Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

36
HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASIONAL, KEEFEKTIFAN ORGANISASIONAL DAN KEPEMIMPINAN: TELAAH PERSPEKTIF UNTUK RISET 1 Oleh. Heru Kurnianto Tjahjono 2 ABSTRACT The purpose of this article is to arrange a main construct within three important constructs that often become an important topic in organization theory. Those are organizational culture, organizational effectiveness, and leadership. We often face problem of with the variety of definition of those three constructs in which then create difficulty in the measurement of research method that also closely relate to complexities of that construct. Keyword: organizational culture, organizational effectiveness and leadership A. PENGANTAR Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi hubungan antar tiga konstruk penting dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai dengan elaborasi 1 Terima kasih kepada Bp. Hani Handoko, Ph.D atas perspektifnya dalam berbagai diskusi pada kelas program S3 2 Mahasiswa program S3 Manajemen SDM Universitas Gadjah Mada, dosen FE UMY 1

description

organisasi manajemen industri

Transcript of Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Page 1: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASIONAL, KEEFEKTIFAN

ORGANISASIONAL DAN KEPEMIMPINAN:

TELAAH PERSPEKTIF UNTUK RISET1

Oleh. Heru Kurnianto Tjahjono2

ABSTRACT

The purpose of this article is to arrange a main construct within three important constructs that often become an important topic in organization theory. Those are organizational culture, organizational effectiveness, and leadership. We often face problem of with the variety of definition of those three constructs in which then create difficulty in the measurement of research method that also closely relate to complexities of that construct. Keyword: organizational culture, organizational effectiveness and leadership

A. PENGANTAR

Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi hubungan antar tiga

konstruk penting dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya

organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama

dimulai dengan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah

berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk

sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tersebut.

1 Terima kasih kepada Bp. Hani Handoko, Ph.D atas perspektifnya dalam berbagai diskusi pada kelas program S32 Mahasiswa program S3 Manajemen SDM Universitas Gadjah Mada, dosen FE UMY

1

Page 2: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

1. Konstruk “Budaya organisasional”

Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting

sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu

“fashion” baik di kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga di kalangan

akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional

mendapat “tempat” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi

seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu

konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak

dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki

“communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan

terminologi tersebut dari beragam perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional

merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai

dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri

dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan

budaya organisasional sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,

diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar

organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul

akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup

baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar

2

Page 3: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah

tersebut.

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada tiga

tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat

Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik

bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada tingkat berikutnya,

espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya

dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar 1. Tingkatan Budaya Organisasional

Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan strategi

(strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan

berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah

keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for

granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara

yang tepat.

3

ARTIFACTS

ESPOUSED VALUES

BASIC UNDERLYING ASSUMPTIONS

Page 4: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Kotter dan Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan

Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-

asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para

anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap

dan perilaku kelompok tersebut.

Stoner et. al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu

cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-

harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner dan Knicky (1995)

menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue)

yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans

(1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional

merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota

organisasi.

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar

dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh dan menjangkau dimensi

waktu yang panjang (holistic), 2) ditentukan atau mencerminkan catatan historis

perusahaan (historically determined), 3) berhubungan dengan sesuatu yang bersifat

ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang

secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan

6) sukar berubah (hard to change)

4

Page 5: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Smircich (1983) menunjukkan empat fungsi penting budaya organisasional,

yaitu: 1) memberikan suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi.,

2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas

sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi

memilih sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional

disimpulkan pula sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi

dan visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting untuk berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional

Konsep keefektifan seperti juga konsep budaya organisasinal, juga memiliki

pemaknaan yang beragam yang berimplikasi pada kesulitan dalam pemahaman

konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya kesepakatan tentang

dimensi-dimensi dari konsep keefektifan, kriteria yang digunakan dalam pengukuran,

tingkat analisis yang appropriate dan kelompok kegiatan organisasional mana yang

mencerminkan pusat perhatian untuk studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos”

tentang konsep tersebut tidak membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik

organisasi.

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), ada tiga alasan meliputi

teoritis, empiris dan praktis. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional

secara teoritis terletak pada pusat semua model organisasional. Kedua, keefektifan

secara empiris berfungsi sebagai variabel penting dalam kegiatan riset dan konsep

penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan

5

Page 6: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

untuk membuat judgements tentang kinerja (performance) berbagai organisasi.

Namun demikian, paling tidak ada dua pandangan yang paling banyak digunakan

dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan

konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para

pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya.

Pandangan lainnya dengan melihat berbagai jenis hasil yang telah digunakan,

termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan kelompok atau organisasi dari

pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-

krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap

sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para

pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di dalam

organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yang berkembang dalam

khasanah akademik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Model-model Keefektifan Organisasional

Model Definisi Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)

Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur

Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)

Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan

Ada kaitan jelas antara input dan kinerja

Model Proses Internal Fungsi-fungsi internal berjalan lancar

Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional dan kinerja

6

Page 7: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan Pihak-pihak terkait mempunyai pengaruh kuat terhadap organisasi

Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait dalam hal empat kuadran yang berbeda

Organisasi tidak jelas kriterianya atau sering berubah kriteria

Model Legitimasi Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil pelaksanaan kegiatan legitimate

Kelangsungan hidup organisasi penting

Model Ketidakefektifan

Tidak mempunyai kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan

Kriteria keefektifan tidak jelas atau berbagai strategi perbaikan diperlukan.

Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yang menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual

mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan berbagai

konsepsualisasi organisasi yang berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan

konsep keefektifan harus dimulai dengan suatu analisis teori organisasi yang menjadi

dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional

Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki

peningkatan kinerja organisasional organisasi. Namun demikian banyak problem

organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yang

seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan banyak penelitian

menunjukkan kegagalan organisasi lebih sering disebabkan oleh permasalahan

manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tersebut

7

Page 8: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan

organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut

Peters dan Waterman, setiap organisasi mempunyai kebudayaannya masing-masing.

Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai

kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen

organisasi banyak para ahli telah meyakini keeratan hubungan antara budaya

organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga

hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi.

Penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan dukungan penting bagi proposisi di

atas bahwa budaya perusahaan mempunyai pengaruh terhadap keefektifan suatu

perusahaan terutama pada perusahaan yang mempunyai budaya yang sesuai dengan

strategi dan dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.

Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja

organisasional juga ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya

organisasional, hubungan dengan pelanggan (customer elationship) dan citra

perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter

dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai salah satu faktor

kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang

disampaikan pada hasil studi mereka:

8

Page 9: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 jenis industri di

Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional

mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk

jangka panjang. Secara lengkap empat peran utama budaya organisasional berhasil

dieksplorasi dari penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih menentukan

sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong

peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang jika di dalam perussahaan terdiri dari

orang-orang yang layak dan cerdas, dan 4) dibentuk untuk meningkatkan kinerja

perusahaan.

Demikian pula hasil penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang

melakukan merger pada dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger seringkali

mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional

(Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values)

dengan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan berhubungan

dengan komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over

seperti yang diperoleh dari sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan di atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu

sosial dan manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm

(1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

9

Page 10: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Dalam kasus di Indonesia, studi tentang pengaruh budaya organisasional terhadap

keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi telah banyak

dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang

meneliti 79 manajer dari berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan

manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif budaya

organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran

partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan

Lako dan Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi

mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong

organisasi tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasional

memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan

kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting

untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola

sumber daya sebagai kekuatan internal dalam memanfaatkan peluang (opportunity)

dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)

Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga

menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi banyak kalangan

yang kemudian berakibat pula pada pendefinisian yang beragam dan kadang kurang

10

Page 11: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan

konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan aspek dari fenomena

perhatian mereka yang paling menarik.

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan adalah perilaku dari

seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan

yang ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik

(1961) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang

dijalankan dalam suatu situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke

arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain mengatakan

bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam

harapan dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas

pengertian kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah

kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking

(1988) berpendapat bahwa para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten

memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial dan yang diharapkan dan

dipersepsikan melakukannya. Jacob dan Jacques (1990) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang

mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai

sasaran.

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill

(1974) menyimpulkan bahwa terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan

11

Page 12: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar

menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial (pengaruh

yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur

aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau

organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi

metoda dari peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba

menelaah perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.

1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan

pada atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini

bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik

yang tidak dipunyai orang lain.

2. Pendekatan berdasarkan perilaku, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori

pertama adalah penelitian mengenai sifat dari pekerjaan manajerial. Penelitian

ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan

mencoba menjelaskan isi kegiatan-kegiatan manajer dengan menggunakan

kategori tentang isi seperti peran, fungsi dan tanggung jawab manajerial.

Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan

perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.

3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini

mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya dengan

12

Page 13: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan.

Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja untuk

mempengaruhi bawahan, tetapi juga kawan sejawat, atasan maupun orang

yang berada di luar organisasi.

4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual

mempengaruhi studi kepemimpinan.

5. Kepemimpinan partisipatif, memberikan penekanan kepada pembagian

kekuasaan (power sharing) dan pemberian kewenangan kepada para

pengikut. Studi ini juga berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.

6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para

pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan usaha yang

luar biasa dan pengorbanan pribadi untuk mencapai tujuan dan misi

organisasi/ kelompok.

7. Kepemimpinan dalam kelompok pengambil keputusan, menjelaskan

bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam kelompok pengambil

keputusan.

13

Page 14: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DENGAN BUDAYA DAN KINERJA

ORGANISASIONAL

Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya

Hubungan kepemimpinan mempengaruhi budaya dan kinerja organisasional

sudah cukup banyak ditelaah oleh para ahli organisasi. Dalam konteks tersebut

perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap

pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan banyak telaah

tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar

lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran

organisasional. Hal tersebut meliputi proses membangun komitmen terhadap sasaran

organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran

tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai

sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke

tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan

transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja

dalam organisasi pada jenis posisi apa saja.

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional

(transactional leadership) yang merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan

dengan menunjuk pada kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai pada konsep ini

bersandar pada nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986)

14

Page 15: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan

transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan

perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah

sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan

menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut.

Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin

meningkatkan kesadaran terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut

untuk memandang masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru. Perhatian yang

diindividualisasi meliputi kegiatan: memberi dukungan, membesarkan hati, dan

memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu

hal baru yang dikemukakan Bass dan Avioli (1990) dengan menambahkan perilaku

transformasional lainnya yang disebut inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yang

didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah

visi yang menarik, menggunakan simbol-simbol untuk untuk memfokuskan usaha-

usaha bawahan, dan memodelkan perilaku-perilaku yang sesuai. Perilaku-perilaku

kepemimpinan transformasional saling berhubungan untuk mempengaruhi

perubahan-perubahan pada para pengikut, dan efek-efek yang dikombinasikan

membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah

pertukaran imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Beberapa komponen

penting di dalamnya meliputi perilaku transaksional (disebut perilaku “contingent

15

Page 16: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk memperoleh

imbalan-imbalan, penggunaan insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi

motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk

pemantauan dari para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki untuk

memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen

ketiga ditambahkan oleh Bass, et. al (1990) adalah “passive management by

exception” yang meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan

memperbaiki lainnya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari

standar-standar kinerja yang dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan

transaksional dan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang berbeda,

namun tidak saling eksklusif, dan menurut Bass pemimpin yang sama dapat

menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu-waktu dan situasi yang

berbeda.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan

karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua model kepemimpinan ini menjadi

fenomena yang sering dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli

mengatakan karisma hanya bagian dari kepemimpinan transformasional, sehingga

karisma tidak cukup dalam proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang

membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional

adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba untuk membuat para pengikutnya

16

Page 17: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan

kesetiaan pribadi dari pada komitmen terhadap cita-cita.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan

pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling besar

dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya melalui lima mekanisme,

meliputi: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4)

alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan dengan pandangan tersebut dengan

mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan

menekankan inovasi kultural yang padanya seorang pemimpin mungkin melakukan

perubahan-perubahan yang drastis pada budaya yang ada atau memulai sebuah

organisasi baru dengan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, model dari penelitian digambarkan sebagai

berikut:

17

kepemimpinan Budaya Organisasi

Page 18: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja

Organisasional

Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W,

Mao Tse-tung dan Indira Gandhi telah meletakkan dasar dan visi pada komunitas

umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian kuat pada

mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka mempunyai karakteristik perilaku

transformasional yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat

mencapai cita-cita atau tujuan perjuangannya.

Fenomena di atas merupakan ilustrasi perilaku kepemimpinan

transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan

secara lebih jauh membentuk budaya. Namun demikian banyak fenomena pemimpin

negara dan organisasi tidak cukup mempengaruhi secara langsung sistem dan budaya

organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian

sering disebabkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat pada organisasi

tersebut.

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah model yang

membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan

(maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya

menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan

organisasi.

18

Page 19: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Sejumlah studi tentang suksesi telah digunakan untuk menilai jumlah

perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa

kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama

dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) dan Meindl et al. (1985). Bukti

tambahan menunjukkan bahwa hubungan eksekutif puncak terhadap kinerja

menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai banyak

efek terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yang lebih baik.

Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga

kemungkinan untuk melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat

dibutuhkan.

Dalam konteks tersebut juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan tidak

mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara

budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri

pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yang sifatnya (take for

granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak

menekankan pada upaya merubah kepemimpinan untuk memprediksi kinerja. Hal

tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel

situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan

keefektifan organisasional.

Dasar konstruksi di atas memungkinkan bahwa kepemimpinan merupakan

variabel pemoderasi terhadap hubungan budaya organisasional dan keefektifan

19

Page 20: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

organisasional. Berdasarkan uraian di atas, konstruksi model dari penelitian

digambarkan sebagai berikut:

SIMPULAN

Bahasan dalam artikel ini merupakan suatu upaya menyampaikan gagasan

sederhana mengenai kemungkinan hubungan ketiga variabel yang meliputi budaya

organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan dalam suatu penelitian.

Hubungan dua variabel antara budaya organisasional dan keefektifan

organisasional relatif lebih robust, dengan konstruksi teori dan pengujian yang relatif

baik. Namun penelitian yang melibatkan tiga konstruk di atas masih terbuka ruang

yang luas untuk melakukan simulasi konstruksi teori sebagai dasar riset terkait

dengan berbagai isu.

Banyaknya konstruk dan hubungan antar konstruk yang melibatkan budaya

organisasional, kepemimpinan dan keefektifan organisasional memperlihatkan betapa

luasnya perspektif di antara hal tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh kompkleksitas

dalam ilmu sosial pada umumnya dan telaah subyektif para peneliti (Hubert &

Blalock, 1984)

20

Budaya Organisasional

Keefektifan Organisasional

kepemimpinan

Page 21: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Tingkat kompleksitas dari konstruk–konstruk di atas akan menyebabkan

ambiguitas konstruk-konstruk tersebut, khususnya dalam untuk kepentingan riset dan

pengukuran (measurement). Beberapa kelemahan konstruk-konstruk di atas antara

lain: konstruk masih sulit difahami dan berdimensi luas sehingga berakibat problem

konseptual serta ambiguitas, dan dan metoda riset masih lemah seperti penetuan

hubungan sebab akibat (causality), tingkat analisis dalam penelitian dan kerangka

waktu dalam penelitian tersebut. Dalam kaitannya dengan problem tersebut maka

konstruk-konstruk tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang

terukur sehingga riset menjadi lebih kuat prediksinya.

Saran bagi penelitian di masa datang terkait dengan ketiga konstruk tersebut

adalah bahwa pada langkah awal, seorang peneliti harus dapat memahami research

problem ataupun research issue terkait dengan konstruk-konstruk tersebut pada

setting yang diteliti. Tahap selanjutnya mendefiniskan secara jelas ketiga konstruk di

atas dan menterjemahkan menjadi variabel operasional yang spesifik sehingga dapat

meningkatkan kemampuan prediksi menjadi lebih baik. Pendekatan kontingensi

mensupport pola di atas bahwa dalam kajian manajemen tidak pernah menganjurkan

“satu cara yang terbaik” mengingat banyak dan beragamnya setting yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Adler. 1986. International Dimensions of Organizational Behavior. Boston MA: Kent Publishing Company

Cameron, K.S. 1984. The Effectiveness Of Ineffectiveness. dalam B.M. Staw dan Cummings. Research in Organizational Behavior. Greenwich. CT: JAI Press. V.6. hal. 235-285

Campbell. 1977. On The Nature Of Organizational Effectiveness. dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. hal. 13-55

Cooper, & Schnidler.2000. Business Research Methods. USA: McGraw-Hill Irwin

Davis. 1984. Managing Corporate Culture. Cambridge. Belinger

Dubin, R. 1976. Organizational Effectiveness: Some Dilemmas Of Perspectives. Organization and Administrative Science 7; hal 7-14

Dunnette, Campbell, & Hakel. 1967. Organizational Behavior and Human Performance. USA

Fisher D.C. 1980. On the Dubious Wisdom of Expecting Job Satisfaction to Correlate with Performance. Academy of Management Review, 5: 607-612.

Gibson, Ivancevich, & Donelly. 1985. Organisasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga

Handoko TH. 1993. Berbagai Isu Dalam Penilaian Efektivitas Organisasional. JEBI UGM hal. 17-27

Hannan, & Freeman. 1977. Obstacles to Comparative Studies dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. Hal. 106-131

Hofstede et.al. 1990. Measuring Organizational Cultures: A Qualitative and Quantitative Study Across Twenty Cases. Administrative Science Quarterly, 35 (1990): 286-316

Hofstede, Geerts. 1994. Cultures And Organizations: Software Of The Mind. London: HarperCollinsPublishers

Hubert, & Blalock. 1984. Basic Dilemmas In The Social Sciences. Sage Publications.

Indriantoro, N. & Supomo, B. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Jogjakarta: BPFE UGM.

Koontz et. al. 1991. Manajemen. Cetakan ke-4. Jakarta, Penerbit Erlangga

Kotter, & Heskett. 1992. Corporate Cultures and Performance. Canada: Maxwell Macmillan

Thomas, Alan B. 1988. Does Leadership Make a Difference to Organizational Performance? Administrative Science Quarterly. 33: 388-400

Kreitner dan Knicky. 1995. Organizational Behavior.3rd Ed. Richard D. Irwin. Homewood. Illinois

22

Page 23: Budaya Organisasi Keefektifan Dan Kepemimpinan

Lako, Andreas. 2002. Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial dan Keuangan. Prosiding Unika Soegijapranata

Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill

Martin, J. 1992. Cultures In Organizations: Three Perspective. London: Oxford University Press

Meindl et al. 1985. The Romance of Leadership. Administrative Science Quarterly: 78-102

Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press

Noe dan Mondy. 1996. Human Resource Management. 6th Edition. Prentice Hall. New Jersey

Pfeffer, J. 1977 The Ambiguity of Leadership. Academy of Management Review: 402-414

Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.

Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, kontroversi dan aplikasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Prenhallindo

Schein, E. 1992. Organizational Culture and Leadership. 2nd Ed. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco

Scott. 1977. Effectiveness of Oeganizational Effectiveness Studies. dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. hal. 63-95

Sharplin, A. 1995. Strategic Management. McGraw-Hill. New York

Smircich, Linda. 1983. Concept of Culture and Organizational Analysis. Administrative Science Quarterly. 28. 339-358

Sobirin, A. 1997. Organizational Culture: Konsep, Kontroversi dan Manfaatnya untuk Pengembangan Organisasi. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia. Vol. 1 No. 2. September. Hal 152-173

Stoner et. al. 1995. Management. 6th Ed. Prentice Hall. New Jersey

Yukl, Gary A. 1989. Leadership In Organizations. 2nd Edition. Prentice Hall. New Jersey

Yukl, Gary A. 1989. Managerial Leadership: A Review of Theory and Research. Journal of Management. Vol 15. No. 2. 251-289

Zammuto. 1984. A Comparison of Multiple Constituency Models of Organizational Effectiveness. Academy of Management Review. Vol. 9. No. 4. hal. 606-616

23