baby blues.docx

39
Proposal Penelitian FAKTOR RISIKO BABY BLUES SYNDROME DI BPS LUSIA SANDADEN KELURAHAN SUDIANG RAYA KECAMATAN BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011 Oleh Hasma 141 280 109 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2011 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum distress syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persalinan (Syahrir S, 2008).

Transcript of baby blues.docx

Page 1: baby blues.docx

Proposal Penelitian 

FAKTOR RISIKO BABY BLUES SYNDROME DI BPS LUSIA SANDADEN KELURAHAN SUDIANG RAYA KECAMATAN BIRINGKANAYA

KOTA MAKASSAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011

Oleh

Hasma141 280 109

PEMINATAN EPIDEMIOLOGIPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR2011

 BAB IPENDAHULUAN

    A.   Latar Belakang

Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum distress syndrome

adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah

melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan,

dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persalinan

(Syahrir S, 2008).

Gejala baby blues Syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari

melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health

Association, 2003). Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang dialami

ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues, atau postpartum blues.

Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah marah

(Atmadibrata, 2005), dan disertai dengan gejala depresi, mood swings, gangguan

Page 2: baby blues.docx

tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan

akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association, 2003). Menurut

Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000) mengatakan bahwa mood

wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya

mood wanita pada periode setelah melahirkan (Syahrir S, 2008).

Faktor risiko dari baby blues syndrome yaitu faktor umur, paritas,  adanya

persalinan yang sulit dan kesulitan dalam menyusui, kehamilan yang sulit atau

penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat depresi) masa kanak-kanak yang

dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi pada hubungan yang penuh masalah

dengan ibu di masa kanak-kanak dan dukungan dari suami yang dapat

melatarbelakangi baby blues syndrome (Marshall F, 2004).

Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di

tiap Negara, berkisar antara 10-34. Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian

lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia

yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada tahun 1995

dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan

tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka

kejadiannya sebesar 1% (Elvira S, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka  baby blues syndrome sekitar

10%-20% (Jofesson A, 2002).

Catatan medis tentang BBS telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad

ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek

kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI

melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami BBS. Dr.

Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan,

Page 3: baby blues.docx

atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005).

Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa

sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala

tersebut (Syahrir S, 2008).

Pada penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri

dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1%

diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula

bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja

dan mereka yang berpendidikan tinggi (Wratsangka R, 1996), beberapa penelitian

yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta,

Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian

mencolok tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara

lain yang ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome

yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7% (Papayungan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan Trika Rianta (2004) di RSIA Siti Fatimah

Makassar melaporkan efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan

kejadian baby blues syndrome sebesar 23% sedangkan penelitian yang dilakukan

oleh Alfiben (2000) di RSU Hasan Sadikin Bandung melaporkan bahwa  efektifitas

dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome

(depresi pasca persalinan)  sebesar 33%. Selain itu kejadian baby blues syndrome

di RSB Pertiwi Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 23 kasus (20,0%)

dari 1362 persalinan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu bidan di BPS Lusia

Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar

Propinsi Sulawesi Selatan (Desember, 2011), yang merawat langsung ibu

Page 4: baby blues.docx

postpartum di ruang rawat inap bersalin diketahui bahwa pada hari ketiga setelah

melahirkan sering menemukan gejala-gejala pada ibu  postpartum seperti bersedih,

cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur dan kurang perhatian pada

bayinya pada saat menangis. Hal ini merupakan bagian dari gejala gangguan

psikologis yang mengarah pada baby blues syndrome.

Berdasarkan hal diatas dan observasi awal yang peneliti lakukan terhadap

ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan 9 bulan atau pun ibu-ibu yang telah melahirkan

di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota

Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, setelah memberikan kuesioner

EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale) ditemukan kasus baby blues

syndrome dengan jumlah kasus yaitu 37. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk

melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis besar risiko kejadian baby

blues syndrome di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan

Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 berdasarkan

umur, paritas, riwayat depresi, komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan

dukungan suami.

    B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah adalah :

1.    Apakah umur ibu merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ?

2.    Apakah paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ?

3.    Apakah riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues

syndrome?

Page 5: baby blues.docx

4.    Apakah komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues

syndrome?

5.    Apakah komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues

syndrome?

6.    Apakah dukungan suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues

syndrome?

   C.   Tujuan Penelitian

1.    Tujuan Umum

Menganalisis besarnya risiko baby blues syndrome di BPS Lusia Sandaden

Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2011.

2.     Tujuan Khusus

a.    Menganalisis besar risiko baby blues syndrome sberdasarkan umur ibu.

b.    Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan jumlah paritas.

c.    Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan riwayat depresi.

d.    Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan komplikasi kehamilan

e.    Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan komplikasi persalinan

f.     Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan dukungan suami.

    D.   Manfaat Penelitian

1.    Manfaat Bagi Peneliti

a.    Bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman berharga karena masalah ini belum

pernah di teliti oleh mahasiswa FKM UMI khususnya mahasiswa epidemiologi FKM

Page 6: baby blues.docx

UMI sehingga wawasan dan pengetahuan peneliti makin bertambah tentang

kejadian baby blues.

b.    Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1)

atau memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

2.    Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

dan merupakan salah satu  literatur ataupun bacaan bagi peneliti selanjutnya.

3.    Manfaat Praktis

a.    Sebagai bahan masukan bagi BPS Lusia Sandaden dalam rangka meningkatkan

peran dan dukungan psikologis yang diberikan pada klien serta menyadarkan bidan

akan kecenderungan terjadinya baby blues syndrome pada ibu yang baru

melahirkan sehingga dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan

secara dini.

b.    Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk menyusun

program dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di semua tatanan

sehingga angka kejadian baby blues syndrome dapat diatasi. 

BAB II 

TINJAUAN PUSTAKA

A.   Tinjauan Umum Tentang Baby Blues Syndrome

1.    Defenisi Baby Blues Syndrome

Baby Blues Syndrome adalah suatu sindroma gangguan mental ringan pada

wanita pasca salin, yang diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan criteria

Handley dan O’Hara yaitu bila didapatkan minimal 4 di antara 7 gejala yang mungkin

muncul , yaitu reaksi depresi/sedih/disforia, labilitas perasaan, menangis, cemas,

gangguan tidur, gangguan nafsu makan, iritabilitas (mudah tersinggung). Meski

Page 7: baby blues.docx

sering dianggap sebagai hal yang ringan dan bersifat Self limiting pada sebagian

kasus, kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih

berat, yaitu Psikosis puerperal yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama

dalam hal masalah hubungan perkawinan dengan suami dan juga perkembangan

anaknya (Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998).

Baby Blues Syndrome adalah guncangan emosional/kejiwaan pada seorang

ibu yang baru melahirkan, kondisi ini hampir 50-75% dialami oleh perempuan yang

baru melahirkan (Syahrir S, 2008). Kondisi ini dapat terjadi sejak hari pertama

setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima

setelah persalinan. Baby Blues Syndrome cenderung menyerang dalam waktu 14

hari terhitung setelah persalinan (Alfiben, 2000). Baby Blues Syndrome  terjadi

karena tubuh ibu yang habis melahirkan sedang mengadakan perubahan fisik yang

besar. Hormon-hormon dalam tubuh juga akan mengalami perubahan besar dan ibu

baru saja melalui proses persalinan yang melelahkan, semua ini akan

mempengaruhi perasaan seorang ibu (Mayla, 2007).

Allah menciptakan tubuh manusia begitu sempurna dan unik. Salah satunya

sistem hormon yang turut memengaruhi sistem metabolisme tubuh secara

keseluruhan. Ketidakseimbangan hormon dapat mengacaukan mekanisme kerja

tubuh kita, termasuk memengaruhi mood (emosi). Hal inilah yang dialami para ibu

pasca-melahirkan. Perubahan hormon yang terjadi pada 3-4 hari setelah persalinan

memicu mood menjadi lebih sensitif, rasa sedih dan ingin menangis tanpa sebab.

Padahal, seharusnya ibu tengah berbunga-bunga karena si mungil yang dinanti-

nanti selama sembilan bulan sudah ada dalam dekapan. Kondisi yang mungkin

terasa “aneh” inilah yang disebut baby blues syndrome (Mayla, 2007).

Page 8: baby blues.docx

Staf pengajar Bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono SpKJ

menuturkan, baby blues merupakan fenomena normal yang dialami sekitar 70

persen wanita selepas melahirkan. Apalagi wanita yang baru melahirkan pertama

kali, biasanya masih gugup menghadapi perubahan peran dan fungsinya sebagai

ibu baru. Di satu sisi, hatinya terisi dengan kebahagiaan yang membuncah, di sisi

lain fluktuasi mood menyebabkannya “feeling blue”. Sindrom baby blues sering kali

tidak disadari, baik oleh wanita yang bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya.

Wanita yang mengalami baby blues biasanya ditandai dengan gejala khas berupa

depresi ringan, perasaan yang tidak menentu (moody), mudah sedih, murung dan

rasa ingin menangis. Beberapa ada juga yang disertai gejala sulit tidur, sulit

berkonsentrasi, sering bingung, dan pikiran yang terlalu mengkhawatirkan bayi atau

ragu akan kemampuannya mengurus bayi. Namun, tidak perlu risau karena kondisi

ini umumnya hanya berlangsung singkat (biasanya pada minggu pertama) (Mayla,

2007).

Baby blues (depresi Pasca melahirkan) didalam islam dapat diartikan sebagai

orang yang berputus asa dan didalam Al-Qur’an ALLAH SWT telah berfirman :

Terjemahan :“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (Al-Baqarah : 286).

Ayat diatas menjelaskan tentang larangan berputus asa dan Allah tidak

memberikan beban kepada hambanya sesuai dengan kesanggupannya. Hubungan

antara ayat diatas dengan kejadian baby blues terhadap ibu-ibu yang telah

Page 9: baby blues.docx

melahirkan terletak pada kalimat “Allah tidak membebani seseorang melainkan

kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia

mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”.Dimana seorang wanita

dimasa mudanya telah berusaha mempersiapkan diri secara mental untuk memiliki

anak dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang tata cara merawat bayi maka

dia tidak akan stress atau merasa terbebani terhadap bayinya. Sedangkan wanita

yang tidak siap secara mental maupun fisik, dan ditambah dengan pengetahuan

yang rendah tentang tata cara merawat bayi,  maka wanita tersebut rentan untuk

depresi atau menderita  baby blues syndrome dikarenakan tidak adanya kesiapan.

2.    Etiologi Baby Blues Syndrome

Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang 

Faktor yang menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan (Sari LS, 2009).

Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara lain :

a.    Faktor Psikososial

Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan merupakan gangguan spesifik

yang dibedakan dari gangguan depresi klasik. Beliau menyebutkan dengan depresi

atipik yang lebih merupakan respons terhadap stres non spesifik dibandingkan

dengan perubahan yang bersifat biologik yaitu perubahan hormonal yang menyertai

kelahiran anak (Sari LS, 2009).

 Penelitian keadaan psikososial dari depresi pasca persalinan meyakinkan

adanya hubungan antara keadaan tertentu yang terjadi selama kehamilan dengan

timbulnya depresi post partum. Kumar, Rabson, Watson dan kawan-kawan, Cox dan

kawan-kawan menyatakan bahwa faktor - faktor psikososial yang berkorelasi

dengan timbulnya sindroma depresi pasca persalinan antara lain (Sari LS, 2009):

1.    Konflik dalam perkawinan, yang meliputi :

Page 10: baby blues.docx

a)    Adanya ketegangan yang kronis diantara pasangan yang menyebabkan timbulnya

rasa permusuhan antara pasangan tersebut.

b)    Riwayat adanya ketidakstabilan emosi pada isteri atau suami yang menyebabkan

kurangnya dukungan akan kelahiran bayi mereka.

c)    Pada wanita yang berusia tua, yang mengharapkan kelahiran anaknya (Sari LS,

2009).

2.    Sikap ambivalen atau keraguan yang besar terhadap kehamilan dan keinginannya

untuk mempunyai anak.

3.    Riwayat pernah menderita gangguan depresi sebelumnya dan, atau reaksi terhadap

kejadian tertentu dalam kehidupannya, termasuk stres akibat melahirkan anak.

4.    Stres lingkungan

 Teori psikoanalitik menekankan pentingnya hubungan awal antara individu tersebut

dengan ibunya. Birchnell, melakukan penelitian terhadap 50 wanita depresi

dibandingkan dengan 40 wanita sebagai kontrol, ditemukan adanya hubungan

signifikan antara ikatan awal wanita depresi dengan ibunya yang buruk dengan

timbulnya depresi dikemudian hari pada wanita tersebut (Sari LS, 2009).

b.    Faktor Biologik

 Penelitian yang beraliran biologik, yang dipelopori oleh Dalton, menyatakan

bahwa depresi pasca persalinan disebabkan oleh perubahan hormonal, terutama

penurunan tajam dari sirkulasi progesteron dalam masa puerpural. Hormon-hormon

yang diduga berperan terhadap timbulnya depresi postpartum antara lain, adalah

estrogen, progesteron, kortisol dan hormon tiroid (Papayungan D, 2005).

Periode pasca persalinan adalah periode dimana terjadi perubahan yang cepat

dari konsentrasi beberapa hormon. Selama 48 jam pertama persalinan konsentrasi

estrogen, progesteron dan kortisol menurun. Telah diketahui keterlibatan hormon

Page 11: baby blues.docx

steroid dalam patogenesis gangguan mood non puerperal. Beberapa peneliti

menduga peranan hormon tersebut  terhadap timbulnya gangguan tiroid cukup tinggi

dan menurun secara drastis setelah pasca persalinan. (Norhana SW, 1995).

Disamping peran hormonal tersebut diatas, pada masa pasca persalinan juga

dapat terjadi disfungsi tiroid. Fungsi tiroid juga memainkan peranan penting dalam

pengaturan mood pada wanita (Parry BL dkk, 2000). Disfungsi tiroid

(hipothyroidisme atau hyperthyroidisme) dapat menimbulkan gejala-gejala psikiatrik,

namun belum ada laporan secara pasti bahwa terdapat hubungan timbulnya depresi

pasca persalinan dengan keadaan disfungsi tiroid. Ruth Freeman dan kawan-kawan

dalam penelitiannya terhadap 212 wanita pasca bersalin menemukan prevalensi

disfungsi tiroid sebesar 1,9%, sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh

Amino dan kawan-kawan terhadap 30 wanita pasca bersalin ditemukan disfungsi

tiroid sebesar 5,5%. Angka kejadian disfungsi tiroid bervariasi sesuai dengan

daerahnya. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Jepang yaitu 4,3% wanita pasca

persalinan 3 bulan pertama dan juga di daerah Amerika Utara (Norhana SW, 1995).

Selain faktor hormonal dan faktor genetik, faktor biologis seperti perubahan

amin biogenik (serotonin, norepinefrin, dan dopamin) serta prekursornya dan sistem

adenosin fosfat juga terlibat dalam terjadinya depresi pasca persalinan (Papayungan

D, 2005). Telah dilaporkan 3 dari 18 wanita normal yang diteliti pada hari kedua

sampai hari kelima pasca persalinan yang dihubungkan dengan plasma triptofan dan

konsentrasi kortisol, ternyata menunjukkan peningkatan afek, tetapi tidak sampai

hipomania. Kemampuan mengikat reseptor alpha 2 adenoreseptor dipengaruhi oleh

konsentrasi estrogen dan progesteron. Pada ibu-ibu pasca bersalin dengan afek

yang depresif dijumpai peningkatan kapasitas alpha 2 adenoreseptor dibandingkan

dengan ibu-ibu yang tidak merasakan perasaan sedih, sehingga meningginya

Page 12: baby blues.docx

sensitivitas adenoreseptor inilah yang kemudian dihubungkan dengan etiologi

depresi (Papayungan D, 2005).

Perubahan metabolisme amin biogenik erat hubungannya dengan gangguan

depresi. Treadway dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan ekskresi

norepinefrin di air kemih dan peningkatan insidensi neurosis dan depresi. Gangguan

metabolisme indole amine diimplikasikan sebagai penyebab timbulnya depresi.

Sintesa 5 OH tryptamin di otak menurun, sehingga kadar plasma bebas triptofan

menjadi rendah (Papayungan D, 2005).

Handley dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan plasma triptofan

berhubungan dengan defisiensi piridoksin. Oleh karena beragamnya faktor etiologi

dan rumitnya interaksi antar berbagai faktor tersebut maka sangat sulit untuk

mengidentifikasi faktor risiko yang pasti berperan dalam timbulnya depresi pasca

persalinan, dan sulit untuk menentukan secara pasti karakteristik wanita yang akan

mengalami depresi pasca persalinan. (Papayungan D, 2005).

Beberapa faktor yang diduga menempatkan wanita pasca bersalin pada risiko

tinggi mengalami depresi, antara lain  (Sari LS, 2009) :

a)    Dukungan sosial yang buruk, yang berarti tidak mempunyai seseorang yang

dipercaya untuk membantu atau mencurahkan pikiran dan  perasaan dengan teman

karib.

b)    Peristiwa kehidupan yang serius dan multipel, seperti misalnya hubungan dengan

keluarga atau rekan kerja yang sulit, perpindahan, pekerjaan baru atau perubahan

besar, kematian orang yang dicintai, masalah keuangan yang serius.

c)    Riwayat premenstrual syndrome (PMS) sebelumnya, gangguan menstruasi, dan

atau kesulitan untuk hamil.

d)    Riwayat kekerasan waktu kecil, termasuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

Page 13: baby blues.docx

e)    Gangguan tiroid atau riwayat keluarga dengan gangguan tiroid.

f)      Infeksi jamur yang kronik, atau penggunaan antibiotik atau steroid yang sering yang

menyebabkan pertumbuhan jamur di usus.

g)    Diet rendah lemak, rendah protein atau kurang nutrisi lain, atau morning sickness

yang berat, yang menyebabkan malnutrisi.

h)   Hubungan dengan  ibu yang tidak harmonis.

i)     Memiliki ibu yang mengalami depresi pasca persalinan.

j)      Penggunaan kontrasepsi oral atau suntikan segera setelah melahirkan, penghentian

pemberian air susu ibu (ASI) segera setelah melahirkan, baik dengan pilihan sendiri

atau karena ASI yang tidak cukup.

k)    Peningkatan berat badan selama hamil dan penurunan berat yang sedikit setelah

melahirkan.

l)     Pengalaman melahirkan yang traumatis, termasuk operasi caesar yang tidak

diharapkan atau prematur.

m)  Kepulangan yang dini dari rumah sakit (kurang dari 24-40 jam).

n)   Perselisihan perkawinan (marital discord).

o)    Kehamilan yang tidak diinginkan.

p)    Wanita yang melahirkan bayi pertama di atas usia  30 tahun (Sari LS, 2009). 

3.    Gejala Baby Blues Syndrome

Baby Blue Sindrom / Baby Blues Syndrome, atau sering juga disebut

Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami

sekitar  50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Beberapa Gejala Kasus Baby

Blues Syndrome yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, mudah kesal, lelah, cemas,

tidak sabaran, enggan memperhatikan si bayi, tidak percaya diri, sulit beristirahat

dengan tenang dan mudah tersinggung. Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan

Page 14: baby blues.docx

Postpartum Depression yaitu terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi

berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum Depression, Anda akan

merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih hebat, serta lebih lama

(Mayla, 2007).

Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan memperhatikan

pola tidur si ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu bisa tertidur, maka

besar kemungkinan si ibu hanya menderita Baby Blues Syndrome (BBS). Namun

jika si ibu sangat sulit tertidur walaupun bayinya dijaga oleh orang lain, maka

mungkin tingkat depresinya sudah termasuk ke dalam Postpartum Depression

(PPD). Sedangkan gejala Postpartum Depression yaitu  Cepat marah, bingung,

mudah panik, merasa putus asa, perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan

takut bisa menyakiti bayinya, ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya

dengan baik, timbul perasaan bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD

bisa berlangsung hingga 1 tahun setelah kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu

bisa saja bunuh diri atau menyakiti bayinya sendiri (Mayla, 2007).

4.    Dampak Baby Blues Syndrome Pada Bayi

Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat

nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues

tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia juga tidak bias

memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi

perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya (Syahrir S, 2008).

Didalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 233  ALLAH SWT telah

berfirman tentang ibu lebih berhak merawat anaknya dan berkasih sayang kepada

anaknya yaitu :

Page 15: baby blues.docx

Terjemahan:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah (2) : 233).Selain itu didalam surah lain ALLAH SWT Berfirman Yaitu :

Terjemahan :“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab” (Qs Al-Imran (3) : 37)

Ayat – ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban seorang ibu untuk merawat

anaknya dengan cara menyusui anaknya selama dua tahun, mendidik seorang anak

dengan pendidikan yang baik.  Oleh karena itu seorang ibu hendaklah merawat

anaknya dengan baik yang disertai ketulusan hati dalam merawat anak tanpa

adanya tekanan jiwa atau pun rasa stress karena stress dan sikap yang tidak tulus

ibu yang secara terus menerus diterima oleh bayi kelak bisa membuatnya menjadi

anak yang mudah menangis, pencemas sekaligus pemurung. Dampak lain yang

tidak kalah merugikan adalah bayi cenderung mudah sakit, kurangnya perhatian ibu

pada bayinya juga merupakan dampak dari baby blues.

B.   Tinjauan Umum Tentang Umur

Page 16: baby blues.docx

Umur itu sendiri bukan faktor utama yang menentukan apakah wanita lebih

rentan atau kurang rentan terhadap depresi pasaca melahirkan (baby blues).

Namun, ada gunanya bila kita mengetahui berbagai tekanan yang dialami para

wanita baik usia muda maupun tua karena hal ini berperan dalam terjadinya depresi.

Dewasa ini, lebih banyak wanita melahirkan di usia cukup matang (rata-rata 28

tahun walaupun beberapa wanita menunda kehamilan beberapa tahun lebih lama),

dengan kematangan dan toleransi yang lebih besar dan gaya hidup yang lebih

mapan, wanita yang lebih tua juga lebih terbiasa memegang kendali, lebih mampu

mengatur hidupnya, suatu sikap yang membuat depresi lebih muda terjadi bila hal itu

berkaitan dengan perwatan bayi. Wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi

dan dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang

mencengkam imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk beberapa

individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar wanita. Bagamainapun juga, wanita

kariri yang sudah matang khususnya, sangat sulit melepaskan sikapnya yang teratur

sewaktu merawat bayi. Mereka pikir mereka dapat menangani, tetapi sewaktu bayi

membuatnya kerepotan dengan tangisannya yang terus menerus, rasa laparnya

yang tidak teratur, jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, mereka

umumnya lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan ibu yang usianya lebih muda,

meskipun lebih muda menyesuaikan diri, tidak terlalu kaku dalam bertindak dan

mempunyai energi fisik lebih besar, mereka tidak mempunyai kesabaran atau

kematangan seperti yang dimiliki wanita lebih matang, yang telah menunggu lama

untuk mendapatkan keturunan. Mereka lebih muda kehilangan rasa mudanya , atau

bahwa mereka harus kehilangan karir yang sedang dibangunnya atau kadang baru

dimulai. Kedua perasaan ini dapat menimbulkan kesdihan yang ikut berperan dalam

terjadinya depresi (Marshall, 2004).

Page 17: baby blues.docx

Ibu yang berusia 40 tahun ke atas mengalami risiko yang tinggi untuk

mengandung. Biasanya bayi yang dilahirkan mengalami Sindrom Down. Tekanan

darah tinggi, diabetes, kardiovaskular yang dialami oleh ibu  yang juga berisiko pada

janin yang dikandungnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008)

menyatakan bahwa umur merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues,

besar risiko penderita baby blues pada umur <20 tahun atau >35 tahun 3,5 kali lebih

besar dibanding penderita yang berumur 20-35 tahun (Syahrir S, 2008). 

C.   Tinjauan Umum Tentang Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu baik lahir hidup

maupun lahir mati dengan umur kehamilan 28 minggu. Ibu dengan paritas tinggi

menggambarkan tingkat kehamilan yag banyak dan cenderung mengalami

komplikasi kehamilan. Hal ini disebabkan karena secara fisik jumlah paritas yang

tinggi mengurangi kemampuan uterus sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan

pembuluh darah dinding uterus akan memengaruhi sirkulasi nutrisi maupun oksigen

ke janin (Wiknojosastro, 1997).

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi ditemukan pada kehamilan

pertama. Mereka yang pernah mengalami baby blues (depresi pasca persalinan)

dianggap sangat rentan untuk mengalaminya kembali (Marshall, 2004). Demikian

juga pada penelitian Syahmawati yang menyatakan bahwa paritas merupakan faktor

risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang

primipara 3,6 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang multipara.

(Syahrir S, 2008).

D.   Tinjauan Umum Tentang Riwayat Depresi

Page 18: baby blues.docx

Wanita dengan riwayat depresi postpartum mempunyai risiko yang bermakna

dengan angka kekambuhan postpartum setinggi 50% dibandingkan dengan wanita

yang hanya mengalami episode diluar masa nifas, wanita dengan riwayat depresi

postpartum jelas mempunyai risiko yang lebih besar. Untuk semua wanita (dengan

atau tanpa riwayat depresi berat), munculnya gejala depresi selama kehamilan

meningkatkan risiko baby blues (depresi postpartum) (Elvira S, 2006).

Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat depresi atau gangguan

emosional yang pernah diderita atau gangguan emosional pasca persalinan

(Safiuddin, 2001). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa

riwayat depresi dan gangguan emosi merupakan perkiraan paling kuat akan

munculnya depresi setelah melahirkan (Marshall, 2004). Pada penelitian yang

dilakukan oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa riwayat depresi merupakan

faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko terhadap kejadian baby blues

yang memiliki riwayat depresi 22 kali lebih besar dibanding penderita baby blues

yang tidak mempunyai riwayat depresi (Syahrir S, 2008).

E.   Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Kehamilan

Komplikasi kehamilan adalah kegawat daruratan obstetrik yang dapat

menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Obstetri Fisiologi. 1983). Adapun Jenis

Komplikasi Kehamilan yaitu:

1.    Perdarahan

Perdarahan yang berhubungan dengan persalinan dibedakan dalam dua

kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum.

Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi sebelum bayi

lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum kehamilan 28 minggu seringkali

Page 19: baby blues.docx

berhubungan dengan aborsi atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28

minggu dapat disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma,

atau penyakit saluran kelamin bagian bawah (Obstetri Fisiologi. 1983).

2.    Pre-Eklamsia

Per-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian pada

ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan

dan dapat terjadi pada waktu antepartum, intrapartum, dan pascapersalinan

(Obstetri Fisiologi. 1983).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang lain.

Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mm

Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg

atau lebih dan tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90

mm Hg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Obstetri Fisiologi. 1983).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan dalam

jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta

pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat badan ½ kg setiap

minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal tetapi bila kenaikan 1 kg

seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan (Obstetri Fisiologi.

1983).

Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam kehamilan,

dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk protein lolos dalam urine.

Normal terdapat sejumlah protein dalam urine, tetapi tidak melebihi 0,3 gr dalam 24

jam. Proteinuria menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut

sehingga memerlukan perhatian dan penanganan segera (Obstetri Fisiologi. 1983).

Page 20: baby blues.docx

Penyebab pre-eklamsi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Telah

terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi

tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Diduga penyebab

hipertensi dalam kehamilan secara patologi terjadi karena akibat implantasi

sehingga timbul iskemia plasenta yang diikuti sindroma inflamasi dan risiko

meningkat pada hamil kembar, penyakit trombolas, diabetes mellitus, faktor

herediter dan masalah vaskuler (Saifuddin, 2000).

3.    Infeksi

Infeksi pasca persalinan ialah meningkatnya suhu tubuh > 38ºC dan demam

berturut-turut selama dua hari sesudah persalinan dan yang disertai keluarnya

cairan yang berbau dari liang rahim. Infeksi jalan lahir dapat terjadi pada ibu bersalin

yang pertolongan persalinannya tidak bersih atau pada wanita yang menggugurkan

kandungan dengan cara berbahaya. Tanda-tandanya adalah panas tinggi lebih dari

dua hari setelah melahirkan atau setelah keguguran. Keadaan ini berbahaya dan ibu

perlu mendapatkan perawatan intensif. Infeksi ini dapat dicegah dengan pertolongan

persalinan yang bersih dan aman (Obstetri Fisiologi. 1983).

Berdasarkan hasil penelitian  Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi

menyatakan bahwa komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejaidan

baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi kehamilan

5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai

komplikasi kehamilan (Syahrir S, 2008).

F.    Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Persalinan

Komplikasi pasca persalinan yang biasa terjadi adalah keadaan yang

membahayakan janin seperti berkurangnya aliran oksigen, plasenta yang tidak

Page 21: baby blues.docx

berfungsi dengan baik atau terpisah dari rahim, tekanan atatu kekusutan pada tali

pusar, aktivitas rahim yang panjang dan berlebihan atau infeksi janin, cacat,

perdarahan, serta penyakit pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung, tekanan

darah rendah yang tidak wajar), distosia bahu, rahim robek, inverse rahim, luka

goresan pada vagina dan leher rahim, perdarahan pasca kelahiran, serta infeksi

pasca kelahiran (Marshall, 2000).

Hampir 20% pada wanita hamil takut terhadap suatu persalinan sedangkan

tingkatan nyeri persalinan sampai bentuk yang paling berat dirasakan sebagai hal 

yang tidak menyenangkan secara psikis dan ini tidak dapat diterima oleh sekita 30%

wanita (Mathai M, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson (1987) dan

Playfair (1981) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna, yaitu bahwa baby

blues lebih banyak dialami oleh wanita dengan riwayat komplikasi obstetric yang

kurang baik. Selain itu, dari hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin

Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap

kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi

persalinan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak

mempunyai komplikasi persalinan (Syahrir S, 2008).

G.   Tinjauan Umum Tentang Dukungan Suami

Interaksi pasien dengan lingkungannya merupakan faktor pendukung

terjadinya proses kelahiran normal. Suami adalah orang terdekat yang

menyebabkan proses kehamilan namun kehadiran suami dalam persalinan masih

janggal. Beberapa tempat [elyanan persalinan belum memperbolehkan kehadiran

suami dalam persalinan istrinya, padahal beberapa peneltian di berbagai Negara

telah membuktikan bahwa wanita yang melahirkan yang didampingi selama

Page 22: baby blues.docx

persalinan baik oleh suami, kerababt wanita maupun tenaga khusus yang dilatih

untuk itu menunjukkkan manfaat yang sangat banyak (Kusmiyanti dkk, 2004).

Presentase dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu

primipara yaitu responden yang menyatakan dukungan dari suami kurang 4 orang

sebanyak (16%), dukungan suami yang dikategorikan sedang mempunyai frekuensi

15 orang sebanyak (60%) dan dukungan suami yang dikategorikan tinggi 6 orang

sebanyak (24%). Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi

sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima

bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu

yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta,

perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan

(Fatimah S, 2009).

 Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan membantu istri

dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui bayinya, sang ayah tidak hanya

tidur sepanjang malam. Ayah bisa menemani ibu dan bayi, mengangkat bayi dari

tempat tidurnya, mengganti popok bayi bila perlu, memberikan bayi pada ibu saat

jam menyusui, dan mengembalikan bayi ke tempat tidurnya ketika bayi telah tertidur

kembali. Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak

kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama

yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan

keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah S, 2009).

Peranan suami selama kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian baby  blues. Maka upaya

untuk meningkatkan dukungan suami selama proses tersebut diperkirakan apat

menurunkan kejadian baby blues (Alfiben, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan

Page 23: baby blues.docx

oleh Syamawati bahwa tidak adanya dukungan suami  merupakan faktor risiko

terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues tanpa dukungan

dari suami 24 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang mendapatkan

dukungan  dari suami (Syahrir S, 2008). Maka dari itu perlu adanya peningkatan

peranan suami sebagai pendamping dalam proses persalinan secara kontinyu guna

menurunkan angka kejadian baby blues. 

H.   Tinjauan Umum Tentang Validasi Edinburgh Postnatal Depression Scale

(EPDS) 

Riset yang dilakukan di Universitas Edinburgh telah menghasilkan kuesioner

khusus untuk membantu tenaga kesehatan menilai apakah seorang wanita

menderita depresi pasca melahirkan (Syahrir, 2008). Di luar negeri skrining untuk

mendeteksi gangguan mood/ depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca

salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa

kuesioner dengan sebagai alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale

(EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur

intenstas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaan-

pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan

bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada baby blues (Iskandar,

2007)

Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan

memilki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu

sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca persalinan saat itu

(Mayu, 2004). Nilai skoring yang dianggap positif (Cut Of Point)  depresi pasca

persalinan para peneliti memberikan nilai bervariasi 9 sampai 13. Nilai skor ≥13

Page 24: baby blues.docx

pada skala ini, dianggap pasien memilki kecenderungan untuk mengalami depress.

EPDS telah diakui dapat mendetksi depresi pasca persalinan pada sampel yang

diambil dari masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang 12/13, skala tersebut

memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%. Skala ini

terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu penilaian diagnosis

psikiatri yang diakui dan diterapkan pemakaiannya di Inggris dan Australia (Alfiben,

2000). Dalam melengkapi kuesioner tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh

anggota keluarga yang lain, hal ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih

baik. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan

dalam waktu 5 menit (Rianta, 2004). EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa

Negara seperti Belanda, swedia, Australia, italia, dan Indonesia. EPDS dapat

dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan ila hasilnya meragukan

dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian (Iskandar, 2007).

Studi Caldwell dan Antonucci menemukan pada sampel 48 ibu-ibu remaja

bahwa usia, dukungan status sosial ekonomi keluarga, secara signifikan

berhubungan dengan simtom-simtom depresi pasca persalinan. Birkeland dan

kawan-kawan meneliti depresi pasca persalinan dengan menggunakan Edinburg

Postnatal Depression Scale (EPDS) yang merupakan self report untuk mengukur

simtom depresi mendapatkan skor EPDS 0,83 (Reid V dkk, 2007).

Patricia Hannah dan kawan-kawan meneliti 217 pasien depresi pasca

persalinan  dengan menggunakan EPDS pada hari ketiga dan  minggu keenam

pasca persalinan, mendapatkan adanya korelasi positif  yang signifikan dari kedua

skor tersebut, bersama-sama dengan profil gejala yang sama.  Dari 25 wanita

menderita depresi pasca persalinan (skor EPDS  minggu keenam adalah 13), 17 

Page 25: baby blues.docx

memiliki gejala-gejala yang sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor

EPDS hari ketiga adalah 10) (Sari LS, 2009).

Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa usia rata-rata depresi

pasca persalinan adalah 26 tahun, 75% menjalani kelahiran normal, 15% menjalani

secsio sesarea dan 10% menjalani kelahiran forcep. Sebagian besar sudah menikah

(81%), sedangkan 13% memiliki mitra permanen. Hanya 6% yang merupakan

orangtua tunggal. Prevalensi seumur hidup untuk depresi berat pada populasi umum

adalah sekitar 10%, pada wanita sekitar 25%. Paling sedikit 10% dari wanita 

menderita gangguan mood yang berhubungan dengan periode postpartum.

Sedangkan angka prevalensi depresi pasca persalinan bervariasi antara 1 permil

sampai 15% dari angka ibu melahirkan tergantung berat ringannya gangguan mental

yang menjadi objek penelitian. Penelitian lainnya mendapatkan prevalensi depresi

pasca persalinan yang lebih tinggi, yaitu 23,3% - 36,7%. Depresi pasca persalinan

terjadi pada sekitar 1 dari 10 wanita hamil dan biasanya tidak terdiagnosa (Sari LS,

2009).

DAFTAR PUSTAKA

Alfiben, 2000. Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan Terjadinya Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.

Elvira S. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI; Jakarta.

Fatimah, Sitti. 2009. Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang: (Artikel Riset Keperawatan) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas di Ponegoro; Semarang

Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum Blues. http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal akses 4 Desember 2011)

Page 26: baby blues.docx

Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of Obstetricians and Gynecologists.

Kusmiyanti Margaretha dkk. 2004.Pengaruh Pendampingan Keluarga Selama Proses Persalinan Terhadap Keberhasilan Persalinan di Pelayanan Kesehatan X Tahun 2004. Pascasarjana Kekhususan Kesehatan Reproduksi; FKM UI.

Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998. Vol.22. Nomor 2. Hlm 49-57; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Marshall, Fiona. 2004. Depresi Pasca Melahirkan . Arcan; Jakarta.

Marshall, Connie. 2000. Awal Menjadi Seorang Ibu. Arcan; Jakarta.

Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. 2000. Normal Labour and Childbirth. In : Manging Complication In pregnancy and Childbirth : A Guide For Midwivwes and Doctor. World Health Organization.

Mayla, Freyja, 2007. Baby Blues Syndrome. http://www.freyjamayla.blogspot.com (tanggal akses 9 Desember 2011)

National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression. http://www.nmha.org. (Diakses pada tanggal 17 Desember 2011)

Norhana SW, 1995. Pendekatan  Psychiatry Liaison pada  Depresi Pasca  Partus. Indonesian Psychiatric Quarterly ; XXVIII ;4:91-8.

Obstetri Fisiologi. 1983. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Badung.

Papayungan D, 2005. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry pada  Penatalaksanaan Depresi Pasca Bersalin Indonesian Psychiatric Quarterly ; 4 : 79-92.

Rianta, Trika. 2004. Efektifitas Pendampingan Suami Pada Kala II Persalinan dan Kejadian Depresi Pasca Persalinan. (Skripsi) Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.

Reid V, Oliver MM, 2007. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An Integrative Review of the Literature. Journal of Pediatric Health Care  ; 21 : 289-98.

Saifuddin AB, Adriaans G, Wiknojosastro GH, Waspodo D. 2000. Persalinan Normal. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.

Sari LS, 2009. Sindroma Depresi Pasca Persalinan Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. (Tesis) Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Page 27: baby blues.docx

Syahrir S, 2008. Faktor Risiko Baby Blues di Rumah sakit Bersalin Pertiwi Propinsi Sulwasesi Selatan Tahun 2007.(Skripsi) Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.

Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Deoression. N Engl J Med ; 347 : 194 -99.

Wicaksono, Aries. 2007. Cara Mengatasi Baby Blues Syndrome. http://www.liputan6.com/kesehatan/denpasar (tanggal akses, 16 Desember 2011)

Wiknojosastro H, 1996. Fisiologi dan Meaknisme Persalinan Normal. Dalam : Ilmu Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.

Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus “Postpartum Blues” di RSU Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).