19,0 19,2 19,8

0,89 0,90 0,91 0,88 0,89 0,90 0,91 0,89 0,88 0,90

20 20 19 20 19 19 19 20 20 19

Mean ± SD

52,5 ±0,24

164,6 ±4,05

19,5 ±0,73

0.90 ±0,01

19,5 ±0,53

Pada penelitian ini tidak terjadi penurunan IMT mungkin

karena puasa yang dilakukan tidak mempunyai korelasi dengan penurunan jumlah konsumsi energi dan zat gizi lain. (tabel 2). Pembatasan asupan makanan pada siang hari cenderung diganti pada malam hari

Beberapa peneliti melaporkan bahwa penurunan berat badan jangka pendek biasanya terjadi karena dehidrasi sel-sel tubuh sehingga apabila terjadi rehidrasi maka berat badan akan normal kembali. Ini yang mungkin terjadi pada puasa bulan Ramadhan. Dehidrasi pada siang hari segera normal kembali pada malam hari, sehingga berat badan dan IMT pada studi ini tidak berubah bermakna. Tabel 2. Perbedaan berat badan dan IMT sebelum dan sesudah 20

haripuasa

Berat Badan (kg)* IMT* No Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

49,00 51,40 49,50 53,20 55,30 55,00 56,00 52,50 52,50 50,70

48,50 49,60 49,00 52,00 53,00 53,60 55,00 50,00 51,00 59,00

19,5 19,1 18,5 19,8 19,6 18,8 21,1 19,0 18,2 19,8

19,4 18,4 18,4 19,3 19,5 18,7 20,7 18,1 17,6 19,5

Mean ± SD 52,5± 0,24 52,1 ± 3,22 19,5 ± 0,73 19,0 ± 0,88

* Tidak bermakna Ratio lingkar pinggang pinggul

Sangat menarik karena di kelompok ini terjadi pergeseran depo lemak, terlihat dari penurunan rasio pinggang pinggul yang bermakna (p<0,05). (Tabel 3). Walaupun tidak diikuti penurunan IMT, data ini menunjukkan bahwa puasa selama 20 hari pada bulan Ramadhan dapat menurunkan faktor risiko kardiovaskuler melalui penurunan rasio ini. Untuk Asia rasio >0.90 dikategorikan risiko kardiovaskuler tinggi (WHO, 2000) Status kolesterol

Analisis data penelitian menunjukkan tidak terjadi penurunan kadar kolesterol total maupun HDL dan LDL kolesterol yang bermakna (tabel 4). Hal ini mungkin

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 105

Page 51: cdk_155_THT

Perubahan setelah Puasa Ramadhan

disebabkan karena perubahan pola makan saat puasa yaitu dari 3 kali menjadi 2 kali dengan interval 12 jam tidak mengubah pola konsumsi makanan, baik dari segi jumlah energi kalori maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Dan biasanya kualitas gizi makanan yang dihidangkan pada saat sahur dan buka puasa sebanding dengan kualitas makanan pada saat tidak puasa. Tabel 3. Perbedaan rasio lingkar pinggang pinggul sebelum dan

sesudah 20 hari puasa

Ratio lingkar pinggang pinggul* No sebelum sesudah 20 hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0.89 0.90 0.91 0.88 0.89 0.90 0.91 0.89 0.88 0.90

0.87 0.88 0.90 0.86 0.86 0.87 0.87 0.88 0.88 0.89

Mean ± SD 0.90 ± 0.01 0,87 ± 0,01

* p<0.05 Tabel 4. Rata-rata kolesterol total dan HDL sebelum dan sesudah 20

hari puasa

Kolesterol total (mg/dL)* HDL Kolesterol (mg/dL)* No

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

121 132 117 140 133 127 122 121 134 129

122 127 119 135 127 126 122 122 130 125

52 55 50 58 54 55 54 50 61 56

53 58 50 54 58 59 56 54 60 55

Mean±SD 127.7±7.3 125.5±4.4 54.5±3.2 55.7±3.1

* Tidak bermakna Status tekanan darah Pembatasan konsumsi air dan mineral selama 20 hari pada penelitian ini tidak menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik maupun diastolik (tabel 5). Walaupun telah dilaporkan bahwa pada minggu pertama puasa terjadi penurunan tekanan sistolik dan diastolik meningkat (6) .

Puasa atau pembatasan asupan makanan akan dapat mempengaruhi sekresi insulin dalam darah. Walaupun banyak teori yang berusaha menerangkan adanya hubungan antara teori resistensi insulin dan tekanan darah, akan tetapi hubungan sebab akibat antara insulin dan tekanan darah belum dapat dipastikan. Tidak adanya perbedaan antara IMT, tekanan darah dan kolesterol dalam studi ini menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain selain insulin yang dapat mempengaruhi tekanan darah.

Pada saat berpuasa, konsumsi air terbatas, hal ini bisa menyebabkan asupan natrium berkurang. Untuk menjaga

keseimbangan maka kelenjar adrenal akan merangsang pengeluaran hormon aldosteron. Hormon ini akan meningkatkan reabsorbsi natrium, sehingga konsentrasi natrium dalam sel-sel ginjal meningkat, akibatnya tubuli ginjal akan mengabsorbsi air lebih banyak, sehingga volume plasma akan meningkat dan tekanan darah akan normal lagi. Mekanisme ini mungkin dapat menerangkan tidak adanya penurunan tekanan sistolik maupun diastolik di kelompok ini. Tabel 5. Rata-rata tekanan darah (mmHg) sebelum dan sesudah puasa

20 hari

Sistolik (mmHg)* Diastolik (mmHg)* No Sebelum Puasa sebelum Puasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

105 115 112 118 105 110 110 120 110 120

103 110 109 115 110 108 105 115 115 115

72 80 65 70 75 70 75 80 80 75

65 75 65 75 70 75 75 80 70 80

Mean ±SD 112,5±5,56 110,5±4,44 74,2±5,03 73,0±5,37 * Tidak bermakna KESIMPULAN

Selama puasa tidak ditemukan adanya perbedaan IMT, total kolesterol, dan HDL kolesterol serta tekanan sistolik maupun diastolik, tetapi ada perbedaan rasio lingkar pinggang pinggul yang bermakna. Penelitian ini menyimpulkan bahwa puasa selama bulan Ramadhan dapat menurunkan risiko kardiovaskuler melalui penurunan rasio lingkar pinggang dan pinggul.

KEPUSTAKAAN

1. Ferland G, Sadowsky JA, O’Brien ME. Dietary induced subclinical vitamin K deficiency in normal human subjects. J Clin Invest 1993;91:1761-8

2. Husband AJ, Bryden WL. Nutrition, stress and immune activation. Proc Nutr Soc Aust 1996;20: 60-70.

3. Prijatmoko D, Strauss BJG, Lambert JR et al. Body composition in alcoholic cirrhosis. Gastroenterol. 1993;105:1839-45.

4. Prijatmoko D. The effect of alcohol consumption on body composition and health status. PhD Thesis, Monash University, Australia. 1993.

5. Prijatmoko D, Strauss BJG. Using low-cost body composition technology for health surveillance. Asia Pacific J Clin Nutr 1995;4:15-7.

6. Sediaoetomo DA. Ilmu Gizi menurut Pandangan Islam. Jakarta, Dian Rakyat 1990

7. Simmons D, Mesui J. Decisional balance and stage of change in relation to weight loss, exercise and dietary fat reduction among Pacific Island people. 1999;8(1):39-45.

8. Venkatramana P, Reddy PC. Association of overall and abdominal obesity with coronary heart disease risk factors: comparison between urban and rural Indian men. Asia Pacific J Clin Nutr 2002;11(1):66-71.

9. Wahlqvist, ML, Dalais FS. Nutrition and cardiovascular disease. Asia Pacific J Clin Nutr 1999;8(1):2-3.

10. Western Pacific Regional Office of the World Health Organization, The International Association for the Study of Obesity, The International Obesity Task Force. The Asia-Pacific Perspective: redefining obesity and its treatment. Sydney: Health Communications Australia, 2000.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 106

Page 52: cdk_155_THT

Informatika Kedokteran

Alternatif Pengembangan Software Aplikasi Sistem di Institusi Rumah Sakit

Ronald T. Gultom

IT Development Division, PT. Kalbe Farma Tbk – Jakarta Bidang Pendidikan PIKIN (Perhimpunan Informatika Kedokteran Indonesia)

Prakata

Informasi yang cepat, tepat dan akurat merupakan suatu dasar yang penting untuk proses pengambilan keputusan khususnya bagi para praktisi manajemen atau direksi dalam sebuah institusi Rumah Sakit. Ada beberapa bagian di dalam sistem rumah sakit yang terkadang mengalami perubahan kebijakan dari pihak manajemen apalagi jika terjadi penggantian struktur kepemimpinan, seperti misalnya bagian perawatan, poliklinik, penunjang medik, keuangan, logistik dan beberapa bagian lainnya, di samping itu bagian-bagian tertentu ini sering kali kehilangan kendali atau kontrol dalam hal detail proses kegiatan rumah sakit jika cara manual masih tetap dipertahankan. Akibat hilangnya kontrol maka pekerjaan audit akan lebih sulit dilakukan di kemudian hari jika terjadi penyimpangan, kolusi atau manipulasi terhadap data transaksi. Dalam tulisan ini saya akan mencoba merangkum hal-hal apa saja yang mungkin perlu diperhatikan oleh para praktisi manajemen rumah sakit yang concern dan berminat untuk membangun sebuah sistem informasi komputerisasi agar efektif dan efisien. Kondisi yang mempengaruhi keputusan

Pertama-tama perlu dipertimbangkan beberapa hal. Ada beberapa kondisi yang dihadapkan kepada para manajemen pengambil keputusan di dalam sebuah institusi rumah sakit apabila mereka ingin mengembangkan suatu software sistem aplikasi program. • Dana atau budget untuk pengadaan sistem komputerisasi • Kesiapan sumber daya manusia yang ada • Fitur-fitur yang diinginkan dari sebuah software sistem rumah sakit sebagai nilai tambah jika dibandingkan dengan cara manual • Proporsi waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan sistem tersebut

Setiap manajemen rumah sakit yang memang benar-benar

berminat membangun sistem komputerisasi akan dihadapkan kepada beberapa alternatif pilihan solusi. Di bawah ini saya jabarkan beberapa pilihan yang dapat dipertimbangkan. Sistem Package Software (Software Jadi)

Tidak sedikit institusi Rumah Sakit yang lebih percaya

dengan package software atau program siap pakai yang ditawarkan oleh produsen software yang telah sukses meng-implementasikan aplikasinya di beberapa rumah sakit lain atau para kliennya. Sebenarnya secara umum software siap pakai kelihatannya memang menjanjikan dan efisien. Akan tetapi kebanyakan produsen software siap pakai tersebut lebih menonjolkan segi brand-image saja, karena biasanya package software lebih bersaing dari sisi merk dagangnya bukan dari segi kualitas dan fleksibilitas modifikasi program. Memang konsep dasar sistem rumah sakit pada umumnya hampir sama, namun tidak bisa dipungkiri bahwa belum ada suatu standar yang benar-benar baku yang bisa dijadikan satu patokan untuk setiap institusi rumah sakit. Membeli software package jadi akan mempersulit diri sendiri apabila ternyata di kemudian hari perlu banyak penyesuaian sistem di sana-sini; mengapa? karena perubahan sistem dan edit terhadap program software tersebut akan berisiko dari segi biaya, karena vendor tidak akan mau mengubah softwarenya tanpa dibayar di luar software package awal. Software Impor

Ada beberapa pengambil keputusan di dalam institusi Rumah Sakit yang lebih yakin terhadap software dari luar negeri (software impor) ketimbang dari negeri sendiri (software lokal). Namun tanpa disadari mereka sering tidak mempertimbangkan dampak negatif pembelian software impor tersebut. Pertimbangan pertama yang perlu dipikirkan adalah dari segi standarisasi business process yang berbeda antara sistem di luar negeri dengan sistem rumah sakit di Indonesia. Sistem yang mereka ciptakan (standar sistem impor) tidak selalu sesuai dengan sistem di Indonesia sehingga tidak tertutup kemungkinan akan ada beberapa penyesuaian pihak kita jika hendak memakai software impor. Agak sulit untuk meminta vendor luar negeri untuk menyesuaikan segala sesuatu berdasarkan keinginan kita; lebih sering terjadi kitalah yang mengalah menyesuaikan diri dengan konsep sistem mereka. Jika produsen bersedia memodifikasi softwarenya mereka pasti akan membebankan biaya yang tinggi sesuai harga standar di sana. Dan biasanya harga software impor itu sendiri cukup mahal, belum lagi tentang pemeliharaan berkelanjutan dan berkesinambungan dengan kurs mata uang dollar sebagai standar acuan transaksinya. Beberapa rumah

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 107

Page 53: cdk_155_THT

sakit besar sudah merasakannya dan kebanyakan mengalami problem di tengah jalan atau kalaupun implementasi berjalan baik, biaya yang dikeluarkan sangat tidak sebanding dengan manfaat yang didapat; pada akhirnya beberapa rumah sakit kembali ke sistem lokal setelah terlanjur investasi atau membuang uang dalam jumlah besar sebelumnya. Dibuat Sendiri oleh Karyawan IT

Di sisi lain ada juga institusi Rumah Sakit yang memilih untuk memiliki divisi IT (Information Technology), dan team IT ini biasanya akan ditunjuk untuk membangun software program rumah sakit. Namun ada beberapa hal yang mungkin perlu dipertimbangkan dan pihak rumah sakit harus mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan ini: • Tidak ada jaminan programmer/analyst akan terus bekerja sampai sistem selesai; berdasarkan pengalaman programmer/analyst adalah tipe pekerja yang sering kali pindah-pindah tempat bekerja. Jika itu terjadi, penuntasan sistem secara keseluruhan akan sangat terganggu. • Biayanya sangat besar, karena membangun sistem rumah sakit membutuhkan sekitar 3 sampai 5 orang programmer dan 1 orang analyst. Misalnya gaji 1 orang programmer (yang berpengalaman) sebesar Rp 5.000.000 per bulan ditambah dengan 1 orang analyst bergaji Rp. 7.000.000, tidak kurang sekitar Rp. 30juta harus dikeluarkan setiap bulannya hanya untuk gaji karyawan IT saja, belum lagi ditambah dengan tunjangan-tunjangan lain yang harus diberikan oleh perusahaan sesuai peraturan per-undang-undangan ketenagakerjaan. Jika pengembangan program berlangsung selama 1 tahun maka pengeluaran untuk gaji karyawan IT berkisar 300juta sampai 400juta. Itu dengan asumsi kalau program selesai dibangun dalam waktu 1 tahun, jika ternyata molor sampai 3 tahun maka biayanya bisa membengkak sampai 1.2 milyar. • Jarang sekali karyawan IT dapat menyelesaikan pekerjaannya secara tepat waktu, sering kali akan mundur dari jadual yang telah ditetapkan semula. Durasi waktu pengerjaan biasanya akan memakan waktu yang cukup lama, karena para developer adalah karyawan yang digaji, dan jarang sekali ada aturan main di perusahaan untuk memecat karyawan / programmer hanya karena pekerjaannya molor dari jadual. Hal ini akan mengakibatkan biaya yang tak terkendali karena gaji berjalan terus tetapi software tak kunjung selesai dibuat. • Sangat sulit mencari tenaga IT yang benar-benar handal dan berpengalaman dalam bidang rumah sakit atau spesialis di bidang Hospital System, rata-rata mereka memiliki kemampuan bersifat umum tidak terspesialisasi, karena memang belum ada kurikulum kuliah di universitas yang jurusannya adalah IT-Hospital. Karyawan tenaga IT yang tidak berpengalaman membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempelajari sistem di institusi rumah sakit bersangkutan sebelum mulai tahap pengembangan. Di samping itu skill masing-masing orang berbeda-beda sehingga dalam sebuah team pengembangan diperlukan koordinasi yang ketat; jika tidak maka keutuhan sistem secara keseluruhan sering kali tidak seragam. • Ada kecenderungan lain yang umum di kalangan para

programmer; mereka seringkali membuat program yang digunakan secara temporer hanya agar tugas yang dibebankannya selesai, jadi bekerja hanya atas dasar motivasi menyelesaikan kewajiban semata, bukan untuk menciptakan software yang solid, sehingga lebih sulit dikembangkan di masa depan. Outsource/“Tailor Made” ke Software House lokal

Cara paling aman bagi institusi Rumah Sakit dalam mengembangkan software Hospital Information System adalah dengan cara outsource ke Vendor Software House lokal dengan proyek bersifat tailor made atau joint development.

Banyak keuntungan yang dapat dicapai dengan cara ini. Pengembangan software dapat dibuat fleksibel sesuai kebutuhan dan keinginan pihak Rumah Sakit. • Tidak perlu memusingkan turn-over karyawan IT. Jika di outsource ke vendor maka yang “dipegang” adalah institusi vendor software house yang bersangkutan, tidak peduli programmer mereka ganti-ganti, yang bertanggung jawab adalah vendornya; rumah sakit bisa minta penalti atau potongan pembayaran jika karyawan tersebut tidak bertanggungjawab dan mengakibatkan pekerjaan terbengkalai. • Biayapun tidak akan molor seperti menggaji karyawan IT internal. Dengan membayar vendor / outsource maka pihak manajemen akan lebih mudah mengontrol biaya yang akan dikeluarkan. • Durasi waktu pengerjaan biasanya lebih mudah dikontrol karena ada surat kontrak perjanjian kesepakatan waktu pengerjaan, dan kedua-belah pihak diuntungkan dalam kesepakatan tersebut. Jika di outsource ke vendor maka pihak rumah sakit mengikat vendor secara hukum dengan kontrak kerjasama, apabila terjadi keterlambatan pihak vendor bisa dikenai penalti, dan di samping itu juga ada garansi keberhasilan program. • Biasanya vendor memiliki core-business tertentu, dan tak jarang ada vendor yang memang spesialis di bidang pengembangan Hospital System; merekapun memiliki team terpilih yang punya kualifikasi, latar belakang dan spesialisasi yang sama. Di samping itu mereka juga terkoordinasi dengan baik dalam membangun software.

Namun demikian beberapa hal tetap perlu dipertimbangkan: Pilih konsultan dengan risiko kerugian paling kecil, karena kegagalan masih saja terjadi pada beberapa rumah sakit besar di Jakarta akibat salah menentukan konsultan atau Vendor Software-house. Pilih konsultan yang sudah berpengalaman dan sistemnya sudah teruji di rumah sakit lain. Gunakan sistem pembayaran bertahap atau bulanan jika mungkin sehingga risiko kerugian yang lebih fatal dapat dihindari dan dari bulan ke bulan pihak manajemen dapat mengontrol pekerjaan pihak konsultan. Biasanya vendor yang berpengalaman sudah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam rentang waktu 3 sampai dengan 4 bulan.

Akhirnya semua terpulang kepada pihak rumah sakit sendiri sehubungan dengan kebijakan yang akan diambil untuk lebih dapat mengontrol sistem operasional rumah sakit, apakah cukup manual saja ataukah memang beban pekerjaan sudah overload sehingga membutuhkan proses komputerisasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 108

Page 54: cdk_155_THT

apsul

KARAKTERISTIK NYERI KEPALA PADA TUMOR OTAK

Deskripsi : tipe tegang, nyeri tumpul, rasa tertekan, seperti ‘nyeri sinus’ pada 77% kasus tipe migren pada 9 – 26 % kasus Saat timbul : intermiten, hilang timbul dalam beberapa jam memberat jika batuk, mengejan dan membungkuk pada 23% Lama/durasi : < 1 bulan 29 % 1 – 6 bulan 26 % > 6 bulan 45 % Lokasi nyeri : 72% bilateral, 25 % unilateral 68 % frontal Intensitas : bisa ringan sampai berat

intensitas rata-rata 8.5/10 jika dikaitkan dengan peningkatan tekanan intrakranial 6.5/10 jika tidak ada tanda peningkatan tekanan intrakranial

Gejala lain : mual dan muntah 38% gangguan visus 40% kejang (seizures) 50% Dari: Husain SJ, Forsyth PA. Headache associated with Intracranial Neoplasm. Dalam: Schiff D, Wen PY. Cancer Neurology in Clinical Practice. Toronto, New Jersey : Humana Press, 2003. p.27 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 109

Page 55: cdk_155_THT

Peluncuran Website Sahabat Ginjal dot com, Jakarta 17 Januari 2007

Banyak informasi yang kurang benar mengenai penanganan Penyakit Ginjal Kronik (d/h Gagal Ginjal Kronik). Hal ini mengakibatkan para penderita PGK mencoba pelbagai macam cara yang kadang malah lebih menjerumuskan mereka. PT Kalbe Farma sebagai salah satu perusahaan farmasi yang cukup peduli dengan keadaan ini, pada Selasa 17 Januari 2007 kembali meluncurkan satu website untuk mereka yang tertarik mendalami lebih jauh mengenai bagaimana menjaga kesehatan ginjal. Acara ini terselenggara berkat kerjasama dengan Cermin Dunia Kedokteran. Kalbe dan Pusdokkes Mabes POLRI Penyuluhan Flu Burung

Bertolak dari Pusdokkes (Pusat Dokumentasi Kesehatan) Mabes Polri, Kalbe bersama tim dari Pusdokkes menuju ke kompleks Polri di Pamulang Tangerang untuk melakukan penyuluhan upaya penanggulangan flu burung di lingkungan Mabes Polri, Rabu 22 November 2006. Promag Raih Anugerah Produk Asli Indonesia 2006

Dalam ajang Anugerah Produk Asli Indonesia 2006, yang diselenggarakan Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan Harian Bisinis Indonesia, Promag memperoleh penghargaan sebagai Produk Asli Indonesia terbaik pada ketegori obat bebas (OTC = Over the Counter). Acara ini dihadiri oleh Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Elka Pangestu. Hidup yang berkualitas dengan PGK, RSPAU Halim Jakarta, 6 Februari 2007

Banjir boleh saja masih menetap di beberapa wilayah kota Jakarta, namun semangat para keluarga dan penderita Penyakit Ginjal Kronik, tidak bisa dibendung. Bertempat di RS Pusat Angkatan Udara Halim Perdana Kusumah tak kurang 60 peserta memenuhi acara yang diselenggarakan oleh Kalbe Farma. Acara yang dibuka oleh Karumkit RSPAU, Dr Bambang Yudadi, SpB menghadirkan pakar ginjal seperti: Dr Tunggul Situmorang, SpPD, KGH dan DR Dr Karmen SpGK (ahli gizi). Muktamar ke-26 IDI, Semarang 29 November - 2 Desember 2006

Tak kurang dari 860 dokter dari seluruh Indonesia berkumpul menghadiri Muktamar organisasi kedokteran terbesar dan satu-satunya di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Acara ini diselenggarakan di Hotel Patra Jasa Semarang, sejak Rabu 29 November hingga Sabtu 2 Desember 2006. Salah satu hasil muktamar ini adalah menetapkan Dr. Priyo Sidipratomo Sp.Rad, sebagai Ketua Terpilih, yang akan mendampingi Ketua PB IDI saat ini (2006 - 2009) yaitu DR Dr Fachmi Idris M. Kes. Simposium Stem Cell Therapy for the Failing Heart, Bangkok, 1-3 Desember 2006

Simposium Stem Cell Therapy for the Failing Heart yang berlangsung di InterContinental Hotel, Bangkok, 1-3 Desember 2006, dihadiri oleh sekitar 300 peserta (dokter ahli jantung, bedah jantung, serta pemerhati stem cell) dari berbagai negara. Simposium ini mengambil tema ‘The Latest News in Research and Clinical Application’. Simposium ini dibuka oleh Perdana Menteri Thailand Surayud Chulanont.

Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala 2006 PERPARI, Bandung, 7-8 Desember 2006 Simposium Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala 2006 diselenggarakan oleh Perkumpulan Respirologi Indonesia (PERPARI) cabang Bandung bekerjasama dengan FK Padjadjaran Bandung dan Sub bagian Pulmonologi bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin Bandung. Simposium ini dilaksanakan di Hotel Horison, Bandung selama 2 hari. Peserta yang hadir sekitar 350 orang, terdiri atas dokter spesialis penyakit dalam, spesialis paru dan dokter umum. Community Mitigation During Pandemic Influenza : Stakeholders Meeting, Atlanta, 11 - 12 December 2006

Baru-baru ini The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengadakan pertemuan yang diberi tajuk "Community Mitigation During Pandemic Influenza : Stakeholder Meeting". Pertemuan ini adalah pertemuan lokal di Amerika Serikat yang membahas bagaimana antisipasi pihak Amerika saat terserang Pandemi Influenza (tentu dalam hal ini adalah Flu Burung). Yang hadir adalah 'Dinas-dinas Kesehatan' dari hampir seluruh negara bagian di AS serta ahli Kesehatan Masyarakat setempat. Tamu dari luar negeri hanya 3 orang yaitu dari Hongkong, China dan Indonesia, sebagai pakar yang dimintai masukan / komentar atas rencana tindakan yang dipresentasikan. Indonesia diwakili oleh dr Tjandra Yoga Aditama. Seminar Aplikasi Pembelajaran Jarak Jauh, Kampus UI Depok, 24 Januari 2007

Universitas Indonesia (UI) telah memiliki fasilitas pelatihan Teknologi Informasi di Kampus Depok dan Salemba - IT Training Center - dengan kapasitas sekitar 200 PC yang mulai dimanfaatkan pada akhir tahun 2003. Demikian dikemukakan Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Usman Chatib Warsa, Ph D. SpMK, saat memberi sambutan pada Seminar Prospek Telemedicine dan e-learning di Indonesia. Sidang Ilmiah VI Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Jakarta 15 Februari 2007

Dibuka oleh Rektor Universitas Gunadarma, Prof DR. E.S Margianti, SE, MM, acara Sidang Ilmiah VI Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma Jakarta dimulai. Sekitar 70 peserta peminat informatika kedokteran berkumpul di Kampus A universitas tersebut yang berlokasi di Jl Kenari Jakarta. Tema yang diusung Sidang Ilmiah ke- VI kali ini adalah "Pembelajaran Informatika Kedokteran di Lingkungan Pendidikan Tinggi Kesehatan di Indonesia". Acara ditutup dengan sosialisasi organisasi Perhimpunan Kedokteran Informatika Indonesia (PIKIN).

Laporan lengkap pelbagai simposium di atas (dalam Bahasa Indonesia/English), bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/seminar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 110

Page 56: cdk_155_THT

ABSTRAK

WHO MONICA STUDY WHO MONICA study merupakan

studi prospektif terbesar mengenai kelainan kardiovaskuler sampai saat ini. Studi ini antara lain juga mengamati kecenderungan kejadian stroke di beberapa lokasi yang termasuk dalam penelitian ini.

Sampai saat ini tercatat 34 715 kejadian stroke (yang telah divalidasi) setelah 21.7 juta tahun observasi di 12 negara Eropa, 1 di Siberia dan 1 di Cina.

Beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran dari studi yang besar ini ialah : 1. Studi internasional yang besar masih

dapat dilakukan meskipun banyak sekali perubahan terjadi, termasuk ‘hilang’nya Jerman Timur.

2. Mutu perawatan stroke sangat mempengaruhi prognosis – terlihat dari perubahan mortalitas; pada populasi yang mortalitas stroke nya turun, 1/3 berasal dari turunnya attack rate dan 2/3 dari case fatality

rate; sedangkan di populasi yang mortalitasnya naik, seluruhnya disebabkan oleh naiknya case fatality rate.

3. Hasil studi ekologi harus dinterpretasikan dengan hati-hati; pengaruh perubahan faktor risiko terhadap kejadian stroke ternyata lebih kecil dari yang diperkirakan.

4. Faktor sosial ekonomi agaknya lebih penting daripada faktor risiko ‘klasik’ seperti tekanan darah, kadar kholesterol dan BMI. Di Novosibirsk, Rusia, dalam 10 tahun faktor-faktor risiko tersebut menurun insidennya, tetapi kejadian stroke tetap; sebaliknya di Denmark, meskipun faktor-faktor risiko tersebut praktis tidak berubah, kejadian stroke turun 3-4% tiap tahun.

5. Program intervensi berbasis komunitas/masyarakat sulit dinilai keberhasilannya; seperti ternyata dari studi di Swedia yang memban-dingkan angka kejadian stroke di dua

populasi – satu dengan program intervensi yang ambisius, yang lain tanpa program khusus – ternyata angka kejadiannya tidak berbeda bermakna.

6. Suatu proyek multinasional jangka panjang menciptakan infrastruktur penelitian yang permanen sehingga dapat dimanfaatkan untuk studi lain.

7. Perubahan kejadian stroke sesuai dengan perubahan/transisi kesehatan masyarakat; di masyarakat berpen-dapatan rendah, urbansisasi menye-babkan perubahan cara hidup yang meningkatkan risiko stroke dan penyakit kardiovaskuler lain.

8. Kejadian stroke tertinggi di masyarakat berpendapatan menengah karena peningkatan pendidikan dan kesejahteraan membuat masyarakat lebih sadar akan pola hidup sehat; hal ini terlihat di beberapa negara Eropa seperti Perancis dan Swis.

Lancet Neurol. 2005;4:64-68

brw

ANJURAN PENGOBATAN BATU SALURAN KEMIH BERDASARKAN (DUGAAN) PENYEBAB

Perubahan gaya hidup/diet Terapi farmakologik Volume urine rendah pH urin rendah Hiperkalsiuri Hipositraturi Hiperoksalouri Hiperurikosuri Sistinuri Infeksi saluran kemih

Asupan cairan > 2 liter/hari Batasi protein Kurangi garam Na < 200 mmol/hari Kurangi protein Batasi oksalat Hindari pembatasan kalsium Batasi purin Asupan cairan > 3 liter/hari ---

- K – sitrat HCT atau indapamid + K-alkali K – sitrat Piridoksin untuk jenis primer Alopurinol K - sitrat D - penisilinamin Beta-merkaptopropionil glisin Antibiotik

Lancet 2006;367:340

brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 111

Page 57: cdk_155_THT

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Tonsil sebenarnya merupakan jaringan berisi :

a) Sel limfoid b) Sel monosit c) Sel plasma d) Sel kelenjar e) Sel adenoid

2. Teknik tonsilektomi saat ini sebagian besar berdasarkan : a) Meyer b) Crowe c) Crowe – Davis d) Sluder e) Willis 3. Persarafan tonsil berasal dari : a) n. trigeminus b) n. fasialis c) n. glosofaringeus d) n. vagus e) n. C1 – C3 4. Penelitian Delfitri Munir menunjukkan bahwa penyebab

tersering sinusitis maksilaris kronis : a) Strept. pyogenes b) Strept. viridans c) Strept. pneumoniae d) Klebsiella pneumoniae e) Staph. aureus 5. Sedangkan pada penelltian Retno Gitawati dkk. terhadap

isolat hasil usap tenggorok di puskesmas di Jakarta : a) Strept. pyogenes b) Strept. viridans c) Strept. pneumoniae d) Klebsiella pneumoniae e) Staph. aureus

6. Kuman tersering hasil penelitian mastoiditis akut di Semarang :

a) Strept. pyogenes b) Strept. viridans c) Strept. pneumoniae d) Klebsiella pneumoniae e) Staph. aureus 7. Yang tidak berperan pada pembentukan suara : a) Laring b) Faring c) Esofagus d) Sinus e) Diafragma 8. Yang bukan merupakan tanda voice fatigue : a) Nyeri tenggorak b) Nyeri menelan c) Suara serak d) Volume suara turun e) Semua termasuk 9. Paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap

kejadian karsinoma nasofaring : a) Makanan asap b) Terhirup asap c) Makanan awetan d) Makanan yang dibakar e) Makanan yang diasin 10. Yang bukan komplikasi tonsilitis kronis : a) Nefropati b) Demam rematik c) Obstructive sleep disorders d) Abses peritonsiler e) Semua termasuk JAWABAN: 1.A 2.D 3.A 4. C 5. B 6.E 7.C 8.B 9.B 10. E

Cermin Dunia Kedokteran No.155, 2007 112