Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

23
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Alice was beginning to get very tired of sitting by her sister on the bank, and of having nothing to do; once or twice she had peeped into the book her sister was reading, but it had no pictures or conversations in it, “and what is the use of a book,” thought Alice, “without pictures or conversations?” Lewis Carroll, Alice’s Adventures in Wonderland Tinjauan dalam bab ini mencakup buku-buku dan bahan-bahan bacaan lain yang dijadikan rujukan konseptual dan teoretis dalam penelitian ini. Berturut-turut akan dipaparkan gugusan gagasan perihal signifikansi gambar, ilustrasi buku dalam kerangka komunikasi, sangkut paut gambar dengan kolonialisme, pendekatan budaya visual, dan metode penafsiran gambar dari Panofsky. Sesungguhnya, masih ada sejumlah buku dan bahan bacaan lain, terutama berupa hasil penelitian, yang juga dirujuk dalam penelitian ini tetapi tinjauan atas isinya tidak dikemukakan di sini. Hal ini disebabkan bahan-bahan bacaan tersebut tidak didudukkan sebagai rujukan konseptual dan teoretis, melainkan didudukkan sebagai rujukan data empiris. Karena itu, bahan-bahan bacaan tersebut akan disinggung-singgung dalam tinjauan yang secara khusus membahas buku RdM dalam Bab III. II.1 Signifikansi Gambar Untuk melihat signifikansi gambar dalam kehidupan manusia, orang dapat mengingat kembali awal kisah petualangan Alice di Negeri Ajaib. Buku klasik karya Lewis Carroll tersebut pertama kali terbit di Inggris pada 1865 dan diberi ilustrasi oleh Sir John Tenniel. Paragraf pembukanya, yang dipetik di atas, merefleksikan pandangan umum yang bersahaja tentang karakteristik bahan bacaan yang dianggap menarik, khususnya buat anak-anak. Kisah itu memang dimulai dengan kejemuan Alice, sebagai protagonis cerita itu, ketika ia duduk-duduk di samping kakaknya yang sedang membaca buku. Alice jemu melihat buku yang isinya semata-mata berupa

description

Uploaded by the author on September 2, 2009.

Transcript of Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

Page 1: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Alice was beginning to get very tired of sitting by her sister on the bank, and of having

nothing to do; once or twice she had peeped into the book her sister was reading, but it had

no pictures or conversations in it, “and what is the use of a book,” thought Alice, “without

pictures or conversations?”

—Lewis Carroll, Alice’s Adventures in Wonderland

Tinjauan dalam bab ini mencakup buku-buku dan bahan-bahan bacaan lain

yang dijadikan rujukan konseptual dan teoretis dalam penelitian ini. Berturut-turut

akan dipaparkan gugusan gagasan perihal signifikansi gambar, ilustrasi buku dalam

kerangka komunikasi, sangkut paut gambar dengan kolonialisme, pendekatan budaya

visual, dan metode penafsiran gambar dari Panofsky. Sesungguhnya, masih ada

sejumlah buku dan bahan bacaan lain, terutama berupa hasil penelitian, yang juga

dirujuk dalam penelitian ini tetapi tinjauan atas isinya tidak dikemukakan di sini. Hal

ini disebabkan bahan-bahan bacaan tersebut tidak didudukkan sebagai rujukan

konseptual dan teoretis, melainkan didudukkan sebagai rujukan data empiris. Karena

itu, bahan-bahan bacaan tersebut akan disinggung-singgung dalam tinjauan yang

secara khusus membahas buku RdM dalam Bab III.

II.1 Signifikansi Gambar

Untuk melihat signifikansi gambar dalam kehidupan manusia, orang dapat

mengingat kembali awal kisah petualangan Alice di Negeri Ajaib. Buku klasik karya

Lewis Carroll tersebut pertama kali terbit di Inggris pada 1865 dan diberi ilustrasi

oleh Sir John Tenniel. Paragraf pembukanya, yang dipetik di atas, merefleksikan

pandangan umum yang bersahaja tentang karakteristik bahan bacaan yang dianggap

menarik, khususnya buat anak-anak. Kisah itu memang dimulai dengan kejemuan

Alice, sebagai protagonis cerita itu, ketika ia duduk-duduk di samping kakaknya yang

sedang membaca buku. Alice jemu melihat buku yang isinya semata-mata berupa

Page 2: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

14

tuturan pengarang, tanpa gambar atau kutipan percakapan. Pertanyaan retoris dalam

hati Alice —“apa gunanya buku tanpa gambar atau percakapan?”— menegaskan

betapa datar dan hambarnya dunia pengalaman yang disuguhkan oleh buku-buku

yang hanya mengandalkan abstraksi verbal. Tidak mengherankan jika minat Alice

terhadap “gambar atau percakapan” seakan-akan merupakan pendorong bagi

petualangannya yang menakjubkan begitu ia memasuki lubang kelinci.

Akan tetapi masalah mendasar dalam hal ini bukan semata-mata masalah

teknik menciptakan daya tarik pada bahan bacaan. Buku-buku cerita yang

berilustrasi, sebagai hasil proses kreatif penulis dan ilustrator, memungkinkan

kegiatan membaca (tulisan pengarang) tidak tercerai dari kegiatan melihat (gambar

karya ilustrator) dan mendengar (percakapan tokoh cerita). Dalam buku-buku seperti

itu, deskripsi verbal melalui bahasa tulis dari narator mengalami visualisasi melalui

bahasa rupa dari ilustrator, sementara tokoh-tokoh cerita dipersilakan berbicara

langsung satu sama lain atau menyatakan dirinya melalui bahasa percakapan.

Demikianlah, kegiatan membaca, melihat, dan mendengar —yang masing-masing

mencerminkan ragam bahasa tersendiri— merupakan tiga tiang pancang yang

menopang pemahaman, wawasan, dan pengertian.

Apabila perhatian terhadap buku cerita berilustrasi ditekankan pada dimensi

visualnya, yakni gambar —dengan tidak melupakan dimensi verbalnya, yakni tuturan

narator dan kutipan percakapan— , dapat dipikirkan lebih jauh apa yang secara

intuitif sudah lazim disadari, yaitu pentingnya gambar bagi pengetahuan dan

pengalaman manusia. Istilah “gambar” itu sendiri —yang sepadan dengan istilah

picture dalam bahasa Inggris— memiliki cakupan pengertian yang begitu luas. Istilah

tersebut meliputi beragam gejala visual, mulai dari drawing hingga painting, bahkan

dapat meliputi hasil fotografi serta citraan yang hidup atau bergerak —yang dalam

bahasa Melayu dahulu kala disebut “gambar idoep”— seperti yang muncul dalam

film atau televisi, sebagaimana yang diuraikan secara menarik oleh kritikus seni

Sanento Yuliman dalam bukunya, Dua Seni Rupa (2001). Seluruh gejala visual itu

memasuki ruang persepsi dengan perantaraan indra penglihatan. Dengan kata lain,

tindak melihat merupakan prasyarat utama untuk menyadari kehadiran gambar.

Page 3: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

15

Tindak melihat itu sendiri sering diasosiasikan dengan kegiatan intelektual yang

cakupannya lebih luas, tidak hanya meliputi kegiatan menyadari kehadiran gambar

melainkan juga meliputi kegiatan mengetahui sesuatu pada umumnya. Dalam bahasa

Indonesia, misalnya, kata “pandangan” atau “penglihatan” lazimnya diidentikkan

dengan pendapat atau pemikiran, sebagaimana istilah “gambaran” galibnya

diidentikkan dengan uraian atau paparan, sementara istilah “sudut pandang” biasanya

diidentikkan dengan titik tolak pemikiran. Dengan kata lain, metafora yang lazim

digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran mengandung asosiasi ke arah gambar.

Jadi, pada dasarnya orang beranggapan bahwa mengetahui atau memahami sesuatu

tak ubahnya dengan melihat atau memandang sesuatu.

Proses berpikir itu sendiri pada hakikatnya melibatkan beragam citraan

imajinatif yang muncul dalam benak, sampai-sampai timbul anggapan bahwa

perilaku manusia sesungguhnya bergantung pada citraan (image). Dalam bagian

pengantar bukunya, The Image: Knowledge in Life and Society (1969), Kenneth E.

Boulding menguraikan pertautan antara citraan (image) dan proses berpikir. Ia

mengidentikkan “pengetahuan” (knowledge) dengan “gambaran dunia” (image of the

world). Setelah memaparkan lintasan beragam citraan dalam benak, ia mengatakan:

Apa yang saya bicarakan berkaitan dengan pengetahuan. Dalam hal ini, barangkali, istilah pengetahuan tidak tepat. Mungkin orang sebaiknya mengatakan Citraan saya tentang dunia. Pengetahuan memiliki kaitan dengan validitas, dengan kebenaran. Apa yang sedang saya bicarakan berkaitan dengan apa yang saya yakini benar; yakni pengetahuan subjektif saya. Citraan inilah yang sangat menentukan perilaku... Seribu satu hal dapat terjadi. Namun, setiap kejadian mengubah struktur pengetahuan atau citraan saya. Dan manakala citraan saya berubah, demikian pula perilaku saya. Dengan demikian,

proposisi pertama dalam buku ini adalah bahwa perilaku bergantung

pada citraan. (Boulding, 1969: 5-6)

Kian lama kian terasa betapa pentingnya gambar dalam kehidupan sehari-hari.

Tayangan televisi yang berpendaran tiada henti, kamera kecil yang terus mengintip di

sudut-sudut ruang publik, papan-papan iklan yang menarik perhatian di sepanjang

jalan, studio foto atau galeri seni yang terus mengundang semakin banyak orang,

Page 4: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

16

satelit yang terus berputar di langit, akses internet yang kian lempang, dsb. pada

gilirannya menampakkan suatu jagat visual yang amat luas tempat beragam

pengalaman manusia dibentuk, diperantarai, dan terus dilangsungkan. Apa yang oleh

filsuf Martin Heidegger disebut “gambar dunia” (world picture) —bukan dalam arti

peta bumi, melainkan dalam arti dunia yang dihadapi dan dialami sebagai gambar—

kian hari kian dikukuhkan, bahkan dengan kecepatan perubahan yang kian

meningkat. Ilustrasi buku adalah bagian kecil dari jagat visual yang amat luas itu.

II.2 Ilustrasi dalam Komunikasi

Seringkali ilustrasi dibicarakan dalam kerangka desain grafis (graphic

design). Itulah bidang kajian tersendiri yang kerap dibedakan dari bidang kajian seni

murni (fine art). Pembedaan di antara kedua bidang kajian tersebut merupakan

konsekuensi logis dari salah satu prinsip modernisme yang membayangkan adanya

“otonomi seni”. Seni dibayangkan sebagai bidang otonom, terpisah dari bidang-

bidang kehidupan lainnya. Kalaupun apa yang disebut “seni” tampak begitu umum,

sering pula dibuat pembedaan antara “seni adiluhung” dan “seni terapan”, fine art dan

pop art. Bidang garapan desain grafis, termasuk ilustrasi buku, cenderung dilekatkan

pada “seni terapan”.

Akan tetapi sekat-sekat itu tampaknya tidak dapat bertahan lama. Seiring

dengan kian pesatnya perkembangan teknologi informatika dan komunikasi, timbul

gugatan atau peninjauan kembali atas dasar-dasar pandangan modernisme itu sendiri.

Garis-garis batas konvensional di antara kedua bidang tersebut pada gilirannya

mengabur. Lagi pula, definisi “seni” itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang sudah

jadi atau mapan, melainkan terus berubah dan berkembang dari zaman ke zaman.

Pembedaan konvensional menyangkut seni dan desain tidak memadai lagi untuk

memahami kompleksitas gejala visual. Dengan demikian, ilustrasi buku sebagai salah

satu gejala visual dapat pula dijadikan fokus perhatian kritik seni.

Ilustrasi pada dasarnya dapat dipandang dalam kaitannya dengan proses

komunikasi. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Malcolm Barnard, desain grafis,

yang antara lain melingkupi ilustrasi, merupakan sebentuk komunikasi visual. Dia

Page 5: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

17

memaparkan aspek-aspek komunikatif dari seni grafis, tidak hanya dengan meninjau

teori-teori komunikasi klasik, yang cenderung mengandaikan proses komunikasi

sebagai gejala mekanis penyampaian pesan (message) secara linear dari pengirim

pesan (sender) ke penerima pesan (receiver), melainkan juga terutama dengan

bertopang pada pandangan semiologi yang menekankan adanya variabel kultural

yang mempengaruhi cara seluruh partisipan komunikasi memaknai pesan. Dikatakan

bahwa:

Komunikasi dalam desain grafis dijelaskan sebagai interaksi keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh anggota-anggota kelompok budaya dengan elemen-elemen formal dari desain grafis (sebut saja, bentuk, garis, warna, citraan, teks dan rekabentuk, misalnya). Alih-alih terwujud secara alami atau dibakukan sejak dini, dalam desain grafis, makna dijelaskan sebagai sesuatu yang terbentuk di dalam kegiatan komunikasi itu sendiri. Dengan demikian, desain grafis bukanlah penyampai pesan yang bersahaja, atau bahkan sarat siasat, melainkan pembentuk identitas (orang lain). (Barnard, 2005: 179)

Secara teknis, ilustrasi dapat dipahami sebagai gambar yang disajikan

bersama teks. Ilustrasi merupakan bagian dari atau pendamping untuk teks, baik

untuk menambah daya tarik teks maupun untuk memperjelas maksud teks. Ilustrasi

pada dasarnya turut menafsirkan teks, atau sekurang-kurangnya berupaya

memperhidup dan memperkaya teks melalui bentuk visual. Dalam hal ini ilustrasi

dapat dibedakan dengan iluminasi meskipun pada umumnya dan dalam

perkembangan sejarahnya ilustrasi dan iluminasi berjalan beriringan bahkan

berpautan sedemikian eratnya. Namun, untuk kepentingan analitis, keduanya dapat

dibedakan satu dari yang lainnya. Jika iluminasi merupakan gambar yang cenderung

hanya menjadi dekorasi bagi teks, ilustrasi merupakan gambar yang cenderung ikut

menafsirkan teks. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata illustration secara harfiah

mengandung arti antara lain “tindak menjelaskan atau menerangkan” (an act of

clarifying or explaining) atau “mendapat penjelasan atau penerangan” (the state of

being clarified or explained).

Page 6: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

18

Perbedaan antara ilustrasi dan iluminasi tersebut, sedikit banyak, turut

mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai relasi antara gambar dan kata,

sebagaimana yang —dalam konteks pencetakan buku— dikemukakan oleh Howard

Simon sebagai berikut:

Perihal pembuatan buku yang baik, selalu ada dua aliran pemikiran yang berlainan. Di satu pihak ada segolongan orang yang akan menghiasi buku dengan ragam yang jelas dan indah, lalu mencetaknya di atas kertas yang bagus dan, akhirnya, mempersilakan bunga penerbit menghiasi halaman. Di pihak lain ada segolongan orang lainnya yang beranggapan bahwa buku yang berilustrasi merupakan buku yang diperkaya. (Simon, 1949: xi)

Kemunculan dan perkembangan ilustrasi dapat dikatakan seiring dan sejalan

dengan kemunculan dan perkembangan tulisan. Sebagaimana pencetakan dan

penerbitan buku dan bahan bacaan lainnya berkembang dari masa ke masa, demikian

pula ilustrasi telah mengalami perkembangan pesat sedemikian rupa sehingga

kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan budaya cetak (print

culture). Ilustrasi buku mula-mula berkembang pada abad ke-15 dalam produksi

block book. Dalam bentuknya yang modern, ilustrasi buku kemudian memanfaatkan

teknik pembuatan etsa di atas pelat tembaga pada abad ke-16 dan 17, yang cenderung

menggeser teknik woodcut, sebelum berkembang secara revolusioner menjelang abad

ke-18 melalui temuan Thomas Bewick berupa wood engraving dan temuan

Senefelder berupa litografi. Seni grafis ini kian berkembang terutama setelah

dimanfaatkannya teknik fotomekanis pada akhir abad ke-19 yang memungkinan

optimalisasi pengembangan teknik painting dan drawing (www.infoplease.com).

Tidak mengherankan jika Frank Weitenkampf —dalam konteks sejarah seni grafis di

Amerika Serikat— mengatakan bahwa:

Sejarah proses reproduksi secara luas adalah sejarah ilustrasi buku. Line-

engraving, etsa, mezzotint, aquatint, cetak batu dan cukil kayu masing-masing memiliki kurun penerapannya sendiri dalam upaya menghiasi dan mempercantik halaman-halaman cetakan. Khususnya cukil kayu. Perannya sebagai pelipur dan instruksi bergambar dalam kaitannya

Page 7: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

19

dengan cetak mencetak berlangsung dalam jangka waktu yang lama, hingga ia digantikan oleh proses semi-pekat. (Weitenkampf, 1924: 179)

Menyadari adanya pertautan yang erat antara perkembangan seni ilustrasi dan

perkembangan proses reproduksi berarti menyadari adanya pergeseran menyangkut

karakteristik karya seni itu sendiri dan fungsi sosialnya di tengah kehidupan

masyarakat umum. Sarana reproduksi massal seperti mesin cetak telah ikut

menumbuhkan gejala yang oleh Walter Benjamin dilihat sebagai memudarnya “aura”

seni. Gambar-gambar tidak lagi terlindung di dinding-dinding gua dengan segala

pesonanya, atau semata-mata tersimpan di balik dinding galeri seni dan hanya bisa

dinikmati oleh kalangan tertentu, melainkan telah dibawa dan disebarluaskan ke

tengah-tengah kehidupan khalayak ramai. Keaslian benda-benda seni seakan kian hari

kian tidak dipentingkan manakala orang banyak merasa cukup mengandalkan

berbagai replika atau hasil-hasil reproduksinya (Benjamin, 1985: 217-252). Mesin

cetak itu sendiri oleh Marshall McLuhan dijuluki sebagai “arsitek nasionalisme”

(architect of nationalism). Dengan berkembangnya mesin cetak, gagasan dan cita rasa

individual dapat menjadi gagasan dan cita rasa kolektif, sedemikian rupa sehingga

terbentuklah kesatuan gagasan dan cita rasa yang pada gilirannya bahkan mendorong

terbentuknya keyakinan atau identitas bersama (McLuhan, 1964: 155-161).

Dengan menyadari adanya gejala seperti itu, ilustrasi buku dapat dilihat

sebagai salah satu contoh yang sangat menarik mengenai karya seni yang mengalami

reproduksi secara massal dan diabdikan bagi pemenuhan berbagai kepentingan yang

berjalin dan berkelindan di luar ruang lingkup bidang kesenian itu sendiri. Gambar

yang diperbanyak melalui mekanisme reproduksi massal itu, dijadikan medium

propaganda politik, pelengkap strategi pemasaran dan periklanan, alat bantu

pengajaran, sarana hiburan, dsb.

Layak jika ilustrasi buku dilihat dalam kerangka apa yang dewasa ini lazim

disebut “teks visual” (visual texts) dalam berbagai variannya. Dalam uraian Tony

Schirato dan Jen Webb, “teks visual” dapat dipahami sebagai berikut:

Page 8: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

20

Teks visual sangat beragam dan berlapis-lapis, dan jarang berupa kisah tembus pandang, selalu ada sejumlah prinsip struktural, tatanan yang terstruktur, untuk mengurangi kekacauan polisemi. Karya-karya visual tidak mungkin begitu saja menyampaikan kisah, melainkan mengandung potensi naratif yang begitu besar dan kekuatan ekspresif yang kuat: kemampuan untuk menuangkan emosi, gagasan dan sikap: dan untuk mengarahkan pembaca pada narasi-narasi tertentu. (Schirato dan Webb, 2004:104)

II.3 Gambar Kolonial

Di Indonesia, ilustrasi buku —sebagaimana hasil kreasi lainnya yang bersifat

piktorial— dalam bentuknya yang modern mulai dikenal melalui kolonialisme Eropa.

Pengenalan atas ilustrasi buku turut menandai persentuhan budaya Indonesia dengan

tatanan global yang juga sedikit banyak terpaut pada kolonialisme. Karena itu, dalam

penelitian ini, kolonialisme dijadikan latar historis yang melingkupi gejala visual

yang sedang ditelaah. Kenyataan yang menunjukkan bahwa rangkaian ilustrasi buku

yang dikaji di sini merupakan bagian dari hasil kolaborasi antara penulis Hindia

Belanda dan penulis serta ilustrator Belanda yang dilangsungkan dalam tatanan

kolonial abad ke-20, dan digunakan sebagai salah satu bagian dari realisasi kebijakan

kolonial di bidang pendidikan dasar bagi anak-anak bumiputra, mengharuskan adanya

wawasan historis seperti itu.

Istilah kolonialisme lazimnya digunakan untuk membicarakan suatu paham,

keyakinan, kebijakan, praktek, dan sistem menyangkut hubungan yang timpang di

antara dua pihak: penakluk (colonizers) dan taklukan (colonized). Struktur, pola, dan

tatanannya cenderung ditentukan berdasarkan kepentingan pihak penakluk, terlepas

dari pihak mana sebetulnya yang menangguk keuntungan atau menanggung kerugian

dari ketimpangan itu. Yang pasti, pihak yang satu menjadi koloni atau wilayah

taklukan bagi pihak lain yang lebih kuat. Dalam uraian Edward Said, kolonialisme

disinggung-singgung dalam satu helaan nafas dengan imperialisme. Ia mengatakan:

[...] ‘imperialisme’ berarti praktek, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu wilayah yang jauh; ‘kolonialisme’, yang hampir selalu merupakan konsekuensi

Page 9: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

21

imperialisme, adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh....

Baik imperialisme maupun kolonialisme bukanlah suatu tindakan sederhana mengumpulkan dan mengambil. Keduanya didukung dan barangkali bahkan ditekan melalui formasi-formasi ideologi impresif yang mencakup pendapat bahwa wilayah-wilayah dan bangsa-bangsa tertentu membutuhkan dan memohon dominasi, serta bentuk-bentuk pengetahuan yang berkaitan dengan dominasi: kosakata kebudayaan imperial klasik abad kesembilan belas banyak mengandung kata-kata atau konsep-konsep semacam ‘ras yang lebih rendah’ atau ‘ras taklukan’, ‘ras bawahan’, ‘ketergantungan’, ‘ekspansi’, dan ‘otoritas’. (Said, 1995: 40-41)

Sebegitu jauh, kolonialisme tidak hanya dipelajari dalam kaitannya dengan

variabel-variabel ekonomi-politik yang melekat padanya, melainkan juga dipelajari

dalam kaitannya dengan variabel-variabel lain yang tak kurang pentingnya. Ashis

Nandy, misalnya, mempelajari kolonialisme —dalam konteks sejarah dan

pengalaman masyarakat India di bawah kolonialisme Inggris— dari sudut pandang

psikoanalisis sehingga dapat menguak seluk-beluk psikologis baik pada pihak

penakluk maupun pada pihak taklukan. Dalam pandangannya:

Keunikan pertama dari kolonialisme adalah keadaan pikiran pada pihak penjajah dan pihak terjajah, suatu kesadaran kolonial yang meliputi keinginan yang ada kalanya tak dapat diwujudkan untuk mengeruk keuntungan politis dan ekonomi dari koloni, juga elemen-elemen lainnya. Ekonomi politik kolonisasi tentu saja penting, tetapi kebodohan dan kekasaran kolonialisme pada dasarnya dinyatakan di tataran psikologi dan, sejauh menyangkut variabel-variabel yang digunakan untuk menguraikan keadaan pikiran dalam kolonialisme dengan sendirinya telah dipolitisasi sejak munculnya kolonialisme modern dalam cakrawala dunia, di tataran psikologi politis. (Nandy, 1994: 1)

Sehubungan dengan kompleksitas keadaan pikiran, ada homologi antara

kolonialisme dan proses membuat gambar, dalam arti mengartikulasikan citraan

dalam pikiran ke bidang gambar dengan mengolah garis, bentuk, bidang, warna, dsb.

Jauh-jauh hari sebelum para pelaut, serdadu, juragan kebun, dan penginjil bertolak

dari pelabuhan-pelabuhan Eropa menuju negeri-negeri jauh yang hendak dijadikan

Page 10: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

22

koloni, pertama-tama tersusun dulu apa yang oleh Edward Said disebut “geografi

imajinatif”, yang pada hakikatnya barangkali merupakan sebentuk fantasi tentang

“yang lain”, yang dianggap berbeda dari “kita”.

Sungguh kita bisa berpendapat bahwa objek-objek tertentu diciptakan oleh pikiran, dan bahwa objek-objek tersebut, yang tampaknya terwujud secara objektif, hanyalah merupakan realitis fiktif. Sekelompok orang yang tinggal di atas sedibang tanah akan menciptakan batas-batas antara tanah mereka dan lingkungan di sekitarnya dan wilayah-wilayah selebihnya, yang mereka sebut “tanah kaum barbar.” Dengan kata lain, praktek universal untuk menyuguhkan ke dalam pikiran orang suatu ruang akrab yang disebut “ruang kita” dan ruang asing di luar “ruang kita” yang merupakan “ruang mereka” adalah cara membuat pembedaan-pembedaan geografis yang bisa jadi sepenuhnya arbitrer. Saya menggunakan kata “arbitrer” di sini sebab geografi imajinatif mengenai “tanah kita−tanah kaum barbar” tidaklah meniscayakan kaum barbar untuk menerima pembedaan tersebut. Cukuplah bagi “kita” untuk menetapkan batas-batas dalam pikiran kita sendiri; dengan sendirinya “mereka” menjadi “mereka”, dan baik wilayah mereka maupun mentalitas mereka dianggap berbeda dari “kepunyaan kita”. Dengan demikian, hingga batas tertentu masyarakat-masyarakat primitif dan modern tampaknya memperoleh kesadaran atas identitas mereka secara negatif. Orang Athena abad kelima sangat mungkin merasa bahwa dirinya bukan orang biadab, sebagaimana ia secara positif merasa bahwa dirinya adalah warga Athena. Batas-batas geografis mengiringi batas-batas sosial, etnis, dan kultural dengan cara yang dapat diperkirakan. Namun seringkali kesadaran yang menjadikan seseorang merasa bahwa dirinya bukan orang asing didasarkan pada gagasan yang sangat teliti mengenai apa yang “di sana”, di luar wilayahnya sendiri. Segala macam dugaan, asosiasi dan fiksi tampak memenuhi ruang asing di luar sana. (Said, 1994: 54)

Dipertautkan dengan konstruksi ruang di tataran mental dan intelektual

semacam itu, ilustrasi —sebagaimana bidang-bidang kegiatan piktorial lainnya—

yang dibuat dalam situasi kolonial hingga batas tertentu bisa dilihat sebagai bagian

hakiki dari artikulasi “geografi imajinatif” ke dalam bentuk visual. Dengan kata lain,

gambar-gambar yang diproduksi di bawah kebijakan kolonial merupakan bagian

tersendiri dari konstruksi identitas “yang lain”, yang cenderung dianggap “kaum

barbar”.

Page 11: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

23

Dalam konteks Indonesia, sebagai gambaran, dapat dicatat bahwa kegiatan

orang Eropa menggambar Hindia Belanda sudah berlangsung setidaknya sejak abad

ke-17, seperti yang terlihat dari ilustrasi-ilustrasi dalam buku Jan Kompeni: Sejarah

VOC dalam Perang dan Damai: 1602-1799 karya C.R. Boxer (1979). Dalam buku

itu dapat dilihat gambar-gambar karya Albert Eckhout yang tinggal di Brazil (lukisan

khayal pasar Hindia Belanda, 1610-1660), karya jurugambar Portugis tentang Kastil

Amboina (1645), Hendrik van Anthonissen (1653), W. Van de Velde (tinta dan

pensil, lukisan kapal-kapal Hindia Timur pada 1649), A.D. Willaerts tentang Kastil

Batavia pada 1649, Ph. Baldaeus tentang Kastil Jaffnapatnam pada 1660, Malabar,

dan Jan Brandes (cat air) tentang perkawinan di Batavia pada 1779-1785. Begitu pula

dalam buku The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace terdapat

ilustrasi karya Wolf, Fitch, Robinson, Keulemans, Baines, T.D. Woods, dan Wallace

sendiri. Seluruhnya mencapai 51 gambar yang dibuat dengan teknik cukil kayu

(woodcut). Sementara dalam The History of Java (1817) karya Thomas Stanford

Raffles, terdapat gambaran tentang proses pembuatan ilustrasi tentang Hindia

Belanda oleh orang Eropa: gambar-gambar Hindia Belanda itu didasarkan pada

drawing atau foto yang dibuat di lapangan oleh para penjelajah atau peneliti seperti

Mayor Hermanus Christian Cornelius, orang Belanda, yang menggambar Candi Sewu

dan Prambanan atau Kapten Godfrey P Baker yang menggambar Candi Prambanan

dan Borobudur serta Mayor Jeremiah M Johnson yang menggambar Candi Suku

dekat Semarang, atau Nicolaus Engelhard yang menggambar patung-patung di

Semarang. Ilustrasi-ilustrasi The History of Java sendiri dibuat di Inggris. Buku-buku

lainnya yang memuat gambar Hindia Belanda antara lain Klamboes, Klewang,

Klapperbomen: Indië Gewonnen en Verloren karya Pierre Heijboer dan Oud Batavia

karya F. De Haan.

Eratnya pertautan antara kolonialisme Eropa dan kegiatan menggambar

manusia, alam dan budaya di Hindia Belanda terungkapkan pula melalui catatan

Haryadi Suadi ketika ia meninjau salah satu segi dari sejarah seni ilustrasi di

Indonesia berikut ini:

Page 12: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

24

...Seni gambar ala Eropa mulai diperkenalkan kepada banga kita [Indonesia] pada sekitar abad XVIII. Pada saat itu, sejumlah ahli gambar dari Belanda dan Inggris telah didatangkan ke tanah air kita dengan tujuan, antara lain, untuk membuat dokumentasi visual tentang keadaan negeri jajahan. Karena pada masa itu belum ditemukan ilmu fotografi, peran ahli gambar amat diperlukan. Para ahli gambar bangsa Inggris yang sempat mengabadikan berbagai objek peninggalan lama (arkeologi) di Pulau Jawa pada sekitar abad XVII-XIX, antara lain, Dr. Thomas Horsfield, A.A. Payen, Muriel Perey Brown, dan John Newman. Adapun dari Belanda tercatat nama-nama Q.M.R. Van Huell, D. Veelward, van Hoogstraten, dan van de Velde. Gambar-gambar mereka, yang bercorak naturalistik dengan menggunakan teknik yang masih dipandang “asing” oleh kaum pribumi pada masa itu, sudah banyak dimuat dalam buku-buku yang membahas negeri jajahan. (Suadi, 2000: 12-13)

Panorama tanah jajahan itu sendiri menjadi objek gambar yang tampaknya

diminati. Dapat dicatat, misalnya, bahwa antara 1913 dan 1940 penerbit J.B. Wolters

mengeluarkan seri gambar yang diedarkan di Hindia Belanda. Gambar-gambar itu

dibuat pada media semacam pelat yang pada masa itu biasa digunakan sebagai alat

bantu pengajaran (schoolplaat): media gambar yang digunakan oleh guru sebagai

ilustrasi bagi cerita yang mereka tuturkan kepada murid-murid. Media gambar seperti

itu pertama kali digunakan di Jerman pada abad ke-19 sebagai alat bantu guru dalam

upaya mengajar murid-murid tunarungu. Gambar-gambar panorama Hindia Belanda

itu dikumpukan dalam seri Insulinde in Woord en Beeld (Insulinde dalam Kata dan

Gambar) karya Henri Zondervan, yang memuat gambar-gambar tentang Hindia

Belanda karya Johan Herman Isings (1884-), Wilhelm Christiaan Constant

Bleckmann dan Johan Gabriëlse (1881-1945). (www.wikipedia.com).

Betapa banyak gambar, tak terkecuali ilustrasi buku, tentang kehidupan di

Hindia Belanda dahulu kala yang dibuat dalam tatanan kolonial. Gambar-gambar

yang tak terbilang itu merupakan bagian tersendiri dari paham, kebijakan, praktek,

dan sistem kolonial. Gambar-gambar seperti itulah yang di sini disebut sebagai

“gambar kolonial”.

Page 13: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

25

II.4 Pendekatan Budaya Visual

Gejala-gejala visual sebagaimana yang dipaparkan di atas mendapatkan

perhatian terutama dari kalangan ahli studi budaya (cultural studies). Sebagaimana

yang dipaparkan oleh Karl Catteeuw dalam disertasinya, “Als de Muren Konden

Spreken: Schoolwandplatten en de Geschiedenis van het Belgisch lager Onderwijs”

(2005), apa yang dimaksud dengan studi budaya di sini adalah suatu kecenderungan

intelektual untuk mengkaji beragam dimensi sosial dari gejala budaya, yang berawal

di Inggris pada akhir dasawarsa 1950-an dan dirintis oleh para penulis seperti Richard

Hoggart, Raymond Williams dan Stuart Hall. Kecenderungan itu berlangsung

sedemikian rupa sehingga sejak dasawarsa 1970-an pengaruhnya meluas ke berbagai

negeri, tak terkecuali Indonesia, dan ke berbagai bidang kajian, tak terkecuali sejarah

seni. Pada gilirannya, timbul pula sejenis pictorial turn —dalam arti, terarahnya

perhatian terhadap hal-ihwal yang berkaitan dengan gambar— dalam studi budaya.

Jika sebelumnya studi budaya tampaknya cenderung menitikberatkan tekstualitas dari

kehidupan manusia, khususnya melalui pendekatan yang ditimba dari disiplin

linguistik, belakangan perhatian lebih cenderung diarahkan pada visualitas (visuality)-

nya.

Sehubungan dengan adanya pictorial turn itu, W.J.T. Mitchell dalam

bukunya, Picture Theory (1994) antara lain menulis:

Apapun arti yang terkandung dalam pictorial turn, maka, patut dijelaskan bahwa hal ini bukan berarti kembali kepada mimesis naif, teori representasi yang menekankan salinan atau korespondensi, atau metafisika “kehadiran” piktorial yang diperbaharui: hal ini lebih cenderung berarti telaah ulang secara pascalinguistik dan pascasemiotik atas gambar sebagai saling silang yang rumit di antara visualitas, perangkat, institusi, wacana, tubuh, dan figuralitas. [...] Yang terpenting, hal ini menunjukkan bahwa masalah representasi piktorial yang selalu ada di sekitar kita, kini tidak bisa dipungkiri lagi, dan berlangsung dengan kekuatan yang tidak dikenal sebelumnya pada berbagai tingkatan budaya, mulai dari renungan filosofis yang adiluhung hingga sajian media massa yang paling vulgar. (Catteeuw, 2005: 22)

Page 14: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

26

Meningkatnya perhatian pada hal-ihwal yang bersifat visual dalam kehidupan

manusia bahkan menimbulkan bidang kajian tersendiri yang lazim disebut “budaya

visual” (visual culture). Istilah tersebut pada dasarnya mengacu pada suatu upaya

intelektual, khususnya dalam kerangka studi budaya, untuk memahami gejala visual

atau pengalaman visual dalam kehidupan manusia, baik di tingkat individual maupun

di tingkat kolektif. Upaya tersebut timbul manakala kehidupan manusia semakin hari

semakin banyak ditandai dengan sentralnya peran gambar dalam berbagai bentuk dan

ragamnya, serta meningkatnya kecenderungan untuk memvisualisasikan banyak hal,

tak terkecuali hal-ihwal yang pada dasarnya tidak bersifat visual, terutama berkat

semakin pesatnya teknologi media dan informatika. Karena gejala-gejala yang dapat

diamatinya sedemikian beragam, batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini telah

mapan menjadi tidak memadai untuk memahami gejala visual. Dengan kata lain,

kajian atas beragam gejala visual pada dasarnya bersifat lintas disiplin (Mirzoeff,

2001: 1-31).

Sehubungan dengan pentingnya budaya visual sebagai sebuah bidang studi,

Nicholas Mirzoeff menguraikan sebagai berikut:

Kesenjangan antara melimpahnya pengalaman visual dalam kebudayaan pascamodern dan kemampuan untuk menganalisis observasi itu menandai baik peluang maupun kebutuhan akan budaya visual sebagai sebuah bidang studi. Sementara media-media visual yang berlainan biasanya dipelajari secara terpisah-pisah, kini ada kebutuhan untuk menginterpretasikan globalisasi pascamodern atas hal-ihwal yang bersifat visual sebagai kehidupan sehari-hari. Para kritikus dari berbagai disiplin yang secara luas meliputi sejarah seni, film, kajian media dan sosiologi telah mulai menggambarkan bidang kajian yang sedang timbul ini sebagai budaya visual. Budaya visual terarah pada peristiwa-peristiwa visual yang di dalamnya informasi, makna, atau kesenangan dicari oleh konsumen sewaktu menghadapi teknologi visual. Istilah teknologi visual yang saya maksudkan mengacu pada setiap bentuk perangkat yang dirancang baik untuk dilihat maupun untuk meningkatkan penglihatan alamiah, mulai dari lukisan cat minyak hingga televisi dan internet. Pascamodernisme sering diartikan sebagai krisis yang disebabkan oleh modernisme dan budaya modern manakala menghadapi kegagalan pada strateginya sendiri untuk membuat visualisasi. Dengan kata lain, krisis visual dari

Page 15: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

27

kebudayaanlah yang menciptakan pascamodernisme, bukan tekstualitasnya. Sementara budaya cetak jelas tidak sampai menghilang, ketertarikan pada hal-ihwal yang bersifat visual beserta efek-efeknya yang menandai modernisme telah menimbulkan suatu budaya pascamodern yang sangat pascamodern manakala bersifat visual. (Mirzoeff, 2001: 3)

Apabila uraian Mirzoeff mengenai budaya visual dijadikan patokan untuk

menimbang-nimbang bidang studi tersebut, barangkali timbul pertanyaan, sejauh

mana pendekatan budaya visual mengandung relevansi dengan pokok bahasan dalam

penelitian ini? Pertanyaan seperti ini penting diperhatikan, terutama dalam

hubungannya dengan konteks historis yang melatarbelakangi dan mendorong

kemunculan bidang studi tersebut di satu pihak, dan konteks historis yang melingkupi

pokok bahasan penelitian ini di pihak lain. Dalam hal ini, sebagaimana yang

diuraikan oleh Mirzoeff, budaya visual timbul sebagai tanggapan atas situasi

pascamodern dan terarah pada pengalaman visual dalam budaya pascamodern.

Sementara penelitian ini terarah pada serangkaian gambar yang dicetak dalam buku

dan disebarluaskan di Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia II —suatu kurun

tatkala kehidupan masyarakat Indonesia baru memasuki budaya modern, yang antara

lain ditandai dengan pengenalan atas beragam barang cetakan, dan masih jauh dari

ciri-ciri budaya pascamodern.

Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, perlu ditekankan bahwa budaya

visual memperhatikan gambar sebagai gejala yang dinamis, tidak statis. Gambar atau

gejala visual pada umumnya dikaji berdasarkan genealoginya dan proses

perkembangannya dengan berbagai implikasinya. Misalnya, dalam upaya mengkaji

karakteristik citraan (image) sebagai sesuatu yang pada dasarnya dibuat atau

merupakan hasil bentukan, budaya visual memperhatikan teknik montase, yakni

teknik menggabungkan dua sudut pandang menjadi suatu kesatuan, di bidang

fotografi dan film pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an. Dalam hal ini, sebagai suatu

upaya untuk mempelajari gejala visual sebagai sebentuk tanda (sign), budaya visual

dapat dikatakan berbeda dengan strukturalisme. Apabila strukturalisme mempelajari

suatu gugusan tanda untuk menemukan struktur yang mendasari seluruh kehidupan

Page 16: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

28

masyarakat dan budaya, sebaliknya budaya visual memperhatikan gugusan tanda

tersendiri, yang sedikit banyak berbeda dengan gugusan tanda lainnya. Dengan kata

lain, jika strukturalisme berpretensi menyeluruh, dalam arti mencari kesamaan yang

menyatukan semesta tanda, budaya visual berpretensi memusat, dalam arti

memperhatikan kekhususan suatu tanda atau perbedaan di antara beragam tanda.

Dalam hal ini Mirzoeff mengatakan:

Tidak ada dan tidak mungkin ada teori tanda “murni” yang dapat berhasil menerobos batas-batas ruang dan waktu. Strukturalisme pada akhirnya tidak produktif. Bisa saja kita mereduksi seluruh teks ke dalam serangkaian formula tetapi dengan begitu perbedaan mendasar di antara dan di dalam teks-teks tersebut terpupus. Budaya visual, seperti berbagai piranti analisis tanda lainnya, harus mencakup penelitian historis. (Mirzoeff, 2001: 14)

Sehubungan dengan pentingnya wawasan historis dalam kajian atas karya-

karya visual, kini tiba saatnya untuk memaparkan metode penafsiran gambar yang

dikenal dalam sejarah seni, khususnya sebagaimana yang dirumuskan oleh ahli

sejarah seni dan esais Erwin Panofsky dalam suatu bidang kajian yang lazim disebut

ikonologi (iconology). Panofsky merumuskan metode tersebut di sekitar dasawarsa

1920-an atau 1930-an, tetapi hingga kini rumusannya masih tetap diandalkan dalam

kajian atas karya-karya visual.

II.5 Interpretasi Ikonografis

Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia.

Dalam bahasa Yunani, istilah tersebut terbentuk dari gabungan kata eikon (εικον)

yang berarti “citraan” atau “gambar”, dengan graphia (γραφειν) yang berarti

“menulis”. Secara harfiah, ikonografi berarti “penulisan gambar”. Hal-ihwal yang

berkaitan dengan ikonografi atau hal-ihwal yang mengandalkan gambar lazimnya

ditandai dengan kata sifat ikonografis (iconographic atau iconographical).2

2 Uraian etimologis dan leksikografis ini antara lain didasarkan atas Merriam-Webster’s Collegiate

Dictionary dalam Encyclopaedia Britannica Deluxe Edition 2004 CD ROM. Lihat juga Merriam-

Webster Online Dictionary dalam http://www.merriam-webster.com/dictionary/iconography.

Page 17: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

29

Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada

kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika

istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang

bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin

keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan

yang implikasinya sangat luas.

Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni

rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada

abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas karya-karya

visual yang berupa engraving. Adapun engraving ketika itu lazim diandalkan untuk

memproduksi ilustrasi buku seni.

Sebagai disiplin keilmuan tersendiri, ikonografi terutama berkembang pada

abad ke-19. Ketika itu perhatian utama para ahli ikonografi seperti Adolphe Napoleon

Didron (1806–1867), Anton Heinrich Springer (1825–1891) dan Émile Mâle (1862–

1954) dicurahkan pada karya-karya visual yang dibuat dalam kerangka ekspresi iman

Kristiani. Sementara pada abad ke-20 disiplin ini terus berkembang, antara lain

melalui kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866–1929), Fritz Saxl (1890–

1948) dan Erwin Panofsky (1862-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi

gambar, melainkan juga menginterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-

kajian ikonografis tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga

merambah ke bidang-bidang lainnya.3 Lagi pula, sebagaimana yang dikatakan

Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agama, filsafat, dan keadaan sosial

patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya-

karya seni” (Panofsky, 1939: 16).

Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian

ikonografis dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in

Iconology (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan mengatakan

bahwa “ikonografi adalah cabang sejarah seni yang memusatkan perhatiannya pada

3 Paparan ensiklopedis mengenai ikonografi dapat ditemukan antara lain dalam http: www.wikipedia.com dan http: www.bartleby.com, di bawah kata kuci iconography.

Page 18: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

30

isi atau makna karya seni, yang dibedakan dari bentuknya” (Panofsky, 1939: 3).

Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung

didominasi oleh kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan

penggayaan (stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang

terfokus pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual di bidang

sejarah seni.

Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata menyangkut pokok atau

makna” (three strata of subject matter or meaning) karya visual. Ketiga tingkatan

makna yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri atas tingkatan

praikonografis (pre-iconographic), ikonografis (iconographic) dan ikonologis

(iconological). Pada lapisan praikonografis pengamat —sesuai dengan kerangka

pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri— memperhatikan bagian-bagian

tertentu dari gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografis pengamat

memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada

lapisan ikonologis pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik

dari gambar yang diamati.

Gb. II.1 Erwin Panofsky (1862-1968) (Foto: http://www.uniurb.it/Filosofia/bibliografie/PANOFSKY/FOTO%201.jpg)

Page 19: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

31

Demi kejelasan uraian, di sini dikutip penjelasan Panofsky mengenai ketiga

lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya sebagai

berikut:

1-MAKNA PRIMER ATAU ALAMIAH, yang terbagi ke dalam makna FAKTUAL dan EKSPRESIONAL. Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu: susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa, sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya; dengan mengidentifikasi hubungan timbal baik di antara objek-objek itu sebagai peristiwa; serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Jagat bentuk murni yang kemudian diamati sebagai penghantar makna primer atau alamiah dapat disebut sebagai jagat motif artistik. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni. 2-MAKNA SEKUNDER ATAU KONVENSIONAL. Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok pria dengan sebilah pisau merepresentasikan Santo Bartolomeus, bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari Kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk menghadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan pose tertentu merepresentasikan Perjamuan Terakhir, atau bahwa dua sosok yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan Perlawanan antara Kebaikan dan Kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motif-motif artistik dan menggabungkan motif-motif artistik (komposisi) dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam disebut ‘invenzioni;’ kita biasa menyebutnya cerita dan alegori. Identifikasi atas citraan, cerita dan alegori merupakan wilayah ikonografi dalam pengertian yang lebih sempit. Sebenarnya, ketika kita secara longgar berkata tentang ‘makna yang dapat dibedakan dari bentuk’ hal yang kita maksudkan terutama adalah wilayah makna sekunder atau konvensional, yakni jagat tema atau konsep khusus yang diwujudkan melalui citraan, cerita dan alegori, yang dapat dibedakan dari jagat makna primer atau alamiah yang diwujudkan melalui motif-

motif artistik. ‘Analisis formal’ dari Wölfflin terutama merupakan analisis atas motif dan gabungan motif (komposisi); sebab analisis formal dalam pengertiannya yang ketat niscaya harus menghindari

Page 20: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

32

ungkapan-ungkapan seperti ‘orang’, ‘kuda’, atau ‘lajur’, apalagi evaluasi-evaluasi seperti ‘segitiga aneh di antara kedua kaki Daud ciptaan Michelangelo’ atau ‘penjelasan yang mengagumkan mengenai tulang-tulang sendi dalam tubuh manusia’. Jelas, analisis ikonografis

dalam arti sempit yang benar mengandaikan adanya identifikasi yang tepat atas motif-motif. Jika pisau yang mendorong kita mengidentifikasi Santo Bartolomeus bukan pisau melainkan pemutar sumbat gabus, sosok itu bukan Santo Bartolomeus. Lagi pula, penting dicatat bahwa pernyataan ‘sosok ini adalah citraan Santo Bartolomeus’ menyiratkan adanya maksud yang disadari dari seniman untuk merpresentasikan Santo Bartolomeus, sementara kualitas-kualitas ekspresional dari sosok itu sangat mungkin tidak dimaksudkan. 3-MAKNA ATAU ISI INTRINSIK. Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, periode, kelas, persuasi keagamaan atau filosofis—yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut diungkapkan melalui, dan karena itu diarahkan pada, ‘metode komposisional’ dan ‘signifikansi ikonografis’. Pada abad ke-14 atau 15 (contoh yang lebih silam dapat dirunut ke sekitar tahun 1310), misalnya, jenis tradisional Kelahiran Kristus dengan Perawan Maria terbaring di atas ranjang atau dipan seringkali digantikan dengan jenis baru yang menunjukkan Sang Perawan bersimpuh di depan Sang Putra dengan penuh hormat. Dari sudut pandang komposisional, perubahan ini berarti, katakanlah, pemakaian skema segitiga sebagai pengganti skema segi empat; dari sudut pandang ikonografis dalam arti sempit hal ini berarti diperkenalkannya tema baru yang secara tekstual dirumuskan oleh para penulis sebagai Pseudo-Bonaventura atau Santo Bridget. Namun pada saat yang sama hal ini juga mengungkapkan sikap emosional baru yang istimewa bagi fase-fase Abad Pertengahan yang belakangan. Interpretasi yang benar-benar mendalam atas makna atau isi intrinsik bahkan dapat menunjukkan bahwa prosedur-prosedur teknis yang khas di negeri tertentu, dalam periode tertentu, atau pada seniman tertentu, misalnya Michelangelo yang lebih suka membuat patung dengan batu ketimbang dengan perunggu, atau penggunaan hatching yang menonjol dalam drawing-nya, bersifat simptomatik pada sikap dasar yang kentara dalam seluruh kulitas khusus lain pada gayanya. Maka dengan memperhatikan bentuk-bentuk murni, motif, citraan, cerita dan alegori sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita menafsirkan seluruh elemen tersebut sebagai apa yang oleh Ernst Cassirer disebut nilai-nilai ‘simbolis’... Penemuan dan penafsiran nilai-nilai ‘simbolis’ ini (yang pada umumnya tidak diketahui oleh seniman itu sendiri bahkan secara empatik dapat berbeda dari apa yang

Page 21: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

33

secara sadar ingin dia ungkapkan) adalah tujuan dari apa yang dapat kita sebut ikonografi dalam arti yang mendalam: menyangkut suatu metode penafsiran yang muncul sebagai suatu sintesis ketimbang analisis. Dan sebagaimana identifikasi yang tepat atas motif-motif merupakan syarat mutlak bagi analisis ikonografis dalam arti sempit yang benar, analisis yang tepat atas citraan, cerita dan alegori merupakan syarat mutlak bagi interpretasi ikonografis dalam arti

mendalam yang tepat... (Panofsky, 1939: 5-8).

Panofsky juga merangkum ketiga strata penafsiran tersebut dalam sebuah

tabel yang jika diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia tampak sebagai berikut:

Objek

Penafsiran

Tindak

Penafsiran

Perangkat

Penafsiran

Prinsip Pemandu

Penafsiran

I. Makna primer atau alamiah—

faktual (A), Ekspresional (B)—, yang membentuk jagat motif artistik.

Deskripsi

praikonografis (dan analisis semi-formal).

Pengalaman praktis (pengenalan atas objek dan peristiwa).

Sejarah penggayaan

(telaah atas cara objek

dan peristiwa

diungkapkan melalui bentuk, dalam berbagai kondisi historis).

II. Makna sekunder atau konvensional, yang membentuk citraan, cerita dan alegori.

Analisis

ikonografis

dalam pengertian yang lebih ketat.

Pengetahuan

mengenai bahan-

bahan bacaan

(pengenalan atas tema dan konsep

khusus).

Sejarah ragam karya

(telaah atas cara tema

atau konsep khusus diungkapkan melalui objek atau peristiwa

khusus, dalam berbagai kondisi historis).

III. Makna atau kandungan intrinsik, yang membentuk nilai-nilai “simbolis”.

Penafsiran

ikonografis

dalam pengertian yang lebih mendalam (sintesis

ikonografis).

Intuisi sintetis

(pengenalan atas kecenderungan-

kecenderungan hakiki

dari pikiran

manusia), yang dikondisikan oleh kepribadian dan "Weltanschauung".

Sejarah gejala budaya

atau “simbol” pada umumnya (telaah atas cara kecenderungan-

kecenderungan hakiki

dari pikiran manusia

diungkapkan melalui tema dan konsep

khusus, dalam berbagai kondisi historis).

Sumber: Erwin Panofsky, Studies in Iconology (1939), hal. 14-15.

Gb. II. 2 Tabel Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky

Sejarah

tradisi

Page 22: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

34

Namun Panofsky mengingatkan:

Patut kita ingat bahwa kategori-kategori yang dibedakan secara terperinci itu, yang dalam tabel sinoptis ini seakan-akan menunjukkan tiga wilayah makna tersendiri, sesungguhnya mengacu pada aspek-aspek dari satu fenomena, yakni, karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu. (Panofsky, 1939: 16-17)

Sejauh ini, di samping kritik yang sempat diajukan atas pandangan Panofsky,

telah muncul pula pengembangan dari metode Panofsky, misalnya oleh Rudolf

Wittkower (1901 - 1971). Wittkower antara lain menambahkan lapisan keempat yang

disebut “literal representational, the literal thematic, multiple and expressive

meaning.” Namun, dengan beranggapan bahwa dalam metode penafsiran karya visual

dari Panofsky dengan tiga lapisan makna tersebut relevan dengan tujuan penelitian

ini, penelitian ini berpegang pada ketiga strata tersebut.

Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya

visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari

zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine art,

yang karakteristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya visual yang

ditelaah dalam penelitian ini, yakni ilustrasi buku. Namun, pada dasarnya metode

Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual. Schirato dan Web,

misalnya, menerapkan metode Panofsky ketika menafsirkan pose dalam selembar

potret pengantin dalam salah satu bab buku mereka (Schirato dan Web, 2004: 73-76).

Demikian pula Xinyu Yu menerapkan metode Panofsky dalam disertasinya tentang

persepsi visual anak-anak berumur 3 hingga 5 tahun atas buku-buku bergambar

(2007).

Dalam penelitian ini, sebagaimana yang disinggung-singgung dalam bab

sebelumnya, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni

motif (motif) dan makna (meaning). Motif mengacu pada hal-ihwal yang tampak pada

Page 23: Bab 2_H.W. Setiawan_Tesis

35

bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal-ihwal yang tersirat di balik

gambar.

Demikianlah dengan mengkaji serangkaian ilustrasi buku bacaan murid-murid

sekolah dasar di Jawa Barat pada permulaan abad ke-20, sebagai gejala visual

tersendiri, diharapkan akan terbuka peluang untuk memperdalam pemahaman

mengenai sejarah strategi visualisasi di dalam kehidupan masyarakat dan budaya

Indonesia. Dalam hal ini, pendekatan yang ditawarkan oleh budaya visual dan metode

yang diajukan oleh Panofsky, tak ubahnya dengan kemunculan Kelinci Putih bermata

merah muda bagi Alice dalam kisah klasik karya Lewis Carroll: suatu jalan ke dalam

labirin “Negeri Ajaib” yang menjanjikan penjelajahan menarik.