ARIEF F NURU DHIN

74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user PENGA TERHA PENYA PROG PENYAK ARUH ME ADAP KA AKIT GI GRAM PEN KIT DAL DR ETILPR ADAR h INJAL K HEM ARIEF NDIDIKA LAM FAK R. MOEWA TESIS REDNISO hs-CRP D KRONIS MODIALI F NURU AN DOKT KULTAS K ARDI SUR 2010 OLON DO DAN C3 P STADIU ISIS DHIN TER SPES KEDOKTE RAKART OSIS RE PADA PA UM V PA SIALIS I I ERAN UN TA ENDAH ASIEN ASCA ILMU NS / RS.

Transcript of ARIEF F NURU DHIN

Page 1: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGATERHAPENYA

PROG

PENYAK

ARUH MEADAP KAAKIT GI

GRAM PEN

KIT DAL

DR

ETILPRADAR hINJAL K

HEM

ARIEF

NDIDIKA

LAM FAK

R. MOEWA

TESIS

REDNISOhs-CRP DKRONIS

MODIALI

F NURU

AN DOKT

KULTAS K

ARDI SUR

2010

OLON DODAN C3 P

STADIUISIS

DHIN

TER SPES

KEDOKTE

RAKART

OSIS REPADA PAUM V PA

SIALIS I I

ERAN UN

TA

ENDAH ASIEN ASCA

ILMU

NS / RS.

Page 2: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGATERHAPENYA

D

PROG

PENYAK

ARUH MEADAP KAAKIT GI

DR.Dr. BamProf. D

GRAM PEN

KIT DAL

DR

ETILPRADAR hINJAL K

HEM

Dr. ARINIM

Pembang PurDr Bhisma

NDIDIKA

LAM FAK

R. MOEWA

TESIS

REDNISOhs-CRP DKRONIS

MODIALI

IEF NURUM : S96070embimbingrwanto, Spa Murti, MP

AN DOKT

KULTAS K

ARDI SUR

2010

OLON DODAN C3 P

STADIUISIS

UDHIN 004 g : pPD.KGH FPH, MSC,

TER SPES

KEDOKTE

RAKART

OSIS REPADA PAUM V PA

FINASIM PhD

SIALIS I I

ERAN UN

TA

ENDAH ASIEN ASCA

ILMU

NS / RS.

Page 3: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing Tugas Akhir Program Pendidikan

Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Surakarta, hasil penelitian yang berjudul :

PENGARUH METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR hs-CRP DAN C3 PADA PASIEN

PENYAKIT GINJAL KRONIS STADIUM V PASCA HEMODIALISIS

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam

Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 27 Agustus 2010

Pembimbing Tugas Akhir

DR.Dr. Bambang Purwanto, SpPD, KGH FINASIM

NIP. 194807191976091001

Page 4: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Telah diuji dan diseminarkan pada hari kamis, 31 September 2010

di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Moewardi Surakarta

penelitian tugas akhir dengan judul :

PENGARUH METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR hs-CRP DAN C3 PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS STADIUM V PASCA

HEMODIALISIS

Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS-RSUD Dr.Moewardi Surakarta

Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR FINASIM

NIP: 19510601 197903 1 002

Kepala Bagian Penyakit Dalam

FK UNS-RSUD Dr.Moewardi Surakarta

Prof.Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD-KPTI FINASIM

NIP : 19490506 197310 1 001

Page 5: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Telah diuji pada Tanggal 31 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. HA.Guntur Hermawan, dr, SpPD-KPTI FINASIM

Anggota :

1. Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM

2. Prof. Dr. Djoko Hardiman, dr, SpPD-KEMD FINASIM

3. Dr. dr. HM. Bambang Purwanto, SpPD-KGH FINASIM

4. dr. Soemarmi Soewoto, SpPD-KGER FINASIM

5. dr. Sugiarto SpPD

Page 6: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila engkau telah selesai ( dari sesuatu

urusan), Kerjakanlah dengan sungguh-sunguh ( urusan ) yang lain Dan hanya kepada Tuhanmulah

engkau berharap

( QS. Al-Insyiroh 6-8 )

Page 7: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah hirobbil`aalamin, segala puja dan puji kami haturkan

kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada kami , sehingga

dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul PENGARUH

METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR hs-CRP

DAN C3 PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS STADIUM V PASCA

HEMODIALISIS

Kami menyadari sepenuhnya, bahwa mustahil penelitian ini akan dapat

terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami

mengucapkan terima kasih kepada :

- Yang kami hormati kedua orang tua kami, Bpk Muchamad Nur dan ibu

Siti Aisiyah ( Alm) yang senantiasa mendoakan kami tiada henti, dan

memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya

penelitian ini.

- Yang kami hormati, Ibu Gati Sudardjo SH beserta keluarga, yang telah

memberikan bantuan dalam segala hal, baik materi maupun non materi

yang sulit untuk kami balas kebaikannya sehingga kami bisa

menyelesaikan penelitian ini.

- Yang kami hormati mertua kami, Bpk Djoko Suyanto dan ibu mujiyati

SPd yang terus mendorong kami untuk menyelesaikan penelitian ini.

- Yang kami hormati Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK

UNS/RSUD Dr Muwardi Surakarta, Prof. DR.dr. HA Guntur

Hermawan, SpPD-KPTI FINASIM, yang tiada mengenal lelah terus

membimbing kami dalam segala hal, sehingga kami bisa

menyelesaikan penelitian ini.

- Yang kami hormati Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK

UNS/RSUD Dr Muwardi Surakarta, Prof.DR.dr. Zainal Arifin Adnan

SpPD-KR FINASIM yang senantiasa membimbing dan mengarahkan

kami dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.

Page 8: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

- Yang kami hormati, dosen pembimbing penelitian, DR.dr. Bambang

Purwanto SpPD-KGH FINASIM yang terus memberikan bimbingan,

arahan, masukan dan support dalam segala hal sehingga kami dapat

menyelesaikan penelitian ini.

- Yang kami hormati dosen pembimbing metodologi penelitian, Prof. Dr

Bhisma Murti, MPH, MSC, PhD yang terus memberikan bimbingan

dan arahan sehingga kami bisa menyelesaikan penelitian ini.

- Yang kami hormati seluruh staf pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS/RSUD Dr Muwardi Surakarta yang telah memberikan

bimbingan selama ini.

- Istriku tercinta, dr Betty Ernitawati yang telah memberikan support

lahir bathin dan terus setia menemani dalam suka maupun duka

sehingga terselesaikannya penelitian ini.

- Anakku tercinta Akhtar Al Faruq Syariffudin, yang menjadi sumber

motivasi dan inspirasi kami selama ini

- Para perawat di RSUD Dr Muwardi, khususnya para perawat unit

Hemodialisa yang telah memberikan bantuan dalam pengumpulan

pasien sekaligus sampling

- Seluruh teman sejawat Residen bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr

muwardi Surakarta

- Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang terlibat

baik langsung maupuin tidak langsung dalam proses penelitian ini.

Page 9: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

RINGKASAN

PENGARUH METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR hs-CRP DAN C3 PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS STADIUM V

PASCA HEMODIALISIS .

Arief Nurudhin

Mortalitas pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK), terutama yang menjalani hemodialisis amat tinggi. Angka kematian terbanyak diakibatkan oleh karena komplikasi kardiovaskuler. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tahap awalpun sudah mempunyai resiko yang lebih tinggi akan terjadinya komplikasi penyakit kardiovaskuler tersebut. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, mempunyai resiko 10-30 kali lebih besar untuk terjadinya kematian akibat penyakit jantung vaskuler (PJV). Arterial Vasculer Disease dan cardiomyopathy adalah penyebab kematian yang terbanyak . Resiko kematian pasien dengan PGK sampai melebihi 6 kali populasi normal, sedangkan pada pasien yang menjalani hemodialisis dapat melebihi 100 kali normal . Sedangkan dari data United States Renal Data System Annual Data Report (USRDS-ADR), penyebab terbanyak kematian pasien yang menjalani hemodialisis disamping Arterial heart disease adalah stroke. Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovakuler pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis, dipengaruhi oleh inflamasi kronis.Sebelum dilakukan hemodialisis, inflamasi kronis sudah sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronis. Dalam hal ini, uremia yang berkaitan dengan inflamasi menjadi faktor penentu yang menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada hemodialisis.

Saat dilakukan hemodialisis , sekitar 35-65 % pasien menunjukkan tanda-tanda inflamasi. Dialisis telah dihubungkan dengan perubahan akut pada aktivasi komplemen, marker granulosit , fungsi makrofag, aktivasi sel T serta pelepasan sitokin pro inflamasi. Penelitian pada pasien yang dihemodialisis menunjukkan peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor α ( TNF-α ), interleukin-1β ( IL1-β ) dan interleukin-6 ( IL-6 ). IL-6 akan memacu keluarnya acute phase reactant yaitu CRP ( C –Reaktif protein ). CRP yang merupakan acute phase reactant , diproduksi di liver diaktivasi oleh berbagai sitokin, terutama IL-6. Saat terjadinya reaksi inflamasi, kadar CRP dapat meningkat sampai 1000 kali. Pada pasien-pasien yang di hemodialisis, adanya peningkatan kadar CRP menunjukkan adanya proses inflamasi. High sensitivity C-Rreactive Protein (hs-CRP) merupakan marker inflamasi yang sudah diakui dan dapat menjadi prediktor kejadian PJV. Hs-CRP juga merupakan faktor yang kuat untuk memprediksi komplikasi dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Hs-CRP dapat secara langsung mengakibatkan perkembangan

Page 10: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

aterosklerosis, melalui aktivasi komplemen, kerusakan jaringan dan aktivasi endotel sel. Komplemen C3 merupakan komplemen penting pada faktor imunitas tubuh karena merupakan pertemuan 3 jalur aktivasi komplemen yaitu jalur lektin, jalur klasik maupun jalur alternatif. Defisiensi C3 ini akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik . Selama proses hemodialisis, kadar CRP dan komplemen akan meningkat akibat terpapar kontaminasi dengan dialisat, dan adanya reaksi biokompatibilitas membran dialisat. Kadar CRP pada pasien hemodialisis di AS dan Eropa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar CRP di Indonesia. Tetapi dengan hemodialisis rutin dan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibandingkan dengan yang diterapi secara konservatif . Pada penelitian yang dilakukan di Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSDM Surakarta, terbukti bahwa terjadi peningkatan kadar hs-CRP dan komplemen C3 pada pasien-pasien CKD Stage V yang dilakukan hemodialisis, dibandingkan dengan sebelum hemodialisis . Kortikosteroid dosis rendah mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2. Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah mengurangi respon inflamsi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL1-β, IL-6, dan selanjutnya akan menghambat diproduksinya procalcitonin, ICAM, complemen, maupun CRP, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel . Penelitian ini akan melihat efek kortikosteroid dosis rendah yang diberikan sesaat sebelum hemodialisis terhadap kadar hs-CRP dan komplemen C3. Metoda yang dipakai adalah dengan RCT ( Randomized Control Trials ) yang merupakan gold standar penelitian. Dengan metode RCT ini semua faktor perancu bisa diabaikan karena menjadi tersebar merata pada kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, sehingga jumlah sampel yang diikutkan hanya 30 orang yang terbagi menjadi 15 orang kelompok perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol. Sampel diperoleh dari pasien yang menjalani hemodialisis minimal 3 bulan sampai 5 tahun di unit hemodialisis RSUD DR Muwardi Surakarta. Alat hemodialisa yang digunakan adalah Dializer dari Nipro dengan model no FB-110T dan dilakukan selama 4 jam. Pada kelompok perlakuan, 3 menit sebelum dilakukan hemodialisis diberikan injeksi methylprednisolon 60 mg kemudian diambil sampel darahnya pada kedua kelompok sebelum dan setelah hemodialisis. Dilakukan pengukuran kadar hs-CRP dan komplemen C3.

Pada data awal penelitian didapatkan penyebaran yang merata pada kedua kelompok penelitian tentang beberapa faktor yang bisa mengganggu hasil penelitian ,yang dengan menggunakan uji t didapatkan perbedaan yang tidak signifikan secara statistik dengan nilai p<0,005 untuk semua faktor.

Page 11: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pada kelompok kontrol didapatkan hasil peningkatan kadar hs-CRP maupun C3 yang signifikan pasca hemodialisa.Ini memperlihatkan bahwa proses hemodialisa memang meningkatkan kadar hs-CRP sesuai denga referensi dari banyak sumber. Pada kelompok perlakuan didapatkan kadar hs-CRP pre hemodialisa rata-rata adalah 2,48 dan pasca hemodialisa didapatkan 2,50 dengan p = 0,820. Sedangkan pada komplemen C3 didapatkan rata-rata pre hemodialisa adalah 92,40 dan pasca hemodialisa didapatkan 88,8 dengan p = 0,007. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa untuk kadar hs-CRP tetap terjadi peningkatan walaupun diberikan perlakuan dengan methyl prednisolon dosis rendah, tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan secara statistik. Sedangkan pada kadar komplemen C3 terjadi penurunan yang signifikan kadar C3 pasca hemodialisa, yang berarti pemberian methyl prednisolon dosis rendah mampu menghambat aktivasi komplemen C3 Delta hs-CRP pre dan pasca hemodialisa antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang secara statistik bermakna dengan p = 0,001. Delta komplemen C3 berbeda signifikan (p= 0,000 ) dengan terjadi penurunan dibandingkan kontrol. Kesimpulan yang didapat adalah terdapat perbedaan kadar hs-CRP dan komplemen C3 pada penderita Penyakit Ginjal Kronis yang diberikan methylprednisolon dosis rendah sebelum hemodialisa.

Page 12: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGARUH METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR hs-CRP DAN C3 PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS

STADIUM V PASCA HEMODIALISIS

Arief N 1, Bambang P2,Guntur AH3, Wahid P2 Bisma M4 1Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta

2Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta 3Sub Bagian Tropik Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSUD Dr. Moewardi

Surakarta 4Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNS Surakarta

Abstrak Latar belakang Mortalitas pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa tinggi, 60 % karena komplikasi kardiovaskuler. Saat hemodialisa terjadi inflamasi, aktivasi komplemen, pelepasan tumor necrosis factor α ( TNF-α ), interleukin-1β ( IL1-β ) dan interleukin-6 ( IL-6 ). IL-6 memacu produksi CRP dan C3, akhirnya menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Kortikosteroid dosis rendah menurunkan produksi TNFα, IL1-β, IL-6, selanjutnya akan menghambat produksi C3 dan hs-CRP melalui penghambatan NF-KB, tetapi tidak menimbulkan imunodefisiensi. Tujuan Membuktikan adanya perbedaan kadar hs- CRP dan C3 pada pasien PGK stadium V pasca hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre hemodialisis. Metodologi Jenis penelitian adalah Randomized control trial, melibatkan 30 sampel, 15 sampel sebagai kontrol, 15 sampel dengan pemberian steroid dosis rendah. Sampel adalah penderita CKD stage V , menjalani dialisa seminggu 2 kali antara 3 bulan – 5 tahun. Steroid dosis rendah dipakai methyl prednisolon 60 mg IV bolus 3 menit sebelum dialisa. Hasil Data awal penelitian setara pada kedua kelompok. Didapatkan peningkatan hs-CRP pasca hemodialisa pada kedua kelompok, tetapi peningkatan pada kelompok perlakuan berbeda bermakna dengan control ( p=0,001 ). Pada C3 terjadi penurunan pada kelompok perlakuan, dan peningkatan pada kelompok kontrol yang berbeda signifikan ( p=0,002 ). Delta hs-CRP dan C3 berbeda bermakna pada kedua kelompok.( p=0,001 dan p=0,000). Diskusi Perbedaan hasil kelompok perlakuan dan kontrol terjadi akibat efek steroid dosis rendah mengurangi ekspresi sitokin pro inflamasi melalui penghambatan NF-KB. Puncak produksi hs-CRP 24-48 jam setelah dialisa dimulai, C3 1-2 jam. Kesimpulan Terdapat perbedaan kadar hs- CRP dan C3 pada pasien PGK stadium V pasca hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre dialisis. Kata kunci : CKD, hs-CRPdan C3, metilprednisolon dosis rendah

Page 13: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

THE EFFECT OF LOW DOSE METYLPREDNISOLONE ON hs-CRP AND C3 LEVELS IN PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY DISEASE

STAGE V POST HEMODIALYSIS Arief N 1, Bambang P2,Guntur AH3, Wahid P2 Bisma M4

1Dept. of Internal Medicine FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

2Nephrology Div. Dept.of Internal Medicine FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta 3Tropical Medicine Div, Dept.of Internal Medicine FK UNS/RSUD DR Moewardi Surakarta

4Dept.of Public Health, medicine faculty of UNS Surakarta

Abstract Background Mortality rate among CKD patients with hemodialysis still high, 60 % caused by cardiovascular event. During hemodialysis, there is an acute inflammation process, complement activation, releasing of TNF α, IL-1β and IL-6 will activate releasing of CRP and C3 ultimately endotel dysfunction. Low dose steroid obtain decreasing of TNFα, IL1-β, IL-6 and will inhibit hs-CRP and C3 through NF-KB inhibition without immunodeficiency effect. Aims Proving the difference hs-CRP and C3 levels in patients with chronic kidney disease stage V post hemodialysis after giving low dose methylprednisolone before hemodialysis

Method Randomized control trial study with 30 sample, 15 subjects given low dose steroid, 15 subject as control. Population study is non diabetic CKD stage V with dyalisis twice a week, duration is 3 month - 5 year. Methyl prednisolon 60 mg IV is using as low dose steroid, just 3 minute before hemodialysis .

Result Preliminary result from both of group are equivalent. Increasing of hs-CRP post hemodialysis in the both of group, but the quantity of hs-CRP between intervention group and control is significant (p=0.01). C3 is decreasing in intervention group and increase in control group is significant (p=0.002). Delta Hs-CRP and C3 are significant different in both of group. ( p=0,001 and p=0,000) Discussion The difference result between intervention and control group is caused by low dose steroid, which inhibit proinflamation cytokine through NF-KB inhibition. Increasing of hs-CRP 24-48 hour post dialysis and increasing C3 1-2 hour post hemodialysis. Conclusion There is differences of Hs-CRP and C3 levels in patients with chronic kidney disease stage V post hemodialysis after giving low dose methylprednisolone before hemodialysis

. Keywords: CKD, hs-CRP, low dose metylprednisolone

Page 14: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL DEPAN .................................................................... i HALAMAN JUDUL BELAKANG .......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN II ................................................................. iv PANITIA PENGUJI TESIS ....................................................................... v MOTTO ................................................................................................ vi UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. vii RINGKASAN ............................................................................................ ix ABSTRAK ............................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvi DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xviii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5 I.3.1 Tujuan Umum ...................................................................... 5 I.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 6 1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................... 6 1.4.2 Manfaat Terapan .................................................................... 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 7 2.1 Penyakit Ginjal Kronik ............................................................ 7 2.2 Etiologi .................................................................................. 8 2.3 Gambaran Klinik Penyakit Ginjal Kronik ............................. 8 2.4 Uremia ...................................................................................... 9 2.5 Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik ................................ 10 2.6 Hs-CRP .................................................................................... 15

2.7 Komplemen ............................................................................. 18 2.8 Hemodialisis .......................................................................... 21 2.9 Kortikosteroid ......................................................................... 22 2.9.1 Steroid dalam tubuh .............................................................. 24 2.9.2 Methylprednisolon ................................................................ 28

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS .................. 31 3.1 Kerangka Konseptual ............................................................... 31 3.2 Hipotesis Penelitian ................................................................... 34 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ............................................. 35

Page 15: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4.1 Jenis Penelitian ...................................................................... 35 4.1 Tempat Penelitian .................................................................. 35 4.3 Populasi Sampel ...................................................................... 35 4.3.1 Populasi sasaran ..................................................................... 35 4.3.2 Populasi sumber .................................................................. 35 4.3.3 Populasi sampel ................................................................... 35 4.4 Besar Sampel ...................................................................... 35 4.5 Identifikasi variabel ............................................................... 36 4.5.1 Variabel tergantung ............................................................. 36 4.5.2 Variabel bebas ..................................................................... 36 4.6 Definisi operasional ............................................................... 36 4.7 Waktu ..................................................................................... 37 4.8 Biaya ....................................................................................... 37 4.9 Cara Kerja ............................................................................... 37 4.10 Design Analisa Stastitik .......................................................... 39 4.11 Alur Penelitian ....................................................................... 40 BAB 5 HASIL ......................................................................................... 41 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian .................................................. 41 5.2 Hasil hs-CRP dan C3 kedua kelompok ....................................... 42 BAB 6 PEMBAHASAN .......................................................................... 48 6.1 Hasil Utama ............................................................................... 48 6.2 Keterbatasan Penelitian .............................................................. 55 BAB 7 PENUTUP ................................................................................... 56 7.1 Simpulan ................................................................................... 56 7.2. Saran ........................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 57 LAMPIRAN .............................................................................................. 63

Page 16: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Algoritme Program Therapi PGK ............................................. 11

Gambar 2.2 Patogenesis PJV pada pasien PGK .......................................... 13

Gambar 2.3 Faktor – faktor resiko atherosklerosis pada uremia .................. 13

Gambar 2.4 Proses terjadinya atherosklerosis .............................................. 15

Gambar 2.5 Pengaruh Hs-CRP pada Disfungsi Endotel .............................. 17

Gambar 2.6 C Reaktif Protein ...................................................................... 18

Gambar 2.7 Aktivasi sistem Komplemen .................................................... 21

Gambar 2.8 Titik tangkap steroid pada inflamasi ........................................ 27

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 33

Gambar 4.1 Diagram pemeriksaan hs-CRP ................................................. 39

Gambar 4.2 Alur Penelitian ......................................................................... 40

Gambar 5.1 Perbedaan hs-CRP kedua kelompok ........................................ 45

Gambar 5.2 Perbedaan C3 kedua kelompok ............................................... 46

Gambar 5.3 Delta kedua kelompok ............................................................. 47

Page 17: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik ................................................ 7

Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit .... 8

Tabel 2.3 Mortalitas pasien dialisis .......................................................... 11

Tabel 2.4 Efek Glukokortikoid selama stress ............................................. 26

Tabel 2.5 Perbandingan ekivalen dosis steroid ........................................... 30

Tabel 5.1 Jenis Kelamin kedua kelompok ................................................... 41

Tabel 5.2 Rerata umur kedua kelompok ..................................................... 42

Tabel 5.3 Variabel kedua kelompok ........................................................... 42

Tabel 5.4 Perbedaan sebelum dan sesudah HD kelompok kontrol ............. 43

Tabel 5.5 Perbedaan sebelum dan sesudah HD kelompok perlakuan ......... 43

Tabel 5.6 Perbedaan variabel delta ............................................................ 44

Tabel 6.1 Tipe membran dialisa .................................................................. 50

Page 18: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR SINGKATAN

ADMA : Asimetric Dimethylarginine

CRP : C- Reactive Protein

Hs-CRP : High sensitivity-C- Reactive Protein

DM : Diabetes Mellitus

HD : Hemodialisis

ICAM - 1 : Inter Cellulare Adhession Molecule-1

IL - 1ß : Interleukin- 1ß

IL - 6 : Interleukin-6

IL – 8 : Interleukin – 8

IFN – γ : Interferon Gamma

LFG : Laju Filtrasi Ginjal

MCP - 1 : Monocyte Chemoattractant Protein

NO : Nitrit – Oxide

PGK : Penyakit Ginjal Kronis

PJV : Penyakit Jantung Vaskuler

ROS : Reactive Oksigen Species

TNF - α : Tumor Necrosis Factor - Alpha

VICAM -1 : Vasculare Inter Cellulare Adhession Molecule-1

VEGF : Vascular Endothel Growth Factor

NFKβ : Nuclear Factor Kappa Beta

Page 19: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Penurunan fungsi ginjal yang progresif mengakibatkan peningkatan berbagai

komplikasi diantaranya : anemia, malnutrisi, aterosklerosis, penyakit osteodistrofi

ginjal, neuropati dan penurunan kualitas hidup. Kesemuanya itu berdampak pada

peningkatan mortalitas (Weiner dkk., 2004).

Mortalitas pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK), terutama yang

menjalani hemodialisis amat tinggi. Angka kematian terbanyak diakibatkan oleh

karena komplikasi kardiovaskuler. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tahap

awalpun sudah mempunyai resiko yang lebih tinggi akan terjadinya komplikasi

penyakit kardiovaskuler tersebut (Go dkk., 2004).

Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, mempunyai

resiko 10-30 kali lebih besar untuk terjadinya kematian akibat penyakit jantung

vaskuler (PJV). Arterial Vasculer Disease dan kardiomiopati adalah penyebab

kematian yang terbanyak (Sarnak dkk., 2003). Go dkk, mendapatkan resiko kematian

pasien dengan PGK sampai melebihi 6 kali populasi normal, sedangkan pada pasien

yang menjalani hemodialisis dapat melebihi 100 kali normal (Suharjono, 2007).

Sedangkan dari data United States Renal Data System Annual Data Report (USRDS-

ADR), penyebab terbanyak kematian pasien yang menjalani hemodialisis disamping

Arterial heart disease adalah stroke (USDRS, 2003).

Prevalensi pasien penyakit gagal ginjal kronis, diperkirakan akan semakin

meningkat.Tahun 1998, lebih dari 320.000 orang penderita PGK di Amerika Serikat

menjalani hemodialisis , dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sampai

Page 20: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

650.000 pada tahun 2010 dan akan mencapai 2 juta orang pada tahun 2030. Dengan

kondisi ini, resiko kematian akibat PJV juga akan semakin meningkat.Penyebab pasti

dan mekanisme peningkatan PJV pada penderita gagal ginjal kronis belum dapat

dipastikan (Nolan, 2005).

Pasien penyakit ginjal kronis mempunyai faktor resiko klasik dan non klasik

terhadap PJV, akan tetapi mekanisme yang spesifik yang memudahkan terjadinya

PJV belum diketahui dengan pasti. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya

proses PJV adalah adanya inflamasi sebagai faktor yang sangat penting dalam proses

aterosklerosis (Stinghen dan Pecoits-Filho, 2007).

Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovakuler pada pasien-pasien

yang menjalani hemodialisis, dipengaruhi oleh inflamasi kronis. Sebelum dilakukan

hemodialisis, inflamasi kronis sudah sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronis.

Dalam hal ini, uremia yang berkaitan dengan inflamasi menjadi faktor penentu yang

menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada

hemodialisis (Erten, 2007 ; Razeghi dkk., 2008).

Plak aterosklerosis terbentuk diawali oleh aktivasi limfosit T, makrofag dan

mast sel, yang nantinya akan meningkatkan pengeluaran ROS ( reactive oxygen

spesies ), mediator lipid pro inflamasi, enzim hidrolitik, kemokin, sitokin pro dan

anti inflamasi serta growth factor (Erten, 2007; Bodiou, 2008).

Pada keadaan uremia akan terjadi stimulasi peningkatan kadar atau sintesis

IL-1 β dan TNF- α. IL1-β akan merangsang endotel mengekspresikan ICAM -1.

ICAM-1 akan berikatan dengan LFA sehingga monosit akan terikat pada permukaan

endotel dan akan dimasukkan ke subendotel ( per-diapedesis ). Semua ini nantinya

akan mengakibatkan monosit berubah nama menjadi makrofag, dimana makrofag

Page 21: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

akan memakan LDL ( VLDL yang telah diopsonifikasi oleh ROS ), sehingga

makrofag akan terus memakan LDL dan VLDL tersebut akan menjadi foam cell.

Foam cell tersebut akan mengekspresikan growth factor dan sitokin yang lain,

akhirnya membentuk plak (Guntur,2001 ; Purwanto, 2008).

Saat dilakukan hemodialisis, sekitar 35-65 % pasien menunjukkan tanda-

tanda inflamasi. Dialisis telah dihubungkan dengan perubahan akut pada aktivasi

komplemen, marker granulosit , fungsi makrofag, aktivasi sel T serta pelepasan

sitokin pro inflamasi. Penelitian pada pasien yang dihemodialisis menunjukkan

peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor α ( TNF-α ),

interleukin-1β ( IL1-β ) dan interleukin-6 ( IL-6 ). IL-6 akan memacu keluarnya

acute phase reactant yaitu CRP ( C –Reaktif protein ) (Malaponte, 2002).

C reaktif protein merupakan acute phase reactant, diproduksi di liver

diaktivasi oleh berbagai sitokin, terutama IL-6. Saat terjadinya reaksi inflamasi,

kadar CRP dapat meningkat sampai 1000 kali. Pada pasien-pasien yang di

hemodialisis, adanya peningkatan kadar CRP menunjukkan adanya proses inflamasi.

High sensitivity C-Rreactive Protein (hs-CRP) merupakan marker inflamasi yang

sudah diakui dan dapat menjadi prediktor kejadian PJV. Hs-CRP juga merupakan

faktor yang kuat untuk memprediksi komplikasi dan kematian akibat penyakit

kardiovaskuler (Hondadkk,2006;Razeghi dkk., 2008). HsCRP dapat secara langsung

mengakibatkan perkembangan aterosklerosis, melalui aktivasi komplemen,

kerusakan jaringan dan aktivasi endotel sel (Koenig, 2003).

Page 22: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Komplemen C3 merupakan komplemen penting pada faktor imunitas tubuh

karena merupakan pertemuan 3 jalur aktivasi komplemen yaitu jalur lektin, jalur

klasik maupun jalur alternatif (Baratawijaya,2007). Defisiensi C3 ini akan

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik (Abbas, 2005).

Selama proses hemodialisis, kadar CRP dan komplemen akan meningkat

akibat terpapar kontaminasi dengan dialisat . Kadar CRP pada pasien hemodialisis di

AS dan Eropa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar CRP di Indonesia

(Suharjono dkk., 1999). Tetapi dengan hemodialisis rutin dan jangka panjang akan

terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibandingkan dengan yang

diterapi secara konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).

Pada penelitian yang dilakukan di Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu

Penyakit Dalam FK UNS/RSDM Surakarta, terbukti bahwa terjadi peningkatan

kadar hs-CRP dan komplemen C3 pada pasien-pasien CKD Stage V yang dilakukan

hemodialisis, dibandingkan dengan sebelum hemodialisis (Gusrizal, 2009).

Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara lain: bioinkompabilitas,

kontaminasi dengan cairan dialisat yang menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida)

dan terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten, 2007).

Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen

aktif komplemen C3 serta sitokin (IL-1 dan TNF-α) akan mengalami absorbsi ke

dalam membran dialiser dan sebagian zat tersebut akan dieliminasi dari darah selama

proses hemodialisis (Tzanatos,2000; Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).

Kortikosteroid dosis rendah mampu memblok jalur inflamasi melalui

sejumlah jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi

prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK

Page 23: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2 (Rhen dan Cidlowski,

2005).

Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah

mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi

sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL1-β, IL-6, dan selanjutnya akan menghambat

diproduksinya procalcitonin, ICAM, complemen, maupun CRP, menghambat

produksi mediator-mediator inflamasi seperti cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi

leukosit ke endotel (Annane dan Caillon, 2003).

Berdasarkan data di atas, kami ingin meneliti efek metilprednisolon dosis

rendah pada kadar hs-CRP dan komplemen C3 yang terjadi karena proses

hemodialisis.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Adakah perbedaan kadar hs- CRP pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre dialisis ?

1.2.2 Adakah perbedaan kadar komplemen C3 pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre dialisis ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metilprednisolon dosis

rendah terhadap kadar hs- CRP dan Komplemen C3 pada pasien PGK stadium V

pasca hemodialisis

Page 24: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

1.3.2 Khusus

1.3.2.1 Membuktikan adanya perbedaan kadar hs- CRP pada pasien PGK stadium V

pasca hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre hemodialisis.

1.3.2.2 Membuktikan adanya perbedaan kadar Komplemen C3 pada pasien PGK

stadium V pasca hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre

hemodialisis.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Pengembangan Ilmu ( Teoritis )

Memberikan bukti empiris terhadap teori bahwa metilprednisolon dosis

rendah dapat dipakai untuk menurunkan kadar hs-CRP dan Komplemen C3

pada pasien PGK stadium V pasca hemodialisis.

1.4.2 Terapan

1.4.2.1 Metilprednisolon dapat menurunkan proses inflamasi akibat emodialisis pada

pasien PGK stadium V .

1.4.2.2 Menghambat kesakitan dan kematian pasien PGK stadium V yang menjalani

hemodialisis di RS.Dr.Moewardi Surakarta.

Page 25: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan

pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan

klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada

suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa

dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

Pada pedoman K/DOQI, batasan penyakit ginjal kronik adalah kerusakan

ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik

atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini

juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus ( LFG ) ,

seperti terlihat pada tabel di bawah ini (K/DOQI, 2002).

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

- Kelainan patologis - Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,

atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test) 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau

tanpa kerusakan ginjal. Sumber : ( Suwitra, 2006). Pada individu dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan

oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai

laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.

Page 26: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit. Derajat Penjelasan LFG 1 2 3 4 5

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat Gagal ginjal

≥ 90 60 – 89 30 - 59 15 – 29 < 15 / dialisa

Sumber : (Suwitra, 2006) Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung

dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (60 ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x berat badan

72 x kreatinin plasma(mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

2.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik.

Ada beberapa etiologi penyakit ginjal kronik yang sering kita jumpai,

diantaranya:

1.Glomrulonefritis, baik primer maupun skunder

2. Penyakit ginjal herediter

3. Hipertensi esensial

4. Uropati obstruktif

5. Infeksi saluran kemih dan ginjal ( pielonefritis )

6. Nefritis interstisial (sukandar.,2006)

2.3 Gambaran Klinis Penyakit Ginjal Kronik

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritematosus

Sistemik ( LES ) dan lain sebagainya.

Page 27: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

2. Sindroma Uremia , yang terdiri dari : lemah, letargia, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma

3. Gejala Komplikasinya : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2006).

2.4 Uremia.

Uremia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar nitrogen urea

dalam serum ( azotemia ) yang terjadi pada pasien gagal ginjal. Gejala uremia

muncul ketika GFR turun sampai kurang lebih 20% dari normal. Uremia juga

merupakan suatu tanda proinflamasi kronik seperti CRP dan meningkatnya kadar

sitokin proinflamasi yang berhubungan dengan peningkatan angka kematian.Sitokin

ini serta rangsangan inflamasi diduga mempunyai peran yang penting terhadap

progresifitas terjadinya proses aterosklerosis (Nolan, 2005).

Sampai saat ini donor ginjal masih sedikit, sehingga terapi uremia didominasi

oleh dialisis (Meyer dan Hostetter, 2007; Sukandar, 2006).

Pada pasien yang menjalani dialisis, mikroinflamasi kelihatannya menjadi

proses predisposisi dari cepatnya proses aterosklerosis dan komplikasi PJV.

Mikroinflamasi ini akan meningkatkan proses aterosklerosis pada pasien yang

menjalani dialisis kronik serta berhubungan dengan suatu keadaan inflamasi dan

kalsifikasi arteri koroner (Kras, 2007).

Saat ini dapat dipahami bahwa ada hubungan antara milieu uremia yang

merupakan suatu keadaan inflamasi ringan yang berjalan kronik. Dari beberapa data

menunjukkan bahwa fungsi ginjal memegang peranan yang penting pada proses

Page 28: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

inflamasi, serta fungsi ginjal yang menurun ini berhubungan dengan meningkatnya

respon inflamasi (Suliman dan Stenvikel, 2008).

Uremia pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, diduga akan

menyebabkan peningkatan kadar sitokin, disamping itu proses dialisis itu sendiri

turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin pada akhir

pelaksanaan hemodialisis. Dalam hal ini, membran dialisis dapat merangsang

meningkatnya pelepasan sitokin. Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka

panjang akan terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding

dengan pasien PGK yang hanya diterapi konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar,

2006).

2.5 Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik

Pada pasien penyakit ginjal kronik, kematian tersering diakibatkan oleh

penyakit jantung vaskuler dengan mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai

gangguan serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler

(Amaresan.,2005 ; Sukandar, 2006; Razeghi E dkk, 2008 ).

Perubahan-perubahan faal ginjal ( LFG ), bersifat individual untuk setiap

pasien gagal ginjal kronik, lama terapi konservatif bervariasi, dari bulan sampai

tahun. Pada gambar di bawah ,akan terungkap Algoritme program terapi PGK.

Page 29: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Gambar 2.1 Algoritme Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik ( dikutip dari Sukandar, 2006 ) Pada pasien penyakit ginjal kronik, kematian tersering diakibatkan oleh

penyakit jantung vaskuler dengan mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai

gangguan serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler (Amaresan,

2005 ; Sukandar, 2006; Razeghi dkk., 2008 ).

Tabel 2.3 Mortalitas pasien yang menjalani dialisis PENYAKIT PROSENTASE 1. Jantung vaskuler

• Infark miokard • Gagal jantung kongestif • Henti jantung

2. Gangguan serebrovaskuler 3. Infeksi 4. Lain – lain

14 13 13 11 11 38

Sumber : (Sukandar, 2006)

Penyakit ginjal kronik

Penyakit ginjal terminal

Dialisis

Transplantasi

Konservatif

Hemodialisis CAPD

Meninggal

Berhasil Gagal

Page 30: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Pasien penyakit ginjal kronik memiliki resiko tradisional dan non tradisional

yang besar untuk PJV, tetapi mekanisme spesifik yang memediasi meningkatnya PJV

belum terdefinisikan dengan baik. Namun akhir-akhir ini, proses utama yang

menyebabkan aterosklerosis telah memasukkan inflamasi sebagai faktor yang

memperberat aterosklerosis., seperti terlihat pada gambar 2.2 (Stinghen dan Pecoits

F, 2007).

Sebelum dilakukan hemodialisis, pada pasien dengan uremia, inflamasi

kronis sering terjadi. Uremia yang berkaitan dengan inflamasi, menjadi penentu yang

menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit jantung vaskuler pada

hemodialisis. (Papagiani dkk,2003 ; Massy, 2005).

Ada tiga faktor penting yang berperan pada kerusakan vaskuler pada penyakit

ginjal kronis yaitu : ( 1 ).Faktor resiko yang klasik ( framingham ) diantaranya

hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok dan diabetes mellitus ; ( 2 ).Kelainan

yang terjadi pada penyakit ginjal kronis, diantaranya: uremia, sekunder

hiperparatiroid serta paparan pada bioincompabilitas membran dialisis serta cairan

dialisat tidak steril ;( 3 ).Faktor resiko yang muncul seperti hiperhomocysteinemia,

aktifitas simpatik yang meningkat serta akumulasi dari inhibisi endogen seperti

sintesis nitrit-oxide ( NO ), asimetric dimethylarginin ( ADMA ) (Tripepi, 2003).

Page 31: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Gambar 2.2 Menjelaskan patogenesis PJV pada pasien PGK

(dikutip dari Nolan, 2005)

Pada pasien dengan hiperuremia yang kronis yang disebabkan baik oleh

faktor-faktor renal maupun non renal, faktor -faktor resiko penyakit jantung dan

aterosklerosis saling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat pada

gambar 2.3 di bawah ini

Gambar 2.3 Faktor – faktor resiko atherosklerosis pada uremia (dikutip dari Santoro and Mancini, 2002 )

Page 32: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Pada gambar 2.4. dibawah ini, menjelaskan bahwa PGK menstimulasi

akumulasi toksin ureum, produksi ROS serta gangguan metabolisme mineral.

Sebagai akibatnya, semua itu akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik

seperti TNF-α dan IL-1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon

vaskuler ( MCP-1, IL-1β, ICAM-1 dan VCAM-1 ), yang nantinya akan

menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan

plak dan proses terjadinya aterosklerosis.

Proses terjadinya aterosklerosis diawali dengan kondisi toksik ureum yang

akan mengakibatkan diproduksinya ROS yang selanjutnya akan menstimulasi

diproduksinya sitokin-sitokin pro inflamasi seperti TNF-α dan IL-1. Sitokin ini

selanjutnya akan menstimulasi hepatosit mengeluarkan CRP. C reaktif protein ini

selanjutnya akan dapat mengakibatkan disfungsi endotel melalui beberapa jalur. Jalur

tersebut adalah : CRP merangsang turunnya produksi eNOS mRNA, selanjutnya

terjadi penurunan BCL-2 yang akan meningkatkan proses apoptosis endothel. CRP

akan menstimulasi NFKB dan Endotelin -1 yang selanjutnya akan memproduksi

sitokin pro inflamasi yang selanjutnya akan mengaktifkan endotel memproduksi

ICAM dan VCAM. Selanjutnya ICAM dan VCAM ini akan berikatan dengan

netrofil dan selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel.(Szmitko PE,2003)

Page 33: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Gambar 2.4 Menggambarkan proses terjadinya aterosklerosis

( dikutip dari Stinghen, 2007 )

2.6 C –Reactive Protein ( CRP )

C- reaktif protein merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan

protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons

imunitas nonspesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme yang membentuk

kompleks dan mengaktifkan Komplemen C3 jalur klasik ( Baratawidjaja, 2006 ).

Pengukuran CRP berguna untuk menilai aktivitas inflamasi. CRP dapat

meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan

bantuan Ca ++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilcolin yang

ditemukan pada permukaan bakteri/ jamur dan dapat mengaktifkan komplemen C3

( jalur klasik ). CRP juga mengikat protein C dari pneumokok dan berupa opsonin.

Interleukin-6 menstimulir hepatosit sehingga hepatosit akan mengekspresikan

hs-CRP. Hs-CRP menghambat enzim NO Synthase ( NOS ) sehingga produksi NO

berkurang. Hs-CRP mengaktifkan Nuclear Factor Kappa Beta ( NFKβ ) yang akan

Page 34: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

mengakibatkan ekspresi sitokin pro-inflamasi makin bertambah. Hs-CRP

merangsang endothel pembuluh darah menghasilkan ICAM, serta merangsang

reseptor AT-1R sehingga menghasilkan ROS, Vascular Endothelial Growth Factor

(VEGF) yang mengakibatkan restenosis pembuluh darah ( Malaponte G, 2002 ).CRP

merupakan suatu tanda ( marker ) dari proses inflamasi. Dari beberapa penelitian,

CRP memainkan peran langsung terhadap inflamasi vaskuler, kerusakan pembuluh

darah serta klinis PJV ( Zoccallo dkk.,, 2004 ). High sensitivity C-Reactive Protein

(hs-CRP) merupakan marker inflamasi yang sudah diakui dan dapat menjadi

prediktor kejadian PJV. Hs-CRP juga dapat digunakan untuk menilai perkembangan

penyakit jantung koroner dan gagal jantung ( Koenig, 2003 ).

High sensitivity C reaktif protein adalah ateriosklerogenik, maka apabila

kadarnya meningkat memudahkan terjadi kelainan aterosklerosis atau penyakit

jantung koroner. Kadar hs-CRP menurut Centers for Disease Control/ American

Heart Association (CDC/AHA) merupakan marker pilihan untuk stratifikasi resiko

PJV. Jika kadar hs-CRP >3 mg/l adalah high risk, hs-CRP 1-3 mg/l adalah

intermediate risk, sedangkan kadar hs-CRP <1 mg/l adalah low risk terhadap

penyakit jantung koroner (Shishehbor dan Bhatt, 2004; Guntur, 2007).

Page 35: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Kemampuan Memprediksi HCRP Terhadap Morbiditas danMortalitas Kejadian Kardiovaskuler

↓ eNOS mRNA

HCRP

IL-6

↓ NO

↓ BCL-2

↑ Apoptosis Endothel

NFkβ aktif

↑ ekspresi Sitokin

Sel Hepar

↑ ET-1

↑ ICAM

↑ VCAM

↑ MCP-1

↑ AT-1R

↑ ROS↑ VSM proliferasi↑ Restenosis

Disfungsi endothel

(Szmitko PE, 2003)

Gambar 2.5 Pengaruh hs-CRP terhadap disfungsi endotel dan produksi sitokin (dikutip dari Szmitko, 2003)

High sensitivity C reaktif protein juga dapat menunjukkan perkembangan

aterosklerosis melalui aktivasi komplemen C3, kerusakan jaringan dan aktivasi

endotelial sel (Koenig, 2003). Produksi hs-CRP oleh hepatosit terjadi secara perlahan

dalam 24 jam setelah acute tissue injury, yaitu setelah dilakukan hemodialisis dengan

membran selulosa selama 4 jam (Raka, 2008). Hal ini sama seperti penelitian

Schouten dkk, dimana pada pasien hemodialisis dengan mengunakan membran

Cuprophan didapatkan peningkatan kadar hs-CRP secara perlahan dan meningkat 24

jam setelah hemodialisis ( Schouten, 2000).

Page 36: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Gambar 2.6. C-reaktif protein (dikutip dari schouten, 2000)

2.7 Komplemen

Komplemen merupakan sistem imun tubuh humoral yang larut, berupa

protein dan berperan penting dalam pertahanan penjamu terhadap agen infeksi. Ada

sekitar 20 jenis protein yang berperan dalam aktifasi sistem komplemen. Sistem

komplemen terdiri atas kaskade protein plasma yang berperan penting dalam

imunitas dan inflamasi. Hal ini terutama berhubungan dengan fungsinya untuk

membentuk membrane attack complex (MAC) yang secara efektif membuat lubang

pada membran mikroba yang menginvasi (Mitchell dan Cotran, 2005 ).

Menurut Baratawidjaja fungsi komplemen secara terperinci adalah :

1. Membantu terjadinya inflamasi.

sebagai anafilatoksin C3a, C4a dan C5a meningkatkan permeabilitas vaskular

lokal melalui pelepasan histamin oleh sel mast dan atau sel basofil yang

mengalami degranulasi.

Page 37: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

2. Sebagai Kemokin.

C3a, C5a dan C5-6-7 merupakan kemokin ( zat yang dapat menarik dan

mengerahkan sel-sel fagosit ) baik mononuklear maupun polinuklear ke tempat

terjadinya infeksi.

3. Berperan dalam fagositosis opsonin

C3b dan C4b merupakan opsonin yaitu molekul yang dapat diikat di satu pihak

oleh partikel kuman dan di lain pihak oleh reseptornya pada fagosit.

4. Berperan dalam adherens imun.

C3b berfungsi dalam adherens imun yaitu fenomena melekatnya antigen pada

berbagai permukaan misalnya permukaan pembuluh darah sehingga memudahkan

untuk dilapisi antibodi.

5. Berperan dalam eliminasi kompleks imun.

C3a dan iC3b dapat diendapkan di permukaan kompleks imun dan merangsang

eliminasi kompleks imun.

6. Berperan dalam lisis osmotik bakteri.

Terbentuknya MAC oleh aktivasi komplemen secara keseluruhan akan

menimbulkan lisis osmotik sel atau bakteri.

7. Berperan dalam aktivitas sitolitik.

C3b bersama IgG dapat meningkatkan sitotoksisitas sel efektor antibody

dependent cell-mediated cytotoxicity ( ADCC ) karena reseptor kedua zat tersebut

terdapat pada eosinofil. polimorfonuklear. C8-9 juga dapat membentuk saluran-

saluran dan merusak membran sel.

Dalam keadaan normal, komplemen tidak aktif dan diaktifkan oleh berbagai

bahan seperti lipopolisakarida ( LPS ) bakteri. Hasil aktivasi tersebut bertujuan untuk

Page 38: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

memproteksi tubuh terhadap benda asing, namun sering juga menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh sendiri. Hasil aktivasi tersebut berupa mediator biologi

aktif atau enzim untuk reaksi berikutnya.( Baratawidjaja, 2006 ; Meyer, 2007).

Sistem komplemen, menurut Meyer ( 2007 ) diaktifkan oleh 3 jalur yaitu:

jalur klasik, jalur alternatif dan jalur lektin.

1. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik.

Kompleks imun antigen-antibodi mengaktifkan C1, yang kemudian

mengaktifkan C2, C4 dan selanjutnya mengaktifkan C3.

2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif..

Aktivasi jalur alternatif dimulai dari diaktifkannya C3. Jalur alternatif terjadi

tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik ( C1, C4 dan C2

). Jalur alternatif ini diaktifkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit, agregat IgA,

IgG4 dan faktor nefritik.

3. Aktivasi komplemen melalui jalur lektin.

Melalui mannan binding lectin ( MBL ) yang diikat oleh lektin hidrat arang

kuman untuk kemudian mengaktifkan C3.

Aktivasi komplemen tersebut dapat melalui 3 jalur yang berbeda, namun

selalu berakhir dengan diproduksinya C3. Proses hingga pada produksi C3 disebut

tahap awal aktivasi komplemen (Baratawidjaja, 2006). Namun justru pada tahap

inilah para ahli menyebut sebagai tahap penting karena merupakan tahap kritis dalam

mengelaborasi fungsi biologis komplemen (Mitchell dan Cotran, 2005). Tahap awal

tersebut berlanjut pada tahap lambat. Tahap ini dimulai dengan produksi C5a ( suatu

peptida yang merangsang inflamsi ) yang dirangsang oleh C3b. Komplemen akan

teraktivasi 1-2 jam setelah adanya acute tissue injury (Baratawidjaja, 2006).

Page 39: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Gambar 2.7 Aktivasi sistem Komplemen (dikutip Mitchell and Cotran, 2005 )

2.8. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan

tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme ( protein ) serta koreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat

melalui selaput membran semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan.

Komplemen yang teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi

yang disebut dengan bioincompatibilitas. Dimana proses ini tidak terlalu kuat bila

menggunakan membran sintetik yang mempunyai ukuran pori-pori yang besar yang

memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi, sehingga dapat

memudahkan molekul besar seperti solute uremia dibandingkan dengan membran

yang memiliki ukuran pori yang kecil (Boure T dan Vanholder R, 2004).

Beberapa zat terlarut ( solute ) seperti albumin, fibrin, β2-microglobulin,

komponen aktif komplemen, sitokin ( IL-1 dan TNF-α ) akan mengalami absorbsi ke

Page 40: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

dalam membran dializer selama berlangsungnya proses hemodialisis. Sebagian dari

zat terlarut ( solute ) tersebut akan dieliminasi dari darah. Proses absorbsi protein

tergantung dari sifat hidrofobik membran. (Sukandar, 2006).

2.9. Kortikosteroid

Glukokortikoid dihasilkan dari glandula adrenal, mempunyai banyak fungsi

metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan elektrolit. Dapat memperbaiki

gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi kausalis. Mempunyai efek

terhadap inflamasi-alergi berupa menekan aktivitas hiperreaktivitas tipe I, III dan IV.

Mempunyai peran baik terhadap reaksi alergi dan inflamasi (Guntur, 2004).

Kortisol dan analog sintetisnya dapat mencegah atau menekan timbulnya

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini

umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat radang.

Secara mikroskopis obat ini kecuali menghambat fenomena inflamasi dini udem,

deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas

fagositosisnya, juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut

( proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatrik )

(Guntur, 2004).

Glukokortikoid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Kortisol

menghambat transkripsi pengkodean gen sitokin pro inflamasi dengan cara

menurunkan aktivitas nuclear factor kappa (NF-кB) sebagai hasilnya, kortikosteroid

akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin pro inflamasi (Rhen dan

Cidlowski, 2005).

Meskipun efek anti inflamasi kortikosteroid terutama disebabkan oleh

penekanan sintesis sitokin pro inflamasi, sebagian efek juga disebabkan peningkatan

Page 41: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

produksi sitokin anti inflamasi seperti IL-10. Glukokortikoid menyebabkan

pergeseran dari respon Th1 ke respon Th2, dimana akan terjadi peningkatan produksi

IL-4, IL-10 dan IL-13 (Ramirez, 1996).

Glukortikoid mengurangi reaksi inflamasi dengan menurunkan ekspresi

molekul adhesi, menekan pengeluaran enzim proteolisis dan menghambat aktivitas

cyclo-oxygenase dan sintesis nitric oxide. Penghambatan sintesis nitric oxide dan

aktivitas cyclo-oxygenase 2 tidak hanya menurunkan regulasi reaksi inflamasi tetapi

juga memiliki efek positif pada hemodinamik dengan mengurangi produksi

vasodilator dan faktor pro-koagulan. Aksi utama glukokortikoid selama respon stres

dapat dilihat pada tabel 2 (Marik dan Zaloga, 2002).

Bila glukokortikoid digunakan untuk masa kerja yang singkat ( kurang dari 1

minggu ) maka jarang terjadi efek samping yang serius. Bila diberikan untuk waktu

beberapa bulan atau tahun, timbul supresi adrenal, sedangkan pemberian dengan

dosis harian 100 mg kortisol atau lebih selama lebih dari 2 minggu akan terjadi

sindroma Cushing iatrogenik (Medrol, 2005).

2.9.1 Steroid dalam tubuh

Secara konvensional aktivasi produksi kortisol timbul melalui aktivasi

corticotropin releasing hormon-adrenocorticotropic hormon (CRH-ACTH). CRH

hipotalamus mengaktifasi kelenjar pituitari untuk mengeluarkan ACTH yang

selanjutnya akan memacu kortek adrenal untuk memproduksi kortisol dan

dehydroepiandrosterone. Sekresi CRH terjadi secara pulsatif dan ini diikuti oleh

pengeluaran ACTH secara pulsatif. Sistem simpatis susunan syaraf pusat akan

menstimulasi hipotalamus untuk memproduksi CRH (Marik dan Zaloga, 2002).

Page 42: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek adrenal pada orang

sehat tanpa stress mempunyai kadar diurnal sesuai dengan rangsangan kortikotropin

yang disekresi oleh kelenjar pituitaria. Sekresi kortikotropin dirangsang oleh

Corticotropin Releasung Hormon (CRH), di mana <10% dalam bentuk bebas. Pada

keadaan infeksi berat/sepsis, trauma, luka bakar, dan operasi akan terjadi

peningkatan sekresi kortisol akibat peningkatan sekresi hormon kortikotropin dan

CRH . Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga variasi diurnal sekresi

kortisol tidak normal. Gangguan pada mekanisme aksis hipotalamus-pituitari-adrenal

dikatakan disebabkan oleh banyaknya sitokin di dalam sirkulasi pada keadaan

tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan corticosteroid-binding globulin

(CBG) sehinggga kortisol bebas akan semakin tinggi.

Proses inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan kortisol oleh

enzim neutrofil elastase. Sitokin pro inflamasi juga dapat meningkatkan kortisol di

jaringan karena sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan

meningkatkan afinitas reseptor glukokortikoid terhadap kortisol. Tetapi tingginya

kadar sitokin inflamasi pada sepsis secara langsung dapat menghambat sintesa

kortisol oleh adrenal. Pemberian terapi kortikosteroid jangka lama dapat menekan

sekresi kortikotropin dan CRH akan menimbulkan atropi adrenal terutama jika

diberikan hidrokortison 30 mg sehari selama lebih dari 3 minggu. Pada keadaan

kadar sitokin yang rendah dalam darah, jaringan akan lebih sensitif terhadap kortisol

dibandingkan dengan keadaan sitokin tinggi yang akan menyebabkan resistensi. Hal

ini menandakan perlunya respon adrenal yang normal untuk dapat mengontrol

inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai functional adrenal insufficiency atau relative

adrenal insufficiency artinya walaupun kadar kortisol tinggi tetapi belum cukup

Page 43: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

untuk menekan proses inflamasi (Marik dan Zaloga, 2002 ; Cooper dan Stewart,

2003).

Keadaan critical illness juga dapat menyebabkan gangguan respon dari

kortisol. Keadaan tersebut disebabkan adanya gangguan dari aksis hipotalamus-

pituitari-adrenal, sehingga terjadi insufisiensi kortisol. Sintesis kortisol pada adrenal

dapat mengalami kekurangan, hal ini disebabkan adanya infark pituitary, perdarahan

adrenal, septikaemia dan sepsis. Pada keadaan sepsis dimana terjadi peningkatan

sitokin pro-inflamasi, dapat menghambat sintesis kortisol dari adrenal (Guntur,2008).

Tes untuk menentukan terdapat respon atau tidak ada respon dilakukan tes

dengan memberikan 250 µg kortikotropin stimulasi dan diabsorbsi selama 30-

60menit. Apabila terjadi peningkatan berarti masih dalam keadaan refrakter, tetapi

sebaiknya penggunaan steroid tidak perlu menunggu hasil tes tersesbut (Cooper dan

Stewart, 2003) Tes untuk menentukan terdapat respon atau tidak ada respon

dilakukan tes dengan memberikan 250 µg kortikotropin stimulasi dan diabsorbsi

selama 30-60 menit.Apabila terjadi peningkatan berarti masih dalam keadaan

refrakter, tetapi sebaiknya penggunaan steroid tidak perlu menunggu hasil tes

tersebut (Cooper dan Stewart, 2003).

Tabel 2.4 Aksi Glukokortikoid Selama Respon Stres Efek Kardiovaskuler

- Menjaga tonus vaskluer - Mengatur permeabilitas vaskuler - Meningkatkan sensitifitas vaskuler terhadap katekolamin - Mengatur pengeluaran kalium dan potasium

Page 44: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

- Mengatur pengeluaran air - Meningkatkan sintesis dan afinitas reseptor β adrenergik

Efek Anti Inflamasi

- Mengurangi produksi sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6) - Meningkatkan sintesis sitokin anti inflamasi (IL-10, IL-Ira) - Menurunkan ekspresi molekul adhesi - Menghambat sintesis kemokin - Menghambat sintesis phospholipase A2 - Menghambat sintesis cyclooxygenase-2 - Menghambat sintsesis nitric oxide Synthase

Efek Metabolik

- Menstimulasi glukoneogenesis - Menghambat ambilan glukosa di jaringan perifer - Menstimulasi glikogenolisis di hepar - Aktivasi proses lipolisis

Dikutip dari : (Marik dan zaloga, 2002)

Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah

mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi

sitokin pro inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti

cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Anane dan Caillon,

2003).

Kortikosteroid mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah jalur.

Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi prostaglandin melalui (i)

induksi dan aktivasi annexin-1, (ii) induksi MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan

transkipsi cyclooksigenase-2. Kortikostreroid juga dapat menghambat produksi

sitokin-sitokin pro inflamasi melalui penghambatan aktivasi NFKB. ( Rhen dan

Cidlowski,2005 )

Page 45: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

MDMD--22CD14CD14

LPS LPS bpbp

TLR4TLR4

My D88My D88

TRAF6TRAF6IRAKIRAK

NFNF--KKBB

ENDOTOKSINENDOTOKSIN

MMΦΦTarget Genes

TNF-αIL-6 IL-12

IL-1IL-8CYTOKINES

Guntur,2008;Sepsis Forum

TGFβ-1

- Insulin Treatment- Metformin- Low dos Kortikosteroid

- Statin- Oestrogen

Gambar 2.8 Titik tangkap steroid dosis rendah pada inflamasi (dikutip dari : Guntur, 2008) Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi respon inflamasi

sistemik, sebagai vasopresor, menghambat produksi sitokin pro inflamasi,

menghambat produksi mediator-mediator pro inflamasi, dan menurunkan adhesi

leukosit ke endotel (Anane dan Cailon, 2003). Selain itu penggunaan kortikosteroid

mampu menurunkan ekspresi IL-6 dan iNOS sebagai pemicu apoptosis yang

diinduksi oleh sejumlah rangsangan inflamasi (Sorrels dan Sapolsky, 2007;Roth dan

Hanspeter, 2004), sehingga kortikosteroid dosis rendah akan menghambat ekspresi

NF-KB maupun caspase (Szabo dkk., 2002).

Dalam hubunganya dengan apoptosis, kortikosteroid menunjukkan efek

berupa penekanan maupun potensiasi terhadap proses apoptosis. Kortikosteroid yang

dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis timosit (Moran dkk.,

Page 46: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

2005), yang dimediatori oleh induksi caspase-9 (Oberholzer dkk., 2001). Sebaliknya

kortikosteroid mempunyai efek anti apoptosis pada netrofil, sel epitel, dan fibroblas (

Moran dkk., 2000 ).

Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi

paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat.

Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai

penyakit, bahkan sering disebut live saving drug, tetapi juga mungkin menimbulkan

reaksi yang tidak diingini. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar

evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang

terjadi masking efek, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di

dalam masih terus menjalar (Guntur, 2004).

2.9.2 Metilprednisolon

Metiprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai kelebihan

sebagi anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih sedikit bila

dibandingkan dengan steroid yang lain. Efek retensi air dan sodium sangat minimal,

efek samping iritasi lambung juga minimal. Metilprednisolon dimetabolisme di

dalam hepar menjadi metabolit inaktif yaitu 20B-hydroksimethylprednisolon dan

20B-hydroksi-6a methylprednisolone (Medrol, 2005).

Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan

membentuk kompleks dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Kompleks tersebut

kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA dan menstimulasi rekaman

Page 47: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan

bertanggungjawab pada efek sistemik adrenokortikoid (Medrol,2005).

Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan

leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis,

pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia

inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap,

kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF),

menghambat lokalisasi makrofag, reduksi atau dilatasi permeabilitas vaskuler yang

terinflamasi, dan mengurangi lekatan lekosit pada endotelium kapiler, menghambat

pembentukan oedem dan migrasi leukosit serta meningkatkan sintesis lipomodulin (

macrocortin ), suatu inhibitor fosfolipase A2, memediasi pelepasan asam arakidonate

dari membran fosfolipid (Medrol,2005).

Methylprednisolon mempunyai waktu paruh 6-12 jam di dalam darah, dan

mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan. Pemberian dosis

metillprednisolon dibagai dalam 2 kategori yaitu dosis tinggi diberikan dengan dosis

> 62,5 mg perhari atau setara dengan hidrocortison >300 mg perhari. Dosis rendah

diberikan dalam < 62,5 mg perhari atau setara dengan hidrocortison <300 mg perhari

(Anane, 2007 ).

Tabel 2.5 Perbandingan dosis akivalen kortikosteroid sistemik

Nama Potensi antiinflamasi relatif Dosis ekivalen (mg)

Hidrokortison 1 20 Kortison 0,8 25 Prednison 4 5

Page 48: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Metilprednisolon 5 4 Prednisolon 5 4 Deksametason 20-30 0,75

Sumber : (Medrol, 2005)

Metilprednisolone dalam dosis sedang dan diberikan dalam waktu kurang

dari 2 minggu , tidak akan menimbulkan efek samping secara umum. Sedangkan

pemberian dalam dosis besarpun dan diberikan dalam waktu lebih dari 2 minggu,

tidak akan menimbulkan efek retensi natrium seperti glukokortikoid lainnya (Medrol,

2005).

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

Page 49: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

3.1 Kerangka Konseptual

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan

fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal ( Suwitra ,2006).

Hemodialisis merupakan merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan

yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme ( protein ) dan

memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen

ginjal buatan (Rahardjo dkk., 2006).

Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen

aktif komplemen serta sitokin ( IL-1 dan TNF-α ) akan mengalami absorbsi ke

dalam membran dializer selama proses hemodialisis dan sebagian dari zat tersebut

akan dieliminasi dari darah (Sukandar, 2006).

Pada PGK, toksik uremik akan mengakibatkan perubahan phenotipe sel-sel

endotel dan akan meningkatkan produksi ROS serta gangguan metabolisme mineral.

Sebagai akibatnya, semua itu akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik

seperti TNF-α dan IL-1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon

vaskuler ( MCP-1, IL-1β, ICAM-1 dan VICAM-1 ), yang nantinya akan menyebabkan

stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak dan proses

terjadinya aterosklerosis. Hemodialisis akan merangsang produksi sitokin pro

inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. IL-6 akan merangsang pembentukan hs-

CRP, yang nantinya akan mengaktifkan sistem komplemen. Komplemen yang

teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi yang disebut dengan

bioinkompatibilitas (Boure dan Vanholder, 2004 ; Stinghen dan Pecoits-F, 2007).

Page 50: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Kortisol dan analog sintetisnya dapat mencegah atau menekan timbulnya

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini

umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat radang.

Secara mikroskopis obat ini kecuali menghambat fenomena inflamasi dini udem,

deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas

fagositosisnya, juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut (

proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatrik )

(Guntur, 2005).

Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah

mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi

sitokin pro inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti

cyclooksigenase-2,menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Anane dan Caillon,

2003).

Kortikosteroid mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah jalur.

Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi prostaglandin melalui (i)

induksi dan aktivasi annexin-1, (ii) induksi MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan

transkipsi siklooksigenase-2. Kortikostreroid juga dapat menghambat produksi

sitokin-sitokin pro inflamasi melalui penghambatan aktivasi NFKappa Beta (Rhen

dan Cidlowski, 2005 ).

Page 51: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

1. : meningkatkan

2. : menurunkan

3. : menghambat

4.Ag – Ab : Antigen – Antibodi

Hemodialisis

Ag - Ab

IL- 6 IL -1β TNF - α

Hepatosit

Menurunkan Meningkatkan

Gagal Ginjal

Bio-inkompatibilitas Membran dialisis

Kontaminasi cairan dialisat

Lose dialiser

Makrofag

Hs-CRP

methylprednisolon

Komplemen

MBL

Page 52: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

5.TNF – ά : Tumor Necrosis Factor- alpha

6. IL-1β : Interleukin- 1 beta.

7. IL-6 : Interleukin – 6

8. Hs- CRP : High sensitivity C-Reactive Protein.

3.2. Hipotesis Penelitian

3.2.1 Ada perbedaan kadar hs-CRP pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah sebelumnya diberikan metilprednisolon dosis rendah

3.2.2 Ada perbedaan kadar complement C3 pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah sebelumnya diberikan metilprednisolon dosis rendah

Page 53: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Eksperimen dengan Randomisasi

Randomized ControlTrial ( RCT )

4.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisa RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

4.3 Populasi Sampel

4.3.1 Populasi sasaran : Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik stadium V

4.3.2 Populasi sumber : Pasien Penyakit gagal Ginjal Kronik stadium V yang telah

melakukan hemodialisis selama 3 bulan sampai 5 tahun sebanyak seminggu sekali di

unit Hemodialisa RSUD DR Moewardi Surakarta.

4.3.3 Populasi sampel : Diambil acak pada semua pasien Penyakit Gagal

Ginjal Kronik stadium V yang telah menjalani hemodialisis selama 3 bulan sampai 5

tahun seminggu sekali di Unit Hemodialisa RS Dr. Moewardi surakarta, dan

bersedia diambil darahnya untuk penelitian.

4.4 Besar Sampel

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pendahuluan sederhana

dengan menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah

anggota sampel ditentukan masing-masing antara 10 s/d 20 (Dahlan, 2005 ;

Sugiyono 2009). Dalam penelitian ini diambil sampel 30 orang dengan pembagian

15 orang mendapatkan perlakuan dengan metilprednisolon dan 15 orang tanpa

perlakuan.

Page 54: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

4.5 Identifikasi Variabel

4.5.1 Variabel tergantung :

1. hs-CRP

2. Komplemen C3

4.5.2 Variabel bebas : metilprednisolon dosis rendah, hemodialisis

4.6. Definisi Operasional

4.6.1 Penderita Gagal Ginjal Kronik stadium V :

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

- Kelainan patologis - Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test) 2.Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Stadium V : bila Laju Filtrasi Glomerulus < 15, penderita mengalami penyakit

gagal ginjal kronik tanpa melihat penyebabnya, penderita sudah menjalani

hemodialisis selama minimal 3 bulan sampai 5 tahun dengan waktu seminggu

sekali.

4.6.2 Hemodialisis : Alat Hemodialisis yang digunakan adalah

dializer dari Nipro dengan model no. FB- 110T dengan spesifikasi :

Sterilisasi Bahan Diameter lubang Ketebalan Permukaaan efektif Panjang efektif Volume tampung darah

EOG Cellulose Asetat 200 µm 15 µm 1,1 m2 200 mm 75 mL

Hemodialisis dilakukan selama 4 jam

Page 55: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

4.6.3 hs-CRP : Kadar hs-CRP diukur dari darah responden yang diambil sesaat

setelah hemodialisis 4 jam, dan dilakukan pengukuran dengan metode

chemiluminescent di laboratorium prodia surakarta.

4.6.4 Komplemen C3: Kadar komplemen C3 diukur dari darah responden yang

diambil sesaat setelah hemodialisis 4 jam, dan dilakukan pengukuran dengan metode

imunoturbidimetri di laboratorium prodia surakarta.

4.6.5. Steroid : Digunakan metilprednisolon dosis rendah ( 60 mg ) bolus IV 3-5

menit sebelum hemodialisis

4.7. Waktu

Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 3 bulan.

4.8. Biaya

Biaya penelitian diperkirakan lebih kurang Rp.12.000.000,-

4.9. Cara Kerja

Subyek penelitian diberikan inform consent. Subyek dibagi dua kelompok

dengan cara diundi memakai gulungan kertas bertuliskan angka 1-30. Satu kelompok

( yang berangka genap ) mendapatkan perlakuan dengan metilprednisolon, dan

kelompok yang lain ( berangka ganjil ) tidak mendapatkan perlakuan. Kelompok

yang tidak mendapat perlakuan, 3-5 menit sebelum dilakukan hemodialisis diambil

sampel darahnya, kemudian diperiksa kadar hs-CRP dan kadar komplemen C3. 4 jam

setelah hemodialisis, diambil kembali sampel darahnya dan dilakukan pemeriksaan

kadar hs-CRP dan komplemen C3. Kelompok yang mendapatkan perlakuan, 3-5

menit sebelum dilakukan hemodialisis, diambil sampel darahnya untuk diperiksa

kadar hs-CRP dan komplemen C3, kemudian diberikan injeksi metilprednisolon 60

mg Intra vena bolus kemudian menjalani hemodialisa. 4 jam setelah hemodialisis

Page 56: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

berakhir, diambil sampel darahnya untuk diperiksa kadar hs-CRP dan kadar

komplemen C3.

1. Prinsip pemeriksaan hs-CRP ( Metode Imunochemiluminescent ): Sampel yang

telah diencerkan, ligand berlabel antibodi monoclonal anti CRP dimasukkan ke

dalam test unit yang mengandung anti ligand, dan diinkubasi selama 30 menit

pada suhu 37 C dengan sesekali pengocokan. Selama pengocokan, CRP dalam

sampel membentuk kompleks sandwich antibodi yang berikatan dengan anti

ligand pada fase padat. Konjugat yang tidak berikatan dibuang pada pencucian

berputar, kemudian ditambahkan substrat dan test unit diinkubasi selama 10 menit.

Substrat chemiluminescent, ester phosphate dari adamantyldioxetan, mengalami

hidrolisis dengan adanya alkaline phosphatase menghasilkan emisi cahaya yang

terus menerus, jadi memperbaiki presisi dengan menyediakan jendela pembacaan

multipel. Ikatan kompleks dan photon yang dihasilkan, diukur dengan

luminometer sebanding dengan konsentrasi CRP dalam sampel.

2. Prinsip pemeriksaan C3 ( Metode PEG enhanced immunoturbidimetric ) : Sampel

direaksikan dengan antibodi yang mengandung antibodi spesifik terhadap

komplemen C3. Hasil kekeruhan larutan diukur pada panjang gelombang 340 nm

yang sebanding dengan konsentrasi C3 sampel. Dengan pembentukan kurva

standart dari absorbant standart, konsentrasi C3 dari sampel dapat ditentukan.

Page 57: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Gambar 4.1 Diagram alur pemeriksaan hs-CRP dan C3

4.10 Desain analisis statistik

Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistik

menggunakan SPSS.13 for windows dengan uji beda mean dengan Uji t untuk

menilai kemaknaan perbedaan mean antara kadar hs- CRP dan Komplemen C3 pada

pasien PGK stadium V pasca hemodiálisis tanpa pemberian metilprednisolon

dibandingkan dengan kadar hs- CRP dan Komplemen C3 pada pasien PGK stadium

V pasca hemodiálisis dengan pemberian methylprednisolon.

Page 58: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

4.11 Alur Penelitian

Gambar 4.2 Alur Penelitian

Penderita Penyakit Ginjal Kronis st V

Sampel darah pre hemodialisa

Injeksi metilprednisolon sesaat sebelum HD

Sampel darah pasca Hemodialisis

Hasil

Tanpa steroid

Page 59: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

BAB 5 HASIL

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 5.1. Perbandingan jenis kelamin kedua kelompok

NO VARIABEL PERLAKUAN KONTROL ANALISIS n % n % VALUE p

1 JENIS KELAMIN 19 100.00 11 100.00 Laki-laki 8 53,33 11 73,33 X2=1.292 0.256 Perempuan 7 46,66 4 26,66

Keterangan : Perbandingan variabel kategorik kedua kelompok dengan Uji Chi Square atau alternatifnya.

Dalam penelitian ini menggunakan sampel penderita CKD stage V yang

telah menjalani Hemodialisis selama 3 bulan sampai 5 tahun. Didapatkan subyek

penelitian sebanyak 30 orang yang kami bagi dalam 2 kelompok, masing-masing

kelompok terdiri dari 15 orang. Satu kelompok mendapatkan perlakuan dengan

metilprednisolon dosis rendah, dan kelompok yang lain tidak mendapatkan

perlakuan. Dalam tabel 5.1 tampak bahwa 15 orang kelompok perlakuan terdiri dari

8 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Sedangkan dari kelompok kontrol terdiri

dari 11 laki-laki dan 4 orang perempuan. Dari tabel 5.1 tampak bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna secara statistik mengenai jenis kelamin antara 2 kelompok

yaitu p = 0,256.

Page 60: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Tabel 5.2. Perbandingan umur kedua kelompok

VARIABEL PERLAKUAN KONTROL ANALISIS

rerata SD rerata SD VALUE p

Umur (tahun)

45,67

9,56

46,73

14,19

t=-1,292

0,256

Pada tabel 5.2 tampak bahwa rata-rata umur pada kelompok perlakuan adalah

45,67 ± 9,56, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 46,73 ± 14,19 dengan hasil

uji statistik didapatkan p = 0,256. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang bermakna

pada umur kedua kelompok penelitian.

Tabel 5.3. Perbandingan awal variabel antara kelompok perlakuan dan kontrol

VARIABEL PERLAKUAN KONTROL ANALISA

Rerata SD Rerata SD Hasil Uji P

TDS TDD Nadi Suhu Respirasi Hemoglobin Lekosit Albumin GDS

165,33 92,00 82,13 35,63 20,53 8,63 6,18 4,03

135,87

19,59 12,65 7,31 0,36 1,60 1,26 1,33 0,27

75,24

153,33 92,00 80,80 35,68 20,53 9,29 6,81 3,81

110,40

34,78 18,59 10,56 0,35 1,77 2,35 2,12 0,41

26,93

Z=-1,520 Z =-0,043 t =0,402 t = -0,416 Z= -0,162 t = -0,959 t = -2,458 Z=-2,179 t = 1,745 Z=-0,560

0,129 0,967 0,690 0,681 0,902 0,343 0,346 0,092 0,575

Keterangan : Membandingkan nilai awal variabel kedua kelompok penelitian dengan menggunakan Uji t tidak berpasangan bila memenuhi syarat atau uji alternatifnya (Uji Mann Whitney). Pada tabel 5.3 tampak bahwa dari semua variabel yang diperiksa tidak ada

yang berbeda bermakna pada awal penelitian kedua kelompok. Ini berarti proses

randomisasi yang dilakukan menyebabkan penyebaran yang merata pada kedua

kelompok.

Page 61: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

5.2. Hasil hs-CRP dan komplemen C3 kedua kelompok

Tabel 5.4 Perbedaan sebelum dan sesudah HD kelompok kontrol

VARIABEL PRETES POSTES ANALISA

Rerata SD Rerata SD Hasil Uji p hsCRP C3

15.01 90.53

22.90 17.13

18.05

101.80

25.53 14.36

Z=-3,411 t =-3.706

0,001* 0,002*

Keterangan : Membandingkan variabel numerik kelompok perlakuan dengan menggunakan Uji t berpasangan bila memenuhi syarat atau uji alternatifnya (Uji Wilcoxon). *) Terdapat perbedaan yang bermakna nilai pretes dengan postes variabel hsCRP dan C3 pada kelompok Kontrol

Kadar hs-CRP dan C3 pada kelompok kontrol antara pre hemodialisa

dibandingkan pasca hemodialisa menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tampak

pada tabel 5.4 kadar hs-CRP dan C3 menunjukkan terdapat perbedaan berupa

peningkatan hasil antara pre hemodialisa dan pasca hemodilaisa yang bermakna

dengan p = 0,001 untuk hs-CRP dan p = 0,02 untuk C3.

Tabel 5.5 Perbedaan sebelum dan sesudah HD kelompok perlakuan

VARIABEL PRETES POSTES ANALISA

Rerata SD Rerata SD Hasil Uji p hsCRP C3

2.48 92.40

1.77 22.13

2.50 88.8

1.79 19.67

t=-0.232 t=3.154

0,820

0,007*

Keterangan : Membandingkan variabel numerik kelompok perlakuan dengan menggunakan Uji t berpasangan bila memenuhi syarat atau uji alternatifnya (Uji Wilcoxon). *) Terdapat perbedaan yang bermakna nilai pretes dengan postes variabel C3 pada kelompok Perlakuan

Page 62: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Sedangkan pada tabel 5.5 tampak bahwa pada kelompok perlakuan terdapat

perbedaan peningkatan hasil dari pre hemodialisa dan pasca hemodialisa yang sangat

sedikit. Dari hasil analisa statistik didapatkan peningkatan hs-CRP yang tidak

bermakna dengn p = 0,820. Sedangkan pada C3 terjadi penurunan yang bermakna

dngan p = 0,007.

Tabel 5.6 Perbedaan variabel selisih postes-pre test ( delta ) antara kelompok perlakuan dan kontrol

VARIABEL PERLAKUAN KONTROL ANALISIS Rerata SD Rerata SD VALUE p

hsCRP Pretes 2.48 1.70 15.01 22.90 Z=-1.599 0.110 hsCRP Postes

2.50

1.79

18.05

25.53

Z=-2.263

0.023*

C3 Pretes 92.40 22.13 90.53 17.13 t=0.258 0.798 C3 Postes

88.8

19.67

101.80

14.36

t=-2.047

0.048*

Delta hsCRP 0.02 0.37 3.04 4.08 Z=-3.239 0.001* Delta C3 3.60 4.42 -11.27 11.77 Z=-4.177 0.000* Keterangan :Membandingkan variabel numerik kedua kelompok penelitian dengan menggunakan Uji t tidak berpasangan bila memenuhi syarat atau uji alternatifnya (Uji Mann Whitney). *) Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kontrol pada variabel : hsCRP Postes, C3 Postes, Delta hsCRP dan Delta C3.

Tabel 5.6 menunjukkan perbedaan selisih ( delta ) antara kelompok perlakuan

dan kontrol. Pada tabel tersebut tampak bahwa delta hs-CRP, walaupun sama-sama

meningkat antara kelompok perlakuan dan kontrol, tetapi terdapat perbedaan

peningkatan yang signifikan antara kedua kelompok dengan p = 0,001. Kadar C3

tampak pada tabel tersebut, pada kelompok perlakuan didapatkan penurunan,

sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan peningkatan dengan hasil analisa

statistik berbeda bermakna dengan p = 0,000.

Page 63: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Diagram 5.1 dan 5.2 memperjelas bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara kelompok kontrol dan perlakuan pada pre dan pasca hemodialisa, baik kadar

hs-CRP maupun kadar C3.

Gambar 5.1 Perbedaan rata-rata hs-CRP sebelum dan sesudah HD kedua kelompok

a) Perbedaan mean hs-CRP kelompok kontrol sebelum dan sesudah HD (p = 0,001)

b) Perbedaan mean hs-CRP kelompok perlakuan sebelum dan sesudah HD ( p = 0,820 )

Page 64: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

Gambar 5.2 Perbedaan rata-rata C3 sebelum dan sesudah HD kedua kelompok

a) Perbedaan mean C3 kelompok kontrol sebelum dan sesudah HD ( p = 0,002 )

b) Perbedaan mean C3 kelompok perlakuan sebelum dan sesudah HD ( p = 0,007 )

Page 65: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Gambar 5.3 Perbedaan selisih post test-pre test ( delta ) kedua kelompok

a) Perbedaan selisih nilai hs-CRP kelompok kontrol dan perlakuan ( p = 0,001 )

b) Perbedaan selisih nilai C3 kelompok kontrol dan perlakuan ( p = 0,000 )

Page 66: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Hasil Utama

Pada data awal penelitian didapatkan penyebaran yang merata pada kedua

kelompok penelitian tentang beberapa faktor yang bisa mengganggu hasil penelitian

( tabel 5.1, tabel 5.2, tabel 5.3 ). Data tersebut meliputi jenis kelamin didapatkan

tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok ( p = 0,256 ), artinya

penyebaran laki-laki dan perempuan merata secara statistik pada kedua kelompok (

Tabel 5.1 ). Begitu juga sebaran umur, tampak pada tabel 5.2 didapatkan umur rata-

rata pada kelompok perlakuan adalah 45,67 ± 9,56, dan pada kelompok kontrol

adalah 46,73 ± 14,9. Dengan menggunakan uji t didapatkan hasil tidak ada perbedaan

yang signifikan antara kedua kelompok ( p=0,256 ). Pada tabel 5.3 tampak beberapa

faktor yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian, meliputi tekanan darah,

nadi, suhu, respirasi, pernafasan, hemoglobin, lekosit, albumin, dan gula darah juga

telah tersebar merata pada kedua kelompok penelitian, dengan menggunakan uji t

didapatkan perbedaan yang tidak signifikan secara statistik dengan nilai p<0,005

untuk semua faktor.

Tidak semua faktor perancu kami periksa, karena terdapat banyak sekali

faktor perancu yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian. Beberapa faktor

pada tabel 5.3 hanya sebagian faktor perancu yang diketahui, dan ternyata dengan

randomisasi menjadi tersebar merata pada kedua kelompok. Dengan tehnik

randomisasi, secara statistik semua faktor perancu baik yang diketahui maupun tidak

diketahui diharapkan akan tersebar merata pada kedua kelompok. Sehingga tehnik ini

Page 67: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

bisa dipakai untuk menyingkirkan semua faktor perancu dari saat penentuan desain

penelitian.

Tehnik Eksperimen dengan Randomisasi ( Randomized ControlTrial / RCT )

kami pilih karena tehnik ini merupakan standar baku penelitian eksperimen, yang

bisa mengeneralisasikan hasil penelitian, sehingga hasil yang didapat pada penelitian

ini bisa dipakai pada semua pasien penyakit ginjal kronik. Selain itu, dengan tehnik

ini bisa mengabaikan semua faktor perancu baik yang diketahui maupun yang tidak

diketahui. Pemberian metilprednisolon pada pasien penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa ini sangat banyak faktor perancunya yang tidak mungkin

kami singkirkan semua.

Pada tabel 5.4 tampak bahwa pada kelompok kontrol didapatkan hasil

peningkatan kadar hs-CRP maupun C3 yang signifikan pasca hemodialisa. Untuk hs-

CRP didapatkan data pre hemodialisa dengan rata-rata 15,01 dan pasca hemodialisa

dengan rata-rata 18,05 dengan p = 0,001. Sedangkan kadar komplemen C3

didapatkan pre hemodialisa dengan rata-rata 90,53 dan pasca hemodialisa didapatkan

101,80 dengan p = 0,002. Ini memperlihatkan bahwa proses hemodialisa memang

meningkatkan kadar hs-CRP sesuai dengan referensi dari banyak sumber.

Penelitian ini menggunakan membran dialisis selulosa diasetat. Menurut

Pastan dan Balley, selulosa adalah suatu membran dialisis semi sintetik tipe low flux

atau memiliki pori - pori membran kecil yang mampu untuk menahan sel sel darah

dan plasma protein (Pastan dan Balley, 1998).

Page 68: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Saat berlangsungnya proses hemodialisis, komplemen akan mengalami

aktivasi. Proses aktivasi komplemen ini disebabkan oleh :

1. Permukaaan membran selulosa dilapisi oleh gugus hydroxyl yang

merupakan suatu radikal bebas.

2. Bahan selulosa mengandung Limulus Amobocyte-Lysate-Reactive-Material

(LALRM). Saat hemodialisis berlangsung terjadi proses bioinkompatibilitas

dimana darah yang mengalami kontak langsung dengan kedua zat ini akan

mengaktifkan sistem komplemen dan dapat merangsang pelepasan mediator

inflamasi seperti sitokin (IL-1, IL-6, TNF-α), reactive oxygen species (ROS), dan

nitric oxide (NO) (Pastan dan Balley, 1998; Lonnemann dan Koch, 2002; Ortega

dan Fornoni, 2010). Bioinkompatibilitas adalah kemampuan dari membran

dialisis untuk mengaktifkan komplemen (Singh dan Brenner, 2006). Ada

beberapa tipe membran dialisis yang pada saat ini sudah umum digunakan pada

proses hemodialisis seperti dijelaskan pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Tipe Membran Dialisis

Membrane type Example Membrane Name

High or Low Flux

Bio- Compati bility

Cellulose SemisyntheticCellulosederivatives Cellulose diacetate Cellulose triacetate Diethylaminoethyl-substitued Acetate Synthetic polymer Polyacrylonithril methalylsulfomic Copolymer Polyacrylonithril methacryl Copolymer Polymethylmetacrylate Polysulfone

Cuphrophane Cellulose-acetate Cellulose triacetate Hemophane PAN/AN 29 PAN PMMA Polusulfone

Low High/Low High High High High High/Low High

-

+ ++ +

++

++

++ ++

(Dikutip dari Pastan dan Balley, 1998)

Page 69: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

3. Kontaminasi cairan dialisis.

Cairan dialisis dapat mengalami kontaminasi misalnya dari air pada water

treatment, sehingga dapat terjadi infeksi dan menimbulkan reaksi inflamasi.

Kontaminasi cairan dialisis dengan bakteri dan endotoksin lipopolysaccharide

(LPS) akan menyebabkan efek klinik yang berhubungan dengan aktivasi sistem

komplemen (Sukandar,2006). Menurut Association for the Advancement of

Medical Instrumentation (AAMI), batas bakteri yang terkandung dalam air yang

digunakan harus < 200 CFU/ml, endotoksin < 1 EU/ml (Farrington et al, 2003).

Cairan dialisis yang terkontaminasi oleh bakteri dapat melepaskan LPS,

peptidoglicans dan produk pro-inflamasi lain yang akan di transferkan ke

membran dialisis dan masuk ke darah (Boure, 2004).

Produksi hs-CRP oleh hepatosit terjadi secara perlahan dalam 24 jam setelah

acute tissue injury, yaitu setelah dilakukan hemodialisis dengan membrane

selulosa selama 4 jam (Raka, 2008). Hal ini sama seperti penelitian Schouten

dkk, dimana pada pasien hemodialisis dengan mengunakan membrane

Cuprophan didapatkan peningkatan kadar hs-CRP secara perlahan dan meningkat

perlahan dalam 24 jam setelah hemodialisis ( Schouten, 2000).

Saat dilakukan hemodialisis , sekitar 35-65 % pasien menunjukkan tanda-tanda

inflamasi. Dialisis telah dihubungkan dengan perubahan akut pada aktivasi

komplemen, marker granulosit , fungsi makrofag, aktivasi sel T serta pelepasan

sitokin pro inflamasi. Penelitian pada pasien yang dihemodialisis menunjukkan

peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor α ( TNF-α ),

interleukin-1β ( IL1-β ) dan interleukin-6 ( IL-6 ).IL-6 akan memacu keluarnya acute

phase reactant yaitu CRP ( C –Reaktif protein ) (Malaponte, 2002).

Page 70: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Pada penelitian yang dilakukan di Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu

Penyakit Dalam FK UNS/RSDM Surakarta tahun 2009, terbukti bahwa terjadi

peningkatan kadar Hs-CRP dan komplemen C3 pada pasien-pasien CKD Stage V

yang dilakukan hemodialisis, dibandingkan dengan sebelum hemodialisis (Gusrizal,

2009).

Selama proses hemodialisis, kadar CRP dan komplemen akan meningkat

akibat terpapar kontaminasi dengan dialisat .Kadar CRP pada pasien hemodialisis di

AS dan Eropa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar CRP di

Indonesia(Suharjono dkk, 1999). Tetapi dengan hemodialisis rutin dan jangka

panjang akan terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibandingkan

dengan yang diterapi secara konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).

Pada kelompok perlakuan didapatkan kadar hs-CRP pre hemodialisa rata-rata

adalah 2,48 dan pasca hemodialisa didapatkan 2,50 dengan p = 0,820. Sedangkan

pada komplemen C3 didapatkan rata-rata pre hemodialisa adalah 92,40 dan pasca

hemodialisa didapatkan 88,8 dengan p = 0,007. Ini memperlihatkan kepada kita

bahwa untuk kadar hs-CRP tetap terjadi peningkatan walaupun diberikan perlakuan

dengan methyl prednisolon dosis rendah, tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan

secara statistik. Sedangkan pada kadar komplemen C3 terjadi penurunan yang

signifikan kadar C3 pasca hemodialisa, yang berarti pemberian methyl prednisolon

dosis rendah mampu menghambat aktivasi komplemen C3. Pada grafik 5.1 semakin

memperjelas kepada kita bahwa terjadi peningkatan yang tidak signifikan pada hs-

CRP pasca hemodialisa, dan penurunan yang signifikan pada kadar C3.

Page 71: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

Pada tabel 5.6 tampak bahwa delta hs-CRP pre dan pasca hemodialisa antara

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang secara statistik

bermakna dengan p = 0,001. Artinya walaupun sama-sama meningkat, tetapi pada

kontrol terjadi peningkatan kadar hs-CRP yang jauh lebih tinggi dibandingkan

kelompok perlakuan. Ini terjadi karena metilprednisolon mampu menghambat

produksi hs-CRP dengan melakukan penghambatan produksi NFKβ. Mestinya

penghambatan ini bila adekuat akan menyebabkan penurunan dari hs-CRP. Pada

penelitian ini tetap terjadi peningkatan kemungkinan karena waktu untuk hs-CRP

meningkat setelah hemodialisa adalah dalam 24 jam, sedangkan pengambilan sampel

dilakukan 3 menit setelah hemodialisa. Produksi hs-CRP oleh hepatosit terjadi secara

perlahan dalam 24 jam setelah acute tissue injury, yaitu setelah dilakukan

hemodialisis dengan membrane selulosa selama 4 jam (Raka, 2008). Hal ini sama

seperti penelitian Schouten dkk, dimana pada pasien hemodialisis dengan

mengunakan membrane Cuprophan didapatkan peningkatan kadar hs-CRP secara

perlahan dan meningkat 24 jam setelah hemodialisis ( Schouten, 2000)

Delta komplemen C3 berbeda signifikan (p= 0,000 ) dengan terjadi

penurunan dibandingkan kontrol. Ini membuktikan bahwa methyl prednisolon dosis

rendah mampu menghambat produksi komplemen C3 pasca hemodialisa. Pada

penelitian ini diambil darah pasca hemodialisa 3 menit setelahnya. Hal ini ternyata

cukup mampu menghambat aktivasi dari kadar komplemen C3. Komplemen akan

teraktivasi 1-2 jam setelah adanya acute tissue injury (Baratawidjaja, 2006).

Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara lain: bioinkompabilitas,

kontaminasi dengan cairan dialisat yang menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida)

dan terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten, 2007).

Page 72: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen

aktif komplemen C3 serta sitokin (IL-1 dan TNFα) akan mengalami absorbsi

kedalam membran dialiser dan sebagian zat tersebut akan dieliminasi dari darah

selama proses hemodialisis (Tzanatos,2000; Malaponte, 2002; Sukanda, 2006).

Kortikosteroid dosis rendah mampu memblok jalur inflamasi melalui

sejumlah jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi

prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK

fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2 (Rhen dan Cidlowski,

2005).

Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah

mengurangi respon inflamsi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi

sitokin pro inflamasi seperti TNFα, IL1-β, IL-6, dan selanjutnya akan menghambat

diproduksinya procalcitonin, ICAM, complemen, maupun CRP, menghambat

produksi mediator-mediator inflamasi seperti cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi

leukosit ke endotel (Annane dan Caillon, 2003).

Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi respon inflamasi

sistemik, sebagai vasopresor, menghambat produksi sitokin pro inflamasi,

menghambat produksi mediator-mediator inflamasi, dan menurunkan adhesi leukosit

ke endotel (Anane dan Cailon, 2003). Selain itu penggunaan kortikosteroid mampu

menurunkan ekspresi IL-6 dan iNOS sebagai pemicu apoptosis yang diinduksi oleh

sejumlah rangsangan inflamasi (Sorrels dan Sapolsky, 2007;Roth dan Hanspeter,

2004). Sehingga kortikosteroid dosis rendah akan menghambat ekspresi NF-KB

maupun caspase (Szabo dkk., 2002).

Page 73: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Dalam hubunganya dengan apoptosis, kortikosteroid menunjukkan efek

berupa penekanan maupun potensiasi terhadap proses apoptosis. Kortikosteroid yang

dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis thymosit (Moran dkk.,

2005), yang dimediatori oleh induksi caspase-9 (Oberholzer dkk., 2001). Sebaliknya

kortikosteroid mempunyai efek anti apoptosis pada netrofil, sel epitel, dan fibroblas (

Moran dkk., 2000 ).

Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan, sehingga sampel yang kami

ambil hanya 30 orang yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok 15

orang. Hasil yang di dapat pada penelitian ini diharapkan bisa dipakai sebagai

landasan untuk penelitian berikutnya dengan sampel yang lebih besar.

6.2 Keterbatasan penelitian

Pengambilan sampel yang tidak tepat sesuai dengan puncak konsentrasi hs-

CRP maupun C3 dalam darah. hs-CRP pada 24 jam setelah hemodialisa,

sedangkan C3 adalah 1-2 jam pasca hemodialisa.

Page 74: ARIEF F NURU DHIN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

BAB 7 PENUTUP

7.1 Simpulan

7.1.1 Terdapat perbedaan kadar hs- CRP pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre dialisis.

7.1.2 Terdapat perbedaan kadar Komplemen C3 pada pasien PGK stadium V pasca

hemodialisis setelah diberikan metilprednisolon dosis rendah pre hemodialisis.

7.2 Saran

7.2.1 Metilprednisolon dosis rendah dapat digunakan sebagai salah satu pilihan obat

sebelum dilakukan tindakan hemodialisa untuk mencegah meningkatnya kadar

hs-CRP dan komplemen C3.