BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

39
35 BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DAN ASAS KETERWAKILAN MINORITAS Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditujukan untuk pemilihan anggota DPR, bertujuan untuk penyederhanaan partai politik. Dalam perjalanannya terdapat pengujian mengenai konstitusionalitas kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dilakukan oleh MKRI. Pengujian tersebut menghasilkan keputusan bahwa kebijakan ambang batas perlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional. Pendapat MKRI tersebut tidak substantif karena tidak mempertimbangkan adanya prinsip perlindungan minoritas. Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dapat dipandang sebagai sebuah skenario yang dilakukan oleh mayoritas agar jumlah partai politik sedikit sehingga berimplikasi pada berkurangnya persaingan terbuka untuk dapat menduduki kursi DPR. Berdasarkan uraian mengenai tidak adanya perlindungan minoritas dalam penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), maka dalam bab ini penulis hendak menegaskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold) bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas. Oleh karena itu, untuk melakukan pembahasan yang lebih detail dalam bab ini, maka sistematika pembahasan dalam bab ini adalah sebagai berikut. Pertama, menguraikan landasan yuridis mengenai ambang batas parlemen dalam UU Pemilu Legislatif (infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan alasan diterapkannya

Transcript of BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

Page 1: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

35

BAB III

AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY

THRESHOLD) DAN ASAS KETERWAKILAN MINORITAS

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang

ditujukan untuk pemilihan anggota DPR, bertujuan untuk penyederhanaan partai

politik. Dalam perjalanannya terdapat pengujian mengenai konstitusionalitas

kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dilakukan oleh

MKRI. Pengujian tersebut menghasilkan keputusan bahwa kebijakan ambang

batas perlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional. Pendapat MKRI

tersebut tidak substantif karena tidak mempertimbangkan adanya prinsip

perlindungan minoritas. Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary

threshold) dapat dipandang sebagai sebuah skenario yang dilakukan oleh

mayoritas agar jumlah partai politik sedikit sehingga berimplikasi pada

berkurangnya persaingan terbuka untuk dapat menduduki kursi DPR. Berdasarkan

uraian mengenai tidak adanya perlindungan minoritas dalam penerapan ambang

batas parlemen (parliamentary threshold), maka dalam bab ini penulis hendak

menegaskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold)

bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

Oleh karena itu, untuk melakukan pembahasan yang lebih detail dalam bab

ini, maka sistematika pembahasan dalam bab ini adalah sebagai berikut. Pertama,

menguraikan landasan yuridis mengenai ambang batas parlemen dalam UU

Pemilu Legislatif (infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan alasan diterapkannya

Page 2: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

36

ambang batas parlemen (parliamentary threshold) bagi pemilihan anggota DPR

(infra Sub-judul B). Ketiga, memaparkan mengenai pendapat Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia yang mempertahankan konstitusionalitas ambang

batas parlemen (parliamentary threshold) (infra Sub-judul C). Keempat,

mengemukakan argumen untuk mengkritisi penerapan ambang batas parlemen

yang bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

A. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dalam

Undang-Undang Pemilu Legislatif

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Indonesia

mengalami beberapa peningkatan sejalan dengan perubahan terhadap Undang-

Undang Pemilu Legislatif. Ketentuan mengenai ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) dan ruang lingkup pemberlakuannya pertama kali

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) pada Pasal 202

Ayat (1) dan (2) yang manyatakan bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima

persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan

dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan

perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.91

Kemudian implikasi dari ditetapkannya ambang batas parlemen tersebut

(parliamentary threshold) tertuang dalam Pasal 203 Ayat (1) menyatakan bahwa;

91

Lihat Pasal 202 Ayat (1) dan (2)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836).

Page 3: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

37

“Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada

penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.”92 Lebih

lanjut lagi dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008, menjelaskan

fungsi dari ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai unsur

penetapan angka BPP dalam Pasal 203 Ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa:

Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah

pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta

Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu

yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).93

Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik

peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu

daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara

membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di

satu daerah pemilihan.94

Perkembangan partai politik yang begitu pesat menyebabkan perubahan

terhadap besarnya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tersebut

menjadi 3,5 % dari jumlah suara nasional dalam pasal 208 UU Pemilu Legislatif

Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima

persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan

dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota.95

92

Pasal 203 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

93 Pasal 203 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

94 Pasal 203 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

95 Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan

Page 4: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

38

Kemudian ketentuan lain yang menjadi konsekuensi adanya ambang batas

parlemen (parliamentary threshold) adalah pasal 209 Ayat (1) yang mengatakan

bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 208,

tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah

pemilihan.96

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih)

yang menggunakan ambang batas parlemen sebagai unsur pengitungan BPP

terdapat dalam pasal 209 Ayat (2) dan (3) UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun

2012 yang menyatakan bahwa:

Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD,

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan

ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu

dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 208.97

Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik

Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu

daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan cara membagi

jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di suatu daerah

pemilihan.98

Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316). Dalam penjelasan pasal demi pasal, yang

dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan suara DPR,

sehingga dengan demikian ketentuan pasal 208 tidak berlaku untuk DPRD.

96 Lihat Pasal 209 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

97 Pasal 209 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

98 Pasal 209 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

Page 5: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

39

B. Alasan Penerapan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary

Threshold) dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif

Kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sejatinya

merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah maupun DPR untuk

menyederhanakan partai politik dalam rangka mencapai efisiensi partisipasi partai

politik dalam pemerintahan. Seperti yang tertuang dalam penjelasan umum

Undan-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) yang menyatakan bahwa:

Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen

(Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi

suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari

Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang

memperoleh suara terbanyak. Perubahan-perubahan ini

dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat

melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang

selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil

sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.99

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan

suatu instrumen yang secara alami terjadi pada suatu negara. Untuk menjelaskan

alasan kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di

Indonesia, maka penulis akan menguraikan lebih lanjut keterangan pemerintah

dan DPR terkait penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold)

dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif sebagai berikut:

99

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Page 6: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

40

1. Keterangan Pemerintah

Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, pemerintah memberikan

keterangan munculnya ambang batas parlemen yakni:

Bahwa penyempurnaan sistem kepartaian mutlak dilakukan

dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah yang efektif dan

produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila

penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim

pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung

jawab, dan transparan, sehingga bangsa Indonesia dapat

memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa yang

besar, damai, dan bermatabat. Kebijakan terkait pemberlakuan

PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas

program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah.100

Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD kabupaten/kota dengan

ambang batas perolehan suara sah secara nasional memberikan

kebebasan partai politik untuk berkompetisi secara sehat dalam

penyelenggaraan Pemilu 2014, untuk mendapatkan suara rakyat

cara mudah untuk menentukan partai politik mana yang terpilih

secara nasional, untuk menghindari adanya persoalan-persoalan

sengketa Pemilu. Hal tersebut merupakan legal policy yang

didelegasikan oleh Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar

1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam

pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar

kebijakan tersebut yang diamanatkan Undang-Undang Dasar

1945.101

Kemudian lebih lanjut dijelaskan semangat diberlakukannya ambang batas

parlemen secara nasional yakni:

“.... semangat memerlukan PT secara nasional adalah untuk

membentuk partai politik yang bersifat nasional, baik secara

kesekretariatan, maupun keterwakilan di DPR, dan DPRD

kabupaten/kota. Dengan demikian, partai politik dapat secara

efektif memperjuangkan dan membela kepentingan politik baik

di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan PT secara nasional

dalam Pasal 208 UU 8/2012 sama sekali tidak mengabaikan

prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1)

100

Keterangan Pemerintah Nomor 9 dan 10 dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-

X/2012., h. 36.

101 Keterangan Pemerintah Nomor 12 dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h.

65.

Page 7: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

41

dan (3) UUD 1945 karena setiap orang warga negara dan partai

politik peserta pemilu diperlakukan sama dan mendapat

kesempatan yang sama, mulai kompetisi secara demokratis

dalam Pemilu 2014 yang merupakan kebutuhan dan kepentingan

bangsa Indonesia ke depan.”102

Dari keterangan pemerintah tersebut terlihat bahwa ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) diperlukan sebagai instrumen penyederhanaan partai

politik yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik yang nantinya akan

memberikan kekuatan, kewibawaan, dan martabat bagi pemerintah. Ambang batas

parlemen secara nasional diperlukan untuk menciptakan kompetisi yang sehat

antar partai politik serta mempermudah penetapan partai politik terpilih dan

menghindari sengketa Pemilu. Tujuan lain diberlakukannya ambang batas

parlemen (parliamentary threshold) adalah sebagai alat untuk mensinergikan

partai politik di pusat dan daerah sehingga partai politik secara efektif

memperjuangkan serta membela kepentingan politik secara penuh. Pemerintah

beranggapan bahwa Pasal 208 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 sesuai

dengan konstitusi dan tidak melanggar HAM karena setiap warga negara dan

partai politik peserta pemilu diperlakukan sama.

2. Keterangan DPR RI

Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, DPR memberikan keterangan

munculnya ambang batas parlemen yakni:

Sejatinya, Pasal 208 UU 8/12 tersebut merupakan sebuah upaya

dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan partai politik yang

bersifat nasional. Hal tersebut sama sekali tidak mengebiri

kehadiran partai yang bersifat lokal. Pemberlakuan treshold

102

Keterangan Pemerintah Nomor 13 dan 16 dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-

X/2012., h. 37-38.

Page 8: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

42

bersifat nasional ini merupakan ikhtiar DPR bersama

Pemerintah dalam menciptakan harmoni dan keterpaduan antara

parlemen tingkat pusat dan daerah.103

Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT

jika tidak mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah

parpol tidak cukup hanya dengan modal lolos syarat

administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat pengakuan

dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam

syarat lolos PT.104

Kemudian keterangan lebih lanjut dari DPR mengenai tujuan dari ambang batas

parlemen yakni:

“.... niat awal penerapan treshold adalah demi tercapai efisiensi

dan efektivitas sistem keparlemenan. Pembahasan tentang hal

ini merupakan bentuk dari keseriusan dalam menciptakan sistem

pemilu yang lebih baik dan mendorong partai politik bekerja

lebih baik demi kepentingan rakyat banyak sehingga semakin

memperoleh kepercayaan rakyat dalam pemilu. Harapan kita

agar rakyat tidak bingung dengan terlalu banyaknya parpol

sebagaimana yang dikeluhkan saat ini dan mendorong setiap

partai politik peserta Pemilu untuk mengkonsolidasikan setiap

kegiatan dan programnya dan menyampaikannya kepada rakyat

dalam kampanye.”105

Pendapat DPR RI di atas memperlihatkan bahwa tujuan awal

diberlakukannya ambang batas parlemen, yaitu untuk mencapai efisiensi dan

efektivitas sistem keparlemenan. DPR RI berpendapat bahwa ambang batas

parlemen cocok untuk mendorong partai politik bekerja demi kepentingan rakyat.

Kemudian ambang batas parlemen menurut DPR RI dapat menjadi solusi bagi

kebingungan rakyat sebagai akibat dari banyaknya partai politik. Ambang batas

parlemen (parliamentary threshold) sejatinya merupakan wujud nyata pengakuan

rakyat kepada partai politik peserta pemilu.

103

Keterangan DPR RI huruf b dan c dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h.

44-45.

104 Keterangan DPR RI huruf b dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 73.

105 Keterangan DPR RI huruf e dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h. 46.

Page 9: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

43

Keterangan antara pemerintah dan DPR RI memiliki perbedaan yang

mencolok dalam hal fungsi diberlakukannya ambang batas parlemen

(parliamentary threshold). Pemerintah beranggapan bahwa ambang batas

parlemen diperlukan untuk membentuk partai politik yang bersifat nasional guna

memperjuangkan dan membela kepentingan politik di tingkat pusat dan daerah.

Sedangkan DPR RI beranggapan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary

threshold) digunakan untuk menciptakan partai politik yang bekerja demi

kepentingan rakyat untuk mendapat kepercayaan rakyat.

C. Pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang

Mempertahankan Konstitusionalitas Ambang Batas

Parlemen (Parliamentary Threshold)

Permasalahan penerapan ketentuan ambang batas parlemen di Indonesia

mengahadapi beberapa tantangan dari individu yang merasa hak konstitusionalnya

dirugikan oleh adanya ambang batas parlemen tersebut. Mereka beranggapan

bahwa ketentuan ambang batas parlemen telah melanggar konstitusi Pasal 28D

Ayat (3) bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

dalam pemerintahan.”, dan Pasal 28E Ayat (3) bahwa “setiap orang berhak atas

kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Permasalah

tersebut terbukti dengan diajukannya uji materiil terhadap ketentuan ambang batas

parlemen (parliamentary threshold) pada MKRI. Dalam putusannya, MKRI

cenderung mempertahankan konstitusionalitas ketentuan ambang batas parlemen

tersebut. Pendapat Mahkamah yang mempertahankan konstitusionalitas ambang

Page 10: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

44

batas parlemen pada putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009 berlaku mutatis

mutandis terhadap pertimbangan hukum putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012

yang mengatakan bahwa:

Mahkamah menyatakan bahwa kebijakan ET tidak diskriminatif

karena berlaku untuk semua Parpol, merupakan kebijakan

pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan

oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka,

yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur

dengan undang-undang”, sehingga menurut MK, baik kebijakan

ET maupun PT sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor

16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007).106

Selanjutnya MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen hanya mengikat

bagi penentuan kursi DPR dan tidak mengikat bagi penentuan kursi DPRD

sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya bahwa:

“.... Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah

tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan

memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan

memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20

ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan

Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan

DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat

dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah

juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli

dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi

penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi

DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru

kebijakan yang proporsional.”107

Kemudian lebih lanjut MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen

tidak melanggar HAM sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya

bahwa:

“.... menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1)

UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip

106

Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 95.

107 Ibid., h. 96.

Page 11: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

45

HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)

UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap

Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat

kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis

dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung

dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang

bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap

sama.”108

Kemudian lebih lanjut dalam pertimbangan hukumnya MKRI menjelaskan

bahwa:

“.... Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU

10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur

yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi

semua Parpol Peserta Pemilu dan keseluruhan para calon

anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga

tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin,

status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan

International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR).”109

Dalam pertimbangan hukumnya, MKRI berkesimpulan bahwa:

Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan

mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat

(1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan

Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga

negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi

dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat

memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi

selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-

Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-

Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.110

Melihat pertimbangan hukum yang diberikan MKRI terhadap

konstitusionalitas kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold),

Mahkamah tetap bersikukuh bahwa kebijakan ambang batas parlemen yang

108

Ibid., h. 97.

109 Ibid.

110 Ibid.

Page 12: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

46

berlaku untuk DPR sesuai dengan konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a

quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai

politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT

untuk dapat memiliki wakil di DPR serta kewenangan menentukan besar kecilnya

angka PT tersebut berada di tangan DPR sebagai legislator. Ambang batas

parlemen tidak mengebiri prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D

ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945 karena setiap orang, setiap warga negara,

dan setiap partai politik peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat

kesempatan yang sama melalui Pemilu yang demokratis. Ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur

yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua partai politik

peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari partai politik peserta

Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis

kelamin, status sosial.

D. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Bertentangan dengan Asas Keterwakilan Minoritas

Ambang batas parlemen menjadi topik yang diperdebatkan penerapannya

oleh para ahli hukum karena selalu dikaitkan dengan keterwakilan minoritas.

Dalam perjalanannya, MKRI melakukan pengujian terhadap ambang batas

parlemen yang hasilnya adalah konstitusional. MKRI beralasan bahwa ketentuan

ambang batas parlemen atau PT merupakan ranah kebijakan legislatif terbuka

pembentuk undang-undang. Menurut MKRI, besar kecilnya nilai ambang batas

parlemen sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga legislatif selama tidak

Page 13: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

47

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan HAM sebagai hak dasar setiap warga

negara. Oleh karena itu, sebelum merespon ambang batas parlemen bertentangan

dengan asas keterwakilan minoritas, penulis akan menjelaskan lebih dulu argumen

formal yang mendukung ambang batas parlemen.

Terkait hal di atas, maka dalam Sub-Judul ini penulis akan membahasnya ke

dalam tiga bagian. Pertama, membahas mengenai argumen formal terkait ambang

batas parlemen. Kedua, menegaskan bahwa keterwakilan minoritas harus dijamin

secara khusus, termasuk sebagai argumen untuk menyatakan bahwa PT

inkonstitusional. Ketiga, mengargumentasi bahwa ambang batas parlemen tidak

mencerminkan keterwakilan minoritas.

1. Argumen Formal Terkait Ambang Batas Parlemen (Parliamentary

Threshold)

Argumen formal pada hakikatnya merupakan alasan yang mendasar untuk

menyangkal bahwa ambang batas parlemen atau PT bertentangan dengan asas

keterwakilan minoritas. Dengan kata lain, argumen formal digunakan untuk

menguatkan bahwa PT tidak bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya akan penulis jabarkan ke dalam tiga

bagian. Pertama, menjelaskan bahwa DPR pada dasarnya diasumsikan sebagai

wakil rakyat. Kedua, membahas mengenai hilangnya suara calon yang

memperoleh suara tetapi tidak memenuhi BPP. Ketiga, memaparkan keterpenuhan

unsur fairness dalam UU Pemilu Legislatif.

Page 14: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

48

a. DPR sebagai Wakil Rakyat

Semua anggota DPR itu pada dasarnya mewakili seluruh rakyat. Pernyataan

tersebut diperkuat oleh pendapat A. Hoogerwerf yang mengatakan bahwa; “sesuai

dengan model kesatuan, maka di sini anggota parlemen dilihat sebagai wakil

seluruh rakyat.”111

Sri Soemantri dalam bukunya menjelaskan bahwa “Dewan

Perwakilan Rakyat merupakan “tempat” wakil rakyat berada untuk

memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakili.”112

Semua

anggota DPR memiliki peran penting untuk memperjuangkan kepentingan seluruh

rakyat tanpa terkecuali. Terkait hakikat DPR itu sendiri, Jimly Asshiddiqie

menjelaskan bahwa:

Wakil rakyat adalah juru bicara rakyat, yaitu untuk

menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat.

Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya

merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu

diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi materi

kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat

untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya terwakili.113

Terpilihnya seluruh anggota DPR merupakan hasil dari suara rakyat yang

diberikan kepada mereka yang terpilih. Maka sebagai konsekuensinya, para

anggota dewan yang terpilih harus mewakili seluruh rakyat baik dari segi

111

Max Boboy, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Perspektif

Sejarah dan Tatanegara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, h. 24, dikutip dari Bintan

R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Perintis Press, Jakarta,

1985, h. 85-86.

112 Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan,

Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 2014, h. 197-198.

113 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Penerbit Rajawali Pers,

Jakarta, 2015, h. 304.

Page 15: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

49

kehadiran fisik114

maupun atas dasar aspirasi.115

Pandangan tersebut

memperlihatkan bahwa para wakil rakyat hakikatnya mewakili kepentingan rakyat

secara keseluruhan seperti dikatakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim

bahwa; “badan perwakilan rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan rakyat

yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu sehingga nantinya menghasilkan

para wakil rakyat yang duduk di parlemen mewakili kepentingan umum rakyat

seluruhnya.”116

Jika DPR dilihat dari hakikat kepentingan yang diwakilinya,

menurut Jimly Asshiddiqie “Dewan Perwakilan Rakyat mewakili rakyat pada

umumnya dengan orientasi kepentingan nasional.”117

Pendapat para ahli di atas mempertegas kembali bahwa semua anggota DPR

merupakan wakil seluruh rakyat; artinya semua anggota DPR harus melayani

rakyat tanpa memandang apakah rakyat tersebut berasal dari konstituennya atau

bukan. Argumen formal tersebut juga mematahkan anggapan bahwa anggota DPR

merupakan wakil konstituen. Bertolak dari pendapat-pendapat para ahli di atas

mengenai hakikat parlemen itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa DPR

merupakan tempat di mana para wakil rakyat memiliki tugas mendengar aspirasi

114

Ibid., h. 305. Kehadiran fisik merupakan keterwakilan yang bersifat formal; artinya

keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih

sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat.

115 Ibid. Perwakilan atas dasar aspirasi merupakan keterwakilan yang bersifat substantif;

artinya keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai,

aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi

bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau

setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga memengaruhi

perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

116 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen

UUD 1945, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010, h. 337, dikutip dari Moh. Kusnardi dan Harmaily

Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, h. 329.

117 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam

UUD 1945, Penerbit FH UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 165.

Page 16: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

50

rakyat yang nantinya akan menghasilkan kebijakan yang arahnya bertujuan untuk

memperjuangkan kepentingan umum rakyat keseluruhan.

Penulis menyangkal pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa anggota

DPR diasumsikan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan. Penulis

menyangkal pendapat tersebut atas dasar argumen yaitu meskipun anggota DPR

merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak

mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen.

b. Hilangnya Suara Calon yang Memperoleh Suara tetapi Tidak

Memenuhi BPP

Hilangnya suara caleg yang tidak memenuhi BPP (Bilangan Pembagi

Pemilih) dikarenakan persaingan antar caleg sehingga dengan demikian suara

pemilih yang diberikan kepada caleg tersebut hilang dengan sendirinya

merupakan suatu keadaan yang wajar. BPP merupakan angka minimal yang harus

dicapai seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR. Setelah jumlah suara sah

di suatu daerah pemilihan diketahui, selanjutnya ditentukan BPP dengan cara

membagi jumlah suara sah partai politik peserta Pemilu dalam pemilihan dengan

berapa kursi yang tersedia untuk satu daerah pemilihan.118

Ketercapaian angka

BPP ini penting dalam sistem proporsional untuk penetapan caleg yang akan

duduk di kursi DPR. Jika tidak ada caleg yang mampu mencapai angka BPP,

maka penetapan siapa yang duduk ditentukan berdasarkan nomor urut dalam

118

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit PT Rfika

Aditama, Bandung, 2011, h. 289.

Page 17: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

51

calon partai yang bersangkutan.119

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR harus memenuhi angka BPP yang

telah ditentukan. Hilangnya suara pemilih yang diberikan kepada seorang caleg

yang tidak memenuhi BPP dikarenakan kalah persaingan dengan caleg lain adalah

hal wajar.

Begitu pula dengan hilangnya suara dikarenakan sebuah partai politik tidak

dapat memenuhi PT, hal tersebut merupakan keadaan yang lazim melihat bahwa

hilangnya suara tersebut diakibatkan ketidakmampuan sebuah partai politik

bersaing dengan partai politik lain yang memenuhi PT. Hilangnya suara

dikarenakan seorang caleg tidak memenuhi BPP maupun karena sebuah partai

politik tidak lolos PT adalah suatu konsekuensi dari sebuah kompetisi yang

bernama Pemilu.

Penulis tidak sependapat dengan argumen sebelumnya, karena menurut

penulis para pembentuk undang-undang tidak melihat hal yang substansial dari

pemberlakuan PT tersebut. Terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg

telah memenuhi BPP tetapi partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di

parlemen diakibatkan berlakunya PT.

c. Keterpenuhan Unsur Fairness dalam UU Pemilu Legislatif

UU Pemilu Legislatif sebagai produk DPR yang berfungsi sebagai pedoman

untuk pemilihan anggota legislatif memberikan syarat bagi partai politik peserta

Pemilu untuk dapat ikut Pemilu maupun syarat untuk mendapatkan kursi di DPR.

UU Pemilu Legislatif menjadi produk UU yang sering diperbaharui dan

119

Ibid., h. 291.

Page 18: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

52

disempurnakan secara terus menerus menjelang Pemilu Legislatif berlangsung.

Penyempurnaan pengaturan ini bertujuan untuk memperketat syarat bagi partai

politik untuk dapat bersaing dalam Pemilu Legislatif. Sebagaimana keterangan

yang diberikan DPR RI terhadap pasal 208 UU Pemilu Legislatif bahwa;

“Dengan hadirnya ketentuan Pasal 208 ini diharapkan semua parpol peserta

pemilu mempersiapkan lebih baik dan mampu menjadi partai politik yang bersifat

nasional sebagaimana persyaratan dalam Pasal 8.”120

Berdasarkan keterangan

pemerintah tersebut maka dapat dilihat bahwa UU Pemilu Legislatif yang memuat

ketentuan PT merupakan wujud peringatan sejak dini pemerintah bagi partai

politik peserta Pemilu untuk bersaing dalam Pemilu.

Apabila dilihat dari sisi fairness, maka unsur fairness dalam UU Pemilu

Legislatif telah terpenuhi. Sebab UU Pemilu Legislatif tersebut telah terbentuk

sebelum Pemilu Legislatif dilaksanakan sehingga apabila partai politik tidak dapat

memenuhi dan mematuhi semua ketentuan termasuk PT yang terdapat dalam UU

tersebut maka sebagai konsekuensinya partai politik tersebut tidak dapat bersaing

pada Pemilu Legislatif. Sebagaimana pendapat Zudan Arif Fakhrulloh terhadap

ketentuan PT bahwa:

Norma a quo ditetapkan secara priory bukan secara posteriory,

artinya norma tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan,

sehingga sesungguhnya kapan sebuah partai itu merasa dirinya

besar atau kecil justru setelah Pemilu dilaksanakan. Partai

politik semuanya diberikan kesempatan sama untuk memperoleh

lebih dari 2,5% (dua koma lima perseratus). Konstitusi maupun

Undang-Undang Pemilu tidak memberikan batasan bahkan

seluruh partai politik dibuka ruang yang sama untuk

120

Keterangan DPR RI huruf g dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/201, h. 78.

Page 19: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

53

berkompetisi mendapatkan lebih dari 2,5% (dua koma lima

perseratus).121

Pendapat di atas memperkuat keterpenuhan unsur fairness UU Pemilu Legislatif

karena norma PT tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan, sehingga

sebelum Pemilu dilaksanakan tidak mengenal adanya partai kecil atau besar.

Setelah Pemilu dilaksanakan barulah terlihat mana partai besar yaitu partai yang

lolos PT dan partai kecil yaitu partai yang tidak lolos PT. Dengan demikian

ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif tidaklah bersifat diskriminatif karena

dengan ketentuan tersebut tidak mengebiri kesempatan yang sama bagi partai

politik untuk berkompetisi dalam Pemilu untuk mendapatkan suara melebihi PT

2,5%.

Menurut John Rawls, “rasionalitas, kesamaan, dan kebebasan adalah unsur-

unsur mendasar dalam konsep keadilan sebagai fairness.”122

Nilai kesamaan yang

terkandung dalam UU Pemilu Legislatif telah terpenuhi karena kebijakan PT

memperlakukan sama setiap orang dan partai politik peserta Pemilu serta

kebijakan PT berlaku secara objektif bagi semua partai politik peserta Pemilu dan

keseluruhan para calon anggota DPR tanpa kecuali. Kemudian terkait kebebasan,

ketentuan mengenai ambang batas parlemen tersebut telah memenuhi unsur

kebebasan dari keadilan sebagai fairness karena PT tidak menghilangkan

kebebasan setiap orang untuk mendirikan partai politik, tetapi kebijakan PT

121

Keterangan ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, S.H.,MH. di bawah sumpah dalam

persidangan tanggal 4 Februari 2009 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2012, h. 112.

122 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, h.

45. Catatan penting berkaitan dengan kesamaan, bahwa kesamaan di sini harus dimengerti dalam

arti kesetaraan kedudukan dan hak sebagai person, dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang

diperoleh setiap orang. Keadilan sebagai fairness tidak menuntut setiap orang untuk menempuh

prosedur yang sama dengan hasil yang sama. Sebaliknya keadilan sebagai fairness menegaskan

bahwa hasil dari prosedur yang adil harus diterima sebagai keadilan, walaupun setiap orang tidak

mendapatkan hasil yang sama.

Page 20: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

54

digunakan untuk menyeleksi partai politik yang memperoleh dukungan signifikan

untuk mengefektifkan kinerja pemerintah.

Berdasarkan pendapat di atas mengenai keadilan UU Pemilu Legislatif,

maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif telah

memenuhi unsur fairness karena ketentuan PT tersebut ditetapkan sebelum

Pemilu dilaksanakan. Apabila partai politik tersebut tidak memenuhi PT maka

sebagai konsekuensinya partainya tidak disertakan dalam penghitungan kursi

DPR. Meskipun unsur fairness terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT

tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas.

2. Perlindungan Terhadap Keterwakilan Minoritas Terkait

Pemberlakuan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Keterwakilan minoritas terutama kaitannya dengan keterwakilan politiknya

perlu dijamin secara khusus oleh MKRI maupun pembentuk undang-undang.

Pembentuk udang-undang dalam rangka penyederhanaan partai politik

menggunakan instrumen PT, hal ini sangat disayangkan mengingat PT tidak dapat

melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. Kemudian

MKRI justru lepas tangan terhadap pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT

konstitusional.

Oleh karena itu, untuk menegaskan bahwa PT tidak dapat melindungi

keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya atau singkatnya PT

merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas, maka dalam sub judul ini

penulis akan membahasnya ke dalam dua bagian. Pertama, memaparkan

ketidaksetujuan penulis terhadap sikap MKRI yang lepas tangan terhadap

Page 21: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

55

penerapan PT. Kedua, mengemukakan alternatif penyederhanaan partai politik

selain menggunakan instrumen PT.

a. Lepas Tangan MKRI Terkait Penerapan Ambang Batas Parlemen

(Parliamentary Threshold)

Pengaturan ambang batas parlemen atau PT menurut penulis tidak dapat

melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. PT akan

menghambat keterwakilan politik minoritas karena PT diciptakan oleh lembaga

legislatif yang notabene diputuskan secara mayoritas, sehingga resiko yang timbul

adalah hak minoritas ditinggalkan. Untuk itu secara tegas dapat penulis katakan

bahwa pengaturan PT melambangkan tirani mayoritas terhadap minoritas.

Tirani mayoritas terhadap minoritas diperburuk dengan sikap MKRI yang

netral terhadap pengaturan PT atau dengan kata lain MKRI lepas tangan terhadap

pengaturan PT yang sebenarnya merugikan minoritas. Bentuk lepas tangan MKRI

terhadap pengaturan PT tersebut dapat dilihat dari argumen MKRI yang

menyatakan bahwa pengaturan PT merupakan ranah kebijakan legislatif terbuka,

yakni:

“.... kebijakan ET tidak diskriminatif karena berlaku untuk

semua Parpol, merupakan kebijakan pembentuk Undang-

Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6)

UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka, yaitu “Ketentuan lebih

lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”,

sehingga menurut MK, baik kebijakan ET maupun PT sama

konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007

bertanggal 23 Oktober 2007).”123

Kemudian lebih lanjut:

123

Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 95.

Page 22: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

56

“.... dengan demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan

dengan Pemilu, misalnya tentang sistem Pemilu, Daerah

Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan

sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk

Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang

secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) pembentuk

Undang-Undang, sudah barang tentu sepanjang tidak

menegasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945,

seperti prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip

keadilan, dan prinsip non diskriminasi .…”124

Pada putusannya, MKRI cenderung lepas tangan terhadap pengaturan PT

dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang sebagai

kebijakan legislatif terbuka, yakni:

“Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal

policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun

PT, ... Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah

menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk

menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama

tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan

rasionalitas ....”125

Sikap netral atau lepas tangan MKRI pada putusan di atas terhadap PT dengan

menyerahkan sepenuhnya kepada badan legislatif merupakan suatu kesalahan.

MKRI seharusnya dapat bertindak sebagai lembaga yudisial yang memiliki

kapasitas untuk melindungi hak minoritas kaitannya dengan keterwakilan politik

minoritas.

PT merupakan produk badan legislatif yang hakikatnya bertujuan untuk

penyederhanaan partai politik. Pembatasan PT menurut DPR perlu dilakukan

untuk mengurangi banyaknya partai politik yang tidak memperoleh dukungan

124

Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 96.

125 Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 130.

Page 23: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

57

signifikan dari rakyat sehingga berimplikasi pada kurang efektifnya kinerja

pemerintah. Seperti halnya keterangan pemerintah terkait tujuan PT bahwa:

Perubahan sistem Pemilu dari electoral threshol (ET) ke sistem

parliamentary threshold (PT) merupakan upaya Pemerintah

bersama DPR untuk menciptakan sistem multi partai yang

sederhana. Semangat perubahan sistem tersebut antara lain

adalah guna menciptakan sistem presidensial yang efektif.126

Selanjutnya ditegaskan pula oleh MKRI bahwa:

“Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-

Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem

kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang

dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara

sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi

jumlah peserta Pemilu ....”127

Menurut penulis pembatasan melalui PT tidak dapat dilakukan karena akan

berakibat pada tidak terwakilinya minoritas terutama keterwakilan politiknya.

Alasan rasional bahwa PT tidak dapat diterapkan karena PT dibentuk oleh badan

legislatif yang prosedur pengambilan keputusannya didasarkan oleh keputusan

mayoritas. Dengan demikian keputusan yang diambil oleh mayoritas

menimbulkan resiko diabaikannya hak-hak minoritas.

Sebenarnya kondisi tirani mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan

PT dapat dicegah oleh MKRI. Namun MKRI justru melewatkan kesempatan

untuk mengoreksi pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT adalah

konstitusional. Pernyataan konstitusional tersebut dapat dilihat dari putusan

MKRI bahwa:

“.... ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam

Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi

126

Keterangan Pemerintah Nomor 8 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h.

111.

127 Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 96.

Page 24: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

58

karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang

bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi

sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui

ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun

di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada

pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan

dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik

rakyat.”128

Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa MKRI menyetujui tirani

mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan PT dengan bentuk pernyataan

MKRI bahwa ketentuan PT adalah konstitusional.

b. Alternatif Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Masih Terbuka

Selain dengan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Walaupun penulis tidak sependapat dengan pembentuk undang-undang yang

memilih PT sebagai intrumen penyederhanaan partai politik, namun pada sisi lain

penulis sependapat perlunya mekanisme penyederhanaan partai politik.

Penyederhanaan partai politik diperlukan untuk menghindari terlalu banyaknya

partai politik di DPR serta menstabilkan pemerintahan. Banyaknya partai politik

menimbulkan terpecah belahnya kekuatan di DPR sehingga pemerintahan menjadi

gaduh dan tidak efektif.

Kondisi ini hanya dapat diminimalisir dengan mekanisme penyederhanaan

partai politik, tetapi bukan dengan instrumen PT. Sebuah negara yang

menghendaki penyederhanaan partai politik tidak akan gagal hanya karena tidak

menggunakan instrumen PT atau dapat dikatakan tanpa PT pun mekanisme

penyederhanaan partai politik akan berhasil.

128

Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 130.

Page 25: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

59

Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa konsekuensi dari dianutnya

sistem proporsional adalah penerapan PT sebagai instrumen penyederhanaan

partai politik. PT hakikatnya secara universal tidak menjadi masalah

penerapannya diberbagai negara dalam usaha penyederhanaan partai politik.

Namun penerapan PT menjadi masalah ketika representasi tidak dapat terwujud,

lebih khusus representasi minoritas.

Penulis tidak setuju PT digunakan sebagai instrumen untuk penyederhanaan

partai politik karena PT akan merugikan pemilih dan caleg yang telah memenuhi

BPP. Ketidakadilan PT terutama bagi caleg yaitu terdapat kondisi dimana seorang

kandidat secara perhitungan mendapatkan kursi di parlemen tetapi kandidat

tersebut kehilangan kursi karena partainya tidak mampu melampaui PT.

Penulis justru setuju dengan alternatif menyederhanakan jumlah fraksi di

parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi

(fractional threshold).129

Alternatif ini dapat diterapkan dengan jalan menyatukan

kekuatan di parlemen dalam beberapa fraksi selama kurun waktu 5 tahun.

Kemudian fraksi tersebut berisikan partai-partai yang lolos ambang batas

pembentukan fraksi, sehingga partai-partai yang tidak mencapai ambang batas

pembentukan fraksi harus menggabungkan diri dengan partai yang seideologi

yang telah memenuhi ambang batas pembentukan fraksi. Penyederhanaan partai

politik dengan FT memberikan dampak positif terhadap tidak adanya suara yang

hilang. Dalam FT setiap suara dihargai dan dilindungi, lain halnya dengan PT

yang justru menghilangkan suara yang tidak mencapai 3,5%. Koalisi antar partai

politik di parlemen tersebut yang kemudian dipandang sebagai bentuk

129

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi,

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 272.

Page 26: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

60

penyederhanaan partai politik. Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan

dalam fraksi, yang mana harus tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi maka

diberlakukan musyawarah. Inilah sebenarnya demokrasi yang menjadi jati diri

bangsa Indonesia.

Memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi untuk menyederhanakan

fraksi di DPR, sejauh ini dapat dipandang sebagai alternatif yang tepat ketimbang

menerapkan PT. Menurut Hanta Yuda, “tujuan utama dari pemberlakuan ambang

batas pembentukan fraksi adalah menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di

parlemen agar proses politik lebih efisien.”130

Ambang batas pembentukan fraksi ini lebih adil karena tidak akan

menghilangkan suara pemilih dan caleg. Sebagai contoh, apabila ambang batas

pembentukan fraksi ditetapkan sebesar 20% kursi di parlemen, maka akan

terdapat 5 fraksi di parlemen. Kemudian 5 fraksi ini yang akan menjalankan

proses politik selama 5 tahun secara efisien. Ambang batas pembentukan fraksi

tepat karena berfokus untuk bagaimana membuat kinerja parlemen efisien untuk

menstabilkan pemerintahan.

3. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Tidak

Mencerminkan Keterwakilan Minoritas

Ambang batas parlemen atau PT merupakan kebijakan yang diambil

pemerintah dan DPR dalam rangka penyederhanaan partai politik. PT tersebut

memiliki legalitas sebab didukung oleh adanya undang-undang. Selain itu, PT

yang menggagalkan partai politik untuk mendudukkan wakil-wakilnya di

130

Ibid.

Page 27: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

61

parlemen (setelah memenuhi BPP) karena tidak mampu memenuhi PT, juga

didukung oleh argumen formal yang tidak menganggap serius hilangnya

keterwakilan minoritas.

Oleh karena itu, sebelum penulis mengargumentasi secara substantif bahwa

PT tidak mencerminkan keterwakilan minoritas, penulis akan menanggapi lebih

dulu argumen formal yang mendukung PT dan kontra dengan argumen substantif

penulis.

a. Catatan Terhadap Argumen Formal

Ketiga argumen formal yang mendukung PT hanya melihat permasalahan

penerapan PT secara sederhana, sehingga tidak menjangkau permasalahan-

permasalahan spesifik dari konsekuensi penerapan PT yang sangat substansial.

Cara pandang argumen formal yang sederhana atau dapat dikatakan pemikiran

yang dangkal terhadap konsekuensi penerapan PT dapat terlihat dari bagaimana

argumen formal memandang hilangnya suara dalam sebuah kompetisi merupakan

kondisi yang lazim terjadi. Pola pemikiran argumen formal hanya mencakup hal-

hal yang bersifat umum seperti melihat DPR hanya dari segi kelembagaan maka

jelas bahwa secara umum DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Hal yang

demikian inilah yang penulis katakan bahwa argumen formal tersebut merupakan

suatu kumpulan alasan yang sangat sederhana, justru hal yang sangat subtansial

tidak dapat dijabarkan oleh argumen formal itu sendiri.

Argumen formal hakikatnya hanya menjabarkan suatu masalah pada posisi

netral sehingga tidak menggali nilai-nilai substantif dari suatu permasalahan yang

sebenarnya perlu untuk menjadi perhatian khusus. Argumen formal yang

digunakan untuk mendukung PT sangatlah dangkal dalam menganalisa masalah-

Page 28: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

62

masalah yang timbul akibat dari penerapan PT. Argumen formal tidak melihat

apabila PT diterapkan maka akan berdampak serius pada pelanggaran prinsip-

prinsip fundamental yang seharusnya dipertahankan. Sifat argumen formal yang

dangkal dapat terlihat dari cara memandang kompetisi dalam Pemilu hanya

sebatas persaingan antara partai politik, tetapi argumen formal tidak melihat

bahwa dalam Pemilu juga terdapat persaingan antar caleg untuk memenuhi BPP.

Argumen formal sangatlah sederhana bahkan cenderung dangkal dalam

menjelaskan permasalahan di atas, terlebih argumen formal telah memisahkan

persaingan antara partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu sehingga

terkesan bahwa dalam Pemilu yang ada hanya persaingan antara partai politik

tanpa melibatkan caleg.

Selain memisahkan persaingan partai politik dan persaingan antar caleg

dalam Pemilu, argumen formal juga dapat membahayakan demokrasi. Sejatinya

ide dasar dari demokrasi perwakilan yaitu sistem politik harus mewakili secara

keseluruhan, akan tetapi kenyataannya ide dasar demokrasi yang mengharuskan

perwakilan keseluruhan tidak dapat sepenuhnya diterapkan sehingga

mensyaratkan seorang wakil harus memenuhi BPP untuk dapat menjadi wakil di

parlemen. Syarat BPP ini mutlak dipenuhi oleh seorang caleg agar dapat

menjalankan prinsip perwakilan.

Namun argumen formal telah mencederai prinsip keterwakilan karena

argumen formal telah menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP. Tindakan

menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP ini bertentangan dengan sistem

pemilihan terbuka dalam pemilu. Dalam sistem terbuka, rakyat tidak lagi memilih

partai politik mana yang akan mewakili mereka di parlemen, tetapi rakyat telah

Page 29: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

63

memilih orang (caleg dari suatu partai politik) yang nantinya akan mewakili

mereka di parlemen. Prinsip ini yang seharusnya dipertahankan dalam sistem

proporsional pemilu kita. Sayangnya caleg yang lolos BPP ini tidak beruntung

karena partai politik yang mencalonkannya tidak mencapai PT dan di sisi lain UU

pemilu legislatif mengatur PT. Oleh karena itu, caleg yang memenuhi BPP

hakikatnya harus duduk menjadi wakil di parlemen. Kondisi ini yang seharusnya

konsisten dengan prinsip demokrasi, bukan dengan argumen formal yang

melegalkan PT.

Dari catatan terhadap argumen fomal di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa argumen formal tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk

mendukung PT karena tidak menganggap serius permasalahan dibalik penerapan

PT. Oleh karena itu, penulis menyatakan tidak setuju dengan ketiga argumen

formal yang digunakan untuk mendukung berlakunya PT dalam rangka

penyederhanaan partai politik. Argumen formal tidak dapat mencakup hal

substansial dari pemberlakuan PT, sehingga menurut penulis ketiga argumen

formal tersebut hanya bersifat formalitas sehingga tidak dapat menjangkau hal

yang substantif yaitu keterwakilan minoritas. Terkait dengan permasalahan di

atas, penulis telah melakukan tiga penyangkalan terhadap argumen formal yang

mendukung PT.

Penyangkalan pertama yang dilakukan oleh penulis yaitu meskipun anggota

DPR merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak

mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen. Pembentukan wakil rakyat

merupakan proses dimana konstituen memberikan mandat kepada wakilnya dan

wakil tersebut mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan

Page 30: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

64

responsif pada konstituen.131

Dengan begitu para wakil rakyat dengan sendirinya

akan bertindak dengan mempertimbangkan aspirasi dari konstituen yang

diwakilinya, sehingga besar kemungkinan keputusan yang mereka buat sedikitnya

akan mencerminkan aspirasi konstituennya. Seperti yang dikatakan oleh Abdur

Rozaki dkk bahwa; “.... seorang wakil rakyat melakukan tindakan politik yang

mencerminkan kehendak atau preferensi dari konstituennya. Preferensi tersebut

diperoleh dengan cara tatap muka secara langsung ....”132

Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa anggota DPR dalam melakukan tindakan politik sedikitnya harus

mencerminkan kehendak konstituen yang didapat melalui pertemuan langsung

kepada konstituennya untuk menyerap aspirasi mereka sehingga secara tidak

langsung para anggota DPR tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya.

Kemudian terdapat pembagian dua konsep perwakilan rakyat dapat dilihat

dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili,

yakni:133

1. Perwakilan dengan tipe delegasi (mandat) yang berpendirian

wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili.

Ia harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil rakyat

terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki

kebebasan berbicara lain daripada yang dikehendaki

konstituennya. Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki

kontak secara langsung dan kontinu dengan konstituen.

Hubungan ini diperlukan untuk menjaga ketersambungan

aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai

dua pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur

jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.

131

Abdur Rozali dkk., Menuju Representasi Susbtantif: Potret Representasi

Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Penerbit IRE (Institute

for Research and Empowerment), Yogyakarta, 2014, h. 20.

132 Ibid., h. 21.

133 Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintas Sejarah dan Sistemnya, Penerbit

Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 24-25.

Page 31: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

65

2. Perwakilan dengan tipe trustee (independent) berpendirian

bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang

bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan

secara baik (good judgment). Wakil rakyat memiliki kebebasan

untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu. Dasar

pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam

bertindak lebih mengutamakan kepentingan nasional. Jika

terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan kepentingan

nasional, maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan

nasional, dengan tetap memerhatikan aspirasi rakyat. Wakil

rakyat tidak terikat secara mutlak dengan rakyat sehingga ia

bebas bertindak ....

Dari dua hubungan tersebut, maka yang lebih mencerminkan hubungan anggota

DPR dengan kontituen serta memperkuat argumen penulis adalah perwakilan

dengan tipe trustee (independent). Perwakilan tipe trustee ini terbentuk atas dasar

kepercayaan, sehingga para anggota DPR mewakili kepentingan nasional tetapi

tetap harus memperhatikan aspirasi konstiuen. Selanjutnya terdapat empat tipe

hubungan antara wakil dan yang diwakili, yakni:134

1. Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut

pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak

yang diwakilinya.

2. Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak

yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikan.

3. Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai

wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil

akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

4. Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program

partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya

dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya

terikat kepada partai atau organisasi yang mencalonkannya.

Berdasarkan keempat tipe di atas, penulis berpendapat bahwa tipe wakil sebagai

politico lebih tepat untuk menggambarkan hubungan antara anggota DPR dan

konstituennya. Tipe wakil sebagai politico sesuai untuk memperkuat argumen

134

Ibid., dikutip dari Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca-

Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Sistem Perwakilan di Indonesia dan

Masa Depan MPR RI, Fokusmedia, Bandung, 2007, h. 56.

Page 32: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

66

penulis karena para anggota DPR dalam melakukan tugas adakalanya bertindak

sebagai wakil seluruh rakyat, namun di sisi lain tetap harus memperhatikan

aspirasi kontituen. Seperti halnya pada masa reses, dimana para anggota DPR

melakukan pekerjaan di luar gedung DPR, menjumpai kontituen di Dapil masing-

masing yang bertujuan menjaring dan menampung aspirasi konstituen. Di

samping wakil rakyat tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya, para wakil

rakyat sejatinya bukan wakil semua rakyat melainkan wakil partai politik yang

mencalonkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Abdi Yuhana bahwa:

“.... wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil bertindak sesuai

dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas

hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai.

Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang

mencalonkannya.”135

Kemudian yang kedua adalah argumen penulis yang menyatakan bahwa

terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg telah memenuhi BPP tetapi

partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di parlemen diakibatkan berlakunya

PT. Pendapat penulis di atas diperkuat oleh pendapat M. Akil Mochtar bahwa:

Penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu

Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness)

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal

uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai

politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu

legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di

parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary

threshold.136

Kemudian lebih lanjut M. Akil Mochtar memperjelas akibat penerapan PT, yakni:

Parliamentary threshold, mengakibatkan tidak terpilihnya

seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat walaupun

135

Ibid.

136 Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor

52/PUU-X/2012, h. 106.

Page 33: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

67

perolehan suaranya diperoleh secara sempurna melampaui

ambang batas yang ditentukan dari harga sebuah kursi di daerah

pemilihan (Dapil) yang sesungguhnya juga merupakan threshold

di tingkat daerah pemilihan, tetapi partainya akan terus menjadi

peserta pemilihan umum berikutnya.137

Pendapat di atas memperlihatkan penerapan PT berakibat tidak terpilihnya calon

anggota DPR yang sebenarnya telah memenuhi harga sebuah kursi di Dapil tetapi

hanya karena pemberlakuan PT, partainya selalu akan menjadi peserta Pemilu dan

tidak akan mendapatkan kursi di parlemen.

Argumen penulis yang menyatakan bahwa pemberlakuan PT akan

menghambat seorang calon yang telah memenuhi BPP, diperkuat kembali oleh

pendapat Pipit Rochiyat Kartawidjaja, yakni:

“ .... sebab dengan ditetapkannya ambang batas, calon anggota

legislatif di suatu Dapil akan tidak terpilih karena secara

nasional partai politiknya tidak lolos ambang batas 2,5 % (dua

koma lima perseratus), meskipun di Dapilnya perolehan

suaranya melebihi partai-partai politik yang lolos ambang

batas”.138

Dari dissenting opinion dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

PT mengakibatkan calon anggota DPR yang perolehan suaranya melampaui BPP

tidak akan menduduki kursi di parlemen karena partainya tidak mampu mencapai

besaran PT yang ditentukan pembentuk undang-undang.

Selanjutnya argumen penulis ketiga yang menyatakan meskipun unsur

fairness UU Pemilu Legislatif terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT

tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas.

Pengaturan PT merupakan skenario mayoritas DPR untuk menyingkirkan

137

Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor

3/PUU-VII/2009, h. 139.

138 Keterangan ahli Pipit Rochiyat Kartawidjaja di bawah sumpah dalam persidangan

tanggal 29 Januari 2009 dan tanggal 4 Februari 2009 pada Putusan MKRI Nomor 3/PUU-

VII/2009, h. 100.

Page 34: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

68

minoritas dalam hal ini caleg yang lolos BPP. Pengaturan PT merupakan bentuk

tirani mayoritas terhadap minoritas yang dilakukan secara halus atas dasar alasan

rasional yaitu kebijakan legislatif terbuka pembentuk undang-undang yang

kewenangannya didelegasikan oleh UUD NRI 1945. Pengaturan PT ini tidak adil

karena diciptakan oleh keputusan mayoritas sehingga besar kemungkinan hak-hak

minoritas ditiadakan. Oleh karena itu, untuk melindungi minoritas dari tirani

mayoritas perlu diberlakukan prinsip majority rule minority rights.139

Prinsip

majority rule minority rights sangat tepat dijadikan batasan bagi mayoritas untuk

mengambil keputusan. Dengan diterapkannya prinsip ini, maka pemerintahan

yang dijalankan oleh mayoritas tidak akan menghilangkan hak-hak minoritas

dalam hal ini keterwakilan politik minoritas.

b. Hakikat Keterwakilan Minoritas dalam Demokrasi Perwakilan

Secara konseptual, demokrasi mengandung pengertian pemerintahan yang

dijalankan sendiri oleh rakyat (self goverment). Pada masa dahulu demokrasi

dalam pengertian tersebut dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat karena

bentuk susunan negara pada saat itu tergolong sederhana dan jumlah rakyat

termasuk kecil belum sebesar polulasi rakyat pada masa kini. Berlangsungnya

demokrasi langsung ini pada masa dahulu didukung oleh masalah kenegaraan

yang tidak begitu rumit. Kondisi negara sekarang yang berkembang dan mengarah

pada negara modern, ditandai dengan daerah suatu negara yang bertambah luas

dan jumlah populasi rakyat yang semakin banyak serta tersebar diseluruh pelosok

139

Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, Op.Cit., h. 48, dikutip dari Hans Kelsen,

Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, h. 51.

Page 35: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

69

negara, sehingga dapat dimengerti apabila demokrasi langsung tidak dapat

diterapkan secara mutlak sebagaimana pada masa Yunani kuno.140

Demikian rumitnya persoalan negara serta semakin luas negara dan

banyaknya populasi rakyat, maka diperlukan sistem demokrasi yang tetap

mempertahankan nilai dari demokrasi itu sendiri yaitu melalui sistem demokrasi

perwakilan. Demokrasi perwakilan ini dirasa penulis lebih tepat untuk

menjalankan sistem pemerintahan Indonesia. Demokrasi perwakilan merupakan

sebuah sistem dimana rakyat menunjuk wakil-wakilnya yang menjadi

kepercayaannya untuk membawakan kemauan rakyat di dalam pemerintahan.141

Kemudian wakil-wakil inilah yang nantinya akan bertindak untuk dan atas nama

rakyat dalam masalah-masalah pemerintahan. Para wakil ini tentunya harus

memenuhi persyaratan-persyaratan untuk menjadi wakil di pemerintahan.

Idealnya dalam negara demokrasi semua orang harus terwakili dalam urusan

politiknya, akan tetapi konsep tersebut tidak mungkin dapat terwujud secara

mutlak. Konsep di atas tidak mungkin terjadi dikarenakan penentuan wakil-wakil

rakyat harus melalui kompetisi bernama Pemilu. Proses kompetisi untuk

menentukan wakil tersebut dijustifikasi oleh sistem pemilihan sebagai salah satu

ciri khas sebuah negara yang diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi. Sistem

pemilihan melalui kompetisi memberikan konsekuensi tidak semua rakyat mampu

terwakili di parlemen. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari dianutnya

asas demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi perwakilan

140

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara,Op.Cit., h. 23.

141 Ibid.

Page 36: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

70

akan sempurna apabila penyelenggaraan suatu negara berjalan secara demokratis

melalui wakil-wakil yang mewakili seluruh rakyat.

Sistem pemilihan yang digunakan untuk menentukan wakil dalam

demokrasi perwakilan menciptakan sebuah kondisi dimana terdapat pihak

pemenang pada satu sisi dan pihak yang kalah pada sisi lain. Hasil dari proses

Pemilu tersebut merupakan hal yang lazim terjadi dan harus diterima sebagai

sebuah akibat proses demokrasi yang agak kurang ideal. Sebagai akibatnya pihak

yang kalah melalui proses kompetisi tidak akan terwakili di parlemen. Tidak

terwakilinya pihak yang kalah (tidak mencapai BPP) adalah adil, manakala

melihat kembali ketentuan itu merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari

sebuah kompetisi. Pihak yang tidak terwakili karena kalah dalam Pemilu adalah

adil sebagai akibat dari wakil yang mereka kehendaki untuk duduk di parlemen

tidak dapat bersaing dengan wakil lainnya untuk memenuhi BPP.

Namun pada sisi lain tidak terwakilinya rakyat di parlemen tidak serta-merta

terjadi karena kalah secara adil melalui proses Pemilu. Tidak terwakilinya

kebebasan politik mereka dikarenakan oleh penerapan PT sebagai mekanisme

yang digunakan untuk menentukan wakil yang duduk di parlemen. PT

menimbulkan permasalahan serius bagi tidak terpilihnya seorang wakil

(memenuhi BPP) karena partai politik yang mencalonkannya tidak mampu

bersaing memenuhi PT. Permasalahan lainnya penerapan PT sebagai penentuan

wakil manakala dihadapkan pada sistem proporsional dengan sistem daftar

terbuka dimana rakyat langsung memilih nama wakil yang diharapkan mewakili

mereka, bukan lagi memilih partai politik. Sistem pemilihan terbuka mengandung

pengertian bahwa rakyat telah memberikan harapannya kepada wakil (memenuhi

Page 37: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

71

BPP), tetapi harapannya dipatahkan oleh kenyataan bahwa wakil yang ia pilih

gagal duduk di parlemen karena terbentur oleh penerapan PT.

Dalam sistem demokrasi perwakilan idealnya semua elemen rakyat harus

terwakili tanpa terkecuali, akan tetapi hakikat ideal demokrasi tersebut tidak

mungkin dapat diterapkan. Tidak dapat terwakilinya seluruh rakyat mengingat

bahwa jumlah rakyat yang besar tidak sebanding dengan wakil yang ada.

Selanjutnya untuk tetap menjamin perwakilan yang ideal, pembentuk undang-

undang menetapkan PT sebagai tolak ukur perwakilan yang ideal. Namun PT

menimbulkan akibat perubahan kursi bahkan hilangnya kursi caleg yang telah

memenuhi BPP sehingga kursi tersebut digantikan oleh caleg yang sebenarnya

secara perhitungan hanya mendekati BPP atau jauh dari BPP, tetapi caleg tersebut

diusung oleh partai politik yang memenuhi PT. Apabila syarat untuk menentukan

seorang wakil berdasarkan partai politik yang lolos PT, ada resiko terlalu besar

bagi caleg yang memenuhi BPP tetapi akhirnya gagal duduk di parlemen. Kondisi

ini justru bertentangan dengan prinsip keterwakilan yang ideal.

Oleh karena itu, agar demokrasi perwakilan dapat berlangsung secara ideal

dimana ide persamaan dan kebebasan berpolitik setiap individu tetap dijamin

eksistensinya, maka perlu mekanisme untuk mewadahi keterwakilan politik

mereka. Keterwakilan yang ideal yaitu manakala semua caleg yang memenuhi

BPP harus duduk sebagai wakil di parlemen. Mekanisme BPP ini yang seharusnya

diterapkan untuk menentukan wakil, bukan dengan menerapkan PT. Menjamin

keterwakilan dengan mekanisme BPP adalah pilihan yang tepat, mengingat caleg

yang bersangkutan telah mendapatkan dukungan dari konstituen dan memenuhi

BPP sehingga caleg yang bersangkutan memperoleh kursi di parlemen.

Page 38: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

72

Keterwakilan dengan BPP menjamin peluang lebih besar keterwakilan bagi rakyat

di parlemen. Jaminan prinsip keterwakilan ini tidak akan dapat diwujudkan

apabila menggunakan PT. PT justru bertentangan dengan perlindungan minoritas

terutama keterwakilan politiknya karena para wakil tersebut memenuhi angka

BPP, tetapi seorang wakil tidak akan duduk di parlemen dikarenakan partainya

tidak lolos PT. Kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan demokrasi perwakilan

dalam sistem demokrasi untuk menjamin representasi yang mendekati sempurna.

Kemudian berkaitan dengan efektifnya fungsi partai politik dalam sistem

demokrasi, penulis sependapat dengan kebijakan pembentuk undang-undang

untuk melakukan penyederhanaan partai politik, tetapi bukan dengan menetapkan

PT. Penyederhanaan partai politik tetap harus sejalan dengan ide demokrasi yaitu

persamaan, kebebasan, dan perlindungan minoritas. Ketiga syarat tersebut harus

terpenuhi ketika sebuah negara menghendaki penyederhanaan partai politik.

Apabila penyederhanaan partai politik tetap dilakukan dengan PT, maka akan

bertentangan dengan sistem daftar terbuka sekaligus mencederai konstituen yang

telah memilih seorang wakil untuk menyampaikan aspirasinya di parlemen. Oleh

karena itu, penyederhanaan partai politik tidak boleh dilakukan dengan merubah

posisi kursi yang telah didapat seorang caleg (memenuhi BPP) agar tidak

mencederai kontituen yang telah memilih caleg yang bersangkutan.

PT hakikatnya ditujukan untuk menyederhanakan partai politik yang ada di

parlemen untuk mencegah kegaduhan di parlemen. Namun kebijakan PT ini

sangatlah janggal karena pada kenyataannya kegaduhan yang terjadi di DPR itu

bukan diakibatkan oleh banyaknya partai politik di parlemen, tetapi lebih tepatnya

diakibatkan oleh banyaknya fraksi di DPR sehingga mengakibatkan tidak

Page 39: BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …

73

efektifnya kinerja parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik lebih

baik dilakukan di parlemen dengan kebijakan ambang batas pembentukan fraksi

(fractional threshold).142

Ambang batas pembentukan fraksi merupakan kebijakan

yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik dari pada PT karena

dengan ambang batas pembentukan fraksi tidak ada suara yang hilang dan FT

tidak menyingkirkan caleg yang lolos BPP untuk menjadi wakil di parlemen.

142

Hanta Yuda AR, Loc.Cit.