BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

85

Transcript of BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

Page 1: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM
Page 2: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

i

Editorial Board

Dewan Redaksi

EDITOR IN CHIEF Nyoman Trisna Aryanata, S.Psi., M.A.

Psychology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

ASSOCIATE EDITOR Ni Made Umi Kartika Dewi, S.KM., M.Kes.

Hospital Administration Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

Ni Putu Rahayu Artini, S.Si., M.Si.

Medical Laboratory Technology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

Ida Ayu Astiti Suadnyana, S.Ft., M.Fis.., Ftr.

Physioteraphy Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

Luh Putu Ratih Andhini, S.Psi., M.Si.

Psychology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

Apt. Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri, S.Farm., M.Farm.

Clinical Pharmacy Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

Ni Luh Putu Surya Astitiani, SE., MM

Digital Business Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia

LAYOUT EDITOR & TECHNICAL SUPPORT Agus Dedi Santosa, S.Kom.

Bali International University

Page 3: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

ii

Editor’s Note

Dear Readers,

With great joy, the Editorial Board welcomes this first edition of the Bali International

Scientific Forum (BISF), which is published by the University of Bali International. We

have been preparing for more than 6 months to form and publish this journal.

Bali International Scientific Forum, or hereinafter abbreviated as BISF, was formed to

accommodate novice researchers and academics, while also open ourselves to more

experienced researchers and academics. We publish articles in both Indonesian language

and English. BISF is aimed for accommodating scientific studies from various fields to

expand the repertoire of scientific literature for a wide audience. We realize that in a

scientific publication, ideally there is a specificity of study. However, we position

ourselves to provide a variety of studies from various sciences that would provide

additional insight into a study, without reducing the editorial and review process.

In this first edition, we provide various studies from our internal publishing institution,

which are oriented to the health studies. There are studies in the fields of biology,

pharmacy, patient behavior in medicine, the potential of natural ingredients for treatment,

as well as studies on the application of health services. For us, this entire article provides

basic insights into the breadth of the study of health.

Like a first publication, although we have tried to achieve a good basic review of the

manuscript, of course the spaces for errors can occur. We would be welcome to any input

for the development of our journal. In the future, we will also apply for accreditation after

meeting the minimum requirements for accreditation of scientific journals in Indonesia.

Greetings and wishes that we all are healthy.

On behalf of Editorial Board,

Editor in Chief

Nyoman Trisna Aryanata

Page 4: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

iii

Catatan Editor

Pembaca Yth.,

Dengan gembira, Dewan Editor menyambut terbitnya edisi perdana Bali International

Scientific Forum (BISF) ini, yang bernaung di bawah Universitas Bali Internasional.

Persiapan selama lebih dari 6 bulan telah kami lakukan demi terbentuk dan

terpublikasikannya jurnal ini.

Bali International Scientific Forum, atau yang selanjutnya disingkat BISF, dibentuk untuk

mewadahi peneliti dan akademisi pemula dengan tidak menutup diri pada peneliti dan

akademisi yang telah berpengalaman. BISF dibentuk dengan tujuan untuk menampung

kajian ilmiah dari berbagai bidang untuk memperluas khasanah literatur ilmiah bagi

khalayak luas. Kami menyadari bahwa dalam suatu terbitan ilmiah, idealnya terdapat

kekhususan ilmu atau kajian. Akan tetapi, kami memposisikan diri untuk memberi ragam

kajian dari berbagai ilmu yang kiranya memberi tambahan wawasan suatu kajian, dengan

tanpa mengurangi proses editorial dan review.

Pada edisi perdana ini, kami memberikan berbagai kajian dari internal institusi penerbit

kami yang berorientasi pada bidang Kesehatan. Terdapat kajian dalam bidang biologi,

farmasi, perilaku pasien dalam pengobatan, potensi kandungan alamiah bagi pengobatan,

serta kajian atas penerapan layanan kesehatan. Bagi kami, seluruh artikel ini memberikan

wawasan dasar mengenai luasnya kajian mengenai kesehatan.

Layaknya suatu terbitan perdana, meskipun telah kami usahakan agar tercapai peninjauan

dasar pada naskah secara baik, tentu ruang-ruang kesalahan dapat terjadi. Kiranya

berkenan untuk memberikan masukan bagi pengembangan jurnal kami. Ke depannya juga

kami akan mengajukan akreditasi setelah memenuhi syarat minimal pengajuan akreditasi

jurnal ilmiah di Indonesia.

Salam kasih dan semoga kita selalu dalam keadaan sehat.

a.n. Dewan Redaksi BISF

Editor in Chief

Nyoman Trisna Aryanata

Page 5: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

iv

Table of Contents

Editorial Board i Editor’s Note ii Catatan Editor iii Table of Contents iv Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya di

Era JKN Putu Ika Farmani, Ni Made Umi Kartika Dewi

1

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair (Oreochromis Mossambicus) di Daerah Taman

Pancing Denpasar Selatan Kadek Anidia Rasmi, Ade Ayu Yasinta Dewi, Ni Putu Rahayu Artini

12

Faktor - Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Pada Pasien Diabetes

Mellitus Tipe 2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X di Kabupaten Badung Ni Putu Aryati Suryaningsih, Adi Purwahita, Anak Ayu Sri Saraswati, Siti Nur Aini

18

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Rifampisin Terhadap Kadar Gamma Glutamyl

Transferase dan Alkaline Phosphatase Pada Tikus Putih Galur Wistar Sofiana Agustin Jeharu, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti

25

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan Terhadap Kadar Serum Glutamic Pyruvic

Transaminase dan Gamma Glutamyl Transferase Pada Tikus Wistar Ni Wayan Gita Iswari, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti

35

Gambaran Pengetahuan Pemulung Terhadap Limbah Medis Padat di TPA Suwung D.P. Risky Vidika Apriyanthi, Ni Putu Rahayu Artini

43

Gambaran dan Kajian Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kota

Denpasar Berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 I Gusti Ayu Agung Kristina Dewi, Ida Ayu Manik Parthasutema, Dhiancinantyan Windydaca

Brata Putri

48

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan Estimasi Laju Filtrasi

Glomerulus (eLFG) Pada Pasien Kemoterapi di Rumah Sakit Prima Medika Sariati Wijayanti, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, I K. Putra Juliantara

57

Pengaruh Ekstrak Batang Dan Daun Pakis Sayur (Diplazium esculentum) Terhadap

Kadar Hemoglobin, Hematokrit dan Jumlah Eritrosit Pada Tikus Putih Jantan yang

Disuntikkan Natrium Nitrit (NaNO2) Geby Sashmita, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti

65

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Terapi Pasien TB Paru di Puskesmas

Labuan Bajo Fransiska Oktaviana Mei, Ida Ayu Manik Parthasutema, Ni Putu Wintariani

70

Writing and Subscription Guide 90

Page 6: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

1

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

di Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya Pada Era JKN

Putu Ika Farmani 1*, Ni Made Umi Kartika Dewi2

1,2Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu tugas dari rumah sakit (RS) adalah memberikan pelayanan rawat inap

pasien JKN termasuk RSU Dharma Yadnya. Analisis efisiensi rawat inap dibutuhkan untuk memantau

mutu pelayanan RS dengan memanfaatkan nilai BOR, LOS, TOI, dan BTO.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran efisiensi pelayanan rawat inap di RSU

Dharma Yadnya pada tahun 2011-2013 dan 2014-2016. Metode: Rancangan penelitian yang

digunakan yaitu deskriptif kuantitatif dengan pendekatan retrospektif yang dilakukan pada di RSU

Dharma Yadnya pada bulan Desember 2019. Data yang digunakan adalah rekapitulasi sensus harian

rawat inap tahun 2011-2016 dengan observasi dan data pendukung (perubahan SOP, SDM, dan sarana

penunjang) yang dikumpulkan dengan wawancara terhdap petugas rekam medis dan rawat inap.

Analisis efisiensi rawat inap menggunakan grafik Barber Johnson. Hasil analisis disajikan dalam

bentuk tabel, grafik, dan narasi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sepanjang tahun 2011-2016

tidak ada perubahan SOP terkait rawat inap dan jumlah tenaga rawat inap berkisar 32-36 orang per

tahun. Tren parameter efisiensi rawat inap untuk BOR dan BTO mengalami peningkatan sementara

untuk LOS dan TOI cenderung mengalami keturunan. Sedangkan untuk analisis Barber Johnson

diperoleh kecenderungan mendekati daerah efisien pada tahun 2014-2016 (setelah program JKN

berlaku) dibandingkan dengan tahun 2011-2013. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efisiensi rawat

inap sebelum dan sesudah program JKN. Berdasarkan hasil ini diharapkan pihak manajemen RS

melakukan evaluasi berkala dengan metode grafik Barber Johnson dan memantau kualitas pelayanan

serta meningkatkan upaya promosi guna meningkatkan efisiensi rawat inap.

Kata kunci: Barber Johnson, Efisiensi, Pelayanan Kesehatan

ABSTRACT Background: One of the hospital tasks is to provide inpatient services for JKN patients, including

Dharma Yadnya Hospital. Inpatient efficiency analysis is needed to monitor the quality of hospital

service quality using BOR, LOS, TOI, and BTO values. Objective: This study aims to determine the

efficiency of inpatient services at Dharma Yadnya Hospital in 2011-2013 and 2014-2016. Method:

Descriptive quantitative is used as the research design with a retrospective approach at the Dharma

Yadnya General Hospital in December 2019. The observations of a recapitulation daily census

inpatient of 2011-2016 data used as the data of this study and also the supporting data (SOP, HR

(Human Resource), and facilities support) that was collected by interviewing medical records and

inpatient staff. Inpatient efficiency analysis using Johnson's Barber chart and presented in tables,

graphs, and narratives. Results: The results showed that throughout 2011-2016 there were no changes

in SOP related to hospitalization with the number of HR ranged from 32-36 people per year. The trend

of inpatient efficiency parameters for BOR and BTO has increased, but for LOS and TOI tends to

decrease. Whereas for Barber Johnson's analysis, there was a tendency to approach the efficient

regions in 2014-2016 (after JKN program implemented) compared to 2011-2013. Conclusion: There

was no difference in the efficiency of hospitalization before and after the JKN program implemented.

Based on these results the hospital management is expected to held reguraly evaluations using Barber

Johnson chart method and monitor service quality to increase the promotion to improve inpatient

efficiency.

Keywords: Barber Johnson, Efficiency, Health Provide

*Correspondence [email protected]

Submitted July, 9th 2020

Accepted July 14th 2020

Published August 31st 2020

Page 7: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

2

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Upaya kesehatan yang

dilaksanakan bersifat komprehensif yang

mencakup upaya promotif, preventif,

kuratif, maupun rehabilitatif. SKN

mengatur unsur-unsur dalam subsistem

upaya kesehatan yang terdiri dari upaua

kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan,

sumber daya upaya kesehatan, dan

pembinaan serta pengawasan upaya

kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan

yang dimaksud meliputi pelayanan

kesehatan tingkat pertama/primer,

pelayanan kesehatan tingkat

kedua/sekunder, dan pelayanan kesehatan

tingkat ketiga/tersier.

Berdasarkan Permenkes RI No.4

Tahun 2018, rumah sakit memiliki

kewajiban melaksanakan program

pemerintah di bidang kesehatan baik

secara regional maupun nasional.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

merupakan salah satu bentuk program

kesehatan pemerintah yang

penyelenggaraannya dilakukan oleh

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan. Rumah sakit dalam

program JKN yang diselenggarakan di

Indonesia per tanggal 1 Januari 2014

berperan sebagai Fasilitas Kesehatan

Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)

yang melakukan upaya pelayanan kesehat

spesialistik atau sub spesialistik yang

meliputi rawa jalan tingkat lanjutan,

rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat

inap di ruang perawatan khusus daerah

(Peraturan Presiden Republik Indonesia

No 82 tahun 2018). Di era Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN), rumah sakit

berlomba-lomba untuk menarik pasien

untuk melaksanakan pemeriksaan

lanjutan atau rujukan. Kondisi ini

berpotensi menimbulkan persaingan antar

rumah sakit tidak terkecuali dalam bidang

pelayanan rawat inap. Semakin

banyaknya rumah sakit swasta yang

bekerja sama dengan Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan maka semakin ketat

persaingan dalam memperoleh pasien

rujukan lanjutan JKN.

Rumah sakit menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat

(Permenkes RI No. 4 Tahun 2018).

Diharapkan pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh rumah sakit adalah

bermutu, aman, antidiskriminasi dan

efektif serta mengutamakan kepentingan

pasien. Semua kegiatan pelayanan

kesehatan yang dilaksanakan rumah sakit

didokumentasikan dalam bentuk data-

data yang selanjutnya dianalisis dalam

statistik rumah sakit. Informasi yang

dihasilkan dari statistik rumah sakit

digunakan untuk kepentingan

perecanaan, pemantauan pendapatan dan

pengeluaran darim pihak pasien,

pemantauan kinerja medis, dan

pemantauan kinerja non medis (Sudra

2010).

Perhitungan efisiensi pelayanan

rumah sakit diperlukan untuk memantau

mutu pelayanan suatu rumah sakit. Rawat

inap merupakan salah satu pelayanan

wajib yang disediakan oleh suatu rumah

sakit. Di Indonesia kondisi pelayanan

rawat inap yang disediakan oleh rumah

sakit pada umumnya terbagi menjadi

kelas-kelas tertentu terutama untuk

rumah sakit swasta. Beberapa pembagian

kelas perawatan rawat inap yaitu rawat

inap kelas I, kelas II, kelas III, VIP, dan

VVIP. Pengelolaah rawat inap

merupakan salah satu indikator mutu

pelayanan di rumah sakit. Pihak

manajemen rumah sakit menyediakan

tempat tidur (TT) untuk digunakan

merawat pasien rawat inap dengan

harapan bahwa setiap biaya yang

dikeluarkan untuk membeli dan

menyediakan tempat tidur tersebut akan

dapat menghasilkan pemasukan dana dari

pasien yang menggunakan TT tersebut

(Sudra 2010). Grafik Barber Johnson

adalah salah satu metode untuk

menganalisis tingkat efisiensi

penggunaan tempat tidur dengan

Page 8: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

3

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

memanfaatkan empat parameter yaitu

BOR (Bed Occupancy Ratio), AvLOS

(Average Length of Stay), Turn Over

Interval (TOI), dan BTO (Bed Turn

Over) (Sudra, 2010).

Beberapa penelitian tentang

efisiensi rawat inap menggunakan grafik

Barber Johnson telah dilakukan di

Indonesia namun memperoleh hasil yang

bervariasi. Beberapa penelitian

menemukan efisiensi rawat inap rumah

sakit pada daerah efisien. Penelitian di

RSUD Tugurejo Semarang yang

dilakukan tahun 2013-2017 menemukan

bahwa trend BOR kelas II dan III

menurun sementara tren untuk kelas I dan

VIP meningkat, untuk trend LOS setiap

kelas mengalami penurunan, untuk trend

TOI kelas I dan VIP menurun namun

tidak pada kelas II dan III yang justru

mengalami peningkatan, hasil berbeda

terlihat pada BTO kelas I, II, dan VIP

yang meningkat namun trend BTO pada

kelas III menurun. Penggambaran trend

menggunakan grafik Barber Johnson

menemukan tingkat efisiensi tahun 2013-

2017 sudah efisien. (Devi & Prasetyowati

2019) Penelitian tentang efisiensi rawat

inap berdasarkan jenis ruangan yang

dilakukan di BLUD RSUD dr. H.

Soemarni Sosroatmodjo Kapuas

menemukan hanya ruang Cempaka yang

berada di daerah efisien, sementara ruang

VIP, Isolasi, ICU, VK, Teratai, Mawar,

Perinatologi, Kenanga, Dahllia, dan

Anggrek berada di luar daerah efisien

(Persadha et al. 2019). Penelitian ini

menggunakan standar dari Departemen

Kesehatan. Viki Rinjani dan Endang

Triyanti melakukan analisis efisiensi

pada triwulan I tahun 2016 menggunakan

637 formulir. Di mana hasil penelitian

menunjukkan dari tujuh ruangan yang

ada hanya satu ruangan (ruang Madinah)

yang sudah efisien yaitu dengan BOR

79,93%, LOS 4,62 hari, TOI 1,16 hari,

dan BTO 17,55 kali (Rinjani & Triyanti

2016).

Beberapa penelitian lainnya

memperoleh hasil efisiensi rawat inap

rumah sakit masih berada di luar daerah

efisien (Irmawati dkk. 2018; Lubis &

Astuti 2018; Novarinda & Dewi 2017;

Rohman dkk. 2018; Sidiq & Afrina 2017;

Sulistiyono & Kurniawan 2018)

Penelitian di RSUD Aceh Besar

menunjukkan kecenderungan memasuki

wilayah efisiensi (Sidiq & Afrina 2017),

sama halnya dengan penelitian di RSU

Rajawali Citra dan RS Bhakti Wira

Tamtama Semarang yang menunjukkan

bahwa keempat parameter efisiensi

(BOR, LOS, TOI, BTO) tidak bertemu di

satu titik (Irmawati dkk., 2018; Rohman

dkk. 2018), sedangkan penelitian di RS

Sumber Waras memperoleh hasil

pertemuan titik keempat parameter yang

berada di luar daerah efisien (Novarinda

& Dewi 2017).

Belum ada penelitian terdahulu

yang melihat trend efisiensi rumah sakit

sebelum dan sesudah program JKN

diterapkan di Bali. Rumah Sakit Darma

Yadnya merupakan salah satu rumah

sakit swasta yang bekerja sama dengan

BPJS sejak tahun 2014 sebagai FKRTL

yang melayani pasien program JKN.

Kondisi saat ini di RS Dharma Yadnya

belum pernah dilakukan analisis tentang

efisiensi pengelolaan efisiensi tempat

tidur dengan metode Grafik Barber

Johnson. Berdasarkan pemaparan latar

belakang di atas maka akan dilakukan

penelitian tentang analisis efisiensi

pelayanan rawat inap di RSU Dharma

Yadnya di era JKN. Manfaat dari

penelitian ini adalah memberikan

gambaran efisiensi rawat inap rumah

sakit sehingga kedepannya dapat

dilakukan tindak lanjut untuk

memperbaiki atau mempertahankan

fungsi manajemen terkait rawat inap

sehingga mutu pelayanan rumah sakit

dapat ditingkatkan.

METODE

Penelitian dilakukan di Rumah

Sakit Dharma Yadnya pada bulan

Page 9: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

4

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

November-Desember 2019. Rancangan

penelitian ini bersifat deskriptif di mana

peneliti menggambarkan keadaan dari

objek penelitian. Peneliti melakukan

observasional dengan pendekatan

retrospektif yaitu menggunakan data

rekapitulasi sensus harian total rawat inap

di Rumah Sakit Dharma Yadnya tahun

2011 sampai dengan 2016. Data yang

dikumpulkan yaitu Bed Occupancy Rate

(BOR), Average Length of Stay (LOS),

Turn Over Interval (TOI), dan Bed Turn

Over (BTO) menggunakan pedoman

observasi. Berikut merupakan definisi

operasional variabel sekaligus

perhitungan untuk masing-masing

indikator (Sudra 2010):

1) BOR (Bed Occupancy Rate)

BOR didefinisikan sebagai persentase

pemakaian tempat tidur pada periode

waktu tertentu dengan standar ideal

yaitu 60-80% yang dapat dihitung

dengan rumus berikut:

2) LOS (Average Length of Stay)

LOS merupakan rata-rata lama pasien

dirawat dengan standar ideal yaitu 3-

12 hari yang dihitung dengan rumus

berikut:

3) TOI (Turn Over Interval)

TOI adalah rata-rata waktu luang

tempat tidur dengan standar ideal

yaitu 1-3 hari yang dihitung dengan

rumus berikut:

4) BTO (Bed Turn Over)

BTO adalah produktivitas tempat

tidur dengan standar ideal yaitu

minimal 30 kali yang dihitung dengan

rumus berikut:

Sementara data pendukung lainnya

yang dikumpulkan yaitu beberapa

informasi terkait ada tidaknya perubahan

SOP yang berkaitan dengan rawat inap,

perubahan fasilitas dan sarana prasarana

yang menunjang rawat inap, serta

perubahan kondisi sumber daya manusia

yang bertugas di ruang rawat inap. Data

pendukung dikumpulkan dengan

melakukan wawancara tidak terstruktur

kepada kepala keperawatan dan petugas

rekam medis di RSU Dharma Yadnya.

Analisis data dibagi menjadi dua

yaitu deskriptif dengan menghitung

distribusi frekuensi dan menggunakan

grafik Barber Johnson yang

keseluruhannya disajikan dalam bentuk

tabel, grafik, dan narasi. Perhitungan

BOR, LOS, TOI, dan BTO dihitung

untuk masing-masing tahun 2011, 2012,

2013, 2014, 2015, dan 2016. Selanjutnya

keempat parameter efisiensi pelayanan

rawat inap tersebut dianalisis

menggunakan grafik Barber Johnson

untuk mendapatkan tingkat efisiensi

pelayanan rawat inap. Grafik Barber

Johnson dibuat menggunakan Microsoft

Excel. Langkah-langkah pembuatan

Grafik Barber Johson adalah sebagai

berikut:

a. Menetapkan sumbu Y untuk nilai

LOS dan sumbu X untuk TOI

b. Menggambar garis BOR standar

ideal yaitu dengan nilai 75%

c. Menggambar batasan ideal LOS

sebesar 3-12 hari

d. Menggambar batasan ideal TOI

sebesar 1-3 hari

e. Menggambar garis BTO dengan

nilai 30 kali

f. Mengarsir daerah efisiensi yang

dibentuk dengan keempat standar

ideal di atas (BOR 75%, LOS 3-12

hari, TOI 1-3 hari, dan BTO 30

kali)

g. Menggambar garis BOR dan BTO

masing-masing tahun

h. Mencari titik potong Barber

Johnson menggunakan empat

indikator (BOR, BTO, LOS, dan

TOI) untuk masing-masing tahun

Page 10: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

5

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

HASIL

RSU Dharma Yadnya merupakan

rumah sakit swasta di bawah pengelolaan

Yayasan Dharma Usada Rsi Markandeya

yang didirikan pada tanggal 15 Maret

1986. RSU Dharma Yadnya beralamat di

Jalan WR. Supratman No. 256 Denpasar-

Bali. Pada saat ini RSU Dharma Yadnya

memiliki kapasitas 59 tempat tidur.

Pelayanan yang diselenggarakan meliputi

Instalasi Gawat Darurat (IGD), Ruang

Bersalin (VK), poliklinik, rawat inap,

hemodialisa, dan ICU. Selain itu terdapat

fasilitas penunjang yang meliputi unit

farmasi, laboratorium, dan rontgen yang

beroperasi 24 jam setiap hari.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

kepala keperawatan yang menaungi rawat

inap di RSU Dharma Yadnya, selama

tahun 2011-2016 tidak ada perubahan

signifikan terhadap isi SOP terkait

pelayanan rawatan inap, begitu pula

dengan jumlah SDM di bagian pelayanan

rawat inap yang memiliki jumlah kisaran

32-36 orang per tahun di mana persentase

SDM yang memiliki sertifikat pelatihan

cenderung meningkat dari tahun ke

tahun, dan memiliki rata-rata masa kerja

5-7 tahun.

Pelayanan rawat inap di RSU

Dharma Yadnya berada di bawah Bidang

Pelayanan Medis dan Keperawatan yang

terdiri dari dua ruangan yaitu Ayodia dan

Barata. Berikut merupakan data

rekapitulasi sensus harian rawat inap

RSU Dharma Yadnya tahun 2011-2016.

Tabel 1 Rekapitulasi Sensus Harian Rawat Inap di RSU Dharma Yadnya Tahun 2011-2016

Tahun Jumlah Hari Perawatan Jumlah Pasien

Keluar

Jumlah Tempat

Tidur

Sebelum

JKN

2011 4.358 1.445 50

2012 4.310 1.360 50

2013 5.342 1.624 50

Rata-rata 4.670 1.476 50

Era JKN

2014 6.202 1.987 50

2015 7.285 2.394 50

2016 6.599 2.609 50

Rata-rata 6.695 2.330 50

Sumber: Data Sekunder (2019)

Pada tabel 1 diketahui selama

tahun 2011 sampai dengan 2016 terjadi

peningkatan jumlah hari perawatan dan

jumlah pasien keluar namun tidak diikuti

dengan peningkatan jumlah tempat tidur.

Pada tabel 2 ditampilkan data

BOR, LOS, TOI, dan BTO RSU Dharma

Yadnya tahun 2011-2016. BOR dan

BTO antara sebelum dan sesudah JKN

mengalami peningkatan dengan nilai

BOR dan BTO tertinggi pada tahun 2015

yaitu masing-maisng sebesar 39% dan 52

kali. Sedangkan untuk LOS dan TOI

cenderung fluktuatif dalam kurun waktu

2011-2016.

Page 11: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

6

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Tabel 2. Statistik RSU Dharma Yadnya Tahun 2011-2016

Tahun BOR (%) LOS (hari) TOI (hari) BTO (kali)

Sebelum JKN

2011 23,87 3 9 28

2012 23,62 3 10 27

2013 29,00 3 8 32

Era JKN

2014 33,00 4 6 39

2015 39,00 3 4 47

2016 36,00 2 4 52

Sumber : Data sekunder (2019)

Perbandingan efisiensi rawat inap

di RSU Dharma Yadnya dikelompokkan

menjadi sebelum pelaksanaan JKN

(tahun 2011-2013) dan sesudan

pelaksanaan JKN (tahun 2014-2016)

yang disajikan dalam grafik Barber

Johnson di bawah ini.

Gambar 1. Grafik Barber Johnson Tahun 2011

Gambar 1 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2011 yang

memiliki nilai BOR 23,87% (kurang dari

ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 9 hari

(tidak ideal), dan BTO 28 kali (kurang

dari ideal). Kondisi ini menyebabkan titik

Barber Johnson tahun 2011 tidak berada

di daerah efisien.

Gambar 2 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2012 yang

memiliki nilai BOR 23,62% (kurang dari

ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 10 hari

(tidak ideal), dan BTO 27 kali (kurang

dari ideal). Kondisi tahun 2012

mengalami penurunan di keempat

parameter efisiensi rawat inap sehingga

titik Barber Johnson tahun 2012 tidak

berada di daerah efisien.

Gambar 2. Grafik Barber Johnson Tahun 2012

Gambar 3. Grafik Barber Johnson Tahun 2013

Gambar 3 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2013 yang

memiliki nilai BOR 29,00% (kurang dari

ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 8 hari

(tidak ideal), dan BTO 32 kali (ideal).

Meskipun terdapat peningkatan dari

tahun 2012 namun titik Barber Johnson

tahun 2013 masih berada di luar daerah

efisien.

Page 12: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

7

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Secara umum analisis efisiensi

rawat inap di RSU Dharma Yadnya

sebelum program JKN berada di luar

daerah efisien.

Gambar 4. Grafik Barber Johnson Tahun 2014

Gambar 4 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2014 di mana

RSU Dharma Yadnya telah melayani

pasien JKN per 1 Januari 2014 dengan

nilai BOR 33% (kurang dari ideal), LOS

4 hari (ideal), TOI 6 hari (tidak ideal),

dan BTO 39 kali (ideal). Titik Barber

Johnson tahun 2014 berada di luar daerah

efisien.

Gambar 5. Grafik Barber Johnson Tahun 2015

Gambar 5 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2015 dengan nilai

BOR 39% (kurang dari ideal), LOS 3 hari

(ideal), TOI 4 hari (tidak ideal), dan BTO

47 kali (ideal). Titik Barber Johnson

tahun 2015 berada di luar daerah efisien.

Gambar 6. Grafik Barber Johnson Tahun 2016

Gambar 6 menunjukkan Grafik

Barber Johnson Tahun 2016 dengan nilai

BOR 36% (kurang dari ideal), LOS 2 hari

(tidak ideal), TOI 4 hari (tidak ideal), dan

BTO 52 kali (ideal). Titik Barber Johnson

tahun 2016 masih berada di luar daerah

efisien.

PEMBAHASAN

RSU Dharma Yadnya melayani

pasien JKN dari 1 Januari 2014 selain itu

sebelumnya rumah sakit ini juga telah

melayani pasien ASKES (Asuransi

Kesehatan). Secara fasilitas rawat inap,

selama tahun 2011-2013 (sebelum JKN)

dengan tahun 2014-2016 (setelah JKN)

tidak ada penambahan tempat tidur yaitu

tetap 50 tempat tidur. Selama tahun 2011-

2013 jumlah hari perawatan dan jumlah

pasien cenderung fluktuatif dengan

jumlah tertinggi di tahun 2013 sebanyak

5.342 hari dan 1.624 pasien. Begitu pula

selama tahun 2014-2016 jumlah hari

perawatan terbanyak pada tahun 2015

7.285 hari namun untuk jumlah pasien

terbanyak pada tahun 2016 sebanyak

2.609. Apabila dibandingkan antara

sebelum dan sesudah adanya program

JKN, terjadi peningkatan rata-rata hari

perawatan antara sebelum JKN (4.670)

dan sesudah JKN (6.695) sebesar

43,36%. Begitu pula dengan jumlah

pasien keluar terjadi peningkatan antara

sebelum JKN (1.476) dan sesudah JKN

(2.330) sebesar 57,86%. Apabila ditinjau

Page 13: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

8

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dari indikator BOR, RSU Dharma

Yadnya selama tahun 2011-2013 hanya

mencapai 23,87%, 23,62%, dan 29,00%

di mana capaian kurang dari ideal.

Setelah ada program JKN, BOR RSU

Dharma Yadnya mengalami peningkatan

dari tahun 2014-2016 menjadi di atas

30% namun capaian ini masih kurang

dari ideal. Berdasarkan hal tersebut,

adanya program JKN terlihat diikuti

dengan peningkatan BOR RSU Dharma

Yadnya, namun peningkatan tersebut

belum mencapai ideal. Nilai BOR yang

rendah menunjukkan bahwa penggunaan

tempat tidur untuk perawatan yang

rendah. Semakin rendah nilai BOR

semakin kecil beban kerja SDM di bagian

rawat inap, namun sebaaliknya

berdampak pada pendapatan ekonomi

bagi pihak rumah sakit. Peneliti lain juga

mengungkapkan pendapatan yang rendah

mengakibatkan rumah sakit akan

mengalami permasalahan dalam

peningkatan kualitas pelayanan karena

kurangnya pendapatan (Sidiq & Afrina

2017). Penelitian di RSUD Tugurejo

tahun 2013-2017 tentang trend efisiensi

penggunaan tempat tidur justru

menemukan hasil berbeda, di mana nilai

BOR cenderung mengalami penurunan

pada saat program JKN mulai diterapkan,

hal ini dapat disebabkan karene

diberlakukanna kebijakan rujukan

berjenjang (Devi & Prasetyowati 2019).

Apabila ditinjau dari indikator

LOS, RSU Dharma Yadnya selama tahun

2011-2013 memiliki nilai LOS 3 hari di

mana capaian tergolong batas ideal yaitu

3-12 hari (Rustiyanto 2010). Setelah ada

program JKN, LOS RSU Dharma

Yadnya mengalami peningkatan di tahun

2014 (4 hari), menurun di tahun 2013 (3

hari), dan 2016 (2 hari). LOS rawat inap

di tahun 2016 tergolong kurang ideal (3-

12 hari). Hal ini justru menunjukkan pada

saat adanya program JKN lama rawat

seorang pasien menjadi menurun, hal ini

bisa disebabkan karena penyakit yang

ditangani oleh pihak rumah sakit pada

tahun tersebut tergolong ringan sehingga

memerlukan waktu rawat yang pendek.

Temuan ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Devi, E. S dan Asih

Prasetyowati, di mana kecenderungan

nilai LOS yang menurun seiring

diterapkannya program JKN yang diduga

berkaitan dengan standar LOS tiap kasus

pelayanan pasien (Devi & Prasetyowati

2019). Menurut Irmawati dkk. (2018)

untuk menjaga LOS berada pada rentang

ideal Barber Johnson diperlukan

kebijakan dari manajemen rumah sakit

serta meningkatkan keahlian dan

ketrampilan tenaga medis yang sesuai

standar meningkatkan pelayanan yang

bermutu. Selain itu perlu diwaspadai

adanya potensi fraud karena menurut

potensi fraud yang mungkin terjadi

dengan cara memperpanjang atau

memperpendek lamanya perawatan

(Novarinda & Dewi 2017).

Indikator TOI RSU Dharma

Yadnya selama tahun 2011-2013

memiliki nilai TOI yang jauh dari ideal

yaitu 9 hari (2011), 10 hari (2012) dan 8

hari (2013). Hal ini menunjukkan bahwa

tempat tidur di RSU Dharma Yadnya

memiliki waktu senggang yang melebihi

1 pekan untuk terisi pasien kembali.

Setelah ada program JKN, TOI RSU

Dharma Yadnya membaik menjadi 6 hari

(2014) dan 4 hari (2015 dan 2016).

Meskipun demikian capaian ini tergolong

tidak ideal yaitu 1-3 hari (Rustiyanto

2010). Temuan ini justru berbanding

terbalik dengan penelitian yang dilakukan

oleh Irmawati dkk (2018) yang

menemukan nilai TOI mendekati ideal

antara 1-3 hari. TOI yang lebih lama dari

ideal memberikan kesempatan untuk

pihak manajemen agar dapat

mempersiapkan tempat tidur lebih baik

yang dapat menurunkan risiko terjadinya

infeksi nosokomial namun secara

ekonomi akan mengurangi pendapatan

rumah sakit karena tempat tidur terlalu

lama tidak terpakai (Irmawati dkk. 2018).

Untuk indikator BTO, RSU

Dharma Yadnya selama 2011-2013

mengalami fluktuasi yaitu dari tahun

Page 14: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

9

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

2011 (28 kali) dan tahun 2012 (27 kali)

yang tergolong kurang dari ideal

kemudian di tahun 2013 mencapai 32 kali

yang tergolong ideal tapi masih kurang

ideal mnurut depkes. Sedangkan setelah

program JKN, BTO tahun 2014 (39 kali),

2015 (47 kali), dan 2016 menjadi (52

kali). Jika dilihat peningkatan BTO tahun

2014-2016 menunjukkan kecenderungan

ke arah yang baik dimana tahun 2015 dan

2016 sudah tergolong ideal. Temuan ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan

di RSUD Tugurejo, BLUD RSUD dr. H

Soemarno Sosroatmojo, dan RS

Singaparna Medika Citrutama (Devi &

Prasetyowati 2019; Persadha et al. 2019;

Rinjani & Triyanti 2016).

Analisis grafik Barber Johnson

untuk masing-masing tahun ditampilkan

pada gambar 1-6. Grafik Johnson Tahun

2011-2013 yaitu sebelum ada program

JKN menunjukkan tahun 2013 memiliki

titik Barber Johnson yang paling

mendekati daerah efisien. Sedangkan

pada tahun 2014-2016 yaitu setelah RSU

Dharma Yadnya memberikan pelayanan

pasien JKN, tahun 2016 memiliki titik

Barber Johnson yang paling mendekati

daerah efisien dibandingkan dengan

tahun 2014 dan 2015. Secara umum titik

Barber Johnson dan sesudah program

JKN terlihat ada potensi mendekati

daerah efisien. Tidak tercapainya titik

Barber Johnson di daerah efisien selama

2011-2016 lebih disebabkan karena BOR

dan TOI rumah sakit yang tidak

mencapai ideal sementara LOS dan BTO

yang sempat mencapai kategori ideal.

Temuan ini sejalan dengan penelitian

sebelumnya di mana titik pertemuan

keempat parameter BOR, LOS, TOI dan

BTO berada di luar daerah efisien

(Irmawati dkk. 2018; Lubis & Astuti

2018; Novarinda & Dewi 2017; Rohman

dkk. 2018; Sidiq & Afrina 2017;

Sulistiyono & Kurniawan 2018),

penyebab tidak efisien adalah adanya

pasien dirujuk, pasien pulang atas

permintaan sendiri, pasien meninggal

kurang atau lebih dari 48 jam, letak atau

lokasi keberadaan rumah sakit, promosi,

kurangnya sarana dan fasilitas, serta

kurangnya pemerataan tempat tidur.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

petugas rekam medis terkait rendahnya

capaian efisiensi rawat inap di RSU

Dharma Yadnya diperoleh hal sebagai

berikut:

a. Jumlah pasien yang fluktuatif yang

berdampak terhadap nilai BOR yang

tidak mencapai ketegori ideal dapat

dikarenakan adanya persaingan

dengan rumah sakit lainnya di Kota

Denpasar yang tergolong memiliki

jarak dekat. Selain itu terdapat

kebijakan rujukan berbasis wilayah

yang diterapkan BPJS Kesehatan dan

serta ketersediaan pemeriksaan

laboratorium yang kurang mutakhir

sehingga dokter cenderung

memberikan rujukan ke rumah sakit

lainnya.

b. Nilai LOS yang semakin menurutn

disebabkan oleh pasien yang dilayani

di RSU Dharma Yadnya didominasi

oleh pasien bedah (abses, appendiks,

dan hidrokel) yang membutuhkan

lama rawat inap yang relatif singkat.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis grafik

Barber Johnson baik sebelum program

JKN (2011-2013) dan sesudah JKN

(2014-2016) tidak terdapat perbedaan

status efisiensi rawat inap yaitu titik

Barber Johnson berada di luar daerah

efisien. Capaian ini disebabkan karena

nilai BOR RSU Dharma Yadnya yang

tergolong rendah yang dapat diakibatkan

persaingan antar rumah sakit, kebijakan

rujukan berjenjang dan berbasis wilayan,

serta ketersediaan pemeriksaan

laboratorium yang kurang mutakhir.

Sementara nilai LOS yang rendah

diakibatkan oleh jenis pasien yang

dilayani oleh RS didominasi oleh pasien

bedah yang membutuhkan waktu lama

rawat yang pendek. Dapat disimpulkan

Page 15: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

10

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

pemanfaatan tempat tidur di RSU

Dharma Yadnya belum berjalan baik.

SARAN

Berdasarkan temuan pada

penelitini ini diharapkan pihak

manajemen manajemen melaksanakan

evaluasi secara berkala terhadap efisiensi

pelayanan rawat inap dengan metode

grafik Barber Johnson, melakukan

pemantauan kualitas pelayanan rawat

inap sehingga dapat dilakukan upaya

tidak lanjut guna meningkatkan efisiensi

rawat inap di era JKN.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih

kepada RSU Dharma Yadnya yang telah

memberikan ijin penelitian khususnya

Unit Rekam Medis dan Bagian

Keperawatan yang telah membantu

pengumpulan data. Terima kasih kepada

LPPM (Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat) Institut Ilmu

Kesehatan Medika Persada Bali yang

memberikan pendanaan terhadap

penelitian.

DAFTAR RUJUKAN

Devi, Erna Septiana, dan Asih

Prasetyowati. 2019. “Trend

Penggunaan Tempat Tidur Menurut

Kelas di RSUD Tugurejo Semarang

Tahun 2013-2017.” In Prosiding

Call For Paper SMIKNAS, 153–60.

Irmawati, Elise Garmelia, Sri Lestari, dan

Dinda M Melasoeffie. 2018.

“Efficiency Use Of Beds Based

Johnson Barber Graphics Effisiensi

Penggunaan Tempat Tidur

Berdasarkan Grafik Barber

Johnson.” Jurnal Rekam Medis dan

Informasi Kesehatan 1 (2): 61–66.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.3

1983/jrmik.v1i2.3846.

Lubis, S.P.S, dan C. Astuti. 2018.

“Analisis Efisiensi Penggunaan

Tempat Tidur Di RSJ Prof. DR. M.

Ildrem Medan Per Ruangan

Berdasarkan Indikator Rawat Inap

Di Triwulan 1 Tahun 2018.” Jurnal

Ilmiah Perekam dan Informasi

Kesehatan Imelda 3 (2): 466–72.

Novarinda, Intan, dan Deasy Rosmala

Dewi. 2017. “Efisiensi Pengelolaan

Di Bangsal Asoka Berdasarkan

Grafik Barber Johnson Di Rumah

Sakit Sumber Waras Triwulan I-IV

Tahun 2016.” Inohim 5 (1): 14–21.

Persadha, Galih, Fakhrurrasyid Anshari,

dan Aus Al Anhar. 2019. “Analisis

Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Ditinjau Dari Indikator Pelayanan

Rawat Inap Pada BLUD RSUD dr.

H. Soemarno Sosroatmodjo Kapuas

Tahun 2017.” Jurnal Kajian Ilmiah

Kesehatan dan Teknologi 1 (1): 1–

10.

Rinjani, Viki, dan Endang Triyanti. 2016.

“Analisis Efisiensi Penggunaan

Tempat Tidur Per Ruangan

Berdasarkan Indikator Depkes dan

Barber Johnson di Rumah Sakit

Singaparna Medika Citrautama

Kabupaten Tasikmalaya Triwulan 1

tahun 2016.” Jurnal Manajemen

Informasi Kesehatan Indonesia 4

(2): 38–45.

Rohman, Hendra, Ibnu Mardiyoko, dan

Novia Putri Ayuningtyas. 2018.

“Analisis Efisiensi BOR, LOS, TOI,

Dan BTO Berdasarkan Grafik

Barber Johnson.” Jurnal Ilmu

Kesehatan Bhakti Setya Medika Vol.

3 (September): 11–21.

Rustiyanto, Ery. 2010. Statistik Rumah

Sakit untuk Pengambilan

Keputusan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sidiq, Rapitos, dan Reka Afrina. 2017.

“Kajian Efisiensi Pelayanan Rumah

Sakit.” Idea Nursing Journal VIII

(1): 29–34.

Sudra, Rano Indradi. 2010. Statistik

Rumah Sakit. Yogyakarta: Graha

Page 16: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

11

Farmani, Dewi

Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Ilmu.

Sulistiyono, Liga, dan Aditya Kurniawan.

2018. “Efisiensi Pengelolaan

Tempat Tidur Rawat Inap Per Bulan

Berdasarkan Indikator Barber

Johnson Di RSUI YAKSSI

Gemolong Sragen 2017.” Infokes 8

(2): 55–69.

Page 17: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

12

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair (Oreochromis

Mossambicus) di Daerah Taman Pancing Denpasar Selatan

Kadek Anidia Rasmi1*, Ade Ayu Yasinta Dewi2, Ni Putu Rahayu Artini3

1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu penyakit yang berbahaya untuk ikan mujair yaitu parasit. Hal ini tentu

dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan dan gangguan kesehatan pada manusia. Tujuan:

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis parasit yang menginfeksi ikan mujair (Oreochromis

mossambicus) di daerah Taman Pancing Kecamatan Denpasar Selatan. Metode: Sebanyak 26 ekor

ikan mujair yang diambil dari daerah Taman Pancing diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi

Universitas Bali Internasional untuk melihat keberadaan ektoparasit dan endoparasit. Pemeriksaaan

ektoparasit dilakukan dengan cara pengamatan organ tubuh bagian luar dan kemudian diperiksa di

bawah mikroskop, sedangkan pemeriksaan endoparasit dilakukan dengan cara pengamatan pada

permukaan dalam dari saluran pencernaan. Hasil: Dari hasil penelitian ditemukan dua jenis parasit

yang menginfestasi ikan mujair di daerah Taman Pancing yaitu Ascaris sp. dan Ancylostoma sp.

Sebanyak 53,8% ikan mujair terinfestasi Ascaris sp., dan 46,2% terinfestasi Ancylostoma sp. Intensitas

Ascaris sp. sebanyak 2 individu/ekor dan Ancylostoma sp. sebanyak 1 individu/ekor. Kesimpulan:

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa dari 26 ekor ikan mujair yang

diperoleh di daerah Taman Pancing Kecamatan Denpasar Selatan, semua sampel ikan terinfeksi

parasit. Hal ini menandakan bahwa ikan mujair yang ada di daerah tersebut tidak layak untuk

dikonsumsi karena dapat menularkan parasit melalui rute fecal-oral.

Kata kunci: ektoparasit, endoparasit, ikan mujair

ABSTRACT Background : One of the most dangerous diseases for tilapia fish is parasites. This certainly can cause

a decrease in fish quality and health problems in humans. Objective: This study aims to identify the

type of parasite that infects tilapia fish (Oreochromis mossambicus) in the Fishing Park area of South

Denpasar District. Methods: A total of 26 tilapia fish taken from the Fishing Park area were examined

at the Microbiology Laboratory of the University of Bali International to see the presence of

ectoparasites and endoparasites. Ectoparasites are examined by observing external organs and then

examined under a microscope, while endoparasites are examined by observing the inner surface of the

digestive tract. Results: From the results of the study found two types of parasites that infested tilapia

fish in the Fishing Park area namely Ascaris sp. and Ancylostoma sp. As many as 53.8% of tilapia fish

were infested with Ascaris sp., And 46.2% were infested with Ancylostoma sp. The intensity of

Ascaris sp. as many as 2 individuals / tail and Ancylostoma sp. as many as 1 individual / tail.

Conclusion: Based on the results of observations made, it is known that from 26 tilapia fish obtained

in Taman Pancing in the South Denpasar District, all fish samples were infected with parasites. This

indicates that tilapia fish in the area are not suitable for consumption because they can transmit

parasites through the fecal-oral route.

Keywords: ectoparasites, endoparasites, Oreochromis mossambicus

*Correspondence [email protected]

Submitted July, 18th 2020

Accepted July 25th 2020

Published August 31st 2020

Page 18: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

13

Rasmi, Dewi & Artini

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Ikan mujair (Oreochromis

mossambicus), penyebaran alaminya

adalah perairan Afrika dan di Indonesia

pertama kali ditemukan di muara Sungai

Serang, Pantai Selatan, Blitar, Jawa

Timur pada tahun 1939. Ikan mujair

(Oreochromis mossambicus) merupakan

organisme perairan tawar yang dapat

bertahan terhadap perubahan kondisi

lingkungan perairan, seperti kadar

oksigen yang rendah dan perubahan

salinitas yang cukup ekstrem (Afandi

1992). Ikan mujair merupakan ikan

omnivora, yaitu pemakan segala, hewan

dan tumbuhan, seperti tumbuh-tumbuhan

air, diatom, Chlorophyceae,

Dinophyceae, Cyanophyceae, dan

Crustaceae renik dan termasuk ikan yang

rakus. Ikan yang masih kecil cenderung

makan plankton dan zooplankton. Ikan

mujair memiliki banyak kandungan yang

terdapat dalam tubuhnya. Kandungan gizi

ikan mujair adalah protein, lemak, dan

karbohidrat, serta kandungan mineral

seperti kalsium, fosfat, dan besi (Kordi

2010).

Namun tidak jarang ditemukan

penyakit pada ikan mujair. Penyakit ini

merupakan salah satu faktor kendala

dalam kegiatan budidaya yang

disebabkan oleh ketidakseimbangan

interaksi antara faktor lingkungan, inang,

dan agen penyakit. Salah satu penyakit

yang berbahaya untuk ikan mujair yaitu

parasit. Hal ini tentu dapat menyebabkan

penurunan kualitas ikan dan gangguan

kesehatan pada manusia. Keberadaan

parasit dapat menyebabkan efek

mematikan pada populasi inang dan

konsekuensinya dapat menyebabkan

kerugian besar bagi industri perikanan.

Menurut FAO (2005), prevalensi

penyebaran cacing parasit di Indonesia

dapat mencapai ±30%. Infeksi cacing

parasitik di negara-negara berkembang

termasuk Indonesia memiliki tingkat

prevalensi penyebaran yang sangat tinggi.

Tingkat penyebaran ini dipengaruhi oleh

iklim dan cuaca. Iklim menentukan

endemisitas suatu penyakit, sedangkan

cuaca menentukan prevalensi penularan

suatu penyakit parasitik sampai

timbulnya epidemik. Selain itu, umur,

jenis kelamin, dan sistem ketahanan

tubuh menentukan jumlah cacing parasit

yang menginfeksi induk semang.

Menurut (Barber, Downey, dan

Braithwaite 1998), beberapa faktor yang

berperan terhadap serangan penyakit

pada ikan adalah kepadatan ikan yang

dibudidaya, sistem kurungan yang

dipakai, budidaya secara monokultur dan

stres.

Penyakit pada ikan juga kerap

disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik

yaitu faktor fisik dan kimiawi air dan

berbagai organisme patogen. Menurut

Gargas (1995), organisme patogen

tersebut di antaranya adalah endoparasit

dan ektoparasit. Arnott, Barber, dan

Huntingford (2000) menyatakan bahwa,

umumnya parasit pada ikan adalah

golongan Crustacea, cacing (Trematoda,

Nematoda, dan Cestoda), dan protozoa.

Parasit ini menginfeksi sirip, sisik,

operkulum dan insang ikan.

Tujuan penelitian ini adalah

mengidentifikasi jenis parasit yang

menginfeksi ikan mujair di daerah Taman

Pancing Kecamatan Denpasar Selatan.

Dari penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat edukatif dan

menambah wawasan serta sebagai

informasi untuk mengetahui parasit yang

sering terdapat pada ikan mujair

(Oreochromis mossambicus) di daerah

Taman Pancing Kecamatan Denpasar

Selatan yang dapat digunakan sebagai

acuan agar masyarakat lebih waspada

terhadap penyakit yang mungkin

ditularkan dari mengonsumsi ikan mujair.

Bagi pemerintah, diharapkan penelitian

ini bermanfaat sebagai pertimbangan

untuk meningkatkan kualitas dan

kebersihan lingkungan demi

meningkatkan taraf kesehatan

masyarakat.

Page 19: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

14

Rasmi, Dewi & Artini

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

METODE

Penelitian ini dilaksanan dari 30

Oktober 2019 sampai dengan 31 Oktober

2019. Pelaksanaan penelitian dan

penulisan karya tulis ilmiah ini

dilaksanakan di Laboratorium

Mikrobiologi Universitas Bali

Internasional. Populasi dan sampel

penelitian yang digunakan adalah 26 ekor

ikan mujair yang diambil secara acak dari

daerah Taman Pancing Kecamatan

Denpasar Selatan.

Alat yang digunakan pada

penelitian ini antara lain mikroskop,

object glass, cover glass, pipet tetes,

penggaris, lidi, dan cutter. Bahan yang

digunakan pada penelitian ini antara lain

NaCl fisiologis 0,9% dan sampel ikan

mujair.

Pemeriksaan yang dilakukan

meliputi bagian luar dan bagian dalam

tubuh ikan. Pemeriksaan ukuran panjang

ikan dilakukan dengan cara mengukur

panjang ikan dari ujung kepala sampai

kaudal dengan menggunakan mistar.

Pemeriksaan ektoparasit dilakukan

dengan cara mengamati tanda-tanda luar

pada permukaan tubuh, insang, sirip, dan

operkulum ikan untuk menentukan

keberadaan parasit pada ikan tersebut.

Proses pengambilan lendir pada tubuh

ikan dilakukan dengan cara mengerok

lendir pada permukaan tubuh ikan,

meletakkan di atas object glass dan

ditetesi dengan natrium klorida (NaCl)

fisiologis kemudian ditutup dengan cover

glass dan selanjutnya diamati di bawah

mikroskop.

Pengamatan pada sirip ikan

dilakukan dengan cara seluruh sirip ikan

dipotong kemudian diletakkan pada

object glass¸ ditetesi NaCl fisiologis dan

selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

Sama halnya dengan pemeriksaan insang,

kedua belah insang diambil, dipisahkan

antara filamen dengan tapisnya,

diletakkan di atas object glass dan

ditetesi NaCl fisiologis atau akuades lalu

ditutup dengan cover glass agar

insangnya tidak bergerak-gerak,

kemudian diamati di bawah mikroskop.

Pemeriksaan endoparasit

dilakukan dengan cara ikan dibedah

terlebih dahulu mulai dari anus hingga di

bawah sirip dada, organ dalam ikan

dikeluarkan kemudian dimasukkan ke

dalam cawan petri yang telah berisi

larutan NaCl fisiologis. Rongga perut dan

permukaan organ dalam diamati secara

visual untuk mencari endoparasit yang

ada. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan

pada usus ikan. Isi usus dikeluarkan dan

diletakkan di atas object glass kemudian

ditetesi NaCl fisiologis lalu ditutup

dengan cover glass. Kemudian diamati di

bawah mikroskop.

Identifikasi parasit dilakukan

dengan mengacu dalam buku Pusarawati

dkk. (2009) dan Soedarto (2016). Kunci

identifikasi penting pada protozoa

trichodinid dilakukan dengan cara

mengamati bentuk dan ukuran sel, bentuk

dan jumlah dentikel, serta lingkaran silia.

Untuk trematoda selain dari bentuk

morfologi tubuhnya seperti daun,

strukturnya yang paling penting untuk

diidentifikasi. Untuk identifikasi

monogenea adalah opisthaptor, organ

pelekat, yang terletak di bagian posterior.

Identifikasi digenea dilakukan dengan

cara mengamati organ dalam terutama

organ reproduksi. Untuk cestoda, kunci

identifikasi cacing ini berdasarkan bentuk

morfologinya yang seperti pita, terdiri

atas segmen-segmen proglotid yang

merupakan ciri spesifik parasit ini.

Nematoda, selain memiliki ciri-ciri ujung

anterior dan posterior yang runcing, dasar

kunci identifikasi nematoda adalah pada

bentuk kepala dan mulutnya.

Acanthocepala, ciri-ciri spesifik parasit

ini adalah memiliki kepala duri yang

bersifat retraktil yang disebut proboscis.

Kunci identifikasi yang penting pada

parasit ini adalah bentuk, jumlah, ukuran,

dan letak duri pada proboscis, serta

jumlah spine trunk atau duri pada bagian

badannya.

Page 20: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

15

Rasmi, Dewi & Artini

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Tabel 1. Prevalensi dan Intensitas Parasit pada Ikan Mujair (Orechromis mossambicus)

Parasit Predileksi Jumlah Ikan

Terinfeksi Prevalensi (%)

Intensitas

(ind/ekor)

Ascaris sp. Usus 14/26 53,8% 2 ind/ekor

Ancylostoma

sp. Usus 12/26 46,2% 1 ind/ekor

Sumber: Hasil penelitian (Data diolah)

Data yang diperoleh dari hasil

identifikasi parasit pada ikan mujair

sebagai sampel yang diambil secara acak

dari daerah Taman Pancing Kecamatan

Denpasar Selatan dianalisis secara

deskriptif. Data yang didapat berupa jenis

parasit, prevalensi dan intensitas parasit

dihitung dengan rumus sebagai berikut.

HASIL

Sampel ikan mujair yang

digunakan pada penelitian ini memiliki

ukuran 10-20 cm dengan ukuran rata-rata

16 cm. Pengamatan ektoparasit pada

bagian luar tubuh seperti mata, sirip,

sisik, dan operkulum tidak terlihat adanya

ektoparasit.

Jenis-jenis parasit beserta

prevalensi dan intensitas nya yang

terdapat pada usus ikan mujair

(Oreochromis mossambicus) di daerah

Taman Pancing Kecamatan Denpasar

Selatan dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan pengamatan pada insang

ikan mujair (Oreochromis mossambicus)

tidak ditemukan adanya parasit, namun

pada usus dari ikan mujair (Oreochromis

mossambicus) ditemukan cacing parasitik

yang termasuk dalam filum

Nemathelminthes

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 26 ekor ikan mujair

ditemukan dua jenis parasit yang

menginfestasi yaitu Ascaris sp., dan

Ancylostoma sp. seperti yang disajikan

pada Tabel 1. Hasil penelitian ini tidak

jauh berbeda seperti yang dilaporkan oleh

Muhammad Nasim Khan et al. (2003)

yang melaporkan bahwa ikan-ikan air

tawar yang dibudidaya di waduk atau

yang hidup di limbah mudah terserang

berbagai jenis parasit seperti Ascaris sp.,

Ancylostoma sp., Lernaea sp.,

Dactylogyrus sp., Gyrodactylus sp.,

Epistylis sp., Trichodina sp., Camallanus,

Ichtyophthirius, Multifiliis, Argulus sp.,

Chilodonella sp., Costia sp., dan

Myxobolus sp.

Tingkat penularan parasit Ascaris

sp. pada ikan mujair tergolong tinggi,

yaitu mencapai 53,8% yang berarti

terdapat 14 ekor ikan yang terinfeksi

parasit tersebut. Infestasi Ancylostoma sp.

sebesar 46,2% yang terinfeksi yang

berarti terdapat 12 ekor ikan mujair yang

terinfeksi. Serangan parasit yang

menyerang ikan mujair merupakan

infeksi tunggal. Ditemukannya serangan

parasit pada ikan mujair di daerah Taman

Pancing Kecamatan Denpasar Selatan

yaitu dengan ditemukannya 2 spesies

parasit dengan intensitas Ascaris sp.

sebanyak 2 individu/ekor dan

Ancylostoma sp. sebanyak 1

individu/ekor. Hal ini diduga dikarenakan

kualitas air yang kurang baik, dimana

pada perairan tersebut banyak ditemukan

sampah plastik dan kondisi air yang

cukup keruh. Diketahui bahwa perairan

daerah tersebut merupakan perairan

umum (terbuka), selain itu banyak

masyarakat yang membuang sampah ke

daerah perairan tersebut.

Sungai merupakan sumber air

permukaan yang rentan terhadap

Page 21: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

16

Rasmi, Dewi & Artini

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

pencemaran. Sungai mempunyai daya

tampung beban pencemaran oleh limbah.

Daya tampung pencemaran adalah

kemampuan air pada suatu sumber air,

untuk menerima masukan beban

pencemaran tanpa mengakibatkan air

tersebut menjadi tercemar. Dengan

masuknya limbah ke dalam air sungai

akan menyebabkan konsentrasi oksigen

berkurang. Tingkat serangan penyakit

tergantung pada jenis dan jumlah

mikroorganisme yang menyerang ikan,

kondisi lingkungan dan daya tahan tubuh

ikan juga turut memacu cepat tidaknya

penyakit itu menyerang ikan.

Pada saat pengamatan tidak

ditemukan ektoparasit pada bagan luar

tubuh ikan mujair baik di sisik, sirip,

maupun di operkulum dan insang. Insang

merupakan mikrohabitat bagi ektoparasit,

merupakan lingkungan yang memiliki

suplai oksigen yang dipengaruhi kondisi

lingkungan perairan, dengan

menggunakan oksigen yang terlarut di

dalam air. Bagian insang ini tersusun atas

jaringan epitel yang kaya akan pembuluh

darah. Hal ini diduga berhubungan

dengan nilai TSS. Zat padat tersuspensi

(Total Suspended Solid) adalah semua zat

padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau

partikel-partikel yang tersuspensi dalam

air dan dapat berupa komponen hidup

(biotik) seperti fitoplankton, zooplankton,

bakteri, fungi, ataupun komponen mati

(abiotik) seperti detritus dan partikel-

partikel anorganik. Zat padat tersuspensi

dapat dikelompokkan menjadi zat padat

terapung dan zat padat terendap. Zat

padat terapung ini selalu bersifat organik,

sedangkan zat padat terendap dapat

bersifat organik dan anorganik. Sehingga

semakin besar nilai TSS maka

kemungkinan terjadinya kontak antara

insang dengan materi-materi yang terlarut

pada perairan dapat menyebabkan

terjadinya luka pada insang sehingga

menyebabkan ektoparasit tidak dapat

hidup menempel pada insang ikan yang

telah rusak. Selain TSS, faktor lain yang

diduga mempengaruhi tidak

ditemukannya ektoparasit pada insang

adalah amoniak, begitu kadar amoniak

meningkat dalam air, ekskresi amoniak

oleh ikan menurun dan kadar amonia

dalam darah dan jaringan meningkat.

Amoniak juga meningkatkan konsumsi

oksigen oleh jaringan, merusak insang

dan mengurangi kemampuan darah untuk

mengangkut oksigen.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 26 ekor ikan mujair yang

diperoleh di daerah Taman Pancing

Kecamatan Denpasar Selatan, ditemukan

dua jenis parasit yang menginfestasi yaitu

Ascaris sp., dan Ancylostoma sp.

Prevalensi Ascaris sp. pada sampel ikan

mujair adalah 53,8% dan Ancylostoma sp.

sebesar 46,2%. Intensitas Ascaris sp.

sebanyak 2 individu/ekor dan

Ancylostoma sp. sebanyak 1

individu/ekor.

SARAN

Berdasarkan hasil pengamatan

yang dilakukan, diketahui bahwa dari 26

ekor ikan mujair yang diperoleh di daerah

Taman Pancing Kecamatan Denpasar

Selatan, semua sampel ikan terinfeksi

parasit. Hal ini menandakan bahwa ikan

mujair yang ada di daerah tersebut tidak

layak untuk dikonsumsi karena dapat

menularkan parasit melalui rute fecal-

oral. Infeksi parasit dapat menyebabkan

berbagai gejala dan penyakit bahkan

mengarah kepada kematian.

Maka dari itu, lebih baik

masyarakat sekitar lebih waspada

terhadap serangan parasit yang

menyerang ikan dan tidak mengonsumsi

ikan hasil tangkapan di daerah tersebut.

Selain itu, sebaiknya pemerintah dan

masyarakat lebih peka terhadap masalah

lingkungan, dengan tetap menjaga

kawasan daerah Taman Pancing tetap

Page 22: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

17

Rasmi, Dewi & Artini

Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

bersih dan bebas dari sampah sehingga

dapat mengurangi risiko infeksi parasit,

baik pada ikan maupun pada manusia

yang mungkin mengonsumsinya.

DAFTAR RUJUKAN

Afandi. 1992. Ikhtiologi: Suatu Panduan

Kerja Laboratorium. Bogor:

Depdikbud dan IPB.

Arnott, Stephen A., Iain Barber, dan

Felicity A. Huntingford. 2000.

“Parasite-associated growth

enhancement in a fish-cestode

system.” Proceedings of the Royal

Society B: Biological Sciences.

https://doi.org/10.1098/rspb.2000.10

52.

Barber, I., L. C. Downey, dan V. A.

Braithwaite. 1998. “Parasitism,

oddity and the mechanism of shoal

choice.” Journal of Fish Biology.

https://doi.org/10.1006/jfbi.1998.07

88.

FAO. 2005. “Liver Fluke Infections.”

2005. http://www.fao.org/faoterm/

services/viewEntry. html?entryId=

167703&language=en.

Gargas, J. 1995. Internal Oarasites of

Fish: Cestodes, Digeneans and

Nematodes. Australia: FAMA.

Kordi, MG. 2010. Penanggulangan

Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta:

Rineka Cipta dan Bina Adiaksara.

Muhammad Nasim Khan, Farhat Aziz,

Muhammad Afzal, Abdul Rab,

Lubna Sahar, Ramzan Ali, dan

S.M.H. Mehdi Naqvi. 2003.

“Parasitic Infestation in Different

Fresh Water Fishes of Mini Dams of

Potohar Region, Pakistan.” Pakistan

Journal of Biological Sciences 6

(13): 1092–95.

https://doi.org/10.3923/pjbs.2003.10

92.1095.

Pusarawati, S, B Ideham,

Kusmartisnawati, IS Tantular, dan S

Basuki. 2009. Atlas Parasitologi

Kedokteran. Journal of Chemical

Information and Modeling. Jakarta:

EGC.

https://doi.org/10.1017/CBO978110

7415324.004.

Soedarto. 2016. Buku Ajar Parasitologi

Kedokteran. Pelayanan Kesehatan.

Surabaya: Sugeng Seto.

https://doi.org/10.1163/15718085-

12341263.

Page 23: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

18

Faktor - Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Pada

Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poli Rawat Jalan

Rumah Sakit X di Kabupaten Badung

Ni Putu Aryati Suryaningsih1*, Adi Purwahita1,

Anak Ayu Sri Saraswati2, Siti Nur Aini1

1Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali Internasional 2Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar Belakang: Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

akibat gangguan dalam mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Kepatuhan dalam menggunakan

obat merupakan hal penting untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien diabetes mellitus.

Tujuan: Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

penggunaan obat antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X

di Kabupaten Badung. Metode: Metode dalam penelitian adalah cross sectional dengan teknik

sampling menggunakan purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 71 pasien diabetes mellitus tipe

2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X pada bulan Januari 2019. Instrumen yang digunakan yaitu

kuisoner tingkat pengetahuan dan Morisky Medication Adherence Scale 8 items. Analisis data yang

digunakan yaitu analisis univariate, analisis bivariate dengan uji Chi Square Test dan analisis

multivariat dengan menggunakan Binary Logistic Regretion. Hasil: Hasil penelitian menunjukan

bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 adalah faktor pendidikan ( p = 0,021 ) dan faktor jenis kelamin (p=0,073). Faktor

pengetahuan (p= 470), status pekerjaan (p = 0,511) dan jumlah obat (p = 0,964) yang diterima tidak

memiliki hubungan bermakna dalam kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Kesimpulan: Kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan jenis kelamin.

Kata kunci: Diabetes Mellitus Tipe 2, Kepatuhan penggunaan obat, Pasien rawat jalan.

ABSTRACT Background: Diabetes mellitus is a symptoms that appears caused by impaired ability of the body to

control blood glucose level in the body. Patient medication adherence is important to prevent any

complication in diabetes mellitus patients. Purpose: This study aims to know the factors that

influence the use of antidiabetic drugs to the patients of type 2 diabetes mellitus at Outpatient Poly in

X Hospital, Badung Regency. Method: Cross sectional method is applied with purposive sampling as

the sampling technique. 71 patients with tipe 2 diabetes at Outpatient Poly X hospital has been used as

samples on January 2019. Questionnaire has been used as an instrument of the study. Using univariate

and bivariate analyses with Chi Square Test and multivariate analyses with Binary Logistic Regretion.

Result: The study showed that educational factor (p=0,021) and gender factor (p=0,073) were

associated with the factors that affected patient medication adherence. At the mean time, knowledge

factor (p = 0,470), status of work (p =0,511), and quantity of drugs (0,964) received were not

significantly associated with patient medication adherence at Outpatient Poly in X hospital..

Conclusion: Patient medication adherence in type 2 diabetes mellitus at the Outpatient Poly at X

Hospital is influenced by education and gender factors.

Keywords: Tipe II diabetes mellitus, medication adherence, Outpatients

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted July 16th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 24: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

19

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus tipe 2

merupakan kumpulan gejala yang timbul

pada seseorang akibat gangguan dalam

mengontrol kadar gula darah dalam

tubuh. Gangguan kadar gula dalam tubuh

disebabkan oleh terganggunya sekresi

hormon insulin yang tidak adekuat atau

resistensi insulin atau bahkan terjadinya

gangguan yang disebabkan oleh

keduanya (Aini 2017). Prevalensi

kejadian diabetes mellitus tipe 2

mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun seiring dengan perubahan gaya

hidup masyarakat. Indonesia menduduki

peringkat ketujuh dari 10 negara terbesar

penderita DM di dunia .Jumlah penderita

sebanyak 10 juta jiwa pada tahun 2015.

Jumlah tersebut diperkirakan akan terus

meningkat hingga tahun 2040 yaitu

sebanyak 16,2 juta jiwa penderita

sehingga dapat dikatakan bahwa akan

terjadi peningkatan penderita sebanyak

56,2% dari tahun 2015 sampai 2040

(International Diabetes Federation. 2015).

Data Kementrian Kesehatan RI

menyatakan bahwa Bali berada pada

urutan ke empat belas dari tiga puluh

empat provinsi di Indonesia (1,3%) yang

menunjukan bahwa pasien diabetes

mellitus di Bali cukup tinggi dan

meningkat sesuai peningkatan usia,

namun cenderung menurun pada usia ≥65

tahun (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan 2013).

Kabupaten Badung menempati urutan ke

empat dari sembilan kabupaten / kota

yang ada di Bali dengan prevalensi

(1,3%) (Puspita 2016). Ketidakpatuhan

dalam pengobatan diabetes mellitus saat

ini masih menjadi masalah yang cukup

penting dalam pengelolaan penyakit

diabetes mellitus. Tingkat kepatuhan

pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih

rendah dibandingkan penderita diabetes

mellitus tipe 1 yang dapat disebabkan

oleh regimen terapi yang bersifat

kompleks dan polifarmasi serta adanya

efek samping obat yang dapat timbul

selama pengobatan berlangsung sehingga

peningkatan kepatuhan memiliki peran

penting dalam pengendalian penyakit

diabetes mellitus (Srikartika dkk. 2016)

Hasil studi yang pendahuluan yang

dilakukan oleh peneliti di RSUD

Banyudono Boyolali tahun 2015

menunjukan bahwa dari hasil wawancara

yang dilakukan terhadap 10 orang pasien

diabetes mellitus didapatkan 7 pasien

diabetes mellitus menyatakan tidak

mematuhi serangkaian pengobatan yang

diberikan oleh dokter, terutama dalam

kepatuhan minum obat, dengan alasan

lupa dan bosan harus mengonsumsinya

setiap hari (Srikartika dkk. 2016).

Masalah ketidakpatuhan dalam

penggunaan obat ini menjadi alasan

perlunya dilakukan penelitian tentang

faktor yang berpengaruh pada kepatuhan

penggunaan obat pasien diabetes mellitus

tipe 2 di poli rawat jalan di Rumah Sakit

X Kabupaten Badung. Tujuan dari

penelitian ini untuk mengetahui faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap tingkat

kepatuhan penggunaan obat pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 di Poli Rawat

Jalan di Rumah Sakit X. Manfaat dari

penelitian ini untuk mendapatkan data

tingkat kepatuhan penggunaan obat yang

dapat digunakan sebagai acuan dalam

memberikan KIE kepada pasien dan

sebagai bahan pertimbangan dalam

melaksanakan proses pelayanan

kesehatan pada pasien yang dalam hal ini

adalah pasien diabetes mellitus tipe 2

yang menjalani rawat jalan.

METODE

Penelitian ini merupakan

penelitian observasional analitik dengan

menggunakan desain cross sectional

untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan penggunaan

obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2

yang menjalani rawat jalan di Rumah

Sakit X Kabupaten Badung. Subjek

penelitian ini adalah pasien diabetes

Page 25: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

20

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

mellitus tipe 2 yang datang kontrol pada

bulan Januari 2019 ke poli rawat jalan di

Rumah Sakit X Kabupaten Badung yang

memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan

sampel dilakukan dengan purposive

sampling. Variabel pada penelitian ini

adalah kepatuhan penggunaan obat

sebagai variabel terikat. Status pekerjaan,

pendidikan, pengetahuan, jumlah item

obat sebagai variabel bebas. Umur, jenis

kelamin dan lama menderita penyakit

sebagai variabel perancu. Instrument

yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuisioner data diri, kuisioner

tingkat pengetahuan dan kuisioner

kepatuhan (MMAS-8). Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah uji

analisis univariat dilakukan dengan

menghitung frekuensi tiap variabel yang

diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk

melihat pengaruh variabel dengan

kepatuhan penggunaan obat dengan

menggunakan uji Chi-Square dengan

taraf signifikansi (α) 0,05 atau tingkat

kepercayan 95%. Analisis multivariate

dilakukan dengan menggunakan uji

binary logistic untuk melihat variabel

yang paling berpengaruh terhadap

kepatuhan penggunaan obat pada pasien

diabetes mellitus tipe 2.

HASIL

Berdasarkan tabel 1 dapat

diketahui bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin laki-laki 46

orang (64,8%). Umur pasien sebagian

besar responden berumur > 58 tahun 38

orang (53,5%) dan sebagian besar

responden menderita penyakit DM tipe 2

selama ≤ 5 tahun 45 orang (63,4%).

Karakterisktik status pekerjaan sebagian

besar responden bekerja 48 orang

(67,6%). Dilihat dari pendidikan terakhir

sebagian responden pendidikan rendah 36

orang (50,7%) dan sebagian besar

memiliki tingkat pengetahuan tentang

penyakit dan pengobatan tinggi 46 orang

(64,8%) karakteristik jumlah obat yang

diterima sebagian besar responden

menerima obat ≥2 item obat 59 orang

(83,1%).

Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik n (%)

Jenis kelamin

Perempuan

Laki-laki

25 ( 35,2%)

46 (64,8%)

Umur

≤58 tahun

>58 tahun

33(46,5%)

38(53,5%)

Lama menderita

≤ 5 tahun

>5 tahun

45 (63,4%)

26 (36,6%)

Status Pekerjaan

Bekerja

Tidak bekerja

48 (67,6%)

23 (32,4%)

Pendidikan Terakhir

Rendah (<SMA)

Tinggi (≥SMA

36 (50,7%)

35 (49,3%)

Pengetahuan

Sedang

Tinggi

25 (35,2%)

46 (64,8%)

Jumlah obat

<2 item obat

≥2 item obat

12 (16,9%)

59 (83,1%)

Kepatuhan Kepatuhan

Rendah

Kepatuhan Tinggi

30 (42,3%)

41 (57,7%)

Jumlah 71 (100%)

Sumber: Hasil penelitian (data diolah)

Faktor - faktor yang

mempengaruhi kepatuhan penggunaan

obat antidiabetes pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 adalah faktor jenis

kelamin dan faktor pendidikan. Pengaruh

tersebut ditunjukan dengan terdapatnya

hubungan bermakna antara jenis kelamin

dan pendidikan dengan kepatuhan

penggunaan obat antidiabetes pada paien

diabetes mellitus tipe 2 di poli rawat jalan

rumah sakit X.

Tabel 2. Hubungan karakteristik jenis kelamin dangan kepatuhan penggunaan obat antidiabetes

Jenis Kepatuhan P OR

Page 26: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

21

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

kelamin Kepatuhan rendah Kepatuhan

tinggi

Total value

f % f % f %

Perempuan 7 28% 18 72% 25 100% 0,073 0,389

Laki-laki 23 50% 23 50% 46 100%

Total 30 42,3% 41 57,7% 71 100%

Sumber: Hasil penelitian (data diolah)

Tabel 2 menunjukan hubungan

antara karakteristik jenis kelamin dan

kepatuhan penggunaan obat memiliki

hubungan bermakna secara statistik (p

= 0.073). Nilai OR = 0,389 yang

artinya perempuan memiliki resiko

0,389 kali lebih patuh dibandingkan

laki-laki dalam penggunaan obat

antidiabetes.

Tabel 3 di bawah ini

menunjukkan pendidikan memiliki

hubungan bermakna dengan kepatuhan

penggunaan obat pada pasien DM tipe 2

(p = 0,021) dengan nilai OR = 3,125.

Orang yang pendidikan tinggi memiliki

peluang 3,1 kali untuk patuh

dibandingkan dengan orang yang

pendidikan rendah . Faktor – faktor lain

seperti karakteristik umur tidak

memiliki hubungan bermakna secara

statistik (p = 0.349). Nilai OR = 0,635

yang artinya orang dengan umur ≤58

tahun berpeluang lebih patuh 0,6 kali

dibandingkan orang yang berumur >58

tahun. Pada karakteristik lama

menderita dengan kepatuhan

penggunaan obat tidak memiliki

hubungan bermakna secara statistik (p =

0.133) dengan nilai OR = 0,473. Nilai

OR menunjukan bahwa orang dengan

lama menderita penyakit ≤ 5 tahun

berpeluang 0,4 kali lebih patuh

dibandingkan dengan orang yang

menderita penyakit >5 tahun.

Tabel 3. Hubungan Karakteristik Pendidikan dengan Kepatuhan Penggunaan Obat antidiabetes

Jenis

kelamin

Kepatuhan P

value

OR

Kepatuhan rendah Kepatuhan

tinggi

Total

f % f % f %

Pendidikan

Rendah

20 55,6% 16 44,4% 36 100% 0,021 3,125

Pendidikan

Tinggi

10 28,6% 25 71,4% 35 100%

Total 30 42,3% 41 57,7% 71 100%

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Dilihat dari status pekerjaan

dengan kepatuhan penggunaan obat

tidak memiliki hubungan bermakna

secara statistik (p = 0.511) dengan nilai

OR = 1,399. Nilai OR menunjukan

bahwa pasien yang bekerja memiliki

peluang yang sama untuk patuh dalam

penggunaan obat antidiabetes karena

pasien pasien memiliki peluang yang

sama untuk datang ke fasilitas

kesehatan untuk mendapatkan obat.

Berdasarkan karakteristik

pengetahuan dan kepatuhan penggunaan

obat tidak memiliki hubungan bermakna

secara statistik (p = 0.470) dengan nilai

OR = 1,436. Orang dengan rendah

tinggi memiliki peluang yang lebih

besar untuk patuh dibandingkan dengan

pengetahuan rendah.

Berdasarkan karakteristik jumlah

item obat yang diterima dan kepatuhan

penggunaan obat tidak memiliki

hubungan bermakna secara statistik (p =

0,964) dengan nilai OR = 0,971. Orang

yang menerima obat ≥ 2 item memiliki

peluang rendah untuk patuh

Page 27: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

22

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dibandingkan dengan orang yang

menerima obat <2 item. Faktor yang

paling berpengaruh terhadap kepatuhan

penggunaan obat adalah faktor

pendidikan dan jenis kelamin dengan

nilai p = 0,010 dan p = 0,031.

PEMBAHASAN

Dari hasil analisis

menggunakan uji chi- square test yang

dilakukan pada 71 responden dapat

diketahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan

penggunaan obat antidiabetes pada

pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poli

Rawat Jalan Rumah Sakit X adalah

faktor jenis kelamin dan faktor

pendidikan. Nilai uji chi-square test

yang diperoleh adalah jenis kelamin

dan pendidikan memiliki nilai p value

< 0,05 menunjukan bahwa hubungan

antara faktor jenis kelamin dan

pendidikan terhadap kepatuhan

penggunaan obat antidiabetes.

Riset Kesehatan Dasar,

menunjukan prevalensi penderita

diabetes mellitus tipe 2 pada perempuan

lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Perempuan memiliki resiko menderita

diabetes mellitus tipe 2 lebih besar

dibandingkan laki-laki setelah usia 30

tahun (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan 2013). Wanita

lebih beresiko mengidap diabetes

mellitus karena secara fisik wanita

memiliki peluang mengalami

peningkatan indeks masa tubuh yang

lebih besar. Sindroma sirkulasi bulanan

seperti premenstrual syndrome, pasca

menopose yang membuat distribusi

lemak tubuh hormonal mudah

terakumulasi akibat proses hormonal

tersebut juga menyebabkan wanita

beresiko menderita diabetes mellitus tipe

2. Jenis kelamin merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi perilaku

kesehatan, termasuk dalam mengatur

pola makan. Umumnya wanita lebih

memperhatikan dan peduli pada

kesehatan mereka dan lebih sering

menjalani pengobatan dibandingkan laki-

laki. Wanita lebih sering menggunakan

fasilitas kesehatan dari pada laki-laki dan

wanita lebih berpartisipasi dalam

pemeriksaan kesehatan dibandingkan

laki-laki (Kusumawati 2015).

Tingkat pendidikan merupakan

faktor yang juga perbengaruh terhadap

kepatuhan penggunaan obat

antidiabetes. Pendidikan adalah suatu

kegiatan atau proses pembelajaran

untuk mengembangkan atau

meningkatkan kemampuan tertentu

sehingga sasaran pendidikan itu dapat

berdiri sendiri (Notoatmodjo 2010).

Responden dengan pendidikan lebih

tinggi akan mempunyai pengetahuan

yang lebih luas dibandingkan dengan

responden yang tingkat pendidikanya

rendah. Semakin tinggi tingkat

pendidikan maka akan semakin tinggi

pula kemampuannya untuk menjaga

pola hidupnya agar tetap sehat (Puspita

2016). Penelitian lain menunjukan

bahwa terdapat hubungan bermakna

antara pendidikan dengan kepatuhan

minum obat (Aini 2017). Hal ini,

karena pada pasien diabetes mellitus

dengan tingkat pendidikan tinggi dapat

lebih memahami informasi terapi

pengobatan yang diberikan dokter.

Semakin tinggi pendidikan seseorang

maka seorang tersebut akan lebih

mudah untuk menerima informasi

(Boyoh, Kaawoan, dan Bidjuni 2015).

Menerima informasi yang diberikan

dokter atau tenaga kesehatan lain

dengan baik dapat mendorong

penderita menjadi lebih patuh dalam

pengobatan sesuai dengan anjuran

yang diberikan.

Pada Penelitian ini juga

menunjukan hampir sebagian besar

pasien memiliki tingkat pendidikan

(SMA). Pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan tingkat pendidikan SMA

dianggap mampu menerima informasi

dengan baik sehingga informasi yang

Page 28: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

23

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

diberikan oleh dokter, apoteker atau

tenaga kesehatan lainnya dapat dipahami

dan diterapkan. Selain itu, pasien dengan

pendidikan tinggi akan lebih peduli

terhadap kesehatan yang akan

mendorong seseorang untuk patuh dalam

penggunaan obat antidiabetes terutama

pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di

poli rawat jalan rumah sakit X.

Faktor – faktor lain dalam

penelitian ini seperti status pekerjaan,

pengetahuan dan jumlah item obat

tidak memiliki hubungan bermakna

dengan kepatuhan penggunaan obat

antidiabetes pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 di Poli Rawat Jalan

Rumah Sakit X. Keterbatasan dalam

penelitian ini adalah waktu penelitian

yang lebih singkat dan jumlah sampel

yang sedikit sehingga pada beberapa

variabel tidak menunjukan hubungan

bermakna dengan kepatuhan

penggunaan obat.

SIMPULAN

Dapat disimpulkan Faktor yang

berpengaruh pada kepatuhan penggunaan

obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di

Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X Kabupaten

Badung adalah tingkat pendidikan dan jenis

kelamin.

Hubungan antara faktor pendidikan

dengan kepatuhan penggunaan obat

antidiabetes menunjukan adanya hubungan

bermakna secara statistik. Sedangkan, untuk

faktor pengetahuan, status pekerjaan dan

jumlah item obat yang diterima tidak

memiliki hubungan bermakna.

SARAN

Saran untuk peneliti selanjutnya

adalah dapat dilakukan penelitian lebih

lanjut dengan penambahan variabel

untuk melihat faktor-faktor lain yang

dapat berpengaruh terhadap kepatuhn

penggunaan insulin pada oasien

diabetes. Selain itu dapat dilakukan

penelitian dengan sampel lebih besar

untuk melihat hubungan variabel yang

berpengaruh terhadap kepatuhan

penggunaan obat. Dan saran bagi

instansi adalah agar dokter, perawat, dan

tenaga kefarmasian saling bekerja sama

untuk mengoptimalkan KIE terkait

kepatuhan penggunaan obat antidiabetes

kepada semua pasien diabetes mellitus

tipe 2 yang menjalani rawat jalan

terutama.

DAFTAR RUJUKAN

Aini, ayu nissa. 2017. “Studi Kepatuhan

Penggunaan Obat Pada Pasien

Diabetes Melitus Tipe-2 di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Dr.

Thitrowardojo Purworejo Tahun

2017.” Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. 2013. “Riset Kesehatan

Dasar 2013.” Riset Kesehatan Dasar

2013. https://www.kemkes.go.id/

resources/download/general/Hasil

Riskesdas 2013.pdf.

Boyoh, M., A. Kaawoan, dan H. Bidjuni.

2015. “Hubungan Pengetahuan

Dengan Kepatuhan Minum Obat

Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.”

Jurnal Keperawatan UNSRAT 3 (3):

1–6. https://ejournal.unsrat.ac.id/

index.php/jkp/article/view/9520.

International Diabetes Federation. 2015.

IDF Diabetic Atlas 7th Edition.

International Diabetes Federation.

Kusumawati, Idha. 2015. “Kepatuhan

Menjalani Diet Ditinjau Dari Jenis

Kelamin Dan Tingkat Pendidikan

Pada Penderita Diabetes Mellitus

Tipe 2.” Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

http://eprints.ums.ac.id/37443/.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.

Metodelogi Penelitian Kesehatan.

Page 29: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

24

Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini

Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Jakarta: Rineka Cipta.

Puspita, Exa. 2016. “Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kepatuhan

Penderita Hipertensi Dalam

Menjalani Pengobatan.” Universitas

Negeri Semarang.

Srikartika, Valentina Meta, Annisa Dwi

Cahya, Ratna Suci, dan Hardiati.

2016. “Analisis Faktor Yang

Memengaruhi Kepatuhan

Penggunaan Obat Pasien Diabetes

Melitus Tipe 2.” Jurnal Manajemen

dan Pelayanan Farmasi 6 (3): 205–

12. https://doi.org/10.22146/

jmpf.347.

Page 30: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

25

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Rifampisin Terhadap Kadar

Gamma Glutamyl Transferase dan Alkaline Phosphatase

Pada Tikus Putih Galur Wistar

Sofiana Agustin Jeharu1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti1

1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberkulosis. Rifampisin merupakan obat lini pertama untuk terapi anti tuberkulosis.

Rifampisin memiliki efek bakterisida dan efek sterilisasi efektif melawan bakteri tuberkulosis baik

intraseluler dan ekstraseluler. Selain itu, salah satu efek samping penggunaan rifampisin adalah

hepatotoksisitas. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis obat rifampisin terhadap kadar

GGT dan ALP pada tikus wistar. Metode: menggunakan rancangan penelitian eksperimental dengan

metode pretest and posttest control group design dengan pemakain hewan uji 24 ekor tikus wistar

yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik analisis data menggunakan SPSS One Way ANOVA

dilanjutkan dengan Post-Hoc Test. Hasil: hasil penelitian menunjukkan rerata peningkatan kadar GGT

pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 adalah sebesar 29,5 %, 40,9 % dan 55,4 % dan rerata peningkatan

kadar ALP pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 sebesar 27,5 %, 46,7 %, dan 53,5 %. Hasil uji One

Way ANOVA diperoleh nilai p = 0,00 (p<0,05) dilanjutkan dengan Post Hoc test didapatkan nilai

α>0,05. Kesimpulan: Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kadar GGT dan ALP setelah

pemberian variasi dosis obat rifampisin pada tikus putih galur wistar.

Kata kunci: Tuberkulosis, Rifampisin, Kadar GGT dan ALP

ABSTRACT Background: Tuberculosis is a contagious infectious disease caused by the bacterium Mycobacterium

tuberculosis. Rifampicin is a first-line drug for the treatment of tuberculosis. Rifampicin has a

bactericidal effect and the sterilizing effect is effective against intracellular and extracellular

tuberculosis bacteria. In addition, one of the side effects of using rifampicin is hepatotoxicity.

Objective: to determine the effect of rifampicin drug dosage on GGT and ALP levels in wistar rats.

Methods: using an experimental study design with the pretest and posttest control group design

method with the use of test animals 24 wistar rats divided into 4 groups. The technique of analyzing

data using SPSS One Way Annova was followed by a Post-Hoc Test. Results: The results of the study

showed an average increase in GGT levels in treatment groups 1, 2 and 3 was 29.5%, 40.9% and

55.4% and the mean increase in ALP levels in treatment groups 1, 2 and 3 was 27.5 %, 46.7% and

53.5%. The One Way ANOVA test results obtained p = 0.00 (p <0.05) followed by the Post Hoc test

obtained α> 0.05. Conclusions: there was a significant effect on the levels of GGT and ALP after the

administration of dose variations of the rifampicin drug in wistar strain white rats.

Keywords: Tuberculosis, Rifampicin, GGT and ALP levels

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted August 26th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 31: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

26

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan penyakit

infeksi menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberkulosis dan

masih menjadi penyakit yang mendunia

sampai dengan saat ini. Sebagian besar

bakteri Mycobacterium tuberculosis

menyerang paru tetapi juga dapat

menyerang organ tubuh lainnya

(Departemen Kesehatan RI 2008). World

Health Organization (WHO) dalam

Annual Report On Global TB Control

tahun 2011 menyatakan terdapat dua

puluh dua negara dikategorikan sebagai

high burden countries terhadap

tuberkulosis. World Health Organitation

(WHO) menyatakan bahwa satu per tiga

penduduk dunia telah terinfeksi kuman

tuberkulosis. Berdasarkan data Global

Tuberculosis Report (2016) oleh WHO,

pada tahun 2015 terdapat kurang lebih

10,4 juta kasus TB baru di dunia yang

terdiri atas 5,9 juta laki-laki (56%), 3,5

juta perempuan (34%), dan 1 juta anak-

anak (10%).

Menurut data WHO tahun 2016

(WHO 2018), Indonesia termasuk dalam

lima negara dengan insiden kasus

tertinggi selain India, China, Philipina,

dan Pakistan. Jumlah kasus tuberkulosis

baru di Indonesia sebanyak 420.994

kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei

2018). Prevalensi tuberkulosis pada tahun

2014 adalah 297 per 100.000 penduduk.

Sementara pada tahun 2017 prevalensi

tuberkulosis adalah 254 per 100.000

penduduk (WHO 2018). Dalam rangka

mengobati tuberkulosis, Indonesia

menerapkan strategi pengobatan yang

direkomendasikan oleh WHO, yaitu

strategi Directly Observed Treatment

Shortcourse (DOTS). Penggunaanstrategi

DOTS ini terbukti dapat menurunkan

angka kematian tuberkulosis

(Departemen Kesehatan RI 2010).

Indonesia merupakan negara pertama

diantara High Burden Country (HBC) di

wilayah WHO South-East Asian yang

mampu mencapai target global

tuberkulosisuntuk deteksi kasuspada

tahun 2006 dan 2009, tercatat sejumlah

294.732 kasus tuberkulosis telah

ditemukan dan diobati (data awal Mei

2010) dan lebih dari 169.213 kasus

diantaranya terdeteksi BTA+ (Basil

Tahan Asam Positif). Data terbaru Case

Notification Rate untuk tuberkulosis

BTA+ tahun 2017 adalah 161 per

100.000 kasus dengan angka keberhasilan

pengobatan tuberkulosis di Indonesia

pada tahun 2017 adalah 85,1 %.

Pencapaian target global tersebut

merupakan tonggak pencapaian program

pengendalian TB Nasional yang utama

(Departemen Kesehatan Republik

Indonesia 2018).

Lima obat lini pertama yang

sering digunakan dalam pengobatan

tuberkulosis adalah isoniazid, rifampisin,

pirazinamid, ethambutol, dan

streptomisin. Salah satu efek samping

yang dapat ditimbulkan akibat pemberian

obat tuberkulosis adalah gangguan fungsi

hati, dari yang ringan sampai yang berat

yaitu berupa nekrosis dan gangguan

jaringan hati. Efek samping yang serius

adalah hepatotoksik. Hampir semua obat

tuberkulosis kecuali streptomisin

mempunyai efek hepatotoksik (Sari,

Yuniar, dan Syaripuddin 2014).

Rifampisin merupakan obat lini pertama

untuk terapi anti tuberkulosis. Rifampisin

memiliki efek bakterisida dan efek

sterilisasi efektif melawan basil

Mycobacterium tuberculosisbaik

intraseluler dan ekstraseluler (Lian dkk.

2013). Selain itu, salah satu efek samping

penggunaan rifampisin adalah

hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas yang

dihasilkan dari penggunaan obat

rifampisin menjadi masalah yang cukup

serius untuk pengobatan klinis.

Rifampisin menimbulkan kerusakan pada

hati melalui jalur idiosinkratik dan

merupakan induktor aktivitas enzim

sitokrom P-450. Keterlibatan rifampisin

pada aktivitas sitokrom P-450

mempengaruhi homeostasis kalsium.

Rifampisin menyebabkan peningkatan

Page 32: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

27

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

potensi dari isoenzim sitokrom P-450

yang menyebabkan kerusakan hati yang

menjadi salah satu masalah dalam

pengobatan tuberkulosis (Tassaduq, Butt,

dan Hamid 2011).

Efek hepatotoksik dipengaruhi

oleh dosis, metabolisme obat dan waktu

pemberian obat yang tidak tepat. WHO

pada tahun 2012 mengklasifikasikan

hepatotoksik menjadi 4 gradasi. Grade I

ditandai dengan peningkatan ALT

(alanin aminotransferase) 1,25-2,5 kali

grade normal, grade II ALT meningkat

2,6-5 kali grade normal, grade III ALT

meningkat 5,1-10 kali grade normal dan

grade IV bila ALT meningkat >10 kali

gradenormal. Selain drug induced

hepatitis (DIH) yang disebabkan obat anti

tuberkulosis (OAT), gangguan hepar

pada penderita TB ditandai oleh kadar

ALT dan AST (aspartat

aminotranferase) yang meningkat.

Berdasarkan penelitian Govindan (2011)

di RSUP H. Adam Malik Medan

sebanyak 51 sampel ditemukan

prevalensi hepatotoksisitas akibat OAT

adalah sebesar 23,5% terjadi peningkatan

serum glutamic oxaloacetic transaminase

(SGOT) dan 21,5% terjadi peningkatan

serum glutamic pyruvic transaminase

(SGPT). Hasil penelitian Annisa, Aksa,

dan Fridayenti (2015), menyatakan

bahwa dari 32 orangpasien tuberkulosis

paru yang berobat selama 8 minggu di

poliklinik paru RSUD Arifin Achmad

terdapat 1 orang (3,1%) mengalami

peningkatan kadar SGPT. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh (Julita S

2012) menyatakan bahwa dari hasil

pemeriksaan laboratorium didapatkan 18

pasien (24%) yang mengalami

peningkatan kadar SGPT setelah

pengobatan.

Penanda awal dari gejala

hepatotoksik adalah peningkatan enzim-

enzim transaminase dalam hati. Hati

merupakan tempat pertama yang

berfungsi untuk mengubah obat menjadi

metabolit dalam tubuh. Lamanya kontak

dan paparan dari obat-obatan yang masuk

dalam tubuh akan mengendap dalam hati

dan menyebabkan gangguan pada hati.

Gangguan ini menyebabkan enzim yang

terdapat pada hati akan meningkat dan

beredar dalam saluran darah. Peningkatan

kadar enzim tersebut dapat diketahui

melalui pemeriksaan kadar serum gamma

glutamyl transferase (GGT) dan alkaline

phosphatase (ALP), sebagai indikator

penanda yang sensitif untuk mendeteksi

gangguan fungsi hati akibat pemberian

dosis obat tuberkulosis. GGT merupakan

uji yang sensitif untuk mendeteksi

beragam jenis penyakit parenkim hati.

Kadarnya dalam serum akan meningkat

lebih awal dan tetap akan meningkat

selama kerusakan sel tetap berlangsung

(Purnamasari 2008). Alkaline

phosphatase (ALP) merupakan enzim

yang diproduksi terutama oleh epitel hati

dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang

baru), enzim ini juga berasal dari usus,

tubulus proksimalis ginjal, plasenta dan

kelenjar susu. Kadar ALP akan naik jika

kerusakan ringan terjadi pada sel hati

dan peningkatan yang jelas terlihat pada

penyakit hati akut. Berdasarkan uraian

dari berbagai masalah diatas, peneliti

tertarik untuk mengambil penelitian

dengan judul pengaruh pemberian dosis

obat rifampisin terhadap kadar gamma

glutamyl transferase (GGT) dan alkaline

phospatase (ALP) pada tikus putih galur

wistar.Tikus dipilih sebagai sampel

penelitian karena memiliki kesamaan

metabolik, organ dan fisiologi sistemik

serta gen yang mirip dengan manusia.

METODE

Penelitian ini menggunakan

rancangan penelitian eksperimental

menggunakan metode pretest dan

posttest control group design (Sugiyono

2012). Subjek penelitian adalah tikus

putih galur wistar (Rattus norvegicus)

sebanyak 24 ekor, berumur 2-3 bulan

dengan berat badan antara 200-250 gram

yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik

Page 33: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

28

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah teknik simple random sampling.

Alat yang digunakan pada

penelitian ini terdiri dari kandang tikus,

mortar dan stamper, tabung hematokrit,

tabung eppendorf, tip kuning dan biru,

sonde lambung, mikropipet eppendorf,

sentrifuge, timbangan neraca analitik dan

alat automatic ERBA XL-100. Bahan

yang digunakan pada penelitian ini terdiri

dari obat rifampisin 600 mg, obat bius

Ketamin-xylzsine, pakan pellet 554,

reagen pemeriksaan alkaline phosphatase

(ALP), reagen pemeriksaan gamma

glutamyl transferase (GGT) dan sampel

darah tikus putih galur wistar.

Terkait dengan prosedur

penelitian, pada tahap pertama diberikan

dosis rifampisin 600 mg/hari sebagai

dosis terapi pada manusia. Dosis

rifampisin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 600 mg/kgBB, 900

mg/kgBB dan 1200 mg/kgBB dengan

perhitungan: Dosis I: 10,8 mg, dosis II:

16,2 mg, dan dosis III: 21,6 mg. Hewan

uji dalam penelitian ini terlebih dahulu

diadaptasi selama satu minggu (7 hari)

dan diberi makan dan minum yang sama

secara ad libitum. Setelah hewan uji

diadaptasi selama 7 hari, dilakukan

proses pengambilan darah untuk

mengukur kadar GGT dan ALP yang

pertama (pretest). Kemudian 24 ekor

tikus putih galur wistar dibagi dalam

empat kelompok. KK adalah kelompok

kontrol tanpa perlakuan hanya diberi

pakan dan aquadest, KPI adalah

kelompok yang dosis rifampisin (600

mg/kgBB), KPII adalah kelompok dosis

rifampisin (900 mg/kgBB) dan KPIII

adalah kelompok dosis rifampisin (1200

mg/kgBB). Pemberian perlakuan

terhadap hewan uji dilakukan selama 28

hari. Setelah 28 hari perlakuan masing-

masing kelompok diambil darahnya

untuk mengukur kadar GGT dan ALP

yang kedua (posttest).

Pada perlakuan kedua, masing-

masing hewan uji yang telah

dikelompokkan dianastesi terlebih dahulu

dengan ketamin-xylazine sebanyak 0,1

mL. Darah tikus diambil pada bagian

Plexus retroorbitalis yang terletak pada

mata dengan menggunakan tabung

hematokrit berwarna merah (tanpa

antikoagulan). Sampel darah ditunggu

hingga membeku, kemudian dicentrifuge

dengan kecepatan 3000 rpm selama 15

menit. Pemeriksaan kadar ALP dan GGT

diawali dengan pemipetan reagen

sebanyak 100 µL lalu serum dipipet

sebanyak 100 µL pada pemeriksaan

kadar GGT dan ALP, kemudian kadar

GGT dan ALP diukur dengan alat

automatis ERBA XL-100 pada panjang

gelombang 450 nm.

Data yang diperoleh dari hasil

penelitian akan dianalisis menggunakan

program SPSS versi 2.0 dengan tingkat

signifikan p=0,05 yang dimulai dengan

melakukan uji normalitas data dimana

nilai p>0,05 dilanjutkan dengan uji

homogenitas data nilai p > 0,05.

Kemudian dilanjutkan dengan uji One-

Way ANOVA untuk melihat pengaruh

pemberian dosis pada setiap kelompok

perlakuan. Jika data yang diperoleh sudah

signifikan dilanjutkan dengan uji Post -

Hoc Test dengan menggunakan metode

uji beda Duncan.

HASIL

Hasil uji normalitas pada kadar

Gamma Glutamyl Transferase (GGT)

antar kelompok perlakuan menunjukkan

nilai p>0,05 sehingga dapat dikatakan

bahwa data yang ada sudah terdistribusi

normal. Hasil uji homogenitas

menggunakan uji Levene’s test

menunjukkan bahwa data bersifat

homogen dengan nilai probabilitas

sebesar 0,587 (p>0,05). Berdasarkan

hasil uji One-way annova dapat dilihat

data yang diperoleh sudah signifikan

dengan nilai probabilitas sebesar 0,000

(p<0,05). Hasil rerata kadar GGT antar

kelompok perlakuan dapat dilihat pada

Tabel 1.

Page 34: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

29

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Tabel 1. Hasil rerata kadar GGT antar kelompok perlakuan

Kelompok n Rerata Kadar GGT (U/L) SB p

KK 6 1,66 0,37

KPI 6 2,30 0,20 0,000

KPII 6 2,88 0,27

KPIII 6 3,88 0,26

Keterangan: n= jumlah hewan uji; SB= simpangan baku; p= nilai signifikan

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Hasil pengukuran kadar rata-rata

GGT sebelum dan sesudah perlakuan

dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Hasil pengukuran kadar rata-rata GGT

sebelum dan sesudah perlakuan

(Sumber: Hasil penelitian)

Data hasil penelitian kemudian

diuji lanjut dengan uji Post-Hoc Test

menggunakan metode uji beda Duncan

untuk melihat pada kelompok mana yang

datanya paling berbeda nyata. Hasil

tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisa Uji Beda Duncan terhadap

kadar GGT

Kelompok Kadar GGT

K0 1,66±0,37a

KPI 2,30±0,20b

KPII 2,88±0,27c

KPIII 3,88±0,26d

Keterangan: notasi yang berbeda pada kolom

menunjukkan nilai yang berbeda nyata (α>0,05)

Sumber: Hasil penelitian (data diolah)

Hasil Uji normalitas pada kadar

Alkaline Phosphatase (ALP) antar

kelompok perlakuan menunjukkan nilai

p>0,05 sehingga dapat disimpulkan

bahwa data terdistribusi normal. Hasil uji

homogenitas menggunakan uji Levene’s

Test menunjukkan bahwa data bersifat

homogen dengan nilai p sebesar 0,455

(p>0,05). Berdasarkan hasil uji One-way

annova dapat dilihat data yang diperoleh

sudah signifikan dengan nilai probabilitas

sebesar 0,000 (p<0,05). Hasil rerata kadar

GGT antar kelompok perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil rerata kadar ALP antar kelompok

perlakuan

Kelompok n Rerata Kadar ALP

(IU/L)

SB p

K0 6 24,23 1,52

KPI 6 28,63 1,87 0,000

KPII 6 37,70 1,42

KPIII 6 45,36 1,13

Keterangan: n= jumlah hewan uji; SB=

simpangan baku; p= nilai signifikan

Sumber: Hasil penelitian (data diolah)

Hasil pengukuran kadar rata-rata

ALP sebelum dan sesudah perlakuan

dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. Hasil pengukuran kadar rata-rata ALP

sebelum dan sesudah perlakuan (Sumber: Hasil

penelitian).

Page 35: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

30

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Data hasil penelitian kemudian

diuji lanjut dengan uji Post-Hoc Test

menggunakan metode uji beda Duncan

untuk melihat pada kelompok mana yang

datanya paling berbeda nyata. Hasil

tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisa Uji Beda Duncan Terhadap

kadar ALP

Kelompok Kadar ALP

Kontrol 24,23 ± 1,52a

Perlakuan I 28,63 ± 1,87b

Perlakuan II 37,70 ± 1,42c

Perlakuan III 45,36 ± 1,13d

Keterangan: notasi yang berbeda pada kolom

menunjukkan nilai yang berbeda nyata (α<0,05).

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

PEMBAHASAN

Penelitian ini berfungsi untuk

melihat pengaruh dosis obat rifampisin

terhadap fungsi hati. Rifampisin diminum

peroral sesuai dengan dengan dosis yang

ditentukan. Obat rifampisin kemudian

masuk ke lambung dan mukosa usus

yang diabsorpsi dengan baik dari saluran

cerna. Untuk masuk ke dalam darah,

rifampisin harus melewati membran

enterosit. Membran ini mengandung

Pglycoprotein (PGP) yang merupakan

transporter efflux. PGP akan mengikat

dan selanjutnya menghidrolisa ATP

untuk menghasilkan energi yang

digunakan untuk transport rifampisin

melintasi membran sel. Rifampisin

merupakan substrat dan menginduksi

protein PGP yang disandi sebagai gen

Multidrug Resistance 1 (MDR1).

Rifampisin yang telah lolos dari pompa

efflux PGP akan masuk ke dalam saluran

darah, selanjutnya oleh transporter

Organic Anion Polypeptide 1B1

(OATP1B1) yang terletak di membran

basolateral diangkut masuk ke dalam

hepatosit. Didalam hepatosit, rifampisin

dimetabolisme mejadi metabolit

deasetilrifampisin. Rifampisin

dimetabolisme oleh enzim esterase

menjadi turunan desasetil, selanjutnya

bentuk utuh dan metabolit dipompa

keluar dari hepatosit melalui PGP untuk

diekskresi kedalam saluran empedu dan

dieliminasi kedalam feses (Sampurno

2016). Efek yang dapat ditimbulkan

ketika terjadi hepatotoksitas dari obat

rifampisin yaitu adanyya gangguan pada

hepatosit dimana ikatan kovalen dari obat

rifampisin dengan protein intrasellular

dapat menyebabkan penurunan ATP,

yang menyebabkan gangguan pada aktin.

Gangguan aktin di permukaan hepatosit

menyebabkan pecahnya membran

hepatosit dan menyebabkan enzim-enzim

transaminase keluar dan meningkat

dalam darah. Hati merupakan organ

utama dalam proses metabolisme

xenobiotik sehingga sering terpapar

beragam senyawa yang masuk ke dalam

tubuh. Kondisi ini membuat hati tidak

hanya sebagai organ yang paling penting

untuk detoksifikasi xenobiotik, tetapi

juga menjadi target utama toksisitasnya

(Murray, Granner, dan Ropdwell 2009).

Enzim Gamma glutamyl

transferase (GGT) merupakan enzim

yang dapat ditemukan di berbagai organ

dan konsentrasi tertinggi enzim ini dapat

ditemukan di hati tepatnya di sel epitel

duktus biliaris. Enzim GGT memiliki

tingkat sensitivitas yang tinggi, sehingga

digunakan sebagai marker dalam penanda

fungsi hati (Haurissa 2014). Kebanyakan

dari penyakit hepatoseluler dan

hepatobilier akan meningkatkan aktivitas

GGT dalam serum dan aktivitasnya akan

tetap meningkat selama kerusakan sel

berlangsung (Davoudi 2013).

Berdasarkan hasil yang telah

diperoleh dari uji Duncan terlihat bahwa

pada setiap kelompok perlakuan

mempunyai kadar GGT yang berbeda

nyata. Dimana tiap kelompok perlakuan

menunjukkan peningkatan kadar GGT,

yaitu pada kelompok perlakuan I

mengalami peningkatan sebesar 29,5%,

pada kelompok perlakuan II mengalami

peningkatan sebesar 40,9%, dan pada

kelompok perlakuan III mengalami

peningkatan sebesar 55,4% sehingga

Page 36: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

31

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dapat disimpulkan bahwa dosis obat

rifampisin memberi pengaruh yang

sifnifikan terhadap peningkatan kadar

GGT. Hal ini dikarenakan enzim GGT

merupakan enzim yang memiliki

sensitifitas yang tinggi, dimana kadar

GGT akan tinggi dalam serum dan

selama kerusakan hati tetap berlangsung

(Purnamasari 2008).

Pada sel hati GGT terdapat di

retikulum endoplasma sedangkan di

empedu terdapat di sel epitel.

Peningkatan kadar GGT serum

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

genetika, asupan alkohol, lemak tubuh,

lipid plasma, tekanan darah, kadar

glukosa, kebiasaan merokok, dan

berbagai konsumsi obat, misalnya

antikonvulsan dan obat-obatan yang

menginduksi enzim termasuk obat

rifampisin. Kebanyakan dari penyakit

hepatoseluler dan hepatobilier akan

meningkatkan aktivitas GGT dalam

serum dan aktivitasnya akan tetap

meningkat selama kerusakan sel

berlangsung (Davoudi 2013).

Rifampisin menimbulkan

kerusakan pada hati melalui jalur

idiosinkratik dan merupakan induktor

aktivitas enzim sitokrom P-450.

Keterlibatan rifampisin pada aktivitas

sitokrom P-450 mempengaruhi

homeostasis kalsium. Jalur lain yang

bertanggung jawab pada kerusakan hati

akibat rifampisin adalah melalui

mekanisme stress oksidatif dimana terjadi

peningkatan lipid peroksidase.

Rifampisin menyebabkan peningkatan

potensi dari isoenzim sitokrom P-450

yang menyebabkan kerusakan hati yang

menjadi salah satu masalah dalam

pengobatan tuberkulosis.

Rifampisin adalah penginduksi

kuat pada sistem CYP450 hepatik dalam

hati sehingga meningkatkan metabolisme

pada kebanyakan zat yang lain.

Penggunaan kombinasi rifampisin dan

isoniazid telah dikaitkan dengan

peningkatan resiko hepatotoksisitas.

Rifampisin yang diinduksi isoniazid

hidrolase, meningkatkan produksi

hidrazin ketika rifampisin

dikombinasikan dengan isoniazid

(terutama pada asetilator lambat), yang

dapat membuat toksisitas yang lebih

tinggi pada kombinasi tersebut.

Rifampisin juga berinteraksi dengan obat

antiretroviral dan mempengaruhi kadar

plasma kedua obat tersebut yang

meningkatkan resiko hepatotoksisitas

(Kwara, Flanigan, dan Carter 2005).

Alkaline phosphatase (ALP)

merupakan enzim yang diproduksi

terutama oleh epitel hati dan osteoblast

(sel-sel pembentuk tulang baru).

Keberadaan enzim ALP di sel hati

terletak di sinusoid dan membran saluran

empedu yang pelepasannya difasilitasi

garam empedu. Alkaline phosphatase

disekresi melalui saluran empedu (Rosida

2016).

Berdasarkan hasil yang telah

diperoleh dari uji Duncan terlihat bahwa

pada setiap kelompok perlakuan

mempunyai peningkatan kadar ALP yang

berbeda nyata. Dimana tiap kelompok

perlakuan menunjukkan peningkatan

kadar ALP, yaitu pada kelompok

perlakuan I mengalami peningkatan

sebesar 27,5%, pada kelompok perlakuan

II mengalami peningkatan sebesar 46,7%,

dan pada kelompok perlakuan III

mengalami peningkatan sebesar 53,5%

sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis

obat rifampisin memberi pengaruh yang

signifikan terhadap peningkatan kadar

ALP. Berdasarkan hasil penelitian yang

telah diperoleh, kelompok perlakuan III

merupakan kelompok dengan

peningkatan kadar ALP paling tinggi

diantara kelompok kontrol, kelompok

perlakuan I dan II yaitu didapatkan kadar

peningkatan ALP sebesar 53,5%. Hal ini

dikarenakan kelompok perlakuan III

merupakan kelompok perlakuan yang

mendapatkan dosis obat rifampisin yang

paling tinggi yaitu 1200 mg/kgBB

dimana dosis obat ini merupakan dosis

non-fatal akut yang masih diperbolehkan

Page 37: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

32

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

pada manusia yaitu dosis 900 – 1200

mg/kgBB (Sanofi 2019).

Besarnya kadar enzim ALP yang

terdapat dalam darah terjadi karena

kerusakan sel hati. Enzim tersebut

normalnya terdapat dalam hati sel hati.

Jika terjadi kerusakan sel hati maka

enzim ini akan masuk ke dalam aliran

darah, meningkatkan kadar enzim dalam

darah dan menandakan kerusakan pada

hati (Akbar 2007). Kerusakan yang

terjadi pada hati tepatnya pada lobus hati

menyebabkan enzim plasma seperti ALP

meningkat dalam plasma (Murray,

Granner, dan Ropdwell 2009).

Peningkatan kadar enzim ALP terjadi

karena kerusakan dinding kanalikulus

biliaris yang tersusun dari hepatosit

(tempat ALP berada) yang rusak akibat

dari ikatan kovalen antara lipid dengan

radikal bebas. Sehingga terjadi kebocoran

dan menyebabkan serum ALP banyak

terdapat di plasma darah (Murray,

Granner, dan Ropdwell 2009). Selain itu,

ALP dalam serum terjadi apabila ada

hambatan pada saluran empedu

(kolestasis). Peningkatan kadar enzim ini

dapat digunakan untuk cerminan adanya

gangguan fungsi hati (Baron 1995).

Peningkatan kadar enzim ALP

pada hati terjadi karena besarnya dosis

yang diberikan pada tikus putih galur

wistar. Besarnya peningkatan kadar ALP

ini sesuai dengan teori yang menyatakan

bahwa efek hepatotoksik dipengaruhi

oleh dosis yang digunakan dan proses

metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor

umur, jenis kelamin, suasana lambung

dan juga penyakit hati (Purnamasari

2008). Jadi, semakin besar dosis yang

diberikan maka semakin besar pula efek

yang dapat ditimbulkan dari pemberian

dosis tersebut. Peningkatan kadar enzim

ALP pada kelompok perlakuan III bisa

menyebabkan gangguan pada fungsi hati,

kemudian dalam jangka waktu yang lama

bisa berpotensi menyebabkan

hepatotoksisitas pada hati jika dosis obat

rifampisin dikonsumsi dalam jangka

waktu yang panjang. Peningkatan kadar

ALP terjadi akibat adanya kolektasis, dan

pada obstruksi intra maupun ekstrabilier

enzim ini akan meningkat 3-10 kali dari

nilai normal sebelum timbul ikterus.

Selain itu, berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh (Panjaitan dkk. 2010)

pemberian 10 ml CCL4 /kgBB

menunjukkan bahwa kemampuan hati

dalam mensintesis enzim ALP sudah

terganggu akibat terjadinya kerusakan sel

hati yang luas dan berat. Adapun pada

dosis rendah hanya menyebabkan

kerusakkan ringan berupa perlemakkan

hati (Timbrell 2008).

Besarnya peningkatan kadar

Alkaline phosphatase diikuti dengan

peningkatan kadar Gamma glutamil

transferase pada darah tikus putih galur

wistar mengindikasikan adanya penyakit

hati atau gangguan pada fungsi hati

akibat pemberian variasi dosis rifampisin.

Dan peningkatan kadar ALP ini bukan

merupakan indikasi adanya penyakit

tulang. Selain itu, untuk mendiagnosa

bahwa seseorang mengalami gangguan

pada hati, tidak dapat dilihat dari 1

parameter pemeriksaan saja tetapi perlu

juga dilakukan parameter pemeriksaan

lainnya dari meningkatnya aktivitas

transaminase serum yaitu alanin

transaminase (ALT), aspartate

aminotransferase (AST), gamma

glutamyl transferase (GGT), dan

bilirubin (Ganong dan McPhee 2011;

North-Lewis 2008).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Terdapat pengaruh yang

signifikan setelah pemberian

variasi dosis obat rifampisin

terhadap kadar GGT pada

masing-masing kelompok

perlakuan dengan peningkatan

sebesar 29,5% untuk kelompok

perlakuan I, 40,9% untuk

kelompok perlakuan II, dan

Page 38: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

33

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

55,4% untuk kelompok

perlakuan III.

2. Terdapat pengaruh yang

signifikan setelah pemberian

variasi dosis obat rifampisin

terhadap kadar ALP pada

masing-masing kelompok

perlakuan dengan peningkatan

sebesar 27,5% untuk kelompok

perlakuan I, 46,7% untuk

kelompok perlakuan II, dan

53,5% untuk kelompok

perlakuan III.

SARAN

Disarankan kepada peneliti

selanjutnya untuk:

1. Melakukan pemeriksaan

parameter lain seperti

pemeriksaan histopatologi untuk

menguatkan diagnosa gangguan

fungsi hati.

2. Dilakukan pemberian dosis yang

lebih tinggi dengan durasi waktu

yang lebih lama untuk melihat

lebih jelas lagi tingkat kerusakan

hati.

3. Melihat pengaruh obat terhadap

fungsi ginjal dan organ lainnya

DAFTAR RUJUKAN

Akbar, Nurul. 2007. Diagnostik Hepatitis

Akut dan Kronis. Jakarta: Bagian

Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Annisa, Rafika, Zarfiardy Aksa, dan

Fauzi Fridayenti. 2015. “Perbedaan

Kadar Sgpt Pada Pasien

Tuberkulosis Paru Sebelum Dan

Sesudah Fase Intensif di Poliklinik

Paru Rsud Arifin Achmad

Pekanbaru.” Jurnal Online

Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Riau 2 (2): 1–10.

https://jom.unri.ac.id/index.php/JO

MFDOK/article/view/7204.

Baron, DN. 1995. Patologi Klinik. 4 ed.

Jakarta: EGC.

Davoudi, SM. 2013. “Study of Hepatic

Problems in Livestock.” European

Journal of Zoological Research 2:

124–32.

https://www.semanticscholar.org/pa

per/Study-of-Hepatic-Problems-in-

livestock-

Davoudi/a84ce1e71083e155998d27

35bbc015031e414513.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. 2018. “Infodatin

Tuberkulosis 2018.” Jakarta.

https://pusdatin.kemkes.go.id/article/

view/18101500001/infodatin-

tuberkulosis-2018.html.

Departemen Kesehatan RI. 2008.

“PROFIL KESEHATAN

INDONESIA 2007.” Jakarta.

https://pusdatin.kemkes.go.id/resour

ces/download/pusdatin/profil-

kesehatan-indonesia/profil-

kesehatan-indonesia-2007.pdf.

Ganong, W, dan SJ McPhee. 2011.

Patofisiologi Penyakit: Pengantar

Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta:

EGC.

Haurissa, Andreas Erick. 2014. “Gamma

Glutamyl Transferase Sebagai

Biomarker Risiko Penyakit

Kardiovaskuler’.” Cermin Dunia

Kedokteran 41: 816–18.

Julita S, Intan. 2012. “Aspek

Farmakokinetik Beberapa Obat

Berpotensi Hepatotoksik Pada

Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

RSUD DR M Djamil Padang

Periode Oktober 2011 Januari

2012.” Padang: Universitas Andalas.

http://katalog.pustaka.unand.ac.id//i

ndex.php?p=show_detail&id=

59869.

Kesehatan, Departemen. 2010. Pedoman

Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis. 2 ed. Jakrta: Gerdunas

TB.

Kwara, A, TP Flanigan, dan EJ Carter.

2005. “Highly active antiretroviral

therapy (HAART) in adults with

tuberculosis: current status.”

Page 39: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

34

Jeharu, Putra & Widayanti

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

International Journal of

Tuberculosis and Lung Disease

(IJTLD) 8 (3): 248–57.

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15

786886/.

Lian, Yong, Jing Zhao, Peiyu Xu, Yimei

Wang, Jun Zhao, Li Jia, Ze Fu, Li

Jing, Gang Liu, dan Shuangqing

Peng. 2013. “Protective Effects of

Metallothionein on Isoniazid and

Rifampicin-Induced Hepatotoxicity

in Mice.” PLoS ONE.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.

0072058.

Murray, RK, DK Granner, dan WV

Ropdwell. 2009. Biokimia Harper.

27 ed. Jakarta: EGC.

North-Lewis, P. 2008. Drugs and The

Liver. London: Pharmatical Press.

Panjaitan, Ruqiah Ganda Putri, Ekowati

Handharyani, Chairul Chairul,

Masriani Masriani, Zulfa Zakiah,

dan Wasmen Manalu. 2010. “The

Effects of Carbon Tetrachloride

Administration on Liver and Renal

Function.” Makara Journal of

Health Research 11 (1).

https://doi.org/10.7454/msk.v11i1.2

17.

Purnamasari, Prihartini. 2008. “Pengaruh

Pemberian Teh Hijau Terhadap

Kadar Enzim Gamma Glutamyl

Transferase Serum Tikus Wistar

Yang Diberi Kloramfenikol -

Diponegoro University | Institutional

Repository (UNDIP-IR).”

Semarang: Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/23940/.

Rosida, Azma. 2016. “Pemeriksaan

Laboratorium Penyakit Hati.”

Berkala Kedokteran 12 (1): 123.

https://doi.org/10.20527/jbk.v12i1.3

64.

Sampurno, Ondri Dwi. 2016. “Tinjauan

Farmakogenomik Rifampisin Dalam

Pengobatan Tuberkulosis Paru.”

Jurnal Biotek Medisiana Indonesia

4 (2): 59–70.

https://doi.org/10.22435/jbmi.v4i2.5

126.59-70.

Sanofi. 2019. “Product Monograph

Rifadin.” Quebec.

Sari, Ida Diana, Yuyun Yuniar, dan

Muhamad Syaripuddin. 2014. “Studi

Monitoring Efek Samping Obat

Antituberkulosis Fdc Kategori 1 Di

Provinsi Banten Dan Provinsi Jawa

Barat.” Media Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan 24 (1):

28–35.

https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.

3484.28-35.

Tassaduq, I, S A Butt, dan S Hamid.

2011. “Protective effect of ascorbic

acid on rifampicin induced

hepatotoxicity in mice.” J

Rawalpiindi Med Coll 15: 102–3.

Timbrell, John A. 2008. Principles of

Biochemical Toxicology. Principles

of Biochemical Toxicology.

https://doi.org/10.3109/9781420007

084.

WHO. 2018. Global tuberculosis report

2018. Geneva: World Health

Organization; 2018. WHO

Publication.

https://doi.org/WHO/HTM/TB/2017

.23.

Page 40: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

35

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan Terhadap Kadar Serum

Glutamic Pyruvic Transaminase dan Gamma Glutamyl Transferase

Pada Tikus Wistar

Ni Wayan Gita Iswari1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti3

1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar Belakang: Dekstrometorfan merupakan obat antitusif yang banyak ditemukan dalam obat

batuk, selain itu dekstrometorfan memiliki fungsi sebagai ekspektoran atau penekan batuk.

Dekstrometorfan banyak disalahgunakan masyarakat khususnya remaja.Tujuan: untuk mengetahui

pengaruh variasi dosis dekstrometorfan terhadap kadarSGPTdan GGTpada tikus wistar. Metode:

Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan metode pretest-posttest control group

design. Teknik analisis menggunakan analisis SPSS One Way Annova. Hasil: Pemberian

dekstrometorfan dosis bertingkat dapat meningkatkan kadar SGPT dan GGT yaitu pada kelompok P1

sebesar 5,68% dan 14,06%, P2 sebesar 16,67% dan 26,82%, dan P3 sebesar 20,95% dan 36,54%.

Kesimpulan: Terdapat pengaruh variasi dosis dekstrometorfan terhadap peningkatan kadar SGPT dan

GGT pada tikus Wistar. Saran: Perlu dilakukan parameter pemeriksaan dan perlu dilakukan

penelitian dengan dosis yang lebih bervariasi dan dengan waktu yang lebih panjang.

Kata kunci: Dekstrometorfan, SGPT, GGT

ABSTRACT Background: Dextromethorphan is an antitussive drug commonly found in cough medicine, besides

that dextromethorphan has the function as an expectorant or cough suppressant. Dextromethorphan is

widely misused by the community, especially adolescents. Objective: to determine the effect of

variations in dextromethorphan doses on SGPT and GGT levels in wistar rats. Method: using an

experimental research design using the pretest-posttest control group design method. The analysis

technique uses SPSS One Way Annova analysis. Results: Giving doses of dextromethorphan can

increase levels of SGPT and GGT, namely in group P1 of 5.68% and 14.06%, P2 of 16.67% and

26.82%, and P3 of 20.95% and 36.54 %. Conclusion: There are effects of variations in

dextromethorphan doses on increasing levels of SGPT and GGT in Wistar rats. Suggestion: It is

necessary to conduct examination parameters and need to do research with more varied and longer

doses.

Keywords: Dextromethorphan, SGPT, GGT

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted August 26th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 41: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

36

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi terutama

di bidang kesehatan, penggunaan obat

semakin banyak ada di tengah

masyarakat, baik obat tersebut digunakan

dengan atau tanpa resep dokter. Salah

satunya yaitu dekstrometorfan.

Dekstrometorfan banyak disalahgunakan

masyarakat khususnya remaja.

Penyalahgunaan obat ini terkait dengan

masalah toleransi, adiksi atau ketagihan

yang selanjutnya bisa menyebabkan

ketergantungan obat.

Penyalahgunaan dekstrometorfan

dapat terjadi karena harganya murah,

mudah didapatkan di apotek, dan obat ini

dapat diperoleh tanpa resep dokter, dan

dapat menimbulkan efek yang hampir

sama dengan narkotika apabila

dikonsumsi dalam jumlah banyak (Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia 2012)

Dekstrometorfan merupakan obat

antitusif yang banyak ditemukan dalam

obat batuk, selain itu dekstrometorfan

memiliki fungsi sebagai ekspektoran atau

penekan batuk (Tjandra 2010).

Dekstrometorfan lebih banyak

dimetabolisme di hati dan dirubah

menjadi metabolit aktif yaitu dekstorfan

(Kusumastuti 2017). Dekstrometorfan

jika dikonsumsi dalam jumlah banyak

akan mengendap di hati dalam bentuk

metabolit dektorfan yang dapat

menyebabkan gangguan hati (Bonauli

2010).

Menurut (Direktorat Pelayanan

Kefarmasian 2014), obat-obatan

merupakan penyebabkerusakan hati.

Kerusakan hati dapat disebabkan oleh

penggunaan obat-obatan dalam jangka

waktu yang lama atau peminum alkohol

(Hikmah 2014).

Hati merupakan organ lintas

pertama dari obat yang diabsorpsi dari

mukosa lambung dan mukosa usus halus

sebelum mencapai bagian tubuh lainnya.

Kandungan obat yang ada pada tubuh

akan dibawa aliran darah dan masuk ke

hati, hal ini menyebabkan hati selalu

kontak dengan bahan-bahan potensial

toksik. Semakin lama kontak dan

semakin tinggi konsentrasi zat-zat yang

terkandung dalam obat, maka metabolit

yang terbentuk juga banyak dan dapat

menyebabkan penumpukan pada hati

sehingga dapat menimbulkan efek

hepatotoksik (Wardhani 2010).

Efek hepatotoksik terjadi akibat

dari cedera hepatoseluler yang

melibatkan produksi energi tinggi

metabolit reaktif oleh sistem CYP450

(Hikmah 2014). Dalam kasus toksisitas

akut, enzim obat dapat menyebabkan

cedera atau lisis sel. Efek hepatotoksis

dapat dilihat dari perubahan fungsi hati

yang meliputi peningkatan pada

alkalifosfatase, serum glutamic pyruvic

transaminase,serum glutamic oxaloacetic

transaminase, bilirubin, gamma glutamyl

transferase, dan albumin serum

(Wardhani 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh

Bonauli (2010) tentang pengaruh

pemberian dekstrometorfan bertingkat

per oral terhadap gambaran histopatologi

hepar tikus Wistar, bahwa terdapat

pengaruh pemberian dekstrometorfan

setengah kali dosis letal, dosis letal dan

dua kali dosis letal terhadap gambaran

histopatologi hepar tikus Wistar yang

dinilai dari tingkat kerusakan sel

hepatosit. Penelitian yang dilakukan

Sofiati (2017) tentang gambaran kadar

SGOT pada pengonsumsi

dekstrometorfan dengan sampel populasi

remaja yang tinggal di daerah Wahyu

Temurung Tlogosari, Semarang,

menyatakan bahwa terdapat delapan

responden (53,33%) memiliki kadar

enzim SGOTnormal, delapan responden

ini mengkonsumsi dekstrometorfan

minimal sepuluh butir per hari dalam

jangka kurang dari satu tahun. Adapun

tujuh responden (46,67%) memiliki kadar

SGOT tinggi, tujuh responden tersebut

mengkonsumsi dekstrometorfan minimal

Page 42: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

37

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dua puluh butir per hari dalam jangka

waktu lebih dari satu tahun.

Penelitian yang serupa juga

dilakukan oleh Nugraha (2017) tentang

Gambaran kadar SGPT pada

pengkonsumsi dekstrometorfan yaitu

hasil menunjukkan tujuh remaja

pengkonsumsi dekstrometorfan di atas

satu tahun mengalami peningkatan kadar

serum glutamic pyruvic transaminase,

delapan responden memiliki kadar serum

glutamic pyruvic transaminase normal,

dan tujuh responden lainnya memiliki

nilai kadar SGPT melebihi normal. Hal

ini menunjukan bahwa konsumsi

dekstrometorfan melebihi dosis dan

dalam waktu yang lama akan

menimbulkan kerusakan hepar (Nugraha

2017).

Enzim serum glutamic pyruvic

transaminase dan gamma glutamyl

transferaseakan keluar dari sel hepar

apabila hati mengalami kerusakan

sehingga kadarnya akan meningkat di

dalam serum darah (Tanoeisan, Mewo,

dan Kaligis 2016). Enzim serum glutamic

pyruvic transaminase lebih banyak

terdapat dalam hati dan lebih spesifik

menunjukkan gangguan fungsi hati

daripada enzim serum glutamic

oxaloacetic transaminase (Purnamasari

2008).

Enzim serum glutamic pyruvic

transaminase digunakan untuk

mendiagnosa penyakit hati dan

memantau lamanya pengobatan penyakit

hepatik, sirosis postneurotik dan efek

hepatotoksik obat. Sedangkan gamma

glutamyl transferase merupakan enzim

mikrosomal yang dapat meningkat pada

pemakai penggunaan obat, alkohol dan

digunakan sebagai biomarker untuk

menilai kerusakan hati. Kadar gamma

glutamyl transferase akan meningkat

lebih awal dan tetap akan meningkat

selama kerusakan sel hati tetap

berlangsung (Purnamasari 2008).

Berdasarkan latar belakang diatas,

peneliti ingin melihat pengaruh variasi

dosis dekstrometorfan terhadap kadar

serum glutamic pyruvic transaminase dan

gamma glutamyl transferase pada tikus

Wistar.

METODE

Penelitian ini menggunakan

rancangan penelitian eksperimental

menggunakan metode pretest dan

posttest control group design (Sugiyono

2017). Subjek penelitian adalah tikus

putih galur wistar (Rattus norvegicus)

sebanyak 24 ekor, berumur 2-3 bulan

dengan berat badan antara 200-250 gram

yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah teknik simple random sampling.

Bahan yang digunakan pada

penelitian ini terdiri dari:

Dekstrometorfan, obat bius ketamin 75-

100 mg/Kg, xylazine 5-10 mg/Kg, reagen

pemeriksaan SGPT (merk ERBA) reagen

pemeriksaan GGT (merk ERBA),

akuades, pakan pellet 550, serbuk kayu,

dan sampel darah tikus Wistar. Alat yang

digunakan pada penelitian ini terdiri dari:

jarum 3cc, tabung eppendorf,blue tips

dan yellow tips, sonde lambung,

Styrofoam test tube, mikropipet (merk

Wina) centrifuge (merk Wina),

timbanganneraca analitik (merk Kern),

kandang tikus, dan analyzer chemistry

(merk ERBA XL 100).

Pengujian dilakukan pada

sebanyak 28 ekor hewan uji, yang telah

terlebih dahulu diadaptasi. Hewan uji

diberi makan dan minum selama 1

minggu (7 hari) secara ad libitum. Setelah

hewan uji diadaptasi selama 7 hari,

hewan uji dibagi dalam 4 kelompok yaitu

kelompok kontrol (KK) diberi makan dan

akuades. Kelompok perlakuan 1 (P1)

diberi dosis dekstrometorfan 60

mg/kgBB tikus/hari. Kelompok

perlakuan 2 (P2) diberi dosis

dekstrometorfan 80 mg/kgBB tikus/hari

dan kelompok perlakuan 3 (P3) diberi

dosis 100 mg/kgBB tikus/hari. Masing–

masing hewan uji yang telah

Page 43: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

38

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dikelompokkan berdasarkan kelompok

perlakuan. Dianastesikan dengan ketamin

dan xylazine sebanyak 0,1 mL. Darah

tikus diambil pada bagian jantung.

Pengambilan darah dilakukandengan

menggunakan spuit 3cc. Darah diambil

3cc . Kemudian darah di tampung ke

dalam tabung merah. Darah dibiarkan

membeku. Darah lalu dimasukkan ke

dalam centrifuge untuk dilakukan

pemisahan. Darah diputar selama 15

menit dengan kecepatan 3000 rpm.

Serum yang terbentuk kemudian

dipisahkan dari darah untuk dilakukan

pemeriksaan SGPT dan GGT

(Damayanti, Enggar Fitri, dan Dalhar

2016).

Data yang diperoleh dari hasil

penelitian akan dianalisis menggunakan

program SPSS versi 20 dengan tingkat

signifikan p > 0,05 yang dimulai dengan

melakukan uji normalitas data. Jika p >

0,05 dilanjutkan dengan uji homegenitas

data. Dilanjutkan dengan uji One-Way

ANOVA.

HASIL

Hasil penelitian pengaruh

dekstrometorfan terhadap kadar SGPT

sebelum dan sesudah pemberian disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil pengaruh variasi doses

dekstrometorfan terhadap kadar SGPT dan GGT

(Hasil penelitian diolah)

Hasil analisis statistik pengaruh

variasi dekstrometorfan pada masing-

masing kelompok perlakuan menunjukan

bahwa uji normalitas dengan

menggunakan Shapiro-Wilk

menghasilkan data yang terdistribusi

dengan normal (p > 0,05) dengan nilai

signifikasi pada kontrol sebesar (0,36),

kelompok perlakuan 1 sebesar (0,9),

kelompok perlakuan 2 sebesar (0,72), dan

kelompok perlakuan 3 sebesar (0,83).

Data uji normalitas kadar SGPT disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Data uji normalitas kadar SGPT

Kelompok N P Keterangan

KK 6 0,36 Normal

P1 6 0,91 Normal

P2 6 0,72 Normal

P3 6 0,83 Normal

Keterangan: n = jumlah hewan uji ; p = nilai

signifikan

Sumber: Hasil penelitian diolah

Selanjutnya dilanjutkan dengan

uji homogenitas terkait pengaruh

dekstrometorfan terhadap kadar GGT

sebelum dan sesudah pemberian

menggunakan uji Levene’s Test. Hasil uji

menunjukkan bahwa data bersifat

homogeny dengan nilai P sebesar 0,88 (P

> 0,05). Hasil uji One Way Annova

terhadap kadar rerata SGPT

menunjukkan hasil nilai probabilitas (P)

sebesar 0,000. Nilai tersebut

mengindikasikan bahwa terdapat

pengaruh variasi dosis dekstrometorfan

pada tikus Wistar yang berbeda nyata P <

0,05. Hasil selengkapnya disajikan pada

Gambar 2.

Page 44: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

39

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Gambar 2. Pengaruh dekstrometorfan terhadap

kadar GGT pada Tikus Wistar (Hasil penelitian

diolah)

Rata-rata perbedaan nilai GGT

pada keempat kelompok. Data uji

normalitas dengan metode uji Shapiro-

Wilk dan diperoleh hasil bahwa kadar

GGT pada keempat kelompok perlakuan

terdistibusi normal (p > 0,05) dengan

nilai signifikasi pada kontrol sebesar

(0,74), kelompok perlakuan 1 sebesar

(0,03), kelompok perlakuan 2 sebesar

(0,46), dan kelompok perlakuan 3 sebesar

(0,85). Hasil uji normalitas kadar rerata

GGT disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Kadar rerata GGT

dengan Shapiro-Wilk

Kelompok N P Keterangan

KK 6 0,74 Normal

P1 6 0,33 Normal

P2 6 0,46 Normal

P3 6 0,85 Normal

Keterangan: n = Jumlah hewan uji ; p = nilai

signifikan

Sumber: Hasil penelitian (data diolah)

Kemudian dari uji normalitas

kadar rerata GGT dilanjutkan dengan uji

homogenitas dengan menggunakan uji

Levene’s Test menunjukkan bahwa data

bersifat homogeny dengan nilai P

sebesar0,115 (p > 0,05). Hasil uji One

Way Annova terhadap rerata kadar GGT

menunjukkan nilai(p) sebesar 0,014.

Nilai tersebut mengindikasikan bahwa

terdapat pengaruh variasi dosis

dekstrometorfan pada tikus Wistar yang

berbeda nyata (p <0,05).

PEMBAHASAN

Sampel dalam penelitian ini

adalah tikus jantan Galur Wistar yang

digunakan untuk mengetahui pengaruh

variasi dosis dekstrometorfan terhadap

kadar SGPT dan GGT. Berdasarkan hasil

penelitian kadar SGPT pada tikus Wistar

menunjukkan terdapat pengaruh

pemberian variasi dosis dekstrometorfan.

SGPT merupakan enzim yang banyak

ditemukan pada sel hati serta efektif

untuk mendestruksi hepatoseluler. Enzim

SGPT berfungsi untuk mengkatalis

pemindahan asam amino dari alanin ke α-

ketoglutarat. Produk dari reaksi

transaminase adalah reversible, yaitu

piruvat dan glutamat.

Tingginya kadar SGPT pada tiga

kelompok perlakuan didukung tentang

gambaran kadar SGPT pada

pengkonsumsi dekstrometorfan yang

menyebutkan bahwa kerusakan pada sel

hepar ditandai dengan meningkatnya

kadar SGOT dan SGPT pada darah.

Namun, SGPT merupakan pemeriksaan

yang spesifik terhadap kerusakan hati

dibandingkan dengan SGOT (Tanoeisan,

Mewo, dan Kaligis 2016).

Enzim SGPT dalam keadaan

normal memiliki kadar yang tinggi dalam

sel hati. Peningkatan yang dominan dari

kadar enzim SGPT memungkinkan

terjadinya proses yang dapat

mengganggu sel hati. Sel hati yang

mengalami kerusakan akan melepas

enzim SGPT ke dalam darah sehingga

terjadi peningkatan kadar enzim SGPT

dalam darah (Ariyanti 2013).

Peningkatan kadar SGPT yang

terjadi pada penelitian ini sebanding

dengan teori yang menyebutkan bahwa

metabolit aktif dari dekstrometorfan yaitu

dekstorfan yang dapat mengendap pada

hepar. Enzim transeminase akan

mengkatalis pemindahan gugus asam

Page 45: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

40

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

amino secara reversible antara asam

amino α-ketoglutarat. Berkurangnya

enzim glutation akan meningkatkan

toksisitas dekstorfan melalui pengikatan

kovalen dengan sel dalam jaringan hepar.

Hal ini menyebabkan hepar dapat

mengalami gangguan. Enzim

aminotransferase yang berada di dalam

sel akan keluar dan masuk ke aliran

darah, yang disebabkan perubahan

permeabilitas membrane sel sehingga

kadar SGPT dalam darah akan meningkat

(Indrayani 2015).

Berdasarkan hasil penelitian kadar

GGT pada tikus Wistar menunjukkan

terdapat pengaruh pemberian

dekstrometorfan. Gamma glutamyl

transferase merupakan salah satu enzim

dalam serum yang pertama kali bekerja

pada proses degradasi ekstraseluler

glutation. Enzim GGT sebagian besar

diproduksi di hati dan memiliki peran

penting dalam menilai fungsi sistem

hepatobiliari, seperti inflamasi hati,

penyakit perlemakan (fatty liver disease),

penggunaan obat dan penyalahgunaan

alkohol (Machdalena 2014).

Peningkatan aktivitas enzim GGT

dalam penelitian ini merupakan respon

pertahanan dari detoksifikasi metabolit

toksik hasil produksi metabolism

dekstrometorfan. Aktivitas GGT dan

pengaruh pemberian dekstrometorfan

berkaitan dengan makromolekular GSH.

Pemberian dekstrometorfan pada tikus

Wistar meningkatkan sitokrom yang

mengarah ke pembentukan metabolit

dekstorfan.Hal ini menyebabkan

berkurangnya enzim glutation seluler dan

sistein intraseluler diduga meningduksi

peningkatan GGT (Roziana dkk. 2016).

Terjadinya peningkatan kadar

GGT disebabkan karena konsumsi obat

dalam jumlah banyak dan konsumsi

alkohol berlebihan. Berdasarkan

teori,GGT akan meningkat lebih awal

dan tetap akan meningkat selama

kerusakan sel hati tetap berlangsung

(Purnamasari 2008).Enzim GGT

memiliki tingkat sensitivitas tinggi,

sehingga digunakan sebagai marker

dalam penanda fungsi hati (Haurissa

2014).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan tentang pengaruh variasi dosis

dekstrometorfan terhadap kadar SGPT

dan GGT pada tikus Wistar, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh pemberian

dektrometorfan terhadap kadar

SGPT pada tikus Wistar.

2. Terdapat pengaruh pemberian

dekstrometorfan terhadap kadar

kadar GGT pada tikus Wistar.

SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan maka perlu dilakukan

pemeriksaan dengan parameter lain

seperti histopatologi untuk menguatkan

diagnosa terjadinya kerusakan hati

dengan dosis yang lebih bervariasi dan

waktu yang lebih panjang, untuk melihat

tingkat kerusakan hati.

DAFTAR RUJUKAN

Ariyanti, Nur. 2013. “Pengaruh Ekstrak

Etanol Daun Sirsak (Annona

Muricata L.) Terhadap Kadar Enzim

Transaminase (SGPT Dan SGOT)

Pada Mencit (Mus Musculus) Yang

Diinduksi Dengan 7,12-

Dimetilbenz(Α) Antrasen (DMBA)

Secara In Vivo .” Malang:

Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang.

Http://Etheses.Uin-

Malang.Ac.Id/485/.

Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Republik Indonesia. 2012.

“Mengenal Penyalahgunaan

Page 46: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

41

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Dekstrometorfan.” Infopom,

Desember 2012.

Https://Studylibid.Com/Doc/128706

/Mengenal-Penyalahgunaan-

Dekstrometorfan-Hasil-Pengawasan.

Bonauli, Nina. 2010. “Pengaruh

Pemberian Dekstrometorfan Dosis

Bertingkat Per Oral Terhadap

Gambaran Histopatologi Hepar

Tikus Wistar.” Semarang:

Universitas Diponegoro.

Http://Eprints.Undip.Ac.Id/23622/.

Damayanti, Ria, Loeki Enggar Fitri, Dan

Mochamad Dalhar. 2016. “Pengaruh

Pemberian Propolis Terhadap

Ekspresi INOS Dan Kadar MDA

Pada Otak Tikus Model Cedera Otak

Traumatik.” Jurnal Kedokteran

Brawijaya 29 (2): 110–16.

Https://Doi.Org/10.21776/Ub.Jkb.20

16.029.02.3.

Direktorat Pelayanan Kefarmasian. 2014.

“Pharmaceutical Care Untuk Pasien

Penyakit Hati.” Kementerian

Kesehatan RI. 2014.

Https://Binfar.Kemkes.Go.Id/En/201

4/12/Pharmaceutical-Care-Untuk-

Pasien-Penyakit-Hati/.

Haurissa, Andreas Erick. 2014. “Gamma

Glutamyl Transferase Sebagai

Biomarker Risiko Penyakit

Kardiovaskuler’.” Cermin Dunia

Kedokteran 41: 816–18.

Hikmah, Eka Nurul. 2014. “Penggunaan

Obat-Obatan Penginduksi Penyakit

Hati Terhadap Pasien Gangguan

Fungsi Hati Di RSUD Dr. Moewardi

Tahun 2013.” Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Http://Eprints.Ums.Ac.Id/31187/.

Indayani, Ningrum Sri. 2015. “Pengaruh

Pemberian Deksametason Terhadap

Kerusakan Fungsi Hepar Tikus

Jantan (Ratus Norvegoicus) Galur

Wistar.” Malang: Universitas Negeri

Malang.

Http://Repository.Um.Ac.Id/26666/.

Kusumastuti, Ismi Riyani. 2017.

“Gambaran Kadar Kreatinin Pada

Pengkonsumsi Dekstrometorfan.”

Http://Repository.Unimus.Ac.Id/428

/.

Nugraha, Aditya. 2017. “Gambaran

Kadar Sgpt Pada Pengkonsumsi

Dekstrometorphan.” Semarang:

Universitas Muhamadiyah

Semarang.

Http://Repository.Unimus.Ac.Id/335

/.

Machdalena, Rina. 2014. “Kadar High

Sensitive C-Reactive Protein Dan

Gamma Glutamyltransferase

Sebagai Indikator Eksaserbasi Akut

Pada Penyakit Paru Obstruktif

Kronik Stabil.” Surakarta: UNS

(Sebelas Maret University).

Https://Digilib.Uns.Ac.Id/Dokumen/

42320/Kadar-High-Sensitive-C-

Reactive-Protein-Dan-Gamma-

Glutamyltransferase-Sebagai-

Indikator-Eksaserbasi-Akut-Pada-

Penyakit-Paru-Obstruktif-Kronik-

Stabil.

Purnamasari, Prihartini. 2008. “Pengaruh

Pemberian Teh Hijau Terhadap

Kadar Enzim Gamma Glutamyl

Transferase Serum Tikus Wistar

Yang Diberi Kloramfenikol -

Diponegoro University | Institutional

Repository (UNDIP-IR).”

Semarang: Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/23940/.

Roziana, Roziana, Hertanto Wahyu

Subagio, Suhartono Suhartono, dan

Nyoman Suci Widyastiti. 2016.

“Pengaruh suplementasi vitamin e

(α-tokoferol) terhadap kadar gamma

glutamil transferase (ggt) dan kadar

nitric oxide (no) pada tikus (Studi

pada tikus rattus novergicus strain

wistar jantan terpapar inhalasi uap

benzene).” Jurnal Gizi Indonesia

(The Indonesian Journal of

Nutrition) 3 (2): 73–79.

https://doi.org/10.14710/jgi.3.2.73-

79.

Sofiati, Anis. 2017. “Gambaran Kadar

Sgot Pada Pengkonsumsi

Dekstrometorfan.” Semarang:

Universitas Muhamadiyah

Page 47: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

42

Iswari, Putra & Widayanti

Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Semarang.

http://repository.unimus.ac.id/344/.

Sugiyono. 2017. “Metode Penelitian

Kuantitatif,Kualitatif dan R&D.”

Bandung: CV Aflabeta.

Tanoeisan, Angelina P., Yanti M. Mewo,

dan Stefana H.M. Kaligis. 2016.

“Gambaran Kadar Serum Glutamic

Pyruvic Transaminase (SGPT) Pada

Perokok Aktif Usia > 40 Tahun.”

Jurnal e-Biomedik 4 (1).

https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.20

16.11048.

Tjandra, Aditya. 2010. “Pengaruh

Pemberian Dekstrometorfan Dosis

Bertingkat Per Oral Terhadap

Gambaran Histopatologi Otak Tikus

Wistar.” Semarang: Universitas

Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/23050/.

Wardhani, Anindia. 2010. “Pengaruh

Pemberian Ekstrak Valerian

(Valeriana Officinalis) Terhadap

Gambaran Mikroskopis Hepar Dan

Kadar Sgot Tikus Wistar.”

Semarang: Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/23131/.

://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti

/material/narasi2001.pdf.

JDIH BPK RI. 2008. “UU No. 18 Tahun

2008 tentang Pengelolaan Sampah.”

2008.

https://peraturan.bpk.go.id/Home/De

tails/39067/uu-no-18-tahun-2008.

———. 2012. “PP No. 81 Tahun 2012

tentang Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga Dan Sampah Sejenis

Sampah Rumah Tangga .” 2012.

https://peraturan.bpk.go.id/Home/De

tails/5295/pp-no-81-tahun-2012.

Kadir, Dideng. 2016. Formasi Sosial

Pemulung. Sukoharjo: Oase Pustaka.

Tansatrisna, Diwyacitra, dan Ratri

Virianita. 2014. “Persepsi dan

partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sampah rumah tangga.”

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

https://repository.ipb.ac.id/handle/12

3456789/72098.

Tribun Bali. 2018. “Limbah Medis

Berceceran Darah Dibuang ke TPA

Suwung, DLHK Kaget ‘Itu Bahaya,

Itu Maling!’ - Tribun Bali.” Tribun

Bali. 15 Januari 2018.

https://bali.tribunnews.com/2018/01/

15/limbah-medis-berceceran-darah-

dibuang-ke-tpa-suwung-dlhk-kaget-

itu-bahaya-itu-maling.

UU Republik Indonesia No. 32 Tahun

2009. 2009. “Undang Undang No.32

Tahun 2009 mengenai Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.” UU Republik Indonesia.

2009.

https://www.ojk.go.id/sustainable-

finance/id/peraturan/undang-

undang/Pages/Undang-Undang-

No.32-Tahun-2009-mengenai-

Perlindungan-dan-Pengelolaan-

Lingkungan-Hidup.aspx.

Page 48: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

43

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Terhadap Limbah Medis Padat di TPA Suwung

D. P. Risky Vidika Apriyanthi1*, Ni Putu Rahayu Artini2

1,2Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar belakang: Sarana dan prasarana pengelolaan sampah di Kota Denpasar yang dimiliki saat ini

tidak sebanding dengan melimpahnya produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga

menyebabkan TPS liar bermunculan dimana-mana, sehingga sangat berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran lingkungan di sekitar TPS. Salah satu jenis sampah yang dilarang untuk

dibuang ke TPA adalah jenis sampah medis (Limbah Medis) atau sampah yang dihasilkan oleh rumah

sakit. Pada tanggal 15 Januari 2018 masih ditemukan adanya limbah medis padat yang dibuang ke

TPA Suwung. Tujuan: gambaran pengetahuan pemulung di TPA Suwung terhadap Limbah Medis

dan dampaknya terhadap kesehatan masih sangat rendah. mayoritas responden tidak mengetahui jenis-

jenis limbah medis dan dampaknya terhadap kesehatan Metode penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif cross-sectional. Sampel penelitian ini diambil secara accidental sampling. Data

dikumpulkan secara langsung melalui informed concent dan pengisian kuesioner oleh responden.

Hasil: Dari 50 responden yang bekerja sebagai pemulung di TPA Suwung 58% responden tidak

mengetahui mengenai limbah medis, 80% dari responden tidak mengetahui jenis-jenis limbah medis

yang ada di TPA Suwung. Sebanyak 58% responden tidak mengetahui dampak limbah medis

terhadap kesehatan dan 56% responden tidak mengetahui bahwa limbah padat medis dapat

menyebabkan penyakit. Kesimpulan: Pengetahuan pemulung di TPA Suwung tentang limbah medis

dan dampaknya terhadap kesehatan masih sangat rendah. Sebagian besar responden tidak mengetahui

jenis limbah medis dan dampaknya terhadap kesehatan.

Kata kunci: Limbah Medis, Pemulung, TPA Suwung

ABSTRACT Background: The facilities and infrastructure of waste management in the city of Denpasar currently

owned are not comparable to the abundant production of waste produced by the community, causing

wild polling stations to appear everywhere, so that it has the potential to cause environmental pollution

around polling stations. One type of waste that is prohibited from being disposed to landfill is the type

of medical waste. On January 15, 2018 there were still solid medical waste dumped into the Suwung

landfill. Purpose: This study aims to determine the description of scavenger knowledge in the

Suwung landfill on medical waste and its impact on health. Method: The research method used was a

cross-sectional descriptive study. The research sample was taken by accidental sampling. Data was

collected directly through informed consent and filling out questionnaires by respondents.

Respondents in this study were 50 people who work as scavengers at the TPA Suwung. Result: 58 %

of respondents did not know about medical waste, 80% of the respondents did not know the types of

medical waste at the TPA Suwung. 58% of respondents did not know the impact of medical waste on

health and 56% of respondents did not know that medical solid waste can cause disease. Conclusion:

The knowledge of scavengers at the Suwung landfill on medical waste and its impact on health is still

very low. the majority of respondents did not know the types of medical waste and their impact on

health

Keywords: Medical Waste, Scavengers, Suwung Landfill

*Correspondence [email protected]

Submitted July 10th, 2020

Accepted July 11st, 2020

Published August 31st, 2020

Page 49: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

44

Apriyanthi, Artini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Permasalahan sampah yang

terjadi saat ini bukan lagi menjadi hal

baru di Indonesia, terutama di daerah

perkotaan yang memiliki volume

penduduk yang besar (Tansatrisna dan

Virianita 2014). Salah satu jenis sampah

yang dilarang untuk dibuang ke TPA

adalah jenis sampah medis (Limbah

Medis) atau sampah yang dihasilkan oleh

rumah sakit. Limbah Medis dapat berupa

limbah padat, cair dan gas. Dalam profil

kesehatan Indonesia, diungkapkan

seluruh rumah sakit di Indonesia

berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat

tidur. Hasil kajian terhadap 100 rumah

sakit di Jawa dan Bali menunjukkan

bahwa rata-rata produksi limbah sebesar

3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisis

lebih jauh menunjukkan produksi limbah

(limbah padat) berupa limbah domestik

sebesar 76,8 % dan berupa limbah

infeksius sebesar 23,2 %. Diperkirakan

secara nasional produksi limbah (limbah

padat) rumah sakit sebesar 376.089 ton

per hari dan produksi air limbah sebesar

48.985,70 ton per hari. Dari gambaran

tersebut dapat dibayangkan betapa besar

potensi rumah sakit untuk mencemari

lingkungan dan kemungkinan

menimbulkan kecelakaan serta penularan

penyaki (Departemen Kesehatan RI

2002). Widyaswara & Erwin, dikutip dari

Tribun Bali (2018) pada liputan khusus

pada tanggal 15 Januari 2018 masih

ditemukan adanya limbah medis padat

yang dibuang ke TPA Suwung. Jenis

limbah medis padat dapat berupa spuit,

bekas infus, selang infus, kantong darah,

dan botol obat. Dalam liputan khusus

tersebut juga disebutkan ada seorang

pemulung yang sempat sakit dan tidak

bisa bekerja selama 8 bulan karena

tertusuk jarum suntik bekas di TPA

Suwung (Tribun Bali 2018).

METODE

Desain penelitian yang digunakan

adalah penelitian deskriptif cross-

sectional. Sampel penelitian ini diambil

secara accidental sampling. Data

dikumpulkan secara langsung melalui

informed concent dan pengisian

kuesioner oleh responden. Penelitian ini

menggunakan data primer. Data primer

diperoleh melalui kuesioner yang

digunakan untuk mencari jawaban dari

pertanyaan penelitian. Kuisioner

berisikan informasi mengenai

karakteristik demografi yang meliputi

umur, jenis kelamin, status perkawinan

dan lama tinggal serta karakteristik sosial

yang meliputi pendidikan, pengetahuan,

dan karakteristik ekonomi yang dimaksud

adalah ciri-ciri yang meliputi,

pendapatan, jam kerja efektif,

pengalaman kerja/lama bekerja.

Pengolahan data dilakukan

dengan teknik analisis kualitatif. Teknik

ini mentranskrip data mentah yang

didapat dari hasil kuisioner dan

wawancara terstruktur. Hasil penelitian

ini diperoleh dengan langkah sorting

data, dan classifying data.

HASIL

Karakteristik Demografi terdiri

dari golongan umur, status perkawinan

dan lama tinggal di TPA Suwung. Umur

dari para responden bervariasi dimana

yang termuda berusia 25 tahun dan yang

tertua berumur 66 tahun. Mayoritas

responden berusia antara 25 – 30 tahun

dengan persentase sebanyak 46 %. Usia

tertua dari kelompok responden pada

penelitian ini berusia lebih dari 50 tahun

yaitu 4 responden (8%) dengan usia 53

tahun, 58 tahun, 62 tahun dan yang tertua

adalah 66 tahun. Seluruh responden (50

orang) berstatus sudah menikah dan

mayoritas responden sudah tinggal di

TPA Suwung untuk 6-10 tahun dengan

persentase responden 52 % (26 orang

Page 50: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

45

Apriyanthi, Artini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

responden) sedangkan yang tinggal lebih

dari 10 tahun merupakan responden yang

berasal dari Bali (asli penduduk Bali).

Karakteristik Ekonomi dari

responden yaitu Pendapatan rata-rata per

bulan para pemulung adalah Rp.

1.503.200,-. Jam kerja efektif sebagian

besar responden dengan persentase 56 %

berkisar antara 6 – 10 jam/hari sedangkan

42% responden memiliki jam kerja

efektif >10 jam perhari, dengan jam kerja

efektif paling lama adalah 12 jam.

Mayoritas pemulung memiliki

pengalaman kerja lebih diantara 6-10

tahun yaitu sebanyak 26 orang dengan

persentase 52%.

Karakteristik Sosial diukur dari

tingkat pendidikan dan pengetahuan

Responden terhadap Limbah Medis.

Mayoritas responden yaitu 52 %

memiliki pendidikan terakhir yaitu

Sekolah Dasar (SD), sedangkan

pendidikan tertinggi dari para responden

yang mengisi kuisioner adalah Sekolah

Menengah Pertama (SMP) sebanyak 22

orang (44%) dan tidak bersekolah

sebanyak 2 orang (4%). Pengetahuan

Responden terhadap Limbah Medis yang

diperoleh dari 50 responden, 42%

menyatakan pernah mendengar kata

“Limbah Medis”, namun 80% responden

tidak mengetahui jenis-jenis dari limbah

medis dan sebanyak 66% responden sama

sekali tidak mengetahui bahwa Limbah

Medis tidak boleh dibuang ke TPA.

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian, 68%

pemulung menyatakan mengetahui jenis-

jenis limbah yang dibuang di TPA

Suwung, namun sebagian besar ternyata

tidak mengetahui apa itu limbah medis

dan apa saja jenis-jenisnya. Padahal saat

survey pendahuluan dan observasi di

lokasi penelitian, peneliti dan tim

menemukan berbagai jenis limbah medis

padat yang dibuang ke TPA Suwung.

Adapun limbah medis padat yang

ditemukan antara lain, spuit beserta

jarumnya bahkan ada yang masih berisi

darah di dalamnya, selang infus, alat tes

HIV, Ampul obat.

Sebanyak 66% responden sama

sekali tidak mengetahui bahwa Limbah

Medis tidak boleh dibuang ke TPA.

Terdapat landasan hukum mengenai

pengelolaan, dan pembuangan limbah

medis, antara lain Pasal 60 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (“UU PPLH”)

mengatur yang sebagai berikut: Setiap

orang dilarang melakukan dumping

limbah dan/atau bahan ke media

lingkungan hidup tanpa izin (UU

Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009

2009). Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012

Tentang Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga dan Sampah Sejenis Sampah

Rumah Tangga (JDIH BPK RI 2012).

Dalam PP 81/2012, Pengelola fasilitas

lainnya melakukan pemilahan sampah,

pengumpulan sampah, pengolahan

sampah. Puskesmas termasuk sebagai

fasilitas lainnya. Kegiatan pemilahan

sampah, pengumpulan sampah, dan

pengolahan sampah, termasuk sebagai

penanganan sampah yang merupakan

bagian dari penyelenggaraan pengelolaan

sampah. Jika puskesmas atau pelayanan

kesehatan lainnya tidak melakukan

kegiatan pengelolaan sampah sesuai

norma, standar, prosedur, atau kriteria

sehingga mengakibatkan gangguan

kesehatan masyarakat, gangguan

keamanan, pencemaran lingkungan,

dan/atau perusakan lingkungan, maka

dapat dipidana penjara paling singkat 4

tahun dan paling lama 10 tahun dan

denda antara Rp100 juta hingga Rp5

miliar (JDIH BPK RI 2008). Jika yang

dibuang oleh pegawai puskesmas tersebut

adalah obat-obatan kadaluarsa dan

kemasan obat-obatan yang merupakan

limbah berbahaya, maka bisa terkena

pidana sesuai ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Page 51: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

46

Apriyanthi, Artini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Limbah medis padat yang

ditemukan di lokasi penelitian antara lain,

spuit beserta jarumnya bahkan ada yang

masih berisi darah di dalamnya, selang

infus, alat tes HIV, kemasan obat-obatan

dan Ampul obat. Kemasan obat-obatan

dan obat-obatan kadaluarsa termasuk

sebagai sampah yang mengandung bahan

berbahaya dan beracun dan limbah bahan

berbahaya dan beracun.

Profesi pemulung sangat beresiko

terhadap kesehatan. Jika pemulung

terpapar limbah medis maka resiko

terjadinya gangguan kesehatan sangat

tinggi (Kadir 2016). Limbah medis

rumah sakit dikategorikan berbahaya

terutama karena berbagai jenis bakteri,

virus, senyawa-senyawa kimia,

desinfektan, serta logam seperti Hg, Pb,

Chrom dan Cd yang berasal dari bagian

kedokteran gigi. Gangguan kesehatan

dapat dikelompokkan menjadi gangguan

langsung adalah efek yang disebabkan

karena kontak langsung dengan limbah

tersebut, misalnya limbah klinis beracun,

limbah yang dapat melukai tubuh dan

limbah yang mengandung kuman

pathogen sehingga dapat menimbulkan

penyakit dan gangguan tidak langsung

dapat dirasakan oleh masyarakat, baik

yang tinggal di sekitar rumah sakit

maupun masyarakat yang sering

melewati sumber limbah medis

diakibatkan oleh proses pembusukan,

pembakaran dan pembuangan limbah

tersebut.

Limbah medis rumah sakit juga

dapat menyebabkan gangguan genetik

dan reproduksi. Meskipun mekanisme

gangguan belum sepenuhnya diketahui

secara pasti, namun beberapa senyawa

dapat menyebabkan gangguan atau

kerusakan genetik dan system reproduksi

manusia, misalnya pestisida (untuk

pemberantasan lalat, nyamuk, kecoa,

tikus dan serangga atau binatang

pengganggu lain) dan bahan radioaktif.

Limbah medis rumah sakit juga dapat

menyebabkan infeksi silang.

SIMPULAN

Pengetahuan pemulung di TPA

Suwung tentang limbah medis dan

dampaknya terhadap kesehatan masih

sangat rendah. Sebagian besar responden

tidak mengetahui jenis limbah medis dan

dampaknya terhadap kesehatan. Hasil

penelitian menunjukkan 58% responden

tidak mengetahui mengenai limbah

medis, 80% dari responden tidak

mengetahui jenis-jenis limbah medis

yang ada di TPA Suwung serta 58%

responden tidak mengetahui dampak

limbah medis terhadap kesehatan dan

56% responden tidak mengetahui bahwa

limbah padat medis dapat menyebabkan

penyakit.

SARAN

Setelah melakukan penelitian ini,

penulis merasa perlu mengembangkan

topic penelitian ini terkait dengan

penggunaan APD oleh pemulung di TPA

Suwung, karena dari hasil observasi

dapat dilihat sangat minimnya pemulung

yang menggunakan APD saat bekerja.

Tumpukan sampah dengen berbagai

macam jenis limbah di dalamnya sangat

berisiko untuk kesehatan dan

keselamatan pemulung maka dari itu

penggunaan APD sangatlah penting.

DAFTAR RUJUKAN

Departemen Kesehatan RI. 2002. “Profil

Kesehatan Indonesia 2001.” Jakarta.

http://staff.ui.ac.id/system/files/users

/kuntarti/material/narasi2001.pdf.

JDIH BPK RI. 2008. “UU No. 18 Tahun

2008 tentang Pengelolaan Sampah.”

2008.

https://peraturan.bpk.go.id/Home/De

Page 52: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

47

Apriyanthi, Artini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

tails/39067/uu-no-18-tahun-2008.

———. 2012. “PP No. 81 Tahun 2012

tentang Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga Dan Sampah Sejenis

Sampah Rumah Tangga .” 2012.

https://peraturan.bpk.go.id/Home/De

tails/5295/pp-no-81-tahun-2012.

Kadir, Dideng. 2016. Formasi Sosial

Pemulung. Sukoharjo: Oase Pustaka.

Tansatrisna, Diwyacitra, dan Ratri

Virianita. 2014. “Persepsi dan

partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sampah rumah tangga.”

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

https://repository.ipb.ac.id/handle/12

3456789/72098.

Tribun Bali. 2018. “Limbah Medis

Berceceran Darah Dibuang ke TPA

Suwung, DLHK Kaget ‘Itu Bahaya,

Itu Maling!’ - Tribun Bali.” Tribun

Bali. 15 Januari 2018.

https://bali.tribunnews.com/2018/01/

15/limbah-medis-berceceran-darah-

dibuang-ke-tpa-suwung-dlhk-kaget-

itu-bahaya-itu-maling.

UU Republik Indonesia No. 32 Tahun

2009. 2009. “Undang Undang No.32

Tahun 2009 mengenai Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.” UU Republik Indonesia.

2009.

https://www.ojk.go.id/sustainable-

finance/id/peraturan/undang-

undang/Pages/Undang-Undang-

No.32-Tahun-2009-mengenai-

Perlindungan-dan-Pengelolaan-

Lingkungan-Hidup.aspx.

Page 53: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

48

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar Pelayanan

Kefarmasian Di Puskesmas Kota Denpasar Berdasarkan

Permenkes Nomor 74 Tahun 2016

I.G.A. Kristina Dewi1*, I.A. Manik Parthasutema2, D. Windydaca Brata Putri3

1,2,3Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali International

ABSTRAK Latar Belakang : Puskesmas di Kota Denpasar tidak memiliki Apoteker untuk melakukan pelayanan

farmasi secara menyeluruh sesuai standar, namun hanya diperankan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian

yang hanya dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas, sesuai Permenkes Nomer 74

tahun 2016 Tujuan: untuk mengetahui gambaran penerapan standar pelayanan kefarmasian di

puskesmas Kota Denpasar, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan standar

pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Metode: Penelitian dilakukan secara observasional dengan

rancangan penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah penanggung jawab farmasi di 11 puskesmas

Kota Denpasar. Hasil: Penerapan standar pelayanan kefarmasian di 11 puskesmas kota Denpasar dari

aspek pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai mencapai 96.97%, dari aspek pelayanan farmasi

klinis mencapai 63,85%, dari aspek sumberdaya kefarmasian mencapai 73,58% dan dari aspek

pengendalian mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Berdasarkan hasil wawancara mengidentifikasi 18

faktor yang berpotensi terhadap ketidaksesuaian penerapan standar pelayanan. Kesimpulan: Standar

pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar belum dilaksanakan secara menyeluruh sesuai

Permenkes nomer 74 tahun 2016.

Kata kunci: Pelayanan Kefarmasian, Puskesmas, Permenkes 74 tahun 2016

ABSTRACT Background: Puskesmas in Denpasar City do not have pharmacists to carry out pharmacy services as

a whole according to the standards, but only played by pharmaceutical technical personnel who can

only carry out pharmaceutical services on a limited basis, according to Minister of Health Regulation

Number 74 of 2016. Purpose: To describe the application of pharmaceutical service standards in

Denpasar City health centers, as well as the factors that influence the implementation of

pharmaceutical service standards at the health centers. Method: The study was conducted

observationally with a descriptive research design, using questionnaires. The research subjects were

those responsible for pharmacy in 11 Denpasar City health centers. Results: The application of

pharmaceutical service standards in 11 Denpasar city health centers from the aspects of drug and

medical management consumables reached 96.97%, from the aspect of clinical pharmacy services

reached 63.85%, from aspects of pharmaceutical resources reached 73.58% and from aspects of

service quality control reached 82.68%. Based on the results of the interview identified 18 factors that

have the potential to mismatch the application of service standards. Conclusion: The standard of

pharmacy services at the Denpasar City Health Center has not been carried out thoroughly according

to the Permenkes Nomer 74 of 2016.

Keywords: Pharmaceutical care, Primary Health Center, Permenkes 74 Tahun 2016,

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted July 28th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 54: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

49

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Pelayanan Kefarmasian adalah

suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang

berkaitan dengan sediaan farmasi dengan

maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pengaturan standar ini bertujuan untuk

meningkatkan mutu pelayanan

kefarmasian, menjamin kepastian hukum

bagi tenaga kefarmasian dan melindungi

pasien dan masyarakat dari penggunaan

Obat yang tidak rasional dalam rangka

keselamatan pasien (patient safety). Salah

satunya adalah Puskesmas dalam rangka

Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP).

Pelayanan kefarmasian di

Puskesmas telah memiliki standar yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam

wujud Peraturan Menteri Kesehatan No.

74 Tahun 2016 yang meliputi standar:

pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan

Medis Habis Pakai; dan pelayanan

farmasi klinik. Evaluasi penerapan

standar pelayanan kefarmasian di

Puskesmas Kabupaten Magelang tahun

2017, berdasarkan Permenkes RI No. 74

tahun 2016, menunjukkan bahwa

penerapan standar pelayanan kefarmasian

masih belum sesuai dengan Permenkes,

terutama dibidang visite pasien pada

puskesmas rawat inap serta sarana dan

prasarana yang masih kurang (Dianita,

Kusuma, dan Septianingrum 2017).

Penelitian lain menunjukkan secara

keseluruhan pelaksanaan standar

pelayanan kefarmasian di Puskesmas

Kota Yogyakarta pada puskesmas rawat

jalan sebesar 63.95% dan rawat inap

sebesar 68,83%, sehingga dapat

disimpulkan bahwa penerapan standar

pelayanan kefarmasian di puskesmas kota

Yogyakarta belum dilaksanakan secara

menyeluruh sesuai dengan Permenkes

(Mangkoan 2016).

Kota Denpasar memiliki 11

Puskesmas (2 Puskesmas Rawat Inap dan

9 Puskesmas Rawat Jalan) yang terletak

di 4 Kecamatan se-Kota Denpasar.

Dengan jumlah ini tentunya penerapan

standar pelayanan kefarmasian yang

dilakukan setiap Puskesmas akan

bervariasi. Studi awal menunjukkan tidak

semua Puskesmas memiliki Apoteker

untuk melakukan pelayanan farmasi

klinik secara menyeluruh sesuai standar,

namun hanya diperankan oleh Tenaga

Teknis Kefarmasian yang hanya dapat

melaksanakan pelayanan kefarmasian

secara terbatas. Adanya akreditasi antar

puskesmas yang berbeda juga

berpengaruh terhadap peningkatan mutu

layanan, akibat dinamisasi instrumen

penilaian akreditasi, sehinga penting

untuk mengetahui gambaran penerapan

standar pelayanan kefarmasian di

Puskesmas secara menyeluruh. Apabila

pelayanan kefarmasian sudah sesuai

dengan standar pelayanan kefarmasian

yang ditetapkan melalui Peraturan

Menteri Kesehatan, maka harus

dipertahankan. Namun, apabila belum

sesuai dengan peraturan yang berlaku,

perlu untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi ketidaksesuaian

penerapan, sehingga dapat meningkatkan

pelayanan kefarmasian di puskesmas.

METODE

Penelitian ini termasuk jenis

penelitian observasional dengan

rancangan penelitian deskriptif,

menggunakan kuisioner, untuk mengkaji

pelaksanaan pelayanan kefarmasian

berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun

2016 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas. Penelitian

dilakukan pada bulan Desember 2018

sampai dengan Februari 2019 di 11

Puskesmas Kota Denpasar, yaitu tiga

Puskesmas di Kecamatan Denpasar

Utara, dua Puskesmas di Kecamatan

Denpasar Timur, 4 Puskesmas di

Kecamatan Denpasar Selatan dan dua

Page 55: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

50

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Puskesmas di Kecamatan Denpasar

Barat, dengan spesifikasi dua puskesmas

rawat inap dan sembilan puskesmas rawat

jalan.

Subjek penelitian adalah seluruh

penanggung jawab farmasi di Puskesmas

kota Denpasar, dengan sampel

penanggung jawab farmasi di masing-

masing Puskesmas.

Penilaian dan analisis kuisioner

menggunakan Skala Guttman, yang

hanya terdiri dari dua alternatif jawaban

yaitu “Ya” dan “Tidak”. Bobot jawaban

dari masing-masing item variable yaitu

“Ya” (skor 1) dan “Tidak” (skor 0), dan

dari masing-masing total skor tiap standar

dihitung presentase capaian pelaksanaan.

HASIL

Analisa kuisioner berupa analisa

deskriptif gambaran penerapan standar

pelayanan kefarmasian sesuai Permenkes

No 74 Tahun 2016 (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia 2016).

Jawaban ‘tidak’ dari responden

yang mengisi kuisioner merupakan

indikasi tidak dilakukannya pelayanan

kefarmasian sesuai standar, dan hasil

wawancara dari jawaban tidak,

merupakan faktor yang berpotensi

mempengaruhi penerapan standar

pelayanan kefarmasian. Berdasarkan

jawaban wawancara, diperoleh hasil

identifikasi faktor-faktor yang berpotensi

menyebabkan ketidaksesuaian, dengan

menggunakan metode fishbone dapat

dilihat pada gambar 1.

Tabel 1. Hasil Penelitian Analisa Kuisioner

No Nama Puskesmas Pengelolaan

Obat dan

BMHP

Pelayanan

Farmasi

Klinis (RJ)

Pelayanan

Farmasi

Klinis (RI)

Sumberdaya

Kefarmasian

Pengendaian

Mutu

1 Denut 1 96.97% 71.64% - 75.00% 80.95%

2 Denut 2 96.97% 67.16% - 75.00% 80.95%

3 Denut 3 96.97% 68.66% - 75.00% 80.95%

4 Dentim 2 96.97% 59.70% - 73.44% 95.24%

5 Denbar1 100.00% 52.24% - 76.56% 90.48%

6 Denbar 2 100.00% 52.24% - 76.56% 90.48%

7 Densel 1 84.85% 86.57% - 76.56% 90.48%

8 Densel 2 100.00% 43.28% - 71.88% 76.19%

9 Densel 3 96.97% 73.13% - 78.13% 71.43%

10 Dentim 1 96.97% - 48.75% 62.50% 76.19%

11 Densel 4 100.00% - 47.50% 68.75% 76.19%

Mean 96.97% 63.85% 48.13% 73.58% 82.68%

SD 4,29% 13,26% 0,0088% 0,0449% 0,0775%

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Page 56: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

51

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Gambar 1. Identifikasi faktor yang berpotensi terhadap ketidaksesuian penerapan standar

(Sumber: Koleksi pribadi)

PEMBAHASAN

Penerapan standar pelayanan

kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar

mencapai 79,27% secara keseluruhan,

dengan meliputi aspek pengelolaan obat

dan bahan medis habis pakai mencapai

96.97%, dari aspek pelayanan farmasi

klinis mencapai 63,85%, dari aspek

sumberdaya kefarmasian mencapai

73,58% dan dari aspek pengendalian

mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Hasil

penelitian di Puskesmas Kota Denpasar

ini menunjukkan belum optimalnya

penerapan standar pelayanan kefarmasian

di puskesmas, meski demikian penelitian

ini dapat dikatakan lebih baik

dibandingkan penelitian di Puskesmas

Kota Yogyakarta tahun 2014, dengan

capaian pelaksanaan pelayanan

kefarmasian 63,95% secara keseluruhan

(Widha, Pribadi, dan Dianita 2015) dan

penelitian serupa tahun 2015 di

Puskesmas Kabupaten Magelang dengan

capaian pelaksanaan pelayanan

kefarmasian 71,5% (Dianita, Kusuma,

dan Septianingrum 2017), dan sebanding

dengan penelitian evaluasi pelayanan

kefarmasian puskesmas tahun 2014 di

Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin

Utara yang mencapai hasil 79.5% namun

masih menggunakan pedoman pelayanan

kefarmasian Depkes tahun 2008 (Iqbal,

Alfian, dan Fakhrani 2015; Aspiadi,

Susanto, dan Rony 2014).

Penerapan standar pelayanan

kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar

mencapai 79,27% secara keseluruhn,

dengan meliputi aspek pengelolaan obat

dan bahan medis habis pakai mencapai

96.97%, dari aspek pelayanan farmasi

klinis mencapai 63,85%, dari aspek

sumberdaya kefarmasian mencapai

73,58% dan dari aspek pengendalian

mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Hasil

penelitian di Puskesmas Kota Denpasar

ini menunjukkan belum optimalnya

penerapan standar pelayanan kefarmasin

di puskesmas, meski demikian penelitian

ini dapat dikatakan lebih baik

dibandingkan penelitian di Puskesmas

Kota Yogyakarta tahun 2014, dengan

capaian pelaksanaan pelayanan

kefarmasian 63,95% secara keseluruhan

(Widha, Pribadi, dan Dianita 2015) dan

penelitian serupa tahun 2015 di

Puskesmas Kabupaten Magelang dengan

capaian pelaksanaan pelayanan

Page 57: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

52

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

kefarmasian 71,5% (Dianita, Kusuma,

dan Septianingrum 2017), dan sebanding

dengan penelitian evaluasi pelayanan

kefarmasian puskesmas tahun 2014 di

Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin

Utara yang mencapai hasil 79.5% namun

masih menggunakan pedoman pelayanan

kefarmasian Depkes tahun 2008 (Iqbal,

Alfian, dan Fakhrani 2015; Aspiadi,

Susanto, dan Rony 2014).

Penerapan standar pelayanan

kefarmasian yang belum optimal di

Puskesmas Kota Denpasar di pengaruhi

oleh beberapa faktor yang berpotensi

menyebabkan ketidaksesuaian, yakni

faktor sarana, SDM, dan metode. Faktor

sarana meliputi tidak adanya timbangan

milligram, tidak adanya salinan resep,

tidak terdapat ruang konseling, tidak

terdapat ruang khusus untuk arsip

kefarmasian, dan tidak adanya media

informasi (leaflet, brosur, bulletin, dll).

Faktor SDM meliputi tidak adanya

keterbatasan jumlah petugas farmasi,

terbatasnya pengetahuan petugas farmasi,

dan tidak adanya apoteker. Faktor metode

meliputi

Permenkes Nomer 75 Tahun 2014

tentang Puskesmas, menyebutkan

persyaratan peralatan yg harus ada di

Puskesmas salah satunya ruang farmasi

harus memiliki timbangan analitik, ruang

penerimaan dan penyerahan resep serta

ruang konseling yang memadai (Menteri

Kesehatan Republik Indonesia 2014).

Namun faktor sarana, mucul sebagai

faktor yang berpotensi berpengaruh

terhadap penerapan pelayanan

kefarmasian di kota Denpasar, seperti

tidak memiliki timbangan analitik, ruang

konseling, salinan resep dan media

informasi (leaflet, brosur, bulletin, dll),

namun ketidaklengkapan sarana tersebut

tidak selalu mengakibatkan tidak

optimalnya pelayanan farmasi klinis di

Puskesmas. Hal ini ditunjukkan dengan

tidak tersedianya timbangan analitik juga

tidak terlalu berpengaruh dikarenakan

pembuatan resep racikan dengan

menggunakan sediaan jadi seperti tablet

dengan dosis serta salep dalam tube, dan

belum adanya ruang konseling dan

salinan resep berkaitan dengan tidak

adanya apoteker sebagai pelaksana

konseling dan penulis salinan resep.

Ruang khusus arsip kefarmasian masih

dapat ditoleransi dengan meletakkan

arsip di gudang obat puskesmas maupun

di ruang pelayanan obat itu sendiri,

dengan ditata rapi tanpa mengganggu

proses dan alur pelayanan.

Faktor SDM mengindikasikan

adanya ketidaksesuian penerapan standar

pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

Permenkes 74 tahun 2016 menyebutkan

pada pasal 6 ayat 2 ruang farmasi harus

dipimpin seorang apoteker sebagai

penanggung jawab, meski pada pasal 12

ayat 1 dan 2, dapat dibijaksanai dengan

adanya tenaga teknis kefarmasian yg

hanya boleh melakukan pelayanan

kefarmasian secara terbatas, yang hanya

meliputi pengelolaan Sediaan Farmasi

dan Bahan Medis Habis Pakai; dan

pelayanan resep berupa peracikan Obat,

penyerahan Obat, dan pemberian

informasi Obat (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia 2016). Akan tetapi

tetap belum dapat di optimalkan karena

pada pasal yang sama ayat 3 TTK

tersebut diharuskan dibawah pembinaan

dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk

oleh kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota, sedangkan untuk Kota

Denpasar penunjukan kepada apoteker

belum semua dapat dilakukan mengingat

keterbatasan jumlah apoteker di

lingkungan dinkes Kota Denpasar.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat

Teknologi Intervensi Kesehatan

Masyarakat tahun 2012, menunjukkan

bahwa di Provinsi Banten, Jawa Barat,

DIY dan Jawa Timur, Apoteker belum

tersedia di semua puskesmas perawatan,

apalagi puskesmas non perawatan,

sehingga pelayanan resep dikerjakan oleh

tenaga non profesional. Faktor

keterbatasan jumlah tenaga dan

keterbatasan pengetahuan petugas

farmasi pada penerapan pelayanan

Page 58: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

53

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

kefarmasian di Puskesmas merupakan hal

yang hampir selalu dialami oleh sebagian

besar pelayanan Puskesmas di Indonesia,

salah satu penelitian yang dilakukan oleh

Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan

Masyarakat tahun 2012, bahwa di

Provinsi Banten, Jawa Barat, DIY dan

Jawa Timur, permasalahan yang terkait

dengan apoteker di puskesmas adalah

ketersediaan dan jumlah tidak sesuai

dengan beban kerjanya, sehingga

pelayanan kefarmasian belum berjalan

baik akibat keterbatasan waktu dan

tenaga. Juga ada apoteker dan tenaga

farmasi lain merasa kurang mampu dalam

memberikan informasi obat kepada

tenaga kesehatan lain, khususnya dokter

spesialis di beberapa puskesmas

perawatan, sehingga masih diperlukan

pembinaan dan pelatihan. Sehingga

faktor-faktor tersebut harus secara global

ditangani, terutama di Puskesmas Kota

Denpasar.

Metode pelaksanaan standar

pelayanan kefarmasian berkaitan dengan

faktor sarana, sumber daya manusia serta

dana. Terdapat sejumlah persoalan yang

tercatat sebagai bagian dari adanya

pelaksanaan yang kurang memenuhi

standar, yang akan disebutkan sebagai

berikut.

a. Catatan pengobatan pada RM

dilakukan oleh paramedis, bukan

farmasi.

Beberapa puskesmas menerapkan

informasi satu pintu dalam aplikasi

system informasi, sehingga

pencatatan pengobatan yang

dilakukan oleh paramedik di sistem

informasi rekam medis elektronik,

dapat diakses oleh seluruh tenaga

kesehatan di puskesmas termasuk

tenaga kefarmasian, apabila

dibutuhkan.

b. Tidak dilakukan penyuluhan terkait

informasi obat.

Penyuluhan informasi obat

memegang peranan dalam upaya

bersama antara pemerintah dan

masyarakat melalui ragkaian

kegiatan dalam mewujudkan

kepedulian, kesadaran, pemahaman

dan ketrampilan masyarakat dalam

menggunakan obat secara tepat dan

benar, seperti tercantum dalam

Kepmenkes nomer 427 tahun 2015

tentang Gerakan Masyarakat Cerdas

Menggunakan Obat (Gema Cermat).

Peran tenaga kefarmasian sangat

dibutuhkan untuk melakukan

penyuluhan terkait obat kepada

masyrakat maupun pengunjung

puskesmas.

c. Skrining farmasetis dan klinis tidak

dilakukan dengan optimal.

Seperti halnya di kota Denpasar,

Puskesmas di kota Yogyakarta juga

belum melaksanakan skrining

farmasetis dan klinis secara

menyeluruh, padahal skrining resep

secara optimal dapat mencegah

terjadinya kesalahan pengobatan

(Hindratni & Jaelani, 2017). Faktor

berpotensi yang dapat menyebabkan

tidaak dilakukannya skrining resep

secara optimal adalah keterbatasan

pengetahuan petugas serta

keterbatasan jumlah petugas di

puskesmas, sehingga perencanaan

pengembangan pelayanan

kefarmasian dalam bentuk

penambahan personil dan pelatihan

kefarmasian harus dapat dilakukan

dalam setiap perencanaan tahunan

puskesmas.

d. Pemantauan terapi obat tidak dapat

dilakukan.

Pemantauan terapi obat tidak

dilakukan terkait tidak adanya

sumber daya apoteker di semua

puskesmas, sehingga perencanaan

pengembangan mutu pelayanan

kefarmasian melalui pengadaaan

apoteker di puskesmas sangat

diperlukan dalam rangka melakukan

pemantauan terapi terhadap pasien

yang mengkonsumsi obat secara

berkelanjutan maupun tidak, agar

pasien mendapatkan terapi obat yang

efektif, terjangkau dengan

Page 59: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

54

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

memaksimalkan efikasi dan

meminimalkan efek samping.

e. Audit profesional tidak dapat

dilakukan

Hampir seluruh puskesmas tidak

melakukan audit professional karena

keterbatasan petugas, sehingga

pengendalian mutu layanan hanya

dilakukan dengan audit klinis yaitu

pencapaian kinerja.

f. Konseling tidak dapat dilakukan.

Konseling tidak dilakukan terkait

tidak adanya sumber daya apoteker

di semua puskesmas, sehingga

perencanaan pengembangan mutu

pelayanan kefarmasian melalui

pengadaaan apoteker di puskesmas

sangat penting untuk media interaksi

pasien dengan apoteker, untuk

memberikan informasi dan edukasi

terkait obat, sebagaimana yang telaha

dijelaskan dalam konsep asuhan

kefarmasian yang bertujuan untuk

memberikan peningkatan

pengetahuan tetang obat dan

pengobatan dengan harapan agar

pasien paham mengenai obat yg

digunakan, karena konseling

diharapkan dapat merubah perilaku

pasien guna meningkaatkan

kepatuhan penggunaan obat yang

berdampak pada keberhasilan

terapinya.

g. Visite/ronde tidak dapat dilakukan.

Visite atau ronde di puskesmas rawat

inap, merupakan kegiatan kunjungan

ke pasien rawat inap yang dilakukan

secara mandiri atau bersama tim

profesi kesehatan lainnya yang

dilaksanakan untuk memeriksa obat

pasien, memberi rekomdasi kepada

dokter dalam pemilihan obat dengan

mempertimbangkan diagnosis dan

kondisi klinis pasien serta memantau

perkembangan klinis pasien yang

terkait dengan penggunaan obat.

Mengingat pentingnya visite, maka

perencanaan pengembangan mutu

pelayanan kefarmasian melalui

pengadaaan apoteker di puskesmas

sangat diperlukan.

h. Evaluasi kinerja tidak dapat

dilakukan dengan teknik observasi

dan data sekunder.

Teknik obervasi data membutuhkan

waktu dan tenaga yang lebih banyak

dibanding teknik survey, sehingga

hampir seluruh puskesmas

menggunakan teknik survey.

Pengambilan data sekunder juga

melibatkan banyak tenaga dan lintas

program di puskesmas sehingga

hampir seluruh puskesmas

menggunakan teknik data primer.

1. Dana (Money)

Permasalahan yang berkaitan dengan

dana meliputi kurangnya dana

pengembangan, lebih diutamakan

untuk program unggulan dan

kurangnya workshop dan pelatihan

kefarmasian. Kurangnya dana

pengembangan dan pengadaaan

pelatihan serta workshop

kefarmasian berpotensi

menyebabkan ketidaksesuaian

penerapan standar pelayanan. Hasil

uji statistik menunjukkan bahwa

keberadaan apoteker belum

meningkatkan mutu pelayanan

Puskesmas berdasarkan ketersediaan

prosedur tetap dan daftar tilik

pelayanan kefarmasian di Puskesmas

wilayah Kabupaten Banyumas

sehingga disarankan perlu adanya

pembinaan dan pelatihan oleh dinas

kesehatan kabupaten bekerja sama

dengan IAI untuk apoteker yang

bekerja di Puskesmas (Hanggara

dkk., 2017). . Penyelenggaraan

Pelatihan dan workshop kefarmasian

juga harus diatur dalam perencanaan

pengembangan puskesmas tanpa

dipengaruhi program unggulan, serta

memanfaatkan dana APBD, BOK

maupun Kapitasi JKN dengan merata

ke setiap program puskesmas

termasuk kefarmasian.

Page 60: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

55

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Hasil penelitian di Puskesmas

Kota Denpasar ini, masih menyisakan

keterbatasan karena hanya menggali

informasi dari sisi petugas farmasi di

Puskesmas saja, tanpa menggali akar

pemasalahan kepada yang berwenang

dalam hal ini Kepala Puskesmas dan

Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

SIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik dari

penelitian ini adalah, penerapan standar

pelayanan kefarmasian di puskesmas kota

Denpasar dari aspek pengelolaan obat

dan bahan medis habis pakai mencapai

96.97%, dari aspek pelayanan farmasi

klinis mencapai 63,85%, dari aspek

sumberdaya kefarmasian mencapai

73,58% dan dari aspek pengendalian

mutu pelayanan mencapai 82,68 %.

Berdasarkan hasil wawancara dapat

diidentifikasi 18 faktor dari metode, dana,

sumber daya manusia dan sarana, yang

berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian

penerapan standar pelayanan kefarmasian

di puskesmas kota Denpasar.

SARAN

Berdasarkan simpulan dari

penelitian ini, maka berikut adalah

beberapa saran untuk puskesmas di Kota

Denpasar, yaitu tetap mempertahankan

pelayanan kefarmasian sesuai standar

pelayanan pada aspek pengelolaan obat

dan bahan medis habis pakai serta perlu

meningkatkan pelayanan kefarmasian

dari aspek pelayanan farmasi klinis,

sumber daya kefarmasian dan

pengendalian mutu pelayaan

kefarmasian, agar optimal sesuai dengan

Permenkes Nomor 74 Tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

di Puskesmas. Terutama pada hal

pengadaan sumber daya apoteker,

penanganan keterbatasan jumlah tenaga

kefarmasiann, peningkatan pengetahuan

tenaga kefarmasian serta melengkapi

sarana dan dana pengembangan yang

dibutuhkan sesuai persyaratan peralatan

dan bangunan dalam Permenkes 75

Tahun 2014 tentang Puskesmas, sehingga

seluruh proses dan metode penerapan

standar pelayanan dapat dilakukan secara

optimal.

Berdasarkan keterbatasan penelitian ini,

maka saran untuk penelitian selanjutnya

adalah peneliti mengembangkan metode

penelitian, menggunakan jenis penelitian

kualitatif, sehingga hasil pengisian

kuisioner dapat lebih pasti dan

meminimalisir salah persepsi dalam

pembacaan kuisioner oleh responden.

DAFTAR RUJUKAN

Aspiadi, Yugo Susanto, dan Rony. 2014.

“Evaluasi Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas Kecamatan Banjarmasin

Selatan.” Banjarmasin: Akademi

Farmasi ISFI Banjarmasin.

http://repository.akfar-

isfibjm.ac.id/53/7/Aspiadi.pdf.

Dianita, Puspita Septie, Tiara Mega

Kusuma, dan Ni Made Ayu Nila

Septianingrum. 2017. “Evaluasi

Penerapan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas

Kabupaten Magelang Berdasarkan

Permenkes RI No.74 tahun 2016.”

In Proceeding 6th University

Research Colloquium 2017: Seri

Humaniora, Sosial, dan Agama,

125–34.

http://journal.ummgl.ac.id/index.php

/urecol/article/view/1631.

Hanggara, Rr. Shinta Lian, Nabial

Chiekal Gibran, Anjar Mahardian

Kusuma, dan Githa Fungie

Galistiani. 2017. “Pengaruh

Keberadaan Apoteker terhadap

Mutu Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas Wilayah Kabupaten

Banyumas.” Jurnal Kefarmasian

Indonesia 7 (1).

https://doi.org/10.22435/jki.v7i1.501

8.67-76.

Page 61: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

56

Dewi, Parthasutema & Putri

Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Hindratni, Findy, dan Abdul Khodir

Jaelani. 2017. “Gambaran Skrining

Resep Pasien Rawat Jalan di

Puskesmas Kota Yogyakarta Tahun

2015.” Jurnal Endurance 2 (1): 1.

https://doi.org/10.22216/jen.v2i1.12

96.

Iqbal, Muhammad, Riza Alfian, dan

Erwin Fakhrani. 2015. “Evaluasi

Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas Kecamatan Banjarmasin

Utara.” Banjarmasin.

https://www.semanticscholar.org/pa

per/Evaluasi-Pelayanan-

Kefarmasian-Di-Puskesmas-

Iqbal/b4afabb5698d5f72ad9ebe1184

827209a64a5b97.

Mangkoan, Monalisa. 2016.

“Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian Berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomer 30 Tahun 2014

pada Puskesmas di Kota

Yogyakarta.” Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma.

https://repository.usd.ac.id/6191/2/1

28114159_full.pdf.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

2014. Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 75

Tahun 2014. Menteri Kesehatan

Republik Indonesia. Menteri

Kesehatan Republik Indonesia.

https://dinkes.gunungkidulkab.go.id/

wp-

content/uploads/2014/10/Permenkes

-No-75-Th-2014-ttg-Puskesmas.pdf.

———. 2016. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.

74 Tahun 2016. Menteri Kesehatan

Republik Indonesia.

https://www.persi.or.id/images/regul

asi/permenkes/pmk742016.pdf.

Widha, Puput, Prasojo Pribadi, dan

Puspita Septie Dianita. 2015.

“Gambaran Penerapan Standar

Pelayanan Kefarmasian Di

Puskesmas X Kota Magelang.”

Jurnal Farmasi Sains dan Praktis 1

(1): 35–41.

https://doi.org/10.31603/PHARMA

CY.V1I1.36.

Page 62: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

57

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test (Cct) dan

Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (Elfg) Pada Pasien Kemoterapi

di Rumah Sakit Prima Medika

Sariati Wijayanti 1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra 2, I K. Putra Juliantara 3

1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar Belakang: Creatinin clirens test (CCT) merupakan suatu pemeriksaan yang dapat dipercaya

untuk memperkirakan LFG. Untuk mengatasi berbagai kelemahan pada pemeriksaan creatinin clirens

test, dapat menggunakan estimasi perhitungan laju filtrasi glomerulus. Estimasi perhitungan laju

filtrasi glomerulus dapat menggunakan formula Cockcroft Gault (CG), Modification of Diet in Renal

Disease (MDRD), dan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI). Masing –

masing formula memiliki kelebihan dan kekurangan. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbandingan hasil CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI) dan hubungan korelasi

hasil antara CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI). Metode: Penelitian mengenai perbandingan

hasil CCT dan eLFG ini merupakan jenis penelitian analitik komparatif dengan pendekatan

retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil CCT dengan eLFG

(CG,MDRD,CKD-EPI) (p>0,05). Selain itu, terdapat korelasi hasil antara CCT dengan eLFG

(CG,MDRD,CKD-EPI) (r>0,05) dimana CKD-EPI memiliki hubungan korelasi terbesar dengan CCT.

Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI). Selain itu,

terdapat korelasi hasil antara CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI).

Kata kunci: CCT, eLFG, CG, MDRD, CKD-EPI, Kemoterapi

ABSTRACT Background: Creatin clirens test (CCT) is a reliable examination to estimate LFG. To solve some

weaknesses in the creatinine clirens test, we can use estimation of glomerulus filtration rate (eLFG).

Estimation of glomerulus filtration rate (eLFG) can be used as the Cockcroft Gault (CG) formula,

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD), and Chronic Kidney Disease Epidemiology

Collaboration (CKD-EPI). Each formula has advantages and disadvantages. Objective: The aim of

this study was to compare the results of CCT with eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) and the correlation

between results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI). Method: Research on the comparison of

the results of creatinine clarity test (CCT) and estimation of glomerulus filtration rate (eLFG) is a type

of comparative analytical study with a retrospective approach. Result: The results showed that there

were no differences in the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) (p > 0.05). In addition,

there is correlation between CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) (r > 0.05). Conclusion: It can

be concluded that there is no difference in the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI). In

addition, there is a correlation between the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI).

Keywords: CCT, eLFG, CG, MDRD, CKD-EPI, Chemotherapy

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted July 26th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 63: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

58

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Di jaman era globalisasi saat ini,

lingkungan yang telah tercemar, makanan

yang tidak sehat, dan pola hidup yang

kurang baik dapat menyebabkan

timbulnya beranekaragam penyakit.

Salah satu contoh penyakit yang

ditimbulkan adalah kanker. Kanker

adalah suatu kelompok penyakit yang

ditandai dengan pertumbuhan sel yang

tidak terkendali, menginvasi jaringan

lokal dan dapat bermetastasis jauh

(Kurnia 2015).

Salah satu cara penanganan

kanker adalah kemoterapi. Pada

umumnya kemoterapi menggunakan zat

kimia atau obat sitostatik. Efek samping

dari kemoterapi yang disebabkan karena

penggunaan obat-obatan yang sangat

kuat, tidak hanya membunuh sel-sel

kanker, tetapi juga menyerang sel-sel

yang sehat (Setiawan 2015).

Salah satu efek samping yang

disebabkan oleh obat kemoterapi

nefrotoksisitas. Nefrotoksisitas

menyebabkan penurunan fungsi ginjal

juga sering menjadi penyabab gagal

ginjal baik gagal ginjal akut hingga gagal

ginjal kronik. Kejadian kerusakan ginjal

pada pasien yang menggunakan obat

kemoterapi sekitar 5% dengan hidrasi

adekuat dan 25% hingga 45% tanpa

hidrasi adekuat (Prasetyaningrum, Sari,

dan Andalusia 2013). Ginjal berfungsi

mengeluarkan metabolit obat kemoterapi

dari dalam tubuh. Namun, metabolit obat

kemoterapi tersebut dapat merusak sel–

sel ginjal, ureter, dan kandung kemih.

Kerusakan ginjal pada pasien yang

menjalani kemoterapi berbeda–beda

sesuai dengan jenis kemoterapi dan obat

kemoterapi yang digunakan. Kerusakan

ginjal akibat penggunaan obat kemoterapi

dapat bersifat ringan sampai berat,

bahkan dapat menyebabkan gagal ginjal

(Adam, Umboh, dan Gunawan 2015).

The National Kidney Disease

Education Program merekomendasikan

penggunaan serum kreatinin untuk

mengukur kemampuan filtrasi glomerulus

dan digunakan untuk memantau

perjalanan penyakit ginjal (Verdiansah

2016). Kreatinin merupakan hasil

metabolisme dari kreatin dan

fosfokreatin. Kreatinin difiltrasi di

glomerulus dan direabsorpsi di tubular.

Kreatinin plasma disintesis di otot skelet

sehingga kadarnya bergantung pada

massa otot dan berat badan (Alfonso,

Mongan, dan Memah 2016). Kreatinin

laki – laki lebih besar dibandingkan

dengan perempuan karena masa otot dan

berat badan laki – laki lebih besar dari

perempuan. Pemeriksaan kreatinin

memiliki kelemahan yaitu kadar

kreatinin dalam darah dipengaruhi oleh

masa otot. Selain itu, pada keadaan

gangguan faal ginjal terdapat sebagian

kreatinin yang disekresi oleh tubulus,

sedangkan pada keadaan normal

kreatinin hanya difiltrasi glomerulus dan

tidak disekresi atau direabsorbsi oleh

tubulus (Nissa dkk. 2015)

Metode lain untuk mengukur laju

filtrasi glomerulus (LFG) yaitu dengan

pemeriksaan klirens inulin yang

merupakan baku emas untuk penilaian

LFG. Namun, pemeriksaan ini jarang

dilakukan karena memerlukan waktu

yang lama, tenaga praktisi yang ahli, dan

biaya yang mahal. Oleh karena itu,

pemeriksaan klirens inulin jarang

digunakan dalam pemeriksaan fungsi

ginjal (Nissa dkk. 2015).

Creatinin Clirens Test (CCT)

merupakan suatu pemeriksaan yang dapat

dipercaya untuk memperkirakan LFG.

Pemeriksaan Creatinin Clirens Test

(CCT) membutuhkan sampel urin

tampung 24 jam serta pemeriksaan

kreatinin serum. Kelemahan pemeriksaan

Creatinin Clirens Test (CCT) yaitu

sulitnya menampung urin 24 jam dan

memberi edukasi ke pasien. Hasil

pemeriksaan Creatinin Clirens Test

(CCT) sering berupa hasil rendah palsu

ataupun tinggi palsu yang disebabkan

ketidaktepatan penampungan urin dan

Page 64: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

59

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

akan menimbulkan bias (Nissa dkk.

2015).

Untuk mengatasi berbagai

kelemahan pada pemeriksaan Creatinin

Clirens Test (CCT), dapat menggunakan

estimasi perhitungan laju filtrasi

glomerulus. Estimasi perhitungan laju

filtrasi glomerulus dapat menggunakan

formula Cockcroft Gault (CG),

Modification of Diet in Renal Disease

(MDRD), dan Chronic Kidney Disease

Epidemiology Collaboration (CKD-EPI).

Masing – masing formula memiliki

kelebihan dan kekurangan. Kelebihan

formula tersebut adalah tanpa

menggunakan urin tampung 24 jam,

tetapi formula ini memiliki kelemahan

yaitu rumus yang kompleks dan dalam

perhitungannya membutuhkan alat bantu

komputer (Dewi 2015).

Salah satu layanan unggulan

Rumah Sakit Prima Medika yaitu layanan

kanker terpadu Endrawati Cancer Center

yang terdiri dari tim onkologi yang

memiliki kompetensi dalam penanganan

kanker. Rumah Sakit Prima Medika

merupakan salah satu rumah sakit swasta

di Denpasar, Bali yang beroperasional

sejak tahun 2002. Rumah Sakit Prima

Medika terletak di Jalan Raya Sesetan No

10, Denpasar, Bali. Rumah sakit ini

dibangun dengan konsep Boutique

Hospital yang memadukan pelayanan

kesehatan dengan standar pelayanan

medis berkualitas. Pasien kemoterapi di

Rumah Sakit Prima Medika melakukan

pemeriksaan kreatinin klirens dan

jumlahnya cukup banyak per tahunnya.

Jumlah pasien kemoterapi di Rumah

Sakit Prima Medika pada tahun 2014

sampai tahun 2017 berturut – turut adalah

263 orang, 429 orang, 466 orang, dan 411

orang.

Berdasarkan hal tersebut peneliti

ingin melakukan penelitian dengan judul

“Perbandingan Hasil Creatinin Clirens

Test (CCT) dan Estimasi Laju Filtrasi

Glomerulus (eLFG) pada Pasien

Kemoterapi di Rumah Sakit Prima

Medika”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbandingan hasil CCT

dengan eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI)

dan hubungan korelasi hasil antara CCT

dengan eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI).

METODE

Penelitian mengenai perbandingan

hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan

estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG)

ini merupakan jenis penelitian analitik

komparatif dengan pendekatan

retrospektif. Tempat penelitian ini

dilaksanakan di Laboratorium Rumah

Sakit Prima Medika Jalan Raya Sesetan

No10 Denpasar, Bali. Sedangkan, waktu

penelitian ini dari bulan Desember 2018 -

Januari 2019.

Populasi penelitian ini yaitu

seluruh pasien kemoterapi yang

melakukan pemeriksaan Creatinin

Clirens Test (CCT) di Rumah Sakit

Prima Medika. Sampel penelitian ini

yaitu pasien kemoterapi yang melakukan

pemeriksan Creatinin Clirens Test (CCT)

di Rumah Sakit Prima Medika yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria sampel inklusi pada

penelitian ini yaitu data hasil

pemeriksaan Creatinin Clirens Test

(CCT) pada pasien kemoterapi dewasa

(18 - 60 tahun) baik laki – laki maupun

perempuan dan data yang diambil adalah

data pemeriksaan yang lengkap yaitu

terdapat hasil kreatinin serum, berat

badan, umur, jenis kelamin dan ras.

Kriteria eksklusi yaitu sampel yang tidak

termasuk kriteria yaitu data pemeriksaan

yang tidak lengkap yaitu data yang tidak

terdapat hasil kreatinin serum, hasil CCT,

berat badan, umur, jenis kelamin ataupun

ras.

Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan teknik

total sampling, yaitu teknik penetuan

sampel dengan cara mengambil seluruh

anggota populasi sebagai responden atau

sampel (Sugiyono 2017). Pengambilan

Page 65: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

60

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

data hasil Creatinin Clirens Test (CCT)

dilakukan dengan melakukan penelusuran

data hasil kreatinin serum dan kreatinin

klirens pada komputer di laboratorium

Rumah Sakit Prima Medika.

Setelah data yang diambil telah

mencukupi kriteria jumlah sampel maka

dilakukan perhitungan eLFG dengan

formula Cockcroft -Gault (CG),

Modification of Diet in Renal Disease

(MDRD), dan Chronic Kidney Disease

Epidemiology Collaboration (CKD-EPI)

dengan menggunakan alat bantu hitung.

Statistik deskriptif dalam

penelitian ini adalah deskripsi dalam

bentuk numerik. Deskripsi dalam bentuk

numerik dianalisis dengan menggunakan

mean, simpangan baku, maximim dan

minimum (Hidayat, 2010). Analisa juga

dilakukan dengan menggunakan statistic

inferensial. Statistik inferensial

berusaha membuat berbagai inferensi

terhadap sekumpulan data yang berasal

dari suatu sampel. Dalam analisis

inferensi data yang diolah adalah dua

variabel atau lebih misalnya, analisis

hubungan , pengaruh, perbedaan antar

variabel atau lebih. Dalam penelitian ini

menggunakan tehnik pengujian

komparatif (paired T test) dan uji korelasi

(product moment) (Hidayat 2010).

HASIL

Karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan

seperti pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1

ditunjukkan bahwa jumlah responden

perempuan lebih banyak daripada jumlah

laki-laki. Jumlah responden perempuan

57,1 persen dan responden laki - laki 42,9

persen. Karakteristik responden

berdasarkan umur ditunjukkan seperti

tabelo2. Berdasarkan tabel 2, dapat

diketahui bahwa rata-rata pasien

kemoterapi di Rumah Sakit Prima

Medika adalah 42 tahun, umur terendah

adalah 21 tahun dan tertinggi adalah 59

tahun.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis

Kelamin

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1 Laki-laki 15 42,9

2 Perempuan 20 57,1

Jumlah 35 100

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Umur

Statistik Umur (tahun)

Mean 42

Minimum 21

Maksimum 59

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Subjek dalam penelitian ini adalah

pasien kemoterapi yang melakukan

pemeriksan Creatinin Clirens Test (CCT)

di Rumah Sakit Prima Medika yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Jumlah Subjek dalam penelitian ini

sebanyak 35 orang yang terdiri dari 15

laki - laki dan 20 perempuan.

Berdasarkan tabel 1, ditunjukkan bahwa

jumlah responden perempuan lebih

banyak daripada jumlah laki-laki. Jumlah

responden perempuan 57,1 persen dan

responden laki - laki 42,9 persen.

Penderita kanker lebih banyak ditemukan

pada jenis kelamin perempuan

dibandingkan laki-laki. Hal ini

dikarenakan perempuan biasanya lebih

perhatian (aware) terhadap kesehatannya

dibandingkan laki-laki, sehingga kasus

kanker dapat terdeteksi lebih banyak pada

perempuan dibandingkan laki-laki.

Penelitian yang dilakukan

terhadap 35 responden menunjukkan

kisaran usia responden antara 21 tahun

hingga 59 tahun, dengan rata – rata usia

adalah 42 tahun. Semakin tua usia

responden, maka resiko terkena penyakit

kanker semakin tinggi, dan mencapai

puncaknya pada usia 35 - 44 tahun.

Berdasarkan tabel 3 di bawah ini,

ditunjukkan bahwa nilai p > 0,05 yaitu

0,565. Hal ini berarti tidak ada perbedaan

signifikan hasil Creatinin Clirens Test

Page 66: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

61

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

(CCT) dan Formula Cockcroft-Gault

(CG) pada pasien kemoterapi di Rumah

Sakit Prima Medika.

Tabel 3. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG

dengan CG Pada Pasien Kemoterapi Di Rumah

Sakit Prima Medika

Kelompok N Mean SD P

CCT 35 84,77 38,87 0,565

CG 35 79,6 35,97

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Berdasarkan tabel 4 di bawah,

ditunjukkan bahwa nilai p > 0,05 yaitu

0,673. Hal ini berarti tidak ada perbedaan

signifikan hasil Creatinin Clirens Test

(CCT) dan estimasi laju filtrasi

glomerulus (eLFG) dengan Modification

of Diet in Renal Disease (MDRD).

Tabel 4. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG

dengan MDRD pada Pasien Kemoterapi Di

Rumah Sakit Prima Medika

Kelompok N Mean SD P

CCT 35 84,77 38,87 0,673

MDRD 35 89,19 47,51

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Berdasarkan tabel 5, ditunjukkan

bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,548. Hal ini

berarti tidak ada perbedaan signifikan

hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan

estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG)

dengan Chronic Kidney Epidemiology

Collaboration (CKD-EPI) pada pasien

kemoterapi di Rumah Sakit Prima

Medika.

Tabel 5. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG

CKD-EPI pada Pasien Kemoterapi di Rumah

Sakit Prima Medika

Kelompok N Mean SD P

CCT 35 84,77 38,87 0,548

CKD-EPI 35 89,85 31,13

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

Berdasarkan tabel 6, hasil uji

korelasi diperoleh bahwa nilai r antara

Creatinin Clirens Test (CCT) dengan

estimasi laju filtrasi glomerulus yang

dihitung dengan formula Cockcroft gault

(CG) adalah 0,610. Nilai r antara

Creatinin Clirens Test (CCT) dengan

estimasi laju filtrasi glomerulus yang

dihitung dengan Modification of Diet in

Renal Disease (MDRD) adalah 0,603.

Dan nilai r antara Creatinin Clirens Test

(CCT) dengan estimasi laju filtrasi

glomerulus yang dihitung dengan

Chronic Kidney Epidemiology

Collaboration (CKD-EPI) adalah 0,744.

Tabel 6. Hubungan Korelasi Hasil antara CCT

dengan CG, MDRD dan CKD-EPI pada Pasien

Kemoterapi di Rumah Sakit Prima Medika

Variabel CCT (r) P (Value)

CG 0,610 0,00

MDRD 0,603 0,00

CKD - EPI 0,744 0,00

Sumber: Hasil penelitian (data diolah).

PEMBAHASAN

Dari hasil perbandingan nilai tiap

variabel penelitian yang ditunjukkan pada

tabel 3, 4 dan 5 diperoleh tidak ada

perbedaan signifikan Creatinin Clirens

Test (CCT) dan Estimasi laju filtrasi

glomerulus (eLFG) dengan formula

Cockcroft Gault (CG), ModificationOf

Diet In Renal Disease (MDRD), Chronic

Kidney Epidemiology Collaboration

(CKD-EPI) pada pasien kemoterapi di

Rumah Sakit Prima Medika. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Dewi

(2015) yang menyatakan bahwa formula

CG, MDRD dan CKD-EPI dapat

dijadikan alternatif penggunaan dalam

menilai LFG sehingga mengurangi

penggunaan CCT yang rumit dan mahal.

Kelemahan pemeriksaan

Creatinin Clirens Test (CCT) yaitu

sulitnya menampung urin 24 jam dan

memberi edukasi ke pasien. Hasil

pemeriksaan CCT sering berupa hasil

rendah palsu ataupun tinggi palsu yang

disebabkan ketidaktepatan penampungan

urin dan akan menimbulkan bias (Nissa

dkk. 2015).

Berdasarkan uji korelasi yang

ditunjukkan pada tabel 6 diperoleh bahwa

hubungan CCT dengan CKD-EDI

memiliki nilai korelasi tertinggi dengan

Page 67: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

62

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

nilai r yaitu 0,744 (p=0,00). Hal ini

berarti metode CKD-EPI memiliki hasil

yang mendekati metode CCT

dibandingkan metode CG dan MDRD.

Performa CKD-EPI lebih baik

dibandingkan MDRD karena memiliki

presisi yang lebih baik, akurasinya tinggi

dan pada keadaan laju filtrasi glomerulus

yang tinggi didapatkan hasil dengan bias

lebih kecil (Levey dkk. 2009; Matsushita

dkk. 2012; Rhee dkk. 2017). Hal ini

sejalan dengan penelitian Jessani dkk.

(2014) yaitu persamaan CKD-EPI secara

signifikan lebih akurat dan lebih tepat

dibandingkan dengan persamaan MDRD

pada populasi penduduk Asia Selatan.

Simetic dkk. (2015) yang

menggunakan rancangan penelitian

retrospektif dengan jumlah responden

500 pasien , didapatkan hasil bahwa

formula Cockcroft-Gault (CG),

Modification Of Diet In Renal Disease

(MDRD), Chronic Kidney Epidemiology

Collaboration (CKD-EPI) menunjukkan

korelasi yang tinggi dengan Creatinin

Clirens Test (CCT), terlepas dari

diabetes, kelebihan berat badan atau usia

tua serta tidak ada perbedaan yang

signifikan.

Pengaruh hiperglikemia pada

eLFG yang dihitung dengan persamaan

CKD-EPI, CG dan MDRD dalam

memperkirakan hiperfiltrasi pada pasien

diabetes di Cina dengan menggunakan

3.492 sampel. Diperoleh bahwa hasil

CKD-EPI dapat digunakan sebagai alat

skrining untuk hiperfiltration dan

merupakan persamaan yang sering

digunakan, serta lebih akurat untuk

memperkirakan eLFG pada pasien

diabetes di Cina (Zhao dkk. 2015). Selain

itu, pada penelitian (Liu dkk. 2014)

dengan menggunakan 1.196 sampel

pasien diabetes diperoleh hasil bahwa

persamaan CKP-EPI menunjukkan

akurasi yang lebih baik dibandingkan

dengan MDRD dengan akurasi untuk

persamaan MDRD adalah 55,2%, dan

akurasi untuk CKD-EPI adalah 62,9%.

Penelitian pada pasien gagal

jantung sistolik kronis dengan jumlah

sampel 120 pasien didapatkan hasil

persamaan CKD-EPI lebih akurat dalam

memperkirakan eLFG yang diukur dari

persamaan MDRD pada pasien gagal

jantung, dengan bias yang lebih sedikit

dan akurasi serta presisi yang lebih besar.

Berdasarkan kinerja yang lebih baik dan

prediksi risiko yang sama persamaan

CKD-EPI merupakan metode eLFG

yang dapat digunakan pada pasien gagal

jantung, terutama dengan penyakit ginjal

sedang (Valente dkk. 2014).

Berdasarkan kekuatan hubungan

variabel bebas dan variabel terikat,

diketahui hubungan CCT dengan CKD-

EPI memiliki nilai korelasi tertinggi

sebesar 0,744. Menurut Sugiyono (2017)

nilai korelasi 0,744 pada hubungan CCT

dengan CKD-EPI berarti adanya

hubungan yang kuat.

Hal ini sejalan dengan penelitian

dengan menggunakan 104 sampel (71

laki - laki dan 33 perempuan) pasien

CKD. Analisis regresi linier dan korelasi

Spearman digunakan untuk

mengidentifikasi hubungan antara

variabel dan diperoleh hasil yaitu CCT

berkorelasi kuat dengan CG (r=0,77).

SIMPULAN

Tidak terdapat perbedaan hasil

CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-

EPI). Selain itu, terdapat korelasi hasil

antara CCT dengan eLFG

(CG,MDRD,CKD-EPI).

SARAN

Peneliti menyarankan agar

penelitian selanjutnya meneliti tentang

perbandingan hasil ketiga persamaan

eLFG yaitu CG, MDRD dan CKD- EPI

pada geriatri atau pasien dengan usia > 60

tahun dan meneliti pebandingan hasil

eLFG dengan cystatin C atau dengan

Page 68: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

63

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

kreatinin inulin sebagai gold standart

pada pasien kemoterapi. Selain itu,

peneliti merekomendasikan penggunan

persamaan CKD-EPI dibandingkan

MDRD dan CG sebagai pemeriksaan

alternatif pengganti CCT karena hasilnya

paling mendekati hasil CCT.

DAFTAR RUJUKAN

Adam, Kartini W, Adrian Umboh, dan

Stefanus Gunawan. 2015.

“Gambaran Fungsi Ginjal Pada

Anak Dengan Terapi Estella Rsup

Prof Dr Rd Kandou.” Jurnal e-

Clinic (eCI).

Alfonso, Astrid A., Arthur E. Mongan,

dan Maya F. Memah. 2016.

“Gambaran kadar kreatinin serum

pada pasien penyakit ginjal kronik

stadium 5 non dialisis.” Jurnal e-

Biomedik 4 (1).

https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.20

16.10862.

Dewi, Yunika. 2015. “Performa Formula

Cockcroft-Gault , MDRD Dan

CKD-EPI.” Research Gate. 2015.

https://doi.org/10.13140/RG.2.1.364

6.8640.

Hidayat, Abdul Aziz Alimul. 2010.

Metode Penelitian Kesehatan

Paradigma Kuantitatif. Jakarta:

Salemba Medika.

Kurnia, Yasavati. 2015. “Farmakoterapi

Mutakhir Keganasan | Jurnal

Kedokteran Meditek.” Jurnal

Kedokteran Meditek 20 (53): 21–30.

http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index

.php/Meditek/article/view/1016.

Levey, Andrew S., Lesley A. Stevens,

Christopher H. Schmid, Yaping

Zhang, Alejandro F. Castro, Harold

I. Feldman, John W. Kusek, et al.

2009. “A new equation to estimate

glomerular filtration rate.” Annals of

Internal Medicine.

https://doi.org/10.7326/0003-4819-

150-9-200905050-00006.

Liu, Xun, Xiaoliang Gan, Jinxia Chen,

Linsheng Lv, Ming Li, dan Tanqi

Lou. 2014. “A New Modified CKD-

EPI Equation for Chinese Patients

with Type 2 Diabetes.” Diedit oleh

Zhanjun Jia. PLoS ONE 9 (10):

e109743.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.

0109743.

Matsushita, Kunihiro, Bakhtawar K.

Mahmoodi, Mark Woodward,

Jonathan R. Emberson, Tazeen H.

Jafar, Sun Ha Jee, Kevan R.

Polkinghorne, et al. 2012.

“Comparison of risk prediction

using the CKD-EPI equation and the

MDRD study equation for estimated

glomerular filtration rate.” JAMA -

Journal of the American Medical

Association 307 (18): 1941–51.

https://doi.org/10.1001/jama.2012.3

954.

Nissa, Camelia Khairun, Amaylia

Oehadian, Abdul Hadi

Martakusumah, dan Yussy Afriani

Dewi. 2015. “Perbandingan Akurasi

Berbagai Formula untuk

Mengestimasi Laju Filtrasi

Glomerulus pada Penderita

Karsinoma Nasofaring Stadium

Lanjut Sebelum Mendapat

Kemoterapi Cisplatin.” Majalah

Kedokteran Bandung 47 (1): 42–48.

https://doi.org/10.15395/mkb.v47n1.

396.

Prasetyaningrum, Marchen, Santi Purna

Sari, dan Rizka Andalusia. 2013.

“Evaluasi penurunan fungsi ginjal

pasien yang mendapatkan cisplatin

di Rumah Sakit Kanker Dharmais

Jakarta Periode Juli – Desember

2012.” Universitas Indonesia.

http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/201

6-03/S46789-Marchen

Prasetyaningrum.

Rhee, Jiyoung, Jung Mi Kwon, Sang

Hoon Han, Sun Hyung Kim, Chang

Hyun Park, Ji Hyeon Jeon, Jong Tae

Cho, Eun Kyoung Lee, dan So Mi

Kim. 2017. “Cockcroft-gault,

modification of diet in renal disease,

Page 69: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

64

Wijayanti, Putra & Juliantara

Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

and chronic kidney disease

epidemiology collaboration

equations for estimating glomerular

filtration rates in cancer patients

receiving cisplatin-based

chemotherapy.” Kidney Research

and Clinical Practice 36 (4): 342–

48.

https://doi.org/10.23876/j.krcp.2017.

36.4.342.

Setiawan, Satria Dharma. 2015. “THE

EFFECT OF CHEMOTHERAPY

IN CANCER PATIENT TO

ANXIETY.” Medical Journal of

Lampung University 4 (4).

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/in

dex.php/majority/article/view/587.

Sugiyono. 2017. “Metode Penelitian

Kuantitatif,Kualitatif dan R&D.”

Bandung: CV Aflabeta.

Valente, Mattia A.E., Hans L. Hillege,

Gerjan Navis, Adriaan A. Voors,

Peter H.J.M. Dunselman, Dirk J.

Van Veldhuisen, dan Kevin

Damman. 2014. “The Chronic

Kidney Disease Epidemiology

Collaboration equation outperforms

the modification of Diet in Renal

Disease equation for estimating

glomerular filtration rate in chronic

systolic heart failure.” European

Journal of Heart Failure 16 (1): 86–

94.

https://doi.org/10.1093/eurjhf/hft128

.

Verdiansah. 2016. “Pemeriksaan Fungsi

Ginjal.” Cermin Dunia Kedokteran

43 (2): 148–54.

http://www.cdkjournal.com/index.ph

p/CDK/article/view/25.

Zhao, Fangya, Lei Zhang, Junxi Lu,

Kaifeng Guo, Mian Wu, Haoyong

Yu, Mingliang Zhang, Yuqian Bao,

Haibing Chen, dan Weiping Jia.

2015. “The chronic kidney disease

epidemiology collaboration equation

improves the detection of

hyperfiltration in Chinese diabetic

patients.” International Journal of

Clinical and Experimental Medicine

8 (12): 22084–97. www.ijcem.com/.

Page 70: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

65

Pengaruh Ekstrak Batang dan Daun Pakis Sayur (Diplazium

Esculentum) Terhadap Kadar Hemoglobin, Hematokrit dan

Jumlah Eritrosit Pada Tikus Putih Jantan Yang Disuntikkan

Natrium Nitrit (NaNo2)

Geby Sashmita1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti3

1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar belakang: Anemia merupakan menurunnya kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan

jumlah eritrosit dalam tubuh yang disebabkan kurangnya asupan zat besi dalam tubuh. Salah

satu tumbuhan yang kaya zat besi adalah tumbuhan pakis sayur (diplazium esculentum).

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Animal Unit Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh ekstrak batang dan daun pakis sayur

terhadap kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah eritrosit. Metode: Penelitian ini

menggunakan rancangan true experimental. Teknis analisis data yang digunakan adalah

One Way Anova dan Kruskal Wallis. Hasil: Hasil penelitian ini membuktikan bahwa

ekstrak batang dan daun pakis sayur dapat meningkatkan kadar hemoglobin, nilai

hematokrit dan jumlah eritrosit pada hewan coba tikus putih jantan dengan dosis pemberian

0,18 gram, 0,36 gram dan 0,72 gram. Kesimpulan: Terdapat pengaruh yang signifikan

terhadap tikus putih jantan dengan perlakuan anemia setelah diberikan ekstrak batang dan

daun pakis sayur, dimana pemberian ekstrak batang dan daun pakis sayur dengan dosis 0,72

gram mengakibatkan peningkatan kadar hemoglobin sebesar 52,07%, nilai hematokrit

32,91% dan jumlah eritrosit 29,41%.

Kata kunci: Anemia, Hematokrit, Hemoglobin, Jumlah Eritrosit, Pakis Sayur

ABSTRACT Background: Anemia is a decrease in hemoglobin level, hematocrit value and the number

of erythrocytes in the body due to a lack of iron intake in the body. One plant that is rich in

iron is vegetable ferns (diplazium esculentum). This research was conducted at the Animal

Unit Laboratory of the Faculty of Medicine, Udayana University. Objective: To determine

the effect of vegetable ferns and stem extracts on hemoglobin levels, hematocrit values and

the number of erythrocytes. Method: This study uses true experimental design. Results: The

results of this study prove that stem fern extract and vegetable ferns can increase

hemoglobin levels, hematocrit values and the number of erythrocytes in experimental male

rats with a dose of 0.18 grams, 0.36 grams and 0.72 grams. Conclusion: There was a

significant effect on male white mice with anemia treatment after being given stem and

vegetable fern leaf extract, where the administration of vegetable fern extracts and ferns

with a dose of 0.72 grams resulted in an increase in hemoglobin levels of 52.07%, a

hematocrit value of 32, 91% and the number of erythrocytes is 29.41%.

Keywords: Anemia, Erythrocyte Amount, Hematocrit, Hemoglobin, Vegetable Fern

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted July 26th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 71: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

66

Apriyanthi & Antini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Anemia merupakan kondisi dimana

menurunnya kadar hemoglobin, nilai

hematokrit dan jumlah eritrosit dalam

tubuh dari batas normalnya. Anemia

merupakan salah satu masalah kesehatan

di Negara berkembang sebesar 30%.

Prevalensi anemia di Indonesia yaitu

21,7% dengan penderita anemia berumur

5-14 tahun sebesar 26,4% dan penderita

berumur 15-24 tahun sebesar 18,4%

(WHO 2011).

Jenis anemia yang banyak dialami

oleh masyarakat adalah anemia karena

kekurangan gizi. Zat besi merupakan

bagian dari protein darah yaitu

hemoglobin yang berfungsi mengangkut

oksigen dari paru-paru ke semua sel

tubuh. Zat besi dapat diperoleh dari

sumber makanan hewani maupun nabati.

Hemoglobin adalah pigmen dari

eritrosit yang sangat komplek dan

berfungsi membawa oksigen ke seluruh

tubuh bersama dengan eritrosit.

Hematokrit adalah nilai yang

menunjukkan persentase zat padat

terhadap cairan darah. Eritrosit

merupakan sel darah merah yang

membawa hemoglobin dalam sirkulasi

sel tubuh dan berfungsi membawa

oksigen ke jaringan dan mengembalikan

karbondioksida dari jaringan ke paru-

paru. Ketiga parameter ini adalah

parameter yang sering digunakan untuk

mendeteksi penyakit anemia dan

ketiganya saling berkaitan.

Masyarakat yang mengalami anemia

sering menggunakan obat penambah

darah untuk penanganannya. Walaupun

tergolong suplemen, obat penambah

darah harus tetap diminum sesuai aturan

pakai dan dosis yang tepat. Pemilihan

obat yang tidak tepat dapat menyebabkan

resiko yang merugikan salah satunya

adalah kerusakan DNA (Mollet dkk.

2016).

Tumbuhan pakis sayur banyak

mengandung vitamin dan mineral yang

sangat dibutuhkan tubuh. Salah satu

mineral yang bermanfaat adalah zat besi

(Fe) yang dapat digunakan tubuh untuk

memproduksi hemoglobin yang

membantu menyimpan dan membawa

oksigen.

Berdasarkan uraian tersebut

mendorong peneliti untuk melakukan

penelitian untuk melakukan penelitian

dengan sediaan tumbuhan pakis sayur

dalam bentuk ekstrak untuk melihat

pengaruh terhadap kadar hemoglobin,

nilai hematokrit dan jumlah eritrosit pada

tikus putih jantan.

METODE

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ekstrak batang dan

daun pakis sayur, etanol 96%, pelarut

Na.CMC sebagai pelarut ekstrak saat

disonde dan natrium nitrit sebagai

pembuat kondisi anemia. Alat-alat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

hematology analyzer, timbangan elektrik,

beaker glass, spuit, gunting, pinset, pipet

tetes, tabung mikro EDTA dan toples

kaca.

Pakis sayur yang segar dicuci terlebih

dahulu, kemudian dikeringkan dan

dipotong kecil untuk membuat serbuk

simplisia pakis sayur. Pakis sayur yang

telah halus dimaserasi dengan etanol 96%

dalam toples kaca hingga terendam

selama 24 jam. Proses ini dilakukan

sampai diperoleh filtrat yang jernih,

kemudian diuapkan dengan rotary

evaporator sampai diperoleh ekstrak. Na-

CMC ditimbang sebanyak 1 gram

kemudian dimasukkan ke dalam mortar

dan digerus, kemudian ditambahkan air

panas sebanyak 50 mL hingga berbentuk

larutan koloidal dan ditambahkan

akuades hingga 100 mL dalam gelas

beaker. Untuk dosis yang digunakan pada

penelitian ini adalah 0,18 gram, 0,36

gram dan 0,72 gram untuk manusia dan

dikonversi pada tikus putih dengan nilai

0,018 untuk berat badan tikus 200 gram.

Pembuatan kondisi anemia pada

Page 72: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

67

Apriyanthi & Antini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

penelitian ini dengan menggunakan

natrium nitrit yang diberikan secara oral

pada tikus sebanyak 25 mg/kg berat

badan tikus. Pengambilan darah tikus

putih jantan dalam penelitian ini

dilakukan pada sinus orbitalis dan

ditampung dalam tabung mikro EDTA,

kemudian dilakukan pemeriksaan dengan

alat hematology analyzer.

Data hasil perhitungan kadar

hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah

eritrosit pada masing – masing kelompok

percobaan akan dianalisa menggunakan

uji statistik Kruskal Wallis dan One Way

Anova pada tingkat kepercayaan 95% Pα

= 0.05. Jika dari hasil analisis ragam

menyatakan bahwa pelakuan

berpengaruh nyata terhadap perubahan

yang diamati maka dilanjutkan dengan

uji Post Hoc.

HASIL

Pemeriksaan kadar hemoglobin pada

sampel darah tikus putih jantan diperoleh

hasil rata-rata yang disajikan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Diagram hasil rata-rata kadar

hemoglobin setiap perlakuan

(Sumber : Hasil penelitain diolah)

Berdasarkan gambar diatas,

kelompok kontrol negatif memiliki rata-

rata kadar hemoglobin terendah yaitu

sebesar 9,92 g/dL, sedangkan kelompok

perlakuan dengan dosis ekstrak 0,72 g

memiliki rata-rata kadar hemoglobin

yang paling tinggi yaitu sebesar 15,78

g/dL. Pemeriksaan nilai hematokrit pada

sampel darah tikus putih jantan diperoleh

hasil rata-rata yang disajikan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Diagram hasil rata-rata nilai

hematokrit setiap perlakuan

(Sumber : Hasil penelitian diolah)

Berdasarkan gambar diatas,

kelompok kontrol positif memiliki rata-

rata nilai hematokrit yang paling rendah

yaitu sebesar 34,24%, sedangkan

kelompok perlakuan dengan dosis ekstrak

0,72g memiliki rata-rata nilai hematokrit

yang paling tinggi yaitu sebesar 48,22%.

Pemeriksaan jumlah eritrosit pada sampel

darah tikus putih jantan diperoleh hasil

rata-rata yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram hasil rata-rata jumlah eritrosit

setiap perlakuan

(Sumber : Hasil penelitian diolah)

Berdasarkan gambar diatas,

kelompok kontrol negatif memiliki rata-

rata jumlah eritrosit yang paling rendah

sebesar 6,12 juta/uL, sedangkan

kelompok perlakuan dengan dosis ekstrak

0,72g memiliki rata-rata jumlah eritrosit

yang paling tinggi sebesar 7,92 juta/µL.

Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)

kadar hemoglobin menunjukkan hasil

sebesar 0,171 dengan probabilitas sebesar

0,058, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa hasil berdistribusi normal. Hasil

uji homogenitas (Levene test) kadar

hemoglobin menunjukkan hasil sebesar

Page 73: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

68

Apriyanthi & Antini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

0,419 dengan probabilitas sebesar 0,793,

dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

hasil homogen. Uji perbedaan (One Way

ANOVA) pengaruh ekstrak batang dan

daun pakis sayur terhadap kadar

hemoglobin menunjukkan hasil 102,642

dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal

ini dapat diketahui bahwa probabilitas <

0,05 sehingga ada perbedaan yang

signifikan pengaruh ekstrak batang dan

daun pakis sayur terhadap kadar

hemoglobin.

Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)

nilai hematokrit menunjukkan hasil

sebesar 0,112 dengan probabilitas sebesar

0,200, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa hasil berdistribusi normal. Hasil

uji homogenitas (Levene test) nilai

hematokrit menunjukkan hasil sebesar

1,125 dengan probabilitas sebesar 0,373,

dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

hasil homogen. Uji perbedaan (One Way

ANOVA) pengaruh ekstrak batang dan

daun pakis sayur terhadap nilai

hematokrit menunjukkan hasil 36,057

dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal

ini dapat diketahui bahwa probabilitas <

0,05 sehingga ada perbedaan yang

signifikan pengaruh ekstrak batang dan

daun pakis sayur terhadap nilai

hematokrit.

Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)

jumlah eritrosit menunjukkan hasil

sebesar 0,187 dengan probabilitas sebesar

0,024, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa hasil berdistribusi tidak normal.

Hasil uji homogenitas (Levene test)

jumlah eritrosit menunjukkan hasil

sebesar 7,052 dengan probabilitas sebesar

0,001, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa hasil tidak homogen. Uji

perbedaan (Kruskal Wallis) pengaruh

ekstrak batang dan daun pakis sayur

terhadap jumlah eritrosit menunjukkan

hasil 19,134 dengan probabilitas sebesar

0,001. Hal ini dapat diketahui bahwa

probabilitas < 0,05 sehingga ada

perbedaan yang signifikan pengaruh

ekstrak batang dan daun pakis sayur

terhadap kadar hemoglobin.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian (Sashmita 2014) yang

menyatakan bahwa filtrat tanaman pakis

sayur dapat meningkatkan kadar

hemoglobin (Sashmita 2014). Terjadinya

peningkatan kadar hemoglobin, nilai

hematokrit, dan jumlah eritrosit

disebabkan karena pakis sayur

merupakan tanaman yang banyak

mengandung mineral dan vitamin. Zat

besi (Fe) yang terkandung didalam pakis

sayur berperan dalam pembentukan dan

pematangan sel darah merah, dimana

dalam proses tersebut dibantu oleh

vitamin C yang berfungsi sebagai pemicu

zat besi tersebut. Sehingga zat besi dan

vitamin C saling berhubungan dalam

pembentukan dan pematangan sel darah

merah. Pada proses pembentukan sel

darah merah diperlukan zat besi, vitamin

B12, asam folat, dan rantai globin yang

merupakan senyawa protein yang berasal

dari hemositoblas Di dalam sumsum

tulang besi digunakan untuk membuat

hemoglobin yang merupakan bagian dari

sel darah merah. Sedangkan fungsi

vitamin C dalam darah yaitu membantu

penyerapan zat besi tersebut. Selain itu

pada proses perombakan sel darah merah

kembali, hati mengikat zat besi (Fe) ke

transferin darah yang mengankutnya

kembali ke sumsum tulang untuk

digunakan kembali membuat sel darah

merah yang baru. Selain Fe, vitamin C,

tiamin, riboflavin yang terdapat dalam

kandungan daun rosela yang berfungsi

dalam pembentukan dan pematangan sel

darah merah (Sembiring, Tanjung, dan

Sabri 2013).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian

pengaruh ekstrak pakis sayur (diplazium

esculentum) terhadap kadar hemoglobin,

Page 74: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

69

Apriyanthi & Antini

Gambaran Pengetahuan Pemulung

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

nilai hematokrit dan jumlah eritrosit pada

tikus putih jantan (Rattus novergicus)

yang disuntikkan natrium nitrit (NaNO2)

dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Terdapat pengaruh yang

signifikan terhadap kadar

hemoglobin setelah pemberian

ekstrak batang dan daun pakis

sayur (Diplazium esculentum)

pada tikus putih jantan yang

disuntikkan natrium nitrit

(NaNO2).

2. Terdapat pengaruh yang

signifikan terhadap nilai

hematokrit setelah pemberian

ekstrak batang dan daun pakis

sayur (Diplazium esculentum)

pada tikus putih jantan yang

disuntikkan natrium nitrit

(NaNO2).

3. Terdapat pengaruh yang

signifikan terhadap jumlah

eritrosit setelah pemberian ekstrak

batang dan daun pakis sayur

(Diplazium esculentum) pada

tikus putih jantan yang

disuntikkan natrium nitrit

(NaNO2)

SARAN

Saran yang dapat dikemukakan

berdasarkan hasil dan pembahasan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut terhadap pengaruh

pemberian ekstrak pakis sayur

dengan dosis di atas 0,72 gram

agar diperoleh peningkatan kadar

hemoglobin, nilai hematokrit dan

jumlah eritrosit yang optimal.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut dengan memperpanjang

paparan natrium nitrit (NaNO2).

3. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai pengaruh

pemberian ekstrak pakis sayur

terhadap pemeriksaan ferritin,

hemosiderin dan hapusan darah

tepi, sehingga diketahui

dampaknya terhadap jenis-jenis

anemia.

DAFTAR RUJUKAN

Mollet, Inês G., Dilipkumar Patel, Fatima

S. Govani, Adam Giess, Koralia

Paschalaki, Manikandan

Periyasamy, Elaine C. Lidington, et

al. 2016. “Low dose iron treatments

induce a DNA damage response in

human endothelial cells within

minutes.” PLoS ONE.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.

0147990.

Sashmita, Geby. 2014. “Perbedaan Kadar

Hemoglobin Darah Hewan Coba

Tikus Putih Jantan (rattus

novergicus) Strain Wistar Sebelum

dan Setelah Pemebrian Filtrate

Tanaman Pakis Sayur (diplazium

esculentum).” Politeknik Kesehatan

Kemenkes Mataram.

Sembiring, Asmitra, Masitta Tanjung,

dan Dan Emita Sabri. 2013.

“Pengaruh Ekstrak Segar Daun

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Terhadap Jumlah Eritrosit dan

Kadar Hemoglobin Mencit Jantan

(Mus musculus L.) Anemia Strain

Ddw Melalui Induksi Natrium Nitrit

(NaNO2).” Saintia Biologi 1 (2): 60–

65. https://www.neliti.com/

publications/221147/pengaruh-

ekstrak-segar-daun-rosela-hibiscus-

sabdariffa-l-terhadap-jumlah-eritros.

WHO. 2011. “Haemoglobin

concentrations for the diagnosis of

anaemia and assessment of severity.

Vitamin and Mineral Nutrition

Information System.” Geneva,

Switzerland: World Health

Organization.

https://www.who.int/vmnis/indicator

s/haemoglobin/en/.

Page 75: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

81

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Terapi Pasien TB Paru di Puskesmas Labuan Bajo

Fransiska Oktaviana Mei1*, Ida Ayu Manik Parthasutema2, Ni Putu Wintariani3

1,2,3Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK Latar belakang: Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Ketidakberhasilan pengobatan dapat dinilai dari gagalnya pengobatan

TB dan berhentinya terapi obat oleh pasien TB karena alasan tertentu. Kegagalan terapi TB dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya efek samping obat, tingkat pengetahuan penderita,

kepatuhan minum obat dan interaksi obat. Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kegagalan terapi pasien TB Paru di puskemas Labuan Bajo Metode: Jenis penelitian

observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah pasien yang

mengalami kegagalan terapi pengobatan TB sebanyak 22 penderita dan pasien sembuh sebanyak 13

orang di puskesmas Labuan Bajo selama tahun 2018 yang diambil dengan teknik total sampling.

Metode analisis yang digunakan adalah uji hipotesis asosiatif korelasi koefisien kontingensi Hasil: Uji

korelasi koefisien kontingensi antara tingkat pengetahuan pasien TB dengan kegagalan terapi TB (p-

value = 0,003 < 0,05) menunjukan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kegagalan

terapi, untuk kepatuhan pasien TB dengan kegagalan terapi TB (p-value = 0,001 < 0,05) menunjukan

adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kegagalan terapi, untuk efek samping obat

dengan kegagalan terapi TB (p-value=0,392 > 0,05) menunjukan tidak adanya hubungan antara efek

samping dengan kegagalan terapi, dan untuk interaksi obat dengan kegagalan terapi ((p-value = 0,006

< 0,05) menunjukan terdapat hubungan antara interaksi obat dengan kegagalan terapi. Kesimpulan:

Tingkat pengetahuan, kepatuhan minum obat dan interaksi obat merupakan faktor yang

mempengaruhi kegagalan terapi pada pasien TB, sedangkan efek samping obat tidak mempengaruhi

kegagalan terapi pada pasien TB di Puskesmas Labuan Bajo.

Kata kunci: Faktor kegagalan terapi, TB Paru

ABSTRACT Background: Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis.

Unsuccessful treatment can be canceled from TB treatment and cessation treatment by patients for

certain reasons. Failure of TB therapy can help by several factors such as drug side effects, the level of

knowledge of the patient, relationship to taking medication and drug interactions. Purpose: to

determine the factors that influence the failure of therapy for pulmonary TB patients at the Labuan

Bajo primary health center. Method: This type of research is an observational study with cross

sectional research design. The sample in this study were patients who had failed TB treatment therapy

as many as 22 patients and patients recovered as many as 13 people in the Labuan Bajo primary health

care during 2018 taken by the total sampling technique. The analytical method used is the associative

hypothesis correlation coefficient contingency test.. Result: the contingency coefficient correlation

test between the knowledge level of TB patients with TB therapy failure (p-value = 0.003 <0.05)

showed there was a relationship between the level of knowledge and failure of therapy, adherence to

TB patients with TB therapy failure (p-value = 0.001 <0.05) showed an association between

adherence to treatment failure, drug side effects with failure of TB therapy (p-value = 0.392> 0.05)

showing no association between side effects and failure of therapy, and drug interactions with

treatment failure ( (p-value = 0.006 <0.05) shows there is a relationship between drug interactions

with failure of therapy. Conclusion: Knowledge, compliance with TB patients and the presence of

drug interactions are factors the failure of therapy for TB, while the side effects of drugs do not affect

the nervousness of TB patient therapy in the Labuan Bajo health center.

Keywords: failure to treatment, Pulmonary TB

*Correspondence [email protected]

Submitted July 11st, 2020

Accepted July 26th, 2020

Published August 31st, 2020

Page 76: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

82

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah

penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Berdasarkan data World

Health Organization (WHO), penyakit

TB masih menempati peringkat ke-10

penyebab kematian tertinggi di dunia

pada tahun 2016 (WHO 2017). Indonesia

merupakan salah satu negara dengan

insiden kasus tertinggi, dimana sebanyak

420.994 kasus TB paru pada tahun 2017.

Upaya penanggulangan penyakit TB

sudah dilakukan pemerintah untuk

menurunkan angka kejadian TB berupa

strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Short-course). Strategi DOTS

terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1)

Komitmen politis, dengan peningkatan

dan kesinambungan pendanaan. 2)

Penemuan kasus melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis yang terjamin

mutunya. 3) Pengobatan yang standar,

dengan supervise dan dukungan bagi

pasien. 4) Sistem pengelolaan dan

ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang efektif. 5) Sistem monitoring

pencatatan dan pelaporan yang mampu

memberikan penilaian terhadap hasil

pengobatan pasien dan kinerja program

(WHO 2010). Dalam pelaksanaan strategi

DOTS, terdapat target yang harus dicapai

dalam pengobatan penderita penderita TB

sebesar sebesar 85%, tetapi target

keberhasilan pengobatan TB paru di

Indonesia belum tercapai (Kementerian

Kesehatan RI 2017; Nugroho 2009).

Ketidakberhasilan pengobatan TB

di Indonesia akan menjadi masalah serius

yang harus dihadapi oleh tenaga

kesehatan. Salah satu provinsi di

Indonesia yang tingkat keberhasilan

pengobatannya rendah adalah provinsi

NTT (Nusa Tenggara Timur), dimana

kasus TB BTA (+) adalah 2.224 dari

3636 kasus dengan angka keberhasilan

pengobatan hanya sebesar 67,24%.

(Kemenkes 2018) Jika ini terus terjadi

dan kuman tersebut terus menyebar maka

akan terjadi peningkatan angka kematian

akibat penyakit TB. Ketidakberhasilan

pengobatan dapat dinilai dari gagalnya

pengobatan TB yang dipengaruhi oleh

berbagai faktor (Tirtana 2011).

Beberapa penelitian menunjukkan faktor-

faktor yang mempengaruhi kegagalan

terapi TB diantaranya kepatuhan minum

obat, efek samping obat, tingkat

pengetahuan penderita, dan interaksi

obat. Penelitian dari Anggraini (2016)

yang meneliti tentang potensi interaksi

obat pada penyakit TB paru dimana hasil

yang diperoleh telah terjadi interaksi obat

sebanyak 94,54%, interaksi obat yang

terjadi dapat menurunkan kerja OAT dan

menyebabkan keparahan dan tingkat

kerusakan pada pasien TB di Pontianak.

Penelitian yang dilakukan Buton (2003)

terkait faktor yang berhubungan dengan

kegagalan konversi (BTA positif) pada

akhir pengobatan di provinsi Sulawesi

Tenggara yaitu pengetahuan responden

(OR: 6,620), kepatuhan berobat

(OR:7,730), merasa sehat (OR: 6,690),

PMO (OR: 5,8), dan efek samping obat.

Puskesmas Labuan Bajo merupakan salah

satu puskesmas yang melayani pasien TB

Paru di Provinsi NTT. Jumlah pasien TB

paru yang sembuh ditahun 2018 sebanyak

64 orang dari 86 orang yang menderita

TB paru dan sebanyak 22 pasien yang

mengalami kegagalan terapi. Hal ini

menunjukan bahwa angka keberhasilan

pengobatan TB paru di provinsi NTT

masih belum memenuhi target (Menteri

Kesehatan Republik Indonesia 2009;

Infodatin 2014). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kegagalan terapi pasien

TB Paru di puskemas Labuan Bajo

dikarenakan masih tingginya kegagalan

terapi TB di provinsi NTT terutama

puskesmas Labuan Bajo. Diharapkan

melalui penelitian dapat meningkatkan

angka keberhasilan pengobatan dengan

mengurangi kegagalan pengobatan TB

paru di provinsi NTT.

Page 77: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

83

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

METODE

Jenis penelitian ini adalah

penelitian observasional analitik dengan

design cross sectional. Sampel dalam

penelitian ini adalah pasien yang

mengalami kegagalan terapi pengobatan

TB di puskesmas Labuan Bajo selama

tahun 2018 sebanyak 35 orang yang

diambil dengan cara teknik total

sampling. Instrumen penelitian yang

digunakan adalah kuisioner yang sudah

divalidasi dan reliable. Metode analisis

yang digunakan adalah uji hipotesis

asosiatif dengan uji korelasi Koefisien

Kontingensi.

HASIL

Total sampel penelitian adalah 35

pasien dengan data demografi yang

ditunjukkan pada tabel 1. Data demografi

ini menunjukkan bahwa penderita TB di

puskesmas Labuan Bajo paling banyak

dialami oleh jenis kelamin laki-laki

sebanyak 23 orang. Untuk usia paling

banyak sekitar ≥ 45 tahun, tingkat

pendidikan paling banyak adalah SD dan

sebagian besar pasien tidak memiliki

penyakit penyerta, tidak perokok dan

tidak mengkonsumsi alkohol.

Tabel 1. Data Demografi Pasien

No Demografi Pasien n P- value

1. Usia : 0, 000

5-14 tahun 2

15-44 tahun 16

≥45 tahun 17

2. Jenis Kelamin 0, 000

Laki-laki 23

Perempuan 12

3. Pendidikan 0, 000

Tidak Sekolah 6

SD 10

SMP 6

SMA 9

Perguruan Tinggi/ Diploma 4

4. Perilaku Merokok 0, 000

Perokok 17

Bukan perokok 18

5. Perilaku konsumsi alkohol 0,000

Mengkonsumsi alkohol 15

Tidak mengkonsusmsi alkohol 20

6. Penyakit Penyerta 0,000

Ada penyakit penyerta (Diabetes

Melitus)

16

Tidak ada penyakit penyerta 19

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Data demografi pasien diatas

dilakukan uji korelasi kontingensi antara

pengetahuan dengan kegagalan terapi TB

paru, kepatuhan minum obat dengan

kegagalan terapi TB paru, efek samping

obat dengan kegagalan terapi TB paru

Page 78: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

84

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

dan interkasi obat dengan kegagalan

terapi TB paru. Hasil uji korelasi

kontingensi antara pengetahuan dengan

kegagalan terapi TB paru ditunjukkan

pada tabel 2.

Tabel 2. Data Tingkat Pengetahuan dengan Kegagalan Terapi

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan

bahwa tingkat pengetahuan pasien TB

dengan kegagalan terapi TB paru sebesar

0,003 < 0,05, hal ini berarti tingkat

pengetahuan pasien TB mempengaruhi

kegagalan terapi TB paru di Puskesmas

Labuan Bajo. Nilai Correlation

Coefficient adalah +0,455 dan maka

dapat disimpulkan terdapat hubungan

yang cukup kuat dan searah antara

tingkat pengetahuan pasien TB dengan

kegagalan terapi TB.

Hasil uji korelasi kontingensi

antara kepatuhan minum obat TB dengan

kegagalan terapi TB paru ditunjukkan

pada tabel 3.

Tabel 3. Data Kepatuhan Minum Obat dengan Kegagalan Terapi

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan

bahwa kepatuhan minum obat pasien TB

dengan kegagalan terapi TB paru sebesar

0,001 < 0,05, hal ini berarti kepatuhan

pasien TB paru mempengaruhi kegagalan

terapi TB paru di Puskesmas Labuan

Bajo. Nilai Correlation Coefficient

adalah +0,493 maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang cukup

kuat dan searah antara kepatuhan pasien

TB dengan kegagalan terapi TB.

Hasil uji korelasi kontingensi

antara efek samping obat TB dengan

kegagalan terapi TB paru ditunjukkan

pada tabel 4.

Tabel 4. Data Efek Samping Obat dengan Kegagalan Terapi

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Gagal Terapi Tidak Gagal Terapi Total p-value CC

Pengetahuan Kurang 15 2 17 0,003 0,455

Pengetahuan Baik 7

11

18

Gagal Terapi Tidak Gagal

Terapi Total p-value CC

Patuh 3 9 12 0,001 0,493

Tidak Patuh 19 4 23

Gagal

Terapi

Tidak Gagal

Terapi Total p-value CC

Ada Efek Samping Obat 10 4 14 0,392 0,143

Tidak Ada Efek Samping Obat 12 9 21

Page 79: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

85

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan

bahwa efek samping obat pasien TB

dengan kegagalan terapi TB paru sebesar

0,392 > 0,05, hal ini berarti efek samping

obat tidak mempengaruhi kegagalan

terapi pasien TB paru di Puskesmas

Labuan Bajo. Hasil uji korelasi

kontingensi antara interaksi obat TB

dengan kegagalan terapi TB paru

ditunjukkan pada tabel 5.

Tabel 5. Data Interaksi Obat dengan Kegagalan Terapi

Sumber: hasil penelitian (data diolah)

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa

interaksi obat pasien TB dengan

kegagalan terapi TB paru sebesar 0,006 <

0,05, hal ini berarti interaksi obat

mempengaruhi kegagalan terapi pasien

TB paru di Puskesmas Labuan Bajo.

Nilai Correlation Coefficient adalah

+0,424 maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang searah antara

interaksi obat dengan kegagalan terapi.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji korelasi

koefisien kontingensi menunjukkan

bahwa tingkat pengetahuan, mempunyai

hubungan dengan kegagalan terapi TB

paru di Puskesmas Labuan Bajo. Tingkat

pengetahuan merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi kepatuhan

seseorang terhadap pengobatannya,

terutama bagi penderita TB paru dalam

menjalani pengobatannya agar dapat

sembuh (Dewi 2011).

Tingkat pengetahuan pasien TB di

puskesmas Labuan Bajo yang rendah

berhubungan dengan tingkat pendidikan

pasien yang rendah, dimana pendidikan

yang rendah mengakibatkan pasien

kurang menangkap informasi tentang

bahaya penyakit TB paru, bahaya

penularannya, serta kepatuhan dalam

pengobatan TB paru. (Nevi 2014) Selain

itu, kurangnya pengetahuan penderita

tentang penyakit TB paru mempunyai

resiko 6,62 kali lebih besar terhadap

terjadinya kegagalan terapi pada

penderita TB paru BTA positif

dibandingkan dengan penderita yang

mempunyai pengetahuan baik (Ritonga

2015; Buton 2003; Ani 2006).

Faktor kepatuhan minum obat

juga mempunyai hubungan dengan

kegagalan terapi TB paru, di Puskesmas

Labuan Bajo. Ketidakpatuhan terhadap

pengobatan TB dapat mempengaruhi

tingkat keberhasilan pengobatan, dimana

kepatuhan yang rendah terhadap

pengobatan TB dapat menyebabkan

peningkatan risiko resistensi obat dan

infeksi yang berkepanjangan yang

mengarah pada kegagalan pengobatan

dan kematian, sementara kepatuhan yang

ketat membantu untuk mencapai tingkat

keberhasilan pengobatan yang

diinginkan. (Rita 2012) Selain itu

pengobatan TB ulang dengan OAT

kategori II yang minum OAT tidak

teratur mempunyai risiko kegagalan

sebesar 34,36 kali lebih besar dibanding

pasien yang teratur minum OAT. Hal ini

menunjukkan pasien TB dengan

kepatuhan rendah memiliki tingkat

keberhasilan yang rendah (Tesfahuneygn,

Medhin, dan Legesse 2015; Suharna dan

Rintiswati 2017; Rahmi, Medison, dan

Suryadi 2017).

Faktor interaksi obat

menunjukkan adanya hubungan dengan

Gagal

Terapi Tidak Gagal Terapi Total p-value CC

Ada Interaksi Obat 14 2 16 0,006 0,424

Tidak Ada Interaksi Obat 8 11 19

Page 80: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

86

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

kegagalan terapi TB paru di Puskesmas

Labuan Bajo. Interaksi obat merupakan

faktor yang berhubungan dengan

kegagalan terapi TB, dikarenakan

efektivitas obat TB dapat berkurang

akibat interaksi dengan obat lain,

makanan atau minuman. Salah satunya

adalah interaksi obat TB dengan obat

DM, dimana penggunaan OAT

bersamaan dengan obat anti diabetik akan

mengurangi efektifitas obat oral anti

diabetes sehingga meningkatnya glukosa

dalam darah yang mengakibatkan OAT

bekerja tidak optimal sehingga

meningkatkan resiko kegagalan terapi TB

dan kematian serta relapse (Niazi dan

Kalra 2012; Reis-Santos dkk. 2014;

Widyasari 2012). Beberapa obat TB

seperti rifampicin merupakan enzim

inducer hati yang kuat yang dapat

mempercepat metabolisme beberapa

hipoglikemik oral terutama sulfonylurea

dan biguanida sehingga menurunkan

kadar plasma dari antidiabetik dan

menyebabkan meningkatnya kadar

glukosa darah. (Viswanathan dkk. 2014;

Lin 2003; Jiménez-Corona dkk. 2013).

Tetapi efek samping obat TB sendiri

tidak berhubungan dengan kegagalan

terapi TB, dikarenakan efek samping

minor seperti warna kemerahan pada air

seni, pusing, mual, dan tidak nafsu makan

tidak dijadikan alasan bagi pendeita

untuk menghentikan pengobatan,

sehingga keberhasilan pengobatan TB

dimana keberhasilan pengobatan pasien

TB mencapai 86% meskinpun adanya

efek samping yang terjadi . (Yang dkk.

2017; Dooley dan Chaisson 2009;

Faurholt-Jepsen dkk. 2013).

Berbeda hasilnya bila efek samping obat

yang mayor seperti muntah, kulit

kemerahan dan gatal-gatal yang dapat

mengakibatkan pemberhentian sementara

pengobatan, sehingga akan

mempengaruhi keteraturan minum obat,

dan dapat mempengaruhi kerja obat

didalam tubuh yang tidak diberikan

sesuai dengan jumlah regimen, dosis, dan

kontinuitas obat yang harusnya diberikan

sehingga pada kasus pengobatan TB

dengan efek samping mayor sering terjadi

kegagalan pengobatan (Kurnianingsih,

Soedirman, dan Utaminingrum 2010).

Kegagalan terapi pengobatan TB Paru di

Puskesmas Labuan Bajo berhubungan

dengan tingkat pengetahuan penderita,

kepatuhan minum obat TB Paru dan

adanya interaksi obat TB paru dengan

obat lain, dibandingkan dengan efek

samping obat.

SIMPULAN

Penelitian ini menunujukkan

bahwa faktor tingkat pengetahuan,

kepatuhan minum obat pasien TB dan

interaksi obat memiliki hubungan dengan

kegagalan terapi pengobatan TB paru di

Puskesmas Labuan Bajo. Sedangkan

faktor efek samping obat tidak memiliki

hubungan dengan kegagalan terapi TB

paru di Puskesmas Labuan Bajo.

SARAN

Perlunya melakukan penelitian

terkait faktor yang mempengaruhi

kegagalan terapi pasien TB dengan

melihat faktor internal dan eksternal, dan

penelitian dilakukan di puskesmas

seluruh kabupaten Manggarai Barat

sehingga dapat mencegah dan

mengurangi terjadinya kegagalan terapi

pengobatan pada penderita TB paru.

Upaya meningkatkan upaya pencegahan

untuk tidak terjadinya drop out dan

gagalnya pengobatan TB dengan

memberikan konseling atau pemahaman

pada penderita TB paru menggunakan

media seperti pamflet atau brosur yang

berisi tentang keteraturan pengobatan

diberikan saat memulai pengobatan

dengan tujuan untuk meningkatkan

motivasi penderita untuk taat berobat dan

tidak putus berobat.

Page 81: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

87

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

DAFTAR RUJUKAN

Anggraini, Shinta. 2016. “Analisis

Potensi Interaksi Obat Penyakit

Tuberkulosis Paru Pada Pasien

Dewasa di Unit Pengobatan

Penyakit Paru-Paru (Up4) Pontianak

Periode Januari-Desember 2014.”

Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas

Kedokteran UNTAN 3 (1).

http://jurnal.untan.ac.id/index.php/j

mfarmasi/article/view/16437.

Ani, Syarifah. 2006. “Hubungan antara

tingkat pengetahuan dan sikap

penderita tuberkulosis dengan

kesembuhan paru di puskesmas

Lubuk Buaya Padang’.” Hubungan

antara tingkat pengetahuan dan

sikap penderita tuberkulosis dengan

kesembuhan paru di puskesmas

Lubuk Buaya Padang’ 1 (1): 1–5.

Buton, La Djabo. 2003. “Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan

Kegagalan Konversi (BTA Positif)

Pada Akhir Pengobatan Fase

Intensif Penderita Tuberkulosis Paru

BTA Positif Baru di Kota Kendari

Propinsi Sulawesi Tenggara.”

Surabaya: Universitas Airlangga.

http://repository.unair.ac.id/35818/.

Dewi, Pira Mitha Sandra. 2011.

“Hubungan Pengetahuan dan Sikap

Penderita Tb Paru Dengan

Kepatuhan Minum Obat Anti

Tuberkulosis di Puskesmas Lidah

Kulon Surabaya.” Surabaya:

Universitas Airlangga.

http://repository.unair.ac.id/24010/.

Dooley, Kelly E., dan Richard E.

Chaisson. 2009. “Tuberculosis and

diabetes mellitus: convergence of

two epidemics.” The Lancet

Infectious Diseases. NIH Public

Access.

https://doi.org/10.1016/S1473-

3099(09)70282-8.

Faurholt-Jepsen, Daniel, Nyagosya

Range, George Praygod, Kidola

Jeremiah, Maria Faurholt-Jepsen,

Martine G. Aabye, John

Changalucha, et al. 2013. “Diabetes

is a strong predictor of mortality

during tuberculosis treatment: A

prospective cohort study among

tuberculosis patients from Mwanza,

Tanzania.” Tropical Medicine and

International Health 18 (7): 822–29.

https://doi.org/10.1111/tmi.12120.

Infodatin. 2014. “Situasi dan Analisis

Diabetes.” Jakarta.

https://pusdatin.kemkes.go.id/resour

ces/download/pusdatin/infodatin/inf

odatin-diabetes.pdf.

Jiménez-Corona, María Eugenia, Luis

Pablo Cruz-Hervert, Lourdes

García-García, Leticia Ferreyra-

Reyes, Guadalupe Delgado-

Sánchez, Miriam Bobadilla-Del-

Valle, Sergio Canizales-Quintero, et

al. 2013. “Association of diabetes

and tuberculosis: Impact on

treatment and post-treatment

outcomes.” Thorax 68 (3): 214–20.

https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-

2012-201756.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil

Kesehatan Republik Indonesia

Tahun 2016. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

https://pusdatin.kemkes.go.id/resour

ces/download/pusdatin/profil-

kesehatan-indonesia/Profil-

Kesehatan-Indonesia-2016.pdf.

Kurnianingsih, Laela, Iskandar

Soedirman, dan Wahyu

Utaminingrum. 2010. “Identifikasi

Drug Related Problems (DRPS)

Pengobatan Tuberkulosis Pada

Pasien Rawat Jalan Di Rsud

Kardinah Kota Tegal Tahun 2009.”

PHARMACY: Jurnal Farmasi

Indonesia 7 (03).

https://doi.org/10.30595/PJI.V7I3.57

5.

Lin, Peter. 2003. “Drug Interactions and

Polypharmacy in the Elderly.” The

Canadian Alzheimer Disease

Review, September 2003.

http://www.stacommunications.com/

Page 82: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

88

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

customcomm/Back-

issue_pages/AD_Review/adPDFs/se

ptember2003/10.pdf.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

2009. Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor

364/Menkes/SK/V/2009 tentang

Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis (TB). Menteri

Kesehatan Republik Indonesia.

https://www.persi.or.id/images/regul

asi/kepmenkes/kmk3642009.pdf.

Niazi, Asfandyar K., dan Sanjay Kalra.

2012. “Diabetes and tuberculosis: A

review of the role of optimal

glycemic control.” Journal of

Diabetes and Metabolic Disorders

11 (1): 28.

https://doi.org/10.1186/2251-6581-

11-28.

Nugroho, Budi. 2009. “Faktor-faktor

Risiko yang Mempengaruhi

Kegagalan Pengobatan Pada

PenderitaTuberkulosis Paru dengan

Strategi DOTS (Studi Kasus di BP-4

Pati).” Semarang: Universitas

Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/4441/.

Rahmi, Nitari, Irvan Medison, dan Ifdelia

Suryadi. 2017. “Hubungan Tingkat

Kepatuhan Penderita Tuberkulosis

Paru dengan Perilaku Kesehatan,

Efek Samping OAT dan Peran PMO

pada Pengobatan Fase Intensif di

Puskesmas Seberang Padang

September 2012 - Januari 2013.”

Jurnal Kesehatan Andalas 6 (2):

345.

https://doi.org/10.25077/jka.v6i2.70

2.

Reis-Santos, Bárbara, Teresa Gomes,

Rodrigo Locatelli, Elizabete R. de

Oliveira, Mauro N. Sanchez,

Bernardo L. Horta, Lee W. Riley,

dan Ethel L. Maciel. 2014.

“Treatment Outcomes in

Tuberculosis Patients with Diabetes:

A Polytomous Analysis Using

Brazilian Surveillance System.”

Diedit oleh Delmiro Fernandez-

Reyes. PLoS ONE 9 (7): e100082.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.

0100082.

Ritonga, Edisyah Putra. 2015.

“Hubungan Pengetahuan Dengan

Kepatuhan Penderita Tuberkulossis

Paru Dalam Program Pengobatan

Tuberkulosis Paru.” Jurnal Ilmiah

Keperawatan IMELDA 1 (1): 48–53.

https://doi.org/10.2411/JIKEPERA

WATAN.V1I1.222.

Suharna, Suharna, dan Ning Rintiswati.

2017. “Faktor Risiko Kegagalan

Pengobatan Ulang Pasien

Tuberkulosis di Daerah Istimewa

Yogyakarta.” Berita Kedokteran

Masyarakat 33 (9): 433.

https://doi.org/10.22146/bkm.18137.

Tesfahuneygn, Gebrehiwet, Girmay

Medhin, dan Mengistu Legesse.

2015. “Adherence to Anti-

tuberculosis treatment and treatment

outcomes among tuberculosis

patients in Alamata District,

northeast Ethiopia.” BMC Research

Notes 8 (1): 503.

https://doi.org/10.1186/s13104-015-

1452-x.

Tirtana, Bertin Tanggap. 2011. “Faktor-

faktor yang Mempengaruhi

Keberhasilan Pengobatan Pada

Pasien Tuberkulosis Paru Dengan

Resistensi Obat Tuberkulosis di

Wilayah Jawa Tengah.” Semarang:

Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/32879/1/Be

rtin.pdf.

Viswanathan, Vijay, A. Vigneswari, K.

Selvan, K. Satyavani, R. Rajeswari,

dan Anil Kapur. 2014. “Effect of

diabetes on treatment outcome of

smear-positive pulmonary

tuberculosis - A report from South

India.” Journal of Diabetes and its

Complications 28 (2): 162–65.

https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2

013.12.003.

WHO. 2010. “The Global Plan to Stop

TB: Transforming the Fight.”

Geneva PP - Geneva: World Health

Page 83: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

89

Mei, Parthasutema & Wintariani

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan

Bali International Scientific Forum (BISF)

Volume 1 No. 1 August 2020

Organization.

https://apps.who.int/iris/handle/1066

5/44437.

———. 2017. “Global Tuberculosis

Report 2017.” Geneva.

https://www.who.int/tb/publications/

global_report/gtbr2017_main_text.p

df?ua=1.

Widyasari, Risa Nugraheni. 2012.

“Hubungan Antara Jenis

Kepribadian, Riwayat Diabetes

Mellitus Dan Riwayat Paparan

Merokok Dengan Kejadian Tb Paru

Dewasa Di Wilayah Kecamatan

Semarang Utara Tahun 2011.”

Jurnal Kesehatan Masyarakat

Universitas Diponegoro. Semarang:

Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/38376/.

Yang, Tae Won, Hyun Oh Park, Ha Nee

Jang, Jun Ho Yang, Sung Hwan

Kim, Seong Ho Moon, Joung Hun

Byun, Chung Eun Lee, Jong Woo

Kim, dan Dong Hun Kang. 2017.

“Side effects associated with the

treatment of multidrug-resistant

tuberculosis at a tuberculosis referral

hospital in South Korea.” Medicine

(United States) 96 (28).

https://doi.org/10.1097/MD.0000000

000007482.

Page 84: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM

BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339

Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University

Volume 1 No. 1 August 2020

90

Writing and Subscription Guide

Petunjuk Penulisan dan Berlangganan

English

Bali International Scientific Forum (BISF) is published through printed and online media. All

BISF issues are available online on our website:

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF

We use Harvard system (author-date) for citation, reference, table, figures, and illustration.

Please see our author’s guide on the website for details, which is at “Author Guidelines”

sidebar. We encourage all authors to use Mendeley software to help writing and managing

citations and references. You can use the “Chicago Manual of Style 17th-edition (Author-

Date)” citation style in Mendeley.

If you are interested in subscribing to our printed media, please email us to

[email protected] with information of your name or your institution’s name, mailing

address, and telephone number. We will contact you soon thereafter with payment instruction

and other additional information.

-----------------------------------------------------------------------

Bahasa Indonesia

Bali International Scientific Forum (BISF) terpublikasikan melalui media cetak dan media

online. Anda dapat mengakses setiap edisi BISF secara daring melalui tautan:

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF

BISF menggunakan sistem Harvard (author-date) dalam menulis sitasi, referensi, tabel,

grafik, gambar, dan ilustrasi. Informasi mengenai pedoman penulisan dapat diakses di situs

resmi kami pada bagian sidebar yang berjudul “Pedoman Bagi Penulis” (jika tampilan situs

dalam bahasa Indonesia) atau “Author Guidelines (jika tampilan situs dalam bahasa Inggris).

Seluruh penulis sangat kami sarankan untuk menggunakan piranti lunak Mendeley dalam

menuliskan dan mengelola sitasi dan daftar rujukan. Anda dapat menggunakan gaya sitasi yang

bernama “Chicago Manual of Style 17th-edition (Author-Date) pada piranti lunak Mendeley.

Bila Anda berminat untuk berlangganan media cetak BISF, Anda dapat mengirimkan surel

kepada kami ([email protected]) dengan memberikan informasi nama penerima (sertakan

nama organisasi / institusi bila diperlukan), alamat lengkap, dan nomor telepon. Kami akan

menghubungi Anda setelahnya dengan menginformasikan mekanisme pembayaran maupun

informasi tambahan lainnya.

Page 85: BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM