AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

30
MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub… TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013 AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINHᾹJ AL-ATQIYᾹ’ KARYA KIAI SALEH DARAT Moh. In’amuzzahidin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang e-mail: [email protected] Abstract: This article aims to elaborate the book of Kiai Saleh Darat’s Minhāj al-Atqiyā, a book of mysticism that is still used intraditional Islamic boarding schools (pesantren) in Java. The focus of the study is aḥwāl al-qulūb (conditions of heart spiritual), which is part of 'ilm al-mu'āmalah, the second science after the ' ilmal-mukāsyafah, a device used for the science to the after life. Aḥwāl al-qulūb can be devided two dimension: commendable and despicable. The commend able is like patience, gratitude, fear, hope, willing, asceticism, piety, qanā'ah, sakhā ' (generous), Husnal- zan, Husnal- khulūq, Husnal- mu'āsyarah, sidq, and Ikhlas. Mean while, the despicable is as scared indigent, hate destiny, jealousy, envy, looking sublime, happy and eternal praise in the world, arrogant, riya, covetous, griping, and others. By knowing which ahwalal-Qulub which are commendable and despicable, will facilitate the followers of Sufismactors (Salik) to go to the presence of God. In addition, this paper also will discover what it is contribution and relevance of Kiai Saleh Darat’s thought in modern era. Abstrak: Artikel ini bertujuan mengelaborasi kitab Minhāj al- Atqiyā’ Kai Saleh Darat, sebuah kitab tasawuf yang masih digunakan di pesantren-pesantren tradisional di Jawa.Fokus kajian adalah aḥwāl al-qulūb (kondisi spiritual hati) yang merupakan bagian dari ‘ilm al-mu‘āmalah, ilmu kedua setelah ‘ilm al-mukāsyafah, sebuah piranti ilmu yang digunakan untuk menuju akhirat. Aḥwāl al-qulūb itu sendiri ada yang terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji adalah seperti ṣabar, syukūr, khauf, rajā’, riḍā, zuhūd, taqwā, qanā‘ah, sakhā’ (dermawan), ḥusn al-ẓan, ḥusn al-khulūq, ḥusn al-mu‘āsyarah, ṣidq, dan ikhlāṣ. Sedangkan aḥwāl al-qulūb yang tercela adalah seperti takut fakir, benci takdir, dengki, iri, mencari keluhuran, senang pujian dan kekal di dunia, takabur, riya, tamak, bakhil, dan lain-lain. Dengan mengetahui aḥwāl al-qulūb mana yang

Transcript of AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

Page 1: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINHᾹJ AL-ATQIYᾹ’ KARYA KIAI SALEH DARAT

Moh. In’amuzzahidin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang

e-mail: [email protected]

Abstract: This article aims to elaborate the book of Kiai Saleh Darat’s Minhāj al-Atqiyā, a book of mysticism that is still used intraditional Islamic boarding schools (pesantren) in Java. The focus of the study is aḥwāl al-qulūb (conditions of heart spiritual), which is part of 'ilm al-mu'āmalah, the second science after the' ilmal-mukāsyafah, a device used for the science to the after life. Aḥwāl al-qulūb can be devided two dimension: commendable and despicable. The commend able is like patience, gratitude, fear, hope, willing, asceticism, piety, qanā'ah, sakhā' (generous), Husnal-zan, Husnal-khulūq, Husnal-mu'āsyarah, sidq, and Ikhlas. Mean while, the despicable is as scared indigent, hate destiny, jealousy, envy, looking sublime, happy and eternal praise in the world, arrogant, riya, covetous, griping, and others. By knowing which ahwalal-Qulub which are commendable and despicable, will facilitate the followers of Sufismactors (Salik) to go to the presence of God. In addition, this paper also will discover what it is contribution and relevance of Kiai Saleh Darat’s thought in modern era.

Abstrak: Artikel ini bertujuan mengelaborasi kitab Minhāj al-Atqiyā’ Kai Saleh Darat, sebuah kitab tasawuf yang masih digunakan di pesantren-pesantren tradisional di Jawa.Fokus kajian adalah aḥwāl al-qulūb (kondisi spiritual hati) yang merupakan bagian dari ‘ilm al-mu‘āmalah, ilmu kedua setelah ‘ilm al-mukāsyafah, sebuah piranti ilmu yang digunakan untuk menuju akhirat. Aḥwāl al-qulūb itu sendiri ada yang terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji adalah seperti ṣabar, syukūr, khauf, rajā’, riḍā, zuhūd, taqwā, qanā‘ah, sakhā’ (dermawan), ḥusn al-ẓan, ḥusn al-khulūq, ḥusn al-mu‘āsyarah, ṣidq, dan ikhlāṣ. Sedangkan aḥwāl al-qulūb yang tercela adalah seperti takut fakir, benci takdir, dengki, iri, mencari keluhuran, senang pujian dan kekal di dunia, takabur, riya, tamak, bakhil, dan lain-lain. Dengan mengetahui aḥwāl al-qulūb mana yang

Page 2: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

terpuji dan mana yang tercela, akan memudahkan pelaku pengamal tasawuf (sālik) sampai menuju ke hadirat Allah. Di samping itu, tulisan ini juga akan mengungkapkan seberapa jauh kontribusi dan relevansi pemikiran Kiai Saleh Darat tersebut di era modern saat ini.

Keywords: Qanā‘ah, Zuhud, Tawakkal, Ikhlas, Sabar, Sakhā’, Ḥusn al-Khulq, ḥubb al-dunyā, riyā’, ‘ujūb,ḥasad.

A. Pendahuluan

Merujuk tulisan Martin Van Bruinessen, bahwa sebelum abad ke

-17 sudah ada penulisan kitab-kitab keagamaan yang menggunakan

bahasa Jawa. Hal ini dibuktikan, sekitar tahun 1600 M terdapat

beberapa manuskrip lama dari Jawa yang dibawa ke Eropa oleh para

pelaut, yang sebagian besar berisi ajaran tentang tauhid, tasawuf, dan

akhlak.1 Kitab-kitab yang berbahasa Jawa itu ada yang berasal dari

hasil terjamahan dari kitab berbahasa arab, seperti al-Taqrīb fī al-

Fiqh dan kitab Tuḥfah, dan ada yang bukan terjemahan. Terjemahan

kitab Tuḥfah sendiritidak hanya ditulis dengan huruf Arab, tetapi ada

yang ditulis dengan menggunakan huruf Jawa (hanacaraka), yang

diterbitkan oleh S. Keyzer tahun 1853.2Di antara ulama Indonesia

yang melahirkan karya tulis besar yang menggunakan bahasa Jawa

adalah Haji Ahmad Rifa‘i Kalisalak (1786-1875).

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 muncul tokoh Kiai Haji

Muḥammad Ṣāliḥ ibn ‘Umar al-Samārānī (1820-1903 M), yang

merupakan penulis kitab-kitab agama yang produktif dalam bahasa

Jawa.3 Ia lebih dikenal dengan sebutan Kiai Saleh Darat; nama ini

akan dipakai dalam tulisan ini. Ia adalah anak dari Kiai ‘Umar, lahir di

Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong kabupaten Jepara, Jawa

Tengah, kira-kira tahun 1820. Namun tentang kapan tanggal lahirnya

secara pasti, belum diketahui.4 Beliau wafat di Semarang pada hari

Jumat Legi, tanggal 28 Ramadan 1312 H/18 Desember 1903, dalam

usia sekitar 83 tahun.5 Kiai Saleh Darat setidaknya memiliki 14

karya, yang menerangkan berbagai macam kajian keislaman, seperti

Page 3: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

fikih, tauhid, tasawuf, ulumul qur’an, tafsir qur’an, manasik haji dan

umrah, kitab barzanji, dan tentang isra’ mi’raj Nabi.6Di bidang

tasawuf, Muḥammad Ṣāliḥ al-Samārāni menulis beberapa kitab

tersendiri, antara lain Hażihi Kitāb Munjiyāt metik saking kitab Iḥyā’

‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī, Hażā al-Kitāb Matn al-Ḥikam, dan Minhāj al-

Atqiyā’ fī Syarḥ Ma‘rifat al-Ażkiyā’ ilāṬarīq al-Awliyā’.

Dalam tulisan ini, penulis menyajikan pemikiran tasawuf Kiai

Saleh Darat yang berkaitan dengan konsep aḥwāl al-qulūb (kondisi-

kondisi hati) yang terdapat dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’ fī Syarḥ

Ma‘rifat al-Ażkiyā’ ilāṬarīq al-Awliyā’, selanjutnya disebut Minhāj al-

Atqiyā’.

Aḥwāl al-qulūb (kondisi spiritual hati) merupakan bagian dari

‘ilm al-mu‘āmalah, ilmu kedua setelah ‘ilm al-mukāsyafah, sebuah

piranti ilmu yang digunakan untuk menuju akhirat.Aḥwāl al-qulūb itu

sendiri ada yang terpuji dan ada yang tercela.Adapun yang terpuji

adalah seperti ṣabar, syukūr, khauf, rajā’, riḍā, zuhūd, taqwā, qanā‘ah,

sakhā’ (dermawan), ḥusn al-ẓan, ḥusn al-khulūq, ḥusn al-mu‘āsyarah,

ṣidq, dan ikhlāṣ.Sedangkan aḥwāl al-qulūb yang tercela adalah seperti

takut fakir, benci takdir, dengki, iri, mencari keluhuran, senang pujian

dan kekal di dunia, takabur, riya, tamak, bakhil, dan lain-lain.7

Kitab Minhāj al-Atqiyā’ merupakan kitab terjemahan sekaligus

syaraḥ atau penjelasan dari kitab matan naẓamHidāyat al-Ażkiyā’

ilāṬarīq al-Awliyā’, karya Syaikh al-‘Allāmah Zayn al-Dīn ibn ‘Alī al-

Malyabārī (W. 928 H). Kitab Minhāj al-Atqiyā’ ditulis dengan

menggunakan bahasa Jawa, yang bertujuan agar dapat dipahami dan

bermanfaat bagi ‘awām al-mu’min al-Jāwī. Kitab ini pertama kali

diterbitkan oleh Muḥammad di Bombay pada tahun 1317 H.8

Menurut Martin van Bruinessen, kitab matan naẓamHidāyat al-

Ażkiyā’ ilāṬarīq al-Awliyā’ adalah sebuah kitab tasawuf yang menjadi

salah satu referensi utama bagi para santri di pesantren-pesantren di

Indonesia, dan sangat populer di tanah Jawa. Buktinya, kitab ini

Page 4: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

disebutkan dalam serat centhini.Kitab ini ditulis dalam bentuk

untaian bait sajak pada tahun 914/1508-9.9

Kitab Hidāyat al-Ażkiyā’ memiliki banyak syaraḥ yang digunakan

oleh umat Islam Indonesia. Salah satu syaraḥ-nya yang paling

terkenal adalah Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’, karya Sayyid

Bakar al-Makkī ibn Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, sebagaimana yang

penulis kaji saat nyantri di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen

Demak tahun 1994. Imam Nawāwi al-Bantanī juga menulis syaraḥ

matannaẓamHidāyat al-Ażkiyā’ dalam sebuah kitab yang diberi nama

Salālim al-Fuḍalā’, yang dicetak di pinggir (hāmisy) kitab Kifāyat al-

Atqiyā’.10 Biasanya Kitab tersebut digunakan oleh para santri

Pesantren di tingkat Aliyah.11

Selain kedua syaraḥ di atas, masih ada lagi yang memberi syaraḥ

naẓam Hidāyat al-Ażkiyā’ dengan bahasa Jawa atau Madura. Yang

memberi syaraḥ dengan menggunakan bahasa Jawa adalah

Muḥammad Ṣāliḥ al-Samārānī dengan karyanya yang berjudul

Minhāj al-Atqiyā’ fī Syarḥ Ma‘rifat al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’, dan

‘Abd al-Jalīl Ḥāmid al-Qandalī dengan karyanya yang berjudul Tuḥ

fah al-Aṣfiyā’. Sedang terjamahan naẓam Hidāyat al-Ażkiyā’ yang

menggunakan bahasa Madura, ditulis oleh ‘Abd al-Mājid Tamīm dari

Pamekasan.12

Penelitian tentang aḥwāl al-qulūb yang terdapat dalam kitab

Minhāj al-Atqiyā’ menjadi penting, mengingat kitab tersebut di atas,

sampai saat ini masih dipergunakan sebagai literatur utama dalam

majlis pengajian, seperti pengajian yang ada di Bareng Kudus atau

daerah Losari Brebes, dan daerah lain bagi mereka yang tidak

menguasai bahasa Arab.13 Artinya, ketika ada kesalahan dalam

memahami kedua kitab tersebut di bidang tasawuf, misalnya, maka

akan berdampak pula pada kesalahan keyakinan dan prilaku

keagamaan mereka.

Pengetahuan aḥwāl al-qulūb juga sangat penting, karena dengan

pengetahuan tersebut, seseorang yang akan menjalani laku spiritual

Page 5: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

menuju kepada Allah, dapat mengetahui aḥwāl al-qulūb mana yang

terpuji dan mana yang tercela, hingga memudahkan pelakunya

sampai menuju ke hadirat Allah. Di samping itu, tulisan ini juga akan

menguak seberapa jauh kontribusi dan relevansi pemikiran Kiai

Saleh Darat tersebut di era modern seperti sekarang ini.

B. Gambaran Umum Kitab Minhāj Al-Atqiyā’

Nama lengkap kitab Minhāj al-Atqiyā’, sesuai yang tertera dalam

cover,adalah Hażā al-Kitāb Minhāj al-Atqiyā’ fī Syarḥ Ma‘rifat al-

Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’. Pada halaman 6, pengarang menyebut

kitab ini dengan Minhāj al-Atqiyā’ ilā Ma‘rifat Hidāyat al-Ażkiyā’

ilāṬarīq al-Awliyā’.14 Kitab ini merupakan salah satu karya Kiai Saleh

Darat yang lebih menitikberatkan pada bidang tasawuf, di samping

kitab Hażihi Kitāb Munjiyāt metik saking kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn al-

Ghazālīdan Hażā al-Kitāb Matn al-Ḥikam.

Kitab Minhāj al-Atqiyā’ merupakan kitab terjemahan sekaligus

syaraḥ atau penjelasan dari kitab matan naẓamHidāyat al-Ażkiyā’

ilāṬarīq al-Awliyā’, karya Syaikh al-‘Allāmah Zayn al-Dīn ibn ‘Alī ibn

Aḥmad al-Malyabārī (w. 928 H). Al-Malyabārī adalah kakek dari

pengarang kitab Fatḥ al-Mu‘īn bernama Zain al-Dīn ‘Abd al-‘Azīz ibn

Zain al-Dīn ibn ‘Alī. Zain al-Dīn, pengarang Hidāyat al-Ażkiyā’, adalah

murid dari Zakariyā al-Anṣārī, pengarang Fatḥ al-Wahhāb. Dan Zain

al-Dīn, pengarang Fatḥ al-Mu‘īn, adalahmurid Ibn Ḥajar, pengarang

al-Tuḥfah, yang juga murid dari Zain al-Dīn, pengarang Hidāyat al-

Ażkiyā’.

Kitab Minhāj ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa, yang

bertujuan agar dapat dipahami dan bermanfaat bagi ‘awām al-

mu’min al-jāwī. Karena syaraḥ-syaraḥ yang ada mayoritas meng-

gunakan bahasa Arab.15 Selain itu, penulis kitab Minhāj juga mem-

punyai tujuan, agar umat Islam yang berakal sempurna dapat

mengetahui jalan spiritual yang dilakukan oleh para wali Allah.16

Penulisan kitab syarah ini dengan menggunakan bahasa Jawa ini

tidak berarti Kiai Saleh Darat tidak menguasai bahasa Arab,

Page 6: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

meskipun beliau dengan rendah hati mengatakan, bahwa dirinya

tidak menguasai bahasa Arab, termasuk ilmu alatnya (naḥwu

ṣaraf).17

Kitab Minhāj al-Atqiyā’ pertama kali diterbitkan oleh

Muḥammad di Bombay pada tahun 1317 H.18Kitab ini mempunyai

516 halaman, yang men-syaraḥ 188 bait naẓam kitab Hidāyat al-

Ażkiyā’, dengan menggunakan baḥar kāmil, yaitu 6 ajza’, mutafā‘ilun

mutafā‘ilun mutafā‘ilun mutafā‘ilun mutafā‘ilun mutafā‘ilun.19

Sebelum memutuskan untuk menulis kitab ini, Kiai Saleh Darat

melakukan istikhārah, mohon petunjuk kepada Allah dan minta izin

kepada pengarang Hidāyat al-Ażkiyā’, dan mendapatkan isyarat

diperbolehkan men-syaraḥ kitab naẓam tersebut dengan bahasa

Jawa.20 Dalam melakukan proses penulisan kitab tersebut, ia

menukil dari kitab-kitab syaraḥ yang ada, seperti karya Kiai Nawāwī

al-Bantanī, Salālim al-Fuḍalā’; karya Abū Bakr Shatā, Kifāyat al-

Atqiyā’ wa minhāj al-Aṣfiyā’; dan dari kitab-kitab al-Ghazālī, seperti

Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Minhāj al-‘Ᾱbidīn dan Mukāsyafah al-Qulūb;21

serta karya Ibn ‘Aṭā’ Allāh al-Sakandarī, yang berjudul al-Ḥikam.22

Cara penulisan kitab Minhāj yang dilakukan oleh Kiai Saleh Darat

adalahmenerjemahkan bait yang ada, kemudian menjelaskan secara

lebih detil dengan diawali kata ya‘ni. Ketika ia ingin menjelaskan

sesuatu yang urgent untuk orang awam, yang kadang tidak semakna

dengan bait, maka ia menjelaskannya dengan mengawali kata I‘lam

(ketahuilah), muhimmah (sesuatu yang penting), titimmah (kesem-

purnaan), atau khātimah (penutup), atau tanbīh (peringatan).

Kitab ini selesai ditulis pada hari Rabu, bakda Asar, tanggal 11 Żū

al-Qa’dah 1316 H. Di akhir kitab Minhāj, pengarang menulis syair-

syair karya Syaikh Abū Bakar ibn ‘Abd Allāh al-‘Idrūs yang berisi

tentang nilai-nilai spiritualitas dalam rangka ngalap berkah.23

Kitab matan naẓamHidāyat al-Adzkiyā’ karya Zayn al-Dīn ibn ‘Alī

al-Malyabārī sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Martin Van

Bruinessen, adalah sebuah kitab tasawuf yang menjadi salah satu

Page 7: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

referensi utama bagi para santri di pesantren-pesantren di

Indonesia, dan sangat populer di tanah Jawa. Buktinya, kitab ini

disebutkan dalam serat centhini.Kitab ini ditulis dalam bentuk

untaian bait sajak pada tahun 914/1508-9.24Dalam penulisan bait itu

sendiri, sering terjadi pemenggalan kata atau lafaz yang kurang pas,

dengan alasan li ḍarūrat al-syi‘r (untuk kepentingan syiir), yang

menggunakan baḥar kāmil.Dan yang demikian ini hukumnya boleh,

dengan catatan tidak mengurangi makna yang dikehendaki

penulisnya.

Selain itu, saat ini di Kota Semarang juga terdapat syaraḥ kitab

Hidāyat al-Ażkiyā’ yang menggunakan tulisan Arab pegon berbahasa

Jawa, berjudul Tauṣiyat al-Aṣfiyā’ fī Tarjamat Hidāyat al-Ażkiyā’, yang

ditulis oleh KH. Ahmad Harits Shadaqah, Khādim al-Ma’had al-Tafsīr

wa al-Sunnah, al-Itqān, desa Tlogosari Wetan, kecamatan

Pedurungan Semarang. Kitab yang berjumlah 107 halaman ini

dicetak secara sederhana dengan alat foto copy, dan dibaca oleh

penulisnya pada pengajian Ahad pagi, bersama kitab Tafsīr al-Ibrīz,

yang juga berbahasa Jawa, karya KH. Bishri Mushthofa Rembang

Jateng. Pengajian ini diikuti oleh ribuan umat Islam Semarang dan

sekitarnya, setiap minggu pagi di komplek Pon-Pes al-Itqon Tlogosari

Wetan Pedurungan Semarang.25

C. Aḥwāl al-Qulūb dalam Kitab Minhāj Al-Atqiyā’

Dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’, terdapat ilmu mu‘āmalah,

yangberisi ilmu tentang aḥwāl al-qulūb, yaitu segala bentuk kondisi

yang ada dalam hati, baik yang terpuji maupun yang tercela.Adapun

aḥwāl al-qulūb yang terpuji antara lain :

1. Takwa

Dalam al-Quran, dalam banyak ayat, Allah swt. perintah manusia

agar bertaqwa kepada-Nya. Para ulama biasa mengartikan takwa

dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-

Nya.Dalam pandangan Kiai Saleh Darat, takwa adalah menjauhi hal-

Page 8: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

hal yang dapat menimbulkan maḍarat di akhirat. Oleh karena itu,

makna takwa mengandung 3 hal, yaitu: menjauhi syirik, menjalan-

kan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menjauhi hal-hal

yang dapat menyibukkan hati dari al-Ḥaq(Allah), atau menjauhi dari

hal-hal yang dapat menghalang-halangi al-Ḥaqdan mencegah untuk

beribadah kepada-Nya. Dan orang yang bertakwa menjauhi maksiat,

hal-hal yang syubhat dan fuḍūl al-kalām (terlalu banyak bicara yang

tidak ada manfaatnya).26

2. Qanā‘ah

Kiai Saleh Daratmenjelaskan, qanā‘ah artinya menerima apapun

dari sebuah pemberian walaupun sedikit, atau tidak mengharap

sesuatu yang tidak ada dan mencukupkan diri dengan apa yang ada.

Atau qanā‘ah juga diartikan dengan mencukupkan dengan hal-hal

yang maujud dan menghilangkan thamak terhadap sesuatu yang

tidak berhasil, atau tenangnya hati, ketika sesuatu yang sudah

terbiasa sirna.27 Dengan sifat qanā‘ah, seseorang hendaknya me-

ninggalkan makanan yang enak, seperti makan kerbau dan sapi,

meninggalkan pakaian yang bagus, duduk di tempat yang bagus atau

permadani yang bagus.28

Namun, hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat

dan para sufi terdahulu. Dan mereka melakukan itu semua, bukan

berarti mereka orang yang tidak mampu. Tapi sekarang, kondisi

zaman akhir berbeda. Menurut Kiai Ṣāliḥ Darat, hendaknya para

ulama’ atau para sufi menampakkan nikmat Allah swt. yang telah

diberikan kepadanya, dengan memakai pakaian yang bagus, dan

makanan yang enak. Jangan sampai, mereka terlihat hina dan miskin,

serta tidak berwibawa di hadapan orang awam, apalagi sampai

meminta-minta.29 Karena orang awam zaman akhir tidak melihat

fadlilah al-‘ilm dan fadllilah al-mukmin, tapi yang mereka lihat adalah

kemuliaan di dunia, berupa kekayaan harta. Hanya saja, hati harus

tetap zuhud fi al-dun-ya.30

Page 9: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

3. Zuhud

Zuhud, secara etimologis, berarti raghaba ‘an syai’in wa

tarakahu, tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.

Zahada fī al-dun-yā, berarti meninggalkan kesenangan dunia, untuk

ibadah dan kehidupan akhirat. Pelakunya disebut zāhid, yang

mempunyai bentuk jamak zuhhād atau zāhidūn.31

Berbicara tentang arti zuhud secara etimologis, menurut Amin

Syukur (1997), setidaknya ada dua hal penting yang tidak dapat

dikesampingkan Pertama, zuhūd sebagai bagian ajaran tasawuf itu

sendiri. Kedua, zuhud sebagai ajaran moral (akhlaq) Islam dan juga

gerakan protes.32

Pertama, ketika tasawuf diartikan sebagai perwujudan iḥsān,

yakni kesadaran spiritual dan komunikasi langsung antara seorang

hamba dengan Tuhannya, maka zuhud merupakan station (maqām)

menuju tercapainya ma‘rifah kepada-Nya.33Berkaitan dengan zuhud

sebagai maqām ini, lbn al-Jalā’ menjelaskan, bahwa zuhud adalah

sikap yang memandang kesirnaan dunia, hingga dunia sudah tidak

berarti lagi baginya. Hal ini dimaksudkan agar mudah berpaling dari

kehidupan dunia.34

‘Abd al-Ḥakīm Ḥasan, dalam al-Taṣawwuf fī Syi‘r al-‘Arab

menjelaskan, bahwa zuhud adalah berpaling dari kehidupan dunia

dan mengfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah, melatih dan

mendidik jiwa, dan memerangi kesenangan dengan semedi

(khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak

dzikir.35

Zuhud di sini berupaya menjauhkan diri kelezatan dunia dan

mengingkari kelezatan itu, meskipun halal, dengan jalan berpuasa

yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang telah

ditentukan oleh agama. Semua itu dimaksudkan, demi meraih

keuntungan akhirat dan tercapainnya tujuan tasawuf, yakni mencari

rida Allah, bertemu dan ma‘rifat Allah swt.

Page 10: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlaq) Islam, dan gerakan protes,

yaitu sikap hidup ideal bagi seorang muslim dalam menatap dunia

fana ini. Dunia, baginya, dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk

meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan hidup. Karena mencintai

dunia bisa membawa sifat-sifat mażmūmah (tercela), sebagaimana

dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.36

Bagi Kiai Saleh Darat, zuhud artinya membenci dunia dalam hati.

Karena dengan mencintai dunia, akan membuat hati sedih dan

susah.37 Namun bukan berarti, zuhud berarti sama sekali tidak

memiliki harta. Hakekat makna zuhud adalah tidak bergantungnya

hati pada dunia, seperti Nabi Sulaiman as., ‘Uṡmān ibn ‘Affān dan

‘Abd al-Raḥmān ibn ‘Auf. Mereka kaya, tetapi zāhid. Akan tetapi,

kesederahanaan dan kezuhudan Nabi Muḥammad saw. bukan

berarti beliau miskin dan fakir. Karena gunung Uhud pernah

ditawarkan kepadanya untuk dijadikan emas.38

Tanda-tanda zuhud adalah mengakhirkan kepentingan diri

sendiri dan mendahulukan kepentingan kaum muslimin, serta

dermawan.39Atau dengan kata lain, zuhud artinya tidak menjadikan

harta sebagai ma’būd, yang disembah. Karena perintah untuk

melaksanakan infaq, sedekah, zakat dan dan ibadah haji, juga harus

menggunakan harta.40Orang yang zuhud, andaikata mendapatkan

harta banyak, atau jabatan, tentu akan berfikir ulang, apakah harta

dan jabatan itu akan menduakan fi maḥabbat Allāh atau tidak,

apakah hatinya akan lebih cinta dunia atau Allah. Kalau dunia akan

memalingkan dari Allah, maka ia akan meninggalkannya, meskipun

ia dapat memperoleh dunia itu.41

Senada dengan Kiai Saleh Darat, Abū al-Wafā al-Taftāzānī

mengatakan, zuhud itu bukan berarti kependetaan atau memutus

sama sekali kehidupan duniawi, melainkan merupakan hikmah

pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus

terhadap dunia itu sendiri. Mereka tetap gigih bekerja dan berurusan

dengan dunia, tetapi kehidupan dunia tidak menguasai hatinya dan

tidak membuat kufur terhadap Tuhannya.42Lebih lanjut al-Taftāzānī

Page 11: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

menjelaskan bahwa zuhud tidak identik dengan kemiskinan.Bisa jadi,

seorang yang kaya raya, tapi dia zāhid.‘Uṡmān ibn ‘Affān dan ‘Abd al-

Raḥmān ibn ‘Awf, misalnya, mereka adalah hartawan, tapi juga zāhid

dengan harta yang ada pada diri mereka.43

Menurut Kiai Saleh Darat, tugas seorang mukmin adalah cinta

Allah dan Rasul-Nya. Harta dunia sebagai sarana dawām al-

maḥabbah dan dawām al-‘ibādah, bukan tujuan akhir.44 Ia juga

menjelaskan bahwa amal yang keluar dari hati orang yang tidak suka

dunia atau zuhud itu lebih agung meskipun sedikit secara lahiriah.

Karena amal orang yang zuhud selamat dari riyā’ atau pamrih karena

manusia, selamat dari tujuan duniawi, dan selamat dari berpaling

dari selain Allah.Berbeda dengan amal yang keluar dari hati orang

yang mencintai dunia. Amalnya menjadi sedikit, meskipun banyak

secara lahiriah.Karena amal orang yang suka dunia, tidak selamat

dari riyā’ atau pamrih karena manusia, berorientasi duniawi, dan

berpaling kepada selain Allah.45

Ibn ‘Ajībah menjelaskan lebih lanjut, bahwa zuhud dalam suatu

urusan adalah mengeluarkan rasa cinta kepadanya dari hati dan

membiarkannya.Sebagian ulama’ mengatakan bahwa zuhud adalah

membenci segala sesuatu yang melalaikan dzikir kepada Allah dan

menghalangi ke hadirat-Nya.Zuhud itu sendiri ada yang berkaitan

dengan harta, kedudukan dan kehormatan, dan maqām.Pertama,

zuhud berkaitan dengan harta. Tandanya adalah seseorang meyakini

bahwa emas atau tanah, perak atau batu, kaya atau miskin, tidak

diberi atau diberi, adalah sama. Kedua,zuhud yang berkaitan dengan

kedudukan atau kehormatan. Tandanya adalah seseorang me-

mandang sama antara keagungan dan kehinaan, tenar dan tidak

tenar, pujian atau celaan, naik pangkat atau terdepak. Ketiga,zuhud

yang berkaitan dengan maqām, karāmah dan khuṣūṣiyāt (keisti-

mewaan). Tandanya adalah dia memandang sama antara rajā’ dan

khawf, kuat dan lemah, lapang dan sumpek, dia menghadapi suatu

hal sama seperti ketika menghadapi hal lain yang berbeda.

Selanjutnya, zuhud berkaitan dengan seluruh alam dengan cara

Page 12: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

menyaksikan Sang Pencipta alam. Jika seorang murīd telah

merealisasikan semua tingkatan zuhud ini atau sebagian besarnya,

maka semua amalnya menjadi mulia dan besar secara maknawi

menurut Allah, walaupun menurut manusia nampak sedikit.46

Abū al-Ḥasan al-Syāżilī juga menegaskan, bahwa zuhud

merupakan perilaku para wali Allah. Menurutnya, jika seseorang

menginginkan bagian yang dimiliki oleh para wali, maka hendaknya

ia melakukan dua hal. Pertama, meninggalkan semua manusia secara

keseluruhan, kecuali orang yang menunjukkan jalan kepadanya

menuju Allah swt. dengan petunjuk yang benar, dan amal perbuatan

yang kokoh, yang tidak bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah.

Kedua, hendaknya ia berpaling dari dunia yang menjadi musuhnya,

atau menjalankan zuhud. Setelah kedua hal tersebut dijalankan,

maka ia harus berhubungan dengan Allah dengan murāqabah atau

merasa selalu diawasi oleh Allah, dan menetapi tawbat dengan

menjaga hak-hak Allah (al-ri‘āyah), memohon ampun kepada Allah

(istighfār), kembali kepada Allah (inābah), dan tunduk terhadap

hukum-hukum Allah secara istiqāmah.47

4. Tawakkal

Kata tawakkal adalah bahasa arab, yang berasal dari kata kerja

tawakkal-yatawakkalu-tawakkulan, yang berarti memasrahkan dan

menanggungkan sesuatu.48 Secara terminologis, tawakkal, menurut

al-Sarrī al-Saqaṭī, sebagaimana diceritakan al-Kalābāżī, adalah me-

ninggalkan segala daya dan upaya. Tawakkal adalah mencampakkan

segala perlindungan kecuali kepada Allah. Sedangkan Junayd

menjelaskan, bahwa hakikat tawakkal adalah bahwa seseorang

harus menjadi milik Allah dengan cara yang tidak pernah ia alami,

dan bahwasa Allah menjadi miliknya sebagaimana Dia selama ini.49

Kiai Saleh Darat menjelaskan, kata tawakkal berasal dari masdar

wakālah yang artinya memasrahkan sesuatu kepada orang lain yang

lebih tahu dan lebih pintar.50Kiai Saleh Darat menukil pernyataan

dari al-Malyabārī, tawakkal artinya pasrah total kepada Allah dalam

Page 13: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

segala hal. Seorang salik wajib melakukan tawakkal, meninggalkan

kasab (usaha) sama sekali, dengan bergantung kepada janji-janji

Allah yang tertera dalam al-Quran. Dalam persoalan rezeki,

hendaknya sālik pasrah dengan kekuatan dan kekuasaan Allah,

dimana Allah telah memberi rezeki semua makhluk yang ada di

muka bumi ini, mulai bayi hingga matinya, sampai anjing dan babi

yang haram sekalipun.51

Dalam hati seseorang, kata Kiai Saleh Darat, harus yakin bahwa

Allahlah yang berbuat dan yang Maha Kuasa serta Maha Mengetahui.

Lāfā‘ila illā Allāh (tidak ada yang berbuat kecuali Allah), wa lā qādira

illā Allāh (tidak ada yang kuasa kecuali Allah), wa lā ‘ālima illā Allāh

(dan tidak ada yang Mengetahui kecuali Allah). Dengan demikian, ia

kemudian memasrahkan segala urusannya kepada Allah dan tidak

berpaling kepada yang lain-Nya.52Kalau Allah sanggup memberi

rezeki kepada anjing dan babi yang notabene adalah hewan yang

najis, maka bagaimana dengan orang yang mengucapkan lā

ilahailallāhMuḥammad rasulullāh? Tentu dia lebih diperhatikan

rezekinya oleh Allah.53

Adapun penyebab orang tidak bisa tawakkal secara benar

kepada Allah adalah karena lemahnya keyakinan dan lemahnya hati.

Lemahnya keyakinan, berarti ia tidak percaya, bahwa Allah memiliki

sifat sebagaimana di atas tadi. Sedangkan lemahnya hati, karena ia

takut dan terkejut terhadap sesuatu yang belum terjadi yang selalu

menghantuinya.54

Bagi Kiai Saleh Darat, yang berseberangan dengan penulis

Hidāyat al-Atqiyā’, tawakkal tidak mesti meninggalkan kasab

(berusaha/ikhtiar). Dan kasab itu sendiri tidak merusak tawakal hal

ini sebagaimana dilakukan sahabat Abu Bakar dan sahabat-sahabat

yang lain atau Nabi Daud as. yang secara lahiriah juga melakukan

ikhtiar atau kasab.55Dengan catatan, hati tidak bergantung pada

kasab, tetapi tetap bergantung kepada Allah swt.56Bahkan bagi orang

yang memiliki tanggungjawab keluarga, anak dan istri tidak boleh

berdiam diri di rumah meninggalkan pekerjaan dengan hanya

Page 14: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

memasrahkan urusan rezekinya kepada Allah.57Namun sebagian

ulama mengatakan, andaikata manusia lari dari rezekinya maka

rezeki itu akan membuntuti orang itu sebagaimana ketika seseorang

lari dari kematian, niscaya kematian itu akan menemuinya juga. Dan

jika ada orang berdoa agar tidak diberi rezeki, misalnya maka ia pun

tetap akan diberi rezeki oleh Allah. Karena Allah adalah al-Razzāq

(Maha Pemberi Rezeki).58

Dalam pandangan Ibn ‘Aṭā’ Allāh, tawakkal yang benar, yang

dilakukan sālik adalah, kepasrahan total kepada Allah yang tidak

dibarengi dengan sikap ikut campur. Sebab, tawakkal berarti

menyerahkan kendali kepada Allah dan bersandar dalam segala

urusan kepada-Nya. Akibatnya, ia tidak akan ikut campur dan

bersikap pasrah menerima segala ketentuan-Nya. 59

Tawakkal hanya akan ada dalam diri seseorang yang memilki

keyakinan. Sedangkan keyakinan dan tawakkal harus diiringi dengan

keimanan. Karena keyakinan adalah ibarat pengetahuan tentang

Allah yang sudah mantap dalam hati. Sehingga setiap keyakinan pasti

bersumber dari keimanan. Namun tidak mesti setiap keimanan

menumbuhkan keyakinan.60

Bagi Syaikh Abū al-Ḥasanal-Syāżilī, tawakkal kepada Allah ketika

mengahadapi kesulitan, adalah salah satu anugerah Allah yang paling

berharga, diantara anugerah-anugerah yang lain, yakni: riḍā dengan

ketentuan Allah, sabar menerima cobaan, dan kembali kepada-Nya

saat ditimpa bencana.61

5. Ikhlas

Kiai Saleh Darat menjelaskan, ikhlas merupakan fardlu ‘ain dan

menjadi syarat sahnya iman islam, serta menjadi syarat sah sebuah amal. Oleh karena itu, dalam a‘mal al-qulūb (perbuatan hati), ikhlas

menjadi rukun yang sangat penting. Ikhlas berarti dalam melakukan sebuah amal, hanya menyengaja ingin cinta kepada Allah, ingin ber-

taqarrub kepada Allah, mencari ridla Allah, bukan mencari surga

Page 15: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

atau lari dari siksa neraka. Karena seseorang wajib berbakti kepada

Allah atas banyak nikmat yang diberikan kepadanya.62

Kata Allah dalam hadis Qudsi, ikhlas adalah rahasia dari sekian

banyak rahasia-Ku yang Aku berikan kepada hati siapa saja yang Aku

kehendaki dari hamba-hamba-Ku.63

Syarat ikhlasnya amal adalah tidak adanya rasa cinta dunia sama

sekali dalam hati. Karena cinta dunia merupakan pangkal dari semua

kerusakan.64

Inti dari keikhlasan itu adalah bagaimana dalam hati seseorang

itu tidak menduakan Allah. Ketika seseorang beramal untuk orang

lain atau agar dilihat orang lain (riya’), maka sesungguhnya telah

musyrik atau menyekutukan Allah.65

Di lain kesempatan, Kiai Saleh Darat menjelaskan, ikhlas itu

sendiri terbagi menjadi tiga. Pertama, ikhlasnya orang-orang yang

beribadah. Artinya, amalnya ahli iabadah hendaknya selamat dari

riya’ (pamer) khafi (samar) maupun jali (terang-terang), ‘ujub (heran

dengan amalnya sendiri). Ia beramal hanya karena Allah,

menginginkan pahala-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Dan pahala

memperoleh surga dan selamat dari neraka adalah karena prestasi

ibadah. Sebagaimana dalam ayat iyyāka na‘budu. Kedua, ikhlasnya

muḥibbīn (orang-orang yang cinta kepada Allah).Artinya seseorang

beribadah karena mencintai Allah, beramal karena Allah dan

mengagungkan-Nya, bukan untuk memperoleh pahala atau agar

selamat dari siksa-Nya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rabi’ah

‘Adawiyah.Ia mengatakan: “aku beribadah kepada-Mu, tidak karena

takut terhadap neraka-Mu, atau ingin masuk surga-Mu. Tetapi aku

menyembah-Mu, karena mengagungkan-Mu. Ketiga, ikhlasnya orang

yang ma’rifah (‘ārif). Artinya seseorang melihat adanya amal

hanyalah semata-mata karena kehendak Allah (bi Allah).Allahlah

yang menggerakkan atau mendiamkan seseorang.66

6. Sabar

Page 16: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

Sabar (ṣabr) secara etimologis, berarti tidak mengeluh saat

mendapat musibah atau ujian.67 Dalam al-Quran sendiri banyak ayat-

ayat yang menerangkan tentang perintah sabar, diantaranya QS. Āli

‘Imrān [3]: 200,al-Naḥl [16]: 127. Tentang hakikat sabar, para sufi

berbeda pendapat. Menurut Żū al-Nūn al-Miṣrī, sabar adalah

menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syariat, tenang saat

tertimpa musibah, dan memperlihatkan kecukupan saat mengalami

kefakiran dalam kehidupannya. Di lain kesempatan, Żū al-Nūn juga

mengatakan, bahwa sabaradalah memohon pertolongan kepada

Allah.68

Sabar, menurut Kiai Saleh Darat, adalah menahan nafsu dari hal-

hal yang membuat hati sedih, baik sedih karena ujian dunia.69Dalam

menjelaskan sabar, Kiai Saleh Darat hanya menjelaskan secara

singkat saja.

7. Sakhā’ (dermawan)

Kiai Saleh Darat menjelaskan, salah satu aḥwāl al-qulūb yang

terpuji adalah sakhā’. Sakhā’ artinya sifat dermawan, suka memberi orang lain, dengan meninggalkan kepentingan diri sendiri,

mendahulukan orang lain, bukan karena riya’ (pamer) dan ‘ujub (heran terhadap amal diri sendiri). Sedangkan jūd adalah suka

memberi orang lain, tetapi mengharap balasan, adakalanya mengharap belas kasih dari makhluk, seperti biar dipuji, atau

mengharap belas kasih dari Sang Khalik, seperti mencari pahala akhirat. Atau ada yang mengatakan sebaliknya. Sakhā’ adalah per-

buatan dermawan yang diiringi dengan mengharap balasan dari orang lain atau dari Allah. Sedang jūd adalah perbuatan dermawan

yang tidak mengharap balasan apapun.70

8. Ḥusn al-Khulq (akhlaq yang baik)

Dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’, Kiai Saleh Darat juga menjelaskan

aḥwāl al-qulūb terpuji yang berupa akhlak-akhlak yang terpuji, yang

penulis ambilkan dari akhlak-akhlak yang seharusnya dilakukan oleh

orang yang membaca al-Quran. Diantara akhlak baik itu adalah:

Page 17: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

- zuhud terhadap dunia, tidak memperhatikan dunia, meninggal-kan angan-angan terhadap dunia, meninggalkan angan-angan terhadap orang yang ahli dunia, sehingga jangan sampai dunia menjadikan ia susah.

- dermawan, sabar, tidak tergesa-gesa dengan marah-marah, dan sabar ketika menahan nafsu amarah.

- menjauhi kasab (usaha) yang dianggap hina, seperti tukang sapu pasar, tukang bekam, dan tukang khitan.71

- tenang hatinya dan tuma’ninah, serta selalu wara’, khusyuk anggota tubuhnya, menundukkan kepala, menjaga penglihatan, dan tawadhu’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada ulama ‘amilin ‘arifin.72

- memotong kumis dan memanjangkan janggut. Hal ini dilakukan sesuai dengan perintah Rasulullah agar berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kemudian menggunting kuku dan mencabut rambut ketiak juga termasuk akhlak yang terpuji.73

- menghilangkan bau-bau yang tidak disenangi, seperti makan bawang merah dan bawang putih yang masih mentah atau makan pete dan jengkol, serta menghilangkan kotoran dan pakaian yang tidak disenangi.74

- menjauhi sering tertawa dan memperbanyak bergurau, karena hal itu bisa menyebabkan lalai terhadap urusan akhirat. Karena kita tidak tahu apakah kita termasuk husnul khatimah atau syu’ul khatimah. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah: “Andaikata kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan tertawa sedikit dan banyak menangis”.75

Adapun aḥwālal-qulūb yang tercela yang terdapat dalam kitab

Minhāj al-Atqiyā’ antara lain :

1. Ḥubb al-Dunyā

Kiai Saleh Darat menjelaskan, senang dan terlalu cinta dunia

bagaikan orang yang sedang mabuk kepayang, dan laksana orang

tenggelam di dasar lautan.Ia tidak dapat mengambil petunjuk

kebenaran dalam hidup. Ia selamanya tidak akan tahu, ke mana jalan

menuju Allah. Karena ketika cinta dunia telah tertanam dalam hati,

Page 18: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

maka akan tergambar dalam kelakuan lahiriah. Ia menjadi rakus

terhadap dunia, hingga saling membunuh satu dengan yang lain.

Karena manusia tidak akan pernah keyang dengan dunia, hingga ia

masuk ke perut bumi dan makan bumi itu sendiri.76

Orang yang terlalu cinta dunia akan mendapat amarah dari

Allah. Karena cinta Allah tidak akan bisa bersatu dengan cinta dunia

dalam satu hati seseorang. Ketika hati senang dunia, maka ia benci

kepada Allah. Dan ketika hati cinta kepada Allah, maka ia benci

kepada dunia.77

Ketika hati tidak memiliki qanā’ah, maka kerakusan dunia tidak

dapat padam di dalamnya.78 Sedang keinginan nafsu untuk

bersombong berbagai makanan, pakaian, dan rumah yang mewah,

serta tanah yang luas.79

2. Riyā’

Kiai Saleh Darat menjelaskan, salah satu aḥwāl al-qulūb yang

tercela adalah riyā’, yaitu: sebuah keinginan untuk memamerkan

amal ibadahnya kepada orang lain. Ia termasuk salah satu perbuatan

yang dapat merusak amal ibadah.80Riyā’ terbagi menjadi 2 macam,

yaitu: riyā’jali dan riyā’khafi. Riyā’jali artinya seseorang giat

beribadah dan melakukan amal hanya Karena ingin dilihat orang

lain. Sedang riyā’ khafi adalah seseorang melakukan amal ibadah

karena Allah. Hanya saja, ia akan lebih bersemangat apabila ada

orang lain yang melihatnya. Tetapi jika tidak ada yang melihat, maka

ia akan malas dan tidak berat melakukan.81

Lebih lanjut Kiai Saleh Darat menjelaskan, ketika seseorang yang

memiliki tanda hitam dikeningnya, bekas sujud misalnya, dengan

sengaja memperlihatkan kepada orang lain, dan ia merasa termasuk

golongan orang yang saleh dan memberi syafa’at, maka itupun juga

termasuk perbuatan riyā’.82

Saat seseorang melakukan sebuah ibadah dengan ikhlas,

kemudian setelah selesai melakukan itu muncul perasaan riyā’, maka

Page 19: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

riyā’ itu tidak berpengaruh terhadap amal itu sendiri, karena amal

yang dikerjakan telah sempurna dengan ikhlas. Hal ini dianggap

demikian jika ia tidak ingin menampakkan amalnya dan berharap

masyhur atas amalnya itu. Tetapi jika ingin menampakkan amalnya

dan ingin terkenal, maka hilanglah amal kebaikan yang telah ia

lakukan.83

Dan menampakkan amal atau riyā’ dengan lisan itu lebih ringan,

yang juga dapat melebur pahala amal itu sendiri. Misalnya orang

mengatakan : “saya sudah haji 7 kali, saya sudah umrah 7 kali.” Ini

pun juga perbuatan riyā’ yang bisa melebur pahala amal.84

Kiai Ṣāliḥ Darat menandaskan, tanda-tanda orang ikhlas adalah

ia tidak senang ketika dipuji manusia, dan tidak susah ketika dicela

manusia. Atau dalam istilah al-Ghazali, ikhlas itu sama antara yang

bathin dan yang zlohir.85

Tetapi, ketika seseorang meninggalkan amal karena takut riya’,

itu juga salah.Ia hendaknya tetap menjalankan amal dengan ikhlas

sebisa mungkin.86

Adanya riya’ ataupun menggunjing orang lain itu disebabkan

karena berkumpul dengan orang lain.87 Oleh karenanya, terkadang

menyendiri itu atau ‘uzlah lebih baik daripada berkumpul kepada

orang lain. Karena menggunjing orang lain, membuka aib orang lain,

hasud, ‘ujub, takabbur, dan lain sebagainya itu juga berasal dari

karena berkumpul dengan manusia.88

3. ‘Ujub

Salah satu aḥwāl al-qulūb yang tercela, kata Kiai Saleh Darat,

adalah ‘ujub, yaitu merasa dirinya mulia, sebab mendapatkan nikmat

dari Allah, dan condong kepada nikmat itu, serta lupa bahwa nikmat

itu berasal dari Allah. ‘Ujub adakalanya karena kondisi fisiknya,

kegantengan atau cantiknya, kesehatannya, tegapnya anggota,

karena ucapannya, karena sebab mulia nasabnya, karena banyak

sahabat dan muridnya, atau karena ilmu yang ia miliki. ‘Ujub bisa

Page 20: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

tumbuh karena ia tidak tahu bahwa semua keagungan dan nikmat

yang ada itu adalah berasal dari Allah.89

4. Ḥasad

Salah satu aḥwāl al-qulūb yang tercela lagi, kata Kiai Saleh Darat

adalah ḥasad, yaitu iri terhadap kenikmatan orang lain dan berharap

agar nikmat yang ada pada orang lain itu hilang. Nikmat itu bisa

berupa nikmat duniawi atau nikmat agama. Dan hasud itu termasuk

penyakit hati yang dapat merusak semua kebaikan yang ada,

sebagaimana api yang membakar kayu-kayu yang kering.90

5. Menghina Orang Lain

Salah satu aḥwāl al-qulūb yang tercela lagi, kata Kiai Saleh Darat

adalah menghina orang lain. Karena perbuatan ini termasuk salah

satu dosa besar. Perbuatan itu termasuk bagian dari sombong. Dan

sombong termasuk dosa besar. Dan tidak akan masuk surga orang

yang dalam hatinya ada secuil rasa sombong.91Bagi orang yang

memiliki aḥwāl al-qulūb yang tercela, ia harus bersunguh-sungguh

dalam melakukan mujahadah al-nafs dari hal-hal yang mengalami-

nya, agar dapat hilang dari hati dan berganti menjadi aḥwāl al-qulūb

yang terpuji

D. Sumber dan Karakteristik Pemikiran

Pemikiran Kiai Saleh Darat tentang aḥwāl al-qulūb yang terdapat

dalam kitab Minhāj cenderung diorientasikan kepada orang awam,

sebagaimana tujuan awal penulisan Kitab ini. Hal ini terlihat,

misalnya, saat naẓam asli kitab Hidāyat al-Atqiya’ menghendaki

tawakkal untuk melakukan pasrah total kepada Allah, tanpa

melakukan usaha (kasab), setelah menjelaskan bait naẓam tersebut,

Kiai SalehDarat buru-buru mendudukkan masalah secara propor-

sional dengan mangatakan kasab tidak menghilangkan esensi dari

tawakkal, dengan mencantumkan bukti sejarah para sahabat dan

nabi yang melakukan kasab. Demikian pula dengan qanā’ah. Ia

Page 21: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

mencoba mendudukkan persoalan qanā’ah sangat pas untuk orang

awam masa kini, dan menurut penulis, itulah yang terjadi, dimana

mayoritas orang hanya melihat sisi luar dari seseorang.

Ketika akan memberi notasi terhadap teks naẓam yang ada, yang

didesain untuk pelaku spiritual (sālik) yang sesungguhnya, agar

pemahaman terhadap teks dapat diterima bagi orang awam, Kiai

Saleh Darat mengawali tulisannya dengan i‘lam (ketahuilah),

muhimmah (sesuatu yang penting), titimmah (kesempurnaan),

khātimah (penutup), atau tanbīh (peringatan).

E. Relevansi dan Kontribusi

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, segala bentuk

fasilitas dan layanan kepada manusia menjadi mudah dan terkesan

memanjakan manusia. Namun di balik kemajuan ini, terkadang

justru menimbulkan kegersangan rohani orang-orang modern.

Manusia modern banyak yang terjangkiti krisis spiritual, yang

terjadi akibat pengaruh sekulerisasi. Pandangan dunia sekuler hanya

mementingkan kehidupan duniawi, dan menyingkirkan segala aspek

spiritualitas. Akibatnya, mereka hidup secara terisolasi dari dunia

lain yang bersifat non fisik, yang diyakini oleh para sufi, dan

mengalami ‘disorientasi’ hidup sejati. Bagi mereka, kehidupan

dimulai dari dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa tahu dari

mana mereka berasal dan hendak kemana setelah ini mereka pergi.92

Kebanyakan kondisi kemanusiaan modern adalah berada dalam

wilayah pinggiran eksistensinya, bahkan bergerak menjauh dari

pusat eksistensi, yaitu Tuhan.Sebagai akibatnya, masyarakat modern

menjadi kehilangan visi keilahian dan melahirkan gejala psikologis

yang berupa kehampaan spiritual. Akibatnya, banyak orang yang

mengalami kegoncangan dan ketidakstabilan jiwa dan menderita

penyakit psikologis, seperti stres, depresi, resah, bingung, gelisah dan

seterusnya.

Page 22: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

Untuk mengatasi problem spiritual masa ini, yang salah satunya

diakibatkan oleh hilangnya visi keilahian setelah manusia bergerak

menjauh dari pusat eksistensi, maka tidak ada jalan lain kecuali

kembali ke pusat eksistensi tersebut.93 Dan jalan yang paling

signifikan adalah melalui tasawuf. Karena pembahasan-pembahasan

yang ada dalam tasawuf sangat berhubungan erat dengan kondisi

psikologis, disamping berhubungan dengan hal-hal yang bersifat

gnosis.

Jika kita amati akhir-akhir ini, kegiatan-kegiatan religi tampak

semakin marak, baik dari segi peredaran dan pertumbuhan buku

bacaan islami, dunia perfileman, menjamurnya majlis-majlis dzikir

dan mujahadah, sampai pada gerakan-gerakan sosial keagamaan

yang didasari dengan semangat religiusitas.

Apa yang disampaikanKiai Saleh Darat tentang Aḥwālal-Qulūb

dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’ sangat relevan dengan kondisi

psikologis masyarakat modern yang sedang haus dan gersang

dengan siraman spiritual, dan membutuhkan ajaran-ajaran spiritual

tasawuf. Kajian Aḥwālal-Qulūb yang disampaikan dapat menguatkan

keimanan dan keyakinan seseorang yang rapuh tentang makna

hakiki tentang hidup dan kehidupan, serta eksistensi Allah.

Dengan mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai aḥwāl al-

qulūb yang ada dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’, seseorang akan lebih

tenang dalam menghadapi kondisi zaman modern seperti sekarang

ini. Hidup menjadi lebih bermakna dan terarah kepada tujuan yang

jelas, yakni mencari ridla Allah. Dan yang lebih penting lagi, seorang

sufi atau orang alim dapat memposisikan dirinya secara terhormat di

hadapan umat, yang mayoritas orang awam.

Apalagi isi dan cara penyampaian kitab tersebut memang

didesain untuk orang awam yang tidak menguasai bahasa arab, yang

tidak dapat mengakses sumber-sumber asli secara langsung. Karya

Kiai Saleh Darat ini dapat menjadi jembatan intelektual spiritual bagi

mereka yang menginginkannya.Hanya saja, karena bahasa penyam-

Page 23: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

paiannya menggunakan bahasa Jawa, maka proses pemahamannya

pun membutuhkan kecapakan tersendiri di bidang bahasa Jawa.

Apalagi tulisan yang ada dalam kedua kitab tersebut kurang

dilengkapi dengan tanda baca titik dan koma. Sehingga agak

menyulitkan pembacanya.

Selain itu, dengan masih mempelajari bahasa Jawa, secara tidak

langsung eksistensi bahasa lokal, bahasa Jawa, akan terjaga dan

lestari di tengah maraknya penggunaan bahasa asing di kalangan

masyarakat. Dan hingga saat ini, menurut pengamatan penulis,

komunitas Saleh Darat masih tetap eksis. Seperti di Pesantren

Bareng Kudus Jawa Tengah, maupun di Losari.

Meskipun kitab Minhāj al-Atqiyā’ merupakankitab kuno, di

tengah hilir mudiknya arus pemikiran barat yang mengglobal, ia

tetap dapat memberi kontribusi, berupa pencerahan spiritual bagi

pembacanya yang jauh dari aspek religiusitas.

Nilai-nilai spiritual yang ada di dalamnya bagaikan tuntunan

spiritual menuju jalan ilahi bagi orang awam yang berjalan di malam

hari. Beliau sangat santun dan dapat menempatkan posisi orang

awam dengan bijaksana.

F. Penutup

Dalam kitab Minhāj al-Atqiyā’ merupakan kitab terjemahan

sekaligus syarah atau penjelasan dari kitab matan naẓam Hidāyat al-

Ażkiyā’ memuat ilmu mu‘āmalah, yangberisi ilmu tentang aḥwālal-

qulūb, yaitu segala bentuk kondisi yang ada dalam hati, baik yang

terpuji maupun yang tercela.

Aḥwālal-qulūb yang terpujiantara lain takwa, qanā’ah, zuhud,

tawakkal, ikhlas, shabar, sakhā’ (dermawan), dan ḥusn al-khulq

(akhlaq yang baik). Sedang aḥwālal-qulūb yang tercela antara lain

ḥubb al-dunyā, riyā’, ‘ujub, ḥasad, dan menghina orang lain.

Dalam melakukan proses penulisan kitab minhāj al-atqiyā’, Kiai

Saleh Darat menukil dari kitab-kitab syarah yang ada, seperti karya

Page 24: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

Kiai Nawāwī al-Bantanī, Salālim al-Fuḍalā’ karya Abū Bakr Syata;

Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’; dan dari kitab-kitab lain,

seperti karya-karya al-Ghazālī, seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Minhāj al-

‘Ābidīn dan Mukāsyafah al-Qulūb. Selain itu, saat membahas tentang

al-qalb, Kiai Saleh Darat menukil dari kitab Ibn ‘Aṭā’ Allāh al-

Sakandarī, yang berjudul al-Ḥikam. Selain menukil beberapa kitab

tersebut Kiai Saleh Darat juga sedikit banyak telah memberi notasi

dan mengelaborasi bait naẓam kitab Hidāyat al-Atqiyā’, dengan

seperangkat pengetahuan yang beliau miliki, yang didesain se-

demikian rupa untuk orang awam.

Dalam menyampaikan pemikiran Aḥwālal-Qulūb dalam Kitab

Minhāj al-Atqiyā’, Kiai Saleh Darat selalu memposisikan mukhatab-

nya sebagai orang awam, yang sejalan dengan tujuan awal penulisan

Kitab tersebut. Apa yang disampaikan Muḥammad Ṣāliḥ al-Samārānī

dalam kitabMinhāj al-Atqiyā’ sangat relevan dengan kondisi

psikologis masyarakat modern yang sedang haus dan gersang

dengan siraman spiritual, dan membutuhkan ajaran-ajaran spiritual

tasawuf. Apalagi isi dan cara penyampaian kedua kitab tersebut

memang didesain untuk orang awam yang tidak menguasai bahasa

arab, hingga mereka tidak dapat mengakses sumber-sumber asli

secara langsung. Karya Kiai Saleh Darat ini dapat menjadi jembatan

intelektual spiritual bagi mereka yang menginginkannya.Meskipun

kitab Minhāj al-Atqiyā’ merupakankitab kuno, di tengah hilir mudik-

nya arus pemikiran barat yang mengglobal, ia tetap dapat memberi

kontribusi, berupa pencerahan spiritual bagi pembacanya yang jauh

dari aspek religiositas. []

Catatan Akhir

1Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1415/1995, h. 113.

2Ibid.,h. 114; Lihat juga Muslich Shabir, “Studi Kitab Munjiyat: Me-nyingkap Konsep Kiai Saleh Darat tentang Perbuatan yang Membinasakan

Page 25: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

dan yang Menyelamatkan Manusia,” Jurnal Walisongo, PUSLIT IAIN Walisongo, Vol. XV, Nomor 1 Mei 2007, h. 85.

3Muslich Shabir, “Studi Kitab Munjiyat”, h. 85; Ghazali Munir, Shalat Jum’at Bergantian, Implementasi Konsep Iman dan Amal Muḥammad Salih Ibn Umar as-Samarani dalam Masyarakat Modern, Semarang: Syiar Media Publishing, 2008, h. 47-48.

44AbdullahSalim, Majmū‘at al-Syarī‘ah al-Kāfiyah li al-‘Awwām karyaSyaikh Muḥammad Ṣāliḥ ibn ‘Umar al-Samārānī, Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Fak. Pascasarjana, 1994,h. 20.

5Ibid., h. 37. 6Ghazali Munir, Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam

Muḥammad Salih as-Samarani, Semarang : Rasail, 2008, h. 59-74. 7Imām Muḥammad ibn Muḥammad Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’

‘Ulūm al-Dīn, Juz I, Singapura: Sulaymān Mara‘ī, t.th., h. 21. 8Muḥammad Ṣāliḥ al-Samārānī, Minhāj al-Atqiyā’ fī Syarḥ Ma‘rifat al-

Ażkiyā’ ilā T{arīq al-Awliyā’, Bombay: Muḥammad, 1317 H, h. 5; Ghazali Munir, Tuhan, h. 67.

9Bruinessen, Kitab Kuning, h. 163, 166. 10Lihat misalnya Sayyid Bakar al-Makkī ibn Muḥammad Syaṭā al-

Dimyāṭī, Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’, Semarang: Thoha Putra, t.th. 11Bruinessen, Kitab Kuning, h. 163, 166 12Ibid., h. 166. 13Lebih lanjut lihat Ghazali Munir, Tuhan, h. 73. 14Muḥammad Ṣāliḥ al-Samārānī, Minhāj al-Atqiyā’, h. 6. 15Ibid., h. 3. 16Ibid., h. 4. 17Ibid., h. 7. 18Ibid., h. 5; Ghazali Munir, Tuhan, h. 67. 19Ibid., h. 6. 20Ibid., h. 2-3. 21Ibid., h. 7, 50. 22Ibid., h. 63. 23Ibid., h. 513-516. 24Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 163, 166. 25KH. Ahmad Harits Shadaqah, Tauṣiyat al-Aṣfiyā’ fī Tarjamat Hidāyat

al-Ażkiyā’, Ma’had al-Tafsīr wa al-Sunnah, al-Itqān, desa Tlogosari Wetan, kecamatan Pedurungan Semarang

26Muḥammad Ṣāliḥ, Minhāj al-Atqiyā’, h. 32. 27Ibid., h. 79.

Page 26: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

28Ibid., h. 80. 29Ibid.,h. 81. 30Ibid.,h. 83. 31Luwīs Ma‘lūf, al-Munjid fī al-Lughah, Bairut: al-Maṭba‘ah al-

Kāṡūlaykah, t.th., h. 308. 32M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000, h. 1. 33Ibid. 34Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Ibn Hawāzin al-Qusyayrī, al-Risālah al-

Qusyayriyah, ditaḥqīq oleh Ma‘rūf Zurayq dan ‘Alī ‘Abd al-Ḥamīd Balṭahjī, Bairut: Dār al-Khair, t.th., h. 116.

35‘Abd Ḥakīm Ḥasan, al-Taṣawwuf fī Syi‘r al-‘Arab, Mesir: al-Anjalu al-Miṣriyah, 1954, h. 42; lihat juga Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, h. 2-3

36Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, h. 2-3 37Ibid., h. 87. 38Ibid., h. 88-89 39Ibid., h. 89. 40Ibid., h. 85. 41Ibid., h. 91-92. 42Abū al-Wafā al-Ghanīmī al-Taftāzānī, Madkhal ilā al-Taṣawwuf al-

Islāmī, Kairo: Dār al-Ṡaqāfah, 1979, h. 59 43Ibid., h. 60. 44Muḥammad Ṣāliḥ, Minhāj al-Atqiyā’, h. 84. 45Muḥammad Ṣāliḥ, Hażā al-Kitāb Matn al-Ḥikam li Sayyidī al-Syaikh

Aḥmad ibn ‘Aṭā’ Allāh al-Sakandarī, Semarang: Thoha Putra, t.th.,h. 62. 46Ibn ‘Ajībah, Īqāẓ al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam, taqdīm wa murāja‘ah:

Muḥammad Aḥmad Ḥasab Allāh, Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.th.,h. 131-132; Syaikh Abū al-Ḥasan al-Syāżilī juga menjelaskan tentang hakikat zuhud. Saat bermimpi bertemu al-Ṣiddīq, Syaikh diberitahu, bahwa tanda dunia telah keluar dari hati seseorang adalah ia mengeluarkannya ketika ada dan merasa lapang ketika tidak ada. Kemudian ketika bermimpi melihat ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb ra, Syaikh juga diberitahu, bahwa tanda cinta dunia adalah takut dicela dan senang dipuja. Sehingga tanda cinta dunia adalah takut dicela dan senang dipuja, sementara tanda zuhud terhadap dunia adalah sebaliknya: tidak takut dicela dan tidak senang dipuja. Ibn ‘Aṭā’ Allāh, Laṭā’if al-Minan, ditaḥqīq oleh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, Kairo: Dār al-Kutub, 1974, h. 200.

47Ibn ‘Abbād al-Randī, Syarḥal-Ḥikam, juz I, Bandung: Syirkah al-Ma‘ārif, t.th. h. 22.

Page 27: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

48Luwīs Ma‘lūf, al-Munjid, h. 916. 49Al-Kalābāżī, al-Ta‘arruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf, Cairo: Maktabah

al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969, h. 118-119; Mulyadhi Kartanegara, Me-nyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2009, cet. IV,h. 187-188.

50Muḥammad Ṣāliḥ, Minhāj al-Atqiyā’, h. 126. 51Ibid., h. 123-125. 52Ibid., h. 127. 53Ibid., h. 125. 54Ibid., h.127. 55Ibid., h. 129-130. 56Ibid.,h. 130. 57Ibid.,h. 131-132. 58Ibid.,h. 133. 59Ibn ‘Aṭā’ Allāh, al-Tanwīr fī Isqāṭ al-Tadbīr, Bairut: al-Maktabah al-

Sya‘baniyah, t.th.,h. 14 60Ibn ‘Aṭā’ Allāh, Laṭā’if, h. 89. 61Ibid., h. 84. 62Muḥammad Ṣāliḥ, Minhāj al-Atqiyā’, h. 138-139. 63Ibid., h. 138. 64Ibid., h. 140. 65Ibid., h. 142-143. 66Muḥammad Ṣāliḥ, Hażā al-Kitāb Matn al-Ḥikam h. 30-32, 58-60. 67Luwīs Ma‘lūf, al-Munjid, h. 414. 68Al-Qusyairī, al-Risālah, h. 184. 69Muḥammad Ṣāliḥ, Minhāj al-Atqiyā’, h. 222. 70Ibid., h. 220-221. 71Ibid.,h. 222. 72Ibid, h. 223. 73Ibid, h. 224-228. 74Ibid.,h. 233-234. 75Ibid.,h. 236-237. 76Ibid., h. 94-95. 77Ibid., h. 93-94. 78Ibid., h. 95. 79Ibid., h. 80. 80Ibid., h. 145. 81Ibid., h. 149. 82Ibid., h. 146. 83Ibid.,h.148-149.

Page 28: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

MOH. IN’AMUZZAHIDIN: Ahwal Al-Qulub…

84Ibid., h. 153. 85Ibid., h. 156-157. 86Ibid., h.157-158. 87Ibid., h. 181. 88Ibid., h. 182. 89Ibid., h. 238-239. 90Ibid., h. 239. 91Ibid., h. 239-240. 92Mulyadhi Kartanegara, Menyelami, h. 264-267. 93Masyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf, dalam

Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 107.

Page 29: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

TEOLOGIA, VOLUME 24, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2013

DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1415/1995.

Dimyāṭī, Sayyid Bakar al-Makkī ibn Muḥammad Syaṭā,Kifāyat al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’, Semarang: Thoha Putra, t.th.

Ghazālī, Imām Muḥammad ibn Muḥammad Abū Ḥāmid, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz I, Singapura: Sulaymān Mara‘ī, t.th.

Ḥasan, ‘Abd Ḥakīm, al-Taṣawwuf fī Syi‘r al-‘Arab, Mesir: al-Anjalu al-Miṣriyah, 1954.

Ibn ‘Abbād al-Randī, Syarḥal-Ḥikam, juz I, Bandung: Syirkah al-Ma‘ārif, t.th.

Ibn ‘Ajībah, Īqāẓ al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam, taqdīm wa murāja‘ah: Muḥammad Aḥmad Ḥasab Allāh, Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.th.

Ibn ‘Aṭā’ Allāh, al-Tanwīr fī Isqāṭ al-Tadbīr, Bairut: al-Maktabah al-Sya‘baniyah, t.th.

Ibn ‘Aṭā’ Allāh, Laṭā’if al-Minan, ditaḥqīq oleh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, Kairo: Dār al-Kutub, 1974.

Kalābāżī, al-Ta‘arruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf, Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969, h. 118-119.

Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2009.

Ma‘lūf, Luwīs, al-Munjid fī al-Lughah, Bairut: al-Maṭba‘ah al-Kāṡūlaykah, t.th.

Masyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf, dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Munir, Ghazali, Shalat Jum’at Bergantian, Implementasi Konsep Iman dan Amal Muḥammad Salih Ibn Umar as-Samarani dalam Masyarakat Modern, Semarang: Syiar Media Publishing, 2008.

Munir, Ghazali, Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam Muḥammad Salih as-Samarani, Semarang: Rasail, 2008.

Page 30: AḤWᾹL AL-QULŪB DALAM KITAB MINH J AL-ATQIYᾹ’ KARYA …

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL

Qusyairī, Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Ibn Hawāzin, al-Risālah al-Qusyayriyah, ditaḥqīq oleh Ma‘rūf Zurayq dan ‘Alī ‘Abd al-Ḥamīd Balṭahjī, Bairut: Dār al-Khair, t.th.

Salim, Abdullah, Majmū‘at al-Sharī‘ah al-Kāfiyah li al-‘Awwām karyaShaikh Muḥammad Ṣāliḥ ibn ‘Umar al-Samārānī, Disertasi, Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, Fak. Pascasarjana, 1994.

Samārānī, Muḥammad Ṣāliḥ, Hażā al-Kitāb Matn al-Ḥikam li Sayyidī al-Syaikh Aḥmad ibn ‘Aṭā’ Allāh al-Sakandarī, Semarang: Thoha Putra, t.th.

Samārānī, Muḥammad Ṣāliḥ,Minhāj al-Atqiyā’ fī Sharḥ Ma‘rifat al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’ , Bombay: Muḥammad, 1317 H.

Shabir, Muslich, “Studi Kitab Munjiyat: Menyingkap Konsep Kiai Saleh Darat tentang Perbuatan yang Membinasakan dan yang Menyelamatkan Manusia,” Jurnal Walisongo, PUSLIT IAIN Walisongo, Vol. XV, Nomor 1 Mei 2007.

Shadaqah, KH. Ahmad Harits, Tauṣiyat al-Aṣfiyā’ fī Tarjamat Hidāyat al-Ażkiyā’, Semarang: Ma’had al-Tafsīr wa al-Sunnah, al-Itqān, t.th.

Syukur, M. Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Taftāzānī, Abū al-Wafā al-Ghanīmī, Madkhal ilā al-Taṣawwuf al-Islāmī, Kairo: Dār al-Ṡaqāfah, 1979.