BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …
Transcript of BAB III AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD …
35
BAB III
AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY
THRESHOLD) DAN ASAS KETERWAKILAN MINORITAS
Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang
ditujukan untuk pemilihan anggota DPR, bertujuan untuk penyederhanaan partai
politik. Dalam perjalanannya terdapat pengujian mengenai konstitusionalitas
kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dilakukan oleh
MKRI. Pengujian tersebut menghasilkan keputusan bahwa kebijakan ambang
batas perlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional. Pendapat MKRI
tersebut tidak substantif karena tidak mempertimbangkan adanya prinsip
perlindungan minoritas. Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) dapat dipandang sebagai sebuah skenario yang dilakukan oleh
mayoritas agar jumlah partai politik sedikit sehingga berimplikasi pada
berkurangnya persaingan terbuka untuk dapat menduduki kursi DPR. Berdasarkan
uraian mengenai tidak adanya perlindungan minoritas dalam penerapan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold), maka dalam bab ini penulis hendak
menegaskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold)
bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.
Oleh karena itu, untuk melakukan pembahasan yang lebih detail dalam bab
ini, maka sistematika pembahasan dalam bab ini adalah sebagai berikut. Pertama,
menguraikan landasan yuridis mengenai ambang batas parlemen dalam UU
Pemilu Legislatif (infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan alasan diterapkannya
36
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) bagi pemilihan anggota DPR
(infra Sub-judul B). Ketiga, memaparkan mengenai pendapat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yang mempertahankan konstitusionalitas ambang
batas parlemen (parliamentary threshold) (infra Sub-judul C). Keempat,
mengemukakan argumen untuk mengkritisi penerapan ambang batas parlemen
yang bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.
A. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dalam
Undang-Undang Pemilu Legislatif
Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Indonesia
mengalami beberapa peningkatan sejalan dengan perubahan terhadap Undang-
Undang Pemilu Legislatif. Ketentuan mengenai ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) dan ruang lingkup pemberlakuannya pertama kali
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) pada Pasal 202
Ayat (1) dan (2) yang manyatakan bahwa:
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan
perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.91
Kemudian implikasi dari ditetapkannya ambang batas parlemen tersebut
(parliamentary threshold) tertuang dalam Pasal 203 Ayat (1) menyatakan bahwa;
91
Lihat Pasal 202 Ayat (1) dan (2)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836).
37
“Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada
penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.”92 Lebih
lanjut lagi dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008, menjelaskan
fungsi dari ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai unsur
penetapan angka BPP dalam Pasal 203 Ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa:
Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah
pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta
Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu
yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).93
Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik
peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu
daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara
membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di
satu daerah pemilihan.94
Perkembangan partai politik yang begitu pesat menyebabkan perubahan
terhadap besarnya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tersebut
menjadi 3,5 % dari jumlah suara nasional dalam pasal 208 UU Pemilu Legislatif
Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima
persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.95
92
Pasal 203 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
93 Pasal 203 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
94 Pasal 203 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
95 Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan
38
Kemudian ketentuan lain yang menjadi konsekuensi adanya ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) adalah pasal 209 Ayat (1) yang mengatakan
bahwa:
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 208,
tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah
pemilihan.96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih)
yang menggunakan ambang batas parlemen sebagai unsur pengitungan BPP
terdapat dalam pasal 209 Ayat (2) dan (3) UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun
2012 yang menyatakan bahwa:
Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD,
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan
ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu
dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 208.97
Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu
daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan cara membagi
jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di suatu daerah
pemilihan.98
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316). Dalam penjelasan pasal demi pasal, yang
dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan suara DPR,
sehingga dengan demikian ketentuan pasal 208 tidak berlaku untuk DPRD.
96 Lihat Pasal 209 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
97 Pasal 209 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
98 Pasal 209 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
39
B. Alasan Penerapan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary
Threshold) dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif
Kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sejatinya
merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah maupun DPR untuk
menyederhanakan partai politik dalam rangka mencapai efisiensi partisipasi partai
politik dalam pemerintahan. Seperti yang tertuang dalam penjelasan umum
Undan-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) yang menyatakan bahwa:
Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen
(Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi
suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari
Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang
memperoleh suara terbanyak. Perubahan-perubahan ini
dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat
melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang
selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.99
Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan
suatu instrumen yang secara alami terjadi pada suatu negara. Untuk menjelaskan
alasan kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di
Indonesia, maka penulis akan menguraikan lebih lanjut keterangan pemerintah
dan DPR terkait penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold)
dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif sebagai berikut:
99
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
40
1. Keterangan Pemerintah
Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, pemerintah memberikan
keterangan munculnya ambang batas parlemen yakni:
Bahwa penyempurnaan sistem kepartaian mutlak dilakukan
dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah yang efektif dan
produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila
penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim
pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung
jawab, dan transparan, sehingga bangsa Indonesia dapat
memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa yang
besar, damai, dan bermatabat. Kebijakan terkait pemberlakuan
PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas
program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah.100
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD kabupaten/kota dengan
ambang batas perolehan suara sah secara nasional memberikan
kebebasan partai politik untuk berkompetisi secara sehat dalam
penyelenggaraan Pemilu 2014, untuk mendapatkan suara rakyat
cara mudah untuk menentukan partai politik mana yang terpilih
secara nasional, untuk menghindari adanya persoalan-persoalan
sengketa Pemilu. Hal tersebut merupakan legal policy yang
didelegasikan oleh Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar
1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam
pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar
kebijakan tersebut yang diamanatkan Undang-Undang Dasar
1945.101
Kemudian lebih lanjut dijelaskan semangat diberlakukannya ambang batas
parlemen secara nasional yakni:
“.... semangat memerlukan PT secara nasional adalah untuk
membentuk partai politik yang bersifat nasional, baik secara
kesekretariatan, maupun keterwakilan di DPR, dan DPRD
kabupaten/kota. Dengan demikian, partai politik dapat secara
efektif memperjuangkan dan membela kepentingan politik baik
di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan PT secara nasional
dalam Pasal 208 UU 8/2012 sama sekali tidak mengabaikan
prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1)
100
Keterangan Pemerintah Nomor 9 dan 10 dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-
X/2012., h. 36.
101 Keterangan Pemerintah Nomor 12 dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h.
65.
41
dan (3) UUD 1945 karena setiap orang warga negara dan partai
politik peserta pemilu diperlakukan sama dan mendapat
kesempatan yang sama, mulai kompetisi secara demokratis
dalam Pemilu 2014 yang merupakan kebutuhan dan kepentingan
bangsa Indonesia ke depan.”102
Dari keterangan pemerintah tersebut terlihat bahwa ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) diperlukan sebagai instrumen penyederhanaan partai
politik yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik yang nantinya akan
memberikan kekuatan, kewibawaan, dan martabat bagi pemerintah. Ambang batas
parlemen secara nasional diperlukan untuk menciptakan kompetisi yang sehat
antar partai politik serta mempermudah penetapan partai politik terpilih dan
menghindari sengketa Pemilu. Tujuan lain diberlakukannya ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) adalah sebagai alat untuk mensinergikan
partai politik di pusat dan daerah sehingga partai politik secara efektif
memperjuangkan serta membela kepentingan politik secara penuh. Pemerintah
beranggapan bahwa Pasal 208 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 sesuai
dengan konstitusi dan tidak melanggar HAM karena setiap warga negara dan
partai politik peserta pemilu diperlakukan sama.
2. Keterangan DPR RI
Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, DPR memberikan keterangan
munculnya ambang batas parlemen yakni:
Sejatinya, Pasal 208 UU 8/12 tersebut merupakan sebuah upaya
dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan partai politik yang
bersifat nasional. Hal tersebut sama sekali tidak mengebiri
kehadiran partai yang bersifat lokal. Pemberlakuan treshold
102
Keterangan Pemerintah Nomor 13 dan 16 dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-
X/2012., h. 37-38.
42
bersifat nasional ini merupakan ikhtiar DPR bersama
Pemerintah dalam menciptakan harmoni dan keterpaduan antara
parlemen tingkat pusat dan daerah.103
Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT
jika tidak mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah
parpol tidak cukup hanya dengan modal lolos syarat
administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat pengakuan
dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam
syarat lolos PT.104
Kemudian keterangan lebih lanjut dari DPR mengenai tujuan dari ambang batas
parlemen yakni:
“.... niat awal penerapan treshold adalah demi tercapai efisiensi
dan efektivitas sistem keparlemenan. Pembahasan tentang hal
ini merupakan bentuk dari keseriusan dalam menciptakan sistem
pemilu yang lebih baik dan mendorong partai politik bekerja
lebih baik demi kepentingan rakyat banyak sehingga semakin
memperoleh kepercayaan rakyat dalam pemilu. Harapan kita
agar rakyat tidak bingung dengan terlalu banyaknya parpol
sebagaimana yang dikeluhkan saat ini dan mendorong setiap
partai politik peserta Pemilu untuk mengkonsolidasikan setiap
kegiatan dan programnya dan menyampaikannya kepada rakyat
dalam kampanye.”105
Pendapat DPR RI di atas memperlihatkan bahwa tujuan awal
diberlakukannya ambang batas parlemen, yaitu untuk mencapai efisiensi dan
efektivitas sistem keparlemenan. DPR RI berpendapat bahwa ambang batas
parlemen cocok untuk mendorong partai politik bekerja demi kepentingan rakyat.
Kemudian ambang batas parlemen menurut DPR RI dapat menjadi solusi bagi
kebingungan rakyat sebagai akibat dari banyaknya partai politik. Ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) sejatinya merupakan wujud nyata pengakuan
rakyat kepada partai politik peserta pemilu.
103
Keterangan DPR RI huruf b dan c dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h.
44-45.
104 Keterangan DPR RI huruf b dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 73.
105 Keterangan DPR RI huruf e dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h. 46.
43
Keterangan antara pemerintah dan DPR RI memiliki perbedaan yang
mencolok dalam hal fungsi diberlakukannya ambang batas parlemen
(parliamentary threshold). Pemerintah beranggapan bahwa ambang batas
parlemen diperlukan untuk membentuk partai politik yang bersifat nasional guna
memperjuangkan dan membela kepentingan politik di tingkat pusat dan daerah.
Sedangkan DPR RI beranggapan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) digunakan untuk menciptakan partai politik yang bekerja demi
kepentingan rakyat untuk mendapat kepercayaan rakyat.
C. Pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
Mempertahankan Konstitusionalitas Ambang Batas
Parlemen (Parliamentary Threshold)
Permasalahan penerapan ketentuan ambang batas parlemen di Indonesia
mengahadapi beberapa tantangan dari individu yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan oleh adanya ambang batas parlemen tersebut. Mereka beranggapan
bahwa ketentuan ambang batas parlemen telah melanggar konstitusi Pasal 28D
Ayat (3) bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.”, dan Pasal 28E Ayat (3) bahwa “setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Permasalah
tersebut terbukti dengan diajukannya uji materiil terhadap ketentuan ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) pada MKRI. Dalam putusannya, MKRI
cenderung mempertahankan konstitusionalitas ketentuan ambang batas parlemen
tersebut. Pendapat Mahkamah yang mempertahankan konstitusionalitas ambang
44
batas parlemen pada putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009 berlaku mutatis
mutandis terhadap pertimbangan hukum putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012
yang mengatakan bahwa:
Mahkamah menyatakan bahwa kebijakan ET tidak diskriminatif
karena berlaku untuk semua Parpol, merupakan kebijakan
pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan
oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka,
yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang”, sehingga menurut MK, baik kebijakan
ET maupun PT sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor
16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007).106
Selanjutnya MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen hanya mengikat
bagi penentuan kursi DPR dan tidak mengikat bagi penentuan kursi DPRD
sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya bahwa:
“.... Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah
tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan
memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20
ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan
Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan
DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat
dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah
juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli
dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi
penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi
DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru
kebijakan yang proporsional.”107
Kemudian lebih lanjut MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen
tidak melanggar HAM sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya
bahwa:
“.... menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1)
UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip
106
Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 95.
107 Ibid., h. 96.
45
HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap
Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat
kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis
dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung
dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang
bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap
sama.”108
Kemudian lebih lanjut dalam pertimbangan hukumnya MKRI menjelaskan
bahwa:
“.... Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU
10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur
yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi
semua Parpol Peserta Pemilu dan keseluruhan para calon
anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga
tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin,
status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR).”109
Dalam pertimbangan hukumnya, MKRI berkesimpulan bahwa:
Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan
mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan
Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga
negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi
dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat
memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi
selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-
Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-
Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.110
Melihat pertimbangan hukum yang diberikan MKRI terhadap
konstitusionalitas kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold),
Mahkamah tetap bersikukuh bahwa kebijakan ambang batas parlemen yang
108
Ibid., h. 97.
109 Ibid.
110 Ibid.
46
berlaku untuk DPR sesuai dengan konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a
quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai
politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT
untuk dapat memiliki wakil di DPR serta kewenangan menentukan besar kecilnya
angka PT tersebut berada di tangan DPR sebagai legislator. Ambang batas
parlemen tidak mengebiri prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945 karena setiap orang, setiap warga negara,
dan setiap partai politik peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat
kesempatan yang sama melalui Pemilu yang demokratis. Ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur
yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua partai politik
peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari partai politik peserta
Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis
kelamin, status sosial.
D. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)
Bertentangan dengan Asas Keterwakilan Minoritas
Ambang batas parlemen menjadi topik yang diperdebatkan penerapannya
oleh para ahli hukum karena selalu dikaitkan dengan keterwakilan minoritas.
Dalam perjalanannya, MKRI melakukan pengujian terhadap ambang batas
parlemen yang hasilnya adalah konstitusional. MKRI beralasan bahwa ketentuan
ambang batas parlemen atau PT merupakan ranah kebijakan legislatif terbuka
pembentuk undang-undang. Menurut MKRI, besar kecilnya nilai ambang batas
parlemen sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga legislatif selama tidak
47
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan HAM sebagai hak dasar setiap warga
negara. Oleh karena itu, sebelum merespon ambang batas parlemen bertentangan
dengan asas keterwakilan minoritas, penulis akan menjelaskan lebih dulu argumen
formal yang mendukung ambang batas parlemen.
Terkait hal di atas, maka dalam Sub-Judul ini penulis akan membahasnya ke
dalam tiga bagian. Pertama, membahas mengenai argumen formal terkait ambang
batas parlemen. Kedua, menegaskan bahwa keterwakilan minoritas harus dijamin
secara khusus, termasuk sebagai argumen untuk menyatakan bahwa PT
inkonstitusional. Ketiga, mengargumentasi bahwa ambang batas parlemen tidak
mencerminkan keterwakilan minoritas.
1. Argumen Formal Terkait Ambang Batas Parlemen (Parliamentary
Threshold)
Argumen formal pada hakikatnya merupakan alasan yang mendasar untuk
menyangkal bahwa ambang batas parlemen atau PT bertentangan dengan asas
keterwakilan minoritas. Dengan kata lain, argumen formal digunakan untuk
menguatkan bahwa PT tidak bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.
Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya akan penulis jabarkan ke dalam tiga
bagian. Pertama, menjelaskan bahwa DPR pada dasarnya diasumsikan sebagai
wakil rakyat. Kedua, membahas mengenai hilangnya suara calon yang
memperoleh suara tetapi tidak memenuhi BPP. Ketiga, memaparkan keterpenuhan
unsur fairness dalam UU Pemilu Legislatif.
48
a. DPR sebagai Wakil Rakyat
Semua anggota DPR itu pada dasarnya mewakili seluruh rakyat. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh pendapat A. Hoogerwerf yang mengatakan bahwa; “sesuai
dengan model kesatuan, maka di sini anggota parlemen dilihat sebagai wakil
seluruh rakyat.”111
Sri Soemantri dalam bukunya menjelaskan bahwa “Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan “tempat” wakil rakyat berada untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakili.”112
Semua
anggota DPR memiliki peran penting untuk memperjuangkan kepentingan seluruh
rakyat tanpa terkecuali. Terkait hakikat DPR itu sendiri, Jimly Asshiddiqie
menjelaskan bahwa:
Wakil rakyat adalah juru bicara rakyat, yaitu untuk
menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat.
Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya
merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu
diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi materi
kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat
untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya terwakili.113
Terpilihnya seluruh anggota DPR merupakan hasil dari suara rakyat yang
diberikan kepada mereka yang terpilih. Maka sebagai konsekuensinya, para
anggota dewan yang terpilih harus mewakili seluruh rakyat baik dari segi
111
Max Boboy, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah dan Tatanegara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, h. 24, dikutip dari Bintan
R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Perintis Press, Jakarta,
1985, h. 85-86.
112 Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 2014, h. 197-198.
113 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta, 2015, h. 304.
49
kehadiran fisik114
maupun atas dasar aspirasi.115
Pandangan tersebut
memperlihatkan bahwa para wakil rakyat hakikatnya mewakili kepentingan rakyat
secara keseluruhan seperti dikatakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
bahwa; “badan perwakilan rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan rakyat
yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu sehingga nantinya menghasilkan
para wakil rakyat yang duduk di parlemen mewakili kepentingan umum rakyat
seluruhnya.”116
Jika DPR dilihat dari hakikat kepentingan yang diwakilinya,
menurut Jimly Asshiddiqie “Dewan Perwakilan Rakyat mewakili rakyat pada
umumnya dengan orientasi kepentingan nasional.”117
Pendapat para ahli di atas mempertegas kembali bahwa semua anggota DPR
merupakan wakil seluruh rakyat; artinya semua anggota DPR harus melayani
rakyat tanpa memandang apakah rakyat tersebut berasal dari konstituennya atau
bukan. Argumen formal tersebut juga mematahkan anggapan bahwa anggota DPR
merupakan wakil konstituen. Bertolak dari pendapat-pendapat para ahli di atas
mengenai hakikat parlemen itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa DPR
merupakan tempat di mana para wakil rakyat memiliki tugas mendengar aspirasi
114
Ibid., h. 305. Kehadiran fisik merupakan keterwakilan yang bersifat formal; artinya
keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih
sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat.
115 Ibid. Perwakilan atas dasar aspirasi merupakan keterwakilan yang bersifat substantif;
artinya keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai,
aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi
bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau
setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga memengaruhi
perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.
116 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen
UUD 1945, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010, h. 337, dikutip dari Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, h. 329.
117 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, Penerbit FH UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 165.
50
rakyat yang nantinya akan menghasilkan kebijakan yang arahnya bertujuan untuk
memperjuangkan kepentingan umum rakyat keseluruhan.
Penulis menyangkal pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa anggota
DPR diasumsikan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan. Penulis
menyangkal pendapat tersebut atas dasar argumen yaitu meskipun anggota DPR
merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak
mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen.
b. Hilangnya Suara Calon yang Memperoleh Suara tetapi Tidak
Memenuhi BPP
Hilangnya suara caleg yang tidak memenuhi BPP (Bilangan Pembagi
Pemilih) dikarenakan persaingan antar caleg sehingga dengan demikian suara
pemilih yang diberikan kepada caleg tersebut hilang dengan sendirinya
merupakan suatu keadaan yang wajar. BPP merupakan angka minimal yang harus
dicapai seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR. Setelah jumlah suara sah
di suatu daerah pemilihan diketahui, selanjutnya ditentukan BPP dengan cara
membagi jumlah suara sah partai politik peserta Pemilu dalam pemilihan dengan
berapa kursi yang tersedia untuk satu daerah pemilihan.118
Ketercapaian angka
BPP ini penting dalam sistem proporsional untuk penetapan caleg yang akan
duduk di kursi DPR. Jika tidak ada caleg yang mampu mencapai angka BPP,
maka penetapan siapa yang duduk ditentukan berdasarkan nomor urut dalam
118
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit PT Rfika
Aditama, Bandung, 2011, h. 289.
51
calon partai yang bersangkutan.119
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR harus memenuhi angka BPP yang
telah ditentukan. Hilangnya suara pemilih yang diberikan kepada seorang caleg
yang tidak memenuhi BPP dikarenakan kalah persaingan dengan caleg lain adalah
hal wajar.
Begitu pula dengan hilangnya suara dikarenakan sebuah partai politik tidak
dapat memenuhi PT, hal tersebut merupakan keadaan yang lazim melihat bahwa
hilangnya suara tersebut diakibatkan ketidakmampuan sebuah partai politik
bersaing dengan partai politik lain yang memenuhi PT. Hilangnya suara
dikarenakan seorang caleg tidak memenuhi BPP maupun karena sebuah partai
politik tidak lolos PT adalah suatu konsekuensi dari sebuah kompetisi yang
bernama Pemilu.
Penulis tidak sependapat dengan argumen sebelumnya, karena menurut
penulis para pembentuk undang-undang tidak melihat hal yang substansial dari
pemberlakuan PT tersebut. Terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg
telah memenuhi BPP tetapi partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di
parlemen diakibatkan berlakunya PT.
c. Keterpenuhan Unsur Fairness dalam UU Pemilu Legislatif
UU Pemilu Legislatif sebagai produk DPR yang berfungsi sebagai pedoman
untuk pemilihan anggota legislatif memberikan syarat bagi partai politik peserta
Pemilu untuk dapat ikut Pemilu maupun syarat untuk mendapatkan kursi di DPR.
UU Pemilu Legislatif menjadi produk UU yang sering diperbaharui dan
119
Ibid., h. 291.
52
disempurnakan secara terus menerus menjelang Pemilu Legislatif berlangsung.
Penyempurnaan pengaturan ini bertujuan untuk memperketat syarat bagi partai
politik untuk dapat bersaing dalam Pemilu Legislatif. Sebagaimana keterangan
yang diberikan DPR RI terhadap pasal 208 UU Pemilu Legislatif bahwa;
“Dengan hadirnya ketentuan Pasal 208 ini diharapkan semua parpol peserta
pemilu mempersiapkan lebih baik dan mampu menjadi partai politik yang bersifat
nasional sebagaimana persyaratan dalam Pasal 8.”120
Berdasarkan keterangan
pemerintah tersebut maka dapat dilihat bahwa UU Pemilu Legislatif yang memuat
ketentuan PT merupakan wujud peringatan sejak dini pemerintah bagi partai
politik peserta Pemilu untuk bersaing dalam Pemilu.
Apabila dilihat dari sisi fairness, maka unsur fairness dalam UU Pemilu
Legislatif telah terpenuhi. Sebab UU Pemilu Legislatif tersebut telah terbentuk
sebelum Pemilu Legislatif dilaksanakan sehingga apabila partai politik tidak dapat
memenuhi dan mematuhi semua ketentuan termasuk PT yang terdapat dalam UU
tersebut maka sebagai konsekuensinya partai politik tersebut tidak dapat bersaing
pada Pemilu Legislatif. Sebagaimana pendapat Zudan Arif Fakhrulloh terhadap
ketentuan PT bahwa:
Norma a quo ditetapkan secara priory bukan secara posteriory,
artinya norma tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan,
sehingga sesungguhnya kapan sebuah partai itu merasa dirinya
besar atau kecil justru setelah Pemilu dilaksanakan. Partai
politik semuanya diberikan kesempatan sama untuk memperoleh
lebih dari 2,5% (dua koma lima perseratus). Konstitusi maupun
Undang-Undang Pemilu tidak memberikan batasan bahkan
seluruh partai politik dibuka ruang yang sama untuk
120
Keterangan DPR RI huruf g dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/201, h. 78.
53
berkompetisi mendapatkan lebih dari 2,5% (dua koma lima
perseratus).121
Pendapat di atas memperkuat keterpenuhan unsur fairness UU Pemilu Legislatif
karena norma PT tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan, sehingga
sebelum Pemilu dilaksanakan tidak mengenal adanya partai kecil atau besar.
Setelah Pemilu dilaksanakan barulah terlihat mana partai besar yaitu partai yang
lolos PT dan partai kecil yaitu partai yang tidak lolos PT. Dengan demikian
ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif tidaklah bersifat diskriminatif karena
dengan ketentuan tersebut tidak mengebiri kesempatan yang sama bagi partai
politik untuk berkompetisi dalam Pemilu untuk mendapatkan suara melebihi PT
2,5%.
Menurut John Rawls, “rasionalitas, kesamaan, dan kebebasan adalah unsur-
unsur mendasar dalam konsep keadilan sebagai fairness.”122
Nilai kesamaan yang
terkandung dalam UU Pemilu Legislatif telah terpenuhi karena kebijakan PT
memperlakukan sama setiap orang dan partai politik peserta Pemilu serta
kebijakan PT berlaku secara objektif bagi semua partai politik peserta Pemilu dan
keseluruhan para calon anggota DPR tanpa kecuali. Kemudian terkait kebebasan,
ketentuan mengenai ambang batas parlemen tersebut telah memenuhi unsur
kebebasan dari keadilan sebagai fairness karena PT tidak menghilangkan
kebebasan setiap orang untuk mendirikan partai politik, tetapi kebijakan PT
121
Keterangan ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, S.H.,MH. di bawah sumpah dalam
persidangan tanggal 4 Februari 2009 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2012, h. 112.
122 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, h.
45. Catatan penting berkaitan dengan kesamaan, bahwa kesamaan di sini harus dimengerti dalam
arti kesetaraan kedudukan dan hak sebagai person, dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang
diperoleh setiap orang. Keadilan sebagai fairness tidak menuntut setiap orang untuk menempuh
prosedur yang sama dengan hasil yang sama. Sebaliknya keadilan sebagai fairness menegaskan
bahwa hasil dari prosedur yang adil harus diterima sebagai keadilan, walaupun setiap orang tidak
mendapatkan hasil yang sama.
54
digunakan untuk menyeleksi partai politik yang memperoleh dukungan signifikan
untuk mengefektifkan kinerja pemerintah.
Berdasarkan pendapat di atas mengenai keadilan UU Pemilu Legislatif,
maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif telah
memenuhi unsur fairness karena ketentuan PT tersebut ditetapkan sebelum
Pemilu dilaksanakan. Apabila partai politik tersebut tidak memenuhi PT maka
sebagai konsekuensinya partainya tidak disertakan dalam penghitungan kursi
DPR. Meskipun unsur fairness terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT
tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas.
2. Perlindungan Terhadap Keterwakilan Minoritas Terkait
Pemberlakuan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)
Keterwakilan minoritas terutama kaitannya dengan keterwakilan politiknya
perlu dijamin secara khusus oleh MKRI maupun pembentuk undang-undang.
Pembentuk udang-undang dalam rangka penyederhanaan partai politik
menggunakan instrumen PT, hal ini sangat disayangkan mengingat PT tidak dapat
melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. Kemudian
MKRI justru lepas tangan terhadap pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT
konstitusional.
Oleh karena itu, untuk menegaskan bahwa PT tidak dapat melindungi
keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya atau singkatnya PT
merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas, maka dalam sub judul ini
penulis akan membahasnya ke dalam dua bagian. Pertama, memaparkan
ketidaksetujuan penulis terhadap sikap MKRI yang lepas tangan terhadap
55
penerapan PT. Kedua, mengemukakan alternatif penyederhanaan partai politik
selain menggunakan instrumen PT.
a. Lepas Tangan MKRI Terkait Penerapan Ambang Batas Parlemen
(Parliamentary Threshold)
Pengaturan ambang batas parlemen atau PT menurut penulis tidak dapat
melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. PT akan
menghambat keterwakilan politik minoritas karena PT diciptakan oleh lembaga
legislatif yang notabene diputuskan secara mayoritas, sehingga resiko yang timbul
adalah hak minoritas ditinggalkan. Untuk itu secara tegas dapat penulis katakan
bahwa pengaturan PT melambangkan tirani mayoritas terhadap minoritas.
Tirani mayoritas terhadap minoritas diperburuk dengan sikap MKRI yang
netral terhadap pengaturan PT atau dengan kata lain MKRI lepas tangan terhadap
pengaturan PT yang sebenarnya merugikan minoritas. Bentuk lepas tangan MKRI
terhadap pengaturan PT tersebut dapat dilihat dari argumen MKRI yang
menyatakan bahwa pengaturan PT merupakan ranah kebijakan legislatif terbuka,
yakni:
“.... kebijakan ET tidak diskriminatif karena berlaku untuk
semua Parpol, merupakan kebijakan pembentuk Undang-
Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6)
UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka, yaitu “Ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”,
sehingga menurut MK, baik kebijakan ET maupun PT sama
konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007
bertanggal 23 Oktober 2007).”123
Kemudian lebih lanjut:
123
Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 95.
56
“.... dengan demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan
dengan Pemilu, misalnya tentang sistem Pemilu, Daerah
Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan
sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk
Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang
secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) pembentuk
Undang-Undang, sudah barang tentu sepanjang tidak
menegasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945,
seperti prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip
keadilan, dan prinsip non diskriminasi .…”124
Pada putusannya, MKRI cenderung lepas tangan terhadap pengaturan PT
dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang sebagai
kebijakan legislatif terbuka, yakni:
“Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal
policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun
PT, ... Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah
menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk
menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama
tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan
rasionalitas ....”125
Sikap netral atau lepas tangan MKRI pada putusan di atas terhadap PT dengan
menyerahkan sepenuhnya kepada badan legislatif merupakan suatu kesalahan.
MKRI seharusnya dapat bertindak sebagai lembaga yudisial yang memiliki
kapasitas untuk melindungi hak minoritas kaitannya dengan keterwakilan politik
minoritas.
PT merupakan produk badan legislatif yang hakikatnya bertujuan untuk
penyederhanaan partai politik. Pembatasan PT menurut DPR perlu dilakukan
untuk mengurangi banyaknya partai politik yang tidak memperoleh dukungan
124
Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 96.
125 Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 130.
57
signifikan dari rakyat sehingga berimplikasi pada kurang efektifnya kinerja
pemerintah. Seperti halnya keterangan pemerintah terkait tujuan PT bahwa:
Perubahan sistem Pemilu dari electoral threshol (ET) ke sistem
parliamentary threshold (PT) merupakan upaya Pemerintah
bersama DPR untuk menciptakan sistem multi partai yang
sederhana. Semangat perubahan sistem tersebut antara lain
adalah guna menciptakan sistem presidensial yang efektif.126
Selanjutnya ditegaskan pula oleh MKRI bahwa:
“Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-
Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem
kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang
dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara
sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi
jumlah peserta Pemilu ....”127
Menurut penulis pembatasan melalui PT tidak dapat dilakukan karena akan
berakibat pada tidak terwakilinya minoritas terutama keterwakilan politiknya.
Alasan rasional bahwa PT tidak dapat diterapkan karena PT dibentuk oleh badan
legislatif yang prosedur pengambilan keputusannya didasarkan oleh keputusan
mayoritas. Dengan demikian keputusan yang diambil oleh mayoritas
menimbulkan resiko diabaikannya hak-hak minoritas.
Sebenarnya kondisi tirani mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan
PT dapat dicegah oleh MKRI. Namun MKRI justru melewatkan kesempatan
untuk mengoreksi pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT adalah
konstitusional. Pernyataan konstitusional tersebut dapat dilihat dari putusan
MKRI bahwa:
“.... ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi
126
Keterangan Pemerintah Nomor 8 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h.
111.
127 Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 96.
58
karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang
bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi
sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui
ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun
di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada
pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan
dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik
rakyat.”128
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa MKRI menyetujui tirani
mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan PT dengan bentuk pernyataan
MKRI bahwa ketentuan PT adalah konstitusional.
b. Alternatif Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Masih Terbuka
Selain dengan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)
Walaupun penulis tidak sependapat dengan pembentuk undang-undang yang
memilih PT sebagai intrumen penyederhanaan partai politik, namun pada sisi lain
penulis sependapat perlunya mekanisme penyederhanaan partai politik.
Penyederhanaan partai politik diperlukan untuk menghindari terlalu banyaknya
partai politik di DPR serta menstabilkan pemerintahan. Banyaknya partai politik
menimbulkan terpecah belahnya kekuatan di DPR sehingga pemerintahan menjadi
gaduh dan tidak efektif.
Kondisi ini hanya dapat diminimalisir dengan mekanisme penyederhanaan
partai politik, tetapi bukan dengan instrumen PT. Sebuah negara yang
menghendaki penyederhanaan partai politik tidak akan gagal hanya karena tidak
menggunakan instrumen PT atau dapat dikatakan tanpa PT pun mekanisme
penyederhanaan partai politik akan berhasil.
128
Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 130.
59
Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa konsekuensi dari dianutnya
sistem proporsional adalah penerapan PT sebagai instrumen penyederhanaan
partai politik. PT hakikatnya secara universal tidak menjadi masalah
penerapannya diberbagai negara dalam usaha penyederhanaan partai politik.
Namun penerapan PT menjadi masalah ketika representasi tidak dapat terwujud,
lebih khusus representasi minoritas.
Penulis tidak setuju PT digunakan sebagai instrumen untuk penyederhanaan
partai politik karena PT akan merugikan pemilih dan caleg yang telah memenuhi
BPP. Ketidakadilan PT terutama bagi caleg yaitu terdapat kondisi dimana seorang
kandidat secara perhitungan mendapatkan kursi di parlemen tetapi kandidat
tersebut kehilangan kursi karena partainya tidak mampu melampaui PT.
Penulis justru setuju dengan alternatif menyederhanakan jumlah fraksi di
parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi
(fractional threshold).129
Alternatif ini dapat diterapkan dengan jalan menyatukan
kekuatan di parlemen dalam beberapa fraksi selama kurun waktu 5 tahun.
Kemudian fraksi tersebut berisikan partai-partai yang lolos ambang batas
pembentukan fraksi, sehingga partai-partai yang tidak mencapai ambang batas
pembentukan fraksi harus menggabungkan diri dengan partai yang seideologi
yang telah memenuhi ambang batas pembentukan fraksi. Penyederhanaan partai
politik dengan FT memberikan dampak positif terhadap tidak adanya suara yang
hilang. Dalam FT setiap suara dihargai dan dilindungi, lain halnya dengan PT
yang justru menghilangkan suara yang tidak mencapai 3,5%. Koalisi antar partai
politik di parlemen tersebut yang kemudian dipandang sebagai bentuk
129
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 272.
60
penyederhanaan partai politik. Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan
dalam fraksi, yang mana harus tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi maka
diberlakukan musyawarah. Inilah sebenarnya demokrasi yang menjadi jati diri
bangsa Indonesia.
Memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi untuk menyederhanakan
fraksi di DPR, sejauh ini dapat dipandang sebagai alternatif yang tepat ketimbang
menerapkan PT. Menurut Hanta Yuda, “tujuan utama dari pemberlakuan ambang
batas pembentukan fraksi adalah menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di
parlemen agar proses politik lebih efisien.”130
Ambang batas pembentukan fraksi ini lebih adil karena tidak akan
menghilangkan suara pemilih dan caleg. Sebagai contoh, apabila ambang batas
pembentukan fraksi ditetapkan sebesar 20% kursi di parlemen, maka akan
terdapat 5 fraksi di parlemen. Kemudian 5 fraksi ini yang akan menjalankan
proses politik selama 5 tahun secara efisien. Ambang batas pembentukan fraksi
tepat karena berfokus untuk bagaimana membuat kinerja parlemen efisien untuk
menstabilkan pemerintahan.
3. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Tidak
Mencerminkan Keterwakilan Minoritas
Ambang batas parlemen atau PT merupakan kebijakan yang diambil
pemerintah dan DPR dalam rangka penyederhanaan partai politik. PT tersebut
memiliki legalitas sebab didukung oleh adanya undang-undang. Selain itu, PT
yang menggagalkan partai politik untuk mendudukkan wakil-wakilnya di
130
Ibid.
61
parlemen (setelah memenuhi BPP) karena tidak mampu memenuhi PT, juga
didukung oleh argumen formal yang tidak menganggap serius hilangnya
keterwakilan minoritas.
Oleh karena itu, sebelum penulis mengargumentasi secara substantif bahwa
PT tidak mencerminkan keterwakilan minoritas, penulis akan menanggapi lebih
dulu argumen formal yang mendukung PT dan kontra dengan argumen substantif
penulis.
a. Catatan Terhadap Argumen Formal
Ketiga argumen formal yang mendukung PT hanya melihat permasalahan
penerapan PT secara sederhana, sehingga tidak menjangkau permasalahan-
permasalahan spesifik dari konsekuensi penerapan PT yang sangat substansial.
Cara pandang argumen formal yang sederhana atau dapat dikatakan pemikiran
yang dangkal terhadap konsekuensi penerapan PT dapat terlihat dari bagaimana
argumen formal memandang hilangnya suara dalam sebuah kompetisi merupakan
kondisi yang lazim terjadi. Pola pemikiran argumen formal hanya mencakup hal-
hal yang bersifat umum seperti melihat DPR hanya dari segi kelembagaan maka
jelas bahwa secara umum DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Hal yang
demikian inilah yang penulis katakan bahwa argumen formal tersebut merupakan
suatu kumpulan alasan yang sangat sederhana, justru hal yang sangat subtansial
tidak dapat dijabarkan oleh argumen formal itu sendiri.
Argumen formal hakikatnya hanya menjabarkan suatu masalah pada posisi
netral sehingga tidak menggali nilai-nilai substantif dari suatu permasalahan yang
sebenarnya perlu untuk menjadi perhatian khusus. Argumen formal yang
digunakan untuk mendukung PT sangatlah dangkal dalam menganalisa masalah-
62
masalah yang timbul akibat dari penerapan PT. Argumen formal tidak melihat
apabila PT diterapkan maka akan berdampak serius pada pelanggaran prinsip-
prinsip fundamental yang seharusnya dipertahankan. Sifat argumen formal yang
dangkal dapat terlihat dari cara memandang kompetisi dalam Pemilu hanya
sebatas persaingan antara partai politik, tetapi argumen formal tidak melihat
bahwa dalam Pemilu juga terdapat persaingan antar caleg untuk memenuhi BPP.
Argumen formal sangatlah sederhana bahkan cenderung dangkal dalam
menjelaskan permasalahan di atas, terlebih argumen formal telah memisahkan
persaingan antara partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu sehingga
terkesan bahwa dalam Pemilu yang ada hanya persaingan antara partai politik
tanpa melibatkan caleg.
Selain memisahkan persaingan partai politik dan persaingan antar caleg
dalam Pemilu, argumen formal juga dapat membahayakan demokrasi. Sejatinya
ide dasar dari demokrasi perwakilan yaitu sistem politik harus mewakili secara
keseluruhan, akan tetapi kenyataannya ide dasar demokrasi yang mengharuskan
perwakilan keseluruhan tidak dapat sepenuhnya diterapkan sehingga
mensyaratkan seorang wakil harus memenuhi BPP untuk dapat menjadi wakil di
parlemen. Syarat BPP ini mutlak dipenuhi oleh seorang caleg agar dapat
menjalankan prinsip perwakilan.
Namun argumen formal telah mencederai prinsip keterwakilan karena
argumen formal telah menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP. Tindakan
menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP ini bertentangan dengan sistem
pemilihan terbuka dalam pemilu. Dalam sistem terbuka, rakyat tidak lagi memilih
partai politik mana yang akan mewakili mereka di parlemen, tetapi rakyat telah
63
memilih orang (caleg dari suatu partai politik) yang nantinya akan mewakili
mereka di parlemen. Prinsip ini yang seharusnya dipertahankan dalam sistem
proporsional pemilu kita. Sayangnya caleg yang lolos BPP ini tidak beruntung
karena partai politik yang mencalonkannya tidak mencapai PT dan di sisi lain UU
pemilu legislatif mengatur PT. Oleh karena itu, caleg yang memenuhi BPP
hakikatnya harus duduk menjadi wakil di parlemen. Kondisi ini yang seharusnya
konsisten dengan prinsip demokrasi, bukan dengan argumen formal yang
melegalkan PT.
Dari catatan terhadap argumen fomal di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa argumen formal tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk
mendukung PT karena tidak menganggap serius permasalahan dibalik penerapan
PT. Oleh karena itu, penulis menyatakan tidak setuju dengan ketiga argumen
formal yang digunakan untuk mendukung berlakunya PT dalam rangka
penyederhanaan partai politik. Argumen formal tidak dapat mencakup hal
substansial dari pemberlakuan PT, sehingga menurut penulis ketiga argumen
formal tersebut hanya bersifat formalitas sehingga tidak dapat menjangkau hal
yang substantif yaitu keterwakilan minoritas. Terkait dengan permasalahan di
atas, penulis telah melakukan tiga penyangkalan terhadap argumen formal yang
mendukung PT.
Penyangkalan pertama yang dilakukan oleh penulis yaitu meskipun anggota
DPR merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak
mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen. Pembentukan wakil rakyat
merupakan proses dimana konstituen memberikan mandat kepada wakilnya dan
wakil tersebut mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan
64
responsif pada konstituen.131
Dengan begitu para wakil rakyat dengan sendirinya
akan bertindak dengan mempertimbangkan aspirasi dari konstituen yang
diwakilinya, sehingga besar kemungkinan keputusan yang mereka buat sedikitnya
akan mencerminkan aspirasi konstituennya. Seperti yang dikatakan oleh Abdur
Rozaki dkk bahwa; “.... seorang wakil rakyat melakukan tindakan politik yang
mencerminkan kehendak atau preferensi dari konstituennya. Preferensi tersebut
diperoleh dengan cara tatap muka secara langsung ....”132
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa anggota DPR dalam melakukan tindakan politik sedikitnya harus
mencerminkan kehendak konstituen yang didapat melalui pertemuan langsung
kepada konstituennya untuk menyerap aspirasi mereka sehingga secara tidak
langsung para anggota DPR tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya.
Kemudian terdapat pembagian dua konsep perwakilan rakyat dapat dilihat
dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili,
yakni:133
1. Perwakilan dengan tipe delegasi (mandat) yang berpendirian
wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili.
Ia harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil rakyat
terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki
kebebasan berbicara lain daripada yang dikehendaki
konstituennya. Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki
kontak secara langsung dan kontinu dengan konstituen.
Hubungan ini diperlukan untuk menjaga ketersambungan
aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai
dua pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur
jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.
131
Abdur Rozali dkk., Menuju Representasi Susbtantif: Potret Representasi
Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Penerbit IRE (Institute
for Research and Empowerment), Yogyakarta, 2014, h. 20.
132 Ibid., h. 21.
133 Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintas Sejarah dan Sistemnya, Penerbit
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 24-25.
65
2. Perwakilan dengan tipe trustee (independent) berpendirian
bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang
bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan
secara baik (good judgment). Wakil rakyat memiliki kebebasan
untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu. Dasar
pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam
bertindak lebih mengutamakan kepentingan nasional. Jika
terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan kepentingan
nasional, maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan
nasional, dengan tetap memerhatikan aspirasi rakyat. Wakil
rakyat tidak terikat secara mutlak dengan rakyat sehingga ia
bebas bertindak ....
Dari dua hubungan tersebut, maka yang lebih mencerminkan hubungan anggota
DPR dengan kontituen serta memperkuat argumen penulis adalah perwakilan
dengan tipe trustee (independent). Perwakilan tipe trustee ini terbentuk atas dasar
kepercayaan, sehingga para anggota DPR mewakili kepentingan nasional tetapi
tetap harus memperhatikan aspirasi konstiuen. Selanjutnya terdapat empat tipe
hubungan antara wakil dan yang diwakili, yakni:134
1. Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut
pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak
yang diwakilinya.
2. Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak
yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikan.
3. Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai
wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil
akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.
4. Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program
partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya
dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya
terikat kepada partai atau organisasi yang mencalonkannya.
Berdasarkan keempat tipe di atas, penulis berpendapat bahwa tipe wakil sebagai
politico lebih tepat untuk menggambarkan hubungan antara anggota DPR dan
konstituennya. Tipe wakil sebagai politico sesuai untuk memperkuat argumen
134
Ibid., dikutip dari Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca-
Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Sistem Perwakilan di Indonesia dan
Masa Depan MPR RI, Fokusmedia, Bandung, 2007, h. 56.
66
penulis karena para anggota DPR dalam melakukan tugas adakalanya bertindak
sebagai wakil seluruh rakyat, namun di sisi lain tetap harus memperhatikan
aspirasi kontituen. Seperti halnya pada masa reses, dimana para anggota DPR
melakukan pekerjaan di luar gedung DPR, menjumpai kontituen di Dapil masing-
masing yang bertujuan menjaring dan menampung aspirasi konstituen. Di
samping wakil rakyat tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya, para wakil
rakyat sejatinya bukan wakil semua rakyat melainkan wakil partai politik yang
mencalonkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Abdi Yuhana bahwa:
“.... wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil bertindak sesuai
dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas
hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai.
Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang
mencalonkannya.”135
Kemudian yang kedua adalah argumen penulis yang menyatakan bahwa
terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg telah memenuhi BPP tetapi
partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di parlemen diakibatkan berlakunya
PT. Pendapat penulis di atas diperkuat oleh pendapat M. Akil Mochtar bahwa:
Penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu
Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness)
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai
politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu
legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di
parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary
threshold.136
Kemudian lebih lanjut M. Akil Mochtar memperjelas akibat penerapan PT, yakni:
Parliamentary threshold, mengakibatkan tidak terpilihnya
seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat walaupun
135
Ibid.
136 Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor
52/PUU-X/2012, h. 106.
67
perolehan suaranya diperoleh secara sempurna melampaui
ambang batas yang ditentukan dari harga sebuah kursi di daerah
pemilihan (Dapil) yang sesungguhnya juga merupakan threshold
di tingkat daerah pemilihan, tetapi partainya akan terus menjadi
peserta pemilihan umum berikutnya.137
Pendapat di atas memperlihatkan penerapan PT berakibat tidak terpilihnya calon
anggota DPR yang sebenarnya telah memenuhi harga sebuah kursi di Dapil tetapi
hanya karena pemberlakuan PT, partainya selalu akan menjadi peserta Pemilu dan
tidak akan mendapatkan kursi di parlemen.
Argumen penulis yang menyatakan bahwa pemberlakuan PT akan
menghambat seorang calon yang telah memenuhi BPP, diperkuat kembali oleh
pendapat Pipit Rochiyat Kartawidjaja, yakni:
“ .... sebab dengan ditetapkannya ambang batas, calon anggota
legislatif di suatu Dapil akan tidak terpilih karena secara
nasional partai politiknya tidak lolos ambang batas 2,5 % (dua
koma lima perseratus), meskipun di Dapilnya perolehan
suaranya melebihi partai-partai politik yang lolos ambang
batas”.138
Dari dissenting opinion dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
PT mengakibatkan calon anggota DPR yang perolehan suaranya melampaui BPP
tidak akan menduduki kursi di parlemen karena partainya tidak mampu mencapai
besaran PT yang ditentukan pembentuk undang-undang.
Selanjutnya argumen penulis ketiga yang menyatakan meskipun unsur
fairness UU Pemilu Legislatif terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT
tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas.
Pengaturan PT merupakan skenario mayoritas DPR untuk menyingkirkan
137
Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor
3/PUU-VII/2009, h. 139.
138 Keterangan ahli Pipit Rochiyat Kartawidjaja di bawah sumpah dalam persidangan
tanggal 29 Januari 2009 dan tanggal 4 Februari 2009 pada Putusan MKRI Nomor 3/PUU-
VII/2009, h. 100.
68
minoritas dalam hal ini caleg yang lolos BPP. Pengaturan PT merupakan bentuk
tirani mayoritas terhadap minoritas yang dilakukan secara halus atas dasar alasan
rasional yaitu kebijakan legislatif terbuka pembentuk undang-undang yang
kewenangannya didelegasikan oleh UUD NRI 1945. Pengaturan PT ini tidak adil
karena diciptakan oleh keputusan mayoritas sehingga besar kemungkinan hak-hak
minoritas ditiadakan. Oleh karena itu, untuk melindungi minoritas dari tirani
mayoritas perlu diberlakukan prinsip majority rule minority rights.139
Prinsip
majority rule minority rights sangat tepat dijadikan batasan bagi mayoritas untuk
mengambil keputusan. Dengan diterapkannya prinsip ini, maka pemerintahan
yang dijalankan oleh mayoritas tidak akan menghilangkan hak-hak minoritas
dalam hal ini keterwakilan politik minoritas.
b. Hakikat Keterwakilan Minoritas dalam Demokrasi Perwakilan
Secara konseptual, demokrasi mengandung pengertian pemerintahan yang
dijalankan sendiri oleh rakyat (self goverment). Pada masa dahulu demokrasi
dalam pengertian tersebut dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat karena
bentuk susunan negara pada saat itu tergolong sederhana dan jumlah rakyat
termasuk kecil belum sebesar polulasi rakyat pada masa kini. Berlangsungnya
demokrasi langsung ini pada masa dahulu didukung oleh masalah kenegaraan
yang tidak begitu rumit. Kondisi negara sekarang yang berkembang dan mengarah
pada negara modern, ditandai dengan daerah suatu negara yang bertambah luas
dan jumlah populasi rakyat yang semakin banyak serta tersebar diseluruh pelosok
139
Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, Op.Cit., h. 48, dikutip dari Hans Kelsen,
Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, h. 51.
69
negara, sehingga dapat dimengerti apabila demokrasi langsung tidak dapat
diterapkan secara mutlak sebagaimana pada masa Yunani kuno.140
Demikian rumitnya persoalan negara serta semakin luas negara dan
banyaknya populasi rakyat, maka diperlukan sistem demokrasi yang tetap
mempertahankan nilai dari demokrasi itu sendiri yaitu melalui sistem demokrasi
perwakilan. Demokrasi perwakilan ini dirasa penulis lebih tepat untuk
menjalankan sistem pemerintahan Indonesia. Demokrasi perwakilan merupakan
sebuah sistem dimana rakyat menunjuk wakil-wakilnya yang menjadi
kepercayaannya untuk membawakan kemauan rakyat di dalam pemerintahan.141
Kemudian wakil-wakil inilah yang nantinya akan bertindak untuk dan atas nama
rakyat dalam masalah-masalah pemerintahan. Para wakil ini tentunya harus
memenuhi persyaratan-persyaratan untuk menjadi wakil di pemerintahan.
Idealnya dalam negara demokrasi semua orang harus terwakili dalam urusan
politiknya, akan tetapi konsep tersebut tidak mungkin dapat terwujud secara
mutlak. Konsep di atas tidak mungkin terjadi dikarenakan penentuan wakil-wakil
rakyat harus melalui kompetisi bernama Pemilu. Proses kompetisi untuk
menentukan wakil tersebut dijustifikasi oleh sistem pemilihan sebagai salah satu
ciri khas sebuah negara yang diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi. Sistem
pemilihan melalui kompetisi memberikan konsekuensi tidak semua rakyat mampu
terwakili di parlemen. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari dianutnya
asas demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi perwakilan
140
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara,Op.Cit., h. 23.
141 Ibid.
70
akan sempurna apabila penyelenggaraan suatu negara berjalan secara demokratis
melalui wakil-wakil yang mewakili seluruh rakyat.
Sistem pemilihan yang digunakan untuk menentukan wakil dalam
demokrasi perwakilan menciptakan sebuah kondisi dimana terdapat pihak
pemenang pada satu sisi dan pihak yang kalah pada sisi lain. Hasil dari proses
Pemilu tersebut merupakan hal yang lazim terjadi dan harus diterima sebagai
sebuah akibat proses demokrasi yang agak kurang ideal. Sebagai akibatnya pihak
yang kalah melalui proses kompetisi tidak akan terwakili di parlemen. Tidak
terwakilinya pihak yang kalah (tidak mencapai BPP) adalah adil, manakala
melihat kembali ketentuan itu merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari
sebuah kompetisi. Pihak yang tidak terwakili karena kalah dalam Pemilu adalah
adil sebagai akibat dari wakil yang mereka kehendaki untuk duduk di parlemen
tidak dapat bersaing dengan wakil lainnya untuk memenuhi BPP.
Namun pada sisi lain tidak terwakilinya rakyat di parlemen tidak serta-merta
terjadi karena kalah secara adil melalui proses Pemilu. Tidak terwakilinya
kebebasan politik mereka dikarenakan oleh penerapan PT sebagai mekanisme
yang digunakan untuk menentukan wakil yang duduk di parlemen. PT
menimbulkan permasalahan serius bagi tidak terpilihnya seorang wakil
(memenuhi BPP) karena partai politik yang mencalonkannya tidak mampu
bersaing memenuhi PT. Permasalahan lainnya penerapan PT sebagai penentuan
wakil manakala dihadapkan pada sistem proporsional dengan sistem daftar
terbuka dimana rakyat langsung memilih nama wakil yang diharapkan mewakili
mereka, bukan lagi memilih partai politik. Sistem pemilihan terbuka mengandung
pengertian bahwa rakyat telah memberikan harapannya kepada wakil (memenuhi
71
BPP), tetapi harapannya dipatahkan oleh kenyataan bahwa wakil yang ia pilih
gagal duduk di parlemen karena terbentur oleh penerapan PT.
Dalam sistem demokrasi perwakilan idealnya semua elemen rakyat harus
terwakili tanpa terkecuali, akan tetapi hakikat ideal demokrasi tersebut tidak
mungkin dapat diterapkan. Tidak dapat terwakilinya seluruh rakyat mengingat
bahwa jumlah rakyat yang besar tidak sebanding dengan wakil yang ada.
Selanjutnya untuk tetap menjamin perwakilan yang ideal, pembentuk undang-
undang menetapkan PT sebagai tolak ukur perwakilan yang ideal. Namun PT
menimbulkan akibat perubahan kursi bahkan hilangnya kursi caleg yang telah
memenuhi BPP sehingga kursi tersebut digantikan oleh caleg yang sebenarnya
secara perhitungan hanya mendekati BPP atau jauh dari BPP, tetapi caleg tersebut
diusung oleh partai politik yang memenuhi PT. Apabila syarat untuk menentukan
seorang wakil berdasarkan partai politik yang lolos PT, ada resiko terlalu besar
bagi caleg yang memenuhi BPP tetapi akhirnya gagal duduk di parlemen. Kondisi
ini justru bertentangan dengan prinsip keterwakilan yang ideal.
Oleh karena itu, agar demokrasi perwakilan dapat berlangsung secara ideal
dimana ide persamaan dan kebebasan berpolitik setiap individu tetap dijamin
eksistensinya, maka perlu mekanisme untuk mewadahi keterwakilan politik
mereka. Keterwakilan yang ideal yaitu manakala semua caleg yang memenuhi
BPP harus duduk sebagai wakil di parlemen. Mekanisme BPP ini yang seharusnya
diterapkan untuk menentukan wakil, bukan dengan menerapkan PT. Menjamin
keterwakilan dengan mekanisme BPP adalah pilihan yang tepat, mengingat caleg
yang bersangkutan telah mendapatkan dukungan dari konstituen dan memenuhi
BPP sehingga caleg yang bersangkutan memperoleh kursi di parlemen.
72
Keterwakilan dengan BPP menjamin peluang lebih besar keterwakilan bagi rakyat
di parlemen. Jaminan prinsip keterwakilan ini tidak akan dapat diwujudkan
apabila menggunakan PT. PT justru bertentangan dengan perlindungan minoritas
terutama keterwakilan politiknya karena para wakil tersebut memenuhi angka
BPP, tetapi seorang wakil tidak akan duduk di parlemen dikarenakan partainya
tidak lolos PT. Kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan demokrasi perwakilan
dalam sistem demokrasi untuk menjamin representasi yang mendekati sempurna.
Kemudian berkaitan dengan efektifnya fungsi partai politik dalam sistem
demokrasi, penulis sependapat dengan kebijakan pembentuk undang-undang
untuk melakukan penyederhanaan partai politik, tetapi bukan dengan menetapkan
PT. Penyederhanaan partai politik tetap harus sejalan dengan ide demokrasi yaitu
persamaan, kebebasan, dan perlindungan minoritas. Ketiga syarat tersebut harus
terpenuhi ketika sebuah negara menghendaki penyederhanaan partai politik.
Apabila penyederhanaan partai politik tetap dilakukan dengan PT, maka akan
bertentangan dengan sistem daftar terbuka sekaligus mencederai konstituen yang
telah memilih seorang wakil untuk menyampaikan aspirasinya di parlemen. Oleh
karena itu, penyederhanaan partai politik tidak boleh dilakukan dengan merubah
posisi kursi yang telah didapat seorang caleg (memenuhi BPP) agar tidak
mencederai kontituen yang telah memilih caleg yang bersangkutan.
PT hakikatnya ditujukan untuk menyederhanakan partai politik yang ada di
parlemen untuk mencegah kegaduhan di parlemen. Namun kebijakan PT ini
sangatlah janggal karena pada kenyataannya kegaduhan yang terjadi di DPR itu
bukan diakibatkan oleh banyaknya partai politik di parlemen, tetapi lebih tepatnya
diakibatkan oleh banyaknya fraksi di DPR sehingga mengakibatkan tidak
73
efektifnya kinerja parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik lebih
baik dilakukan di parlemen dengan kebijakan ambang batas pembentukan fraksi
(fractional threshold).142
Ambang batas pembentukan fraksi merupakan kebijakan
yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik dari pada PT karena
dengan ambang batas pembentukan fraksi tidak ada suara yang hilang dan FT
tidak menyingkirkan caleg yang lolos BPP untuk menjadi wakil di parlemen.
142
Hanta Yuda AR, Loc.Cit.