ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM …jurnalkehutanantropikahumida.zohosites.com/files/Ice, MAS,...

21
ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH Ice Anugrahsari 1 , Mustofa Agung Sardjono 2 dan Fadjar Pambudhi 3 1 Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Palu. 2 Center of Social Forestry (CSF), Unmul, Samarinda. 3 Laboratorium Biometrika Hutan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. The Analysis of Subdistrict Government Role in Management of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. In general, the problem faced in management of conservation area these days was the division of Central Government and Local Government Roles. According to the National Law Nr. 32 in the year 2004 (about Local Government) and the Forestry Law Nr. 41 in the year 1999, the conservation role was on the Central Government. The Government Regulation Nr. 38 in the year 2007 (about Governmental Role and Province Role as otonomous area) also mentioned that the conservation role was on Central Government. This research was conducted in the Lore Lindu National Park (TNLL) from August 2009 up to June 2010. The research purposes were to analyze the local government role (Government of Donggala and Poso Sub- Province) related to Lore Lindu National Park management, and to analyze the role implementation of local through the study on respon and initiative policy of central government on the Lore Lindu National Park management and the priority compilation of National Park management to support the local government role on Lore Lindu National Park management. The research resulted that Central Sulawesi Province Government and also Donggala and Poso Sub-Province were very limited, even assessed did not play a part on TNLL management when evaluated from the regulation of Forestry Law and environmental conservation which go into effect. It’s mentioned because there was no good understanding about Local Government role besides the law regulation arranging about technical things of area management which it’s implementation conducted by The State of Lore Lindu National Park as Technical Unit Execution of Forestry Department. According to the research result it can be suggested that Central Government in this case Department of Forestry needs to push The State of Lore Lindu National Park to be more active to coordinate and consultancy with Local Government especially Donggala and Poso Sub-Province. Theoretically and empirically, it is not possible to handle TNLL area by itself, even the authority is on the Central Government. Each breakthrough opportunity which possible to utilized to give bigger role to Local Government must be done (flexibility), without having to impinge the rule going into effect. Kata kunci: Donggala, Poso, Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Pemerintah Indonesia telah sejak lama melakukan berbagai upaya konservasi termasuk pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati. Demikian pula kebijakan pemanfaatan hutan juga mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian keuntungan yang adil. 140

Transcript of ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM …jurnalkehutanantropikahumida.zohosites.com/files/Ice, MAS,...

ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU

PROVINSI SULAWESI TENGAH

Ice Anugrahsari1, Mustofa Agung Sardjono

2 dan

Fadjar Pambudhi3

1Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.

2Center of Social Forestry (CSF), Unmul,

Samarinda. 3Laboratorium Biometrika Hutan Fahutan Unmul, Samarinda

ABSTRACT. The Analysis of Subdistrict Government Role in Management

of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. In general, the problem faced

in management of conservation area these days was the division of Central

Government and Local Government Roles. According to the National Law Nr. 32

in the year 2004 (about Local Government) and the Forestry Law Nr. 41 in the

year 1999, the conservation role was on the Central Government. The

Government Regulation Nr. 38 in the year 2007 (about Governmental Role and

Province Role as otonomous area) also mentioned that the conservation role was

on Central Government. This research was conducted in the Lore Lindu National

Park (TNLL) from August 2009 up to June 2010. The research purposes were to

analyze the local government role (Government of Donggala and Poso Sub-

Province) related to Lore Lindu National Park management, and to analyze the

role implementation of local through the study on respon and initiative policy of

central government on the Lore Lindu National Park management and the priority

compilation of National Park management to support the local government role

on Lore Lindu National Park management. The research resulted that Central

Sulawesi Province Government and also Donggala and Poso Sub-Province were

very limited, even assessed did not play a part on TNLL management when

evaluated from the regulation of Forestry Law and environmental conservation

which go into effect. It’s mentioned because there was no good understanding

about Local Government role besides the law regulation arranging about

technical things of area management which it’s implementation conducted by The

State of Lore Lindu National Park as Technical Unit Execution of Forestry

Department. According to the research result it can be suggested that Central

Government in this case Department of Forestry needs to push The State of Lore

Lindu National Park to be more active to coordinate and consultancy with Local

Government especially Donggala and Poso Sub-Province. Theoretically and

empirically, it is not possible to handle TNLL area by itself, even the authority is

on the Central Government. Each breakthrough opportunity which possible to

utilized to give bigger role to Local Government must be done (flexibility),

without having to impinge the rule going into effect.

Kata kunci: Donggala, Poso, Lore Lindu, Sulawesi Tengah.

Pemerintah Indonesia telah sejak lama melakukan berbagai upaya konservasi

termasuk pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat

menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati. Demikian pula kebijakan

pemanfaatan hutan juga mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan

serta pembagian keuntungan yang adil.

140

141 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Secara umum persoalan kritis yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan

konservasi dewasa ini adalah berkaitan dengan pembagian kewenangan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004

(tentang Pemerintah Daerah) dan Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999,

kewenangan konservasi ada di Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun

2007 (tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah

otonom) juga menyebutkan bahwa kewenangan konservasi ada di Pemerintah Pusat

(dalam hal ini cq Departemen Kehutanan). Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa

konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seringkali

terjadi karena adanya ketidaksepahaman menyangkut kewenangan pengelolaan

hutan di tingkat yang lebih rendah dan lebih spesifik lagi konflik ini tidak terkecuali

dihadapi kawasan konservasi (Darusman dan Nurrochmat, 2005). Sebagai contoh,

berdasarkan peraturan perundangan yang ada, kewenangan menetapkan kawasan

dalam pengelolaan kawasan konservasi memang menjadi kewenangan Pemerintah

Pusat. Demikian halnya dengan penandatanganan kontrak dan pengelolaan uang

hasil sewa pengelolaan kawasan. Namun bagi daerah di mana ada kawasan

konservasi, mereka akan menuntut pembagian karena kehilangan kesempatan untuk

memperoleh hasil penerimaan daerah, karena kawasan tersebut tidak bisa

dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Perbedaan pendangan dari aspek

kewenangan tersebut bila tidak diatur secara baik, maka akan yang mempengaruhi

eksistensi kawasan konservasi, karena pengelolaannya menjadi tidak optimal yang

mendorong perusakan dan tumbuhnya berbagai gangguan. Hal tersebut menjadi

realita yang harus dilalui oleh sejumlah kawasan-kawasan konservasi antara lain

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

TNLL merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Provinsi

Sulawesi Tengah dengan luas 217.991,18 ha. Kawasan ini ditetapkan sebagai

kawasan konservasi sesuai keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993,

dengan luas kurang lebih 229.000 ha. Penunjukkan tersebut dijadikan dasar untuk

melakukan tata batas definitif hingga temu gelang dan telah dikukuhkan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan melalui keputusan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni

1999 dengan luas 217.991.18 ha atau (sekitar 1,2% wilayah Sulawesi yang luasnya

189.000 km² atau 2,4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²). TNLL secara admnistrasi berada di wilayah Kabupaten Donggala seluas

127.185 ha (54,3%) dan Kabupaten Poso 107.321 ha (45,7%) meliputi kurang lebih

62 desa di sekitar dan di dalam kawasan. Kawasan ini merupakan kawasan

pelestarian alam yang memiliki panorama alam yang indah dan kekayaan alam yang

sangat melimpah serta telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia. TNLL memiliki

keanekaragaman hayati yang sangat tinggi termasuk di antaranya spesies endemik

Sulawesi, koleksi peninggalan seni purbakala yang melimpah, kultur budaya yang

pluralistis, serta bentang alam yang sangat elok sehingga dapat menarik minat para

wisatawan, ilmuwan dan ahli antropologi yang ingin menikmati dan meneliti

kawasan ini. Keanekaragaman hayati yang tinggi serta objek wisata alam yang unik

dan menarik, yang dilengkapi dengan keragaman budaya masyarakat sekitar menjadi

pendukung aktivitas dan pengembangan pariwisata alam yang potensial dan

berbagai sumberdaya lainnya (Anonim, 2010).

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 142

Pengelolaan kawasan TNLL dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang

prinsipnya dimulai sejak penetapannya sebagai kawasan konservasi, di antaranya

adalah keterbatasan petugas, minimnya koordinasi antar instansi yang berdampak

terhadap perambahan kawasan dan pencurian sumberdaya alam yang prinsipnya

merupakan hak bagi masyarakat untuk mengakses ke dalam kawasan namun

sebaliknya merupakan suatu pelanggaran bagi pihak Balai Besar Taman Nasional

Lore Lindu (BBTNLL). Oleh karenya dituntut adanya pemahaman dan kerja sama

yang baik antara semua pemangku kepentingan dalam kawasan ini termasuk

pemerintah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso sebagai regulator di tingkat

Daerah (Anonim, 2010).

Kolaborasi secara teoritis dipertimbangkan sebagai bentuk kerja sama yang

paling efektif. Kolaborasi di samping ada pertukaran informasi, perubahan aktivitas

dan pengkontribusian sumberdaya juga memungkinkan peningkatan kapasitas pihak

lainnya guna keuntungan bersama serta dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Apakah kerja sama yang bersifat kolaboratif khususnya antara pemerintah dengan

pemerintah daerah juga terjadi di TNLL, adalah pertanyaan yang perlu diperoleh

jawabannya.

Sejarah pengelolaan TNLL memperlihatkan bahwa kebijakan Pemerintah Pusat

melalui Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso sebenarnya telah dilaksanakan

dalam upaya mendukung pengelolaan TNLL. Beberapa kebijakan atau kegiatan

tersebut mencakup:

1. Pengembangan program transmigrasi yang cukup berhasil antara lain

memindahkan masyarakat dari dalam kawasan TNLL walaupun sebagian

masyarakat kembali pada pemukiman sebelumnya.

2. Pengusulan pelaksanaan enclave kawasan TNLL meliputi wilayah Lindu dan

Besoa yang sebenarnya diakui oleh pihak BBTNLL dan masih dalam taraf

proses diskusi hingga saat ini.

Selain itu pemerintah setempat juga telah mengupayakan beberapa program

lainnya seperti penanganan irigasi dan rencana pembangunan Pembangkit Listrik

Tenaga Air (PLTA Lindu) yang belum direalisasikan karena ditentang oleh

masyarakat dan pihak lainnya (Anonim, 2010).

Implementasi otonomi daerah termasuk di dalamnya desentralisasi kehutanan

telah berjalan sekitar satu dasawarsa. Pembagian kewenangan (dan tanggung jawab)

atau Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terus

disempurnakan. Tetapi pengelolaan kawasan konservasi seperti TNLL sering

membutuhkan keleluasaan administrasi politik dan finansial dikarenakan

kompleksitas dan kepentingan persoalan yang dihadapi.

Berdasarkan keseluruhan persoalan yang terjadi di TNLL sebagaimana

diutarakan di atas, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kabupaten Donggala dan

Poso) berkaitan dengan pengelolaan TNLL ditinjau dari peraturan perundangan

yang ada?

2. Sejauh mana implementasi peran Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kabupaten

Donggala dan Poso) dalam pengelolaan TNLL?

143 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

3. Adakah kemungkinan menyusun prioritas pengelolaan yang memberi peluang

peran Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam rangka pengelolaan TNLL di

masa depan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran Pemerintah Daerah

(Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso) berkaitan dengan pengelolaan TNLL,

mengidentifikasi dan menganalisis implementasi peran Pemerintah Daerah melalui

kajian terhadap respon dan inisiatif kebijakan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan

TNLL, menyusun program strategis Pengelolaan Taman Nasional guna mendukung

peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan TNLL.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan teridentifikasinya porsi

dan peran Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Pengelolaan TNLL serta tersedianya

usulan Program Pengelolaan yang dapat dilakukan, maka hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan bahan pertimbangan yang

bermanfaat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan para pihak lainnya dalam

rangka efektivitas pengelolaan TNLL dimasa mendatang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di TNLL yang secara administratif termasuk dalam

dua wilayah yaitu Kabupaten Donggala dan Poso. Pemilihan lokasi tersebut

didasarkan atas pertimbangan penting yakni: i) TNLL merupakan salah satu

kawasan konservasi yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat

melalui badan pengelolaan TNLL. ii) Kabupaten Donggala dan Poso merupakan dua

kabupaten yang secara administrasi sebagian wilayahnya merupakan kawasan

TNLL. iii) Isu-isu yang berkembang sudah membahayakan keberlangsungan fungsi

dan manfaat TNLL sebagai kawasan konservasi yang pada akhirnya memiliki

implikasi lebih luas termasuk bagi masyarakat setempat.

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan yakni dari bulan Agustus 2009

sampai Juni 2010, meliputi persiapan penelitian, pengambilan data primer dan

sekunder.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis sebagai berikut:

1. Data peran Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso dalam pengelolaan TNLL

dideskripsi secara khusus melalui kajian peraturan dan pelaksanaan pengelolaan

TNLL.

2. Data implementasi kebijakan yang berlaku di Pemerintah Kabupaten Donggala

dan Poso dianalisis berdasarkan kenyataan pengelolaan TNLL di lapangan dari

aspek SDM, SDH, kelembagaan, sosial ekonomi dengan menggunakan metode

analisis gap.

3. Tahap penyusunan program strategis pengelolaan kawasan TNLL. Untuk

menentukan program strategis/prioritas pengelolaan TNLL, maka dilakukan

penentuan prioritas berdasarkan tingkat signifikansi program sesuai hasil

analisis SWOT dengan menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang

mempengaruhi kondisi hasil analisis Gap.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 144

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu

A.1. Tinjauan peran pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundangan

kehutanan dan non kehutanan terkait. Substansi beberapa peraturan perundangan

kehutanan dan non kehutanan terkait dengan pengelolaan TNLL ditampilkan pada

Tabel 1. Tabel 1. Substansi Beberapa Peraturan Perundangan Kehutanan dan Non Kehutanan Terkait

dengan Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu

No. Peraturan perundangan Substansi berkaitan dengan TNLL

A. Undang-undang (UU)

1. UU No. 41/1999

(tentang Kehutanan)

sebagai pengganti dari

UU No.5/1967 (tentang

Pokok-pokok

Kehutanan)

Hutan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, lindung dan

produksi (Pasal 6).

Tujuan pemanfaatan hutan sesuai fungsinya adalah untuk memperoleh

manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara

berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya (Pasal 23).

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan

kecuali Cagar Alam serta Zona Inti dan Zona Rimba Taman Nasional

(Pasal 24).

Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh

kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai

lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan

kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Pasal 68).

2. UU No. 5/1990 (tentang

Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan

Ekosistemnya)

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan

mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta

keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia

(Pasal 3).

Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya meliputi

tiga kegiatan pokok yaitu (Pasal 5): (a) Perlindungan sistem pe-

nyangga kehidupan. (b) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan

dan satwa beserta ekosistemnya. (c) Pemanfaatan secara lestari

sumberdaya alam.

Kawasan Pelestarian Alam yang dimaksud pada Pasal 1 angka 13 terdiri

dari: (a) Taman Nasional (b) Taman Hutan Raya dan (c) Taman Wisata

Alam (Pasal 29).

Kegiatan kepariwisataan dan rekreasi dapat diberikan ijin pengusahaan

atas zona pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu di Taman

Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Pasal 30).

Di dalam kawasan konservasi (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan

Taman Wisata Alam) dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

budaya dan wisata alam (Pasal 31).

Kawasan Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari

zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan

(Pasal 32).

Pengelolaan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata

Alam dilaksanakan oleh Pemerintah (Pasal 34 Ayat 1).

Di dalam zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan

Taman Wisata Alam dapat dibangun sarana kepariwisataan

berdasarkan rencana pengelolaan (Pasal 34 Ayat 2).

145 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 1 (lanjutan)

No. Peraturan perundangan Substansi berkaitan dengan TNLL

Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat

memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan Taman Nasional,

Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dengan mengikut-

sertakan rakyat (Pasal 34 Ayat 3).

3. UU No. 23/2009

(tentang Perlindungan

dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup)

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan

secara terpadu oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 5) melalui inventarisasi lingkungan

hidup, penetapan wilayah ekoregion (Pasal 6).

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)

meliputi Tingkat Nasional, Tingkat Provinsi dan Tingkat

Kabupaten/Kota (Pasal 9).

B. Peraturan Pemerintah (PP)

1. Peraturan Pemerintah

No. 28 tahun 1985

(tentang Perlindungan

Hutan)

Tujuan Perlindungan Hutan adalah menjaga kelestarian hutan agar dapat

memenuhi fungsinya (Pasal 2).

Selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena

tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan

hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan

untuk memotong, menebang dan membelah pohon di dalam kawasan

hutan (Pasal 3 Ayat 1).

2. PP No. 18/1994

(tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam Di

Zona Pemanfaatan

Taman Nasional,

Taman Hutan Raya dan

Taman Wisata Alam)

Pengusahaan Pariwisata Alam dilakukan sesuai azas konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 2 Ayat 1).

Pengusahaan Pariwisata Alam bertujuan untuk meningkatkan

pemanfaatan gejala keunikan dan keindahan alam yang terdapat dalam

Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman

Wisata Alam (Pasal 2 Ayat 2).

Penyelenggaraan Pengusahaan pariwisata alam dilakukan pada (a) Zona

Pemanfaatan Taman Nasional. (b) Taman Hutan Raya. (c) Taman

Wisata Alam (Pasal 3 Ayat 1).

Pengusahaan Pariwisata Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa usaha sarana Pariwisata Alam (Pasal 3 Ayat 2).

Jenis-jenis usaha sarana Pariwisata Alam sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) meliputi usaha: (a) Akomodasi seperti pondok wisata,

bumi.perkemahan, karavan, penginapan remaja. (b) Makanan dan

minuman. (c) Sarana wisata. (d) Angkutan wisata. (e) Cinderamata. (f)

Sarana wisata budaya (Pasal 3 Ayat 3).

Usaha sarana pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat

(3) diselenggarakan dengan persyaratan sebagai berikut: (a) Luas

kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana

pariwisata alam maksimum 10% dari luas Zona Pemanfaatan Taman

Nasional, Blok Pemantaatan Taman Hutan Raya dan Blok

Pemanfaatan Taman Wisata alam yang bersangkutan. (b) Bentuk

bangunan bergaya arsitektur budaya setempat. (c) Tidak mengubah

bentang alam yang ada (Pasal 4).

3. Peraturan Pemerintah

No. 47 tahun 1997

(tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah

Nasional)

Pola pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya

kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung

kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya,

kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan

pelestarian alam, kawasan cagar budaya dan kawasan lindung lainnya

serta menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan rawan

bencana (Pasal 40 Ayat 1).

Langkah-langkah pengelolaan kawasan suaka alam sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e berupa perlindungan

keanekaragaman biota dan tipe ekosistem.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 146

Tabel 1 (lanjutan)

No. Peraturan perundangan Substansi berkaitan dengan TNLL

4. PP No. 68/1998

(tentang Kawasan

Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian

Alam)

Kawasan Pelestarian Alam, terdiri dari: (a) Kawasan Taman Nasional.

(b) Kawasan Taman Hutan Raya. (c) Kawasan Taman Wisata Alam

(Pasal 30 Ayat 1).

Sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi:

(a) Zona inti. (b) Zona pemanfaatan. (c) Zona rimba dan atau zona lain

yang ditetapkan menteri sesuai kebutuhan pelestarian sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30 Ayat 2).

Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, bila telah

memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) Kawasan yang ditetapkan

mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses

ekologis secara alami. (b) Memiliki sumberdaya alam yang khas dan

unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya

serta gejala alam yang masih utuh dan alami. (c) Memiliki satu atau

beberapa ekosistem yang masih utuh. (d) Memiliki keadaan alam yang

asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. (e)

merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona

pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan

kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar

kawasan dan dalam upaya mendukung pelestarian sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai suatu zona

tersendiri (Pasal 31 ayat 1).

Ditetapkan sebagai zona inti, bila memenuhi kriteria sebagai berikut: (a)

Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya. (b) Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit

penyusunnya. (c) Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun

fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia. (d)

Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang

pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses

ekologis secara alami. (e) Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat

merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya

konservasi. (f) Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa

beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam

punah (Pasal 31 Ayat 2).

Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, bila memenuhi kriteria sebagai

berikut (a) Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau

berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang

indah dan unik. (b) Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin

kelestarian potensi dan daya tarik untuk pariwisata dan rekreasi alam.

(c) Kondisi lingkungan sekitar mendukung pengembangan pariwisata

alam (Pasal 31 Ayat 3).

Ditetapkan sebagai zona rimba, bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

(a) Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya

perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya

konservasi. (b) Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu

menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan (c) Merupakan

tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu (Pasal 31 Ayat

4).

Pengelolaan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman

Wisata Alam dilakukan oleh Pemerintah (Pasal 35).

Upaya pengawetan kawasan Taman Nasional dilaksanakan dengan

sistem zonasi (Pasal 38).

147 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 1 (lanjutan)

No. Peraturan perundangan Substansi berkaitan dengan TNLL

C. Keputusan Presiden

1. Keppres No. 32/1990

(tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung)

Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya,

kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung (Pasal 37 Ayat 1).

Di dalam kawasan Suaka Alam dan kawasan Cagar Budaya dilarang

melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan

dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi

penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada (Pasal 37 Ayat 2).

D. Peraturan Menteri

1. Peraturan Menteri

Kehutanan No.

P.56/Menhut-II/2006

(tentang Pedoman

Zonasi Taman

Nasional)

Peruntukan masing-masing zona (Pasal 6).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti (Pasal 7 Ayat 1).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba (Pasal 7 Ayat

2).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan (Pasal

7 Ayat 3).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional (Pasal 7

Ayat 4).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan

sejarah (Pasal 7 Ayat 5).

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus (Pasal 7

Ayat 6).

2.

Peraturan Menteri

Kehutanan No.

P.19/Menhut-II/2004

(tentang Kolaborasi

Pengelolaan Kawasan

Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian

Alam)

Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam adalah pelaksanaan suatu kegiatan/penanganan suatu masalah

dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan

kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam secara bersama

dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan

bersama sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 1

Ayat 3).

Kolaborasi dalam rangka pengelolaan kawasan Suaka Alam dan kawasan

Pelestarian Alam adalah proses kerjasama yang dilakukan oleh para

pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati,

saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan

(Pasal 4 Ayat 1).

Para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

(a) Pemerintah Pusat termasuk Kepala UPT KSDA/TN. (b) Pemerintah

Daerah. (c) Kelompok masyarakat setempat. (d) Perorangan baik dari

dalam maupun luar negeri. (e) Lembaga Swadaya Masyarakat

setempat, nasional dan internasional yang bekerja di bidang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati. (f) BUMN, BUMD, BUMS atau (g)

perguruan tinggi/lembaga ilmiah/lembaga pendidikan (Pasal 4 Ayat 3).

A.2. Tinjauan peran pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundangan daerah

a. Undang-undang No. 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah)

b. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 (tentang Kewenangan Pemerintah

dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom)

c. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 (tentang Perancanaan Hutan).

d. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 (tentang Perlindungan Hutan).

e. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 (tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota)

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 148

A.3. Kesenjangan kebijakan

Kenyataan menunjukkan bahwa sering terjadi penggunaan peraturan secara luas

untuk penetapan kebijakan di daerah yang jelas bertentangan dengan kondisi daerah.

Hal tersebut misalnya diterbitkannya UU 41 tahun 1999 (tentang Kehutanan)

berserta sejumlah PP (termasuk PP 25 tahun 2000) tentang Kewenangan Pemerintah

Pusat dan Daerah dan PP No. 34 tahun 2002 (tentang Tata Hutan dan Rencana

Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan).

B. Implementasi Peraturan Perundangan dalam Pengelolaan Taman Nasional

Lore Lindu

B.1. Inisiatif kebijakan pemerintah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso dalam

pengelolaan TNLL. Analisis peran pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso dalam

pengelolaan TNLL sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Peran Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso dalam Pengelolaan TNLL

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten / kota

Inventarisasi hutan Penyelenggaraan inventarisasi Hutan

Produksi, Hutan Lindung dan Taman

Hutan Raya dan Skala DAS lintas

kabupaten/kota.

Penyelenggaraan inventarisasi Hutan

Produksi dan hutan Lindung dan skala

DAS dalam wilayah kabupaten/kota.

Penunjukan kawasan

hutan, Hutan

Produksi, Hutan

Lindung, kawasan

Pelestarian Alam,

kawasan Suaka Alam

dan Taman Buru

Pemberian pertimbangan teknis

penunjukan kawasan Hutan Produksi,

Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian

Alam, Kawasan Suaka Alam dan

Taman Buru.

Pengusulan penunjukan kawasan Hutan

Produksi, Hutan Lindung, kawasan

Pelestarian Alam, kawasan Suaka Alam

dan Taman Buru

Kawasan Hutan

dengan Tujuan

Khusus

Pengusulan dan pertimbangan teknis

pengelolaan kawasan hutan dengan

tujuan khusus untuk masyarakat hukum

adat, penelitian dan pengembangan,

pendidikan dan pelatihan kehutanan,

lembaga sosial dan keagamaan untuk

skala provinsi.

Pengusulan pengelolaan kawasan hutan

dengan tujuan khusus untuk masyarakat,

hukum adat, penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan

pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan

keagamaan untuk skala kabupaten/kota

dengan pertimbangan gubernur.

Penatagunaan

Kawasan Hutan

Pertimbangan teknis perubahan status

dan fungsi hutan, perubahan status dari

lahan milik menjadi kawasan hutan,

dan penggunaan serta tukar menukar

kawasan hutan.

Pengusulan perubahan status dan fungsi

hutan dan perubahan status dari lahan

milik menjadi kawasan hutan dan

penggunaan serta tukar menukar

kawasan hutan.

Pembentukan

Wilayah

Pengelolaan Hutan

Pelaksanaan penyusunan rancang

bangun, pembentukan dan pengusulan

penetapan wilayah pengelolaan hutan

lindung dan hutan produksi serta

pertimbangan teknis institusi wilayah

pengelolaan hutan.

Pertimbangan penyusunan rancang

bangun dan pengusulan pembentukan

wilayah pengelolaan hutan lindung dan

hutan produksi, serta institusi wilayah

pengelolaan hutan.

149 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten / kota

Rencana Pengelolaan

Jangka Panjang (Dua

Puluh Tahunan) Unit

Kesatuan

Pengelolaan Hutan

Produksi (KPHP)

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka panjang

unit kesatuan pengelolaan hutan

produksi KPHP.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka panjang

unit KPHP.

Rencana Pengelolaan

Jangka Menengah

(Lima Tahunan) Unit

KPHP

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka menengah

unit KPHP.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka menengah

unit KPHP.

Rencana Pengelolaan

Jangka Pendek

(Tahunan) Unit

KPHP

Pengesahan rencana pengelolaan jangka

pendek unit KPHP.

Pertimbangan teknis pengesahan

Rencana Pengelolaan Jangka Pendek

unit KPHP.

Rencana Kerja Usaha

Dua Puluh Tahunan

Unit Usaha

pemanfaatan Hutan

Produksi

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja usaha dua puluh tahunan

unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja usaha dua puluh tahunan

unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

Rencana Pengelolaan

Lima Tahunan Unit

Usaha Pemanfaatan

Hutan Produksi

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja lima tahunan unit

pemanfaatan hutan produksi.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja lima tahunan unit

pemanfaatan hutan produksi.

Rencana Pengelolaan

Tahunan (Jangka

Pendek) Unit Usaha

Pemanfaatan Hutan

Produksi

Penilaian dan pengesahan rencana

pengelolaan tahunan (jangka pendek)

unit usaha pemanfaatan hutan produksi

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan tahunan (jangka

pendek) unit usaha pemanfaatan hutan

produksi.

Penataan Batas Luar

Areal Kerja Unit

Usaha Pemanfaatan

Hutan Produksi

1. Pertimbangan teknis untuk

pengesahan, koordinasi dan

pengawasan pelaksanaan penataan

batas luar areal kerja unit

pemanfaatan hutan produksi lintas

kabupaten/kota.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan

penataan batas luar areal kerja unit

pemanfaatan hutan produksi dalam

kabupaten/kota.

Pertimbangan teknis untuk pengesahan,

dan pengawasan pelaksanaan penataan

batas luar areal kerja unit pemanfaatan

hutan produksi dalam kabupaten/kota.

Rencana Pengelolaan

Dua Puluh Tahunan

(Jangka Panjang)

Unit Kesatuan

Pengelolaan Hutan

Lindung.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaaan dua puluh

tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaaan dua puluh

tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

Rencana Pengelolaan

Lima Tahunan

(Jangka Menengah)

Unit KPHL

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan lima tahunan

(jangka menengah) unit KPHL.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan lima tahunan

(jangka menengah) unit KPHL.

Rencana pengelolaan

Tahunan (Jangka

Pendek) Unit KPHL

Pengesahan rencana pengelolaan

tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan tahunan (jangka

pendek) unit KPHL.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 150

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota

Rencana Kerja Usaha

(Dua Puluh Tahunan)

Unit Usaha

Pemanfaatan Hutan

Lindung

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja usaha (dua puluh

tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan

lindung.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana kerja usaha (dua puluh tahunan)

unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

Rencana Pengelolaan

Lima Tahunan

(Jangka Menengah)

Unit Usaha

Pemanfaatan Hutan

Lindung

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan lima tahunan

(jangka menengah) unit usaha

pemanfaatan hutan lindung.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan lima tahunan

(jangka menengah) unit usaha

pemanfaatan hutan lindung.

Rencana Pengelolaan

Tahunan (Jangka

Pendek) Unit Usaha

Pemanfaatan Hutan

Lindung

Penilaian dan pengesahan rencana

pengelolaan tahunan (jangka pendek)

unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan tahunan (jangka

pendek) unit usaha pemanfaatan hutan

lindung.

Penataan Areal Kerja

Unit Usaha

Pemanfaatan Hutan

Lindung

Pertimbangan teknis pengesahan

penataan areal kerja unit usaha

pemanfaatan hutan lindung kepada

pemerintah.

Pertimbangan teknis pengesahan

penataan areal kerja unit usaha

pemanfaatan hutan lindung kepada

provinsi.

Rencana Pengelolaan

Dua Puluh Tahunan

(Jangka Panjang)

Unit Kesatuan

Pengelolaan Hutan

Konservasi (KPHK)

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan dua puluh tahunan (jangka

panjang) unit KPHK.

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan dua puluh tahunan (jangka

panjang) unit KPHK.

Rencana Pengelolaan

Lima Tahunan

(Jangka Menengah)

Unit KPHK

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan lima tahunan (jangka

menengah) unit KPHK.

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan lima tahunan (jangka

menengah) unit KPHK.

Rencana Pengelolaan

Jangka Pendek

(Tahunan) Unit

KPHK

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan jangka pendek (tahunan)

unit KPHK.

Pertimbangan teknis rencana

pengelolaan jangka pendek (tahunan)

unit KPHK.

Rencana Pengelolaan

Jangka Panjang (Dua

Puluh Tahunan)

Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman

Nasional, Taman

Wisata Alam dan

Taman Buru

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka panjang

(dua puluh tahunan) untuk Cagar Alam,

Suaka Margasatwa, Taman Nasional,

Taman Wisata Alam dan Taman Buru

skala provinsi.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka panjang

(dua puluh tahunan) untuk Cagar Alam,

Suaka Margasatwa, Taman Nasional,

Taman Wisata Alam dan Taman Buru

skala kabupaten/kota.

Rencana Pengelolaan

Jangka Menengah

Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman

Nasional, Taman

Wisata Alam dan

Taman Buru

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka menengah

untuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa,

Taman Nasional, Taman Wisata Alam

dan Taman Buru skala provinsi.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka menengah

untuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa,

Taman Nasional, Taman Wisata Alam

dan Taman Buru skala kabupaten/kota.

151 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota

Rencana Pengelolaan

Jangka Pendek Cagar

Alam, Suaka

Margasatwa, Taman

Nasional, Taman

Wisata Alam dan

Taman Buru

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka pendek

untuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa,

Taman Nasional, Taman Wisata Alam

dan Taman Buru skala provinsi.

Pertimbangan teknis pengesahan

rencana pengelolaan jangka pendek

untuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa,

Taman Nasional, Taman Wisata Alam

dan Taman Buru skala kabupaten/kota

Pengelolaan Taman

Hutan Raya

Pengelolaan taman hutan raya,

penyusunan rencana pengelolaan

(jangka menengah dan jangka panjang)

dan pengesahan rencana pengelolaan

jangka pendek serta penataan blok

(zonasi) dan pemberian perizinan

usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di

Taman Hutan Raya skala provinsi.

Pengelolaan Taman Hutan Raya,

penyusunan rencana pengelolaan dan

penataan blok (zonasi) serta pemberian

perizinan usaha pariwisata alam dan

jasa lingkungan serta rehabilitasi di

Taman Hutan Raya skala

kabupaten/kota.

Rencana Kehutanan Penyusunan rencana-rencana kehutanan

tingkat provinsi.

Penyusunan rencana-rencana kehutanan

tingkat kabupaten/kota.

Sistem Informasi

Kehutanan (Numerik

dan Spasial)

Penyusunan sistem informasi

kehutanan (numerik dan spasial) tingkat

provinsi.

Penyusunan sistem informasi kehutanan

(numerik dan spasial) tingkat

kabupaten/.

Pemanfaatan Hasil

Hutan pada Hutan

Produksi

Pertimbangan teknis kepada menteri

untuk pemberian dan perpanjangan izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

pada hutan produksi kecuali pada

kawasan hutan negara pada wilayah

kerja Perum Perhutani.

Pertimbangan teknis kepada gubernur

untuk pemberian dan perpanjangan izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

serta pemberian perizinan usaha

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

pada hutan produksi kecuali pada

kawasan hutan negara pada wilayah

kerja Perum Perhutani.

Pemungutan Hasil

Hutan pada Hutan

Produksi

Pemberian perizinan pemungutan hasil

hutan kayu dan pemungutan hasil hutan

bukan kayu pada hutan produksi skala

provinsi kecuali pada kawasan hutan

negara pada wilayah kerja Perum

Perhutani.

Pemberian perizinan pemungutan hasil

hutan kayu dan pemungutan hasil hutan

Bukan kayu pada hutan produksi skala

kabupaten/kota kecuali pada kawasan

hutan negara pada wilayah kerja Perum

Perhutani.

Pemanfaatan

kawasan Hutan dan

Jasa Lingkungan

pada Hutan Produksi

Pemberian izin usaha pemanfaatan

kawasan hutan dan jasa lingkungan

skala provinsi kecuali pada kawasan

hutan negara pada wilayah kerja Perum

Perhutani.

Pemberian izin usaha pemanfaatan

kawasan hutan dan jasa lingkungan

skala kabupaten/kota kecuali pada

kawasan hutan negara pada wilayah

kerja Perum Perhutani.

Industri Pengolahan

Hasil Hutan

Pemberian izin industri primer hasil

hutan kayu dengan kapasitas produksi ≤

6.000 m3 serta pertimbangan teknis izin

industri primer dengan kapasitas >

6.000 m3.

Pertimbangan teknis pemberian izin

industri primer hasil hutan kayu.

Penatausahaan Hasil

Hutan

Pengawasan dan pengendalian

penatausahaan hasil hutan skala

provinsi.

Pengawasan dan pengendalian

penatausahaan hasil hutan skala

kabupaten/kota.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 152

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota

Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung

Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani.

Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani.

Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan

- Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/ kota.

Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Penetapan lahan kritis skala provinsi. 2. Pertimbangan teknis rencana

rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.

3. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala provinsi.

4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.

1. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.

2. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.

3. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota.

4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.

Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota.

Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala provinsi.

2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan /pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.

Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan

Pengesahan rencana reklamasi hutan Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan

Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam

Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi

Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.

Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan

Pemantauan, evaluasi dan fasilitas pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

153 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah povinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota

Pengembangan

Hutan Hak dan

Aneka Usaha

Kehutanan

Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi

hutan, hak dan aneka usaha kehutanan.

Penyusunan rencana, pembinaan

pengelolaan hutan hak dan aneka usaha

kehutanan.

Hutan Kota Pembangunan, pengelolaan,

pemeliharaan, pemanfaatan,

perlindungan dan pengamanan

hutan kota (khusus DKI), fasilitasi,

pemantauan dan evaluasi hutan kota.

Pembangunan, pengelolaan,

pemeliharaan, pemanfaatan,

perlindungan dan pengamanan hutan

kota.

Perbenihan Tanaman

Hutan

Pertimbangan teknis calon areal sumber

daya genetik, pelaksanaan sertifikasi

sumber benih dan mutu benih/bibit

tanaman hutan.

Inventarisasi dan identifikasi serta

pengusulan calon areal sumberdaya

genetik, pembinaan penggunaan

benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi

sumber benih dan mutu benih/bibit

tanaman hutan.

Pengusahaan

Pariwisata Alam

pada Kawasan

Pelestarian Alam,

dan Pengusahaan

Taman Buru, Areal

Buru dan

Kebun Buru

Pertimbangan teknis pengusahaan

pariwisata alam dan taman buru serta

pemberian perizinan pengusahaan

kebun buru skala

provinsi.

Pertimbangan teknis pengusahaan

pariwisata alam dan taman buru serta

pemberian perizinan pengusahaan

kebun buru skala kabupaten/kota.

Pemanfaatan

Tumbuhan dan

Satwa Liar

Pengawasan pemberian izin

pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar

yang tidak dilindungi dan tidak

termasuk dalam lampiran (Appendix)

CITES.

Pemberian perizinan pemanfaatan

tumbuhan dansatwa liar yang tidak

dilindungi dan tidak termasuk dalam

lampiran (Appendix) CITES.

Lembaga Konservasi Pertimbangan teknis izin kegiatan

lembaga konservasi (antara lain kebun

binatang, taman safari) skala provinsi.

Pertimbangan teknis izin kegiatan

lembaga konservasi (antara lain Kebun

Binatang, Taman Safari) skala

kabupaten/kota.

Perlindungan Hutan 1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada

hutan produksi, hutan lindung yang

tidak dibebani hak dan hutan adat

serta taman hutan raya skala

provinsi.

2. Pemberian fasilitas, bimbingan dan

pengawasan dalam kegiatan

perlindungan hutan pada hutan yang

dibebani hak dan hutan adat skala

provinsi.

1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada

hutan produksi, hutan lindung yang

tidak dibebani hak dan hutan adat

serta taman hutan raya skala

Kabupaten/kota.

2. Pemberian fasilitas, bimbingan dan

pengawasan dalam kegiatan

perlindungan hutan pada hutan yang

dibebani hak dan hutan adat skala

kabupaten/kota.

Penelitian dan

Pengembangan

Kehutanan

Koordinasi dan penyelenggaraan

penelitian dan pengembangan

kehutanan di tingkat provinsi dan/atau

yang memiliki dampak antar

kabupaten/kota dan pemberian

perizinan penelitian pada hutan

produksi dan hutan lindung yang tidak

ditetapkan sebagai kawasan hutan

dengan tujuan khusus skala provinsi.

Penyelenggaraan penelitian dan

pengembangan kehutanan di tingkat

kabupaten/kota dan pemberian perizinan

penelitian pada hutan produksi serta

hutan lindung yang tidak ditetapkan

sebagai kawasan hutan dengan tujuan

khusus skala kabupaten/kota.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 154

Tabel 2 (lanjutan)

Aktivitas

pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota

Penyuluhan

Kehutanan

Penguatan kelembagaan dan

penyelenggaraan penyuluhan kehutanan

skala provinsi.

Penguatan kelembagaan dan

penyelenggaraan penyuluhan kehutanan

skala kabupaten/kota.

Pembinaan dan

Pengendalian Bidang

Kehutanan

Koordinasi, bimbingan, supervisi,

konsultasi, pemantauan dan evaluasi

bidang kehutanan skala provinsi.

Bimbingan, supervisi, konsultasi,

pemantauan dan evaluasi bidang

kehutanan skala kabupaten/kota.

Pengawasan Bidang

Kehutanan

Pengawasan terhadap efektivitas

pelaksanaan pembinaan

penyelenggaraan oleh kabupaten /kota

dan kinerja penyelenggara provinsi

serta penyelenggaraan oleh

kabupaten/kota di bidang kehutanan.

Pengawasan terhadap efektivitas

pelaksanaan pembinaan

penyelenggaraan oleh desa/masyarakat,

kinerja penyelenggara kabupaten/kota

dan penyelenggaraan oleh desa/

masyarakat di bidang kehutanan.

B.2. Inisiatif yang timbul

B.2.1. Kebijakan pembangunan kehutanan di Kabupaten Donggala dan Kabupaten

Poso.

B.2.2. Kebijakan/kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten

Donggala dan Poso di kawasan TNLL antara lain: surat Bupati Kabupaten

Donggala tentang penyelesaian masalah Dongi-dongi, penyusunan draft

Perda enclave TNLL dan pembentukan wilayah administrasi di kawasan

TNLL.

B.3. Isu yang dihadapi

B.3.1. Permasalahan dalam TNLL. Faktor penyebab berkembangnya permasalahan

dalam pengelolaan TNLL adalah: penetapan batas TNLL tanpa melibatkan

masyarakat, prasarana jalan dan program kegiatan/kebijakan pemerintah.

B.3.2. Pengakuan hak ulayat masyarakat. Era reformasi bukan hanya mengenai

penyesuaian kekuatan dalam administrasi pemerintah formal, tetapi juga

menyangkut non formal. Seperti diketahui, bahwa desa seperti Katu, Moa dan

Toro dengan tanah adat di dalam taman nasional mendapat pengakuan

sebagai bagian dari manajemen taman nasional. Namun perlu diperhatikan

kembali kekuatan lapisan masyarakat perlu dikontrol oleh hukum yang kuat.

Hal ini dapat digambarkan di TNLL yang menderita inovasi lahan oleh

pendudukan masyarakat di Dongi-dongi yang telah menginvasi kawasan

TNLL.

B.3.2. Keterbatasan badan pengelola. Keterbatasan tersebut menyangkut

keterbatasan tenaga pengamanan kawasan TNLL. Berdasarkan data yang

diperoleh, diketahui bahwa jumlah petugas (Polhut) pengaman di BBTNLL

sebanyak 55 orang dengan luas kawasan yang harus dikelola 229.000 ha. Hal

ini merupakan suatu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang tidak ideal

karena keterbatasan jumlah petugas.

Hal-hal yang diangkat sebagai permasalahan adalah temuan-temuan utama

dalam studi yang dianggap sebagai kendala-kendala yang akan menghambat

pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan TNLL. Temuan-temuan dimaksud

155 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

adalah sebagai berikut: klaim wilayah Dongi-dongi oleh masyarakat, pencurian

sumberdaya alam, perambahan kawasan, perubahan fungsi kawasan dan okupasi

lahan oleh beberapa perusahaan.

Kondisi dan Prospek Pengelolaan Kawasan TNLL Secara Berkelanjutan dan

Berkeadilan, antara lain: kondisi penutupan lahan, rospek pengelolaan kawasan

TNLL, tujuan dan arah kebijakan program dan kegiatan yang perlu dilaksanakan.

Upaya memaksimalkan potensi kawasan terus dilakukan oleh pihak BBTNLL

dari waktu ke waktu. Upaya tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai

sumberdaya yang dimiliki. Optimalisasi juga dilakukan dengan mengupayakan

berbagai program kegiatan yang mengarah pada berbagai aspek, adalah:

1. Aspek sumberdaya hutan. Secara umum tujuan pengelolaan kawasan konservasi

adalah mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan

ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Upaya yang dapat dilakukan agar tujuan

konservasi dapat tercapai dan ditempuh melalui beberapa kegiatan adalah:

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya.

2. Aspek kelembagaan dan sumberdaya manusia. Beberapa instansi atau organisasi

yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengelolaan

TNLL adalah:

2.1. Balai Besar TNLL (BBTNLL). Pengelolaan TNLL tidak terlepas dari perangkat

manajemen pengelola yang mencakup beberapa komponen yaitu:

2.1.1. Kelembagaan. BBTNLL memiliki 6 seksi konservasi wilayah sebagai unit

pengelolaan di lapangan. Organisasi yang ada merupakan hasil kolaborasi

dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10

Juni 2002 dan kebutuhan BBTNLL, yang mana di bawah Sub Bagian Tata

Usaha dibentuk struktur yang menangani Umum dan Keuangan,

Kepegawaian dan Perlengkapan dan Perencanaan dan Teknis Konservasi,

sedangkan di Seksi Konservasi Wilayah, terdapat Urusan Tata Usaha dan

Teknis Konservasi.

2.1.2. Kepegawaian. BBTNLL dipimpin oleh Kepala Balai Besar yang membawahi

5 bidang eselon III dan 9 eselon IV.

2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terdapat LSM, baik di tingkat lokal

maupun internasional dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di lingkungan

TNLL yang berperan aktif membantu pengelolaan, seperti Yayasan JAMBATA,

KARSA, AG (Awam Green), Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT),

organisasi LOHENA, STORMA-UNTAD, TNC (The Nature Conservancy), dan

UNESCO.

3. Pemerintah Kabupaten. Secara administratif pemerintahan, kawasan TNLL

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 593/ Kpts-ll/1993,

mempunyai luas 229.000 ha. Secara administratif terletak dalam 2 wilayah

kabupaten yaitu sebagian besar di Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 156

Kabupaten Poso, maka sangat membutuhkan kerja sama dari pemerintah utamanya

dalam hal pengelolaan masyarakatnya karena di dalam kawasan TNLL sendiri

terdapat dua desa binaan yaitu Desa Toro dan Desa Katu.

4. Aspek sosial dan ekonomi. Kondisi umum kawasan TNLL berkaitan dengan

keberadaan masyarakat adalah dideskripsikan sebagai berikut:

4.1. Mata pencarian. Lahan di sekitar TNLL pada umumnya adalah daerah

pegunungan terjal yang membatasi desa-desa terhadap empat sistem utama lembah

yang mengelilingi TNLL. Kondisi lahan ini kemudian menentukan mata pencarian

desa-desa tersebut.

4.2. Pola penggunaan lahan. Persepsi responden mengenai pengetahuan tentang

pengelolaan kawasan TNLL. Data tersebut disajikan pada tabel berikut:

Tabel 3. Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan TNLL

No. Uraian

Nama desa

Toro Katu

Frekuensi Persen Frekuensi Persen

1. Mengetahui tentang TNLL sebagai

kawasan konservasi

a. Tahu 13 86,6 12 80

b. Tidak tahu 2 13,4 3 20

Jumlah 15 100 15 100

2. Peran pemerintah/aparat daerah

a. Tidak tahu 3 20 2 13,4

c. aktif 12 80 13 86,6

Jumlah 15 100 15 100

3. Pembinaan/penyuluhan

a. Tidak tahu 3 20 6 40

c. Sudah cukup 12 80 9 60

Jumlah 15 100 15 100

Untuk mengetahui kondisi kawasan berdasarkan realita yang ada dan kondisi

ideal yang diinginkan, maka dilakukan analisis Gap. Tabel 4 menggambarkan hasil

analisis gap atau kesenjangan antara kondisi ideal yang diinginkan dan realita dalam

pengelolaan TNLL.

Tabel 4. Analisis Implementasi Pengelolaan Kawasan TNLL

Kebijakan peraturan Kondisi ideal yang

diinginkan Realisasi Analisis implementasi

A. Kebijakan Konservasi yang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan TNLL

Pengelolaan lingkungan

hidup (TNLL) dilakukan

secara terpadu oleh instansi

terkait (pemerintah,

masyarakat LSM, perguruan

tinggi dan intansi lainnya).

Semua stakeholder

terlibat langsung

dalam pengelolaan

kawasan hutan.

Pengelolaan

kawasan hanya

dilakukan oleh

instansi teknis

yaitu BBTNLL.

Adanya pemahaman yang

berbeda terhadap peraturan

perundangan yang berlaku

serta kepentingan yang berbeda

terhadap kawasan.

157 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Tabel 4 (lanjutan)

Kebijakan peraturan Kondisi ideal yang

diinginkan Realisasi Analisis implementasi

Masyarakat di dalam dan

sekitar hutan berhak

memperoleh kompensasi

karena hilangnya akses

akan hutan dan disesuaikan

kondisi mereka.

Masyarakat

memperoleh

manfaat yang

maksimal dari

hutan dan kawasan

hutan.

Masyarakat

sekitar belum

menerima

manfaat hutan

secara maksimal.

Belum ada valuasi jasa

lingkungan, sehingga

masyarakat sekitar belum

menerima kompensasi dalam

bentuk materi.

Pengelolaan kawasan

konservasi dapat dilakukan

melalui sistem kolaborasi

yang sesuai.

Masyarakat

dilibatkan dalam

pengelolaan

kawasan sesuai

kondisi.

Pelibatan

masyarakat tidak

sesuai dengan

kondisi yang

ada.

Kurang pertimbangan aspek

sosial budaya dan program

kurang berdampak positif

bagi masyarakat, sehingga

masyarakat tidak proaktif.

Kawasan Suaka

Margasatwa,

Hutan Wisata dilarang

melakukan kegiatan

apapun, kecuali kegiatan

yang berkaitan dengan

fungsinya.

Kelestarian

kawasan serta

flora dan fauna

tetap terjaga dari

kerusakan.

Dalam kawasan

terdapat

pemukiman,

lahan pertanian,

perekebunan

masyarakat dan

perusahaan.

Kurangnya pengetahuan

terhadap peraturan

perundangan yang berlaku di

dalam kawasan hutan dan

kebijakan pengelolaan

kawasan yang diberikan oleh

pemerintah.

Penentuan tapal batas

kawasan dan zona di dalam

kawasan Taman Nasional.

Setiap kawasan

dilengkapi tapal

batas dan zona

disesuaikan tipe

tutupan lahan dan

penggunaan lahan.

Sebagian

kawasan tidak

ada tapal batas

dan perambahan

zona inti oleh

masyarakat.

Adanya rencana enclave

Lindu dan Besoa serta

pengakuan ulayat

masyarakat.

B. Peraturan/Perundangan Pendukung Konservasi

Tujuan perlindungan hutan

adalah untuk menjaga

kelestarian hutan agar dapat

memenuhi fungsinya.

Kawasan hutan

tetap terjaga dari

segala bentuk

kerusakan.

Sebagian

kawasan telah

terjadi degradasi.

Perambahan kawasan dan

sumberdaya alam oleh

masyarakat dan pengusaha

sehingga degradasi kawasan.

C. Respon dan Inisiatif Pemkab Donggala dan Poso Terhadap Pengelolaan TNLL

Rehabilitasi dan kelestarian

sumberdaya alam

lingkungan hidup.

Mempertahankan

kelestarian

kawasan TNLL

dari kerusakan.

Kawasan ulayat,

rehabilitasi dan

rencana enclave.

Rencana enclave pada

kawasan yang terdapat

pemukiman masyarakat.

C. Strategi Pengelolaan TNLL

Sesuai hasil identifikasi yang dilakukan, maka dibuat matriks analisis SWOT

tentang strategi pengelolaan TNLL sebagai berikut.

Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 158

Tabel 5. Matriks Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Kawasan TNLL

Faktor internal

Faktor eksternal

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness)

1. TNLL memiliki keanekaragaman

hayati yang tinggi dan langka.

2. Aturan hukum yang jelas tentang

sanksi yang melanggar aturan di

dalam kawasan.

3. Dasar hukum yang jelas

berdasarkan SK Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No.

464/Kpts-II/1999.

4. Adanya mitra yang terlibat dalam

kegiatan penelitian kawasan.

5. Rencana zona pemanfatan yang

menyediakan fasilitas ekowisata.

1. Kurangnya dukungan dan

koordinasi antara BTNLL

dengan Pemkab Donggala

dan Poso.

2. Pemahaman yang berbeda

antara BBTNLL dengan

Pemkab Donggala dan Poso

menyangkut pengelolaan

Kawasan TNLL.

3. Rasio antara staf/petugas

BTNLL dengan luas

kawasan masih rendah.

4. Sarana dan prasarana serta

kualitas sumberdaya

manusia BTNLL masih

kurang.

5. Kebijakan pemerintah yang

tidak konsisten dengan luas

TNLL.

Peluang (Opportunities) Isu/strategis (S – O) Isu/strategis (W – O)

1. Kawasan Konservasi adalah isu

global.

2. Adanya inisiatif politik

pemerintah dengan berbagai

kebijakan dan peraturan

tentang konservasi.

3. Kebutuhan jasa wisata alam.

4. Adanya pengembangan

penelitian keanekaragaman

hayati.

1. Optimalisasi perlindungan dan

pemanfaatan sumberdaya TNLL.

2. Pengembangan dan penguatan

kerja sama dengan lembaga luar.

1. Optimalisasi kerja sama dan

koordinasi antara Balai

Besar TNLL, Pemkab

Donggala, Poso dan

masyarakat.

2. Penguatan kelembagaan

BBTNLL dan kemitraan

dengan instansi terkait.

Ancaman (Threats) Isu/strategis (S – T) Isu/strategis (W – T)

1. Aksesibilitas jalan yang mudah

dijangkau.

2. Adanya pemukiman dan sarana

prasarna sosial dan ekonomi

masyarakat di dalam kawasan.

3. Letak kawasan yang berbatasan

langsung dengan ibukota

Kabupaten Poso dan Donggala.

1. Pengembangan peran masyarakat

dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

2. Optimalisasi komitmen

pemerintah dalam bentuk

kebijakan tata ruang yang

terencana dan transparan serta

memperhatikan aspek pelestarian

lingkungan.

3. Penataan ulang zonasi dengan

memasukkan zona khusus.

1. Peningkatan dan

perlindungan kawasan dari

berbagai bentuk kerusakan.

2. Konsistensi dan penerapan

yang tegas dari kebijakan

/aturan yang terkait dengan

pengelolaan TNLL.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bila ditinjau dari peraturan perundangan kehutanan dan konservasi lingkungan

yang ada, maka peran Pemerintah Daerah, baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun

Kabupaten Donggala dan Poso, dalam pengelolaan TNLL sebagai bagian dari

hutan/kawasan konservasi relatif terbatas atau bahkan kurang jelas.

159 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010

Inisiatif kebijakan dan program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh

Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Donggala dan Poso yang memiliki

keterkaitan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan, fungsi dan manfaat

TNLL.

Identifikasi ulang baik terhadap aspek internal (kekuatan dan kelemahan)

maupun eksternal (peluang dan ancaman) pengelolaan TNLL menunjukkan, bahwa

masih terdapat kemungkinan berbagai strategi (baik yang bersifat konservatif,

desensive, deservikatif maupun agresif) yang dapat dilakukan dan sekaligus

mensinerjikan kewenangan Pemerintah Pusat dan peran Pemerintah Daerah

(khususnya Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso). Pelaksanaan dari program-

program kegiatan tersebut harus bersifat kolaboratif (kerja sama antara parapihak

dengan semangat mengurangi konflik kepentingan). Begitu pula, dikarenakan isu

utama pengelolaan TNLL adalah pada aspek sosial, maka upaya-upaya pendekatan

harus bersifat komprehensif, baik bersifat vertikal (yang ada hubungannya langsung

dengan tahapan pengelolaan TNLL), horisontal (saling melengkapi atau

komplementer), fasilitasi (pendampingan masyarakat) dan sosial-kultur (dengan

meninjau aspek-aspek sosiologi masyarakat).

Saran

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka dapat

disarankan beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam

rangka mengelola TNLL lebih baik ke depan adalah sebagai berikut:

Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan perlu terus mendorong

BBTNLL agar lebih aktif melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah

Daerah terutama Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso. Secara teoritis dan

empiris tidaklah mungkin menangani kawasan TNLL sendiri, meski kewenangan

ada di tangan Pemerintah Pusat. Setiap peluang terobosan yang mungkin dilakukan

guna memberi peran lebih besar kepada Pemerintah Daerah harus dilakukan

(fleksibilitasi), tanpa harus melanggar ketentuan yang berlaku.

Bagi Pemerintah Daerah (Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso)

diharapkan untuk meningkatkan kepedulian aparat maupun masyarakat terkait

dengan keberadaan, peran dan manfaat TNLL.

Parapihak lainnya yang berkepentingan terhadap keberadaan, fungsi dan

manfaat TNLL (antara lain dari kalangan lembaga non-pemerintah dan akademisi)

sudah saatnya meningkatkan kerja sama dalam rangka pengelolaan TNLL, tidak

terkecuali dalam kegiatan penelitian dan pendampingan masyarakat yang selama ini

sudah sangat banyak dilakukan, tetapi masih bersifat parsial.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu 2004-2029. Kerja sama

BBTNLL, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan the Nature

Conservancy.

Darusman, D. dan D.R. Nurrochmat. 2005. Analisis Aspek Kebijakan dan Hukum.

Tropenbos Indonesia, Balikpapan.