BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM
Transcript of BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
i
Editorial Board
Dewan Redaksi
EDITOR IN CHIEF Nyoman Trisna Aryanata, S.Psi., M.A.
Psychology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
ASSOCIATE EDITOR Ni Made Umi Kartika Dewi, S.KM., M.Kes.
Hospital Administration Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
Ni Putu Rahayu Artini, S.Si., M.Si.
Medical Laboratory Technology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
Ida Ayu Astiti Suadnyana, S.Ft., M.Fis.., Ftr.
Physioteraphy Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
Luh Putu Ratih Andhini, S.Psi., M.Si.
Psychology Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
Apt. Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri, S.Farm., M.Farm.
Clinical Pharmacy Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
Ni Luh Putu Surya Astitiani, SE., MM
Digital Business Study Program of Bali International University, Bali-Indonesia
LAYOUT EDITOR & TECHNICAL SUPPORT Agus Dedi Santosa, S.Kom.
Bali International University
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
ii
Editor’s Note
Dear Readers,
With great joy, the Editorial Board welcomes this first edition of the Bali International
Scientific Forum (BISF), which is published by the University of Bali International. We
have been preparing for more than 6 months to form and publish this journal.
Bali International Scientific Forum, or hereinafter abbreviated as BISF, was formed to
accommodate novice researchers and academics, while also open ourselves to more
experienced researchers and academics. We publish articles in both Indonesian language
and English. BISF is aimed for accommodating scientific studies from various fields to
expand the repertoire of scientific literature for a wide audience. We realize that in a
scientific publication, ideally there is a specificity of study. However, we position
ourselves to provide a variety of studies from various sciences that would provide
additional insight into a study, without reducing the editorial and review process.
In this first edition, we provide various studies from our internal publishing institution,
which are oriented to the health studies. There are studies in the fields of biology,
pharmacy, patient behavior in medicine, the potential of natural ingredients for treatment,
as well as studies on the application of health services. For us, this entire article provides
basic insights into the breadth of the study of health.
Like a first publication, although we have tried to achieve a good basic review of the
manuscript, of course the spaces for errors can occur. We would be welcome to any input
for the development of our journal. In the future, we will also apply for accreditation after
meeting the minimum requirements for accreditation of scientific journals in Indonesia.
Greetings and wishes that we all are healthy.
On behalf of Editorial Board,
Editor in Chief
Nyoman Trisna Aryanata
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
iii
Catatan Editor
Pembaca Yth.,
Dengan gembira, Dewan Editor menyambut terbitnya edisi perdana Bali International
Scientific Forum (BISF) ini, yang bernaung di bawah Universitas Bali Internasional.
Persiapan selama lebih dari 6 bulan telah kami lakukan demi terbentuk dan
terpublikasikannya jurnal ini.
Bali International Scientific Forum, atau yang selanjutnya disingkat BISF, dibentuk untuk
mewadahi peneliti dan akademisi pemula dengan tidak menutup diri pada peneliti dan
akademisi yang telah berpengalaman. BISF dibentuk dengan tujuan untuk menampung
kajian ilmiah dari berbagai bidang untuk memperluas khasanah literatur ilmiah bagi
khalayak luas. Kami menyadari bahwa dalam suatu terbitan ilmiah, idealnya terdapat
kekhususan ilmu atau kajian. Akan tetapi, kami memposisikan diri untuk memberi ragam
kajian dari berbagai ilmu yang kiranya memberi tambahan wawasan suatu kajian, dengan
tanpa mengurangi proses editorial dan review.
Pada edisi perdana ini, kami memberikan berbagai kajian dari internal institusi penerbit
kami yang berorientasi pada bidang Kesehatan. Terdapat kajian dalam bidang biologi,
farmasi, perilaku pasien dalam pengobatan, potensi kandungan alamiah bagi pengobatan,
serta kajian atas penerapan layanan kesehatan. Bagi kami, seluruh artikel ini memberikan
wawasan dasar mengenai luasnya kajian mengenai kesehatan.
Layaknya suatu terbitan perdana, meskipun telah kami usahakan agar tercapai peninjauan
dasar pada naskah secara baik, tentu ruang-ruang kesalahan dapat terjadi. Kiranya
berkenan untuk memberikan masukan bagi pengembangan jurnal kami. Ke depannya juga
kami akan mengajukan akreditasi setelah memenuhi syarat minimal pengajuan akreditasi
jurnal ilmiah di Indonesia.
Salam kasih dan semoga kita selalu dalam keadaan sehat.
a.n. Dewan Redaksi BISF
Editor in Chief
Nyoman Trisna Aryanata
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
iv
Table of Contents
Editorial Board i Editor’s Note ii Catatan Editor iii Table of Contents iv Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya di
Era JKN Putu Ika Farmani, Ni Made Umi Kartika Dewi
1
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair (Oreochromis Mossambicus) di Daerah Taman
Pancing Denpasar Selatan Kadek Anidia Rasmi, Ade Ayu Yasinta Dewi, Ni Putu Rahayu Artini
12
Faktor - Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X di Kabupaten Badung Ni Putu Aryati Suryaningsih, Adi Purwahita, Anak Ayu Sri Saraswati, Siti Nur Aini
18
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Rifampisin Terhadap Kadar Gamma Glutamyl
Transferase dan Alkaline Phosphatase Pada Tikus Putih Galur Wistar Sofiana Agustin Jeharu, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti
25
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan Terhadap Kadar Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase dan Gamma Glutamyl Transferase Pada Tikus Wistar Ni Wayan Gita Iswari, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti
35
Gambaran Pengetahuan Pemulung Terhadap Limbah Medis Padat di TPA Suwung D.P. Risky Vidika Apriyanthi, Ni Putu Rahayu Artini
43
Gambaran dan Kajian Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kota
Denpasar Berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 I Gusti Ayu Agung Kristina Dewi, Ida Ayu Manik Parthasutema, Dhiancinantyan Windydaca
Brata Putri
48
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan Estimasi Laju Filtrasi
Glomerulus (eLFG) Pada Pasien Kemoterapi di Rumah Sakit Prima Medika Sariati Wijayanti, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, I K. Putra Juliantara
57
Pengaruh Ekstrak Batang Dan Daun Pakis Sayur (Diplazium esculentum) Terhadap
Kadar Hemoglobin, Hematokrit dan Jumlah Eritrosit Pada Tikus Putih Jantan yang
Disuntikkan Natrium Nitrit (NaNO2) Geby Sashmita, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra, Ni Putu Widayanti
65
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Terapi Pasien TB Paru di Puskesmas
Labuan Bajo Fransiska Oktaviana Mei, Ida Ayu Manik Parthasutema, Ni Putu Wintariani
70
Writing and Subscription Guide 90
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
1
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
di Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya Pada Era JKN
Putu Ika Farmani 1*, Ni Made Umi Kartika Dewi2
1,2Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu tugas dari rumah sakit (RS) adalah memberikan pelayanan rawat inap
pasien JKN termasuk RSU Dharma Yadnya. Analisis efisiensi rawat inap dibutuhkan untuk memantau
mutu pelayanan RS dengan memanfaatkan nilai BOR, LOS, TOI, dan BTO.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran efisiensi pelayanan rawat inap di RSU
Dharma Yadnya pada tahun 2011-2013 dan 2014-2016. Metode: Rancangan penelitian yang
digunakan yaitu deskriptif kuantitatif dengan pendekatan retrospektif yang dilakukan pada di RSU
Dharma Yadnya pada bulan Desember 2019. Data yang digunakan adalah rekapitulasi sensus harian
rawat inap tahun 2011-2016 dengan observasi dan data pendukung (perubahan SOP, SDM, dan sarana
penunjang) yang dikumpulkan dengan wawancara terhdap petugas rekam medis dan rawat inap.
Analisis efisiensi rawat inap menggunakan grafik Barber Johnson. Hasil analisis disajikan dalam
bentuk tabel, grafik, dan narasi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sepanjang tahun 2011-2016
tidak ada perubahan SOP terkait rawat inap dan jumlah tenaga rawat inap berkisar 32-36 orang per
tahun. Tren parameter efisiensi rawat inap untuk BOR dan BTO mengalami peningkatan sementara
untuk LOS dan TOI cenderung mengalami keturunan. Sedangkan untuk analisis Barber Johnson
diperoleh kecenderungan mendekati daerah efisien pada tahun 2014-2016 (setelah program JKN
berlaku) dibandingkan dengan tahun 2011-2013. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efisiensi rawat
inap sebelum dan sesudah program JKN. Berdasarkan hasil ini diharapkan pihak manajemen RS
melakukan evaluasi berkala dengan metode grafik Barber Johnson dan memantau kualitas pelayanan
serta meningkatkan upaya promosi guna meningkatkan efisiensi rawat inap.
Kata kunci: Barber Johnson, Efisiensi, Pelayanan Kesehatan
ABSTRACT Background: One of the hospital tasks is to provide inpatient services for JKN patients, including
Dharma Yadnya Hospital. Inpatient efficiency analysis is needed to monitor the quality of hospital
service quality using BOR, LOS, TOI, and BTO values. Objective: This study aims to determine the
efficiency of inpatient services at Dharma Yadnya Hospital in 2011-2013 and 2014-2016. Method:
Descriptive quantitative is used as the research design with a retrospective approach at the Dharma
Yadnya General Hospital in December 2019. The observations of a recapitulation daily census
inpatient of 2011-2016 data used as the data of this study and also the supporting data (SOP, HR
(Human Resource), and facilities support) that was collected by interviewing medical records and
inpatient staff. Inpatient efficiency analysis using Johnson's Barber chart and presented in tables,
graphs, and narratives. Results: The results showed that throughout 2011-2016 there were no changes
in SOP related to hospitalization with the number of HR ranged from 32-36 people per year. The trend
of inpatient efficiency parameters for BOR and BTO has increased, but for LOS and TOI tends to
decrease. Whereas for Barber Johnson's analysis, there was a tendency to approach the efficient
regions in 2014-2016 (after JKN program implemented) compared to 2011-2013. Conclusion: There
was no difference in the efficiency of hospitalization before and after the JKN program implemented.
Based on these results the hospital management is expected to held reguraly evaluations using Barber
Johnson chart method and monitor service quality to increase the promotion to improve inpatient
efficiency.
Keywords: Barber Johnson, Efficiency, Health Provide
*Correspondence [email protected]
Submitted July, 9th 2020
Accepted July 14th 2020
Published August 31st 2020
2
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Upaya kesehatan yang
dilaksanakan bersifat komprehensif yang
mencakup upaya promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif. SKN
mengatur unsur-unsur dalam subsistem
upaya kesehatan yang terdiri dari upaua
kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan,
sumber daya upaya kesehatan, dan
pembinaan serta pengawasan upaya
kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan
yang dimaksud meliputi pelayanan
kesehatan tingkat pertama/primer,
pelayanan kesehatan tingkat
kedua/sekunder, dan pelayanan kesehatan
tingkat ketiga/tersier.
Berdasarkan Permenkes RI No.4
Tahun 2018, rumah sakit memiliki
kewajiban melaksanakan program
pemerintah di bidang kesehatan baik
secara regional maupun nasional.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
merupakan salah satu bentuk program
kesehatan pemerintah yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Rumah sakit dalam
program JKN yang diselenggarakan di
Indonesia per tanggal 1 Januari 2014
berperan sebagai Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
yang melakukan upaya pelayanan kesehat
spesialistik atau sub spesialistik yang
meliputi rawa jalan tingkat lanjutan,
rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat
inap di ruang perawatan khusus daerah
(Peraturan Presiden Republik Indonesia
No 82 tahun 2018). Di era Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), rumah sakit
berlomba-lomba untuk menarik pasien
untuk melaksanakan pemeriksaan
lanjutan atau rujukan. Kondisi ini
berpotensi menimbulkan persaingan antar
rumah sakit tidak terkecuali dalam bidang
pelayanan rawat inap. Semakin
banyaknya rumah sakit swasta yang
bekerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan maka semakin ketat
persaingan dalam memperoleh pasien
rujukan lanjutan JKN.
Rumah sakit menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat
(Permenkes RI No. 4 Tahun 2018).
Diharapkan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh rumah sakit adalah
bermutu, aman, antidiskriminasi dan
efektif serta mengutamakan kepentingan
pasien. Semua kegiatan pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan rumah sakit
didokumentasikan dalam bentuk data-
data yang selanjutnya dianalisis dalam
statistik rumah sakit. Informasi yang
dihasilkan dari statistik rumah sakit
digunakan untuk kepentingan
perecanaan, pemantauan pendapatan dan
pengeluaran darim pihak pasien,
pemantauan kinerja medis, dan
pemantauan kinerja non medis (Sudra
2010).
Perhitungan efisiensi pelayanan
rumah sakit diperlukan untuk memantau
mutu pelayanan suatu rumah sakit. Rawat
inap merupakan salah satu pelayanan
wajib yang disediakan oleh suatu rumah
sakit. Di Indonesia kondisi pelayanan
rawat inap yang disediakan oleh rumah
sakit pada umumnya terbagi menjadi
kelas-kelas tertentu terutama untuk
rumah sakit swasta. Beberapa pembagian
kelas perawatan rawat inap yaitu rawat
inap kelas I, kelas II, kelas III, VIP, dan
VVIP. Pengelolaah rawat inap
merupakan salah satu indikator mutu
pelayanan di rumah sakit. Pihak
manajemen rumah sakit menyediakan
tempat tidur (TT) untuk digunakan
merawat pasien rawat inap dengan
harapan bahwa setiap biaya yang
dikeluarkan untuk membeli dan
menyediakan tempat tidur tersebut akan
dapat menghasilkan pemasukan dana dari
pasien yang menggunakan TT tersebut
(Sudra 2010). Grafik Barber Johnson
adalah salah satu metode untuk
menganalisis tingkat efisiensi
penggunaan tempat tidur dengan
3
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
memanfaatkan empat parameter yaitu
BOR (Bed Occupancy Ratio), AvLOS
(Average Length of Stay), Turn Over
Interval (TOI), dan BTO (Bed Turn
Over) (Sudra, 2010).
Beberapa penelitian tentang
efisiensi rawat inap menggunakan grafik
Barber Johnson telah dilakukan di
Indonesia namun memperoleh hasil yang
bervariasi. Beberapa penelitian
menemukan efisiensi rawat inap rumah
sakit pada daerah efisien. Penelitian di
RSUD Tugurejo Semarang yang
dilakukan tahun 2013-2017 menemukan
bahwa trend BOR kelas II dan III
menurun sementara tren untuk kelas I dan
VIP meningkat, untuk trend LOS setiap
kelas mengalami penurunan, untuk trend
TOI kelas I dan VIP menurun namun
tidak pada kelas II dan III yang justru
mengalami peningkatan, hasil berbeda
terlihat pada BTO kelas I, II, dan VIP
yang meningkat namun trend BTO pada
kelas III menurun. Penggambaran trend
menggunakan grafik Barber Johnson
menemukan tingkat efisiensi tahun 2013-
2017 sudah efisien. (Devi & Prasetyowati
2019) Penelitian tentang efisiensi rawat
inap berdasarkan jenis ruangan yang
dilakukan di BLUD RSUD dr. H.
Soemarni Sosroatmodjo Kapuas
menemukan hanya ruang Cempaka yang
berada di daerah efisien, sementara ruang
VIP, Isolasi, ICU, VK, Teratai, Mawar,
Perinatologi, Kenanga, Dahllia, dan
Anggrek berada di luar daerah efisien
(Persadha et al. 2019). Penelitian ini
menggunakan standar dari Departemen
Kesehatan. Viki Rinjani dan Endang
Triyanti melakukan analisis efisiensi
pada triwulan I tahun 2016 menggunakan
637 formulir. Di mana hasil penelitian
menunjukkan dari tujuh ruangan yang
ada hanya satu ruangan (ruang Madinah)
yang sudah efisien yaitu dengan BOR
79,93%, LOS 4,62 hari, TOI 1,16 hari,
dan BTO 17,55 kali (Rinjani & Triyanti
2016).
Beberapa penelitian lainnya
memperoleh hasil efisiensi rawat inap
rumah sakit masih berada di luar daerah
efisien (Irmawati dkk. 2018; Lubis &
Astuti 2018; Novarinda & Dewi 2017;
Rohman dkk. 2018; Sidiq & Afrina 2017;
Sulistiyono & Kurniawan 2018)
Penelitian di RSUD Aceh Besar
menunjukkan kecenderungan memasuki
wilayah efisiensi (Sidiq & Afrina 2017),
sama halnya dengan penelitian di RSU
Rajawali Citra dan RS Bhakti Wira
Tamtama Semarang yang menunjukkan
bahwa keempat parameter efisiensi
(BOR, LOS, TOI, BTO) tidak bertemu di
satu titik (Irmawati dkk., 2018; Rohman
dkk. 2018), sedangkan penelitian di RS
Sumber Waras memperoleh hasil
pertemuan titik keempat parameter yang
berada di luar daerah efisien (Novarinda
& Dewi 2017).
Belum ada penelitian terdahulu
yang melihat trend efisiensi rumah sakit
sebelum dan sesudah program JKN
diterapkan di Bali. Rumah Sakit Darma
Yadnya merupakan salah satu rumah
sakit swasta yang bekerja sama dengan
BPJS sejak tahun 2014 sebagai FKRTL
yang melayani pasien program JKN.
Kondisi saat ini di RS Dharma Yadnya
belum pernah dilakukan analisis tentang
efisiensi pengelolaan efisiensi tempat
tidur dengan metode Grafik Barber
Johnson. Berdasarkan pemaparan latar
belakang di atas maka akan dilakukan
penelitian tentang analisis efisiensi
pelayanan rawat inap di RSU Dharma
Yadnya di era JKN. Manfaat dari
penelitian ini adalah memberikan
gambaran efisiensi rawat inap rumah
sakit sehingga kedepannya dapat
dilakukan tindak lanjut untuk
memperbaiki atau mempertahankan
fungsi manajemen terkait rawat inap
sehingga mutu pelayanan rumah sakit
dapat ditingkatkan.
METODE
Penelitian dilakukan di Rumah
Sakit Dharma Yadnya pada bulan
4
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
November-Desember 2019. Rancangan
penelitian ini bersifat deskriptif di mana
peneliti menggambarkan keadaan dari
objek penelitian. Peneliti melakukan
observasional dengan pendekatan
retrospektif yaitu menggunakan data
rekapitulasi sensus harian total rawat inap
di Rumah Sakit Dharma Yadnya tahun
2011 sampai dengan 2016. Data yang
dikumpulkan yaitu Bed Occupancy Rate
(BOR), Average Length of Stay (LOS),
Turn Over Interval (TOI), dan Bed Turn
Over (BTO) menggunakan pedoman
observasi. Berikut merupakan definisi
operasional variabel sekaligus
perhitungan untuk masing-masing
indikator (Sudra 2010):
1) BOR (Bed Occupancy Rate)
BOR didefinisikan sebagai persentase
pemakaian tempat tidur pada periode
waktu tertentu dengan standar ideal
yaitu 60-80% yang dapat dihitung
dengan rumus berikut:
2) LOS (Average Length of Stay)
LOS merupakan rata-rata lama pasien
dirawat dengan standar ideal yaitu 3-
12 hari yang dihitung dengan rumus
berikut:
3) TOI (Turn Over Interval)
TOI adalah rata-rata waktu luang
tempat tidur dengan standar ideal
yaitu 1-3 hari yang dihitung dengan
rumus berikut:
4) BTO (Bed Turn Over)
BTO adalah produktivitas tempat
tidur dengan standar ideal yaitu
minimal 30 kali yang dihitung dengan
rumus berikut:
Sementara data pendukung lainnya
yang dikumpulkan yaitu beberapa
informasi terkait ada tidaknya perubahan
SOP yang berkaitan dengan rawat inap,
perubahan fasilitas dan sarana prasarana
yang menunjang rawat inap, serta
perubahan kondisi sumber daya manusia
yang bertugas di ruang rawat inap. Data
pendukung dikumpulkan dengan
melakukan wawancara tidak terstruktur
kepada kepala keperawatan dan petugas
rekam medis di RSU Dharma Yadnya.
Analisis data dibagi menjadi dua
yaitu deskriptif dengan menghitung
distribusi frekuensi dan menggunakan
grafik Barber Johnson yang
keseluruhannya disajikan dalam bentuk
tabel, grafik, dan narasi. Perhitungan
BOR, LOS, TOI, dan BTO dihitung
untuk masing-masing tahun 2011, 2012,
2013, 2014, 2015, dan 2016. Selanjutnya
keempat parameter efisiensi pelayanan
rawat inap tersebut dianalisis
menggunakan grafik Barber Johnson
untuk mendapatkan tingkat efisiensi
pelayanan rawat inap. Grafik Barber
Johnson dibuat menggunakan Microsoft
Excel. Langkah-langkah pembuatan
Grafik Barber Johson adalah sebagai
berikut:
a. Menetapkan sumbu Y untuk nilai
LOS dan sumbu X untuk TOI
b. Menggambar garis BOR standar
ideal yaitu dengan nilai 75%
c. Menggambar batasan ideal LOS
sebesar 3-12 hari
d. Menggambar batasan ideal TOI
sebesar 1-3 hari
e. Menggambar garis BTO dengan
nilai 30 kali
f. Mengarsir daerah efisiensi yang
dibentuk dengan keempat standar
ideal di atas (BOR 75%, LOS 3-12
hari, TOI 1-3 hari, dan BTO 30
kali)
g. Menggambar garis BOR dan BTO
masing-masing tahun
h. Mencari titik potong Barber
Johnson menggunakan empat
indikator (BOR, BTO, LOS, dan
TOI) untuk masing-masing tahun
5
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
HASIL
RSU Dharma Yadnya merupakan
rumah sakit swasta di bawah pengelolaan
Yayasan Dharma Usada Rsi Markandeya
yang didirikan pada tanggal 15 Maret
1986. RSU Dharma Yadnya beralamat di
Jalan WR. Supratman No. 256 Denpasar-
Bali. Pada saat ini RSU Dharma Yadnya
memiliki kapasitas 59 tempat tidur.
Pelayanan yang diselenggarakan meliputi
Instalasi Gawat Darurat (IGD), Ruang
Bersalin (VK), poliklinik, rawat inap,
hemodialisa, dan ICU. Selain itu terdapat
fasilitas penunjang yang meliputi unit
farmasi, laboratorium, dan rontgen yang
beroperasi 24 jam setiap hari.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
kepala keperawatan yang menaungi rawat
inap di RSU Dharma Yadnya, selama
tahun 2011-2016 tidak ada perubahan
signifikan terhadap isi SOP terkait
pelayanan rawatan inap, begitu pula
dengan jumlah SDM di bagian pelayanan
rawat inap yang memiliki jumlah kisaran
32-36 orang per tahun di mana persentase
SDM yang memiliki sertifikat pelatihan
cenderung meningkat dari tahun ke
tahun, dan memiliki rata-rata masa kerja
5-7 tahun.
Pelayanan rawat inap di RSU
Dharma Yadnya berada di bawah Bidang
Pelayanan Medis dan Keperawatan yang
terdiri dari dua ruangan yaitu Ayodia dan
Barata. Berikut merupakan data
rekapitulasi sensus harian rawat inap
RSU Dharma Yadnya tahun 2011-2016.
Tabel 1 Rekapitulasi Sensus Harian Rawat Inap di RSU Dharma Yadnya Tahun 2011-2016
Tahun Jumlah Hari Perawatan Jumlah Pasien
Keluar
Jumlah Tempat
Tidur
Sebelum
JKN
2011 4.358 1.445 50
2012 4.310 1.360 50
2013 5.342 1.624 50
Rata-rata 4.670 1.476 50
Era JKN
2014 6.202 1.987 50
2015 7.285 2.394 50
2016 6.599 2.609 50
Rata-rata 6.695 2.330 50
Sumber: Data Sekunder (2019)
Pada tabel 1 diketahui selama
tahun 2011 sampai dengan 2016 terjadi
peningkatan jumlah hari perawatan dan
jumlah pasien keluar namun tidak diikuti
dengan peningkatan jumlah tempat tidur.
Pada tabel 2 ditampilkan data
BOR, LOS, TOI, dan BTO RSU Dharma
Yadnya tahun 2011-2016. BOR dan
BTO antara sebelum dan sesudah JKN
mengalami peningkatan dengan nilai
BOR dan BTO tertinggi pada tahun 2015
yaitu masing-maisng sebesar 39% dan 52
kali. Sedangkan untuk LOS dan TOI
cenderung fluktuatif dalam kurun waktu
2011-2016.
6
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Tabel 2. Statistik RSU Dharma Yadnya Tahun 2011-2016
Tahun BOR (%) LOS (hari) TOI (hari) BTO (kali)
Sebelum JKN
2011 23,87 3 9 28
2012 23,62 3 10 27
2013 29,00 3 8 32
Era JKN
2014 33,00 4 6 39
2015 39,00 3 4 47
2016 36,00 2 4 52
Sumber : Data sekunder (2019)
Perbandingan efisiensi rawat inap
di RSU Dharma Yadnya dikelompokkan
menjadi sebelum pelaksanaan JKN
(tahun 2011-2013) dan sesudan
pelaksanaan JKN (tahun 2014-2016)
yang disajikan dalam grafik Barber
Johnson di bawah ini.
Gambar 1. Grafik Barber Johnson Tahun 2011
Gambar 1 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2011 yang
memiliki nilai BOR 23,87% (kurang dari
ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 9 hari
(tidak ideal), dan BTO 28 kali (kurang
dari ideal). Kondisi ini menyebabkan titik
Barber Johnson tahun 2011 tidak berada
di daerah efisien.
Gambar 2 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2012 yang
memiliki nilai BOR 23,62% (kurang dari
ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 10 hari
(tidak ideal), dan BTO 27 kali (kurang
dari ideal). Kondisi tahun 2012
mengalami penurunan di keempat
parameter efisiensi rawat inap sehingga
titik Barber Johnson tahun 2012 tidak
berada di daerah efisien.
Gambar 2. Grafik Barber Johnson Tahun 2012
Gambar 3. Grafik Barber Johnson Tahun 2013
Gambar 3 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2013 yang
memiliki nilai BOR 29,00% (kurang dari
ideal), LOS 3 hari (ideal), TOI 8 hari
(tidak ideal), dan BTO 32 kali (ideal).
Meskipun terdapat peningkatan dari
tahun 2012 namun titik Barber Johnson
tahun 2013 masih berada di luar daerah
efisien.
7
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Secara umum analisis efisiensi
rawat inap di RSU Dharma Yadnya
sebelum program JKN berada di luar
daerah efisien.
Gambar 4. Grafik Barber Johnson Tahun 2014
Gambar 4 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2014 di mana
RSU Dharma Yadnya telah melayani
pasien JKN per 1 Januari 2014 dengan
nilai BOR 33% (kurang dari ideal), LOS
4 hari (ideal), TOI 6 hari (tidak ideal),
dan BTO 39 kali (ideal). Titik Barber
Johnson tahun 2014 berada di luar daerah
efisien.
Gambar 5. Grafik Barber Johnson Tahun 2015
Gambar 5 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2015 dengan nilai
BOR 39% (kurang dari ideal), LOS 3 hari
(ideal), TOI 4 hari (tidak ideal), dan BTO
47 kali (ideal). Titik Barber Johnson
tahun 2015 berada di luar daerah efisien.
Gambar 6. Grafik Barber Johnson Tahun 2016
Gambar 6 menunjukkan Grafik
Barber Johnson Tahun 2016 dengan nilai
BOR 36% (kurang dari ideal), LOS 2 hari
(tidak ideal), TOI 4 hari (tidak ideal), dan
BTO 52 kali (ideal). Titik Barber Johnson
tahun 2016 masih berada di luar daerah
efisien.
PEMBAHASAN
RSU Dharma Yadnya melayani
pasien JKN dari 1 Januari 2014 selain itu
sebelumnya rumah sakit ini juga telah
melayani pasien ASKES (Asuransi
Kesehatan). Secara fasilitas rawat inap,
selama tahun 2011-2013 (sebelum JKN)
dengan tahun 2014-2016 (setelah JKN)
tidak ada penambahan tempat tidur yaitu
tetap 50 tempat tidur. Selama tahun 2011-
2013 jumlah hari perawatan dan jumlah
pasien cenderung fluktuatif dengan
jumlah tertinggi di tahun 2013 sebanyak
5.342 hari dan 1.624 pasien. Begitu pula
selama tahun 2014-2016 jumlah hari
perawatan terbanyak pada tahun 2015
7.285 hari namun untuk jumlah pasien
terbanyak pada tahun 2016 sebanyak
2.609. Apabila dibandingkan antara
sebelum dan sesudah adanya program
JKN, terjadi peningkatan rata-rata hari
perawatan antara sebelum JKN (4.670)
dan sesudah JKN (6.695) sebesar
43,36%. Begitu pula dengan jumlah
pasien keluar terjadi peningkatan antara
sebelum JKN (1.476) dan sesudah JKN
(2.330) sebesar 57,86%. Apabila ditinjau
8
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dari indikator BOR, RSU Dharma
Yadnya selama tahun 2011-2013 hanya
mencapai 23,87%, 23,62%, dan 29,00%
di mana capaian kurang dari ideal.
Setelah ada program JKN, BOR RSU
Dharma Yadnya mengalami peningkatan
dari tahun 2014-2016 menjadi di atas
30% namun capaian ini masih kurang
dari ideal. Berdasarkan hal tersebut,
adanya program JKN terlihat diikuti
dengan peningkatan BOR RSU Dharma
Yadnya, namun peningkatan tersebut
belum mencapai ideal. Nilai BOR yang
rendah menunjukkan bahwa penggunaan
tempat tidur untuk perawatan yang
rendah. Semakin rendah nilai BOR
semakin kecil beban kerja SDM di bagian
rawat inap, namun sebaaliknya
berdampak pada pendapatan ekonomi
bagi pihak rumah sakit. Peneliti lain juga
mengungkapkan pendapatan yang rendah
mengakibatkan rumah sakit akan
mengalami permasalahan dalam
peningkatan kualitas pelayanan karena
kurangnya pendapatan (Sidiq & Afrina
2017). Penelitian di RSUD Tugurejo
tahun 2013-2017 tentang trend efisiensi
penggunaan tempat tidur justru
menemukan hasil berbeda, di mana nilai
BOR cenderung mengalami penurunan
pada saat program JKN mulai diterapkan,
hal ini dapat disebabkan karene
diberlakukanna kebijakan rujukan
berjenjang (Devi & Prasetyowati 2019).
Apabila ditinjau dari indikator
LOS, RSU Dharma Yadnya selama tahun
2011-2013 memiliki nilai LOS 3 hari di
mana capaian tergolong batas ideal yaitu
3-12 hari (Rustiyanto 2010). Setelah ada
program JKN, LOS RSU Dharma
Yadnya mengalami peningkatan di tahun
2014 (4 hari), menurun di tahun 2013 (3
hari), dan 2016 (2 hari). LOS rawat inap
di tahun 2016 tergolong kurang ideal (3-
12 hari). Hal ini justru menunjukkan pada
saat adanya program JKN lama rawat
seorang pasien menjadi menurun, hal ini
bisa disebabkan karena penyakit yang
ditangani oleh pihak rumah sakit pada
tahun tersebut tergolong ringan sehingga
memerlukan waktu rawat yang pendek.
Temuan ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Devi, E. S dan Asih
Prasetyowati, di mana kecenderungan
nilai LOS yang menurun seiring
diterapkannya program JKN yang diduga
berkaitan dengan standar LOS tiap kasus
pelayanan pasien (Devi & Prasetyowati
2019). Menurut Irmawati dkk. (2018)
untuk menjaga LOS berada pada rentang
ideal Barber Johnson diperlukan
kebijakan dari manajemen rumah sakit
serta meningkatkan keahlian dan
ketrampilan tenaga medis yang sesuai
standar meningkatkan pelayanan yang
bermutu. Selain itu perlu diwaspadai
adanya potensi fraud karena menurut
potensi fraud yang mungkin terjadi
dengan cara memperpanjang atau
memperpendek lamanya perawatan
(Novarinda & Dewi 2017).
Indikator TOI RSU Dharma
Yadnya selama tahun 2011-2013
memiliki nilai TOI yang jauh dari ideal
yaitu 9 hari (2011), 10 hari (2012) dan 8
hari (2013). Hal ini menunjukkan bahwa
tempat tidur di RSU Dharma Yadnya
memiliki waktu senggang yang melebihi
1 pekan untuk terisi pasien kembali.
Setelah ada program JKN, TOI RSU
Dharma Yadnya membaik menjadi 6 hari
(2014) dan 4 hari (2015 dan 2016).
Meskipun demikian capaian ini tergolong
tidak ideal yaitu 1-3 hari (Rustiyanto
2010). Temuan ini justru berbanding
terbalik dengan penelitian yang dilakukan
oleh Irmawati dkk (2018) yang
menemukan nilai TOI mendekati ideal
antara 1-3 hari. TOI yang lebih lama dari
ideal memberikan kesempatan untuk
pihak manajemen agar dapat
mempersiapkan tempat tidur lebih baik
yang dapat menurunkan risiko terjadinya
infeksi nosokomial namun secara
ekonomi akan mengurangi pendapatan
rumah sakit karena tempat tidur terlalu
lama tidak terpakai (Irmawati dkk. 2018).
Untuk indikator BTO, RSU
Dharma Yadnya selama 2011-2013
mengalami fluktuasi yaitu dari tahun
9
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
2011 (28 kali) dan tahun 2012 (27 kali)
yang tergolong kurang dari ideal
kemudian di tahun 2013 mencapai 32 kali
yang tergolong ideal tapi masih kurang
ideal mnurut depkes. Sedangkan setelah
program JKN, BTO tahun 2014 (39 kali),
2015 (47 kali), dan 2016 menjadi (52
kali). Jika dilihat peningkatan BTO tahun
2014-2016 menunjukkan kecenderungan
ke arah yang baik dimana tahun 2015 dan
2016 sudah tergolong ideal. Temuan ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di RSUD Tugurejo, BLUD RSUD dr. H
Soemarno Sosroatmojo, dan RS
Singaparna Medika Citrutama (Devi &
Prasetyowati 2019; Persadha et al. 2019;
Rinjani & Triyanti 2016).
Analisis grafik Barber Johnson
untuk masing-masing tahun ditampilkan
pada gambar 1-6. Grafik Johnson Tahun
2011-2013 yaitu sebelum ada program
JKN menunjukkan tahun 2013 memiliki
titik Barber Johnson yang paling
mendekati daerah efisien. Sedangkan
pada tahun 2014-2016 yaitu setelah RSU
Dharma Yadnya memberikan pelayanan
pasien JKN, tahun 2016 memiliki titik
Barber Johnson yang paling mendekati
daerah efisien dibandingkan dengan
tahun 2014 dan 2015. Secara umum titik
Barber Johnson dan sesudah program
JKN terlihat ada potensi mendekati
daerah efisien. Tidak tercapainya titik
Barber Johnson di daerah efisien selama
2011-2016 lebih disebabkan karena BOR
dan TOI rumah sakit yang tidak
mencapai ideal sementara LOS dan BTO
yang sempat mencapai kategori ideal.
Temuan ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya di mana titik pertemuan
keempat parameter BOR, LOS, TOI dan
BTO berada di luar daerah efisien
(Irmawati dkk. 2018; Lubis & Astuti
2018; Novarinda & Dewi 2017; Rohman
dkk. 2018; Sidiq & Afrina 2017;
Sulistiyono & Kurniawan 2018),
penyebab tidak efisien adalah adanya
pasien dirujuk, pasien pulang atas
permintaan sendiri, pasien meninggal
kurang atau lebih dari 48 jam, letak atau
lokasi keberadaan rumah sakit, promosi,
kurangnya sarana dan fasilitas, serta
kurangnya pemerataan tempat tidur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
petugas rekam medis terkait rendahnya
capaian efisiensi rawat inap di RSU
Dharma Yadnya diperoleh hal sebagai
berikut:
a. Jumlah pasien yang fluktuatif yang
berdampak terhadap nilai BOR yang
tidak mencapai ketegori ideal dapat
dikarenakan adanya persaingan
dengan rumah sakit lainnya di Kota
Denpasar yang tergolong memiliki
jarak dekat. Selain itu terdapat
kebijakan rujukan berbasis wilayah
yang diterapkan BPJS Kesehatan dan
serta ketersediaan pemeriksaan
laboratorium yang kurang mutakhir
sehingga dokter cenderung
memberikan rujukan ke rumah sakit
lainnya.
b. Nilai LOS yang semakin menurutn
disebabkan oleh pasien yang dilayani
di RSU Dharma Yadnya didominasi
oleh pasien bedah (abses, appendiks,
dan hidrokel) yang membutuhkan
lama rawat inap yang relatif singkat.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis grafik
Barber Johnson baik sebelum program
JKN (2011-2013) dan sesudah JKN
(2014-2016) tidak terdapat perbedaan
status efisiensi rawat inap yaitu titik
Barber Johnson berada di luar daerah
efisien. Capaian ini disebabkan karena
nilai BOR RSU Dharma Yadnya yang
tergolong rendah yang dapat diakibatkan
persaingan antar rumah sakit, kebijakan
rujukan berjenjang dan berbasis wilayan,
serta ketersediaan pemeriksaan
laboratorium yang kurang mutakhir.
Sementara nilai LOS yang rendah
diakibatkan oleh jenis pasien yang
dilayani oleh RS didominasi oleh pasien
bedah yang membutuhkan waktu lama
rawat yang pendek. Dapat disimpulkan
10
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
pemanfaatan tempat tidur di RSU
Dharma Yadnya belum berjalan baik.
SARAN
Berdasarkan temuan pada
penelitini ini diharapkan pihak
manajemen manajemen melaksanakan
evaluasi secara berkala terhadap efisiensi
pelayanan rawat inap dengan metode
grafik Barber Johnson, melakukan
pemantauan kualitas pelayanan rawat
inap sehingga dapat dilakukan upaya
tidak lanjut guna meningkatkan efisiensi
rawat inap di era JKN.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih
kepada RSU Dharma Yadnya yang telah
memberikan ijin penelitian khususnya
Unit Rekam Medis dan Bagian
Keperawatan yang telah membantu
pengumpulan data. Terima kasih kepada
LPPM (Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat) Institut Ilmu
Kesehatan Medika Persada Bali yang
memberikan pendanaan terhadap
penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Devi, Erna Septiana, dan Asih
Prasetyowati. 2019. “Trend
Penggunaan Tempat Tidur Menurut
Kelas di RSUD Tugurejo Semarang
Tahun 2013-2017.” In Prosiding
Call For Paper SMIKNAS, 153–60.
Irmawati, Elise Garmelia, Sri Lestari, dan
Dinda M Melasoeffie. 2018.
“Efficiency Use Of Beds Based
Johnson Barber Graphics Effisiensi
Penggunaan Tempat Tidur
Berdasarkan Grafik Barber
Johnson.” Jurnal Rekam Medis dan
Informasi Kesehatan 1 (2): 61–66.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.3
1983/jrmik.v1i2.3846.
Lubis, S.P.S, dan C. Astuti. 2018.
“Analisis Efisiensi Penggunaan
Tempat Tidur Di RSJ Prof. DR. M.
Ildrem Medan Per Ruangan
Berdasarkan Indikator Rawat Inap
Di Triwulan 1 Tahun 2018.” Jurnal
Ilmiah Perekam dan Informasi
Kesehatan Imelda 3 (2): 466–72.
Novarinda, Intan, dan Deasy Rosmala
Dewi. 2017. “Efisiensi Pengelolaan
Di Bangsal Asoka Berdasarkan
Grafik Barber Johnson Di Rumah
Sakit Sumber Waras Triwulan I-IV
Tahun 2016.” Inohim 5 (1): 14–21.
Persadha, Galih, Fakhrurrasyid Anshari,
dan Aus Al Anhar. 2019. “Analisis
Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Ditinjau Dari Indikator Pelayanan
Rawat Inap Pada BLUD RSUD dr.
H. Soemarno Sosroatmodjo Kapuas
Tahun 2017.” Jurnal Kajian Ilmiah
Kesehatan dan Teknologi 1 (1): 1–
10.
Rinjani, Viki, dan Endang Triyanti. 2016.
“Analisis Efisiensi Penggunaan
Tempat Tidur Per Ruangan
Berdasarkan Indikator Depkes dan
Barber Johnson di Rumah Sakit
Singaparna Medika Citrautama
Kabupaten Tasikmalaya Triwulan 1
tahun 2016.” Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan Indonesia 4
(2): 38–45.
Rohman, Hendra, Ibnu Mardiyoko, dan
Novia Putri Ayuningtyas. 2018.
“Analisis Efisiensi BOR, LOS, TOI,
Dan BTO Berdasarkan Grafik
Barber Johnson.” Jurnal Ilmu
Kesehatan Bhakti Setya Medika Vol.
3 (September): 11–21.
Rustiyanto, Ery. 2010. Statistik Rumah
Sakit untuk Pengambilan
Keputusan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sidiq, Rapitos, dan Reka Afrina. 2017.
“Kajian Efisiensi Pelayanan Rumah
Sakit.” Idea Nursing Journal VIII
(1): 29–34.
Sudra, Rano Indradi. 2010. Statistik
Rumah Sakit. Yogyakarta: Graha
11
Farmani, Dewi
Analisis Efisiensi Pelayanan Rawat Inap
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Ilmu.
Sulistiyono, Liga, dan Aditya Kurniawan.
2018. “Efisiensi Pengelolaan
Tempat Tidur Rawat Inap Per Bulan
Berdasarkan Indikator Barber
Johnson Di RSUI YAKSSI
Gemolong Sragen 2017.” Infokes 8
(2): 55–69.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
12
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair (Oreochromis
Mossambicus) di Daerah Taman Pancing Denpasar Selatan
Kadek Anidia Rasmi1*, Ade Ayu Yasinta Dewi2, Ni Putu Rahayu Artini3
1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu penyakit yang berbahaya untuk ikan mujair yaitu parasit. Hal ini tentu
dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan dan gangguan kesehatan pada manusia. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis parasit yang menginfeksi ikan mujair (Oreochromis
mossambicus) di daerah Taman Pancing Kecamatan Denpasar Selatan. Metode: Sebanyak 26 ekor
ikan mujair yang diambil dari daerah Taman Pancing diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi
Universitas Bali Internasional untuk melihat keberadaan ektoparasit dan endoparasit. Pemeriksaaan
ektoparasit dilakukan dengan cara pengamatan organ tubuh bagian luar dan kemudian diperiksa di
bawah mikroskop, sedangkan pemeriksaan endoparasit dilakukan dengan cara pengamatan pada
permukaan dalam dari saluran pencernaan. Hasil: Dari hasil penelitian ditemukan dua jenis parasit
yang menginfestasi ikan mujair di daerah Taman Pancing yaitu Ascaris sp. dan Ancylostoma sp.
Sebanyak 53,8% ikan mujair terinfestasi Ascaris sp., dan 46,2% terinfestasi Ancylostoma sp. Intensitas
Ascaris sp. sebanyak 2 individu/ekor dan Ancylostoma sp. sebanyak 1 individu/ekor. Kesimpulan:
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa dari 26 ekor ikan mujair yang
diperoleh di daerah Taman Pancing Kecamatan Denpasar Selatan, semua sampel ikan terinfeksi
parasit. Hal ini menandakan bahwa ikan mujair yang ada di daerah tersebut tidak layak untuk
dikonsumsi karena dapat menularkan parasit melalui rute fecal-oral.
Kata kunci: ektoparasit, endoparasit, ikan mujair
ABSTRACT Background : One of the most dangerous diseases for tilapia fish is parasites. This certainly can cause
a decrease in fish quality and health problems in humans. Objective: This study aims to identify the
type of parasite that infects tilapia fish (Oreochromis mossambicus) in the Fishing Park area of South
Denpasar District. Methods: A total of 26 tilapia fish taken from the Fishing Park area were examined
at the Microbiology Laboratory of the University of Bali International to see the presence of
ectoparasites and endoparasites. Ectoparasites are examined by observing external organs and then
examined under a microscope, while endoparasites are examined by observing the inner surface of the
digestive tract. Results: From the results of the study found two types of parasites that infested tilapia
fish in the Fishing Park area namely Ascaris sp. and Ancylostoma sp. As many as 53.8% of tilapia fish
were infested with Ascaris sp., And 46.2% were infested with Ancylostoma sp. The intensity of
Ascaris sp. as many as 2 individuals / tail and Ancylostoma sp. as many as 1 individual / tail.
Conclusion: Based on the results of observations made, it is known that from 26 tilapia fish obtained
in Taman Pancing in the South Denpasar District, all fish samples were infected with parasites. This
indicates that tilapia fish in the area are not suitable for consumption because they can transmit
parasites through the fecal-oral route.
Keywords: ectoparasites, endoparasites, Oreochromis mossambicus
*Correspondence [email protected]
Submitted July, 18th 2020
Accepted July 25th 2020
Published August 31st 2020
13
Rasmi, Dewi & Artini
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Ikan mujair (Oreochromis
mossambicus), penyebaran alaminya
adalah perairan Afrika dan di Indonesia
pertama kali ditemukan di muara Sungai
Serang, Pantai Selatan, Blitar, Jawa
Timur pada tahun 1939. Ikan mujair
(Oreochromis mossambicus) merupakan
organisme perairan tawar yang dapat
bertahan terhadap perubahan kondisi
lingkungan perairan, seperti kadar
oksigen yang rendah dan perubahan
salinitas yang cukup ekstrem (Afandi
1992). Ikan mujair merupakan ikan
omnivora, yaitu pemakan segala, hewan
dan tumbuhan, seperti tumbuh-tumbuhan
air, diatom, Chlorophyceae,
Dinophyceae, Cyanophyceae, dan
Crustaceae renik dan termasuk ikan yang
rakus. Ikan yang masih kecil cenderung
makan plankton dan zooplankton. Ikan
mujair memiliki banyak kandungan yang
terdapat dalam tubuhnya. Kandungan gizi
ikan mujair adalah protein, lemak, dan
karbohidrat, serta kandungan mineral
seperti kalsium, fosfat, dan besi (Kordi
2010).
Namun tidak jarang ditemukan
penyakit pada ikan mujair. Penyakit ini
merupakan salah satu faktor kendala
dalam kegiatan budidaya yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan
interaksi antara faktor lingkungan, inang,
dan agen penyakit. Salah satu penyakit
yang berbahaya untuk ikan mujair yaitu
parasit. Hal ini tentu dapat menyebabkan
penurunan kualitas ikan dan gangguan
kesehatan pada manusia. Keberadaan
parasit dapat menyebabkan efek
mematikan pada populasi inang dan
konsekuensinya dapat menyebabkan
kerugian besar bagi industri perikanan.
Menurut FAO (2005), prevalensi
penyebaran cacing parasit di Indonesia
dapat mencapai ±30%. Infeksi cacing
parasitik di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia memiliki tingkat
prevalensi penyebaran yang sangat tinggi.
Tingkat penyebaran ini dipengaruhi oleh
iklim dan cuaca. Iklim menentukan
endemisitas suatu penyakit, sedangkan
cuaca menentukan prevalensi penularan
suatu penyakit parasitik sampai
timbulnya epidemik. Selain itu, umur,
jenis kelamin, dan sistem ketahanan
tubuh menentukan jumlah cacing parasit
yang menginfeksi induk semang.
Menurut (Barber, Downey, dan
Braithwaite 1998), beberapa faktor yang
berperan terhadap serangan penyakit
pada ikan adalah kepadatan ikan yang
dibudidaya, sistem kurungan yang
dipakai, budidaya secara monokultur dan
stres.
Penyakit pada ikan juga kerap
disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik
yaitu faktor fisik dan kimiawi air dan
berbagai organisme patogen. Menurut
Gargas (1995), organisme patogen
tersebut di antaranya adalah endoparasit
dan ektoparasit. Arnott, Barber, dan
Huntingford (2000) menyatakan bahwa,
umumnya parasit pada ikan adalah
golongan Crustacea, cacing (Trematoda,
Nematoda, dan Cestoda), dan protozoa.
Parasit ini menginfeksi sirip, sisik,
operkulum dan insang ikan.
Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi jenis parasit yang
menginfeksi ikan mujair di daerah Taman
Pancing Kecamatan Denpasar Selatan.
Dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat edukatif dan
menambah wawasan serta sebagai
informasi untuk mengetahui parasit yang
sering terdapat pada ikan mujair
(Oreochromis mossambicus) di daerah
Taman Pancing Kecamatan Denpasar
Selatan yang dapat digunakan sebagai
acuan agar masyarakat lebih waspada
terhadap penyakit yang mungkin
ditularkan dari mengonsumsi ikan mujair.
Bagi pemerintah, diharapkan penelitian
ini bermanfaat sebagai pertimbangan
untuk meningkatkan kualitas dan
kebersihan lingkungan demi
meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat.
14
Rasmi, Dewi & Artini
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
METODE
Penelitian ini dilaksanan dari 30
Oktober 2019 sampai dengan 31 Oktober
2019. Pelaksanaan penelitian dan
penulisan karya tulis ilmiah ini
dilaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Universitas Bali
Internasional. Populasi dan sampel
penelitian yang digunakan adalah 26 ekor
ikan mujair yang diambil secara acak dari
daerah Taman Pancing Kecamatan
Denpasar Selatan.
Alat yang digunakan pada
penelitian ini antara lain mikroskop,
object glass, cover glass, pipet tetes,
penggaris, lidi, dan cutter. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini antara lain
NaCl fisiologis 0,9% dan sampel ikan
mujair.
Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi bagian luar dan bagian dalam
tubuh ikan. Pemeriksaan ukuran panjang
ikan dilakukan dengan cara mengukur
panjang ikan dari ujung kepala sampai
kaudal dengan menggunakan mistar.
Pemeriksaan ektoparasit dilakukan
dengan cara mengamati tanda-tanda luar
pada permukaan tubuh, insang, sirip, dan
operkulum ikan untuk menentukan
keberadaan parasit pada ikan tersebut.
Proses pengambilan lendir pada tubuh
ikan dilakukan dengan cara mengerok
lendir pada permukaan tubuh ikan,
meletakkan di atas object glass dan
ditetesi dengan natrium klorida (NaCl)
fisiologis kemudian ditutup dengan cover
glass dan selanjutnya diamati di bawah
mikroskop.
Pengamatan pada sirip ikan
dilakukan dengan cara seluruh sirip ikan
dipotong kemudian diletakkan pada
object glass¸ ditetesi NaCl fisiologis dan
selanjutnya diamati di bawah mikroskop.
Sama halnya dengan pemeriksaan insang,
kedua belah insang diambil, dipisahkan
antara filamen dengan tapisnya,
diletakkan di atas object glass dan
ditetesi NaCl fisiologis atau akuades lalu
ditutup dengan cover glass agar
insangnya tidak bergerak-gerak,
kemudian diamati di bawah mikroskop.
Pemeriksaan endoparasit
dilakukan dengan cara ikan dibedah
terlebih dahulu mulai dari anus hingga di
bawah sirip dada, organ dalam ikan
dikeluarkan kemudian dimasukkan ke
dalam cawan petri yang telah berisi
larutan NaCl fisiologis. Rongga perut dan
permukaan organ dalam diamati secara
visual untuk mencari endoparasit yang
ada. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
pada usus ikan. Isi usus dikeluarkan dan
diletakkan di atas object glass kemudian
ditetesi NaCl fisiologis lalu ditutup
dengan cover glass. Kemudian diamati di
bawah mikroskop.
Identifikasi parasit dilakukan
dengan mengacu dalam buku Pusarawati
dkk. (2009) dan Soedarto (2016). Kunci
identifikasi penting pada protozoa
trichodinid dilakukan dengan cara
mengamati bentuk dan ukuran sel, bentuk
dan jumlah dentikel, serta lingkaran silia.
Untuk trematoda selain dari bentuk
morfologi tubuhnya seperti daun,
strukturnya yang paling penting untuk
diidentifikasi. Untuk identifikasi
monogenea adalah opisthaptor, organ
pelekat, yang terletak di bagian posterior.
Identifikasi digenea dilakukan dengan
cara mengamati organ dalam terutama
organ reproduksi. Untuk cestoda, kunci
identifikasi cacing ini berdasarkan bentuk
morfologinya yang seperti pita, terdiri
atas segmen-segmen proglotid yang
merupakan ciri spesifik parasit ini.
Nematoda, selain memiliki ciri-ciri ujung
anterior dan posterior yang runcing, dasar
kunci identifikasi nematoda adalah pada
bentuk kepala dan mulutnya.
Acanthocepala, ciri-ciri spesifik parasit
ini adalah memiliki kepala duri yang
bersifat retraktil yang disebut proboscis.
Kunci identifikasi yang penting pada
parasit ini adalah bentuk, jumlah, ukuran,
dan letak duri pada proboscis, serta
jumlah spine trunk atau duri pada bagian
badannya.
15
Rasmi, Dewi & Artini
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Tabel 1. Prevalensi dan Intensitas Parasit pada Ikan Mujair (Orechromis mossambicus)
Parasit Predileksi Jumlah Ikan
Terinfeksi Prevalensi (%)
Intensitas
(ind/ekor)
Ascaris sp. Usus 14/26 53,8% 2 ind/ekor
Ancylostoma
sp. Usus 12/26 46,2% 1 ind/ekor
Sumber: Hasil penelitian (Data diolah)
Data yang diperoleh dari hasil
identifikasi parasit pada ikan mujair
sebagai sampel yang diambil secara acak
dari daerah Taman Pancing Kecamatan
Denpasar Selatan dianalisis secara
deskriptif. Data yang didapat berupa jenis
parasit, prevalensi dan intensitas parasit
dihitung dengan rumus sebagai berikut.
HASIL
Sampel ikan mujair yang
digunakan pada penelitian ini memiliki
ukuran 10-20 cm dengan ukuran rata-rata
16 cm. Pengamatan ektoparasit pada
bagian luar tubuh seperti mata, sirip,
sisik, dan operkulum tidak terlihat adanya
ektoparasit.
Jenis-jenis parasit beserta
prevalensi dan intensitas nya yang
terdapat pada usus ikan mujair
(Oreochromis mossambicus) di daerah
Taman Pancing Kecamatan Denpasar
Selatan dapat dilihat pada tabel 1.
Berdasarkan pengamatan pada insang
ikan mujair (Oreochromis mossambicus)
tidak ditemukan adanya parasit, namun
pada usus dari ikan mujair (Oreochromis
mossambicus) ditemukan cacing parasitik
yang termasuk dalam filum
Nemathelminthes
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 26 ekor ikan mujair
ditemukan dua jenis parasit yang
menginfestasi yaitu Ascaris sp., dan
Ancylostoma sp. seperti yang disajikan
pada Tabel 1. Hasil penelitian ini tidak
jauh berbeda seperti yang dilaporkan oleh
Muhammad Nasim Khan et al. (2003)
yang melaporkan bahwa ikan-ikan air
tawar yang dibudidaya di waduk atau
yang hidup di limbah mudah terserang
berbagai jenis parasit seperti Ascaris sp.,
Ancylostoma sp., Lernaea sp.,
Dactylogyrus sp., Gyrodactylus sp.,
Epistylis sp., Trichodina sp., Camallanus,
Ichtyophthirius, Multifiliis, Argulus sp.,
Chilodonella sp., Costia sp., dan
Myxobolus sp.
Tingkat penularan parasit Ascaris
sp. pada ikan mujair tergolong tinggi,
yaitu mencapai 53,8% yang berarti
terdapat 14 ekor ikan yang terinfeksi
parasit tersebut. Infestasi Ancylostoma sp.
sebesar 46,2% yang terinfeksi yang
berarti terdapat 12 ekor ikan mujair yang
terinfeksi. Serangan parasit yang
menyerang ikan mujair merupakan
infeksi tunggal. Ditemukannya serangan
parasit pada ikan mujair di daerah Taman
Pancing Kecamatan Denpasar Selatan
yaitu dengan ditemukannya 2 spesies
parasit dengan intensitas Ascaris sp.
sebanyak 2 individu/ekor dan
Ancylostoma sp. sebanyak 1
individu/ekor. Hal ini diduga dikarenakan
kualitas air yang kurang baik, dimana
pada perairan tersebut banyak ditemukan
sampah plastik dan kondisi air yang
cukup keruh. Diketahui bahwa perairan
daerah tersebut merupakan perairan
umum (terbuka), selain itu banyak
masyarakat yang membuang sampah ke
daerah perairan tersebut.
Sungai merupakan sumber air
permukaan yang rentan terhadap
16
Rasmi, Dewi & Artini
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
pencemaran. Sungai mempunyai daya
tampung beban pencemaran oleh limbah.
Daya tampung pencemaran adalah
kemampuan air pada suatu sumber air,
untuk menerima masukan beban
pencemaran tanpa mengakibatkan air
tersebut menjadi tercemar. Dengan
masuknya limbah ke dalam air sungai
akan menyebabkan konsentrasi oksigen
berkurang. Tingkat serangan penyakit
tergantung pada jenis dan jumlah
mikroorganisme yang menyerang ikan,
kondisi lingkungan dan daya tahan tubuh
ikan juga turut memacu cepat tidaknya
penyakit itu menyerang ikan.
Pada saat pengamatan tidak
ditemukan ektoparasit pada bagan luar
tubuh ikan mujair baik di sisik, sirip,
maupun di operkulum dan insang. Insang
merupakan mikrohabitat bagi ektoparasit,
merupakan lingkungan yang memiliki
suplai oksigen yang dipengaruhi kondisi
lingkungan perairan, dengan
menggunakan oksigen yang terlarut di
dalam air. Bagian insang ini tersusun atas
jaringan epitel yang kaya akan pembuluh
darah. Hal ini diduga berhubungan
dengan nilai TSS. Zat padat tersuspensi
(Total Suspended Solid) adalah semua zat
padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau
partikel-partikel yang tersuspensi dalam
air dan dapat berupa komponen hidup
(biotik) seperti fitoplankton, zooplankton,
bakteri, fungi, ataupun komponen mati
(abiotik) seperti detritus dan partikel-
partikel anorganik. Zat padat tersuspensi
dapat dikelompokkan menjadi zat padat
terapung dan zat padat terendap. Zat
padat terapung ini selalu bersifat organik,
sedangkan zat padat terendap dapat
bersifat organik dan anorganik. Sehingga
semakin besar nilai TSS maka
kemungkinan terjadinya kontak antara
insang dengan materi-materi yang terlarut
pada perairan dapat menyebabkan
terjadinya luka pada insang sehingga
menyebabkan ektoparasit tidak dapat
hidup menempel pada insang ikan yang
telah rusak. Selain TSS, faktor lain yang
diduga mempengaruhi tidak
ditemukannya ektoparasit pada insang
adalah amoniak, begitu kadar amoniak
meningkat dalam air, ekskresi amoniak
oleh ikan menurun dan kadar amonia
dalam darah dan jaringan meningkat.
Amoniak juga meningkatkan konsumsi
oksigen oleh jaringan, merusak insang
dan mengurangi kemampuan darah untuk
mengangkut oksigen.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 26 ekor ikan mujair yang
diperoleh di daerah Taman Pancing
Kecamatan Denpasar Selatan, ditemukan
dua jenis parasit yang menginfestasi yaitu
Ascaris sp., dan Ancylostoma sp.
Prevalensi Ascaris sp. pada sampel ikan
mujair adalah 53,8% dan Ancylostoma sp.
sebesar 46,2%. Intensitas Ascaris sp.
sebanyak 2 individu/ekor dan
Ancylostoma sp. sebanyak 1
individu/ekor.
SARAN
Berdasarkan hasil pengamatan
yang dilakukan, diketahui bahwa dari 26
ekor ikan mujair yang diperoleh di daerah
Taman Pancing Kecamatan Denpasar
Selatan, semua sampel ikan terinfeksi
parasit. Hal ini menandakan bahwa ikan
mujair yang ada di daerah tersebut tidak
layak untuk dikonsumsi karena dapat
menularkan parasit melalui rute fecal-
oral. Infeksi parasit dapat menyebabkan
berbagai gejala dan penyakit bahkan
mengarah kepada kematian.
Maka dari itu, lebih baik
masyarakat sekitar lebih waspada
terhadap serangan parasit yang
menyerang ikan dan tidak mengonsumsi
ikan hasil tangkapan di daerah tersebut.
Selain itu, sebaiknya pemerintah dan
masyarakat lebih peka terhadap masalah
lingkungan, dengan tetap menjaga
kawasan daerah Taman Pancing tetap
17
Rasmi, Dewi & Artini
Identifikasi Parasit Pada Ikan Mujair
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
bersih dan bebas dari sampah sehingga
dapat mengurangi risiko infeksi parasit,
baik pada ikan maupun pada manusia
yang mungkin mengonsumsinya.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi. 1992. Ikhtiologi: Suatu Panduan
Kerja Laboratorium. Bogor:
Depdikbud dan IPB.
Arnott, Stephen A., Iain Barber, dan
Felicity A. Huntingford. 2000.
“Parasite-associated growth
enhancement in a fish-cestode
system.” Proceedings of the Royal
Society B: Biological Sciences.
https://doi.org/10.1098/rspb.2000.10
52.
Barber, I., L. C. Downey, dan V. A.
Braithwaite. 1998. “Parasitism,
oddity and the mechanism of shoal
choice.” Journal of Fish Biology.
https://doi.org/10.1006/jfbi.1998.07
88.
FAO. 2005. “Liver Fluke Infections.”
2005. http://www.fao.org/faoterm/
services/viewEntry. html?entryId=
167703&language=en.
Gargas, J. 1995. Internal Oarasites of
Fish: Cestodes, Digeneans and
Nematodes. Australia: FAMA.
Kordi, MG. 2010. Penanggulangan
Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta:
Rineka Cipta dan Bina Adiaksara.
Muhammad Nasim Khan, Farhat Aziz,
Muhammad Afzal, Abdul Rab,
Lubna Sahar, Ramzan Ali, dan
S.M.H. Mehdi Naqvi. 2003.
“Parasitic Infestation in Different
Fresh Water Fishes of Mini Dams of
Potohar Region, Pakistan.” Pakistan
Journal of Biological Sciences 6
(13): 1092–95.
https://doi.org/10.3923/pjbs.2003.10
92.1095.
Pusarawati, S, B Ideham,
Kusmartisnawati, IS Tantular, dan S
Basuki. 2009. Atlas Parasitologi
Kedokteran. Journal of Chemical
Information and Modeling. Jakarta:
EGC.
https://doi.org/10.1017/CBO978110
7415324.004.
Soedarto. 2016. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Pelayanan Kesehatan.
Surabaya: Sugeng Seto.
https://doi.org/10.1163/15718085-
12341263.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
18
Faktor - Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poli Rawat Jalan
Rumah Sakit X di Kabupaten Badung
Ni Putu Aryati Suryaningsih1*, Adi Purwahita1,
Anak Ayu Sri Saraswati2, Siti Nur Aini1
1Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali Internasional 2Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar Belakang: Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
akibat gangguan dalam mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Kepatuhan dalam menggunakan
obat merupakan hal penting untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien diabetes mellitus.
Tujuan: Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
penggunaan obat antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X
di Kabupaten Badung. Metode: Metode dalam penelitian adalah cross sectional dengan teknik
sampling menggunakan purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 71 pasien diabetes mellitus tipe
2 di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X pada bulan Januari 2019. Instrumen yang digunakan yaitu
kuisoner tingkat pengetahuan dan Morisky Medication Adherence Scale 8 items. Analisis data yang
digunakan yaitu analisis univariate, analisis bivariate dengan uji Chi Square Test dan analisis
multivariat dengan menggunakan Binary Logistic Regretion. Hasil: Hasil penelitian menunjukan
bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 adalah faktor pendidikan ( p = 0,021 ) dan faktor jenis kelamin (p=0,073). Faktor
pengetahuan (p= 470), status pekerjaan (p = 0,511) dan jumlah obat (p = 0,964) yang diterima tidak
memiliki hubungan bermakna dalam kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Kesimpulan: Kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan jenis kelamin.
Kata kunci: Diabetes Mellitus Tipe 2, Kepatuhan penggunaan obat, Pasien rawat jalan.
ABSTRACT Background: Diabetes mellitus is a symptoms that appears caused by impaired ability of the body to
control blood glucose level in the body. Patient medication adherence is important to prevent any
complication in diabetes mellitus patients. Purpose: This study aims to know the factors that
influence the use of antidiabetic drugs to the patients of type 2 diabetes mellitus at Outpatient Poly in
X Hospital, Badung Regency. Method: Cross sectional method is applied with purposive sampling as
the sampling technique. 71 patients with tipe 2 diabetes at Outpatient Poly X hospital has been used as
samples on January 2019. Questionnaire has been used as an instrument of the study. Using univariate
and bivariate analyses with Chi Square Test and multivariate analyses with Binary Logistic Regretion.
Result: The study showed that educational factor (p=0,021) and gender factor (p=0,073) were
associated with the factors that affected patient medication adherence. At the mean time, knowledge
factor (p = 0,470), status of work (p =0,511), and quantity of drugs (0,964) received were not
significantly associated with patient medication adherence at Outpatient Poly in X hospital..
Conclusion: Patient medication adherence in type 2 diabetes mellitus at the Outpatient Poly at X
Hospital is influenced by education and gender factors.
Keywords: Tipe II diabetes mellitus, medication adherence, Outpatients
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted July 16th, 2020
Published August 31st, 2020
19
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus tipe 2
merupakan kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang akibat gangguan dalam
mengontrol kadar gula darah dalam
tubuh. Gangguan kadar gula dalam tubuh
disebabkan oleh terganggunya sekresi
hormon insulin yang tidak adekuat atau
resistensi insulin atau bahkan terjadinya
gangguan yang disebabkan oleh
keduanya (Aini 2017). Prevalensi
kejadian diabetes mellitus tipe 2
mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun seiring dengan perubahan gaya
hidup masyarakat. Indonesia menduduki
peringkat ketujuh dari 10 negara terbesar
penderita DM di dunia .Jumlah penderita
sebanyak 10 juta jiwa pada tahun 2015.
Jumlah tersebut diperkirakan akan terus
meningkat hingga tahun 2040 yaitu
sebanyak 16,2 juta jiwa penderita
sehingga dapat dikatakan bahwa akan
terjadi peningkatan penderita sebanyak
56,2% dari tahun 2015 sampai 2040
(International Diabetes Federation. 2015).
Data Kementrian Kesehatan RI
menyatakan bahwa Bali berada pada
urutan ke empat belas dari tiga puluh
empat provinsi di Indonesia (1,3%) yang
menunjukan bahwa pasien diabetes
mellitus di Bali cukup tinggi dan
meningkat sesuai peningkatan usia,
namun cenderung menurun pada usia ≥65
tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2013).
Kabupaten Badung menempati urutan ke
empat dari sembilan kabupaten / kota
yang ada di Bali dengan prevalensi
(1,3%) (Puspita 2016). Ketidakpatuhan
dalam pengobatan diabetes mellitus saat
ini masih menjadi masalah yang cukup
penting dalam pengelolaan penyakit
diabetes mellitus. Tingkat kepatuhan
pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih
rendah dibandingkan penderita diabetes
mellitus tipe 1 yang dapat disebabkan
oleh regimen terapi yang bersifat
kompleks dan polifarmasi serta adanya
efek samping obat yang dapat timbul
selama pengobatan berlangsung sehingga
peningkatan kepatuhan memiliki peran
penting dalam pengendalian penyakit
diabetes mellitus (Srikartika dkk. 2016)
Hasil studi yang pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti di RSUD
Banyudono Boyolali tahun 2015
menunjukan bahwa dari hasil wawancara
yang dilakukan terhadap 10 orang pasien
diabetes mellitus didapatkan 7 pasien
diabetes mellitus menyatakan tidak
mematuhi serangkaian pengobatan yang
diberikan oleh dokter, terutama dalam
kepatuhan minum obat, dengan alasan
lupa dan bosan harus mengonsumsinya
setiap hari (Srikartika dkk. 2016).
Masalah ketidakpatuhan dalam
penggunaan obat ini menjadi alasan
perlunya dilakukan penelitian tentang
faktor yang berpengaruh pada kepatuhan
penggunaan obat pasien diabetes mellitus
tipe 2 di poli rawat jalan di Rumah Sakit
X Kabupaten Badung. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhan penggunaan obat pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 di Poli Rawat
Jalan di Rumah Sakit X. Manfaat dari
penelitian ini untuk mendapatkan data
tingkat kepatuhan penggunaan obat yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam
memberikan KIE kepada pasien dan
sebagai bahan pertimbangan dalam
melaksanakan proses pelayanan
kesehatan pada pasien yang dalam hal ini
adalah pasien diabetes mellitus tipe 2
yang menjalani rawat jalan.
METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan
menggunakan desain cross sectional
untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan penggunaan
obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2
yang menjalani rawat jalan di Rumah
Sakit X Kabupaten Badung. Subjek
penelitian ini adalah pasien diabetes
20
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
mellitus tipe 2 yang datang kontrol pada
bulan Januari 2019 ke poli rawat jalan di
Rumah Sakit X Kabupaten Badung yang
memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan
sampel dilakukan dengan purposive
sampling. Variabel pada penelitian ini
adalah kepatuhan penggunaan obat
sebagai variabel terikat. Status pekerjaan,
pendidikan, pengetahuan, jumlah item
obat sebagai variabel bebas. Umur, jenis
kelamin dan lama menderita penyakit
sebagai variabel perancu. Instrument
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuisioner data diri, kuisioner
tingkat pengetahuan dan kuisioner
kepatuhan (MMAS-8). Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji
analisis univariat dilakukan dengan
menghitung frekuensi tiap variabel yang
diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk
melihat pengaruh variabel dengan
kepatuhan penggunaan obat dengan
menggunakan uji Chi-Square dengan
taraf signifikansi (α) 0,05 atau tingkat
kepercayan 95%. Analisis multivariate
dilakukan dengan menggunakan uji
binary logistic untuk melihat variabel
yang paling berpengaruh terhadap
kepatuhan penggunaan obat pada pasien
diabetes mellitus tipe 2.
HASIL
Berdasarkan tabel 1 dapat
diketahui bahwa sebagian besar
responden berjenis kelamin laki-laki 46
orang (64,8%). Umur pasien sebagian
besar responden berumur > 58 tahun 38
orang (53,5%) dan sebagian besar
responden menderita penyakit DM tipe 2
selama ≤ 5 tahun 45 orang (63,4%).
Karakterisktik status pekerjaan sebagian
besar responden bekerja 48 orang
(67,6%). Dilihat dari pendidikan terakhir
sebagian responden pendidikan rendah 36
orang (50,7%) dan sebagian besar
memiliki tingkat pengetahuan tentang
penyakit dan pengobatan tinggi 46 orang
(64,8%) karakteristik jumlah obat yang
diterima sebagian besar responden
menerima obat ≥2 item obat 59 orang
(83,1%).
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik n (%)
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
25 ( 35,2%)
46 (64,8%)
Umur
≤58 tahun
>58 tahun
33(46,5%)
38(53,5%)
Lama menderita
≤ 5 tahun
>5 tahun
45 (63,4%)
26 (36,6%)
Status Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
48 (67,6%)
23 (32,4%)
Pendidikan Terakhir
Rendah (<SMA)
Tinggi (≥SMA
36 (50,7%)
35 (49,3%)
Pengetahuan
Sedang
Tinggi
25 (35,2%)
46 (64,8%)
Jumlah obat
<2 item obat
≥2 item obat
12 (16,9%)
59 (83,1%)
Kepatuhan Kepatuhan
Rendah
Kepatuhan Tinggi
30 (42,3%)
41 (57,7%)
Jumlah 71 (100%)
Sumber: Hasil penelitian (data diolah)
Faktor - faktor yang
mempengaruhi kepatuhan penggunaan
obat antidiabetes pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 adalah faktor jenis
kelamin dan faktor pendidikan. Pengaruh
tersebut ditunjukan dengan terdapatnya
hubungan bermakna antara jenis kelamin
dan pendidikan dengan kepatuhan
penggunaan obat antidiabetes pada paien
diabetes mellitus tipe 2 di poli rawat jalan
rumah sakit X.
Tabel 2. Hubungan karakteristik jenis kelamin dangan kepatuhan penggunaan obat antidiabetes
Jenis Kepatuhan P OR
21
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
kelamin Kepatuhan rendah Kepatuhan
tinggi
Total value
f % f % f %
Perempuan 7 28% 18 72% 25 100% 0,073 0,389
Laki-laki 23 50% 23 50% 46 100%
Total 30 42,3% 41 57,7% 71 100%
Sumber: Hasil penelitian (data diolah)
Tabel 2 menunjukan hubungan
antara karakteristik jenis kelamin dan
kepatuhan penggunaan obat memiliki
hubungan bermakna secara statistik (p
= 0.073). Nilai OR = 0,389 yang
artinya perempuan memiliki resiko
0,389 kali lebih patuh dibandingkan
laki-laki dalam penggunaan obat
antidiabetes.
Tabel 3 di bawah ini
menunjukkan pendidikan memiliki
hubungan bermakna dengan kepatuhan
penggunaan obat pada pasien DM tipe 2
(p = 0,021) dengan nilai OR = 3,125.
Orang yang pendidikan tinggi memiliki
peluang 3,1 kali untuk patuh
dibandingkan dengan orang yang
pendidikan rendah . Faktor – faktor lain
seperti karakteristik umur tidak
memiliki hubungan bermakna secara
statistik (p = 0.349). Nilai OR = 0,635
yang artinya orang dengan umur ≤58
tahun berpeluang lebih patuh 0,6 kali
dibandingkan orang yang berumur >58
tahun. Pada karakteristik lama
menderita dengan kepatuhan
penggunaan obat tidak memiliki
hubungan bermakna secara statistik (p =
0.133) dengan nilai OR = 0,473. Nilai
OR menunjukan bahwa orang dengan
lama menderita penyakit ≤ 5 tahun
berpeluang 0,4 kali lebih patuh
dibandingkan dengan orang yang
menderita penyakit >5 tahun.
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Pendidikan dengan Kepatuhan Penggunaan Obat antidiabetes
Jenis
kelamin
Kepatuhan P
value
OR
Kepatuhan rendah Kepatuhan
tinggi
Total
f % f % f %
Pendidikan
Rendah
20 55,6% 16 44,4% 36 100% 0,021 3,125
Pendidikan
Tinggi
10 28,6% 25 71,4% 35 100%
Total 30 42,3% 41 57,7% 71 100%
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Dilihat dari status pekerjaan
dengan kepatuhan penggunaan obat
tidak memiliki hubungan bermakna
secara statistik (p = 0.511) dengan nilai
OR = 1,399. Nilai OR menunjukan
bahwa pasien yang bekerja memiliki
peluang yang sama untuk patuh dalam
penggunaan obat antidiabetes karena
pasien pasien memiliki peluang yang
sama untuk datang ke fasilitas
kesehatan untuk mendapatkan obat.
Berdasarkan karakteristik
pengetahuan dan kepatuhan penggunaan
obat tidak memiliki hubungan bermakna
secara statistik (p = 0.470) dengan nilai
OR = 1,436. Orang dengan rendah
tinggi memiliki peluang yang lebih
besar untuk patuh dibandingkan dengan
pengetahuan rendah.
Berdasarkan karakteristik jumlah
item obat yang diterima dan kepatuhan
penggunaan obat tidak memiliki
hubungan bermakna secara statistik (p =
0,964) dengan nilai OR = 0,971. Orang
yang menerima obat ≥ 2 item memiliki
peluang rendah untuk patuh
22
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dibandingkan dengan orang yang
menerima obat <2 item. Faktor yang
paling berpengaruh terhadap kepatuhan
penggunaan obat adalah faktor
pendidikan dan jenis kelamin dengan
nilai p = 0,010 dan p = 0,031.
PEMBAHASAN
Dari hasil analisis
menggunakan uji chi- square test yang
dilakukan pada 71 responden dapat
diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan
penggunaan obat antidiabetes pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poli
Rawat Jalan Rumah Sakit X adalah
faktor jenis kelamin dan faktor
pendidikan. Nilai uji chi-square test
yang diperoleh adalah jenis kelamin
dan pendidikan memiliki nilai p value
< 0,05 menunjukan bahwa hubungan
antara faktor jenis kelamin dan
pendidikan terhadap kepatuhan
penggunaan obat antidiabetes.
Riset Kesehatan Dasar,
menunjukan prevalensi penderita
diabetes mellitus tipe 2 pada perempuan
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Perempuan memiliki resiko menderita
diabetes mellitus tipe 2 lebih besar
dibandingkan laki-laki setelah usia 30
tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2013). Wanita
lebih beresiko mengidap diabetes
mellitus karena secara fisik wanita
memiliki peluang mengalami
peningkatan indeks masa tubuh yang
lebih besar. Sindroma sirkulasi bulanan
seperti premenstrual syndrome, pasca
menopose yang membuat distribusi
lemak tubuh hormonal mudah
terakumulasi akibat proses hormonal
tersebut juga menyebabkan wanita
beresiko menderita diabetes mellitus tipe
2. Jenis kelamin merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan, termasuk dalam mengatur
pola makan. Umumnya wanita lebih
memperhatikan dan peduli pada
kesehatan mereka dan lebih sering
menjalani pengobatan dibandingkan laki-
laki. Wanita lebih sering menggunakan
fasilitas kesehatan dari pada laki-laki dan
wanita lebih berpartisipasi dalam
pemeriksaan kesehatan dibandingkan
laki-laki (Kusumawati 2015).
Tingkat pendidikan merupakan
faktor yang juga perbengaruh terhadap
kepatuhan penggunaan obat
antidiabetes. Pendidikan adalah suatu
kegiatan atau proses pembelajaran
untuk mengembangkan atau
meningkatkan kemampuan tertentu
sehingga sasaran pendidikan itu dapat
berdiri sendiri (Notoatmodjo 2010).
Responden dengan pendidikan lebih
tinggi akan mempunyai pengetahuan
yang lebih luas dibandingkan dengan
responden yang tingkat pendidikanya
rendah. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka akan semakin tinggi
pula kemampuannya untuk menjaga
pola hidupnya agar tetap sehat (Puspita
2016). Penelitian lain menunjukan
bahwa terdapat hubungan bermakna
antara pendidikan dengan kepatuhan
minum obat (Aini 2017). Hal ini,
karena pada pasien diabetes mellitus
dengan tingkat pendidikan tinggi dapat
lebih memahami informasi terapi
pengobatan yang diberikan dokter.
Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka seorang tersebut akan lebih
mudah untuk menerima informasi
(Boyoh, Kaawoan, dan Bidjuni 2015).
Menerima informasi yang diberikan
dokter atau tenaga kesehatan lain
dengan baik dapat mendorong
penderita menjadi lebih patuh dalam
pengobatan sesuai dengan anjuran
yang diberikan.
Pada Penelitian ini juga
menunjukan hampir sebagian besar
pasien memiliki tingkat pendidikan
(SMA). Pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan tingkat pendidikan SMA
dianggap mampu menerima informasi
dengan baik sehingga informasi yang
23
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
diberikan oleh dokter, apoteker atau
tenaga kesehatan lainnya dapat dipahami
dan diterapkan. Selain itu, pasien dengan
pendidikan tinggi akan lebih peduli
terhadap kesehatan yang akan
mendorong seseorang untuk patuh dalam
penggunaan obat antidiabetes terutama
pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di
poli rawat jalan rumah sakit X.
Faktor – faktor lain dalam
penelitian ini seperti status pekerjaan,
pengetahuan dan jumlah item obat
tidak memiliki hubungan bermakna
dengan kepatuhan penggunaan obat
antidiabetes pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 di Poli Rawat Jalan
Rumah Sakit X. Keterbatasan dalam
penelitian ini adalah waktu penelitian
yang lebih singkat dan jumlah sampel
yang sedikit sehingga pada beberapa
variabel tidak menunjukan hubungan
bermakna dengan kepatuhan
penggunaan obat.
SIMPULAN
Dapat disimpulkan Faktor yang
berpengaruh pada kepatuhan penggunaan
obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di
Poli Rawat Jalan Rumah Sakit X Kabupaten
Badung adalah tingkat pendidikan dan jenis
kelamin.
Hubungan antara faktor pendidikan
dengan kepatuhan penggunaan obat
antidiabetes menunjukan adanya hubungan
bermakna secara statistik. Sedangkan, untuk
faktor pengetahuan, status pekerjaan dan
jumlah item obat yang diterima tidak
memiliki hubungan bermakna.
SARAN
Saran untuk peneliti selanjutnya
adalah dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan penambahan variabel
untuk melihat faktor-faktor lain yang
dapat berpengaruh terhadap kepatuhn
penggunaan insulin pada oasien
diabetes. Selain itu dapat dilakukan
penelitian dengan sampel lebih besar
untuk melihat hubungan variabel yang
berpengaruh terhadap kepatuhan
penggunaan obat. Dan saran bagi
instansi adalah agar dokter, perawat, dan
tenaga kefarmasian saling bekerja sama
untuk mengoptimalkan KIE terkait
kepatuhan penggunaan obat antidiabetes
kepada semua pasien diabetes mellitus
tipe 2 yang menjalani rawat jalan
terutama.
DAFTAR RUJUKAN
Aini, ayu nissa. 2017. “Studi Kepatuhan
Penggunaan Obat Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe-2 di Instalasi
Rawat Jalan RSUD Dr.
Thitrowardojo Purworejo Tahun
2017.” Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2013. “Riset Kesehatan
Dasar 2013.” Riset Kesehatan Dasar
2013. https://www.kemkes.go.id/
resources/download/general/Hasil
Riskesdas 2013.pdf.
Boyoh, M., A. Kaawoan, dan H. Bidjuni.
2015. “Hubungan Pengetahuan
Dengan Kepatuhan Minum Obat
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.”
Jurnal Keperawatan UNSRAT 3 (3):
1–6. https://ejournal.unsrat.ac.id/
index.php/jkp/article/view/9520.
International Diabetes Federation. 2015.
IDF Diabetic Atlas 7th Edition.
International Diabetes Federation.
Kusumawati, Idha. 2015. “Kepatuhan
Menjalani Diet Ditinjau Dari Jenis
Kelamin Dan Tingkat Pendidikan
Pada Penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2.” Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/37443/.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.
Metodelogi Penelitian Kesehatan.
24
Suryaningsih, Purwahita, Saraswati & Aini
Faktor-Faktor Kepatuhan Penggunaan Obat
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Jakarta: Rineka Cipta.
Puspita, Exa. 2016. “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kepatuhan
Penderita Hipertensi Dalam
Menjalani Pengobatan.” Universitas
Negeri Semarang.
Srikartika, Valentina Meta, Annisa Dwi
Cahya, Ratna Suci, dan Hardiati.
2016. “Analisis Faktor Yang
Memengaruhi Kepatuhan
Penggunaan Obat Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2.” Jurnal Manajemen
dan Pelayanan Farmasi 6 (3): 205–
12. https://doi.org/10.22146/
jmpf.347.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
25
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Rifampisin Terhadap Kadar
Gamma Glutamyl Transferase dan Alkaline Phosphatase
Pada Tikus Putih Galur Wistar
Sofiana Agustin Jeharu1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti1
1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis. Rifampisin merupakan obat lini pertama untuk terapi anti tuberkulosis.
Rifampisin memiliki efek bakterisida dan efek sterilisasi efektif melawan bakteri tuberkulosis baik
intraseluler dan ekstraseluler. Selain itu, salah satu efek samping penggunaan rifampisin adalah
hepatotoksisitas. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis obat rifampisin terhadap kadar
GGT dan ALP pada tikus wistar. Metode: menggunakan rancangan penelitian eksperimental dengan
metode pretest and posttest control group design dengan pemakain hewan uji 24 ekor tikus wistar
yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik analisis data menggunakan SPSS One Way ANOVA
dilanjutkan dengan Post-Hoc Test. Hasil: hasil penelitian menunjukkan rerata peningkatan kadar GGT
pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 adalah sebesar 29,5 %, 40,9 % dan 55,4 % dan rerata peningkatan
kadar ALP pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 sebesar 27,5 %, 46,7 %, dan 53,5 %. Hasil uji One
Way ANOVA diperoleh nilai p = 0,00 (p<0,05) dilanjutkan dengan Post Hoc test didapatkan nilai
α>0,05. Kesimpulan: Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kadar GGT dan ALP setelah
pemberian variasi dosis obat rifampisin pada tikus putih galur wistar.
Kata kunci: Tuberkulosis, Rifampisin, Kadar GGT dan ALP
ABSTRACT Background: Tuberculosis is a contagious infectious disease caused by the bacterium Mycobacterium
tuberculosis. Rifampicin is a first-line drug for the treatment of tuberculosis. Rifampicin has a
bactericidal effect and the sterilizing effect is effective against intracellular and extracellular
tuberculosis bacteria. In addition, one of the side effects of using rifampicin is hepatotoxicity.
Objective: to determine the effect of rifampicin drug dosage on GGT and ALP levels in wistar rats.
Methods: using an experimental study design with the pretest and posttest control group design
method with the use of test animals 24 wistar rats divided into 4 groups. The technique of analyzing
data using SPSS One Way Annova was followed by a Post-Hoc Test. Results: The results of the study
showed an average increase in GGT levels in treatment groups 1, 2 and 3 was 29.5%, 40.9% and
55.4% and the mean increase in ALP levels in treatment groups 1, 2 and 3 was 27.5 %, 46.7% and
53.5%. The One Way ANOVA test results obtained p = 0.00 (p <0.05) followed by the Post Hoc test
obtained α> 0.05. Conclusions: there was a significant effect on the levels of GGT and ALP after the
administration of dose variations of the rifampicin drug in wistar strain white rats.
Keywords: Tuberculosis, Rifampicin, GGT and ALP levels
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted August 26th, 2020
Published August 31st, 2020
26
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit
infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberkulosis dan
masih menjadi penyakit yang mendunia
sampai dengan saat ini. Sebagian besar
bakteri Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh lainnya
(Departemen Kesehatan RI 2008). World
Health Organization (WHO) dalam
Annual Report On Global TB Control
tahun 2011 menyatakan terdapat dua
puluh dua negara dikategorikan sebagai
high burden countries terhadap
tuberkulosis. World Health Organitation
(WHO) menyatakan bahwa satu per tiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Berdasarkan data Global
Tuberculosis Report (2016) oleh WHO,
pada tahun 2015 terdapat kurang lebih
10,4 juta kasus TB baru di dunia yang
terdiri atas 5,9 juta laki-laki (56%), 3,5
juta perempuan (34%), dan 1 juta anak-
anak (10%).
Menurut data WHO tahun 2016
(WHO 2018), Indonesia termasuk dalam
lima negara dengan insiden kasus
tertinggi selain India, China, Philipina,
dan Pakistan. Jumlah kasus tuberkulosis
baru di Indonesia sebanyak 420.994
kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei
2018). Prevalensi tuberkulosis pada tahun
2014 adalah 297 per 100.000 penduduk.
Sementara pada tahun 2017 prevalensi
tuberkulosis adalah 254 per 100.000
penduduk (WHO 2018). Dalam rangka
mengobati tuberkulosis, Indonesia
menerapkan strategi pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO, yaitu
strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS). Penggunaanstrategi
DOTS ini terbukti dapat menurunkan
angka kematian tuberkulosis
(Departemen Kesehatan RI 2010).
Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang
mampu mencapai target global
tuberkulosisuntuk deteksi kasuspada
tahun 2006 dan 2009, tercatat sejumlah
294.732 kasus tuberkulosis telah
ditemukan dan diobati (data awal Mei
2010) dan lebih dari 169.213 kasus
diantaranya terdeteksi BTA+ (Basil
Tahan Asam Positif). Data terbaru Case
Notification Rate untuk tuberkulosis
BTA+ tahun 2017 adalah 161 per
100.000 kasus dengan angka keberhasilan
pengobatan tuberkulosis di Indonesia
pada tahun 2017 adalah 85,1 %.
Pencapaian target global tersebut
merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB Nasional yang utama
(Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 2018).
Lima obat lini pertama yang
sering digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis adalah isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, ethambutol, dan
streptomisin. Salah satu efek samping
yang dapat ditimbulkan akibat pemberian
obat tuberkulosis adalah gangguan fungsi
hati, dari yang ringan sampai yang berat
yaitu berupa nekrosis dan gangguan
jaringan hati. Efek samping yang serius
adalah hepatotoksik. Hampir semua obat
tuberkulosis kecuali streptomisin
mempunyai efek hepatotoksik (Sari,
Yuniar, dan Syaripuddin 2014).
Rifampisin merupakan obat lini pertama
untuk terapi anti tuberkulosis. Rifampisin
memiliki efek bakterisida dan efek
sterilisasi efektif melawan basil
Mycobacterium tuberculosisbaik
intraseluler dan ekstraseluler (Lian dkk.
2013). Selain itu, salah satu efek samping
penggunaan rifampisin adalah
hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas yang
dihasilkan dari penggunaan obat
rifampisin menjadi masalah yang cukup
serius untuk pengobatan klinis.
Rifampisin menimbulkan kerusakan pada
hati melalui jalur idiosinkratik dan
merupakan induktor aktivitas enzim
sitokrom P-450. Keterlibatan rifampisin
pada aktivitas sitokrom P-450
mempengaruhi homeostasis kalsium.
Rifampisin menyebabkan peningkatan
27
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
potensi dari isoenzim sitokrom P-450
yang menyebabkan kerusakan hati yang
menjadi salah satu masalah dalam
pengobatan tuberkulosis (Tassaduq, Butt,
dan Hamid 2011).
Efek hepatotoksik dipengaruhi
oleh dosis, metabolisme obat dan waktu
pemberian obat yang tidak tepat. WHO
pada tahun 2012 mengklasifikasikan
hepatotoksik menjadi 4 gradasi. Grade I
ditandai dengan peningkatan ALT
(alanin aminotransferase) 1,25-2,5 kali
grade normal, grade II ALT meningkat
2,6-5 kali grade normal, grade III ALT
meningkat 5,1-10 kali grade normal dan
grade IV bila ALT meningkat >10 kali
gradenormal. Selain drug induced
hepatitis (DIH) yang disebabkan obat anti
tuberkulosis (OAT), gangguan hepar
pada penderita TB ditandai oleh kadar
ALT dan AST (aspartat
aminotranferase) yang meningkat.
Berdasarkan penelitian Govindan (2011)
di RSUP H. Adam Malik Medan
sebanyak 51 sampel ditemukan
prevalensi hepatotoksisitas akibat OAT
adalah sebesar 23,5% terjadi peningkatan
serum glutamic oxaloacetic transaminase
(SGOT) dan 21,5% terjadi peningkatan
serum glutamic pyruvic transaminase
(SGPT). Hasil penelitian Annisa, Aksa,
dan Fridayenti (2015), menyatakan
bahwa dari 32 orangpasien tuberkulosis
paru yang berobat selama 8 minggu di
poliklinik paru RSUD Arifin Achmad
terdapat 1 orang (3,1%) mengalami
peningkatan kadar SGPT. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh (Julita S
2012) menyatakan bahwa dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan 18
pasien (24%) yang mengalami
peningkatan kadar SGPT setelah
pengobatan.
Penanda awal dari gejala
hepatotoksik adalah peningkatan enzim-
enzim transaminase dalam hati. Hati
merupakan tempat pertama yang
berfungsi untuk mengubah obat menjadi
metabolit dalam tubuh. Lamanya kontak
dan paparan dari obat-obatan yang masuk
dalam tubuh akan mengendap dalam hati
dan menyebabkan gangguan pada hati.
Gangguan ini menyebabkan enzim yang
terdapat pada hati akan meningkat dan
beredar dalam saluran darah. Peningkatan
kadar enzim tersebut dapat diketahui
melalui pemeriksaan kadar serum gamma
glutamyl transferase (GGT) dan alkaline
phosphatase (ALP), sebagai indikator
penanda yang sensitif untuk mendeteksi
gangguan fungsi hati akibat pemberian
dosis obat tuberkulosis. GGT merupakan
uji yang sensitif untuk mendeteksi
beragam jenis penyakit parenkim hati.
Kadarnya dalam serum akan meningkat
lebih awal dan tetap akan meningkat
selama kerusakan sel tetap berlangsung
(Purnamasari 2008). Alkaline
phosphatase (ALP) merupakan enzim
yang diproduksi terutama oleh epitel hati
dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang
baru), enzim ini juga berasal dari usus,
tubulus proksimalis ginjal, plasenta dan
kelenjar susu. Kadar ALP akan naik jika
kerusakan ringan terjadi pada sel hati
dan peningkatan yang jelas terlihat pada
penyakit hati akut. Berdasarkan uraian
dari berbagai masalah diatas, peneliti
tertarik untuk mengambil penelitian
dengan judul pengaruh pemberian dosis
obat rifampisin terhadap kadar gamma
glutamyl transferase (GGT) dan alkaline
phospatase (ALP) pada tikus putih galur
wistar.Tikus dipilih sebagai sampel
penelitian karena memiliki kesamaan
metabolik, organ dan fisiologi sistemik
serta gen yang mirip dengan manusia.
METODE
Penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian eksperimental
menggunakan metode pretest dan
posttest control group design (Sugiyono
2012). Subjek penelitian adalah tikus
putih galur wistar (Rattus norvegicus)
sebanyak 24 ekor, berumur 2-3 bulan
dengan berat badan antara 200-250 gram
yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik
28
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah teknik simple random sampling.
Alat yang digunakan pada
penelitian ini terdiri dari kandang tikus,
mortar dan stamper, tabung hematokrit,
tabung eppendorf, tip kuning dan biru,
sonde lambung, mikropipet eppendorf,
sentrifuge, timbangan neraca analitik dan
alat automatic ERBA XL-100. Bahan
yang digunakan pada penelitian ini terdiri
dari obat rifampisin 600 mg, obat bius
Ketamin-xylzsine, pakan pellet 554,
reagen pemeriksaan alkaline phosphatase
(ALP), reagen pemeriksaan gamma
glutamyl transferase (GGT) dan sampel
darah tikus putih galur wistar.
Terkait dengan prosedur
penelitian, pada tahap pertama diberikan
dosis rifampisin 600 mg/hari sebagai
dosis terapi pada manusia. Dosis
rifampisin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 600 mg/kgBB, 900
mg/kgBB dan 1200 mg/kgBB dengan
perhitungan: Dosis I: 10,8 mg, dosis II:
16,2 mg, dan dosis III: 21,6 mg. Hewan
uji dalam penelitian ini terlebih dahulu
diadaptasi selama satu minggu (7 hari)
dan diberi makan dan minum yang sama
secara ad libitum. Setelah hewan uji
diadaptasi selama 7 hari, dilakukan
proses pengambilan darah untuk
mengukur kadar GGT dan ALP yang
pertama (pretest). Kemudian 24 ekor
tikus putih galur wistar dibagi dalam
empat kelompok. KK adalah kelompok
kontrol tanpa perlakuan hanya diberi
pakan dan aquadest, KPI adalah
kelompok yang dosis rifampisin (600
mg/kgBB), KPII adalah kelompok dosis
rifampisin (900 mg/kgBB) dan KPIII
adalah kelompok dosis rifampisin (1200
mg/kgBB). Pemberian perlakuan
terhadap hewan uji dilakukan selama 28
hari. Setelah 28 hari perlakuan masing-
masing kelompok diambil darahnya
untuk mengukur kadar GGT dan ALP
yang kedua (posttest).
Pada perlakuan kedua, masing-
masing hewan uji yang telah
dikelompokkan dianastesi terlebih dahulu
dengan ketamin-xylazine sebanyak 0,1
mL. Darah tikus diambil pada bagian
Plexus retroorbitalis yang terletak pada
mata dengan menggunakan tabung
hematokrit berwarna merah (tanpa
antikoagulan). Sampel darah ditunggu
hingga membeku, kemudian dicentrifuge
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
menit. Pemeriksaan kadar ALP dan GGT
diawali dengan pemipetan reagen
sebanyak 100 µL lalu serum dipipet
sebanyak 100 µL pada pemeriksaan
kadar GGT dan ALP, kemudian kadar
GGT dan ALP diukur dengan alat
automatis ERBA XL-100 pada panjang
gelombang 450 nm.
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian akan dianalisis menggunakan
program SPSS versi 2.0 dengan tingkat
signifikan p=0,05 yang dimulai dengan
melakukan uji normalitas data dimana
nilai p>0,05 dilanjutkan dengan uji
homogenitas data nilai p > 0,05.
Kemudian dilanjutkan dengan uji One-
Way ANOVA untuk melihat pengaruh
pemberian dosis pada setiap kelompok
perlakuan. Jika data yang diperoleh sudah
signifikan dilanjutkan dengan uji Post -
Hoc Test dengan menggunakan metode
uji beda Duncan.
HASIL
Hasil uji normalitas pada kadar
Gamma Glutamyl Transferase (GGT)
antar kelompok perlakuan menunjukkan
nilai p>0,05 sehingga dapat dikatakan
bahwa data yang ada sudah terdistribusi
normal. Hasil uji homogenitas
menggunakan uji Levene’s test
menunjukkan bahwa data bersifat
homogen dengan nilai probabilitas
sebesar 0,587 (p>0,05). Berdasarkan
hasil uji One-way annova dapat dilihat
data yang diperoleh sudah signifikan
dengan nilai probabilitas sebesar 0,000
(p<0,05). Hasil rerata kadar GGT antar
kelompok perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 1.
29
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Tabel 1. Hasil rerata kadar GGT antar kelompok perlakuan
Kelompok n Rerata Kadar GGT (U/L) SB p
KK 6 1,66 0,37
KPI 6 2,30 0,20 0,000
KPII 6 2,88 0,27
KPIII 6 3,88 0,26
Keterangan: n= jumlah hewan uji; SB= simpangan baku; p= nilai signifikan
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Hasil pengukuran kadar rata-rata
GGT sebelum dan sesudah perlakuan
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Hasil pengukuran kadar rata-rata GGT
sebelum dan sesudah perlakuan
(Sumber: Hasil penelitian)
Data hasil penelitian kemudian
diuji lanjut dengan uji Post-Hoc Test
menggunakan metode uji beda Duncan
untuk melihat pada kelompok mana yang
datanya paling berbeda nyata. Hasil
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisa Uji Beda Duncan terhadap
kadar GGT
Kelompok Kadar GGT
K0 1,66±0,37a
KPI 2,30±0,20b
KPII 2,88±0,27c
KPIII 3,88±0,26d
Keterangan: notasi yang berbeda pada kolom
menunjukkan nilai yang berbeda nyata (α>0,05)
Sumber: Hasil penelitian (data diolah)
Hasil Uji normalitas pada kadar
Alkaline Phosphatase (ALP) antar
kelompok perlakuan menunjukkan nilai
p>0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa data terdistribusi normal. Hasil uji
homogenitas menggunakan uji Levene’s
Test menunjukkan bahwa data bersifat
homogen dengan nilai p sebesar 0,455
(p>0,05). Berdasarkan hasil uji One-way
annova dapat dilihat data yang diperoleh
sudah signifikan dengan nilai probabilitas
sebesar 0,000 (p<0,05). Hasil rerata kadar
GGT antar kelompok perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil rerata kadar ALP antar kelompok
perlakuan
Kelompok n Rerata Kadar ALP
(IU/L)
SB p
K0 6 24,23 1,52
KPI 6 28,63 1,87 0,000
KPII 6 37,70 1,42
KPIII 6 45,36 1,13
Keterangan: n= jumlah hewan uji; SB=
simpangan baku; p= nilai signifikan
Sumber: Hasil penelitian (data diolah)
Hasil pengukuran kadar rata-rata
ALP sebelum dan sesudah perlakuan
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Hasil pengukuran kadar rata-rata ALP
sebelum dan sesudah perlakuan (Sumber: Hasil
penelitian).
30
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Data hasil penelitian kemudian
diuji lanjut dengan uji Post-Hoc Test
menggunakan metode uji beda Duncan
untuk melihat pada kelompok mana yang
datanya paling berbeda nyata. Hasil
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisa Uji Beda Duncan Terhadap
kadar ALP
Kelompok Kadar ALP
Kontrol 24,23 ± 1,52a
Perlakuan I 28,63 ± 1,87b
Perlakuan II 37,70 ± 1,42c
Perlakuan III 45,36 ± 1,13d
Keterangan: notasi yang berbeda pada kolom
menunjukkan nilai yang berbeda nyata (α<0,05).
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
PEMBAHASAN
Penelitian ini berfungsi untuk
melihat pengaruh dosis obat rifampisin
terhadap fungsi hati. Rifampisin diminum
peroral sesuai dengan dengan dosis yang
ditentukan. Obat rifampisin kemudian
masuk ke lambung dan mukosa usus
yang diabsorpsi dengan baik dari saluran
cerna. Untuk masuk ke dalam darah,
rifampisin harus melewati membran
enterosit. Membran ini mengandung
Pglycoprotein (PGP) yang merupakan
transporter efflux. PGP akan mengikat
dan selanjutnya menghidrolisa ATP
untuk menghasilkan energi yang
digunakan untuk transport rifampisin
melintasi membran sel. Rifampisin
merupakan substrat dan menginduksi
protein PGP yang disandi sebagai gen
Multidrug Resistance 1 (MDR1).
Rifampisin yang telah lolos dari pompa
efflux PGP akan masuk ke dalam saluran
darah, selanjutnya oleh transporter
Organic Anion Polypeptide 1B1
(OATP1B1) yang terletak di membran
basolateral diangkut masuk ke dalam
hepatosit. Didalam hepatosit, rifampisin
dimetabolisme mejadi metabolit
deasetilrifampisin. Rifampisin
dimetabolisme oleh enzim esterase
menjadi turunan desasetil, selanjutnya
bentuk utuh dan metabolit dipompa
keluar dari hepatosit melalui PGP untuk
diekskresi kedalam saluran empedu dan
dieliminasi kedalam feses (Sampurno
2016). Efek yang dapat ditimbulkan
ketika terjadi hepatotoksitas dari obat
rifampisin yaitu adanyya gangguan pada
hepatosit dimana ikatan kovalen dari obat
rifampisin dengan protein intrasellular
dapat menyebabkan penurunan ATP,
yang menyebabkan gangguan pada aktin.
Gangguan aktin di permukaan hepatosit
menyebabkan pecahnya membran
hepatosit dan menyebabkan enzim-enzim
transaminase keluar dan meningkat
dalam darah. Hati merupakan organ
utama dalam proses metabolisme
xenobiotik sehingga sering terpapar
beragam senyawa yang masuk ke dalam
tubuh. Kondisi ini membuat hati tidak
hanya sebagai organ yang paling penting
untuk detoksifikasi xenobiotik, tetapi
juga menjadi target utama toksisitasnya
(Murray, Granner, dan Ropdwell 2009).
Enzim Gamma glutamyl
transferase (GGT) merupakan enzim
yang dapat ditemukan di berbagai organ
dan konsentrasi tertinggi enzim ini dapat
ditemukan di hati tepatnya di sel epitel
duktus biliaris. Enzim GGT memiliki
tingkat sensitivitas yang tinggi, sehingga
digunakan sebagai marker dalam penanda
fungsi hati (Haurissa 2014). Kebanyakan
dari penyakit hepatoseluler dan
hepatobilier akan meningkatkan aktivitas
GGT dalam serum dan aktivitasnya akan
tetap meningkat selama kerusakan sel
berlangsung (Davoudi 2013).
Berdasarkan hasil yang telah
diperoleh dari uji Duncan terlihat bahwa
pada setiap kelompok perlakuan
mempunyai kadar GGT yang berbeda
nyata. Dimana tiap kelompok perlakuan
menunjukkan peningkatan kadar GGT,
yaitu pada kelompok perlakuan I
mengalami peningkatan sebesar 29,5%,
pada kelompok perlakuan II mengalami
peningkatan sebesar 40,9%, dan pada
kelompok perlakuan III mengalami
peningkatan sebesar 55,4% sehingga
31
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dapat disimpulkan bahwa dosis obat
rifampisin memberi pengaruh yang
sifnifikan terhadap peningkatan kadar
GGT. Hal ini dikarenakan enzim GGT
merupakan enzim yang memiliki
sensitifitas yang tinggi, dimana kadar
GGT akan tinggi dalam serum dan
selama kerusakan hati tetap berlangsung
(Purnamasari 2008).
Pada sel hati GGT terdapat di
retikulum endoplasma sedangkan di
empedu terdapat di sel epitel.
Peningkatan kadar GGT serum
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
genetika, asupan alkohol, lemak tubuh,
lipid plasma, tekanan darah, kadar
glukosa, kebiasaan merokok, dan
berbagai konsumsi obat, misalnya
antikonvulsan dan obat-obatan yang
menginduksi enzim termasuk obat
rifampisin. Kebanyakan dari penyakit
hepatoseluler dan hepatobilier akan
meningkatkan aktivitas GGT dalam
serum dan aktivitasnya akan tetap
meningkat selama kerusakan sel
berlangsung (Davoudi 2013).
Rifampisin menimbulkan
kerusakan pada hati melalui jalur
idiosinkratik dan merupakan induktor
aktivitas enzim sitokrom P-450.
Keterlibatan rifampisin pada aktivitas
sitokrom P-450 mempengaruhi
homeostasis kalsium. Jalur lain yang
bertanggung jawab pada kerusakan hati
akibat rifampisin adalah melalui
mekanisme stress oksidatif dimana terjadi
peningkatan lipid peroksidase.
Rifampisin menyebabkan peningkatan
potensi dari isoenzim sitokrom P-450
yang menyebabkan kerusakan hati yang
menjadi salah satu masalah dalam
pengobatan tuberkulosis.
Rifampisin adalah penginduksi
kuat pada sistem CYP450 hepatik dalam
hati sehingga meningkatkan metabolisme
pada kebanyakan zat yang lain.
Penggunaan kombinasi rifampisin dan
isoniazid telah dikaitkan dengan
peningkatan resiko hepatotoksisitas.
Rifampisin yang diinduksi isoniazid
hidrolase, meningkatkan produksi
hidrazin ketika rifampisin
dikombinasikan dengan isoniazid
(terutama pada asetilator lambat), yang
dapat membuat toksisitas yang lebih
tinggi pada kombinasi tersebut.
Rifampisin juga berinteraksi dengan obat
antiretroviral dan mempengaruhi kadar
plasma kedua obat tersebut yang
meningkatkan resiko hepatotoksisitas
(Kwara, Flanigan, dan Carter 2005).
Alkaline phosphatase (ALP)
merupakan enzim yang diproduksi
terutama oleh epitel hati dan osteoblast
(sel-sel pembentuk tulang baru).
Keberadaan enzim ALP di sel hati
terletak di sinusoid dan membran saluran
empedu yang pelepasannya difasilitasi
garam empedu. Alkaline phosphatase
disekresi melalui saluran empedu (Rosida
2016).
Berdasarkan hasil yang telah
diperoleh dari uji Duncan terlihat bahwa
pada setiap kelompok perlakuan
mempunyai peningkatan kadar ALP yang
berbeda nyata. Dimana tiap kelompok
perlakuan menunjukkan peningkatan
kadar ALP, yaitu pada kelompok
perlakuan I mengalami peningkatan
sebesar 27,5%, pada kelompok perlakuan
II mengalami peningkatan sebesar 46,7%,
dan pada kelompok perlakuan III
mengalami peningkatan sebesar 53,5%
sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis
obat rifampisin memberi pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kadar
ALP. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah diperoleh, kelompok perlakuan III
merupakan kelompok dengan
peningkatan kadar ALP paling tinggi
diantara kelompok kontrol, kelompok
perlakuan I dan II yaitu didapatkan kadar
peningkatan ALP sebesar 53,5%. Hal ini
dikarenakan kelompok perlakuan III
merupakan kelompok perlakuan yang
mendapatkan dosis obat rifampisin yang
paling tinggi yaitu 1200 mg/kgBB
dimana dosis obat ini merupakan dosis
non-fatal akut yang masih diperbolehkan
32
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
pada manusia yaitu dosis 900 – 1200
mg/kgBB (Sanofi 2019).
Besarnya kadar enzim ALP yang
terdapat dalam darah terjadi karena
kerusakan sel hati. Enzim tersebut
normalnya terdapat dalam hati sel hati.
Jika terjadi kerusakan sel hati maka
enzim ini akan masuk ke dalam aliran
darah, meningkatkan kadar enzim dalam
darah dan menandakan kerusakan pada
hati (Akbar 2007). Kerusakan yang
terjadi pada hati tepatnya pada lobus hati
menyebabkan enzim plasma seperti ALP
meningkat dalam plasma (Murray,
Granner, dan Ropdwell 2009).
Peningkatan kadar enzim ALP terjadi
karena kerusakan dinding kanalikulus
biliaris yang tersusun dari hepatosit
(tempat ALP berada) yang rusak akibat
dari ikatan kovalen antara lipid dengan
radikal bebas. Sehingga terjadi kebocoran
dan menyebabkan serum ALP banyak
terdapat di plasma darah (Murray,
Granner, dan Ropdwell 2009). Selain itu,
ALP dalam serum terjadi apabila ada
hambatan pada saluran empedu
(kolestasis). Peningkatan kadar enzim ini
dapat digunakan untuk cerminan adanya
gangguan fungsi hati (Baron 1995).
Peningkatan kadar enzim ALP
pada hati terjadi karena besarnya dosis
yang diberikan pada tikus putih galur
wistar. Besarnya peningkatan kadar ALP
ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa efek hepatotoksik dipengaruhi
oleh dosis yang digunakan dan proses
metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor
umur, jenis kelamin, suasana lambung
dan juga penyakit hati (Purnamasari
2008). Jadi, semakin besar dosis yang
diberikan maka semakin besar pula efek
yang dapat ditimbulkan dari pemberian
dosis tersebut. Peningkatan kadar enzim
ALP pada kelompok perlakuan III bisa
menyebabkan gangguan pada fungsi hati,
kemudian dalam jangka waktu yang lama
bisa berpotensi menyebabkan
hepatotoksisitas pada hati jika dosis obat
rifampisin dikonsumsi dalam jangka
waktu yang panjang. Peningkatan kadar
ALP terjadi akibat adanya kolektasis, dan
pada obstruksi intra maupun ekstrabilier
enzim ini akan meningkat 3-10 kali dari
nilai normal sebelum timbul ikterus.
Selain itu, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh (Panjaitan dkk. 2010)
pemberian 10 ml CCL4 /kgBB
menunjukkan bahwa kemampuan hati
dalam mensintesis enzim ALP sudah
terganggu akibat terjadinya kerusakan sel
hati yang luas dan berat. Adapun pada
dosis rendah hanya menyebabkan
kerusakkan ringan berupa perlemakkan
hati (Timbrell 2008).
Besarnya peningkatan kadar
Alkaline phosphatase diikuti dengan
peningkatan kadar Gamma glutamil
transferase pada darah tikus putih galur
wistar mengindikasikan adanya penyakit
hati atau gangguan pada fungsi hati
akibat pemberian variasi dosis rifampisin.
Dan peningkatan kadar ALP ini bukan
merupakan indikasi adanya penyakit
tulang. Selain itu, untuk mendiagnosa
bahwa seseorang mengalami gangguan
pada hati, tidak dapat dilihat dari 1
parameter pemeriksaan saja tetapi perlu
juga dilakukan parameter pemeriksaan
lainnya dari meningkatnya aktivitas
transaminase serum yaitu alanin
transaminase (ALT), aspartate
aminotransferase (AST), gamma
glutamyl transferase (GGT), dan
bilirubin (Ganong dan McPhee 2011;
North-Lewis 2008).
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat pengaruh yang
signifikan setelah pemberian
variasi dosis obat rifampisin
terhadap kadar GGT pada
masing-masing kelompok
perlakuan dengan peningkatan
sebesar 29,5% untuk kelompok
perlakuan I, 40,9% untuk
kelompok perlakuan II, dan
33
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
55,4% untuk kelompok
perlakuan III.
2. Terdapat pengaruh yang
signifikan setelah pemberian
variasi dosis obat rifampisin
terhadap kadar ALP pada
masing-masing kelompok
perlakuan dengan peningkatan
sebesar 27,5% untuk kelompok
perlakuan I, 46,7% untuk
kelompok perlakuan II, dan
53,5% untuk kelompok
perlakuan III.
SARAN
Disarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk:
1. Melakukan pemeriksaan
parameter lain seperti
pemeriksaan histopatologi untuk
menguatkan diagnosa gangguan
fungsi hati.
2. Dilakukan pemberian dosis yang
lebih tinggi dengan durasi waktu
yang lebih lama untuk melihat
lebih jelas lagi tingkat kerusakan
hati.
3. Melihat pengaruh obat terhadap
fungsi ginjal dan organ lainnya
DAFTAR RUJUKAN
Akbar, Nurul. 2007. Diagnostik Hepatitis
Akut dan Kronis. Jakarta: Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
Annisa, Rafika, Zarfiardy Aksa, dan
Fauzi Fridayenti. 2015. “Perbedaan
Kadar Sgpt Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Sebelum Dan
Sesudah Fase Intensif di Poliklinik
Paru Rsud Arifin Achmad
Pekanbaru.” Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Riau 2 (2): 1–10.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JO
MFDOK/article/view/7204.
Baron, DN. 1995. Patologi Klinik. 4 ed.
Jakarta: EGC.
Davoudi, SM. 2013. “Study of Hepatic
Problems in Livestock.” European
Journal of Zoological Research 2:
124–32.
https://www.semanticscholar.org/pa
per/Study-of-Hepatic-Problems-in-
livestock-
Davoudi/a84ce1e71083e155998d27
35bbc015031e414513.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2018. “Infodatin
Tuberkulosis 2018.” Jakarta.
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/
view/18101500001/infodatin-
tuberkulosis-2018.html.
Departemen Kesehatan RI. 2008.
“PROFIL KESEHATAN
INDONESIA 2007.” Jakarta.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resour
ces/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-
kesehatan-indonesia-2007.pdf.
Ganong, W, dan SJ McPhee. 2011.
Patofisiologi Penyakit: Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta:
EGC.
Haurissa, Andreas Erick. 2014. “Gamma
Glutamyl Transferase Sebagai
Biomarker Risiko Penyakit
Kardiovaskuler’.” Cermin Dunia
Kedokteran 41: 816–18.
Julita S, Intan. 2012. “Aspek
Farmakokinetik Beberapa Obat
Berpotensi Hepatotoksik Pada
Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru
RSUD DR M Djamil Padang
Periode Oktober 2011 Januari
2012.” Padang: Universitas Andalas.
http://katalog.pustaka.unand.ac.id//i
ndex.php?p=show_detail&id=
59869.
Kesehatan, Departemen. 2010. Pedoman
Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. 2 ed. Jakrta: Gerdunas
TB.
Kwara, A, TP Flanigan, dan EJ Carter.
2005. “Highly active antiretroviral
therapy (HAART) in adults with
tuberculosis: current status.”
34
Jeharu, Putra & Widayanti
Pengaruh Pemberian Variasi Dosis
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease
(IJTLD) 8 (3): 248–57.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15
786886/.
Lian, Yong, Jing Zhao, Peiyu Xu, Yimei
Wang, Jun Zhao, Li Jia, Ze Fu, Li
Jing, Gang Liu, dan Shuangqing
Peng. 2013. “Protective Effects of
Metallothionein on Isoniazid and
Rifampicin-Induced Hepatotoxicity
in Mice.” PLoS ONE.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.
0072058.
Murray, RK, DK Granner, dan WV
Ropdwell. 2009. Biokimia Harper.
27 ed. Jakarta: EGC.
North-Lewis, P. 2008. Drugs and The
Liver. London: Pharmatical Press.
Panjaitan, Ruqiah Ganda Putri, Ekowati
Handharyani, Chairul Chairul,
Masriani Masriani, Zulfa Zakiah,
dan Wasmen Manalu. 2010. “The
Effects of Carbon Tetrachloride
Administration on Liver and Renal
Function.” Makara Journal of
Health Research 11 (1).
https://doi.org/10.7454/msk.v11i1.2
17.
Purnamasari, Prihartini. 2008. “Pengaruh
Pemberian Teh Hijau Terhadap
Kadar Enzim Gamma Glutamyl
Transferase Serum Tikus Wistar
Yang Diberi Kloramfenikol -
Diponegoro University | Institutional
Repository (UNDIP-IR).”
Semarang: Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/23940/.
Rosida, Azma. 2016. “Pemeriksaan
Laboratorium Penyakit Hati.”
Berkala Kedokteran 12 (1): 123.
https://doi.org/10.20527/jbk.v12i1.3
64.
Sampurno, Ondri Dwi. 2016. “Tinjauan
Farmakogenomik Rifampisin Dalam
Pengobatan Tuberkulosis Paru.”
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia
4 (2): 59–70.
https://doi.org/10.22435/jbmi.v4i2.5
126.59-70.
Sanofi. 2019. “Product Monograph
Rifadin.” Quebec.
Sari, Ida Diana, Yuyun Yuniar, dan
Muhamad Syaripuddin. 2014. “Studi
Monitoring Efek Samping Obat
Antituberkulosis Fdc Kategori 1 Di
Provinsi Banten Dan Provinsi Jawa
Barat.” Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 24 (1):
28–35.
https://doi.org/10.22435/mpk.v24i1.
3484.28-35.
Tassaduq, I, S A Butt, dan S Hamid.
2011. “Protective effect of ascorbic
acid on rifampicin induced
hepatotoxicity in mice.” J
Rawalpiindi Med Coll 15: 102–3.
Timbrell, John A. 2008. Principles of
Biochemical Toxicology. Principles
of Biochemical Toxicology.
https://doi.org/10.3109/9781420007
084.
WHO. 2018. Global tuberculosis report
2018. Geneva: World Health
Organization; 2018. WHO
Publication.
https://doi.org/WHO/HTM/TB/2017
.23.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
35
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan Terhadap Kadar Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase dan Gamma Glutamyl Transferase
Pada Tikus Wistar
Ni Wayan Gita Iswari1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti3
1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar Belakang: Dekstrometorfan merupakan obat antitusif yang banyak ditemukan dalam obat
batuk, selain itu dekstrometorfan memiliki fungsi sebagai ekspektoran atau penekan batuk.
Dekstrometorfan banyak disalahgunakan masyarakat khususnya remaja.Tujuan: untuk mengetahui
pengaruh variasi dosis dekstrometorfan terhadap kadarSGPTdan GGTpada tikus wistar. Metode:
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan metode pretest-posttest control group
design. Teknik analisis menggunakan analisis SPSS One Way Annova. Hasil: Pemberian
dekstrometorfan dosis bertingkat dapat meningkatkan kadar SGPT dan GGT yaitu pada kelompok P1
sebesar 5,68% dan 14,06%, P2 sebesar 16,67% dan 26,82%, dan P3 sebesar 20,95% dan 36,54%.
Kesimpulan: Terdapat pengaruh variasi dosis dekstrometorfan terhadap peningkatan kadar SGPT dan
GGT pada tikus Wistar. Saran: Perlu dilakukan parameter pemeriksaan dan perlu dilakukan
penelitian dengan dosis yang lebih bervariasi dan dengan waktu yang lebih panjang.
Kata kunci: Dekstrometorfan, SGPT, GGT
ABSTRACT Background: Dextromethorphan is an antitussive drug commonly found in cough medicine, besides
that dextromethorphan has the function as an expectorant or cough suppressant. Dextromethorphan is
widely misused by the community, especially adolescents. Objective: to determine the effect of
variations in dextromethorphan doses on SGPT and GGT levels in wistar rats. Method: using an
experimental research design using the pretest-posttest control group design method. The analysis
technique uses SPSS One Way Annova analysis. Results: Giving doses of dextromethorphan can
increase levels of SGPT and GGT, namely in group P1 of 5.68% and 14.06%, P2 of 16.67% and
26.82%, and P3 of 20.95% and 36.54 %. Conclusion: There are effects of variations in
dextromethorphan doses on increasing levels of SGPT and GGT in Wistar rats. Suggestion: It is
necessary to conduct examination parameters and need to do research with more varied and longer
doses.
Keywords: Dextromethorphan, SGPT, GGT
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted August 26th, 2020
Published August 31st, 2020
36
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terutama
di bidang kesehatan, penggunaan obat
semakin banyak ada di tengah
masyarakat, baik obat tersebut digunakan
dengan atau tanpa resep dokter. Salah
satunya yaitu dekstrometorfan.
Dekstrometorfan banyak disalahgunakan
masyarakat khususnya remaja.
Penyalahgunaan obat ini terkait dengan
masalah toleransi, adiksi atau ketagihan
yang selanjutnya bisa menyebabkan
ketergantungan obat.
Penyalahgunaan dekstrometorfan
dapat terjadi karena harganya murah,
mudah didapatkan di apotek, dan obat ini
dapat diperoleh tanpa resep dokter, dan
dapat menimbulkan efek yang hampir
sama dengan narkotika apabila
dikonsumsi dalam jumlah banyak (Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia 2012)
Dekstrometorfan merupakan obat
antitusif yang banyak ditemukan dalam
obat batuk, selain itu dekstrometorfan
memiliki fungsi sebagai ekspektoran atau
penekan batuk (Tjandra 2010).
Dekstrometorfan lebih banyak
dimetabolisme di hati dan dirubah
menjadi metabolit aktif yaitu dekstorfan
(Kusumastuti 2017). Dekstrometorfan
jika dikonsumsi dalam jumlah banyak
akan mengendap di hati dalam bentuk
metabolit dektorfan yang dapat
menyebabkan gangguan hati (Bonauli
2010).
Menurut (Direktorat Pelayanan
Kefarmasian 2014), obat-obatan
merupakan penyebabkerusakan hati.
Kerusakan hati dapat disebabkan oleh
penggunaan obat-obatan dalam jangka
waktu yang lama atau peminum alkohol
(Hikmah 2014).
Hati merupakan organ lintas
pertama dari obat yang diabsorpsi dari
mukosa lambung dan mukosa usus halus
sebelum mencapai bagian tubuh lainnya.
Kandungan obat yang ada pada tubuh
akan dibawa aliran darah dan masuk ke
hati, hal ini menyebabkan hati selalu
kontak dengan bahan-bahan potensial
toksik. Semakin lama kontak dan
semakin tinggi konsentrasi zat-zat yang
terkandung dalam obat, maka metabolit
yang terbentuk juga banyak dan dapat
menyebabkan penumpukan pada hati
sehingga dapat menimbulkan efek
hepatotoksik (Wardhani 2010).
Efek hepatotoksik terjadi akibat
dari cedera hepatoseluler yang
melibatkan produksi energi tinggi
metabolit reaktif oleh sistem CYP450
(Hikmah 2014). Dalam kasus toksisitas
akut, enzim obat dapat menyebabkan
cedera atau lisis sel. Efek hepatotoksis
dapat dilihat dari perubahan fungsi hati
yang meliputi peningkatan pada
alkalifosfatase, serum glutamic pyruvic
transaminase,serum glutamic oxaloacetic
transaminase, bilirubin, gamma glutamyl
transferase, dan albumin serum
(Wardhani 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh
Bonauli (2010) tentang pengaruh
pemberian dekstrometorfan bertingkat
per oral terhadap gambaran histopatologi
hepar tikus Wistar, bahwa terdapat
pengaruh pemberian dekstrometorfan
setengah kali dosis letal, dosis letal dan
dua kali dosis letal terhadap gambaran
histopatologi hepar tikus Wistar yang
dinilai dari tingkat kerusakan sel
hepatosit. Penelitian yang dilakukan
Sofiati (2017) tentang gambaran kadar
SGOT pada pengonsumsi
dekstrometorfan dengan sampel populasi
remaja yang tinggal di daerah Wahyu
Temurung Tlogosari, Semarang,
menyatakan bahwa terdapat delapan
responden (53,33%) memiliki kadar
enzim SGOTnormal, delapan responden
ini mengkonsumsi dekstrometorfan
minimal sepuluh butir per hari dalam
jangka kurang dari satu tahun. Adapun
tujuh responden (46,67%) memiliki kadar
SGOT tinggi, tujuh responden tersebut
mengkonsumsi dekstrometorfan minimal
37
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dua puluh butir per hari dalam jangka
waktu lebih dari satu tahun.
Penelitian yang serupa juga
dilakukan oleh Nugraha (2017) tentang
Gambaran kadar SGPT pada
pengkonsumsi dekstrometorfan yaitu
hasil menunjukkan tujuh remaja
pengkonsumsi dekstrometorfan di atas
satu tahun mengalami peningkatan kadar
serum glutamic pyruvic transaminase,
delapan responden memiliki kadar serum
glutamic pyruvic transaminase normal,
dan tujuh responden lainnya memiliki
nilai kadar SGPT melebihi normal. Hal
ini menunjukan bahwa konsumsi
dekstrometorfan melebihi dosis dan
dalam waktu yang lama akan
menimbulkan kerusakan hepar (Nugraha
2017).
Enzim serum glutamic pyruvic
transaminase dan gamma glutamyl
transferaseakan keluar dari sel hepar
apabila hati mengalami kerusakan
sehingga kadarnya akan meningkat di
dalam serum darah (Tanoeisan, Mewo,
dan Kaligis 2016). Enzim serum glutamic
pyruvic transaminase lebih banyak
terdapat dalam hati dan lebih spesifik
menunjukkan gangguan fungsi hati
daripada enzim serum glutamic
oxaloacetic transaminase (Purnamasari
2008).
Enzim serum glutamic pyruvic
transaminase digunakan untuk
mendiagnosa penyakit hati dan
memantau lamanya pengobatan penyakit
hepatik, sirosis postneurotik dan efek
hepatotoksik obat. Sedangkan gamma
glutamyl transferase merupakan enzim
mikrosomal yang dapat meningkat pada
pemakai penggunaan obat, alkohol dan
digunakan sebagai biomarker untuk
menilai kerusakan hati. Kadar gamma
glutamyl transferase akan meningkat
lebih awal dan tetap akan meningkat
selama kerusakan sel hati tetap
berlangsung (Purnamasari 2008).
Berdasarkan latar belakang diatas,
peneliti ingin melihat pengaruh variasi
dosis dekstrometorfan terhadap kadar
serum glutamic pyruvic transaminase dan
gamma glutamyl transferase pada tikus
Wistar.
METODE
Penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian eksperimental
menggunakan metode pretest dan
posttest control group design (Sugiyono
2017). Subjek penelitian adalah tikus
putih galur wistar (Rattus norvegicus)
sebanyak 24 ekor, berumur 2-3 bulan
dengan berat badan antara 200-250 gram
yang dibagi dalam 4 kelompok. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah teknik simple random sampling.
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini terdiri dari:
Dekstrometorfan, obat bius ketamin 75-
100 mg/Kg, xylazine 5-10 mg/Kg, reagen
pemeriksaan SGPT (merk ERBA) reagen
pemeriksaan GGT (merk ERBA),
akuades, pakan pellet 550, serbuk kayu,
dan sampel darah tikus Wistar. Alat yang
digunakan pada penelitian ini terdiri dari:
jarum 3cc, tabung eppendorf,blue tips
dan yellow tips, sonde lambung,
Styrofoam test tube, mikropipet (merk
Wina) centrifuge (merk Wina),
timbanganneraca analitik (merk Kern),
kandang tikus, dan analyzer chemistry
(merk ERBA XL 100).
Pengujian dilakukan pada
sebanyak 28 ekor hewan uji, yang telah
terlebih dahulu diadaptasi. Hewan uji
diberi makan dan minum selama 1
minggu (7 hari) secara ad libitum. Setelah
hewan uji diadaptasi selama 7 hari,
hewan uji dibagi dalam 4 kelompok yaitu
kelompok kontrol (KK) diberi makan dan
akuades. Kelompok perlakuan 1 (P1)
diberi dosis dekstrometorfan 60
mg/kgBB tikus/hari. Kelompok
perlakuan 2 (P2) diberi dosis
dekstrometorfan 80 mg/kgBB tikus/hari
dan kelompok perlakuan 3 (P3) diberi
dosis 100 mg/kgBB tikus/hari. Masing–
masing hewan uji yang telah
38
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dikelompokkan berdasarkan kelompok
perlakuan. Dianastesikan dengan ketamin
dan xylazine sebanyak 0,1 mL. Darah
tikus diambil pada bagian jantung.
Pengambilan darah dilakukandengan
menggunakan spuit 3cc. Darah diambil
3cc . Kemudian darah di tampung ke
dalam tabung merah. Darah dibiarkan
membeku. Darah lalu dimasukkan ke
dalam centrifuge untuk dilakukan
pemisahan. Darah diputar selama 15
menit dengan kecepatan 3000 rpm.
Serum yang terbentuk kemudian
dipisahkan dari darah untuk dilakukan
pemeriksaan SGPT dan GGT
(Damayanti, Enggar Fitri, dan Dalhar
2016).
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian akan dianalisis menggunakan
program SPSS versi 20 dengan tingkat
signifikan p > 0,05 yang dimulai dengan
melakukan uji normalitas data. Jika p >
0,05 dilanjutkan dengan uji homegenitas
data. Dilanjutkan dengan uji One-Way
ANOVA.
HASIL
Hasil penelitian pengaruh
dekstrometorfan terhadap kadar SGPT
sebelum dan sesudah pemberian disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil pengaruh variasi doses
dekstrometorfan terhadap kadar SGPT dan GGT
(Hasil penelitian diolah)
Hasil analisis statistik pengaruh
variasi dekstrometorfan pada masing-
masing kelompok perlakuan menunjukan
bahwa uji normalitas dengan
menggunakan Shapiro-Wilk
menghasilkan data yang terdistribusi
dengan normal (p > 0,05) dengan nilai
signifikasi pada kontrol sebesar (0,36),
kelompok perlakuan 1 sebesar (0,9),
kelompok perlakuan 2 sebesar (0,72), dan
kelompok perlakuan 3 sebesar (0,83).
Data uji normalitas kadar SGPT disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Data uji normalitas kadar SGPT
Kelompok N P Keterangan
KK 6 0,36 Normal
P1 6 0,91 Normal
P2 6 0,72 Normal
P3 6 0,83 Normal
Keterangan: n = jumlah hewan uji ; p = nilai
signifikan
Sumber: Hasil penelitian diolah
Selanjutnya dilanjutkan dengan
uji homogenitas terkait pengaruh
dekstrometorfan terhadap kadar GGT
sebelum dan sesudah pemberian
menggunakan uji Levene’s Test. Hasil uji
menunjukkan bahwa data bersifat
homogeny dengan nilai P sebesar 0,88 (P
> 0,05). Hasil uji One Way Annova
terhadap kadar rerata SGPT
menunjukkan hasil nilai probabilitas (P)
sebesar 0,000. Nilai tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat
pengaruh variasi dosis dekstrometorfan
pada tikus Wistar yang berbeda nyata P <
0,05. Hasil selengkapnya disajikan pada
Gambar 2.
39
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Gambar 2. Pengaruh dekstrometorfan terhadap
kadar GGT pada Tikus Wistar (Hasil penelitian
diolah)
Rata-rata perbedaan nilai GGT
pada keempat kelompok. Data uji
normalitas dengan metode uji Shapiro-
Wilk dan diperoleh hasil bahwa kadar
GGT pada keempat kelompok perlakuan
terdistibusi normal (p > 0,05) dengan
nilai signifikasi pada kontrol sebesar
(0,74), kelompok perlakuan 1 sebesar
(0,03), kelompok perlakuan 2 sebesar
(0,46), dan kelompok perlakuan 3 sebesar
(0,85). Hasil uji normalitas kadar rerata
GGT disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Kadar rerata GGT
dengan Shapiro-Wilk
Kelompok N P Keterangan
KK 6 0,74 Normal
P1 6 0,33 Normal
P2 6 0,46 Normal
P3 6 0,85 Normal
Keterangan: n = Jumlah hewan uji ; p = nilai
signifikan
Sumber: Hasil penelitian (data diolah)
Kemudian dari uji normalitas
kadar rerata GGT dilanjutkan dengan uji
homogenitas dengan menggunakan uji
Levene’s Test menunjukkan bahwa data
bersifat homogeny dengan nilai P
sebesar0,115 (p > 0,05). Hasil uji One
Way Annova terhadap rerata kadar GGT
menunjukkan nilai(p) sebesar 0,014.
Nilai tersebut mengindikasikan bahwa
terdapat pengaruh variasi dosis
dekstrometorfan pada tikus Wistar yang
berbeda nyata (p <0,05).
PEMBAHASAN
Sampel dalam penelitian ini
adalah tikus jantan Galur Wistar yang
digunakan untuk mengetahui pengaruh
variasi dosis dekstrometorfan terhadap
kadar SGPT dan GGT. Berdasarkan hasil
penelitian kadar SGPT pada tikus Wistar
menunjukkan terdapat pengaruh
pemberian variasi dosis dekstrometorfan.
SGPT merupakan enzim yang banyak
ditemukan pada sel hati serta efektif
untuk mendestruksi hepatoseluler. Enzim
SGPT berfungsi untuk mengkatalis
pemindahan asam amino dari alanin ke α-
ketoglutarat. Produk dari reaksi
transaminase adalah reversible, yaitu
piruvat dan glutamat.
Tingginya kadar SGPT pada tiga
kelompok perlakuan didukung tentang
gambaran kadar SGPT pada
pengkonsumsi dekstrometorfan yang
menyebutkan bahwa kerusakan pada sel
hepar ditandai dengan meningkatnya
kadar SGOT dan SGPT pada darah.
Namun, SGPT merupakan pemeriksaan
yang spesifik terhadap kerusakan hati
dibandingkan dengan SGOT (Tanoeisan,
Mewo, dan Kaligis 2016).
Enzim SGPT dalam keadaan
normal memiliki kadar yang tinggi dalam
sel hati. Peningkatan yang dominan dari
kadar enzim SGPT memungkinkan
terjadinya proses yang dapat
mengganggu sel hati. Sel hati yang
mengalami kerusakan akan melepas
enzim SGPT ke dalam darah sehingga
terjadi peningkatan kadar enzim SGPT
dalam darah (Ariyanti 2013).
Peningkatan kadar SGPT yang
terjadi pada penelitian ini sebanding
dengan teori yang menyebutkan bahwa
metabolit aktif dari dekstrometorfan yaitu
dekstorfan yang dapat mengendap pada
hepar. Enzim transeminase akan
mengkatalis pemindahan gugus asam
40
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
amino secara reversible antara asam
amino α-ketoglutarat. Berkurangnya
enzim glutation akan meningkatkan
toksisitas dekstorfan melalui pengikatan
kovalen dengan sel dalam jaringan hepar.
Hal ini menyebabkan hepar dapat
mengalami gangguan. Enzim
aminotransferase yang berada di dalam
sel akan keluar dan masuk ke aliran
darah, yang disebabkan perubahan
permeabilitas membrane sel sehingga
kadar SGPT dalam darah akan meningkat
(Indrayani 2015).
Berdasarkan hasil penelitian kadar
GGT pada tikus Wistar menunjukkan
terdapat pengaruh pemberian
dekstrometorfan. Gamma glutamyl
transferase merupakan salah satu enzim
dalam serum yang pertama kali bekerja
pada proses degradasi ekstraseluler
glutation. Enzim GGT sebagian besar
diproduksi di hati dan memiliki peran
penting dalam menilai fungsi sistem
hepatobiliari, seperti inflamasi hati,
penyakit perlemakan (fatty liver disease),
penggunaan obat dan penyalahgunaan
alkohol (Machdalena 2014).
Peningkatan aktivitas enzim GGT
dalam penelitian ini merupakan respon
pertahanan dari detoksifikasi metabolit
toksik hasil produksi metabolism
dekstrometorfan. Aktivitas GGT dan
pengaruh pemberian dekstrometorfan
berkaitan dengan makromolekular GSH.
Pemberian dekstrometorfan pada tikus
Wistar meningkatkan sitokrom yang
mengarah ke pembentukan metabolit
dekstorfan.Hal ini menyebabkan
berkurangnya enzim glutation seluler dan
sistein intraseluler diduga meningduksi
peningkatan GGT (Roziana dkk. 2016).
Terjadinya peningkatan kadar
GGT disebabkan karena konsumsi obat
dalam jumlah banyak dan konsumsi
alkohol berlebihan. Berdasarkan
teori,GGT akan meningkat lebih awal
dan tetap akan meningkat selama
kerusakan sel hati tetap berlangsung
(Purnamasari 2008).Enzim GGT
memiliki tingkat sensitivitas tinggi,
sehingga digunakan sebagai marker
dalam penanda fungsi hati (Haurissa
2014).
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan tentang pengaruh variasi dosis
dekstrometorfan terhadap kadar SGPT
dan GGT pada tikus Wistar, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh pemberian
dektrometorfan terhadap kadar
SGPT pada tikus Wistar.
2. Terdapat pengaruh pemberian
dekstrometorfan terhadap kadar
kadar GGT pada tikus Wistar.
SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan parameter lain
seperti histopatologi untuk menguatkan
diagnosa terjadinya kerusakan hati
dengan dosis yang lebih bervariasi dan
waktu yang lebih panjang, untuk melihat
tingkat kerusakan hati.
DAFTAR RUJUKAN
Ariyanti, Nur. 2013. “Pengaruh Ekstrak
Etanol Daun Sirsak (Annona
Muricata L.) Terhadap Kadar Enzim
Transaminase (SGPT Dan SGOT)
Pada Mencit (Mus Musculus) Yang
Diinduksi Dengan 7,12-
Dimetilbenz(Α) Antrasen (DMBA)
Secara In Vivo .” Malang:
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Http://Etheses.Uin-
Malang.Ac.Id/485/.
Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia. 2012.
“Mengenal Penyalahgunaan
41
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Dekstrometorfan.” Infopom,
Desember 2012.
Https://Studylibid.Com/Doc/128706
/Mengenal-Penyalahgunaan-
Dekstrometorfan-Hasil-Pengawasan.
Bonauli, Nina. 2010. “Pengaruh
Pemberian Dekstrometorfan Dosis
Bertingkat Per Oral Terhadap
Gambaran Histopatologi Hepar
Tikus Wistar.” Semarang:
Universitas Diponegoro.
Http://Eprints.Undip.Ac.Id/23622/.
Damayanti, Ria, Loeki Enggar Fitri, Dan
Mochamad Dalhar. 2016. “Pengaruh
Pemberian Propolis Terhadap
Ekspresi INOS Dan Kadar MDA
Pada Otak Tikus Model Cedera Otak
Traumatik.” Jurnal Kedokteran
Brawijaya 29 (2): 110–16.
Https://Doi.Org/10.21776/Ub.Jkb.20
16.029.02.3.
Direktorat Pelayanan Kefarmasian. 2014.
“Pharmaceutical Care Untuk Pasien
Penyakit Hati.” Kementerian
Kesehatan RI. 2014.
Https://Binfar.Kemkes.Go.Id/En/201
4/12/Pharmaceutical-Care-Untuk-
Pasien-Penyakit-Hati/.
Haurissa, Andreas Erick. 2014. “Gamma
Glutamyl Transferase Sebagai
Biomarker Risiko Penyakit
Kardiovaskuler’.” Cermin Dunia
Kedokteran 41: 816–18.
Hikmah, Eka Nurul. 2014. “Penggunaan
Obat-Obatan Penginduksi Penyakit
Hati Terhadap Pasien Gangguan
Fungsi Hati Di RSUD Dr. Moewardi
Tahun 2013.” Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Http://Eprints.Ums.Ac.Id/31187/.
Indayani, Ningrum Sri. 2015. “Pengaruh
Pemberian Deksametason Terhadap
Kerusakan Fungsi Hepar Tikus
Jantan (Ratus Norvegoicus) Galur
Wistar.” Malang: Universitas Negeri
Malang.
Http://Repository.Um.Ac.Id/26666/.
Kusumastuti, Ismi Riyani. 2017.
“Gambaran Kadar Kreatinin Pada
Pengkonsumsi Dekstrometorfan.”
Http://Repository.Unimus.Ac.Id/428
/.
Nugraha, Aditya. 2017. “Gambaran
Kadar Sgpt Pada Pengkonsumsi
Dekstrometorphan.” Semarang:
Universitas Muhamadiyah
Semarang.
Http://Repository.Unimus.Ac.Id/335
/.
Machdalena, Rina. 2014. “Kadar High
Sensitive C-Reactive Protein Dan
Gamma Glutamyltransferase
Sebagai Indikator Eksaserbasi Akut
Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Stabil.” Surakarta: UNS
(Sebelas Maret University).
Https://Digilib.Uns.Ac.Id/Dokumen/
42320/Kadar-High-Sensitive-C-
Reactive-Protein-Dan-Gamma-
Glutamyltransferase-Sebagai-
Indikator-Eksaserbasi-Akut-Pada-
Penyakit-Paru-Obstruktif-Kronik-
Stabil.
Purnamasari, Prihartini. 2008. “Pengaruh
Pemberian Teh Hijau Terhadap
Kadar Enzim Gamma Glutamyl
Transferase Serum Tikus Wistar
Yang Diberi Kloramfenikol -
Diponegoro University | Institutional
Repository (UNDIP-IR).”
Semarang: Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/23940/.
Roziana, Roziana, Hertanto Wahyu
Subagio, Suhartono Suhartono, dan
Nyoman Suci Widyastiti. 2016.
“Pengaruh suplementasi vitamin e
(α-tokoferol) terhadap kadar gamma
glutamil transferase (ggt) dan kadar
nitric oxide (no) pada tikus (Studi
pada tikus rattus novergicus strain
wistar jantan terpapar inhalasi uap
benzene).” Jurnal Gizi Indonesia
(The Indonesian Journal of
Nutrition) 3 (2): 73–79.
https://doi.org/10.14710/jgi.3.2.73-
79.
Sofiati, Anis. 2017. “Gambaran Kadar
Sgot Pada Pengkonsumsi
Dekstrometorfan.” Semarang:
Universitas Muhamadiyah
42
Iswari, Putra & Widayanti
Pengaruh Variasi Dosis Dekstrometorfan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Semarang.
http://repository.unimus.ac.id/344/.
Sugiyono. 2017. “Metode Penelitian
Kuantitatif,Kualitatif dan R&D.”
Bandung: CV Aflabeta.
Tanoeisan, Angelina P., Yanti M. Mewo,
dan Stefana H.M. Kaligis. 2016.
“Gambaran Kadar Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase (SGPT) Pada
Perokok Aktif Usia > 40 Tahun.”
Jurnal e-Biomedik 4 (1).
https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.20
16.11048.
Tjandra, Aditya. 2010. “Pengaruh
Pemberian Dekstrometorfan Dosis
Bertingkat Per Oral Terhadap
Gambaran Histopatologi Otak Tikus
Wistar.” Semarang: Universitas
Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/23050/.
Wardhani, Anindia. 2010. “Pengaruh
Pemberian Ekstrak Valerian
(Valeriana Officinalis) Terhadap
Gambaran Mikroskopis Hepar Dan
Kadar Sgot Tikus Wistar.”
Semarang: Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/23131/.
://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti
/material/narasi2001.pdf.
JDIH BPK RI. 2008. “UU No. 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah.”
2008.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/De
tails/39067/uu-no-18-tahun-2008.
———. 2012. “PP No. 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga Dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga .” 2012.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/De
tails/5295/pp-no-81-tahun-2012.
Kadir, Dideng. 2016. Formasi Sosial
Pemulung. Sukoharjo: Oase Pustaka.
Tansatrisna, Diwyacitra, dan Ratri
Virianita. 2014. “Persepsi dan
partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah rumah tangga.”
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
https://repository.ipb.ac.id/handle/12
3456789/72098.
Tribun Bali. 2018. “Limbah Medis
Berceceran Darah Dibuang ke TPA
Suwung, DLHK Kaget ‘Itu Bahaya,
Itu Maling!’ - Tribun Bali.” Tribun
Bali. 15 Januari 2018.
https://bali.tribunnews.com/2018/01/
15/limbah-medis-berceceran-darah-
dibuang-ke-tpa-suwung-dlhk-kaget-
itu-bahaya-itu-maling.
UU Republik Indonesia No. 32 Tahun
2009. 2009. “Undang Undang No.32
Tahun 2009 mengenai Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.” UU Republik Indonesia.
2009.
https://www.ojk.go.id/sustainable-
finance/id/peraturan/undang-
undang/Pages/Undang-Undang-
No.32-Tahun-2009-mengenai-
Perlindungan-dan-Pengelolaan-
Lingkungan-Hidup.aspx.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
43
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Terhadap Limbah Medis Padat di TPA Suwung
D. P. Risky Vidika Apriyanthi1*, Ni Putu Rahayu Artini2
1,2Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar belakang: Sarana dan prasarana pengelolaan sampah di Kota Denpasar yang dimiliki saat ini
tidak sebanding dengan melimpahnya produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga
menyebabkan TPS liar bermunculan dimana-mana, sehingga sangat berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran lingkungan di sekitar TPS. Salah satu jenis sampah yang dilarang untuk
dibuang ke TPA adalah jenis sampah medis (Limbah Medis) atau sampah yang dihasilkan oleh rumah
sakit. Pada tanggal 15 Januari 2018 masih ditemukan adanya limbah medis padat yang dibuang ke
TPA Suwung. Tujuan: gambaran pengetahuan pemulung di TPA Suwung terhadap Limbah Medis
dan dampaknya terhadap kesehatan masih sangat rendah. mayoritas responden tidak mengetahui jenis-
jenis limbah medis dan dampaknya terhadap kesehatan Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif cross-sectional. Sampel penelitian ini diambil secara accidental sampling. Data
dikumpulkan secara langsung melalui informed concent dan pengisian kuesioner oleh responden.
Hasil: Dari 50 responden yang bekerja sebagai pemulung di TPA Suwung 58% responden tidak
mengetahui mengenai limbah medis, 80% dari responden tidak mengetahui jenis-jenis limbah medis
yang ada di TPA Suwung. Sebanyak 58% responden tidak mengetahui dampak limbah medis
terhadap kesehatan dan 56% responden tidak mengetahui bahwa limbah padat medis dapat
menyebabkan penyakit. Kesimpulan: Pengetahuan pemulung di TPA Suwung tentang limbah medis
dan dampaknya terhadap kesehatan masih sangat rendah. Sebagian besar responden tidak mengetahui
jenis limbah medis dan dampaknya terhadap kesehatan.
Kata kunci: Limbah Medis, Pemulung, TPA Suwung
ABSTRACT Background: The facilities and infrastructure of waste management in the city of Denpasar currently
owned are not comparable to the abundant production of waste produced by the community, causing
wild polling stations to appear everywhere, so that it has the potential to cause environmental pollution
around polling stations. One type of waste that is prohibited from being disposed to landfill is the type
of medical waste. On January 15, 2018 there were still solid medical waste dumped into the Suwung
landfill. Purpose: This study aims to determine the description of scavenger knowledge in the
Suwung landfill on medical waste and its impact on health. Method: The research method used was a
cross-sectional descriptive study. The research sample was taken by accidental sampling. Data was
collected directly through informed consent and filling out questionnaires by respondents.
Respondents in this study were 50 people who work as scavengers at the TPA Suwung. Result: 58 %
of respondents did not know about medical waste, 80% of the respondents did not know the types of
medical waste at the TPA Suwung. 58% of respondents did not know the impact of medical waste on
health and 56% of respondents did not know that medical solid waste can cause disease. Conclusion:
The knowledge of scavengers at the Suwung landfill on medical waste and its impact on health is still
very low. the majority of respondents did not know the types of medical waste and their impact on
health
Keywords: Medical Waste, Scavengers, Suwung Landfill
*Correspondence [email protected]
Submitted July 10th, 2020
Accepted July 11st, 2020
Published August 31st, 2020
44
Apriyanthi, Artini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Permasalahan sampah yang
terjadi saat ini bukan lagi menjadi hal
baru di Indonesia, terutama di daerah
perkotaan yang memiliki volume
penduduk yang besar (Tansatrisna dan
Virianita 2014). Salah satu jenis sampah
yang dilarang untuk dibuang ke TPA
adalah jenis sampah medis (Limbah
Medis) atau sampah yang dihasilkan oleh
rumah sakit. Limbah Medis dapat berupa
limbah padat, cair dan gas. Dalam profil
kesehatan Indonesia, diungkapkan
seluruh rumah sakit di Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat
tidur. Hasil kajian terhadap 100 rumah
sakit di Jawa dan Bali menunjukkan
bahwa rata-rata produksi limbah sebesar
3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisis
lebih jauh menunjukkan produksi limbah
(limbah padat) berupa limbah domestik
sebesar 76,8 % dan berupa limbah
infeksius sebesar 23,2 %. Diperkirakan
secara nasional produksi limbah (limbah
padat) rumah sakit sebesar 376.089 ton
per hari dan produksi air limbah sebesar
48.985,70 ton per hari. Dari gambaran
tersebut dapat dibayangkan betapa besar
potensi rumah sakit untuk mencemari
lingkungan dan kemungkinan
menimbulkan kecelakaan serta penularan
penyaki (Departemen Kesehatan RI
2002). Widyaswara & Erwin, dikutip dari
Tribun Bali (2018) pada liputan khusus
pada tanggal 15 Januari 2018 masih
ditemukan adanya limbah medis padat
yang dibuang ke TPA Suwung. Jenis
limbah medis padat dapat berupa spuit,
bekas infus, selang infus, kantong darah,
dan botol obat. Dalam liputan khusus
tersebut juga disebutkan ada seorang
pemulung yang sempat sakit dan tidak
bisa bekerja selama 8 bulan karena
tertusuk jarum suntik bekas di TPA
Suwung (Tribun Bali 2018).
METODE
Desain penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif cross-
sectional. Sampel penelitian ini diambil
secara accidental sampling. Data
dikumpulkan secara langsung melalui
informed concent dan pengisian
kuesioner oleh responden. Penelitian ini
menggunakan data primer. Data primer
diperoleh melalui kuesioner yang
digunakan untuk mencari jawaban dari
pertanyaan penelitian. Kuisioner
berisikan informasi mengenai
karakteristik demografi yang meliputi
umur, jenis kelamin, status perkawinan
dan lama tinggal serta karakteristik sosial
yang meliputi pendidikan, pengetahuan,
dan karakteristik ekonomi yang dimaksud
adalah ciri-ciri yang meliputi,
pendapatan, jam kerja efektif,
pengalaman kerja/lama bekerja.
Pengolahan data dilakukan
dengan teknik analisis kualitatif. Teknik
ini mentranskrip data mentah yang
didapat dari hasil kuisioner dan
wawancara terstruktur. Hasil penelitian
ini diperoleh dengan langkah sorting
data, dan classifying data.
HASIL
Karakteristik Demografi terdiri
dari golongan umur, status perkawinan
dan lama tinggal di TPA Suwung. Umur
dari para responden bervariasi dimana
yang termuda berusia 25 tahun dan yang
tertua berumur 66 tahun. Mayoritas
responden berusia antara 25 – 30 tahun
dengan persentase sebanyak 46 %. Usia
tertua dari kelompok responden pada
penelitian ini berusia lebih dari 50 tahun
yaitu 4 responden (8%) dengan usia 53
tahun, 58 tahun, 62 tahun dan yang tertua
adalah 66 tahun. Seluruh responden (50
orang) berstatus sudah menikah dan
mayoritas responden sudah tinggal di
TPA Suwung untuk 6-10 tahun dengan
persentase responden 52 % (26 orang
45
Apriyanthi, Artini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
responden) sedangkan yang tinggal lebih
dari 10 tahun merupakan responden yang
berasal dari Bali (asli penduduk Bali).
Karakteristik Ekonomi dari
responden yaitu Pendapatan rata-rata per
bulan para pemulung adalah Rp.
1.503.200,-. Jam kerja efektif sebagian
besar responden dengan persentase 56 %
berkisar antara 6 – 10 jam/hari sedangkan
42% responden memiliki jam kerja
efektif >10 jam perhari, dengan jam kerja
efektif paling lama adalah 12 jam.
Mayoritas pemulung memiliki
pengalaman kerja lebih diantara 6-10
tahun yaitu sebanyak 26 orang dengan
persentase 52%.
Karakteristik Sosial diukur dari
tingkat pendidikan dan pengetahuan
Responden terhadap Limbah Medis.
Mayoritas responden yaitu 52 %
memiliki pendidikan terakhir yaitu
Sekolah Dasar (SD), sedangkan
pendidikan tertinggi dari para responden
yang mengisi kuisioner adalah Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebanyak 22
orang (44%) dan tidak bersekolah
sebanyak 2 orang (4%). Pengetahuan
Responden terhadap Limbah Medis yang
diperoleh dari 50 responden, 42%
menyatakan pernah mendengar kata
“Limbah Medis”, namun 80% responden
tidak mengetahui jenis-jenis dari limbah
medis dan sebanyak 66% responden sama
sekali tidak mengetahui bahwa Limbah
Medis tidak boleh dibuang ke TPA.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian, 68%
pemulung menyatakan mengetahui jenis-
jenis limbah yang dibuang di TPA
Suwung, namun sebagian besar ternyata
tidak mengetahui apa itu limbah medis
dan apa saja jenis-jenisnya. Padahal saat
survey pendahuluan dan observasi di
lokasi penelitian, peneliti dan tim
menemukan berbagai jenis limbah medis
padat yang dibuang ke TPA Suwung.
Adapun limbah medis padat yang
ditemukan antara lain, spuit beserta
jarumnya bahkan ada yang masih berisi
darah di dalamnya, selang infus, alat tes
HIV, Ampul obat.
Sebanyak 66% responden sama
sekali tidak mengetahui bahwa Limbah
Medis tidak boleh dibuang ke TPA.
Terdapat landasan hukum mengenai
pengelolaan, dan pembuangan limbah
medis, antara lain Pasal 60 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UU PPLH”)
mengatur yang sebagai berikut: Setiap
orang dilarang melakukan dumping
limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin (UU
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009
2009). Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012
Tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga (JDIH BPK RI 2012).
Dalam PP 81/2012, Pengelola fasilitas
lainnya melakukan pemilahan sampah,
pengumpulan sampah, pengolahan
sampah. Puskesmas termasuk sebagai
fasilitas lainnya. Kegiatan pemilahan
sampah, pengumpulan sampah, dan
pengolahan sampah, termasuk sebagai
penanganan sampah yang merupakan
bagian dari penyelenggaraan pengelolaan
sampah. Jika puskesmas atau pelayanan
kesehatan lainnya tidak melakukan
kegiatan pengelolaan sampah sesuai
norma, standar, prosedur, atau kriteria
sehingga mengakibatkan gangguan
kesehatan masyarakat, gangguan
keamanan, pencemaran lingkungan,
dan/atau perusakan lingkungan, maka
dapat dipidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 10 tahun dan
denda antara Rp100 juta hingga Rp5
miliar (JDIH BPK RI 2008). Jika yang
dibuang oleh pegawai puskesmas tersebut
adalah obat-obatan kadaluarsa dan
kemasan obat-obatan yang merupakan
limbah berbahaya, maka bisa terkena
pidana sesuai ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
46
Apriyanthi, Artini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Limbah medis padat yang
ditemukan di lokasi penelitian antara lain,
spuit beserta jarumnya bahkan ada yang
masih berisi darah di dalamnya, selang
infus, alat tes HIV, kemasan obat-obatan
dan Ampul obat. Kemasan obat-obatan
dan obat-obatan kadaluarsa termasuk
sebagai sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun dan limbah bahan
berbahaya dan beracun.
Profesi pemulung sangat beresiko
terhadap kesehatan. Jika pemulung
terpapar limbah medis maka resiko
terjadinya gangguan kesehatan sangat
tinggi (Kadir 2016). Limbah medis
rumah sakit dikategorikan berbahaya
terutama karena berbagai jenis bakteri,
virus, senyawa-senyawa kimia,
desinfektan, serta logam seperti Hg, Pb,
Chrom dan Cd yang berasal dari bagian
kedokteran gigi. Gangguan kesehatan
dapat dikelompokkan menjadi gangguan
langsung adalah efek yang disebabkan
karena kontak langsung dengan limbah
tersebut, misalnya limbah klinis beracun,
limbah yang dapat melukai tubuh dan
limbah yang mengandung kuman
pathogen sehingga dapat menimbulkan
penyakit dan gangguan tidak langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat, baik
yang tinggal di sekitar rumah sakit
maupun masyarakat yang sering
melewati sumber limbah medis
diakibatkan oleh proses pembusukan,
pembakaran dan pembuangan limbah
tersebut.
Limbah medis rumah sakit juga
dapat menyebabkan gangguan genetik
dan reproduksi. Meskipun mekanisme
gangguan belum sepenuhnya diketahui
secara pasti, namun beberapa senyawa
dapat menyebabkan gangguan atau
kerusakan genetik dan system reproduksi
manusia, misalnya pestisida (untuk
pemberantasan lalat, nyamuk, kecoa,
tikus dan serangga atau binatang
pengganggu lain) dan bahan radioaktif.
Limbah medis rumah sakit juga dapat
menyebabkan infeksi silang.
SIMPULAN
Pengetahuan pemulung di TPA
Suwung tentang limbah medis dan
dampaknya terhadap kesehatan masih
sangat rendah. Sebagian besar responden
tidak mengetahui jenis limbah medis dan
dampaknya terhadap kesehatan. Hasil
penelitian menunjukkan 58% responden
tidak mengetahui mengenai limbah
medis, 80% dari responden tidak
mengetahui jenis-jenis limbah medis
yang ada di TPA Suwung serta 58%
responden tidak mengetahui dampak
limbah medis terhadap kesehatan dan
56% responden tidak mengetahui bahwa
limbah padat medis dapat menyebabkan
penyakit.
SARAN
Setelah melakukan penelitian ini,
penulis merasa perlu mengembangkan
topic penelitian ini terkait dengan
penggunaan APD oleh pemulung di TPA
Suwung, karena dari hasil observasi
dapat dilihat sangat minimnya pemulung
yang menggunakan APD saat bekerja.
Tumpukan sampah dengen berbagai
macam jenis limbah di dalamnya sangat
berisiko untuk kesehatan dan
keselamatan pemulung maka dari itu
penggunaan APD sangatlah penting.
DAFTAR RUJUKAN
Departemen Kesehatan RI. 2002. “Profil
Kesehatan Indonesia 2001.” Jakarta.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users
/kuntarti/material/narasi2001.pdf.
JDIH BPK RI. 2008. “UU No. 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah.”
2008.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/De
47
Apriyanthi, Artini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
tails/39067/uu-no-18-tahun-2008.
———. 2012. “PP No. 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga Dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga .” 2012.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/De
tails/5295/pp-no-81-tahun-2012.
Kadir, Dideng. 2016. Formasi Sosial
Pemulung. Sukoharjo: Oase Pustaka.
Tansatrisna, Diwyacitra, dan Ratri
Virianita. 2014. “Persepsi dan
partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah rumah tangga.”
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
https://repository.ipb.ac.id/handle/12
3456789/72098.
Tribun Bali. 2018. “Limbah Medis
Berceceran Darah Dibuang ke TPA
Suwung, DLHK Kaget ‘Itu Bahaya,
Itu Maling!’ - Tribun Bali.” Tribun
Bali. 15 Januari 2018.
https://bali.tribunnews.com/2018/01/
15/limbah-medis-berceceran-darah-
dibuang-ke-tpa-suwung-dlhk-kaget-
itu-bahaya-itu-maling.
UU Republik Indonesia No. 32 Tahun
2009. 2009. “Undang Undang No.32
Tahun 2009 mengenai Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.” UU Republik Indonesia.
2009.
https://www.ojk.go.id/sustainable-
finance/id/peraturan/undang-
undang/Pages/Undang-Undang-
No.32-Tahun-2009-mengenai-
Perlindungan-dan-Pengelolaan-
Lingkungan-Hidup.aspx.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
48
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Puskesmas Kota Denpasar Berdasarkan
Permenkes Nomor 74 Tahun 2016
I.G.A. Kristina Dewi1*, I.A. Manik Parthasutema2, D. Windydaca Brata Putri3
1,2,3Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali International
ABSTRAK Latar Belakang : Puskesmas di Kota Denpasar tidak memiliki Apoteker untuk melakukan pelayanan
farmasi secara menyeluruh sesuai standar, namun hanya diperankan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian
yang hanya dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas, sesuai Permenkes Nomer 74
tahun 2016 Tujuan: untuk mengetahui gambaran penerapan standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas Kota Denpasar, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Metode: Penelitian dilakukan secara observasional dengan
rancangan penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah penanggung jawab farmasi di 11 puskesmas
Kota Denpasar. Hasil: Penerapan standar pelayanan kefarmasian di 11 puskesmas kota Denpasar dari
aspek pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai mencapai 96.97%, dari aspek pelayanan farmasi
klinis mencapai 63,85%, dari aspek sumberdaya kefarmasian mencapai 73,58% dan dari aspek
pengendalian mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Berdasarkan hasil wawancara mengidentifikasi 18
faktor yang berpotensi terhadap ketidaksesuaian penerapan standar pelayanan. Kesimpulan: Standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar belum dilaksanakan secara menyeluruh sesuai
Permenkes nomer 74 tahun 2016.
Kata kunci: Pelayanan Kefarmasian, Puskesmas, Permenkes 74 tahun 2016
ABSTRACT Background: Puskesmas in Denpasar City do not have pharmacists to carry out pharmacy services as
a whole according to the standards, but only played by pharmaceutical technical personnel who can
only carry out pharmaceutical services on a limited basis, according to Minister of Health Regulation
Number 74 of 2016. Purpose: To describe the application of pharmaceutical service standards in
Denpasar City health centers, as well as the factors that influence the implementation of
pharmaceutical service standards at the health centers. Method: The study was conducted
observationally with a descriptive research design, using questionnaires. The research subjects were
those responsible for pharmacy in 11 Denpasar City health centers. Results: The application of
pharmaceutical service standards in 11 Denpasar city health centers from the aspects of drug and
medical management consumables reached 96.97%, from the aspect of clinical pharmacy services
reached 63.85%, from aspects of pharmaceutical resources reached 73.58% and from aspects of
service quality control reached 82.68%. Based on the results of the interview identified 18 factors that
have the potential to mismatch the application of service standards. Conclusion: The standard of
pharmacy services at the Denpasar City Health Center has not been carried out thoroughly according
to the Permenkes Nomer 74 of 2016.
Keywords: Pharmaceutical care, Primary Health Center, Permenkes 74 Tahun 2016,
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted July 28th, 2020
Published August 31st, 2020
49
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pengaturan standar ini bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian, menjamin kepastian hukum
bagi tenaga kefarmasian dan melindungi
pasien dan masyarakat dari penggunaan
Obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety). Salah
satunya adalah Puskesmas dalam rangka
Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP).
Pelayanan kefarmasian di
Puskesmas telah memiliki standar yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam
wujud Peraturan Menteri Kesehatan No.
74 Tahun 2016 yang meliputi standar:
pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai; dan pelayanan
farmasi klinik. Evaluasi penerapan
standar pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Kabupaten Magelang tahun
2017, berdasarkan Permenkes RI No. 74
tahun 2016, menunjukkan bahwa
penerapan standar pelayanan kefarmasian
masih belum sesuai dengan Permenkes,
terutama dibidang visite pasien pada
puskesmas rawat inap serta sarana dan
prasarana yang masih kurang (Dianita,
Kusuma, dan Septianingrum 2017).
Penelitian lain menunjukkan secara
keseluruhan pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas
Kota Yogyakarta pada puskesmas rawat
jalan sebesar 63.95% dan rawat inap
sebesar 68,83%, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penerapan standar
pelayanan kefarmasian di puskesmas kota
Yogyakarta belum dilaksanakan secara
menyeluruh sesuai dengan Permenkes
(Mangkoan 2016).
Kota Denpasar memiliki 11
Puskesmas (2 Puskesmas Rawat Inap dan
9 Puskesmas Rawat Jalan) yang terletak
di 4 Kecamatan se-Kota Denpasar.
Dengan jumlah ini tentunya penerapan
standar pelayanan kefarmasian yang
dilakukan setiap Puskesmas akan
bervariasi. Studi awal menunjukkan tidak
semua Puskesmas memiliki Apoteker
untuk melakukan pelayanan farmasi
klinik secara menyeluruh sesuai standar,
namun hanya diperankan oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian yang hanya dapat
melaksanakan pelayanan kefarmasian
secara terbatas. Adanya akreditasi antar
puskesmas yang berbeda juga
berpengaruh terhadap peningkatan mutu
layanan, akibat dinamisasi instrumen
penilaian akreditasi, sehinga penting
untuk mengetahui gambaran penerapan
standar pelayanan kefarmasian di
Puskesmas secara menyeluruh. Apabila
pelayanan kefarmasian sudah sesuai
dengan standar pelayanan kefarmasian
yang ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Kesehatan, maka harus
dipertahankan. Namun, apabila belum
sesuai dengan peraturan yang berlaku,
perlu untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi ketidaksesuaian
penerapan, sehingga dapat meningkatkan
pelayanan kefarmasian di puskesmas.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis
penelitian observasional dengan
rancangan penelitian deskriptif,
menggunakan kuisioner, untuk mengkaji
pelaksanaan pelayanan kefarmasian
berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas. Penelitian
dilakukan pada bulan Desember 2018
sampai dengan Februari 2019 di 11
Puskesmas Kota Denpasar, yaitu tiga
Puskesmas di Kecamatan Denpasar
Utara, dua Puskesmas di Kecamatan
Denpasar Timur, 4 Puskesmas di
Kecamatan Denpasar Selatan dan dua
50
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Puskesmas di Kecamatan Denpasar
Barat, dengan spesifikasi dua puskesmas
rawat inap dan sembilan puskesmas rawat
jalan.
Subjek penelitian adalah seluruh
penanggung jawab farmasi di Puskesmas
kota Denpasar, dengan sampel
penanggung jawab farmasi di masing-
masing Puskesmas.
Penilaian dan analisis kuisioner
menggunakan Skala Guttman, yang
hanya terdiri dari dua alternatif jawaban
yaitu “Ya” dan “Tidak”. Bobot jawaban
dari masing-masing item variable yaitu
“Ya” (skor 1) dan “Tidak” (skor 0), dan
dari masing-masing total skor tiap standar
dihitung presentase capaian pelaksanaan.
HASIL
Analisa kuisioner berupa analisa
deskriptif gambaran penerapan standar
pelayanan kefarmasian sesuai Permenkes
No 74 Tahun 2016 (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 2016).
Jawaban ‘tidak’ dari responden
yang mengisi kuisioner merupakan
indikasi tidak dilakukannya pelayanan
kefarmasian sesuai standar, dan hasil
wawancara dari jawaban tidak,
merupakan faktor yang berpotensi
mempengaruhi penerapan standar
pelayanan kefarmasian. Berdasarkan
jawaban wawancara, diperoleh hasil
identifikasi faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan ketidaksesuaian, dengan
menggunakan metode fishbone dapat
dilihat pada gambar 1.
Tabel 1. Hasil Penelitian Analisa Kuisioner
No Nama Puskesmas Pengelolaan
Obat dan
BMHP
Pelayanan
Farmasi
Klinis (RJ)
Pelayanan
Farmasi
Klinis (RI)
Sumberdaya
Kefarmasian
Pengendaian
Mutu
1 Denut 1 96.97% 71.64% - 75.00% 80.95%
2 Denut 2 96.97% 67.16% - 75.00% 80.95%
3 Denut 3 96.97% 68.66% - 75.00% 80.95%
4 Dentim 2 96.97% 59.70% - 73.44% 95.24%
5 Denbar1 100.00% 52.24% - 76.56% 90.48%
6 Denbar 2 100.00% 52.24% - 76.56% 90.48%
7 Densel 1 84.85% 86.57% - 76.56% 90.48%
8 Densel 2 100.00% 43.28% - 71.88% 76.19%
9 Densel 3 96.97% 73.13% - 78.13% 71.43%
10 Dentim 1 96.97% - 48.75% 62.50% 76.19%
11 Densel 4 100.00% - 47.50% 68.75% 76.19%
Mean 96.97% 63.85% 48.13% 73.58% 82.68%
SD 4,29% 13,26% 0,0088% 0,0449% 0,0775%
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
51
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Gambar 1. Identifikasi faktor yang berpotensi terhadap ketidaksesuian penerapan standar
(Sumber: Koleksi pribadi)
PEMBAHASAN
Penerapan standar pelayanan
kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar
mencapai 79,27% secara keseluruhan,
dengan meliputi aspek pengelolaan obat
dan bahan medis habis pakai mencapai
96.97%, dari aspek pelayanan farmasi
klinis mencapai 63,85%, dari aspek
sumberdaya kefarmasian mencapai
73,58% dan dari aspek pengendalian
mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Hasil
penelitian di Puskesmas Kota Denpasar
ini menunjukkan belum optimalnya
penerapan standar pelayanan kefarmasian
di puskesmas, meski demikian penelitian
ini dapat dikatakan lebih baik
dibandingkan penelitian di Puskesmas
Kota Yogyakarta tahun 2014, dengan
capaian pelaksanaan pelayanan
kefarmasian 63,95% secara keseluruhan
(Widha, Pribadi, dan Dianita 2015) dan
penelitian serupa tahun 2015 di
Puskesmas Kabupaten Magelang dengan
capaian pelaksanaan pelayanan
kefarmasian 71,5% (Dianita, Kusuma,
dan Septianingrum 2017), dan sebanding
dengan penelitian evaluasi pelayanan
kefarmasian puskesmas tahun 2014 di
Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin
Utara yang mencapai hasil 79.5% namun
masih menggunakan pedoman pelayanan
kefarmasian Depkes tahun 2008 (Iqbal,
Alfian, dan Fakhrani 2015; Aspiadi,
Susanto, dan Rony 2014).
Penerapan standar pelayanan
kefarmasian di Puskesmas Kota Denpasar
mencapai 79,27% secara keseluruhn,
dengan meliputi aspek pengelolaan obat
dan bahan medis habis pakai mencapai
96.97%, dari aspek pelayanan farmasi
klinis mencapai 63,85%, dari aspek
sumberdaya kefarmasian mencapai
73,58% dan dari aspek pengendalian
mutu pelayanan mencapai 82,68 %. Hasil
penelitian di Puskesmas Kota Denpasar
ini menunjukkan belum optimalnya
penerapan standar pelayanan kefarmasin
di puskesmas, meski demikian penelitian
ini dapat dikatakan lebih baik
dibandingkan penelitian di Puskesmas
Kota Yogyakarta tahun 2014, dengan
capaian pelaksanaan pelayanan
kefarmasian 63,95% secara keseluruhan
(Widha, Pribadi, dan Dianita 2015) dan
penelitian serupa tahun 2015 di
Puskesmas Kabupaten Magelang dengan
capaian pelaksanaan pelayanan
52
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
kefarmasian 71,5% (Dianita, Kusuma,
dan Septianingrum 2017), dan sebanding
dengan penelitian evaluasi pelayanan
kefarmasian puskesmas tahun 2014 di
Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin
Utara yang mencapai hasil 79.5% namun
masih menggunakan pedoman pelayanan
kefarmasian Depkes tahun 2008 (Iqbal,
Alfian, dan Fakhrani 2015; Aspiadi,
Susanto, dan Rony 2014).
Penerapan standar pelayanan
kefarmasian yang belum optimal di
Puskesmas Kota Denpasar di pengaruhi
oleh beberapa faktor yang berpotensi
menyebabkan ketidaksesuaian, yakni
faktor sarana, SDM, dan metode. Faktor
sarana meliputi tidak adanya timbangan
milligram, tidak adanya salinan resep,
tidak terdapat ruang konseling, tidak
terdapat ruang khusus untuk arsip
kefarmasian, dan tidak adanya media
informasi (leaflet, brosur, bulletin, dll).
Faktor SDM meliputi tidak adanya
keterbatasan jumlah petugas farmasi,
terbatasnya pengetahuan petugas farmasi,
dan tidak adanya apoteker. Faktor metode
meliputi
Permenkes Nomer 75 Tahun 2014
tentang Puskesmas, menyebutkan
persyaratan peralatan yg harus ada di
Puskesmas salah satunya ruang farmasi
harus memiliki timbangan analitik, ruang
penerimaan dan penyerahan resep serta
ruang konseling yang memadai (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia 2014).
Namun faktor sarana, mucul sebagai
faktor yang berpotensi berpengaruh
terhadap penerapan pelayanan
kefarmasian di kota Denpasar, seperti
tidak memiliki timbangan analitik, ruang
konseling, salinan resep dan media
informasi (leaflet, brosur, bulletin, dll),
namun ketidaklengkapan sarana tersebut
tidak selalu mengakibatkan tidak
optimalnya pelayanan farmasi klinis di
Puskesmas. Hal ini ditunjukkan dengan
tidak tersedianya timbangan analitik juga
tidak terlalu berpengaruh dikarenakan
pembuatan resep racikan dengan
menggunakan sediaan jadi seperti tablet
dengan dosis serta salep dalam tube, dan
belum adanya ruang konseling dan
salinan resep berkaitan dengan tidak
adanya apoteker sebagai pelaksana
konseling dan penulis salinan resep.
Ruang khusus arsip kefarmasian masih
dapat ditoleransi dengan meletakkan
arsip di gudang obat puskesmas maupun
di ruang pelayanan obat itu sendiri,
dengan ditata rapi tanpa mengganggu
proses dan alur pelayanan.
Faktor SDM mengindikasikan
adanya ketidaksesuian penerapan standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
Permenkes 74 tahun 2016 menyebutkan
pada pasal 6 ayat 2 ruang farmasi harus
dipimpin seorang apoteker sebagai
penanggung jawab, meski pada pasal 12
ayat 1 dan 2, dapat dibijaksanai dengan
adanya tenaga teknis kefarmasian yg
hanya boleh melakukan pelayanan
kefarmasian secara terbatas, yang hanya
meliputi pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
pelayanan resep berupa peracikan Obat,
penyerahan Obat, dan pemberian
informasi Obat (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 2016). Akan tetapi
tetap belum dapat di optimalkan karena
pada pasal yang sama ayat 3 TTK
tersebut diharuskan dibawah pembinaan
dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk
oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota, sedangkan untuk Kota
Denpasar penunjukan kepada apoteker
belum semua dapat dilakukan mengingat
keterbatasan jumlah apoteker di
lingkungan dinkes Kota Denpasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Teknologi Intervensi Kesehatan
Masyarakat tahun 2012, menunjukkan
bahwa di Provinsi Banten, Jawa Barat,
DIY dan Jawa Timur, Apoteker belum
tersedia di semua puskesmas perawatan,
apalagi puskesmas non perawatan,
sehingga pelayanan resep dikerjakan oleh
tenaga non profesional. Faktor
keterbatasan jumlah tenaga dan
keterbatasan pengetahuan petugas
farmasi pada penerapan pelayanan
53
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
kefarmasian di Puskesmas merupakan hal
yang hampir selalu dialami oleh sebagian
besar pelayanan Puskesmas di Indonesia,
salah satu penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan
Masyarakat tahun 2012, bahwa di
Provinsi Banten, Jawa Barat, DIY dan
Jawa Timur, permasalahan yang terkait
dengan apoteker di puskesmas adalah
ketersediaan dan jumlah tidak sesuai
dengan beban kerjanya, sehingga
pelayanan kefarmasian belum berjalan
baik akibat keterbatasan waktu dan
tenaga. Juga ada apoteker dan tenaga
farmasi lain merasa kurang mampu dalam
memberikan informasi obat kepada
tenaga kesehatan lain, khususnya dokter
spesialis di beberapa puskesmas
perawatan, sehingga masih diperlukan
pembinaan dan pelatihan. Sehingga
faktor-faktor tersebut harus secara global
ditangani, terutama di Puskesmas Kota
Denpasar.
Metode pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian berkaitan dengan
faktor sarana, sumber daya manusia serta
dana. Terdapat sejumlah persoalan yang
tercatat sebagai bagian dari adanya
pelaksanaan yang kurang memenuhi
standar, yang akan disebutkan sebagai
berikut.
a. Catatan pengobatan pada RM
dilakukan oleh paramedis, bukan
farmasi.
Beberapa puskesmas menerapkan
informasi satu pintu dalam aplikasi
system informasi, sehingga
pencatatan pengobatan yang
dilakukan oleh paramedik di sistem
informasi rekam medis elektronik,
dapat diakses oleh seluruh tenaga
kesehatan di puskesmas termasuk
tenaga kefarmasian, apabila
dibutuhkan.
b. Tidak dilakukan penyuluhan terkait
informasi obat.
Penyuluhan informasi obat
memegang peranan dalam upaya
bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui ragkaian
kegiatan dalam mewujudkan
kepedulian, kesadaran, pemahaman
dan ketrampilan masyarakat dalam
menggunakan obat secara tepat dan
benar, seperti tercantum dalam
Kepmenkes nomer 427 tahun 2015
tentang Gerakan Masyarakat Cerdas
Menggunakan Obat (Gema Cermat).
Peran tenaga kefarmasian sangat
dibutuhkan untuk melakukan
penyuluhan terkait obat kepada
masyrakat maupun pengunjung
puskesmas.
c. Skrining farmasetis dan klinis tidak
dilakukan dengan optimal.
Seperti halnya di kota Denpasar,
Puskesmas di kota Yogyakarta juga
belum melaksanakan skrining
farmasetis dan klinis secara
menyeluruh, padahal skrining resep
secara optimal dapat mencegah
terjadinya kesalahan pengobatan
(Hindratni & Jaelani, 2017). Faktor
berpotensi yang dapat menyebabkan
tidaak dilakukannya skrining resep
secara optimal adalah keterbatasan
pengetahuan petugas serta
keterbatasan jumlah petugas di
puskesmas, sehingga perencanaan
pengembangan pelayanan
kefarmasian dalam bentuk
penambahan personil dan pelatihan
kefarmasian harus dapat dilakukan
dalam setiap perencanaan tahunan
puskesmas.
d. Pemantauan terapi obat tidak dapat
dilakukan.
Pemantauan terapi obat tidak
dilakukan terkait tidak adanya
sumber daya apoteker di semua
puskesmas, sehingga perencanaan
pengembangan mutu pelayanan
kefarmasian melalui pengadaaan
apoteker di puskesmas sangat
diperlukan dalam rangka melakukan
pemantauan terapi terhadap pasien
yang mengkonsumsi obat secara
berkelanjutan maupun tidak, agar
pasien mendapatkan terapi obat yang
efektif, terjangkau dengan
54
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
e. Audit profesional tidak dapat
dilakukan
Hampir seluruh puskesmas tidak
melakukan audit professional karena
keterbatasan petugas, sehingga
pengendalian mutu layanan hanya
dilakukan dengan audit klinis yaitu
pencapaian kinerja.
f. Konseling tidak dapat dilakukan.
Konseling tidak dilakukan terkait
tidak adanya sumber daya apoteker
di semua puskesmas, sehingga
perencanaan pengembangan mutu
pelayanan kefarmasian melalui
pengadaaan apoteker di puskesmas
sangat penting untuk media interaksi
pasien dengan apoteker, untuk
memberikan informasi dan edukasi
terkait obat, sebagaimana yang telaha
dijelaskan dalam konsep asuhan
kefarmasian yang bertujuan untuk
memberikan peningkatan
pengetahuan tetang obat dan
pengobatan dengan harapan agar
pasien paham mengenai obat yg
digunakan, karena konseling
diharapkan dapat merubah perilaku
pasien guna meningkaatkan
kepatuhan penggunaan obat yang
berdampak pada keberhasilan
terapinya.
g. Visite/ronde tidak dapat dilakukan.
Visite atau ronde di puskesmas rawat
inap, merupakan kegiatan kunjungan
ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim
profesi kesehatan lainnya yang
dilaksanakan untuk memeriksa obat
pasien, memberi rekomdasi kepada
dokter dalam pemilihan obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan
kondisi klinis pasien serta memantau
perkembangan klinis pasien yang
terkait dengan penggunaan obat.
Mengingat pentingnya visite, maka
perencanaan pengembangan mutu
pelayanan kefarmasian melalui
pengadaaan apoteker di puskesmas
sangat diperlukan.
h. Evaluasi kinerja tidak dapat
dilakukan dengan teknik observasi
dan data sekunder.
Teknik obervasi data membutuhkan
waktu dan tenaga yang lebih banyak
dibanding teknik survey, sehingga
hampir seluruh puskesmas
menggunakan teknik survey.
Pengambilan data sekunder juga
melibatkan banyak tenaga dan lintas
program di puskesmas sehingga
hampir seluruh puskesmas
menggunakan teknik data primer.
1. Dana (Money)
Permasalahan yang berkaitan dengan
dana meliputi kurangnya dana
pengembangan, lebih diutamakan
untuk program unggulan dan
kurangnya workshop dan pelatihan
kefarmasian. Kurangnya dana
pengembangan dan pengadaaan
pelatihan serta workshop
kefarmasian berpotensi
menyebabkan ketidaksesuaian
penerapan standar pelayanan. Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa
keberadaan apoteker belum
meningkatkan mutu pelayanan
Puskesmas berdasarkan ketersediaan
prosedur tetap dan daftar tilik
pelayanan kefarmasian di Puskesmas
wilayah Kabupaten Banyumas
sehingga disarankan perlu adanya
pembinaan dan pelatihan oleh dinas
kesehatan kabupaten bekerja sama
dengan IAI untuk apoteker yang
bekerja di Puskesmas (Hanggara
dkk., 2017). . Penyelenggaraan
Pelatihan dan workshop kefarmasian
juga harus diatur dalam perencanaan
pengembangan puskesmas tanpa
dipengaruhi program unggulan, serta
memanfaatkan dana APBD, BOK
maupun Kapitasi JKN dengan merata
ke setiap program puskesmas
termasuk kefarmasian.
55
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Hasil penelitian di Puskesmas
Kota Denpasar ini, masih menyisakan
keterbatasan karena hanya menggali
informasi dari sisi petugas farmasi di
Puskesmas saja, tanpa menggali akar
pemasalahan kepada yang berwenang
dalam hal ini Kepala Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
SIMPULAN
Simpulan yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah, penerapan standar
pelayanan kefarmasian di puskesmas kota
Denpasar dari aspek pengelolaan obat
dan bahan medis habis pakai mencapai
96.97%, dari aspek pelayanan farmasi
klinis mencapai 63,85%, dari aspek
sumberdaya kefarmasian mencapai
73,58% dan dari aspek pengendalian
mutu pelayanan mencapai 82,68 %.
Berdasarkan hasil wawancara dapat
diidentifikasi 18 faktor dari metode, dana,
sumber daya manusia dan sarana, yang
berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian
penerapan standar pelayanan kefarmasian
di puskesmas kota Denpasar.
SARAN
Berdasarkan simpulan dari
penelitian ini, maka berikut adalah
beberapa saran untuk puskesmas di Kota
Denpasar, yaitu tetap mempertahankan
pelayanan kefarmasian sesuai standar
pelayanan pada aspek pengelolaan obat
dan bahan medis habis pakai serta perlu
meningkatkan pelayanan kefarmasian
dari aspek pelayanan farmasi klinis,
sumber daya kefarmasian dan
pengendalian mutu pelayaan
kefarmasian, agar optimal sesuai dengan
Permenkes Nomor 74 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas. Terutama pada hal
pengadaan sumber daya apoteker,
penanganan keterbatasan jumlah tenaga
kefarmasiann, peningkatan pengetahuan
tenaga kefarmasian serta melengkapi
sarana dan dana pengembangan yang
dibutuhkan sesuai persyaratan peralatan
dan bangunan dalam Permenkes 75
Tahun 2014 tentang Puskesmas, sehingga
seluruh proses dan metode penerapan
standar pelayanan dapat dilakukan secara
optimal.
Berdasarkan keterbatasan penelitian ini,
maka saran untuk penelitian selanjutnya
adalah peneliti mengembangkan metode
penelitian, menggunakan jenis penelitian
kualitatif, sehingga hasil pengisian
kuisioner dapat lebih pasti dan
meminimalisir salah persepsi dalam
pembacaan kuisioner oleh responden.
DAFTAR RUJUKAN
Aspiadi, Yugo Susanto, dan Rony. 2014.
“Evaluasi Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas Kecamatan Banjarmasin
Selatan.” Banjarmasin: Akademi
Farmasi ISFI Banjarmasin.
http://repository.akfar-
isfibjm.ac.id/53/7/Aspiadi.pdf.
Dianita, Puspita Septie, Tiara Mega
Kusuma, dan Ni Made Ayu Nila
Septianingrum. 2017. “Evaluasi
Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas
Kabupaten Magelang Berdasarkan
Permenkes RI No.74 tahun 2016.”
In Proceeding 6th University
Research Colloquium 2017: Seri
Humaniora, Sosial, dan Agama,
125–34.
http://journal.ummgl.ac.id/index.php
/urecol/article/view/1631.
Hanggara, Rr. Shinta Lian, Nabial
Chiekal Gibran, Anjar Mahardian
Kusuma, dan Githa Fungie
Galistiani. 2017. “Pengaruh
Keberadaan Apoteker terhadap
Mutu Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas Wilayah Kabupaten
Banyumas.” Jurnal Kefarmasian
Indonesia 7 (1).
https://doi.org/10.22435/jki.v7i1.501
8.67-76.
56
Dewi, Parthasutema & Putri
Gambaran Dan Kajian Penerapan Standar
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Hindratni, Findy, dan Abdul Khodir
Jaelani. 2017. “Gambaran Skrining
Resep Pasien Rawat Jalan di
Puskesmas Kota Yogyakarta Tahun
2015.” Jurnal Endurance 2 (1): 1.
https://doi.org/10.22216/jen.v2i1.12
96.
Iqbal, Muhammad, Riza Alfian, dan
Erwin Fakhrani. 2015. “Evaluasi
Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas Kecamatan Banjarmasin
Utara.” Banjarmasin.
https://www.semanticscholar.org/pa
per/Evaluasi-Pelayanan-
Kefarmasian-Di-Puskesmas-
Iqbal/b4afabb5698d5f72ad9ebe1184
827209a64a5b97.
Mangkoan, Monalisa. 2016.
“Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomer 30 Tahun 2014
pada Puskesmas di Kota
Yogyakarta.” Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
https://repository.usd.ac.id/6191/2/1
28114159_full.pdf.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2014. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
https://dinkes.gunungkidulkab.go.id/
wp-
content/uploads/2014/10/Permenkes
-No-75-Th-2014-ttg-Puskesmas.pdf.
———. 2016. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.
74 Tahun 2016. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
https://www.persi.or.id/images/regul
asi/permenkes/pmk742016.pdf.
Widha, Puput, Prasojo Pribadi, dan
Puspita Septie Dianita. 2015.
“Gambaran Penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian Di
Puskesmas X Kota Magelang.”
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis 1
(1): 35–41.
https://doi.org/10.31603/PHARMA
CY.V1I1.36.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
57
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test (Cct) dan
Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (Elfg) Pada Pasien Kemoterapi
di Rumah Sakit Prima Medika
Sariati Wijayanti 1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra 2, I K. Putra Juliantara 3
1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar Belakang: Creatinin clirens test (CCT) merupakan suatu pemeriksaan yang dapat dipercaya
untuk memperkirakan LFG. Untuk mengatasi berbagai kelemahan pada pemeriksaan creatinin clirens
test, dapat menggunakan estimasi perhitungan laju filtrasi glomerulus. Estimasi perhitungan laju
filtrasi glomerulus dapat menggunakan formula Cockcroft Gault (CG), Modification of Diet in Renal
Disease (MDRD), dan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI). Masing –
masing formula memiliki kelebihan dan kekurangan. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbandingan hasil CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI) dan hubungan korelasi
hasil antara CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI). Metode: Penelitian mengenai perbandingan
hasil CCT dan eLFG ini merupakan jenis penelitian analitik komparatif dengan pendekatan
retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil CCT dengan eLFG
(CG,MDRD,CKD-EPI) (p>0,05). Selain itu, terdapat korelasi hasil antara CCT dengan eLFG
(CG,MDRD,CKD-EPI) (r>0,05) dimana CKD-EPI memiliki hubungan korelasi terbesar dengan CCT.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI). Selain itu,
terdapat korelasi hasil antara CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-EPI).
Kata kunci: CCT, eLFG, CG, MDRD, CKD-EPI, Kemoterapi
ABSTRACT Background: Creatin clirens test (CCT) is a reliable examination to estimate LFG. To solve some
weaknesses in the creatinine clirens test, we can use estimation of glomerulus filtration rate (eLFG).
Estimation of glomerulus filtration rate (eLFG) can be used as the Cockcroft Gault (CG) formula,
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD), and Chronic Kidney Disease Epidemiology
Collaboration (CKD-EPI). Each formula has advantages and disadvantages. Objective: The aim of
this study was to compare the results of CCT with eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) and the correlation
between results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI). Method: Research on the comparison of
the results of creatinine clarity test (CCT) and estimation of glomerulus filtration rate (eLFG) is a type
of comparative analytical study with a retrospective approach. Result: The results showed that there
were no differences in the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) (p > 0.05). In addition,
there is correlation between CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI) (r > 0.05). Conclusion: It can
be concluded that there is no difference in the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI). In
addition, there is a correlation between the results of CCT and eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI).
Keywords: CCT, eLFG, CG, MDRD, CKD-EPI, Chemotherapy
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted July 26th, 2020
Published August 31st, 2020
58
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Di jaman era globalisasi saat ini,
lingkungan yang telah tercemar, makanan
yang tidak sehat, dan pola hidup yang
kurang baik dapat menyebabkan
timbulnya beranekaragam penyakit.
Salah satu contoh penyakit yang
ditimbulkan adalah kanker. Kanker
adalah suatu kelompok penyakit yang
ditandai dengan pertumbuhan sel yang
tidak terkendali, menginvasi jaringan
lokal dan dapat bermetastasis jauh
(Kurnia 2015).
Salah satu cara penanganan
kanker adalah kemoterapi. Pada
umumnya kemoterapi menggunakan zat
kimia atau obat sitostatik. Efek samping
dari kemoterapi yang disebabkan karena
penggunaan obat-obatan yang sangat
kuat, tidak hanya membunuh sel-sel
kanker, tetapi juga menyerang sel-sel
yang sehat (Setiawan 2015).
Salah satu efek samping yang
disebabkan oleh obat kemoterapi
nefrotoksisitas. Nefrotoksisitas
menyebabkan penurunan fungsi ginjal
juga sering menjadi penyabab gagal
ginjal baik gagal ginjal akut hingga gagal
ginjal kronik. Kejadian kerusakan ginjal
pada pasien yang menggunakan obat
kemoterapi sekitar 5% dengan hidrasi
adekuat dan 25% hingga 45% tanpa
hidrasi adekuat (Prasetyaningrum, Sari,
dan Andalusia 2013). Ginjal berfungsi
mengeluarkan metabolit obat kemoterapi
dari dalam tubuh. Namun, metabolit obat
kemoterapi tersebut dapat merusak sel–
sel ginjal, ureter, dan kandung kemih.
Kerusakan ginjal pada pasien yang
menjalani kemoterapi berbeda–beda
sesuai dengan jenis kemoterapi dan obat
kemoterapi yang digunakan. Kerusakan
ginjal akibat penggunaan obat kemoterapi
dapat bersifat ringan sampai berat,
bahkan dapat menyebabkan gagal ginjal
(Adam, Umboh, dan Gunawan 2015).
The National Kidney Disease
Education Program merekomendasikan
penggunaan serum kreatinin untuk
mengukur kemampuan filtrasi glomerulus
dan digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit ginjal (Verdiansah
2016). Kreatinin merupakan hasil
metabolisme dari kreatin dan
fosfokreatin. Kreatinin difiltrasi di
glomerulus dan direabsorpsi di tubular.
Kreatinin plasma disintesis di otot skelet
sehingga kadarnya bergantung pada
massa otot dan berat badan (Alfonso,
Mongan, dan Memah 2016). Kreatinin
laki – laki lebih besar dibandingkan
dengan perempuan karena masa otot dan
berat badan laki – laki lebih besar dari
perempuan. Pemeriksaan kreatinin
memiliki kelemahan yaitu kadar
kreatinin dalam darah dipengaruhi oleh
masa otot. Selain itu, pada keadaan
gangguan faal ginjal terdapat sebagian
kreatinin yang disekresi oleh tubulus,
sedangkan pada keadaan normal
kreatinin hanya difiltrasi glomerulus dan
tidak disekresi atau direabsorbsi oleh
tubulus (Nissa dkk. 2015)
Metode lain untuk mengukur laju
filtrasi glomerulus (LFG) yaitu dengan
pemeriksaan klirens inulin yang
merupakan baku emas untuk penilaian
LFG. Namun, pemeriksaan ini jarang
dilakukan karena memerlukan waktu
yang lama, tenaga praktisi yang ahli, dan
biaya yang mahal. Oleh karena itu,
pemeriksaan klirens inulin jarang
digunakan dalam pemeriksaan fungsi
ginjal (Nissa dkk. 2015).
Creatinin Clirens Test (CCT)
merupakan suatu pemeriksaan yang dapat
dipercaya untuk memperkirakan LFG.
Pemeriksaan Creatinin Clirens Test
(CCT) membutuhkan sampel urin
tampung 24 jam serta pemeriksaan
kreatinin serum. Kelemahan pemeriksaan
Creatinin Clirens Test (CCT) yaitu
sulitnya menampung urin 24 jam dan
memberi edukasi ke pasien. Hasil
pemeriksaan Creatinin Clirens Test
(CCT) sering berupa hasil rendah palsu
ataupun tinggi palsu yang disebabkan
ketidaktepatan penampungan urin dan
59
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
akan menimbulkan bias (Nissa dkk.
2015).
Untuk mengatasi berbagai
kelemahan pada pemeriksaan Creatinin
Clirens Test (CCT), dapat menggunakan
estimasi perhitungan laju filtrasi
glomerulus. Estimasi perhitungan laju
filtrasi glomerulus dapat menggunakan
formula Cockcroft Gault (CG),
Modification of Diet in Renal Disease
(MDRD), dan Chronic Kidney Disease
Epidemiology Collaboration (CKD-EPI).
Masing – masing formula memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
formula tersebut adalah tanpa
menggunakan urin tampung 24 jam,
tetapi formula ini memiliki kelemahan
yaitu rumus yang kompleks dan dalam
perhitungannya membutuhkan alat bantu
komputer (Dewi 2015).
Salah satu layanan unggulan
Rumah Sakit Prima Medika yaitu layanan
kanker terpadu Endrawati Cancer Center
yang terdiri dari tim onkologi yang
memiliki kompetensi dalam penanganan
kanker. Rumah Sakit Prima Medika
merupakan salah satu rumah sakit swasta
di Denpasar, Bali yang beroperasional
sejak tahun 2002. Rumah Sakit Prima
Medika terletak di Jalan Raya Sesetan No
10, Denpasar, Bali. Rumah sakit ini
dibangun dengan konsep Boutique
Hospital yang memadukan pelayanan
kesehatan dengan standar pelayanan
medis berkualitas. Pasien kemoterapi di
Rumah Sakit Prima Medika melakukan
pemeriksaan kreatinin klirens dan
jumlahnya cukup banyak per tahunnya.
Jumlah pasien kemoterapi di Rumah
Sakit Prima Medika pada tahun 2014
sampai tahun 2017 berturut – turut adalah
263 orang, 429 orang, 466 orang, dan 411
orang.
Berdasarkan hal tersebut peneliti
ingin melakukan penelitian dengan judul
“Perbandingan Hasil Creatinin Clirens
Test (CCT) dan Estimasi Laju Filtrasi
Glomerulus (eLFG) pada Pasien
Kemoterapi di Rumah Sakit Prima
Medika”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbandingan hasil CCT
dengan eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI)
dan hubungan korelasi hasil antara CCT
dengan eLFG (CG, MDRD, CKD-EPI).
METODE
Penelitian mengenai perbandingan
hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan
estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG)
ini merupakan jenis penelitian analitik
komparatif dengan pendekatan
retrospektif. Tempat penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Rumah
Sakit Prima Medika Jalan Raya Sesetan
No10 Denpasar, Bali. Sedangkan, waktu
penelitian ini dari bulan Desember 2018 -
Januari 2019.
Populasi penelitian ini yaitu
seluruh pasien kemoterapi yang
melakukan pemeriksaan Creatinin
Clirens Test (CCT) di Rumah Sakit
Prima Medika. Sampel penelitian ini
yaitu pasien kemoterapi yang melakukan
pemeriksan Creatinin Clirens Test (CCT)
di Rumah Sakit Prima Medika yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria sampel inklusi pada
penelitian ini yaitu data hasil
pemeriksaan Creatinin Clirens Test
(CCT) pada pasien kemoterapi dewasa
(18 - 60 tahun) baik laki – laki maupun
perempuan dan data yang diambil adalah
data pemeriksaan yang lengkap yaitu
terdapat hasil kreatinin serum, berat
badan, umur, jenis kelamin dan ras.
Kriteria eksklusi yaitu sampel yang tidak
termasuk kriteria yaitu data pemeriksaan
yang tidak lengkap yaitu data yang tidak
terdapat hasil kreatinin serum, hasil CCT,
berat badan, umur, jenis kelamin ataupun
ras.
Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik
total sampling, yaitu teknik penetuan
sampel dengan cara mengambil seluruh
anggota populasi sebagai responden atau
sampel (Sugiyono 2017). Pengambilan
60
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
data hasil Creatinin Clirens Test (CCT)
dilakukan dengan melakukan penelusuran
data hasil kreatinin serum dan kreatinin
klirens pada komputer di laboratorium
Rumah Sakit Prima Medika.
Setelah data yang diambil telah
mencukupi kriteria jumlah sampel maka
dilakukan perhitungan eLFG dengan
formula Cockcroft -Gault (CG),
Modification of Diet in Renal Disease
(MDRD), dan Chronic Kidney Disease
Epidemiology Collaboration (CKD-EPI)
dengan menggunakan alat bantu hitung.
Statistik deskriptif dalam
penelitian ini adalah deskripsi dalam
bentuk numerik. Deskripsi dalam bentuk
numerik dianalisis dengan menggunakan
mean, simpangan baku, maximim dan
minimum (Hidayat, 2010). Analisa juga
dilakukan dengan menggunakan statistic
inferensial. Statistik inferensial
berusaha membuat berbagai inferensi
terhadap sekumpulan data yang berasal
dari suatu sampel. Dalam analisis
inferensi data yang diolah adalah dua
variabel atau lebih misalnya, analisis
hubungan , pengaruh, perbedaan antar
variabel atau lebih. Dalam penelitian ini
menggunakan tehnik pengujian
komparatif (paired T test) dan uji korelasi
(product moment) (Hidayat 2010).
HASIL
Karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan
seperti pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1
ditunjukkan bahwa jumlah responden
perempuan lebih banyak daripada jumlah
laki-laki. Jumlah responden perempuan
57,1 persen dan responden laki - laki 42,9
persen. Karakteristik responden
berdasarkan umur ditunjukkan seperti
tabelo2. Berdasarkan tabel 2, dapat
diketahui bahwa rata-rata pasien
kemoterapi di Rumah Sakit Prima
Medika adalah 42 tahun, umur terendah
adalah 21 tahun dan tertinggi adalah 59
tahun.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis
Kelamin
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1 Laki-laki 15 42,9
2 Perempuan 20 57,1
Jumlah 35 100
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur
Statistik Umur (tahun)
Mean 42
Minimum 21
Maksimum 59
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Subjek dalam penelitian ini adalah
pasien kemoterapi yang melakukan
pemeriksan Creatinin Clirens Test (CCT)
di Rumah Sakit Prima Medika yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Jumlah Subjek dalam penelitian ini
sebanyak 35 orang yang terdiri dari 15
laki - laki dan 20 perempuan.
Berdasarkan tabel 1, ditunjukkan bahwa
jumlah responden perempuan lebih
banyak daripada jumlah laki-laki. Jumlah
responden perempuan 57,1 persen dan
responden laki - laki 42,9 persen.
Penderita kanker lebih banyak ditemukan
pada jenis kelamin perempuan
dibandingkan laki-laki. Hal ini
dikarenakan perempuan biasanya lebih
perhatian (aware) terhadap kesehatannya
dibandingkan laki-laki, sehingga kasus
kanker dapat terdeteksi lebih banyak pada
perempuan dibandingkan laki-laki.
Penelitian yang dilakukan
terhadap 35 responden menunjukkan
kisaran usia responden antara 21 tahun
hingga 59 tahun, dengan rata – rata usia
adalah 42 tahun. Semakin tua usia
responden, maka resiko terkena penyakit
kanker semakin tinggi, dan mencapai
puncaknya pada usia 35 - 44 tahun.
Berdasarkan tabel 3 di bawah ini,
ditunjukkan bahwa nilai p > 0,05 yaitu
0,565. Hal ini berarti tidak ada perbedaan
signifikan hasil Creatinin Clirens Test
61
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
(CCT) dan Formula Cockcroft-Gault
(CG) pada pasien kemoterapi di Rumah
Sakit Prima Medika.
Tabel 3. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG
dengan CG Pada Pasien Kemoterapi Di Rumah
Sakit Prima Medika
Kelompok N Mean SD P
CCT 35 84,77 38,87 0,565
CG 35 79,6 35,97
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Berdasarkan tabel 4 di bawah,
ditunjukkan bahwa nilai p > 0,05 yaitu
0,673. Hal ini berarti tidak ada perbedaan
signifikan hasil Creatinin Clirens Test
(CCT) dan estimasi laju filtrasi
glomerulus (eLFG) dengan Modification
of Diet in Renal Disease (MDRD).
Tabel 4. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG
dengan MDRD pada Pasien Kemoterapi Di
Rumah Sakit Prima Medika
Kelompok N Mean SD P
CCT 35 84,77 38,87 0,673
MDRD 35 89,19 47,51
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Berdasarkan tabel 5, ditunjukkan
bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,548. Hal ini
berarti tidak ada perbedaan signifikan
hasil Creatinin Clirens Test (CCT) dan
estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG)
dengan Chronic Kidney Epidemiology
Collaboration (CKD-EPI) pada pasien
kemoterapi di Rumah Sakit Prima
Medika.
Tabel 5. Perbandingan Hasil CCT dan eLFG
CKD-EPI pada Pasien Kemoterapi di Rumah
Sakit Prima Medika
Kelompok N Mean SD P
CCT 35 84,77 38,87 0,548
CKD-EPI 35 89,85 31,13
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
Berdasarkan tabel 6, hasil uji
korelasi diperoleh bahwa nilai r antara
Creatinin Clirens Test (CCT) dengan
estimasi laju filtrasi glomerulus yang
dihitung dengan formula Cockcroft gault
(CG) adalah 0,610. Nilai r antara
Creatinin Clirens Test (CCT) dengan
estimasi laju filtrasi glomerulus yang
dihitung dengan Modification of Diet in
Renal Disease (MDRD) adalah 0,603.
Dan nilai r antara Creatinin Clirens Test
(CCT) dengan estimasi laju filtrasi
glomerulus yang dihitung dengan
Chronic Kidney Epidemiology
Collaboration (CKD-EPI) adalah 0,744.
Tabel 6. Hubungan Korelasi Hasil antara CCT
dengan CG, MDRD dan CKD-EPI pada Pasien
Kemoterapi di Rumah Sakit Prima Medika
Variabel CCT (r) P (Value)
CG 0,610 0,00
MDRD 0,603 0,00
CKD - EPI 0,744 0,00
Sumber: Hasil penelitian (data diolah).
PEMBAHASAN
Dari hasil perbandingan nilai tiap
variabel penelitian yang ditunjukkan pada
tabel 3, 4 dan 5 diperoleh tidak ada
perbedaan signifikan Creatinin Clirens
Test (CCT) dan Estimasi laju filtrasi
glomerulus (eLFG) dengan formula
Cockcroft Gault (CG), ModificationOf
Diet In Renal Disease (MDRD), Chronic
Kidney Epidemiology Collaboration
(CKD-EPI) pada pasien kemoterapi di
Rumah Sakit Prima Medika. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Dewi
(2015) yang menyatakan bahwa formula
CG, MDRD dan CKD-EPI dapat
dijadikan alternatif penggunaan dalam
menilai LFG sehingga mengurangi
penggunaan CCT yang rumit dan mahal.
Kelemahan pemeriksaan
Creatinin Clirens Test (CCT) yaitu
sulitnya menampung urin 24 jam dan
memberi edukasi ke pasien. Hasil
pemeriksaan CCT sering berupa hasil
rendah palsu ataupun tinggi palsu yang
disebabkan ketidaktepatan penampungan
urin dan akan menimbulkan bias (Nissa
dkk. 2015).
Berdasarkan uji korelasi yang
ditunjukkan pada tabel 6 diperoleh bahwa
hubungan CCT dengan CKD-EDI
memiliki nilai korelasi tertinggi dengan
62
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
nilai r yaitu 0,744 (p=0,00). Hal ini
berarti metode CKD-EPI memiliki hasil
yang mendekati metode CCT
dibandingkan metode CG dan MDRD.
Performa CKD-EPI lebih baik
dibandingkan MDRD karena memiliki
presisi yang lebih baik, akurasinya tinggi
dan pada keadaan laju filtrasi glomerulus
yang tinggi didapatkan hasil dengan bias
lebih kecil (Levey dkk. 2009; Matsushita
dkk. 2012; Rhee dkk. 2017). Hal ini
sejalan dengan penelitian Jessani dkk.
(2014) yaitu persamaan CKD-EPI secara
signifikan lebih akurat dan lebih tepat
dibandingkan dengan persamaan MDRD
pada populasi penduduk Asia Selatan.
Simetic dkk. (2015) yang
menggunakan rancangan penelitian
retrospektif dengan jumlah responden
500 pasien , didapatkan hasil bahwa
formula Cockcroft-Gault (CG),
Modification Of Diet In Renal Disease
(MDRD), Chronic Kidney Epidemiology
Collaboration (CKD-EPI) menunjukkan
korelasi yang tinggi dengan Creatinin
Clirens Test (CCT), terlepas dari
diabetes, kelebihan berat badan atau usia
tua serta tidak ada perbedaan yang
signifikan.
Pengaruh hiperglikemia pada
eLFG yang dihitung dengan persamaan
CKD-EPI, CG dan MDRD dalam
memperkirakan hiperfiltrasi pada pasien
diabetes di Cina dengan menggunakan
3.492 sampel. Diperoleh bahwa hasil
CKD-EPI dapat digunakan sebagai alat
skrining untuk hiperfiltration dan
merupakan persamaan yang sering
digunakan, serta lebih akurat untuk
memperkirakan eLFG pada pasien
diabetes di Cina (Zhao dkk. 2015). Selain
itu, pada penelitian (Liu dkk. 2014)
dengan menggunakan 1.196 sampel
pasien diabetes diperoleh hasil bahwa
persamaan CKP-EPI menunjukkan
akurasi yang lebih baik dibandingkan
dengan MDRD dengan akurasi untuk
persamaan MDRD adalah 55,2%, dan
akurasi untuk CKD-EPI adalah 62,9%.
Penelitian pada pasien gagal
jantung sistolik kronis dengan jumlah
sampel 120 pasien didapatkan hasil
persamaan CKD-EPI lebih akurat dalam
memperkirakan eLFG yang diukur dari
persamaan MDRD pada pasien gagal
jantung, dengan bias yang lebih sedikit
dan akurasi serta presisi yang lebih besar.
Berdasarkan kinerja yang lebih baik dan
prediksi risiko yang sama persamaan
CKD-EPI merupakan metode eLFG
yang dapat digunakan pada pasien gagal
jantung, terutama dengan penyakit ginjal
sedang (Valente dkk. 2014).
Berdasarkan kekuatan hubungan
variabel bebas dan variabel terikat,
diketahui hubungan CCT dengan CKD-
EPI memiliki nilai korelasi tertinggi
sebesar 0,744. Menurut Sugiyono (2017)
nilai korelasi 0,744 pada hubungan CCT
dengan CKD-EPI berarti adanya
hubungan yang kuat.
Hal ini sejalan dengan penelitian
dengan menggunakan 104 sampel (71
laki - laki dan 33 perempuan) pasien
CKD. Analisis regresi linier dan korelasi
Spearman digunakan untuk
mengidentifikasi hubungan antara
variabel dan diperoleh hasil yaitu CCT
berkorelasi kuat dengan CG (r=0,77).
SIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan hasil
CCT dengan eLFG (CG,MDRD,CKD-
EPI). Selain itu, terdapat korelasi hasil
antara CCT dengan eLFG
(CG,MDRD,CKD-EPI).
SARAN
Peneliti menyarankan agar
penelitian selanjutnya meneliti tentang
perbandingan hasil ketiga persamaan
eLFG yaitu CG, MDRD dan CKD- EPI
pada geriatri atau pasien dengan usia > 60
tahun dan meneliti pebandingan hasil
eLFG dengan cystatin C atau dengan
63
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
kreatinin inulin sebagai gold standart
pada pasien kemoterapi. Selain itu,
peneliti merekomendasikan penggunan
persamaan CKD-EPI dibandingkan
MDRD dan CG sebagai pemeriksaan
alternatif pengganti CCT karena hasilnya
paling mendekati hasil CCT.
DAFTAR RUJUKAN
Adam, Kartini W, Adrian Umboh, dan
Stefanus Gunawan. 2015.
“Gambaran Fungsi Ginjal Pada
Anak Dengan Terapi Estella Rsup
Prof Dr Rd Kandou.” Jurnal e-
Clinic (eCI).
Alfonso, Astrid A., Arthur E. Mongan,
dan Maya F. Memah. 2016.
“Gambaran kadar kreatinin serum
pada pasien penyakit ginjal kronik
stadium 5 non dialisis.” Jurnal e-
Biomedik 4 (1).
https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.20
16.10862.
Dewi, Yunika. 2015. “Performa Formula
Cockcroft-Gault , MDRD Dan
CKD-EPI.” Research Gate. 2015.
https://doi.org/10.13140/RG.2.1.364
6.8640.
Hidayat, Abdul Aziz Alimul. 2010.
Metode Penelitian Kesehatan
Paradigma Kuantitatif. Jakarta:
Salemba Medika.
Kurnia, Yasavati. 2015. “Farmakoterapi
Mutakhir Keganasan | Jurnal
Kedokteran Meditek.” Jurnal
Kedokteran Meditek 20 (53): 21–30.
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index
.php/Meditek/article/view/1016.
Levey, Andrew S., Lesley A. Stevens,
Christopher H. Schmid, Yaping
Zhang, Alejandro F. Castro, Harold
I. Feldman, John W. Kusek, et al.
2009. “A new equation to estimate
glomerular filtration rate.” Annals of
Internal Medicine.
https://doi.org/10.7326/0003-4819-
150-9-200905050-00006.
Liu, Xun, Xiaoliang Gan, Jinxia Chen,
Linsheng Lv, Ming Li, dan Tanqi
Lou. 2014. “A New Modified CKD-
EPI Equation for Chinese Patients
with Type 2 Diabetes.” Diedit oleh
Zhanjun Jia. PLoS ONE 9 (10):
e109743.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.
0109743.
Matsushita, Kunihiro, Bakhtawar K.
Mahmoodi, Mark Woodward,
Jonathan R. Emberson, Tazeen H.
Jafar, Sun Ha Jee, Kevan R.
Polkinghorne, et al. 2012.
“Comparison of risk prediction
using the CKD-EPI equation and the
MDRD study equation for estimated
glomerular filtration rate.” JAMA -
Journal of the American Medical
Association 307 (18): 1941–51.
https://doi.org/10.1001/jama.2012.3
954.
Nissa, Camelia Khairun, Amaylia
Oehadian, Abdul Hadi
Martakusumah, dan Yussy Afriani
Dewi. 2015. “Perbandingan Akurasi
Berbagai Formula untuk
Mengestimasi Laju Filtrasi
Glomerulus pada Penderita
Karsinoma Nasofaring Stadium
Lanjut Sebelum Mendapat
Kemoterapi Cisplatin.” Majalah
Kedokteran Bandung 47 (1): 42–48.
https://doi.org/10.15395/mkb.v47n1.
396.
Prasetyaningrum, Marchen, Santi Purna
Sari, dan Rizka Andalusia. 2013.
“Evaluasi penurunan fungsi ginjal
pasien yang mendapatkan cisplatin
di Rumah Sakit Kanker Dharmais
Jakarta Periode Juli – Desember
2012.” Universitas Indonesia.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/201
6-03/S46789-Marchen
Prasetyaningrum.
Rhee, Jiyoung, Jung Mi Kwon, Sang
Hoon Han, Sun Hyung Kim, Chang
Hyun Park, Ji Hyeon Jeon, Jong Tae
Cho, Eun Kyoung Lee, dan So Mi
Kim. 2017. “Cockcroft-gault,
modification of diet in renal disease,
64
Wijayanti, Putra & Juliantara
Perbandingan Hasil Creatinin Clirens Test
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
and chronic kidney disease
epidemiology collaboration
equations for estimating glomerular
filtration rates in cancer patients
receiving cisplatin-based
chemotherapy.” Kidney Research
and Clinical Practice 36 (4): 342–
48.
https://doi.org/10.23876/j.krcp.2017.
36.4.342.
Setiawan, Satria Dharma. 2015. “THE
EFFECT OF CHEMOTHERAPY
IN CANCER PATIENT TO
ANXIETY.” Medical Journal of
Lampung University 4 (4).
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/in
dex.php/majority/article/view/587.
Sugiyono. 2017. “Metode Penelitian
Kuantitatif,Kualitatif dan R&D.”
Bandung: CV Aflabeta.
Valente, Mattia A.E., Hans L. Hillege,
Gerjan Navis, Adriaan A. Voors,
Peter H.J.M. Dunselman, Dirk J.
Van Veldhuisen, dan Kevin
Damman. 2014. “The Chronic
Kidney Disease Epidemiology
Collaboration equation outperforms
the modification of Diet in Renal
Disease equation for estimating
glomerular filtration rate in chronic
systolic heart failure.” European
Journal of Heart Failure 16 (1): 86–
94.
https://doi.org/10.1093/eurjhf/hft128
.
Verdiansah. 2016. “Pemeriksaan Fungsi
Ginjal.” Cermin Dunia Kedokteran
43 (2): 148–54.
http://www.cdkjournal.com/index.ph
p/CDK/article/view/25.
Zhao, Fangya, Lei Zhang, Junxi Lu,
Kaifeng Guo, Mian Wu, Haoyong
Yu, Mingliang Zhang, Yuqian Bao,
Haibing Chen, dan Weiping Jia.
2015. “The chronic kidney disease
epidemiology collaboration equation
improves the detection of
hyperfiltration in Chinese diabetic
patients.” International Journal of
Clinical and Experimental Medicine
8 (12): 22084–97. www.ijcem.com/.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
65
Pengaruh Ekstrak Batang dan Daun Pakis Sayur (Diplazium
Esculentum) Terhadap Kadar Hemoglobin, Hematokrit dan
Jumlah Eritrosit Pada Tikus Putih Jantan Yang Disuntikkan
Natrium Nitrit (NaNo2)
Geby Sashmita1*, I Gusti Putu Agus Ferry Sutrisna Putra2, Ni Putu Widayanti3
1,2,3Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar belakang: Anemia merupakan menurunnya kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan
jumlah eritrosit dalam tubuh yang disebabkan kurangnya asupan zat besi dalam tubuh. Salah
satu tumbuhan yang kaya zat besi adalah tumbuhan pakis sayur (diplazium esculentum).
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Animal Unit Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh ekstrak batang dan daun pakis sayur
terhadap kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah eritrosit. Metode: Penelitian ini
menggunakan rancangan true experimental. Teknis analisis data yang digunakan adalah
One Way Anova dan Kruskal Wallis. Hasil: Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
ekstrak batang dan daun pakis sayur dapat meningkatkan kadar hemoglobin, nilai
hematokrit dan jumlah eritrosit pada hewan coba tikus putih jantan dengan dosis pemberian
0,18 gram, 0,36 gram dan 0,72 gram. Kesimpulan: Terdapat pengaruh yang signifikan
terhadap tikus putih jantan dengan perlakuan anemia setelah diberikan ekstrak batang dan
daun pakis sayur, dimana pemberian ekstrak batang dan daun pakis sayur dengan dosis 0,72
gram mengakibatkan peningkatan kadar hemoglobin sebesar 52,07%, nilai hematokrit
32,91% dan jumlah eritrosit 29,41%.
Kata kunci: Anemia, Hematokrit, Hemoglobin, Jumlah Eritrosit, Pakis Sayur
ABSTRACT Background: Anemia is a decrease in hemoglobin level, hematocrit value and the number
of erythrocytes in the body due to a lack of iron intake in the body. One plant that is rich in
iron is vegetable ferns (diplazium esculentum). This research was conducted at the Animal
Unit Laboratory of the Faculty of Medicine, Udayana University. Objective: To determine
the effect of vegetable ferns and stem extracts on hemoglobin levels, hematocrit values and
the number of erythrocytes. Method: This study uses true experimental design. Results: The
results of this study prove that stem fern extract and vegetable ferns can increase
hemoglobin levels, hematocrit values and the number of erythrocytes in experimental male
rats with a dose of 0.18 grams, 0.36 grams and 0.72 grams. Conclusion: There was a
significant effect on male white mice with anemia treatment after being given stem and
vegetable fern leaf extract, where the administration of vegetable fern extracts and ferns
with a dose of 0.72 grams resulted in an increase in hemoglobin levels of 52.07%, a
hematocrit value of 32, 91% and the number of erythrocytes is 29.41%.
Keywords: Anemia, Erythrocyte Amount, Hematocrit, Hemoglobin, Vegetable Fern
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted July 26th, 2020
Published August 31st, 2020
66
Apriyanthi & Antini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Anemia merupakan kondisi dimana
menurunnya kadar hemoglobin, nilai
hematokrit dan jumlah eritrosit dalam
tubuh dari batas normalnya. Anemia
merupakan salah satu masalah kesehatan
di Negara berkembang sebesar 30%.
Prevalensi anemia di Indonesia yaitu
21,7% dengan penderita anemia berumur
5-14 tahun sebesar 26,4% dan penderita
berumur 15-24 tahun sebesar 18,4%
(WHO 2011).
Jenis anemia yang banyak dialami
oleh masyarakat adalah anemia karena
kekurangan gizi. Zat besi merupakan
bagian dari protein darah yaitu
hemoglobin yang berfungsi mengangkut
oksigen dari paru-paru ke semua sel
tubuh. Zat besi dapat diperoleh dari
sumber makanan hewani maupun nabati.
Hemoglobin adalah pigmen dari
eritrosit yang sangat komplek dan
berfungsi membawa oksigen ke seluruh
tubuh bersama dengan eritrosit.
Hematokrit adalah nilai yang
menunjukkan persentase zat padat
terhadap cairan darah. Eritrosit
merupakan sel darah merah yang
membawa hemoglobin dalam sirkulasi
sel tubuh dan berfungsi membawa
oksigen ke jaringan dan mengembalikan
karbondioksida dari jaringan ke paru-
paru. Ketiga parameter ini adalah
parameter yang sering digunakan untuk
mendeteksi penyakit anemia dan
ketiganya saling berkaitan.
Masyarakat yang mengalami anemia
sering menggunakan obat penambah
darah untuk penanganannya. Walaupun
tergolong suplemen, obat penambah
darah harus tetap diminum sesuai aturan
pakai dan dosis yang tepat. Pemilihan
obat yang tidak tepat dapat menyebabkan
resiko yang merugikan salah satunya
adalah kerusakan DNA (Mollet dkk.
2016).
Tumbuhan pakis sayur banyak
mengandung vitamin dan mineral yang
sangat dibutuhkan tubuh. Salah satu
mineral yang bermanfaat adalah zat besi
(Fe) yang dapat digunakan tubuh untuk
memproduksi hemoglobin yang
membantu menyimpan dan membawa
oksigen.
Berdasarkan uraian tersebut
mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian untuk melakukan penelitian
dengan sediaan tumbuhan pakis sayur
dalam bentuk ekstrak untuk melihat
pengaruh terhadap kadar hemoglobin,
nilai hematokrit dan jumlah eritrosit pada
tikus putih jantan.
METODE
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ekstrak batang dan
daun pakis sayur, etanol 96%, pelarut
Na.CMC sebagai pelarut ekstrak saat
disonde dan natrium nitrit sebagai
pembuat kondisi anemia. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
hematology analyzer, timbangan elektrik,
beaker glass, spuit, gunting, pinset, pipet
tetes, tabung mikro EDTA dan toples
kaca.
Pakis sayur yang segar dicuci terlebih
dahulu, kemudian dikeringkan dan
dipotong kecil untuk membuat serbuk
simplisia pakis sayur. Pakis sayur yang
telah halus dimaserasi dengan etanol 96%
dalam toples kaca hingga terendam
selama 24 jam. Proses ini dilakukan
sampai diperoleh filtrat yang jernih,
kemudian diuapkan dengan rotary
evaporator sampai diperoleh ekstrak. Na-
CMC ditimbang sebanyak 1 gram
kemudian dimasukkan ke dalam mortar
dan digerus, kemudian ditambahkan air
panas sebanyak 50 mL hingga berbentuk
larutan koloidal dan ditambahkan
akuades hingga 100 mL dalam gelas
beaker. Untuk dosis yang digunakan pada
penelitian ini adalah 0,18 gram, 0,36
gram dan 0,72 gram untuk manusia dan
dikonversi pada tikus putih dengan nilai
0,018 untuk berat badan tikus 200 gram.
Pembuatan kondisi anemia pada
67
Apriyanthi & Antini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
penelitian ini dengan menggunakan
natrium nitrit yang diberikan secara oral
pada tikus sebanyak 25 mg/kg berat
badan tikus. Pengambilan darah tikus
putih jantan dalam penelitian ini
dilakukan pada sinus orbitalis dan
ditampung dalam tabung mikro EDTA,
kemudian dilakukan pemeriksaan dengan
alat hematology analyzer.
Data hasil perhitungan kadar
hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah
eritrosit pada masing – masing kelompok
percobaan akan dianalisa menggunakan
uji statistik Kruskal Wallis dan One Way
Anova pada tingkat kepercayaan 95% Pα
= 0.05. Jika dari hasil analisis ragam
menyatakan bahwa pelakuan
berpengaruh nyata terhadap perubahan
yang diamati maka dilanjutkan dengan
uji Post Hoc.
HASIL
Pemeriksaan kadar hemoglobin pada
sampel darah tikus putih jantan diperoleh
hasil rata-rata yang disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram hasil rata-rata kadar
hemoglobin setiap perlakuan
(Sumber : Hasil penelitain diolah)
Berdasarkan gambar diatas,
kelompok kontrol negatif memiliki rata-
rata kadar hemoglobin terendah yaitu
sebesar 9,92 g/dL, sedangkan kelompok
perlakuan dengan dosis ekstrak 0,72 g
memiliki rata-rata kadar hemoglobin
yang paling tinggi yaitu sebesar 15,78
g/dL. Pemeriksaan nilai hematokrit pada
sampel darah tikus putih jantan diperoleh
hasil rata-rata yang disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Diagram hasil rata-rata nilai
hematokrit setiap perlakuan
(Sumber : Hasil penelitian diolah)
Berdasarkan gambar diatas,
kelompok kontrol positif memiliki rata-
rata nilai hematokrit yang paling rendah
yaitu sebesar 34,24%, sedangkan
kelompok perlakuan dengan dosis ekstrak
0,72g memiliki rata-rata nilai hematokrit
yang paling tinggi yaitu sebesar 48,22%.
Pemeriksaan jumlah eritrosit pada sampel
darah tikus putih jantan diperoleh hasil
rata-rata yang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram hasil rata-rata jumlah eritrosit
setiap perlakuan
(Sumber : Hasil penelitian diolah)
Berdasarkan gambar diatas,
kelompok kontrol negatif memiliki rata-
rata jumlah eritrosit yang paling rendah
sebesar 6,12 juta/uL, sedangkan
kelompok perlakuan dengan dosis ekstrak
0,72g memiliki rata-rata jumlah eritrosit
yang paling tinggi sebesar 7,92 juta/µL.
Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)
kadar hemoglobin menunjukkan hasil
sebesar 0,171 dengan probabilitas sebesar
0,058, dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa hasil berdistribusi normal. Hasil
uji homogenitas (Levene test) kadar
hemoglobin menunjukkan hasil sebesar
68
Apriyanthi & Antini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
0,419 dengan probabilitas sebesar 0,793,
dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
hasil homogen. Uji perbedaan (One Way
ANOVA) pengaruh ekstrak batang dan
daun pakis sayur terhadap kadar
hemoglobin menunjukkan hasil 102,642
dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal
ini dapat diketahui bahwa probabilitas <
0,05 sehingga ada perbedaan yang
signifikan pengaruh ekstrak batang dan
daun pakis sayur terhadap kadar
hemoglobin.
Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)
nilai hematokrit menunjukkan hasil
sebesar 0,112 dengan probabilitas sebesar
0,200, dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa hasil berdistribusi normal. Hasil
uji homogenitas (Levene test) nilai
hematokrit menunjukkan hasil sebesar
1,125 dengan probabilitas sebesar 0,373,
dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
hasil homogen. Uji perbedaan (One Way
ANOVA) pengaruh ekstrak batang dan
daun pakis sayur terhadap nilai
hematokrit menunjukkan hasil 36,057
dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal
ini dapat diketahui bahwa probabilitas <
0,05 sehingga ada perbedaan yang
signifikan pengaruh ekstrak batang dan
daun pakis sayur terhadap nilai
hematokrit.
Uji normalitas (Kolmogorov Smirnov)
jumlah eritrosit menunjukkan hasil
sebesar 0,187 dengan probabilitas sebesar
0,024, dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa hasil berdistribusi tidak normal.
Hasil uji homogenitas (Levene test)
jumlah eritrosit menunjukkan hasil
sebesar 7,052 dengan probabilitas sebesar
0,001, dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa hasil tidak homogen. Uji
perbedaan (Kruskal Wallis) pengaruh
ekstrak batang dan daun pakis sayur
terhadap jumlah eritrosit menunjukkan
hasil 19,134 dengan probabilitas sebesar
0,001. Hal ini dapat diketahui bahwa
probabilitas < 0,05 sehingga ada
perbedaan yang signifikan pengaruh
ekstrak batang dan daun pakis sayur
terhadap kadar hemoglobin.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian (Sashmita 2014) yang
menyatakan bahwa filtrat tanaman pakis
sayur dapat meningkatkan kadar
hemoglobin (Sashmita 2014). Terjadinya
peningkatan kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, dan jumlah eritrosit
disebabkan karena pakis sayur
merupakan tanaman yang banyak
mengandung mineral dan vitamin. Zat
besi (Fe) yang terkandung didalam pakis
sayur berperan dalam pembentukan dan
pematangan sel darah merah, dimana
dalam proses tersebut dibantu oleh
vitamin C yang berfungsi sebagai pemicu
zat besi tersebut. Sehingga zat besi dan
vitamin C saling berhubungan dalam
pembentukan dan pematangan sel darah
merah. Pada proses pembentukan sel
darah merah diperlukan zat besi, vitamin
B12, asam folat, dan rantai globin yang
merupakan senyawa protein yang berasal
dari hemositoblas Di dalam sumsum
tulang besi digunakan untuk membuat
hemoglobin yang merupakan bagian dari
sel darah merah. Sedangkan fungsi
vitamin C dalam darah yaitu membantu
penyerapan zat besi tersebut. Selain itu
pada proses perombakan sel darah merah
kembali, hati mengikat zat besi (Fe) ke
transferin darah yang mengankutnya
kembali ke sumsum tulang untuk
digunakan kembali membuat sel darah
merah yang baru. Selain Fe, vitamin C,
tiamin, riboflavin yang terdapat dalam
kandungan daun rosela yang berfungsi
dalam pembentukan dan pematangan sel
darah merah (Sembiring, Tanjung, dan
Sabri 2013).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
pengaruh ekstrak pakis sayur (diplazium
esculentum) terhadap kadar hemoglobin,
69
Apriyanthi & Antini
Gambaran Pengetahuan Pemulung
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
nilai hematokrit dan jumlah eritrosit pada
tikus putih jantan (Rattus novergicus)
yang disuntikkan natrium nitrit (NaNO2)
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap kadar
hemoglobin setelah pemberian
ekstrak batang dan daun pakis
sayur (Diplazium esculentum)
pada tikus putih jantan yang
disuntikkan natrium nitrit
(NaNO2).
2. Terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap nilai
hematokrit setelah pemberian
ekstrak batang dan daun pakis
sayur (Diplazium esculentum)
pada tikus putih jantan yang
disuntikkan natrium nitrit
(NaNO2).
3. Terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap jumlah
eritrosit setelah pemberian ekstrak
batang dan daun pakis sayur
(Diplazium esculentum) pada
tikus putih jantan yang
disuntikkan natrium nitrit
(NaNO2)
SARAN
Saran yang dapat dikemukakan
berdasarkan hasil dan pembahasan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap pengaruh
pemberian ekstrak pakis sayur
dengan dosis di atas 0,72 gram
agar diperoleh peningkatan kadar
hemoglobin, nilai hematokrit dan
jumlah eritrosit yang optimal.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan memperpanjang
paparan natrium nitrit (NaNO2).
3. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh
pemberian ekstrak pakis sayur
terhadap pemeriksaan ferritin,
hemosiderin dan hapusan darah
tepi, sehingga diketahui
dampaknya terhadap jenis-jenis
anemia.
DAFTAR RUJUKAN
Mollet, Inês G., Dilipkumar Patel, Fatima
S. Govani, Adam Giess, Koralia
Paschalaki, Manikandan
Periyasamy, Elaine C. Lidington, et
al. 2016. “Low dose iron treatments
induce a DNA damage response in
human endothelial cells within
minutes.” PLoS ONE.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.
0147990.
Sashmita, Geby. 2014. “Perbedaan Kadar
Hemoglobin Darah Hewan Coba
Tikus Putih Jantan (rattus
novergicus) Strain Wistar Sebelum
dan Setelah Pemebrian Filtrate
Tanaman Pakis Sayur (diplazium
esculentum).” Politeknik Kesehatan
Kemenkes Mataram.
Sembiring, Asmitra, Masitta Tanjung,
dan Dan Emita Sabri. 2013.
“Pengaruh Ekstrak Segar Daun
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Terhadap Jumlah Eritrosit dan
Kadar Hemoglobin Mencit Jantan
(Mus musculus L.) Anemia Strain
Ddw Melalui Induksi Natrium Nitrit
(NaNO2).” Saintia Biologi 1 (2): 60–
65. https://www.neliti.com/
publications/221147/pengaruh-
ekstrak-segar-daun-rosela-hibiscus-
sabdariffa-l-terhadap-jumlah-eritros.
WHO. 2011. “Haemoglobin
concentrations for the diagnosis of
anaemia and assessment of severity.
Vitamin and Mineral Nutrition
Information System.” Geneva,
Switzerland: World Health
Organization.
https://www.who.int/vmnis/indicator
s/haemoglobin/en/.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM ISSN Online: 2745-4347 | ISSN Print: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
81
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Terapi Pasien TB Paru di Puskesmas Labuan Bajo
Fransiska Oktaviana Mei1*, Ida Ayu Manik Parthasutema2, Ni Putu Wintariani3
1,2,3Program Studi Farmasi Klinis, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK Latar belakang: Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Ketidakberhasilan pengobatan dapat dinilai dari gagalnya pengobatan
TB dan berhentinya terapi obat oleh pasien TB karena alasan tertentu. Kegagalan terapi TB dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya efek samping obat, tingkat pengetahuan penderita,
kepatuhan minum obat dan interaksi obat. Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan terapi pasien TB Paru di puskemas Labuan Bajo Metode: Jenis penelitian
observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah pasien yang
mengalami kegagalan terapi pengobatan TB sebanyak 22 penderita dan pasien sembuh sebanyak 13
orang di puskesmas Labuan Bajo selama tahun 2018 yang diambil dengan teknik total sampling.
Metode analisis yang digunakan adalah uji hipotesis asosiatif korelasi koefisien kontingensi Hasil: Uji
korelasi koefisien kontingensi antara tingkat pengetahuan pasien TB dengan kegagalan terapi TB (p-
value = 0,003 < 0,05) menunjukan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kegagalan
terapi, untuk kepatuhan pasien TB dengan kegagalan terapi TB (p-value = 0,001 < 0,05) menunjukan
adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kegagalan terapi, untuk efek samping obat
dengan kegagalan terapi TB (p-value=0,392 > 0,05) menunjukan tidak adanya hubungan antara efek
samping dengan kegagalan terapi, dan untuk interaksi obat dengan kegagalan terapi ((p-value = 0,006
< 0,05) menunjukan terdapat hubungan antara interaksi obat dengan kegagalan terapi. Kesimpulan:
Tingkat pengetahuan, kepatuhan minum obat dan interaksi obat merupakan faktor yang
mempengaruhi kegagalan terapi pada pasien TB, sedangkan efek samping obat tidak mempengaruhi
kegagalan terapi pada pasien TB di Puskesmas Labuan Bajo.
Kata kunci: Faktor kegagalan terapi, TB Paru
ABSTRACT Background: Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis.
Unsuccessful treatment can be canceled from TB treatment and cessation treatment by patients for
certain reasons. Failure of TB therapy can help by several factors such as drug side effects, the level of
knowledge of the patient, relationship to taking medication and drug interactions. Purpose: to
determine the factors that influence the failure of therapy for pulmonary TB patients at the Labuan
Bajo primary health center. Method: This type of research is an observational study with cross
sectional research design. The sample in this study were patients who had failed TB treatment therapy
as many as 22 patients and patients recovered as many as 13 people in the Labuan Bajo primary health
care during 2018 taken by the total sampling technique. The analytical method used is the associative
hypothesis correlation coefficient contingency test.. Result: the contingency coefficient correlation
test between the knowledge level of TB patients with TB therapy failure (p-value = 0.003 <0.05)
showed there was a relationship between the level of knowledge and failure of therapy, adherence to
TB patients with TB therapy failure (p-value = 0.001 <0.05) showed an association between
adherence to treatment failure, drug side effects with failure of TB therapy (p-value = 0.392> 0.05)
showing no association between side effects and failure of therapy, and drug interactions with
treatment failure ( (p-value = 0.006 <0.05) shows there is a relationship between drug interactions
with failure of therapy. Conclusion: Knowledge, compliance with TB patients and the presence of
drug interactions are factors the failure of therapy for TB, while the side effects of drugs do not affect
the nervousness of TB patient therapy in the Labuan Bajo health center.
Keywords: failure to treatment, Pulmonary TB
*Correspondence [email protected]
Submitted July 11st, 2020
Accepted July 26th, 2020
Published August 31st, 2020
82
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah
penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Berdasarkan data World
Health Organization (WHO), penyakit
TB masih menempati peringkat ke-10
penyebab kematian tertinggi di dunia
pada tahun 2016 (WHO 2017). Indonesia
merupakan salah satu negara dengan
insiden kasus tertinggi, dimana sebanyak
420.994 kasus TB paru pada tahun 2017.
Upaya penanggulangan penyakit TB
sudah dilakukan pemerintah untuk
menurunkan angka kejadian TB berupa
strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi DOTS
terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1)
Komitmen politis, dengan peningkatan
dan kesinambungan pendanaan. 2)
Penemuan kasus melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya. 3) Pengobatan yang standar,
dengan supervise dan dukungan bagi
pasien. 4) Sistem pengelolaan dan
ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang efektif. 5) Sistem monitoring
pencatatan dan pelaporan yang mampu
memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program
(WHO 2010). Dalam pelaksanaan strategi
DOTS, terdapat target yang harus dicapai
dalam pengobatan penderita penderita TB
sebesar sebesar 85%, tetapi target
keberhasilan pengobatan TB paru di
Indonesia belum tercapai (Kementerian
Kesehatan RI 2017; Nugroho 2009).
Ketidakberhasilan pengobatan TB
di Indonesia akan menjadi masalah serius
yang harus dihadapi oleh tenaga
kesehatan. Salah satu provinsi di
Indonesia yang tingkat keberhasilan
pengobatannya rendah adalah provinsi
NTT (Nusa Tenggara Timur), dimana
kasus TB BTA (+) adalah 2.224 dari
3636 kasus dengan angka keberhasilan
pengobatan hanya sebesar 67,24%.
(Kemenkes 2018) Jika ini terus terjadi
dan kuman tersebut terus menyebar maka
akan terjadi peningkatan angka kematian
akibat penyakit TB. Ketidakberhasilan
pengobatan dapat dinilai dari gagalnya
pengobatan TB yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor (Tirtana 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan faktor-
faktor yang mempengaruhi kegagalan
terapi TB diantaranya kepatuhan minum
obat, efek samping obat, tingkat
pengetahuan penderita, dan interaksi
obat. Penelitian dari Anggraini (2016)
yang meneliti tentang potensi interaksi
obat pada penyakit TB paru dimana hasil
yang diperoleh telah terjadi interaksi obat
sebanyak 94,54%, interaksi obat yang
terjadi dapat menurunkan kerja OAT dan
menyebabkan keparahan dan tingkat
kerusakan pada pasien TB di Pontianak.
Penelitian yang dilakukan Buton (2003)
terkait faktor yang berhubungan dengan
kegagalan konversi (BTA positif) pada
akhir pengobatan di provinsi Sulawesi
Tenggara yaitu pengetahuan responden
(OR: 6,620), kepatuhan berobat
(OR:7,730), merasa sehat (OR: 6,690),
PMO (OR: 5,8), dan efek samping obat.
Puskesmas Labuan Bajo merupakan salah
satu puskesmas yang melayani pasien TB
Paru di Provinsi NTT. Jumlah pasien TB
paru yang sembuh ditahun 2018 sebanyak
64 orang dari 86 orang yang menderita
TB paru dan sebanyak 22 pasien yang
mengalami kegagalan terapi. Hal ini
menunjukan bahwa angka keberhasilan
pengobatan TB paru di provinsi NTT
masih belum memenuhi target (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia 2009;
Infodatin 2014). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan terapi pasien
TB Paru di puskemas Labuan Bajo
dikarenakan masih tingginya kegagalan
terapi TB di provinsi NTT terutama
puskesmas Labuan Bajo. Diharapkan
melalui penelitian dapat meningkatkan
angka keberhasilan pengobatan dengan
mengurangi kegagalan pengobatan TB
paru di provinsi NTT.
83
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian observasional analitik dengan
design cross sectional. Sampel dalam
penelitian ini adalah pasien yang
mengalami kegagalan terapi pengobatan
TB di puskesmas Labuan Bajo selama
tahun 2018 sebanyak 35 orang yang
diambil dengan cara teknik total
sampling. Instrumen penelitian yang
digunakan adalah kuisioner yang sudah
divalidasi dan reliable. Metode analisis
yang digunakan adalah uji hipotesis
asosiatif dengan uji korelasi Koefisien
Kontingensi.
HASIL
Total sampel penelitian adalah 35
pasien dengan data demografi yang
ditunjukkan pada tabel 1. Data demografi
ini menunjukkan bahwa penderita TB di
puskesmas Labuan Bajo paling banyak
dialami oleh jenis kelamin laki-laki
sebanyak 23 orang. Untuk usia paling
banyak sekitar ≥ 45 tahun, tingkat
pendidikan paling banyak adalah SD dan
sebagian besar pasien tidak memiliki
penyakit penyerta, tidak perokok dan
tidak mengkonsumsi alkohol.
Tabel 1. Data Demografi Pasien
No Demografi Pasien n P- value
1. Usia : 0, 000
5-14 tahun 2
15-44 tahun 16
≥45 tahun 17
2. Jenis Kelamin 0, 000
Laki-laki 23
Perempuan 12
3. Pendidikan 0, 000
Tidak Sekolah 6
SD 10
SMP 6
SMA 9
Perguruan Tinggi/ Diploma 4
4. Perilaku Merokok 0, 000
Perokok 17
Bukan perokok 18
5. Perilaku konsumsi alkohol 0,000
Mengkonsumsi alkohol 15
Tidak mengkonsusmsi alkohol 20
6. Penyakit Penyerta 0,000
Ada penyakit penyerta (Diabetes
Melitus)
16
Tidak ada penyakit penyerta 19
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
Data demografi pasien diatas
dilakukan uji korelasi kontingensi antara
pengetahuan dengan kegagalan terapi TB
paru, kepatuhan minum obat dengan
kegagalan terapi TB paru, efek samping
obat dengan kegagalan terapi TB paru
84
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
dan interkasi obat dengan kegagalan
terapi TB paru. Hasil uji korelasi
kontingensi antara pengetahuan dengan
kegagalan terapi TB paru ditunjukkan
pada tabel 2.
Tabel 2. Data Tingkat Pengetahuan dengan Kegagalan Terapi
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan pasien TB
dengan kegagalan terapi TB paru sebesar
0,003 < 0,05, hal ini berarti tingkat
pengetahuan pasien TB mempengaruhi
kegagalan terapi TB paru di Puskesmas
Labuan Bajo. Nilai Correlation
Coefficient adalah +0,455 dan maka
dapat disimpulkan terdapat hubungan
yang cukup kuat dan searah antara
tingkat pengetahuan pasien TB dengan
kegagalan terapi TB.
Hasil uji korelasi kontingensi
antara kepatuhan minum obat TB dengan
kegagalan terapi TB paru ditunjukkan
pada tabel 3.
Tabel 3. Data Kepatuhan Minum Obat dengan Kegagalan Terapi
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan
bahwa kepatuhan minum obat pasien TB
dengan kegagalan terapi TB paru sebesar
0,001 < 0,05, hal ini berarti kepatuhan
pasien TB paru mempengaruhi kegagalan
terapi TB paru di Puskesmas Labuan
Bajo. Nilai Correlation Coefficient
adalah +0,493 maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang cukup
kuat dan searah antara kepatuhan pasien
TB dengan kegagalan terapi TB.
Hasil uji korelasi kontingensi
antara efek samping obat TB dengan
kegagalan terapi TB paru ditunjukkan
pada tabel 4.
Tabel 4. Data Efek Samping Obat dengan Kegagalan Terapi
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
Gagal Terapi Tidak Gagal Terapi Total p-value CC
Pengetahuan Kurang 15 2 17 0,003 0,455
Pengetahuan Baik 7
11
18
Gagal Terapi Tidak Gagal
Terapi Total p-value CC
Patuh 3 9 12 0,001 0,493
Tidak Patuh 19 4 23
Gagal
Terapi
Tidak Gagal
Terapi Total p-value CC
Ada Efek Samping Obat 10 4 14 0,392 0,143
Tidak Ada Efek Samping Obat 12 9 21
85
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan
bahwa efek samping obat pasien TB
dengan kegagalan terapi TB paru sebesar
0,392 > 0,05, hal ini berarti efek samping
obat tidak mempengaruhi kegagalan
terapi pasien TB paru di Puskesmas
Labuan Bajo. Hasil uji korelasi
kontingensi antara interaksi obat TB
dengan kegagalan terapi TB paru
ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 5. Data Interaksi Obat dengan Kegagalan Terapi
Sumber: hasil penelitian (data diolah)
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa
interaksi obat pasien TB dengan
kegagalan terapi TB paru sebesar 0,006 <
0,05, hal ini berarti interaksi obat
mempengaruhi kegagalan terapi pasien
TB paru di Puskesmas Labuan Bajo.
Nilai Correlation Coefficient adalah
+0,424 maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang searah antara
interaksi obat dengan kegagalan terapi.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji korelasi
koefisien kontingensi menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan, mempunyai
hubungan dengan kegagalan terapi TB
paru di Puskesmas Labuan Bajo. Tingkat
pengetahuan merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kepatuhan
seseorang terhadap pengobatannya,
terutama bagi penderita TB paru dalam
menjalani pengobatannya agar dapat
sembuh (Dewi 2011).
Tingkat pengetahuan pasien TB di
puskesmas Labuan Bajo yang rendah
berhubungan dengan tingkat pendidikan
pasien yang rendah, dimana pendidikan
yang rendah mengakibatkan pasien
kurang menangkap informasi tentang
bahaya penyakit TB paru, bahaya
penularannya, serta kepatuhan dalam
pengobatan TB paru. (Nevi 2014) Selain
itu, kurangnya pengetahuan penderita
tentang penyakit TB paru mempunyai
resiko 6,62 kali lebih besar terhadap
terjadinya kegagalan terapi pada
penderita TB paru BTA positif
dibandingkan dengan penderita yang
mempunyai pengetahuan baik (Ritonga
2015; Buton 2003; Ani 2006).
Faktor kepatuhan minum obat
juga mempunyai hubungan dengan
kegagalan terapi TB paru, di Puskesmas
Labuan Bajo. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB dapat mempengaruhi
tingkat keberhasilan pengobatan, dimana
kepatuhan yang rendah terhadap
pengobatan TB dapat menyebabkan
peningkatan risiko resistensi obat dan
infeksi yang berkepanjangan yang
mengarah pada kegagalan pengobatan
dan kematian, sementara kepatuhan yang
ketat membantu untuk mencapai tingkat
keberhasilan pengobatan yang
diinginkan. (Rita 2012) Selain itu
pengobatan TB ulang dengan OAT
kategori II yang minum OAT tidak
teratur mempunyai risiko kegagalan
sebesar 34,36 kali lebih besar dibanding
pasien yang teratur minum OAT. Hal ini
menunjukkan pasien TB dengan
kepatuhan rendah memiliki tingkat
keberhasilan yang rendah (Tesfahuneygn,
Medhin, dan Legesse 2015; Suharna dan
Rintiswati 2017; Rahmi, Medison, dan
Suryadi 2017).
Faktor interaksi obat
menunjukkan adanya hubungan dengan
Gagal
Terapi Tidak Gagal Terapi Total p-value CC
Ada Interaksi Obat 14 2 16 0,006 0,424
Tidak Ada Interaksi Obat 8 11 19
86
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
kegagalan terapi TB paru di Puskesmas
Labuan Bajo. Interaksi obat merupakan
faktor yang berhubungan dengan
kegagalan terapi TB, dikarenakan
efektivitas obat TB dapat berkurang
akibat interaksi dengan obat lain,
makanan atau minuman. Salah satunya
adalah interaksi obat TB dengan obat
DM, dimana penggunaan OAT
bersamaan dengan obat anti diabetik akan
mengurangi efektifitas obat oral anti
diabetes sehingga meningkatnya glukosa
dalam darah yang mengakibatkan OAT
bekerja tidak optimal sehingga
meningkatkan resiko kegagalan terapi TB
dan kematian serta relapse (Niazi dan
Kalra 2012; Reis-Santos dkk. 2014;
Widyasari 2012). Beberapa obat TB
seperti rifampicin merupakan enzim
inducer hati yang kuat yang dapat
mempercepat metabolisme beberapa
hipoglikemik oral terutama sulfonylurea
dan biguanida sehingga menurunkan
kadar plasma dari antidiabetik dan
menyebabkan meningkatnya kadar
glukosa darah. (Viswanathan dkk. 2014;
Lin 2003; Jiménez-Corona dkk. 2013).
Tetapi efek samping obat TB sendiri
tidak berhubungan dengan kegagalan
terapi TB, dikarenakan efek samping
minor seperti warna kemerahan pada air
seni, pusing, mual, dan tidak nafsu makan
tidak dijadikan alasan bagi pendeita
untuk menghentikan pengobatan,
sehingga keberhasilan pengobatan TB
dimana keberhasilan pengobatan pasien
TB mencapai 86% meskinpun adanya
efek samping yang terjadi . (Yang dkk.
2017; Dooley dan Chaisson 2009;
Faurholt-Jepsen dkk. 2013).
Berbeda hasilnya bila efek samping obat
yang mayor seperti muntah, kulit
kemerahan dan gatal-gatal yang dapat
mengakibatkan pemberhentian sementara
pengobatan, sehingga akan
mempengaruhi keteraturan minum obat,
dan dapat mempengaruhi kerja obat
didalam tubuh yang tidak diberikan
sesuai dengan jumlah regimen, dosis, dan
kontinuitas obat yang harusnya diberikan
sehingga pada kasus pengobatan TB
dengan efek samping mayor sering terjadi
kegagalan pengobatan (Kurnianingsih,
Soedirman, dan Utaminingrum 2010).
Kegagalan terapi pengobatan TB Paru di
Puskesmas Labuan Bajo berhubungan
dengan tingkat pengetahuan penderita,
kepatuhan minum obat TB Paru dan
adanya interaksi obat TB paru dengan
obat lain, dibandingkan dengan efek
samping obat.
SIMPULAN
Penelitian ini menunujukkan
bahwa faktor tingkat pengetahuan,
kepatuhan minum obat pasien TB dan
interaksi obat memiliki hubungan dengan
kegagalan terapi pengobatan TB paru di
Puskesmas Labuan Bajo. Sedangkan
faktor efek samping obat tidak memiliki
hubungan dengan kegagalan terapi TB
paru di Puskesmas Labuan Bajo.
SARAN
Perlunya melakukan penelitian
terkait faktor yang mempengaruhi
kegagalan terapi pasien TB dengan
melihat faktor internal dan eksternal, dan
penelitian dilakukan di puskesmas
seluruh kabupaten Manggarai Barat
sehingga dapat mencegah dan
mengurangi terjadinya kegagalan terapi
pengobatan pada penderita TB paru.
Upaya meningkatkan upaya pencegahan
untuk tidak terjadinya drop out dan
gagalnya pengobatan TB dengan
memberikan konseling atau pemahaman
pada penderita TB paru menggunakan
media seperti pamflet atau brosur yang
berisi tentang keteraturan pengobatan
diberikan saat memulai pengobatan
dengan tujuan untuk meningkatkan
motivasi penderita untuk taat berobat dan
tidak putus berobat.
87
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
DAFTAR RUJUKAN
Anggraini, Shinta. 2016. “Analisis
Potensi Interaksi Obat Penyakit
Tuberkulosis Paru Pada Pasien
Dewasa di Unit Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (Up4) Pontianak
Periode Januari-Desember 2014.”
Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas
Kedokteran UNTAN 3 (1).
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/j
mfarmasi/article/view/16437.
Ani, Syarifah. 2006. “Hubungan antara
tingkat pengetahuan dan sikap
penderita tuberkulosis dengan
kesembuhan paru di puskesmas
Lubuk Buaya Padang’.” Hubungan
antara tingkat pengetahuan dan
sikap penderita tuberkulosis dengan
kesembuhan paru di puskesmas
Lubuk Buaya Padang’ 1 (1): 1–5.
Buton, La Djabo. 2003. “Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Kegagalan Konversi (BTA Positif)
Pada Akhir Pengobatan Fase
Intensif Penderita Tuberkulosis Paru
BTA Positif Baru di Kota Kendari
Propinsi Sulawesi Tenggara.”
Surabaya: Universitas Airlangga.
http://repository.unair.ac.id/35818/.
Dewi, Pira Mitha Sandra. 2011.
“Hubungan Pengetahuan dan Sikap
Penderita Tb Paru Dengan
Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis di Puskesmas Lidah
Kulon Surabaya.” Surabaya:
Universitas Airlangga.
http://repository.unair.ac.id/24010/.
Dooley, Kelly E., dan Richard E.
Chaisson. 2009. “Tuberculosis and
diabetes mellitus: convergence of
two epidemics.” The Lancet
Infectious Diseases. NIH Public
Access.
https://doi.org/10.1016/S1473-
3099(09)70282-8.
Faurholt-Jepsen, Daniel, Nyagosya
Range, George Praygod, Kidola
Jeremiah, Maria Faurholt-Jepsen,
Martine G. Aabye, John
Changalucha, et al. 2013. “Diabetes
is a strong predictor of mortality
during tuberculosis treatment: A
prospective cohort study among
tuberculosis patients from Mwanza,
Tanzania.” Tropical Medicine and
International Health 18 (7): 822–29.
https://doi.org/10.1111/tmi.12120.
Infodatin. 2014. “Situasi dan Analisis
Diabetes.” Jakarta.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resour
ces/download/pusdatin/infodatin/inf
odatin-diabetes.pdf.
Jiménez-Corona, María Eugenia, Luis
Pablo Cruz-Hervert, Lourdes
García-García, Leticia Ferreyra-
Reyes, Guadalupe Delgado-
Sánchez, Miriam Bobadilla-Del-
Valle, Sergio Canizales-Quintero, et
al. 2013. “Association of diabetes
and tuberculosis: Impact on
treatment and post-treatment
outcomes.” Thorax 68 (3): 214–20.
https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-
2012-201756.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil
Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2016. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resour
ces/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Profil-
Kesehatan-Indonesia-2016.pdf.
Kurnianingsih, Laela, Iskandar
Soedirman, dan Wahyu
Utaminingrum. 2010. “Identifikasi
Drug Related Problems (DRPS)
Pengobatan Tuberkulosis Pada
Pasien Rawat Jalan Di Rsud
Kardinah Kota Tegal Tahun 2009.”
PHARMACY: Jurnal Farmasi
Indonesia 7 (03).
https://doi.org/10.30595/PJI.V7I3.57
5.
Lin, Peter. 2003. “Drug Interactions and
Polypharmacy in the Elderly.” The
Canadian Alzheimer Disease
Review, September 2003.
http://www.stacommunications.com/
88
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
customcomm/Back-
issue_pages/AD_Review/adPDFs/se
ptember2003/10.pdf.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2009. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB). Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
https://www.persi.or.id/images/regul
asi/kepmenkes/kmk3642009.pdf.
Niazi, Asfandyar K., dan Sanjay Kalra.
2012. “Diabetes and tuberculosis: A
review of the role of optimal
glycemic control.” Journal of
Diabetes and Metabolic Disorders
11 (1): 28.
https://doi.org/10.1186/2251-6581-
11-28.
Nugroho, Budi. 2009. “Faktor-faktor
Risiko yang Mempengaruhi
Kegagalan Pengobatan Pada
PenderitaTuberkulosis Paru dengan
Strategi DOTS (Studi Kasus di BP-4
Pati).” Semarang: Universitas
Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/4441/.
Rahmi, Nitari, Irvan Medison, dan Ifdelia
Suryadi. 2017. “Hubungan Tingkat
Kepatuhan Penderita Tuberkulosis
Paru dengan Perilaku Kesehatan,
Efek Samping OAT dan Peran PMO
pada Pengobatan Fase Intensif di
Puskesmas Seberang Padang
September 2012 - Januari 2013.”
Jurnal Kesehatan Andalas 6 (2):
345.
https://doi.org/10.25077/jka.v6i2.70
2.
Reis-Santos, Bárbara, Teresa Gomes,
Rodrigo Locatelli, Elizabete R. de
Oliveira, Mauro N. Sanchez,
Bernardo L. Horta, Lee W. Riley,
dan Ethel L. Maciel. 2014.
“Treatment Outcomes in
Tuberculosis Patients with Diabetes:
A Polytomous Analysis Using
Brazilian Surveillance System.”
Diedit oleh Delmiro Fernandez-
Reyes. PLoS ONE 9 (7): e100082.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.
0100082.
Ritonga, Edisyah Putra. 2015.
“Hubungan Pengetahuan Dengan
Kepatuhan Penderita Tuberkulossis
Paru Dalam Program Pengobatan
Tuberkulosis Paru.” Jurnal Ilmiah
Keperawatan IMELDA 1 (1): 48–53.
https://doi.org/10.2411/JIKEPERA
WATAN.V1I1.222.
Suharna, Suharna, dan Ning Rintiswati.
2017. “Faktor Risiko Kegagalan
Pengobatan Ulang Pasien
Tuberkulosis di Daerah Istimewa
Yogyakarta.” Berita Kedokteran
Masyarakat 33 (9): 433.
https://doi.org/10.22146/bkm.18137.
Tesfahuneygn, Gebrehiwet, Girmay
Medhin, dan Mengistu Legesse.
2015. “Adherence to Anti-
tuberculosis treatment and treatment
outcomes among tuberculosis
patients in Alamata District,
northeast Ethiopia.” BMC Research
Notes 8 (1): 503.
https://doi.org/10.1186/s13104-015-
1452-x.
Tirtana, Bertin Tanggap. 2011. “Faktor-
faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Pengobatan Pada
Pasien Tuberkulosis Paru Dengan
Resistensi Obat Tuberkulosis di
Wilayah Jawa Tengah.” Semarang:
Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/32879/1/Be
rtin.pdf.
Viswanathan, Vijay, A. Vigneswari, K.
Selvan, K. Satyavani, R. Rajeswari,
dan Anil Kapur. 2014. “Effect of
diabetes on treatment outcome of
smear-positive pulmonary
tuberculosis - A report from South
India.” Journal of Diabetes and its
Complications 28 (2): 162–65.
https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2
013.12.003.
WHO. 2010. “The Global Plan to Stop
TB: Transforming the Fight.”
Geneva PP - Geneva: World Health
89
Mei, Parthasutema & Wintariani
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan
Bali International Scientific Forum (BISF)
Volume 1 No. 1 August 2020
Organization.
https://apps.who.int/iris/handle/1066
5/44437.
———. 2017. “Global Tuberculosis
Report 2017.” Geneva.
https://www.who.int/tb/publications/
global_report/gtbr2017_main_text.p
df?ua=1.
Widyasari, Risa Nugraheni. 2012.
“Hubungan Antara Jenis
Kepribadian, Riwayat Diabetes
Mellitus Dan Riwayat Paparan
Merokok Dengan Kejadian Tb Paru
Dewasa Di Wilayah Kecamatan
Semarang Utara Tahun 2011.”
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro. Semarang:
Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/38376/.
Yang, Tae Won, Hyun Oh Park, Ha Nee
Jang, Jun Ho Yang, Sung Hwan
Kim, Seong Ho Moon, Joung Hun
Byun, Chung Eun Lee, Jong Woo
Kim, dan Dong Hun Kang. 2017.
“Side effects associated with the
treatment of multidrug-resistant
tuberculosis at a tuberculosis referral
hospital in South Korea.” Medicine
(United States) 96 (28).
https://doi.org/10.1097/MD.0000000
000007482.
BALI INTERNATIONAL SCIENTIFIC FORUM Online ISSN: 2745-4347 | Print ISSN: 2745-4339
Web: ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF Publisher: Bali International University
Volume 1 No. 1 August 2020
90
Writing and Subscription Guide
Petunjuk Penulisan dan Berlangganan
English
Bali International Scientific Forum (BISF) is published through printed and online media. All
BISF issues are available online on our website:
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF
We use Harvard system (author-date) for citation, reference, table, figures, and illustration.
Please see our author’s guide on the website for details, which is at “Author Guidelines”
sidebar. We encourage all authors to use Mendeley software to help writing and managing
citations and references. You can use the “Chicago Manual of Style 17th-edition (Author-
Date)” citation style in Mendeley.
If you are interested in subscribing to our printed media, please email us to
[email protected] with information of your name or your institution’s name, mailing
address, and telephone number. We will contact you soon thereafter with payment instruction
and other additional information.
-----------------------------------------------------------------------
Bahasa Indonesia
Bali International Scientific Forum (BISF) terpublikasikan melalui media cetak dan media
online. Anda dapat mengakses setiap edisi BISF secara daring melalui tautan:
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BISF
BISF menggunakan sistem Harvard (author-date) dalam menulis sitasi, referensi, tabel,
grafik, gambar, dan ilustrasi. Informasi mengenai pedoman penulisan dapat diakses di situs
resmi kami pada bagian sidebar yang berjudul “Pedoman Bagi Penulis” (jika tampilan situs
dalam bahasa Indonesia) atau “Author Guidelines (jika tampilan situs dalam bahasa Inggris).
Seluruh penulis sangat kami sarankan untuk menggunakan piranti lunak Mendeley dalam
menuliskan dan mengelola sitasi dan daftar rujukan. Anda dapat menggunakan gaya sitasi yang
bernama “Chicago Manual of Style 17th-edition (Author-Date) pada piranti lunak Mendeley.
Bila Anda berminat untuk berlangganan media cetak BISF, Anda dapat mengirimkan surel
kepada kami ([email protected]) dengan memberikan informasi nama penerima (sertakan
nama organisasi / institusi bila diperlukan), alamat lengkap, dan nomor telepon. Kami akan
menghubungi Anda setelahnya dengan menginformasikan mekanisme pembayaran maupun
informasi tambahan lainnya.