April 6 Chapters

65
APRIL Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta 1 Being normal doesnt mean you have to be a stereotype. Being a normal doesn't mean you need to follow the others' rule. Being a normal means you need to choose for his best - not for yours. APRIL NOVEL KEDUA KARYA KEZIA GABRIELLA AGUSTA It's not about what you do. It's about who you are. It's not about who you are right now. It's about who you could be. It's not about what could go wrong. It's about what will go right. It's not about listening. It's about getting up and dancing.

description

Some chapters of my second novel: April.A story about Bimosaka's sister - April - which a disabled dancer that want to become a main dancer in her school at London. She met Angkasa that always supports her to keep trying, Emil whom plays piano and kneads her legs when she fell down from a dance, and Scott - a mysterious guy yet a famous person in her school that teaches her to dance and tells her to ignore the others' opinions. Until April reach her obsession to become a dancer in San Francisco, why she keeps unhappy?Until she realize that she left something in London, something precious that always push her to become a 'normal' in her own way.

Transcript of April 6 Chapters

Page 1: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

1

Being normal doesn’t mean you have to be a stereotype.

Being a normal doesn't mean you need to follow the others' rule. Being a normal means you need to choose for his best - not for yours.

APRIL NOVEL KEDUA KARYA

KEZIA GABRIELLA AGUSTA

It's not about what you do. It's about who you are.

It's not about who you are right now. It's about who you could be.

It's not about what could go wrong. It's about what will go right.

It's not about listening. It's about getting up and dancing.

Page 2: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

2

PROLOG Alta Bates Summit Medical Center, Oakland, California | April 2011

“SHE got multi-fragmentary fractures.” Ucap Dokter Paul kalem. Ia memijat pelan lutut

April yang sudah dibebat dengan perban. Wajah April meringis menahan sentuhan yang

menimbulkan gelenyar sakit tersendiri di lapisan setelah kulit dan perban.

Kecelakaan sial. Batin April jengkel. Patah tulang? Dan herannya di Foothill Boulevard

yang sepi begitu, bisa aja dia main tabrak.

Bimo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menekan pelipisnya dengan resah. “Is that

a serious problem, doctor?”

“Are you asking, Bim?” kata Giselle ngeri. “Multi-fragmentary is a super serious one. The

bone splitting into multiple pieces. The prognosis1 (istilah medis untuk menggambarkan

kemungkinan hasil suatu penyakit) is complicated.”

“Gi, percuma juga lo ngomong belibet gitu sama kakak gue. Dia nggak akan ngerti.” Sahut

April enteng. Ia hanya memperhatikan bentuk kakinya yang terlihat aneh. “Dan jangan ceritain

efek menakutkan dari patah tulang ini. Ini kan patah tulang doang kan?”

“I think Miss Liebene have known the considerations of fracture care.” Dokter Paul meraih

beberapa kertas di atasnya dan menunjukkan hasil x-ray. “You can see, it‟s like April got the

tranverse fracture* (Patah tulang dengan sebuah rekahan yang berada pada sudut kanan

terhadap sumbu panjang tulang itu) one.”

“Does April need a surgical care?”

Dokter Paul menggeleng – dan gelengan itu membuat April menghela nafas lega. “Better

you used the Ilizarov method.”

Dahi Giselle mengernyit mendengar kata asing tersebut. “What‟s that?”

“It‟s a a form of external fixator. Sutter Health* (Research center of Alta Bates Summit)

has found the best procedure to use it.”

Mata Bimo hanya melirik Giselle dengan bingung. Pembicaraan antara Dokter Paul yang

sudah senior di Sutter Health, dengan koasisten baru yang terampil bernama Giselle Lauryn

alias pacar Bimo sendiri – selalu membuatnya mati gaya.

Dokter Paul mengeluarkan sebuah rangka yang mirip dengan penyangga kaki polio. Rangka

tersebut berbentuk bingkai dengan bahan besi, melingkari kaki seseorang. April bergidik ngeri

melihatnya. “Hmm… Gi, apa gue harus pakai…” April pelan-pelan menunjuk bingkai kaki

tersebut sambil menelan ludah. “… penjara kaki itu?”

“What should I say, Pril?” Giselle menatapnya iba. “You prefer face an ugly truth to a

beautiful lie, right?”

Page 3: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

3

“How to use it, doc?”

“Simple. You just need to use this Kirschner wires*. They will help April to lengthen the

tendon to accommodate the longer bone length. Apparatus provides complete support while

the bone is recovering so April can remain active aiding recovery.”

April masih ternganga melihat bingkai itu. Bangkai, eh bingkai Iliza… whatever its name itu

punya pin yang seakan menempel terus di kakinya. Ia menelan ludah. And how could I…

How could I dance?

“Doc, after this recovery, am I still able to dance?” April bertanya buru-buru.

“Of course, dear.” Doctor Paul menatapnya hangat. “I can‟t wait to watch the uniqueness of

your traditional dance. But the recovery need 18 months.”

“18 MONTHS???” Seru April kaget. “How can I…” quit dancing for 18 months?

Bimo paham tatapan sendu adiknya itu. Ia menepuk kepalanya lembut. “Gue nggak pernah

lihat seorang April langsung menyerah. Jangan putus asa, oke?”

“Gimana gue nggak putus asa, Bim?” April mengeluh lirih. “Biasanya waktu gue dapat

masalah, tarian selalu membuat gue hanyut untuk kembali menjalani langkah baru. Sekarang

gue nggak bisa melangkah!”

April merasakan Bimo dan Giselle memeluknya hangat. Giselle berbisik pelan kepadanya,

“Take a time for yourself, April. Ada waktunya untuk kamu berpikir ulang mengenai kehidupan

kamu, menata yang berantakan, dan menurunkan ambisi. Siapa tau dengan berpikir lagi,

mimpi-mimpimu bisa teraih…”

Penari muda itu hanya bisa terisak dan tenggelam dalam tangis. Giselle menghampiri

Dokter Paul dan bertanya pelan. “Can we use electrical bone growth stimulation* or

osteostimulation* or something instant?”

“My suggestion is… No.” ucap Dokter Paul tegas. Detik berikutnya, Dokter Paul langsung

menangkap raut kecewa di wajah Giselle. “It‟s not effective for your sister-in-law candidate,

Giselle. I know that you really want April to be cured in a total way. She‟s a dancer, that‟s why

she needed it.”

Giselle pasrah mengangguk, menuruti perintah Dokter Paul. Tubuh besar itu meninggalkan

ruangan dan membiarkan Bimo, Giselle, serta April sendirian.

“Bim, itu artinya gue juga nggak bisa ke Inggris? Nggak bisa transfer study?”

Dengan air wajah penuh sesal, Bimo terpaksa menggeleng. Dan ia langsung melihat bulir-

bulir air menjalar di wajah adiknya dengan deras.

***

Page 4: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

4

CHAPTER ONE

The Art Institute of California, San Francisco, California | September 2011

“THE defect cripple is coming.” Dari belakang, April bisa mendengar suara Keane, salah

satu mahasiswi yang masuk people-who-should-be-invited-to-a-party-list terkekeh-kekeh

bersama gerombolannya. April melengos seraya menyibakkan rambut hitam sebahunya. Sudah

hampir setengah tahun ia menggunakan penyangga Ilizarov di kakinya. Penyangga ini memang

memudahkannya untuk melakukan aktivitas seperti biasa – belajar di The Art Institute dengan

ejekan-ejekan setiap hari. Walaupun sudah memakai penyangga, tetap saja cara berjalan April

tidak bisa normal. Permasalahannya, April menari – ia penari. Penari tidak bisa menari tanpa

kedua kakinya. Bahkan April nyaris sudah lupa empat posisi dasar Tari Sepen. Indonesian

traditional dances are her specialities. Karena bakat menarinya itu, April bisa pergi ke pelosok

dunia untuk menampilkan budaya negaranya. Walaupun begitu…

Tanpa kakinya, kemana ia bisa melangkah?

“Shut up.” Potong Bernadine kesal. “Come on, Pril. Just take some walk. Anywhere, except

next to this slutty girl.” Sahabatnya menarik lengan April cepat untuk segera pergi.

“Berisik lo.” Keane membalas kesal. “Dine, tolong ya, temen lo itu tuh…” Keane menekankan

ucapannya di kata „temen‟. “… Masih ngotot mau nari. Jelas-jelas, dia itu pincang! Jangan

kebanyakan mimpi deh lo! Masih berharap juga keterima di Trinity.”

April masih menatap Keane dengan tatapan kosong. Akhirnya April memutuskan untuk

melangkah pergi – meninggalkan Keane dan Bernadine. Trinity is my chance, if I don‟t need to

feel the hurt of this fracture.

Why life is so unfair?

“At least, I still have an idealism to conserve a treasure named art of dance…” Bisiknya

pelan. Ia berjalan pelan-pelan kembali ke studio, tanpa seorangpun yang tau.

“Bisakah ada orang yang tidak menghina harapan gue?”

***

The Westlake Village Apartment, San Francisco | September 2011

“Aduh, Pril. Tolong banget deh, bisa nggak sih sekaliiiiiii aja lo nurut sama ucapan gue?”

ucap Bimo kesal. Ia baru saja mengunjungi adiknya yang tinggal di San Fransisco dan

membuahkan encok bokong yang lumayan parah. April memang memutuskan untuk tinggal di

apartemen yang dipinjamkan oleh college-nya sementara ia menimba ilmu di Amerika.

Page 5: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

5

Sementara Bimo tinggal di University Village di Berkeley. Dan pacarnya, Giselle, tinggal di

Lakeside Apartments District – Oakland. Biasanya, ia tidak punya masalah besar untuk naik

trem dari Berkeley ke San Francisco. Tapi kali ini kasusnya lain. Dia harus bolak-balik

Woodstock-Oakland karena Giselle sedang menjadi salah satu panitia Woodstock Festival – yes

that biggest muddy music event in the world. Entah apa yang merasuki Giselle sampai si dokter

muda itu pengin juga ikutin main lumpur.

“Woodstock is a history, the mud is a mistery!”

Whatever she said. Batin Bimo gemas. Jangan sampai bikin pinggang gue pegel-pegel

begini lagi! Gila aja, 7 jam gue menghabiskan waktu di jalan.

April cuek saja mendengarkan ocehan kakaknya. Ia malah sibuk mengotak-atik penyangga

Ilizarov yang dia pakai. Kegiatan itu jelas membuat Bimo makin melotot.

“Eh… eh, mau lo apain itu penyangga?”

“Dilepas.” Ucap April ketus. “Ganggu tau nggak.”

“Lah, emang lo bisa apa jalan tanpa penyangga itu?”

One thing Bimo always forgets, April has a deep sensitivity about her feets after that

accident. April langsung bungkam dan berhenti mengutak-atik penyangga itu. Ia melengos

lelah, menatapi Bimo pasrah. “Apa gue emang beneran nggak bisa jalan tanpa penyangga ini,

Bim? Gue pengin hidup seperti orang normal!”

“Lo normal, Pril.” Balas Bimo yakin. Dia ikut duduk di low bed milik April. “Lo sangat

normal. Apanya lo sih yang nggak normal?”

“Ya… Begini!” Kata April lirih. Matanya tidak bisa terlepas dari rangka Ilizarov itu. “Pakai

rangka Ilizarov begini… Everyone treats me as I am a helpless person. And the hopeless one.

Definitely… abnormal.”

Kadang Bimo suka merasa hatinya disayat-sayat setiap kali April berbicara. Sebelum

kecelakaan yang cukup parah itu, April adalah penari yang sangat berdedikasi. Dia dulu masuk

tim modern dance dan selalu menjadi panitia acara sekolahnya. In a short nick, April is one of

the most popular person list on her social life. Siapa sih yang nggak kenal dengan Aprillia

Sherlyne Anggara? Penari handal, sudah nyaris keliling dunia di umur muda, cerdas, berjiwa

seni, dan eksis. Setiap orang mengenali April sebagai salah satu orang yang berkonotasi „gaul‟,

walaupun April selalu menyanggah statement tersebut.

Gaul itu cuma kiasan penghiburan diri sendiri. Semua orang gaul kok – di lingkungan

mereka masing-masing. Itu hiburan yang kira-kira jadi apresiasi masa muda, toh akhirnya

nggak akan predikat “Murid Tergaul” bisa masuk CV?

Page 6: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

6

Adiknya dulu optimis dan ceria. Tapi kini? Seakan masih diliputi trauma, April selalu

histeris kalau naik mobil. Karena itu ia memutuskan untuk tinggal di San Francisco saja, yang

lebih dekat dengan sekolahnya sehingga ia hanya perlu berjalan kaki kalau mau kemana-mana.

Tapi kebiasaan jalannya itu yang membuat banyak orang merasa April terlalu muluk – sudah

cacat, masih maunya banyak. Di mata Bimo, adiknya hanya mau diperlakukan sebagai orang

normal. She treat everyone as normal, and she also want to be treated as a normal too.

Gerakan adiknya yang berusaha membuka rangka tersebut membuat Bimo panik. “Aprillia!”

“What?” Tanyanya dengan wajah tidak bersalah.

“Berhenti. Jangan sampai gue harus bilang ke dokter Paul kalau lo itu bandel. Lo pengin

sembuh total kan?”

“Gue pengin!” Seru April kesal. “Tapi nggak kayak begini caranya. Kenapa harus gue? Di

saat gue memimpikan untuk bisa ke Trinity, gue malah dilanda musibah! Bahkan yang keterima

malah Keane! Damn it, lo tau kan, Bim, gue bisa menari lebih bagus dari Keane!”

Ini yang Bimo selalu sesali. Trinity yang dimaksud April adalah Trinity College, salah satu

college terbaik untuk bidang performing art. Amerika sangat menghargai keahlian April untuk

membawakan tarian Indonesia – mulai dari Tari Pendet, Tari Tortor, Tari Saman, sampai Tari

Jaipong. Bahkan sudah banyak universitas-universitas performing art yang menawarinya

beasiswa untuk kuliah nanti, tapi si kecil satu itu masih ngotot pengin ke London. Walaupun

dalam masa penyembuhan seperti ini, April masih saja dilirik oleh banyak sekolah. Sayangnya,

dia tidak bisa ikut audisi yang diadakan dua bulan yang lalu di ACT (American Consevartory

Theater) untuk transfer study sekolah di London.

“Trinity bukan satu-satunya jalan lo kok, Pril. Buktinya, San Francisco Opera mau hire lo

jadi salah satu penarinya kalau lo udah sembuh lagi. Performing in The War Memorial Opera

House is one of the most wanted thing to do for dancer, you know.” Hibur Bimo. Ia

memperhatikan pakaian yang dipakai adiknya itu. “Eh, perasaan baju lo kok aneh. Lo habis

ngapain sih?”

April hanya diam dan membuang muka, menatapi pemandangan Westlake dengan tatapan

malas. Bimo masih memperhatikan baju April dan menyadari sesuatu.

Ini bukannya baju untuk latihan nari ya? Batin Bimo terkejut. Baju gombrong, bandana,

legging hitam… April selalu memakai seragam ini setiap selesai latihan menari di Zellerbach

Playhouse, Spieker Plaza yang berlokasi di seberang Haas Pavillion Berkeley, tempatnya

mengeksplor tarian dulu waktu ia belum mendapat kecelakaan itu. “Pril… Lo nari?”

“Hah?”

“Itu…” Bimo menunjuk pakaian April. “Lo… habis routine?”

Page 7: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

7

April kembali membuang muka. “Bukan urusan lo.”

Dan ia mendengar kakaknya itu menghela nafas. “Lo masih aja paksain diri, Pril… Kapan lo

mau sembuh? Dokter manapun sudah bilang, menunggu dengan sabar dan menggunakan

Ilizarov itu secara tekun bisa bikin kaki lo kembali. Bukannya itu sudah cukup jelas? Please, gue

kakak lo. I‟m care about you. Jangan sakitin diri lo lebih lagi…”

“Bim, please.” Kini April berbalik menatap Bimo tajam. “Dancing is the only passion I had.

Dan sekarang nasib merenggut itu dari gue. Gue punya apa?” Katanya lirih. “It‟s the thing I

enjoy the most. I‟m good on dancing. Dancing is my own heaven. Gue nggak bisa ngebiarin

hari-hari gue kosong tanpa step-step seperti biasa. Bukannya gue menari juga buat Indonesia?”

“Gue capek ngomong sama lo, Pril. Keras kepala banget. Minggu depan gue mau lo check up.

Di tempat yang deket aja, mungkin San Francisco General Medical Center. Nggak usah ketemu

dokter Paul biar gue dan Giselle juga terhindar dari amukan.” Bimo beranjak dari kasur dan

menuju pintu keluar. “Gue cuma mau lo inget, dengan lo maksain kayak begini terus, lo bisa

kehilangan kaki lo untuk selamanya. Selamanya, tanpa menari.”

***

Jack London Square, Oakland, California | September 2011

“Akhirnya pacarku bisa jadi normal lagi.” Cibir Bimo kesal. Ia masih menatapi piring

berisikan club sandwich di depannya dengan bosan. Jarinya masih membalik-balik buku teks

tebal yang akan jadi bahan quiz besok. Giselle melirik geli dari balik buku menu.

“Memangnya akhir-akhir ini aku nggak normal ya?”

“Enggak. Mana ada koasisten yang sudah nyaris profesional main-main di lumpur?” Sembur

Bimo langsung. “Terus ngerepotin orang lagi. Pakai disuruh bolak-balik Berkeley-Oakland-

Woodstock-Oakland-Frisco. Kasian bener ya ini bokong.”

Tawa Giselle langsung pecah. “Ya ampun… Sori deh. Lagipula tadi juga sinyalnya nggak

dapet, jadinya susah ngehubungin kamu.”

Bimo masih mangkel dengan tragedi tadi sore. Dia sudah capek-capek balik lagi dari Frisco

ke Woodstock, dan begitu sudah sampai di konser musik gila-gilaan itu, Giselle malah nggak

bisa dicari. Bimo harus rela teriak-teriak kayak orang aneh sendiri di tengah konser dan dijepit

banyak orang sampai kotor-kotoran di lumpur demi mencari si dokter satu itu. Apalagi masalah

April juga masih membuatnya keki.

“Ya udah.” Giselle menepuk pipi Bimo lembut. “Jangan cemberut melulu, jelek tau. Kan aku

udah bilang sori dari tadi sore, masa kamu juga nggak mau baikan sih?”

Page 8: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

8

“Bukan masalah kamu, Gi.” Bimo menggenggam jari-jari Giselle hangat. “Tapi April.”

“Tadi kamu jadi ke San Francisco?”

Bimo mengangguk. “She‟s dancing again.”

“Really?” Mata Giselle membesar. “The legs are okay?”

“Bolot!” Sergah Bimo geli. “Maksudku, dia maksain diri buat nari lagi. Kayaknya dia lagi

depresi deh. You know, April will do routine if she felt a big pressure. Tapi aku nggak tau dia

lagi kenapa. Kayaknya dia masih aja benci banget sama Ilizarov itu.”

Mereka berdua menghela nafas. “Mau gimana lagi, Bim? Kalau aku bisa, aku pasti sudah

operasi. Tapi mau pakai bone growth stimulation juga tetep butuh masa pemulihan. Dan nggak

ada yang cepet.” Giselle meneguk kopinya pelan. “Yang dibutuhkan cuma waktu dan ketegaran.

April bisa bersabar, tapi aku suka merasa dia nggak ingin kuat untuk melihat kakinya seperti

itu. She‟s still April, walaupun pakai penyangga.”

“Dia kehilangan jati diri, Gi.”

Giselle diam. Ia memandangi mata Bimo yang memancarkan kesedihan. “April hanya bisa

gembira karena hidupnya terisi dengan musik saat menari. Tapi sekarang dia nggak bisa

menari, dia kehilangan nilai itu, dia seperti krisis identitas…” Bisik Bimo getir.

“Aku yakin April pasti bisa melalui ini semua.” Sahut Giselle akhirnya. Ia merapikan rambut

yang berjatuhan di dahi Steven R. McQueen Jawanya itu. “Kakaknya saja bisa menembus jarak

dan waktu, masa adiknya nggak? Makanya, semangat dong!”

Seulas senyum hangat muncul di bibir Bimo. “Thank you.”

***

Forst Mason Center, Marina District, San Francisco, California | September 2011

“I‟m sorry to ask you to go to here, April.” Ucap Mrs. Patricia saat April menghampiri

mejanya di salah satu urban café Forst Mason Center. Marina District merupakan salah satu

tempat yang ramai dikunjungi oleh banyak seniman modern yang sedikit „keluar‟ dari jalur

idealis seni. Di San Francisco, orang-orang tersebut dianggap sebagai pembuat kreativitas di

bidang baru – seperti membuat 3d street art, mural hippies, dan jalur sepatu roda. “I have no

time to get back. But I need to inform you as soon as possible.”

Mrs. Patricia adalah salah satu guru di SF Art Institute. Beliau juga adalah pihak berwajib

dari audisi beasiswa untuk Trinity College. Sejak April datang ke Frisco, Mrs. Patricia sudah

menyukai tariannya – dia juga salah satu orang yang sangat sedih dengan keadaan kaki April.

“No problem, Mrs. Pat. Nowadays, I can use shuttle bus.”

Page 9: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

9

“Baguslah. Coba kamu hilangkan trauma kamu. Kalau susah, coba hubungin Highland

Hospital. Mereka pasti bisa bantu.” Lanjut Mrs. Patricia. “Oh ya, ada kabar dari Trinity College

buat kamu. Karena itu saya harus sampaikan eyes-on-eyes.”

“Bukannya saya sudah nggak bisa ikut audisi?”

“Itulah.” Mrs. Patricia membenarkan letak kacamatanya dengan satu jari. “Mereka baru saja

menonton pertunjukkan perdana kamu di Filmore. Ingat kan, waktu kamu bikin konser jalanan

kecil-kecilan sama anak-anak lainnya? Saya juga kaget waktu tau, tapi mereka mau kasih kamu

kesempatan dan membantu pemulihan kaki kamu di sana.”

“Di sana?”

“Trinity, darling! You have accepted!”

Nafas April tertahan. Keterima di Trinity? Bagaimana caranya?

Seakan bisa membaca pikiran April, Mrs. Pat melanjutkan kalimatnya. “Katanya, mereka

nggak ada masalah dengan kaki kamu yang pakai penyangga. Kamu tetap bisa ikut exercise

ringan dengan mereka serta belajar teori dasar. Apa kamu masih mau untuk ke Trinity? Ini

kesempatan bersejarah, April!”

Jangan paksain diri sendiri. Ingat, kamu bisa berhenti menari seumur hidup.

Ini Trinity, April. Impian kamu di depan mata. Mereka nggak peduli kamu cacat. Mereka

“menganggap” kamu. Tunggu apa lagi?

Suara-suara yang bertolak belakang mulai menghantui kepala April. Ia menatap Mrs.

Patricia ragu. “Apa mereka nggak akan melecehkan saya dengan kaki saya ini?”

“Mereka mau membantu kesembuhan kamu.” Kata Mrs. Patricia tegas. “Kamu berbakat,

mereka tau itu. Karenanya, tunjukkan sampai pelosok dunia! Kamu mau, April?”

Kamu berbakat. Karenanya, tunjukkan sampai pelosok dunia!

Tanpa berpikir dua kali lagi, April mengangguk mantap.

***

Bi-Rite Creamery, Mission Dolores, San Francisco, California | September 2011

Salah satu kegiatan yang bisa menghilangkan stress underpressure di kepala April ada dua,

yang pertama adalah nonton bioskop dan duduk di bagian pojok, yang kedua adalah

menghabiskan satu cup medium es krim rasa cokelat. Berbeda dengan Bernadine – sahabatnya

lebih suka nongkrong-nongkrong di Mission Dolores yang lumayan menarik. Distrik bagian

selatan memang selalu unik, salah satunya toko es krim kesukaan April ini. Walaupun ramai, es

krim Salted Caramel – tepat sekali, es krim ini dipadu dengan garam – memang selalu menjadi

Page 10: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

10

guilty pleasure-nya. Menu yang masuk list 100 Things to Try Before You Die ini memang bikin

nagih. Tapi rasanya es krim ini jadi agak sedikit garing kalau bersanding dengan nongkrong

bareng bersama Bimo yang sudah melototin dia. Apalagi Giselle, orang yang sudah April anggap

sebagai kakak kandungnya, juga sudah geleng-geleng kepala pasrah dicampur kesal yang

tertahan.

“Aprillia Sherlyne Anggara! Gue perlu bilang apalagi sih supaya otak lo itu nggak kebalik?!”

Akhirnya kemarahan itu meluap. April hanya menyipitkan matanya. Bukan kenapa-kenapa, dia

tidak suka melihat raut kakaknya saat marah. Seakan dia ini sangat amat salah. Padahal ya…

apakah ini benar-benar salah? Apa keputusannya ini tidak benar?

April ingin menunjukkan bahwa orang cacatpun bisa menari. Dia normal, seperti penari-

penari lainnya. Hanya saja, kehidupan memberikan jalan yang tidak terlalu mulus baginya.

Someone said life is an unfair thing, tapi ada kesempatan yang bisa kamu ambil untuk merebut

hal yang harusnya jadi milik kamu. Seharusnya.

“Sudahlah, Bim.”

“Ayolah, Gi, masa kamu sekarang tetap mau mendukung dia untuk pergi ke London?” Bimo

menyenderkan tubuhnya kesal. “Dia nggak bisa. Kita harus jagain dia. Kaki dia…”

“Sudah. Kata „sudah‟ itu berarti benar-benar sudah, Bimosaka.” Giselle berucap tegas.

Ucapan Giselle itu membuat Bimo diam dan menatapnya bingung. Gadis yang tenang itu

menghela nafas dan menatap April yang sudah merasa kikuk. “Aprillia, sebenarnya kamu yakin

bahwa Trinity inilah yang kamu inginkan?”

Dengan jujur, April mengangguk. Memang ini yang ia inginkan bukan?

“Kamu sudah memikirkan konsekuensinya? Nggak semua orang bisa berpandangan seperti

aku dan Bimosaka, lho.”

“Konsekuensi… apa?”

“Memandang kamu sebagai orang normal. Benar-benar sebagai penari.”

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut April. Apa sekarang Giselle juga ingin mengejek

kecacatannya?

“Semua orang ke Trinity untuk belajar tentang seni. Kamu punya bakat seni tari, kamu ke

sana untuk belajar menari – untuk menari. Tapi kamu punya perbedaan yang tidak orang lain

miliki, April…”

“Gue tau, Gi. Gue cacat. Itu kan?” Sergah April jengkel. Dia tau dirinya cacat, lalu kenapa?!

Sebegitu tidak tau dirinya-kah dia? Apakah salah untuk bermimpi? Bukannya dulu dia juga

bisa menari dengan bebas? Kenapa?!

Page 11: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

11

“Bukan itu.” Giselle menggeleng. “Kamu mendapat sebuah tantangan yang mereka tidak

punya. Kamu sedang diasah menjadi pahlawan. Tapi nggak semua orang bisa menatap kamu

sebagai pahlawan. Seseorang yang jatuh juga bisa dianggap sebagai korban, bukan?”

April tertegun. “Gi… Gue hanya mau menjadi normal…” Ucapnya getir. “Gue mau dipandang

kayak dulu. Gue bisa melakukan ini, gue bisa menari. Dan ini udah waktunya buat gue

nunjukin… Gue capek diejek dan dibandingin terus…”

“Semua orang – termasuk aku, berharap kamu untuk bisa seperti dulu. Bisa menari dengan

bebas. Menjadi kupu-kupu lagi. Tapi ada waktunya kupu-kupu itu harus hinggap di balik bunga

demi mencari makan. Lalu dia akan terbang lagi. Semuanya kalau sudah siap.” Giselle

tersenyum lembut. “Apa kamu sudah siap untuk terbang? Dengan segala persiapan kamu?

Kamu sudah tidak takut dengan apa yang ada di luar sana?”

Siapkah gue terbang lagi? Apa sayap ini sudah pulih? “Gue merasa sudah.”

“Kalau begitu, kamu bisa bermimpi lagi.” Kali ini senyum Giselle tidak hangat, tapi penuh

misteri. Dia mengucek-ngucek rambut April gemas. “Siapa tau, kamulah satu-satunya penari

yang tidak memerlukan kaki. Kamu punya sayap.”

***

Page 12: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

12

CHAPTER TWO

San Francisco International Airport, San Mateo County | Oktober 2011

About confession, April juga membenci dua hal. Yang pertama adalah bandara. Setiap kali

melihat orang banyak menyeret-nyeret kopor, suara panggilan ini-itu, barang-barang bagasi,

serta kaca-kaca yang tinggi menampilkan sederet burung besi raksasa – April selalu merasa

parno. April tidak takut ketinggian atau takut terbang. Dia harus mengikuti perkembangan

zaman, seperti para binatang New York Zoo di Madagascar 2. Ini zaman dimana banyak slogan

„who said penguin can‟t fly‟ dan „everybody can fly‟ – seperti slogan maskapai penerbangan

lainnya. Tapi April benci bandaranya. Padahal pekerjaan sampingannya sebagai salah satu

penari dari Indonesia mewajibkan untuk pergi ke penjuru dunia. Bandara seakan menjadi pusat

perpisahan dan akhir dari segala sesuatu. Call it traumatic case, sewaktu kasus 11 September di

World Trade Center, April memang ada di Amerika bersama dengan ayahnya. Sementara ibunya

dan Bimosaka ada di Indonesia. Akibat kejadian itu, ia tidak bisa pulang ke Indonesia untuk

beberapa hari karena penerbangan jadi kacau balau – apalagi pemeriksaan barang menjadi

diperketat. Bandara juga menjadi perpisahan akan dua belah pihak kalau di film-film. Dan

lagi… April berpisah dengan Pamung di bandara. Mungkin inilah alasan utama kenapa April

membenci bandara. Sangat amat benci.

Pamung adalah murid teladan sewaku April bersekolah di Indonesia. As a perfect couple,

Pamung merupakan anggota International Student Representatives di Indonesia, satu-satunya

perwakilan dari sekolah April. April sendiri koreografer utama untuk tim modern dance dan

menjadi penari dari Indonesia untuk menampilan tari daerah di berbagai negara berkat

bantuan UNESCO. When the prince charming and the most popular girl in the school meet up,

you always know what happened. April dulu sering berandai-andai bahwa hidupnya memang

seperti Beverly Hills 90210 – cantik (Bukan narsis, everyone said her face is as same as

Caroline Sieber), populer (Somehow, hampir semua anak muda di Jakarta mengenali dia), gaul

(Hanging out in Social House, Capoccacia, The Edge, it‟s a must – definitely, weekly activity),

trendsetter, ramah, dan memiliki kriteria yang nyerempet-nyerempet “it girl” whatever it called

banget. Kalian tau, seperti gadis-gadis modern yang punya „geng‟ ngumpul sendiri, punya meja

khusus di kantin, dan punya dagu yang selalu terangkat. You might think April sucks by being a

snob in the popular class.

Tapi Aprillia bukan versi yang seperti itu.

Kalian pernah membayangkan, ada seorang it girl yang hobinya petantang-petenteng di kaki

lima blok S? Itu pasti April. Atau setia duduk di lantai dan menghabiskan waktu berjam-jam

Page 13: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

13

untuk baca buku di Takashimaya? April banget. Mungkin sekedar mengajar tari di

Jayasuprana? April melakukan itu semua. Dia benci harus menjadi “tim populer” yang

membeda-bedakan kasta pergaulan – the dork, the geek, the psycho, the freak, the (sok) gaul

people, the popular, the genius, the invisible… High school life. Apalagi satu hal yang ia tidak

suka dengan masuk tim populer, kawan-kawannya itu hanya berani banyak bacot kalau lagi

sama-sama dan punya “teman” protes. Kalau sendiri? Ciut. Karena itu April memutuskan untuk

cabut dari geng – yang menurut April – nggak waras itu. Dia lebih suka menyendiri di studio

atap sekolahnya dan mempelajari „dunia‟-nya, yaitu menari.

Pamung tertarik dengan April karena sifat rebelnya.

Semua orang menganggap April adalah salah satu bagian dari snobbish team karena ia suka

nongkrong-nongkrong di Rooftop (Sekolah April punya rooftop garden yang dikhususkan

untuk para murid „hebat‟), padahal April sendiri merasa itu hanya kewajiban kecilnya untuk

blend in di pergaulan. Karena ia masuk tim modern dance yang dibilang sebagai kasta populer,

April terpaksa menjalankan aturan-aturan aneh itu. Begitu April keluar, sejarah skandal terbaru

muncul. Ia dimaki-maki sebagai orang aneh yang mengambil keputusan meninggalkan

kelompok yang diinginkan semua orang. Semua orang kecuali April. Dan karenanya,

Pamungkas – the one of most wanted cute guys at school – menyukainya. Tapi cerita mereka

tidak bertahan lama. April menyukai Pamung yang pengertian dan mengerti sifatnya yang lebih

suka menyendiri. The it guy and it girl going steady, such a lame-o story. Beberapa bulan

kemudian, kisah mereka kandas di bandara. Pamung harus meninggalkan April untuk beasiswa

keluar negeri.

April bukan penganut long distance relationship – kakaknya, Bimo, juga bukan. Tapi otak

nggak waras kakaknya itu bisa saja membuat mimpi-mimpinya untuk bersama Giselle menjadi

kenyataan (baca buku sebelumya: Whereupon) walaupun terpaut jarak dan waktu. April kadang

tidak habis pikir, kenapa kakaknya masih saja mau berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa ia

lihat? Aha, one more difference between her and her greatest talented brother. Bimo sangat

optimis akan segala sesuatu. Ia berbakat melukis dan bakatnya diakui oleh pelukis-pelukis

senior. Semua orang menyukai lukisannya dan Bimo selalu mengikuti standar yang ada untuk

urusan pergaulan. Banyak yang menganggap kakaknya itu terlalu „nyeni‟ – jadi keanehan yang

kakaknya lakukan masih dianggap normal. Tapi dirinya?

Dirinya dianggap gila karena meninggalkan sebuah zona yang tidak ia sukai. Apakah salah

meninggalkan apa yang diinginkan orang lain? Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.

Well, untuk menjadi „normal‟ di mata mereka, memang dibutuhkan sedikit usaha. Kalau

memang yang dianggap „normal‟ oleh dunia adalah yang seperti itu – April menurut. Dia akan

Page 14: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

14

membuktikan bahwa Aprillia – the it girl – akan menjadi sesuai dengan bayangan mereka. It‟s

better to be another person than called as abnormal. April hanya ingin hidup biasa.

Dia tidak bisa seoptimis kakaknya. Dia memang pesimis, jadi apa daya?

***

San Francisco International Airport, San Mateo County | Oktober 2011

Pikiran aneh-aneh April membungkus kepalanya sampai ia tidak mendengar panggilan

Bernadine.

“APRILLIA!”

“Hah?”

“Ayolah, lo kenapa malah sedih begitu sih? Berangkat sana!” Ucap Bernadine semangat.

“Tuh, pesawat lo udah mau boarding, gokil. Hus hus!”

“Aduh.” Buru-buru April berdiri. “Sori-sori, tadi kebanyakan bengong. Gue berangkat dulu

ya, Dine. Baik-baik! Jangan lupa bawain oleh-oleh dari Haight Street kalau lo ke London

sewaktu-waktu. Biasa… apa gitu dari Coco Luxe atau Ambience.”

Bernadine terkekeh. Haight Street adalah distrik yang masih kental dengan nuansa

bohemian dan hippies, juga punya berbagai tempat nongkrong yang nggak kalah menarik dari

Union Square. “Boleh. Tapi nanti waktu gue dateng, lo harus siapin cowok Inggris ya. Minimal

orang Irlandia deh, atau Hugh Grant gitu.”

“Beh. Kalau gue udah dapat Hugh Grant, nggak bakal gue bagi-bagi ke lo, tau.”

“Pelit.” Cibir Bernadine. “Cowok band Glastonbury juga nggak masalah deh.”

“Idih, gue sih ogah ya ikut konser yang penuh lumpur begitu.” April menyeret kopornya

malas. “Slogannya aja The Mud, The Music, The Madness…”

“Lebih mending kok dari Woodstock. Calon kakak ipar lo aja jadi panitia, lo malah nggak

ikutan. Nggak mau mingle sih lo.”

Nah kan, satu lagi ucapan menusuk tentang popularitas.

“April!”

April menoleh. Ia mendapati kakaknya dan Giselle lari ke arahnya dengan nafas tersengal.

“Hei. Belum telat kok.”

“Sori ya, mepet banget kita datengnya. Maklum si nyonya sibuk ini emang lama kalau udah

ngurusin proyek.” Bimo menyenggol Giselle dengan gerakan lucu. Kekasih kakaknya itu hanya

manyun-manyun kesal.

“Yaelah, itu kan memang ada urusan mendesak, kalau nggak…”

Page 15: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

15

“Udah. Gue mau pergi, ini sejoli masih aja berantem.” Potong April menengahi

pertengkaran kecil mereka. Kedua wajah di depannya langsung menunduk malu bersamaan.

Kadang April geli sekaligus iri dengan pasangan yang akrab dengannya ini. Bimo dan Giselle

selalu mau berkorban satu sama lain dan percik sweetness selalu ada, chermistry-nya kentara

banget. Walaupun sama-sama sibuk, nama masing-masing seakan menempel lekat di pikiran

mereka. Betapa sempurnanya pasangan ini. Kalau menurut Bimo, itu karena mereka sudah

pernah kehilangan dan nyaris mengusaikan segala kisah mereka. Mereka jadi bisa lebih

menghargai apa yang pernah mereka sesali. Her brother story is such a fairytale. But what

else? They made it come true, they COULD made it true.

Darn, betapa irinya April dengan kakaknya. Mereka punya tujuan yang jelas, sementara dia?

Dia harus mengikuti hal-hal yang tidak ia inginkan. Nggak adil. April melengos gemas dan

menarik kopornya.

“San Francisco, gue berangkat dulu ya.”

“Hati-hati, Pril.” Giselle melambaikan tangan. “Makanan London nggak enak, lho!”

“Juga jagain itu kaki, jangan maksa!”

“Kuat ya, tekanan dan tantangan itu ada karena lo memang spesial!”

“Satu lagi, jangan cari pacar orang Inggris yang lebih ganteng dari kakak lo yang udah

ganteng ini!” Ucapan terakhir Bimo mendapat toyoran dari Giselle dan membuat April terkekeh

geli.

“Ngaku-ngaku ganteng. Adikmu bahkan bisa dapet cowok yang ganteng kayak di film… apa

itu lanjutannya The Devil Wears Prada?”

April semakin pergi menjauh dan masuk di dalam kerumunan. Semua dongeng indah yang

kakaknya berhasil ukir itu…

Tidak akan pernah dimilikinya. Setidaknya, Bimo belum pernah menjadi penari yang tidak

punya kaki. Sama seperti Forrest Gump yang tidak bisa berlari. Forrest Gump bukan Forrest

kalau tidak bisa lari.

April bukan April kalau tidak bisa menari.

***

London Heathrow Airport, Hillingdon, London | Oktober 2011

Talking for another trauma, April takut naik mobil. Ia mendapat patah tulang karena

ditabrak oleh sebuah mobil ngebut di Oakland. April benci mengakuinya, tapi karena trauma itu

ia benci naik mobil. Kecelakaan itu mengerikan. Dia masih ingat bagaimana lututnya dilindas

Page 16: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

16

dan ketakutannya waktu mobil itu menghantam dirinya. Semuanya seakan tidak bisa hilang.

Juga nyerinya waktu ia merasa seakan tidak punya kaki – trauma itu membuat April menjadi

parno dengan mobil. Apalagi kecelakaan itu yang membuatnya harus memakai penyangga berat

dan mengakibatkan suara bisik-bisik setiap kali dia lewat. The it girl is being more abnormal.

She‟s a defect cripple. She‟s a cripple dancer.

Dulu waktu April sempat mengambil internship di Aurora Theatre Company – salah satu

affiliated group DPC* Berkeley – ia sering berbincang-bincang dengan Lisa Wymore, salah

seorang assistant professor untuk modern dance technique dan choreography. Ms. Wymore

sering menceritakannya tentang berbagai jenis filsafat tarian internasional. April jatuh cinta

pada tari Jazz karena Ms. Wymore – tapi toh pada akhirnya April tidak bisa menari satu

tarianpun. Walaupun begitu, Ms. Wymore sering berkata padanya sebuah kalimat.

“Sherlyne, the girl next door Taylor Swift said „if you‟re lucky enough to be different from

everybody else, don‟t change‟. Even a star could be fall, that‟s why there‟s shooting star.

Shooting star make the wish come true, you‟re a shooting star. Make the wishes real!”

Ha. April tau sekali itu hanya kalimat hiburan. Ms. Wymore menganggap dia bintang jatuh

– memang bintang jatuh membuat segala impian itu jadi kenyataan – but that‟s a shooting star,

not a falling star. Siapa yang tau kalau bintang jatuh juga tidak ingin jatuh?

When you fail, it‟s a step to winning something. Bullshit. Some said you have nothing to

lose. Yes, because I have lost everything.

“Ms. Sherlyne?”

April menoleh. Ia mendapati seorang pemuda tinggi menatapinya sambil tersenyum. “Hello,

I‟m Mark Griffith from Trinity. You must be… Aprillia Sherlyne, right? Patricia has told

everything about you.” Tanpa diduga-duga, ia langsung menatapi kaki April yang dibalut

rangka Ilizarov. Spontan, April langsung merasa sensi.

“Is it okay with these legs?” Todong April langsung.

“Never be a problem, Miss.” Sahut Mr. Griffith buru-buru. “Kita siap untuk membantu

kamu. You are a talented lady, indeed.”

Giselle, ini yang aku sebut sebagai „dunia‟-ku. Di sini, aku diterima.

***

24th Street, Noe Valley, San Francisco | Oktober 2011

“Tonight, we will talk about the weirdo people.” Erin membuka pembicaraan. “Tapi orang-

orang aneh itu kreatif, taukah kalian?”

Page 17: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

17

Sekumpulan cewek-cewek langsung cekikan. “Mereka kreatif dengan menjadi aneh.”

Bernadine ngangguk-ngangguk saja sok setuju. Setelah melepas kepergian April beberapa

hari yang lalu, Bernadine serasa kehilangan soulmate-nya. Selama ini, April selalu ada untuk

Bernadine – mulai dari menghadiri Summer of Love di Haight sampai makan habis-habisan di

E‟Tutto Qua dan menikmati Japantown Sundae bareng. Bernadine dan April selalu menyukai

hal-hal yang mirip. Barang-barang vintage, Michael Bublé, show So You Think You Can Dance,

terutama shoes – things that become most of girls shop list. Mereka juga agak-agak sangsi

untuk memakai heels, dengan alasan sepatu itu bisa bikin varises di hari tua. Lebih nyaman

menggunakan flat atau canvas shoes untuk berjalan-jalan di distrik San Francisco. Mengingat

kota ini dipilih sebagai “most walkable city” versi Walkscore, jadi kemana-mana lebih enak

berjalan kaki. Being a winning shopper never easy dan sepatu hak merupakan salah satu

sumber kekalahan waktu rebut-rebutan barang belanja. Ini teori dari April.

Teman-teman Bernadine mengangkat gelasnya yang berisikan macam-macam island*, most

of them order lord od ring ice tea – with vodka, gin, white rum, kahlua liqueur, and err… coke

martini. Thought it equal with 3 shots tequila. Ia sendiri sudah merasa fitted in dengan menu

minuman andalan April, nutella daiquri. Have no liquor – just rum, bailey‟s, nutella, and

noisette syrup – tetap megang rasa yummy khas Frisco!

Lagi-lagi April. Memang kehilangan sahabat itu seperti kehilangan satu kepingan puzzle.

Ada yang bilang, a friend is just like a puzzle. Mereka punya bermacam-macam karakter – yang

di tengah benar-benar melindungi kamu, yang di pinggir seperti sekadar teman nongkrong,

kira-kira seperti itu. Sementara April…

“Hey, Dine, siapa orang paling aneh yang pernah lo kenal?” Tanya Sasha yang sepertinya

sudah sedikit mabuk. Ia tertawa-tawa dengan Rico yang duduk di sampingnya dan memesan

segelas cointreau lagi. “Ahh… gue tau, orang paling aneh itu pasti si pincang kan?”

Bernadine tertegun. Pincang yang dimaksud oleh Sasha adalah April, satu-satunya siswi

pincang di SF Institute. Hampir semua orang selalu berkomentar akan kepincangannya.

Mungkin karena kepincangannya itu tidak memadai dengan wajah dan popularitas April.

Everyone want to find the weakness of the star, right? Semua orang mau menjatuhkan April.

Even worse, mereka seakan tidak peduli Bernadine sahabat April. Bahkan ketika April sudah

jauh di London, mereka masih saja membicarakan gadis muda itu. Seperti membicarakan kasus

Anang dan Krisdayanti. No wonder April called as a diva. She is. She made an infotainment.

“Kenapa lo bilang si April aneh?”

Erin melirik Sasha gemas. “Sha, tolong. April itu teman kita juga, ngapain sih lo ngomong-

ngomongin dia juga?”

Page 18: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

18

“Ah, sok alim lo, Rin!” Seru Sasha. Mendadak wajahnya terlihat marah. “Rin, gue juga tau

kalo lo sama si pincang itu sama-sama dari Indonesia, tapi kalo emang dia aneh, mau gimana

juga? Atau emang orang Indonesia aneh-aneh?!”

“Jaga omongan lo!” Ucap Erin defensif. Erina memang murid pindahan dari Indonesia,

sama seperti April. “April itu dapat musibah dan kita sebagai temannya, harusnya mendukung

dia dong! Iya nggak, Dine?”

Bernadine mengangguk kecil. “Sudahlah, kayak begini aja kok…”

“Dine, temen lo itu aneh tau nggak.” Sasha ketawa. Kayaknya dia memang sudah setengah

sinting gara-gara mabuk. “Dia cakep, eksis, tapi nggak kepengin gaul. Ditawarin ikut geng kita

malah nolak mentah-mentah. Bahkan kita dikatain belagu by doing the gap-ing. So what, it‟s

life you know. We have some classes in society!”

“Lo mabuk, Sha…”

“Berisik!” Sasha berteriak kesal. “Gue… pokoknya gue dendam kesumat sama April. Gue

taulah muka dia nyaingin artis Hollywood, tapi nggak usah pakai jual mahal ke Phill sampai

nolak dia segala dong! Kagak tau diri ya tuh anak, orang kayak Phill aja ditolak?!”

“April nolak Phill?” Tanya Amelie kaget. “Seorang Phill?”

Phill ini bukan Pria Idaman Lain lho – halah. Phill Duncane, another Frisco‟s handsome

guy. Bernadine merasa April menolak Phill bukan karena dia kurang ganteng atau apa. Phill itu

ganteng pakai banget, memenuhi isi dasa dharma kriteria lelaki tiap perempuan. Royal? Check.

Charming? Check. Prince wannabe? 50%. Kind? Perfect. Understanding? It‟s a wow. And fyi,

he‟s driving Mitsubishi Pajero Sport. Kriteria yang Phill punya sudah melebihi keinginan cewek

manapun. Dia mengirimkan pesan-pesan manis di meja April tiap hari, meminjamkan segala

keperluan April, mau menemani April kemana-mana, dan catat – April dinilai cacat. Tapi Phill

seakan nggak peduli. In this case, for the girls, April is unfair. Dia seakan nggak bisa menilai

„barang bagus‟ dan kesempatan berharga ini.

Tapi April memang nggak mau. Sejak berpisah dari Pamung, April nggak pernah ingin

dating atau benar-benar mengenal cinta lagi. Banyak banget American yang senang dengan

April, tapi April nggak pernah mau menggubrisnya. Tambah lagilah capnya – jual mahal, sok

kecakepan, nggak tau diri, dan lain-lain. Semakin dikatain begitu April semakin menutup diri.

It‟s like seeing someone ignoring Logan Lerman or Taylor Lautner.

“Ya, seorang Phill ditolak. Dia aneh, nggak waras.” Kata Sasha emosi. “Dia nggak tau ya, kalo

gue jadi dia, gue nggak akan deh sok-sok nggak mau kayak April! Dasar nggak tau diri, nggak

tau dia kalo gue suka banget sama Phill!”

Page 19: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

19

Teman-teman Sasha hanya terdiam. Bernadine segera mengambil alih pembicaraan. “Udah,

tolong banget berhenti bicara soal April. Sha, lo mabuk… makanya lo jadi kacau begini…”

“Apa sih. Hik! Maybe I am Beyonce‟s step sister.” Ucapnya meracau. “I am… Sasha Fierce!”

Lalu Sasha bersama teman-temannya asyik berjoget mengikuti musik yang dimainkan DJ.

Bernadine hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu tau, Pril. Mungkin kamu memang orang teraneh yang pernah gue kenal. Lo punya

ciri khas.”

She got the talent, the beauty, the fashion sense, the brain, the popularity… But why she

always seems unhappy with those things?

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011

“Wow.” Hanya itu yang bisa April ucapkan saat memasuki gedung Royal Albert Hall.

Gedung yang sering dipakai untuk pertunjukkan musik ini memang memiliki arsitektur yang

indah sangat berbau klasik. Ukiran kayunya esentrik dan berkesan kuno – membuat estetika

gedung konser ini semakin kentara. Apalagi, Royal Albert Hall memiliki pipe organ terbesar di

UK. Suasana gedung ini dingin sekaligus bebas. Ia mengikuti Mr. Griffith berjalan ke arah

panggung. Siang itu, gedung konser ditutup karena ada persiapan untuk konser murid-murid

Trinity yang berkolaborasi dengan Royal College dan Guildhall School.

“April, may I introduce Hortace, the concert master from Trinity in tonight‟s concert.”

Ucap Mr. Griffith. April cukup menyetujui nama Mr. Griffith yang berarti rambut merah –

rambut Mr. Griffith memang benar-benar seperti api yang berkobar. Ia tersenyum kecil pada

Hortace.

“Aprillia Sherlyne.”

“Hortace.” Sahut cowok itu sambil menjabat tangan April mantap. Pembawaan pemuda itu

berwibawa dan sangat tegas, cocok sekali dengan posisinya sebagai concert master. “Ini ya yang

dibilang dapat beasiswa khusus? Beruntung sekali kamu.” Katanya terus terang. “Biasanya

Trinity pelit untuk kasih beasiswa.”

Mr. Griffith tertawa. “Dasar kamu, Hortace. Dia memang berbakat, makanya diberikan

beasiswa. Tunggu sampai kamu melihat penampilan April.”

“Kamu ambil jenis performing art apa? Broadway drama? Directing?” Tanya Hortace.

April tertegun. “Hmm… Dance.”

Page 20: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

20

Jawaban singkat April membuat Hortace bengong. Ia melirik ke bawah, ke arah kaki April

yang disangga Ilizarov. “No offense… But?”

“Yeah, I know.” Potong April cepat. “Memang sedikit nggak waras. Tapi memang ini

panggungku untuk bisa menunjukkan bahwa aku bisa menari lagi.”

“Such a brave girl.” Hortace tersenyum kecil. “Anyway, welcome to Trinity College! We will

try to make you as warm as your home. Ngomong-ngomong, kamu orang mana?”

“Indonesia.”

“Seriously?”

“Yap.” April mengangguk. “Spesialisasi tarianku juga tarian daerah Indonesia.”

“Aku belum pernah lihat. Di Trinity hanya ada 1 orang Indonesia. Kamu yang kedua

ternyata…” Hortace mengangguk-angguk. “Angkasa, ada orang Indonesia juga di sini.”

April menoleh ke arah orang yang dipanggil „Angkasa‟. Ia tertegun. Wajah di depannya…

seperti familier. Seperti wajah Pamung. Kulitnya agak gosong, matanya sipit, dan rambutnya

ikal. Angkasa balas memperhatikan postur April yang mungil.

“Kenalin, Pril. Ini Angkasa, salah seorang violinist* di Trinity.” Angkasa mengangguk sopan

ke arah April. Hortace melanjutkan kalimatnya. “Dan Angkasa, ini April. Dia penari baru yang

dapat beasiswa khusus bersejarahnya Trinity.”

“Oh, itu dia?” Mata Angkasa terbelalak. “Selamat ya. Hebat sekali.” Ucapnya tulus.

“Terimakasih.” April tersenyum sopan.

“Kamu ikut nonton konser ini, April?” Tanya Mr. Griffith. April menatap wajah salah

seorang gurunya itu dengan bingung.

“Harus nggak?”

“It‟s up to you. But it‟s a big regret to skip the performance of Angkasa. He‟s doing solo

tonight.” Tambah Mr. Griffith lagi. April spontan menoleh ke Angkasa yang sudah berdiri di

sampingnya sambil tersenyum ramah.

“Hari ini aku tampil sendiri. Main lagu Winter-nya Antonio Vivaldi. Kamu tau?”

April menggeleng jujur. “Aku nggak tau banyak soal musik klasik.”

“Kalau gitu, biar aku kenalin aja. Makanya kamu nonton ya?”

Entah apa efek besar dari si wajah Pamung ini untuk April, April akhirnya mengangguk.

April tidak suka musik klasik. Menurutnya, mendengarkan musik klasik membuatnya mudah

mengantuk – classic is a lullaby song. Tapi Pamung seakan benar-benar ingin membuatnya

mengenal musik klasik yang ia banggakan.

Aprillia, nama dia Angkasa, bukan Pamung.

Page 21: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

21

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011

Ini bukan pertama kalinya April menghadiri sebuah konser. Dulu, Bimo juga pernah

mengajaknya datang ke sebuah konser piano. Hasilnya? April dengan sukses tertidur dan

memerlukan waktu setengah jam untuk membangunkannya. Classical music is boring, for

God‟s sake. But this is Europe. You know, Eropa sangat menjunjung lagu klasik dari zaman

klasik romantis sampai zaman baroque atau apapunlah namanya. And the center of classical

music is in Vienna, Austria – sangat Eropa. Mungkin terdengar bodoh, April adalah seorang

penari yang tidak bisa menikmati musik klasik. Dia menari tanpa pernah berurusan dengan

musik. Bagi April, musik dan tarian adalah dua hal yang berbeda. Tarian Indonesia tidak terlalu

memusingkan musik, yang penting adalah ketukan. Lalu kenapa musik sebelum tidur ini harus

dia dengarkan?

April memutuskan untuk menatap para pemain musiknya saja daripada dia harus terlelap di

kursi. Nggak etis juga, mengingat yang tampil di konser malam ini adalah (calon) teman-

temannya di Trinity, masa dia dengan enaknya cuek bebek dan angkat sauh untuk ke pulau

kapuk? Dia menatapi para pemain yang ada di panggung. Dari jauh, April bisa melihat sosok

Hortace yang duduk di paling kiri memegang biola. Di samping Hortace ada… Angkasa.

Have you seen an Indonesian playing violin? Tanpa banyak kata, Angkasa terlihat sangat

gagah dan menguasai „dunia‟-nya di atas biola. Gesekan bow-nya sangat anggun dan lembut,

tapi suaranya bisa menaungi satu hall. April semakin memperhatikan Angkasa yang terlihat

sangat bersahaja dengan jas dan dasi kupu-kupu.

I think I have found the idea to love classical music.

April mengalihkan pandangannya ke arah pemain musik di belakang orkestra biola. Ada

saxophone, cello, contrabass, organ, flute…

Pandangan April berhenti pada orang di balik grand piano di tengah-tengah panggung.

April bisa mendengar lamat-lamat sentuhan berbagai nada yang dilantunkan orang itu.

Permainannya lembut sekaligus tegas. Suaranya seperti menyuarakan keinginan akan

keberadaan. Sentuhan piano itu…

Seperti menyentuh permukaan perasaan Giselle yang paling bawah.

Gosh, is this the thing named magic of music?

***

Page 22: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

22

CHAPTER THREE

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011

“What do you think? Do you think it‟s good enough?”

“Are you saying good?” April bertanya balik seraya tersenyum pada Angkasa. “It‟s amazing!

Ini pertama kalinya aku kenal dengan keajaiban musik. Your solo is an awesome performance.”

Angkasa tersenyum senang. Ia menatap cewek mungil di hadapannya dengan tatapan

sedikit kecewa. “Sayangnya, yang tadi itu akan jadi yang pertama dan terakhir. Kayaknya aku

nggak akan dapat solo lagi.”

“Lah, kenapa?”

“It‟s a competition, Pril. Di Trinity, banyak sekali musisi hebat lainnya. Kita bersaing

bersama-sama untuk meraih kesempatan solo atau duet. Banyak sekali siswa yang lebih

berbakat daripada aku sudah pernah tampil solo – bahkan di Cadogan Hall. Ada juga yang

pernah berkolaborasi dengan Royal Philharmonic Orchestra. Kayak aku tadi, itu masih awam

banget.”

“Awam? Awam aja yang nonton udah segitu banyak, apalagi kalau profesional?” Tanya April

kaget. Ia serius, penonton konser tadi memenuhi satu hall penuh. Benar-benar tidak ada kursi

kosong yang tersisa. Dan itu untuk konser seorang… awam?

“Kamu juga lagi. Nanti waktu kamu ikut kelas tarinya, kompetisinya lebih ribet lagi. We

have main dancer, yang biasanya jadi penampil utama di London. Actually not only London,

kamu bisa tampil sampai Edinburgh. Bahkan ada juga yang ke Vancouver.”

“Really? Itu yang dibilang main dancer?”

“Ya, yang bisa menari paling bagus. Bukan hanya tariannya saja, nilai akademisnya harus

cemerlang dan punya prestasi menari sendiri. Prestasi yang bukan hanya dari Trinity, tapi di

luar Trinity.”

“Memang main musician Trinity siapa?”

“Itu, si Hortace.”

“Oh.” April nyengir lebar. “Itu sih udah diduga. Tapi bukannya sebentar lagi Hortace lulus

ya? Dia kemana?”

“Hortace mau ambil musik di Vienna. Katanya udah nggak betah di Inggris.” Angkasa

melirik Hortace yang sedang merapikan biolanya sambil membawa karangan bunga. Pemuda

kaku itu diselamati oleh banyak orang yang lewat. Memang bangkotan Trinity tersebut sudah

sangat ahli dalam memainkan dawai biola. “Makanya tahun ini kita ada pemilihan main

musician lagi. Mirip dewan siswa gitu deh. Gede-gedean banget pemilihannya.”

Page 23: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

23

“Wah, asyik juga ya ada pemilihannya gitu.”

“Nanti waktu kepilih, tiap main musician, main actrees, main actor, main dancer, main

choreographer, main author, main director, sampai pengurusan stage management dan

skripnya akan bekerja sama untuk bikin performance yang termasuk penampilan terbesar di

London. Trinity punya acara seperti itu tiap setahun sekali. Aku pengin banget tuh jadi main

musiciannya. Penampilan para main section itu selalu memukau!”

April suka melihat binar yang muncul di mata Angkasa setiap ia mengungkapkan obsesinya.

“Memang pemilihan nominasi main musician kapan?”

“Enam bulan lagi.” Ucapnya pelan. “Sainganku berat banget.”

“Oh ya?” April mendongak, menatap Angkasa bingung. “Rasanya ya, Ka, aku nggak lihat ada

pemain musik junior lagi yang lebih jago daripada kamu.”

“Kamu terlalu memuji.” Ujar Angkasa kalem. Ia membuka kotak biolanya dan

membersihkan tepi-tepi alat musik anggun itu. “Kamu memang belum kenal ya si orang kayu di

pojok itu?”

“Mana?” April melayangkan pandangan ke tiap pojok panggung. Ada yang sedang tertawa-

tawa dengan sesama peniup flute, ada yang terlihat keberatan membereskan contrabass, ada

yang…

Di pojok kiri, ada seorang pemuda yang berwajah jutek sedang duduk di balik piano. April

tidak bisa mempercayai matanya.

Apakah itu orang yang sama dengan yang memainkan keajaiban piano tadi? April

membatin dalam hati. Apa yang dia mainkan kok beda ya dengan kesan karakternya?

“Itu, si boneka kayu.” Kata Anggara seraya tertawa kecil. “Nggak heran sih kamu belum

kenal dia. Yang main piano itu.”

“Dia mainnya jago.” Ucap April lugas. “Aku suka permainannya.”

“Itu dia. Tiap orang – bahkan yang nggak ngerti musik klasikpun, merasa bahwa permainan

boneka kayu itu memukau dan bagus. Heran banget, orangnya seakan benar-benar nggak sesuai

dengan musik mengalun yang dia mainkan.”

Ada setitik pertanyaan yang mengganjal di benak April. “Kenapa dia dipanggil boneka

kayu?”

“Have you heard the nutcracker story?”

April mengangguk. “I know. The story has a dance, too.”

“Dia itu kaku banget, kayak nutcracker yang ada di cerita itu. Dan memang dia selalu

berurusan dengan kayu.”

Page 24: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

24

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011

Performing in a concert is such like turning back to the 16th century period. Bagi Emil,

nuansa kaku yang ada dalam sebuah konser membuatnya muak. Dia tidak suka menggunakan

tuxedo suit seperti ini – apalagi harus Zegna. Emil juga tidak menyukai bagaimana formalitas

orang-orang yang tidak menyukai musik klasik sok-sok menyukainya supaya mendapat kenalan

baru. Begitu ditanya tentang Beethoven…

Dia bukannya lahir di Budafest ya?

Gila. Jauh kemana-mana ya, Budafest mah tempat si MJ konser. Yes, there‟s a big concert

too in Budafest, but it was performed „Beat It‟, „Man in the Mirror‟, or „I Just Can‟t Stop Loving

You‟. Yang jelas bukan konser Moonlight Sonata. Kalau memang mereka tidak menyukai musik

klasik, ya sudah. Emil juga tidak pernah memaksa mereka menyukai penampilannya kok. Ia

bermain piano sesuai dengan apa yang ia rasakan. Seperti kekecewaannya akan musik.

Kekesalannya. Bagaimana ia harus dipaksa mencintai musik itu seperti Beethoven.

Dipaksa mencintai sesuatu membuatnya kehilangan rasa cinta sebenarnya.

Emil mencintai piano. Sejak umur 7 tahun, Emil sudah menyukai dentingan tuts piano itu

saat ditekan. Nada-nadanya menggugah pikiran Emil. Dan satu hal yang Emil sukai dari piano,

hanya dari 7 tangga nada, Emil bisa memainkan berbagai jenis penyatu nada lainnya. Dari satu

menjadi banyak sekali. Tapi sejak ibunya tidak ada, ayahnya memaksa Emil untuk berlatih

siang-malam bersama piano di rumahnya. Karena itu, Emil benci piano.

Ia benci tapi ia harus melakukan. Sekaligus ia juga mencintainya.

Dia benci harus diajar oleh ayahnya sendiri di sekolah. Dia tidak suka ada di Trinity. Teman-

temannya memuja dia seakan dia dewa atas musik klasik, tapi Emil hanya ingin hidup normal.

Kebenciannya terhadap hari-harinya ia tumpahkan dengan membuat lagu-lagu tersendiri untuk

konsernya – tapi ayahnya tidak menyukainya.

Emil berhenti memainkan nada-nada sederhana yang dilantukan pianonya. Gedung Royal

Albert sudah semakin sepi. Yang tersisa hanya siswa-siswi Trinity yang sedang membereskan

alat musiknya. Matanya menyapu panggung yang besar itu dan berhenti di satu sosok asing.

Sosok itu. Emil pernah melihatnya ada di foto yang dipegang ayahnya. Waktu itu ayahnya

berkata bahwa perempuan yang ada di foto tersebut sangat berbakat menari. Hampir tiap

universitas di Amerika ingin mengajak anak itu turut ambil bagian dalam studi di sekolah

mereka. Tapi perempuan mungil itu mengatakan ingin masuk ke Trinity – sampai sebuah

kecelakaan menimpa kakinya.

Page 25: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

25

Ayahnya tidak tinggal diam. Ayahnya selalu ingin meraup seluruh anak berbakat di pelosok

dunia. Mungkin si mungil ini salah satu korbannya ayahnya. Emil sudah bersiap-siap untuk

pergi dari kursi piano, tapi ada sesuatu yang menahannya. Tatapan Emil berhenti di kaki

perempuan tersebut.

Cacatkah? Batin Emil heran. Kalau cacat, kenapa dia masih ingin menari? Ingin masuk

Trinity untuk menari? Tanpa kakinya?

Dalam hening, Emil terus memperhatikan gerakan kecil yang dibuat oleh gadis betubuh

kurus tersebut. Kenapa dia mau ada di sini? Bukannya dia tau itu tidak mungkin?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

“Jadi kamu yang dibilang anak baru itu?”

April langsung menoleh. Seminggu di Trinity ini dia lebih sering berkumpul dengan anak-

anak musik – tentunya berkat Angkasa. April senang berbicara dengan Angkasa, pemuda itu

selalu menatapnya tajam dengan gestur yang selalu ia sukai. Apalagi para pemusik di Trinity

juga ramah padanya. April hampir mengenali semua anggota orkestra Trinity yang bernama

Fugue – kecuali satu orang.

Si pianis yang dipanggil Nutcracker oleh teman-temannya itu. April sama sekali belum

pernah berbicara dengannya. Dengar-dengar, nama pemuda itu adalah Emil, dia anak dari salah

seorang guru besar di Trinity.

Ia hanya mengangguk kecil sambil memandangi gadis langsing semampai yang

menggunakan romantic tutu* dan pointe shoes*. Dari gayanya, April menyimpulkan bahwa ia

adalah salah satu siswi senior di Trinity College of Dance.

“Ya, kenapa?”

“Kalau kamu tau kamu anak baru, ngapain siap-siap di sini?” Ujarnya galak. “Ini untuk

senior, kamu tau itu?”

“Maaf. Saya nggak tau.”

“Karena itu saya kasih tau.” Tukasnya tegas. Ia berbalik dan pergi ke daerah depan

panggung. April memperhatikan sesuatu yang selama ini luput dari pikirannya. Matanya

memicing khawatir seraya memperhatikan kostum yang dipakai teman-temannya.

Gue udah banyak lupa soal tari balet! Pikirnya panik.

“So, Sherlyne, are you ready to take a warming up?” Tanya Madame Wildoff, guru tarinya

di Trinity. “Hurry up, wear your tutu. It‟s in the locker.”

Page 26: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

26

April hanya mengangguk kecil – ia sangat amat ragu. Satu hal yang ia lupakan.

Bukankah ia penari tradisional, bukan ballerina?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

“Dia bisa dapat beasiswa, tapi kenapa nggak bisa menari? Bahkan port de bras* saja dia

nggak tau. Kamu kasih uang berapa supaya bisa masuk sini, hah?”

Hati April seakan ditusuk-tusuk. Tadi penampilan singkatnya memang hancur lebur sampai

tidak layak untuk dianggap sebuah „tarian‟. Ia menari tetap menggunakan rangka besi sial itu

dan langsung ditertawakan para siswa-siswi Trinity. Dan di antara kerumunan orang banyak,

April bisa melihat Keane juga menahan tawa.

“Kalau memang nggak bisa menari, ya nggak usah masuk sini.” Cetus Cathlin lugas. Gadis

berambut pirang halus itu masih menyindir April tajam seraya membereskan tutu dan pakaian

baletnya. April hanya menggigit bibir perlahan.

Fokus gue memang bukan di balet, jadi bagaimana?

“Apa saya nggak bisa menarikan tarian yang saya bisa?”

Ucapan April yang sangat naif langsung disambut tawa ngakak.

“Kamu mimpi?” Cathlin menahan tawa gelinya. Ia merapikan rambutnya yang sangat indah

bak model iklan shampo. “Kalau kamu nggak bisa menari balet, buat apa kamu di sini?

Lagipula…” Ia melirik kaki April dengan jijik. “… Dancer always has legs.”

Kalimat terakhir yang dilontarkan Cathlin benar-benar membuat kepingan hati April tidak

bersisa. April menghela nafas panjang dan berbalik badan, masih lengkap dengan seragam

baletnya. Dia sudah tabah dengan ejekan semacam ini… Ejekan penari yang tidak punya kaki, si

pincang, nggak tau malu, dan…

April mengepalkan kedua tangannya menahan panas yang mulai naik ke dada. Ia terduduk

di pojok panggung, dekat grand piano Trinity Guildhall. Dan panas yang ada di dadanya mulai

membentuk bulir-bulir air yang membasahi wajahnya.

Kenapa nggak biarkan gue bermimpi dulu, mencoba merealisasi mimpi itu?

Kenapa langsung mimpi itu dihancurkan?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

Page 27: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

27

Nafas Emil menderu lelah. Ia memijat keningnya dengan wajah penuh peluh. Tidak, ia tidak

habis bermain hockey ataupun ikut jogging dengan anak-anak Fugue. Even he‟s skipping the

leisure time to watch Chelsea, his favorite football team. For God‟s sake, this isn‟t what he

wanted to.

Kalau saja latihan sial itu nggak ada. Maki Emil kesal. “Dikira saya nggak capek apa…

latihan melulu demi sekolah. Kenapa harus saya? Angkasa lebih menginginkan latihan itu

daripada saya.”

Langkah Emil yang sedang menelusuri lorong Guildhall terhenti.

Guildhall sudah sepi, dan tujuan Emil ke sini memang bukan untuk konser ataupun

orchestra routine. Emil merasa seluruh tubuhnya penat. Biasanya di saat seperti ini, dia lebih

suka „kabur‟ ke Notting Hill – tapi kali ini dia disekap oleh jadwal yang tidak leluasa. Sehabis ini

dia harus latihan duet bersama dengan Angkasa, uji coba cello baru, dan…

Pikiran Emil masih terpaku pada sosok yang sedang melepas rangka kakinya. Rangka itu

terlihat berat dan keras, sehingga sosok itu menunjukkan mimik kewalahan. Emil sudah

berinisiatif membantu, tapi akhirnya rangka tersebut lepas juga sebelum ia sempat beranjak.

Ia memperhatikan gerakan sosok tersebut dari jauh. Emil belum pernah melihat kuda-kuda

ini sebelumnya. Kuda-kuda tarian ini aneh, tidak dengan adagio* yang membutuhkan

keseimbangan untuk mengendalikan kaki ke posisi tinggi. Gerakannya pelan sekaligus penuh

arti – memukau setiap sapuan pandangan Emil. Suasananya…

Emil terkesiap. Belum pernah ia melihat sebuah gerakan sederhana yang menyentil

perasaannya sebegini rupa. Matanya terus memperhatikan gadis yang masih memainkan jemari

tangannya dengan lentik, membuat suatu gerakan lembut yang cepat.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

Kaki April terasa sedikit ngilu setelah mencoba beberapa gerakan simpel dari Tari

Ronggeng. Walaupun tidak terlalu banyak menggunakan gerakan kaki, April merasa kakinya

terlalu lemah tanpa tumpuan Ilizarov. Ia tersenyum kecut.

Sebegitu tergantungkah gue terhadap rangka maksiat ini?

Dalam beberapa detik, April hanya terdiam memandangi Guildhall yang sudah kosong. Ia

mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mulai menarikan apa yang sesungguhnya ia

tarikan di London. Ballet. Sesuatu yang tidak pernah ia pelajari. Intuisi menyuruh April untuk

Page 28: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

28

segera mengupas tarian bernama balet yang disesuaikan dengan apa yang ia rasa sebagai

„tarian‟. Sesuatu yang dapat ia gubah sendiri.

Dunia sedang tidak melihat kamu, Pril. Menarilah!

Dengan satu tarikan nafas, April bersiap menggerakan kakinya membentuk posisi en

dedans* (Gerakan membentuk lingkaran dengan satuan tendu – kaki yang dipindahkan dari

arah depan, samping, belakang). Lancar. Ia mulai mengayunkan kakinya lagi untuk membantuk

gerakan relevé (Posisi untuk menyeimbangkan gerakan apapun lalu berjinjit), tiba-tiba nyeri

mulai menyerang lututnya, merambat menekan persendian, dan menusuk otot.

Satu posisi lagi.

April menarik nafas dan mulai melompat secara horizontal dan mengambil jarak yang

panjang. Posisi grand jeté. Tangannya ia ayunkan ke depan dada dan kepalanya mendongak.

Tiba-tiba nyeri di kakinya berubah menjadi ngilu dan tumpuan tubuhnya terasa lemas.

GEDUBRAK!

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

Kepala April seakan tidak berkepala. Saking nyerinya, rasanya seperti mati rasa.

Mata April seakan bisa melihat ada burung pipit, burung murai, burung jalak putih, bahkan

cendrawasih mengelilingi kepalanya. Semua berputar tidak terarah dan terlihat kabur. April

memegangi kepalanya dan kembali merebahkannya ke sesuatu yang keras di belakang tubuh

April. Ia mengernyitkan dahinya. Bukan hanya kakinya yang kini berdenyut-denyut, tapi terasa

seribu jarum menusuk segala syaraf yang ada dalam kepalanya.

Baru saja April ingin memejamkan matanya kembali, sebuah suara terdengar.

“Are you okay, Aprillia?”

April mendongak. Di hadapannya ada seorang James Marsden – kalau penglihatannya

masih benar – yang sedang berjongkok seraya mencopot pointe shoes-nya. Pemuda di depannya

terlihat sangat terampil membereskan perlengkapan keramat para penari balet. Penari balet –

dan jelas penari balet bukanlah dirinya.

Dancing ballet isn‟t a good idea indeed. Keluh April dalam hati. Ia masih memegangi

kepalanya yang serasa mau pecah. Entah sewaktu tadi ia jatuh apa yang ditabrak kepalanya.

Yang jelas ia sempat tidak sadar sebentar.

Ngomong-ngomong, seorang penari yang sedang melakukan tarian mudah itu jatuh.

Mending penari awam. Ini penari yang sedang dibicarakan mendapat beasiswa spesial dari

Page 29: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

29

Trinity – one of best performing art schools in the world. Dan April – si penari yang

dibicarakan itu – jatuh tepat di hadapan seorang James Marsden yang kini sedang terlihat

menahan tawa. Air muka pemuda itu seperti menikmati raut kesal April.

“Nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa gimana?” Sembur April. “Kalau nggak apa-apa, saya nggak akan sampai

nggak bisa berdiri begini.”

James Marsden itu masih memandangi kaki April yang polos tanpa rangka. Ia hanya

mendapati sebuah bebatan perban di lutut. “Kaki kamu nggak apa-apa?”

“Agak ngilu…”

Refleks, cowok itu memijit pergelangan kaki April. Tapi April tidak menjerit sakit.

Sepertinya pemuda itu mengerti titik-titik tumpuan yang menggila di kaki April.

“Kamu tukang urut?”

Sosok di depan April terlihat menahan tawa dengan bibir tetap terkatup. Rautnya tidak

rileks, sangat kaku dan dingin. “You are so full-mouthed.”

“Salah satu kelebihanku, anggap saja begitu.” Ucap April pelan. Matanya memperhatikan

jari-jari pemuda itu yang sedang menekan beberapa titik di kakinya. Jari-jarinya panjang dan

kurus, seperti jari seorang pianis.

April baru menyadari sesuatu. Dia adalah pianis jutek itu! Si Nutcracker!

“Kamu Emil kan?”

Emil tercengang. “Kamu kok tau namaku?”

“Sudah banyak yang ngomongin.” April tersenyum hangat. Ia menyodorkan tangannya.

“Aprillia. New comer.”

“Emil.” Balasnya tanpa ekspresi. Bahkan Emil tidak melirik tangan yang diulurkan oleh

April. Ia membiarkan tangan April tergantung di udara dan masih sibuk mengurut kaki April.

“Hei!” April berseru tidak terima. Ia meraih tangan Emil dan membuat cowok itu tersentak

kaget. Spontan, April menyalami tangan Emil dengan usahanya sendiri. “Dasar kamu orang

Eropa. Tapi masa budaya „salam‟ begini juga nggak tau sih?”

Sebuah senyum geli merekah di wajah Emil. April masih saja sibuk ngomel-ngomel sendiri.

“Nah, kalau nggak tau, saya kasih tau ya. Ada tradisi yang namanya salaman. Jadi kalau ketemu

orang baru dan kenalan, harus kasih salam. Apalagi kalau…”

“I know it, April.” Tukas Emil halus. April menoleh dan memandangi sorot mata dalam

pemuda di depannya. “Saya tau maksud kamu.”

“Terus kenapa kamu nggak respon?”

“Kaki kamu sudah mendingan?”

Page 30: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

30

Wajah April merengut. Ia benci seseorang mengalihkan pembicaraan seperti tadi. “Sudah.

Terimakasih ya.” Ucapnya seraya bergegas berdiri. Baru beberapa detik April bertumpu dengan

kakinya, ia langsung terhuyung dan nyaris jatuh.

Detik berikutnya, wajah April terbenam di tubuh seseorang.

“Kamu…” Emil berucap lirih. Entah suruhan darimana, ia tiba-tiba langsung berdiri untuk

memegangi usaha April yang ingin segera berdiri. “… jangan maksain diri kamu.”

Jangan maksain diri kamu.

Baru saja Emil ingin membenarkan posisi April, gadis mungil yang bermata besar itu

menatapnya dengan tatapan bening. Emil balas menatapnya ragu.

“That‟s me, Mil…” Bisik April lirih. “Lucu ya, saya nggak bisa menari. Nggak punya kaki.

Terus untuk apa saya ada di sini?”

Emil hanya diam. Mungkinkah kamu ada untuk saya? Dia membantu April untuk berdiri

tegak dan mengambil rangka yang dicopot oleh April sebelum latihan. April menghela nafas dan

membiarkan Emil memasang rangka itu pada kakinya.

“Sebelum kamu bisa bebas…” Emil berkata seraya membetulkan rangka tersebut. “… Kamu

butuh tumpuan dulu. Tapi jangan berhenti mencoba.”

***

St. Christopher’s Place, Oxford Street, London | Oktober 2011

“Kamu bicara dengan si nutcracker?”

“Kenapa dipanggil nutcracker sih?” Potong April sebelum menjawab pertanyaan Angkasa.

“Gatel tau dengarnya. Seakan dia nggak punya nama aja. Namanya kan Emil!”

“Iya. Aku tau.” Angkasa terkekeh geli mendengar protes April. Ia menyesap teh english

breakfast-nya cepat lalu langsung mengernyit. “Hm. Kayaknya tinggal di London selama 3

tahun tetap tidak bisa mengubah selera lidahku.”

Tawa April langsung menyembur. “Kamu nggak suka…” Ia menunjuk beberapa penganan di

depannya. “…Semua makanan ini?”

“Suka itu relatif. Kalau dibandingkan dengan makanan lain, mungkin aku nggak suka.

Misalnya kalau dibandingkan dengan masakan Padang.”

“Itu kasus berbeda. Tapi perlu diakui, makanan Inggris memang hambar. Kata calon kakak

iparku, makanan Inggris serasa seperti sarapan tiga kali. Menunya rata-rata sama!”

“Jelas.” Angkasa mengangguk setuju. Mulutnya masih sibuk mengunyah sepotong

shepherd‟s pie (kue pai dengan isi daging kambing) lalu menelannya cepat. “Tapi ada beberapa

Page 31: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

31

restoran yang memang enak juga. Kayak restoran di Tower 42. Selain makanannya enak,

pemandangannya juga bagus. Sayangnya…”

“Mahal.” Sahut April cepat. Mulutnya menganga lebar, siap memasukkan sepotong

fishcakes serta scampi (hidangan udang digoreng dilapisi tepung roti) lalu menelannya bulat-

bulat dengan cuek. Angkasa mengatupkan mulutnya menahan tawa. Tapi pada dasarnya

memang sifat April yang sarkatis serta sensi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan

bayangannya – April langsung menoleh kesal.

“Apa?”

“Hehehehe. Nggak. Kamu mau tahu, nggak? Kamu itu perempuan pertama yang pernah aku

temuin dengan gaya makan jauh dari kriteria table manner.”

“Maksudnya? Aku memang nggak terlalu ngurusin gaya makan sih.” April mengelap

mulutnya dengan serbet. Ia tidak menatap wajah Angkasa, malah memperhatikan meja-meja

yang ada di Oxford Street. Christopher‟s Place mempunyai tipe restoran outside dining, lengkap

dengan suasana London yang dingin serta penampilan musik akustik. Udara pagi ini terasa

„sejuk‟ – menurut Angkasa – sehingga si pemain biola itu menyeret April untuk berjalan-jalan

santai menikmati hari Minggu di daerah pusat makanan yang terkenal di London. Tapi

mengingat kulit Angkasa sudah akrab dengan udara London selama 3 tahun, kata „sejuk‟-nya

sudah memiliki arti lain. Angin yang berhembus membuat bulu kuduk April berdiri.

“Kamu juga perempuan pertama yang nggak terus-menerus menatap aku saat bicara.”

Tambah Angkasa tanpa menjawab pertanyaan April sebelumnya. Ia merapikan mantelnya dan

mendeham. “Kebanyakan cewek-cewek… Selalu bawel dan berisik kalau sedang bicara dengan

aku. Lucunya, mereka seperti tebar pesona.”

Saat Angkasa bicara seperti itu, April baru sadar akan satu kesimpulan penting.

Angkasa memang memiliki wajah khas Indonesia yang apik. Matanya segar tanpa terlihat

lelah, suaranya bening, apalagi dengan sentuhan rambut ikal dan kulit gosong (kalau menurut

April sendiri, kulit Angkasa lebih dianggap sebagai „tan‟ di Inggris. Every European guy must

be envying this tan skin!) – Angkasa bisa masuk kategori cakep. Tidak memukau dari kejauhan,

tapi lekuk wajahnya memang menarik. April mengikik tertahan.

“Kamu banyak penggemar ya, Ka?”

“Entahlah.” Angkasa mengangkat bahunya tidak acuh. “Kalau menurut Hortace… Mereka

itu bisa dikategorikan sebagai penggemar. Cewek-cewek berisik. Apalagi Cathlin…”

“Cathlin?!” ulang April sambil ketawa. “Cathlin? Si pirang yang langsing-idaman-badan

model-seksi-jago menari-eksis-fashionable dan bla bla bla itu? Naksir kamu?”

“Jangan kayak kereta api dong ngomongnya. Iya, Cathlin yang itu.”

Page 32: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

32

“WAH!” April langsung terbahak. “Kalau begitu, kualitas kamu sebagai single guy di London

tidak perlu diragukan lagi. Selamat selamat, kamu sudah membawa nama Indonesia jadi lebih

naik. Memang susah kalau genetika fisiknya bagus.”

“Kata siapa aku single?”

April melotot. “Kamu punya pacar?”

“Nggak. Tapi mungkin akan segera punya.”

“Idih. Terlalu percaya diri si Abang satu ini. Batal deh pujian yang tadi. Cabut! Cabut!

Turunkan si Bapak High-Quality Jomblo!”

Angkasa tersenyum penuh kemenangan lalu menepuk topi wol yang digunakan April

hangat. “Biasanya aku bisa mendapatkan perempuan manapun yang aku mau hanya dalam

jentikan jari, Pril. Tapi perempuan ini berbeda… aku seperti nggak mau memilikinya dengan

mudah. Dia punya dunia lain yang perlu dikembangkan sebelum membaginya dengan aku. Dan

aku hanya ingin… menyayanginya. Bukan memilikinya.”

Mulut April sudah gatal ingin membalas lagi, tapi ada esensi dalam kalimat Angkasa yang

membuat lidahnya frigid – tidak bisa bicara. Kata-kata yang ingin ia lontarkan langsung April

telan kembali. Tangannya menyentuh tangan Angkasa yang masih memegangi topinya, lalu

menaruhnya kembali ke atas meja. “Kamu…”

“Ya, April?”

Pamung. “Kamu… kayak E. E. Cummings.”

Sebuah senyum terulas di bibir Angkasa. “Aku kira… kamu mau ngomong apa.” Kemudian

April merasakan tangannya menghangat. Angkasa menggenggam tangannya.

Jari-jari Angkasa naik-turun di atas telapak tangan April, seperti mencoba untuk menelusuri

kemana pikiran April berkelana. Rambut hitam April jatuh menutupi mata April yang juga

hitam legam. Dan ketika Angkasa baru saja ingin merapikannya, sekelebat kejadian yang sama

muncul seperti film di kepala April.

***

“Aprillia.”

Nada keras itu. Tapi nada tersebut tidak pernah membuat April merasa kesal ataupun marah.

Nada yang selalu sama setiap hari – memanggilnya galak – tapi membuat April serasa selalu

mengetahui bahwa ada orang yang hadir untuknya.

“Sudah hampir larut. Mending berhenti latihan aja deh.” Pamung duduk bersimpuh di lantai kayu

dan menatapi sosok April yang masih mengulangi gerakan koreografi terbaru untuk penampilan

pentas seni minggu depan. April tetap cuek dan tidak menggubris larangan Pamung, ia malah

Page 33: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

33

memencet tombol „play‟ di tape dan menarikan sebuah gerakan dengan lagu Supermassive Blackhole-

nya Muse. Wajah Pamung langsung merengut melihatnya. Dengan cepat, ia menarik tangan April

sehingga ia jatuh terduduk tepat di pangkuan Pamung.

“Apa-apaan sih?!” April mendongak, menatapi mata Pamung yang sipit seraya cemberut. Wajah

April merona kesal sekaligus lelah, dahinya berkeringat, dan rambut hitamnya mencuat kemana-mana

di atas pangkuan Pamung. Dengan gemas, Pamung menepuk kedua pipi April lembut tanpa

membiarkan gadis itu bangun dari posisinya.

“Pamung…” Kalimat April terpotong. Wajah pacarnya hanya menatap April penuh sayang dan

seperti tidak menginginkan interupsi apapun menganggu mereka. Maka Aprilpun memutuskan untuk

diam saja, berusaha agar tidak membuat Pamung lebih naik darah.

“Aku kan sudah bilang… istirahat.” Ucap Pamungkas lambat. Dia meraih rambut April yang

berjatuhan di dahi dan merapikannya dengan lembut. Telinga April dapat menangkap bahwa lagu

Muse yang dimainkan sudah selesai, sementara otaknya terus berputar karena terganggu dengan

kedekatan wajah Pamung… menatap April sedekat ini.

“Aku butuh latihan, Pamung.” Jawab April lugas. Ia balas memainkan anak rambut Pamung.

“Kamu tau, ini tugas penting. Aku mengemban tanggung jawab…”

“Jangan maksain diri.” Potong Pamung tegas dan singkat. Ia menghela nafas. “Kamu bukan James

Bond yang harus terus-menerus ditekan seperti ini. Kamu BUTUH istirahat, bukan perlu lagi. Tolong

ngertiin aku, April.”

“Ngertiin… apa?”

“Kalau kamu sakit, kamu nggak bisa mahamin gimana khawatirnya aku?”

April tertegun. Ia lupa kalau masih ada sosok yang begitu menatapnya seakan ia adalah dunia.

“Maaf, Pamung. Aku…”

“Aku ngerti.” Pamung memencet hidung April. “Tapi sekarang istirahat, oke?”

Kepala April mengangguk. Tapi kepalanya masih diam, bersandar dalam pangkuan Pamung.

Pemuda itu hanya tersenyum damai dan mendekatkan wajahnya ke wajah April – mengecup lembut

dahi kekasihnya. Dengan sabar, ia menyodorkan secangkir susu hangat yang ia bawa dari dapur

rumah April. Kebiasaan Bimo dan April yang sering ditinggal orang tua membuat pacarnya sedikit cuek

dengan hal-hal yang menurutnya „remeh‟, contohnya… kesehatan. April bangkit dari posisi tidurnya

dan duduk dengan kedua kaki tertekuk, wajahnya jatuh di antara kedua lutut seraya menyeruput susu

cokelat hangat yang dibuatkan Pamung.

“Kamu belum mau pulang?” Tanya April sambil menoleh ke arah Pamung. Walaupun pemuda itu

mengaku belum lelah, air wajahnya berkata lain. Matanya seperti menahan kantuk dan capek yang

mengganjal – mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Pamungkas hanya menggeleng pendek. “Kamu belum tidur.”

“Masa kamu baru mau pulang kalau aku sudah tidur? Kamu tau sendiri, aku sering bisa tidur pagi.

Terus kamu juga mau ikut tidur pagi?”

“Kalau kamu memang mau tidur pagi, hayok.”

April menggeleng tidak percaya. “Yang seriuslah, Mung.”

Page 34: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

34

“Aku serius, April. Aku di sini juga nungguin kamu tidur. Tadi udah janji kan mau istirahat?”

“Aku sudah besar. Aku bisa mengurus diri aku sendiri, bisa tau kapan harus tidur dan kapan harus

latihan. Aku punya waktu istirahat untuk tubuhku sendiri, Mung.”

“Aprillia.” Pamung berucap penuh urgensi. “Tubuh kamu sebenarnya nggak kuat. Tapi karena

terlalu sering kamu paksa, jadinya kamu merasa seakan kamu kuat. Nggak kasihan apa, tiap hari

tidur cuma tiga-empat jam?”

Akhirnya April hanya bisa mengangguk kecil dengan mulut manyun. “Ya sudah, aku tidur sebentar

lagi. Aku juga nggak mau kamu sakit, muka kamu sudah capek banget gitu.”

Detik-detik berikutnya, alunan nada lembut Concerning Hobbits dalam album Fellowship of the

Ring berjingkrak di tangga-tangga waktu – menemani tatapan yang ada di antara Pamung dan April.

April buru-buru berdiri dan menarik tangan Pamung.

“Pril? Loh, April? Kamu…” Pamung mengernyit heran. Jari-jari lentik April membimbing tangan

kanan Pamung ke pinggang April, sementara tangan kanannya menggenggam tangan April yang

satunya. April hanya tersenyum penuh rahasia dan mulai melangkahkan kakinya.

“April?”

“Sst… Sudah, ikutin langkahku saja. Rasakan nadanya. Perhatikan iramanya.” April mendekatkan

wajahnya ke telinga kiri Pamung. “Dan tarikan seakan dunia memang nggak melihat.”

Pamung terpaksa menurut. Dia mengikuti irama lagu yang dimainkan dan bergerak lambat. Wajah

kekasihnya malah terlihat menikmati sehingga April memejamkan mata – sementara Pamung sendiri

merasa mati gaya. Berdansa? Haduh, otaknya selama ini ada di dalam buku administrasi dan

organisasional seperti keluaran Princeton. Tapi… nada yang berlari dan melangkah dalam malam,

meniti pita-pita bayangan mimpi, serta membuahkan senyum nyaman di wajah April – Pamung rela

berdansa 7 hari 7 malam non stop. Walaupun berparas manis, April jarang tersenyum. April juga jauh

dari kategori perempuan ramah, dia tidak akan menyapa kalau tidak disapa. Berbeda dengan April

versi bersama Pamung, gadis yang menjadi tambatan hatinya selalu menimbulkan efek tertentu

dalam batin Pamung setiap kali April memamerkan luapan senangnya. Terutama saat menari.

Walaupun Pamung tidak pernah mengerti kebahagiaan sebuah tarian.

Ketika lagu mulai mengalun semakin pelan, April berhenti berputar dan mendekatkan tubuhnya

kepada Pamung. Pamung hanya menahan nafas dengan damai, menikmati distraksi indah di

depannya. Lalu mendadak, April membenamkan wajahnya ke dada Pamung. Tempatnya berpulang

selama ini… tempatnya untuk terus beristirahat. Dengan heran, Pamung balas memeluk April yang –

tidak biasanya – mengekspresikan rasa sayangnya.

“Terimakasih sudah ikut melangkah denganku… Pamung.”

***

Page 35: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

35

CHAPTER FOUR

St. Christopher’s Place, Oxford Street, London | Oktober 2011

“April?”

“Hah?”

“Kamu kok bengong?” Tanya Angkasa lembut. “Masih mikirin soal balet?”

Sontak mood April langsung berubah. Tatapannya kembali serius dan jutek mengingat

tarian hancurnya kemarin. Dia langsung menggumam. “Balet… aku merasa agak aneh. Kemarin

aku mencoba beberapa step dasar balet dan langsung gagal total.”

“Gagal gimana?”

“Jatuh.” Sembur April tanpa tedeng aling-aling. “Jatuh gedubrak, dan di depan aku ada si

Emil. Mana pakai acara kepala kepentok sesuatu lagi. Bisa-bisa benjol kalau begini.”

“Ada Emil?” Mata Angkasa membulat. “Emil… di Guildhall?”

“Iya. Memang kenapa?”

“Kemarin kan nggak ada latihan orkestra atau musik. Kemarin Guildhall memang seratus

persen dipinjam untuk kelas menari. Ngapain ya dia ke sana? Memang boneka kayu satu itu

selalu sulit dimengerti.” Angkasa geleng-geleng kepala. Matanya berpaling ke arah jalanan

Christopher‟s Place yang mulai ramai dipenuhi warga yang berlalu-lalang mencari sarapan.

Embun-embun fajar mulai menghilang, kembali ke bentuk angin yang bertiup tanpa perasaan.

Pantas saja Emil memiliki tingkat kemampuan bermain piano yang tinggi. Jangan-

jangan Emil suka latihan seharian di Guildhall, pantas saja nggak ada yang pernah lihat dia

latihan… Atau…

“Kenapa boneka kayu siiiih?” Tanya April gemas. “Dia sama sekali nggak kayak boneka kayu

kok. Benar-benar baik, dan herannya dia lumayan tahu soal balet.”

“Yang bener?” Balas Angkasa tidak percaya. “Dia itu… anti sosialnya banget-bangetan lho,

Pril. Kalau nggak ditanya, nggak bakal bicara. Kaku banget. Dan dinginnya… benar-benar

seperti bapaknya. Memang buah apel jatuhnya nggak jauh dari pohonnya.”

“Memang ayahnya Emil itu siapa?”

“Colbert Durward.”

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011

Page 36: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

36

Dalam bahasa Inggris kuno, Colbert dapat diartikan sebagai tenang dan dingin. Sementara

family name Durward diadaptasi dari bahasa Anglo Saxon yang berarti penjaga. Mendengar

desas-desus yang mengatakan bahwa ayah kandung Emil merupakan guru musik horor yang

pelit kata, pujian, sekaligus… nilai – membuat April sedikit parno. Apalagi melihat arti nama

beliau, rasanya kesan horor memang patut jadi ciri khasnya. April belum pernah bertemu wajah

dengan Mr. Durward, tapi dari bayangannya – Mr. Durward bertubuh tinggi kekar dan

berwajah garang layaknya pemain rugby. Yang jelas, April agak-agak ngeri kalau harus

berurusan dengan ayahnya anak… hmm, apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan

Emil dengan dirinya? Tukang pijat dengan pasien pijat?

“Masih latihan lagi, April?”

April mendongak. Panjang umur! Seru April dalam hati. Dengan malas, ia mengangguk

kecil. Tangannya masih sibuk memasang pointe shoes dan mencopot rangka ilizarov yang

menganggu kakinya. Tanpa basa-basi, Emil ikut berjongkok dan membantu April mencopot

rangka tersebut. Gerakan tiba-tiba Emil membuat April terkesiap dan menjauhkan wajahnya.

“Kenapa?” Tanya Emil tanpa menatap wajah April yang agak malu.

“Nggak.” Ucap April sok cuek. Dia menaruh rangka yang sudah dicopot di pojokan panggung

Guildhall dan mulai membuat suatu hitungan untuk step echappe. Lompatan posisi tiga sangat

sempurna – tanpa terlihat bahwa April menahan sakit. Sambil menahan nafas, April

mempersiapkan kekuatan sendinya dan mulai melompat, meluruhkan tiap kekuatannya dari

kedua kaki yang kini bebas seperti kupu-kupu…

Kupu-kupu bersayap satu.

Tahap kedua: Arabesque. April menyiapkan posisi kaki sebelah kirinya setinggi mungkin,

satu tangan lurus, dagu terangkat dan wajah berada segaris dengan bahu. Baru saja April

membusungkan dadanya, detik berikutnya beberapa titik di kaki kanan April serasa tidak

bertulang. Dalam satu ketukan, April langsung jatuh terjerembab. Dan lantai tepat menghantam

wajahnya dengan keras.

“APRIL!”

Rasanya April pengin memaki kakinya yang tidak berguna ini sekeras mungkin.

“Aprillia, kenapa sih kamu masih aja… mau jatuh terus-terusan?” Emil datang menghampiri

dengan wajah cemas. April meringis ngilu, ia merasakan lututnya seperti ditekan benda tajam

dan betisnya serasa diikat erat. Tak terasa, kasus jatuh keduanya membuahkan sebuah baretan

panjang di betisnya. Emil menggelengkan kepalanya. “Ini harus dibersihkan dulu.”

“Nggak usah, Mil. Saya pakai celana panjang, jadi nggak akan keliha…”

Page 37: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

37

Kalimat April terhenti. Bukan kenapa-kenapa, tapi raga April seakan terserap ketika ditatapi

Emil intens seperti sekarang. Emil bukanlah tipe orang yang suka menatap lawan bicaranya –

tapi kini ia benar-benar menatap April tajam seperti mata pisau yang baru diasah dengan batu

topaz. “Bukan masalah lukanya dilihat atau tidak, Aprillia. Tapi infeksi dan bahayanya.”

“Tapi kalau lukanya kelihatan, saya pasti akan diledek oleh siswa lainnya, Mil.”

“Apakah pendapat orang lain itu penting bagi kamu?”

Wajah gadis di hadapan Emil menandakan bahwa ia kaget – sekaligus terkesiap. April buru-

buru menggeleng. “Kan mereka juga ikut menilai. Maksud saya… rasanya aneh. Saya masuk ke

Trinity karena beasiswa spesial yang membuktikan bahwa saya penari handal. Karena itu, nggak

lucu kalau saya tiba-tiba keluar dengan luka panjang dan ditertawai mereka.”

“Sepertinya di pikiran kamu hanya ada menari, menari, dan menari. Apa memang ambisi

kamu itu cuma menari, April?”

Mendengar ucapan sarkatis Emil, April langsung memandangnya sebal. “Bisa nggak sih

kamu nggak kasar? Dasar nggak punya perasaan.” Semprotnya.

“Saya bertanya baik-baik.” Ucap Emil dengan tatapan lucu. Jemarinya menelusuri kaki April

menekan beberapa titik. “Tapi untuk urusan kasar, mungkin sudah jadi keturunan. Dalam

darah saya sudah mengalir jiwa seperti itu. Latar belakang sifat ras Arya – mungkin.”

“Kamu orang Jerman?” Tanya April kaget. Ia memutuskan untuk memulai percakapan saja

daripada harus menahan salting merasakan pijatan Emil pada kakinya. Kenapa ya orang ini

kok mau jadi tukang pijat…

“Bukannya sudah ketahuan ya?” Emil balas bertanya. “Emil sendiri kan nama Jerman. Ibu

saya kelahiran Düsseldorf, tapi saya memang besar di Inggris. Saya bukan Inggris tulen, kok.”

Sekarang April bisa menyimpulkan dengan jelas darimana Emil mendapat paras seunik ini.

Rambutnya pirang dengan sentuhan kemerahan, kulitnya putih dan tidak pucat, sementara

matanya berwarna hazelnut lembut. Ujung rambut Emil seperti jambul disertai potongan rapi

dan berkesan formal – ciri khas musisi. Angkasa juga memiliki potongan rambut yang rapi.

Hanya saja Emil sama sekali tidak memiliki segi klimis di rambutnya, sementara rambut

Angkasa agak klimis. Berbeda dengan kakaknya, Bimo, yang punya rambut tapi seakan tidak

pernah salaman dengan sikat rambut.

“Pantesan kamu cakep.” Ucap April asal. Tetapi kalimat itu ditanggapi dengan buahan suara

tawa yang dalam dan gagah.

“Kamu bisa memuji juga ternyata.” Emil tertunduk, masih sibuk menekan beberapa titik di

kaki April. “Permasalahannya, kamu mendapat beasiswa spesial bukan perkara kamu adalah

penari handal. Bagi saya, kamu tidak masuk kategori „handal‟ tersebut.”

Page 38: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

38

“Apa?!” April berseru kesal. “Maksud kamu apa?! Aku bisa berbagai jenis tarian! Mulai dari

salsa, tango, flamenco, chachacha, belly, swing, jazz, tradisional, folk…”

“Kecuali balet.” Potong Emil. Ucapan yang dilontarkan pemuda ini memang tidak memiliki

toleransi ataupun kompromi. Begitu jujur, lugas, dan tajam. Menusuk.

“Ya, kecuali itu…” Bisik April pasrah. Ia menghantam pergumulan rasa kesal dan amarah

karena kenyataan pahit yang menerkamnya. “Kecuali balet… Apa karena itu aku bukan penari

handal? Seharusnya aku nggak masuk ke Trinity?”

“Sudah saya bilang, orang yang mendapat beasiswa bukan karena mereka sudah hebat.”

Ucap Emil seraya meluruskan kaki, ikut duduk memandangi Guildhall yang kosong dan luas.

“Mereka mendapat beasiswa karena mereka dipersiapkan menjadi yang hebat. Kalau mereka

sudah hebat, mereka nggak butuh belajar lagi. Karenanya, di dunia ini nggak ada orang yang

sudah hebat. Sekali saja mereka mematikan keinginan belajar mereka – semuanya selesai. Pasti

akan ada yang lebih hebat lagi menyusul mereka.”

Kepala April tertunduk pelan, berusaha memahami ucapan Emil yang – sesungguhnya –

sangat-amat menyentil dan menyindir April. Mau tidak mau, April cukup merasa setuju dengan

kesimpulan Emil. “Hidup memang nggak adil…”

“Kenapa?”

“Ya, misalkan seperti saya.” April membenarkan posisi duduknya menjadi sangat tegap,

bersiap-siap menceritakan apapun yang mengganjal di lubuk pikiran. “Di Indonesia, saya

termasuk dalam tim yang dianggap „populer‟.” Tangan April membentuk tanda kutip, gerakan

sederhana yang menimbulkan sebuah lesung pipit muncul di pipi Emil. “Semua siswa

menganggap saya layak untuk dipuja. Bagi saya, bukan masalah memuja-memuja itu sih yang

penting – tapi karena kemampuan saya menyusun koreografer dan gerakan saya yang dinilai

sangat menjiwai nilai-nilai tertentu. Tapi semuanya hancur ketika saya mendapat kecelakaan

yang menyebabkan kaki saya patah.”

“Tapi toh kamu bisa sampai ke Trinity juga?”

“Itu kasus lain.” Tambah April lagi. “Saya tetap nggak bisa ikut audisi, hanya saja ada

kesempatan yang membuat saya bisa sampai ke sini – beasiswa spesial itu. Kalau kaki saya

nggak patah, saya bisa menunjukkan kalau saya MEMANG bisa menari. Bahkan lebih hebat dari

tarian Keane. Sebenarnya saya bisa menari lebih baik dari dia…”

“Lalu dimana sisi tidak adilnya?”

“Kaki.” Aku April dengan tatapan sedih. “Kalau kaki saya tidak begini, mungkin saya bisa

dianggap lebih layak untuk menerima beasiswa.”

Page 39: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

39

“Kamu tau…” Emil menatap April hangat – tatapan yang membuat April merasakan ada

sebersit kekagetan di ujung jalan hatinya. Bagai setetes madu di atas lidah yang terasa hambar.

“Mungkin ada juga orang yang bisa menari sebaik kamu, hanya kurang satu poin lagi untuk

menyusul kamu – kalau kita memakai prinsip poin. Tetapi dia tidak bisa mendapatkan beasiswa

spesial ke Trinity, malahan kamu yang menurutnya tidak punya kaki – bisa diterima! Dia pasti

juga akan berpikir „Yang benar saja! Kenapa bisa tidak adil seperti ini? Seharusnya penari yang

tidak punya kaki tidak boleh mengalahkan saya. Bukankah yang punya kaki yang lebih layak

untuk mendapatkannya?‟ Kurang lebih seperti itu.”

“Jadi… maksudnya.” Kalimat April membuat Emil mendongak dan merasakan aura galau

yang terpancar dari tatapan April. “Sebenarnya… dalam pandangan di sisi lain, aku juga

dianggap tidak adil? Maksudku… ada orang lain yang juga menganggap bahwa hidup tidak adil

karena aku…?”

“Ya. Bukannya malah jadi pandangan yang berantai? Sesuatu yang sebenarnya tidak cocok

disebut „tidak adil‟, malah menjadi benar-benar „tidak adil‟ karena memang tiap orang

menganggap seperti itu.” Suara Emil berubah intonasi menjadi agak rendah. “Perkara

kehidupan bukan antara benar-salah, baik-buruk, atau adil-tidak adil. Segala stempel sifat-sifat

yang diberikan itu terus-menerus abstrak kalau pembuatnya adalah para manusia. Manusia

nggak akan pernah menjadi sebuah kebenaran, April. Mereka bukan patokan hidup kamu.

Patokan hidup kamu adalah diri kamu sendiri, kepada siapa kamu mau melangkah?”

“Kayaknya aku memang merasa mulai nggak beres.” April mendesah lelah. Ia menekuk

lututnya dan bersandar pada salah satu piano. “Memang manusia itu nggak pernah jadi absolut.

Tapi kita kan tetap hidup berdasarkan standar tertentu, kalau kita mau blend in…”

“Pertanyaanku, apakah dengan blend in kamu merasa „menemukan‟ tujuan kamu?”

Pertanyaan yang sangat tepat sasaran. Pertanyaan ini sangat April butuhkan. “Tapi

formalitas tetap dibutuhkan, Mil…”

“Formalitas hanya menjadi topeng, selamanya. Kalau saya, saya lebih memilih untuk

menjauh dari tiap formalitas daripada menjadi seorang munafik.”

Munafik. 7 huruf yang sangat menghantam relung April. Dengan sengit, ia langsung melotot

pada Emil. “Kamu menuduh?!”

“Tidak. Itu hanya pendapat pribadiku, April.”

“Mil…” April beranjak berdiri, berpegangan pada tiang piano. “… Kadang kejujuran kamu

juga butuh batas. Aku mengusulkan seperti itu. Kalau nggak, kamu akan selamanya dipanggil

„nutcracker‟. Kamu memang kaku sekali, dan terlalu dingin. Bagaimanapun juga kamu butuh

teman pergaulan.”

Page 40: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

40

“Saya butuh teman…” Emil meringis getir mendengar kata „nutcracker‟ terucap oleh April.

Saya pengin kamu yang bisa mengubah ini, Sugar Plum Fairy? “… Teman yang bisa menerima

saya. Bukan saya yang harus mencocokkan diri. Saya mengungkapkan apa yang saya rasa benar,

dan mereka nggak berhak untuk menilai benar-salah. Mereka juga manusia, tapi mereka bukan

saya… Mereka nggak berhak menentukan apa yang saya inginkan.”

“Tapi nggak tiap orang bisa menerima kebenaran itu sendiri, Mil. Karena itu kan ada

psikologi, psikologi bisa menyampaikan kebenaran dengan halus.”

“Kamu nggak mengerti.” Emil ikut beranjak berdiri dan meraih rangka ilizarov milik April.

“Kalau mereka nggak bisa mengakui kebenaran, mereka nggak layak hidup.”

“Emil!”

“Aku serius, April.” Emil masih memaikan rangka tersebut tanpa menatap mata April yang

sudah berapi-api. “Karena itu, saya harap kamu tetap melangkah sesuai tujuan kamu. Dengan

cara kamu sendiri. Jangan memaksakan aturan-aturan yang ada.”

“Tapi, Mil.” Mata April terasa panas. Ingin sekali ia menyemburkan ucapan kesal pada Emil

yang dengan santainya mengungkapkan kebenaran… uh, sesuatu yang membuat lidah April

sangat pahit. Bukan hanya lidah, tetapi juga nurani April. “Aku harus menari balet. Sementara

aku nggak bisa. Aku HARUS menjadi balerina untuk menunjukkan aku bisa menari, di atas

panggung ini! Dan jelas, ini nggak adil. Nggak ada penari yang bisa tampil dengan kaki

pincang!”

“Lihat ke arah kursi banyak itu.”

“Apaan sih?!” Seru April kesal. Dia masih menunduk, menatapi Emil yang bersimpuh di atas

panggung dan menatapi Guildhall yang luas.

“Lihat dan perhatikan.”

Ada gelenyar yang menggelitik ketika angin pendingin ruangan menyapu wajah April.

Pandangannya terus tertumbuk pada kursi-kursi berbahan velvet warna merah yang memenuhi

tiap pojok dan baris dalam Guildhall. April bisa menatap luasnya dan bebasnya segala

penampilan yang bisa ditabur di atas panggung megah yang ia pijaki. Intuisinya meminta agar

April menghirup nilai asli seni yang dipertunjukkan, membayangkan riuhnya penonton yang

bertepuk tangan, sehingga – tanpa aba-aba – April menunduk, seakan membari hormat pada

tiap individu dalam bayangannya. Emil hanya tersenyum geli menatap April yang asyik sendiri

dengan dunia di balik mimpi pribadinya.

“Kebebasan…” Helaan nafas April seperti melepas beban berat. “Seakan tidak ada lagi

langkah-langkah yang harus aku persiapkan harus dihadirkan di hamparan manusia ini.

Semuanya bergaris sempurna dan prima… Tuntutan profesi – semuanya hilang!”

Page 41: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

41

“Sama seperti saya.” Balas Emil tenang. “Saya juga merasa memiliki kebebasan sendiri

untuk mengupayakan seni musik dalam piano di hamparan kursi kosong ini. Sama seperti kamu

ketika menari.” Emil menoleh, mendalami wajah mungil April yang terlihat naif. “Ketika kamu

menari, yang diperhatikan oleh masyarakat bukanlah siapa yang menarikan, April. Bukan nama

April yang dilihat – jadi kamu tidak harus peduli dengan kakimu. Bukan apa yang kamu tarikan

– mau balet, kontemporer, ballroom… tapi yang mereka lihat adalah bagaimana cara kamu

membawakan tarian tersebut. Itulah seni, sesuatu yang berakar pada hal yang tetap dan

bertahan lama, tapi kita memiliki cara tersendiri untuk mengembangkannya. Sesuai dengan

jiwa yang haus kebebasan dan sedang terkunci di sel berjudul „aturan‟.”

“Kamu…” April menatap Emil dengan binar yang seakan baru saja dibersihkan. Tatapannya

bening dan jujur, ingin sekali April mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena segala

ucapan Emil. “Saya tidak tahu bagaimana caranya mengucapkan terimakasih.”

Postur kaku itu hanya menyunggingkan sebelah lesung pipit, memproyeksikan senyum kecil

yang tidak lagi berkesan dingin. Lalu ia mendorong pundak April lembut. “Ayo, kalau begitu

menarilah sebagai ucapan terimakasihnya. Menari sesuai dengan tarian yang ingin kamu

tarikan. Dunia tidak menatap seorang „April‟, tapi tarian bernama „April‟.”

Tapi perasaan April berkata lain. Wajahnya terasa hangat ketika sentuhan dingin yang

singkat itu hadir di atas permukaan kulitnya. Tidak mustahil bahwa banyak kupu-kupu

menerjang lambung April – karena kini ia merasa seperti habis menelan biji durian. Baru saja ia

melangkahkan kakinya ke tengah panggung, perasaannya menyuruh April itu kembali berbalik.

Apa lagi yang kamu mau lakukan, April? Otak bertanya kebingungan. Kembali, hadapi

panggung dengan gerakan tarianmu.

Emil ada di sana, Aprillia…

Dengan hitungan cepat, April memeluk Emil yang tidak siap erat-erat. Emil hanya menatap

April kaget, kaku, sementara tangannya melayang – saking tidak tahu harus berbuat apa. Ketika

April melepas pelukannya, gadis Indonesia itu hanya menatap Emil dengan pandangan aku-

sudah-tidak-tahu-harus-berkata-apa.

“Please, dance for me.” Would you dance with me?

“Terimakasih banyak ya, Emil…” April mengeja kalimatnya lambat. Terimakasih yang ia

maksud bahkan benar-benar „terimakasih‟ yang lebih dan lebih lagi. Ia kembali berbalik dan

menyambut panggung dengan tarian daerahnya. Lagu tortor daerah Batak mengalun memenuhi

tiap tingkap dalam Guildhall. Tepat di tengah-tengah panggung, ada sesosok mungil yang

menari dengan lucunya.

Page 42: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

42

Sementara dalam pojok di bawah piano, Emil – si nutcracker yang kaku – duduk dengan

senyum mengembang, menikmati tiap alunan lagu dan gerakan yang terkandung dalam

penampilan unik April. Penampilan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya – penuh gelora,

semangat, dan kebahagiaan akan dunianya sendiri. Emil ingin melebur dalam senyum dan tawa

sumringah tersebut.

***

Page 43: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

43

CHAPTER FIVE

Dance History Class, Room 154, Trinity College, London | November 2011

“Kamu bisa menari.”

Kalimat singkat yang membuat April terkesiap. Itu bukan pertanyaan sinis seperti yang

sering ia terima selama berada di Inggris – melainkan pernyataan jelas. Dirinya bisa menari.

April langsung menoleh ke belakang kursinya, menatapi wajah segar dengan make-up warna

nyentrik. Alisnya tegas berwarna kemerahan, bibir tipisnya dipoles warna nude, sementara

rambut gadis muda ini berombak model pixies. Alis April menyatu bingung – ia dan Bimo,

kakaknya, memang memiliki jenis alis yang terlihat menyambung. Sudah genetika dari awal

mulanya seperti itu. Dan kini, alisnya semakin rapat melihat sosok tidak dikenal berbicara

tentang tari-menari pada… seorang penari cacat.

“Who are you?”

“Kamu Aprillia, bukan?”

Entah ini budaya orang Inggris atau bukan, yang jelas April selalu heran – mengapa setiap

kali ia bertanya, selalu jawabannya juga berupa pertanyaan. Tapi ia memutuskan untuk

mengangguk saja dan bertanya ulang, “Kamu siapa?”

“My name is Paige.” Gadis itu tersenyum angkuh seraya menyodorkan tangannya. “Saya

baru lihat kamu menari kemarin. Saya tidak tahu apa jenis tarian yang kamu tarikan – and I

never see it either. But, I know you‟ve the talent. The dancer‟s sense.”

“Kamu kemarin ada di Guildhall?” Mata April terbelalak. “Kenapa saya tidak melihat

kamu?”

“Guildhall itu luas, darling.” Ucap Paige pendek. “Saya duduk di pojokan. Saya juga melihat

Emil sedang bersama-sama dengan kamu.”

Nada itu. Sekilas April merasa terdorong untuk merasakan kegetiran dan aura cemburu dari

suara Paige, tapi April lebih tertarik dengan kata „Emil‟ itu sendiri. Ini salah satu spesies

pertama yang menyebut Emil bukan sebagai „nutcracker‟. “Ya, dia memang ada di sana

kemarin. Bersama saya.”

“Kamu bisa menari.” Ulang Paige lagi. “Kenapa kamu tidak menampilkan tarian balet

sewaktu kita sedang latihan di Guildhall? Kamu bisa kok.”

“Technique.” April berkata lirih. Kelas sudah mulai ramai dipenuhi beberapa siswa-siswi

Trinity, bersiap-siap mempelajari berbagai glossary dan teori penemu-penemu tarian seperti

George Balanchine, serta unsur-unsur teknik koreografi ala John Butler yang suka

Page 44: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

44

bereksperimen secara out of the box – melanggar berbagai jenis pakem balet dan menciptakan

jenis balet baru. “Saya tidak bisa menari balet. Itu saja.”

“Kamu mau saya ajarkan?” Tanya Paige lagi. “Saya juga punya kenalan, seseorang yang juga

sangat expert dalam balet.”

“Dia tidak di kelas ini?” April mengecilkan suaranya, dia mulai merasakan ada tatapan

sarkatis dari depan kelas – tatapan Cathlin. Entah kenapa, si pirang yang populer di Trinity itu

selalu saja ingin membuatnya kesal. Baik hanya melalui tatapan, maupun hinaannya. Hello,

Cathlin Ludwinia has anything that every girls want! Cathlin tidak berbeda jauh dengan

dirinya – dengan April. Bedanya, Cathlin punya kaki normal dan bisa menari balet. So why that

angel of heaven must keep upset on her? April tidak merasa adanya persaingan antara dirinya

dengan Cathlin. Kalau memang Cathlin punya kelebihan yang tidak ia miliki, apa yang bisa April

lakukan?

Kepala Paige menggeleng kecil, membuat rambut pixie-nya sedikit acak-acakkan. Jemarinya

langsung merapikan rambut merah itu hingga kembali cepak. “Dia senior kita. Berbeda tingkat.”

“Oh.”

“Kamu mau bertemu dia?”

Benak April berpikir sejenak. “Apakah dia sehebat itu? Bisa membuat saya menari lagi?”

“Without him, you already have that talent. With him, you‟ll fly.” Paige tersenyum geli

memandangi mimik naif yang ada di hadapannya.

“So… he‟s a guy.”

“Ya, namanya Hayes. Kita akan pergi ke kediaman pertapaannya nanti sore.”

***

Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011

Dalam benak April, yang dimaksud Paige sebagai „pertapaan‟ adalah benar-benar goa

berbatu tajam dan menanjak ke arah gunung. Ia sudah nyaris senang kalau-kalau ia diajak

keluar London oleh seorang warga Inggris. Tapi ternyata, tempat pertapaan „Hayes‟ yang

dimaksud Paige adalah jalanan yang cocok untuk hanging out – tak lain adalah Leicester

Square.

“Dia suka bertapa di sini?”

“Hayes. Bukan dia.” Ralat Paige. “Ya, Hayes suka bertapa di sini. Bukan bertapa sebenarnya,

tapi ia suka merenung dan kadang menampilkan beberapa jenis tarian baru ciptaannya sendiri.”

“Menampilkan?”

Page 45: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

45

“Ya. Kamu tau, seperti street dance. Ia dan teman-temannya – tapi seringkali tarian yang

ditampilkan berupa permak langsung atas balet kontemporer.”

Baru saja langkah mereka berdua terhenti, pandangan April langsung tertumbuk pada

kerumunan orang di tepi jalan. April menyipitkan matanya – sekilas mimiknya mirip dengan

ekspresi serius Bimo. “Itu… Hayes?”

Paige mengangguk. Ia menggandeng tangan April dan mengajaknya bergabung di dalam

kerumunan tersebut. “Ayo kita gabung.”

“Gabung?”

“Ikut menari.”

“H-hah?” April berseru kaget. “Yang benar saja, Paige! Kamu nggak lihat, aku…”

“Kamu bisa menari.” Kata Paige lagi. “Bukankah aku sudah bilang? Kalau di Guildhall kamu

bisa menari, kenapa di sini tidak? Ayo!”

Buru-buru Paige membantu April melepas rangka ilizarov dari kakinya dan bergegas

menuju ke arah kerumunan. Di dalam kerumunan orang-orang yang sedang menonton action

trio dance berbentuk battle di tepian Irving Street. Paige langsung menepuk pemuda tinggi

yang menggunakan cap, dagunya ditumbuhi jambang halus, serta tubuhnya sangat atletis –

macho dan kekar. “Hayes.”

“Don‟t call me me with that name.” Balas Scott jutek. “Scott.”

“Oke oke, Scott. Tapi kamu nggak tahu, kalau dipanggil „Hayes‟, tiap orang pasti langsung

menoleh.” Paige terkekeh. “Kecuali satu orang…”

“Ada yang nggak menoleh?” Ucapan itu tidak berkesan sombong, melainkan murni kaget. Ia

menatap Paige heran. “Who?”

“Here. Introduce my new friend… April.” Paige menarik April ke depan tubuhnya. April

hanya mengangguk kecil lalu tersenyum.

“Hello. I‟m April.”

“Oh, hi. I‟m Scott. Scott Hayes.” Dengan sengaja, Scott mengucapkan nama belakangnya –

sekaligus memperhatikan perubahan mimik April. Tapi April tetap tersenyum, tidak terlihat

kaget atau tidak percaya. Scott jadi semakin heran. Tidak tahukah gadis ini mengenai Hayes?

Keluarga besar Hayes? Scott merasa ada sesuatu yang menggelitik ketika ia menatap tatapan

clueless gadis itu.

“Jadi ini… Hayes yang kamu bilang jago nari itu, Paige?”

“Panggil saja Scott, April.” Potong Scott buru-buru. Ia langsung mendelik ke arah Paige –

pasti cewek tengil satu itu yang menyodokkan bola putih supaya April memanggilnya dengan

Page 46: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

46

sebutan „Hayes‟. Scott tidak suka jadi pusat perhatian, karenanya ia memilih untuk selalu

dipanggil bukan dengan nama keluarga.

“Nah, Scott. Si April aku ajak ke sini untuk menari bareng kita.” Paige melirik April yang

wajahnya mendadak pucat. “Jadi silakan dijadikan eksperimen.”

“Wah, penari juga?” Binar mata Scott langsung cerah. Ia menggamit tangan April dan

mengajaknya ke spot, bersama-sama dengan penari lainnya. “Kamu mau menari apa?

Kontemporer? Country? Modern? Salsa?”

“Kayaknya kalian sukanya menari hip-hop ya?” Tanya April menyelidik.

“Kebanyakan suka menari hip-hop. Tapi aku nggak kok. Aku suka segala jenis tarian.” Scott

tertawa renyah. April suka nada tawanya, seperti menikmati sepotong Lindt. Lembut dan

kental. “Aku pengin menari salsa habis ini. Kamu mau jadi pasanganku?”

“Tentu.” Ucap April seraya tersenyum sumringah. Hail to April, dance spot!

***

Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011

“Ayo, habis ini giliran kamu.” Paige menyenggol lengan April. Teman barunya hanya

tertunduk malu sambil digandeng oleh Scott.

“Yakin nih, tidak apa-apa?”

“Pasti. Aku yakin gerakanmu akan memukau mereka.”

“The next dance is… Salsa! We introduce you our dancer… Scott and April!” Seru salah

seorang teman Scott. Jalanan semakin penuh sesak begitu mendengar nama „Scott‟ diserukan.

April melirik pasangan menarinya ini. Siapa gerangan penari muda ini?

Lagu Salsa Merengue yang dinyanyikan Elvis Crespo membahana dan memantul di seluruh

jalanan Irving Street. Dengan gerakan cepat, Scott langsung memasuki posisi tarian salsa jenis

pertama. April mengikutinya dan mereka berdua bergerak cepat, berayun dalam hitungan tarian

latin yang menggelora.

April menggoyangkan kedua tangan dan berputar, lalu mendekat ke arah Scott – melakukan

gerakan berpasangan yang memasuki posisi lima. Ketika wajah April dan Scott saling

berdekatan, April baru menyadari ada yang salah.

Wangi pemuda di hadapannya sangat membius.

Seraya menari, April juga memperhatikan lekuk paras Scott Hayes. Scott memiliki tampilan

yang sangat berkelas, gerakannya juga sangat lentur sekaligus mempesona. Cekatan tapi juga

penuh estetika – seakan Scott memang benar-benar menguasai wiraga tarian Salsa. Salsa

Page 47: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

47

bukanlah tari yang sangat April dalami, tapi April cukup menyukai bagaimana tarian ini selalu

membuatnya menarik nafas kagum.

Dan mata hijau di hadapannya tidak henti menatapnya tajam. Kepala April tertunduk,

mendadak wajahnya merasa panas.

Kenapa ia jadi malu sendiri?

***

Stockpot, Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011

Garis lingkaran tajam yang membentuk bulan bulat sudah hinggap di tingkap langit. Sambil

mengurut beberapa titik yang biasa dipijat oleh Emil, April menatapi jalan-jalan yang semakin

ramai. Kerumunan penari sudah mulai sepi karena mereka sedang mencari santapan makan

malam. Paige menatap April dengan berseri-seri, tidak henti-hentinya ia berdecak kagum.

“Kamu punya bakat.” Ucap Paige akhirnya.

Memang. Batin April dalam hati. Tapi mengingat percakapannya dengan Emil kemarin,

April memutuskan untuk belajar lebih membumi. “Masih banyak yang lebih berbakat.”

“Tapi kamu punya ciri khas, itu yang dibutuhkan oleh penari, April. Oleh semua seniman.”

Mata Paige mengerjap. “Tidak biasanya Scott mau menari bersama orang lain. Apalagi

perempuan. Hebat juga kamu.”

“Apa?”

“Scott.” Paige mengulang. Ia mendecak kagum. “Biasanya, Scott lebih suka menari solo. Dia

sedikit cuek terhadap orang lain, dan sedikit gengsi untuk menari bersama perempuan.

Walaupun dia sering menarikan berbagai jenis tarian berpasangan – tapi seringkali tarian

berpasangan ia ubah menjadi tarian solo, dasar perombak gila.”

“Jadi… tapi dia mau kok menari sama aku.”

“Itu dia maksud aku. Dia mau menari bersama seorang Aprillia.”

“Dan dia memang hebat dalam urusan menari berpasangan.” April berusaha tidak

memedulikan tanggapan Paige sebelumnya. Ia harus mengakui, Scott memang memukau. Tapi

apakah itu karena… dirinya? Dengan gusar, ia menyeruput darjeeling tea yang baru ia pesan.

“Memangnya selama ini Scott tidak pernah menari dengan orang lain – seorang perempuan?”

“Nyaris tidak pernah.” Paige mengerutkan dahinya. “Selama aku mengenal Scott, jarang

sekali ada perempuan yang bisa akrab dengannya.”

“Kamu akrab dengannya.”

Page 48: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

48

Gadis tomboi itu tergelak. “Aku beda kasus, April. Dan mohon dicatat, aku tidak pernah

berdansa dengan Hayes.”

“Bukannya dia tidak ingin dipanggil „Hayes‟?” Tanya April keheranan. “Aku heran, kalian ini

– para orang Inggris, memang suka memanggil seseorang dengan nama yang tidak mereka

inginkan ya? Seperti Emil yang dipanggil nutcracker.”

“Mungkin kita memang menganut ucapan Shakespeare, „apalah arti sebuah nama‟.” Sebuah

senyum terulas di bibir cantik Paige. “Tapi yah, aku tidak pernah memanggil nutcracker, aku

suka nama Emil. Lebih baik daripada pejuang boneka kayu itu.”

“Tentu.”

“Setidaknya, kembali ke kasus ini. Scott benar-benar tidak pernah berdansa dengan

perempuan. Dia benci berdansa berpasangan. Kamu tahu… di Eropa ada kebiasaan bahwa

setelah berdansa, kamu harus…”

Kalimat Paige terhenti. April mendongak dan menatapnya penasaran. “Harus… apa?”

“Itu…” Paige meringis geli sekaligus canggung. “… kiss your partner.”

“Do what?!” April bertanya kaget. “Yang benar saja? Tapi Scott tidak…”

“Tapi dengan ia mau berdansa denganmu saja sudah bagus, April. Terakhir kali Scott

berdansa… ia berdansa dengan Enfys.”

“En… who?”

“The spelling is hard enough.” Ucap Paige. Ia mengaduk-aduk ice lemon tea yang sudah

dipesan 30 menit yang lalu. “It‟s Welsh accent. E-n-f-y-s.”

“Oh. Oke. Siapa itu Enfys?”

“Mantan kekasih seorang Scott. Dan Scott sangat susah melupakan orang itu.”

“Benarkah?”

“Ya. Semua orang tau itu. Bagaimana gengsinya Scott meminta Enfys untuk kembali. Enfys

salah satu gadis beruntung yang bisa berpacaran dengan Scott. Si gengsian itu tipe yang terlalu

loyal – karenanya dia sulit menjadi pengganti Enfys.”

“Memang… dia sudah berpisah berapa tahun?”

“5 tahun. Bayangkan!” Paige berseru tidak habis pikir. “Antara loyal dan tidak wajar

bedanya tipis.”

“Wow.” Baru saja April ingin bertanya tentang gosip ini lebih lanjut, sosok yang mereka

bicarakan langsung duduk di sebelahnya tanpa permisi.

“Kalau menurut dugaanku, Paige pasti sedang mengajakmu bergosip ya, April?” Tanya Scott

sinis. Yang disindir hanya ketawa terkekeh saja, pura-pura tidak peduli terhadap sindiran tajam

si penari di samping April. “Kamu mau makan malam?”

Page 49: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

49

“Tentu. Kamu juga mau kan Paige?”

“Eh…” Dalam hati, Paige sudah merencanakan sesuatu. Ia bisa membaca gelagat Scott –

sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Gerak-gerik Scott yang berusaha mengenal April sudah

sangat gamblang di mata Paige, sehingga ia memutuskan untuk segera angkat kaki saja. Kapan

lagi si orang tidak wajar ini bisa menggapai sebuah kesempatan mengecap kisah cinta lagi? “…

Aku ada urusan. Kayaknya harus pergi sekarang, April.”

“Urusan?” Dahi April mengernyit. “Kita nggak ada kelas kan?”

Kepala Paige menggeleng, tetapi wajahnya memancarkan sebuah rahasia tertentu yang

membuat April semakin gelisah. “Urusan penting. Kamu di sini aja ya.”

“Kalau gitu aku ikut.” Tambah April seraya menarik tasnya. Baru saja ia mau beranjak,

tangannya ditahan oleh seseorang. April menoleh, menatap Scott bingung.

“Please, stay here. Bisa temani aku makan malam?” Scott memohon dengan tatapan yang

membuat April seperti lumer. Mata hijaunya menatap April dengan hangat, seperti meminta

sesuatu yang tidak pernah ia minta pada orang lain. Hanya ia minta pada April.

Dalam lubuk hatinya, tetap ada rasa ragu untuk mengiyakan permintaan Scott. Tapi demi

kesopanan, akhirnya April mengangguk juga. Paige menghela nafas lega – rencananya sukses!

Ia ingin sekali melihat Scott sekali-sekali mencoba menghabiskan waktu berdua bersama gadis

lain selain Enfys. Siapa saja – selain terus terpuruk pada satu orang itu. Paige melambaikan

tangannya dan mulai pergi menjauh dari tempat mereka duduk. Sementara April…

Gadis itu meremas tangannya gelisah, rasanya suasana ini sangat canggung. Nuraninya

terkesiap setiap kali ujung matanya melirik paras Scott di sebelahnya. Dan parahnya, pemuda

itu malah beranjak ke hadapan April – duduk berhadapan sambil terus menatapnya.

“Jadi kamu di Trinity?”

April mengangguk. “Ya, aku di seni tari.”

“Cocok. Tarian kamu tadi hebat sekali, Apri.” Scott tersenyum ramah. “Aku menikmati

sekali tarian tadi. Kamu penari hebat. Ini juga pertama kalinya aku menari dengan orang lain.”

“Paige sudah cerita.” Bisik April lirih. “Memang ada apa dengan Enfys?”

Scott terkesiap. Ini juga pertama kalinya – ada seseorang yang baru saja ia kenal, dan

langsung menanyakan mengenai masa lalunya tanpa diplomasi lain. April menatap Scott

dengan tatapan yang tidak mudah dimengerti. Akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk

kecil dan mengisahkan kulit luar tentang Enfys pada gadis yang baru saja ia ketahui namanya.

“… Dia seperti masih ada di sebelahku.”

“Oh.” Hanya itu yang bisa April ucapkan. “Jadi… kesimpulannya sekarangpun juga ada

Enfys? Di depanku?”

Page 50: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

50

Tawa gelak Scott terdengar. “Kamu lucu sekali. Bukan itu maksudku, maksudnya…”

“Nggak kok. I‟m just joking.” Potong April cepat-cepat. “Aku mengerti. Banyak orang yang

seperti kakakku.” Yang selalu punya kisah cinta negeri dongeng. Yang selalu membuat

kenangan sebagai jenis harta warisan. Jenis-jenis orang yang… percaya keajaiban?

“Memang kakakmu kenapa?”

“Dia… bisa hidup dalam masa lalu. Lebih tepatnya, dia pernah punya keberanian untuk

bermimpi. Tipe-tipe orang yang percaya keajaiban.”

“Aku percaya keajaiban.” Scott mengangguk. “Memang kamu nggak?”

Aku percaya keajaiban, kalau saja kaki ini bisa menari lagi. April membatin kesal dalam

hati. Dengan jujur ia menggeleng. “Keajaiban hanya ada di cerita. Kisah-kisah gila yang niat

banget memperjuangkan segala sesuatunya. Dimana keadilan bisa didapat, padahal dunia ini

nggak adil. Ini kan bukan Hogwards.”

Mata Scott terus menatap April dalam-dalam. Ia tersenyum geli, berusaha menahan tawa.

“… Aku bisa membuat keajaiban untuk kamu.”

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011

“Hari ini kamu praktek balet lagi? Ada kelas?”

Suara yang setiap sore selalu terdengar. Nada dingin yang dalam, sama sekali tidak memiliki

unsur ramah yang layak didengar. April mengangguk kecil. Raut datar Emil memang selalu

sama, mimiknya seperti permukaan air yang beku, dan kata-kata yang dipilihnya selalu

membuat hati April serasa bergetar. Begitu sarkatis, ketus, dan tidak bisa dibaca.

“Kamu yakin?”

“Yakin apa?”

“Menari.” Kata Emil seraya duduk di kursi piano. “Kalau nanti jatuh?”

“Memang kapan saya nggak jatuh, Mil?”

Walaupun April tidak bisa membaca ekspresi Emil, sebenarnya Emil sendiri merasa geli

sekaligus khawatir dengan tanggapan cuek itu. Saya nggak pengin April jatuh kalau saya

nggak ada di sana.

“Lama-lama kamu pasti nggak jatuh.”

April memutar kedua bola matanya – meremehkan ucapan Emil. “Jelas. Karena saya sudah

keseringan jatuh, makanya lama-lama jatuhpun tidak terasa.”

Page 51: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

51

Bibir yang biasa melontarkan ucapan kasar itu sempat tertarik sebentar. “Tidak. Maksud

saya benar-benar tidak akan jatuh lagi.”

“Mungkin… 12 bulan lagi.”

“Kenapa?”

“Sekitar 11-12 bulan lagi kaki saya sudah bisa normal.”

“Pasti bisa lebih cepat.”

“Kamu optimis sekali sih.” April hanya tertawa mendapati Emil – yang tidak biasanya –

berbicara lumayan banyak pada dirinya. “Kamu tidak ada kelas?”

April sedang berdiri membelakangi Emil, karena itu ia tidak melihat pemuda di belakangnya

menggeleng. Buru-buru Emil melanjutkan. “Kalau saya ada kelas, saya nggak akan ada di sini.”

“Kamu setiap sore ada di sini.”

“Berarti saya tidak ada kelas.”

“Tapi kamu nggak pernah ngapa-ngapain di sini.” Tukas April lagi.

“Saya ngapa-ngapain.” Sergah Emil kalem. “Saya menonton kamu latihan menari.”

“Hanya itu?”

“Tidak.” Lagi-lagi Emil menggeleng. British face-nya terlihat damai melihat April mulai

melakukan pemanasan. “Saya juga harus memijat kamu.”

“Itu bukan kewajiban kamu.”

“Memang bukan.”

“Lalu kenapa kamu mau melakukannya?”

“Karena saya ingin.”

Walau April tetap diam, sebenarnya batin dan kepala April sudah terkesiap saking herannya.

Ia bahkan tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. “… Kenapa kamu ingin?”

“Apakah yang saya lakukan adalah perbuatan yang salah?”

Kepala April menggeleng, tapi raut Indonesianya masih tampak penasaran. Berbicara

dengan Emil memang serasa menjadi Watson – harus membantu memecahkan misteri di

kepala si Sherlock Holmes alias Emil sendiri.

“Kalau apa yang saya lakukan tidak salah, berarti lumrah kan kalau saya ingin

melakukannya?”

“Ya, tapi kenapa? Kenapa mau menonton saya menari? Ini bukan penampilan final, hanya

latihan yang disertai jatuh berulang kali.”

“Saya senang menonton kamu menari.”

Kejujuran terucap dari mulut yang sering mengucapkan kata-kata dingin tersebut. Mau

tidak mau, April merasa tersanjung juga karena Emil – si boneka kayu ini – suka menontonnya

Page 52: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

52

menari. Tapi untuk menghilangkan wajah meronanya, April langsung mengalihkan

pembicaraan. “Saya ingin menonton kamu bermain piano.”

“Kamu suka piano?”

“Tidak.” April memutar kedua bola matanya. “Saya tidak begitu mengerti musik klasik. Tapi

ya, saya kadang suka mendengar permainan piano. Piano punya nada-nada yang bening dan

tersusun dalam harmoni yang cantik.”

“Yang bukan klasik ya…” Gumam Emil memecah buih-buih kekakuan. Ia mengangguk

setuju. “Ayo, kamu bisa dengar permainan piano saya.”

“Kamu mau?” April terperangah. Luar biasa, si manusia dingin ini mau saja mengabulkan

permintaan remehnya. “Kamu mau… bermain untuk saya?”

“Tentu saja. Kenapa saya harus menolak?”

“Kamu kan… pemain piano hebat. Bukankah harusnya kamu tidak sembarangan

menampilan permainan piano?”

Emil tergelak. “Saya bermain piano terserah kemauan saya. Bukan untuk penilaian atau

formalitas. Dan terserah saya – untuk siapa saya akan memainkannya.” Ia mengajak April

untuk ikut duduk di kursi piano, menatapinya memainkan jemarinya di atas tuts hitam-putih.

Sebelum jemarinya menekan tuts, Emil menarik nafas panjang. Ada yang masih mengganjal,

rasa yang terbit ketika ia sedang ada di depan piano. Entah kenapa ia harus merasakan hal ini –

dia pianis, kenapa rasanya aneh?

“Mainkan apa yang paling kamu suka saja, Mil.”

Dahi Emil berkerut. “Yang saya suka?”

“Ya. Apa saja. Kalau kamu memang suka klasik, mainkan saja. Walaupun saya juga nggak

mengerti banyak.” April nyengir kuda. “Filosofi musik klasik terlalu dalam.”

“Baiklah. Bagaimana kalau saya…” Emil memainkan beberapa nada kecil di pianonya.

Ekspresinya tetap datar, tapi ada binar asing yang belum pernah April lihat ketika ia meminta

Emil untuk memainkan lagu kesukaannya saja. “… Kalau lagu Michael Bublé?”

Tawa April langsung pecah membahana, menggema di sepanjang Guildhall. “Kamu

bercanda? Serius? Atau bagaimana?”

“Kenapa?” Tanya Emil kaget. Tidak ia sangka tanggapan April akan seantusias ini. “Kamu

benci sekali dengan lagu-lagu Michael Bublé?”

“Kamu suka Michael Bublé?” April ganti bertanya.

Emil mengangguk. Rautnya datar, tapi terdapat sedikit rasa penasaran dan khawatir yang

tersirat. April kembali mengulum tawa.

“Penyanyi yang paling saya suka itu…” Mata April melirik Emil cepat. “… Michael Bublé.”

Page 53: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

53

“Yang benar? Kok bisa sama?” Kali ini Emil ikut kaget. “Saya pikir kamu suka yang tipe-tipe

Jennifer Lopez atau Fergie.”

“Karena saya penari?”

Anggukan Emil sangat naif, membuat April memainkan beberapa nada juga di atas piano –

berusaha menyembunyikan rona senangnya. “I hate Louboutin.” Ucap April ketus.

“Hahaha, that song. Jlo loves it, every girls want it. Kenapa kamu tidak?”

“Orang pincang nggak cocok pakai sepatu hak tinggi.”

“Kata siapa?” Emil menoleh dan menatap April dalam. “Di mata saya, kamu cocok pakai

apapun. Yang penting, dalamnya „April‟ selalu sama.”

Detik demi detik terlewati dengan tatapan Emil yang intens. April mendadak kaku, merasa

terbius dan mati rasa karena tatapan Emil yang menembus bola matanya. Ia tidak berpaling – ia

tidak ingin berpaling dari mata dingin di depannya. Dingin, tapi tidak membuatnya kedinginan.

April malah merasa… damn, ini aneh. Ia ingin meleburkan rasa dingin tersebut.

“Kamu mau lagu yang mana?” Akhirnya Emil yang memutuskan untuk berpaling. April

merasa seperti mendapat nafasnya kembali, mengingat dalam detik sebelumnya ia terus terpaku

pada sepasang bola mata dingin.

“Kamu suka yang mana?”

Alis Emil bertaut. “Hmm… jangan-jangan sama lagi.”

“Yuk, ucapin sama-sama.” Tantang April dengan raut tertarik. “Satu, dua…”

“Quando Quando Quando.” Ucap mereka bersamaan. Sejenak, mereka hanya saling

menatap lagi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Lalu tawapun pecah.

“Sama lagi.”

“Kalau gitu, saya akan mainkan untuk kamu.”

April tersenyum. Ia terus memperhatikan tangan kurus Emil menari-nari di atas tuts piano.

Paras Inggris Emil terlihat sangat bersahabat ketika ia mulai menyenandungkan lagu kesukaan

mereka dan diiringi langkah-langkah nada piano. Dalam lubuk April, ia sadar bahwa senyum ini

bukanlah senyum yang biasa ia tunjukkan. Tapi April tidak ingin menggubrisnya, pentingkah

memikirkan sebuah rasa lagi di saat ia harus fokus untuk ambisinya?

Tell me when will you be mine?

Tell me quando quando quando

We can share a love divine

Please don‟t make me wait again

Page 54: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

54

When will you say yes to me?

Tell me quando quando quando

You mean happiness to me

Oh my love please tell me when

Every moments a day

Every day seems a lifetime

Let me show you the way

To a joy beyond compare

I can‟t wait a moment more

Tell me quando quando quando

Say it‟s me that you adore

And then darling tell me when

“Saya nggak nyangka…” Kata April seraya melirik Emil. Pemuda di sampingnya masih

menyenandungkan beberapa nada dalam lagu Quando Quando Quando.

“Nggak sangka apa?”

“Kamu suka lagu lembut seperti ini.”

“Kenapa tidak?” Emil masih terpaku dengan dentingan piano. “Lagipula, saya suka apapun

yang kamu suka. Kalau saya tidak suka, mungkin saya akan belajar menyukainya.”

“Kamu mau belajar menari?”

“Eh?” Sesaat raut Emil terlihat bingung. “Belajar… menari?”

“Ya. Saya suka menari, kamu juga suka?”

“Kurang. Saya nggak tau banyak soal tarian.”

“Kalau begitu…” April mengernyitkan dahinya, mendadak mendapat ilham cemerlang. “…

Kalau kita bertemu lagi, saya akan mengajak kamu menari.”

“Besok kamu akan ke sini lagi?”

“Ke Guildhall?”

Sesaat Emil terlihat termangu, lalu ia mengangguk. “Ya, ke Guildhall. Kamu ke sini?”

“Tentu saja.”

Secercah rasa lega terpampang di mata hazelnut Emil, kemudian ia menghela nafas. “…

Kalau begitu, saya akan tampilkan lagu spesial untuk kamu.”

***

Page 55: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

55

CHAPTER SIX

Trinity Dance Class Studio, London, United Kingdom | November 2011

“Hurry, hurry. We need to start out lesson now.” Mr. Griffith menepuk kedua tangannya,

mengomando agar para siswa-siswi segera cepat berkumpul di studio. “Hari ini, kita akan

mempelajari beberapa posisi balet untuk penampilan akbar yang sudah kalian tunggu.”

Beberapa mata terlihat berbinar dan terdengar tarikan nafas membayangi angin yang

berhembus dalam ruang studio. April menoleh penasaran – ada apa gerangan yang membuat

mereka terlihat sangat bersemangat, acara apa?

“Kita akan segera memilih main dancer.”

Dalam sekejap, studio langsung riuh rendah – penuh dengan segala macam tebakan dan

seruan akan pemilihan ini.

“Para guru sudah berdiskusi…” Mr. Griffith membuka lembaran buku catatannya. Ia

memperbaiki letak posisi kacamata di pangkal hidung sebelum membaca. “… Kemungkinan

besar, main dancer akan menjadi tokoh utama dalam kisah yang kita tarikan.”

“Kisah apa, Mr. Griffith?”

“Masih belum pasti, tapi ada beberapa pilihan.” Pengajar berambut merah itupun beranjak

dari kursinya, menorehkan beberapa kata di atas papan tulis hijau dengan sepotong kapur. Tiap

mata langsung menatapi kata-kata tersebut lekat-lekat, tidak sabar dengan hasil keputusan

dalam rangka persiapan acara akbar Trinity College – The Final Stage!

April memicingkan matanya, menatapi tulisan Mr. Griffith dengan nafas tertahan.

Dance of Giselle, Swan Lake Parade, The Sleeping Beauty, Nutcracker,

Cinderella, Spring Waters, The Harlequinade, Peter Pan.

“… Most of them use the pas de deux*, it would be fun.” Suara Cathlin memecah

keterpanaan para siswa ketika menatap tulisan Mr. Griffith.

Benak April tidak menangkap kata-kata Cathlin. Ia masih terpaku pada judul-judul tarian

yang Mr. Griffith pilih – para guru Trinity pilih. Yang pernah ia ketahui hanya Swan Lake,

Sleeping Beauty, Nutcracker, dan Cinderella. Sisanya? Tanda tanya. Bahkan dari yang ia

ketahui, tidak ada satupun yang pernah ia tarikan!

“Saya mengusulkan Les Amours de Diane.”

Apalagi itu?

Page 56: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

56

“Hmm… karya Marius Petipa ya. Zaman keemasan Tsar Kandavl.” Mr. Griffith mengangguk-

angguk. “Tarian yang anggun, hanya saja Les Amours de Diane adalah Russian. Kita mau pakai

tipe Italian atau French, rata-rata tetap pakai tahap Checchetti* atau Vaganova*.”

Anak-anak mengerang malas, tahap Checchetti adalah teknik persiapan balet yang terlalu

sering digunakan para pebalet Inggris – biasanya membutuhkan pelatihan khusus yang tidak

hanya mengandalkan kelenturan tubuh, tapi juga isi otak akan pemahaman penampilan. Setiap

hari, para penarinya harus mempelajari satu langkah dalam hitungan 3 x 8 yang merupakan

potongan tarian tertentu. Jangka waktu yang digunakan metode Checchetti sangat lama, karena

prosesnya mendetil untuk fisik maupun batin. “Ayolah, Mr. Griffith. Royal Ballet School dan

Royal Academy of Dance sudah menggunakan teknik itu terlalu sering. Trinity harus buat

gebrakan berbeda.” Ujar salah seorang penari di pojokan yang April kenali sebagai Ignacia –

one of the Americans.

“Checchetti is British ballet main-leading method. And it always makes us control the

relation to whole body properly.” Ucap Mr. Griffith, menolak segala protes. “Karena itu, kita

juga butuh banyak latihan. Ayo, kita mulai sekarang.”

Lantai studio berderak karena gerakan para murid Trinity yang bersiap-siap pemanasan.

April sendiri masih bingung, apa pula tahap persiapan tari yang disebut checchetti ini?

“Karena hari ini saya ada urusan dengan Royal Ballet School, kalian bisa latihan dengan

orang lain.”

Dua puluh pasang mata menatap Mr. Griffith bingung, sebelum beliau melanjutkan

kalimatnya. “… Ada orang lain yang menggantikan saya untuk hari ini. Hayes, just come in.”

Seketika, seluruh keheningan dalam studio terganti oleh bisik-bisik yang penuh decak

kagum. April sendiri hanya bisa bengong, mendapati pemuda bermata hijau yang ia temui

beberapa hari yang lalu di Irving Street dengan gaya apa adanya, kini terlihat sangat formal.

Rambut Scott disisir ke belakang dengan rapi, tidak lagi jabrik seperti waktu ia menari di Irving

Street. Tapi senyumnya masih sama. Dan kini senyum itu dengan sangat gamblang ia tujukan

pada April. Dengan kikuk, April hanya menunduk menatapi kakinya yang kini polos tanpa

rangka. Rangka keramatnya baru saja dicopot, dan hari ini dia sudah berdoa sepuluh kali agar

tidak jatuh seperti waktu latihan.

“So, shall we start the lesson?” Scott menarik tiang latihan routine, ia tersenyum kecil –

lagi-lagi – pada April. Senyum Scott selalu sederhana, tetapi seakan membuat orang yang

disenyumi terkesiap. Seperti keadaan April sekarang. Dari belakang tengkuknya, April bisa

merasakan Paige berbisik menggoda dirinya.

“Cie cie, disenyumin tuh.”

Page 57: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

57

“Ih. Jangan ngomong yang aneh-aneh ya, Paige.”

“Aih, sirik aku.” Paige berkedip-kedip genit. “Scott kan jarang obral keramahan.”

“Di sini dia dipanggil Hayes.”

“Memang kamu benar-benar tidak tau kenapa dia dipanggil Hayes?”

April menggeleng, membuat Paige tidak bisa menahan rasa geli yang menyusup. “Kalau

begitu, kamu tanya Scott aja nanti.”

“Kalau saya lihat, tarian yang dipersiapkan untuk final stage bertipe pas de deux – tidak lain

tarian duet, jadi kita membutuhkan sepasang penari utama. Perempuan dan laki-laki.” Scott

mendeham. “Ada dari kalian yang ingin mencalonkan main dancer?”

Cathlin Ludwinia langsung mengulum senyum kemenangan. Dan detik berikutnya, Eynon –

salah seorang Welsh yang juga cs-nya Cathlin – mengacungkan tangan. “I think Cathlin would

be awesome to perform Odette.”

“Or Odille. Setidaknya dia belum suci-suci amat kayak tokoh utama di Swan Lake. Tapi jadi

orang yang kepingin jadi Odette kan bisa – contohnya jadi Odille.” Cetus Regina sinis. Cathlin

langsung memelototinya dengan kesal.

“Oke, Cathlin ya.” Scott menuliskan nama Cathlin di papan tulis. “Ada yang lain?”

“Untuk tokoh cowoknya, Pascal mungkin cocok. Terutama kalau kita menampilkan Peter

Pan.” Ignacia mengusulkan. “Untuk Harlequinade juga bagus.”

“Tarian yang romantis. Sebenarnya aku suka Spring Waters. Nggak harus fokus dengan

kisah romance yang terkandung, tapi lebih kepada estetika tariannya. Apalagi ritme Spring

Waters lebih cekatan dibandingkan yang lain. Terutama di adegan terakhir, adagio-nya benar-

benar indah.” Komentar Paige. Di depan, April menangkap Scott seperti mengangguk

menyetujui ungkapan Paige.

“Bagaimana kalau… Paige juga ikut dicalonkan?” Ucap Kay malu-malu. Dengan segera,

Paige langsung memelototi pemuda bertubuh kerempeng di belakangnya. “… Maksudku, Paige

cocok untuk menari di Spring Waters. Lagipula aku juga suka musik Rachmaninov. At least,

kalau menarikan Spring Waters, kita jadi berganti genre, mirip Bolshoi Ballet.”

“Kay, tolong banget. Gue nggak sehebat Andrey Konkin* (Penari balet yang meniti karir

kesuksesannya dalam penampilan Spring Waters pada tahun 2007).” Balas Paige ketus. April

memutuskan untuk diam saja, mengingat dia masih dalam kategori anak „baru‟ dan tidak tau

apa-apa tentang ini!

“Masih ada yang mau menarikan Harlequinade?” Tanya Cathlin malas. “Vaganova Academy

baru saja memilih itu sebagai final performance mereka. Lebih baik kita pilih yang lain. Yang

memang cocok untuk aku.”

Page 58: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

58

“Berarti nama Paige juga dimasukkan ya sebagai calon?” Kata Scott mesem-mesem. Ia

langsung mendapat pelototan dari Paige yang seakan berkata kalau-mau-bercanda-jangan-di-

tempat-ini. “Hmm… ada yang mau mencalonkan lagi?”

“Aku!” Paige langsung mengacungkan tangan. “Aku mau mencalonkan…”

Rasanya April langsung mengetahui apa yang ada di otak temannya ini.

“Aprillia Sherlyne.”

“Ow.” Scott berucap kalem. “Oke, April.”

“DIA?” Cathlin berseru heran. “Gila, Paige. Kamu mau bikin final stage kita hancur? Dia

mana bisa menari duet? Attitude* (Gerakan dengan posisi jinjit dan kaki menekuk ke belakang,

diangkat tinggi. Dada tetap membusung dan keseimbangan harus terjaga. Salah satu gerakan

tersulit dalam balet) saja belum tentu bisa tahan. Pas de deux always uses attitude!”

“Dia PASTI bisa. Tunjukkin kita apa yang kamu bisa, Pril.” Tambah Paige. “Kalau bingung,

Scott pasti mau mengajarkan.”

April ingin sekali mencekik Paige saat ini juga.

***

Hall of Trinity College of Music, London, United Kingdom | November 2011

“Lagu apa yang mau lo mainkan?” Angkasa menghampiri sosok yang lebih sering hanyut

dalam diam di pojok. Emil hanya menoleh, tapi jemarinya masih menari di atas tuts piano.

“Belum tau. Mungkin Piano Concerto Nomor 1. Frédéric Chopin. Atau beberapa dari 21

nocturnes* (Komposisi musik yang dibuat dengan ilham dari sesuatu/seseorang). Tergantung,

kalau sampai anak-anak balet mau menampilkan A Midsummer Night‟s Dream, terpaksa harus

cari lagu Mendelssohn.”

Dengan ritme bicara yang sepotong-sepotong dan sangat membekukan jiwa, Angkasa hanya

menghela nafas. “Mau Chopin ya? Nggak berminat John Field?”

Emil hanya terkekeh halus. “Nggak. Romantic nocturne-nya John Field agak-agak sulit

dimengerti. Beliau juga pakai cantabile* (Istilah musik untuk menggambarkan suara-suara

alami yang bisa dinyanyikan. Untuk komposer modern – terutama dalam musik piano,

cantabile menunjukkan gambar dari satu baris musik tertentu terhadap iringan tersebut) yang

rumit daripada arpeggio*(Bahasa Italia untuk akord di mana nada dimainkan secara berurutan,

naik turun, satu demi satu, daripada dering secara bersama-sama).”

“Kalau gitu mungkin gue yang harus pakai arpeggio. Kebanyakan orang tidur kalau

dengerin gue main harpa dengan tempo klemer-klemer kayak biasanya.” Murray datang

Page 59: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

59

menghampiri Emil, masih juga menggotong harpa raksasanya. “Lagu apa ya yang kayaknya bisa

dimainin harpa. Catatan, nggak bikin ngantuk.”

“Bach.” Sebuah senyum muncul di bibir Emil. Walaupun kadang ia suka dijauhi karena sifat

dingin dan sarkatis yang muncul setiap kali berbincang-bincang, banyak orang yang tetap ingin

bicara dengan si „dewa‟ musik Trinity karena membutuhkan saran dalam pemilihan musik serta

teori dan praktik mudah. Emil seakan hafal di luar kepala tentang musik klasik dan para

teorinya – mulai dari tone color, nada interval, oktaf yang sesuai, dan macam lainnya. Telinga

Emil memang dianugerahi kepekaan khusus untuk menilai estetika nada. Dia langsung

mengetahui apa yang salah saat mendengarkan musik. Angkasa ikut mendecak saat mendengar

musisi kesukaannya disebut.

“Benar juga. Kok gue nggak kepikiran ya? Harusnya gue main Bach aja.”

“Nggak mau nungguin anak-anak balet kasih konfirmasi dulu?”

“Loh, tumben.” Tukas Murray heran. “Biasanya kan lo langsung tancap gas aja, Mil. Nggak

peduli mereka mau ngomel atau nggak. Setiap kali kan terserah kita aja lagunya, soalnya Fugue

lebih cepat ambil keputusan. Lihat aja, si Cathlin sampai sekarang masih ngurusinnya soal

pemilihan main dancer melulu. Mikirin kek, tarian yang lebih kreatif apa. Saingan Cathlin

banyak tuh sekarang.”

“Iya.” Angkasa mengangguk. “Ada Keane. Anak baru dari US. Tarian dia juga bagus, cuma

lebih kontemporer. Mirip neo-classical balet begitu.”

“Makanya sekarang Cathlin kebakaran jenggot. Tapi tetap aja cantik.” Murray mesem-

mesem. Kini tangannya sibuk mengelap pinggiran harpa raksasa yang bersepuhkan kuningan

kinclong. Bagi Murray, harta terbesarnya ya harpa ini. Bukan hanya karena ukuran harpa yang

lebih besar dari badannya semata, tapi juga harga harpa yang membuat mata Murray minta

dicolok.

“Mau lo aja tuh.” Cibir Angkasa.

“Iya sih, sebenarnya Ignacia juga tariannya bagus. Cuma emosional banget. Hmm…

mungkin Cathlin juga ada saingan baru.” Emil tersenyum sendiri menatapi lembaran kertas not

yang masih tak bergerak di atas piano. “Namanya April.”

Murray hanya ber-ooo ria saja, sementara Angkasa tidak bergeming mendengar nama itu

disebut. April bukanlah nama yang spesial, sangat tidak kreatif – hanya menirukan nama bulan

keempat di dalam 365 hari. Tapi Angkasa tidak bisa berkelit bahwa ia merasa terganggu –

bahkan penasaran, mengapa nama itu bisa terlontar dari mulut seorang yang dingin bernama

Emil. Satu-satunya musisi Fugue yang nyaris tidak pernah bicara kalau tidak diminta, tapi

Page 60: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

60

keterampilan musiknya sangat luar biasa dan punya hearing sense sejak kecil. Seakan baik

ucapan dan kepalanya memang sama-sama dingin – terlalu hidup dalam kesunyian.

Mengapa nama gadis bawel yang cuek itu bisa terlontar?

***

Hall of Trinity College of Music, London, United Kingdom | November 2011

Sejujurnya dalam hati Emil, ia sedikit bermasalah dengan nickname „nutcracker‟ yang

dicetusi oleh Murray. Dia nggak sekaku yang seringkali orang bayangkan – ia hanya lebih suka

diam saja daripada berbicara sesuatu yang nggak diperlukan. Berbeda dengan rekan musisinya,

si violinis yang sangat menjadi pujaan banyak kaum hawa dan bahan iri-irian cowok-cowok.

Angkasa tidak pernah diam saja seperti dirinya, dia bisa membicarakan sesuatu yang penting

dengan gestur komunikatif. Mudah saja bagi Angkasa untuk mendapat lawan bicara.

“Lo kenal Aprillia, Mil?”

Emil mengangguk. Lagi-lagi, ia memilih untuk mengangguk daripada harus berkata „ya‟.

Body language speaks better, doesn‟t it?

“Kenal dimana?”

“Guildhall.”

Akhirnya patung ini bicara juga. Angkasa ikut diam, ingin melihat perubahan reaksi Emil.

Apakah nutcracker ini akan bicara lagi, tetap diam, lalu…

“Memang kenapa?” Bravo, satu pertanyaan.

“Nggak.” Angkasa menggeleng. “Di Guildhall? Memang ada apa?”

“Dia menari.” Gumam Emil pelan.

April… menari? Sekilas, Angkasa tetap menampakkan ekspresi tenang tidak terusik,

padahal nuraninya seperti disentil. April selalu berkata padanya kalau ia terus-menerus gagal

menggerakan posisi tarian – terutama balet. Tapi kalau lidah Emil berkata bahwa April

menari…

“Tapi dia jatuh.” Wah hebat, tanpa harus ditanya, Emil bisa menambahkan beberapa kata.

Dahi Angkasa merengut, ia menunjukkan wajah tidak senang. “Oh begitu.” Waktu dia jatuh,

kamu ngapain bodoh?

“Dan tiap kali saya cuma membantu dia berdiri lagi.”

Ada yang tidak beres, mengapa Emil menggunakan kata „cuma‟? Ini seperti percakapan

antara seorang pacar dengan selingkuhan pacarnya – or another cheesy movie.

Page 61: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

61

“Oke. Terimakasih sudah memberi tahu.” Tukas Angkasa dan langsung berbalik pergi. Baru

saja ia menjajaki dua langkah, ia menoleh lagi. “Kamu belum membuat dia menangis kan?”

Menangis? Emil tertegun. Dia memang dingin, tapi ia BELUM pernah mendapatkan

tuduhan absurd seperti ini. Memang kapan ia membuat seseorang menangis? Apakah ia sejahat

itu? Emil ingin sekali menyemprot Angkasa dengan emosi yang kini tumpah-ruah di dadanya,

tapi pada akhirnya ia hanya menggeleng. Tanpa perlawanan apapun.

Dalam hening yang memang selalu melingkupi tingkap 24 jam dalam hidup Emil, ia terus

menatap punggung Angkasa yang beranjak pergi.

Lihat, ini perbedaan yang selalu Emil maksud. Bagaimana dinginnya dan tidak benarnya

ungkapan yang Angkasa lontarkan, Angkasa tidak pernah dipanggil „nutcracker‟.

Angkasa memang ada di atas, sementara Emil harus selalu tertinggal di bawah. Siapa yang

peduli ia punya otak brilian dengan sejuta pengetahuan dan ilmu yang tidak terlampaui? Siapa

yang mau memiliki hearing sense menggila yang membuatnya tidak bisa tidur tenang akibat

bisa mendengar suara halus sekecil apapun? Angkasa bahkan bisa membuat dawai biolanya

bergerak dalam lorong halus bernama musik, Angkasa merubah musik ngantuk berubah

orientasi untuk membangunkan jiwa-jiwa yang seringkali terlupakan.

Sementara Emil memainkan musik penggugah harapan dengan harapan kosong.

***

Trinity Dance Class Studio, London, United Kingdom | November 2011

“Pas de deux selalu punya empat unsur yang tidak bisa diubah, yaitu entree, adagio, dua

variasi (satu untuk masing-masing penari), dan sebuah koda. Biasanya variasi merupakan

estetika yang paling menancap tegap di benak para penikmati tarian.” Jelas Scott di depan

kelas. Teman-teman April masih menatap struktur wajah Scott – bukan papan tulis – dengan

rasa tidak percaya. April hanya melengos dan memelototi tulisan Scott tentang pas de deux.

“Ada beberapa pas de deux yang sangat melegenda, misalkan mistisnya duet di lokasi ketiga

tarian Swan Lake, tidak lain The Black Swan yang menggunakan tokoh Odile…”

“Cocok tuh buat Cathlin.”

Scott mendeham dan melanjutkan penjelasannya. “… Sebenarnya kepikiran juga untuk bikin

variasi pas de deux seperti koreografi Dwight Rhoden dan Desmond Richardson di SYTYCD (So

You Think You Can Dance, sebuah serial lomba menari di saluran TV kabel). Ada yang bisa

bantu membuat variasi?”

Page 62: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

62

“April pasti bisa. Dulu dia pernah diajar oleh Lisa Wymore. You know that famous

lecturer?” Cetus Paige tiba-tiba.

“Kamu dari Berkeley?” Cathlin bertanya kaget sekaligus tidak percaya.

“Bukan. Maksudnya…” Lirikan April langsung membuat Paige meralat kata-katanya.

“Kakaknya April sekolah di Berkeley, jadi April sempat kenal dengan beberapa guru DPC

Berkeley.”

“Wow.” Scott menggumam kagum. “Lisa Wymore is amazing.”

“Really?” Mata April membulat. Ia jadi teringat kata-kata beliau tentang shooting star dan

Taylor Swift.

“Jelas. Dia pernah bergabung juga dengan English National Ballet.”

“Yuk, kita mulai latihan saja, Hayes.” Ignacia beranjak berdiri. “Mau mulai dari step di

Spring Waters?”

“Ya.” Scott membenarkan seragam latihan baletnya – kaus senam dan celana ¾. Kaus

hitamnya dibordir dengan tulisan „Scott Hayes‟ kecil di sisi kiri dan „Trinity Main Dancer‟ di

bagian kanan. Kaus kebanggaan para siswa-siswi Trinity yang pernah terpilih sebagai main

section representatives. Dan dalam enam bulan, April bersama hampir 50 penari lainnya harus

bersaing demi mendapatkan posisi tertinggi di kalangan pelajar seni tari seluruh London. “Kita

mulai dari entrée, mudah kok. Misalkan kita pakai contoh ya…” Scott tersenyum lagi. Mata

hijaunya terlihat seperti sebutan Indonesia di pergaulan internasional – Zamrud Khatulistiwa.

“… April, kamu mau bantu aku kasih contoh?”

Ingin rasanya April langsung pingsan saat ini juga, menatapi Scott yang masih mengulurkan

tangan. Setiap mata di dalam studio langsung tertumbuk pada si mungil yang duduk di

pinggiran, merapat ke jendela. Ada apa gerangan seorang Hayes yang ternama meminta seorang

April – si pincang yang anti sosial, untuk menari bersama? Mau tidak mau, April hanya bisa

pasrah menyambut uluran tangan Scott.

Que sera sera… mau jatuh gedubrak lagi, mau jeduk-jedukin kepala ke tembok, mau

kepleset sampai guling-guling di lantai…

Lagu Rachmaninov Op. 14 dipasang sehingga ruangan langsung senyap dari suara-suara

ganggu para murid. April hanya mencoba memutar lagi beberapa gerakan yang pernah ia tonton

di youtube, lalu mulai melangkah. Scott ikut melangkah bersama April, mengikuti ketukan

musik yang terpantul. Perlahan, ia mendekap gadis mungil di depannya hangat seraya

membentuk gerakan berputar.

“Habis ini, kamu langsung jinjit saja. Ingat, terus saja melakukan en pointe dan adagio,

sisanya ikuti dengan perasaan. Aku akan menuntun kamu…”

Page 63: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

63

Bisikan Scott benar-benar membuat konsentrasi April terbuai. Tapi ayunan tangannya tetap

saja ia sesuaikan dengan gerakan Scott. Scott memegangi pinggangnya, memutar tubuhnya, dan

April hanya melakukan en pointe serta ayunan tangan sesuai dengan beberapa dasar balet.

Sampai kira-kira masuk ke posisi variasi, April menghela nafas.

“Aku nggak bisa variasi…” Bisiknya pelan.

“Bisa, lakukan saja sesuai dengan apa yang intuisi suruh.”

Dengan perasaan kalut, April akhirnya membuat gerakan relevé, lalu melompat tinggi. Scott

dengan santai menangkap tubuhnya yang gemulai, lalu memposisikan kaki April di atas

sementara kepala April berada nyaris dekat lantai. Tangan Scott yang kuat menjadi penopang

atas tubuh April, sementara dengan lentur April membiarkan tangan dan kepalanya bergerak

mengikuti iringan musik. Setelah posisi mereka kembali seperti biasa, Scott dan April saling

menjauh – membuat beberapa gerakan echatta (Gerakan melompat kecil beberapa kali tanpa

berpindah tempat) dan pada hitungan berikutnya, Scott sudah membuai ayunan langkah April

dengan mengangkat tubuh April tinggi, lalu kembali lagi membumi. April dapat melihat dari

ekor matanya, para siswa-siswi Trinity menahan nafas kagum melihat adagio yang ia lakukan.

Tinggal posisi koda.

Baru saja April mengambil kuda-kuda dan mendapatkan pencerahan untuk membuat Keane

– yang duduk di sebelah Cathlin – mencabut kata-katanya tentang bakat menari.

Aprillia bisa menari.

Tapi baru saja ia ingin membuat posisi attitude terakhir, tanpa ada Scott yang

memeganginya, seketika itu juga langkahnya terhenti.

Wajah seseorang terlihat samar di benaknya.

Bukan karena April tidak mau menari, tidak mau melanjutkan posisi terpenting dalam pas

de deux – yaitu attitude. Tapi kakinya menolak, lagi-lagi tulangnya terasa hilang.

Seketika itu juga, April jatuh terjerembab tanpa melihat kelip cahaya studio seni tari. Ia

dapat mendengar lamat-lamat para siswa-siswi langsung berteriak panik, sementara organ

tubuhnya serasa mengawang dan tidak bisa digerakkan. Kakinya serasa terlindas.

Ia tidak bisa menari kalau Scott tidak memeganginya.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011

Angkasa tidak bisa mempercayai apa yang kini ia tatap.

Page 64: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

64

Siluet yang biasanya hanya duduk di atas kursi piano, memainkan lagu-lagu gubahan yang

sulit dipahami. Siluetnya terlihat sedih dan tidak berdaya, berulang kali sosok itu melihat jam

yang ada di pergelangan tangan kanannya. Angkasa ikut duduk di balik tembok Guildhall,

mengintip sosok yang perlahan-lahan menyentuhkan jarinya pada tuts piano.

Kunci D. Batin Angkasa. Jarang-jarang ia memata-matai si nutcracker sampai separah ini.

Tapi kenyataannya, Emil memang melakukan sesuatu di Guildhall tiap sore. Jeda sejenak,

sebelum beberapa nada mulai muncul perlahan tanpa ada intro yang lambat seperti rata-rata

musik klasik. Nadanya pilu dan menyayat hati, seperti benar-benar merindukan seseorang.

Menunggu seseorang. Tapi yang dimainkan tidak terlalu menyerupai klasik, hanya seperti

ekspresi yang terasah tajam.

Angkasa berani bersumpah, ini pertama kalinya ia merasakan prosa „panah yang menancap

di dalam hati‟ benar-benar nyata. Sangat Emil, ketajaman nada yang dipilih, kesedihan yang

teredam, sampai-sampai… rasanya detak jantung terpilin erat.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011

Jarum jam terus bergerak.

Jemari Emil masih terus terdiam di sisi tubuhnya. Tidak berminta meluruhkan satu

sidikpun di atas piano. Ia menatap benda megah di depannya malas.

Angkasa punya segala sesuatunya.

Tidak orang yang peduli seberapa dewanya kamu terhadap musik, yang penting bisa

bermain musik. Dan Angkasa bisa. Sebagaimana sempurnanya permainan musik gue, tidak

ada yang benar-benar menghargainya jiwa dan raga.

Akhirnya jari-jari Emil bergerak juga, mengikuti putaran otaknya yang juga semakin

berpikir keras. Merenungi hari-hari absurd yang ditapaki oleh hidupnya akhir-akhir ini.

Everyday feels so sucks for me. Batin Emil getir. Gue nggak suka keadaan di London, gue

harus bertemu bokap gue yang terus memaksa gue latihan piano. Bokap bisa aja selalu

bilang: "Itu untuk masa depan kamu sendiri, Mil." Bah. Kecintaan gue pada piano semakin

pudar gara-gara bokap selalu memaksa gue latihan keras tiap hari. Dia membuat gue

membenci apa yang gue cintai. Sampai satu hari absurd itu terjadi.

Tangannya meraih sebatang pensil, lalu menulis sesuatu di tumpukan kertas not yang ada di

atas piano. Beberapa lagu yang baru saja ia karyakan kemarin, dan kini Emil membuat sebuah

senyum tersendiri di wajahnya. Ia menulis:

Page 65: April 6 Chapters

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

65

Hari yang aneh itu membuat gue terus berkunjung ke Guildhall tiap sore, menonton gadis mungil

mengambil beberapa ayunan dengan alat tubuhnya. Dia cewek paling gila yang pernah gue kenal. Lo

pernah nggak sih lihat orang yang nggak punya kaki berusaha menari? Itulah April. Tiap sore gue

nemenin dia menari dengan akhir yang selalu sama. April selalu jatuh. Dan tiap sore pula, gue jadi

tukang pijet sukarelawan. Sesuai dengan julukan anak-anak, gue disebut-sebut sebagai "The

Nutcracker". Tapi jauh dari julukan aneh tersebut, gue hanya pengin April menjadi Sugar Plum Fairy

yang bisa membuat gue nggak menjadi boneka kayu lagi.

Menyihir gue agar gue bisa memiliki hidup sendiri. Kembali mencintai apa yang seharusnya gue

cintai, agar sentuhan piano gue bisa 'menghidupi' gelora gerakan April di atas panggung kembali.

Dengan lambat, ia mulai memainkan beberapa nada yang mengaum di hatinya. Mulutnya

menyenandungkan beberapa nada lirih yang lembut – terdengar menyakitkan. Tapi hatinya

terus berucap jujur, hatinya tertumbuk oleh si pincang dengan rambut hitam lembut yang

memiliki wangi unik – mirip Tahitian Vanilla. Yang terus berkumandang di seluruh hati dan

pikiran Emil. Yang membuat gejolak aneh setiap kali namanya terdengar, terucap, dan ketika

paras mungilnya dapat tertawa lepas.

“Kapan kamu datang ke Guildhall?”

Pertanyaan Emil tidak terjawab sampai sore berganti malam. Dalam susunan gelap malam

yang terbentang, Emil bersenandung tanpa suara.

Bersenandung tentang maksud hatinya. Mungkin Angkasa juga merasakan hal yang sama

dengannya.

That's what I never got. Bisik Emil dalam hati. Ia memejamkan matanya. It takes an entire

lifetime to write the words “And we lived happily ever after”.

I am a music without pitch. Something mess without you. Something perfect with you.

***