case 2 (CKR)
-
Upload
rina-hijayanti -
Category
Documents
-
view
263 -
download
0
Transcript of case 2 (CKR)
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
1/32
1
BAB I
STATUS PASIEN
I .Identitas
Nama : Ny. C
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jembarang baru
Tanggal masuk RS : 19 Mei 2012
Tanggal pemeriksaan : 19 Mei 2012
II. Anamnesis (autoanamnesis tanggal 19 Mei 2012)Keluhan Utama : nyeri kepala
Keluhan tambahan : dahi hematom, luka robek pada dahi, hidung hematom,
luka pada kepala bagian belakang, luka lecet pada mulut sebelah kiri, luka lecet pada
lengan bagian bawah sebelah kiri, luka lecet pada lutut kiri.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
2/32
2
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun diantar oleh keluarganya dengan
keluhan luka pada kepala bagian belakang akibat kecelakaan lalu lintas berupa
tabrakan motor dengan motor sejak 1 jam SMRS. Pasien mengendarai motor dengan
kecepatan 60 km/jam, pasien menggunakan helm, pasien mengaku ditabrak oleh
mobil. Pasien terjatuh dari motor, dan helm terlepas. kepala bagian belakang
terbentur aspal lalu pasien tidak sadarkan diri.
Pasien dibawa ke rumah sakit oleh warga sekitar. Pasien tersadar saat sedang
dibawa ke RS, pasien merasa nyeri kepala, keluhan muntah disangkal, keluhan keluar
darah dari telinga, hidung dan mulut disangkal. Pasien tidak dapat mengingat kejadian
setelah terjatuh dari motornya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat trauma sebelumnya disangkal. Pasien menyangkal adanya riwayat
perdarahan saat terjadinya luka yang sukar berhenti. Pasien juga menyangkal adanya
riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan yang sama pada pasien disangkal. Riwayat kencing manis
dan tekanan darah tinggi dalam keluarga disangkal.
III. Pemeriksaan FisikStatus Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
3/32
3
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
N : 90x/menit
R : 24x/mnt
S : 36,7C
GCS : 15
Kepala : normocephal, luka tertutup perban rembesan darah (-), pus (-).
Mata : conjunctiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat isokor, reflex cahaya
+/+
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks :
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskulatasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : Inspeksi : pergerakan hemithoraks simetris kanan-kiri
Palpasi : fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri, krepitasi (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler, ronki -/- wheezing -/-
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
4/32
4
Abdomen : Inpeksi : tampak datar simetris
Palpasi : supel, NT/NL/NK : -/-/-
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Ekstremitas atas : edema -/-, sianosis -/-
Ektremitas bawah : edema -/-, sianosis -/-
Status Lokalis
Regio Parietal
Inspeksi: tampak luka robek yang telah dijahit sebanyak 5 jahitan dengan
hematom.
Palpasi: nyeri tekan (+)
Regio frontal
Inspeksi : tampak luka robek yang telah dijahit sebanyak 2 jahitan dengan
hematom
Palpasi : nyeri tekan (+)
Regio nasal :
Inspeksi : tampak hematom
Palpasi : nyeri tekan (+)
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
5/32
5
Regio oralis sinistra:
Inspeksi : tampak volnus ekstravatum
Palpasi : nyeri tekan ( - )
Regio antebrachii sinistra:
Inspeksi : tampak volnus ekstravatum
Palpasi : nyeri tekan ( - )
Regio genus anterior sinistra :
Inspeksi : tampak volnus ekstravatum
Palpasi : nyeri tekan ( - )
Status Neurologis
- Tanda perangsangan meningeal : (-)- Tanda peningkatan TIK: (-)- Nn. Cranialis: tidak ada kelainan- Motorik: baik- Sensibilitas: baik- Refleks fisiologis: +/+- Refleks patologis: -/-
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
6/32
6
IV. Pemeriksaan PenunjangLab darah Rutin
- Hb : 9,2 gr/dl- Ht : 29,8 %- Limfosit : 6,4 x 103/mL (H)- Monosit : 1,4 x 103/mL (H)-
Granulosit : 5.3 x 10
3
/mL (H)
- Limfosit : 1,8 %- Monosit : 0,9 %- Granulosit : 66,2 % (H)- Leukosit : 18.100/ml (H)- Trombosit: 315.000/ml- Gula Darah Sewaktu: 71 mg/dl (N)
Pemeriksaan Radiologi
Hasil Rontgen Schedel:
Tulang intak tidak tampak garis fraktur pada tulang tengkorak.
V. Diagnosis Banding : -VI. Diagnosis Kerja
CKR + multiple VE + VL
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
7/32
7
VII. Penatalaksanaan- Perawatan 3-5 hari- Mobilisasi bertahap- Terapi simptomatik : - IVFD RL 20 gtt/mnt
- lafixim 2x1 gr IV
- ranitidin 2x1 gr IV
- ketorolac 2 x 1 gr IV
- Observasi tanda vitalVIII. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
8/32
8
BAB II
CEDERA KEPALA
II.1 DEFINISI
Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak maupun otak.
II.2 KLASIFIKASI
Berdasarkan mekanisme trauma:1. Tumpul2. Tajam
Berdasarkan beratnya didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS):1. Cedera kepala ringan (GCS 14-15)2. Cedera kepala sedang (GCS 9-13)3. Cedera kepala berat (GCS 3-8)
Berdasarkan morfologi:1.
Fraktura tengkorak
a) Kalvaria;1) Linier atau stelata2) Terdepres atau tidak terdepres
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
9/32
9
b) Basiler:1) Anterior2) Media3) Posterior
2. Lesi intracraniala) Fokal:
1) Perdarahan meningeal (epidural, subdural dan sub arakhnoid)
2) Perdarahan dan laserasi otak Perdarahan intraserebral dan atau kontusi Benda asing, peluru tertancap
b) Difus:1) Konkusi ringan2) Konkusi klasik3) Cedera aksonal difusa
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian tersebut di atas. Dari riwayat
dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deslerasi, impak local,
tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera.
II.2.1 BERDASARKAN MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan terbuka (penetrating,
luka tembus). Pada cedera kepala tertutup kepala menerima suatu dorongan tumpul karena
membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka suatu benda berkecapatan tinggi
menembus tulang tengkorak dan masuk ke dalam otak. Sebetulnya tidak benar-benar dapat
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
10/32
10
dipisahkan. Misalnya fraktur tengkorak terdepres dapat dimasukkan ke salah satu golongan
tersebut. tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istiah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala
penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
II.2.2 BERDASARKAN BERATNYA
Pemeriksaan Glasgow Coma Scale
Ada 3 aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal response), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakitkepala, mual, muntah.
2.
Cedera kepala sedang, bila GCS 9 12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelaianan
neurologis fokal. Di sini pasien masih bisa mengikuti perintah sederhana.
3. Cedera kepala berat, bila GCS 8 atau kurang, dengan atau tanpa disertai gangguanfungsi batang otak.
Glasgow Coma Scale
I. Reaksi membuka mata4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
11/32
11
II. Reaksi berbicara5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
III. Reaksi gerakan lengan/tungkai6 Mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15. Sedang
pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas flaksid dan tidak
ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 3.
II.2.3 BERDASARKAN MORFOLOGI
Tindak lanjut CT scan sangat penting sebagai gambaran morfologi pada pasien cedera
kepala. Karena pada pasien cedera kepala yang melakukan CT scan berulang sering
mengalami evolusi yang nyata dalam beerapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah
cedera.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
12/32
12
Fraktur Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin
terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos
dan biasanya perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres
lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau
compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral
karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam.
Lesi Fokal
Hematoma epidural. Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh trutama
a.meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan
antara duramater dan tulang di permukaan dalam os. Temporal.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan oleh hematom
akan melepaskan duramater lebih lanjut sehingga hematom bertambah besar.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
13/32
13
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setela
hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peninngkatan tekanan
intracranial, penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologic yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu
pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan
reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negative. Terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir kesadaran menurun sampai koma
yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukka reaksi cahaya yang merupakan tanda kematian. Cirri khas hematom epidural
adalah adanya interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama yang
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
Jika hematoma epidural disertai cedera otak seperti memar otak interval bebas tidak
akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
ongen kepala. Penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan
malakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan.
Hematoma subdural. Disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena
di dalam ruang arakhnoid. Pembesaran hematom memerlukan waktu yang lama sehati sampai
beberapa minggu. Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, maka
prognosis lebih jelek.
Hematom subdural dibagi menjadi hematon subdural akutbila gejala timbul pada hari
pertama samapai dengan hari ketiga. Subakut bila timbul antara hari ketiga sampai minggu
ketiga, dan kronik bila timbul setelah minggu ketiga.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
14/32
14
Hematom subakut sevara klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang
berjalan lambat. Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambatran klinis suatu
proses desak ruang (space occupying lesion) yang progersif sehingga tidak jaarag dianggap
sebagai neoplasna atau demensia.
Penanggulangannya terdiri atas trepanasi dan evakuasi hematom.
Kontusi dan Hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural. Mayoritas di lobus frontal dan temporal walau dapat
pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematima intraserebral tidak jelas
batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT scan jelas kontusi, dan hematoma yang
besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Perdarahan yang terjadi pada memar otak dapat membesar menjadi hematoma
intraserebral. kelainan ini sering ditemukan pada penderita trauma kepala. Lebih daro 50%
penderita hematoma intraserebral disertai dengan hematom epidural atau subdural. Banyak
terjadi di lobus frontalis atau temporalis dan tidak jarang ditemukan multiple. Gambaran
klinis bergantung pada lokasi dan besarnya hematom
Indikasi trepanasi bila terdapat massa tunggal dengan lokasi jelas dan sev=cara klinis
penderita menunjukkan penurunan kesadaran.
Cedera Difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan
disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
15/32
15
Konkusi ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu,
terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering
tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa
amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan
konfusi dan amnesia retrograd maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu
disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah
pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam
jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian
terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau
ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma
yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik.
Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat:
CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikutperintah setelah 24 jam.
CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak.Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36%dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama.
Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
16/32
16
penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD
umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.
Pembagian Cedera kepala lainnya
1. Simple Head InjuryDiagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis Tidak pingsan Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan
cukup istirahat.
2. Commotio CerebriCommotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung
tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak
pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula
terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas
sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto
tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5
hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
17/32
17
3. Contusio CerebriPada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang
kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens
retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena
itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan
intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks
babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si
penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu,
sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi
lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa
mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem,
anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
18/32
18
4. Laceratio CerebriDikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio
langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.
Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat
akibat kekuatan mekanis.
5. Fracture Basis CraniiFractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding Epistaksis Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi :
Gangguan pendengaran Parese N.VII perifer
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
19/32
19
Meningitis purulenta akibat robeknya duramaterFraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan
operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
II.3 ETIOLOGI
Cedera kepala yang berat biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil dan motor.
Cedera kepala yang ringan teruama disebabkan terjatuh terutama pada anak-anak.
II.4 PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun
hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa otak menerima 20% dari curah jantung.
Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansia
kelabu.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguann suplai
untuk sel, yaitu oksigen dan nutrien terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi
karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah
otak menurun misalnya akibat syok. Oleh karena itu pada cedera otak harus dijamin bebasnya
jalan napas, gerakan napas yang adekuat, dan hemodinamik tidak terganggu sehingga
oksigenasi tubuh cukup. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
20/32
20
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going
process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolic.
Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi,
bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau
menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir pada
kematian jaringan yang cukup luas. Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan
udem yang dapat mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau
herniasi di bawah falks serebrum. Jika terjadi hernia jaringan otak yang bersangkutan akan
mengalami iskemia sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang
menimbulkan kematian. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang
merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera
(neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena
penyebab sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang
bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder.
Penyebab cedera otak sekunder di antaranya:
1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, danhiponatremia.
2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakanial meningkat, hematoma, edema, pergeseranotak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
21/32
21
II.5 GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera kepala dan lokasinya. Derajat cedera
kepala kurang lebih sama dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling
ringan adalah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung
hanya beberapa menit. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinis.
II. 6 PEMERIKSAAN
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau
perkelahian.. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatu dari
tangga, jatuh dari kamar mandi, atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan
gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti
urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu
sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
22/32
22
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya, sejak sebelum
terjadi kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui adanya amnesia
retrograde. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intracranial. Pasien tidak selalu
dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah).
Pemeriksaan Fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status vital dan kesadaran pasien. Ini
harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah :
a. Jalan nafas (airway)b. Pernafasan (breathing)c. Nadi dan tekanan darah (circulation)Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lender atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi
leher hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury),
jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin
ditemukan dapat berupa :
a. Pernafasan cheyne stokesb. Pernafasan biot/hiperventilasic. Pernafasan ataksikPemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila
terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thoraks, trauma abdomen,
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
23/32
23
fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan
melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intracranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
2. Status kesadaran
Dewasa ini penialian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada kasus cedera
kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa, istilah apatik,
somnolen, spoor, koma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran
yang lebih objektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan
penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan
ialah dengan Skala Koma Glasgow, cara ini sederhana tanpa memerlukan alat
diagnostic sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara
ini pula perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara
akurat.
Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan
sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa deficit tersebut
diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab lain.
3. Status neurologik lainSelain staus kesadarn di atas pemeriksaan neurologic pada kasus trauma kapitis
ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan
adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intracranial.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
24/32
24
Tanda-tanda fokal tersebut adalah :
a. Anisokorb. Paresis/paralisisc. Reflex patologis sesisi
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengetahui :-Ada tidaknya fraktur (linear, depresi)-Ada tidaknya fraktur facialis-Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami perkapuran)-Permukaan udara-cairan dalam sinus-Ada tidaknya pneomosefalus-Ada tidaknya benda asingFraktur dasar tengkorak jarang sekali terlihat pada foto polosnya, sehingga
diagnosisnya ditegakkan berdasarkan tanda-tanda yang ada berupa hematom pada
mata, rhinorrhea, otorrhea, hemotimpanum.
2. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal, dan lain-lain bila memang diperlukan.3. Pemeriksaan CT-scan4. Pemeriksaan darah, untuk menentukan kadar alcohol, pemeriksaan urin.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
25/32
25
II.7 PENANGANAN
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan:
(1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder;
(2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya , karena diagnosis
dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat
cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua
kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan
menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa
stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis:
(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi
(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat
(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat
(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah
(5) Disertai cedera multipel yang lain.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
26/32
26
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spinecontrol), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin liftataujaw thrustsambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke
mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan
napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
27/32
27
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya
berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan
vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Setelah ABC stabil segera siapkan transportasi ke rumah saki rujukan untuk
mendapatkan penanganan selanjutnya.
Bila memungkinkan sebaiknya semua penderita trauma kepala dirujuk ke rumah sakit
yang ada fasilitas CT scan dan tindakan bedah saraf. Saat dalam perjalanan, keadaan ABC
pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat.
Kriteria rawat inap
Penderita harus menjalani rawat inap bila skor GCS kurang dari 15, serta terdapat
gangguan neurologik, gangguan faal vital, dan fraktur tulang kepala.
Rawat inap mempunyai dua tujuan yakni oservasi dan perawatan. Observasi
dimaksudkan untuk menemukan sedini mungkin penyulit atau kelainan lain yang tidak segera
maberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan napas dan pernapasan mendapat prioritas
utama. Penderita harus diltekkan dalam posisi berbaring yang aman.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
28/32
28
Tata laksana dalam perawatan
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran dan status neurologis harus diperhatikan
kesembilan aspek parwatan yang berikut ini.
Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah
terjadinya hidrasu berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat udem otak.
Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memnatau dan menjaga supaya tempat
tidur tetap bersih dan kering. Pencegahan terhadap pnemonia hipostatik dilakukan dengan
fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.
Kulit diusahakan tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus. Anggota gerak
digerkkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi. Kornea harus terus-menerus
dibasahi dengan larutan asam borat 2% untuk mencegah keratitis.
Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa di dalam
tengkorak,kandung kemih yang penuh atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan
dan diatasi baru boleh diberikan sedatif.
Kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan
tekanan darah serta memperberat udem otak.
Hipertermi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma karena gangguan pada
hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat
disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi slauran kemih atau infeksi luka. Reaksi
transfusi juga dapat menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat
menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa,
dan mengundang terjadinya sepsis.
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
29/32
29
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak maupun otak. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia
produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
kaum perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
Disusul dengan jatuh terutama pada anak-anak. Cedera kepala berperan pada hamper separuh
dari seluruh kematian akibat trauma.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme trauma, beratnya yang dilihat dengan
Glasgow Coma Scale dan berdasarkan morfologinya. Berdasrakan patofisiologinya cedera
kepala dibedakan menjadi cedera kepala primer dan sekunder.
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera kepala dan lokasinya. Derajat cedera kepala
kurang lebih sama dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan
adalah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinis.
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan memantau sedini mungkin
dan mencegah cedera otak sekunder dan memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin
sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penanganan pada cedera
kepala harus dilakukan secra cepat, aman dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
30/32
30
1. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1995. Hal: 231-233
2. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit BukuKedokteran. EGC. Jakarta. 2005. Hal: 818-821
3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill. 2006.Hal: 207-215
4. Listiono Djoko. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi Ketiga. Penerbit PT GramediaPustaka Utama. Jakarta. 1998. Hal: 153-158
5. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedoktern EGC.Jakarta.2000. Hal: 65-68, 623-625
6. http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html7. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-1.htm
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.htmlhttp://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.htmlhttp://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html -
7/31/2019 case 2 (CKR)
31/32
31
-
7/31/2019 case 2 (CKR)
32/32
32