ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI ...
Transcript of ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI ...
1
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI
PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(Studi pada Pemerintah Kota Salatiga)
Debora Pratiti Dewi
Priyo Hari Adi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Abstract
This research is aimed to analyze the financial performance by managing the local finance of
the government of Salatiga in 2011 to 2015. The financial performance can be measured by
using analysis of independence ratio, activity ratio, effectivity dan efficiency ratio, and growth
ratio. This research uses financial report that consist of realization of the local finance. The
result showed that the financial performance of the local government as seen from the
independence ratio is low but increased annually. Then the activity ratio showed that the
government put more funds on routine spending than development spending. The effectivity
ratio tends to be effective, but the efficiency ratio is not efficient. The growth rasio showed
positive trend except the development spending growth.
Keywords : Financial Performance of Local Government, APBD, Independence Ratio, Activity Ratio,
Effectivity and Efficiency Ratio, Growth Ratio.
1. Pendahuluan
Penerapan otonomi daerah di beberapa kota di Indonesia memberikan wewenang
kepada daerah yang bersangkutan untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Peralihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
ini diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan
wewenang tersebut selalu diikuti dengan penyerahan segala urusan keuangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah masing-masing (Dien,
Tinangon dan Walandouw 2015). Anggaran digunakan oleh pemerintah sebagai instrument
perencanaan untuk mengatur program kerja atau rencana kerja selama dan target yang harus
2
dicapai selama periode tertentu. Selain itu, anggaran juga dimanfaatkan sebagai alat
pengendalian dalam proses pelaksanaannya (Sumenge 2013). Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah. Undang-undang No.17 Tahun 2003 Pasal 17 tentang
Keuangan Negara menjelaskan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah masing-masing.
Tingkat keberhasilan suatu pemerintahan dapat dilihat dari kinerjanya. Kinerja
diartikan sebagai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, visi dan misi dari pemerintah. Kinerja dari pemerintah daerah akan menunjukkan
seberapa baik pelaksanaan otonomi daerah, sehingga hal tersebut penting untuk diukur
(Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja 2016). Pengukuran kinerja keuangan bermanfaat untuk
melihat akuntabilitas pemerintah daerah tersebut yang disajikan dalam bentuk laporan
keuangan. Melalui laporan keuangan yang disajikan maka akan menunjukkan posisi keuangan,
realisasi anggaran, dan kinerja keuangan pemerintah (Sijabat, Saleh dan Wachid 2014).
Melalui laporan keuangan tersebut dapat dilakukan analisis rasio keuangan daerah untuk
menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah,
mengukur aktivitas atau keserasian dalam membelanjakan pendapatan daerahnya, menilai
efektivitas dan efisiensi realisasi anggaran, serta pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah
(Hanik dan Karyanti 2014).
Analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan pemerintah
daerah atas pengelolaan APBD pada periode tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya dan
sudah selesai direalisasikan. Terdapat beberapa jenis rasio yang dapat diterapkan untuk menilai
kinerja keuangan dan perlu disesuaikan dengan data yang akan diteliti lebih lanjut. Misalnya
rasio kemandirian keuangan daerah yang digunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi dibandingkan penerimaan dari
bantuan pemerintah pusat maupun pinjaman. Selain itu, terdapat rasio aktivitas untuk menilai
pengalokasian belanja rutin dan belanja pembangunan, rasio efektivitas pendapatan dan
efisiensi belanja, serta rasio pertumbuhan untuk melihat adanya pertumbuhan secara positif
ataupun negatif dari kinerja anggaran pada beberapa periode anggaran (Mahmudi 2010).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Boedi (2012) tentang kinerja keuangan
Pemda Kabupaten Banjar menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut jika
dinilai dengan rasio keuangan cenderung masih bergantung kepada pemerintah pusat.
3
Pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah cenderung menurun setiap tahunnya, walaupun
tingkat efektivitas PAD sudah tergolong tinggi. Penelitian lain mengatakan bahwa perolehan
PAD dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah secara signifikan, sehingga
setiap komponen PAD dapat mempengaruhi kinerja keuangan suatu daerah (Wenny 2012).
Menurut Macmud, Kawung dan Rompas (2014), kinerja keuangan daerah yang masih belum
stabil dan belum begitu baik jika dilihat dari beberapa rasio keuangan menunjukkan trend
positif dan trend negatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh kemampuan daerah dalam mengelola
sumber daya dan pendapatan daerah yang diterima.
Kota Salatiga merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Tengah
dan melaksanakan otonomi daerah dengan mengelola segala kepentingan dan urusan
pemerintahannya sendiri. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan serta pemanfaatan
sumber daya dikelola sendiri oleh pemerintah Kota Salatiga, sehingga pengelolaan APBD
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah dan harus dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan. Dalam Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Kota Salatiga tahun
anggaran 2016, realisasi pendapatan dan belanja daerah cenderung meningkat setiap tahunnya,
walaupun secara keseluruhan belum mencapai target yang telah ditetapkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Wardhani (2012) menunjukkan bahwa kinerja keuangan Kota Salatiga pada
tahun 2005-2010 dikatakan belum baik jika dinilai dengan rasio keuangan, karena dari
beberapa rasio keuangan yang digunakan, hanya rasio efektivitas dan rasio upaya fiskal yang
sudah menunjukkan kriteria yang baik. Penilaian kinerja keuangan tersebut dilakukan dengan
menggunakan analisis rasio keuangan dengan membandingkan hasil pencapaian tujuan dari
beberapa periode anggaran sehingga dapat diketahui kecenderungan yang terjadi.
Gambar 1 Perkembangan Realisasi APBD Kota Salatiga Tahun 2010-2015
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka Tahun 2011-2016
41
2 47
8 56
2 60
3 72
7
75
0
41
8
44
8 55
1
52
9
64
5
67
3
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pendapatan
Belanja
(dalam miliar rupiah)
4
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa realisasi APBD Kota Salatiga cenderung
meningkat setiap tahunnya. Terdapat penurunan tingkat belanja pada tahun 2013, tetapi
pendapatan dan belanja pada tahun yang lain terus meningkat. Peningkatan maupun penurunan
pendapatan dan belanja daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen
didalamnya. Peningkatan realisasi APBD dari tahun ke tahun disebabkan oleh peningkatan
kemampuan pemerintah dalam merealisasikan anggaran. Selain itu, rancangan anggaran
pendapatan dan belanja cenderung dibuat melebihi tahun-tahun sebelumnya untuk
menunjukkan kinerja pemerintahan yang lebih baik dengan target pencapaian yang lebih tinggi.
Penelitian Wardhani (2012) menunjukkan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kota
Salatiga pada periode 2005-2010 masih belum baik, sehingga melalui penelitian ini akan
melihat bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah Kota Salatiga dilihat dari sisi
kemandirian keuangan daerah, aktivitas atau keserasian alokasi belanja daerah, efektivitas dan
efisiensi penggunaan APBD, serta pertumbuhan pendapatan dan belanja daerah pada periode
2011-2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan kinerja keuangan
pemerintah daerah Kota Salatiga melalui analisis rasio keuangan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa maupun masyarakat secara umum
tentang kinerja keuangan khususnya pada pemerintah daerah Kota Salatiga. Selain itu, dapat
digunakan sebagai referensi bagi pemerintah daerah Kota Salatiga dalam hal pelaksanaan
anggaran supaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien, bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan, serta meningkatkan akuntabilitas pelaporan pemerintah dan
efektivitas pengelolaan sumber daya.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, merupakan penyelenggaraan urusan pemerintah oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Sedangkan laporan keuangan yang harus
dibuat oleh pemerintah daerah setidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA),
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri
5
dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah yang dibuat oleh komite standar yang independen dan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dengan persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta
disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
yang bersangkutan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah
pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan tersebut
menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh
pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan
realisasinya dalam satu periode pelaporan. Laporan realisasi anggaran mencakup beberapa pos
yaitu pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, penerimaan pembiayaan, pengeluaran
pembiayaan, pembiayaan neto, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran (SiLPA/SiKPA).
Laporan Realisasi Anggaran dapat digunakan untuk menilai kondisi keuangan,
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi penggunaan dana maupun sumber daya sehingga dapat
terlihat ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan. Tetapi dalam menghasilkan
laporan keuangan sektor publik yang relevan dan dapat diandalkan terkadang terdapat beberapa
kendala yang harus dihadapi seperti objektivitas, konsistensi, daya banding, tepat waktu,
ekonomis dalam penyajian laporan dan materialistik (Santoso dan Pambelum 2008). Undang-
undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa Laporan Realisasi
Anggaran selain menyajikan realisasi anggaran pendapatan dan belanja, juga menjelaskan
prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD mempunyai fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi anggaran pemerintah daerah.
Penyusunan rancangan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Anggaran dibuat dengan memperkirakan defisit maupun surplus yang mungkin
akan diperoleh pada periode mendatang, sehingga penetapan sumber-sumber pembiayaan
6
untuk menutup defisit maupun penggunaan surplus dapat diketahui dan dijalankan sesuai
dengan Peraturan Daerah tentang APBD. Penyusunan APBD ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan penyelenggaraan dan kemampuan pendapatan daerah masing-masing. Jumlah
alokasi dana yang dimanfaatkan harus disesuaikan dengan anggaran yang sudah disusun
sebelumnya. Anggaran yang akan dilaksanakan pada tahun mendatang mengacu pada anggaran
dan realisasi dari tahun sebelumnya, sehingga dapat digunakan sebagai tolak ukur pembuatan
anggaran pada periode berikutnya (Fahrianta dan Carolina 2012).
Struktur APBD terdiri dari 3 hal, seperti yang sudah diatur dalam Permendagri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu Pendapatan Daerah,
Belanja Daerah dan Pembiayaan Daerah. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang
melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana dan merupakan hak daerah
dalam satu tahun anggaran sehingga tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan
daerah dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Sedangkan dana perimbangan biasanya terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari hibah, dana darurat, dana bagi
hasil pajak, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, serta bantuan keuangan dari provinsi
atau pemerintah daerah lainnya.
Belanja daerah merupakan dana yang dipergunakan dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota. Belanja daerah
meliputi seluruh pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana,
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan
urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan. Belanja menurut kelompok belanja dibedakan menjadi 2 yaitu
belanja tidak langsung dan belanja langsung, dimana pengeluaran belanja terkait langsung atau
tidak langsung dengan pelaksanaan program pemerintah. Indikator kualitas belanja daerah
dapat dilihat dari besaran belanja langsung yang seharusnya lebih besar dari belanja tidak
langsung. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pendapatan yang diterima untuk
keperluan belanja langsung daripada belanja tidak langsung. Tetapi realitasnya kecenderungan
7
realisasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung (Fahlevi dan
Ananta 2015). Sedangkan pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk
menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Pembiayaan daerah ini terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
2.3. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kinerja merupakan gambaran pencapaian suatu target atau tujuan melalui
pelaksanaannya. Indikator kinerja dapat dilihat dari ukuran kuantitatif dan kualitatif sehingga
nantinya akan menggambarkan tingkat pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya
jika dilihat dari indikator masukan (input), keluaran (output), hasil, manfaat, dan dampak
(Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja 2016). Kinerja keuangan diartikan sebagai tingkat
pencapaian di bidang keuangan yang menunjukkan hasil kerja atau capaian kerja pemerintah
daerah. Pencapaian tersebut dapat dilihat dari pengelolaan pendapatan dan belanja daerah
menggunakan sistem keuangan yang ditetapkan berdasarkan kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan pada satu periode tertentu (Kundalini 2014).
Penelitian Saputra, Suwendra dan Yudiatmaja (2016) mengenai kinerja keuangan
pemerintah daerah Kabupaten Jembrana yang menggunakan analisis rasio keuangan,
menunjukkan bahwa rasio kemandirian keuangan cenderung rendah. Pertumbuhan pendapatan
daerah tersebut dikategorikan positif, karena pemerintah daerah mampu mempertahankan
bahkan meningkatkan pencapaian dari tahun sebelumnya. Rasio keserasian belanja
menunjukkan bahwa pemerintah lebih banyak menggunakan anggaran belanjanya untuk
keperluan belanja operasional. Tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan angaran daerah
tersebut dinilai sudah baik. Sedangkan penelitian Hanik dan Karyanti (2014) terhadap kinerja
keuangan daerah Kabupaten Semarang dinilai sudah cukup baik. Tingkat kemandirian daerah
memang masih rendah tetapi terus meningkat setiap tahunnya. Efektivitas dan efisiensi
penggunaan anggaran sudah dilaksanakan dengan baik. Rasio aktivitas menunjukkan bahwa
proporsi belanja rutin lebih banyak daripada belanja pembangunan. Sedangkan rasio
pertumbuhan menunjukkan bahwa pemerintah daerah mampu mempertahankan kinerjanya
dalam mengelola keuangan daerah.
Pengukuran kinerja keuangan pada pemerintah daerah dapat dilihat dari laporan
pertanggunjawaban atas penggunaan APBD. Tujuan dilakukannya pengukuran kinerja
keuangan adalah untuk membantu memperbaiki kinerja keuangan pemerintah, pengalokasian
sumber daya yang maksimal, pengambilan keputusan, sebagai wujud pertanggungjawaban
8
publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo 2004). Salah satu cara untuk
mengukur kinerja keuangan adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Analisis tersebut terdiri dari beberapa rasio yaitu
rasio kemandirian keuangan daerah, aktivitas, efektivitas dan efisiensi, serta pertumbuhan
pendapatan dan belanja.
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan akan menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
untuk memenuhi keperluan daerahnya sendiri dengan memaksimalkan PAD sebagai
sumber utama penerimaan daerah. Pengukuran rasio kemandirian ini dilakukan dengan
membandingkan antara perolehan PAD dengan pendapatan yang diperoleh dari
bantuan pemerintah pusat atau provinsi serta pinjaman yang diperoleh dari pihak lain.
Semakin tinggi presentase rasio kemandirian yang dihasilkan, maka menunjukkan
bahwa tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat
dan pihak eksternal lain untuk membiayai keperluan daerahnya semakin rendah,
demikian pula sebaliknya (Mahmudi 2010).
Setelah diketahui rasio kemandirian keuangan daerah, kemudian
diklasifikasikan menurut pola hubungannya. Menurut Hersey dan Blanchard dalam
Halim (2008) terdapat empat pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
melaksanakan otonomi daerahnya, yaitu pola instruktif, pola konsultatif, pola
partisipatif, dan pola delegatif. Pola instruktif menunjukkan peran pemerintah pusat
lebih dominan dalam mendukung pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Sehingga dapat dikatakan tingkat kemandirian keuangan daerah masih rendah
dan kemampuan keuangan daerah untuk memenuhi kebutuhannya tergolong sangat
rendah. Pola konsultatif menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah sudah mulai berkurang, karena pemerintah daerah dianggap sudah
lebih mampu untuk melaksanakan otonomi daerah. Tetapi walaupun demikian,
kemampuan keuangan daerah pada pola ini masih tergolong rendah.
Pola partisipatif menunjukkan peran pemerintah pusat dalam membantu
pemerintah daerah sudah semakin berkurang, karena tingkat kemandirian keuangan
daerah yang bersangkutan sudah cukup tinggi dan kemampuan keuangan daerah sudah
dianggap cukup untuk memenuhi keperluan daerahnya sendiri. Sedangkan pola
delegatif menunjukkan pemerintah pusat sudah tidak campur tangan dalam urusan
pemerintah daerah, karena pemerintah daerah dinilai sudah mandiri dalam
9
melaksanakan urusan otonomi daerah. Kemampuan keuangan daerah pada pola ini
dinilai sudah tinggi dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri.
b. Rasio Aktivitas
Pengukuran rasio aktivitas atau keserasian bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dana yang ada untuk memenuhi
kebutuhan belanja operasi (belanja rutin) dan belanja modal (belanja pembangunan).
Rasio ini dapat diukur dengan membandingkan antara total belanja rutin atau belanja
pembangunan dengan total APBD yang sudah ditetapkan. Semakin tinggi presentase
dana yang dialokasikan untuk belanja rutin, maka akan semakin kecil presentase dana
untuk belanja pembangunannya, begitupula sebaliknya (Sijabat, Saleh dan Wachid
2014).
Belanja operasi merupakan belanja yang masa manfaatnya habis digunakan
dalam satu tahun anggaran dan sifatnya jangka pendek. Belanja operasi terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, subsidi, hibah, bantuan sosial dan keuangan,
serta keperluan untuk membayar cicilan pinjaman dan bunga. Sedangkan belanja modal
yang dilakukan pemerintah saat ini akan memberikan manfaat jangka menengah dan
jangka panjang. Belanja modal digunakan lebih banyak untuk kepentingan
pembangunan daerah, seperti pembangunan sarana prasarana yang membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik (Mahmudi 2010).
c. Rasio Efektivitas dan Efisiensi
Standar pengelolaan keuangan daerah yang efektif melalui Permendagri No. 13
Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 4 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dapat
dinilai berdasarkan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu
dengan cara membandingkan keluaran dengan hasilnya. Perbandingan yang semakin
dekat antara target dengan output yang dihasilkan maka akan menunjukkan semakin
efektif perencanaan tersebut. Suatu organisasi ataupun program dinilai efektif apabila
output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan (Suoth, Tinangon dan
Rondonuwu 2016). Berkaitan dengan realisasi APBD, efektivitas perolehan pendapatan
daerah dapat dilihat dengan membandingkan antara realisasi anggaran pendapatan
dengan target anggaran pendapatan.
Sedangkan efisiensi pengelolaan keuangan daerah berdasarkan Permendagri
No. 13 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 5 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
dapat dilihat berdasarkan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan
tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Suatu
10
kegiatan atau program dikatakan efisien apabila dalam proses menghasilkan output
tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-
rendahnya (spending well). Indikator efisiensi menggambarkan hubungan antara
masukan sumber daya oleh suatu unit organisasi seperti staf, upah, dan biaya
administratif, dengan keluaran atau output yang dihasilkan (Sumenge 2013).
Efisiensi dalam realisasi APBD dapat dilihat dari berapa banyak sumber daya
maupun biaya yang digunakan untuk menghasilkan suatu keluaran atau output.
Semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang sama, maka
kegiatan atau program tersebut akan semakin efisien. Efisiensi harus dibandingkan
dengan angka acuan tertentu, seperti efisiensi pada periode sebelumnya ataupun
efisiensi dari organisasi sektor publik lainnya (Julita 2011).
d. Rasio Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja
Analisis pertumbuhan pendapatan dan belanja dilakukan untuk mengetahui
perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah dalam mempertahankan ataupun
meningkatkan keberhasilan pencapaian suatu tujuan. Sehingga nantinya pemerintah
dapat memanfaatkan informasi yang ada untuk mengevaluasi potensi-potensi mana
yang memerlukan perhatian lebih dan meningkatkan bagian lain yang sudah
dilaksanakan dengan baik agar lebih optimal (Hanik dan Karyanti 2014). Pengukuran
rasio pertumbuhan ini dapat dilakukan dengan membandingkan antara jumlah PAD
tahun yang bersangkutan dengan PAD tahun sebelumnya. Hal yang sama juga dapat
dilakukan untuk menghitung tingkat pertumbuhan total pendapatan daerah, belanja
rutin, dan belanja pembangunan.
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Laporan
Realisasi Anggaran (LRA). Data-data tersebut diperoleh langsung dari kantor Badan Keuangan
Daerah (BKD) Pemerintah Kota Salatiga dan mengakses website resmi Pemkot Salatiga
maupun Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Salatiga. Penelitian ini akan menggunakan data
berupa Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Salatiga dalam kurun waktu 5 tahun,
dimulai dari tahun 2011 sampai tahun 2015. Selain menggunakan LRA untuk melakukan
perhitungan rasio keuangan, penelitian ini juga memanfaatkan CaLK, Rencana Strategis SKPD
dan Salatiga Dalam Angka sebagai informasi pelengkap.
11
3.2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi atau studi pustaka dengan cara mengumpulkan data-data yang sudah ada berupa
Anggaran dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Salatiga,
serta berbagai jurnal penelitian maupun publikasi laporan kinerja pemerintah yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Pengukuran kinerja dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio aktivitas, rasio efektivitas dan efisiensi, serta rasio pertumbuhan
pendapatan dan belanja.
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑢𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝐴𝐷
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛× 100%
Melalui rasio kemandirian keuangan tersebut dapat dilihat pola hubungan antara rasio dengan
kemampuan keuangan daerah. Terdapat 4 pola hubungan, sebagai berikut:
Tabel 1 Pola Hubungan, Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah sekali 0-25 Instruktif
Rendah 25-50 Konsultatif
Sedang 50-75 Partisipatif
Tinggi 75-100 Delegatif
Sumber: Abdul Halim (2008)
2. Rasio Aktivitas
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ× 100%
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ× 100%
Sumber: Abdul Halim (2008)
3. Rasio Efektivitas dan Efisiensi
a. Efektivitas Pendapatan
12
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 =𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛× 100%
Kriteria efektivitas pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2 Kriteria Penilaian Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria
Di atas 100% Sangat Efektif
90% - 100% Efektif
80% - 90% Cukup Efektif
60% - 80% Kurang Efektif
Kurang dari 60% Tidak Efektif
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 Tahun 1996
b. Efisiensi Belanja
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 =𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎
𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛× 100%
Kriteria efisiensi pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3 Kriteria Penilaian Efisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah
Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria
Di atas 100% Tidak Efisien
90% - 100% Kurang Efisien
80% - 90% Cukup Efisien
60% - 80% Efisien
Kurang dari 60% Sangat Efisien
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 Tahun 1996
4. Rasio Pertumbuhan
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑃𝐴𝐷 =𝑃𝐴𝐷𝑡−(𝑡−1)
𝑃𝐴𝐷𝑡−1× 100%
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑇𝑃𝐷 =𝑇𝑃𝐷𝑡−(𝑡−1)
𝑇𝑃𝐷𝑡−1× 100%
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛 =𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛𝑡−(𝑡−1)
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛𝑡−1× 100%
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 =𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛𝑡−(𝑡−1)
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛𝑡−1× 100%
Keterangan:
t = Tahun Berjalan
13
t-1 = Tahun Sebelumnya
Sumber: Abdul Halim (2008)
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Salatiga
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Salatiga dapat
dilihat melalui Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang disusun oleh Badan Keuangan Daerah
Kota Salatiga. LRA mencakup 3 komponen didalamnya yaitu komponen Pendapatan, Belanja,
dan Pembiayaan. Pada komponen Pendapatan terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Komponen Belanja terdiri dari
Belanja Operasi, Belanja Modal, dan Belanja Tidak Terduga. Sedangkan pada komponen
Pembiayaan terdiri dari Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah. Masing-masing bagian
tersebut mencakup informasi tentang anggaran dari setiap bagian, realisasi pada tahun berjalan,
persentase pencapaian dan realisasi dari tahun sebelumya. Dalam LRA juga tercantum jumlah
Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) dari tahun berjalan.
Tabel 4 Statistik Deskriptif
(dalam rupiah)
Komponen APBD Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PAD 60.611.340.067 167.010.555.173 115.453.772.356,00 49.245.923.933,404
Pajak Daerah 15.900.467.916 37.859.524.015 26.082.670.750,00 9.433.532.482,865
Retribusi 7.558.789.810 13.120.666.772 11.050.431.082,80 2.315.110.920,036
Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan 2.964.213.854 6.486.947.814 4.615.855.908,20 1.556.457.391,638
Lain-lain PAD yang Sah 34.187.868.487 113.115.459.852 73.704.814.615,00 36.792.778.864,029
Dana Perimbangan 308.552.525.942 455.982.623.940 401.037.838.930,40 59.475.992.930,798
Dana Bagi Hasil Pajak 20.582.494.864 32.771.843.178 25.504.005.249,00 5.093.490.802,700
Dana Bagi Hasil Bukan
Pajak 849.126.476 1.776.381.078 1.110.188.281,40 378.298.771,238
DAU 262.653.050.000 400.176.755.000 349.191.006.200,00 57.472.867.407,743
DAK 16.958.760.000 33.981.288.000 25.232.639.200,00 6.226.333.309,425
Belanja Daerah 458.618.399.163 673.865.039.498 571.828.780.232,20 87.920.067.275,654
Belanja Rutin 380.076.035.954 566.689.063.006 470.486.864.572,20 75.962.115.837,930
Belanja Pembangunan 69.203.906.339 124.905.280.107 99.788.160.514,60 25.203.590.876,291
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
14
Tabel 4 menunjukkan nominal terendah dan tertinggi, rata-rata dan standar deviasi dari beberapa
komponen APBD pada tahun 2011 sampai 2015. Penerimaan PAD paling rendah terjadi pada tahun
2011 dan terus meningkat setiap tahunnya, sehingga pada tahun 2015 total PAD menunjukkan angka
yang paling tinggi. Jika dilihat dari beberapa komponen PAD yang ada, Lain-lain PAD yang Sah selalu
memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan daerah. Rata-rata penerimaan PAD Kota Salatiga
cenderung lebih kecil daripada penerimaan dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan.
Penerimaan pendapatan daerah paling besar diperoleh dari Dana Alokasi Umum pemerintah pusat dan
nominalnya terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan
pajak, dan DAK realisasinya masih belum stabil, terjadi peningkatan dan penurunan dalam lima tahun
anggaran tersebut.
Belanja daerah paling banyak dialokasikan untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan.
Pengeluaran untuk belanja rutin terus meningkat setiap tahun, sedangkan pengeluaran belanja
pembangunan masih belum stabil. Pengeluaran belanja pembangunan tertinggi terjadi pada tahun 2012
dan pengeluaran terrendah terjadi pada tahun 2013. Secara keseluruhan, anggaran yang disusun oleh
pemerintah setempat selalu menunjukkan adanya defisit setiap tahun, tetapi realisasinya menunjukkan
bahwa pendapatan yang diperoleh selalu lebih besar daripada pengeluaran belanja sehingga setiap tahun
akan menghasilkan surplus anggaran dan kemudian membentuk SiLPA yang dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan pada tahun berikutnya.
Penelitian ini berfokus kepada pengelolaan pendapatan dan belanja Kota Salatiga. Seberapa besar
campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dapat dilihat dari rasio kemandirian
keuangan daerah. Sedangkan pengeluaran untuk belanja setiap tahun lebih banyak dialokasikan untuk
belanja operasi atau belanja modal ditujukan melalui perhitungan rasio aktivitas. Selain itu efektivitas
perolehan pendapatan dan efisiensi pengelolaan pendapatan untuk belanja dapat dilihat melalui rasio
efektivitas dan efisiensi. Bagaimana pertumbuhan pendapatan secara keseluruhan, pertumbuhan PAD,
pertumbuhan belanja rutin maupun belanja pembangunan dalam kurun waktu 5 tahun ditunjukan
melalui perhitungan rasio pertumbuhan.
15
4.2. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Berikut merupakan hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan dengan
membandingkan antara total penerimaan PAD dengan total penerimaan bantuan daerah dan
pinjaman, serta klasifikasi kemampuan keuangan dan pola hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah setiap tahunnya.
Tabel 5 Rasio Kemandirian Keuangan Kota Salatiga Tahun 2011-2015
(dalam ribuan rupiah)
Tahun
Penerimaan
PAD
Penerimaan
Bantuan Daerah
dan Pinjaman
Rasio
Kemandirian
Keuangan
Kemampuan
Keuangan
Pola Hubungan
2011 60.611.340 398.799.665 15,20% Rendah Sekali Instruktif
2012 77.798.870 484.524.974 16,06% Rendah Sekali Instruktif
2013 106.100.450 497.103.751 21,34% Rendah Sekali Instruktif
2014 165.747.645 561.872.223 29,50% Rendah Konsultatif
2015 167.010.555 583.571.003 28,62% Rendah Konsultatif
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
Tabel 5 menunjukkan bahwa Rasio Kemandirian Keuangan Kota Salatiga cenderung masih rendah.
Persentase pada tahun 2011 hingga 2014 terus mengalami peningkatan, sedangkan pada tahun 2015
sempat mengalami penurunan. Hal tersebut menunjukan bahwa kemampuan keuangan daerah tergolong
rendah karena masih banyak bergantung pada penerimaan dari pemerintah pusat. Walaupun demikian,
terdapat perubahan pola hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, yang semula
menunjukan pola hubungan instruktif dimana peran pemerintah pusat masih dominan terhadap
pemerintah daerah. Kemudian pada tahun 2014 mengalami perubahan menjadi pola konsultatif ketika
campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sudah mulai berkurang.
Banyaknya penerimaan bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan mempengaruhi
tingkat kemandirian keuangan suatu daerah. Melalui perhitungan rasio kemandirian keuangan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah kota Salatiga masih banyak menerima bantuan dana dari pemerintah
pusat untuk memenuhi kebutuhan dan melaksanakan program-program pemerintah. Jika dibandingkan,
antara penerimaan PAD dengan penerimaan bantuan daerah nominalnya akan jauh berbeda. Jumlah
16
penerimaan bantuan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan PAD. Hal tersebut dapat
disebabkan karena sumber-sumber penerimaan PAD jumlahnya terbatas dan pengelolaannya belum
maksimal.
Gambar 2 Realisasi PAD Pemerintah Kota Salatiga Tahun 2011-2015
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
Gambar 2 menunjukkan bahwa komponen yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PAD
Kota Salatiga adalah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah dapat diperoleh melalui hasil penjualan aset daerah yang tak dipisahkan, penerimaan jasa giro,
penerimaan bunga deposito, denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda retribusi,
pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, dan pendapatan BLU-RSUD
(Badan Layanan Umum-Rumah Sakit Umum Daerah). Pendapatan BLU-RSUD selalu memiliki
nominal yang paling besar setiap tahunnya dibandingkan dengan komponen yang lain. Pendapatan
BLU-RSUD tersebut diperoleh dari pengelolaan RSUD Salatiga dengan memberikan jasa layanan
kesehatan kepada masyarakat. Seiring dengan peningkatan jumlah pasien ataupun masyarakat yang
menggunakan jasa layanan kesehatan di RSUD setiap tahun, maka perolehan pendapatan BLU-RSUD
juga terus meningkat dan akan mempengaruhi jumlah penerimaan PAD. Dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD maka setiap pendapatan yang diterima oleh RSUD Salatiga tidak
15
,90
0
18
,69
5
24
,38
3
33
,57
4
37
,85
9
7,5
58
10
,18
5
13
,12
0
13
,08
8
11
,29
8
2,9
64
3,3
86
4,2
72
5,9
69
6,4
86
34
,18
7 45
,53
1
64
,32
3
11
3,1
15
11
1,3
65
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
2011 2012 2013 2014 2015
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah Yang
DipisahkanLain-lain Pendapatan
Asli Daerah Yang Sah
(dalam jutaan rupiah)
17
diserahkan kepada kas daerah, sehingga mereka bertanggung jawab untuk mengelola secara mandiri
segala keperluannya.
Pajak daerah merupakan komponen PAD yang memberikan kontribusi yang cukup besar
setelah Lain-lain Pendapaatan Asli Daerah yang sah. Pendapatan pajak daerah terdiri dari pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak air bawah
tanah, dan pajak BPHTB. Dari beberapa komponen pajak daerah tersebut, penerimaan pajak
penerangan jalan pada tahun 2011 sampai 2015 jumlahnya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
penerimaan pajak lain. Hal tersebut dipengaruhi karena jumlah pemasangan listrik penerangan jalan
umum (LPJU) terus meningkat. Pajak penerangan jalan dikenakan atas pemanfaatan tenaga listrik untuk
penerangan jalan suatu wilayah daerah. Pajak penerangan jalan ini akan dipungut oleh PLN selaku
penyedia pasokan listrik dan kemudian diserahkan kepada pemerintah Kota Salatiga, baru kemudian
tagihan listrik dibayarkan menggunakan rekening pemerintah daerah. Sedangkan pajak yang diterima
oleh pemerintah pusat maupun daerah yang diserahkan ke provinsi nominalnya selalu lebih besar karena
berasal dari Dana Bagi Hasil Pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pendapatan Bagi Hasil
Pajak seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor. Pajak-pajak tersebut memiliki nominal atau tarif yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan komponen-komponen pajak daerah yang diterima oleh pemerintah kota, sehingga
PAD dari pajak daerah jumlahnya selalu lebih rendah dan nantinya akan mempengaruhi PAD secara
keseluruhan.
Meskipun penerimaan PAD cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan penerimaan
bantuan dan pinjaman, pada praktek pelaksanaannya, penerimaan PAD Kota Salatiga dari tahun 2011
sampai 2015 terus mengalami peningkatan. Pemerintah setempat berhasil mencapai dan bahkan
melebihi hampir keseluruhan target anggaran PAD yang sudah ditetapkan sebelumnya. Walaupun
demikian, pemerintah Kota Salatiga perlu melihat sumber-sumber pendapatan daerah mana yang dapat
dioptimalkan sehingga penerimaan PAD terus meningkat dan rasio kemandirian keuangan akan
semakin baik. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Salatiga tahun 2011-2016, kebijakan anggaran
18
pendapatan juga diarahkan untuk memaksimalkan pemungutan pendapatan daerah untuk sumber-
sumber pendapatan daerah yang berpotensi riil untuk dikembangkan. Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dapat dikelola sedemikian rupa supaya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
PAD. Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan koordinasi SKPD yang menghasilkan
pendapatan tinggi, meningkatkan kualitas SDM yang bertanggung jawab mengelola pendapatan, serta
mengembangkan fasilitas sarana prasarana yang menunjang perolehan pendapatan daerah.
Selain PAD, penerimaan pendapatan juga diperoleh dari pendapatan transfer yang terdiri dari
transfer pemerintah pusat (Dana Perimbangan), transfer pemerintah pusat lainnya, dan transfer
pemerintah provinsi. Penerimaan bantuan daerah dan pinjaman didominasi oleh transfer pemerintah
pusat (Dana Perimbangan) berupa Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan transfer dana
pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN. DAU dialokasikan
sesuai kebutuhan daerah masing-masing untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Proporsi
DAU akan ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota. Anggaran dan realisasi pendapatan DAU Kota Salatiga cenderung terus meningkat
setiap tahunnya. Sedangkan pendapatan transfer pemerintah pusat lainnya dan transfer pemerintah
provinsi jumlahnya cenderung lebih sedikit.
Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima oleh pemerintah daerah digunakan untuk
keperluan masing-masing bidang yang ada, seperti bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan
lain-lain. Dana Alokasi Khusus paling besar digunakan untuk bidang pendidikan dan bidang
infrastruktur. DAK Bidang Pendidikan tersebut digunakan untuk mendukung pelaksanaan program
wajib belajar 9 tahun yang terus dilakukan oleh pemerintah supaya pendidikan disetiap daerah semakin
merata dan bermutu. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tersebut dilakukan dengan
meningkatkan kompetensi dari tenaga pengajar dan memperlengkapi sarana prasarana penunjang
kegiatan belajar mengajar. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan memanfaatkan DAK
bidang pendidikan. Begitupula untuk Transfer Pemerintah Pusat Lainnya, sebagian besar dimanfaatkan
untuk Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana, Dana Penyesuaian Tunjangan Pendidikan
dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sedangkan DAK Bidang Infrastruktur akan digunakan untuk
19
melakukan pembangun maupun perawatan jalan, irigasi dan jaringan. Sehingga aksesibilitas setiap
wilayah dapat ditingkatkan dan membantu mobilitas masyarakat.
4.3. Rasio Aktivitas
Berikut merupakan perhitungan rasio aktivitas yang diperoleh dari perbandingan antara
total belanja rutin (belanja operasi) maupun belanja pembangunan (belanja modal) dengan total
belanja daerah, sehingga menghasilkan rasio belanja rutin dan rasio belanja pembangunan.
Tabel 6 Rasio Aktivitas Kota Salatiga Tahun 2011-2015
(dalam ribuan rupiah)
Tahun
Total Belanja
Rutin
Total Belanja
Pembangunan
Total Belanja
Daerah
Rasio Belanja
Rutin
Rasio Belanja
Pembangunan
2011 380.076.035 77.409.470 458.618.399 82,87% 17,13%
2012 420.234.638 124.905.280 551.634.845 76,18% 23,82%
2013 460.019.271 69.203.906 529.237.634 86,92% 13,08%
2014 525.415.313 120.272.968 645.787.982 81,36% 18,64%
2015 566.689.063 107.149.176 673.865.039 84,10% 15,90%
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui rasio aktivitas Kota Salatiga melalui perhitungan rasio
belanja rutin dan belanja pembangunan. Pengeluaran belanja rutin dan belanja pembangunan pada lima
tahun anggaran tersebut mengalami peningkatan dan penurunan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan
bahwa pengeluaran untuk belanja rutin selalu lebih besar daripada belanja pembangunan. Pemerintah
Kota Salatiga memiliki kecenderungan untuk fokus memenuhi pengeluaran-pengeluaran rutin
pemerintahan dibandingkan pemenuhan program pembangunan daerah.
Gambar 3 Realisasi Belanja Rutin Pemerintah Kota Salatiga Tahun 2011-2015
20
Sumber: Data Sekunder yang diolah (2018)
Gambar 3 menunjukkan bahwa belanja pegawai merupakan komponen belanja operasi yang
memiliki nominal paling besar diantara belanja-belanja yang lain. Belanja pegawai pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga dibagi menjadi dua bagian, yaitu
belanja pegawai tidak langsung dan belanja pegawai langsung. Belanja pegawai tidak langsung paling
banyak digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai, sedangkan komponen-komponen lain
seperti Tambahan Penghasilan PNS, Penerimaan Lainnya DPRD, Biaya Pemungutan Pajak Daerah,
Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Insentif Pemungutan Retribusi Daerah nominalnya tidak terlalu
besar. Belanja pegawai langsung paling banyak digunakan untuk pengeluaran Honorarium Non PNS,
sedangkan komponen lain seperti Honorarium PNS, Uang Lembur, Kursus, Pelatihan, Sosialisasi
Bintek PNS dan Honorarium Pengelolaan Dana BOS jumlahnya tidak terlalu banyak.
Belanja pegawai yang tinggi disebabkan karena jumlah pegawai pemerintahan baik tetap
maupun tidak tetap jumlahnya terus meningkat. Jika dilihat dari jumlah pegawai pemerintahan,
bertambah atau berkurangnya jumlah pegawai akan mempengaruhi jumlah pengeluaran seperti untuk
gaji dan tunjangan. Walaupun demikian, jumlah pengeluaran gaji dan tunjangan pegawai pemerintah
dalam kurun waktu 5 tahun tersebut selalu meningkat setiap tahunnya. Selain itu, sarana prasarana yang
menunjang pekerjaan para pegawai pemerintah juga dibutuhkan sesuai dengan jumlah mereka. Belanja
pegawai ini disusun berdasarkan keperluan SKPD masing-masing. Dari total sekitar 29 SKPD yang ada
278,0
29
309,3
15
326,6
82
358,3
97
38
7,4
65
83,5
37
93,6
21
112,2
06
148,0
20
167,4
33
10,2
92
15
,82
3
19,0
62
17,8
01
5,8
61
6,8
25
498
1,2
34
668
5,4
11
1,3
90
974
832
527
516
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
2011 2012 2013 2014 2015
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan
Jasa
Belanja Hibah
Belanja Bantuan Sosial
Belanja Bantuan
Keuangan
(dalam jutaan rupiah)
21
di Kota Salatiga, dinas pendidikan, pemuda, dan olahraga merupakan SKPD dengan pengeluaran
belanja pegawai terbesar. Hal tersebut dipengaruhi karena jumlah pegawai pada dinas tersebut jauh
lebih banyak dibandingkan dengan dinas yang lain. Selain itu dinas pendidikan, pemuda, dan olahraga
juga memiliki cakupan yang lebih luas dalam melakukan pekerjaannya.
Sedangkan belanja pembangunan atau belanja modal paling banyak digunakan untuk
pembangunan infrastruktur. Belanja jalan, jembatan, irigasi, dan jaringan menunjukkan jumlah yang
paling besar dibandingkan belanja yang lain seperti belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja
gedung dan bangunan, serta belanja aset tetap untuk keperluan daerah tersebut. Konstruksi jalan
merupakan pengeluaran paling besar setiap tahunnya jika dibandingkan dengan pengeluaran lain. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur lebih diutamakan supaya mempermudah
mobilitas masyarakat setempat. Selain belanja jalan, jembatan, irigasi, dan jaringan, pengeluaran untuk
belanja peralatan dan mesin cukup besar setiap tahunnya. Belanja untuk alat-alat kedokteran/kesehatan
merupakan pengeluaran terbesar jika dibandingkan pengeluaran lain, seperti belanja alat berat, alat
angkutan bermotor, alat angkutan tidak bermotor, dan alat-alat lain yang akan menunjang pekerjaan
seluruh pegawai pemerintahan. Secara umum belanja daerah ditujukan untuk kepentingan publik, selain
untuk menjaga kelangsungan program atau kegiatan yang sudah direncanakan oleh pemerintahan
daerah.
Pengeluaran untuk belanja modal (belanja pembangunan) pemerintah daerah diharapkan
sekurang-kurangnya 30% dari total belanja daerah seperti ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
Permendagri No. 27 Tahun 2013 tentang Pendoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2014. Sedangkan hasil perhitungan rasio aktivitas menunjukkan bahwa alokasi
belanja pembangunan pada 5 tahun periode tersebut belum berhasil mencapai atau melebihi 30%.
Walaupun belanja pembangunan sudah dianggarakan lebih tinggi setiap tahun, tetapi realisasinya
cenderung masih rendah.
Menurut Perda No. 1 tahun 2012 tentang RPJMD Kota Salatiga, kebijakan anggaran belanja
disusun dengan mengutamakan pembiayaan pembangunan sarana prasarana yang membantu
22
pelaksanaan program-program pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Tetapi dalam praktek
pelaksanaannya, belanja pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Salatiga pada periode
tersebut nominalnya selalu lebih kecil jika dibandingkan dengan belanja rutin. Dana yang sudah
dianggarakan pada dasarnya adalah untuk keperluan pelayanan kepada masyarakat, sehingga akan lebih
baik jika pengeluaran tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Pemerintah Kota Salatiga perlu
melakukan efisiensi belanja rutin supaya proporsi untuk belanja pembangunan dapat ditingkatkan.
4.4. Rasio Efektivitas dan Efisiensi
Berikut merupakan hasil perhitungan rasio efektivitas perolehan pendapatan dan efisiensi
belanja daerah Pemerintah Kota Salatiga. Perhitungan rasio efektivitas dilakukan dengan
membandingkan realisasi pendapatan dengan target pendapatan yang dianggarakan, sedangkan rasio
efisiensi didapatkan dari perbandingan pengeluaran belanja dengan pendapatan daerah setiap tahunnya.
Tabel 7 Rasio Efektivitas dan Efisiensi Kota Salatiga Tahun 2011-2015
(dalam ribuan rupiah)
Tahun Realisasi
Pendapatan
Target
Pendapatan
Pengeluaran
Belanja Rasio Efektivitas Rasio Efisiensi
2011 478.173.510 468.844.442 458.618.399 101,99% 95,91%
2012 562.323.845 541.313.035 551.634.845 103,88% 98,10%
2013 603.204.201 599.853.140 529.237.634 100,56% 87,74%
2014 727.619.868 713.457.991 645.787.982 101,98% 88,75%
2015 750.581.558 747.219.445 673.865.039 100,45% 89,78%
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa rasio efektivitas pada 5 tahun anggaran tersebut
menunjukkan angka diatas 100% sehingga menunjukkan kriteria penilaian efektivitas pengelolaan
keuangan daerah yang sangat efektif. Sedangkan hasil perhitungan rasio efisiensi masih cenderung
tinggi, dimana kriteria efisiensi dikatakan semakin baik apabila persentasenya rendah. Pada tahun 2011
dan 2012 rasio efisiensi menunjukkan angka diatas 90% yang berarti pengelolaan belanja dari total
pendapatan yang ada masih kurang efisien dan pada tahun 2013 sampai 2015 rasio efisensi mengalami
23
penurunan pada angka 80%-90% menunjukkan bahwa pengelolaan belanja daerah atas pendapatan
yang diterima sudah cukup efisien.
Tingkat efektivitas realisasi pendapatan Pemerintah Kota Salatiga pada tahun 2011-2015
menunjukkan bahwa pemerintah sudah berhasil untuk mengelola keuangan sedemikian rupa supaya
dapat mencapai target pendapatan setiap tahunnya. Penetapan anggaran pada tahun berjalan didasarkan
pada realisasi dari tahun sebelumnya dan nominal yang ditetapkan akan cenderung lebih tinggi sehingga
diharapkan kinerja keuangan akan meningkat pada tahun berikutnya. Selama tahun anggaran berjalan
biasanya akan terjadi perubahan APBD karena adanya penyesuaian yang perlu dilakukan pada saat
periode anggaran berjalan. Perubahan APBD ini dapat menambah maupun mengurangi anggaran yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rasio efektivitas pendapatan pada
tahun 2012 menunjukkan angka yang paling tinggi sehingga masuk kriteria penilaian sangat efektif.
Anggaran pendapatan sebelum perubahan pada tahun tersebut sebesar Rp 505.009.932.000 dan setelah
perubahan jumlahnya meningkat menjadi Rp 541.313.035.000. Secara keseluruhan, PAD pada tahun
anggaran tersebut mengalami pengurangan sebesar 0,17% dari anggaran yang sudah ditetapkan
sebelumnya karena ada penyesuaian pada beberapa komponen didalamnya. Sedangkan pendapatan
yang diperoleh dari dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah mengalami
peningkatan dari anggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya, sehingga mempengaruhi perubahan
anggaran pendapatan pada tahun tersebut. Walaupun demikian, anggaran untuk DAU dan DAK tidak
berubah karena nominal yang diterima sudah pasti sesuai dengan anggaran yang diajukan kepada
pemerintah pusat dan sudah disetujui.
Realisasi pendapatan daerah selalu mencapai target setiap tahunnya dipengaruhi oleh setiap
komponen pendapatan didalamnya. Penerimaan PAD pada tahun 2011 sampai 2015 selalu mengalami
peningkatan. Pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah yang terus meningkat menunjukkan bahwa
masyarakat Kota Salatiga semakin taat untuk membayar pajak kepada pemerintah. Selain penerimaan
pajak daerah, pendapatan transfer dari pemerintah pusat seperti PBB, PPh 21, PPh 25, dan pendapatan
lain di luar pajak juga terus meningkat. Walaupun secara keseluruhan realisasi pendapatan sudah
melampaui target yang ditetapkan, jika dilihat lebih rinci maka tidak semua komponen pendapatan
24
tersebut berhasil mencapai target 100%. Misalnya pada tahun 2011 persentase rasio efektivitas
pendapatan menunjukkan angka 101,99%, tetapi beberapa komponen didalamnya tidak mencapai
target. Perolehan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah hanya berhasil mencapai 88% dari target
anggaran, hal tersebut terjadi karena penerimaan jasa giro dan bunga deposito belum maksimal.
Berdasarkan perhitungan rasio efisiensi dapat dilihat bahwa efisiensi pengelolaan keuangan
pemerintah Kota Salatiga masih cenderung tinggi dan mengalami peningkatan maupun penurunan
setiap tahunnya. Pada tahun 2011 rasio efisiensi menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 95,91%.
Realisasi belanja operasi pada tahun tersebut cenderung tinggi dibandingkan dengan realisasi belanja
modal. Pengeluaran untuk belanja modal seperti belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja
gedung dan bangunan, belanja jalan, jembatan, irigasi, dan jalan, belanja aset tetap lainnya, serta belanja
aset lainnya pada tahun tersebut masih tergolong rendah dan belum maksimal. Selanjutnya pada tahun
2012, rasio efisiensi meningkat sampai 98,10% yang menandakan pengeluaran belanja daerah pada
tahun tersebut masih cukup tinggi. Selain jumlah belanja operasional yang meningkat, jumlah belanja
modal pada tahun tersebut juga mengalami peningkatan karena belanja jalan, irigasi, dan jaringan yang
lebih besar dari tahun sebelumnya. Mulai tahun 2013 sampai 2015 persentase rasio efisiensi menurun
antara 80%-90%. Angka tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan pendapatan dan belanja sudah
cukup efisien. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain jumlah belanja
operasi yang dikeluarkan pemerintah lebih sedikit. Sedangkan realisasi belanja modal pada tahun 2013
sampai 2015 tidak lebih dari 50% target anggaran yang sudah ditetapkan, menyebabkan pengeluaran
untuk belanja pembangunan tidak maksimal.
Tingkat efisiensi belanja terhadap pendapatan diharapkan menghasilkan angka yang rendah,
menunjukan bahwa pemerintah daerah berhasil melakukan efisiensi anggaran untuk melaksanakan
seluruh program yang sudah direncanakan. Sedangkan perhitungan rasio efisiensi pada Tabel 7
menunjukkan bahwa pengelolaan belanja daerahnya masih kurang efisien karena menunjukkan
persentase yang cenderung tinggi. Upaya pemeritah daerah untuk melakukan efisiensi belanja dapat
dilakukan misalnya untuk belanja operasi yang cenderung memiliki jumlah yang besar setiap tahunnya.
Pengeluaran untuk belanja operasi perlu dikelola sedemikian rupa supaya seluruh program dan
25
keperluannya tetap terpenuhi tetapi menggunakan sumber daya dan dana serendah-rendahnya.
Kemudian sisa dari anggaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung program-program
pembangunan atau memaksimalkan belanja modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jika dilihat dari ringkasan perubahan APBD tahun anggaran 2011 sampai 2015, nominal
anggaran pendapatan daerah selalu ditetapkan lebih rendah dari anggaran belanja daerah sehingga
menghasilkan perkiraan terjadinya defisit anggaran. Namun pembiayaan daerah akan dianggarakan
untuk menutup perkiraan defisit tersebut, sehingga pada akhirnya menunjukkan nominal Sisa
Lebih/Kurang Perhitungan Anggaran (SiLPA/SiKPA) APBD adalah nol. Sedangkan pada praktek
pelaksanaannya, realisasi anggaran pendapatan secara keseluruhan pada kurun waktu tersebut selalu
melebihi target anggaran dan realisasi belanja selalu lebih rendah dari anggarannya sehingga setiap
tahunnya justru menghasilkan surplus anggaran dan SiLPA yang dapat dimanfaatkan untuk membantu
pembiayaan program atau kegiatan pada tahun berikutnya.
4.5. Rasio Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja
Berikut merupakan hasil perhitungan rasio pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
pertumbuhan Total Pendapatan Daerah (TPD), pertumbuhan belanja rutin, dan pertumbuhan belanja
pembangunan pada tahun 2011 sampai 2015.
Gambar 4 Rasio Pertumbuhan PAD dan TPD Tahun 2011-2015
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
17.58
28.36
36.38
56.38
0.76
16.2 17.6
7.27
20.63
3.160
10
20
30
40
50
60
2011 2012 2013 2014 2015
Pertumbuhan
PAD
Pertumbuhan TPD
(dalam persentase)
26
Berdasarkan Gambar 4 diatas, dapat dilihat bahwa pertumbuhan PAD Kota Salatiga pada tahun
2011 sampai 2014 meningkat cukup signifikan. Pada jangka waktu tersebut setiap komponen PAD terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun 2015 persentase mengalami penurunan
karena perolehan PAD tahun tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Salah satu penyebab
turunnya penerimaan PAD pada tahun 2015 adalah penerimaan retribusi daerah yang lebih rendah dari
tahun 2014. Target anggaran untuk pendapatan retribusi daerah pada tahun 2014 mencapai 13 Milyar
rupiah, sedangkan pada tahun 2015 turun menjadi 9,3 Milyar rupiah. Walaupun pertumbuhan PAD
menunjukkan peningkatan dan penurunan yang cukup signifikan, realisasi penerimaan PAD selalu
meningkat setiap tahunnya. Dalam hal ini kinerja pemerintah dalam memenuhi target anggaran sudah
cukup baik, hanya saja perlu ditingkatkan lagi supaya penerimaan PAD lebih maksimal dan
pertumbuhan PAD terus mengalami peningkatan sehingga menunjukkan kinerja keuangan yang baik.
Berbeda dengan rasio pertumbuhan PAD, rasio pertumbuhan TPD mengalami peningkatan dan
penurunan yang tidak terlalu signifikan. Tahun 2011 pertumbuhan pendapatan mencapai 16,2% dan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 17,6%. Tetapi pada tahun 2013 rasio pertumbuhan turun menjadi
7,27% yang disebabkan karena jumlah pendapatan transfer yang diterima pemerintah daerah pada tahun
tersebut rendah. Perolehan DAK dan Pendapatan Bagi Hasil Lainnya merupakan komponen pendapatan
transfer yang realisasinya paling kecil. Kemudian pada tahun 2014 persentase pertumbuhan pendapatan
naik menjadi 20,63%. Peningkatan tersebut disebabkan karena perolehan Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang Sah pada tahun 2014 cukup tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sedangkan pada tahun 2015 rasio pertumbuhan pendapatan kembali mengalami penurunan yang
disebabkan karena beberapa komponen pendapatan didalamnya tidak berhasil mencapai target
anggaran. Secara keseluruhan, upaya pemerintah Kota Salatiga untuk meningkatkan perolehan
pendapatan setiap tahunnya sudah berhasil walaupun sebagian besar pendapatan tersebut diperoleh dari
bantuan pemerintah pusat karena perolehan PAD masih cenderung kecil.
27
Gambar 5 Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan
Sumber: Data sekunder yang diolah (2018)
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa Pertumbuhan Belanja Rutin mengalami
peningkatan maupun penurunan yang tidak terlalu signifikan, berbeda dengan pertumbuhan belanja
pembangunan yang sangat signifikan setiap tahunnya. Rasio pertumbuhan belanja rutin pada tahun
2011 sampai tahun 2013 terus mengalami penurunan dari mulai 15,53% pada tahun 2011, turun menjadi
9,47% pada tahun 2013, kemudian pada tahun 2014 naik menjadi 14,22% dan pada tahun 2015 turun
menjadi 7,86%. Pengeluaran untuk belanja rutin atau belanja operasi pemerintah Kota Salatiga secara
keseluruhan selalu meningkat setiap tahunnya, walaupun rasio pertumbuhan menunjukan adanya
peningkatan dan penurunan. Dari tahun ke tahun belanja pegawai selalu menjadi pengeluaran terbesar
untuk pemerintah, seperti untuk pembayaran gaji dan tunjangan, insentif, dan pengeluaran lain terkait
keperluan pegawai pemerintahan. Peningkatan jumlah belanja operasi setiap tahun menandakan bahwa
banyak kegiatan yang perlu direalisasikan pada tahun berjalan. Anggaran belanja operasi ditetapkan
lebih tinggi ataupun lebih rendah disesuaikan dengan kebutuhan pada tahun anggaran yang
bersangkutan. Sedangkan pada tahun 2015 menunjukkan persentase pertumbuhan belanja rutin hanya
7,86%, hal tersebut dipengaruhi oleh realisasi belanja pegawai, belanja barang, belanja hibah yang lebih
rendah dari anggaran yang sudah ditentukan. Penurunan angka pertumbuhan belanja rutin tersebut tidak
15.5310.57 9.47
14.227.86
-13.65
61.36
-44.59
73.8
-10.91
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
2011 2012 2013 2014 2015
Pertumbuhan Belanja
Pembangunan
Pertumbuhan Belanja
Rutin
(dalam persentase)
28
sepenuhnya berpengaruh buruk karena tidak dapat mencapai target anggaran yang sudah ditentukan,
tetapi juga bisa menunjukkan bahwa pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran.
Berdasarkan Renstra Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk mewujudkan visi, misi, dan
program Walikota dan Wakil Walikota Salatiga dapat dilakukan dengan meningkatkan tata kelola
pemerintahan dengan prinsip-prinsip good governance. Dengan demikian dibutuhkan SDM yang
berkualitas dan professional supaya kinerja dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat lebih
maksimal. Berkaitan dengan hal tersebut, belanja pegawai langsung maupun tidak langsung diperlukan
untuk mendukung pelaksanaan program tersebut. Anggaran belanja pegawai dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pegawai pemerintahan melalui berbagai macam diklat
dan izin serta tugas belajar baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, sistem dan manajemen
kepegawaian perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan sarana prasarana yang menunjang kinerja
pegawai juga perlu diperhatikan.
Pertumbuhan belanja pembangunan atau belanja modal pada 5 tahun anggaran tersebut terlihat
perbedaan yang sangat signifikan. Pada tahun 2012 dan 2014 menunjukkan pertumbuhan belanja
pembangunan yang cukup baik. Pengeluaran untuk belanja pembangunan pada tahun tersebut selalu
lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2011, 2013, dan 2015, persentase rasio
belanja pembangunan ada di bawah garis normal. Hal tersebut disebabkan karena pengeluaran belanja
pembangunan pada tahun tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya dan tidak berhasil mencapai
target anggaran yang sudah ditetapkan. Tinggi rendahnya pengeluaran untuk belanja pembangunan atau
belanja modal menunjukkan bahwa pemerintah Kota Salatiga banyak melakukan pembangunan
infrastruktur atau tidak selama tahun anggaran tersebut.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Hasil analisis dan pembahasan menunjukan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kota Salatiga
jika dilihat dari rasio kemandirian keuangan masih belum baik karena persentase yang dihasilkan
cenderung rendah. Campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah cukup tinggi pada
29
awalnya, namun semakin berkurang pada tahun berikutnya. Dilihat dari rasio aktivitas, besarnya
pengeluaran untuk belanja rutin (belanja operasi) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan belanja
pembangunan (belanja modal). Rasio efektivitas pendapatan menunjukkan hasil yang baik karena
pengelolaannya dinilai sudah efektif. Realisasi penerimaan pendapatan selalu mencapai dan bahkan
melebihi target anggaran yang ditetapkan sebelumnya. Sedangkan rasio efisiensi belanja pada jangka
waktu tersebut masih belum efisien.
Rasio pertumbuhan PAD dan TPD pemerintah Kota Salatiga menunjukkan peningkatan dan
penurunan yang berbeda setiap tahunnya. Perolehan PAD maupun TPD cenderung meningkat,
walaupun peningkatan tersebut tidak selalu dalam jumlah yang besar. Pertumbuhan belanja rutin masih
cukup stabil, peningkatan dan penurunannya tidak terlalu signifikan setiap tahunnya. Berbeda dengan
pertumbuhan belanja rutin, pertumbuhan belanja pembangunan mengalami kenaikan dan penurunan
yang sangat signifikan. Hal tersebut disebabkan karena realisasi belanja pembangunan terkadang
berhasil mencapai target anggaran dan pada tahun tertentu tidak berhasil mencapai target anggaran.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
(Wardhani 2012), maka akan menunjukan beberapa perbedaan yaitu: rasio kemandirian keuangan
daerah mengalami perubahan pola hubungan dari instruktif menjadi konsultatif, kemudian rasio
aktivitas menunjukan bahwa persentase rasio belanja rutin semakin besar sehingga rasio belanja
pembangunannya semakin kecil. Rasio pertumbuhan PAD cenderung memiliki persentase yang lebih
tinggi, tetapi persentase rasio pertumbuhan belanja rutin cenderung lebih rendah dari penelitian
sebelumnya. Sedangkan rasio efektivitas dan efisiensi menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dari
penelitian sebelumnya, bahwa pengelolaan pendapatannya sudah efektif dan pengelolaan belanja masih
belum efisien. Begitupula dengan rasio pertumbuhan TPD dan belanja pembangunan yang memiliki
pola yang hampir sama, dimana rasio pertumbuhannya masih belum stabil.
5.2. Keterbatasan
Pembahasan yang diberikan dalam penelitian ini masih berupa gambaran secara umum
dan penjelasan untuk beberapa komponen APBD didalamnya tidak terlalu detail, sehingga
30
penyebab terjadinya peningkatan maupun penurunan APBD serta pengaruhnya terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah belum diketahui. Selain itu, penelitian ini hanya
menggunakan beberapa analisis rasio keuangan saja, sehingga memungkinkan bahwa
penggunaan rasio tersebut belum cukup menggambarkan kinerja keuangan pemerintah daerah
secara keseluruhan.
5.3. Saran
Pemerintah Kota Salatiga masih perlu meningkatkan kinerja keuangan daerahnya.
dengan memaksimalkan pendapatan dan mengelola belanja daerah supaya lebih efisien.
Sumber-sumber penerimaan yang memiliki kontribusi besar terhadap PAD seperti pajak daerah
dapat dimaksimalkan, misalnya dari penerimaan pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
pajak reklame dan pajak parkir yang cenderung persentase realisasinya tinggi setiap tahunnya.
Selain itu pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk taat membayar pajak,
karena perolehan pajak tersebut juga akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, salah satunya melalui program pembangunan. Sedangkan belanja daerah untuk
tahun berikutnya, pemerintah perlu memaksimalkan belanja modal dibandingkan untuk belanja
operasi. Supaya fokus pemerintah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan
program-program saja, tetapi mendukung pembangunan daerah. Pemerintah perlu melakukan
penghematan untuk belanja pegawai karena cukup mendominasi belanja daerah secara
keseluruhan.
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan data yang lebih terperinci
untuk mengetahui penyebab kinerja keuangan pemerintah daerah belum maksimal dan
bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasinya. Tidak hanya menggunakan laporan
keuangan, bisa juga melakukan wawancara dengan pegawai pemerintah yang bersangkutan
untuk memperoleh konfirmasi terkait data yang digunakan dan mendapat gambaran tentang
pengelolaan APBD secara riil yang dapat digunakan untuk mendukung hasil penelitian.
Penggunaan analisis rasio lain juga dapat dilakukan supaya mendapat gambaran yang lebih
menyeluruh tentang kinerja keuangan pemerintah daerah.
6. Daftar Pustaka
Boedi, Soelistjiono. "Analisis Kinerja Keuangan Pada APBD Pemerintah Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan." Jurnal SPREAD Vol. 2 No. 2, 2012.
31
Dien, Astria Nur Jannah, Jantje Tinangon, and Stanley Walandouw. "Analisis Laporan
Realisasi Anggaran Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pada Kantor Dinas Pendapatan
Daerah Kota Bitung." Jurnal EMBA Vol. 3 No. 1, 2015: 534-541.
Fahlevi, Heru, and Muhammad Reza Ananta. "Analisis Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Belanja Langsung-Studi pada SKPD di Pemerintah Kota Banda Aceh." Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik Vol.1 No.1, 2015: 37-44.
Fahrianta, Riswan Yudhi, and Viani Carolina. "Analisis Efisiensi Anggaran Belanja Dinas
Pendidikan Kabupaten Kapuas." Jurnal Manajemen dan Akuntansi Vol.13 No. 1, 2012.
Halim, Abdul. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat,
2008.
Hanik, Fitri Umi, and Tutik Dwi Karyanti. "Analisis Rasio Keuangan Daerah Sebagai Penilaian
Kinerja (Studi pada DPPKD Kabupaten Semarang)." JABPI Vol. 22 No. 2, 2014: 143-
156.
Julita. "Analisis Efektivitas dan Efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pada Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara." Kumpulan Jurnal Dosen - Manajemen
& Bisnis, 2011.
Kundalini, Pertiwi. Analisis Laporan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Pada Pemerintah Kabupaten Kulon Progo Periode 2011-2012. SKRIPSI, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
Macmud, Masita, George Kawung, and Wensy Rompas. "Analisis Kinerja Keuangan Daerah
di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007-2012." Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi Vol. 14
No. 2, 2014.
Mahmudi. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah: Panduan Bagi Eksekutif, DPRD,
dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,
2010.
Mardiasmo. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi, 2004.
Pemerintah Kota Salatiga. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kota Salatiga Tahun
Anggaran 2016. Salatiga, 2016.
32
—. Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kota Salatiga Tahun 2011-2016. Salatiga, 2012.
—. Rencana Strategis Badan Kepegawaian Daerah Kota Salatiga Tahun 2011-2016. Salatiga,
2012.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah. Jakarta: Sekretariat Negara, 2005.
—. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Jakarta: Sekretariat Negara, 2006.
—. Permendagri No. 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014. Jakarta: Sekretariat Negara, 2013.
—. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta: Sekretariat
Negara, 2003.
—. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: Sekretariat
Negara, 2004.
Santoso, Urip, and Yohanes Joni Pambelum. "Pengaruh Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dalam Mencegah Fraud." Jurnal
Administrasi Bisnis Vol. 4 No. 1, 2008: 14-33.
Saputra, Sandy Candra, I Wayan Suwendra, and Fridayana Yudiatmaja. "Analisis Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah di Kabupaten Jembrana Tahun 2010-2014." Jurnal Bisma Universitas
Pendidikan Ganesha Jurusan Manajemen Vol. 4, 2016.
Sijabat, Mentari Yosephen, Choirul Saleh, and Abdul Wachid. "Analisis Kinerja Keuangan
Serta Kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah." Jurnal Administrasi Publik Vol. 2 No. 2, 2014: 236-242.
Sumenge, Ariel Sharon. "Analisis Efektifitas dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Belanja
BAPPEDA Minahasa Selatan." Jurnal EMBA Vol. 1 No.3, 2013: 74-81.
Suoth, Novelya, Jantje Tinangon, and Sintje Rondonuwu. "Pengukuran Efisiensi dan
Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pada Dinas Pengelolaan Keuangan,
33
Pendapatan dan Aset (DPKPA) Kabupaten Minahasa Selatan." Jurnal EMBA Vol.4
No.1, 2016: 613-622.
Wardhani, Andita Puspita. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Salatiga Tahun 2005-
2010. SKRIPSI, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2012.
Wenny, Cherrya Dhia. "Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Selatan." Jurnal
Ilmiah STIE MDP Vol. 2 No. 1, 2012: 39-51.
34